Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 23: Sepasang Samurai Maut
Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 23: Sepasang Samurai Maut
1
Siang itu pesisir pantai Laut
Selatan yang terletak di wilayah timur. Kadipaten Sunyilaga, nampak diramaikan
oleh kuli-kuli panggul. Belasan orang lelaki yang rata-rata bertubuh kekar
dengan otot-otot bersembulan tengah sibuk melaksanakan pembongkaran muatan dari
sebuah kapal yang baru saja berlabuh.
"Ayo! Angkut..! Hati-hati
kalian! Itu barangbarang langka dan mahal, jangan sampai pecah!" teriak
seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengatur para kuli yang sedang menurunkan
barangbarang dari kapal yang cukup besar itu.
Lelaki berwajah keras dengan
kumis lebat melintang itu terus berteriak-teriak. Sesekali dirinya pun turut
membantu membetulkan panggulan agar tak membahayakan dalam perjalanan turun.
"Hati-hati! Kalau sampai
jatuh kau bisa dihukum oleh Ki Amongdrajat," ujar lelaki berkumis lebat
setelah membetulkan letak barang yang dipanggul kuli bertubuh sedang.
"Terima kasih, Kakang
Salandra!" sahut lelaki itu lalu kembali meneruskan pekerjaannya.
Lelaki berkumis lebat yang
ternyata bernama Salandra terus melaksanakan tugas Ki Amongdrajat untuk
mengatur pembongkaran kapal yang bermuatan guci-guci porselin.
"Uuuh...!" ketika
sampai pada pengangkutan yang terakhir, Salandra baru merasakan kalau tubuhnya
begitu letih. Namun rasa letihnya dapat terhapus setelah melihat pekerjaan itu
begitu mulus. Para pekerja pelabuhan yang dipimpinnya semua bekerja dengan
baik. Tak satu pun barang-barang bernilai tinggi itu yang rusak atau pecah.
Hati lelaki berusia empat puluh tahunan itu merasa puas.
"Cara kerjamu bagus
sekali, Salandra!" puji Ki Amongdrajat, yang duduk bersama Salandra di
pendopo. Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu menatap wajah anak buahnya
dengan mata berbinar penuh kegembiraan.
Salandra yang mendapatkan
pujian dari orang yang sangat dihormatinya hanya menundukkan kepala. Namun
tentu saja hatinya begitu senang mendengarkan kalimat yang mengalir dari mulut
Ketua Perguruan Gelombang Timur itu.
"Semoga benda-benda unik
ini menebarkan daya tarik tersendiri di hati semua tamu kita pekan depan,
Salandra," lanjut Ki Amongdrajat yang juga menjabat sebagai Kepala Desa
Pasir Putih.
"Mudah-mudahan begitu,
Ki," sahut Salandra dengan kepala sedikit terangkat.
"Ya. Dengan begitu, pekan
depan kita punya dua acara yang pasti akan membuahkan kegembiraan besar.
Pertama, adalah berhasilnya perayaan perkawinan Nuning Mutiara dengan Raden Mas
Satria Aji. Dan yang kedua, pelelangan guci-guci antik yang bakal mendatangkan
keuntungan besar. Kau akan kuberi imbalan yang memuaskan, Salandra," ujar
Ki Amongdrajat berjanji.
"Ah, aku tak terlalu
mengharapkan itu, Ki. Asalkan rencana-rencana kita berjalan baik pun aku sudah
turut merasa gembira...," tukas Salandra menanggapi janji Ketua Perguruan
Gelombang Timur itu.
Ki Amongdrajat merasa
tersentuh juga mendengar ucapan Salandra.
"Terima kasih kalau
begitu, Salandra. Kau memang muridku yang paling setia berbakti," puji Ki
Amongdrajat menambahi. "Ah, sudah, beristirahatlah dulu! Kau nampak sangat
letih," ujarnya kemudian seraya mengangguk-anggukkan kepala, Tanpa ada
ucapan yang keluar, lelaki ber kumis melintang itu segera beranjak dari hadapan
pimpinannya yang berpakaian warna coklat
mengkilat
***
Berbagai bentuk kebahagiaan
dicurahkan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk makhluk ciptaanNya. Berbagai cara rasa
bersyukur pun diungkapkan. Begitu pula yang dilakukan Ki Amongdrajat. Kepala
Desa Pasir Putih itu tengah berbahagia atas pernikahan putri tunggalnya, Nuning
Mutiara dengan Raden Mas Satria Aji, putra bungsu Ki Wiracakrana Kepala Desa
Kadipara.
Ki Amongdrajat berkali-kali
mengucapkan rasa syukur atas curahan kebahagiaan itu. Di samping ungkapan itu
tak henti-henti melantun dan bergema dalam hatinya, rasa syukur pun
dicurahkan dalam bentuk
penyambutan sebaikbaiknya dengan sikap yang paling ramah dan wajah
berseri.
Kegembiraan dan penyambutan
yang ramah pun dilakukan oleh Kepala Desa Kadipara. Wajah lelaki yang berusia
hampir setengah abad itu nampak berseri-seri. Pakaian yang dikenakan pun
merupakan pakaian terbaik. Sebuah setelan berpotongan bagus dengan bahan yang
terbuat dari benang sutera pilihan.
"Selamat datang! Selamat
datang...!" "Selamat datang, silakan duduk!" sambut
Ki Amongdrajat dan Ki
Wiracakra dengan tangan menyambut uluran tangan para tamu yang datang. Senyum
di wajah dua lelaki yang bersahabat sejak usia remaja itu tak henti-hentinya.
Sikap ramah dan sopan itu tentu saja membuat para undangan senang hati
mendapatkan penyambutan yang hangat.
Ternyata bukan hanya
orang-orang biasa yang menjadi tamu Ki Amongdrajat. Tampak pula tokoh-tokoh
persilatan yang diundang turut menghadiri pesta perkawinan kedua putra lurah
itu.
Hal semacam itu bukan suatu
keanehan, karena Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana tidak hanya berkedudukan
sebagai kepala desa. Kedua lelaki berusia sebaya itu juga menjabat sebagai
Ketua Perguruan Gelombang Timur dan Lempengan Cakra Perak
Dari tokoh-tokoh persilatan
yang hadir, baru terlihat Ki Wanadara Ketua Perguruan Banyu Biru, Ki Regajala
Ketua Perguruan Golok Suci, Ki Pariwita Ketua Perguruan Pedang Sukma, dan Ketua
Perguruan Tongkat Naga, Ki Sugrida. Keempat tokoh persilatan aliran putih itu
kini terlibat perbincangan akrab. Terlebih ketika tuan rumah ikut menemani
setelah menyambut tamu-tamu yang lain.
"Kalau boleh aku tahu,
acara apa saja yang hendak kau suguhkan nanti, Ki Among?" tanya lelaki
tinggi kurus yang mengenakan pakaian warna biru laut. Dialah Ki Wanadara, Ketua
Perguruan Banyu Biru.
"Yah..., tidak banyak
acara yang kubuat, Ki Wanadara," jawab Ki Amongdrajat dengan senyum yang
tak lepas dari wajahnya. "Selain menyuguhkan tamu-tamu kehormatanku dengan
jamuan ala kadarnya, dua macam pertunjukan akan kupertontonkan pada hari yang
berbahagia ini.
"Apa itu Ki Among?"
tanya Ki Regajala. "Yang pertama, aku ingin kalian menilai,
sejauh mana kepandaian
murid-muridku yang akan memperagakan ilmu yang mereka peroleh selama kurun
waktu lima tahun. Tentu saja diselingi juga pertarungan antara murid-murid
terbaik dengan para tamu yang ingin mencoba kemampuan mereka. Namun dalam hal
ini, batas kesopanan dan adab tetap menjadi pegangan nomor satu. Tak
kuperkenankan adanya pertumpahan darah di atas panggung sana," ucap Ki
Amongdrajat dengan jari telunjuk yang tertuju ke ruang paling besar Perguruan
Gelombang Timur.
Mata para tamu dari kalangan
persilatan itu segera saja mengikuti arah yang ditunjuk Ki Amongdrajat. Mereka
pun dapat melihat sebuah panggung luas. Panggung berukuran sekitar empat kali
empat tombak itu dilapisi permadani beludru berwarna putih.
"Sengaja panggung pertarungan
itu kulapisi kain putih. Sebab, aku ingin para tamu tahu kalau niatku
memperlihatkan kepandaian muridmurid Perguruan Gelombang Timur bukan
semata-mata untuk bersombong dan berbanggabangga diri. Akan tetapi agar
tamu-tamuku yang memiliki kemampuan jauh di atas murid-muridku bersedia memberi
penilaian, bahkan memberi pelajaran lebih. Dengan begitu, murid-muridku akan
menyadari bahwa di atas langit masih ada langit. Itulah niat suci kami yang
tertuang pada lantai panggung berwarna putih," Ki Amongdrajat menjelaskan
dengan panjang lebar.
"Bagus sekali, Ki Among!
Aku setuju," sambut Ki Sugrida seraya tersenyum dan mengangguk-anggukkan
kepala. "Lalu apa yang kedua?" tanyanya lagi kemudian.
"Aku pun ingin
menggelarkan barangbarang porselin indah yang baru beberapa hari lalu
didatangkan dari negeri seberang," jawab Ki Amongdrajat
"Hei, pertunjukan bagus
itu!" semarak sambutan yang diberikan Ketua Perguruan Pedang Sukma.
"Hanya untuk dipertunjukkan atau untuk dijual sekalian, Ki Among?"
lanjut Ki Pariwita.
"Ha ha ha...! Ternyata
kau suka juga pada benda-benda semacam itu, Ki Pari," sahut Ki Amongdrajat
dengan tertawa.
"Bukan Ki Pariwita saja
yang senang benda-benda jenis itu, Ki Among! Aku pun menggemari," sela Ki
Wanadara.
"Aku pun begitu, Ki
Among," timpal Ki Re-
gajala.
"Ya. Apakah kau akan
menjual barang-
barang itu, Ki Among?"
tanya Ki Sugrida tak mau ketinggalan, karena dirinya juga menggemari
benda-benda yang terbuat dari porselin. Apalagi jika benda-benda itu berbentuk
unik.
"Tentu saja aku akan
menjualnya jika kalian berkenan," jawab Ki Amongdrajat tetap dengan senyum
ramahnya.
"Tapi acara itu dilakukan
setelah pertunjukan panggung selesai," selak Ki Wiracakrana yang tiba-tiba
saja sudah berdiri di belakang Ki Amongdrajat
"Tentu saja kami akan
bersabar menunggu acara pertunjukan itu, Ki Wira. Dan kami juga akan menurunkan
murid-murid kami untuk beruji coba para murid perguruanmu, Ki Among,"
tukas Ki Wanadara.
"Hei! Kalian datang
bersama murid-murid? Mana mereka?" tanya Ki Amongdrajat sedikit terkejut,
tapi merasa gembira.
Ki Wanadara segera menunjuk
dua orang pemuda berpakaian putih dengan ikat kepala putih pula. Di antara dua
pemuda murid Ki Wanadara nampak pula pemuda-pemuda berpakaian persilatan yang
sudah bisa diduga oleh Ki Amongdrajat sebagai murid-murid Ki Regajala, Ki
Pariwita, dan Ki Sugrida. Hal seperti itu bisa dipastikan dari pakaian yang
rata-rata bersulamkan lambang perguruan mereka.
"Terima kasih atas
kesediaan kalian membawa serta murid-murid kalian. Sebelum matahari tegak di
atas kepala, sebaiknya acara pertunjukan olah kanuragan kita mulai saja. Aku
akan memberitahu lebih dulu pada kedua mempelai agar segera menuju ke tempat
yang telah dipersiapkan khusus bagi mereka berdua...," ujar Ki Amongdrajat
lalu mohon diri.
"Silakan, Ki!"
sambut tamu-tamunya.
* * *
Nuning Mutiara dan Raden Mas
Satria Aji tampak telah duduk di sudut utama, tak jauh dari panggung
pertunjukan. Wajah kedua mempelai nampak berseri-seri.
Ki Amongdrajat, sebagai tuan
rumah penyelenggara perkawinan pun sudah berdiri di atas panggung yang
beralaskan kain beludru berwarna putih.
"Saudara-saudara
sekalian...!" Ki Amongdrajat membuka dengan suara yang lantang dan jelas.
"Pada hari yang berbahagia ini tak lupa kupanjatkan puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah mencurahkan karunia begitu besar ini. Dan
kepada kalian, yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri pesta perkawinan
Nuning Mutiara putriku dengan Raden Mas Satria Aji, putra bungsu Ki Wiracakrana
dari Perguruan Lempengan Cakra Perak, tak lupa kami haturkan ribuan terima
kasih dengan segala rasa hormat."
Sambutan dari hadirin pun
terdengar meriah dan saling bersahut-sahutan.
"Hidup Ki
Amongdrajat!"
"Hidup Ketua Perguruan
Gelombang Ti-
mur!"
Ki Amongdrajat
tersenyum-senyum men-
dapatkan sambutan yang gegap
gempita dari murid-muridnya dan juga dari para undangan. Wajah Ketua Perguruan
Gelombang Timur terlihat begitu cerah, sementara sepasang matanya yang
bercahaya bergerak-gerak memandangi wajah tamu-tamu yang memenuhi kursi yang telah
disediakan.
"Terima kasih! Terima
kasih atas sambutan kalian," ucap Ki Amongdrajat dengan badan sedikit
dibungkukkan. Jelas apa yang dilakukannya memperlihatkan kerendahan hati dalam
menerima sambutan dari para undangan. "Untuk mempersingkat waktu, sebaiknya
kita buka saja acara pertama, berupa pertunjukan ilmu olah kanuragan dari
murid-murid Perguruan Gelombang Timur. Selanjutnya akan diperlihatkan
pertandingan persahabatan dari para undangan yang juga ingin memperlihatkan
kemampuan sekadar untuk memeriahkan suasana. Saudara-saudara yang kami hormati.
Sekarang juga akan kami tampilkan murid-murid dari Perguruan Gelombang Timur
sekadar untuk memperlihatkan apa yang telah mereka dapatkan selama lima tahun
menimba ilmu di Perguruan Gelombang Timur. Kepada mereka dipersilakan naik ke
panggung!"
Kemudian, Ki Amongdrajat
segera membawa mundur langkahnya ke sudut sebelah kanan. Setelah itu beberapa
murid Perguruan Gelombang Timur berlompatan ke atas panggung. Gerakan indah
yang mereka lakukan juga memperlihatkan kecepatan yang cukup memukau hati para
tamu. Begitu pula dengan cara mereka yang mendarat tanpa menimbulkan bunyi
terlalu keras saat kakikaki mereka menyentuh dasar panggung. Jelas hal itu
menandakan ilmu meringankan tubuh yang mereka dapatkan cukup baik.
"Terimalah salam hormat
kami!" ucap lima orang murid Perguruan Gelombang Timur yang mengenakan
pakaian warna biru muda. Secara serentak mereka menjura memberi hormat. Di
pinggang mereka tampak sebilah pedang pendek bertangkai biru.
Sesaat kelima murid Perguruan
Gelombang Timur yang berusia rata-rata dua puluhan itu serentak menjura memberi
hormat kepada para tamu. Namun kemudian langsung berlompatan....
"Hyaaa !"
Wuuk! "Hyaa !"
Bet!
Tendangan dan pukulan yang
diperagakan murid-murid Ki Amongdrajat begitu keras bahkan tampaknya dikerahkan
dengan kekuatan tenaga dalam. Terbukti, dari sodokan tangan dan tebasan yang
dilancarkan menimbulkan deru angin cukup keras. Begitu pula tendangan-tendangan
yang dilakukan dengan keseimbangan tubuh yang baik.
Plok! Plok! Plok!
"Swiiit! Suiiit..!" "Hebaat! Bagus!"
Tepukan tangan, suitan, dan
teriakan pujian pun langsung ramai terdengar dari para tamu yang menyaksikan
pagelaran itu. Mereka bersorak-sorai memperlihatkan kekaguman terhadap
pertunjukan yang diperagakan para murid Perguruan Gelombang Timur itu.
Hanya dalam waktu tidak berapa
lama, lima orang murid Ki Amongdrajat menyajikan jurus-jurus menyerang dan
bertahan, karena peragaan selanjutnya berupa jurus yang menggunakan pedang
pendek berhulu warna biru.
Jurus-jurus pedang yang
dimainkan pun tak kalah hebat. Dengan gerakan-gerakan yang cepat, lima lelaki
muda itu membabatkan pedang pendek dalam jurus 'Pedang Membelah Gelombang'.
Kemudian dengan cepatnya mereka beralih ke jurus 'Pedang Menusuk Bulan' yang mencecar
sasaran pada bagian atas. Sedangkan untuk penyerangan bagian bawah menggunakan
jurus 'Pedang Menebas ilalang' pun tersaji dengan kelenturan gerakan.
Tepukan tangan membahana
kembali menyemarakkan pertunjukan. Nampak wajah Ki Amongdrajat tersenyum gembira
menyaksikan kebolehan murid-muridnya memperagakan ilmu yang telah
dianjurkannya. Begitu juga Ki Wiracakrana dan dua mempelai.
Setelah lima lelaki muda
selesai mempertontonkan kemahiran mereka, dua murid Perguruan Gelombang Timur
yang lain segera melesat ke atas panggung untuk menggantikan lima rekannya.
Namun baru dua jurus kedua pemuda berpakaian serba putih itu memperagakan ilmu,
Ki Amongdrajat seketika bangkit dari duduknya. Tatapan matanya segera saja
menoleh ke pintu penyambutan para tamu.
Sepasang muda-mudi berwajah
tampan dan cantik nampak tengah berbincang-bincang dengan salah seorang murid
Perguruan Gelombang Timur yang ditugasi menyambut undangan.
Pemuda tampan itu bertubuh
kekar. Pakaian yang dikenakan berwarna serba kuning keemasan. Sedangkan sabuk
yang melingkar di pinggangnya berwarna hijau. Di leher pemuda berambut panjang
sebahu itu terlihat gagang pedang yang menggelantung. Dari ciri-cirinya sudah
bisa dipastikan kalau pemuda itu tak lain Jaka yang di kalangan persilatan
lebih dikenal sebagai Raja Petir. Dan gadis cantik yang menemaninya siapa lagi
kalau bukan si Dewi Payung Emas yang bernama asli Mayang Sutera.
"Raja Petir...?"
sentak Ki Amongdrajat pelan, namun ucapan itu terdengar di telinga Ki
Wiracakrana.
Ki Wiracakrana serta-merta
bangkit dari duduknya. Dan ketika tatapan matanya melihat sosok lelaki muda
berpakaian kuning keemasan, gumaman yang sama keluar dari mulutnya. "Raja
Petir...?"
Ki Amongdrajat dan Ki
Wiracakrana samasama terpaku menyaksikan kehadiran Jaka dan Mayang Sutera.
"Hebat kau bisa
mengundangnya, Ki Among?" puji Ki Wiracakrana dengan senyum kagum
terlempar untuk Ketua Perguruan Gelombang Timur itu.
"Ah, kau jangan merendah,
Ki Wira!" tukas Ki Amongdrajat "Pasti kau yang telah
mengundangnya."
Ki Wiracakrana menggelengkan
kepala menyangkal ucapan Ki Amongdrajat. "Aku tak pernah mengundang tokoh
muda yang digdaya itu, Ki. Melihat sosoknya saja baru kali ini," ujarnya
menjelaskan.
"Aku pun demikian, Ki.
Namun ciri-cirinya telah kuketahui sejak lama, dari mulut orangorang persilatan
yang pernah melihatnya," kata Ki Amongdrajat tak mengakui merasa
mengundang Raja Petir. "Lalu siapa yang mengundangnya?" hampir mirip
bisikan ucapan yang keluar dari mulut Kepala Desa Pasir Putih.
"Ah, sudahlah, Ki! Tak
perlu kita tahu hal itu, yang jelas kita harus menyambut pendekar muda itu
dengan baik. Ayo, kita ke sana, Ki!" ajak Ki Wiracakrana.
Kedua lelaki setengah baya
yang samasama menjabat sebagai kepala desa dan sekaligus sebagai ketua
perguruan itu segera melangkah menuju tempat Jaka dan Mayang Sutera berada.
Langkah kaki Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana rupanya menjadi perhatian para
undangan. Mereka kontan tertegun ketika menyaksikan sepasang muda-mudi berparas
tampan dan cantik tengah menyongsong kedatangan Ki Amongdrajat dan Ki
Wiracakrana.
"Selamat datang. Raja
Petir!"
"Selamat datang!"
sambut Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana setelah lebih dulu menjura hormat.
Raja Petir dan Dewi Payung
Emas yang mendapatkan sambutan seperti itu tampak merasa sungkan. Meskipun
tersenyum wajah keduanya tampak memerah.
"Panggil aku Jaka,
Ki!" ujar Jaka merasa tak enak dipanggil julukannya. "Dan ini
temanku, Mayang," lanjutnya, memperkenalkan sang Kekasih.
Ki Amongdrajat dan Ki
Wiracakrana tersenyum menyaksikan kerisihan pemuda tampan di hadapannya. Namun
justru sikap itu yang menambah kekaguman di hati kedua kepala desa itu.
Kekikukan yang ada pada diri Raja Petir menandakan kerendahan hatinya.
"Terima kasih atas
kesediaan kalian menghadiri pesta perkawinan anak kami!" ujar Ki Amongdrajat
seraya mempersilakan Jaka dan Mayang Sutera masuk.
"Di mana bisa kutemukan
kedua mempelai itu, Ki?" tanya Jaka sopan.
"Ikutilah kami!" Ki
Wiracakrana yang menjawab sambil mendahului langkah Ki Amongdrajat
Ki Amongdrajat tersenyum
menyaksikan
tingkah laku besannya. Namun
dia maklum karena Ki Wiracakrana ingin juga menghormati Jaka dan Dewi Payung
Emas sebagai tamunya.
Di belakang Ki Amongdrajat,
langkah kaki Jaka dan Mayang Sutera terayun bersama. Berpasang-pasang mata yang
memenuhi undangan Ki Amongdrajat beralih menatapi sepasang tokoh muda yang kini
tengah menuju tempat duduk kedua mempelai. Sementara pertunjukan di atas
panggung untuk sesaat terlupakan.
"Ck... ck... ck....,
cantik nian gadis itu! Sungguh beruntung pemuda yang mendampinginya,"
gumam salah seorang undangan dengan tatapan mata yang tak berkedip ke wajah
Mayang Sutera.
"Tentu saja," timpal
rekannya. "Tapi yang lelaki juga tampan betul, kalau saja aku seperti dia
"
"Hus! Mimpi saja
kau!" bentak kawannya yang lain.
Bisik-bisik seperti itu
bukannya tak terdengar telinga Jaka dan Mayang Sutera. Namun sepasang pendekar
muda itu sengaja mengacuhkan. Langkah keduanya terus terayun menuju tempat
Raden Mas Satria Aji dan Nuning Mutiara berada.
"Oh! Selamat datang,
Jaka, Mayang!" sambut Raden Mas Satria Aji dengan tangan terjulur hangat.
Hal seperti itu dilakukan juga oleh mempelai wanita. "Selamat atas
perkawinan kalian! Semoga kalian bisa selama-lamanya berdampingan dan mempunyai
keturunan yang lebih dari satu lusin," seloroh Jaka.
"Bantulah dengan doa,
Jaka! Semoga aku bisa mempunyai anak lebih dari dua lusin!" sambut Raden
Mas Satria Aji sambil tertawa.
"Maunya!" tukas
Nuning Mutiara dengan tawa yang juga tercipta pelan.
Keakraban antara kedua
mempelai dan sepasang pendekar muda itu tentu saja menimbulkan keheranan Ki
Amongdrajat dan Ki Wiracakrana. Namun ketika Raden Mas Satria Aji menjelaskan,
kedua kepala desa itu menganggukkan kepala.
"Begitulah, Ayah. Kami
memang pernah saling berkenalan, ketika bertemu di sebuah kedai di Desa
Rawinglayu, dua belas hari yang lalu. Dan tentu saja kesempatan baik itu
kugunakan untuk mengundang Raja Petir dan Dewi Payung Emas untuk menghadiri
pesta perkawinan ini. Syukur mereka berdua bersedia hadir...!" tambah
Nuning Mutiara.
"Memang betul begitu,
Ki!" tegas Jaka membenarkan.
Ki Amongdrajat dan Ki
Wiracakrana tersenyum, kemudian memperkenalkan Jaka dan Mayang Sutera pada Ki
Wanadara, Ki Regajala, dan Ki Pariwita, juga Ki Sugrida.
"Senang sekali kami dapat
bertemu denganmu, Raja Petir," sambut Ki Wanadara mewakili ketiga
rekannya. "Selama ini kami hanya mengetahui ciri-cirimu dari mulut ke
mulut. Tetapi sekarang.... Ah! Tak kusangka kalau kau ternyata masih demikian
muda, begitu gagah dan tampan," tambah Ki Wanadara memuji.
"Jangan terlalu
membesar-besarkan apa yang tak ada pada diriku, Ki! Aku takut jadi lupa
daratan," sangkal Jaka bergurau.
Keempat pemimpin perguruan
yang juga turut menghampiri Raja Petir pun tampak tersenyum mendengar ucapan
merendah pendekar muda belia itu.
"Akh...!"
Tiba-tiba terdengar pekik
kesakitan di selasela suara riuh para tamu. Raja Petir yang tengah
berbincang-bincang dengan orang tua di hadapannya seketika berpaling ke asal
suara pekikan tertahan yang terdengar dari sekitar panggung. Seorang lelaki
berpakaian merah nampak terkulai di dasar panggung dengan sepasang tangannya
yang memegangi perut.
Plok! Plok! Plok!
Sambutan hangat pun segera
terdengar dari para penonton atas kemenangan seorang murid Perguruan Gelombang
Timur. Pada saat itu pula dari pintu penyambutan tampak sesosok bayangan
kehitaman berkelebat masuk.
Gerakan yang dilakukan sosok
berpakaian hitam begitu cepat bagai kilat, hingga tahu-tahu saja sudah mendarat
dengan ringan di atas panggung pertunjukan.
"Menyingkirlah!
Hih!" Blugkh!
"Aaa...!" seorang
murid Ki Amongdrajat yang masih berada di atas panggung kontan menjerit ketika
tendangan keras yang dilancarkan lelaki berjubah hitam mendarat di dadanya.
Tubuh pemuda belasan tahun itu
kontan terlempar dari panggung. Namun ketika tubuh itu masih berada di udara,
Ki Amongdrajat segera melesat menyambarnya. Dan setelah meletakkan muridnya
pada tempat yang aman, tubuh Ketua Perguruan Gelombang Timur itu segera melesat
naik ke atas panggung pertunjukan.
"Hops!"
***
2
Bukan hanya Ki Amongdrajat yang
terkejut melihat kedatangan lelaki berjubah hitam yang di kalangan rimba
persilatan dikenal sebagai Datuk Beruang Hitam. Tampak para undangan pun
tertegun bercampur keheranan atas munculnya tokoh hitam ini. Siapa yang tak
kenal Ki Samparal, lelaki berwajah buruk yang sepak terjangnya selalu
berkesudahan dengan kematian bagi lawan. Dialah datuk wilayah utara yang paling
terkenal kebengisannya.
Raja Petir dan Mayang Sutera
tak luput dari keterkejutan itu. Mereka langsung terpaku dengan pandangan
tegang tertuju ke panggung pertunjukan. Di atas panggung bertilam beludru warna
putih itu berdiri Ki Amongdrajat dan lelaki berwajah buruk berjubah hitam.
"Setahuku, kita tak
pernah punya urusan, apalagi bersengketa padamu, Datuk Beruang Hitam,"
ujar Ki Amongdrajat dengan sikap hormat sebagai tuan rumah yang baik
"Cuh!"
Lelaki yang dipanggil Ki
Amongdrajat sebagai Datuk Beruang Hitam meludahi kain putih alas panggung.
Seketika para tamu tersentak kaget. Seperti layaknya kain yang kejatuhan bara,
kain itu terbakar dan mengepulkan asap tipis.
Ki Amongdrajat yang
menyaksikan hal itu pun terkejut. Betapa hebatnya Datuk Beruang Hitam, hingga
ludahnya saja panas laksana bara.
"Siapa bilang kau tak
punya urusan denganku, Aki Peyot!" bentak Datuk Beruang Hitam dengan jari
telunjuk menuding wajah Ki Amongdrajat "Dengan tidak kau undangnya aku
untuk turut menyemarakkan acara ini, itu sama saja kau mencari urusan denganku!
Kau telah merendahkanku!" lanjut lelaki berwajah kasar itu. "Ah,
maafkan kami kalau begitu, Datuk Be-
ruang Hitam! Bukan maksud kami
merendahkanmu, sebenarnya kami tak tahu di mana harus menemuimu," kilah Ki
Amongdrajat dengan segala kerendahan hati. Maksudnya tentu saja ingin menjaga
agar acara pesta perkawinan itu tak terganggu oleh keributan, jika dia
menanggapi kedatangan Datuk Beruang Hitam dengan kemarahan. "Jangan banyak
alasan, Aki Peyot! Seka-
rang juga suruh mempelai pria naik ke panggung ini! Dia akan
kuberi pelajaran cuma-cuma. Sebagai seorang calon suami, dia harus tahu
bagaimana caranya menjaga seorang istri," pinta Datuk Beruang Hitam tegas.
"Permintaanmu aneh, Datuk
Beruang Hitam!" jawab Ki Wiracakrana dari bawah panggung, namun kemudian
tubuhnya melompat ke atas. "Hops!"
"Hm...! Kaukah Pendekar
Cakra Perak?" bibir Datuk Beruang Hitam mencibir dengan ucapan bernada
meremehkan kehadiran Ki Wiracakrana.
"Ya. Aku terang-terangan
menentang permintaanmu!" sambut Ki Wiracakrana tegas.
"Ha ha ha...! Kalau aku
memaksa, kau mau apa?" tanya Datuk Beruang Hitam. Wajahnya yang bengis tak
menghadap kepala Ki Wiracakrana, tetapi matanya yang merah melirik tajam.
"Mengu...!"
"Sabar, Ki Wira!"
tahan Ki Amongdrajat, "Kita harus secara baik-baik mengatasi masalah ini.
Aku tak ingin acara perkawinan ini menjadi kacau," lanjutnya mengingatkan
kelalaian Ki Wiracakrana.
Ketua Perguruan Lempengan
Cakra Perak rupanya menyadari apa yang barusan dilakukannya.
"Ki Among! Kenapa kau
larang dia bicara! Aku ingin tahu apakah dia layak disebut sebagai seorang
pendekar!" lantang ucapan Datuk Beruang Hitam.
"Bukan maksudku
melarangnya bicara, Datuk Beruang Hitam!" tandas Ki Amongdrajat dengan
suara yang sedikit meninggi. "Aku hanya tak ingin di tempat ini terjadi
keributan yang mengakibatkan pertumpahan darah," lanjutnya tegas.
"Dasar pengecut!"
bentak Datuk Beruang Hitam kasar.
"Terserah apa katamu,
Datuk. Yang jelas, kuingin sekarang juga kau turun dari atas panggung ini.
Duduklah di bangku yang telah kami sediakan sebagai tamu kehormatan!"
kilah Ki Amongdrajat dengan suara sedikit bergetar menahan kemarahan yang
meluap.
"Aku baru mau turun jika
pengantin lelaki kau ajak naik ke sini dan bertarung denganku dalam beberapa
jurus. Aku ingin menjajal kemampuannya!" desak Datuk Beruang Hitam.
"Semakin kurang ajar saja
kau, Datuk Buruk Rupa! Kau pikir kami tak mampu mengusirmu secara paksa?"
bentak Ki Wiracakrana dengan amarah yang tak terbendung "Sekarang hadapi
aku sebagai pengganti anakku!"
Kepala Desa Kadipara itu
melangkah dua tindak melewati tubuh Ki Amongdrajat.
"He he he...! Baik, baik.
Tidak anaknya, bapak pun jadilah!" Datuk Beruang Hitam tertawa
terkekeh-kekeh. "Bersiaplah!" lanjutnya membentak.
Dua tokoh persilatan yang
sama-sama telah punya nama itu kini saling berhadapan di atas panggung
pertunjukan. Tidak ada yang mampu mencegah kenyataan itu. Ki Amongdrajat kini
sudah turun panggung untuk memberi kesempatan pada Ki Wiracakrana yang merasa
tersinggung atas perbuatan Datuk Beruang Hitam. Sedangkan para undangan yang
sejak tadi memenuhi bangku-bangku di depan panggung, kini sudah bergerak meninggalkan
tempatnya. Mereka sadar kalau pertarungan kali ini bukanlah pertarungan
persahabatan ataupun persaudaraan, melainkan sebuah pertarungan mempertahankan
harga diri. Mereka tak ingin turut menanggung akibat jika tetap berada di
tempat duduk masingmasing.
"Hyaa...!"
Karena sudah tak kuasa
membendung kemarahan, Ki Wiracakrana mendahului membuka serangan. Tangannya
yang terkepal terlihat bergetar hebat, jelas kalau Ketua Perguruan Lempengan
Cakra Perak itu telah mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menjatuhkan
lelaki berjubah bulu beruang warna hitam.
Datuk Beruang Hitam dalam
menanggapi serangan Ki Wiracakrana sepertinya menganggap remeh. Sedikit pun tak
terlihat usaha lelaki berwajah buruk itu untuk melakukan gerakan menghindar
maupun menangkis serangan. Dirinya tetap berdiri tenang dengan senyum yang tak
sedap dipandang.
Bet!
"Haits! He he
he...!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh,
Datuk Beruang Hitam menggeser ringan kepala ke kanan untuk menghindari jurus
'Tinju Pemecah Cadas' yang dilancarkan Ki Wiracakrana. Hasilnya memang cukup
mengagumkan. Meski gerakannya nampak ringan, namun kecepatan sambaran tinju
Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak mampu dihindarinya.
Kenyataan itu tentu saja
membuat orangorang yang menyaksikan jalannya pertarungan sempat berdecak kagum,
tak terkecuali Raja Petir dan kekasihnya, Mayang Sutera.
Sebaliknya, Ki Wiracakrana
semakin membara kemarahannya karena kegagalan serangan pertama. Mendapati
kenyataan itu, Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak kembali memberikan serangan
susulan dengan jurus 'Sepuluh Jari Membentuk Cakra'.
"Hyaa...!" Wrrt!
Wrrts!
"Haits! Heaa...!"
Kali ini Datuk Beruang Hitam
harus membawa mundur tubuhnya dua langkah untuk menghindari serangan susulan
lawan yang mengandung kekuatan dua kali lipat dari serangan pertamanya. Namun
Ki Wiracakrana yang sudah terbakar kemarahan tampaknya tak ingin memberi
kesempatan bagi lawan menghindari serangannya. Kepala Desa Kadipara itu pun
terus bergerak memberikan serangan susul-menyusul dan terarah ke bagian-bagian
yang mematikan di tubuh Datuk Beruang Hitam.
"Heaa...!"
Wuerts...! "Aits...!" Tubuh Datuk Beruang Hitam kini harus
berkali-kali melenting ke udara untuk menghindari serangan gencar Ki
Wiracakrana.
"Hm...! Rupanya kau
memang pantas memangku jabatan sebagai pimpinan sebuah perguruan, Ki Wira! Tapi
hari ini jabatanmu akan copot bersamaan dengan copotnya jantung dari dalam
dadamu!" bentak Datuk Beruang Hitam setelah mendaratkan kakinya dengan
indah dan tanpa menimbulkan bunyi yang berarti. "Sekarang, aku yang
menyerangmu. Jagalah! Heaaa...!"
Dengan diiringi teriakan,
Datuk Beruang Hitam bergerak melancarkan serangan balasan. Jari tangannya yang
besar-besar dan hitam serta berkuku tajam membentuk cakar beruang. Tokoh
berwajah buruk itu kini mulai mengeluarkan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam'
yang mengandung racun ganas. Dalam gerakan-gerakan yang cepat, tampak
jari-jemari Datuk Beruang Hitam berubah hijau kehitaman.
"Hyaa...!" Wret!
Wrrrets! "Hits!"
Seperti halnya Datuk Beruang
Hitam, Ki Wiracakrana pun memiliki gerakan menghindar yang cepat untuk
mematahkan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam'. Terbukti, hanya dengan menggeser
kakinya satu langkah ke kanan, dan mendoyongkan tubuh sedikit, serangan lawan
yang mengancam bagian ulu hati meleset, menyambar angin.
Namun siapa yang menyangka,
meski serangan pertamanya tak membuahkan hasil, dengan gerakan anehnya Ki
Samparal mampu melancarkan serangan kilat yang membahayakan keselamatan Ketua
Perguruan Lempengan Cakra Perak.
Serangan susulan itu kini
meluncur begitu cepat ke leher Ki Wiracakrana.
Wutt! Wutt! Plak! Plak!
"Akh!"
Ki Wiracakrana terpekik ketika
tangannya memapak serangan berturut-turut yang dilancarkan Datuk Beruang Hitam.
Tubuh lelaki yang terbungkus pakaian dari sutera putih itu nampak terhuyung tiga
langkah ke belakang. Sementara sepasang tangannya dirasakan bergetar hebat yang
nyeri.
Melihat ayah kandungnya
tergempur seperti itu, Raden Mas Satria Aji, sang Mempelai Pria, segera
menghentak kakinya kuat-kuat dan melenting.
"Heaa!" Jlegg!
Tubuh Raden Mas Satria Aji
langsung mendarat ringan di panggung pertarungan dan memburu tubuh ayahnya.
"Kau tidak apa-apa,
Ayah?" tanya Raden Mas Satria Aji cemas.
"Kenapa kau naik ke sini,
Satria? Biarkan ayah mempertaruhkan harga diri kita!" ujar Ki Wiracakrana
dengan tatapan tajam menusuk ke wajah Raden Mas Satria Aji. Sepertinya Ketua
Perguruan Lempengan Cakra
Perak itu tak senang dengan apa yang dilakukan anaknya.
"Ha ha ha...! Biarkan dia
memperlihatkan kemampuannya, Tua Bangka Pengecut! Tidakkah kau senang melihat
anakmu begitu jantan berdiri di hadapanku?"
"Keparat laknat! Kubunuh
kau!" maki Ki Wiracakrana dengan tangan langsung bergerak bermaksud
menyerang kembali Datuk Beruang Hitam. Namun gerakan itu urung dilanjutkannya
karena tulang-tulang tangannya dirasakan begitu linu.
"Akh!" Ki
Wiracakrana memekik tertahan sesaat merasakan linu yang mendera hebat.
"Iblis Muka Buruk!"
dengus Raden Mas Satria Aji geram. Jari telunjuknya menuding wajah Datuk
Beruang Hitam. "Apa maksudmu mengacau acara kami?! Tidakkah kau punya
pikiran sehat?!" mata putra bungsu Ki Wiracakrana itu menatap tajam penuh
kemarahan pada Datuk Beruang Hitam yang tampak cengengesan.
"Mulutmu berbisa juga,
Bocah!" bentak Datuk Beruang Hitam membalas ucapan kasar Raden Mas Satria
Aji. "Ingin kulihat apa ilmu yang kau miliki se berbisa ucapanmu!"
"Iblis laknat! Kau pikir
cuma dirimu yang memiliki kepandaian yang bisa
dibanggakan! Cuh! Aku juga punya, Iblis Muka Jelek!" sahut Raden
Mas Satria Aji lebih keras.
"Hrgrhg...!" Datuk
Beruang Hitam menggereng keras mendengar dirinya dijuluki iblis muka jelek.
"Akan kutelan jantungmu, Bocah Gendeng!" makinya dengan suara
bergetar keras. Kakinya pun terlihat tergerak satu langkah.
Ki Amongdrajat dan murid-murid
utama serta para tamu kehormatan dari kalangan tokoh persilatan merasa tergerak
hatinya untuk menyelamatkan sang Mempelai Pria. Akan tetapi apakah mereka harus
bersama-sama menghadapi Datuk Beruang Hitam yang hanya seorang diri? Lalu di
mana letak harga diri tokoh-tokoh golongan putih, jika melakukan pengeroyokan
terhadap seorang lawan?
Atas pertanyaan-pertanyaan
itu, Ki Amongdrajat dan para tamu sama-sama ragu untuk naik ke panggung
pertarungan.
"Kulumat kau, Bocah!
Hiaa...!" Tubuh Datuk Beruang Hitam bergerak dengan sepasang tangannya yang
memainkan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam'.
Raja Petir yang sejak tadi
ingin memberikan bantuan, segera saja menghentakkan kakinya kuat
"Heaa...!" Plak!
Plak! "Auw...!"
Tubuh Datuk Beruang Hitam
tergempur mundur tiga langkah. Tak diduga sosok bayangan kuning keemasan yang
berkelebat cepat dapat memapak serangannya yang ditujukan ke bagian jantung
Raden Mas Satria Aji.
Sementara itu, Raja Petir
hanya tergeser langkahnya sedikit ke belakang. Dia kini berdiri tegak di
sebelah Raden Mas Satria Aji. "Satria, maaf kalau aku terlalu lancang
mencampuri urusanmu! Namun kuminta juga kau untuk berpikir sehat. Tak pantas
jika acara ini harus diwarnai dengan pertumpahan darah. Ada baiknya jika kau
bawa turun Ki Wiracakrana. Biar aku di sini mencoba mendinginkan suasana panas
yang akan menimbulkan kerugian besar jika dibiarkan berlarut-larut!" ujar
Jaka pelan, namun nadanya terdengar tinggi tertekan.
Raden Mas Satria Aji tak
membantah ucapan Raja Petir. Apalagi ketika dia menoleh ayahnya yang
membenarkan ucapan Jaka dengan menganggukkan kepala.
"Kuserahkan datuk sesat
itu padamu, Raja Petir. Aku yakin kau mampu mengusirnya dari atas panggung
ini," ucap Raden Mas Satria Aji dengan suara keras. Maksudnya agar Datuk
Beruang Hitam tahu kalau lelaki muda berpakaian kuning di hadapannya adalah
tokoh sakti yang berjuluk Raja Petir.
Selesai mengucapkan
kata-katanya, Raden Mas Satria Aji langsung merangkul sang Ayah, lalu membawa
turun dari panggung pertarungan.
"Hei, Bocah!" teriak
Datuk Beruang Hitam keras. "Kenapa kau turun! Aku belum lagi melumat
jantungmu!"
Lelaki tua berjuluk Datuk
Beruang Hitam itu hendak ikut menuruni panggung, tetapi langkahnya keburu
dicegah oleh suara sindiran Raja Petir.
"Apa kau takut
menghadapiku, Ki?" tanya Jaka tajam. Sesungguhnya Raja Petir tak ingin
mengucapkan kata-kata yang hanya akan memancing pertarungan. Namun kalimat itu
terpaksa dikeluarkan untuk mencegah agar Ki Samparal tidak turun panggung
mengejar Raden Mas Satria Aji. Sebab, jika hal itu terjadi, kekacauan akan
semakin parah.
"Bocah Busuk!" maki
Datuk Beruang Hitam geram. "Secuil pun kau tak kupandang, hatiku masih
panas atas hinaan bocah itu!" tuding Ki Samparal pada Raden Mas Satria Aji
yang sudah tak nampak.
Raja Petir tersenyum mendengar
ucapan Datuk Beruang Hitam, lalu dia berkata, "Seharusnya kau malu
berhadapan dengan kami yang tak memiliki kepandaian tak berarti dibanding
dengan kepandaianmu, Ki! Nah, agar rasa malumu tak berkepanjangan dan agar tak
tersebar ke telinga tokoh-tokoh persilatan di jagad ini, kuminta kau tinggalkan
tempat ini."
Merah padam wajah Ki Samparal
mendengar ucapan bernada sindiran yang keluar dari mulut Jaka.
"Raja Petir! Aku datuk
penguasa wilayah utara jagad ini, pantang diusir seperti anjing gudik! Nyawa
taruhannya bagi orang yang berani melakukan hal itu!" bentak Ki Samparal,
sambil menuding wajah Jaka. "Termasuk kau!" lanjutnya dengan suara
parau.
"Aku tak pernah
mengusirmu seperti anjing buduk, Ki. Aku hanya meminta dengan hormat, dan itu
jika kau mau," sangkal Jaka. "Lagi pula apa keuntungan yang kau dapat
dengan ulahmu mengganggu acara ini?"
"Rupanya kau sudah besar
kepala. Raja Gila! Hingga kau tak memandang Datuk Beruang Hitam!" sentak
Ki Samparal.
"Ah, maafkan aku kalau
kau merasa kuperlakukan seperti itu," kilah Jaka dengan sikap kepala
tertunduk memberi hormat.
"Tutup mulutmu, Bocah
Gila!" hardik Datuk Beruang Hitam dengan mata melotot "Kita tentukan
sekarang! Siapa yang pantas turun dari atas panggung ini!" tantangnya
kemudian.
"Kau tak malu, Ki? Jika
kalah oleh bocah gila seperti aku dan disaksikan orang banyak seperti
itu?" tanya Jaka sambil menunjuk para undangan yang rata-rata orang-orang
persilatan golongan putih.
Ki Wanadara, Ki Regajala, Ki
Pariwita, dan Ki Sugrida hanya tersenyum-senyum melihat cara Raja Petir
memancing kemarahan Datuk Beruang Hitam.
Sebaliknya, Datuk Beruang
Hitam menggereng marah dengan sindiran yang diucapkan Raja Petir. Seluruh otot
tubuhnya seketika menegang. Jemari tangannya pun tampak membentuk cakar
beruang.
Datuk Beruang Hitam telah
betul-betul bernafsu menyerang Raja Petir.
"Sabar, Ki!" tahan
Jaka ketika Ki Samparal mengangkat maju kakinya. "Kita harus menentukan
berapa jurus kita mesti bertarung? Dan jika kau tak berhasil menjatuhkanku, kau
harus segera angkat kaki dari tempat ini!" "Lima jurus! Bersiaplah,
jangan banyak bacot!" sahut Datuk Beruang Hitam geram.
Jaka pun tersenyum membalas
kekasaran itu. "Baik!"
"Hiaaa...!"
Diiringi pekikan keras Datuk
Beruang Hitam merangsek maju melakukan serangan. Kedua tangannya bergerak
begitu cepat mengarah leher Raja Petir dengan menggunakan jurus 'Cakar Sakti
Beruang Hitam'.
Breet! Breet! "Haits!
Heaa...!"
Bukan hal yang sulit bagi Jaka
untuk mengelakkan serangan lawan jika dirinya sudah mengerahkan jurus 'Lejitan
Lidah Petir'. Hanya dengan menghentakkan kaki dengan lembut pada permukaan
panggung, tubuhnya sudah melesat bagai petir, menggagalkan serangan maut Ki
Samparal.
Begitu juga ketika Datuk
Beruang Hitam yang telah diliputi nafsu membunuh melancarkan serangan susulan,
dengan kecepatan geraknya memainkan ilmu 'Lejitan Lidah Petir', pendekar muda
itu berhasil menggagalkan serangan lawan.
"Hati-hati, Ki! Tinggal
tiga jurus lagi," ujar Jaka memperingatkan Ki Samparal dengan janjinya.
"Keparat! Kau pikir akan
mampu membendung seranganku selanjutnya? Hih!"
Sringng...!
Bunyi gemerincing terdengar
ketika Datuk Beruang Hitam mencabut senjatanya yang semula berbentuk lempengan
besi bulat hitam. Namun ketika diangkat ke atas kepala, lempengan itu terbuka
hingga membentuk cakar seekor beruang raksasa dengan bagian ujungnya yang
runcing.
"Keluarkan senjatamu jika
tak ingin mati percuma!" tantang Datuk Beruang Hitam dengan mata melotot
penuh kemarahan.
"Aku ingin menjajal dulu
dengan ilmu tangan kosongku, Ki. Kurasa kau tak akan mampu membabatkan senjatamu,
meski cuma sebatas pakaian pembungkus kulitku," ledek Jaka menimpali
tantangan lelaki tua berwajah bengis itu.
"Bocah sombong!"
maki Datuk Beruang Hi-tam.
"Bukan aku yang sombong,
tapi kau yang
dungu, Ki!" balik Jaka.
"Kurasa kau tak akan mampu menundukkan 'Aji Bayang-Bayang' yang kumiliki.
Nah seranglah aku sekarang!"
Selesai dengan ucapannya,
tiba-tiba sosok Raja Petir bertambah menjadi lima kali lipat banyaknya. Tentu
saja ilmu yang jarang dimiliki tokoh rimba persilatan itu membuat para tamu
yang menyaksikan terkagum-kagum. Tak terkecuali Datuk Beruang Hitam yang
kebingungan.
"Hm...!" Datuk
Beruang Hitam bergumam tak jelas. Dirinya tak dapat memastikan tubuh Raja Petir
yang sebenarnya. "Hihh...!"
"Haiit...!"
Tubuh Ki Samparal seketika itu
juga bergerak cepat. Senjatanya berkelebat menebas sosok Raja Petir dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin menderu keras terdengar mengiringi
serangannya.
Wuutt!
"Setan!" maki Datuk
Beruang Hitam ketika serangannya hanya membentur bayangan Raja Petir. Hati
lelaki berjubah hitam terbuat dari kulit Beruang itu semakin geram.
Kegeramannya itu dilampiaskan kembali dengan melancarkan serangan cepat dan
beruntun.
"Hiaat...!"
Wuut! Wuutt! Wutt!
Senjata berbentuk cakar
beruang terbuat dari logam keras itu kembali hanya membentur tempat kosong.
Serangan yang dilancarkan Datuk Beruang Hitam sebenarnya sudah tepat pada
sasarannya. Namun Raja Petir telah memperhitungkan segalanya.
Dipindah-pindahkan sosok tubuh aslinya dengan kecepatan yang luar biasa, hingga
serangan Datuk Beruang Hitam selalu saja kandas di tengah jalan.
"Heh, kurasa sudah lima
jurus, Ki. Jangan pertaruhkan harga dirimu dengan meneruskan pertarungan
ini!" tukas Jaka memperingatkan janji lawannya.
"Hrghg...!"
Datuk Beruang Hitam menggereng
keras melampiaskan kekesalannya. Bola matanya yang membelalak terlihat seperti
mata seekor naga terluka. Penuh dendam menatap wajah tampan Jaka.
Ki Amongdrajat dan
tamu-tamunya dari Perguruan Banyu Biru, Golok Suci, Pedang Sukma, dan Tongkat
Naga dengan tegang menyaksikan sikap dua tokoh berilmu tinggi yang kini saling
bertatapan. Bedanya, Raja Petir membalas tatapan mata Datuk Beruang Hitam
dengan tatapan lembut dan senyum yang terlihat samar. Di hati para tamu timbul
pertanyaan, apakah pertarungan akan kembali berlanjut setelah lima jurus yang
dijanjikan telah terlewati.
"Bagaimana, Ki?"
tanya Jaka masih memasang senyum. "Aku tidak keberatan kalau kau ingin
melanjutkan, tapi apakah kau tidak malu?" tandasnya bernada pedas.
"Tidak di sini kita
lanjutkan pertarungan ini, Bocah Sundal! Tapi di luar, jantungmu akan kucopot,
darahmu akan kureguk, ingat itu!" ancam Ki Samparal lantang dengan jari
tangan menuding-nuding wajah Jaka.
Raja Petir tak menimpali
ancaman Ki Samparal. Namun matanya memperhatikan sikap lelaki tua itu yang kini
tatapannya tertuju ke wajah Ki Amongdrajat, Ki Wanadara, dan tamu-tamu yang
lain.
"Kalian semua akan
menerima giliran satu persatu!" ancam Datuk Beruang Hitam pada Ki
Amongdrajat dan tokoh-tokoh persilatan yang berdiri di sebelahnya.
Seperti yang dilakukan Raja
Petir, Ki Amongdrajat, dan yang lainnya tak menanggapi ancaman itu. Mereka tak
ingin membuat suasana kembali berubah keruh.
"Ingat itu! Hops!"
Tubuh Datuk Beruang Hitam
seketika melesat. Gerakannya yang cepat menandakan kalau tokoh itu mengerahkan
ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang nyaris sempurna. Sehingga hanya
dengan sekali hentakan kaki, tubuhnya melesat puluhan tombak.
Puluhan pasang mata
menyaksikan kepergian Datuk Beruang Hitam. Tampak wajah para tamu pada pesta
perkawinan itu berangsurangsur berubah. Mereka semua merasa lega, karena hampir
saja tokoh tua yang menggiriskan itu merenggut korban. Untung saja ada Raja
Petir.
"Ah, teruskan saja acara
ini, Ki Among! Kejadian barusan anggap saja sebagai selingan," tukas Jaka
setelah turun dari panggung.
"Eh, kau benar, Jaka.
Bagaimana menurutmu, Ki Wira?" sambut Ki Amongdrajat sambil melempar
pertanyaan pada besannya.
Ki Wiracakrana tampak sudah
pulih dari rasa nyeri yang mendera tangannya, meskipun tampak di lengan kanan
berwarna kebiruan, karena memar, "Matahari sudah condong ke barat, Ki
Among. Sebaiknya acara kedua dimulai saja," usul Ki Wiracakrana.
"Sebaiknya begitu,
Ayah," timpal Nuning Mutiara yang sejak kemunculan Datuk Beruang Hitam
merasakan sangat ketakutan. Semula hatinya merasa cemas kalau orang-orang yang
dikasihinya menjadi korban keganasan ilmu Ki Samparal. Namun untung saja ada
Raja Petir yang mampu menangani.
"Ya. Aku juga setuju
kalau para undangan kini diajak ke ruang pertunjukan benda-benda porselin
itu," jawab Raden Mas Satria Aji menimpali ucapan kekasihnya.
"Pertunjukan benda-benda
porselin? Ah..., acara yang bagus itu," tukas Jaka mengomentari.
"Kau suka benda-benda
macam itu, Jaka?" tanya Ki Amongdrajat.
"Tentu saja! Siapa yang
tak suka barang unik?" jawab Jaka berbasa-basi.
"Kalau begitu, kita
menuju ruang pamer sekarang saja, ayo!" ajak Ki Amongdrajat sambil
melangkah lebih dulu, diikuti kemudian oleh Ki Wiracakrana dan baru tamu-tamu
yang lain, termasuk Raja Petir dan Mayang Sutera.
***
3
Tiga hari setelah perayaan
perkawinan putra Ki Lurah Amongdrajat, Desa Pasir Putih kedatangan dua orang
tamu yang mengaku berasal dari negeri jauh. Negeri Jepang.
Ki Amongdrajat yang menerima
kedatangan dua tamu tak diundang itu mempercayai keterangan mereka. Namun hanya
yang lelaki yang dipercaya Ki Amongdrajat sebagai orang asli dari Jepang,
sedangkan teman wanitanya? Dia tak layak disebut sebagai wanita Jepang karena
ciri-ciri tak berbeda dengan gadis-gadis Jawa. Wajahnya ayu, bahkan kulit
tubuhnya hitam manis. Sepasang matanya yang bundar dan indah dihiasi bulubulu
lentik memperjelas ciri-ciri kalau dia bukan gadis dari Jepang.
"Namaku, Parameswari,
Kisanak," ucap gadis cantik yang mengenakan pakaian longgar warna ungu. Di
punggungnya tersampir senjata berbentuk pedang panjang bernama samurai.
Rambutnya yang hitam legam dibiarkan terurai lepas.
Ki Amongdrajat yang ditemani
putranya, Raden Mas Satria Aji dan Saladra tak mengomentari perkenalan gadis
cantik itu.
"Dan kawanku ini bernama
Buchohanco," lanjut gadis yang mengaku bernama Parameswari. Wajahnya
menoleh lelaki di sampingnya, yang berpakaian longgar berwarna putih.
Sementara lelaki yang
diperkenalkan Parameswari pada Ki Amongdrajat tak memperlihatkan perubahan
sikap. Kepalanya tetap tegap. Sepasang mata sipitnya menatap tajam wajah Kepala
Desa Pasir Putih itu. Raut wajahnya yang berkulit putih terkesan begitu dingin
dan angker dengan alis mata yang satu sama lain saling bertaut.
"Buchohanco tak bisa
berbahasa negeri ini," tambah Parameswari mendapatkan ucapannya tak ada
yang menimpali.
"Kita habisi saja mereka,
Bucho!" lanjut Parameswari dalam bahasa yang tidak dimengerti Ki
Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji maupun Saladra. Ucapan itu ditujukan
Parameswari hanya untuk lelaki Jepang yang di punggungnya juga tersampir
sebatang samurai dengan tangkai berbentuk kepala naga.
"Lalu apa tujuan Nisanak
ke situ?" tanya Ki Amongdrajat menandaskan ketidakmengertiannya.
"Membunuh seluruh
pendekar yang ada di Kadipaten Sunyilaga ini!" sahut Parameswari tegas.
Jawaban yang tak terduga sama
sekali itu tentu saja membuat Ki Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji, dan Saladra
terkejut bukan kepalang. Bagai mendengar halilintar di siang bolong ketiganya
tersentak kaget.
"Tidak salahkah ucapanmu,
Nini Parameswari?" tanya Raden Mas Satria Aji sambil menekan
keterkejutannya.
"Di mana salahnya?"
balik gadis cantik berpakaian ungu itu.
"Ah, maaf! Menurutku
keinginanmu terlalu berlebihan, Nisanak," timpal Salandra.
"Tidak!" jawab
Parameswari mantap.
"Lalu apa kesalahan para
pendekar kadipaten ini, hingga kalian hendak membunuh mereka?" tanya Ki
Amongdrajat
"Itu sudah menjadi
dendamku!" sentak Parameswari keras.
"Hm...!" Ki
Amongdrajat menggumam tak
jelas.
"Tapi setidaknya kau
harus menjelaskan
persoalan apa yang menimbulkan
dendam seperti itu, Nini," tukas Raden Mas Satria Aji dengan kening
berkerut, tak mengerti.
"Mungkin usiamu dan
usiaku sebaya pada saat kejadian itu berlangsung, Kisanak," tukas
Parameswari seraya menatap Raden Mas Satria Aji. "Belasan tahun silam saat
kejadian itu terjadi, aku memang masih kecil. Namun aku tak bisa melupakan
hingga kini bagaimana bengisnya para pendekar di kadipaten ini yang telah
melenyapkan keluargaku serta perguruannya. Aku tak bisa melupakan persoalan itu
begitu saja. Dendamku yang seketika itu juga tercetus akan kulampiaskan
sekarang. Dan kalianlah sebagai korban pertama kesumatku...!" ujar
Parameswari tegas.
"Tolong jelaskan dulu,
siapa keluargamu dan perguruan apa yang telah dilenyapkan oleh para
pendekar?" pinta Ki Amongdrajat
"Orang seusiamu tentu
ingat kejadian itu, Ki. Kau tentu mengenal baik nama Perguruan Selimut
Iblis," jelas Parameswari.
"Perguruan Selimut
Iblis...?" ulang Ki Amongdrajat dengan kening berkerut Wajahnya seketika
berubah merah.
"Ya. Perguruan Selimut
Iblis. Kau pasti kenal juga dengan Ki Tambak Seta!"
"Kaukah anak Ki Tambak
Seta?!" tanya Ki Amongdrajat.
"Ya."
"Ah. Kupikir seluruh
keturunan iblis sesat itu sudah lenyap bersamaan dengan musnahnya Perguruan
Selimut Iblis terlalap api, tapi nyatanya...?" Ki Amongdrajat tak
melanjutkan ucapannya. Pikirannya menerawang jauh ke masa belasan tahun silam
di mana sebuah perguruan yang didirikan oleh sepasang tokoh golongan hitam
menghebohkan rimba persilatan. Banyak pendekar yang binasa di tangan Iblis
Kematian dan Dewi Perenggut Nyawa. Begitu pula dengan ulah dan sepak terjang
murid-murid Perguruan Selimut Iblis yang di luar batas kemanusiaan. Mereka
membunuhi penduduk yang tak bersalah, merampok harta benda, serta membawa lari
anak-anak perawan.
Atas tindak kedurjanaan mereka
yang seperti itulah akhirnya pendekar-pendekar yang berada di Kadipaten
Sunyilaga mengadakan pertemuan untuk mencari jalan menghentikan sepak terjang
Ki Tambak Seta dan anak buahnya.
Tindakan pertama para pendekar
Kadipaten Sunyilaga yang pada waktu itu pun dipimpin langsung Adipati
Kusumaningrat segera memperingatkan langsung, agar Iblis Kematian menghentikan
perbuatannya. Tindakan tokoh sesat itu memang sudah di luar batas kemanusian.
Namun semakin diperingatkan, perbuatan mereka justru semakin merajalela.
Sehingga akhirnya keluar suatu keputusan untuk membinasakan Perguruan Selimut
Iblis sekaligus melenyapkan orangorangnya jika membangkang. Dan kenyataannya
hal seperti itu harus dilakukan. Ki Amongdrajat sendiri berperan serta dalam
melenyapkan Perguruan Selimut Iblis beserta orang-orangnya.
Ki Amongdrajat ingat bagaimana
kematian Ki Tambak Seta ketika kepalanya terhantam senjata milik Ketua
Perguruan Golok Suci, lalu disusuli tendangan menggeledek yang dilakukan Ketua
Kadipaten Sunyilaga mendarat telak di dada tokoh hitam itu. Sedangkan Ki
Amongdrajat sendiri pada saat tubuh Ki Tambak Seta terhuyung langsung melesat
menyongsong dengan sambaran senjatanya yang merobek lambung Ketua Perguruan
Selimut Iblis, hingga lelaki sesat itu rebah dan tewas!
Kematian Ki Tambak Seta
ternyata disusul pula istrinya yang tak mampu menghadapi pendekar-pendekar
tangguh dari Kadipaten Sunyilaga. Namun kematian kedua tokoh utama Perguruan
Selimut Iblis ternyata tak membuat muridmuridnya mundur. Mereka bahkan terus
melanjutkan perlawanan, hingga akhirnya keluarlah keputusan dari Adipati
Kusumaningrat untuk melenyapkan murid-murid Perguruan Selimut Iblis yang sukar
untuk diluruskan.
"Aku memang putri kandung
Ki Tambak Seta. Pada saat pembantaian terhadap perguruan, naluriku menyuruh aku
pergi menyelamatkan diri. Kubawa langkah kakiku hingga sampai ke pesisir laut
selatan. Di sanalah aku berjumpa dengan seorang lelaki tua yang mengaku sebagai
pelancong. Dia suka padaku dan menawarkan agar aku ikut dengannya. Aku tak
menolak, dan itu merupakan satu keberuntungan bagiku, karena ternyata orang tua
itu bukanlah orang sembarangan. Dialah jago samurai dari negeri Jepang. Aku
dibawa ke negerinya dan diperkenalkan dengan anak lelakinya yang waktu itu
berusia sedikit lebih tua dariku. Bersama anaknya, aku digembleng untuk
mewarisi ilmunya. Buchohanco-lah anak orang tua penolongku itu," gadis
yang mengaku bernama Parameswari menoleh wajah lelaki muda di sampingnya.
"Kedatanganku ke sini sudah kalian ketahui dengan jelas maksudnya.
Bersiaplah kalian!"
Sring!
Parameswari meloloskan senjata
yang tersampir di punggungnya. Samurai berwarna putih itu menjelmakan kilatan
sinar yang menyilaukan mata.
Amongdrajat, Raden Mas Satria
Aji, serta Salandra segera mengatur kedudukan masingmasing. Ketiganya langsung
mundur beberapa tindak dengan sikap waspada penuh.
Sring!
Lelaki bermata sipit rekan
Parameswari, dengan sikap yang nampak kaku dan mata menatap dingin wajah Ki
Amongdrajat juga meloloskan samurainya dari warangkanya. Seperti samurai milik
Parameswari, senjata milik Buchohanco pun memendarkan kilatan menyilaukan mata
saat bersentuhan dengan cahaya matahari.
"Jangan main-main dengan
senjata mereka, gunakan senjata kalian!" perintah Ki Amongdrajat pada
Raden Mas Satria Aji dan Salandra.
Raden Mas Satria Aji dan
Salandra tentu saja segera mematuhi perintah Ki Amongdrajat, karena keduanya
pun tahu kedahsyatan pamor samurai yang dimiliki dua lawannya.
Srat! Srat!
Hampir bersamaan Raden Mas Satria
Aji dan Salandra meloloskan senjata mereka yang kemudian sama-sama disilangkan
di depan dada.
Srat! Srat!
Ki Amongdrajat pun tak
ketinggalan, langsung mencabut sepasang pedang pendeknya. Tatapan matanya pun
tertuju pada sepasang mata dingin milik lelaki Jepang yang mengenakan pakaian
serba putih.
"Hi hi hi...! Bagus!
Bagus! Aku senang kalau kedatanganku ke sini mendapat perlawanan, hi hi hi...!
Mari kita mulai! Hiaat!"
Tubuh gadis cantik berpakaian
ungu melesat cepat. Gerakannya yang ringan didukung kelincahan dan keluwesan
tubuh dalam mempermainkan senjata panjangnya, bergerak-gerak tak kalah cepat
"Hiaatt...!"
Buchohanco si lelaki bermata
sipit pun tak mau ketinggalan, tubuhnya meluruk cepat memburu Raden Mas Satria
Aji dan Salandra.
Dua lelaki bersenjata pedang
yang tak lain menantu dan murid kepercayaan Ketua Perguruan Gelombang Timur itu
segera menyambut serangan Buchohanco.
"Hiaa...!" Buet!
Wiing! Trang!
"Eh!"
Tubuh Raden Mas Satria Aji dan
Salandra sama-sama tergempur mundur tiga langkah ke belakang, saat benturan
senjata yang menimbulkan suara memekakkan telinga serta percikan bunga api
terjadi. Sementara lawannya, si lelaki bermata sipit itu setelah melancarkan
serangan dengan melompat, kini sudah mendarat tanpa goyah sedikit pun. Bahkan
Buchohanco kini tengah mempersiapkan serangan susulan.
"Hoaatt..!"
Tubuh lelaki bersenjata
samurai itu bergerak cepat. Senjatanya berputar-putar di udara hingga
menimbulkan deru angin yang cukup keras.
Raden Mas Satria Aji dan
Salandra terkejut menyaksikan kecepatan gerak yang dilakukan lawannya. Padahal
kedudukan Buchohanco ketika melancarkan serangan dalam keadaan yang kurang baik
"Hoaatt..!"
Wing...! Trang! Trang! Bret!
"Akh!"
Salandra yang pada gempuran
pertama berhasil memapak sambaran samurai lawan, kini tak kuasa mengelakkan
serangan susulan yang datangnya begitu cepat bagai kilat. Tubuh murid
kepercayaan Perguruan Gelombang Timur itu ambruk ke tanah dengan bagian dada
robek menyilang, mengucurkan darah. Setegukan teh lamanya Salandra masih mampu
bertahan, tapi pada saat selanjutnya, lelaki kepercayaan Ki Amongdrajat sudah
rebah di tanah tanpa nyawa.
Sementara itu, Raden Mas
Satria Aji yang memiliki kepandaian di atas Salandra, mampu mengelakkan tebasan
susulan samurai lawan. Meskipun tubuhnya harus jungkir balik di udara dan
kemudian berjuang bergulingan di tanah.
Buchohanco yang menyaksikan
kematian Salandra, tampaknya belum merasa puas. Ketika melihat seorang lawannya
masih mampu menyelamatkan diri, lelaki Jepang itu tak membuangbuang waktu lagi.
Tubuhnya yang terbalut pakaian longgar berwarna putih mencelat dengan samurai
diputar-putar di atas kepala.
Wuut! Wut!
"Haaa...!"
Namun belum sempat serangan
Buchohanco tiba pada sasaran, lima orang murid Perguruan Gelombang Timur yang
sejak semula merasa takut dikatakan lancang mencampuri pertarungan pimpinannya,
meluruk dengan senjata masingmasing menghadang serangan Buchohanco.
"Hiaa...!"
"Hyaa...! Hiaatt..!"
Buchohanco yang hendak
menyerang Raden Mas Satria Aji merasa geram melihat lima lelaki murid Perguruan
Gelombang Timur menghadang maksudnya. Maka dengan penuh amarah lelaki Jepang
itu langsung mengalihkan serangannya pada kelima murid Ki Amongdrajat
"Hoaat..!" Wuung!
Dengan gerakan secepat kilat
samurainya berkelebat memburu kelima lawan. Hingga...,
Trang! Bret! Bret!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua pekik kematian membumbung
ke langit seketika terdengar saat samurai menyambar tubuh lawan. Dua lelaki
berseragam Perguruan Gelombang Timur bagaikan semut menerjang api, langsung tumbang
dengan bagian dada hampir terbelah. Raden Mas Satria Aji dan ketiga murid yang
terhindar dari serangan lawan, tersentak kaget menyaksikan kecepatan gerakan
samurai Buchohanco.
Kematian dua murid perguruan
yang menyusul kematian Salandra bukannya membuat orang-orang Perguruan
Gelombang Timur menjadi ciut nyalinya. Beberapa orang yang lain pun kini tampak
bergerak merangsek Buchohanco. Sebagiannya lagi bergerak membantu Ki
Amongdrajat yang tampak kewalahan menghadapi Parameswari.
Rupanya, murid-murid Perguruan
Gelombang Timur dan Ki Amongdrajat, bukan lawan yang setimpal bagi sepasang
muda-mudi yang bersenjatakan samurai itu.
Parameswari dan Buchohanco tak
ubahnya sepasang malaikat pencabut nyawa yang setiap kali mengarahkan
senjatanya, tak ada yang mampu mengelak. Maka setiap samurai mereka bergerak,
maut pun tak dapat dielakkan.
"Haaa...!" Bret!
Bret! "Akh!"
"Huaa...!"
Kembali dua sosok tubuh
tumbang bermandikan darah. Lengking kematian pun terdengar susul-menyusul,
seolah berebutan siapa yang bisa lebih dulu menyuarakan suara kematian.
Ki Amongdrajat sendiri tak
kuasa mencegah kematian murid-muridnya. Keganasan serangan Parameswari dengan
samurainya yang begitu cepat membuat lelaki berusia setengah abad itu tak
mendapat kesempatan menyelamatkan murid-muridnya. Padahal pada saat itu Ki
Amongdrajat juga tengah dibantu enam orang muridnya yang berkepandaian cukup
tinggi dalam menghadapi Parameswari. Namun bantuan keenam muridnya itu tak
banyak membantu.
Kecepatan samurai di tangan
Parameswari terlalu sulit ditandingi. Sehingga enam pemuda yang membantu
gurunya harus jungkir balik menghindari sambaran-sambaran senjata lawan yang
dengan beruntun mencecar bagian yang mematikan.
"Mampus kau!
Hiaat...!" Wuung! Bret! Bret! "Aaa...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking tinggi
kembali terdengar mengiringi melayangnya dua nyawa dari raga dua murid Ki
Amongdrajat.
Pertarungan itu tampak tidak
dapat dihentikan. Kemudian tokoh muda bersenjata samurai itu kian ganas,
meskipun di halaman rumah Kepala Desa Pasir Putih telah bergelimpangan
mayat-mayat murid Perguruan Gelombang Timur. Darah pun berceceran membasahi
tempat pertarungan.
Ki Amongdrajat dan Raden Mas
Satria Aji yang menyaksikan pemandangan itu semakin bertambah geram. Namun apa
daya, keduanya kini harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan diri dari
kehebatan sepasang mudamudi yang memiliki ilmu samurai begitu hebat.
"Awas! Jangan
lengah!" teriak Parameswari sambil mengayunkan samurainya bergerak dari
atas ke bawah, bermaksud membabat dada Ki Amongdrajat.
Dalam keadaan kacau
pikirannya, Ketua Perguruan Gelombang Timur sedapat mungkin berusaha
mengelakkan serangan lawan. Dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke samping kanan
menghindari babatan samurai yang berkelebat begitu cepat.
"Hops!"
Tubuh Ki Amongdrajat mencelat
tak kalah cepat, lalu dengan mempergunakan bahunya, Kepala Desa Pasir Putih itu
mendarat di tanah berpasir. Tubuhnya berguling-guling beberapa kali dalam upaya
menjauhi sosok gadis berpakaian ungu itu.
Apa yang dilakukan Ki Amongdrajat
rupanya sudah ditunggu-tunggu Parameswari. Pada saat tubuh lelaki setengah baya
itu bergulingan di tanah, Parameswari melesat cepat. Senjatanya diputar keras
hingga menimbulkan deru angin kencang, bergerak mencecar dada lawan.
"Hih!" Brets!
"Akh...!"
Ki Amongdrajat memekik keras.
Dengan keras ujung samurai Parameswari membabat dada hingga batas perutnya.
Tubuh kepala desa sekaligus Ketua Perguruan Gelombang Timur itu menggelepar
kesakitan. Darah segar menyembur dari dada yang ter-belah. Bersamaan dengan itu
isi perutnya terburai keluar tak ingin kalah dengan roh yang juga beranjak
pergi meninggalkan raga.
"Ayah...!"
Raden Mas Satria Aji yang
masih selamat berkat perlindungan yang diberikan murid-murid setia Perguruan
Gelombang Timur sempat berteriak menyaksikan kematian mertuanya yang begitu
mengerikan. Namun apa yang dilakukan putra bungsu Ki Wiracakrana itu merupakan
tindakan ceroboh yang amat merugikan. Pada saat kewaspadaannya itu hilang,
dengan gerakan yang secepat kilat Buchohanco membabatkan samurainya secara
menyilang ke dada Raden Mas Satria Aji.
"Hoaaat...!" Bret!
"Aaa...!"
Raden Mas Satria Aji terpekik
keras. Tubuhnya menggelinjang dengan sepasang kakinya tergeser mundur beberapa
langkah. Pedang di tangannya pun terlepas. Kedua telapak tangannya memegangi
dada dan perutnya yang sobek.
Bruk! Raden Mas Satria Aji
ambruk ke tanah lalu tewas dengan tubuh berlumuran darah.
Kematian Ki Amongdrajat, Raden
Mas Satria Aji, dan Salandra, tak mengurangi keberanian murid-murid Perguruan
Gelombang Timur. Secara serentak mereka merangsek kedua lawan. Senjata mereka
terus berkelebat melancarkan serangan sebagai upaya melampiaskan kemarahan pada
sepasang muda-mudi yang telah menewaskan orang-orang yang sangat dihormati.
Namun betapa mudahnya pasangan
mudamudi bersenjata samurai itu menghadapi belasan murid Ki Amongdrajat. Dengan
ringan Parameswari dan Buchohanco melompat ke sana kemari. Sambil sesekali
menangkis serangan murid-murid Perguruan Gelombang Timur.
"Hi hi hi...! Kalau aku
mau, hanya semudah membalikkan telapak tangan akan kubantai kalian,
Cecunguk-Cecunguk Tak Tahu Diri!" umpat Parameswari dengan tertawa
cekikikan sambil menyarungkan samurainya. "Sayang aku tak punya banyak
waktu untuk melayani kalian," lanjutnya sambil menoleh ke wajah Buchohanco
yang juga sudah menyarungkan kembali samurainya.
Buchohanco membalas tatapan
mata Parameswari. "Kita cari yang lain sekarang!" usulnya dalam
bahasa yang hanya dimengerti Parameswari.
"Tentu saja, Kak.
Hayo!" balas Parameswari dalam bahasa yang begitu asing bagi telinga
murid-murid Perguruan Gelombang Timur. "Hayo!" sambut Buchohanco
seraya menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah. Tubuhnya seketika melesat
cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya.
"Hip!" gadis cantik
berpakaian longgar warna ungu pun melakukan hal yang sama. Ilmu lari cepat yang
dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh milik Parameswari tak beda jauh dari
yang dimiliki Buchohanco. Tak heran kalau hanya sekali hentakan kaki keduanya
mampu bergerak sejajar, meninggalkan murid-murid Perguruan Gelombang Timur yang
masih dibakar api kemarahan.
***
4
Di sebuah penginapan yang
bagian depannya terdapat kedai, nampak hanya dikunjungi tiga orang tamu.
Sementara pemilik kedai tidak nampak di tempat itu.
Dua orang tamu yang duduk di
bangku paling pojok baru saja menyelesaikan makannya.
"Aku mengkhawatirkan
keadaan Ki Amongdrajat, Kakang," ucap seorang gadis cantik dengan mulut
masih dipenuhi suapan makanan terakhir. "Bisa jadi Datuk Beruang Hitam
menyantroni kembali Perguruan Gelombang Timur, sebelum mewujudkan dendamnya
padamu," lanjut gadis cantik berpakaian warna jingga yang tak lain Mayang
Sutera atau si Dewi Payung Emas. "Apa alasanmu mengkhawatirkan Ki
Amongdrajat, Mayang?"
tanya Jaka dengan tatapan mata tak lepas pada cangkir terbuat dari tanah yang
masih berisi air setengah. "Ki Amongdrajat itu bukan lelaki berilmu
rendah," lanjut lelaki berpakaian warna kuning keemasan sambil meraih
gelas.
Mayang Sutera tak membantah
ucapan Raja Petir. Tangannya juga tergerak meraih cangkir minuman di
hadapannya.
"Apalagi murid-murid
Perguruan Gelombang Timur tidak sedikit. Mereka rata-rata memiliki ilmu yang
setidaknya dapat meringankan beban Ki Amongdrajat dalam mengusir seorang tua
macam Datuk Beruang Hitam," lanjut Jaka setelah meneguk air.
"Kau betul, Kakang"
sambut Mayang Sutera. "Namun aku berkesimpulan ilmu yang dimiliki Datuk
Beruang Hitam berada di atas Ki Amongdrajat. Kesimpulan itu dapat kutarik
berdasarkan kekalahan Ki Wiracakrana hanya dalam beberapa gebrakan saja,"
tandas Mayang Sutera mengemukakan rasa khawatirnya.
"Hm...!" Jaka
bergumam setelah mendapatkan kesimpulan kekasihnya yang sedikit banyak
mengandung kebenaran, "Lalu apa usulmu selanjutnya?" tanyanya
memancing pendapat gadis cantik itu.
"Tentu saja kita harus
mengunjungi kembali Perguruan Gelombang Timur," jawab Mayang Sutera tegas.
"Sekarang?"
"Lebih cepat lebih
baik," sambut Mayang Sutera.
"Baik"
Raja Petir langsung bangkit
dari duduknya. Bersamaan dengan itu lelaki penjaga kedai keluar, maka langsung
saja Jaka melambaikan tangannya dan membayar hidangan yang telah disantapnya.
"Ayo, Mayang!" ajak
Jaka setelah pelayan itu pergi dari hadapannya.
Hari masih pagi ketika Raja
Petir dan Mayang Sutera meninggalkan Desa Blanjangan tempat kedai dan
penginapan itu berada. Matahari baru saja beranjak dari peraduan. Sinarnya
mulai menghangatkan bumi dan mengusir embun-embun yang menempel di pucuk
dedaunan.
"Kakang, sebaiknya kita
percepat saja langkah kita! Kita harus segera sampai ke Desa Pasir Putih. Kalau
tidak, kita pasti kesiangan atau bahkan kesorean sampai di sana," usul
Mayang Sutera. "Naluriku mengatakan kalau di Perguruan Gelombang Timur
telah terjadi sesuatu."
"Ayolah!" sambut
Raja Petir.
"Hips!" Mayang
Sutera pun segera menggenjot kakinya dan melesat cepat dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh.
"Hops!" Raja Petir
melakukan hal yang sama. Maka seketika dua sosok bayangan kuning terlihat
berkelebat cepat.
* * *
"Kakang! Kau lihat di
sana?!" seru Mayang Sutera seraya menunjuk ke tempat kerumunan orang di pelataran
Perguruan Gelombang Timur. "Hhh..., aku yakin dugaanku tak meleset! Pasti
telah terjadi sesuatu di sana."
Tanpa membalas ucapan
kekasihnya, Raja Petir langsung bergerak maju melewati pintu utama Perguruan
Gelombang Timur yang dijaga lima lelaki bersenjata pedang dengan sikap gagah.
"Celaka, Raja Petir!" sambut salah seorang penjaga dengan tubuh yang
menjura hormat "Dua orang asing telah mengamuk di perguruan ini,"
lanjut penjaga bertubuh kekar dan bermata lebar. "Tamu asing?" ulang
Jaka pelan, "Bukan
Datuk Beruang Hitam?"
tanyanya kemudian. "Bukan, Raja Petir," jawab penjaga yang be-
rambut gondrong tersanggul.
"Mereka sepasang muda-mudi. Yang lelaki sepertinya orang dari negeri
Jepang dan dia tak bisa berbicara bahasa kita," lanjutnya.
"Betul Raja Petir,"
ujar penjaga yang lain menambahkan. "Kalau yang wanita orang pribumi.
Namanya... ehm... siapa namanya, ya?"
"Parameswari...!"
sahut penjaga bertubuh pendek kekar.
Raja Petir sepertinya tak
menanggapi pemberitahuan penjaga bertubuh pendek kekar. Tatapan matanya kini
tertuju pada wajah cantik kekasihnya. "Benar firasatmu, Mayang,"
ucapnya pelan.
"Lalu bagaimana keadaan
Ki Amongdrajat, Kisanak?" tanya Mayang Sutera dengan tak mengacuhkan
ucapan Raja Petir.
Lima lelaki penjaga pintu
Perguruan Gelombang Timur tak segera menjawab pertanyaan Mayang Sutera, mata
mereka nampak saling berpandangan satu sama lain.
"Yah. Bagaimana
keadaannya?" desak Raja
Petir.
"Dia... dia...,"
terbata-bata ucapan yang ke-
luar dari mulut lelaki bermata
lebar itu.
"Ki Amongdrajat.. tewas,
Nini," sambung lelaki berambut gondrong tersanggul.
"Ah!" Mayang Sutera
tersentak mendengar pemberitahuan itu.
"Tiga belas murid
perguruan pun mengalami nasib yang sama, Nini. Termasuk Kakang Salandra dan
Raden Mas Satria Aji. "
"Satria tewas?"
gumam Jaka hampir tak terdengar. "Mari kita masuk, Mayang!" ajaknya
kemudian.
Dengan langkah-langkah lebar.
Raja Petir diikuti Mayang Sutera langsung memasuki pelataran menuju bangunan
tempat tinggal Lurah Amongdrajat
"Nini Mayang...! Oh...!"
Baru dua langkah Raja Petir dan Mayang Sutera melewati puluhan lelaki yang
berkerumun, Nuning Mutiara sudah menyerbu dengan teriakan yang dibarengi isak
tangis memilukan. Putri Ki Amongdrajat itu langsung memeluk tubuh Mayang Sutera
dengan kesedihan.
"Dosa apa yang telah
kulakukan hingga harus mendapatkan cobaan seperti ini," keluh Nuning
Mutiara terdengar lirih. Air matanya mengucur membasahi pakaian Mayang Sutera.
"Tabahkan hatimu,
Nuning!" hibur Mayang Sutera dengan tangan tergerak mengendurkan pelukan
wanita cantik berpakaian hijau pupus itu. "Terimalah segalanya sebagai
ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa! Jangan kau sesali apa yang telah
digariskan-Nya!" lanjutnya. Gadis cantik berjuluk Dewi Payung Emas,
mengangkat tangannya menghapus air mata yang bergulir dari kelopak mata Nuning
Mutiara.
"Aku tak berada di sini
ketika pembantaian itu terjadi, Kakang Jaka. Aku tengah berada di rumah
mertuaku Ki Wiracakrana, tanpa ditemani Kakang Satria. Padahal aku sudah
mengajaknya, tapi Kakang Satria menolak mungkin inilah arti penolakannya,"
tutur Nuning Mutiara di sela-sela isaknya yang masih jelas terdengar.
"Kau tahu kenapa dua
orang asing itu berbuat seperti itu, Nuning!" tanya Mayang Sutera
hati-hati.
Nuning Mutiara pun segera
menuturkan masalahnya yang didengar dari beberapa orang murid Ki Amongdrajat.
Matanya yang indah tampak sembab karena terlalu banyak menangis. Raja Petir dan
Mayang Sutera memaklumi betapa hancur perasaan putri Ki Amongdrajat itu. Baru
tiga hari hidup berumah tangga, kini harus menerima kenyataan pahit. Suami dan
ayahnya meninggal dalam keadaan mengenaskan.
"Apa tidak mungkin kalau
mereka kini tengah memburu pendekar-pendekar lain, Kakang?" tanya Mayang
Sutera setelah mendengar penuturan Nuning Mutiara.
"Bukan hanya kemungkinan,
Mayang. Mereka pasti gentayangan di wilayah Kadipaten Sunyilaga ini...,"
tukas Jaka.
"Kita harus mencegahnya
kalau begitu, Kakang," ujar Mayang Sutera lagi.
"Ya. Kita harus berbuat
sesuatu untuk menghentikan sepak terjang mereka," sahut Jaka. "Ya.
Tapi dari mana kita harus memu-
lainya?" tanya Mayang
Sutera.
Jaka berpikir sejenak, lalu
dengan tangannya dia memanggil salah seorang murid Perguruan Gelombang Timur.
"Kau tahu ke mana arah
perginya dua orang asing itu?" tanya Jaka kepada murid Perguruan Gelombang
Timur yang menghampirinya.
"Ke arah selatan. Raja
Petir," ucap lelaki bertubuh gempal itu.
Tatapan mata Raja Petir dan
Mayang Sutera kini sama-sama tertuju pada wajah Nuning Mutiara. "Sekarang
juga kami pamit, Nuning. Sepak terjang lelaki berkebangsaan Jepang itu harus
segera dihentikan," ucap Jaka.
Nuning Mutiara menganggukkan
kepada. "Hati-hatilah kalian!" jawab Nuning Mutiara.
"Tentu, Nuning,"
jawab Mayang Sutera. "Kami pamit," ucap Jaka.
"Hops!"
"Hips!"
Sepasang pendekar muda itu
langsung melesat ke selatan. Gerakan mereka yang cepat nampak seperti kelebatan
anak panah yang terlepas dari busurnya. Sementara matahari terus beranjak naik
dengan sinarnya yang semakin panas.
***
5
Mulut Hutan Gulinjang yang
terletak di sebelah utara Desa Galuhnila nampak bermandikan cahaya matahari
yang terasa tak lagi menyengat. Dari arah timur yang dibatasi pohon-pohon
mahoni, tiba-tiba muncul sesosok lelaki berwajah buruk rupa mengenakan pakaian
dari kulit beruang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah utara pun muncul
sepasang muda-mudi yang di punggung masing-masing tersampir sebilah samurai.
"Kau tahu di mana letak
perguruan yang terdekat dari sini, Kisanak?" tanya seorang gadis cantik
berpakaian longgar warna ungu ketika saling berpapasan.
Lelaki berwajah buruk itu tak
segera menjawab pertanyaan gadis cantik yang tak lain Parameswari. Matanya yang
kemerahan dan terhias alis tebal menatap wajah gadis cantik itu.
"Hei! Apa kau
bisu?!" sentak Parameswari
keras.
Lelaki buruk rupa yang tak
lain Datuk Be-
ruang Hitam tak tersentak
mendengar bentakan gadis cantik berpakaian warna ungu. Namun kemudian mulutnya
mengembangkan senyum yang terlihat begitu lucu.
"He he he...! Kalau butuh
jawaban, seharusnya kau tak galak seperti itu, Anak Manis. Sayang kalau wajahmu
rusak oleh kegalakanmu. Lagi pula akan memberi imbalan apa jika pertanyaanmu
kujawab, heh?!" tanya Ki Samparal diiringi tawanya.
"Monyet jelek! Jangan
banyak tingkah di hadapanku, cepat jawab sebelum nyawamu kukirim ke
neraka!" bentak Parameswari dengan jari telunjuk yang menuding wajah Ki
Samparal yang tampak tersentak.
Merah padam wajah Datuk
Beruang Hitam dikatakan sebagai monyet jelek. Matanya terbelalak menahan
kegeraman pada gadis berpakaian ungu itu.
"Perempuan liar!"
maki Ki Samparal tak kalah keras. Tangannya juga menuding wajah cantik gadis di
hadapannya. "Kau pikir tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Lancang
benar mulutmu, heh...?! Tak tahukah kalau kau berhadapan dengan Datuk Beruang
Hitam?!"
"Tua bangka jelek! Siapa
pun kau, jika tak menjawab pertanyaanku, maka nyawamulah yang jadi
taruhannya!"
Sring!
Parameswari langsung mencabut
samurai dari warangkanya. "Cepat jawab sebelum samurai ini membelah
dadamu!" desaknya seraya menuding dada Datuk Beruang Hitam dengan ujung samurai.
"Bocah bau kencur saja
sombong! Laku-
kanlah apa yang ingin kau
lakukan!" tantang Ki Samparal
"Tua bangka tak tahu
diri!" maki Parameswari. "Terima ini! Hiaatt..!"
Kaki kanan gadis cantik
berpakaian ungu itu menghentak kuat ke permukaan tanah. Seketika tubuhnya
melesat cepat dengan tangan kanan bergerak melakukan tebasan menyilang mengarah
dada Datuk Beruang Hitam.
Wuung! "Eits!"
Dengan cepat Datuk Beruang
Hitam melompat ke kanan menghindari sambaran senjata lawan. Babatan selanjutnya
yang melesat lebih cepat membuat tubuh lelaki tua berwajah buruk itu terpaksa
harus melenting dengan beberapa kali putaran di udara.
Pada saat itu pula Buchohanco
yang tadi masih berdiam diri, langsung melesat. Dengan samurai di tangan lelaki
berpakaian serba putih itu menyerang Ki Samparal.
"Hoaatt..!" Wuung!
Wuung!
Datuk Beruang Hitam tentu saja
terkejut mendapatkan serangan yang dilakukan Buchohanco. Untuk melindungi
dirinya dari sambaran senjata lawan, Datuk Beruang Hitam dengan cepat
meloloskan senjatanya yang berupa lempengan logam berbentuk cakar seekor
beruang.
Sring!
Trang! "Akh!"
Datuk Beruang Hitam memekik
tertahan ketika benturan keras terjadi. Suara berdentang keras yang diiringi
percik bunga api terlihat bersamaan dengan tergempurnya tubuh Datuk Beruang
Hitam.
"Hih!"
Ki Samparal mendaratkan
kakinya di tanah dalam kedudukan agak goyah sedikit
"Hm...! Kuat sekali
tenaga dalam lelaki bermata sipit itu," gumam Datuk Beruang Hitam dalam
hati.
"Hm...! Sayang sekali kau
harus berumur pendek, Monyet Jelek!" ejek Parameswari menyaksikan Datuk
Beruang Hitam tak balas menyerang. "Ayo, Kak Bucho!" ajaknya kemudian
dalam bahasa yang tak dimengerti Ki Samparal.
Tubuh Parameswari seketika
mencelat diikuti lelaki berpakaian putih longgar dengan senjatanya yang
berpindah ke tangan kiri.
Datuk Beruang Hitam yang sudah
kenyang makan asam garam rimba persilatan, mengerti kalau lawan-lawannya akan
menyerang dari dua arah, kiri dan kanan. Maka senjatanya segera disilangkan di
depan dada dengan sikap waspada penuh.
"Hiaatt...!"
"Hoaatt..!" Tring!
Trang!
Dengan kecepatan yang
mengagumkan Parameswari dan Buchohanco membabatkan senjatanya ke dada lawan.
Namun kecepatan tangkisan yang dilakukan Ki Samparal cukup membuat serangan
sepasang muda-mudi bersenjata samurai itu kandas di tengah jalan. Meskipun
begitu, lelaki tua itu terhuyung empat langkah ke belakang.
Dan dirasakan tangannya
bergetar hebat "Hiaatt...!"
"Hoaatt..!"
Belum lagi kedudukan Datuk
Beruang Hitam sempurna, Parameswari dan Buchohanco telah melesat memberikan
serangan susulan.
Hal itu membuat Ki Samparal
tampak kebingungan. Dirinya merasa ragu apakah akan mampu menangkis serangan
kedua lawannya. Sementara tangannya masih dirasakan linu setelah benturan keras
barusan.
"Hih!"
Sebelum serangan Parameswari
dan Buchohanco mendekat, Datuk Beruang Hitam segera saja menghentakkan
senjatanya, memainkan ajian 'Racun Beruang Kutub'. Maka seketika itu juga.
Slrrts...!
Slrrts...!
Empat larik sinar kebiruan
meluruk cepat, lalu terpecah menjadi dua arah mencecar tubuh Parameswari dan
Buchohanco.
Dengan cepat Buchohanco yang
berada pada kedudukan paling depan segera memutar senjatanya dengan kecepatan
mengagumkan.
Wuung! Wrrr...! Samurai di
tangan Buchohanco hilang bentuk, kini berganti dengan sinar putih yang
bergulung melindungi tubuhnya dari incaran sinar kebiruan.
Tring! Tring!
Luncuran sinar kebiruan hasil
olahan 'Aji Racun Beruang Kutub' berhasil dibendung dengan gerakan cepat
Buchohanco.
"Ha ha ha...! Ceroboh
sekali kau, Mata Sipit! Sebentar lagi kau akan mampus oleh Racun Beruang Kutub
yang mengalir melalui batang senjatamu! Ha ha ha...!" Datuk Beruang Hitam
terbahak keras mengetahui siasatnya berhasil. Semula dirinya beranggapan kalau
lawan akan menghindari serangannya dengan menjauhi sinar kebiruan yang meluruk
deras, tapi nyatanya tidak.
"Tua bangka! Apa pun
jenis racun yang kau keluarkan, kawanku
ini tak akan terpengaruh sedikit pun! Samurai di tangannya adalah senjata
pusaka yang mampu menawarkan racun, bagaimanapun ganasnya!" beritahu Parameswari
terang-terangan dan itu tentu saja membuat Ki Samparal terkejut
"Sekarang, coba kau tahan
kembali seranganku! Hiaatt..!"
"Hoaatt..!"
Wuung! Wuung...!
Tubuh sepasang muda-mudi
bersenjata samurai kembali meluruk menyerang Datuk Beruang Hitam. Samurai di
tangan keduanya bergerak seperti baling-baling kapal di atas kepala hingga
menimbulkan deru yang cukup keras. "Hihh...!"
Trang! Bret!
"Akh...!"
Datuk Beruang Hitam terpekik
keras ketika ujung samurai di tangan Parameswari dengan cepat merobek bagian
dadanya secara menyilang dari atas ke bawah. Tubuhnya yang terbalut kulit
Beruang terhuyung mundur dengan tangan kiri mendekap dada yang terluka cukup
lebar sampai ke perut
"Hoaat..!"
Buchohanco si lelaki dari
Jepang rupanya kurang puas. Ketika Datuk Beruang Hitam masih terhuyung mundur,
tubuhnya melesat cepat dengan kedudukan kaki kanan berada di depan hendak
melakukan tendangan ke bagian kepala lawan.
Plak! "Aaa...!"
Pekik melengking tinggi
kembali keluar dari mulut Ki Samparal ketika tendangan lurus cukup keras
menghantam telak kepalanya hingga mengakibatkan lehernya patah. Tubuhnya
terpental beberapa tombak ke belakang.
Pekik kematian melengking
tinggi yang keluar dari mulut Datuk Beruang Hitam rupanya samar-samar terdengar
oleh sepasang muda-mudi yang tak lain Raja Petir dan Mayang Sutera. Keduanya
kontan saja menghentikan larinya.
"Kau dengar suara itu,
Kakang?" tanya Mayang Sutera.
"Aku mendengarnya,
Mayang. Sepertinya dari arah utara," jawab Jaka dengan kening berkernyit,
seakan ingin memastikan arah tempat asal suara itu.
"Kita harus cepat ke
sana, Kakang! Orang itu pasti membutuhkan pertolongan kita," usul Mayang
Sutera.
"Ayo!" sambut Jaka
menyetujui ucapan kekasihnya.
* * *
"Datuk Beruang
Hitam?" desis Jaka mengenali sosok lelaki berwajah buruk yang tergeletak
tanpa nyawa. Pada bagian dada hingga perut terlihat luka yang menganga lebar,
hingga menampakkan isi perut yang terburai keluar.
"Hm...! Siapa pelaku
semua ini?" gumam Mayang Sutera bertanya sendiri.
"Dari lukanya, aku bisa
menarik kesimpulan kalau senjata yang digunakan sejenis pedang panjang,"
tukas Jaka menduga-duga.
"Samurai maksudmu,
Kakang?" tanya Mayang Sutera.
"Ya. Dugaanku pelakunya
orang yang telah membantai Ki Amongdrajat dan murid-muridnya," jawab Jaka
mantap.
"Hh...!" Mayang
Sutera menarik napas ge-
ram.
"Kepandaian mereka
berarti cukuplah ting-
gi, Mayang. Kita tak boleh
kehilangan kewaspadaan jika berhadapan dengannya!" tandas Raja Petir.
"Ayo kita teruskan
pencarian ini, Kakang! Kurasa mereka belum jauh dari daerah ini," ajak
Mayang Sutera dengan langkah kaki yang tergerak ke arah kelokan jalan sebelah
kanan.
Raja Petir mengikuti saja arah
jalan yang diambil kekasihnya. Ditelusurinya terus jalan memanjang yang
ditumbuhi ilalang setinggi betis.
"Jalan buntu,
Kakang," ucap Mayang Sutera kaget, larinya seketika terhenti lalu berbalik
menghadap Raja Petir. "Seharusnya jalan kiri yang kita ambil,"
lanjutnya seperti menyesali.
"Tak mengapa, Mayang.
Kita balik lagi saja jika begitu," putus Jaka setelah diyakininya kalau
jalan yang diambilnya benar-benar salah.
"Hh!" Mayang Sutera
membanting kakinya kesal. "Semakin jauh saja jadinya jarak kita dengan
pembunuh Ki Amongdrajat," katanya menggerutu.
Raja Petir tak menimpali
gerutuan Mayang Sutera. Langsung dibalikkan tubuhnya bermaksud kembali ke
tempat semula. Namun....
Blrgrgrg !
Sesosok bayangan hitam
berjumpalitan keluar dari arah kanan yang ditumbuhi pohonpohon jati cukup
besar. Kemunculan sosok itu juga diiringi dengan sosok-sosok yang lain.
Srakk! Srakk!
Delapan sosok lelaki
berpakaian serba hitam telah berdiri menghadang jalan Raja Petir dan
kekasihnya.
"Hm...." Mayang
Sutera menggumam dengan langkah kaki tetap terayun mensejajari kekasihnya.
"Mau apa kalian
menghadang kami?" tanya Mayang Sutera kemudian. Tatapan matanya
bergerak-gerak memandang delapan lelaki gagah. Di pinggang masing-masing tampak
terselip sepasang pisau belati yang dihubungkan dengan rantai baja antara hulu
satu dengan hulu yang lain. Sementara rantai baja itu sendiri dililitkan di
pinggang.
"Kami mau hartamu dan
dirimu, Nini Manis," jawab lelaki berambut kemerahan. Wajahnya tampan,
namun sayang giginya tonggos.
"Kalau harta jelas aku
tidak punya, Kisanak. Tapi kalau diriku, kurasa kau salah meminta," kilah
Mayang Sutera dengan suara yang cukup tenang. "Tidak kenalkah kau dengan
kawanku ini? Dia yang akan segera menghalangimu jika kau meminta diriku."
"Hm! Kalian berdua
seperti anak seorang saudagar kaya. Dari dandanan kalian, dari pakaian kalian
yang terbuat dari bahan yang mahal, aku yakin kalau di balik itu tersimpan
harta berlimpah. Ayo, lucuti pakaianmu, aku ingin melihat!" pinta lelaki
tonggos itu keras.
"Hei! Apa yang akan kau
lihat?" tanya Mayang Sutera meledek. "Kalian ingin melihat kawanku
marah, heh?!"
"Cepat!" bentak lelaki
tonggos seperti tak peduli ucapan Mayang Sutera. "Baik! Tapi sebelumnya
kalian harus tahu dulu, siapa aku juga kawanku. Mungkin kalian akan pergi atau
lari terbirit-birit setelah mengetahui julukan kawanku ini," ucap Mayang
Sutera.
"He he he...! Lucu juga
kau, Anak Manis. Sebutkan saja apa julukan kawanmu itu," pinta lelaki
berambut merah dengan gigi depannya yang maju ke depan.
Mayang Sutera yang memang tak
berselera bertarung dengan delapan lelaki berpakaian hitam ketat segera saja
menyebutkan julukan kekasihnya. Maksudnya tak lain agar delapan lelaki itu
mengurungkan niatnya untuk membegal.
"Raja Petir? Ha ha ha...!
Jadi kawanmu ini yang berjuluk Raja Petir? Hi hi hi..., mana mungkin! Mana
mungkin kawanmu yang semuda ini sudah memiliki kehebatan dan keharuman nama
seperti julukan Raja Petir! Kau pasti pendusta! Kau gunakan julukan Raja Petir
untuk menakutnakuti kami. Cuh!" lelaki tonggos meludah dengan kasar ke
tanah.
Raja Petir hanya tersenyum
menyaksikan tingkah lelaki yang tak mempercayai bahwa dirinya pendekar yang
begitu kesohor di kalangan rimba persilatan. Hal itu bisa dimaklumi karena
mungkin orang itu hanya mengetahui nama julukan dari mulut orang-orang yang
sesungguhnya juga belum pernah bertemu secara langsung. Biasanya mereka hanya tahu
sebutan Raja Petir dan sepak terjangnya
dari mulut ke mulut.
"Kalau kalian tak
percaya, terserah. Tapi jangan menyesal jika perbuatan kalian tak
kuampuni!" gertak Mayang Sutera berusaha meyakinkan lelaki bergigi tonggos
itu.
"Cuh! Ayo, serbu
mereka!" perintah lelaki berambut merah dengan tangan terangkat memberi
isyarat.
Tiga lelaki bertubuh pendek
seketika meluruk maju membuka serangan kepada Mayang Sutera. Sedangkan empat
lelaki yang lain bergerak cepat menyerang Jaka.
"Hyaa...!"
"Heaa...!"
Suara-suara pekikan keras
seketika terdengar, seakan memecah keheningan ujung Desa Galuhnila yang
ditumbuhi pepohonan jati. Pekikan keras yang diliputi kemarahan itu terdengar
dari delapan lelaki berpakaian serba hitam yang menyebut mereka sebagai
penguasa daerah itu. Mereka tak lain Gerombolan Begal Hutan Jati.
Dengan senjata sepasang
belati, mereka merangsek Raja Petir dan Mayang Sutera.
"Hyaa...!" Wrrek!
Wrett! Crakk!
Dengan gerakan melompat indah,
Mayang Sutera menyongsong luncuran belati yang mengarah ke dadanya. Secepat
kilat tangannya menangkap belati-belati itu, kemudian....
"Hih!" Blugk!
"Aaa !"
Sebuah tendangan berputar yang
dilakukan Mayang Sutera mendarat telak di dada lelaki bertubuh pendek hingga
terdorong satu tombak ke belakang.
"Hoek!"
Darah segar pun muncrat dari
mulut lelaki bertubuh pendek itu, sebelum akhirnya terkapar tewas.
Sementara pertarungan antara
Raja Petir melawan empat lawannya terlihat seperti tak bersungguh-sungguh.
Dalam beberapa kali gebrakan pendekar muda itu tak tampak memberikan serangan
balasan. Hal itu membuat lawanlawannya kebingungan dan terlihat hampir putus
asa. Sebab setiap kali serangan gencar dilancarkan selalu membentur tempat
kosong. Gerakan sangat cepat yang dilakukan Raja Petir membuat mereka tak tahu ke
mana lenyapnya sosok lelaki berpakaian kuning keemasan. Itulah kehebatan jurus
'Lejitan Lidah Petir' yang dikhususkan untuk menghindari serangan lawan dengan
mengandalkan kecepatan gerak
"Hyaa...!"
"Heaat...!"
Dua lelaki berpakaian hitam
kembali meluruk melancarkan serangan dengan senjata siap diayunkan ke tubuh
Raja Petir. Namun hanya dengan hentakan kaki ringan ke tanah, tubuh Jaka sudah
melesat mendahului.
"Kau tidur saja, Kisanak!
Hih!" Tuk! Tuk!
"Uuh...!"
Bruk! Bruk!
Seketika kedua lelaki berpakaian
hitam itu ambruk di tanah terkena totokan pada jalan darah. Keduanya tak mampu
bangkit untuk melanjutkan pertarungan.
"Bangsat!" maki
lelaki tonggos yang merupakan pimpinan dari Gerombolan Pembegal Hutan Jati.
"Kau belum merasakan seranganku! Terima jurus 'Sepasang Belati Mengibas
Gunung'-ku ini!" lanjutnya seraya memutar-mutar sepasang belati yang satu
sama lain ditautkan dengan rantai baja.
Wuuk! Wuuk!
Raja Petir hanya menyaksikan
saja lelaki tonggos itu memutar-mutar senjatanya. Dirinya tahu kalau jurus itu
sama dengan yang digunakan kedua lawannya yang baru saja terkena totokan.
Bedanya lelaki bergigi tonggos itu menggunakan jurus 'Sepasang Belati Mengibas
Gunung' dengan kekuatan tenaga dalam yang lebih tinggi. Sehingga daerah sekitar
tempat berputarnya dua bilah belati seperti terlanda angin ribut. Daundaun
berguguran dari tangkainya dan batu-batu kerikil berpentalan, terlanda kekuatan
angin putaran sepasang belati itu.
"Awaaas! Hiaa...!"
Wuuk!
Tlak! Tlak!
Bunyi seperti benturan dua
benda keras terdengar nyaring, ketika sepasang belati yang diputar dengan
kekuatan tenaga dalam itu membentur dada Raja Petir.
Lelaki bergigi tonggos itu
terkejut bukan kepalang. Semula di pikirannya terlintas kalau tubuh pemuda
berpakaian kuning keemasan akan koyak terhantam senjatanya.
"Hhh...!"
Lelaki bergigi tonggos menarik
napasnya yang tersengal setelah mengerahkan jurus 'Sepasang Belati Mengibas
Gunung' dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Tangan kanannya dirasakan linu
setelah benturan itu terjadi.
"Bagaimana? Masih ingin
menyerang lagi?" tanya Jaka dengan suara begitu tenang dan memperlihatkan
kewibawaan yang membuat Ketua Gerombolan Pembegal Hutan Jati tak kuasa menjawab
pertanyaannya.
"Ayo!" tiba-tiba
saja lelaki berambut merah menggerakkan tangan dan memerintahkan teman-temannya
untuk meninggalkan Raja Petir dan Mayang Sutera.
"Hai! Dua temanmu ini
kenapa tak kau bawa serta?!" seru Jaka melihat dua lelaki yang tertotok
jalan darahnya dibiarkan begitu.
Ketua Gerombolan Pembegal
Hutan Jati dan anak buahnya sedikit pun tak menoleh. Mereka terus berlari tanpa
memikirkan keadaan dua temannya yang masih terkulai lemas di tanah.
Raja Petir melangkah mendekati
dua lelaki bertubuh pendek yang terkulai tak berdaya. Mata dua lelaki itu
menyiratkan rasa ketakutan. Barangkali keduanya khawatir Jaka akan menghabisi
nyawa mereka sekarang juga.
"Kalau aku orang jahat,
mungkin esok pagi kalian tak akan dapat menikmati sinar matahari pagi. Sekarang
juga tubuh kalian akan menjadi bangkai! Namun aku tak mungkin melakukan hal
itu, Kisanak Kehidupan dan kebinasaan bukan berarti di tanganku dan aku tak
punya hak untuk itu. Kehidupan dan kebinasaan hanya semata hak Tuhan Yang Maha
Esa yang menentukan. Kita manusia tak ubahnya seperti boneka mainan yang setiap
saat harus menerima apa yang diingini-Nya. Kalau Kisanak berdua sadar akan hal
itu, maka tak akan menjadi anggota gerombolan pembegal yang selalu berurusan
dengan perbuatanperbuatan merugikan orang lain," papar Jaka panjang lebar.
Dua lelaki bertubuh pendek
berpakaian serba hitam itu hanya menundukkan kepala, namun dalam hati keduanya
membenarkan ucapan Raja Petir.
"Ampunkan kami, Tuan
Pendekar!" ucap salah seorang lelaki yang bermata sipit. Kepalanya sedikit
terangkat untuk dapat menyaksikan wajah Raja Petir.
"Ya. Ampuni kami. Raja
Petir!" sambut lelaki yang lain. Kepalanya juga terangkat untuk memandang
wajah tampan pendekar muda itu. "Kami janji akan memisahkan diri dari
Kakang Senagarta, kami akan keluar dari Gerombolan Pembegal Hutan Jati, kami
akan kembali ke masyarakat sebagai orang baik yang selalu hidup saling hormat
menghormati," lanjut lelaki berhidung besar dengan kepala menunduk penuh
hormat.
"Kalian dapat memegang
janji itu?" tanya Mayang Sutera tegas.
"Tentu saja,
Nini," jawab lelaki berhidung besar.
"Ya, Nini,"
timpal kawannya. "Kami akan memegang janji itu."
"Kalau kalian
mengingkari...?"
"Penggallah kepala kami,
Nini! Kami rela," sahut lelaki bermata sipit sungguh-sungguh.
"Baiklah," sahut
Jaka. "Siapa yang berdusta dengan janjinya, pasti akan termakan dustanya
yang mengundang bahaya lebih besar. Kau ingat itu!" lanjutnya. Kemudian
tangan kanannya terangkat dan meluncur cepat melepaskan totokan di tubuh dua
lelaki berpakaian hitam itu.
Tuk! Tuk! "Akh!"
"Aaa...!"
Dua lenguhan tertahan pun
terdengar berturut-turut mengiringi menggelinjangnya tubuh dua lelaki yang
tertotok tangan Raja Petir.
"Pergilah kalian, dan
ingat janji itu!" perintah Mayang Sutera tegas.
"Baik Nini," sahut
dua lelaki itu bersamaan. Keduanya bangkit lalu berlari meninggalkan Raja Petir
dan Mayang Sutera.
"Hup!"
"Hup!"
Sesaat setelah kedua anak buah
Gerombolan Pembegal Hutan Jati menghilang dari hadapannya. Raja Petir dan
Mayang Sutera melanjutkan perjalanan yang sempat terhalang.
Hari sudah semakin tua usianya.
Sinar jingga di ujung bagian barat sudah hampir menghilang, berarti malam akan
segera tiba menggantikan sore. Hawa dingin pun mulai merambat menyelubungi
bumi. Beberapa ekor kelelawar beterbangan mulai mencari mangsa.
"Kita cari penginapan
dulu, Mayang," ujar Jaka dengan langkah kaki pendek sambil menuntun
pergelangan tangan gadis cantik yang begitu dikasihinya.
"Ya. Besok pagi kita cari
sepasang mudamudi yang telah membunuh Ki Amongdrajat dan beberapa
muridnya," sahut Mayang Sutera dengan tatapan mata mesra jatuh ke wajah
tampan Raja Petir.
***
6
Matahari baru beranjak dari
peraduannya. Hutan Grantang yang masih dalam lingkup wilayah Desa Gedalewa
terlihat mendapatkan sinar yang cukup. Terlebih jalan setapak yang membatasi
Hutan Grantang dengan perumahan penduduk yang terlihat berjejer dengan jarak
sekitar lima belas batang tombak.
Dua lelaki penduduk desa
nampak berjalan sambil memperbincangkan sesuatu. Dari sikap dan pakaian mereka,
jelas kedua penduduk desa itu termasuk orang persilatan. Atau paling tidak
keduanya kini tengah menuntut ilmu pada salah satu perguruan yang ada di
desanya. "Kasihan Ki Amongdrajat ya, Jat," ujar lelaki tinggi kurus
yang mengenakan baju putih dan celana longgar warna hitam.
"Ya, kejadian benar-benar
di luar dugaan...," sambut temannya yang bernama Jajat. "Tapi lebih
kasihan lagi Kakang Satria. Baru tiga hari dia merasakan keindahan hidup
berumah tangga, eh, sudah harus kembali menghadap Tuhan."
"Hm...! Sepasang
muda-mudi yang bersenjata samurai itu pasti memiliki kepandaian yang tinggi, ya
Jat. Bukrinya Ki Amongdrajat sendiri yang memiliki ilmu tinggi mampu
dibinasakannya."
"Ya. Kalau tidak? Uh! Ki
Amongdrajat mana bisa ditundukkan," timpal Jajat.
Ahyar manggut-manggut
menimpali kebenaran ucapan Jajat. Keduanya pun terus melangkahkan kaki dengan
pembicaraan yang tak lepas dari masalah kematian Ketua Perguruan Gelombang
Timur. Cerita itu didengar dari guru mereka Ki Wanadara, yang juga berkawan
akrab dengan Ki Amongdrajat.
"Yar!" tiba-tiba
Jajat berseru kaget ketika melihat dua orang yang mendadak muncul dari kelokan
jalan. Dua orang itu sepasang mudamudi yang mengenakan pakaian warna putih dan
ungu. Di punggung keduanya tersampir senjata panjang dengan hulu berbentuk
kepala seekor naga.
"Jat!
Sepertinya...," Ahyar tak melanjutkan ucapannya, sementara matanya
memperhatikan ciri-ciri sepasang muda-mudi yang terus berjalan semakin
mendekat.
"Bisa kalian tunjukkan di
mana letak perguruan yang dekat dari sini?" tanya gadis cantik berpakaian
ungu yang tak lain Parameswari.
Jajat dan Ahyar tak segera
menjawab pertanyaan gadis cantik itu.
"Jangan takut, kami tak
akan berlaku kasar kalau kalian mau menunjukkan perguruan terdekat dari tempat
ini," ujar Parameswari kemudian.
"Kalian seperti orang
asing di tempat ini," tukas Jajat memberanikan diri. Ucapan itu
seolah-olah keluar tanpa disadari. Mungkin karena rasa gentar yang tiba-tiba
menyeruak di hatinya, setelah mengenali ciri-ciri yang dimiliki sepasang
muda-mudi itu. Atau barangkali karena dirinya salah seorang murid Perguruan
Banyu Biru. Dari ciri-cirinya, Ahyar dapat memastikan bahwa kedua orang asing
inilah pembunuh Ki Lurah Amongdrajat dan menantunya.
"Kami memang orang asing
di sini, karena itu kami bertanya pada Kisanak berdua," ujar Parameswari.
"Untuk apa kalian mencari
perguruan di dekat sini...?" tanya Ahyar ingin tahu.
"Hm...." Parameswari
bergumam tak jelas. "Apa untungnya kau mengetahui maksud kami?" balik
Parameswari bertanya dengan nada ketus.
Ahyar tak menjawab pertanyaan
gadis cantik berpakaian warna ungu itu.
"Katakan cepat!"
bentak Parameswari. Wajah gadis cantik itu mulai memancarkan kebengisan.
Ahyar dan Jajat hanya membisu
mendengar bentakan cukup keras itu. Tak sadar kaki keduanya telah mundur dua
langkah.
"Hm...," kembali
Parameswari bergumam menyaksikan kelakuan dua lelaki yang ditanyainya.
Sring!
Dengan kecepatan yang
mengagumkan, Parameswari meloloskan samurai dari warangkanya. "Jika kalian
tak mau bicara! Samurai inilah
yang akan bicara!" gertak
Parameswari menuding wajah Ahyar dan Jajat dengan samurainya.
Ahyar dan Jajat yang sudah
bisa membaca maksud buruk sepasang muda-mudi itu tetap membungkam. Kenyataan
itu membuat Parameswari naik pitam. Maka tanpa banyak cakap gadis cantik itu
melesat cepat dengan samurai teracung ke udara.
"Haiit...!" Wuut!
Bret! Bret!
"Aaa...!"
"Akhkh...!"
Hanya dalam satu gebrakan
kedua pemuda murid Perguruan Banyu Biru itu telah roboh di ujung samurai
Parameswari. Kedua warga Desa Gedalewa itu terkapar tak bernyawa dengan dada
terbelah. Pakaian mereka basah berlumuran darah.
"Hh...!" Parameswari
menarik napas dalam setelah membersihkan ujung samurai dengan pakaian dua
lelaki yang telah dibunuhnya.
"Ayo, Kak Bucho! Kita
lanjutkan pencarian pendekar-pendekar desa ini," ajak Parameswari dalam
bahasa yang hanya dimengerti mereka berdua.
"Hayo!" sambut
lelaki bermata sipit yang mengenakan pakaian putih longgar. Rambutnya yang
tergerai nampak bergerak-gerak dihembuskan angin siang itu.
Sepasang muda-mudi yang sejak
kedatangannya telah menghebohkan kalangan persilatan itu berjalan ke arah timur
Desa Gedalewa. Sepasang samurai yang tersampir di punggung mereka, membuat
keduanya dikenal sebagai Sepasang Samurai Maut.
"Kau lihat Kak Bucho,
bangunan itu seperti apa?" tanya Parameswari pada Buchohanco dengan telunjuk
menunjuk sebuah bangunan megah yang dari bentuknya layak disebut sebagai sebuah
perguruan.
"Seperti sebuah
perguruan, Wari," jawab Buchohanco dalam bahasa asing.
"Yah. Berarti sekarang
kita akan berpesta, membantai pendekar-pendekar yang berada di dalam perguruan
itu. Hi hi hi...! Ayo, Kak Bucho!"
Parameswari menarik tangan
lelaki bermata sipit dengan sikap yang terlihat mesra. Dan lelaki itu dengan
segera mengikuti ajakan wanita cantik yang tak lain kekasihnya.
* * *
"Kami ingin bertemu
pimpinan perguruan ini," ujar Parameswari setelah langkah kakinya sampai
di dekat bangunan yang ternyata sebuah perguruan. Pada sebuah batu sebesar
kerbau nampak nama perguruan tertulis dengan jelas. Banyu Biru.
"Siapa kalian dan ada
perlu apa ingin bertemu dengan ketua kami?" tanya lelaki bertubuh tinggi
tegap. Lelaki yang bersenjata sebilah golok besar itu tampaknya penjaga gerbang
perguruan.
"Lancang sekali kau ingin
mengetahui urusan gurumu sendiri!" sahut Parameswari dengan suara ketus.
"Kau belum pantas menjadi seorang murid jika sikapmu seperti itu,"
lanjutnya dengan suara membentak keras.
Lelaki penjaga Perguruan Banyu
Biru tersentak kaget mendapatkan bentakan seperti itu. Maka dengan sikap gagah
penjaga gerbang itu maju satu langkah.
"Kalian yang tak tahu
tata kesopanan! Seharusnya kalian tahu apa kedudukan orang seperti kami yang
bertugas menjaga keamanan perguruan ini! Sudah sewajarnya kalau kami ingin tahu
tujuan kedatangan kalian ke sini. Dan hal ini sudah mendapat restu dari
pimpinan kami," balas penjaga pintu gerbang Perguruan Banyu Biru dengan
kata-kata yang terdengar mantap dan tegas.
"Hm..., begitu?"
gumam Parameswari dengan tatapan dingin menusuk
Srat! Bret!
"Aaa...!"
Pekik melengking tinggi kontan
keluar dari mulut lelaki penjaga yang bertubuh tegap itu. Dadanya telah koyak,
tersambar ujung samurai yang digerakkan Parameswari dengan kecepatan sukar
diikuti tatapan mata biasa.
Saking cepatnya sambaran
senjata gadis berpakaian ungu, penjaga gerbang itu tak sempat bergerak dari
tempatnya dan langsung ambruk tanpa nyawa. Kenyataan itu membuat penjaga yang
lain segera menghunus senjata mereka yang berupa golok-golok besar.
"Perempuan setan!"
maki penjaga bertubuh tinggi kurus. Goloknya sudah terangkat melewati kepala
dengan kuda-kuda siap melakukan serangan.
"Hiaatt...!"
"Tahan!"
Sebuah bentakan keras sempat
menghentikan maksud lelaki bertubuh tinggi kurus. Dan seorang lelaki tua yang
tak lain Ki Wanadara telah melompat menghadapi Sepasang Samurai Maut.
"Kau pemimpin perguruan
ini?" tanya Parameswari dengan samurainya masih tergenggam erat di tangan.
"Ya. Ada urusan apa
hingga kalian membuat kekacauan di sini?" balik Ki Wanadara dengan sikap
memperlihatkan kewibawaannya sebagai Ketua Perguruan Banyu Biru.
"Aku putri tunggal Ki
Tambak Seta. Jika kau mengingat atau pernah kenal nama itu, berarti kau tahu
pula julukan ayahku. Dengan begitu kau mengetahui pula kejadian yang telah
menimpanya, serta Perguruan Selimut Iblis...," ujar Parameswari tegas.
"Tambak Seta...!"
ulang Ki Wanadara dengan raut wajah menyimpan keterkejutan.
"Ya. Tambak Seta!"
tegas Parameswari. "Kurasa nama Tambak Seta tidaklah hanya
satu di jagad yang amat luas
ini, Nisanak. Sebutkan Tambak Seta mana yang kau maksudkan, dan apa nama
julukannya!" pinta Ki Wanadara berupaya menutupi keterkejutannya.
Sesungguhnya lelaki tua itu merasa pernah kenal dengan Tambak Seta, bahkan
pernah menyatroni perguruannya pada belasan tahun silam. Namun apakah Tambak
Seta yang dimaksudkan gadis cantik berpakaian ungu di hadapannya adalah Tambak
Seta yang pada belasan tahun silam pernah membuat heboh dengan sepak
terjangnya? Pikir Ki Wanadara mulai bertanya-tanya.
"Dengar baik-baik, Tua
Bangka!" ujar Parameswari ketus. "Dari keterkejutanmu ketika
kusebutkan nama Tambak Seta, aku bisa menarik kesimpulan kalau kau pernah
mendengar namanya. Atau bahkan kau ikut bersekongkol melenyapkan keluarga dan
perguruannya! Tambak Seta ayahku, tokoh yang berjuluk Iblis Kematian dan ibuku
yang berjuluk Dewi Perenggut Nyawa. Sedangkan perguruannya belasan tahun silam
secara tak adil dibumihanguskan oleh para pendekar sekadipaten Sunyilaga. Kau
tentunya pernah mendengar nama Perguruan Selimut Iblis," sambung
Parameswari dengan tatapan mata membara memperlihatkan dendamnya yang sekian
lama terpendam.
"Jadi..., kau yang telah
menyingkirkan,Ki "
"Ya. Dan sekaranglah
giliranmu. Bersiap-
lah!" sergah Parameswari
sambil dengan perlahan tapi mantap mengangkat samurainya melewati bahu.
Ki Wanadara dalam keadaan
diliputi rasa terkejut menarik mundur langkahnya, mempersiapkan kedudukan untuk
menjaga kemungkinan yang paling buruk. Tangan kanannya tampak sudah mulai
meraba hulu senjatanya yang berupa cambuk berwarna biru gelap.
"Jaga seranganku, Ki!
Hiaatt...!"
Parameswari langsung bergerak
dengan tangan menebaskan samurai terarah ke dada Ketua Perguruan Banyu Biru
itu.
Wuung...!
"Yaps! Heaa!"
Ki Wanadara menghentakkan kaki
ketika serangan itu mencapai depan dadanya. Seketika tubuh lelaki tua itu
mencelat ke udara. Sementara tangannya dengan cepat meloloskan cambuk yang terlilit
di perut. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam yang tak tanggung-tanggung,
Ketua Perguruan Banyu Biru itu menghentakkan cambuknya.
"Hih!"
Wuut! Wuutt...!
Ctar! Ctar...!
"Aits...!"
Gantian Parameswari yang
melompat ke belakang. Gerakan yang dilakukannya tampak sangat indah dan ringan,
bahkan mendaratnya pun tak menimbulkan suara yang berarti.
Pada saat Parameswari baru
menjejakkan kakinya di tanah, dua orang murid Perguruan Banyu Biru telah
menyongsongnya dengan tebasan dan tusukan golok besar, terarah ke pinggang dan
dadanya.
"Hiaatt...!"
"Hyaa...!" Bet! Wut!
Kejelian dan kecepatan gerak
yang dilakukan gadis cantik berpakaian warna ungu itu sempat membuat serangan
yang dilancarkan dua murid Perguruan Banyu Biru hanya membentur tempat kosong.
Bahkan sebaliknya, sekali saja Parameswari menggerakkan tangannya yang
menggenggam samurai, dua pekik kematian berturut-turut memecah suasana
pelataran perguruan itu.
Bret! Bret!
"Akhkh...!"
"Aaa...!"
Dua tubuh berpakaian serba
biru itu seketika berkelojotan di tanah dengan dada terkoyak. Darah segar pun
mengucur membasahi tubuh mereka.
"Perempuan iblis!"
maki Ki Wanadara menyaksikan kematian dua orang muridnya. Mata lelaki setengah
baya yang mengenakan pakaian biru itu membelalak murka. Matanya membara seperti
mata naga terluka.
"Hih! Haaiit...!"
Kemarahan Ketua Perguruan
Banyu Biru tak terkendalikan. Tubuhnya melesat cepat dengan pecut yang siap
dihentakkan ke kepala gadis Parameswari. Namun sebelum niat Ki Wanadara
kesampaian, Buchohanco si lelaki bermata sipit pun bergerak dari samping kanan.
"Hoaatt...!" Wuung!
Tas! "Heh?!"
Ki Wanadara terkejut bukan
kepalang mendapatkan senjatanya putus menjadi dua, tersambar samurai
Buchohanco. Tubuhnya pun terdorong mundur ketika dua senjata itu bertemu di
udara. Jelas menandakan kalau tenaga dalamnya berada di bawah tenaga dalam
pemuda berpakaian serba putih itu.
"Hih...!"
Meski agak goyah, Ki Wanadara
berhasil mendarat di tanah. Tatapan matanya tetap tertuju pada wajah lelaki
berambut panjang tergerai dan bermata sipit itu.
"Hebat sekali tenaga
dalamnya," batin Ki Wanadara seraya menghela napas dalam-dalam berusaha
menenangkan perasaan.
Sementara Buchohanco yang juga
sudah mendaratkan kakinya dengan kedudukan kudakuda sempurna, tampak menatap
tajam wajah Ki Wanadara dengan sorot mata yang penuh nafsu membunuh. Senjatanya
segera diletakkan menyilang di depan dada.
"Hrgr...!"
Buchohanco menggereng keras.
Kedua tangannya mengangkat samurai tinggi-tinggi. Lelaki bermata sipit dari
negeri Jepang itu bersiap menyerang Ki Wanadara yang sudah tanpa senjata.
"Hoaatt...!"
***
7
Pekikan keras terdengar
mengiringi melesatnya sosok lelaki berpakaian putih dengan senjata yang
berputar cepat hingga menimbulkan deru angin.
Ki Wanadara sempat terkesima
menyaksikan kecepatan gerak lawan dan kehebatan perputaran samurai. Namun
kemudian tubuhnya melenting ke udara untuk mengelakkan serangan secepat kilat
itu. Lelaki tua berpakaian serba biru itu ternyata masih mampu mempertunjukkan
kebolehannya.
"Yaps!" Wuung!
Sambaran senjata Buchohanco
hanya membentur tempat kosong. Namun Ki Wanadara sempat menghela napas ketika
merasakan betapa kuat sentakan angin yang timbul dari babatan samurai itu.
Buchohanco yang mendapatkan serangannya berhasil dipatahkan lawan nampak semakin
geram. Mata pemuda itu semakin jelas menyiratkan hawa membunuh yang kian
bergejolak. Maka segera saja dia menyiapkan serangan susulannya.
"Hoaatt...!"
Tubuh Buchohanco melesat
dengan gerakan lebih cepat. Perputaran samurainya pun menimbulkan deru yang lebih
kuat. Namun....
Wuung! Trang! "Osh!"
Pemuda bermata sipit itu
tersentak kaget. Tubuhnya terpental balik sebelum sempat menyambar tubuh Ki
Wanadara. Suara dentangan tadi ternyata ditimbulkan sebuah benda kecil yang
meluncur dengan kecepatan tinggi dan membentur samurainya. Benturan itu seakan
mengandung suatu kekuatan dahsyat hingga membuat tubuh Buchohanco terpental ke
belakang. Pemuda berpakaian serba putih itu bersalto di udara demi mementahkan
daya dorong akibat benturan dua tenaga yang cukup kuat.
Jligk! "Hrgghg !"
Buchohanco menggeram seraya
menatap tajam sesosok tubuh berpakaian kuning keemasan yang mendadak sudah
berada di samping kiri Ki Wanadara. Tatapan matanya membara penuh kemarahan.
Ki Wanadara yang melihat
kehadiran Raja Petir merasakan kelegaan hati. Ketua Perguruan Banyu Biru
menyadari bahwa dirinya tak akan mampu menghadapi permainan samurai pemuda
asing itu. Namun terhadap Raja Petir, pemuda Jepang itu belum tentu dapat
berbuat sekehendak hatinya.
"Untung kau cepat dating,
Raja Petir. Kalau tidak..."
"Lupakan itu, Ki!"
potong Jaka dengan tatapan mata tak lepas pada wajah dingin Buchohanco.
Parameswari yang menyaksikan
kehadiran sosok Jaka segera saja bergerak mendekati Buchohanco. "Jadi kau
yang berjuluk Raja Petir?" tanya gadis cantik berwajah ayu itu.
"Orang-orang menyebutku
begitu...," jawab Jaka dengan suara datar.
"Hm...!" Parameswari
bergumam tak jelas, lalu tatapan matanya dialihkan ke arah wajah Buchohanco.
"Kita harus berhati-hati
menghadapi orang yang satu ini, Kak Bucho," ujar Parameswari dengan bahasa
yang tak dimengerti oleh Jaka, Ki Wanadara, juga Mayang Sutera yang sudah
berdiri di samping kekasihnya.
"Ya. Aku sudah
mengetahuinya dari tenaga yang disalurkan melalui kerikil untuk menggagalkan
maksudku melenyapkan tua bangka itu!" jawab Buchohanco.
"Raja Petir!"
panggil Parameswari dengan suara kasar. "Kalau selama ini pendekarpendekar
di Tanah Jawa ini tak kuasa mengimbangi ilmu kedigdayaan yang kau miliki, itu
tak akan berlaku bagi diriku. Apalagi terhadap Kak Bucho. Sepasang Samurai Maut
akan segera mengubur dirimu yang besar kepala karena bisa melemparkan
kerikil." Parameswari tersenyum sinis lalu mencibirkan bibirnya.
Terhadap ucapan gadis cantik
berpakaian ungu itu. Raja Petir hanya mengembangkan senyum sebelum membalas
perkataannya yang terkesan begitu merendahkan.
"Aku memang tak memiliki
kepandaian apa-apa, Nini. Karena aku hanyalah seorang manusia yang lemah. Aku
tahu, hanya Tuhan yang memiliki kepandaian paling tinggi. Segala bentuk
kepandaian adalah kepunyaan-Nya. Maka janganlah sesekali bersombong diri hanya
karena memiliki senjata samurai. Senjatamu hanya pantas digunakan untuk
memotong rumput, Nisanak," ucap Jaka membalas perkataan Parameswari yang
merendahkan.
"Banyak cakap juga kau
rupanya, Raja Petir. Tapi tak apa, puaskanlah kau berbicara, sebentar lagi
dirimu akan terkubur oleh ketajaman dan kehebatan Sepasang Samurai Maut,"
kilah Parameswari seraya memamerkan samurainya.
"Akan kuhadapi samuraimu
dengan tangan kosong, Nini," tantang Jaka memancing kemarahan gadis cantik
berbaju ungu.
"Kurang ajar! Kupotong
lidahmu, Keparat!" hardik Parameswari dengan kaki maju selangkah. Seiring
dengan terangkatnya kaki Parameswari, Mayang Sutera yang berdiri di sisi Raja
Petir pun melakukan hal yang sama.
"Biar aku yang
menghadapinya, Kakang! Kau hadapi saja lelaki sipit itu!" pinta Mayang
Sutera tegas.
Raja Petir tak menimpali
permintaan kekasihnya. Namun kepalanya meneleng ke kanan dengan tangan tergerak
ke muka memberikan isyarat bahwa dirinya tak keberatan Mayang Sutera menghadapi
Parameswari.
"Hips!"
Tiba-tiba tubuh Mayang Sutera
melesat cepat keluar dari pelataran Perguruan Banyu Biru. Gerakannya yang
ringan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa merupakan peringatan bagi
Parameswari agar tak meremehkan dirinya.
"Hm...!" Parameswari
bergumam tak jelas. "Hop!" dengan hentakan kaki dia menyusul sosok
Mayang Sutera yang telah keluar dari pekarangan perguruan milik Ki Wanadara.
Jlig!
"Ternyata kau punya
kebolehan juga, Nini," gumam Parameswari setelah kakinya mendarat di
hadapan Mayang Sutera dengan jarak hampir dua tombak.
"Kau pikir cuma kamu
perempuan yang memiliki kepandaian, heh?!" balas Mayang Sutera ketus.
Parameswari tak membalas
ucapan kekasih Raja Petir. Hanya tatapan matanya yang tertuju lurus ke wajah
cantik gadis bergaun jingga itu.
Mayang Sutera pun segera
membalas tatapan tajam Parameswari. Sehingga dalam beberapa saat kedua gadis
cantik itu terlibat saling tatap dengan sikap siap bertarung.
* * *
Sementara Mayang Sutera dan Parameswari
terlibat pertarungan yang menentukan hidup dan mati, di lain tempat terjadi
juga hal yang sama. Nampak Raja Petir tengah memperlihatkan kemampuannya di
hadapan pemuda bersenjata samurai itu.
"Keluarkan seluruh
kemampuanmu mempermainkan samurai butut itu!" tantang Raja Petir.
"Ngh...!"
Buchohanco meski tak mengerti
ucapan lawan, bisa membaca sikap mengejek yang dilakukan Raja Petir. Seketika
gerengan kemarahan pun terdengar dari mulutnya.
"Hoaatt...!"
Tubuh lelaki berjubah putih
itu melesat seiring dengan pekik kemarahannya. Lesatannya yang cepat membuat
rambut panjangnya berkibar-kibar. Sementara samurainya diputar hebat hingga
menjelmakan angin kencang yang menimbulkan deru yang sangat keras.
Wrr...!
Wuung! "Eits!
Hea...!"
Raja Petir segera melesat
dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir', ketika ujung samurai Buchohanco
sejengkal lagi menyentuh kulitnya. Tubuh Jaka sudah melesat bagai lidah petir.
Namun Buchohanco bukanlah
jenis pemuda yang mudah menyerah. Meski serangannya hanya menyambar tempat
kosong, dengan gerakan yang tak terbaca lawan sebuah serangan susulan kembali
dikirim dengan cepat dan beruntun.
Wung! Wuung!
Berturut-turut ujung samurai
Buchohanco mencecar dada Raja Petir. Kenyataan itu membuat pendekar muda
berpakaian kuning keemasan itu harus melenting ke udara menghindari maut yang
mengincar nyawanya.
Tanpa membuang-buang waktu,
Buchohanco memburu tubuh Raja Petir. Dua tubuh kini nampak di udara saling
kejar. Kecepatan gerak kedua pemuda itu membuat tubuh mereka tampak seperti
bayangan kuning dan putih saling berkelebat.
"Hhh...! Hebat sekali
ilmu samurai lelaki sipit itu," gumam Raja Petir di tengah perputaran
tubuh yang dilakukannya. "Kecepatan dan tenaga dalamnya pun hebat."
Ternyata Buchohanco pun
merasakan hal yang sama. Meski tak henti-henti dia menebasnebaskan samurainya,
hati pemuda Jepang itu memuji kehebatan lawan dalam menghindari setiap serangan
yang mengandung hawa kematian. Sungguh, baru kali ini Buchohanco mendapatkan
perlawanan yang berarti. Selama ini orang yang menjadi lawannya hanya mampu
bertahan dalam lima atau enam kali tebasan samurainya.
"Hebat sekali dia! Ilmu
meringankan tubuhnya begitu sempurna," kata hati Buchohanco memuji.
"Akan kucoba terus. Mampukah dia bertahan terus dalam kedudukan tercecar."
"Hoaatt...!" Wuuung!
Wuung!
Buchohanco terus membabatkan
samurainya dengan kekuatan tenaga dalam yang semakin ditambah. Sasarannya kali
ini adalah leher Raja Petir. Entah bagaimana akibatnya jika sambaran itu
mengenai sasaran.
Namun Raja Petir yang sudah
mulai mampu membaca arah sambaran samurai lawan, secepat kilat bergerak ke
kanan. Setelah itu segera dihentakkan kakinya kuat-kuat hingga tubuhnya
melenting ke atas melewati ujung samurai Buchohanco.
Pada saat itulah Raja Petir
merubah siasat pertarungan. Semula dirinya hanya bertahan dengan jurus 'Lejitan
Lidah Petir', kini ganti memberikan serangan balasan dengan mengerahkan jurus
'Petir Menyambar Elang'.
"Hiaa...!"
Tubuh Raja Petir meluruk turun
dengan kecepatan bagai gerakan elang raksasa menyambar anak ayam. Kedudukan
tangan kirinya berada di depan hendak menebas leher lawan.
Bet! Wuung!
Di luar dugaan, Buchohanco
melakukan gerakan cepat dengan memindah samurainya ke tangan kiri. Lalu dengan
gerakan cepat menebaskannya untuk memapak sambaran tangan lawan.
Melihat apa yang dilakukan
lawannya, tangan kanan Raja Petir yang semula dipersiapkan untuk menghantam
dada Buchohanco akhirnya digerakkan cepat untuk menghalau sambaran samurai yang
mengancam lambungnya.
"Hih!" Plak!
"Aaakh!"
Buchohanco terpekik ketika
sambaran tangan kanan Raja Petir menghantam siku kirinya. Tubuhnya terdorong
dua langkah ke belakang. Samurainya terlepas jatuh ke tanah.
Pada saat itu pula tubuh Raja
Petir melesat untuk melancarkan serangan susulan dengan tendangan terarah ke
pinggang Buchohanco.
"Hiaa...!" Blugk!
Tendangan Raja Petir
menghantam telak pinggang kanan Buchohanco. Tubuh pemuda yang terbalut pakaian
putih itu terjungkal lalu bergulingan ke tanah.
Patut dipuji daya tahan lelaki
dari negeri Jepang itu. Tubuhnya serta-merta bangkit, meski tendangan keras
telah menghantam telak pinggangnya. Namun kebangkitannya kali ini tidak untuk
melakukan serangan. Buchohanco hanya berdiri dengan sikap kuda-kuda rendah dan
tangannya diletakkan di depan dada.
Mata Buchohanco tiba-tiba
beralih menatap samurainya yang tergeletak di tanah. Mendadak senjata itu
bergerak. Seperti ada yang memerintah samurai itu melesat melakukan tebasan
dahsyat ke tubuh Raja Petir. Ki Wanadara dan beberapa orang muridnya yang
menyaksikan pertarungan dari pelataran Perguruan Banyu Biru tersentak
menyaksikan kehebatan ilmu yang dimiliki lelaki bermata sipit itu. Tatapan
mereka terpaku pada samurai yang mampu bergerak sendiri.
"Heh?! Aits!"
Raja Petir yang juga terkejut
menyaksikan keanehan ilmu Buchohanco, langsung melenting ke udara. Namun
samurai yang diduga digerakkan dengan kekuatan batin itu terus mengejar, ke
mana pun tubuhnya bergerak menghindar.
"Hhh...! Akan kucoba
kehebatan samurai ini dengan 'Aji Kukuh Karang'," ujar Jaka dalam hati.
Maka ketika tubuhnya kembali mendarat, sebuah ajian yang dahsyat pun sudah
tercipta. Mendadak bagian dada hingga kepala Raja Petir terbungkus sinar kuning
menyilaukan mata, begitu pula pada bagian lutut hingga ujung kaki. Dan ketika
samurai melesat memburu tubuhnya, maka....
Wuung! Jraps!
Samurai yang digerakkan
Buchohanco dengan mengerahkan kekuatan tenaga batin menempel di tubuh Raja
Petir. Lelaki bermata sipit itu terkejut bukan kepalang. Sehingga tak sadar
matanya menatapi samurai yang menempel pada tubuh lawan.
Pada saat itulah dengan
kekuatan yang dahsyat, Raja Petir menghentakkan samurai yang menempel di
tubuhnya.
"Hiaaa...!" Brett!
Wuuung! Crab! "Aaakh...!"
Buchohanco terpekik ketika
samurainya dengan kecepatan yang tak terduga, menghunjam telak di dadanya.
Tubuh lelaki bermata sipit itu langsung terjungkal di tanah. Nyawanya melayang
termakan senjata miliknya sendiri.
"Kak Bucho!"
Parameswari berteriak kuat
ketika mendengar jerit kematian kekasihnya. Dibiarkan saja Mayang Sutera. Kini
gadis cantik berpakaian ungu itu berlari menghampiri tubuh Buchohanco yang
terkapar kaku dengan samurai terhunjam di dadanya.
"Kak Bucho! Kita akan
pergi bersamasama," teriak Parameswari dengan isak tangis yang memilukan.
Raja Petir dan Mayang Sutera
tak berbuat sesuatu, keduanya hanya berdiri di tempat masing-masing memandangi
kelakuan Parameswari.
"Kau memang hebat, Raja
Petir," tukas Parameswari dengan tatapan tajam menusuk ke wajah Jaka.
"Karena kehebatanmu yang telah berhasil membinasakan Buchohanco, maka aku
bukan apa-apa lagi bagimu. Aku akan pergi bersama Kak Bucho kekasihku.
Hih!"
Sreet!
Raja Petir dan Mayang Sutera
terkejut menyaksikan tangan kanan Parameswari yang menggenggam samurai bergerak
ke atas. Dengan cepat, gadis cantik itu menggorok lehernya sendiri.
"Ukh...!"
Parameswari mengerang
perlahan. Tubuhnya berkelojotan sesaat lamanya. Dan ketika darah yang memancur
dari lehernya bertambah banyak, nyawanya pun segera berpindah ke alam lain.
"Begitu setia dia pada
kekasihnya, Kakang," gumam Mayang Sutera dengan kaki yang semakin
mendekati Raja Petir.
"Kesetiaan yang salah,
Mayang," sangkal Jaka pelan. "Seharusnya dia tak bunuh diri. Bukankah
tobat jalan yang paling terbaik?" lanjutnya seraya menoleh wajah
kekasihnya.
Mayang Sutera tak menjawab
ucapan Raja Petir. Tampak gadis itu menatap sosok kaku Sepasang Samurai Maut
dengan penuh iba. Kemudian matanya beralih menatap wajah Raja Petir.
"Begitulah manusia,
Kakang," ucapnya pelan dengan tangan menarik tangan sang Kekasih.
TAMAT
No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 23: Sepasang Samurai Maut"
Post a Comment