Serial Pendekar Bayangan Sukma: 01 Pedang Pusaka Dewa Matahari
01 Pedang Pusaka Dewa Matahari
1
Malam itu angin bertiup lembut. Suasana jalan agak sunyi. Walau dari kejauhan terdengar kentongan walau agak samar-samar. Hujan pun mulai turun rintik-rintik, membuat penghuni setiap rumah merasa lebih enak berdiam diri di dalam daripada keluar.
Begitu pula dengan penghuni sebuah rumah yang halamannya ditumbuhi pohon besar. Kepala rumah tangga itu bernama Kartonggolo. Seorang petani yang bertubuh tegap karena dilahirkan dari desa. Istrinya bernama Warsih Inten. Agak mengherankan, Karena istrinya seorang perempuan yang mungil dan manis. Lain dengan suaminya yang bertubuh besar tetapi wajahnya tampan.
Mereka merupakan keluarga yang bahagia. Apalagi sejak dikaruniai seorang putra yang kini berusia lima tahun, keluarga itu semakin berbahagia. Warsih Inten sangat menyayangi anaknya. Anak yang diharapkan dapat melindungi orang tuanya di hari kelak nanti.
"Madewa...." panggilnya lembut pada anak yang sedang bermain dibalai-balai. "Ayo tidur. Hari sudah larut malam, Nak." Bocah itu mengangkat wajahnya. Tatapannya yang bundar dan indah berputar menatap ayah dan ibunya bergantian.
Bocah itu mengangguk.
"Ibu tidak tidur?" tanyanya. "Ibu mau tidur."
"Ayah?"
Kartonggolo yang sedang memikirkan akan kemajuan sawahnya mengangguk pula. "Ayo kamu tidur sana dulu Nanti Ayah
menyusul."
Bocah itu langsung merebahkan tubuhnya di balai-balai itu pula. Warsih Inten menunggui sampai anak itu terlelap. Betapa sayangnya dia dengan anaknya. Dia ingin anaknya bisa tumbuh melebihi ayahnya.
Tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. Kertonggolo bangkit dengan sigap. Ia menyambar goloknya yang tersampir di pagar rumah. Istrinya bangkit dengan ketakutan. Gemetar memegangi lengan suaminya.
Jelas saja mereka kuatir. Karena akhir-akhir ini sering kali terjadi perampokan yang diiringi dengan perkosaan. Bahkan sering kali terjadi pembunuhan yang sadis. Kartonggolo menenangkan istrinya. Lalu membentak keluar, "Siapa di luar?!" Disangkanya suara yang seram dan galak yang menyahut, tapi suara lembut
dan menggigil yang terdengar, "Saya." "Saya siapa?!"
"Nama saya Pandan Ningsih. Mohon dibukakan pintu, karena di luar dingin sekali."
Kartonggolo ragu-ragu. Tapi istrinya mendesak agar dia mau membuka pintu. Warsih Inten tidak tega mendengar suara yang menggigil itu. Dia membayangkan, bagaimana dinginnya di luar sana.
Dengan golok siap mengayun, Kartonggolo membuka pintu. Pelan-pelan dan hati-hati. Tidak ada yang menyerbu masuk, padahal kalau ada, pasti buntung lehemya ditebas golok itu.
"Oh!" Warsih Inten menjerit. Ia berlari ke luar. Sosok tubuh wanita menggigil kedinginan. Warsih Inten merangkulnya mengajak masuk. "Silahkan, Dik."
Wanita itu diam. Ia berwajah cantik. Tubuhnya padat dan indah. Bibirnya agak kebiruan karena menahan dingin. Kartonggolo menutup pintu kembali. Memperhatikan istrinya yang sibuk memberikan kain penghangat pada wanita itu.
Warsih Inten pun memberikan pakaiannya sendiri untuk dipakai wanita itu. Setelah itu dia bertanya, "Adik dari mana dan mau ke mana?"
Wanita itu masih menggigil. Dan mendadak dia terisak.
"Saya... kabur dari rumah. "
"Kenapa?"
"Ibu saya ingin mengawinkan saya dengan laki-laki tua.... Saya tidak mau. Saya tidak suka dengan bandot tua itu. Tapi... Ibu memaksa... dia mengancam akan membunuh saya kalau tidak mau mengikuti kehendaknya.
Saya takut, Kak. Saya takut. Saya lari dari rumah. Dan kemalaman di desa ini. "
Lagi-lagi Warsih Inten membayangkan kalau saja dirinya yang dijodohkan demikian, tentu dia akan berbuat hal yang sama seperti Pandan Ningsih.
Pandan Ningsih terisak lagi. Dulu dalam angannya, dia menginginkan seorang perjaka yang perkasa yang mampu melindunginya, bukan duda yang jelek itu!
Isaknya itu membuat Warsih Inten semakin iba. Tanpa minta persetujuan suaminya, ia m-nyuruh wanita itu menginap di rumahnya. Sampai beberapa hari lamanya Pandan Ningsih menginap. Warsih Inten senang, karena setiap kali suaminya ke sawah ia ada yang menemani selain putranya yang bernama Madewa Gumilang.
Bahkan Warsih Inten mengambil Pandan Ningsih sebagai pengasuh anaknya. Pandan Ningsih menerima usul itu sebagai balas budi kebaikan Warsih Inten.
Mereka lalui hari-hari itu dengan penuh kegembiraan. Kecerian Pandan Ningsih muncul kembali. Setiap pagi dan sore dia mengajak Madewa Gumilang bermain. Madewa pun akrab dengan gadis itu.
Ketika Madewa berusia enam tahun, malapetaka itu pun terjadi. Malam itu Warsih Inten terbangun. Ia heran melihat suaminya tidak berada di sampingnya. Dengan masih tanda tanya dia bangkit keluar kamar. Sayup-sayup dia mendengar suara cekikikan dan desah nafas turun naik dari kamar Pandan Ningsih. Dia cekikikan dengan siapa?
Hal itu membuat Warsih Inten menjadi heran dan penasaran. Apalagi ketika dicari ke setiap sudut rumah, suaminya tidak ada. Kalau hendak keluar rumah, suaminya selalu bilang hendak pergi. Dengan hati-hati Warsih Inten mengintip dari lubang kunci. Dan dia tersentak. Benar-benar pemandangan yang mengejutkan. Dia melihat suaminya tengah menggumuli tubuh Pandan Ningsih yang cekikikan dan bergelinjang keenakan. Keduanya dalam keadaan telanjang bulat! Menggigil tubuh Warsih Inten.
Sambil menggigit bibir marah dia terhuyung ke belakang. Tatapan matanay seakan berkunang-kunang. Kepalanya pusing bukan kepalang. Ternyata suaminya telah mengkhianatinya. Juga Pandan Ningsih yang tega-teganya merebut suaminya. Apa dia telah melupakan, kalau setahun yang lalu gadis itu ditolongnya? Entah perbuatan yang keberapa yang mereka lakukan itu.
Tetapi kejadian itu didiamkan saja. Sikap Warsih Inten tetap seperti biasa. Walau dia geram sekali setiap kali melihat Pandan Ningsih. Hanya saja kalau setiap kali suaminya ingin k-butuhannya dilayani, dia menolak. Beberapa kali Kartonggolo hanya mendiamkan saja, mengira istrinya sedang tidak enak badan. Namun setelah beberapa kali Warsih Inten tidak mau melayaninya, Kartonggolo menjadi kesal. Dengan geram dia menampar pipi istrinya hingga memerah. Warsih Inten menangis terguguk. Sementara Madewa yang terbangun hanya diam saja. Dia tahu orang tuanya tengah bertengkar, tapi dia tidak tahu apa masalahnya.
Kartonggolo menggeram jengkel. "Keterlaluan kau, Warsih! Hampir sepuluh kali aku minta padamu, tapi kau selalu menolak. Menolak. Sungguh keterlaluan!" Kartonggolo bersunggut-sunggut. Ia sama sekali tidak tahu apa penyebab keengganan istrinnya itu. Warsih Inten tidak mau mendapat bagian yang bekas. Dia hanya ingin memiliki Kartonggolo seorang!
Kartonggolo akan membentak lagi, namun didahului oleh istrinya, "Kau yang keterlaluan, Karto!" jerit Warsih Inten diiringi isaknya. "Kau hendak menyamakan aku dengan pelacur, kau samakan aku dengan barang mainanmu. Aku tidak sudi!" Jelas saja Kartonggolo tidak mengerti apa yang dikatakan istrinya. Ia tetap mengira istrinya belum mengetahui
belangnya.
"Kau bicara apa, Warsih?"
Warsih Inten terguguk. "Kau jahanam, Karto! Kau jalang! Kau telah menodai kesetianku. Kau anggap aku ini apa, Karto?" Warsih Inten menangis tersedu-sedu. Dipeluknya Madewa Gumilang yang hanya diam saja. Tapi merasakan kesedihan ibunya karena ibunya menangis. Sekarang sadarlah Kartonggolo.
Kalau hubungan gelapnya dengan Pandan Ningsih sudah diketahui istrinya. Dia mendesah. Diam-diam dia menyesali perbuatan hina itu. Ya, dia telah menodai tirai perkawinan yang telah lama mereka bina. Dia telah menghancurkan harapan istrinya yang ingin bersandar padanya selama-lamanya. Tiba-tiba Kartonggolo berlutut di kaki istrinya. Matanya memancarkan sorot penyesalan dan minta maaf. Dia menangis di hadapan istrinya. "Warsih... maaf... maafkan aku. Aku bersalah. Pandan Ningsih yang merayuku,
aku...aku, khilaf, Warsih. "
Warsih Inten masih terguguk. Perlahan dia menghapus air matanya. Sebagai wanita yang mencintai suaminya, Warsih Inten memaafkan perbuatan suaminya. Ia memegang kedua bahu suaminya. Dan mengangguk. Tetapi tiba-tiba muncul Pandan Ningsih dengan senyum yang mirip iblis betina.
"Hik... hik... rupanya ada sandiwara yang mengharukan di kamar ini...." suaranya pun lain seperti biasanya.
Kartonggolo bangkit dan membalik. "Pandan Ningsih!" geramnya marah. Gara-gara wanita ini rumah tangganya nyaris berantakan. "Enyah kau dari sini! Cepat! Sebelum kemarahanku naik " Pandan Ningsih tersenyum. Sedikit pun tidak takut akan marahnya kartonggolo.
"Hik... hik... dasar laki-laki. Mau enaknya saja. Kau telah merenggut keperawananku, Karto. Kau telah enak-enakan menggoyang tubuh di atas tubuhku. Dan sekarang... kau ingin membuangku begitu saja. "
Kartonggolo semakin marah. Betina ini tidak takut dengannya rupanya. Dengan gusar ia mengayunkan tangannya. Wuut! Pukulannya lewat ke samping.
Entah bagaimana Pandan Ningsih sudah berkelit ke samping.
"Hik... hik. "
Kartonggolo kaget serangannya gagal. Ia akan menyerang lagi. Tapi tiba-tiba tatapan matanya berbenturan dengan mata Pandan Ningsih. Tatapan itu begitu mesranya. Kartonggolo yang tadinya marah, tiba-tiba menjadi senang. Dia malah berbalik memeluk Pandan Ningsih. Rupanya Pandan Ningsih seorang wanita yang menguasai hipnotis, karena dengan mudahnya Kartonggolo bisa dipengaruhi.
Pandan Ningsih terkikik. "Hik... hik... inilah ganjaran untuk ayahmu, Warsih Inten. Ayahmu yang menghamili ibuku, sehingga aku terhina. Dan
mereka meninggalkan kami dalam keadaan sengsara. "
Betapa geramnya Warsih Inten melihat adegan itu". Dengan mesra sekali suaminya mengecup bibir Pandan Ningsih yang dibalas dengan tak kalah mesranya. Tiba-tiba dia bangkit dengan kemarahan membludak. Menyerang Pandan Ningsih dengan kalap.
Tetapi Pandan Ningsih cukup mengelak sedikit saja, hingga pukulan itu luput. Malah ia sempat memukul bagian belakang Warsih Inten hingga terpelanting ke sudut kamar.
"Aaaaah!"
Pandan Ningsih hanya tertawa. Sementara Kartonggolo hanya tersenyum. Sedikit pun dia tidak berniat untuk menolong istrinya. Dia terus menciumi Pandan Ningsih dengan penuh nafsu.
"Ibu!" jeritan itu terdengar. Madewa Gumilang berlari memburu ibunya yang berdarah mulutnya. Lalu berbalik ke arah Pandan Ningsih dengan marah. "Perempuan jahat! Kenapa kau pukul Ibu? Kasihan Ibu!"
"Hik... hik... hik... bocah, bocah.
Besar pula nyalimu."
"Kau jahat. Kau pukul Ibu. Aku akan membalas!" seru Madewa kecil sambil menyerang. Pandan Ningsih hanya terkikik. Lalu menendang Madewa hingga mengaduh keras. Tapi rupanya bocah itu belum puas. Dia menyerang lagi. Ditendang lagi. Menyerang lagi. Ditendang lagi. Sampai kehabisan tenanga sendiri.
"Kau bocah berani. Aku suka padamu," desis Pandan Ningsih sambil mengeliat dari ciuman Kartonggolo yang sudah dibuai nafsu. Lalu ia mengajak Kartonggolo untuk rebahan di ranjang. Di hadapan istri dan anaknya, Pandan Ningsih bermain cinta dengan Kartonggolo!
Dada Warsih Inten seakan mau pecah. Tangisnya seakan mau meledak. Dia tak kuasa melihat adegan itu. Tiba-tiba dia menyambar tubuh anaknya lalu berlari jauh-jauh meninggalkan rumah. Tawa keenakan Pandan Ningsih mengiringi kepergiannya. Hancur sudah harapan yang dibangun Warsih Inten sejak muda. Harapan yang diimpikannya untuk hidup bahagia bersama suami dan anak tercinta. Ia terus berlari menembus kegelapan malam. Didiamkan saja anaknya yang memanggil-manggil ayah.
Dia harus bisa mendidik Madewa agar menjadi orang baik. Tidak sesat seperti ayahnya, yang disangkanya dewa penolong dalam kehidupannya.
Menjelang pagi, baru Warsih Inten beristir-hat. Madewa sudah tertidur dalam dekapannya. Letih baru dirasakan sekarang. Langkahnya terasa enggan. Kakinya terasa kaku. Ia merebahkan Madewa di atas rumput lembut. Lalu ia sendiri bersandar di batu besar. Angin bertiup dengan semilir. Membuat ia semakin mengantuk. Tak terasa ia tertidur.
Dalam tidurnya dia bermimpi, kalau dia dan suaminya sedang berada di sebuah taman yang indah. Dan Madewa kecil berlari di sekitar mereka. Mimpi yang indah.
Tetapi begitu Warsih Inten terbangun, ia menemukan dirinya berada di luar mimpinya. Jauh berbeda dengan mimpi indahnya. Perlahan-lahan ia teringat berada di mana. Juga mengapa berada di tempat itu. Ini semua gara-gara wanita iblis itu. Diliriknya Madewa yang tengah menggeliat.
Dan terbangun. Ia melihat ibunya tengah menatapnya. Wajah Ibu nampak pilu. Penuh dengan beban yang sarat. Entah kenapa tahu-tahu Madewa bangkit dan bertanya, "Ibu lapar?"
Warsih Inten tersenyum. Ia menggeleng.
"Bohong. Ibu kelihatannya lapar. Biar Dewa petikan buah ya, Bu? Di hutan ini pasti banyak pohon buah. Ibu tunggu, ya?"
Tanpa mendengarkan jawaban ibunya, Madewa sudah berlari ke dalam hutan. Ia menemukan sebuah pohon jambu. Dipetiknya yang ranum-ranum. Dan dibawakannya untuk ibunya.
Warsih Inten terharu melihat anaknya datang dan meletakkan petikannya di hadapannya.
"Ini buat Ibu. Ayolah Bu, dimakan." Warsih Inten tersenyum. Ia memakan sebuah. Dan dirasakan betapa segar tenggorokannya sekarang. Ia melihat ke atas. Matahari sudah tinggi sekali. Karena terhalang oleh tingginya pohon sinarnya tidak bisa menembus ke tanah. Melihat Ibunya tersenyum, Madewa gembira. Ia menyodorkan sebuah lagi.
"Ayo, bu."
Warsih Inten tertawa pelan. Ia senang Madewa mengikutinya. Dan dia bangga Madewa kecil tidak cerewet. Mendadak Warsih Inten tercenung. Di mana mereka akan tidur nanti malam? Juga malam-malam selanjutnya. Madewa menyangka ibunya sudah tidak ingin memakan buah itu lagi. Ia membungkus buah jambu itu dengan bajunya.
Sikap Madewa tetap gembira. Sudah lama dia tidak bermain di luar rumah. Dan sekarang, Ibu mengajaknya bermain jauh dari rumah. Betapa senangnya. Apalagi kalau ayah ada bersama mereka.
Menjelang malam, barulah Madewa agak cerewet. Ia tak tahan kedinginan. Dipeluknya tubuh ibunya untuk mendapatkan kehangatan. Warsih Inten balas memeluk erat. Dirasakan sekali tubuh anaknya menggigil. diciuminya anaknya dengan penuh kasih sayang. Kalau saja tidak ada wanita yang bernama Pandan Ningsih itu, pasti malam ini dia tidur dalam pelukan suaminya. Juga Madewa yang tersenyum dalam tidurnya.
Setelah Madewa tertidur, Warsih Inten bangkit perlahan-lahan. Dia harus mencari tempat yang agak terlindung dari udara yang menusuk ini. Dengan sekuat tenaga ia menyongsong udara dingin itu. Betapa sulitnya berjalan di udara dingin. Tanpa putus asa Warsih Inten terus merambah kegelapan.
Tak lama kemudian, dia melihat sebuah gua agak besar. Bayangan tu tampak terlihat karena sinar bulan yang menjadikan tempat itu agak terang. Karena pohon-pohon di sekitar sana tidak begitu tinggi.
Tanpa menghiraukan ada binatang buas, Warsih Inten memasuki gua itu. Agak lumayan, udara dingin tidak begitu menusuk. Udara di sekitar gua, lembab. Agak hangat. Banyak pula ditumbuhi rumput-rumput. Diletakkannya Madewa ke rumput itu. Diselimuti oleh baju luarnya. Dan dia pun tertidur karena letihnya.
* * *
Sepuluh tahun telah lewat. Tempat di sekitar sana tidak banyak berubah. Tetap menyeramkan dan dingin kalau malam.
Tiba-tiba terdengar seruan, "Ibu!
Ibu! Aku datang!" Dari dalam gua itu, keluar seorang wanita separuh baya. Wajah wanita itu masih cantik. Tubuhnya pun masih padat. Namun masih terdapat sisa-sisa duka yang telah melandanya. Ia menyongsong seruan tadi, "Kali ini kau dapat apa, Nak?"
Pemuda itu menunjukkan hasil buruannya pada ibunya. "Lihat, Bu. Kijang kecil ini enak untuk dimakan."
Wanita itu tersenyum. Ia bangga dengan anaknya yang telah tumbuh menjadi pemuda gagah. Tidak sia-sia dia bertahan untuk hidup selama 10 tahun di gua itu. Dengan daun-daun dan ikan yang bisa dimakan, anaknya tumbuh menjadi orang kuat. Gemblengan alam yang dahsyat secara tak langsung menambah keperkasaan anaknya.
Yah, wanita cantik itu tak lain adalah Warsih Inten dan pemuda itu adalah anaknya, Madewa Gumilng. Sepuluh tahun mereka tinggal di gua itu tanpa kekurangan suatu apa. Hanya saja Madewa yang sekali-sekali suka mengingat-ingat ayahnya. Tetapi sekarang sudah tidak lagi. Malah anak itu percaya kalau ayahnya sudah mati. Warsih Inten tidak mau anaknya ingat akan ayah iblis itu. Biarlah suaminya bersenang-senang dengan wanita setan bernama Pandan Ningsih itu, yang penting, mereka tidak kurang suatu apa.
"Bu!" panggil Madewa. "Ayo kita panggang kijang ini. Pagi ini kita pesta daging kijang panggang!"
Warsih Inten tersenyum. "Persiapkanlah sesuatunya." Madewa segera sibuk. Menyembelih.
Mengeluti. Dan memanggang. Tak lama kemudian, keduanya sudah asyik menikmati kijang panggang. Benar-benar santapan yang mengasyikan.
Malam harinya Madewa berpamitan, akan berburu kijang yang lebih besar lagi di pedalaman hutan. Pertaman-tama Warsih Inten menolak, tetapi anaknya terus memaksa. Hingga mau tak mau dia mengizinkan,
Maka malam itu pula, Madewa berangkat dengan gembira.
"Aku pergi dulu, Bu! Sebelum pagi tiba, aku sudah berada di sini, Bu!"
Warsih Inten mengangguk. Menatap kepergian anaknya dengan hati was-was, karena baru kali ini, Madewa punya niat untuk berburu malam.
Setelah Madewa pergi, dia kembali masuk ke dalam gua. Dalam kesendiriannya itu, Warsih Inten teringat betapa hangat dan tentramnya rumahnya dulu. Alangkah enaknya kalau sekarang mereka berada bersama-sama. Madewa pasti sudah punya adik. Dan mereka akan mengarungi hari tuanya bersama suaminya. Entah bagaimana nasib suaminya sekarang. Warsih Inten sudah tidak tahu.
Tak terasa kantuk mulai menyerangnya. Ia tertidur. Terlalu ngantuk kalau menunggu anaknya pulang. Menjelang tengah malam, dia terbangun. Dari luar terdengar langkah-langkah berat. Memasuki gua! Mendadak Warsih Inten berdebar. Siapakah di sana? Anaknyakah yang sudah kembali? Tidak, tidak mungkin. Langkah itu terdengar ramai. Bertanda tidak satu orang. Berarti bukan anaknya. Hati-hati
Warsih Inten beringsut agak ke dalam. "Lumayan tempat ini, Kakang,"
terdengar suara itu. Agak berat dan menyeramkan. "Kita terhalang dari dingin."
"Ya... kita bisa membagi hasil rampokan ini di sini. Mana hasilnya, Rengga. Coba kau nyalakan lilin, Toban?" Yang dipanggil Toban menyalakan lilin. Dari ujung sana, Warsih Inten bisa melihat betapa menakutkannya wajah ketiga orang itu. Kalau didengar percakapannya tadi, jelas mereka perampok-perampok. Dan akan membagi hasil rampokannya di sini. Dalam hati Warsih Inten berdoa, semoga saja orang-orang itu tidak menyadari hadirnya dia di sana.
Ketika orang itu sibuk membagi hasil. Rengga dan Toban tidak banyak cakap, meskipun hasil yang diterimanya sedikit. Mangkara memang ketua mereka. Ia tersenyum puas melihat hasil rampokan mereka kali ini.
Tiba-tiba saja Rengga berseru, "Hei, ada daging panggang di sini."
Serentak mereka menoleh. Rengga mengambil daging itu. Kelihatannya masih baru. Mendadak dia mencabut goloknya. Dan berbisik, "Hati-hati, Kakang. Rupanya tempat ini berpenghuni!"
Yang lain pun mencabut golok mereka. Hati Warsih Inten semakin berdebar ketakutan. Untuk melarikan diri susah. Jalan keluar satu-satunya dikuasai oleh orang-orang itu. Dan dadanya semakin berdebar ketika orang-orang itu mulai melangkah mendekat. Untuk bernafas saja dia tidak berani.
Doanya tidak dikabulkan Tuhan. Mendadak ia tersuruk ke depan. Tangannya telah ditarik oleh seorang dari mereka. Dan kilatan golok tajam itu akan menyambar.
Namun, "Tahan, Rengga!" seru Mangkara. Ia memperhatikan orang itu. "Hei, seorang wanita! Untung tidak langsung kau bunuh. Ha-ha-ha... lumayan, untuk penghangat tubuh di udara dingin begini."
"Jangan... jangan, Tuan...." rintih Warsih Inten ketakutan.
Tetapi Mangkara hanya tertawa saja. Juga Rengga dan Toban. Biar sudah agak tua, tetapi tubuh wanita ini masih padat. Masih hangat untuk dipakai.
Mangkara mencolek dagu Warsih Inten. "Jangan takut, Manis. Kami tahu kau kedinginan. Jangan kuatir, sebentar lagi tubuhmu akan panas menyentak-neyentak."
"Jangan... jangan... lakukan itu padaku... jangan... oh!"
Breet!
Mangkara sudah tidak sabar. Ia menarik baju Warsih Inten hingga robek bagian dada. Dan langsung menampakkan buah dada yang masih segar itu.
Ketakutan Warsih Inten menutupi dengan kedua tangannya. "Jangan Tuan... jangan lakukan itu. Kasihanilah
saya.... Jangan, jangaaaaann!" Tetapi Mangkar tak perduli. Dengan buasnya ia menubruk tubuh Warsih Inten. Menggumulinya hingga wanita itu kehabisan tenaga. Dan terkulai lemah. Dengan leluasa, Mangkara melucuti pakaiannya. Dan memperkosanya dengan buas. Air mata meleleh di pipi Warsih Inten. Dia tidak dapat berbuat apa-apa pada orang yang tengah berada di atas tubuhnya dengan dengus nafas yang memburu. Penderitaan itu masih datang lagi.
Puas memperkosa, Mangkara tersenyum. Ganti Rengga yang melakukan itu. Lalu Toban. Mangkara rupanya belum puas, dia kembali menggumuli tubuh Warsih Inten.
Wanita itu pasrah. Tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil menahan sakit, dia menggigit lidahnya hingga putus. Kejadian ini lebih menyakitkan. Maka tak ada jalan lain, Warsih Inten memutuskan untuk bunuh diri. Soal Madewa Gumilang, dia yakin, anaknya bisa menentukan jalan sendiri.
Mangkara mendengus begitu mengetahui wanita itu sudah menjadi mayat. "Setan! Dikasih enak tidak mau!" geramnya sambil meludahi tubuh Warsih Inten yang telanjang bulat.
"Ha... ha... kau sudah dua kali menggumulinya, Kakang," kata Renggaa tertawa.
"Ha... ha... benar, benar. Lumayan tubuh wanita itu. Masih hangat. Untung kau menemukannya untuk kita."
Ketiga orang biadab itu tertawa. Menjelang pagi, baru mereka meninggalkan tempat itu. Meninggalkan begitu saja mayat Warsih Inten yang telanjang bulat. Hanya berselisih beberapa menit saja, Madewa Gumilang kembali dari berburu. Di tangannya terdapat empat ekor kelinci gemuk. Di bahunya sebuah kijang tersampir. Ia memasuki gua dengan
gembira.
"Ibu!"
Suaranya menggema. Tidak ada sahutan Ibu. Madewa heran, biasanya Ibu selalu keluar jika dipanggil. Ah, mungkin Ibu sedang mandi di sungai. Madewa meletakkan hasil buruannya. Tetapi mendadak matanya terbentur pada daging panggang yang kini telah habis. Tidak mungkin Ibu yang memakan semua ini. "Ibu!" panggilnya seraya masuk ke
dalam. Dan mendadak dia terbelalak. Sesosok tubuh telanjang tergeletak di depannya. Mayat Ibu. Sudah dingin, bertanda Ibu sudah lama meninggal.
"Ibu!" jerit Madewa parau. Ia menangis di atas tubuh Ibunya. Madewa sadar kalau ibunya telah diperkosa orang dan membunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri. Dibukanya pakaiannya. Ditutupinya tubuh itu.
Madewa menyesal telah meninggalkan ibu semalam. Tapi tak guna menyesali kematian Ibu. Dia harus segera mencari orang-orang biadab itu.
Dengan hati-hati dimakamkannya tubuh ibunya. Madewa bersujud di depan kuburan itu. Dan bersumpah, "Aku tahu hidupmu tidak tenang di sana sebelum kubunuh orang yang telah melakukan perbuatan keji terhadapmu. Izinkanlah anakmu mencari pembunuhmu, Ibu."
Tanpa menghiraukan hasil buruan dan guanya, Madewa berlari meninggalkan semua itu. Dia harus bisa mencari pembunuh ibunya. Dia harus mencari!
Tak tahu arah, Madewa terus melangkah.
* * * 2
Pagi itu udara cerah. Sang surya baru naik setapak. Suasana di sekitar tempat itu sunyi. Hening. Hanya desir angin yang terdengar, juga suara burung yang menjerit-jerit. Kelihatan jelas kalau tempat itu telah lama tidak dikunjungi orang. Tempat yang jauh di dasar jurang.
Tetapi derap langkah itu bagaikan menyentak alam yang tidur menjadi bangun. Suasana langsung berubah. Lima orang yang bertubuh tegap dan berwajah seram datang mendekati tempat itu. Kelihatan pula kalau mereka orang-orang yang baru menjajagi tempat itu, karena mereka pun masih agak heran.
"Sreet!" seorang yang berberewok tebal tiba-tiba mencabut goloknya. Ia menatap keempat temannya yang kelihatan anak buahnya, karena hanya dia yang memakai angkin merah.
"Kita bersiap! Kita sudah memasuki daerah Ki Rengsersari!" Suaranya keras, mengandung tenaga dalam yang lumayan.
Serentak yang lain bersiap pula, mencabut golok masing-masing. Jelas mereka adalah orang-orang satu perguruan, karena golok mereka semua sama.
"Di mana goa tempat kediaman Ki Rengsersari, Kakang Tirawana?" tanya yang memakai ikat kepala kuning.
"Tak jauh dari sini! Kita bersiaga. Ki Tua itu punya ilmu pandangan menembus sukma. Matanya bisa menembus jarak yang jauh sekali. Apalagi kita berada di sekitar sini, pasti bajingan tua itu telah mengetahui kedatangan kita!"
Tak ada yang bersuara lagi. Mata mereka menjaga waspada. Ketenaran Ki Rengsersari sebagai jago tua yang berjuluk Pendekar Ular Sakti memang membuat orang berdebar mendengarnya. Jurus-jurus ularnya sangat mematikan. Sayang, jago tua itu beberapa tahun yang lalu menarik diri dari rimba persilatan, karena tidak berhasil memiliki murid yang akan diwarisi ilmunya. Namun kemudian orang baru tahu apa penyebab yang sebenarnya. Telah tertiup kabar, kalau Ki Rengsersari memiliki sebuah pusaka yang hebat. Pedang Pusaka Dewa Matahari yang menjadi heboh dan pembicaraan orang, konon memiliki keampuhan lebih hebat dari pedang siluman Mata Air kepunyaan Nini Wulandari. Nenek tua yang tak kalah hebatnya dengan Ki Rengsersari.
Pedang itu pun pernah menjadi rebutan antar jago-jago, yang akhirnya berhasil direbut oleh Kebo Winata. Namun herannya sang perebut mati dibunuh orang. Dan pedang lenyap serta pembunuh tidak diketahui siapa orangnya.
Kali ini orang lebih tertarik dengan pedang yang dimiliki Ki Rengsersari. Banyak pendekar-pendekar yang datang untuk merebut. Sekarang ini yang datang, Lima Gembong dari Sungai Hitam. Jago-jago kenamaan yang sepak terjangnya sangat dibenci orang. Karena kerja mereka hanya merusak, merampok, memperkosa dan membunuh!
Orang-orang itu semakin mendekati goa yang berada di balik rimbunnya semak. Mereka tidak bersuara lagi. Keadaan kembali hening. Terasa mencekam. Bahkan desir angin pun tak terdengar. Mereka seolah tahu, kalau sebentar lagi akan ada pertempuran yang dahsyat.
Tirawana diam-diam meraba pinggangnya. Dan tangannya mendadak bergerak ke arah goa. Terdengar desingan senjata rahasia yang berupa jarum-jarum berbisa. Itu yang dinamakan senjata rahasia sirip ikan. Yang sekali kena orang bisa langsung mampus kelojotan.
Tirawana yakin, senjatanya kali ini mampu mengalahkan Ki Rengsersari. Tetapi tidak terdengar jeritan apa-apa dari dalam. Suasana semakin mencekam. Beberapa menit telah lewat. Tetap tidak ada perubahan apa-apa dari dalam goa. Tirawana mengangkat tangannya ke atas, memberi aba-aba agar segera masuk.
Bertepatan dengan kakinya melangkah, terdengar tawa nyaring dari belakang mereka.
Tirawana langsung berbalik dan melempar-kan senjata rahasianya. Lagi-lagi tidak ada yang mengaduh. Tidak ada yang kelojotan.
"Hati-hati! Bangsat tua itu berada di sini!" geram Tirawana jengkel. Berarti, sejak tadi Ki Rengsersari tidak berada di dalam goa.
Tiba-tiba terdengar tawa dari atas batu besar. Entah dari mana datangnya Ki Rengsersari sudah berdiri di atas batu itu. Kakek tua yang sakti. Jubah putihnya menambah keangkerannya.
"Apa maksud kalian datang kemari, Orang-orang gagah?" tanyanya bergetar. Dan terlihat kelima Gembong dari Sungai Hitarn itu secara refleks menutup kuping mereka. Ternyata suara Ki Rengsersari mengandung tenaga dalam yang hebat.
Tapi bukan Gembong dari Sungai Hitam kalau tidak mampun menahan serangan tersembunyi itu. Masing-masing segera mengerahkan tenaga dalam mereka, untuk menghalau suara yang bising.
Tirawana mendengus. Wajahnya menampak-kan kegeraman yang luar biasa. "Jangan banyak cakap, Ki Tua!
Serahkan Pedang Pusaka Dewa Matahari kepada kami!"
Ki Rengsersari tertawa ngakak. Ia mengenali orang-orang yang datang itu. "Kata siapa aku memiliki pusaka yang ampuh itu, hah? Kau telah dikelabui
orang, Tirawana!" Katanya bijaksana. "Aku tidak senang berbasa-basi. Kau
serahkan pedang itu atau tidak?" "Sudah kukatakan, aku tidak
memiliki pedang itu!"
"Bangsat kau, Ki Tua!" geram Tirawana jengkel.
"Kau jangan terlalu dibuai emosimu, Tirawana. Aku sudah tua, untuk apa memiliki pedang pusaka itu. Tak ada gunanya aku memiliki pusaka itu. Aku sudah tidak bertenaga lagi. Dengar Tirawaria... aku sama sekali tidak memiliki pedang itu. Ada orang yang menyebarkan kabar bohong kepadaku. Entah maksud orang itu apa. Tetapi karena ulahnya, aku selalu ditimpa kesusahan dari setiap yang ingin merebut pedang itu. Padahal aku tidak memilikinya. Dan juga kalian, yang hari ini akan membuat kesusahan padaku..."
Kata-kata Ki Rengsersari membuat darah Tirawana mendidih. Dengan dalih apa pun dia tidak percaya kalau Ki Tua itu tidak memiliki pusaka yang diimpikan setiap orang.
"Tak ada jalan lain, Ki Tua! Kami, Lima Gembong dari Sungai Hitam, akan mengadu nyawa denganmu. Demi pedang pusaka.... Kau atau kami yang mati!!"
"Tahan!" seru Ki Rengser sebelum Tirawana menyerang. "Tak ada gunanya kita bertempur. "
Belum habis kata-kata Ki Rengser, Tirawana sudah menyela, "Bangsat! Kau menghinaku, Ki Tua! Bilang kalau kau menantang kami! Lihat serangan!"
Sehabis berkata begitu, Tirawana langsung menyerang. Goloknya yang besar langsung berkelebat. Sambaran anginnya begitu deras. Ki Rengser menunduk sedikit, tanpa menggerakkan tubuhnya. Golok itu lewat di atas kepalanya. Belum lagi dia berdiri tegak, golok-golok yang lain sudah menyambar bergantian. Dengan mempergunakan jurus Ular Meloloskan Diri, Ki Rengser bisa menghindari setiap serangan itu.
Melihat serangan mereka gagal, Tirawana menggeram marah. Dia menerjang kembali. Goloknya kembali berkelebat. Bahkan dibarengi dengan lemparan senjata rahasianya. Ki Rengser menahan serangan itu dengan sapuan jubahnya.
Sreeet!
Senjata rahasia itu berbalik kepada tuannya!
"Bangsat!" Tirawana bersalto menghindar.
"Tak ada gunanya kita teruskan pertempuran ini, Orang-orang gagah!" kata Ki Rengsersari. "Kita hanya menanamkan bibit permusuhan. "
"Ki Tua! Kalau kau serahkan pedang pusaka itu, kami akan meninggalkan tempat ini dengan damai. Cepat berikan kepada kami!"
Ki Rengsersari menggeleng-geleng. "Aku tidak memiliki pusaka itu. "
Sampai di situ Ki Rengser bicara, mereka menerjang kembali. Serangan dahsyat datang dari Tirawana. Jurus-jurunya begitu hebat. Suatu ketika keduanya behadapan. Dengan mengguna-kan ilmu peringan tubuhnya, Tirawana menyambar dari sana-sini.
"Des!" benturan kedua tangan menyambar. Tirawana terpelanting ke belakang, sedangkan Ki Rengsersari hanya terhuyung.
Tetapi Tirawana cepat bangkit. Ia menerjang lebih galak lagi. Kali ini Ki Rengsersari menyambutnya. Gerakannya sungguh tak terduga. Seakan tanpa tenaga, tapi mampu merubuhkan Tirawana dengan sekali pukul!
"Pukulan bayangan sukma!" jerit Tirawana dan ambruk ke tanah untuk tidak bangun lagi. Itulah jurus inti yang dimiliki oleh Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti. Konon ilmu itu didapat ketika dia mengembara ke Tiongkok. Dengan ilmu itu pulalah Ki Rengsersari disegani lawan maupun kawan, di samping ilmu jurus ularnya yang ampuh. Keempat adik seperguruannya tersentak. Narawana memburu kakangnya. Dan kegeramannya semakin menjadi-jadi begitu mengetahui kakangnya sudah menjadi mayat. Sambil menjerit hebat dia
menerjang.
"Dik Nara!" seru Jinawana kaget. Tak menyangka Narawana senekat itu. Dia pun menerjang untuk membantu. Terdengar bentakan dan jeritan. Dua tubuh ambruk sekaligus. Dengan tubuh hancur dan tak bernyawa! Borawana dan Dinawana terkejut. Keduanya berpandangan. Sama-sama mengangguk. Mereka harus menuntut kematian tiga orang seperguruan mereka. Nyawa dibalas nyawa. Dengan serentak mereka menyerang Ki Rengsersari. Tetapi tetap tak ada gunanya serangan itu.
Lagi-lagi terdengar jeritan dengan debaman keras. Tubuh kedua orang itu pun terhempas ambruk. Dan nyawa mereka segera menyusul yang lain. Kini rimba persilatan telah kehilangan Lima Gembong dari Sungai Hitam. Perlahan Ki Rengsersari menghela nafas. Memperhatikan mayat-mayat itu.
Hatinya galau. Dia geleng-geleng kepala melihat perbuatannya. Tetapi salah mereka sendiri, tidak mau mengerti penjelasannya. Walaupun begitu, Ki Rengsersari sedih. Tanpa sadar air matanya menitik di pipi.
"Hari ini, telah kucabut lima nyawa sekaligus. Entah berapa banyak yang kemarin dan berapa banyak yang akan datang," desah pendekar tua itu pilu. Dia menengadah menatap langit. "Tuhan... kapan ini akan berakhir? Semakin hari usiaku semakin bertambah. Aku semakin tua. Tetapi semakin hari semakin banyak nyawa yang kucabut. Aku seolah melangkahimu, Tuhan. Ah... mereka benar-benar tidak percaya kalau aku tidak memiliki pusaka yang ampuh itu. Siapa lagi yang ingin membuat onar, hingga tega-teganya menyebarkan isu itu padaku. "
Ki Rengsersari menunduk. Memperhatikan mayat-mayat itu lagi. Mayat-mayat orang yang serakah. Dan mendadak kepalanya menegak. Pandangannya yang mampu menembus gunung, melihat seseorang datang padanya. Pemuda tampan berpakaian biru muda dan membawa bun-talan di pundaknya.
"Hmm, ada apa lagi ini? Oh, Tuhan...
apa aku harus mencabut nyawa pemuda ini juga?" desah Ki Rengsersari sambil melangkah ke goa persembunyiannya. Dia merasa lebih enak berada di sana. Menunggu apa yang akan diperbuat. pemuda itu.
Pemuda yang dilihat oleh ilmu menembus sukma itu, sudah tak jauh dari tempat keributan tadi. Dialah Madewa Gumilang. Putra Warsih Inten yang mencari pembunuh ibunya. Sudah sekian jauh dia melangkah, belum terlihat tanda-tanda pemerkosa dan pembunuh ibunya. Setiap kali Madewa ingat, dia begitu terpukul. Apalagi ibunya mengalami nasib itu tanpa dia di sisinya. Betapa pedih dan sakitnya ibunya diperlakukan demikian oleh orang-orang biadab itu. Madewa tak sanggup membayangkannya.
Mendadak dia berhenti melangkah. Pandangannya terbentur pada mayat-mayat yang bergeletakan. Melihat mayat-mayat itu, dia teringat akan mayat ibunya.
"Apa yang telah terjadi di sini?" serunya heran. "Tubuh ini hancur. Betapa kejamnya yang membunuh."
Di dalam goa, Ki Rengser menahan pilu hatinya. Tidak, aku tidak bermaksud membunuh mereka. Hanya mereka yang memaksaku.
Madewa tak tahan melihat mayat-mayat itu. Ia mengumpulkan mayat-mayat itu menjadi satu. Lalu mencari batu karang yang agak cadas dan tajam. Ki Rengser terkejut melihat apa yang hendak dilakukan pemuda itu.
Madewa menguburkan kelima mayat itu. Hampir sejam dia melakukannya. Tubuhnya bersimbah peluh. Ia duduk beristirahat. Merenung, merenungkan apa yang baru saja dilakukannya. Dan berpikir, bagaimana caranya menemukan pembunuh ibunya. Sedangkan ciri-ciri mereka sama sekali tidak diketahuinya. Mendadak dia menoleh. Dari arah samping terdengar deheman. Membuyarkan lamunannya. Ki Rengsersari telah berdiri
dengan gagah dan tersenyum bijaksana.
Madewa buru-buru bangkit, dan menjura dengan hormat, "Maafkan saya, Kakek Tua. Saya tidak tahu tempat ini berpenghuni."
Ki Rengsersari mengangguk. Diam-diam keinginan untuk memiliki seorang murid muncul kembali. Pilihannya langsung jatuh kepada pemuda ini.
"Ini bukan tempatku, aku pun hanya singgah. Apa yang telah kau lakukan tadi, Anak muda?"
Madewa heran, kakek tua ini tahu apa yang telah diperbuatnya. Sedangkan sedikit pun Madewa tidak melihat tanda-tanda adanya orang tua ini. Jelas, jelas, kalau orang tua ini, orang tua sakti.
Ia menyahut sopan, "Nama saya Madewa Gumilang. Hanya menumpang istirahat, setelah melakukan perjalanan jauh. Sampai di sini, aku melihat ada lima buah mayat bergeletakan. Aku tidak tega melihatnya demikian. Kukuburkan mayat-mayat itu. Maafkan, kalau aku telah berbuat lancang."
Ki Rengsersari manggut-manggut. Dia mengajak Madewa singgah di goa kediamannya. Ia menyuguhkan sepotong daging rusa. Madewa memakannya dengan lahap.
Setelah itu Ki Rengsersari bertanya tentang dirinya. Madewa menjelaskan semuanya. Kalau ia sedang mencari pembunuh ibunya. Dia sudah tidak perduli di mana ayahnya berada.
"Kasihan Ibumu... Madewa... apa kau telah memiliki bekal yang cukup untuk mencari pembunuh ibumu?" tahu-tahu Ki Rengser bertanya begitu.
"Dengan kedua tangan dan kedua kakiku, aku akan membalaskan dendam Ibu."
Mendadak Ki Rengsersari tertawa. "Jangan mimpi kau.... tanpa kepandaian sedikit pun, bagaimana mungkin kau bisa mengalahkan pembunuh-pembunuh ibumu."
"Aku akan berusaha untuk mengalahkan mereka!" seru Madewa ngotot.
Lagi Ki Rengsersari tertawa. "Semangatmu boleh tinggi, tapi
ilmumu rendah. Tanpa kepandaian, kau sama saja mengantarkan nyawamu pada orang-orang itu!" "Bah!" Madewa bangkit seraya mengambil buntalannya. "Aku tidak suka kau remehkan! Terima kasih atas daging rusa itu, Kakek Tua!" Madewa langsung melangkah ke luar.
Ki Rengsersari berkelebat mengejar. Anak muda ini tidak boleh lepas dari genggamannya. Hanya dia seorang yang bisa dijadikan pewaris ilmunya.
"Kamu marah?" katanya lucu.
Madewa cemberut. "Aku benci kau rendahkan! Aku mampu mengalahkan mereka!"
"Iya, iya. Kau mampu. Tapi aku bisa menjadikan kau lebih mampu."
"Bagaimana?" Mata Madewa terbuka gembira.
"Syaratnya hanya satu, kau mau menjadi muridku."
"Hhh, pakai syarat segala. Tak usah kau bantu, aku akan tetap mencari pembunuh-pembunuh itu!"
"Eit, tunggu dulu! Kau mau kuajari ilmu silat?" kejar Ki Rengsersari penasaran.
"Buat apa, kalau hanya untuk merusak."
"Tidak, sebagai penjagaan untuk dirimu." "Aku sudah punya busur dan anak panah."
"Itu belum cukup."
"Pasti cukup. Aku bisa membunuh kijang jantan yang besar dengan mudah. Pasti kubunuh juga orang-orang itu dengan mudah."
"Ampun, kamu tetap tidak mengerti. Kau hanya mengantarkan nyawa pada mereka."
"Biar, buat apa kau larang. Aku tidak tertarik dengan ilmu silatmu." Madewa melangkah lagi.
Ki Rengsersari mengejar. "Tawaran terakhir, kau mau kuajarkan ilmu silat?"
Madewa terus melangkah. "Tidak."
Ki Rengsersari mengejar. "Terakhir lagi?"
"Tidak”.
"Semakin terakhir."
Madewa berhenti. Menggebrak kakinya jengkel. "Aku tidak suka kau ajarkan ilmu silat! Tanpa ilmu silat, aku mampu mengalahkan orang-orang biadab itu!"
Ki Rengsersari mengeluh. Anak ini benar-benar teguh pendiriannya. Dan ini membuatnya semakin penasaran. Dibiarkan saja anak itu meninggalkannya. Dia hanya menatapnya dari kejauhan. Hatinya benar-benar sudah kepincut. Tetapi sayang, anak itu pun gagal dimilikinya. Dalam hati Ki Rengsersari berniat mengajar pemuda itu, tetapi dia kuatir, masih adanya orang yang gila akan pedang pusaka dewa matahari. Dan memberinya kesulitan. Diam-diam Ki Rengser sudah berniat, dia ingin meninggal di tempt ini. Tempat yang didiaminya selama delapan tahun.
Madewa terus melangkah. Hhh, apa-apaan sih kakek tua itu? Dia tidak suka ilmu silat. Madewa sering mendengar cerita ibu tentang ilmu silat. Dengan kepandaian silat orang sering menjadi sombong dan selalu ingin kuasa. Ingin selalu menindas yang lemah. Dan selalu menjadi perusak. Itu sebabnya Madewa menolak permintaan Ki Rengser.
Tiba-tiba Madewa berhenti melangkah. Ia mendengar jeritan minta tolong dari semak-semak. Suara seorang wanita. Dan terdengar pula suara kekehan seorang laki-laki.
Madewa mencari suara itu. Di depannya seorang laki-laki sedang berusaha memperkosa wanita muda. Wanita itu menjerit-jerit ketakutan. Selintas bayangan ibunya terbayang di benak Madewa. Hal itu membuat dia geram. Dengan marah Madewa menyerang. Kakinya telah menendang punggung laki-laki itu hingga terpelanting. Madewa buru-buru menutupi tubuh wanita yang ketakutan itu dengan bajunya.
"Hei, siapa kau?!" bentak laki-laki itu yang sudah berdiri, geram.
"Aku Madewa. Tidak suka melihat perbuatanmu ini!"
"Bangsat! Kau belum kenal aku rupanya? Baik!" Sehabis berkata demikian, orang itu menyerang. Madewa kaget. Serangan orang itu begitu cepat. Madewa tak sempat mengelak. Wajahnya terhantam pukulan dengan keras.
Orang itu tertawa. Madewa kalap. Dia menyerang dengan serabutan. Pukulannya kacau. Orang itu hanya tenang-tenang saja. Dia menguasai silat yang lumayan. Dengan dua kali mengelak dia menghantam keras perut Madewa.
"Heiik!" Madewa terhuyung ke belakang. Mual perutnya.
"Ha... ha...'ha... anak muda.
Terimalah ajalmu hari ini!"
Madewa berusaha bangkit. Tetapi sakit sekali perutnya, Orang itu tertawa keras. Dan memekik dengan tangan lurus diarahkan ke wajah Madewa. Madewa memejamkan matanya. Tak kuasa melihat kehancuran dirinya.
Tetapi bukan dia yang menjerit, malah orang itu.
"Aaaahh!"
Dan disusul dengan tubuh ambruk. Perlahan Madewa membuka matanya. Tubuhnya masih segar bugar. Setan mana yang telah menolongnya?
Sosok tubuh tua berpakaian putih berdiri di sampingnya.
"Hhh, tanpa ilmu kepandaian, apa yang akan kau berikan?" ejekan itu menyakitkan telinganya.
"Kau lagi, Kakek Tua! Kau selalu menggangguku!" seru Madewa sambil mengambil buntelannya. Sedangkan wanita muda yang ditolongnya, sudah lari entah ke mana.
“Pemuda edan! Sudah ditolong tidak mengucapkan terima kasih!"
Madewa terus melangkah.
"Hei, Pemuda tak balas budi! Teman-teman orang itu akan mencarimu. Dan kau akan dibunuhnya!"
Madewa berhenti melangkah. Kata kakek tua itu benar, dia bisa mati konyol kalau teman-teman orang itu mengeroyoknya. Kalau dia mati, siapa yang membalaskan dendam Ibu? Tidak, dia tidak boleh mati dulu. Buru-buru dia berbalik pada Ki Rengsersari. Dan menjatuhkan dirinya di hadapan kakek tua itu.
"Kakek Tua yang baik, aku menghaturkan terima ksih. Dan sudi menjadi muridmu. "
Sekarang Ki Rengsersari mendengus.
Mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. "Hei, siapa yang mau mengangkatmu
menjadi murid!" suaranya tajam.
"Aduh, Kakek Tua. Masa kakek tua lupa. Kakek tua sendiri yang menginginkan aku menjadi murid."
"Tidak. Kau begitu angkuh dan sombong. Aku tidak sudi mengangkatmu menjadi murid!" kata Ki Rengser sambil melangkah.
Madewa buru-buru mengikuti.
"Aku mau diangkat menjadi muridmu. Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin membalas dendam ibu. Ayo dong, terima aku. "
Ki Rengsersari terus melangkah. Tak mengacuhkan. Padahal dalam hatinya dia gembira sekali. Tetapi gantian dong, sekarang dia yang mempermainkan pemuda itu. Madewa masih memohon untuk diangkat menjadi murid.
"Aku tidak mau menerimamu!" "Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin belajar ilmu silat darimu. Biar aku jadi perkasa dan bisa membalaskan kematian ibu. "
Ki Rengser duduk di batu besar di samping goa kediamannya. Sikapnya masih acuh tak acuh. Didiamkan saja Madewa yang berlutut di hadapannya.
"Hei, kenapa kau masih di sini? Cepat pergi! Aku muak melihat tampangmu!!"
"Aku ingin menjadi muridmu." "Buat apa? Kau toh tidak perlu ilmu
silat. Bukankah kau sudah mempunyai busur yang kuat?"
"Sekarang aku memerlukan ilmu silat itu, Kakek Tua."
“Tapi sekarang aku tidak sudi mengajarkanmu.
"Aku akan berlutut sampai kapan pun kalau kau tidak mau mengangkatku menjadi muridmu."
"Berlututlah! Apa urusanku!" Ki Rengsersari bersalto ke belakang. Dan sekali loncatan lagi dia sampai di dalam goa.
Madewa berlutut lesu. Kakek sakti
itu benar-benar tak sudi mengangkatnya menjadi murid. Biarlah, dia akan tetap berlutut sampai kakek itu mengajarkannya ilmu silat. Dia harus memiliki ilmu itu, agar dapat membalaskan dendam ibunya.
Di dalam goa, Ki Rengsersari terus memperhatikan. Siang malam Madewa berlutut. Dia tak memperdulikan hawa dingin yang sangat menusuk. Juga panas yang menyengat. Sampai tiga hari berturut-turut Ki Rengsersari mendiamkan pemuda itu, tetapi pemuda itu tetap berlutut tanpa kenal lelah. Padahal tenaganya sudah benar-benar habis!
Ki Rengsersari manggut-manggut. Benar-benar cocok pilihannya. Selain kuat, pemuda ini pun tegar. Pantang menyerah. Ia keluar perlahan-lahan. Dan perlahan-lahan pula memegang bahu pemuda yang sudah berkunang-kunang matanya.
"Bangunlah, mulai sekarang kau kuangkat menjadi muridku," suara Ki Rengsersari pelan, tetapi jelas didengar Madewa. Pemuda itu bersorak dan bangkit kegirangan. Namun langsung terjatuh, karena terlalu letih.
"Oohh!"
Dalam hati Ki Rengsersari tertawa. Tetapi ia membentak, "Menjadi muridku jangan loyo! Ayo bangkit! Masuk ke dalam goa! Aku sudah menyiapkan makanan untukmu!" Madewa mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya. Dan terhuyung-huyung memasuki goa. Di pintu goa, ia ambruk lagi. Bangkit lagi, berusaha untuk masuk.
"Ayo cepat! Atau makanan ini kuhabiskan sendiri?"
Semangat Madewa seakan pulih. Ia serentak berlari. Dan menyambar makan itu dengan cepat. Dan memakannya dengan lahap.
* * *
3
Alam sekitar itu tetap sunyi. Tak terasa genap sudah umur tempat itu bertambah dua tahun. Tetapi keadaannya tak banyak berubah, kecuali pohon-pohon yang semakin besar.
Di depan goa itu kelihatan seorang pemuda tengah bersila dengan kedua tangan bersatu di dada. Pemuda itu tengah berlatih ilmu pernafasan. Sikapnya benar-benar sempurna. Dialah Madewa Gumilang, yang hampir dua tahun mendiami tempat itu. Kini Madewa telah menjadi pemuda perkasa. Tak sia-sia Ki Rengsersari menggemblengnya dengan keras.
Pemuda itu sudah selesai berlatih. Ia duduk dengan konsentrasi penuh. Dan mendadak saja matanya bisa menembus kejauhan. Menjelajah seluruh hutan itu. Itulah ilmu terakhir yang diturunkan Ki Rengsersari. Ilmu pandangan menembus sukma, yang telah sempurna dipelajari Madewa.
Madewa benar-benar merasakan perubahan yang luar biasa dalam dirinya. Ia menjadi mantap dan tegar. Keinginannya untuk mencari pemerkosa dan pembunuh ibunya semakin kuat. Tetapi dia tidak tega meninggalkan Kakek Tua yang sakti itu.
Dari kejadian selama dua tahun, Madewa mengetahui apa yang telah membuat gurunya susah. Isu tentang pedang pusaka dewa matahari, yang selalu membuat gurunya dibayangi pembunuhan. Akhirnya gurunya itu mau menceritakan kejadian yang sesungguhnya, setelah selesai membunuh Raja Setan dari Utara.
Madewa hanya mengangguk dan mendengarkan. Dan merasa berkewajiban membela gurunya. Itulah sebabnya dia belajar dengan giat, hingga tamatlah semua pelajaran silat yang didapatnya dari Ki Rengsersari. Ki Rengsersari bangga dengan pemuda itu. Jurus-jurus ular sakti yang diajarkannya, telah dikuasai pemuda itu dengan sempurna.
"Madewa."
Madewa menoleh. Gurunya keluar dari goa. Madewa bangkit dan menjura. Sikap guru lain seperti biasanya. Kayaknya ada sesuatu yang akan dibicarakan.
Benar saja, Ki Rengser berkata, "Duduk."
Madewa duduk di rumput. Ki Rengser di atas batu.
"Ada yang akan kubicarakan denganmu. Seperti kau ketahui sendiri, hidupku selama ini selalu dibayangi pembunuhan, jadi kupikir, suatu saat aku pasti akan kecolongan. Dan aku tidak mau hal itu terjadi padamu. "
Madewa heran. Ia memotong, "Saya tidak paham maksud, Kakek Tua."
"Hanya satu pintaku, kau harus meninggalkan tempat ini sekarang. Agar kau tidak mati konyol. Lanjutkan terus perjalananmu mencari pembunuh ibumu. Gunakan ilmu yang kuajarkan itu untuk kebaikan. Jangan kau salah gunakan. Dan ingat, kalau keadaan tidak mendesak. Ilmu pukulan bayangan sukma tidak perlu kau gunakan. " "Tapi Kakek Tua... saya tidak akan meninggalkan kakek tua sendiri. Saya tidak menganggap kakek tua tidak mampu menghalau setiap serangan yang datang. Tapi saya sudah menganggap kakek tua sebagai orang tua saya sendiri. Dan saya harus menjaga kakek tua."
"Aku pun berat berpisah denganmu. Selama dua tahun ini, kaulah yang menemani sisa hidupku. Tapi semua ini kulakukan untuk kebaikanmu. Aku yakin, pasti masih ada orang-orang yang gila pedang pusaka itu yang akan berdatangan kemari."
"Tidak! Saya akan menemani Kakek Tua di sini!" sahut Madewa mantap.
Ki Rengsersari terdiam. Anak yang teguh pendiriannya. Ia mengusap wajahnya yang berkeriput, janggutnya yang putih semakin menampakkan ketuaannya.
"Kukatakan sekali lagi, kau harus segera meninggalkan tempat ini. Aku kuatir, suatu saat aku tidak mampu membela diri. Dan kau mendapat akibat yang berat sekali dari masalahku ini. Jika kau mati, siapa yang akan membalaskan dendam itu? Coba pikir, siapa Madewa? Kau harus ingat, masih ada tugas lain selain mencari pembunuh ibumu. Untuk itu, kau harus segera turun gunung."
"Apa tugas itu, Kakek Tua?" "Carikan untukku, orang yang telah
menyebarkan kabar bohong tentang pusaka itu. Dan kau harus mampu membunuhnya. Jangan kembali sebelum berhasil. Kau sanggup melakukan itu?"
Kali ini Madewa mengangguk. Itu perintah yang tak bisa dibantah. Dia akan mencari orang yang tega menyebarkan kabar bohong itu. Akan dipenggalnya orang itu.
"Saya akan patuhi semua itu," suara Madewa lemah namun mantap.
Ki Rengsersari tersenyum. Wajahnya berseri.
"Bagus! Aku hanya membekalkanmu ilmu yang kuturunkan itu. Dan sebuah seruling. Ingat Madewa, seruling ini hanya bisa digunakan dalam keadaan tenang. Jiwa yang bersih. Sedikit saja kau dikuasai emosimu, seruling ini tidak bisa digunakan.
Orang menyebutnya Seruling Naga. Karena dengan sekali tiup orang yang memiliki tenaga dalam rendah, akan hancur telinganya. Dan mati seketika. Maka berhati-hatilah kau menggunakannya. Madewa mengangguk. Terus mendengarkan petuah gurunya. Walau dalam hati kecilnya dia enggan disuruh turun gunung. Tapi perintah tetap perintah. Dia harus menunjukkan baktinya pada Ki Rengsersari. Dia akan mencari orang yang telah menyebarkan isu itu.
Ki Rengsersari mendeham. Tangannya sudah memegang sebuah seruling. Itu yang disebut Seruling Naga. Bentuknya hampir sama dengan seruling biasa. Hanya saja seruling itu ada gambar sepasang naga yang sedang bergelut. Dan khasiat seruling itu lain dengan seruling biasa!
"Terimalah ini untukmu. "
Madewa menadahkan kedua tangannya. Tetapi mendadak dia jungkir balik. Ki Rengsersari telah meniup seruling itu. Bunyinya lembut dan halus. Tapi di telinga Madewa begitu berisik sekali. dan menyengat! Itulah kehebatan Seruling Naga.
Buru-buru dia bersila. Menghimpun tenaga dalam dan hawa murninya, untuk mengusir suara seruling itu. Tangannya bersatu di dada. Ia menarik nafas. Mengaturnya dengan baik. Dan menghembuskannya seraya mengeluarkan hawa murninya. Tekanan suara seruling itu semakin keras dirasakan Madewa. Tetapi pemuda itu tetap terdiam. Tak bergeming sedikit pun. Diam-diam Ki Rengser tersenyum. Kalau orang biasa atau yang punya hawa murni rendah, dia sudah mampus kelojotan. Ki Rengser menurunkan suara serulingnya dan makin lama berhenti.
Madewa menarik nafas. Ki Rengser tersenyum.
"Bagus! Kau bisa bertahan juga rupanya. Hati-hati kau menggunakannya. Madewa, sekarang seruling ini milikmu. Jagalah dia, jangan sampai kau buat untuk kejahatan."
Madewa bangkit dengan berlutut. Ia mengamati seruling itu. Dan menyelipkannya di amben yang melilit pinggangnya.
Ki Rengser tersenyum puas. Tak sia-sia dia menggembleng pemuda ini.
"Sekarang juga kau harus berangkat! Jangan membantah. Cepat kemasi barang yang kau perlukan! Matahari sepenggalah kau masih berada di sini, murtadlah kau!" ancam Ki Rengsersari seraya bangkit dan berjalan menuju ke tempat persemayamannya.
Sebelum dia sampai ke mulut goa, mendadak dia berjumpalitan. Beberapa buah senjata rahasia berbentuk bintang menancap di dinding goa. Luput dari sasaran.
"Keji!" geramnya yang membuat Madewa bersiaga. Ia melompat berdiri di samping gurunya dengan sigap.
Terdengar suara tawa dan mengikik di depan mereka. Dua orang muncul dari balik tebing. Seorang pria berpakaian hitam dan seorang wanita cantik berpakaian sutra tipis berwarna merah.
"Gundaling si Golok Hitam dan Pratiwi si Selendang Merah!" seru Ki Rengsersari agak terkejut. Orang-orang rimba persilatan yang kesohor.
Gundaling tertawa melihat Ki Rengsersari terkejut.
"Heran, kalau aku sampai tahu tempat persembunyianmu, Kunyuk Tua?" Tangannya meraba-raba golok hitamnya yang besar. Madewa geram gurunya dihina demikian. Dia membentak, "Hei, Orang jelek! Apa maumu kemari? Cepat minggat,
sebelum nyawamu kucabut!"
Gundaling berpaling ke suara itu. Dia memperhatikan. Lalu tertawa. "Rupanya kau sudah mengangkat murid, Kunyuk Tua! Bagus! Aku akan melihat kemampuan muridmu nanti!" Pratiwi, si Selendang Merah, mengikik melihat ketampanan Madewa. Pratiwi boleh dikatakan dewi merah yang cabul. Yang kerap kali menghisap keperjakaan pemuda-pemuda, demi ilmu selendang merahnya. Melihat Madewa, menitik air liurnya.
"Tak kusangka muridmu begitu tampan, Kunyuk Tua. Bagus, aku menginginkannya, hik... hik. "
Ki Rengsersari menghela nafas pelan. Ini yang ditakutkannya. Dia tidak ingin Madewa membuang nyawa percuma di sini. Selendang merah tidak akan melepaskan buruannya. Ki Rengser juga tahu akan kemampuan rayuan Pratiwi. Siapa pun takluk. Apalagi dia punya ilmu pengharum tubuh, yang membuat orang tergila-gila padanya karena mencium wangi yang memabukan yang menguar dari tubuhnya.
Haruskah dia mengorbankan Madewa untuk dewi cabul ini? Tidak, dia harus mempertahankannya. Diam-diam dia berbisik di telinga Madewa, "Bersiaplah. Kerahkan ilmu yang kuajarkan."
Madewa langsung bersiap. Menarik nafas. Dan membuka telapak tangannya. Lalu menggenggam. Gundaling mengetahui gelagat itu. Ia tertawa. "Ha... ha... percuma kau gunakan ilmu itu, aku sudah punya tandingannya! Penangkal bayangan sukma!"
Berkata begitu, Gundaling langsung menerjang dengan pukulan lurus, tepat ke arah Madewa. Madewa akan menyambut dengan bentrokan, tetapi Ki Rengser sudah mendorongnya untuk menghindar.
Dan Madewa melihat apa yang terjadi kalau pukulan itu dia sambut. Tebing goa yang terkena pukulan itu hancur berantakan.
Gundaling tertawa ngakak.
"Tubuh tuamu akan hancur dengan pukulan ini, Kunyuk Tua! Ayo sambut aku dengan pukulan bayangan sukmamu! Pertiwi, kau hadapi bocah ingusan itu! Kau isap saja sarinya!"
Pratiwi tertawa ngikik. Tersipu-sipu seperti perawan ingin ketemu pacarnya. Dengan sikap genit dia menghampiri Madewa. Ki Rengser ingin berteriak hati-hati, tapi perhatiannya harus satu, pada Gundaling yang sudah menerjang kembali.
Dia menghindar. Kembali pukulan Gundaling meleset. Kali ini terkena pohon yang tumbang seketika. Gundaling menyerang lagi. Dua tokoh yang hebat itu bergantian menyerang, yang langsung menimbulkan kepulan debu di tempat itu. Sementara itu Pratiwi sudah tepat berada di depan Madewa. Dia tersenyum manis. Madewa mendengus. Menghindar dari tatapan yang penuh gairah itu. Pratiwi tertawa dalam hati. Yakin kalau pemuda
ini sudah terpikat dengannya.
Pura-pura dia menjatuhkan selendang merahnya, yang membuat orang keder dengan julukan itu. Karena selendang yang seperti kapas itu mampu menghancurkan batu karang yang besar.
Madewa melengos. Selendang itu telah memperlihatkan bagian atas Pratiwi. Pratiwi semakin tertawa. Kali ini dia menurunkan lagi selendang itu, dan menampakkan bagian atas buah dada-nya yang mulus dan padat.
Madewa menelan ludahnya. Matanya memerah. Ah, buru-buru dia mengerahkan hawa murninya, mengusir pengaruh yang indah itu. Tapi bayangan indah itu mengejarnya. Jelas satu-satunya untuk mengusir pesona itu dia harus menyerang. Mendadak dia berteriak nyaring, dan menerjang selendang merah dengan gerakan cepat. Pratiwi terkejut. Tapi cepat dia berkelit. Dan langsung melancarkan pukulan ke tengkuk Madewa. Madewa berbalik dan menendang. Tepat mengenai paha Pratiwi yang jatuh terduduk.
Ki Rengser yang sedang menahan serangan Gundaling, berseru dalam hati. Bagus, Madewa! Habisi dewi cabul itu!
Pratiwi langsung naik marahnya. Dia tidak berbasa-basi lagi. Langsung diuraikannya selendang merahnya. Justru ini yang membuat Madewa melengos. Bukan takut pada selendang merah itu, tapi tubuh Pratiwi yang indah terbuka jelas. Hanya kainnya yang menutupi sebagian kecil buah dadanya bagian bawah
Lagi-lagi Madewa mengerahkan hawa murninya. Tubuh Pratiwi mengeluarkan wangi yang memabukkan.
Pratiwi memainkan selendang merahnya, seraya mengerahkan ilmu pengharum tubuhnya. Madewa semakin mabuk kepayang. Tapi sejurus kemudian dia tersadar ketika mendengar teriakan gurunya.
"Aaaaah!" Ki Rengser ambruk terkena sabetan golok hitam Gundaling. Lalu disusul pukulan yang berbahaya itu. Tubuh Ki Rengser semakin kelojotan. Madewa tertegun. Tapi sejurus kemudian dia bergerak. Menyerang dengan pukulan bayangan sukma tingkat tinggi. Gundaling yang sedang tertawa melihat hasil kerjanya, lengah. Tubuhnya terkena pukulan bayangan sukma Madewa dengan keras. Dan tubuh itu pun ambruk saat itu juga.
Tapi Gundaling masih sempat melemparkan senjata rahasianya yang berbentuk bintang sebelum ambruk untuk selamanya. Madewa pun tak sempat berkelit. Sebuah senjata rahasia itu menancap di tangannya.
"Aduuuuh!" '
Kali ini Pratiwi yang terkejut. Tidak menyangka bocah itu mampu mengalahkan Gundaling. Terang saja, Gundaling sedang lengah, kalau tidak hancur pemuda itu.
Dia geram melihat kawannya mati kelojotan. Selendang merahnya segera beraksi. Tubuh Madewa yang sedang terhuyung, terbelit selendang itu, Dan dengan sekali sentakan, tubuh itu dihempaskan ke tebing goa. Tetapi mendadak ayunannya melemah. Sehingga tubuh Madewa terhempas ke tanah.
Pratiwi berpikir, pemuda ini masih bisa digunakan untuk kesempurnaan ilmu selendang merahnya. Jangan dibunuh dulu. Dihisap dulu keperjakaannya.
Madewa yang sudah lemah, merasakan pusing yang amat sakit. Rupanya racun dari senjata rahasia Gundaling sudah menjalar. Pratiwi memburunya. Sayang kalau pemuda tampan ini sampai mati, buru-buru dia mengeluarkan pil pemunah racun itu. Diminumkannya pada Madewa.
Sebelum Madewa sadar, dia menotok urat di bawah dagu Madewa sehingga tidak bisa bergerak. Dan kesempatan itu harus digunakan sebaik-baiknya. Si Selendang Merah, langsung membuka seluruh pakaiannya. Sekejap saja dia sudah telanjang bulat di depan Madewa. Tubuhnya putih mulus. Tak ada cacat. Buah dadanya segar. Pinggulnya montok. Pinggangnya ramping. Sepasang pahanya mulus. Ah... membuat yang melihatnya langsung menelan liur.
Tapi Madewa ngeri melihatnya. Apalagi tangan Pratiwi sudah merabai tubuhnya. Dan membuka pakaiannya satu per satu.
"Jangan takut, Madewa. Kita akan ke sorga sejenak. Kau pasti akan ketagihan," rayu dewi cabul itu sambil tersenyum genit. Dia sudah tidak memperdulikan lagi mayat sahabatnya itu. Pratiwi mengikik. Suaranya penuh gairah. Ia menjatuhkan tubuh telanjangnya di atas tubuh Madewa yang tidak bisa bergerak.
Madewa memejamkan mata ketika Pratiwi sudah mau mulai. Tapi mendadak Pratiwi menyambar pakaiannya. Dan memakainya dengan buru-buru. Pendengarannya yang tajam menangkap derap langkah mendekati tempat itu.
Sesosok tubuh besar berdiri di dekatnya sambil menggeleng-geleng. Bandartaman. Dan menyeringai pada Pratiwi yang jadi jengkel bukan main.
"Bukan main tubuh selendang merah. Indah. Ah, kalau saja aku bisa menghisap buah dada itu. "
"Jangan cabul, Bandartaman!" geram Pratiwi sengit.
"Kau yang hendak berbuat cabul, bukan?"
"Itu urusanku, bukan urusanmu!" "Aku tahu, tapi aku boleh kan
menikmati tubuhmu juga? Ah, tubuhmu ranum sekali, Pratiwi."
"Bangsaaat!"
"Sabar, Pratiwi! Izinkan aku sekali lagi melihat tubuhmu. Masih terbayang indahnya buah dadamu dan sesuatu yang tersembunyi di antara pahamu. " "Setan kau, Bandartaman!" serentak Pratiwi mengayunkan selendang merahnya. Bandartaman berkelit. Selendang itu menghantam pohon yang langsung hangus.
Bandartaman berdecak.
"Hebat, hebat! Sudah, sudah! Sebenarnya aku ke mari bukan ingin bertarung denganmu, Pratiwi! Tapi dengan Ki Rengsersari, untuk memperebutkan pusaka dewa matahari!"
"Kau terlambat, Ki Rengser sudah mampus terbunuh!"
"Hah? Mana?"
Pratiwi mengayunkan selendang merahnya. Tepat mampir di tubuh Ki Rengser yang sudah menjadi mayat. Mata Bandartaman semakin terbelalak. Apalagi ketika melihat tubuh Gundaling yang hancur.
Ia berpaling pada Pratiwi. "Siapa yang membunuhnya?" "Keduanya saling membunuh!"
"Aku tidak percaya! Pasti kau yang telah membunuhnya! Dan telah mendapatkan pedang pusaka dewa matahari itu! Cepat serahkan padaku, Pratiwi! Atau... kau ingin kubunuh!"
"Enaknya menuduhku yang bukan-bukan! Pedang itu tidak penting bagiku, Bandartaman! Aku lebih suka pemuda ini daripada pedang itu!"
Bandartaman tahu akan kecabulan Pratiwi. Benar, bagi Pratiwi pasti pemuda itu lebih mengasyikan daripada pedang. Kalau begitu pedang itu masih berada di dalam goa.
Ia melirik Pratiwi lagi.
"Kau tidak menginginkan pedang itu? "Tidak, aku lebih menginginkan
pemuda ini!"
"Baik, aku tidak akan mengganggu keasyikanmu! Tapi kau juga jangan merebut pedang itu apabila aku mendapatkannya!"
"Sudah kubilang aku tidak akan mengganggumu!"
"Baik! Selamat bergoyang, Pratiwi!" Bandartaman terbahak. Dia tidak perlu repot-repot lagi untuk merebut pusaka itu. Cepat masuk ke dalam goa. Pratiwi mendengus. Menganggu keasyikan orang saja. Ia berpaling lagi pada Madewa Gumilang yang masih bertanding kaku.
Tangannya membelai pipi Madewa.
"Hmm, kita lanjutkan lagi perjalan kita ke sorga, bocah!" Pratiwi kembali membuka seluruh pakaiannya. Kali ini dia langsung menuju sasaran. Tapi lagi-lagi gagal. Bandartaman keluar sambil mengamuk-ngamuk. Pedang itu tidak didapatnya. Dia merasa Pratiwi, menipunya. Di dalam goa tidak ada apa-apa. Hanya batu-batu dan dinding goa yang berlumut.
Dengan geram dia mengambil golok hitam kepunyaan Gundaling. Dan menghampiri Pratiwi yang tergesa berpakaian kembali.
"Mau apa lagi kau?" geram Pratiwi jengkel.
"Mana pedang itu?" bentak Bandartaman keras.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan bohong! Pasti berada padamu!"
"Kau jangan mengada-ngada, Bandartaman! Aku belum mengambil pedang itu!"
"Jangan coba-coba membohongiku, Pratiwi! Aku bisa marah besar padamu!" "Kau mau mengelak pula, Bandartaman! Sudah kubilang, aku tidak minat dengan pedang itu! Jangan
memutarbalikkan fakta!"
"Setan! Kau yang menipuku! Baik Pratiwi, rupanya kita ditakdirkan untuk bertarung! Bersiaplah! Aku telah bersumpah, akan merebut pedang itu dari siapa pun juga."
Kembali kedua tokoh itu bertarung. Madewa kembali menghela nafas lega. Hampir saja dia terjerumus dosa yang besar. Berzina dilarang. Dan haram hukumnya.
Diperhatikannya saja kedua orang itu bertarung. Keadaan di sana semakin ribut. Debu semakin banyak berkepul. Madewa ingin pindah, tapi susah sekali tubuhnya digerakkan.
Tetapi kemudian dia terkejut, sebuah kerikil terpental dari arena pertarungan itu. Dan jatuh tepat pada totokannya. Karena kerasnya lemparan batu itu, totokannya terlepas.
Madewa langsung melompat. Dan menyambar pakaiannya. Tanpa menunggu akan apa ke-anjutan dari pertarungan itu. Dia buru-buru menghindar. Meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan, debu itu masih nampak. Madewa berdiri di ketinggian tempat. Memandangi tempat itu. Tempat selama dua tahun dia digembleng oleh Ki Rengsersari.
Dan kini dia benar-benar akan meninggalkannya. Juga meninggalkan tubuh Ki Rengsersari yang telah menjadi mayat.
Tugas telah menantinya. Dia akan mencari penyebar kabar bohong itu, yang menyebabkan gurunya menemui ajal hari ini juga. Sebelum dia sempat beristirahat di dalam goanya yang nyaman. Juga mencari orang-orang yang menyebabkan kematian Ibu.
Madewa melompat. Berjalan. Berlari.
Jauh-jauh meninggalkan tempat itu.
Di sana, Pratiwi si Selendang Merah masih bertarung dengan Bandartaman.
* * *
4
Entah sudah berapa kilometer Madewa melangkah. Siang malam dia selalu terbayang wajah gurunya. Juga ketika golok Gundaling menyambar tubuh renta itu. Madewa mengeluh dan perasaan bersalah menggunduk di hatinya. Tetapi dia harus mencari pembunuh ibunya dan penyebar isu tentang pusaka dewa Matahari yang telah menyebabkan kematian gurunya. Kalau malam, Madewa selalu teringat akan gurunya. Gurunya yang baik. Gurunya yang kadang menjengkel. Harus mati secara mengenaskan. Dia harus membalas kematian gurunya terhadap Pratiwi! Sekarang biarlah dia akan mencari dulu pembunuh ibunya dan penyebar isu itu.
Pada suatu hari, dia tiba di sebuah desa yang bernama Bojongronggo. Perutnya terasa lapar sekali. Kebetulan dia masih ada sisa uang sedikit. Madewa pun mampir ke sebuah warung. Kehadirannya sebagai orang asing membuat pengunjung warung memperhatikannya. Tetapi Madewa tak mengacuhkannya, dia santai saja menikmati makannya, hingga orang-orang itu pun mulai tak acuh. Mereka kembali melanjutkan makan dan bercakap-cakap.
Tiba-tiba Madewa menajamkan pendengarannya. Dia tertarik pada percakapan dua laki-laki yang duduk di sebelahnya, karena kedua orang itu ada menyebut-nyebut nama gurunya.
"Kau serius, Genda?" tanya yang kurus pada teman bicaranya. Ia nampak tertarik sekali.
Yang dipanggil Genda itu mengangguk. "Aku mendengar kabar itu dari desa seberang. Ki Rengsersari mati terbunuh oleh Gundaling. Juga Gundaling. Kelihatan kalau keduanya saling membunuh. Tetapi di sana juga ada mayat Bandartaman, yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Kalau dilihat letak mayat Ki Rengser dan Gundaling, jelas bukan mereka yang membunuh Bandartaman, karena mayat Bandartaman jauh dari mereka."
Madewa mendesah dalam hati. Pratiwi yang memenangkan pertarungan itu. Dewi cabul itu benar-benar hebat.
"Lalu bagaimana dengan pedang itu?" Didengarnya lagi percakapan kedua orang itu.
"Mereka tidak ada yang tahu. Pusaka itu lenyap entah ke mana. Kemungkinan besar ada orang keempat yang mengambilnya."
"Siapa?"
"Orang-orang di sekitar sana hanya tahu, kalau jagoan tua itu punya seorang murid. Mungkin pedang itu ada padanya. Dan dia yang membunuh Bandartaman demi mempertahankan pedang pusaka."
"Lalu ke mana larinya muridnya itu?" "Tidak ada yang tahu. Orang persilatan tengah mencarinya. Yah, salah Ki Tua itu juga. Punya pedang sakti
disembunyikan."
"Memang, pedang itu hanya bisa ditandingi oleh pusaka Siluman Mata Air milik Niniwulandari yang juga hilang entah ke mana."
"Bagi yang memiliki kedua pedang itu, dia bisa jadi raja di dunia persilatan ini."
"Eh," tiba-tiba Genda bangkit, "Aku permisi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus kulakukan, Buntoro."
Buntoro meneruskan makannya, "Silahkan, Genda."
Pemuda itu membayar apa yang dia makan, lalu pergi. Madewa melirik orang itu. Dia berniat akan menyusul. Sebelum dia bangkit, dua orang bertubuh kerempeng telah bangkit lebih dulu.
Dan berjalan ke arah yang dilalui Genda. Rupanya kedua orang itu tertarik pula dengan percakapan tadi.
Buru-buru Madewa membayar, lalu bergegas menyusul. Tempat itu masih asing baginya, sebentar saja dia sudah kehilangan jejak. Namun tiba-tiba pendengarannya menangkap bentakan tak jauh dari situ, "Tunggu sebentar, Kawan!"
Medewa cepat mencari sumber suara itu. Lalu menyelinap di balik semak dan memperhatikan dua orang tadi tengah menghampiri Genda yang merasa tidak mengenal keduanya. "Ada apa, Kisanak?"
"Kami minta keterangan sedikit darimu," kata yang bergolok tipis, dia bernama Caraka.
"Keterangan apa?" Kening Genda berkerut. Siapa orang-orang ini?
"Tentang Pusaka Dewa Matahari." "Oh,aku tidak tahu soal itu. "Jangan dusta! Barusan kami
mendengar kau membicarakannya!"
"Aku hanya tahu... pusaka itu dilarikan murid Ki Rengsersari."
Mendadak orang itu tertawa ngakak. Kawannya yang bernama Tikam ikut pula tertawa.
"Dan kami tahu siapa muridnya Ki Rengsersari itu!"
Madewa yang mengintip menjadi bersiap. Di sangkanya kedua orang itu tahu dia mencuri dengar. Tapi Caraka malah maju ke depan Genda. Suaranya merandek. "Pasti kau muridnya, bukan?! Kami tahu penyamaranmu, Kawan! Cepat serahkan pedang itu pada kami!"
Jelas Genda terkejut dan heran. Apa-apaan orang ini menuduh di sebagai murid Ki Rengsersari. Wah, jelas keduanya tidak tahu siapa dia. Dia perumput dan penjaga kuda-kuda Biparsena, orang terkaya di desa Bolongronggo ini.
"Apa-apaan kalian omong? Aku Genda! Bukan muridnya Ki Rengsersari! Kalian mengigau apa?"
"Jangan berdusta!" bentak Tikam jengkel. Ia mencabut goloknya. Golok itu berkilat ditimpa cahaya matahari, yang membuat Genda mundur ketakutan. Wajahnya memucat. Bibirnya mendadak membiru.
"Bukan, bukan aku! Aku tidak tahu apa-apa!"
"Katakan, di mana pusaka itu?" bentak Caraka geram. "Atau... kau mau mampus di tangan kami! Cepat katakan!!" "Jangan, jangan! Aku tidak tahu
apa-apa!"
Sikap Genda itu membuat kemarahan mereka naik. Disangkanya mereka tidak tahu kalau murid Ki Rengsersari ini berpura-pura. Secepat kilat Caraka mengayunkan goloknya. Tepat ke arah leher Genda. Genda memekik ketakutan. Bersamaan dengan itu sesuatu menambrak golok Caraka. Caraka menyangka Genda yang menangkis. Dia tidak tahu, karena takutnya asal saja Genda mengayunkan tangannya. Tapi tidak mengenai golok itu. Genda sendiri saja heran, kenapa golok itu tidak mampir di lehernya. Caraka mundur. Mengatur posisi. Tikam bersiap pula. Murid Ki Rengser tidak boleh dianggap enteng. Keduanya serentak menerjang Genda yang menjerit ketakutan. Tapi lagi-lagi keduanya gagal. Sesuatu menerjang mereka hingga terpelanting.
"Bangsat!" geram Caraka. "Pantas kau berani bertingkah, punya mainan juga rupanya! Tapi kali ini, terimalah kematianmu. Tikam, satukan permainan golokmu dengan golokku. Kita habiskan dia!"
Tikam merapat. Caraka merapat. Goloknya berada di sebelah kanan. Tikam sebelah kiri. Keduanya merapatkan tangan. Tangan yang satunya lagi mengepal. Dan mendadak mengeluarkan asap. Inilah puncak ilmu Keduanya. Keduanya menamakan golok kembar mengacau gunung. Murid Ki Rengser hanya pantas dilawan oleh ilmu golok macam ini.
Madewa yang dua kali menghalau serangan mereka pada Genda, terkejut. Dia tidak bisa menahan serangan itu kalau hanya dengan bersembunyi. Dia harus menampakkan diri.
Maka dia melompat. Dengan sekali salto saja dia sudah berdiri di hadapan keduanya, melindungi Genda yang menggigil ketakutan.
Keduanya terbelalak. Tapi kemudian menggeram.
"Mau apa kau? Jangan halangi perbuatan kami!"
"Perbuatan yang salah, harus dihalau! Aku bertugas melakukannya!" sahut Madewa tenang.
"Bangsat!" dengus Caraka. "Siapa kau?"
"Kau sedang mencari siapa tadi?" sahut Madewa lagi.
"Muridnya Ki Rengser!"
"Nah, sekarang muridnya itu sudah berdiri di hadapan kalian! Kalian mau apa?!"
Keduanya terbelalak, tak percaya. Menoleh pada Genda yang sedang menatap Madewa. Tak percaya pula. Tapi kemudian dia menghela nafas lega. Buru-buru dia melongok pada kedua orang itu.
"Nah, benarkah? Bukan aku orangnya yang menjadi murid Ki Rengser! Malu tuh!" katanya meledek, lalu akan melangkah.
Tapi Caraka membentak, "Jangan pergi kau! Hei, kawan! Benar kau muridnya Ki Rengser?" Madewa mengangguk sambil tersenyum. "Akulah murid tunggalnya, Madewa Gumilang!"
"Bagus! Sekarang serahkan pedang pusaka dewa matahari kepada kami! Cepat!"
"Jangan mimpi, Kawan. Aku tidak memiliki benda itu! Sekarang kuminta, cepat pergi dari tempat ini sebelum aku marah!"
"Bangsat cilik! Kau sangka kami takut?!"
"Mungkin tidak kalau kalian sudah tidak sayang dengan nyawa kalian!"
"Setan kau!" geram Caraka dan Tikam berbarengan. Mereka menyatukan tenaga lagi. Dan serentak menggeram serayo menyerang. Golok kembar mengacau gunung, membuat Madewa agak kaget. Dia tidak berani mengadu tenaga, buru-buru dia menghindar. Sepasang golok itu meleset. Dan memakan pohon di depannya, yang langsung tumbang sekali tebas.
Genda semakin ketakutan. Dia bersembunyi di balik batu besar.
Madewa tersenyum. Ilmu yang bagus. Dia mulai menghimpun tenaga. Pukulan bayangan sukma merangkum di tangannya. Ketika kedua orang itu menyerang, kali ini Madewa menyambut. Sama dengan teriakan yang menggelegar.
Dua buah tenaga besar beradu, akibatnya menjadi. kacau. Keduanya terpental ke belakang. Tempat itu seakan bergoncang. Debu berkepul tebal.
Madewa langsung bersalto dan berdiri dengan kedua tangan bersatu di dada. Menghimpun nafas dan tenaganya. Sementara kedua orang itu jatuh ambruk dan tak bernafas lagi.
Genda yang sudah setengah mampus ketakutannya, menghela nafas lega dan tenaga membuka matanya. Tidak seberapa tenaga kedua orang itu. Dia pun tadi bisa mengimbanginya dengan jurus Tembok Menghalau Badai.
"Terima kasih, Tuan penolong. Kalau tidak ada Tuan, pasti saya sudah mati," terdengar suara Genda sopan. Orangnya membungkuk hormat di hadapan Madewa.
Madewa tersenyum.
"Kebetulan saja aku melihat semua ini."
Tuan ini melihatnya? Oh, kalau begitu pasti dia yang menolongnya dari sabetan golok dan terjangan kedua orang itu. Sekali lagi Genda berterima kasih. "Kalau boleh saya tahu, benarkah
Tuan muridnya Ki Rengsersari?" Madewa tersenyum lagi.
"Jangan panggil aku Tuan. Yah, kebetulan aku murid tunggalnya Ki Rengser. Kenapa?"
"Oh!" Genda celingukan seolah kuatir ada yang mengintip. "Tuan harus berhati-hati. Orang-orang jago sedang ramai mencari Tuan."
"Kenapa mereka mencariku?" "Karena Tuan membawa pusaka dewa
matahari itu."
"Oh, Tuhan. Lagi-lagi pusaka itu," Madewa mengeluh. Dalam hati dia menyambung, benar-benar isu yang menghancurkan. Dia semakin ingin bertemu dengan orang yang menyebarkan kabar bohong itu. Ah, mungkinkah Genda bisa dimanfaatkannya?
"Ya, Tuan. Sebaiknya Tuan bersembunyi saja. Oh, bagaimana kalau di tempat saya?"
Madewa menatap laki-laki kurus itu. "Kalau tidak keberatan?"
Genda menggeleng. "Karena Tuan orang baik, dan sudah menolongku."
"Baiklah. Mungkin untuk sementara ada baiknya aku tinggal di rumahmu."
Keduanya mulai melangkah.
Malam mulai merambat, ketika Genda datang dari bekerja. Setiba mengantar Madewa ke rumahnya, Genda langsung berangkat bekerja, sebagai perawat kuda-kuda. Ia membawa beberapa bungkus makanan ketika pulang.
Keduanya makan di temani lilin kecil.
"Kata Tuan tadi siang, Tuan mau bercerita tentang kedatangan Tuan ke daerah ini. Boleh dilanjutkan?"
Madewa mengangguk. Ia menyelesaikan makannya dulu. Lalu, "Ya, aku memang ada perlu.... Benar ceritamu, guruku dan Gundaling, mati saling bunuh. Sedangkan Bandartaman, mati di tangan Pratiwi, si Selendang merah. Tapi masalah pedang itu, tidak ada padaku. Juga tidak pada guruku. Ketahuilah Genda, sebenarnya pusaka itu tidak ada pada guruku. Guruku tidak memilikinya. Itu hanya kabar bohong yang diberitakan orang yang iri pada guruku. "
"Jadi?" potong Genda tidak sabar. "Ya, pusaka itu hanya kabar bohong
saja. Kedatanganku pun, ingin mencari orang yang menyiarkan kabar bohong itu. Yang telah membuat hidup guruku tidak tenang. Dan mati secara mengerikan."
Terkenang lagi semua yang terjadi di benak Madewa. Pertama dia bertemu Ki Rengsersari. Diangkat jadi murid. Belajar. Diberi nasehat. Dan hari yang menentukan itu, sebelum gurunya sempat beristirahat, maut telah menjemputnya!
Madewa mendesah.
Genda jadi tidak enak. Dia merasa bersalah karena mengembalikan ingatan Madewa tentang kejadian sedih itu.
“Ah, sebaiknya Tuan tidur saja dulu. Besok baru kita bicarakan soal ini lagi." "Sebentar Genda. Kau bisa
membantuku?'
"Bantu apa?"
"Pergaulanmu luas. Temanmu banyak. Kau pasti bisa menemukan kabar-kabar baru untukku. Kalau ada yang bicara tentang pusaka itu, beritahukan padaku. Bisa kau?"
"Untuk Tuan aku akan melakukannya." "Terima kasih, Genda. Kau tidurlah
lebih dulu."
"Aku tidak mengantuk, Tuan."
"Aku juga. Kita lanjutkan obrolan ini?"
"Terserah, Tuan."
Madewa hanya mengangguk. Dan obrolan itu terus berlanjut. Sampai kokok ayam terdengar, mereka masih asyik bicara. Tanpa terasa ngantuk.
Genda sudah bersiap hendak berangkat bekerja lagi keesokan harinya. Ia berpesan pada Madewa, agar jangan ke mana-mana, karena keselamatannya tidak menjamin.
"Aku tidak akan jauh dari rumah ini," sahut Madewa tersenyum. Sahabat barunya ini begitu menguatirkan keselamatannya.
"Baiklah, Tuan. Kupikir, Tuan juga mampu menghalau setiap serangan yang datang. Aku berangkat dulu, Tuan." Madewa mengangguk. Genda pergi dengan langkah pelan. Rumah majikannya tidak jauh dari tempat tinggainya. Beberapa saat kemudian dia sudah tiba di sana. Dan langsung menuju ke kandang kuda. Kuda-kuda itu sehat. Berjumlah sepuluh ekor. Majikannya memang orang yang kaya. Bertubuh gendut. Dia seorang duda. Istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya yang cuma semata wayang. Dan majikannya itu tidak ingin menikah lagi. Untuk memenuhi kebutuhan rohaniahnya, dia tinggal mendatangi tempat ‘kupu-kupu cantik' bersarang yang memang dia sendiri yang mengelolanya. Atau mendatangkannya dua orang yang masih muda dan cantik ke rumahnya.
Herannya, anak gadisnya yang tumbuh menjadi kembang yang sangat cantik, tidak tahu akan hal itu. Biparsena memang hebat menyembunyikan belangnya dari anaknya, Ratih Ningrum.
Kadang-kadang Genda juga heran, majikannya yang jelek itu punya anak secantik Ratih Ningrum.
Ketika dia sedang mengelurkan kuda-kuda itu untuk dibawa ke padang rumput, gadis itu sudah berdiri di pintu kandang.
"Kang gendang," panggilnya dengan suara yang lembut.
Genda terkejut. Dia bisa kena marah oleh majikannya karena anak kesayangannya berada di tempat kotor ini.
"Ada apa, Den Putri?" tanyanya hormat.
"Saya ingin jalan-jalan."
"Oh, silahkan. Tinggal pilih kudanya, Den Putri. Saya akan urusi nanti."
"Biar aku yang mengurusnya." "Jangan, Den putri. Nanti kena marah
ayah."
"Tidak! Ayah lagi ada tamunya. Nggak tahu siapa. Nenek tua yang genit!"
Ratih Ningrum menunjuk kuda tinggi yang berwarna putih. Genda buru-buru memasang perlengkapan kuda itu. Lalu, "Silahkan, Den putri." Ratih Ningrum meloncat ke atas kuda. Ia berkata pada Genda, "Kalau ditanya Ayah, aku pergi jalan-jalan!"
"Iya, Den putri!"
Ratih Ningrum menggeprak kudanya yang langsung meloncat dengan indah. Genda geleng-geleng kepala. Kecantikan gadis itu begitu memukaunya. Penuh pesona yang sukar ditepiskan. Ah, apa-apaan dia melamunkan gadis itu. Mimpi! Jangan suka berkhayal, nanti jadi pusing sendiri.
Ia melanjutkan pekerjaannya lagi.
Dari arah samping terdengar suara majikannya, "Jadi itu keputusanmu, Nini?"
Nenek Tua yang berdiri di sampingnya mengangguk.
"Tidak ada jalan lain, tinggal dia satu-satunya yang diharapkan," kata nenek tua yang tidak lain adalah Niniwulandari.
"Baik! Akan saya usahakan untuk mendapatkannya!"
"Bagus, Biparsena! Kau seorang murid yang jempolan. Mengerti kemauan gurunya! Aku permisi. Sambil mencari tahu tentang orang itu."
"Hati-hati, Nini!" Niniwulandari terkekeh. Langkahnya tidak mencerminkan seorang nenek tua yang lemah. Tapi penuh gairah dan tenaga. Ia melangkah dengan tegap.
Biparsena mengusap-usap dagunya. Rupanya yang dicari gurunya itu telah tiba di sini. Bagus, kita akan mencarinya!
Genda masih bekerja. Dia pura-pura menggosok kuda itu ketika majikannya menoleh.
"Kemari sebentar, Genda!" "Ya, Tuan!"
"Aku punya tugas untukmu!" "Tugas apa, Tuan."
"Cari keterangan, tentang orang asing yang masuk ke daerah ini."
"Maksud Tuan?"
"Kemungkinan besar orang asing itu akan merusak daerah kita ini. Dikabarkan akan adanya bencana yang besar bagi daerah ini. Makanya kau cari tahu siapa saja yang datang. Mengerti?"
"Mengerti, Tua."
Biparsena mengangguk puas.
"Tadi kulihat Ratih Ningrum berada di sini? Di mana dia sekarang?"
"Sedang jalan-jalan dengan menunggang kuda, Tuan." "Hmm, bagus kalau begitu. Nafsu syahwatku sudah tidak kuat kubendung lagi. Tolong panggil dua wanita muda yang cantik ke mari. Cepat Genda, aku sudah tidak tahan!"
"Baik, Tuan!"
Yah, memang hanya pembantu-pembantu setianya saja, Biparsena mau membuka rahasia, kalau dia membuka tempat praktek pelacuran di daerah ini. Genda pun tahu tempatnya. Dia memilih dua orang yang cantik dan membawanya ke rumah majikannya.
Tak kalah kemudian, dari kamar itu terdengar nafas rintihan dan erangan.
Hari sudah agak siang ketika Ratih Ningrum berniat untuk kembali. Ia memutar haluan kudanya. Ketika melewati rumah Genda, dia melihat seorang pemuda sedang melamun di depan rumah itu.
Ratih Ningrum heran. Bukankah hanya Genda yang menghuni rumah itu? Lalu siapa orang itu. Jangan-jangan dia mau berbuat jahat.
Ratih Ningrum bukan gadis penakut. Apalagi ayahnya berkuasa di sini. Perlahan menjalankan kudanya mendekati pemuda yang tak lain Madewa Gumilang.
Pemuda itu kaget mendengar langkah kuda mendekatinya. Juga kaget melihat betapa cantiknya penunggang kuda itu. Baru kali ini Madewa melihat gadis secantik dia.
Ratih Ningrum jadi agak malu dengan tatapan Madewa yang jelas mengagumi kecantikannya. Dia membentak, "Hei, kamu siapa?!"
Madewa tergagap. Lalu tersenyum sambil buru-buru berdiri.
"Oh, saya bernama Madewa Gumilang, Nona."
"Kamu sedang apa di sini?" "Duduk-duduk saja." "Maksudku... di rumah ini?"
"Oh, aku tinggal bersama Genda, sahabatku, Nona. Sekarang dia sedang bekerja di keluarga Biparsena."
Melihat tingkah pemuda itu sopan, kecurigaan Ratih Ningrum menghilang.
"Aku baru tahu kalau Genda punya teman. "
"Saya teman barunya, Nona." Mata Madewa tetap tidak berpaling sedikit pun dari wajah Ratih Ningrum. Masih tetap menikmati kecantikan itu selagi gadis itu masih ada.
"O ya, namaku Ratih Ningrum." "Nama yang indah. Secantik
orangnya," puji Madewa setulus hati. Wajah Ratih Ningrum memerah. Baru kali ini dia mendengar pujian dari seorang pemuda yang begitu terus terang. Berulang kali di mendengar pemuda-pemuda mengagumi kecantikannya, tapi hanya secara sembunyi-sembunyi.
Wajah yang memerah itu, semakin menambah kecantikannya. Madewa geleng-geleng kepala. Mendesah.
"Saya gembira sekali bisa berkenalan dengan gadis cantik macam, Nona."
"Panggil aku, Ratih," kata Ratih sambil menunduk. Menghindari tatapan Madewa yang terus menerus. Mendadak dadanya bergetar. Tatapan itu pun mempesonanya. Tatapan yang tulus. Tidak ada gairah yang menjijikkan. Ia menenangkan gemuruh dadanya. "Ah, hari ini sudah siang! Aku permisi dulu, Madewa!"
"Tunggu sebentar, Nona! Boleh... aku tahu rumahmu?"
Ingin sekali Ratih menyebutkan rumahnya. Tapi dia kuatir. Dia tahu ayahnya, yang melarangnya bergaul dengan pemuda-pemuda kampung. Dia hanya pantas berdampingan dengan bangsawan, begitu kata ayahnya. "Ah, dekat kok!" hanya itu jawaban Ratih.
"Di mana?"
"Pokoknya dekat." Ratih melengos. "Yuk, ah! Aku permisi!"
"Ratih!" panggil Madewa penasaran. Tapi kuda itu sudah membawa Ratih pulang ke rumahnya. Hanya Madewa yang masih berdiri menatap hilangnya kuda yang membawa gadis cantik itu.
Madewa mendesah. Entah berapa banyak dia telah menjumpai gadis secantik Ratih, tapi baru kali ini hatinya bergetar melihat seorang gadis. Ah, apakah dia telah jatuh cinta dengan gadis itu?
Madewa kembali duduk di tempatnya tadi. Heran, sejak tadi yang direnungkannya adalah bagaimaan cara mencari orang yang menjadi musuh besarnya itu yang telah menjadikan akhir hidup gurunya penuh derita tetapi sekarang, bayangan Ratih Ningrum yang cantik yang menggodanya.
Wajah itu betapa manisnya. Senyumnya memikat sekali. Kembali Madewa mendesah. Diam-diam dia merasa agak beruntung karena singgah di desa ini, yang memberinya kesempatan untuk berkenalan dengan Ratih Ningrum. Tiba-tiba Madewa mendongak. Seseorang telah berdiri di dekatnya. Madewa merasa mengenal laki-laki ini. Orang yang berbicara dengan Genda kemarin di warung nasi itu. Madewa pun tahu namanya. Buntoro.
"Maaf, apakah Genda ada di rumah?" tanya Buntoro.
"Oh, dia sedang bekerja di rumah Biparsena," sahut Madewa sambil tersenyum. Dia harus bisa mengambil hati orang-orang di desa ini, agar mereka jangan curiga dengan pendatang baru.
"Baiklah, nanti saya kembali lagi," kata Buntoro seraya pergi. Madewa hanya mengangguk. Kembali lamunannya bekerja. Dan seraut wajah Ratih Ningrum menggodanya lagi!
Madewa cepat-cepat menghimpun hawa murninya, mengusir bayangan indah itu. Dan pikirannya pun bekerja lagi, mencari jalan untuk menemukan orang yang menyebabkan isu tentang pusaka dewa matahari.
Sementara itu Buntoro agak bergegas. Dia heran, ternyata orang yang kemarin makan di warung nasi itu, tinggal di rumah Genda. Hmm, Genda baik hati sekali kau menerima orang asing yang tidak diketahui asal usulnya. Dia harus memperingatkan Genda agar berhati-hati. Tanpa buang waktu lagi, Buntoro pergi ke rumah Biparsena. Majikan Genda itu, yang juga majikannya. Dia melihat Genda masih berada di kandang. Buru-buru
dia mendekat.
"Genda siapa orang yang tinggal di rumahmu itu?" tanyanya terburu-buru pula. Genda menoleh. Agak tertawa.
"Kamu bicara apa?"
"Aku curiga dengan laki-laki yang berada di rumahmu, Genda."
"Siapa maksudmu? Madewa?"
"Aku tidak tahu siapa nama pemuda itu. Tapi dia orang asing, Genda. Bisa saja dia membuat keributan di sini."
Genda tertawa pelan.
"Aku mengenal dia dengan baik, Buntoro.
Aku yakin, dia pun orang baik-baik. Dia tidak akan membuat onar seperti yang kau takutkan."
"Tapi kita harus berhati-hati, Genda."
"Aku bisa menjaga diri, Buntoro. Aku lebih takut dengan orang-orang yang manis mulut daripada dengannya."
Wajah Buntoro agak memerah. Merasa disindir. Dia terdiam. Akhirnya dia pergi sambil menggerutu. Dibilangin kok tidak mau peduli. Buntoro juga perawat kuda-kuda Biparsena. Kadang-kadang bergantian dengan Genda.
Setelah Buntoro pergi, muncul Ratih Ningrum sambil membimbing kudanya. Wajahnya kelihatan ceria sekali. Dia bernyanyi-nyanyi kecil. Genda mengangkat wajahnya. Gembira melihat putri majikannya itu senang. Ia menyambut.
"Senang perjalanan Den Putri hari ini?"
"Iya, Kang Genda. Udara pagi ini sejuk sekali. Burung-burung pun ramai berterbangan dan bernyanyi," sahut Ratih Ningrum dengan suaranya yang lembut.
"Syukurlah kalau begitu," Genda memasukkan kuda itu. Dan kembali menemui Ratih Ningrum yang masih berdiri di dekat kandang kuda itu. Genda heran, tidak biasanya Ratih menunggu di situ. Pasti ada apa-apa. "Ada apa lagi, Den Putri?" Ratih Ningrum nampak tersipu. Ia menunduk malu-malu. Genda semakin
keheranan.
"Ada yang menyusahkan, Den Putri?" Ratih Ningrum buru-buru menggeleng. "Tidak, hari ini aku senang sekali." "Lalu apa yang membuat Den Putri menunggu di sini? Lebih baik Den Putri masuk, tempat ini kotor. Nanti Den Putri kena marah oleh ayah."
"Tidak, tidak. Ayah ada tamunya lagi. Siapa sih kedua gadis yang cekikikan di ruang tamu itu?"
Sejenak Genda menahan nafas. Ah, untung Tuannya sudah selesai 'bekerja'. "Tamunya mungkin. Biasa Den Putri, ayah Den Putri orang terpandang di desa ini dan banyak yang minta nasehat darinya," kata Genda dengan harapan Ratih Ningrum tidak mempersoalkan tamu
itu lagi.
Ratih Ningrum kembali terdiam.
Nampak ragu-ragu. Kemudian, "Kang Genda. "
"Apa, Den Putri?"
"Siapa... pemuda yang ada di rumahmu?" tanya Ratih Ningrum malu-malu, lalu menunduk. Tidak pantas seorang gadis menanyakan seorang pemuda secara terang-terangan begitu.
Genda tersenyum mengerti. Jadi itu yang membuat Ratih Ningrum menunggunya di tempat ini.
"Dia teman saya, Den Putri," kata Genda hormat, sedikit pun tidak menggoda Ratih Ningrum yang sudah kuatir dituduh perempuan genit. Dalam hati Genda bilang, siapa pun akan tertarik dengan Madewa Gumilang yang tampan dan gagah itu.
Merasa Genda tidak menggodanya, Ratih Ningrum melanjutkan pertanyaannya, "Sejak kapan kau berteman dengan dia, Kang Genda?"
"Belum lama, Den Putri. Pemuda itu datang dari tempat yang jauh, dan tidak punya tempat tinggal. Jadi untuk sementara dia tinggal di rumah saya. "
"Apakah dia tidak ingin bekerja?" "Oh, dia ingin sekali, Den Putri.
Tapi pekerjaan apa? Cari kerja itu sangat sulit sekali."
Wajah Ratih Ningrum berseri-seri. "Kalau benar dia mau bekerja, aku akan bilang pada ayah. Pasti ada pekerjaan untuknya."
Genda tersenyum. Ia sudah menduga pasti itu jawabannya. Ah, Ratih Ningrum sudah jatuh cinta rupanya pada Madewa, sampai menginginkan dekat dengannya. Dengan bekerja di situ, bukankah dia bisa berdekatan dengan Madewa?
Ratih Ningrum jengah Genda tersenyum begitu. Buru-buru ia berpaling dan berlari ke kamarnya. * * *
5
Biparsena memperhatikan tubuh Madewa Gumilang dengan seksama. Sementara di sampingnya Ratih Ningrum duduk dengan tersipu. Hari ini dia berdandan secantik mungkin.
Sebenarnya Biparsena tidak mau mengambil seorang pekerja lagi, tapi dia tidak tega menolak permintaan putri tersayanganya. Maka keesokkan harinya dia langsung menyuruh Genda memanggil Madewa menghadap.
Madewa pun sebenarnya hendak melanjutkan perjalanan lagi, karena sudah tiga hari dia tinggal di daerah ini belum ada kabar lagi tentang orang yang ribut-ribut mencari Pusaka Dewa Matahari. Tetapi Genda menahan, menyuruhnya menerima pekerjaan yang akan disodorkan Biparsena. Biparsena orang yan terpandang, dan dia punya keterangan yang banyak dan luas.
"Baiklah," kata Biparsena akhirnya. "Kau kuangkat menjadi pengawal pribadi putriku." Ratih Ningrum tercekat sejenak. Pemuda itu akan menjadi pengawal pribadinya? Oh, alangkah pandainya ayahnya mencarikan pekerjaan yang memang dia sukai. Dijaga oleh pemuda yang disukainya, betapa indahnya!
Biparsena melanjutkan perkataannya, "Tapi sebelumnya, kau harus diuji dulu ilmu silatmu. Kalau melihat potonganmu, kau pandai silat. Tapi aku akan melihatnya dulu!" Setelah bicara itu, Biparsena bertepuk dua kali. Dari balik ruangan yang berdinding tebal, muncul tiga orang pengawal yang memakai pakaian dan bersenjata berlainan. Mereka merupakan pengawal
pribadi Biparsena.
"Madewa, mereka yang akan mengujimu! Beri hormat pada mereka!"
Madewa berbalik. Agak membungkuk sedikit pada ketiga orang jago kepercayaan Biparsena. Ketiganya balas membungkuk.
"Bagus! Sekarang kalain perkenalkan diri!"
Yang memakai baju hijau dan berselempang pedang di belakang maju selangkah. "Perkenalkan, Mukti, si pedang kembar!" Yang memakai baju seperti orang keraton maju pula selangkah. "Patidina, si keris tunggal, Yang terakhir tidak memakai baju. Bercelana gombrang warna hitam. Rambutnya dikepang ke belakang. Kalau dilihat sekilas, dia bukan orang sini. Matanya agak sipit. Kulitnya pun putih.
"Tek Jien, pukulan seribu!" suaranya seram Memberi kesan kalau dia orang yang kejam.
Biparsena bertepuk lagi. "Bagus, bagus! Madewa kau hadapilah mereka! Jangan tanggung-tanggung! Keluarkan semua ilmumu! Kalau kau lengah, nyawamu melayang! Pedang kembar, hadapi dia!"
Selesai Biparsena berseru, Mukti alias si Pedang Kembar segera meloncat ke depan. Langkahnya ringan. Dia menunggu Madewa menghampiri. Madewa melirik dulu pada Ratih Ningrum yang berubah pucat. Juga Genda yang berlutut dengan tubuh gemetar. Keduanya tidak mengharapkan uji coba macam ini!
Madewa melangkah perlahan. Sikapnya tenang. Di hadapannya Mukti menghormat, Madewa balas menghormat. Saling bungkuk. Biparsena berseru lagi,
"Mulai!" Serentak si Pedang Kembang membuka jurusnya. Kaki kanannya menggeser ke belakang. Dadanya tegak. Tangan kanannya mengembang ke samping. Tangan kiri menekuk di dada. Kelihatannya pertahanannya kosong, tapi penuh pukulan rahasia dan tenaga.
Madewa pun membuka jurusnya. Jurus ular warisan gurunya mendiang Ki Rengsersari. Dia membuka jurus Ular Mematuk Katak. Tangannya saling merapat. Lalu mengembang dan berhenti di dada.
Mukti langsung menyerang, menjerit seraya meluncurkan tangan kanannya ke arah wajah Madewa. Tangan Madewa beraksi cepat. Dia menangkis pukulan itu dan tangannya bagaikan gerakan ular meluncur ke perut Mukti. Mukti menarik tangannya, menahan pukulan itu dengan sikunya. Secara tak langsung pertahanan atasnya kosong. Tangan kiri Madewa bergerak cepat. Mematuk dada Mukti dengan keras. Mukti terhuyung. Madewa tidak melanjutkan serangannya. Karena dia pikir, ini hanya latihan. Tapi perbuatannya itu membangkitkan kemarahan Mukti. Cepat dia meloloskan kedua pedangnya. Dan memainkan keduanya
dengan hebat.
Pedangnya berkelebat dengan dahsyat. Bahkan desingnya membuat sakit telinga. Madewa tetap berdiri tegak. Dia berpikir, kalau diserang tidak mungkin. Kalau diam dia akan diserang. Madewa tidak mau mengeluarkan ilmu andalannya, pukulan bayangan sukma. Karena Madewa kuatir, penyamarannya akan diketahui dengan terlihatnya ilmu itu.
Mukti masih mendemonstrasikan kehebatan ilmu pedangnya. Dan di saat itulah Madewa ingat akan ilmu pandangan sukma. Diam-diam dia mengerahkannya. Mencari di mana kelemahan ilmu pedang Mukti. Dan terlihat, kalau kedua pedang kembar Mukti itu hanya melindungi bagian atas saja dan bagian bawah sebatas lutut. Hanya satu kelemahannya, pergelangan kaki!
Maka ketika Mukti menyerang, dengan tetap menggunakan jurus Ular Mamatuk Katak, Madewa menyambar pergelangan kaki Mukti. Gerakannya cepat dan menyentak. Dan benar dugaannya tadi. Mukti jadi kelimpungan. Dia mendengus keras, pemuda ini tahu kelemahan ilmunya. Dia mengangkat kedua kakinya dan bersalto ke belakang!
Mukti menyerang lagi. Justru ini yang ditunggu Madewa. Ketika Mukti membabatkan pedangnya ke leher dan kaki Madewa, pemuda itu menghindar ke belakang. Tetapi langsung menerjang ke depan, menembus kedua pedang itu. Perbuatan yang berbahaya. Penuh resiko. Tapi perhitungan Madewa matang. Gerakannya pun lebih cepat. Tangan kanan cepat menangkap pergelangan kaki kiri Mukti. Dan membantingnya dengan keras. Sementara tangan kirinya menotok pangkal lengan Mukti yang membuatnya berkunang-kunang.
Terdengar tepukan dari atas. Ratih Ningrum bertepuk tangan gembira. Biparsena pun hanya manggut-manggut. Dia sudah menduga, kalau pemuda ini punya kemampuan.
"Keris Tunggal!!"
Begitu dipanggil, Patidina langsung menusukkan keris ampuhnya ke lambung Madewa. Rupanya dia sudah tahu kehebatan pemuda itu, makanya tak perlu basa-basi lagi. Madewa terkejut. Tidak bisa mengelak lagi. Keris Patidina tepat menuju sasaran. Tapi keris itu tidak nembus, malah terdengar suara
"Trak!"
Patidina bersalto ke belakang, memenangkan hatinya yang keheranan. Seharusnya keris itu sudah bisa membunuh pemuda itu. Madewa pun heran. Tetapi kemudian dia tersenyum. Keris Patidina mengenai Seruling Naga yang terselip di angkinnya!
"Kita bertarung lagi, Patidina!" tantang pemuda itu.
Patidina menggeram. Dia menyerang lagi. Kerisnya bergerak cepat. Kali ini Madewa menyambut.
"Duk!" Pukulannya bersarang di dada Patidina yang merasakan ingin muntah. Kelincahannya kalah oleh Madewa. Orang itu jatuh ke lantai.
Belum lagi Biparsena berseru memanggil Tek Jien, orang itu sudah menyerang Madewa dengan pukulan tangan kosongnya. Sungguh hebat. Pukulan itu terlihat banyak sekali, seakan berjumlah seribu. Sungguh pantas julukan Pukulan Seribu untuk Tek Jaien!
Madewa kembali menyambut. Dia merubah jurusnya. Dengan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga, Madewa memapakai serangan Tek Jien. Tangannya bergerak cepat. Dan bisa mengimbangi pukulan tangan seribu Tek Jien, Tek Jien mempercepat serangannya. Madewa pun mempercepat pukulannya. Suatu ketika keduanya bersiap. Dan menerjang dengan serentak!
Semua kaget. Ratih Ningrum menjerit ngeri. Genda menahan nafas, lalu melengos. Tidak ingin melihat apa kejadian selanjutnya.
Terdengar suara yang keras sekali. Dari tangan keduanya terlihat kepulan asap, menandakan masing-masing menaikkan tenaga ke tangan.
Sekali lagi terdengar suara keras itu. Dan jeritan yang disusul tubuh ambruk. Tek Jien tergeletak dengan bibir berdarah. Sementara Madewa hanya terhuyung selangkah. Lalu berdiri tegak, siap menyambut lagi serangan Tek Jien.
Biparsena bertepuk. Menandakan uji coba selesai.
"Bagus, Madewa! Kau memenuhi syarat untuk menjaga putriku! Beri salam pada mereka, karena mereka lebih tua darimu!" Pemuda itu mengangguk hormat.
Melepaskan totokannya dari pangkal lengan Mukti. Membantu Patidina berdiri. Dan mengusap darah di bibir Tek Jien dengan angkinnya.
Ketiga pengawal itu surut kemarahannya. Hilang rasa malu mereka, begitu melihat jiwa kesatria Madewa yang tidak sombong. Dan mau menolong mereka dari rasa malu di depan Biparsena. Kalau mereka yang bisa menjatuhkan Madewa, langsung diserangnya Madewa sampai mati. Tapi pemuda itu tidak melakukannya! "Madewa!" panggil Biparsena. "Mulai hari ini, kau harus tinggal di sini! Ambil barang-barangmu! Dan mulai hari ini pula, keselamatan putriku, kupercayakan kepadamu!"
Madewa berlutut. "Pekerjaan ini saya terima, Tuan!"
Biparsena mengangguk-angguk puas. Ratih Ningrum tersenyum gembira, karena Madewa berada di dekatnya!
Niniwulandari manggut-manggut mendengar penuturan itu. Dipandanginya laki-laki yang memberi kabar itu padanya.
"Benar kata-katamu?" tanyanya seakan tak percaya.
"Benar, Nini. Pemuda itu orang baru di sini! Dia bernama Madewa Gumilang!" "Apa kira-kira dia tahu tentang Pusaka Dewa Matahari?" gumam
Niniwulandari.
"Soal itu jangan kuatir Nini. Saya bisa mengoreknya dari Genda."
"Kau yakin?"
"Yakin. Dan saya mau membantu Nini. Asalkan Nini juga mau mewujudkan keinginan saya untuk mempersunting Ratih Ningrum."
Niniwulandari terkekeh. "Soal itu, jangan kuatir. Aku bisa mengurusnya dari Biparsena. Asal kau bisa menjalankan tugasmu dengan baik, aku pun akan mewujudkan keinginanmu. He... he. "
"Semua yang Nini perintahkan, akan saya lakukan."
Niniwulandari terkekeh lagi. Merasa senang karena orang ini begitu patuh.
"Sekarang juga kau harus mencari keterangan itu."
* * *
6
Hari ini Madewa mengawal Ratih Ningrum berjalan-jalan. Gadis itu kelihatan gembira sekali. Berkali-kali ia menyuruh agar Madewa menjajarkan langkah kudanya dengan kuda dia. Sebagai pengawal, Madewa hanya mengikuti saja. Ratih Ningrum yang cantik itu kerap kali membuatnya bergetar. Apalagi kalau terjadi saling tatap tak sengaja, keduanya sama-sama menunduk dengan wajah
memerah.
Tetapi Madewa sadar, sebagai pengawal dia tidak boleh melakukan apa-apa. Apalagi sampai mencintai Ratih Ningrum. Udara sore itu sejuk. Ratih Ningrum menjalankan kudanya dengan hati-hati Madewa menjajarinya.
"Kamu betah tinggal di sini, Madewa?" tanya Ratih Ningrum dengan senyum yang manis. Bibir merekah yang mungil itu menantang sekali untuk dikecup.
"Betah, Den Putri. "
"Mengawalku?"
"Itu sudah tugasku, Den Putri." "Dulu aku selalu berjalan-jalan
sendirian. Dengan kudaku ini. Aku selalu menolak kalau disuruh ayah membawa pengawal. Tetapi sekarang, aku malah suka kau kawal? Kau tahu kenapa?"
"Tidak, Den Putri."
Wajah Ratih Ningrum memerah. Padahal dia berharap Madewa tahu arti ucapan itu, kalau dia mencintainya. Ratih Ningrum jadi malu sendiri. Buru-buru ia menggeprak kudanya. Kudanya melesat ke depan.
Dalam hati Madewa tersenyum. Ia sebenarnya mengerti apa maksud Ratih Ningrum. Tetapi seperti yang diragukannya, apakah pantas dia berdampingan dengan gadis secantik itu? Tiba-tiba terdengar suara Ratih Ningrum minta tolong. Madewa menepak kudanya dengan keras hingga melaju dengan cepat. Di depan sana, Ratih Ningrum tengah ditarik oleh seorang laki-laki berwajah seram. Sedangkan kudanya dipegangi oleh dua orang laki-laki yang lain.
"Tolong! Tolong aku, Madewa!!" jerit Ratih Ningrum.
Madewa semakin mempercepat lari kudanya. Begitu dekat, dia langsung bersalto dari atas kuda. Dan berbalik menerjang laki-laki yang menyeret Ratih Ningrum itu.
"Des! Des!"
Dua buah pukulan mengenai laki-laki itu. Pegangannya pada Ratih Ningrum terlepas. Madewa cepat melindungi gadis itu dengan jalan merangkulnya.
"Kalian bangsat-bangsat rendah! Yang kerjanya hanya membuat onar saja!" Dua laki-laki yang memegangi kuda, berkelebat ke depan. Mereka siap menyerang. Golok panjang tercengkram di tangan masing-masing. Begitu pula dengan yang diserang Madewa tadi. Geram ia
bangkit.
"Pemuda gila! Kau harus menebus semua ini dengan nyawamu!" seraya sambil mencabut goloknya. Madewa tersenyum, menyahut tenang, "Nyawa kalian yang akan kucabut! Aku tidak suka dengan orang yang selalu membuat keonaran! Yang kerjanya hanya merusak saja. Cepat kalian berlutut dan minta maaf, sebelum aku telengas menjatuhkan tangan!"
"Bangsat! Kau kira kami takut? Lihat serangan, pemuda sombong!" sehabis berkata demikian, orang itu menyerang. Madewa berputar ke depan. Hingga Ratih Ningrum berada di belakangnya. Dengan tenang ia menyambut serangan itu. Jurus Ular Meloloskan Diri digunakan dengan mantap. Tak satu serangan pun yang mengenai sasaran.
Melihat temannya dipermainkan, dua orang yang lain membantu. Kini tiga buah golok berkelebatan dengan cepat. Lagi-lagi Madewa mampu menghindari semua serangan itu. Bahkan ia sempat memukul salah seorang dari mereka. Dan
"brerkk!"
baju orang itu koyak termakan jarinya.
"Ha-ha-ha... cepat kalian berlutut!
Sebelum aku marah!"
"Setan! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" Orang itu melempar goloknya. Dengan tangan kosong dia menyerang. Pukulan lurus ke wajah dielakkan dengan mudah oleh Madewa. Dan tangannya cepat menyambar batang leher orang itu. Sedetik orang itu tak berkelit, bisa mampus dia!
"Sreet!"
Madewa merasakan tangannya menjambret kalung orang itu, Ia tertawa. "Ha-ha-ha... hati-hatilah kalian.
Kalung ini... hei!" Madewa terperanjat. Orang-orang itu pun kaget. Ratih Ningrum hanya berdiri ketakutan. Tubuhnya menggigil. Madewa mengenali kalung ini. Tidak mungkin, kalung ini ada dua buah di dunia ini. Ini kalung ibu, pemberian dari ayahnya. Madewa hafal! Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya. Dan menatap orang-orang itu dengan bengis!
"Hhh! Sekarang dengarkan aku? Apakah kalian yang telah memperkosa dan menyebabkan kematian seorang wanita di goa tepi hutan dua setengah tahun yang lalu?" tanyanya marah.
Orang-orang tu berpandangan. Dan mendadak mereka tertawa serempak.
"Ha... ha... ha... memang itu perbuatan kami. Kenapa? Wanita itu ibumu? Ha... ha... daripada dia kedinginan, lebih baik kami beri kehangatan, bukan?" Mendidih Madewa mendengarnya. Jadi ketiga orang ini yang telah memperkosa dan menyebabkan ibunya bunuh diri. Dia tidak perlu mencari susah-susah kalau begini.
"Bangsat rendah!" suara Madewa bergetar menahan marah. "Hari ini kalian akan menerima ajal yang mengerikan!! Dengarkan, akulah anak dari wanita yang kalian perkosa itu! Dan hari ini aku akan membalaskan sakit hati ibuku! Bersiaplah!!"
Ketiga orang itu yang tak Iain dari Mangkara, Rengga dan Toban, perampok-perampok yang telah memperkosa Wasih Inten. Melihat Madewa beringas demikian, ketiganya bersiap. Mereka sadar akan kehebatan pemuda itu. Maka ketiganya pun bersiap dengan golok masing-masing.
Madewa tidak bertindak tanggung, dia mengerahkan ilmu pukulan bayangan sukmanya.
Kemarahannya sudah menjadi-jadi. Dia merasa orang-orang macam mereka dihapuskan saja dari muka bumi ini.
Tanpa membuang waktu lagi, dia langsung menyerang. Ketiga orang itu serentak memapaki. Tiga buah golok ditangkisnya dengan tangan kanan. Serentak golok-golok itu terlepas. Ketiganya merasakan panas yang luar biasa mengalir dari golok itu ke telapak tangan masing-masing.
Begitu golok mereka terlepas, Madewa langsung menyerang kembali. Serangannya cepat.
Duk! Duk! Duk!
Pukulannya bersarang di masing masing tubuh mereka. Dan satu per satu ambruk dengan tubuh hancur.
Ratih Ningrum menjerit.
"Aaah!!" Ia menutup wajahnya dan berpaling.
Madewa masih berdiri tegak dengan kedua tangan masih mengepal. Ia puas melihat ketiga lawannya ambruk. Dengan geram ia menengadah. Berseru pada langit,
"Ibuuu! Lihatlah, anakmu telah menuntut balas! Tenanglah kau di sisi-Nya!!"
Madewa mendekap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Hatinya puas. Dendam Ibu sudah terbalaskan. Ratih Ningrum yang kaget melihat Madewa sekejam itu, berlari ke kudanya. Dan melarikan kudanya kencang-kencang. Madewa menoleh. Dan cepat mengejar. Hanya tiga kali salto saja, dia sudah bisa mengiringi Ratih Ningrum.
"Den Putri! Berhenti!"
"Tidak! Kau kejam, Madewa!!" seru Ratih Ningrum terus melarikan kudanya. Madewa menahan tali kekang kuda itu.
Secara paksa kuda berhenti. Ringkiknya menggema keras. Ratih Ningrum terpelanting ke belakang. Madewa dengan cepat menyambar, hingga tubuh gadis itu jatuh dalam rangkulannya. Ratih Ningrum menangis segugukan. Madewa menurunkan dan mendudukan gadis itu di rumput.
"Maafkan aku, Den Putri...." kata Madewa serba salah. Ratih Ningrum adalah gadis terpelajar. Dia belum pernah menyaksikan pembunuhan. Dan betapa kagetnya dia melihat Madewa begitu telengas menurunkan tangan tadi. Ratih Ningrum masih segugukan.
"Aku... yah... aku terpaksa membunuh mereka.. .. Karena mereka orang-orang yang kejam. Yang tega-teganya membunuh ibuku setelah memperkosanya. Aku... aku terpaksa, Den Putri”.
Ratih Ningrum mengangkat wajahnya. Wajahnya yang cantik nampak semakin cantik karena air mata. Matanya yang memerah membuah wajahnya merah dadu. Ia mengusap air matanya. Mengerti mengapa Madewa kejam itu.
"Aku. "
"Maafkan aku, Den Putri. Tidak seharusnya Den Putri menyaksikan pembunuhan tadi. "
Tetapi gadis itu menggeleng. "Aku bisa memahami perasaanmu... Madewa....
Mungkin aku pun... akan berbuat demikian... jika... ibu yang. oh!"
Tanpa sadar Madewa merangkul gadis itu. Tanpa sadar pula Ratih Ningrum merebahkan tubuhnya di dada Madewa. Angin bertiup lembut.
Madewa berbisik, "Hari sudah sore, Den Putri.... Kita harus segera kembali. "
Ratih Ningrum tersentak begitu sadar ada dalam pelukan pemuda itu. Buru-buru ia bangkit, menaiki kudanya. Madewa segera menyusul.
Sejak kejadian dua hari yang lalu, perasaan rindu Ratih Ningrum pada Madewa semakin menjadi-jadi. Walaupun setiap hari bertemu, tetap saja dia merasakan rindu yang amat s-ngat.
Apalagi ketika itu tanpa sadar dia merebahkan tubuhnya dalam rangkulan pemuda itu. Ihh, memerah wajah Ratih Ningrum kalau mengingatnya. Demikian pula dengan Madewa. Hampir sebulan dia bekerja sebagai pengawal pribadi Ratih Ningrum. Tetapi sampai saat ini, dia belum mendengar orang yang ribut mencarinya dan mencari pedang pusaka itu. Madewa berpikir, dia harus segera melanjutkan perjalanan sesuai dengan perintah almarhum gurunya.
Pekerjaan mencari pemerkosa ibunya, telah selesai dilakukan. Suatu kebetulan belaka dia bertemu dengan orang-orang itu. Dan diam-diam... dia ingin mencari ayahnya. Ayah yang ditinggalkannya hampir 13 tahun.
Madewa pun sadar, kalau lama-lama berada di sini, dia semakin jatuh cinta pada Ratih Ning-nim. Setiap kali berdekatan, dirasakannya suatu getaran hebat yang mengganggu jiwanya. Madewa pun tahu, kalau Ratih Ningrum menaruh hati pula padanya.
Malam ini bulan bersinar dengan penuh. Madewa duduk sendiri di taman depan kamar gadis itu. Tempat biasa dia menjaga kalau tidak mengantar gadis itu berjalan-jalan. Tatapannya menatap ke depan. Menatap sinar yang remang-remang. Mencari jalan bagaimana caranya menemui musuh besarnya, orang yang menyebarkan kabar palsu itu pada gurunya. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap langkah yang ringan sekali. Madewa menoleh. Dia buru-buru bangkit dan tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Ratih Ningrum dengan pakaian tidurnya yang indah.
"Belum tidur, Den Putri?"
Ratih Ningrum menggeleng. Wajahnya semakin cantik disinari oleh bulan. Madewa menahan degup jantungnya yang semakin keras dan tak beraturan. Gadis itu duduk, dan menyuruh pemuda itu duduk.
"Aku belum mengantuk, Madewa. "
"Hari sudah larut malam. Angin malam tidak baik untuk kesehatan Den Putri. "
Ratih Ningrum mengeluh. "Madewa...
sudah berapa kali kukatakan padamu, janganlah panggil aku 'Den Putri', panggil saja namaku kenapa, sih? Atau...
namaku jelek... hingga kau enggan menyebutnya?"
Madewa gelagapan ditembak begitu. Memang, sudah beberapa kali Ratih Ningrum memperingatkannya agar memanggil namanya saja. Tetapi Madewa tetap merasa, kalau dia hanya seorang pengawal yang tak pantas berbuat lancang demikian. "Ti... tidak, Den Putri... Eh,
Ratih... Nama Den... eh... kamu bagus... Ratih. Ratih Ningrum... nama yang indah sekali... aku... aku... suka menyebut namamu, Ratih. "
Ratih Ningrum tersenyum. Dadanya bergetar mendengar pemuda itu memanggil namanya. Betapa mesranya, sampai meresap ke dada. Betapa enaknya nama itu disebut dari mulut Madewa Gumilang.
"Madewa. "
"Ya. Ratih?"
Tahu-tahu Ratih Ningrum menunduk. Suaranya tersendat. "Selama. tinggal
di sini... apakah kau merasakan sesuatu yang baru?"
Madewa yang belum tahu maksud gadis itu, menjawab, "Ya... suasana di tempat ini lain dengan di tempatku dulu. Aku punya sahabat baru... dan banyak pula kawan baru. "
"Bukan itu, "Ratih Ningrum menyahut gemas.
Madewa menoleh heran. "Jadi?" Wajah gadis itu memerah. "Kau...
tidak merasakannya seperti aku merasakannya?"
Madewa bingung. Perasaan yang baru itu? Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, yang semakin menunduk tersipu. "Saya... tidak mengerti... Ratih " “Sungguh?" Suara Ratih Ningrum
tersendat, agak kecewa.
Madewa perlahan mengangguk.
"Ya." Tetapi sejurus kemudian, dia mendesah. Yah, dia mengerti. Mengerti apa perasaan baru itu. Ini yang ditakutinya sekaligus diingininya. Dia pun merasakan itu. Merasakan cinta yang membara. Tetapi... apakah pantas dirinya berdampingan dengan Ratih Ningrum yang cantik dan terpandang itu?
Terdengar suara gadis itu lagi. Agak tersendat dan ragu-ragu.
"Madewa... aku... aku. "
Madewa menghela nafas. Dia tidak ingin melihat Ratih Ningrum kecewa. Perlahan dipegangnya tangan gadis itu yang terkejut, tapi kemudian menunduk. Hatinya bergemuruh hebat, tetapi damai sekali dalam genggaman itu.
"Saya... juga merasakan hal yang sama, Ratih...." bisik Madewa pelan, tapi sudah merupakan jawaban yang indah untuk Ratih Ningrum. Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya ber-seri-seri.
"Benarkah, Madewa?" wajahnya memerah. Madewa mengangguk. "Ya, Ratih. Tapi apa pantas saya mengutarakannya kepada Ratih, sementara saya hanya seorang pesuruh?"
"Jangan... jangan kau pikiran soal itu, Madewa. Aku... aku mencintaimu. Kau juga mencintaiku? Kita coba untuk mewujudkannya. "
"Meskipun banyak rintangan?" Madewa tersenyum menyaksikan kemurnian cinta gadis itu.
"Meskipun banyak rintangan," sahut Ratih Ningrum mantap.
Madewa menatap mata Ratih dalam-dalam. Mata itu menggambarkan gairah cinta yang bergelora. Perlahan-lahan Madewa mendekatkan wajahnya. Dan mengecup bibir Ratih yang merah basah, yang membalas dengan malu-malu. Keduanya berciuman dengan bergairah. Saling kulum dan memberi. Tanpa sadar, kalau sejak tadi sepasang mata marah memperhatikan mereka.
Beberapa saat kemudian, Madewa melepaskan ciumannya. Ia memegang kedua bahu Ratih Ningrum.
"Kamu harus tidur, Ratih," bisik Madewa mesra, tepat di telinga gadis itu. Kali ini Ratih Ningrum mengangguk. Dia tidak gelisah lagi. Penantian dan pencariannya sudah menemukan titik temu.
Dia balas berbisik, "Aku akan menuruti kata-katamu. "
Madewa tersenyum. "Selamat tidur, Ratih. Mimpilah yang indah."
"Aku akan memimpikan kamu, Madewa," sahut Ratih sambil mendekatkan wajahnya lagi. Madewa mengecup bibir itu. Ratih Ningrum mengeluh dalam kecupannya. Lalu beranjak menuju kamarnya.
Madewa menatap sosok gadisnya dari belakang. Betapa indahnya bentuk tubuh itu. Ciuman tadi pun menggairahkan sekali. Menandakan betapa lamanya gadis itu memendam cinta padanya.
Setelah gadis itu menghilang, Madewa termenung lagi. Kali ini pikirannya tenang. Tidak dihantui oleh perasaan rindu yang menggebu.
Sepasang mata yang mengintai, berkelebat. Menghilang ditelan malam, dengan perasaan yang marah sekali. Sementara Madewa masih duduk berjaga di taman dekat kamar Ratih Ningrum.
* * * Wanita itu sudah hampir sebulan berjalan kaki. Dia kelihatan lemah. Wajahnya agak pucat. Tapi wajahnya tetap cantik. Juga potongan tubuhnya yang menggairahkan, yang membuat setiap mata laki-laki berpaling ke arahnya.
Ketika memasuki warung nasi itu, beberapa pasang mata pria yang makan di sana, seakan-akan tak henti lepas dari tubuh wanita itu, yang begitu tipis pakaiannya dan menampakkan bagian buah dadanya yang montok, yang seakan mau meloncat keluar karena kegerahan.
Selendang merahnya pun sekali-sekali terjatuh. Entah sengaja entah tidak, tapi kesempatan itu tidak dilewatkan oleh pandangan bergairah dari beberapa laki-laki. Namun wanita itu tetap saja asyik makan, tak perduli dengan tubuhnya yang membuat orang begitu penasaran.
Salah seorang pengunjung warung nasi tidak tahan menahan nafsunya. Dia bernama Agriwe. Tubuhnya besar. Berewokan lebat. Wajahnya pun seram. Dia beringsut mendekat wanita itu, yang tak lain Pratiwi alias si Selendang Merah. Setelah membunuh Bandartaman, Pratiwi segera berangkat mencari Madewa. Dia heran, karena pemuda itu berhasil melepaskan diri dari totokannya. Dengan jengkel Pratiwi menghampiri mayat Bandartaman. Semua ini gara-gara dia! Mangsa empuk yang sudah di tangan lepas begitu saja. Dengan geram Pratiwi mengayunkan selendangnya ke mayat Bandartaman, yang seketika itu juga hancur berantakan. Setelah puas mencabik-cabik mayat itu, Pratiwi segera berangkat. Tak memperdulikan mayat Gundaling, kawan seperjalannya.
Dan hari ini Pratiwi tiba di desa tempat Madewa berada.
Agriwe menelan air liurnya setelah melihat dada Pratiwi lebih dekat. Berani ia mencolek dagu Pratiwi. Pratiwi yang sedang tidak mau mencari ribut, mendiamkan saja. Justru membuat Agriwe keenakan. Dengan lebih berani dia meraba leher Pratiwi. Pratiwi kembali terdiam. Tangan Agriwe lebih turun ke bawah. Meraba payudara Pratiwi, bahkan meremasnya!
Justru ini yang membangkitkan kemarahan Pratiwi. Biarpun dia dewi cabul yang kotor, tapi orang jelek macam Agriwe tidak masuk dalam jajarannya. Dengan geram disambarnya minumnya, dan dituangkannya ke kepala Agriwe yang asyik meremas-remas. Agriwe terkejut. Ia mendengus marah. Tapi Pratiwi tetap tenang. Malah para pengunjung berbalik jadi kecut. Wanita itu belum kenal Agriwe barangkali. Dialah raja maling yang ditakuti orang di daerah itu. Tetapi mereka juga belum kenal Pratiwi Selendang merah yang ditakuti di rimba persilatan.
"Hai, gadis! Nekat sekali kau melakukan itu padaku?!" geram Agriwe.
"Kenapa memang?" sahut Pratiwi tenang. "Kau pun ceriwis meremas payudaraku!"
Agriwe terbahak. "Karena kau menggairahkan. "
Pratiwi melirik dengan manja. Senyumnya mengembang dengan genit. "Kalau kau suka, minta baik-baik. Aku pun akan melayanimu."
Kata-kata itu membuat Agriwe keenakan. Marahnya surut. Langsung saja dia merangkul Pratiwi dan menciumnya dengan bertubi-tubi. Pratiwi berusaha meronta. Dan dengan sekali sikut saja, Agriwe melepaskan rangkulannya. Dia mengaduh.
"Maaf," desah Pratiwi pura-pura. Dan buru-buru mengusap dada Agriwe. "Aku tidak sengaja. Kamu juga sih, kubilangkan, baik-baik."
Agriwe tersenyum tegak. Sinar matanya bergairah menjijikkan.
"Aku akan minta baik-baik. Di mana kau mau melayaniku?"
"Di mana saja," kata Pratiwi manja. "Bagaimana kalau di rumahku?" "Istrimu bagaimana?"
Agriwe terbahak lagi. Istri? Dia tidak punya yang nama istri. Tapi untuk pemuas nafsunya dia cukup datang ke tempat 'kupu-kupu cantik' milik Biparsena, karena Agriwe yang bertugas menjaga tempat itu.
"Aku tidak punya istri. Pokoknya layani aku dengan baik."
Pratiwi mengangguk menggemaskan. Lidahnya menjilat bibirnya, membuat Agriwe menahan nafas.
"Ayolah," kata Pratiwi. "Tapi tolong bayar makanan yang aku makan."
Dengan tertawa Agriwe membayar. Lalu bergaya menggandeng wanita cantik macam Pratiwi, yang lain hanya menantap dengan iri. Cemburu, karena dengan sekali gaet, Agriwe bisa terbang ke sorga dengan wanita baru yang kemungkinan besar masih perawan. Pasti mata Agriwe akan terbalik karena enaknya. Tetapi dugaan mereka ternyata meleset. Begitu sampai di rumah Agriwe, Pratiwi langsung masuk kamar. Dan bertelanjang bulat. Mata Agriwe nanar menatap indahnya tubuh itu. Dia langsung membuka seluruh bajunya. Dan menubruk tubuh indah Pratiwi.
Diciumnya habis-habisan. Nafas Agriwe memburu dengan dahsyat. Tetapi ketika dia akan memulai, Pratiwi memukul tengkuk Agriwe, yang membuatnya terhuyung, dengan mata berkunang-kunang.
Pratiwi langsung menyambar pakaiannya. Dan menekuk leher Agriwe dengan gemas.
"Ini upahnya bagi orang ceriwis," desis Pratiwi dengan suaranya yang sesungguhnya. Yang tinggi dan terdengar kejam.
Agriwe mengaduh. Bangsat! Wanita ini ternyata tidak sembarangan. Dia menjerit lagi karena Pratiwi menekuk lagi lehernya.
"Aduh! Katakan apa keinginanmu, aku akan menjawabnya! Jangan... jangan kau pelintir leherku!!" rintih Agriwe kesakitan.
Pratiwi terkikik. "Rupanya kau takut mati juga. Hmm, baik. Aku akan mengampunimu. Sekarang jawab pertanyaanku. Kau pernah mendengar pemuda yang bernama Madewa Gumilang?"
"Siapa?"
"Madewa Gumilang. Kau pernah dengar?"
Agriwe berpikir. "Madewa... madewa... ya, ya. Aku tahu!"
"Di mana pemuda itu?" tanya Pratiwi bersemangat.
"Lepaskan leherku, baru kukatakan." "Jangan main-main, aku bisa membunuhmu dengan sekali tekuk. Cepat
katakan.
"Aku tidak akan katakan, sebelum kau cabut ancamanmu itu," kata Agriwe yang merasa menang. Tapi dia belum tahu Pratiwi, yang selalu masa bodoh terhadap musuhnya. Dia memang melepaskan tangannya, tapi ketika Agriwe hendak berdiri, tangan Pratiwi berkelebat. Lima buah jarum mautnya menancap di dada, lengan dan paha Agriwe. Agriwe mengaduh. Pratiwi terkikik.
"Cepat katakan, kalau tidak, aku tidak akan memberikan pemunah racun itu!"
Agriwe tergagap. Dia terhuyung. Dan jatuh di sudut ranjang. Wajahnya pucat. Racun itu cepat sekali menjalar. "Yah... yah... pemuda itu berada di sini," suaranya melemah.
"Di mana, katakan cepat?!" sahut Pratiwi terburu-buru.
"Berikan aku obat pemunah racunmu, racun ini kuat sekali," mohon Agriwe dengan suara yang semakin lemah.
"Cepat katakan dulu, di mana!" "Di... di...." Agriwe tidak bisa
melanjutkan kata-katanya lagi, karena dia langsung ambruk tak bernyawa. Pratiwi mendesah. Ah, kenapa lima buah jarum yang dilemparnya sehingga lebih cepat memakan nyawa Agriwe?
Pratiwi membenahi pakaiannya. Ia meludahi tubuh Agriwe dengan jijik, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang jalan dia selalu menanyakan tentang Madewa Gumilang. Bagi yang tidak tahu, dia langsung membunuhnya! Bagi yang tahu, setelah memberitahu, dia pun membunuhnya!
Beberapa hari kemudian, tenarlah nama Pratiwi si selendang merah sebagai gadis pembunuh berdarah dingin! Juga Madewa Gumilang yang setiap kali diteriakan agar keluar dari persembunyiannya, kalau tidak ingin nyawa lebih banyak berjatuhan. Seketika keadaan desa Bojongronggo itu menjadi kacau. Bagaikan dewa maut yang datang dan menjajah, desa itu menjadi penuh bayangan kematian.
Pratiwi tetap dewi cabul yang ganas. Yang tak segan-segan menjatuhkan tangannya pada siapa pun.
Sepak terjang Pratiwi sampai ke telinga Biparsena. Sebagai orang yang terpandang, Biparsena tidak menginginkan keonaran itu berlanjut. Apalagi masalah kedatangan Pratiwi ada hubungannya dengan pegawainya yang baru.
Madewa Gumilang!
Hari itu juga dia memanggil pemuda itu untuk menghadap. Madewa pun datang menghadap. Ia duduk bersila di hadapan Biparsena yang tidak senang akhir-akhir ini padanya.
"Kau sudah mendengar tentang datangnya wanita yang bergelar Selendang merah, Madewa?" tanya Biparsena tanpa basa-basi. Langsung ke permasalahan.
Madewa terdiam. Pratiwi, rupanya dia sudah sampai ke daerah ini. Hmm, dengan begini, penyamarannya akan ketahuan. Walaupun tidak menyamarkan nama dan rupanya, Madewa selama ini merahasiakan siapa dirinya, yang tak lain adalah murid tunggal Ki Rengsersari.
"Ya Tuanku. Saya mendengar kabar itu."
"Kau tahu apa yang dilakukannya?" "Ya Tuanku. Dia telah membuat
keonaran dan pembunuhan di desa ini." "Dan kau kenal siapa dia?"
"Saya mengenalnya. "
"Hmm... siapa dia, Madewa?" Madewa terdiam. Agak ragu-ragu. "Kau kenal dia, Madewa?!" Suara
Biparsena meninggi. "Ya."
"Jelaskan, siapa dia?!" "Dia... musuh saya, Tuanku."
"Musuh? Lalu kau tidak mau keluar untuk menghadapinya? Sedangkan rakyat yang lain mati karena ulahnya? Madewa, kau harus segera keluar untuk menghadapinya. Biar kejadian ini tidak berlarut-larut. Dan penduduk tidak takut dibayangi kematian. Hmm, kalau aku boleh tahu, apa yang menyebabkan sumber permusuhan itu?"
Madewa terdiam. Ini sudah sampai ke pangkal persoalan. Dia tidak boleh membuka rahasianya sendiri. Dia menjawab, "Hanya persoalan adu kepandaian saja, Tuanku. Tiga tahun yang lalu, saya pernah bertarung dengannya, dan dia kalah Mungkin kali ini dia akan menuntut balas."
"Tapi kudengar... ada hubungannya dengan Pedang Pusaka Dewa Matahari. Apa benar itu?"
Madewa berkata dalam hati, dia pun tahu tentang itu. Berita yang sudah meluas. Dan kedatangan Selendang Merah itu bisa membahayakan posisinya.
"Tentang itu, saya tidak tahu, Tuanku. Mungkin Tuanku salah mendengar keterangan yang ada."
Biparsena manggut-manggut. "Baiklah, kau selesaikan masalahmu dengan Selendang Merah. Dan ada satu lagi masalah yang harus kau jalani."
"Apa itu, Tuanku?"
"Kau harus menerima hukuman dariku!"
Madewa terkejut. "Hukuman apa, Tuanku?"
Pandangan Biparsena berubah menjadi sengit. Ia kelihatan benar-benar jengkel. "Madewa... kau tahu, apa derajatmu di sini? Kau hanya seorang pengawal yang rendah, atau tak lebih dari seorang pesuruh. Tapi kau berani-beraninya berhubungan dengan putriku, putri seorang kaya raya yang tak pantas berdampingan dengan orang macam kau!
Aku tahu hubungan kau dengan putriku. Sekarang pintaku, kau putuskan hubungan dengan putriku, agar jangan berlarut-larut. Putriku hanya cocok berdampingan dengan seorang putra bangsawan! Mengerti?"
Madewa tertunduk. tidak menyangka soal itu yang menjadi kemarahan Biparsena. Walaupun keduanya sudah berusaha menyembunyikan hubungan mereka, toh Biparsena mencium pula. Madewa tidak tahu, kalau sepasang mata yang mengintainya malam itu, telah mengadukan perbuatannya pada Biparsena! "Kau mengerti, Madewa?" Suara
Biparsena tajam.
Madewa mengangguk. "Ya Tuanku. Saya akan berusaha menghindari putri Ratih Ningrum."
"Bagus! Malam ini, kau tak perlu menjaga putriku, uruslah masalahmu dengan si Selendang Merah. Jangan kembali sebelum selesai!"
Madewa mengangguk. Dia menjura hormat. Lalu undur ke belakang. Ketika aku melewati kamar Ratih Ningrum, dia melihat gadis itu menatapnya dengan gembira, karena menyangka Madewa akan mengunjunginya seperti biasa.
Tapi Ratih Ningrum tersentak ketika Madewa hanya melengos dan terus melangkah, tanpa berucap... tanpa melambai....
Ratih Ningrum sedih, ia tertunduk pilu. Ada apa dengan kekasihnya itu? Mengapa dia menjadi tak acuh. Ratih Ningrum pun melihat perubahan pada wajah kekasihnya, yang kelihatan lesu.
Dan ketika Madewa melewati kandang kuda, sepasang mata bersinar gembira karena telah berhasil menyingkirkan saingannya dalam merebut Ratih Ningrum.
Lalu orang itu masukkan kuda-kuda ke kandang, karena memang itu tugasnya!
* * *
7
Kedatangan Pratiwi si selendang merah, juga menarik perhatian Niniwulandari. Dia telah lama mengenal Pratiwi. Dewi cabul bergenjatakan selendangnya yang ampuh.
Kira-kira empat tahun yang lalu, dia pernah bertempur dengan Pratiwi, ketika dewi cabul itu datang hendak merebut pedang pusaka siluman mata air yang dimilikinya. Tetapi Pratiwi berhasil dikalahkannya.
Lalu muncul Kebo Winata, jagoan dari timur, yang juga akan merebut pusaka itu. Dan dia berhasil dikalahkannya. Pusaka siluman mata air berhasil direbut Kebo Winata.
Dengan membawa luka dalam yang parah, Nniniwulandari melarikan diri ke pegunungan Pengging. Di sana dia melatih ilmu silatnya lebih dalam. Apalagi ketika dia sedang mandi di sungai,. terlihat di dinding-dinding goa, rangkaian jurus silat yang bagus dan indah. Bagai menemukan emas, Niniwulandari mempelajari jurus silat itu. Lalu mencari Kebo Winata. Dan herannya, Kebo Winata mati terbunuh, serta pusaka Siluman mata air lenyap diambil pembunuh.
Saat itu juga Niniwulandari bersumpah. Akan mencari dan membunuh orang yang telah mengambil pedang pusakanya. Sampai kemudian tersiar kabar, kalau Ki Rengsersari memiliki pula sebuah pusaka yang hebat, pusaka dewa matahari. Pusaka itu pun banyak diperebutkan orang. Niniwulandari sendiri pernah berniat akan merebut pedang pusaka itu, sebagai ganti pusaka miliknya yang hilang. Tapi sebelum niatpya terlaksana, Ki Rengsersari mati terbunuh oleh Gundaling! Dan pusaka hilang entah ke mana.
Hanya yang dia ketahui, Ki Rengsersari mempunyai seorang murid. Dan kemungkinan besar pedang itu ada padanya!
Lalu sekarang, mau apa Pratiwi alias selendang merah mencari pengawal Ratih Ningrum? Ada urusan apa dia dengannya? Niniwulandari bangkit dari duduknya. Ia harus menjumpai Pratiwi. Dia harus tahu semuanya. Barangkali saja pengawal Ratih Ningrum yang dia tahu bernama Madewa Gumilang, punya keterangan yang bagus tentang pusaka
dewa matahari! Siapa tahu.
Niniwulandari bergegas. Dia mendengar Pratiwi tinggal di gubuk kecil dekat hulu sungai. Dan di sana pula dia membawa pemuda-pemuda tampan yang berhasil dipikat untuk diambil keperjakaannya.
Seperti ketika Niniwulandari datang. Dari gubuk itu terdengar kekehan manja dan lenguh kenikmatan dan desah nafas yang memburu. Lalu disambung lenguhan panjang, yang menandakan penghuninya baru saja meraih kenikmatan yang tiada tara.
Niniwulandari menggeram. Bisa habis perjaka desa ini dihisap oleh Pratiwi. Geram dia mengambil sebuah kerikil kecil. Lalu dilempar ke arah pintu. Lemparannya seperti biasa saja, tanpa tenaga. Tapi pintu yang terkunci itu terhempas, dan copot dengan mengeluarkan suara yang mengagetkan.
Serentak Pratiwi bangkit. Menyambar pakaiannya. Begitu pula dengan pemuda yang masih memejamkan mata keenakan. Mengenakan pakaiannya dengan terburu-buru.
"Jangan takut," kata Pratiwi menenangkannya. "Kalau ada apa-apa, biar aku yang urus."
Pemuda itu mengangguk dengan terburu-buru pula.
"Kau duduk di situ!" kata Pratiwi. "Aku akan melihat siapa yang berbuat usil begini."
Bersamaan dengan itu terdengar suara dari luar, "Hei, dewi cabul! Cepat kau menampakkan diri! Aku sudah tidak sabar ingin berjumpa denganmu!"
Pratiwi menajamkan telinganya. Mengingat-ingat akan suara itu. Kayaknya dia pernah mengenal. Hmm, tidak salah lagi. Nenek cerewet itu. Mau apa lagi dia? Mengganggu keenakkan orang saja. Tadi disangkanya Madewa yang d-tang. Dia sudah bersiap hendak mengeluarkan ilmu pengharum tubuhnya, biar pemuda itu terangsang.
Pratiwi keluar dengan langkah tegap. Niniwulandari terkekeh melihat wajah Pratiwi yang kusut dan rambut yang kusut pula.
"He... he... maafkan aku, Pratiwi! Aku mengganggu kesenanganmu!" sambutnya sambil ter-senyum.
"Jangan banyak cakap! Mau apa kau ke sini?!" bentak Pratiwi jengkel.
"Jangan marah dulu, Dewi cabul. Ada beberapa pertanyaan yang aku perlukan jawabannya darimu."
"Aku tidak punya waktu menjawab pertanyaanmu!" sahut Pratiwi hendak masuk lagi.
"Tunggu! Ingat Pratiwi, aku pernah mengalahkanmu. Dan kau akan takluk di tanganku hari ini! Jawab pertanyaanku!" bentak Nenek tua itu tegas.
Pratiwi terdiam. Yah, dia pernah merasakan betapa hebatnya ilmu nenek tua ini. Pratiwi menunggu. Niniwulandari memulai pertanyaannya. "Maksud apa kau datang ke tempat ini, Pratiwi?"
"Aku hendak mencari orang yang bernama Madewa Gumilang!" sahut Pratiwi masam.
"Ada masalah apa kau dengan dia?" "Kau tidak perlu tahu, nenek tua.
Ini urusanku!"
"Baik! Aku tidak memaksamu. Dengar Pratiwi, kata berita, Ki Rengsersari mati terbunuh oleh Gundaling, sedangkan Gundaling itu teman seperjalananmu. Aku yakin, kamu pasti tahu soal itu. Di mana ada Gundaling, pasti ada Selendang Merah. Di mana ada Selendang Merah, pasti ada Gundaling! Ceritakan kematian Gundaling dan Ki Rengsersari! Cepat, Pratiwi!!"
Pratiwi terdiam. Kalau nenek tua ini tahu semuanya, bisa runyam. Dia pasti akan tahu siapa Madewa Gumiiang itu. Dan dia akan merebut pusaka dewa matahari darinya. Tetapi membohongi Niniwulandari sama saja mencari mati. Pratiwi yakin, dia akan kalah oleh nenek peot ini. Apalagi tenaganya selama tiga jam dipakai buat bergelut dengan pemuda tampan yang sekarang duduk ketakutan di gubuknya. Tak ada pilihan lain. Pratiwi menceritakan semuanya!
Benar dugaannya, nenek tua itu terkejut. Dia memang tengah mencari murid dari Ki Rengsersari!
"Kau bicara jujur, Pratiwi?" "Aku jujur, Nenek Tua!"
Niniwulandari terkekeh. Dia menatap Pratiwi dengan sinar mengancam.
"Aku akan bertarung dengan siapa saja yang berhasil memiliki pusaka dewa matahari itu. Kau akan merebutnya dari Madewa, bukan?"
Pratiwi menatap sengit. Sama seperti suaranya, "Enak saja kau bilang! Aku tidak tertarik dengan pusaka itu, Nenek Tua! Aku lebih tertarik dengan Madewa, yang tampan dan gagah!"
Niniwulandari terkekeh lagi. "Baik, baik. Bagaimana kalau kita
bekerja sama?"
"Maksudmu?"
"Kita gempur pemuda itu. Aku dapat bagian pusaka, dan kau dapat bagian pemuda itu sendiri. Bagaimana, Selendang Merah?"
Pratiwi terdiam. Dia manggut-manggut. Lalu tertawa.
"Aku setuju dengan usul itu. Tapi ingat, pemuda itu jangan cidera sedikit pun! Aku telah menantangnya untuk datang ke tempat ini!"
"Bagus! Kapan itu?"
"Tengah malam, saat purnama bersinar."
Niniwulandari terkekeh senang. "Baik, nanti malam aku akan datang. Sekarang kau teruskan bersenang-senang lagi dengan pemuda itu."
Setelah berkata begitu, Niniwulandari melompat ke belakang. Bersalto tiga kali. Gerakannya cepat dan indah. Lalu menghilang, hanya kekehnya yang terdengar mengejek Pratiwi.
Pratiwi menghela nafas lega. Setidaknya bisa menghindari bentrokan dengan nenek sakti itu. Dan tidak sia-sia dia mencari Madewa Gumilang. Sampai kapan pun dia akan mencari pemuda itu. Dia ingin membalas kematian Gundaling, yang telah lima tahun melanglang buana bersamanya. Tetapi sebelum dibunuh, dia akan menyerap sari perjaka pemuda itu. Kalau Niniwulandari dapat membantunya, dia pasti dapat memiliki pemuda itu. Menitik air liur Pratiwi
membayangkannya.
Masih tersenyum senang, Pratiwi masuk lagi ke gubuknya. Ia langsung bertelanjang bulat. Mengangkangkan kedua pahahya di muka pemuda desa itu, yang masih berdiri dengan wajah pucat. "Hei, ayo kita teruskan lagi!"
bentak Pratiwi.
"Aku... aku...." Pemuda itu menyahut lirih. Ia tak sanggup melayani nafsu setan Pratiwi.
"Kamu kenapa? Ayo kita bersenang-senang lagi."
"Aku letih, Pratiwi. Tenagaku
serasa habis. Bagaimana kalau besok?" Pratiwi tersenyum. Bangkit.
Membelai wajah pemuda itu. Tapi sedetik kemudian terdengar suara "krak!". Tangan Pratiwi telah memuntir leher pemuda itu sampai patah!
"Hhh! Pemuda tak berguna! Baru sebentar saja sudah loyo! Orang macam kau lebih baik mampus saja" geram Pratiwi sambil meludahi tubuh yang telah menjadi mayat itu.
Genda heran, ketika dia datang tidak melihat Madewa. Biasanya pemuda itu duduk berdua dengan Ratih Ningrum di taman depan kamar gadis itu.
Dan dia lebih heran, ketika melewati kamar Ratih Ningrum mendengar isak gadis itu. Lho, apa yang telah terjadi? Kenapa gadis itu menangis? Apa ada pertengkaran antara keduanya. Atau, Ratih Ningrum kena marah ayahnya. Tapi salahnya apa? Terdengar panggilan dari dalam.
"Genda! Ke sini sebentar!"
Genda buru-buru menghampiri orang yang memanggilnya, yang tak lain Biparsena, majikannya. Ia membungkuk hormat di depan Biparsena yang duduk sambil merokok di ruang dalam.
"Ya, Tuanku."
"Duduk! Sekarang kau ceritakan padaku, tentang temanmu itu," kata Biparsena yang membuat Genda kebingungan.
"Teman saya, banyak, Tuanku. Yang mana yang Tuan maksudkan?"
"Madewa!"
"Madewa?"
Biparsena mendeham. "Ya, pemuda sahabat barumu itu. Sekarang ini seorang wanita yang bernama Pratiwi tengah mencarinya, entah dengan alasan apa. Dan aku ingin tahu, kenapa dia mencari Madewa. Untuk itu aku ingin mendengar siapa Madewa sebenarnya."
Genda terdiam. Haruskan dia katakan semua itu, padahal dia sudah berjanji pada Madewa untuk tidak akan mengatakan siapa sebenarnya pemuda itu pada siapa pun. Biparsena berang Genda hanya diam saja.
"Hei, Genda! Kau tahu aku tidak suka bertele-tele, bukan? Cepat kau katakan apa yang kau ketahui!" bentak Biparsena karena Genda diam saja.
Genda membungkuk. "Saya tidak tahu apa-apa tentang dia, Tuanku."
"Bagaimana mungkin? Dia hampir tinggal selama lima hari bersamamu. Mustahil dia tidak bercerita tentang dirinya!" Suara Biparsena terdengar sinis. "Jawab pertanyaanku itu, Genda. Aku membutuhkan keterangan tentang diri pemuda itu. Kau tahu, Pratiwi semakin menjadi-jadi ganasnya gara-gara pemuda itu. Dan aku yakin, tidak dengan sembarangan alasan Selendang Merah Mencari pemuda itu."
"Saya. "
"Genda!!" Suara Biparsena marah. Matanya melotot ganas. Wajahnya memerah, membuat Genda tertunduk ketakutan. Tak ada jalan lain, dia harus mengatakan semuanya kalau tidak mau dimarahi majikannya. Sebelum berkata, Genda berbisik dalam hati,
"Maafkan aku sahabat. Aku hanya rakyat kecil yang perlu makan. Kalau dipecat dari pekerjaanku, aku makan apa? Aku memberitahukan tentang dirimu, sahabat. Maafkan aku. "
Perlahan Genda mengangkat wajahnya.
Ia mengangguk.
"Ya, Tuanku. Yang saya tahu...
pemuda itu sedang mencari seseorang, yang katanya musuh besarnya. Tapi entah siapa orangnya. Dia sendiri tidak mengenalnya," suara Genda bergetar.
"Aneh." Biparsena mengusap-ngusap dagunya. Tidak puas dengan jawaban demikian. Tetapi sikapnya sudah merupakan isyarat bagi Genda, agar dia meneruskan perkataannya.
"Memang aneh. Sebenarnya. dia
adalah murid tunggal dari Pendekar Ular Sakti alias Ki Rengsersari. "
Sampai di situ Genda bicara Biparsena melotot dan berseru kaget,
"Hah?" Lalu dia menurunkan suaranya. "Benar dia murid Ki Rengsersari?"
"Begitulah pengakuannya. Dan saat ini, dia tengah mencari orang yang membuat kabar palsu tentang gurunya yang memiliki pusaka dewa matahari. Menurut Madewa, gurunya tidak memiliki pusaka yang hebat itu." Biparsena mendengus. "Tidak mungkin! Ki Rengsersari pasti memiliki pusaka itu!"
"Tetapi Madewa berkeras tidak." "Jelas dia mengatakan tidak,
soalnya dia tidak ingin orang tahu kalau pedang itu sekarang berada padanya."
"Tetapi dia tidak membawa apa-apa ketika bertemu dengan saya, Tuanku."
Biparsena terbahak. "Kau bodoh, Genda. Sudah disembunyikan olehnya. Hmm, sekarang aku baru mengerti. Si Selendang Merah mencarinya, pasti soal pusaka itu. Untung dia cepat kuusir, kalau tidak, aku bisa bentrok dengan Pratiwi, dewi cabul itu!"
"Ke mana dia, Tuanku?" tanya Genda cemas. Kata-kata majikannya berusan merupakan jawaban tentang kebingungannya tidak melihat Madewa hari ini.
"Aku tidak tahu ke mana perginya. Tapi kusuruh mencari Pratiwi!" Biparsena mematikan rokoknya. "Sekarang kau kembali ke tempatmu.
Terima kasih atas keteranganmu."
Genda berbalik. Melangkah kembali ke tempatnya bekerja. Tiba-tiba suara lembut terdengar di belakangnya.
"Kang Genda. " Genda berbalik. "Oh, Den Putri."
Wajah Ratih Ningrum sembab. Matanya memerah. Dari semalam dia menangis, memikirkan Madewa. Madewa begitu sombong sekali. Dia tidak menyambut senyumannya. Dan langsung berjalan tanpa membalas lambaiannya sedikit pun. Gadis itu terguguk.
Apa Madewa marah padanya? Bosan padanya? Hari ini pun dia tidak nampak. Sudah dicari tidak diketemukan juga. Apa Madewa pergi meninggalkannya?
SELESAI
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 01 Pedang Pusaka Dewa Matahari"
Post a Comment