Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 22: Cinta Tokoh Sesat
Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 22: Cinta Tokoh Sesat
1
Langit sore di Desa Kertanira
dipenuhi barisan awan yang berarak. Hembusan angin bertiup agak kencang
menerbangkan daun-daun hingga berguguran di tanah. Tampak sepasang muda-mudi
berpakaian kuning keemasan dan jingga bergerak meninggalkan perbatasan Desa
Kertanira. Di hadapan sepasang muda-mudi yang tak lain Jaka Sembada dan Mayang
Sutera membentang sebuah jalan yang hanya bisa dilalui dua ekor kuda berjalan
sejajar. Di samping kanan jalan terdapat pemandangan hutan dengan kelebatan
pohon-pohon besar yang berdaun rimbun. Hutan waru-waru itulah yang menjadi
perbatasan Desa Kertanira dengan desa tetangganya.
"Sore ini hujan mungkin
akan turun dengan deras, Kakang. Kita harus secepatnya menemukan rumah
penginapan," ucap gadis cantik berambut panjang dikepang dengan langkah
panjang-panjang menelusuri jalan kecil.
Pemuda tampan berambut ikal
terurai tidak menimpali ucapan kekasihnya. Sepasang matanya yang cemerlang dan
terkesan begitu jantan menatap wajah cantik gadis berpakaian jingga yang begitu
dicintainya.
"Kau takut dengan air
hujan, Mayang?" tanya Jaka kemudian dengan tatapan mesra yang tertuju
dalam ke wajah kekasihnya.
Mayang Sutera membalas tatapan
Jaka. Tangannya kemudian bergerak menyentuh dagu lelaki muda digdaya yang
berjuluk Raja Petir. Gerakan itu dilakukannya dengan segenap kemesraan dan
cinta kasih.
"Kakang ingin kita mandi
air hujan sore ini?" Mayang Sutera balik bertanya.
Jaka tersenyum. Dengan langkah
tetap, segera dirangkul bahu kekasihnya. "Tentu saja tidak, Mayang. Kakang
khawatir kau masuk angin," jawab Jaka, suaranya terdengar begitu merdu di
telinga Mayang Sutera.
"Ah, Kakang," timpal
Mayang Sutera. Dirangkulnya pinggang Jaka.
Sepasang kekasih yang telah
menjalin hubungan cukup lama itu, meneruskan perjalanan dengan bergandengan.
Sementara langit di perbatasan Desa Kertanira masih terlihat cemberut bak
dompet tanggung bulan. Tangisnya belum lagi tumpah mengguyur persada yang
tengah dibelai tiupan angin.
"Kakang," panggil
Mayang Sutera dengan sedikit manja.
"Ya. Ada apa, Mayang
Sutera?"
"Saat ini aku tengah
merasakan perasaan yang betul-betul lain dengan perasaanku pada hari-hari
kemarin," tukas Mayang Sutera dengan tatapan mata tertuju lurus ke depan.
"Perasaan lain bagaimana
maksudmu, Mayang?" tanya Jaka ingin tahu.
Mayang Sutera kembali melempar
pandangannya ke wajah tampan Jaka. Sepasang Matanya terlihat sayu.
"Katakanlah, Mayang.
Perasaanmu yang bagaimana," desak Jaka menyaksikan kelakuan kekasihnya.
"Aku takut kehilangan
kau, Kakang," jawab Mayang Sutera. Suaranya terdengar sedikit parau.
"Ha ha ha...,"
tiba-tiba Jaka tertawa menimpali ucapan Mayang Sutera.
"Hentikan tawamu,
Kakang!" bentak Mayang Sutera dengan suara ditekan sedalam mungkin,
"Aku sungguh-sungguh. Sejak pagi perasaan takut akan kehilangan dirimu
kurasakan begitu kuat," lanjut Mayang Sutera. Tangannya mencekal erat
pergelangan kekasihnya.
"Jangan terlalu jauh
bermain-main dengan perasaanmu, Mayang," tutur Jaka menimpali kesungguhan
kekasihnya. "Kalau menuruti perasaan, aku pun takut kehilanganmu. Aku
takut kehilangan orang yang kucintai dan kusayangi," lanjutnya dengan
merapatkan tubuh kekasihnya.
"Kakang "
"Tolooong !"
Mayang Sutera tidak jadi
meneruskan kalimatnya. Teriakan itu terdengar cukup jelas. Teriakan seorang
perempuan.
Pelukan Jaka pada tubuh Mayang
Sutera seketika mengendur. Tatapan mata lelaki muda nan gagah itu beralih ke
arah datangnya suara.
"Kita ke sana, Mayang
Sutera. Orang itu pasti memerlukan pertolongan kita," ajak Jaka. Kakinya
sudah maju selangkah.
"Ayo, Kakang," sahut
gadis cantik berambut kepang itu. Langkah kakinya terayun menuju suara jeritan.
Jaka dan Mayang Sutera
bergerak cepat. Beberapa saat kemudian sepasang tokoh muda itu tiba di hadapan
seorang perempuan yang tengah diperlakukan tidak senonoh oleh lima orang lelaki
bertubuh kekar. Semuanya mengenakan pakaian berwarna hitam.
Bret! "Ihhh!"
"Hentikan!"
Lima lelaki kekar yang
memegangi dan membetot pakaian perempuan cantik berkulit putih itu serentak
menoleh. Sementara si Perempuan segera membetulkan pakaiannya yang robek
memperlihatkan bagian tubuhnya yang menimbulkan rangsangan nafsu birahi.
Salah seorang dari kelima
lelaki itu bergerak tiga langkah menghampiri Mayang Sutera dan Jaka. Dia lelaki
tinggi besar bercambang bauk lebat. Rahangnya menonjol kuat. Sementara matanya
yang setajam burung elang tertuju lurus ke wajah Jaka.
"Kenapa kau berani
mencampuri urusan orang lain?" tanya lelaki bercambang bauk dengan suara
berat ditekan. Jelas lelaki itu marah dengan bentakan Jaka.
"Maaf," sambut Jaka.
Sikapnya tampak begitu tenang. "Aku hanya mencegah perbuatan kalian yang
sangat tidak pantas dilihat mata. Sedikit pun aku tidak ingin melancangi diri
kalian," lanjut Jaka.
"Mencegah perbuatan kami
sama artinya melancangi diri kami! Kalian berdua tahu akibat orang-orang yang
berbuat lancang? Bagi kami kematianlah yang pantas untuk orang-orang seperti
kalian."
"Ah. Jangan berkata
seperti itu, Kisanak. Jangan bicara soal kematian. Menurutku, hal itu belum
pantas kita bicarakan sekarang. Aku takut Tuhan murka. Kematian hanyalah Dia
yang pantas menentukan kapan datangnya," bantah Jaka merendah.
"Tolong aku, Tuan. Tolong
aku," rintih perempuan cantik. Tangannya dipegangi empat lelaki berpakaian
hitam. "Lepaskan aku dari lelakilelaki bejat ini!" pakaian perempuan
yang berwarna cok-lat itu sobek di bagian tubuh yang rawan hingga menampakkan
lekuk tubuh moleknya yang menggiurkan.
"Kuminta lepaskan
perempuan itu, Kisanak. Jangan terlalu memaksakan kehendak yang orang lain tidak
menginginkan. Itu perbuatan kurang baik," ucap Jaka menasihati lelaki
bercambang bauk lebat
"Sudah, Kakang Jalantana!
Bunuh saja bocah ingusan itu. Tapi temannya yang perempuan jangan, biarkan kita
"
"Aku mengerti maksudmu,
Kalaga! Teman bocah ingusan ini lebih cantik daripada perempuan yang kau
pegangi itu. Ambillah dia untukmu, Kalaga. Biar aku yang ini saja," potong
lelaki bercambang bauk yang ternyata bernama Jalantana. Jari telunjuknya
menuding wajah cantik bernama Mayang Sutera. "Kubur mimpi indahmu itu,
Jalantana!" bentak Mayang Sutera tidak mempedulikan keadaan lelaki
bercambang bauk yang usianya jauh lebih tua dari dirinya. "Jangan anggap
semua perempuan lemah. Kau bisa celaka nanti!" telunjuk Mayang Sutera
menuding wajah brewokan Jalantana.
"Biar aku yang bekuk
perempuan banyak bacot itu, Kakang Jalantana!" Kalaga tiba-tiba melayang
menghampiri Mayang Sutera.
"Ha ha ha "
Mayang Sutera terbahak saat
Kalaga mendarat di hadapannya. Tawa geli kekasih Raja Petir yang disertai
gerakan tangan menutup mulut membuat Kalaga dan Jalantana terheran-heran. Jaka
pun keheranan melihat sikap kekasihnya.
"Dia ingin membekuk
diriku, Kakang. Tapi.... Apakah Kakang tidak melihat cara dia melakukan
gerakan? Ha ha ha.... Seperti bocah cilik yang baru belajar berlari," ucap
Mayang dengan tawa berderai.
"Gadis gila! Kucincang
tubuhmu!" Kalaga naik pitam melihat dirinya ditertawakan gadis cantik di
hadapannya itu.
"Keinginanmu itu yang
gila, Kalaga. Gurumu saja kuyakin tidak berani bersikap sombong di hadapanku,"
lanjut Mayang Sutera yang menjatuhkan perasaan Kalaga. "Dalam dua jurus
saja kau dapat menjatuhkanku, aku bersedia menjadi istrimu," Mayang Sutera
rupanya sudah bisa mengukur kemampuan Kalaga dari cara lelaki berkumis tipis
itu melesat. Gerakannya masih kaku dan kasar.
"Perempuan sombong!
Jangan menyesal kalau aku betul-betul mampu membuktikan ucapanmu," tandas
Kalaga. Kakinya bergerak, membentuk kuda-kuda. Sedangkan tangannya mengepal
kuat memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang besar.
"Ayo, mulailah serang
aku," tantang Mayang Sutera.
"Gadis gila!" maki
Kalaga. Wajahnya kemerahan terbakar amarah.
"Hiyaaa...!" Buet!
Sebuah pukulan serong yang
mengandung kekuatan tenaga dalam dikerahkan Kalaga ke arah iga Mayang Sutera.
Namun sayang serangan itu hanya membentur tempat kosong. Sejengkal lagi kepalan
keras itu mematahkan tulang-tulang gadis cantik berpakaian jingga, ia sudah
berkelebat cepat meninggalkan tempatnya.
"Setan!" Kalaga
memaki melihat serangannya membentur angin hingga tubuhnya terbetot oleh
tenaganya sendiri.
"Ha ha ha...,"
Mayang Sutera tertawa menyaksikan sikap Kalaga. "Jangan cepat menyerah
seperti anak kecil, Kalaga. Kau mesti malu dengan tubuhmu yang sebesar kerbau
sawah!"
"Setan! Hiyaaa...!"
Kalaga kembali melesat cepat.
Pukulan yang dilakukannya kini tidak lagi serong dari arah kanan. Kepalannya
tertuju lurus ke dada kekasih Raja Petir. "Lelaki cabul! Aku ingin tahu
seberapa besar tenagamu!" sentak Mayang Sutera menyiapkan tangannya di
depan dada untuk menyambut serangan Kalaga.
Plak!
"Akh!" Kalaga
terpekik ketika pukulannya dihalau telapak tangan Mayang Sutera yang terbuka.
Tubuhnya terhuyung empat langkah ke belakang.
"Ha ha ha...,"
Mayang Sutera kembali terkekeh. Sengaja hal itu dilakukannya untuk memancing
kemarahan lawan.
"Kau Jalantana! Kenapa
tidak membantu temanmu?" ucap Mayang Sutera dengan jari menunjuk lelaki
bercambang bauk. "Tidak baik berpangku tangan seperti itu. Bantulah
temanmu yang tengah memerlukan bantuan, Jalantana."
Merah wajah Jalantana
mendengar ucapan Mayang Sutera.
"Atau.... Kalau kau
takut, ajak serta ketiga temanmu itu untuk mengeroyokku," tukas Mayang
Sutera lagi.
"Kau memang benar-benar
gadis liar! Songsong seranganku! Hiyaaa...!" tubuh Jalantana berkelebat
dengan pukulan lurus ke batok kepala Mayang Sutera. Bunyi angin berdecit
mengiringi datangnya serangan yang tidak main-main dan dibarengi tenaga dalam
cukup tinggi itu.
Bet! "Uts!"
Nasib yang sama dialami
Jalantana. Pukulannya menghantam tempat kosong saat tubuh langsing Mayang
Sutera berkelebat cepat mempergunakan jurus 'Menepak Laut Menggenggam Air'.
Gerakan yang dilakukan Mayang Sutera memang tidak mampu dibaca Jalantana.
Lelaki brewok itu tidak tahu kalau gerakan menghindar lawan adalah serangkaian
gerakan yang bertujuan melakukan serangan balasan.
"Jaga dadamu, Jalantana!
Hih!"
Terkesiap Jalantana menyadari
kepalan tangan gadis cantik berpakaian jingga sudah berada di depan dadanya.
Dengan sekenanya Jalantana memiringkan tubuhnya ke kanan.
Apa yang dilakukan Jalantana
untuk menghindari sambaran tangan Mayang Sutera memang sudah betul. Namun bagi
Mayang Sutera gerakan itu terlalu ceroboh. Dengan hanya memasukkan sepakan kaki
kirinya, tubuh lawan akan terlempar.
"Jaga tendanganku,
Jalantana!" beritahu Mayang Sutera sebelum kembali melancarkan serangan
susulan.
Teriakan Mayang Sutera tentu
saja menguntungkan Jalantana. Lelaki bercambang bauk lebat itu melempar
tubuhnya sebelum telapak kaki Mayang Sutera menghantam dadanya. Jalantana
bergulingan di tanah.
"Tolooong...!"
Saat Jalantana kembali
bangkit, sebuah teriakan kembali terdengar. Kali ini dari arah utara
pertarungan. Jaka menoleh ke arah datangnya teriakan.
"Tolonglah kawanku,
Kisanak. Tolonglah dia. Di sebelah utara sana pasti kelima lelaki tengah
memperlakukan kawanku tidak senonoh. Tolonglah kawanku, Kisanak," ucap
perempuan cantik yang dipegangi tiga lelaki berpakaian hitam.
"Kau atasi mereka,
Mayang. Biar aku menolong kawan wanita ini," ucap Jaka, kemudian bergerak
cepat ke arah utara. Begitu cepatnya gerakan Jaka hingga sekejap saja tubuhnya
sudah menghilang dari hadapan Mayang Sutera yang kini menghadapi lima lelaki
berpakaian hitam.
"Kalian para lelaki cabul
memang harus diberi pelajaran. Akan kubuat wajah-wajah kalian menjadi jelek.
Ayo, majulah kalian semua!" tantang Mayang Sutera.
"Ha ha ha...!"
Mayang Sutera tertegun
menyaksikan kelima lelaki berpakaian hitam tertawa bersamaan. Padahal, sejak
awal perjumpaan sedikit pun tidak terlihat senyum pada wajah-wajah lelaki
bertubuh kekar itu. Yang lebih mengejutkan lagi, gadis yang hendak ditolong
Mayang Sutera ikut tertawa keras. Tawanya mengikik membuat gadis cantik kekasih
Raja Petir semakin dipenuhi tanda tanya.
"Gadis cantik! Jangan kau
sangka aku berhasil kau tundukan," ucap Jalantana seraya menunjuk-nunjuk
wajah Mayang Sutera. "Jurusjurus yang kugunakan untuk menyerangmu hanyalah
kembangnya saja. Sekarang "
"Kalian memang pandai
menutupi rasa malu," potong Mayang Sutera sengit
"Tidak! Akan kami
buktikan kalau hanya dalam beberapa gebrakan kau berhasil kami tundukan. Dan
akan kami bawa ke hadapan Gagak Sugih Pengasung. Jujunganku itu begitu
tergilagila padamu. Dia bertekad akan mempersuntingmu, Gadis Cantik.
Beruntunglah kau, karena Gagak Sugih Pengasung menaruh cinta yang tulus padamu.
Meskipun dia hanya melihat kecantikan wajahmu pada bola kristal sakti yang
dimilikinya," tutur Jalantana panjang lebar.
Mayang Sutera terpaku
mendengar penuturan lelaki tinggi kekar bercambang bauk lebar. Mata indahnya
terbelalak sedikit. Namun kemudian kekasih Raja Petir itu sadar.
"Aku tidak kenal tuan
kalian. Mana sudi aku dibawa ke hadapannya!" bentak Mayang Sutera keras.
"Kami akan membawamu
secara paksa, Nisanak," kilah perempuan cantik berpakaian coklat yang
semula hendak diselamatkan Mayang Sutera.
"Hm.... Jadi kalian sengaja
melakukan sandiwara ini untuk mengecohkanku? Hhh! Jangan harap kalian bisa
melakukannya dengan segampang yang kalian kira," bantah Mayang Sutera.
Sebelah kakinya diseret untuk mengatur kedudukan.
"Jangan main-main dengan
kami, Nisanak. Kau rupanya tak ingin mendapat peruntungan bersanding dengan
majikanku Gagak Sugih Pengasung. Bersiaplah!" ucap Jalantana tegas. Kata
terakhirnya dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Mayang Sutera sempat terkejut
mendengar ucapan terakhir Jalantana. Sungguh Mayang Sutera mengira Jalantana
adalah lelaki yang baru kemarin sore mengenal ilmu silat. Namun
kenyataannya....
"Aku harus hati-hati menghadapi
mereka ," ucap Mayang Sutera dalam hati.
Srrrrt! Srrrrt !
Jalantana, Kalaga, dan gadis
cantik berpakaian coklat meloloskan senjata dari balik lipatan pakaiannya.
Senjata yang nyaris dikatakan sebagai selendang, namun berlubang-lubang seperti
jaring laba-laba. Senjata yang terbuat dari sutera mengkilat itu sekilas nampak
tidak memiliki keampuhan apa-apa. Tetapi ketika ketiga lawan Mayang Sutera
mengerahkan tenaga dalam, seketika itu juga terlihat kalau senjata-senjata itu
begitu berbahaya. Jaring yang terkembang itu menjadi begitu besar, melebihi
wujud aslinya. Bagian ujung jaring itu sangat runcing dan berwarna kehijauan.
Seperti mengandung racun.
Mayang Sutera segera dapat
membaca kalau ketiga lawan di hadapannya itu bukanlah orang-orang yang berilmu
rendah, gadis itu segera mengambil payung kecil berwarna keemasan dan
disilangkannya di depan dada.
"Hhh.... Bagus! Kau
memang gadis yang sukar untuk diajak berlembut-lembut. Maaf, kalau aku harus
berbuat kasar! Hiyaaa !"
Jalantana melesat cepat.
Gerakannya tak sekaku ketika menyerang Mayang Sutera pertama kali tadi. Gerakan
Jalantana sangat ringan namun nampak keganasannya dari deru angin yang
ditimbulkan.
"Hiyaaa...!"
"Haaat..!"
Kalaga dan gadis berpakaian
coklat pun segera mengiringi serangan Jalantana. Tubuh keduanya bergerak tak
kalah cepat. Deru angin keras mengiringi datangnya serangan yang mengandung
tenaga dahsyat itu. Kini gadis cantik berjuluk Dewi Payung Emas terkepung dari
tiga arah.
Rrrt..!
Tanpa sungkan-sungkan lagi,
gadis cantik kekasih Raja Petir itu mengembangkan senjatanya. Ujung-ujung
payungnya tampak begitu runcing
***
2
Sore belum beranjak menjadi
malam. Rona jingga masih menggantung di langit Jaka yang tengah mencari suara
yang minta pertolongan berdiri tegak penuh kewaspadaan. Sepasang matanya yang
tajam bergerak-gerak.
"Hm.... Apa perempuan
yang berteriak barusan sudah dihabisi nyawanya? Dan mereka yang melakukan
kejahatan itu kini bersembunyi...?" Jaka bertanya-tanya sendiri dengan
tatapan terus men-cari-cari.
Belum setegukan teh lamanya
Jaka terpaku, tampak dari balik sebatang pohon besar melesat tiga kelebatan
sosok bayangan berturutturut
"Hei! Berhenti,
kalian!" terdengar bentakan Jaka cukup keras. Sementara kedudukannya tetap
seperti semula, tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.
Namun melihat bentakannya
tidak digubris ketiga sosok yang tengah berlari cepat itu, tokoh muda digdaya
yang berjuluk Raja Petir itu cepat menghentakkan kaki. Tubuhnya seperti anak
panah terlepas dari busur, melesat cepat mengejar sosok-sosok tubuh yang
menimbulkan kecurigaannya. Apalagi salah satu di antara sosok itu nampak
memanggul tubuh seseorang. Jaka semakin mempercepat pengejarannya.
Tiba-tiba, setelah Jaka
melakukan pengejaran sejauh lebih kurang delapan tombak, ketiga sosok yang
dikejarnya seketika menghentikan lari. Sungguh Jaka tidak menyangka dengan apa
yang dilakukan orang-orang itu. Mungkin mereka sudah memutuskan untuk
menghadapinya? Karena dirinya sendirian?
"Kenapa kau mengejar
kami?" tanya lelaki bertubuh tinggi tegap. Wajahnya tidak menunjukkan
ketakutan. Begitu pula dengan sikapnya yang seperti tidak sedang melakukan
kesalahan.
Jaka tidak segera menyahuti
pertanyaan lelaki yang baru disadari ketampanan wajahnya itu. Lelaki itu tidak
memiliki keangkeran seperti tokoh-tokoh jahat yang sering melakukan penculikan
terhadap anak gadis.
"Tuan-tuan," ucap
Jaka dengan tekanan suara yang mengesankan kewibawaannya. "Di bahu salah
seorang dari kalian terpanggul perempuan tanpa daya, itu dapat dijadikan
jawaban atas pertanyaan yang kau lemparkan," Jaka menunjuk sosok perempuan
yang terpanggul di pundak lelaki bertubuh pendek kekar.
"Hm.... Jadi kau
mencurigai kami?" tanya lelaki tinggi besar berwajah tampan. Tatapannya
menusuk dan berkesan menyelidik lelaki berpakaian jingga di hadapannya.
"Jelas," sahut Jaka
tanpa mempedulikan tatapan lelaki berwajah tampan yang mengenakan pakaian
berwarna kuning. Pada pinggiran lengannya terdapat perpaduan biru laut dan
merah menyala.
"Apa alasanmu mencurigai
kami?" tanya lelaki berwajah tampan.
"Jeritan minta tolong itu
yang membuatku mencurigai kalian. Jeritan seorang perempuan yang kupastikan
perempuan itu," sambut Jaka menunjuk perempuan yang diam di panggulan
lelaki bertubuh pendek kekar.
"Hm.... Jadi itu,"
gumam lelaki berpakaian kuning. "Dima! Turunkan perempuan itu,"
perintah lelaki berwajah tampan pada rekannya yang bertubuh pendek kekar.
Lelaki yang memanggul
perempuan itu tidak membantah perintah lelaki berwajah tampan. Dia menurunkan
tubuh perempuan yang terlihat tanpa daya.
Namun kemudian keterkejutan
dialami Jaka. Perempuan yang baru menjejakkan kaki di bumi itu berdiri tegak
dengan kedua tangan bertolak pinggang. Sikap menantang jelas-jelas
diperlihatkannya.
"Terima kasih, Dima. Kau
telah berlelahlelah memanggulku," ucap gadis berpakaian hijau muda dengan
kerling mata genit tertuju pada lelaki pendek kekar.
"Sewindu lamanya pun aku
bersedia memanggul tubuhmu, Ayuning," jawab Dima membalas kerlingan mata
gadis berkulit putih itu.
"Lupakan itu, Dima. Kita
harus menghadapi anak muda ini," kilah perempuan cantik bernama Ayuning.
"Bukan begitu, Kakang Biraja," lanjut Ayuning. Tatapan matanya
terarah pada lelaki berwajah tampan.
"Kau benar, Ayuning. Kita
harus segera menyingkirkan Raja Petir biar Gagak Sugih Pengasung bisa
sepenuhnya memiliki gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas," jawab
Biraja mantap.
Jawaban itu tentu saja membuat
Jaka terkejut. Dia segera sadar bahwa apa yang telah dilakukan Biraja dan
kawan-kawannya adalah upaya untuk mengelabuinya. Kesimpulan Jaka mengatakan
kalau orang-orang yang berhadapan dengan Mayang Sutera adalah juga orang-orang
yang bekerja untuk Gagak Sugih Pengasung. Oh, siapakah dia? Kenapa menginginkan
Mayang Sutera?
"Raja Petir!" sentak
Ayuning membuat Jaka terjaga dari pikirannya. "Sekarang kujelaskan padamu
agar kau tidak penasaran. Sesungguhnya aku punya junjungan yang sudah lama
jatuh hati pada gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas, yang kemudian
setelah kuselidiki ternyata kekasih seorang tokoh muda berkepandaian tinggi
yang berjuluk Raja Petir. Perlu kau ketahui, sebenarnya aku berat melakukan
perintah Gagak Sugih Pengasung. Kau mau tahu mengapa? Oh, sesungguhnya aku
sangat mencintai Gagak Sugih Pengasung. Dia bukan saja tampan, tetapi juga
begitu perkasa dalam segala hal, termasuk permainan di atas ranjang. Namun
untuk menolak permintaannya adalah suatu hal yang mustahil. Gagak Sugih
Pengasung berwatak keras. Kekejamannya akan berlipat-lipat jika keinginannya
yang sudah mencapai ubun-ubun dibantah
orang. Aku tidak ingin tubuhku dikulitinya. Lebih baik kuturuti saja
perintahnya untuk menyingkirkan kau dan menundukkan Dewi Payung Emas, kemudian
menyerahkannya pada junjungan kami," jelas Ayuning. "Karena itu kami
segera menyusun sandiwara ini."
"Betul, Raja Petir,"
sambut lelaki berpakaian hitam yang bertubuh tinggi kurus seperti galah.
"Aku merasa seperempat keberhasilan itu telah kami raih."
"Hm Kau pikir semudah
itu?" tanya Jaka
dengan sikap yang tidak
terpengaruh ucapan keempat orang di hadapannya.
"Ya. Memang tidak semudah
itu. Raja Petir. Kuakui Dewi Payung Emas bukanlah gadis sembarangan.
Kemampuannya di rimba persilatan cukup diperhitungkan. Namun keyakinanku
mengatakan Jalantana dan kawan-kawannya akan berhasil mengatasi kehebatan
kekasihmu. Gagak Sugih Pengasung telah memberikan Jalantana serbuk ganas yang
diberi nama Serbuk Perampas Ingatan Gagak Paruh Emas. Aku yakin Dewi Payung
Emas tak akan kuasa menghadapi ramuan Gagak Sugih Pengasung itu," ucap
Biraja menambahi.
Ada kekhawatiran di dalam hati
Jaka. Namun pendekar muda yang matang pengalaman itu mencoba menyembunyikannya.
Seketika Jaka ingin meninggalkan ketiga lelaki dan seorang perempuan itu. Namun
ketika dipikirkan kemudian, hal itu mustahil dilakukannya. Di samping empat
orang itu akan mengejarnya, dia juga merasa malu untuk pergi begitu saja
seperti seorang pengecut. Lagi pula Jaka tidak yakin kalau Mayang Sutera akan
mudah ditundukkan.
"Raja Petir! Kau sudah
terjebak. Aku yakin kekasihmu kini tengah menuju istana Gagak Sugih Pengasung.
Sekarang giliranmu berangkat menuju Istana Neraka," ucap lelaki tinggi
kurus. Tulang-tulangnya yang kasar terlihat jelas bersembulan keluar. Matanya
seperti tidak berhenti membelalak.
Jaka hanya menanggapi ucapan
lelaki yang mirip tengkorak hidup itu dengan senyum meleceh. Tampak lelaki
kurus berpakaian hitam semakin lebar membelalakkan matanya.
"Maaf, Tuan," ucap
Jaka dengan tatapan mata teduh terarah ke wajah lelaki tinggi kurus.
"Kalau boleh aku tahu, masih jauhkah letak Istana Neraka yang kau katakan
tadi? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat itu?" tanya
Raja Petir dengan tenangnya.
Lelaki tinggi kurus tampaknya
mengerti dengan pertanyaan Jaka, begitu juga ketiga rekannya. Keempat orang itu
saling bertatapan.
"Hm.... Dia merasa
dirinya paling jago di rimba persilatan ini, Kakang Biraja. Pertanyaannya
membuktikan kalau dia memandang kita dengan sebelah mata. Huh! Kau harus mampus
di tanganku, Raja Edan!" sentak lelaki tinggi kurus bernama Sarga.
Tubuhnya kemudian dengan cepat berpindah tempat. Tahu-tahu dia sudah berdiri
dua batang tombak di samping kanan Jaka.
Melihat Sarga telah melompat
mendekati Raja Petir, Biraja, Dima, dan Ayuning pun menghentikan kakinya
melakukan hal yang sama.
"Hop!"
"Yeah!"
"Kita habisi dia
sekarang, Sarga!" ucap Biraja mantap dengan kedua tangan yang tiba-tiba
sudah menggenggam sepasang pedang berukuran tanggung.
Srt! Srt! Srt..!
Ayuning, Dima, dan Sarga
segera meloloskan pedang mereka. Senjata-senjata telanjang itu terhunus dengan
tangan yang tak lama kemudian terlihat bergetar.
"Hiyaaa...!"
diiringi teriakan yang cukup keras, tubuh Biraja melesat menerjang sosok Jaka.
"Hm "
Dengan ketenangan yang luar
biasa Jaka bergumam tak jelas. Tubuhnya dengan ringan bergerak cepat
menghindari sambaran senjata Biraja yang terarah ke leher dan lambungnya.
"Jangan bangga dulu. Raja
Petir!
Wuuung...!"
Baru sesaat Jaka terbebas dari
ancaman mata pedang Biraja, ujung pedang milik gadis cantik bernama Ayuning
mengancam tenggorokannya. Gerakan menebas yang dilakukan gadis berpakaian hijau
itu demikian cepat dan dahsyat Deru angin dan bunyi mendengung membuktikan
kalau serangan itu dilakukan dengan mengerahkan tenaga dalam tinggi.
"Uts!"
Jaka memiringkan tubuhnya
dengan menarik lehernya sedikit ke belakang. Gerakan yang dilakukan Jaka karena
kepekaannya merasakan ada serangan bokongan. Maka ketika ujung senjata Ayuning
lolos beberapa rambut dari lehernya, Jaka segera menghentakkan kakinya
kuat-kuat. Pemuda itu melakukan gerakan berputar ke belakang.
"Hup!" Buet!
Pada saat yang bersamaan,
ketika tubuh Jaka telah melenting ke udara, serangan bokongan Dima tiba.
Serangan lelaki pendek kekar itu membentur tempat kosong. Bahkan tubuh kekarnya
harus merasakan sodokan kaki Raja Petir yang terayun cepat ke bagian punggung.
Blugkh! "Hekh!" Dima
terhuyung-huyung ke depan beberapa langkah. Dia berusaha sebisanya menahan daya
dorong itu agar tidak tersungkur ke tanah. Namun gagal, tendangan Jaka yang
cukup keras membuat wajah lelaki bertubuh pendek kekar itu harus mencium tanah.
Jaka tak sempat lagi melihat
bagaimana wajah Dima ketika mencium tanah. Dia harus kembali menghadapi
serangan ketiga lawannya yang berusaha secepatnya melenyapkan nyawanya.
"Hiyaaa...!" Bet!
Bet!
Dengan menggunakan ilmu
'Lejitan Lidah Petir' Jaka bergerak lincah menghindari serangan-serangan ganas
Biraja, Ayuning, dan Sarga. Bahkan dari jurus 'Petir Menyambar Elang' Jaka
berhasil memperdaya lelaki berwajah tampan yang menjadi otak penyerangan.
Setelah tubuhnya berkelit dari
ancaman ujung pedang Ayuning, gerakan Jaka nampak seperti terarah pada Sarga
dengan berpura-pura menghentakkan kaki kirinya. Padahal sesungguhnya kaki kanan
Jaka lebih cepat menghentak ke bumi dan melayang cepat ke arah Biraja yang
belum sempat melanjutkan serangannya.
"Hih!" Plak! Plak!
"Akh!"
Tubuh Biraja limbung setelah
dahinya terkena tamparan tangan kiri Raja Petir. Dadanya pun harus menerima sodokan
keras kepalan tangan kanan Jaka. Kontan saja wajah Biraja memerah bagai
kepiting rebus. Rasa sesak dirasakannya begitu kuat menghimpit dada.
"Rupanya jalan menuju
Istana Neraka masih terlalu jauh, Tuan-tuan dan Nona. Buktinya kalian tidak
sanggup menunjukkan arahnya," sindir Jaka dengan tatapan menusuk wajah
Biraja.
"Kau memang sombong, Raja
Petir. Namun kesombonganmu akan segera kubungkam dengan ini," Ayuning
melepaskan selendang ungu yang membelit pinggang rampingnya. Bagian ujung
selendang ungu itu mengembang, sedangkan pada bagian tengahnya terdapat
bulatan-bulatan berjajar lima baris. Tangan gadis berpakaian hijau itu
mengangkat selendangnya sampai melewati kepala.
"Ya. Kau akan segera
berangkat ke Istana Neraka dengan petunjuk selendangku ini!" sambut Dima
dan Sarga. Tangan mereka bergerak cepat menelusup ke balik pakaian dan
mengeluarkan selendang yang sama seperti milik Ayuning. Cuma warna selendang
Dima dan Sarga hitam dan biru.
"Bersiaplah untuk
berangkat ke Istana Neraka, Raja Petir! Ikhlaskan kekasihmu menjadi pendamping
abadi Gagak Sugih Pengasung. Kau sendiri akan mendapatkan pengganti yang
setimpal yaitu setan-setan neraka," tambah Biraja yang sudah berhasil
mengatasi rasa sesak di dadanya. Tangan lelaki tampan berpakaian kuning itu
menggenggam selendang berwarna kuning. Jaka memandang Biraja dengan tersenyum,
sebagai bukti kalau dirinya sedikit pun tidak merasa gentar dengan ucapan
keempat lawannya.
"Dima, Sarga, dan kau
Ayuning! Jangan kita buang-buang waktu lagi, cepat kerahkan ilmu 'Racun Gagak
Lembah Pengasung Membungkus Jagad'!" perintah Biraja dengan suara lantang.
Perintah itu segera disambut
ketiga rekannya. Serempak tangan-tangan kiri mereka meraih sesuatu dari balik
pakaian.
Glk! Glk! Glk!
"Hm.... Rupanya kalian
menelan pil penawar racun. Kenapa kalian tidak beri aku sebutir saja?"
tanya Jaka mengejek.
"Yang berada di dalam
selendang ini yang akan kuberi untukmu. Raja Sombong!" sentak Ayuning.
"Hiyaaa...!"
Belum hilang suara Ayuning
terbawa angin, Biraja sudah bergerak lantang dengan tangan kanan bergerak
mengebutkan selendang kuningnya.
Bluts! Slers...!
Lima butir bulatan sebesar
telur burung puyuh meluruk ke arah Jaka. Anehnya, luncuran bulatan kuning itu
bergerak memantul-mantul. Ketika bulatan-bulatan yang sudah bisa dipastikan
mengandung racun itu menyentuh tanah, maka....
Blars! Blars ! Lima ledakan
yang tidak seberapa dahsyat terjadi. Daerah di mana benda-benda itu meledak
tertutup asap kekuningan. Bau menyesakkan dada pun tercium.
Jaka merasakan racun yang menjalar
dari asap-asap yang membungkus tubuhnya amatlah berbahaya. Maka seketika itu
juga Jaka menghentakkan kaki dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
Pemuda itu berusaha menghindari kurungan asap yang mengandung racun ganas.
"Uhugkh! Hops!"
Tubuh Jaka melenting ke udara
setelah batuk-batuk sesaat. Dia merasakan napasnya begitu sesak, namun tidak
dihiraukannya. Saat Jaka tengah berputaran di udara, Ayuning, Dima, dan Sarga
mengebutkan selendangnya dengan cepat
Bluts! Bluts! Bluts!
Belasan butiran berwarna-warni
sebesar telur puyuh berkelebatan ke arah Jaka. Kemudian meledak tepat di depan
dan belakang tokoh muda digdaya yang berjuluk Raja Petir itu.
Blars! Blars! Blarrrs...!
***
3
Sore bergerak semakin larut.
Langit di ufuk timur sudah menggantungkan warna jingga yang indah. Sementara di
bawah langit yang indah itu, di dua tempat yang berbeda, terlihat pertarungan
cukup sengit Raja Petir bertarung menghadapi empat lawan tangguhnya. Ia harus
berjuang sekuat tenaga menghindari gempuran dahsyat lawan yang menggunakan
racun ganas.
Sementara di tempat yang
berbeda, gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas harus melakukan perjuangan
yang sama. Lima lawannya ternyata bukanlah orang-orang sembarangan. Jurus
'Benteng Emas' dan 'Menepak Laut Menggenggam Air' milik Mayang Sutera tidak
banyak membantu. Sedikit pun belum terlihat kekasih Raja Petir itu mampu
mendesak lawan-lawannya.
"Tenagamu pasti akan
terkuras habis, Nona Mayang. Sebaiknya kau menyerah saja. Bukankah maksud kami
baik? Kami tidak akan menyakitimu. Malah kami akan mengantarkan Nona pada
kesenangan-kesenangan yang akan didapat dari Gagah Sugih Pengasung," ujar
Jalantana merayu Mayang Sutera yang mulai terdesak mundur.
"Aku lebih senang kalian
membawaku menghadap tuanmu dalam keadaan sudah menjadi mayat. Tapi itu tidak
akan pernah kalian dapatkan," elak Mayang Sutera meski tak yakin dengan
ucapannya. Disadarinya kalau lima lawannya begitu tangguh.
"Huh! Ternyata kau gadis
keras kepala!" maki Jalantana menimpali ucapan Mayang Sutera. "Diberi
hati kau malah memilih kotoran kerbau. Baiklah! Bersiaplah untuk kami bawa
dengan kekerasan, Kalaga! Dan kalian semua, siapkan ilmu 'Jaring Maut Menjala
Mangsa'!" perintah Jalantana mantap. Tangannya seketika terangkat ke atas.
Selendang yang berlubanglubang mirip jaring laba-laba berkibar-kibar ditiup
angin.
"Seraaang...!"
Jalantana, Kalaga, dan ketiga
rekannya bergerak cepat ke arah Mayang Sutera yang sudah bersiap dengan payung
kecilnya. Senjata lawan yang berupa selendang dikebut-kebutkan hingga
menimbulkan bunyi aneh dan telinga. Seperti bunyian yang keluar dari lubang
dubur.
Brut! Brut! Brut! Wrrr...!
Mayang Sutera dengan payung
kecil yang terkembang bergerak berpindah tempat. Senjatanya berputar cepat
hingga wujud aslinya tidak terlihat. Terdengar deru angin senjata Dewi Payung
Emas
Berkali-kali senjata kekasih
Raja Petir itu berusaha menghalau sambaran selendang lawan. Sejauh ini tidak
satu senjata lawan pun yang dapat menyentuh tubuhnya. Namun dengan bergerak
mundur terus-menerus Mayang Sutera membuat dirinya menemui titik buntu.
"Sampai kapan kau mampu
bertahan seperti itu, Nona Mayang. Seranglah kami," ejek Jalantana
menyaksikan lawannya mengambil sikap bertahan.
Mayang Sutera mendengar nada
bicara Jalantana begitu merendahkan. Wajahnya yang memang telah tegang tambah
mengeras. Nafsu amarah sudah mencapai ubun-ubunnya. "Haiiit...!"
Dengan didahului lengkingan
kemarahan yang begitu keras, gadis cantik berpakaian jingga menghentakkan
kakinya ke bumi. Tubuhnya seketika berkelebat cepat dengan payung tetap
berputar dan siap dibabatkan pada sasaran terdekat.
Menyaksikan Mayang Sutera
meluruk ke arah Jalantana, Kalaga dan gadis cantik berpakaian coklat
menyongsong dari arah depan dengan senjata mengembang bak jaring laba-laba.
Bet! Wrrr...!
Traps...!
Merah padam wajah Mayang
Sutera ketika sambaran senjatanya yang tertuju ke lambung Jalantana berhasil
diredam oleh Kalaga dan gadis cantik berpakaian coklat. Keterkejutan Mayang
Sutera bertambah saat dirasakan senjata lawan mampu membelit ujung kiri dan
kanan payung kecilnya.
"Hhh...!" Mayang
Sutera berusaha menarik senjatanya dari belitan selendang bagai jaringjaring
maut itu. Namun setelah Mayang Sutera mengeluarkan seluruh kekuatannya,
payungnya tak juga terlepas dari belitan senjata lawan.
"Ha ha ha...!"
Jalantana terkekeh keras
melihat senjata gadis cantik yang terkenal keampuhannya itu tidak dapat
terlepas dari selendang Kalaga.
"Lebih baik kau menyerah,
Nona Mayang. Tawaran baik ini janganlah kau sia-siakan," ucap Jalantana.
"Cuih!" Mayang
Sutera malah menjawab keinginan Jalantana dengan membuang ludah ke tanah.
"Kau gadis keras
kepala!" hardik Jalantana kesal. Kakinya terayun mendekati Mayang Sutera
yang tetap mempertahankan senjatanya.
* * *
Di sebuah kamar Gagak Sugih Pengasung
yang bernama asli Wirya Setraging sedang memperhatikan bola kristalnya yang
memendarkan sinar benderang. Di dalam bola kristal itu nampak Mayang Sutera
tengah berdiri tak berdaya di hadapan Jalantana.
"Bagus, Jalantana.
Lakukan segera apa yang telah kutugaskan padamu," gumam lelaki berpakaian
indah mirip pakaian seorang anak raja itu. Rambutnya yang panjang diikat di
pangkal kepalanya.
Mata Gagak Sugih Pengasung
tidak berkedip menyaksikan bola kristalnya. Tampak Jalantana tengah melangkah
menghampiri Mayang Sutera, gadis yang digila-gilainya.
"Ayo, Jalantana. Cepat!
Jangan buangbuang waktu," gumam Wirya Setraging. Kedua telapak tangannya
bergerak-gerak di atas bola kristal. Sosok cantik kekasih Raja Petir kelihatan
tidak berdaya di hadapan anak buahnya.
Jalantana seperti mendengar
perintah tuannya yang berbicara dari ruang khusus tempat sebuah bola kristal
dan senjata pamungkas Seruling Penggugah Sukma Pedang Pencabut Nyawa tersimpan.
Sebuah senjata berbentuk aneh yang bagian depannya berupa sebilah pedang
pusaka, sedangkan bagian belakangnya berbentuk seruling kepala burung gagak.
Senjata pusaka itu mampu berfungsi ganda.
Lelaki bercambang bauk lebat
bernama Jalantana semakin dekat ke arah Mayang Sutera yang masih mempertahankan
payungnya dari belitan senjata lawan. Dia akan melepaskan payungnya jika lelaki
bercambang bauk lebat itu mengebutkan senjatanya yang dipegang dengan tangan
kiri.
Tetapi itu tidak dilihat oleh
Mayang Sutera Padahal tiga langkah lagi Jalantana berhasil menggapainya. Namun
lelaki itu tidak bergerak menyerang, malahan tangan kanannya menyelinap ke
balik pakaian. Seperti hendak meraih sesuatu.
Plups...!
"Uhukh...!"
Mayang Sutera terbatuk ketika
tangan Jalantana yang menyelinap ke balik pakaian tibatiba ditarik keluar dengan
cepat. Sebuah tabung bambu kuning ditiupkan dengan keras ke wajah Mayang
Sutera. Semburan serbuk kuning mengotori wajah cantik Mayang Sutera. Namun itu
tidak berlangsung lama. Setegukan teh kemudian warna kuning yang mengotori
wajah Dewi Payung Emas hilang. Serbuk itu seperti masuk ke dalam pori-pori
kulit Perubahan seketika terjadi pada diri Mayang Sutera. Tatapan matanya yang
semula garang kini tidak nampak lagi. Bola mata kekasih Raja Petir terlihat
begitu redup. Rupanya ia sudah terpengaruh kekuatan ampuh yang terkandung dalam
serbuk kuning Serbuk Perampas Ingatan Gagak Paruh Emas.
"Bagaimana, Nona Mayang?
Sekarang kau bersedia ikut kami menemui Tuan Gagak Sugi Pengasung?" tanya
Jalantana dengan tatapan menusuk bola mata Mayang Sutera yang seperti mengantuk.
Mata redup Dewi Payung Emas
membalas tatapan Jalantana. Kepalanya kemudian terangguk pelan, dan dari bibir
tipisnya mengalir kalimat persetujuan yang keluar begitu perlahan. "Ya.
Bawalah aku ke hadapan Gagak Sugih Pengasung." .
"Ha ha ha...!"
Di ruang kamar khusus Gagak
Sugih Pengasung terbahak keras. Tatapannya sedikit pun tidak dialihkan dari
pemandangan yang terekam bola kristalnya. Dalam bola kristal itu nampak Mayang
Sutera tengah berjalan diiringi Jalantana dan kawan-kawannya.
"Hi hi hi.... Bagus!
Bagus, Jalantana. Tapi akan lebih bagus kalau kau perintahkan Nona Mayang
berlari menggunakan ilmu lari cepatnya, agar dia lebih cepat sampai ke
pangkuanku," gumam Gagak Sugih Pengasung. "Lakukan itu,
Jalantana!" teriak lelaki itu keras. Suaranya memantul-mantul di
dinding-dinding kamar. Teriakan Wirya Setraging yang mengandung tenaga dalam
tinggi membuat jiwa Jalantana seketika terpengaruh. Lelaki bercambang bauk
lebat itu berkata pada Dewi Payung Emas.
"Sebaiknya kita gunakan
ilmu lari cepat, Nona Mayang. Aku yakin, seperti halnya Gagak Sugih Pengasung,
kau pun ingin segera berjumpa dengannya, bukan? Ayolah, gunakan ilmu lari
cepatmu," ujar Jalantana.
"Baik, Tuan," sambut
Mayang Sutera tanpa memandang wajah Jalantana.
"Hip!"
Kaki ramping gadis cantik
berpakaian jingga itu terhentak kuat. Tubuhnya melesat cepat meninggalkan
Jalantana dan kawan-kawannya yang tersenyum-senyum menyaksikan keberhasilan
mereka. Keempat orang itu gembira karena akan mendapat sanjungan Gagak Sugih
Pengasung.
"Hops!"
"Hops!"
Jalantana dan kawan-kawannya
mengempos larinya dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang
dipadukan dengan ilmu lari cepat
Enam sosok bayangan terlihat
saling berkejaran menuju sebuah lembah yang bernama Lembah Pengasung. Malam pun
mulai menyelimuti mayapada.
* * *
Sementara itu cukup jauh di
sebelah selatan, Jaka sempat kewalahan menghadapi Biraja yang menggunakan ilmu
'Racun Gagak Lembah Pengasung Membungkus Jagad'. Bukan saja karena keganasan
racun yang ditimbulkan dari butiran-butiran benda sebesar telur puyuh, tapi
juga kehebatan permainan sepasang pedang tangguh Biraja dan senjata-senjata
Dima, Sarga, dan Ayuning.
Tapi karena kekebalan tubuh
Jaka terhadap berbagai jenis racun, Biraja dan kawankawannya mendapat kesulitan
untuk melenyapkan Raja Petir. Mereka malah terdesak ketika Jaka berhasil
mengacaukan ilmu 'Racun Gagak Lembah Pengasung Membungkus Jagad'. Namun
sayangnya Jaka harus kehilangan jejak ketika Biraja dan kawan-kawannya
melemparkan butirbutiran peledak berwarna hitam pekat. Rupanya itulah senjata
terakhir mereka untuk mengacaukan pemandangan Jaka. Mereka kabur karena tidak
dapat menandingi kedigdayaan Raja Petir.
Brak!" Krak! Brugkh!
Sebatang pohon besar tumbang
terhantam tangan Jaka sebagai pelampiasan kekecewaannya karena tak ditemuinya
sosok Mayang Sutera di tempat Jaka meninggalkannya.
Meski tidak yakin Jaka memang
harus percaya Mayang Sutera telah berhasil ditundukkan lawan-lawannya. Dia kini
tengah menghadap Gagak Sugih Pengasung, yang katanya begitu mencintai Dewi
Payung Emas.
4
Wirya Setraging atau Gagak
Sugih Pengasung menatap tak berkedip kecantikan wajah Mayang Sutera yang kini
ada di hadapannya. Hati lelaki tampan berusia tak lebih dari dua puluh delapan
tahun itu berdesir-desir. Perasaan cintanya pada gadis jelita kekasih Raja
Petir itu mengalir deras di seluruh pembuluh darahnya.
"Apa yang Gagak Sugih
Pengasung inginkan dariku?" tanya Mayang Sutera membuka percakapan.
Suaranya yang bening mengalir bagai air membuat Wirya Setraging tergetar. Suara
Mayang Sutera terdengar begitu merdu dan amat sejuk di hati, hingga Wirya
Setraging tidak segera menjawab pertanyaan gadis di hadapannya itu.
Wirya Setraging sesungguhnya
heran dengan perasaan hatinya. Telah banyak dirinya mendapatkan gadis-gadis
cantik yang menggoda kelelakiannya. Ia senang tenggelam pada surga dunia yang
melenakan. Namun terhadap gadis jelita yang satu ini...? Wirya Setraging tidak
kuasa berbuat pada gadis-gadis lain. Di matanya, Mayang Sutera bagai patung
salju begitu indah dan tak boleh tersentuh jiwa yang panas, jiwa yang
bergejolak oleh nafsu iblis. Mayang Sutera seperti pualam yang tak pantas
disentuh tangan-tangan kotor.
"Jangan panggil aku
dengan sebutan 'tuan', Mayang. Panggil saja Wirya atau Kakang Wirya,"
jawab Gagak Sugih Pengasung setelah beberapa saat membiarkan pertanyaan Dewi
Payung Emas dan hanya menatap wajah cantiknya.
"Ya, Kakang Wirya.
Sekarang apa yang harus kulakukan untukmu?" ucap Mayang Sutera menyanggupi
keinginan Gagak Sugih Pengasung.
"Masuklah ke kamar yang
telah disediakan, Mayang. Rebahkan dirimu dan istirahatlah dengan tenang,"
ujar Wirya Setraging dengan suara yang begitu lembut.
Seperti kerbau dicucuk hidung,
Dewi Payung Emas bergerak ke pintu kamar yang ditunjuk Gagak Sugih Pengasung,
itu berarti pengaruh Serbuk Perampas Ingatan Gagak Panah Emas bekerja dengan
baik. Dara jelita kekasih Raja Petir itu menyibak tirai sutera yang menjuntai
di depan pintu.
"Aku istirahat dulu,
Kakang Wirya," ucap Mayang Sutera sebelum masuk ke dalam kamar yang tertata
indah. Jauh-jauh hari kamar itu sudah dipersiapkan Gagak Sugih Pengasung.
"Ya. Istirahatlah,"
jawab Wirya Setraging dengan tatapan penuh cinta yang tertuju lurus ke wajah
Dewi Payung Emas.
Malam merangkak perlahan
ketika Dewi Payung Emas masuk ke kamar yang harum semerbak. Gadis cantik itu
merebahkan diri di ranjang kayu jati yang berukiran bunga-bunga indah.
Kepenatan yang dirasakan setelah bertarung dengan Jalantana dan kawan-kawannya
membuat Mayang Sutera segera terlelap. Dengkurnya yang halus terdengar di dalam
kamar yang begitu rapi dan cukup besar itu.
Sementara di luar kamar nampak
Gagak Sugih Pengasung tengah termenung di depan bola kristalnya. Matanya tak
lepas menatap bola kristal yang selama ini telah banyak membantu memenuhi
keinginan-keinginannya. Tangan kanan lelaki tampan itu mengelus-elus sebilah
senjata pusaka berbentuk dua rupa, sebelah berupa pedang dan yang lainnya
seruling.
Memikirkan Dewi Payung Emas
yang kini ada dalam kekuasaannya, Gagak Sugih Pengasung tiba-tiba teringat pada
kekasih gadis jelita yang begitu dicintainya itu. Dialah Raja Petir yang mampu
menghalau niat Biraja dan kawankawannya untuk melenyapkan dirinya.
Tak terasa malam terus
bergulir. Sang Waktu telah membangunkan binatang-binatang dari peraduannya.
Sinar matahari perlahan membias menerangi Lembah Pengasung yang menjadi wilayah
kekuasaan Wirya Setraging.
Pagi ini lelaki tampan
berpakaian indah bak anak pembesar istana itu, duduk di kursi berukir di
pendopo rumah. Seorang lelaki tinggi tegap dan bercambang bauk lebat tersenyum
melangkah menuju pendopo, menghampiri Tuan Gagah Sugih Pengasung yang tengah
termenung.
"Tuan, sudah kau apakan
gadis jelita itu. Apakah kau puas dengan pelayanannya?" tanya lelaki
tinggi tegap yang ternyata Jalantana. Dia bercakap seperti itu karena tahu
kebiasaan tuannya jika habis bermalam dengan gadis cantik yang baru
didapatkannya. Gagak Sugih Pengasung tidak pernah marah dengan kelakuan
Jalantana itu.
"Kau bisa menebak apa
yang telah kulakukan terhadap Mayang, Jalantana?" Wirya Setraging balik
bertanya.
Jalantana tersenyum-senyum
mendengar pertanyaan Wirya Setraging.
"Tentu saja seperti
biasanya, Tuan. Seper-
ti "
"Tidak," potong
Wirya Setraging memutus
ucapan Jalantana.
"Tidak?" ulang
Jalantana tidak percaya. "Ya. Aku tidak mampu berbuat apa-apa
terhadap gadis itu,"
perlahan pengakuan itu keluar dari mulut Gagak Sugih Pengasung.
"Tuan...," sedikit
bergetar panggilan Jalantana. Matanya tajam menatap wajah Wirya Setraging.
"Apakah.... Apakah Tuan sa... sakit?" tanya Jalantana takut-takut
Wirya Setraging menggelengkan
kepala. Pandangannya dilempar jauh ke ujung timur Lembah Pengasung.
"Lalu...?" usik
Jalantana keheranan.
"Aku tak sanggup
melakukan itu padanya, Jalantana. Entah mengapa. Hati kecilku melarang untuk
melakukan perbuatan serendah itu terhadap Mayang. Atau cintaku yang terlalu
besar hingga aku tidak kuat berbuat sekehendak hati," jelas Wirya
Setraging dengan suara pelan.
Tak ada pertanyaan lagi yang
keluar dari mulut Jalantana. Mata lelaki bercambang bauk itu ikut menerawang ke
arah Wirya Setraging memandang. Hati Jalantana berkata-kata sendiri.
"Cinta memang aneh. Cinta bisa membuat yang baik menjadi buas, dan merubah
yang buas menjadi jinak," kemudian Wirya Setraging menghela napas
panjang-panjang.
"Aku begitu menyayanginya
hingga aku jadi begitu takut menjamahnya dengan kasar," ucap Wirya
Setraging lagi. Kali ini tatapan matanya menetap lekat wajah Jalantana.
"Maaf. Tuan. Nona Mayang
memang telah punya seorang kekasih. Dan karena kegagalan Biraja dan teman-temannya.
Raja Petir masih hidup. Tentunya tokoh tingkat tinggi itu akan mencari
kekasihnya. Tuan pasti mengerti, lambat laun Raja Petir akan membuat
perhitungan dengan Tuan," papar Jalantana mengingatkan.
"Jika aku campur tangan
langsung untuk mengirim Raja Petir ke neraka, kupastikan aku akan mampu
melakukannya tanpa menemui banyak kesulitan sedikit pun, tapi itu tak mungkin
kulakukan. Aku menginginkan kematian Raja Petir melalui tangan orang lain.
Secepatnya akan kuutus mereka untuk melenyapkan Raja Petir," tegas Gagak
Sugih Pengasung. "Terkecuali jika utusanku tidak sanggup, terpaksa aku
yang turun tangan sendiri."
"Tuan, siapakah utusan
yang kau maksudkan?" tanya Jalantana ingin tahu. Seandainya dirinya yang
diutus, sudah pasti dia akan mengalami kegagalan seperti Biraja, Dima, Sarga,
dan Ayuning. Jalantana sadar kalau kemampuannya tidak melebihi kepandaian
orang-orang itu. Gagak Sugih Pengasung menatap wajah Jalantana. Sementara
tangan kanannya menyelinap masuk ke balik pakaiannya. "Kau antarkan surat-surat
ini pada Kakang Gurilang Laut, Adi Sanca Lodaka, Dan Nyi Layu Kumbara,"
ujar Wirya Setraging seraya memberikan tiga pucuk surat yang ditulisnya di atas
kulit kayu.
Tanpa banyak cakap lagi,
Jalantana menerima surat-surat yang disodorkan Gagak Sugih Pengasung. Namun dia
sempat tercengang mendengar nama-nama yang disebutkan Wirya Setraging. Gurilang
Laut yang dikenal dengan julukan Ular Laut Merah adalah seorang tokoh sakti
golongan hitam yang terkenal sulit memberi bantuan pada orang lain tanpa imbalan
harta benda yang paling disayangi si empunya. Bukan mustahil kalau Mayang
Sutera yang nantinya diminta Ular Laut Merah. Sedangkan Sanca Lodaka seorang
tokoh golongan hitam yang berjuluk Sanca Moncong Emas. Nyi Layu Kumbara atau
Ratu Selendang Kabut tidaklah terlalu dipikirkan Jalantana.
"Kau memikirkan apa,
Jalantana? Ayo, cepat laksanakan tugasmu sekarang juga," perintahnya.
Jalantana menatap wajah Gagak
Sugih Pengasung.
"Sepertinya kau keberatan
kalau aku menggunakan jasa Ular Laut Merah, Jalantana," tebak Wirya
Setraging.
"Benar, Tuan. Kakang
Gurilang Laut bukan saja ular, tapi juga lintah darat. Aku khawatir dia meminta
Nona Mayang sebagai imbalan atas jasanya," tutur Jalantana membenarkan
dugaan Gagak Sugih Pengasung.
"Ha ha ha "
Jalantana keheranan mendengar
tawa Gagak Sugih Pengasung. Sepertinya Wirya Setraging tidak takut akan
permintaan Ular Laut Merah nanti.
"Kakang Gurilang Laut
tidak akan berbuat culas padaku, Jalantana. Dia akan membantuku dengan suka
rela tanpa sedikit pun meminta balas jasa, tidak seperti pada orang lain yang
membutuhkan bantuannya. Ular Laut Merah memang lintah darat untuk orang lain,
tapi tidak untukku," jelas Gagak Sugih Pengasung tegas. "Kalau berani
juga melakukan hal itu, maka akan kuberi dia pelajaran dengan senjataku ini
yang mampu memainkan ilmu 'Irama Ular Setan' dan itu akan berakibat Kakang
Gurilang Laut mengalami kelumpuhan seumur hidup, kecuali jika aku berbaik hati
memberikan ramuan pemunah pengaruh ilmu 'Irama Ular Setan' untuknya,"
lanjut Wirya Setraging memperjelas dan itu membuat Jalantana membuang seluruh
kekhawatirannya.
Tanpa diperintah dua kali
Jalantana segera memutar tubuhnya. Dia tahu harus pergi ke mana untuk menemui
Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas, dan Ratu Selendang Kabut. Wirya Setraging tersenyum-senyum
menyaksikan kepergian anak buahnya.
"Sebentar lagi kau pasti
akan mampus. Raja Petir!" teriak Wirya Setraging dalam hati. Tiga hari
kemudian, sesuai waktu yang diinginkan Gagak Sugih Pengasung. Gurilang Laut si
Ular Laut Merah, Sanca Lodaka atau yang lebih dikenal dengan julukan Sanca
Moncong Emas serta si Ratu Selendang Kabut yang bernama asli Nyi Layu Kumbara
bersamaan datang ke kediaman Wirya Setraging. Ketiga tokoh golongan hitam itu
duduk di hadapan Wirya Setraging di ruang khusus yang telah disediakan.
"Aku heran kenapa kau
harus minta bantun kami jika hanya untuk melenyapkan bocah ingusan itu, Wirya
Setraging," Gurilang Laut buka suara dengan tatapan mata tidak berkedip.
"Betul, Kakang
Wirya," sambut Sanca Lodaka. "Kesaktian Raja Petir bukan apa-apa jika
dibanding kesaktianmu," lanjutnya. "Jadi, apa perlunya Kakang
mengundang kami?"
"Ah, jangan merendahkan
Raja Petir, Adi Sanca. Dia tidak mungkin memiliki julukan yang harum di rimba
persilatan ini jika tidak memiliki kesaktian yang patut kuperhitungkan. Aku
sendiri menyesal telah merendahkannya dengan mengirimi anak buahku untuk
mengenyahkannya dari jagad ini. Nyatanya mereka tak mampu melakukannya. Itu
sebuah bukti kalau Raja Petir patut kita perhitungkan kesaktiannya."
"Alasanmu cukup tepat,
Adi Wirya. Aku setuju sekali," tukas Nyi Layu Kumbara. "Ah,
ngomong-ngomong, seperti apa kecantikan
gadis yang kau gila-gilai itu, Adi Wirya. Sepertinya aku tak sabar untuk
melihatnya."
"Kecantikannya sama
dengan kecantikan Nyi Kumbara semasa muda dulu," kilah Gagak Sugih
Pengasung.
"Ah. Kau bisa saja, Gagak
Sugih. Cepatlah perlihatkan si Jelita kekasihmu itu. Aku yakin Adi Gurilang dan
Adi Lodaya ingin segera pula menyaksikan raut wajah kekasih hatimu itu. Bukan
begitu?" tanya Nyi Layu Kumbara pada Gurilang Laut dan Sanca Lodaka.
"Betul, Nyi," sahut
Ular Laut Merah. "Tapi aku ingin tahu alasan Adi Wirya akan
ketidakinginannya menghadapi Raja Petir," lanjut Gurilang Laut tegas.
"Oh. Itu Kakang Gurilang.
Jelas sekali aku akan memberitahukannya padamu."
"Ya. Katakanlah, Kakang
Wirya," pinta Sanca Lodaka tak sabar.
Gagak Sugih Pengasung menatap
wajah Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas, dan Ratu Selendang Kabut bergantian.
"Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah lelaki yang mencintai
gadis yang sangat kucintai. Apalagi gadis itu mencintainya," tukas Wirya
Setraging mantap.
"Hm Alasanmu masuk di
akal. Sekarang,
cepat kau bawa gadis itu ke
hadapan kami," pinta Nyi Layu Kumbara.
Gagak Sugih Pengasung segera
bangkit dan melangkah ke kamar Mayang Sutera. Beberapa saat kemudian lelaki
tampan pemilik bola kristal sakti itu kembali dengan seorang gadis cantik yang
mengenakan kerudung berhiaskan serat emas. Di kepala gadis cantik itu
bertengger sebuah mahkota berbentuk manis, dihiasi batubatu permata yang
berkilauan tertimpa sinar yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela.
"Tak kusalahkan jika kau
tergila-gila padanya, Adi Wirya Setraging," tukas Nyai Layu Kumbara
setelah menyaksikan kecantikan Mayang Sutera dengan dandanan yang begitu sesuai.
"Hati-hati kau jatuh
cinta padanya, Adi Sanca," bisik Ratu Selendang Kabut di telinga Sanca
Moncong Emas.
"Aku laki-laki normal,
Nyi."
"Bagaimana? Dia seperti
bidadari, bukan?" tanya Gagak Sugih Pengasung menunjuk ke arah Mayang
Sutera.
"Ya ya ya Matamu memang
masih muda,
Wirya," sambut Ular Laut
Merah. "Untuk itu kami tidak bisa berlama-lama berada di sini. Kau pasti
ingin bersenang-senang dengannya. Sekarang juga kami pamit untuk melaksanakan
tugas," lanjut Gurilang Laut, kemudian bangkit dari duduknya.
"Ah. Terima kasih, Kakang
Gurilang. Memang lebih cepat tugas itu selesai lebih baik," ujar Gagak
Sugih Pengasung. Tatapan matanya beralih pada wajah Nyi Layu Kumbara dan Sanca
Lodaka. "Aku berterima kasih atas kesediaan kalian untuk membantuku."
"Sama-sama, Adi Wirya. O,
ya. Kapan kau resmikan hubungan kalian?" tanya Ratu Selendang Kabut
"Secepatnya. Setelah apa
yang kuinginkan terlaksana. Setelah pertolongan kalian kuterima hasilnya,"
jawab Wirya Setraging dengan tersenyum.
"Tentu saja kami akan
melakukan sebaik dan secepat mungkin. Kau tidak akan kami kecewakan,
Wirya," timpal Ular Laut Merah
"Terima kasih, Kakang
Gurilang."
"Kami berangkat
sekarang," pamit Sanca Lodaka.
Ular Laut Merah, Sanca Moncong
Emas, dan Ratu Selendang Kabut pergi meninggalkan Wirya Setraging dan Dewi
Payung Emas yang tengah berpegangan tangan.
"Semoga kalian
berhasil," gumam Gagak Sugih Pengasung. Tatapannya kemudian beralih ke
wajah cantik Mayang Sutera.
***
5
Matahari di atas Desa Baritang
bersinar cukup terik, hingga menghadirkan suasana yang tidak menyenangkan.
Orang-orang yang berada di dalam rumah merasa kegerahan. Sementara mereka yang
di luar rumah bergegas mencapai kediamannya.
Tiga orang lelaki dan seorang
perempuan jelita berusia tidak lebih dari dua puluh tahun tampak tengah
melangkah lebar-lebar. Tujuan mereka sebuah kedai yang berada tak jauh di
hadapannya, sekitar enam batang tombak. "Sebaiknya kita mampir dulu ke
warung itu, Ayah," ucap gadis cantik berpakaian putih seraya menatap wajah
lelaki berusia lima puluh lima tahun. Lelaki itu tak lain Terala, orang yang
masih terhitung paman Jaka. Sedangkan si Gadis jelita anak tunggalnya yang
bernama Seruni.
"Kau setuju, Kakang
Gumai, Gagah Bayu?" tanya Terala pada lelaki berpakaian biru laut yang tak
lain Gumai Gumarang si Pendekar Pedang Biru.
"Itu memang yang
kuingini, Adik Terala. Bukankah begitu, Gagah Bayu?" jawab Gumai Gumarang
melempar pertanyaan pada lelaki gagah dan tampan di sebelahnya.
"Betul, Paman,"
sambut lelaki berusia dua puluh empat tahun. Pandangannya kemudian beralih ke
wajah Seruni, gadis cantik putri tunggal Terala yang begitu dikasihi dan
dicintainya.
"Kalau begitu, ayo kita
ke sana," putus Terala. (Untuk lebih jelas mengenai Terala, Gumai
Gumarang, dan Seruni silakan simak episode lalu yang berjudul "Pembalasan
Berdarah" dan "Empat Setan Goa Mayat").
Tiga lelaki dan seorang
perempuan itu segera masuk ke kedai dan memesan minuman serta makanan kesukaan
masing-masing.
"Hm.... Kasihan Tuan
Lanjalaka. Sebenarnya salah apa dia hingga Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas,
dan Ratu Selendang Kabut membunuhnya, bahkan juga istri dan anaknya?" ucap
Seruni dengan mulut masih terisi kunyahan ayam bakar. "Ketiga tokoh hitam
yang kau sebutkan itu adalah orang-orang bermoral bejat. Mereka berwatak bengis
dan tidak punya perikemanusiaan. Menurutku, Tuan Lanjalaka tidak salah. Wajar
saja kalau dia menolak pinangan Sanca Lodaka terhadap Putih Lempuyang. Apalagi
jelas-jelas anaknya itu tidak mencintai Sanca Lodaka."
"Hei! Kenapa aku baru
tahu?" ujar Seruni. "Jadi hanya persoalan cinta yang membuat nyawa
Tuan Lanjalaka dan keluarganya melayang? Huh! Betapa bejatnya pembunuh-pembunuh
itu," maki Seruni. "Biar mereka dikutuk sang Pencipta Kehidupan
ini."
"Ah. Sudahlah, Seruni.
Mungkin itu suratan yang dituliskan sang Pencipta Jagad untuk Tuan Lanjalaka
dan keluarganya," ucap lelaki berpakaian merah muda seraya menyentuh
punggung tangan kekasihnya. "Sekarang mari kita nikmati hidangan lezat
ini. Jangan sampai kita kehilangan selera," tambahnya.
"Kau betul, Gagah Bayu.
Ayo kita santap habis hidangan ini," tukas Gumai Gumarang.
Dimasukkannya potongan ayam
panggang ke mulutnya. Seruni segera mengikuti. Untuk sementara persoalan
kematian Tuan Lanjalaka beserta keluarganya terlupakan.
Pada saat Terala, Gumai
Gumarang, Gagah Bayu, dan Seruni tengah nikmat-nikmatnya menyantap hidangan,
seorang lelaki muda dan tampan masuk ke dalam kedai. Kehadiran lelaki
berpakaian kuning keemasan itu menarik perhatian penghuni kedai yang duduk di
dekat pintu. Lelaki yang tak lain Jaka segera mengambil tempat duduk di sudut
kedai. Namun baru saja dia hendak meletakkan pantatnya, sebuah panggilan
menghentikan gerakannya.
"Jaka...!"
Terkejut dan gembira Jaka
melihat Terala. Apalagi di situ juga ada Paman Gumai Gumarang dan Seruni.
"Paman...," panggil
Jaka. Langkahnya bergerak menghampiri Terala.
"Kakang.... Ah, kau
baik-baik saja?" sambut Seruni menyongsong kedatangan Jaka. Sikap Seruni
sempat membakar kecemburuan di hati Gagah Bayu. Lelaki muda itu tak berkedip
menyaksikan kemanjaan Seruni kepada Jaka.
"Aku baik-baik saja,
Runi. Mudahmudahan kalian juga begitu," jawab Jaka kalem.
"Kau duduklah di sini,
Kakang. Biar, aku ambil kursi yang lain," ujar Seruni. Tubuhnya bergerak
bangkit ke arah kursi kosong.
"Kapan Kakang berhenti
mengembara? O, ya. Mana Nini Mayang?"
"Aku tengah mencarinya,
Runi?" "Mencarinya? Kalian bertengkar?" tanya
Terala.
"Tidak."
Keheningan tercipta sejenak.
Tak ada pertanyaan dari Seruni dan Terala. Begitu juga dengan Gagah Bayu.
Hatinya yang barusan terbakar api cemburu serta merta tak lagi dirasakan.
"Kukira Mayang berada
dalam tawanan Gagak Sugih Pengasung," ujar Jaka dingin. "Ditawan
Gagah Sugih Pengasung?" terkejut Gumai Gumarang.
"Paman Gumai mengenal
Gagak Sugih Pengasung?" tanya Seruni.
"Dia tokoh golongan hitam
yang berilmu tinggi dan seorang ahli sihir, Runi," jawab Gumai Gumarang.
"Dia gemar dengan gadis-gadis jelita dan daun-daun muda."
"Oh...!" Seruni
terpekik mendengar penjelasan Pendekar Pedang Biru.
"Dia juga tergabung dalam
komplotan orang-orang yang telah melenyapkan nyawa Lanjetlaka dan
keluarganya," jelas Gumai Gumarang.
"Biadab! Akan kubunuh
mereka kalau kujumpai!" geram Seruni.
"Apa kemampuanmu sudah
bisa menandingi mereka, Runi?" tanya Terala menggoda. "Menghadapi
putri Lanjalaka saja kurasa kau memerlukan ratusan jurus."
"Eh.... Oh. A.... Aku
hanya kesal saja pada mereka. Ayah. Mereka betul-betul seperti iblis."
"Ya. Kita semua memang
harus bekerja sama untuk menghancurkan watak iblis mereka. O ya, Jaka. Paman
ingin mendengar cerita mengenai kekasihmu," pinta Terala.
Permintaan Terala segera
dipenuhi Jaka. Semua diceritakannya tanpa ada yang tertinggal sedikit pun.
"Semua gadis cantik
memang dicintai Gagak Sugih Pengasung. Dia seorang pecandu perempuan jelita.
Oh, kami berempat akan membantu menemukan Nini Mayang," tutur Gumai
Gumarang.
"Terima kasih,
Paman," ucap Jaka. "Kalau boleh kutahu, sebenarnya dari mana Paman
dan juga "
"Namaku Bayu. Gagah Bayu
lengkapnya," sambut kekasih Seruni seraya mengulurkan tangannya.
"Namaku Jaka
Sembada," sambut Jaka. "Kalau boleh kuduga, kau adalah kekasih
Seruni. Jika betul pandai-pandailah kau menjaganya. Jangan seperti aku yang
lengah hingga gadis yang kucintai hilang disambar orang," senyum Jaka
sedikit terkembang.
"Itulah manusia, Jaka.
Kelengahan adalah penyakit yang pasti dimiliki," kilah Terala. "Kami
berempat baru saja pulang melayat dari Desa Magatan. Seorang sahabat kami
beserta keluarganya tewas dibantai Ular Laut Merah dan kawankawannya."
"Ha ha ha...! Ha ha ha
!"
Tiba-tiba tawa menggelegar
terdengar memekakkan telinga. Tawa itu berkepanjangan hingga para pengunjung
kedai dan pemiliknya tidak dapat bertahan. Mereka ambruk ke tanah dengan
telinga seperti mau pecah.
Terala, Gumai Gumarang,
Seruni, Gagah Bayu, dan Jaka mengalami hal yang sama. Namun mereka berhasil
mementahkan suara tawa yang dikerahkan melalui tenaga dalam tingkat tinggi itu.
"Hentikaaan...!"
bentak Gumai Gumarang. Tubuhnya seketika melesat keluar kedai, menghampiri
orang yang tertawa. Terala dan yang lainnya segera mengikuti. Mereka melesat
cepat ke luar kedai.
"Ular Laut Merah?!"
Terala mengenali lelaki tinggi kurus yang mengenakan pakaian merah darah. Di
tangan lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu tergenggam sebilah pedang
berkeluk sembilan yang juga berwarna merah darah. Hulu pedang itu berbentuk
kepala ular kobra.
"Ha ha ha.... Bagus kalau
kau mengenaliku, Tua Peot," sentak Gurilang Laut. Dia berdiri pongah di
samping Sanca Lodaka dan Ratu Selendang Kabut yang juga berdiri angkuh.
"Hm. Kenapa kau tertawa
seperti itu, Gu-
rilang? Tidak tahukah kau
kalau tawa itu begitu menyakitkan. Kau lihat di dalam kedai sana, mereka semua
ambruk ke lantai karena tak kuat mendengar tawamu," ucap Terala dengan
sikap yang cukup tenang.
"Aku tertawa karena mendengar
orang di dalam kedai menyebut-nyebut namaku dan mengaku sebagai sahabat si
Banci Lanjalaka. Aku akan membuat perhitungan dengan orang itu. Akan kukirim
dia sekarang juga ke dasar neraka!" sahut Ular Laut Merah. Tangan kirinya
mengangkat pedang merah berkeluk sembilan. "Kaukah yang barusan
menyebut-nyebut namaku?" tanya Ular Laut Merah.
"Ya. Aku," jawab
Terala mantap.
"Hm. Berarti kalian
sahabat-sahabat Lan-
jalaka yang telah menolak
lamaran adikku Sanca Lodaka. Kalian semua harus mampus!" "Sabar,
Kakang Gurilang," tahan Sanca Lodaka. Disentuhnya tangan Gurilang Laut.
"Kuharap kau sudi menyisakan dara jelita itu. Biarlah aku tidak bisa
mendapatkan Putih Lempuyang. Dara jelita itu pun tak kalah menariknya untuk
menggantikan kedudukan Putih Lempuyang," seraya jari telunjuk menuding
sosok Seruni.
"Hi hi hi.... Matamu awas
juga, Sanca. Gadis itu memang cantik dan pantas untuk kau persunting,"
timpal Ratu Selendang Kabut seraya menatap wajah anak tunggal Terala.
"Siapa namamu, Anak Manis?" tanya Nyi Layu Kumbara pada Seruni.
"Siapa sudi
memperkenalkan diri pada siluman-siluman seperti kalian?!" sentak Seruni
di luar dugaan Sanca Lodaka.
"Jaga dirimu, Anak Manis.
Kau bisa menyusul Putih Lempuyang ke neraka kalau katakata kasar sekali lagi
kau ucapkan!" ancam Gurilang Laut
"Adi Gurilang, kita
hampir melupakan kehadiran seseorang yang tengah kita cari," ujar
Selendang Kabut
"Raja Petir maksudmu,
Nyi?" tanya Gurila Laut dengan melempar tatapan ke arah Jaka.
"Ya."
"Lupakan saja bocah bau
kencur itu. Kita urus dulu keinginan Sanca Lodaka mempersunting gadis jelita
itu," tunjuk Gurilang Laut pada Seruni.
"Lelaki gila!" maki
Seruni kasar.
"Hm.... Kau sudah
melanggar peringatanku, Gadis Angkuh! Berarti kau harus mampus menyusul Putih
Lempuyang!" bentak Gurilang Laut
"Nyawa tidak berada
digenggamanmu, Ular Laut Merah," cetus Jaka dengan kaki terayun dua
langkah membelakangi Terala, Gumai Gumarang, Gagah Bayu, dan Seruni. Tangannya
bersidekap di atas perut. "Sebelum kesombonganmu terbukti, aku ingin tahu
lebih dului ada urusan apa kalian mencariku? Apakah ada hubungannya dengan
Gagak Sugih Pengasung?" lanjut Jaka mendugaduga.
Sengaja pertanyaan itu
dilemparkan karena dari Terala, Jaka tahu kalau ketiga orang di hadapannya itu
adalah sahabat Gagah Sugih Pengasung.
"Rupanya kau sudah tak
sabar ingin segera pergi bertamasya ke liang lahat. Raja Petir," ujar Ratu
Selendang Kabut yang juga melangkah dua tindak. "Kujelaskan padamu. Kami
adalah utusan Gagak Sugih Pengasung yang berhajat melenyapkanmu. Kamilah wakil
darinya!"
Jaka tersenyum mendengar
ucapan perempuan cantik berpakaian kelabu dan berselendang hitam itu.
"Tuan-tuan dan Nona yang
cantik," ucap Jaka mengejek. "Jika kalian adalah utusan Gagak Sugih
Pengasung yang memerintahkan untuk membunuhku, itu berarti kalian tahu di mana
Mayang Sutera berada. Atau tepatnya, di mana gadis itu disembunyikan. Tolong
beritahukan aku," lanjut Jaka dengan kata-kata yang terdengar begitu
tenang.
"Ha ha ha.... Di liang
kubur nanti malaikat akan mcmberitahumu. Raja Petir!" jawab Sanca Lodaka
ketus.
"Baiklah. Jika kalian
berkeberatan memberitahukannya, jangan salahkan aku jika kurobek mulut
kalian," gertak Jaka mengimbangi ucapan Sanca Lodaka.
"Nama besarmu di jagad
persilatan rupanya telah membuat sombong, Raja Petir. Aku ingin tahu mampukah
kau mempertahankan kesombongan itu," tantang Gurilang Laut Senjatanya
terangkat ke udara. Bersiaplah!"
Jaka merenggangkan kakinya
sebagai jawaban atas ucapan Ular Laut Merah. Pemuda nan tampan dan gagah itu
berdiri dengan kuda-kuda kokoh.
"Hiaaat..!"
***
6
Gurilang Laut atau Ular Laut
Merah berteriak lantang. Tubuhnya mencelat tinggi ke angkasa dan meluruk turun
dengan cepat menggunakan jurus 'Pagutan Ular Merah Memangsa Gurita'. Tangan
kanan lelaki berpakaian merah darah itu membentuk moncong ular.
Wuttt...!
"Ips!"
Begitu cepatnya sambaran
tangan Gurilang Laut yang mengarah ke batok kepala Jaka. Namun lebih cepat lagi
gerakan menghindar yang dilakukan Jaka dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah
Petir'.
"Jangan putus asa, Ular Merah.
Ulangi lagi seranganmu," ejek Jaka yang berdiri terpaut satu batang tombak
dengan lawan.
"Sombong kau. Raja Gila!
Kuhancurkan batok kepalamu sekarang juga!" geram Ular Laut Merah murka.
Tubuhnya kembali bergerak cepat memainkan jurus yang sama.
Wut! Wut...!
Cecaran telapak tangan yang
membentuk paruh ular bergerak-gerak dua kali lebih cepat. Sasarannya tidak
hanya ubun-ubun, tapi juga ke bagian kening dan ulu hati. Berkali-kali sambaran
tangan Ular Laut Merah luput dari sasaran. Itu membuat Gurilang Laut merasa
dipermalukan. Karenanya, dia segera membuka jurus-jurus yang lain.
'"Ular Membelah Laut'!
Hiyaaat...!" Wrrr...!
Serangkum sinar kemerahan
meluruk deras dari tangan Ular Laut Merah yang berbentuk moncong ular. Sinar
kemerahan itu menebarkan bau amis yang cukup menyengat
"Hop!"
Jaka menghentakkan kakinya
kuat-kuat menghindari terjangan sinar merah Gurilang Laut Tubuhnya melenting di
udara dan berputaran beberapa kali. Kemudian dengan tanpa suara, tubuh terbalut
pakaian kuning emas itu mendarat di tanah.
Belum lagi setegukan teh kaki
Jaka menjejak tanah, sosok lain sudah bergerak cepat menghantamkan pukulannya
ke batang leher. Angin menderu mengiringi datangnya serangan yang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Bet! "Heh?!"
Jaka menarik tubuhnya ke
belakang. Sementara lehernya dimiringkan ke samping kanan. Gerakannya yang
cepat membuat serangan Sanca Lodaka luput beberapa jari. Namun Sanca Lodaka
dengan cerdik mengambil kesempatan yang dilihatnya. Dengan cepat dia
mengirimkan tendangan memutar yang terarah ke dada Jaka.
"Hih!" Plak!
Tak ada lenguh kesakitan
ketika tangan dan kaki itu berbenturan keras. Kedudukan Raja Petir tergeser dua
tindak. Demikian pula dengan Sanca Lodaka. Di saat pertarungan terhenti
sejenak, Terala melesat ke arah Jaka.
"Sebaiknya kita bertarung
satu lawan satu," tantang Terala dengan bibir mencibir ke arah Sanca
Lodaka.
"Apa pedulimu, Tua
Bangka! Kalau kau mau ikut bertarung, majulah! Biar kukirim secepatnya nyawa
tuamu ke neraka!" balas Sanca Lodaka.
"Baik!" ucap Terala
menahan marah. "Tapi yang tua tidak pantas menyerang lebih dulu, kaulah
yang mengawali."
Belum lagi gema ucapan Terala
menghilang, lelaki berpakaian rompi dengan corak sisik ular melesat cepat
mengerahkan pukulan lurus ke dada Terala.
"Hiyaaa...!" Bet!
Wet! "Bts!"
Terala membawa mundur tubuhnya
dua langkah. Namun saat kaki lelaki tua itu bergerak, dia memberikan serangan
tak terduga lewat tendangan menekuk ke arah kemaluan Sanca Lodaka. Mau tak mau
tokoh sesat itu melempar tubuhnya ke kanan.
Pada saat yang bersamaan Ratu
Selendang Kabut bergerak menyerang Terala. "Lebih baik kubantu kau, Sanca.
Biar lebih cepat," ujar Nyi Layu Kumbara. Sebuah tendangan bertenaga
tinggi meluncur ke bagian dada Terala.
Buet! "Heh?! Uts!"
Tubuh tua yang terbungkus
pakaian putih itu melenting ke udara. Ringan dan indah gerakan yang dilakukan
Terala, tapi manfaatnya sangat hebat. Serangan Ratu Selendang Kabut mentah
begitu saja.
Nyi Layu Kumbara kesal melihat
serangannya dikandaskan Terala. Dengan cepat dia kembali melancarkan serangan
susulan. Bersamaan dengan itu Sanca Lodaka ikut melakukan serangan.
"Hyaaa...!"
Terkesiap Gumai Gumarang
menyaksikan kecurangan lawan-lawan Terala. Maka, seketika itu juga Pendekar
Pedang Biru melesat menyongsong serangan Nyi Layu Kumbara.
"Jangan curang,
Nyi!" bentak Gumai Gumarang. Ia memberikan sodokan tangan ke arah iga
perempuan berpakaian kelabu dan berselendang hitam.
Melihat serangan Gumai
Gumarang, Ratu Selendang Kabut serta merta menarik serangannya. Tangannya
bergerak cepat memapak sodokan tangan Gumai Gumarang.
Plak! "Ikh!"
Pekik tertahan terdengar dari
mulut Gumai Gumarang dan Nyi Layu Kumbara. Dua tokoh berbeda aliran itu
terhuyung dua langkah ke belakang.
"Hm.... Tak kusangka kau
yang sudah tua masih memiliki tenaga cukup kuat," ucap Nyi Layu Kumbara
mengejek lawannya.
"Kau pikir cuma dirimu
yang punya tenaga, heh?!" balas Gumai Gumarang.
"Ah. Sebaiknya kita
tentukan siapa di antara kita yang paling hebat," kata Nyi Layu Kumbara.
"Bersiaplah menghadapi Selendang Kabutku. Aku tidak ingin bermain-main
dengan lelaki tua sepertimu yang sudah tidak sedap dipandang."
"Mari!" sambut Gumai
Gumarang. Tangannya meraba hulu pedangnya yang berwarna biru.
Nyi Layu Kumbara atau Ratu
Selendang Kabut segera meloloskan selendang hitam yang membelit dada dan
pinggangnya. Pamor senjata itu begitu jelas terlihat. Ketika selendang hitam
terlepas dari tubuh pemiliknya, hawa di sekitar tempat pertarungan berubah
dingin.
"Hm.... Aku tidak boleh
bermain-main menghadapi hantu perempuan ini," gumam Gumai Gumarang.
Kemudian tangannya bergerak mencabut pedang dari warangkanya.
Sring!
Sinar kebiruan memendar
sewaktu senjata Gumai Gumarang lolos dari tempatnya.
"Hm. Terima ini, Lelaki
Peot! Hih!"
Splasrts !
Pergelangan tangan Nyi Layu
Kumbara bergerak lincah. Selendang Kabut hitamnya melecut cepat menimbulkan
ledakan yang menjelmakan uap seperti kabut. Hitam dan semakin lama semakin
tebal.
Wung! Wung !
Gumai Gumarang walau
pandangannya terhalang kabut tebal yang keluar dari senjata lawan segera
memutar pedangnya untuk mengacaukan. Namun apa yang dilakukan Gumai Gumarang
ternyata sia-sia belaka. Kabut tebal jelmaan jurus 'Kabut Buta Nyawa Binasa'
olahan Ratu Selendang Kabut tidak berhasil dikacaukan. Malahan sebuah teriakan
nyaring didengar Gumai Gumarang.
"Hyaaat !"
"Kurang ajar! Aku tidak
bisa melihat dari mana perempuan iblis itu menyerang...," Gumai Gumarang
sedikit kebingungan. Namun kecerdikan pikirannya mengajarkan kalau dia harus
bergerak berpindah-pindah tempat, meski tak tahu arah serangan lawan.
Bugkh! "Akh!"
Pendekar Pedang Biru terjajar
mundur empat langkah. Bahunya terhantam dengan keras telapak kaki Ratu
Selendang kabut. Dia merasakan tulang bahu kirinya bergetar hebat dan berdenyut
sakit
"Hik hik hik.... Kiranya
hanya sampai di situ saja kemampuanmu, Tua Peot. Sebaiknya jangan berlama-lama
kau hidup. Hijrahlah kau ke liang lahat, Peot!" Nyi Layu Kumbara dengan
menghina memperhatikan wajah Gumai Gumarang yang meringis kesakitan.
"Sekarang sambutlah detik-detik kematianmu! Hih!"
Splarts...!
Kembali Selendang Maut Nyi
Layu Kumbara bergerak dan meledak. Ledakannya kali ini terdengar lebih dahsyat.
Kabut yang lebih tebal langsung menjelma mengurung tubuh Gumai Gumarang.
"Hik hik hik.... Sekarang
juga jurus 'Selendang Maut Membedah Otak' akan menamatkan riwayatmu," ujar
Ratu Selendang Kabut
Tangan kanan perempuan itu
menggenggam selendang hitam hingga melewati dagu. Selendang itu berubah menjadi
kaku bagai lempengan logam. Nyi Layu Kumbara sudah memindahkan kekuatan tenaga
dalamnya yang tinggi pada selendang yang digunakannya sebagai senjata.
Sementara itu pada pertarungan lain, antara Jaka melawan Ular Laut Merah,
berjalan cukup alot. Nafsu Iblis Gurilang Laut yang hendak secepatnya
membinasakan Raja Petir membuatnya mengerahkan seluruh kemampuannya dengan
kecepatan yang luar biasa. Namun sayang, di balik serangan-serangan yang
dahsyat itu, Ular Laut Merah lengah dalam pertahanan. Sebenarnya kelemahan
Gurilang Laut Merah tidak akan terlihat jika lawannya bukan Raja Petir yang
selalu meneliti setiap gerakan lawan. Tentu saja kelengahan Gurilang Laut
secepat mungkin dimanfaatkan anak angkat Nyi Selasih (Baca episode
"Pembalasan Berdarah"). Dia pun sempat melihat bahaya yang mengancam
Gumai Gumarang yang bertarung melawan Ratu Selendang Kabut. Maka tak ayal lagi
Jaka mengerahkan sepasang tangannya yang terangkum dalam jurus 'Menggiring
Awan'.
"Hiaaa...!" Plak!
Bug! "Hiegkh!"
Tubuh Gurilang Laut langsung
terjajar lima langkah ke belakang. Hantaman tangan kiri dan kanan Jaka mengenai
dagu dan dadanya dengan telak. Namun patut dipuji daya tahan Ular Laut Merah.
Tubuhnya tidak ambruk ke tanah meski terkena pukulan yang cukup keras.
Sebenarnya Jaka bisa saja jika
hendak memberikan serangan susulan, namun itu tidak mungkin dilakukannya.
Dirinya sebetulnya tidak punya urusan dengan Gurilang Laut. Apalagi pada saat
yang sama Gumai Gumarang sangat membutuhkan pertolongan.
"Hiyaaa...!"
Terkejut Raja Petir mendengar
teriakan melengking Nyi Layu Kumbara. Perempuan hampir setengah abad itu
melesat ke arah Gumai Gumarang yang masih merasakan sakit pada sebelah bahunya.
Tanpa membuang-buang waktu,
untuk menyelamatkan Gumai Gumarang, Jaka segera berbalik dan membentuk
kuda-kuda gantung. Kemudian tangannya menghentak ke depan dengan keras.
"Hih!"
Wrrr...!
Serangkum angin bergulung
bagai pusaran meluruk deras menuju Nyi Layu Kumbara.
"Heh?!"
Ratu Selendang Kabut tentu
saja terkejut. Angin panas bergulung-gulung meluncur ke arahnya. Pikirannya
yang hendak membinasakan Gumai Gumarang jadi terpecah. Ia lebih mementingkan
keselamatan dirinya dengan menarik pulang serangannya, dan menghindari serangan
maut Jaka lewat jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.
"Setan! Hops...!"
***
7
Ratu Selendang Kabut
menghentakkan kainnya kuat-kuat. Tubuhnya pun mencelat ke udara dan berputaran
dengan indah.
Ketika maut telah menghindar
dari Gumai Gumarang, Jaka segera memperingati Seruni dan Gagah Bayu yang
semenjak tadi hanya berdiri menonton. Sepasang muda-mudi itu memang terpengaruh
oleh pertarungan hebat yang jarang mereka saksikan. Hingga mereka tidak berani
ikut terjun ke kancah pertarungan. Seruni dan Gagah Bayu merasa ilmu mereka
demikian dangkal.
"Runiii...! Selamatkan
Paman Gumai!" teriak Jaka lantang.
Seruni seperti orang yang baru
terjaga dari tidurnya. Dia tergagap mendengar perintah Jaka. Namun kemudian
dengan diikuti Gagah Bayu, menghampiri Gumai Gumarang. Dipapahnya tubuh lelaki
yang terbalut pakaian biru itu keluar arena pertarungan.
Nyi Layu Kumbara yang berhasil
menghindari serangan Jaka sudah mendarat di tanah. Matanya membara seperti
seekor naga terluka menatap sosok Raja Petir.
"Kau lancang, Raja Petir!
Kau harus mampus di tanganku!" ucap Ratu Selendang Kabut murka. Jari
telunjuknya menuding wajah Jaka yang berdiri dengan tenang.
Ternyata, bukan hanya Nyi Layu
Kumbara yang bersiap-siap akan melumat tubuh Jaka. Dari arah berlawanan Ular
Laut Merah sudah berhasil meredam sakit pada dagu dan dadanya. Ia pun tengah
bersiap menyerang Raja Petir. Pedang berkeluk sembilan sudah terangkat di atas
kepala. "Akan kulumat tubuhmu. Raja Petir!
Hiyaaat..!"
Tubuh Gurilang Laut meluruk
deras ke arah Jaka. Senjatanya yang berwarna merah diputar-putar cepat di atas
kepala. Deru angin terdengar, mementalkan batu-batu kecil yang ada di
sekitarnya. Jelas, serangan Ular Laut Merah dikeluarkan melalui pengerahan
tenaga dalam penuh.
"Haiiit..!"
Dari arah kanan Ratu Selendang
Kabut pun melesat pada sasaran yang sama. Gerakan perempuan setengah baya itu
tidak kalah hebatnya. Selendang Kabut-nya yang berubah kaku bagai lempengan
logam digerak-gerakkan dengan kekuatan tenaga dalam tinggi, hingga menimbulkan
bunyi berdecit yang cukup tajam menusuk telinga.
Raja Petir sadar kalau
serangan lawanlawannya itu cukup berbahaya. Maka dia tidak berani sembarangan
menghadapinya hanya dengan mengandalkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Jaka niat
menggabungkan jurus itu dengan ajian 'Aji Bayang-Bayang'.
Tanpa menunggu lama Jaka
melaksanakan niatnya. Seketika itu juga sosoknya menjelma menjadi lima kali
lipat banyaknya. Jurus 'Lejitan Lidah Petir' membuat sosok-sosok Raja Petir
bergerak cepat membingungkan Ular Maut Merah dan Ratu Selendang Kabut.
"Setan!"
"Monyet!"
Suara-suara makian terdengar
dari mulut Nyi Layu Kumbara dan Gurilang Laut. Kendati begitu dengan penasaran
kedua lawan Raja Petir itu tetap meneruskan serangannya.
Wung! Wung...!
Cwing...!
"Monyet!"
"Setaaan...!"
Lagi-lagi Nyi Layu Kumbara dan
Gurilang Laut memaki ketika serangan mereka hanya mengenai sosok bayangan Jaka.
Kedua lawan Raja Petir itu berpikir keras untuk dapat menjatuhkan lawan.
"Hm.... Aku harus
mengerahkan ilmu 'Selendang Mengurung Naga' agar gerakannya tidak bisa sebebas
itu," gumam Nyi Layu Kumbara mendapatkan jalan keluar.
Kiranya bukan cuma Nyi Layu
Kumbara yang sudah menemukan cara. Gurilang Laut pun sudah mendapatkannya.
"Akan kubungkam ilmunya dengan ilmu 'Menguras Laut Membunuh Hiu'!"
putus Gurilang Laut. Kedudukannya kini berubah dengan kuda-kuda rendah. Pedang
merah berkeluk sembilan diletakkan di depan dada.
Di tengah-tengah kesibukan
Gurilang Laut dan Nyi Layu Kumbara mempersiapkan ilmu-ilmu andalan mereka.
Seruni dan Gagah Bayu yang membawa Gumai Gumarang ke dalam kedai menyaksikan
pemandangan itu dengan Tegang.
"Mudah-mudahan Kakang
Jaka bisa meredam ilmu-ilmu iblis mereka," gumam Seruni pelan. "Aku
juga mengkhawatirkannya, Runi," tutur Gagah Bayu sambil mendekatkan
tubuhnya pada Seruni.
"Ah, Jaka...," desis
Gumai Gumarang yang menyaksikan Raja Petir dikurung dari dua arah. Lelaki
berpakaian biru itu merasakan sakit di bahunya telah hilang. Namun dia tidak
berani masuk ke dalam pertarungan Jaka yang tengah menghadapi lawan-lawannya.
"Hrgggh...!"
"Hoaaattt...!"
Ular Laut Merah dan Ratu
Selendang Kabut berteriak lantang ketika ilmu-ilmu andalan mereka bekerja.
Angin bergulung berwarna kemerahan keluar dari ujung senjata berkeluk sembilan
milik Gurilang Laut. Gulungan angin merah itu bergerak cepat ke arah Raja
Petir. Ukurannya semakin lama semakin membesar lalu mengurung sosok Jaka.
Sementara akibat dari ilmu
yang dikeluarkan Nyi Layu Kumbara, selendangnya melar bagai karet. Namun
selendang hitam yang mengurung Jaka itu masih keras seperti lempengan logam.
Jaka dengan kecerdikannya
dapat menyimpulkan kalau ilmu lawan-lawannya bertujuan untuk mempersempit ruang
geraknya. Dan di balik itu akan datang serangan susulan yang akan dilancarkan
lewat pengerahan ilmu yang lain. Sebuah serangan yang mungkin dua kali lipat
kedahsyatannya.
Jaka segera saja mengerahkan
'Aji Kukuh Karang' untuk membentengi tubuhnya dari serangan lawan. Sinar kuning
keemasan membungkus bagian-bagian tertentu di tubuh Raja Petir, dari kepala
hingga dada dan dari lutut sampai ujung kaki.
"Hoaaattt...!"
Lengkingan keras kembali
terdengar. Bersamaan dengan teriakan nyaring itu tangan kiri Ratu Selendang
Kabut menghentak keras.
Slats! Slats! Slats!
Rangkuman sinar keperakan
bagai lidah petir meluruk deras ke bagian-bagian peka tubuh Jaka.
Demikian pula yang dilakukan
Gurilang Laut Setelah terlebih dulu memekik nyaring, Ular Laut Merah
mengibas-ngibaskan pedang berkeluk sembilannya. Dari ujung pedang itu meluncur
berlarik-larik sinar merah.
Tret! Tret! Tret!
Menghadapi luncuran sinar
keperakan bagai petir dan berlarik-larik sinar kemerahan, Jaka yang memang
sudah membentengi tubuhnya dengan Aji 'Kukuh Karang' hanya memejamkan mata
saja. Kenyataan itu tentu saja membuat Ratu Selendang Kabut dan Ular Laut Merah
keheranan.
"Nekat! Apa dia pikir
ilmunya mampu menandingi ilmu 'Pukulan Ratu Selendang Hitam'? Benar-benar cari
mampus!" gumam Nyi Layu Kumbara dengan tatapan tertuju lurus ke sosok Jaka
yang tengah memejamkan mata.
"Bocah sombong!"
maki Ular Laut Merah. "Jangan main-main dengan ilmu 'Sinar Beracun si Raja
Ular Merah'. Kau pasti binasa, Raja Petir. Binasa "
Sementara hati Nyi Layu
Kumbara dan Gurilang Laut terheran-heran, sinar keperakan dan merah semakin
meluncur deras mendekati sasaran. Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu yang
menyaksikan pertarungan mengalami ketegangan yang luar biasa.
"Hhh...," Seruni
hanya bisa menarik napas panjang untuk meredam ketegangannya. Sementara Gumai
Gumarang dan Gagah Bayu menatap terus pemandangan di hadapannya dengan bola
mata tak berkedip.
Prefs! Prefs! Prefs !
Detik-detik ketegangan
menjelma menjadi kelegaan di hati orang-orang yang berdiri di belakang Jaka.
Kekhawatiran akan keselamatan Raja Petir tidak terbukti. Sinar-sinar jahat
ciptaan Nyi Layu Kumbara dan Gurilang Laut tidak menggoyahkan kedudukan Jaka.
Sinar perak dan kemerahan yang menghantam sosok Raja Petir seperti tertelan
tubuh yang terbalut pakaian kuning keemasan itu.
Kenyataan itu membuat gusar
hati Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Kabut.
"Hm.... Ilmu apa yang
digunakannya? Belum pernah aku melihat ilmu yang sehebat itu," tutur kata
hati Nyi Layu Kumbara dan Gurilang Laut.
"Hizsss...!"
Di tengah kegusaran hati Nyi
Layu Kumbara dan Gurilang Laut, Jaka berseru keras. Dua telapak tangannya
menghentak keras ke depan.
Slats! Slats! Slats! Plash!
Plash!
Sinar perak Ratu Selendang
Kabut melesat balik melalui tangan kanan Jaka. Begitu juga dengan larik-larik
sinar merah Ular laut Merah. Luncuran sinar-sinar jahat itu menjadi dua kali
lipat cepatnya.
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Kegusaran hati Nyi Layu
Kumbara dan Gurilang Laut berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa. Namun
keduanya segera tersadar dan bersamaan menghentakkan kakinya kuat-kuat. Mereka
melempar tubuhnya untuk menghindari luncuran sinar perak dan merah yang
terpental balik.
"Hups! Hip!" Trask!
Prats! "Akh! Ikh!"
***
8
Ratu Selendang Kabut dan Ular
Laut Merah memekik tertahan saat tubuh mereka melesat ke udara. Luncuran sinar
perak dan merah rupanya mampu dikendalikan Jaka dengan kecepatan yang
mengagumkan. Bahu Ratu Selendang Kabut dihantam sinar keperakan miliknya
sendiri. Sementara Ular Laut Merah pun menerima bagian yang sama. Tangan
kanannya terkena sinar beracun miliknya sendiri. Tapi itu merupakan keuntungan
bagi Nyi Layu Kumbara dan Gurilang Laut Mereka dapat meredam kedahsyatan
pengaruh sinar-sinar itu. Namun begitu, alangkah murkanya hati Nyi Layung
Kumbara dan Gurilang Laut Mereka merasa dipermalukan oleh lawan yang jauh
begitu muda umurnya.
Jaka Sembada melihat
lawan-lawannya masih berdiri tegak. Tangan mereka memegangi luka tubuhnya. Jaka
diam saja di tempatnya, menatap lurus ke arah Ular Laut Merah dan Ratu Selendang
Kabut dengan tersenyum.
"Bagaimana, Tuan dan
Nona?" tanya Jaka. "Antara kita rasanya tak pernah terjadi
kesalahpahaman, apalagi permusuhan. Untuk itu kukira jalan yang terbaik adalah
menyudahi pertarungan ini, yang hanya akan meminta korban salah satu di antara
kita. Aku yang muda mohon maaf karena tidak menginginkan hal itu terjadi. Aku
masih ingin menikmati kehidupan dunia sampai Yang Maha Kuasa memanggilku. Kita
berdamai saja, dan kalian tunjukkan di mana Mayang Sutera berada," ucap
Jaka merendah.
Tak ada jawaban dari Nyi Layu
Kumbara dan Gurilang Laut. Yang terlihat hanyalah tatapan mata kedua tokoh
golongan hitam itu membara ke wajah Raja Petir.
"Hrg!"
"Hngh!"
Lenguhan kemarahan pun
terdengar.
"Kita tidak mungkin
berdamai. Raja Petir! Kau atau kami yang mampus!" sentak Ratu Selendang
Kabut geram. Tangan kanannya menuding-nuding wajah tampan Raja Petir.
"Ya. Aku atau kau yang
hijrah ke neraka!" timpal Gurilang Laut. Otot-otot tubuhnya kembali
menegang. Agaknya lelaki berpakaian merah darah itu hendak kembali memulai
serangan.
Sementara itu di tempat lain,
pertarungan antara Terala yang berhadapan dengan Sanca Lodaka berlangsung alot
dan berimbang. Jurusjurus andalan keduanya semakin banyak dikeluarkan.
Sebenarnya Seruni dan Gagah
Bayu bisa saja membantu Terala untuk segera menyudahi pertarungan. Namun itu
tidak dilakukan sepasang muda-mudi itu. Mereka tidak ingin dicap sebagai
pengecut yang beraninya main keroyok.
Pertarungan menjadi semakin
seru ketika Sanca Lodaka mulai terdesak. Tendangan, pukulan, dan babatan
senjata tak lagi terarah ke bagian-bagian peka di tubuh Terala. Serangan itu
dilakukan Sanca Lodaka hanya untuk membendung gencarnya serangan Terala.
Sebaliknya, Terala mengambil
kesempatan yang baik untuk terus mendesak Sanca Moncong Emas. Dan ketika
mendapat kesempatan baik, pedang di tangan Terala bergerak cepat menebas perut
Sanca Lodaka.
"Hiyaaa...!" Bret!
"Aaa...!"
Lengkingan menyayat seketika
membubung ke langit. Lelaki berpakaian rompi sisik ular terhuyung-huyung mundur
dengan telapak tangan memegangi perutnya yang koyak. Dari selasela jari Sanca
Lodaka merembes darah segar.
"Akh...!"
Brugkh!
Sanca Moncong Emas ambruk ke
tanah. Tubuhnya menggeliat sesaat dan saat berikutnya tubuh lelaki muda itu
mengejang kaku. Nyawanya sudah tidak lagi menghuni raga.
Ratu Selendang Kabut dan Ular
Laut Merah yang mendengar lengkingan kematian Sanca Lodaka bertambah murka.
Tanpa membuang waktu kedua tokoh golongan hitam itu melesat melancarkan
serangan ke arah Jaka.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit..!"
Melihat dirinya kembali
diserang, Jaka ingin memperingatkan lawan-lawannya dengan mengirimkan 'Pukulan
Pengacau Arah'.
"Hih!"
Wrrr...!
Angin bergulung yang
menimbulkan hawa panas meluruk deras menyongsong Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut yang tengah berada di udara. Jaka berharap lawan-lawannya segera membuang
diri untuk menghindari luncuran angin panas bergulung bagai pusaran angin.
Namun, ternyata nafsu membunuh terhadap Jaka membuat mereka melalaikan
keselamatan diri sendiri.
Brush! Brush...!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tubuh Nyi Layu Kumbara dan
Gurilang Laut melintir terhantam segulungan angin jurus 'Pukulan Pengacau
Arah'. Lengkingan kesakitan yang menyayat mengiringi terpentalnya Ular Laut
Merah dan Ratu Selendang Maut. Kedua orang suruhan Gagak Sugih Pengasung itu
ambruk ke tanah dengan bagian tubuh yang terkena angin panas gosong seperti
terpanggang.
Nasib Gurilang Laut nampaknya
yang paling sial. Lelaki berpakaian merah itu terhantam bagian lehernya, hingga
dia tidak dapat bertahan hidup lebih lama. Bersamaan dengan tubuhnya menyentuh
tanah, nyawanya pun pergi meninggalkan raga. Tinggal Ratu Selendang Kabut yang
masih mengerang menahan nyeri di pahanya yang gosong.
"Keparat kau. Raja Petir!
Kubunuh kau!" pekik Nyi Layu Kumbara keras. Matanya membelalak,
menyiratkan kemarahan yang tidak terkendali. Sebisanya dalam keadaan rebah di
tanah, tangan kanan Ratu Selendang Kabut menghentak dua kali.
"Hih!"
Slaps! Slaps!
Dua larik sinar perak bagai
petir meluncur ke arah Jaka yang masih berdiri tegak. Rupanya tokoh muda yang
berjuluk Raja Petir itu menunggu kedatangan serangan lawan.
"Hop!"
Hanya dengan sekali
menghentakkan kaki, Jaka melenting indah menghindari terjangan sinar keperakan.
Namun saat tubuh Jaka berputaran di udara, tanpa diduga sama sekali Nyi Layu
Kumbara melesat memburu Jaka.
"Haiiit...!"
Terala yang menyaksikan
gerakan Nyi Layu Kumbara terkejut bukan main. Bukan mustahil Jaka kali ini akan
kena hantaman serangan Ratu Selendang Kabut. Kepalan tangan perempuan itu telah
berubah kehitaman. Perempuan berusia setengah baya itu mengerahkan ilmu
'Kepalan Kabut Sakti' dalam upaya terakhirnya merobohkan keperkasaan Raja
Petir.
Dengan kekhawatirannya akan
keselamatan Raja Petir, Terala melesat menghadang Nyi Lay Kumbara dari arah
kanan.
"Hiyaaa...!"
Wung...!
Pedang di tangan Terala
berkelebat mencecar lambung Nyi Layu Kumbara. Tentu saja serangan itu
membuatnya harus memperhitungkan dan mengurungkan serangannya pada Jaka.
Kini Nyi Layu Kumbara merubah
kedudukannya. Ia harus mengelakkan serangan Terala.
Bret! "Ikh!"
Nyi Layu Kumbara terlambat
memiringkan tubuhnya. Ujung senjata Terala telah lebih dulu datang dan
menyerempet pakaian di bagian perutnya. "Tua bangka cabul!" maki Nyi
Layu Kumbara setelah kakinya menjejak tanah. Tatapan matanya membara melahap
wajah Terala. "Kulumat tubuhmu, Cabul! Hiaaa...!"
Ratu Selendang Kabut
mengalihkan serangannya pada Terala. Kepalan tangannya yang masih menghitam
akibat pengaruh ilmu 'Kepalan Kabut Sakti' terangkat di atas kepala, siap menghantam
sasaran di bagian peka tubuh ayah Seruni.
Terala pun sudah siap
menyongsong serangan lawan. Lelaki tua itu melesat cepat. Tangan kanannya
menggenggam pedang pusaka.
"Hiaaa...!" Buet!
"Uts!"
Serangan Ratu Selendang Kabut
lolos beberapa rambut dari dada Terala. Kesempatan itu digunakan lelaki
berpakaian putih itu untuk bergerak menghindar seraya menebaskan senjatanya ke
bahu Nyi Layu Kumbara.
"Hop!"
Dengan melenting indah
melewati kepala Ratu Selendang Kabut, Terala membabatkan pedangnya ke bagian
punggung lawan.
"Hih!" Bret!
"Akh!"
Pekik melengking seketika
terdengar. Bagian punggung perempuan berpakaian kelabu itu terkoyak lebar.
Darah berhamburan dari luka yang menganga. Namun daya tahan tubuh Nyi Layu
Kumbara patut mendapatkan pujian. Dalam keadaan yang luka parah seperti itu, ia
masih dapat bergerak cepat meluncurkan pukulannya ke arah Terala.
"Haiiit...!" Buet!
"Uts!"
Terala dengan gesit kembali
berhasil mengelakkan sambaran tangan Ratu Selendang Kabut. Malah dari caranya
menghindar itu dia dapat mengambil keuntungan. Kedudukannya jadi lebih baik
untuk melakukan serangan balik.
"Hih!" Bugkh!
"Ugkh!"
Nyi Layu Kumbara terdorong
mundur tiga langkah. Sodokan tangan kiri Terala telah menghantam dadanya. Darah
muncrat dari mulut Ratu Selendang Kabut
"Uhugkh!"
Ketika untuk kedua kalinya Nyi
Layu Kumbara terbatuk, tubuhnya langsung melorot ke tanah. Darah kental
kehitaman keluar dari dalam mulutnya. Jelas, perempuan pemilik Selendang Kabut
itu mengalami luka dalam yang cukup parah.
Pemandangan yang cukup
mengenaskan itu hanya terlihat beberapa saat saja. Manakala Nyi Layu Kumbara
kembali terbatuk, tubuh perempuan itu betul-betul rebah. Napasnya yang tinggal
satu-satu habis sama sekali. Tubuh Nyi Layu Kumbara terbujur kaku tanpa nyawa.
9
Melalui bola kristal saktinya
Gagak Sugih Pengasung menyaksikan kematian Ular Laut Merah, Ratu Selendang
Kabut, dan Sanca Moncong Emas. Giginya gemeretuk menahan kemarahan yang sangat.
Dia tidak mengira lelaki muda berjuluk Raja Petir itu memiliki kesaktian yang
begitu tinggi. Namun kepongahan hati Wirya Setraging berkata kalau ilmu
sihirnya akan mampu menghentikan kehebatan Raja Petir.
"Akan kulenyapkan
kesaktianmu dengan ilmu sihirku, Raja Petir. Tunggulah saatnya," bisik
Wirya Setraging dalam hati. "Jangan harap kau bisa mendapatkan kembali
Mayang Sutera yang sudah jatuh dalam genggamanku," janji lelaki berpakaian
indah bagai seorang pangeran itu. Ketampanannya lebih tercermin dalam
pakaiannya.
Gagak Sugih Pengasung lalu
meraih senjatanya yang tergeletak di dekat bola kristal sakti. Sebuah senjata
pusaka yang bagian ujungnya berwujud pedang sedangkan bagian tangkainya berupa
seruling. Senjata itu diangkat tinggi-tinggi ke udara. Pamor senjata itu tampak
begitu dahsyat. "Akan kunanti kedatanganmu, Raja Petir!" pekik Wirya
Setraging. Ucapan itu memantul di dinding-dinding ruangan khususnya.
* * *
Jaka dengan ditemani Terala,
Gumai Gumarang, dan sepasang muda-mudi yang tak lain Seruni dan Gagah Bayu
sudah berada di mulut Lembah Pengasung saat matahari pagi bersinar setengahnya.
Alam lembah nampak begitu aneh. Pohon-pohon yang tumbuh berjajar di atas tanah
yang tidak rata berdaun jarang. Udara di sekitar Lembah Pengasung terasa tidak
enak. Angin yang bertiup sebentar-sebentar menebarkan aroma amis.
"Waspada perlu kita
tingkatkan, Jaka," gumam Terala. Namun terdengar jelas di telinga Gumai
Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu.
"Ya. Aku merasa kita akan
dihadang sesuatu," sahut Gumai Gumarang. Senjatanya yang berupa pedang
bersinar kebiruan sudah tergenggam di tangan. Demikian pula dengan Seruni dan
Gagah Bayu. Mereka telah menggenggam senjata masing.
Srat!
Terala ikut meloloskan senjata
andalannya. "Hrrr...!"
"Hrg...!"
Belum sekejapan Terala
meloloskan senjatanya. Raung-raungan aneh segera terdengar diiringi dengan
munculnya makhluk-makhluk aneh bertubuh manusia dan berkepala kera.
Semula Jaka, Terala, dan yang
lainnya menyangka makhluk yang datang menyerbu itu manusia yang mengenakan
topeng kera. Namun ketika makhluk-makhluk itu semakin mendekat, percayalah mereka
kalau itu adalah makhluk langka yang begitu menyeramkan.
"Hrrggg...!"
"Hrrrggg...!"
Sepuluh makhluk bertelanjang
dada dengan menggenggam senjata berupa gada berduri bergerak cepat menyerbu
Jaka dan kawankawannya.
Wrugkh! Wrugkh!
Angin menderu mengiringi
datangnya serangan para penghuni Lembah Pengasung. Sepuluh gada berduri
bergerak bersamaan dengan arah cecaran yang sama, yakni kepala lawan.
"Hm. Hops!"
Sesaat setelah memperhatikan
cara makhluk-makhluk setengah manusia itu, Jaka segera melenting ke udara
menghindari terjangan gadagada berduri. Sengaja Jaka langsung mengerahkan jurus
'Lejitan Lidah Petir', agar lebih mudah mengelak dan sempat memikirkan cara
aneh makhluk-makhluk itu menyerang.
"Hm Mereka sesungguhnya
hanyalah sa-
tu," gumam Jaka mendapat
kesimpulan. "Buktinya, jika makhluk yang menyerangnya menghentikan
gerakannya, maka yang lainnya melakukan hal yang sama. Aku harus menundukkan
makhluk yang satu itu. Aku yakin maka semuanya akan tunduk," dengan
kepekaannya Jaka berusaha memilih wujud makhluk yang asli.
"Hrgh !"
"Hih!"
"Yang ini!" pekik
Jaka keras. Kemudian....
Bugkh!
Tak ada pekikan yang terdengar
saat kepalan tangan kanan Raja Petir yang dialiri tenaga dalam tinggi
menghantam dada salah satu lawannya. Makhluk itu terjajar lima langkah ke
belakang. Ternyata makhluk-makhluk lain yang menyerang Terala, Gumai Gumarang,
Seruni, dan Gagah Bayu mengalami nasib yang sama. Raja Petir telah berhasil
mendapatkan wujud makhluk yang asli.
"Daya tahan tubuh makhluk
itu sangat kuat. Aku harus mencari titik lemahnya," Jaka menajamkan
tatapannya pada sekujur tubuh makhluk yang baru dihantamnya.
"Akan kucoba pada bagian
jakunnya," putus Jaka. Sikapnya sudah siap mengambil alih serangan. Namun
belum lagi Jaka bergerak, makhluk-makhluk itu sudah menyerang lebih dulu.
"Hrgh...!" Wrugkh!
Berpasang-pasang gada berduri
kembali berkelebat mencecar batok kepala Jaka. Namun Jaka tidak mengelakkan
sambaran-sambaran berbahaya itu. Raja Petir hanya menunggu kedatangan sambaran
gada berduri yang berada di genggaman makhluk asli.
Wrugkh! "Hih!"
Drgkh!
Setelah mengelakkan sambaran
gada berduri sosok makhluk yang asli, Jaka menyodok leher lawannya dengan
tangan kanan yang bergerak pergi gerakan pedang menebas.
Cukup berhasil memang apa yang
dilakukan Jaka. Makhluk itu mengerang ketika tangan Jaka mendarat telak di
lehernya. Namun dia kembali mampu maju menyerang. Rupanya, daerah yang barusan
diserang Jaka bukanlah titik lemah makhluk aneh berkepala kera berbadan
manusia.
Jaka terus berusaha mendapatkan
kelemahan lawannya. Dan ketajaman matanya ternyata melihat kalau titik lemah
lawan terletak pada puting buah dada sosok lelaki berkepala binatang itu.
"Hm.... Mudah-mudahan
kesimpulanku benar. Puting-puting yang berbentuk tak wajar itu harus kucabut
dari tempatnya," gumam Jaka dalam hati. Kemudian sosok muda yang
terbungkus pakaian kuning keemasan itu melesat menggunakan jurus 'Lejitan Lidah
Petir' yang akan dipadukan dengan jurus 'Menggiring Awan'.
"Hiaaa...!"
Tubuh Jaka melesat bagai
seekor elang terbang. Sepasang tangannya merentang. Dan ketika mendekat pada
sasaran, tangan kiri Jaka bergerak cepat mencecar ubun-ubun. Sedangkan tangan
kanannya yang membentuk cakar mencecar puting buah dada lawan.
Plak! Crat!
"Hrgkhkghk...!"
Raungan keras seketika
membubung ke langit. Tubuh makhluk berwujud manusia dan kera itu terjajar
mundur. Dari bagian dadanya yang kena cakar mengucurkan cairan hitam berbau
anyir.
Brugkh!
Sepuluh makhluk yang menyerang
Jaka dan teman-temannya semua ambruk ke tanah. Keanehan kembali mereka
saksikan. Makhlukmakhluk itu menghilang begitu saja.
"Hm.... Ilmu sihir yang
menakjubkan," desah Gumai Garang.
"Lebih baik kita terus
bergerak lebih ke dalam, Paman. Aku yakin Mayang Sutera tidak berada jauh di
sekitar tempat ini," ucap Jaka.
Namun belum lagi gema ucapan
Jaka hilang, sebuah tawa yang keras memantul-mantul di empat penjuru Lembah
Pengasung.
"Ha ha ha... ha ha ha...!
Ha ha ha...!"
Jaka, Terala, Gumai Garang,
Seruni, dan Gagah Bayu memutar bola mata mereka, mencari-cari dari mana suara
itu datang. Namun tak kunjung didapatkannya. Malahan kini tawa itu diiringi
alunan seruling yang begitu merdu.
"Tu lat tut tit tilt la
lit..." "Twiiit.. twiiit.. tit., tiiittt...!
"Ini bukan bunyi seruling
biasa, Adi Terala. Jiwaku seolah terbawa hanyut oleh iramanya. Oh.... Aku tidak
bisa mengekang hasrat untuk berjoget," ucap Gumai Gumarang.
Tubuh dan pinggul Pendekar
Pedang Biru bergerak dan bergoyang-goyang dengan sendirinya. Lelaki berusia
hampir enam puluh tahun lebih itu berjoget mengikuti irama seruling. Kenyataan
itu juga terjadi pada Terala, Seruni, dan Gagah Bayu. Mereka tidak dapat
meredam pengaruh bunyi seruling. Padahal seperti halnya Gumai Gumarang, mereka
juga sudah berusaha melawan pengaruh irama seruling dengan menutup jalan
pendengarannya. Namun pengaruh irama itu masih tetap saja merasuk ke jiwa. Kini
Terala, Gumai Gumarang, Gagah Bayu, dan Seruni berjoget mengikuti alunan
seruling. Cuma Jaka yang mampu bertahan.
"Hhh.... Aku harus segera
menyudahi permainan ini," ucap Jaka. Tangannya bergerak ke arah pinggang.
Tak pelak lagi, meloloskan Sabuk Petir yang berwarna hijau.
"Haaa...!"
Cletarrr...!
Glegarrr...!
Bunyi menggelegar bagai guntur
terdengar saat Sabuk Petir Jaka melecut di udara. Tiba-tiba bunyi merdu seruling
lenyap seketika. Namun Terala, Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu harus
merasakan akibatnya. Meski tidak terluka dalam mereka terkulai di tanah dengan
napas terengah-engah.
"Kalian tidak
apa-apa...?" tanya Jaka ce-
mas.
Terala menggelengkan kepala
menjawab
pertanyaan Jaka. Begitu juga
yang dilakukan Gumail Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu.
"Kau memang hebat, Raja
Petir. Akan kutantang kau apakah mampu mendapatkan Mayang Sutera, gadis yang
kucintai sepenuh jiwa!" ucap sebuah suara bergema dan memantulmantul.
"Akan kubuktikan. Namun
nampakkanlah wujudmu!" balas Jaka dengan mengerahkan tenaga dalam.
Seketika itu juga hawa di
sekitar lembah terasa dingin. Angin berhembus kencang ke arah Jaka. Namun
bersamaan dengan lenyapnya deru angin dingin, di hadapan Jaka berdiri sosok
Mayang Sutera yang berdampingan dengan seorang lelaki muda nan gagah dan
tampan.
"Aku tak akan pernah
tenang kalau ada lelaki yang mencintai gadis yang kucintai. Dia harus segera
kulenyapkan dari muka bumi ini!" tandas Wirya Setraging mantap.
"Kaukah Gagak Sugih
Pengasung?" tanya Jaka dengan tenang.
Wirya Setraging menganggukkan
kepala. "Sebelumnya aku malu memperkarakan
masalah ini," ucap Jaka.
"Masalah cinta yang semestinya bisa diselesaikan tidak dengan cara mengadu
jiwa," lanjutnya menatap tajam wajah Wirya Setraging.
"Apa kau takut
padaku?" tanya Wirya Setraging meremehkan. "Atau kau punya cara lain
yang lebih kau anggap aman?"
"Ya," jawab Jaka
mencoba tidak terpengaruh kata-kata lelaki tampan berambut panjang itu. "Lebih
baik kita tanyakan saja pada gadis itu, siapa lelaki yang menjadi
pilihannya," usul Jaka. Tatapannya kini tertuju pada wajah cantik Dewi
Payung Emas.
"Jawab pertanyaan lelaki
itu, Mayang," pinta Wirya Setraging pada Mayang Sutera.
Mayang Sutera tidak segera
memenuhi permintaan Gagak Sugih Pengasung. Gadis itu melangkah maju dua tindak.
Tatapan matanya terlihat kosong ke wajah tampan Raja Petir.
Seperti halnya Jaka. Terala,
Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu yang sudah bangkit berdiri mengalami ketegangan
menunggu jawaban Dewi Payung Emas.
"Raja Petir. Kau sungguh
tak punya malu. Kau anggap aku kekasihmu. Padahal sedikit pun aku tidak punya
cinta untukmu. Pergi cepat dari hadapanku! Jangan tunggu kurenggut
nyawamu!" Perasaan Jaka bergolak seketika. Ucapan
Mayang Sutera terdengar begitu
menusuk hati. "Kau dengar itu, Raja Petir...?"
***
10
Jaka sesungguhnya tidak
percaya dengan ucapan Mayang Sutera. Ia berkesimpulan jalan pikiran kekasihnya
telah dipengaruhi Wirya Setraging.
"Lepaskan pengaruh
sihirmu terhadapnya, Gagak Sugi Pengasung. Aku meragukan kebenaran
kata-katanya," pinta Jaka.
Permintaan Raja Petir tidak
dipenuhi Gagak Sugi Pengasung. Malah, lelaki muda dan tampan itu memerintahkan
Mayang Sutera untuk membunuh Jaka.
"Binasakan dia, Mayang."
Tanpa diperintah dua kali
Mayang Sutera melesat cepat menyerang Jaka. Senjatanya yang berupa payung kecil
terbuat dari logam langsung dikembangkan dan dibabatkan ke dada Jaka.
"Haiiit..!" Wuttt..!
"Ups!"
Jaka segera menghentakkan
kakinya kuatkuat. Saat itu juga tubuhnya melenting jauh ke belakang membuat
serangan Mayang Sutera mentah di tengah jalan.
"Hm.... Aku harus
terlebih dulu menghilangkan pengaruh sihir pada diri Mayang Sutera. Kalau tidak
dirinya bisa celaka," ucap Jaka dalam hati.
Ketika Dewi Payung Emas
kembali menyerbu, Jaka menyiapkan pukulan dengan mengerahkan 'Aji Kukuh
Karang'.
"Haiiit..!"
Pada saat Mayang Sutera berada
di udara, jari-jari Raja Petir dengan cepat menghentak. Dua larik sinar kuning
melesat menyongsong tubuh Dewi Payung Emas.
Slats! Slats!
Dua larik sinar kuning itu
berpencar dua arah. Begitu cepatnya lesatan itu hingga Mayang Sutera tidak
dapat menghindar. Luncuran sinar menghantam kepala dan lututnya. Seketika itu
juga Mayang Sutera merasakan hawa lain menjalar di sekujur tubuhnya. Dan belum
lagi Dewi Payung Emas berbuat sesuatu, tubuhnya tidak mampu digerakkan lagi.
Bruk!
Mayang Sutera ambruk ke tanah.
"Kurang ajar kau. Raja
Petir! Kau telah menyakitinya. Kubunuh kau!"
Wirya Setraging dengan kalap menyerang
Raja Petir. Senjata pusakanya menebas ke arah leher.
Wung! Twiiit..! "Heh?!
Uts!"
Tersentak hati Jaka
mendapatkan serangan lawan. Serangan itu bukan saja mengancam lehernya, tetapi
juga jiwanya terpengaruh oleh bunyi yang mengiringi datangnya ujung pedang,
membuat Jaka seolah harus menyerahkan kepalanya untuk dipenggal.
"Setan!" maki Jaka
ketika sebuah sinar keperakan membungkus kakinya dari ujung sampai sebatas
paha. Pemuda itu kini tidak dapat berpindah tempat. Sementara dengan senjatanya
Wirya Setraging kembali melancarkan serangan.
'Terpaksa kugunakan Pedang
Petir," putus Jaka ketika dirasakan hanya itu jalan keluar yang terbaik.
Maka ketika keputusan itu
betul-betul bulat, Jaka meloloskan senjata dari leher. Dengan cepat kekuatan
batinnya tersalur pada gagang senjata yang belum nampak wujud utuhnya. Ketika
kekuatan itu telah mengalir sepenuhnya, wujud Pedang Petir pun menjadi
sempurna. Jaka segera mengangkat senjata itu tinggi-tinggi di atas kepala.
Tret... tret... tret...!
Zglarrr...!
Bunyi guntur terdengar di
kejauhan. Alam di sekitar tempat pertarungan mendadak berubah gelap. Pedang
Petir yang memendarkan sinar kemerahan disambar kilat yang bergantian datang.
Dan seketika kilat-kilat itu lenyap, cuaca kembali terang benderang. Saat itulah
Gagak Sugih Pengasung melesat dengan senjata bergerak ke arah leher Jaka.
Traszzz...!
Asap mengepul di udara ketika
dua senjata pusaka saling bertemu. Bunyi seperti benda panas tercelup di air
seketika terdengar. Senjata Wirya Setraging dan senjata Jaka saling menempel.
Asap mengepul dari kedua senjata itu.
Dengan seluruh kekuatan
batinnya Jaka berusaha bertahan dari pengaruh ilmu 'Seruling Penggugah Sukma
Pedang Pencabut Nyawa'. Keringat membanjiri sekujur tubuh Jaka.
Tindakan itu pun dilakukan Wirya
Setraging. Namun sayang, kekuatan batin Wirya Setraging dan penguasaan tenaga
dalamnya masih kalah dengan Jaka. Maka bukan hanya keringat yang keluar dari
tubuhnya, melainkan juga darah.
"Hoaaattt...!"
Dengan sisa kekuatannya Wirya
Setraging mencoba menghantamkan kepalan tangan kanannya ke dada Jaka. Tapi
tangan kiri Jaka telah lebih dulu membentengi tubuhnya.
Sebentuk kekuatan kembali
bertemu lewat telapak tangan dua tokoh tingkat tinggi itu. Namun lagi-lagi
Wirya Setraging harus mengakui keunggulan tenaga dalam Raja Petir. Saat
benturan keras terjadi, Gagak Sugih Pengasung merasakan tenaganya yang
disalurkan lewat telapak tangan tersedot oleh kekuatan lawan.
"Heh?!
Grrrzzzsssttt...!"
Seiring dengan tidak mampunya
Wirya Setraging menarik pulang senjata dan tangannya yang menempel di telapak
tangan Raja Petir, mulutnya mengeluarkan teriakan aneh, membuat Jaka terkejut
sesaat. Keterkejutan Jaka rupanya memancing kecerdikan Wirya Setraging untuk
mengambil kesempatan mengerahkan ilmu 'Kabut Sakti Lembah Pengasung'.
"Grrrzzzsssttt...'"
Tubuh Wirya Setraging tiba-tiba lenyap dari' hadapan Jaka. Namun pedangnya
masih nampak menempel pada Pedang Petir milik Jaka.
"Ha ha ha. Jangan kau bangga dulu, Raja
Bodoh!" tukas Wirya
Setraging tanpa terlihat di mana sosoknya berada. Hanya suaranya saja yang
menggema memantul-mantul. "Senjataku yang menempel di senjatamu hanyalah
bayangannya saja. Inilah senjataku yang asli," lanjut Wirya Setraging.
Di hadapan Jaka
kini terlihat sebilah pedang yang mengambang di udara. Jaka tentu saja
kagum dengan kesaktian yang dimiliki Gagah Sugih Pengasung. Jarang ada tokoh
yang bisa keluar dari pengaruh perbawa Pedang Petirnya. Tapi Wirya
Setraging...?
"Raja Petir! Bersiaplah
untuk mampus. Ilmu 'Panca Naga Merah Murka' akan segera mengirimmu ke lubang
kubur!" keras ucapan Wirya Setraging. Seiring dengan itu pedang yang
mengapung di udara berputar cepat hingga wujud senjata itu tak nampak. Hanya
deru angin yang terdengar cukup kuat. Kemudian dari angin itu terciptalah lima
berkas sinar merah yang meledak-ledak.
"Zlart! Zlart!
Zlart..!"
Saat itu sinar-sinar merah itu
menyentuh tanah, di hadapan Jaka tampaklah seekor ular naga berkepala lima.
"Hm.... Benar-benar ilmu
iblis!" rutuk Jaka dalam hati.
Belum setegukan teh Jaka bergumam,
sosok naga berkepala lima itu bergerak menyerang dengan ekornya yang mengibas
keras.
Clegarrr! "Hop!"
Jaka melesat dengan
menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', menghindari hantaman ekor naga merah
yang cukup dahsyat. Berkali-kali hal itu dilakukan Jaka.
"Khooosssttt..!"
Kini bukan hanya ekornya yang
menyerang Raja Petir dengan bertubi-tubi. Mulut naga jelmaan Wirya Setraging
itu menyerang dengan semburan api.
"Uts!"
Dengan masih menggunakan jurus
'Lejitan Lidah Petir', Jaka terus bergerak menghindari serangan-serangan yang
mematikan itu.
"Hiaaa...!"
Tiba-tiba Jaka berteriak
keras. Tubuhnya melesat seperti seekor elang menyambar anak ayam. Sementara
senjata pusaka Pedang Petir bergerak memutar melakukan tebasan maut ke arah
leher naga.
Wung...!
Brrr...!
Bunyi angin berkesiut dahsyat
jelas terdengar saat naga jelmaan Wirya Setraging berhasil mengelakkan serangan
Raja Petir. Namun Jaka bukannya keheranan ketika serangannya kandas. Sosok muda
yang kehebatannya telah dikenal di seluruh rimba persilatan itu kembali
bergerak cepat dengan senjatanya.
"Hiaaa...!" Brrr...!
Bratztz...!
"Groaaangkhhh...!"
Naga jelmaan Wirya Setraging
memekik dahsyat. Naga itu memang sempat menghindar ketika Raja Petir kembali
menyerang. Namun gerakan naga jelmaan Wirya Setraging kalah cepat. Meski
incaran ujung Pedang Petir yang mengarah ke bagian leher luput, bagian perut
naga itu terkena sayatan ujung senjata Jaka. Akan tetapi...?
"Heh...?!"
Jaka terkejut menyaksikan luka
yang menganga di perut naga kembali rapat seperti sediakala. Tidak terlihat
darah mengalir.
"Hm.... Seharusnya tubuh
naga itu hangus saat ujung senjataku menembus kulitnya. Tapi....
Hhh! Harus kugunakan ilmu
'Selaksa Halilintar Menyambar' untuk menundukkannya," gumam Raja Petir.
Maka ketika naga jelmaan itu
kembali melancarkan serangan dengan semburan apinya, Jaka mengangkat Pedang
Petir tinggi di atas kepala. Guntur kembali terdengar di kejauhan. Langit di
sekitar tempat pertarungan gelap gulita, dan kilat menyambar-nyambar batang
Pedang Petir yang memendarkan sinar kemerahan.
Ketika langit kembali terang
dan kilat sudah berhenti menyambar, kekuatan Jaka semakin sempurna untuk
memainkan ilmu 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Seketika itu juga...
"Hiaaa !"
Jaka melesat bagai kilat menyongsong
semburan api naga berkepala lima. Pedang Petirnya berkelebat mencecar salah
satu kepala naga jelmaan Wirya Setraging.
Bratttzzzzttt !
"Groaaakhghgkhhh !"
Naga jelmaan Wirya Setraging
meraung dahsyat saat salah satu kepalanya terbabat putus. Tak ada darah yang
keluar dari kepala yang tergeletak di tanah. Bersamaan dengan naga jelmaan
Wirya Setraging kehilangan nyawa. Perlahan-lahan naga berkepala lima itu
menjelma menjadi sosok lelaki berwajah tampan. Namun tubuh dan kepala Wirya
Setraging sudah berpisah. Wirya Setraging tewas dengan mengenaskan. Menyaksikan
lawannya tergeletak tanpa nyawa, Jaka segera bergerak menghampiri
Mayang Sutera.
"Dia tidak apa-apa,
Paman. Biar kubebaskan dulu dari pengaruh 'Aji Kukuh Karang'," ucap Jaka.
Tuk! Tuk!
Dua kali tangan Jaka bergerak
menotok leher dan kaki Mayang Sutera. Lenguh kesakitan samar terdengar. Mata
Dewi Payung Emas pun terbuka.
"Kakang...?" ucap
Mayang Sutera seraya bangkit. Gadis itu segera merangkul Jaka.
SELESAI
No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 22: Cinta Tokoh Sesat"
Post a Comment