Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 17: Setan Bukit Cemara

Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari

Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 17:  Setan Bukit Cemara

1

"Hi hi hi...!"

Suara tawa kecil seperti gurauan manja, terdengar mengisi suasana siang yang telah mulai bergeser menuju senja. Angin semilir bertiup dari arah utara, semakin menambah perasaan syahdu hati seorang gadis cantik, berambut panjang dikesayapang yang tengah berlari-lari kecil menghindari kesayajaran pemuda tampan berpakaian kuning keemasayasan.

"Sudah! Sudah!" teriak pemuda tampan besayarambut gondrong itu sambil menghentikan larinya, membiarkan si gadis berambut dikepang yang memakai baju warna jingga. "Sedari tadi cekikikan terus, aku khawatir nanti kau akan menangis, Mayang...," lanjutnya seraya tersenyum dan menasayatap gadis yang dipanggil Mayang.

Di punggung lelaki berwajah tampan itu nampak menggelantung sebuah gagang pedang besayarukir bunga-bunga kecil nan indah.

"Aku tak akan pernah menangis, Kakang," sangkal gadis cantik berpakaian jingga yang tersayanyata Mayang Sutera.

"Kalau tiba-tiba saja ada gadis lain di samsayapingku, apa kau juga tak akan menangis?" ledek si pemuda berpakaian kuning keemasan itu.

"Kakang Jaka! Apakah kau mulai senakal itu?" sanggah Mayang dengan mata terpicing dan tersenyum, menatap pemuda di depannya.

Pemuda yang ternyata Jaka tersenyum mendengar ucapan sang Kekasih. Ucapan itu sansayagat tepat sebagai sanggahan dan sekaligus mampu menutupi perasaan hati yang sebenarnya. "Tentu saja tidak, Mayang. Yang kuucapkan barusan itu hanya seandainya," elak Jaka.

"Ya, berarti aku tak akan pernah menangis, karena aku tahu Kakang tak mungkin  berbuat itu," ujar Mayang dengan nada kemenangan.

"Kau memang pintar," puji Jaka.

"Aku mendapatkan kepintaran itu justru darimu," balik Mayang merendah.

"Itu juga salah satu kepintaranmu untuk selalu mengelak dari pujianku," ujar Jaka lagi.

Kali ini Mayang tak menyanggah. Diperhatisayakannya langkah kaki Jaka yang menghampirinya. Dan ketika kemudian tangan Jaka meraih pergesayalangan tangannya, Mayang tak berusaha mengesayalak.

"Begini seharusnya kita," ujar Jaka sambil melangkah dengan menggamit tangan kekasihnya.

"Semuasayalelakisayamaunyasayabegini,"sayaledek Mayang, "Mau enaknya saja."

"Jangansayamemancingsayalagi,sayaYang!sayaNanti akusaya"

"Maaf, aku takut kalau kau ma.saya"

Mayang menggantung ucapannya ketika melihat tangan Jaka bergerak hendak mencubit pipinya.

Angin masih terus bertiup lembut, sementasayara sore perlahan-lahan turun bersama suasana sesayajuk. Sepasang muda-mudi yang merupakan tokoh terkenal di rimba persilatan itu terus bergelut densayagan gurauan yang membuat keduanya kian akrab. Akan tetapi ketika langkah Jaka dan

Mayang memasuki areal tanah pemakaman, tak lagi terdengar ucapan-ucapan canda yang keluar dari mulut mereka. Seketika wajah keduanya besayarubah tegang seolah ada suatu firasat buruk telah menyelinap di hati mereka.

"Aneh sekali keadaan di sekitar pemakaman ini, Kang," ujar Mayang, meski dengan suara persayalahan. "Bulu kudukku berdiri," lanjutnya sambil merapatkan tubuh pada kekasihnya.

"Aku juga merasakan ada hawa lain, Mayang," sambut Jaka seraya menoleh ke wajah Mayang. "Kita harus mewaspadai keadaan ini."

"Ya," sambut Mayang.

Dua muda-mudi itu terus melanjutkan persayajalanan melintasi tanah pemakaman yang masih dalam wilayah Desa Kober Utara. Setapak demi sesayatapak Mayang dan Jaka menjejaki tanah pemakasayaman dengan kewaspadaan yang tinggi. Otot-otot mereka nampak menegang.

Cukup lama ketegangan yang dirasakan Jasayaka dan Mayang berlangsung. Hal itu karena tanah pemakaman yang tengah mereka lewati cukup luas.

"Hhhsaya"

Terdengar hembusan napas berat Mayang ketika mereka berdua sampai di luar tanah kubusayaran. Gadis itu tampaknya merasakan keanehan yang berselimut di hati telah lenyap.

"Baru sekarang aku mengalami ketakutan seperti ini, Kakang. Hhh ! Ketakutan yang tanpa alasan," ucap Mayang sambil kembali menghela napas dalam-dalam, seakan-akan hendak mensayagendorkan urat sarafnya yang menegang.

Jaka tak menimpali ucapan Mayang, tetapi kemudian mulutnya sudah terbuka berkata densayagan ketenangan yang menjadi ciri khasnya.

"Hm...," firasatku mengatakan, bahwa di Desa Kober Utara ini akan terjadi sesuatu yang mengerikan, Mayang. Entah kejadian macam apa. Yang jelas ketika kita memasuki mulut Desa Kober Utara yang ditandai dengan sebuah batu bertusayaliskan nama desa ini, firasat seperti yang kusesayabutkan tadi sudah terbersit. Cuma, karena kau sesayalalu mengajak bergurau, menyebabkan aku melusayapakan firasat itu," ujar Jaka sambil terus mengasayajak Mayang berjalan menjauhi tanah pemakaman.

"Kalau firasatmu benar, apa yang harus kita lakukan?" tanya Mayang.

"Tampaknya kita harus bermalam di desa ini. Itu kalau kita ingin tahu bencana yang akan menimpa desa ini. Kita bisa menumpang di rumah penduduk atau kalau perlu menemui Kepala Desa Kober Utara," jawab Jaka mantap.

"Aku setuju, Kakang," timpal Mayang. "Setuju yang mana?" tanya Jaka berusaha

menghilangkan ketegangan yang masih sedikit disayarasakan.

"Menginap di rumah penduduk setuju, di rumah kepala desa pun setuju."

"Di kediaman kepala desa saja kalau begitu. Barangkali keanehan yang kita rasakan barusan mendapat keterangan lebih terperinci dan jelas," usul Jaka.

Tanpa mengomentari usul Jaka, Mayang mengikuti langkah kekasihnya menuju rumah Kesayapala Desa Kober Utara. Angin masih tetap bertiup semilir, hawa dinginnya kini lebih kuat menusuk permukaan kulit

***

Malam sebentar lagi turun. Suasana dingin menyelimuti Desa Kober Utara. Di jalan utama desayasa itu tampak Jaka dan Mayang berjalan menuju selatan. Mereka bermaksud mendatangi rumah Kepala Desa Kober Utara. Tak lama kemudian kesayaduanya melihat sebuah bangunan rumah besar dan tampak kokoh yang diterangi cahaya api obor.

Di serambi depan rumah yang cukup luas itu tampak beberapa orang lelaki. Beberapa di ansayatara mereka tampak berjalan mondar-mandir di bawah cahaya obor yang terpancang di dinding. Dilihat dari tingkah laku mereka, tampaknya orang-orang itu tengah dilanda suatu kegelisahan yang hebat

Jaka dan Mayang terus melangkah menuju bangunan kokoh yang diyakini sebagai rumah Kesayapala Desa Kober Utara.

"Selamat malam, Kisanak sekalian!" sapa Jaka dengan tubuh sedikit dibungkukkan membesayari hormat. Padahal sebenarnya saat itu belum masayalam. Namun gelap telah mulai menyelimuti suasasayana lepas senja itu.

Ucapan tegas yang mengandung kewibasayawaan tinggi itu didengar beberapa lelaki yang tensayagah hilir-mudik di serambi depan. Sejenak mereka tercenung memperhatikan kehadiran sepasang muda-mudi yang memiliki ketampanan dan kecansayatikan yang mengagumkan. Namun beberapa saat kemudian salah seorang dari mereka segera mesayanyadari ketercenungannya dan membalas sapaan Jaka setelah terlebih dahulu menganggukkan kesayapala.

"Selamat malam!" tukas lelaki bertubuh tinggi tegap yang mengenakan pakaian serba coksayalat. Wajah tampannya yang berkulit putih menamsayabah kegagahan. Ditambah pula kumis hitam tebal yang bertengger di bawah hidung.

"Maaf, kalau kehadiran kami berdua mengsayaganggu kisanak sekalian!" ucap Jaka lagi dengan kata-kata lembut namun menyiratkan ketegasan.

"Ah, tidak," selak lelaki tampan berkumis tebal, "Kalau boleh ku tahu siapa kalian dan ada perlu apa datang ke tempat ini?" lanjut lelaki bersayapakaian coklat itu meminta sekaligus menyelidiki keberadaan kedua tamunya.

"Kami adalah pengelana. Namaku Jaka Sembada dan kawanku ini bernama Mayang Sutesayara," jawab Jaka memenuhi permintaan lelaki tamsayapan berpakaian coklat "Kedatanganku ke tempat ini untuk menemui Kepala Desa Kober Utara," lansayajutnya dengan suara mantap. Dirinya sengaja tak menceritakan masalah yang akan diutarakan nanti pada Kepala Desa Kober Utara.

"Untuk apa kau menemui, Ki Bernala?" sesayalak salah seorang lelaki bertubuh pendek dengan tatapan penuh kecurigaan. "Maaf Kakang Gunjasayada, kedatangan mereka tepat sekali dengan malasayapetaka yang menimpa Ki Bernala. Terus  terang aku merasa curiga!" lanjutnya seraya menatap Jasayaka dan Mayang penuh selidik.

Lelaki berpakaian coklat yang ternyata bersayanama Gunjada seperti terpengaruh ucapan lelaki bertubuh pendek. Terbukti kini Gunjada ikut mesayanatap wajah Jaka dan Mayang dengan sorot mata tajam dan penuh selidik.

"Em..., Jaka! Jawablah pertanyaan Marga!" pinta Gunjada dingin.

Jaka mengembangkan senyum menyaksisayakan perubahan pada diri Gunjada yang mudah terpengaruh ucapan temannya.

"Secara khusus aku memang tak memiliki keperluan penting dengan Ki Bernala. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Maaf, keinginanku bersayasifat tak memaksa! Kalau kalian mengizinkan aku bersyukur sekali. Itu pun jika Ki Bernala sendiri tak berkeberatan bertatap muka dengan kami.  Dan yang perlu Kisanak sekalian ketahui, kedasayatangan kami ke tempat ini sedikit pun tak memsayabawa niat jahat," jawab Jaka tenang.

"Jangan percaya begitu saja dengan katasayakatanya, Kakang Gunjada!" selak Marga ketus.

"Tenanglah kau, Marga!" bentak Gunjada

sengit.

Marga  langsung tertunduk mendengar ben-

takan Gunjada yang disertai belalakkan mata. "Keinginan  kalian  tak  mungkin  bisa  kami

penuhi," tolak Gunjada dengan tatapan mata dinsayagin menusuk wajah kedua tamunya.

"Kenapa?" kali ini Mayang yang bertanya pada Gunjada. Suaranya yang merdu sempat membuat lelaki berwajah tampan dan berkumis tebal tergeragap sesaat.

"Ki Bernala tak mungkin ditemui orang lain yang tak dikenalnya," jawab Gunjada seraya menggeleng-gelengkan kepala perlahan.

"Maaf! Kalau boleh kami tahu, malapetaka apa yang Kakang Marga maksudkan tadi?" pinta Jaka dengan menyebut kata 'Kakang' sebagai tansayada hormatnya pada Marga.

"Itulah yang kumaksudkan dengan ketisayadakmungkinan kalian untuk bertemu dengan Ki Bernala. Dia tengah mengalami suatu penyakit yang cukup aneh," jelas Gunjada. Kecurigaan tersayahadap kedua tamunya sedikit demi sedikit mulai luntur. Itu tak lain karena sikap Jaka dan Mayang yang selalu menjaga kesopanan dalam berbicara.

"Penyakit aneh? Penyakit macam apa yang Kakang Gunjada maksudkan?" tanya Mayang hatisayahati.

"Kami tak tahu nama penyakit itu, Nini Mayang. Namun, yang jelas penyakit itu datang begitu tiba-tiba, pagi tadi keadaan Ki Bernala sesayagar-bugar, namun ketika menjelang siang dia mesayarasakan permukaan kulitnya berdenyut-denyut hebat. Nyeri dan panas, katanya. Dan sepenanak nasi setelah Ki Bernala merasakan hal itu, sekujur tubuhnya, tiba-tiba ditumbuhi benjolan-benjolan merah. Seperti bisul yang sudah tua dan hendak pecah," papar Gunjada menjelaskan keadaan Ki Bernala yang sesungguhnya.

"Betul-betul penyakit aneh," gumam Mayang. Tatapan matanya kini tertuju pada Jaka.

"Apakah kalian sudah berusaha mendasayatangkan tabib untuk mengobati penyakit Ki Bernasayala?" tanya Jaka kemudian.

"Itu sedang kami usahakan, Jaka," jawab Gunjada, "Kami sudah mengutus seseorang untuk mendatangkan tabib."

Sesaat suasana berubah hening. Mata Jaka dan Mayang saling tatap. Sementara itu Gunjada melempar pandangan pada kawan-kawannya yang masih nampak gelisah.

"Maaf, Kakang Gunjada! Kalau kau tak kesayaberatan, bolehkah aku melihat keadaan Ki Bernasayala? Aku khawatir penyakitnya tak lekas teratasi. Maaf, bukannya aku sok menjadi pahlawan, tetapi mudah-mudahan saja aku bisa memberikan pertosayalongan pertama sebelum tabib yang kau usahakan itu datang!" ujar Jaka menyampaikan permintaansayanya.

Gunjada tak segera menjawab permintaan Jaka. Tatapannya kini terpaku pada wajah lucu lesayalaki bertubuh pendek bernama Marga. Tampaknya Marga sendiri tak berani memberi jawaban, karena takut Gunjada akan membentak seperti tadi.

"Kakang Gunjada percayalah dengan ucasayapan Kakang Jaka!" ujar Mayang bernada membusayajuk.

"Kami tak akan berbuat jahat pada Ki Bersayanala, bahkan sebaliknya."

Gunjada menatap wajah cantik Mayang. Pesayarasaan lelakinya seketika bergetar hebat. Namun Gunjada segera meredam dengan mengalihkan tasayatapan matanya ke wajah pemuda berwajah tampan di depannya.

Cukup lama mata Gunjada menatap wajah Jaka, seakan-akan tengah mencari sebentuk kejusayajuran pada wajah tokoh muda yang berjuluk Raja Petir itu.

"Baiklah. Kupegang niat baik dan kejujuran kalian," putus Gunjada akhirnya.

Gunjada segera beranjak dari tempatnya, membawa masuk Jaka dan Mayang ke kediaman Ki Bernala, Kepala Desa Kober Utara itu. Sementasayara Marga dan rekan-rekannya yang lain hanya memandangi tubuh kedua muda-mudi yang besayaranjak, dari hadapan mereka. Sesungguhnya di hati mereka tersinggahi keresahan, tapi mereka berharap dua orang tamu tak diundang itu memsayabawa kebaikan bagi mereka semua terutama Ki Bernala.

***

Memasuki kamar pribadi Ki Bernala yang tertata rapi dan berbau harum, Jaka dan Mayang dapat menduga kalau Ki Bernala seorang kepala desa yang senang menjaga kebersihan. Dan jelas, Ki Bernala sangat mementingkan arti kesehatan lingkungan tempat tinggalnya. Namun kali ini pensayaguasa Desa Kober Utara itu justru tengah menderisayata karena penyakit aneh.

"Apakah dia tabib yang kau maksudkan, Gunjada?" seorang perempuan berusia empat pusayaluh tahunan menyambut kedatangan Raja Petir dan Mayang yang disertai Gunjada.

Perempuan yang mengenakan pakaian mesayarah muda itu masih menampakkan sisa-sisa kesayacantikannya di masa muda. Kulitnya nampak tesayarawat dengan baik. Kedua matanya pun masih bening dan menawan. Sementara rambutnya yang panjang tersanggul dengan rapi.

"Mereka bukan tabib, Nyi Rira," jawab Gunsayajada dengan kepala tertunduk. Sepertinya Gunjada begitu menghormati perempuan yang tak lain istri Ki Bernala.

"Bukan tabib?" tanya Nyi Rira Pangestu agak terkejut,

"Betul, Nyi," jawab Gunjada dengan kepala yang masih tertunduk.

"Apa yang dikatakan Kakang Gunjada betul, Nyi. Kami bukan tabib. Kami berdua hanyalah pasayara pengelana yang kebetulan lewat di desa ini," timpal Mayang dengan sikap yang sopan, "Setelah kami berbincang-bincang sebentar dengan Kakang Gunjada, maka tahulah kami kalau keluarga ini tengah tertimpa musibah. Maaf kalau kami terlalu lancang mencampuri urusan keluarga ini!" lanjut Mayang.

"Apa yang bisa kalian lakukan untuk mesayananggulangi musibah ini?" tanya Nyi Rira bernada meremehkan keberadaan Jaka dan Mayang.

'Tak ada yang bisa kami lakukan, sebelum kami lihat penyakit yang diderita Ki Bernala, Nyi. Ah, ya. Hampir lupa aku memperkenalkan diri. Namaku Jaka Sembada dan kawanku, ini Mayang Sutera," ujar Jaka terhadap ucapan Nyi Rira.

Tak ada jawaban dari mulut Nyi Rira Pansayagestu. Matanya menatap berganti-ganti ke wajah Jaka dan Mayang. Beberapa saat lamanya hal itu dilakukan Nyi Rira Pangestu. Sesaat kemudian tangan perempuan itu memberi isyarat pertanda memberi izin pada kedua tamu itu untuk melihat keadaan sang Suami.

"Silakan kalian lihat keadaan Ki Bernala," ucap Nyi Rira Pangestu sambil melangkah mendesayakati ranjang yang tertutup kelambu putih.

Nyi Rira Pangestu kemudian menyibak kesayalambu perlahan. Seketika itu juga nampak seorang lelaki berusia lima puluh tahunan tengah terbaring lemah. Keadaan Ki Bernala yang hanya mengenasayakan sehelai celana pendek nampak begitu mengesayarikan. Seluruh tubuhnya dipenuhi benjolansayabenjolan sebesar telur ayam dan berwarna kemesayarahan, seperti bisul-bisul yang hampir pecah.

Ki Bernala mengerang-erang merasakan hawa panas dan rasa sakit yang mendera. Sesayadangkan Nyi Rira Pangestu tampak berusaha mensayagurangi hawa panas yang diderita suaminya densayagan mengompreskan kain basah.

Raja Petir mulai memeriksa penuh perhasayatian penyakit yang diderita Ki Bernala dengan mengerahkan kekuatan batinnya. Semula ditatapsayanya benjolan paling kecil yang berwarna merah kehijauan dengan mata terbelalak. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba matanya terpejam.

"Ah...!" Terdengar desahan panjang dari mulut Jasayaka. Matanya perlahan-lahan terbuka. Lalu menosayaleh ke wajah Nyi Rira Pangestu dan Gunjada.

"Kalau boleh aku menduga, penyakit ini disebabkan perbuatan jahil seseorang yang berilsayamu cukup tinggi. Ini penyakit yang tak wajar," ujar Jaka dengan suara ditekan pelan.

"Berilah dia pertolongan kalau kau bisa, Nak Jaka," pinta Nyi Rira Pangestu dengan penuh harap. Entah mengapa tiba-tiba saja hatinya begisayatu percaya pada pemuda tampan berpakaian kunsayaing keemasan itu.

"Seperti Nyai dan juga orang-orang yang besayarada di lingkungan tempat tinggal ini, aku tak punya kelebihan apa-apa. Namun karena Nyai mempercayakan pertolongan itu kepadaku, maka aku akan berusaha semampuku melakukan persayamintaan Nyai. Namun kuharapkan juga bantuan Nyai, dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar memberikan rahmat-Nya demi kesembuhan Ki Bernala," pinta Jaka dengan perasaan merensayadah.

"Tentu saja, Nak Jaka," sambut Nyi Rira Pangestu seraya mengangguk.

Mendengar ucapan Nyi Rira Pangestu, Jaka segera mendekatkan wajahnya ke salah satu bensayajolan di tubuh Ki Bernala.

"Maaf, Ki! Aku memang harus meraba bensayajolan di tubuhmu," ucap Jaka pelan.

Telapak tangan lelaki muda berwajah tamsayapan itu segera bergerak meraba benjolan terkecil yang berwarna kehijauan. "Aaakh...!"

Jeritan keras seketika terlontar dari mulut Ki Bernala. Tubuh lelaki tanpa pakaian itu mengsayagelinjang, seperti tengah menahan rasa nyeri yang hebat.

Nyi Rira Pangestu sempat terlonjak mensayadengar jeritan sang Suami. Begitu juga dengan Gunjada. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu munsayadur satu langkah. Senjatanya yang berupa pedang sudah lolos dari warangkanya.

"Tenang, Kakang Gunjada!" tegur Mayang ketika melihat Gunjada sudah menghunus pesayadang. "Aku yakin Kakang Jaka sudah menemukan sumber penyakitnya. Itu sebabnya Ki Bernala menjerit kesakitan "

Ucapan Mayang berpengaruh pada diri Gunjada, terbukti lelaki berwajah tampan dan berkumis tebal itu kembali memasukkan pedang ke warangkanya.

Sementara Jaka nampak tengah meraih sesayasuatu dari balik pakaiannya.

"Sebaiknya diminumkan dulu obat penawar racun ini, Nyi," ucap Jaka seraya menyerahkan sebutir obat berwarna merah darah pada istri Ki Bernala.

Nyi Rira Pangestu tanpa menaruh curiga sesayagera meraih obat penawar racun yang diberikan Jaka, lalu memberikannya pada Ki Bernala.

"Aaakhsaya!"

Kembali Ki Bernala terpekik sesaat setelah menelan obat yang dimasukkan Nyi Rira Pangestu ke mulutnya. Tubuh Ki Bernala menggelinjangsayagelinjang beberapa saat. Sementara Nyi Rira Pansayagestu nampak kebingungan.

"Tak perlu cemas, Nyi! Obat yang telah masayasuk ke perut Ki Bernala tengah bekerja. Ki Bernala memang harus merasakan pertentangan yang tersayajadi pada tubuhnya," ucap Jaka mencoba menesayanangkan perasaan istri Ki Bernala.

Mendengar ucapan pemuda tampan yang tampak berwibawa itu Nyi Rira Pangestu tak mesayanyahuti. Namun, tampaknya ucapan Jaka telah membuat hati perempuan setengah baya itu tesayanang.

Ucapan yang keluar dari mulut Jaka ternyasayata benar. Ketika pertentangan yang terjadi dalam tubuh Ki Bernala berakhir, Kepala Desa Kober Utara itu berubah tenang. Meskipun belum tamsayapak adanya perubahan. Tubuhnya masih tetap disayapenuhi benjolan-benjolan sebesar telur ayam.

"Menyingkirlah sedikit, Nyi! Biar aku mesayanyalurkan kekuatan batinku ke tubuh Ki Bernala. Doakan semoga aku berhasil mengusir pengaruh jahat yang bersarang di tubuh Ki Bernala," pinta Jaka sopan.

"Silakan," ujar Nyi Rira Pangestu. Peremsayapuan setengah baya itu tampak melangkah ke besayalakang menjauhi pembaringan Ki Bernala.

Tanpa membuang waktu, tangan Jaka segesayara membalikkan tubuh Ki Bernala agar menelungsayakup. Setelah itu naik ke pembaringan agar dirinya lebih leluasa menyalurkan kekuatan guna mengusayasir kekuatan jahat yang mengendap di tubuh Ki Bernala. Sesaat kemudian Jaka memejamkan mata. Kemudian tangannya bergerak perlahan ke pungsayagung Ki Bernala yang tak terbungkus pakaian. Pendekar muda itu tengah mengerahkan 'Aji Kusayakuh Karang' yang juga berguna untuk pengobatan bagi penyakit-penyakit yang di luar kewajaran.

Sinar kuning seketika membias pada telasayapak tangan Jaka, ketika bersentuhan dengan punggung Ki Bernala. Terlihat oleh Nyi Rira Pansayagestu dan orang-orang yang ada di dalam kamar Ki Bernala, sinar keemasan yang berasal dari telapak tangan Jaka seolah bergerak dan menyelusup ke tubuh Kepala Desa Kober Utara itu.

Hanya sebentar Jaka menempelkan telapak tangan ke punggung Ki Bernala, yang juga ditumsayabuhi benjolan-benjolan merah sebesar telur ayam. Sesaat tubuh Ki Bernala yang diduduki Jaka tamsayapak menggeliat-geliat pelan. Namun kemudian disayaam tak bergerak.

Setelah itu Jaka turun dari pembaringan Ki Bernala. Lalu menghampiri Nyi Rira Pangestu.

"Semoga yang kulakukan barusan berhasil, Nyi!" ujar Jaka pada Nyi Rira Pangestu.

Nyi Rira Pangestu hanya mengangguk persayalahan. Matanya sejenak menatap wajah tampan Jaka.

"Kita tunggu sesaat hasil dari apa yang tesayalah kulakukan, Nyi," ujar Jaka lagi.

Namun belum lagi gaung ucapan Jaka lesayanyap, rintihan kecil tiba-tiba terdengar dari mulut Ki Bernala. Bersamaan dengan itu, Jaka, Mayang, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terkejut. Mereka melihat benjolan-benjolan merah yang memenuhi tubuh Ki Bernala mengeluarkan darah. Darah yang mengalir deras itu membasahi selimut putih penutup tubuh serta alas tempat tidur. Sehingga warna putih itu berubah merah, rata!

"Akh!" Nyi Rira Pangestu memekik tertahan dengan mata terbelalak menyaksikan suaminya. Namun dirinya jelas tak mungkin melakukan sesayasuatu untuk menolong sang Suami. Di samping itu Jaka pun sudah mencegah Nyi Rira Pangestu agar tak mendekati tubuh Ki Bernala.

"Bagaimana dia, Nak Jaka?" tanya Nyi Rira Pangestu dengan kecemasan yang luar biasa.

"Tenanglah saja, Nyi! Yang keluar itu darah kotor akibat perbuatan orang yang memiliki ilmu kotor. Kuharapkan tak berapa lama lagi darah itu berhenti mengucur dan Ki Bernala akan terbebas dari ilmu sesat yang menyerangnya!" ujar Jaka insayagin menenangkan hati Nyi Rira Pangestu.

Istri Ki Bernala tak lagi melemparkan pertasayanyaan, setelah mendengar penjelasan Jaka yang begitu meyakinkan. Apalagi ketika terbukti darah yang mengalir dari benjolan-benjolan di tubuh susayaaminya berhenti. Ki Bernala kini terlihat tenang, dengkur napasnya pun nampak mulai teratur.

"Sekarang, mari kita pindahkan tubuh Ki Bernala ke tempat lain, Nyi!" ajak Jaka kemudian. Tatapannya kini tertuju pada Gunjada yang tengah terpaku kebingungan.

"Ayo, Gunjada! Bantulah mengangkat Ki Bernala!" perintah Nyi Rira Pangestu.

Dengan tergeragap Gunjada menghampiri tubuh Ki Bernala. Bersama Jaka dan dibantu Mayang, Gunjada mengangkat tubuh Kepala Desa Kober Utara itu dengan hati-hati.

Baru saja Ki Bernala dibaringkan di tempat tidur yang lain dari luar terdengar suara ributsayaribut dengan memanggil nama Gunjada!

"Coba kau temui mereka, Gunjada! Tanya, apa yang terjadi! Setelah itu kau lapor ke sini," pesayarintah Nyi Rira Pangestu.

Gunjada bergegas meninggalkan kamar prisayabadi Ki Bernala. Di serambi depan tampak orangsayaorang berkumpul. Rata-rata di wajah mereka tersayagurat rasa takut.

"Ada apa ini?! Ada apa? Apa kalian tak tahu Ki Bernala sedang sakit? Kenapa ribut-ribut di sisayani?!" tanya Gunjada dengan suara membentak. Wajahnya yang terhias kumis tebal seakan tak mampu menyembunyikan kemarahannya.

"Anu, Kakang Gunjada..., anu!" jawab seosayarang lelaki tinggi kurus menggeragap karena mensayadengar kemarahan Gunjada.

"Anu apa! Bicara yang jelas!" bentak Gunjasayada keras.

"Anu, Kakang. Mayat-mayat di kuburan sasayana bangkit dan mengamuk, membantai para pensayaduduk terdekat," jelas lelaki tinggi kurus masih dengan suara gugup.

"Jangan ngaco kamu, Gorari!" bentak Gunsayajada berang.

"Betul, Kakang Gunjada. Mayat-mayat itu bangkit dari kuburnya," timpal lelaki bertubuh sesayadang yang mengenakan pakaian biru dekil. "Mayat-mayat itu membantai penduduk yang tingsayagal di sekitar tanah pekuburan."

"Setan! Musibah apa lagi yang akan mensayagancam desa kita!" gumam Gunjada mirip bentasayakan keras. Hatinya marah bercampur keheranan mendengar laporan itu.

Tangan kanan Kepala Desa Kober Utara itu tampak terdiam. Sesaat kemudian kakinya bergesayagas melangkah, masuk ke dalam rumah.

"Nyai Rira harus segera diberitahu," batin Gunjada.

"Heh...?! Mayat-mayat di kuburan bangkit?!" ulang Nyi Rira Pangestu dengan keterkejutan luar biasa. "Aneh!"

2

"Betul, Nyi. Semula aku juga tak yakin, tapi kecemasan mereka yang berada di depan sepertisayanya tak dibuat-buat," sahut Gunjada.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Nyi Rira Pangestu bingung. Tatapan matanya kini tersayatuju pada wajah Jaka dan Mayang bergantian.

Mendengar pertanyaan Nyi Rira Pangestu yang mengandung kecemasan, Jaka dan Mayang seketika terlibat saling tatap. Sepertinya sepasang tokoh muda yang memiliki kesaktian tinggi itu tengah merencanakan suatu kepastian untuk mesayanimpali pertanyaan istri Ki Bernala.

"Kalau begitu biar kami yang melihat kejasayadian di sana, Nyi!" ujar Jaka menjawab kebingunsayagan Nyi Rira Pangestu.

"Terima kasih, Jaka! Hati-hatilah kalian! Keanehan ini mungkin juga karena perbuatan tosayakoh-tokoh hitam yang usil," pesan Nyi Rira Pangessayatu. "Tentu, Nyi. Kami akan selalu berhati-hati," jasayawab Mayang. "Ayo, Kakang! Kita harus segera membantu penduduk dari pembantaian mayatsayamayat hidup itu."

"Aku ikut," selak Gunjada.

Jaka menoleh lalu memegang tangan lelaki berwajah tampan dengan kumis tebal itu. "Sebaiksayanya kau temani saja Nyi Rira, mengurus dan mensayajaga Ki Bernala! Percayakan saja kejadian ini pada kami! Aku dan Mayang akan berusaha mengurussayanya sebaik mungkin," tahan Jaka hati-hati. Biar bagaimanapun dirinya tak ingin perasaan tangan kanan kepala desa itu tersinggung.

Gunjada kiranya memahami ucapan Jaka. Kalau semua orang hendak menghadapi mayatsayamayat hidup, itu lalu siapa yang akan menjaga Ki Bernala? Meskipun sebenarnya ingin sekali dia dapat ikut melihat kejadian aneh itu.

"Maaf, Kakang Gunjada. Bukannya aku tak membutuhkan tenagamu. Kurasa Ki Bernala lebih membutuhkan. Jagalah dia, dan jika keadaan menjadi semakin tak memungkinkan untuk mesayanyelamatkan diri dari amukan mayat-mayat yang mungkin mencapai sini, pindahkan segera Ki Bersayanala dari tempat ini!"

"Menjaga Ki Bernala memang yang harus kulakukan, pergilah kalian!" ucap Gunjada.

Jaka dan Mayang melesat cepat melewati pintu yang terbuka. Kedua pendekar muda yang berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas itu bersayagerak begitu ringan, laksana terbang. Hal tak mengherankan karena keduanya tokoh yang besayarilmu tinggi.

Sementara itu di tempat kejadian mayatsayamayat yang bangkit dari kubur tengah berhadapan dengan sekelompok penduduk. Antara para pensayaduduk yang cukup berani dan mayat-mayat hidup tengah berlangsung sebuah perang tanding sangat seru dan aneh.

Penduduk Desa Kober Utara yang memesayagang bermacam-macam senjata sekuat tenaga besayarusaha mengusir mayat-mayat hidup yang hendak mengganggu keluarganya. Dengan cangkul, pasayarang, dan golok-golok para penduduk memberikan perlawanan semampu mereka.

Seorang lelaki penduduk Desa Kober Utara yang tengah menghadapi serangan dari mayat hisayadup tersentak kaget. Matanya terbelalak heran mendapati kenyataan yang ada. Dengan sekuat tesayanaga dibabatkan parang di tangannya ke leher mayat hidup yang hendak mencengkeramnya.

"Hih!" Bletak! "Heh?!"

Mayat hidup yang tak terbungkus kulit itu sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Tak ada tulang-belulangnya yang patah terbabat parang lesayalaki berpakaian hitam itu.

Crak! Knrkrk...! "Aaa...!"

Pekik melengking membumbung ke langit terdengar, ketika jari-jari tangan mayat hidup itu menjamah leher lelaki berpakaian hitam. Mata lesayalaki itu kontan mendelik, merasakan jemari tajam mayat hidup menembus kulit lehernya. Darah mengalir deras dari tenggorokan lelaki itu.

Brets!

Kepala lelaki itu terlepas. Jemari tangan mayat itu membetot keras lehernya. Tanpa bersuasayara apa pun mayat bertubuh kecoklatan tanpa kulit pembungkus itu melemparkan kepala yang telah direnggutnya. Kepala berlumuran darah itu mengsayagelinding sampai di dekat kaki Jaka yang baru saja tiba.

"Bedebah..!!" geram Jaka dengan mata tersayabelalak.

"Mundur kalian!" bentakan kuat Raja Petir yang mengandung tenaga dalam tinggi membuat para penduduk Desa Kober Utara yang tengah bersayatarung mempertahankan diri terlonjak mundur. Ternyata begitu juga keadaan mayat-mayat yang bangkit dari kubur. Makhluk-makhluk aneh yang menyeramkan itu tergetar, lalu menghentikan sesayarangan mereka terhadap para penduduk.

Raja Petir pun sempat merasa heran mesayanyaksikan sikap mayat-mayat itu. Mengapa maksayahluk-makhluk aneh itu, berhenti?

Untuk sesaat pertarungan terhenti, karena para penduduk Desa Kober Utara bergerak munsayadur mendekati Raja Petir dan Mayang yang berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Sementara itu tampak mayat-mayat hidup itu selangkah pun tak berani bergerak maju dari tempat mereka.

Beberapa saat suasana hening mencekam berlangsung. Namun sesaat kemudian keanehan kembali disaksikan Raja Petir dan Mayang serta para penduduk yang terdiam tegang. Mayat-mayat hidup itu bergerak mundur. Dengan membalikkan tubuh mereka berlalu meninggalkan Jaka dan Mayang yang telah siap menghadapi makhluksayamakhluk aneh itu.

Gerakan mayat-mayat hidup yang begitu sesayarempak membuat suatu gagasan melintas di benak Jaka. Kelakuan makhluk-makhluk itu seperti ada yang mengatur. Namun, siapa orangnya? Yang jesayalas dia seorang yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

"Kita harus menyelidiki keanehan ini, Mayang," bisik Jaka setelah mayat-mayat  hidup itu bergerak semakin jauh.

"Tentu, Kakang. Kita harus tahu siapa dasayalang di balik kejadian aneh ini," sahut Mayang bersayasemangat. "Dan kita harus menghentikan perbuasayatan terkutuk ini!"

"Itu memang harus kita lakukan, Mayang. Ini kejadian yang tak dapat dibiarkan...," balas Jasayaka dengan tatapan mata tak lepas pada beberapa mayat penduduk Desa Kober Utara yang tergeletak setelah tak mampu menghadapi lawan-lawan aneh itu.

"Kalau begitu mari kita urus mayat-mayat itu sekarang, Kakang! Biar bagaimanapun jasad mereka butuh penghormatan  yang layak," ujar Mayang.

"Kisanak sekalian! Tolong bantu kami mensayagurus mayat-mayat mereka," teriak Jaka keras.

Belasan lelaki yang semenjak kepergian mayat-mayat hidup itu hanya terpaku, tersentak mendengar teriakan keras pemuda tampan berbasayaju kuning keemasan itu. Para penduduk merasa heran dan hampir tak percaya terhadap kejadian barusan. Mereka merasa bagaikan baru saja tersayasadar dari mimpi buruk yang mencekam. Belasan lelaki itu kini berhamburan mendekati sosok-sosok mayat rekan mereka. Bersama-sama Jaka dan Mayang, para penduduk mengurus mayat-mayat untuk dimakamkan.

"Siapa sebenarnya kalian, sepertinya orang asing di Desa Kober Utara ini?" tanya seorang lelasayaki berusia lima puluh tahunan. Wajahnya berkesayarut-kerut, membuat dirinya tampak lebih tua dari usia sebenarnya.

"Kami memang pendatang di Desa Kober Utara ini, Ki," jawab Jaka. "Ah, ya. Namaku Jaka Sembada dan ini temanku, Mayang Sutera."

"Kalau boleh ku tahu. Di desa ini kau tingsayagal bersama siapa?" tanya lelaki tua itu lagi mesayanyelidik.

"Entahlah! Mungkin di rumah Ki Bernala," jawab Jaka.

"Kau kenal Ki Bernala?" tanya lelaki tua itu sedikit terkejut.

"Ya."

"Kau kerabat, Ki Lurah?" tanya lelaki tua itulagi. Jaka membiarkan pertanyaan lelaki tua itu. "Sebaiknya kami ke tempat beliau dulu, Ki.

Ki Bernala sedang sakit, kami mencemaskan keasayadaannya," ujar Jaka mengelak dari pertanyaan lesayalaki tua penduduk desa itu.

Lelaki tua itu tak lagi melontarkan pertasayanyaan. Ketika Jaka dan Mayang sama-sama mensayaganggukkan kepala dan berlalu dari hadapannya, lelaki tua itu tertegun mengiringi kepergian kedua muda-mudi itu. Di hatinya tersemat kekaguman terhadap mereka berdua.

***

Ki Bernala tengah duduk di pembaringansayanya, ketika Jaka dan Mayang muncul kembali ke kamarnya yang berbau harum dan terawat rapi. Di samping Ki Bernala duduk istrinya yang kini bersayawajah agak cerah. Mungkin kekhawatirannya tersayahadap keselamatan Ki Bernala telah sirna.

"Kalian yang bernama Jaka dan Mayang?" tanya Ki Bernala, ketika melihat kemunculan Jaka yang diantar oleh Gunjada.

"Benar, Ki. Ah, bagaimana keadaanmu?" tanya Jaka.

"Baik. Dan terima kasih atas pertolongansayamu," jawab Ki Bernala. "Benjolan-benjolan aneh itu kini benar-benar telah lenyap dari tubuhku," lanjutnya sambil menyingkap pakaian yang dikesayanakan.

"Syukurlah, Ki!" ucap Jaka. "Bagaimana dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur itu, Jaka? Ah! Apa kau berhasil mengusir mereka?" tanya Ki Bernala. Kali ini tatapan mata Ki Bernala merayapi sekujur tubuh pemuda berambut gonsayadrong dan berpakaian kuning keemasan yang bersayadiri di hadapannya.

"Aku tidak melakukan apa-apa terhadap mayat-mayat hidup itu. Ketika kami datang ke tempat kejadian, mayat-mayat hidup itu serempak menghentikan keganasan mereka. Semua berlalu begitu saja, seperti ada yang mengendalikan," jasayawab Jaka.

"Aneh! Seaneh penyakit yang ku alami. Pasti ada sesuatu di balik kejadian aneh ini. Dan sesuasayatu itu pasti sebuah rencana yang sudah diatur dan didalangi orang yang tak sembarangan...," ucap Ki Bernala pelan. Nada keresahan terdengar jelas dari ucapannya.

Sementara Nyi Rira Pangestu istri Ki Bernasayala nampak menundukkan kepalanya.

"Kami semua sangat membutuhkan pertosayalonganmu. Raja Petir," ujar Kepala Desa Kober Utara itu dengan suara perlahan. Tatapan masayatanya menghujam dalam di wajah tampan Jaka yang disebut julukannya.

Jaka tampak tak merasa terkejut mendensayagar Ki Bernala menyebut julukannya. Meski disayarinya tak tahu persis, apakah Ki Bernala memang benar-benar mengenalnya sebagai sosok Raja Petir atau cuma kenal dari ciri-ciri yang telah dikenal baik oleh para tokoh persilatan maupun penduduk biasa.

Justru keterkejutan nampak pada wajah Nyi Rira Pangestu. Wajah perempuan yang masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikan masa musayadanya itu bersemu merah. Istri Ki Bernala itu tamsayapak malu-malu ketika bertatapan dengan Jaka  dan Mayang. Sesungguhnya Nyi Rira Pangestu tak menyangka kalau lelaki berwajah tampan yang tesayalah menyelamatkan suaminya, ternyata seorang yang cukup dikenal dan disegani tokoh-tokoh sakti rimba persilatan.

"Tak perlu diminta pun dengan senang hati kami akan membantu kesulitan penduduk Desa Kober Utara ini, Ki Bernala," ucap Jaka menjawab permintaan kepala desa itu. "Bukan begitu, Mayang?" lanjut Jaka melempar pertanyaan pada gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di sampingnya.

"Benar Ki," timpal Mayang, "Ini kewajiban kami," lanjut gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas itu.

"Ah, terima kasih kalau begitu!" ujar Ki Bersayanala dengan wajah memancarkan kegembiraan. "Aku yakin kalian berdua adalah sepasang pendesayakar muda yang memiliki kesaktian tinggi dan akan mampu mengusir makhluk-makhluk aneh itu."

"Kita sama-sama berjuang untuk itu, Ki. Tanpa bantuan Ki Bernala dan penduduk desa ini, kami bukanlah apa-apa," kilah Jaka merendah.

"Tentu saja hal itu akan kulakukan, Jaka. Nyawaku tak segan-segan kupertaruhkan demi kesayatenteraman desa yang telah ku pimpin selama pusayaluhan tahun," terdengar ucapan mantap dari musayalut Ki Bernala. "Benar, Nak Jaka," timpal Nyi Rira Pangessayatu, "Apa pun akan kami korbankan demi menjaga ketenteraman desa ini. Ah! Sungguh aku tak habis pikir, siapa tokoh yang berdiri di balik keanehan ini. Puluhan tahun kami hidup di desa ini, baru kini kami mengalami kejadian aneh begini," keresayasahan kembali muncul dari ucapan istri Ki Bernasayala.

"Kami berusaha akan menyelidiki siapa tosayakoh itu, Nyi," ucap Mayang mencoba membesarkan hati Nyi Rira Pangestu.

Perempuan berusia tak lebih dari empat pusayaluh tahun itu tak lagi berucap. Sementara, di luar rumah Ki Bernala, langit nampak tertutup awan hitam. Angin malam bertiup kencang menanggalsayakan dedaunan yang tak kuat berpegang pada  tangkai. Tampaknya sebentar lagi hujan akan tusayarun. Dari kejauhan terdengar guntur mengisyasayaratkan bakal datangnya hujan.

3

Hujan lebat mengguyur bumi Desa Kober Utara. Malam yang gelap kian mencekam. Suara guntur menggelegar sesekali terdengar dan menesayarangi desa itu.

Pada saat guntur menggelegar, tampak sesayasosok bayangan melesat di antara pepohonan yang tumbuh di sebelah barat Desa Kober Utara. Gerasayakan sosok tubuh yang terbungkus pakaian hitam itu tampak begitu ringan dan lincah. Tanah yang becek dan licin pun bukan penghalang baginya untuk bergerak dengan cepat.

"Hhh...!" sosok tubuh yang tengah bergerak itu menghela napas berat. "Hujan seperti ini agaksayanya menandakan sebuah kegagalan," lanjut sosok berpakaian hitam itu membatin. Namun sedikit pun tidak mengurangi kecepatan larinya. Tubuhsayanya terus melesat ke timur, menembus gelap masayalam dan lebatnya hujan.

Ketika perbatasan Desa Kober Utara telah tampak, sosok tubuh hitam itu mulai mengendursayakan larinya. Hujan pun mulai mereda. Seiring densayagan langkah kaki sosok berpakaian hitam yang, meninggalkan perbatasan Desa Kober Utara hujan telah reda. Sosok yang berlari tergesa itu kini musayalai melangkah perlahan menghampiri sebuah bansayagunan tua yang tak jauh dari mulut Desa Pagasayarayung.

"Celaka, Ki Bandot!" ujar sosok berpakaian hitam ketika menguak pintu rumah tua itu. Seosayarang lelaki tua berpakaian biru terang nampak tengah duduk bersila di balai-balai bambu.

"Aku sudah merasakan getaran kegagalan upaya kita dari sini, Manggale," sahut lelaki berusayasia sekitar enam puluh tahun dengan sorot mata yang tak lepas memandangi lututnya. "Tapi kita akan tetap berusaha sampai Desa Kober Utara dasayapat terkuasai. Banyak cara untuk kita berhasil mesayalakukannya, Manggale. Kau tak perlu cemas! Basayapakmu pasti akan menjadi pemimpin dua desa yang bersatu. Dan kekayaan bapakmu tak akan habis dimakan seratus keturunan sekalipun," lansayajut lelaki berpakaian biru terang yang bernama Ki Bandot.

"Kita memang harus berhasil, Ki," tegas sosayasok berpakaian hitam yang tadi dipanggil Mangsayagale. Lelaki muda berusia dua puluh delapan tasayahun itu memiliki wajah yang tampan. Namun sayang, di bagian dahinya terdapat bekas luka memanjang sepanjang alis, dari kiri dan kanan. Bekas luka itu berwarna hitam hingga sedikit mengganggu ketampanan.

"Percayakan semua ini padaku, Manggale! Di kepalaku tersimpan banyak cara untuk menjasayatuhkan si sontoloyo Bernala itu. Kita akan mengusayaasai Desa Kober Utara!" tandas Ki Bandot dengan angkuh.

Manggale hanya tersenyum mendengar keyakinan yang keluar dari ucapan lelaki tua bersayacambang bauk dan jenggot putih itu. Mata lelaki berlanjut itu menyorot tajam, walau bola matanya agak menjorok ke dalam.

Namun, keyakinan Manggale tiba-tiba kemsayabali terusik mengingat rencananya yang digagalsayakan pasangan tokoh muda. Diingatnya pula basayagaimana mayat-mayat hidup itu bergerak mundur setelah melihat kemunculan dua pendekar muda. Perbawa sepasang tokoh muda itu dirasakan terlasayalu tinggi.

"Tapi, Ki Bandot...," ucap Manggale terpengsayagal karena tatapan tajam Ki Bandot. Manggale mesayarasa tak enak hati untuk menyatakan keraguansayanya.

"Tapi, apa, Manggale?" tanya Ki Bandot sesayaraya menatap wajah Manggale.

Manggale tak segera menjawab pertanyaan lelaki berpakaian biru terang yang di kiri-kanan pinggangnya terselip sebilah parang yang berwarna merah darah.

"Katakan apa yang kau maksudkan barusayasan, Manggale!" desak Ki Bandot seraya menatap anak Kepala Desa Pagarayung yang membiarkan pertanyaannya. "Apa kau belum yakin dengan kesayapandaian Ki Bandot?" tandas lelaki tua bercamsayabang bauk putih seraya menepuk dada tuanya cusayakup keras.

"Ah, bu... bukan begitu yang ku maksud, Ki," kilah Manggale kelabakan. Wajah lelaki tamsayapan itu berubah kemerahan. Hatinya merasa tak enak mendengar ucapan Ki Bandot

"Lalu apa, Manggale?" tanya Ki Bandot lemsayabut. Seakan-akan tahu perasaan tak enak yang melanda hati putra Kepala Desa Pagarayung itu. Diam-diam hatinya kagum melihat Manggale yang begitu setia membantu ayahnya dalam menunsayadukkan Ki Bernala dan menguasai Desa Kober Utara.

Pikiran Manggale kembali menerawang membayangkan penampilan sepasang muda-mudi yang mampu mengusir para mayat hidup. Penamsayapilan kedua pendekar muda itu begitu memiliki perbawa yang begitu kuat. Sehingga mayat-mayat yang bangkit dari kubur itu seakan ketakutan menghadapi mereka berdua, lalu kembali ke temsayapat asalnya masing-masing. Atau mungkin kedua lelaki perempuan muda itu memiliki kesaktian tinggi, hingga ilmu sihir yang dikerahkan Ki Bansayadot luntur.

"Sepasang anak muda itu, Ki Bandot. Disayaalah yang menjadi pikiranku sekarang," jawab Manggale setelah beberapa saat terdiam.

"Hmmm...! Dari sini aku pun dapat merasasayakan getaran kekuatan orang yang kau maksudkan, Manggale. Namun sayang, aku tak bisa merekasayareka siapa gerangan mereka," tutur Ki Bandot densayagan mata yang sedikit dipejamkan.

Manggale tak berusaha memotong ucapan Bandot. Lelaki muda yang ketampanannya tersayaganggu oleh codet di atas alis itu hanya mempersayahatikan cara lelaki tua itu berbicara.

"Coba kau sebutkan ciri-ciri mereka, Mangsayagale!" pinta Ki Bandot seraya menatap wajah Manggale.

Manggale mengerutkan dahi seakan-akan tengah berusaha mempertajam ingatannya terhasayadap keberadaan dua muda-mudi yang tak lain si Raja Petir dan Dewi Payung Emas.

"Aku ingat Ki. Yang pertama, seorang lelaki berusia muda, berwajah tampan. Tubuhnya kekar dan berisi. Dia mengenakan pakaian kuning keesayamasan dan di pinggangnya melilit sebuah sabuk hijau. Ah, sabuk itu sepertinya bukan sembaransayagan sabuk, Ki. Apalagi dengan sebuah pedang bersayagagang indah yang menggelantung di punggungsayanya menjadikan perbawanya begitu mengerikan," papar Manggale dengan tatapan mata  mengarah ke luar rumah kediaman Ki Bandot.

Sementara itu Ki Bandot hanya menimpali keterangan Manggale dengan kepala mengangguksayaangguk.

"Sedangkan yang wanita, Ki" lanjut Mangsayagale, "Dia juga masih begitu muda dan cantik. Pasayakaiannya yang berwarna jingga sangat mencolok mata, pas dengan kecantikannya. Wanita itu mesayamegang sebuah payung kecil, sepertinya terbuat dari logam keras dan berwarna kuning  keemasayasan "

"Hmmm. !"

Ki Bandot bergumam tak jelas. "Pantas!" ujarnya kemudian.

"Ki Bandot mengenal mereka?" tanya Mangsayagale dengan raut wajah yang terkesan kaget.

"Semua tokoh berilmu tinggi pasti mengesayanalnya, Manggale," jawab Ki Bandot seraya mensayagangguk-anggukkan kepala.

"Ah, siapa mereka, Ki?" desak Manggale insayagin segera tahu.

Ki Bandot tersenyum melihat ketaksabaran Manggale.

"Kalau memang dia berdiri di pihak Ki Bersayanala, berarti dialah perintang utama cita-cita ayahmu, Manggale. Kita harus menyingkirkan mesayareka agar usaha-usaha selanjutnya dapat kita lampaui dengan mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Percayalah Manggale! Aku dapat menyingkirkan sepasang pendekar muda  yang mau ikut campur urusan orang lain itu. Pendekar usil...!" kalimat terakhir yang diucapkan Ki Bandot cukup jelas dan kuat.

"Siapa mereka, Ki?" desah Manggale, karena Ki Bandot belum juga menjawab pertanyaannya. "Raja Petir dan Dewi Payung Emas," jawab

Ki Bandot.

"Raja Petir?" ulang Manggale terkejut.

"Kau pernah mendengar julukan itu, Mangsayagale?" tanya Ki Bandot memecah lamunan putra tunggal Ki Gambaga yang berhasrat menguasai Desa Kober Utara dan menggabungkan dengan Desa Pagarayung di bawah kepemimpinannya.

Manggale menatap wajah Ki Bandot sebesayalum menjawab pertanyaan itu. "Aku pernah mensayadengar julukan itu disebut-sebut orang, waktu singgah di sebuah kedai. Menurut mereka kedua tokoh itu memiliki kesaktian tinggi. Apa memang begitu, Ki?" tanyanya.

"Menurut kabar yang kudapat memang besayagitu, Manggale. Namun aku tetap menyangsikan kehebatannya. Apakah sepasang pendekar muda itu mampu menghadapi Ki Bandot yang berjuluk Setan Bukit Cemara?" ungkap Ki Bandot, mesayanyombongkan dirinya sebagai Setan Bukit Cemara. "Mudah-mudahan tidak, Ki!" sahut Mang-

gale menimpali ucapan Ki Bandot.

"Tidak pakai mudah-mudahan, Manggale!" ucap Setan Bukit Cemara keras. "Aku pasti dapat mengalahkannya!''

Manggale tertunduk melihat kemarahan lesayalaki berusia enam puluh tahun lebih itu.

"Kau harus percaya itu, Manggale!" kembali ucapan Setan Bukit Cemara terdengar lunak, dan itu cukup membuat Manggale kembali berani mengangkat kepala untuk menatapnya. "Seluruh kemampuanku, seluruh ilmu kesayasaktianku akan ku keluarkan untuk menghadapi Raja Petir dan pasangannya yang berjuluk Dewi Payung Emas," lanjut Setan Bukit Cemara dengan gerakan tangan yang hendak meraih tubuh Mangsayagale.

"Ah, maaf Ki. Kalau seandainya Ki Bandot memang membutuhkan bantuan untuk meringansayakan tugas Ki Bandot, aku akan membicarakannya pada ayah untuk mengizinkan kita mencari tokohsayatokoh sakti guna menghadapi Jaka," usul Mangsayagale dengan hati-hati, karena takut lelaki tua itu tersinggung.

Wajah Setan Bukit Cemara merah padam ketika mendengar ucapan putra tunggal Ki Gamsayabaga itu. Namun lelaki tua itu segera memaklumi usul Manggale yang tengah dilanda kecemasan akan kegagalan cita-cita sang Ayah dalam merebut Desa Kober Utara.

"Kita tak perlu bantuan tokoh-tokoh lain, Manggale. Cukup Ki Bandot saja yang menghadapi Raja Petir. Buang kecemasanmu jauh-jauh! Persayacayakan semuanya padaku! Setan Bukit Cemara akan mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan cita-cita ayahmu," kilah Ki Bandot menenangkan gejolak hati putra Kepala Desa Pagarayung.

"Ah, maafkan aku, Ki! Bukan maksudku meremehkan kesaktianmu. Ucapanku tadi keluar dari rasa cemas yang tak mampu kubendung. Sesayakarang kecemasanku sedikit sirna, karena Setan Bukit Cemara telah berjanji dengan keyakinan akan membela ayah. Aku percaya sepenuhnya pasayadamu, Ki. Dan kita pasti akan mampu mengusir si Raja Petir, kita kuasai Desa Kober Utara," ujar Manggale dengan raut wajah cerah.

"Tapi kau harus ingatkan ayahmu, Mangsayagale. Daerah selatan Desa Kober Utara, khususnya darah Bukit Gandung itu adalah jatah untukku," ungkap Setan Bukit Cemara.

"Tentu saja, Ki. Lebih dari itu pun aku akan memintakannya pada ayah untukmu, asalkan...," Manggale seperti sengaja menahan ucapannya.

"Asalkan apa, Manggale?" dengan tatapan keheranan Setan Bukit Cemara bertanya pada lesayalaki muda bercodet itu.

"Kalau kita berhasil menyingkirkan Raja Pesayatir kuharap kau sudi memaafkan teman wanisayatanya," ucap Manggale takut-takut.

"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa terkekeh, mendengar ucapan Manggale. Meski ucapan itu baru separo keluar dari mulut Mangsayagale, Ki Bandot sudah mengetahui kelanjutan dan arti dari ucapan putra tunggal Ki Gambaga.

Sementara Manggale sendiri menundukkan kepalanya setelah melihat tanggapan Ki Bandot.

"Ha ha ha...! Ternyata kau suka juga pada jidat licin, Manggale. Akan kau jadikan apa si Dewi Payung Emas itu? Istri atau hanya sekadar...?"

"Ki Bandot, lihat saja nanti!" selak Manggale

cepat.

"Selera mu memang tinggi, Manggale," tukas

Ki Bandot lagi.

"Kurasa kau pun begitu, Ki," balas Manggale seraya tersenyum. Ucapan Manggale barusan memang terkesayasan sedikit kurang ajar. Namun bagi Setan Bukit Cemara hal itu suatu yang wajar. Meskipun kedusayadukannya sebagai seorang guru lebih tinggi, disayarinya juga ingin muridnya bisa berkelakar agar keakraban semakin terasa. Dan Manggale telah memperlihatkan kelakarnya tadi dengan ungkapan hatinya sebagai lelaki yang juga gandrung akan kecantikan wanita.

Malam makin larut. Setan Bukit Cemara yang tengah berbicara dengan Manggale sesekali melirikkan matanya melalui jendela kayu yang tersayabuka lebar.

"Malam sudah larut, Manggale. Sebaiknya sekarang juga kita menemui ayahmu," ucap Setan Bukit Cemara.

"Ya. Sekalian kita kabari ayah tentang Raja Petir yang turut campur tangan dalam urusan kisayata!"

"Ayahmu memang harus tahu, Manggale. Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini! Tengah malam nanti kita kembali ke sini," ujar Setan Busayakit Cemara seraya bangkit dari duduk bersilanya.

"Tengah malam?" tandas Manggale.

"Ya, tengah malam. Aku punya rencana khusus untuk membuat seluruh penduduk Desa Kober Utara gempar," jelas Setan Bukit Cemara.

Manggale tersenyum mendengar penjelasan Ki Bandot.

"Kau memang hebat, Ki! Dan juga licik," puji Manggale.

"Kelicikan itulah yang kita butuhkan untuk dapat menyingkirkan si tua bangka Bernala," sasayahut Ki Bandot seraya tersenyum.

Selesai dengan ucapannya, Setan Bukit Cemara beranjak menghampiri pintu yang terbuat dari bambu berwarna coklat kehitaman.

Krrrttt...!

Bunyi berkerekotan terdengar seiring tersayakuaknya pintu rumah. Langkah kaki Setan Bukit Cemara pun terlihat di ambang pintu, diikuti Mangggale yang kini berwajah cerah. Mata lelaki muda bercodet di dahi itu membayang kecantikan Mayang.

"Tutup pintu rapat-rapat Manggale. Jangan biarkan binatang-binatang hutan memasuki ruansayagan dan mengotori tempat memperagakan ilmusayailmu sihirku," ucap Setan Bukit Cemara.

Manggale tak menjawab ucapan Ki Bandot, karena dirinya memang tengah melakukan apa yang diucapkan Setan Bukit Cemara.

Malam gelap meniupkan hawa dingin setesayalah hujan. Langit tak lagi mendung. Setan Bukit Cemara dan Manggale melangkah cepat melewati jalanan basah. Mereka menuju rumah Ki Gambasayaga, Kepala Desa Pagarayung.

4

Malam merangkak perlahan. Desir angin yang meniupkan hawa dingin ditingkahi gesekan ranting-ranting pohon dan suara binatangsayabinatang yang bersahutan. Suasana gelap menyelimuti hutan di sebesayalah timur Desa Pagarayung yang membatasi desa tersebut dengan Desa Kober Utara. Di tengah kegesayalapan itu tampak dua sosok tubuh tengah melangsayakah cepat menuju sebuah bangunan tua yang tersayabuat dari bambu.

"Tengah malam ini penduduk Desa Kober Utara dan si tua bangka Bernala akan terganggu. Dan sudah pasti si Raja Petir," ucap sosok lelaki tua berpakaian biru terang yang tak lain Ki Bansayadot, atau Setan Bukit Cemara.

Lelaki muda berpakaian hitam yang di dasayahinya terdapat codet hitam hanya diam. Kakinya terus mengikuti langkah Ki Bandot, menuju rusayamahnya.

"Kau tahu apa yang akan aku perbuat, Manggale?" sambung Setan Bukit Cemara dengan tatapan yang tepat di wajah Manggale.

"Kau akan kembali membangunkan mayatsayamayat pekuburan Desa Kober Utara?" jawab Manggale dengan ucapan yang layak sebuah persayatanyaan.

Ki Bandot tersenyum sembari menggelengsayakan kepala, "Malam ini aku tak akan menggunasayakan mayat-mayat di pekuburan Kober Utara, Manggale," sahutnya pelan.

"Lalu dengan apa lagi, Ki?" tanya Manggale ingin tahu.

"Kau lihat saja nanti, Manggale! Kau akan saksikan bagaimana penduduk Desa Kober Utara akan mengalami kegemparan atas pekerjaan yang akan kita laksanakan sekarang. Ha ha ha...!" jelas Setan Bukit Cemara dengan kegembiraan yang meluap-luap.

"Ha ha ha...!"

Manggale pun ikut terbahak mengiringi tasayawa Setan Bukit Cemara yang lebih dulu terbang terbawa hembusan angin malam.

"Ayo, kita laksanakan sekarang juga, Mangsayagale!" ajak Ki Bandot dengan langkah kaki yang tergerak lebih dulu memasuki bangunan bambu tempat mempraktekkan ilmu-ilmu sihirnya.

Manggale segera saja mengikuti langkah kaki Setan Bukit Cemara yang dalam hal ini sebasayagai gurunya. Dan lelaki tua itu duduk bersila di balai-balai bambu, Manggale dengan sikap hormat mengikutinya. Manggale tahu, setiap kali Ki Bansayadot akan memulai usahanya, siapa saja dilarang mengucapkan sepatah kata pun. Maka Manggale tenang tanpa sedikit pun menggerakkan tubuh apalagi harus menoleh ke sana kemari.

Seperti halnya yang dilakukan Setan Bukit Cemara, Manggale duduk bersila dengan kepala yang menekur ke balai-balai bambu. Mulutnya terkunci rapat tanpa suara. Sesaat kemudian masayatanya terpejam. Di samping kirinya, Ki Bandot dengan telapak tangan dirapatkan dan diletakkan di depan dada nampak tengah berkomat-kamit mengucapkan suatu mantera.

Pada mulanya tak terdengar sedikit pun dasayari mulut Setan Bukit Cemara, hanya gerak-gerak bibirnya yang tampak. Namun semakin lama tersayadengar, bahkan kemudian lebih jelas dan keras. "Wahai, serigala-serigala dan ular-ular pengsayahuni Hutan Jalakdalu, bangunlah dari tidurmu, berpesta-poralah di Desa Kober Utara! Lumat dagsayaing-daging empuk penduduk Desa Kober Utara, nikmati tulang-tulang mereka, reguk darah meresayaka...!"

"Wahai, serigala-serigala dan ular-ular pengsayahuni Hutan Jalakdalu. Berpesta-poralah sekarang juga! Berpesta-poralah sekarang...! Sekarang jusayaga...! Sekarang...! Sekaraaang...!"Suara rapal mantera yang diucapkan Setan Bukit Cemara mengumandang ke angkasa dan tesayarus terbang dibawa angin malam nan dingin.

Manggale yang duduk bersila di samping Setan Bukit Cemara tampak bergemetaran mensayadengar ucapan mantera yang bergema dari mulut lelaki tua itu. Seketika tubuhnya merinding sedang mulutnya kelu bagaikan terkunci.

Sementara itu Setan Bukit Cemara perlasayahan-lahan mulai membuka matanya yang terpesayajam.

***

Malam di Desa Kober Utara terasa begitu mencekam. Angin dingin yang berhembus seakansayaakan mengisyaratkan bakal terjadi sesuatu petaka yang mengerikan. Sementara itu, bulan sepotong menyelusup di balik awan-awan kelabu yang berasayarak di langit.

Empat lelaki peronda yang tengah melintas di sekitar mulut Hutan Jalakdalu terlihat melangsayakah perlahan. Mereka berjalan saling merapat. Tampaknya keempat penduduk Desa Kober Utara itu tengah dilanda suatu perasaan mencekam yang datang secara tiba-tiba.

"Hhh...! Rasanya malam ini ada yang aneh, Di. Perasaanku tak enak," ujar seseorang peronda yang bertubuh pendek. Sikutnya digerakkan mesayanyentuh pinggang kawannya.

"Aku juga merasakan begitu, Jang," timpal lelaki bernama Patmin.

"Sama, bulu kudukku saja merinding, Jang," timpal lelaki peronda yang lain. "Hhh..., ada apa ya?"

"Iya, ya? Tidak biasanya begini," sahut lelaki bertubuh gemuk seraya menoleh ke wajah temansayanya bernama Patmin.

Namun belum lagi pertanyaan lelaki gemuk itu terjawab, dari kejauhan tiba-tiba terdengar susayaara seperti lolongan serigala yang bersahutsayasahutan.

"Auuuaaa...!" "Auuuaaa...! Auuu...!"

"Kau dengar itu, Di?" tanya Ujang dan Pat-

min.

"Ya, ya. Kudengar, Jang. Seperti lolongan

serigala sedang marah," tandas Pardi. "Hiii...!"

Patmin dan Boyong menaikkan sepasang pundak. Ada perasaan takut yang tiba-tiba mesayanyemat di hati mereka.

"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" usul Ujang yang kelihatannya lebih berani dari ketiga peronda yang lain.

Tanpa memberi sambutan pada ajakan Ujang, ketiga lelaki itu telah berlari cepat meningsayagalkan mulut Hutan Jalakdalu. Namun...

"Zzzsttt...! Zzzssst...!" "Zsssttt...!"

Baru beberapa langkah kaki empat peronda tergerak, tiba-tiba mereka berhenti dengan hati disayaliputi perasaan terkejut. Di depan mereka kini menghadang beberapa ekor ular besar dan kecil. Tubuh-tubuh binatang berbisa itu berdiri, seakan hendak mencegat keempat lelaki yang akan melesayawati tempat itu. Ular-ular itu mendesis-desis memperlihatkan kebuasannya.

"Hah...!"

"Heh...!"

"Zsssttt! Zsssttt...!"

Lidah-lidah bercabang itu menjulur-julur. Dan itu cukup membuat Patmin berdiri gemetar. Sementara celana lelaki penakut itu sudah basah oleh air kencingnya.

"Gawat...! Mampus kita," ujar Patmin ketasayakutan. akal.

"Ayo, kita balik arah!" ajak Ujang mencari Pardi, Boyong, dan Patmin segera mengikuti apa yang dilakukan Ujang. Mereka segera memba-

likkan tubuh guna menghindari binatang-binatang melata yang beracun itu. Namun....

"Akh!"

"Gawat!" "Hahsaya!" Keempat petugas jaga malam itu terkejut bukan kepalang. Mata mereka berbelalak hampir tak percaya. Ternyata ular-ular yang lebih besar telah menghadang di belakang mereka.

"Mampus kita, Min.'" seru Ujang dengan mata terbelalak menatap ular-ular itu.

Tanpa diduga, Ujang segera memerintahkan teman-temannya untuk mengadakan perlawanan.

"Jangan sampai kita mati konyol, ayo kita lawan sebisanya!" teriak Ujang seraya mengacungsayakan kayu yang digenggamnya.

Menyaksikan Ujang yang sedemikian berasayani, hanya Boyong yang mau mengikutinya. Lelaki bertubuh besar itu mengangkat kayu bulat di tansayagan kanannya.

Belasan ular yang berada di depan dan besayalakang keempat peronda itu seolah-olah mengerti kalau calon korbannya akan mengadakan perlasayawanan. Seketika itu juga binatang-binatang berasayacun itu meluncur cepat menyerang keempat lelaki peronda. Dengan ganas ular-ular itu menjulur cesayapat siap memagut tubuh lawan.

"Zsssttt.saya!"

Pletak! "Zsssttt. !"

"Aaakh!"

Tubuh Boyong seketika ambruk ke tanah, ketika salah satu ular sebesar lengan berhasil memagut pahanya. Pekikan keras menyayat sekesayatika memecah suasana malam. Tubuh Boyong menggelepar-gelepar saat racun ganas ular itu menjalar ke tubuhnya. Dan keadaan lelaki bertusayabuh besar itu semakin menyeramkan, ketika ular yang lain pun ikut memagutnya.

"Zsssttt...!" Craps! "Aaa...!"

Saat itu juga lolong kematian membumbung ke langit. Tubuh Boyong terkapar tak berkutik, sesayaluruh permukaan kulitnya membiru.

"Aaa...!"

"Aaa...!"

Pekik kematian yang lain pun terdengar susayasul-menyusul. Nampak tubuh Patmin, Pardi, dan Ujang sudah tergeletak tak bernyawa. Tubuh ketisayaga lelaki itu membiru karena racun ganas yang tesayalah menjalar di tubuhnya.

***

Malam yang penuh hawa maut terus mesayarambat. Di dalam kamarnya Jaka merasakan sesayasuatu yang tak enak menggelayuti hatinya. Sedikit pun lelaki muda tampan yang berjuluk Raja Petir itu tak kuasa memejamkan mata. Pendekar muda itu bangkit dari pembaringan, lalu berjalan monsayadar-mandir di kamarnya yang tertata rapi. Sesekali dirinya duduk di pinggiran tempat tidur, tapi kesayamudian bangkit lagi, berjalan menghampiri jendela besar.

Perasaan yang sama ternyata dialami Mayang Gadis cantik kekasih Jaka itu pun merasayasakan kegelisahan, hingga tak bisa tidur. Tubuhsayanya memang terbaring di kasur empuk yang berasayalaskan tilam kuning gading. Namun bola matanya bergerak-gerak menatapi langit-langit rumah.

"Huh! Kenapa perasaanku tak tenteram sesayaperti ini?" gumam Mayang dalam hati. "Mungkinsayakah akan terjadi sesuatu malam ini?" lanjutnya.

Mayang kemudian bangkit dari pembarinsayagan. Kakinya melangkah perlahan menuju jendela besar kamarnya.

"Ah, biar kulihat keadaan di luar," ujar Mayang dalam hati. Tangannya kemudian terjulur untuk membuka jendela kamar.

Pada saat yang sama, Jaka pun ternyata tengah membuka jendela kamarnya. Maka tak pesayalak lagi, keduanya saling berbenturan tatap ketika kepala masing-masing terjulur keluar.

"Hai! Kau pun tak bisa tidur, Mayang?" tanya Jaka serta-merta, ketika melihat kepala kesayakasihnya menyembul sedikit dari bingkai jendela.

Gadis cantik berpakaian warna jingga itu tersenyum, "Perasaanku resah malam ini, Kakang. Entah firasat macam apa ini," sahut Mayang pelan. "Mudah-mudahan hanya perasaan kita saja,

Mayang. Dan mudah-mudahan tak akan terjadi sesuatu yang mengerikan malam ini," timpal Jaka.

"Mudah-mudahan begitu," sahut Mayang penuh harap, "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar? Hitung-hitung meronda. Kalau di dalam kamar terus, rasa-rasanya kegelisahanku akan semakin bertambah, Kang," usul Mayang.

"Terserah kamu saja, Mayang. Di dalam pun kita percuma, tidak bisa tidur!" jawab Jaka, "Aku tunggu di depan," lanjutnya sambil merapatkan jendela kamar.

Mayang pun melakukan hal yang sama. Sesayatelah mengunci kembali jendela kamar, gadis itu segera beranjak menemui kekasih yang sangat disayacintainya.

"Hendak ke mana kita?" tanya Jaka, setelah keduanya berada di luar rumah kediaman Kepala Desa Kober Utara.

"Terserah ke mana kaki kita membawa, Kasayakang," jawab Mayang sekenanya. Namun kaki gasayadis cantik berambut panjang itu terlihat melangsayakah ke sebelah kanan muka rumah Ki Bernala.

Sementara Jaka mengikuti saja apa yang disayalakukan kekasihnya. Keduanya pun berjalan berisayaringan menuju ke arah timur. Melihat langkah kesayadua pendekar muda itu, berarti mereka menuju Hutan Jalakdalu berada.

"Aaakh...!"

"Aaa...!"

Baru setengah pal Jaka dan Mayang berlalu dari rumah Ki Bernala, tiba-tiba keduanya tersensayatak kaget. Jeritan keras menyayat hati terdengar di kejauhan.

"Kakang...!" Mayang memanggil kekasihnya serta-merta. "Firasat kita benar," ucapnya.

"Auuuaaa...!"

"Auuuaaa...!"

"Kakang dengar lolongan serigala itu?" tanya Mayang sambil mengguncang lengan Jaka.

"Sepertinya bakal terjadi bencana besar di desa ini," gumam Jaka.

"Ayo, kita cari suara lengking kematian tadi, Kakang!" ajak Mayang kemudian. "Hop!"

"Hup!"

Raja Petir dan Dewi Payung Emas seketika melesat cepat menuju tempat asal suara jeritan yang telah mereka dengar. Gerakan sepasang pensayadekar muda itu begitu gesit dan cepat. Sehingga dengan sekali lesatan saja, jarak puluhan tombak telah berhasil dilalui.

"Kakang...!"

Mayang tersentak kaget menyaksikan pesayamandangan di depan matanya. Pada jarak sekitar sepuluh tombak matanya yang tajam melihat tusayajuh ekor serigala buas tengah berhadapan dengan penduduk desa yang entah kenapa berada di luar rumah.

Beberapa sosok tubuh lelaki tampak terkasayapar tak berdaya. Tampak di sekujur tubuh mereka terdapat luka-luka besar seperti terkena cakaran dan gigitan. Sehingga darah segar mengalir dan berceceran di atas tanah berumput basah oleh air hujan. Sementara beberapa lelaki lain tampak tensayagah berusaha mempertahankan diri dari amukan binatang buas itu.

"Binatang Setan!" rutuk Jaka kesal, "Ayo, Mayang! Kita singkirkan makhluk-makhluk kepasayarat itu!" ajaknya seraya menghentakkan kaki di tasayanah tempatnya berpijak.

"Hop! Hiaaa...!"

Sekali bentakan saja tubuh Raja Petir telah berada di hadapan serigala-serigala buas yang hendak memangsa tubuh penduduk desa. Dan sesayaketika itu juga kepalan tangan pendekar muda itu melayang menghantam kepala seekor serigala yang tengah menerkam tubuh lelaki penduduk desa.

"Hih!" Plakkk!

"Kaingh...! Khhhoaaah!"

Serigala bertubuh besar itu terpental tiga tombak terhantam pukulan Jaka. Namun binatang buas penghuni Hutan Jalakdalu itu seperti tak pesayaduli dengan rasa sakit yang mendera bagian kepasayalanya. Serigala itu bangkit untuk menyerang bersayasama serigala-serigala yang lain.

"Auuuaaa...!"

"Auuuaaa...!"

Lolongan kemarahan dari beberapa serigala buas itu terdengar bersahut-sahutan. Bergidik jusayaga tubuh Jaka dan Mayang mendengar suara kesayaras dan menggetarkan itu. Suara yang mengansayadung hawa kematian.

"Menyingkirlah Kisanak sekalian! Biar kami yang menghadapi binatang-binatang setan itu," pesayarintah Jaka dengan suara lantang.

Karena ucapan pemuda tampan berpakaian kuning keemasan itu tak main-main dan terdengar sangat berwibawa, tanpa harus diucapkan dua kali lelaki-lelaki penduduk Desa Kober Utara yang masayasih hidup segera menyingkir dari tempat pertarunsayagan. Mereka menyaksikan apa yang akan dipersayabuat dua muda-mudi itu.

"Siapa mereka? Ah, kalau tak ada mereka..., kita pasti jadi bangkai semua," ujar salah seorang lelaki penduduk desa yang masih nampak segarsayabugar. Sedikit pun tak tampak ada luka di tubuhsayanya.

"Ya. Sepertinya mereka pendekar," sahut lesayalaki yang luka pada pergelangan tangannya. "Musayadah-mudahan mereka dapat mengusir binatangsayabinatang jahanam itu!" lanjutnya dengan geram.

"Aku seperti pernah melihatnya di rumah Ki Lurah...," timpal lelaki tinggi kurus yang  pakaian di bagian dadanya koyak.

Sementara para penduduk desa yang terbesayabas dari ancaman maut tengah membicarakan kesayaberadaan Jaka dan Mayang, sepasang  pendekar itu tengah bersiap-siap menghadapi serigalasayaserigala yang hendak menyerang.

Mayang nampak sudah mempersiapkan payungnya dalam keadaan tertutup. Sementara Jaka dengan tangan kosongnya hendak melancarsayakan jurus maut yang bernama 'Pukulan Pengacau Arah'.

Raja Petir sengaja mempersiapkan jurus andalannya. Hal itu karena hatinya merasakan gesayataran lain dari kejadian yang menurutnya tak hanya terjadi di satu tempat. Barangkali kejadian yang sama, kini juga tengah dialami Ki Bernala dan Nyi Rira Pangestu.

Atas pertimbangan ini Jaka bermaksud membantai atau mengusir makhluk-makhluk aneh itu secepat mungkin. Setelah itu dirinya akan sesayagera kembali ke rumah Kepala Desa Kober Utara, Ki Bernala.

"Bersiaplah, Mayang!" seru Jaka ketika dissayaaksikannya serigala-serigala buas itu mulai memsayaperlihatkan gerakan hendak menyerang. "Auuuaaa...!"

Diiringi dengan lolongan panjang, binatangsayabinatang buas yang mulutnya meneteskan air liur itu berkelebatan menyerang lawan. Pasangan pensayadekar muda itu tampaknya sudah bersiap mengasayadakan penyerangan.

"Hih!" Wussssaya!

Raja Petir yang ingin secepatnya mesayanyingkkan serigala-serigala aneh itu segera mengsayahentakkan telapak tangan yang terbuka lebar densayagan kuda-kuda rendah.

Serangkum angin yang mengeluarkan hawa panas meluruk cepat ke depan. Angin bergulungsayagulung itu menyongsong serigala-serigala yang tengah berlompatan menyerang Raja Petir dan Payung Emas.

Bettt "Kainghghsaya!"

"Auuugsaya!"

Suara keras angin dari 'Pukulan Pengacau Arah' terdengar ketika menerjang tubuh-tubuh sesayarigala itu. Seketika suara erangan keras dan lolonsayagan panjang menyusul. Beberapa di antara binasayatang buas itu terpental beberapa tombak ke belasayakang.

Bruk! Brukkk!

Dua ekor serigala itu ambruk ke tanah tansayapa nyawa. Tubuh kedua binatang itu hangus bagai terbakar

Sementara itu, Mayang dengan gerakannya yang lincah berkelebat menghindari terkaman sesayarigala-serigala yang menyerangnya. Gerakan yang dilakukan Dewi Payung Emas begitu manis, hingga tampak seperti tarian. Namun di balik kelincahan dan keindahan gerak yang dilakukan gadis cantik itu, tiba-tiba terlontar sebuah serangan balasan yang mematikan. Maka, ketika tangan kanan Mayang yang mencekal payung kuning keemasan berkelebat, serangan itu tak terhindarkan lagi....

"Hih!" Brets!

"Kainghghsaya!"

Bruk!

Seekor serigala yang berada paling dekat dengan si Dewi Payung Emas menjadi korban persayatama. Tubuh binatang itu terbanting keras ke tasayanah. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Darah lalu mengalir dari bagian kepala yang tersambar payung kecil di tangan gadis itu. Sesaat kemudian binatang buas itu telah diam tak berkutik lagi.

"Cepat habisi lawan-lawanmu, Mayang! Kita harus segera menemui Ki Bernala!" seru Jaka yang telah lebih dahulu membuat tak berkutik serigalasayaserigala yang menyerangnya.

"Baik, Kakang!"

Gadis cantik berpakaian jingga itu seketika bergerak cepat. Kali ini dia tak menunggu lagi serisayagala-serigala liar itu menyerang. Mayanglah yang ganti mengambil alih penyerangan.

"Hiyaaa. !"

Wuttt! Wuttt!

Dengan payung terkembang, tubuh Mayang berkelebat dengan cepat diiringi teriakannya yang khas.

Brat! Brat!

"Kainghgh...!"

"Kainghgh...!"

Dua ekor serigala terpental lalu menggelesayapar berlumuran darah di atas rerumputan. Payung Emas Mayang Sutera yang menyambar secepat kisayalat menghantam telak bagian batok kepala dan pesayarut lawan. Nampak batok kepala serigala itu pecah hingga mengeluarkan cairan merah yang bercamsayapur dengan isi kepala. Sementara pada serigala yang lain terburai isi perutnya.

"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Mayang! Kisayata harus cepat-cepat melihat keadaan Ki Bernala," ajak Jaka setelah melihat Mayang telah berhasil memusnahkan lawan-lawannya.

Dewi Payung Emas mengangguk, lalu mesayalompat menghampiri Raja Petir.

"Maaf, kami harus ke rumah Ki Bernala! Kisayasanak sekalian, uruslah mayat-mayat itu!" ucap Jaka kepada penduduk desa yang masih berdiri terpaku keheranan di sekitar tempat pertarungan. Tadi mereka bersembunyi ketika pertarungan itu berlangsung.

Dan tanpa menunggu jawaban lagi, sepasayasang pendekar muda itu pun melesat meninggalsayakan tempat itu. Sementara penduduk yang berhasayasil diselamatkan hanya menatap kepergian Raja Petir dan Dewi Payung Emas dengan rasa terima kasih yang tak sempat terucap.

5

"Kakang! Lihat itu!" seru Mayang, ketika sampai di dekat rumah kediaman Ki Bernala.

Seorang lelaki yang dikenalnya sebagai Gunjada nampak tengah bertarung melawan ularsayaular besar dan kecil. Di tempat yang tak berjausayahan, beberapa lelaki yang bertugas menjaga rumah kepala desa pun tengah disibukkan serangansayaserangan ganas belasan bahkan puluhan ular  aneh itu.

Sementara itu, Ki Bernala pun tampak tensayagah kewalahan mengusir binatang-binatang berbisayasa yang hendak menyerang dirinya dan sang Istri. Sebatang pedang di genggaman Ki Bernala berkesayalebat membabat setiap ular yang menyerbunya.

"Hih!" Bret! Bret!

Darah bercucuran dari kepala-kepala ular tanggung yang terbabat pedang Ki Bernala. Namun siapa mengira kalau ular-ular lain terus berdatansayagan menyerbu, seperti tak pernah habis.

"Kau bantulah Ki Bernala, Mayang! Biar aku mencari jalan keluar untuk mengatasi kejadian ini," perintah Jaka kepada kekasihnya. "Aku harus memusatkan pikiran guna memusnahkan pengasayaruh gaib yang dikeluarkan oleh tokoh yang berdiri di belakang kejadian ini. Hati-hatilah...!." pesannya kemudian.

Selesai dengan ucapan Jaka, Mayang segera melesat cepat mendekati Ki Bernala dengan senjasayata yang dibabatkan ke sana kemari. Dua tiga ekor ular yang terkena sambaran payung Mayang, langsayasung berpentalan dengan bagian tubuh terpotong dua.

Sementara itu. Raja Petir tampak segera mengerahkan kemampuannya. Dengan meningsayakatkan daya kepekaannya, pendekar muda itu mencoba menyelidiki secara batin terhadap pengasayaruh gaib yang tengah bekerja. Hatinya juga bersayamaksud mencari sumber dari tokoh yang berdiri di belakang keanehan ini.

Dengan mata terpejam, Raja Petir mencoba mempertajam rasa. Tangan kirinya nampak tersayakepal kuat, sedangkan yang kanan mencekal gasayagang Pedang Petir yang berukir bunga-bunga kecil. Sekilas kalau diperhatikan, Raja Petir seper-

ti hendak menyajikan ilmu pamungkas yang bersayanama 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Ilmu itu tisayadak hanya mampu menjatuhkan  lawan-lawan yang tangguh, tetapi juga dapat meredam kekuasayatan gaib yang tak terjangkau pikiran manusia.

Beberapa saat lamanya Raja Petir melakusayakan pemusatan pikiran dengan mata terpejam. Sementara tangan kanannya tetap mencekal gasayagang Pedang Petir yang memiliki perbawa menggisayariskan. Sesaat kemudian, terdengar tarikan napas dilakukan pendekar berpakaian kuning keemasan itu. Tarikan napas panjang itu kemudian disimsayapannya dalam perut. Sementara itu tingkat kepesayakaannya telah mulai memusat. Dan matanya tetap katup rapat-rapat.

Tangan kanan Raja Petir tiba-tiba bergetar sekali. Hal itu pertanda kalau dirinya tengah mensayagerahkan seluruh kekuatan batin untuk mengesayanyahkan pengaruh gaib yang dirasakan. Dan seirsayaing dengan semakin dipereratnya pegangan pada gagang Pedang Petir, tangan kanan Raja Petir tesayarangkat perlahan ke atas. Perlahan tangkai Pedang Petir bergerak ke atas mengikuti irama gerakan yang dilakukan Raja Petir.

Sebuah keanehan segera terjadi ketika tansayagan kanan Raja Petir benar-benar tegak lurus di atas kepala. Langit di atas Desa Kober Utara dan sekitarnya yang semula disinari cahaya bulan sesayapotong, tiba-tiba berubah gelap gulita. Anehnya, tiba-tiba pula bermunculan lidah-lidah petir disersayatai suara gemuruh yang dahsyat. Lidah-lidah petir itu menjilati pedang yang teracung ke atas dan, memendarkan sinar kemerahan.

Hanya sesaat saja pemandangan aneh itu terjadi, pada saat selanjutnya langit kembali sepersayati sediakala, dengan sinar bulan yang menerangi. Pada saat itulah dengan cepat Raja Petir mensayagayunkan pedangnya dua kali di udara dengan disayairingi pekikan keras, yang terdengar menggelegar dan bergema.

"Hiaaa...!"

"Haaa...!"

Sejenak keterpakuan pun melanda orangsayaorang yang tengah bertarung menghadapi binasayatang-binatang yang diperintah pengaruh gaib. Nasayamun kemudian orang-orang tersentak kaget densayagan mata terbelalak. Mereka mungkin merasa baru saja terjaga dari sebuah mimpi buruk yang mensayacekam. Sehingga hampir tak percaya ketika mesayanyadari kalau ular-ular ganas itu telah ngeloyor meninggalkan tempat itu, seakan tiada peduli tersayahadap mangsa mereka. Sementara ular-ular yang masih tersisa seperti enggan dan tak bernafsu unsayatuk membunuh. Hal itu karena, pengaruh gaib yang ada pada binatang-binatang melata itu telah lenyap.

Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terlongo bengong, menyaksikan keanehan itu.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Nini Mayang?" tanya Nyi Rira Pangestu pada kekasihsayanya Jaka yang berdiri tak jauh darinya. "Pengaruh gaib itu telah berhasil diusir Kakang Jaka, Nyi," jawab Mayang mantap. "Itu setidaknya menusayarutku. Tapi untuk jelasnya, Nyi Rira bisa bertanya pada Kakang Jaka," lanjutnya dengan tatapan masayata tertuju pada wajah kekasihnya.

Nyi Rira Pangestu tak berkata apa-apa tersayahadap jawaban yang diberikan si Dewi Payung Emas. Wajahnya lalu menoleh pada Raja Petir yang tengah melangkah mendekati mereka.

"Apa yang telah kau lakukan, Kakang? Hingga binatang-binatang itu seperti tak punya nyali untuk kembali bertarung?" tanya Mayang mewakili keingintahuan Nyi Rira Pangestu dan Ki Bernala.

"Aku hanya mengusir pengaruh gaib yang kurasakan ada di desa ini. Namun sayang, aku tak bisa memastikan siapa yang melakukannya. Ah, biarlah, nanti pun pasti akan ketahuan juga. Yang terpenting, pengaruh gaib itu sekarang sudah tisayadak terasa lagi dan biarkan binatang-binatang susayaruhan itu kembali ke tempat asal mereka," jawasayaban Petir bukan hanya ditujukan pada Mayang, melainkan juga untuk Nyi Rira Pangestu, Ki Bersayanala, dan Gunjada.

Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjala sama-sama menganggukkan kepala mendengar penjelasan Raja Petir.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Kakang?" tanya Mayang kemudian.

"Mengurus para korban dan kemudian bersayakeliling, melihat keadaan penduduk yang lain. Itu kalau Ki Bernala setuju dan bersedia bergabung," jawab Raja Petir.

"Tentu saja, Jaka. Biarlah malam ini  aku tak tidur, asalkan keadaan pulih seperti semula," sahut Ki Bernala.

"Aku ikut jika begitu," timpal Nyi Rira Pan-

gestu.

***

Jaka ditemani Mayang, Ki Bernala, dan Nyi Rira Pangestu berkeliling melihat keadaan pendusayaduk Desa Kober Utara. Sementara itu di tempat lain, yakni di sebuah hutan tak jauh dari Desa Pasayagarayung nampak sosok lelaki tua berpakaian biru terang terengah-engah di dalam sebuah rumah yang terbuat dari bambu.

Lelaki tua berusia enam puluhan itu tak lain Ki Bandot alias Setan Bukit Cemara. Peluh nampak bercucuran di wajahnya, suara napasnya terdengar memburu.

Sedangkan lelaki muda yang berdahi codet, dengan hati cemas memandangi keadaan Setan Bukit Cemara.

"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Manggale sambil memegangi tubuh Ki Bandot

Ki Bandot tentu saja merasa malu dengan pertanyaan yang dilontarkan Manggale.

"Ah, tidak Manggale. Tidak apa-apa," jawab Setan Bukit Cemara masih dengan napasnya yang memburu, "Ini semua salahku. Aku terlalu mensayaganggap remeh lawanku. Sehingga tanpa sepesayanuhnya kukerahkan ilmu sihir yang sepatutnya aku sajikan," lanjut Ki Bandot dengan deru napas yang semakin mulai teratur.

"Apa ini juga ulah Raja Petir?" tanya Mangsayagale seperti orang bodoh.

"Mungkin," jawab Ki Bandot seraya mensayagangguk-anggukkan kepala.

"Kalau begitu Raja Petir hebat sekali," gusayamam Manggale polos. "Apakah kita akan berhasil menuntaskan cita-cita ayah?"

"Tentu saja berhasil, Manggale! Tentu saja. Ilmu-ilmuku belum ku keluarkan semua dan aku pun belum berhadapan langsung dengan Raja Pesayatir. Akan kugorok batang leher pendekar usil itu dengan sepasang parangku yang tak pernah gagal menunaikan tugasnya," ucap Setan Bukit Cemara mencoba meyakinkan.

"Lalu, sekarang apa yang akan kita lakusayakan?" tanya Manggale lagi.

"Kita tunggu di sini sampai fajar menyingssayaing. Setelah itu kita temui ayahmu untuk mengasayatur siasat selanjutnya," jawab Ki Bandot, merasa perbawanya sudah luntur sedikit di mata Mangsayagale.

Sesungguhnya Setan Bukit Cemara tak persayacaya kalau ilmu sihirnya mampu ditandingi tokoh lain. Dan padahal selama ini dirinya tak pernah mengalami kegagalan seperti sekarang. Namun nyatanya...?

Setelah fajar menyingsing, Ki Bandot dan Manggale sama-sama melangkahkan kaki meningsayagalkan bangunan dari bambu, menuju ke kediasayaman Kepala Desa Pagarayung.

Setelah melewati perjalanan di tengah suasayasana pagi yang dingin, mereka akhirnya sampai di kediaman Kepala Desa Pagarayung.

"Bagaimana Ki Bandot? Apa sudah ada tansayada-tanda berhasilnya usaha kita?" sambut Kepala Desa Pagarayung ketika Setan Bukit Cemara telah memasuki rumah Ki Gambaga.

Ki Bandot tak segera menjawab pertanyaan Ki Gambaga. Tatapan matanya tertuju lurus pada wajah kasar Ki Gambaga yang berkumis tebal.

"Kita masih harus terus berusaha, Ki Gamsayabaga," jawab Setan Bulut Cemara dengan bergetar dan terdengar agak parau.

"Hmmm...!" Ki Gambaga yang mengenakan pakaian merah darah hanya menggumam tak jesayalas, mendengar jawaban Setan Bukit Cemara.

"Jadi usahamu semalaman itu sia-sia, Ki Bandot?" sindir Ki Gambaga dengan suara yang dibuat selunak mungkin. "Semalam memang gagal, Ki Gambaga. Tapi tidak untuk yang selanjutnya," kilah Setan Bukit Cemara dengan wajah merah padam.

"Maafkan aku, Ki Bandot! Kalau boleh aku beri saran, sebaiknya kita mencari bantuan dari tokoh sakti yang lain. Biar tugasmu lebih ringan dan cita-citaku lebih cepat terwujud. Jatahmu akan tetap kuperhatikan sesuai dengan perminsayataanmu," ucap Ki Gambaga hati-hati.

Ucapan Kepala Desa Pagarayung itu di tesayalinga Setan Bukit Cemara laksana ledakan guntur di siang bolong. Menggelegar dan begitu mengesayajutkan.

"Jangan sesekali kau meremehkanku, Ki Gambaga!" kecam Setan Bukit Cemara. "Aku busayakan anak kemarin sore yang langsung menyerah jika menghadapi kegagalan. Aku belum kalah, Ki Gambaga! Aku akan terus berusaha, meski nyasayawaku jadi taruhan! Pantang bagiku jika pekerjaan yang tengah kutangani dikotori campur tangan orang lain "

"Itu hanya saran dariku, Ki. Tak ada maksayasud sedikit pun pada hatiku untuk meremehkan kemampuanmu," ucap Ki Gambaga merasa tak enak hati. "Aku hanya khawatir kalau usahamu gagal dan rencanaku tak akan pernah terwujud."

Suasana berubah hening sejenak. Ki Gamsayabaga nampak terpekur sambil sesekali memansayadangi wajah anaknya, Manggale. Ki Bandot juga terpekur dengan benak berputar keras.

"Sekarang juga aku akan berangkat ke pesayakuburan Kober Utara," ujar Setan Bukit Cemara memecahkan keheningan.

"Kau ingin membangkitkan mayat-mayat dari jarak dekat, Ki?!" selidik Ki Gambaga.

"Ya. Malahan aku akan ikut mengacau kesayadiaman Ki Bernala secara langsung," sahut Setan Bukit Cemara merasa wibawanya sudah jatuh di mata Kepala Desa Pagarayung itu.

"Bagaimana jika di sana ada Raja Petir, Ki?" tanya Manggale tiba-tiba.

"Memang itu yang kucari. Dialah manusia pertama yang akan kusingkirkan. Karena dia usasayahaku menjadi tersendat seperti ini," ujar Setan Bukit Cemara ketus.

"Aku boleh ikut, Ki?" tanya Manggale lagi. "Kalau ayahmu mengizinkan, aku tak ber-

keberatan. Namun aku akan lebih leluasa bergerak jika kau tak turut serta, Manggale," jawab Ki Bansayadot menoleh dan menatap sejenak wajah Mangsayagale.

"Sebaiknya kau di sini saja, Manggale!" timsayapal Ki Gambaga. Dirinya memang lebih senang kasayalau cuma Setan Bukit Cemara yang pergi ke pesayamakaman di Desa Kober Utara.

Tak ada sahutan dari Manggale. Lelaki bersayacodet itu tak kuasa membantah ucapan ayahnya. Apalagi Ki Bandot jelas-jelas tak ingin campur tansayagannya, meski diucapkan dengan lembut.

"Hm...! Aku berangkat sekarang, Ki Gambasayaga," pamit Setan Bukit Cemara.

Ki Gambaga hanya menyambut ucapan Sesayatan Bukit Cemara dengan anggukkan kepala. Dan ketika Ki Bandot berangkat meninggalkan rumahsayanya, Ki Gambaga hanya mengiringi dengan tatapan mata yang mengandung makna kengeriannya mesayanerima kegagalan.

6

Matahari belum begitu tinggi ketika Setan Bukit Cemara tiba di dekat tanah pemakaman Desayasa Kober Utara. Suasana di pemakaman itu sunyi dan sepi. Ki Bandot memang mengharapkan keasayadaan seperti itu.

Dengan langkah cepat Setan Bukit Cemara berjalan menuju sebatang pohon sebesar tiga kali pelukan lelaki dewasa. Dedaunan pohon itu yang cukup lebat, membuat sinar matahari tak kuasa menerobos. Sesekali jika daun-daun itu terusik hembusan angin, sinar matahari menyelusup.

Ki Bandot mengambil tempat tepat di sisi barat pohon besar itu. Hal itu dilakukan agar tusayabuhnya tak tampak dari jalan yang biasa dilewati orang Desa Kober Utara.

Kini Setan Bukit Cemara mulai melakukan pekerjaannya dengan duduk bersila. Matanya tersayakatup rapat dan bibirnya tampak mulai berkomatsayakamit membaca mantera pembangkit mayat.

Beberapa saat lamanya Setan Bukit Cemara mengucapkan mantera dengan khusyuk, hingga akhirnya terdengar suara angin menderu, berdesir, bergulung-gulung di setiap gundukan makam. Susayaasana di tanah pemakaman Desa Kober Utara busayakan sejuk. Namun menjadi seperti semakin panas saja.

KisayaBandotsayaterussayamerapalkansayamantera-

mantera pembangkit mayat, dan manakala angin bergulung yang terjadi pada setiap gundukan tasayanah, maka peristiwa seperti gempa bumi pun terlisayahat.

Tanah-tanah yang menonjol ke atas tibasayatiba retak, sebagian pecahan berhamburan ke  atas. Seiring dengan itu suara gerengan mayatsayamayat yang bangkit terdengar dengan jelas.

"Grhghghg...!"

"Grhghghg...!"

Setan Bukit Cemara mengembangkan sesayanyumnya dalam keadaan mata terpejam.

"Bangkitlah kalian! Bangkit...! Bangkit...! Bangkit...!" Ki Bandot berteriak keras, suaranya bergema ke pelosok areal pemakaman.

Dan ternyata usaha Setan Bukit Cemara berhasil, puluhan mayat yang masih utuh bersayacampur dengan mayat-mayat yang sudah berbau busuk dan tak utuh lagi keadaannya, kini bergesayarak bersamaan menuju rumah-rumah penduduk terdekat. Sementara itu Ki Bandot yang telah membuka matanya dengan senyum terkembang menyaksikan dari kejauhan mayat-mayat surusayahannya yang bergerak mencari korban.

"Habisi semua penduduk yang ada!'' perinsayatah, Setan Bukit Cemara seraya bangkit dan mensayagikuti mayat-mayat yang berjalan lebih dulu.

"Ayo habisi!" perintah Ki Bandot lagi ketika melihat rumah-rumah penduduk sudah dekat

Puluhan mayat yang bangkit dari kubur itu seperti kerbau dicucuk hidung, langkah mereka semakin dipercepat. Suara gemuruh yang berasal dari mulut mayat-mayat itu sempat membangunsayakan para penduduk

"Lihat ada mayat-mayat bangkit lagi! Lihat!" salah seorang penduduk yang menyaksikan pesayamandangan di depannya segera berteriak. Kegemsayaparan seketika terjadi. Lelaki-lelaki yang pernah mengalami kejadian serupa segera meraih senjata seadanya untuk menghadapi mayat-mayat hidup itu, sementara yang tak pernah segera bergerak, masuk dan mengunci pintu.

"Grghghgr...!"

"Grghghgr...!"

Mayat-mayat suruhan Setan Bukit Cemara menggereng-gereng. Kemudian ketika sudah dekat dengan penduduk yang hendak mengadakan persayalawanan, mayat-mayat itu bergerak cepat

"Grghghgr...!" Krkh...! "Aaa...!"

Seorang penduduk yang tak sempat mengsayahindari terkaman mayat hidup seketika menjerit kesakitan. Batang leher lelaki naas itu dicengkesayaram dengan kuat oleh mayat yang menerkamnya. Lalu dengan keganasannya, mayat hidup itu menggigit dada lelaki naas itu.

"Aaa...!" kali ini pekik melengking lebih pansayajang terdengar mengiringi kematian lelaki yang basayagian perutnya tertembus cakar mayat hidup dan meraih jantungnya hingga keluar.

Pemandangan seperti itu tentu saja memsayabuat penduduk yang lain merasa ngeri. Namun kasayarena kemarahan, kengerian itu tak diperlihatkan, yang ada tinggal keberanian dan kenekatan meresayaka untuk melawan bahaya itu.

Setan Bukit Cemara yang memang berhasayasrat besar membantai penduduk Desa Kober Utara segera saja bergerak. Tubuhnya berkelebat dengan dua parang merah darah yang tercekal di tangan kanan dan kirinya.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

Dengan gerakan yang begitu cepat dan tak terlihat tatapan mata biasa, tubuh tua yang terbasayalut pakaian biru terang melesat.

Bret! Bret! "Akh...!"

"Aaa...!"

Dua sosok tubuh bergelimpangan ke tanah, ketika parang merah di tangan Setan Bukit Cemasayara berhasil membacok bagian dada dan leher pensayaduduk desa. Darah seketika menyembur dari luka memanjang akibat babatan senjata runcing milik Ki Bandot. Hanya sesaat saja dua tubuh penduduk Desa Kober Utara menggelepar, pada saat berikutsayanya tubuh itu tak berkutik lagi, nyawa mereka tersayabang meninggalkan raga.

"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa keras menyaksikan dua korban pertamanya. "Kasayalian semua akan mengalami nasib yang sama! Ayo beri perlawanan kalau kalian tak ingin mati kosayanyol!"

Penduduk yang tengah kerepotan menghasayadapi mayat-mayat hidup itu semakin bertambah ngeri dan takut melihat keganasan lelaki bercamsayabang bauk putih. Dua korban tetangga mereka susayadah membuktikan kalau ucapan orang berpakaian biru itu tidak sembarangan.

"Sebaiknya aku lapor pada Ki Bernala unsayatuk meminta bantuan," ujar salah seorang pendusayaduk.

"Betul, Cah. Cepat lari sana!" timpal teman yang diajak bicara.

Lelaki bertelanjang dada yang bernama Rancah segera berlari menuju rumah kepala desa. Namun baru lima langkah kaki Rancah terayun, Setan Bukit Cemara telah mendahului dengan kesayalebatannya yang cepat.

"Mau ke mana kau, Bocah!" hardik Ki Bansayadot Rancah tentu saja menghentikan larinya dan, menatap wajah bercambang bauk putih dengan kengerian.

"Sebaiknya kau mampus duluan! Hih!" Wuttt...! Brats!

"Aaa...!"

Rancah terpekik keras ketika senjata Setan Bukit Cemara membabat telak dadanya. Dada lesayalaki itu kontan terbelah, darah bermuncratan dari luka yang begitu besar.

"Hih!" Blukh!

Tak lagi ada suara erangan ketika Ki Bandot sambil melompat menendang perut Rancah. Tusayabuh lelaki penduduk Desa Kober Utara melayang deras ke belakang. Ketika itu pula nyawanya telah melayang. Tewas!

Bruk!

Tubuh tanpa nyawa itu terbanting keras sesayatelah membentur sebatang pohon.

"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara kembali terbahak setelah menyaksikan kematian pendusayaduk Desa Kober Utara.

"Setan Durjana!" maki seseorang dengan suara yang cukup lantang dan berani.

Setan Bukit Cemara menolehkan kepalanya dengan cepat ke tempat asal suara bentakan yang datang.

"Hmmm...! Kau rupanya!" ucap Setan Bukit Cemara terkesan meremehkan ketika menyaksikan kehadiran sepasang muda-mudi yang mengenakan pakaian kuning keemasan dan jingga.

"Hm..., jadi ini orangnya yang mengacaukan ketenteraman penduduk Desa Kober Utara dengan ilmu setan, Tua Bangka!" bentak Mayang mendasayahului gerakan bibir Jaka yang hendak berucap.

"Seperti yang kau lihat, Nini Manis!" jawab Setan Bukit Cemara sinis. "Aku memang tengah membantai penduduk desa ini dan semuanya akan kubikin habis. Termasuk kalian berdua!" lanjutnya sambil menuding wajah Mayang dan Jaka bergansayatian

"Tutup mulut besarmu, Tua Bangka!" balas Mayang menghardik. Langkah kakinya sudah tersayaayun hendak menghajar Setan Bukit Cemara.

"Tahan, Mayang!" cegah Jaka sambil mensayacekal pergelangan tangan berkulit halus itu.

Mayang memang memenuhi ucapan kekasayasihnya, langkahnya tak dilanjutkan. Hanya masayatanya yang tak lepas terus menatap tajam lelaki tua bercambang bauk putih itu.

"Kenapa kau melarangnya untuk bersesayanang-senang denganku, Raja Edan!" ledek Setan Bukit Cemara ketus.

Jaka hanya menanggapi ledekan Ki Bandot dengan senyum terkembang.

"Aku tak pernah melarang kekasihku unsayatuk, bersenang-senang dengan siapa saja, Kisasayanak," balas Jaka tenang.

"Aku Setan Bukit Cemara!" tukas Ki Bandot memperkenalkan julukannya.

"Ya ya ya! Aku hanya tak mau kau mampus setelah bersenang-senang dengan kekasihku, Sesayatan Bukit Cemara," lanjut Jaka bernada meremehsayakan. "Bukankah sebaiknya kau bersenang-senang denganku, meskipun kalah kau tak mendapatkan malu yang begitu besar. Karena kita sama-sama lelaki"

"Keparat!" maki Setan Bukit Cemara geram. Prok! Prok! Prok!

Selesai menghardik Jaka suara tepuk tansayagan pun terdengar. Suara isyarat untuk memerinsayatahkan mayat-mayat yang bangkit dari kubur agar menghadapi musuh yang baru datang.

Mayat-mayat hidup itu kini benar-benar berpaling dari para penduduk. Dan kini puluhan mayat itu mengurung tubuh Jaka dan Mayang.

Prok! Prok!

"Lumat tubuh cantik itu!" perintah Ki Bansayadot setelah bertepuk tangan dua kali. Puluhan mayat hidup yang mengurung kesayadua lawan, seketika bergerak mendekati Mayang yang bersiap dengan payung kecilnya yang sudah berkembang.

"Hati-hati, Mayang!" ujar Jaka memperinsayagatkan.

***

"Tentu saja, Kakang," jawab Mayang.

Pertarungan antara Dewi Payung Emas dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur tak terhindari lagi. Teriakan-teriakan nyaring dan gesayarengan kesal mayat-mayat  hidup itu terdengar menyemaraki suasana pertarungan. Sesekali suara benturan keras terdengar.

"Hih!" Prak! "Heh?!"

Mayang terkejut ketika hantamannya mensayadarat telak tapi tak mampu mendorong mayat ringkih yang bagian tubuhnya sudah tak utuh lagi. Tangan kanannya yang sudah tak ada dan masayatanya yang tinggal sebelah menjadikan penampilan mayat itu begitu menyeramkan.

Wuuut! "Eits!"

Mayang memiringkan tubuhnya, ketika mayat ringkih itu memberikan serangan balasan terarah ke lehernya. Dan ketika gadis itu berhasil mengelakkan, langsung mengirimkan sebuah tensayadangan keras dengan gerakan memutar disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. "Hih! Pergi kau jauh-jauh!" Blakh!

"Grhghg...!"

Tubuh mayat ringkih itu terhuyung empat langkah ke belakang ketika tendangan telak Mayang mendarat tepat di dadanya.

Ternyata cukup tangguh mayat hidup yang menjadi lawan Mayang. Namun, ketangguhannya itulah yang membuat kekasih Raja Petir semakin penasaran untuk lebih cepat menyelesaikan perlasayawanannya.

Ketika tubuh mayat ringkih itu terhuyung, Mayang kembali melesat cepat memberikan seransayagan susulan dengan senjata andalannya.

"Haaattt...!"

Pekikan Mayang dibarengi dengan babatan payung besi yang terkembang dan terarah ke basayagian lambung mayat hidup bertubuh ringkih itu.

Trakgkh! "Grghgh...!"

Mayat bertubuh ringkih yang hidup di basayawah pengaruh sihir milik Setan Bukit Cemara sesayaketika terjerembab ke tanah. Bagian lambungnya yang terhajar senjata pemungkas milik Dewi Payung Emas mengalami luka yang sangat lebar. Namun luka yang menganga itu sempat membuat Mayang terkejut. Luka yang menganga itu sedikit pun tak mengucurkan darah.

"Hmmm...!"

Mayang hanya bergumam dalam hati mesayanyaksikan kenyataan itu. Namun gadis itu tak mau berlarut-larut memikirkannya karena kemusayadian dirinya harus sudah menghadapi serangan yang dilancarkan mayat-mayat hidup yang lain.

"Grghgh...!" Wuts! "Eits...!"

Mayang segera melentingkan tubuhnya dan bersalto beberapa kali di udara.

Jligh! "Heh?"

Si Dewi Payung Emas baru mendarat di tasayanah, serangan susulan kembali harus dihadasayapinya. Dengan gerakan yang cepat Mayang segera membentengi tubuhnya dengan menggunakan jusayarus 'Benteng Emas'.

Payung kecil berwarna kuning keemasan di tangan Dewi Payung Emas seketika berputaran cepat, hingga wujud asli dari senjata itu tak namsayapak. Yang terlihat hanya segulungan sinar kuning yang berpendar-pendar.

Namun, ketika sambaran ganas mayat hisayadup yang mengancam bagian lehernya terhalau oleh jurus 'Benteng Emas', suatu keanehan yang sama kembali terulang.

Mayang menyaksikan kalau tangan mayat yang putus terbabat senjata andalannya sedikit pun tak mengucurkan darah. Namun kali ini Mayang betul-betul tidak mempedulikan keanehan itu. Dirinya tetap memusatkan pikiran pada seransayagan-serangan lawan yang datang silih berganti.

Sementara di tempat lain, Jaka nampak sesayadang beradu tatapan dengan Setan Bukit Cemara. Sepertinya kedua tokoh yang memiliki kesaktian tinggi itu tengah mengukur kekuatan lawan massayaing-masing.

"Sebaiknya kau tak mencampuri urusanku, Raja Gendeng! Aku tak suka itu," ujar Setan Bukit Cemara dingin. Tatapannya menghujam tepat di wajah Jaka.

"Kalau kau merasa ini urusanmu, maka wasayajar pula jika aku menganggap apa yang menjadi persoalanmu menjadi persoalanku. Karena itu mesayanyangkut hak hidup manusia lain," bantah Raja Petir dengan suara yang cukup berwibawa.

"Jika begitu berarti kau mencari mampus!" hardik Setan Bukit Cemara geram.

"Mampus tak perlu dicari, Tua Bangka!" basayalas Jaka dengan suara yang sedikit meninggi. "Kasayarena kematian memang sudah menjadi jatah bagi setiap makhluk yang bernyawa, juga kau! Dan mungkin jatah kematianmu yang bakal tiba sekasayarang ini," lanjutnya sambil menuding wajah Ki Bandot, si Setan Bukit Cemara.

Lelaki berusia enam puluh tahunan yang mengenakan pakaian biru terang itu tersentak mendengar ucapan Raja Petir. Wajahnya berubah merah padam. Giginya gemeretukan menahan kesayamarahan yang telah menggelegak.

"Kulumat tubuhmu. Raja Usil!" geram Setan Bukit Cemara.

Seketika itu pula Ki Bandot meloloskan sesayapasang senjatanya yang berupa parang berwarna merah darah.

"Hiaaa...!" Wuttt! Wuttt!

Dengan cepat sepasang parang merah itu bergerak di depan wajah Setan Bukit Cemara yang meluruk menyerang Raja Petir.

"Haiiit...!"

Melihat lawan menyerang dengan gencar. Raja Petir segera melompat ke belakang untuk menghindari tebasan sepasang parang yang mensayagincar bagian kepala dan dadanya. Nampak tubuh berpakaian kuning keemasan itu berputaran bebesayarapa kali di udara.

Namun betapa terkejutnya Raja Petir ketika tubuhnya masih berada di udara, Setan Bukit Cesayamara dengan kekuatan tenaga dalam tinggi mesayalempar sepasang parang miliknya.

Singngng...!

Singngng...!

"Heh?!"

Raja Petir segera melempar tubuh ke sampsayaing kanan untuk menghindari senjata yang melusayaruk dengan cepat.

Jlig!

Singngng...! Singngng...! Tap! Tap!

Di luar dugaan Raja Petir, sepasang parang merah yang memburu kembali di tangan Setan Bukit Cemara.

"Kalau gerakanmu tak gesit, maka jurus 'Parang Setan Maut' akan mengirimkan nyawamu ke neraka. Raja Usil," ledek Ki Bandot dengan sesayanyum terkulum.

"Aku tak memiliki gerakan yang gesit, Setan Gila," balas Raja Petir merendah. "Hanya saja sesayaranganmu yang kurang bermutu dan tak berbasayahaya!" lanjutnya. Kali ini bernada melecehkan. Sesayanyumnya tersungging sambil menatap wajah lelaki tua di depannya.

"Kurang ajar!" hardik Ki Bandot geram. "Berilah aku pelajaran yang terbaik, Setan

Angkuh," balas Jaka.

"Tentu saja! Bersiaplah!" Ki Bandot memsayabawa tubuhnya mundur dua langkah. Kedudukan sepasang kakinya membentuk kuda-kuda rendah.

"Jangan coba-coba meremehkan aji 'Racun Cemara Kematian'" peringatan Setan Bukit Cemara diucapkan dengan sinis.

"Jangan banyak omong, Setan! Cepat keluasayarkan seluruh ajian yang kau miliki," selak Jaka tak kalah sombong.

"Ngrgh...!"

Ki Bandot menggereng marah mendengar ucapan Raja Petir. Lalu lelaki tua bercambang bauk putih itu memejamkan mata. Sepasang tansayagannya yang dirapatkan satu sama lain, diletakkan di dahinya. Kemudian secara perlahan dibawanya turun sampai di depan dada. Hampir tiga kali tesayagukan teh lamanya telapak tangan yang merapat itu diletakkan menempel di dada. Sesaat kemudian tampak mulai merenggang sedikit demi sedikit. Kesayatika itulah terlihat asap tipis mengepul dari telapak tangan yang sudah merenggang.

Asap tipis yang tercipta berkat pengerahan ajian 'Racun Cemara Kematian' menebarkan bau seperti daun terbakar. Bau itu semakin lama sesayamakin terasa menyengat hidung.

Raja Petir yang menyaksikan ilmu lawannya seperti tak terpengaruh dengan bau yang semakin menyengat. Namun tampak sikapnya yang tetap waspada. Pendekar muda itu memang tak pernah menganggap remeh setiap ilmu yang dikerahkan lawan-lawannya. Termasuk ajian 'Racun Cemara Kematian' yang sedang diperagakan Setan Bukit Cemara.

Dengan tatapan yang tak lepas memperhasayatikan setiap gerakan Ki Bandot, Raja Petir tetap berdiri tegak di tempatnya. Selangkah pun tak tampak kakinya bergerak.

"Hoarrrkh...!"

Tiba-tiba saja Setan Bukit Cemara memekik keras. Pekikan yang terdengar aneh itu diiringi dengan terhentaknya dua telapak tangan ke desayapan. Hentakan yang cukup kuat itu menjelmakan dua gulung sinar kehijauan yang meluruk cepat memburu Raja Petir.

Srrrttt! Srrrts...! "Eits! Hops!"

Dengan cepat Raja Petir menghentakkan kaki di tanah tempatnya berpijak. Seketika itu pusayala tubuhnya melesat ke atas.

Tubuh Raja Petir melayang di udara dan berputaran beberapa kali. Dua rangkum sinar kesayahijauan yang meluruk ke tubuhnya berhasil dihinsayadari. Namun, dengan cepat Ki Bandot kembali mengirimkan serangan susulan yang tak kalah dahsyat

"Heaaa...!" Srrrrttt! Srrrrts...!

Dua rangkum sinar kehijauan yang bergusayalungan melesat memburu Raja Petir yang masih berada di udara.

Patut dipuji ketenangan tokoh muda pewasayaris ilmu mendiang Raja Petir itu. Dalam keadaan yang sedemikian sulit Jaka mampu membaca suasayasana dan mencari jalan keluar untuk menggagalsayakan serangan dahsyat lawan.

Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir', tubuh pemuda berpakaian kuning keemasayasan itu melesat ke samping kiri, lalu menjatuhkan diri di tanah. Dengan bertumpu pada kedua telasayapak tangan Raja Petir bergulingan beberapa kali ke atas tanah merah.

"Hops!"

Tubuh Raja Petir kembali mencelat ke udara menghindari serangan gencar Setan Bukit Cemara.

"Hrghrgh...! Hih!"

Setan Bukit Cemara menggeram keras. Hasayatinya bertambah marah. Beberapa kali serangan yang dilancarkan berhasil digagalkan lawan. Lasayalu....

"Hiaaa...!"

Srrrtirt! Srrrrats...!

Dua gulung sinar kehijauan melesat cepat memburu Raja Petir. Namun kali ini pendekar musayada itu tak nampak melakukan gerakan untuk menghindar. Tokoh sakti yang mengenakan pasayakaian kuning keemasan tampak mengepalkan tansayagan, lalu menariknya ke atas pinggang.

"Hih!" Wusss...!

Serangkum angin berhawa panas melesat dari dua telapak tangan Raja Petir yang terhentak kuat. Serangkum angin yang tercipta berkat pensayagerahan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' meluruk cepat, menyongsong dua gulungan sinar kehijauan dari arah yang berlawanan. Angin panas itu berpusayatar cepat. Dan....

Srrrttts! Glarrr. !

Suara ledakan yang menggelegar keras tersayadengar memekakkan telinga ketika ilmu 'Pukulan Pengacau Arah' beradu dengan ajian 'Racun Cemasayara Kematian' yang berupa dua gulungan sinar kesayahijauan.

Akibat ledakan kuat itu tubuh Raja Petir mundur satu langkah, sedangkan Setan Bukit Cemara mengalami nasib yang lebih parah. Tusayabuhnya nampak terhuyung lima langkah ke belasayakang. Keadaan itu menandakan kalau tenaga dasayalam yang dimiliki Raja Petir berada di atas Ki Bansayadot

Ketika Setan Bukit Cemara dalam keadaan terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan, dengan kuat Raja Petir menghentakkan kaki sesayaraya melancarkan serangan susulan dengan mensayagerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.

"Hiaaa...!"

Tubuh lelaki yang terbalut pakaian kuning keemasan itu mencelat ke udara. Kedua tangansayanya yang terentang, bergerak cepat ke dada Setan Bukit Cemara. Setan Bukit Cemara yang tak menyangka akan datangnya serangan balasan yang begitu cesayapat tampak panik dan kebingungan. Semampunya lelaki tua berpakaian biru itu bergerak untuk menghindari serangan Raja Petir. Namun, kecepasayatan gerak lawan yang luar biasa membuat Bandot tak sempat melakukan sesuatu. Maka....

Blukkk! "Ugkh!"

Tubuh Setan Bukit Cemara terpental ke besayalakang. Pukulan keras Raja Petir mendarat telak di dadanya.

Brukkk! "Hoekkk..!"

Tubuh Ki Bandot jatuh berdebum tanah. Darah kental keluar melalui mulutnya. Lelaki tua bercambang bauk putih itu tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya yang terbungkus pakaian biru terkulai lemas di atas tasayanah berumput.

Suasana tiba-tiba berubah hening. Ada keanehan terjadi lagi. Ketika keadaan Setan Bukit Cemara terkapar tak berdaya seperti itu, mendasayadak mayat-mayat berjatuhan ke tanah. Mayatsayamayat hidup menyeramkan yang dengan ganas menyerang Mayang tiba-tiba bagaikan makhluk hidup yang kehilangan nyawa. Mati! Dan perlahansayalahan mereka berubah ke asal semula.

"Hhhsaya"

Mayang sempat keheranan menyaksikan keadaan itu, begitu juga dengan Raja Petir.

Namun ketika suasana aneh itu masih terasayasa, tiba-tiba pula muncul sesosok bayangan hitam melesat dengan kecepatan yang sulit tertangkap mata.

Raja Petir dan Dewi Payung Emas belum sempat menyadari benar, tahu-tahu sosok bayansayagan yang berkelebat itu telah menyambar tubuh Setan Bukit Cemara yang terkulai tak berdaya di atas rerumputan. Dengan cepat sosok bayangan hitam itu meninggalkan tempat itu membawa tusayabuh Setan Bukit Cemara.

"Ayo, kita kejar mereka, Kakang!" ajak Mayang menyadari kalau Setan Bukit Cemara tesayalah diselamatkan seseorang.

Jaka tak segera menyetujui ucapan kekasayasihnya. Namun kemudian ketika hatinya tergerak untuk menyelidiki keanehan-keanehan yang terjasayadi Raja Petir pun segera menganggukkan kepasayalanya

"Ayolah! Hop!"

"Hops!"

7

Sosok bayangan hitam yang melarikan tusayabuh Setan Bukit Cemara terus melesat dengan kesayacepatan tinggi. Sambil memanggul tubuh Setan Bukit Cemara, sosok bayangan hitam itu melesat terus melintasi perbatasan Desa Kober Utara.

Sosok berpakaian hitam itu ternyata salah seorang dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing Goa Tanjung yang sengaja diutus Ki Gambaga Kesayapala Desa Pagarayung untuk mengawasi sepaksayaterjang Setan Bukit Cemara.

Jaka dan Mayang yang menguntit lari sosok penyelamat Ki Bandot tampaknya tak kehilangan jejak. Karena ilmu meringankan tubuh yang dikesayarahkan dalam berlari telah mencapai tingkat kesayasempurnaan.

"Dia masuk ke desa lain, Kakang," ujar Mayang melihat sosok yang memanggul tubuh Sesayatan Bukit Cemara melewati perbatasan Desa Kober Utara dan masuk ke desa yang bernama Pagasayarayung.

"Kita akan terus menguntit mereka. Namun kita tetap harus meningkatkan kewaspadaan," sasayahut Jaka.

"Tentu saja, Kakang," timpal Mayang densayagan lari yang tetap pada kecepatan seperti semula.

"Rasanya kita perlu mengurangi kecepatan kita Mayang. Firasatku mengatakan kalau sarang yang dituju tak jauh dari sini," ujar Raja Petir menduga-duga. Dugaan pendekar muda itu tentu saja dilandasi kepekaan panca indera yang tetap terus dikerahkan selama pengejaran.

Mayang tentu saja menuruti apa yang disayaucapkan kekasihnya. Gadis cantik itu langsung mengurangi kecepatan larinya. Bahkan tampak berubah dengan langkah yang agak cepat.

"Sebaiknya kita berhenti di sini!" usul Jaka. Mayang menatap wajah kekasihnya. Tak ada sepasayatah pertanyaan pun yang diucapkan.

"Aku akan melakukan sesuatu dari tempat ini," papar Raja Petir lagi. "Kuharapkan kesiasayagaanmu saat aku melakukan pemusatan pikiran." "Lakukanlah, Kang!" sahut Mayang menye-

tujui ucapan kekasihnya.

Raja Petir segera memusatkan pikiran. Pesayamuda berpakaian kuning keemasan itu tampak mulai memejamkan mata. Kakinya yang berdiri tesayagak, agak direnggangkan. Sementara kedua tansayagannya yang terkepal ditarik sampai ke pinggang.

Dengan mengheningkan cipta seperti itu Rasayaja Petir berusaha mengerahkan ilmu mendengar jarah jauhnya. Mayang pun tak tinggal diam. Gasayadis itu segera memasang kewaspadaan tingkat tinggi, bersiaga penuh di tempatnya berdiri. Masayatanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mensayagawasi tempat di sekitar mereka.

"Setan Bukit Cemara kini ditemani empat lelaki, Mayang," ujar Jaka memberitahu setelah melakukan pengerahan ilmu mendengar jarak jauh.

Mendengar ucapan Raja Petir, gadis itu mesayanoleh lalu mengangguk, tanda mengerti.

"Tiga di antara mereka mengaku berjuluk 'Tiga Bajing Goa Tanjung', sedangkan yang sasayatunya mengaku sebagai Kepala Desa Pagarayung," papar Jaka, menurut apa yang di dengarnya dari jarak jauh.

"Lalu apa yang mereka rencanakan?" tanya Mayang ingin tahu.

"Aku hanya mendengar keinginan Kepala Desa Pagarayung yang bercita-cita menguasai Desayasa Kober Utara untuk disatukan dengan desa yang dipimpinnya. Namun terlebih dulu melenyapkan Ki Bernala serta abdi setianya," papar Jaka.

"Dan Tiga Bajing Goa Tanjung bersedia membantu setelah Setan Bukit Cemara gagal mesayanunaikan tugasnya, begitu kan, Kang?" tanya Mayang menduga cerita Jaka selanjutnya.

"Semakin pandai kau sekarang, Mayang!" puji Jaka membenarkan kesimpulan kekasihnya.

"Lalu apa rencanamu, Kang?"

"Kita kembali ke kediaman Ki Bernala sekasayarang juga."

"Hmmm...!" Mayang menggumam tak jelas. "Tidak kita satroni saja Setan Bukit Cemara dan empat lelaki yang kini menemaninya?" tanya Mayang mencoba memberikan pendapatnya.

"Pada saatnya mereka akan menyatroni kesayadiaman Ki Bernala, Mayang. Itulah rencana meresayaka selanjutnya," ujar Jaka, lembut. "Kita harus memberitahukan Ki Bernala tentang hal ini. Kita jangan bertindak sebelum yang bersangkut-paut dengan persoalan ini tahu dengan jelas masalahsayanya."

Gadis cantik berpakaian jingga yang berjusayaluk Dewi Payung Emas mengangkat pundak sebasayagai tanda menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Jaka.

"Kau memang gadis penurut, Mayang. Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" ajak Jaka sambil menggamit lengan Mayang dan pergi meninggalkan perbatasan Desa Pagarayung.

***

Ada keterkejutan di hati Kepala Desa Kober Utara setelah mendengar cerita hasil penyelidikan Jaka dan Mayang. Sesungguhnya Ki Bernala tak menyangka kalau dalang di balik peristiwa belasayakangan ini ternyata Ki Gambaga.

"Ki Gambaga...," gumam Ki Bernala dengan wajah menegang.

"Nama Kepala Desa Pagarayung itu Ki Gamsayabaga, Ki?" tanya Jaka ingin tahu.

"Ya," tegas Ki Bernala, "Dialah sahabatku yang paling baik."

"Maksud Ki Bernala?" tanya Mayang pena-

saran.

"Desa Kober Utara dan Desa Pagarayung

bertetangga sejak puluhan tahun lalu. Kami sebasayagai kepala desa tentu saja saling menghormati hak-hak desa masing-masing. Malahan kami sersayaing saling mengunjungi satu sama lain, hingga timbul persahabatan yang erat. Kuakui tanah di Desa Kober Utara memang lebih subur daripada tanah di Desa Pagarayung. Sungguh tak kusangka kalau akhirnya persahabatan ini ternodai begitu saja," papar Ki Bernala menjelaskan pertanyaan Mayang.

"Mungkin karena itulah Ki Gambaga mensayaginginkan Desa Kober Utara menjadi wilayah kesayakuasaannya," duga Mayang menimpali.

"Apa tak ada hal lain yang membuat desa itu melebihi Desa Pagarayung?" tanya Jaka ingin tahu.

Ki Gambaga tak segera menjawab pertasayanyaan Jaka. Mata lelaki berusia hampir enam pusayaluh tahun itu menatap wajah pemuda tampan di depannya. Bias keraguan nampak memancar dari tatapan matanya.

"Ahhh...!" tiba-tiba saja Ki Bernala menarik napas panjang. "Mungkin Ki Gambaga tahu hal ikhwal Bukit Gandung," jawab Ki Bernala setelah berhasil meyakinkan hati bahwa Jaka memang hasayarus tahu keadaan di desanya.

"Ada apa di Bukit Gandung, Ki?" tanya Jaka hati-hati.

"Konon, menurut orang-orang sebelum aku menjadi kepala desa ini, pada sebuah bukit yang bernama Bukit Gandung terpendam sebuah harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Dan menurut mereka bukan hanya kekayaan saja yang terpensayadam di sana, melainkan juga senjata dan kitabsayakitab pusaka," tutur Ki Bernala sejelas-jelasnya. Di sebelah Ki Bernala nampak Nyi Rira Pangestu dusayaduk dengan kepala tertunduk.

"Ki Bernala percaya dengan omongansayaomongan itu?" tanya Mayang.

"Entahlah, karena aku belum membuktisayakannya," jawab Ki Bernala.

"Kalau boleh aku tahu apa rencana Ki Gambaga selanjutnya, Jaka?" suara Nyi Rira Pansayagestu terdengar bernada penuh kecemasan.

"Ki Gambaga yang kini dibantu Tiga Bajing Goa Tanjung akan datang ke sini, Nyi. Dan berhasayasrat besar untuk membinasakan Ki Lurah Bernala serta abdi-abdinya," jelas Jaka tanpa menutupsayanutupi hal yang diketahuinya.

"Oh!" Nyi Rira Pangestu terpekik mendengar penjelasan Jaka.

"Nyi Rira tak perlu terlalu cemas. Sebisanya kami akan membantu," tukas Mayang mencoba menenangkan hati istri Ki Bernala.

"Kapan kira-kira mereka akan menyerbu kemari?" tanya Ki Bernala.

"Entahlah," jawab Jaka, "Yang jelas kita hasayarus bersiap-siap."

***

Malam demi malam terlewati dengan perasayasaan tercekam. Sudah tiga malam Ki Bernala tak dapat tidur tenang. Begitu pun istrinya, Nyi Rira Pangestu. Kedua suami-istri penguasa Desa Kober Utara itu selalu mengurungkan keinginannya unsayatuk tidur nyenyak. Setiap kali ada suara gemerisik mereka tersentak kaget, lalu bangun dari pembasayaringan. Padahal suara-suara itu ditimbulkan binasayatang malam atau angin yang bertiup kencang menggoyang ranting pepohonan di sekitar rumahsayanya.

Hingga malam ini, Ki Bernala dan istrinya benar-benar tak bisa memejamkan mata. Perasaan mereka semakin tercekam.

"Perasaanku semakin tak enak saja, Ki," ujar Nyi Rira Pangestu mirip bisikan. Matanya mesayanatap wajah Ki Bernala yang terbaring di samsayapingnya.

"Hatiku juga tak tenang, Nyi," timpal Ki Bernala, "Namun aku yakin kedatangan mereka akan diketahui Gunjada  dan kawan-kawannya, bukankah mereka sedang berjaga-jaga di luar sasayana?" lanjuti Ki Bernala berusaha menenangkan hasayati istrinya.

"Tapi, aku tetap khawatir, Ki," ujar Nyi Rira Pangestu tak kuasa menyembunyikan ketakutansayanya.

"Kalau begitu, kita bergabung saja dengan Jaka dan Mayang. Barangkali dengan begitu hatisayamu bisa tenang, Nyi," ujar Ki Bernala menyaransayakan istrinya.

Nyi Rira Pangestu menganggukkan kepala menyetujui usul Ki Bernala. Keduanya melangkah ke luar meninggalkan ruangan pribadinya, menuju kamar Mayang dan Jaka.

"Aaa...!"

Namun baru tiga langkah kaki Ki Bernala dan Nyi Rira Pangestu terayun, suara pekikan kesayaras terdengar.

"Ki...?"

Nyi Rira Pangestu segera saja merangkul tubuh sang Suami. Kepalanya menoleh ke tempat asal suara pekikan.

Pada saat puncak ketakutan Nyi Rira Pansayagestu tak terkuasai, tiba-tiba muncul Jaka dan Mayang yang berlari dari kamar masing-masing.

"Ada apa, Ki?" tanya Jaka dan Mayang hampir bersamaan.

"Aku tak tahu, Jaka," jawab Ki Bernala sambil merangkul istrinya untuk memberi ketesayanangan.

"Biar aku lihat keluar," ujar Jaka, "Kau tesayamani Nyi Rira, Mayang!" Jaka bergegas keluar menuju tempat asal suara tadi.

"Hei, ada apa ini?" tanya Jaka ketika mesayanyaksikan Gunjada tengah membungkuk memesayariksa keadaan rekannya yang tergeletak di tanah depan rumah Ki Bernala.

"Aku tak tahu dengan jelas. Raja Petir," jasayawab Gunjada seraya bangkit. "Walinan tahu-tahu saja memekik dan ambruk."

Jaka segera melompat turun dari serambi untuk memeriksa keadaan lelaki bernama Walisayanan.

"Dia sudah mati," ucap Jaka setelah meraba nadi Walinan yang sudah tak berdenyut.

Gunjada dan kawan-kawannya yang lain terkejut mendengar ucapan Raja Petir. Semua kembali menatapi tubuh Walinan.

"Hmmm.saya"

Raja Petir bergumam saat tangannya merasayaba bagian leher Walinan. Sebuah benda beracun telah menembus kulit leher lelaki itu hingga ke dasayalam.

"Seperti sebuah jarum," duga Jaka sambil terus meraba leher lelaki berpakaian hitam yang sudah menjadi mayat itu.

Crrrt...!

Tiba-tiba saja Jaka memijit kulit bagian lehsayaer Walinan. Sebuah jarum seketika keluar dari kusayalit leher Walinan. Darah kehitaman pun keluar dasayari bekas tembusan jarum.

"Bersiagalah kalian semua!" ujar Raja Petir memperingatkan bahaya yang diduga bakal dasayatang.

Orang-orang yang bertugas menjaga kea-

manan rumah kediaman Ki Bernala segera saja menghunus senjatanya masing-masing. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara berdecit halus  yang meluruk ke tempat para penjaga keamanan rumah Ki Bernala.

Jaka yang memang sudah terlatih kepesayakaannya segera dapat merasakan bahaya yang dasayatang mengancam.

"Awaaasss...!" teriak Jaka, seraya melompat ke depan, tangannya seketika bergerak cepat mensayagerahkan jurus pukulan pengacau arah.

Wuuusss...!

8

Trak! Trak! Trak!

Benda-benda yang melesat hingga menimsayabulkan suara berdecit itu berpentalan balik ketika serangkum angin bergulung yang keluar dari telasayapak tangan Raja Petir menerjang dari arah berlasayawanan.

Senjata-senjata gelap yang ternyata jarumsayajarum beracun itu sebagian terpental balik ke pesayamiliknya dan sebagian hancur berhamburan di tasayanah.

"Hops!" "Aaakh...!"

Teriakan-teriakan keras seketika terdengar memecah suasana malam. Jarum-jarum yang tersayapental balik itu rupanya mengancam keselamatan pemiliknya. Sehingga dari balik pepohonan di sekisayatar rumah itu berlompatan beberapa sosok bayansayagan yang menghindari serangan balik senjata gelap mereka.

Tiga lelaki berpakaian gelap mendarat densayagan ringan di tanah. Gerakan mereka pun sangat lincah. Ketiga lelaki berwajah hampir mirip itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.

Namun, di antara para penyerang gelap itu tampak seorang lelaki berwajah kasar. Dari gerasayakan dan cara mendaratnya memberi gambaran kasayalau dirinya tidak memiliki kemampuan dalam ilmu silat. Lelaki berpakaian merah darah itu tak lain Ki Gambaga, Kepala Desa Pagarayung. Mereka dasayatang berempat, tanpa Manggale. Ki Gambaga sensayagaja meninggalkan putranya di rumah, agar mensayajaga Ki Bandot yang tengah menderita luka dalam sangat parah setelah bentrok dengan Jaka.

"Ha ha ha...! Hebat juga ilmu yang kau milisayaki, Bocah!" teriak seorang lelaki berpakaian kelabu dan berkepala botak plontos. Mata lelaki yang besayasar sebelah itu terlihat berkedip-kedip lucu. Dan giginya yang tonggos membuat penampilan lelaki bertubuh tegap itu tampak lucu.

"Dialah Raja Petir, Lambuna," ujar lelaki berwajah kasar yang tak lain Kepala Desa Pagasayarayung yang bercita-cita menguasai Desa Kober Utara.

Lelaki yang bernama Lambuna segera mesayanoleh dan menatap sejenak wajah Ki Gambaga. Tanpa diberitahu, sebenarnya Lambuna sudah mengenal ciri-ciri pada diri pemuda berpakaian kuning keemasan yang terkenal dengan julukan si Raja Petir.

Mendapat tatapan tak senang dari Lambusayana, Ki Gambaga sedikit menundukkan wajahnya. Keadaan seperti itu tak berlangsung lama, karena kemudian Lambuna sudah kembali berkata, "Kau tahu dengan siapa sekarang berhadapan. Raja Goblok?!" tanya Lambuna setengah membentak.

"Aku tak tahu, tapi kalau boleh aku mendusayaga, bukankah kau yang berjuluk Setan Tonggos berwajah buruk?" balas Raja Petir dengan ejekan pula.

"Kurang ajar!" maki Lambuna, merasa tersayasinggung dengan julukan yang disebutkan Raja Pesayatir.

"Setan Alas!" hardik lelaki lain yang juga bergigi tonggos dan bermata sipit. Dialah orang kedua dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing Gua Tanjung.

"Keparat!" caci orang ketiga tak mau keting-

galan.

"Kau tidak menghardikku?" tanya Raja Petir

pada Ki Gambaga yang hanya diam.

Ki Gambaga menatap tajam wajah Raja Pesayatir. "Kau harus mampus sekarang!" bentaknya kesayamudian.

"Kau yang harus mampus, Gambaga!" balas Ki Bernala yang muncul bersama-sama Mayang dan Nyi Rira Pangestu. "Sungguh aku tak mesayanyangka kalau kau bisa menodai persahabatan kisayata dengan hal-hal yang keji seperti ini. Kau tahu, banyak sudah penduduk Desa Kober Utara yang menjadi korban karena ulahmu menyewa Setan Bukit Cemara. Kelakuanmu sangat memalukan! Hanya kematianlah yang pantas menebus dosasayadosamu, Ki Gambaga!"

"Jangan bermimpi dapat membunuhku, Bernala!" bentak Ki Gambaga, "Kau tak lihat Tiga Bajing Gua Tanjung yang berdiri di sebelahku? Sesayakarang juga mereka akan mengirim kalian semua ke neraka," lanjut Ki Gambaga dengan menyansayajung nama Tiga Bajing Gua Tanjung.

"Kurasa Raja Petir-lah yang pantas mengusayabur wajah-wajah jelek orang-orang bayaranmu, Ki Gambaga!" balas Ki Bernala.

Bergetar hati Tiga Bajing Gua Tanjung mendengar penghinaan tajam yang dilakukan Ki Bernala. Kemudian salah seorang di antara Tiga Bajing Gua Tanjung itu bergerak cepat hendak menghantam Bernala dengan tinjunya. Namun....

"Hops!"

Mayang telah lebih dulu bergerak ke depan untuk melindungi Ki Bernala.

"Sabar Kisanak!" ujar gadis itu sambil mensayagangkat senjatanya sebatas kepala. "Kau tak pansayatas untuk berhadapan dengannya!"

Lelaki ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung mengurungkan niatnya menyerang Ki Bernala.

"Apa kau sanggup menghadapiku, Gadis Liar?" tanya lelaki berambut gondrong sebahu. Gisayaginya yang tonggos tampak sangat lucu.

"Sepuluh lelaki macam kau pun akan kulasayadeni," balas Mayang ketus. "Benar-benar gadis binal!" "Kau lelaki kelaparan!" "Hhh...!"

Orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung mendengus kesal. Tanpa menunggu perintah dari Lambuna sebagai orang tertua, lelaki berambut gondrong dan bergigi tonggos itu langsung melansayacarkan serangannya terhadap Mayang.

Lambuna yang menyaksikan Rekoga telah melakukan penyerangan, segera memerintahkan Garbala untuk sama-sama menyerang Raja Petir.

"Ayo, Garbala! Kita lumat tubuh Raja Gobsayalok itu!" seru Lambuna keras. Tubuh lelaki berkesayapala botak itu langsung melesat ke tubuh Jaka disayaikuti Garbala.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

***

Di bawah sinar bulan yang tak begitu terang pertarungan maut pun tak dapat terelakkan. Lamsayabuna dan Garbala tampak sangat bernafsu untuk membunuh lawan mereka.

Pertarungan yang berlangsung seru itu tersayapecah tiga bagian. Kepala Desa Kober Utara tamsayapak mempertahankan kewibawaannya menghadasayapi Kepala Desa Pagarayung. Sementara dara manis kekasih Raja Petir, nampak tak sungkan-sungkan meladeni orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tansayajung.

"Hiaaa...!"

Wuttt! "Haits...!"

Dengan cepat Rekoga mengayunkan senjata menyerang Dewi Payung Emas. Seperti gerakan penari tubuh Mayang meliuk menghindari tebasayasan, senjata Rekoga. Sangat ringan dan lentur gesayarakan yang dilakukan gadis berpakaian jingga itu membuat serangan lawan luput.

"Setan!" hardik Rekoga geram, "Terimalah ini!"

Slats! Slats!

Dengan gerakan cepat Rekoga meraih sum-

pit yang ditaruh di balik pakaian dan meniupkansayanya dengan kuat. Dua batang jarum beracun pun melesat cepat memburu tubuh Mayang. Namun....

Wrrr. !

Trak! Trak!

Mayang yang sudah mampu membaca kelisayacikan lawannya segera saja mengerahkan jurus 'Benteng Emas' guna meredam serangan Rekoga lewat ilmu 'Sumpit Maut Setan Tanjung'.

Senjata andalan Mayang yang berupa payung logam yang berwarna kuning keemasan berputaran kuat hingga membentuk semacam benteng. Dan ternyata jurus 'Benteng Emas' lebih ampuh dari ilmu lawan.

Sementara itu pada pertarungan lain. Raja Petir yang menghadapi lelaki tertua dari Tiga Bajsayaing Gua Tanjung tengah terlibat pertarungan sensayagit.

Jurus-jurus andalan yang dimiliki Lambuna dan Garbala berkali-kali sudah digelar. Namun sesayajauh ini dua dari Tiga Bajing Gua Tanjung belum mampu menunjukkan keperkasaan mereka. Bersayalawanan dengan sesumbar mereka yang hendak melumat tubuh Raja Petir.

Sebaliknya, Raja Petir hanya dengan mengesayarahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sesekali menyerang dalam jurus 'Petir Menyambar Elang' mampu mengecoh lawan-lawannya. Bahkan Lamsayabuna dan Garbala tampak mulai terdesak.

"Dia betul-betul tangguh, Kakang," desis Garbala seperti putus asa.

"Tidak Garbala, Kita hanya belum mengelusayaarkan ilmu-ilmu tingkat utama kita," sangkal Lambuna.

"Kalau begitu gunakan saja sekarang, Kasayakang," usul Garbala.

"Ayo! Aku memang sudah kepingin cepatsayacepat menyelesaikan urusan ini," jawab Lambuna.

Orang pertama dan kedua dari Tiga Bajing Gua Tanjung itu kini sama-sama mundur dua langkah. Keduanya kini berdiri tegak dengan tatasayapan mata lurus ke wajah Raja Petir. Sementara tangan mereka saling ditautkan satu sama lain.

Dengan sikap tenang Raja Petir memperhasayatikan apa yang dilakukan kedua lawannya. Basayaginya gerakan yang dilakukan Lambuna dan Garsayabala dianggap seperti anak-anak kecil yang hendak bermain. Namun ketika melihat kelanjutannya Rasayaja Petir tersentak.

"Ilmu Setan," gumam Raja Petir melihat tangan yang saling bertautan itu semakin memansayajang dan memanjang. Tangan itu melar bagai karet dan semakin lama terulur melebihi ukuran kewasayajaran.

Jaka dengan tatapan mata tak berkedip tesayarus menanti-nanti apa yang akan dilakukan dua orang lawannya.

"Aji Gua Maut!"

Tiba-tiba saja Lambuna berteriak lantang menyebutkan ilmu yang sedang digunakannya. Bersamaan dengan itu tubuh keduanya melesat dengan cepat memburu Raja Petir. Tangan mereka yang melar panjang tetap saling bergandengan. Kedua tangan panjang itu tiba-tiba bergerak mensayagurung Raja Petir yang masih diam di tempatnya.

"Hmmm...! Apa yang akan mereka lakukan dengan 'Aji Gua Maut' itu?" batin Jaka.

Jaka yang kini terkurung ilmu lawan sedikit pun tak bergeser dari pijakannya. Dirinya masih menanti-nanti serangan bagaimana yang akan disayalancarkan Lambuna dan Garbala.

Beberapa saat lamanya tubuh Jaka, yang terkurung tak terjadi perubahan apa-apa. Namun kemudian asap kemerahan tiba-tiba muncul dari tangan-tangan yang melingkar di seputar tubuh Raja Petir. Mula-mula asap itu terlihat tipis, tapi kemudian semakin tebal hingga akhirnya berubah warnanya. Asap tebal yang mengurung itu kini mesayarah pekat.

"Uhugkh!"

Jaka terbatuk ketika asap ciptaan Lambuna dan Garbala yang terangkum dalam ilmu 'Aji Gua Maut' semakin dekat, seolah hendak membungkus tubuhnya. "Hawa beracunnya semakin lama semakin menyengat," kata hati Jaka. Kemudian secara persayalahan dirinya mulai mengerahkan 'Ajian Kukuh Karang' untuk mengatasi serangan lawan.

Sebelum asap merah yang semakin tebal itu benar-benar membungkus tubuh Raja Petir sinar kuning keemasan yang perpendar-pendar dari basayagian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung kaki telah menjelma melindungi tubuhnya.

Karena tubuh lawan terkepung asap tebal Lambuna dan Garbala tak tahu kalau Raja Petir tengah berupaya melindungi diri dengan ilmunya.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

Raja Petir hanya dapat mendengar teriakan Lambuna dan Garbala yang menggelegar. Firasatsayanya mengatakan kalau dua lawannya akan melasayakukan serangan gelap.

Dan ternyata benar. Lambuna dan Garbala tengah melesat cepat, mengirimkan serangan densayagan tendangan lurus ke kepala dan perut Raja Pesayatir.

Suara angin yang menderu menandakan kalau kedua tokoh Setan Gua Tanjung menggunasayakan kekuatan tenaga dalamnya dalam serangan itu. Namun....

Prats! Pratssaya!

"Aaakhsaya!"

"Akhsaya!"

Tubuh Garbala dan Lambuna seketika tersayapental balik ketika tendangan dahsyat yang meresayaka lancarkan seperti membentur logam yang sansayagat keras. Seketika keduanya terpekik kesakitan.

Hampir tiga batang tombak jauhnya tubuh Lambuna dan Garbala terpental. Mereka merasasayakan sekujur tubuh bagaikan dirambati ribuan sesayamut. Gemetaran dan linu. Sedangkan  pengaruh 'Aji Gua Maut' yang mampu menjelmakan asap merah dan tebal kini telah luntur. Tak lagi tercium bau yang menyesakkan pernapasan, apalagi wujud asap itu seolah-olah menguap ke langit.

"Keparat!" maki Lambuna geram, merasa tesayalah mengalami kegagalan dengan ajian yang diansayadalkannya.

"Kalian masih punya hasrat untuk menghasayadapiku?" tanya Jaka dengan suara keras.

"Hhh...!"

Lambuna dan Garbala sama-sama menggesayaleng. Mulut Lambuna mendengus penuh kebensayacian, mendengar pertanyaan Jaka yang dianggapsayanya terlalu sombong.

"Lebih baik aku mampus daripada harus menyerah di tanganmu, Raja Gila!" maki Garbala tak kuasa menahan kejengkelannya.

Srat!

Tiba-tiba saja Garbala meloloskan pedang dari warangkanya yang tergantung di pinggang. Hal yang sama dilakukan Lambuna. Sementara itu, Jaka terbelalak melihat pedang Garbala. Pesayadang itu tumpul dan berukuran pendek. Mungkin hanya sekitar dua jengkal.

"Heaaa...!"

Garbala melesat cepat memburu tubuh Jasayaka. Sementara Lambuna dengan ringan sekali mesayalenting ke atas sambil mengayunkan pedangnya.

Patut dipuji daya tahan kedua tokoh Tiga Bajing Gua Tanjung itu. Apalagi daya tahan tubuh Lambuna. Meski dalam keadaan persendian yang masih linu, lelaki berkepala botak itu mampu mesayalenting ke udara dan meluruk melewati batas kesayapala Raja Petir.

Melihat tindakan kedua lawannya, Jaka mengetahui gelagat kalau mereka akan menyesayarangnya dari dua arah depan dan belakang dengan menggunakan senjatanya.

Dugaan Raja Petir ternyata tak meleset, tersayabukti setelah tubuh Lambuna mendarat di belasayakangnya, Garbala mengangkat pedangnya sampai di atas kepala. Jelas hal itu sebagai pertanda, kasayalau penyerangan dari dua arah akan segera dimusayalai.

"Sepasang Pedang Bajing Goa Tanjung!" pesayakik Lambuna yang berada di belakang Raja Petir.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

Garbala yang melesat lebih dulu dari depan sempat dilihat gerakannya oleh Raja Petir. Seketisayaka itu juga kecerdikan Raja Petir berperan.

Ketika pedang tumpul di tangan Garbala melesat mengancam jantungnya. Raja Petir segera menangkap senjata itu dengan dua telapak tangan yang dirapatkan satu sama lain.

Crak!

"Heh?!" Garbala terkejut mendapatkan sesayarangannya ditahan dengan tangan telanjang. Dan keterkejutan Garbala semakin menjadi-jadi ketika pada saat yang hampir bersamaan Lambuna mesayanusukkan pedangnya lurus ke batang leher lawan. Sedangkan Raja Petir, dengan kecepatan dan kesayakuatan luar biasa segera mengangkat tubuh Garsayabala hingga menghadapi Lambuna yang tengah melancarkan serangan membokong. Maka kejasayadiannya....

"Hiaaa. !"

Jrrrabs!

"Aaa...!" lengking kematian panjang pun terdengar membumbung tinggi, ketika pedang Lambuna menghujam dada Garbala. Tubuh orang kedua dari Tiga Bajing Gua Tanjung itu langsung ambruk ke tanah. Darah muncrat dari dada Garsayabala ketika dengan cepat Lambuna menarik pesayadangnya.

"Keparat kau. Raja Petir!" bentak Lambuna. Lelaki berkepala botak itu menggeram marah. Masayatanya melotot kaget menyaksikan kematian Garbasayala.

"Aaa...!"

Belum lagi kemarahan Lambuna terlamsayapiaskan sebuah pekik kematian terdengar dari musayalut Rekoga. Lambuna sempat menoleh ke tempat asal pekikan itu. Dan hatinya terkejut bukan kepasayalang menyaksikan Rekoga terhuyung-huyung densayagan bagian perut terkoyak lebar. Darah bercucusayaran dari perut yang terbabat senjata andalan Mayang.

Bruk! "Aaakh...!"

Tubuh Rekoga ambruk. Masih terdengar suara rintihan kesakitan, sebelum akhirnya tubuh Rekoga kaku tak bernyawa.

Pada pertarungan lain Ki Gambaga tampak terdesak menghadapi Ki Bernala, karena pada saat itu Gunjada mulai memberi bantuan kepada kepasayala desanya.

"Mampus kau, Ki Gambaga!" teriak Gunjada sambil membabatkan pedangnya ke lambung Kesayapala Desa Pagarayung itu.

"Heaaa...!" Brets! "Akh...!"

Tubuh Ki Gambaga seketika ambruk ke tasayanah dengan bagian lambung terkoyak dan mengusayacurkan darah. Tubuh kepala desa itu menggeleparsayagelepar sesaat, tapi kemudian diam tak bergerak lagi.

"Bagaimana, bajing ompong?! Apakah kau juga ingin menyusul kawan-kawanmu ke kubur?" tanya Raja Petir mengejek Lambuna.

Merah padam wajah Lambuna mendengar lecehan lawannya. "Kalau aku mundur sekarang, itu bukan berarti aku takut mati, Raja Gendeng! Aku hanya tak ingin kematian saudara-saudaraku menjadi sia-sia. Aku akan menuntut balas padasayamu. Dendamku akan terus membara!" lantang ucapan Lambuna. Napasnya terdengar memburu menahan kemarahan yang meluap-luap.

Raja Petir hanya tersenyum mendengar ucapan lawan yang sudah kehilangan keberanian itu. Dan senyumnya semakin melebar saat Lamsayabuna menghentakkan kakinya. "Hiaaa...!"

Di luar dugaan, Gunjada tiba-tiba melesat cepat ke tubuh Lambuna seraya mengayunkan pesayadangnya.

Bret! "Aaa...!"

Lambuna terpekik keras, ketika pedang Gunjada membabat tepat batang lehernya. Darah segar langsung tersembur dari leher yang terkoyak lebar. Tubuh lelaki berkepala botak itu menggelesayapar-gelepar di tanah.

Hanya sesaat pemandangan seperti itu tersayalihat, pada saat selanjutnya tubuh Lambuna tak berkutik lagi. Mati!

Menyaksikan kematian Lambuna, Raja Petir hanya sempat menarik napas dan kemudian kasayakinya terayun menghampiri Ki Bernala dan Nyi Risayara Pangestu.

"Maaf, Ki dan Nyi! Kami tak bisa berlamasayalama tinggal di desa ini, masih banyak keperluan yang harus kami urns," ucap Jaka.

"Tinggallah barang satu, dua malam lagi di sini, Nak Jaka!" tahan Nyi Rira Pangestu.

"Maafkan kami, Nyi! Bukannya kami tak berkenan," tolak Jaka lembut.

Nyi Rira Pangestu tak lagi berkata-kata mendengar penolakan halus Raja Petir.

"Kalau begitu jangan lupakan kami, dan tesayarima kasih atas bantuanmu!" tutur Ki Bernala.

Jaka dan Mayang sama-sama mengangguksayakan kepala.

"Sama-sama, Ki. Kami mohon diri sekasayarang!" ucap Jaka. "Ayo, Mayang!"

Mayang pun segera mengikuti langkah pansayajang Jaka. Angin berhembus semilir mengiringi kepergian sepasang pendekar muda yang telah berhasil menunaikan tugasnya.

SELESAI



No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 17: Setan Bukit Cemara "