Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 06: Upacara Maut

Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:

-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari

Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 06: Upacara Maut

1
Udara siang ini terasa begitu panas. Saat itu matahari tepat berada di atas kepala. Cahayanya yang terik menyengat seluruh makhluk yang berada di bawahnya.

Namun di tengah panas yang menyengat itu, tampak dua sosok tubuh berkelebat cepat menerobos padang rumput yang cukup luas. Sosok-sosok itu seakan tidak mempedulikan panas matahari. Mereka pun berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

"Kau kelihatan bernafsu sekali, Kak," ujar gadis cantik berpakaian hijau seraya melambatkan larinya.

Gadis cantik berpakaian ungu yang bernama Laras Nini pun melambatkan larinya, dan menoleh pada gadis di sebelahnya.

"Aku ingin tugas ini cepat selesai, Dewi," jawab Laras Nini, kembali menaikkan tempo larinya.

"Apa kau pikir semudah itu?" tanya Laras Dewi, membuat lari Laras Nini terhenti.

Gadis cantik berpakaian ungu itu menatap lekat wajah Laras Dewi.

"Kau tak yakin dengan kemampuan kita, Dewi?" selidik Laras Nini dengan raut muka sedikit kesal.

"Tentu saja yakin," jawab Laras Dewi dengan senyum sedikit terkembang, gadis itu maklum dengan perangai kakaknya yang cepat naik pitam.

"Lalu apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Laras Nini dengan nada tinggi.

"Sekadar mengingatkan, agar jangan meremehkan kemampuan orang lain, "jawab Laras Dewi kembali menggenjot larinya. "Aku tidak meremehkan pimpinan Perguruan Seribu Bunga, namun keyakinanku cukup beralasan dapat meruntuhkan Nyai Dinda Dahlia. Bukankah selama ini kita tak pernah dikalahkan oleh tokoh sakti sekalipun?" sangkal Laras Nini.

"Aku juga berharap demikian. Agar Ki Kustara lebih yakin bahwa kita mampu berdiri sejajar dengan Pangeran Kala Hitam, Siluman Hutan Dadak, bahkan dirinya sendiri."

Laras Nini tak menanggapi ucapan Laras Dewi yang rupanya cukup berkenan di hati. Gadis cantik berpakaian ungu itu terus mempercepat lari. Mereka yang berjuluk Dewi Racun Kembar melesat cepat tanpa menghiraukan sengatan sinar matahari yang cukup terik

Sepeminum teh lamanya Dewi Racun Kembar mengerahkan ilmu lari cepat. Mereka baru berhenti di depan sebuah bangunan yang cukup megah. Pada bagian muka terpampang sebuah papan nama Perguruan Seribu Bunga.

"Nampaknya Nyai Dinda Dahlia tidak menjaga ketat wilayah perguruannya, Kak," ujar Laras Dewi melihat pintu gerbang hanya dijaga dua perempuan berpakaian putih, keduanya nampak sedang membicarakan sesuatu.

"Kelihatannya begitu, Dewi," jawab Laras Nini. "Nampaknya mereka memandang sebelah mala

surat permintaan yang ditandatangani lima tokoh sakti. Atau... mungkin ini sebuah perangkap," duga Laras Dewi.

Memang sebelum keduanya mendatangi Perguruan Seribu Bunga. Mereka telah lebih dulu mengirim surat permintaan yang ditandatangani Setan Rimba Bangkai, Pangeran Kala Hitam, Siluman Hutan Dadak, Laras Nini juga Laras Dewi yang sesungguhnya berjuluk Dewi Racun Kembar.

"Mungkin dugaanmu benar, tapi kita tak perlu khawatir, seberapa besar kekuatan mereka dapat menandingi kita," timpal Laras Nini begitu yakin.

Kedua gadis yang berjuluk Dewi Racun Kembar lalu melangkah mendekati pintu gerbang, dan berhenti di depannya.

"Antarkan kami menghadap pimpinan kalian," ujar Laras Nini mantap.

Sinar matanya menatap tajam dua perempuan seperempat abad, yang bertugas menjaga pintu gerbang Perguruan Seribu Bunga.

"Siapa Nisanak berdua, dan ada keperluan apa ingin bertemu pimpinan kami?" tanya penjaga berwajah bulat. Tatapan matanya menunjukkan kecurigaan pada dua gadis yang berdiri di hadapannya.

Dewi Racun Kembar tersenyum mendengar ucapan yang kurang bersahabat Dari senyum yang nampak samar-samar, kemudian berkembang menjadi tawa yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

"Ha ha ha...!"

Kedua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu Bunga tentu saja terkejut menyaksikan tingkah dua gadis yang berpakaian ungu dan hijau. Dua penjaga itu seketika merasakan telinganya berdengung hebat, kaki mereka pun bergetar keras. Namun kejadian itu tidak berlangsung lama karena Dewi Racun Kembar segera menghentikan tawa.

"Terlalu picik pengetahuan kalian, hingga tak mengenal siapa kami!" ucap Laras Nini keras.

"Ya. Dengar baik-baik dan catat di kepala kalian, kami adalah dua gadis yang berjuluk Dewi Racun Kembar!" tegas Laras Dewi.

Dua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu Bunga agaknya memang tidak mengenal siapa Dewi Racun Kembar. Keduanya tidak kelihatan terkejut sedikit pun ketika julukan yang cukup tersohor itu didengarnya.

"Siapa pun kalian jika datang ke perguruan ini tidak menunjukkan tata krama yang baik, kami akan menolaknya, bahkan mengusirnya!" ucap penjaga yang lain tegas. Sikapnya nampak sedikit lebih tenang.

Laras Nini tersentak mendengar ucapan yang begitu meremehkan. Seketika itu juga, gadis itu melayangkan tamparan tangan kanannya ke muka penjaga Perguruan Seribu Bunga.

"Mulutmu tak pantas bicara seperti itu, Nisa-

nak!"

Plak! Plak!

Begitu cepatnya tamparan tangan Laras Nini,

hingga gadis penjaga pintu gerbang itu tak mampu menghindar. Dan gadis penjaga pintu gerbang yang berwajah pucat itu, seketika ambruk ke tanah dengan kepala remuk terkena tamparan keras Laras Nini

Kejadian itu sangat mengejutkan penjaga pintu gerbang yang berwajah bulat, perempuan seperempat abad itu segera mencabut senjata.

Srat!

"Kurang ajar! Kalian harus mengganti nyawa temanku itu! Hiat!"

Dengan mengandalkan pedangnya, penjaga Perguruan Seribu Bunga merangsek maju. Tebasan senjatanya mengarah ke bagian tubuh Laras Nini yang mematikan, dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

Laras Nini menyaksikan kekalapan penjaga Perguruan Seribu Bunga tetap berdiri tenang. Sikapnya seperti tak mau menghindari sambaran senjata lawan. Akan tetapi, ketika beberapa rambut lagi senjata penjaga Perguruan Seribu Bunga menggores kulitnya, Laras Nini bergerak cepat memiringkan tubuh. Sementara tangan kanannya dengan jari terbuka bekerja cepat, mencekal pergelangan tangan gadis penjaga.

"Hih!" Krack! "Aaa"

Penjaga Perguruan Seribu Bunga terpekik ketika tangannya yang dicekal kuat diputar keras, hingga sambungan tangannya terlepas. Dan Laras Nini tidak berhenti sampai di situ, tanpa mempedulikan lenguh kesakitan lawan segera digedornya punggung gadis itu.

Blak! "Aaa!"

Lengking keras menyayat terdengar dari mulut gadis berpakaian putih, seiring dengan itu tubuhnya terpental dan ambruk di tanah tanpa nyawa.

Seringai dingin seketika nampak di wajah Laras Nini, apa lagi ketika dari dalam bangunan bermunculan beberapa murid perguruan itu.

"Mana pimpinan kalian? Kenapa bersembunyi seperti tikus comberan!" hardik Laras Nini pada muridmurid perguruan yang terperangah menyaksikan dua mayat temannya tergeletak mengerikan.

"Dewi Racun Kembar! Mulutmu terlalu busuk dan tindakanmu tak ubahnya seperti iblis! Kenapa kalian bunuh saudaraku?" bentak murid utama Perguruan Seribu Bunga, wajahnya merah menahan marah.

"Aku tak membunuhnya, Nisanak! Mereka yang meminta ku untuk segera mengirim nyawanya ke akhirat!" jawab Laras Nini tenang, di wajahnya masih nampak seringai dingin.

"Kurang ajar!"

"Hati-hati, Kak Warti," ucap murid utama Perguruan Seribu Bunga yang lain.

Wajahnya nampak tegang memandang dua gadis muda di hadapannya. Dewi Racun Kembar ikut menandatangani surat permintaan yang ditujukan pada ketua Perguruan Seribu Bunga.

"Tentu saja, Adik Nila. Mereka sebenarnya bukan tandingan kita, tapi kita harus mencegah keinginan gilanya," jawab gadis yang dipanggil Warti.

"Cepat! Suruh keluar pimpinan kalian! Jangan tunggu kesabaranku habis!" bentak Laras Dewi keras.

"Guruku tak ada di tempat!" balas Nila tak kalah keras.

"Hmmm.... Ternyata Nyai Dinda Dahlia seorang pengecut, Kakak Laras," ujar Laras Dewi pada Laras Nini.

"Tidak ada istilah pengecut bagi guru dan murid-murid Perguruan Seribu Bunga, Dewi Racun Kembar!" bentak Warti sengit.

"Lalu kenapa guru kalian tak mau keluar?" "Telingamu ternyata sudah tuli! Sudah kukata-

kan, guruku tak ada di tempat!" ejek Nila.

Merah padam wajah Laras Dewi mendengar ucapan Nila. Langkahnya hampir terayun kalau saja Laras Nini tidak segera menahan.

"Sabar, Dewi," cegah Laras Nini merentangkan tangan.

Laras Dewi hanya bisa menggertakkan gigi menahan kegeraman.

"Nisanak! Kalau guru kalian tak juga berkenan keluar karena gentar menghadapi kami, kami tak akan memaksa. Tapi tolong bawa ke hadapanku putri tunggalnya. Kami membutuhkannya sebagai persembahan upacara maut!"

"Dewi Racun Kembar! Ketahuilah, surat kalian yang disampaikan secara keji itu sedikit pun belum tersentuh tangan guru kami. Jadi kami tak sudi melayani permintaan sintingmu!" tukas Warti tidak mau kalah.

Dewi Racun Kembar sangat marah mendengar ucapan itu. Tanpa pikir panjang keduanya langsung menyerang dua murid utama Perguruan Seribu Bunga.

"Heaaa!" Uts! "Heaaa!"

Serangan gencar dilakukan Dewi Racun Kembar ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Keduanya belum mengeluarkan jurus-jurus andalan hingga murid-murid perguruan yang dipimpin Nyai Dinda Dahlia masih bisa menghindari serangan-serangannya.

Memasuki jurus ke sebelas Dewi Racun Kembar tak mau membuang tenaga percuma, keduanya segera meningkatkan tempo serangan.

Suasana di halaman Perguruan Seribu Bunga jadi lebih riuh. Denting senjata dan teriakan kegeraman tak henti-henti terdengar. Bunga api kerap memercik karena beradunya dua senjata dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Trang! "Aaakh!"

Pekik kesakitan Nila terdengar seiring dengan tubuhnya yang terjajar sejauh satu tombak, tangan kanannya yang digunakan memapaki tebasan senjata Laras Dewi bergetar hebat. Nila merasakan kelumpuhan pada tangan kanannya, itu menandakan tenaga dalam Laras Dewi jauh berada di atasnya.

"Kau harus mampus sekarang juga! Hiaaa...!" Laras Dewi kembali berkelebat mengejar tubuh

Nila yang tak jejak berdiri. Kelebatan pedangnya yang cepat dan terarah mengeluarkan bunyi gaung, membuat hati Nila tercekat sesaat

Wuuut! "Ih!"

Nila melempar tubuhnya ke kanan ketika pedang Laras Dewi menghujam lambung. Seraya bergulingan di tanah berumput halus, mata gadis itu tak lepas memperhatikan serangan-serangan Laras Dewi yang cepat bagai kilat. Dan ketika Nila merasakan tak ada lagi ruang gerak untuk menghindar, dengan sangat terpaksa tangan kirinya disilangkan untuk memapaki tusukan senjata lawan.

Trang! "Aaakh!"

Kembali Nila terpekik ketika benturan keras terjadi. Tangan kirinya merasakan kelumpuhan seperti yang kanan.

"Sekarang kau tidak bisa menghindar, Nisanak!

Jemputlah kematianmu!"

Laras Dewi kembali mengangkat pedang tinggitinggi. Dengan wajah yang menyiratkan kebengisan, matanya menatap tajam sekujur tubuh Nila yang terpojok tak berdaya.

Diiringi lengkingan nyaring, tubuh sintal Laras Dewi berkelebat dengan senjata terhunus. Sementara Nila murid utama Perguruan Seribu Bunga sudah pasrah menghadapi ajal yang sebentar lagi datang merenggut, kedua kelopak matanya terpejam.

Siiing! Siiing! Siiing!

Nila kembali membuka kelopak mata ketika suara berdesing itu tertangkap pendengarannya. Sedang Laras Dewi yang hampir mendekati tubuh korbannya terpaksa menolehkan kepala ketika mendengar desing senjata yang berasal dari belakang tubuh.

"Huh!"

Dengan kegeraman yang luar biasa, gadis itu segera mengurungkan niatnya melenyapkan nyawa Nila. Pedangnya diputar cepat memapaki kedatangan tiga batang pedang yang meluncur deras ke arah tubuhnya.

Wuuut..!

Trang! Trang! Trang!

Tiga batang pedang yang dilempar tiga murid Perguruan Seribu Bunga berpentalan ke berbagai arah. Laras Dewi tersenyum dingin, menatap tiga murid Perguruan Seribu Bunga yang kini tanpa senjata.

Dengan kegeraman yang memuncak, tubuh Laras Dewi melesat ke arah tiga sosok tubuh yang masih terpaku melihat gerakannya yang begitu cepat

"Hiaaa...!"

Bret! Bret! Bret! "Aaa...!"

Tiga lengkingan menyayat terdengar susulmenyusul membumbung ke langit, disertai ambruknya tiga sosok tubuh murid Perguruan Seribu Bunga ke tanah. Begitu menyedihkan keadaan mereka, luka di bagian perut menganga lebar dan usus terburai keluar. "Biadab!" maki Nila yang sudah mampu men-

guasai diri.

Makian Nila terdengar Laras Dewi sehingga membuat gadis itu berniat kembali menghilangkan nyawa Nila. Untuk melakukannya Laras Dewi harus lebih dulu menyingkirkan empat gadis yang berdiri di kiri kanan Nila dengan senjata terhunus.

"Kali ini kau tak akan bisa lolos, Nisanak!" bentak Laras Dewi.Tubuhnya kembali bergerak cepat, senjatanya diputar-putar hingga menimbulkan bunyi dengung yang memekakkan telinga.

Nguuung...!

"Hiaaa!" Trang! Trang!

Bunyi denting senjata diiringi pekik kesakitan kembali terdengar. Dua tubuh murid Perguruan Seribu Bunga terlihat limbung ke belakang, mereka merasakan getaran hebat pada tangannya, seperti terkena sengatan ribuan lebah.

Laras Dewi yang memang ingin membinasakan seluruh penghuni Perguruan Seribu Bunga, segera mengejar dua murid perguruan yang tengah merasakan nyeri.

"Hiaaa!" Track! Track!

Begitu derasnya hantaman pedang Laras Dewi ke kepala mereka, hingga dua gadis berpakaian putih itu menggelepar di tanah dengan kepala terbelah dua. Darah bercampur otak terlihat bermuncratan membasahi pakaian dan rerumputan halus.

Sementara pertarungan sengit pun terjadi antara Warti yang dibantu murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang lain, menghadapi Laras Nini yang sudah menghunus senjata.

Korban banyak berjatuhan dari pihak muridmurid Perguruan Seribu Bunga, yang rata-rata memiliki kemampuan ilmu bela diri di bawah Laras Nini. Wajar jika setiap gerakan yang dilakukan gadis berjuluk Dewi Racun Kembar, disertai pekik kesakitan dan ambruknya tubuh dengan bersimbah darah dari luka tebasan senjata gadis itu.

Semakin lama pertarungan berlangsung, semakin banyak korban berjatuhan. Warti yang dipercaya menjaga Perguruan Seribu Bunga selama kepergian Nyai Dinda Dahlia... memenuhi undangan sahabatnya yang merayakan hari jadi kelima perguruannya, mereka ngeri atas kebengisan Dewi Racun Kembar. Kalau pertarungan ini terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin seluruh penghuni perguruan ini binasa, tidak terkecuali dirinya.

Namun untuk menyerahkan putri tunggal Nyai Dinda Dahlia, juga suatu hal yang mustahil. Maka dengan berat hati, Warti mengambil keputusan tetap melanjutkan pertempuran yang semakin berat sebelah. Puluhan murid Perguruan Seribu Bunga telah bergeletakan tanpa nyawa, sementara Laras Nini dan LarasDewisemakinmempertajamserangan-

serangannya.

"Hiaaa! Hiaaa!" Bret!

"Aaa...!"

Korban kembali jatuh di pihak murid-murid Perguruan Seribu Bunga. Nila dan Warti sekilas saling berpandangan, mereka merasakan saat-saat keruntuhan perguruan sudah semakin dekat.

"Dewi Racun Kembar! Mengapa kalian bernafsu sekali memusnahkan penghuni perguruan ini? Sedang setahuku, kita tak pernah punya urusan!"

Ucapan yang keluar dari mulut Warti sebenarnya lebih mirip hardikan, namun hanya ditanggapi dengan senyum dingin oleh Dewi Racun Kembar.

"Kedatanganku ke perguruan ini bukan untuk memusnahkan seluruh penghuninya, Nisanak! Tetapi hanya untuk seorang putri tunggal pimpinan kalian, yang akan ku persembahkan dalam upacara maut nanti!" bantah Laras Nini dengan sorot mata tajam.

"Keinginanmu itu sama saja dengan menantang perguruan kami Dewi Racun Kembar!" balas Nila geram.

"Itulah kesalahan kalian. Kalau saja kalian bersedia menyerahkan gadis itu pada kami, niscaya banjir darah seperti sekarang ini tidak akan terjadi," sangkal Laras Dewi dengan sorot mata tajam menusuk. "Dan kehancuran Perguruan Seribu Bunga bukan keinginan Dewi Racun Kembar, tapi keinginan kalian sendiri!"

"Bangsat licik!" hardik Nila dan bergerak menerjang Laras Dewi.

Pertempuran kembali berlanjut, kali ini dalam tempo lebih cepat dan seru. Dua murid utama Perguruan Seribu Bunga tak lagi memikirkan keselamatan diri. Dengan senjata terhunus keduanya bergerak cepat. Tebasan dan tusukan pedang mereka terarah ke bagian-bagian mematikan pada tubuh Dewi Racun Kembar. Begitu pula yang dilakukan sisa-sisa murid kelas dua perguruan itu yang jumlahnya jauh menyusut. Mereka rela mempertaruhkan nyawa demi menjaga kewibawaan perguruan.

Namun apa yang telah dilakukan murid-murid Perguruan Seribu Bunga, bukan rintangan yang berarti bagi dua gadis cantik yang berjuluk Dewi Racun Kembar.

Tanpa rasa gentar sedikit pun, Laras Nini dan Laras Dewi melayani serangan murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang tengah berada pada puncak kegeramannya.

Sebenarnya keadaan murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang seperti itu, memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi Dewi Racun Kembar. Terbukti dengan gerakan ringan dan sampokan tangan yang terlihat seadanya, Dewi Racun Kembar mampu membuat murid-murid Perguruan Seribu Bunga kalang kabut menghindar.

Prak! "Akh!"

Lengking kematian kembali terdengar ketika gerakan tangan Laras Nini menemui sasaran. Seorang gadis bertubuh agak gempal menggelepar di lantai, dengan kepala remuk terhajar kepalan tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi. Untuk sesaat lamanya gadis itu mengerang, lalu erangan itu sirna seiring dengan nyawanya yang meninggalkan raga.

"Nengsih!"

Nila terpekik melihat kematian gadis yang begitu dekat dengannya. Geram bukan main hati Nila menyaksikan kenyataan yang membentang di hadapannya.

Tanpa pikir panjang Nila menerjang Laras Nini, sedang Laras Dewi dibiarkan bertempur dengan muridmurid Perguruan Seribu Bunga yang lain.

"Iblis Keparat! Mampus kau. Hih!" "Uts!"

Tebasan senjata Nila yang mengarah ke bagian lambung Laras Nini hanya membentur tempat kosong, namun Nila tetap berkeras hati untuk dapat merobohkan lawan. Pedangnya yang semula berada sejengkal di depan lambung lawan, dihentakkan ke atas dan kemudian diluncurkan dengan keras ke ubun-ubun Laras Nini yang tak terlindung.

"Hiyaaa...!" Wryuuut...!

Tersedak perasaan Nila melihat serangannya berhasil dielakkan Laras Nini hanya dengan sebuah gerakan yang terlihat begitu sembarangan, bahkan serangan balasan yang tak terduga sama sekali menjadi pil pahit bagi Nila.

"Ups!"

Nila segera menarik mundur tubuhnya beberapa langkah ke belakang, tetapi Laras Nini tak membiarkan lawannya menghindar. Dengan gerakan cepat, Laras Nini kembali menggedor tubuh Nila dengan tendangan menyilang ke arah leher.

"Mampus kau!" Weees!

Nila tercekat sesaat menyaksikan tendangan kilat lawan. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindar, namun kesempatan untuk menangkis serangan masih ada. Tanpa berpikir dua kali, Nila segera mengangkat tangan kirinya menahan laju tendangan menyilang Laras Nini.

Blakh! "Ukh!"

Tubuh Nila terhuyung enam langkah ke belakang ketika tendangan keras Laras Nini menghantam pergelangan tangannya. Gadis itu merasa tangannya seperti remuk. Tak terbayangkan seandainya tendangan itu menghantam lehernya yang jenjang.

Menyaksikan tubuh Nila sempoyongan, kebengisan Laras Dewi semakin menjadi-jadi. Dengan pedang terhunus, tubuhnya kembali melesat memburu lawan yang berada dalam keadaan tidak menguntungkan.

"Mampus kau!" "Hih!" "Brooolll...!"

Pedang Laras Nini ternyata tidak mengecewakan pemiliknya. Ujungnya yang berkilat tertimpa sinar matahari berhasil merobek dan mengeluarkan isi perut lawan.

Mata Nila mendelik menahan rasa sakit yang sangat, sementara kedua telapak tangannya digunakan untuk mendekap perut yang ususnya terburai. Darah segar merembes dari jari-jari tangannya yang indah.

Hanya beberapa saat Nila mampu bertahan, sedikit kemudian tubuhnya tergeletak kaku. Laras Nini nampak tersenyum puas menyaksikan kematian lawannya.

***

"Kurang ajar! Iblis terkutuk!" maki seseorang dengan lantang.

Pertarungan seketika terhenti saat suara hardikan itu mengumandang, terlebih ketika sosok ramping berpakaian jingga berkelebat cepat dan mendarat dengan manis.

Kehadiran gadis cantik berpakaian jingga membuat Warti terkejut bukan main. Tidak disangka putri gurunya kembali hari ini, meleset dari rencana semula yang baru akan kembali dua hari lagi.

"Siapa Iblis-Iblis Betina itu, Kak Warti? Apa maunya mereka mengacau perguruan kita?" tanya gadis cantik berpakaian jingga seraya meraba hulu pedangnya.

"Wulan Sari.... Bukankah rencanamu masih dua hari lagi tinggal bersama Bibi Nurita?" tanya Warti tanpa menjawab pertanyaan putri gurunya.

"Perasaanku tak enak, Kak. Dan kenyataannya     Hei! Iblis keparat! Apa maumu membuat keona-

ran di tempatku?" tukas gadis cantik yang dipanggil Wulan Sari.

"Kau pasti putri tunggal Nyai Dinda Dahlia." Mantap suara yang keluar dari bibir Laras Nini,

lalu gadis itu tersenyum dingin menusuk.

"Apa pedulimu, Iblis! Kau harus menebus dengan nyawa untuk kekacauan yang telah kalian lakukan!"

Marah Wulan Sari. Matanya menatap tajam kedua gadis cantik yang berjuluk Dewi Racun Kembar.

Srat!

"Wulan! Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini, biar aku yang menahan Dewi Racun Kembar keparat itu!" saran Warti khawatir.

Wulan Sari terkejut mendengar ucapan murid utama ibunya, matanya menatap Warti tak mengerti.

"Apa maksudmu, Kak?" tanya Wulan Sari pe-

lan.

"Aku memerlukanmu, Wulan. Tapi Kak Warti-

mu tidak mengizinkan aku membawamu pergi," selak Laras Nini datar.

"Untuk apa kalian membawaku, aku tidak kenal dengan kalian," bantah Wulan Sari keras.

Jari-jari tangannya yang memegang hulu pedang nampak menegang kaku.

"Untuk sebuah upacara maut, Wulan," jawab Laras Dewi sambil mengembangkan senyum.

"Upacara gila! Aku tak sudi ikut dengan kalian!" "Sebaiknya kau pergi, Wulan. Kepandaian Dewi

Racun Kembar begitu tinggi, kita tak akan mampu mengalahkannya. Pergilah, biar aku yang menghalangi," perintah Warti.

"Tidak, Kak! Kita harus sama-sama mengusir iblis betina liar itu dan mereka harus membayar nyawa teman-teman kita," tolak Wulan Sari sambil melangkah.

"Jangan Wulan"

"Hiaaa!" Bet! Bet! "Hiaaa!"

Wulan Sari tak lagi mendengar teriakan Warti. Dengan perasaan marah tubuhnya berkelebatan cepat, pedang di tangannya berdesing-desing mencari sasaran. Wulan Sari langsung memainkan jurus inti Perguruan Seribu Bunga untuk melumpuhkan lawan.

"Hiaaa! Kau harus mampus, Iblis!" Trak!

"Aaa...!"

Tubuh Wulan Sari terjajar sejauh enam langkah ketika tebasan senjatanya dipapak tangan kosong Laras Nini. Bibir gadis cantik itu menyeringai menahan sakit, dan merasakan tangannya bergetar hebat akibat benturan itu, menandakan tenaga dalam Laras Nini jauh berada di atasnya.

"Iblis!"

Wulan Sari baru saja ingin kembali menyerang, ketika Warti memburu dan melarangnya.

"Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini, Wulan," pinta Warti penuh harap.

Wulan Sari tak membantah, gadis itu baru sadar dengan siapa dirinya berhadapan. Tapi untuk pergi begitu saja, rasanya tidak mungkin. Dewi Racun Kembar tak akan membiarkannya lolos.

"Aku yang akan menghalangi mereka, Wulan," ujar Warti melihat Wulan Sari belum juga mau beranjak.

"Apa kau mampu menghalangiku?" selak Laras Dewi dengan tatapan mata penuh ejekan.

"Iblis sombong!"

"Tutup mulutmu!" hardik Laras Dewi jengkel. Tanpa mempedulikan Laras Nini, gadis itu ber-

gerak cepat ke arah Warti yang berada jauh dari Wulan Sari. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Laras Dewi. Angin menderu mengiringi serangan Laras Dewi. Dengan tangan-tangan yang membentuk cakar harimau, nampak ada kekuatan lain yang mengiringi serangan itu.

"Hiyaaa...!" Bret! "Iiikh!"

Warti tercekat ketika serangan yang dilakukan Laras Dewi menyerempet punggung, padahal gadis itu sudah berusaha kuat mengerahkan kecepatan geraknya untuk menghindari serangan. Tapi kenyataan nya ?

"Kau memang harus mampus, Warti. Kau terlalu lancang menghalangi maksud suci ku!"

"Hiyaaa!"

Wuuut! "Uts!"

Laras Dewi membuang tubuhnya ke kanan menghindari serangan Warti yang di luar dugaan. Beberapa kali Laras Dewi bergulingan di tanah, tapi sebentar kemudian tubuhnya sudah mencelat ke atas dan mendarat dengan manis.

Laras Dewi kembali mencelat hendak menerjang Warti, namun gerakannya terhambat oleh hadangan murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang masih bertahan.

"Setan jelek! Kalian harus lebih dulu mampus!

Hih!"

Wuuut! Wuuut! Bret! Bret!

"Aaa"

Lengking kematian terdengar susul-menyusul ketika Laras Dewi bergerak cepat mempergunakan senjata. Beberapa murid jatuh bergelimang darah hanya dalam satu gebrakan saja.

Bukan main marah Warti dan Wulan Sari. Tanpa pilar lagi tubuh keduanya melesat menerjang Laras Dewi, tapi sayang, keinginan kedua gadis itu terhalang Laras Nini yang berdiri menghadang.

"Sebaiknya kalian hadapi aku, jangan ganggu mereka," papar Laras Nini dingin.

"Huh!"

Tanpa membantah ucapan Laras Nini, Wulan Sari segera menerjang dengan ganas. Tebasan dan tusukan pedangnya berkali-kali dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, tak heran jika bunyi yang mengiringi serangan membuat telinga sakit.

"Hiyaaa!" Wuuut! Bet!

Lima belas jurus telah digelar Wulan Sari, namun sejauh itu ujung pedangnya tak mampu sedikit pun menggores kulit Laras Nini yang hanya bergerak menghindar, tanpa memberikan serangan balasan.

Namun tidak bagi Warti, murid utama Perguruan Seribu Bunga itu berkali-kali kena hantaman kaki dan tangan Laras Nini yang bergerak cepat dan sukar diikuti arahnya.

"Hiyaaa!"

Blaaagkh! "Aaa"

Tubuh Warti terlontar sejauh dua tombak ketika tendangan menggeledek mendarat telak di perutnya. Tubuh sintal yang terbalut pakaian putih nampak terkulai di tanah. Dari mulutnya mengalir cairan merah.

"Hoeeekh...!"

Darah segar seketika dimuntahkan Warti, matanya berputar-putar dan kulit wajahnya berubah pucat laksana mayat

Bersamaan dengan terbujurnya tubuh Warti ke tanah, di lain tempat Laras Dewi berhasil melumpuhkan lawan terakhirnya. Lengkap sudah kematian seluruh murid-murid Perguruan Seribu Bunga.

"Kau masih belum bersedia ikut dengan kami, Wulan?" desak Laras Dewi setelah membersihkan pedangnya dari noda darah.

Wulan Sari, putri tunggal ketua Perguruan Seribu Bunga hanya menatap tajam Dewi Racun Kembar, lalu beralih pada mayat-mayat yang bergelimpangan mengenaskan. Mayat murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang begitu setia mempertahankan kewibawaan perguruan dari rongrongan pihak luar.

Kembali Wulan Sari menatap Dewi Racun Kembar, gambaran kegeraman tersirat pada wajah Wulan Sari.

"Kalian Iblis betina keji, aku tak sudi ikut bersama kalian! Lebih baik aku matt menyusul mereka!" hardik Wulan Sari sambil mengacungkan pedang yang tergenggam erat

"Hmmm.... Jadi kau tak takut mati, Wulan?" ejek Laras Nini seraya menyungging senyum.

"Aku tak pernah menolak kedatangan maut, seperti halnya aku tak pernah menolak ajakan mu bertarung!" jawab Wulan Sari.

"Baiklah. Jangan menyesal!" Selesai dengan ucapannya Laras Nini segera bergerak maju. Tanpa mempergunakan senjata gadis itu menerjang Wulan Sari yang menghunus pedang.

Sebuah pukulan keras Laras Nini yang terarah ke dada lawan tak menjumpai sasaran. Wulan Sari tanpa telengas menebaskan senjatanya ke tangan Laras Nini. Karuan saja Laras Nini menarik pulang tangannya. Laras Nini segera menotolkan kakinya ke tanah, tubuhnya seketika mencelat ke atas dan meluruk cepat dengan tangan membentuk cakar harimau, terarah ke ubun-ubun Wulan Sari.

Dan Wulan Sari tidak mampu berbuat banyak, karena dari depan Laras Dewi melancarkan serangan yang cukup mengerikan. Pedang dara cantik itu bergerak mencecar lambungnya.

Merasa tak mampu lagi mengelakkan serangan, Wulan Sari nekat memapaki serangan Laras Nini dengan tangan kosong, sedangkan tusukan pedang Wulan Sari dipapaki dengan pedang.

"Hih!"

Wuuut! Tuk! Tuk!

Wulan Sari terpekik ketika tubuhnya terkena totokan yang dilancarkan Laras Nini dan Laras Dewi. Tubuh Wulan Sari seketika tak mampu digerakkan. Sungguh dirinya tak menyangka serangan dahsyat yang dilancarkan Dewi Racun Kembar hanya tipuan belaka.

"Hahaha.... Saat kematianmu belum datang, Wulan. Kami membutuhkan mu untuk upacara maut nanti, jadi mana mungkin kami membunuhmu," papar Laras Nini sambil mendekati Wulan Sari yang terkulai terkena totokan.

"Sebaiknya kita lekas pergi dari sini, Kak Nini. Aku khawatir ada orang yang melihat perbuatan kita. Hanya akan menimbulkan persoalan baru yang dapat memperlambat rencana kita saja," ujar Laras Dewi ketika melihat Laras Nini masih ingin bermain-main dengan Wulan Sari.

"Sebaiknya memang begitu, Dewi. Ayo, hup!" "Hup!"

Dewi Racun Kembar segera melesat meninggalkan halaman Perguruan Seribu Bunga yang berubah menjadi arena mayat. Laras Nini bergerak dengan ringan meski dibahunya terpanggul Wulan Sari.

2

Angin panas berhembus keras menerpa tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan. Pemuda itu tak mempedulikan sengatan matahari yang bersinar sedikit garang. Tiba-tiba kepalanya ditelengkan. Pendengarannya yang tajam sayup-sayup mendengar rintihan kesakitan yang memilukan.

"Sepertinya dari arah selatan," kata pemuda itu dalam hati.

Pemuda berwajah tampan itu mencoba meyakinkan hatinya, sebentar kemudian tubuhnya melesat cepat menuju tempat rintihan yang didengarnya.

"Biadab!" hardik pemuda yang tak lain Jaka Sembada yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai Raja Petir.

"Siapa yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini? Akh!"

Jaka Sembada segera menghampiri sosok tubuh yang tiba-tiba saja menggeliat.

"Tolong selamatkan Wulan, Anak Muda. Oh, ia dilarikan ke arah sana," kata sosok tubuh yang ternyata Warti. Meskipun keadaan tubuhnya terluka parah, murid utama Perguruan Seribu Bunga itu berusaha mengangkat tangan dan menunjuk ke utara.

"Siapa Wulan?" tanya Jaka Sembada tak men-

gerti.

"Putri guru kami. Tolong selamatkan Wulan,

Anak Muda," ucap Warti tersendat

Tanpa bertanya lagi Jaka Sembada langsung melesat ke arah yang ditunjuk murid utama Perguruan Seribu Bunga. Begitu cepatnya kelebatan tubuh Jaka Sembada hingga sekejap mata menghilang dari hadapan Warti.

Warti yang tadi bertarung dengan Laras Nini ternyata tidak mati. Memang gadis itu terluka parah terkena hajaran Dewi Racun Kembar. Laras Nini salah ketika menyangka Warti ambruk ke tanah karena tewas, sesungguhnya gadis itu hanya pingsan. Dan sadar kembali ketika Dewi Racun Kembar membawa lari Wulan Sari.

Jaka Sembada mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar orang yang telah melarikan Wulan. Tetapi telah jauh pemuda itu berlari, belum juga dijumpai tanda-tanda sosok yang dicarinya.

"Orang itu pasti memiliki kepandaian yang cukup tinggi," bisik Jaka Sembada sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemuda itu berharap menemukan penculik gadis yang bernama Wulan.

Cukup lama Jaka Sembada mengedarkan pandangan tetapi tidak juga menemukan tanda-tanda yang dapat dijadikan pegangan. Akhirnya pemuda itu memutuskan kembali menjumpai gadis murid Perguruan Seribu Bunga.

Jaka Sembada melesat cepat mempergunakan ilmu lari cepatnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, tak heran jika tak berapa lama kemudian sampai tujuan. Tetapi betapa terkejutnya Jaka Sembada melihat gadis berpakaian putih yang tadi ditemukannya masih hidup sudah tidak ada lagi.

Keheranan Jaka Sembada segera membawa tatapan matanya ke pintu perguruan yang tertutup. Dalam hatinya Jaka Sembada menduga seseorang telah menolong gadis yang terluka parah itu dan membawanya masuk ke bangunan Perguruan Seribu Bunga. Keinginan Jaka Sembada untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya, membuat pemuda itu melangkahkan kaki melewati pintu utama Perguruan Seribu Bunga.

"Mungkin pemuda itu iblisnya, Tari! Kita harus meringkus dan meminta tanggungjawabnya atas perbuatan keji ini!"

Dua sosok tubuh tiba-tiba mendarat tak jauh dari hadapan Jaka Sembada. Sosok-sosok tubuh itu ternyata dua gadis berpakaian putih. Mereka memandang tajam ke Jaka Sembada.

"Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan kejimu, Kisanak!" hardik perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun yang bernama Tari.

Mendengar ucapan bernada tuduhan seperti itu, Jaka Sembada hanya bisa memamerkan sesungging senyum menawan.

"Perbuatan keji? Ah! Rasanya aku tak melakukannya, Nisanak" kilah Jaka Sembada kemudian dengan sikap tenang.

"Pendusta! Sudah ketahuan masih juga tak mau mengaku, aku akan memaksamu agar mengakui!" bentak Tari keras.

Tubuhnya yang berdiri satu setengah tombak di hadapan Jaka Sembada segera berkelebat cepat. Pedang yang berada di tangan gadis murid utama Perguruan Seribu Bunga itu berkelebat cepat ke arah leher Jaka Sembada. Ketika pembantaian yang dilakukan Dewi Racun Kembar terjadi, Tari tak ada. Gadis itu turut pergi bersama gurunya.

Dengan ketenangan tinggi Jaka Sembada menyaksikan gerakan menebas yang dilakukan Tari.

"Heaaa...!"

Begitu bernafsu Tari ingin membunuh Jaka Sembada. Dapat dilihat dari deru angin yang mengiringi setiap gerakannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Utsss!

Hanya dengan memiringkan badannya sedikit, serangan yang dilancarkan Tari lewat beberapa rambut dari leher Jaka Sembada. Tentu saja Tari marah bukan main melihat serangannya dengan begitu mudah dipatahkan.

Tanpa merubah kedudukan, Tari kembali mengibaskan pedang ke lambung pemuda itu yang kali ini menghindar dengan menotolkan kaki ke tanah. Ringan saja totolan yang dilakukan Jaka Sembada, tubuhnya melambung ke udara seraya berputaran dua kali dan menjejak kembali di tanah dengan manis.

"Sudah kubilang bukan aku yang melakukannya, Nisanak," ucap Jaka Sembada mencoba meredakan kesalahpahaman ini.

"Dasar pengecut!" bentak gadis berwajah cekung yang sejak tadi hanya menyaksikan temannya menyerang Jaka Sembada.

"Bukti kuat telah menyatakan kau sebagai pembunuh keji, cuma kau yang berada di antara mayat-mayat saudara seperguruanku, lalu siapa lagi yang akan ku salahkan selain kau, Kisanak! Mengakulah, dosamu sudah terlalu besar!"

"Nisanak, keberadaanku di tempat ini hanya kebetulan. Aku tak mungkin berada di tempat ini seandainya tidak mendengar jeritan dan erangan lirih," sangkal Jaka Sembada

"Pengecut busuk!" hardik gadis berwajah cekung keras. "Ayo kita ringkus lelaki ini, Tari!"

"Ayo, Suti!"

Kedua gadis itu merangsek maju dengan senjata terhunus. Dari serangan yang dilancarkan, Jaka Sembada dapat mengukur sampai di mana kemampuan mereka memainkan senjata. Makanya dengan ketenangan luar biasa, pemuda itu menghindari terjangan senjata tanpa melukai pemiliknya.

"Heaaa...!"

"Heaaa...!" "Ups!"

Dengan bergerak ringan ke kiri dan ke kanan, kemudian melompat dan merunduk, Jaka Sembada menghindari serangan yang dilakukan Tari dan Suti.

Apa yang dilakukan Jaka Sembada bukan membuat kedua murid Perguruan Seribu Bunga sadar, mereka malah semakin yakin kalau lelaki tampan inilah yang membuat petaka di perguruan mereka. Maka serangan-serangan yang dilakukan kedua gadis itu semakin ganas.

Lelaki tampan berpakaian kuning keemasan berpikir keras, bagaimana membuat kedua gadis itu mempercayai pengakuannya. Maka ketika serangan itu kembali memburu, Jaka Sembada segera mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke seluruh permukaan kulit. Pemuda itu berharap dengan cara ini kedua gadis itu dapat mengerti, bahwa dirinya bukan lelaki yang gampang menurunkan tangan besi.

"Heaaa! Heaaa!" Trak! Trak! "Aaakh!"

Tari dan Suti terpekik ketika merasakan senjata mereka seperti membentur logam keras, kedua tangan bergetar dan tubuh mereka terhuyung limbung lima langkah ke belakang.

Pekikan kuat yang keluar dari bibir kedua gadis membuat seseorang melesat keluar dari dalam bangunan Perguruan Seribu Bunga. Sosok berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya di sisi Suti dan  Tari yang terduduk di tanah menahan getaran hebat yang masih dirasakan.

"Guruuu...." Panggil Tari dan Suti bersamaan. Perempuan berpakaian jingga dengan ikat pinggang putih memandang kedua muridnya, dan sesaat kemudian mengalihkan pandangan pada Jaka Sembada. Cukup lama perempuan setengah baya yang disebut guru itu memandangi Jaka Sembada.

"Ciri-ciri yang kau miliki mirip seperti yang pernah kudengar dari sahabat-sahabatku dan orangorang kalangan persilatan. Kalau aku tidak salah, kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya perempuan itu dengan sikap penuh hormat

"Namaku Jaka Sembada, Nyai," jawab Jaka Sembada mantap yang lebih suka dipanggil nama daripada julukannya.

"Akh!" tersedak perempuan berpakaian jingga mendengar pengakuan Jaka Sembada, raut mukanya nampak sedikit berubah. "Maafkan kelakuan kedua muridku, Jaka Sembada."

"Ah, tak mengapa Nyai. Aku maklum karena saat ini mereka sedang berduka," kilah Jaka.

Perempuan separuh baya yang menjadi Ketua Perguruan Seribu Bunga tersenyum.

"O ya, Nyai. Apakah Nyai yang telah memindahkan gadis yang terluka parah? Belum lama aku melihatnya di tempat ini," tanya Jaka Sembada.

"Yang kau maksudkan pasti Warti," jawab perempuan setengah baya. "Ia ada di dalam, tapi sayang aku tak bisa menyelamatkan nyawanya. Luka-luka terlalu parah."

Jaka Sembada tersentak mendengarnya. "Apakah Nyai sudah mendapat keterangan?" Ketua Perguruan Seribu Bunga menatap wajah

Jaka Sembada.

"Sebaiknya kita bicara di dalam saja, Jaka Sembada."

"Apa tidak sebaiknya kita mengubur mayatmayat ini lebih dahulu?" usul Jaka Sembada.

"Ya. Sebaiknya memang begitu, Raja Petir."

***

Hujan rintik-rintik telah reda seiring dengan selesainya Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia, dibantu Tari dan Suti menguburkan jenazah murid-murid Perguruan Seribu Bunga. Peluh membasahi dahi Jaka Sembada meski angin dingin berhembus.... Dan Nyai Dinda Dahlia nampak sangat berduka atas kematian murid-muridnya. Kini hanya tinggal Tari dan Suti yang dimilikinya.

"Siapa yang telah melakukan pembantaian ini, Nyai?" tanya Jaka Sembada setelah mereka duduk di ruang dalam perguruan.

Nyai Dinda Dahlia tidak menjawab. Namun dari gerakan tangan yang menyelinap ke balik pakaiannya, Jaka Sembada mengerti maksud pimpinan Perguruan Seribu Bunga ingin menunjukkan sesuatu.

"Bacalah," ujar Nyai Dinda Dahlia sambil menyodorkan benda berwarna coklat yang tergulung.

Dari bentuknya, benda yang disodorkan Nyai Dinda Dahlia merupakan sebuah surat yang ditulis di atas kulit kayu.

Dengan perasaan sedikit terkejut Jaka Sembada menerima benda itu. Dibacanya isi surat, beberapa saat kemudian diserahkan kembali pada Nyai Dinda Dahlia.

"Aku juga memiliki surat yang sama, Nyai." Dan Jaka Sembada menyodorkan segulungan kulit kayu ke hadapan Nyai Dinda Dahlia.

Kini Nyai Dinda Dahlia yang terkejut, melihat benda yang sama disodorkan Jaka Sembada. Bunyi surat itu:Ki Jatitama.

Aku membutuhkan kedua putri mu untuk persembahan upacara maut. Kuharap kau sudi memenuhi permintaanku jika tak ingin melihat perguruanmu menyatu dengan tanah.

Tertanda; Setan Rimba Bangkai, Siluman Hutan Dadak, Pangeran Kala Hitam dan Dewi Racun Kembar.

"Kalau saja aku yang menerima langsung surat permintaan gila ini, mungkin kejadiannya tak akan seburuk ini," sesal Nyai Dinda Dahlia seraya menyerahkan kembali surat untuk Ki Jatirama Ketua Perguruan Saka Jati, pada Jaka Sembada.

"Jadi Nyai baru tahu, surat itu untuk Nyai?" Nyai Dinda Dahlia mengangguk.

"Mungkin sewaktu aku ke rumah sahabatku, surat itu datang. Entah bagaimana caranya. Dugaanku, disampaikan dengan jalan kekerasan."

"Nyai kenal orang-orang yang menandatanga-

ni?"

"Hanya Ki Kustara yang berjuluk Setan Rimba

Bangkai dan Kindang Supa dengan julukan Pangeran Kala Hitam."

"Apa Nyai juga tahu tujuan upacara maut itu?" Nyai Dinda Dahlia menggelengkan kepala. Se-

bagai orang yang bergelut dikalangan dunia persilatan, Nyai Dinda Dahlia sering menemukan keinginankeinginan aneh dari tokoh-tokoh persilatan. Khususnya tokoh golongan hitam, namun untuk mengetahui tujuan mereka memang harus mengikuti keinginan mereka sampai akhir.

"Apa hubunganmu dengan Ki Jatirama, Raja Petir?" tanya Nyai Dinda Dahlia.

"Aku tak punya hubungan apa-apa dengan ketua Perguruan Saka Jati, Nyai. Kenal namanya pun melalui surat ini," jawab Jaka Sembada.

"Lalu dari mana kau dapatkan surat itu?"

"Dari paman ku, Nyai. Beliau menugaskan aku agar membantu Ketua Perguruan Saka Jati," jelas Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia mengangguk angguk kepala mendengar penjelasan lelaki tampan berpakaian kuning keemasan.

"Maaf, Nyai. Aku harus pergi ke Perguruan Saka Jati, sekarang juga. Aku khawatir datang terlambat," pamit Jaka Sembada.

"Aku juga akan ke Perguruan Saka Jati, Jaka. Barangkali di sana aku akan mendapat kabar di mana putri ku disembunyikan," ujar Nyai Dinda Dahlia.

"Oh, jadi Wulan putri mu, Nyai?" Nyai Dinda Dahlia menganggukkan kepala.



Baiklah, kalau begitu. Kita sama-sama ke Perguruan Saka Jati, setelah itu kita cari putri tunggalmu, Nyai," ajak Jaka Sembada lalu melangkah keluar. Diikuti Nyai Dinda Dahlia, setelah memberi perintah pada Tari dan Suti agar tetap tinggal di perguruan selama kepergiannya.

***

Matahari tepat berada di atas kepala, sinarnya yang menyirami mayapada terasa begitu menyengat. Namun sengatan matahari tidak menghambat perjalanan dua sosok tubuh yang tak lain Raja Petir dan Nyai Dinda Dahlia.

"Kurasa ada maksud-maksud tak baik dalam upacara maut, tidak jelas dalam rangka apa mereka mengadakan upacara itu," gumam Nyai Dinda Dahlia pada diri sendiri.

Jaka Sembada bukan tidak mendengar ucapan yang lebih pantas disebut bisikan, pemuda itu menanggapi ucapan Nyai Dinda Dahlia karena mendengar kelanjutannya.

"Aku sangat mengkhawatirkan keselamatan putri ku. Raja Petir," lanjut Nyai Dinda Dahlia, kali ini dengan ucapan yang terdengar jelas.

"Kurasa upacara maut itu belum dimulai, Nyai," hibur Jaka Sembada. "Berdasarkan surat yang dikirim ke lain perguruan, aku berkesimpulan, tidak hanya seorang gadis yang dibutuhkan sebagai kelengkapan upacara gila itu."

"Aku sependapat denganmu, Raja Petir. Tapi perlu kau ingat, tokoh-tokoh yang menandatangani surat terkutuk itu adalah tokoh golongan hitam. Bukan hal yang mustahil mereka menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri," bantah Nyai Dinda Dahlia. "Aku tak menyangkal kecemasanmu, Nyai. Sepanjang pengalamanku, sebuah upacara bersifat sakral, jika dilaksanakan untuk memuja dewa atau sesuatu yang dianggap patut dijunjung tinggi dan dihormati keberadaannya. Upacara itu akan didukung oleh sesuatu yang masih utuh sifatnya. Kalau sesuatu itu berwujud seorang gadis, maka gadis itu adalah gadis pilihan, gadis yang kesuciannya tidak diragukan lagi, gadis baik-baik, bahkan kalau mungkin gadis yang memiliki kemampuan ilmu silat," papar Jaka Sembada sambil mempercepat ayunan kakinya.

"Sebaiknya kita mempercepat perjalanan ini, Nyai," lanjut Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia tanpa membantah segera merubah langkahnya, menjadi sebuah lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Jaka Sembada mengikuti apa yang dilakukan perempuan setengah baya yang mengenakan pakaian longgar warna jingga. Pemuda itu memaklumi kecemasan yang menggelayuti hati Ketua Perguruan Seribu Bunga.

Wrrrt...

Dengan sekali sentak Jaka Sembada mampu menyejajarkan diri dengan Nyai Dinda Dahlia yang berlari lebih dahulu. Keduanya berlari dengan menggunakan ilmu lari cepat. Namun....

"Uts!"

"Ups!"

Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia samasama menotolkan kakinya ke tanah dengan cepat dan keras. Tubuh keduanya melambung, dan dengan melakukan salto dua kali keduanya mendarat dengan manis.

"Ah, kenapa kalian berlari seperti orang dikejar setan, Nisanak? Hampir saja kita berbenturan," ujar Nyai Dinda Dahlia dengan nada agak ditekan.

"Ah, eh... ma... maafkan kami, Nyai," jawab gadis cantik berpakaian kuning gading, usianya tak lebih dari tujuh belas tahun.

"Apa ada yang mengejarmu, Anak Manis." Lembut pertanyaan Nyai Dinda Dahlia setelah menyadari ketakutan gadis cantik di hadapannya.

"Ya, kami sedang dikejar lelaki yang memiliki kepandaian jauh di atas kami, Nyai," jawab lelaki muda yang menyertai gadis cantik berpakaian kuning gading. "Kami tak mampu menghadapinya, karena itu kami lari. Aku mengkhawatirkan keselamatan Adik Perwari."

"Apa kalian punya kesalahan, hingga dikejarkejar seperti ini?" tanya Nyai Dinda Dahlia pada gadis yang bernama Perwari.

"Tidak, Nyai. Lelaki itu telah memporakporandakan perguruan kami dan membinasakan ayahku,"

Perwari menundukkan kepala, teringat kembali kematian ayahnya yang mengerikan.

"Apa kau tahu tujuan lelaki itu mengacau perguruan "

"Wesi Wening," selak lelaki yang berdiri di sebelah Perwari.

"Wesi Wening?" ulang Nyai Dinda Dahlia. "Jadi, kalian anaknya murid Ki Wujang Kanta?"

"Nyai, mengenal ayahku?" tanya Perwari sambil menatap mata Ketua Perguruan Seribu Bunga.

"Mengenal secara mendalam memang tidak. Tapi Nyai pernah berbincang-bincang dengan beliau beberapa bulan yang lalu, bahkan bersama-sama mencegah kekacauan di Kampung Segu," jelas Nyai Dinda Dahlia.

"Maaf, apa Dik Perwari dan"

"Primaka."

"Ya. Apa kalian mengenal lelaki yang mengejar

kalian?" selak Jaka Sembada setelah beberapa saat lamanya menjadi pendengar.

"Lelaki itu berjuluk Siluman Hutan Dadak," jawab Primaka.

"Siluman Hutan Dadak?" ulang Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia bersamaan, lalu mereka saling memandang.

"Apa yang diinginkannya dari Ki Wujang Kanta?" selidik Jaka Sembada.

"Aku," jawab Perwari.

"Kau? Oh, Siluman Hutan Dadak ingin memperistri mu, begitu?" pancing Nyai Dinda Dahlia.

"Siluman Hutan Dadak menginginkan diriku untuk dipersembahkan dalam upacara maut," jelas Perwari.

"Nasibmu sama dengan anakku Wulan Sari," berat suara yang keluar dari bibir Ketua Perguruan Seribu Bunga. "Namun nasib baik tak menyertainya, Wulan Sari berhasil dilarikan orang yang menyelenggarakan upacara gila itu,"

"Ha ha ha. Itu bukan upacara gila, Nyai!"

Keempat orang itu terperangah mendengar sahutan yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga dalam tinggi, menunjukkan orang itu memiliki kepandaian tinggi.

Sekejap kemudian, sosok yang berbicara itu menampakkan diri.

"Ha ha ha.... Kau mau lari ke mana, Perwari?

Ke ujung dunia pun akan kukejar."

"Aku akan menghalangimu, Siluman Laknat!" bentak Nyai Dinda Dahlia tegas.

"Ow! Apa kau mampu, Nyai?" tanya lelaki berpakaian merah menyala dengan sorot mata meremehkan.

"Jangan besar kepala, Siluman Hutan Dadak!" bentak Nyai Dinda Dahlia geram.

"Hei! Di mana kita pernah berkenalan, Nyai? Atau... nama besarku yang membuatmu mengenalku?" "Aku mengetahui namamu dari secarik surat  sinting yang kau tandatangani," beber Nyai Dinda Dah-

lia.

"Ow! Siapa kau sebenarnya, Nyai?"

"Tak perlu tahu siapa aku, Siluman Laknat! Yang jelas kau harus ku enyahkan dari muka bumi, karena persekongkolan mu menculik putri tunggalku."

"Ha ha ha.... Aku mengerti sekarang. Ha ha ha..., kaukah yang bernama Nyai Dinda Dahlia?"

"Jangan banyak bicara! Sekarang juga kau harus mampus di tanganku!"

Diiringi pekikan nyaring, Nyai Dinda Dahlia menerjang sosok berpakaian merah menyala. Gerakannya cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, menandakan serangan yang dilancarkan tidak mainmain.

Angin menderu yang mengiringi serangan Ketua Perguruan Seribu Bunga membuat Siluman Hutan Dadak bersikap hati-hati. Meski belum mengetahui dengan pasti kekuatan tenaga dalam lawan, namun dirinya tak berani memapaki serangan yang datang.

Wesss....

"Uts!"

Siluman Hutan Dadak yang sesungguhnya bernama Liku Grada segera memiringkan badan ketika sampokan tangan Nyai Dinda Dahlia mengarah deras ke ulu hati. Seraya menggeser kaki kanan, Liku Grada bergerak cepat, namun kecepatan gerak Nyai Dinda Dahlia sempat membuatnya terkejut. Begitu cepat gerakan tangan Nyai Dinda Dahlia berputar, hingga mendadak sudah berada beberapa rambut di depan wajah Siluman Hutan Dadak.

"Heh...?"

Cepat-cepat Liku Grada melempar tubuh ketika dirasakan percuma memiringkan kepala, dilihatnya serangan-serangan Ketua Perguruan Seribu Bunga begitu cepat berpindah sasaran.

Melihat serangannya berhasil dielakkan lawan, Nyai Dinda Dahlia tidak menghentikan serangan. Tubuh perempuan itu kembali melesat, mengejar Siluman Hutan Dadak yang sudah kembali tegak.

"Hiaaa...!" Track!

Tak ada pekik kesakitan ketika dua tangan yang dialiri kekuatan tenaga dalam beradu keras, yang terdengar hanya suara benturan keras seperti beradunya dua batang logam.

Tubuh Nyai Dinda Dahlia terhuyung sejauh  dua tombak. Di wajah perempuan usia setengah abad lebih itu terlihat seringai kesakitan, dan sebelah tangannya memijat pergelangan tangan yang terasa linu.

Demikian juga Siluman Hutan Dadak, lelaki penyelenggara upacara maut itu tak menyangka kekuatan tenaga dalam Nyai Dinda Dahlia tak berbeda jauh dengan tenaga dalam yang tadi dikeluarkan hanya seperempat bagian saja.

"Dahlia! Kusarankan padamu jangan mengganggu acara ku. Pantang bagiku mendiamkan orangorang yang ingin menggagalkan rencanaku!" hardik Liku Grada si Siluman Hutan Dadak.

"Walaupun kau tak melibatkan putri ku dalam upacara gila itu, aku akan tetap menghalangi niat kejimu, Siluman Laknat! Pantang bagiku mendiamkan kejahatan berlangsung di muka bumi ini!" jawab Nyai Dinda Dahlia tegas, membuat kemarahan Siluman Hutan Dadak memuncak.

"Hmmm.... Rupanya kau tergolong manusia siluman, Dahlia! Aku jadi tak peduli denganmu. Aku memang sedang memberantas orang-orang yang suka mencampuri urusan orang lain, seperti kau!"

"Lakukanlah kalau kau mampu, Siluman Gila!" bentak Nyai Dinda Dahlia keras.

Wajah Siluman Hutan Dadak langsung berubah tegang, mendengar hinaan yang dilontarkan Nyai Dinda Dahlia

"Kurang ajar! Kau mampus, Perempuan Lak-

nat!"

Selesai dengan ucapannya, tubuh Liku Grada

bergerak bagai kilat. Senjatanya yang berupa tongkat dengan bagian ujung terdapat logam keras berbentuk bulan sabit mulai mengambil peranan. Tongkat itu dikibaskan keras ke leher Ketua Perguruan Seribu Bunga.

Jaka Sembada menyaksikan serangan dahsyat yang dilakukan Siluman Hutan Dadak sedikit terkesiap, ada sedikit keinginan untuk mengambil alih pertarungan. Namun keinginan itu segera diurungkan melihat Nyai Dinda Dahlia sudah siap menghadapi serangan Liku Grada. Lagi pula pemuda itu tak ingin Nyai Dinda Dahlia merasa direndahkan karena perbuatannya.

"Hati-hati, Nyai," pesan Jaka Sembada. Nyai Dinda Dahlia tak sempat menjawab. Tubuhnya yang terbalut pakaian jingga dengan ikat pinggang putih seketika bergerak cepat menghindari terjangan tongkat lawan.

"Hiaaa!"

"Utzs!"

Nyai Dinda Dahlia menghentakkan kaki kuatkuat saat tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak mencecar pahanya. Dengan melakukan hentakan menyilang, tubuh ketua Perguruan Seribu Bunga mencelat dan berputar dua kali di udara kemudian mendarat dengan manis. Nampak di depan dada Nyai Dinda Dahlia telah menyilang sebatang pedang yang membiaskan sinar keperakan.

Siluman Hutan Dadak agaknya menganggap remeh senjata yang membentengi dada Nyai Dinda Dahlia, Liku Grada tersenyum mengejek.

"Kau andalkan senjata mainan anak-anak, Dahlia? He he he...! Kuharap kau tidak menyesal jika hari ini nyawamu melayang."

"Jangan sombong, Siluman Sesat!" "Akan kubuktikan sekarang! Hiaaa...!"

Siluman Hutan Dadak kembali mencelat dengan senjata tongkat bulan sabitnya yang terayun di udara. Sementara Nyai Dinda Dahlia sudah mengambil keputusan untuk memapaki kibasan tongkat bulan sabit Liku Grada.

"Hiaaa...!" Trang! "Aaa...!"

Nyai Dinda Dahlia memekik tertahan ketika tebasan tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak beradu dengan pedangnya.

Tubuh Ketua Perguruan Seribu Bunga seketika terhuyung sejauh dua tombak. Wajahnya menyeringai merasakan nyeri di tangannya. Nyai Dinda Dahlia merasakan sebuah kekuatan telah menelusup melalui tangannya, menebarkan hawa dingin menusuk.

"Ha ha ha. Sudah kubilang, simpan saja mai-

nan anak-anak itu. Jangan kau gunakan untuk menakut-nakuti orang, Dahlia!" ejek Siluman Hutan Dadak.

Ketua Perguruan Seribu Bunga hanya mendengus marah mendengar ejekan yang menyakitkan. Nyai Dinda Dahlia tak mau membalas ejekan itu, karena sedang berusaha mengatasi hawa dingin yang menelusup semakin jauh ke tulang sumsum.

"Kau harus mampus, Dahlia. Bersiaplah!" Tanpa mempedulikan kenyerian yang dialami

Ketua Perguruan Seribu Bunga, Siluman Hutan Dadak melesat, menerjang Nyai Dinda Dahlia dengan tongkat bulan sabit yang mengarah ke batok kepala.

"Hiaaa!"

3

Sosok pemuda berpakaian kuning keemasan yang sejak tadi hanya menjadi penonton, menampakkan wajah cemas. Jaka Sembada yang berjuluk Raja Petir, sejak menyaksikan terdesaknya Ketua Perguruan Seribu Bunga sebenarnya ingin mengambil alih pertarungan. Tapi diurungkan melihat Nyai Dinda Dahlia masih dapat melakukan perlawanan, meski berulangkali direpotkan oleh serangan-serangan dahsyat Siluman Hutan Dadak.

Namun sekarang? Jaka Sembada segera melesat cepat melihat Ketua Perguruan Seribu Bunga tak lagi mampu menghindari serangan Liku Grada. Pada saat-saat kritis seperti itu apa yang dilakukan Raja Petir cukup tepat. Dengan sekali hentakan kaki, tubuhnya telah berada di depan Nyai Dinda Dahlia seraya melakukan gerakan menyampok pergelangan tangan Siluman Hutan Dadak.

"Hiyaaa!" Plak! "Aaa...!"

Liku Grada memekik tertahan saat sebuah kekuatan dahsyat membentur pergelangan tangannya. Dorongan tenaga yang menghantamnya membuat tubuhnya tak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Siluman Hutan Dadak terhuyung empat langkah ke belakang.

Dengan tatapan mata membara dan sebelah tangan mengelus pergelangan tangan lain karena rasa nyeri, Siluman Hutan Dadak mendengus kesal. Dari sela bibirnya keluar desisan berat.

"Hhhsss.... Bocah Edan! Berani benar kau mencampuri urusanku?" sentak Liku Grada, matanya tajam mencorong mencoba menembus kekuatan batin Raja Petir.

"Maaf, kukira persoalan ini bukan lagi urusanmu, Siluman Hutan Dadak. Kalau kau melakukan kelaliman, kau harus berurusan dengan sekelompok orang yang tak suka kelaliman. Termasuk aku!" bantah Jaka Sembada mantap.

"Ngrrrh.... Bicaramu seperti orang bijak yang sebenarnya tak mengenal kebijakan, Anak Setan! Yang kau lakukan tadi sebuah kelancangan, tahu! Dan kelancangan itu harus kau tebus dengan nyawamu!"

"Kurasa tidak begitu, Liku Grada. Aku tak merasa telah melancangi mu. Yang kulakukan tadi hanya kewajiban. Apa aku harus berpangku tangan melihat orang lain ketakutan, membiarkan nyawanya terancam?" tandas Jaka Sembada.

Kalap hati Siluman Hutan Dadak mendengar ucapan pemuda itu, otot-ototnya seketika menegang kaku. Dan mulutnya mengeluarkan desisan kemurkaan.

"Akrrrkh...!"

Liku Grada meraung geram seraya melejit kuat menuju Jaka Sembada. Tangan kiri Siluman Hutan Dadak membentuk cakar kuat. Sementara tangan kanannya yang menggenggam tongkat bulan sabit terangkat ke atas, terayun keras ke batok kepala Raja Petir.

"Hiaaa...!" Bet! Wruuut! "Ups!"

Terkejut juga hari Jaka Sembada merasakan sambaran angin yang melintas lima rambut dari kulit tubuhnya, sebentuk angin dingin yang begitu menusuk menerpa. Raja Petir segera mengerahkan hawa murni untuk mencegah kebekuan otot-otot tubuhnya. Setelah itu melompat ke belakang, mengambil jarak.

"Liku Grada. Aku tak ingin berurusan denganmu. Asalkan kau mau merubah kebiasaanmu, termasuk penyelenggaraan upacara maut. Kuharap kau mau menghentikannya, demi kebaikan kita semua. Kalau kau setuju, kita tak perlu bertarung," bujuk Jaka Sembada.

"Hhh...! Ternyata kau tak sejantan dan sehebat yang kudengar selama ini, Raja Petir. Baru Siluman Hutan Dadak yang kau hadapi, kau sudah khawatir kehilangan nyawa, tanggalkan saja julukanmu itu!" ejek Liku Grada tak sopan.

Raja Petir tidak merasa risih dengan ejekannya yang hanya untuk memancing kemarahan. Dan Jaka Sembada telah menyiapkan balasan yang lebih memerahkan telinga.

"Siluman Hutan Dadak! Kuakui kau memang hebat, namun sayang, kehebatanmu kau rundukkan ke bawah. Kau tak mengakui bahwa di atas langit masih ada langit dan langit. Grada! Kalau kau mampu menundukkan Nyai Dinda Dahlia, bukan berarti kau mampu menundukkan ku. Kemampuanku jauh berada di atasmu, Siluman Hutan Dadak. Kepalaku lebih tinggi kedudukannya darimu," ejek Jaka Sembada.

"Ngrrrhhh...! Bocah besar kepala. Kau telan saja ucapanmu, aku akan menguburmu sekarang juga!"

Siluman Hutan Dadak mencelat cepat, kali ini tenaganya dilipatgandakan untuk menghancurkan kepala Jaka Sembada.

Angin bersiutan menghantar terjangan tongkat bulan sabit Liku Grada, yang dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Begitu dahsyat ayunan tongkat hingga menimbulkan seberkas sinar putih yang meluruk deras ke arah Raja Petir.

Hhhmmm....

Setelah mengukur kekuatan serangan lawan. Raja Petir segera menghindari terjangan senjata Liku Grada. Ringan saja gerakan tokoh muda yang memiliki ilmu kesaktian cukup tinggi itu. Sekali bergerak Jaka Sembada mampu mengambil jarak tiga tombak. Namun tubuhnya kembali dilempar ke kanan ketika sinar putih yang keluar dari logam di ujung tombak Liku Grada meluncur deras ke arahnya.

Jaka Sembada melompat seraya bersalto. Dan pada saat itu, Liku Grada dengan cepat meluruk maju, melancarkan pukulan keras ke punggung Jaka Sembada.

"Hiaaa!" Blagkh!

"Ugkh!"

Raja Petir terhuyung ketika pukulan keras Siluman Hutan Dadak menerjang punggung. Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka tercekat menyaksikan kenyataan itu. Jaka Sembada mampu berdiri tegak kembali.

Hati Nyai Dinda Dahlia, Primaka dan Perwari kagum melihat ilmu yang kini disuguhkan Raja Petir. Sebuah ajian yang bernama 'Aji Bayang-Bayang'.

Berbeda dengan Siluman Hutan Dadak melihat ilmu yang diperlihatkan Raja Petir. Lelaki berpakaian hitam yang berusia setengah abad lebih itu berdiri tegang. Matanya tak berkedip menatap sosok Jaka Sembada yang kini menjadi lima kali lipat banyaknya. Lelaki yang berjuluk Siluman Hutan Dadak itu tengah memilih, mana wujud Jaka Sembada sesungguhnya.

Pada saat itulah, kelima sosok Jaka Sembada meluruk maju bersamaan dengan tangan terkepal, menyerang ulu hati Siluman Hutan Dadak.

Kebingungan seketika melanda hati Liku Grada, karena belum bisa memastikan sosok lawan yang sesungguhnya. Akhirnya, dengan sebisanya lelaki berpakaian hitam dengan senjata tongkat bulan sabit memapaki serangan lawan.

"Hih!" Plasss! "Heh?"

Terkejut bukan main Liku Grada, melihat papakannya hanya membentur bayangan. Dan kesempatan itu dipergunakan Jaka Sembada untuk melancarkan sodokan tangan yang mendarat telak di ulu hati.

Des! "Uuugkhhh...!"

Tubuh Siluman Hutan Dadak terdorong deras. Isi perutnya dirasakannya ingin keluar. Mual dan kepalanya berkunang-kunang.

"Hoeeekh!"

Cairan darah seketika membasahi pakaian Siluman Hutan Dadak yang terjerembab di tanah, wajahnya terlihat pucat.

Sebenarnya mudah bagi Raja Petir untuk kembali melancarkan serangan mematikan ke arah Siluman Hutan Dadak, namun tidak dilakukan Jaka Sembada karena Liku Grada tidak siap tempur. Beberapa saat lamanya Jaka Sembada membiarkan Liku Grada memulihkan diri.

"Kau memang hebat, Raja Petir," ujar Siluman Hutan Dadak parau. "Tapi hanya saat ini, karena aku akan membuat perhitungan denganmu," lanjut Liku Graha.

"Tidak ada yang hebat di muka bumi ini, Liku Grada. Semua makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa pasti akan mati. Kalau sekarang kau kalah, bukan berarti aku hebat, tapi semata karena Yang Maha Kuasa tak mengizinkan perbuatanmu yang di luar batas kemanusiaan. Untuk apa upacara sesat itu kalian lakukan? Kalau untuk memuja sesuatu yang kau anggap sakral, kurasa masih banyak cara lain untuk mengagungkannya."

Bijak perkataan yang keluar dari bibir anak muda berpakaian kuning keemasan.

"Aku tak perlu khotbah mu!" bantah Siluman Hutan Dadak sambil bangkit "Ingat baik-baik, Raja Petir! Aku akan membuat perhitungan atas kekalahan ku ini," lanjut Siluman Hutan Dadak seraya menatap tajam Jaka Sembada.

Dan Jaka Sembada tak membiarkan tatapan penuh bara dendam itu, seraya membalas tatapannya sesungging senyum disuguhkan pada Liku Grada yang kemudian melempar pandangannya pada Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka.

"Kalian juga akan mampus nanti!" ancam Siluman Hutan Dadak.

Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka tidak menanggapi ancaman Siluman Hutan Dadak yang diucapkan dengan dendam membara. Ketiga orang yang telah diselamatkan Raja Petir hanya menatap Liku Grada. Beberapa saat kemudian, Siluman Hutan Dadak bergerak pergi.

"Ingat! Kalian pasti akan kubuat mampus!" Kembali ancaman Siluman Hutan Dadak ter-

dengar.

4

Sore nampak semakin senja, dan warna jingga menyemburat di kaki langit. Angin yang berhembus dingin seolah memperingatkan Raja Petir dan Nyai Dinda Dahlia mengenai rencana mereka.

"Tak perlu dipikirkan sekali ancaman itu, Nyai," ujar Raja Petir setelah beberapa saat tubuh Siluman Hutan Dadak lenyap.

"Aku sedang memikirkan keselamatan Wulan Sari, Jaka," kilah Nyai Dinda Dahlia.

"Upacara maut tidak akan dilaksanakan tanpa kelengkapan persyaratan yang diperlukan. Menurutku, orang-orang gila yang melaksanakan upacara itu belum berhasil mendapatkan semua gadis yang diperlukan. Buktinya, Perwari belum di tangan mereka. Mudah-mudahan begitu juga dengan putri Ki Jatirama," hibur Jaka Sembada.

"Ah"

Nyai Dinda Dahlia seperti dikejutkan dengan sesuatu.

"Apa kita akan meneruskan perjalanan malam ini, Jaka?"

"Malam baru saja datang, Nyai. Kita masih mempunyai kesempatan datang ke Perguruan Sakajati. Kurasa perguruan itu tak begitu jauh dari sini," jawab Jaka Sembada.

"Lalu bagaimana dengan Perwari dan Primaka?" tanya Nyai Dinda Dahlia.

"Kami ikut Nyai dan Raja Petir," jawab Perwari mendahului. "Barangkali tenaga kami diperlukan, selain itu kami juga ingin ikut serta mencegah pelaksanaan upacara maut"

"Baiklah kalau begitu. Tapi kita harus mengeluarkan tenaga lebih agar cepat sampai di Perguruan Sakajati," ujar Jaka Sembada.

"Aku mengerti," sahut Nyai Dinda Dahlia, "Ayo,

Hup!"

Perempuan setengah baya itu menghentakkan

kaki. Begitu sederhana gerakan Ketua Perguruan Seribu Bunga, namun membawanya melesat cepat meninggalkan Jaka Sembada, Perwari dan Primaka.

"Ayo Perwari, Primaka," ajak Jaka Sembada seraya bergerak menyusul Nyai Dinda Dahlia yang berada tujuh tombak di depan.

Perwari dan Primaka tak mau ketinggalan, dengan ringan keduanya berkelebat menyusul Nyai Dinda Dahlia dan Raja Petir.

***

Suasana terang-benderang terlihat dari jarak puluhan tombak. Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia segera menghentikan langkahnya. Dan wajah cemas Nyai Dinda Dahlia ditujukan pada Jaka Sembada, begitu juga Primaka dan Perwari.

"Ah! Kita terlambat, Nyai," sesal Jaka Sembada seraya memandang Nyai Dinda Dahlia.

Perempuan itu menatap langit yang menyemburat merah karena kobaran api.

"Kau yakin kobaran api itu berasal dari bangunan Perguruan Sakajati?"

"Aku yakin sekali, menurut Paman Gumai Gumarang letak Perguruan Sakajati memang di situ. Ayo kita ke sana, barangkali masih ada nyawa yang bisa kita selamatkan," ajak Jaka Sembada lalu bergerak melangkah.

Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka mengikuti dari belakang.

Braaakkk! "Ikh!"

Jaka Sembada menggereng kesal seiring dengan runtuhnya bangunan utama Perguruan Sakajati. Namun kekesalan tidak membuatnya terpaku, memandangi Perguruan Sakajati yang porak-poranda dimakan api. Jaka Sembada bergerak cepat menembus kobaran api yang sudah agak reda. Api menjilati sisasisa bangunan yang mudah terbakar.

Pemuda itu coba mengamati mayat-mayat yang bergeletakan, mereka adalah murid-murid Perguruan Sakajati.

"Ukh!"

Kembali Jaka Sembada menggeram marah mendapatkan tubuh-tubuh yang tak bernyawa. Betapa keji perbuatan ini, bisik pemuda itu dalam hati. Jaka Sembada menduga yang melakukan kekejian ini adalah orang-orang yang bermaksud melaksanakan upacara maut. Dugaannya itu didasarkan pada kenyataan bahwa Ketua Perguruan Sakajati menerima surat dari mereka.

"Akh!"

Jaka Sembada tersentak mendengar suara dari selatan bangunan Perguruan Sakajati. Bergegas Raja Petir mendatangi tempat suara itu datang. Dan pemuda itu terdiam tak mengerti, melihat Nyai Dinda Dahlia membiarkan lelaki tua berpakaian putih tergeletak dengan tubuh penuh luka, di beberapa bagian tubuhnya terdapat bercak-bercak hitam.

"Akh! Kaukah, Ki Jatirama?" tanya Jaka Sembada sambil mendekati lelaki tua berpakaian putih.

Di luar dugaan, lelaki yang memang Ki Jatirama ketua Perguruan Sakajati mengangkat tangan dengan telapak tidak terbuka penuh.

Jaka Sembada dapat membaca isyarat Ki Jatirama, langkahnya segera terhenti.

"Jangan sentuh aku, Anak Muda," terbata ucapan yang keluar dari mulut Ki Jatirama.

"Apakah yang melakukan semua ini orangorang gila yang hendak melaksanakan upacara maut Ki?"

Agak terbelalak mata ketua Perguruan Sakajati mendengar pertanyaan Jaka Sembada. Namun hanya sesaat, kemudian selang setegukan teh, mata Ki Jatirama menatap redup Jaka Sembada.

"Ciri-ciri mu mirip dengan yang kudengar dari orang-orang persilatan, Anak Muda. Apakah kau yang berjuluk Raja Petir?" dengan susah payah Ketua Perguruan Saka Jati bertanya pada Jaka Sembada.

"Ah, namaku Jaka Sembada, Ki. Apakah kau, Ki Jatirama?"

"Dari siapa kau tahu namaku, Raja Petir?" selidik ketua Perguruan Sakajati.

"Dari Paman Gumai Gumarang." Kembali mata Ki Jatirama terbelalak.

"Adi Gumai Gumarang?" ulang Ki Jatirama, "Apa hubunganmu dengannya?"

"Sebaiknya kita urusi luka-lukamu lebih dahulu, Ki. Barangkali aku bisa mengobatinya," usul Jaka Sembada.

"Aku terkena pukulan 'Bisa Kala Hitam' milik Pangeran Kala Hitam, Raja Petir. Tanpa ku telan anti pukulan beracun itu, mustahil bagiku dapat melihat dunia sampai esok matahari terbit," jawab Ki Jatirama. Ki Jatirama tidak bermaksud menolak niat baik

Jaka Sembada, laki-laki berusia lebih enam puluh tahun itu hanya khawatir jika racun ganas yang ada di tubuhnya menjalar ke tubuh anak muda berpakaian kuning keemasan yang dikenal dengan julukan Raja Petir.

"Maaf, Ki Jatirama. Menurutku, tidak ada seorang manusia pun yang mampu mendahului kodrat sang Pencipta Jagat Semesta, termasuk Pangeran Kala Hitam. Meski menurutnya racun itu tidak akan membuat manusia bertahan hidup, namun itu bukan hal yang mustahil bagi Dia yang memiliki roh abadi. Asalkan kita mau berusaha dan tidak melupakan kebesaranNya. Aku menolongmu, bukan karena merasa mampu melakukan, tapi karena mengharap kebesaran sang Pencipta Alam Raya," ucap Jaka Sembada dengan tatapan yang tak lepas dari wajah Ki Jatirama.

Ki Jatirama tidak pernah menduga ucapan seperti itu keluar dari lelaki yang begitu muda usia, lelaki berjuluk Raja Petir yang belakangan ini sering disebut-sebut tokoh persilatan. Dalam hati lelaki itu menyesali diri, karena termakan ucapan Pangeran Kala Hitam akan keganasan pukulan 'Bisa Kala Hitam'. Ki Jatirama pun menyesali kepasrahannya pada keadaan, tanpa berusaha mencari jalan keluar.

"Bersiaplah, Ki. Mudah-mudahan aku dapat menjinakkan racun ganas yang berada di tubuhmu," ujar Raja Petir membangunkan Ki Jatirama dari penyesalannya.

Ki Jatirama menggerakkan badan sedikit mendengar ucapan Jaka Sembada. Dengan tatapan mata lurus ke depan, laki-laki tua pemimpin Perguruan Sakajati memperhatikan tindakan Jaka Sembada.

Ki Jatirama terkejut melihat perubahan pada diri pemuda di hadapannya. Seluruh kepala hingga dada terbalut sinar kurang keemasan, begitu pula dari lutut hingga ujung kakinya. Cukup membuat Ki Jatirama semakin terperangah. Dan ketika selarik sinar kuning meluncur dari rentangan tangan Raja Petir, Ki Jatirama terlonjak.

"Aaakh...!"

Selarik sinar kuning keemasan yang keluar dari rentangan tangan Raja Petit membungkus tubuh tua Ki Jatirama. Lelaki itu tidak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak menahan rasa sakit yang sangat

Yang barusan dilakukan Raja Petir adalah serangkaian ajian 'Kukuh Karang'. Ajian itu berfungsi untuk melumpuhkan berbagai jenis racun ganas.

Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan Primaka memandang kagum aji 'Kukuh Karang' Jaka Sembada. Dengan mata terus tertuju ke tubuh Ki Jatirama ketiganya menunggu kejadian selanjutnya.

"Aaa...!"

"Hoeeekh!"

Seiring dengan lenyapnya sinar kuning yang membalut tubuh Ki Jatirama, jeritan menyayat dan muntahan darah kental kehitaman keluar dari mulut lelaki itu. Membuat Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan Primaka terkejut sekaligus khawatir dengan keselamatan Ki Jatirama.

Lain halnya dengan Jaka Sembada. Pemuda yang berjuluk Raja Petir itu bersyukur pada sang Pencipta Jagat Semesta yang telah mengabulkan permohonannya.

"Sebaiknya Ki Jatirama kita bawa ke rumahmu, Nyai," usul Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia tidak segera menyahut Ketua Perguruan Seribu Bunga itu masih terpaku memandangi tubuh Ki Jatirama yang tergeletak diam.

"Ki Jatirama hanya pingsan, Nyai," ujar Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia segera menatap wajah Jaka Sembada dengan penuh kekaguman.

"Sebaiknya memang begitu, Jaka Sembada. Mudah-mudahan luka luar yang diderita Ki Jatirama bisa sembuh dalam waktu singkat. Agar dapat membantu kita memerangi orang-orang yang ingin melaksanakan upacara maut"

"Semoga Ki Jatirama cepat sembuh dan dapat membantu kita, Nyai. Aku yakin, kebatilan tidak akan seterusnya menang."

5

Pagi di kaki Gunung Kumborang  nampak sunyi. Kabut yang turun samar-samar, menebar hawa dingin menusuk kulit. Namun kesunyian itu terusik oleh teriakan dua gadis, yang berada di pundak dua lelaki berpakaian merah dan hitam.

"Lepaskan aku, Lelaki Setan! Lepaskan aku!" teriak gadis berpakaian biru muda yang dipanggul lelaki berpakaian merah.

Berkali-kali gadis muda itu berteriak-teriak lantang menggiriskan hari, tapi sia-sia saja teriakannya. Laki-laki yang memanggulnya, Ki Kustara, hanya menanggapi teriakan itu dengan kekehan yang terputusputus.

"Hik hik hik...! Aku akan melepaskanmu setelah kita berada di puncak Gunung Kumborang, Anak Manis. Bersabarlah sedikit," ujar Ki Kustara yang dikalangan rimba persilatan berjuluk Setan Rimba Bangkai.

Gadis muda yang tak lain Seriti terus berteriakteriak. Cucu Ketua Perguruan Sakajati itu sedikit pun tak mampu menggerakkan tubuhnya yang tertotok.

Perbuatan Seriti dilakukan juga oleh saudara kembarnya. Dengan tubuh yang tak mampu digerakkan Ratih berteriak-teriak.

Seperti Setan Rimba Bangkai, Kindang Supa pun tidak menurunkan gadis yang dipanggulnya. Lelaki yang berjuluk Pangeran Kala Hitam menimpahnya dengan tawa kegirangan sambil sesekali menepuk pinggul Ratih.

"Ha... ha... ha.... Sabar Dara Kemayu, sabar. Kau akan kuturunkan setelah berada di puncak nanti," kata Kindang Supa sambil melirik ke arah Ki Kustara.

Ki Kustara membalas isyaratnya dengan menghentakkan kaki kuat-kuat, lalu melenting indah beberapa kali. Setan Rimba Bangkai kembali menotolkan kaki saat menjejak perut Gunung Kumborang. Berkalikali gerakan-gerakan lincah itu dilakukan Ki Kustara, hingga dirinya nampak seperti segumpal kapas yang diterbangkan angin.

Seriti yang ada di panggulan Ki Kustara tentu saja merasakan kengerian yang sangat, cucu Ki Jatirama itu hanya dapat memejamkan mata. Tak dapat dibayangkan jika dirinya terhempas dari ketinggian Gunung Kumborang.

Begitu juga yang dialami Ratih. Dengan memejamkan mata dan menguatkan hati, Ratih memasrahkan diri.

"Ha ha ha, sekarang bukalah matamu, Anak Manis. Kita sudah berada di puncak gunung, kau tak perlu takut," ucap Ki Kustara.

Ki Kustara segera menurunkan gadis yang dipanggulnya, begitu juga Kindang Supa. Namun kedua lelaki itu belum melepas totokannya.

"Mengapa kalian membawa kami ke sini?" tanya Seriti marah.

"Kami memerlukan kalian, Anak Manis," jawab Kindang Supa.

"Ya. Dan kami sudah minta izin pada kakek kalian, Ki Jatirama," tambah Ki Kustara.

"Kalian, Iblis Keji!" maid Ratih lantang, matanya memandang tajam ke Kindang Supa dan Ki Kustara berganti-ganti.

"Sebenarnya kami tak bermaksud membunuh kakek kalian, Ki Jatirama menginginkan kematiannya. Kalian berdua tahu aku minta secara baik-baik, tapi Ki Jatirama menghinaku. Tentu saja aku marah, apa kalian mau dikatakan orang kurang waras?" dalih Kindang Supa.

"Kalian memang orang sinting!" jawab Ratih ketus, "Kalau kalian waras, untuk apa melaksanakan upacara gila?"

"Kau tidak mengerti arti penting upacara maut, Anak Manis," ujar Ki Kustara.

"Di situlah letak kesintingan kalian!"

"Jangan membuatku marah, Seriti!" bentak Kindang Supa tak sabar.

Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Pangeran Kala Hitam menatap tajam wajah Seriti.

"Aku bisa membunuhmu sekarang juga, jika aku mau!" ancam Pangeran Kala Hitam.

"Lakukanlah! Kurasa itu lebih baik," tantang

Ratih.

Kindang Supa hanya dapat menggeretakkan gi-

gi mendengar ucapan Ratih, apalagi setelah dilihat Ki Kustara menatapnya tajam.

"Sabarlah, Kindang. Biarlah gadis-gadis itu berkata seenak perutnya. Mereka kini berada dalam kekuasaan kita, berarti pelaksanaan upacara maut tinggal menunggu waktu saja," tahan Setan Rimba Bangkai.

"Sekarang kita temui Laras Nini, Laras Dewi, dan Liku Grada. Barangkali mereka sudah berhasil menjalankan tugas."

Lelaki berpakaian merah dengan senjata pedang tumpul tertera menyilang di dada, segera melesat menyambar tubuh Seriti. Demikian juga Kindang Supa. Keduanya berlari ke utara puncak Gunung Kumborang dengan memanggul dua korbannya.

***

"Apa?! Raja Petir berhasil menggagalkan usahamu?" Keras pertanyaan Setan Rimba Bangkai setelah meletakkan tubuh gadis kembar cucu Ki Jatirama.

Wajah Ki Kustara nampak merah padam menahan marah.

Siluman Hutan Dadak tidak segera menjawab. Liku Grada tengah membayangkan wajah lelaki muda berpakaian kuning keemasan, lelaki yang berjuluk Raja Petir yang telah menggagalkan usahanya.

"Kau bukan anak kemarin sore, Siluman Hutan Dadak," perlahan ucapan yang keluar dari mulut Setan Rimba Bangkai "Aku tak habis pikir, kau menyerah di tangan anak ingusan macam Raja Petir," lanjut Ki Kustara dengan tatapan menusuk mata.

"Semula aku menganggapnya demikian, Ki," bantah Liku Grada. "Namun ternyata pemuda itu memiliki kesaktian cukup tinggi, seperti cerita yang pernah kudengar dari tokoh-tokoh kalangan persilatan."

"Hmmm"

"Apa yang dialami Kakang Liku Grada mungkin saja, Ki. Kudengar Raja Petir memang memiliki ilmu kesaktian yang cukup tinggi. Ah! Aku jadi makin penasaran untuk menjajal kemampuannya," timpal Laras Nini seraya mengacungkan kepalanya tinggi-tinggi.

"Aku juga pernah mendengar kehebatan pemuda itu, Nini. Tapi untuk mengalahkan Liku Grada tidak semudah membalik telapak tangan," sangkal Ki Kustara.

"Kenyataannya Kakang Liku Grada berhasil dilumpuhkan. Cukup sebagai bukti kesaktian Raja Petir di atas Kakang Liku Grada. Sebaiknya kita bereskan dulu pemuda usil itu, Ki," usul Laras Dewi.

"Raja Petir...?" gumam Ki Kustara perlahan. "Bagaimana menurutmu, Kindang?"

Pangeran Kala Hitam tidak segera menjawab. Mata lelaki itu menatap wajah Dewi Racun Kembar dan Liku Grada bergantian.

"Menurutku, lebih baik kita mencari pengganti gadis yang gagal dibawa Adi Grada, Ki," jawab Pangeran Kala Hitam.

"Alasanmu?"

"Jika persyaratan upacara maut sudah terpenuhi, kita bisa segera melaksanakan upacara, Ki. Mengenai Raja Petir, kalau ia memang tidak suka pasti akan datang menemui kita untuk membebaskan daradara persembahan. Sementara gadis-gadis itu sudah kita korbankan sebagai sesaji," papar Pangeran Kala Hitam.

"Menurutku saran Kakang Kindang bagus, Ki. Biar aku yang mencari gadis pengganti. Kali ini aku harus berhasil!" ujar Siluman Hutan Dadak memberi pendapat.

"Bagaimana jika Raja Petir kembali menghalangi maksudmu, Liku Grada?" tanya Ki Kustara malah balik bertanya.

Liku Grada, alias Siluman Hutan Dadak marah mendengar pertanyaan yang bernada meremehkan itu. Tangan lelaki yang memegang tongkat bulat sabit nampak menegang.

"Jangan meremehkan ku, Ki," ketus ucapan Liku Grada. "Jika kemarin aku berhasil dikalahkan, bukan berarti sekarang aku harus kalah lagi. Kekalahan ku kemarin karena aku meremehkannya, tapi sekarang Dengar Ki Kustara! Aku akan mempertaruhkan

nyawa untuk mendapatkan gadis pengganti putri Wujang Kanta."

"Kupegang ucapanmu, Siluman Hutan Dadak," ujar Ki Kustara. "Carilah gadis pengganti yang urung kau dapatkan itu!"

"Tentu, Ki! Aku tak akan kembali ke puncak Gunung Kumborang sebelum mendapatkan gadis pengganti. Aku berangkat sekarang!"

Tanpa menunggu perintah Setan Rimba Bangkai, Liku Grada melesat cepat menuruni puncak Gunung Kumborang. Berkat ketinggian ilmu meringankan tubuh, lelaki bertubuh sedang itu tak menemui kesulitan mencapai kaki gunung dalam waktu singkat.

Sementara pagi sudah berganti siang. Ki Kustara, Kindang Supa, dan Dewi Racun Kembar memandangi gadis-gadis yang akan dijadikan persembahan dalam upacara maut Gadis-gadis putri tokoh-tokoh persilatan golongan putih yang berwajah cantik-cantik. "Sekarang kalian akan kubebaskan dari toto kanku, Anak Manis. Bergabunglah dengan teman-

temanmu," ucap Ki Kustara.

Lelaki tua berusia enam puluh tahun lebih itu tiba-tiba bergerak cepat Dan....

Tuk! Tuk! "Aaa !"

Teriakan kaget terdengar saling susul. Ratih dan Seriti menggelinjang sesaat. Pada saat berikutnya mereka sudah mampu bangkit berdiri.

"Nah! Sekarang lakukan, apa yang ingin kalian lakukan. Melampiaskan kekecewaan, kekesalan, dendam atau yang lainnya. Silakan lakukan, jangan sungkan-sungkan," ujar Ki Kustara.

Kedua gadis itu hanya menatap tajam Setan Rimba Bangkai.

"Jangan menatap ku seperti itu, Anak Manis. Bukankah aku telah memberi kebebasan pada kalian?" "Kau memang iblis! Untuk apa kami dikumpul-

kan seperti ini?" sentak Seriti keras.

Ki Kustara tersenyum mendengar pertanyaan itu. Setan Rimba Bangkai hanya menatap Seriti dan Ratih berganti-ganti.

"Sebenarnya tak ada maksud tersembunyi dari upacara maut yang sebentar lagi dilaksanakan, Anak Manis," Jawab Ki Kustara. "Terus terang kukatakan maksud upacara itu hanya untuk merongrong ketenangan tokoh-tokoh persilatan golongan putih, tokohtokoh yang senang bicara soal kesucian dan kebenaran."

"Kau tidak berhak merongrong ketenangan hidup mereka, Setan Tua!" bentak Ratih.

"Siapa bilang? Aku punya hak merongrong mereka, seperti juga mereka suka mengusik kesenangan kami," bantah Setan Rimba Bangkai.

"Mereka mengusik karena merasa terusik!" balas Seriti.

"Ah! Kau tahu apa, Bocah Ingusan. Aku lebih tahu dari kalian, bagaimana orang-orang golongan putih yang berlagak suci itu, coba-coba jadi pahlawan dengan memerangi kebatilan. Padahal diri mereka sendiri dipenuhi nafsu serakah. Aku dendam karena mereka telah melenyapkan seluruh keluargaku. Itulah persoalannya!"

"Tapi kenapa kau bawa-bawa kami, yang tak tahu apa-apa?" tanya Ratih.

"Sudah kubilang, aku hanya ingin merongrong ketenangan hidup tokoh-tokoh golongan putih!" bentak Ki Kustara keras.

"Kalian bukan hanya merongrong, tapi telah melakukan pembantaian pada Perguruan Sakajati!" balas Seriti tak kalah keras.

"Itu karena Ki Jatirama tak mengindahkan keinginanku," kilah Ki Kustara.

"Karena kau orang gila, Kustara!"

"Jangan kurang ajar padaku!"

Tubuh Ratih terjajar empat langkah ketika tangan Setan Rimba Bangkai menghajar raut wajahnya.

"Ayo! Bicaralah seenakmu, biar kupenggal kepalamu sekarang juga!" hardik Setan Rimba Bangkai.

Wajah Ratih memerah, sedang Seriti hanya menahan kegeraman melihat tingkah Ki Kustara yang telah meloloskan pedang tumpul dari warangka yang menyilang di dadanya.

"Nini, Dewi! Ikat kedua gadis kurang ajar itu, satukan dengan yang lain!" perintah Ki Kustara pada Dewi Racun Kembar.

Dewi Racun Kembar dengan sigap menjalankan perintah Setan Rimba Bangkai. Sekali saja Laras Nini dan Laras Dewi menghentak kaki, tubuh keduanya melesat ke arah Seriti dan Ratih.

Tuk! Tuk! "Akh!"

Kedua gadis itu terjungkal seketika, terkena totokan Dewi Racun Kembar. Tubuh cucu Ki Jatirama tak dapat berbuat apa-apa ketika Dewi Racun Kembar membopongnya, dan memasukkan ke kerangkeng yang telah dihuni dua gadis cantik seusia mereka.

"Keluarkan aku, Setan!" teriak Ratih. Namun teriakannya sia-sia saja karena Dewi Racun Kembar pergi meninggalkannya.

6

Suasana sore nampak begitu indah. Angin bertiup semilir ditingkahi suara burung-burung kecil bercericit, berlompatan dari dahan ke dahan. Dari kejauhan nampak tiga sosok tubuh tengah menikmati udara sore. Mereka adalah seorang gadis muda yang cantik jelita dan dua lelaki bertubuh tinggi tegap yang bisa dipastikan pengawal gadis cantik berpakaian merah muda.

"Seekor kijang muda dan lima ekor kelinci membuatku sangat bahagia hari ini, Kakang Prasena," kata gadis cantik seraya mengangkat seekor kelinci.

"Aku pun begitu, Paraswari," timpal lelaki yang dipanggil Prasena. "Namun aku lebih bahagia lagi melihat kemajuan kepandaian memanah mu," tambah Prasena dengan senyum terkembang.

"Ah! Itu berkat Kakang Prasena dan Kakang Nilunja," kilah Paraswari sambil menoleh pada lelaki tegap yang berdiri di kiri Prasena.

"Bukan karena kami, Paraswari. Tapi karena kau punya bakat kuat dan ketekunan dalam mempelajari ilmu panah," bantah Nilunja.

Paraswari tersenyum mendengar pujian Nilunja. Namun senyum Paraswari terhenti oleh kedatangan lelaki berpakaian hitam yang memegang tongkat berkepala bulan sabit. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Liku Grada alias Siluman Hutan Dadak.

Kehadiran Liku Grada dengan tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam, membuat Paraswari dan kedua pengawalnya menutup telinga. Beruntung tawa Liku Grada tak berlangsung lama, hingga mereka terbebas dari suara yang membuat gendang telinga berdengung hebat

"Siapa kau, Kisanak? Mengapa kau mengusik kebahagiaan kami?" tanya Prasena dengan tatapan mata tajam menusuk, wajahnya nampak tegang pertanda kemarahan yang ditahan.

"Aku Liku Grada, tapi aku lebih senang dipanggil Siluman Hutan Dadak," jawab Liku Grada tenang, tatapan matanya menelusuri sekujur tubuh Paraswari. "Hmmm.... Kau cantik sekali," ucap Siluman

Hutan Dadak tertuju pada Paraswari.

"Maaf, Liku Grada. Aku tak punya banyak waktu berbincang-bincang denganmu, terimakasih atas pujian mu," balas Paraswari sambil memberi isyarat pada Prasena dan Nilunja untuk meninggalkan Liku Grada.

"Eit, tunggu dulu, Nisanak," tahan Siluman Hutan Dadak. "Aku belum mengenal kalian, kenapa kalian pergi begitu saja dari hadapanku?"

"Sudah kubilang, aku tak punya banyak waktu," tolak Paraswari.

"Jangan sombong begitu, Nisanak."

Siluman Hutan Dadak mencoba mencekal tangan Paraswari, tapi gadis berpakaian merah muda itu lebih dahulu menghindar.

"Kuperingatkan kau, Liku Grada! Jangan berbuat kurang ajar pada putri majikanku!" ancam Nilunja seraya menuding wajah Siluman Hutan Dadak.

Liku Grada terkekeh mendengar ancaman itu. "Terhadap majikanmu pun aku berani berbuat

kurang ajar, Kisanak," kilah Liku Grada mantap.

Nilunja tersentak mendengar ucapan Liku Grada. Dengan wajah memerah, Nilunja kembali memperingatkan Liku Grada.

"Kalau kau masih bicara tidak sopan, jangan salahkan jika kurobek mulutmu!"

"Heh?! Apa kau bisa melakukan itu padaku?" ejek Siluman Hutan Dadak dengan mencibirkan bibir.

"Kurang ajar! Ku sobek mulutmu!"

Seiring dengan ucapannya, tubuh Nilunja bergerak cepat mengirimkan serangan. Tangan terkepal kuat terarah ke mulut Siluman Hutan Dadak.

Melihat Nilunja merangsek maju, Liku Grada segera mengambil sikap hati-hati karena belum dapat mengukur kekuatan tenaga dalam lawan.

Wuuut! "Eits!"

Liku Grada segera menarik kepalanya ke belakang menghindari tonjokan Nilunja. Dari angin keras yang mengibarkan rambutnya, Siluman Hutan Dadak dapat mengukur kekuatan tenaga dalam lawan. Maka ketika serangan kembali datang, Liku Grada menangkis dengan tangan kiri.

Trak!

Siluman Hutan Dadak terjajar selangkah setelah benturan keras terjadi, sedikit rasa linu menjalari tangan kirinya.

Sementara Nilunja terjajar lima langkah. Tangannya yang membentur tangan Liku Grada rasanya seperti lumpuh. Cukup memberi gambaran tenaga dalam Nilunja di bawah Siluman Hutan Dadak.

Prasena yang menyaksikan kejadian itu menjadi terkejut. Pemuda itu tak menyangka Nilunja kalah dalam mengadu tenaga dalam, padahal Prasena tahu. Nilunja memiliki tenaga dalam yang patut diperhitungkan.

"Liku Grada, kurasa antara kita tak ada permusuhan, lalu kenapa kau berlaku seperti itu pada kami?" tanya Prasena dengan setenang mungkin.

"Antara kita memang tidak ada satu urusan, Kisanak. Namun sekarang aku mempunyai keperluan dengan kalian, terutama dengan gadis cantik itu," jawab Liku Grada sambil menunjuk Paraswari.

"Keperluan apakah itu, Liku Grada?" tanya Pra-

sena. "Aku ingin membawa putri majikanmu ke puncak Gunung Kumborang," jawab Liku Grada.

Prasena, Paraswari, dan Nilunja tentu saja terkejut mendengar jawaban Siluman Hutan Dadak. Dengan wajah tegang mereka menatap wajah Liku Grada.

"Mau apa kau membawaku ke puncak Gunung Kumborang?" selidik Paraswari.

"Nanti kau akan mengetahuinya, Nisanak," jawab Liku Grada.

"Kalau kau tidak mau menyebutkan tujuanmu membawaku ke Gunung Kumborang, aku tak akan meluluskan permintaanmu," tekan Paraswari.

"Setelah kukatakan, apakah kau mau ikut denganku?"

"Tergantung kepentinganmu, Liku Grada. Aku akan mempertimbangkan kewajarannya."

"Baiklah," putus Liku Grada. "Di puncak Gunung Kumborang kami akan melaksanakan upacara maut. Sebagai persembahannya, kami membutuhkan gadis seperti kau, Nisanak."

Bagai tersengat ribuan lebah Paraswari, Prasena, dan Nilunja mendengar jawaban Liku Grada.

Mereka saling berpandangan heran.

"Itu permintaan gila, Liku Grada!" bantah Pra-

sena.

"Ya, itu keinginan gila. Aku tak mungkin me-

menuhinya," tambah Paraswari.

"Bagaimana kalau aku tetap memaksa?" tawar Liku Grada.

"Kau langkahi dulu mayat kami," jawab Prasena dan Nilunja bersamaan.

"Baik," ujar Liku Grada. "Aku tidak hanya akan melangkahi mayat kalian, lebih dari itu pun aku bisa."

"Sombong!" sahut Nilunja. "Bersiaplah!"

Siluman Hutan Dadak segera mengambil ancang-ancang melakukan serangan. Kedua kakinya membentuk kuda-kuda rendah kokoh berpijak. Maka ketika kaki belakang dihentakkan kuat-kuat, tubuh Liku Grada melesat dengan jari-jari tangan terbuka mengancam pelipis Prasena dan Nilunja.

Melihat gerakan Liku Grada yang cukup berbahaya, Prasena dan Nilunja segera berpencar. Gerakan menghindar yang tak kalah cepat, dilakukan kedua pengawal Paraswari. Karuan saja serangan yang dilakukan Siluman Hutan Dadak menemui tempat kosong. Namun gerakan Siluman Hutan Dadak yang cepat dan tak terduga kembali dilakukan, kali ini Prasena yang menjadi sasaran.

Untuk menghindari pukulan Liku Grada, dengan terpaksa Prasena membanting tubuh ke kanan dan melakukan totolan melalui tangan. Tubuh Prasena melenting dan melakukan putaran dua kali.

Siluman Hutan Dadak yang melihat titik lemah Prasena kembali bergerak cepat. Dengan melakukan jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa' Siluman Hutan Dadak mengejar tubuh lawannya.

"Hiaaa...!" Bret! "Aaakh!"

Tubuh Prasena terdorong keras dihantam terkaman lurus jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa'. Tubuh yang terbungkus pakaian hijau itu kemudian terbanting di tanah dengan luka di perut yang mengucurkan darah.

"Hahaha.... Rupanya hanya sampai di situ kemampuan yang kau miliki, Kisanak. Aku akan menunjukkan kemampuanku yang lebih dahsyat dapat mengantar nyawamu lebih cepat menemui malaikat maut" kata Liku Grada.

Laki-laki itu memang tidak main-main dengan ucapannya. Meski tahu Prasena terluka parah, Siluman Hutan Dadak tetap berkelebat dengan senjata tongkat bulan sabit yang terayun di atas kepala.

Paraswari dan Nilunja terkejut menyaksikan tindakan Liku Grada. Maka tanpa membuang waktu lagi Paraswari segera membidikkan anak panahnya ke tubuh Siluman Hutan Dadak yang tengah melayang ke arah Prasena.

"Hih!" Twiiing..!

Anak panah yang terlepas dengan kekuatan tarikan penuh, meluruk deras mengancam tubuh Liku Grada. Namun kepekaan Siluman Hutan Dadak memberitahu bahaya yang mengancam dari belakang.

Liku Grada tentu saja tak ingin mati konyol terkena panah Paraswari, maka diputuskannya tidak menangkis luncuran anak panah itu Liku Grada memilih menghindar dengan melempar tubuhnya ke arah yang berlawanan, lalu dengan gerakan ringan menotol tanah seraya melakukan lentingan dua kali.

"Setan!" maki Liku Grada geram.

Ditatapnya wajah Paraswari dengan pandangan menusuk.

"Kali ini aku tidak main-main! Kalian harus mampus. Dan kau, Nisanak! Akan kubawa ke puncak Gunung Kumborang!"

Liku Grada kembali mengangkat tombak yang di bagian ujungnya terdapat sebuah logam berbentuk bulan sabit Seluruh otot Siluman Hutan Dadak menegang. Dan giginya bergeletukan.

Paraswari dan Nilunja bersiap-siap menghadapi

serangan yang mungkin lebih dahsyat. "Hiyaaa...!"

Wruuut! Wusss!

Tanpa menggeser letak kaki Siluman Hutan Dadak mengebutkan tongkat bulan sabit hingga tercipta selarik sinar putih yang meluruk deras ke arah Nilunja dan Prasena.

Sinar putih yang menebarkan hawa panas itu meluruk dengan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa. Paraswari dan Nilunja yang mengetahui hal itu terkejut bukan main.

Nilunja segera menghentakkan kaki dan berputaran di udara dua kali untuk menghindar. Tetapi tidak dengan Prasena, lelaki yang terluka parah itu tak lagi mampu menghindar.

Brasss...!

"Aaakh!"

Jerit kematian terdengar bersamaan dengan terpentalnya Prasena dengan wajah terbakar. Prasena hanya mampu menggeliat sebentar lalu nyawanya terpisah dari raga.

Nilunja menyaksikan kematian Prasena murka bukan main. Tanpa mempedulikan keselamatannya, Nilunja meluruk maju menerjang Siluman Hutan Dadak dengan senjata terhunus.

"Mampus kau, Siluman Gila!" bentak Nilunja sambil membabatkan senjata ke leher Liku Grada.

Liku Grada tidak menganggap remeh serangan lawan. Dengan cepat ditariknya leher ke belakang.

Wuuut!

Serangan Nilunja lewat beberapa rambut dari tenggorokan Liku Grada. Pada saat itulah kejelian Siluman Hutan Dadak memegang peranan. Ketika dilihatnya pertahanan Nilunja kosong, lelaki itu menggedor keras dada lawan. Akibatnya....

Blaaagkh! "Huaaak!"

Gedoran keras Liku Grada mendarat persis di dada Nilunja. Tak urung tubuh pengawal Paraswari terpental sejauh dua tombak. Darah segar muncrat dari mulutnya.

"Kakang Nilunja!" pekik Paraswari. "Ha ha ha !"

Liku Grada terkekeh menyaksikan tubuh lawan tidak mampu bangkit.

"Tak perlu diratapi orang yang sudah mati, Nisanak. Lebih baik kau ikut bersamaku ke puncak Gunung Kumborang," pinta Liku Grada setelah tawanya lenyap.

Paraswari menoleh, matanya jalang merayapi wajah Liku Grada.

"Lelaki Keparat!" maid Paraswari. "Kau telah membunuh orang kepercayaan ku, maka kau harus menebusnya dengan nyawamu!"

"Ha ha ha...! Kamu tak akan bisa membuktikan perkataan mu, Nisanak. Daripada kau buang-buang tenaga percuma, bukankah lebih dari kau menuruti keinginanku," tukas Liku Grada dengan mata mengerling genit.

"Cuh! Aku tak rela menuruti keinginan gilamu.

Aku akan membunuhmu!"

Paraswari segera meraih anak panah yang masih tersisa. Dengan cepat anak panah itu diselipkan, kemudian dilepas kuat-kuat ke tubuh Siluman Hutan Dadak. Lelaki itu siap menyambut kedatangan anak panah dengan putaran tongkatnya.

Twiiing,..! Wuuuk! Wuuuk!

Trak!

Satu anak panah dengan mudah dapat dipatahkan, begitu juga anak panah yang lain. Paraswari merasa perbuatannya sia-sia, maka tanpa mempedulikan keadaan, gadis cantik putri saudagar kaya dari Desa Sindang Aru itu bergerak maju dengan pedang terhunus.

"Lelaki Bejat! Kau harus mampus!" bentak Paraswari seraya menebaskan pedangnya ke tubuh Siluman Hutan Dadak.

Liku Grada yang sudah dapat mengukur kekuatan tenaga dalam Paraswari, tak bergeming sedikit pun dari tempatnya. Hanya dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang berada jauh di atas Paraswari, Siluman Hutan Dadak membiarkan tubuhnya terhajar senjata lawan. Akibatnya....

Trak! "Aaa!"

Tubuh Paraswari terpental ketika tebasan senjatanya membentur tubuh Liku Grada yang seperti logam keras. Paraswari merasa tangannya linu, sedang senjatanya terpental jauh.

"Ha ha ha. ! Sudah kubilang, apa yang kau la-

kukan hanya membuang tenaga percuma, Nisanak. Kusarankan agar kau mau pergi bersamaku ke puncak Gunung Kumborang tanpa ku paksa."

"Cih! Pergilah kau sendiri, aku tak sudi ikut denganmu," tentang Paraswari, tangannya masih merasakan linu yang menyengat.

"Baik kalau begitu! Aku yang akan memaksamu," ujar Siluman Hutan Dadak.

Tanpa menunggu jawaban Paraswari, Liku Grada melesat. Dua jarinya teracung ke tubuh putri saudagar kaya dari Desa Sindang Aru. Liku Grada melakukan totokan agar Paraswari mau menuruti keinginannya.

"Hih!" Tuk! Tuk! "Aaa...!"

7

Tubuh Paraswari menggelinjang sesaat ketika totokan keras Siluman Hutan Dadak tepat mengenai sasaran. Tubuh gadis itu tergeletak diam, hanya matanya saja yang menatap marah Liku Grada.

"Kau memaksaku melakukan ini, Nisanak," kata Liku Grada dengan tatapan mata yang tak lepas merayapi sekujur tubuh sintal Paraswari.

"Kau memang lelaki setan!" maki Paraswari ge-

ram.

Liku Grada alias Siluman Hutan Dadak terse-

nyum mendengar makian gadis cantik di hadapannya. Kaki laki-laki berpakaian hitam itu terayun selangkah demi selangkah mendekati tubuh Paraswari yang tergolek tak berdaya.

Paraswari melihat langkah kaki Liku Grada semakin dekat ketakutan bukan main. Apakah lelaki itu akan berbuat yang tidak senonoh terhadapnya? Pertanyaan itu tiba-tiba membersit di benak Paraswari. Keringat sebesar butiran jagung bermunculan di kulitnya. Paraswari merasakan tubuhnya bergetar hebat saat satu langkah lagi Liku Grada dapat merengkuhnya.

"Jangan lakukan yang tak pantas pada diriku, Liku Grada," pinta Paraswari pada puncak ketakutannya. Liku Grada menghentikan langkah mendengar ucapan Paraswari. Lelaki berpakaian hitam dengan tongkat yang bagian ujungnya terdapat logam keras berbentuk bulan sabit segera menatap wajah cantik Paraswari.

"Kau pikir aku sebejat itu?" tanya Liku Grada

tegas.

Sedikit lega hati Paraswari mendengar perta-

nyaan Siluman Hutan Dadak.

"Dengar, Nisanak. Dalam hal melenyapkan nyawa orang, aku memang tak pernah berpikir dua kali untuk melakukannya. Tapi dengan tuduhanmu tadi? Huh! Aku akan berpikir seribu kali untuk melakukannya. Pantang bagiku merusak kehormatan seorang gadis!" tegas dan jelas ucapan Liku Grada.

"Apa kau ingin membunuhku juga?" tanya Paraswari.

Siluman Hutan Dadak menggelengkan kepala. "Kau kubutuhkan  untuk pelaksanaan upacara

maut, Nisanak. Jadi aku tak mungkin membunuhmu." "Kau  akan  tetap  membawaku  ke  puncak Gu-

nung Kumborang?" tanya Paraswari mencoba mengulur waktu.

Gadis itu berharap ada orang lewat di tempat ini dan memberikan pertolongan padanya.

"Tentu, Nisanak. Sekarang juga, aku tak punya banyak waktu."

"Hup!"

Siluman Hutan Dadak segera menotol kakinya di tanah, sementara tangannya dengan cepat menyambar tubuh Paraswari. Begitu cepatnya sambaran tangan Liku Grada hingga Paraswari tahu-tahu sudah berada dalam pondongannya.

Dengan gerakan ringan dan karena mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Siluman Hutan Dadak melesat cepat hingga tak berapa lama kemudian tubuhnya sudah menghilang di balik pohonpohon besar yang berjajar.

Sore mendekati senja. Udara dingin mulai menyergap kulit. Sementara langit sedikit menyisakan rona jingga, memberi tanda malam sebentar lagi akan menjelang.

Di kaki Gunung Kumborang nampak sosok bayangan hitam bergerak ringan dan cepat. Sosok itu begitu lincah mencelat dari gundukan batu gunung yang satu ke batu yang lain.

Sosok berpakaian hitam yang tak lain Siluman Hutan Dadak terus bergerak menaiki Gunung Kumborang. Sosok itu tak mempedulikan ketakutan gadis yang berada dalam pondongannya.

Paraswari memang takut bukan main, sedikit pun tak berani membuka mata melihat keadaan di sekitarnya.

"Hup!"

"Yeaaah!"

Sekali lagi Siluman Hutan Dadak melakukan totolan pada batu Gunung Kumborang, maka lentingan terakhir yang manis diselesaikannya.

"Sekarang bukalah matamu, Paraswari. Pemandangan indah dapat kau lihat di sini," ujar Liku Grada sebelum menurunkan Paraswari.

Gadis cantik itu tidak menuruti ucapan Liku Grada. Meski orang yang memondongnya tidak lagi melakukan lentingan-lentingan berbahaya, Paraswari tetap memejamkan mata. Gadis ini tidak ingin melihat jurang menganga di bawah sana.

"Kalau kau tak percaya kita sudah sampai di puncak Gunung Kumborang, aku akan menurunkanmu sekarang," ucap Liku Grada walaupun ia memahami ketakutan gadis di pondongannya.

"Jangan!" larang Paraswari.

"Ha ha ha.... Rupanya kau masih betah berada dalam pelukanku, Paraswari," sindir Siluman Hutan Dadak.

Paraswari tentu saja malu mendengar ejekan itu, seketika itu juga membuka matanya dan dilihatnya puncak Gunung Kumborang.

"Aku tidak membohongi mu, bukan?" ujar Liku Grada sambil menurunkan tubuh Paraswari.

Paraswari tak menjawab ucapan Liku Grada, bola matanya yang hitam pekat mengelilingi seluruh sudut puncak Gunung Kumborang.

"Kita tak boleh berlama-lama di sini, Paraswari. Kita harus cepat-cepat menemui Ki Kustara," ucap Liku Grada seraya meraih tubuh Paraswari.

"Hup!"

***

"Hik... hik... hik... Memang tak ku sangsikan janjimu, Liku Grada," sambut Ki Kustara ketika Siluman Hutan Dadak menjumpainya dengan membawa seorang gadis cantik putri saudagar kaya Desa Sindang Ayu.

"Satukan gadis itu dengan yang lain lalu kau cepat kembali ke sini," perintah Ki Kustara alias Setan Rimba Bangkai.

Siluman Hutan Dadak tidak menunggu perintah Ki Kustara dua kali, dibawanya Paraswari untuk disatukan dengan gadis-gadis yang sudah ada dalam kerangkeng. Sebelumnya Liku Grada telah membebaskan Paraswari dari pengaruh totokan. Paraswari terkejut mendapatkan empat gadis seusianya berada dalam kerangkeng yang cukup besar. Dirinya semakin tak mengerti dengan ucapan Liku Grada dan Ki Kustara.

Paraswari memandangi gadis-gadis dalam kerangkeng satu-persatu. Putri saudagar kaya Desa Sindang Ayu tidak tahu yang bersamanya adalah putri tunggal tokoh-tokoh golongan putih. Mereka adalah Wulan Sari, putri tunggal Ketua Perguruan Seribu Bunga. Narita, putri Ketua Perguruan Kumbang Jantan dan Seriti serta Ratih, cucu Ki Jatirama Ketua Perguruan Sakajati.

Paraswari tenggelam dalam kebingungan. Dan Siluman Hutan Dadak bergegas melangkah menuju Ki Kustara, Dewi Racun Kembar dan Pangeran Kala Hitam yang menunggunya.

Siluman Hutan Dadak segera mengambil tempat di sebelah Pangeran Kala Hitam ketika berada di hadapan Ki Kustara. Lelaki berpakaian hitam itu menarik napas dalam-dalam.

"Kita harus segera mengambil kepastian mengenai rencana kita," ujar Ki Kustara setelah tiga tegukan teh kehadiran Liku Grada.

Sejenak mata Dewi Racun Kembar, Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak merayapi Setan Rimba Bangkai. Mereka menunggu keputusan apa yang akan dikeluarkan lelaki tua, yang selama ini dianggap orang yang patut dipegang perkataannya.

"Kita majukan upacara maut lebih awal satu hari," usul Ki Kustara mantap.

"Aku setuju, Ki," dukung Laras Nini.

"Ya. Menurutku juga begitu, Ki. Dengan dimajukannya pelaksanaan upacara maut, maka pekerjaan kita akan cepat selesai. Tinggal menghadapi Raja Petir atau yang lain, jika mereka menuntut perhitungan," timpal Laras Dewi.

"Aku pun begitu, Ki," sahut Kindang Supa si Pangeran Kala Hitam.

"Aku setuju," tambah Liku Grada.

"Jika memang demikian, berarti tinggal dua hari lagi pelaksanaan upacara maut. Sekali lagi, tujuan upacara maut adalah melampiaskan dendam dan menebar keonaran pada kalangan persilatan golongan putih. Mulai hari ini, penjagaan dilipatgandakan terutama di puncak dan kaki gunung. Waspadai semua orang yang mencoba mendekati kaki Gunung Kumborang. Dan kirim nyawa mereka ke neraka jika tak mau menjauh dari tempat itu," putus Ki Kustara.

Dewi Racun Kembar, Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak mengangguk-angguk tanda setuju dengan keputusan Setan Rimba Bangkai. Dengan begitu, upacara akan dilaksanakan pada purnama ketiga hari kedua.

***

Sementara Ki Kustara alias Setan Rimba Bangkai melipatgandakan penjagaan di sekitar Gunung Kumborang, lain halnya dengan Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia.

Tokoh-tokoh sakti golongan putih itu tak lagi mencemaskan Ki Jatirama yang sudah bebas dari racun ganas pukulan 'Bisa Kala Hitam'.

Ki Jatirama kini dapat berdiri tegak, meski di tubuhnya nampak balutan-balutan.

"Mendengar ceritamu tadi, kurasa Ki Kustara akan memajukan rencana pelaksanaan upacara maut," ucap Ki Jatirama dengan tatapan mata kosong ke luar jendela.

"Kenapa demikian, Kakang Jatirama?" tanya Nyai Dinda Dahlia.

Ketua Perguruan Sakajati menatap Nyai Dinda Dahlia. Ki Jatirama memaklumi kekhawatiran Ketua Perguruan Seribu Bunga karena putri tunggalnya berada dalam tawanan Ki Kustara.

"Kegagalan Siluman Hutan Dadak mendapatkan Perwari memberitahukan mereka bahwa tokohtokoh golongan putih tidak setuju dengan upacara itu. Di antara tokoh-tokoh itu seorang muda yang kesaktiannya tak dapat diragukan lagi yaitu Raja Petir yang sekarang berada di hadapan kita."

"Hhh"

Jaka Sembada menarik napas panjang mendengar ucapan Ki Jatirama. Sebenarnya pemuda itu tak suka dengan puji-pujian semacam itu, hanya akan membuat dirinya terlena dan besar kepala!

"Diriku tak ada artinya tanpa bantuan kalian," kilah Jaka Sembada menghilangkan kerisihan.

Ki Jatirama tersenyum mendengar ucapan Raja Petir.

"Begitu santunnya ucapanmu, Raja Petir. Na-

mun perlu kau ketahui, kehadiranmu di tengah-tengah kami jadi penghalang bagi pelaksanaan upacara maut. Itu pula salah satu alasan Ki Kustara memajukan waktu pelaksanaan upacara maut.

"Kapan kira-kira upacara itu akan dilaksanakan, Kakang Jatirama?"

Masih dipenuhi kekhawatiran pertanyaan Nyai Dinda Dahlia.

"Jika dugaanku benar, akan dilaksanakan pada hari kedua purnama ketiga," jawab Ki Jatirama sambil mempermainkan jenggotnya yang putih.

"Kita tidak punya banyak waktu lagi kalau begitu," ujar Raja Petir seraya menatap wajah cemas Nyai Dinda Dahlia.

"Apakah sekarang juga kita mendatangi puncak Gunung Kumborang?" tanya Nyai Dinda Dahlia yang ditujukan entah pada siapa.

"Perjalanan menuju wilayah Gunung Kumborang memerlukan waktu satu hari penuh. Jika kita tidak terlambat, sekarang waktu yang tepat untuk datang ke puncak Gunung Kumborang. Itu pun harus menggunakan ilmu lari cepat" jelas Ketua Perguruan Sakajati.

Karena khawatir keselamatan putrinya, Nyai Dinda Dahlia melangkah lebih dulu. Namun langkah Ketua Perguruan Seribu Bunga tertahan oleh ucapan Raja Petir.

"Tunggu sebentar, Nyai," cegah Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia menghentikan langkah dan matanya tak berkedip memandang Jaka Sembada.

"Kita harus memikirkan keadaan Ki Jatirama," ucap Jaka Sembada melihat wajah Nyai Dinda Dahlia menyimpan tanya.

"Ah! Aku tidak apa-apa, Raja Petir. Aku sudah sehat," sanggah Ki Jatirama tak enak, apalagi melihat ketidaksabaran Ketua Perguruan Seribu Bunga.

"Kurasa gerakanku tidak akan mengganggu luka-lukaku, aku pun sanggup bertarung dengan Ki Kustara," lanjut Ki Jatirama.

"Kalau begitu, kita berangkat sekarang," putus Jaka Sembada.

Ketua Perguruan Seribu Bunga lebih dahulu mengangkat kaki dan menghentak kuat ke tanah. Tubuh perempuan berpakaian jingga dengan ikat pinggang putih segera melesat. Ki Jatirama, Perwari, Pri maka, dan Jaka Sembada menyusul dengan tak kalah cepat.

Sebentar tubuh mereka nampak saling berkejaran, namun kemudian menghilang di balik kegelapan malam yang dingin menusuk.

8

Semilir angin pagi ditingkahi hujan rintik-rintik membuat suasana bertambah dingin. Suasana itu membuat orang-orang enggan beranjak dari pembaringan. Hawa dingin yang menusuk kulit membuat mereka semakin merapatkan selimut

Namun tidak bagi puluhan orang yang berjagajaga di kaki Gunung Kumborang. Puluhan lelaki berwajah kasar dan bengis nampak berkeliling di kaki Gunung Kumborang, mereka tidak mempedulikan hujan yang membasahi kepalanya.

"Untung hanya hujan rintik-rintik," kata seorang lelaki berpakaian hitam berambut sedikit "Coba kalau hujan deras, kita basah kuyup."

"Sebentar lagi hujan pasti berhenti, Niruda. Tapi kita tetap waspada dan mencurigai setiap orang yang melintas di kaki gunung ini," balas lelaki yang lain.

"Kau benar, Kilar. Kita harus waspada kalau tidak ingin kepala kita terpisah dengan badan," sahut lelaki yang bernama Niruda.

Kilar mengangguk-angguk mendengar perkataan Niruda. Keduanya melanjutkan tugas, berkeliling mengawasi setiap sudut kaki Gunung Kumborang.

Sementara di lain tempat, di balik semak belukar yang rimbun, Jaka Sembada, Ki Jatirama, Nyai Dinda Dahlia serta Perwari dan Primaka tengah mengintai kegiatan puluhan lelaki yang berjaga-jaga di kaki Gunung Kumborang.

"Penjagaannya sangat ketat," bisik Nyai Dinda

Dahlia.

"Ya. Kita harus mencari cara untuk mengelabui

mereka," ujar Ki Jatirama.

"Biar aku yang menghampiri, Ki Jatirama. Aku akan berpura-pura menanyakan letak Gunung Kumborang," usul Jaka Sembada.

Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia saling berpandangan, begitu pula Perwari dan Primaka. Mereka tidak menyangsikan usul Raja Petir, hanya sedikit terharu atas usul yang cukup bijaksana itu.

"Usulmu cukup bagus, Jaka," ujar Ki Jatirama. "Tapi kau harus hati-hati,"

"Tentu, Ki," jawab Jaka Sembada.

Selesai dengan ucapannya, lelaki berpakaian kuning keemasan menghentakkan kaki ke tanah. Dan tubuhnya melesat cepat Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia kagum melihat ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh Raja Petir.

"Berhenti!" bentak seorang penjaga kaki Gunung Kumborang ketika melihat Jaka Sembada berjalan mendekati.

Jaka Sembada mematuhi bentakan itu.

"Mau ke mana pagi-pagi sekali melintasi daerah ini?" tanya lelaki yang bernama Niruda.

"Aku seorang pengembara yang mencari Gunung Kumborang," jawab Jaka Sembada tenang.

"Hmmm.... Mau apa kau mencari Gunung Kumborang?" selidik Kilar.

Jaka Sembada menatap wajah lelaki berpakaian hitam yang berkumis tipis.

"Aku ingin bertemu Ki Kustara."

"Ingin bertemu, Ki Kustara?" ulang Niruda. "Ya."

"Lebih baik kau kembali, Anak Muda. Ki Kustara sedang ada urusan penting, beliau tidak ingin diganggu," cegah Kilar.

"Ah! Namaku Jaka Sembada, Kisanak. Aku ada urusan penting dengan beliau," desak Jaka Sembada.

"Aku tak bisa mengizinkan mu, Jaka Sembada. Ki Kustara tidak ingin bertemu siapa pun hari ini," tolak Kilar sedikit keras.

"Tolonglah, Kisanak."

"Tidak bisa!" bentak Niruda keras.

Jaka Sembada berpura-pura terkejut mendengar bentakan Niruda.

"Tolong antarkan aku menemui Ki Kustara, Kisanak. Atau aku akan menemui sendiri jika kalian takut kena marah," desak Jaka Sembada.

Niruda dan Kilar terperangah mendengar ucapan pemuda berpakaian kuning keemasan yang dirasanya sangat lancang.

"Lancang benar mulutmu, Anak Muda!" maid Niruda. "Sekali lagi kau berani berkata seperti itu, aku tak akan segan-segan memenggal kepalamu!"

"Jangan menakut-nakutiku, Kisanak," tukas Jaka Sembada memancing kemarahan Niruda dan Kilar. "Kalau kalian tidak mengizinkan ku menemui Ki Kustara, tidak apalah. Tapi tolong beritahu, apa yang dilakukan Ki Kustara di puncak Gunung Kumborang."

"Heh!? Rupanya kepalamu minta dipenggal!" hardik Niruda seraya meloloskan golok dari pinggang.

Jaka Sembada pura-pura takut, kakinya mundur satu langkah.

"Tolong beritahu, Kisanak. Setelah itu aku akan pergi dari sini," desak Jaka Sembada.

Niruda semakin geram mendengar permintaan itu. Dengan diiringi teriakan nyaring, lelaki berambut tipis itu menebaskan goloknya ke leher Jaka Sembada.

"Hiyaaa...!" Bet!

"Eits!"

Jaka Sembada berkelit ketika golok Niruda mengancam leher. Serangan ganas Niruda yang dilancarkan dengan kekuatan tenaga penuh membentur tempat kosong. Membuat darah penjaga kaki Gunung Kumborang naik ke ubun-ubun.

Niruda dengan kemarahan menggelegak kembali menerjang Jaka Sembada. Tebasan-tebasannya kali ini disertai tenaga dalam, mencecar bagian-bagian mematikan tubuh Raja Petir.

Bagi Raja Petir yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi, mudah saja mengelakkan serangan yang bagaimanapun tajamnya. Terbukti, dengan menggerakkan sedikit saja bagian tubuhnya yang menjadi sasaran senjata lawan, maka senjata itu akan menemui tempat kosong. Dan untuk memberi pelajaran pada lelaki sombong bernama Niruda, Raja Petir menotok punggung tangannya.

"Hih!" Tuk! "Aaa!"

Golok dalam genggaman Niruda terlepas dan pemiliknya merasa tangannya sukar digerakkan, rasa linu begitu kuat menggigit-gigit.

Kilar melihat temannya dapat dipecundangi dengan mudah segera berteriak memanggil temantemannya. Maka seluruh penjaga kaki Gunung Kumborang menghampiri dan mengurung Jaka Sembada dengan senjata terhunus.

Jaka Sembada meneliti orang-orang yang mengurungnya. Kurang lebih lima puluh lelaki bersenjata golok dan pedang siap merejamnya, namun pemuda itu sedikit pun tak gentar.

"Serang...!"

Lima orang lelaki bersenjata golok berlompatan. Laki-laki yang rata-rata berwajah bengis segera merangsek Jaka Sembada dengan tebasan dan tusukan yang mematikan

Tetapi kelima lelaki itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan, seorang pemuda yang namanya melambung di antara tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Siapa lagi kalau bukan Raja Petir, yang dengan mudah menghindari setiap terjangan senjata maupun kepalan lawan.

"Hiyaaa!" Bet! Bet! "Uts!"

Jaka Sembada mencondongkan tubuhnya ke belakang ketika golok lawan mencoba merobek perutnya. Tapi belum lagi pemuda itu menegakkan diri, sebuah bokongan mencecar punggungnya.

Angin berdesir kuat menandakan pembokongnya sungguh-sungguh ingin membunuh Raja Petir.

Namun bukan Raja Petir, jika harus tunduk pada anak buah Ki Kustara. Dengan mengerahkan sedikit tenaga dalam, pembokong itu merasakan akibatnya.

"Hiyaaa...!" Takh! "Aaa...!"

Lelaki itu terpental ke belakang ketika golok yang diayunkan ke punggung Raja Petir seolah membentur logam keras. Dan merasakan nyeri pada pergelangan tangan. Sementara golok yang tadi digunakan menghantam punggung Jaka Sembada terlempar entah ke mana.

Ki Jatirama, Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka tentu saja tak ingin membiarkan Jaka Sembada dikeroyok puluhan laki-laki dengan senjata terhunus. Setelah diputuskan matang-matang, Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia melesat cepat, menerjang lelaki pengeroyok Raja Petir. Demikian juga Perwari dan Primaka.

Pertarungan terpecah menjadi tiga bagian. Suara dentang senjata yang beradu, pekik kegeraman dan jeritan menyayat yang mengiringi kematian mewarnai pertempuran yang tak seimbang.

Meski penjaga kaki Gunung Kumborang sepuluh kali lipat, namun tidak berarti apa-apa bagi Raja Petir, Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia, karena kepandaian lawan berada jauh di bawah mereka. Tapi tidak demikian dengan Perwari dan Primaka.

Gadis putri tunggal ketua Perguruan Wesi Wening dan kekasihnya kerepotan menghadapi keroyokan penjaga kaki Gunung Kumborang, meski keduanya memiliki ilmu silat setingkat di atas lawan-lawannya. Hingga suatu saat...

"Hiyaaa...!" Blagkh! "Ukh!"

Tubuh Primaka terjengkang ketika sebuah tendangan menggeledek menghajar dada, darah nampak merembes keluar dari sela-sela bibir.

"Kakang Prima!" teriak Perwari panik.

Gadis itu ingin menghampiri Primaka, namun sebuah serangan mengancamnya. Sebatang pedang yang berkilat tertimpa matahari mengancam pelipisnya.

Perwari terkesiap menyaksikan sambaran pedang yang begitu deras. Sebenarnya masih ada kesempatan bagi Perwari untuk membuang tubuh ke kanan, tapi dari sisi kanan tampak seorang lelaki meluruk dengan golok teracung di atas kepala.

Perwari tak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu ajal datang menjemput. Dan pada saat yang genting, sesosok tubuh berpakaian kuning melesat cepat ke arah penyerang Perwari. Sosok tubuh yang tak lain Raja Petir langsung mengirimkan pukulan keras berturut-turut

"Hiaaa!" Des! Des! "Aaa!"

Lengkingan menyayat terdengar berturut-turut mengiringi dua sosok tubuh yang terpental deras dan jatuh berdebum ke tanah.

Brak! Brak!

Dua penjaga kaki Gunung Kumborang tewas seketika.

***

Sementara di kaki Gunung Kumborang terjadi pertarungan sengit, sebuah upacara tengah dilaksanakan di puncak Gunung Kumborang.

Suasana menyeramkan dan menegangkan terjadi di puncak gunung, di mana perayaan upacara maut tengah berlangsung. Puluhan lelaki berseragam hitam longgar mengelilingi api unggun yang berkobarkobar. Dan di atas kobaran api tergantung sebuah kerangkeng besi berisi seorang dara cantik bernama Wulan Sari.

Korban ketiga upacara maut meronta-ronta dalam kerangkeng besi. Tubuh Wulan Sari bersimbah peluh, pakaiannya basah oleh keringat. Sementara lima sosok tubuh berjubah merah yang tak lain Ki Kustara si Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun Kembar, Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak tersenyum menyaksikan pemandangan di hadapannya. Kelima sosok berjubah merah begitu menikmati geliatan dan teriakan-teriakan Wulan Sari yang menyayat.

"Turunkan lagi kerangkeng itu!" perintah Setan Rimba Bangkai lantang.

Empat lelaki kekar pengendali rantai kerangkeng segera mengulur rantai sepanjang seperempat tombak. Wulan Sari semakin memekik keras, lengkingannya seperti hendak meruntuhkan gunung, namun bagi Ki Kustara suatu kenikmatan tersendiri. Lelaki itu tersenyum menyaksikan gadis dalam kerangkeng menggeliat kepanasan.

Pada saat gadis dalam kerangkeng besi tidak lagi mampu bertahan, sesosok bayangan kuning tibatiba berkelebat cepat, menyambar kerangkeng besi dengan kekuatan tenaga dalam penuh.

Setan Rimba Bangkai terperangah menyaksikan kejadian itu, terlebih ketika melihat keempat pengendali rantai tercebur ke dalam kobaran api unggun.

Dan Setan Rimba Bangkai makin terperangah melihat kemunculan Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia.

"HmmmTak kusangka kau mampu bertahan

hidup, Jatirama," ejek Ki Kustara.

"Tentu saja, Kustara! Aku datang menuntut kematian murid-muridku dan musnahnya bangunan perguruan yang ku bangun dengan susah payah," hardik Ki Jatirama geram.

"Hmmm.... Kau tidak menuntut kematian cucumu?"

"Apa!?"

Tersedak Ki Jatirama mendengar pertanyaan Setan Rimba Bangkai, wajahnya seketika berubah merah padam. Tangannya menegang kaku dan nafasnya memburu.

"Keparat kau, Kustara!" Dengan kemarahan meluap-luap Ki Jatirama menerjang lelaki berjubah merah yang berjuluk Setan Rimba Bangkai. Angin menderu mengiringi terjangan Ketua Perguruan Sakajati yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Sementara di tempat lain, Jaka Sembada berhadapan dengan Kindang Supa yang berjuluk Pangeran Kala Hitam dan Liku Grada si Siluman Hutan Dadak.

Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak melakukan serangan bersamaan dari berbagai arah, memaksa Raja Petir mengeluarkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Jaka Sembada ingin menyelesaikan pertarungan secepatnya! Pemuda itu tidak ingin melihat Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia menjadi korban keganasan Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun Kembar dan puluhan lelaki yang tadi mengelilingi api unggun.

"Hiyaaa...!" Wusss! "Uts!"

Kindang Supa dan Liku Grada segera membuang tubuh ke arah yang berlawanan ketika melihat Raja Petir kembali melancarkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Tapi mereka tidak mengetahui Jaka Sembada melakukan pukulannya dengan kecepatan dua kali lipat.

Ketika Kindang Supa dan Liku Grada bergulingan, berturut-turut Raja Petir melepas jurus 'Pukulan Pengacau Arah'

"Hiyaaa...!" Wrrr... Wrrr!

Dua gelombang angin bergulung-gulung meluruk tubuh Siluman Hutan Dadak dan Pangeran Kala Hitam. Gelombang angin itu bagai sebuah pusaran yang dahsyat, hingga ketika tubuh lawan terhajar, dua lengkingan menyayat pun segera membumbung tinggi.

"Wuaaa...!"

"Aaakh...!"

Tubuh Liku Grada dan Kindang Supa terlihat melayang bagai segumpal kapas terlanda angin. Pada saat itu pula nyawanya meninggalkan raga. Dan ketika jasadnya jatuh berdebum ke bumi, tubuh keduanya langsung menegang kaku.

Selesai menghabisi Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak, Raja Petir segera melesat ke tengah pertarungan Nyai Dinda Dahlia dan Dewi Racun Kembar.

"Akulah lawanmu, Dewi Racun Kembar!" teriak Jaka Sembada mengambil alih pertarungan.

Sementara Ketua Perguruan Seribu Bunga menghadapi para pengikut Ki Kustara.

"Huh! Jangan sombong, Raja Petir. Aku sudah sejak tadi menunggu bertarung denganmu, tapi kau memilih dua lelaki yang bukan tandingan mu!" balas Laras Nini.

"Majulah kalian bersama, aku tidak segansegan mengirim kalian ke lubang kubur," timpal Jaka Sembada.

"Kurang ajar!" maki Laras Dewi."Sebaiknya lelaki sombong sepertinya jangan diberi hati, Kak."

"Ya, Nyawanya akan kita cabut sekarang juga," sahut Laras Nini.

Kedua gadis cantik berjuluk Dewi Racun Kembar segera meraba hulu pedang. Tak lama kemudian....

Srat! Srat!

Laras Nini dan Laras Dewi meloloskan senjatanya dan menyilangkan di depan dada.

"Hmmm Jangan menyesal jika nyawamu me-

layang di tempat ini. Raja Petir!"

"Buktikan ucapanmu, Gadis Angkuh!" tantang Raja Petir.

Hati Dewi Racun Kembar terbakar mendengar ucapan Jaka Sembada. Tanpa banyak cakap lagi dan disertai lengkingan keras, Dewi Racun Kembar merangsek maju bersamaan.

"Hiyaaa!"

"Hiyaaa!"

Bet! Bet!

Dua kali Jaka Sembada melentingkan tubuhnya. Sangat manis gerakan lelaki yang berjuluk Raja Petir itu. Lejitan-lejitannya sangat ringan, menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuhnya.

Dewi Racun Kembar semakin geram melihat serangan mereka dapat digagalkan dengan mudah.

"Gerakanmu memang lincah, Raja Petir!" ejek Laras Nini. "Tapi kau tidak akan mampu menghindari serbuk maut Dewi Racun Kembar!"

Selesai dengan perkataannya, Laras Nini mengerling pada Laras Dewi. Kemudian keduanya bergerak cepat memasukkan tangan ke balik pakaian.

"Hih!"

"Hih!"

Werrr! Werrr!

Serbuk berwarna merah seketika menyambar ke wajah Jaka Sembada. Begitu cepatnya serbuk berbau amis itu menyebar hingga Raja Petir tak sempat mengelak. Dengan segenap kemampuan pemuda itu mencoba meredam bau anyir serbuk beracun Dewi Racun Kembar. Walaupun begitu Jaka Sembada merasakan keganasan serbuk maut Dewi Racun Kembar. Raja Petir merasakan sekujur tubuhnya gatal-gatal.

Dan dengan liciknya, Dewi Racun Kembar memanfaatkan kelemahan Raja Petir yang sibuk mengatasi pengaruh serbuk mautnya. Dua tendangan menggeledek berturut-turut dilancarkan ke tubuh Jaka Sembada.

"Hiyaaa!" Diegkh! Diegkh! "Aaa...!"

Jaka Sembada memekik tertahan saat dua tendangan keras mendarat di punggung dan pinggulnya. Tubuhnya langsung terhempas sejauh satu tombak. Darah nampak keluar dari sela-sela bibirnya.

"Ha ha ha...! Nyawamu ada di ujung pedangku, Raja Petir! Bersiaplah menuju alam baka!" ucap Laras Nini.

"Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

***

Melihat Laras Mini dan Laras Dewi menerjang bersamaan dengan senjata terhunus, tak ada jalan lain bagi Jaka Sembada selain membuka sabuk kuning yang melilit pinggangnya.

Sinar kuning menyilaukan seketika berpendarpendar dari sabuk kuning keemasan yang tergenggam di tangan Raja Petir. Bersamaan dengan lolosnya sabuk kuning, rasa gatal akibat serbuk maut Dewi Racun Kembar lenyap.

Dan ketika serangan Dewi Racun Kembar datang, Jaka Sembada memutar pergelangan tangan.

"Hiyaaa!" Ctar! Ctar!

Glaaarrr! Glaaarrr!

Bunyi gemuruh terdengar seiring bergeraknya pergelangan tangan Raja Petir, yang memainkan sabuk petirnya dalam jurus 'Petir Membelah Malam'. Seberkas sinar keperakan menyambar laksana petir.

Laras Nini dan Laras Dewi yang berada di udara, tak mampu berbuat banyak menghindari serangan Jaka Sembada yang datang mendadak dan begitu cepat. Tubuh mereka terhempas deras diiringi lengkingan kematian yang menyayat. Tubuh kedua gadis itu hangus seperti terhajar petir.

"Aaa...!"

Terkejut Jaka Sembada mendengar jeritan melengking yang datang dari belakang. Pemuda itu segera membalikkan badan. Raja Petir melihat Nyai Dinda Dahlia limbung, terhajar serangan lawan. Sementara dari arah lain tiga lelaki pengikut Setan Rimba Bangkai menyongsong dengan senjata teracung ke udara.

Raja Petir segera melesat menuju Ketua Perguruan Seribu Bunga dan menghalau penyerang Nyai Dinda Dahlia dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'

Tiga lelaki dengan golok terhunus terpental, dihajar angin bergulung yang keluar dari telapak tangan Jaka Sembada. Begitu deras terjangan angin pusaran itu, hingga tubuh lawan-lawannya rebah tak bernyawa. Belum selesai Jaka Sembada merubah letak berdirinya, empat lelaki menyongsong ke arahnya. Kali ini Raja Petir tidak meladeni dengan jurus yang sama.

Tubuhnya berkelit menghindari tebasan dan tusukan senjata lawan, sambil melancarkan totokan.

"Hih!" Tuk! Tuk!

Tubuh keempat penyerangnya tergolek tidak berdaya, terkena totokan Jaka Sembada yang datangnya tidak terlihat mata.

Sementara pertarungan antara Ki Kustara dan Ki Jatirama nampak mulai tidak seimbang. Ki Jatirama terdesak hebat Berkali-kali pukulan Setan Rimba Bangkai menghajar tubuh ketua Perguruan Sakajati. Darah mengalir dari sela-sela bibir Ki Jatirama.

"Kau hadapi anak buah Ki Kustara yang tinggal sedikit itu, Nyai. Aku akan membantu Ki Jatirama," ujar Jaka Sembada.

"Baik, Raja Petir," sahut Nyai Dinda Dahlia. Jaka Sembada berkelebat tepat pada saat pe-

dang tumpul Ki Kustara hendak membelah batok kepala Ki Jatirama. Tangan Jaka Sembada bergerak cepat memapak pergelangan tangan Ki Kustara.

Trak! "Aaa...!"

Ki Kustara terkejut bukan main melihat serangannya berhasil dipapaki seseorang. Tubuhnya terjajar tiga langkah dan tangannya bergetar hebat

Mata Ki Kustara menatap Jaka Sembada tajam, giginya bergemeratakan menandakan kegeramannya yang memuncak atas perbuatan pemuda berpakaian kuning keemasan di hadapannya.

"Hmmm.... Kau pasti, Raja Petir. Tenaga dalammu cukup tinggi. Tapi ketahuilah, Setan Rimba Bangkai akan menguburmu sekarang juga!" lantang ucapan lelaki tua itu. "Bersiaplah, Raja Petir!"

Laki-laki tua yang berjuluk Setan Rimba Bangkai segera merubah kuda-kudanya. Kaki lelaki itu terangkat dua langkah ke belakang membentuk kudakuda gantung. Kedua tangannya beradu dan diusapusap cepat. Dan asap putih kehitaman mengepul dari gosokan dua telapak tangan Ki Kustara. Lelaki berumur enam puluh tahun lebih itu sedang mengerahkan ajian 'Lebur Jasad'.

"Grrrrkkk...!" Cerrrsss...!

Asap putih kehitaman tiba-tiba meluruk cepat ke arah Jaka Sembada yang sudah siap menghalau dengan 'Pukulan Pengacau Arah'. Dan....

"Hiaaa!" Wrrr!

Tercekat hati Raja Petir melihat segulungan angin deras yang keluar dari telapak tangannya tidak mampu menghalau asap putih kehitaman yang meluncur ke arahnya. Jaka Sembada segera membuang tubuhnya ke kanan menghindari terjangan asap putih kehitaman yang mengandung hawa panas menyengat.

Sambil melompat, tangan pemuda itu menotol tanah kuat-kuat Tubuhnya melenting dan berputaran dua kali.

"Ups!"

Raja Petir mendarat dengan manis pada jarak tiga tombak, namun serangan-serangan Ki Kustara masih tetap mengancam. Asap putih kehitaman kembali meluruk deras ke arahnya.

"Sungguh aneh ajian Ki Kustara. Aku harus mencari titik lemahnya," bisik Jaka Sembada sambil berpikir mencari jalan keluar.

"Haruskah ku kerahkan jurus 'Serbuk Petir Pelebur Raga'? Atau "

Dengan perkiraan yang tepat. Raja Petir segera menyambut aji 'Lebur jasad' ciptaan Ki Kustara dengan aji 'Kukuh Karang' miliknya.

Seluruh kepala hingga dadanya terbalut sinar kuning keemasan, begitu juga lutut hingga ujung kaki. Sinar kuning keemasan yang membungkus bagianbagian tubuh Raja Petir terus berpendar dan ketika sinar putih kehitaman menerjang, maka....

Pruf!

Sinar putih kehitaman itu seperti tertelan tubuh Jaka Sembada, sementara tubuh pemuda itu sedikit pun tidak terpengaruh hawa panas yang menyengat

Kenyataan itu membuat Setan Rimba Bangkai tidak percaya. Tak seorang pun mampu menahan ajiannya selama ini, namun terhadap Raja Petir...?

Dengan kegeraman yang meluap-luap, Setan Rimba Bangkai melesat cepat bagai kilat. Ki Kustara mencoba menembus sinar kuning keemasan di tubuh Jaka Sembada, dengan pedang tumpulnya yang sangat dibanggakan.

"Hiyaaa...!" Trak!

Sleps!

Senjata Ki Kustara yang menghantam tubuh Jaka Sembada tidak dapat ditarik pulang. Lelaki tua itu coba mempertahankan senjatanya yang tersedot tenaga Raja Petir. Tapi makin kuat Ki Kustara mengerahkan tenaga, semakin kuat pula sedotan tenaga Jaka Sembada.

Kesempatan, itu dipergunakan Jaka Sembada. Dengan sekali gerak, tangan kanan Raja Petir menggendor dada Ki Kustara.

"Hih!" Blagkh! "Aaa...!"

Lengking kematian menyayat, membumbung ke langit Tubuh Ki Kustara terpental deras dengan tulang dada hancur. Suara berderak terdengar ketika tubuh lelaki tua yang berjuluk Setan Rimba Bangkai jatuh ke bumi, saat itu juga tubuhnya menjadi bangkai.

Di tempat lain Ketua Perguruan Seribu Bunga tengah menyelesaikan lawan terakhirnya. Perempuan berpakaian jingga itu menebaskan senjata ke perut pengikut Ki Kustara, maka....

"Hiaaa!" Bret! "Akh!"

Tubuh lelaki berpakaian hitam seketika limbung, dengan darah mengucur deras dari perutnya yang terluka cukup dalam. Lelaki itu hanya mampu bertahan beberapa saat, lalu tubuhnya meregang kaku.

Seiring dengan kematian lawan terakhirnya, Nyai Dinda Dahlia melesat menghampiri tubuh putrinya, yang tergeletak tak jauh dari api unggun yang masih menyala.

"Wulan, Wulan Sari!" panggil Nyai Dinda Dahlia keras sambil menggoyang-goyangkan tubuh anaknya.

Setelah berkali-kali perempuan setengah baya itu berbuat demikian, baru disadarinya anaknya sudah tiada.

"Wulaaannn...!" pekik keras seketika melambung tinggi, Gunung Kumborang seperti hendak runtuh.

"Sudahlah, Nyai. Tak perlu disesali apa yang telah ditentukan Gusti Pencipta Alam Semesta," bujuk Ki Jatirama sambil membopong mayat Ratih.

Dan di sisi Ki Jatirama berdiri Seriti, saudara kembar Ratih, dengan isak tangis tertahan.

"Cucu yang sangat kukasihi juga menghadapNya, Nyai. Tapi aku berusaha tabah dan menerima ketentuan sang Pencipta," lanjut Ki Jatirama sambil menahan kesedihan yang sangat

"Betul, Nyai. Kita memang harus menerima dan merelakan semua yang telah digariskan-Nya," ujar Jaka Sembada mencoba membesarkan hati Nyai Dinda Dahlia. "Sekarang sebaiknya kita turun gunung untuk segera mengurus jenazah Wulan Sari dan yang lainnya."

Sesaat Nyai Dinda Dahlia menatap wajah Jaka Sembada dan Ki Jatirama bergantian. Kemudian tangannya bergerak membopong jenazah anaknya dan berjalan gontai turun Gunung Kumborang.

Angin bertiup semilir mengiringi kepergian mereka, seolah memberi lambaian selamat jalan. Dan puncak Gunung Kumborang kembali sunyi.

SELESAI


No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 06: Upacara Maut"