Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 23: Sepasang Samurai Maut

Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari

Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 23:  Sepasang Samurai Maut

1

Siang itu pesisir pantai Laut Selatan yang terletak di wilayah timur. Kadipaten Sunyilaga, nampak diramaikan oleh kuli-kuli panggul. Belasan orang lelaki yang rata-rata bertubuh kekar dengan otot-otot bersembulan tengah sibuk melaksanakan pembongkaran muatan dari sebuah kapal yang baru saja berlabuh.

"Ayo! Angkut..! Hati-hati kalian! Itu barangbarang langka dan mahal, jangan sampai pecah!" teriak seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengatur para kuli yang sedang menurunkan barangbarang dari kapal yang cukup besar itu.

Lelaki berwajah keras dengan kumis lebat melintang itu terus berteriak-teriak. Sesekali dirinya pun turut membantu membetulkan panggulan agar tak membahayakan dalam perjalanan turun.

"Hati-hati! Kalau sampai jatuh kau bisa dihukum oleh Ki Amongdrajat," ujar lelaki berkumis lebat setelah membetulkan letak barang yang dipanggul kuli bertubuh sedang.

"Terima kasih, Kakang Salandra!" sahut lelaki itu lalu kembali meneruskan pekerjaannya.

Lelaki berkumis lebat yang ternyata bernama Salandra terus melaksanakan tugas Ki Amongdrajat untuk mengatur pembongkaran kapal yang bermuatan guci-guci porselin.

"Uuuh...!" ketika sampai pada pengangkutan yang terakhir, Salandra baru merasakan kalau tubuhnya begitu letih. Namun rasa letihnya dapat terhapus setelah melihat pekerjaan itu begitu mulus. Para pekerja pelabuhan yang dipimpinnya semua bekerja dengan baik. Tak satu pun barang-barang bernilai tinggi itu yang rusak atau pecah. Hati lelaki berusia empat puluh tahunan itu merasa puas.

"Cara kerjamu bagus sekali, Salandra!" puji Ki Amongdrajat, yang duduk bersama Salandra di pendopo. Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu menatap wajah anak buahnya dengan mata berbinar penuh kegembiraan.

Salandra yang mendapatkan pujian dari orang yang sangat dihormatinya hanya menundukkan kepala. Namun tentu saja hatinya begitu senang mendengarkan kalimat yang mengalir dari mulut Ketua Perguruan Gelombang Timur itu.

"Semoga benda-benda unik ini menebarkan daya tarik tersendiri di hati semua tamu kita pekan depan, Salandra," lanjut Ki Amongdrajat yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Pasir Putih.

"Mudah-mudahan begitu, Ki," sahut Salandra dengan kepala sedikit terangkat.

"Ya. Dengan begitu, pekan depan kita punya dua acara yang pasti akan membuahkan kegembiraan besar. Pertama, adalah berhasilnya perayaan perkawinan Nuning Mutiara dengan Raden Mas Satria Aji. Dan yang kedua, pelelangan guci-guci antik yang bakal mendatangkan keuntungan besar. Kau akan kuberi imbalan yang memuaskan, Salandra," ujar Ki Amongdrajat berjanji.

"Ah, aku tak terlalu mengharapkan itu, Ki. Asalkan rencana-rencana kita berjalan baik pun aku sudah turut merasa gembira...," tukas Salandra menanggapi janji Ketua Perguruan Gelombang Timur itu.

Ki Amongdrajat merasa tersentuh juga mendengar ucapan Salandra.

"Terima kasih kalau begitu, Salandra. Kau memang muridku yang paling setia berbakti," puji Ki Amongdrajat menambahi. "Ah, sudah, beristirahatlah dulu! Kau nampak sangat letih," ujarnya kemudian seraya mengangguk-anggukkan kepala, Tanpa ada ucapan yang keluar, lelaki ber kumis melintang itu segera beranjak dari hadapan pimpinannya yang berpakaian warna coklat

mengkilat

***

Berbagai bentuk kebahagiaan dicurahkan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk makhluk ciptaanNya. Berbagai cara rasa bersyukur pun diungkapkan. Begitu pula yang dilakukan Ki Amongdrajat. Kepala Desa Pasir Putih itu tengah berbahagia atas pernikahan putri tunggalnya, Nuning Mutiara dengan Raden Mas Satria Aji, putra bungsu Ki Wiracakrana Kepala Desa Kadipara.

Ki Amongdrajat berkali-kali mengucapkan rasa syukur atas curahan kebahagiaan itu. Di samping ungkapan itu tak henti-henti melantun dan bergema dalam hatinya, rasa syukur pun dicurahkan   dalam   bentuk   penyambutan sebaikbaiknya dengan sikap yang paling ramah dan wajah berseri.

Kegembiraan dan penyambutan yang ramah pun dilakukan oleh Kepala Desa Kadipara. Wajah lelaki yang berusia hampir setengah abad itu nampak berseri-seri. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik. Sebuah setelan berpotongan bagus dengan bahan yang terbuat dari benang sutera pilihan.

"Selamat datang! Selamat datang...!" "Selamat datang, silakan duduk!" sambut

Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakra dengan tangan menyambut uluran tangan para tamu yang datang. Senyum di wajah dua lelaki yang bersahabat sejak usia remaja itu tak henti-hentinya. Sikap ramah dan sopan itu tentu saja membuat para undangan senang hati mendapatkan penyambutan yang hangat.

Ternyata bukan hanya orang-orang biasa yang menjadi tamu Ki Amongdrajat. Tampak pula tokoh-tokoh persilatan yang diundang turut menghadiri pesta perkawinan kedua putra lurah itu.

Hal semacam itu bukan suatu keanehan, karena Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana tidak hanya berkedudukan sebagai kepala desa. Kedua lelaki berusia sebaya itu juga menjabat sebagai Ketua Perguruan Gelombang Timur dan Lempengan Cakra Perak

Dari tokoh-tokoh persilatan yang hadir, baru terlihat Ki Wanadara Ketua Perguruan Banyu Biru, Ki Regajala Ketua Perguruan Golok Suci, Ki Pariwita Ketua Perguruan Pedang Sukma, dan Ketua Perguruan Tongkat Naga, Ki Sugrida. Keempat tokoh persilatan aliran putih itu kini terlibat perbincangan akrab. Terlebih ketika tuan rumah ikut menemani setelah menyambut tamu-tamu yang lain.

"Kalau boleh aku tahu, acara apa saja yang hendak kau suguhkan nanti, Ki Among?" tanya lelaki tinggi kurus yang mengenakan pakaian warna biru laut. Dialah Ki Wanadara, Ketua Perguruan Banyu Biru.

"Yah..., tidak banyak acara yang kubuat, Ki Wanadara," jawab Ki Amongdrajat dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. "Selain menyuguhkan tamu-tamu kehormatanku dengan jamuan ala kadarnya, dua macam pertunjukan akan kupertontonkan pada hari yang berbahagia ini.

"Apa itu Ki Among?" tanya Ki Regajala. "Yang pertama, aku ingin kalian menilai,

sejauh mana kepandaian murid-muridku yang akan memperagakan ilmu yang mereka peroleh selama kurun waktu lima tahun. Tentu saja diselingi juga pertarungan antara murid-murid terbaik dengan para tamu yang ingin mencoba kemampuan mereka. Namun dalam hal ini, batas kesopanan dan adab tetap menjadi pegangan nomor satu. Tak kuperkenankan adanya pertumpahan darah di atas panggung sana," ucap Ki Amongdrajat dengan jari telunjuk yang tertuju ke ruang paling besar Perguruan Gelombang Timur.

Mata para tamu dari kalangan persilatan itu segera saja mengikuti arah yang ditunjuk Ki Amongdrajat. Mereka pun dapat melihat sebuah panggung luas. Panggung berukuran sekitar empat kali empat tombak itu dilapisi permadani beludru berwarna putih.

"Sengaja panggung pertarungan itu kulapisi kain putih. Sebab, aku ingin para tamu tahu kalau niatku memperlihatkan kepandaian muridmurid Perguruan Gelombang Timur bukan semata-mata untuk bersombong dan berbanggabangga diri. Akan tetapi agar tamu-tamuku yang memiliki kemampuan jauh di atas murid-muridku bersedia memberi penilaian, bahkan memberi pelajaran lebih. Dengan begitu, murid-muridku akan menyadari bahwa di atas langit masih ada langit. Itulah niat suci kami yang tertuang pada lantai panggung berwarna putih," Ki Amongdrajat menjelaskan dengan panjang lebar.

"Bagus sekali, Ki Among! Aku setuju," sambut Ki Sugrida seraya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu apa yang kedua?" tanyanya lagi kemudian.

"Aku pun ingin menggelarkan barangbarang porselin indah yang baru beberapa hari lalu didatangkan dari negeri seberang," jawab Ki Amongdrajat

"Hei, pertunjukan bagus itu!" semarak sambutan yang diberikan Ketua Perguruan Pedang Sukma. "Hanya untuk dipertunjukkan atau untuk dijual sekalian, Ki Among?" lanjut Ki Pariwita.

"Ha ha ha...! Ternyata kau suka juga pada benda-benda semacam itu, Ki Pari," sahut Ki Amongdrajat dengan tertawa.

"Bukan Ki Pariwita saja yang senang benda-benda jenis itu, Ki Among! Aku pun menggemari," sela Ki Wanadara.

"Aku pun begitu, Ki Among," timpal Ki Re-

gajala.

"Ya. Apakah kau akan menjual barang-

barang itu, Ki Among?" tanya Ki Sugrida tak mau ketinggalan, karena dirinya juga menggemari benda-benda yang terbuat dari porselin. Apalagi jika benda-benda itu berbentuk unik.

"Tentu saja aku akan menjualnya jika kalian berkenan," jawab Ki Amongdrajat tetap dengan senyum ramahnya.

"Tapi acara itu dilakukan setelah pertunjukan panggung selesai," selak Ki Wiracakrana yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Ki Amongdrajat

"Tentu saja kami akan bersabar menunggu acara pertunjukan itu, Ki Wira. Dan kami juga akan menurunkan murid-murid kami untuk beruji coba para murid perguruanmu, Ki Among," tukas Ki Wanadara.

"Hei! Kalian datang bersama murid-murid? Mana mereka?" tanya Ki Amongdrajat sedikit terkejut, tapi merasa gembira.

Ki Wanadara segera menunjuk dua orang pemuda berpakaian putih dengan ikat kepala putih pula. Di antara dua pemuda murid Ki Wanadara nampak pula pemuda-pemuda berpakaian persilatan yang sudah bisa diduga oleh Ki Amongdrajat sebagai murid-murid Ki Regajala, Ki Pariwita, dan Ki Sugrida. Hal seperti itu bisa dipastikan dari pakaian yang rata-rata bersulamkan lambang perguruan mereka.

"Terima kasih atas kesediaan kalian membawa serta murid-murid kalian. Sebelum matahari tegak di atas kepala, sebaiknya acara pertunjukan olah kanuragan kita mulai saja. Aku akan memberitahu lebih dulu pada kedua mempelai agar segera menuju ke tempat yang telah dipersiapkan khusus bagi mereka berdua...," ujar Ki Amongdrajat lalu mohon diri.

"Silakan, Ki!" sambut tamu-tamunya.

* * *

Nuning Mutiara dan Raden Mas Satria Aji tampak telah duduk di sudut utama, tak jauh dari panggung pertunjukan. Wajah kedua mempelai nampak berseri-seri.

Ki Amongdrajat, sebagai tuan rumah penyelenggara perkawinan pun sudah berdiri di atas panggung yang beralaskan kain beludru berwarna putih.

"Saudara-saudara sekalian...!" Ki Amongdrajat membuka dengan suara yang lantang dan jelas. "Pada hari yang berbahagia ini tak lupa kupanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah mencurahkan karunia begitu besar ini. Dan kepada kalian, yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri pesta perkawinan Nuning Mutiara putriku dengan Raden Mas Satria Aji, putra bungsu Ki Wiracakrana dari Perguruan Lempengan Cakra Perak, tak lupa kami haturkan ribuan terima kasih dengan segala rasa hormat."

Sambutan dari hadirin pun terdengar meriah dan saling bersahut-sahutan.

"Hidup Ki Amongdrajat!"

"Hidup Ketua Perguruan Gelombang Ti-

mur!"

Ki Amongdrajat tersenyum-senyum men-

dapatkan sambutan yang gegap gempita dari murid-muridnya dan juga dari para undangan. Wajah Ketua Perguruan Gelombang Timur terlihat begitu cerah, sementara sepasang matanya yang bercahaya bergerak-gerak memandangi wajah tamu-tamu yang memenuhi kursi yang telah disediakan.

"Terima kasih! Terima kasih atas sambutan kalian," ucap Ki Amongdrajat dengan badan sedikit dibungkukkan. Jelas apa yang dilakukannya memperlihatkan kerendahan hati dalam menerima sambutan dari para undangan. "Untuk mempersingkat waktu, sebaiknya kita buka saja acara pertama, berupa pertunjukan ilmu olah kanuragan dari murid-murid Perguruan Gelombang Timur. Selanjutnya akan diperlihatkan pertandingan persahabatan dari para undangan yang juga ingin memperlihatkan kemampuan sekadar untuk memeriahkan suasana. Saudara-saudara yang kami hormati. Sekarang juga akan kami tampilkan murid-murid dari Perguruan Gelombang Timur sekadar untuk memperlihatkan apa yang telah mereka dapatkan selama lima tahun menimba ilmu di Perguruan Gelombang Timur. Kepada mereka dipersilakan naik ke panggung!"

Kemudian, Ki Amongdrajat segera membawa mundur langkahnya ke sudut sebelah kanan. Setelah itu beberapa murid Perguruan Gelombang Timur berlompatan ke atas panggung. Gerakan indah yang mereka lakukan juga memperlihatkan kecepatan yang cukup memukau hati para tamu. Begitu pula dengan cara mereka yang mendarat tanpa menimbulkan bunyi terlalu keras saat kakikaki mereka menyentuh dasar panggung. Jelas hal itu menandakan ilmu meringankan tubuh yang mereka dapatkan cukup baik.

"Terimalah salam hormat kami!" ucap lima orang murid Perguruan Gelombang Timur yang mengenakan pakaian warna biru muda. Secara serentak mereka menjura memberi hormat. Di pinggang mereka tampak sebilah pedang pendek bertangkai biru.

Sesaat kelima murid Perguruan Gelombang Timur yang berusia rata-rata dua puluhan itu serentak menjura memberi hormat kepada para tamu. Namun kemudian langsung berlompatan....

"Hyaaa !"

Wuuk! "Hyaa !"

Bet!

Tendangan dan pukulan yang diperagakan murid-murid Ki Amongdrajat begitu keras bahkan tampaknya dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam. Terbukti, dari sodokan tangan dan tebasan yang dilancarkan menimbulkan deru angin cukup keras. Begitu pula tendangan-tendangan yang dilakukan dengan keseimbangan tubuh yang baik.

Plok! Plok! Plok! "Swiiit! Suiiit..!" "Hebaat! Bagus!"

Tepukan tangan, suitan, dan teriakan pujian pun langsung ramai terdengar dari para tamu yang menyaksikan pagelaran itu. Mereka bersorak-sorai memperlihatkan kekaguman terhadap pertunjukan yang diperagakan para murid Perguruan Gelombang Timur itu.

Hanya dalam waktu tidak berapa lama, lima orang murid Ki Amongdrajat menyajikan jurus-jurus menyerang dan bertahan, karena peragaan selanjutnya berupa jurus yang menggunakan pedang pendek berhulu warna biru.

Jurus-jurus pedang yang dimainkan pun tak kalah hebat. Dengan gerakan-gerakan yang cepat, lima lelaki muda itu membabatkan pedang pendek dalam jurus 'Pedang Membelah Gelombang'. Kemudian dengan cepatnya mereka beralih ke jurus 'Pedang Menusuk Bulan' yang mencecar sasaran pada bagian atas. Sedangkan untuk penyerangan bagian bawah menggunakan jurus 'Pedang Menebas ilalang' pun tersaji dengan kelenturan gerakan.

Tepukan tangan membahana kembali menyemarakkan pertunjukan. Nampak wajah Ki Amongdrajat tersenyum gembira menyaksikan kebolehan murid-muridnya memperagakan ilmu yang telah dianjurkannya. Begitu juga Ki Wiracakrana dan dua mempelai.

Setelah lima lelaki muda selesai mempertontonkan kemahiran mereka, dua murid Perguruan Gelombang Timur yang lain segera melesat ke atas panggung untuk menggantikan lima rekannya. Namun baru dua jurus kedua pemuda berpakaian serba putih itu memperagakan ilmu, Ki Amongdrajat seketika bangkit dari duduknya. Tatapan matanya segera saja menoleh ke pintu penyambutan para tamu.

Sepasang muda-mudi berwajah tampan dan cantik nampak tengah berbincang-bincang dengan salah seorang murid Perguruan Gelombang Timur yang ditugasi menyambut undangan.

Pemuda tampan itu bertubuh kekar. Pakaian yang dikenakan berwarna serba kuning keemasan. Sedangkan sabuk yang melingkar di pinggangnya berwarna hijau. Di leher pemuda berambut panjang sebahu itu terlihat gagang pedang yang menggelantung. Dari ciri-cirinya sudah bisa dipastikan kalau pemuda itu tak lain Jaka yang di kalangan persilatan lebih dikenal sebagai Raja Petir. Dan gadis cantik yang menemaninya siapa lagi kalau bukan si Dewi Payung Emas yang bernama asli Mayang Sutera.

"Raja Petir...?" sentak Ki Amongdrajat pelan, namun ucapan itu terdengar di telinga Ki Wiracakrana.

Ki Wiracakrana serta-merta bangkit dari duduknya. Dan ketika tatapan matanya melihat sosok lelaki muda berpakaian kuning keemasan, gumaman yang sama keluar dari mulutnya. "Raja Petir...?"

Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana samasama terpaku menyaksikan kehadiran Jaka dan Mayang Sutera.

"Hebat kau bisa mengundangnya, Ki Among?" puji Ki Wiracakrana dengan senyum kagum terlempar untuk Ketua Perguruan Gelombang Timur itu.

"Ah, kau jangan merendah, Ki Wira!" tukas Ki Amongdrajat "Pasti kau yang telah mengundangnya."

Ki Wiracakrana menggelengkan kepala menyangkal ucapan Ki Amongdrajat. "Aku tak pernah mengundang tokoh muda yang digdaya itu, Ki. Melihat sosoknya saja baru kali ini," ujarnya menjelaskan.

"Aku pun demikian, Ki. Namun ciri-cirinya telah kuketahui sejak lama, dari mulut orangorang persilatan yang pernah melihatnya," kata Ki Amongdrajat tak mengakui merasa mengundang Raja Petir. "Lalu siapa yang mengundangnya?" hampir mirip bisikan ucapan yang keluar dari mulut Kepala Desa Pasir Putih.

"Ah, sudahlah, Ki! Tak perlu kita tahu hal itu, yang jelas kita harus menyambut pendekar muda itu dengan baik. Ayo, kita ke sana, Ki!" ajak Ki Wiracakrana.

Kedua lelaki setengah baya yang samasama menjabat sebagai kepala desa dan sekaligus sebagai ketua perguruan itu segera melangkah menuju tempat Jaka dan Mayang Sutera berada. Langkah kaki Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana rupanya menjadi perhatian para undangan. Mereka kontan tertegun ketika menyaksikan sepasang muda-mudi berparas tampan dan cantik tengah menyongsong kedatangan Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana.

"Selamat datang. Raja Petir!"

"Selamat datang!" sambut Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana setelah lebih dulu menjura hormat.

Raja Petir dan Dewi Payung Emas yang mendapatkan sambutan seperti itu tampak merasa sungkan. Meskipun tersenyum wajah keduanya tampak memerah.

"Panggil aku Jaka, Ki!" ujar Jaka merasa tak enak dipanggil julukannya. "Dan ini temanku, Mayang," lanjutnya, memperkenalkan sang Kekasih.

Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana tersenyum menyaksikan kerisihan pemuda tampan di hadapannya. Namun justru sikap itu yang menambah kekaguman di hati kedua kepala desa itu. Kekikukan yang ada pada diri Raja Petir menandakan kerendahan hatinya.

"Terima kasih atas kesediaan kalian menghadiri pesta perkawinan anak kami!" ujar Ki Amongdrajat seraya mempersilakan Jaka dan Mayang Sutera masuk.

"Di mana bisa kutemukan kedua mempelai itu, Ki?" tanya Jaka sopan.

"Ikutilah kami!" Ki Wiracakrana yang menjawab sambil mendahului langkah Ki Amongdrajat

Ki Amongdrajat tersenyum menyaksikan

tingkah laku besannya. Namun dia maklum karena Ki Wiracakrana ingin juga menghormati Jaka dan Dewi Payung Emas sebagai tamunya.

Di belakang Ki Amongdrajat, langkah kaki Jaka dan Mayang Sutera terayun bersama. Berpasang-pasang mata yang memenuhi undangan Ki Amongdrajat beralih menatapi sepasang tokoh muda yang kini tengah menuju tempat duduk kedua mempelai. Sementara pertunjukan di atas panggung untuk sesaat terlupakan.

"Ck... ck... ck...., cantik nian gadis itu! Sungguh beruntung pemuda yang mendampinginya," gumam salah seorang undangan dengan tatapan mata yang tak berkedip ke wajah Mayang Sutera.

"Tentu saja," timpal rekannya. "Tapi yang lelaki juga tampan betul, kalau saja aku seperti dia "

"Hus! Mimpi saja kau!" bentak kawannya yang lain.

Bisik-bisik seperti itu bukannya tak terdengar telinga Jaka dan Mayang Sutera. Namun sepasang pendekar muda itu sengaja mengacuhkan. Langkah keduanya terus terayun menuju tempat Raden Mas Satria Aji dan Nuning Mutiara berada.

"Oh! Selamat datang, Jaka, Mayang!" sambut Raden Mas Satria Aji dengan tangan terjulur hangat. Hal seperti itu dilakukan juga oleh mempelai wanita. "Selamat atas perkawinan kalian! Semoga kalian bisa selama-lamanya berdampingan dan mempunyai keturunan yang lebih dari satu lusin," seloroh Jaka.

"Bantulah dengan doa, Jaka! Semoga aku bisa mempunyai anak lebih dari dua lusin!" sambut Raden Mas Satria Aji sambil tertawa.

"Maunya!" tukas Nuning Mutiara dengan tawa yang juga tercipta pelan.

Keakraban antara kedua mempelai dan sepasang pendekar muda itu tentu saja menimbulkan keheranan Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana. Namun ketika Raden Mas Satria Aji menjelaskan, kedua kepala desa itu menganggukkan kepala.

"Begitulah, Ayah. Kami memang pernah saling berkenalan, ketika bertemu di sebuah kedai di Desa Rawinglayu, dua belas hari yang lalu. Dan tentu saja kesempatan baik itu kugunakan untuk mengundang Raja Petir dan Dewi Payung Emas untuk menghadiri pesta perkawinan ini. Syukur mereka berdua bersedia hadir...!" tambah Nuning Mutiara.

"Memang betul begitu, Ki!" tegas Jaka membenarkan.

Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana tersenyum, kemudian memperkenalkan Jaka dan Mayang Sutera pada Ki Wanadara, Ki Regajala, dan Ki Pariwita, juga Ki Sugrida.

"Senang sekali kami dapat bertemu denganmu, Raja Petir," sambut Ki Wanadara mewakili ketiga rekannya. "Selama ini kami hanya mengetahui ciri-cirimu dari mulut ke mulut. Tetapi sekarang.... Ah! Tak kusangka kalau kau ternyata masih demikian muda, begitu gagah dan tampan," tambah Ki Wanadara memuji.

"Jangan terlalu membesar-besarkan apa yang tak ada pada diriku, Ki! Aku takut jadi lupa daratan," sangkal Jaka bergurau.

Keempat pemimpin perguruan yang juga turut menghampiri Raja Petir pun tampak tersenyum mendengar ucapan merendah pendekar muda belia itu.

"Akh...!"

Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan di selasela suara riuh para tamu. Raja Petir yang tengah berbincang-bincang dengan orang tua di hadapannya seketika berpaling ke asal suara pekikan tertahan yang terdengar dari sekitar panggung. Seorang lelaki berpakaian merah nampak terkulai di dasar panggung dengan sepasang tangannya yang memegangi perut.

Plok! Plok! Plok!

Sambutan hangat pun segera terdengar dari para penonton atas kemenangan seorang murid Perguruan Gelombang Timur. Pada saat itu pula dari pintu penyambutan tampak sesosok bayangan kehitaman berkelebat masuk.

Gerakan yang dilakukan sosok berpakaian hitam begitu cepat bagai kilat, hingga tahu-tahu saja sudah mendarat dengan ringan di atas panggung pertunjukan.

"Menyingkirlah! Hih!" Blugkh!

"Aaa...!" seorang murid Ki Amongdrajat yang masih berada di atas panggung kontan menjerit ketika tendangan keras yang dilancarkan lelaki berjubah hitam mendarat di dadanya.

Tubuh pemuda belasan tahun itu kontan terlempar dari panggung. Namun ketika tubuh itu masih berada di udara, Ki Amongdrajat segera melesat menyambarnya. Dan setelah meletakkan muridnya pada tempat yang aman, tubuh Ketua Perguruan Gelombang Timur itu segera melesat naik ke atas panggung pertunjukan.

"Hops!"

***

2

Bukan hanya Ki Amongdrajat yang terkejut melihat kedatangan lelaki berjubah hitam yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Datuk Beruang Hitam. Tampak para undangan pun tertegun bercampur keheranan atas munculnya tokoh hitam ini. Siapa yang tak kenal Ki Samparal, lelaki berwajah buruk yang sepak terjangnya selalu berkesudahan dengan kematian bagi lawan. Dialah datuk wilayah utara yang paling terkenal kebengisannya.

Raja Petir dan Mayang Sutera tak luput dari keterkejutan itu. Mereka langsung terpaku dengan pandangan tegang tertuju ke panggung pertunjukan. Di atas panggung bertilam beludru warna putih itu berdiri Ki Amongdrajat dan lelaki berwajah buruk berjubah hitam.

"Setahuku, kita tak pernah punya urusan, apalagi bersengketa padamu, Datuk Beruang Hitam," ujar Ki Amongdrajat dengan sikap hormat sebagai tuan rumah yang baik

"Cuh!"

Lelaki yang dipanggil Ki Amongdrajat sebagai Datuk Beruang Hitam meludahi kain putih alas panggung. Seketika para tamu tersentak kaget. Seperti layaknya kain yang kejatuhan bara, kain itu terbakar dan mengepulkan asap tipis.

Ki Amongdrajat yang menyaksikan hal itu pun terkejut. Betapa hebatnya Datuk Beruang Hitam, hingga ludahnya saja panas laksana bara.

"Siapa bilang kau tak punya urusan denganku, Aki Peyot!" bentak Datuk Beruang Hitam dengan jari telunjuk menuding wajah Ki Amongdrajat "Dengan tidak kau undangnya aku untuk turut menyemarakkan acara ini, itu sama saja kau mencari urusan denganku! Kau telah merendahkanku!" lanjut lelaki berwajah kasar itu. "Ah, maafkan kami kalau begitu, Datuk Be-

ruang Hitam! Bukan maksud kami merendahkanmu, sebenarnya kami tak tahu di mana harus menemuimu," kilah Ki Amongdrajat dengan segala kerendahan hati. Maksudnya tentu saja ingin menjaga agar acara pesta perkawinan itu tak terganggu oleh keributan, jika dia menanggapi kedatangan Datuk Beruang Hitam dengan kemarahan. "Jangan banyak alasan, Aki Peyot! Seka-

rang juga suruh  mempelai pria naik ke panggung ini! Dia akan kuberi pelajaran cuma-cuma. Sebagai seorang calon suami, dia harus tahu bagaimana caranya menjaga seorang istri," pinta Datuk Beruang Hitam tegas.

"Permintaanmu aneh, Datuk Beruang Hitam!" jawab Ki Wiracakrana dari bawah panggung, namun kemudian tubuhnya melompat ke atas. "Hops!"

"Hm...! Kaukah Pendekar Cakra Perak?" bibir Datuk Beruang Hitam mencibir dengan ucapan bernada meremehkan kehadiran Ki Wiracakrana.

"Ya. Aku terang-terangan menentang permintaanmu!" sambut Ki Wiracakrana tegas.

"Ha ha ha...! Kalau aku memaksa, kau mau apa?" tanya Datuk Beruang Hitam. Wajahnya yang bengis tak menghadap kepala Ki Wiracakrana, tetapi matanya yang merah melirik tajam.

"Mengu...!"

"Sabar, Ki Wira!" tahan Ki Amongdrajat, "Kita harus secara baik-baik mengatasi masalah ini. Aku tak ingin acara perkawinan ini menjadi kacau," lanjutnya mengingatkan kelalaian Ki Wiracakrana.

Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak rupanya menyadari apa yang barusan dilakukannya.

"Ki Among! Kenapa kau larang dia bicara! Aku ingin tahu apakah dia layak disebut sebagai seorang pendekar!" lantang ucapan Datuk Beruang Hitam.

"Bukan maksudku melarangnya bicara, Datuk Beruang Hitam!" tandas Ki Amongdrajat dengan suara yang sedikit meninggi. "Aku hanya tak ingin di tempat ini terjadi keributan yang mengakibatkan pertumpahan darah," lanjutnya tegas.

"Dasar pengecut!" bentak Datuk Beruang Hitam kasar.

"Terserah apa katamu, Datuk. Yang jelas, kuingin sekarang juga kau turun dari atas panggung ini. Duduklah di bangku yang telah kami sediakan sebagai tamu kehormatan!" kilah Ki Amongdrajat dengan suara sedikit bergetar menahan kemarahan yang meluap.

"Aku baru mau turun jika pengantin lelaki kau ajak naik ke sini dan bertarung denganku dalam beberapa jurus. Aku ingin menjajal kemampuannya!" desak Datuk Beruang Hitam.

"Semakin kurang ajar saja kau, Datuk Buruk Rupa! Kau pikir kami tak mampu mengusirmu secara paksa?" bentak Ki Wiracakrana dengan amarah yang tak terbendung "Sekarang hadapi aku sebagai pengganti anakku!"

Kepala Desa Kadipara itu melangkah dua tindak melewati tubuh Ki Amongdrajat.

"He he he...! Baik, baik. Tidak anaknya, bapak pun jadilah!" Datuk Beruang Hitam tertawa terkekeh-kekeh. "Bersiaplah!" lanjutnya membentak.

Dua tokoh persilatan yang sama-sama telah punya nama itu kini saling berhadapan di atas panggung pertunjukan. Tidak ada yang mampu mencegah kenyataan itu. Ki Amongdrajat kini sudah turun panggung untuk memberi kesempatan pada Ki Wiracakrana yang merasa tersinggung atas perbuatan Datuk Beruang Hitam. Sedangkan para undangan yang sejak tadi memenuhi bangku-bangku di depan panggung, kini sudah bergerak meninggalkan tempatnya. Mereka sadar kalau pertarungan kali ini bukanlah pertarungan persahabatan ataupun persaudaraan, melainkan sebuah pertarungan mempertahankan harga diri. Mereka tak ingin turut menanggung akibat jika tetap berada di tempat duduk masingmasing.

"Hyaa...!"

Karena sudah tak kuasa membendung kemarahan, Ki Wiracakrana mendahului membuka serangan. Tangannya yang terkepal terlihat bergetar hebat, jelas kalau Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak itu telah mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menjatuhkan lelaki berjubah bulu beruang warna hitam.

Datuk Beruang Hitam dalam menanggapi serangan Ki Wiracakrana sepertinya menganggap remeh. Sedikit pun tak terlihat usaha lelaki berwajah buruk itu untuk melakukan gerakan menghindar maupun menangkis serangan. Dirinya tetap berdiri tenang dengan senyum yang tak sedap dipandang.

Bet!

"Haits! He he he...!"

Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Datuk Beruang Hitam menggeser ringan kepala ke kanan untuk menghindari jurus 'Tinju Pemecah Cadas' yang dilancarkan Ki Wiracakrana. Hasilnya memang cukup mengagumkan. Meski gerakannya nampak ringan, namun kecepatan sambaran tinju Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak mampu dihindarinya.

Kenyataan itu tentu saja membuat orangorang yang menyaksikan jalannya pertarungan sempat berdecak kagum, tak terkecuali Raja Petir dan kekasihnya, Mayang Sutera.

Sebaliknya, Ki Wiracakrana semakin membara kemarahannya karena kegagalan serangan pertama. Mendapati kenyataan itu, Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak kembali memberikan serangan susulan dengan jurus 'Sepuluh Jari Membentuk Cakra'.

"Hyaa...!" Wrrt! Wrrts!

"Haits! Heaa...!"

Kali ini Datuk Beruang Hitam harus membawa mundur tubuhnya dua langkah untuk menghindari serangan susulan lawan yang mengandung kekuatan dua kali lipat dari serangan pertamanya. Namun Ki Wiracakrana yang sudah terbakar kemarahan tampaknya tak ingin memberi kesempatan bagi lawan menghindari serangannya. Kepala Desa Kadipara itu pun terus bergerak memberikan serangan susul-menyusul dan terarah ke bagian-bagian yang mematikan di tubuh Datuk Beruang Hitam.

"Heaa...!" Wuerts...! "Aits...!" Tubuh Datuk Beruang Hitam kini harus berkali-kali melenting ke udara untuk menghindari serangan gencar Ki Wiracakrana.

"Hm...! Rupanya kau memang pantas memangku jabatan sebagai pimpinan sebuah perguruan, Ki Wira! Tapi hari ini jabatanmu akan copot bersamaan dengan copotnya jantung dari dalam dadamu!" bentak Datuk Beruang Hitam setelah mendaratkan kakinya dengan indah dan tanpa menimbulkan bunyi yang berarti. "Sekarang, aku yang menyerangmu. Jagalah! Heaaa...!"

Dengan diiringi teriakan, Datuk Beruang Hitam bergerak melancarkan serangan balasan. Jari tangannya yang besar-besar dan hitam serta berkuku tajam membentuk cakar beruang. Tokoh berwajah buruk itu kini mulai mengeluarkan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam' yang mengandung racun ganas. Dalam gerakan-gerakan yang cepat, tampak jari-jemari Datuk Beruang Hitam berubah hijau kehitaman.

"Hyaa...!" Wret! Wrrrets! "Hits!"

Seperti halnya Datuk Beruang Hitam, Ki Wiracakrana pun memiliki gerakan menghindar yang cepat untuk mematahkan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam'. Terbukti, hanya dengan menggeser kakinya satu langkah ke kanan, dan mendoyongkan tubuh sedikit, serangan lawan yang mengancam bagian ulu hati meleset, menyambar angin.

Namun siapa yang menyangka, meski serangan pertamanya tak membuahkan hasil, dengan gerakan anehnya Ki Samparal mampu melancarkan serangan kilat yang membahayakan keselamatan Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak.

Serangan susulan itu kini meluncur begitu cepat ke leher Ki Wiracakrana.

Wutt! Wutt! Plak! Plak! "Akh!"

Ki Wiracakrana terpekik ketika tangannya memapak serangan berturut-turut yang dilancarkan Datuk Beruang Hitam. Tubuh lelaki yang terbungkus pakaian dari sutera putih itu nampak terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara sepasang tangannya dirasakan bergetar hebat yang nyeri.

Melihat ayah kandungnya tergempur seperti itu, Raden Mas Satria Aji, sang Mempelai Pria, segera menghentak kakinya kuat-kuat dan melenting.

"Heaa!" Jlegg!

Tubuh Raden Mas Satria Aji langsung mendarat ringan di panggung pertarungan dan memburu tubuh ayahnya.

"Kau tidak apa-apa, Ayah?" tanya Raden Mas Satria Aji cemas.

"Kenapa kau naik ke sini, Satria? Biarkan ayah mempertaruhkan harga diri kita!" ujar Ki Wiracakrana dengan tatapan tajam menusuk ke wajah Raden Mas Satria Aji. Sepertinya Ketua

Perguruan Lempengan Cakra Perak itu tak senang dengan apa yang dilakukan anaknya.

"Ha ha ha...! Biarkan dia memperlihatkan kemampuannya, Tua Bangka Pengecut! Tidakkah kau senang melihat anakmu begitu jantan berdiri di hadapanku?"

"Keparat laknat! Kubunuh kau!" maki Ki Wiracakrana dengan tangan langsung bergerak bermaksud menyerang kembali Datuk Beruang Hitam. Namun gerakan itu urung dilanjutkannya karena tulang-tulang tangannya dirasakan begitu linu.

"Akh!" Ki Wiracakrana memekik tertahan sesaat merasakan linu yang mendera hebat.

"Iblis Muka Buruk!" dengus Raden Mas Satria Aji geram. Jari telunjuknya menuding wajah Datuk Beruang Hitam. "Apa maksudmu mengacau acara kami?! Tidakkah kau punya pikiran sehat?!" mata putra bungsu Ki Wiracakrana itu menatap tajam penuh kemarahan pada Datuk Beruang Hitam yang tampak cengengesan.

"Mulutmu berbisa juga, Bocah!" bentak Datuk Beruang Hitam membalas ucapan kasar Raden Mas Satria Aji. "Ingin kulihat apa ilmu yang kau miliki se berbisa ucapanmu!"

"Iblis laknat! Kau pikir cuma dirimu yang memiliki kepandaian yang bisa  dibanggakan! Cuh! Aku juga punya, Iblis Muka Jelek!" sahut Raden Mas Satria Aji lebih keras.

"Hrgrhg...!" Datuk Beruang Hitam menggereng keras mendengar dirinya dijuluki iblis muka jelek. "Akan kutelan jantungmu, Bocah Gendeng!" makinya dengan suara bergetar keras. Kakinya pun terlihat tergerak satu langkah.

Ki Amongdrajat dan murid-murid utama serta para tamu kehormatan dari kalangan tokoh persilatan merasa tergerak hatinya untuk menyelamatkan sang Mempelai Pria. Akan tetapi apakah mereka harus bersama-sama menghadapi Datuk Beruang Hitam yang hanya seorang diri? Lalu di mana letak harga diri tokoh-tokoh golongan putih, jika melakukan pengeroyokan terhadap seorang lawan?

Atas pertanyaan-pertanyaan itu, Ki Amongdrajat dan para tamu sama-sama ragu untuk naik ke panggung pertarungan.

"Kulumat kau, Bocah! Hiaa...!" Tubuh Datuk Beruang Hitam bergerak dengan sepasang tangannya yang memainkan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam'.

Raja Petir yang sejak tadi ingin memberikan bantuan, segera saja menghentakkan kakinya kuat

"Heaa...!" Plak! Plak! "Auw...!"

Tubuh Datuk Beruang Hitam tergempur mundur tiga langkah. Tak diduga sosok bayangan kuning keemasan yang berkelebat cepat dapat memapak serangannya yang ditujukan ke bagian jantung Raden Mas Satria Aji.

Sementara itu, Raja Petir hanya tergeser langkahnya sedikit ke belakang. Dia kini berdiri tegak di sebelah Raden Mas Satria Aji. "Satria, maaf kalau aku terlalu lancang mencampuri urusanmu! Namun kuminta juga kau untuk berpikir sehat. Tak pantas jika acara ini harus diwarnai dengan pertumpahan darah. Ada baiknya jika kau bawa turun Ki Wiracakrana. Biar aku di sini mencoba mendinginkan suasana panas yang akan menimbulkan kerugian besar jika dibiarkan berlarut-larut!" ujar Jaka pelan, namun nadanya terdengar tinggi tertekan.

Raden Mas Satria Aji tak membantah ucapan Raja Petir. Apalagi ketika dia menoleh ayahnya yang membenarkan ucapan Jaka dengan menganggukkan kepala.

"Kuserahkan datuk sesat itu padamu, Raja Petir. Aku yakin kau mampu mengusirnya dari atas panggung ini," ucap Raden Mas Satria Aji dengan suara keras. Maksudnya agar Datuk Beruang Hitam tahu kalau lelaki muda berpakaian kuning di hadapannya adalah tokoh sakti yang berjuluk Raja Petir.

Selesai mengucapkan kata-katanya, Raden Mas Satria Aji langsung merangkul sang Ayah, lalu membawa turun dari panggung pertarungan.

"Hei, Bocah!" teriak Datuk Beruang Hitam keras. "Kenapa kau turun! Aku belum lagi melumat jantungmu!"

Lelaki tua berjuluk Datuk Beruang Hitam itu hendak ikut menuruni panggung, tetapi langkahnya keburu dicegah oleh suara sindiran Raja Petir.

"Apa kau takut menghadapiku, Ki?" tanya Jaka tajam. Sesungguhnya Raja Petir tak ingin mengucapkan kata-kata yang hanya akan memancing pertarungan. Namun kalimat itu terpaksa dikeluarkan untuk mencegah agar Ki Samparal tidak turun panggung mengejar Raden Mas Satria Aji. Sebab, jika hal itu terjadi, kekacauan akan semakin parah.

"Bocah Busuk!" maki Datuk Beruang Hitam geram. "Secuil pun kau tak kupandang, hatiku masih panas atas hinaan bocah itu!" tuding Ki Samparal pada Raden Mas Satria Aji yang sudah tak nampak.

Raja Petir tersenyum mendengar ucapan Datuk Beruang Hitam, lalu dia berkata, "Seharusnya kau malu berhadapan dengan kami yang tak memiliki kepandaian tak berarti dibanding dengan kepandaianmu, Ki! Nah, agar rasa malumu tak berkepanjangan dan agar tak tersebar ke telinga tokoh-tokoh persilatan di jagad ini, kuminta kau tinggalkan tempat ini."

Merah padam wajah Ki Samparal mendengar ucapan bernada sindiran yang keluar dari mulut Jaka.

"Raja Petir! Aku datuk penguasa wilayah utara jagad ini, pantang diusir seperti anjing gudik! Nyawa taruhannya bagi orang yang berani melakukan hal itu!" bentak Ki Samparal, sambil menuding wajah Jaka. "Termasuk kau!" lanjutnya dengan suara parau.

"Aku tak pernah mengusirmu seperti anjing buduk, Ki. Aku hanya meminta dengan hormat, dan itu jika kau mau," sangkal Jaka. "Lagi pula apa keuntungan yang kau dapat dengan ulahmu mengganggu acara ini?"

"Rupanya kau sudah besar kepala. Raja Gila! Hingga kau tak memandang Datuk Beruang Hitam!" sentak Ki Samparal.

"Ah, maafkan aku kalau kau merasa kuperlakukan seperti itu," kilah Jaka dengan sikap kepala tertunduk memberi hormat.

"Tutup mulutmu, Bocah Gila!" hardik Datuk Beruang Hitam dengan mata melotot "Kita tentukan sekarang! Siapa yang pantas turun dari atas panggung ini!" tantangnya kemudian.

"Kau tak malu, Ki? Jika kalah oleh bocah gila seperti aku dan disaksikan orang banyak seperti itu?" tanya Jaka sambil menunjuk para undangan yang rata-rata orang-orang persilatan golongan putih.

Ki Wanadara, Ki Regajala, Ki Pariwita, dan Ki Sugrida hanya tersenyum-senyum melihat cara Raja Petir memancing kemarahan Datuk Beruang Hitam.

Sebaliknya, Datuk Beruang Hitam menggereng marah dengan sindiran yang diucapkan Raja Petir. Seluruh otot tubuhnya seketika menegang. Jemari tangannya pun tampak membentuk cakar beruang.

Datuk Beruang Hitam telah betul-betul bernafsu menyerang Raja Petir.

"Sabar, Ki!" tahan Jaka ketika Ki Samparal mengangkat maju kakinya. "Kita harus menentukan berapa jurus kita mesti bertarung? Dan jika kau tak berhasil menjatuhkanku, kau harus segera angkat kaki dari tempat ini!" "Lima jurus! Bersiaplah, jangan banyak bacot!" sahut Datuk Beruang Hitam geram.

Jaka pun tersenyum membalas kekasaran itu. "Baik!"

"Hiaaa...!"

Diiringi pekikan keras Datuk Beruang Hitam merangsek maju melakukan serangan. Kedua tangannya bergerak begitu cepat mengarah leher Raja Petir dengan menggunakan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam'.

Breet! Breet! "Haits! Heaa...!"

Bukan hal yang sulit bagi Jaka untuk mengelakkan serangan lawan jika dirinya sudah mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Hanya dengan menghentakkan kaki dengan lembut pada permukaan panggung, tubuhnya sudah melesat bagai petir, menggagalkan serangan maut Ki Samparal.

Begitu juga ketika Datuk Beruang Hitam yang telah diliputi nafsu membunuh melancarkan serangan susulan, dengan kecepatan geraknya memainkan ilmu 'Lejitan Lidah Petir', pendekar muda itu berhasil menggagalkan serangan lawan.

"Hati-hati, Ki! Tinggal tiga jurus lagi," ujar Jaka memperingatkan Ki Samparal dengan janjinya.

"Keparat! Kau pikir akan mampu membendung seranganku selanjutnya? Hih!"

Sringng...!

Bunyi gemerincing terdengar ketika Datuk Beruang Hitam mencabut senjatanya yang semula berbentuk lempengan besi bulat hitam. Namun ketika diangkat ke atas kepala, lempengan itu terbuka hingga membentuk cakar seekor beruang raksasa dengan bagian ujungnya yang runcing.

"Keluarkan senjatamu jika tak ingin mati percuma!" tantang Datuk Beruang Hitam dengan mata melotot penuh kemarahan.

"Aku ingin menjajal dulu dengan ilmu tangan kosongku, Ki. Kurasa kau tak akan mampu membabatkan senjatamu, meski cuma sebatas pakaian pembungkus kulitku," ledek Jaka menimpali tantangan lelaki tua berwajah bengis itu.

"Bocah sombong!" maki Datuk Beruang Hi-tam.

"Bukan aku yang sombong, tapi kau yang

dungu, Ki!" balik Jaka. "Kurasa kau tak akan mampu menundukkan 'Aji Bayang-Bayang' yang kumiliki. Nah seranglah aku sekarang!"

Selesai dengan ucapannya, tiba-tiba sosok Raja Petir bertambah menjadi lima kali lipat banyaknya. Tentu saja ilmu yang jarang dimiliki tokoh rimba persilatan itu membuat para tamu yang menyaksikan terkagum-kagum. Tak terkecuali Datuk Beruang Hitam yang kebingungan.

"Hm...!" Datuk Beruang Hitam bergumam tak jelas. Dirinya tak dapat memastikan tubuh Raja Petir yang sebenarnya. "Hihh...!"

"Haiit...!"

Tubuh Ki Samparal seketika itu juga bergerak cepat. Senjatanya berkelebat menebas sosok Raja Petir dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin menderu keras terdengar mengiringi serangannya.

Wuutt!

"Setan!" maki Datuk Beruang Hitam ketika serangannya hanya membentur bayangan Raja Petir. Hati lelaki berjubah hitam terbuat dari kulit Beruang itu semakin geram. Kegeramannya itu dilampiaskan kembali dengan melancarkan serangan cepat dan beruntun.

"Hiaat...!"

Wuut! Wuutt! Wutt!

Senjata berbentuk cakar beruang terbuat dari logam keras itu kembali hanya membentur tempat kosong. Serangan yang dilancarkan Datuk Beruang Hitam sebenarnya sudah tepat pada sasarannya. Namun Raja Petir telah memperhitungkan segalanya. Dipindah-pindahkan sosok tubuh aslinya dengan kecepatan yang luar biasa, hingga serangan Datuk Beruang Hitam selalu saja kandas di tengah jalan.

"Heh, kurasa sudah lima jurus, Ki. Jangan pertaruhkan harga dirimu dengan meneruskan pertarungan ini!" tukas Jaka memperingatkan janji lawannya.

"Hrghg...!"

Datuk Beruang Hitam menggereng keras melampiaskan kekesalannya. Bola matanya yang membelalak terlihat seperti mata seekor naga terluka. Penuh dendam menatap wajah tampan Jaka.

Ki Amongdrajat dan tamu-tamunya dari Perguruan Banyu Biru, Golok Suci, Pedang Sukma, dan Tongkat Naga dengan tegang menyaksikan sikap dua tokoh berilmu tinggi yang kini saling bertatapan. Bedanya, Raja Petir membalas tatapan mata Datuk Beruang Hitam dengan tatapan lembut dan senyum yang terlihat samar. Di hati para tamu timbul pertanyaan, apakah pertarungan akan kembali berlanjut setelah lima jurus yang dijanjikan telah terlewati.

"Bagaimana, Ki?" tanya Jaka masih memasang senyum. "Aku tidak keberatan kalau kau ingin melanjutkan, tapi apakah kau tidak malu?" tandasnya bernada pedas.

"Tidak di sini kita lanjutkan pertarungan ini, Bocah Sundal! Tapi di luar, jantungmu akan kucopot, darahmu akan kureguk, ingat itu!" ancam Ki Samparal lantang dengan jari tangan menuding-nuding wajah Jaka.

Raja Petir tak menimpali ancaman Ki Samparal. Namun matanya memperhatikan sikap lelaki tua itu yang kini tatapannya tertuju ke wajah Ki Amongdrajat, Ki Wanadara, dan tamu-tamu yang lain.

"Kalian semua akan menerima giliran satu persatu!" ancam Datuk Beruang Hitam pada Ki Amongdrajat dan tokoh-tokoh persilatan yang berdiri di sebelahnya.

Seperti yang dilakukan Raja Petir, Ki Amongdrajat, dan yang lainnya tak menanggapi ancaman itu. Mereka tak ingin membuat suasana kembali berubah keruh.

"Ingat itu! Hops!"

Tubuh Datuk Beruang Hitam seketika melesat. Gerakannya yang cepat menandakan kalau tokoh itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang nyaris sempurna. Sehingga hanya dengan sekali hentakan kaki, tubuhnya melesat puluhan tombak.

Puluhan pasang mata menyaksikan kepergian Datuk Beruang Hitam. Tampak wajah para tamu pada pesta perkawinan itu berangsurangsur berubah. Mereka semua merasa lega, karena hampir saja tokoh tua yang menggiriskan itu merenggut korban. Untung saja ada Raja Petir.

"Ah, teruskan saja acara ini, Ki Among! Kejadian barusan anggap saja sebagai selingan," tukas Jaka setelah turun dari panggung.

"Eh, kau benar, Jaka. Bagaimana menurutmu, Ki Wira?" sambut Ki Amongdrajat sambil melempar pertanyaan pada besannya.

Ki Wiracakrana tampak sudah pulih dari rasa nyeri yang mendera tangannya, meskipun tampak di lengan kanan berwarna kebiruan, karena memar, "Matahari sudah condong ke barat, Ki Among. Sebaiknya acara kedua dimulai saja," usul Ki Wiracakrana.

"Sebaiknya begitu, Ayah," timpal Nuning Mutiara yang sejak kemunculan Datuk Beruang Hitam merasakan sangat ketakutan. Semula hatinya merasa cemas kalau orang-orang yang dikasihinya menjadi korban keganasan ilmu Ki Samparal. Namun untung saja ada Raja Petir yang mampu menangani.

"Ya. Aku juga setuju kalau para undangan kini diajak ke ruang pertunjukan benda-benda porselin itu," jawab Raden Mas Satria Aji menimpali ucapan kekasihnya.

"Pertunjukan benda-benda porselin? Ah..., acara yang bagus itu," tukas Jaka mengomentari.

"Kau suka benda-benda macam itu, Jaka?" tanya Ki Amongdrajat.

"Tentu saja! Siapa yang tak suka barang unik?" jawab Jaka berbasa-basi.

"Kalau begitu, kita menuju ruang pamer sekarang saja, ayo!" ajak Ki Amongdrajat sambil melangkah lebih dulu, diikuti kemudian oleh Ki Wiracakrana dan baru tamu-tamu yang lain, termasuk Raja Petir dan Mayang Sutera.

***

3

Tiga hari setelah perayaan perkawinan putra Ki Lurah Amongdrajat, Desa Pasir Putih kedatangan dua orang tamu yang mengaku berasal dari negeri jauh. Negeri Jepang.

Ki Amongdrajat yang menerima kedatangan dua tamu tak diundang itu mempercayai keterangan mereka. Namun hanya yang lelaki yang dipercaya Ki Amongdrajat sebagai orang asli dari Jepang, sedangkan teman wanitanya? Dia tak layak disebut sebagai wanita Jepang karena ciri-ciri tak berbeda dengan gadis-gadis Jawa. Wajahnya ayu, bahkan kulit tubuhnya hitam manis. Sepasang matanya yang bundar dan indah dihiasi bulubulu lentik memperjelas ciri-ciri kalau dia bukan gadis dari Jepang.

"Namaku, Parameswari, Kisanak," ucap gadis cantik yang mengenakan pakaian longgar warna ungu. Di punggungnya tersampir senjata berbentuk pedang panjang bernama samurai. Rambutnya yang hitam legam dibiarkan terurai lepas.

Ki Amongdrajat yang ditemani putranya, Raden Mas Satria Aji dan Saladra tak mengomentari perkenalan gadis cantik itu.

"Dan kawanku ini bernama Buchohanco," lanjut gadis yang mengaku bernama Parameswari. Wajahnya menoleh lelaki di sampingnya, yang berpakaian longgar berwarna putih.

Sementara lelaki yang diperkenalkan Parameswari pada Ki Amongdrajat tak memperlihatkan perubahan sikap. Kepalanya tetap tegap. Sepasang mata sipitnya menatap tajam wajah Kepala Desa Pasir Putih itu. Raut wajahnya yang berkulit putih terkesan begitu dingin dan angker dengan alis mata yang satu sama lain saling bertaut.

"Buchohanco tak bisa berbahasa negeri ini," tambah Parameswari mendapatkan ucapannya tak ada yang menimpali.

"Kita habisi saja mereka, Bucho!" lanjut Parameswari dalam bahasa yang tidak dimengerti Ki Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji maupun Saladra. Ucapan itu ditujukan Parameswari hanya untuk lelaki Jepang yang di punggungnya juga tersampir sebatang samurai dengan tangkai berbentuk kepala naga.

"Lalu apa tujuan Nisanak ke situ?" tanya Ki Amongdrajat menandaskan ketidakmengertiannya.

"Membunuh seluruh pendekar yang ada di Kadipaten Sunyilaga ini!" sahut Parameswari tegas.

Jawaban yang tak terduga sama sekali itu tentu saja membuat Ki Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji, dan Saladra terkejut bukan kepalang. Bagai mendengar halilintar di siang bolong ketiganya tersentak kaget.

"Tidak salahkah ucapanmu, Nini Parameswari?" tanya Raden Mas Satria Aji sambil menekan keterkejutannya.

"Di mana salahnya?" balik gadis cantik berpakaian ungu itu.

"Ah, maaf! Menurutku keinginanmu terlalu berlebihan, Nisanak," timpal Salandra.

"Tidak!" jawab Parameswari mantap.

"Lalu apa kesalahan para pendekar kadipaten ini, hingga kalian hendak membunuh mereka?" tanya Ki Amongdrajat

"Itu sudah menjadi dendamku!" sentak Parameswari keras.

"Hm...!" Ki Amongdrajat menggumam tak

jelas.

"Tapi setidaknya kau harus menjelaskan

persoalan apa yang menimbulkan dendam seperti itu, Nini," tukas Raden Mas Satria Aji dengan kening berkerut, tak mengerti.

"Mungkin usiamu dan usiaku sebaya pada saat kejadian itu berlangsung, Kisanak," tukas Parameswari seraya menatap Raden Mas Satria Aji. "Belasan tahun silam saat kejadian itu terjadi, aku memang masih kecil. Namun aku tak bisa melupakan hingga kini bagaimana bengisnya para pendekar di kadipaten ini yang telah melenyapkan keluargaku serta perguruannya. Aku tak bisa melupakan persoalan itu begitu saja. Dendamku yang seketika itu juga tercetus akan kulampiaskan sekarang. Dan kalianlah sebagai korban pertama kesumatku...!" ujar Parameswari tegas.

"Tolong jelaskan dulu, siapa keluargamu dan perguruan apa yang telah dilenyapkan oleh para pendekar?" pinta Ki Amongdrajat

"Orang seusiamu tentu ingat kejadian itu, Ki. Kau tentu mengenal baik nama Perguruan Selimut Iblis," jelas Parameswari.

"Perguruan Selimut Iblis...?" ulang Ki Amongdrajat dengan kening berkerut Wajahnya seketika berubah merah.

"Ya. Perguruan Selimut Iblis. Kau pasti kenal juga dengan Ki Tambak Seta!"

"Kaukah anak Ki Tambak Seta?!" tanya Ki Amongdrajat.

"Ya."

"Ah. Kupikir seluruh keturunan iblis sesat itu sudah lenyap bersamaan dengan musnahnya Perguruan Selimut Iblis terlalap api, tapi nyatanya...?" Ki Amongdrajat tak melanjutkan ucapannya. Pikirannya menerawang jauh ke masa belasan tahun silam di mana sebuah perguruan yang didirikan oleh sepasang tokoh golongan hitam menghebohkan rimba persilatan. Banyak pendekar yang binasa di tangan Iblis Kematian dan Dewi Perenggut Nyawa. Begitu pula dengan ulah dan sepak terjang murid-murid Perguruan Selimut Iblis yang di luar batas kemanusiaan. Mereka membunuhi penduduk yang tak bersalah, merampok harta benda, serta membawa lari anak-anak perawan.

Atas tindak kedurjanaan mereka yang seperti itulah akhirnya pendekar-pendekar yang berada di Kadipaten Sunyilaga mengadakan pertemuan untuk mencari jalan menghentikan sepak terjang Ki Tambak Seta dan anak buahnya.

Tindakan pertama para pendekar Kadipaten Sunyilaga yang pada waktu itu pun dipimpin langsung Adipati Kusumaningrat segera memperingatkan langsung, agar Iblis Kematian menghentikan perbuatannya. Tindakan tokoh sesat itu memang sudah di luar batas kemanusian. Namun semakin diperingatkan, perbuatan mereka justru semakin merajalela. Sehingga akhirnya keluar suatu keputusan untuk membinasakan Perguruan Selimut Iblis sekaligus melenyapkan orangorangnya jika membangkang. Dan kenyataannya hal seperti itu harus dilakukan. Ki Amongdrajat sendiri berperan serta dalam melenyapkan Perguruan Selimut Iblis beserta orang-orangnya.

Ki Amongdrajat ingat bagaimana kematian Ki Tambak Seta ketika kepalanya terhantam senjata milik Ketua Perguruan Golok Suci, lalu disusuli tendangan menggeledek yang dilakukan Ketua Kadipaten Sunyilaga mendarat telak di dada tokoh hitam itu. Sedangkan Ki Amongdrajat sendiri pada saat tubuh Ki Tambak Seta terhuyung langsung melesat menyongsong dengan sambaran senjatanya yang merobek lambung Ketua Perguruan Selimut Iblis, hingga lelaki sesat itu rebah dan tewas!

Kematian Ki Tambak Seta ternyata disusul pula istrinya yang tak mampu menghadapi pendekar-pendekar tangguh dari Kadipaten Sunyilaga. Namun kematian kedua tokoh utama Perguruan Selimut Iblis ternyata tak membuat muridmuridnya mundur. Mereka bahkan terus melanjutkan perlawanan, hingga akhirnya keluarlah keputusan dari Adipati Kusumaningrat untuk melenyapkan murid-murid Perguruan Selimut Iblis yang sukar untuk diluruskan.

"Aku memang putri kandung Ki Tambak Seta. Pada saat pembantaian terhadap perguruan, naluriku menyuruh aku pergi menyelamatkan diri. Kubawa langkah kakiku hingga sampai ke pesisir laut selatan. Di sanalah aku berjumpa dengan seorang lelaki tua yang mengaku sebagai pelancong. Dia suka padaku dan menawarkan agar aku ikut dengannya. Aku tak menolak, dan itu merupakan satu keberuntungan bagiku, karena ternyata orang tua itu bukanlah orang sembarangan. Dialah jago samurai dari negeri Jepang. Aku dibawa ke negerinya dan diperkenalkan dengan anak lelakinya yang waktu itu berusia sedikit lebih tua dariku. Bersama anaknya, aku digembleng untuk mewarisi ilmunya. Buchohanco-lah anak orang tua penolongku itu," gadis yang mengaku bernama Parameswari menoleh wajah lelaki muda di sampingnya. "Kedatanganku ke sini sudah kalian ketahui dengan jelas maksudnya. Bersiaplah kalian!"

Sring!

Parameswari meloloskan senjata yang tersampir di punggungnya. Samurai berwarna putih itu menjelmakan kilatan sinar yang menyilaukan mata.

Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji, serta Salandra segera mengatur kedudukan masingmasing. Ketiganya langsung mundur beberapa tindak dengan sikap waspada penuh.

Sring!

Lelaki bermata sipit rekan Parameswari, dengan sikap yang nampak kaku dan mata menatap dingin wajah Ki Amongdrajat juga meloloskan samurainya dari warangkanya. Seperti samurai milik Parameswari, senjata milik Buchohanco pun memendarkan kilatan menyilaukan mata saat bersentuhan dengan cahaya matahari.

"Jangan main-main dengan senjata mereka, gunakan senjata kalian!" perintah Ki Amongdrajat pada Raden Mas Satria Aji dan Salandra.

Raden Mas Satria Aji dan Salandra tentu saja segera mematuhi perintah Ki Amongdrajat, karena keduanya pun tahu kedahsyatan pamor samurai yang dimiliki dua lawannya.

Srat! Srat!

Hampir bersamaan Raden Mas Satria Aji dan Salandra meloloskan senjata mereka yang kemudian sama-sama disilangkan di depan dada.

Srat! Srat!

Ki Amongdrajat pun tak ketinggalan, langsung mencabut sepasang pedang pendeknya. Tatapan matanya pun tertuju pada sepasang mata dingin milik lelaki Jepang yang mengenakan pakaian serba putih.

"Hi hi hi...! Bagus! Bagus! Aku senang kalau kedatanganku ke sini mendapat perlawanan, hi hi hi...! Mari kita mulai! Hiaat!"

Tubuh gadis cantik berpakaian ungu melesat cepat. Gerakannya yang ringan didukung kelincahan dan keluwesan tubuh dalam mempermainkan senjata panjangnya, bergerak-gerak tak kalah cepat

"Hiaatt...!"

Buchohanco si lelaki bermata sipit pun tak mau ketinggalan, tubuhnya meluruk cepat memburu Raden Mas Satria Aji dan Salandra.

Dua lelaki bersenjata pedang yang tak lain menantu dan murid kepercayaan Ketua Perguruan Gelombang Timur itu segera menyambut serangan Buchohanco.

"Hiaa...!" Buet! Wiing! Trang!

"Eh!"

Tubuh Raden Mas Satria Aji dan Salandra sama-sama tergempur mundur tiga langkah ke belakang, saat benturan senjata yang menimbulkan suara memekakkan telinga serta percikan bunga api terjadi. Sementara lawannya, si lelaki bermata sipit itu setelah melancarkan serangan dengan melompat, kini sudah mendarat tanpa goyah sedikit pun. Bahkan Buchohanco kini tengah mempersiapkan serangan susulan.

"Hoaatt..!"

Tubuh lelaki bersenjata samurai itu bergerak cepat. Senjatanya berputar-putar di udara hingga menimbulkan deru angin yang cukup keras.

Raden Mas Satria Aji dan Salandra terkejut menyaksikan kecepatan gerak yang dilakukan lawannya. Padahal kedudukan Buchohanco ketika melancarkan serangan dalam keadaan yang kurang baik

"Hoaatt..!"

Wing...! Trang! Trang! Bret!

"Akh!"

Salandra yang pada gempuran pertama berhasil memapak sambaran samurai lawan, kini tak kuasa mengelakkan serangan susulan yang datangnya begitu cepat bagai kilat. Tubuh murid kepercayaan Perguruan Gelombang Timur itu ambruk ke tanah dengan bagian dada robek menyilang, mengucurkan darah. Setegukan teh lamanya Salandra masih mampu bertahan, tapi pada saat selanjutnya, lelaki kepercayaan Ki Amongdrajat sudah rebah di tanah tanpa nyawa.

Sementara itu, Raden Mas Satria Aji yang memiliki kepandaian di atas Salandra, mampu mengelakkan tebasan susulan samurai lawan. Meskipun tubuhnya harus jungkir balik di udara dan kemudian berjuang bergulingan di tanah.

Buchohanco yang menyaksikan kematian Salandra, tampaknya belum merasa puas. Ketika melihat seorang lawannya masih mampu menyelamatkan diri, lelaki Jepang itu tak membuangbuang waktu lagi. Tubuhnya yang terbalut pakaian longgar berwarna putih mencelat dengan samurai diputar-putar di atas kepala.

Wuut! Wut! "Haaa...!"

Namun belum sempat serangan Buchohanco tiba pada sasaran, lima orang murid Perguruan Gelombang Timur yang sejak semula merasa takut dikatakan lancang mencampuri pertarungan pimpinannya, meluruk dengan senjata masingmasing menghadang serangan Buchohanco.

"Hiaa...!"

"Hyaa...! Hiaatt..!"

Buchohanco yang hendak menyerang Raden Mas Satria Aji merasa geram melihat lima lelaki murid Perguruan Gelombang Timur menghadang maksudnya. Maka dengan penuh amarah lelaki Jepang itu langsung mengalihkan serangannya pada kelima murid Ki Amongdrajat

"Hoaat..!" Wuung!

Dengan gerakan secepat kilat samurainya berkelebat memburu kelima lawan. Hingga...,

Trang! Bret! Bret!

"Aaakh...!"

"Aaakh...!"

Dua pekik kematian membumbung ke langit seketika terdengar saat samurai menyambar tubuh lawan. Dua lelaki berseragam Perguruan Gelombang Timur bagaikan semut menerjang api, langsung tumbang dengan bagian dada hampir terbelah. Raden Mas Satria Aji dan ketiga murid yang terhindar dari serangan lawan, tersentak kaget menyaksikan kecepatan gerakan samurai Buchohanco.

Kematian dua murid perguruan yang menyusul kematian Salandra bukannya membuat orang-orang Perguruan Gelombang Timur menjadi ciut nyalinya. Beberapa orang yang lain pun kini tampak bergerak merangsek Buchohanco. Sebagiannya lagi bergerak membantu Ki Amongdrajat yang tampak kewalahan menghadapi Parameswari.

Rupanya, murid-murid Perguruan Gelombang Timur dan Ki Amongdrajat, bukan lawan yang setimpal bagi sepasang muda-mudi yang bersenjatakan samurai itu.

Parameswari dan Buchohanco tak ubahnya sepasang malaikat pencabut nyawa yang setiap kali mengarahkan senjatanya, tak ada yang mampu mengelak. Maka setiap samurai mereka bergerak, maut pun tak dapat dielakkan.

"Haaa...!" Bret!

Bret! "Akh!"

"Huaa...!"

Kembali dua sosok tubuh tumbang bermandikan darah. Lengking kematian pun terdengar susul-menyusul, seolah berebutan siapa yang bisa lebih dulu menyuarakan suara kematian.

Ki Amongdrajat sendiri tak kuasa mencegah kematian murid-muridnya. Keganasan serangan Parameswari dengan samurainya yang begitu cepat membuat lelaki berusia setengah abad itu tak mendapat kesempatan menyelamatkan murid-muridnya. Padahal pada saat itu Ki Amongdrajat juga tengah dibantu enam orang muridnya yang berkepandaian cukup tinggi dalam menghadapi Parameswari. Namun bantuan keenam muridnya itu tak banyak membantu.

Kecepatan samurai di tangan Parameswari terlalu sulit ditandingi. Sehingga enam pemuda yang membantu gurunya harus jungkir balik menghindari sambaran-sambaran senjata lawan yang dengan beruntun mencecar bagian yang mematikan.

"Mampus kau! Hiaat...!" Wuung! Bret! Bret! "Aaa...!"

"Aaa...!"

Dua jeritan melengking tinggi kembali terdengar mengiringi melayangnya dua nyawa dari raga dua murid Ki Amongdrajat.

Pertarungan itu tampak tidak dapat dihentikan. Kemudian tokoh muda bersenjata samurai itu kian ganas, meskipun di halaman rumah Kepala Desa Pasir Putih telah bergelimpangan mayat-mayat murid Perguruan Gelombang Timur. Darah pun berceceran membasahi tempat pertarungan.

Ki Amongdrajat dan Raden Mas Satria Aji yang menyaksikan pemandangan itu semakin bertambah geram. Namun apa daya, keduanya kini harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan diri dari kehebatan sepasang mudamudi yang memiliki ilmu samurai begitu hebat.

"Awas! Jangan lengah!" teriak Parameswari sambil mengayunkan samurainya bergerak dari atas ke bawah, bermaksud membabat dada Ki Amongdrajat.

Dalam keadaan kacau pikirannya, Ketua Perguruan Gelombang Timur sedapat mungkin berusaha mengelakkan serangan lawan. Dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke samping kanan menghindari babatan samurai yang berkelebat begitu cepat.

"Hops!"

Tubuh Ki Amongdrajat mencelat tak kalah cepat, lalu dengan mempergunakan bahunya, Kepala Desa Pasir Putih itu mendarat di tanah berpasir. Tubuhnya berguling-guling beberapa kali dalam upaya menjauhi sosok gadis berpakaian ungu itu.

Apa yang dilakukan Ki Amongdrajat rupanya sudah ditunggu-tunggu Parameswari. Pada saat tubuh lelaki setengah baya itu bergulingan di tanah, Parameswari melesat cepat. Senjatanya diputar keras hingga menimbulkan deru angin kencang, bergerak mencecar dada lawan.

"Hih!" Brets! "Akh...!"

Ki Amongdrajat memekik keras. Dengan keras ujung samurai Parameswari membabat dada hingga batas perutnya. Tubuh kepala desa sekaligus Ketua Perguruan Gelombang Timur itu menggelepar kesakitan. Darah segar menyembur dari dada yang ter-belah. Bersamaan dengan itu isi perutnya terburai keluar tak ingin kalah dengan roh yang juga beranjak pergi meninggalkan raga.

"Ayah...!"

Raden Mas Satria Aji yang masih selamat berkat perlindungan yang diberikan murid-murid setia Perguruan Gelombang Timur sempat berteriak menyaksikan kematian mertuanya yang begitu mengerikan. Namun apa yang dilakukan putra bungsu Ki Wiracakrana itu merupakan tindakan ceroboh yang amat merugikan. Pada saat kewaspadaannya itu hilang, dengan gerakan yang secepat kilat Buchohanco membabatkan samurainya secara menyilang ke dada Raden Mas Satria Aji.

"Hoaaat...!" Bret! "Aaa...!"

Raden Mas Satria Aji terpekik keras. Tubuhnya menggelinjang dengan sepasang kakinya tergeser mundur beberapa langkah. Pedang di tangannya pun terlepas. Kedua telapak tangannya memegangi dada dan perutnya yang sobek.

Bruk! Raden Mas Satria Aji ambruk ke tanah lalu tewas dengan tubuh berlumuran darah.

Kematian Ki Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji, dan Salandra, tak mengurangi keberanian murid-murid Perguruan Gelombang Timur. Secara serentak mereka merangsek kedua lawan. Senjata mereka terus berkelebat melancarkan serangan sebagai upaya melampiaskan kemarahan pada sepasang muda-mudi yang telah menewaskan orang-orang yang sangat dihormati.

Namun betapa mudahnya pasangan mudamudi bersenjata samurai itu menghadapi belasan murid Ki Amongdrajat. Dengan ringan Parameswari dan Buchohanco melompat ke sana kemari. Sambil sesekali menangkis serangan murid-murid Perguruan Gelombang Timur.

"Hi hi hi...! Kalau aku mau, hanya semudah membalikkan telapak tangan akan kubantai kalian, Cecunguk-Cecunguk Tak Tahu Diri!" umpat Parameswari dengan tertawa cekikikan sambil menyarungkan samurainya. "Sayang aku tak punya banyak waktu untuk melayani kalian," lanjutnya sambil menoleh ke wajah Buchohanco yang juga sudah menyarungkan kembali samurainya.

Buchohanco membalas tatapan mata Parameswari. "Kita cari yang lain sekarang!" usulnya dalam bahasa yang hanya dimengerti Parameswari.

"Tentu saja, Kak. Hayo!" balas Parameswari dalam bahasa yang begitu asing bagi telinga murid-murid Perguruan Gelombang Timur. "Hayo!" sambut Buchohanco seraya menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah. Tubuhnya seketika melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya.

"Hip!" gadis cantik berpakaian longgar warna ungu pun melakukan hal yang sama. Ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh milik Parameswari tak beda jauh dari yang dimiliki Buchohanco. Tak heran kalau hanya sekali hentakan kaki keduanya mampu bergerak sejajar, meninggalkan murid-murid Perguruan Gelombang Timur yang masih dibakar api kemarahan.

***

4

Di sebuah penginapan yang bagian depannya terdapat kedai, nampak hanya dikunjungi tiga orang tamu. Sementara pemilik kedai tidak nampak di tempat itu.

Dua orang tamu yang duduk di bangku paling pojok baru saja menyelesaikan makannya.

"Aku mengkhawatirkan keadaan Ki Amongdrajat, Kakang," ucap seorang gadis cantik dengan mulut masih dipenuhi suapan makanan terakhir. "Bisa jadi Datuk Beruang Hitam menyantroni kembali Perguruan Gelombang Timur, sebelum mewujudkan dendamnya padamu," lanjut gadis cantik berpakaian warna jingga yang tak lain Mayang Sutera atau si Dewi Payung Emas. "Apa alasanmu mengkhawatirkan Ki

Amongdrajat, Mayang?" tanya Jaka dengan tatapan mata tak lepas pada cangkir terbuat dari tanah yang masih berisi air setengah. "Ki Amongdrajat itu bukan lelaki berilmu rendah," lanjut lelaki berpakaian warna kuning keemasan sambil meraih gelas.

Mayang Sutera tak membantah ucapan Raja Petir. Tangannya juga tergerak meraih cangkir minuman di hadapannya.

"Apalagi murid-murid Perguruan Gelombang Timur tidak sedikit. Mereka rata-rata memiliki ilmu yang setidaknya dapat meringankan beban Ki Amongdrajat dalam mengusir seorang tua macam Datuk Beruang Hitam," lanjut Jaka setelah meneguk air.

"Kau betul, Kakang" sambut Mayang Sutera. "Namun aku berkesimpulan ilmu yang dimiliki Datuk Beruang Hitam berada di atas Ki Amongdrajat. Kesimpulan itu dapat kutarik berdasarkan kekalahan Ki Wiracakrana hanya dalam beberapa gebrakan saja," tandas Mayang Sutera mengemukakan rasa khawatirnya.

"Hm...!" Jaka bergumam setelah mendapatkan kesimpulan kekasihnya yang sedikit banyak mengandung kebenaran, "Lalu apa usulmu selanjutnya?" tanyanya memancing pendapat gadis cantik itu.

"Tentu saja kita harus mengunjungi kembali Perguruan Gelombang Timur," jawab Mayang Sutera tegas.

"Sekarang?"

"Lebih cepat lebih baik," sambut Mayang Sutera.

"Baik"

Raja Petir langsung bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan itu lelaki penjaga kedai keluar, maka langsung saja Jaka melambaikan tangannya dan membayar hidangan yang telah disantapnya.

"Ayo, Mayang!" ajak Jaka setelah pelayan itu pergi dari hadapannya.

Hari masih pagi ketika Raja Petir dan Mayang Sutera meninggalkan Desa Blanjangan tempat kedai dan penginapan itu berada. Matahari baru saja beranjak dari peraduan. Sinarnya mulai menghangatkan bumi dan mengusir embun-embun yang menempel di pucuk dedaunan.

"Kakang, sebaiknya kita percepat saja langkah kita! Kita harus segera sampai ke Desa Pasir Putih. Kalau tidak, kita pasti kesiangan atau bahkan kesorean sampai di sana," usul Mayang Sutera. "Naluriku mengatakan kalau di Perguruan Gelombang Timur telah terjadi sesuatu."

"Ayolah!" sambut Raja Petir.

"Hips!" Mayang Sutera pun segera menggenjot kakinya dan melesat cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

"Hops!" Raja Petir melakukan hal yang sama. Maka seketika dua sosok bayangan kuning terlihat berkelebat cepat.

* * *

"Kakang! Kau lihat di sana?!" seru Mayang Sutera seraya menunjuk ke tempat kerumunan orang di pelataran Perguruan Gelombang Timur. "Hhh..., aku yakin dugaanku tak meleset! Pasti telah terjadi sesuatu di sana."

Tanpa membalas ucapan kekasihnya, Raja Petir langsung bergerak maju melewati pintu utama Perguruan Gelombang Timur yang dijaga lima lelaki bersenjata pedang dengan sikap gagah. "Celaka, Raja Petir!" sambut salah seorang penjaga dengan tubuh yang menjura hormat "Dua orang asing telah mengamuk di perguruan ini," lanjut penjaga bertubuh kekar dan bermata lebar. "Tamu asing?" ulang Jaka pelan, "Bukan

Datuk Beruang Hitam?" tanyanya kemudian. "Bukan, Raja Petir," jawab penjaga yang be-

rambut gondrong tersanggul. "Mereka sepasang muda-mudi. Yang lelaki sepertinya orang dari negeri Jepang dan dia tak bisa berbicara bahasa kita," lanjutnya.

"Betul Raja Petir," ujar penjaga yang lain menambahkan. "Kalau yang wanita orang pribumi. Namanya... ehm... siapa namanya, ya?"

"Parameswari...!" sahut penjaga bertubuh pendek kekar.

Raja Petir sepertinya tak menanggapi pemberitahuan penjaga bertubuh pendek kekar. Tatapan matanya kini tertuju pada wajah cantik kekasihnya. "Benar firasatmu, Mayang," ucapnya pelan.

"Lalu bagaimana keadaan Ki Amongdrajat, Kisanak?" tanya Mayang Sutera dengan tak mengacuhkan ucapan Raja Petir.

Lima lelaki penjaga pintu Perguruan Gelombang Timur tak segera menjawab pertanyaan Mayang Sutera, mata mereka nampak saling berpandangan satu sama lain.

"Yah. Bagaimana keadaannya?" desak Raja

Petir.

"Dia... dia...," terbata-bata ucapan yang ke-

luar dari mulut lelaki bermata lebar itu.

"Ki Amongdrajat.. tewas, Nini," sambung lelaki berambut gondrong tersanggul.

"Ah!" Mayang Sutera tersentak mendengar pemberitahuan itu.

"Tiga belas murid perguruan pun mengalami nasib yang sama, Nini. Termasuk Kakang Salandra dan Raden Mas Satria Aji. "

"Satria tewas?" gumam Jaka hampir tak terdengar. "Mari kita masuk, Mayang!" ajaknya kemudian.

Dengan langkah-langkah lebar. Raja Petir diikuti Mayang Sutera langsung memasuki pelataran menuju bangunan tempat tinggal Lurah Amongdrajat

"Nini Mayang...! Oh...!" Baru dua langkah Raja Petir dan Mayang Sutera melewati puluhan lelaki yang berkerumun, Nuning Mutiara sudah menyerbu dengan teriakan yang dibarengi isak tangis memilukan. Putri Ki Amongdrajat itu langsung memeluk tubuh Mayang Sutera dengan kesedihan.

"Dosa apa yang telah kulakukan hingga harus mendapatkan cobaan seperti ini," keluh Nuning Mutiara terdengar lirih. Air matanya mengucur membasahi pakaian Mayang Sutera.

"Tabahkan hatimu, Nuning!" hibur Mayang Sutera dengan tangan tergerak mengendurkan pelukan wanita cantik berpakaian hijau pupus itu. "Terimalah segalanya sebagai ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa! Jangan kau sesali apa yang telah digariskan-Nya!" lanjutnya. Gadis cantik berjuluk Dewi Payung Emas, mengangkat tangannya menghapus air mata yang bergulir dari kelopak mata Nuning Mutiara.

"Aku tak berada di sini ketika pembantaian itu terjadi, Kakang Jaka. Aku tengah berada di rumah mertuaku Ki Wiracakrana, tanpa ditemani Kakang Satria. Padahal aku sudah mengajaknya, tapi Kakang Satria menolak mungkin inilah arti penolakannya," tutur Nuning Mutiara di sela-sela isaknya yang masih jelas terdengar.

"Kau tahu kenapa dua orang asing itu berbuat seperti itu, Nuning!" tanya Mayang Sutera hati-hati.

Nuning Mutiara pun segera menuturkan masalahnya yang didengar dari beberapa orang murid Ki Amongdrajat. Matanya yang indah tampak sembab karena terlalu banyak menangis. Raja Petir dan Mayang Sutera memaklumi betapa hancur perasaan putri Ki Amongdrajat itu. Baru tiga hari hidup berumah tangga, kini harus menerima kenyataan pahit. Suami dan ayahnya meninggal dalam keadaan mengenaskan.

"Apa tidak mungkin kalau mereka kini tengah memburu pendekar-pendekar lain, Kakang?" tanya Mayang Sutera setelah mendengar penuturan Nuning Mutiara.

"Bukan hanya kemungkinan, Mayang. Mereka pasti gentayangan di wilayah Kadipaten Sunyilaga ini...," tukas Jaka.

"Kita harus mencegahnya kalau begitu, Kakang," ujar Mayang Sutera lagi.

"Ya. Kita harus berbuat sesuatu untuk menghentikan sepak terjang mereka," sahut Jaka. "Ya. Tapi dari mana kita harus memu-

lainya?" tanya Mayang Sutera.

Jaka berpikir sejenak, lalu dengan tangannya dia memanggil salah seorang murid Perguruan Gelombang Timur.

"Kau tahu ke mana arah perginya dua orang asing itu?" tanya Jaka kepada murid Perguruan Gelombang Timur yang menghampirinya.

"Ke arah selatan. Raja Petir," ucap lelaki bertubuh gempal itu.

Tatapan mata Raja Petir dan Mayang Sutera kini sama-sama tertuju pada wajah Nuning Mutiara. "Sekarang juga kami pamit, Nuning. Sepak terjang lelaki berkebangsaan Jepang itu harus segera dihentikan," ucap Jaka.

Nuning Mutiara menganggukkan kepada. "Hati-hatilah kalian!" jawab Nuning Mutiara.

"Tentu, Nuning," jawab Mayang Sutera. "Kami pamit," ucap Jaka.

"Hops!"

"Hips!"

Sepasang pendekar muda itu langsung melesat ke selatan. Gerakan mereka yang cepat nampak seperti kelebatan anak panah yang terlepas dari busurnya. Sementara matahari terus beranjak naik dengan sinarnya yang semakin panas.

***

5

Mulut Hutan Gulinjang yang terletak di sebelah utara Desa Galuhnila nampak bermandikan cahaya matahari yang terasa tak lagi menyengat. Dari arah timur yang dibatasi pohon-pohon mahoni, tiba-tiba muncul sesosok lelaki berwajah buruk rupa mengenakan pakaian dari kulit beruang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah utara pun muncul sepasang muda-mudi yang di punggung masing-masing tersampir sebilah samurai.

"Kau tahu di mana letak perguruan yang terdekat dari sini, Kisanak?" tanya seorang gadis cantik berpakaian longgar warna ungu ketika saling berpapasan.

Lelaki berwajah buruk itu tak segera menjawab pertanyaan gadis cantik yang tak lain Parameswari. Matanya yang kemerahan dan terhias alis tebal menatap wajah gadis cantik itu.

"Hei! Apa kau bisu?!" sentak Parameswari

keras.

Lelaki buruk rupa yang tak lain Datuk Be-

ruang Hitam tak tersentak mendengar bentakan gadis cantik berpakaian warna ungu. Namun kemudian mulutnya mengembangkan senyum yang terlihat begitu lucu.

"He he he...! Kalau butuh jawaban, seharusnya kau tak galak seperti itu, Anak Manis. Sayang kalau wajahmu rusak oleh kegalakanmu. Lagi pula akan memberi imbalan apa jika pertanyaanmu kujawab, heh?!" tanya Ki Samparal diiringi tawanya.

"Monyet jelek! Jangan banyak tingkah di hadapanku, cepat jawab sebelum nyawamu kukirim ke neraka!" bentak Parameswari dengan jari telunjuk yang menuding wajah Ki Samparal yang tampak tersentak.

Merah padam wajah Datuk Beruang Hitam dikatakan sebagai monyet jelek. Matanya terbelalak menahan kegeraman pada gadis berpakaian ungu itu.

"Perempuan liar!" maki Ki Samparal tak kalah keras. Tangannya juga menuding wajah cantik gadis di hadapannya. "Kau pikir tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Lancang benar mulutmu, heh...?! Tak tahukah kalau kau berhadapan dengan Datuk Beruang Hitam?!"

"Tua bangka jelek! Siapa pun kau, jika tak menjawab pertanyaanku, maka nyawamulah yang jadi taruhannya!"

Sring!

Parameswari langsung mencabut samurai dari warangkanya. "Cepat jawab sebelum samurai ini membelah dadamu!" desaknya seraya menuding dada Datuk Beruang Hitam dengan ujung samurai.

"Bocah bau kencur saja sombong! Laku-

kanlah apa yang ingin kau lakukan!" tantang Ki Samparal

"Tua bangka tak tahu diri!" maki Parameswari. "Terima ini! Hiaatt..!"

Kaki kanan gadis cantik berpakaian ungu itu menghentak kuat ke permukaan tanah. Seketika tubuhnya melesat cepat dengan tangan kanan bergerak melakukan tebasan menyilang mengarah dada Datuk Beruang Hitam.

Wuung! "Eits!"

Dengan cepat Datuk Beruang Hitam melompat ke kanan menghindari sambaran senjata lawan. Babatan selanjutnya yang melesat lebih cepat membuat tubuh lelaki tua berwajah buruk itu terpaksa harus melenting dengan beberapa kali putaran di udara.

Pada saat itu pula Buchohanco yang tadi masih berdiam diri, langsung melesat. Dengan samurai di tangan lelaki berpakaian serba putih itu menyerang Ki Samparal.

"Hoaatt..!" Wuung! Wuung!

Datuk Beruang Hitam tentu saja terkejut mendapatkan serangan yang dilakukan Buchohanco. Untuk melindungi dirinya dari sambaran senjata lawan, Datuk Beruang Hitam dengan cepat meloloskan senjatanya yang berupa lempengan logam berbentuk cakar seekor beruang.

Sring!

Trang! "Akh!"

Datuk Beruang Hitam memekik tertahan ketika benturan keras terjadi. Suara berdentang keras yang diiringi percik bunga api terlihat bersamaan dengan tergempurnya tubuh Datuk Beruang Hitam.

"Hih!"

Ki Samparal mendaratkan kakinya di tanah dalam kedudukan agak goyah sedikit

"Hm...! Kuat sekali tenaga dalam lelaki bermata sipit itu," gumam Datuk Beruang Hitam dalam hati.

"Hm...! Sayang sekali kau harus berumur pendek, Monyet Jelek!" ejek Parameswari menyaksikan Datuk Beruang Hitam tak balas menyerang. "Ayo, Kak Bucho!" ajaknya kemudian dalam bahasa yang tak dimengerti Ki Samparal.

Tubuh Parameswari seketika mencelat diikuti lelaki berpakaian putih longgar dengan senjatanya yang berpindah ke tangan kiri.

Datuk Beruang Hitam yang sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan, mengerti kalau lawan-lawannya akan menyerang dari dua arah, kiri dan kanan. Maka senjatanya segera disilangkan di depan dada dengan sikap waspada penuh.

"Hiaatt...!"

"Hoaatt..!" Tring! Trang!

Dengan kecepatan yang mengagumkan Parameswari dan Buchohanco membabatkan senjatanya ke dada lawan. Namun kecepatan tangkisan yang dilakukan Ki Samparal cukup membuat serangan sepasang muda-mudi bersenjata samurai itu kandas di tengah jalan. Meskipun begitu, lelaki tua itu terhuyung empat langkah ke belakang.

Dan dirasakan tangannya bergetar hebat "Hiaatt...!"

"Hoaatt..!"

Belum lagi kedudukan Datuk Beruang Hitam sempurna, Parameswari dan Buchohanco telah melesat memberikan serangan susulan.

Hal itu membuat Ki Samparal tampak kebingungan. Dirinya merasa ragu apakah akan mampu menangkis serangan kedua lawannya. Sementara tangannya masih dirasakan linu setelah benturan keras barusan.

"Hih!"

Sebelum serangan Parameswari dan Buchohanco mendekat, Datuk Beruang Hitam segera saja menghentakkan senjatanya, memainkan ajian 'Racun Beruang Kutub'. Maka seketika itu juga.

Slrrts...!

Slrrts...!

Empat larik sinar kebiruan meluruk cepat, lalu terpecah menjadi dua arah mencecar tubuh Parameswari dan Buchohanco.

Dengan cepat Buchohanco yang berada pada kedudukan paling depan segera memutar senjatanya dengan kecepatan mengagumkan.

Wuung! Wrrr...! Samurai di tangan Buchohanco hilang bentuk, kini berganti dengan sinar putih yang bergulung melindungi tubuhnya dari incaran sinar kebiruan.

Tring! Tring!

Luncuran sinar kebiruan hasil olahan 'Aji Racun Beruang Kutub' berhasil dibendung dengan gerakan cepat Buchohanco.

"Ha ha ha...! Ceroboh sekali kau, Mata Sipit! Sebentar lagi kau akan mampus oleh Racun Beruang Kutub yang mengalir melalui batang senjatamu! Ha ha ha...!" Datuk Beruang Hitam terbahak keras mengetahui siasatnya berhasil. Semula dirinya beranggapan kalau lawan akan menghindari serangannya dengan menjauhi sinar kebiruan yang meluruk deras, tapi nyatanya tidak.

"Tua bangka! Apa pun jenis racun  yang kau keluarkan, kawanku ini tak akan terpengaruh sedikit pun! Samurai di tangannya adalah senjata pusaka yang mampu menawarkan racun, bagaimanapun ganasnya!" beritahu Parameswari terang-terangan dan itu tentu saja membuat Ki Samparal terkejut

"Sekarang, coba kau tahan kembali seranganku! Hiaatt..!"

"Hoaatt..!"

Wuung! Wuung...!

Tubuh sepasang muda-mudi bersenjata samurai kembali meluruk menyerang Datuk Beruang Hitam. Samurai di tangan keduanya bergerak seperti baling-baling kapal di atas kepala hingga menimbulkan deru yang cukup keras. "Hihh...!"

Trang! Bret! "Akh...!"

Datuk Beruang Hitam terpekik keras ketika ujung samurai di tangan Parameswari dengan cepat merobek bagian dadanya secara menyilang dari atas ke bawah. Tubuhnya yang terbalut kulit Beruang terhuyung mundur dengan tangan kiri mendekap dada yang terluka cukup lebar sampai ke perut

"Hoaat..!"

Buchohanco si lelaki dari Jepang rupanya kurang puas. Ketika Datuk Beruang Hitam masih terhuyung mundur, tubuhnya melesat cepat dengan kedudukan kaki kanan berada di depan hendak melakukan tendangan ke bagian kepala lawan.

Plak! "Aaa...!"

Pekik melengking tinggi kembali keluar dari mulut Ki Samparal ketika tendangan lurus cukup keras menghantam telak kepalanya hingga mengakibatkan lehernya patah. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang.

Pekik kematian melengking tinggi yang keluar dari mulut Datuk Beruang Hitam rupanya samar-samar terdengar oleh sepasang muda-mudi yang tak lain Raja Petir dan Mayang Sutera. Keduanya kontan saja menghentikan larinya.

"Kau dengar suara itu, Kakang?" tanya Mayang Sutera.

"Aku mendengarnya, Mayang. Sepertinya dari arah utara," jawab Jaka dengan kening berkernyit, seakan ingin memastikan arah tempat asal suara itu.

"Kita harus cepat ke sana, Kakang! Orang itu pasti membutuhkan pertolongan kita," usul Mayang Sutera.

"Ayo!" sambut Jaka menyetujui ucapan kekasihnya.

* * *

"Datuk Beruang Hitam?" desis Jaka mengenali sosok lelaki berwajah buruk yang tergeletak tanpa nyawa. Pada bagian dada hingga perut terlihat luka yang menganga lebar, hingga menampakkan isi perut yang terburai keluar.

"Hm...! Siapa pelaku semua ini?" gumam Mayang Sutera bertanya sendiri.

"Dari lukanya, aku bisa menarik kesimpulan kalau senjata yang digunakan sejenis pedang panjang," tukas Jaka menduga-duga.

"Samurai maksudmu, Kakang?" tanya Mayang Sutera.

"Ya. Dugaanku pelakunya orang yang telah membantai Ki Amongdrajat dan murid-muridnya," jawab Jaka mantap.

"Hh...!" Mayang Sutera menarik napas ge-

ram.

"Kepandaian mereka berarti cukuplah ting-

gi, Mayang. Kita tak boleh kehilangan kewaspadaan jika berhadapan dengannya!" tandas Raja Petir.

"Ayo kita teruskan pencarian ini, Kakang! Kurasa mereka belum jauh dari daerah ini," ajak Mayang Sutera dengan langkah kaki yang tergerak ke arah kelokan jalan sebelah kanan.

Raja Petir mengikuti saja arah jalan yang diambil kekasihnya. Ditelusurinya terus jalan memanjang yang ditumbuhi ilalang setinggi betis.

"Jalan buntu, Kakang," ucap Mayang Sutera kaget, larinya seketika terhenti lalu berbalik menghadap Raja Petir. "Seharusnya jalan kiri yang kita ambil," lanjutnya seperti menyesali.

"Tak mengapa, Mayang. Kita balik lagi saja jika begitu," putus Jaka setelah diyakininya kalau jalan yang diambilnya benar-benar salah.

"Hh!" Mayang Sutera membanting kakinya kesal. "Semakin jauh saja jadinya jarak kita dengan pembunuh Ki Amongdrajat," katanya menggerutu.

Raja Petir tak menimpali gerutuan Mayang Sutera. Langsung dibalikkan tubuhnya bermaksud kembali ke tempat semula. Namun....

Blrgrgrg !

Sesosok bayangan hitam berjumpalitan keluar dari arah kanan yang ditumbuhi pohonpohon jati cukup besar. Kemunculan sosok itu juga diiringi dengan sosok-sosok yang lain.

Srakk! Srakk!

Delapan sosok lelaki berpakaian serba hitam telah berdiri menghadang jalan Raja Petir dan kekasihnya.

"Hm...." Mayang Sutera menggumam dengan langkah kaki tetap terayun mensejajari kekasihnya.

"Mau apa kalian menghadang kami?" tanya Mayang Sutera kemudian. Tatapan matanya bergerak-gerak memandang delapan lelaki gagah. Di pinggang masing-masing tampak terselip sepasang pisau belati yang dihubungkan dengan rantai baja antara hulu satu dengan hulu yang lain. Sementara rantai baja itu sendiri dililitkan di pinggang.

"Kami mau hartamu dan dirimu, Nini Manis," jawab lelaki berambut kemerahan. Wajahnya tampan, namun sayang giginya tonggos.

"Kalau harta jelas aku tidak punya, Kisanak. Tapi kalau diriku, kurasa kau salah meminta," kilah Mayang Sutera dengan suara yang cukup tenang. "Tidak kenalkah kau dengan kawanku ini? Dia yang akan segera menghalangimu jika kau meminta diriku."

"Hm! Kalian berdua seperti anak seorang saudagar kaya. Dari dandanan kalian, dari pakaian kalian yang terbuat dari bahan yang mahal, aku yakin kalau di balik itu tersimpan harta berlimpah. Ayo, lucuti pakaianmu, aku ingin melihat!" pinta lelaki tonggos itu keras.

"Hei! Apa yang akan kau lihat?" tanya Mayang Sutera meledek. "Kalian ingin melihat kawanku marah, heh?!"

"Cepat!" bentak lelaki tonggos seperti tak peduli ucapan Mayang Sutera. "Baik! Tapi sebelumnya kalian harus tahu dulu, siapa aku juga kawanku. Mungkin kalian akan pergi atau lari terbirit-birit setelah mengetahui julukan kawanku ini," ucap Mayang Sutera.

"He he he...! Lucu juga kau, Anak Manis. Sebutkan saja apa julukan kawanmu itu," pinta lelaki berambut merah dengan gigi depannya yang maju ke depan.

Mayang Sutera yang memang tak berselera bertarung dengan delapan lelaki berpakaian hitam ketat segera saja menyebutkan julukan kekasihnya. Maksudnya tak lain agar delapan lelaki itu mengurungkan niatnya untuk membegal.

"Raja Petir? Ha ha ha...! Jadi kawanmu ini yang berjuluk Raja Petir? Hi hi hi..., mana mungkin! Mana mungkin kawanmu yang semuda ini sudah memiliki kehebatan dan keharuman nama seperti julukan Raja Petir! Kau pasti pendusta! Kau gunakan julukan Raja Petir untuk menakutnakuti kami. Cuh!" lelaki tonggos meludah dengan kasar ke tanah.

Raja Petir hanya tersenyum menyaksikan tingkah lelaki yang tak mempercayai bahwa dirinya pendekar yang begitu kesohor di kalangan rimba persilatan. Hal itu bisa dimaklumi karena mungkin orang itu hanya mengetahui nama julukan dari mulut orang-orang yang sesungguhnya juga belum pernah bertemu secara langsung. Biasanya mereka hanya tahu sebutan Raja  Petir dan sepak terjangnya dari mulut ke mulut.

"Kalau kalian tak percaya, terserah. Tapi jangan menyesal jika perbuatan kalian tak kuampuni!" gertak Mayang Sutera berusaha meyakinkan lelaki bergigi tonggos itu.

"Cuh! Ayo, serbu mereka!" perintah lelaki berambut merah dengan tangan terangkat memberi isyarat.

Tiga lelaki bertubuh pendek seketika meluruk maju membuka serangan kepada Mayang Sutera. Sedangkan empat lelaki yang lain bergerak cepat menyerang Jaka.

"Hyaa...!"

"Heaa...!"

Suara-suara pekikan keras seketika terdengar, seakan memecah keheningan ujung Desa Galuhnila yang ditumbuhi pepohonan jati. Pekikan keras yang diliputi kemarahan itu terdengar dari delapan lelaki berpakaian serba hitam yang menyebut mereka sebagai penguasa daerah itu. Mereka tak lain Gerombolan Begal Hutan Jati.

Dengan senjata sepasang belati, mereka merangsek Raja Petir dan Mayang Sutera.

"Hyaa...!" Wrrek! Wrett! Crakk!

Dengan gerakan melompat indah, Mayang Sutera menyongsong luncuran belati yang mengarah ke dadanya. Secepat kilat tangannya menangkap belati-belati itu, kemudian....

"Hih!" Blugk! "Aaa !"

Sebuah tendangan berputar yang dilakukan Mayang Sutera mendarat telak di dada lelaki bertubuh pendek hingga terdorong satu tombak ke belakang.

"Hoek!"

Darah segar pun muncrat dari mulut lelaki bertubuh pendek itu, sebelum akhirnya terkapar tewas.

Sementara pertarungan antara Raja Petir melawan empat lawannya terlihat seperti tak bersungguh-sungguh. Dalam beberapa kali gebrakan pendekar muda itu tak tampak memberikan serangan balasan. Hal itu membuat lawanlawannya kebingungan dan terlihat hampir putus asa. Sebab setiap kali serangan gencar dilancarkan selalu membentur tempat kosong. Gerakan sangat cepat yang dilakukan Raja Petir membuat mereka tak tahu ke mana lenyapnya sosok lelaki berpakaian kuning keemasan. Itulah kehebatan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang dikhususkan untuk menghindari serangan lawan dengan mengandalkan kecepatan gerak

"Hyaa...!"

"Heaat...!"

Dua lelaki berpakaian hitam kembali meluruk melancarkan serangan dengan senjata siap diayunkan ke tubuh Raja Petir. Namun hanya dengan hentakan kaki ringan ke tanah, tubuh Jaka sudah melesat mendahului.

"Kau tidur saja, Kisanak! Hih!" Tuk! Tuk!

"Uuh...!"

Bruk! Bruk!

Seketika kedua lelaki berpakaian hitam itu ambruk di tanah terkena totokan pada jalan darah. Keduanya tak mampu bangkit untuk melanjutkan pertarungan.

"Bangsat!" maki lelaki tonggos yang merupakan pimpinan dari Gerombolan Pembegal Hutan Jati. "Kau belum merasakan seranganku! Terima jurus 'Sepasang Belati Mengibas Gunung'-ku ini!" lanjutnya seraya memutar-mutar sepasang belati yang satu sama lain ditautkan dengan rantai baja.

Wuuk! Wuuk!

Raja Petir hanya menyaksikan saja lelaki tonggos itu memutar-mutar senjatanya. Dirinya tahu kalau jurus itu sama dengan yang digunakan kedua lawannya yang baru saja terkena totokan. Bedanya lelaki bergigi tonggos itu menggunakan jurus 'Sepasang Belati Mengibas Gunung' dengan kekuatan tenaga dalam yang lebih tinggi. Sehingga daerah sekitar tempat berputarnya dua bilah belati seperti terlanda angin ribut. Daundaun berguguran dari tangkainya dan batu-batu kerikil berpentalan, terlanda kekuatan angin putaran sepasang belati itu.

"Awaaas! Hiaa...!" Wuuk!

Tlak! Tlak!

Bunyi seperti benturan dua benda keras terdengar nyaring, ketika sepasang belati yang diputar dengan kekuatan tenaga dalam itu membentur dada Raja Petir.

Lelaki bergigi tonggos itu terkejut bukan kepalang. Semula di pikirannya terlintas kalau tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan akan koyak terhantam senjatanya.

"Hhh...!"

Lelaki bergigi tonggos menarik napasnya yang tersengal setelah mengerahkan jurus 'Sepasang Belati Mengibas Gunung' dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Tangan kanannya dirasakan linu setelah benturan itu terjadi.

"Bagaimana? Masih ingin menyerang lagi?" tanya Jaka dengan suara begitu tenang dan memperlihatkan kewibawaan yang membuat Ketua Gerombolan Pembegal Hutan Jati tak kuasa menjawab pertanyaannya.

"Ayo!" tiba-tiba saja lelaki berambut merah menggerakkan tangan dan memerintahkan teman-temannya untuk meninggalkan Raja Petir dan Mayang Sutera.

"Hai! Dua temanmu ini kenapa tak kau bawa serta?!" seru Jaka melihat dua lelaki yang tertotok jalan darahnya dibiarkan begitu.

Ketua Gerombolan Pembegal Hutan Jati dan anak buahnya sedikit pun tak menoleh. Mereka terus berlari tanpa memikirkan keadaan dua temannya yang masih terkulai lemas di tanah.

Raja Petir melangkah mendekati dua lelaki bertubuh pendek yang terkulai tak berdaya. Mata dua lelaki itu menyiratkan rasa ketakutan. Barangkali keduanya khawatir Jaka akan menghabisi nyawa mereka sekarang juga.

"Kalau aku orang jahat, mungkin esok pagi kalian tak akan dapat menikmati sinar matahari pagi. Sekarang juga tubuh kalian akan menjadi bangkai! Namun aku tak mungkin melakukan hal itu, Kisanak Kehidupan dan kebinasaan bukan berarti di tanganku dan aku tak punya hak untuk itu. Kehidupan dan kebinasaan hanya semata hak Tuhan Yang Maha Esa yang menentukan. Kita manusia tak ubahnya seperti boneka mainan yang setiap saat harus menerima apa yang diingini-Nya. Kalau Kisanak berdua sadar akan hal itu, maka tak akan menjadi anggota gerombolan pembegal yang selalu berurusan dengan perbuatanperbuatan merugikan orang lain," papar Jaka panjang lebar.

Dua lelaki bertubuh pendek berpakaian serba hitam itu hanya menundukkan kepala, namun dalam hati keduanya membenarkan ucapan Raja Petir.

"Ampunkan kami, Tuan Pendekar!" ucap salah seorang lelaki yang bermata sipit. Kepalanya sedikit terangkat untuk dapat menyaksikan wajah Raja Petir.

"Ya. Ampuni kami. Raja Petir!" sambut lelaki yang lain. Kepalanya juga terangkat untuk memandang wajah tampan pendekar muda itu. "Kami janji akan memisahkan diri dari Kakang Senagarta, kami akan keluar dari Gerombolan Pembegal Hutan Jati, kami akan kembali ke masyarakat sebagai orang baik yang selalu hidup saling hormat menghormati," lanjut lelaki berhidung besar dengan kepala menunduk penuh hormat.

"Kalian dapat memegang janji itu?" tanya Mayang Sutera tegas.

"Tentu  saja,  Nini,"  jawab  lelaki berhidung besar.

"Ya,  Nini,"  timpal  kawannya.  "Kami akan memegang janji itu."

"Kalau kalian mengingkari...?"

"Penggallah kepala kami, Nini! Kami rela," sahut lelaki bermata sipit sungguh-sungguh.

"Baiklah," sahut Jaka. "Siapa yang berdusta dengan janjinya, pasti akan termakan dustanya yang mengundang bahaya lebih besar. Kau ingat itu!" lanjutnya. Kemudian tangan kanannya terangkat dan meluncur cepat melepaskan totokan di tubuh dua lelaki berpakaian hitam itu.

Tuk! Tuk! "Akh!" "Aaa...!"

Dua lenguhan tertahan pun terdengar berturut-turut mengiringi menggelinjangnya tubuh dua lelaki yang tertotok tangan Raja Petir.

"Pergilah kalian, dan ingat janji itu!" perintah Mayang Sutera tegas.

"Baik Nini," sahut dua lelaki itu bersamaan. Keduanya bangkit lalu berlari meninggalkan Raja Petir dan Mayang Sutera.

"Hup!"

"Hup!"

Sesaat setelah kedua anak buah Gerombolan Pembegal Hutan Jati menghilang dari hadapannya. Raja Petir dan Mayang Sutera melanjutkan perjalanan yang sempat terhalang.

Hari sudah semakin tua usianya. Sinar jingga di ujung bagian barat sudah hampir menghilang, berarti malam akan segera tiba menggantikan sore. Hawa dingin pun mulai merambat menyelubungi bumi. Beberapa ekor kelelawar beterbangan mulai mencari mangsa.

"Kita cari penginapan dulu, Mayang," ujar Jaka dengan langkah kaki pendek sambil menuntun pergelangan tangan gadis cantik yang begitu dikasihinya.

"Ya. Besok pagi kita cari sepasang mudamudi yang telah membunuh Ki Amongdrajat dan beberapa muridnya," sahut Mayang Sutera dengan tatapan mata mesra jatuh ke wajah tampan Raja Petir.

***

6

Matahari baru beranjak dari peraduannya. Hutan Grantang yang masih dalam lingkup wilayah Desa Gedalewa terlihat mendapatkan sinar yang cukup. Terlebih jalan setapak yang membatasi Hutan Grantang dengan perumahan penduduk yang terlihat berjejer dengan jarak sekitar lima belas batang tombak.

Dua lelaki penduduk desa nampak berjalan sambil memperbincangkan sesuatu. Dari sikap dan pakaian mereka, jelas kedua penduduk desa itu termasuk orang persilatan. Atau paling tidak keduanya kini tengah menuntut ilmu pada salah satu perguruan yang ada di desanya. "Kasihan Ki Amongdrajat ya, Jat," ujar lelaki tinggi kurus yang mengenakan baju putih dan celana longgar warna hitam.

"Ya, kejadian benar-benar di luar dugaan...," sambut temannya yang bernama Jajat. "Tapi lebih kasihan lagi Kakang Satria. Baru tiga hari dia merasakan keindahan hidup berumah tangga, eh, sudah harus kembali menghadap Tuhan."

"Hm...! Sepasang muda-mudi yang bersenjata samurai itu pasti memiliki kepandaian yang tinggi, ya Jat. Bukrinya Ki Amongdrajat sendiri yang memiliki ilmu tinggi mampu dibinasakannya."

"Ya. Kalau tidak? Uh! Ki Amongdrajat mana bisa ditundukkan," timpal Jajat.

Ahyar manggut-manggut menimpali kebenaran ucapan Jajat. Keduanya pun terus melangkahkan kaki dengan pembicaraan yang tak lepas dari masalah kematian Ketua Perguruan Gelombang Timur. Cerita itu didengar dari guru mereka Ki Wanadara, yang juga berkawan akrab dengan Ki Amongdrajat.

"Yar!" tiba-tiba Jajat berseru kaget ketika melihat dua orang yang mendadak muncul dari kelokan jalan. Dua orang itu sepasang mudamudi yang mengenakan pakaian warna putih dan ungu. Di punggung keduanya tersampir senjata panjang dengan hulu berbentuk kepala seekor naga.

"Jat! Sepertinya...," Ahyar tak melanjutkan ucapannya, sementara matanya memperhatikan ciri-ciri sepasang muda-mudi yang terus berjalan semakin mendekat.

"Bisa kalian tunjukkan di mana letak perguruan yang dekat dari sini?" tanya gadis cantik berpakaian ungu yang tak lain Parameswari.

Jajat dan Ahyar tak segera menjawab pertanyaan gadis cantik itu.

"Jangan takut, kami tak akan berlaku kasar kalau kalian mau menunjukkan perguruan terdekat dari tempat ini," ujar Parameswari kemudian.

"Kalian seperti orang asing di tempat ini," tukas Jajat memberanikan diri. Ucapan itu seolah-olah keluar tanpa disadari. Mungkin karena rasa gentar yang tiba-tiba menyeruak di hatinya, setelah mengenali ciri-ciri yang dimiliki sepasang muda-mudi itu. Atau barangkali karena dirinya salah seorang murid Perguruan Banyu Biru. Dari ciri-cirinya, Ahyar dapat memastikan bahwa kedua orang asing inilah pembunuh Ki Lurah Amongdrajat dan menantunya.

"Kami memang orang asing di sini, karena itu kami bertanya pada Kisanak berdua," ujar Parameswari.

"Untuk apa kalian mencari perguruan di dekat sini...?" tanya Ahyar ingin tahu.

"Hm...." Parameswari bergumam tak jelas. "Apa untungnya kau mengetahui maksud kami?" balik Parameswari bertanya dengan nada ketus.

Ahyar tak menjawab pertanyaan gadis cantik berpakaian warna ungu itu.

"Katakan cepat!" bentak Parameswari. Wajah gadis cantik itu mulai memancarkan kebengisan.

Ahyar dan Jajat hanya membisu mendengar bentakan cukup keras itu. Tak sadar kaki keduanya telah mundur dua langkah.

"Hm...," kembali Parameswari bergumam menyaksikan kelakuan dua lelaki yang ditanyainya.

Sring!

Dengan kecepatan yang mengagumkan, Parameswari meloloskan samurai dari warangkanya. "Jika kalian tak mau bicara! Samurai inilah

yang akan bicara!" gertak Parameswari menuding wajah Ahyar dan Jajat dengan samurainya.

Ahyar dan Jajat yang sudah bisa membaca maksud buruk sepasang muda-mudi itu tetap membungkam. Kenyataan itu membuat Parameswari naik pitam. Maka tanpa banyak cakap gadis cantik itu melesat cepat dengan samurai teracung ke udara.

"Haiit...!" Wuut!

Bret! Bret! "Aaa...!"

"Akhkh...!"

Hanya dalam satu gebrakan kedua pemuda murid Perguruan Banyu Biru itu telah roboh di ujung samurai Parameswari. Kedua warga Desa Gedalewa itu terkapar tak bernyawa dengan dada terbelah. Pakaian mereka basah berlumuran darah.

"Hh...!" Parameswari menarik napas dalam setelah membersihkan ujung samurai dengan pakaian dua lelaki yang telah dibunuhnya.

"Ayo, Kak Bucho! Kita lanjutkan pencarian pendekar-pendekar desa ini," ajak Parameswari dalam bahasa yang hanya dimengerti mereka berdua.

"Hayo!" sambut lelaki bermata sipit yang mengenakan pakaian putih longgar. Rambutnya yang tergerai nampak bergerak-gerak dihembuskan angin siang itu.

Sepasang muda-mudi yang sejak kedatangannya telah menghebohkan kalangan persilatan itu berjalan ke arah timur Desa Gedalewa. Sepasang samurai yang tersampir di punggung mereka, membuat keduanya dikenal sebagai Sepasang Samurai Maut.

"Kau lihat Kak Bucho, bangunan itu seperti apa?" tanya Parameswari pada Buchohanco dengan telunjuk menunjuk sebuah bangunan megah yang dari bentuknya layak disebut sebagai sebuah perguruan.

"Seperti sebuah perguruan, Wari," jawab Buchohanco dalam bahasa asing.

"Yah. Berarti sekarang kita akan berpesta, membantai pendekar-pendekar yang berada di dalam perguruan itu. Hi hi hi...! Ayo, Kak Bucho!"

Parameswari menarik tangan lelaki bermata sipit dengan sikap yang terlihat mesra. Dan lelaki itu dengan segera mengikuti ajakan wanita cantik yang tak lain kekasihnya.

* * *

"Kami ingin bertemu pimpinan perguruan ini," ujar Parameswari setelah langkah kakinya sampai di dekat bangunan yang ternyata sebuah perguruan. Pada sebuah batu sebesar kerbau nampak nama perguruan tertulis dengan jelas. Banyu Biru.

"Siapa kalian dan ada perlu apa ingin bertemu dengan ketua kami?" tanya lelaki bertubuh tinggi tegap. Lelaki yang bersenjata sebilah golok besar itu tampaknya penjaga gerbang perguruan.

"Lancang sekali kau ingin mengetahui urusan gurumu sendiri!" sahut Parameswari dengan suara ketus. "Kau belum pantas menjadi seorang murid jika sikapmu seperti itu," lanjutnya dengan suara membentak keras.

Lelaki penjaga Perguruan Banyu Biru tersentak kaget mendapatkan bentakan seperti itu. Maka dengan sikap gagah penjaga gerbang itu maju satu langkah.

"Kalian yang tak tahu tata kesopanan! Seharusnya kalian tahu apa kedudukan orang seperti kami yang bertugas menjaga keamanan perguruan ini! Sudah sewajarnya kalau kami ingin tahu tujuan kedatangan kalian ke sini. Dan hal ini sudah mendapat restu dari pimpinan kami," balas penjaga pintu gerbang Perguruan Banyu Biru dengan kata-kata yang terdengar mantap dan tegas.

"Hm..., begitu?" gumam Parameswari dengan tatapan dingin menusuk

Srat! Bret! "Aaa...!"

Pekik melengking tinggi kontan keluar dari mulut lelaki penjaga yang bertubuh tegap itu. Dadanya telah koyak, tersambar ujung samurai yang digerakkan Parameswari dengan kecepatan sukar diikuti tatapan mata biasa.

Saking cepatnya sambaran senjata gadis berpakaian ungu, penjaga gerbang itu tak sempat bergerak dari tempatnya dan langsung ambruk tanpa nyawa. Kenyataan itu membuat penjaga yang lain segera menghunus senjata mereka yang berupa golok-golok besar.

"Perempuan setan!" maki penjaga bertubuh tinggi kurus. Goloknya sudah terangkat melewati kepala dengan kuda-kuda siap melakukan serangan.

"Hiaatt...!" "Tahan!"

Sebuah bentakan keras sempat menghentikan maksud lelaki bertubuh tinggi kurus. Dan seorang lelaki tua yang tak lain Ki Wanadara telah melompat menghadapi Sepasang Samurai Maut.

"Kau pemimpin perguruan ini?" tanya Parameswari dengan samurainya masih tergenggam erat di tangan.

"Ya. Ada urusan apa hingga kalian membuat kekacauan di sini?" balik Ki Wanadara dengan sikap memperlihatkan kewibawaannya sebagai Ketua Perguruan Banyu Biru.

"Aku putri tunggal Ki Tambak Seta. Jika kau mengingat atau pernah kenal nama itu, berarti kau tahu pula julukan ayahku. Dengan begitu kau mengetahui pula kejadian yang telah menimpanya, serta Perguruan Selimut Iblis...," ujar Parameswari tegas.

"Tambak Seta...!" ulang Ki Wanadara dengan raut wajah menyimpan keterkejutan.

"Ya. Tambak Seta!" tegas Parameswari. "Kurasa nama Tambak Seta tidaklah hanya

satu di jagad yang amat luas ini, Nisanak. Sebutkan Tambak Seta mana yang kau maksudkan, dan apa nama julukannya!" pinta Ki Wanadara berupaya menutupi keterkejutannya. Sesungguhnya lelaki tua itu merasa pernah kenal dengan Tambak Seta, bahkan pernah menyatroni perguruannya pada belasan tahun silam. Namun apakah Tambak Seta yang dimaksudkan gadis cantik berpakaian ungu di hadapannya adalah Tambak Seta yang pada belasan tahun silam pernah membuat heboh dengan sepak terjangnya? Pikir Ki Wanadara mulai bertanya-tanya.

"Dengar baik-baik, Tua Bangka!" ujar Parameswari ketus. "Dari keterkejutanmu ketika kusebutkan nama Tambak Seta, aku bisa menarik kesimpulan kalau kau pernah mendengar namanya. Atau bahkan kau ikut bersekongkol melenyapkan keluarga dan perguruannya! Tambak Seta ayahku, tokoh yang berjuluk Iblis Kematian dan ibuku yang berjuluk Dewi Perenggut Nyawa. Sedangkan perguruannya belasan tahun silam secara tak adil dibumihanguskan oleh para pendekar sekadipaten Sunyilaga. Kau tentunya pernah mendengar nama Perguruan Selimut Iblis," sambung Parameswari dengan tatapan mata membara memperlihatkan dendamnya yang sekian lama terpendam.

"Jadi..., kau yang telah menyingkirkan,Ki "

"Ya. Dan sekaranglah giliranmu. Bersiap-

lah!" sergah Parameswari sambil dengan perlahan tapi mantap mengangkat samurainya melewati bahu.

Ki Wanadara dalam keadaan diliputi rasa terkejut menarik mundur langkahnya, mempersiapkan kedudukan untuk menjaga kemungkinan yang paling buruk. Tangan kanannya tampak sudah mulai meraba hulu senjatanya yang berupa cambuk berwarna biru gelap.

"Jaga seranganku, Ki! Hiaatt...!"

Parameswari langsung bergerak dengan tangan menebaskan samurai terarah ke dada Ketua Perguruan Banyu Biru itu.

Wuung...!

"Yaps! Heaa!"

Ki Wanadara menghentakkan kaki ketika serangan itu mencapai depan dadanya. Seketika tubuh lelaki tua itu mencelat ke udara. Sementara tangannya dengan cepat meloloskan cambuk yang terlilit di perut. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam yang tak tanggung-tanggung, Ketua Perguruan Banyu Biru itu menghentakkan cambuknya.

"Hih!"

Wuut! Wuutt...!

Ctar! Ctar...!

"Aits...!"

Gantian Parameswari yang melompat ke belakang. Gerakan yang dilakukannya tampak sangat indah dan ringan, bahkan mendaratnya pun tak menimbulkan suara yang berarti.

Pada saat Parameswari baru menjejakkan kakinya di tanah, dua orang murid Perguruan Banyu Biru telah menyongsongnya dengan tebasan dan tusukan golok besar, terarah ke pinggang dan dadanya.

"Hiaatt...!"

"Hyaa...!" Bet! Wut!

Kejelian dan kecepatan gerak yang dilakukan gadis cantik berpakaian warna ungu itu sempat membuat serangan yang dilancarkan dua murid Perguruan Banyu Biru hanya membentur tempat kosong. Bahkan sebaliknya, sekali saja Parameswari menggerakkan tangannya yang menggenggam samurai, dua pekik kematian berturut-turut memecah suasana pelataran perguruan itu.

Bret! Bret! "Akhkh...!"

"Aaa...!"

Dua tubuh berpakaian serba biru itu seketika berkelojotan di tanah dengan dada terkoyak. Darah segar pun mengucur membasahi tubuh mereka.

"Perempuan iblis!" maki Ki Wanadara menyaksikan kematian dua orang muridnya. Mata lelaki setengah baya yang mengenakan pakaian biru itu membelalak murka. Matanya membara seperti mata naga terluka.

"Hih! Haaiit...!"

Kemarahan Ketua Perguruan Banyu Biru tak terkendalikan. Tubuhnya melesat cepat dengan pecut yang siap dihentakkan ke kepala gadis Parameswari. Namun sebelum niat Ki Wanadara kesampaian, Buchohanco si lelaki bermata sipit pun bergerak dari samping kanan.

"Hoaatt...!" Wuung! Tas! "Heh?!"

Ki Wanadara terkejut bukan kepalang mendapatkan senjatanya putus menjadi dua, tersambar samurai Buchohanco. Tubuhnya pun terdorong mundur ketika dua senjata itu bertemu di udara. Jelas menandakan kalau tenaga dalamnya berada di bawah tenaga dalam pemuda berpakaian serba putih itu.

"Hih...!"

Meski agak goyah, Ki Wanadara berhasil mendarat di tanah. Tatapan matanya tetap tertuju pada wajah lelaki berambut panjang tergerai dan bermata sipit itu.

"Hebat sekali tenaga dalamnya," batin Ki Wanadara seraya menghela napas dalam-dalam berusaha menenangkan perasaan.

Sementara Buchohanco yang juga sudah mendaratkan kakinya dengan kedudukan kudakuda sempurna, tampak menatap tajam wajah Ki Wanadara dengan sorot mata yang penuh nafsu membunuh. Senjatanya segera diletakkan menyilang di depan dada.

"Hrgr...!"

Buchohanco menggereng keras. Kedua tangannya mengangkat samurai tinggi-tinggi. Lelaki bermata sipit dari negeri Jepang itu bersiap menyerang Ki Wanadara yang sudah tanpa senjata.

"Hoaatt...!"

***

7

Pekikan keras terdengar mengiringi melesatnya sosok lelaki berpakaian putih dengan senjata yang berputar cepat hingga menimbulkan deru angin.

Ki Wanadara sempat terkesima menyaksikan kecepatan gerak lawan dan kehebatan perputaran samurai. Namun kemudian tubuhnya melenting ke udara untuk mengelakkan serangan secepat kilat itu. Lelaki tua berpakaian serba biru itu ternyata masih mampu mempertunjukkan kebolehannya.

"Yaps!" Wuung!

Sambaran senjata Buchohanco hanya membentur tempat kosong. Namun Ki Wanadara sempat menghela napas ketika merasakan betapa kuat sentakan angin yang timbul dari babatan samurai itu. Buchohanco yang mendapatkan serangannya berhasil dipatahkan lawan nampak semakin geram. Mata pemuda itu semakin jelas menyiratkan hawa membunuh yang kian bergejolak. Maka segera saja dia menyiapkan serangan susulannya.

"Hoaatt...!"

Tubuh Buchohanco melesat dengan gerakan lebih cepat. Perputaran samurainya pun menimbulkan deru yang lebih kuat. Namun....

Wuung! Trang! "Osh!"

Pemuda bermata sipit itu tersentak kaget. Tubuhnya terpental balik sebelum sempat menyambar tubuh Ki Wanadara. Suara dentangan tadi ternyata ditimbulkan sebuah benda kecil yang meluncur dengan kecepatan tinggi dan membentur samurainya. Benturan itu seakan mengandung suatu kekuatan dahsyat hingga membuat tubuh Buchohanco terpental ke belakang. Pemuda berpakaian serba putih itu bersalto di udara demi mementahkan daya dorong akibat benturan dua tenaga yang cukup kuat.

Jligk! "Hrgghg !"

Buchohanco menggeram seraya menatap tajam sesosok tubuh berpakaian kuning keemasan yang mendadak sudah berada di samping kiri Ki Wanadara. Tatapan matanya membara penuh kemarahan.

Ki Wanadara yang melihat kehadiran Raja Petir merasakan kelegaan hati. Ketua Perguruan Banyu Biru menyadari bahwa dirinya tak akan mampu menghadapi permainan samurai pemuda asing itu. Namun terhadap Raja Petir, pemuda Jepang itu belum tentu dapat berbuat sekehendak hatinya.

"Untung kau cepat dating, Raja Petir. Kalau tidak..."

"Lupakan itu, Ki!" potong Jaka dengan tatapan mata tak lepas pada wajah dingin Buchohanco.

Parameswari yang menyaksikan kehadiran sosok Jaka segera saja bergerak mendekati Buchohanco. "Jadi kau yang berjuluk Raja Petir?" tanya gadis cantik berwajah ayu itu.

"Orang-orang menyebutku begitu...," jawab Jaka dengan suara datar.

"Hm...!" Parameswari bergumam tak jelas, lalu tatapan matanya dialihkan ke arah wajah Buchohanco.

"Kita harus berhati-hati menghadapi orang yang satu ini, Kak Bucho," ujar Parameswari dengan bahasa yang tak dimengerti oleh Jaka, Ki Wanadara, juga Mayang Sutera yang sudah berdiri di samping kekasihnya.

"Ya. Aku sudah mengetahuinya dari tenaga yang disalurkan melalui kerikil untuk menggagalkan maksudku melenyapkan tua bangka itu!" jawab Buchohanco.

"Raja Petir!" panggil Parameswari dengan suara kasar. "Kalau selama ini pendekarpendekar di Tanah Jawa ini tak kuasa mengimbangi ilmu kedigdayaan yang kau miliki, itu tak akan berlaku bagi diriku. Apalagi terhadap Kak Bucho. Sepasang Samurai Maut akan segera mengubur dirimu yang besar kepala karena bisa melemparkan kerikil." Parameswari tersenyum sinis lalu mencibirkan bibirnya.

Terhadap ucapan gadis cantik berpakaian ungu itu. Raja Petir hanya mengembangkan senyum sebelum membalas perkataannya yang terkesan begitu merendahkan.

"Aku memang tak memiliki kepandaian apa-apa, Nini. Karena aku hanyalah seorang manusia yang lemah. Aku tahu, hanya Tuhan yang memiliki kepandaian paling tinggi. Segala bentuk kepandaian adalah kepunyaan-Nya. Maka janganlah sesekali bersombong diri hanya karena memiliki senjata samurai. Senjatamu hanya pantas digunakan untuk memotong rumput, Nisanak," ucap Jaka membalas perkataan Parameswari yang merendahkan.

"Banyak cakap juga kau rupanya, Raja Petir. Tapi tak apa, puaskanlah kau berbicara, sebentar lagi dirimu akan terkubur oleh ketajaman dan kehebatan Sepasang Samurai Maut," kilah Parameswari seraya memamerkan samurainya.

"Akan kuhadapi samuraimu dengan tangan kosong, Nini," tantang Jaka memancing kemarahan gadis cantik berbaju ungu.

"Kurang ajar! Kupotong lidahmu, Keparat!" hardik Parameswari dengan kaki maju selangkah. Seiring dengan terangkatnya kaki Parameswari, Mayang Sutera yang berdiri di sisi Raja Petir pun melakukan hal yang sama.

"Biar aku yang menghadapinya, Kakang! Kau hadapi saja lelaki sipit itu!" pinta Mayang Sutera tegas.

Raja Petir tak menimpali permintaan kekasihnya. Namun kepalanya meneleng ke kanan dengan tangan tergerak ke muka memberikan isyarat bahwa dirinya tak keberatan Mayang Sutera menghadapi Parameswari.

"Hips!"

Tiba-tiba tubuh Mayang Sutera melesat cepat keluar dari pelataran Perguruan Banyu Biru. Gerakannya yang ringan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa merupakan peringatan bagi Parameswari agar tak meremehkan dirinya.

"Hm...!" Parameswari bergumam tak jelas. "Hop!" dengan hentakan kaki dia menyusul sosok Mayang Sutera yang telah keluar dari pekarangan perguruan milik Ki Wanadara.

Jlig!

"Ternyata kau punya kebolehan juga, Nini," gumam Parameswari setelah kakinya mendarat di hadapan Mayang Sutera dengan jarak hampir dua tombak.

"Kau pikir cuma kamu perempuan yang memiliki kepandaian, heh?!" balas Mayang Sutera ketus.

Parameswari tak membalas ucapan kekasih Raja Petir. Hanya tatapan matanya yang tertuju lurus ke wajah cantik gadis bergaun jingga itu.

Mayang Sutera pun segera membalas tatapan tajam Parameswari. Sehingga dalam beberapa saat kedua gadis cantik itu terlibat saling tatap dengan sikap siap bertarung.

* * *

Sementara Mayang Sutera dan Parameswari terlibat pertarungan yang menentukan hidup dan mati, di lain tempat terjadi juga hal yang sama. Nampak Raja Petir tengah memperlihatkan kemampuannya di hadapan pemuda bersenjata samurai itu.

"Keluarkan seluruh kemampuanmu mempermainkan samurai butut itu!" tantang Raja Petir.

"Ngh...!"

Buchohanco meski tak mengerti ucapan lawan, bisa membaca sikap mengejek yang dilakukan Raja Petir. Seketika gerengan kemarahan pun terdengar dari mulutnya.

"Hoaatt...!"

Tubuh lelaki berjubah putih itu melesat seiring dengan pekik kemarahannya. Lesatannya yang cepat membuat rambut panjangnya berkibar-kibar. Sementara samurainya diputar hebat hingga menjelmakan angin kencang yang menimbulkan deru yang sangat keras.

Wrr...!

Wuung! "Eits! Hea...!"

Raja Petir segera melesat dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir', ketika ujung samurai Buchohanco sejengkal lagi menyentuh kulitnya. Tubuh Jaka sudah melesat bagai lidah petir.

Namun Buchohanco bukanlah jenis pemuda yang mudah menyerah. Meski serangannya hanya menyambar tempat kosong, dengan gerakan yang tak terbaca lawan sebuah serangan susulan kembali dikirim dengan cepat dan beruntun.

Wung! Wuung!

Berturut-turut ujung samurai Buchohanco mencecar dada Raja Petir. Kenyataan itu membuat pendekar muda berpakaian kuning keemasan itu harus melenting ke udara menghindari maut yang mengincar nyawanya.

Tanpa membuang-buang waktu, Buchohanco memburu tubuh Raja Petir. Dua tubuh kini nampak di udara saling kejar. Kecepatan gerak kedua pemuda itu membuat tubuh mereka tampak seperti bayangan kuning dan putih saling berkelebat.

"Hhh...! Hebat sekali ilmu samurai lelaki sipit itu," gumam Raja Petir di tengah perputaran tubuh yang dilakukannya. "Kecepatan dan tenaga dalamnya pun hebat."

Ternyata Buchohanco pun merasakan hal yang sama. Meski tak henti-henti dia menebasnebaskan samurainya, hati pemuda Jepang itu memuji kehebatan lawan dalam menghindari setiap serangan yang mengandung hawa kematian. Sungguh, baru kali ini Buchohanco mendapatkan perlawanan yang berarti. Selama ini orang yang menjadi lawannya hanya mampu bertahan dalam lima atau enam kali tebasan samurainya.

"Hebat sekali dia! Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna," kata hati Buchohanco memuji. "Akan kucoba terus. Mampukah dia bertahan terus dalam kedudukan tercecar."

"Hoaatt...!" Wuuung! Wuung!

Buchohanco terus membabatkan samurainya dengan kekuatan tenaga dalam yang semakin ditambah. Sasarannya kali ini adalah leher Raja Petir. Entah bagaimana akibatnya jika sambaran itu mengenai sasaran.

Namun Raja Petir yang sudah mulai mampu membaca arah sambaran samurai lawan, secepat kilat bergerak ke kanan. Setelah itu segera dihentakkan kakinya kuat-kuat hingga tubuhnya melenting ke atas melewati ujung samurai Buchohanco.

Pada saat itulah Raja Petir merubah siasat pertarungan. Semula dirinya hanya bertahan dengan jurus 'Lejitan Lidah Petir', kini ganti memberikan serangan balasan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.

"Hiaa...!"

Tubuh Raja Petir meluruk turun dengan kecepatan bagai gerakan elang raksasa menyambar anak ayam. Kedudukan tangan kirinya berada di depan hendak menebas leher lawan.

Bet! Wuung!

Di luar dugaan, Buchohanco melakukan gerakan cepat dengan memindah samurainya ke tangan kiri. Lalu dengan gerakan cepat menebaskannya untuk memapak sambaran tangan lawan.

Melihat apa yang dilakukan lawannya, tangan kanan Raja Petir yang semula dipersiapkan untuk menghantam dada Buchohanco akhirnya digerakkan cepat untuk menghalau sambaran samurai yang mengancam lambungnya.

"Hih!" Plak! "Aaakh!"

Buchohanco terpekik ketika sambaran tangan kanan Raja Petir menghantam siku kirinya. Tubuhnya terdorong dua langkah ke belakang. Samurainya terlepas jatuh ke tanah.

Pada saat itu pula tubuh Raja Petir melesat untuk melancarkan serangan susulan dengan tendangan terarah ke pinggang Buchohanco.

"Hiaa...!" Blugk!

Tendangan Raja Petir menghantam telak pinggang kanan Buchohanco. Tubuh pemuda yang terbalut pakaian putih itu terjungkal lalu bergulingan ke tanah.

Patut dipuji daya tahan lelaki dari negeri Jepang itu. Tubuhnya serta-merta bangkit, meski tendangan keras telah menghantam telak pinggangnya. Namun kebangkitannya kali ini tidak untuk melakukan serangan. Buchohanco hanya berdiri dengan sikap kuda-kuda rendah dan tangannya diletakkan di depan dada.

Mata Buchohanco tiba-tiba beralih menatap samurainya yang tergeletak di tanah. Mendadak senjata itu bergerak. Seperti ada yang memerintah samurai itu melesat melakukan tebasan dahsyat ke tubuh Raja Petir. Ki Wanadara dan beberapa orang muridnya yang menyaksikan pertarungan dari pelataran Perguruan Banyu Biru tersentak menyaksikan kehebatan ilmu yang dimiliki lelaki bermata sipit itu. Tatapan mereka terpaku pada samurai yang mampu bergerak sendiri.

"Heh?! Aits!"

Raja Petir yang juga terkejut menyaksikan keanehan ilmu Buchohanco, langsung melenting ke udara. Namun samurai yang diduga digerakkan dengan kekuatan batin itu terus mengejar, ke mana pun tubuhnya bergerak menghindar.

"Hhh...! Akan kucoba kehebatan samurai ini dengan 'Aji Kukuh Karang'," ujar Jaka dalam hati. Maka ketika tubuhnya kembali mendarat, sebuah ajian yang dahsyat pun sudah tercipta. Mendadak bagian dada hingga kepala Raja Petir terbungkus sinar kuning menyilaukan mata, begitu pula pada bagian lutut hingga ujung kaki. Dan ketika samurai melesat memburu tubuhnya, maka....

Wuung! Jraps!

Samurai yang digerakkan Buchohanco dengan mengerahkan kekuatan tenaga batin menempel di tubuh Raja Petir. Lelaki bermata sipit itu terkejut bukan kepalang. Sehingga tak sadar matanya menatapi samurai yang menempel pada tubuh lawan.

Pada saat itulah dengan kekuatan yang dahsyat, Raja Petir menghentakkan samurai yang menempel di tubuhnya.

"Hiaaa...!" Brett! Wuuung! Crab! "Aaakh...!"

Buchohanco terpekik ketika samurainya dengan kecepatan yang tak terduga, menghunjam telak di dadanya. Tubuh lelaki bermata sipit itu langsung terjungkal di tanah. Nyawanya melayang termakan senjata miliknya sendiri.

"Kak Bucho!"

Parameswari berteriak kuat ketika mendengar jerit kematian kekasihnya. Dibiarkan saja Mayang Sutera. Kini gadis cantik berpakaian ungu itu berlari menghampiri tubuh Buchohanco yang terkapar kaku dengan samurai terhunjam di dadanya.

"Kak Bucho! Kita akan pergi bersamasama," teriak Parameswari dengan isak tangis yang memilukan.

Raja Petir dan Mayang Sutera tak berbuat sesuatu, keduanya hanya berdiri di tempat masing-masing memandangi kelakuan Parameswari.

"Kau memang hebat, Raja Petir," tukas Parameswari dengan tatapan tajam menusuk ke wajah Jaka. "Karena kehebatanmu yang telah berhasil membinasakan Buchohanco, maka aku bukan apa-apa lagi bagimu. Aku akan pergi bersama Kak Bucho kekasihku. Hih!"

Sreet!

Raja Petir dan Mayang Sutera terkejut menyaksikan tangan kanan Parameswari yang menggenggam samurai bergerak ke atas. Dengan cepat, gadis cantik itu menggorok lehernya sendiri.

"Ukh...!"

Parameswari mengerang perlahan. Tubuhnya berkelojotan sesaat lamanya. Dan ketika darah yang memancur dari lehernya bertambah banyak, nyawanya pun segera berpindah ke alam lain.

"Begitu setia dia pada kekasihnya, Kakang," gumam Mayang Sutera dengan kaki yang semakin mendekati Raja Petir.

"Kesetiaan yang salah, Mayang," sangkal Jaka pelan. "Seharusnya dia tak bunuh diri. Bukankah tobat jalan yang paling terbaik?" lanjutnya seraya menoleh wajah kekasihnya.

Mayang Sutera tak menjawab ucapan Raja Petir. Tampak gadis itu menatap sosok kaku Sepasang Samurai Maut dengan penuh iba. Kemudian matanya beralih menatap wajah Raja Petir.

"Begitulah manusia, Kakang," ucapnya pelan dengan tangan menarik tangan sang Kekasih.

TAMAT



No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 23: Sepasang Samurai Maut"