Baca Cerita Silat Indonesia jaman dulu online gratis: Serial Raja Petir (Bondan Pramana)
Kumpulan cerita silat / cersil jaman dulu untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
-pengarang cerita silat indonesia
Bondan Pramana
-------------------------------
----------------------------
SERIAL RAJA PETIR
Karya: Bondan Pramana
- 01. Pembalasan Berdarah
- 02. Empat Setan Goa Mayat
- 03. Pencuri Kitab-kitab Pusaka
- 04. Asmara Sang Pengemis
- 05. Dedemit Selaksa Nyawa
- 06. Upacara Maut
- 07. Daradara Pengusung Mayat
- 08. Ratu Sihir Puri Ular
- 09. Kematian Eyang Legar
- 10. Sengketa Pewaris Tunggal
- 11. Penguasa Danau Keramat
- 12. Rajahan Naga Hitam
- 13. Rahasia Tombak Sangga Buana
- 14. Ajian Duribang
- 15. Api di Suraloka
- 16. Pergolakan Goa Teratai
- 17. Setan Bukit Cemara
- 18. Misteri Arca Singa
- 19. Persembahan Raja Setyagara
- 20. Sembilan Bocah Sakti
- 21. Perburuan Busur Maut
- 22. Cinta Tokoh Sesat
- 23. Sepasang Samurai Maut (Tamat)
Gambaran Cerita:
Mendengar pembicaraan empat lelaki yang nampak tidak main-main, Raja Petir seketika bangkit dari duduknya. Pemuda itu berjalan perlahan menghampiri mereka.
"Maaf, Ki sanak. Bolehkah aku turut berbincang-bincang dengan kalian?" pinta Jaka sopan.
Keempat lelaki yang tengah berbicara itu seketika berhenti berbicara, dan menumpahkan pandangannya ke wajah Jaka. "Aku ingin bertanya sesuatu pada Ki sanak sekalian. Bolehkah?"
"Boleh. Tentu saja boleh," jawab Karji.
'Terima kasih," Jaka mengambil kursi dan diletakkan di antara keempat lelaki itu.
Sementara, keempat orang itu terus saja merayapi wajah Jaka, yang mungkin saja pernah mereka kenal.
"Kalian semua tahu dari mana kalau Perguruan Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah kehilangan kitab-kitab pusaka mereka?" tanya Jaka, lembut
"Semua orang yang merasa bertetangga dengan Desa Kilangduga dan desa tempat Perguruan Kamboja Merah berada, sepertinya sudah pasti tahu mengenai hilangnya kitab-kitab pusaka itu," kali ini yang menyahuti adalah Buang.
"Betul! Mereka tahu dari penduduk Desa Kilangduga," timpal lelaki bertubuh tinggi. "Seperti juga kami."
Jaka Sembada mengangguk-anggukkan kepala. “Terima kasih atas keterangan kalian, Ki sanak," ucap Jaka seraya kembali ke tempat semula.
***
Mendengar keterangan empat lelaki yang menurutnya tidak berbohong, Jaka sempat berpikir keras akan kejadian yang terjadi. Bagaimana mungkin kalau kitab pusaka yang seharusnya tersimpan secara rahasia bisa hilang dari tempatnya? Apalagi kejadian itu tanpa sedikit pun diketahui pemiliknya. Padahal Jaka tahu betul, siapa itu Eyang Dirgan Saluyu. Dia adalah orang tua digdaya yang pada zaman ini sukar dicari tandingannya. Atau....
Adakah orang lain yang memiliki kedigdayaan yang melebihi Eyang Dirgan Saluyu, sehingga orang itu mampu mengecoh Ketua Perguruan Kamboja Merah yang terkenal kearifannya? Atau mungkin, ada juga orang dalam perguruan yang berkhianat dan bekerjasama dengan orang luar?
Raja Petir terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan lenyapnya Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja milik Perguruan Kamboja Merah.
"Aku harus bertemu langsung pada Eyang Dirgan Saluyu," putus Jaka, tiba-tiba.
Setelah meninggalkan beberapa keping uang, Raja Petir berkelebat cepat Gerakannya begitu cepat, sehingga membuatnya teriihat seperti seleretan sinar kuning.
Salah seorang dari empat lelaki yang ditanyai Jaka terkesima menyaksikan bayangan yang berkelebat cepat. Dan ketika lelaki berambut kemerahan menolehkan kepala ke meja tempat Jaka berada....
"Anak muda yang barusan bertanya itu manusia atau memedi, ya?"
"Dia manusia seperti kita juga. Tapi, dia memiliki ilmu yang amat tinggi," kata Karji.
"Sok tahu kamu, Ji!"
***
Langit sudah menampakkan warna jingga di ufuk Barat ketika Jaka dalam perjalanan menuju Perguruan Kamboja Merah. Dengan mengerahkan ilmu larinya yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka sudah dapat dipastikan kalau sebentar lagi akan tiba di perguruan yang dipimpin Eyang Dirgan Saluyu.
Tiba di pintu gerbang Perguruan Kamboja Merah, langit sudah berwarna pekat. Bintang-bintang yang bersinar redup, tak mampu menerangi Desa Kilangduga yang dipenuhi pepohonan. Kegelapan sang malam menyelimuti sekitamya.
Ketika Jaka menghampiri penjaga yang berdiri di mulut pintu pagar besi, tiba-tiba....
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar bentakan keras dari seseorang. "Anak muda, apa urusanmu malammalam berkunjung ke sini?!"
"Aku ada urusan dengan Eyang Dirgan Saluyu," cukup lantang suara Jaka.
"Urusan apa?!" tanya penjaga yang bersenjatakan golok besar dengan bagian ujungnya sedikit melengkung dan tajam.
"Maaf. Aku tak bisa menyebutkannya," jawab Jaka tenang.
"Kalau kau tak mau menyebutkan, aku tak akan memberimu ijin untuk bertemu guru kami," penjaga yang bertubuh tinggi tegap itu tetap bersikeras.
"Baiklah!" Jaka mengalah. "Sebelum aku memberitahukan keperluanku datang kemari, sudikah Ki sanak memberitahukan pada Eyang Dirgan Saluyu kalau Raja Petir ingin bertemu."
"Raja Petir?" lelaki bertubuh tinggi tegap itu bergumam dalam hati.
Antara percaya dan tidak, kepala penjaga itu terus memandangi Jaka dari ujung kaki sampai kepala. Sesungguhnya, kepala regu penjaga itu berat menerima pengakuan anak muda berpakaian kuning keemasan di hadapannya. Dia sudah tahu, bagaimana hebatnya Raja Petir. Bahkan Eyang Dirgan Saluyu pernah memberi tahu kalau Raja Petir adalah seorang tokoh golongan putih yang sukar dicari tandingannya. Dan menurut dugaan kepala regu penjaga itu, Raja Petir adalah seorang lelaki yang sudah cukup punya umur. Tetapi, anak muda yang berada di depannya kini? Paling-paling usianya baru dua puluh tahun!
"Apakah ucapanmu dapat dipercaya, Anak Muda?" tanya penjaga yang kelihatannya adalah pemimpin regu itu.
Jaka tersenyum.
"Pantang bagiku berbohong, Ki sanak."
Mata kepala regu penjaga itu kembali merayapi tubuh Jaka. Sesaat kemudian tatapannya beralih kepada temannya sambil menganggukkan kepalanya.
Melihat kepala regu penjaga itu mengangguk, seorang rekannya seketika masuk ke dalam. Dia nampak tergopoh-gopoh menuju ruangan guru besarnya yang menjadi satu dengan bangunan perguruan.
"Seseorang ingin bertemu Eyang di luar," lelaki bertubuh sedang itu menjura hormat, ketika telah sampai di hadapan gurunya.
"Siapa dia?" berat suara Ketua Perguruan Kamboja Merah.
"Anak muda itu mengaku sebagai Raja Petir."
Tersentak hati Eyang Dirgan Saluyu mendengar pemberitahuan muridnya.
"Kau masih ingat ciri-cirinya?"
"Dia memakai pakaian serba kuning keemasan, dengan sabuk juga warna kuning," jawab murid Perguruan Kamboja Merah itu.
"Kau melihat ada sesuatu di pergelangan tangan kirinya?" Penjaga malam yang melapor itu menganggukkan kepala.
"Aku melihat, Eyang. Seperti dua buah batang bambu kuning berukuran kecil."
Eyang Djrgan Saluyu tidak menanggapi pem¬beritahuan muridnya.
"Dia pasti diutus Terala untuk membantuku," kata batin Eyang Dirgan Saluyu.
Belum lagi penjaga itu mendapatkan kepastian, Eyang Dirgan Saluyu telah berlalu meninggalkan ruangannya. Gerakannya begitu cepat, hingga penjaga itu tak mampu mengikuti.
Begitu tiba di halaman Perguruan Kamboja Merah, Eyang Dirgan Saluyu kembali terkejut melihat Raja Petir masih berada di luar pagar pintu gerbang.
"Kenapa tidak kalian buka pintu itu?!" bentak Eyang Dirgan Saluyu keras.
Seorang lelaki yang bertubuh tinggi tegap dengan tergopoh-gopoh membuka pintu, dan Raja Petir segera masuk setelah sebelumnya menundukkan kepala memberi hormat.
"Eyang senang sekali kau bertandang ke sini, Raja Petir," ucap Eyang Dirgan Saluyu sambil melangkah menuju ruang dalam.
'"Panggil aku Jaka, Eyang," pinta Jaka malu-
malu.
"Kenapa?" tanya Eyang Dirgan Saluyu.
"Aku lebih senang namaku disebut, ketimbang
julukan itu," tegas Jaka. "Kesannya lebih akrab, Eyang."
Eyang Dirgan Saluyu tersenyum mendengar kerendahan anak muda yang memiliki ilmu kesaktian begitu tinggi.
"Silakan duduk, Jaka," Eyang Dirgan Saluyu menyodorkan kursi berukir berwarna coklat mengkilat. 'Terima kasih."
"Apakah kedatanganmu atas perintah Adi Terala, Jaka?" tanya Eyang Dirgan Saluyu sambil meletakkan segelas air putih.
Jaka menggeleng.
"Atau hanya kebetulan saja?" tanya Eyang Dirgan Saluyu lagi.
“Tidak" "Lalu?"
"Aku ingin mendapatkan kepastian akan kebenaran ucapan-ucapan mereka."
“Tentang apa?" selak Eyang Dirgan Saluyu. “TentanghilangnyaKitabPusakaMustika
Bunga Kamboja."
"Mereka semua memang berkata benar, Jaka. Kitab pusaka itu hilang dari tempatnya tanpa kuketahui kapan dan siapa pencurinya," jelas Eyang Dirgan Saluyu. Suaranya begitu sarat dengan penyesalan.
"Apakah ada orang-orang yang dicurigai?" Eyang Dirgan Saluyu menggelengkan kepala. "Pencuriituterlalucakapmenjalankan
tugasnya,Jaka.Mungkinmenggunakanilmu kesaktian yang begitu tinggi."
Jaka menatap bola mata Eyang Dirgan Saluyu yang menyimpan bara kemarahan.
"Apa tidak mungkin justru orang-orang dalam perguruan sendiri yang telah memindahkan kitab pusaka itu, Eyang?" pelan ucapan Jaka.
Eyang Dirgan Saluyu tak membantah dugaan pendekar muda yang digdaya itu. Sesungguhnya, dia
)uga memiliki dugaan seperti itu. Tapi, pada siapa dugaan itu harus ditujukan?
No comments for "Baca Cerita Silat Indonesia jaman dulu online gratis: Serial Raja Petir (Bondan Pramana)"
Post a Comment