Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 21: Perburuan Busur Maut

Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari

Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 21:  Perburuan Busur Maut

1

Matahari belum begitu lama terbangun dari peraduannya, dan kini tengah mengintip malu-malu persada raya dengan panoramanya yang begitu indah.

Hutan Jati Selajar yang berada dalam wilayah Desa Getar Jala mendapat bagian curahan sinar lembut yang hanya kuasa mengintip dari celah dedaunan. Sementara satu pal jauhnya dari mulut Hutan Jati Selajar, lima lelaki bertampang kasar tengah mengayunkan kakinya tergesa-gesa.

"Percepat langkah kalian!" ucap lelaki tinggi besar berwajah pucat bagai mayat. Sepertinya lelaki berambut sebahu yang dibiarkan tergerai itu adalah pimpinan empat lelaki lain yang berpakaian longgar warna hitam mengkilat, terbukti perkataannya segera saja mendapat tanggapan dari empat lelaki yang rata-rata bertubuh tinggi besar.

"Kurasa Hutan Jati Selajar tak berada jauh dari tempat ini," tukas lelaki berwajah pucat lagi.

"Kurasa juga begitu, Kak," timpal lelaki beralis sebelah. Dia nampak mengayun langkahnya lebih cepat dari yang lainnya.

Kemudian, tanpa ada pembicaraan lagi kelima lelaki bertampang kasar melanjutkan perjalanannya menuju Hutan Jati Selajar.

Sementara itu, di dalam Hutan Jati Selajar, di mana terdapat tujuh batang pohon jati yang tumbuh seperti membuat lingkaran, menampakkan panorama yang lain dari Hutan Jati Selajar. Agak aneh kelihatannya, apalagi hanya tempat itu yang ditumbuhi rumput halus. Memang, tempat itu sesungguhnyalah sebuah tempat rahasia. Merupakan sebuah ruang bawah tanah yang didiami oleh lebih dari seorang penghuni.

"Kurasa sekaranglah waktu yang tepat untukmu menemui Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa Jari. Baru setelah itu, kalian berdua bersama Kakek Saroagung mencari Raja Petir untuk menyerahkan busur dan panah emas itu," ucap seorang lelaki berusia lanjut, salah seorang penghuni ruang bawah tanah itu. Kelanjutan usianya ditandai dengan rambutnya yang sudah memutih semua dan juga jenggot panjang berwarna putih. Namun mata lelaki berpakaian serba putih itu masih memperlihatkan ketajamannya, setajam mata elang. Dan itu cukup memberi gambaran bahwa dia bukanlah lelaki sembarangan.

"Lima tahun lamanya kalian kugembleng ilmu bela diri, kurasa cukup bekalmu untuk menghadapi orang-orang yang usil di perjalanan," lanjut kakek berjenggot putih panjang yang sesungguhnya bernama Suranggrati. "Dari mulut Kakek Tanpa Jari kalian akan tahu siapa diri kalian sesungguhnya."

"Apakah Kakek Sura tak sudi menceritakan sedikit saja perihal diri kami sesungguhnya, agar kami tak penasaran?" pinta pemuda tampan berusia tak lebih dari tiga belas tahun. Pakaiannya yang berwarna merah darah terlihat begitu nyerap dengan kulitnya yang berwarna putih bersih.

Pemuda lain yang seusia dan juga berpakaian warna merah hanya menyetujui ucapan saudaranya dengan bahasa isyarat, tatapan matanya yang tertuju lurus ke wajah Kakek Suranggrati menandakan kalau dirinya juga ingin mendengar jawaban dari mulut lelaki tua yang telah hampir tiga belas tahun merawat dan mendidiknya serta membekalinya ilmu bela diri.

Sementara sikap Kakek Suranggrati hanya tersenyum saja menanggapi keinginan dua pemuda tampan yang sudah dianggapnya seperti cucu bahkan anak sendiri.

"Setya Wangsakesuma," panggil Kakek Suranggrati kemudian seiring lenyap senyumnya. "Kalau aku tahu hal ikhwal diri kalian berdua, untuk apa kalian kusuruh menemui Kakek Tanpa Jari," lanjut Kakek Suranggrati.

"Ah, maafkan kami, Kek?" ucap pemuda yang bernama Darma Wangsakesuma sambil menjura memberi hormat.

"Tidak apa, Darma," sela Kakek Suranggrati sambil menyentuh bahu saudara kembar Setya Wangsakesuma yang bernama Darma Wangsakesuma. Lelaki remaja berhidung lancip itu mendapatkan tatapan teduh mata Kakek Suranggrati. "Justru Kakeklah yang harus minta maaf pada kalian, karena Kakek tak dapat mengantar kalian untuk menemui Kakek Tanpa Jari melainkan hanya sampai ambang pintu nanti. Kakek memang sudah terlalu jenuh untuk menggeluti dunia luar. Biarlah Kakek akan tetap di tempat ini, berhubungan terus-menerus dengan Allah, dengan Penguasa Jagad yang menciptakan kehidupan dan kematian, yang memiliki kasih sayang dan ampunan tak terhitung," lanjut Kakek Suranggrati panjang lebar.

"Kami mengerti, Kek," ucap Setya Wangsake-

suma. "Jika begitu, mari secepatnya kita keluar. Lebih cepat menjumpai Kakek Saroagung lebih baik, begitu juga dengan Raja Petir. Kuyakin hanya dia seorang yang mampu meredam tokoh-tokoh jahat yang berhajat memiliki busur dan panah emas ini," tutur Kakek Suranggrati, "Darsa, Sapta! Kalian temani Setya dan Darma sampai menjumpai Kakek Saroagung dan Raja Petir," lanjut lelaki berusia lanjut sambil memerintah pada dua lelaki yang bertubuh kekar berpakaian hitam yang sejak tadi hanya berdiri di belakangnya tanpa ikut menimpali pembicaraan.

"Baik, Kakek Suranggrati! Nyawa kami yang jadi tameng hidup Adi Setya dan Adi Darma," jawab lelaki berotot melingkar-lingkar karena pakaiannya yang dikenakan cukup ketat membungkus tubuh. Lelaki itu berwajah tampan dan kelimis, dialah yang bernama Sapta.

"Tak kuragukan kesetiaan kalian, dan mari kita keluar sekarang," ujar Kakek Suranggrati dengan ayunan kaki yang melewati sosok lelaki muda kembar yang berpakaian warna serba merah.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang di bagian dada mereka terdapat benda yang terbungkus kain putih sutera pun mengikuti langkah kaki Kakek Suranggrati, baru kemudian Darsa dan Sapta melakukan hal yang sama.

"Ha ha ha...! Pucuk di cinta ulam tiba!" ucap sebuah suara cukup keras sesaat tapak kaki Kakek Suranggrati dan orang-orangnya menjejak tanah berumput Hutan Jati Selajar.

"Ternyata tak sesulit apa yang kukira untuk mendapatkanmu, Suranggrati! Yang kucari malah ikut mencariku," lanjut suara itu lagi sebelum Kakek Suranggrati tahu siapa yang berbicara.

"Iblis Bengis Wajah Dingin!" sentak Kakek Suranggrati sedikit terkejut menyaksikan lelaki tinggi kekar yang mengenakan jubah longgar warna putih, rambutnya yang gondrong sebahu tersibak angin yang tiba-tiba saja datang. Di belakangnya berdiri empat lelaki berpakaian hitam dan bertubuh tinggi besar.

"Tanpa kuberitahu maksud kedatanganku menemuimu, kurasa kau sudah lebih tahu, Suranggrati!" tukas lelaki berjubah putih longgar yang dipanggil Kakek Suranggrati sebagai Iblis Bengis Wajah Dingin. "Untuk itu, demi selembar nyawamu yang tak lama lagi berkalang tanah, serahkanlah benda yang ada pada dua bocah itu secara baik-baik padaku. Dengan demikian usiamu masih sempat mendapatkan tempat di muka jagad ini, begitu juga dengan dua bocah kembar pengikutmu yang lain itu!" tunjuk Iblis Bengis Wajah Dingin pada dua bocah berhidung lancip dan juga pada diri Darsa dan Sapta.

Kakek Suranggrati hanya menimpali ucapan Iblis Bengis Wajah Dingin dengan senyum samar yang terkembang, namun tak lama berselang sangkalan pun segera terdengar keluar dari sepasang bibir tipis lelaki berusia enam puluhan.

"Iblis Bengis Wajah Dingin," panggil Kakek Suranggrati dengan suara yang sedikit pun tak tersirat kegeraman, apalagi kegentaran berhadapan dengan lelaki yang sudah cukup punya nama di kalangan rimba persilatan. "Aku cukup mengenal kau yang memiliki kesaktian yang begitu tinggi, meski kabar itu kuketahui dari mulut ke mulut, namun kuyakini betul bahwa kau memiliki kesaktian yang tinggi itu. Tapi kini sungguh tak terpikir olehku, ternyata kau juga ingin memiliki benda yang kini berada di tangan kedua cucuku itu. Aku heran, apakah kau menjadi kurang sakti tanpa senjata yang berada pada Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma?" sambung Kakek Suranggrati sambil melempar pertanyaan dengan nada sindiran halus namun cukup menusuk hati Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Hm.... Ternyata kau tak sayang dengan nyawamu yang hanya tinggal sedikit lagi mengenyam nikmatnya kehidupan ini, Suranggrati! Kata-katamu barusan yang kuanggap kelewat berani itu adalah bumerang untuk sepenggal nyawamu!"

"Apa kau yang berhak untuk menentukan kehidupan dan kematian seseorang, Iblis?" tanya Kakek Suranggrati masih dengan sikap yang cukup tenang. Sementara Setya Wangsakesuma dan saudara kembarnya sudah nampak berdiri gelisah, begitu juga dengan Darsa dan Sapta. Mereka menjadi tak tenang karena ingin menghajar mulut kurang ajar lelaki yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Aku dan senjata mautku ini memang punya hak untuk melenyapkan nyawa kalian!" jawab Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Iblis sombong!" maki Darma Wangsakesuma

keras.

"Iblis  laknat!"  timpal  Setya   Wangsakesuma

tak kuasa membendung emosinya. Dua lelaki kembar berusia tiga belasan itu sama-sama melangkahkan kakinya bermaksud memberi pelajaran pada Iblis Bengis Wajah Dingin, namun langkahnya terhadang tangan kanan Kakek Suranggrati.

"Sabar, Cucuku," tahan Kakek Suranggrati dengan suara yang tiba-tiba saja bergetar.

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma menjadi sedikit terkejut mendengar ucapan Kakek Suranggrati yang bergetar itu.

"Kenapa, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma

polos.

Kakek Suranggrati menatap tepat bola mata

Darma Wangsakesuma, lalu ucapan yang cukup pelan pun terdengar di telinga lelaki kembar yang berusia tiga belas tahun itu.

"Kesaktiannya bukanlah tandingan kita, Cucuku. Untuk itu Kakek sarankan sebaiknya kalian berdua menyelamatkan diri dan segera menemui Kakek Saroagung," ujar Kakek Suranggrati menjawab pertanyaan Darma Wangsakesuma. "Kakek...?"

"Pergilah, biar Kakek, juga Darsa dan Sapta yang menghadapi mereka," tukas Kakek Suranggrati lebih keras.

"Tapi, Kek...?"

"Pergi cepat kalau kau tak mau kuanggap sebagai Cucu yang tak tahu adab!" bentak Kakek Suranggrati keras.

"Ha ha ha Ternyata nyalimu tak lebih besar

dari kedua cucumu itu, Suranggrati! Biarkan saja mereka menunjukkan kebesaran nyalinya di hadapanku," ejek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tawanya yang memantul-mantul ke sudut Hutan Jati Selajar.

Kakek Suranggrati menolehkan wajahnya yang merah ke arah wajah Iblis Bengis Wajah Dingin, tatapan penuh tantangan membias dari sepasang bola mata tuanya yang masih menyiratkan ketajaman, namun tatapan itu hanya sebentar saja mampir di wajah Iblis Bengis Wajah Dingin, karena pada saat berikutnya tatapan Kakek Suranggrati sudah beralih kembali ke wajah cucu-cucunya.

"Cepat kalian pergi!" perintah Kakek Suranggrati pada Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.

Lelaki muda usia yang mengenakan pakaian merah tahu kalau kata-kata Kakek Suranggrati tak mungkin terbantah lagi, maka secara bersamaan dua bocah kembar itu menghentakkan kaki mereka kuat-kuat ke permukaan bumi. Tubuh keduanya pun kemudian melesat cepat dengan menggunakan ilmu lari cepat dan meringankan tubuh yang cukup mendapat acungan jempol.

"Jangan pergi! Hops!" Ibis Bengis Wajah Dingin berteriak seraya menghentakkan kakinya melakukan gerakan mengejar ke arah lari Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.

"Hops!" bersamaan dengan melesatnya sosok Iblis Bengis Wajah Dingin, sosok Kakek Suranggrati pun melesat menghadang.

"Hadapi aku dulu kalau kau ingin mendapatkannya, Iblis Gila!" sentak Kakek Suranggrati. Tendangan lurus mengarah ke ulu hati Iblis Bengis Wajah Dingin langsung dilancarkannya, itu sengaja dilakukannya untuk mencegah keinginan lelaki berjubah putih mengkilat untuk mengejar Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.

Terhadap serangan Kakek Suranggrati yang mengarah ke bagian tubuh pekanya, Iblis Bengis Wajah Dingin tentu saja tak ingin mengambil resiko, maka seketika itu juga, pada saat tubuhnya masih berada di atas permukaan tanah, dibuang tubuhnya ke arah kanan untuk menghindari sambaran kaki tua milik Kakek Suranggrati.

Sungguh mengagumkan gerakan cepat yang dilakukan oleh Iblis Bengis Wajah Dingin. Sesaat lelaki berjubah putih melemparkan tubuhnya ke kanan, dengan cepat ujung kakinya menotol permukaan tanah dan dengan kecepatan yang luar biasa memberikan serangan balasan dengan dua kepalan tangan terarah ke batok kepala Kakek Suranggrati.

Bet! Bet!

Pemandangan yang tersaji malah menjadi terbalik, kini nampak Kakek Suranggrati yang kelabakan menghindari serangan balasan yang dilancarkan Iblis Bengis Wajah Dingin yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi.

Namun patut dipuji juga gerakan lincah dari si Kakek yang juga mengenakan pakaian warna putih, meskipun dengan susah payah dirinya berhasil juga meluputkan serangan balasan lawan.

"Hm.... Kurasa hanya sampai di sini aku mengeluarkan jurus perkenalanku, Kakek Bau Tanah!" tukas Iblis Bengis Wajah Dingin yang seketika itu juga menghentikan serangannya.

Kini, dalam jarak dua batang tombak nampak dua lelaki berpakaian putih saling berhadapan dengan masing-masing kemarahan yang bergelora di dada.

"Sudah kukatakan kalau nyawaku tidak berada di genggamanmu, Iblis Kurap!" maki Kakek Suranggrati.

"Hrgh...!" Iblis Bengis Wajah Dingin menggereng marah mendengar cercaan yang keluar dari mulut Kakek Suranggrati, seketika itu juga tangannya tergerak meraba senjata yang melilit di pinggangnya. Sebuah rantai baja yang panjangnya sekitar satu setengah batang tombak yang pada bagian ujungnya terdapat bola-bola berduri masing-masing tiga buah sebesar kepalan bayi berusia sembilan bulan. Rantai baja berbandul bola berduri pun kini lolos dari pinggang Iblis Bengis Wajah Dingin, saat itu juga kebengisan wajah lelaki iblis berjubah putih mengkilat nampak menjadi dua kali lipat, bola matanya berubah menjadi berwarna kemerahan, layak seperti mata seekor naga murka.

"Akan kubuktikan kalau aku mampu membegal nyawamu, Kakek Sundel! Bersiaplah segera untuk melayat ke liang lahat!"

Seiring dengan ucapannya itu, Iblis Bengis Wajah Dingin mengangkat tangan kanannya yang menggenggam bagian tengah dari rantai baja yang ujungnya masing-masing terdapat tiga bandulan berduri, lalu lelaki yang berusia empat puluh lima tahun itu memutar-mutar senjatanya di atas kepala.

Wuk! Wukkk...!

Wrrr...!

Bunyi bergemuruh disertai dengan suara angin yang cukup keras pun terdengar menyakitkan telinga. Bebatuan kecil yang berada di sekitar tempat di mana Iblis Bengis Wajah Dingin berpijak seketika beterbangan ke berbagai arah. Daun-daun yang merimbuni Hutan Jati Selajar berguguran ke tanah, sementara orang-orang Iblis Bengis Wajah Dingin dan Sapta juga Darsa menjauhi daerah yang seperti terlanda angin topan. Sedangkan Kakek Suranggrati masih tetap berpijak pada tempatnya, namun pada tangan kakek berusia enam puluh tahun itu kini tergenggam sebilah keris yang menebarkan hawa dingin, keris itu sendiri memendar-mendarkan sinar kebiruan.

Wukkk...!

Jledarrr...!

Sebuah pohon sebesar dua kali pelukan lelaki dewasa tumbang saat Iblis Bengis Wajah Dingin menghentakkan tangannya, dan tiga bandulan duri yang melesat cepat mencecar kepala Kakek Suranggrati membentur pohon itu hingga menimbulkan bunyi dahsyat. Pohon jati kokoh itu pun hangus layak terbakar.

"Gila...!" desis Kakek Suranggrati dalam hati menyadari kedahsyatan serangan yang dilancarkan Iblis Bengis Wajah Dingin. Untung dia berhasil mencelat dengan cepat menghindari terjangan tiga bundalan berduri yang ternyata seperti mampu mengeluarkan api, jika tidak? Huh! Tak terbayangkan akan menjadi apa tubuhnya.

Di tengah-tengah usaha Kakek Suranggrati menghindari serangan-serangan maut yang dilancarkan Iblis Bengis Wajah Dingin, dua lelaki bernama Darsa dan Sapta pun tengah berjuang matimatian untuk menyelamatkan nyawanya dari sambaran senjata milik anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin.

Namun dikarenakan jumlah anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin lebih banyak dan lagi memiliki kemampuan ilmu silat lebih tinggi dari Darsa dan Sapta, maka dua lelaki anak buah Kakek Suranggrati tak mampu berbuat banyak. "Mampus kau, Gembel!" hardik lelaki berpakaian hitam dengan kumis tipis di bagian pinggir.

Pada saat yang bersamaan lelaki anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin yang hanya memiliki sebelah alis mata melesat cepat ke arah Darsa. Senjatanya yang berupa golok berukuran besar ikut berkelebat mencecar kepala lelaki bertubuh kekar.

Brat! Tlash!

Lengking panjang menyayat pun seketika terdengar menggema saat Darsa mendapatkan sambaran dua senjata yang merobek perut dan bagian dada.

Lelaki berpakaian warna hijau lumut itu pun ambruk ke tanah dengan darah yang bermuncratan mengotori pakaian dan tanah di sekitar tubuhnya ambruk, hanya sesaat tubuh Darsa mengejangngejang menanti kedatangan maut dan untuk saat selanjutnya tubuh itu menjadi kaku setelah nyawanya tak lagi mendiami jasadnya.

Bugkh! Bugkh!

Baru saja tubuh Darsa berubah menjadi mayat, kini giliran Sapta yang menjadi incaran keganasan anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin. Lelaki berpakaian kelabu bernama Satpa dua kali menerima hantaman di bagian dada dan perutnya. Kini lelaki itu tengah terhuyung dengan telapak tangan yang mendekap dada.

Sapta meringis menahan kesakitan. Pada saat itulah lelaki beralis sebelah kembali melesat cepat dengan golok besar yang terayun ke arah leher lawannya.Tlash!

Tubuh Sapta terhempas sejauh dua langkah, sementara kepalanya yang sudah terpisah dari tubuh menggelinding dan berhenti tepat di kaki Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Kepalamu pun akan mengalami nasib seperti ini, Suranggrati!" ucap Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tangan kanan yang mengangkat kepala Sapta tinggi-tinggi, sebagian darah yang belum mengental keluar dari daging yang terkoyak.

"Kau memang biadab! Kau betul-betul, Iblis Neraka! Tapi dengar, tak semudah itu kau membuktikan kata-katamu terhadap diriku!" sentak Kakek Suranggrati dengan raut wajah yang tegang terbungkus kemarahan yang tak terbendung.

"Hhh...! Tua bangka sombong, ujung kematianmu sesaat lagi akan datang, berdoalah segera!" ledek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tangannya yang melempar kepala Sapta ke arah wajah Kakek Suranggrati.

Di luar dugaan Iblis Bengis Wajah Dingin, Kakek Suranggrati tak mengelak lemparannya. Malahan lelaki tua berusia lanjut itu menangkap kepala Sapta yang sesungguhnya sangat disayangi.

Tap!

"Maafkan aku, Sapta," ucap Kakek Suranggrati dengan suara parau, air mata pun tibatiba bergulir melalui kelopak matanya yang keriput. "Demi membelaku kau rela mengorbankan kepalamu," lanjut Kakek Suranggrati yang kemudian meletakkan kepala anak muridnya dengan hati-hati.

Bola mata kakek berusia enam puluh tahun yang berkilat-kilat penuh bara kemarahan terlihat seperti hendak menelan wajah lawannya yang tengah berdiri dengan keangkuhannya.

"Kau harus membayar kematian kedua muridku dengan nyawamu, Iblis Laknat!" maki Kakek Suranggrati dengan keris yang ditudingkan lurus ke wajah Iblis Bengis Wajah Dingin.

Sebelum Kakek Suranggrati menurunkan senjatanya yang digunakan untuk menuding wajah lawannya, si Iblis Bengis Wajah Dingin sudah lebih dulu memberi aba-aba pada empat anak buahnya.

"Lumat tubuh kakek tak tahu diri itu!" perintah Iblis Bengis Wajah Dingin dengan suara lantang menggelagar.

Seketika itu juga empat lelaki berpakaian hitam yang dipimpin oleh lelaki beralis mata sebelah, bergerak cepat melancarkan serangan ke arah Kakek Suranggrati.

"Hiaaa...!"

"Haaat..!"

Empat anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin bergerak lincah dengan senjatanya yang berupa golok besar yang bercericit mencari sasaran di tubuh Kakek Suranggrati.

Wut! Wut! "Eits!"

Tubuh lelaki tua berjenggot putih panjang itu bergerak-gerak cepat, melakukan lompatan beberapa kali ke udara demi menghindari seranganserangan gencar yang rata-rata mempergunakan tenaga dalam kelas tinggi.

Dari keberhasilan Kakek Suranggititi dalam menggagalkan serangan keempat lawannya yang datang silih berganti, jelas terlihat ketinggian ilmu si Kakek yang berada beberapa tingkat di atas lawannya, namun dikarenakan serangan yang dilakukan lawan-lawannya cukup padu dan beragam, maka Kakek Suranggrati merasa kerepotan juga dibuatnya.

"Hm.... Aku harus merobohkan lebih dulu salah satu di antara mereka, terutama lelaki beralis mata sebelah itu," batin Kakek Suranggrati berencana. Dan belum lagi gema rencana di kakek berpakaian putih bersih itu hilang, sebuah teriakan membahana terdengar seiring dengan melesatnya sosok lelaki beralis mata sebelah.

"Hm.... Ini kesempatan baik," kata hati Kakek Suranggrati lagi, dia tak segera menyambut serangan yang dilakukan lawannya akan tetapi menunggu sampai serangan itu lebih mendekat dan....

Wung Bret!

Lawan Kakek Suranggrati tiba-tiba memekik keras manakala ujung keris telah merobek bagian perutnya, sungguh dia tak menyana kalau di balik gerakan mengelak yang dilakukan Kakek Suranggrati disertai pula dengan serangan yang begitu membahayakan.

"Sagawan!" pekik Iblis Bengis Wajah Dingin ketika menyaksikan robohnya lelaki beralis mata sebelah dengan bagian perut yang terkoyak lebar dan isi perut serta darah yang nampak saling berebutan keluar.

"Keparat!" maki Iblis Bengis Wajah Dingin geram. "Seraaang...!" perintahnya lagi keras, sementara dirinya segera memutar-mutar senjata yang berupa rantai baja panjang berbandul enam buah bola berduri. Suara bergemuruh pun tak pelak lagi terdengar bising.

Wuk! Wuk!

Di tengah-tengah sepak terjang tiga anak buahnya yang hendak merobohkan si Kakek berpakaian putih, Iblis Bengis Wajah Dingin terus memutar-mutar senjata yang semakin lama semakin cepat, namun mata dan pikiran Iblis Bengis Wajah Dingin tetap berkonsentrasi pada keadaan diri Kakek Suranggrati itu untuk mengambil kesempatan dalam kelengahan lawan, maka manakala kesempatan itu terbaca mata Iblis Bengis Wajah Dingin, seketika itu juga....

"Haiiit !"

Tubuh Iblis Bengis Wajah Dingin melesat dengan senjata yang terus berputar, namun kemudian....

Sing! Brttt..!

Rantai berbandul bola-bola berduri yang berada di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin seketika itu juga terlepas, dan tanpa disadari oleh Kakek Suranggrati senjata lawan itu menjerat lehernya tanpa dia mampu mengelak karena dari arah depan dan belakang dua buah golok besar saling berdesing memburu tubuhnya, dua buah golok besar yang juga dilepas bersama dengan Iblis Bengis Wajah Dingin melepas senjatanya.

Sesaat setelah melepas senjatanya, Iblis Bengis Wajah Dingin pun melesat memburu ujung senjatanya, sama halnya dengan yang dilakukan seorang anak buahnya.

Tap! Tap!

Ujung senjata berbandul bola berduri itu kini sama-sama tertangkap tangan Iblis Bengis Wajah Dingin dan anak buahnya, sementara rantai bajanya melilit di leher Kakek Suranggrati, dan ketika dua tokoh jahat itu menarik bandulan berduri terdengarlah lenguhan kematian yang keluar dari mulut Kakek Suranggrati dengan lidah yang menjulur keluar.

Bruk!

Tubuh Kakek Suranggrati ambruk ke tanah ketika rantai baja yang melilit lehernya terlepas, lidahnya masih menjulur keluar.

"Ayo kita kejar, Bocah Kembar itu!" perintah Iblis Bengis Wajah Dingin, tubuhnya pun kemudian melesat lebih dahulu meninggalkan tiga anak buahnya yang tersisa.

Tiga lelaki berpakaian hitam anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin segera menghentak kakinya kuat-kuat, mengikuti jejak sang Majikan.

2

Sinar matahari yang kini berada tegak di atas ubun-ubun, hingga menghadirkan rasa panas yang menyengat tak dipedulikan oleh dua bocah berpakaian warna merah darah yang terus saja melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Sudah puluhan pal jauhnya mereka meninggalkan Hutan Jati Selajar. Entah ke mana tujuan mereka sekarang. Namun, di depan mereka kini terbentang sebongkah batu besar yang menandai kalau mereka telah memasuki wilayah Desa Karang Sedaya.

Dua bocah yang tak lain adalah si Kembar yang masing-masing bernama Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma kini sama-sama menghentikan langkah kaki mereka, tatapan matanya pun sama-sama memperhatikan sebongkah batu yang bertuliskan nama "Desa Karang Sedaya".

"Aku mengkhawatirkan keselamatan Kakek Suranggrati, Darma," ucap Setya Wangsakesuma pada saudaranya.

"Aku pun begitu, Setya," timpal Darma Wangsakesuma. "Tapi semoga saja Kakek Suranggrati dapat mengatasinya," lanjut Darma Wangsakesuma

"Ya. Semoga saja," sahut Setya Wangsakesuma. "Sekarang apakah kita masuk saja ke Desa Karang Sedaya?" tanya Setya Wangsakesuma me-minta pendapat

"Ke mana lagi? Barangkali saja di desa itu kita akan peroleh kabar tentang kediaman Kakek Tanpa Jari," papar Darma Wangsakesuma.

"Ayolah kalau begitu," setuju Setya Wangsakesuma melangkahkan kaki terlebih dulu, diikuti kemudian dengan langkah kaki Darma Wangsakesuma yang mencoba mensejajari.

Namun baru beberapa langkah lelaki kembar berusia tiga belas tahun mengayunkan kaki, sebuah teguran lunak membuatnya berhenti meneruskan perjalanannya.

"Hai, Bocah-bocah Tampan! Hendak ke manakah kalian?" tanya sebuah suara bernada enteng dan terdengar seperti bersahabat.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma segera saja menolehkan kepalanya dan kemudian sama-sama membalikkan tubuh menghadap dua lelaki tampan berpakaian hijau yang berdiri tegak di hadapannya sejauh enam batang tombak.

Dua lelaki tampan yang berpakaian hijau itu rata-rata menampakkan hulu senjata yang tersembul dari balik punggungnya. Mereka tersenyum manis hingga memperlihatkan gigi-gigi putih mereka yang tersusun rapi. Wajah mereka yang memang tampan dengan mata bulat cemerlang serta kulit wajah yang putih bening semakin menampakkan ketampanan mereka, terlebih dengan rambut lurus mereka yang terpotong begitu rapi dan apik. Dan semuanya itu membuat Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak segan-segan membalas senyuman itu dan menjawab pertanyaannya.

"Kami hendak ke Desa Karang Sedaya, Kak," jawab Setya Wangsakesuma dengan sikap sopan.

"Hm.... Kalian pasti punya urusan penting di sana," ucap salah seorang dari lelaki tampan berpakaian hijau lagi.

"Kira-kira begitulah, Kak," kali ini Darma Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan itu.

"Hm. "

Dua lelaki tampan berpakaian hijau ini samasama melangkahkan kakinya mendekati Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma hingga berjarak satu setengah batang tombak.

"O, ya, namaku Ajiwana dan kawanku ini bernama Lugawika," ucap lelaki tampan berkumis lebih tipis yang mengaku bernama Ajiwana. "Bolehkah aku mengenal nama kalian?" lanjutnya sopan.

"Tentu saja," jawab Setya Wangsakesuma tanpa merasa keberatan sedikit pun. "Namaku Setya Wangsakesuma dan saudaraku ini punya nama Darma Wangsakesuma," tambahnya memperkenalkan diri.

"Kalian pasti anak kembar, betulkah?" selidik Jiwana kemudian.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak menjawab pertanyaan itu dengan segera, dua bocah berusia tiga belas tahun itu kini terlibat saling tatap satu sama lain.

"Kuyakini kalian sebagai anak kembar, wajah kalian satu sama lain tak terlihat perbedaannya," ucap Lugawka. "Maaf, Darma, Setya. Kalau boleh aku tahu kepentingan apakah yang membawa langkah kaki kalian ke Desa Karang Sedaya?" tambah Lugawnka.

Dua lelaki kembar berpakaian warna merah darah sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Lugawika, hingga jawabannya pun tak keluar dari mulut mereka.

"Kalau kalian berkeberatan untuk menjawab, tak usahlah dijawab," kilah Ajiwana.

"Maafkan kami, Kak. Kami memang berkebaratan untuk memberitahukan," ujar Setya Wangsakesuma polos.

"Kalau aku menduga, bolehkah?" tanya Lugawika berkesan mendesak.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak menimpali pertanyaan itu, mereka samasama diam dan sama-sama pula merasakan sesuatu yang tak beres akan terjadi.

"Ah, maaf, Kak. Kami harus segera ke sana," ujar Darma Wangsakesuma dengan telunjuk yang menuding mulut Desa Karang Sedaya.

"Tunggulah sebentar, aku belum meneruskan dugaanku," tahan Lugawika. "Barusan aku mendengar nama Kakek Tanpa Jari kalian sebut-sebut, apakah kalian akan menemuinya di Desa Karang Sedaya sana?" tandas Lugawika membuat keyakinan Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma akan hal yang tak beres semakin kuat. Itu karenanya dua lelaki kembar tak menjawab pertanyaan Lugawika.

"Kalian tak perlu takut untuk menjawab," ucap Ajiwana. "Kami berdua tahu persis di mana kediaman si Kakek Tanpa Jari itu, dan untuk kalian aku bersedia memberitahu," lanjut Ajiwana.

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma terpengaruh juga dengan ucapan lelaki lembut yang keluar dari mulut Ajiwana, itu dapat dilihat dari perubahan raut wajah dan tatapan bola mata Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang tak lagi tersirat kecurigaan.

"Betulkah Kakak berdua ingin menunjukkan pada kami kediaman Kakek Tanpa Jari?" tanya Setya Wangsakesuma terus terang.

"Tentu saja," jawab Lugawika mantap.

"Di manakah?" kejar Darma Wangsakesuma. "Bukan di Desa Karang Sedaya," jawab Ajiwa-na.

"Lalu di mana?" tanya Darma Wangsakesuma

dan Setya Wangsakesuma berbarengan.

"Ada persyaratan yang harus kalian penuhi kalau ingin tahu kediaman si Kakek Tanpa Jari itu," kilah Lugawika dengan mata yang berkedip sebelah kepada Ajiwana.

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma melihat apa yang dilakukan Lugawika, seketika itu juga kecurigaannya muncul kembali dan keengganan untuk menanyakan persyaratan yang dimaksud Lugawika membuat lelaki kembar berusia tiga belas tahun itu bungkam seribu bahasa.

"Kalian tak ingin tahu apa persyaratan itu?" tanya Ajiwana.

"Saya rasa tidak perlu, Kak. Kami berdua ingin mencarinya tanpa bantuan orang lain," jawab Setya Wangsakesuma. "Ayo, Darma. Kita ke Karang Sedaya sekarang," lanjutnya mengajak Darma Wangsakesuma berjalan menuju mulut Desa Karang Sedaya.

"Tunggu!" sentak Lugawika sedikit keras. "Aku kecewa kalian tak bisa menghargai niat baikku, padahal persyaratan yang kuajukan cukup gampang dan tak akan menyulitkan kalian."

"Ya. Kami akan meminta benda yang kalian bawa itu," sambung Ajiwana sambil menunjuk benda yang berada di tangan Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma yang terbungkus kain sutera warna putih mengkilat.

"Apa?" tanya Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma terkejut. Wajah keduanya langsung dibaluri rona merah sesaat mendengar persyaratan yang diucapkan Ajiwana.

"Hanya itu, tak ada yang lain," kilah Lugawi-ka.

"Maaf, kami tak bisa memenuhi persyaratan

itu," ujar Darma Wangsakesuma tandas. Sepertinya jawaban itu tak bisa diubah lagi.

"Berarti kalian kehilangan kesempatan untuk mengetahui rumah tinggal si Kakek Tanpa Jari."

"Tak apa. Kami bisa mencarinya," jawab Setya Wangsakesuma.

"Kalau kami merebut benda yang kau bawa secara paksa bagaimana? Apa kau sanggup mempertahankannya?" tanya Lugeiwika mengajukan pertimbangan untuk dipilih lelaki kembar berpakaian merah.

"Kami akan mempertahankannya selama nyawa kami masih berada di tempatnya," mantap jawaban yang keluar dari mulut Setya Wangsakesuma.

"Ternyata kalian punya nyali juga!" hardik Lugawika yang berwatak agak panasan dibanding dengan watak Ajiwana.

"Lima jurus kalian mampu mempertahankan benda itu, maka persyaratan itu kucabut," sambung Ajiwana. "Bersiaplah!"

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma membawa mundur kakinya satu langkah, nampaknya kedua lelaki kembar yang masih muda usia itu ingin menghadapi serangan yang pasti akan dilakukan dua lelaki tampan yang menginginkan panah dan busur emas yang dimilikinya.

"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Bocah! Jangan anggap serangan Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut main-main!" ucap Lugawika keras, kemudian lelaki yang berwatak pemarah itu menghentakkan kakinya kuat-kuat di permukaan tanah, seketika itu juga tubuhnya melesat ke arah Darma Wangsakesuma.

Sebuah pukulan lurus yang terarah ke bagian dada Darma Wangsakesuma dilancarkan Lugawika dengan tanpa sungkan-sungkan, angin menderu yang mengiringi kedatangan serangan itu menandakan kalau Lugawika tak main-main.

Wuttt!

Diiringi teriakan menghindar, Darma Wangsakesuma melesat ke samping kanan menghindari kepalan tangan lawannya yang menjurus ke bagian dada. Tubuh lelaki berusia tiga belas tahun itu terlihat melenting ringan beberapa kali di udara. Terlihat betapa luwes dan ringan cara Darma Wangsakesuma bergerak dan itu cukup membuatnya terhindar dari gempuran maut yang dilancarkan Lugawika.

Lugawika sendiri hanya tersenyum menyaksikan kelincahan gerak lelaki yang berusia jauh lebih muda darinya, kemudian dia pun mencoba menimpali dengan jurus pertama dari lima jurus yang telah dijanjikan.

Tubuh Lugawika kembali melesat dengan mengerahkan tendangan yang terangkum dalam jurus 'Menggali Liang Lahat'. Tendangan maut yang dilancarkan Lugawika memperlihatkan kaki kanan yang berputar-putar hebat hingga menimbulkan deru angin yang cukup jelas terdengar telinga.

Wuttt!

Kembali Darma Wangsakesuma melenting ringan menghindari luncuran kaki kanan Lugawika yang berputar bagai baling-baling kapal, sambil melakukan beberapa kali putaran ke samping kanan.

Namun kiranya hal seperti itulah yang dinanti-nanti Lugawika, lelaki tampan berpakaian hijau yang pada bagian punggungnya tersandar sebilah pedang terlihat merubah serangannya. Kaki kanan yang berputar di depan tiba-tiba terhenti bergerak, kemudian dengan cepat kaki itu ditarik ke belakang, menjejak ke tanah dengan cepat, lalu menghentakkannya kuat-kuat Kini sosok Lugawika melayang deras dengan dua kepalan tangan yang terarah ke bagian uluhati dan kepala lawannya.

Plak! Begkh!

Meskipun Darma Wangsakesuma berhasil memapak sambaran tangan kanan Lugawika, namun dirinya yang dalam hal penguasaan tenaga dalam masih berada di bawah lawannya tak kuasa untuk menghindari keterhuyungan saat benturan tangan terjadi. Pada saat itulah gerakan Lugawika yang begitu cepat kembali mengirim serangan susulan yang mendarat telak di dada.

"Hoekh...!"

Darma Wangsakesuma tergolek di tanah, sementara dari mulutnya mengalir darah kental. Berarti lelaki muda usia yang dianggap Kakek Suranggrati sebagai cucunya tengah mengalami luka dalam yang cukup parah.

"Darma...!"

Setya Wangsakesuma yang menyaksikan keadaan saudaranya sempat terpekik, namun pekikannya itulah yang membuatnya menjadi lengah akan serangan Ajiwana yang kembali datang.

"Aw... aw... aw... as Set... ya!" Darma Wangsakesuma yang melihat bahaya mengancam saudaranya berusaha memberitahu sebisanya, namun apa yang dilakukannya tak membuat Setya Wangsakesuma sadar dari kelengahannya. Baru ketika serangan Ajiwana semakin mendekat Setya Wangsakesuma menoleh, namun sudah terlambat untuk melakukan gerakan menghindar, hingga....

Blagkh! Meskipun Setya Wangsakesuma berusaha keras menggeser kedudukannya demi menghindari sambaran kaki lawan, namun hal itu tak banyak membantu. Bahu kanannya terhajar juga dengan telak oleh telapak kaki Ajiwana, dan itu membuat kedudukan Setya Wangsakesuma terhuyung empat langkah ke belakang.

Pada saat tubuh Setya Wangsakesuma terhuyung dan kehilangan kendali, Ajiwana kembali bergerak memberikan serangan tambahan dengan kepalannya yang bergerak memutar mencecar rahang lawannya. Serangannya yang terangkum dalam jurus 'Menggali Liang Lahat' menjelmakan angin menderu kuat.

Setya Wangsakesuma meskipun dalam keadaan kedudukan limbung, masih tetap berusaha mengelakkan sambaran tangan kanan Ajiwana dengan melakukan gerakan memutar ke samping kanan, akan tetapi gerakan Ajiwana yang berubahubah dan demikian cepat membuat saudara kembar Darma Wangsakesuma tak kuasa untuk mengelak terus-menerus, suatu ketika pukulan tangan Ajiwana mendarat dengan telak di punggungnya hingga tubuh Setya Wangsakesuma mencium tanah.

"Ha ha ha.... Kami Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut masih cukup punya moral untuk menjenguk nyawa kalian, karena kalian masih terlalu kecil untuk mendapatkan perlakuan itu. Begitu juga dengan merebut panah dan busur emas itu secara paksa, kami tak ingin melakukannya. Kami ingin kau menyerahkannya sendiri. Sekarang tinggal pilih, kalian akan menyerahkan benda itu sendiri atau aku yang mengambilnya setelah tubuh-tubuh kalian berubah menjadi mayat!" sentak Lugawika tegas. "Aku pilih yang kedua!" jawab Setya Wangsa-

kesuma tak kalah tegas, meski di tengah kedudukannya yang terkulai di tanah dan merasakan sakit yang teramat sangat mendera bagian punggungnya.

"Hm.... Bagus! Ternyata kau punya nyali yang cukup besar, dan aku juga tak akan memberi kalian pilihan untuk yang kedua kalinya. Sekarang bersiaplah untuk mampus!"

Tubuh Lugawika melesat dengan sebilah pedang di tangan yang teracung di udara, nampaknya lelaki berpakaian warna hijau itu hendak memenggal kepala Setya Wangsakesuma.

Ternyata bukan hanya Lugawika yang meloloskan pedangnya untuk memenggal kepala Setya Wangsakesuma, hal seperti itu juga dilakukan oleh Ajiwana yang bergerak cepat ke arah Darma Wangsakesuma.

"Ha ha ha...!"

Belum lagi serangan Lugawika dan Ajiwana berkelanjutan, sebuah suara membahana terdengar dengan diiringi dua serangan jarak jauh yang menimbulkan angin menderu cukup keras.

Wusss...!

"Setan!"

Lugawika memaki sengit mendapatkan serangan yang mendadak, namun begitu, kegesitannya bergerak membuat dirinya mampu meredam pukulan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi. Lugawika bergerak cepat bagai kilat mengurungkan niatnya memenggal kepala salah seorang dari bocah kembar berusia tiga belas tahun. Kenyataan itu juga dilakukan oleh Ajiwana untuk mengelakkan pukulan jarak jauh yang belum jelas siapa orang yang melakukannya. Baru setelah Lugawika dan Ajiwana mendarat dengan selamat, disaksikannya seorang lelaki bertubuh tinggi kekar mengenakan jubah warna putih mengkilat. Wajah lelaki yang putih layak mayat membuat Lugawika dan Ajiwana segera mengenali siapa dia adanya, serta tiga orang anak buahnya yang rata-rata menggenggam golok besar di tangan.

"Iblis Bengis Wajah Dingin!" ujar Lugawika dan Ajiwana dengan nada yang menyimpan keterkejutan.

"Ha ha ha.... Terima kasih atas jasa kalian berdua menghentikan dua bocah itu hingga aku tak sukar-sukar mengejarnya," tukas lelaki berjubah putih yang memang ternyata si Iblis Bengis Wajah Dingin. Lelaki pemilik senjata bola berduri itu nampak berdiri dengan kepongahan yang memuakkan hati Lugawika dan Ajiwana. "Namun kusayangkan kenapa kalian hendak membinasakan bocah-bocah itu," lanjut Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Hhh! Jangan banyak basa-basi, Iblis Dungu! Kau telah lancang mencampuri urusan kami, itu berarti mautlah yang pantas menjemput kelancanganmu!" bentak Lugawika dengan tatapan mata membara penuh kemarahan.

"Ha ha ha...!" Iblis Bengis Wajah Dingin terbahak mendengar ucapan yang keluar dari mulut Lugawika. "Katakan cepat! Apakah urusan mengingini panah dan busur emas hanya menjadi urusanmu!"

"Tak ada seorang pun yang akan dapat memiliki panah dan busur emas itu kecuali Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut!" sentak Ajiwana sengit "Hm Jadi sekarang aku berhadapan dengan

Dua Pemuda Sok Tampan dan Sok Hebat? Ck, ck, ck.... Bukan main, bukan main beraninya kalian berdua ini, tapi sia-sia saja keberanian kalian kalau sudah berhadapan dengan Iblis Bengis Wajah Dingin," ejek lelaki bertubuh kekar yang membawa serta tiga anak buahnya.

"Hrgh!" Lugawika mendengus menimpali kecongkakan Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Lebih baik kalian pergi sekarang juga, dan kubur keinginan untuk memiliki panah dan busur emas yang tak pantas kalian miliki! Itu kalau kalian masih ingin melihat matahari esok pagi!" balas Iblis Bengis Wajah Dingin menimpali dengusan kesal Lugawika.

"Iblis Tengik!" damprat Lugawika tak kuasa meredam kemarahannya. "Akan kukubur kesombonganmu sekarang juga! Hiyaaa. !"

Demi melampiaskan kejengkelannya, Lugawika menggenjot tubuhnya melancarkan serangan berkekuatan tenaga dalam tinggi. Otot-otot tangannya nampak mengejang kaku dengan jari-jari yang terkepal kuat, angin berkesiutan pun meningkahi serangan maut yang dilancarkan salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut.

Pertarungan pun tak dapat dielakkan ketika Iblis Bengis Wajah Dingin menyambut serangan yang dilancarkan Lugawika. Pertarungan pun mulai merambat antara Ajiwana menghadapi tiga lelaki bersenjata golok anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin. Sementara pertarungan memperebutkan panah dan busur emas terjadi dengan seru dan dengan nafsu membunuh yang menggebu, Setya Wangsakesuma segera mencari jalan selamat dengan memapah tubuh Darma Wangsakesuma yang mengalami luka dalam menjauhi tempat pertarungan sedikit demi sedikit.

Sebenarnya Iblis Bengis Wajah Dingin dan Lugawika bukannya tidak tahu kalau Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma melarikan diri. Keduanya sama-sama ingin mengejar bocah yang diperebutkan, tapi hal itu dirasa tak mungkin. Mereka sama-sama ingin lebih dulu menyudahi pertempuran dengan binasanya salah satu di antara mereka. Termasuk Ajiwana atau anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Biarkan bocah itu kabur!" sentak Lugawika. "Kita tentukan dulu sampai mati siapa yang berhak atas mereka dan senjatanya!"

"Aku setuju! Akan kubinasakan kau, juga temanmu yang tak pantas memiliki panah dan busur emas itu!" timpal Iblis Bengis Wajah Dingin geram.

"Bacot besarmu terlalu bagus untuk dibiarkan!" bentak Lugawika. "Ajiwana! Bunuh habis mereka!" teriak Lugawika pada Ajiwana yang terus bertempur menghadapi anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Hyaaat...!"

Pertempuran kembali berlanjut tanpa mempedulikan lagi Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang bergerak diam-diam menjauhi arena pertarungan.

"Ayo, Darma. Kuatkan dirimu, kita harus bisa meninggalkan mereka untuk segera menemui Kakek Saroagung," ajak Setya Wangsakesuma dengan memapah tubuh saudara kembarnya, padahal dirinya sendiri masih mengalami kesakitan pada bagian tubuhnya setelah mendapat serangan keras dari salah seorang Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut.

"Mereka pasti akan mengejar kita setelah salah satu di antara mereka memenangkan pertarungan," ucap Darma Wangsakesuma penuh kekhawatiran.

"Mudah-mudahan pertarungan mereka meminta banyak waktu, Darma. Aku yakin Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut bukanlah lawan yang ringan bagi Iblis Bengis Wajah Dingin," kilah Setya Wangsakesuma. "Dengan begitu kita memiliki kesempatan untuk menghindarinya lebih jauh," lanjut Setya Wangsakesuma memberi dorongan semangat pada saudara kembarnya.

"Ehhhgk "

Sebisanya Darma Wangsakesuma melangkahkan kakinya dengan dipapah oleh Setya Wangsakesuma, meski dia merasakan dadanya seperti dicucuk-cucuk ratusan jarum. Sedikit demi sedikit dua lelaki kembar berpakaian warna merah darah bisa menjauhi tempat pertarungan Iblis Bengis Wajah Dingin dan Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut yang masih terlibat pertarungan sengit.

***

3

Angin sore mulai berhembus ketika langkah kaki Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma terseok-seok semakin jauh ke dalam Desa Karang Sedaya yang masih begitu jarang penduduknya. Desa Karang Sedaya memang masih nampak seperti sebuah hutan yang baru dibuka oleh beberapa orang penduduk pendatang, terbukti rumahrumah di desa itu masih begitu berjauhan, masih begitu jarang hingga meski sudah berpal-pal langkah kaki dua lelaki kembar terayun, mereka belum juga menemui sosok-sosok penduduk yang lalulalang.

Namun ketika langkah kaki Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma terayun ke kelokan jalan sebelah kanan, hampir saja tubuhnya ditabrak oleh seorang lelaki berpakaian warna kuning keemasan yang tengah berlari cukup cepat.

"Ups!"

Untuk mencegah terjadinya tabrakan itu, lelaki tampan segera menghentak kakinya kuat-kuat hingga tubuhnya melenting ke udara dan berputaran beberapa kali sebelum lelaki muda berpakaian warna kuning keemasan mendarat dengan ringan di tanah.

"Ah, maafkan aku, Dik. Hampir saja aku melanggar kalian," tukas lelaki tampan berpakaian warna kuning keemasan yang tak lain adalah Jaka Sembada. Ucapan yang keluar dari mulut Raja Petir terkesan begitu tulus dengan tekanan suara yang terdengar lembut dan sopan. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak sempat menyahuti permintaan maaf Jaka, kedua mata lelaki kembar itu kini tengah menatapi sosok Raja Petir, tatapan mata mereka seperti terpaku.

"Namaku Jaka, Dik. Ah, sepertinya kawanmu tengah mengalami luka dalam," ucap Jaka sambil melangkahkan kakinya dua tindak mendekati sosok Setya Wangsakesuma yang tengah menyangga tubuh Darma Wangsakesuma.

"Apakah nama lengkap Kakak, Jaka Sembada?" sebuah pertanyaan balik tiba-tiba terlontar begitu saja dari mulut Setya Wangsakesuma setelah hampir setengah penanakan nasi menatapi keberadaan Raja Petir dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Dengan anggukan mantap Jaka membenarkan pertanyaan Setya Wangsakesuma. Seketika itu juga Jaka menangkap rona kegembiraan terpancar dari wajah bola mata dua lelaki muda usia yang sama-sama mengenakan pakaian warna merah, dengan wajah hampir tiada perbedaan satu sama lain. Seperti buah pinang dibelah dua.

"Kakak Raja Petir?! Ugkh...!" Ucapan kegembiraan yang keluar dari mulut Darma Wangsakesuma membuat saudara kembar Setya Wangsakesuma itu terbatuk, setitik darah nampak merembes dari kedua sudut bibirnya.

Jaka yang sejak pertama sudah dapat menduga keadaan Darma Wangsakesuma tak mau bertindak ayal, segera langkahnya terayun menyambar tubuh Darma Wangsakesuma yang berada dalam sanggahan saudara kembarnya, kemudian tanpa ragu-ragu dan dengan cepat Jaka meraih pil warna merah dari balik saku pakaiannya, kemudian dimasuk-kannya ke dalam mulut Darma Wangsakesuma. Setelah itu Jaka membaringkan tubuh lemah lelaki berusia tiga belas tahun itu berbantalkan akar pohon yang menyembul dari permukaan tanah.

"Sebenarnya apa yang tengah terjadi pada diri kalian?" tanya Jaka setelah keadaan beranjak sesaat.

"Namaku Setya Wangsakesuma dan saudara kembarku bernama Darma Wangsakesuma," tukas Setya Wangsakesuma belum menjawab pertanyaan Raja Petir. "Sungguh kebetulan yang memberuntungkan kalau kita bisa berjumpa," lanjut Setya Wangsakesuma dengan tatapan kegembiraan yang terus melekat ke wajah Jaka.

Tatapan Setya Wangsakesuma yang seperti itu mendapatkan sambutan yang berbantahan dengan tatapan mata Jaka yang bermakna sebuah keheranan akan ucapan lelaki muda belia di hadapannya.

"Apa maksud ucapanmu, Dik Setya?" tanya Jaka menuntaskan keheranannya.

Tanpa keraguan sedikit pun Setya Wangsakesuma menceritakan maksud dari ucapannya. Seluruh ucapan yang diwasiatkan oleh Kakek Suranggrati dipaparkannya tanpa satu kalimat pun yang tertinggal.

"Siapa itu Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa Jari?"

"Aku sendiri tak pernah mengenalnya, Kak," jawab Setya Wangsakesuma atas pertanyaan Jaka. "Kakek Saroagunglah yang jelas-jelas mengetahui hal ikhwal diri kami berdua," lanjut Setya Wangsakesuma.

"Kalau boleh Kakak tahu, kenapa Kakek Suranggrati menugasi kalian untuk menyerahkan panah dan busur emas yang kalian katakan sebagai senjata yang maha dahsyat pada Kakak dan akan menjadi momok kegemparan bagi dunia persilatan jika jatuh ke tangan yang salah?" tanya Jaka lagi menyelidik.

"Kakek Suranggrati cuma bilang hanya Raja Petir yang mampu meredam kekuatan tokoh-tokoh hitam yang berhajat merebut panah dan busur emas ini," jawab Setya Wangsakesuma polos.

"Kakek Suranggratimu terlalu berlebihan menilai diriku, Dik Setya," kilah Jaka merendah.

"Kakek tak pernah bicara berlebihan yang di luar kenyataan, Kak," bantah Setya Wangsakesuma.

"Ah, sayang. Kakek Suranggrati mungkin te-

lah binasa di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin, yang bisa kupastikan juga akan dapat membinasakan Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut yang hampir saja memenggal kepala kami," lanjut Setya Wangsakesuma. Tiba-tiba saja sebutir air mata menggelinding dari kelopak mata yang berkedip setelah menerawang jauh beberapa saat.

"Sudahlah, Dik. Kalian sudah menunaikan perintah Kakek Suranggrati dengan baik hingga senjata berbahaya ini berada di tanganku. Sekarang mari kita cari kediaman Kakek Saroagung. Biar bagaimanapun kalian berdua harus tahu hal ikhwal diri kalian, aku sendiri ingin mengetahuinya," ujar Jaka mencoba mengalihkan suasana hati Setya Wangsakesuma. "Apakah tidak kita tunggu Darma siuman?" tanya Setya Wangsakesuma bersemangat manakala mendengar kesediaan Raja Petir membantunya menemui Kakek Tanpa Jari.

"Obat yang kuberikan pada Darma memang cukup keras untuk ukuran lelaki semuda kalian, namun Darma bukanlah pemuda lemah, kuperhatikan otot-ototnya yang berisi dan tulang-tulangnya yang cukup bagus. Sesaat lagi dia juga akan siuman," tukas Jaka kemudian.

Ternyata memang betul ucapan Raja Petir. Belum lagi gema ucapannya sirna dari pendengaran Setya Wangsakesuma, nampak Darma Wangsakesuma sudah menggeliatkan tubuhnya dan kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu pada dirinya, Darma Wangsakesuma mampu bangkit dari rebahnya tanpa menemui kesulitan. Cuma dari wajahnya saja yang masih menampakkan kepucatan.

"Sekarang kita berangkat, Kak?" tanya Setya Wangsakesuma sambil menggamit lengan Darma Wangsakesuma.

"Kapan lagi?"

* * *

Siang telah benar-benar menjelma menjadi sore ketika tiga lelaki tampan yang tak lain adalah Jaka dan dua bocah kembar berpakaian merah melangkahkan kakinya mencari seorang kakek yang berjuluk Kakek Tanpa Jari.

Sementara di tempat lain, tepatnya di daerah perbatasan Desa Karang Sedaya enam orang lelaki bersenjata tengah terlibat pertarungan yang sengit. Dari pertarungan itu bisa terlihat kalau dua lelaki tampan yang mengenakan pakaian warna hijau keteteran menghadapi serangan-serangan yang dilakukan lelaki berjubah putih berwajah pucat bagai mayat bersama dengan tiga orang anak buahnya, akan tetapi keadaan salah seorang pemuda tampan berpakaian warna hijau tidaklah separah keadaan kawannya.

Dalam kesempatan sempit, setelah dirinya berhasil mengelakkan serangan salah seorang dari tiga lelaki bersenjata golok besar, Ajiwana si Pemuda Tampan itu berhasil memberikan serangan balasan yang sempurna dengan pedang di tangan yang membabat cepat membelah dada salah seorang lelaki berpakaian warna hitam.

"Mampus kau!" Brat!

"Aaa...!"

Salah seorang anak buah lelaki berjubah putih yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin kini tergeletak tanpa nyawa dengan bagian dada terkoyak lebar tersambar senjata milik Ajiwana. Kenyataan itu tentu saja membuat dirinya marah, seketika itu juga kegencaran serangannya terhadap Lugawika ditambah lebih cepat. Senjata yang berupa rantai baja berbandul enam bola-bola berduri pun telah diloloskan.

"Nyawamu yang akan membayar kematian anak buahku!" teriak Iblis Bengis Wajah Dingin keras, tangan kanannya seketika itu juga diputarputar.

Wuk, wuk !

Bunyi bergemuruh terdengar keras. Bebatuan kecil yang memang banyak terdapat di perbatasan Desa Karang Sedaya berpentalan tak tentu arah.

Lugawika sendiri berkali-kali harus berlompatan menghindari luncuran kerikil-kerikil yang terarah ke tubuhnya.

"Hiaaa...!"

Saat Lugawika melompat itulah Iblis Bengis Wajah Dingin melepaskan bola-bola berdurinya yang terarah ke batok kepala lawannya.

Serangan Iblis Bengis Wajah Dingin segera disadari Lugawika. Sebentuk keberanian yang tak terduga sama sekali oleh Iblis Bengis Wajah Dingin dilakukan oleh Lugawika. Dengan beraninya lelaki berwajah tampan itu menyambut luncuran senjata lawannya.

"Hih!" Taps!

Rantai baja milik Iblis Bengis Wajah Dingin kini berada di genggaman tangan Lugawika. Lelaki berjubah putih itu tentu saja terkejut bukan kepalang menyaksikan keadaan itu, namun pengalamannya yang cukup matang telah mengajarkannya untuk mengambil tindakan tepat dan cepat.

Seketika itu juga Iblis Bengis Wajah Dingin melepaskan cekalan tangannya pada rantai yang dipegangnya dan melemparnya dengan kekuatan tenaga dalam penuh ke arah Lugawika.

Lugawika sendiri tak menyana dengan apa yang dilakukan oleh lawannya. Sebuah lemparan keras memutar membuat dirinya menjadi kebingungan, apalagi lemparan itu cukup cepat.

Swing...!

Rrt...!

"Hhh?!"

Bukan alang kepalang terkejutnya Lugawika yang mendapatkan tubuhnya terlilit rantai baja milik lawan sebelum dia sempat melakukan gerakan mengelak. Sedemikian cepatnya lemparan yang dilakukan musuhnya.

"Hiaaa...!"

Belum lagi Lugawika menemukan jalan keluar untuk membebaskan diri dari belitan rantai milik Iblis Bengis Wajah Dingin, lawannya yang memang memiliki mutu ilmu silat yang lebih sempurna terdengar berteriak lantang seraya mengibaskan dua telapak tangannya.

Twing...! Twing...!

Lempengan berbentuk pipih dan bergerigi seketika meluncur cepat ke arah Lugawika seiring dengan kibasan tangan lelaki yang begitu cepat menyelinap ke balik jubah kebesarannya. Hal itu tentu saja semakin membuat Lugawika mati kutu. Otaknya betul-betul menjadi buntu untuk mencari jalan keluar. Dan ketika dirinya memutuskan untuk melompat ke arah kanan, hal itu ternyata sudah terlambat.

Crab! Crab!

Dua buah benda pipih bergerigi sudah lebih dulu mengenai sasaran pada bagian dada dan mata kirinya.

Lugawika meraung dahsyat merasakan rasa sakit yang teramat sangat, terutama pada bagian matanya yang tentu saja sangat mengganggu pandangannya. Kepalanya pun seketika berputar-putar.

Lelaki berjubah putih itu ternyata memang berwatak telengas. Meski lawannya dalam keadaan payah seperti itu dan tak mungkin dapat bertahan lama, dia masih juga melancarkan serangan susulan dengan tendangan kaki kanan lurus yang terarah ke bagian perut Lugawika.

Bugkh!

Sosok lelaki tampan berpakaian warna hijau seketika itu juga terlontar sejauh dua batang tombak, dengan nyawanya yang langsung hijrah ke alam lain.

Pada sisi yang lain, Ajiwana ternyata harus menerima nasib yang sama. Dua lawannya yang berkepandaian cukup tinggi berhasil membenamkan golok-golok besarnya pada bagian-bagian mematikan di tubuh Ajiwana. Jantung dan lehernya.

Kini dua lelaki berwajah tampan yang berjuluk Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut sudah lenyap dari keramaian dunia persilatan. Nampak Iblis Bengis Wajah Dingin tersenyum pongah dengan tatapan mata yang tertuju bergantian pada mayat Lugawika dan Ajiwana.

"Hhh! Banyak tokoh lain yang pasti menginginkan panah dan busur emas itu, kita harus segera mengejar bocah-bocah keparat itu, jika berjumpa, langsung saja kita penggal kepalanya. Ayo!"

Iblis Bengis Wajah Dingin langsung melesat meninggalkan mayat Lugawika dan Ajiwana yang sudah terbujur kaku. Dua anak buahnya pun melakukan hal yang sama.

Langit di Perbatasan Desa karang Sedaya sudah nampak gelap, warna jingga yang mengiringi tenggelamnya matahari ke peraduan menandakan malam sudah menjelang, bunyi jangkrik pun samarsamar mulai terdengar, mengiringi kelebatan tiga lelaki yang baru saja melenyapkan dua nyawa lelaki berpakaian warna hijau, tiga lelaki yang kini samasama berlari cepat memasuki Desa Karang Sedaya.

4

"Raja Petir!" bentak seorang lelaki berpakaian warna hitam dengan setelan bawahan berwarna merah darah. Lelaki bertubuh tegap dengan sebelah mata yang ditutup dengan selembar kulit macan tutul itu berdiri pongah di hadapan Jaka yang berdiri bersisian dengan Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma. "Kau ternyata hanyalah seorang tokoh penjilat yang patut segera dilenyapkan dari keramaian rimba persilatan. Kedudukanmu sebagai seorang tokoh pembela kebenaran ternyata cuma kedok belaka!" lanjut lelaki bermata picak yang sesungguhnya berjuluk Golok Darah Mata Tunggal.

Jaka yang mendapatkan caci maki seperti itu hanya mencoba mengimbanginya dengan tatapan mata lembut dan sesungging senyum yang menggantung di wajahnya.

"Mereka pasti ingin memiliki busur dan panah emas ini, Kak Jaka," bisik Setya Wangsakesuma.

Jaka tak mengomentari bisikan Setya Wangsakesuma, tatapannya tetap tertuju pada tiga lelaki yang menghadang perjalanannya.

"Tuan-tuan yang gagah," ujar Jaka kemudian dengan suara yang mengalun penuh tata krama. "Sungguh aku tak mengerti akan makna dari katakata yang barusan kudengar. Ah, sayang sekali kalau kata-kata itu telah mengusik keindahan pagi yang seharusnya sama-sama bisa kita nikmati," lanjut Jaka dengan ketenangan yang cukup membuat Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma terkagum-kagum.

Ucapan mata Jaka disambut dengan belalakan sebelah mata lelaki yang berjuluk Golok Darah Mata Tunggal, kemudian lelaki picak itu mendengus keras.

"Kau juga berlindung di balik kata-katamu yang lembut! Padahal kau bajingan. Raja Edan!" maki Golok Darah Mata Tunggal lagi. "Sekarang serahkan kedua bocah ingusan itu, dan jangan cobacoba ingin memiliki panah dan busur emas itu!" sambung lelaki bermata sebelah, tangannya yang kekar bergerak dengan telunjuk yang menuding wajah tampan Jaka.

"Hei! Jadi kau menginginkan kawan-kawanku ini? Hm.... Apakah dia kemenakanmu?" tanya Jaka dengan sikap mengejek.

"Keparat! Kuhancurkan mulutmu!" bentak Golok Darah Mata Tunggal dengan suara yang menggelegar.

"Aku tak punya salah, kenapa Tuan ingin menghancurkan mulutku?" tanya Jaka lagi. "Hendaknyalah Tuan pikirkan kembali keinginan itu."

"Burdawa! Jangan kau timpali Raja Edan yang pintar bicara itu! Lenyapkan saja nyawanya segera, juga kedua bocah itu!" ujar lelaki berperawakan sedang pakaian putih dengan kain warna merah yang berjuntai ke belakang. Dialah Semaga yang berjuluk Walet Paruh Racun.

"Kau betul, Semaga," timpal Golok Darah Mata Tunggal yang ternyata bernama Burdawa. "Namun biarlah keinginan hatiku terpenuhi dulu, aku ingin Raja Petir yang selalu disebut-sebut sebagai tokoh pembasmi kejahatan mampus di tanganku," lanjut Burdawa dengan kepala yang tertunduk sedikit memberi penghormatan pada Semaga.

"Silakan, Burdawa!" setuju Semaga. Burdawa kemudian membawa langkah kakinya tiga tindak mendekati Jaka, hingga jarak di antara mereka tinggal dua batang tombak saja.

"Kalau kau ingin menjajal kemampuanku, ada satu hal yang harus kau ingat," pinta Jaka berbasabasi. "Saat kita bertarung, kuharap kawankawanmu tak menjahili kawan-kawanku."

"Itu terserah kami. Raja Pengecut!" potong lelaki berusia lebih dari lima puluh lima tahun. Lelaki yang layak disebut kakek oleh Jaka itu mengenakan pakaian warna biru terang, wajahnya yang keriput dengan tatapan mata yang setajam mata elang menandakan kalau dia lelaki yang matang segala macam pengalaman. Dialah lelaki yang berjuluk Kakek Seribu Totokan.

"Itulah ciri-ciri kalian para tokoh bejat!" ucap Jaka membuat telinga Kakek Seribu Totokan memanas.

"Binasakan Raja Gila itu, Burdawa! Biar aku menguliti tubuh bocah-bocah itu!" perintah Kakek Seribu Totokan yang sesungguhnya bernama Niluh Gardela.

Golok Darah Mata Tunggal tak menunggu waktu lagi dengan ucapan Kakek Seribu Totokan, namun sebelum serangannya sampai ke arah Jaka, lelaki berjuluk Raja Petir itu telah lebih dulu melindungi Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma dengan 'Aji Kukuh Karang'. Hal itu dilakukan Jaka untuk menghindari bahaya akan keganasan tokoh-tokoh hitam yang berjuluk Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan.

Kini di sekujur tubuh Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma nampak sinar warna kuning keemasan melingkar dan memendar-mendar.

"Hyaaa...!" Brrrt!

Pada saat itu juga sebuah pukulan kerasmelayang ke arah kepala Jaka yang segera menimpalinya dengan gerakan mengegos kakinya ke arah kanan. Pukulan Golok Darah Mata Tunggal memang melenceng ke lain arah, namun sambaran tangan yang lain dengan cepat menyusul mencecar ulu hati Raja Petir.

Plak!

Sebuah benturan keras terjadi ketika tangan kiri Jaka bergerak melindungi ulu hatinya, sebuah benturan berkekuatan tenaga dalam tinggi yang membuat Raja Petir dan Golok Darah Mata Tunggal terjajar dua langkah ke belakang menandakan kalau kekuatan tenaga dalam mereka berimbang.

"Hm.... Baru kujumpai lawan yang memiliki tenaga dalam setinggi kau. Raja Edan! Tapi jangan bangga dulu, kehebatanmu akan kukubur sekarang juga!" bentak Golok Darah Mata Tunggal, kemudian tangan kanannya bergerak-gerak ke atas dan ke bawah dengan kecepatan yang luar biasa. Itulah ilmu 'Pukulan Maut Tangan Kosong' yang pada puncaknya menjelmakan sinar kebiruan yang membungkus tangan Burdawa. Sinar kebiruan yang menebarkan hawa dingin.

"Hiaaa...!"

Sesaat menyiapkan ilmu pukulannya, kini Burdawa melesat cepat ke arah Jaka. Tangan kanannya yang terbalut sinar kebiruan terangkat sampai ke batas kening, nampaknya si Golok Darah Mata Tunggal hendak menyarangkan pukulan mautnya dengan dibarengi tenaga dalam yang tidak sedikit, dan yang menjadi incarannya adalah bagian terlemah di tubuh Raja Petir.

Buet! Beut!

Tubuh Jaka bergeser cepat ke samping kanan sebelum pukulan keras yang dilakukan Golok Darah Mata Tunggal mematahkan batang lehernya.

Apa yang dilakukan Raja Petir memang berhasil, terbukti serangan yang dilakukan lawannya lolos beberapa jengkal dan hanya mampu menerpa tempat kosong, namun keterkejutan seketika melanda hati Jaka. Meskipun batang lehernya tak terkena pukulan Golok Darah Mata Tunggal, namun angin pukulan dari lawannya membuat bagian lehernya seketika terasa kaku, ada hawa dingin yang luar biasa menyengat menjalar dalam darah di bagian lehernya.

Seketika itu juga Jaka merasakan kepalanya sukar sekali untuk digerakkan, terlebih ketika dirasakannya hawa dingin itu mulai merambat ke bagian dada.

Golok Darah Mata Tunggal yang menyaksikan Raja Petir berdiri seperti orang kebingungan, segera saja mengambil kesempatan yang dianggapnya menguntungkan. Tubuhnya seketika itu juga bergerak dan bermaksud menghancurkan tubuh lawan dengan ilmu yang sama, 'Pukulan Maut Tangan Kosong'.

"Hiaaa...!"

Teriakan keras yang dilakukan Burdawa membuat tatapan mata Jaka tak bergeming memandangi sosok yang tengah meluruk ke arahnya. Awalnya Jaka ingin menciptakan 'Aji Bayang-Bayang' untuk menggagalkan serangan lawannya, namun keinginan lain muncul, hingga Jaka memutuskan menangkis saja serangan Golok Darah Mata Tunggal dengan mengerahkan tenaga saktinya.

Plak! Tlak!

Pekik tertahan sama-sama terdengar melompat dari mulut Raja Petir dan Golok Darah Mata Tunggal, kedudukan kedua tokoh bertenaga dalam tinggi itu pun terlihat kembali terjajar beberapa langkah ke belakang, dan jarak yang memisahkan itu segera digunakan Jaka untuk melepaskan diri dari pengaruh pukulan sakti yang telah dilancarkan Burdawa.

"Hhh...!"

Beberapa saat setelah menciptakan kekuatan hawa murni untuk melenyapkan pengaruh dingin yang diakibatkan dari 'Pukulan Maut Tangan Kosong' lawan, Raja Petir kembali siap untuk melanjutkan pertarungan.

"Ternyata kehebatanmu yang kudengar dari tokoh-tokoh rimba persilatan bukanlah sekadar bualan belaka, Raja Petir!" puji Golok Darah Mata Tunggal setelah dirinya mampu mengatasi rasa nyeri pada tangannya setelah berbenturan dengan kekuatan tangan Jaka. "Namun berhati-hatilah menghadapi Golok Darahku ini, jika kau masih ingin mendengar pujian-pujian tokoh-tokoh rimba persilatan, namun aku yakin pujian-pujian itu tak akan kau dapatkan lagi!" lanjut Burdawa dengan suara dan napas yang memburu.

Jaka memang mendengarkan kata-kata lelaki berpakaian hitam dan merah, namun ekor matanya tertuju pada kelakuan dua lelaki yang berjuluk Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan yang tengah berusaha menggempur Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang berada dalam lingkaran sinar kuning keemasan yang diciptakan Jaka berkat 'Aji Kukuh Karang'.

"Sebenarnya aku tak suka dengan puji-pujian yang Tuan maksudkan itu," ucap Jaka berusaha berkilah. "Dan jika sekarang aku tak akan mendapatkan pujian-pujian itu lagi, aku tak akan menyesal," tambahnya tenang.

"Baik! Jaga seranganku sekarang!" sentak Golok Darah Mata Tunggal.

Sring...!

Bunyi gemerincing yang timbul ketika senjata milik Burdawa keluar dari warangkanya, tajam terdengar. Senjata yang berupa golok besar bergerigi itu kini dipamerkan Burdawa dengan mengangkatnya sejajar dengan dahi.

Jaka yang melihat senjata milik lawannya langsung berkesimpulan kalau senjata milik Burdawa bukanlah senjata sembarangan. Jaka merasakan hawa panas yang menyergapnya saat senjata yang memendarkan sinar samar kemerahan itu lolos dari tempatnya.

"Haaat...!"

Sosok Burdawa kini betul-betul melesat ke arah Jaka, Golok Darah Mata Tunggalnya pun segera diayunkan ke bagian dada lawan. Wung! Wung!

Dua kali berturut-turut Golok Darah Mata Tunggal berkelebat mencari sasaran, namun dua kali itu pula apa yang dilakukan Burdawa menemui kesia-siaan.

Jaka yang menjadi lawannya telah menghindari serangan mautnya dengan mengerahkan ilmu 'Lejitan Lidah Petir' yang bertumpu pada kecepatan gerak yang luar biasa. Tubuh Raja Petir dengan cepat, layak petir, melesat dari tempat yang satu ke tempat yang lain.

"Keparat kau, Raja Sinting! Kulumat tubuhmu! Hiaaa...!" kembali Golok Darah Mata Tunggal memekik geram setelah mendapatkan serangannya dikandaskan lawan, tubuhnya yang tinggi besar kini meluruk dengan senjatanya yang terayun-ayun di udara.

Wung...!

"Ups!"

Kembali Jaka bergerak lincah dan cepat dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu membuat dirinya terhindar dari senjata maut Burdawa. Si Golok Darah Mata Tunggal kembali menelan kemangkelan mendapatkan serangannya kembali menerpa tempat kosong.

Kemangkelan yang tertahan di dada Burdawa membuat lelaki bermata picak itu menghentikan serangannya sesaat, dan kesempatan itu segera digunakan Raja Petir untuk mengadakan serangan balasan. Jurus 'Petir Menyambar Elang' yang merupakan paduan jurus 'Lejitan Lidah Petir' langsung digelarnya.

"Hiaaa...!"

Layak seekor elang yang hendak menerkam ikan di dalam laut, sosok Jaka melesat ke arah Burdawa. Gerakannya yang bagai kilat dengan dua tangan terpentang lebar yang mengarah ke bagian dada dan kepala dengan leluasa dilakukannya.

Bet! Bet!

Golok Darah Mata Tunggal yang menyadari serangan balasan Raja Petir terkejut bukan kepalang, akan tetapi gerakan tiba-tiba yang dilakukannya telah cukup menyelamatkan diri dari sambaran dua tangan Jaka.

Raja Petir sendiri kagum dengan kegesitan dan cara mengelak yang dilakukan Burdawa, dan itu membuatnya ingin mencoba memberikan serangan susulan yang lebih cepat.

"Hiaaa...!"

Tubuh Jaka kembali melayang di udara dengan dua tangan yang terpentang layak seekor elang terbang. Apa yang dilakukan Jaka terbaca oleh Burdawa yang seketika itu juga menempatkan Golok Darah Mata Tunggalnya menyilang di depan dada. Rupanya Burdawa ingin menyambut serangan Raja Petir dengan menggunakan senjatanya.

Betul saja!

Manakala serangan Jaka mendekat, Burdawa langsung membabatkan Golok Darah Mata Tunggalnya ke depan.

Wung...!

Bunyi mengaung segera terdengar ditingkahi dengan teriakan menghindar yang keluar dari mulut Raja Petir.

Hops! Tuk!

Tanpa disadari Golok Darah Mata Tunggal, Jaka menggunakan senjata lawannya sebagai landasan untuk melakukan salto ke udara setelah tangannya dengan cepat menekan batang Golok Darah Mata Tunggal. Dan ketika sosok Raja Petir sudah berada di belakang Burdawa, dengan cepat tubuhnya bergerak memberikan tendangan yang mencecar bagian punggung.

"Hiaaa...!" Begkh! "Hgkh...!"

Tubuh Burdawa langsung tersungkur manakala tendangan keras yang dilancarkan Jaka mendarat dengan tepat, namun patut dipuji daya tahan tubuh si Golok Darah Mata Tunggal, meski punggungnya mendapatkan hantaman yang keras dirinya masih mampu bangkit dan berhajat kembali menyerang lawannya.

Namun belum lagi sosok Burdawa bergerak, Semaga lelaki bertubuh sedang yang bergelar Walet Paruh Racun telah lebih dulu melesat ke arah Jaka.

"Biar kubantu kau, Burdawa!" tukas Semaga dengan tubuh yang terus meluruk memberikan serangan ke arah Jaka.

Lurukan tubuh Semaga yang begitu cepat dan lincah memang membuat dirinya pantas menyandang julukan Walet Paruh Racun.

"Haaat...!" Cwit!

"Heh?! Hips!"

Tercekat hati Jaka mendapatkan serangan aneh yang dilancarkan laki-laki berjubah putih dengan kain warna merah yang menjuntai menutupi punggung. Serangan yang dilakukan dengan gerakan menebas menggunakan telapak tangan yang terentang menjelmakan serangkum angin yang membentuk lempengan setajam mata pisau. Untung saja Jaka cepat bergerak, melejit ke udara seraya melakukan jungkir balik beberapa kali.

"Hyaaa...!" "Hiaaat...! Haaa...!"

Baru saja kaki Jaka menginjak permukaan bumi, Walet Paruh Racun kembali melakukan penyerangan dengan berteriak lantang, akan tetapi yang datang menyerang bukan hanya dia seorang. Nampak Kakek Seribu Totokan dan Golok Darah Mata Tunggal ikut menyerbu ke arah Jaka.

"Kakak! Bebaskan kami! Biar kami bantu kau!" teriak Setya Wangsakesuma mencemaskan keselamatan Raja Petir. Biar bagaimanapun juga dia dan saudaranya tak ingin berdiam diri melihat Jaka diserbu tiga lawan-lawannya yang cukup tangguh. Namun keinginan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tidaklah tercapai. Raja Petir tak juga membebaskannya dari lingkaran kuning keemasan yang mengurungnya. Lelaki tampan murid tunggal Nyi Selasih sibuk menghadapi serangan yang dilancarkan tiga lawannya.

"Hm.... Aku harus menggunakan 'Aji BayangBayang' untuk menanggulangi keganasan mereka," batin Jaka dalam hati.

Seketika itu juga, selesai dengan kata batinnya, sosok lelaki tampan yang mengenakan pakaian warna kuning keemasan bertambah menjadi lima kali lipat banyaknya.

Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan seketika itu juga menghentikan gerakannya. Sungguh mereka tak percaya kalau Raja Petir memiliki ilmu yang begitu tinggi hingga sosoknya bisa bertambah menjadi berkali lima banyaknya.


"Salah satu sosoknya pastilah yang asli, kita harus pandai-pandai memilih!" ujar Kakek Seribu Totokan sambil memandang kedudukan lima tubuh Raja Petir yang berdiri sejajar. "Burdawa, kau serang wujudnya yang paling kanan dan kau Semaga, seranglah sosoknya yang paling kiri, sedangkan aku akan mengambil yang paling tengah," lanjut Kakek Seribu Totokan mengatur siasat

Apa yang disiasatkan Kakek Seribu Totokan memang benar adanya, cuma saja dirinya tak mendapatkan sasaran yang tepat. Justru Burdawalah yang mendapatkan petunjuk untuk menyerang wujud Raja Petir yang asli, namun ketika mereka samasama bergerak melakukan penyerangan, Jaka sudah merubah kedudukannya dengan menempatkan wujud aslinya pada kedudukan nomor dua paling kanan. Hingga ketika serangan ketiga lawannya sampai, maka....

Bet! Bet! Cuit!

Wrugkh!

Serangan-serangan yang dilakukan Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan ternyata hanya membentur sosok kosong Jaka.

"Keparat!" hardik Golok Darah Mata Tunggal."

"Sundel!"

Burdawa dan Semaga sama-sama memaki jengkel karena kegagalan serangannya, cuma Kakek Seribu Totokan yang diam mencari jalan untuk segera mungkin menaklukkan Raja Petir.

"Kita serang dia dengan cepat, dan bergantiganti pada semua wujudnya!" ucap Kakek Seribu Totokan lagi bersiasat.

"Kau benar! Ayo!" setuju Semaga. Sosoknya melesat mendahului kedua sekutunya.

5

Desa Karang Sedaya yang masih sepi penduduknya, ternyata menjadi begitu bisingnya karena teriakan-teriakan keras yang dibarengi nafsu membunuh yang meletup-letup di dada tiga tokoh sesat yang bergelar Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan.

Keadaan Desa Karang Sedaya sendiri nampak menjadi tak karuan. Di sana-sini mulai nampak tanah yang berlubang-lubang karena pukulan yang berkekuatan tenaga sakti salah arah, begitu juga dengan pohon-pohon yang sebagian besar tumbuh di Desa Karang Sedaya. Beberapa di antaranya bertumbangan terkena pukulan yang luput dari sasaran.

Kini ketiga tokoh hitam itu berbarengan meluruk ke arah Raja Petir. Sesuai yang disiasati Kakek Seribu Totokan, mereka melakukan penyerangan dengan cepat mencecar lima sosok wujud Jaka.

Hal yang demikian itu tentu saja membuat Raja Petir harus dengan cepat pula menggeser dan mengubah-ubah letak kedudukannya.

Berkali-kali Burdawa menebas-nebaskan goloknya ke bagian-bagian tubuh Jaka yang mematikan, namun sejauh itu tak satu pun serangan Burdawa yang mengenai sasaran. Begitu juga dengan keadaan Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan yang tak juga berhasil menyarangkan tebasan dan totokan tangan mereka yang mematikan.

"Pergunakan racun!" teriak Semaga tiba-tiba. Tangan kanannya pun seketika itu juga menyelinap cepat ke balik pakaiannya. Hal serupa juga dilakukan oleh Burdawa dan Niluh Gardela.

Wurrr...!

Tiga tokoh sesat itu berbarengan melempar senjata-senjata gelap mereka yang mengandung racun cukup ganas dan mematikan.

Asap warna kemerahan, kebiruan, dan kehijauan yang dikeluarkan oleh masing-masing senjata rahasia milik lawan-lawan Raja Petir mengepul ke udara, dan mencoba mengurung kedudukan Jaka.

Akan halnya Raja Petir yang sudah terbiasa menghadapi kelicikan lawan-lawannya, maka sedikit pun tak timbul kegentaran menyaksikan racunracun yang mencoba mengurungnya, meski sesungguhnya dirinya tak akan terpengaruh oleh racunracun itu, namun serangan membokong lawanlah yang menjadi perhitungan. Maka seketika itu juga timbul hajat di hati Jaka untuk mengacaukan asapasap yang membentengi penglihatannya dengan mengerahkan 'Pukulan Pengacau Arah'. Kedudukan kaki dan kuda-kuda rendah pun diciptakan Jaka dengan telapak tangan terbuka yang diletakkan di pinggang, kemudian hentakan kuat pun dilakukannya.

Wrrr...!

Dua rangkum angin yang bergulung keluar

dari telapak tangan Raja Petir menghentak keras. Angin yang bergerak layak pusaran itu terus melaju menyongsong asap-asap beracun yang mengganggu penglihatan Jaka.

Seketika itu juga perubahan nampak terlihat asap-asap beracun yang mengganggu penglihatannya seketika itu juga porak-poranda dan nampak ketiga lawannya yang tengah bergerak bermaksud melakukan serangan membokong.

"Heaaa...!"

"Hiaaa...!"

Karena hatinya yang mulai dilanda kejengkelan, Jaka ikut berteriak keras, sementara kedua tangannya kembali menghentak memberikan pukulan jarak jauh.

Wusss! Wusss!

Kembali dua angin bergulung-gulung menyongsong kedatangan sosok-sosok tokoh sesat yang berhajat membinasakan Raja Petir. Dan angin bergulung yang keluar berkat ilmu 'Pukulan Pengacau Arah' itu membuat Burdawa, Semaga, dan Niluh Gardela mengurungkan niat jahatnya dan melemparkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan untuk mencari selamat

"Hm.... Ternyata mereka adalah orang-orang keras kepala yang tak mengerti kata peringatan. Aku harus mengalah saat ini, biarlah kutunda saja pertarungan ini dengan meninggalkan mereka," putus Jaka dalam hati. Itu dilakukannya semata demi Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma. Di samping itu juga Jaka ingin cepat-cepat mengetahui rahasia jati diri dua lelaki kembar itu dan juga hal ikhwal busur dan panah emas yang menjadi perebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.

Maka ketika Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan kembali melakukan penyerangan, dengan sikap seolah-olah hendak menyongsong serangan mereka, tubuh Jaka mencelat seraya memberikan pukulan jarak jauhnya, maka....

Wusss !

Serangkum angin bergulung kembali keluar mengancam keselamatan lawan-lawannya, pada saat itulah Jaka merubah arah lejitannya dan menghampiri dua bocah kembar yang terkurung lingkaran sinar kuning keemasan.

"Ayo kita tinggalkan mereka, Dik!" ajak Jaka seraya membebaskan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma dari kurungan sinar kundng yang tercipta berkat 'Aji Kukuh Karang'.

Tanpa banyak tanya, Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma langsung berlari menuju utara dengan menggunakan ilmu lari cepat yang diperoleh dari Kakek Suranggrati. Jaka sendiri kagum menyaksikan ilmu lari lelaki yang baru berusia tiga belas tahun itu, ilmu lari yang cukup tinggi untuk ukuran lelaki muda usia seperti mereka.

Setelah menyaksikan lari dua lelaki kembar hingga mencapai beberapa batang tombak di depan, Jaka menolehkan wajahnya ke arah tiga tokoh sesat yang tengah bersiap melakukan serangan, bahkan di antara mereka ada yang bermaksud mengejar Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma. Untuk mencegah maksud jahat Golok Darah Mata Tunggal beserta kawan-kawannya, Jaka segera saja menggelar 'Pukulan Pengacau Arah' untuk menahan langkah mereka.

Werrr! Werrr!

Dua kali dengan keras Jaka menghentakkan tangan kiri dan kanannya, lebih dari tiga rangkum angin bergulung layak pusaran kembali meluruk cepat ke arah Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan yang langsung saja melemparkan tubuh masing-masing demi mencari selamat dari hantaman angin pukulannya yang menebarkan hawa panas menyengat.

Pada saat lawan-lawannya bergerak menghindari serangannya, Jaka langsung menghentakkan kakinya keras-keras. Seketika itu sosoknya yang terbungkus pakaian warna kuning keemasan berkelebat bagai kilat meninggalkan lawan-lawannya dan menyusuli Darma Wangsakesuma serta Setya Wangsakesuma yang telah menghindar lebih dulu.

* * *

Tiga lelaki muda usia terlihat menghentikan lari mereka yang seperti dikejar-kejar setan. Dua lelaki yang memakai pakaian warna sama memperlihatkan keringat yang mengucur pada dahi dan keningnya, sementara napasnya yang memburu menandakan bahwa keduanya merasa terlalu lelah.

Sementara lelaki berpakaian warna kuning keemasan terlihat biasa-biasa saja, hanya sejentik keringat yang terlihat menggelantung di dahinya.

"Sebaiknya kita beristirahat dulu, Dik. Kalian nampak begitu letih," ajak lelaki yang tak lain adalah Jaka.

"Aku setuju, Kak," Setya Wangsakesuma yang menjawab ajakan Raja Petir.

"Aku juga, Kak. Apalagi perutku terasa lapar seperti ini," Darma Wangsakesuma memegang perutnya yang dirasakannya perih karena belum terisi makanan semenjak pagi kemarin.

"Ah, kasihan sekali kalian ini," timpal Jaka. "Mari kita cari tempat istirahat sekaligus tempat mengi perut," ajak Jaka kemudian.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma kemudian mengikuti langkah kaki Raja Petir yang perlahan dan berbelok ke arah kanan, tak jauh dari kelokan jalan itulah, pada jarak kurang lebih sepuluh batang tombak tatapan mata mereka berbenturan dengan sebuah bangunan yang layak disebut sebuah kedai makan.

"Kalian lihat di depan sana?" tanya Jaka pada dua lelaki kembar yang kini jadi sahabatnya, telunjuk kanannya menunjuk ke arah rumah yang beratapkan rumbia.

"Ya," jawab Darma Wangsakesuma. "Semoga saja itu rumah makan," tambahnya berharap.

"Aku yakin itu kedai makan, Darma," timpal Setya Wangsakesuma seraya mengayunkan kakinya cepat-cepat mendahului langkah kaki Jaka.

"Ayo, Kak. Aku sudah lapar sekali," ajak Setya Wangsakesuma.

Tanpa ada ucapan lagi Raja Petir dan Darma Wangsakesuma mengayunkan kaki mereka cepatcepat, sepertinya mereka sedang berlomba untuk lebih dulu sampai di bangunan yang dituju. "Harapan kita terkabul," tukas Setya Wangsakesuma memastikan, karena memang dialah yang lebih dulu di depan kedai.

"Kalau begitu mari kita masuk," ajak Jaka. Tiga lelaki tampan nan muda usia itu kini samasama melangkah memasuki kedai makan yang bertuliskan 'Kedai Makan Pak Kumis Desa Tretes Dalem'.

Setelah Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma dan juga Jaka mengambil tempat duduk di sebelah pojok, seorang pelayan tua menghampirinya dengan sikap yang penuh hormat.

"Tuan-tuan muda ingin makan apa?" tanya lelaki berkumis dan berambut putih dengan suara yang begitu sopan.

"Aku nasi putih dan panggang ayam, Kek," jawab Darma Wangsakesuma mendahului ucapan Setya Wangsakesuma yang sudah menggantung di bibir.

"Aku pesan yang serupa," pinta Setya Wangsakesuma. "Kak Raja Petir pesan apa?" tanyanya pada Jaka.

Jaka tentu saja tersenyum disebut dengan 'Kak Raja Petir' oleh Setya Wangsakesuma, seketika itu juga bibirnya didekatkan ke telinga bocah muda usia yang masih begitu polos.

"Panggil saja Kak Jaka, jangan menyebutnyebut julukan itu lagi, ya," bisik Raja Petir di telinga Setya Wangsakesuma.

Lelaki tampan yang saudara kembar Darma Wangsakesuma menganggukkan kepala, lalu pertanyaan serupa kembali terucap olehnya: "Kak Jaka pesan apa?"

"Kek, bawakan aku pesanan yang sama, ya," pinta Jaka pada lelaki tua penjaga kedai.

Lelaki penjaga kedai menganggukkan kepalanya memenuhi pesanan pengunjungnya, tubuhnya dengan cepat berbalik ke arah dapur dan tak lama kemudian sudah kembali lagi dengan membawa makanan yang dipesan tiga lelaki tampan yang duduk di sudut ruangan.

"Ayo kita serbu hidangan ini," ajak Jaka bernada akrab.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tentu saja segera melahap hidangan yang membuat terbit selera makannya, nasi putih dan ayam panggang yang masih hangat membuatnya menyantap dengan lahap makanan yang ada tanpa menyisakan sedikit pun.

"Kalian mau nambah?" tanya Jaka kemudian sesaat melihat hidangan sudah berpindah ke perut Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.

"Tidak, Kak. Nanti aku tak bisa jalan karena kekenyangan," tolak Darma Wangsakesuma jujur.

Sementara Darma Wangsakesuma menjawab pertanyaan Raja Petir, lain lagi yang dilakukan Setya Wangsakesuma. Baru saja lelaki itu memperhatikan seorang lelaki berusia lanjut yang duduk di bagian sudut di sebelah barat kedai, langsung saja dia mendapatkan isyarat yang berguna untuknya, saudaranya dan juga Jaka.

Setya Wangsakesuma melihat lelaki yang berjubah warna tembaga itu mengeluarkan tangannya yang semenjak tadi hanya tenggelam dalam kantung jubahnya yang longgar, Setya Wangsakesuma sempat terkejut menyaksikan lengan kakek berjubah warna tembaga itu tidak memiliki jari.

"Diakah Kakek Saroagung si Kakek Tanpa Jari?" batin hati Setya Wangsakesuma bertanya-tanya sendiri. "Aku yakin dia!" putusnya berkeyakinan.

"Kak, sebaiknya kita dekati kakek berjubah warna tembaga itu," pinta Setya Wangsakesuma pada Raja Petir.

"Kau punya keperluan dengannya? Ah, hatihatilah," ucap Jaka mengomentari permintaan Setya Wangsakesuma.

"Aku kira kakek itulah yang berjuluk Kakek Tanpa Jari yang kita cari-cari, Kak," ucap Setya Wangsakesuma mengejutkan Darma Wangsakesuma dan juga Raja Petir.

"Apa alasan keyakinanmu, Setya?" tanya Darma Wangsakesuma penasaran.

"Barusan aku melihat tangannya yang tanpa jari," jawab Setya Wangsakesuma tegas dan mantap. "Kau tak salah lihat?" tanya Darma Wangsa-

kesuma lagi merasa kurang yakin.

"Untuk apa aku mengajak Kak Jaka mendekati kakek itu kalau aku tak menyaksikan tangannya yang tanpa jari," debat Setya Wangsakesuma sewot.

"Sebaiknya kita buktikan saja sekarang," timpal Jaka menengahi, kemudian dengan langkah kaki ringan meninggalkan mejanya menghampiri lelaki berusia lanjut yang mengenakan jubah warna tembaga.

"Maaf, Kek," tutur Jaka sopan dengan berdiri sedikit membungkukkan badan di hadapan lelaki berambut panjang digelung ke atas. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma pun melakukan hal yang sama.

Kakek berpakaian warna tembaga itu sedikit terkejut menghadapi Jaka dan dua lelaki kembar, namun kemudian dengan sikap sopan dia mempersilakan Jaka dan Setya Wangsakesuma, juga Darma Wangsakesuma untuk duduk mengisi bangku yang kosong.

"Apa yang bisa aku bantu, Nak?" tanya kakek berjubah warna tembaga dengan lemah lembut setelah Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma mengambil tempat duduk masing-masing. "Maaf sebelumnya, Kek. Jika kami bertiga te-

lah membuat hati Kakek gusar nantinya," ucap Jaka hati-hati. "Kami harap Kakek tidak tersinggung dengan pertanyaan kami," lanjut Jaka menjaga tata krama bicaranya.

"Katakanlah, Nak. Aku ingin tahu pertanyaan apa yang akan kalian ajukan," sahut kakek berjubah warna tembaga berkesan sabar.

"Maaf, barusan kawan saya menyaksikan lengan Kakek yang tanpa jari. Betulkah begitu, Kek?" tukas Jaka.

"Betul," jawab kakek yang duduk tenang di hadapan Raja Petir.

"Keyakinan kawanku ini, Kakek adalah yang bernama Kakek Saroagung, betulkah begitu, Kek?" tanya Jaka lagi.

"Hei! Dari mana kalian tahu nama asliku? Siapa kalian ini?" tanya kakek yang ternyata benar si Kakek Saroagung. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahunan itu sedikit mengalami keterkejutan.

"Dari Kakek Suranggrati," Setya Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan Kakek Saroagung.

"Suranggrati...?!"

6

Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa Jari terkejut mendengar nama Kakek Suranggrati disebut-sebut oleh lelaki muda usia yang mengenakan pakaian warna merah darah, ditatapinya wajah Setya Wangsakesuma dengan tatapan penuh selidik. Kemudian tatapannya berpindah ke wajah Darma Wangsakesuma.

"Perkenalkan dirimu, Anak Muda. Dan katakan apa hubunganmu dengan Suranggrati," pinta Kakek Tanpa Jari pada Setya Wangsakesuma.

"Namaku Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma saudara kembarku," ucap Setya Wangsakesuma memperkenalkan diri.

Kakek Saroagung mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar tutur kata Setya Wangsakesuma. Hatinya memang sudah menduga kalau lelaki berusia belasan tahun yang sama-sama mengenakan pakaian merah adalah sepasang anak kembar. Ada kesimpulan sekilas di hatinya, kalau merekalah cucu angkat Kakek Suranggrati.

"Kami sudah dianggap cucu oleh Kakek Suranggrati, bahkan dianggap sebagai anak," ucap Darma Wangsakesuma menambahkan.

"Sudah kuduga," jawab Kakek Saroagung. "Sudah sedemikian besarnya kalian, gagah, dan tampan," puji Kakek Tanpa Jari.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tertunduk mendengar pujian Kakek Saroagung, sementara si Kakek yang memuji kini menancapkan pandangannya lurus ke wajah Raja Petir. "Kalau aku boleh menduga," ucapnya kemu-

dian tertuju pada Jaka. "Kaukah lelaki muda yang berjuluk Raja Petir?" lanjut Kakek Tanpa Jari.

"Orang-orang persilatan yang menggelariku seperti itu, Kek. Namun aku lebih senang dipanggil dengan sebutan Jaka," kilah Jaka merendah.

"Persis sekali dengan apa yang mereka katakan, " bantah Kakek Saroagung. "Ternyata kau memang seorang pemuda gagah yang tak sombong dengan gelarmu yang hebat, kau seorang yang rendah hati dan santun budi," puji Kakek Saroagung terang-terangan.

Jaka hanya tertunduk mendengarkan pujian itu, dia tak tahu harus membantah bagaimana.

"Apakah kalian bertiga atau tepatnya Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma memang sengaja-sengaja mencari Kakek karena diutus oleh Kakek Suranggrati?" tanya Kakek Saroagung pada dua lelaki kembar.

"Betul sekali, Kek," jawab Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma bersamaan.

"Jika begitu, mari kita bicarakan saja segala urusan ini di tempat tinggalku," putus Kakek Saroagung, kemudian tangannya melambai ke arah penjaga kedai untuk menyelesaikan pembayaran atas hidangan yang telah dinikmatinya, termasuk membayari hidangan yang telah lenyap ke perut Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma.

* * *

Rumah kediaman Kakek Saroagung yang masih dalam wilayah Desa Tretes Dalem nampak begitu hening. Maklum pada jarak ratusan meter tak nampak rumah penduduk tetangga Kakek Tanpa Jari.

Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma duduk di pendopo rumah yang di bagian sudutnya terdapat guci warna coklat berukiran ular naga yang tengah menjulur-julurkan lidahnya. Dari guci itu pula Kakek Saroagung menciduk air minum untuk disediakan pada ketiga tamu mudanya.

"Air ini cukup enak untuk diminum, dingin seperti air dari pegunungan," tukas Kakek Saroagung seraya meletakkan air ke hadapan Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma. "Silakan diminum," lanjutnya mempersilakan.

Jaka dan dua lelaki kembar langsung mereguk air yang disediakan Kakek Saroagung, mereka langsung merasakan kebenaran kata-kata si empunya rumah. Air yang diteguknya barusan begitu dingin membuat tenggorokan terasa sejuk.

"Sekarang ceritakanlah dari awal, aku ingin mendengarkannya," pinta Kakek Saroagung. "Terserah Darma Wangsakesuma atau Setya Wangsakesuma yang mewakili," lanjutnya menambahi.

"Tiga belas tahun kami hidup bersama Kakek Suranggrati," ucap Setya Wangsakesuma mewakili saudaranya bercerita. "Kami hidup bahagia meskipun kehidupan kami terkurung pada satu tempat dan tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Menjelang usia kami yang ketiga belas tahun, Kakek Suranggrati memperlihatkan sepasang benda yang cukup bagus menurut kami, panah dan busur yang terbuat dari logam emas. Kakek Suranggrati berwasiat agar benda yang menurutnya adalah milik sah kami dan harus diserahkan pada Raja Petir untuk diselamatkan, karena menurut Kakek Suranggrati, hanya Raja Petirlah tokoh yang mampu menyelamatkan panah dan busur emas dari tangan tokohtokoh sesat yang juga mendambakannya untuk dimiliki, namun sebelumnya kami harus menemui Kakek Saroagung untuk mendapatkan petunjuk akan jatidiri kami yang sesungguhnya baru kemudian sama-sama mencari Raja Petir untuk menyerahkan panah dan busur emas, tapi kenyataannya kami bertemu lebih dulu dengan Raja Petir," papar Setya Wangsakesuma panjang lebar.

"Beruntung sekali kalian bertemu lebih dulu dengan Raja Petir. Kalau tidak, senjata maut yang berada di tangan kalian akan jatuh ke tangan orangorang yang tidak bertanggung jawab," sahut Kakek Saroagung. "Terima kasih kuucapkan padamu, Jaka," tambah Kakek Saroagung sambil menolehkan kepalanya pada Jaka.

Jaka sempat tersipu menyaksikan apa yang dilakukan lelaki tua yang berjuluk Kakek Tanpa Jari, hingga dirinya tak kuasa berkata apa-apa atas ucapan terima kasih yang disampaikan Kakek Saroagung.

"Sesungguhnya aku tak akan pernah tahu akan hal ikhwal jatidiri kalian seandainya saja aku tak diberitahu oleh Adik Pradipta," buka Kakek Saroagung mengawali ceritanya. "Dari dialah aku tahu kalau kau anak seorang raja dari Kerajaan Watu Sanjai."

"Kami anak raja? Ah, kenapa Kakek Suranggrati tak menceritakannya?" tanya Darma Wangsakesuma lepas kendali.

"Tentu saja Suranggrati tak menceritakannya, karena dia tak mengetahui," kilah Kakek Tanpa Jari tenang.

Setya Wangsakesuma tertunduk malu.

"Pada waktu Adi Pradipta menyerahkan bayi kembar yang baru berusia tiga bulan, dia memang tak bercerita apa-apa pada Suranggrati. Adi Pradipta hanya menyerahkan dua bayi kembar untuk dirawat sebaik mungkin dan juga menyerahkan panah dan busur emas untuk disimpan dan kemudian diserahkan pada si Bayi jika sudah besar. Setelah berpesan seperti itu Adi Pradipta langsung kembali ke Kerajaan Watu Sanjai," sampai di situ Kakek Saroagung menghentikan ceritanya, tatapan matanya tertuju ke wajah Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang dengan begitu sungguh-sungguh mendengar ceritanya.

"Siapakah Pradipta itu? Mengapa menyerahkan kami pada Kakek Suranggrati? Dan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam Kerajaan Watu Sanjai, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma cukup cerdik.

"Pradipta adalah abdi setia Raja Watu Sanjai, dia dengan berani membawa kabur diri kalian karena dia tak ingin kalian dipelihara oleh orang yang telah melenyapkan rajanya sendiri, orang yang telah membunuh ayahmu, Sunan Jagat Sena," jelas Kakek Saroagung.

"Siapakah orangnya, Kek?" desak Darma Wangsakesuma penasaran.

"Mahapatih Paksa Dahana. Orang kepercayaan ayahmu," jawab Kakek Saroagung mantap. Seketika itu juga kegeraman melanda hati Setya Wangsakesuma hingga tak sadar tinjunya yang terkepal melayang ke udara.

"Kau memang wajib marah, Setya," ucap Kakek Tanpa Jari.

Sementara Jaka yang mendengarkan penuturan Kakek Saroagung yang panjang lebar tak memberikan reaksi apa-apa, dirinya cuma bisa mengasihani nasib Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, namun di hati Raja Petir terbersit keinginan untuk membantu bocah kembar itu jika memang mereka berminat merebut kembali mahkota raja yang terlepas dari kepala ayahnya.

"Lalu apakah patih laknat itu yang kini menduduki jabatan sebagai Raja Watu Sanjai, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma setelah berhasil meredakan amarahnya.

"Betul. Dan dia berkuasa dengan kesewenangannya.

"Lalu apakah Ibu kami masih hidup?" tanya Setya Wangsakesuma.

"Ya. Dalam tahanan bawah tanah," jelas Kakek Saroagung.

"Patih laknat!" maki Darma Wangsakesuma

sewot

"Kenapa rakyat tidak memberontak manakala

rajanya dan permaisuri dilakukan sedemikian itu?" "Rakyat  tidak  bisa berontak karena akal licik

Patih Paksa Dahana yang bekerja sama dengan seorang perempuan cantik yang berjuluk Bidadari Penyamar. Bersamanya pembunuhan berencana terhadap ayahmu terlaksana tanpa menimbulkan kecurigaan orang-orang yang setia pada rajanya.  Pembunuhan itu dilaksanakan seolah-olah raja mengalami kecelakaan dengan kuda tunggangannya saat mengunjungi rumah seorang sahabat karibnya, dan si Bidadari Penyamar itu menggantikan kedudukan Nyi Paramesti Dewi yang sampai saat ini masih mendekam dalam ruang tahanan bawah tanah," tukas Kakek Tanpa Jari berusaha menjelasi sejelasjelasnya.

Tangan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma sama-sama terkepal menahan amarah yang meletup-letup, sementara wajah mereka memerah karena usahanya menekan amarah sebisa mungkin.

"Jika aku boleh ikut bicara, kiranya masih hidupkah lelaki bernama Pradipta yang telah berjasa menyelamatkan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, Kek?" tutur Jaka ikut bicara.

"Pradipta telah tewas di tangan Bidadari Penyamar yang memiliki kesaktian cukup tinggi," jawab Kakek Tanpa Jari.

Untuk sesaat suasana di pendopo kediaman Kakek Saroagung menjadi hening, tak lagi terdengar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma pada lelaki berusia lanjut yang berjuluk Kakek Tanpa Jari.

"Apakah kalian berniat merebut kembali tahta singgasana kerajaan yang kini diduduki oleh Patih Paksa Dahana?" tanya Kakek Saroagung kemudian memecah keheningan.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma sama-sama melemparkan pandangannya ke wajah Kakek Saroagung, namun dari mulut mereka tak keluar sepatah kata pun.

"Kakek akan membantu kalian untuk itu," ujar Kakek Saroagung dengan tatapan yang sebentar kemudian beralih ke wajah Jaka. "Kakek rasa Raja Petir pun dengan senang hati akan membantu kalian," lanjutnya menambahkan.

"Aku ingin kita membebaskan ibu terlebih dulu, Kek. Kasihan dia tersiksa selama belasan tahun, meringkuk dalam sel bawah tanah yang tak layak bagi seorang permaisuri raja," ucap Saroagung tak menjawab pertanyaan Kakek Tanpa Jari. "Setelah Ibu terselamatkan, baru kita pertimbangkan kembali pertanyaan Kakek barusan. Aku yakin banyak orang-orang kerajaan, orang-orang istana yang masih memihak pada Ibu jika mereka tahu siapa sesungguhnya Nyi Paramesti Dewi yang kini menjadi pendamping patih laknat itu, dan aku yakin pula kalau mereka yang sesungguhnya setia pada raja dan permaisuri yang sah akan membantu kita sepenuh hati, meski nyawa yang menjadi taruhannya," lanjut Setya Wangsakesuma dengan ucapan yang penuh semangat.

Kakek Tanpa Jari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tentu saja, Setya. Yang pertama kali harus kita lakukan adalah menyelamatkan ibumu.  Dan untuk itu kita harus mengatur siasat secermat dan setepat mungkin. Kakek pribadi akan meminta bantuan pada sahabat-sahabat Kakek yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi, juga meminta bantuan orang-orang dalam istana yang setia. Pradipta telah menyebutkan nama-nama orang dalam istana jika suatu saat aku ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan kalian berdua."

"Terima kasih, Kek," ucap Darma Wangsakesuma. Hatinya terasa gembira mengingat rencana mereka untuk menyelamatkan ibu kandungnya.

"Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang berniat memiliki panah dan busur emas ini?" tanya Setya Wangsakesuma kemudian.

"Kita memang harus menghadapi mereka untuk mempertahankan benda peninggalan orangtua mu, Setya. Di antara tokoh-tokoh sesat itu, bukan mustahil ada yang sengaja diutus Mahapatih Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar," papar Kakek Tanpa Jari menjelaskan.

"Berarti kita harus menyingkirkan mereka terlebih dahulu, Kek," ujar Saroagung.

"Ya," mantap jawaban yang dilakukan Kakek Saroagung. "Namun menyingkirkan bukan berarti harus membinasakan mereka," lanjutnya menjelasi. "Bukan begitu, Jaka?"

"Betul, Kek," jawab Jaka.

Kakek Saroagung tersenyum dengan jawaban Raja Petir, lalu katanya kemudian, "Untuk hari ini, beristirahatlah kalian hingga esok. Dan setelah fajar menyingsing, baru sama-sama kita mendatangi rumah kediaman Kakek Rangsasana, dia sahabatku yang juga teman seperguruan Bidadari Penyamar. Kakang Rangsasana juga ahli dalam penyamaran dan menyamarkan orang lain, karenanya kita sangat membutuhkan bantuannya."

"Kakek memanggil Kakek Rangsasana sebagai 'Kakang', itu berarti umur Kakek Rangsasana lebih tua darimu. Dan beliau adalah teman seperguruan si Bidadari Penyamar. Apakah si Bidadari Penyamar itu adalah orang yang juga sudah lanjut usia?" tanya Jaka. "Betul. Usianya kurasa sebaya denganku," jawab Kakek Saroagung. "Namun kurasa setiap lelaki akan tergiur menyaksikan si Bidadari Penyamar yang bertubuh bagus dan menantang, wajahnya yang cantik layaknya perempuan yang berumur belasan tahun. Entah ramuan apa yang diminumnya hingga dirinya menjadi awet muda seperti itu," lanjut Kakek Tanpa Jari menjelaskan.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang mendengarkan ucapan Kakek Saroagung terbelalak kaget, mana ada orang tua yang memiliki para secantik perempuan umur belasan tahun, begitu batin Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma berkata-kata, namun tidak demikian halnya bagi Jaka. Sepenuhnya dia tak meragukan penjelasan Kakek Saroagung. Di kalangan dunia persilatan banyak berkembang ilmu-ilmu dan ramuan-ramuan yang membuat manusia-manusia menjadi awet muda, bahkan Jaka pernah mendengar kalau ada seorang tokoh persilatan yang memiliki 'Ramuan Keabadian'.

"Nah, manfaatkanlah waktu istirahat kalian dengan baik agar besok kita dapat lebih siap menghadapi orang-orang sesat maupun orang-orang suruhan si Bidadari Penyamar. Jika kalian ingin tidur, ada tiga kamar di bagian belakang yang selalu terawat bersih," ujar Kakek Tanpa Jari.

"Kalau begitu kami ke belakang dulu, Kek," ujar Jaka.

"Kami juga, Kek," timpal Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma bersamaan.

Kini di pendopo hanya tinggal Kakek Tanpa Jari yang memandang sosok Raja Petir dan dua lelaki kembar putra dari Kerajaan Watu Sanjai.

7

Saat matahari terjaga dari peraduannya, kokok ayam hutan pun bersahut-sahutan menyongsong datangnya pagi. Saat itulah empat lelaki tengah berjalan gagah ke arah Selatan, keluar dari desa yang bernama Tretes Dalem. Nampaknya empat lelaki itu tengah menuju sebuah daerah gunung batu yang menjadi batas wilayah Desa Tretes Dalem dengan Desa Warakula.

"Masih jauhkah kediaman Kakek Rangsasana, Kek?" tanya lelaki muda usia yang tak lain adalah Darma Wangsakesuma. Memang terlihat kalau Darma Wangsakesuma sudah tak sabaran untuk segera tiba di tempat tujuan, maklum, dia ingin cepatcepat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan ibunya.

"Setengah hari perjalanan lagi, Nak," jawab Kakek Tanpa Jari.

"Bagaimana kalau kita tempuh saja dengan menggunakan ilmu lari cepat, biar lebih cepat sampai," usul Setya Wangsakesuma yang juga mengalami perasaan sama dengan saudara kembarnya.

"Kakek setuju saja. Bagaimana dengan kau, Jaka?" lemparnya ke arah Jaka.

"Aku menurut saja apa yang Setya dan Darma ingini," jawab Jaka.

"Jika begitu, mulailah kalian berlari," perintah Kakek Saroagung pada dua lelaki kembar.

Tanpa menunggu lama Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma sudah melesat cepat menggunakan ilmu larinya yang cukup tinggi, Kakek Saroagung dan Jaka hanya memandangi tingkah anak kembar itu dengan sesungging senyum.

"Ayo, Jaka. Hops!" Kakek Saroagung menghentakkan kakinya dengan keras, seketika itu juga tubuhnya melayang deras, jelas lelaki berusia enam puluh tahunan itu berlari dengan menggunakan ilmu lari cepat yang dibarengi dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.

"Hups!"

Jaka pun melakukan hal yang sama, melesat cepat menggunakan ilmu lari cepatnya.

Namun belum lagi setengah pal jarak yang ditempuh Jaka, dia melihat kalau Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, juga Kakek Saroagung menghentikan larinya. Di depannya nampak menghadang dua orang lelaki bertubuh tegap yang mengenakan pakaian rompi warna coklat, sementara di belakang dua lelaki berkepala gundul itu nampak belasan lelaki bersenjata golok.

"Kau kenal mereka, Kek?" tanya Raja Petir pada Kakek Tanpa Jari.

Kakek Saroagung menganggukkan kepala. "Dua lelaki itulah yang bergelar Dua Iblis Gunung Batu, sedangkan belasan lelaki bersenjata golok itu, pastilah anak buahnya," jelas Kakek Saroagung.

"Apakah mereka menginginkan juga panah dan busur emas?"

"Dugaanku begitu," jawab Kakek Saroagung dengan langkah kaki yang terayun mendahului kedudukan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.

"Tuan-tuan muda yang gagah, kami minta dengan rendah hati, berilah kami sedikit jalan," ucap Kakek Saroagung mantap dan berkesan tenang.

"Ha ha ha...! Ha ha ha...!"

Ucapan Kakek Tanpa Jari dibalas dengan tawa yang terkesan begitu merendahkan.

"Jika kau ingin berlalu dari tempat ini dengan selamat, harap tinggalkan dua lelaki kembar itu!" keras ucapan yang dilontarkan salah seorang dari dua lelaki yang mengenakan rompi warna coklat. Lelaki itu mengenakan anting-anting besar di telinga bagian kiri. Tubuhnya yang tegap berisi menampakkan otot-otot yang melingkar-lingkar.

"Apa yang kalian inginkan dari kedua cucuku ini?" tanya Kakek Saroagung sambil menyentuh bahu Setya Wangsakesuma.

"Dirinya! Dan juga panah dan busur emas miliknya," jawab lelaki lain yang mengenakan antinganting besar pada telinga bagian kanan.

"Permintaan kalian itu sungguh tak masuk di akal! Mana mungkin aku mau menyerahkan cucuku pada orang yang bejad seperti kalian, apalagi dengan panah dan busur emas itu," bantah Kakek Saroagung.

"Jika kalian ingin selamat cepat serahkan bocah-bocah itu dan juga benda yang kumaksud!" bentak lelaki beranting-anting besar di telinga kiri. "Aku Junali tak akan segan-segan menurunkan tangan maut!" lanjut lelaki yang mengaku bernama Junali.

"Ya. Cepat! Jangan tunggu Sunawi bertindak kasar!" timpal temannya yang lain.

Kakek Saroagung menatap wajah Jaka sebelum meladeni ucapan lelaki yang bernama Junali dan Sunawi. "Apakah menurutmu yang pantas kita lakukan untuk mereka, Jaka?!" tanya Kakek Tanpa Jari.

"Bagaimana jika kutantang kedua lelaki itu dalam beberapa jurus?" usul Jaka menimpali pertanyaan Kakek Tanpa Jari.

"Silakan, Jaka," setuju lelaki lanjut usia yang mengenakan jubah warna tembaga.

Mendengar persetujuan Kakek Tanpa Jari, tanpa menunggu waktu lama kaki Raja Petir langsung terangkat beberapa tindak mendekati dua lelaki bertubuh tegap yang berjuluk Dua Iblis Gunung Batu.

"Maaf tuan-tuan yang gagah berani," ujar Jaka ketika langkahnya terhenti pada jarak kurang lebih tiga batang tombak dari hadapan orang-orang yang menghadang perjalanannya. "Bukannya kami tak ingin mengabulkan permintaan, namun ada satu syarat yang harus kalian penuhi jika ingin mendapatkan adik-adik kami dan juga panah dan busur emas milik mereka," lanjut Jaka berujar.

"Apa syarat itu?!" tanya Junali bernada membentak.

"Kalian harus bisa menundukkanku hanya dalam sepuluh jurus, lebih dari itu harap kalian sudi merelakan kami pergi meninggalkan tempat ini," jawab Jaka tegas.

"Ha ha ha...!"

Persyaratan yang diajukan Jaka disambut tawa meleceh yang keluar dari mulut Dua Iblis Gunung Batu serta belasan pengikutnya.

"Dalam lima jurus pun kepalamu kurasa sudah terpisah dari badan, Anak Muda!" ledek Sunawi. "Aku ingin bukti akan ucapanmu itu, Sunawi!" tantang Jaka lantang.

Merah padam wajah Sunawi mendengar tantangan itu, maka langkah kakinya pun segera tercipta dua tindak.

"Ayo Junali, kita hancurkan bocah ingusan yang tak tahu diri ini," ajak Sunawi pada Junali.

"Ayo," timpal Junali.

Dengan memasang kuda-kuda rendah, Sunawi dan Junali sama-sama mengambil ancang-ancang untuk melakukan penyerangan. Nampak bagian tangan dua lelaki yang berjuluk Dua Iblis Gunung Batu menegang kaku, jelas terlihat kalau mereka tengah menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyerang Raja Petir.

"Yeaaah...!"

Tubuh Sunawi melesat lebih dulu daripada Junali. Tangannya yang terkepal terangkat di sisi kepala.

"Yeaaat...!"

Selang beberapa saat Junali melakukan hal yang sama. Kini keduanya sama-sama bergerak menyerang dari dua arah.

Bet! Bet!

Raja Petir bergerak-gerak lincah dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Tentu saja gerakannya yang cepat itu membuat Dua Iblis Gunung Batu menemui kesukaran untuk menyarangkan serangannya, kemarahannya pun mulai berkobar.

"Setan belang!" maki Junali kasar. "Keparat!" hardik Sunawi geram.

"Jangan cuma bisa memaki, Tuan-tuan yang gagah. Ayo keluarkan jurus andalan kalian," tantang Jaka penuh ejekan.

"Sombong kau!" bentak Junali. "Belum pernah kau rasakan kehebatan jurus 'Dua Iblis Melebur Gunung'," lanjut Junali seraya menyebutkan nama jurus andalannya.

"Jurus 'Dua Iblis Mengaduk Comberan' pun tak akan aku takuti," ledek Jaka lagi. Sengaja itu dilakukan Jaka untuk memancing kemarahan lawan lebih jauh, karena dengan kemarahan lawan yang menjadi-jadi, dengan sendirinya mereka tak memperhatikan kekosongan pertahanannya, dengan begitu Jaka tak akan menjumpai kesulitan untuk menyarangkan serangan balasan.

Ternyata pancingan Jaka mendapat hasil. Dengan tatapan mata membara bagai mata seekor harimau, Dua Iblis Gunung Batu menggereng murka. "Hrghghg...! Kau memang harus dibinasakan, Bocah! Yeaaat..!"

Dua lelaki bertubuh tinggi besar dan mengenakan rompi warna coklat melesat cepat menyerang seorang pemuda tampan yang berjuluk Raja Petir. Dua lelaki yang mengenakan sebelah anting itu kini melakukan penyerangan tidak dengan tangan kosong. Junali dan Sunawi telah menghunus senjatanya yang berupa tombak tanggung kembar.

Wut! Wut! Plak! Plak!

Sengaja Jaka tidak mengelakkan serangan pertama yang datangnya melalui tangan Junali, dia ingin tahu sejauh mana kekuatan tenaga dalam lawan, itu makanya Jaka hanya menangkis luncuran dua mata tombak yang mengancam bagian dada dan perutnya. Akibat dari tangkisan Jaka, sosok Junali nampak terhuyung tiga langkah ke belakang, lelaki itu merasakan tangannya linu seketika. Hal seperti itu jelas menandakan tenaga dalamnya kalah dibanding dengan tenaga dalam yang dimiliki Jaka.

Sunawi yang menyaksikan Junali terhuyung mundur, seketika itu juga menambahkan kekuatan tenaga dalamnya pada luncuran tombaknya yang terarah ke bagian dada.

"Yeaaat..!"

Di luar dugaan Sunawi, Jaka tak bergeming dari kedudukannya. Lelaki yang bergelar Raja Petir seperti sengaja menyongsong kedatangan mata tombak dengan dada dan perutnya yang tanpa dilindungi apa-apa, akan tetapi....

Trak! Trak!

Sunawi terpental mundur saat senjatanya menghujam keras bagian dada dan perut Jaka yang telah dilindungi kekuatan tenaga dalam yang jauh di atas kekuatan tenaga dalam lawan, maka bukan hanya tubuh Sunawi yang terpental, tapi juga senjatanya yang jadi patah menjadi dua bagian.

Untuk memberikan peringatan pada lawannya, tubuh Jaka melejit dengan cepat menggunakan jurus 'Petir Menyambar Elang'.

Tuk! Tuk!

Dua kali totokan tangan Jaka mendarat di bagian tubuh Sunawi, hingga lelaki berkepala gundul itu ambruk di tanah dan tak mampu bangkit untuk melanjutkan pertarungan karena tubuhnya sudah tertotok lumpuh.

"Bagaimana, Junali? Kawanmu ini sudah tak punya daya apa-apa untuk melanjutkan pertarungan, apakah kau akan menghadapiku seorang diri?" tanya Jaka sambil menuding sosok Sunawi yang tergeletak tak berdaya.

"Hhh!" Junali mendengus marah, namun dia tak segera melakukan sesuatu untuk membuktikan kalau dirinya tak gentar untuk meneruskan pertarungan.

"Kalau kau takut melanjutkan pertarungan, aku memberimu kebebasan untuk segera pergi dari sini," ucap Jaka lagi.

"Hhhs!" Junali kembali mendengus. "Kali ini aku mengaku kalah, tapi tidak untuk lain kali!" lanjutnya ketus.

"Lain kali aku yang mengalah, tuan yang gagah. Karena kita tak pernah punya sengketa satu sama lain," kilah Jaka. "Sekarang pergilah dan bawa temanmu itu! Jangan tunggu kawan-kawanku marah!" tambah Jaka sambil melempar pandangan ke arah Kakek Tanpa Jari dan Setya Wangsakesuma, juga Darma Wangsakesuma yang semenjak tadi hanya menjadi penonton.

Junali menggerakkan tangannya memberi isyarat pada belasan lelaki bersenjata golok agar tiga orang maju membopong tubuh Sunawi.

"Tak akan kami lupakan penghinaan ini!" ucap Junali tegas. "Lain kali pasti kupenggal kepalamu! Sekarang aku ingin kau menyebutkan nama dan julukanmu?" pinta Junali sebelum berlalu dari hadapan Jaka.

"Namaku, Jaka," ucap Jaka-memenuhi permintaan Junali. "Orang-orang menjulukiku sebagai Raja Petir," lanjutnya dengan suara datar.

"Raja Petir?!" ada nada keterkejutan yang terucap dari penyebutan nama julukan Jaka. Mata Junali pun nampak menyimpan keterkejutan yang sama.

ku."

"Begitulah   orang-orang   memanggil julukanku."

Tanpa  berkomentar  lagi  Junali menghentakkan kakinya cukup keras dan berlalu begitu saja dari hadapan Jaka. Tiga lelaki yang membopong tubuh Sunawi pun melakukan hal yang sama, diikuti dengan belasan lelaki bersenjata golok yang juga berlalu dari hadapan Jaka mengikuti ketua mereka.

"Ternyata hanya sebegitu nyali mereka," usik Kakek Tanpa Jari setelah Dua Iblis Gunung Batu dan belasan anak buahnya berlalu dari pandangannya.

polos.

"Kak Jaka hebat," puji Setya Wangsakesuma

"Iya. Gerakan Kakak ringan dan cepat," timpal

Darma Wangsakesuma ikut-ikutan."Kalian terlalu mengada-ada," kilah Jaka merendah. "Ah, ayo kita lanjutkan perjalanan ini," pintanya kemudian.

8

"Saroagung!" sambung lelaki berusia lanjut ketika si Kakek Tanpa Jari, Raja Petir dan Setya Wangsakesuma juga Darma Wangsakesuma bam saja melintasi tumpukan batu-batu sebesar perut kerbau yang mengapit jalan selebar dua batang tombak, sebuah daerah yang masih masuk dalam kawasan Desa Warakula.

"Kakang Rangsasana!" sambut Kakek Tanpa Jari. Kemudian tangannya yang tak memiliki satu jari pun digenggam erat jari-jari tangan Kakek Rangsasana.

"Aku butuh bantuanmu," tanpa basa-basi Kakek Tanpa Jari langsung mengucapkan tujuan kedatangannya.

"Jangan khawatir," timpal Kakek Rangsasana seraya mempersilakan mereka masuk ke rumah yang dikelilingi oleh bebatuan sebesar perut kerbau.

Kakek Tanpa Jari pun langsung membuka percakapan dengan memperkenalkan diri Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma berikut kejadian yang dialami raja dari Kerajaan Watu Sanjai yang tak lain adalah ayah kandung Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma. Kakek Saroagung juga menceritakan cita-citanya untuk membebaskan permaisuri raja yang sampai saat ini masih mendekam dalam tahanan bawah tanah, di samping itu juga Kakek Saroagung memperkenalkan Raja Petir.

"Sungguh aku tak percaya kalau hari ini akan kedatangan tamu yang namanya bergema di seluruh persada persilatan. Sungguh suatu kebanggaan bagiku," ucap Kakek Rangsasana ketika tahu kalau pemuda yang berpakaian warna kuning keemasan adalah Raja Petir.

"Ah, jangan terlalu membesar-besarkan, Kek," kilah Jaka tak enak hati. "Yang jelas kedatanganku bersama Kakek Saroagung adalah untuk meminta bantuan," lanjut Jaka merendah.

"Kita sama-sama membantu Darma dan Setya, " ujar Kakek Rangsasana masih tetap meninggikan kedudukan Jaka"Tentu, Kek," sambut Jaka mantap.

"Setelah mendengar cerita kalian di benakku langsung terselip sebuah rencana yang mudahmudahan bisa kalian setujui, namun sebelumnya aku akan memberitahukan dulu pada Jaka, Darma Wangsakesuma, dan Setya Wangsakesuma bahwa orang yang menjabat sebagai permaisuri raja saat ini adalah adik seperguruanku. Kalau saja Kakek Saroagung tak menceritakan persoalan ini padaku, mungkin sampai mati aku tak akan mengetahui di mana Nyi Ganda Laras berada," ujar Kakek Rangsasana menjelasi. "Ada satu masukan yang patut kalian ketahui, termasuk oleh Adi Saroagung. Itu jika kalian semua memang belum tahu," lanjut Kakek Rangsasana.

"Apa itu, Kakang?" tanya Kakek Tanpa Jari ingin tahu.

"Pihak kerajaan tengah mengadakan sayembara," beritahu Kakek Rangsasana.

"Sayembara?" ulang Darma Wangsakesuma. "Ya. Busur emas yang kalian milikilah yang sedang disayembarakan pihak kerajaan, ini pasti keinginan Patih Paksa Dahana dan Nyi Ganda Laras. Akan tetapi bukan hanya benda itu yang diingini, diri Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma juga menjadi tujuan dari sayembara itu. Dalam isi pengumuman sayembara yang disaksikan oleh dua orang muridku mengatakan kalau dua lelaki kembar berusia lebih kurang tiga belas tahu didapati memiliki panah dan busur emas, maka keduanya harus dibawa serta ke kerajaan hidup-hidup," tandas Kakek Rangsasana.

"Lalu apa rencana Kakek Rangsasana?" desak Darma Wangsakesuma tak sabar.

"Salah satu di antara kalian harus ada yang mengikuti sayembara itu," jawab lelaki bertubuh tinggi dengan sorot mata yang masih memperlihatkan ketajamannya.

"Bagaimana kalau Jaka yang mengikuti," usul Kakek Tanpa Jari. "Aku yakin Kakang bisa menyamarkannya menjadi seorang persilatan yang tak dikenal," lanjut Kakek Saroagung.

"Aku setuju dengan usulan Adi Saroagung, bagaimana denganmu, Jaka?" lempar Kakek Rangsasana pada Raja Petir.

"Aku bersedia," sahut Jaka mantap. Mendengar kesanggupan Raja Petir, Kakek Rangsasana langsung menyusun siasat, selain Jaka yang disamarkan, dua muridnya juga disamarkan sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma dan dijadikan umpan untuk menghadap raja. Kakek Rangsasana yakin kalau Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tidak akan dibunuh setelah diserahkan ke kerajaan akan tetapi akan dijebloskan ke dalam tahanan menemani ibunya, agar semuanya bisa merasakan betapa tidak enaknya hidup di tahanan untuk selama-lamanya. Dia juga menjelaskan dugaannya, kalau Jaka juga akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bukan hadiah besar yang akan didapatkan Jaka, tetapi dirinyalah yang akan dijebloskan ke dalam tahanan. "Jika siasat dan dugaanku benar, maka dalam tahanan itulah Jaka dan juga kedua muridku merencanakan sebuah pelarian menyelamatkan permaisuri. Keyakinanku juga mengatakan kalau di dalam tahanan itu juga sudah dibangun sebuah jalan rahasia yang cuma diketahui oleh raja yang sah, yakni ayah Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, dan orang kedua yang tahu adalah istrinya. Hal seperti itu kurasa telah dipikirkan ayahmu yang berpikiran panjang akan adanya pengkhianatan di suatu saat nanti, dan seandainya mereka dipenjarakan, jalan keluar untuk menyelamatkan diri sudah ada," papar Kakek Rangsasana panjang lebar, dan siasat itu sepertinya disetujui orang-orang yang mendengarnya.

"Lalu mengapa ibuku tak menyelamatkan diri melalui jalan rahasia itu?" tanya Setya Wangsakesuma polos.

"Mungkin saja ibumu, meski berada di dalam tahanan tapi juga ditambahkan dengan pemasungan kakinya, atau mungkin juga seorang yang pintar telah menotok anggota tubuh ibumu, hingga dirinya tak kuasa bergerak sedikit pun dari kedudukannya," jelas Kakek Rangsasana.

"Laknat!" maki Setya Wangsakesuma geram.

Jaka sudah disamarkan sebagai tokoh yang tak dikenal, yakni mengaku sebagai Joko Galung Mata Tunggal, sedangkan dua murid Kakek Rangsasana menyamar sebagai dua anak kembar dari Kerajaan Watu Sanjai. Mereka kini tengah bergerak ke wilayah selatan menuju ke Kerajaan Watu Sanjai. Untuk menghindari kecurigaan dari orang-orang persilatan yang mengetahui akan adanya panah dan busur emas, maka benda itu disembunyikan Raja Petir di balik pakaian penyamarannya yang longgar.

Sementara Kakek Rangsasana menghubungi teman-teman yang berilmu tinggi untuk membantu penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai, Kakek Tanpa Jari segera bekerja menyatroni orang-orang dalam yang pernah disebutkan Pradipta, yang sebenarnya teramat setia pada rajanya yang sah. Mereka adalah para punggawa yang menangani pasukan berpedang dan panah. Dan juga orang-orang dalam kerajaan yang berpengaruh, yang kesetiaannya pada ayah kandung Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak lagi diragukan.

Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari berharap penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai berhasil baik dengan tidak banyak mengambil korban, tapi kedua kakek berpengalaman itu yakin kalau korban bisa ditekan sekecil mungkin mengingat banyak orang-orang kerajaan yang berpihak pada raja yang sah, yang telah mati akibat kejahatan patihnya.

* * *

Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Raja Petir yang menyamar sebagai Joko Galung Mata Tunggal dan dua murid Kakek Rangsasana yang menyaru sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma sudah tiba di depan tembok pembatas kerajaan dengan dunia luar. Sesuai siasat mereka, kedua murid Kakek Rangsasana diikat dengan rantai baja yang sengaja dibawanya.

Selesai menyelesaikan sandiwaranya, Jaka segera melangkahkan kakinya, membawa Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma palsu ke muka pintu gerbang pembatas. Dua orang prajurit jaga yang melihat kedatangannya langsung mendekat dan bertanya dengan ketus.


"Mau apa kau?" tanya seorang prajurit jaga yang bercambang bauk tebal.

"Tolong pertemukan aku dengan Yang Mulia Raja Paksa Dahana, katakan kalau aku Joko Galung Mata Tunggal ingin menyerahkan hasil sayembara!" ucap Jaka tegas.

Salah seorang prajurit jaga itu langsung menghadap atasannya yang juga langsung menghadap pada Yang Mulia Raja Paksa Dahana.

"Cepat bawa masuk orang itu ke hadapanku!" perintah Yang Mulia Raja Paksa Dahana tegas. Nampak keangkuhannya begitu nyata. Dia berdiri begitu berwibawa di sisi Bidadari Penyamar yang didampingi oleh tiga lelaki gagah perkasa yang masing-masing mengenakan pakaian hitam, putih, dan merah. Merekalah tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi yang sengaja disewa untuk memperkuat kedudukannya sebagai raja dan permaisuri.

Abdi setia raja yang diperintahkan membawa Joko Galung Mata Tunggal datang menghadap bersama Raja Petir yang menyamar. Raja Petir begitu tiba di hadapan raja langsung berlutut memberi hormat

"Maaf kalau hamba terlalu lancang berani menghadap," ucap Jaka sopan.

Yang Mulia Raja Paksa Dahana hanya membalas ucapan Jaka dengan senyuman yang lebih pantas disebut sebagai cibiran.

"Aku sudah menyaksikan bocah kembar yang kau bawa, sekarang perlihatkan benda yang kumaksud!" pinta Yang Mulia Raja Paksa Dahana.

Jaka langsung mengeluarkan panah dan busur emas dari balik pakaiannya dan menyerahkannya dengan hikmat ke hadapan raja.

"Ha ha ha.... Kau memang hebat! Kau patut mendapatkan hadiah!" ucap Yang Mulia Raja Paksa Dahana setelah meneliti benda di tangannya. "Kau lihat, Permaisuriku, betapa menakjubkannya benda ini," lanjutnya seraya menyerahkan panah dan busur emas ke tangan Bidadari Penyamar.

"Kau memang hebat, Joko Galung," puji Bidadari Penyamar setelah mengamati benda di tangannya. "Kau akan kujamu sekarang juga," lanjutnya, kemudian dengan suara tegas dia memerintahkan untuk menyiapkan jamuan buat Joko Galung Mata Tunggal. Sementara Raja Paksa Dahana memerintah yang lain untuk menjebloskan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma ke dalam tahanan bawah tanah disatukan dengan ibunya.

Ketika jamuan untuk Raja Petir sudah siap, raja dan permaisuri langsung memerintahkan Joko Galung Mata Tunggal untuk segera menikmatinya.

Akan tetap baru satu tegukan Jaka mereguk air yang disediakan, kepalanya tiba-tiba merasakan pusing yang luar biasa. Lantai kerajaan yang dipijaknya seperti telah memutar tubuhnya hingga dirinya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.

"Ha ha ha...!" Raja Paksa Dahana tertawa keras melihat Joko Galung Mata Tunggal ambruk. "Kurung dia di tempat yang sama! Jadikan satu!" perintahnya kemudian.

Abdi setia yang mendapatkan perintah itu langsung membopong tubuh Joko Galung Mata Tunggal ke rumah tahanan di bawah dan memasukkannya menjadi satu dengan Nyi Paramesti Dewi yang tengah meringkih tak berdaya dan dua anak buah Kakek Rangsasana yang menyamar sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.

Manakala prajurit kerajaan sudah berlalu dari ruang tahanan, Jaka langsung membuka matanya. Memang sesungguhnyalah Jaka sedikit pun tak terpengaruh oleh air minum beracun yang disuguhkan Raja Paksa Dahana, cuma ketika dia meminum setegukan, dan ketika kepalanya merasa pusing Jaka langsung bersiasat berlagak pingsan.

"Kita harus bergerak cepat, Tuan Putri. Sebentar kemudian kawan-kawanku akan menyerbu ke kerajaan ini. Kau harus segera dibebaskan," ucap Jaka setelah mendekati tubuh lemah Nyi Paramesti Dewi.

jut.

"Siapa kau?" tanya Nyi Paramesti Dewi terkejut.

"Nanti Tuan Putri akan tahu, sekarang apakah Tuan Putri tahu adanya jalan rahasia di tempat ini?" tanya Jaka kemudian.

Meski benaknya dipenuhi keheranan, Nyi Paramesti Dewi menganggukkan kepalanya juga dan menunjukkan letak kunci pembuka pintu rahasia.

"Bagaimana cara membukanya, Tuan Putri?" tanya Jaka.

Nyi Paramesti Dewi memerintahkan Jaka untuk menggoreskan jari telunjuknya secara menyilang sebanyak lima kali pada dinding. Jaka segera saja melakukannya. Hasilnya....

Dinding tebal itu sedikit demi sedikit berputar, dan Raja Petir langsung saja memerintahkan anak buah Kakek Rangsasana untuk membopong tubuh Nyi Paramesti Dewi keluar dari ruang tahanan yang begitu pengap, dan dinding tebal itu pun kembali tertutup ketika kaki Jaka telah menginjak lorong rahasia.

"Berjalanlah lurus ke depan, lalu belok kanan dan terus ke kanan dan melakukan belokan ke kanan sebanyak tiga kali, di situlah kita akan menemukan dunia luar," beritahu Nyi Paramesti Dewi yang langsung diikuti oleh Jaka dan si Kembar Palsu.

"Aku yakin kawan-kawan sudah menunggu," ucap Jaka ketika sudah sampai pada belokan ketiga ke kanan. "Dan kau akan bertemu dengan anakmu yang asli, Tuan Putri," lanjut Jaka membuat Nyi Paramesti Dewi terperangah, namun permaisuri raja yang sah itu tak bertanya untuk menuntaskan ketidakmengertiannya.

"Kita sudah berada di luar," ucap salah seorang murid Kakek Rangsasana.

"Ya, kita sudah berada di luar, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan ke mana?" tanya Jaka pada Nyi Paramesti Dewi.

"Terus ke kanan," perintah Nyi Paramesti Dewi. "Kita akan bertemu pada sebuah hutan yang berada di luar perbatasan tembok kerajaan. Hutan Jatilada," lanjut Nyi Paramesti Dewi memberitahu.

Tanpa membuang waktu Jaka langsung bergerak ke arah kanan menuju hutan Jatilada. Dan bukan main gembiranya hati Jaka ketika dia menyaksikan orang-orangnya tengah berkumpul di hutan itu.

"Kakek Saroagung, Kakek Rangsasana!" ucap Jaka gembira.

"Jaka," sambut Kakek Tanpa Jari dan Kakek Rangsasana serempak.

"Bagaimana rencana selanjutnya?" tanya Jaka kemudian.

"Orang-orang dalam kerajaan sudah ku hubungi, mereka siap berpihak pada kita, mereka akan bergerak dari dalam, membungkam pasukan yang setia pada raja palsu itu! Dan sekarang bawa permaisuri ke tempat yang aman dengan dijaga beberapa orang, sementara yang lainnya ikut menyerbu ke dalam," jelas Kakek Tanpa Jari.

Jaka menganggukkan kepalanya, kemudian tatapan matanya berkeliling memandangi orangorang yang mendukung penyerbuan ini. Jaka tak mengenal mereka, tapi Jaka yakin kalau mereka berkepandaian tinggi, itu dapat dilihat dai sorot mata mereka yang tak seperti sorot mata orang biasa.

Setelah Nyi Paramesti Dewi dibawa ke tempat yang aman, Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari, juga Raja Petir, dan yang lainnya segera bergerak menyerbu Kerajaan Watu Sanjai.

Kedatangan rombongan yang hendak menyerbu terlihat oleh beberapa prajurit penjaga gerbang pembatas, mereka langsung melaporkan pada rekannya, namun ternyata tak semua mau menerima laporan itu, bahkan yang tak mau itu langsung memberikan serangan yang tiba-tiba.

Pada saat prajurit jaga yang berpihak pada tempat yang berbeda saling baku hantam, rombongan Raja Petir langsung masuk setelah menghancurkan pintu gerbang.

Keadaan semakin bertambah kacau ketika sebagian pasukan panah yang berpihak pada Raja Paksa Dahana menghujani anak-anak panahnya ke arah rombongan yang bam saja datang, namun anak-anak panah itu tidak ada artinya bagi tokohtokoh berkepandaian tinggi.

Twang...! Twang...!

Berkali-kali panah-panah maut itu mengincar rombongan Kakek Rangsasana, namun itu bisa dihalau hanya dengan menggerakkan tangan dengan cepat

Pertarungan menjadi semakin sengit ketika pasukan-pasukan yang lain ikut membantu penyerangan. Di samping itu orang-orang sewaan Raja Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar sendiri sudah turun gelanggang pertarungan.

"Biar aku yang menghadapi si Bidadari Penyamar itu, kalian boleh mencari lawan yang lain," ucap Kakek Rangsasana pada Kakek Tanpa Jari, Raja Petir, dan beberapa orang tokoh persilatan sahabat Kakek Rangsasana.

Ucapan Kakek Rangsasana langsung dipatuhi. Dan Jaka langsung bergerak menghadapi dua lelaki yang berjuluk Dua Naga Sisik Racun dengan senjatanya yang berupa pecut ular yang langsung meledak-ledak mencari sasaran di tubuh Raja Petir.

Cletar! Cletar! "Ups!"

Jaka mengelakkan sambaran pecut itu dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', namun kemudian dirinya menukik turun layak kilat dengan menggunakan jurus 'Petir Menyambar Elang' guna membalas serangan lawan.

Bet! Bet!

Dua kali sambaran tangan Jaka yang mengarah ke salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk Dua Naga Sisik Racun dapat dielakkan, namun ketika Jaka bersalto seraya memberikan tendangan lurus mengarah dada, lelaki itu hanya terbengong menanti serangan susulan Jaka yang datangnya cepat bagai kilat

Blagkh!

Lelaki berkumis tipis itu mengerang kesakitan ketika tendangan keras Jaka mendarat tepat di bagian dadanya. Tubuhnya langsung terpental sejauh tiga batang tombak.

Kenyataan itu membuat kawannya naik pitam, lalu dengan sengit menyerang Jaka dengan menggunakan pecut ularnya.

Cletar! Traps!

Di luar dugaannya pecut itu ditangkap Jaka dengan tangan telanjang. Lelaki berkumis tebal yang berjuluk Naga Sisik Racun itu terkejut, lalu berusaha mengerahkan tenaganya untuk menarik pulang senjatanya, akan tetap tenaga Jaka ternyata lebih kuat sehingga tubuh lelaki itu tersentak ke depan.

Bletak!

Lawan Jaka terpekik keras saat menerima pukulan yang mengenai rahangnya. Dia langsung terhempas ke tanah dan tak kuasa untuk bangkit.

Pada saat itu Jaka menyaksikan kelebatan seorang lelaki berpakaian kebesaran seorang raja yang hendak menghantamkan serangannya pada Setya Wangsakesuma yang sudah tergeletak di tanah.

Plak!

Hadangan tangan Jaka yang bergerak cepat membuat niat Raja Paksa Dahana yang hendak membinasakan Setya Wangsakesuma gagal. Raja gadungan itu murka bukan kepalang, seketika itu juga serangan-serangan mautnya dilancarkan ke arah Jaka.

Bet! Bet!

Pukulan-pukulan berkekuatan tenaga dalam tinggi dilancarkan Paksa Dahana, namun satu pun tak ada yang mendapatkan tempat di tubuh Raja Petir yang bergerak lincah menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.

"Kau harus mampus di ujung senjataku ini!" Srat!

Raja Paksa Dahana meloloskan senjatanya, bersamaan dengan itu tubuhnya langsung mencelat hendak menikam tubuh Jaka.

Wut...!

Jaka mengelakkan serangan dengan menarik tubuhnya ke samping kiri. Kemudian....

"Awaaas...!" sebuah perintah diteriakannya bersamaan sikutnya yang bergerak ke rusuk Raja Paksa Dahana, namun lelaki itu terlambat untuk mengelak.

Bletuk!

Raja Paksa Dahana berteriak kesakitan, tubuhnya terhuyung ke belakang dua tindak, bersamaan dengan itu, sosok si Kembar berkelebat dengan pedangnya yang terayun ke udara.

Tlas! Bret!

Pekik kematian seketika itu juga terdengar mengiringi ambruknya tubuh Raja Paksa Dahana dengan leher yang hampir terbabat putus dan perut yang terkoyak lebar hingga memburaikan ususnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, jerit kematian susul-menyusul pun terdengar bergantian. Sosok orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa Dahana satu persatu bertumbangan di tangan kawan-kawan Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari.

"Hentikan pertarungan ini! Dan lihatlah, raja gadungan yang kalian bela sudah mati, jadi untuk apa kalian bertarung!"

Teriakan Jaka yang lantang membuat pertarungan seketika terhenti. Berpasang-pasang mata langsung terarah menatap mayat Raja Paksa Dahana.

"Kalau kalian mau menyerah, maka hukuman akan menjadi lebih ringan!" ucap Jaka lagi, dan ternyata ucapan itu membawa hasil. Orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa Dahana semuanya melemparkan senjata ke tanah.

"Giring mereka ke dalam tahanan!" perintah Setya Wangsakesuma tegas.

Selagi prajurit-prajurit yang setia menggiring prajurit-prajurit yang salah jalan, Jaka sibuk mencari-cari Kakek Rangsasana dan Bidadari Penyamar. "Ke mana Kakek Rangsasana?" tanya Jaka

pada Kakek Tanpa Jari.

"Dia tengah mengejar Ganda Laras, saudara perguruannya yang menyamar sebagai permaisuri," jawab Kakek Saroagung. "Mungkin dia ingin menyadarkan kekeliruan saudaranya itu," lanjutnya.

Jaka tak mengomentari lagi ucapan Kakek Saroagung, langsung kakinya kemudian terangkat menghampiri Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.

"Kemelut sudah berlalu, Setya, Darma. Aku gembira," ucap Jaka pada Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.

"Itu berkat jasamu, Kak," kilah Darma Wangsakesuma.

"Jika kau merasa aku ini berjasa, Kakak harap kau mau memberikan jasa pula untuk orang lain, untuk rakyatmu jika suatu saat kalian menduduki jabatan sebagai pemimpin," tutur Jaka lemah lembut.

"Kami akan berusaha untuk itu, Kak," timpal Setya Wangsakesuma.

"Bagus! Dan sekarang Kakak permisi dulu, masih banyak pekerjaan lain yang harus Kakak selesaikan," tandas Raja Petir.

"Kenapa begitu tergesa-gesa, Kak. Kami senang kalau Kakak tinggal bersama kami dalam beberapa hari, atau selamanya di sini," tahan Darma Wangsakesuma.

"Lain kali, jika ada waktu Kakak pasti singgah ke tempat ini, sekarang Kakak permisi dulu."

"Tunggu dulu, Kak. Bukankah kami telah diamanati oleh Kakek Suranggrati untuk menyerahkan panah dan busur emas?" ujar Setya Wangsakesuma.

Jaka tersenyum mendengar ucapan itu.

"Pasti benda itu disimpan di kamar pribadi Paksa Dahana, biar kucari dulu, Kak," tukas Setya Wangsakesuma seraya bergerak masuk ke dalam istana kemudian kembali dengan membawa benda yang dibungkus kain sutera putih.

"Aku hanya menemukan busurnya saja, Kak. Entah di mana anak panahnya," ucap Setya Wangsakesuma kecewa.

"Busurnya pun tak mengapa, Setya," ujar Jaka menenteramkan hati Setya Wangsakesuma. "Jika suatu saat anak panah itu diketemukan, simpanlah olehmu baik-baik," lanjutnya.

"Tentu, Kak," sahut Setya Wangsakesuma. "Sekarang Kakak permisi."

Setelah berpamitan pada Kakek Tanpa Jari, Raja Petir langsung menghentakkan kakinya dan pergi berlalu dengan cepat diiringi dengan tatapan mata Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang merasa berhutang budi.

SELESAI



No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 21: Perburuan Busur Maut"