Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 19: Persembahan Raja Setyagara
Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 19: Persembahan Raja Setyagara
1
Suasana duka masih melingkupi
Kerajaan Sutera Bayu, setelah mangkatnya sang Prabu Mulya Dewantara.
Wajah-wajah mendung bukan saja masih tergambar pada masing-masing penghuni
Istana Sutera Bayu. Tapi, juga pada penduduk yang masih berada dalam wilayah
kekuasaan Kerajaan Sutera Baya. Dan kini, tampuk kekuasaan tertinggi kerajaan
itu dipegang oleh Setyagara.
Dan ini sudah dua purnama
Prabu Setyagara menduduki tahta, setelah kematian sang Prabu Mulya Dewantara
yang terserang penyakit cukup aneh. Tak ada yang tahu, apa jenis penyakitnya.
Jika penyakit itu datang, sang Prabu menjadi lupa pada orang-orang di sekitar
istana. Baik pada permaisuri, maupun putra tunggalnya yang bernama Bintang
Megantara. Yang lebih parah lagi, sang Prabu Mulya Dewantara lupa pada dirinya
sendiri!
Baik tabib istana maupun tabib
yang tinggal di wilayah Kerajaan Sutera Bayu telah pula berusaha mengobati
penyakit aneh Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara. Namun kedatangan mereka hanya
sia-sia belaka. Penyakit aneh yang diderita Yang Mulia tetap saja tidak dapat
disembuhkan. Begitu juga ketika tabib-tabib sakti yang tinggal di luar Kerajaan
Sutera Bayu didatangkan. Hasil yang didapat juga sama nihil. Akhirnya entah
desas-desus dari mana timbul suatu kecurigaan, kalau patihnya sendirilah yang
telah melenyapkan nyawa Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara. Benarkah patih itu
yang melenyapkan nyawa sang Prabu?
***
"Patih Laksa!"
panggil Prabu Mulya Dewantara pada seorang patih kepercayaannya. Dia bernama
lengkap Patih Abadi Selaksa.
Patih Abadi Selaksa terkejut
mendengar namanya disebut junjungannya. Padahal sudah hampir satu minggu,
namanya selalu dipanggil dengan sebutan kata-kata kotor. Tapi sekarang....
"Hamba, Yang Mulia,"
sahut Patih Abadi Selaksa dengan kepala sedikit tertunduk.
Sungguh, patih setia itu
senang mendapatkan kenyataan bahwa junjungannya telah kembali pada ingatannya
semula.
"Apa gerangan yang dapat
hamba bantu, Yang Mulia?" lanjut Patih Abadi Selaksa, dengan tutur kata
lembut
Prabu Mulya Dewantara
tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa.
"Bisakah kau mengantarku
ke Desa Batuapung?" pinta Prabu Mulya Dewantara.
"Hamba bersedia, Yang
Mulia," jawab Patih Abadi Selaksa cepat
Namun tatapan mata patih yang
berusia hampir enam puluh tahun itu terlihat menyimpan ketidak-percayaan akan
keinginan junjungannya untuk datang ke Desa Batuapung. Padahal, desa tandus itu
hanya dihuni segelintir orang. Apalagi, desa itu juga dikelilingi jurang-jurang
curam, bahkan bukanlah termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu
"Maafkan hamba, Yang
Mulia," ucap Patih Abadi Selaksa setelah beberapa saat menatap wajah Prabu
Mulya Dewantara. "Kalau boleh hamba tahu, gerangan apakah yang membuat
Yang Mulia hendak berkunjung ke Desa Batuapung?"
"Ha ha ha...!"
Di luar dugaan Patih Abadi
Selaksa, Prabu Mulya Dewantara terbahak keras.
"Kau abdiku, Laksa!"
tukas Prabu Mulya Dewantara keras dengan jari telunjuk menuding wajah Patih
Abadi Selaksa.
Patih Abadi Selaksa terkejut
mendengar suara keras junjungannya. Lelaki berwajah tirus dengan sorot mata
masih nampak menyisakan kegagahan masa lalunya, kini hanya menundukkan kepala
menekuri lantai yang tertutup permadani begitu indah.
"Kau tak perlu tahu, apa
urusanku di sana, Laksa! Yang kutanyakan, apakah kau bersedia menemaniku ke
sana! Jika tidak, kepalamulah yang kubawa, tanpa badanmu!" lanjut Prabu
Mulya Dewantara, setelah tawanya yang menggema ke dinding-dinding istana lenyap."Hamba
bersedia, Yang Mulia," tukas Patih Abadi Selaksa cepat. Kepalanya yang
tertunduk, semakin dalam menekuri permadani bercorak bunga-bunga indah yang
berwarna dasar kecoklatan.
"Ha ha ha.... Bagus! Kau
memang betulbetul abdiku, Laksa! Sekarang juga, kita berangkat," putus
Prabu Mulya Dewantara diiringi tawanya.
"Baik, Yang Mulia,"
jawab sang Patih.
Penguasa Kerajaan Sutera Bayu
itu lalu segera bangkit dari singgasananya, diikuti Patih Abadi Selaksa.
"Aku boleh ikut.
Ayah?" tanya seorang pemuda tampan berusia hampir tujuh belas tahun yang
sejak tadi memang telah ada di situ.
Pemuda berpakaian warna kuning
gading itu tak lain adalah Bintang Megantara, putra tunggal Prabu Mulya
Dewantara. Sementara, penguasa Kerajaan Sutera Bayu itu menghentikan
langkahnya, begitu mendengar pertanyaan putra kesayangannya. Dan wajahnya pun
seketika menoleh ke arah Bintang Megantara.
"Tak seorang pun
kuperkenankan ikut, terkecuali Patih Laksa," jawab Prabu Mulya Dewantara.
Bintang Megantara sedikit
terkejut mendengar jawaban tegas ayahandanya. Keinginan hatinya untuk turut
serta kini benar-benar surut. Apalagi, setelah ibunda tercinta mengharuskannya
menuruti kata-kata ayahnya. Meski permaisuri sang Prabu sendiri heran mendengar
ucapan suaminya, namun berusaha memakluminya. Mengingat, Prabu Mulya Dewantara
tengah menderita suatu jenis penyakit aneh.
***
Langit kotaraja yang baru
disirami sinar matahari pagi, seolah memberi semangat Prabu Mulya Dewantara
untuk berangkat mengunjungi Desa Batuapung yang tandus dan dikelilingi jurang-jurang
terjal.
Beberapa pejabat tinggi
kerajaan yang kini turut berdiri di pelataran Istana Sutera Bayu, terlihat
memandangi junjungannya yang telah duduk di atas kuda putih yang gagah. Di atas
punggung kuda coklat, Patih Abadi Selaksa dengan setia menunggu perintah
junjungannya yang berkuda di sampingnya. Namun begitu, di benak patih yang
sudah puluhan tahun menemani kehidupan sang Prabu ini terpendam pertanyaanpertanyaan
akan keinginan aneh Prabu Mulya Dewantara. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit ditemukan
jawabannya sampai tiba di Desa Batuapung.
"Ayo, Laksa!" sentak
Prabu Mulya Dewantara mengejutkan Patih Abadi Selaksa. Sang Prabu seketika itu
juga menggebah kuda tunggangannya. "Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Patih Abadi Selaksa pun tak
mau ketinggalan. Dengan teriakan keras, patih berpakaian putih bersih itu
menggebah kuda coklat yang ditungganginya.
Kuda putih dan coklat yang
ditunggangi Prabu Mulya Dewantara dan Patih Abadi Selaksa sudah melesat cepat
meninggalkan pelataran Istana Sutera Bayu. Berpasang-pasang mata para
pejabat-pejabat tinggi kerajaan mengiringi kepergian junjungannya dengan benak
dipenuhi pertanyaan akan keanehan-keanehan yang ada. Demikian pula sang Permaisuri
dan sang Putra Mahkota.
Dua sosok yang paling dekat
dengan Prabu Mulya Dewantara itu mengiringi kepergian orang yang dicintai
disertai kekhawatiran dan kecemasan mendalam.
"Ahhh!"
Terdengar helaan napas berat
dari Permaisuri Citra Laras saat Prabu Mulya Dewantara telah lenyap di kelokan
jalan.
***
Desa Batuapung yang terletak
di luar wilayah kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu kini mulai dimasuki oleh Prabu
Mulya Dewantara dan Patih Abadi Selaksa. Hampir satu setengah hari untuk
mencapai desa tandus yang berhawa panas ini. Nampak kelelahan menghiasi wajah
sang Prabu yang tak terbiasa bepergian jauh dengan menunggang kuda yang
dikendalikannya sendiri.
Sebenarnya Patih Abadi Selaksa
tak tega melihat junjungannya menderita keletihan seperti itu. Terlebih, ketika
sang Prabu memerintahkan melepas kuda-kuda yang ditunggangi seharian penuh dan
mengajak menelusuri daerah yang dikelilingi jurang terjal dengan
karang-karangnya yang runcing.
"Lebih baik kuda-kuda itu
ditambatkan di tempat ini saja, Yang Mulia," saran Patih Abadi Selaksa,
setelah mereka turun dari kuda masingmasing. "Yang Mulia akan dapat
menggunakannya kembali jika diperlukan nanti."
"Kau mulai pandai
membantah, Babi! Kalau kukatakan lepas, lepaskanlah kuda-kuda itu! Biar mereka
pergi!" bentak sang Prabu garang, mengganti panggilan Patih Abadi Selaksa
dengan kata-kata kotor.
Lelaki berusia hampir enam
puluh tahun yang dipanggil 'babi' itu terkejut bukan kepalang. Rasanya penyakit
Prabu Mulya Dewantara muncul kembali.
"Baik... Baik, Yang
Mulia," ucap Patih Abadi Selaksa seraya melepas kedua tali kekang kuda
yang kini telah dipegang.
Sesaat kemudian patih itu
memukul bokong kedua kuda tunggangan mereka yang segera berlarian cepat,
meninggalkan kepulan yang membumbung tinggi di udara.
"Ha ha ha...!
Prabu Mulya Dewantara tertawa
sesaat kepergian kuda-kuda itu.
"Ternyata kau bisa juga
memenuhi perintahku, Babi!" kata Prabu Mulya Dewantara menyakitkan hati
Patih Abadi Selaksa.
"Tentu saja hamba akan
selalu memenuhi perintah Yang Mulia," tutur Patih Abadi Selaksa, dengan
kegeraman ditahan.
"Kalau begitu, mari kita
susuri bibir jurang itu," ajak Prabu Mulya Dewantara seraya melangkah.
Ada perasaan khawatir yang
tiba-tiba saja menyelinap di hati Patih Abadi Selaksa mendengar ajakan
junjungannya. Namun patih ini tak tahu betul, apa makna kekhawatiran hatinya.
Bahkan sampai-sampai ajakan sang Prabu tak mampu ditolaknya.
Langkah kaki sang Prabu yang
menapaki bibir jurang Desa Batuapung diikuti Patih Abadi Selaksa. Beberapa
penduduk desa yang tengah mencari batu-batu dan kebetulan berpapasan, berbaik
hati memperingati dua orang dari Kerajaan Sutera Bayu.
"Hati-hati, Tuan. Tanah
di bibir jurang itu amat gembur," jelas seorang penduduk Desa Batuapung
yang berpapasan dengan sang Prabu dan Patih Abadi Selaksa ini.
"Terima kasih,
Kisanak," jawab Patih Abadi Selaksa, menanggapi pemberitahuan itu.
Sementara Prabu Mulya
Dewantara hanya memandangi lelaki bertubuh tinggi kurus yang membawa linggis
dengan tatapan memancarkan ketidak-senangan.
"Sebaiknya Yang Mulia
berjalan agak ke tengah," saran Patih Abadi Selaksa ketika penduduk Desa
Batuapung itu sudah agak jauh dari mereka.
"Kurang ajar sekali kau,
Anjing!" maki sang Prabu marah.
Patih Abadi Selaksa tak kuasa
membiarkan perkataan junjungannya.
"Hamba mencemaskan Yang
Mulia. Hamba takut, Yang Mulia tergelincir," ujar Patih Abadi Selaksa
mencoba meredam kemarahan sang Prabu.
"Monyet Hutan!"
bentak sang Prabu geram. Srat!
Terbelalak mata Patih Abadi
Selaksa melihat penguasa Kerajaan Sutera Bayu ini sudah meloloskan pedang dari
warangka di pinggang sebelah kiri.
"Yang Mulia...?"
bergetar suara yang keluar dari mulut Patih Abadi Selaksa.
"Ha ha ha...!" Prabu
Mulya Dewantara terbahak menyaksikan kegentaran Patih Abadi Selaksa.
"Sengaja aku mengajakmu ke tempat ini, Monyet! Aku ingin bertarung melawan
Monyet Hutan macam kau! Aku ingin tahu, siapa yang jago bermain pedang di
antara kita. Dan aku juga ingin tahu, siapa di antara kita yang akan mati lebih
dahulu."
Terhadap keinginan sang Prabu,
Patih Abadi Selaksa tak bisa memenuhinya. Pikirannya betul-betul kacau. Dia
yakin ucapan sang Prabu bukanlah keluar dari keinginan hatinya. Tapi, karena
penyakit yang tengah diderita. Penyakit yang membuat sang Prabu lupa pada
dirinya sendiri, dan juga pada orang terdekatnya.
"Yang Mulia...?"
Patih Abadi Selaksa masih
berusaha menyadarkan pikiran Prabu Mulya Dewantara. Namun, apa yang didapat
hanya keterkejutan yang semakin menjadi-jadi.
"Cabut senjatamu,
Monyet!" sentak sang Prabu menggelegar.
Patih Abadi Selaksa tentu saja
tak sudi menuruti perintah junjungannya yang di luar batas kewajaran sebagai
abdi setia. Namun rupanya tindakan lelaki berpakaian putih dengan rambut
panjang digelung ke atas itu, membuat kemarahan Yang Mulia Prabu Mulya
Dewantara semakin naik ke ubun-ubun.
Dengan serta merta dan tanpa
diduga sama sekali, Prabu Mulya Dewantara membabatkan senjatanya ke arah dada
Patih Abadi Selaksa.
"Haaa...!" Bettt!
Melihat sambaran pedang ini,
Patih Abadi Selaksa berusaha menghindar dengan bergeser sedikit ke kiri,
namun....
"Heh?!"
Srats!
Patih Abadi Selaksa terpekik
kecil ketika sambaran pedang milik Prabu Mulya Dewantara berhasil menggores
pangkal tangan sebelah kanannya. Darah kontan mengucur dari luka di tangannya.
Luka yang tidak seberapa besar, namun cukup membuat kekalutan pada pikirannya.
"Kalau kau tak ingin mampus, cabut segera
senjatamu, Babi!" sentak
sang Prabu, kasar.
Sesungguhnya sang Prabu tak
pernah berkata kasar seperti itu, sebelum penyakit aneh menguasai dirinya. Dia
sebenarnya adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Bahkan selalu bertutur
kata lemah lembut. Namun sekarang?
Terhadap permintaan sang
Prabu, tentu saja sang Patih tak pernah memenuhinya. Apalagi, dia terlalu
menghormati dan mencintai rajanya.
"Memang kau cari mampus,
Monyet!" "Hiyaaa...!"
Kembali Prabu Mulya Dewantara
mengebutkan pedangnya dengan gerakan cepat ke arah dada.
"Uts!"
Kali ini, Patih Abadi Selaksa
bergerak lincah ke arah kanan, untuk menghindari sambaran pedang yang terlihat
tidak main-main. Gerakannya memang cukup tangkas. Terbukti, sambaran senjata
Prabu Mulya Dewantara hanya menerpa angin kosong
"Bangsat kau!" maki
sang Prabu semakin
kalap.
Pedang di tangan Prabu Mulya
Dewantara
tiba-tiba diputar-putar cepat,
hingga wujud aslinya tak nampak. Kenyataan itu membuat Patih Abadi Selaksa
terkejut. Sungguh dirinya tak tahu, dari mana Prabu Mulya Dewantara mendapatkan ilmu permainan pedang seperti
itu. Padahal, sebelumnya dia tak pernah mempunyai kepandaian seperti itu. Namun
dari gaya permainan pedang itu, Patih Abadi Selaksa sepertinya pernah mengenalinya.
Jelas gaya itu milik seorang tokoh persilatan golongan hitam, patih ini memang
pernah melihatnya, namun tidak tahu jelas, siapa tokoh itu.
"Hiyaaat...!"
Di tengah-tengah pikiran Patih
Abadi Selaksa yang tengah berkecamuk, Prabu Mulya Dewantara kembali bergerak
cepat dengan senjata masih berputar-putar di tangan kanan. Kini gerakannya
lebih cepat daripada gerakan awal saat menyerang Patih Abadi Selaksa.
Tentu saja, apa yang dilakukan
sang Prabu membuat Patih Abadi Selaksa tak kuasa berpikir jernih. Maka ketika
serangan itu semakin mendekat, serta merta Patih Abadi Selaksa mencabut
senjatanya untuk melindungi diri.
Srat! Trang!
"Aaa...!"
Pekik tertahan seketika
terdengar, manakala bunyi benturan senjata terdengar jelas, diiringi percik
bunga api dan tergempur mundurnya tubuh Prabu Mulya Dewantara.
"Setan!" hardik sang
Prabu setelah mampu menguasai dirinya yang terhuyung. "Berani sekali kau
melawanku, Monyet!"
Patih Abadi Selaksa tak
menimpali caci maki junjungannya. Kedudukannya kini pada keadaan yang serba
salah. Kalau dirinya membiarkan pedang sang Prabu berkelebat ke arahnya, maka
dialah yang akan binasa. Namun jika mencoba-coba melindungi diri, dia dikatakan
telah lancang melawan rajanya."Hmmm.... Penyakit macam apa ini?" gumam
Patih Abadi Selaksa akhirnya.
Di hatinya, patih itu
menduga-duga kalau sang Prabu mendapatkan penyakit akibat perbuatan seorang
tokoh sakti yang dapat merubah jalan pikiran seseorang. Sehingga, orang yang
dituju dapat dipermainkan sekehendak hatinya.
"Tapi siapa tokoh sesat
itu...?" lanjut hati Patih Abadi Selaksa berkata-kata sendiri.
Patih Abadi Selaksa terpaku
sejenak. Kemudian, dia berniat menggunakan cara lain untuk membujuk sang Prabu.
Kepalanya sengaja ditundukkan serendah mungkin, sebagai pertanda kalau dirinya
betul-betul menghormati. "Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap sang Patih
itu.
Namun sambutan sang Prabu itu
di luar keinginan sang Patih.
"Ngrgmgrh...!"
Sang Prabu tiba-tiba saja
menggereng keras. Matanya terbelalak lebar, memancarkan sorot yang mengandung
nafsu membunuh tak terkendali.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Prabu Mulya Dewantara tiba-tiba
melesat cepat dengan pedang teracung di atas kepala.
Patih Abadi Selaksa belum
mengambil ke-
putusan, apakah menangkis
serangan itu atau malah menghindarinya. Hatinya sungguhsungguh dilanda
kekalutan. Namun ketika sejengkal lagi ujung pedang milik Prabu Mulya Dewantara
menggorok lehernya, nalurinya untuk menyelamatkan diri tiba-tiba memberontak
kuat. Serta merta, tubuh sang Patih ini bergerak cepat ke arah kanan. Langsung
dihindarinya tebasan senjata miliki Prabu Mulya Dewantara.
Bets! "Uts!"
"Aaa...!"
Prabu Mulya Dewantara seketika
memekik keras! Begitu sambaran pedangnya berhasil dielakkan Patih Abadi
Selaksa, namun tubuhnya tergelincir ke dalam jurang karena terdorong tenaga
tebasannya sendiri!
Patih Abadi Selaksa sendiri
tersentak melihat kenyataan yang sama sekali tidak diduga. Lengking kematian
junjungannya bergema terus di telinganya.
2
Keadaan duka yang terlihat di
dalam istana dan di luar Istana Sutera Bayu, terlihat pula di dalam tahanan
bawah tanah istana ini. Sebuah ruangan pengap yang terbuat dari batu-batu cadas
kokoh, yang didalamnya terlihat sosok renta lelaki berusia enam puluh tahun
tengah duduk berselonjor. Wajah tua dengan rambut hitam yang tersanggul ke atas
itu nampak semakin cekung. Kelopak matanya menjorok ke dalam, sementara
pakaiannya yang putih nampak begitu kumal.
Di luar tahanan yang dijaga
ketat enam lelaki gagah berpakaian prajurit jaga Kerajaan Sutera Bayu, nampak
seorang lelaki muda berusia tak lebih dari tujuh belas tahun tengah memegangi
terali tahanan yang terbuat dari logam keras bulat. Lelaki muda berpakaian
warna kuning gading itu tak lain dari putra mahkota almarhum Prabu Mulya
Dewantara, Bintang Megantra. Sedangkan di sebelahnya nampak Citra Laras tengah
memandangi tubuh ringkih Patih Abadi Selaksa.
"Ki"
Citra Laras memanggil lembut
Patih Abadi Selaksa yang kepalanya tengah tertunduk menekuri lantai tahanan
yang dingin.
"Paman...!" panggil
Bintang Megantara mengikuti suara ibunya.
Perlahan Patih Abadi Selaksa
mengangkat kepalanya, setelah mendengar namanya disebut dua kali. Dan matanya
kontan terbelalak ketika menyaksikan siapa yang berada di hadapannya.
"Tuan Putri Citra
Laras.... Raden Bintang Megantara ? Oh!"
Patih Abadi Selaksa tak kuasa
melanjutkan ucapannya. Perasaan haru melihat kehadiran orang-orang yang
dicintainya, membuat napasnya seperti terhenti sesaat.
"Ya, kami datang
menjengukmu, Ki?" ucap Citra Laras, dengan tatapan teduh ke wajah Patih
Abadi Selaksa.
Peristiwa menyakitkan itu
merangkak perlahan mencapai usia dua purnama. Dan selama itu pula, Patih Abadi
Selaksa mendekam di ruang tahanan bawah tanah seumur hidup. Akibat dituduh
telah membunuh Prabu Mulya Dewantara. Sedangkan kedudukanya sebagai patih
diambil alih oleh Ki Sodrasena. Sementara tampuk kekuasaan dipegang oleh Yang
Mulia Prabu Setyagara. Dalam silsilah kerajaan, dia adalah adik kandung
mendiang Prabu Mulya Dewantara.
Sesungguhnya hati Citra Laras
begitu iba melihat keadaan lelaki itu. Seorang laki-laki yang menjabat sebagai
patih Kerajaan Sutera Bayu selama puluhan tahun, namun harus lepas jabatannya
setelah dituduh sebagai pembunuh Prabu Mulya Dewantara.
Patih Abadi Selaksa memang tak
mampu mengelak tudingan dan tuduhan itu. Apalagi yang melancarkannya Ki
Setyagara, adik kandung sang Prabu. Sulit untuk mengelaknya, karena memang
dirinya sendirilah yang mengantar kepergian sang Prabu Mulya Dewantara ke Desa
Batuapung. Dan di desa itu pulalah Raja Sutera Bayu itu menemui ajalnya. Jadi
wajar kalau Patih Abadi Selaksa yang menjadi tumpuan kesalahan, dan harus
mendekam dalam ruang tahanan seumur hidup. "Tuan Putri... dan kau Raden.
Terima kasih atas kedatangan kalian menjengukku. Oh. Aku bahagia sekali bisa
melihatmu, Raden," ucap Patih Abadi Selaksa parau.
Citra Laras dan Bintang
Megantara terharu dengan ucapan Patih Abadi Selaksa.
"Kami juga, Paman,"
balas Bintang Megan-
tara.
"Bagaimana perkembangan
di luar? Apa-
kah Yang Mulia Setyagara
memimpin kerajaan ini dengan adil dan bijak?" tanya Patih Abadi Selaksa
menyelidik.
Sesungguhnya, laki-laki tua
itu sudah tahu watak Yang Mulia Setyagara, namun tetap juga melemparkan
pertanyaan itu. Dan ia memang ingin tahu langsung dari mulut Permaisuri Citra
Laras dan Bintang Megantara tentang keadaan sekarang.
Citra Laras dan Bintang
Megantara tak segera menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa. Tatapan matanya
tertuju pada penjaga-penjaga yang memegang tombak.
"Mendekatlah kau,
Ki," pinta Citra Laras.
Patih Abadi Selaksa menggeser
duduknya perlahan. Keadaan tubuhnya yang nampak lemah, membuat bekas patih
tersohor Kerajaan Sutera Bayu tak bisa bergerak bebas.
"Apa yang terjadi di
luar, Tuan Putri?" tanya Patih Abadi Selaksa pelan.
"Setelah kematian
suamiku, keadaan semakin panas saja. Dan sebetulnya aku tak percaya kalau kau
membunuh Gusti Prabu Mulya Dewantara, mengingat penyakitnya yang kurasa juga
aneh. Jelas, penyakit itu sengaja dibuat orang dengan maksud memang ingin
menyingkirkan Gusti Prabu. Nyatanya, suamiku memang tersingkir, setelah pergi
denganmu. Tapi setelah Adi Setyagara memerintah, aku semakin yakin, kau
bukanlah seorang pembunuh. Aku berkesimpulan demikian karena atas dasar
kecurigaanku melihat tindak-tanduk Adi Setyagara yang semakin brutal saja.
Untung saja belum terjadi pergolakan di dalam istana dan kerajaan ini,
Ki," jelas Citra Laras dengan nada suara ditekan serendah mungkin.
"Namun naluriku mengatakan, bila Adi Setyagara dengan sikapnya yang
demikian terus. Berkuasa, akan hancurlah Kerajaan Sutera Bayu."
Patih Abadi Selaksa membelalakkan
mata mendengar penuturan bekas junjungannya.
"Maksud, Tuan
Putri...?"
Patih Abadi Selaksa
menghentikan katakatanya ketika Permaisuri Citra Laksa menempelkan telunjuk di
bibir.
"Kabar yang kudengar dari
seorang telik sandi kepercayaan, Adi Setyagara akan mengadakan persembahan pada
setiap bulan purnama dalam waktu dekat ini," jelas Permaisuri Citra Laras,
seperti berbisik.
"Persembahan? Apa
maksudnya?" tukas Patih Abadi Selaksa terheran-heran. "Dan untuk
apa...?" "Entahlah, Paman. Yang pasti, keinginan gila itu tercetus
setelah masuknya orang luar ke dalam Istana Sutera Bayu," jelas Bintang
Megantara, membuat Patih Abadi Selaksa tersentak kaget
"Orang luar? Siapa,
Raden?" tanya Patih Abadi Selaksa dengan keterkejutan yang semakin bertambah.
"Menurut telik sandiku,
orang itu bernama Gandrawara," tambah Permaisuri Citra Laras.
"Gandrawara?" ulang
Patih Abadi Selaksa.
Mata bekas patih ini
menerawang pada langit-langit penjara sepertinya, dia tengah mengingat-ingat
nama yang barusan diulanginya.
"Apakah telik sandimu
memberitahukan nama lain dari Gandrawara?" tanya Patih Abadi Selaksa lagi.
"Ya, Paman. Nama lain
dari Gandrawara adalah Kelabang Hitam," tukas Bintang Megantara memberi
tahu.
"Kelabang Hitam?"
wajah Patih Abadi Selaksa semakin pucat pasi, mendengar nama Kelabang Hitam
disebut Bintang Megantara. "Bencana.... Bencana besar akan melanda
Kerajaan Sutera Bayu."
Tak terdengar sepatah kata pun
dari mulut Citra Laksa dan Bintang Megantara. Keduanya terdiam, karena merasa
tercekam ketakutan mendengar perkataan lelaki berusia enam puluh tahun lebih
ini. Kecemasan juga terasakan di hati Citra Laras dan Bintang Megantara, sesaat
membayangkan bencana yang dimaksudkan Patih Abadi Selaksa.
"Apakah Patih Sodrasena
sejalan dengan Ki Setyagara?" tanya Patih Abadi Selaksa memecahkan
keheningan.
"Ya, Paman, "jawab
Bintang Megantara. "Bahkan Paman Setyagara sepemikiran dengannya."
"Celaka tiga belas,"
gumam Patih Abadi Selaksa pelan. "Hati-hatilah kalian berdua," ujar
Patih Abadi Selaksa memperingatkan Citra Laras dan Bintang Megantara.
"Paman kenal, siapa Ki
Gandrawara itu?" tanya Bintang Megantara polos.
Patih Abadi Selaksa
menganggukkan kepa-
la.
"Dia salah satu tokoh
golongan hitam yang
cukup sakti dan memiliki ilmu
sihir yang ditakuti, apalagi lawan," jelas Patih Abadi Selaksa.
"Oh...!" keluhan
tertahan terdengar dari mulut Citra Laras.
"Mulai saat ini,
berhati-hatilah kalian berkata, bercakap, dan berbuat. Dan bersatulah kalian
dengan orang-orang-sekitar istana yang kesetiaannya dapat dipercaya," kata
Patih Abadi Selaksa memberi nasihat dengan kecemasan luar biasa.
"Baik, Ki," sambut
Citra Laras.
"Doakan saja,
Paman," Bintang Megantara menyentuh tangan Patih Abadi Selaksa dengan
perasaan haru yang menyeruak. Karena ikut merasakan kecemasan, lelaki tua yang
berambut hitam tersanggul di atas malah meremas jemari tangan Raden Megantara.
"Seharusnya kau yang
menggantikan kedudukan ayahandamu, Raden," tukas Patih Abadi Selaksa
parau.
Air bening tiba-tiba saja
merembas dari kelopak mata Patih Abadi Selaksa yang terpejam. Baru kali ini
selama puluhan tahun dia mampu menangis.
"Sudahlah, Ki. Bila
saatnya nanti, Jika sang Pencipta makhluk hidup menginginkan anakku menjadi
raja, maka cita-cita yang samasama kita inginkan akan terwujud," desah
Citra Laras, mencoba menggugah keharuan yang tercipta.
"Semoga begitu, Tuan
Putri. Dan semoga ada tokoh sakti yang dikirim sang Pencipta untuk Kerajaan
Sutera Bayu, agar bisa menandingi kesaktian Kelabang Hitam yang salah jalan.
Juga, menghapuskan rencana persembahan gila itu," balas Patih Abadi
Selaksa dengan mata tak lepas menatap wajah tampan Bintang Megantara.
"Semoga begitu,
Paman," sambut Bintang Megantara.
Patih Abadi Selaksa tak
menanggapi sambutan Bintang Megantra. Di matanya yang merebak terlintas
gambaran kekacauan yang akan terjadi di Kerajaan Sutera Bayu, akibat masuknya
orang luar yang memiliki kesaktian tinggi. Seorang tokoh golongan hitam yang
berjuluk Kelabang Hitam!
"Hati-hatilah kalian.
Terutama kau, Raden," nasihat Patih Abadi Selaksa lagi.
"Baik, Paman," jawab
Bintang Megantara. "Aku akan selalu mengingat segala peringatan yang kau
berikan."
Patih Abadi Selaksa
menganggukkan kepala mendengar ucapan putra tunggal Prabu Mulya Dewantara.
"Tuan Putri, dan kau
Raden. Kembalilah kalian ke istana. Jagalah hati Ki Setyagara. Jangan sampai
dia tak senang kalian berlama-lama di tempat ini," pinta Patih Abadi
Selaksa dengan tatapan mata berganti-ganti memandang wajah Citra Laras dan
Bintang Megantara.
"Baik, Ki. Kami kembali
sekarang," ujar Citra Laras memenuhi permintaan bekas Patih Kerajaan
Sutera Bayu.
"Aku pamit, Paman,"
ujar Bintang Megantara. Kemudian dengan langkah perlahan, kakinya bergerak
menjajari langkah Citra Laras.
***
Matahari pagi yang baru saja
muncul di langit kotaraja membiaskan kehangatan bagi seluruh makhluk yang
berada di atas bumi. Kehangatan itu juga menyeruak masuk ke dalam Istana Sutera
Bayu, sampai ke dalam kamar pribadi Citra Laras yang tengah berbincang-bincang
bersama putranya, Bintang Megantara. "Nanti malam purnama akan muncul, Bu.
Apakah Paman Setyagara akan melaksanakan acara persembahan itu?" tanya
Bintang Megantara.
"Kelihatannya begitu,
Bintang," jawab Citra Laras. "Sekarang ini, dia telah mengumpulkan
orang kepercayaannya di ruang pertemuan sana. Pasti Adi Setyagara tengah
memberikan tugas pada orang-orangnya, untuk mencari sesaji persembahan nanti
malam. Entah, apa bentuk sesaji yang dimaksudkan? Ki Parawenang belum memberi
kabar padaku," jelas Citra Laras, menyebut nama pejabat tinggi Kerajaan
Sutera Bayu. Ki Parawenang setelah mengangkatnya Prabu Mulya Dewantara, memang
diangkat sebagai penasihat kerajaan.
"Ki Parawenang?"
ulang Bintang Meganta-ra.
Jelas anak muda itu terkejut,
karena lelaki
berusia lima puluh tahun itu
selama ini selalu dilihatnya berada di samping Ki Sodrasena, patih yang
menggantikan kedudukan Patih Abadi Selaksa.
"Ya. Ki Parawenang.
Memangnya kenapa, Bintang?" tanya Citra Laras, begitu melihat raut wajah
putranya seperti tak senang mendengar nama Ki Parawenang disebut-sebut
"Oh! Maafkan aku, Bu.
Selama ini aku mencurigainya sebagai pengikut Paman Setyagara yang setia
mendukung acara persembahan itu," kilah Bintang Megantara.
"Tidak, Anakku. Ki
Parawenang sangat setia pada mendiang ayahmu. Dan tentunya, juga pada kita dan
Patih Abadi Selaksa. Sengaja dia kusuruh bersikap baik pada Paman Setyagara dan
Patih Sodrasena, dan berpura-pura mendukung rencana sesat itu. Padahal, sesungguhnya
Ki Parawenang hanya kutugasi menyelidiki setiap rencana mereka yang didukung si
Kelabang Hitam. Ibumu mempercayai Ki Parawenang sepenuhnya. Dan kuharap, kau
pun begitu, Bintang," tutur Citra Laras.
"Tentu saja, Bu,"
jawab Bintang Megantara tegas. "Mana mungkin aku tidak mempercayai orang
yang telah diberi kepercayaan oleh ibunya."
"Syukurlah," desah
Citra Laras, seraya memeluk tubuh putra satu-satunya. "Semoga saja Ki
Parawenang bisa mengetahui, bila suatu saat Paman Setyagara berhajat menyingkirkan
kita. Dan mudah-mudahan kita akan segera menyelamatkan diri dari kelaliman raja
pengganti ayahmu, Bintang."
"Kuharap hal itu tidak
terjadi, Bu. Ah! Andai saja dulu aku menuruti kata-kata ayah untuk
bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu bela diri, mungkin akan dapat melindungi
Ibu," keluh Bintang Megantara menyalahi dirinya. "Sekarang, kebisaan
yang kumiliki hanya sedikit Aku ragu, apakah akan mampu menyelamatkan
Ibu."
"Kita akan sama-sama
berusaha menyelamatkan diri, Bintang. Jika hal itu benar-benar terjadi,"
kilah Citra Laras, mencoba menenangkan hati anaknya.
***
Sementara itu di tempat lain,
tepatnya di ruang pertemuan istana, nampak Prabu Setyagara yang didampingi
Patih Sodrasena tengah membicarakan sesuatu yang teramat penting.
"Sampai menjelang sore
nanti, kuharapkan kalian sudah dapat membawa sepasang anak lelaki dan perempuan
yang berusia sepuluh tahun untuk dipersembahkan pada dewa keselamatan dan
kesejahteraan di Bukit Kelabang. Kalian mengerti?" ujar Prabu Setyagara
keras.
"Mengerti, Yang
Mulia," jawab seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Lelaki gagah berkedudukan
sebagai punggawa tak lain Guridala. Laki-laki tinggi besar itu membawahi
sepuluh orang prajurit terlatih, untuk mendapatkan sepasang bocah yang dimaksudkan
Prabu Setyagara.
"Pergilah kalian ke desa
yang terdekat dari kotaraja ini. Temui kepala desa setempat, dan sampaikan apa
yang kutitahkan," ujar Prabu Setyagara lagi.
"Hamba akan memenuhi
segala titah Yang Mulia," sahut Punggawa Guridala dengan kepala tertunduk
memberi hormat
"Berangkatlah
kalian," kata Prabu Setyagara, memerintah. "Ingat! Jika gagal, maka
kepala kalianlah yang menjadi penggantinya!" "Hamba berangkat, Yang
Mulia," Punggawa Guridaila menjura sebelum meninggalkan ruangan pertemuan.
***
Siang di Desa Gandaras terasa
begitu panas. Matahari yang berdiri tegak di atas ubunubun, memancarkan
sinarnya yang panas menyengat. Di beberapa tempat di Desa Gandaras memang
banyak pohon berdaun lebat. Namun tetap tak kuasa mengurangi panasnya sinar
matahari yang tercurah.
Bias sinar matahari yang cukup
menyengat itu dirasakan juga oleh sebelah orang penunggang kuda yang bergerak
menuju ke arah selatan Desa Gandaras. Mereka tak lain utusan Prabu Setyagara
yang dipimpin Punggawa Guridala. Keseluruh penunggang kuda itu rata-rata
menghunus sebilah pedang yang menggantung di pinggang. Jelas, rombongan itu
adalah pasukan berpedang yang dimiliki Kerajaan Sutera Bayu.
"Itu pasti kediaman
Kepala Desa Gandaras," tunjuk Punggawa Guridala pada bangunan kokoh yang
berhalaman cukup luas.
"Rasanya memang benar,
Kakang Guridala," sambut seorang prajurit yang lain.
"Hiyaaa...!"
Punggawa Guridala segera saja
menggebah kuda tunggangannya, agar segera sampai di kediaman Kepala Desa
Gandaras.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Kesepuluh penunggang kuda
pengikut Punggawa Guridala pun sama-sama menggebah tali kekang tunggangannya.
Sementara itu, beberapa orang
yang bertugas menjaga kediaman Kepala Desa Gandaras seperti bingung menyaksikan
sebelas ekor kuda yang berlari cepat ke arah kediaman majikannya. Apalagi
setelah kuda-kuda itu mendekat. Kini mereka tahu kalau pengendara kuda itu
adalah orang-orang dari Kerajaan Sutera Bayu. Maka seketika itu juga penjaga
kediaman Kepala Desa Gandaras menjura hormat
"Selamat datang,
Tuan-tuan. Ada yang dapat kami bantu?" sambut lelaki penjaga kediaman
Kepala Desa Gandaras yang bertubuh tegap dan berkumis tebal melintang.
Tanpa menjawab pertanyaan itu,
Punggawa Guridala segera melompat dari atas kudanya. Indah sekali gerakannya,
pertanda ilmunya bisa diandalkan.
"Hop!" Jligkh!
Ringan sekali kaki Punggawa
Guridala mendarat di tanah.
"Inikah kediaman kepala
desa Gandaras?" tanya Punggawa Guridala agak ketus.
"Benar, Tuan," jawab
penjaga yang bertubuh sedang, di dekat lelaki utusan Gusti Prabu Setyagara ini
"Apakah tuan-tuan ingin berjumpa Ki Amertagi?"
"Ya. Antar aku untuk
menemuinya," jawab Punggawa Guridala pongah. "Baik, Tuan. Mari."
Lelaki penjaga bertubuh sedang
itu mempersilakan Punggawa Guridala dan rombongan untuk masuk ke kediaman Ki
Amertagi.
"Silakan duduk di sini,
Tuan-tuan. Biar Ki Amertagi kupanggil untuk menghadap Tuantuan," lelaki
bertubuh sedang itu mempersilakan pada tamunya duduk di ruang tamu. Sementara,
dirinya cepat berlalu ke kamar pribadi Kepala Desa Gandaras.
Hanya sesaat lamanya Punggawa
Guridala dan rombongan menunggu, kini Ki Amertagi telah berdiri di hadapan
mereka dengan sikap gugup dan kaku.
"Oh, Tuan Punggawa. Ada
perlu apakah kiranya, hingga Tuan berkenan mengunjungi kediaman kami yang buruk
ini?" tanya Ki Amertagi dengan wajah takut-takut
"Aku ingin meminta
bantuanmu, Ki!" sahut Punggawa Guridala langsung.
"Bantuan apa, Tuan? Jika
mampu pasti akan kupenuhi," sahut Kepala Desa Gadaras ini sambil sesekali
menundukkan kepala.
"Carikan aku sepasang
bocah berusia sepuluh tahun," cetus Punggawa Guridala tanpa basa-basi
"Sepasang bocah umur
sepuluh tahun? Oh! Aku tak mengerti maksud Tuan Punggawa," desah Ki
Amertagi, betul-betul tak mengerti ucapan Punggawa Guridala.
Utusan Prabu Setyagara pun
segera menjelaskan ketidakmengertian Kepala Desa Gandaras ini. Terutama tentang
maksud persembahan yang akan dilaksanakan setiap bulan purnama, sepanjang
seribu bulan purnama. Yakni, setelah mendapatkan seribu pasang bocah usia
sepuluh tahun.
"Setelah desa ini
menyediakan sepasang bocah berusia sepuluh tahun, desa-desa lain pun juga harus
menyediakan bocah-bocah itu selama sepuluh purnama berturut-turut," jelas
Punggawa Guridala.
"Oh...!" Ki Amertagi
berseru tertahan setelah mendengar penjelasan Punggawa Guridala.
"Kau bersedia mencarikan
sepasang bocah itu, Ki?!" tanya Punggawa Guridala, terdengar membentak.
Ki Amertagi tidak segera
menjawab pertanyaan Punggawa Guridala. Wajahnya nampak pias. Sungguh dia tak
tahu, harus menjawab apa. "Kau cari mampus kalau begitu, Ki!" sentak
Punggawa Guridala menambah kebingungan Ke-
pala Desa Gandaras ini.
"Oh, Tuhan.... Dosa apa
yang telah kulakukan hingga kau menurunkan cobaan seberat ini?" keluh Ki
Amertagi dalam hati.
Tubuh laki-laki setengah baya
ini tiba-tiba seperti terserang demam. Menggigil, bahkan lututnya seperti tak
mampu menahan berat tubuhnya. Srat! "Oh...!"
Kepala Desa Gandaras memekik
perlahan menyaksikan punggawa meloloskan pedang dari warangka. Getaran di
sekujur tubuhnya semakin membuat goyah lelaki Kepala Desa Gandaras dalam
berdirinya.
"Cepat katakan! Bersedia
atau tidak? Atau kupenggal sekarang juga kepalamu?" sentak Punggawa
Guridala, membuat hati Ki Amertagi semakin kecut
"Baik. Baik, Tuan
Punggawa," jawab Ki Amertagi terpaksa.
"Ha ha ha...! Punggawa
Guridala tertawa. Tawa Punggawa Guridala yang cukup ke-
ras, membuat istri Ki Amertagi
muncul dari ruangan dalam. Dan wanita itu langsung terkejut menyaksikan punggawa
dari Kerajaan Sutera Bayu itu tengah menepuk-nepuk dada suaminya dengan sedang
dimiringkan.
"Kakang Amertagi.... Ada
apa ini?" tanya Nyi Riwangni dengan langkah tergesa-gesa menghampiri
suaminya.
"Oh, Nyi. Eh.... Tidak
apa-apa," jawab Ki Amertagi mendapati kemunculan istrinya.
"Kau tenanglah, Nyi! Raja
Sutera Bayu membutuhkan jasa suamimu. Beruntunglah kau menjadi suaminya,"
tukas Punggawa Kerajaan Sutera Bayu. "Ayo kita berangkat, Ki! Tunjukkan
rumah pendudukmu yang memiliki anak usia sepuluh tahun. Kalau tidak ada,
kepalamu dan kepala istrimu akan kubawa ke hadapan sang Prabu Setyagara."
"Kakang Amertagi "
Nyi Riwangni memburu tubuh
suaminya yang didorong ke depan dengan senjata telanjang milik Punggawa
Guridala.
"Kau tunggu saja di sini,
Perempuan Tua! Suamimu akan kukembalikan setelah menunaikan tugasnya!"
sentak prajurit yang berada di depan Nyi Riwangni.
Perempuan berpakaian biru muda
yang berusia lebih kurang empat puluh tahun segera melangkah mundur ketika
mendapatkan tudingan dari salah seorang prajurit kerajaan.
"Kakang Amerta...,"
hanya ucapan itu yang mengiringi kepergian suaminya bersama punggawa kerajaan
dan sepuluh prajurit
***
Bergetar hati Ki Amertagi
ketika mendatangi rumah yang berdinding bilik serta beratap rumbia. Rumah itu
memang tempat tinggal suami-istri Jagil dan Romanah. Mereka memiliki anak
lelaki dan perempuan berusia sepuluh tahun.
"Apakah Ki Jagil dan
istrinya bersedia menyerahkan anak kembarnya pada raja?" gumam hati Ki
Amertagi dalam hati. Sementara, langkahnya terus terayun mendekati rumah Ki
Jagil.
"Tuan Punggawa,"
panggil Ki Amertagi pada Punggawa Guridala.
"Hm.... Ada apa,
Ki?" tanya Punggawa Gu-
ridala.
"Kalau boleh, aku minta
sedikit waktu un-
tuk membujuk orangtua dari anak
kembar yang akan kau serahkan pada Prabu Setyagara," pinta Ki Amertagi
hati-hati.
"Tentu saja, Ki.
Lakukanlah dan kau harus berhasil," jawab Punggawa Guridala, menyetujui.
Mendengar jawaban Punggawa
Kerajaan Sutera Bayu, Ki Amertagi segera melanjutkan langkahnya memasuki
pekarangan rumah Ki Jagil.
Sementara Ki Jagil dan
istrinya yang kebetulan hendak keluar rumah terkejut menyaksikan kedatangan
kepala desanya yang didampingi belasan lelaki berpakaian seragam Kerajaan
Sutera Bayu. Di benak suami-istri itu seketika timbul pertanyaan-pertanyaan
buruk yang akan menimpa keluarganya.
"Selamat datang di gubuk
kami, Ki Amertagi dan Tuan-tuan sekalian," sambut Ki Jagil sebisa-bisanya.
Padahal, hatinya dilanda kebingungan yang teramat sangat, atas kedatangan
Kepala Desa Gandaras dan orang-orang kerajaan itu.
"Ki Jagil. Aku ada
keperluan denganmu. Juga dengan kau, Nyi," ucap Ki Amertagi seraya membawa
tubuh Ki Jagi menjauhi Punggawa Guridala.
Nyi Romanah juga melangkahkan
kakinya mengikuti ajakan Kepala Desa Gandaras itu. "Sebelumnya aku minta
maaf pada kalian berdua," Ki Amertagi membuka pembicaraan ketika jaraknya
sudah agak jauh dengan orang-orang kerajaan yang diutus Prabu Setyagara.
"Ah! Kenapa meski meminta
maaf segala, Ki," kilah Ki Jagil dengan benak semakin banyak dihantui
pertanyaan yang bukan-bukan.
"Permintaan maaf itu
memang harus kusampaikan pada kalian. Karena..., ah! Kuharap kau bisa
memakluminya, Ki Jagil dan juga kau, Nyi Romanah," ucap Ki Amertagi
semakin membuat bingung sepasang suami-istri yang dikunjunginya. Terlebih,
ketika Ki Jagil dan istrinya menyaksikan wajah kepala desanya yang seperti
ketakutan dan begitu pucat
"Katakanlah, Ki. Apa yang
kau butuhkan dari kami?" tanya Nyi Romanah mendahului suara Ki Jagil yang
hendak keluar.
Ki Amertagi tak segera
menjawab. Hanya ditatapnya wajah perempuan berusia tiga puluh tahun itu dengan
sorot mata iba.
"Katakan saja, Ki.
Mudah-mudahan kami dapat membantu kebutuhanmu," tutur Ki Jagil Kemudian Ki
Amertagi kemudian menceritakan apa yang diinginkan Prabu Setyagara yang diketahuinya
melalui mulut Punggawa Guridala. Diceritakannya juga maksud dan tujuan
persembahan yang akan dilaksanakan Prabu Setyagara pada setiap bulan purnama.
"Begitulah, Ki dan kau,
Nyi. Maafkan, karena aku tak kuasa menentang keinginan gila itu. Hampir saja
punggawa kerajaan itu memenggal kepalaku kalau keinginan Prabu Setyagara tak
kuturuti," ucap Ki Amertagi mengakhiri penjelasannya.
Ki Jagil dan Nyi Romanah tentu
saja terkejut mendengar cerita kepala desanya.
"Permintaan gila!"
rutuk Ki Jagil dengan tatapan mata yang membara memandang wajah Ki Amertagi.
Kepala Desa Gandaras tak kuasa
membalas tatapan kemarahan miliki Ki Jagil. Namun dimakluminya kemarahan itu.
"Kau juga gila, Ki
Amertagi!" maki Ki Jagil keras. "Kalau kau menyayangi kepalamu, kami
juga menyayangi anak kembar kami!" Ki Jagil keras.
Hardikan Ki Jagi membuat
Punggawa Guridala dan prajurit pendampingnya menoleh. Namun, mereka masih
memberi kepercayaan pada Ki Amertagi untuk menangani kemarahan Ki Jagi.
"Pergi kau dari sini, Ki! Kami tak bisa memenuhi permintaan gila
itu!" bentak Ki Jagil seraya mendorong tubuh Kepala Desa Gandaras.
Padahal, Ki Amertagi selalu bijaksana dan welas asih pada penduduk desa yang dipimpinnya.
Karena sifatnya itulah, ketika tubuhnya didorong
kasar oleh Ki Jagil dia tak
melawan.
"Tolonglah aku, Ki
Jagil," tukas Ki Amertagi meratap.
"Gila! Kau juga gila, Ki
Amertagi! Pergi kau dari sini!" bentak Ki Jagil bertambah keras. Dan tiba-tiba
saja tangannya melayang ke arah Ki Amertagi.
Bluk! "Akh!"
Ki Amertagi memekik tertahan
ketika mendapat pukulan keras pada bagian wajahnya. Tubuhnya terhuyung ke
belakang sejauh tiga langkah. Darah nampak mengucur dari bibirnya yang pecah.
Punggawa Guridala yang
menyaksikan kejadian itu seketika meloncat cepat menghampiri Ki Jagil yang
telah memukul wajah Kepala Desa Gandaras. Langsung tangannya berkelebat cepat,
ke arah wajah Ki Jagil.
Plak! Plak!
Tangan kanan Punggawa Guridala
langsung menghajar wajah Ki Jagil. Akibatnya lelaki berpakaian coklat itu
terhuyung dan jatuh keras di tanah halaman rumahnya sendiri.
"Kurang ajar sekali kau,
Bangsat!" maki Punggawa Guridala geram. "Tak tahukah dengan siapa
berhadapan sekarang!"
"Kakang"
Romanah memburu tubuh Ki
Jagil. Wajahnya terlihat membiru dan bibirnya pecah meneteskan darah, akibat
dihajar tangan punggawa itu.
"Cepat, katakan! Di mana
anak kembarmu itu, heh! Aku harus segera kembali ke istana!" bentak
Punggawa Guridala geram.
Ki Jagil dan Nyi Romanah tak
menjawab pertanyaan utusan Prabu Setyagara ini. Malah dengan berani, sepasang
mata suami-istri menatap tajam penuh dendam pada Punggawa Guridala.
"Kalau kau tak bersedia
menunjukkan, biar kugeledah rumahmu!" dengus Punggawa Guridala seraya
melangkah.
Namun baru tiga langkah kaki
itu terayun, Nyi Romanah telah mendahului dan menghalangi Punggawa Guridala di
ambang pintu.
"Jangan kau ambil
anakku!" cegah Nyi Romanah keras.
"Hm...," Punggawa
Guridala mendengus kesal melihat sikap perempuan berusia tiga puluh tahun yang
menghalangi niatnya. Dan seketika itu juga....
Srat!
Punggawa Guridala langsung
mencabut pedangnya. Lalu seketika itu juga dibabatkan ke arah Nyi Romanah.
Sehingga....
Bret! "Aaa!"
Nyi Romanah terpekik keras
ketika ujung pedang milik Punggawa Guridala menebas perutnya. Tubuh perempuan
itu seketika ambruk ke tanah dengan luka menganga lebar pada bagian perut. Isi
perut dan darah langsung berserakan di tanah.
"Nyi...!" teriak Ki
Jagil yang menyaksikan, istrinya tengah menggelepar meregang nyawa. Tak lama,
tubuh perempuan itu mengejang kaku dan tewas!
"Kau?! Punggawa
keparat!" maki Ki Jagil
tak kuasa membendung
kemarahannya.
Tubuh lelaki berpakaian coklat
itu seketika melesat dengan tangan terkepal hendak menghajar Punggawa Guridala
yang telah membunuh istrinya.
"Hiyaaa...!"
Punggawa Guridala yang melihat
Ki Jagil hendak menyerang, tanpa ada belas kasihan segera menghunus pedangnya
ke depan. Lalu, pedangnya dibabatkan ke perut Ki Jagi yang meluruk ke arahnya.
"Hih!" Brets!
"Aaakh...!"
3
Halaman rumah penduduk Desa
Gandaras ini seketika dikotori lumuran darah pemiliknya yang tertebas pedang
Punggawa Guridala pada perutnya. Sementara, Kepala Desa Gandaras ini tak mampu
berbuat banyak. Dia hanya bisa menyaksikan kematian Ki Jagil dan Nyi Romanah
dengan hati sulit digambarkan.
"Biar kugeledah rumah
ini!" dengus Punggawa Guridala, setelah membersihkan pedangnya dari bercak
darah, menggunakan pakaian yang melekat di tubuh Nyi Romanah.
"Aaa...!"
"Ibu...!"
Dua jerit ketakutan seketika
terdengar, manakala pintu rumah Ki Jagil dibuka dengan kasar oleh Punggawa
Guridala. Seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki berusia sepuluh
tahun ini tak lain anak kembar Ki Jagil. Mereka terlihat berdiri ketakutan di
sudut ruangan.
"Prajurit! Cepat angkat
kedua anak itu!" perintah Punggawa Guridala pada prajuritprajurit kerajaan
yang semenjak tadi hanya diam saja.
Tiga orang prajurit terdepan
seketika itu juga bergerak cepat memasuki rumah kediaman Ki Jagil. Kemudian
dengan sikap kasar tubuh anak kembar Ki Jagil ditenteng keluar rumah.
"Tidak mau!"
"Tidak mau! Ibu....
Ayah...!"
Anak kembar Ki Jagil
meronta-ronta dalam dekapan prajurit-prajurit Kerajaan Sutera Bayu. Jeritan
mereka begitu menyayat, membuat Ki Amertagi tak kuasa menyaksikannya. Kepala
desa berusia lima puluh tahun itu hanya menundukkan kepala saja.
"Kau urus-mayat-mayat
itu, Ki!" perintah Punggawa Guridala kasar, seraya melompat ke punggung
kudanya. "Beruntung kau tak kujadikan mayat juga. Namun purnama depan,
jika tak bisa menyediakan persembahan, maka nyawamu pun akan melayang seperti
nyawa lelaki dan perempuan itu!"
Kepala Desa Gandaras tak
meladeni ucapan itu. Hanya ditatapinya kepergian punggawa dan prajurit kerajaan
yang membawa anak kembar Ki Jagil untuk dijadikan persembahan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Debu mengepul di udara, begitu
kuda tunggangan Punggawa Guridala dan prajurit Kerajaan Sutera Bayu berlalu
dari tempat itu.
***
Sementara dari tikungan jalan,
muncul sepasang anak muda berpakaian warna kuning keemasan dan warna jingga.
Mereka masih sempat pula melihat rombongan prajurit yang membawa dua bocah
meninggalkan tempat ini.
"Hm.... Seperti punggawa
dan prajuritprajurit kerajaan, Kakang Jaka," kata seorang dara cantik
jelita yang berambut panjang dikepang belakang.
Memang, pemuda tampan itu tak
lain Jaka. Di kalangan dunia persilatan, dia terkenal berjuluk Raja Petir.
Sedangkan gadis teman intimnya tak lain si Dewi Payung Emas.
"Sepertinya begitu,
Mayang," jawab Raja Petir. "Tapi kenapa mereka membawa serta dua
orang anak kecil, Kakang?" tanya Mayang tak sadar.
"Kau ini aneh,
Mayang," kilah Jaka menyadarkan kekasihnya. "Mana mungkin aku tahu?
Lha, memangnya kita saja yang baru tiba di tempat ini."
"Oh, iya. Maaf, aku
memang pelupa," kata Mayang.
Jaka dan Mayang kemudian
sama-sama kembali berbalik. Sementara punggawa dan prajurit kerajaan itu
bergerak semakin jauh dan menghilang di tikungan jalan.
"Kakang? Kau lihat di depan
sana. Di rumah bambu itu," tunjuk Mayang pada salah satu rumah penduduk
Desa Gandaras yang sudah dikerumuni orang. "Ada kejadian apa di
sana?"
"Pertanyaanmu kembali
bisa kujawab, Mayang. Namun.... Ayo kita ke sana," ajak Jaka seraya
menambah kecepatan langkahnya.
Gadis cantik berpakaian jingga
itu pun mengikuti langkah tokoh muda digdaya yang berjuluk Raja Petir.
Begitu mendekati rumah bambu
yang dikerumuni orang banyak, Jaka dan Mayang seketika saja dapat menduga kalau
baru saja terjadi pembunuhan.
Di halaman rumah itu nampak
tergeletak dua mayat lelaki dan perempuan. Bagian dada dan perut mereka tampak
luka cukup dalam dan besar yang masih mengeluarkan darah.
Jaka segera saja mendekati
seorang lelaki berusia setengah baya.
"Siapa yang melakukan
pembunuhan itu, Ki," tanya Jaka, dengan suara dibuat selembut dan sesopan
mungkin.
Lelaki yang berkumis putih itu
menoleh ke arah Jaka.
"Eh! Anu..., anu.
Den," agak tergeragap lelaki berpakaian hitam itu.
Jaka segera saja mengembangkan
senyumnya ketika melihat kegugupan lelaki tua yang ditanyai.
"Kisanak tak perlu takut
Aku hanya sekadar bertanya saja," kata Jaka perlahan.
Lelaki tua berkumis putih itu
menatap Jaka dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dan nampaknya, dia terkesima melihat
penampilan Jaka yang begitu rapi dan berpakaian layaknya anak seorang saudagar
kaya.
"Anu, Den.... Mereka
utusan raja," jawab lelaki itu takut-takut
"Utusan raja?" ulang
Jaka dalam hati. "Apakah anak-anak kecil itu...?"
Jaka tak meneruskan dugaannya.
Kini matanya sibuk menyaksikan seorang lelaki berpakaian sutera putih bersih.
Dia tengah memerintah orang-orang untuk membantu mengurus mayat suami-istri
yang bernama Ki Jagil dan Nyi Romanah itu.
Karena Jaka dan Mayang merasa
sebagai pendatang di Desa Gandaras, maka hanya menyaksikan saja penduduk desa
yang bergotongroyong menguburkan dua mayat itu dari kejauhan. Namun tak lama
kedua pendekar muda itu segera menghampiri lelaki yang tak lain Ki Amertagi,
Kepala Desa Gandaras yang tengah melangkah meninggalkan upacara penguburan.
"Maaf, Kisanak. Kami
mengganggu sebentar," ucap Jaka sopan seraya menjajari langkah lunglai
Kepala Desa Gandaras.
Ki Amertagi seketika
menghentikan langkahnya. Dan tatapan kecurigaan pun langsung dilemparkan ke
wajah Jaka.
"Namaku Jaka Sembada. Dan
kawanku Mayang Sutera," kata Jaka memperkenalkan diri dengan sikap ramah.
"Aku Ki Amertagi kepala
desa ini," ujar Kepala Desa Gandaras memperkenalkan diri pula. Wajahnya
menyiratkan ketidaksenangan. "Ada perlu apa Kisanak berdua, hingga
mencegat perjalananku?"
"Kami hanya ingin tahu,
siapa pembunuh dua orang yang baru saja dimakamkan itu. Dan juga tentang
punggawa serta prajurit kerajaan yang membawa dua orang bocah kecil?"
tanya Jaka memancing jawaban Ki Amertagi.
"Untuk apa kau bertanya
seperti itu?" tanya Ki Amertagi tanpa menjawab pertanyaan Jaka.
"Hanya sekadar ingin
tahu, Ki Amertagi," jawab Jaka sabar.
"Percuma."
Ki Amertagi segera melangkah
cepat meninggalkan Jaka dan Mayang.
Mayang dan Jaka saling
berpandangan setelah melihat sikap Ki Amertagi. Kemudian mereka sama-sama
saling menganggukkan kepala, dan cepat
mengejar Ki Amertagi.
"Ki," panggil Jaka
setelah langkahnya kembali sejajar dengan langkah Kepala Desa Gandaras ini.
"Dengan adanya pembunuhan terhadap dua orang yang baru saja dimakamkan,
itu berarti desa ini tengah terganggu ketenteramannya. Dan kalau boleh
kusimpulkan, Ki Amertagi sebagai kepala desa justru ingin berbuat sesuatu yang
terbaik untuk menangani masalah ini."
"Hhh...." Ki
Amertagi menarik napas berat dengan langkah kaki terus terayun.
"Sebenarnya apa yang
tengah terjadi di sini, Ki?" desak Jaka penasaran.
Sementara, Mayang dengan sabar
menanti jawaban lelaki berpakaian putih ini.
"Percuma saja bila ingin
tahu persoalan yang terjadi di desa ini, Jaka," jawab Ki Amertagi pelan.
"Kau tak akan mampu berbuat sesuatu untuk menangani persoalannya."
"Sedemikian
beratnyakah?" selidik Jaka lebih jauh.
"Hm...," Ki Amertagi
menggumam tak jelas. "Aku sendiri sebagai Kepala Desa Gandaras hanya bisa
pasrah menghadapi persoalan yang teramat berat ini. Entah, dosa apa yang telah
kulakukan hingga sang Pencipta Alam ini mengazabku dengan persoalan ini."
"Kalau kami ingin
meringankan bebanmu, apakah kau memperkenankannya, Ki?" kali ini Mayang
yang melemparkan pertanyaan pada Kepala Desa Gandaras.
Ki Amertagi menatap lurus ke
wajah Mayang. Sepertinya, dia tak percaya mendengar pertanyaan yang baru saja
dilontarkan gadis cantik berambut panjang dikepang ke belakang ini.
"Apakah yang bisa kalian
lakukan untuk menghalangi keinginan Prabu Setyagara?" tukas Ki Amertagi,
balik bertanya.
"Jadi persoalan yang
tengah kau hadapi, berhubungan langsung dengan kerajaan, Ki?"
Mayang memang tak menjawab
pertanyaan Kepala Desa Gandaras ini. Pertanyaan yang barusan dilontarkan hanya
karena merasa senang dapat mengorek keterangan dari mulut Ki Amertagi.
"Ya Begitulah,"
desah Ki Amertagi.
"Kalau boleh tahu, apa
yang telah diperbuat lelaki-lelaki berkuda yang mengenakan pakaian punggawa dan
prajurit kerajaan itu, Ki?" selidik Mayang agak berani.
"Sudahlah, Nisanak.
Lupakan saja keingintahuanmu. Kalau kalian kuberitahu, kau tak akan dapat
berbuat banyak untuk dapat menyelamatkan desa ini, dan desa-desa di wilayah kekuasaan
Kerajaan Sutera Bayu. Lebih baik, pergilah dari desa ini. Dan, jangan cari
penyakit dengan mencampuri urusan yang mengandung bahaya besar."
Kata-kata yang diucapkan Ki
Amertagi, sesungguhnya membuat hati Mayang tersinggung. Wajah gadis cantik
kekasih Raja Petir ini nampak bersemu merah, mendengar dirinya dan kekasihnya
direndahkan seperti itu.
"Ki," panggil
Mayang. "Maaf, bukannya kami bermaksud sombong. Ketahuilah, Ki. Sahabatku
yang bernama Jaka ini di kalangan rimba persilatan dikenal dengan julukan Raja
Petir."
Kata-kata itu sengaja
dilontarkan Mayang, untuk menutupi kekesalannya. Maka seketika itu juga Ki
Amertagi melempar pandangan ke arah wajah Jaka. Kemudian tatapannya merambat ke
sekujur tubuh lelaki gagah dan tampan ini.
Sebenarnya bukan baru kali ini
Ki Amertagi mendengar julukan Raja Petir yang
tersohor itu. Begitu juga kabar sepak terjang Raja Petir yang selalu
membela orang-orang lemah dan mengusir segala bentuk kebatilan. Tapi untuknya
bertatap muka secara langsung? Sungguh Ki Amertagi tak pernah membayangkannya.
"Kau.... Kau Ra...?"
kata Ki Amertagi tergagap, seraya membungkuk hormat
"Ah, Ki. Jangan
memanggilku dengan julukan itu," selak Jaka melihat kegugupan Kepala Desa
Gandaras ini. "Bukan maksud sahabatku menyombongkan diriku. Dia hanya
ingin Ki Amertagi mempercayai kami untuk membantu kemelut yang terjadi di desa
ini."
Jaka segera mengulurkan
tangan, mengangkat bahu Ki Amertagi yang membungkuk.
"Maafkan aku. Raja
Petir," ujar Ki Amertagi setelah tegak kembali dengan wajah memerah.
"Sungguh aku tak bermaksud meremehkan kalian barusan." "Lupakan
saja persoalan itu, Ki. Yang pasti, kami senang kalau kau memberi izin untuk
ikut meringankan kemelut yang terjadi di desa ini," selak Mayang lemah
lembut
"Tentu saja, Mayang.
Tentu," jawab Ki Amertagi cepat
"Terima kasih, Ki,"
ucap Mayang. "Sebaiknya, kalian ikut saja ke rumahku.
Di sana, nanti kuceritakan
kejadian yang sebenarnya. Mari," ajak Ki Amertagi.
Langkah laki-laki setengah
baya itu terayun sedikit gagah. Dia menemukan kegembiraan karena ada orang lain
yang bersedia membantu meringankan bebannya. Sementara Raja Petir dan Dewi
Payung Emas tersenyum-senyum sambil melangkah mengiringi langkah kaki Ki
Amertagi.
***
"Kakang...!"
Kedatangan Ki Amertagi
disambut perempuan berusia empat puluh tahun dengan teriakan begitu penuh
kegembiraan. Perempuan berpakaian warna biru muda itu menghambur, kemudian
merangkul tubuh kepala desa ini.
"Syukur kau selamat,
Kakang...," ucap wanita yang tak lain Nyi Riwangni perlahan. Air mata
terlihat bergulir turun dari kelopak matanya.
"Sudahlah, Nyi. Kau
lihat, kita kedatangan tamu besar," ujar Ki Amertagi dengan tangan berusaha
melepaskan rangkulan istrinya.
Nyi Riwangni melepaskan
rangkulannya di tubuh Ki Amertagi. Kemudian tatapannya berpindah ke wajah
tampan Jaka dan wajah cantik Mayang.
"Selamat datang Kisanak
dan Nisanak," sambut Nyi Rawangni dengan kepala sedikit ditundukkan.
"Panggil saja Jaka, Nyi.
Dan sahabatku ini bernama Mayang," tukas Sembada memperkenalkan diri.
"Baik Jaka dan Mayang.
Mari silakan masuk," ujar Nyi Riwangni menyambut perkenalan Jaka.
Langkah perempuan berusia
empat puluhan tahun itu bergerak mendahului langkah Ki Amertagi.
"Mari, Jaka,
Mayang," ajak Ki Amertagi kemudian.
Jaka dan Mayang segera
melangkah mengikuti Ki Amertagi memasuki rumah yang megah dan terawat rapi.
"Silakan duduk,"
ujar Ki Amertagi sesampainya Jaka dan Mayang di ruang tamu.
Sepasang pendekar muda itu
segera duduk berdampingan. Sementara di seberang meja, duduk Ki Amertagi.
"Kami ingin secepatnya
mengetahui persoalan yang terjadi di desa ini. Paling tidak, agar bisa lebih
cepat mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu," Jaka membuka
pembicaraan. "Baik, Jaka," jawab Ki Amertagi menyetujui permintaan
Raja Petir
Tatapan lelaki Kepala Desa
Gandaras seketika terlempar ke pekarangan rumahnya yang banyak ditumbuhi pohon
jambe berduri. Kemudian dari mulutnya mengalir cerita tentang Prabu Setyagara
yang menginginkan seribu pasang bocah berusia sepuluh tahun untuk dijadikan
persembahan selama seribu purnama.
"Sepasang bocah yang
dilarikan punggawa dan prajurit-prajurit kerajaan yang kau lihat itu, adalah
anak kembar Ki Jagil yang tadi dikuburkan pendudukku. Dialah korban pertama
dari persembahan gila yang direncanakan Raja Sutera Bayu," tutur Ki
Amertagi, melanjutkan ceritanya.
"Sudah berapa lama Prabu
Setyagara menjabat sebagai raja?" tanya Mayang ingin tahu.
"Baru dua bulan
ini," jawab Ki Amertagi te-
gas.
"Baru dua bulan?
Hm...," Mayang mengu-
langi jawaban Ki Amertagi
diiringi gumam tak jelas. "Apakah Prabu Setyagara menduduki tampuk
kekuasaan dengan merebut secara kasar, atau
"
"Yang Mulia Prabu Mulya
Dewantara mangkat karena suatu penyakit aneh. Kabar penyakit aneh yang
diidapnya memang tersebar ke seluruh pelosok desa yang berada di wilayah kekuasaan
Kerajaan Sutera Bayu," selak Ki Amertagi.
"Apakah Prabu Mulya
Dewantara tak memiliki seorang putra mahkota?" selidik Mayang lagi.
"Punya. Usianya hampir....
Ah! Aku tak ta-
hu pasti. Mungkin sudah tujuh
belas tahunan," jawab Ki Amertagi.
"Kenapa tidak dia yang
menggantikan kedudukan ayahandanya?" tanya Jaka, memancing cerita Ki
Amertagi.
"Entahlah," jawab Ki
Amertagi. "Aneh," timpal Mayang.
"Lalu, apa hubungan
keluarga Prabu Setyagara dengan mendiang Prabu Mulya Dewantara?" tanya
Jaka lagi.
"Adik kandung,"
jawab Ki Amertagi tegas. "Sepertinya ada teka-teki di balik keinginan
Prabu Setyagara, Kakang,"
ucap Mayang pada kekasihnya.
"Apa teka-teki itu
menurutmu, Mayang?" tanya Jaka ingin bukti dari ucapan kekasihnya yang
juga dirasakannya.
"Pertama, mengenai
keanehan penyakit Prabu Mulya Dewantara. Kedua, mengenai persembahan gila yang
tak pernah terjadi semasa kepemimpinan Prabu Mulya Dewantara," jelas
Mayang gamblang.
"Kesimpulanmu?"
cecar Jaka.
"Kematian sang Prabu
Mulya Dewantara kuduga memang sudah direncanakan. Lewat perantara seorang tokoh
sakti, Prabu Mulya Dewantara disiksa melalui penyakit aneh itu. Dan rencana itu
didalangi Prabu Setyagara, adik kandungnya sendiri, yang juga menginginkan kedudukan
sebagai seorang raja. Dan persembahan gila itu kusimpulkan bukanlah untuk
memuja dewa keselamatan dan dewa kesejahteraan. Itu bohong! Jelas, itu hanya
dalih untuk mengelabui penduduk. Padahal, sesungguhnya persembahan itu ditujukan
untuk si tokoh yang membantu Prabu Setyagara dalam rangka menyempurnakan ilmuilmu
sesatnya," jelas Mayang panjang lebar.
Jaka tentu saja merasa kagum
mendengar kesimpulan cemerlang yang dipaparkan kekasihnya. Kesimpulan itu
sungguh sesuai dengan apa yang ada di benaknya.
Sementara itu Ki Amertagi
hanya melongo mendengar kesimpulan Mayang yang sama sekali tak terduga.
"Kakang...," panggil
Mayang mengejutkan Jaka dan Ki Amertagi. "Bukankah nanti malam purnama
akan muncul? Berarti...?"
"Acara persembahan itu
akan dilaksanakan nanti malam, Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.
Kepala Desa Gandaras
mengangguk lemah. "Oh," Mayang mendesah tertahan. "Sebaik-
nya kita ke kotaraja sekarang,
Kakang. Kita harus mengikuti ke mana Prabu Setyagara mengirim korban
persembahannya."
"Kau betul, Mayang.
Namun, kita harus memperhitungkan apa bisa tiba di kotaraja malam ini?"
ujar Jaka.
Mayang tak berkata-kata
mendengar ucapan Jaka. Namun dibenarkan juga ucapan kekasihnya. "Seberapa
jauh jarak kotaraja dari desa ini, Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.
"Tidak begitu jauh, Jaka.
Tidak sampai setengah hari dalam perjalanan berkuda," jawab Ki Amertagi.
"Kalau begitu, izinkan
kami berangkat ke kotaraja sekarang juga, Ki," putus Jaka setelah yakin
mampu tiba di sana malam ini.
"Kalian"
"Kami ingin tahu, apa
yang akan dilakukan raja sesat itu, Ki. Doakan saja agar kami dapat mengatasi
persembahan-persembahan sesat selanjutnya," ujar Mayang, meyakinkan keputusan
kekasihnya.
"Hati-hati kalian,"
ujar Ki Amertagi memberi nasihat penuh keharuan.
"Kami pergi sekarang, Ki.
Titip salam untuk "
"Hei! Kalian belum
meminum air ini!" selak Nyi Riwangni yang baru muncul dari ruang dalam
sambil membawa minuman dan penganan.
"Terima kasih, Nyi. Lain
kali kami pasti tak menolak jamuanmu. Sekarang kami harus pergi untuk mengejar
waktu," kata Mayang tegas. "Permisi, Nyi!"
Jaka dan Mayang segera saja
berlalu cepat dari ruang tamu kediaman Ki Amertagi. Sepasang pendekar muda itu.
kemudian menghentakkan kakinya kuat-kuat, setelah mencapai ambang pintu.
"Hop!"
"Hip!"
Ki Amertagi dan Nyi Riwangni
hanya memandangi kepergian Jaka dan Mayang yang begitu cepat
"Hhh.... Raja Petir! Kau
memang pendekar digdaya," gumam Ki Amertagi.
"Kau menyebutnya sebagai
Raja Petir, Kakang?" tanya Nyi Riwangni mendengar gumaman suaminya.
"Pemuda tampan itulah
yang berjuluk Raja Petir, Nyi," jelas Ki Amertagi.
"Heh?!" Nyi Riwangni
terkejut
4
Langit di sebelah timur Desa
Gandaras telah menjelmakan warna jingga yang begitu menawan. Matahari terlihat
perlahan tenggelam kembali ke peraduannya. Alam di pedesaan ini memang
menyajikan suasana yang begitu indah.
Dan pada saat menghilangnya
sinar jingga yang membias, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan dengan
kecepatan luar biasa. Kedua bayangan itu menerobos masuk Hutan Gindang yang
menjadi perbatasan antara Desa Gandaras dengan kotaraja.
Dua sosok bayangan yang
melesat cepat itu tak lain sepasang pendekar muda yang sudah cukup tersohor di
kalangan rimba persilatan. Siapa lagi kalau bukan Raja Petir dan Dewi Payung
Emas.
"Kita akan tiba lebih
cepat dari waktu yang
telah direncanakan,
Kakang," kata Mayang dengan napas yang sedikit memburu.
"Bagus kalau begitu,
Mayang. Berarti bisa sedikit beristirahat sebelum melakukan penyelidikan,"
balas Jaka dengan napas lebih teratur.
Dua anak berpakaian warna
kuning keemasan dan jingga itu terus melanjutkan perjalanan, menerobos perut
Hutan Gindang. Namun tiba-tiba saja....
"Awaaas, Mayang!"
teriak Jaka, ketika matanya melihat sebatang pohon besar tumbang ke arah
kekasihnya.
Mayang yang mendengar teriakan
peringatan kekasihnya segera melompat cepat
"Hop!"
Jaka pun melakukan hal yang
sama. "Hop!"
Grosakkk!
Pohon yang besar itu tumbang,
ambruk ke tanah begitu Jaka dan Mayang berhasil melompat menghindar. Akan
tetapi sebentuk bahaya yang lain harus dihadapi pasangan pendekar muda itu. Di
depan mata mereka kini tengah berjejer sosok berpakaian seperti kera. Di tangan
masingmasing sosok yang berjumlah belasan orang itu tergenggam sebatang obor
yang menyala cukup besar. Dugaan Jaka dan Mayang, mereka adalah para perampok
yang memanfaatkan Hutan Gindang sebagai markas. "He he he "
Salah satu sosok yang bertubuh
tinggi besar tertawa keras dengan kaki terangkat dua langkah ke belakang.
"Serahkan harta kalian
kalau ingin selamat melintasi hutan ini!" bentak lelaki tinggi besar itu,
keras. Nampaknya, dialah yang menjadi pimpinan begal ini.
Jaka tak membalas ucapan
lelaki tinggi besar yang di tangannya menggenggam sebilah tombak berukuran
besar.
"Tak perlu kita meladeni
mereka, Mayang. Hanya membuang waktu saja," ujar Jaka, hampir mirip
bisikan.
"Tentu saja, Kakang. Kita
harus segera sampai di kotaraja," balas Mayang, menyetujui kata-kata
kekasihnya.
"Kalau begitu bersiaplah.
Biar kuberi pelajaran mereka," pinta Jaka. Dan tiba-tiba saja....
"Hiaaa!"
"Wusss!"
Angin bergulung bagai pusaran
angin seketika melesat dari sepasang telapak tangan Raja Petir yang terhentak
kuat. Angin yang tercipta berkat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau Arah'
meluruk deras ke arah sosok-sosok yang menggenggam obor.
"Awaaas...!"
pimpinan begal yang bertubuh tinggi besar itu berteriak memperingati temantemannya
begitu melihat bahaya mengancam.
Maka belasan lelaki yang
merintangi perjalanan Raja Petir dan Mayang, seketika saja berlompatan cepat ke
arah kanan dan kiri untuk menghindari terjangan angin bergulung yang menebarkan
hawa panas menyengat. Dan Pada
saat itulah kedua pendekar
muda ini menghentakkan kakinya kuat-kuat
"Hop!"
"Hip!"
Tubuh Jaka dan Mayang
berkelebat menggunakan ilmu lari cepat tingkat tinggi, yang dibarengi
pengerahan ilmu meringankan tubuh yang mencapai taraf kesempurnaan. Maka,
barisan penghalang yang kini sudah longgar mudah sekali dilalui. Namun....
"Bangsat! Kejar
mereka!" teriak pimpinan begal itu menyadari calon mangsanya lolos begitu
saja.
Belasan lelaki berpakaian
seperti kera yang memang anak buah lelaki tinggi besar itu segera saja bergerak
mengejar Raja Petir dan Mayang. Namun sekuat-kuatnya mengejar, usaha yang dilakukannya
hanya sia-sia saja.
Ilmu lari para begal tanggung
itu memang belum seberapa jika dibanding ilmu lari sepasang pendekar muda yang
kesaktiannya diperhitungkan tokoh-tokoh sakti golongan hitam maupun putih.
Terbukti, jarak buruan mereka semakin jauh saja untuk dikejar.
"Bangsat!" rutuk
lelaki tinggi besar itu ketika menyadari pengejarannya hanya menemui kekandasan
saja. Sementara, Mayang dan Jaka terus berlari mendekati wilayah kotaraja.
"Hm.... Mereka tak tahu
dengan siapa berhadapan, Kakang. Mereka pikir, kita gentar menghadapi. Padahal
"
"Kita belum tentu mampu
mengalahkannya, Mayang," selak Jaka dengan tatapan mengerling lucu ke
wajah gadisnya.
"Kau selalu
merendah," omel Mayang berpura-pura cemberut
"Merendah adalah sikap
bijaksana, Mayang," sahut Jaka.
"Kalau Kakang terlalu
sering merendah, bukan kebijaksanaan yang akhirnya didapat. Tapi sikap
meremehkan yang selalu mengundang sakit hati," sangkal Mayang yang kali
ini dengan wajah dipasang sesungguh mungkin.
"Tidak begitu, Mayang.
Kita harus melihat di mana sikap merendah itu harus ditonjolkan," tolak
Jaka atas ucapan si Dewi Payung Emas yang terasa memang tidaklah salah.
"Sudahlah! Kakang memang
selalu begi tu " Mayang memasang
wajah masam.
Meskipun dalam keadaan tengah
berlari, Jaka masih sempat menyaksikan wajah kekasihnya.
"Kau jelek kalau cemberut
begitu," ledek Jaka cukup jelas.
"Biar jelek, Kakang kan
suka," gumam Mayang kesal.
"Hei! Lebih baik kita
berhenti bertengkar. Lihatlah, kita sudah memasuki wilayah kotaraja,"
tukas Jaka seraya menghentikan larinya. Kini Raja Petir melangkah pendek,
diikuti Mayang.
***
Malam yang mulai diterangi
cahaya bulan, mengiringi langkah kaki Raja Petir dan Dewi Payung Emas memasuki
kotaraja yang juga diterangi cahaya lampu dari rumah-rumah yang cukup besar dan
mewah.
"Masih ada kedai makan
yang buka, Kakang," kata Mayang seraya menunjuk sebuah kedai. "Kita
mampir dulu ke sana, Kakang."
"Pasti perutmu sudah
merangsek minta diisi," tebak Jaka.
Dara cantik berambut panjang
dikepang kelabang yang berjuluk si Dewi Payung Emas mengangguk dengan tatapan
tertuju ke arah bangunan rumah yang ramai dikunjungi orang.
"Ayolah kita ke sana,
Mayang. Barangkali saja dapat diperoleh keterangan yang tak sengaja dari mulut
orang-orang di dalam kedai yang bukan mustahil memang penduduk kotaraja ini
sendiri," ajak Jaka.
Kemudian mereka sama-sama
melangkah mendekati kedai makan yang semakin ramai dikunjungi orang. Memang,
mereka tak lain adalah penduduk kotaraja.
Memasuki kedai makan ini,
Mayang merasakan kerisihan menyergap hatinya. Betapa tidak? Tatapan mata
pengunjung kedai yang umumnya laki-laki langsung menusuk tajam ke arah
wajahnya. Memang diakuinya, wajah gadis itu banyak mengundang minat lelaki
untuk mengenai lebih dekat dengannya.
Namun, justru sikap Jaka
nampak biasabiasa saja. Sedikit pun tak merasa terganggu oleh cara pengunjung
kedai makan yang menatap wajah kekasihnya disertai rasa birahi. Malah, di hatinya
timbul sebentuk perasaan bangga, karena memiliki kekasih yang dikagumi banyak
orang.
"Kita duduk di sini saja,
Mayang," ajak Ja-ka.
Raja Petir mengajak Mayang
duduk di su-
dut kedai makan yang memang
kosong dan pas untuk dua orang. Akan tetapi, di sebelah meja itu tengah
bersantap empat lelaki berwajah garang. Bahkan cara duduk mereka pun terlihat
kurang sopan.
"Di sana saja,
Kakang," tunjuk Mayang, menolak ajakan kekasihnya.
"Ah! Lebih baik di sini
saja, Mayang. Tempatnya pas untuk kita berdua saja. Sedangkan tempat yang kau
tunjuk terdapat empat buah tempat duduk. Itu berarti kita harus bersantap
bersama orang yang sama sekali tidak kita kenal, yang akan duduk di situ
juga," tolak Jaka, memberi alasan.
Mayang tentu saja tidak bisa
mengelak lagi memang ingin bersantap nikmat tanpa harus terganggu oleh
kehadiran orang lain yang mungkin saja akan mengurangi selera makan.
Dan baru saja sepasang
pendekar muda yang berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas meletakkan pantat
masing-masing, seorang pelayan setengah tua menghampiri. Dia menanyakan,
makanan apa yang akan dipesan kedua anak muda ini.
"Sediakan kami ayam
panggang saja, Paman, " kata Jaka sopan. "Dan nasi hangat"
Tatapan mata pemuda itu kemudian
dilemparkan ke wajah kekasihnya. Maksudnya, tentu saja agar Mayang memilih
sendiri pesanannya.
"Buatkan saja hidangan
yang sama, Paman," ujar Mayang lembut.
Kelembutan ucapan Mayang tentu
saja membuat empat lelaki bertampang angker menoleh serempak.
"Busyet! Suaranya
secantik wajahnya, Gorba," kata salah seorang yang memiliki kumis tebal
melintang.
"Kau tidak melihat kalau
dia sudah punya pasangan, Narda?" tukas lelaki berwajah putih, namun
berbintik-bintik hitam. Dia tadi dipanggil dengan nama Gorba.
Mayang bukannya tak dengar
namanya tengah diperbincangkan. Tapi karena selera makannya tak ingin
terganggu, makanya tak dipedulikannya empat lelaki angker itu.
"Alaaa...! Berapa
susahnya sih, menyingkirkan anak ingusan itu!" dengus Narda, sesumbar.
"Sekarang juga, aku bisa mendapatkan gadis itu."
Narda melemparkan tatapannya
ke arah
gadis cantik itu.
Mayang yang mendengar ucapan
tak sopan dari lelaki berkumis tebal itu segera saja mengangkat kepalanya.
Tatapan matanya langsung menusuk tajam ke wajah lelaki bernama Narda.
"Jangan diladeni,
Mayang," ujar Jaka, seraya menyentuh lembut punggung tangan kekasihnya.
Narda yang mendapatkan
pelototan tajam dari Mayang, segera mengangkat kakinya hendak menghampiri.
Namun cekalan tangan Gorba sempat membuat lelaki berkumis tebal itu duduk
kembali di kursinya.
"Jangan mengundang
perkelahian, Narda. Bukankah tujuan kita datang ke kotaraja ini untuk
menyaksikan persembahan yang akan dilaksanakan malam nanti. Bagaimana jadinya
kalau karena kita membuat keributan, prajurit-prajurit kerajaan menahan
kita?" cegah Gorba, mencoba meredam kemarahan temannya.
Kata-kata yang diucapkan Gorba
ternyata mengena juga. Terbukti kemarahan yang tergambar di wajah Narda sedikit
demi sedikit berkurang. Rupanya dia sadar, kalau tujuannya ke kotaraja hanya
semata untuk menyaksikan persembahan maut yang baru pertama kali dilakukan Raja
Sutera Bayu. Buktinya, dua orang temannya juga tak menyetujui tindakan Narda.
Sepasang pendekar muda yang
mendengar kata-kata lelaki berwajah bopeng itu nampak berpura-pura acuh saja.
Padahal, mereka sangat mengharapkan pembicaraan itu kembali berlanjut.
Namun sampai hidangan di atas
meja ludas, empat lelaki itu tak kunjung membicarakan tentang persembahan yang
akan dilaksanakan Prabu Setyagara.
"Tak ada yang dapat kita
peroleh keterangan dari tempat ini, Kakang," kata Mayang setelah menyeka
mulut dari sisa-sisa makanan yang menempel di bibirnya yang merah merekah.
"Trotet! Trotet!
Trotet..!"
Baru saja Jaka hendak
menanggapi ucapan kekasihnya, sebuah suara sangkala terdengar cukup jelas. Dan
bunyi yang terakhir tampaknya disertai pengaturan napas yang cukup panjang.
Para pengunjung kedai makan
yang berada di dekat pintu masuk, segera terlihat beranjak keluar.
"Rombongan kerajaan!
Rombongan kerajaan!" teriak salah seorang cukup keras.
Semua orang yang berada di
dalam kedai makan segera bangkit meninggalkan tempat duduk menuju keluar. Hanya
Jaka dan Mayang yang masih tetap berada di tempatnya.
"Troteeettt...!"
Bunyi sangkala panjang kembali
terdengar. Dan pada saat itulah Jaka dan Mayang bangkit dari depan meja
santapannya.
"Hm.... Benar-benar
rombongan kerajaan yang lengkap, Mayang," gumam Jaka ketika menyaksikan
sebuah kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda berwarna putih mengkilat
Di belakang kereta kencana
yang diduga Jaka berisi Prabu Setyagara, melintas juga sebuah kereta yang tak
kalah indahnya. Kereta indah itu ditarik dua ekor kuda putih mengkilat
Persis di bagian depan kereta
yang ditarik dua ekor kuda, terlihat dua bocah umur sepuluh tahun tengah duduk
dengan wajah yang terkesan kebingungan. Tatapan mata mereka menerawang jauh ke
depan. Kosong, seperti telah terpengaruh oleh sebentuk kekuatan yang tak dapat
terlihat. Di kiri dan kanan sepasang bocah yang tak lain anak kembar Ki Jagil
dari Desa Gandaras, nampak dua lelaki berpakaian prajurit bersenjata lengkap.
"Bocah itu pasti anak Ki
Jagil, Kakang," bisik Mayang.
"Ya, calon korban pertama
dari persembahan gila itu," timpal Jaka dengan suara ditekan.
"Lalu apa rencana kita
sekarang, Kakang," tanya Mayang.
"Kita ikut ke tempat
persembahan itu, Mayang," jawab Jaka cukup tegas.
Mayang menyetujui keputusan
yang diambil Raja Petir. Namun untuk ikut ke tempat tujuan persembahan, Jaka
harus menunggu barisan prajurit kerajaan yang mengiringi dua kereta yang
mengangkut sang Prabu Setyagara, dan sepasang bocah kembar yang akan dijadikan
korban persembahan.
"Ayo, Kakang," ajak
Mayang.
Memang saat itu iring-iringan
prajurit Kerajaan Sutera Bayu sudah berlalu dari hadapannya. Yang ada kini
hanyalah, penduduk kotaraja yang ingin menyaksikan persembahan itu.
"Ayo," sambut Jaka
dengan langkah berbaur dengan orang-orang yang ingin menyaksikan persembahan.
"Hhh...!"
Tiba-tiba saja Mayang
mendengus ketika menyadari kalau lelaki berwajah bopeng itu juga berjalan di
sisi kanannya.
"Hrghhh...!"
Namun lelaki berwajah bopeng
yang bernama Narda juga mengeluarkan gerengan kesal, melihat gadis cantik
berpakaian jingga yang memelototinya di kedai makan barusan.
"Jangan cari mampus di
sini, Narda," ujar Gorda mantap.
Kaki Gorda kemudian melangkah
panjangpanjang, mendahului langkah kaki sepasang pendekar muda yang bergelar
Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
"Biarkan mereka
mendahului kita, Mayang," tutur Jaka seraya mencekal pergelangan tangan
kekasihnya.
"Kalau keadaannya tidak
seperti ini, biar kubungkam mulut lancang itu dengan kepalanku, Kakang,"
dengus Mayang, melihat wajah jelek lelaki bernama Narda.
"Troteeettt..!"
Bunyi sangkala yang ditiup
seorang prajurit kerajaan kembali berkumandang. Dan pada saat itulah kereta
kuda yang berada pada bagian depan bergerak lebih cepat, diikuti kereta kuda
yang di belakangnya.
Penduduk kotaraja dan penduduk
desa lain yang sengaja datang untuk
menyaksikan persembahan pun ikut bergerak dan berlari membuntuti kereta-kereta
kuda yang bergerak semakin cepat
Malam merangkak perlahan.
Sinar rembulan yang terlihat semakin merata, menerangi jalan yang ditempuh serombongan
orang menuju Bukit Kelabang. Sebuah bukit yang akan dijadikan tempat acara
persembahan.
5
Bukit Kelabang terlihat begitu
angker. Daerahnya berbatu-batu, dan ditumbuhi pohonpohon tinggi berdaun jarang
yang berkesan kering, sehingga semakin nampak keangkerannya. Siraman sinar
bulan purnama di seluruh wilayah Bukit Kelabang, juga cukup menampakkan sebuah
goa, yakni bernama Goa Persembahan.
Sebuah kereta kencana indah
berwarna kuning keemasan yang berkilauan tertimpa sinar bulan, terlihat
berhenti pada bagian paling depan Goa Persembahan. Prabu Setyagara, tampak
keluar dari dalam kereta kebesarannya. Seorang lelaki bertampang angker yang
berpakaian hitam menghampiri sang Prabu dari Kerajaan Sutera Bayu ini, diikuti
dua orang rekannya yang bertubuh tinggi ringkih dan tinggi kekar.
Lelaki berpakaian hitam yang
pada bagian punggungnya tersampir sebuah senjata berupa pecut berbentuk seekor
kelabang coklat kehitaman tak lain adalah orang yang menuntut penyelenggaraan
persembahan di Goa Persembahan Bukit Kelabang. Dialah lelaki sakti dan memiliki
ilmu sihir yang berjuluk Kelabang Sakti. Sedangkan laki-laki yang bertubuh
tinggi ringkih berjuluk Cengcorang Sakti Lembah Setan. Sementara yang bertubuh
tinggi kekar berjuluk Gajah Maut Lereng Tandus. Kedua orang itu memang kaki
tangan si Kelabang Sakti.
"Persembahan akan segera
dimulai, Yang Mulia," ajak Kelabang Hitam dengan kepala sedikit tertunduk,
Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus juga terlihat menundukkan
kepala. "Mudah-mudahan tak ada halangan yang membuat persembahan ini gagal
dan tidak diterima oleh "
"Akan kuperintahkan
seluruh prajurit kerajaan bersiaga untuk menjaga segala kemungkinan,
Grandawa," selak Prabu Setyagara.
"Terima kasih, Yang
Mulia," ucap lelaki yang sebenarnya bernama Grandawa.
Kini Kelabang Hitam
membungkukkan tubuhnya lebih rendah. Dan ketika tegak kembali, langsung
diperintahkannya Cengcorang Lembah Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus untuk segera
menjemput sepasang bocah berusia sepuluh tahun yang akan menjadi persembahan
pertama.
"Bawa bocah-bocah itu
kemari, Marwa," perintah Kelabang Sakti pada Cengcorang Sakti Lembah Setan
yang ternyata bernama asli Marwa. Dua lelaki berpakaian hijau terang dan ke-
labu langsung bergerak ke arah
kereta kencana yang ditempati bocah kembar anak Ki Jagil. Sementara dua bocah
kembar itu nampak begitu rapi bagai sepasang pengantin yang hendak diiringi ke
pelaminan. Pakaiannya yang indah dihiasi bunga-bunga melati yang ditautkan
benang sutera.
Sementara orang-orang yang
turut menyaksikan acara persembahan terlihat semakin jauh berkurang jumlahnya.
Itu dikarenakan tak tahan mengikuti lari kereta kuda yang menempuh jarak
ratusan pal. Yang mampu bertahan hingga bisa mencapai Bukit Kelabang hanyalah
orangorang persilatan.
Dalam jejeran orang yang
hendak menyaksikan acara persembahan, nampak Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
Kedua pendekar muda itu lebih memilih berdiri pada tempat yang sedikit tersembunyi.
Tak jauh dari tempat Jaka dan Mayang, terlihat juga empat lelaki berwajah angker
yang hampir bertengkar dengan Mayang di kedai makan kotaraja. Mayang
mengarahkan tatapannya ke empat lelaki itu. Begitu juga Jaka. "Ternyata
empat lelaki itu bukan orang
sembarangan, Mayang," kata
Jaka. "Terbukti dia bisa bertahan ikut sampai ke tempat persembahan
ini."
"Kau betul, Kakang,"
timpal Mayang. "Apa yang harus kita lakukan di tempat ini, Kakang?"
"Kita saksikan dulu, apa
yang akan mereka lakukan," jawab Jaka.
"HhhPerbuatan gila,"
rutuk Mayang.
"Jangan keras-keras
bicaramu, Mayang."
Mayang menatap wajah Jaka.
Sungguh tak disadari ucapannya barusan.
***
Suasana Bukit Kelabang yang
diterangi cahaya bulan purnama menjadi lebih hening ketika sepasang bocah yang
didandani layak pengantin didirikan pada dua buah batu ceper sebesar tampah.
"Hm."
Mayang Sutera sepertinya tak
sabar melihat lelaki berpakaian hitam yang menjadi pimpinan penyelenggara
upacara persembahan.
Sementara itu, tatapan Jaka
justru berkeliaran menyaksikan prajurit kerajaan yang berjaga-jaga di sekitar
Bukit Kelabang. Seolah Raja Petir tengah mengukur kekuatan orang-orang yang
mendukung acara persembahan sesat Prabu Setyagara. "Mayang," bisik
Jaka tiba-tiba. "Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.
"Bersiaplah untuk
menghadapi segala kemungkinan. Aku akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan
anak kembar Ki Jagil itu," ujar Jaka.
"Apa yang akan kau
lakukan, Kakang?"
Disadari, upacara persembahan
itu diikuti tokoh-tokoh sakti golongan hitam, dan juga ratusan prajurit
Kerajaan Sutera Bayu. Jelas, mereka berjaga-jaga dan dilengkapi persenjataan.
"Tunggu saja apa yang
akan dilakukan lelaki berpakaian hitam itu, Mayang," ujar Jaka tanpa
memberi tahu pada kekasihnya, tindakan apa yang akan ditempuh.
Mayang tak melontarkan
pertanyaan lagi. Terlebih ketika Jaka membungkukkan badan. Tampak tangan kanan
Raja Petir meraih batu sebesar kepalan perempuan dewasa.
Meski dalam hati Dewi Payung
Emas muncul berbagai macam pertanyaan, namun tetap mencoba bersabar untuk
menunggu apa yang dilakukan Jaka.
"Saudara-saudara
sekalian!"
Tiba-tiba terdengar seruan
keras yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Suara itu seketika
mengumandang dan bergema di sudut-sudut Bukit Kelabang. Kata-kata pembuka itu diucapkan Grandawa alias si Kelabang
Hitam dengan tatapan berkeliling. Diperhatikannya orang-orang yang menyaksikan
jalannya persembahan.
"Tak lama lagi
saudara-saudara akan menyaksikan persembahan yang berguna untuk menjaga
keutuhan Kerajaan Sutera Bayu. Persembahan ini sekaligus untuk meminta restu pada
Dewa Penyelamat dan Dewa Pemelihara kedamaian, agar kita semua selalu mendapat
keselamatan dan kedamaian," kata Kelabang Hitam.
Tak ada suara sedikit pun yang
menanggapi ucapan lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam ini. Dan suasana pun
menjadi begitu sunyi.
Jaka dan Mayang pun hanya diam
saja. Namun dalam hati Mayang merutuki kata-kata Kelabang Hitam.
"Semoga Yang Kuasa
mengutuk ucapan-
mu!"
"Saudara-saudara
sekalian...!" kata Gran-
dawa lagi. "Di hadapan
kita kini, berdiri Yang Mulia Prabu Setyagara, untuk sama-sama menyaksikan
upacara persembahan. Perlu diketahui, setelah dua kepala korban terpisah dari
badannya, maka akan kulemparkan kepala bocah lelaki itu. Lalu, Yang Mulia akan melempar
kepala bocah yang perempuan ke dalam Goa Kelabang. Jika pada lemparan kedua
terdengar bunyi raungan dahsyat, saudara-saudara sekalian tak perlu takut.
Karena itu hanya pertanda kalau persembahan diterima," tutur Grandawa.
Orang-orang yang mendengar
ucapan lelaki berpakaian hitam hanya terdiam, tanpa sepatah kata pun yang
terucap. Sepertinya semua orang yang ada di Bukit Kelabang terpengaruh oleh
ucapan-ucapan si Kelabang Hitam, yang memang memiliki kelebihan dalam hal ilmu
sihir.
"Sekarang saksikanlah
bagaimana aku memenggal kepala bocah lelaki ini," ujar si Kelabang Hitam
seraya menyentuh anak lelaki Ki Jagil yang berada pada tangan Cengcorang Sakti
Lembah Setan. "Jika kepala bocah ini terpenggal tanpa mengucurkan darah,
berarti persembahan diterima."
Puluhan pasang mata yang
menyaksikan sikap Kelabang Hitam nampak tak berkedip. Terlebih ketika Grandawa
meminta sebilah golok besar yang ada di tangan Gajah Maut Lereng Tandus.
"Menyingkirlah
kalian," perintah si Kelabang Hitam pada Cengcorang Sakti Lembah Setan dan
Gajah Maut Lereng Tandus.
Maka kedua lelaki bertubuh
tinggi kurus dan tinggi kekar itu bergerak meninggalkan bocah-bocah persembahan
yang berdiri di atas sebongkah batu ceper.
Sesaat lamanya ketegangan
membalut hati orang-orang yang menyaksikan jalannya persembahan. Dengan hati
berdegup keras, mereka menunggu apa yang akan dilakukan Kelabang Hitam.
Seperti orang-orang lain,
Mayang pun merasakan keterpanaan pula. Hanya Jaka yang tampak lebih tenang,
dengan telapak tangan menggenggam sebongkah batu sebesar kepalan tangan
perempuan dewasa. Namun di balik itu, siapa yang tahu kalau sesungguhnya tokoh
tampan yang berjuluk Raja Petir tengah mempersiapkan sebuah ilmu andalan yang
bernama aji 'Kukuh Karang'.
"Haiaaa...!"
Keheningan yang dibungkus
ketegangan, seketika terusik teriakan si Kelabang Hitam dengan sebilah golok
besar yang terangkat hendak ditebaskan ke leher anak lelaki Ki Jagil.
"Hmrh...!"
Jaka menggereng marah melihat
tindakan Grandawa. Maka seketika itu juga....
Sing!
Sebongkah batu yang berada
dalam genggaman tangan kanan Raja Petir meluruk deras mengiringi kelebatan
golok besar yang hendak memenggal kepala putra Ki Jagil.
Trak! "Akh!"
Terdengar pekik tertahan yang
keluar dari mulut lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam. Tubuhnya pun terlihat
terjajar dua langkah ke belakang, sementara senjatanya yang berada dalam
genggaman terpental dan patah dua.
Kejadian itu berlangsung
begitu cepatnya. Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus pun
tak sempat menyaksikan kelebatan sebongkah batu yang dilemparkan Raja Petir
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Dan pada saat tergempurnya
tubuh Kelabang Hitam, sosok Raja Petir tiba-tiba melesat bagai kilat
"Hops!" Sltas! Tap!
Tap!
Dua sosok bocah berumur
sepuluh tahun yang berdiri pada batu ceper seketika itu juga lenyap dari
tempatnya. Raja Petir memang melarikannya disertai pengerahan ilmu 'Lejitan
Lidah Petir' yang dipadukan ilmu meringankan tubuh dan ilmu cepat tingkat
tinggi. Hingga manakala tubuh yang terbungkus pakaian warna kuning itu
berkelebat, yang nampak hanya cahaya kuning yang melesat bagai kilat
Orang-orang yang menyaksikan
terhuyungnya tubuh Grandawa dan lenyapnya tubuh sepasang bocah persembahan, nampak
seperti terkesima. Mereka bengong melompong.
"Kejar! Jangan biarkan
dia lolos!" teriak si Kelabang Hitam keras setelah sadar.
Cengcorang Sakti Lembah Setan
dan Gajah Maut Lereng Tandus sama-sama menghentakkan kakinya ke tanah kuat-kuat
untuk mengejar orang yang telah melarikan anak kembar Ki Jagil.
"Hop!"
"Hop!"
6
Suasana di Bukit Kelabang
mendadak menjadi kacau balau. Prajurit-prajurit yang menyadari perintah Yang
Mulia Prabu Setyagara segera bergerak, ikut mengejar ke arah melesatnya bayangan
kuning keemasan yang telah menyelamatkan dua anak Ki Jagil dari persembahan
sesat yang telah dilakukan Raja Sutera Bayu. Sementara, orang-orang yang hanya
bermaksud menyaksikan jalannya persembahan, kini kocar-kacir mencari tempat
untuk menghindar dari serudukan prajurit-prajurit yang bermaksud mengejar
bayangan kuning tadi!
"Kakang...," desah
Mayang, cemas. "Semoga tokoh-tokoh sesat tak kuasa mengejarmu."
Hanya dalam waktu singkat,
seluruh prajurit kerajaan yang bertugas menjaga Bukit Kelabang telah
meninggalkan tempatnya. Hanya beberapa tokoh hitam saja yang mengiringi Prabu
Setyagara meninggalkan Bukit Kelabang.
"Hhh"
Sementara itu Mayang, setelah
menarik napas berat segera saja melangkah meninggalkan Bukit Kelabang.
Langkahnya terayun ke arah sama dengan lari Jaka. Namun belum juga jauh melangkah....
"Hei! Hei.... Hei! Jangan
pergi dulu, urusan kita belum diselesaikan," tiba-tiba sebuah suara yang
ditujukan pada Mayang terdengar.
Semula Mayang mencoba
mengacuhkan. Namun ketika terdengar langkah kaki yang seperti mengejar,
langkahnya segera dihentikan.
"Gadis sombong! Sekarang
kau tak punya teman. Bagaimana kalau persoalan kita di kedai makan tadi
diteruskan," tukas lelaki berkumis melintang yang tak lain Narda.
"Aku mendukungmu, Narda.
Bukan begitu, Dirman, Sakim! Sekaranglah waktu yang tepat bagi kita untuk
menyeret gadis cantik itu," timpal lelaki berwajah putih yang dikotori
bopeng di wajahnya. Dia tak lain Gorba.
"Lantas, tunggu apa
lagi?" kata orang bernama Dirman.
"Benar! Terlalu lama, tak
enak rasanya," sambut orang yang bernama Sakim.
"Aku tak punya urusan
dengan kalian," ketus ucapan Mayang. Langkah kakinya pun kembali tergerak
meninggalkan empat lelaki berwajah angker.
"Hop!"
"Hip!"
Narda dan Gorba yang melihat
keketusan itu segera melesat mendahului langkah kaki kekasih Jaka ini.
Mayang tentu saja jadi
terbelalak geram, menyaksikan tingkah empat lelaki bertampang kasar yang telah
menjengkelkannya sejak di kedai makan tadi.
"Hhh! Dasar lelaki hidung
belang! Sudah kukatakan, aku tidak punya waktu untuk meladeni kalian.
Menyingkirlah, jangan halangi jalanku!" bentak Mayang, keras.
Dua lelaki yang berdiri di
hadapan Mayang hanya cengar-cengir menimpali kemarahan Mayang. Namun ketika
tiba-tiba saja tangan gadis itu bergerak cepat, Narda dan Gorba kelimpungan
untuk menghindarinya.
"Uts!"
"Hups!"
Narda dan Gorba segera
melempar tubuhnya ke kiri dan kanan untuk menghindari sambaran tangan Mayang
yang mengarah ke bagian wajah.
"Hm.... Galak juga kau,
Nisanak," gumam Narda, setelah bisa menguasai keterkejutannya.
"Aku bukan saja bisa
berbuat galak. Tapi bisa membunuh kalian semua kalau tak cepat menyingkir dari
hadapanku!" bentak Mayang, tak main-main.
"Aku ingin bukti,
Nisanak," tantang Gorba dengan tangan memberi isyarat mengajak tiga
temannya untuk mengurung gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas.
"Majulah! Kalau itu yang
kalian inginkan!" sentak Mayang, membalas tantangan empat lelaki yang kini
tengah mengurung dirinya.
Seperti baru menemukan wanita
cantik, empat lelaki bertampang angker itu meluruk bersamaan menggunakan tangan
kosong.
"Hiyaaa...!"
"Hiaa...!"
Mayang yang memang sudah muak
melihat tampang-tampang kasar di hadapannya, segera saja menyambut serangan
dengan jurus 'Menepak Laut Menggenggam Air'. Tubuh gadis itu bergerak cepat dan
terlihat begitu indah, seperti seorang gadis penari yang bergerak-gerak indah.
Namun gerakan itu merupakan sebuah ancaman bagi keempat lelaki yang menjadi
lawannya. Karena tiba-tiba tangan gadis itu bergerak ke arah dua orang di
depannya.
"Haaat...!" Wuttt!
Plak! Plak!
Dua lelaki yang bernama Dirman
dan Sakim kontan terjengkang ke tanah terkena sambaran tangan yang cukup keras
pada bagian kepala. Mereka mengerang-erang kesakitan dengan telapak tangan
memegangi kepalan yang berdenyut sakit luar biasa. Rasanya, mereka tak mampu
lagi melanjutkan pertarungan.
"Setan!"
"Keparat!"
Narda dan Gorba memaki penuh
kegeraman ketika melihat kedua teman mereka mendapat hajaran seperti itu. Kedua
lelaki itu kini mencabut senjata masing-masing, berupa sebilah golok bergagang
panjang.
Srat! Srat! Rrrt..!
Melihat kedua lawannya
mencabut senjata, tak tanggung-tanggung Mayang segera mengembangkan payung
kecil dari logam berwarna kuning keemasan. Dan kini sebuah jurus 'Benteng Emas'
kini tengah dipersiapkannya untuk menandingi serangan Narda dan Gorba.
"Hiyaaa...!"
"Hiaaa...!"
Narda dan Gorba melesat ke
arah tubuh Mayang. Senjata mereka yang diputar-putar di samping kepala seketika
itu juga diarahkan ke bagian kepala dan dada gadis itu.
Trang! Trang!
Bunyi berdentang keras dari
senjatasenjata yang beradu seketika terdengar di malam yang diterangi cahaya
bulan purnama. Percik bunga api pun berpijar dari logam-logam yang beradu
dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.
Tubuh Narda dan Gorba nampak
terjajar tiga langkah ke belakang. Sedangkan Mayang hanya satu langkah bergeser
dari tempatnya berpijak. Itu berarti, penguasaan tenaga dalam gadis cantik
kekasih Raja Petir ini berada di atas kedua lawannya.
Mendapatkan keunggulan pada
dirinya, Mayang segera mengambil tindakan cepat Maksudnya, tak lain ingin
memberi pelajaran pada kedua lawannya.
"Hiaaat..!"
Melihat kedua lawannya yang
terhuyung, tubuh Dewi Payung Emas cepat mencelat. Kaki kanan yang dialiri
kekuatan tenaga dalam, kini nampak hendak menendang bagian dada Gorba.
Sedangkan sampokan tangannya, jelas terlihat ditujukan ke kepala Narda.
"Mampus kalian!" Bugkh!
Plak! "Aaa...!"
Dua lengkingan kesakitan
seketika terdengar berturut-turut, begitu tendangan dan sampokan tangan yang
dilancarkan Mayang tepat menghantam dada dan kepala Gorba dan Narda.
Bruk! Bruk!
Tubuh Narda dan Gorba seketika
ambruk ke tanah. Wajah lelaki itu nampak menyeringai menahan sakit. Sementara,
Mayang hanya berdiri tegak memandang lawan-lawannya dengan senyum mengejek
sambil bertolak pinggang.
"Kalau aku mau, sekarang
juga tubuh kalian kubuat daging cincang dengan senjataku ini!" gertak
Mayang sambil memamerkan senjatanya. Sayang aku tak punya urusan dengan
kalian."
Empat lelaki berwajah kasar
yang kini terkulai di tanah berbatu-batu Bukit Kelabang tak membalas kata-kata
yang dilontarkan Mayang. Bahkan ketika tubuh gadis itu melesat, mereka sedikit
pun tak berniat mengejar. Sepertinya, mereka jera mendapati keunggulan yang
diperlihatkan gadis cantik kekasih Raja Petir itu.
Sementara itu, Mayang terus
melesat cepat ke arah yang diambil Jaka dalam menyelamatkan anak kembar Ki
Jagil. Dan malam pun merangkak semakin jauh. Angin dingin yang berhembus terus
menusuk kulit. Namun Mayang tak berniat menghentikan larinya
"Hm.... Di mana harus
kutemui, Kakang Jaka?" gumam Mayang. "Apakah aku harus ke Desa
Gandaras? Hhh "
Setelah menarik napas berat,
Mayang akhirnya berkeputusan untuk mencari penginapan terdekat. Baru menjelang
fajar nanti, dia akan pergi ke rumah Ki Amertagi Kepala Desa Gandaras.
"Hips!"
Tubuh Mayang kembali bergerak
dalam tengah malam yang dingin. Sebuah rumah penginapan yang kini dicarinya.
7
Desa Jalarawa nampak begitu
indah manakala sinar matahari nampak sedikit-sedikit menyirami pepohonan hijau
kemuning. Di belahan timur desa yang terlihat damai, menghampar sawah dengan
padi-padinya yang melambailambai tertiup angin sepoi-sepoi sejuk.Mayang yang
tengah berada dalam sebuah kamar penginapan, terlihat berdiri di muka jendela
yang terbuka lebar. Angin pagi dibiarkan menerpa wajahnya. Sementara, tatapan
matanya yang jernih dan indah menikmati keindahan alam Desa Jalarawa yang
sebenarnya masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu. Sesungguhnya
Mayang enggan pergi dari penginapan yang terletak pada sebuah desa yang indah.
Namun tuntutan hatinya yang dipenuhi kecemasan tinggi, membuat dara manis yang
berjuluk Dewi Payung Emas segera beranjak meninggalkan kamarnya. Dia kemudian
melangkah ke ruang depan. Begitu tiba, segera diselesaikannya urusan sewa kamar
selama semalaman.
"Kenapa begitu
terburu-buru, Nisanak?" tanya penjaga penginapan yang masih berusia cukup
muda.
"Masih ada urusan lain
yang harus segera kuselesaikan, Kisanak. Lain kali, pasti aku mampir lagi di
penginapanmu yang resik ini," tukas Mayang.
Dan langkahnya segera terayun
meninggalkan pemilik penginapan. Pada sinar mata orang itu terpancar kekagumam
akan kecantikan wajah yang dimiliki kekasih Raja Petir ini.
Dan Mayang sendiri bukannya
tidak tahu kekaguman lelaki berusia tak lebih dari dua puluh lima tahun ini.
Makanya, agar lelaki itu tak semakin penasaran, segera saja kakinya melangkah
cepat-cepat meninggalkan penginapan yang cukup mengena di hatinya.
***
Karena jarak antara Desa
Jalarawa dengan Desa Gandaras tidak terlalu jauh, maka sebelum matahari
bertengger tegak di atas kepala, Mayang sudah menginjakkan kakinya di bumi Desa
Gandaras. Dan dia langsung menuju rumah Kepala Desa Gandaras itu.
Namun, betapa terkejutnya dara
cantik berpakaian warna jingga itu, ketika menyaksikan puluhan prajurit
Kerajaan Sutera Bayu berada di pelataran rumah Ki Amertagi.
"Hm.... Pasti mereka
menduga Kakang Jaka membawa anak Ki Jagil ke tempat ini," kata batin
Mayang.
Memang, tak lama kemudian,
gadis cantik kekasih Raja Petir ini menyaksikan tubuh lelaki berpakaian putih
tampak terhuyung keluar dari dalam rumah. Di sela bibir orang yang tak lain
Kepala Desa Gandaras itu nampak darah merembes keluar. Di wajahnya pun terlihat
warna biru bekas pukulan tangan.
"Kau pasti sengaja
menyewa orang sakti untuk mengacaukan jalannya persembahan!" bentak lelaki
berpakaian seorang punggawa keras.
"Ampunkan hamba, Tuan
Punggawa. Sungguh hamba tak tahu-menahu akan hal itu," ratap Ki Amertagi.
"Dusta! Kau berani
berdusta padaku, he?!" bentak lelaki bertubuh tinggi besar yang sesungguhnya
bernama Guridala.
Kaki kanan punggawa Guridala
kemudian terangkat, lalu meluncur deras ke bagian dada Kepala Desa Gandaras.
Dagkh!
"Akh!"
Pekik kesakitan keluar dari
mulut Ki Amertagi begitu tendangan keras mendera dadanya. Tubuhnya kontan
terhuyung ke belakang, kemudian ambruk ke tanah setelah sepasang kakinya tak
kuasa menahan berat badannya.
"Ampunkan hamba, Tuan
Punggawa," rintih Ki Amertagi sambil memegangi dadanya yang berdenyut
dengan sepasang telapak tangan.
Sementara Nyi Riwangni, istri
Ki Amertagi tak bisa berbuat apa-apa melihat keadaan suaminya. Perempuan
berpakaian biru muda itu tak berdaya apa-apa di bawah todongan tombak prajurit-prajurit
Kerajaan Sutera Bayu. Dia hanya bisa menangis tanpa suara. Hatinya merintih iba
melihat keadaan suaminya.
"Masih untung kau tak
kubinasakan sekarang, Tua Bangka Pendusta. Kau akan kubawa ke hadapan Prabu
Setyagara untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Setelah itu, kau akan
mendapatkan hukuman gantung!" ancam Punggawa Guridala keras.
Mayang Sutera yang menyaksikan
dan mendengar ucapan Punggawa dari Kerajaan Sutera Bayu menjadi gemas. Perasaan
kemanusiaannya langsung tergetar untuk memberi pelajaran pada orang yang suka
bertindak sewenangwenang. Namun untuk turun tangan langsung menyelamatkan Ki
Amertagi, adalah merupakan pekerjaan konyol.
"Bangkit, Tua Bangka!
Ikut aku!" sentak Punggawa Guridala.
Ki Amertagi segera
melaksanakan perintah Punggawa Guridala, meski rasa sakit masih cukup kuat
terasa di bagian dadanya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bangkit, kemudian
berjalan tertatih-tatih mengikut langkah kaki Punggawa Guridala dari Kerajaan
Sutera Bayu ini. Di belakang Ki Amertagi, berjalan prajurit-prajurit yang
mengiringi.
"Kakang
Amertagi...!"
Nyi Riwangni menjerit menyayat
menyaksikan suaminya dibawa menuju Kerajaan Sutera Bayu. Harapannya seketika
itu juga musnah untuk dapat hidup bersama selamanya.
Sementara Mayang yang
menyaksikan ratapan Nyi Riwangni tak mampu berbuat apa-apa. Malahan gadis
cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas itu membatalkan niatnya untuk mampir di
kediaman Kepala Desa Gandaras.
"Hips!"
Tubuh Mayang seketika bergerak
berbalik arah. Dia tak tahu lagi, di mana harus mencari Raja Petir. Rasa
khawatir yang melanda hati membuatnya berlari tanpa tujuan pasti.
Jarak berpal-pal jauhnya kini
sudah diambil Mayang untuk mencari jejak kekasihnya. Namun sedikit pun tak
ditemui tanda-tanda akan ditemukannya Raja Petir.
Di tengah-tengah keputusasaan
yang hampir melanda, tiba-tiba telinga Mayang yang sudah cukup terlatih,
mendengar suara-suara pertarungan. Maka untuk meyakinkannya, pendengarannya
segera dipusatkan.
"Hiyaaa...!"
Ctarrr...!
Suara pertarungan itu kini
semakin jelas tertangkap pendengarannya, maka tanpa buang waktu lagi, tubuh si
Dewi Payung Emas itu langsung mencelat ke arah suara pertarungan yang
didengarnya.
"Kakang...?" Suara
tertahan yang keluar dari mulut Mayang terdengar begitu sarat kecemasan.
Memang, saat itu Raja Petir tampak tengah terkurung tiga lawan yang semuanya
menghunus senjata. Sementara, Jaka tak terlihat menggunakan senjata. Dan
anehnya, Mayang tak menyaksikan keberadaan anak kembar Ki Jagi.
"Di mana Kakang Jaka
menyembunyikan anak kembar Ki Jagil?" kata hati Mayang bertanya-tanya.
"Kalau kau tak mau
menyerahkan bocahbocah itu padaku, maka kepalamu sebagai pengganti untuk
kupersembahkan pada Prabu Setyagara!" ancam lelaki berpakaian hitam yang
tak lain si Kelabang Hitam.
"Pilihan kedua yang
kuingini, Kelabang Hitam," balas Jaka menantang. "Namun, aku tak
yakin melihat kemampuanmu."
Kata-kata itu membuat hati
Kelabang Hitam dan Cengcorang Sakti Lembah Setan serta Gajah Maut Lereng Tandus
terbakar kemarahan.
"Bocah Laknat! Kau pikir
nyawamu rangkap heh?!" sentak Cengcorang Sakti Lembah Setan geram.
Langkahnya terangkat, menjajari Kelabang Hitam.
"Kalian yang terlalu berani
berurusan dengan Raja Petir!" ledek Jaka.
Sengaja julukannya diucapkan
keraskeras, agar kemarahan tiga lawannya semakin terbakar. Dengan begitu, Jaka
berharap serangan-serangan yang akan dilakukan mereka tak lagi terkendali.
Biasanya dalam keadaan seperti itu, setiap orang pasti akan melalaikan pertahanannya.
"Sombong sekali kau. Raja
Buduk! Tokohtokoh lain boleh gentar mendengar julukanmu. Tapi Gajah Maut? Ha ha
ha.... Jangan berharap kau bisa melihat matahari besok pagi jika sudah berurusan
denganku!" gertak lelaki berpakaian warna kelabu itu dengan dada sedikit
dibusungkan.
"Jangan banyak cakap,
Gajah Bengkak! Buktikan ucapanmu!" balas Jaka tak kalah gertak.
Wuttt!
"Eits!" Jaka segera
menarik kepalanya ketika sejengkal lagi golok besar milik Gajah Maut Lereng
Tandus hampir memenggal lehernya.
"Hiyaaa...!"
Begitu ucapan Jaka lenyap
terbawa angin, tubuh Gajah Maut Lereng Tandus sudah melesat dengan senjata
terkibas mengarah ke bagian leher. Suara angin berdesing mengiringi kedatangan
serangannya. Goloknya yang berputar-putar terdengar bercericitan tajam.
Wuttt! "Eits!"
Jaka segera menarik lehernya
ketika sejengkal lagi golok besar milik Gajah Maut Lereng Tandus memenggal.
Tindakan yang diambilnya memang cukup tepat. Terbukti serangan itu hanya mampu
menebas angin. Bahkan sodokan tangan kiri Jaka membuat penyerangnya terpaksa
melenting ke belakang.
Akan tetapi baru sekejapan
bahaya lewat, kini Jaka sudah kembali terancam serangan yang dilancarkan
Cengcorang Sakti Lembah Setan yang memainkan jurus 'Pedang Lembah Setan'.
"Hiaaa...!" Bet!
Bet! "Uts!"
Kali ini Jaka harus melenting
berkali-kali untuk menghindari cecaran pedang panjang bergerigi milik
Cengcorang Sakti Lembah Setan yang cukup cepat dan memilih sasaran mematikan.
Tusukan dan tebasan yang dilakukannya di samping cepat, juga sulit ditebak
arahnya.
"Hm."
Jaka bergumam pelan
menyaksikan kecepatan serangan Cengcorang Sakti Lembah Setan.
Wung! "Its!"
Tubuh Raja Petir kembali
melenting ke udara seraya memutar tubuhnya. Gerakannya cukup indah dalam
memperlihatkan kehebatan ilmu 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu semakin membuat
kemarahan lawannya menjadi-jadi.
Saat tubuh Cengcorang Sakti
Lembah Setan melesat memberi serangan susulan, tubuh Kelabang Hitam juga
bergerak, malahan lesatan yang dilakukan lebih cepat datangnya. Jelas, ilmu
yang dimiliki setingkat lebih tinggi dari rekannya.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
Mayang yang menyaksikan
keadaan kekasihnya terserang dari dua arah, segera saja menghentakkan kakinya.
Sementara senjatanya berupa payung kecil dari logam juga sudah terkembang dan
siap dimainkan dalam jurus 'Benteng Emas'.
"Hits!"
Mayang langsung memutar-mutar
senjatanya memapak serangan Cengcorang Sakti Lembah Setan yang tertuju ke arah
Raja Petir. Maka akibatnya....
Blang!
"Ikh!"
Tubuh Cengcorang Sakti Lembah
Setan kontan tergempur dua langkah ke belakang sesaat sambaran pedang bergerigi
miliknya, membentur payung logam warna kuning keemasan yang dipentangkan Mayang
dalam jurus andalan 'Benteng Emas'. Gadis cantik itu juga terjajar dua langkah
ke belakang, malah tangannya juga merasakan getaran hebat, hingga hampir saja
cekalan tangan pada gagang senjatanya terlepas. "Keparat!" maki
Cengcorang Sakti Lembah
Setan menyadari serangannya
berhasil dihalau campur tangan orang lain.
Namun hati laki-laki tinggi
kurus itu menjadi terkejut, begitu melihat kalau yang telah menggagalkannya
ternyata seorang perempuan. Diyakini perempuan di hadapannya bukan orang
perempuan sembarangan. Itu bisa dipastikan dari kekuatan tenaga dalamnya yang
tak jauh berbeda.
Sementara itu Raja Petir juga
telah berhasil menggagalkan serangan Kelabang Hitam dengan lentingan-lentingan
indah, menghindari sambaran pecut berbentuk kelabang yang meledak-ledak.
"Terima kasih,
Mayang!" ucap Jaka keras ketika melihat kekasihnya hadir untuk meringankan
bebannya.
"Hmrh...!"
Gandrawara yang berjuluk Kelabang Hitam menggereng geram. "Ayo Gajah Maut!
Kita habisi Raja Buduk itu. Biar Cengcorang Maut yang melumat tubuh gadis
itu!"
Gajah Maut Lembah Tandus
bergerak cepat berdiri tegak di sisi kiri Kelabang Hitam.
"Keluarkan ajian
andalanmu, Gajah Maut. Kita lumat tanpa ampun tubuh bocah gila itu!"
dengus Kelabang Sakti lagi.
"Baik!" tegas Gajah
Maut Lereng Tandus. "Aji 'Selaksa Bisa Kelabang'!" sentak Gran-
dawa, mengucapkan ajian
andalannya.
"Aji 'Belalai
Maut'!" teriak Gajah Maut Lereng Tandus tak kalah keras.
Kedua lelaki lawan Raja Petir
kini samasama memusatkan pikiran. Hanya sesaat saja, dan pada saat selanjutnya
hawa dingin dan bau amis terasa menjalar terbawa angin. Dan ini tercipta akibat
pengerahan ajian 'Selaksa Bisa Kelabang' miliki si Kelabang Hitam. Sementara
Gajah Maut Lereng Tandus menampakkan tangannya yang terulur semakin panjang ke
arah Raja Petir.
"Hhh... Ilmu setan!"
rutuk Jaka dalam hati. Napas Jaka seketika terasakan sesak aki-
bat pengaruh ilmu Kelabang
Hitam.
"Mayang! Menjauhlah dari
tempat ini! Kau hadapi saja si Cengcorang Kurus itu!" teriak Jaka keras.
Raja Petir memang khawatir
kalau-kalau kekasihnya tak tahan menahan pengaruh yang ditimbulkan akibat ajian
‘Selaksa Bisa Kelabang’.
Gadis cantik berpakaian warna
jingga itu rupanya mengerti apa yang diinginkan kekasihnya. Maka seketika itu
juga tubuhnya melesat menjauhi arena pertarungan. Langsung digempurnya
Cengcorang Sakti Lembah Setan.
8
Jaka semakin merasakan sesak
pada napasnya. Sementara tubuhnya menggigil akibat ajian 'Selaksa Bisa
Kelabang' yang diciptakan si Kelabang Sakti. Pada saat yang gawat itu, tangan
kanan Gajah Maut Lereng Tandus yang menggenggam golok besar semakin dekat
terulur.
"Heh?!"
Jaka tersentak, ketika
tiba-tiba saja tubuh Kelabang Sakti lenyap perlahan-lahan seperti asap yang
sirna terbawa angin. Namun, kini wujud Grandawa berubah menjadi seekor kelabang
raksasa yang cukup besar berwarna coklat kehitaman dengan taring-taring mirip
taring serigala buas.
"Sihir...? Hm. Terpaksa
harus kugunakan
Pedang Petir ini," gumam
Jaka dengan tangan perlahan meraih gagang senjata pusaka yang bernama Pedang
Petir.
"Grzszs"
Jelmaan kelabang hitam raksasa
tiba-tiba mendesis keras. Bersamaan dengan melesat binatang jelmaan itu melesat
pula ilmu 'Aji Belalai Maut' milik si Gajah Maut Lereng Tandus yang bergerak
cepat dengan golok besar tergenggam di tangan.
"Hyaaarhhh!"
Gajah Maut Lereng Tandus
memekik garang. Senjatanya berkelebat dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Bwets! "Uts!"
"Uts!" Dua kali
tubuh Jaka melenting ke udara. Karena pada saat yang bersamaan, Gajah Maut
Lereng Tandus dan jelmaan kelabang raksasa melakukan serangan.
Jliegkh!
Ketika tubuh Jaka mendarat
ringan di tanah, tangannya langsung terangkat lurus dengan telapak menggenggam
hulu Pedang Petir. Maka....
Gldrgdrg...! Gldrgdrg !
Suara guntur terdengar saling
sahutmenyahut, menggema dari jarak ratusan pal. Namun ketika suara guntur itu
terdengar semakin dekat, kilat pun terlihat menyambar-nyambar tubuh Pedang
Petir dalam cuaca yang berubah menjadi gelap gulita.
Hanya sesaat saja keadaan
gelap dan kilatan petir menyambar-nyambar tubuh pedang milik Raja Petir. Dan
pada saat selanjutnya, keadaan berubah menjadi terang benderang. Maka saat itu
juga, Jaka memekik keras seraya mengibaskan pedangnya.
"Khaaa!"
Wung!
Prats! "Wauuu!"
Tepat pada saat Jaka mengibaskan
Pedang Petir, tangan Gajah Maut Lereng Tandus juga terulur hendak membabat
tubuh Raja Petir. Akibatnya, tangan lelaki berpakaian warna kelabu itu terputus
terbabat Pedang Petir yang terangkum dalam jurus 'Selaksa Halilintar
Menyambar'. Tubuh Gajah Maut Lereng Tandus kontan terpental tiga tombak ke
belakang dengan tangan lepas sampai ke pangkalnya. Dan pengaruh ajian miliknya
menyerang dirinya sendiri. Lelaki itu hanya sesaat saja menggelepar-gelepar
layak ayam disembelih. Pada saat berikutnya? Nyawanya telah raib meninggalkan
jasadnya. Bukan karena tangannya yang buntung, tapi akibat termakan ajiannya
sendiri.
Sementara kelabang raksasa
jelmaan Grandawa yang mengalami nasib lebih baik. Dia hanya terpental beberapa
langkah saja. Memang sungguh tak disangka kalau ajian 'Selaksa Bisa Kelabang'
miliknya bisa luntur di hadapan Raja Petir. Kini wujud Kelabang Hitam Raksasa
telah berubah menjadi wujud Grandawa yang wajar.
"Hhh...!"
Grandawa menarik napas berat.
Sepertinya dia menyesal dengan apa yang didapatnya. Ajian 'Selaksa Bisa
Kelabang' memang bisa digunakan berulang-ulang jika lawan-lawannya ditaklukkan.
Namun jika dia sendiri yang takluk? Maka ajian itu tak akan bermanfaat jika
digunakan untuk yang kedua kalinya. Dengan begitu kekuatan ilmu yang
dimilikinya berkurang jauh.
"Bagaimana, Kelabang
Hitam? Seorang temanmu sudah menjadi bangkai sekarang! Apakah kau hendak
menyusulnya?" tanya Jaka penuh ejekan.
"Hrhrh...!"
Grandawa menggereng mendengar
pertanyaan Jaka.
"Keparat kau. Raja Petir!"
bentak si Kelabang Hitam murka. "Lebih baik mampus daripada aku harus
menyerah di tangan bocah ingusan sepertimu!"
"Ha ha ha...!" Jaka
terkekeh mendengar ucapan lawannya. "Jangan takut mati seperti itu,
Kelabang Hitam. Aku tak sekejam yang kau bayangkan. Aku bisa mengampunimu,
kalau saja kau mau bertobat dari jalan yang sesat"
Dug!
Kelabang Hitam membanting
kakinya keras menimpali perkataan Jaka.
"Tak sudi aku mendengar
khotbahmu, Raja Sinting!" maki Grandawa berang. "Terimalah seranganku!"
"Hiyaaa...!"
Jaka yang memang sudah
mengalungkan lagi Pedang Petir di lehernya, segera saja bersiap menerima
kedatangan serangan. Sementara Kelabang Hitam sudah mengangkat tangannya yang
menggenggam pecut berbentuk kelabang.
Ctar! Ctar!
Raja Petir langsung melenting
ke udara. Dan seketika tangannya bergerak lincah, menangkap lidah pecut itu.
Tap!
Begitu mendarat, langsung
ditariknya lidah pecut milik Kelabang Hitam.
Bret! "Hops!"
Grandawa memang tak menyangka kalau lawannya berani menangkap pecut kelabangnya
dengan tangan telanjang. Bahkan juga tak menduga akan mendapat betotan keras
yang begitu cepat. Kini Kelabang Hitam berusaha sekuatnya untuk menahan betotan
tenaga lawan yang hendak merebut pecutnya.
"Hhh...!"
Keringat sebesar butir-butir
jagung meleleh turun dari dahi Grandawa yang tengah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk mempertahankan senjata. Seluruh urat dan otot tubuhnya terlihat
menegang.
"Kauterimasekarangaji'KukuhKarang'ku,
Kelabang Hitam," ucap Raja Petir tenang. Maka seketika itu juga sinar
kuning menyilaukan mata nampak membungkus Raja Petir dari bagian dada hingga
kepala, dan bagian lutut
hingga ujung kaki.
Sinar kuning menyilaukan itu
seketika juga menjalar, merambat lewat pecut berbentuk kelabang milik Grandawa.
"Akh!"
Si Kelabang Hitam terpekik
keras ketika merasakan hawa panas menjalari tubuhnya. Dan seketika itu juga,
dirinya sudah terkurung sinar kuning kemilau yang tercipta akibat ajian 'Kukuh
Karang'.
"Aaa...!"
Pada saat tubuh si Kelabang
Hitam sudah betul-betul tanpa daya, sebuah pekik kematian terdengar membubung
tinggi ke langit. Tampak sosok lelaki berpakaian warna hijau mental ke belakang
dengan bagian leher koyak mengucurkan darah. Payung emas Mayang rupanya telah
menghentikan perlawanan lelaki yang berjuluk Cengcorang Sakti Lembah Setan.
Bahkan seketika itu juga sudah menjadi mayat dengan leher berlumuran darah.
"Kakang! Jangan
dibunuh!" teriak Mayang setelah menyelesaikan pertarungannya.
"Kenapa, Mayang?"
tanya Jaka berpurapura. Padahal, memang dia tak berniat membunuh si Kelabang
Hitam.
"Kelabang Hitam bisa
digunakan untuk menyelamatkan Ki Amertagi yang ditawan dan akan digantung pihak
kerajaan," jelas Mayang.
"Baiklah, Mayang!"
ucap Jaka.
Kemudian tangan Jaka bergerak
cepat menotok bagian tubuh Grandawa yang tanpa daya lagi.
Tuk! Tuk! "Aaa...!"
Kelabang Hitam terpekik
mendapatkan totokan pada tangannya. Seketika itu juga, uraturat tangannya
terasa seperti mati.
"Sekarang kau ikut aku ke
Kerajaan Sutera Bayu," tukas Jaka. "Kau harus memulihkan kekacauan
yang terjadi di sana."
"O, ya. Di mana anak
kembar Ki Jagil, Kakang?" tanya Mayang mengingat dua bocah yang telah
diselamatkan kekasihnya. "Dia ada di rumah penduduk Desa Bladar ini,"
jawab Jaka. "Apa perlu mereka kita bawa serta ke Kerajaan Sutera
Bayu?"
"Rasanya tidak perlu,
Kakang," jawab Mayang.
"Kalau begitu, sekarang
juga kita bawa lelaki ini ke Kerajaan Sutera Bayu," putus Jaka.
"Ayo, Kakang."
***
Puluhan prajurit Kerajaan
Sutera Bayu langsung menghunus senjata melihat kedatangan sepasang pendekar
muda yang membawa serta si Kelabang Hitam. Awalnya para punggawa melarang
mereka untuk menemui Prabu Setyagara. Namun karena Kelabang Hitam yang meminta,
maka mereka tak kuasa menolak. Dan mereka pun segera melangkah memasuki Balai
Sema Agung.
Sebentar saja, mereka telah
berhadapan dengan Prabu Setyagara yang duduk di singgasana dalam Balai Sema
Agung.
"Yang Mulia," kata
Jaka, begitu tiba di hadapan sang Prabu. "Ketahuilah, akulah orang yang
telah mengacaukan jalannya persembahan sesat yang kau lakukan. Aku tahu, kau
melakukannya atas perintah Kelabang Hitam yang menolongmu menduduki tahta
kerajaan. Dan kau tak kuasa untuk menolak, mengingat kesaktiannya. Maka dengan
dalih untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat mu, kau bersedia membantu
Kelabang Hitam dalam mempelajari ilmu sesat."
Prabu Setyagara tak membantah
ucapan Raja Petir. Meski tatapan matanya nampak tak senang melihat sikap tokoh
muda yang tak menaruh rasa hormat padanya.
"Sekarang, Kelabang Hitam
telah kutundukkan. Apakah kau akan menghilangkan acara persembahan sesat
itu?" desak Raja Petir.
Seperti kerbau tercocok
hidung, Prabu Setyagara seketika menganggukkan kepala.
"Terimalah hormatku, Yang
Mulia Prabu Setyagara," tiba-tiba saja Raja Petir membungkukkan tubuhnya.
"Hamba minta, berlakulah secara adil dan bijaksana untuk ketenteraman dan
kedamaian rakyat mu."
Prabu Setyagara terharu
menyaksikan sikap lelaki muda yang berjuluk Raja Petir.
"Aku berjanji akan
merubah kekeliruanku. Raja Petir. Aku menyadari kekeliruanku yang merebut tahta
secara tidak sah. Aku berjanji, pada saatnya nanti kekuasaan ini akan
kuserahkan kepada keponakan yang bernama Bintang Megantara. Memang dialah yang
berhak atas tahta ini. Dan setelah itu, aku akan menyerahkan diri, karena
memang akulah yang menjadi dalang kekacauan di kerajaan ini.
"Terima kasih, Yang
Mulia. Kuserahkan lelaki tanpa daya ini, biar pengadilan kerajaan yang
mengurusnya," ujar Jaka.
Tubuh Raja Petir lalu
berbalik. "Ayo, Mayang," ajak Jaka pada kekasihnya. 'Tinggallah
kalian di istanaku," tahan Pra-bu Setyagara, "Apakah besok pagi
kalian tak ingin melihat upacara penyerahan kekuasaan?"
"Rasanya orang-orang di
sini sudah cukup untuk menjadi saksi atas upacara yang mulia itu. Dan hamba
menghaturkan terima kasih. Permisi." Jaka dan Mayang bergerak meninggalkan
Balai Serna Agung Kerajaan
Sutera Bayu. Sementara Prabu Setyagara hanya mampu menatap kepergian sepasang
pendekar muda dengan hati tergugah untuk kembali ke jalan yang benar.
"Bebaskan, Patih Abadi
Selaksa dan Kepala Desa Gandaragi" perintah Prabu Setyagara pada
prajuritnya. "Juga, panggilkan Bintang Megantara dan ibunya."
Angin berhembus lembut di
langit Kerajaan Sutera Bayu, seolah ingin membawa kabar akan kedamaian yang
membias di Kerajaan Sutera Bayu. Sementara, sepasang pendekar muda yang tak
lain Raja Petir dan Dewi Payung Emas terus bergerak menjauhi kerajaan yang
telah terselamatkan dari kekacauan.
SELESAI
No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 19: Persembahan Raja Setyagara"
Post a Comment