Serial Pendekar Bayangan Sukma: 19 Munculnya Si Pamungkas
19 Munculnya Si Pamungkas
1
Sesungguhnya, cukup banyak
yang tidak disukai Ratih Ningrum istri dari Madewa Gumilang atau Pendekar
Bayangan Sukma. Namun sebagai seorang istri yang amat setia, Ratih Ningrum
jarang memperlihatkan rasa tidak sukanya.
Seperti pagi ini, ketika
datang tiga orang tamu ke Perguruan Topeng Hitam. Perguruan Topeng Hitam adalah
sebuah perguruan silat yang namanya cukup terkenal kala itu. Sebelum dipimpin
oleh Madewa Gumilang, Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh si Dewa Pedang Paksi
Uludara. Dan sebelum Paksi Uludara tewas di tangan Nindia, dia menyerahkan
tampuk kekuasaan atau kepemimpinannya pada Madewa Gumilang. Itu terjadi
beberapa puluh tahun yang lalu. Kala Pranata Kumala, putra dari Madewa Gumilang
dan Ratih Ningrum berusia lima tahun (baca: Dewi Cantik Penyebar Maut).
Sekarang Pranata Kumala sudah
dewasa, bahkan sudah memiliki seorang istri yang jelita. Istrinya bernama
Ambarwati, putra dari seorang kepala perampok di desa Pacitan daerah sekitar
Pantai Selatan (baca: Pendekar Kedok Putih).
Saat ini Pranata Kumala dan
istrinya tengah melakukan petualangan mereka, sama seperti halnya yang pernah
dilakukan Ratih Ningrum dan suaminya.
Pagi ini sebenarnya Ratih
Ningrum menginginkan keberduaannya bersama suaminya tidak diganggu. Namun
mendadak saja seorang murid Perguruan
Topeng Hitam masuk dan mengatakan ada tiga orang tamu yang ingin bertemu dengan
Ketua.
Sebagai seorang pendekar yang
arif dan bijaksana tentu saja Madewa bermaksud menemui mereka. Dan ini
sebenarnya membuat Ratih Ningrum sedikit jengkel, karena merasa terganggu
keberduaan mereka. Tetapi tentu saja dia diam saja. Bahkan hatinya merasa
bersalah karena siapa tahu kedatangan ketiga orang itu membutuhkan pertolongan
mereka.
"Ya Tuhan... mengapa
sikapku menjadi seperti ini?" desisnya dalam hati.
Dan ketiga tamu yang datang
itu sudah berdiri di ruang pertemuan berhadapan dengan Madewa Gumilang yang
mengenakan pakaian berjubah putih dan Ratih Ningrum yang berpakaian ringkas
dengan sepasang pedang kembarnya yang tersampir bersilangan di punggung.
Ketiga orang itu menjura di
hadapan Madewa Gumilang dan istrinya. "Salam hormat dari kami bertiga,
Ketua dan Nyonya Ketua," kata salah seorang dari tamu itu. Dia seorang
laki-laki yang kirakira berusia 60 tahun. Dia mengenakan pakaian berwarna
putih. Rambut serta kumis dan jenggotnya sudah memutih. Namun sikapnya masih
gagah.
"Salam hormat kembali
dari kami, Orang Tua...." kata
Madewa sambil tersenyum arif. "Silahkan duduk."
Ketiga tamu itu pun duduk.
Madewa menatap mereka satu per satu. Dari wajah ketiga tamu itu nampak sekali
ada kecemasan yang terpancar dari mata dan wajah mereka. Hmm... ada masalah
apakah gerangan?
"Kalau boleh aku tahu
sekarang, ada masalah apakah hingga kalian datang ke sini?" tanyanya tetap
tersenyum arif.
Laki-laki tua tadi menjura
dulu sebelum berkata, "Maafkan kelancangan kami bertiga yang mengganggu
ketenangan Ketua dan Nyonya Ketua. Namaku Karna Jarot. Dan kedua pemuda yang
bersamaku itu adalah putra-putraku. Yang mengenakan pakaian hitam dengan pedang
di punggungnya bernama Jaka Tama. Putraku yang pertama. Dan yang kedua bernama
Seno Arga. Maksud kedatangan kami ke sini, ingin meminta bantuan dan
pertolongan dari Ketua. "
"Hmm pertolongan apa,
Karna Jarot?"
"Ketua... kami adalah
warga sebuah desa yang permai dan indah. Seluruh penduduk desa kami, desa
Glagah Jajar, amat menjunjung tinggi persaudaraan. Dan di desa kami tinggal
seorang kaya yang bernama Juragan Wilada Tista. Namun yang sungguh amat
mengejutkan kami, Juragan yang baik hati itu suatu malam ditemukan tewas dengan
mengerikan. Lehernya hampir putus dari kepalanya. Sudah tentu kematian Juragan
Wilada Tista membuat hati kami semua penduduk yang begitu menyukainya menjadi
sedih sekali. Dan yang membuat kami heran, para pengawalnya yang berjumlah cukup banyak itu tak seorang
pun yang mendengar dan melihat bagaimana matinya Juragan Wilada Tista. Namun
kami tetap menduga, kalau Juragan Wilada Tista mati dibunuh orang. Hanya sampai
sekarang belum ketahuan siapa orang yang mesti bertanggungjawab akan kematian
Juragan Wilada Tista."
"Kapan matinya juragan
itu?" "Sebulan yang lalu."
Madewa mengangguk-angguk.
Karna Jarot berkata lagi, "Ketua... tentunya ketua berpikir, mengapa hanya
dengan kematian Juragan Wilada Tista saya sampai mengganggu ketenangan ketua.
Tetapi tidak sampai di sana saja ceritanya, Ketua. Secara mengerikan dan
berturut-turut satu per satu keluarga Juragan Wilada Tista tewas. Dan kembali
tak seorang pengawal pun yang mengetahui siapa yang membunuh mereka. Itulah
sebabnya kami meminta pertolongan kepada Ketua. Karena hanya Perguruan Topeng
Hitamlah yang kami rasakan jaraknya cukup dekat dengan desa kami, meskipun kami
harus berjalan kaki selama dua minggu "
Madewa terdiam. Dia dapat
merasakan kalau ada sesuatu dibalik kematian keluarga Juragan Wilada Tista dan
dirinya sendiri. Agaknya si pembunuh itu mempunyai dendam kesumat pada diri
Juragan Wilada Tista dan keluarganya.
"Karna Jarot... apakah
kau tahu kalau Juragan Wilada Tista mempunyai musuh?"
"Tidak, Ketua... Ah, biarkan
putra saja Jaka Tama yang menjawabnya, karena dia pun menjadi pengawal Juragan
Wilada Tista."
Pemuda yang berahang kukuh dan
berwajah tampan itu menjura pada Madewa Gumilang. "Maafkan saya, Yang
Agung Madewa Gumilang. Setahu saya, majikan saya tidak mempunyai musuh atau pun
orang-orang yang mendendam padanya. Dia begitu bersahabat pada siapa saja. Baik
kawan maupun lawan. Sikapnya selalu mengenakan orang lain. Saya pun berpikir,
mana mungkin ada orang yang tega mencelakakan orang sebaik majikan saya.
Apalagi sampai membunuhnya dengan cara mengerikan seperti itu."
"Berarti dia memang
manusia yang bersih." "Begitulah adanya, Ketua."
"Hmm... sebaiknya kalian
beristirahat sajalah dulu. Tentunya kalian letih berjalan beberapa hari
lamanya," kata Madewa Gumilang kemudian.
"Tidak, Ketua!" kata
Karna Jarot. "Kami harus segera kembali ke desa, karena kami kuatir
terjadi apa-apa lagi dengan orang-orang desa kami. Kemunculan si Pamungkas itu
terlalu mengerikan."
"Si Pamungkas?"
"Ya, dia begitu pandai
menyelinap dan selalu membunuh lawannya dengan cara mengerikan. Meskipun orang
itu sebenarnya bukanlah lawannya."
"Ketua..." kata Seno
Arga yang sejak tadi diam saja. "Saya pun berpikir, tentunya ilmu yang
dimiliki si Pamungkas itu demikian tinggi, karena kami sebagai pengawal Juragan
Wilada Tista tak mendengar suara apa-apa. Dan rasa pengabdian kami yang tinggi
itulah kami bermaksud untuk mencari si Pamungkas. Tentunya kami tak berani
menghadapi begitu saja tanpa mendapat bantuan dari pihak mana pun juga. Ketua...
mungkin dari pihak Ketualah kami meminta bantuan. Terserah bantuan apa yang
hendak ketua kirimkan pada kami.... Yang pasti, kami akan mengucapkan banyak
terima kasih "
Madewa tersenyum.
"Dengan senang hati, kami
akan membantu kalian mencari si Pamungkas. Tetapi sebaiknya kalian
beristirahatlah dulu. Menjelang senja bila kalian tidak mau bermalam dan ingin
kembali ke desa, kalian bisa segera meninggalkan tempat ini "
"Tidak, Ketua... saat ini
juga kami akan kembali ke Glagah Jajar."
"Terserah bila itu mau
kalian."
"Kalau begitu... kami
permisi, Ketua..." kata Karna Jarot sambil berdiri yang diikuti oleh kedua
putranya. Ketiganya menjura serentak.
Lalu ketiganya pun
meninggalkan Perguruan Topeng Hitam dengan sedikit membawa kegembiraan karena
Madewa Gumilang mau membantu mereka dalam mencari si Pamungkas.
Mereka begitu geram sekali
melihat pembantaian yang dilakukan oleh si Pamungkas itu dengan begitu
mengerikan. Terutama hati Seno Arga dan Jaka Tama. Kedua pemuda itu sudah
hampir dua tahun bekerja sebagai pengawal pribadi Juragan Wilada Tista. Dan
mereka tidak mengetahui sedikit pun bagaimana cara orang itu masuk dan membunuh
Juragan Wilada Tista dan keluarganya, padahal penjagaan sudah sedemikian
ketatnya.
Dan kini mereka sedikit terasa
gembira, karena bantuan yang diharapkan mungkin bisa dikabulkan.
Sudah tentu akan dikabulkan!
Madewa memang selalu menolong orang yang dalam kesusahan. Begitu banyak nama
yang disandangnya. Orangorang rimba persilatan kadang menjulukinya Manusia Dewa
karena kesaktian dan kearifannya amat tinggi. Lalu Pendekar Budiman, karena dia
selalu menolong dan membela kebenaran. Yang terakhir Pendekar Bayangan Sukma,
karena dia memiliki ilmu yang berkaitan dengan sukma.
Saat ini sepeninggal ketiga
tamunya, Madewa tengah mengumpulkan para muridnya yang sudah selesai berlatih.
Dia menceritakan maksud dari
kedatangan tiga tamu tadi. Madewa pun memilih sepuluh orang murid pilihannya
untuk membantu ke desa Glagah Jajar. Dan para murid pilihannya pun menyatakan
diri siap.
Bagi mereka pula, kebenaran
harus ditegakkan. Dan selama ini mereka amat salut dan bangga pada ketua
mereka, Madewa Gumilang. Yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu pedang namun
juga selalu memberikan wejangan-wejangan yang amat berguna dan bermanfaat bagi
mereka.
Belum lagi sikapnya yang
begitu arif dan bijaksana. Dalam memutuskan segala sesuatunya pun Madewa begitu
adil. Bahkan dia tidak membedakan statusnya dengan status mereka yang ada di
antara mereka antara seorang guru dan murid. Tidak pernah, tidak pernah Madewa
melakukan itu.
Bahkan dia seakan hanyalah
seorang sahabat dan kadang bertindak sebagai orang tua. Madewa menatap sepuluh
murid pilihannya yang tengah berdiri di hadapannya. Kesepuluh muridnya
mengenakan pakaian hitam-hitam dengan topeng yang menutup kepala berwarna hitam
pula. Ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam semua muridnya memang mengenakan
pakaian berpakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.
Dan senjata mereka adalah
sepasang pedang dan senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam. Murid-murid Perguruan
Topeng Hitam laki-laki semua. Mungkin di perguruan itu yang perempuan hanyalah
Ratih Ningrum.
"Kalian siap menjalankan
tugas yang kuberikan?" bertanya Madewa pada para muridnya yang dipilih.
Salah seorang menyahut,
mewakili yang lain, "Kami siap melakukannya, Ketua."
"Bagus! Dalam hal ini,
janganlah bertindak kepalang tanggung. Bila ada keangkara-murkaan yang terjadi
di depan mata kalian, kalian harus membasminya sampai ke akar-akarnya. Namun
bila tak ada keangkaramurkaan, janganlah kalian sekali-sekali mencoba membuat
keangkaramurkaan itu. Mengerti?"
"Kami mengerti,
Ketua."
"Bagus! Aku minta...
kalian selidiki dulu siapa yang membuat onar di desa Glagah Jajar. Dan cari
tahu siapa si Pamungkas itu. Dan mau apa dia muncul dengan menebarkan teror
yang amat mengerikan. Mengerti."
"Ya, Ketua."
"Besok pagi, kalian sudah
harus meninggalkan Perguruan Topeng Hitam menuju ke desa Glagah Jajar. Aku
tidak ingin mendengar ada laporan bahwa kalian telah membuat onar disana.
Bukannya membantu para penduduk desa Glagah Jajar." "Semua kata-kata
Ketua, akan kami junjung se-
tinggi-tingginya."
"Bila kalian memang
membuktikan ucapan kalian itu, sebelumnya aku mengucapkan terimakasih."
Lalu Madewa kembali masuk ke
dalam. Istrinya yang sepertinya tengah menunggu berkata.
"Kanda... apakah akan
terjadi lagi sesuatu kepada kita?" Madewa menatap sepasang mata bening itu
yang memancarkan sinar tidak enak.
"Entahlah, Dinda... hanya
yang Maha Kuasa yang tahu semua ini. Tetapi... mengapa Dinda berkata
demikian?"
Ratih Ningrum mendesah.
"Kanda... sebagai seorang
istri, tentu saja aku menginginkan hidup kita yang damai dan tentram "
Madewa merangkul bahu istrinya
tersenyum.
Dia dapat mengerti maksud
istrinya.
"Dinda... selama
kejahatan masih banyak di muka bumi ini, maka kita belum dapat hidup dengan
damai dan tentram. Dinda... kita ditugaskan oleh Gusti Allah untuk membasmi
semua kejahatan yang terjadi. Untuk itulah kita hidup, Dinda...
sebagai pembela kebenaran. Kau
mengerti maksudku, bukan?"
Ratih Ningrum tersenyum. Yah,
dia tentu saja dapat mengerti. Dan diam-diam dia semakin bangga pada suaminya.
Cintanya semakin tumbuh menjadi besar.
***
2
Tiga sosok itu melangkah pelan
memasuki sebuah hutan kecil. Suasana hutan begitu menyeramkan. Malam telah
datang sejak dua jam yang lalu. Suara binatang malam ramai terdengar.
Salah seorang dari tiga sosok
itu berhenti melangkah. Menatap kedua sosok lain yang juga berhenti.
"Ada apa, Ayah?"
yang berpakaian hitam-hitam dengan pedang di punggung bertanya.
"Sebaiknya kita beristirahat
di sini saja, Jaka. Besok pagi barulah kita melanjutkan perjalanan...."
kata yang dipanggil ayah itu yang tak lain Karna Jarot. Dan kedua sosok tadi
adalah Jaka Tama dan Seno Arga.
Keduanya kini tiba di sebuah
hutan kecil. Karena tubuh yang dirasakan penat oleh Karna Jarot maka dia
menginginkan untuk beristirahat dan bermalam di sini.
Namun belum lagi terdengar
jawaban Jaka Tama, terdengar suara tawa yang menggema, membedah hutan kecil
itu.
Dan secara tidak sengaja, tiga
sosok itu menjadi bersiaga. Penat mereka yang rasakan seolah hilang begitu
saja.
"Siapa yang tertawa itu,
Ayah?" tanya Seno Arga.
"Entahlah," sahut
Karna Jarot sambil memandang berkeliling.
Suara tawa itu terdengar
kembali.
Karna Jarot menjadi jengkel,
karena tawa itu seakan mengejek mereka yang kebingungan.
"Hei, orang yang tertawa!
Keluarlah kau dari tempat persembunyianmu?!" bentaknya dan suaranya
menggema keras.
Tetapi hanya tawa lagi yang
terdengar keras.
Membuat ketiganya semakin
bersiaga. Naluri mengatakan, akan terjadi sesuatu yang tidak beres di sini.
Tiba-tiba terdengar suara
seperti membentak dengan nada yang jengkel.
"Hhhh! Kalian adalah
manusia-manusia yang ingin mampus! Berani-beraninya kalian meninggalkan desa
Glagah Jajar untuk meminta bantuan!"
"Siapa kau? Kalau kau
berani, cepat ke luar!" seru Karna Jarot sambil berkeliling lagi matanya.
"Hhh! Karna Jarot... kau
akan mampus malam ini bersama dengan kedua anakmu itu!"
"Bangsat! Bila kau
benar-benar jantan, jangan hanya bersembunyi saja!" bentak Karna Jarot dan
tiba-tiba dia bersalto ke samping yang diikuti oleh kedua putranya karena
tiba-tiba saja dirasakan ada serangkum angin deras mengarah pada mereka.
"Bangsat!" bentak
Karna Jarot setelah hinggap di bumi.
"Rupanya nyalimu begitu
kecil, Bangsat!" "Hahaha... mengapa kau terburu-buru ingin
mengenalku, Karna Jarot!"
"Karena aku ingin segera
mencabut nyawamu, Bangsat!"
"Kalau itu maumu, baiklah
Karna Jarot! Aku akan keluar dari persembunyianku!"
Tiba-tiba satu angin keras
terasa menerpa ketiganya yang membuat ketiganya kembali bergulingan menghindari
angin itu. Terdengar suara 'krak' yang cukup keras. Dan sebatang pohon jati
kecil tumbang oleh angin itu.
Suaranya jatuh berdebam.
Ketiganya terkejut melihat
hasil dari serangan angin itu.
Dan lebih terkejut lagi ketika
mereka melihat sosok tubuh yang telah berdiri di hadapan mereka. Sosok itu
mengenakan pakaian berwarna biru dan mengenakan kedok penutup kepala dan
wajahnya yang berwarna biru pula.
Karna Jarot segera membentak,
"Siapa kau adanya, hah?!"
Orang itu tertawa.
"Hahaha... rupanya kau
memiliki nyali yang cukup besar, Karna Jarot... hingga kau berani
membentakku!"
"Dan kau pun memiliki
nyali yang sungguh besar pula, karena kau berani muncul di hadapanku!"
"Karna Jarot... kau memang
orang yang gagah. Sama seperti kedua putramu itu, Jaka Tama dan Seno
Arga!"
Jaka Tama mendengus.
"Siapa kau, Bangsat?!"
"Hahaha... aku sendiri
tidak tahu namaku. Tetapi yang perlu kalian ketahui, kalianlah yang telah
memberikan nama padaku!"
"Apa maksudmu?!"
"Hahaha... bukankah
kalian sedang mencari orang yang membunuh Juragan Wilada Tista dan
keluarganya?!"
"Ya, akan kami cincang
manusia kejam itu!" seru Jaka Tama tegang.
"Agaknya Yang Maha Kuasa
memang mempertemukan kita di sini! Akulah yang telah menghancurkan keluarga
Juragan Wilada Tista! Dan kalian telah memberikan nama padaku, si
Pamungkas!" seru orang itu dan kembali tertawa dengan keras yang membahana
membedah seluruh hutan.
Mendengar kata-kata itu, wajah
ketiganya menjadi tegang. Dari rasa tegang berubah perlahanlahan menjadi
kemarahan yang amat sangat.
Karna Jarot mendengus.
"Hhh! Jadi kaulah orang
yang telah membunuh Juragan Wilada Tista dan menghancurkan keluarganya?!"
"Benar, benar... akulah
orangnya..."
"Mengapa kau melakukan hal
yang keji itu pada mereka, hah?!"
"Karena merekalah yang
keji padaku! Hingga aku terpaksa membunuh mereka!"
"Apa maksud dari
kata-katamu itu, hah?!" "Hahaha...
tak perlu kita berpanjang lebar ber-
cakap-cakap, Karna Jarot
karena hanya menimbulkan kebosanan padaku! Sebaiknya kalian bersiaplah untuk
mampus, karena kalian telah berani mencari-cari aku!"
"Kami memang akan
menangkap dan mengadilimu, Bangsat!" bentak Karna Jarot.
"Dan kau akan mampus di
tangan kami!" seru Jaka Tama sambil menyerbu ke depan.
Tetapi si Pamungkas hanya
tertawa saja. Dia memiringkan tubuhnya sedikit dan menggerakkan kakinya ke arah
kaki Jaka Tama dengan gerakan sapuan. Jaka Tama terkejut karena tidak menyangka
orang itu dapat melakukannya dengan cepat. Tak ada jalan lain selain membanting
tubuh ke kiri bergulingan. Tetapi orang itu terus mengejar dengan sapuan-sapuan
kakinya.
Membuat Jaka Tama menjadi
kewalahan dan tunggang langgang. Dan ketika dia bisa berdiri kembali, satu
pukulan dari si Pamungkas menggedor dadanya.
"Des!"
Tubuh Jaka Tama terhuyung ke
belakang.
Dan begitu dia bisa menguasai
keseimbangannya, dia muntah darah.
Si Pamungkas terkekeh.
"Hehehe... rupanya hanya
begitu saja kebiasaan manusia yang besar mulut!" katanya mengejek.
Sementara itu Karna Jarot yang
sudah jengkel, menjadi murka melihat putranya berhasil dikalahkan oleh si
Pamungkas dengan sekali gebrak.
Maka dia pun langsung
menyerang yang disusul oleh Seno Arga. Menghadapi serangan keduanya, si Pamungkas hanya terkekeh saja
sambil menghindar. "Lebih baik kalian membunuh diri saja daripada kucabut
nyawa kalian dengan kekejaman!"
"Nyawamu yang akan kami
cabut, Orang Kejam!" bentak Karna Jarot sambil terus mencecar.
Namun Si Pamungkas benar-benar
begitu hebat dan tangguh. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Karna Jarot
dan Seno Arga hanya dihindarinya dengan terkekeh.
"Kalian hanya
membuang-buang tenaga saja dengan percuma!"
"Kau akan merasakan
kehebatan kami, Pamungkas!" bentak Karna Jarot yang semakin jengkel karena
serangan-serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Hehehe... kehebatan
macam begini yang kalian perlihatkan? Hehehe... kalian pun berambisi untuk
menghabisiku? hehehe.... benar-benar pemimpi rupanya!"
Mendengar kata-kata yang penuh
ejekan dan serangan-serangan yang tak pernah mengenai sasaran, membuat Karna
Jarot dan Seno Arga menjadi semakin garang menyerang.
Keduanya semakin gila dan
buas.
Namun sampai sejauh itu
serangan-serangan keduanya belum membuat si Pamungkas terdesak. Bahkan secara
tiba-tiba si Pamungkas melentingkan tubuhnya ke atas.
Dan berseru, "Kini kalian
yang harus merasakan serangan-seranganku!" Lalu tubuh yang masih melenting
itu atas itu bersalto dua kali ke arah Karna Jarot dan Seno Arga.
Langsung menyerang dengan
hebat. Kedua bapak beranak itu menjadi terkejut menyaksikan dan menerima
serangan-serangan balasan dari Pamungkas. Dan dengan satu gerak tipu yang
sungguh manis, tangan si Pamungkas berhasil memukul roboh Seno Arga yang
langsung jatuh pingsan.
Melihat hal itu Karna Jarot
menjadi murka. Dia menyerang kembali dengan hebat.
Namun dua jurus telah
berlangsung, Karna Jarot berhasil di desak oleh si Pamungkas.
"Karna Jarot! Aku tak
meninggalkan lawanlawanku sebelum aku yakin dia sudah mampus!" bentak si
Pamungkas sambil menyerang.
"Jangan banyak bacot!
Buktikan bila kau benarbenar mampu melakukannya!" seru Karna Jarot sambil
menghindar dan membalas.
"Hehehe... baiklah...
bila itu yang kau inginkan!" sahut si Pamungkas dan bersalto. Kedua
tangannya tiba-tiba berbentuk seperti paruh bangau. Dan dia menyerang dengan
jurus Patuk Bangau.
Membuat Karna Jarot jadi
kalang kabut karena kedua tangan yang berbentuk paruh bangau itu mencecarnya
dengan hebat dan cepat.
"Hehehe... mengapa kau
jadi pias begitu, hah?!" "Diam kau, Bangsat!"
"Hehehe... memang seperti
itu orang yang sudah ingin mampus! Suka kebanyakan omong dan selalu besar
mulut!"
"Kau yang akan mampus di
tanganku!" "Hehehe... dalam keadaan seperti ini kau masih
bisa berbacot seperti
itu!" seru si Pamungkas dan tiba-tiba
tubuhnya menyuruk ke
depan dengan kedua tangan yang
siap untuk menghantam dada Karna Jarot.
Karna Jarot menghindarinya
dengan jalan berguling. Dan yang tak pernah disangkanya begitu tubuhnya
berhasil menghindari serangan itu, si Pamungkas melanjutkan serangannya ke pada
Seno Arga yang sudah terkapar pingsan.
Tanpa ampun lagi kedua tangan
yang berbentuk paruh bangau yang sudah dialiri tenaga dalam yang kuat,
menghantam kepala Seno Arga yang tertelungkup.
Tidak terdengar jeritan. Tidak
terdengar pekikan.
Yang terdengar hanyalah suara
krak yang cukup keras, yang menandakan kalau tulang kepala Seno Arga pecah, dan
mengalirlah darah dari kepala itu.
Seno Arga mati dalam keadaan
yang menyedihkan.
Sedetik kemudian terdengar
jeritan pilu dari Karna Jarot, "Senooooo!"
Si Pamungkas cuma terkekeh
saja. Kekejamannya sudah terlihat.
Karna Jarot menjadi murka dan
kemarahannya sudah tidak terhingga lagi. Sepasang matanya berapi-api dan
berkilat berbahaya ketika menatap Si Pamungkas.
"Kau harus membayar nyawa
anakku dengan nyawamu, Manusia kejam!"
Wajah yang tertutup kedok biru
itu terkekeh. "Atau... kau yang akan segera menyusul putra-
mu itu!" Sementara itu
Jaka Tama yang masih merasakan sakit di dadanya, menahan kegeramannya yang luar
biasa dan kepiluannya melihat adiknya telah tewas. Dia tadi bergidik ngeri
ketika melihat si Pamungkas menurunkan tangan telengasnya.
Mendadak saja dia tidak
merasakan lagi sakitnya. Rasa sakitnya telah berganti dengan rasa marah dan
dendam yang menggelora.
Sambil menggeram keras dia menyerbu
dengan pedang di tangan ke arah si Pamungkas yang masih tertawa.
Namun kehebatan dan kelincahan
si Pamungkas benar-benar luar biasa.
Dia hanya menggeser sedikit
tubuhnya hingga pedang itu melesat dari sasarannya. Namun Jaka Tama yang sudah
marah luar biasa terus menyabetkan pedangnya ke dada si Pamungkas.
Gerakan itu dilakukan demikian
cepat, sehingga sepertinya si Pamungkas tidak bisa lagi untuk meloloskan diri.
Namun suatu keajaiban terjadi.
Begitu pedang itu membentur
dada si Pamungkas, bukan suara jeritan yang terdengar, malah suara
"trang" yang cukup keras yang terdengar.
Jaka Tama segera menarik
serangannya dan bersalto dengan kaget.
Dia menatap si Pamungkas tidak
percaya. Beradu dengan apa pedangnya tadi hingga menimbulkan suara
"trang"?
Melihat wajah yang pias karena
terkejut itu, si Pamungkas terkekeh.
"Hehehe... jangan heran,
inilah yang dinamakan ilmu kebal. Seribu Bobot Besi! Hehehe... senjata macam
apa pun tak akan pernah mampu melukaiku karena tubuhku sudah sekeras
besi!"
Jaka Tama bukanlah pemuda
penakut. Dia malah menjadi penasaran. Dengan cepat dia menyerang lagi. Kali ini
si Pamungkas tidak mengelak.
Malah sepertinya dengan
sengaja menerima sabetan pedang itu.
Terdengar lagi suara,
"Trang!" "Trang!"
"Trang!"
Pedang yang disabetkan Jaka
Tama sebanyak tiga kali ke tubuh si Pamungkas memang seakan membentur pada besi
yang keras.
Tubuh si Pamungkas sudah
berubah menjadi sekeras besi. Bahkan boleh dikatakan tubuh itu telah menjadi
besi.
Karena merasa serangannya
sia-sia, Jaka Tama bersalto ke belakang berdiri bersisian dengan ayahnya yang
juga terkejut melihat ilmu yang diperlihatkan oleh si Pamungkas.
Mereka sadar, kalau ilmu yang
dimiliki si Pamungkas begitu tinggi dan hebat. Tetapi mereka bukanlah
orang-orang penakut.
Keinginan mereka mencari si
Pamungkas untuk membalas kematian Juragan Wilada Tista dan keluarganya sudah
menunjukkan kalau mereka adalah orang-orang yang pemberani!
Dan sekarang mereka sudah
menemukan dan tengah berhadapan dengan orang yang mereka cari. Pantang bagi
mereka untuk mundur meskipun setinggi apa pun ilmu si Pamungkas!
Mereka lebih baik mati dengan
cara kesatria daripada mundur seperti kucing di kejar anjing! "Rupanya kau
memiliki ilmu setan, Iblis!" geram
Karna Jarot.
"Dan kau jeri dengan ilmu
setan yang kumiliki ini bukan, Karna Jarot?" terkekeh si Pamungkas.
"Anjing buduk! Biarpun
kau memiliki sejuta ilmu setan lainnya, kau tak akan pernah mundur
menghadapimu!"
"Majulah kalau
begitu!" seru si Pamungkas.
Dan kedua anak beranak itu pun
menyerang kembali dengan kegeraman yang luar biasa. Mereka memang menyadari tak
mungkin dapat mengalahkan si Pamungkas. Tetapi mereka telah bertekad untuk
mengadu jiwa dengan manusia kejam ini.
Namun serangan kedua orang itu
hanya disambut dengan tawa saja. Si Pamungkas tidak bergeser dari berdirinya.
Dia membiarkan saja pukulan, tendangan, sepakan, atau pun jotosan kedua orang itu menghantam sekujur tubuhnya.
"Hehehe... keluarkanlah
seluruh tenaga dalam kalian dan ilmu yang kalian miliki!" terkekeh si Pamungkas
sambil memperhatikan keduanya yang begitu bernafsu untuk merobohkannya.
Tetapi sampai sejauh itu malah
keduanya yang nampak kepayahan. Pedang di tangan Jaka Tama sudah gompal-gompal.
Sedangkan rasa Karna Jarot merasakan tangannya ngilu luar biasa.
"Rupanya kalian tidak
memiliki apa-apa kecuali kenekatan yang tak berguna..."
"Kami akan mengadu jiwa
denganmu, Pamungkas!" geram Karna Jarot yang sudah mengeluarkan ajian
Karang Hawu. Namun ajian itu pun siasia belaka karena tak menghasilkan sesuatu yang
menggembirakan.
Tiba-tiba kedua tangan si
Pamungkas yang terdiam bergerak ketika keduanya kembali melancarkan serangan.
Kedua tangan itu menangkis
serangan mereka dan terdengar suara "krak!" bertanda tangan keduanya
telah patah.
Sambil menahan rasa sakit dan
ngilu keduanya mundur.
"Hahaha... mengapa harus
mundur kalian? Rupanya kalian memang tak mempunyai apa-apa yang patut
dibanggakan. Keberanian kalian hanya sia-sia belaka. Dan aku paling tidak suka
meninggalkan lawan-lawanku sebelum menjadi mayat!"
Ucapan itu bernada ancaman.
Bernada kematian.
Membuat Karna Jarot dan Jaka
Tama menjadi lebih bersiaga. Dan keduanya pun segera menyambut serangan yang
dilancarkan oleh si Pamungkas dengan tiba-tiba.
Karena tangan keduanya sudah
patah, tak banyak yang bisa diperbuat oleh mereka selain bersalto, bergulingan
untuk menghindar.
Sampai tiba-tiba terdengar
jeritan Jaka Tama yang memilukan. Mendirikan bulu roma karena jeritan itu
begitu keras.
Lehernya patah dihantam oleh
pukulan tangan kanan si Pamungkas yang sekeras besi. Mampuslah Jaka Tama dengan
leher patah.
"Jakaaaaa!" jerit
Karna Jarot yang mendirikan bulu roma. Nafasnya mendengus-dengus. Tadi melihat
Seno Arga tewas dia sudah tak bisa membendung lagi kemarahannya, dan kali ini
kemarahan itu semakin membludak.
Karna Jarot menjadi kalap.
Dia menerjang si Pamungkas
yang hanya terkekeh-kekeh menghindar. Dan memang tak banyak yang bisa dilakukan
Karna Jarot, karena sebuah hantaman tangan kanan si Pamungkas yang mengenai
dadanya menghentikan perlawanannya.
Tubuh Karna Jarot ambruk dan
mampus untuk selama-lamanya.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha... itulah
akibatnya bila berani menghalangi sepak terjang si Pamungkas!"
Lalu tubuh itu pun melesat
dengan cepat seperti angin.
Meninggalkan malam yang semakin
larut. Meninggalkan tiga sosok tubuh yang telah men-
jadi mayat!
***
3
Sepuluh sosok tubuh yang
berpakaian hitamhitam dengan bertopeng hitam pula dan sepasang pedang di
punggung masing-masing, menghentikan laju kudanya begitu melihat tiga sosok
tubuh bergeletakan menjadi mayat.
Matahari saat ini tepat berada
di atas kepala, namun sinarnya tidak terlalu menyengat hingga ke tanah. Karena
hutan kecil yang ditumbuhi banyak pohon itu menghalangi sinar panasnya.
Dua sosok tubuh melompat dari
kuda mereka. "Hei, bukankah ini adalah orang-orang yang da-
tang menemui Ketua!"
serunya kaget setelah memeriksa mayat itu.
Sepuluh sosok tubuh itu adalah
murid-murid dari Perguruan Topeng Hitam yang diutus untuk membantu desa Glagah
Jajar mencari si Pamungkas.
"Benar! Ya, Tuhan...
siapa yang telah melakukan kekejaman seperti ini?!"
"Yang membunuh mereka ini
tentunya seorang yang kejam, yang begitu tega menghancurkan tubuh mereka
seperti ini!"
"Pratama, bagaimana
tindakan kita selanjutnya?!"
Yang dipanggil Pratama menatap
kawannya. "Sengkala, kita sudah dibebani tugas oleh Ketua
untuk mencari si Pamungkas,
kita akan terus melakukannya."
"Apakah tidak sebaiknya
kita laporkan dulu kepada Ketua, Pratama?"
Pratama terdiam. Lalu katanya,
"Baiklah, dua orang di antara kita kembali ke Perguruan! Laporkan semua
ini pada Ketua!"
Dan tanpa diperintahkan lagi
dua orang dari mereka segera membalikkan kuda-kuda mereka dan melarikannya ke
Perguruan Topeng Hitam.
"Lalu kita sendiri
bagaimana, Pratama?"
"Kita tetap ke Glagah
Jajar! Biarkan mereka menyusul nanti!" Lalu dengan sekali lompat Pratama
sudah hinggap di kudanya. Begitu pula dengan Sengkala.
Belum lagi mereka menggebrak
lari kuda mereka, tiba-tiba satu sosok tubuh memegang cangkul muncul dari balik
hutan. Wajah orang itu begitu buruk sekali. Bahkan boleh dibilang amat
mengerikan. Sebelah matanya picek. Yang sebelah lagi melotot keluar, berair.
Wajah orang itu benarbenar rusak. Hidungnya melesak ke dalam. Rambutnya agak
botak. Bibir bagian atasnya pecah, sedangkan bagian bawah agak turun. Belum
lagi leher orang itu yang berkeriput seperti luka terbakar.
Orang itu menatap heran pada
orang-orang yang menunggang kuda.
Begitu pula dengan para murid
Perguruan Topeng Hitam. Mereka tersentak kaget melihat betapa buruk dan
mengerikannya wajah itu. Bila bertemu dengan orang itu malam hari, tentu yang
bertemu akan menyangkanya setan gentayangan.
Tetapi bagi Pratama kemunculan
orang ini bisa dijadikan tempat untuk menjawab pertanyaannya.
"Ki Sanak yang baru
muncul... siapakah gerangan Ki Sanak adanya?"
Orang yang berwajah sangat
buruk itu kelihatan takut-takut. Tadi saja dia sudah kaget melihat orang-orang
bertopeng hitam itu.
"Aku... aku... Mandali
Sewu, Ki Sanak...." katanya tergagap.
"Jangan takut, Mandali.
Namaku Pratama... dan mereka ini kawan-kawanku. Kami orang baik-baik. Kami
berasal dari Perguruan Topeng Hitam yang bertempat di sebelah timur Gunung
Slamet."
"Oh, salam kenal dariku
untuk kalian semua," kata Mandali Sewu yang merasa agak tenang.
"Salam kenal kembali dari
kami untukmu, Mandali..." kata Pratama dengan suara bersahabat.
"Mandali... dapatkah kau menceritakan kejadian apa yang telah menimpa tiga
mayat itu?"
"Oh, tidak... aku tidak
tahu... Tadi pagi pun, saat aku hendak menebang kayu di hutan ini, sudah
kutemui tiga sosok mayat yang terkapar dengan tubuh yang mengerikan. Aku tidak
tahu siapa yang melakukannya. Dan sekarang, aku pun sebenarnya bermaksud hendak
menguburkan mayat-mayat mereka dengan cangkul yang kuambil dari rumah "
Pratama mendesah. Sayang
sekali orang ini tidak tahu.
"Kau tinggal di mana,
Mandali?" "Cukup jauh dari hutan ini." "Kerjamu menebang
kayu?" "Ya."
"Jadi kau tidak
mengetahui kejadian apa yang menimpa orang-orang ini?"
"Tidak."
"Ah, sayang sekali "
"Memangnya ada hubungan
apa kalian dengan orang-orang yang telah menjadi mayat ini?"
"Mereka adalah warga desa
Glagah Jajar. Yang baru saja datang ke perguruan kami."
"Dengan maksud apa mereka
datang?"
"Mereka hendak meminta
bantuan kami untuk menyelidiki dan menangkap seseorang yang dengan tangan
telengasnya telah membunuh Juragan Wilada Tista dan keluarganya."
"Oh, kejam sekali orang
itu! Siapakah dia adanya?"
"Kami juga belum
mengetahui siapa dia. Tetapi dia dinamakan si Pamungkas!"
"Si Pamungkas?"
"Ya. Kenalkah kau dengan
orang itu?" "Mengenalnya aku tidak. Tetapi tiga malam yang
lalu, ada kejadian yang
mengerikan menimpa desa Bojong Sawo. Di mana beberapa orang terpandang di desa
itu tewas secara mengerikan dengan tubuh yang hancur dan luka yang amat parah!
Orangorang di desa itu pun memanggil si pembunuh dengan sebutan si Pamungkas.
Entah dengan maksud apa sebenarnya si Pamungkas itu menyebarkan teror!"
"Oh, kau
mengetahuinya?"
"Secara pasti tidak.
Tetapi seorang sahabatku tinggal di sana."
"Lalu?"
"Dialah yang menceritakan
padaku siapa si Pamungkas itu. Saat setelah membunuh orang terpandang di desa
itu, si Pamungkas kepergok oleh beberapa petugas ronda. Namun ilmu yang
dimiliki orang berpakaian biru-biru dengan topeng biru itu..."
"Orang berpakaian biru-biru
dan bertopeng biru?" potong Pratama dan dia merasa beruntung karena dapat
mengetahui sedikit tentang si Pamungkas.
"Ya! Si Pamungkas itu
mengenakan pakaian biru-biru dan bertopeng biru! Tetapi para peronda itu tak berhasil menangkapnya, bahkan beberapa
orang tewas dan beberapa orang lagi luka parah karena ilmu yang dimiliki si
Pamungkas begitu tinggi!"
"Lalu bagaimana keadaan
desa Bojong Sawo sekarang?"
"Sudah tentu penjagaan
diperketat. Dan semua warga bersiaga dengan penuh! Karena mereka kuatir si Pamungkas
akan muncul kembali dan menyebarkan terornya!"
"Rupanya si Pamungkas
itulah menjadi bibit penyakit. Apakah ada yang mengetahui siapakah dia
sebenarnya?"
"Sampai sejauh ini belum
ada yang mengetahui siapa orang di balik topeng biru itu."
"Juga sebab-sebab dia
melakukan teror?"
"Ya. Tak ada seorang pun
yang tahu. Tetapi mengingat adanya kejadian itu, ada yang menduga kalau si
Pamungkas itu mempunyai dendam kesumat pada orang-orang yang dibunuhnya! Namun
tak seorang pun yang yakin akan dugaan itu!"
Pratama mendesah panjang.
Kalau begitu si Pamungkas sudah menyebarkan terornya ke setiap desa. Dan ini
tentunya amat meresahkan warga desa.
Bila demikian adanya, Pratama
bermaksud untuk menyelidiki si Pamungkas di desa Bojong Sawo sebelum ke desa
Glagah Jajar. Barangkali saja di sana dia dapat sesuatu yang bisa membawanya ke
pada si Pamungkas.
Lalu katanya pula pada Mandali
Sewu, "Mandali... sebelumnya aku mengucapkan terima kasih banyak atas
percakapan ini. Dan terima kasih banyak pula kau mau bersusah payah untuk
menguburkan ketiga mayat ini. Tetapi maafkan kami karena tidak dapat
membantumu. Kami harus segera berangkat untuk menyelidiki dan kalau bisa
menangkap si Pamungkas."
"Kudoakan semoga kalian
berhasil. Mengenai ketiga mayat ini, aku akan menguburkannya dengan senang
hati."
"Terima kasih, Mandali.
Kau baik sekali." "Karena sebagai umat manusia, kita harus sal-
ing tolong menolong,
bukan?"
"Kau betul, Mandali. Bila
semua umat manusia punya pendirian sepertimu itu, maka tak akan pernah ada lagi
pertumpahan darah yang bersimbah di muka bumi ini!"
"Berangkatlah kalian! Aku
pun berdoa semoga kalian cepat menemukan si Pamungkas dan menangkapnya!"
"Terima kasih,
Mandali!" kata Pratama lalu dia mengajak teman-temannya untuk segera
memacu kuda kembali.
Perasaan di hati masing-masing
begitu geram dengan apa yang telah dilakukan si Pamungkas.
***
Senja hari delapan ekor kuda
itu memasuki perbatasan desa Bojong Sawo. Para warga desa yang nampak tengah
bersiap siaga menyambut kedatangan si Pamungkas, sudah tentu menyambut dengan
tidak enak pada para penunggang kuda itu.
Tiga orang laki-laki gagah
yang menjaga di perbatasan desa Bojong Sawo, menghentikan laju kuda-kuda
mereka.
Sikap ketiga orang itu nampak
tidak bersahabat. Di pinggang masing-masing tersampir sebilah golok besar.
Pratama dan kawan-kawannya
menjadi maklum mengapa mereka bersikap seperti itu, karena tentunya kedatangan
mereka amat menarik perhatian orang-orang itu. Karena teror yang dilakukan si
Pamungkas begitu mencekam dan membekas.
Tetapi mereka pun mengambil
sikap yang bersahabat.
"Maafkan kami, Ki
Sanak... kalau kedatangan kami mengejutkan kalian " kata Pratama.
Salah seorang dari ketiga
orang itu yang berwajah seram membentak dengan suara kasar, "Hhh! Siapakah
kalian? Dan mau apa kalian datang ke desa kami ini, hah?!"
"Hhh! Namaku Pratama, dan
ini adalah kawankawanku! Kami berasal dari Perguruan Topeng Hitam!"
"Persetan kalian berasal
dari mana! Yang kami tanyakan, mau apa kalian datang ke desa kami ini?!"
"Kami datang untuk mencari
tahu tentang si Pamungkas, yang mana kami telah mendapat kabar kalau manusia
kejam itu tengah melancarkan terornya di desa ini!"
Ketiga orang itu memandang
mereka dengan tidak percaya. "Apakah kami bisa percaya?"
"Sudah tentu, karena kami
dari golongan putih!" Tiba-tiba yang seorang membentak, "Hhh! Ka-
lian jangan coba-coba
mengelabui kami!"
"Apa maksud dari Ki
Sanak?" tanya Pratama yang dapat menangkap suara tidak senang dari orang
itu.
"Kami tahu siapa
kalian?!" "Jelaskan maksud Ki Sanak?"
"Kalian adalah anak buah
dari si Pamungkas, yang dikirim olehnya untuk memata-matai kami dengan dalih
dari golongan putih yang datang untuk menyelidiki si Pamungkas!"
"Hei!" seru Pratama
tercekat. "Dari mana datangnya pikiran demikian hingga Ki Sanak berkata
seperti itu?!"
"Melihat dari pakaian
yang kalian kenakan?!" "Ada apa dengan pakaian kami?"
"Si Pamungkas mengenakan
pakaian biru-biru dan bertopeng biru pula. Sama seperti yang kalian kenakan!
Hanya beda warnanya saja. Sudah tentu ini menandakan kalian anak buah si
Pamungkas. Dan dia adalah ketua dari kalian, karena dia berpakaian dan
bertopeng biru!"
"Tenang, Ki Sanak... kami
datang jelas-jelas untuk menyelidiki si Pamungkas dan membantu desa ini dari
teror yang dilancarkannya!"
"Jangan membual di hadapan
kami!" bentak orang itu seraya meloloskan goloknya yang amat tajam.
Pratama dapat menduga kalau
salah paham ini bisa menjadi besar. Namun dia masih mencoba menerangkan siapa
mereka dan maksud apa mereka datang.
Tetapi agaknya orang itu
memang benar-benar pemarah dan keras kepala. Dia tidak perduli dengan kata-kata
Pratama. Bahkan sambil menjerit keras dia sudah menyerbu dengan goloknya ke
arah Pratama.
"Mampuslah kau, Manusia
Laknat!"
Pratama pun tak mau kalau
dirinya dijadikan sasaran empuk golok tajam itu. Dia mengempos tubuhnya
bersalto dari kudanya.
"Tahan!" serunya
begitu hinggap di tanah. Orang itu
berhenti menyerang. Tatapannya begi-
tu buas untuk membunuh.
Nafasnya mendengusdengus.
"Hhh? Mau apa kau,
Manusia Laknat?!" "Tenang, Ki Sanak! Aku tahu kau begitu geram
dan emosi dengan apa yang
dilakukan oleh si Pamungkas! Tetapi yang perlu kau ingat, kami bukanlah anak
buah si Pamungkas! Dan kedatangan kami bukan untuk membuat teror! Tetapi untuk
menyelidiki dan menangkap si Pamungkas! Teror yang dilakukannya ini sama dengan
yang terjadi di desa Glagah Jajar! Dan tiga orang warga desa Glagah Jajar telah
datang ke perguruan kami untuk meminta bantuan! Tetapi sayang, sepulang dari
perguruan kami, dia dicegat dan dibunuh si Pamungkas!"
"Hhh! Siapa lagi kalau
bukan kalian yang telah membunuhnya, hah!?"
"Aku mempunyai dugaan
seperti itu, karena si Pamungkas tentunya marah ada yang berani mengadukan dan
mencoba menghalangi perbuatannya!"
"Hhh! Mana ada maling
yang berteriak maling!" "Kau begitu pemarah dan emosi sekali, Ki Sa-
nak!"
"Karena teror yang kalian
lakukan dan ketua kalian lakukan itu amat menyakitkan hati kami!"
Pratama mendesah. Dapat
memaklumi mengapa orang ini bersikap seperti itu.
"Tenanglah, Ki Sanak...
gunakanlah akal pikiranku secara sehat!"
"Aku sudah menggunakan
akal dan pikiranku, Settttaaan!"
"Kau hanya dibawa oleh
emosi dan hawa nafsumu saja untuk membunuh kami! Kau telah menduga salah
terhadap kami! Karena kau begitu dendam dan sakit hati dengan apa yang telah
dilakukan si Pamungkas!"
"Ya, katakan pada Ketua
kalian, aku Saburo Manda tak akan mundur sejengkal pun untuk menghadapinya!
Juga untuk menghadapi orangorang seperti kalian!" bentak laki-laki yang
bernama Saburo Manda itu. Lalu dia menyerbu lagi ke arah Pratama dengan
goloknya!
"Tahan serangan!"
"Sabar, Ki Sanak!"
seru Pratama namun segera menghindari serangan golok itu.
Serangan yang dilakukan Saburo
Manda begitu kejam dan telengas. Goloknya selalu mengarah ke bagian-bagian
tubuh yang mematikan dari Pratama. Ini menandakan bukan main geramnya dia.
Dan melihat dari gerakannya
dan cara dia memegang golok, agaknya dia memang memiliki ilmu silat yang cukup
lumayan.
Golok itu berkelebat dengan
cepat.
Namun sampai sejauh itu,
Pratama belum juga menurunkan tangan. Karena dia yakin kalau orang itu sedang dilanda oleh emosi dan
amarahnya.
Tetapi lama kelamaan dia
menjadi kewalahan juga karena hanya menghindar saja sedangkan golok di tangan
Saburo Manda sudah terus mencecarnya dengan kalap.
"Saburo.. hentikan
seranganmu ini!" serunya masih mencoba untuk tidak membalas.
"Anjing buduk! Kau harus
mampus di tanganku!" geram Saburo Manda tidak perduli. Dia malah semakin
mempergencar serangan-serangannya.
Goloknya berkelebat kesana
kemari dengan hebat.
Membuat Pratama merasa
kewalahan juga akhirnya.
Karena terlalu sulit untuk
menenangkan Saburo Manda, diapun akhirnya membalas semua serangan-serangan itu.
"Maafkan aku, Saudara
Saburo..." desisnya sambil membalas dengan sebuah pedang yang telah
diloloskan dari sarungnya.
Yang sebuah lagi masih
tertengger di tempatnya.
"Hhh! Jangan banyak lagak
kau. Manusia busuk! Sampai matipun aku tak akan pernah menyerah dari
tanganmu!" geram Saburo Manda sengit dan menyerang. Pratama pun menangkis
serangan golok itu dengan pedangnya.
Suara nyaring yang ditimbulkan
ketika dua senjata itu beradu cukup keras terdengar.
Trang! Trang! Trang!
Dan tiga jurus kemudian,
terlihat Saburo Manda ganti terdesak. Dia sebisanya menahan serangan-serangan
pedang yang dilancarkan oleh Pratama.
Namun Pratama yang menduga
kalau sikap dan perbuatan Saburo Manda hanya dilandasi oleh amarah dan sakit
hatinya terhadap si Pamungkas tidak menurunkan tangan telengas. Dia hanya
mencecar agar Saburo Manda melepaskan goloknya.
Dan dia berhasil melakukannya,
dengan satu gerak tipu yang cepat.
Pedangnya digerakkan ke arah
samping kiri tubuh Saburo Manda. Saburo pun menggeser tubuhnya agak ke kanan
dan menangkis dengan goloknya.
Trang!
Dan saat itulah Pratama
melesat maju, menghantam pergelangan tangan kanan Saburo Manda yang sedang
memegang golok dengan sisi bawah tangan kirinya.
Golok itu pun terlepas.
Pratama menghentikan
serangannya. Dia menatap Saburo Manda yang melotot gusar.
"Anjing buduk!"
geramnya. "Tenanglah, Saudara... kita ini hanya salah paham. Atas nama
Gusti Allah, aku bersumpah, kami ini datang dengan maksud baik. Untuk membantu
kalian dan menyelidiki siapa adanya si Pamungkas!"
"Orang jahat pun bisa
bersumpah atas nama Tuhan!" geram Saburo Manda.
"Kami adalah orang-orang
golongan putih, yang tidak sembarangan bersumpah atas nama Tuhan!"
"Bah! Orang golongan hitam pun banyak yang mengaku-ngaku dari golongan
putih! Lebih baik kalian tinggalkan desa ini sebelum kupanggil para
penduduk!"
Pratama mendesah. Bingung dia
menghadapi kata-kata orang ini.
Didengarnya salah seorang dari
kawan Saburo berkata, "Ki Sanak... yah, kami pun bisa mengerti perasaan Ki
Sanak. Dari melihat sepak terjang yang Ki Sanak lakukan terhadap Saburo Manda,
kami dapat menduga kalau Ki Sanak dari golongan baik-baik..."
Mendengar kata-kata dari
temannya itu, membuat Saburo Manda memalingkan tubuhnya dan berkata gusar,
"Apa-apaan kau ini, Junggo?! Mengapa kau berpihak pada orang-orang yang
telah menebarkan teror di desa kita!"
Yang dipanggil Junggo cuma tersenyum.
"Saburo.. aku yakin sekali meskipun mereka
mengenakan pakaian hitam dan
bertopeng hitam pula sama yang seperti dikenakan si Pamungkas, hanya dia
berwarna biru, aku tetap berkeyakinan kalau mereka bukanlah orang-orang kejam
itu!" "Mengapa kau berkata demikian?"
"Karena bagi dia, dengan
sekali gebrak kau dapat dikalahkan olehnya, Saburo! Tetapi dia tidak menurunkan
tangan telengas, tidak seperti yang dilakukan oleh si Pamungkas!"
"Junggo.. kau rupanya
tengah dikecoh oleh kebaikan berpura-pura dari orang ini! Kau bodoh, Junggo!
Dia hanya berpura-pura saja, untuk menutupi siapa dirinya yang sebenarnya! Kau
tahu, banyak orang-orang jahat yang bertindak seperti ini!"
"Tenanglah, Saburo...
lebih baik kita ajak mereka menemui Ki Lurah Wijayatikta! Nah, Ki Sanak... mari
ikut kami menemui Ki Lurah!" kata Junggo pada Pratama.
Pratama menjura.
"Agaknya kami menemukan
juga orang yang mau mengerti siapa kami sebenarnya," katanya sopan pada
Junggo. Lalu pada Saburo Manda yang masih berwajah memerah dia berkata,
"Maafkan atas kelancangan aku tadi, Saudara Saburo Manda..."
Saburo Manda hanya terdiam,
tetapi mengikuti juga ketika Junggo mengajak kedelapan orang itu untuk menemui
Ki Lurah Wijayatikta.
Yang seorang lagi tetap
menjadi di perbatasan desa Bojong Sawo.
*** 4
Kemunculan si Pamungkas yang
mengenakan pakaian biru-biru dan bertopeng biru pula membuat geger rimba
persilatan. Sepak terjangnya begitu telengas dan kejam.
Dia seolah tidak mengenal
ampun pada korbannya.
Namun sampai sejauh itu belum
ada yang tahu ada maksud apa si Pamungkas melakukan semua kekejaman ini!
Beberapa pendekar dari
golongan putih pun bermunculan untuk mencari si Pamungkas. Mereka begitu marah
mendengar sepak terjang yang dilakukannya.
Namun sampai sejauh ini belum
terdengar di mana dan siapa sesungguhnya si Pamungkas itu.
Dan yang lebih mengenaskan
lagi, ketika orangorang golongan putih mendengar kabar, Jarot dan istrinya,
Yanti Kesuma, ditemukan tewas di sebuah hutan kecil. Tubuh keduanya yang
bergelar Sepasang Pengantin Abadi, ditemukan dalam keadaan hancur dan luka yang
mengerikan.
Menurut saksi mata, keduanya
dibunuh oleh orang yang berpakaian biru-biru dan mengenakan topeng berwarna
biru pula. Hal ini membuat orang-orang dari golongan putih semakin marah.
"Kau yakin sekali kalau
keduanya dibunuh oleh orang berpakaian topeng biru?" tanya Ki Moro Seta,
atau yang bergelar si Tua Welas Asih. Dia bermukim di gunung Tangkuban Perahu.
Saat ini si Tua Welas Asih bersama dua orang sahabatnya, Renggo Petaka atau si
Tangan Besi dan Nimas Prilastri, si Dewi Baju Putih tengah berada di hutan
kecil di mana ditemukannya mayat Sepasang Pengantin Abadi.
Dan mereka tengah menanyai
saksi mata yang melihat kejadian itu, yang tak lain si Mandali Sewu. Laki-laki
berwajah buruk yang amat mengerikan.
Tadi pun Dewi Berbaju Putih
sedikit bergidik melihat wajah yang amat mengerikan itu.
"Benar, Kakek Tua... saat
saya hendak menebang kayu, saya melihatnya sendiri. Kalau orang yang berpakaian
biru-biru dan bertopeng biru yang
membunuh kedua manusia ini."
"Kemana larinya orang
itu?"
"Dia berlari ke arah
barat. Dan dia bilang, orang-orang golongan putih di rimba persilatan ini akan
dibasminya satu per satu."
"Apakah dia menyebutkan
dirinya kalau dialah si Pamungkas?"
"Benar, Kakek Tua. Dia
menyatakan dirinya dengan sebutan si Pamungkas! Orang itu begitu kejam sekali,
Kakek Tua! Kedua temanmu yang tewas ini pun dihajarnya habis-habisan hingga tak
bisa berkutik lagi!"
Geram dan memerah wajah si Tua
Welas Asih. Dia dapat membayangkan bagaimana pedihnya dan kalang kabutnya
Sepasang Pengantin Abadi. Menghadapi si Pamungkas dan menerima kematian yang
amat mengenaskan.
"Mandali.. kau yakin
orang itu pergi ke arah Barat?"
"Benar, Kakek Tua!"
"Terima kasih atas
penjelasanmu," kata si Tua Welas Asih. Lalu berpaling kepada kedua
temannya. "Lebih baik kita susul dia sekarang sebelum dia menurunkan
tangan telengasnya lagi!"
Lalu ketiga orang itu pun
bergerak dengan menggunakan ilmu lari mereka. Mandali Sewu sampai
terkagum-kagum melihat mereka yang tiba-tiba saja seperti menghilang.
"Bukan main! Mereka hebat
sekali!" desisnya, lalu menyandang kembali kapaknya untuk mencari kayu.
Ketiga pendekar dari golongan
putih itu seakan saling beradu lari dan memperlihatkan ilmu lari mereka
masing-masing.
Ketiganya berkelebat demikian
cepat.
Dan ketiganya menghentikan
lari mereka ketika ada dua jalan di hadapan mereka. Ketiganya saling pandang.
"Hmm... arah mana
kira-kira yang ditempuh oleh si Pamungkas," kata si Tua Welas Asih..
"Aku pun tidak
tahu," kata Dewi Berbaju Putih. "Bagaimana bila kita berpisah saja di
sini," usul
Renggo Petaka atau si Tangan
Besi.
"Itu lebih baik,"
kata si Tua Welas Asih. "Kalian pergi ke arah kiri, aku pergi ke arah
kanan."
"Kalau begitu,
baiklah," kata si Tangan Besi.
Namun belum lagi ketiganya
berpisah, tiga buah benda melayang dengan deras ke arah mereka. Dan serentak
ketiganya bergulingan menghindari tiga benda yang mengarah kepada mereka.
"Bangsat! Siapa yang berani membokong secara pengecut seperti ini?!"
maki si Tua Welas Asih ketika dia sudah berdiri.
Begitu pula dengan kedua
temannya.
Dan bukan main terkejutnya
mereka ketika melihat benda apa yang hendak mengancam mereka. Tiga buah daun
yang kini menancap di tanah!
Walaupun terkejut tetapi
ketiganya mendengus. Sebuah ilmu tenaga dalam yang amat tinggi tengah
dipamerkan oleh pembokong mereka!
"Hei, Pembokong,
Pengecut! Cepat kau ke luar dari tempat persembunyianmu!" bentak si Tangan
Besi.
Tiba-tiba terdengar tawa yang
cukup keras. "Hahaha...
rupanya kalian adalah orang-orang
hebat yang sedang mencari si
Pamungkas!" "Hahaha..
Kakek Tua... mau
apa kau mencari
ke kiri dan ke kananmu... aku
ada di atas pohon tepat di depanmu!"
Serentak ketiganya menoleh ke
atas, dan melihat satu sosok duduk dengan santainya di sebuah ranting yang
kecil. Kedua kaki orang itu terjuntai. Dan dia mengenakan pakaian biru dengan
topeng biru pula!
"Si Pamungkas!" seru
Si Tangan Besi.
"Rupanya dia yang
membokong kita!" bentak Dewi Berbaju Putih. Lalu membentak pada sosok
tubuh yang dengan santainya menjuntai-juntaikan kaki, "Pengecut! Turunlah
kau dari tempatmu!"
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. bukankah aku
orang yang sedang kalian cari? Tentunya kalian gembira bukan dapat bertemu
denganku dan tak perlu lagi bersusah payah mencariku?!"
"Kami akan mencincang
tubuhmu. Manusia busuk!" bentak Dewi Berbaju Putih lagi.
"Nimas Prilastri..
wajahmu memang cantik sekali, tetapi dalam keadaan marah seperti itu kau
buruknya bukan main!"
"Perduli setan dengan
kata-katamu! Kau harus membayar nyawa pada orang yang telah kau bunuh! Juga
pada Sepasang Pengantin Abadi yang kau bunuh dengan mengerikan!"
"Haha.. itu salah mereka
sendiri! Mengapa mereka berani menghalangi perbuatanku?"
"Siapa pun akan
menghalangi perbuatanmu, Pamungkas!"
"Dan berarti mautlah
sebagai ganjarannya!" "Sombong!"
bentak si Tangan Besi.
"Turun kau
dari tempatmu, itu, biar aku
cincang tubuhmu!" "Hahaha... jangan terlalu sesumbar, Tangan Be-
si! Agaknya kau belum mengenal
siapa aku!" seru si Pamungkas dan tiba-tiba dia menggerakkan tangannya ke
arah si Tangan Besi.
Sebuah benda kembali melayang
ke arahnya, membuat si Tangan Besi harus bergulingan.
"Bangsat!" desisnya
setelah berdiri.
"Hahaha.. maafkan,
maafkan aku, Tangan Besi!
Daun itu jatuh tertiup angin
hahahaha!"
Diam-diam si Tua Welas Asih
dapat mengukur ilmu dari si Pamungkas. Dan dia sungguh terkejut ketika
menyadari betapa tingginya kesaktian si Pamungkas.
Hh! Siapa dia sebenarnya?
Siapakah yang berada di balik topeng berwarna biru itu? "Pamungkas...
betapa banyaknya korban yang
jatuh di tanganmu. Dan
rata-rata mereka tewas secara mengerikan? Belum cukupkah kau menyebarkan
terormu ini?!"
"Hahaha... tidak akan
pernah cukup, Kakek Tua... Tidak akan pernah cukup. Sampai kapanpun aku akan
membuat teror untuk membunuh orang-orang seperti kau itu!"
"Dengan maksud apa kau
sebenarnya melakukan teror seperti ini?"
"Hahaha.. untuk apa kau
ketahui? Toh percuma karena sebentar lagi kau akan mampus!"
"Pamungkas., mati ada di
tangan Tuhan. Dan ketahuilah, kami tidak pernah menyukai sepak terjangmu yang
kejam dan telengas ini!"
"Aku? Hahaha.. aku kejam
dan telengas? orangorang itulah yang membuatku jadi begini?"
"Apa maksudmu?"
"Hahaha.. ganti aku yang
bertanya, apa maksudmu menghalangi perbuatanku, Tua Welas Asih!"
"Karena aku tak pernah
menyukai kekejamanmu ini!"
"Lalu kau mencoba untuk
menghentikannya!" "Ya!"
"Hahaha... kau hanya
bermimpi rupanya, Kakek Tua! Siapa pun orangnya yang hendak menghalangi sepak
terjangku, akan kubuat mampus seperti orang-orang terdahulu! Juga kalian, yang
akan kubuat berkalang tanah seperti Sepasang Pengantin Abadi!"
"Manusia sombong!" geram Dewi Berbaju Putih yang tak dapat menahan
kemarahannya. "Orang seperti kau tak layak untuk hidup!"
Setelah berkata begitu, dia
mengibaskan tangan kanannya ke arah si Pamungkas. Serangkum angin deras
mengarah pada si Pamungkas yang langsung bersalto hinggap di bumi.
Sambaran angin itu mengenai
batang pohon itu hingga hangus!
Si Pamungkas terbahak.
"Bukan main! Ilmu
Sambaran anginmu itu begitu hebat, Dewi Berbaju Putih!"
"Manusia busuk! Kau harus
mampus di tanganku!" bentak Dewi Berbaju Putih dan sudah bergerak menyerbu
ke arah si Pamungkas yang berdiri di hadapannya.
"Hahaha... kau tak
sabaran sekali! Bukankah lebih baik kau tenang sedikit! Dan kita bicarakan
persoalan ini! Barangkali saja kau sebenarnya berminat padaku!" terbahak
si Pamungkas sambil menghindari serangan Dewi Berbaju Putih.
Keduanya pun sudah terlibat
pertempuran yang hebat.
Dan masing-masing
memperlihatkan ketangguhan mereka.
Namun si Pamungkas
menghadapinya dengan tertawa. Bahkan terlihat kalau dia seakan enggan untuk
melayani Dewi Berbaju Putih.
Menyadari hal itu, Dewi
Berbaju Putih menjadi jengkel karena merasa si Pamungkas mempermainkannya. Dia
kembali meningkatkan serangannya. Tetapi si Pamungkas yang ilmunya begitu
tinggi, hanya membutuhkan tiga jurus untuk menyudahi perlawanan Dewi Berbaju
Putih. Ketika si Pamungkas ingin membuat mampus wanita itu, Si Tangan Besi
sudah melayang memapaki.
"Des!"
Tangan telengas yang siap diturunkan
oleh si Pamungkas dipapakinya. Tubuh si Pamungkas melayang bersalto, sementara
si Tangan Besi merasakan tangannya kesemutan.
Dia mendesis dalam hati,
"Tinggi sekali tenaga dalam bangsat ini!"
Sedangkan Dewi Berbaju Putih
yang baru saja selamat dari maut mendesah lega dalam hati. Dan dia pun segera
membantu si Tangan Besi mengeroyok si Pamungkas.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. rupanya kalian
sudah kelihatan sifat kalian yang sesungguhnya! Tua Welas Asih, mengapa kau
tidak turun tangan sekalian untuk mengeroyokku, hah?!"
Mendengar kata-kata si
Pamungkas yang meledeknya, Si Tua Welas Asih menjadi geram. Dia sudah menahan
diri untuk tidak ikut dalam pertempuran itu. Namun kini keadaan sudah berubah.
Di samping geram, dia juga
yakin ilmu yang dimiliki si Pamungkas begitu tinggi.
Dalam sepuluh jurus saja kedua
sahabatnya yang mengeroyok si Pamungkas belum bisa berbuat apa-apa. Maka si Tua
Welas Asih pun segera menerjunkan diri.
"Kalau itu maumu,
baiklah, Pamungkas! Jangan katakan aku pengecut karena hanya bisa
mengeroyokmu!"
"Hahahaha.. aku tidak
pernah mengatakan kalian pengecut! Kalian mencariku saja itu sudah membuatku
salut karena kalian begitu berani menjual lagak!"
Meskipun dikeroyok oleh tiga
pendekar dari golongan putih itu, si Pamungkas belum kelihatan terdesak. Dia
begitu hebat dan tangguh.
Kelincahan dan keperkasaannya
membuka mata ketiganya semakin lebar. Dan ini membuat mereka menjadi amat
penasaran.
Mereka pun jadi malu sendiri
dengan gelar yang selama ini mereka sandang. Karena sampai beberapa jurus
mereka belum juga berhasil mengalahkan si Pamungkas, jangankan untuk
mengalahkan, mendesak pun belum kelihatan.
"Hahaha.. hanya
kepandaian seperti ini saja yang sudah membuat kalian nekat dan berani
mencariku?"
"Jangan banyak bacot kau,
Pamungkas!" geram si Tangan Besi yang sudah mengeluarkan ilmu tangan
besinya. Namun tak sekalipun tangannya mengenai sasarannya.
Begitu pula dengan Dewi
Berbaju Putih yang sudah mengeluarkan ajian terakhirnya, Genggaman Tangan Dewa.
Namun kelincahan si Pamungkas dalam menghindar belum juga membuatnya mampu
untuk menjatuhkan tangan.
Si Tua Welas Asih pun merasa
kalau dia dan kedua sahabatnya tak akan mungkin bisa mengalahkan si Pamungkas.
Tiba-tiba si Pamungkas bersalto ke belakang. Dan begitu hinggap di tanah dia
sudah membuka jurus Pukulan Patuk Bangaunya.
"Hahaha... rupanya
permainan ini akan terus berlanjut, Para Pendekar Sok Jago!" terbahak dia
sambil menyerang.
Dan ketiganya pun segera
memapaki dengan ajian masing-masing. Namun si Pamungkas lagilagi memperlihatkan
keperkasaannya. Kedua tangannya yang berbentuk paruh bangau bergerak demikian
cepat, bahkan terlihat dua jurus berikutnya Dewi Berbaju Putih yang dijadikan
sasaran pukulan-pukulannya.
"Hati-hati, Dewi!"
seru si Tua Welas Asih. Sambil mencoba membantu. Namun dia pun harus menghindar
ketika tangan kanan si Pamungkas berkelebat ke belakang.
"Hahaha.. kalian tak akan
bisa meloloskan diri dari tanganku. Orang-orang sok Jago!"
"Kau yang tak akan bisa
meloloskan diri dari tangan kami!" seru si Tangan Besi yang juga membantu
Dewi Berbaju Putih dengan seranganserangan tangannya yang menjadi sekeras besi.
Dewi Berbaju Putih sendiri
menjadi kelabakan ketika si Pamungkas menjadikan dirinya sasaransasaran
serangannya yang hebat dan cepat itu. Dia sebisanya untuk bertahan.
Begitu pula dengan si Tangan
Besi dan si Tua Welas Asih yang mencoba membantu Dewi Berbaju Putih. Tetapi si
Pamungkas memang menunjukkan kelasnya tersendiri. Serangan-serangan yang
dilancarkan oleh si Tangan Besi dan si Tua Welas Asih dengan mudahnya
dihindari. Bahkan kakinya pun dapat menghalangi niat mereka untuk membantu Dewi
Berbaju Putih.
Hingga membuat keduanya
mundur.
Kini tinggalkan Dewi Berbaju
Putih sendiri yang harus mempertahankan diri menghadapi serangan yang dilancarkan
si Pamungkas. Namun jelas terlihat kalau kesaktian Dewi Berbaju Putih jauh
berada di bawah si Pamungkas.
Dua pukulan patuk bangau si
Pamungkas tak bisa dihindarinya lagi.
"Des!"
"Des!"
Dua pukulan itu mengenai
sasarannya. Membuat Dewi Berbaju Putih terhuyung dan merasakan sakit yang luar
biasa pada bagian tubuhnya yang terkena pukulan si Pamungkas.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. kini terimalah
ajalmu, Dewi Berbaju Putih!" desisnya. "Sayang, orang secantik kau
harus mampus di tanganku sekarang juga!"
Lalu terlihat kedua tangan si
Pamungkas berubah menjadi semerah darah. Dan tatapannya pun begitu mengerikan.
Dia sudah melancarkan ajian Sambar Nyawa.
Tiba-tiba tubuhnya memekik
keras dan meluncur ke arah Dewi Berbaju Putih yang masih sempoyongan!
*** 5
Dewi Berbaju Putih tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Dia hanya bisa memejamkan mata.
Begitu pula dengan si Tangan
Besi dan si Tua Welas Asih keduanya nampak terpaku pada tempat mereka
masing-masing. Dan tak bisa berbuat banyak untuk menghalangi niat si Pamungkas,
untuk membunuh Dewi Berbaju Putih.
Maka tanpa ampun lagi ajian
Sambar Nyawa yang ada di tangan si Pamungkas mengenai tepat pada sasarannya.
"Des!"
"Aaaakhhh!"
Terdengar jeritan yang
memilukan keluar dari mulut Dewi Berbaju Putih. Dan tubuh itu pun meluncur
dengan deras ke belakang. Menabrak sebuah pohon besar hingga tubuh itu
terpelanting lagi ke depan dan ambruk ke tanah.
Saat ambruk itu barulah
terlihat kalau sekujur tubuh Dewi Berbaju Putih hangus dan perlahanlahan terlihat
asap berbau sangit menguar dari tubuh itu. Lalu keanehan terjadi. Tubuh itu
meledak! Betapa kagetnya si Tua Welas Asih. Dan Si Tangan Besi melihat hasil
pukulan Sambar Nyawa
yang dilancarkan si Pamungkas!
Satu ajian yang benar-benar
begitu kejam dan menakutkan!
Si Pamungkas terbahak puas
melihat hasil dari perbuatannya. Lalu dia berpaling pada si Tua Welas Asih dan
si Tangan Besi yang wajah mereka berubah menjadi merah.
Geram dan jeri bercampur
menjadi satu. "Hahaha... aku tahu. kalian tentunya jeri meli-
hat ajian Sambar Nyawaku,
bukan?!" seru si Pamungkas dengan nada mengejek. "Nah, lebih baik
kalian membunuh diri saja sebelum akupun punya niat untuk mencabut nyawa
kalian!"
Merah padam wajah keduanya.
Dan mereka merasakan sakit hati dan panas di dada mereka.
Keduanya menggeram, menatap
marah dengan dingin pada si Pamungkas.
"Kau harus membayar nyawa
sahabatku, Pamungkas!" geram si Tua Welas Asih..
"Kami tak akan
mengampunimu, Manusia busuk!" kata si Tangan Besi menyambung kata-kata si
Tua Welas Asih.
Tetapi kata-kata keduanya
hanya disambut tawa oleh si Pamungkas.
"Kalian hanyalah
orang-orang yang bisa menjual lagak dan besar mulut! Cepat kalian membunuh
diri, sebelum aku menjadi marah!"
Si Tua Welas Asih mendengus.
"Hhh! Kami sudah bulatkan
tekad untuk mencari dan menghentikan sepak terjangmu! Sekarang kau sudah kami
temukan, tak mungkin kami akan kembali dengan tangan hampa, atau pun membunuh
diri secara pengecut! Kami bukanlah orangorang pengecut, Pamungkas!" seru
si Tua Welas Asih berapi-api. Hatinya panas bukan main.
"Bagus! Aku mau melihat
lagi orang-orang bukan pengecut seperti kalian!" seru si Pamungkas dan
tubuhnya sudah melayang dengan ajian Sambar Nyawa yang terapal di tangannya.
Kedua lawannya pun sudah tahu
akan kekejaman ajian Sambar Nyawa yang dimiliki si Pamungkas. Mereka pun tak
berani untuk beradu tangan dengan resiko yang mematikan. Dan hal ini memudahkan
si Pamungkas untuk mencecar dan menurunkan tangan telengas pada keduanya.
"Hahaha... mengapa kalian
tidak membalas?!" ejeknya seakan-akan tidak tahu kalau kedua lawannya
gentar.
Dan keduanya memang tak mau
mengambil resiko yang mematikan itu. Sambil terus menghindar keduanya berpikir
keras untuk mematahkan serangan si Pamungkas.
Namun karena mereka tak mau
mengambil resiko, sulit bagi keduanya untuk menghentikan serangan si Pamungkas.
Bahkan keduanya pun terus menghindar.
Sampai suatu ketika, si Tangan
Besi terhuyung karena kakinya berhasil dikait oleh kaki si Pamungkas. Dan tubuh
si Pamungkas pun sudah menerjang dengan cepat ke arahnya.
Ajian Sambar Nyawanya siap
untuk mencabut nyawa si Tangan Besi yang sudah tidak mempunyai kesempatan untuk
menghindar lagi.
Namun mendadak saja tubuh si
Pamungkas bersalto ke belakang ketika dirasakannya ada angin berdesing ke arahnya.
"Setan alas!"
makinya geram ketika dia hinggap di bumi.
Dan melihat benda apa yang
menyambarnya. Dua buah senjata rahasia berbentuk topeng hitam menancap di pohon
sebagai ganti sasaran dari tubuhnya.
Dan bermunculanlah delapan
orang mengenakan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.
Mereka tak lain adalah
murid-murid Perguruan Topeng Hitam yang diutus oleh Madewa Gumilang untuk
menyelidiki dan menangkap si Pamungkas.
Kedatangan mereka di desa
Bojong Sawo disambut dengan baik oleh Ki Lurah Wijayatikta. Bahkan Saburo Manda
pun meminta maaf pada Pratama karena salah paham yang dilakukannya.
Selama sepuluh hari mereka
berada di desa Bojong sawo, tak sekali pun ada tanda-tanda si Pamungkas akan
datang. Dan ini membuat mereka menjadi bosan.
Lalu Pratama pun meminta izin
untuk pergi ke desa Glagah Jajar pada Ki Lurah Wijayatikta. Dan dalam
perjalanan mereka menuju desa Glagah Jajar, secara tidak sengaja mereka tiba di
tempat itu. Di mana dua tokoh dari golongan putih sedang berhadapan dengan si
Pamungkas.
Para murid Perguruan Topeng
Hitam terkejut melihat salah seorang yang sedang bertanding itu mengenakan
pakaian dan bertopeng biru. Mereka seperti disadarkan oleh kenyataan, bahwa
orang itulah yang sedang mereka cari.
Dan Pratama pun segera melemparkan
senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam ke arah si Pamungkas yang tengah
siap untuk menghabisi si Tangan Besi.
Si Pamungkas melihat
kedatangan orang-orang itu. Tetapi kemudian dia berkata merandek, "Hhh!
Rupanya kalian para murid Perguruan Topeng Hitam!"
"Dan kalau tidak salah,
kaulah orang yang sedang kami cari yang berjuluk si Pamungkas!" bentak
Pratama.
Si Pamungkas terbahak. Dari
rasa geramnya seolah menjadi lucu mendengar kata-kata itu.
"Hahaha.. rupanya
kalianlah yang diutus oleh Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma untuk
menangkapku? Hmm.... mengapa tidak Pendekar Bayangan Sukma itu sendiri yang
turun tangan? Apakah dia sudah menjadi pengecut dan penakut seperti anak
perempuan?!"
Kata-kata si Pamungkas membuat
wajah-wajah yang berada di balik topeng hitam itu memerah. Geram.
"Lancang bicara kau,
Pamungkas! Ketua kami tak perlu turun tangan untuk mencari orang celaka seperti
kau!"
"Duh, duh.. apakah kalian
mampu untuk menangkapku, hah?! Atau., kalian memang sudah tidak sayang dengan
nyawa yang kalian miliki?!"
"Manusia busuk! Kami rela
mati demi kebenaran!"
"Bukan main! Rupanya
ajaran si Pendekar Bayangan Sukma sudah begitu meresap di hati kalian! Namun
sayang... sayang sekali, karena kalian akan mengantarkan dan membuang nyawa
dengan percuma!"
"Monyet busuk!"
"Hahahaha..." Makian
Pratama hanya disambut tawa oleh si Pamungkas. "Bagus, bagus sekali., aku
memang sudah lama ingin mengetahui sampai di mana kehebatan akan ilmu Perguruan
Topeng Hitam. Hanya sayang... ketua kalian Pendekar Bayangan Sukma tidak ada di
sini. Tetapi ingat, akan kubasmi Perguruan Topeng Hitam hingga ke
akar-akarnya!"
Murkalah Pratama.
Dia berseru seraya
menggerakkan tangannya, "Kurung orang itu! Dia telah lancang bicara
menghina dan meremehkan Ketua kita!"
Serentak delapan murid
Perguruan Topeng Hitam mengurung si Pamungkas yang hanya terbahak saja.
Si Tua Welas Asih merasa bisa
bernafas kembali melihat secara tidak disangka muncul delapan murid Perguruan
Topeng Hitam. Si Tua Welas Asih sudah tahu siapa Pendekar Bayangan Sukma yang
menjadi ketua Perguruan Topeng Hitam.
Begitu pula halnya si Tangan
Besi yang buruburu bersemedi untuk menghilangkan rasa sakit di dadanya. Setelah dirasakan cukup pulih,
dia pun berdiri tegap. Siap membantu delapan murid Perguruan Topeng Hitam yang
mengurung si Pamungkas.
Si Pamungkas terbahak kembali.
"Hahaha! Rupanya kalian
benar-benar bosan hidup! Baiklah, aku pun sudah bosan! bermainmain seperti
ini!"
Pratama pun meloloskan
sepasang pedangnya yang diikuti oleh beberapa orang temannya yang lain.
"Pamungkas! Lebih baik
kau menyerah saja daripada kami bunuh!"
"Hahaha... mengapa masih
banyak bicara?! Cepat kalian serang aku!"
"Bangsat! Tangkap orang
itu!" seru Pratama seraya memulai serangannya yang disusul oleh tujuh temannya.
Kembali di tempat itu terjadi
pertempuran kembali. Kali ini delapan orang berpakaian hitamhitam dan bertopeng
hitam menggempur hebat satu sosok tubuh yang mengenakan pakaian dan topeng
berwarna biru.
Pedang-pedang itu pun
berkelebat menyambar ke arah si Pamungkas yang kembali memperlihatkan
kelincahannya. Si Tua Welas Asih pun turut membantu. Begitu pula dengan si
Tangan Besi.
Mereka mengurung langkah si
Pamungkas. "Bangsat! Rupanya
kalian memang benar-benar
bosan hidup!" bentak si
Pamungkas dan diamdiam dia mengeluarkan ajian Seribu Bobot Besi. Sambil
terbahak dia berseru, "Hahaha.. ayo serang, hantam, bunuh aku!"
Para penyerangnya pertama
kebingungan karena tiba-tiba saja si Pamungkas diam tegak berdiri. Tidak lagi
menghindari serangan-serangan mereka. Namun kesempatan itu pun mereka
pergunakan sebaik-baiknya.
Namun mereka terkejut melihat
apa yang terjadi. Begitu pukulan dan pedang mereka mengenai sasarannya, malah
tangan mereka yang menjadi kesakitan.
Si Tua Welas Asih merasakan
tangannya seolah patah. Si Tangan Besi merasakan tangannya kesemutan.
Dan pedang-pedang yang
dihantamkan oleh para murid Perguruan Topeng Hitam malah menimbulkan suara,
"Trang!"
Orang-orang itu mundur karena
terkejut. "Hahaha! Mengapa harus mundur? Ayo, bukan-
kah kalian ingin menangkap dan
membunuhku?! Cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran masih memberi kalian
bermain-main!"
Orang-orang itu pun kembali
menyerang, namun serangan itu terasa sia-sia belaka. Karena hal yang sama yang
mereka lihat.
Tiba-tiba si Pamungkas membuka
kedua tangannya. "Hahaha... agaknya aku sudah bosan dengan permainan
ini!" desisnya dan tiba-tiba tubuhnya melenting ke arah si Tua Welas Asih
dengan kedua tangan yang kemerahan mengarah pada dadanya.
"Ajian Sambar
Nyawa!" desis si Tua Welas Asih. Sambil bergulingan. Namun si Pamungkas
terus mencecar. Sedangkan pedang-pedang yang mengenai tubuhnya dibiarkan saja,
karena hanya menimbulkan suara "trang" kembali.
Nasib si Tua Welas Asih.
Seperti telur di ujung tanduk. Dia sudah kebingungan dan kewalahan menerima
serangan ajian Sambar Nyawa yang dilancarkan oleh si Pamungkas.
Dan memang tak seorang pun
dari sekian banyak yang bisa menolongnya. Maka tanpa ampun lagi tubuh si Tua
Welas Asih pun harus mampus terkena sambaran ajian Sambar Nyawa. Tubuhnyapun
hangus dan meledak seperti yang dialami Dewi Berbaju Putih.
Bau sangit pun kembali
tercium. Si Tangan Besi menjerit keras melihat lagi-lagi sahabatnya mati dengan
cara yang mengerikan.
Dengan menjerit geram dia
menerjang ke arah si Pamungkas dengan kalap.
"Kau harus membayar nyawa
temanku, Manusia Kejam!"
Namun si Pamungkas yang
sekujur tubuhnya sudah dialiri ajian Seribu Bobot Besi hanya tertawa saja
menerima pukulan dari si Tangan Besi.
"Hhh! Kau membosankan
aku, Tangan Besi!" geramnya dan orang yang berpakaian dan bertopeng biru
itu pun menggerakkan tangannya.
"Des!"
Tepat mengenai dada si Tangan
Besi.
Tubuh si Tangan Besi pun
terpental dengan deras ke belakang.
Lalu ambruk sebelumnya
menabrak sebuah pohon. Kembali pemandangan yang seperti dialami si Tua Welas
Asih terlihat. Tubuh itu berubah hangus dan kemudian meledak menimbulkan
kembali bau sangit yang amat sangat.
Para murid Perguruan Topeng
Hitam pun kembali terkejut melihat kehebatan ajian Sambar Nyawa yang dimiliki
oleh si Pamungkas. Tetapi biarpun begitu, mereka tidak takut sekalipun harus
mengorbankan nyawa.
Malah kembali dengan segera
mereka mengurung manusia berpakaian dan bertopeng biru itu.
Orang itu kembali terbahak.
Tawanya membahana, mengerikan, mengundang kematian dan membuat bulu roma
berdiri.
Tiba-tiba dia berkata dengan
suara merandek, "Hhh! Berpikirlah kalian dua kali sebelum nekat
menantangku?! Aku yakin, sebenarnya kalian masih sayang dengan nyawa kalian!
Hhh! Lebih baik kalian beritahukan kepada ketua kalian, Pendekar Bayangan Sukma!
Untuk keluar dari sarang jangan bersembunyi seperti anak perempuan! Aku, si
Pamungkas, akan membasminya hingga punah dari muka bumi ini!"
Kembali wajah-wajah di balik
topeng hitam itu memerah.
Bukan main geram dan panas
hati mereka mendengar kata-kata si Pamungkas.
Sengkala pun melesat maju,
disusul oleh yang lain. Kembali pedang-pedang itu berkelebat ke arah si
Pamungkas. Namun lagi-lagi si Pamungkas tidak bergeming dari berdirinya.
Dia malah terbahak. Seolah
kegelian pedangpedang itu mengenai sekujur tubuhnya. Ajian Seribu Bobot Besi
yang telah mengalir dalam tubuhnya, tak satu pun yang membuat pedang-pedang
lawannya berhasil melukainya!
"Cepat kalian tinggalkan
tempat ini sebelum mampus kubunuh!" berkata si Pamungkas dengan gusar.
"Tak akan pernah kami mundur
dari hadapanmu, Pamungkas!" sahut Sengkala gagah berani.
Si Pamungkas mendengus.
"Rupanya kalian
benar-benar ingin mampus!" desisnya marah dan kedua tangannya pun
bergerak. Menghantam dua orang murid Perguruan Topeng Hitam dengan ajian Sambar
Nyawanya.
Tanpa ampun lagi tubuh kedua
orang itu pun ambruk. Hangus.
Dan meledak.
Melihat hal itu, bukannya
membuat nyali para murid Perguruan Topeng Hitam menjadi ciut. Tetapi malah
semakin membara.
"Bangsat! Kau harus
membayar nyawa dua saudara seperguruan kami!" dengus Sengkala dan
menyerang kembali.
Namun kembali serangannya
sia-sia, malah tubuhnya hampir saja terkena sambaran pukulan ajian Sambar Nyawa
milik manusia berpakaian dan bertopeng
biru itu.
"Hahaha.. kembalilah
kalian ke Perguruan Topeng Hitam! Katakan pada ketua kalian agar jangan turut
campur urusanku! Bila dia masih mau menentang, aku tak akan ragu-ragu lagi
untuk membunuhnya!"
Menyadari kesaktian manusia
ini amat tinggi, Sengkala memberi tanda kepada teman-temannya untuk
menghentikan penyerangan.
Lalu dia mendengus pada si
Pamungkas. "Manusia laknat! Hari ini kau menang! Tetapi
kami akan terus dendam
padamu!"
"Lakukanlah bila itu yang
kau inginkan! Hahaha... katakan pula pada Pendekar Bayangan Sukma, bila dia
ingin mencariku, aku berada di Bukit Alas Waru!" tertawa si Pamungkas. Dan
mendadak saja tubuhnya berkelebat, meninggalkan
tawa yang masih membahana. Bukan main malu, kecewa, sedih dan marahnya
para murid Perguruan Topeng Hitam itu. Lebihlebih menyaksikan dua kawan mereka
harus mampus dengan cara yang mengerikan di tangan si Pamungkas.
Mereka pun menyadari kalau
ilmu yang dimiliki manusia itu begitu tinggi. Namun kekejaman yang telah
dilakukan manusia berpakaian dan bertopeng biru itu telah membangkit dendam
kesumat yang amat sangat.
Mereka tidak bisa menerima
tangan telengas yang telah diturunkan manusia itu kepada dua saudara
seperguruan mereka. Namun memang tak ada jalan lain selain menghentikan
menyerang sebelum maut pun yang akan mengundang mereka datang.
Keenam sisa murid Perguruan
Topeng Hitam itu hanya bisa menahan tangis sambil menatap tubuh dua saudara
seperguruan mereka yang hancur.
"Bagaimana,
Pratama?" tanya salah seorang. Pratama yang terisak mendesah.
"Memang tidak ada jalan
lain. Kita memang harus menghentikan serangan. Apa yang dilakukan Sengkala
benar."
"Tetapi dia telah
membunuh Adi Jaya dan Purnama!"
"Ya, tenanglah, lebih
baik kita kembali ke perguruan. Dan bila kita diberi kesempatan lagi oleh Ketua
untuk mencari si Pamungkas, kita bersumpah untuk membalas dendam ini
padanya!"
Lalu wajah-wajah itu pun
tertunduk.
Hari semakin senja. Dan
matahari kini hanya menampakkan sisa-sisa biasnya di ufuk barat sana.
Semilir angin
mengantarkan kepergian enam murid
Perguruan Topeng Hitam sambil membawa mayat kedua saudara Seperguruan mereka.
***
6
Bukit Alas Waru adalah sebuah
bukit yang amat menyeramkan, letaknya di
belakang gunung merapi yang masih aktif. Bila dilihat dari kejauhan, Bukit Alas
Waru seperti memperingatkan kalau tempat itu begitu mengerikan. Bahkan pernah
tersiar kabar, kalau Bukit Alas Waru tempat segala dedemit bermukim.
Dan diterangi sinar bulan yang
cukup, bukit Alas Waru seperti raksasa yang tengah terdiam. Dan sewaktu-waktu
bisa bangun dengan menakutkan.
Namun sosok tubuh yang
berkelebat cepat itu, seolah tidak menghiraukan keseraman dan keangkeran Bukit
Alas Waru. Sosok tubuh itu dengan ringannya berlari mendaki bukit itu.
Geraknya ringan dan cepat.
Tak lama kemudian dia sudah
tiba di sebuah mulut goa yang terdapat di atas bukit Alas Waru.
Sinar bulan pun menerangi
tubuhnya. Sosok itu berpakaian dan bertopeng biru. Dia adalah si Pamungkas!
"Kaukah itu, Topeng Biru..." terdengar suara bernama serak dari dalam
goa.
Si Pamungkas membungkukkan
tubuhnya di mulut goa.
"Benar, Guru..."
"Masuklah, Topeng Biru..."
Si Pamungkas pun memasuki goa
itu. Mulut goa yang kelihatan sempit
merupakan sebuah lorong yang cukup panjang. Di ujung sana nampak terlihat ada
cahaya yang amat terang menerangi sebuah tempat yang mana lorong itu berubah
dari sempit menjadi semakin lebar.
Si Pamungkas tiba di tempat
itu.
"Bagaimana, Topeng Biru?
Apakah kau berhasil mendapatkan Cincin Naga Sastra dari tangan Juragan Wilada
Tista?"
Si Pamungkas berjalan ke arah
suara itu. Dan dia menjura kembali, di hadapan sebuah batu besar yang panjang.
"Belum, guru."
"Apa maksudmu?" Nada
suara itu berubah gusar.
Tiba-tiba di batu yang panjang
itu bergolek sosok tubuh tua yang lemah. Wajah orang itu amat berkeriput. Dia
seorang kakek yang berusia 70 tahun dengan janggut, kumis dan rambut putih.
Tubuh kakek itu nampak begitu lemah. Dan dia sepertinya sedang sakit.
"Juragan Wilada Tista
mengaku tidak menyimpan cincin itu, Guru."
"Bagaimana tidak? Lima
belas tahun yang lalu, aku melihatnya sendiri Cincin Naga Sastra diberikan oleh
Kyai Tapa Suci kepadanya, di saat kau belum kuangkat sebagai muridku."
"Tetapi dia mengaku tidak
memilikinya, Guru." "Bangsat!" kakek yang sakit itu menggeram.
"Topeng Biru sakitku
akibat Pukulan Sakti yang dilancarkan oleh Kyai Tapa Suci lima belas tahun yang
lalu saat kami bertempur di puncak Semeru, hanya bisa disembuhkan oleh air yang
telah direndam oleh Cincin Naga Sastra.
Pertarungan yang terjadi
antara aku dengan Kyai Tapa Suci berlangsung selama satu bulan penuh. Dan
akhirnya kami sama-sama kuat dan menderita luka dalam. Luka yang kuderita
begitu pahit sekali. Tetapi Kyai Tanpa Suci pun terkena ajian Sambar Nyawa
milikku.
Saat itu Wilada Tista adalah
murid tunggalnya. Dan sebelum Kyai Tapa Suci tewas dia memberikan Cincin Naga
Sastra pada Wilada Tista. Cincin Naga Sastra itulah yang bisa menyembuhkan ini.
Untunglah saat itu aku dapat
melarikan diri dari kejaran Wilada Tista, bila tidak aku tentu sudah mati!
Hingga akhirnya aku bertemu
denganmu dan kau kuangkat murid. Dengan maksud agar kau dapat mencari Cincin
Naga Sastra untuk mengobati luka dalam dan penyakit yang kuderita selama
bertahun-tahun ini.
Bahkan bila kau tidak
kuberitahukan bagaimana cara menyerang Wilada Tista, belum tentu kau dapat
membunuhnya!"
"Dan sekarang kau kembali
tanpa membawa Cincin Naga Sastra! Keterlaluan!" si Kakek tua yang bergelar
Dewa Nyawa Maut menggeram marah pada si Pamungkas atau yang dipanggilnya Topeng
Biru.
Si Pamungkas menjura.
"Aku sudah mencarinya,
guru. Bahkan keluarganya pun kubantai karena tak seorang pun yang
memberitahukan padaku dimana Cincin Naga Sastra itu berada. Bahkan tidak hanya
sampai di sana, sahabat kental Wilada Tista yang berada di desa Bojong Sawo pun
kubantai!"
"Bodoh! Murid macam apa
kau ini, Topeng Biru? Hanya mencari Cincin Naga Sastra itu saja kau tidak dapat?!"
Mendadak di balik topeng biru
itu, seraut wajah menjadi sengit. Dan rasa hormatnya perlahanlahan menghilang
karena kesal dimaki bodoh.
Si Pamungkas memang dapat
mengetahui akan kesaktian gurunya, namun saat ini gurunya sedang sakit. Tadi
pun gurunya tidak terlihat oleh pandangan mata padahal dia tengah terbaring di
batu panjang itu. Gurunya sudah mengeluarkan ajian Pembuta Mata. Satu-satunya
ajian yang tidak diturunkan padanya. Telah lama si Pamungkas sebenarnya ingin
memiliki ajian yang aneh dan hebat itu. Namun berulang kali gurunya menolak.
Dan kini dia telah berubah
menjadi benci karena dimaki bodoh.
"Maafkan aku, Guru "
"Kau benar-benar bodoh,
Topeng Biru! Kau tak ubahnya seperti seekor keledai yang bodoh! Cepat kau cari
sampai dapat Cincin Naga Sastra itu! Aku sudah bosan harus terbaring disini
terus menerus!"
Si Pamungkas kembali menjura.
"Baik, Guru... semua
titah Guru akan aku laksanakan " kata si Pamungkas lalu berbalik.
Namun tiba-tiba saja dia
berbalik kembali dan menghantam tubuh gurunya yang terbaring dengan ajian
Sambar Nyawa.
Dewa Nyawa Maut tak menyangka
akan hal itu. Maka tanpa ampun lagi ajian Sambar Nyawa yang telah diturunkan
kepada Si Pamungkas, menghantam dirinya!
"BUK!"
Sungguh kuat tubuh Dewa Nyawa
Maut. Meskipun dia tengah sakit, namun ajian Sambar Nyawa tidak langsung
membuat tubuhnya hangus.
Sepasang mata tuanya
berkilat-kilat marah menatap si Pamungkas yang tersenyum mirip iblis.
"Kau... kau... murid
durhaka. "
Senyum itu semakin lebar,
mengerikan. "Mampuslah kau orang tua cerewet! Aku sudah
bosan berada di bawah
kekuasaanmu! Hhh! Kau sudah tidak berguna lagi sekarang!"
"Murid laknat... kukutuk
kau... Ma-matiku titidak tenang... sebelum kau... kau mampus "
"Hahaha... lebih baik kau
memang mampus saja, Tua Bangka! Dan kau akan saksikan, kalau seluruh rimba
persilatan akan membuka matanya padaku! Dan akulah yang akan menguasai seluruh
rimba persilatan ini... ha ha ha "
"Murid celaka. "
Tiba-tiba tawa itu terhenti.
Sepasang mata di balik topeng biru itu melotot. "Apa kau bilang?!"
"Kau... kau murid
celaka... hidupmu tidak akan tenang... mati pun kau akan penasaran "
"Bangsat tua! Kau masih
bisa membacot rupanya!" geram si Pamungkas dan menghantam kembali tubuh
yang sudah sekarat dengan ajian Sambar Nyawa.
Dan kali ini orang tua itu pun
melayang. Tubuhnya hangus seketika dan meledak!
Bau sangit kembali menguar,
menusuk hidung.
Si Pamungkas terbahak, puas
dia melihat hasil kerjanya sendiri.
"Lebih baik kau mampus
saja, Orang sekarat! Daripada hidupmu menyusahkan aku! Aku tidak akan perduli
lagi dengan Cincin Naga Sastra berada di mana! Persetan dengan semua itu! Aku
tidak memerlukannya! Hahaha... yang kuperlukan, aku akan menjadi jago nomor
satu di dunia persilatan.... hahaha.. tak seorang pun yang dapat
mengalahkanku!"
Tawa manusia berpakaian dan
bertopeng biru itu membahana, menggema di dalam goa.
Keras. Amat keras.
Saking keras.
Saking kerasnya tawa itu,
dinding-dinding goa pun berguguran. Obor yang terdapat di beberapa tempat dalam
goa itu padam seketika.
Lalu sosok si Pamungkas pun
berkelebat keluar dari dalam goa sebelum goa itu ambruk dan menimbulkan suara
bergemuruh. Dan merupakan kuburan abadi bagi si Dewa Nyawa Maut! Si Pamungkas
begitu puas menyaksikan goa yang telah berubah menjadi tumpukan batu.
Lalu terdengar tawanya yang
keras. Menggema di seluruh Bukit Alas Waru.
"Hahaha.. sebentar lagi
aku akan menguasai rimba persilatan ini! Dan akan kubunuh siapa pun orangnya
yang berani menentang sepak terjangku!" serunya keras. Lalu kepalanya
berpaling pada goa yang kini telah menjadi tumpukan batu itu. "Hhh!
Jadilah itu kuburanmu yang abadi, Orang Tua Cerewet!"
Lalu tubuh itu pun melesat
berlari menuruni bukit. Sama cepatnya ketika sosok tubuh itu menaiki Bukit Alas
Waru!
Dan teror yang dilancarkan
oleh manusia bertopeng biru itu semakin menjadi-jadi. Sepak terjangnya begitu
mengenaskan. Dan tidak tanggungtanggung menurunkan tangan.
Bahkan kekejamannya tidak
hanya sampai di sana saja.
Dia juga menculik beberapa
anak perawan. Lalu diperkosanya dengan buas. Si Pamungkas rupanya memang
ditakdirkan untuk menjadi manusia kejam dan buas.
Anak perawan yang telah
diperkosanya itu disayat-sayat wajahnya dengan kejam hingga terluka mengerikan.
Bahkan ada yang sebelah matanya dicongkel hidup-hidup.
Entah dendam apa yang
menyebabkan manusia kejam itu berbuat seperti itu. Namun perbuatannya memang
sudah keterlaluan.
Para jago-jago dari golongan
putih yang tidak menyukai sepak terjang si Pamungkas pun bermunculan. Namun
usaha mereka untuk menghentikan sepak terjang manusia bertopeng biru itu
hanyalah sia-sia belaka.
Karena mereka harus mampus
dengan tubuh yang terluka mengerikan akibat ajian Sambar Nyawa.
Ilmu yang dimiliki oleh si
Pamungkas, warisan dari Dewa Nyawa Maut memang begitu hebat. Membuatnya menjadi
pongah. Bahkan sekarang setiap kali dia habis membunuh korbannya, dia selalu
melemparkan secarik kain berwarna biru, yang menandakan itu hasil perbuatannya
Ini membuat orang-orang dari
golongan putih begitu marah.
Berbondong-bondong mereka
mencari si Pamungkas. Namun hasilnya tetap sama.
Mereka hanya mengantarkan
nyawa dengan percuma!
***
7
Pagi itu udara cerah. Angin
semilir Awan-awan putih di langit berarak lembut. Langit pun cerah kebiruan.
Matahari baru saja sepenggalah.
Satu sosok tubuh yang nampak
tertatih-tatih berjalan memasuki desa Glagah Jajar. Wajah orang itu betapa buruknya, malah
terkesan mengerikan. Dia adalah Mandali Sewu.
Sebenarnya Mandali Sewu adalah
penduduk asli desa Glagah Jajar. Dia ditinggal mati oleh ayah dan ibunya ketika
dia berusia lima tahun. Pada masa itu. Wilada Tista pun mempunyai putra yang
berusia lima tahun di samping putri sulungnya yang berusia sembilan tahun.
Oleh Wilada Tista Mandali Sewu
diangkat sebagai anak. Tetapi sudah lazimnya seorang anak angkat, anak-anak
kandung Wilada Tista tidak pernah menyukainya.
Mereka selalu membuat Mandali
Sewu menangis. Namun dasar anak itu kuat mentalnya, selalu saja ejekan, makian
atau pun tamparan yang dilakukan anak-anak Juragan Wilada Tista hanya
diterimanya dengan lapang dada. Dia tidak pernah menangis lagi. Apalagi ketika
Mandali Sewu berusia dua belas tahun.
Dia tak pernah bersikap
cengeng lagi. Sebenarnya Wilada Tista amat mengasihi anak itu. Tetapi dia
pernah marah besar ketika suatu saat Mandali Sewu menghajar putra bungsunya
karena tidak tahan dipukuli.
Mandali Sewu ditampar hingga
pingsan oleh Wilada Tista.
Namun akhirnya Wilada Tista
menjadi menyesal sendiri. Dia pun meminta maaf pada bocah itu.
Yang membuatnya kuatir,
ternyata putra bungsu Wilada Tista mendendam pada Mandali Sewu. Di suatu malam,
anak itu memasuki kamar Mandali Sewu, dan mengguyur wajah Mandali Sewu dengan
air keras.
Lolongan bocah itu keras amat
menyayat hati. Wajahnya yang cukup tampan pun rusak akibat guyuran air keras
itu. Wilada Tista tidak mau orang-orang desa mengetahui perbuatan jahat
putranya. Lalu dia menyuruh beberapa pengawalnya untuk membuang Mandali Sewu.
Sementara ketika para penduduk
bertanya di mana Mandali Sewu, Wilada Tista selalu menjawab, "Ada sepasang
suami istri kaya yang tidak mempunyai anak mengambilnya sebagai anak."
Dan nama Mandali Sewu pun
perlahan-lahan menghilang dari benak orang-orang desa
Kini mereka terkejut ketika
melihat satu sosok tubuh dengan wajah yang begitu buruk mengerikan memasuki
desa mereka
Orang-orang yang bertemu
dengan manusia buruk itu, ada yang langsung menyingkir karena menyangka dedemit
yang datang. Ada yang mengerutkan keningnya. Ada yang bergidik.
Bahkan ada yang tidak tanggung
lagi berucap, "Huh! Buruk sekali wajahnya!"
"Siapa sih dia?"
"Dari mana asalnya?"
"Jangan-jangan., dia
dedemit yang sedang menyamar untuk mengganggu ketenangan kita!"
Suara-suara pun ramai
terdengar. Tetapi Mandali Sewu terus melangkah. Tujuannya adalah rumah Ki Lurah
Sentot Prawira. Dia berharap Ki Lurah masih mengenalinya
Namun sambutan dari istri Ki
Lurah Sentot Prawira amat mengenaskan hatinya ketika sosok tubuh itu berdiri
membukakan pintu.
"Oh!" Wajah Nyai
Lurah kelihatan pias. Dan matanya mengerjap-ngerjap ketakutan. "Si-siapa
kau? Setan mana yang datang? Dan kau., kau mau apa?!"
Dikatakan setan, Mandali Sewu
mencoba tersenyum. Namun karena wajahnya yang begitu buruk senyum seperti
menyeringai. Malah lebih menakutkan.
Membuat wajah Nyai Lurah
semakin pias ketakutan. Ingin rasanya dia menutup pintu kembali. Namun tatapan
orang berwajah buruk itu seolah menahannya.
"Saya, Nyai Lurah "
"Saya., saya siapa?"
"Nyai Lurah... memang,
tak seorang pun yang mengenal saya... Usia saya kini sudah dua puluh empat
tahun, Nyai Lurah masih ingatkah Nyai Lurah ketika Juragan Wilada Tista
mengangkat seorang anak yatim piatu?"
Nyai Lurah mengerjap-ngerjap
lagi dan kepalanya mengangguk angguk cepat.
"Iya, iya., aku ingat.,
tapi., tapi apa hubungannya denganmu?"
"Nyai Lurah., akulah Mandali
Sewu., bocah yang diangkat anak oleh Juragan Wilada Tista. "
"Oh! Tapi... tapi.."
"Aku tahu maksud Nyai
Lurah. Wajahku, bukan? Mengapa wajahku menjadi buruk seperti ini?"
"Oh, bukan... eh, iya,
iya., mengapa, bukankah kau memiliki wajah yang cukup bagus?"
Mandali Sewu terdiam. Dia jadi
teringat peristiwa dua belas tahun yang lalu. Peristiwa yang amat mengenaskan
dan membuatnya sakit-hati. Sebelum dia bercerita, muncul seorang laki-laki
setengah baya dari dalam Dia langsung bertanya pada wanita yang masih berdiri
di ambang pintu.
"Ada tamu, Nyai?"
Nyai Lurah menoleh. Yang
datang itu suaminya, Ki Lurah Sentot Prawira.
"Iya, Ki..."
"Siapa?" tanya Ki
Lurah sambil melongok keluar. Dia kelihatan terkejut melihat sosok tubuh dengan
wajah yang mengerikan di hadapannya. Tetapi Ki Lurah mencoba untuk tersenyum.
Dalam hati dia bergumam, wajah
itu mirip iblis sekali.
Mandali Sewu pun menganggukkan
kepalanya "Saya, Ki..."
"Siapa?"
"Mandali Sewu, Ki.. bocah
yang diangkat sebagai anak oleh Juragan Wilada Tista"
"Oh, Tuhan... rupanya
kau, Mandali! Ayo, ayo masuk!" sambut Ki Lurah ceria.
Lalu Mandali Sewu pun duduk di
hadapannya. Istri Ki Lurah menyediakan kopi dan singkong rebus. Setelah
mencicipinya Ki Lurah bertanya
"Mandali.. ke mana saja
kau selama ini? Dan., ah, maaf., mengapa wajahmu menjadi demikian rusak?"
Mandali Sewu tercenung. Lalu
dia pun menceritakan kejadian yang sesungguhnya yang telah menimpanya
Ki Lurah Sentot Prawira
mendesah panjang. "Kami tidak pernah
menyangka kalau kejadian
seperti itu yang
menimpamu, Mandali.. Sungguh kami tidak pernah menyangka. Karena
selama ini kami begitu percaya pada Juragan Wilada Tista, dan kami pun percaya
ketika dia mengatakan ada sepasang suami istri kaya mengambilmu sebagai anak
mereka..."
"Itu bohong belaka,
Ki..., Saya di buang di sebuah hutan dekat sebuah bukit. Ah, sudahlah.,
kejadian itu sudah lama sekali. O ya, Ki.. sebenarnya saya pun ingin datang
menjenguk ayah dan ibu angkat saya. Bagaimana keadaan mereka, Ki? Mereka
sehat-sehat saja?"
Kali ini terlihat wajah Ki
Lurah tercenung. Begitu pula dengan Nyai Lurah.
"Kenapa Ki? Nyai? Apakah
saya tidak pantas untuk datang menjenguk. Tidak, saya tidak mengharapkan
kembali diangkat sebagai anak. Tidak, Ki. Saya hanya ingin menjenguk mereka.
Biar bagaimana pun selama tujuh tahun merekalah yang merawat dan mengasihi
saya. Ki..."
Terdengar helaan nafas panjang
dari Ki Lurah Sentot Prawira. Lalu perlahan-lahan dia menatap wajah buruk yang
sepertinya sedang menunggu jawabannya.
"Maafkan aku, Mandali.."
"Hei, hei.. ada apa, Ki?
Ada apa?"
"Orang tua angkatmu dan saudara-saudara angkatmu telah mati
mengerikan karena dibunuh orang..."
"Ya, Tuhan! Kapan? Kapan
itu terjadi, Ki? Mengapa mereka dibunuh orang?!"
"Tenang, Mandali..
tenanglah..." kata Ki Lurah yang melihat Mandali Sewu menjadi kalap.
Pemuda yang berwajah buruk itu pun menghela nafas panjang. Mencoba untuk
menenangkan hatinya. Lalu ditatapnya Ki Lurah dalam-dalam.
"Ceritakanlah, Ki..
mengapa mereka sampai dibunuh orang? Dan siapa yang membunuh mereka, Ki?"
Dengan perlahan dan kuatir
mengejutkan Mandali Sewu kembali, Ki Lurah Sentot Prawira pun menceritakan
kejadian mengenaskan itu dua bulan yang lalu.
"Jadi sampai sekarang
pembunuhnya belum tertangkap?"
"Belum Dan orang-orang
memanggil si pembunuh itu dengan sebutan si Pamungkas..."
"Si Pamungkas?! Oh!"
"Kau tahu siapa dia,
Mandali?" tanya Ki Lurah yang melihat Mandali Sewu terkejut.
"Tidak, Ki... tetapi, si
Pamungkas itu pun telah membuat teror di desa Bojong Sawo. Bukankah dia mengenakan
pakaian dan bertopeng biru, Ki?"
"Ya."
"Rupanya manusia kejam
itu yang membunuh keluarga angkatku."
"Tidak hanya mereka saja,
Mandali. Juga orangorang rimba persilatan yang mencoba menghalangi perbuatannya
pun tewas dibunuh oleh si Pamungkas. Kekejaman manusia itu sudah mencapai
setinggi langit dan sedalam lautan!"
"Apakah kesaktiannya
begitu tinggi, Ki?"
"Ya. Mengingat tak
seorang pun dari rimba persilatan yang mampu untuk membunuhnya! Jangankan untuk
membunuh, menangkapnya saja mereka tidak sanggup?!"
"Oh, Tuhan., dengan
maksud apa manusia kejam itu menebarkan terornya?"
"Tak seorang pun yang
tahu maksudnya menebarkan teror kejam seperti itu. Namun yang menjadi
desas-desus sekarang ini, adalah tentang Cincin Naga Sastra yang dimiliki oleh Juragan
Wilada Tista."
"Cincin Naga
Sastra?" "Ya."
"Ada apa dengan cincin
itu, Ki? Apakah itu sebuah cincin sakti?"
"Aku sendiri pun tidak
tahu. Ada seorang Kyai tua yang bernama Kyai Paksi Brahma, sepuluh hari yang
lalu datang ke desa ini. Dia bermaksud ingin menjumpai Juragan Wilada Tista.
Ternyata secara diam-diam ayah angkatmu itu murid seorang sakti yang bernama
Kyai Tapa Suci. Menurut Kyai Paksi Brahma, kedatangannya mencari Juragan Wilada
Tista untuk mengambil Cincin Naga Sastra..."
"Siapa sebenarnya Kyai
Paksi Brahma itu, Ki?" "Dia mengaku adik seperguruan dari Kyai Tapa
Suci"
"Dan bagaimana dengan
cincin itu? Apakah dia mendapatkannya dari tangan ayah angkatku?"
"Tidak. Tidak seorang pun
yang tahu apakah Juragan Wilada Tista benar-benar memiliki Cincin Naga Sastra.
Karena hanya dia sendiri yang tahu. Tetapi manusia itu telah mati
sekarang."
"Berarti cincin itu tidak
ditemukan?"
"Tidak. Kyai Paksi Brahma
pun tidak bisa berbuat apa-apa karena Juragan Wilada Tista dan seluruh
keluarganya telah tewas."
"Sebenarnya., semacam
cincin apakah Cincin Naga Sastra itu, Ki?"
"Entahlah... aku sendiri
tidak tahu."
"Apakah Kyai Paksi Brahma
tidak memberitahu?"
"Dia memang memberitahu.
Cincin itu dapat menyembuhkan segala macam penyakit Bila cincin itu direndam di
air, lalu air itu diminum, segala macam penyakit akan dapat disembuhkan. Yang
membuat dia kuatir, bila Cincin Naga Sastra dimiliki oleh orang jahat."
"Kenapa?"
"Karena bila setiap malam
Jumat cincin itu direndam dalam air dan airnya diminum, maka orang yang
meminumnya akan kebal oleh segala macam penyakit, racun dan pukulan sakti macam
apapun."
"Bukan main! Sungguh
hebat sekali khasiat cincin itu, Ki."
"Benar. Itulah yang
menguatirkan Kyai Paksi Brahma bila cincin sakti itu jatuh ke tangan orang
jahat dan digunakan untuk kejahatan."
"Lalu... apakah Ki Lurah
tahu di mana cincin itu berada?"
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana dengan Kyai
Paksi Brahma? Apakah dia tidak tahu juga di mana cincin itu berada?"
"Ya."
"Ah, sayang sekali bila
cincin itu jatuh ke tangan orang jahat."
"Kau benar, Mandali. Itu
pun yang amat menguatirkan Kyai Paksi Brahma" kata Ki Lurah Sentot Prawira
yang juga menguatirkan kalau cincin sakti itu jatuh ke tangan orang jahat. Lalu
ditatapnya kembali Mandali Sewu, "Mandali.. apakah kau akan menetap di
sini?"
"Tidak, Ki."
"Mengapa?"
"Kedatanganku ke sini
hanyalah untuk menjenguk orang tua angkatku. Tetapi mereka sudah meninggal.
Untuk apa lagi aku berada di sini?"
"Kau bisa tinggal di
rumahku, Mandali..." kata Ki Lurah.
Nyai Lurah pun berkata
menyambung kata-kata suaminya, "Benar, Mandali.. tinggallah bersama kami.
Rumah ini akan jadi rumahmu juga. Bukan begitu, Ki?"
"Benar kata-kata istriku
ini, Mandali. Rumah ini akan menjadi rumahmu. Kau bisa tinggal di sini bersama
kami. Dan kau pun tahu bukan., kalau kami selama ini tidak mempunyai
anak?" mengucapkan kata-kata terakhir, Mandali Sewu dapat melihat kalau
wajah Ki Lurah Sentot Prawira menjadi murung.
Juga wajah istrinya. Di wajah
wanita itu tersirat rasa kekecewaan yang begitu mendalam. Dia sepertinya tidak
sempurna menjadi seorang istri.
Mandali menatap wajah kedua
orang tua itu yang tiba-tiba menjadi murung.
"Maafkan aku, Ki.. Nyai..
Bukan aku menolak untuk menerima kebaikanmu.. Tetapi aku tidak ingin kalian
dihina oleh warga desa yang tadi melihatku seperti melihat setan karena wajahku
yang begini buruk., jadi., terima kasih banyak atas kebaikan kalian
berdua..."
Ki Lurah tersenyum
"Ah, sudahlah... Itu
terserah padamu, Mandali. Tetapi bila kau tiba-tiba mempunyai keinginan untuk
tinggal di sini, kami akan menerimanya dengan senang hati. Dengan semua
kerelaan yang ada di hati kami.."
"Terima kasih, Ki..
kata-kata Ki Lurah akan kuingat selama-lamanya..."
"Jadi kau hendak pergi
sekarang?" "Benar, Ki."
"Kamu tinggal dimana
Mandali?"
"Di sebuah hutan kecil
yang sangat jauh dari sini, Ki."
"Tidakkah kau ingin
melihat-lihat suasana desa ini dan bermalam di sini dulu?"
"Sebenarnya keinginan itu
ada, Ki. Tapi aku tidak mau kedatanganku ke sini, malah membuat orang-orang
desa takut dan menaruh curiga."
"Kau jangan menghiraukan
mereka, Mandali," kata Nyai Lurah.
"Memang tidak, Nyai. Tapi
sudahlah., aku harus pergi sekarang.. O iya, Ki.... dimana Kyai Paksi Brahma
tinggal sekarang?"
"Di ujung jalan desa ini.
Penginapan milik si tua Kerto Wongso."
"Terima kasih,
Ki..." Lalu Mandali Sewu pun bangkit dari duduknya. Disalami dan
diciuminya tangan kedua orang tua itu dengan penuh khidmat.
Lalu dia pun pergi
meninggalkan rumah itu.
Air mata Nyai Lurah menitik
perlahan-lahan membasahi pipinya. Meskipun Mandali Sewu telah berwajah buruk
akibat perlakuan almarhum putra dari Juragan Wilada Tista yang telah tewas
mengerikan di tangan si Pamungkas, bagi Nyai Lurah dia adalah Mandali Sewu,
bocah yang baik hati dan berwajah tampan dulu.
Ki Lurah dapat memaklumi
perasaan istrinya yang telah lama merindukan seorang anak. Namun agaknya Yang
Maha Kuasa belum mengizinkan putra bagi mereka yang dapat menghidupkan suasana
gembira dalam keluarga.
"Sudahlah, Nyai., biarkan
Mandali pergi..." "Tapi,
Ki..." Nyai Lurah tersendat. Mengingsut
air matanya.
"Aku dapat mengerti
perasaanmu, Nyai."
"Aku telah lama
merindukan seorang anak, Ki. Biarpun wajahnya buruk seperti. Mandali Sewu, aku
akan rela membesarkannya..."
"Begitu pula dengan aku, Nyai.
Ya... agaknya Gusti Allah belum memberikan apa yang kita inginkan. Sudahlah,
Nyai., kau perlu ingat, sebagai umat manusia kita hanya bisa berusaha, dan
Gusti Allah jualah yang menentukan segalanya. Sudahlah, Nyai., biarkan Mandali
Sewu mengambil langkahnya sendiri. Ah... dia bukan anak kita, Nyai.. Dia pun
bukan anak kandung dari Juragan Wilada Tista almarhum. Dia hanyalah anak
angkatnya, Nyai..."
Nyai Lurah mengusap lagi air
matanya. Kepedihan akan kerinduan pada seorang anak semakin menjadi-jadi.
"Aku mengerti akan
semuanya, Ki.." desisnya sambil tersenyum
Ki Lurah Sentot Prawira
tersenyum. Merangkul bahu istrinya.
Dan kasih sayangnya semakin
bertambah pada wanita yang telah menemaninya hidup selama 35 tahun.
"Kita masuk,
Nyai..."
Nyai Lurah cuma menganggukkan
kepalanya saja, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke rumahnya
***
8
Malam telah larut. Udara
berhembus dingin. Di langit mega-mega telah berubah menjadi hitam, bertanda
sebentar lagi hujan akan turun.
Mungkin deras dan membasahi semua
yang ada di muka bumi. Ada kalanya pula hujan membawa berkah dan rahmat, namun
ada kalanya pula hujan membawa bencana.
Di penginapan Kerto Wongso
suasana pun agak sepi. Beberapa penjaga penginapan itu merapatkan pakaiannya
untuk mengusir angin dingin yang menembus hingga ke tulang sumsum
Di salah sebuah kamar dalam
penginapan itu, Kyai Paksi Brahma tercenung di tepi jendela kamarnya Hatinya
risau memikirkan tentang Cincin Naga Sastra milik kakak seperguruannya mendiang
Kyai Tapa Suci.
Cincin Naga Sastra adalah
sebuah cincin sakti yang bisa membuat orang yang memilikinya menjadi tahan
penyakit, tahan segala macam pukulan sakti macam mana pun. Yang dikuatirkan
oleh Kyai Paksi Brahma, bila cincin itu jatuh ke tangan orang jahat dan
menggunakannya untuk kejahatan.
Kyai Paksi Brahma mendesah
panjang. Tatapannya panjang menembus kepekatan malam Dia seorang kakek yang
berusia 65 tahun. Dengan pakaian berwarna putih. Dan di pinggangnya terikat
sebuah angkin merah. Wajahnya sudah cukup
tua, dengan janggut yang putih dan rambut yang putih pula yang diikat
berbentuk kucir.
"Maafkan aku, Kakang Tapa
Suci..." desahnya pada angin, karena tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya
dia seorang yang masih menatap kepekatan malam. "Sebelum kau bertempur
mati-matian dengan Dewa Nyawa Maut, sebenarnya kau hendak memberikan Cincin
Naga Sastra warisan Eyang Jagaladara padaku. Tapi ah... sayang saat itu aku
tidak ada di tempat., hingga kau memberikan cincin itu pada Wilada Tista murid
tunggalmu..."
Kembali Kyai Paksi Brahma mendesah
panjang.
Tiba-tiba kedua telinganya
menegang. Kakek tua itu menangkap suara
bergerak di atap.
"Hmm.. siapakah orang
iseng yang hendak bermain-main denganku ini..." desisnya dalam hati.
Pendengaran kakek tua itu
ternyata begitu berfungsinya hingga suara yang mencurigakan di atap bisa
didengarnya.
"Hmm.. lebih baik aku
lihat saja siapa cecunguk ini!" desisnya. Lalu dia melompat jendela tanpa
bersuara. Dan dengan sekali empos tubuhnya sudah berada di atap.
Pendatang yang bergerak amat
pelan itu terkejut melihat sosok tubuh berpakaian putih itu tengah berdiri di
hadapannya
Kyai Paksi Brahma terbahak.
"Hahaha... rupanya kau
yang nekat muncul di hadapanku, Pamungkas!"
Orang yang ternyata si
Pamungkas mendengus. "Hhh! Rupanya nama besar Kyai Paksi Brahma
bukan omong kosong
belaka!"
"Ada apa kau malam-malam
begini menyatroni ketenanganku, Pamungkas?!"
"Hhh! Jangan
berlagak pilon, Paksi Brahma!
Aku datang untuk meminta
Cincin Naga Sastra!" "Hahaha..
tak kusangka orang
kejam macam
kau ini menghendaki cincin
sakti itu pula! Biarpun aku tahu di mana cincin itu berada tetap tak akan
pernah kuberitahukan pada orang macam kau, Pamungkas!"
"Jangan jual lagak di
depanku, Paksi! Cepat berikan cincin itu padaku!"
"Hahaha.. bagaimana bila
tidak? Apakah kau akan menurunkan tangan telengasmu padaku? Pamungkas...
kekejamanmu telah lama terdengar dan menjadi ajang pembicaraan orang-orang
rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam! Dan
ketahuilah., malam ini agaknya akulah orang yang akan menghentikan sepak
terjang kekejamanmu, Pamungkas!"
"Hhh! Banyak omong kau,
Paksi! Kata-katamu itu membuat tanganku gatal untuk membunuhmu!"
"Majulah Pamungkas...
kemunculanmu telah membuatku ganti bertanya. Menurut kabar, kaulah yang membunuh
Wilada Tista murid tunggal kakak seperguruanku secara licik! Hhh... aku jadi
mencurigaimu, Pamungkas! Satu pikiran ada di benakku! Kau pasti hendak mencari
Cincin Naga Sastra dari tangannya! Dan hanya satu orang yang tahu tentang
Cincin itu. Juragan Wilada Tista! Dari semua kejadian yang ada kau tahu pula
sebenarnya Wilada Tista murid dari Kyai Tapa Suci. Dan kecurigaanku, kau adalah
murid dari Dewa Nyawa Maut yang bertempur habis-habisan dengan kakak
seperguruanku! Entah di mana si Dewa Nyawa Maut itu berada sekarang!"
Si Pamungkas terbahak. Wajah
di balik topeng biru itu agak terkejut mendengar kata-kata Kyai Paksi Brahma.
Rupanya orang tua itu cepat tanggap dengan semua kejadian yang ada. Dari rasa
terkejut itu berubah menjadi kegeraman.
"Paksi Brahma... dugaanmu
tak meleset sedikit pun! Aku memang murid tunggal dari si Dewa Nyawa Maut yang
ditugaskan olehnya untuk mencari Cincin Naga Sastra! Namun sayang, aku sudah
bosan diperintah oleh si Tua sekarat itu. Dan yang perlu kau ketahui, si Tua
itu sudah mampus di tanganku!"
"Hhh! Kau murid laknat
Pamungkas! Kau tak ubahnya seperti iblis!"
"Hahaha.. ya, ya... aku
memang iblis! Dan iblis itu akan merenggut nyawamu sekarang juga! Serahkan
Cincin Naga Sastra padaku cepat!"
"Kau pun menjual lagak di
depanku! Aku yakin, Cincin Naga Sastra telah berada di tanganmu! Kau yang harus
menyerahkannya kepadaku!"
"Bangsat! Aku bosan
bermain kata-kata seperti ini, Paksi! Tahan serangan!" seru si Pamungkas
dan tubuhnya sudah menyerbu menyerang dengan cepat.
Kyai Paksi Brahma yang sudah
menyangka akan hal itu pun berkelit
menerima serangan cepat yang dilancarkan si Pamungkas. Dan di atap penginapan
itu, dua tokoh sakti pun bertarung dengan hebatnya.
Cepat. Dahsyat.
Dan mematikan!
Keduanya saling memperlihatkan
kehebatan dan kelincahan mereka.
Keduanya pun saling berambisi untuk menjatuhkan.
Si Pamungkas sendiri sudah
mengeluarkan pukulan Patuk Bangaunya yang dapat menghancurkan sebuah batu
sebesar domba jantan.
Kelincahan si Pamungkas amat
trampil dan hebat. Namun Kyai Paksi Brahma pun mengimbanginya dengan tak kalah
cepatnya. Dia pun mengeluarkan jurus Pukulan Penebas Nyawa.
"Hahaha.. rupanya kau
punya kelebihan juga, Paksi!" terbahak si Pamungkas padahal dia begitu
kaget melihat Kyai Paksi Brahma dapat mengimbanginya
"Tak lama lagi kau akan
mampus di tanganku, Pamungkas!" seru Kyai Paksi Brahma sambil terus
mencecar.
"Jangan sesumbar dulu!
Hhh... aku jadi ingin merasakan kehebatan pukulan saktimu itu, Paksi!"
kata si Pamungkas, kemudian dia bersalto ke belakang dan begitu hinggap dia
merapal ajian Seribu Bobot Besi.
Lalu tawanya pun meledak.
Kyai Paksi Brahma terkejut
melihat sikap si Pamungkas yang mendadak terdiam di tempatnya sambil tertawa
"Hmm... punya rencana
busuk apa lagi manusia durjana ini?" desisnya dalam hati.
"Hei.. mengapa kau hanya
terdiam saja, Paksi! Ayo, seranglah aku bila kau benar-benar merasa kuat dengan
pukulan saktimu itu!" seru si Pamungkas sambil terbahak.
"Hhh! Kau tak akan pernah
luput dari tanganku, Pamungkas!" seru Kyai Paksi Brahma sambil menyerang
dengan pukulan mautnya. Pukulan Penebas Nyawa.
Si Pamungkas hanya terbahak
saja. Dan dia tetap tak bergeming dari tempatnya.
Tubuh Kyai Paksi Brahma
melesat dengan pukulan lurus.
"Des!"
Pukulan saktinya itu pun tepat
mengenai dada si Pamungkas. Namun sungguh luar biasanya, Pukulan Penebas Nyawa
milik Kyai Paksi Brahma tidak berakibat apa-apa bagi si Pamungkas. Padahal itu
adalah pukulan sakti yang dimilikinya. "Hahaha.. rupanya pukulan semacam
itu yang
kau perlihatkan kepadaku,
paksi!"
"Manusia keparat! Rupanya
kau benar-benar murid dari Dewa Nyawa Maut yang memiliki ajian Seribu Bobot
Besi!" geram Kyai Paksi Brahma.
"Hhh! Rupanya kau jeri
dengan ajian yang kumiliki ini, bukan?!"
"Jangan gembira dulu! Kau
rasakan ajianku yang satu ini ajian Pemunah Rasa!"
"Hahaha.. keluarkan semua
ilmu yang kau miliki, Paksi Brahma!"
Menggeram marah dan panas hati
Kyai Paksi Brahma. Lalu sambil menjerit hebat kembali dia menyerang si
Pamungkas. Kali ini dengan ajian Pemunah Rasa.
Namun ajian itu pun tak
membawa banyak akibat pada si Pamungkas. Tubuh yang telah dialiri oleh ajian
Seribu Bobot Besi itu tak bergeming sedikit pun.
Merahlah wajah Kyai Paksi
Brahma
"Hahaha mengapa kau diam
saja Paksi? Kau takut dengan ajian yang kumiliki ini?!"
"Hhh! Aku akan mengadu
jiwa denganmu, Pamungkas!"
"Hahaha.. majulah biar
kumusnahkan kau!" seru si Pamungkas sambil merapal ajian Sambar Nyawanya.
Dan tiba-tiba saja tangannya perlahanlahan berubah kemerahan, lalu menjadi
semerah darah.
"Ajian Sambar Nyawa!"
"Agaknya kau cukup
mengenal semua ilmu yang dimiliki oleh guruku, si Dewa Nyawa Maut, Paksi
Brahma!"
"Tetapi jangan kau
mengira aku takut dengan semua yang dimiliki oleh gurumu itu, Pamungkas!"
"Hahaha.. aku ingin tahu sampai di mana kebe-
naran ucapanmu itu, Paksi
Brahma!"
Lalu si Pamungkas pun menyerbu
dengan ajian Sambar Nyawanya yang hebat dan cepat Kyai Paksi Brahma sudah
mengetahui akan kehebatan ilmu itu.
Maka dia pun tak berani untuk
berbentur tangan. Atau pun berbenturan bagian tubuhnya yang lain.
Dengan sebisanya dia
menghindari seranganserangan yang dilancarkan oleh si Pamungkas. Dan
berkali-kali dia pun mencoba membalas.
Namun semua serangan
balasannya hanya siasia belaka karena tak satu pun yang bisa membuat si
Pamungkas jatuh. Jangankan untuk jatuh bergeming sajak tidak. Karena ajian
Seribu Bobot Besi yang dialiri ke suruh tubuhnya telah membuatnya kebal dengan
semua ajian yang dimiliki oleh Kyai Paksi Brahma
Dan suara ribut yang terjadi
karena pertarungan keduanya membangunkan beberapa orang termasuk pemilik rumah
itu, Kerto Wongso.
"Hei, bukankah itu
tamuku?!" desisnya.
"Benar! Dan yang
bertarung dengannya bukannya si Pamungkas? Orang yang berpakaian dan bertopeng
biru?!"
"Benar, itu si
Pamungkas!" "Bunuh dia!" "Tangkap!" "Ganyang!"
Seruan-seruan itu pun
terdengar keras. Dan beberapa orang yang hadir pun segera mengambil
senjata-senjata milik mereka dan langsung melemparkannya kepada si Pamungkas.
Melihat hal itu, konsentrasi
si Pamungkas terhadap Kyai Paksi Brahma terpecah. Dia menjadi geram.
Dengan jengkel dia menangkis
beberapa senjata yang datang ke arahnya dan senjata-senjata itu melayang
kembali kepada para pemiliknya.
Jeritan kesakitan pun
terdengar.
Beberapa tubuh pun ambruk dan
darah bersimbah. Hal itu membuat mereka menjadi geram. Berlompatan mereka
berusaha untuk naik ke atap, namun semua perlawanan mereka pun sia-sia belaka.
Karena mereka pun harus mati
dengan cara yang mengenaskan.
Bahkan beberapa di antaranya
pun tewas terkena pukulan Sambar Nyawa yang dilemparkan si Pamungkas dengan
geram
Dan tubuh-tubuh itu pun
hangus, lalu meledak. Di antara orang-orang yang berdatangan itu pun di
antaranya berdiri Ki Lurah Sentot Prawira. Yang menjadi geram dengan kemunculan
si Pa-
mungkas.
"Hhh! Kau rupanya manusia
laknat! Telah lama kami menunggu kedatanganmu ke sini! Kau harus membayar nyawa
terhadap orang-orang yang kau bunuh! Dan para perawan yang kau perkosa lalu kau
bunuh secara kejam!"
"Diam kau, Manusia tua!
Lebih baik kau pulang saja sebelum kucabut nyawamu!"
"Kami akan mengadu nyawa
denganmu. Manusia Keparat!"
Tetapi si Pamungkas cuma
tertawa saja. Tibatiba dia bersalto di belakang dan hinggap di tanah.
"Hahaha.. bila kalian penasaran ingin menangkap dan membunuhku, datanglah
ke bukit Alas Waru malam ini juga! Kyai Paksi Brahma... kau pun harus ikut
serta dan kucabut nyawamu nan-
ti!"
Lalu tubuh itu pun melesat
cepat menerobos kepekatan malam. Dan orang-orang yang marah itu pun berlarian
mengejar termasuk Kyai Paksi Brahma, yang begitu dendam sekali!
***
9
Bukit Alas Waru tengah malam.
Bulan di langit renta, sepotong dan semakin hari semakin menua. Bukit Alas Waru
tetap menyeramkan.
Pohon-pohon yang tumbuh di
sana seakan pasukan setan yang tengah menunggu mangsa. Terlalu mengerikan.
Namun sosok tubuh berpakaian
biru dan bertopeng biru itu terus berkelebat ke atas.
Tanpa memperdulikan semua
keseraman yang ada. Tubuhnya begitu lincah, ringan dan seolaholah kedua kakinya
tidak menapak pada tanah. Ketika tiba di atas, dia menjadi terkejut karena melihat
sosok tubuh berdiri tegar dengan wajah yang welas asih dan senyum yang arif
bijaksana. Sosok itu mengenakan jubah berwarna putih yang terkibar dihembuskan
angin malam
Si Pamungkas menghentikan
langkahnya. Memperhatikan sosok tubuh yang berjubah putih itu.
Tiba-tiba dia terbahak setelah
mengenali. "Hahaha... rupanya Pendekar Bayangan Sukma
yang telah hadir di tempatku
ini?!"
Sosok yang ternyata Madewa
Gumilang itu mengembangkan senyum
"Bukankah kau yang
mengundangku untuk bertamu ke Bukit Alas Waru ini, Pamungkas?"
"Hahaha.. kunjunganmu
telah membuat hatiku senang... Madewa.. agaknya Gusti Allah menakdirkan kau
untuk mati di Bukit Alas Waru ini..."
"Hahaha... sudah lama aku
mendengar sepak terjangmu yang telengas. Ah, agaknya kau sudah amat dipengaruhi
iblis, Pamungkas!"
"Persetan dengan
ucapanmu, Madewa! Aku sudah lama ingin memusnahkanmu dari muka bumi!"
"Sadarlah,
Pamungkas..." kata Madewa yang berada di sana sejak dua jam yang lalu.
Setelah diberitahukan oleh para muridnya mengenai kematian tiga orang tamunya
dari desa Glagah Jajar, dia pun langsung mendatangi Bukit Alas Waru seperti
yang diberitahukan oleh para muridnya. Dan Madewa melarang para muridnya untuk
ikut serta. Dan kini dia tengah berhadapan dengan si Pamungkas.
"Persetan dengan kata-katamu,
Madewa!" geram si Pamungkas sambil menyerang dengan ajian Sambar Nyawa-nya
Madewa dapat menduga kalau
ajian itu begitu ganas karena hawa panas yang ditimbulkan setiap kali tangan
itu tergerak begitu menyengat. Dia pun menghindarinya dengan jurus Ular
Meloloskan Diri.
Serangan-serangan yang
dilancarkan oleh si Pamungkas luput pada sasarannya. Hal ini membuat si
Pamungkas semakin geram.
"Jangan bisamu hanya
menghindar saja Madewa! Balaslah bila kau mampu!"
"Pamungkas, sayang sekali
ilmu yang kau miliki ini kau gunakan untuk kejahatan!"
"Jangan berkhotbah di
depanku, Madewa! Balaslah aku bila kau mampu!"
Perlahan-lahan Madewa pun
menghentikan menghindarnya. Dia pun berpikir untuk segera membalas semua
serangan si Pamungkas.
"Baiklah, Pamungkas....
bila itu maumu!" desis Madewa sambil menyerang dengan Pukulan Tembok
Menghalau Badai. Namun Madewa menjadi terkejut karena begitu tangannya
menghantam bagian tubuh si Pamungkas, dia merasakan tangannya ngilu.
"Hahaha... jangan
terkejut, Madewa! Inilah ajian Seribu Bobot Besi yang kumiliki!"
Madewa pun mencoba kembali,
namun lagi-lagi hal yang sama diterimanya. Bahkan kini Si Pamungkas pun
kembali, melancarkan seranganserangannya lagi.
Tiba-tiba terdengar suara
ramai bergemuruh. Orang-orang yang mengejar si Pamungkas telah tiba di Bukit
Alas Waru. Di antara mereka termasuk Kyai Paksi Brahma dan Ki Lurah Sentot
Prawira.
Orang-orang itu pun segera
mengurung si Pamungkas. Namun mereka harus tewas tersambar ajian Sambar Nyawa
yang dimiliki manusia kejam itu.
"Bangsat! Kau harus
membayar semua nyawa yang kau cabut, Pamungkas!" geram Ki Lurah Sentot
Prawira sambil menyerang dengan goloknya.
Serangan itu pun sia-sia
belaka. Begitu pula yang dialami oleh Kyai Paksi Brahma yang juga menyerangkan
pukulannya.
Namun satu keanehan terjadi,
si Pamungkas tidak menurunkan tangan telengas pada Ki Lurah Sentot Prawira
meskipun ada kesempatan. Ki Lurah saja terkejut karena si Pamungkas seperti
sengaja menghentikan serangannya.
Tetapi dia tidak perduli, dia
terus menyerang. Namun lagi-lagi si Pamungkas menghentikan serangannya pada Ki
Lurah.
Lain halnya dengan Kyai Paksi
Brahma. Si Pamungkas malah berusaha untuk membunuhnya dengan ajian Sambar
Nyawa.
Madewa sendiri yang
menyaksikan hal itu menjadi heran. Namun kegeramannya sudah sampai puncaknya
ketika menyaksikan kekejaman yang dilakukan si Pamungkas.
"Pamungkas... kita
bertarung sampai mati!" dengusnya. "Majulah Madewa!"
Madewa pun menyadari akan
kehebatan ajian Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang dimiliki si
Pamungkas.
Perlahan-lahan dia pun
menghentikan gerakannya. Dan kedua tangannya terangkum di dada. Lalu mengembang
ke kiri dan ke kanan. Saat terangkum tadi mengepul asap berwarna putih. Itulah
pukulan andalan yang dimiliki Madewa, warisan dari gurunya Ki Rengsersari atau
Pendekar Ular Sakti.
"Pukulan Bayangan
Sukma!" seru Kyai Paksi Brahma. Dan seketika dia dapat menduga siapa
laki-laki berjubah putih itu. "Kaukah yang bernama Madewa Gumilang alias
Pendekar Bayangan Sukma?"
"Ya, akulah orangnya,
Kyai Paksi Brahma..." "Salam kenal dariku, Pendekar Budiman..."
"Menyingkirlah Kyai dari sini. Dan Kau Ki Lu-
rah, kau pun harus
menyingkir..."
"Madewa! Tunggu apa lagi
kau?!" bentak si Pamungkas yang tadi mendengar pukulan apa yang tengah
dilancarkan oleh Madewa Gumilang. "Aku ingin mengetahui sampai di mana
kehebatan Pukulan Bayangan Sukma yang kau miliki, Madewa!"
"Terpaksa ini kulakukan,
Pamungkas!"
"Kau masih banyak omong
saja! Kau membosankan!" terdengar bentakan si Pamungkas lalu menyerbu ke
arah Madewa Gumilang dengan ajian Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang
dipadukan.
Madewa pun segera menyongsong.
Yang menyaksikan bergidik ngeri.
Dan ketika kedua pukulan itu
berbenturan, bukit yang mereka pijak seolah bergoyang.
"DUAAARRR!"
Batu-batu pun berguguran. Debu
berterbangan tebal.
Dari debu itu terpental dua
sosok tubuh ke belakang. Madewa merasakan dadanya sesak. Dan sungguh luar biasa
yang dialami si Pamungkas. Meskipun dia terhuyung, tetapi dia bisa menjaga
keseimbangannya dan berdiri tegak kembali.
"Hahaha.. rupanya hanya
begitu saja kehebatan Pukulan Bayangan Sukma yang kau miliki, Madewa!"
terbahak si Pamungkas.
Namun mendadak tubuhnya
limbung. Dia memegangi dadanya yang terasa sakit. Dan semakin lama tubuhnya
semakin limbung. Yang memperhatikan menjadi keheranan. Dan tubuh itu pun ambruk
dengan jeritan yang keras.
Orang-orang segera
mendekatinya.
Dan melihat orang kejam itu
tengah sekarat. Ki Lurah Sentot Prawira yang merasa heran karena si Pamungkas
seperti enggan untuk menurunkan tangan telengas padanya, cepat menarik topeng
biru yang menutupi wajah manusia kejam itu.
"Breeet!"
Dan pekikannya terdengar
ketika melihat wajah di balik topeng biru itu. Wajah yang amat buruk
mengerikan. Wajah Mandali Sewu!
"Mandali!" seru Ki
Lurah. Begitu pula dengan yang hadir di sana. Mereka pun terkejut melihat
Mandali Sewu di balik topeng biru itu. "Mandali.. mengapa., mengapa kau
lakukan semua ini..." Sepasang tangan Mandali Sewu Menggapai Ki
Lurah.
Wajahnya meringis menahan
sakit. "Maafkan aku, Ki..." sendatnya
"Semua ini kulakukan.,
karena aku mendendam pada Juragan Wilada Tista dan keluarganya..."
sendatnya
"Kebetulan guruku
menugaskanku untuk mencari Cincin Naga Sastra..." sendatnya.
"Lalu kubunuh manusia
itu... kubunuh semuanya.. biar dendamku tuntas " sendatnya.
"Maafkan aku, Ki..."
sendatnya. Lalu kepala itu pun terkulai selama-lamanya.
Orang-orang mendesah. Begitu
pula dengan Madewa Gumilang. Cincin Naga Sastra? Cincin apa itu? desahnya dalam hati.
Sedangkan Kyai
Paksi Brahma hanya terdiam.
Dia belum tahu di mana Cincin
sakti itu berada Sementara Ki Lurah
Sentot Prawira menangis
tersedu-sedu karena tidak
menyangka siapa di balik topeng biru itu.
Bagaimana dengan cincin sakti
yang hebat itu? Anda semua akan mengetahui jawabannya pada cerita TIGA KESATRIA
BERTOPENG
SELESAI
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 19 Munculnya Si Pamungkas"
Post a Comment