Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 21: Perburuan Busur Maut
Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 21: Perburuan Busur Maut
1
Matahari belum begitu lama
terbangun dari peraduannya, dan kini tengah mengintip malu-malu persada raya
dengan panoramanya yang begitu indah.
Hutan Jati Selajar yang berada
dalam wilayah Desa Getar Jala mendapat bagian curahan sinar lembut yang hanya
kuasa mengintip dari celah dedaunan. Sementara satu pal jauhnya dari mulut
Hutan Jati Selajar, lima lelaki bertampang kasar tengah mengayunkan kakinya
tergesa-gesa.
"Percepat langkah
kalian!" ucap lelaki tinggi besar berwajah pucat bagai mayat. Sepertinya
lelaki berambut sebahu yang dibiarkan tergerai itu adalah pimpinan empat lelaki
lain yang berpakaian longgar warna hitam mengkilat, terbukti perkataannya
segera saja mendapat tanggapan dari empat lelaki yang rata-rata bertubuh tinggi
besar.
"Kurasa Hutan Jati
Selajar tak berada jauh dari tempat ini," tukas lelaki berwajah pucat
lagi.
"Kurasa juga begitu,
Kak," timpal lelaki beralis sebelah. Dia nampak mengayun langkahnya lebih
cepat dari yang lainnya.
Kemudian, tanpa ada
pembicaraan lagi kelima lelaki bertampang kasar melanjutkan perjalanannya
menuju Hutan Jati Selajar.
Sementara itu, di dalam Hutan
Jati Selajar, di mana terdapat tujuh batang pohon jati yang tumbuh seperti
membuat lingkaran, menampakkan panorama yang lain dari Hutan Jati Selajar. Agak
aneh kelihatannya, apalagi hanya tempat itu yang ditumbuhi rumput halus.
Memang, tempat itu sesungguhnyalah sebuah tempat rahasia. Merupakan sebuah
ruang bawah tanah yang didiami oleh lebih dari seorang penghuni.
"Kurasa sekaranglah waktu
yang tepat untukmu menemui Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa Jari. Baru
setelah itu, kalian berdua bersama Kakek Saroagung mencari Raja Petir untuk
menyerahkan busur dan panah emas itu," ucap seorang lelaki berusia lanjut,
salah seorang penghuni ruang bawah tanah itu. Kelanjutan usianya ditandai
dengan rambutnya yang sudah memutih semua dan juga jenggot panjang berwarna
putih. Namun mata lelaki berpakaian serba putih itu masih memperlihatkan
ketajamannya, setajam mata elang. Dan itu cukup memberi gambaran bahwa dia
bukanlah lelaki sembarangan.
"Lima tahun lamanya
kalian kugembleng ilmu bela diri, kurasa cukup bekalmu untuk menghadapi
orang-orang yang usil di perjalanan," lanjut kakek berjenggot putih panjang
yang sesungguhnya bernama Suranggrati. "Dari mulut Kakek Tanpa Jari kalian
akan tahu siapa diri kalian sesungguhnya."
"Apakah Kakek Sura tak
sudi menceritakan sedikit saja perihal diri kami sesungguhnya, agar kami tak
penasaran?" pinta pemuda tampan berusia tak lebih dari tiga belas tahun.
Pakaiannya yang berwarna merah darah terlihat begitu nyerap dengan kulitnya
yang berwarna putih bersih.
Pemuda lain yang seusia dan
juga berpakaian warna merah hanya menyetujui ucapan saudaranya dengan bahasa
isyarat, tatapan matanya yang tertuju lurus ke wajah Kakek Suranggrati
menandakan kalau dirinya juga ingin mendengar jawaban dari mulut lelaki tua
yang telah hampir tiga belas tahun merawat dan mendidiknya serta membekalinya
ilmu bela diri.
Sementara sikap Kakek
Suranggrati hanya tersenyum saja menanggapi keinginan dua pemuda tampan yang
sudah dianggapnya seperti cucu bahkan anak sendiri.
"Setya
Wangsakesuma," panggil Kakek Suranggrati kemudian seiring lenyap
senyumnya. "Kalau aku tahu hal ikhwal diri kalian berdua, untuk apa kalian
kusuruh menemui Kakek Tanpa Jari," lanjut Kakek Suranggrati.
"Ah, maafkan kami,
Kek?" ucap pemuda yang bernama Darma Wangsakesuma sambil menjura memberi
hormat.
"Tidak apa, Darma,"
sela Kakek Suranggrati sambil menyentuh bahu saudara kembar Setya Wangsakesuma
yang bernama Darma Wangsakesuma. Lelaki remaja berhidung lancip itu mendapatkan
tatapan teduh mata Kakek Suranggrati. "Justru Kakeklah yang harus minta
maaf pada kalian, karena Kakek tak dapat mengantar kalian untuk menemui Kakek
Tanpa Jari melainkan hanya sampai ambang pintu nanti. Kakek memang sudah
terlalu jenuh untuk menggeluti dunia luar. Biarlah Kakek akan tetap di tempat
ini, berhubungan terus-menerus dengan Allah, dengan Penguasa Jagad yang
menciptakan kehidupan dan kematian, yang memiliki kasih sayang dan ampunan tak
terhitung," lanjut Kakek Suranggrati panjang lebar.
"Kami mengerti,
Kek," ucap Setya Wangsake-
suma. "Jika begitu, mari
secepatnya kita keluar. Lebih cepat menjumpai Kakek Saroagung lebih baik,
begitu juga dengan Raja Petir. Kuyakin hanya dia seorang yang mampu meredam
tokoh-tokoh jahat yang berhajat memiliki busur dan panah emas ini," tutur
Kakek Suranggrati, "Darsa, Sapta! Kalian temani Setya dan Darma sampai
menjumpai Kakek Saroagung dan Raja Petir," lanjut lelaki berusia lanjut
sambil memerintah pada dua lelaki yang bertubuh kekar berpakaian hitam yang
sejak tadi hanya berdiri di belakangnya tanpa ikut menimpali pembicaraan.
"Baik, Kakek Suranggrati!
Nyawa kami yang jadi tameng hidup Adi Setya dan Adi Darma," jawab lelaki
berotot melingkar-lingkar karena pakaiannya yang dikenakan cukup ketat
membungkus tubuh. Lelaki itu berwajah tampan dan kelimis, dialah yang bernama
Sapta.
"Tak kuragukan kesetiaan
kalian, dan mari kita keluar sekarang," ujar Kakek Suranggrati dengan
ayunan kaki yang melewati sosok lelaki muda kembar yang berpakaian warna serba
merah.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma yang di bagian dada mereka terdapat benda yang terbungkus kain
putih sutera pun mengikuti langkah kaki Kakek Suranggrati, baru kemudian Darsa
dan Sapta melakukan hal yang sama.
"Ha ha ha...! Pucuk di
cinta ulam tiba!" ucap sebuah suara cukup keras sesaat tapak kaki Kakek
Suranggrati dan orang-orangnya menjejak tanah berumput Hutan Jati Selajar.
"Ternyata tak sesulit apa
yang kukira untuk mendapatkanmu, Suranggrati! Yang kucari malah ikut
mencariku," lanjut suara itu lagi sebelum Kakek Suranggrati tahu siapa
yang berbicara.
"Iblis Bengis Wajah
Dingin!" sentak Kakek Suranggrati sedikit terkejut menyaksikan lelaki
tinggi kekar yang mengenakan jubah longgar warna putih, rambutnya yang gondrong
sebahu tersibak angin yang tiba-tiba saja datang. Di belakangnya berdiri empat
lelaki berpakaian hitam dan bertubuh tinggi besar.
"Tanpa kuberitahu maksud
kedatanganku menemuimu, kurasa kau sudah lebih tahu, Suranggrati!" tukas
lelaki berjubah putih longgar yang dipanggil Kakek Suranggrati sebagai Iblis
Bengis Wajah Dingin. "Untuk itu, demi selembar nyawamu yang tak lama lagi
berkalang tanah, serahkanlah benda yang ada pada dua bocah itu secara baik-baik
padaku. Dengan demikian usiamu masih sempat mendapatkan tempat di muka jagad
ini, begitu juga dengan dua bocah kembar pengikutmu yang lain itu!" tunjuk
Iblis Bengis Wajah Dingin pada dua bocah berhidung lancip dan juga pada diri
Darsa dan Sapta.
Kakek Suranggrati hanya
menimpali ucapan Iblis Bengis Wajah Dingin dengan senyum samar yang terkembang,
namun tak lama berselang sangkalan pun segera terdengar keluar dari sepasang
bibir tipis lelaki berusia enam puluhan.
"Iblis Bengis Wajah
Dingin," panggil Kakek Suranggrati dengan suara yang sedikit pun tak
tersirat kegeraman, apalagi kegentaran berhadapan dengan lelaki yang sudah
cukup punya nama di kalangan rimba persilatan. "Aku cukup mengenal kau
yang memiliki kesaktian yang begitu tinggi, meski kabar itu kuketahui dari
mulut ke mulut, namun kuyakini betul bahwa kau memiliki kesaktian yang tinggi
itu. Tapi kini sungguh tak terpikir olehku, ternyata kau juga ingin memiliki
benda yang kini berada di tangan kedua cucuku itu. Aku heran, apakah kau
menjadi kurang sakti tanpa senjata yang berada pada Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma?" sambung Kakek Suranggrati sambil melempar pertanyaan
dengan nada sindiran halus namun cukup menusuk hati Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Hm.... Ternyata kau tak
sayang dengan nyawamu yang hanya tinggal sedikit lagi mengenyam nikmatnya
kehidupan ini, Suranggrati! Kata-katamu barusan yang kuanggap kelewat berani
itu adalah bumerang untuk sepenggal nyawamu!"
"Apa kau yang berhak
untuk menentukan kehidupan dan kematian seseorang, Iblis?" tanya Kakek
Suranggrati masih dengan sikap yang cukup tenang. Sementara Setya Wangsakesuma
dan saudara kembarnya sudah nampak berdiri gelisah, begitu juga dengan Darsa
dan Sapta. Mereka menjadi tak tenang karena ingin menghajar mulut kurang ajar
lelaki yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Aku dan senjata mautku
ini memang punya hak untuk melenyapkan nyawa kalian!" jawab Iblis Bengis
Wajah Dingin.
"Iblis sombong!"
maki Darma Wangsakesuma
keras.
"Iblis laknat!"
timpal Setya Wangsakesuma
tak kuasa membendung emosinya.
Dua lelaki kembar berusia tiga belasan itu sama-sama melangkahkan kakinya
bermaksud memberi pelajaran pada Iblis Bengis Wajah Dingin, namun langkahnya terhadang
tangan kanan Kakek Suranggrati.
"Sabar, Cucuku,"
tahan Kakek Suranggrati dengan suara yang tiba-tiba saja bergetar.
Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma menjadi sedikit terkejut mendengar ucapan Kakek Suranggrati yang
bergetar itu.
"Kenapa, Kek?" tanya
Darma Wangsakesuma
polos.
Kakek Suranggrati menatap
tepat bola mata
Darma Wangsakesuma, lalu
ucapan yang cukup pelan pun terdengar di telinga lelaki kembar yang berusia
tiga belas tahun itu.
"Kesaktiannya bukanlah
tandingan kita, Cucuku. Untuk itu Kakek sarankan sebaiknya kalian berdua
menyelamatkan diri dan segera menemui Kakek Saroagung," ujar Kakek
Suranggrati menjawab pertanyaan Darma Wangsakesuma. "Kakek...?"
"Pergilah, biar Kakek,
juga Darsa dan Sapta yang menghadapi mereka," tukas Kakek Suranggrati
lebih keras.
"Tapi, Kek...?"
"Pergi cepat kalau kau
tak mau kuanggap sebagai Cucu yang tak tahu adab!" bentak Kakek
Suranggrati keras.
"Ha ha ha Ternyata
nyalimu tak lebih besar
dari kedua cucumu itu,
Suranggrati! Biarkan saja mereka menunjukkan kebesaran nyalinya di
hadapanku," ejek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tawanya yang
memantul-mantul ke sudut Hutan Jati Selajar.
Kakek Suranggrati menolehkan
wajahnya yang merah ke arah wajah Iblis Bengis Wajah Dingin, tatapan penuh
tantangan membias dari sepasang bola mata tuanya yang masih menyiratkan
ketajaman, namun tatapan itu hanya sebentar saja mampir di wajah Iblis Bengis
Wajah Dingin, karena pada saat berikutnya tatapan Kakek Suranggrati sudah
beralih kembali ke wajah cucu-cucunya.
"Cepat kalian
pergi!" perintah Kakek Suranggrati pada Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma.
Lelaki muda usia yang
mengenakan pakaian merah tahu kalau kata-kata Kakek Suranggrati tak mungkin
terbantah lagi, maka secara bersamaan dua bocah kembar itu menghentakkan kaki
mereka kuat-kuat ke permukaan bumi. Tubuh keduanya pun kemudian melesat cepat
dengan menggunakan ilmu lari cepat dan meringankan tubuh yang cukup mendapat
acungan jempol.
"Jangan pergi!
Hops!" Ibis Bengis Wajah Dingin berteriak seraya menghentakkan kakinya
melakukan gerakan mengejar ke arah lari Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma.
"Hops!" bersamaan
dengan melesatnya sosok Iblis Bengis Wajah Dingin, sosok Kakek Suranggrati pun
melesat menghadang.
"Hadapi aku dulu kalau
kau ingin mendapatkannya, Iblis Gila!" sentak Kakek Suranggrati. Tendangan
lurus mengarah ke ulu hati Iblis Bengis Wajah Dingin langsung dilancarkannya,
itu sengaja dilakukannya untuk mencegah keinginan lelaki berjubah putih
mengkilat untuk mengejar Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.
Terhadap serangan Kakek
Suranggrati yang mengarah ke bagian tubuh pekanya, Iblis Bengis Wajah Dingin
tentu saja tak ingin mengambil resiko, maka seketika itu juga, pada saat
tubuhnya masih berada di atas permukaan tanah, dibuang tubuhnya ke arah kanan
untuk menghindari sambaran kaki tua milik Kakek Suranggrati.
Sungguh mengagumkan gerakan
cepat yang dilakukan oleh Iblis Bengis Wajah Dingin. Sesaat lelaki berjubah
putih melemparkan tubuhnya ke kanan, dengan cepat ujung kakinya menotol
permukaan tanah dan dengan kecepatan yang luar biasa memberikan serangan
balasan dengan dua kepalan tangan terarah ke batok kepala Kakek Suranggrati.
Bet! Bet!
Pemandangan yang tersaji malah
menjadi terbalik, kini nampak Kakek Suranggrati yang kelabakan menghindari
serangan balasan yang dilancarkan Iblis Bengis Wajah Dingin yang mengandung
kekuatan tenaga dalam tinggi.
Namun patut dipuji juga
gerakan lincah dari si Kakek yang juga mengenakan pakaian warna putih, meskipun
dengan susah payah dirinya berhasil juga meluputkan serangan balasan lawan.
"Hm.... Kurasa hanya
sampai di sini aku mengeluarkan jurus perkenalanku, Kakek Bau Tanah!"
tukas Iblis Bengis Wajah Dingin yang seketika itu juga menghentikan
serangannya.
Kini, dalam jarak dua batang
tombak nampak dua lelaki berpakaian putih saling berhadapan dengan
masing-masing kemarahan yang bergelora di dada.
"Sudah kukatakan kalau
nyawaku tidak berada di genggamanmu, Iblis Kurap!" maki Kakek Suranggrati.
"Hrgh...!" Iblis
Bengis Wajah Dingin menggereng marah mendengar cercaan yang keluar dari mulut
Kakek Suranggrati, seketika itu juga tangannya tergerak meraba senjata yang
melilit di pinggangnya. Sebuah rantai baja yang panjangnya sekitar satu
setengah batang tombak yang pada bagian ujungnya terdapat bola-bola berduri
masing-masing tiga buah sebesar kepalan bayi berusia sembilan bulan. Rantai
baja berbandul bola berduri pun kini lolos dari pinggang Iblis Bengis Wajah
Dingin, saat itu juga kebengisan wajah lelaki iblis berjubah putih mengkilat
nampak menjadi dua kali lipat, bola matanya berubah menjadi berwarna kemerahan,
layak seperti mata seekor naga murka.
"Akan kubuktikan kalau
aku mampu membegal nyawamu, Kakek Sundel! Bersiaplah segera untuk melayat ke
liang lahat!"
Seiring dengan ucapannya itu,
Iblis Bengis Wajah Dingin mengangkat tangan kanannya yang menggenggam bagian
tengah dari rantai baja yang ujungnya masing-masing terdapat tiga bandulan
berduri, lalu lelaki yang berusia empat puluh lima tahun itu memutar-mutar
senjatanya di atas kepala.
Wuk! Wukkk...!
Wrrr...!
Bunyi bergemuruh disertai
dengan suara angin yang cukup keras pun terdengar menyakitkan telinga. Bebatuan
kecil yang berada di sekitar tempat di mana Iblis Bengis Wajah Dingin berpijak
seketika beterbangan ke berbagai arah. Daun-daun yang merimbuni Hutan Jati
Selajar berguguran ke tanah, sementara orang-orang Iblis Bengis Wajah Dingin
dan Sapta juga Darsa menjauhi daerah yang seperti terlanda angin topan.
Sedangkan Kakek Suranggrati masih tetap berpijak pada tempatnya, namun pada
tangan kakek berusia enam puluh tahun itu kini tergenggam sebilah keris yang
menebarkan hawa dingin, keris itu sendiri memendar-mendarkan sinar kebiruan.
Wukkk...!
Jledarrr...!
Sebuah pohon sebesar dua kali
pelukan lelaki dewasa tumbang saat Iblis Bengis Wajah Dingin menghentakkan
tangannya, dan tiga bandulan duri yang melesat cepat mencecar kepala Kakek
Suranggrati membentur pohon itu hingga menimbulkan bunyi dahsyat. Pohon jati
kokoh itu pun hangus layak terbakar.
"Gila...!" desis
Kakek Suranggrati dalam hati menyadari kedahsyatan serangan yang dilancarkan
Iblis Bengis Wajah Dingin. Untung dia berhasil mencelat dengan cepat
menghindari terjangan tiga bundalan berduri yang ternyata seperti mampu
mengeluarkan api, jika tidak? Huh! Tak terbayangkan akan menjadi apa tubuhnya.
Di tengah-tengah usaha Kakek
Suranggrati menghindari serangan-serangan maut yang dilancarkan Iblis Bengis
Wajah Dingin, dua lelaki bernama Darsa dan Sapta pun tengah berjuang matimatian
untuk menyelamatkan nyawanya dari sambaran senjata milik anak buah Iblis Bengis
Wajah Dingin.
Namun dikarenakan jumlah anak
buah Iblis Bengis Wajah Dingin lebih banyak dan lagi memiliki kemampuan ilmu
silat lebih tinggi dari Darsa dan Sapta, maka dua lelaki anak buah Kakek
Suranggrati tak mampu berbuat banyak. "Mampus kau, Gembel!" hardik
lelaki berpakaian hitam dengan kumis tipis di bagian pinggir.
Pada saat yang bersamaan
lelaki anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin yang hanya memiliki sebelah alis
mata melesat cepat ke arah Darsa. Senjatanya yang berupa golok berukuran besar
ikut berkelebat mencecar kepala lelaki bertubuh kekar.
Brat! Tlash!
Lengking panjang menyayat pun
seketika terdengar menggema saat Darsa mendapatkan sambaran dua senjata yang
merobek perut dan bagian dada.
Lelaki berpakaian warna hijau
lumut itu pun ambruk ke tanah dengan darah yang bermuncratan mengotori pakaian
dan tanah di sekitar tubuhnya ambruk, hanya sesaat tubuh Darsa mengejangngejang
menanti kedatangan maut dan untuk saat selanjutnya tubuh itu menjadi kaku setelah
nyawanya tak lagi mendiami jasadnya.
Bugkh! Bugkh!
Baru saja tubuh Darsa berubah
menjadi mayat, kini giliran Sapta yang menjadi incaran keganasan anak buah
Iblis Bengis Wajah Dingin. Lelaki berpakaian kelabu bernama Satpa dua kali
menerima hantaman di bagian dada dan perutnya. Kini lelaki itu tengah terhuyung
dengan telapak tangan yang mendekap dada.
Sapta meringis menahan
kesakitan. Pada saat itulah lelaki beralis sebelah kembali melesat cepat dengan
golok besar yang terayun ke arah leher lawannya.Tlash!
Tubuh Sapta terhempas sejauh
dua langkah, sementara kepalanya yang sudah terpisah dari tubuh menggelinding
dan berhenti tepat di kaki Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Kepalamu pun akan
mengalami nasib seperti ini, Suranggrati!" ucap Iblis Bengis Wajah Dingin
dengan tangan kanan yang mengangkat kepala Sapta tinggi-tinggi, sebagian darah
yang belum mengental keluar dari daging yang terkoyak.
"Kau memang biadab! Kau
betul-betul, Iblis Neraka! Tapi dengar, tak semudah itu kau membuktikan
kata-katamu terhadap diriku!" sentak Kakek Suranggrati dengan raut wajah
yang tegang terbungkus kemarahan yang tak terbendung.
"Hhh...! Tua bangka
sombong, ujung kematianmu sesaat lagi akan datang, berdoalah segera!"
ledek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tangannya yang melempar kepala Sapta ke
arah wajah Kakek Suranggrati.
Di luar dugaan Iblis Bengis
Wajah Dingin, Kakek Suranggrati tak mengelak lemparannya. Malahan lelaki tua
berusia lanjut itu menangkap kepala Sapta yang sesungguhnya sangat disayangi.
Tap!
"Maafkan aku,
Sapta," ucap Kakek Suranggrati dengan suara parau, air mata pun tibatiba
bergulir melalui kelopak matanya yang keriput. "Demi membelaku kau rela
mengorbankan kepalamu," lanjut Kakek Suranggrati yang kemudian meletakkan
kepala anak muridnya dengan hati-hati.
Bola mata kakek berusia enam
puluh tahun yang berkilat-kilat penuh bara kemarahan terlihat seperti hendak
menelan wajah lawannya yang tengah berdiri dengan keangkuhannya.
"Kau harus membayar
kematian kedua muridku dengan nyawamu, Iblis Laknat!" maki Kakek
Suranggrati dengan keris yang ditudingkan lurus ke wajah Iblis Bengis Wajah
Dingin.
Sebelum Kakek Suranggrati
menurunkan senjatanya yang digunakan untuk menuding wajah lawannya, si Iblis
Bengis Wajah Dingin sudah lebih dulu memberi aba-aba pada empat anak buahnya.
"Lumat tubuh kakek tak
tahu diri itu!" perintah Iblis Bengis Wajah Dingin dengan suara lantang
menggelagar.
Seketika itu juga empat lelaki
berpakaian hitam yang dipimpin oleh lelaki beralis mata sebelah, bergerak cepat
melancarkan serangan ke arah Kakek Suranggrati.
"Hiaaa...!"
"Haaat..!"
Empat anak buah Iblis Bengis
Wajah Dingin bergerak lincah dengan senjatanya yang berupa golok besar yang
bercericit mencari sasaran di tubuh Kakek Suranggrati.
Wut! Wut! "Eits!"
Tubuh lelaki tua berjenggot
putih panjang itu bergerak-gerak cepat, melakukan lompatan beberapa kali ke
udara demi menghindari seranganserangan gencar yang rata-rata mempergunakan
tenaga dalam kelas tinggi.
Dari keberhasilan Kakek
Suranggititi dalam menggagalkan serangan keempat lawannya yang datang silih
berganti, jelas terlihat ketinggian ilmu si Kakek yang berada beberapa tingkat
di atas lawannya, namun dikarenakan serangan yang dilakukan lawan-lawannya
cukup padu dan beragam, maka Kakek Suranggrati merasa kerepotan juga dibuatnya.
"Hm.... Aku harus
merobohkan lebih dulu salah satu di antara mereka, terutama lelaki beralis mata
sebelah itu," batin Kakek Suranggrati berencana. Dan belum lagi gema
rencana di kakek berpakaian putih bersih itu hilang, sebuah teriakan membahana
terdengar seiring dengan melesatnya sosok lelaki beralis mata sebelah.
"Hm.... Ini kesempatan
baik," kata hati Kakek Suranggrati lagi, dia tak segera menyambut serangan
yang dilakukan lawannya akan tetapi menunggu sampai serangan itu lebih mendekat
dan....
Wung Bret!
Lawan Kakek Suranggrati
tiba-tiba memekik keras manakala ujung keris telah merobek bagian perutnya,
sungguh dia tak menyana kalau di balik gerakan mengelak yang dilakukan Kakek
Suranggrati disertai pula dengan serangan yang begitu membahayakan.
"Sagawan!" pekik
Iblis Bengis Wajah Dingin ketika menyaksikan robohnya lelaki beralis mata
sebelah dengan bagian perut yang terkoyak lebar dan isi perut serta darah yang
nampak saling berebutan keluar.
"Keparat!" maki
Iblis Bengis Wajah Dingin geram. "Seraaang...!" perintahnya lagi
keras, sementara dirinya segera memutar-mutar senjata yang berupa rantai baja
panjang berbandul enam buah bola berduri. Suara bergemuruh pun tak pelak lagi
terdengar bising.
Wuk! Wuk!
Di tengah-tengah sepak terjang
tiga anak buahnya yang hendak merobohkan si Kakek berpakaian putih, Iblis
Bengis Wajah Dingin terus memutar-mutar senjata yang semakin lama semakin
cepat, namun mata dan pikiran Iblis Bengis Wajah Dingin tetap berkonsentrasi
pada keadaan diri Kakek Suranggrati itu untuk mengambil kesempatan dalam
kelengahan lawan, maka manakala kesempatan itu terbaca mata Iblis Bengis Wajah
Dingin, seketika itu juga....
"Haiiit !"
Tubuh Iblis Bengis Wajah
Dingin melesat dengan senjata yang terus berputar, namun kemudian....
Sing! Brttt..!
Rantai berbandul bola-bola
berduri yang berada di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin seketika itu juga
terlepas, dan tanpa disadari oleh Kakek Suranggrati senjata lawan itu menjerat
lehernya tanpa dia mampu mengelak karena dari arah depan dan belakang dua buah
golok besar saling berdesing memburu tubuhnya, dua buah golok besar yang juga
dilepas bersama dengan Iblis Bengis Wajah Dingin melepas senjatanya.
Sesaat setelah melepas
senjatanya, Iblis Bengis Wajah Dingin pun melesat memburu ujung senjatanya,
sama halnya dengan yang dilakukan seorang anak buahnya.
Tap! Tap!
Ujung senjata berbandul bola
berduri itu kini sama-sama tertangkap tangan Iblis Bengis Wajah Dingin dan anak
buahnya, sementara rantai bajanya melilit di leher Kakek Suranggrati, dan
ketika dua tokoh jahat itu menarik bandulan berduri terdengarlah lenguhan
kematian yang keluar dari mulut Kakek Suranggrati dengan lidah yang menjulur
keluar.
Bruk!
Tubuh Kakek Suranggrati ambruk
ke tanah ketika rantai baja yang melilit lehernya terlepas, lidahnya masih
menjulur keluar.
"Ayo kita kejar, Bocah
Kembar itu!" perintah Iblis Bengis Wajah Dingin, tubuhnya pun kemudian
melesat lebih dahulu meninggalkan tiga anak buahnya yang tersisa.
Tiga lelaki berpakaian hitam
anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin segera menghentak kakinya kuat-kuat,
mengikuti jejak sang Majikan.
2
Sinar matahari yang kini
berada tegak di atas ubun-ubun, hingga menghadirkan rasa panas yang menyengat
tak dipedulikan oleh dua bocah berpakaian warna merah darah yang terus saja
melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Sudah puluhan pal jauhnya mereka
meninggalkan Hutan Jati Selajar. Entah ke mana tujuan mereka sekarang. Namun,
di depan mereka kini terbentang sebongkah batu besar yang menandai kalau mereka
telah memasuki wilayah Desa Karang Sedaya.
Dua bocah yang tak lain adalah
si Kembar yang masing-masing bernama Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
kini sama-sama menghentikan langkah kaki mereka, tatapan matanya pun sama-sama
memperhatikan sebongkah batu yang bertuliskan nama "Desa Karang
Sedaya".
"Aku mengkhawatirkan
keselamatan Kakek Suranggrati, Darma," ucap Setya Wangsakesuma pada
saudaranya.
"Aku pun begitu,
Setya," timpal Darma Wangsakesuma. "Tapi semoga saja Kakek
Suranggrati dapat mengatasinya," lanjut Darma Wangsakesuma
"Ya. Semoga saja,"
sahut Setya Wangsakesuma. "Sekarang apakah kita masuk saja ke Desa Karang
Sedaya?" tanya Setya Wangsakesuma me-minta pendapat
"Ke mana lagi? Barangkali
saja di desa itu kita akan peroleh kabar tentang kediaman Kakek Tanpa
Jari," papar Darma Wangsakesuma.
"Ayolah kalau
begitu," setuju Setya Wangsakesuma melangkahkan kaki terlebih dulu,
diikuti kemudian dengan langkah kaki Darma Wangsakesuma yang mencoba
mensejajari.
Namun baru beberapa langkah
lelaki kembar berusia tiga belas tahun mengayunkan kaki, sebuah teguran lunak
membuatnya berhenti meneruskan perjalanannya.
"Hai, Bocah-bocah Tampan!
Hendak ke manakah kalian?" tanya sebuah suara bernada enteng dan terdengar
seperti bersahabat.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma segera saja menolehkan kepalanya dan kemudian sama-sama
membalikkan tubuh menghadap dua lelaki tampan berpakaian hijau yang berdiri
tegak di hadapannya sejauh enam batang tombak.
Dua lelaki tampan yang
berpakaian hijau itu rata-rata menampakkan hulu senjata yang tersembul dari
balik punggungnya. Mereka tersenyum manis hingga memperlihatkan gigi-gigi putih
mereka yang tersusun rapi. Wajah mereka yang memang tampan dengan mata bulat
cemerlang serta kulit wajah yang putih bening semakin menampakkan ketampanan
mereka, terlebih dengan rambut lurus mereka yang terpotong begitu rapi dan
apik. Dan semuanya itu membuat Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak
segan-segan membalas senyuman itu dan menjawab pertanyaannya.
"Kami hendak ke Desa
Karang Sedaya, Kak," jawab Setya Wangsakesuma dengan sikap sopan.
"Hm.... Kalian pasti
punya urusan penting di sana," ucap salah seorang dari lelaki tampan
berpakaian hijau lagi.
"Kira-kira begitulah,
Kak," kali ini Darma Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan itu.
"Hm. "
Dua lelaki tampan berpakaian
hijau ini samasama melangkahkan kakinya mendekati Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma hingga berjarak satu setengah batang tombak.
"O, ya, namaku Ajiwana dan
kawanku ini bernama Lugawika," ucap lelaki tampan berkumis lebih tipis
yang mengaku bernama Ajiwana. "Bolehkah aku mengenal nama kalian?"
lanjutnya sopan.
"Tentu saja," jawab
Setya Wangsakesuma tanpa merasa keberatan sedikit pun. "Namaku Setya
Wangsakesuma dan saudaraku ini punya nama Darma Wangsakesuma," tambahnya
memperkenalkan diri.
"Kalian pasti anak
kembar, betulkah?" selidik Jiwana kemudian.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma tak menjawab pertanyaan itu dengan segera, dua bocah berusia tiga
belas tahun itu kini terlibat saling tatap satu sama lain.
"Kuyakini kalian sebagai
anak kembar, wajah kalian satu sama lain tak terlihat perbedaannya," ucap
Lugawka. "Maaf, Darma, Setya. Kalau boleh aku tahu kepentingan apakah yang
membawa langkah kaki kalian ke Desa Karang Sedaya?" tambah Lugawnka.
Dua lelaki kembar berpakaian
warna merah darah sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari
mulut Lugawika, hingga jawabannya pun tak keluar dari mulut mereka.
"Kalau kalian
berkeberatan untuk menjawab, tak usahlah dijawab," kilah Ajiwana.
"Maafkan kami, Kak. Kami
memang berkebaratan untuk memberitahukan," ujar Setya Wangsakesuma polos.
"Kalau aku menduga,
bolehkah?" tanya Lugawika berkesan mendesak.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma tak menimpali pertanyaan itu, mereka samasama diam dan sama-sama
pula merasakan sesuatu yang tak beres akan terjadi.
"Ah, maaf, Kak. Kami
harus segera ke sana," ujar Darma Wangsakesuma dengan telunjuk yang
menuding mulut Desa Karang Sedaya.
"Tunggulah sebentar, aku
belum meneruskan dugaanku," tahan Lugawika. "Barusan aku mendengar
nama Kakek Tanpa Jari kalian sebut-sebut, apakah kalian akan menemuinya di Desa
Karang Sedaya sana?" tandas Lugawika membuat keyakinan Darma Wangsakesuma
dan Setya Wangsakesuma akan hal yang tak beres semakin kuat. Itu karenanya dua
lelaki kembar tak menjawab pertanyaan Lugawika.
"Kalian tak perlu takut
untuk menjawab," ucap Ajiwana. "Kami berdua tahu persis di mana
kediaman si Kakek Tanpa Jari itu, dan untuk kalian aku bersedia
memberitahu," lanjut Ajiwana.
Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma terpengaruh juga dengan ucapan lelaki lembut yang keluar dari
mulut Ajiwana, itu dapat dilihat dari perubahan raut wajah dan tatapan bola mata
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang tak lagi tersirat kecurigaan.
"Betulkah Kakak berdua
ingin menunjukkan pada kami kediaman Kakek Tanpa Jari?" tanya Setya
Wangsakesuma terus terang.
"Tentu saja," jawab
Lugawika mantap.
"Di manakah?" kejar
Darma Wangsakesuma. "Bukan di Desa Karang Sedaya," jawab Ajiwa-na.
"Lalu di mana?"
tanya Darma Wangsakesuma
dan Setya Wangsakesuma
berbarengan.
"Ada persyaratan yang
harus kalian penuhi kalau ingin tahu kediaman si Kakek Tanpa Jari itu,"
kilah Lugawika dengan mata yang berkedip sebelah kepada Ajiwana.
Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma melihat apa yang dilakukan Lugawika, seketika itu juga
kecurigaannya muncul kembali dan keengganan untuk menanyakan persyaratan yang
dimaksud Lugawika membuat lelaki kembar berusia tiga belas tahun itu bungkam
seribu bahasa.
"Kalian tak ingin tahu
apa persyaratan itu?" tanya Ajiwana.
"Saya rasa tidak perlu,
Kak. Kami berdua ingin mencarinya tanpa bantuan orang lain," jawab Setya
Wangsakesuma. "Ayo, Darma. Kita ke Karang Sedaya sekarang," lanjutnya
mengajak Darma Wangsakesuma berjalan menuju mulut Desa Karang Sedaya.
"Tunggu!" sentak
Lugawika sedikit keras. "Aku kecewa kalian tak bisa menghargai niat
baikku, padahal persyaratan yang kuajukan cukup gampang dan tak akan
menyulitkan kalian."
"Ya. Kami akan meminta
benda yang kalian bawa itu," sambung Ajiwana sambil menunjuk benda yang
berada di tangan Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma yang terbungkus kain
sutera warna putih mengkilat.
"Apa?" tanya Darma
Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma terkejut. Wajah keduanya langsung dibaluri
rona merah sesaat mendengar persyaratan yang diucapkan Ajiwana.
"Hanya itu, tak ada yang
lain," kilah Lugawi-ka.
"Maaf, kami tak bisa
memenuhi persyaratan
itu," ujar Darma Wangsakesuma
tandas. Sepertinya jawaban itu tak bisa diubah lagi.
"Berarti kalian
kehilangan kesempatan untuk mengetahui rumah tinggal si Kakek Tanpa Jari."
"Tak apa. Kami bisa
mencarinya," jawab Setya Wangsakesuma.
"Kalau kami merebut benda
yang kau bawa secara paksa bagaimana? Apa kau sanggup mempertahankannya?"
tanya Lugeiwika mengajukan pertimbangan untuk dipilih lelaki kembar berpakaian
merah.
"Kami akan
mempertahankannya selama nyawa kami masih berada di tempatnya," mantap
jawaban yang keluar dari mulut Setya Wangsakesuma.
"Ternyata kalian punya
nyali juga!" hardik Lugawika yang berwatak agak panasan dibanding dengan
watak Ajiwana.
"Lima jurus kalian mampu
mempertahankan benda itu, maka persyaratan itu kucabut," sambung Ajiwana.
"Bersiaplah!"
Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma membawa mundur kakinya satu langkah, nampaknya kedua lelaki kembar
yang masih muda usia itu ingin menghadapi serangan yang pasti akan dilakukan
dua lelaki tampan yang menginginkan panah dan busur emas yang dimilikinya.
"Keluarkan seluruh
kemampuanmu, Bocah! Jangan anggap serangan Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut
main-main!" ucap Lugawika keras, kemudian lelaki yang berwatak pemarah itu
menghentakkan kakinya kuat-kuat di permukaan tanah, seketika itu juga tubuhnya
melesat ke arah Darma Wangsakesuma.
Sebuah pukulan lurus yang
terarah ke bagian dada Darma Wangsakesuma dilancarkan Lugawika dengan tanpa
sungkan-sungkan, angin menderu yang mengiringi kedatangan serangan itu
menandakan kalau Lugawika tak main-main.
Wuttt!
Diiringi teriakan menghindar,
Darma Wangsakesuma melesat ke samping kanan menghindari kepalan tangan lawannya
yang menjurus ke bagian dada. Tubuh lelaki berusia tiga belas tahun itu
terlihat melenting ringan beberapa kali di udara. Terlihat betapa luwes dan
ringan cara Darma Wangsakesuma bergerak dan itu cukup membuatnya terhindar dari
gempuran maut yang dilancarkan Lugawika.
Lugawika sendiri hanya
tersenyum menyaksikan kelincahan gerak lelaki yang berusia jauh lebih muda
darinya, kemudian dia pun mencoba menimpali dengan jurus pertama dari lima
jurus yang telah dijanjikan.
Tubuh Lugawika kembali melesat
dengan mengerahkan tendangan yang terangkum dalam jurus 'Menggali Liang Lahat'.
Tendangan maut yang dilancarkan Lugawika memperlihatkan kaki kanan yang
berputar-putar hebat hingga menimbulkan deru angin yang cukup jelas terdengar
telinga.
Wuttt!
Kembali Darma Wangsakesuma
melenting ringan menghindari luncuran kaki kanan Lugawika yang berputar bagai
baling-baling kapal, sambil melakukan beberapa kali putaran ke samping kanan.
Namun kiranya hal seperti
itulah yang dinanti-nanti Lugawika, lelaki tampan berpakaian hijau yang pada
bagian punggungnya tersandar sebilah pedang terlihat merubah serangannya. Kaki
kanan yang berputar di depan tiba-tiba terhenti bergerak, kemudian dengan cepat
kaki itu ditarik ke belakang, menjejak ke tanah dengan cepat, lalu
menghentakkannya kuat-kuat Kini sosok Lugawika melayang deras dengan dua
kepalan tangan yang terarah ke bagian uluhati dan kepala lawannya.
Plak! Begkh!
Meskipun Darma Wangsakesuma
berhasil memapak sambaran tangan kanan Lugawika, namun dirinya yang dalam hal
penguasaan tenaga dalam masih berada di bawah lawannya tak kuasa untuk
menghindari keterhuyungan saat benturan tangan terjadi. Pada saat itulah
gerakan Lugawika yang begitu cepat kembali mengirim serangan susulan yang
mendarat telak di dada.
"Hoekh...!"
Darma Wangsakesuma tergolek di
tanah, sementara dari mulutnya mengalir darah kental. Berarti lelaki muda usia
yang dianggap Kakek Suranggrati sebagai cucunya tengah mengalami luka dalam
yang cukup parah.
"Darma...!"
Setya Wangsakesuma yang
menyaksikan keadaan saudaranya sempat terpekik, namun pekikannya itulah yang
membuatnya menjadi lengah akan serangan Ajiwana yang kembali datang.
"Aw... aw... aw... as
Set... ya!" Darma Wangsakesuma yang melihat bahaya mengancam saudaranya
berusaha memberitahu sebisanya, namun apa yang dilakukannya tak membuat Setya
Wangsakesuma sadar dari kelengahannya. Baru ketika serangan Ajiwana semakin
mendekat Setya Wangsakesuma menoleh, namun sudah terlambat untuk melakukan
gerakan menghindar, hingga....
Blagkh! Meskipun Setya
Wangsakesuma berusaha keras menggeser kedudukannya demi menghindari sambaran
kaki lawan, namun hal itu tak banyak membantu. Bahu kanannya terhajar juga
dengan telak oleh telapak kaki Ajiwana, dan itu membuat kedudukan Setya
Wangsakesuma terhuyung empat langkah ke belakang.
Pada saat tubuh Setya
Wangsakesuma terhuyung dan kehilangan kendali, Ajiwana kembali bergerak
memberikan serangan tambahan dengan kepalannya yang bergerak memutar mencecar
rahang lawannya. Serangannya yang terangkum dalam jurus 'Menggali Liang Lahat'
menjelmakan angin menderu kuat.
Setya Wangsakesuma meskipun
dalam keadaan kedudukan limbung, masih tetap berusaha mengelakkan sambaran
tangan kanan Ajiwana dengan melakukan gerakan memutar ke samping kanan, akan
tetapi gerakan Ajiwana yang berubahubah dan demikian cepat membuat saudara
kembar Darma Wangsakesuma tak kuasa untuk mengelak terus-menerus, suatu ketika
pukulan tangan Ajiwana mendarat dengan telak di punggungnya hingga tubuh Setya
Wangsakesuma mencium tanah.
"Ha ha ha.... Kami Dua
Pemuda Tampan Penjenguk Maut masih cukup punya moral untuk menjenguk nyawa
kalian, karena kalian masih terlalu kecil untuk mendapatkan perlakuan itu.
Begitu juga dengan merebut panah dan busur emas itu secara paksa, kami tak
ingin melakukannya. Kami ingin kau menyerahkannya sendiri. Sekarang tinggal
pilih, kalian akan menyerahkan benda itu sendiri atau aku yang mengambilnya
setelah tubuh-tubuh kalian berubah menjadi mayat!" sentak Lugawika tegas.
"Aku pilih yang kedua!" jawab Setya Wangsa-
kesuma tak kalah tegas, meski
di tengah kedudukannya yang terkulai di tanah dan merasakan sakit yang teramat
sangat mendera bagian punggungnya.
"Hm.... Bagus! Ternyata
kau punya nyali yang cukup besar, dan aku juga tak akan memberi kalian pilihan
untuk yang kedua kalinya. Sekarang bersiaplah untuk mampus!"
Tubuh Lugawika melesat dengan
sebilah pedang di tangan yang teracung di udara, nampaknya lelaki berpakaian
warna hijau itu hendak memenggal kepala Setya Wangsakesuma.
Ternyata bukan hanya Lugawika
yang meloloskan pedangnya untuk memenggal kepala Setya Wangsakesuma, hal
seperti itu juga dilakukan oleh Ajiwana yang bergerak cepat ke arah Darma
Wangsakesuma.
"Ha ha ha...!"
Belum lagi serangan Lugawika
dan Ajiwana berkelanjutan, sebuah suara membahana terdengar dengan diiringi dua
serangan jarak jauh yang menimbulkan angin menderu cukup keras.
Wusss...!
"Setan!"
Lugawika memaki sengit
mendapatkan serangan yang mendadak, namun begitu, kegesitannya bergerak membuat
dirinya mampu meredam pukulan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga dalam
tinggi. Lugawika bergerak cepat bagai kilat mengurungkan niatnya memenggal
kepala salah seorang dari bocah kembar berusia tiga belas tahun. Kenyataan itu
juga dilakukan oleh Ajiwana untuk mengelakkan pukulan jarak jauh yang belum
jelas siapa orang yang melakukannya. Baru setelah Lugawika dan Ajiwana mendarat
dengan selamat, disaksikannya seorang lelaki bertubuh tinggi kekar mengenakan
jubah warna putih mengkilat. Wajah lelaki yang putih layak mayat membuat
Lugawika dan Ajiwana segera mengenali siapa dia adanya, serta tiga orang anak
buahnya yang rata-rata menggenggam golok besar di tangan.
"Iblis Bengis Wajah Dingin!"
ujar Lugawika dan Ajiwana dengan nada yang menyimpan keterkejutan.
"Ha ha ha.... Terima
kasih atas jasa kalian berdua menghentikan dua bocah itu hingga aku tak
sukar-sukar mengejarnya," tukas lelaki berjubah putih yang memang ternyata
si Iblis Bengis Wajah Dingin. Lelaki pemilik senjata bola berduri itu nampak
berdiri dengan kepongahan yang memuakkan hati Lugawika dan Ajiwana. "Namun
kusayangkan kenapa kalian hendak membinasakan bocah-bocah itu," lanjut
Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Hhh! Jangan banyak
basa-basi, Iblis Dungu! Kau telah lancang mencampuri urusan kami, itu berarti
mautlah yang pantas menjemput kelancanganmu!" bentak Lugawika dengan
tatapan mata membara penuh kemarahan.
"Ha ha ha...!" Iblis
Bengis Wajah Dingin terbahak mendengar ucapan yang keluar dari mulut Lugawika.
"Katakan cepat! Apakah urusan mengingini panah dan busur emas hanya
menjadi urusanmu!"
"Tak ada seorang pun yang
akan dapat memiliki panah dan busur emas itu kecuali Dua Pemuda Tampan
Penjenguk Maut!" sentak Ajiwana sengit "Hm Jadi sekarang aku
berhadapan dengan
Dua Pemuda Sok Tampan dan Sok
Hebat? Ck, ck, ck.... Bukan main, bukan main beraninya kalian berdua ini, tapi
sia-sia saja keberanian kalian kalau sudah berhadapan dengan Iblis Bengis Wajah
Dingin," ejek lelaki bertubuh kekar yang membawa serta tiga anak buahnya.
"Hrgh!" Lugawika
mendengus menimpali kecongkakan Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Lebih baik kalian pergi
sekarang juga, dan kubur keinginan untuk memiliki panah dan busur emas yang tak
pantas kalian miliki! Itu kalau kalian masih ingin melihat matahari esok
pagi!" balas Iblis Bengis Wajah Dingin menimpali dengusan kesal Lugawika.
"Iblis Tengik!"
damprat Lugawika tak kuasa meredam kemarahannya. "Akan kukubur
kesombonganmu sekarang juga! Hiyaaa. !"
Demi melampiaskan
kejengkelannya, Lugawika menggenjot tubuhnya melancarkan serangan berkekuatan
tenaga dalam tinggi. Otot-otot tangannya nampak mengejang kaku dengan jari-jari
yang terkepal kuat, angin berkesiutan pun meningkahi serangan maut yang
dilancarkan salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk Dua Pemuda Tampan
Penjenguk Maut.
Pertarungan pun tak dapat
dielakkan ketika Iblis Bengis Wajah Dingin menyambut serangan yang dilancarkan
Lugawika. Pertarungan pun mulai merambat antara Ajiwana menghadapi tiga lelaki
bersenjata golok anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin. Sementara pertarungan
memperebutkan panah dan busur emas terjadi dengan seru dan dengan nafsu
membunuh yang menggebu, Setya Wangsakesuma segera mencari jalan selamat dengan
memapah tubuh Darma Wangsakesuma yang mengalami luka dalam menjauhi tempat
pertarungan sedikit demi sedikit.
Sebenarnya Iblis Bengis Wajah
Dingin dan Lugawika bukannya tidak tahu kalau Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma melarikan diri. Keduanya sama-sama ingin mengejar bocah yang
diperebutkan, tapi hal itu dirasa tak mungkin. Mereka sama-sama ingin lebih
dulu menyudahi pertempuran dengan binasanya salah satu di antara mereka.
Termasuk Ajiwana atau anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Biarkan bocah itu
kabur!" sentak Lugawika. "Kita tentukan dulu sampai mati siapa yang
berhak atas mereka dan senjatanya!"
"Aku setuju! Akan
kubinasakan kau, juga temanmu yang tak pantas memiliki panah dan busur emas
itu!" timpal Iblis Bengis Wajah Dingin geram.
"Bacot besarmu terlalu
bagus untuk dibiarkan!" bentak Lugawika. "Ajiwana! Bunuh habis
mereka!" teriak Lugawika pada Ajiwana yang terus bertempur menghadapi anak
buah Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Hyaaat...!"
Pertempuran kembali berlanjut
tanpa mempedulikan lagi Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang bergerak
diam-diam menjauhi arena pertarungan.
"Ayo, Darma. Kuatkan
dirimu, kita harus bisa meninggalkan mereka untuk segera menemui Kakek
Saroagung," ajak Setya Wangsakesuma dengan memapah tubuh saudara
kembarnya, padahal dirinya sendiri masih mengalami kesakitan pada bagian
tubuhnya setelah mendapat serangan keras dari salah seorang Dua Pemuda Tampan
Penjenguk Maut.
"Mereka pasti akan
mengejar kita setelah salah satu di antara mereka memenangkan
pertarungan," ucap Darma Wangsakesuma penuh kekhawatiran.
"Mudah-mudahan
pertarungan mereka meminta banyak waktu, Darma. Aku yakin Dua Pemuda Tampan
Penjenguk Maut bukanlah lawan yang ringan bagi Iblis Bengis Wajah Dingin,"
kilah Setya Wangsakesuma. "Dengan begitu kita memiliki kesempatan untuk
menghindarinya lebih jauh," lanjut Setya Wangsakesuma memberi dorongan
semangat pada saudara kembarnya.
"Ehhhgk "
Sebisanya Darma Wangsakesuma
melangkahkan kakinya dengan dipapah oleh Setya Wangsakesuma, meski dia
merasakan dadanya seperti dicucuk-cucuk ratusan jarum. Sedikit demi sedikit dua
lelaki kembar berpakaian warna merah darah bisa menjauhi tempat pertarungan
Iblis Bengis Wajah Dingin dan Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut yang masih
terlibat pertarungan sengit.
***
3
Angin sore mulai berhembus ketika
langkah kaki Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma terseok-seok semakin
jauh ke dalam Desa Karang Sedaya yang masih begitu jarang penduduknya. Desa
Karang Sedaya memang masih nampak seperti sebuah hutan yang baru dibuka oleh
beberapa orang penduduk pendatang, terbukti rumahrumah di desa itu masih begitu
berjauhan, masih begitu jarang hingga meski sudah berpal-pal langkah kaki dua
lelaki kembar terayun, mereka belum juga menemui sosok-sosok penduduk yang
lalulalang.
Namun ketika langkah kaki Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma terayun ke kelokan jalan sebelah kanan,
hampir saja tubuhnya ditabrak oleh seorang lelaki berpakaian warna kuning
keemasan yang tengah berlari cukup cepat.
"Ups!"
Untuk mencegah terjadinya
tabrakan itu, lelaki tampan segera menghentak kakinya kuat-kuat hingga tubuhnya
melenting ke udara dan berputaran beberapa kali sebelum lelaki muda berpakaian
warna kuning keemasan mendarat dengan ringan di tanah.
"Ah, maafkan aku, Dik.
Hampir saja aku melanggar kalian," tukas lelaki tampan berpakaian warna
kuning keemasan yang tak lain adalah Jaka Sembada. Ucapan yang keluar dari
mulut Raja Petir terkesan begitu tulus dengan tekanan suara yang terdengar
lembut dan sopan. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak sempat menyahuti
permintaan maaf Jaka, kedua mata lelaki kembar itu kini tengah menatapi sosok
Raja Petir, tatapan mata mereka seperti terpaku.
"Namaku Jaka, Dik. Ah,
sepertinya kawanmu tengah mengalami luka dalam," ucap Jaka sambil
melangkahkan kakinya dua tindak mendekati sosok Setya Wangsakesuma yang tengah
menyangga tubuh Darma Wangsakesuma.
"Apakah nama lengkap
Kakak, Jaka Sembada?" sebuah pertanyaan balik tiba-tiba terlontar begitu
saja dari mulut Setya Wangsakesuma setelah hampir setengah penanakan nasi
menatapi keberadaan Raja Petir dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Dengan anggukan mantap Jaka
membenarkan pertanyaan Setya Wangsakesuma. Seketika itu juga Jaka menangkap
rona kegembiraan terpancar dari wajah bola mata dua lelaki muda usia yang
sama-sama mengenakan pakaian warna merah, dengan wajah hampir tiada perbedaan
satu sama lain. Seperti buah pinang dibelah dua.
"Kakak Raja Petir?!
Ugkh...!" Ucapan kegembiraan yang keluar dari mulut Darma Wangsakesuma
membuat saudara kembar Setya Wangsakesuma itu terbatuk, setitik darah nampak
merembes dari kedua sudut bibirnya.
Jaka yang sejak pertama sudah
dapat menduga keadaan Darma Wangsakesuma tak mau bertindak ayal, segera
langkahnya terayun menyambar tubuh Darma Wangsakesuma yang berada dalam
sanggahan saudara kembarnya, kemudian tanpa ragu-ragu dan dengan cepat Jaka
meraih pil warna merah dari balik saku pakaiannya, kemudian dimasuk-kannya ke
dalam mulut Darma Wangsakesuma. Setelah itu Jaka membaringkan tubuh lemah
lelaki berusia tiga belas tahun itu berbantalkan akar pohon yang menyembul dari
permukaan tanah.
"Sebenarnya apa yang
tengah terjadi pada diri kalian?" tanya Jaka setelah keadaan beranjak
sesaat.
"Namaku Setya
Wangsakesuma dan saudara kembarku bernama Darma Wangsakesuma," tukas Setya
Wangsakesuma belum menjawab pertanyaan Raja Petir. "Sungguh kebetulan yang
memberuntungkan kalau kita bisa berjumpa," lanjut Setya Wangsakesuma
dengan tatapan kegembiraan yang terus melekat ke wajah Jaka.
Tatapan Setya Wangsakesuma
yang seperti itu mendapatkan sambutan yang berbantahan dengan tatapan mata Jaka
yang bermakna sebuah keheranan akan ucapan lelaki muda belia di hadapannya.
"Apa maksud ucapanmu, Dik
Setya?" tanya Jaka menuntaskan keheranannya.
Tanpa keraguan sedikit pun
Setya Wangsakesuma menceritakan maksud dari ucapannya. Seluruh ucapan yang
diwasiatkan oleh Kakek Suranggrati dipaparkannya tanpa satu kalimat pun yang
tertinggal.
"Siapa itu Kakek
Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa Jari?"
"Aku sendiri tak pernah
mengenalnya, Kak," jawab Setya Wangsakesuma atas pertanyaan Jaka.
"Kakek Saroagunglah yang jelas-jelas mengetahui hal ikhwal diri kami
berdua," lanjut Setya Wangsakesuma.
"Kalau boleh Kakak tahu,
kenapa Kakek Suranggrati menugasi kalian untuk menyerahkan panah dan busur emas
yang kalian katakan sebagai senjata yang maha dahsyat pada Kakak dan akan
menjadi momok kegemparan bagi dunia persilatan jika jatuh ke tangan yang
salah?" tanya Jaka lagi menyelidik.
"Kakek Suranggrati cuma
bilang hanya Raja Petir yang mampu meredam kekuatan tokoh-tokoh hitam yang berhajat
merebut panah dan busur emas ini," jawab Setya Wangsakesuma polos.
"Kakek Suranggratimu
terlalu berlebihan menilai diriku, Dik Setya," kilah Jaka merendah.
"Kakek tak pernah bicara
berlebihan yang di luar kenyataan, Kak," bantah Setya Wangsakesuma.
"Ah, sayang. Kakek
Suranggrati mungkin te-
lah binasa di tangan Iblis
Bengis Wajah Dingin, yang bisa kupastikan juga akan dapat membinasakan Dua
Pemuda Tampan Penjenguk Maut yang hampir saja memenggal kepala kami,"
lanjut Setya Wangsakesuma. Tiba-tiba saja sebutir air mata menggelinding dari
kelopak mata yang berkedip setelah menerawang jauh beberapa saat.
"Sudahlah, Dik. Kalian
sudah menunaikan perintah Kakek Suranggrati dengan baik hingga senjata
berbahaya ini berada di tanganku. Sekarang mari kita cari kediaman Kakek
Saroagung. Biar bagaimanapun kalian berdua harus tahu hal ikhwal diri kalian,
aku sendiri ingin mengetahuinya," ujar Jaka mencoba mengalihkan suasana
hati Setya Wangsakesuma. "Apakah tidak kita tunggu Darma siuman?" tanya
Setya Wangsakesuma bersemangat manakala mendengar kesediaan Raja Petir
membantunya menemui Kakek Tanpa Jari.
"Obat yang kuberikan pada
Darma memang cukup keras untuk ukuran lelaki semuda kalian, namun Darma
bukanlah pemuda lemah, kuperhatikan otot-ototnya yang berisi dan
tulang-tulangnya yang cukup bagus. Sesaat lagi dia juga akan siuman,"
tukas Jaka kemudian.
Ternyata memang betul ucapan
Raja Petir. Belum lagi gema ucapannya sirna dari pendengaran Setya
Wangsakesuma, nampak Darma Wangsakesuma sudah menggeliatkan tubuhnya dan
kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu pada dirinya, Darma Wangsakesuma mampu
bangkit dari rebahnya tanpa menemui kesulitan. Cuma dari wajahnya saja yang
masih menampakkan kepucatan.
"Sekarang kita berangkat,
Kak?" tanya Setya Wangsakesuma sambil menggamit lengan Darma Wangsakesuma.
"Kapan lagi?"
* * *
Siang telah benar-benar
menjelma menjadi sore ketika tiga lelaki tampan yang tak lain adalah Jaka dan
dua bocah kembar berpakaian merah melangkahkan kakinya mencari seorang kakek
yang berjuluk Kakek Tanpa Jari.
Sementara di tempat lain,
tepatnya di daerah perbatasan Desa Karang Sedaya enam orang lelaki bersenjata
tengah terlibat pertarungan yang sengit. Dari pertarungan itu bisa terlihat
kalau dua lelaki tampan yang mengenakan pakaian warna hijau keteteran
menghadapi serangan-serangan yang dilakukan lelaki berjubah putih berwajah
pucat bagai mayat bersama dengan tiga orang anak buahnya, akan tetapi keadaan
salah seorang pemuda tampan berpakaian warna hijau tidaklah separah keadaan
kawannya.
Dalam kesempatan sempit,
setelah dirinya berhasil mengelakkan serangan salah seorang dari tiga lelaki
bersenjata golok besar, Ajiwana si Pemuda Tampan itu berhasil memberikan
serangan balasan yang sempurna dengan pedang di tangan yang membabat cepat
membelah dada salah seorang lelaki berpakaian warna hitam.
"Mampus kau!" Brat!
"Aaa...!"
Salah seorang anak buah lelaki
berjubah putih yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin kini tergeletak tanpa
nyawa dengan bagian dada terkoyak lebar tersambar senjata milik Ajiwana.
Kenyataan itu tentu saja membuat dirinya marah, seketika itu juga kegencaran
serangannya terhadap Lugawika ditambah lebih cepat. Senjata yang berupa rantai
baja berbandul enam bola-bola berduri pun telah diloloskan.
"Nyawamu yang akan
membayar kematian anak buahku!" teriak Iblis Bengis Wajah Dingin keras,
tangan kanannya seketika itu juga diputarputar.
Wuk, wuk !
Bunyi bergemuruh terdengar
keras. Bebatuan kecil yang memang banyak terdapat di perbatasan Desa Karang
Sedaya berpentalan tak tentu arah.
Lugawika sendiri berkali-kali
harus berlompatan menghindari luncuran kerikil-kerikil yang terarah ke
tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Saat Lugawika melompat itulah
Iblis Bengis Wajah Dingin melepaskan bola-bola berdurinya yang terarah ke batok
kepala lawannya.
Serangan Iblis Bengis Wajah
Dingin segera disadari Lugawika. Sebentuk keberanian yang tak terduga sama
sekali oleh Iblis Bengis Wajah Dingin dilakukan oleh Lugawika. Dengan beraninya
lelaki berwajah tampan itu menyambut luncuran senjata lawannya.
"Hih!" Taps!
Rantai baja milik Iblis Bengis
Wajah Dingin kini berada di genggaman tangan Lugawika. Lelaki berjubah putih
itu tentu saja terkejut bukan kepalang menyaksikan keadaan itu, namun
pengalamannya yang cukup matang telah mengajarkannya untuk mengambil tindakan
tepat dan cepat.
Seketika itu juga Iblis Bengis
Wajah Dingin melepaskan cekalan tangannya pada rantai yang dipegangnya dan
melemparnya dengan kekuatan tenaga dalam penuh ke arah Lugawika.
Lugawika sendiri tak menyana
dengan apa yang dilakukan oleh lawannya. Sebuah lemparan keras memutar membuat
dirinya menjadi kebingungan, apalagi lemparan itu cukup cepat.
Swing...!
Rrt...!
"Hhh?!"
Bukan alang kepalang
terkejutnya Lugawika yang mendapatkan tubuhnya terlilit rantai baja milik lawan
sebelum dia sempat melakukan gerakan mengelak. Sedemikian cepatnya lemparan
yang dilakukan musuhnya.
"Hiaaa...!"
Belum lagi Lugawika menemukan
jalan keluar untuk membebaskan diri dari belitan rantai milik Iblis Bengis
Wajah Dingin, lawannya yang memang memiliki mutu ilmu silat yang lebih sempurna
terdengar berteriak lantang seraya mengibaskan dua telapak tangannya.
Twing...! Twing...!
Lempengan berbentuk pipih dan
bergerigi seketika meluncur cepat ke arah Lugawika seiring dengan kibasan
tangan lelaki yang begitu cepat menyelinap ke balik jubah kebesarannya. Hal itu
tentu saja semakin membuat Lugawika mati kutu. Otaknya betul-betul menjadi
buntu untuk mencari jalan keluar. Dan ketika dirinya memutuskan untuk melompat
ke arah kanan, hal itu ternyata sudah terlambat.
Crab! Crab!
Dua buah benda pipih bergerigi
sudah lebih dulu mengenai sasaran pada bagian dada dan mata kirinya.
Lugawika meraung dahsyat
merasakan rasa sakit yang teramat sangat, terutama pada bagian matanya yang
tentu saja sangat mengganggu pandangannya. Kepalanya pun seketika
berputar-putar.
Lelaki berjubah putih itu
ternyata memang berwatak telengas. Meski lawannya dalam keadaan payah seperti
itu dan tak mungkin dapat bertahan lama, dia masih juga melancarkan serangan
susulan dengan tendangan kaki kanan lurus yang terarah ke bagian perut Lugawika.
Bugkh!
Sosok lelaki tampan berpakaian
warna hijau seketika itu juga terlontar sejauh dua batang tombak, dengan
nyawanya yang langsung hijrah ke alam lain.
Pada sisi yang lain, Ajiwana
ternyata harus menerima nasib yang sama. Dua lawannya yang berkepandaian cukup
tinggi berhasil membenamkan golok-golok besarnya pada bagian-bagian mematikan
di tubuh Ajiwana. Jantung dan lehernya.
Kini dua lelaki berwajah
tampan yang berjuluk Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut sudah lenyap dari
keramaian dunia persilatan. Nampak Iblis Bengis Wajah Dingin tersenyum pongah
dengan tatapan mata yang tertuju bergantian pada mayat Lugawika dan Ajiwana.
"Hhh! Banyak tokoh lain
yang pasti menginginkan panah dan busur emas itu, kita harus segera mengejar
bocah-bocah keparat itu, jika berjumpa, langsung saja kita penggal kepalanya.
Ayo!"
Iblis Bengis Wajah Dingin
langsung melesat meninggalkan mayat Lugawika dan Ajiwana yang sudah terbujur
kaku. Dua anak buahnya pun melakukan hal yang sama.
Langit di Perbatasan Desa
karang Sedaya sudah nampak gelap, warna jingga yang mengiringi tenggelamnya
matahari ke peraduan menandakan malam sudah menjelang, bunyi jangkrik pun
samarsamar mulai terdengar, mengiringi kelebatan tiga lelaki yang baru saja
melenyapkan dua nyawa lelaki berpakaian warna hijau, tiga lelaki yang kini
samasama berlari cepat memasuki Desa Karang Sedaya.
4
"Raja Petir!" bentak
seorang lelaki berpakaian warna hitam dengan setelan bawahan berwarna merah
darah. Lelaki bertubuh tegap dengan sebelah mata yang ditutup dengan selembar
kulit macan tutul itu berdiri pongah di hadapan Jaka yang berdiri bersisian
dengan Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma. "Kau ternyata hanyalah
seorang tokoh penjilat yang patut segera dilenyapkan dari keramaian rimba
persilatan. Kedudukanmu sebagai seorang tokoh pembela kebenaran ternyata cuma
kedok belaka!" lanjut lelaki bermata picak yang sesungguhnya berjuluk
Golok Darah Mata Tunggal.
Jaka yang mendapatkan caci
maki seperti itu hanya mencoba mengimbanginya dengan tatapan mata lembut dan
sesungging senyum yang menggantung di wajahnya.
"Mereka pasti ingin
memiliki busur dan panah emas ini, Kak Jaka," bisik Setya Wangsakesuma.
Jaka tak mengomentari bisikan
Setya Wangsakesuma, tatapannya tetap tertuju pada tiga lelaki yang menghadang
perjalanannya.
"Tuan-tuan yang
gagah," ujar Jaka kemudian dengan suara yang mengalun penuh tata krama.
"Sungguh aku tak mengerti akan makna dari katakata yang barusan kudengar.
Ah, sayang sekali kalau kata-kata itu telah mengusik keindahan pagi yang seharusnya
sama-sama bisa kita nikmati," lanjut Jaka dengan ketenangan yang cukup
membuat Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma terkagum-kagum.
Ucapan mata Jaka disambut
dengan belalakan sebelah mata lelaki yang berjuluk Golok Darah Mata Tunggal,
kemudian lelaki picak itu mendengus keras.
"Kau juga berlindung di
balik kata-katamu yang lembut! Padahal kau bajingan. Raja Edan!" maki
Golok Darah Mata Tunggal lagi. "Sekarang serahkan kedua bocah ingusan itu,
dan jangan cobacoba ingin memiliki panah dan busur emas itu!" sambung
lelaki bermata sebelah, tangannya yang kekar bergerak dengan telunjuk yang
menuding wajah tampan Jaka.
"Hei! Jadi kau
menginginkan kawan-kawanku ini? Hm.... Apakah dia kemenakanmu?" tanya Jaka
dengan sikap mengejek.
"Keparat! Kuhancurkan mulutmu!"
bentak Golok Darah Mata Tunggal dengan suara yang menggelegar.
"Aku tak punya salah,
kenapa Tuan ingin menghancurkan mulutku?" tanya Jaka lagi.
"Hendaknyalah Tuan pikirkan kembali keinginan itu."
"Burdawa! Jangan kau
timpali Raja Edan yang pintar bicara itu! Lenyapkan saja nyawanya segera, juga
kedua bocah itu!" ujar lelaki berperawakan sedang pakaian putih dengan
kain warna merah yang berjuntai ke belakang. Dialah Semaga yang berjuluk Walet
Paruh Racun.
"Kau betul, Semaga,"
timpal Golok Darah Mata Tunggal yang ternyata bernama Burdawa. "Namun
biarlah keinginan hatiku terpenuhi dulu, aku ingin Raja Petir yang selalu
disebut-sebut sebagai tokoh pembasmi kejahatan mampus di tanganku," lanjut
Burdawa dengan kepala yang tertunduk sedikit memberi penghormatan pada Semaga.
"Silakan, Burdawa!"
setuju Semaga. Burdawa kemudian membawa langkah kakinya tiga tindak mendekati
Jaka, hingga jarak di antara mereka tinggal dua batang tombak saja.
"Kalau kau ingin menjajal
kemampuanku, ada satu hal yang harus kau ingat," pinta Jaka berbasabasi.
"Saat kita bertarung, kuharap kawankawanmu tak menjahili
kawan-kawanku."
"Itu terserah kami. Raja
Pengecut!" potong lelaki berusia lebih dari lima puluh lima tahun. Lelaki
yang layak disebut kakek oleh Jaka itu mengenakan pakaian warna biru terang,
wajahnya yang keriput dengan tatapan mata yang setajam mata elang menandakan
kalau dia lelaki yang matang segala macam pengalaman. Dialah lelaki yang
berjuluk Kakek Seribu Totokan.
"Itulah ciri-ciri kalian
para tokoh bejat!" ucap Jaka membuat telinga Kakek Seribu Totokan memanas.
"Binasakan Raja Gila itu,
Burdawa! Biar aku menguliti tubuh bocah-bocah itu!" perintah Kakek Seribu
Totokan yang sesungguhnya bernama Niluh Gardela.
Golok Darah Mata Tunggal tak
menunggu waktu lagi dengan ucapan Kakek Seribu Totokan, namun sebelum
serangannya sampai ke arah Jaka, lelaki berjuluk Raja Petir itu telah lebih
dulu melindungi Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma dengan 'Aji Kukuh
Karang'. Hal itu dilakukan Jaka untuk menghindari bahaya akan keganasan
tokoh-tokoh hitam yang berjuluk Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan.
Kini di sekujur tubuh Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma nampak sinar warna kuning keemasan
melingkar dan memendar-mendar.
"Hyaaa...!" Brrrt!
Pada saat itu juga sebuah
pukulan kerasmelayang ke arah kepala Jaka yang segera menimpalinya dengan
gerakan mengegos kakinya ke arah kanan. Pukulan Golok Darah Mata Tunggal memang
melenceng ke lain arah, namun sambaran tangan yang lain dengan cepat menyusul
mencecar ulu hati Raja Petir.
Plak!
Sebuah benturan keras terjadi
ketika tangan kiri Jaka bergerak melindungi ulu hatinya, sebuah benturan
berkekuatan tenaga dalam tinggi yang membuat Raja Petir dan Golok Darah Mata
Tunggal terjajar dua langkah ke belakang menandakan kalau kekuatan tenaga dalam
mereka berimbang.
"Hm.... Baru kujumpai
lawan yang memiliki tenaga dalam setinggi kau. Raja Edan! Tapi jangan bangga
dulu, kehebatanmu akan kukubur sekarang juga!" bentak Golok Darah Mata
Tunggal, kemudian tangan kanannya bergerak-gerak ke atas dan ke bawah dengan
kecepatan yang luar biasa. Itulah ilmu 'Pukulan Maut Tangan Kosong' yang pada
puncaknya menjelmakan sinar kebiruan yang membungkus tangan Burdawa. Sinar
kebiruan yang menebarkan hawa dingin.
"Hiaaa...!"
Sesaat menyiapkan ilmu
pukulannya, kini Burdawa melesat cepat ke arah Jaka. Tangan kanannya yang
terbalut sinar kebiruan terangkat sampai ke batas kening, nampaknya si Golok
Darah Mata Tunggal hendak menyarangkan pukulan mautnya dengan dibarengi tenaga
dalam yang tidak sedikit, dan yang menjadi incarannya adalah bagian terlemah di
tubuh Raja Petir.
Buet! Beut!
Tubuh Jaka bergeser cepat ke
samping kanan sebelum pukulan keras yang dilakukan Golok Darah Mata Tunggal
mematahkan batang lehernya.
Apa yang dilakukan Raja Petir
memang berhasil, terbukti serangan yang dilakukan lawannya lolos beberapa
jengkal dan hanya mampu menerpa tempat kosong, namun keterkejutan seketika
melanda hati Jaka. Meskipun batang lehernya tak terkena pukulan Golok Darah
Mata Tunggal, namun angin pukulan dari lawannya membuat bagian lehernya
seketika terasa kaku, ada hawa dingin yang luar biasa menyengat menjalar dalam
darah di bagian lehernya.
Seketika itu juga Jaka
merasakan kepalanya sukar sekali untuk digerakkan, terlebih ketika dirasakannya
hawa dingin itu mulai merambat ke bagian dada.
Golok Darah Mata Tunggal yang
menyaksikan Raja Petir berdiri seperti orang kebingungan, segera saja mengambil
kesempatan yang dianggapnya menguntungkan. Tubuhnya seketika itu juga bergerak
dan bermaksud menghancurkan tubuh lawan dengan ilmu yang sama, 'Pukulan Maut
Tangan Kosong'.
"Hiaaa...!"
Teriakan keras yang dilakukan
Burdawa membuat tatapan mata Jaka tak bergeming memandangi sosok yang tengah
meluruk ke arahnya. Awalnya Jaka ingin menciptakan 'Aji Bayang-Bayang' untuk
menggagalkan serangan lawannya, namun keinginan lain muncul, hingga Jaka
memutuskan menangkis saja serangan Golok Darah Mata Tunggal dengan mengerahkan
tenaga saktinya.
Plak! Tlak!
Pekik tertahan sama-sama
terdengar melompat dari mulut Raja Petir dan Golok Darah Mata Tunggal,
kedudukan kedua tokoh bertenaga dalam tinggi itu pun terlihat kembali terjajar
beberapa langkah ke belakang, dan jarak yang memisahkan itu segera digunakan
Jaka untuk melepaskan diri dari pengaruh pukulan sakti yang telah dilancarkan
Burdawa.
"Hhh...!"
Beberapa saat setelah
menciptakan kekuatan hawa murni untuk melenyapkan pengaruh dingin yang
diakibatkan dari 'Pukulan Maut Tangan Kosong' lawan, Raja Petir kembali siap
untuk melanjutkan pertarungan.
"Ternyata kehebatanmu
yang kudengar dari tokoh-tokoh rimba persilatan bukanlah sekadar bualan belaka,
Raja Petir!" puji Golok Darah Mata Tunggal setelah dirinya mampu mengatasi
rasa nyeri pada tangannya setelah berbenturan dengan kekuatan tangan Jaka.
"Namun berhati-hatilah menghadapi Golok Darahku ini, jika kau masih ingin
mendengar pujian-pujian tokoh-tokoh rimba persilatan, namun aku yakin
pujian-pujian itu tak akan kau dapatkan lagi!" lanjut Burdawa dengan suara
dan napas yang memburu.
Jaka memang mendengarkan kata-kata
lelaki berpakaian hitam dan merah, namun ekor matanya tertuju pada kelakuan dua
lelaki yang berjuluk Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan yang tengah
berusaha menggempur Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang berada dalam
lingkaran sinar kuning keemasan yang diciptakan Jaka berkat 'Aji Kukuh Karang'.
"Sebenarnya aku tak suka
dengan puji-pujian yang Tuan maksudkan itu," ucap Jaka berusaha berkilah.
"Dan jika sekarang aku tak akan mendapatkan pujian-pujian itu lagi, aku
tak akan menyesal," tambahnya tenang.
"Baik! Jaga seranganku
sekarang!" sentak Golok Darah Mata Tunggal.
Sring...!
Bunyi gemerincing yang timbul
ketika senjata milik Burdawa keluar dari warangkanya, tajam terdengar. Senjata
yang berupa golok besar bergerigi itu kini dipamerkan Burdawa dengan
mengangkatnya sejajar dengan dahi.
Jaka yang melihat senjata
milik lawannya langsung berkesimpulan kalau senjata milik Burdawa bukanlah
senjata sembarangan. Jaka merasakan hawa panas yang menyergapnya saat senjata
yang memendarkan sinar samar kemerahan itu lolos dari tempatnya.
"Haaat...!"
Sosok Burdawa kini betul-betul
melesat ke arah Jaka, Golok Darah Mata Tunggalnya pun segera diayunkan ke
bagian dada lawan. Wung! Wung!
Dua kali berturut-turut Golok
Darah Mata Tunggal berkelebat mencari sasaran, namun dua kali itu pula apa yang
dilakukan Burdawa menemui kesia-siaan.
Jaka yang menjadi lawannya
telah menghindari serangan mautnya dengan mengerahkan ilmu 'Lejitan Lidah
Petir' yang bertumpu pada kecepatan gerak yang luar biasa. Tubuh Raja Petir
dengan cepat, layak petir, melesat dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
"Keparat kau, Raja
Sinting! Kulumat tubuhmu! Hiaaa...!" kembali Golok Darah Mata Tunggal
memekik geram setelah mendapatkan serangannya dikandaskan lawan, tubuhnya yang
tinggi besar kini meluruk dengan senjatanya yang terayun-ayun di udara.
Wung...!
"Ups!"
Kembali Jaka bergerak lincah
dan cepat dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu membuat
dirinya terhindar dari senjata maut Burdawa. Si Golok Darah Mata Tunggal
kembali menelan kemangkelan mendapatkan serangannya kembali menerpa tempat
kosong.
Kemangkelan yang tertahan di
dada Burdawa membuat lelaki bermata picak itu menghentikan serangannya sesaat,
dan kesempatan itu segera digunakan Raja Petir untuk mengadakan serangan
balasan. Jurus 'Petir Menyambar Elang' yang merupakan paduan jurus 'Lejitan
Lidah Petir' langsung digelarnya.
"Hiaaa...!"
Layak seekor elang yang hendak
menerkam ikan di dalam laut, sosok Jaka melesat ke arah Burdawa. Gerakannya yang
bagai kilat dengan dua tangan terpentang lebar yang mengarah ke bagian dada dan
kepala dengan leluasa dilakukannya.
Bet! Bet!
Golok Darah Mata Tunggal yang
menyadari serangan balasan Raja Petir terkejut bukan kepalang, akan tetapi
gerakan tiba-tiba yang dilakukannya telah cukup menyelamatkan diri dari
sambaran dua tangan Jaka.
Raja Petir sendiri kagum
dengan kegesitan dan cara mengelak yang dilakukan Burdawa, dan itu membuatnya
ingin mencoba memberikan serangan susulan yang lebih cepat.
"Hiaaa...!"
Tubuh Jaka kembali melayang di
udara dengan dua tangan yang terpentang layak seekor elang terbang. Apa yang
dilakukan Jaka terbaca oleh Burdawa yang seketika itu juga menempatkan Golok
Darah Mata Tunggalnya menyilang di depan dada. Rupanya Burdawa ingin menyambut
serangan Raja Petir dengan menggunakan senjatanya.
Betul saja!
Manakala serangan Jaka
mendekat, Burdawa langsung membabatkan Golok Darah Mata Tunggalnya ke depan.
Wung...!
Bunyi mengaung segera
terdengar ditingkahi dengan teriakan menghindar yang keluar dari mulut Raja
Petir.
Hops! Tuk!
Tanpa disadari Golok Darah
Mata Tunggal, Jaka menggunakan senjata lawannya sebagai landasan untuk
melakukan salto ke udara setelah tangannya dengan cepat menekan batang Golok
Darah Mata Tunggal. Dan ketika sosok Raja Petir sudah berada di belakang
Burdawa, dengan cepat tubuhnya bergerak memberikan tendangan yang mencecar
bagian punggung.
"Hiaaa...!" Begkh!
"Hgkh...!"
Tubuh Burdawa langsung
tersungkur manakala tendangan keras yang dilancarkan Jaka mendarat dengan
tepat, namun patut dipuji daya tahan tubuh si Golok Darah Mata Tunggal, meski
punggungnya mendapatkan hantaman yang keras dirinya masih mampu bangkit dan
berhajat kembali menyerang lawannya.
Namun belum lagi sosok Burdawa
bergerak, Semaga lelaki bertubuh sedang yang bergelar Walet Paruh Racun telah
lebih dulu melesat ke arah Jaka.
"Biar kubantu kau,
Burdawa!" tukas Semaga dengan tubuh yang terus meluruk memberikan serangan
ke arah Jaka.
Lurukan tubuh Semaga yang
begitu cepat dan lincah memang membuat dirinya pantas menyandang julukan Walet
Paruh Racun.
"Haaat...!" Cwit!
"Heh?! Hips!"
Tercekat hati Jaka mendapatkan
serangan aneh yang dilancarkan laki-laki berjubah putih dengan kain warna merah
yang menjuntai menutupi punggung. Serangan yang dilakukan dengan gerakan
menebas menggunakan telapak tangan yang terentang menjelmakan serangkum angin
yang membentuk lempengan setajam mata pisau. Untung saja Jaka cepat bergerak,
melejit ke udara seraya melakukan jungkir balik beberapa kali.
"Hyaaa...!"
"Hiaaat...! Haaa...!"
Baru saja kaki Jaka menginjak
permukaan bumi, Walet Paruh Racun kembali melakukan penyerangan dengan
berteriak lantang, akan tetapi yang datang menyerang bukan hanya dia seorang.
Nampak Kakek Seribu Totokan dan Golok Darah Mata Tunggal ikut menyerbu ke arah
Jaka.
"Kakak! Bebaskan kami!
Biar kami bantu kau!" teriak Setya Wangsakesuma mencemaskan keselamatan
Raja Petir. Biar bagaimanapun juga dia dan saudaranya tak ingin berdiam diri
melihat Jaka diserbu tiga lawan-lawannya yang cukup tangguh. Namun keinginan
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tidaklah tercapai. Raja Petir tak
juga membebaskannya dari lingkaran kuning keemasan yang mengurungnya. Lelaki
tampan murid tunggal Nyi Selasih sibuk menghadapi serangan yang dilancarkan tiga
lawannya.
"Hm.... Aku harus
menggunakan 'Aji BayangBayang' untuk menanggulangi keganasan mereka,"
batin Jaka dalam hati.
Seketika itu juga, selesai
dengan kata batinnya, sosok lelaki tampan yang mengenakan pakaian warna kuning
keemasan bertambah menjadi lima kali lipat banyaknya.
Golok Darah Mata Tunggal,
Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan seketika itu juga menghentikan
gerakannya. Sungguh mereka tak percaya kalau Raja Petir memiliki ilmu yang
begitu tinggi hingga sosoknya bisa bertambah menjadi berkali lima banyaknya.
"Salah satu sosoknya
pastilah yang asli, kita harus pandai-pandai memilih!" ujar Kakek Seribu
Totokan sambil memandang kedudukan lima tubuh Raja Petir yang berdiri sejajar.
"Burdawa, kau serang wujudnya yang paling kanan dan kau Semaga, seranglah
sosoknya yang paling kiri, sedangkan aku akan mengambil yang paling
tengah," lanjut Kakek Seribu Totokan mengatur siasat
Apa yang disiasatkan Kakek
Seribu Totokan memang benar adanya, cuma saja dirinya tak mendapatkan sasaran
yang tepat. Justru Burdawalah yang mendapatkan petunjuk untuk menyerang wujud
Raja Petir yang asli, namun ketika mereka samasama bergerak melakukan
penyerangan, Jaka sudah merubah kedudukannya dengan menempatkan wujud aslinya
pada kedudukan nomor dua paling kanan. Hingga ketika serangan ketiga lawannya
sampai, maka....
Bet! Bet! Cuit!
Wrugkh!
Serangan-serangan yang
dilakukan Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan
ternyata hanya membentur sosok kosong Jaka.
"Keparat!" hardik
Golok Darah Mata Tunggal."
"Sundel!"
Burdawa dan Semaga sama-sama
memaki jengkel karena kegagalan serangannya, cuma Kakek Seribu Totokan yang
diam mencari jalan untuk segera mungkin menaklukkan Raja Petir.
"Kita serang dia dengan
cepat, dan bergantiganti pada semua wujudnya!" ucap Kakek Seribu Totokan
lagi bersiasat.
"Kau benar! Ayo!"
setuju Semaga. Sosoknya melesat mendahului kedua sekutunya.
5
Desa Karang Sedaya yang masih
sepi penduduknya, ternyata menjadi begitu bisingnya karena teriakan-teriakan
keras yang dibarengi nafsu membunuh yang meletup-letup di dada tiga tokoh sesat
yang bergelar Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu
Totokan.
Keadaan Desa Karang Sedaya
sendiri nampak menjadi tak karuan. Di sana-sini mulai nampak tanah yang
berlubang-lubang karena pukulan yang berkekuatan tenaga sakti salah arah,
begitu juga dengan pohon-pohon yang sebagian besar tumbuh di Desa Karang
Sedaya. Beberapa di antaranya bertumbangan terkena pukulan yang luput dari
sasaran.
Kini ketiga tokoh hitam itu
berbarengan meluruk ke arah Raja Petir. Sesuai yang disiasati Kakek Seribu
Totokan, mereka melakukan penyerangan dengan cepat mencecar lima sosok wujud
Jaka.
Hal yang demikian itu tentu
saja membuat Raja Petir harus dengan cepat pula menggeser dan mengubah-ubah
letak kedudukannya.
Berkali-kali Burdawa
menebas-nebaskan goloknya ke bagian-bagian tubuh Jaka yang mematikan, namun
sejauh itu tak satu pun serangan Burdawa yang mengenai sasaran. Begitu juga
dengan keadaan Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan yang tak juga
berhasil menyarangkan tebasan dan totokan tangan mereka yang mematikan.
"Pergunakan racun!"
teriak Semaga tiba-tiba. Tangan kanannya pun seketika itu juga menyelinap cepat
ke balik pakaiannya. Hal serupa juga dilakukan oleh Burdawa dan Niluh Gardela.
Wurrr...!
Tiga tokoh sesat itu
berbarengan melempar senjata-senjata gelap mereka yang mengandung racun cukup
ganas dan mematikan.
Asap warna kemerahan,
kebiruan, dan kehijauan yang dikeluarkan oleh masing-masing senjata rahasia
milik lawan-lawan Raja Petir mengepul ke udara, dan mencoba mengurung kedudukan
Jaka.
Akan halnya Raja Petir yang
sudah terbiasa menghadapi kelicikan lawan-lawannya, maka sedikit pun tak timbul
kegentaran menyaksikan racunracun yang mencoba mengurungnya, meski sesungguhnya
dirinya tak akan terpengaruh oleh racunracun itu, namun serangan membokong
lawanlah yang menjadi perhitungan. Maka seketika itu juga timbul hajat di hati
Jaka untuk mengacaukan asapasap yang membentengi penglihatannya dengan
mengerahkan 'Pukulan Pengacau Arah'. Kedudukan kaki dan kuda-kuda rendah pun
diciptakan Jaka dengan telapak tangan terbuka yang diletakkan di pinggang,
kemudian hentakan kuat pun dilakukannya.
Wrrr...!
Dua rangkum angin yang
bergulung keluar
dari telapak tangan Raja Petir
menghentak keras. Angin yang bergerak layak pusaran itu terus melaju
menyongsong asap-asap beracun yang mengganggu penglihatan Jaka.
Seketika itu juga perubahan
nampak terlihat asap-asap beracun yang mengganggu penglihatannya seketika itu
juga porak-poranda dan nampak ketiga lawannya yang tengah bergerak bermaksud
melakukan serangan membokong.
"Heaaa...!"
"Hiaaa...!"
Karena hatinya yang mulai
dilanda kejengkelan, Jaka ikut berteriak keras, sementara kedua tangannya
kembali menghentak memberikan pukulan jarak jauh.
Wusss! Wusss!
Kembali dua angin
bergulung-gulung menyongsong kedatangan sosok-sosok tokoh sesat yang berhajat
membinasakan Raja Petir. Dan angin bergulung yang keluar berkat ilmu 'Pukulan
Pengacau Arah' itu membuat Burdawa, Semaga, dan Niluh Gardela mengurungkan niat
jahatnya dan melemparkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan untuk mencari
selamat
"Hm.... Ternyata mereka
adalah orang-orang keras kepala yang tak mengerti kata peringatan. Aku harus
mengalah saat ini, biarlah kutunda saja pertarungan ini dengan meninggalkan
mereka," putus Jaka dalam hati. Itu dilakukannya semata demi Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma. Di samping itu juga Jaka ingin cepat-cepat
mengetahui rahasia jati diri dua lelaki kembar itu dan juga hal ikhwal busur
dan panah emas yang menjadi perebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.
Maka ketika Golok Darah Mata
Tunggal, Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan kembali melakukan
penyerangan, dengan sikap seolah-olah hendak menyongsong serangan mereka, tubuh
Jaka mencelat seraya memberikan pukulan jarak jauhnya, maka....
Wusss !
Serangkum angin bergulung
kembali keluar mengancam keselamatan lawan-lawannya, pada saat itulah Jaka
merubah arah lejitannya dan menghampiri dua bocah kembar yang terkurung
lingkaran sinar kuning keemasan.
"Ayo kita tinggalkan
mereka, Dik!" ajak Jaka seraya membebaskan Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma dari kurungan sinar kundng yang tercipta berkat 'Aji Kukuh
Karang'.
Tanpa banyak tanya, Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma langsung berlari menuju utara dengan
menggunakan ilmu lari cepat yang diperoleh dari Kakek Suranggrati. Jaka sendiri
kagum menyaksikan ilmu lari lelaki yang baru berusia tiga belas tahun itu, ilmu
lari yang cukup tinggi untuk ukuran lelaki muda usia seperti mereka.
Setelah menyaksikan lari dua
lelaki kembar hingga mencapai beberapa batang tombak di depan, Jaka menolehkan
wajahnya ke arah tiga tokoh sesat yang tengah bersiap melakukan serangan,
bahkan di antara mereka ada yang bermaksud mengejar Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma. Untuk mencegah maksud jahat Golok Darah Mata Tunggal
beserta kawan-kawannya, Jaka segera saja menggelar 'Pukulan Pengacau Arah'
untuk menahan langkah mereka.
Werrr! Werrr!
Dua kali dengan keras Jaka
menghentakkan tangan kiri dan kanannya, lebih dari tiga rangkum angin bergulung
layak pusaran kembali meluruk cepat ke arah Golok Darah Mata Tunggal, Walet
Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan yang langsung saja melemparkan tubuh
masing-masing demi mencari selamat dari hantaman angin pukulannya yang
menebarkan hawa panas menyengat.
Pada saat lawan-lawannya
bergerak menghindari serangannya, Jaka langsung menghentakkan kakinya
keras-keras. Seketika itu sosoknya yang terbungkus pakaian warna kuning
keemasan berkelebat bagai kilat meninggalkan lawan-lawannya dan menyusuli Darma
Wangsakesuma serta Setya Wangsakesuma yang telah menghindar lebih dulu.
* * *
Tiga lelaki muda usia terlihat
menghentikan lari mereka yang seperti dikejar-kejar setan. Dua lelaki yang
memakai pakaian warna sama memperlihatkan keringat yang mengucur pada dahi dan
keningnya, sementara napasnya yang memburu menandakan bahwa keduanya merasa
terlalu lelah.
Sementara lelaki berpakaian
warna kuning keemasan terlihat biasa-biasa saja, hanya sejentik keringat yang
terlihat menggelantung di dahinya.
"Sebaiknya kita
beristirahat dulu, Dik. Kalian nampak begitu letih," ajak lelaki yang tak
lain adalah Jaka.
"Aku setuju, Kak,"
Setya Wangsakesuma yang menjawab ajakan Raja Petir.
"Aku juga, Kak. Apalagi
perutku terasa lapar seperti ini," Darma Wangsakesuma memegang perutnya
yang dirasakannya perih karena belum terisi makanan semenjak pagi kemarin.
"Ah, kasihan sekali
kalian ini," timpal Jaka. "Mari kita cari tempat istirahat sekaligus
tempat mengi perut," ajak Jaka kemudian.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma kemudian mengikuti langkah kaki Raja Petir yang perlahan dan
berbelok ke arah kanan, tak jauh dari kelokan jalan itulah, pada jarak kurang
lebih sepuluh batang tombak tatapan mata mereka berbenturan dengan sebuah
bangunan yang layak disebut sebuah kedai makan.
"Kalian lihat di depan
sana?" tanya Jaka pada dua lelaki kembar yang kini jadi sahabatnya,
telunjuk kanannya menunjuk ke arah rumah yang beratapkan rumbia.
"Ya," jawab Darma Wangsakesuma.
"Semoga saja itu rumah makan," tambahnya berharap.
"Aku yakin itu kedai
makan, Darma," timpal Setya Wangsakesuma seraya mengayunkan kakinya
cepat-cepat mendahului langkah kaki Jaka.
"Ayo, Kak. Aku sudah
lapar sekali," ajak Setya Wangsakesuma.
Tanpa ada ucapan lagi Raja
Petir dan Darma Wangsakesuma mengayunkan kaki mereka cepatcepat, sepertinya
mereka sedang berlomba untuk lebih dulu sampai di bangunan yang dituju.
"Harapan kita terkabul," tukas Setya Wangsakesuma memastikan, karena memang
dialah yang lebih dulu di depan kedai.
"Kalau begitu mari kita
masuk," ajak Jaka. Tiga lelaki tampan nan muda usia itu kini samasama
melangkah memasuki kedai makan yang bertuliskan 'Kedai Makan Pak Kumis Desa
Tretes Dalem'.
Setelah Darma Wangsakesuma dan
Setya Wangsakesuma dan juga Jaka mengambil tempat duduk di sebelah pojok,
seorang pelayan tua menghampirinya dengan sikap yang penuh hormat.
"Tuan-tuan muda ingin
makan apa?" tanya lelaki berkumis dan berambut putih dengan suara yang
begitu sopan.
"Aku nasi putih dan
panggang ayam, Kek," jawab Darma Wangsakesuma mendahului ucapan Setya
Wangsakesuma yang sudah menggantung di bibir.
"Aku pesan yang
serupa," pinta Setya Wangsakesuma. "Kak Raja Petir pesan apa?"
tanyanya pada Jaka.
Jaka tentu saja tersenyum disebut
dengan 'Kak Raja Petir' oleh Setya Wangsakesuma, seketika itu juga bibirnya
didekatkan ke telinga bocah muda usia yang masih begitu polos.
"Panggil saja Kak Jaka,
jangan menyebutnyebut julukan itu lagi, ya," bisik Raja Petir di telinga
Setya Wangsakesuma.
Lelaki tampan yang saudara
kembar Darma Wangsakesuma menganggukkan kepala, lalu pertanyaan serupa kembali
terucap olehnya: "Kak Jaka pesan apa?"
"Kek, bawakan aku pesanan
yang sama, ya," pinta Jaka pada lelaki tua penjaga kedai.
Lelaki penjaga kedai
menganggukkan kepalanya memenuhi pesanan pengunjungnya, tubuhnya dengan cepat
berbalik ke arah dapur dan tak lama kemudian sudah kembali lagi dengan membawa
makanan yang dipesan tiga lelaki tampan yang duduk di sudut ruangan.
"Ayo kita serbu hidangan
ini," ajak Jaka bernada akrab.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma tentu saja segera melahap hidangan yang membuat terbit selera
makannya, nasi putih dan ayam panggang yang masih hangat membuatnya menyantap
dengan lahap makanan yang ada tanpa menyisakan sedikit pun.
"Kalian mau nambah?"
tanya Jaka kemudian sesaat melihat hidangan sudah berpindah ke perut Darma
Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.
"Tidak, Kak. Nanti aku
tak bisa jalan karena kekenyangan," tolak Darma Wangsakesuma jujur.
Sementara Darma Wangsakesuma
menjawab pertanyaan Raja Petir, lain lagi yang dilakukan Setya Wangsakesuma.
Baru saja lelaki itu memperhatikan seorang lelaki berusia lanjut yang duduk di
bagian sudut di sebelah barat kedai, langsung saja dia mendapatkan isyarat yang
berguna untuknya, saudaranya dan juga Jaka.
Setya Wangsakesuma melihat
lelaki yang berjubah warna tembaga itu mengeluarkan tangannya yang semenjak
tadi hanya tenggelam dalam kantung jubahnya yang longgar, Setya Wangsakesuma
sempat terkejut menyaksikan lengan kakek berjubah warna tembaga itu tidak
memiliki jari.
"Diakah Kakek Saroagung
si Kakek Tanpa Jari?" batin hati Setya Wangsakesuma bertanya-tanya
sendiri. "Aku yakin dia!" putusnya berkeyakinan.
"Kak, sebaiknya kita
dekati kakek berjubah warna tembaga itu," pinta Setya Wangsakesuma pada
Raja Petir.
"Kau punya keperluan
dengannya? Ah, hatihatilah," ucap Jaka mengomentari permintaan Setya
Wangsakesuma.
"Aku kira kakek itulah
yang berjuluk Kakek Tanpa Jari yang kita cari-cari, Kak," ucap Setya
Wangsakesuma mengejutkan Darma Wangsakesuma dan juga Raja Petir.
"Apa alasan keyakinanmu,
Setya?" tanya Darma Wangsakesuma penasaran.
"Barusan aku melihat
tangannya yang tanpa jari," jawab Setya Wangsakesuma tegas dan mantap.
"Kau tak salah lihat?" tanya Darma Wangsa-
kesuma lagi merasa kurang
yakin.
"Untuk apa aku mengajak
Kak Jaka mendekati kakek itu kalau aku tak menyaksikan tangannya yang tanpa
jari," debat Setya Wangsakesuma sewot.
"Sebaiknya kita buktikan
saja sekarang," timpal Jaka menengahi, kemudian dengan langkah kaki ringan
meninggalkan mejanya menghampiri lelaki berusia lanjut yang mengenakan jubah
warna tembaga.
"Maaf, Kek," tutur
Jaka sopan dengan berdiri sedikit membungkukkan badan di hadapan lelaki
berambut panjang digelung ke atas. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
pun melakukan hal yang sama.
Kakek berpakaian warna tembaga
itu sedikit terkejut menghadapi Jaka dan dua lelaki kembar, namun kemudian
dengan sikap sopan dia mempersilakan Jaka dan Setya Wangsakesuma, juga Darma
Wangsakesuma untuk duduk mengisi bangku yang kosong.
"Apa yang bisa aku bantu,
Nak?" tanya kakek berjubah warna tembaga dengan lemah lembut setelah Jaka,
Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma mengambil tempat duduk
masing-masing. "Maaf sebelumnya, Kek. Jika kami bertiga te-
lah membuat hati Kakek gusar
nantinya," ucap Jaka hati-hati. "Kami harap Kakek tidak tersinggung
dengan pertanyaan kami," lanjut Jaka menjaga tata krama bicaranya.
"Katakanlah, Nak. Aku
ingin tahu pertanyaan apa yang akan kalian ajukan," sahut kakek berjubah
warna tembaga berkesan sabar.
"Maaf, barusan kawan saya
menyaksikan lengan Kakek yang tanpa jari. Betulkah begitu, Kek?" tukas
Jaka.
"Betul," jawab kakek
yang duduk tenang di hadapan Raja Petir.
"Keyakinan kawanku ini,
Kakek adalah yang bernama Kakek Saroagung, betulkah begitu, Kek?" tanya
Jaka lagi.
"Hei! Dari mana kalian
tahu nama asliku? Siapa kalian ini?" tanya kakek yang ternyata benar si
Kakek Saroagung. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahunan itu sedikit
mengalami keterkejutan.
"Dari Kakek
Suranggrati," Setya Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan Kakek Saroagung.
"Suranggrati...?!"
6
Kakek Saroagung yang bergelar
Kakek Tanpa Jari terkejut mendengar nama Kakek Suranggrati disebut-sebut oleh
lelaki muda usia yang mengenakan pakaian warna merah darah, ditatapinya wajah
Setya Wangsakesuma dengan tatapan penuh selidik. Kemudian tatapannya berpindah
ke wajah Darma Wangsakesuma.
"Perkenalkan dirimu, Anak
Muda. Dan katakan apa hubunganmu dengan Suranggrati," pinta Kakek Tanpa
Jari pada Setya Wangsakesuma.
"Namaku Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma saudara kembarku," ucap Setya
Wangsakesuma memperkenalkan diri.
Kakek Saroagung
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar tutur kata Setya Wangsakesuma. Hatinya
memang sudah menduga kalau lelaki berusia belasan tahun yang sama-sama
mengenakan pakaian merah adalah sepasang anak kembar. Ada kesimpulan sekilas di
hatinya, kalau merekalah cucu angkat Kakek Suranggrati.
"Kami sudah dianggap cucu
oleh Kakek Suranggrati, bahkan dianggap sebagai anak," ucap Darma
Wangsakesuma menambahkan.
"Sudah kuduga,"
jawab Kakek Saroagung. "Sudah sedemikian besarnya kalian, gagah, dan
tampan," puji Kakek Tanpa Jari.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma tertunduk mendengar pujian Kakek Saroagung, sementara si Kakek
yang memuji kini menancapkan pandangannya lurus ke wajah Raja Petir.
"Kalau aku boleh menduga," ucapnya kemu-
dian tertuju pada Jaka.
"Kaukah lelaki muda yang berjuluk Raja Petir?" lanjut Kakek Tanpa
Jari.
"Orang-orang persilatan
yang menggelariku seperti itu, Kek. Namun aku lebih senang dipanggil dengan
sebutan Jaka," kilah Jaka merendah.
"Persis sekali dengan apa
yang mereka katakan, " bantah Kakek Saroagung. "Ternyata kau memang
seorang pemuda gagah yang tak sombong dengan gelarmu yang hebat, kau seorang
yang rendah hati dan santun budi," puji Kakek Saroagung terang-terangan.
Jaka hanya tertunduk
mendengarkan pujian itu, dia tak tahu harus membantah bagaimana.
"Apakah kalian bertiga
atau tepatnya Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma memang sengaja-sengaja
mencari Kakek karena diutus oleh Kakek Suranggrati?" tanya Kakek Saroagung
pada dua lelaki kembar.
"Betul sekali, Kek,"
jawab Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma bersamaan.
"Jika begitu, mari kita
bicarakan saja segala urusan ini di tempat tinggalku," putus Kakek
Saroagung, kemudian tangannya melambai ke arah penjaga kedai untuk
menyelesaikan pembayaran atas hidangan yang telah dinikmatinya, termasuk
membayari hidangan yang telah lenyap ke perut Jaka, Setya Wangsakesuma, dan
Darma Wangsakesuma.
* * *
Rumah kediaman Kakek Saroagung
yang masih dalam wilayah Desa Tretes Dalem nampak begitu hening. Maklum pada
jarak ratusan meter tak nampak rumah penduduk tetangga Kakek Tanpa Jari.
Jaka, Setya Wangsakesuma, dan
Darma Wangsakesuma duduk di pendopo rumah yang di bagian sudutnya terdapat guci
warna coklat berukiran ular naga yang tengah menjulur-julurkan lidahnya. Dari
guci itu pula Kakek Saroagung menciduk air minum untuk disediakan pada ketiga
tamu mudanya.
"Air ini cukup enak untuk
diminum, dingin seperti air dari pegunungan," tukas Kakek Saroagung seraya
meletakkan air ke hadapan Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma.
"Silakan diminum," lanjutnya mempersilakan.
Jaka dan dua lelaki kembar
langsung mereguk air yang disediakan Kakek Saroagung, mereka langsung merasakan
kebenaran kata-kata si empunya rumah. Air yang diteguknya barusan begitu dingin
membuat tenggorokan terasa sejuk.
"Sekarang ceritakanlah
dari awal, aku ingin mendengarkannya," pinta Kakek Saroagung.
"Terserah Darma Wangsakesuma atau Setya Wangsakesuma yang mewakili,"
lanjutnya menambahi.
"Tiga belas tahun kami
hidup bersama Kakek Suranggrati," ucap Setya Wangsakesuma mewakili
saudaranya bercerita. "Kami hidup bahagia meskipun kehidupan kami terkurung
pada satu tempat dan tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Menjelang usia
kami yang ketiga belas tahun, Kakek Suranggrati memperlihatkan sepasang benda
yang cukup bagus menurut kami, panah dan busur yang terbuat dari logam emas.
Kakek Suranggrati berwasiat agar benda yang menurutnya adalah milik sah kami
dan harus diserahkan pada Raja Petir untuk diselamatkan, karena menurut Kakek
Suranggrati, hanya Raja Petirlah tokoh yang mampu menyelamatkan panah dan busur
emas dari tangan tokohtokoh sesat yang juga mendambakannya untuk dimiliki,
namun sebelumnya kami harus menemui Kakek Saroagung untuk mendapatkan petunjuk
akan jatidiri kami yang sesungguhnya baru kemudian sama-sama mencari Raja Petir
untuk menyerahkan panah dan busur emas, tapi kenyataannya kami bertemu lebih
dulu dengan Raja Petir," papar Setya Wangsakesuma panjang lebar.
"Beruntung sekali kalian
bertemu lebih dulu dengan Raja Petir. Kalau tidak, senjata maut yang berada di
tangan kalian akan jatuh ke tangan orangorang yang tidak bertanggung jawab,"
sahut Kakek Saroagung. "Terima kasih kuucapkan padamu, Jaka," tambah
Kakek Saroagung sambil menolehkan kepalanya pada Jaka.
Jaka sempat tersipu
menyaksikan apa yang dilakukan lelaki tua yang berjuluk Kakek Tanpa Jari,
hingga dirinya tak kuasa berkata apa-apa atas ucapan terima kasih yang
disampaikan Kakek Saroagung.
"Sesungguhnya aku tak
akan pernah tahu akan hal ikhwal jatidiri kalian seandainya saja aku tak
diberitahu oleh Adik Pradipta," buka Kakek Saroagung mengawali ceritanya.
"Dari dialah aku tahu kalau kau anak seorang raja dari Kerajaan Watu
Sanjai."
"Kami anak raja? Ah,
kenapa Kakek Suranggrati tak menceritakannya?" tanya Darma Wangsakesuma
lepas kendali.
"Tentu saja Suranggrati
tak menceritakannya, karena dia tak mengetahui," kilah Kakek Tanpa Jari
tenang.
Setya Wangsakesuma tertunduk
malu.
"Pada waktu Adi Pradipta
menyerahkan bayi kembar yang baru berusia tiga bulan, dia memang tak bercerita
apa-apa pada Suranggrati. Adi Pradipta hanya menyerahkan dua bayi kembar untuk
dirawat sebaik mungkin dan juga menyerahkan panah dan busur emas untuk disimpan
dan kemudian diserahkan pada si Bayi jika sudah besar. Setelah berpesan seperti
itu Adi Pradipta langsung kembali ke Kerajaan Watu Sanjai," sampai di situ
Kakek Saroagung menghentikan ceritanya, tatapan matanya tertuju ke wajah Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang dengan begitu sungguh-sungguh
mendengar ceritanya.
"Siapakah Pradipta itu?
Mengapa menyerahkan kami pada Kakek Suranggrati? Dan apa yang sesungguhnya
terjadi di dalam Kerajaan Watu Sanjai, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma
cukup cerdik.
"Pradipta adalah abdi
setia Raja Watu Sanjai, dia dengan berani membawa kabur diri kalian karena dia
tak ingin kalian dipelihara oleh orang yang telah melenyapkan rajanya sendiri,
orang yang telah membunuh ayahmu, Sunan Jagat Sena," jelas Kakek
Saroagung.
"Siapakah orangnya,
Kek?" desak Darma Wangsakesuma penasaran.
"Mahapatih Paksa Dahana.
Orang kepercayaan ayahmu," jawab Kakek Saroagung mantap. Seketika itu juga
kegeraman melanda hati Setya Wangsakesuma hingga tak sadar tinjunya yang
terkepal melayang ke udara.
"Kau memang wajib marah,
Setya," ucap Kakek Tanpa Jari.
Sementara Jaka yang
mendengarkan penuturan Kakek Saroagung yang panjang lebar tak memberikan reaksi
apa-apa, dirinya cuma bisa mengasihani nasib Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma, namun di hati Raja Petir terbersit keinginan untuk membantu bocah
kembar itu jika memang mereka berminat merebut kembali mahkota raja yang
terlepas dari kepala ayahnya.
"Lalu apakah patih laknat
itu yang kini menduduki jabatan sebagai Raja Watu Sanjai, Kek?" tanya
Darma Wangsakesuma setelah berhasil meredakan amarahnya.
"Betul. Dan dia berkuasa
dengan kesewenangannya.
"Lalu apakah Ibu kami
masih hidup?" tanya Setya Wangsakesuma.
"Ya. Dalam tahanan bawah
tanah," jelas Kakek Saroagung.
"Patih laknat!" maki
Darma Wangsakesuma
sewot
"Kenapa rakyat tidak
memberontak manakala
rajanya dan permaisuri
dilakukan sedemikian itu?" "Rakyat
tidak bisa berontak karena akal
licik
Patih Paksa Dahana yang
bekerja sama dengan seorang perempuan cantik yang berjuluk Bidadari Penyamar.
Bersamanya pembunuhan berencana terhadap ayahmu terlaksana tanpa menimbulkan
kecurigaan orang-orang yang setia pada rajanya.
Pembunuhan itu dilaksanakan seolah-olah raja mengalami kecelakaan dengan
kuda tunggangannya saat mengunjungi rumah seorang sahabat karibnya, dan si
Bidadari Penyamar itu menggantikan kedudukan Nyi Paramesti Dewi yang sampai
saat ini masih mendekam dalam ruang tahanan bawah tanah," tukas Kakek
Tanpa Jari berusaha menjelasi sejelasjelasnya.
Tangan Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma sama-sama terkepal menahan amarah yang meletup-letup,
sementara wajah mereka memerah karena usahanya menekan amarah sebisa mungkin.
"Jika aku boleh ikut
bicara, kiranya masih hidupkah lelaki bernama Pradipta yang telah berjasa
menyelamatkan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, Kek?" tutur Jaka
ikut bicara.
"Pradipta telah tewas di
tangan Bidadari Penyamar yang memiliki kesaktian cukup tinggi," jawab
Kakek Tanpa Jari.
Untuk sesaat suasana di
pendopo kediaman Kakek Saroagung menjadi hening, tak lagi terdengar
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
pada lelaki berusia lanjut yang berjuluk Kakek Tanpa Jari.
"Apakah kalian berniat
merebut kembali tahta singgasana kerajaan yang kini diduduki oleh Patih Paksa
Dahana?" tanya Kakek Saroagung kemudian memecah keheningan.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma sama-sama melemparkan pandangannya ke wajah Kakek Saroagung, namun
dari mulut mereka tak keluar sepatah kata pun.
"Kakek akan membantu
kalian untuk itu," ujar Kakek Saroagung dengan tatapan yang sebentar
kemudian beralih ke wajah Jaka. "Kakek rasa Raja Petir pun dengan senang
hati akan membantu kalian," lanjutnya menambahkan.
"Aku ingin kita
membebaskan ibu terlebih dulu, Kek. Kasihan dia tersiksa selama belasan tahun,
meringkuk dalam sel bawah tanah yang tak layak bagi seorang permaisuri
raja," ucap Saroagung tak menjawab pertanyaan Kakek Tanpa Jari.
"Setelah Ibu terselamatkan, baru kita pertimbangkan kembali pertanyaan
Kakek barusan. Aku yakin banyak orang-orang kerajaan, orang-orang istana yang
masih memihak pada Ibu jika mereka tahu siapa sesungguhnya Nyi Paramesti Dewi
yang kini menjadi pendamping patih laknat itu, dan aku yakin pula kalau mereka
yang sesungguhnya setia pada raja dan permaisuri yang sah akan membantu kita
sepenuh hati, meski nyawa yang menjadi taruhannya," lanjut Setya
Wangsakesuma dengan ucapan yang penuh semangat.
Kakek Tanpa Jari
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tentu saja, Setya. Yang pertama kali
harus kita lakukan adalah menyelamatkan ibumu.
Dan untuk itu kita harus mengatur siasat secermat dan setepat mungkin.
Kakek pribadi akan meminta bantuan pada sahabat-sahabat Kakek yang memiliki
ilmu silat tingkat tinggi, juga meminta bantuan orang-orang dalam istana yang
setia. Pradipta telah menyebutkan nama-nama orang dalam istana jika suatu saat
aku ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan kalian berdua."
"Terima kasih, Kek,"
ucap Darma Wangsakesuma. Hatinya terasa gembira mengingat rencana mereka untuk
menyelamatkan ibu kandungnya.
"Lalu bagaimana dengan
tokoh-tokoh golongan hitam yang berniat memiliki panah dan busur emas
ini?" tanya Setya Wangsakesuma kemudian.
"Kita memang harus
menghadapi mereka untuk mempertahankan benda peninggalan orangtua mu, Setya. Di
antara tokoh-tokoh sesat itu, bukan mustahil ada yang sengaja diutus Mahapatih
Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar," papar Kakek Tanpa Jari menjelaskan.
"Berarti kita harus
menyingkirkan mereka terlebih dahulu, Kek," ujar Saroagung.
"Ya," mantap jawaban
yang dilakukan Kakek Saroagung. "Namun menyingkirkan bukan berarti harus
membinasakan mereka," lanjutnya menjelasi. "Bukan begitu, Jaka?"
"Betul, Kek," jawab
Jaka.
Kakek Saroagung tersenyum
dengan jawaban Raja Petir, lalu katanya kemudian, "Untuk hari ini,
beristirahatlah kalian hingga esok. Dan setelah fajar menyingsing, baru
sama-sama kita mendatangi rumah kediaman Kakek Rangsasana, dia sahabatku yang
juga teman seperguruan Bidadari Penyamar. Kakang Rangsasana juga ahli dalam
penyamaran dan menyamarkan orang lain, karenanya kita sangat membutuhkan
bantuannya."
"Kakek memanggil Kakek
Rangsasana sebagai 'Kakang', itu berarti umur Kakek Rangsasana lebih tua
darimu. Dan beliau adalah teman seperguruan si Bidadari Penyamar. Apakah si
Bidadari Penyamar itu adalah orang yang juga sudah lanjut usia?" tanya
Jaka. "Betul. Usianya kurasa sebaya denganku," jawab Kakek Saroagung.
"Namun kurasa setiap lelaki akan tergiur menyaksikan si Bidadari Penyamar
yang bertubuh bagus dan menantang, wajahnya yang cantik layaknya perempuan yang
berumur belasan tahun. Entah ramuan apa yang diminumnya hingga dirinya menjadi
awet muda seperti itu," lanjut Kakek Tanpa Jari menjelaskan.
Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma yang mendengarkan ucapan Kakek Saroagung terbelalak kaget, mana
ada orang tua yang memiliki para secantik perempuan umur belasan tahun, begitu
batin Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma berkata-kata, namun tidak
demikian halnya bagi Jaka. Sepenuhnya dia tak meragukan penjelasan Kakek
Saroagung. Di kalangan dunia persilatan banyak berkembang ilmu-ilmu dan
ramuan-ramuan yang membuat manusia-manusia menjadi awet muda, bahkan Jaka
pernah mendengar kalau ada seorang tokoh persilatan yang memiliki 'Ramuan
Keabadian'.
"Nah, manfaatkanlah waktu
istirahat kalian dengan baik agar besok kita dapat lebih siap menghadapi
orang-orang sesat maupun orang-orang suruhan si Bidadari Penyamar. Jika kalian
ingin tidur, ada tiga kamar di bagian belakang yang selalu terawat
bersih," ujar Kakek Tanpa Jari.
"Kalau begitu kami ke
belakang dulu, Kek," ujar Jaka.
"Kami juga, Kek,"
timpal Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma bersamaan.
Kini di pendopo hanya tinggal
Kakek Tanpa Jari yang memandang sosok Raja Petir dan dua lelaki kembar putra
dari Kerajaan Watu Sanjai.
7
Saat matahari terjaga dari
peraduannya, kokok ayam hutan pun bersahut-sahutan menyongsong datangnya pagi.
Saat itulah empat lelaki tengah berjalan gagah ke arah Selatan, keluar dari
desa yang bernama Tretes Dalem. Nampaknya empat lelaki itu tengah menuju sebuah
daerah gunung batu yang menjadi batas wilayah Desa Tretes Dalem dengan Desa
Warakula.
"Masih jauhkah kediaman
Kakek Rangsasana, Kek?" tanya lelaki muda usia yang tak lain adalah Darma
Wangsakesuma. Memang terlihat kalau Darma Wangsakesuma sudah tak sabaran untuk
segera tiba di tempat tujuan, maklum, dia ingin cepatcepat berbuat sesuatu
untuk menyelamatkan ibunya.
"Setengah hari perjalanan
lagi, Nak," jawab Kakek Tanpa Jari.
"Bagaimana kalau kita
tempuh saja dengan menggunakan ilmu lari cepat, biar lebih cepat sampai,"
usul Setya Wangsakesuma yang juga mengalami perasaan sama dengan saudara
kembarnya.
"Kakek setuju saja.
Bagaimana dengan kau, Jaka?" lemparnya ke arah Jaka.
"Aku menurut saja apa
yang Setya dan Darma ingini," jawab Jaka.
"Jika begitu, mulailah
kalian berlari," perintah Kakek Saroagung pada dua lelaki kembar.
Tanpa menunggu lama Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma sudah melesat cepat menggunakan ilmu
larinya yang cukup tinggi, Kakek Saroagung dan Jaka hanya memandangi tingkah
anak kembar itu dengan sesungging senyum.
"Ayo, Jaka. Hops!"
Kakek Saroagung menghentakkan kakinya dengan keras, seketika itu juga tubuhnya
melayang deras, jelas lelaki berusia enam puluh tahunan itu berlari dengan
menggunakan ilmu lari cepat yang dibarengi dengan ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi.
"Hups!"
Jaka pun melakukan hal yang
sama, melesat cepat menggunakan ilmu lari cepatnya.
Namun belum lagi setengah pal
jarak yang ditempuh Jaka, dia melihat kalau Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma, juga Kakek Saroagung menghentikan larinya. Di depannya nampak
menghadang dua orang lelaki bertubuh tegap yang mengenakan pakaian rompi warna
coklat, sementara di belakang dua lelaki berkepala gundul itu nampak belasan
lelaki bersenjata golok.
"Kau kenal mereka,
Kek?" tanya Raja Petir pada Kakek Tanpa Jari.
Kakek Saroagung menganggukkan
kepala. "Dua lelaki itulah yang bergelar Dua Iblis Gunung Batu, sedangkan
belasan lelaki bersenjata golok itu, pastilah anak buahnya," jelas Kakek
Saroagung.
"Apakah mereka
menginginkan juga panah dan busur emas?"
"Dugaanku begitu,"
jawab Kakek Saroagung dengan langkah kaki yang terayun mendahului kedudukan
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
"Tuan-tuan muda yang
gagah, kami minta dengan rendah hati, berilah kami sedikit jalan," ucap
Kakek Saroagung mantap dan berkesan tenang.
"Ha ha ha...! Ha ha
ha...!"
Ucapan Kakek Tanpa Jari
dibalas dengan tawa yang terkesan begitu merendahkan.
"Jika kau ingin berlalu dari
tempat ini dengan selamat, harap tinggalkan dua lelaki kembar itu!" keras
ucapan yang dilontarkan salah seorang dari dua lelaki yang mengenakan rompi
warna coklat. Lelaki itu mengenakan anting-anting besar di telinga bagian kiri.
Tubuhnya yang tegap berisi menampakkan otot-otot yang melingkar-lingkar.
"Apa yang kalian inginkan
dari kedua cucuku ini?" tanya Kakek Saroagung sambil menyentuh bahu Setya
Wangsakesuma.
"Dirinya! Dan juga panah
dan busur emas miliknya," jawab lelaki lain yang mengenakan antinganting
besar pada telinga bagian kanan.
"Permintaan kalian itu
sungguh tak masuk di akal! Mana mungkin aku mau menyerahkan cucuku pada orang
yang bejad seperti kalian, apalagi dengan panah dan busur emas itu,"
bantah Kakek Saroagung.
"Jika kalian ingin
selamat cepat serahkan bocah-bocah itu dan juga benda yang kumaksud!"
bentak lelaki beranting-anting besar di telinga kiri. "Aku Junali tak akan
segan-segan menurunkan tangan maut!" lanjut lelaki yang mengaku bernama
Junali.
"Ya. Cepat! Jangan tunggu
Sunawi bertindak kasar!" timpal temannya yang lain.
Kakek Saroagung menatap wajah
Jaka sebelum meladeni ucapan lelaki yang bernama Junali dan Sunawi.
"Apakah menurutmu yang pantas kita lakukan untuk mereka, Jaka?!"
tanya Kakek Tanpa Jari.
"Bagaimana jika kutantang
kedua lelaki itu dalam beberapa jurus?" usul Jaka menimpali pertanyaan
Kakek Tanpa Jari.
"Silakan, Jaka,"
setuju lelaki lanjut usia yang mengenakan jubah warna tembaga.
Mendengar persetujuan Kakek
Tanpa Jari, tanpa menunggu waktu lama kaki Raja Petir langsung terangkat
beberapa tindak mendekati dua lelaki bertubuh tegap yang berjuluk Dua Iblis
Gunung Batu.
"Maaf tuan-tuan yang
gagah berani," ujar Jaka ketika langkahnya terhenti pada jarak kurang
lebih tiga batang tombak dari hadapan orang-orang yang menghadang
perjalanannya. "Bukannya kami tak ingin mengabulkan permintaan, namun ada
satu syarat yang harus kalian penuhi jika ingin mendapatkan adik-adik kami dan
juga panah dan busur emas milik mereka," lanjut Jaka berujar.
"Apa syarat itu?!"
tanya Junali bernada membentak.
"Kalian harus bisa
menundukkanku hanya dalam sepuluh jurus, lebih dari itu harap kalian sudi
merelakan kami pergi meninggalkan tempat ini," jawab Jaka tegas.
"Ha ha ha...!"
Persyaratan yang diajukan Jaka
disambut tawa meleceh yang keluar dari mulut Dua Iblis Gunung Batu serta
belasan pengikutnya.
"Dalam lima jurus pun
kepalamu kurasa sudah terpisah dari badan, Anak Muda!" ledek Sunawi.
"Aku ingin bukti akan ucapanmu itu, Sunawi!" tantang Jaka lantang.
Merah padam wajah Sunawi
mendengar tantangan itu, maka langkah kakinya pun segera tercipta dua tindak.
"Ayo Junali, kita
hancurkan bocah ingusan yang tak tahu diri ini," ajak Sunawi pada Junali.
"Ayo," timpal
Junali.
Dengan memasang kuda-kuda
rendah, Sunawi dan Junali sama-sama mengambil ancang-ancang untuk melakukan
penyerangan. Nampak bagian tangan dua lelaki yang berjuluk Dua Iblis Gunung
Batu menegang kaku, jelas terlihat kalau mereka tengah menyalurkan tenaga
dalamnya untuk menyerang Raja Petir.
"Yeaaah...!"
Tubuh Sunawi melesat lebih
dulu daripada Junali. Tangannya yang terkepal terangkat di sisi kepala.
"Yeaaat...!"
Selang beberapa saat Junali
melakukan hal yang sama. Kini keduanya sama-sama bergerak menyerang dari dua
arah.
Bet! Bet!
Raja Petir bergerak-gerak
lincah dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Tentu saja gerakannya
yang cepat itu membuat Dua Iblis Gunung Batu menemui kesukaran untuk
menyarangkan serangannya, kemarahannya pun mulai berkobar.
"Setan belang!" maki
Junali kasar. "Keparat!" hardik Sunawi geram.
"Jangan cuma bisa memaki,
Tuan-tuan yang gagah. Ayo keluarkan jurus andalan kalian," tantang Jaka
penuh ejekan.
"Sombong kau!"
bentak Junali. "Belum pernah kau rasakan kehebatan jurus 'Dua Iblis
Melebur Gunung'," lanjut Junali seraya menyebutkan nama jurus andalannya.
"Jurus 'Dua Iblis
Mengaduk Comberan' pun tak akan aku takuti," ledek Jaka lagi. Sengaja itu
dilakukan Jaka untuk memancing kemarahan lawan lebih jauh, karena dengan
kemarahan lawan yang menjadi-jadi, dengan sendirinya mereka tak memperhatikan
kekosongan pertahanannya, dengan begitu Jaka tak akan menjumpai kesulitan untuk
menyarangkan serangan balasan.
Ternyata pancingan Jaka
mendapat hasil. Dengan tatapan mata membara bagai mata seekor harimau, Dua
Iblis Gunung Batu menggereng murka. "Hrghghg...! Kau memang harus
dibinasakan, Bocah! Yeaaat..!"
Dua lelaki bertubuh tinggi
besar dan mengenakan rompi warna coklat melesat cepat menyerang seorang pemuda
tampan yang berjuluk Raja Petir. Dua lelaki yang mengenakan sebelah anting itu
kini melakukan penyerangan tidak dengan tangan kosong. Junali dan Sunawi telah
menghunus senjatanya yang berupa tombak tanggung kembar.
Wut! Wut! Plak! Plak!
Sengaja Jaka tidak mengelakkan
serangan pertama yang datangnya melalui tangan Junali, dia ingin tahu sejauh
mana kekuatan tenaga dalam lawan, itu makanya Jaka hanya menangkis luncuran dua
mata tombak yang mengancam bagian dada dan perutnya. Akibat dari tangkisan
Jaka, sosok Junali nampak terhuyung tiga langkah ke belakang, lelaki itu
merasakan tangannya linu seketika. Hal seperti itu jelas menandakan tenaga
dalamnya kalah dibanding dengan tenaga dalam yang dimiliki Jaka.
Sunawi yang menyaksikan Junali
terhuyung mundur, seketika itu juga menambahkan kekuatan tenaga dalamnya pada
luncuran tombaknya yang terarah ke bagian dada.
"Yeaaat..!"
Di luar dugaan Sunawi, Jaka
tak bergeming dari kedudukannya. Lelaki yang bergelar Raja Petir seperti
sengaja menyongsong kedatangan mata tombak dengan dada dan perutnya yang tanpa
dilindungi apa-apa, akan tetapi....
Trak! Trak!
Sunawi terpental mundur saat
senjatanya menghujam keras bagian dada dan perut Jaka yang telah dilindungi
kekuatan tenaga dalam yang jauh di atas kekuatan tenaga dalam lawan, maka bukan
hanya tubuh Sunawi yang terpental, tapi juga senjatanya yang jadi patah menjadi
dua bagian.
Untuk memberikan peringatan
pada lawannya, tubuh Jaka melejit dengan cepat menggunakan jurus 'Petir
Menyambar Elang'.
Tuk! Tuk!
Dua kali totokan tangan Jaka
mendarat di bagian tubuh Sunawi, hingga lelaki berkepala gundul itu ambruk di
tanah dan tak mampu bangkit untuk melanjutkan pertarungan karena tubuhnya sudah
tertotok lumpuh.
"Bagaimana, Junali?
Kawanmu ini sudah tak punya daya apa-apa untuk melanjutkan pertarungan, apakah
kau akan menghadapiku seorang diri?" tanya Jaka sambil menuding sosok
Sunawi yang tergeletak tak berdaya.
"Hhh!" Junali
mendengus marah, namun dia tak segera melakukan sesuatu untuk membuktikan kalau
dirinya tak gentar untuk meneruskan pertarungan.
"Kalau kau takut
melanjutkan pertarungan, aku memberimu kebebasan untuk segera pergi dari
sini," ucap Jaka lagi.
"Hhhs!" Junali
kembali mendengus. "Kali ini aku mengaku kalah, tapi tidak untuk lain
kali!" lanjutnya ketus.
"Lain kali aku yang
mengalah, tuan yang gagah. Karena kita tak pernah punya sengketa satu sama
lain," kilah Jaka. "Sekarang pergilah dan bawa temanmu itu! Jangan
tunggu kawan-kawanku marah!" tambah Jaka sambil melempar pandangan ke arah
Kakek Tanpa Jari dan Setya Wangsakesuma, juga Darma Wangsakesuma yang semenjak
tadi hanya menjadi penonton.
Junali menggerakkan tangannya
memberi isyarat pada belasan lelaki bersenjata golok agar tiga orang maju
membopong tubuh Sunawi.
"Tak akan kami lupakan
penghinaan ini!" ucap Junali tegas. "Lain kali pasti kupenggal
kepalamu! Sekarang aku ingin kau menyebutkan nama dan julukanmu?" pinta
Junali sebelum berlalu dari hadapan Jaka.
"Namaku, Jaka," ucap
Jaka-memenuhi permintaan Junali. "Orang-orang menjulukiku sebagai Raja
Petir," lanjutnya dengan suara datar.
"Raja Petir?!" ada
nada keterkejutan yang terucap dari penyebutan nama julukan Jaka. Mata Junali
pun nampak menyimpan keterkejutan yang sama.
ku."
"Begitulah orang-orang
memanggil julukanku."
Tanpa berkomentar
lagi Junali menghentakkan kakinya
cukup keras dan berlalu begitu saja dari hadapan Jaka. Tiga lelaki yang
membopong tubuh Sunawi pun melakukan hal yang sama, diikuti dengan belasan
lelaki bersenjata golok yang juga berlalu dari hadapan Jaka mengikuti ketua
mereka.
"Ternyata hanya sebegitu
nyali mereka," usik Kakek Tanpa Jari setelah Dua Iblis Gunung Batu dan
belasan anak buahnya berlalu dari pandangannya.
polos.
"Kak Jaka hebat,"
puji Setya Wangsakesuma
"Iya. Gerakan Kakak
ringan dan cepat," timpal
Darma Wangsakesuma
ikut-ikutan."Kalian terlalu mengada-ada," kilah Jaka merendah.
"Ah, ayo kita lanjutkan perjalanan ini," pintanya kemudian.
8
"Saroagung!" sambung
lelaki berusia lanjut ketika si Kakek Tanpa Jari, Raja Petir dan Setya
Wangsakesuma juga Darma Wangsakesuma bam saja melintasi tumpukan batu-batu
sebesar perut kerbau yang mengapit jalan selebar dua batang tombak, sebuah daerah
yang masih masuk dalam kawasan Desa Warakula.
"Kakang Rangsasana!"
sambut Kakek Tanpa Jari. Kemudian tangannya yang tak memiliki satu jari pun
digenggam erat jari-jari tangan Kakek Rangsasana.
"Aku butuh
bantuanmu," tanpa basa-basi Kakek Tanpa Jari langsung mengucapkan tujuan
kedatangannya.
"Jangan khawatir,"
timpal Kakek Rangsasana seraya mempersilakan mereka masuk ke rumah yang
dikelilingi oleh bebatuan sebesar perut kerbau.
Kakek Tanpa Jari pun langsung
membuka percakapan dengan memperkenalkan diri Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma berikut kejadian yang dialami raja dari Kerajaan Watu Sanjai yang
tak lain adalah ayah kandung Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma. Kakek
Saroagung juga menceritakan cita-citanya untuk membebaskan permaisuri raja yang
sampai saat ini masih mendekam dalam tahanan bawah tanah, di samping itu juga
Kakek Saroagung memperkenalkan Raja Petir.
"Sungguh aku tak percaya
kalau hari ini akan kedatangan tamu yang namanya bergema di seluruh persada
persilatan. Sungguh suatu kebanggaan bagiku," ucap Kakek Rangsasana ketika
tahu kalau pemuda yang berpakaian warna kuning keemasan adalah Raja Petir.
"Ah, jangan terlalu
membesar-besarkan, Kek," kilah Jaka tak enak hati. "Yang jelas
kedatanganku bersama Kakek Saroagung adalah untuk meminta bantuan," lanjut
Jaka merendah.
"Kita sama-sama membantu
Darma dan Setya, " ujar Kakek Rangsasana masih tetap meninggikan kedudukan
Jaka"Tentu, Kek," sambut Jaka mantap.
"Setelah mendengar cerita
kalian di benakku langsung terselip sebuah rencana yang mudahmudahan bisa
kalian setujui, namun sebelumnya aku akan memberitahukan dulu pada Jaka, Darma
Wangsakesuma, dan Setya Wangsakesuma bahwa orang yang menjabat sebagai
permaisuri raja saat ini adalah adik seperguruanku. Kalau saja Kakek Saroagung
tak menceritakan persoalan ini padaku, mungkin sampai mati aku tak akan
mengetahui di mana Nyi Ganda Laras berada," ujar Kakek Rangsasana
menjelasi. "Ada satu masukan yang patut kalian ketahui, termasuk oleh Adi
Saroagung. Itu jika kalian semua memang belum tahu," lanjut Kakek
Rangsasana.
"Apa itu, Kakang?"
tanya Kakek Tanpa Jari ingin tahu.
"Pihak kerajaan tengah
mengadakan sayembara," beritahu Kakek Rangsasana.
"Sayembara?" ulang
Darma Wangsakesuma. "Ya. Busur emas yang kalian milikilah yang sedang
disayembarakan pihak kerajaan, ini pasti keinginan Patih Paksa Dahana dan Nyi
Ganda Laras. Akan tetapi bukan hanya benda itu yang diingini, diri Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma juga menjadi tujuan dari sayembara itu.
Dalam isi pengumuman sayembara yang disaksikan oleh dua orang muridku
mengatakan kalau dua lelaki kembar berusia lebih kurang tiga belas tahu
didapati memiliki panah dan busur emas, maka keduanya harus dibawa serta ke
kerajaan hidup-hidup," tandas Kakek Rangsasana.
"Lalu apa rencana Kakek Rangsasana?"
desak Darma Wangsakesuma tak sabar.
"Salah satu di antara
kalian harus ada yang mengikuti sayembara itu," jawab lelaki bertubuh
tinggi dengan sorot mata yang masih memperlihatkan ketajamannya.
"Bagaimana kalau Jaka
yang mengikuti," usul Kakek Tanpa Jari. "Aku yakin Kakang bisa
menyamarkannya menjadi seorang persilatan yang tak dikenal," lanjut Kakek
Saroagung.
"Aku setuju dengan usulan
Adi Saroagung, bagaimana denganmu, Jaka?" lempar Kakek Rangsasana pada
Raja Petir.
"Aku bersedia,"
sahut Jaka mantap. Mendengar kesanggupan Raja Petir, Kakek Rangsasana langsung
menyusun siasat, selain Jaka yang disamarkan, dua muridnya juga disamarkan
sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma dan dijadikan umpan untuk
menghadap raja. Kakek Rangsasana yakin kalau Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma tidak akan dibunuh setelah diserahkan ke kerajaan akan tetapi akan
dijebloskan ke dalam tahanan menemani ibunya, agar semuanya bisa merasakan
betapa tidak enaknya hidup di tahanan untuk selama-lamanya. Dia juga
menjelaskan dugaannya, kalau Jaka juga akan mendapatkan perlakuan yang tidak
adil. Bukan hadiah besar yang akan didapatkan Jaka, tetapi dirinyalah yang akan
dijebloskan ke dalam tahanan. "Jika siasat dan dugaanku benar, maka dalam
tahanan itulah Jaka dan juga kedua muridku merencanakan sebuah pelarian
menyelamatkan permaisuri. Keyakinanku juga mengatakan kalau di dalam tahanan
itu juga sudah dibangun sebuah jalan rahasia yang cuma diketahui oleh raja yang
sah, yakni ayah Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, dan orang kedua yang
tahu adalah istrinya. Hal seperti itu kurasa telah dipikirkan ayahmu yang
berpikiran panjang akan adanya pengkhianatan di suatu saat nanti, dan
seandainya mereka dipenjarakan, jalan keluar untuk menyelamatkan diri sudah
ada," papar Kakek Rangsasana panjang lebar, dan siasat itu sepertinya
disetujui orang-orang yang mendengarnya.
"Lalu mengapa ibuku tak
menyelamatkan diri melalui jalan rahasia itu?" tanya Setya Wangsakesuma
polos.
"Mungkin saja ibumu,
meski berada di dalam tahanan tapi juga ditambahkan dengan pemasungan kakinya,
atau mungkin juga seorang yang pintar telah menotok anggota tubuh ibumu, hingga
dirinya tak kuasa bergerak sedikit pun dari kedudukannya," jelas Kakek
Rangsasana.
"Laknat!" maki Setya
Wangsakesuma geram.
Jaka sudah disamarkan sebagai
tokoh yang tak dikenal, yakni mengaku sebagai Joko Galung Mata Tunggal,
sedangkan dua murid Kakek Rangsasana menyamar sebagai dua anak kembar dari
Kerajaan Watu Sanjai. Mereka kini tengah bergerak ke wilayah selatan menuju ke
Kerajaan Watu Sanjai. Untuk menghindari kecurigaan dari orang-orang persilatan
yang mengetahui akan adanya panah dan busur emas, maka benda itu disembunyikan
Raja Petir di balik pakaian penyamarannya yang longgar.
Sementara Kakek Rangsasana menghubungi
teman-teman yang berilmu tinggi untuk membantu penyerbuan ke Kerajaan Watu
Sanjai, Kakek Tanpa Jari segera bekerja menyatroni orang-orang dalam yang
pernah disebutkan Pradipta, yang sebenarnya teramat setia pada rajanya yang
sah. Mereka adalah para punggawa yang menangani pasukan berpedang dan panah.
Dan juga orang-orang dalam kerajaan yang berpengaruh, yang kesetiaannya pada
ayah kandung Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak lagi diragukan.
Kakek Rangsasana dan Kakek
Tanpa Jari berharap penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai berhasil baik dengan
tidak banyak mengambil korban, tapi kedua kakek berpengalaman itu yakin kalau
korban bisa ditekan sekecil mungkin mengingat banyak orang-orang kerajaan yang
berpihak pada raja yang sah, yang telah mati akibat kejahatan patihnya.
* * *
Dengan menggunakan ilmu lari
cepatnya, Raja Petir yang menyamar sebagai Joko Galung Mata Tunggal dan dua
murid Kakek Rangsasana yang menyaru sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma sudah tiba di depan tembok pembatas kerajaan dengan dunia luar.
Sesuai siasat mereka, kedua murid Kakek Rangsasana diikat dengan rantai baja
yang sengaja dibawanya.
Selesai menyelesaikan
sandiwaranya, Jaka segera melangkahkan kakinya, membawa Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma palsu ke muka pintu gerbang pembatas. Dua orang prajurit
jaga yang melihat kedatangannya langsung mendekat dan bertanya dengan ketus.
"Mau apa kau?" tanya
seorang prajurit jaga yang bercambang bauk tebal.
"Tolong pertemukan aku
dengan Yang Mulia Raja Paksa Dahana, katakan kalau aku Joko Galung Mata Tunggal
ingin menyerahkan hasil sayembara!" ucap Jaka tegas.
Salah seorang prajurit jaga
itu langsung menghadap atasannya yang juga langsung menghadap pada Yang Mulia
Raja Paksa Dahana.
"Cepat bawa masuk orang
itu ke hadapanku!" perintah Yang Mulia Raja Paksa Dahana tegas. Nampak
keangkuhannya begitu nyata. Dia berdiri begitu berwibawa di sisi Bidadari
Penyamar yang didampingi oleh tiga lelaki gagah perkasa yang masing-masing
mengenakan pakaian hitam, putih, dan merah. Merekalah tokoh-tokoh sesat
berkepandaian tinggi yang sengaja disewa untuk memperkuat kedudukannya sebagai
raja dan permaisuri.
Abdi setia raja yang
diperintahkan membawa Joko Galung Mata Tunggal datang menghadap bersama Raja
Petir yang menyamar. Raja Petir begitu tiba di hadapan raja langsung berlutut
memberi hormat
"Maaf kalau hamba terlalu
lancang berani menghadap," ucap Jaka sopan.
Yang Mulia Raja Paksa Dahana
hanya membalas ucapan Jaka dengan senyuman yang lebih pantas disebut sebagai cibiran.
"Aku sudah menyaksikan
bocah kembar yang kau bawa, sekarang perlihatkan benda yang kumaksud!"
pinta Yang Mulia Raja Paksa Dahana.
Jaka langsung mengeluarkan
panah dan busur emas dari balik pakaiannya dan menyerahkannya dengan hikmat ke
hadapan raja.
"Ha ha ha.... Kau memang
hebat! Kau patut mendapatkan hadiah!" ucap Yang Mulia Raja Paksa Dahana
setelah meneliti benda di tangannya. "Kau lihat, Permaisuriku, betapa
menakjubkannya benda ini," lanjutnya seraya menyerahkan panah dan busur
emas ke tangan Bidadari Penyamar.
"Kau memang hebat, Joko
Galung," puji Bidadari Penyamar setelah mengamati benda di tangannya.
"Kau akan kujamu sekarang juga," lanjutnya, kemudian dengan suara
tegas dia memerintahkan untuk menyiapkan jamuan buat Joko Galung Mata Tunggal.
Sementara Raja Paksa Dahana memerintah yang lain untuk menjebloskan Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma ke dalam tahanan bawah tanah disatukan
dengan ibunya.
Ketika jamuan untuk Raja Petir
sudah siap, raja dan permaisuri langsung memerintahkan Joko Galung Mata Tunggal
untuk segera menikmatinya.
Akan tetap baru satu tegukan
Jaka mereguk air yang disediakan, kepalanya tiba-tiba merasakan pusing yang
luar biasa. Lantai kerajaan yang dipijaknya seperti telah memutar tubuhnya
hingga dirinya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
"Ha ha ha...!" Raja
Paksa Dahana tertawa keras melihat Joko Galung Mata Tunggal ambruk.
"Kurung dia di tempat yang sama! Jadikan satu!" perintahnya kemudian.
Abdi setia yang mendapatkan
perintah itu langsung membopong tubuh Joko Galung Mata Tunggal ke rumah tahanan
di bawah dan memasukkannya menjadi satu dengan Nyi Paramesti Dewi yang tengah
meringkih tak berdaya dan dua anak buah Kakek Rangsasana yang menyamar sebagai
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
Manakala prajurit kerajaan
sudah berlalu dari ruang tahanan, Jaka langsung membuka matanya. Memang
sesungguhnyalah Jaka sedikit pun tak terpengaruh oleh air minum beracun yang
disuguhkan Raja Paksa Dahana, cuma ketika dia meminum setegukan, dan ketika
kepalanya merasa pusing Jaka langsung bersiasat berlagak pingsan.
"Kita harus bergerak
cepat, Tuan Putri. Sebentar kemudian kawan-kawanku akan menyerbu ke kerajaan
ini. Kau harus segera dibebaskan," ucap Jaka setelah mendekati tubuh lemah
Nyi Paramesti Dewi.
jut.
"Siapa kau?" tanya
Nyi Paramesti Dewi terkejut.
"Nanti Tuan Putri akan
tahu, sekarang apakah Tuan Putri tahu adanya jalan rahasia di tempat ini?"
tanya Jaka kemudian.
Meski benaknya dipenuhi
keheranan, Nyi Paramesti Dewi menganggukkan kepalanya juga dan menunjukkan
letak kunci pembuka pintu rahasia.
"Bagaimana cara
membukanya, Tuan Putri?" tanya Jaka.
Nyi Paramesti Dewi
memerintahkan Jaka untuk menggoreskan jari telunjuknya secara menyilang
sebanyak lima kali pada dinding. Jaka segera saja melakukannya. Hasilnya....
Dinding tebal itu sedikit demi
sedikit berputar, dan Raja Petir langsung saja memerintahkan anak buah Kakek
Rangsasana untuk membopong tubuh Nyi Paramesti Dewi keluar dari ruang tahanan
yang begitu pengap, dan dinding tebal itu pun kembali tertutup ketika kaki Jaka
telah menginjak lorong rahasia.
"Berjalanlah lurus ke
depan, lalu belok kanan dan terus ke kanan dan melakukan belokan ke kanan
sebanyak tiga kali, di situlah kita akan menemukan dunia luar," beritahu
Nyi Paramesti Dewi yang langsung diikuti oleh Jaka dan si Kembar Palsu.
"Aku yakin kawan-kawan
sudah menunggu," ucap Jaka ketika sudah sampai pada belokan ketiga ke
kanan. "Dan kau akan bertemu dengan anakmu yang asli, Tuan Putri,"
lanjut Jaka membuat Nyi Paramesti Dewi terperangah, namun permaisuri raja yang
sah itu tak bertanya untuk menuntaskan ketidakmengertiannya.
"Kita sudah berada di
luar," ucap salah seorang murid Kakek Rangsasana.
"Ya, kita sudah berada di
luar, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan ke mana?" tanya Jaka pada Nyi Paramesti
Dewi.
"Terus ke kanan,"
perintah Nyi Paramesti Dewi. "Kita akan bertemu pada sebuah hutan yang
berada di luar perbatasan tembok kerajaan. Hutan Jatilada," lanjut Nyi
Paramesti Dewi memberitahu.
Tanpa membuang waktu Jaka
langsung bergerak ke arah kanan menuju hutan Jatilada. Dan bukan main
gembiranya hati Jaka ketika dia menyaksikan orang-orangnya tengah berkumpul di
hutan itu.
"Kakek Saroagung, Kakek
Rangsasana!" ucap Jaka gembira.
"Jaka," sambut Kakek
Tanpa Jari dan Kakek Rangsasana serempak.
"Bagaimana rencana
selanjutnya?" tanya Jaka kemudian.
"Orang-orang dalam
kerajaan sudah ku hubungi, mereka siap berpihak pada kita, mereka akan bergerak
dari dalam, membungkam pasukan yang setia pada raja palsu itu! Dan sekarang
bawa permaisuri ke tempat yang aman dengan dijaga beberapa orang, sementara
yang lainnya ikut menyerbu ke dalam," jelas Kakek Tanpa Jari.
Jaka menganggukkan kepalanya,
kemudian tatapan matanya berkeliling memandangi orangorang yang mendukung
penyerbuan ini. Jaka tak mengenal mereka, tapi Jaka yakin kalau mereka
berkepandaian tinggi, itu dapat dilihat dai sorot mata mereka yang tak seperti
sorot mata orang biasa.
Setelah Nyi Paramesti Dewi
dibawa ke tempat yang aman, Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari, juga Raja
Petir, dan yang lainnya segera bergerak menyerbu Kerajaan Watu Sanjai.
Kedatangan rombongan yang
hendak menyerbu terlihat oleh beberapa prajurit penjaga gerbang pembatas,
mereka langsung melaporkan pada rekannya, namun ternyata tak semua mau menerima
laporan itu, bahkan yang tak mau itu langsung memberikan serangan yang
tiba-tiba.
Pada saat prajurit jaga yang
berpihak pada tempat yang berbeda saling baku hantam, rombongan Raja Petir
langsung masuk setelah menghancurkan pintu gerbang.
Keadaan semakin bertambah
kacau ketika sebagian pasukan panah yang berpihak pada Raja Paksa Dahana
menghujani anak-anak panahnya ke arah rombongan yang bam saja datang, namun
anak-anak panah itu tidak ada artinya bagi tokohtokoh berkepandaian tinggi.
Twang...! Twang...!
Berkali-kali panah-panah maut
itu mengincar rombongan Kakek Rangsasana, namun itu bisa dihalau hanya dengan
menggerakkan tangan dengan cepat
Pertarungan menjadi semakin
sengit ketika pasukan-pasukan yang lain ikut membantu penyerangan. Di samping
itu orang-orang sewaan Raja Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar sendiri sudah
turun gelanggang pertarungan.
"Biar aku yang menghadapi
si Bidadari Penyamar itu, kalian boleh mencari lawan yang lain," ucap
Kakek Rangsasana pada Kakek Tanpa Jari, Raja Petir, dan beberapa orang tokoh
persilatan sahabat Kakek Rangsasana.
Ucapan Kakek Rangsasana
langsung dipatuhi. Dan Jaka langsung bergerak menghadapi dua lelaki yang
berjuluk Dua Naga Sisik Racun dengan senjatanya yang berupa pecut ular yang
langsung meledak-ledak mencari sasaran di tubuh Raja Petir.
Cletar! Cletar!
"Ups!"
Jaka mengelakkan sambaran
pecut itu dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', namun kemudian
dirinya menukik turun layak kilat dengan menggunakan jurus 'Petir Menyambar
Elang' guna membalas serangan lawan.
Bet! Bet!
Dua kali sambaran tangan Jaka
yang mengarah ke salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk Dua Naga Sisik
Racun dapat dielakkan, namun ketika Jaka bersalto seraya memberikan tendangan
lurus mengarah dada, lelaki itu hanya terbengong menanti serangan susulan Jaka
yang datangnya cepat bagai kilat
Blagkh!
Lelaki berkumis tipis itu
mengerang kesakitan ketika tendangan keras Jaka mendarat tepat di bagian
dadanya. Tubuhnya langsung terpental sejauh tiga batang tombak.
Kenyataan itu membuat kawannya
naik pitam, lalu dengan sengit menyerang Jaka dengan menggunakan pecut ularnya.
Cletar! Traps!
Di luar dugaannya pecut itu
ditangkap Jaka dengan tangan telanjang. Lelaki berkumis tebal yang berjuluk
Naga Sisik Racun itu terkejut, lalu berusaha mengerahkan tenaganya untuk
menarik pulang senjatanya, akan tetap tenaga Jaka ternyata lebih kuat sehingga
tubuh lelaki itu tersentak ke depan.
Bletak!
Lawan Jaka terpekik keras saat
menerima pukulan yang mengenai rahangnya. Dia langsung terhempas ke tanah dan tak
kuasa untuk bangkit.
Pada saat itu Jaka menyaksikan
kelebatan seorang lelaki berpakaian kebesaran seorang raja yang hendak
menghantamkan serangannya pada Setya Wangsakesuma yang sudah tergeletak di
tanah.
Plak!
Hadangan tangan Jaka yang
bergerak cepat membuat niat Raja Paksa Dahana yang hendak membinasakan Setya
Wangsakesuma gagal. Raja gadungan itu murka bukan kepalang, seketika itu juga
serangan-serangan mautnya dilancarkan ke arah Jaka.
Bet! Bet!
Pukulan-pukulan berkekuatan
tenaga dalam tinggi dilancarkan Paksa Dahana, namun satu pun tak ada yang
mendapatkan tempat di tubuh Raja Petir yang bergerak lincah menggunakan jurus
'Lejitan Lidah Petir'.
"Kau harus mampus di
ujung senjataku ini!" Srat!
Raja Paksa Dahana meloloskan
senjatanya, bersamaan dengan itu tubuhnya langsung mencelat hendak menikam
tubuh Jaka.
Wut...!
Jaka mengelakkan serangan
dengan menarik tubuhnya ke samping kiri. Kemudian....
"Awaaas...!" sebuah
perintah diteriakannya bersamaan sikutnya yang bergerak ke rusuk Raja Paksa Dahana,
namun lelaki itu terlambat untuk mengelak.
Bletuk!
Raja Paksa Dahana berteriak
kesakitan, tubuhnya terhuyung ke belakang dua tindak, bersamaan dengan itu,
sosok si Kembar berkelebat dengan pedangnya yang terayun ke udara.
Tlas! Bret!
Pekik kematian seketika itu
juga terdengar mengiringi ambruknya tubuh Raja Paksa Dahana dengan leher yang
hampir terbabat putus dan perut yang terkoyak lebar hingga memburaikan ususnya.
Pada saat yang hampir
bersamaan, jerit kematian susul-menyusul pun terdengar bergantian. Sosok
orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa Dahana satu persatu bertumbangan di
tangan kawan-kawan Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari.
"Hentikan pertarungan
ini! Dan lihatlah, raja gadungan yang kalian bela sudah mati, jadi untuk apa kalian
bertarung!"
Teriakan Jaka yang lantang
membuat pertarungan seketika terhenti. Berpasang-pasang mata langsung terarah
menatap mayat Raja Paksa Dahana.
"Kalau kalian mau
menyerah, maka hukuman akan menjadi lebih ringan!" ucap Jaka lagi, dan
ternyata ucapan itu membawa hasil. Orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa
Dahana semuanya melemparkan senjata ke tanah.
"Giring mereka ke dalam
tahanan!" perintah Setya Wangsakesuma tegas.
Selagi prajurit-prajurit yang
setia menggiring prajurit-prajurit yang salah jalan, Jaka sibuk mencari-cari
Kakek Rangsasana dan Bidadari Penyamar. "Ke mana Kakek Rangsasana?"
tanya Jaka
pada Kakek Tanpa Jari.
"Dia tengah mengejar
Ganda Laras, saudara perguruannya yang menyamar sebagai permaisuri," jawab
Kakek Saroagung. "Mungkin dia ingin menyadarkan kekeliruan saudaranya
itu," lanjutnya.
Jaka tak mengomentari lagi
ucapan Kakek Saroagung, langsung kakinya kemudian terangkat menghampiri Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
"Kemelut sudah berlalu,
Setya, Darma. Aku gembira," ucap Jaka pada Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma.
"Itu berkat jasamu,
Kak," kilah Darma Wangsakesuma.
"Jika kau merasa aku ini
berjasa, Kakak harap kau mau memberikan jasa pula untuk orang lain, untuk
rakyatmu jika suatu saat kalian menduduki jabatan sebagai pemimpin," tutur
Jaka lemah lembut.
"Kami akan berusaha untuk
itu, Kak," timpal Setya Wangsakesuma.
"Bagus! Dan sekarang
Kakak permisi dulu, masih banyak pekerjaan lain yang harus Kakak
selesaikan," tandas Raja Petir.
"Kenapa begitu
tergesa-gesa, Kak. Kami senang kalau Kakak tinggal bersama kami dalam beberapa
hari, atau selamanya di sini," tahan Darma Wangsakesuma.
"Lain kali, jika ada
waktu Kakak pasti singgah ke tempat ini, sekarang Kakak permisi dulu."
"Tunggu dulu, Kak. Bukankah
kami telah diamanati oleh Kakek Suranggrati untuk menyerahkan panah dan busur
emas?" ujar Setya Wangsakesuma.
Jaka tersenyum mendengar
ucapan itu.
"Pasti benda itu disimpan
di kamar pribadi Paksa Dahana, biar kucari dulu, Kak," tukas Setya Wangsakesuma
seraya bergerak masuk ke dalam istana kemudian kembali dengan membawa benda
yang dibungkus kain sutera putih.
"Aku hanya menemukan
busurnya saja, Kak. Entah di mana anak panahnya," ucap Setya Wangsakesuma
kecewa.
"Busurnya pun tak
mengapa, Setya," ujar Jaka menenteramkan hati Setya Wangsakesuma.
"Jika suatu saat anak panah itu diketemukan, simpanlah olehmu
baik-baik," lanjutnya.
"Tentu, Kak," sahut
Setya Wangsakesuma. "Sekarang Kakak permisi."
Setelah berpamitan pada Kakek
Tanpa Jari, Raja Petir langsung menghentakkan kakinya dan pergi berlalu dengan
cepat diiringi dengan tatapan mata Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
yang merasa berhutang budi.
SELESAI
No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 21: Perburuan Busur Maut"
Post a Comment