Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 20: Sembilan Bocah Sakti

Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari

Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 20:  Sembilan Bocah Sakti

1

Desa Liring Sedayu. Saat itu matahari hampir berdiri tegak di atas kepala, hingga bayang-bayang manusia hampir tenggelam pada wujudnya. Tapi hawa panas tidak terlalu menyen gat. Memang, di samping desa itu banyak ditum buhi pohon-pohon besar berdaun lebat, di sana pun terdapat sebuah telaga yang berair jernih. Hingga mampu menghadirkan rasa sejuk, meski hari beranjak telah siang.

"Ha ha ha... Hi hi hi.... Tra la la...!" "Huuu! Ha hi! Haaa...!"

"Ulali.... Lilu! Lali lali...!"

Sembilan bocah kecil berusia tidak lebih dari tujuh tahun terlihat sedang menikmati jernih dan dinginnya air telaga. Mereka bersenandung lucu dengan tangan saling memercikkan air ke wajah rekan-rekannya. Gurauan kesembilan bo cah itu sesekali tergerai manakala wajah mereka terkena cipratan air.

"Awas, Ger!" teriak bocah bertelanjang dada yang mengenakan cawat hitam pekat. Tangan ka nannya sudah tenggelam di air telaga hendak menyiram temannya yang dipanggil Ger.

Bocah bernama Ger yang mengenakan ca wat merah hanya meleletkan lidahnya.

"Weee...!" Prats!

"Ha ha ha...!" Bla tertawa tergelak-gelak melihat wajah Ger terkena air siramannya.

Prats!

"Hi hi hi...!"

Ger juga tertawa melihat siramannya tepat mengenai wajah Bla. Kedua bocah bercawat hitam dan merah itu sama-sama tertawa.

Apa yang dilakukan Ger dan Bla ternyata dilakukan juga oleh bocah-bocah tujuh tahunan yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan air yang memuncrat-muncrat dari tangan yang satu ke wajah yang lain. Suasana di sekitar Tela ga Perak menjadi ramai oleh tawa yang sambung menyambung.

Hanya seorang di antara sembilan bocah itu yang tidak ikut bermain-main air. Bocah yang mengenakan cawat putih mengkilat itu merendam tubuhnya di air telaga yang bening. Tampaknya, dia tengah menikmati kesejukan yang ada. Seper tinya bocah yang satu itu tidak ingin diganggu teman-temannya.

"Awas, Jlak! Kena Kakak Gora nanti," ucap bocah bercawat biru yang bernama Sedu. Jari te lunjuknya menuding ke arah bocah bercawat pu tih yang tak mau diganggu.

"Kita menjauh sedikit, Sedu. Nanti Kakak Gora terganggu," timpal Jlak, bocah yang berca wat hijau.

"Ayo, ayo!"

Dua bocah bercawat hijau dan biru itu menjauhi bocah bercawat putih mengkilat yang sepertinya begitu dihormati, dan di depan na- manya pun diembeli dengan sebutan 'Kak'.

Siapakah gerangan bocah bercawat putih mengkilat itu? Dan siapa pula kedelapan bocah yang mengenakan sehelai cawat dengan warna berbeda?

***

Gora, bocah berusia tujuh tahun lebih se dikit itu tak lain adalah pemimpin dari delapan temannya. Mereka bernama Bla dan Dbo, yang mengenakan cawat berwarna hitam. Ger dan Jagu bercawat merah. Smas dan Sedu bercawat biru. Dan yang bercawat hijau bernama Jlak dan Watu.

Kesembilan bocah bercawat yang dipimpin oleh Gora itu adalah sosok-sosok yang berjuluk Sembilan Bocah Sakti, mereka menempati Desa Liring Sedayu setelah sebelumnya membantai se luruh keluarga kepala desa, dan sebagian warga desa yang mencoba mempertahankan desa yang subur dan memiliki telaga yang berair jernih itu. Sedangkan warga Liring Sedayu yang lain tidak ingin nyawanya hilang percuma. Mereka mening galkan desa setelah menyaksikan Sembilan Bocah Sakti yang bersenjata pedang yang memendarkan sinar kebiruan. Panjang pedang itu sama dengan tinggi tubuh bocah-bocah itu. Hingga sekilas ma ta memandang, terlihat kejanggalan ketika mere ka menggenggam senjatanya. Namun sesungguh nya, di tangan mereka pedang itu merupakan iblis pencabut nyawa yang tak kenal ampun. Itu sebabnya di Desa Liring Sedayu hanya sembilan bocah bercawat itulah yang menempa tinya. Mereka tidak ingin ada orang lain ikut me nikmati kehidupan di desa yang kini dikuasai.

Prek! Prek! Prek!

Tiba-tiba tangan Gora menepuk-nepuk permukaan air tiga kali. Kedelapan rekannya yang sedang bercanda ria serempak memalingkan wa jah mereka menatap Gora.

"Ada apa, Kakak Gora?" tanya bocah ber cawat hitam bernama Bla.

"Coba pusatkan pendengaran kalian," tu kas Gora dengan suara yang terkesan mengan dung perbawa kuat.

Delapan bocah bercawat yang semenjak ta di bercanda kini menelengkan kepala untuk me musatkan pendengaran mereka.

"Hmmm... suara puluhan derap kaki kuda, Kakak Gora," ujar bocah bernama Watu.

"Benar, Kakak Gora. Sepertinya tengah menuju kemari," timpal Jagu.

"Yang lain bagaimana?" tanya Gora pada Bla, Dbo, Ger, Smas, Sedu dan Jlak.

Enam bocah yang ditanya Gora semua menganggukkan kepala sebagai pertanda me nyamakan pendapat mereka dengan ucapan Watu dan Jagu.

"Ha ha ha...! Kita akan pesta besar hari ini, Adik-adik! Kita akan pesta besar. Semoga mereka yang tengah menuju ke sini saudagar-saudagar kaya raya yang membawa kepingan-kepingan emas serta makanan enak!" ucap Gora dengan mata belonya yang sebentar terpejam sebentar terbuka.

Delapan bocah yang lain juga menampak kan wajah keriangan yang teramat sangat. Mere ka melonjak-lonjak di air telaga yang memang ti dak begitu dalam. Namun di bagian tengah Telaga Perak kedalamanannya tak dapat diukur.

"Hop! Hop!" "Horeee...!"

"Huraaa...!"

Suasana di sekitar Telaga Perak kembali riuh oleh teriakan-teriakan yang dilakukan bo cah-bocah bercawat

"Ya, ya, ya! Begitu. Begitulah! Berpura puralah kalian tidak tahu kedatangan mereka," tukas Gora, kemudian membenamkan kembali tubuhnya di air telaga.

Delapan bocah itu kini kembali bercanda. Sesekali diiringi dengan senda-gurau dan ejekan ejekan lucu. Hingga ketika dari arah selatan muncul dua puluh orang lelaki penunggang kuda, bocah-bocah itu hanya melirikkan mata.

"Hm... sepertinya bukan saudagar saudagar yang kita harapkan, Kakak Gora," ucap bocah bercawat merah.

"Sepertinya begitu, Ger," timpal Gora pelan. "Tampaknya, mereka orang-orang persilatan. Li hat senjata-senjata mereka yang tergantung di pinggang," lanjut Gora dengan tatapan mata yang tidak tertuju ke arah puluhan lelaki berkuda yang menuju ke Telaga Perak.

"Mereka orang-orang persilatan, Kakak Go ra," tukas Smas memastikan. "Bukan saudagar," lanjutnya.

"Tak mengapa," jawab Gora. "Kita akan menjajal ilmu mereka."

"Tidak membinasakan mereka?" tanya Bla dengan mata tetap melirik ke arah puluhan lelaki berkuda.

'Tentu saja, Bla. Mereka terlalu lancang memasuki daerah kekuasaan kita," jawab Gora tegas. "Sudah! Sudah! Berpura-puralah kalian ti dak tahu kedatangan mereka," lanjut Gora meme rintahkan pada kawannya.

Sembilan Bocah Sakti kini betul-betul ber pura-pura tak mengetahui kehadiran puluhan le laki berkuda. Sembilan bocah itu kelihatan ten gah menikmati beningnya air telaga, tanpa mem pedulikan para penunggang kuda yang semakin dekat.

***

"Kakek Guru, alangkah nikmatnya kalau kita beristirahat di telaga berair bening itu, mele paskan lelah dan memberi minum kuda-kuda tunggangan kita," ucap lelaki muda berusia kira kira dua puluh lima tahun seraya memandang ke arah lelaki berusia lanjut yang mengenakan pa kaian putih. Jenggot dan rambutnya yang putih digulung ke atas memperlihatkan wibawanya. "Lihatlah, Kakek Guru. Bocah-bocah kecil itu nampak kesenangan bermain-main di air tela ga yang jernih," lanjut pemuda berpakaian biru. Ujung jarinya menunjuk ke arah bocah-bocah yang tengah merendam tubuhnya sambil bercan da.

"Sebaiknya begitu. Guru," timpal lelaki berpakaian merah yang menunggang kuda di samping kiri lelaki yang disebut 'Kakek Guru'. "Kesejukan air telaga itu pasti akan menghilang kan keletihan kita," lanjutnya kemudian.

Lelaki berusia lanjut yang disebut kakek guru tidak menjawab permintaan pemuda berpa kaian biru dan lelaki berusia empat puluhan yang mengenakan pakaian merah. Kakek itu hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui keingi nan cucu murid dan muridnya.

Memang patut dimaklumi keinginan mere ka. Sekembalinya dari berkunjung ke Perguruan Gagak Putih, kuda-kuda mereka terus digebah, tanpa sedikit pun ada waktu untuk istirahat. Se dangkan perjalanan pulang menuju Perguruan Gagak Loreng masih cukup lama.

"Ayo kita beristirahat dulu di telaga itu!" perintah lelaki berpakaian merah kepada kedela pan belas lelaki penunggang kuda lainnya.

Lelaki itu adalah orang kedua di Perguruan Gagak Loreng. Dia bernama Ki Wanabara. Se dangkan orang pertama di perguruan itu Resi Wi kalga. Dan lelaki berusia dua puluh limaan itu adalah orang ketiga. Dia juga adalah putra tung- gal Ki Wanabara. Namanya Bagatada.

Delapan belas penunggang kuda yang lain adalah murid-murid Perguruan Gagak Loreng. Mereka segera berloncatan turun. Langkah langkah mereka tertuju ke arah telaga yang berair jernih, mengikuti langkah Ki Wanabara dan Baga tada yang sudah terayun lebih dulu.

Prats! Prats!

Baru saja Ki Wanabara dan Bagatada men jejakkan kaki di tepi telaga, dua percikan air su dah menghantam wajah mereka.

"Anak nakal!" omel Ki Wanabara tidak sungguh-sungguh. Ucapan itu keluar diselingi dengan tawanya. Tatapan Ki Wanabara tertuju kepada bocah bercawat hitam yang tak lain Dbo.

Sedangkan Bagatada hanya tersenyum senyum menanggapi ulah bocah bercawat hijau yang telah membasahi wajahnya dengan air telaga yang dingin.

"Siapa namamu, anak nakal?" tanya Baga tada. Jari telunjuk dan jempolnya diulurkan hen dak mencubit pipi bocah bernama Jlak.

Jlak yang memang ingin memancing kema rahan Bagatada, segera menggeser kepalanya ke belakang. Lalu dengan cepat melepaskan tinjunya ke wajah Bagatada yang sedikit rendah.

Wuttt! Hugh! "Heh?!"

Ki Wanabara terkejut menyaksikan tubuh Bagatada tergeser dua langkah ke belakang, sete lah terkena pukulan bocah berusia tak lebih dari tujuh tahun.

"Bocah Setan!" maki Bagatada setelah mampu menguasai diri. Di celah bibirnya nampak meleleh darah segar.

"Kau yang setan!" balas Jlak di luar dugaan Ki Wanabara dan Bagatada.

"Kau telah lancang menginjak daerah ke kuasaan kami!" sentak Gora keras. Suaranya se perti terdengar dari jauh dan memantul-mantul sampai ke tengah telaga.

Terkejut Ki Wanabara dan Bagatada men dengar kalimat yang meluncur dari mulut bocah bercawat putih mengkilat. Begitu juga lelaki tua yang mengenakan pakaian putih. Resi Wikalga menatap tajam wajah bocah-bocah yang tengah berendam di kebeningan air telaga. Sementara pi kiran lelaki berjenggot dan berambut putih terge lung itu menerawang, mengingat-ingat siapa ge rangan bocah-bocah bercawat itu.

"Sembilan Bocah Sakti tidak akan mem biarkan kalian meninggalkan desa ini hidup hidup. Kalian harus meninggalkan nyawa karena kelancangan kalian!" lanjut Gora lantang.

"Sembilan Bocah Sakti...?" gumam Resi Wikalga mengulang julukan yang diucapkan bo cah bercawat putih mengkilat.

Gumaman itu dilakukan juga oleh Ki Wa nabara dan Bagatada, yang memang pernah mendengar julukan itu. "Maafkan, kalau kami telah lancang mema suki wilayah kekuasaan kalian, Sembilan Bocah Sakti," ucap Resi Wikalga, mengejutkan Ki Wana bara dan Bagatada.

Ki Wanabara dan Begatada tidak menyang ka orang yang mereka hormati begitu merendah kepada bocah-bocah kecil yang mengaku berjuluk Sembilan Bocah Sakti. Apalagi, ucapan Resi Wi kalga dibarengi dengan tundukan kepala.

"Ha ha ha..., Tua Bangka! Rupanya kau ta kut setelah mendengar julukan kami!" lantang ejekan itu keluar dari mulut Gora.

Wajah Ki Wanabara dan Bagatada merah padam mendengar penghinaan itu. Begitu juga delapan belas murid Perguruan Gagak Loreng. Mereka menggemeretakkan gigi dan mengeraskan otot-otot ketika penghinaan itu terlontar dari mu lut bocah bercawat putih untuk lelaki yang mere ka panggil eyang guru.

"Kulumat mulut lancangmu, Bocah!" maki Bagatada seraya melangkah hendak menghajar mulut lancang Gora. Namun langkah kaki Baga tada tertahan oleh cegahan Resi Wikalga.

"Tahan amarahmu, Tada!" ucap Resi Wikalga.

Bagatada tentu saja menuruti ucapan kakek gurunya yang begitu dihormati. Langkah ka kinya pun kembali ditarik mundur.

"Tua Bangka Pengecut! Biar saja muridmu yang bernyali besar itu bermain-main denganku!" tukas Gora dengan nada tegas penuh ejekan. "Atau kau yang ingin bermain-main denganku?" Kini wajah Resi Wikalga yang bersemu me-

rah mendapatkan tantangan dari bocah kecil ber cawat putih. Resi Wikalga memang pernah men dengar kesaktian Sembilan Bocah Sakti yang te lah banyak membinasakan tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi. Kabar itu didengarnya ketika ten gah menikmati santapan pagi di Desa Patuna. Se saat setelah mengadakan pertemuan dengan Ke tua Perguruan Gagak Putih, yakni adik sepergu ruannya yang sama-sama pernah menimba ilmu di Perguruan Gagak Raksasa.

"Cepat Tua Bangka! Kenapa kau melamun seperti domba bodoh? Ayo kita bermain-main be berapa jurus! Atau kau ingin aku yang memu lainya?" tukas Gora memanasi wajah Resi Wikalga yang makin merah.

"Hiyaaa...!"

2

Tubuh Gora seketika melayang cepat ke arah Resi Wikalga. Lejitan yang dilakukannya membuat Ki Wanabara tidak percaya. Begitu ce pat, bagai angin yang berhembus keras.

Tangan bocah bercawat putih mengkilat itu mengepal kuat dan bergerak gesit ke arah kepala kakek pemilik Perguruan Gagak Loreng.

Wuttt! "Eits!" Resi Wikalga tentu saja tidak ingin pukulan bocah berusia tujuh tahun itu mengenai kepa lanya. Maka, segera saja dia menarik kepalanya ketika sejengkal lagi sambaran bertenaga kuat itu menghantam.

Serangan Gora berhasil dikandaskan Resi Wikalga. Namun tendangan susulan yang tak ter duga kecepatannya membuat kakek itu tidak me nemui jalan lain kecuali memapaki tendangan la wan dengan menyodokkan tangan kanannya.

Plakkk! "Aaakh...!"

Resi Wikalga memekik tertahan sesaat se telah benturan keras terjadi. Tubuh lelaki tua yang terbalut pakaian putih itu terhuyung mun dur tiga langkah. Sementara tangan yang diguna kan untuk menangkis tendangan Gora mengalami rasa sakit yang sangat kuat. Tulang-tulangnya te rasa ingin patah.

Namun, Resi Wikalga yang sudah kenyang makan asam garam pertarungan segera dapat mengatasi rasa sakit yang dirasakannya. Seka rang, kakek itu tengah bersiap menghadapi se rangan lawan yang memiliki tenaga dalam di atasnya. Sungguh Resi Wikalga tidak percaya. Bagaimana mungkin bocah sekecil Gora memiliki tenaga dalam yang demikian tinggi melebihi ke tinggian tenaga dalamnya yang dipelajari selama empat puluh tahun lebih?!

"Hyaaa...!"

Tubuh Gora kembali meluruk ke arah Resi Wikalga. Sepasang tangannya memperlihatkan cakar-cakar dengan kuku-kuku yang runcing.

"Betul-betul bocah setan," gumam Resi Wi kalga yang menyaksikan perubahan tangan Gora.

Sementara itu, pertarungan di tempat lain pun telah berlangsung. Ki Wanabara terlihat sal ing gempur dengan bocah bercawat hitam berna ma Bla. Sedangkan Bagatada berhadapan dengan Smas, bocah yang mengenakan cawat biru.

Pertarungan yang dilakukan Ki Wanabara dan Bagatada berlangsung cukup cepat dan seru. Begitu juga pertarungan antara murid-murid Per guruan Gagak Loreng yang bersenjatakan golok panjang dengan Ger, Jagu, Sedu, Jlak, dan Watu.

"Hyaaa...!" Brettt! "Aaa...!"

Lengking kematian yang menyayat terden gar ketika sambaran tangan Ger yang membentuk cakar membabat perut salah seorang murid Per guruan Gagak Loreng. Jari-jari tangan yang tiba tiba menjelmakan kuku-kuku runcing dan tajam amblas setengahnya.

Brrettt!

Manakala tangan Ger yang membenam di perut murid Perguruan Gagak Loreng tercabut, maka terlihatlah usus dan darah berebutan ke luar. Saat itu juga, nyawa lelaki bertubuh tinggi tegap itu pergi meninggalkan jasad.

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Rupanya, bukan hanya bocah bercawat merah itu yang berhasil menghilangkan nyawa murid Perguruan Gagak Loreng. Jagu dan Sedu pun telah melakukan hal yang sama. Kedua kor ban itu menggelinjang sekarat dengan leher jebol bekas cakaran.

Agaknya, orang-orang Perguruan Gagak Loreng tidak kuasa meredam keganasan sembilan bocah bercawat yang memiliki gerakan cepat ba gai kilat. Kesembilan bocah itu memang langsung memainkan jurus andalan mereka untuk me nyingkirkan orang-orang Perguruan Gagak Lo reng, yakni jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.

Ki Wanabara yang berhadapan dengan bo cah bercawat hitam juga terlihat kewalahan. Ber kali-kali sodokan tangan Bla hampir menembus kulit Ki Wanabara. Sementara dirinya hanya mampu mengelak tanpa bisa memberikan seran gan balasan.

"Hiaaattt..!" Wrettt!

Tlangngng! "Heh...?!"

Terkejut bukan main Ki Wanabara. Ketika pedangnya ditebaskan dengan kuat ke arah per gelangan tangan Bla ia merasa seperti membentur lempengan baja yang sangat kuat. Kekuatan te naga dalamnya seperti berbalik. Ki Wanabara me rasakan tangannya bergetar linu.

Dan pada saat keterkejutan Ki Wanabara terjadi, sosok kecil Bla melesat dengan melancar kan jurus 'Cakar Maut Empat Jari'. "Hiaaattt...!"

Wettt! "Its?!"

Ki Wanabara secepatnya menghindari ter kaman lawan yang melancarkan serangan dari atas. Serangan itu mencecar ubun-ubunnya. Tu buh Bla seperti seekor burung elang yang terbang menyambar anak itik. Namun ketika Ki Wanabara mampu mengelak, sambaran cakar Bla kembali berkelebat

"Hiaaattt...!"

Kali ini gerakan jurus 'Cakar Maut Empat Jari' dilakukan bocah bercawat hitam dengan menambah kecepatannya. Terarah ke ulu hati Ki Wanabara yang berada pada kedudukan kurang baik.

Bret! "Ukh!"

Meski Ki Wanabara sudah menggerakkan tubuhnya secepat mungkin, namun gerakannya kalah cepat. Hingga, kulitnya harus tertembus cakar lawan yang berkuku tajam. Dari pakaian nya yang koyak tampak darah merembes keluar.

"Mampus kau! Hiaaattt..!"

Tubuh Bla kembali melesat bagai terbang, mengejar tubuh Ki Wanabara yang limbung sete lah terkena sambaran tangan jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.

Blebert! Krakkk! Bunyi tulang berpatahan seketika terden gar ketika sepasang kaki bocah bercawat hitam itu membelit leher Ki Wanabara dengan menge rahkan ilmu 'Sepasang Kaki Maut Bocah Sakti'.

Ki Wanabara yang merasakan tulang le hernya berpatahan hanya mengikuti gerakan ka kinya yang limbung.

Brukkk!

Ketika ambruk ke bumi, tubuh Ki Wanaba ra sudah tidak lagi dihuni roh kehidupan. "Ayah...!"

Bagatada yang sempat melihat ayahnya ro boh berteriak keras. Namun perbuatannya itu se buah kesalahan yang paling besar. Pemuda beru sia dua puluh lima tahun itu melupakan pertaha nan dirinya.

"Hiaaattt...!"

Bocah sakti bernama Smas segera meman faatkan kelengahan anak Ki Wanabara itu. Seke tika itu juga tubuhnya melesat bagai terbang. Tangannya terangkat dengan jari-jari terkembang membentuk cakar harimau. Jurus 'Cakar Maut Empat Jari' masih dugunakannya untuk menye rang Bagatada.

Crabs! "Aaaa...!"

Bagatada menjerit histeris ketika empat jari kokoh berkuku runcing Smas dengan tepat menghantam ubun-ubunnya. Namun patut dipuji daya tahan pemuda itu. Dalam keadaan kepala tertembus jari tangan lawan, ia masih sempat me lancarkan sodokan ke dada Smas.

Blag!

Pukulan Bagatada yang tepat mengenai dada bocah bercawat biru itu tidak berpengaruh sedikit pun. Malahan, Smas menambah luka di leher Bagatada dengan membenamkan jari tangan kirinya.

"Aaa...!"

Pekik yang keluar dari mulut Bagatada kali ini adalah pekik kesakitan yang mengiringi ke luarnya nyawa dari dalam jasadnya.

"Heh!"

Smas menarik kedua tangannya yang me nembus kepala dan leher Bagatada.

Smas rupanya belum puas hanya dengan satu nyawa. Dia kini bergabung dengan teman temannya untuk membantai murid-murid Pergu ruan Gagak Loreng.

"Haiiittt..!"

***

Telaga Perak yang berair jernih kini me nampakkan warna kemerahan saat tubuh-tubuh murid Perguruan Gagak Loreng berpentalan ke dalamnya. Hanya beberapa orang saja yang mam pu mempertahankan diri. Tapi, mereka pun bu kan mustahil akan mengalami nasib yang sama dengan rekan-rekannya.

Lelaki berusia lanjut yang merupakan orang nomor satu di Perguruan Gagak Loreng pun tampak semakin terdesak. Tenaga Resi Wikalga sudah berkurang seiring dengan luka-luka di tu buhnya akibat keganasan serangan bocah berca wat putih mengkilat itu, yang menjadi pimpinan Sembilan Bocah Sakti.

"Terima lagi ini, Tua Bangka!" pekik Gora. Bersamaan dengan teriakan itu tubuhnya kembali mencelat ke arah Resi Wikalga, yang terhuyung huyung setelah tendangan telak bocah itu keras menerpa dadanya.

Resi Wikalga hanya bisa membelalakkan mata menyaksikan kedatangan serangan susulan lawan. Hasrat hati sang Resi untuk menyela matkan diri dari sambaran tangan Gora membuat dia berusaha keras untuk mengelak. Akan teta pi....

"Hih!" Brettt! "Aaakh...!"

Pekik lebih keras keluar dari mulut Rea Wikalga. Kening sebelah kanannya tersambar ku ku-kuku runcing Gora yang berkelebat dengan ju rus 'Cakar Maut Empat Jari'. Darah mengucur tu run ke pipi keriput Resi Wikalga.

Tiga murid Perguruan Gagak Loreng yang tersisa pun mengalami nasib yang sama. Smas, Sedu, dan Jlak telah mengirim ketiganya ke air telaga dengan nyawa terlepas dari badan.

"Hi hi hi.... Ha ha ha...!" Bocah bercawat tertawa bersamaan menyaksikan lawan-lawan terbantai dan mengambang di air telaga yang be rubah kemerahan. Hanya Resi Wikalga yang tersi sa. Namun kakek itu pun sudah terkulai lemas di tanah dengan luka-luka yang membuat dirinya ti dak kuasa bangkit

"Tua Bangka! Tanpa kuserang kembali pun kau pasti sebentar lagi akan mampus! Untukmu, kuberi kesempatan pergi!" ucap Gora si bocah bercawat putih mengkilat "Ayo, pergi sekarang! Jangan coba-coba datang lagi ke dalam daerah kekuasaanku!" lanjut Gora dengan jari tangan se perti mengusir kucing kurap.

Resi Wikalga tidak membalas ucapan Gora. Wajah lelaki tua itu tampak mengejang menahan sakit yang sangat

"Cepat!" bentak Gora. "Ha ha ha... Hi hi hi...!" bocah bercawat putih mengkilat itu tertawa keras.

"Ha ha ha...!"

"Hi hi hi...!"

"Hu hu hu...!"

Bocah-bocah bercawat yang lain pun mem buka mulut mereka lebar-lebar. Tawa mereka le pas berderai-derai.

"Ayo, kita kembali menikmati beningnya air telaga. Biarkan saja si tua bangka itu mati den gan sendirinya," tukas Gora bernada memerintah. Delapan bocah sakti yang mendengar uca-

pan Gora segera berlompatan ke air telaga yang perlahan kembali jernih.

Cburrr! Byur! Byur!

"Ha ha ha... Hi hi hi...!"

***

Saat bocah-bocah sakti tengah hanyut dengan canda, Resi Wikalga berusaha pergi me ninggalkan daerah kekuasaan Sembilan Bocah Sakti. Meninggalkan mayat muridnya, cucu mu ridnya, dan delapan belas pengikutnya yang setia. Meski dengan susah-payah, orang terpan-

dang di Perguruan Gagak Loreng itu berhasil menjauhi bocah-bocah sakti yang nampaknya berkeyakinan tak lama lagi Resi Wikalga akan menjumpai ajalnya.

Semakin jauh Resi Wikalga berjalan me ninggalkan Telaga Perak, semakin tak kuat dia menahan beban dirinya. Terlebih darah terlampau banyak keluar, membuat kepalanya seperti dipu tar-putar. Dan ketika hampir mencapai perbata san Desa Liring Sedayu....

Brukkk!

Resi Wikalga akhirnya tidak kuat bertahan.

Kakek itu terjerembab ke tanah. Pingsan.

Pada saat yang hampir bersamaan dari ke lokan jalan yang membatasi Desa Liring Sedayu dengan Desa Warukunir muncul dua sosok tubuh berpakaian kuning keemasan dan jingga. Sepa sang muda-mudi yang berjalan dengan mesra itu segera melihat sesosok tubuh tergolek sejauh de lapan tombak di depannya.

"Kakang! Lihat di sana," tunjuk gadis ber pakaian jingga. Tangan kiri gadis berwajah putih halus itu menggenggam sebatang payung berwar na kuning keemasan.

"Kita ke sana, Mayang!" sambung kawan nya, seorang lelaki muda berwajah tampan dan bertubuh kekar.

"Ayo, Kakang Jaka," ujar gadis cantik yang ternyata Dewi Payung Emas yang bernama asli Mayang Sutera. Dan kawannya sudah bisa dipas tikan. Siapa lagi kalau bukan Jaka Sembada yang berjuluk Raja Petir.

Sepasang pendekar muda itu berjalan ter gesa menghampiri sosok tubuh yang tergolek di tanah.

"Dia hanya pingsan, Mayang," ucap Jaka setelah meraba dan meneliti keadaan kakek yang tak lain Resi Wikalga.

"Tapi luka-lukanya, Kakang.... Apakah ka kek ini akan mampu bertahan?" tanya Mayang. Nada suaranya terdengar cemas.

"Aku akan memberi pil penawar rasa sakit, Mayang. Namun sebelumnya aku harus memban gunkan dari pingsannya," jawab Jaka.

"Lakukanlah, Kakang," pinta Mayang. Jaka segera membalikkan tubuh Resi Wikalga yang ter telungkup. Lalu dengan kepandaian yang dimili kinya, Jaka menyalurkan hawa murni ke tubuh kakek berpakaian putih yang telah dipenuhi ber cak-bercak darah.

"Euhhh...!"

Beberapa saat kemudian Rea Wikalga men gerang perlahan. Kakek itu menggerakkan tu buhnya dengan erangan yang memilukan.

"Dia sudah siuman, Kakang!" ujar Mayang. Wajah gadis cantik kekasih Jaka itu tampak gem bira.

3

"Eh!" Resi Wikalga terkejut menyaksikan sepasang muda-mudi bersila di hadapannya di bawah pohon yang berdaun rindang.

"Siapa.... Siapa kalian?" tanya Resi Wikalga dengan suara parau yang tersendat-sendat

"Tenanglah, Ki," tukas Jaka lembut, "Aku, Jaka. Dan dia temanku, Mayang Sutera," lanjut tokoh muda yang julukannya banyak disebut sebut tokoh persilatan.

Resi Wikalga beringsut dengan tatapan tak lepas memandangi tubuh Jaka, seolah tengah mengingat-ingat siapa orang muda yang kini be rada di hadapannya.

"Kau... Kaukah Jaka Sembada?" tanya Resi Wikalga setelah beberapa saat terdiam. Patut di puji kejelian mata tua Resi Wikalga. Meski kea daan tubuhnya lemah, ia masih mampu menge nali Jaka.

"Benar, Ki. Nama lengkapku memang Jaka Sembada," tutur Jaka menjelaskan.

"Oooh...!"

Tiba-tiba Resi Wikalga mengerang lirih. Ka kek itu bukan saja terkejut mendengar penga kuan Jaka, tapi rasa sakit pada luka-lukanya te rasa menyengat

"Sebaiknya kau telan pil ini, Ki," pinta Ja-ka.

Tangannya terjulur memberikan butiran

obat penawar rasa sakit yang selalu dibawanya. Tujuannya tak lain untuk menolong orang-orang yang ditemuinya di jalan.

Resi Wikalga segera meraih pil yang dis odorkan Jaka, dan langsung menelan pil berwar na merah itu. Begitu pil pemberian Jaka melewati kerongkongannya, Resi Wikalga merasakan kha siat pil yang diminumnya. Rasa nyeri di tubuhnya berangsur-angsur hilang."Terima kasih. Raja Petir. Terima kasih. Be runtung sekali aku berjumpa dengan kalian," tu tur Resi Wikalga. Pandangannya beralih ke wajah cantik Mayang.

Gadis cantik dengan rambut dikepang itu membalas tatapan Resi Wikalga dengan senyum manis yang terkembang.

"Jangan panggil aku dengan julukan itu, Ki," cegah Jaka sungkan.

"Ah, kau memang pantas menyandang ju lukan hebat itu, Jaka. Aku sering mendengar se pak-terjangmu. Tentang kehebatan ilmu-ilmumu dari orang-orang persilatan yang kukenal, namun sayang baru sekarang ini aku sempat bertatapan muka dengan tokoh muda yang berpijak pada ja lan kebenaran itu," kilah Resi Wikalga.

malu.

"Lupakan   itu,   Ki,"   sangkal   Jaka malu-malu.

Mayang yang mendengar ucapan kekasih nya merasakan ucapan itu tidak dibuat-buat Mayang tahu kalau ucapan kekasihnya semata karena dirinya tidak suka disanjung terlalu berle bihan.

"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Ki?" tanya Mayang mencoba menyingkap keka kuan itu.

Resi Wikalga menatap wajah Jaka dan Mayang bergantian. Hanya sesaat kemudian Resi Wikalga menceritakan kejadian yang menimpa rombongannya.

"Sembilan Bocah Sakti?!" gumam Jaka mengulang julukan yang disebut Resi Wikalga se bagai sumber petaka kejadian yang dialaminya.

"Pernah aku mendengar julukan itu, Ki," ucap Jaka kemudian.

"Aku pun demikian, Jaka," Jimpal Resi Wi kalga. "Namun ketika kami berjumpa dengan sembilan bocah yang hanya mengenakan pakaian mirip cawat itu, semula kami menganggap mereka hanya anak-anak kampung yang sedang bermain main di kebeningan air telaga. Namun ternya ta...," Resi Wikalga tidak melanjutkan ucapannya. Hatinya kembali terenyuh mengingat kematian Ki Wanabara dan Bagatada.

"Apakah kira-kira sembilan bocah itu ma sih berada di Telaga Perak Desa Liring Sedayu, Ki?" tanya Mayang. "Entahlah," jawab Resi Wikalga.

"Kakang, apa kita datangi saja Telaga Perak itu?" tukas Mayang. "Rasanya aku mencium se suatu yang tak beres dengan keberadaan sembi lan bocah itu di Desa Liring Sedayu. Apalagi, me reka bilang tak seorang pun diizinkan menginjak Desa Liring Sedayu," lanjut Mayang mengulangi cerita Resi Wikalga.

"Kurasa tidak sekarang ini, Mayang," tolak Jaka dengan tatapan mata lembut.

Mayang tidak membantah ucapan Jaka. Hanya tatapan matanya membalas tatapan keka sihnya yang merasa keberatan kalau harus me ninggalkan Resi Wikalga yang membutuhkan per tolongan.

"Ki Wikalga," ucap Jaka pelan, "Ke mana sesungguhnya tujuanmu sekarang?"

Resi Wikalga tidak segera menjawab perta nyaan Jaka. Hingga tokoh muda yang berjuluk Raja Petir itu kembali berujar. "Kami dengan se nang hati akan mengantarkanmu, Ki."

"Eh! Terima kasih, Jaka. Aku telah mere potkanmu," Resi Wikalga merasa tidak enak den gan kebaikan yang disodorkan Jaka.

"Kami tidak merasa kerepotan, Ki. Kami merasa ini adalah sebagian dari kewajiban kami," tukas Mayang tegas.

"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ni sanak," ucap Resi Wikalga. Kepalanya tertunduk sedikit "Antarkan aku ke Perguruan Gagak Putih," pintanya kemudian. "Sekarang juga kami akan mengantar kau ke sana, Ki," tukas Jaka seraya membawa bangkit tubuh Resi Wikalga yang masih lemah karena ba nyak mengeluarkan darah akibat luka-lukanya yang parah.

"Maaf, Ki. Agar perjalanan kita ke Pergu ruan Gagak Putih tidak memakan banyak waktu, sebaiknya tubuhmu kubopong saja," pinta Jaka sopan.

"Terserahlah, Jaka," ucap Resi Wikalga. Jaka segera mengangkat tubuh Resi Wikal-

ga dalam bopongannya. Sementara matanya me natap wajah gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas.

"Ayo, Mayang!" ajak Jaka. Kakinya kemu dian menghentak kuat dan tubuhnya melesat membopong tubuh sesepuh Perguruan Gagak Lo reng.

"Hip!"

Gadis cantik berpakaian jingga pun segera melakukan hal yang sama, melesat pergi mening galkan perbatasan Desa Liring Sedayu menuju Perguruan Gagak Putih.

***

Perguruan Gagak Putih seketika menjadi gempar ketika Jaka dan Mayang datang memba wa Resi Wikalga yang terluka parah.

Ki Rayung Sadawa yang merupakan sauda ra seperguruan Resi Wikalga merasa terpukul bu kan main. Wajah lelaki berusia hampir sama den gan Resi Wikalga itu nampak kemerahan mena han kemarahan yang meluap-luap. Mata pimpi nan Perguruan Gagak Putih membelalak tajam seperti macan hendak memangsa korbannya.

Setelah meletakkan tubuh Resi Wikalga da lam kamar khusus di Perguruan Gagak Putih, dengan seorang tabib perguruan yang dipercaya kan untuk menangani keadaan sesepuh Pergu ruan Gagak Loreng itu, Ki Rayung Sadawa segera kembali menemui Jaka dan Mayang.

"Terima kasih atas bantuan kalian mem bawa Kakang Wikalga kemari. Entah apa jadinya tanpa pertolongan kalian," ucap Ki Rayung Sada wa dengan hormatnya. Sesungguhnya, Ki Rayung Sadawa ingin Jaka-lah yang menangani keadaan Resi Wikalga. Karena Ki Rayung Sadawa yakin dengan kesaktian yang dimiliki tokoh muda dig daya itu. Tetapi Ki Rayung Sadawa merasa tak enak kalau kembali menyusahkan Jaka yang te lah menyelamatkan Resi Wikalga dan memba wanya ke Perguruan Gagak Putih.

"Itu hanya suatu kebetulan saja, Ki Rayung," kilah Jaka merendah. "Kami tidak sen gaja menemukan Ki Wikalga tergolek di perbata san Desa Liring Sedayu. Sebisanya aku menya darkannya dan membawanya ke sini sesuai den gan pemintaannya," lanjut Jaka.

"Sikap rendah hati itulah yang semakin membuat nama harum, Raja Petir," tukas Ki Rayung Sadawa memuji sikap pemuda itu. Me mang, baru kali ini Ki Rayung Sadawa bertemu muka dengan tokoh muda digdaya yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu. Na mun mendengar dari mulut-mulut tokoh persila tan tentang kehebatan Raja Petir dan ciri-cirinya sudah lama diketahui.

Dan itu semakin membuat rasa kagum Ki Rayung Sadawa terhadap Raja Petir bertambah.

Jaka tidak bisa membantah ucapan lelaki berpakaian hijau muda itu, yang pada bagian pinggangnya tergantung sebilah pedang berga gang kepala burung gagak terbuat dari emas.

"Aku akan mencari bocah-bocah siluman itu! Mereka harus bertanggung jawab atas kema tian Adi Wanabara, Bagatada, dan delapan belas murid Perguruan Gagak Loreng. Aku khawatir perbuatan mereka merambat dengan membantai perguruan-perguruan lain," tukas Ki Rayung Sa dawa.

Seorang perempuan berusia empat puluh tahun melangkah cepat-cepat membawa nampan berisi air minum dan panganan. "Aku tidak me nyangka Kakang Wikalga dapat ditundukkan oleh bocah-bocah itu," tukasnya sambil meletakkan nampan.

Ki Rayung Sadawa tidak menimpali perka taan istrinya. Begitu juga Jaka dan Mayang.

"Kepandaian bocah-bocah itu berarti di atas kita, Kakang Rayung. Dan Kakang ingin mencari bocah-bocah itu untuk dimintai pertang gungjawaban. Apakah itu bukan suatu hal yang mustahil. Kudengar Sembilan Bocah Sakti telah banyak menyingkirkan tokoh-tokoh tingkat tinggi dari golongan hitam dan putih," lanjut perempuan berpakaian putih itu.

Ki Rayung Sadawa tersentak juga menden gar perkataan wanita itu. Mata lelaki pimpinan Perguruan Gagak Putih menatap wajah istrinya.

"Tak salah dengarkah telingaku, Nyi?" tanya Ki Rayung Sadawa. "Kalau aku ingin men cari bocah-bocah siluman itu, berarti aku telah meletakkan tanggung jawab di pundakku sebagai tokoh persilatan. Apa kata orang terhadap diriku jika aku berpangku tangan dalam menghadapi persoalan ini? Siapa pun Sembilan Bocah Sakti itu aku harus tetap menghadapi mereka. Demi wibawaku dan perguruanku yang berkaitan den gan Kakang Wikalga dan Perguruan Gagak Lo reng," mantap ucapan Ki Rayung Sadawa.

Nyi Rayung Sadawa yang duduk di sisi su aminya tidak membantah ucapan itu. Nampak nya, dia merasa bersalah ucapannya telah me nyinggung perasaan suaminya.

"Ayo, cicipi hidangan yang seadanya ini, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa mencairkan keka kuan suasana.

Jaka dan Mayang memenuhi ucapan Ketua Perguruan Gagak Putih.

"Kalau aku boleh tahu, apa yang hendak kau lakukan sekarang, Ki Rayung?" tanya Jaka setelah meminum teh hangat manis yang dis uguhkan Nyi Rayung Sadawa. "Aku dan beberapa murid utamaku akan mencari bocah siluman itu, Jaka. Kuharap kalian berdua bersedia melakukan hal yang sama," ja wab Ki Rayung Sadawa.

"Ya," sambut Jaka memenuhi harapan Ki Rayung Sadawa.

"Jika begitu, kalian bergeraklah bersama sama," ucap Nyi Rayung Sadawa memberi saran. Sengaja saran itu dilontarkan Nyi Rayung Sada wa, karena jika Ki Rayung Sadawa bergerak ber sama-sama dengan Jaka, besar harapannya akan selamat mengingat kedigdayaan tokoh muda nan tampan itu belum menemui tandingannya.

"Masalah itu kuserahkan keputusannya padamu, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa menim pali keinginan istrinya.

Jaka tidak segera memberikan jawaban. Pemuda itu mampu membaca dari tekanan suara Ketua Perguruan Gagak Putih, kalau lelaki itu se benarnya ingin bergerak sendiri dalam mencari Sembilan Bocah Sakti yang telah membuat mala petaka bagi Perguruan Gagak Loreng.

"Bagaimana kalau kita berpencar saja da lam mencari bocah-bocah itu, Ki Rayung. Dengan begitu kita akan dapat cepat menemukan dan se cepatnya mengambil tindakan," usul Jaka hati hati. Dia tidak ingin menyinggung perasaan Nyi Rayung Sadawa.

"Aku juga berpikiran ke situ, Jaka," sam but Ki Rayung Sadawa mantap. Dengan berpen car pekerjaan kita menjadi lebih ringkas," lanjut nya.

Nyi Rayung Sadawa tidak membantah uca-

pan suaminya.

"Tapi kau harus hati-hati, Kakang," ujar nya pelan. "Biar bagaimanapun, mereka adalah bocah-bocah sakti yang telah berhasil menun dukkan Kakang Wikalga, yang kepandaiannya je las di atas orang-orang di perguruan Gagak Putih ini," lanjut Nyi Rayung Sadawa penuh kekhawati ran.

"Kau bantulah dengan doa, Nyi. Aku pun akan bertindak hati-hati," tangan Ki Rayung Sa dawa merangkul pundak istrinya untuk meredam kecemasan yang tergambar di mata perempuan yang sangat dicintainya itu.

"Jika begitu, izinkanlah kami bergerak le bih dulu, Ki," pinta Mayang yang sejak kedatan gannya di Perguruan Gagak Putih tidak sepatah pun mengeluarkan perkataan.

"Ya. Kurasa lebih baik begitu, Ki Rayung," timpal Jaka.

Ki Rayung Sadawa menatap wajah Jaka dan Mayang bergantian. Pimpinan Perguruan Ga gak Putih itu merasa berhutang budi pada pasan gan pendekar muda itu.

"Ya. Berangkatlah kalian lebih dulu. Bebe rapa orang muridku akan kuutus untuk menga barkan berita buruk ini pada orang-orang Pergu ruan Gagak Loreng. Setelah itu, baru kami berge rak mencari bocah-bocah siluman itu," tukas Ki Rayung Sadawa. "Kalau begitu kami pamit sekarang, Ki, Nyi," ucap Jaka seraya bangkit berdiri. Mayang segera mengikuti.

Ki Rayung Sadawa dan istrinya mengiringi langkah Jaka dan Mayang yang telah bergerak meninggalkan pendopo. Ketika sampai di luar pendopo Perguruan Gagak Putih, sekali lagi Jaka dan Mayang menatap wajah Ki Rayung Sadawa.

"Permisi, Ki, Nyi," ucap Jaka lagi. "Hop!"

"Hip!"

Dua sosok tubuh pendekar muda itu seke tika melesat bagai angin berhembus. Gerakan me reka yang cepat begitu sedap dilihat. Tampaknya, ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu me ringankan tubuh mereka telah mencapai kesem purnaan.

Ki Rayung Sadawa dan istrinya hanya da pat memandangi kepergian Jaka dan Mayang dengan kekaguman yang tak sempat tercetus.

"Ah, semoga mereka berhasil, Kakang," ucap Nyi Rayung Sadawa tak kuasa menyembu nyikan harapannya.

***

Sebuah kedai yang terletak di Desa Nura barang terlihat begitu ramai oleh pengunjung. Ke dai itu memang selalu dipenuhi pengunjung. Me reka bukan hanya ingin menikmati  hidangan yang sudah cukup tersohor kelezatannya. Tetapi juga memandang dua gadis cantik anak-anak Ki Sandara pemilik kedai, yang selalu rajin memban tu melayani tamu-tamu ayahnya.

Dua gadis cantik berusia enam belas tahun itu adalah anak kembar Ki Sandara. Keduanya memiliki perangai yang sama. Sabar dan lemah lembut. Setiap tamu yang datang di kedai Ki San dara selalu disambutnya dengan sopan, bahkan tak jarang senyum manis terkembang. Hal seperti itu dilakukan mereka bukan karena anak-anak Ki Sandara perempuan genit, tetapi mereka berpen dapat kalau tamu harus disambut dengan kera mahan dan wajah yang manis. Tujuannya tentu saja agar tamu-tamu itu tidak segan-segan mam pir lagi jika suatu saat lewat di depan kedai.

"Silakan, Tuan nikmati dulu hidangan lezat ini. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan di dalam, " tolak seorang putri Ki Sandara yang se dang menjamu tamunya.

"Temanilah aku sebentar, Nini. Seleraku akan bertambah kalau kau mau duduk menema niku," rayu lelaki berusia tiga puluh tahun. Se mentara tangannya terus mencekal pergelangan tangan anak Ki Sandara yang mengenakan pa kaian biru cerah.

Gadis cantik bernama Yayuning itu tidak kuasa menolak ajakan lelaki berpakaian biru tua. Kepala gadis bermata bagus itu hanya menoleh ke arah ayahnya yang tengah menyiapkan makanan untuk pengunjung kedai yang lain.

"Maaf, Kisanak. Izinkan dulu anakku membawakan makanan ini untuk tamu-tamu yang lain," ucap Ki Sandara cukup keras.

Lelaki berpakaian biru tua yang mencekal tangan Yayuning serta-merta melepaskan ceka lannya. Wajah lelaki itu bersemu merah menden gar ucapan pemilik kedai yang dirasanya begitu berani.

"Aku juga perlu pelayanannya, Kisanak!" bentaknya tak kalah keras.

"Aku tahu itu," kilah Ki Sandara cukup be rani, "Tapi hidangan ini perlu diantar untuk ta mu-tamu yang lain. Baru selesai itu permintaan mu bisa dipenuhi," lanjut Ki Sandara mantap.

Pengunjung kedai itu rupanya jenis lelaki yang tidak begitu sulit diberi pengertian. Terbukti, dia kembali duduk di tempatnya dan bersiap me nyantap hidangan yang barusan diantar Yayun ing. Suasana di dalam kedai kembali tenang. Para pengunjung yang semula cemas akan terjadi keri butan kembali menyantap hidangan yang terse dia.

Pada saat pengunjung kedai tengah me nikmati hidangannya, dua bocah berusia tujuh tahunan tiba-tiba masuk dan langsung menuju  ke dapur tempat Ki Sandara dan kedua anak ga disnya tengah berkumpul.

"Hai! Anak Manis, ada perlu apa kalian ke sini?" tanya Yayuning beranjak mendekati dua anak lelaki kecil itu, yang hanya mengenakan se lembar cawat berwarna hitam.

Dua bocah bercawat hitam yang tak lain Bla dan Dbo menatap tajam wajah Yayuning. "Aku perlu kau!" ucap Bla keras dengan ja-

ri telunjuk menuding wajah anak Ki Sandara. "Aku?" tanya  Yayuning  yang ditunjuk oleh

Bla. "Ah, Ayah. Anak ini lucu sekali," ucap Yayun ing lagi.

Ki Sandara yang tidak melihat sosok Bla dan Dbo terpaksa memanjangkan lehernya untuk melihat bocah lucu yang disebut Yayuning.

"Kau perlu apa dengan Yayuning, Anak Manis?" tanya Ki Sandara.

Bocah bercawat hitam bernama Bla tidak menjawab pertanyaan Ki Sandara. Tatapan ta jamnya tetap tertuju ke wajah cantik Yayuning.

"Kemari kau!" keras ucapan Bla dengan jari kembali menuding wajah Yayuning.

Yayuning tanpa diminta sekali lagi segera saja menghampiri Bla. "Ada apa?" tanya Yayuning dengan kepala sedikit direndahkan.

Tak ada jawaban atas pertanyaan Yayun ing. Namun, tiba-tiba saja tangan Bla bergerak cepat ke bagian dada anak Ki Sandara itu.

Brets! "Ekh!"

Yayuning terpekik keras mendapatkan apa yang dilakukan bocah kecil di hadapannya. Tu buhnya langsung melangkah mundur ketika da danya terasa perih dan pakaiannya yang tersam bar tangan Bla koyak.

Ki Sandara pun tak kalah terkejutnya me lihat perbuatan anak kecil bercawat hitam itu. Langkahnya segera bergerak maju untuk mence gah perbuatan Bla yang hendak diulangi.

"Bocah Setan! Pergi kalian!" bentak Ki San dara mengusir.

Bla dan Dbo mendelik mendengar benta kan Ki Sandara. Kemudian, tubuh dua bocah ke cil yang tak lain dua dari Sembilan Bocah Sakti mencelat ke atas meja dapur. Dengan kecepatan yang luar biasa tangan Bla dan Dbo bersama sama bergerak ke wajah Ki Sahdara.

Brets! Brets! "Aaa...!"

Ki Sandara memekik keras. Tubuhnya se ketika limbung dan jatuh berdebuk. Wajah Ki Sandara mengucurkan darah akibat cakaran dua bocah bercawat. Dari mulut pemilik kedai itu ter dengar erangan kesakitan.

Suara ribut-ribut di dapur membuat para pengunjung yang tengah menikmati hidangan se gera berdatangan. Mereka terkejut bukan main ketika menyaksikan tubuh Ki Sandara tergolek di tanah dengan wajah koyak bekas cakaran. Darah mengucur dari luka itu.

"Tolooong...!"

Yayuning memekik ketakutan ketika Bla kembali hendak melayangkan cakarnya. Gadis cantik anak Ki Sandara itu sudah terpepet di su dut dapur.

"Bocah Setan! Apa yang hendak kau laku kan di sini, heh?!" bentak lelaki tiga puluhan yang tadi minta ditemani Yayuning. Langkah lelaki berpakaian biru itu terayun hendak membopong tubuh Bla dari belakang. Namun....

"Mampus kau!"

Seraya membalikkan tubuh, tangan kanan Bla dengan jari yang ditumbuhi kuku-kuku runc ing berkelebat cepat ke arah leher lelaki berpa kaian biru tua.

Wrrrttt !

"Uts!"

Lelaki itu menarik tubuhnya ke belakang menghindari sambaran tangan Bla. Usaha itu memang berhasil menyelamatkannya. Namun te man Bla, yakni Dbo, bergerak memberi serangan susulan dengan loncatan cepat. Tendangannya te rarah ke dada lelaki berpakaian biru tua.

"Haaaiiit..!" Blagkg! "Aaa !"

Brukkk!

Tubuh lelaki berpakaian biru tua mental keluar dapur dan jatuh di ruang makan menimpa meja salah seorang pengunjung. Hanya sesaat tu buh lelaki itu mengejang. Pada saat berikutnya tubuhnya telah terbujur kaku dengan nyawa ter lepas dari raga.

Kenyataan itu membuat orang-orang gagah yang berada di dalam kedai segera bergerak un tuk meringkus dua bocah aneh bercawat hitam yang telah menewaskan Ki Sandara dan seorang pengunjung kedai. "Ringkus Bocah Setan itu! Jangan biarkan lolos!" keras ucapan seorang lelaki yang pada ba gian punggungnya menggelantung sebatang pe dang. Rupanya, lelaki itu adalah orang persilatan. Bla dan Dbo yang mendengar ucapan itu  hanya mendengus marah. Kemudian tubuh kedua bocah itu melesat keluar dari dapur kedai Ki San-

dara.

"Jangan biarkan bocah-bocah itu lolos!" ucap salah seorang pengunjung kedai. Tubuh le laki itu sendiri melesat cepat mengejar Bla dan Dbo yang sudah berada di luar kedai.

"Kami tidak akan kabur, Kisanak sekalian! Justru nyawa kalianlah yang akan lolos dari raga. Saat ini juga!" bentak Bla di luar perkiraan orang orang gagah yang menjadi pengunjung kedai.

"Bocah Setan! Ayo, tangkap mereka!" perin tah lelaki yang di punggungnya tersandang seba tang pedang.

"Ayooo...!" setuju yang lain.

4

Tujuh lelaki pengunjung kedai yang berpe nampilan seperti orang persilatan segera meluruk maju hendak meringkus Bla dan Dbo. Gerakan mereka seakan hendak menangkap anak kecil yang melarikan mainan adiknya. Kenyataan itu tentu saja membuat Bla dan Dbo semakin men ganggap rendah lawan-lawannya. Keduanya ber gerak cepat dengan sambaran tangan dan kaki, membuat para pengeroyoknya kalang kabut menghindari cakaran dan sampokan kaki mereka yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi.

Wrrrttt! Wughg! "Heh...?!"

Lelaki yang pada bagian punggungnya ter dapat pedang panjang tampak terkejut. Sambaran tangan yang baru saja berhasil dielakkan berganti dengan sambaran kaki yang cukup keras, terarah ke batang lehernya.

Tubuh Dbo melayang bagai seekor burung terbang.

Plak! "Aaakh!"

Ketika benturan keras terjadi karena lelaki itu memapaki dengan tangan, pekik kesakitan pun terdengar. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara tubuh Dbo yang melancarkan tendangan cukup keras berdiri tegak di tanah. Tidak terlihat bocah kecil itu kalah dalam adu tenaga.

"Haaaiiit..!"

Belum lagi lawan Dbo berhasil memperbai ki kedudukan, bocah bercawat hitam itu telah melejit cepat dengan sepasang tangan bergerak mencecar leher.

Lelaki berpakaian merah yang telah mera sakan kehebatan lawan tidak ingin ambil akibat. Maka, meski dalam keadaan kaki kurang pas menjejak tanah, disempatkannya juga untuk me loloskan pedang.

Srattt!

Namun baru saja pedang itu keluar dari warangkanya, dan belum lagi siap ditebaskan ke arah lawan, serangan Dbo yang begitu cepat telah datang lebih dulu.

Crattt! Crappp! "Aaa...!"

Pekik membumbung tinggi ke langit pun seketika terdengar cukup keras. Tubuh lelaki berpakaian merah yang bagian leher kiri kanannya tertembus kuku-kuku runcing Dbo menggelinjang-gelinjang bagai ayam disembelih.

Wrrrttt!

Dan ketika jari-jari Dbo terlepas dari leher lawan, seketika itu juga tubuh lelaki berpakaian merah menggeloso di tanah dengan nyawa me layang pergi.

Apa yang dilakukan Dbo dapat disaksikan pula pada sepak-terjang Bla yang begitu menggi riskan. Bla tidak membiarkan lawan-lawannya mengambil napas. Tubuh Bla berkelebatan cepat bagai malaikat pencabut nyawa. Setiap gerakan yang dilakukannya sebuah nyawa menjadi taru hannya.

Seperti saat ini. Tubuh Bla kembali me layang di udara dengan cakar berkuku runcing yang hendak dibenamkan di tubuh lelaki berpa kaian hitam yang tengah terhuyung-huyung.

"Haaaiiit..!" Plakkk! "Eikh...?!"

***

Tubuh Bla terhuyung dua langkah ketika sambaran tangannya dipapaki sosok kuning kee masan yang bergerak cepat. Kini sosok bayangan kuning yang menyelamatkan lelaki berpakaian hi tam telah menjejakkan kakinya di tanah.

"Nghrg...!"

Bla mengerang marah melihat sosok lelaki berpakaian kuning keemasan berdiri di depan ca lon korbannya. Tatapan Bla yang membara bagai seekor serigala terluka merayapi sekujur tubuh lelaki berwajah tampan itu. Dan ketika tatapan matanya membentur gagang pedang yang meng gelantung di leher pemuda itu, mata Bla untuk sesaat terpejam. Ketika terbuka, tatapannya su dah terarah ke tempat lain.

Lelaki berpakaian kuning keemasan yang tak lain Jaka hanya membalas tatapan mata Bla dengan senyum terkembang. Namun, pikiran to koh muda yang berjuluk Raja Petir itu segera mengambil kesimpulan kalau bocah yang dihada pinya adalah dua dari Sembilan Bocah Sakti.

"Hm.    Aku harus meringkus dua bocah itu

hidup-hidup, " gumam Raja Petir dalam hati. "Kakang,...  Bukankah  bocah-bocah  itu ?"

Mayang yang baru tiba di tempat kejadian lang sung menyatakan dugaannya.

"Kau benar, Mayang," timpal Jaka memo tong ucapan kekasihnya. "Hati-hatilah kau meng hadapinya. Jangan memandang remeh," lanjutnya menasihati.

Mayang tidak menimpali ucapan Jaka. Ta tapan matanya tertuju pada dua bocah kecil yang telapak tangan mereka penuh berlumuran darah.

"Kita harus menangkapnya hidup-hidup untuk mengorek keterangan di mana ketujuh re kannya yang lain. Sekaligus mengetahui tujuan mereka yang selalu membunuh setiap orang yang dijumpai," tukas Jaka dengan berbisik.

"Ya, Kakang. Kita memang harus segera meringkus bocah-bocah setan itu," timpal Mayang.

"Bersiaplah, Mayang. Nampaknya dua bo cah itu sudah tahu siapa kita sebenarnya. Lihat! Dua bocah itu tengah menyiapkan ilmunya yang bukan mustahil sangat berbahaya. Berhati hatilah, Mayang."

Belum selesai gema ucapan Jaka meman tul di sudut hati Mayang. Sosok tubuh dua bocah bercawat hitam itu sudah berkelebat cepat den gan tangan terentang kuat. Tangan itu telah be rubah menjadi kemerah-merahan.

"Sepasang Tangan Bocah Sakti'!" teriak Bla menyebut nama ilmu yang akan dilancarkan un tuk menyerang Raja Petir dan Dewi Payung Emas.

"Haaaiiit..!"

"Haiiit..!"

Jaka dan Mayang yang memang sudah bersiap segera mengerahkan jurus masing-masing untuk mematahkan serangan lawan. Raja Petir dengan jurus menghindarnya yang bernama 'Lejitan Lidah Petir' segera berkelebat ketika se rangan Bla dengan cepat menyambar wajahnya.

Serangan pembuka yang dilancarkan Bla memang berhasil dikandaskan Jaka. Kenyataan itu membuat bocah bercawat hitam semakin murka. Dia kembali melancarkan serangan yang tak kalah cepat

"Hyaaa...!" Wrrrttt!

Uts!

Jaka melentingkan tubuhnya ke udara ke tika serangan Bla terarah ke bagian bawah tu buhnya. Namun siapa sangka kalau setelah se rangannya gagal, Bla seperti udang di dalam tangguk. Tubuhnya meletik indah dengan tangan bergerak memberikan serangan susulan ke arah dagu Raja Petir.

Jaka yang sempat terkejut menyaksikan gerakan aneh lawan, segera menyadari kalau la wan betul-betul memiliki kepandaian tinggi. Maka untuk dapat mengandaskan serangan Bla, Raja Petir segera melintangkan tangannya memapaki serangan.

Plakkk! "Heh...?!"

Jaka terkejut bukan main. Ketika benturan keras terjadi, dia merasakan hawa aneh menelu sup masuk melalui persentuhan kulit. Hawa aneh yang dirasakan Jaka begitu cepat menelusup. Se ketika itu juga Jaka merasakan ulu hatinya mual, seperti ingin muntah. Kepalanya pun terasa ber denyut-denyut pening.

"Hati-hati, Mayang! Usahakan jangan ber sentuhan dengan lawanmu!" tukas Jaka lantang. Meski kepalanya dirasakan berputar hebat, dan rasa mual di ulu hatinya semakin menjadi-jadi. Rasa khawatirnya pada keselamatan Mayang membuat Jaka meneriakkan peringatan itu.

Peringatan Jaka yang keras memang di dengar oleh Mayang. Dara manis yang berjuluk Dewi Payung Emas segera mengembangkan senja ta andalannya yang berupa payung kecil dari lo gam keras berwarna kuning keemasan.

Sementara itu, Raja Petir yang tengah ter pengaruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' se gera mengatasinya dengan 'Aji Kukuh Karang'. Ajian itu berguna untuk mengusir pengaruh ber macam ilmu yang menelusup masuk ke tubuh nya.

Maka, sebentar kemudian tubuh Jaka ter bungkus sinar kuning menyilaukan mata pada bagian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung kaki. Agaknya 'Aji Kukuh Karang' tengah bekerja. Dan ketika tangan Jaka yang barusan berpapa kan dengan tangan Bla dihentakkan kuat-kuat, maka....

Slats!

Sinar kemerahan yang merupakan penga ruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' mencelat keluar mengejar tubuh pemiliknya sendiri.

"Hops!"

Bla yang tidak menyangka Jaka dapat me redam keampuhan ilmunya segera menghentak kan kaki keras-keras menghindari luncuran sinar kemerahan yang meluruk cepat ke arahnya. Tu buh bocah cilik yang terbungkus sehelai cawat berputaran indah di udara. Gerakannya bagai seekor burung walet menjumput air.

Jlieg!

Tubuh kecil itu mendarat di tanah dengan mantap. Sementara sinar kemerahan yang berha sil dielakkannya terus meluncur. Dan ketika me nabrak sebatang pohon besar, maka yang terja di....

Blarrr! Brakkk!

Bunyi ledakan keras terdengar diiringi den gan ambruknya pohon sebesar pelukan lelaki de wasa. Batang pohon itu hangus terbakar. Jika si nar merah itu menerpa sosok manusia, tak ter bayangkan lagi akibat yang lebih mengerikan dari sebuah kematian.

"Hi hi hi...! Kau memang hebat, Raja Petir," ucap Bla mengenali sosok yang menjadi lawan nya.

Ucapan Bla tak mengejutkan Jaka. Malah hati, Jaka bertambah yakin kalau bocah cilik di hadapannya bukan bocah yang sewajarnya. Tapi merupakan jelmaan seorang tokoh sakti yang ke hadirannya tidak ingin diketahui.

"Raja Petir! Hari ini nama harummu akan terkubur. Tantanglah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' jika kau ingin mempertahan kan nama harummu. Namun, jangan harap hal itu akan dapat kau lakukan!" tukas Bla mantap. Suaranya menggelegar meski terdengar nyaring bagai suara bocah tujuh tahun.

Sementara Raja Petir dengan tenang terus menyaksikan apa yang akan dilakukan lawannya. Pada saat itu lawannya belum menggenggam sen jata yang dikatakannya sebagai sebatang pedang.

Dan ketika Bla memejamkan matanya, se saat kemudian lewat ubun-ubunnya muncul ujung senjata yang dikatakannya sebagai pedang. Ujung pedang itu semakin lama semakin meman jang. Dan ketika mencapai ukurannya, Bla segera meraih senjatanya yang ternyata disimpan di da lam tubuh. "Bersiaplah, Raja Petir!" tukas Bla lan tang. Sementara itu, penghuni kedai yang hanya tinggal Yayuning, Partining, dan lelaki yang telah diselamatkan Jaka bersembunyi di balik meja yang berantakan. Mata mereka terus menyaksi kan pertarungan dengan hati berdebar cemas.

Jaka pun merasa cemas mengingat Mayang yang tengah berhadapan dengan Dbo. Bocah yang juga bercawat hitam itu pasti akan mengerahkan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung', yang ketika muncul dari tubuh Bla dirasakan Ja ka kedahsyatan pamor pedang yang panjangnya sama dengan tinggi tubuh pemiliknya. "Mudah-mudahan saja Mayang mampu menandingi ilmu setan itu," gumam Jaka dalam hati.

Pada saat kecemasan Jaka akan keselama tan kekasihnya berlangsung, Bla si bocah cilik bercawat hitam melesat dengan pekikan aneh. Pekikannya nyaris mirip suara anjing terjepit.

"Kaingngng...!"

Seperti gangsing, tubuh Bla berputar-putar di udara. Bunyi menderu pun seketika terdengar memekakkan telinga. Sekujur tubuh bocah ber cawat hitam itu terbungkus sinar kemerahan, se perti halnya pedang di tangannya.

Menghadapi ilmu aneh lawannya. Raja Pe tir segera mengerahkan 'Aji Bayang-Bayang'. So sok Raja Petir menjadi lima kali lipat banyaknya. Dan ketika tebasan pedang Bla mengarah ke tu buhnya....

Breberrrt..! "Hops !"

"Heh?!"

5

Tubuh Raja Petir melenting cepat dengan hentakan kuat pada permukaan tanah. Sungguh Raja Petir tidak menyangka bocah bercawat hitam itu mampu membaca kelemahan ilmu yang dis uguhkan nya. Hampir saja tubuh Raja Petir dilu mat kedahsyatan sambaran senjata Bla yang me nyebarkan hawa panas menyengat Jlegkh!

Sosok Raja Petir mendarat dengan indah di tanah empat tombak jauhnya dari kedudukan la wan, setelah berputaran beberapa kali di udara.

"Ush!"

Raja Petir melepaskan napasnya yang tera sa sesak. Pemuda itu merasakan kulitnya bagai terpanggang bara.

"Apa perlu kukerahkan Sabuk Petir ini?" Raja Petir bergumam sendiri, sementara tatapan nya memandang sabuk hijau yang melilit ping gangnya, dengan tangan sudah memegang ujung Sabuk Petir.

Klangngng...!

"Akh!"

Tercekat hati Raja Petir mendengar suara dentang senjata beradu dan pekik tertahan yang keluar dari mulut Mayang.

"Mayang...!" panggil Raja Petir mence maskan keadaan kekasihnya.

Bersamaan dengan kecemasannya yang menjadi-jadi, bocah cilik bercawat hitam yang menjadi lawan Raja Petir kembali melesat membe rikan serangan susulan. Pedangnya yang memen darkan sinar kemerahan terayun di udara.

"Kaingngng...!" Wrrrr...!

Tubuh Bla melesat dan berputaran bagai gangsing. Warna kemerahan nampak bergulung gulung di udara, membuat kerikil-kerikil yang be rada di sekitar arena pertarungan berpentalan. Dan daun-daun berguguran dengan warna yang berubah menjadi hitam. Hangus.

"Hmrh...!"

Jaka mendengus kesal melihat kebengisan lawan. Namun, ia harus cepat menolong kekasih nya menghadapi Dbo. Maka tanpa pikir panjang lagi tangan kanan Jaka segera menarik ujung Sa buk Petir.

Rrrrttt!

Sinar kuning kemilau pun seketika ber pendar dari Sabuk Petir yang berwarna hijau, hingga suasana di sekitarnya menjadi terang. Dan ketika tebasan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' datang. Raja Petir segera mengimban ginya dengan ilmu 'Petir Membelah Malam'.

Cletar! Glarrr!

"Kaingngng...!"

Lidah Sabuk Petir yang terayun dalam ju rus 'Petir Membelah Malam' dengan tepat meng hantam segulungan sinar kemerahan yang tak lain wujud dari Pedang Iblis Neraka yang diputar dengan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuh Bla tergempur mundur lima langkah. Sementara sen jata andalannya terpental lebih jauh dan patah dua. Namun senjata yang patah itu tiba-tiba raib, tinggal patahan bagian ujungnya saja yang masih terlihat menggeletak di tanah.

"Eugkh!" Bla mengerang kesakitan sesaat ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' mampu dilumpuhkan Jaka dengan jurus 'Petir Membelah Malam'.

Akan tetap patut dipuji kepandaian bocah bercawat hitam itu. Begitu juga dengan daya ta han tubuhnya. Seharusnya, orang yang terhan tam jurus 'Sabuk Petir Membelah Malam' sudah tergeletak menjadi bangkai dengan tubuh hangus bagai tersambar petir. Namun apa yang disaksi kan Jaka terhadap tubuh Bla? Sungguh Jaka ti dak habis pikir. Tubuh Bla sedikit pun tidak mengalami luka, apalagi hangus seperti luka ba kar. Yang terlihat hanya napas bocah bercawat hitam itu tersengal-sengal setelah terhantam ju rus 'Petir Membelah Malam'.

"Kaingngngh...!"

Di tengah keterpesonaan Jaka terhadap ke tangguhan lawan, sepasang mata pemuda itu menangkap kelebatan lawan Mayang tengah men gerahkan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Ber kabung'.

"Awaaas..., Mayang!" pekik Raja Petir memperingatkan kekasihnya akan kedahsyatan ilmu yang sedang dipamerkan lawan.

"Hops!"

Raja Petir menghentakkan kakinya kuat kuat. Tubuhnya melesat bagai kilat dengan Sabuk Petir tergenggam di tangan kanan, siap memain kan jurus 'Petir Membelah Malam'.

"Hyaaattt...!" Cletar...!

Glarrrr...!

Ketika Sabuk Petir terayun dengan penge rahan tenaga dalam tinggi, seberkas sinar bagai lidah petir melesat cepat dan menghantam sinar merah yang bergulung di atas kepala Dbo.

Bocah cilik bercawat hitam yang menjadi lawan Dewi Payung Emas memekik keras. Tu buhnya tergempur mundur enam langkah. Se dang senjatanya yang bernama Pedang Iblis Nera ka terpental lebih jauh dengan keadaan yang ti dak utuh lagi. Patahannya yang masih menempel pada gagang seketika raib tak berbekas. Tetapi patahan ujungnya tergeletak di tanah dengan warna yang berubah menjadi hitam legam.

"Eugkh...!"

Seperti yang dialami rekannya, Dbo si bo cah bercawat hitam mengerang kesakitan. Malah, keadaannya lebih parah dari Bla yang menjadi lawan Jaka. Tubuh Dbo terkulai di tanah. Dari sudut bibirnya tampak cairan merah.

"Dbo...?!" teriak Bla mengkhawatirkan kea daan temannya. Dengan langkah terseok-seok Bla menghampiri Dbo. "Kau tak apa-apa Dbo? Hu hu hu...," tiba-tiba Bla menangis bagai anak kecil yang tidak kebagian kembang gula.

Dbo yang menyaksikan Bla menangis sedih dengan air mata bercucuran, ikut melakukan hal yang sama. Dbo malah menangis lebih keras.

"Huuu hu hu...!"

Jaka dan Mayang tentu saja tercengang melihat kelakuan aneh bocah-bocah sakti yang telah berhasil dilumpuhkannya. Begitu juga Yayuning, Partining, dan lelaki berpakaian hitam yang diselamatkan Jaka. Ketiga orang itu keluar dari tempat persembunyiannya di balik meja ke dai. Mereka keheranan mendengar tangis dua bo cah sakti yang sepak-terjangnya sangat menggi riskan. Yayuning dan saudara kembarnya saling berpandangan dengan tidak mengerti.

"Dbo! Sekarang kita tidak punya apa-apa lagi. Kesaktian kita musnah karena Pedang Iblis Neraka sudah raib dari tubuh kita. Kita tak punya harga lagi di mata Kakang Gora. Hu hu hu...!" Bla kembali menangkis keras. Tangannya merangkul tubuh Dbo.

Jaka dan Mayang yang mendengar ucapan Bla menjadi mengerti mengapa mereka menangis. Rupanya, Pedang Iblis Neraka-lah yang menjadi sumber kekuatan mereka.

"Sebaiknya cepat kita ringkus bocah-bocah itu, Kakang," usul Mayang tak ingin buang waktu. "Ya, Mayang. Kita memang harus segera mendapatkan keterangan dari bocah-bocah itu,"

timpal Jaka menyetujui usul kekasihnya.

Langkah Mayang terayun lebih dulu hen dak menangkap Bla dan Dbo yang masih berang kulan. Sementara Jaka mengikuti langkah keka sihnya. Tetapi.....

"Kak! Kak....kak!" tiba-tiba terdengar suara tawa yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga dalam tinggi. Bersamaan dengan itu melesat tiga sosok bayangan menuju Jaka dan Mayang yang tengah mengayunkan langkah menghampiri Dbo dan Bla.

Jlig!

Jligk! Jligk!

Tiga sosok tubuh tinggi besar berpakaian seorang pendeta melesat cepat dan mendarat dengan ringan di samping kiri Raja Petir.

Tiga lelaki yang berambut merah panjang terurai itu berdiri pongah dengan tatapan mata setajam elang, tertuju lurus pada wajah Jaka dan Mayang. Ketiga sosok itu bersenjatakan tasbih merah. Mereka adalah tiga lelaki berambut pan jang yang berjuluk 'Tiga Pendeta Rambut Api'.

Orang pertama dari Tiga Pendeta Rambut Api bernama Ekalaya. Seperti kedua rekannya, tubuh Ekalaya tinggi besar dan berotot meling kar-lingkar. Yang membedakannya hanya pada matanya yang sipit seperti mata bangsa Tiongkok. Sedangkan orang kedua dan ketiga bernama So naga dan Burita. Keduanya memiliki perbedaan pada hidungnya yang besar nyaris mirip buah tomat, dan mulutnya yang monyong.

"Hi hi hi...! Sungguh tak kusangka tokoh sakti yang namanya harum semerbak bak bunga surgawi memiliki sifat berbau busuk bagai bunga comberan!" tukas Ekalaya dengan tawanya yang tergelak. Bola mata lelaki itu menjadi tak nam pak. Yang terlihat hanya sebaris garis memanjang di antara hidungnya yang melengkung.

Jaka dan Mayang sendiri tampak tenang tenang saja menyaksikan kemunculan tiga pende ta itu. Begitu juga ketika ucapan menghina keluar dari mulut lelaki bermata sipit, sedikit pun tidak terdengar suara Jaka menentang ucapan itu.

Sebaliknya, Bla dan Dbo seperti mendapat kesempatan untuk menyelamatkan diri dengan munculnya Tiga Pendeta Rambut Api. Hati kedua bocah bercawat hitam itu merasa gembira. Itu ter lihat dari wajah mereka yang tidak lagi menun jukkan kecemasan.

"Raja Petir! Tak malukah kau hendak membunuh dua bocah tak berdaya itu?! Inikah yang dinamakan pendekar bijak dari golongan lu rus? Perbuatan serendah inikah yang dinamakan pengabdian untuk kaum lemah dan tak bersa lah?" sambut orang kedua dari Tiga Pendeta Rambut Api yang bernama Sonaga. Ucapannya tegas dan tajam menusuk.

"Kau harus menebus dengan nyawa akibat perbuatanmu ini. Raja Petir. Perbuatan rendah yang tak patut dilakukan tokoh digdaya seperti mu! Kami, Tiga Pendeta Rambut Api, akan meng hukum kalian sekarang juga! Bersiaplah untuk melayat ke lubang kubur!" sentak orang ketiga yang bernama Burita. Jari telunjuknya bergerak gerak menuding wajah Jaka dan Mayang.

"Hmmm...," Jaka bergumam tak jelas sebe lum menimpali ucapan Tiga Pendeta Rambut Api. "Kalian orang-orang sesat memang pandai bersilat lidah untuk melindungi kaum segolongan!" sentak Jaka dengan suara yang ditekan, hingga keluar dengan kewibawaan yang jelas dirasakan oleh Ti ga Pendeta Rambut Api. Seketika wajah mereka bersemu merah.

"Ya. Kalian memang penjilat-penjilat koto ran anjing!" timpal Mayang semakin membuat wa jah Tiga Pendeta Rambut Api bagai panas ter panggang. "Silakan maju jika kalian memang mau menghukum Raja Petir dan Dewi Payung Emas," lanjut Mayang menantang.

"Betina Liar!" timpal Burita memaki. Lang kah kakinya terayun dua tindak.

"Bersiaplah untuk mampus, Betina Jelek!" hina Burita.

Srattt!

Mayang tidak terkejut menyaksikan lelaki tinggi besar bermulut monyong itu memamerkan butiran tasbih besar berwarna merah darah. Ma lah, tatapan Dewi Payung Emas dipertajam me melototi wajah Burita.

"Lelaki monyong bau kentut! Buang saja tasbih bututmu itu!" sentak Mayang menghina.

"Betina Gila! Kurancah mulutmu!" maki Burita dengan langkah panjang menghampiri so sok Mayang.

Jaka semula ingin melindungi kekasihnya. Namun Mayang melarangnya. "Biarkan kuberi pe lajaran lelaki bau tai itu, Kakang," pinta Mayang.

Jaka yang memang tidak mau menying gung perasaan kekasihnya segera menggeser tu buhnya.

"Seranglah aku!" tantang Mayang tegas "Hmrh...!" Burita mendengus kesal. "Hoaaa...!" Teriakan Burita yang keras mengiringi mencelatnya tubuh besarnya dengan tasbih ber putar bagai baling-baling, hingga menimbulkan deru memekakkan telinga. Jelas, dalam serangan pembuka itu Burita telah mengeluarkan tenaga dalamnya.

Untuk menghadapi serangan lelaki bermu lut monyong itu, Dewi Payung Emas segera men gerahkan jurus 'Menepak Laut Menggenggam Air'. Sosok dara manis yang mengenakan pakaian jingga kini telah siap menyongsong serangan Bu rita.

Brrrtt! "Uts!"

Tubuh Mayang mencelat menghindari sambaran tasbih Burita yang menimbulkan deru hebat. Tubuh dara berambut panjang dikepang itu berputaran dua kali di udara. Dan ketika tu buhnya mendarat di tanah, dengan ciri khas ju rus 'Menepak Laut Menggenggam Air', tubuhnya kembali melesat memberikan serangan balasan dengan sodokan ujung payung yang runcing ke arah leher lawan.

"Mampus kau, Monyong!" teriak Mayang dengan mengarahkan senjatanya.

Wuttt! "Hits!"

Burita memiringkan tubuhnya ke samping kanan menghindari tusukan ujung payung Mayang. Namun gerakan itulah yang memang di tunggu-tunggu kekasih Raja Petir. Sesaat tubuh Burita doyong ke kanan, sebuah tendangan me mutar yang cukup keras dilakukan Dewi Payung Emas.

"Hiaaattt...!" Blugkh! "Hegk!"

Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke samping kiri. Tendangan memutar yang dilancar kan Dewi Payung Emas mendarat dengan telak di bahu kanannya.

Kenyataan itu membuat Ekalaya dan So naga terhenyak. Serta-merta mereka meluruk menyerang Dewi Payung Emas.

Di situlah letak perbedaan tokoh-tokoh ali ran sesat dengan tokoh yang berpijak di bumi ke benaran. Tokoh sesat aliran hitam tidak akan se gan-segan melakukan pengeroyokan terhadap la wan, meski dia seorang perempuan. Seperti yang dilakukan Ekalaya dan Sonaga sekarang ini.

"Biarkan temanmu bermain-main dengan temanku, Kisanak," cegah Jaka melompat meng hadang Ekalaya dan Sonaga. "Kalian berdua ada lah lawanku," ucapnya menantang.

"Setan Belang!" maki Ekalaya geram.

Dua tokoh yang berjuluk Pendeta Rambut Api segera merangsek tubuh Jaka dengan lang sung mengerahkan jurus andalan mereka yang bernama 'Tasbih Pemecah Karang'. Bunyi angin menderu terdengar mengiringi berputarnya tasbih besar di genggaman tangan Ekalaya dan Sonaga.

"Sudah lama aku hendak menjajal kemam puanmu. Raja Petir. Hadapilah serangan mautku. Hiyaaa...!"

Breberr! Brebert! "Uts!"

Tubuh Raja Petir mencelat indah menghin dari serangan bersamaan yang dilancarkan orang pertama dan kedua Tiga Pendeta Rambut Api. Ju rus 'Lejitan Lidah Petir' memang cukup tepat dis ajikan Jaka untuk melumpuhkan serangan kedua lawannya. Terbukti, serangan maut yang dilan carkan Ekalaya dan Burita hanya menerpa angin kosong. Malah, keduanya harus jungkir balik menghindar ketika Jaka memadukan jurus 'Lejitan Lidah Petir' dengan jurus 'Petir Menyam bar Liang'.

"Jangan lengah, Sobat!" ucap Jaka mempe ringatkan lawan. Sementara tangannya terus me luruk cepat ke dada Ekalaya dan kepala Burita.

"Hup!"

"Hup!"

Dua dari Tiga Pendeta Rambut Api berlom patan cepat menghindari serangan Jaka. Tubuh mereka berpencar ke dua arah.

Di tempat lain, nampak dua bocah berca wat yang bernama Bla dan Dbo bergerak perla han-lahan menjauhi arena pertarungan. Kedua nya berharap Raja Petir yang telah berhasil me lumpuhkannya tidak melihat perbuatan mereka. Kalau pun melihat, Bla dan Dbo berharap Raja Petir tidak mengejarnya.

Harapan dua bocah yang telah musnah ke saktiannya itu memang terkabul. Jaka yang sibuk menghadapi gempuran-gempuran dahsyat Eka laya dan Sonaga tidak sempat memperhatikan perbuatan mereka. Hingga akhirnya tubuh Bla dan Dbo menghilang di balik rerimbunan belukar Desa Nurabarang.

Kembali ke arena pertarungan antara Mayang dan Burita, lelaki berpakaian pendeta itu terdesak hebat oleh jurus-jurus yang dikerahkan Dewi Payung Emas. Namun karena kekeraskepa laannya yang hendak menjatuhkan gadis cantik itu, Burita terus saja berusaha menggempur Mayang tanpa mempedulikan pertahanannya.

Mayang yang cerdik dan bertarung dengan ketenangannya yang luar biasa segera mampu membaca kelemahan pertahanan Burita. Maka ketika serangan Burita datang dengan pengera han jurus 'Tasbih Pemecah Karang', seketika itu juga Mayang mengembangkan senjatanya yang berupa payung kecil terbuat dari logam.

Rrrttt...! Tlangngng!

Bunyi benturan keras pun terdengar ketika dua tenaga dalam yang tersalur lewat senjata Bu rita dan Mayang bertemu.

Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke belakang. Sedangkan tubuh Mayang hanya lim bung selangkah, kenyataan itu jelas menunjuk kan kalau kemampuan tenaga dalam Dewi Payung Emas berada beberapa tingkat di atas Bu rita. Melihat peluang emas yang ada, Mayang segera mencelat hendak menyerang balik lawan nya dengan payung yang diputar cepat hingga menimbulkan deru angin dahsyat.

"Hiaaattt...!"

Burita yang belum siap menerima serangan susulan Mayang sebisanya mengelakkan samba ran payung berujung runcing yang terarah ke pa hanya. Namun, siapa yang menyangka kalau ge rakan menghindar yang dilakukan Burita meru pakan bencana bagi dirinya. Pada saat tubuhnya mencelat ke atas, payung Mayang yang terkem bang terangkat pula ke atas. Akibatnya....

Brets !

"Aaa !"

Pekik melengking membumbung ke langit. Sosok Burita tampak melambung dan kemudian ambruk dengan perut terkoyak lebar. Darah men galir deras dari luka yang telah melenyapkan nyawa orang ketiga dari Tiga Pendeta Rambut Api. Ekalaya yang menyaksikan kematian Buri-

ta menjadi kalap. Tak dihiraukannya lagi kebera daan Raja Petir. Tubuhnya langsung melesat memburu Mayang yang telah membunuh Burita.

"Hiaaa !"

6

Dengan tewasnya Burita, pertarungan ber langsung semakin seru. Ekalaya yang meluruk

menerjang Mayang tidak sadar kalau Raja Petir tengah mengintainya untuk melindungi kekasih nya.

Pada saat butiran tasbih merah Ekalaya melayang dengan jurus ‘Tasbih Pemecah Karang’ menuju kepala gadis cantik berpakaian jingga. Raja Petir segera mengerahkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.

"Hyaaa...!" Wuttt!

Wusss!

Serangkum angin bergulung melesat dari telapak tangan Raja Petir yang menghentak kuat. Angin bergulung bagai pusaran angin itu membu ru sosok Ekalaya yang tengah mencelat hendak melampiaskan nafsu membunuhnya pada Mayang. Ekalaya tidak lagi mempedulikan seran gan Jaka. Di hatinya telah tercetus niat untuk membalas kematian Burita.

Akibatnya....

Prets! "Aaa !"

Ekalaya terpekik ketika serangkum angin bergulung yang tercipta dari jurus 'Pukulan Pen gacau Arah' menghantam dengan telak sepasang kakinya yang tengah melayang di udara. Saat itu juga tubuh lelaki tertua dari Tiga Pendeta Rambut Api melayang jatuh dengan kaki mengepulkan asap tipis, terkena pukulan jarak jauh Raja Petir yang mengandung hawa panas menyengat

Bruk!

"Akh!"

Kembali Ekalaya terpekik ketika tubuhnya jatuh berdebuk ke bumi. Tulang pinggangnya te rasa patah. Lelaki tertua dari Tiga Pendeta Ram but Api itu hanya mampu mengerang kesakitan tanpa kembali bangkit menyerang.

"Setan!"

Sonaga yang masih segar-bugar memaki dengan segenap kemarahannya. Bola matanya membara bagai mata banteng luka.

"Kubunuh kau, Raja Gendeng!" hardik So naga dengan tangan terkepal keras. Giginya ge meretakan menahan kemarahan yang tak kuasa dibendung.

"Hyaaa "

Ekalaya memekik keras. Tubuhnya mence lat ke arah Jaka. Sonaga menyerang lawan den gan mengerahkan jurus 'Rambut Api Membakar Ilalang'. Tangannya yang mengepal berubah men jadi merah seperti bara. Rambutnya yang keme rahan dikibas-kibas ke kanan dan kiri.

Pret! Pret! Slats!

Sungguh aneh memang ilmu 'Rambut Api Membakar Ilalang'. Dari sela-sela rambut panjang Sonaga meluncur selarik sinar merah. Dan ketika tangan Sonaga menghentak kuat, sinar merah yang tak kalah dahsyatnya keluar dengan deras. Kini tiga sinar kemerahan bersamaan meluruk ke arah Raja Petir.

Menghadapi ilmu lawan. Raja Petir menco ba meladeninya dengan tetap mengerahkan 'Pukulan Pengacau Arah'. Maka ketika telapak Raja Petir yang terbuka menghentak keras, se rangkum angin bergulung kembali tercipta, melu ruk menyongsong kedatangan tiga larik sinar ke merahan hasil olahan ilmu 'Rambut Api Memba kar Ilalang'.

Brefs! Brefs! Pret!

Tiga larik sinar kemerahan ciptaan Sonaga terpental balik sesaat berbenturan dengan segu lungan angin berhawa panas bagai pusaran an gin. Sonaga sendiri harus berkali-kali berputaran di udara menghindari sinar kemerahan miliknya sendiri.

Jlig!

"Hmrh...!" Sonaga menggeram marah keti ka kakinya mendarat di bumi. Tatapannya masih tetap membara tertuju ke wajah Jaka yang mem balasnya dengan cibiran dingin.

Sementara Mayang hanya mengulum se nyum melihat lelaki yang menjadi lawan kekasih nya mulai kehilangan kepercayaan diri. Kebera niannya sedikit demi sedikit luntur.

"Jangan kau teruskan, Sonaga. Biarkan kali ini dia yang menang. Cukup Burita yang menjadi korban!" cegah Ekalaya yang telah mam pu menguasai rasa nyeri pada sepasang kakinya. "Hari ini Raja Petir bukan tandingan kita. Namun lain kali..."

"Kau benar, Kakang Ekalaya. Lain kali kita akan menguburnya!" sangkal Sonaga mantap.

Jaka tidak turut campur dalam pembica raan dua lawannya yang sudah kehilangan kebe ranian.

"Kenapa kalian tidak tobat saja. Bukankah itu lebih baik daripada kalian menyimpan den dam percuma dan hanya akan merasakan kega galan kedua kalinya?" ejek Mayang dengan suara yang dibuat-buat

Mata Ekalaya dan Sonaga mendelik seperti hendak keluar. "Gadis Liar! Tak akan kami tobat sebelum mampu melenyapkan nyawa kalian ber dua. Kami bersumpah untuk itu!" tegas ucapan yang dikeluarkan Ekalaya.

Namun ketegasan ucapan itu hanya diba las dengan senyum ringan Jaka dan Mayang.

"Jadi sekarang kalian ingin pergi?" tanya Jaka menggoda.

"Keparat!" maki Sonaga hendak kembali menyerang.

"Jangan Sonaga!" larang Ekalaya, "Lebih baik kita pergi sekarang. Ayo, bantu aku bangkit," pinta Ekalaya dengan suara yang sedikit menghi ba.

Sonaga tampak tertegun mendengar uca pan Ekalaya. Ya, Ekalaya yang mengalami luka bakar pada sepasang kakinya memang membu tuhkan pertolongan dengan segera. Di samping itu, Sonaga juga sadar dengan kemampuannya saat ini, percuma saja dia terus nekat menggem pur Raja Petir yang jelas-jelas berilmu lebih tinggi.

"Baiklah, Kakang Ekalaya. Kita memang harus pergi. Dan dikemudian hari kembali men cari Raja Gendeng itu!" tukas Sonaga dengan jari telunjuk menuding wajah Jaka.

Jaka mencibir mendengar perkataan Sonaga.

"Ayo, Kakang! Hop!"

Tubuh Sonaga seketika bergerak membo pong tubuh orang tertua dari Tiga Pendeta Ram but Api. Hanya sesaat Jaka dan Mayang menyak sikan Sonaga berlari dengan membopong tubuh Ekalaya. Saat selanjutnya, pasangan pendekar itu sudah membalikkan tubuh mencari sosok bocah bocah bercawat yang telah mereka taklukkan.

"Ke mana perginya bocah-bocah itu, Ka kang?" tanya Mayang perlahan.

"Entahlah, Mayang. Namun menurutku le bih baik begitu. Dua bocah yang sudah hilang ke saktiannya itu pasti akan mengadu pada teman temannya. Dengan begitu, kita tak perlu susah susah mencari tujuh bocah sakti yang lain. Mere ka pasti akan mencari kita untuk membalas ke kalahan dua temannya," ujar Jaka.

"Kau benar, Kakang," tandas Mayang membenarkan kesimpulan Jaka. "Sekarang se baiknya kita ke mana, Kakang?" tanya Mayang. Tangan gadis itu bergelayut manja di punggung Jaka.

"Perutku sudah berbunyi, Mayang. Kau pasti tahu ke mana kita harus melangkah," jawab Jaka akan pertanyaan kekasihnya. "Ke kedai makan tentunya, Kakang. Bukan ke sungai," seloroh Mayang.

"Bukankah itu rumah makan?" tunjuk Ja ka pada sebuah bangunan yang terletak delapan tombak di hadapan mereka.

"Betul, Kakang. Tapi mana pemiliknya?" Tanpa menjawab pertanyaan Mayang, kaki

Jaka segera terayun menuju kedai. Tiba-tiba pe muda itu ingat pada lelaki yang telah disela matkannya dari serangan bocah kecil bercawat hitam.

"Oh, terima kasih atas pertolonganmu. Raja Petir. Terima kasih," sambut seorang lelaki berpa kaian hitam.

"Jangan membungkuk seperti itu, Kisa nak," cegah Jaka ketika lelaki berpakaian hitam menjura hendak mencium lututnya.

Ketika lelaki berpakaian hitam menuruti perintahnya, Jaka segera masuk ke dalam kedai yang berantakan. Tampak dua orang gadis cantik tengah merayapi jasad ayahnya.

"Sudahlah, Nini," hibur Mayang yang juga ikut masuk ke dalam kedai. "Tak ada yang mam pu 'mencegah kedatangan takdir jika memang su dah waktunya datang. Ayahmu memang saat in ilah waktunya untuk menghadap Tuhan. Tuhan telah berkehendak. Tak baik kalau kalian menye sali kehendak Tuhan dengan isak tangismu. Ik hlaskan saja kepergian orangtua mu, agar beliau bisa tenang dalam perjalanannya menuju tempat yang abadi. Kewajibanmu sekarang adalah men gurus jasadnya sebagai tanda penghormatan dan baktimu yang terakhir, di samping untuk me nyempurnakan keadaannya," Mayang berusaha meringankan penderitaan anak-anak Ki Sandara. "Kelak pasti kita akan menjumpai keadaan seperti ini."

Yayuning dan Partining menghentikan isak tangis mereka sesaat mendengar nasihat Mayang. Kemudian tatapan mereka tertuju lurus ke wajah Jaka, Mayang, dan lelaki berpakaian hitam.

"Kakak-kakak sekalian, apakah bersedia membantu kami menyempurnakan jenazah ayah?" tanya Yayuning dengan suara parau.

Jaka dan Mayang, dan lelaki berpakaian hitam serentak menganggukkan kepala mengiya kan.

***

Sore yang datang membawa angin seolah menebarkan kidung duka bagi anak-anak manu sia yang tengah menyempurnakan jasad-jasad tak bernyawa. Yayuning dan Partuning kembali teri sak memandangi segundukan tanah yang me nimbuni jasad ayahnya.

"Ikhlaskan kepergiannya, Nini," kali ini Ja ka yang mengucapkan kata-kata itu.

7

Gora sangat murka mendapatkan keadaan Bla dan Dbo yang sudah tidak lagi memiliki ke saktian. Pedang Iblis Neraka yang seharusnya te rus bersemayam di tubuh dua bocah bercawat hi tam itu kini telah lenyap. Padahal, di situlah letak kekuatan bocah-bocah sakti bercawat

Dengan punahnya kesaktian Bla dan Dbo, itu berarti ketajaman ilmu Sembilan Bocah Sakti tidak lagi sempurna. Sebuah jurus pamungkas yang hanya bisa dimainkan sembilan bocah seca ra serentak, terpaksa menjadi dangkal akibat hi langnya dua Pedang Iblis Neraka yang berada di tubuh Dbo dan Bla.

"Kalian bodoh!" maki Gora pada Bla dan Dbo yang menundukkan kepala dengan berurai air mata.

"Kami berdua siap menerima hukuman, Kakak Gora," ucap Bla takut-takut. Bocah berca wat hitam itu sedikit pun tidak berani mengang kat kepala.

"Menghukum kalian?! Cuh! Percuma saja. Tak ada keuntungan yang kita dapat dari huku man yang kalian jalani. Aku hanya menyesali hi langnya jurus pamungkas 'Pedang Iblis Jagat Se jati' yang telah lama kita kuasai. Kini jurus itu harus lenyap begitu saja! Kalian tahu apa arti dari kehilangan itu?!" sentak Gora dengan pertanyaan yang menggelegar. Ger dan Jagu, bocah bercawat merah, Smas, dan Sedu yang bercawat biru. Dan Jlak serta Watu yang bercawat hijau tidak berani ber bicara. Enam bocah yang masih memiliki Pedang Iblis Neraka di dalam tubuh mereka hanya bisa menundukkan kepala. Seorang lain tak ada yang berani menyela ucapan bocah bercawat putih mengkilat yang menjadi pimpinan mereka.

"Aku menjadi ragu apakah kita akan ber hasil menguasai jagat persilatan tanpa adanya ju rus 'Pedang Iblis Jagat Sejati'. Duh! Kenapa jadi begini. Rasanya sia-sia saja kemunculan kita dari tempat pertapaan," lanjut Gora. Bocah bercawat putih mengkilat itu terduduk di sebuah batu se besar kepala kambing.

"Kita belum gagal untuk dapat menguasai jagat persilatan ini, Kakak Gora," ucap Ger si bo cah bercawat merah hati-hati. "Meski tanpa ilmu 'Pedang Iblis Jagat Sejati', bukankah kita yang tu juh orang masih memiliki kesaktian yang bisa di andalkan. Kalau kita masih tetap bersatu, tokoh sakti mana pun, kurasa dapat kita atasi," lanjut Ger dengan bahasa yang disusun sebagus mung kin.

Ucapan bocah bercawat merah itu ternyata Cukup berpengaruh pada Gora. Terbukti, bocah bercawat putih mengkilat itu mengangkat kepa lanya dan menatap wajah Ger dengan tatapan yang membersitkan sebuah harapan.

"Kau benar, Ger," ucap Gora pelan, "Kita tidak boleh menyerah! Biar bagaimanapun kita masih memiliki banyak peluang untuk menguasai jagat persilatan ini," lanjut Gora dengan penuh semangat

"Aku setuju, Kakak Gora!" sambut Jlak si bocah bercawat hijau. Tangannya tiba-tiba te rangkat dengan kepalan yang digerakkan meninju angin. "Kita lumat Raja Petir yang telah menga lahkan Bla dan Dbo!" lanjut Jlak lantang.

"Ya. Raja Petir memang harus kita binasa kan. Dialah penghalang utama kita!" timpal Sedu berapi-api.

"Lalu di mana kita harus mencari Raja Pe tir?" tanya Jagu hati-hati. Ucapannya yang pelan menandakan dia takut Gora akan menyalahkan pertanyaannya.

"Kita pancing dia dengan mengacaukan perguruan-perguruan silat aliran putih," jawab Gora tegas.

"Setujuuu...!" teriak Sedu dan Watu bersa-

maan.

"Sekarang juga kita bergerak!" putus bocah

bercawat putih mengkilat itu. "Setujuuu...! Ayooo!"

***

Bangunan Perguruan Tombak Perak yang terletak di Desa Watu Kambang tampak berdiri dengan megahnya. Bangunannya yang kokoh me nampakkan benteng pertahanan pada bagian mukanya, menjadikan Perguruan Tombak Perak begitu angker dilihat. Sinar matahari pagi yang menyoroti bangunan megah itu seolah hendak memberitahukan keadaan perguruan itu.

Namun, keangkeran Perguruan Tombak Perak hanya dipandang sebelah mata oleh sembi lan bocah bercawat yang tak lain Sembilan Bocah Sakti. Gora yang memimpin delapan rekannya melangkah lebih dulu. Ketika kakinya selangkah lagi mencapai gerbang Perguruan Tombak Perak, seorang lelaki tinggi besar yang menggenggam se batang tombak putih menghadangnya.

"Hendak ke mana kalian?" tanya lelaki tinggi besar berkumis melintang.

Gora dan kawan-kawannya tidak menja wab pertanyaan itu. Sembilan Bocah Sakti hanya menatap wajah lelaki tinggi besar dengan tidak berkedip.

"Hayo pergi sana! Kalau mau bermain-main jangan di sini!" usir penjaga pintu gerbang itu se raya mendorong tubuh Gora yang berada di de pan dengan bagian tengah tombaknya.

"Hmrh...!"

Gora mendengus jengkel mendapat sambu tan demikian. Dengan cepat tangannya mencekal batang tombak kuat-kuat

"Hei, hei! Jangan main-main dengan senja ta itu," bentak lelaki tinggi besar.

Bettt!

Tanpa mengomentari ucapan lelaki itu, Go ra segera menarik pegangannya pada batang tom bak. Karuan saja senjata itu terlepas dari tan gan lelaki tinggi besar. Lelaki itu terkejut bukan main merasakan tenaga kuat yang dimiliki bocah kecil di hadapannya.

"Cepat panggil guru besarmu!" bentak Gora dengan mengerahkan tenaga dalam. Suaranya terdengar menggelegar, membuat penjaga yang lain berhamburan mendekati penjaga berkumis melintang.

"Cepat kataku!" bentak Gora lagi.

"Heh, Bocah! Mau apa kau bertemu Ki Se tanureja? Pulang saja kalian! Pulang!" ucap lelaki bertubuh kerempeng yang baru datang.

"Keparat kau, Cacing Kurus! Hih!" Singngng!

"Aaa...!"

Penjaga pintu gerbang Perguruan Tombak Perak itu memekik histeris. Lemparan tombak yang dilakukan Gora menancap tepat di tenggo rokannya. Lelaki itu sesaat menggelepar di tanah. Dan nyawanya kemudian terbang meninggalkan raga.

Menyaksikan temannya tewas dengan mengerikan, empat penjaga pintu gerbang yang lain serta-merta bergerak hendak menangkap bo cah bercawat putih mengkilat itu. Namun belum lagi maksud penjaga-penjaga itu tercapai, Ger, Jlak, Smas, dan Watu sudah bergerak cepat me nyerang mereka.

"Hiaaa...! Hiaaa...!" Crat! Crat!

"Haiiit! Hait!" Crets! Brats!

Empat lengkingan keras seketika terdengar berturut-turut. Diiringi dengan bertumbangannya tubuh-tubuh penjaga pintu gerbang Perguruan Tombak Perak dengan luka di leher yang mengu curkan darah segar.

Lengking kematian mereka rupanya me mancing orang-orang yang berada di dalam ban gunan perguruan. Beberapa lelaki berpakaian pu tih tampak melesat dari dalam perguruan.

"Heh?!"

Terkejut lima lelaki berpakaian putih yang tak lain murid-murid kelas dua. Mereka tidak percaya bocah-bocah kecil itu mampu membina sakan kawan-kawan mereka yang kepandaiannya tidak bisa diragukan lagi.

"Kaliankah yang telah melakukan peker jaan ini?" tanya salah seorang murid Perguruan Tombak Perak.

"Ya. Kami," sahut Gora tegas.

"Hmmmh!" lelaki bermata sipit yang tadi melempar pertanyaan mendengus marah. "Kalian pasti bocah-bocah siluman!" sentak lelaki itu mengejutkan kawan-kawannya.

"Hmh!" Gora ikut mendengus, "Cepat suruh keluar Tua Bangka Setanureja!" pinta Gora den gan lancang.

"Bocah Laknat! Mau apa kau bertemu guru kami?" tanya murid Perguruan Tombak Perak yang bermata belo. "Aku ingin mencabik-cabik wajahnya, Ku nyuk!" jawab Gora, membuat hati murid-murid Perguruan Tombak Perak terbakar kemarahan yang tak tertahan.

Murid Perguruan Tombak Perak yang dis ebut kunyuk oleh Gora segera melayangkan pu kulan dari atas ke bawah, mencecar dagu bocah cilik bercawat putih mengkilat itu.

Bettt!

"Huh!" hanya dengan memiringkan tubuh nya sedikit, pimpinan Sembilan Bocah Sakti itu berhasil membuat serangan murid Perguruan Tombak Perak meninju angin.

Bahkan sebaliknya, serangan balasan Gora yang tak kalah cepatnya berhasil menemui sasa ran.

"Hih!" Crattt! "Aaakh!"

Lelaki bermata belo itu seketika memekik keras. Tubuh Gora yang meletik bagai seekor udang telah mengarahkan cakarannya ke leher yang langsung koyak mengucurkan darah.

Brukkk!

Tubuh lelaki bermata belo langsung am bruk ke tanah, menggelepar sebentar dan kemu dian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.

Murid-murid Perguruan Tombak Perak ten tu saja tidak menyangka kejadiannya akan ber langsung begitu cepat. Enam orang teman mereka telah menggeletak menjadi mayat "Ayo, kalian maju bersamaan! Biar cepat tubuh kalian jadi bangkai!" tukas Gora keras.

Empat murid Perguruan Tombak Perak tak lagi mampu membendung kemarahannya. Seketi ka itu juga tubuh mereka bergerak memberikan serangan ke arah bocah bercawat putih mengkilat

"Hyaaa...! Heaaa...!" "Haiiit! Hiaaa...!"

Gora si pemimpin Sembilan Bocah Sakti ti dak sendirian menyambut serangan empat murid Perguruan Tombak Perak. Ger, Smas, dan Jlak juga mengayunkan cakarannya memainkan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.

"Heaaa...!"

"Hiaaat..!" "Berhenti!"

Sebuah bentakan menggelegar berkekua tan tenaga dalam seketika terdengar. Tampak se sosok tubuh berpakaian putih melesat keluar dari dalam bangunan perguruan.

Empat dari Sembilan Bocah Sakti yang bermaksud menghabisi lawan-lawannya segera menarik mundur langkah mereka. Tatapan Sem bilan Bocah Sakti kini tertuju pada sosok lelaki tua yang mereka perkirakan Ketua Perguruan Tombak Perak.

"Tua Bangka! Apakah kau yang menjabat sebagai pimpinan perguruan ini?!" tanya Gora dengan suara membentak.

Lelaki berusia enam puluhan yang berwa jah lonjong, berjenggot dan berambut putih hanya memandangi wajah Gora dengan penuh selidik. Tangannya kemudian diangkat dan mengelus-elus kumis lebatnya yang berwarna hitam pekat.

Cukup lama juga lelaki berpakaian putih itu bersikap demikian. "Ya. Namaku Ki Setanure ja. Akulah Pemimpin Perguruan Tombak Perak," jawab lelaki berkumis hitam dengan suara dite kan hingga terdengar berwibawa.

"Bagus!" sambut bocah bercawat putih mengkilat menimpali ucapan Ki Setanureja. "Ka lau begitu, sekarang saja kita mulai pembantaian ini!" lanjut Gora pada enam rekannya yang masih memiliki kesaktian. Sedangkan Bla dan Dbo se lamanya harus jadi penonton."Hiaaat..!" Gora sudah bersiap dengan ku da-kudanya yang terlihat begitu lucu, seperti ku da-kuda tak sempurna seorang bocah tujuh ta hunan.

"Tunggu!" Ki Setanureja mengangkat tela pak tangan kanannya tinggi-tinggi.

"Hrghg...!" Gora mendengus melihat tinda kan Pimpinan Perguruan Tombak Perak.

"Aku tidak tahu siapa kalian. Dan rasanya aku juga tidak pernah bentrok, apalagi berurusan dengan kalian. Namun, kenapa kalian tiba-tiba membuat kekacauan di perguruan ini? Enam orang muridku telah pula binasa karena ulah ka lian. Apa salah mereka?" tanya Ki Setanureja dengan ketenangannya yang sungguh menga gumkan. Padahal, di balik dadanya ada gemuruh kemarahan akibat kelakuan bocah-bocah yang sama sekali tidak dikenalnya itu.

"Tua Bangka!" sentak Gora kurang ajar, "Ketahuilah, kita memang tidak pernah bentrok. Tidak pernah berurusan satu sama lain. Kedatan ganku ke perguruan, ini semata hanya untuk menantangmu mengadu kepandaian. Tapi, murid muridmu telah membuat jengkel dengan tidak mau memanggilkanmu, Tua Bangka. Mungkin murid-muridmu tahu kalau pimpinannya tak be cus apa-apa," lanjut Gora dengan penghinaan yang cukup pedas.

"Hmmm...," Ki Setanureja hanya membalas penghinaan bocah bercawat putih mengkilat itu dengan dengusan tertahan.

"Kau berani menghadapi kami Sembilan Bocah Sakti, Tua Bangka?!" tanya Gora memben tak.

"Untuk apa kalian mengajakku mengadu kepandaian, Bocah-bocah Edan?!" suara Pimpi nan Perguruan Tombak Perak mulai meninggi. Je las, lelaki tua itu sudah tidak kuasa menahan ke jengkelannya.

"Untuk apa? Sudah lama kami bercita-cita ingin menguasai jagat persilatan ini. Dan yang pertama-tama kami basmi adalah tokoh-tokoh persilatan golongan putih, termasuk kau yang merasa berada pada golongan itu! Di samping itu, kami juga ingin membuat kekacauan untuk me mancing kemunculan Raja Petir yang telah me lumpuhkan ilmu kedua rekanku," lanjut Gora. Jari telunjuknya menuding wajah Bla dan Dbo. Kedua bocah bercawat hitam itu tampak menun dukkan kepala.

"Hmmm...," Ki Setanureja kembali bergu mam. "Kalau kalian punya urusan dengan Raja Petir, kenapa harus membuat kekacauan di sini?" "Jangan banyak bicara, Tua Bangka!" har-

dik Gora keras. "Kalau kau ingin mati terhormat sebagai seorang pendekar pembela kebenaran, ayo kita mulai pertarungan ini! Ayo!"

Gora mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat pada enam temannya untuk se gera menyerang murid-murid Perguruan Tombak Perak, yang kini sudah berkumpul di pelataran perguruan dengan tombak terhunus.

"Ayooo...!"

"Hiaaattt...!"

"Haiiit...!"

Tubuh enam bocah sakti anak buah Gora merangsek maju menyerang murid-murid Pergu ruan Tombak Perak. Sementara Gora sendiri ber hadapan dengan sang Pemimpin perguruan.

"Ajalmu akan datang sekarang, Ki!" sentak Gora takabur.

8

Suasana di pelataran Perguruan Tombak Perak sangat ramai. Suara teriakan garang dan pekik kematian terdengar silih berganti. Murid murid Perguruan Tombak Perak terus maju me nyerang tak henti-henti bagai gelombang lautan. Tanpa rasa gentar sedikit pun mereka terus me nusukkan tombak di tangannya ke bagian yang mematikan pada tubuh bocah-bocah bercawat

Namun, bocah-bocah bercawat itu bagai malaikat pencabut nyawa. Setiap kali murid murid Perguruan Tombak Perak ingin melu kainya, tangan-tangan bocah bercawat bergerak memainkan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti', hingga para penyerangnya tak berdaya. Tubuh mereka bertumbangan dengan leher koyak men gucurkan darah.

"Bocah Setan!" maki seorang murid Pergu ruan Tombak Perak sambil menusukkan tombak nya ke leher bocah bercawat merah.

Wuttt!

"Hi hi hi...!" Ger tertawa melihat serangan lawan. Tubuhnya yang kecil meletik ke atas dan tahu-tahu sudah berdiri di mata tombak lawan.

"Cara menyerangmu salah, Tua Bangka!" ejek Ger. "Yang benar begini. Hiaaa...!"

Tubuh Ger mencelat dari mata tombak yang dipijaknya. Dan dengan cepat tangannya bergerak ke leher lawan.

"Hih!"

Brettt! Brettt! "Aaa...!"

Jerit menyayat hati langsung terdengar, se saat sepasang tangan Ger yang kukuh runcing membabat leher lawan dua kali berturut-turut

Tubuh murid Perguruan Tombak Perak itu langsung ambruk kehilangan nyawa. Leher kiri dan kanannya koyak tersambar kuku-kuku runc ing Ger.

Sementara itu, pertarungan antara Ki Se tanureja yang menghadapi pimpinan Sembilan Bocah Sakti mulai tampak tidak seimbang. Pim pinan Perguruan Tombak Perak berkali-kali men galami kesulitan membaca gerakan aneh lawan yang selalu berubah-ubah. Gerakan Gora yang memainkan ilmu 'Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk' membuat Ki Setanureja kehilangan cara untuk mengibanginya.

"Awas, Tua Bangka! Hiaaa...!" Brettt!

"Ekh!"

Ki Setanureja tersentak kaget melihat ke cepatan gerak serangan yang dilancarkan Gora. Padahal, dia sudah menghindar dengan cepat. Namun, tak urung jubahnya koyak juga tersam bar kuku-kuku runcing lawan.

"Cabut senjatamu kalau tak ingin mati ko nyol!" tantang Gora sombong.

"Hmh!"

Ki Setanureja mendengus keras. Kemu dian, kedua tangannya meloloskan sepasang tombak pendek yang terbuat dari perak. Tombak tombak itu diambilnya dari sela pinggang yang di lilit sabuk warna biru tua.

"Bagus!" ejek Gora melihat lawannya melo loskan senjata. "Sekarang, jaga seranganku dalam jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' yang berga bung dengan jurus 'Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk' Hiaaattt...!"

Tubuh Gora kembali melesat ringan den gan melakukan gerakan aneh seperti bocah me nari. Sementara tangannya yang menegang kaku berkelebat cepat ke arah dada dan kepala Pimpi nan Perguruan Tombak Perak.

Wuttt! Wuttt! "Hops!"

Ki Setanureja melentingkan tubuhnya menghindari serangan lawan. Lelaki berumur enam puluh tahun itu berputaran dua kali di udara. Namun, gerakan itulah yang memang di nanti-nantikan Gora.

Pada saat Ki Setanureja berputaran di uda ra, seperti elang menyambar mangsa, tubuh Gora berkelebat dan segera melancarkan tendangan lu rus ke iga lawan.

"Haiiittt...!" Blagkh! "Uhugkh!"

Tubuh Ki Setanureja tergempur mundur. Sebisanya lelaki tua itu berusaha mematahkan daya dorong tendangan Gora.

Jligh! "Akh!"

Tubuh Pimpinan Perguruan Tombak Perak limbung ketika mendaratkan kakinya di tanah. Sesak di dadanya yang membuat Ki Setanureja kehilangan keseimbangan. Hampir saja tubuh Ki Setanureja ambruk di tanah, kalau saja dari luar pelataran Perguruan Tombak Perak tidak melesat sesosok bayangan hi jau yang langsung menyangga tubuhnya.

"Ki Rayung? Oh.... Kedatanganmu tepat sekali," ucap Ki Setanureja, ketika menyaksikan kedatangan lelaki berpakaian hijau yang dikenal nya sebagai ketua Perguruan Gagak Putih.

"Aku memang tengah mencari mereka, Ki Setanu. Hampir saja bocah-bocah itu mene waskan Ki Wikalga, kalau saja Raja Petir tidak da tang menolong," jelas Ki Rayung Sadawa.

"Hi hi hi! Bagus! Jadi, kau adalah sahabat Ki Wikalga. Kedatanganmu hanya mengantar nyawa saja," selak Gora sombong.

"Bocah Laknat!" maki Ki Rayung Sadawa, "Kau pikir cuma dirimu yang memiliki kesaktian? Cuh! Secuil pun aku tidak gentar menghadapi mu."

Srattt!

Ki Rayung Sadawa segera meloloskan sen jatanya, sebilah pedang yang memancarkan sinar kebiruan. Sengaja Ki Rayung Sadawa meloloskan pedangnya, karena dia tahu kehebatan ilmu bo cah cilik yang hampir menewaskan Resi Wikalga dan Ki Setanureja.

"Hi hi hi...!" Gora terkikik menyaksikan la wannya meloloskan senjata. "Ayo, serang aku!" ucapnya meledek.

"Hhh...!"

Ki Rayung Sadawa mendengus. Gengga man tangannya pada hulu pedang semakin dipe rerat. Tampaknya Ketua Perguruan Gagak Putih itu tengah mengerahkan tenaga dalam.

"Hati-hati, Ki Rayung," ujar Ki Setanureja. "Hiaaattt...!"

Tanpa mempedulikan nasihat Ki Setanure ja, tubuh Ki Rayung Sadawa melesat dengan pe dang memendarkan sinar kebiruan. Pedang itu terayun-ayun di atas kepala memainkan jurus 'Pedang Menyembelih Awan'.

Wungngng! Wungngng!

Bunyi mendengung seperti suara ratusan lebah marah mengiringi ayunan pedang Ki Rayung Sadawa yang menebas tubuh lawan.

Tetapi bocah bercawat yang di hadapinya bukanlah bocah yang sewajarnya. Dengan kesak tiannya, Gora bergerak-gerak lincah menghindari sambaran pedang Ki Rayung Sadawa. Bahkan, dengan gerakannya yang aneh dan tak terbaca lawan, Gora mengerahkan serangan balasan den gan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.

"Haiiittt...!" Wrrrttt! Wrrrttt! "Hups!"

Tubuh Ki Rayung Sadawa melejit-lejit rin gan menghindari serangan ganas Gora yang men gandung hawa panas menyengat. Namun, Gora adalah bocah sakti yang licik dan berhati iblis. Dengan menggabungkan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' dan jurus 'Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk' dia terus memburu tubuh Ki Rayung Sadawa.

Wrttt! Wrttt! Tlangngng!

"Heh?!" Ki Rayung Sadawa tersentak men dapat kenyataan senjata yang begitu diandalkan nya tidak mampu menebas putus tangan bocah kecil itu. Padahal, pohon besar pun akan tum bang jika tertebas senjatanya yang bermain dalam jurus 'Pedang Menyembelih Awan'. Tapi kenya taannya...?

Tubuh Ki Rayung Sadawa malah terhuyung ke belakang empat langkah ketika benturan keras itu terjadi. Sedangkan Gora yang memapaki teba san pedangnya hanya mundur satu langkah. Ke nyataan itu menunjukkan tenaga dalam bocah bercawat putih mengkilat itu lebih tinggi daripada tenaga dalam Ki Rayung Sadawa.

"Sekarang giliranku yang memainkan sen jata!" ucap Gora tegas.

Ki Rayung Sadawa bingung dengan ucapan lawannya. Bocah itu jelas-jelas tidak memegang apa-apa. Tetapi ketika sebilah senjata keluar dari kepala Gora, barulah Ki Rayung Sadawa sadar kalau bocah yang menjadi lawannya bukanlah sembarang bocah. Rayung Sadawa menduga la wannya adalah jelmaan dari seorang tokoh sakti dari golongan sesat.

Suasana menjadi semakin panas saat sen jata Gora terlihat utuh. Pedang yang panjangnya sama dengan tubuh pemiliknya itu memendarkan sinar kemerahan.

Sementara pada pertarungan lain, murid murid Perguruan Tombak Perak yang kini men dapat bantuan dari empat murid utama Pergu ruan Gagak Putih nampak berlangsung seru. Na mun belum terlihat mereka mampu mendesak enam bocah bercawat yang menjadi lawan mere ka. Malah kebalikan dari itu mulai nampak sete lah tumbangnya murid-murid Perguruan Tombak Perak.

"Jagalah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung'-ku, Tua Bangka!" sentak Gora marah. Pedangnya yang memendarkan sinar kemerahan terangkat ke atas kepala.

"Kaingngng...!"

Gora memekik keras. Suaranya bagai peki kan seekor serigala yang terjepit. Ketika pekikan itu lenyap, tubuh kecilnya melesat ke arah Ki Rayung Sadawa yang sudah siap menghadapi se gala kemungkinan.

Wrrr...!

Suara angin menderu terdengar mengiringi tibanya serangan Gora.

Wungngng...!

"Heh?! Hops!"

Ki Rayung Sadawa menghentakkan ka kinya kuat-kuat ke tanah. Seketika itu juga tu buhnya mencelat ke belakang menghindari teba san pedang lawan yang berhawa panas menyen gat

"Hi hi hi! Menghindarlah sebisamu, Tua Bangka!" ucap Gora sambil terus mengejar tubuh lawan,

"Kaingngng...!" Wungngng...! Wesss!  "Heh?!"

Kali ini Gora yang tersentak kaget. Sebuah serangan tak terduga tiba-tiba meluncur datang. Secepatnya Gora melentingkan tubuh ke kanan beberapa kali, menghindari terjangan angin panas yang bergulung bagai pusaran angin.

"Kadal Buduk!" maki Gora jengkel.

Tatapan mata Gora tertuju pada wajah seo rang lelaki muda yang berdiri di sisi kiri Ki Rayung Sadawa. Lelaki tampan bertubuh kekar itu mengenakan pakaian kuning keemasan. Di sebelahnya berdiri seorang gadis cantik berambut kepang. Siapa lagi sepasang tokoh itu kalau bu kan Raja Petir dan kekasihnya yang berjuluk De wi Payung Emas.

"Selamat berjumpa denganku, Bocah Se sat," ucap Jaka menimpali kemarahan Gora yang terpancar dari bola matanya yang membara.

"Kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya Gora dengan kemarahan yang ditahan.

"Kau takut dengan julukanku?" tanya Raja Petir menggoda.

"Cuh!" Gora membuang ludah dengan ka sar menanggapi pertanyaan Raja Petir. "Justru aku ingin mengubur nama harummu sekarang juga, Raja Gila!" lanjut Gora memaki. Raja Petir mencibir mendengar ucapan Go ra, "Kalau begitu, jangan sembunyikan pedang dalam tubuhmu, Bocah Setan!" tambah Raja Petir memancing kemarahan Gora.

"Kau tidak akan mampu menandingi Pe dang Iblis Neraka milikku. Raja Gila!" balas Gora garang.

"Pasti aku mampu, Bocah Ingusan. Bu kankah senjatamu sama dengan yang dimiliki bo cah-bocah itu?" tuding Jaka pada Bla dan Dbo yang sudah dikalahkankannya.

"Huh! Tak akan kejadian itu terulang lagi," sangkal Gora. "Mari kita buktikan sekarang," tan tangnya kemudian sambil bersiap-siap memulai pertarungan.

Jaka tidak menimpali ucapan Gora. Tata pan matanya kini tertuju kepada Mayang dan Ki Rayung Sadawa yang gembira atas kedatangan Raja Petir, dan Ki Setanureja yang kini sudah bangkit untuk mengusir Sembilan Bocah Sakti yang bercita-cita menguasai jagat persilatan.

Raja Petir memejamkan kedua matanya. Pemuda itu tampaknya tengah memusatkan selu ruh kepekaan batinnya.

"Kurasakan kekuatan bocah-bocah itu ber tumpu pada bocah bercawat putih mengkilat itu. Kalau dia sudah dilumpuhkan, aku yakin yang lainnya akan mudah diringkus," gumam Raja Pe tir mengambil kesimpulan. Matanya kembali ter buka. Ditatapnya wajah Ki Setanureja, Ki Rayung Sadawa, dan Mayang. "Kalian hadapilah bocah-bocah itu," pinta Raja Petir kemudian. Biar aku yang menghadapi bocah bercawat putih itu," lanjutnya seraya me nunjuk wajah Gora.

"Baik, Raja Petir," sambut Ki Rayung Sa dawa dan Ki Setanureja bersamaan.

Raja Petir segera beringsut untuk mengha dapi Gora. Sementara Ki Setanureja. Ki Rayung Sadawa, dan Mayang sudah bergerak ke arena pertarungan murid-murid Perguruan Tombak Pe rak yang tengah menghadapi enam bocah sakti anak buah Gora.

"Hiaaat..!"

"Hiyaaa...!"

***

Perguruan Tombak Perak bagai medan per tarungan. Belasan sosok tubuh saling mencelat dengan serangan-serangan yang didorong kemur kaan hati. Iblis-iblis memang telah merasuki hati mereka. Nafsu saling membunuh terumbar. Tan pa bisa dicegah oleh akal sehat untuk dapat sal ing memahami, memaklumi, dan menyayangi an tara sesama mahluk ciptaan Tuhan. Itulah contoh segelintir manusia yang memiliki nafsu, yang bisa menjadi teman dan lawan.

Seorang pemuda digdaya yang selalu berpi jak pada kebenaran dan membela orang-orang lemah harus berhadapan dengan manusia manusia berwatak iblis. Orang-orang yang se sungguhnya tidak pantas menghuni bumi yang penuh keindahan dan kedamaian.

"Raja Petir!" panggil Gora keras, "Hari ini nama harummu akan kukubur. Bersiaplah menghadapi jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sak ti'!"

"Lakukanlah!" sambut Jaka seraya mem persiapkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.

"Hiaaat..!"

Wrrrt...!

"Ops!"

Tubuh Jaka melenting di udara menghin dari serangan Gora. Tapi, bocah bercawat putih mengkilat itu bagai terbang saja. Tubuhnya terus mengejar ke mana pun sosok Raja Petir melejit

"Haiiittt...!" Wurttt...!

Trakkk! "Heh...?!"

"Hah...?!"

Gora dan Jaka tampak terkejut ketika tan gan mereka beradu di udara. Tubuh Jaka tergem pur dua langkah ke belakang. Begitu juga tubuh Gora. Jelas, bisa disimpulkan kalau keduanya memiliki tenaga dalam yang seimbang.

"Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk!" pe kik Gora menyebutkan jurus serangannya. Tu buhnya kembali melesat ke udara dengan gera kan-gerakan aneh.

Jaka segera menciptakan 'Aji Bayang Bayang' untuk mengetahui sejauh mana ilmu yang disuguhkan Gora. Wujudnya kini menjadi lima kali lipat banyaknya.

"Haaattt...!" Wurt! "Eh?"

Jaka melentingkan tubuhnya yang asli ke tika sejengkal lagi sambaran tangan Gora yang berkuku runcing mencakar lehernya. Gora ter nyata mampu membaca kelemahan 'Aji Bayang Bayang' Jaka.

Sebaliknya, Gora bertambah marah ketika serangan-serangannya berhasil digagalkan Jaka. Maka seketika itu juga kakinya diangkat ke bela kang dua langkah. Matanya kemudian terpejam. Gora tengah mengambil senjata dari dalam tu buhnya. Senjata yang bernama Pedang Iblis Nera ka itu disimpannya di dalam tubuh. Dan ketika Pedang Iblis Neraka muncul dari kepalanya, Gora segera mengambilnya. Pedang itu memancarkan sinar kemerahan.

"Jaga ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' tingkat terakhir ini, Jaka!" sentak Go ra kemudian. "Ilmuku inilah yang akan mengubur kegagahanmu selama ini," lanjutnya.

Ada getar aneh dirasakan Jaka sesaat me nyaksikan perbawa dari Pedang Iblis Neraka. Se buah pedang pusaka yang mampu menyebarkan hawa panas menyengat dan memiliki daya sedot yang cukup kuat Jaka terpaksa mengerahkan te naga dalamnya untuk menahan daya sedot Pe dang Iblis Neraka. "Haruskah kukeluarkan Pedang Petir?" gumam Jaka dalam hati ketika dirasakan hawa panas dan daya sedot senjata lawan semakin kuat mempengaruhi dirinya.

Ketika keputusan bulat telah diambil dan setelah mempertimbangkan keselamatan kawan kawannya, tangan Jaka bergerak meraih hulu Pe dang Petir.

Jaka segera mengangkat hulu pedang yang telah dicekalnya, dan membawa naik ke atas sampai melewati kepala. Seketika nampak suatu keanehan. Wujud pedang Jaka memendarkan si nar kemerahan. Pada saat itu pula langit di atas Perguruan Tombak Perak menjadi gelap. Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, dan petir ber kelebat menyambar-nyambar tubuh dan batang Pedang Petir Jaka. Pertarungan antara orang orang Perguruan Tombak Perak yang mendapat bantuan dari Mayang sesaat terhenti.

Glarrr! Glarrr!

Langit kembali cerah ketika petir yang me nyambar raib begitu saja. Kini Raja Petir menjel ma menjadi sosok yang berkekuatan sempurna. Sebuah permainan pedang maut akan dikerah kannya dalam jurus 'Selaksa Halilintar Menyam bar'.

"Hiaaattt...!" Gora si Bocah Sakti segera berkelebat menebaskan senjatanya ke arah Raja Petir yang sudah siap siaga.

Wungngng! Twangngng!

Glaaarrr!

Bunyi ledakan keras pun membahana keti ka dua senjata pusaka itu saling beradu di udara. Sosok Gora terpental dua tombak, sementara Ja ka hanya setengahnya.

Namun, akibat benturan itu orang-orang yang berada di sekitar tempat pertarungan men galami nasib yang mengerikan. Mereka yang tak kuat menahan bunyi ledakan bergelimpangan di tanah dengan darah keluar dari telinga dan hi dung. Kenyataan itu juga dialami oleh Ki Setanu reja, Ki Rayung Sadawa, dan Mayang. Namun ka rena tenaga dalam mereka lebih baik, mereka mampu menguasai keadaan. Begitu pula dengan enam bocah sakti yang menjadi lawan-lawan me reka.

"Huaaa...!"

Raja Petir tiba-tiba berteriak keras. Tubuh nya melesat bagai kilat dengan Pedang Petir ber kelebat mencecar tubuh Gora yang terhuyung.

Trangngng! Blugkh! "Aaa "

Dengan senjatanya, Gora memang mampu membendung serangan Jaka yang mengerahkan jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Namun se buah tendangan menggeledek yang kembali dike rahkan Jaka tidak dapat dielakkan Gora. Da danya terpaksa harus menerima hantaman keras kaki Jaka.

"Hoeeek..!"

Darah kental kehitaman muncrat dari mu lut Gora. Bocah bercawat putih mengkilat yang menjadi pimpinan Sembilan Bocah Sakti itu menggelepar di tanah. Hanya sesaat saja Gora bergelut dengan napas terakhirnya, untuk kemu dian terbujur kaku tanpa nyawa.

"Heh?!" Jaka terkejut menyaksikan sosok Gora yang sudah tak bernyawa. Sosok bocah ber cawat putih itu berubah menjadi kakek bertubuh kerdil. Dan, Jaka makin terpaku ketika menda patkan kenyataan delapan bocah bercawat yang lain bernasib serupa. Tubuh mereka terbujur ka ku tanpa nyawa dengan sosok yang berubah men jadi kakek-kakek kerdil.

"Hmmm.... Rupanya pusat kekuatan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' berada pada Gora. Jika dia mati, maka semuanya akan mengalami nasib serupa," gumam Jaka.

"Kakek Kerdil Penguasa Istana Neraka?!" ucap Ki Setanureja ketika mengenali sosok Sem bilan Bocah Sakti yang telah berubah wujud.

"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Raja Petir seraya mendekati Pimpinan Perguruan Tombak Perak.

"Ya. Pada waktu aku baru mulai mempela jari ilmu kanuragan, kira-kira tiga puluh tahun yang silam, kakek-kakek ini pernah menguasai rimba persilatan. Namun tiba-tiba mereka meng hilang begitu saja. Dan baru sekarang ini mereka muncul kembali," jelas Ki Setanureja.

"Aneh," gumam Jaka pelan. "Biarlah keanehan itu raib bersama kema tian mereka, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa. "Yang jelas, rimba persilatan kini tidak jadi bergo lak. Semua karena kehebatanmu. Raja Petir," sambut Ki Rayung Sadawa.

Jaka tersenyum mendengar ucapan Ketua Perguruan Gagak Putih. "Semua ini bukan karena aku, Ki. Tapi karena kuasa Tuhan Pencipta Jagat Raya ini," kilah Jaka. "Oh ya, bagaimana keadaan Ki Wikalga?" tanya Jaka.

"Lukanya berangsur-angsur pulih," jawab Ki Rayung Sadawa.

"Syukurlah," ucap Jaka, "Sekarang izinkan kami pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan," lanjut Jaka. Pemuda itu lalu me raih tangan Mayang.

"Oh, Silakan Jaka," sambut Ki Setanureja, "Terima kasih atas bantuanmu," lanjut Ki Setanu reja meski dengan berat hati.

Setelah memberi hormat pada orang-orang yang hadir di tempat itu, Raja Petir dan Mayang segera berlalu. Diiringi pandangan banyak mata yang mengagumi kehebatan dan budi luhur Raja Petir.

SELESAI



No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 20: Sembilan Bocah Sakti"