Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 18: Misteri Arca Singa

Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari

Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 18:  Misteri Arca Singa

1

Desa Granggas nampak menyajikan keindahan, saat matahari mengintip malu-malu sebelum keluar dari peraduannya. Dan manakala cahayanya yang bening menebar, suasana terlihat menjadi lebih jelas. Suasana pagi yang cerah ini, tiba-tiba ditingkahi oleh....

"Haiiit..!"

Terdengar pekik menggelegar di pagi yang baru saja disirami lembutnya cahaya matahari. Tampak seorang gadis cantik berusia tak lebih dari sembilan belas tahun tengah bergerak cepat Tubuhnya mencelat ke udara, sedangkan tangannya bersiap-siap melecutkan selendang warna merah dadu.

"Hiyaaa...!" Glar!

Brak!

Sebatang pohon besar kontan tumbang ketika ujung selendang merah dadu itu menghantamnya. Memang cukup mengagumkan apa yang telah dilakukan gadis cantik berpakaian sutera putih mengkilat itu.

"Bagus! Bagus sekali ilmu yang kau kuasai itu, Nalar"

Kekaguman itu tak mampu disembunyikan oleh seorang lelaki berusia setengah baya yang sejak tadi memperhatikan gadis baju putih yang memperagakan kebolehannya. Nampak senyumnya tak putus memperhatikan gadis itu. "Kau telah sempurna menguasai jurus 'Pukulan Selendang Merah'," lanjut lelaki berpakaian warna putih. Di pinggangnya nampak terselip sebilah pedang cukup panjang bergagang kepala singa.

"Ah, Ayah," gadis cantik berwajah putih yang dipanggil Nalar itu tersipu malu mendengar pujian ayahnya. "Jangan terlalu membesarbesarkan seperti itu. Ayah. Nanti kepala Nalar tambah besar."

Kemudian gadis yang bernama Dewi Nalar itu segera berlari kecil menghampiri ayahnya. Sementara lelaki yang bernama asli Ki Sapartoga pun melakukan hal yang sama. Segera disambutnya keberhasilan putri tunggalnya.

"Ayah barusan tidak main-main, Nalar. Kau memang pantas untuk mendapatkan pujian itu. Ah! Kalau saja ibumu menyaksikannya sekarang, betapa bahagianya dia," desah Ki Sapartoga. Tatapan matanya tertuju lurus pada wajah cantik Dewi Nalar.

Dari tatapan mata yang seolah tak berkedip itu, rentetan peristiwa masa lalu tiba-tiba kembali terbayang. Ki Sapartoga teringat istrinya yang bernama Nyi Istari, terbunuh di tangan Lima Jin Gunung Sampa, melalui tangan Jamtana. Dan di tangan Lima Jin Gunung Sampa juga Perguruan Singa Emas yang dipimpinnya runtuh.

Peristiwa menyakitkan itu terjadi pada sembilan tahun silam, yakni ketika Dewi Nalar baru berusia sepuluh tahun. Pada malam itu, ketika purnama sedang memancarkan sinarnya yang putih keperakan, lima sosok lelaki bertubuh besar tahu-tahu muncul dan mengamuk bagai banteng luka di Perguruan Singa Emas.

Seluruh murid Perguruan Singa Emas dibantai habis. Ki Sapartoga dan Nyi Istari pun tak tinggal diam. Ki Sapartoga yang banyak makan asam garam dunia persilatan, mencoba menghadap Lima Jin Gunung Sampa dengan kelembutan tutur kata, meskipun murid-muridnya tewas terbantai.

Namun setelah melihat kekurangajaran Lima Jin Gunung Sampa yang merendahkan Ketua Perguruan Singa Emas, maka kemarahan Ki Sapartoga pun tak mampu terbendung. Apalagi setelah orang tertua dari Lima Jin Gunung Sampa menyinggung-nyinggung masalah Arca Singa Emas. Katanya, sebenarnya benda itu milik leluhur Lima Jin Gunung Sampa yang telah dicuri seorang tokoh sakti yang tak lain dari Raja Rantai Emas, guru Ki Sapartoga sendiri. Dan setelah Raja Rantai Emas wafat, Arca itu diserahkan pada Ki Sapartoga.

Atas kemarahan Ki Sapartoga yang tak terkuasai itulah, maka pertarungannya melawan Lima Jin Gunung Sampa tak dapat dihindari. Dan nyatanya Lima Jin Gunung Sampa lebih unggul dalam segala hal.

Dalam pertarungan mempertahankan harga diri itu, Nyi Istari yang merupakan istri Ki Sapartoga tewas. Sedangkan Ki Sapartoga sendiri, setelah berpikir jernih demi kelangsungan dan kebaikan hidup Dewi Nalar yang baru berusia sepuluh tahun, berusaha melarikan diri. Dia membawa serta putrinya dan Arca Singa Emas yang tengah diincar Lima Jin Gunung Sampa.

"Kenapa Ayah melamun?" kata Dewi Nalar mengejutkan Ki Sapartoga.

"Eh, ah "

Ki Sapartoga nampak gelagapan. Bayangan masa lalu yang melintas sesaat, kini lenyap.

"Ayah pasti tengah mengingat ibu," duga Dewi Nalar, menanggapi keterpakuan ayahnya.

Ki Sapartoga mengangguk pelan membenarkan dugaan anaknya.

"Kau begitu mirip ibumu, Nalar. Itulah yang membuatku tak kuasa melupakannya. Apalagi, melupakan kejadian menyakitkan itu," tukas Ki Sapartoga dengan suara terdengar sendu.

"Bukankah Ayah sering mengajarkan padaku untuk melupakan peristiwa pahit itu?"

"Betul, Nalar," jawab Ki Sapartoga. "Tapi manusia kadang-kadang sulit melakukannya, meskipun kita sudah berusaha sebisanya. Ayah tahu, masa lalu adalah masa yang tak mungkin bisa terulang. Seperti kebersamaan kita dulu dengan ibumu. Sesungguhnya, ayah mendambakan hal itu terulang kembali. Tapi, mana mungkin?"

"Ah! Sebaiknya kita mencoba terus untuk melupakannya, Ayah. Kalau tidak, batin kita akan tersiksa terus-menerus," hibur Dewi Nalar sambil menggelayuti lengan ayahnya. "Sebaiknya, aku memperagakan ilmu-ilmu yang lain, ya Ayah?"

Sesaat Ki Sapartoga menatap wajah pu-

trinya. "Ya. Lakukanlah dengan sungguhsungguh," ujar Ki Sapartoga dengan suara tegas dan berwibawa.

Gadis cantik berpakaian sutera putih mengkilat itu tersenyum, sebelum benar-benar memperagakan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya. Hatinya gembira menyaksikan ketegaran kembali hinggap pada diri ayahnya.

"Hups!"

Dewi Nalar melompat pendek. Kakinya yang kembali menjejak tanah dengan kuda-kuda rendah, begitu kokoh. Kemudian, mulai ditunjukkannya jurus-jurus ampuh menggunakan tangan pada sikap menebas, menotok dan meninju.

Angin berdecit terdengar dari setiap gerakan menyerang yang dilakukan Dewi Nalar dalam penggunaan tenaga dalam tinggi.

"Hops!"

Tiba-tiba saja Dewi Nalar melompat ke udara, melakukan putaran tubuh dua kali.

"Hup!" Plash!

Sebuah tendangan memutar saat kedua kaki menyentuh tanah dilakukan Dewi Nalar. Begitu cepat dan keras tendangannya. Dua kali berturutturut tendangan memutar itu dilakukan. Dan ketika berada satu langkah di depan sebatang pohon sebesar pelukan anak lelaki, maka tendangan lurus disertai pengerahan kekuatan tenaga dalam penuh langsung dilepaskannya.

"Haaat..!" Drugh! Brakkk!

Pohon yang terhajar tendangan keras Dewa Nalar ambruk seketika. Sedangkan gadis itu berjumpalitan ke udara, menghindari pecahan batang pohon dan tanah yang terbongkar.

"Hops!" Jliegkh!

"Bagus! Bagus sekali penguasaan ilmu menyerang dengan kaki dan tanganmu, Nalar. Ayah senang sekali melihat perkembangan ilmumu yang begitu pesat," puji Ki Sapartoga.

"Aku pun senang dengan anakmu itu, Sapartoga!" sambut sebuah suara cukup keras.

"Heh?!"

***

Ki Sapartoga dan Dewi Nalar kontan menoleh ke arah datangnya suara. Pada saat itulah tampak sesosok tubuh keluar dari semak-semak, lalu mendarat ringan di hadapan Ki Sapartoga dalam jarak tiga batang tombak.

"Datuk Lingga Merah!" sebut Ki Sapartoga.

Seruan Ki Sapartoga keluar bersamaan dengan rasa keterkejutannya, menyaksikan kehadiran tokoh sakti golongan hitam yang sama sekali tidak diduga.

"Bagus kalau kau masih ingat denganku, Sapartoga!"

Suara yang keluar dari mulut lelaki tinggi kekar yang di punggungnya tersandang sebuah senjata berupa tombak panjang bermata tiga itu terdengar berat.

Ki Sapartoga mengembangkan senyum mendengar ucapan Datuk Lingga Merah, sebagai tanda kalau tengah berusaha tenang.

"Ah! Mana mungkin aku melupakanmu, Datuk Lingga Merah. Ada keperluan apakah kiranya hingga kau jauh-jauh menemuiku?" kata Ki Sapartoga, dengan suara diatur sesopan mungkin.

Datuk Lingga Merah tak segera menjawab pertanyaan Ki Sapartoga. Tatapan matanya kini tertuju tepat ke seraut wajah cantik milik Dewi Nalar.

Sementara itu, Dewi Nalar hanya memegangi tangan ayahnya. Memang, dia merasa kikuk ditatap sedemikian rupa oleh Datuk Lingga Merah.

"Persoalan sebelas tahun silam sebetulnya belum tuntas, Sapartoga," kata Datuk Lingga Merah, seraya mengalihkan tatapannya ke wajah Ki Sapartoga. "Namun persoalan itu akan kuanggap selesai, jika Arca Singa Emas kau berikan padaku. Dan jangan lupa, perkenankan putrimu untuk  ikut bersamaku."

"Tutup mulut busukmu itu, Tua Bangka!" bentak Dewi Nalar, membalas kekurangajaran Datuk Lingga Merah.

Datuk Lingga Merah hanya tersenyum mendengar bentakan putri Ki Sapartoga itu.

"Kalau sedang marah seperti itu, aku semakin menyukaimu, Nini," sahut Datuk Lingga Merah, menimpali kemarahan Dewi Nalar.

"Tua bangka gendeng!" maki Dewi Nalar seraya mengangkat kaki kanannya hendak menyerang Datuk Lingga Merah. "Sabar, Nalar!"

Namun gerakan Dewi Nalar terhalang suara Ki Sapartoga yang tegas melarangnya. Ki Sapartoga segera meraih pergelangan tangan anaknya.

"Dia bukan tandinganmu," bisik laki-laki setengah baya itu.

"Biarkan anakmu bermain-main sebentar denganku, Sapartoga," ucap Datuk Lingga Merah. "Anakmu jangan dikekang sedemikian rupa. Biarkan dia menikmati masa mudanya denganku!"

Seketika merah padam wajah Ki Sapartoga mendengar ucapan bernada kotor yang keluar dari mulut Datuk Lingga Merah.

"Semakin tua, ternyata kau semakin bejat saja, Datuk Gila!" maki Ki Sapartoga tak terkendali. "Langkahi dulu mayatku kalau ingin bersenangsenang dengan anakku dan menguasai Arca Singa Emas milik leluhurku!"

"Ha ha ha.... Nyalimu sekarang besar juga, Sapartoga. Aku suka itu. Tapi, apa kau mampu menghadapi datuk yang menguasai daerah selatan?" ledek Datuk Lingga Merah dengan tawanya yang keras.

"Jangan sombong, Datuk Botak! Sepuluh lelaki tua macam kau pun, aku tak gentar," balas Ki Sapartoga.

"Baik! Jangan menyesal kalau kau harus mampus saat ini juga. Dan putrimu bisa jadi istriku. Demikian pula Arca itu! Ha ha ha. Bersiap-

lah menjemput kematianmu, Sapartoga!"

Usai berkata demikian, Datuk Lingga Merah membawa maju kakinya satu langkah ke depan.

Kemudian....

Prrok! Prok! Prok!

Telapak tangan datuk sesat dari selatan itu bergerak melakukan tepukan isyarat. Maka seketika berlompatan sosok-sosok berpakaian hitam. Dan ternyata enam lelaki berpakaian hitam satu persatu mendarat ringan di sisi kanan Datuk Lingga Merah. Tatapan mata mereka langsung tertuju pada seraut wajah cantik milik Dewi Nalar.

"Kalian ringkus gadis cantik itu!" perintah Datuk Lingga Merah. "Tapi awas jangan sampai terluka."

Enam lelaki bertampang kasar berpakaian hitam dan bersenjatakan golok itu segera bergerak, memenuhi perintah junjungannya. Mereka segera menyebar, mengurung sosok cantik dan anggun Dewi Nalar.

Sementara itu, Datuk Lingga Merah sudah bergerak ke arah Ki Sapartoga.

"Kita mulai sekarang saja, Sapartoga!" tegas Datuk Lingga Merah.

"Hm...," Ki Sapartoga hanya bergumam tak

jelas.

***

Pertarungan antara Ki Sapartoga menghadapi Datuk Lingga Merah tak dapat dihindari lagi. Begitu juga dengan putri bekas Ketua Perguruan Singa Emas. Gadis itu kini harus berhadapan dengan enam lelaki berpakaian hitam-hitam yang bersenjatakan golok terhunus. Tampak golok-golok mereka berkilatan tertimpa sinar matahari.

"Hiyaaa...!"

"Haaat..!"

Dua lelaki berpakaian hitam langsung menyerbu dari samping kiri dan kanan. Golok yang teracung-acung di atas kepala menimbulkan bunyi menderu. Jelas serangan kedua lelaki itu disertai pengerahan tenaga dalam.

Akan tetapi, Dewi Nalar bukanlah gadis cantik yang berotak tumpul. Ingatannya yang kuat pada kata-kata Datuk Lingga Merah yang melarang enam lelaki anak buahnya ini untuk tidak melukainya, membuat Dewi Nalar tak gentar menghadapi serangan itu. Gadis itu yakin, serangan yang dilakukan dua lelaki ini hanyalah gertak sambal belaka.

Dan ketika serangan itu tiba, Dewi Nalar segera bergerak lincah dan menyambut serangan dengan tangan kosong.

"Haiiit...!" "Hih!"

Sodokan tangan Dewi Nalar mencoba masuk ke rusuk kiri lawan yang berada di kiri. Sedangkan kaki kanannya bergerak menendang, mencecar bagian perut lawan yang menyerang dari samping kanan. Melihat hal itu, dua lelaki itu langsung mendoyongkan tubuhnya.

"Uts!"

Pertarungan antara Dewi Nalar menghadapi enam lelaki berpakaian hitam berlangsung kurang menarik. Namun, tidak bagi pertarungan antara Ki Sapartoga menghadapi Datuk Lingga Merah.

Pertarungan hidup dan mati itu berlangsung cukup alot dengan tempo yang cepat.

"Mampus kau, Sapartoga!" Wuttt!

"Uts!"

Tubuh Ki Sapartoga melenting ke belakang, ketika Datuk Lingga Merah menghunjamkan tombak bermata tiga ke bagian dada. Indah dan cepat gerakan menghindar ayah kandung Dewi Nalar ini, sehingga dirinya terhindar dari incaran mata tombak milik lelaki berkepala gundul sebelah yang berjubah loreng merah itu.

Jligkh!

Tubuh Ki Sapartoga kembali mendarat lunak di tanah. Tatapan matanya langsung tertuju  ke arah wajah Datuk Lingga Merah.

"Hm...," gumam Datuk Lingga Merah mendapatkan serangannya berhasil digagalkan lawan. "Itu baru serangan awal, Sapartoga. Jangan berbangga hati dulu."

"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Datuk Sesat! Atau kau ingin mampus di tanganku!" balas Ki Sapartoga, tak kalah sengit.

"Keparat!" hardik Datuk Lingga Merah seraya menyilangkan senjata di depan dada. "Kau terima jurus 'Menusuk Rembulan'-ku ini! Hiyaaa...!"

Tubuh Datuk Lingga Merah kembali melesat cepat ke arah Ki Sapartoga. Tombaknya yang masih tersilang di atas dada belum digeser sedikit pun. Namun dua langkah lagi tubuh Ki Sapartoga terjangkau, kaki Datuk Lingga Merah menghentak ke arah kiri. Kemudian tombak bermata tiganya dilepas dengan kekuatan tenaga dalam tinggi, terarah ke pelipis kanan Ki Sapartoga.

Siiing...!

Cepat bagai kilat tombak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah meluncur. Namun Ki Sapartoga bukanlah orang yang baru kenal ilmu silat. Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya dilengkungkan ke belakang, hingga telapak tangannya menyentuh tanah.

Cara menghindar yang dilakukan Ki Sapartoga memang cukup tepat. Terbukti, senjata yang dilempar Datuk Lingga Merah tak menjumpai sasaran.

"Huh!"

"Hop!"

Datuk Lingga Merah yang menyaksikan serangannya gagal, segera mengejar tombaknya yang terus meluncur. Cukup mengagumkan gerakan datuk sesat dari selatan ini. Tak heran kalau tombak yang tengah meluncur cepat berhasil dikejarnya.

Tap!

Senjata berupa tombak bermata tiga itu kembali berada di genggaman tangan Datuk Lingga Merah. Lalu kembali dihampirinya Ki Sapartoga yang sudah bersiap-siap menghadapi serangan berikutnya.

"Tak kusangka kalau perkembangan ilmu silatmu cukup pesat, Sapartoga!" ucap Datuk Lingga Merah memuji. "Namun sebaiknya, kegagalanku jangan dianggap remeh. Karena, seranganseranganku barusan hanya sekadar menguji kemampuanmu."

"Itu hanya cara untuk menutupi rasa malu atas kegagalanmu, Datuk Gundul!" timpal Ki Sapartoga meledek.

"Cabut pedangmu, Sapartoga!" bentak Datuk Lingga Merah keras.

"Untuk apa?" tanya Ki Sapartoga meledek. "Untuk   memperlambat   kematianmu!  Aku

tak sudi lawanku mati tanpa perlawanan berarti!" "Tunjukkan     dulu    sesumbarmu,   Datuk

Edan!" tukas Ki Sapartoga.

"Setan alas! Rupanya kau memang betulbetul sudah bosan hidup! Ayo, jaga ilmu 'Tombak Maut Datuk Sakti'" ujar Datuk Lingga Merah seraya mengangkat senjatanya sampai sebatas leher. Lalu senjata itu diputar-putar dengan kecepatan mengagumkan.

Wuk! Wuk!

Bunyi putaran tombak Datuk Lingga Merah cukup keras. Bahkan Ki Sapartoga yang menyaksikannya jadi bergetar hatinya.

"Hm.... Kali ini ilmunya benar-benar dikeluarkan. Aku harus hati-hati," gumam Ki Sapartoga hati-hati. Diam-diam ilmunya juga disiapkan untuk menangkal serangan Datuk Lingga Merah.

"Hiyaaa...!"

Datuk Lingga Merah melompat cepat. Tongkatnya yang berputaran dibabatkan miring ke arah lambung Ki Sapartoga.

Wuuung...!

Bunyi seperti menggerung terdengar mengiringi kecepatan sambaran tombak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah.

"Heh?!"

Terkejut bukan main Ki Sapartoga menyaksikan serangan Datuk Lingga Merah yang begitu cepat. Akan tetapi, keberuntungan masih  berada di pihak Ki Sapartoga.

"Uts!" Bret!

Buktinya tubuhnya masih sempat dibawa mundur ke belakang. Sehingga sambaran tombak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah hanya sempat merobek pakaiannya saja.

"Sudah kubilang, jangan suka menganggap remeh! Ini, terima kembali seranganku!"

"Hiaaa...!" Wuuuk!

Mata tombak Datuk Lingga Merah kembali bergerak cepat ke arah leher Ki Sapartoga.

Ki Sapartoga tentu saja tak ingin lehernya tertembus senjata lawan. Dengan kecepatan mengagumkan senjatanya yang tergantung di pinggang diloloskan. Langsung ditangkisnya sambaran tombak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah.

Srat! Trang!

Bunyi berdentang dua logam keras beradu seketika terdengar. Percikan bunga api terlihat jelas, menandakan kalau mereka dalam menyerang dan menangkis menggunakan tenaga dalam tinggi

Namun dalam adu tenaga dalam, kiranya Ki Sapartoga harus mengakui keunggulan Datuk Lingga Merah yang hanya terjajar dua langkah ke belakang. Sedangkan bekas Ketua Perguruan Singa Emas itu terjajar empat langkah ke belakang, dengan tangan terasa nyeri.

Mendapatkan kenyataan itu, Datuk Lingga Merah tak mau kehilangan kesempatan. Maka melihat tubuh Ki Sapartoga dalam keadaan terhuyung, lelaki berkepala gundul sebelah itu kembali melesat melakukan serangan susulan. Kaki kanannya langsung melepaskan tendangan lurus bertenaga dalam tinggi.

Sementara Ki Sapartoga yang tak menyangka mendapat serangan susulan yang begitu cepat, segera menggerakkan tangannya ke depan dada.

Blakkk! "Ukh...!"

Meski telah melindungi bagian dadanya yang menjadi incaran dengan tangan, tak urung Ki Sapartoga merasakan sesak juga. Tendangan Datuk Lingga Merah memang terlampau keras, dan membuat tubuhnya terhuyung dan ambruk di tanah.

"Ha ha ha.... Kiranya hanya sebegitu saja kepandaianmu, Sapartoga," ledek Datuk Lingga Merah. "Sekarang, terimalah kematianmu! Hiyaaa...!"

2

Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu sudah meluruk deras ke arah Ki Sapartoga yang

jatuh terduduk di tanah. Datuk Lingga Merah menyerang dengan senjatanya yang terangkat di atas kepala, untuk menusuk kepala Ki Sapartoga dari atas.

Namun Ki Sapartoga yang meski dalam keadaan seperti itu ternyata masih mampu membaca arah serangan lawan. Maka ketika sambaran senjata Datuk Lingga Merah semakin mendekat, cepat tubuhnya bergulingan di tanah, menghindari.

Blesss...!

"Setan belang!" rutuk Datuk Lingga Merah mendapatkan senjatanya hanya menusuk tanah tempat Ki Sapartoga terduduk tadi.

"Huh!" Slebs!

Lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu mencabut tombaknya dengan kejengkelan memuncak. Dan seketika tubuhnya berbalik menghadap Ki Sapartoga yang kini sudah kembali berdiri tegak.

"Kau harus kubuat mampus, Sapartoga!" dengus Datuk Lingga Merah dengan tatapan mencorong tajam.

Sementara, Ki Sapartoga hanya menanggapi ancaman dengan membalas tatapan mata lawannya. Namun di benaknya terencana sebuah siasat untuk menyelamatkan Dewi Nalar dan Arca Singa Emas.

"Hm.... Ada baiknya Nalar kusuruh pergi menghindari pertarungan ini. Sehingga dia bisa menyelamatkan diri sambil membawa serta Arca Singa Emas yang sudah puluhan tahun menjadi miliknya," gumam Ki Sapartoga dalam hati. "Biar aku terus menghalangi Datuk Lingga Merah, walaupun apa yang akan terjadi."

Ketika rencana di benak Ki Sapartoga matang, serangan Datuk Lingga Merah kembali datang.

"Hiyaaa...!"

Kesempatan yang baik dilihat Ki Sapartoga. Saat itu Datuk Lingga Merah berlari ke arahnya. Sedangkan lelaki bekas Ketua Perguruan Singa Emas ini melakukan hal yang sama. Namun larinya Ki Sapartoga tidaklah bermaksud memapak serangan Datuk Lingga Merah. Hal itu dilakukan karena ada yang direncanakannya.

"Hiyaaa...!" Wuuung! "Hops!"

Ketika tombak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah berkelebat ke arah dada, Ki Sapartoga sekuat-kuatnya menghentakkan kaki ke tanah. Seketika itu juga tubuhnya melesat ke atas, melewati kepala datuk dari selatan ini. Dan ketika kakinya menyentuh tanah, langsung dihentakkan kembali Dan tubuhnya cepat melesat ke arah pertarungan Dewi Nalar yang menghadapi enam lelaki pengeroyoknya.

"Hop!"

Egkh! Bugkh! "Akh!" "Aaakh...!"

Dua pekikan keras seketika terdengar ketika Ki Sapartoga langsung mengirimkan tendangan keras ke arah lawan Dewi Nalar, begitu mendarat di tanah.

"Sebaiknya tinggalkan tempat itu, untuk menyelamatkan dirimu, Nalar. Dan, bawa serta Arca Singa Emas itu," perintah Ki Sapartoga, berbisik.

Dewi Nalar tentu saja terkejut mendengar perintah ayahnya.

"Ayah...?" ucap Dewi Nalar tidak percaya. "Jangan bantah perintahku, Nalar!" tegas Ki

Sapartoga. "Cepat laksanakan! Biar ayah yang menghadang mereka!"

Semula Dewi Nalar ragu untuk memenuhi permintaan ayahnya. Namun ketika mendapatkan tatapan berharap dari ayahnya, tubuhnya segera melesat ke rumahnya.

"Hops!"

Datuk Lingga Merah yang menyaksikan gadis cantik berbaju sutera warna putih mengkilat itu melarikan diri ke dalam rumahnya, seketika timbul kecurigaannya. Dia menduga gadis putra Ki Sapartoga itu akan melarikan Arca Singa Emas yang telah lama menjadi incarannya. Maka seketika itu juga tubuhnya bergerak hendak mencegah Dewi Nalar.

"Hiaaa...!"

"Yeaaa...!"

Ketika tubuh Datuk Lingga Merah bergerak, bersamaan dengan itu Ki Sapartoga juga bergerak ke arahnya. Bahkan disertai tebasan senjatanya ke arah laju gerak lelaki berkepala botak sebelah itu. Wuuut! "Hups!"

Datuk Lingga Merah terpaksa menghentikan lesatannya, ketika mendapatkan sambaran pedang berkepala singa yang dilancarkan Ki Sapartoga ke arah lambung. Datuk dari wilayah selatan itu segera menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke samping kanan.Jlig!

Ketika mendarat selamat di tanah, Datuk Lingga Merah langsung menyiapkan serangan balasan.

"Keparat kau, Sapartoga!" hardik Datuk Lingga Merah kesal.

Tatapan mata laki-laki botak setengah itu kini tertuju pada anak buahnya yang tak bertindak apa-apa.

"Kejar gadis itu! Bunuh saja!" perintah Datuk Lingga Merah.

Lelaki-lelaki berpakaian hitam anak buah Datuk Lingga Merah seperti tersentak dari keterpakuannya. Seketika mereka semua bergerak ke arah rumah yang dimasuki Dewi Nalar.

Ki Sapartoga yang menyaksikan hal ini tentu saja tak tinggal diam. Dengan teriakan nyaring, bekas Ketua Perguruan Singa Emas itu melesat dari tempatnya berpijak sambil mengibaskan pedangnya.

"Hiaaa...!" Brets! Brets! "Akh!" "Aaa...!" Dua orang anak buah Datuk Lingga Merah seketika terjungkal roboh berlumuran darah, tersambar pedang berhulu singa milik Ki Sapartoga. Mereka kontan menggelepar dengan bagian tengkuk dan pinggang terkoyak, akibat ketajaman pedang Ki Sapartoga yang disertai kekuatan tenaga dalam tinggi. Nyawa kedua anak buah Datuk Lingga Merah seketika itu juga berpisah dari raga.

Datuk Lingga Merah yang menyaksikan kejadian yang begitu cepat menjadi semakin murka.

"Kubunuh kau, Sapartoga!" teriak datuk sesat itu.

Tubuh lelaki berkepala botak setengah itu kini melesat memberi serangan menggunakan senjata tombak bermata tiga. Angin menderu mengawali kedatangan serangannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Wuuuts! "Hits!"

Ki Sapartoga cepat mendoyongkan tubuhnya, menghindari serangan Datuk Lingga Merah yang mengarah ke bagian leher. Namun tanpa disadari, dua anak buah datuk sesat itu memang telah menunggunya. Seketika mereka menggerakkan tangannya, melepaskan serangan gelap. Sehingga....

Crak! "Aaa...!"

Ki Sapartoga kontan memekik tertahan, manakala dua senjata menghunjam bagian punggung dan bahunya, yang langsung mengucurkan darah. Dengan kemarahan meluap, bekas Ketua Perguruan Singa Emas ini berbalik sambil mengibaskan pedangnya ke arah dua lelaki yang telah melukai tubuhnya.

"Haaa...!" Brets! Brets! "Akh! Aaa...!"

Dua anak buah Datuk Lingga Merah kembali terjungkal tertebas ujung pedang Ki Sapartoga. Namun, naas kembali dialami ayah kandung Dewi Nalar ini. Karena begitu berhasil merobohkan dua lawannya, serangan membokong cepat dilakukan Datuk Lingga Merah.

"Haiiit..!" Blugkh! "Hegkh!"

Ki Sapartoga kontan terhuyung ke depan, terhajar tendangan lurus berkekuatan tenaga dalam tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya ambruk ke tanah dan bergulingan.

"Sekarang saatnyalah kau mampus, Sapartoga!" bentak Datuk Lingga Merah, kembali menyiapkan serangan susulan menggunakan senjata.

"Hiaaat..!"

Begitu tongkat Datuk Lingga Merah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba berkelebat bayangan kuning yang langsung memapak serangannya.

Trak! "Heh?!"

***

Terkejut bukan kepalang datuk sesat dari wilayah selatan itu ketika serangannya kembali gagal. Bahkan tubuhnya sempat terhuyung tiga langkah ke belakang, ketika serangannya berhasil dipapak oleh orang lain.

"Setan usil!" bentak Datuk Lingga Merah. Laki-laki berkepala botak setengah itu ge-

ram bukan kepalang, menyaksikan sosok muda nan tampan dan gagah berdiri tegak pada jarak empat batang tombak di depannya.

Pemuda berpakaian warna kuning keemasan itu hanya tersenyum sedikit menanggapi hardikan lelaki berpakaian warna loreng merah ini.

"Maaf, Kisanak. Sungguh, aku tidak bermaksud mengusili seleramu," ucap pemuda gagah berpakaian kuning keemasan.

"Hmh...!"

Datuk Lingga Merah menggereng mendengar ucapan pemuda itu.

"Aku sebenarnya tak berminat mencampuri urusanmu. Tapi, aku kasihan sekali melihat Kisanak itu," tambah pemuda ini sambil menunjuk ke arah Ki Sapartoga yang terkulai di tanah disertai erangan kesakitan.

"Keparat!" maki Datuk Lingga Merah. "Sayang, kali ini aku tak berselera adu tanding dengan mu. Tapi lain kali, jangan harap kau bisa melihat matahari esok pagi. Hm.... Sebutkan namamu, agar aku mudah mencarimu!"

"Itu terserah, Kisanak. Catat saja. Namaku Jaka Sembada. Kau boleh mencariku sesuka hatimu," timpal pemuda yang tak lain Jaka Sembada. Dan dia sebenarnya lebih dikenal sebagai Raja Petir.

"Hhh!" dengus Datuk Lingga Merah. "Ayo kita kejar gadis sial itu!"

Tatapan datuk dari selatan itu mengarah kepada dua anak buahnya yang masih tersisa. Sepertinya, dia memberi isyarat untuk tidak meladeni pemuda itu.

"Hops!"

Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu segera melesat cepat, diikuti dua orang anak buahnya yang berpakaian hitam.

Raja Petir sedikit pun tak bermaksud mencegah kepergian mereka. Langkahnya kini terayun menghampiri Ki Sapartoga.

"Ah! Luka-lukamu terlalu parah, Kisanak," desah Jaka, seraya berjongkok di hadapan Ki Sapartoga.

Ki Sapartoga tak menyahuti ucapan Raja Petir. Hanya wajahnya yang meringis menahan rasa sakit Sementara, sepasang bola matanya menghunjam ke wajah Jaka.

"Kenapa kau biarkan mereka pergi?" tanya Ki Sapartoga, bergetar.

Jaka tak menjawab ucapan Ki Sapartoga. Hanya ditatapnya wajah lelaki tua itu dengan perasaan iba.

"Kau telan pil ini dulu, Ki. Sekadar menghilangkan nyeri," tukas Jaka sambil  menyerahkan pil warna merah darah yang diambil dari balik pakaiannya.

Dengan wajah masih meringis, Ki Sapartoga menelan pil pemberian Jaka. Hanya dalam beberapa saat saja, Ki Sapartoga merasakan perubahan pada dirinya. Rasa nyeri yang diderita akibat benturan keras dan juga luka-luka pada tubuhnya telah sedikit berkurang.

"Seharusnya jangan kau biarkan Datuk Lingga Merah mengejar putriku, Nak," keluh Ki Sapartoga, menyambung perkataannya yang tak dijawab Jaka.

"Apakah putrimu mengenakan pakaian sutera warna putih mengkilat, dan mengenakan selendang merah?" Jaka balik bertanya.

Ki Sapartoga membetulkan pertanyaan Jaka dengan anggukan kepala.

"Kalau begitu, mudah-mudahan saja kawanku bisa melindunginya, Ki," ujar Jaka.

Raja Petir langsung teringat pada Mayang Sutera yang tengah membuntuti gadis cantik berpakaian putih yang tengah dikejar-kejar dua lelaki berpakaian warna hitam dan bersenjata golok

Tatapan mata Ki Sapartoga memancarkan keheranan mendengar ucapan Jaka. Namun ketika Raja Petir menjelaskan kalau kedatangannya tidak sendirian, Ki Sapartoga menjadi mengerti. Maka Jaka segera menceritakan apa yang dilihatnya tentang Dewi Nalar kepada Ki Sapartoga.

***

"Begitulah ceritanya, Ki. Semoga saja Mayang bisa membantu putrimu," tukas Jaka mengakhiri penjelasannya. Ki Sapartoga mengerang kembali, sesaat Jaka menyelesaikan ucapannya.

"Ki...?"

Tubuh Ki Sapartoga diguncang tangan Ja-ka.

"Sebenarnyaapayangtengahterjadi?"

tanya Jaka agak mencemaskan keadaan lelaki berusia setengah abad berpakaian putih ini.

"Siapa namamu, Nak?" Ki Sapartoga malah melempar pertanyaan.

"Panggil saja Jaka, Ki," jawab Jaka.

Mata Ki Sapartoga seketika itu juga terbelalak, setelah Jaka menyebutkan namanya.

"Kaukah Jaka Sembada?" tanya Ki Sapartoga ingin menegaskan, dengan nada keterkejutan yang kentara.

Jaka menganggukkan kepala pelan, sebagai jawabannya. Dan seketika itu juga, lelaki ayah kandung Dewi Nalar ini mengencangkan pegangannya pada tangan Jaka.

"Raja Petir! Bantulah aku. Tolong selamatkan anakku dan juga Arca Singa Emas yang berada di tangannya," pinta Ki Sapartoga seperti merengek.

Sebenarnya Jaka risih juga ketika Ki Sapartoga menyebut julukannya.

"Arca Singa Emas?" batin Jaka.

"Aku rela kalau kau yang akhirnya yang menguasai Arca Singa Emas itu, Raja Petir. Karena aku yakin, kau akan mampu menjaganya dari incaran tokoh-tokoh berilmu tinggi golongan hitam. Lakukanlah itu untukku, Raja Petir. Selamatkan anakku dan Arca Singa Emas itu," ujar Ki Sapartoga lagi meratap.

Jaka tak segera menyetujui ucapan Ki Sapartoga. Hatinya bertanya-tanya. Ada teka-teki apakah di balik Arca Singa Emas itu, sehingga tokoh-tokoh sakti rimba persilatan golongan hitam memburunya

"Ki...?"

Jaka mengguncang tubuh Ki Sapartoga ketika mata lelaki tua itu terpejam.

"Hhh...!"

Ki Sapartoga hanya menarik napas panjang ketika bahunya diguncang Jaka. Dan pada saat itu pula, napasnya tak lagi ada di dadanya. Nyawa Ki Sapartoga telah pergi meninggalkan raga, karena terlalu banyak mengeluarkan darah.

"Ah! Kasihan sekali kau, Ki," desah Jaka sambil bangkit dari jongkoknya. "Dan maafkan aku kalau tak sempat menguburkan mayatmu. Aku harus memenuhi permintaan terakhirmu, untuk menyelamatkan putrimu dan juga Arca Singa Emas itu."

Setelah menatap mayat Ki Sapartoga sebentar, Jaka segera berbalik. Dan dengan sekali hentak, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan mayat Ki Sapartoga. Raja Petir berlari ke arah Mayang Sutera yang membuntuti putri Ki Sapartoga.

"Hops!"

***

Telah berpal-pal jauhnya Jaka berlari, namun sudah sejauh itu tak juga menemui tandatanda terlihatnya Mayang Sutera dan gadis cantik berpakaian warna putih mengkilat yang tengah dibuntuti.

"Hm.... Pertigaan? Jalan mana yang harus kuambil?" gumam Jaka ketika menemui jalan yang terbelah dua ke kiri dan kanan.

Beberapa saat lamanya Raja Petir hanya berdiam diri. Namun pada saat selanjutnya, tubuhnya kembali bergerak cepat, yang dipilihnya adalah jalan sebelah kiri.

"Hops!"

Baru dua pal Jaka bergerak mengambil jalan sebelah kiri Desa Granggas, tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar suara pertarungan. Seketika diperhatikannya suara itu dengan teliti. Dan Raja Petir berkesimpulan, suara memekik geram yang terdengar adalah milik perempuan.

Raja Petir tentu saja tak mau membuangbuang waktu. Maka seketika itu juga, tempo larinya dipercepat agar segera sampai di tempat pertempuran.

"Mayang...," ucap Jaka pelan ketika tiba di tempat pertempuran.

Raja Petir langsung menyaksikan kekasihnya telah bertarung melawan lelaki berkepala botak sebelah, yang tak lain Datuk Lingga Merah. Namun pemuda ini tak segera turun ke dalam kancah pertarungan. Sementara, putri Ki Sapartoga tengah bertarung melawan dua orang laki-laki berbaju hitam dan bersenjatakan golok. Jaka hanya memperhatikan pertarungan dari jarak yang terjaga. Dan tampaknya pertarungan berjalan seimbang.

Dan ketika lelaki berpakaian warna merah loreng itu hendak melakukan kelicikan, maka Jaka segera bergerak sambil melancarkan 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Eyang Putri Selasih.

"Hiyaaa...!" Wuusss!

3

Pusaran angin yang keluar dari ilmu 'Pukulan Pengacau Arah' dari Raja Petir bergulung deras ke arah jarum-jarum beracun, yang meluruk deras ke arah Mayang Sutera.

Pratps! Pratps!

Benturan keras pun seketika terjadi. Jarum-jarum beracun milik Datuk Lingga Merah langsung berhamburan tak tentu arah. Bahkan sebagian berpatahan dan runtuh ke tanah.

Jligkh!

"Manusia licik!" maki Jaka ketika mendaratkan kakinya tak jauh dari tempat Mayang berdiri.

"Kakang...!" teriak Mayang, girang menyaksikan kemunculan kekasihnya.

"Raja Petir!" sentak Datuk Lingga Merah yang sudah mengenal, setelah pertemuan pertama mereka tadi. "Ternyata kau betul-betul ingin menantangku!" Jaka hanya menimpali bentakan itu dengan tatapan menusuk ke wajah kasar lelaki berkepala botak sebelah.

"Semula aku tak berselera bertarung melawan bocah ingusan sepertimu! Tetapi karena masih lancang mencampuri urusan orang, maka kematianlah yang pantas kau dapatkan!" lanjut Datuk Lingga Merah lantang.

"Aku perlu bukti atas bacot besarmu itu," balas Jaka tenang.

"Hmh...! Garda, Maijan! Mainkan jurus 'Menusuk Rembulan' untuk memanggang leher bocah angkuh itu!" teriak Datuk Lingga Merah pada dua anak buahnya yang masih tersisa, disertai geraman keras.

Dua laki-laki yang dipanggil Garda dan Marjan bergerak cepat dengan senjata tersilang di depan dada.

Wuk! Wuk!

Mayang yang menyaksikan tiga orang hendak mengeroyok Jaka, semula hendak ikut ambil bagian. Akan tetapi tangan Jaka yang terangkat membuat gadis cantik kekasih Raja Petir ini mengurungkan keinginannya.

"Seraaang...!"

Sekeras perintah yang keluar dari mulut Datuk Lingga Merah, sekeras itu pula teriakan Garda dan Marjan terdengar mengiringi tubuhnya yang berkelebat

"Hiyaaa...!"

"Yeaaat..!" Wiiing! Wuuung!

Raja Petir cepat merunduk, menghindari terjangan dua bilah tombak lawan-lawannya. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya bergerak cepat

Tap! Tap!

Dua bilah tombak yang mencecar langsung tertangkap. Tombak milik Garda dan Marjan kini tercekal kuat di telapak tangan Raja Petir.

Kedua orang itu berusaha menarik pulang senjatanya. Namun, apakah arti tenaga dalam mereka yang masih berada jauh di bawah Raja Petir? Dan tentu saja usaha keduanya pun menjadi belaka.

Melihat kedua anak buahnya tak kuasa menghadapi Raja Petir, Datuk Lingga Merah segera saja menerapkan kembali siasat liciknya.

Di tengah-tengah kedudukan Jaka yang tengah menahan betotan Garda dan Marjan, tibatiba tubuh Datuk Lingga Merah melesat disertai pengerahan jurus 'Tombak Maut Datuk Sakti'.

"Haaat..!"

Jaka tentu saja sadar akan kelicikan lelaki berkepala botak sebelah itu. Dan dia tak tanggungtanggung lagi ingin memberi pelajaran padanya. Maka seketika itu juga, ajian 'Kukuh Karang' tercipta. Tubuhnya kini terbungkus sinar warna kuning menyilaukan.

Dan ketika tubuh Datuk Lingga Merah yang berada di udara tiba, maka....

Trak! "Aaa. !"

Tubuh lelaki yang terbungkus pakaian loreng merah itu seketika terpental balik, ketika tombaknya menghantam tubuh Raja Petir. Bahkan pada saat bersamaan, Dewi Nalar mencelat deras sambil mengayunkan selendang merahnya disertai ilmu 'Selendang Merah'.

"Mampus kau, Datuk Sesat Hiyaaa...!"

Tak ada kesempatan lagi bagi datuk sesat dari selatan itu untuk menghindar. Apalagi, tubuhnya tengah berada di udara. Sehingga....

Ctar! Drak! "Aaa. !"

Jeritan kedua terdengar dari mulut Datuk Lingga Merah begitu tersengat selendang merah milik Dewi Nalar. Tubuhnya kembali terpental balik ke belakang, agak bergeser sedikit ke arah kanan.

Bruk!

Tubuh Datuk Lingga Merah langsung ambruk tanpa nyawa. Bagian dadanya yang tersambar selendang milik Dewi Nalar nampak luka menganga lebar.

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Sementara itu dua jeritan kematian kembali terdengar berturut-turut. Kali ini, keluar dari mulut Garda dan Marjan akibat tak kuasa menerima sengatan panas dari aji 'Kukuh Karang' yang sesungguhnya ditujukan untuk Datuk Lingga Merah. Akibatnya, tubuh mereka pun menemui nasib sama dengan Datuk Lingga Merah.

***

Setelah kematian Datuk Lingga Merah dan kedua anak buahnya, gadis cantik berambut dikuncir sebahu itu segera menghampiri Mayang yang sudah bergabung dengan Jaka.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini," ucap Dewi Nalar, pelan. "Dan juga kau, Kisanak."

Dewi Nalar menatap wajah tampan Raja Petir. Jelas, tatapannya menyiratkan kekaguman.

"Ah! Tak perlu kau ucapkan itu," kilah Mayang mengalihkan tatapan mata Dewi Nalar yang terus-menerus menatap ketampanan wajah Raja Petir. "Oh, ya. Panggil aku Mayang. Dan, Nisanak siapa?"

Mayang langsung menjulurkan telapak tangannya. Sedangkan Dewi Nalar tersenyum sebelum membalas uluran tangan Mayang. Dan ketika tangannya menyambut tangan Mayang....

"Dewi Nalar...," sahut gadis berpakaian sutera putih ini, menyebutkan namanya.

Kini ganti Mayang yang tersenyum. "Namamu bagus," puji Mayang terus terang.

"Sebagus parasmu."

Dewi Nalar tersipu-sipu mendengar pujian Mayang. Padahal diakuinya sendiri, wajah Mayang tak kalah cantik.

"Oh, ya. Kawanku ini bernama Jaka," tukas Mayang kemudian memperkenalkan kekasihnya.

Dewi Nalar segera mengulurkan tangan, tanpa menyebutkan namanya lagi.

"Apakah nama lengkap Kakang adalah Jaka Sembada?" tanya Dewi Nalar hati-hati.

Jaka menganggukkan kepala membenarkan pertanyaan gadis cantik di depannya.

"Berarti Kakang yang berjuluk Raja Petir?" desak Dewi Nalar kemudian, ingin menegaskan.

"Lupakan julukan kosong itu, Dewi," bantah Jaka merendah.

"Julukanmu tidak kosong, Kakang," sangkal Dewi Nalar. "Ayahku "

Dewi Nalar menghentikan ucapannya. Wajahnya yang baru sesaat terlihat cerah, kini kembali tersaput mendung.

"Eh! Aku , aku harus menemui ayah dulu,"

ujar Dewi Nalar. Kemudian gadis itu hendak melangkahkan kakinya, meninggalkan Jaka dan Mayang.

"Tunggu dulu, Dewi," tahan Jaka dengan suara yang cukup tegas.

Apa yang dilakukan Jaka dengan menahan kepergian gadis cantik berambut dikuncir sebahu itu, tentu saja membuat Mayang heran. Rasa cemburu sepertinya nampak dari cara menatap wajah kekasihnya.

Dewi Nalar sendiri memang betul-betul mengurungkan niatnya. Bahkan tatapan matanya kini tertuju lurus ke wajah Jaka.

"Maafkan aku, Dewi. Aku gagal menyelamatkan nyawa ayahmu. Yang Kuasa telah memanggilnya," ucap Jaka pelan.

"Akh!"

Dewi Nalar memekik tertahan mendengar penjelasan Raja Petir. Mendung di wajahnya kini berubah menjadi sebuah hujan derai air mata. Bahu gadis itu tampak berguncang-guncang.

Mayang yang seolah ikut merasakan kedukaan Dewi Nalar, segera saja mendekatinya. Langsung dirangkulnya tubuh gadis berpakaian putih itu.

"Tabahkan hatimu, Dewi," hibur Mayang. "Segalanya telah diatur sang Pencipta. Setiap makhluk yang bernyawa, pasti akan menjumpai kematian. Dan kita semua bakalan menyusulnya, meski entah kapan."

Isak Dewi Nalar semakin jelas, setelah mendengar kata-kata gadis berjuluk Dewi Payung Emas itu. Sungguh! Dewi Nalar bukan saja mengingat kematian ayahnya. Tapi, juga bayangan ibunya yang tewas terbantai Lima Jin Gunung Sampa yang kembali melintas di pelupuk matanya. Dia kini seorang diri. Sebatang kara!

"Aku belum sempat menguburkannya, karena khawatir dengan keselamatan kalian berdua," tukas Jaka lagi, seraya mendekati Mayang yang tengah menghibur Dewi Nalar. "Kita bisa melakukannya sekarang, Dewi. Mari "

"Ayo, Dewi," ajak Mayang pula dengan tangan merendeng tubuh putri tunggal almarhum Ki Sapartoga ini.

Apa yang dilakukan Jaka dan Mayang semakin membuat keterharuan di hati Dewi Nalar semakin terasa.

"Ah! Aku semakin menyusahkan kalian saja," desah Dewi Nalar. Nada suaranya jelas terganggu sisa isaknya. "Jangan pikirkan itu, Dewi," kilah Mayang. Angin berhembus semilir ketika Jaka,

Mayang, dan Dewi Nalar bergerak menuju ujung Desa Granggas untuk menemui mayat Ki Sapartoga. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Mereka terus berjalan dengan pikiran di benak masing-masing.

***

"Ayaaah...!"

Dewi Nalar memekik keras, langsung berhambur cepat ke jasad ayahnya yang terbujur kaku. Kemudian tubuhnya bersimpuh, seraya menciumi wajah ayahnya.

"Ayaaah...!"

Kembali suara Dewi terdengar memanggilmanggil dengan perasaan bergetar. Sementara, air matanya pun memburai membasahi pakaian Ki Sapartoga yang sudah ternodai bercak-bercak darah.

"Ayah! Kenapa kau tinggalkan aku secepat ini. Aku masih membutuhkan perhatian dan bimbinganmu. Ayah," ratap Dewi Nalar dengan telapak tangan meraba-raba wajah pucat pasi ayahnya.

Suasana haru seperti itu tentu saja membuat Jaka dan Mayang ikut hanyut di dalamnya. Sehingga, akhirnya Mayang menghampiri gadis cantik putri almarhum Ki Sapartoga ini.

"Sudahlah, Dewi. Jangan terlalu diratapi kepergian orangtuamu. Lebih baik, kita makamkan saja jenazahnya sekarang juga," hibur Mayang pelan.

Dewi Nalar menatap wajah Mayang. "Memang sebaiknya begitu, Nini Mayang," sambut Dewi Nalar dengan suara terdengar agak "Ayo, Kakang. Bantu mengangkat tubuh

orangtua Dewi," ajak Mayang pada Jaka.

Raja Petir dengan gerak cepat segera memondong tubuh Ki Sapartoga. Lalu, matanya menatap ke arah Dewi Nalar.

"Di mana tempat yang baik menurutmu, Dewi?" tanya Jaka sambil memondong mayat Ki Sapartoga.

Dewi Nalar tak segera menjawab. Sementara bola matanya yang indah terlihat bergerak-gerak, mencari tempat untuk menguburkan jasad ayahnya.

"Bagaimana kalau di kamar pribadi ayah saja, Kakang Jaka?" kata Dewi Nalar meminta pendapat, ketika tak menemukan tempat yang cocok untuk mengubur mayat ayahnya.

"Terserah kau saja, Dewi," desah Jaka, menyetujui usul putri almarhum Ki Sapartoga ini.

Bergegas Dewi Nalar bergerak lebih dulu ke rumahnya. Dibukanya pintu, dan ditunjukkannya letak kamar pribadi ayahnya. Sedangkan Jaka dan Mayang mengikuti langkah kaki Dewi Nalar.

"Di dekat lemari itu saja, Kakang Jaka," ujar Dewi Nalar sambil menunjuk arah utara kamar Ki Sapartoga yang cukup luas.

Jaka segera menurunkan mayat Ki Sapartoga yang berada dalam pondongannya. Kemudian, dia bergerak ke arah yang ditunjuk Dewi Nalar. Dengan peralatan seadanya, Raja Petir menggali liang lahat untuk menguburkan mayat Ki Sapartoga. Hanya dalam waktu singkat, lubang itu sudah selesai digali.

Dewi Nalar tentu saja terkagum-kagum menyaksikan kecepatan kerja tokoh muda yang berjuluk Raja Petir ini. Meski menggunakan peralatan seadanya, namun Jaka mampu bekerja cepat tanpa bersimbah peluh di tubuhnya.

Selesai menggali liang lahat, Jaka kembali mengangkat tubuh Ki Sapartoga. Lalu dibawanya mayat itu turun dan diletakkan dengan hati-hati di dasar lubang.

"Jangan ditimbun dulu, Kakang Jaka," pinta Dewi Nalar, menahan gerakan Jaka yang hendak menurunkan tanah bekas galian.

Jaka tentu saja segera menoleh dan menatapi wajah Dewi Nalar.

"Ada apa, Dewi?" tanya Jaka pelan.

Dewi Nalar membiarkan pertanyaan Jaka beberapa saat, dengan tatapan tertuju ke mayat ayahnya yang sudah rebah di lubang kubur.

Sedangkan Jaka tak kembali bertanya, melihat apa yang dilakukan gadis cantik putri Ki Sapartoga itu. Mungkin apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang bersifat penghormatan terhadap hari-hari terakhir melihat ayahnya.

"Sebaiknya benda ini dibenam saja bersama jasad ayah," ujar Dewi Nalar, seraya meraih sesuatu dari balik pakaiannya.

Tatapan mata Jaka dan Mayang terpaku, menyaksikan sebuah benda warna kuning keemasan berbentuk seekor singa di tangan Dewi Nalar. Sebuah benda yang besarnya tak melebihi seekor anak ayam.

"Itukah Arca Singa Emas, Dewi?" tanya Jaka, melihat keberadaan benda yang pernah disebut-sebut Ki Sapartoga.

"Betul!" jawab Dewi Nalar, tegas. "Apakah Kakang tahu nama benda ini dari ayahku?"

"Ya," jawab Jaka, singkat.

"Maaf, Kakang. Apa saja yang dikatakan ayah tentang benda peninggalan leluhurku ini?" tanya Dewi Nalar lagi, ingin tahu.

"Tak banyak. Ayahmu hanya beramanat padaku untuk menyelamatkan benda pusaka milik leluhurnya," sahut Jaka.

Dewi Nalar terdiam mendengar cerita Jaka. Sungguh hatinya bersyukur telah berjumpa dengan seorang tokoh muda yang memiliki kesaktian tinggi. Selama ini, dia hanya pernah mendengar cerita dari ayahnya, tentang kesaktian dan kerendahan hati Raja Petir.

Dan Dewi Nalar juga beranggapan kalau Raja Petir adalah seorang tokoh muda yang memiliki ketampanan seperti tokoh-tokoh yang dilihatnya. Dan kenyataannya?

Dewi Nalar melihat Jaka sebagai pemuda yang benar-benar memiliki daya tarik tersendiri. Bahkan hatinya terasa bergetar, saat beradu pandang dengan Raja Petir Namun gadis putri Ki Sapartoga itu berusaha membunuh kekagumannya sendiri. Dia tak ingin pada akhirnya perasaan itu malah mencabik-cabik hatinya. Apalagi Dewi Nalar juga tak ingin menyinggung hati perempuan yang sudah dipastikan sebagai kekasih Jaka.

"Tak ada yang lain yang diceritakan ayahku, Kakang?" ucap Dewi Nalar setelah sesaat lamanya terdiam.

"Ada. Ayahmu juga meminta agar aku menyelamatkan dirimu dari orang-orang yang mengincar Arca Singa Emas itu," jelas Jaka sambil menunjuk benda warna kuning keemasan yang memang terbuat dari logam mulia.

Mayang hanya diam saja mendengarkan percakapan antara Jaka dan Dewi Nalar.

"Dewi.... Kalau kau ingin mengubur benda itu bersama jasad ayahmu, silakan saja. Mungkin itu lebih baik," ujar Jaka.

"Ah...," desah Dewi Nalar tiba-tiba. 'Tidak" Mayang dan Jaka saling bertatapan, mendengar ucapan Dewi Nalar yang tak selesai.

"Aku harus mengikuti pesan ayah," ujar Dewi Nalar lagi. "Benda peninggalan leluhurku ini harus kuserahkan pada Kakang. Di tanganmu, benda ini pasti aman dan dunia peralatan tak  akan kacau"

"Apa maksud ucapanmu, Dewi. Masak karena Arca itu berada di tanganku, lantas dunia peralatan tak akan kacau?" tanya Jaka menyelidiki teka-teki yang menyelimuti Arca Singa Emas itu.

"Nanti saja kujelaskan, Kakang. Sekarang, terimalah Arca ini," selak Dewi Nalar seraya menyerahkan Arca Singa Emas pada Jaka.

"Dewi"

"Terimalah, Kakang."

"Ha ha ha...!"

Belum lagi Jaka menerima Arca Singa Emas yang disodorkan Dewi Nalar, sebuah tawa menggelegar terdengar jelas dari luar.

"Lebih baik, serahkan Arca itu padaku, Cah Ayu. Dan kau akan kuangkat jadi istriku," ujar suara dari luar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Masukkan benda itu kembali, Dewi," ujar Jaka, memerintah.

Dewi Nalar segera menuruti ucapan Jaka. Kemudian ketiganya bergerak ke luar, menghampiri pemilik suara lancang tadi.

4

Ketika keluar dari rumah yang sudah bertahun-tahun ditempati, Dewi Nalar terkejut menyaksikan kehadiran tiga lelaki bertubuh seperti badut dengan perut buncit. Mereka mengenakan pakaian warna-warni dengan wajah coreng-moreng merah, biru, dan hijau.

Keterkejutan Dewi Nalar ternyata dialami pula oleh tiga lelaki layak badut itu. Maka ketiga lelaki yang berjuluk Tiga Badut Pulau Angker ini sedikit terbelalak, mendapati kehadiran Raja Petir di hadapannya.

"Cah ayu! Cepat serahkan Arca Singa Emas itu padaku!" bentak lelaki berperut buncit yang rambutnya kemerahan. "Atau, kupukul pecah kepala mu!"

Tiba-tiba salah seorang dari Tiga Badut Pulau Angker membentak kasar. Senjatanya yang berupa gada hitam berduri berukuran besar, terangkat ke atas kepala.

"Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin memiliki benda leluhurku!" balas Dewi Nalar dengar keberanian luar biasa.

Jaka dan Mayang terkagum-kagum juga menyaksikan keberanian gadis cantik putri almarhum Ki Sapartoga ini. Begitu juga Tiga Badut Pulau Angker yang tak menyangka mendapatkan jawaban galak seperti itu.

"Aku senang mendapatkan gadis galakmu! Namun sayang, hari ini aku lebih mementingkan Arca Singa Emas. Hop!"

Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker itu bergerak mendekati Dewi Nalar. Gerakannya terlihat cepat dan ringan.

"Hop!" Jaka pun beringsut mendekati Dewi Nalar. "Sabar, Nisanak."

"Hm.... Rupanya kau juga menginginkan benda itu. Raja Petir," gumam lelaki berambut kemerahan dengan tatapan tajam ke arah Jaka. "Dari caramu itu lebih kotor, dengan merayu-rayu seperti hidung belang!"

'Tutup mulutmu, Badut Gila!" maki Mayang mendengar hinaan terhadap diri Jaka.

"Hi hi hi.... Kau juga galak, Nini. Hm Be-

rarti aku mempunyai kesempatan mendapatkan dua gadis galak untuk menjadi teman penghibur."

"Phuih!" Berbarengan Mayang dan Dewi Nalar membuang ludah ke tanah.

"Wajahmu saja tak sedap untuk dipandang, Badut Buruk! Mana mungkin ada gadis yang mau jadi penghibur dirimu?" tukas Dewi Nalar balas meledek

"Kita buktikan sekarang saja, Kakang Baliga!" ujar orang kedua dari Tiga Badut Pulau Angker yang matanya tak beralis sedikit pun.

"Betul kata Kakang Baligu, Kakang," timpal lelaki yang berambut keriting halus. "Kita sikat habis saja mereka. Jangan kasih hati. Bukankah tujuan kita jauh-jauh mencari Arca keramat itu?"

"Ha ha ha.... Kalian berdua betul, Baligu dan Balguli. Ayo!"

Rrrrttt..!

Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker yang bernama Baliga seketika itu juga mengacungkan gada berduri yang berwarna hitam tinggitinggi. Gada berduri itu terangkat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, hingga menimbulkan bunyi yang mengerikan.

Apa yang dilakukan lelaki berambut kemerahan itu juga dilakukan Baligu dan Balguli.

"Biar aku yang menghadapi Raja Petir," ucap Baliga seraya melompat ke arah Jaka. Sementara Baligu lebih memilih Mayang. Sedangkan Dewi Nalar menjadi lawan Balguli.

Pertarungan seketika pecah menjadi tiga bagian. Putri almarhum Ki Sapartoga itu langsung menggunakan senjatanya yang berupa selendang warna merah darah untuk menghadapi Balguli.

"He he he.... Cah ayu, keluarkan seluruh ilmumu kalau kau tak ingin kupeluk," ledek Balguli yang berambut keriting halus dengan seringainya yang tak enak dilihat.

"Lakukanlah kalau kepalamu ingin pisah dari badan," sentak Dewi Nalar.

"Hiyaaa..!"

Balguli yang berambut keriting ini bergerak sambil mengayunkan gada ke arah dada Dewi Nalar. Bunyi menderu terdengar mengiringi serangan orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker ini.

Wurttt...!

"Heits!"

Dewi Nalar langsung berkelit ke belakang, manakala senjata milik Balguli memburu bagian dadanya. Dalam keadaan tubuh yang doyong ke belakang, kedua telapak tangannya dijatuhkan dengan melenturkan tubuh. Lalu dengan gerakan cukup memikat, gadis berpakaian putih mengkilat itu melenting rendah dan cepat.

"Hops!"

"Hup!"

Jarak antara Balguli dengan Dewi Nalar kini menjadi beberapa batang tombak. Namun laki-laki berambut keriting itu terkagum-kagum menyaksikan keindahan dan kelenturan gerak lawannya. Sehingga, dia tak mengejar gerakan menghindar Dewi Nalar.

"Ayo serang lagi, Badut Jelek!" ledek Dewi Nalar memancing kemarahan Balguli yang berpakaian warna-warni. Sementara wajahnya terlihat coreng-moreng oleh warna merah, hijau, dan biru. "Ha ha ha.... Kau menantangku, Cah Ayu? Rasakanlah nanti pelukanku," ujar Balguli. Langkah kakinya kembali terangkat menghampiri Dewi Nalar.

Putri almarhum Ki Sapartoga ini tentu saja bersiap-siap menghadapi serbuan lawannya. Sebuah jurus yang didapat dari ayahnya akan digunakan untuk menghadapi serangan Balguli.

"Hops!"

Dengan kuda-kuda rendah, Dewi Nalar terlihat betul-betul telah siap memamerkan ilmu menyerang yang dahsyat

"Hiyaaa...!"

"Haaat...!"

Dewi Nalar langsung menghentakkan kaki ketika badut berambut keriting itu kembali bergerak. Hentakan kakinya cukup kuat, sehingga tubuhnya sekonyong-konyong melesat ke udara dengan kaki hendak memberi tendangan dari atas mencecar pala.

Wurrrrt...!

"Eits!"

Gerakan Balguli yang hendak memotong laju gerakan kaki Dewi Nalar, segera bisa terbaca. Putri almarhum Ki Sapartoga itu memindahkan kakinya. Lalu dengan kecepatan mengagumkan, tubuhnya kembali bergerak ke bagian leher lawan.

"Mampus kau!" "Huts!"

Dengan gerakan lucu, seperti anak kecil ketakutan, dilakukan Balguli. Dan dengan gerakan itu, mampu menyelamatkannya dari serbuan kaki kanan Dewi Nalar.

"He he he...!" Balguli kembali terkekeh. "Rupanya hanya sampai di gitu jurus menyerang yang kau miliki, Cah Ayu? Apa tak ada yang lebih dahsyat?"

"Jangan sombong kau, Badut Jelek!" balas Dewi Nalar keras.

"Bukannya sombong, Cah Ayu. Kalau kau tak memiliki kepandaian, bagaimana akan menjatuhkan lawan?" ulas Balguli.

"Keluarkan ilmumu, Badut Jelek! Biar kuhadapi dengan selendangku ini!"

"He he he.... Ayolah! Kita adu antara selendangmu yang lembut dengan gadaku yang kasar," tantang orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker ini.

Wurk! Wurk! Wurk!

Balguli tiba-tiba saja memutar-mutar gada yang berada di tangan kanannya. Bunyi berisik terdengar dari putaran gada berwarna hitam yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin bergulung pun keluar dari putaran gada yang begitu cepat, sehingga menerbangkan batu-batu kerikil di sekitarnya.

Terkesiap juga hati Dewi Nalar menyaksikan keganasan perputaran senjata yang dilakukan lawannya. Namun hatinya yakin, kalau selendang merah yang akan dimainkan dalam jurus ilmu 'Selendang Merah' akan mampu meredam keganasan gada berduri milik Balguli.

"Hiyaaa...!" Wuuurk!

Balguli mengayunkan gadanya dalam kecepatan dahsyat.Ctar!

Dewi Nalar tak kalah sigap. Cepat selendangnya dikebutkan untuk memapak ayunan gada lawan. Sehingga....

Brrrrt!

Selendang warna merah milik Dewi Nalar seketika bergulung di gerigi-gerigi gada milik Balguli. Putri almarhum Ki Sapartoga ini tentu saja terkejut mendapat kenyataan seperti itu.

Seharusnya gada milik Balguli patah jadi dua saat ujung selendang merah Dewi Nalar menghantam keras. Namun nyatanya....

"Hm.... Hebat sekali dia," puji Dewi Nalar dalam hati.

"Ayo! Lepaskan senjatamu dari tubuh senjataku ini, Cah Ayu!" ejek Balguli pongah.

Kelakuan laki-laki berperut buncit dan berambut keriting itu tentu saja membuat Dewi Nalar naik darah. Segera saja tenaganya dikerahkan untuk berputaran ke arah yang berlawanan dari selendang yang membelit di gada berduri itu.

"Hih!"

"Eits!"

Balguli ternyata mampu membaca maksud Dewi Nalar yang hendak melepaskan selendang dengan cara memutar belitan dari arah berlawanan. Maka lelaki berperut buncit itu juga ikut berputaran. Akibatnya, Dewi Nalar tak kuasa melepaskan selendangnya yang membelit di gada hitam berduri.

"Hih!"

Kali ini Dewi Nalar berusaha menarik selendangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tetapi sedikit pun lawannya tak terpengaruh.

"Jangan bodoh, Cah Ayu. Nanti selendangmu bisa rusak," ledek orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker.

"Hhh...!"

Dewi Nalar tidak mempedulikan Balguli. Dan dengan sebisanya terus berusaha melepaskan selendangnya yang membelit di gada berduri lakilaki berperut buncit dan berambut keriting ini

***

Sementara itu, pada pertarungan Mayang melawan Baligu yang merupakan orang kedua dari Tiga Badut Pulau Angker, berlangsung cukup seru dan cepat

"Hiyaaa...!"

Sebuah tendangan menggeledek yang terangkum dalam jurus ‘Menepak Laut Menggenggam Air’ dilakukan Mayang dengan sempurna. Baligu yang sama sekali tak menduga datangnya serangan, tak kuasa menghindarinya. Apalagi tendangan itu dilakukan cepat bagai kilat. Sehingga....

Bugk! "Aaakh...!"

Telapak kaki gadis berjuluk Dewi Payung Emas ini menghantam tepat di dada laki-laki tanpa alis itu. Akibatnya, Baligu langsung terhuyunghuyung sambil menekap dadanya yang terasa sesak bukan kepalang.

Pada saat lawannya jatuh terjerembab, Mayang menyaksikan Dewi Nalar dalam keadaan genting. Gada bergerigi milik Balguli nampak semakin banyak menggulung selendang merah milik Dewi Nalar.

"Hiaaat..!" Wuk..!

Mayang langsung melesat ke arah Dewi Nalar yang tengah bertarung melawan orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker. Senjatanya yang berupa payung besi warna kuning keemasan langsung dimainkan dalam jurus 'Benteng Emas'. Jurus ini memang berguna untuk menyerang dan bertahan.

Suara menderu nyaring kontan terdengar dari payung besi milik Dewi Payung Emas yang berputar cepat

"Lepaskan senjatanya, Badut!" sentak Mayang sambil mengarahkan  senjatanya yang berputar ke arah leher lelaki berambut keriting itu.

Wrrruukh...!

"Heh!?"

"Uts!"

Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker ini tak menyangka kalau gadis yang menjadi lawan kakaknya kini meluruk dengan senjata ke arahnya. Maka sebisanya dia membuang diri, setelah lebih dulu memutar gadanya ke arah yang berlawanan untuk melepaskan selendang yang membelit senjatanya. Balguli berhasil menyelamatkan kepalanya dari incaran payung besi milik Mayang, setelah bergulingan beberapa kali. Kini sosoknya yang berperut buncit telah bangkit kembali, berjarak kurang lebih dua setengah batang tombak dari kekasih Raja Petir ini.

"Hm...," gumam Balguli sambil menatap tajam wajah Dewi Payung Emas. "Hebat juga kepandaianmu!"

"Memang harus hebat untuk bisa menundukkan badut jelek itu!" balas Mayang sambil menunjuk tubuh Baligu yang masih terduduk di tanah dengan tangan memegangi dadanya yang seperti melesak. Darah tampak merembes dari sela bibir lelaki bermata sipit itu.

Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker ini mengikuti telunjuk Mayang yang menuding tubuh Baligu. Sungguh tak disangka kalau kakaknya mampu ditaklukkan gadis cantik macam Mayang.

"Hhh...!"

Balguli segera bergerak menghampiri lelaki yang ditaklukkan Mayang.

"Kakang..., kau...," ucap lelaki berambut keriting itu sambil memegang bahu kakaknya.

"Gadis itu hebat sekali," desis Baligu dengan suara bergetar. "Sebaiknya kau bantu Kakang Baliga menghadapi Raja Petir. Gunakan aji 'Racun Pulau Angker'. Karena kalau Kakang Baliga sendiri yang menggunakannya tak akan sempurna."

"Aku mengerti, Kakang," tukas Balguli. "Akan kucoba membantu Kakang Baliga. Hops!"

"Aaa...!"

Baru saja orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker itu meluruk ke arah pertarungan antara Jaka dan Baliga, sebuah pekikan keras terdengar mengiringi terpentalnya sesosok  tubuh yang terbalut pakaian warna-warni.

Tubuh Baliga yang merupakan orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker tergempur mundur empat langkah ke belakang, setelah perutnya terhantam tendangan keras Raja Petir lewat jurus 'Petir Menyambar Elang'.

"Kakang.... Kau tidak apa-apa?" tanya Balguli sambil memegangi tubuh Baliga yang terhuyung-huyung.

"Aku tidak apa-apa. Ayo, sama-sama kita hadapi dia dengan aji 'Racun Pulau Angker'," ajak Baliga kepada orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker.

"Ayo, Kakang!" sambut Balguli.

Dua lelaki yang dandanannya mirip badut itu kemudian sama-sama bersila. Kedua telapak tangan masing-masing yang sudah mengepal diletakkan di atas paha yang sudah bersila. Kemudian salah satu telapak tangan yang terkepal di atas paha. Lalu kepalan itu dibawa ke depan dada, diiringi suara yang hampir mirip dengungan lebah.

"Ngngng...!"

"Ngngng...!" Suara mendengung yang keluar dari mulut Baliga dan Balguli semakin jelas terdengar. Dan begitu suara dengung itu lenyap tibatiba, mata Baliga terbelalak. Sepasang mata itu berubah menjadi kemerahan. "Ilmu setan," rutuk Jaka dalam hati, melihat lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan.

Namun pemuda berjuluk Raja Petir itu tak bergeming dari tempatnya. Diperhatikannya terus gerak-gerik lawannya yang tengah menyiapkan sebuah ilmu kesaktian aneh.

"Ngngng...!"

"Ngngng...!" "Hih!"

Tiba-tiba saja tangan dua orang dari Tiga Badut Pulau Angker itu menghentak kuat. Dan dari telapak tangan mereka mencelat seberkas sinar berwarna kehijauan dengan kecepatan yang sangat luar biasa.

Slats! Slats! "Heh?!"

Raja Petir tentu saja tak sudi menjadi sasaran ajian lawan. Maka kakinya segera dihentakkan kuat-kuat. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat manis di tanah.

Jlegk!

Namun baru saja Jaka mendarat, kembali dua sinar kehijauan meluruk ke arahnya.

Slats! Slats!

Tak ada pilihan lain bagi Raja Petir, selain meladeni dengan pukulan jarak jauhnya. "Hiyaaa...!"

Sambil berteriak menggelegar. Raja Petir menghentakkan kedua tangannya.

Wusss...!

Angin bergulung kontan keluar dari telapak tangan Jaka yang menggelar ilmu pukulan jarak jauh, yang bernama 'Pukulan Pengacau Arah'. Pukulan yang layaknya pusaran angin itu meluruk dengan deras, menyongsong ajian ‘Racun Pulau Angker’ milik dua orang dari Tiga Badut Pulau Angker. Maka ketika dua ilmu kesaktian itu saling berpapasan di udara....

Glarrr. !

"Akh!" "Aaa. !"

5

Tubuh Baliga dan Balguli kontan terpental ke belakang sejauh satu tombak, akibat benturan keras dari dua ilmu kesaktian yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam itu. Namun berkat pengalaman bertarung, mereka mampu mementahkan daya dorong yang cukup kuat.Dengan gerakan indah, dua dari Tiga Badut Pulau Angker berputaran menggunakan telapak tangan yang dijadikan tumpuan ke tanah. Kemudian luncuran mereka berhenti dengan suatu lentingan indah. Sebentar saja, mereka telah menotok kaki di tanah manis sekali.

"Kita coba sekali lagi ketangguhan anak muda itu," ujar Baliga setelah mampu menguasai kedudukannya. "Ilmu 'Selaksa Gada Memburu Nyawa' belum kita gelar."

"Napasku sesak, Kakang," keluh Balguli. "Aku tak tahu, bisa atau tidak memainkan Ilmu 'Selaksa Gada Memburu Nyawa'."

"Salurkan hawa murnimu. Baru setelah sesakmu hilang, mainkan ilmu andalan kita dengan tingkat yang tinggi," perintah Baliga dengan katakata tak terbantahkan.

"Baik, Kakang," sambut badut berambut keriting itu dengan tarikan napas berat

Beberapa saat lamanya Balguli menyalurkan hawa murni untuk menghilangkan sesak napasnya. Dan pada saat selanjutnya....

"Ayo, Kakang!" ajak Balguli tegas.

Baliga langsung mengangkat gada berduri berwarna hitam miliknya, begitu mendengar persetujuan adiknya. Begitu juga Balguli yang belum sepenuhnya terbebas dari sesak napas akibat pukulan jarak jauh Raja Petir yang terangkum dalam jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Mereka kemudian sama-sama mengayunkan gada berdurinya dengan kecepatan luar biasa. Sehingga, wujud senjata itu sendiri lenyap dari bentuk aslinya.

Bukan itu saja kehebatan ilmu 'Selaksa Gada Memburu Nyawa'. Senjata warna hitam berduri yang semula wujudnya tak nampak, kini terlihat menjadi berlipat jumlahnya. Dan semuanya kini meluruk ke arah Raja Petir.

"Hm"

Jaka bergumam pelan menyaksikan ilmu yang dipamerkan kedua lawannya. Sementara, Mayang menyaksikan saja dari kejauhan dengan sikap wajar. Sedangkan di pihak lain, Dewi Nalar begitu mencemaskan keadaan Jaka yang belum juga berbuat sesuatu untuk meladeni ilmu lawanlawannya. "Hrrrrgh !"

Baliga dan Balguli sama-sama menggereng, mengiringi serbuan ke arah Jaka yang sudah bersiap mengerahkan aji 'Bayang-Bayang'.

Wuuung! Wuuung...!

Tubuh Jaka berkelebatan cepat, setelah jumlahnya menjadi lima kali lipat Aji 'BayangBayang' memang telah diciptakannya. Dan itu cukup membuat kerepotan dua lawan. Tentu saja mereka tidak dapat mengarahkan senjata yang berjumlah berlipat-lipat pada sasarannya.

Wuk! Wuk..!

Berkali-kali Baliga dan Balguli membabatkan gada berduri ke arah yang mematikan pada tubuh Jaka. Namun acap kali senjata yang diharapkan menjumpai sasaran, selalu membuat geram Baliga. Sambaran gada berdurinya selalu menemui wujud semu Raja Petir

"Hrrrg..! Keparat kau. Raja Petir!" maki Baliga geram. "Hiyaaa...!"

Pekik kemarahan betul-betul sepenuhnya keluar dari mulut Baliga. Tubuh badut yang terbungkus pakaian warna-warni itu pun melesat, untuk menyalurkan kemarahan tanpa mempedulikan Balguli. Dia tak sadar kalau hal yang demikian ini sesungguhnya yang diinginkan Jaka. Dengan kemarahan meluap, maka Baliga tak lagi mempedulikan pertahanannya.

Maka ketika sambaran gada berduri kembali dielakkan Raja Petir, seketika itu juga Baliga merasakan sesuatu yang sama sekali tak terduga.

Tubuh Baliga yang telah kehilangan keseimbangan setelah mengayunkan gada berdurinya, menjadi sasaran empuk Raja Petir. Pemuda ini cepat melepaskan tendangan memutar yang berisi tenaga dalam penuh. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Blakg! "Hegkh!"

Tubuh Baliga kontan tersungkur, ketika tendangan memutar Raja Petir cepat dan tepat mengenai punggungnya.

Bruk!

Baru saja tubuh Baliga ambruk ke tanah, tiba-tiba Balguli bergerak cepat ke arah Raja Petir dengan menggunakan gadanya. "Mampus kau, Raja Petir!"

Wuuut!

Menangkap adanya desir angin serangan dari belakang. Raja Petir segera melompat ke samping sambil menggerakkan tangannya. Dan....

Tap!

Terheran-heran hati Balguli ketika bokongan gada berdurinya berhasil ditangkap Raja Petir tanpa harus terluka.

"Hhh!"

Badut berambut keriting itu mencoba menarik pulang senjatanya yang dicekal kuat tangan Jaka. Maka, tarik-menarik pun tak terelakkan lagi. Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker itu mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Bahkan wajahnya kini berubah merah seperti kepiting rebus. Sementara urat-urat di pergelangan tangan dan lehernya tampak bersembulan keluar. Keadaan yang dialami Balguli ini ternyata tidak terjadi pada diri Raja Petir. Meski pemuda itu juga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan tarikan lawan, namun urat-urat kasar tak nampak bersembulan dari dalam tubuhnya.

Pada saat tarik-menarik itu terjadi, tiba-tiba Baligu yang sejak ditundukkan Mayang tak mampu lagi melanjutkan pertarungan, melesat dari arah belakang Raja Petir. Senjata gada berdurinya nampak terayun-ayun mengarah ke bagian kepala pemuda itu.

"Heaaat..!"

Terkejut juga hati Mayang dan Dewi Nalar melihat serangan membokong yang tiba-tiba saja dilakukan badut bermata sipit ini. Karuan saja, Mayang dan Dewi Nalar sama-sama melompat cepat, hendak memapak serangan membokong yang ditujukan pada Jaka.

"Hiyaaa...!"

"Haaat..!"

Tubuh Mayang dan Dewi Nalar sama-sama meluruk ke arah Baligu yang hendak mencelakai Jaka. Namun karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Mayang lebih sempurna daripada Dewi Nalar, maka wajar saja kalau kekasih Raja Petir itu yang lebih dulu sampai untuk memapak serangan Baligu dengan payung besinya.

Blangng...!

Bunyi benturan keras terdengar, manakala payung Mayang berhasil memapak sambaran gada Baligu.

Tubuh Mayang langsung tergempur mundur dua langkah, begitu benturan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi terjadi. Sementara percikan bunga api tampak mengiringi terpentalnya sosok tubuh badut kedua dari Tiga Badut Pulau Angker sejauh dua langkah. Dan itu cukup memberikan gambaran kalau penguasaan ilmu tenaga dalamnya setara dengan kekasih Raja Petir.

Dengan tergempurnya Baligu, Dewi Nalar yang tak sempat memapak serangan gelap itu segera saja menghentakkan kakinya. Sebuah serangan susulan kini dilakukan ke arah badut tanpa alis yang tengah terhuyung itu.

"Haiiit..!"

Pekik kemarahan langsung mengiringi lesatan tubuh putri almarhum Ki Sapartoga ini dengan selendang merah yang sudah tergenggam di tangan. Dan ketika selendang itu dihentakkan lewat ilmu 'Selendang Merah', maka....

"Hih!"

Tak ada kesempatan lagi bagi Baligu untuk menghindar. Akibatnya....

Ctarrr! "Akh!"

Tubuh Baligu kembali terpental, ketika ujung selendang Dewi Nalar membentur keras kepalanya. Sambil terhuyung-huyung tangannya langsung memegangi kepala yang terasa pecah.

Bruk! "Ah!"

Ketika tubuh badut tanpa alis itu ambruk ke tanah, darah baru terlihat merembes dari kepalanya yang rengat tersambar selendang milik Dewi Nalar yang menggunakan jurus 'Selendang Merah'. Beberapa saat lamanya Baligu menggeliat meregang nyawa. Dan pada saat selanjutnya, tu-

buhnya diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!

Sementara, Balguli yang sedang mengadu kekuatan tenaga dalam melawan Raja Petir, tak bisa memusatkan pikirannya ketika mendengar pekik kematian saudaranya. Namun kelicikannya segera bekerja cepat. Dia bermaksud melepaskan cekalannya pada gagang gada berduri, dengan harapan tubuh Jaka akan terdorong oleh tenaganya sendiri.

"Hih!"

Siasat licik itu benar-benar dilaksanakan. Seketika cekalannya pada senjata yang dipegang dilepaskan. Namun, kiranya Jaka bukanlah orang kemarin sore yang baru belajar ilmu silat. Dan dia juga sering mempelajari sifat-sifat manusia selicik Balguli.

Sesungguhnya, pada saat tarik-menarik mempertahankan senjata milik lawan, Jaka hanya memusatkan tenaga dalam pada tangan saja. Jadi seluruh kekuatannya tertumpah di situ. Dan ketika Balguli melancarkan siasat liciknya, maka tubuh Jaka tidak termakan tenaganya sendiri. Namun karena Jaka ingin melihat kelanjutan dari siasat licik lawannya, sengaja tubuhnya dipentalkan ke belakang seolah termakan tenaganya sendiri.

"Hiyaaa...!"

Dalam keadaan Jaka yang berpura-pura seperti itu, Balguli melesat cepat. Kaki kanannya nampak terayun lurus ke arah kepala Jaka. "Mampus kau. Raja Petir!"

Dalam keadaan terjajar. Raja Petir cepat mengayunkan gada berduri yang telah direbut ke arah kaki Balguli. Tak ada kesempatan bagi orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker itu untuk mengelak. Maka....

Wuuut!" Pletak! "Aaa. !"

Lengking kesakitan yang maha dahsyat terdengar ketika gada berduri yang berada pada genggaman tangan Jaka membentur keras tulang kering kaki kanan Balguli. Dan laki-laki berambut keriting itu terus mengerang-erang bagai orang kesurupan. Kakinya yang menjejak sebelah, terlihat berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan diberi mainan. Lalu....

Bruk!

Karena tak kuasa menahan sakit yang teramat sangat, tubuh Balguli ambruk ke tanah. Darah nampak bercucuran dari kaki yang terhantam senjata miliknya sendiri.

Sementara Baliga yang juga mengalami luka dalam dan luka pada wajahnya saat terhantam tendangan Jaka, tak lagi mampu berbuat apa-apa. Keberaniannya untuk meneruskan pertarungan, sedikit demi sedikit mulai luntur.

"Kisanak masih tetap ingin merebut Arca Singa Emas yang bukan milikmu?" tanya Jaka ketika tak lagi didapati serangan dari lawanlawannya yang sudah terkulai di tanah. "Tentu saja!" sambut Baliga keras. "Bahkan bukan saja Arca Singa Emas itu yang harus kurebut. Tapi, juga nyawa kalian yang telah merenggut nyawa adikku!"

"Sekarang?" tantang Jaka. "Hhh...!"

Hanya tarikan napas kesal yang dilakukan Baliga dalam menanggapi pertanyaan Jaka.

"Sebaiknya, kalian enyah dari hadapan kami sebelum kawanku kehilangan kesabaran!" gertak Mayang ingin tahu sisa keberanian Tiga Badut Pulau Angker yang kini tinggal dua orang.

"Aku memang akan pergi dari sini! Tapi, ingat! Aku belum kalah! Dua dari Tiga Badut Pulau Angker yang masih hidup, akan terus mencari kalian untuk menuntut balas," tegas Baliga lagi.

"Silakan mengumbar mulutmu yang bau  itu, Badut Tak Tahu Diri!" ledek Dewi Nalar sambil mengeluarkan Arca Singa Emas yang bersinarsinar.

Melihat Arca Singa Emas, mata Baliga kontan terbelalak. Keinginan hatinya memang amat kuat untuk mendapatkan benda yang menjadi incarannya. Namun ketika tatapan matanya membentur sosok Raja Petir, Baliga terpaksa untuk sementara mengubur keinginannya.

"Sekarang aku memang gagal mendapatkan Arca Singa Emas itu, Gadis Liar! Tapi, tidak untuk lain kali," kilah Baliga dengan kemarahan yang tak terkendali.

"Sampai kapan pun, kau akan tetap mendapatkan kegagalan, Badut Jelek!" balas Dewi Nalar sambil menimang-nimang Arca Singa Emas yang berada dalam genggamannya. "Kau tahu, sekarang juga Arca Singa Emas ini akan kuserahkan pada Raja Petir. Dan aku tahu, sampai kapan pun kau tak akan berhasil menundukkan Raja Petir."

Baliga semakin geram mendengar ucapan Dewi Nalar. Matanya nampak membelalak lebar.

"Terimalah Arca Singa Emas ini, Kakang Jaka," ujar Dewi Nalar.

Lalu, Arca Singa Emas itu segera disodorkan ke tangan Jaka. Dan Raja Petir sendiri menanggapi pemberian itu dengan seulas senyum untuk Baliga.

"Keparat!" maki Baliga geram. "Ayo, Balguli.

Kita tinggalkan tempat ini! Hop!"

Baliga langsung melesat, setelah lebih dulu membopong mayat Baligu yang tewas di tangan Dewi Nalar. Sedangkan Balguli pun segera melesat dengan terpincang-pincang menyusul kakaknya yang telah melesat terlebih dahulu.

Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya menatapi kepergian mereka dengan senyum terkembang.

"Kau harus menceritakan teka-teki Arca Singa Emas ini, Dewi. Biar aku tahu kenapa mereka susah payah merebut benda ini," ujar Jaka kemudian.

"Tentu saja, Kakang Jaka," timpal Dewi Nalar mantap.

***

6

Sore berjalan begitu lambat. Angin yang berhembus semilir membelai-belai anak rambut Dewi Nalar dan Mayang Sutera. Sementara Jaka yang mengambil tempat duduk di sisi kekasihnya, nampak sudah bersiap-siap mendengarkan cerita tentang teka-teki di balik Arca Singa Emas.

"Kau harus memulainya sekarang, Dewi," ujar Mayang dengan telapak tangan memegang bahu Dewi Nalar.

"Sebenarnya Arca Singa Emas ini jatuh pada ayahku sebagai keturunan yang ketiga. Berarti jauh di atas ayahku, benda ini pernah dikuasai kakekku dan buyutku. Konon menurut cerita, benda ini didapatkan dari seorang pertapa sakti yang bermukim di Goa Singa. Setelah Arca Singa Emas diberikan pada buyutku, pertapa sakti itu lenyap bersama-sama Goa Singa yang menjadi tempat tinggalnya," tutur Dewi Nalar, memulai ceritanya.

Sebentar Dewi Nalar menghentikan ceritanya, untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat. Matanya menerawang jauh, mencoba menembus ingatannya.

"Konon goa itu banyak menyimpan benda pusaka bertuah dan kitab ilmu silat tingkat tinggi. Di samping, tentunya harta karun yang berupa permata dan benda bernilai tinggi lainnya," jelas Dewi Nalar, mengutip apa yang pernah diceritakan oleh Ki Sapartoga, ayahnya. "Kalau boleh kusimpulkan. Arca Singa Emas itu sebagai kunci petunjuk untuk mendapatkan keberadaan Goa Singa yang lenyap, sekaligus sebagai kunci pembuka pintu rahasia Goa Singa itu?" tanya Mayang, memberi dugaan akan kelanjutan cerita Dewi Nalar.

"Sok tahu kau, Mayang," selak Jaka menanggapi kesimpulan kekasihnya.

Mayang melemparkan wajahnya yang cemberut ke arah Jaka. Kemudian dengan kemanjaannya, diserbunya tangan Jaka dengan cubitan bertubi-tubi.

"Sejak kapan Kakang menjadi orang usil?" rungut Mayang cemberut.

"Sejak kau menjadi gadis sok tahu," ledek Jaka.

"Ih, Kakang!"

Mayang kembali mencubit tangan Jaka. Sementara, Dewi Nalar merasa risih juga menyaksikan kemesraan dua tokoh muda yang memiliki kesaktian tinggi itu. Andai dirinya yang merasakan kemesraan seperti itu....

"Betulkah kesimpulan yang diberikan Mayang, Dewi?" tanya Jaka, mencairkan kerisihan Dewi Nalar.

"Betul sekali, Kakang," jawab Dewi Nalar membenarkan kesimpulan Mayang.

"Nah! Betul kan, kesimpulanku?" kata Mayang berseri-seri.

"Ya, ya. Kau memang berbakat menjadi seorang peramal," ledek Jaka lagi.

"Ih!" kembali cubitan dilancarkan Mayang. "Memangnya kau bersedia mempunyai istri peramal?"

"Apa salahnya? Apalagi, gadis peramal itu cantik," jawab Jaka seenaknya.

"Sudahlah! Lebih baik kita dengarkan lagi kelanjutan cerita Dewi," tukas Mayang, akhirnya mengalah.

"Apa lagi yang harus kuceritakan?" tanya Dewi Nalar.

"Apa, Kakang?" tanya Mayang pada Jaka. "Kau kan peramal. Kenapa mesti tanya?" le-

dek Jaka lagi.

"Ih!" Mayang mendengus.

"Orangtua ku, kakekku, dan buyutku pernah berpesan agar Arca Singa Emas ini jangan sampai jatuh ke tangan tokoh sesat yang biasanya mengacaukan ketenteraman hidup manusia. Khususnya, ketenteraman hidup orang-orang yang menggeluti dunia persilatan. Kami semuanya sudah mengusahakan pesan itu sebisanya, meski harus kehilangan orang-orang tercinta. Termasuk, aku harus rela kehilangan ibu yang tewas di tangan Lima Jin Gunung Sampa, yang juga menghancurkan Perguruan Singa Emas yang dipimpin ayahku," papar Dewi Nalar dengan wajah berubah keruh.

Suasana jadi sepi sesaat setelah Dewi Nalar menghentikan ceritanya. Tak ada lagi canda yang dilakukan Jaka untuk menggoda kekasihnya.

"Dan terakhir, ayahkulah yang jadi korban demi Arca Singa Emas ini," lanjut Dewi Nalar. Kali ini kata-katanya diiringi isak tangisnya. "Sudahlah, Dewi," tukas Mayang mencoba menghibur. "Pengorbanan orang-orang yang kau cintai tidaklah sia-sia. Mereka bukan saja telah mempertahankan Arca Singa Emas ini, tetapi juga ketenteraman hidup masyarakat banyak dan ketenangan dunia persilatan. Kau harus bangga melihat pengorbanan mereka."

Isak tangis Dewi Nalar terhenti sejenak mendengar kebenaran ucapan Mayang.

"Aku kini tak punya siapa-siapa lagi, Kakak Mayang. Aku sebatang kara," keluh Dewi Nalar

"Saatnya nanti, kau pasti tak seorang diri, Dewi. Percayalah," timpal Jaka.

"Betul, Dewi," tambah Mayang. "Tiba saatnya nanti, kau pasti akan mendapatkan seseorang yang setia menemani hari-harimu."

"Tapi tidak untuk sekarang ini," kilah Dewi Nalar.

"Sekarang ini kan ada kami," bantah Jaka. Dewi Nalar terdiam. Tak ada lagi kata yang diucapkannya untuk melukiskan kepedihan hati. Keadaan seperti itu berlanjut terus, sampai malam menjelang. Sementara suara binatang-binatang malam saling bersahut-sahutan menyambut sinar rembulan yang sedikit demi sedikit muncul, menerangi persada. Dan malam pun bergerak semakin jauh.

***

BulanbersinarpenuhmenerangiDesa Granggas. Bayang-bayang pohon yang tertimpa sinar bulan, sesekali ikut bergoyang terkena hembusan angin. Dan goyangan bayang-bayang  pohon itu semakin kentara, ketika tiba-tiba saja sesosok tubuh melompat dari balik kerimbunannya.

Lompatan sosok tubuh tinggi besar itu ternyata diikuti pula deh sosok-sosok yang lain. Dan kini, jumlah mereka menjadi lima.

Sosok lelaki yang pertama kali muncul tibatiba memberi aba-aba kepada rekan-rekannya untuk berkumpul ke arahnya.

"Nyalakan obor-obor kalian dan lemparkan ke atas atap itu," perintah laki-laki tinggi besar ini. Lima sosok yang tak lain Lima Jin Gunung Sampa seketika menyalakan obor di tangan mas-

ing-masing.

Maka malam di Desa Granggas yang sudah terang oleh sinar bulan, nampak semakin terang deh lima obor yang telah menyala. Terlebih, ketika Lima Jin Gunung Sampa melemparkan obor-obor itu ke atap sebuah rumah. Padahal di dalamnya Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar tengah terlelap. Maka suasana seketika semakin terang benderang, manakala api dari obor yang dilempar Lima Jin Gunung Sampa membakar bangunan rumah milik almarhum Ki Sapartoga.

Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar yang menyadari kebakaran pada rumah ini, segera saja bangkit dan bersiaga. Mereka sadar, kebakaran yang begitu tiba-tiba ini terasa kurang wajar.

Raja Petir segera beringsut dan bangkit. Dia lalu menuju Dewi Nalar tidur. Dan kedua gadis itu juga telah bangkit, seperti menunggu aba-aba dari Raja Petir.

"Pasti ada seseorang yang sengaja membakar rumah ini, Kakang," simpul Mayang.

"Benar, Kakang Jaka," sambut Dewi Nalar. "Ya, ya. Aku juga menduga begitu," timpal

Jaka. "Hati-hatilah kalian."

"Kitakeluarsekarang,Kakang?"tanya Mayang.

Jaka mengangguk. Kemudian....

"Hops!"

Jaka melesat lebih dulu untuk membaca serangan gelap yang mungkin dilancarkan orangorang yang membakar kediaman almarhum Ki Sapartoga ini.

"Hiyaaa. !"

Wuuusss!

Pratts! Pratts!

Dugaan Jaka ternyata tak meleset. Terbukti baru saja tubuhnya mencelat melewati pintu rumah, dua senjata berbentuk lempengan logam telah menyerbu. Untungnya Raja Petir sudah siap sejak tadi. Sehingga serangan gelap itu dapat dimentahkan dengan pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau Arah'.

Sementara Raja Petir berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah.

Jligkh!

Tepat ketika Jaka mendarat di tanah, dua bayangan berkelebat dan mendarat di sisinya.

Jligkh! Jligkh!

Rupanya, Mayang dan Dewi Nalar telah berdiri di samping Jaka di luar rumah yang kini terbakar. Mereka kini sama-sama berdiri berhadapan dengan lima lelaki yang berjuluk Lima Jin Gunung Sampa.

Dan Dewi Nalar seketika terkejut menyaksikan keberadaan lima lelaki yang dikenalinya sebagai orang-orang yang menghancurkan Perguruan Singa Emas milik ayahnya, sekaligus membunuh ibunya. Dan gadis itu tak akan lupa dengan kejadian sembilan tahun yang lalu. Kejadian yang membuatnya terpaksa harus berpisah dengan ibunya.

"Kalian..!" suara Dewi Nalar tercekat karena kemarahannya yang meluap.

Keterkejutan Dewi Nalar ternyata juga diikuti Lima Jin Gunung Sampa yang berseragam serba biru. Sungguh tak dikira kalau malam ini harus berhadapan dengan sosok pemuda yang belakangan ini namanya sering disebut-sebut oleh kalangan rimba persilatan.

"Raja Petir! Ternyata kau menginginkan juga benda pusaka itu!" kata lelaki tinggi besar yang berwajah bopeng. Dialah orang tertua dari  Lima Jin Gunung Sampa yang bernama Jaraga. "Orang setampan dan sejantanmu memang lebih gampang merayu gadis putri Ki Sapartoga itu!"

"Tutup bacot busukmu, Tua Bangka Bopengan!" hardik Mayang. Telunjuknya langsung menuding wajah Jaraga.

"Rasanya memang begitu, Nisanak. Setelah diberi kepuasan, maka putri Ki Sapartoga itu akan memberi Arca Singa Emas pada Raja Petir!" lanjut lelaki bopeng itu tak mempedulikan hardikan Mayang.

"Keparat! Kuhancurkan bacot busukmu!" bentak Mayang.

Kemarahan gadis itu memang sudah tak terkendali. Kakinya sudah bergerak, hendak menyerang Jaraga.

"Tahan, Mayang," cegah Jaka, melihat tindakan kekasihnya. "Biarkan saja dia berbicara seperti itu. Toh, aku tak seburuk apa yang dikatakannya."

Kemudian tatapan Jaka terarah pada lelaki berwajah bopeng itu. Dan tatapan tajam itu membuat Jaraga merasakan kekuatan aneh yang tibatiba menyelusup ke dalam hatinya.

"Apa kau mampu mempertahankan Arca Singa Emas itu. Raja Petir? Lima Jin Gunung Sampa bukan tokoh kemarin sore!" tandas Jaraga.

Sesungguhnya ucapan Jaraga hanya sekadar untuk menutupi perasaan aneh, ketika beradu pandang dengan Jaka.

"Kalau kalian mendapatkannya dengan jalan baik-baik, dan gadis pewaris Arca Singa Emas itu rela memberikannya, maka aku rela dan tak akan bisa mempertahankannya. Namun jika gadis itu tak rela, dan kalian juga ingin memaksa, maka Raja Petir tak akan tinggal diam!" panjang lebar jawaban Jaka.

Suasana malam sesaat menjadi hening. Nyala api yang terus berkobar menjilati rumah almarhum Ki Sapartoga, memperdengarkan gemerutuk percik api yang membakar tiang-tiang rumah yang mulai roboh.

"Bagaimana, Dewi. Apakah kau rela memberikan Arca Singa Emas milikmu itu pada Lima Jin Gunung Sampa?" tanya Jaka kemudian.

"Aku tak akan pernah membiarkan benda yang sudah turun-temurun terpelihara ini jatuh ke tangan lima lelaki sesat seperti mereka, Kakang. Dan kalau mereka tetap mengingini, maka harus lebih dulu melangkahi mayatku," tegas Dewi Nalar. Tatapan mata Jaka kembali menoleh ke wa-

jah Jaraga.

"Kalian dengar itu?!" tanya Jaka, pada Lima Jin Gunung Sampa.

"Sudahlah, Kakang Jaraga. Jangan dengar ocehan mereka. Kita langsung bantai saja. Arca itu harus segera didapat sebelum orang lain mendahului," ujar lelaki bertubuh bulat yang mata kanannya picak.

"Kau benar, Malaba," sambut Jaraga atas usul orang yang bernama Malaba.

"Ayo!" sambut lelaki yang bertubuh kurus kering. Dia memegang senjata berupa pecut, dan bernama Ganggada.

'Tahan dulu!" cegah Jaka keras menyaksikan orang ketiga yang bernama Ganggada itu sudah hendak membuka serangan.

"Hm.... Apa maumu, Raja Petir. Apa kau takut menghadapi kami?" ujar Ganggada, sinis.

"Bagaimana kalau kita atur pertarungan ini," usul Jaka.

"Maksudmu?" tanya Jaraga, tak mengerti maksud Raja Petir "Bagaimana kalau pertarungan hanya berlangsung antara aku dan kalian berlima," saran Jaka.

"Kakang...?" Mayang terkejut mendengar ucapan Jaka.

"Tenanglah, Mayang. Aku tak ingin kau terlampau lelah menghadapi lelaki-lelaki yang tak tahu malu ini. Jadilah kau penonton yang baik bersama Dewi Nalar," tukas Jaka.

"Keparat kau. Raja Petir! Kau telah meremehkan Lima Jin Gunung Sampa! Kau tahu, taruhannya adalah nyawamu!" hardik orang keempat dari Lima Jin Gunung Sampa. Laki-laki yang bernama asli Guriwang itu menatap Jaka dengan bola mata hampir keluar.

"Ayo, Kakang Jaraga! Kita habisi saja mereka dengan segera," ajak lelaki bertubuh gembur yang merupakan orang termuda dari Lima Jin Gunung Sampa. Namanya, Sitinja.

"Sabar, Sitinja. Aku ingin tahu dulu, apa maksud kelanjutan ucapan Jaka. Barangkali saja bisa menguntungkan kita," cegah Jaraga penasaran.

"Raja Petir, terangkan dengan jelas maksud perkataanmu dengan mengatur pertarungan itu," pinta Malaba.

"Tidak sulit," jawab Jaka. "Jika aku dapat dikalahkan, maka benda itu akan dapat kalian kuasai. Bahkan kami bersedia menjadi abdi kalian. Namun jika kalian yang kutundukkan, maka dosadosa kalian kuampuni. Tapi, Arca Singa Emas itu harus dilupakan," jelas Jaka.

wot

"Keparat kau, Raja Petir!" maki Malaba sewot

Jaka tak  terpengaruh makian  orang  kedua dari Lima Jin Gunung Sampa itu. Tatapan matanya kini tertuju ke wajah Jaraga.

"Bagaimana, Jaraga?" tanya Jaka tenang. "Aku setuju!" jawab Jaraga tegas.

7

Malam yang masih tetap diterangi cahaya sepotong bulan, menampakkan sosok enam lelaki gagah yang tengah bersitegang di atas bumi Desa Granggas. Sementara dua gadis cantik tengah menyaksikan pertarungan yang bakal digelar dengan hati tercekat kecemasan.

"Ayo kita mulai!" kata Jaraga, memberi abaaba pada empat lelaki rekannya.

"Haaat...! Hiyaaa...!" "Haiiit..!"

"Hops!"

Lima lelaki berpakaian biru pekat seketika berlompatan mengurung sosok lelaki muda yang berjuluk Raja Petir. Senjata-senjata mereka yang berupa pecut sudah setengah terangkat di atas pinggang.

Sementara, Raja Petir pun sudah siap mengeluarkan jurus-jurus andalannya untuk mementahkan keroyokan lima lawannya.

"Haaat..!"

"Hiyaaa...!"

Malaba dan Guriwang yang berangasan langsung meluruk ke arah Jaka. Rupa-rupanya dua orang itu ingin lebih dulu menjajal kemampuan tokoh muda yang namanya selalu disebutsebut dalam rimba persilatan. Malah, mereka tak menggunakan senjata untuk menyerang Jaka. Serangan keduanya terangkum dalam jurus 'Badai Gunung Sampa'. Nampak Malaba dengan tangan terkepal meluruk cepat mengarahkan pukulan ke bagian kepala Raja Petir. Sementara, Guriwang menyerang dengan tendangan lurus kaki kanan, mencecar bagian ulu hati.

Bet! Bet! "Hips!"

Jaka yang mampu membaca serangan kedua lawannya, segera saja mengelak menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Gerakannya yang ringan dan cepat bagai kilat, membuat serangan Malaba dan Guriwang mentah.

"Hm"

Malaba bergumam pelan, menyaksikan kecepatan gerak lawan dalam menghindari serangannya. Dan seketika itu juga siasat serangannya dirubah.

"Haiiit..!" Wut! Wut!

Malaba segera saja memutar-mutar pecutnya. Dan sambil melompat, dia berteriak keras memainkan jurus 'Pecut Sakti Para Dewa'.

"Mampus kau. Raja Petir!"

Jaka tentu saja tak tinggal diam. Tubuhnya cepat melenting ke atas.

"Ops!" Ctar!

Kembali serangan pecut Malaba hanya menemui tempat kosong. Dan ini membuat Malaba semakin murka. Maka senjatanya kembali digunakan untuk memberi serangan susulan ke dada Raja Petir yang baru saja mendarat di tanah.

"Hiyaaa..:!"

Tubuh Malaba kembali mencelat dengan pecut terangkat tinggi-tinggi. Sementara, Guriwang pun bertindak sama.

Serangan dari dua arah kini mengancam kedudukan Raja Petir. Namun pemuda tampan berpakaian kuning keemasan itu sedikit pun tak merasa kewalahan. Dan dengan ketenangannya, dinantinya serangan yang lebih dulu datang. Maka ketika pecut Malaba yang tiba lebih dulu mengarah ke batang lehernya, kekuatan tenaga dalamnya dialirkan pada telapak tangan kanan. Lalu, segera saja disambutnya laju pecut Malaba itu.

"Hup!" Trap! "Heh?!"

Terkejut bukan main Malaba menyadari senjatanya dapat ditangkap Raja Petir dengan tangan telanjang. Seketika senjatanya berusaha dibetot. Namun....

"Heh?!"

Kembali Malaba tersentak kaget ketika tibatiba saja tangan Jaka ikut membetot ke arah kiri. Dan pada saat itulah pecut Guriwang melesat ke arah dada Jaka. Karuan saja Malaba kelabakan. Karena tubuhnya yang terbetot kekuatan Jaka, maka bukan mustahil pecut milik Guriwang akan membabat habis tubuhnya.

Dan keterkejutan yang sama juga dialami Guriwang. Orang keempat dari Lima Jin Gunung Sampa ini menyadari kalau tak mungkin lagi menarik pulang serangannya. Mau tak mau, senjatanya memang harus membentur tubuh kakak seperguruannya.

"Uts!"

Di luar dugaan, Malaba melenting setelah lebih dulu melepaskan cekalannya pada pegangan senjatanya.

"Hup!"

"Hop!"

Di luar dugaan pula, Jaka mengikuti lentingan tubuh Malaba. Dan dengan menggunakan pecut milik lawannya yang berada di tangan, memberi serangan balasan.

Ctar! Ctar!

Pecut milik Malaba yang berada di tangan Jaka meledak-ledak mencari sasaran. Sedangkan pemiliknya sendiri bersusah-payah menghindari lidah pecut yang mengincar bagian-bagian peka di tubuhnya.

"Ops! Hups...!"

Berkali-kali Malaba melenting ke udara, untuk menghindari senjatanya sendiri yang dimainkan Jaka.

Melihat kenyataan itu, Jaraga, Ganggada, dan Sitinja sama-sama meluruk cepat, menyongsong tubuh Raja Petir yang tengah mencecar Malaba dengan pecut di tangan.

"Hiyaaa...!"

Teriakan bergema dilakukan tiga dari Lima Jin Gunung Sampa secara berbarengan. Senjata mereka pun sama-sama terangkat terarah ke bagian tubuh Jaka.

"Hm"

Jaka bergumam menyaksikan kedatangan serangan lawan-lawannya. Maka segera disiapkannya jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk menyongsong serangan lawan.

Seketika itu juga Raja Petir memasang kuda-kuda kokoh. Lalu tangannya segera ditarik ke samping pinggang. Kemudian....

"Hih!"

Wrrr. !

Serangkum angin bergulung seperti pusaran angin meluruk dari telapak tangan Jaka yang menghentak kuat. Angin berhawa panas itu terus meluruk deras menyongsong tubuh Jaraga, Ganggada, dan Sitinja yang tengah berada di udara.

Tiga lelaki dari Lima Jin Gunung Sampa itu tentu saja terkejut mendapatkan serangan dahsyat ini. Maka seketika itu juga mereka sama-sama membuang tubuh ke arah yang berbeda, untuk menyelamatkan diri masing-masing.

"Keparat!" "Mampus kau!" "Hiyaaa. !"

Malaba yang sudah terbebas dari incaran senjatanya yang direbut Raja Petir, kini kembali melesat memberi serangan tangan kosong. Dan dari arah kanan pun, Guriwang bergerak dengan pecut yang terangkat dalam jurus 'Pecut Sakti Para Dewa'.

"Hiyaaa...!" Slrrrt..!

Di luar dugaan. Raja Petir melempar pecut miliki Malaba ke arah Guriwang. Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu sengaja ditujukan ke arah perut Guriwang yang tengah terayun ke atas.

Brrrrt..!

"Heh?!"

Bukan main terkejutnya Guriwang mendapatkan pecutnya terbelit pecut milik Malaba yang dilempar Raja Petir. Akibatnya, tubuhnya yang tengah meluncur mendapat dorongan kuat

"Hop!"

Untuk mementahkan daya dorong, Guriwang cepat melenting indah dan mendarat  lunak di tanah.

Jligk!

Sementara itu, Raja Petir sendiri baru saja menghindari tinju Malaba yang terarah ke dada. Dia melompat ke belakang sejauh dua langkah, kemudian melancarkan serangan balasan yang cepat dan tiba-tiba.

"Jaga seranganku!" teriak Jaka ketika menggelar jurus 'Petir Menyambar Elang'.

Tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan itu bergerak cepat dengan tangan terarah ke bagian dada Malaba.

"Hih!" Begkh! "Hegkh!"

Tak mampu Malaba melihat kecepatan gerak Raja Petir. Karena tahu-tahu saja, telapak tangan pemuda itu sudah berada di depan dada. Dan Malaba tak kuasa mengelak atau menangkis. Akibatnya, dadanya telak terhajar telapak tangan Raja Petir. Dan tubuhnya langsung tergempur mundur dua langkah ke belakang.

Jaraga yang baru terbebas dari segulungan angin akibat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau Arah' dari Raja Petir, geram bukan kepalang menyaksikan nasib Malaba.

"Ganggada, Sitinja! Cepat kerahkan aji 'Kawah Beracun'! Aku akan melakukannya bersama Guriwang," perintah Jaraga.

Memang salah satu keanehan ilmu aji 'Kawan Beracun' harus dilakukan secara berpasangan ilmu itu tak bermanfaat jika hanya dilakukan seorang diri. Terkecuali, bagi orang yang sudah memiliki tenaga dalam tinggi dan mencapai taraf kesempurnaan.

Ganggada dan Sitinja yang mendapatkan perintah segera saja bergabung. Kedua telapak tangan mereka segera ditempelkan satu sama lain. Sementara, Jaraga dan Guriwang juga ber tindak sama. Beberapa saat lamanya empat lelaki itu mulai menggelar jurus-jurus awal dari ajian

'Kawah Beracun'.

Kini, uap kehijauan tiba-tiba saja mengepul dari telapak tangan Jaraga dan Guriwang yang menyatu. Begitu juga kenyataannya pada telapak tangan Ganggada dan Sitinja. Uap kehijauan itu terus mengepul semakin banyak.

Sementara, Jaka yang tak melakukan apaapa atas lawan-lawannya hanya memandangi saja. Dan malam pun sudah merangkak semakin jauh. Kokok ayam hutan pun mulai terdengar.

Bersamaan dengan kokok ayam hutan itulah, Jaraga dan kawan-kawannya serentak berteriak keras dengan tangan menghentak keras ke arah Raja Petir.

"Haaa...!" Wrusss...!

Uap kehijauan yang mengepul di tangan empat dari Lima Jin Gunung Sampa meluruk deras ke arah Raja Petir. Dan sebenarnya, pemuda itu memang sudah berencana meladeni ilmu lawan, dengan mengerahkan aji 'Kukuh Karang'. Dan ketika kekuatan tenaga dalamnya disalurkan ke seluruh tubuh, maka yang terjadi pun....

Presss! Presss!

Uap kehijauan milik empat dari Lima Jin Gunung Sampa tak kuasa membungkus tubuh Jaka yang sudah terlindungi sinar kuning keemasan. Bahkan uap kehijauan itu tiba-tiba lenyap begitu saja, tanpa menimbulkan akibat yang berarti bagi keselamatan Raja Petir.

"Heh?!"

Jaraga tentu saja heran bukan main. Begitu juga kawan-kawannya. Dan di tengah keheranan mereka, tiba-tiba saja....

"Ha ha ha. !"

"Ha ha ha...!"

8

Semua orang langsung mengarahkan pandangan pada sumber suara tawa tadi. Rupanya, yang datang adalah dua sosok lelaki berpakaian bergambar kerangka manusia seukuran tubuh mereka sendiri. Kedua lelaki berusia di atas lima puluh tahun itu terlihat begitu kurus. Tulangtulang rahangnya bersembulan keluar, sedangkan bola matanya menjorok ke dalam.

Dua lelaki yang di kalangan dunia persilatan dikenal sebagai Sepasang Tengkorak Cadas Keramat kini berdiri pongah di hadapan Raja Petir dan Lima Jin Gunung Sampa. Sementara, Mayang dan Dewi Nalar yang juga menyaksikan hanya diam saja. Dalam hati, Mayang bertanya-tanya. Bahkan berkesimpulan kalau dua lelaki itu ingin pula merebut Arca Singa Emas milik Dewi Nalar.

"Ha ha ha.... Lima Jin Gunung Sampa! Seharusnya kalian malu tak dapat menundukkan bocah ingusan macam dia," kata salah seorang dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat diiringi tawa menyakitkan.

"Betul, Kakang Punggi. Seharusnya mereka malu dengan julukan yang hebat itu," timpal lelaki lain yang juga mengenakan pakaian sama.

"Kau juga betul, Adi Sanggi. Lima Jin Gunung Sampa sangat memerlukan bantuan kita," sahut lelaki bernama Punggi, dengan tatapan jatuh tepat pada wajah Jaraga.

Jaraga sebagai lelaki tertua dari Lima Jin Gunung Sampa murka bukan kepalang mendengar ucapan Punggi. Memang diakuinya, dua lelaki yang berwajah mirip tengkorak itu bukanlah tokoh sembarangan. Kesaktian mereka sudah diakui dunia persilatan. Namun untuk Lima Jin Gunung Sampa yang mendapatkan penghinaan, itu sama saja sebuah tantangan yang tak patut ditolak.

"Tengkorak Cadas Keramat! Seharusnya kalian bisa jaga mulut, kalau masih ingin melihat matahari!" hardik Jaraga.

"Ha ha ha...!"

Kemarahan Jaraga ditimpali Punggi dengan tawa meremehkan.

"Kurasa kata-kata kami tak ada yang salah, Jin Gunung Samja," balas Punggi.

"Betul," timpal Sanggi. "Bukankah kalian tidak mampu menundukkan bocah ingusan itu? Dan, salahkah kami jika ingin membantu menyingkirkan bocah usilan itu?"

Mata Jaraga kontan terbelalak mendengar kata-kata orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat. Sementara, Raja Petir hanya diam saja menyaksikan perselisihan dua belah pihak yang diyakininya akan menjadi lawan-lawannya.

"Jin Gunung Sampa! Bagaimana kalau sekarang ini kita bekerja sama untuk melenyapkan Raja Petir yang kudengar selalu mau turut campur urusan orang lain. Terutama, urusan tokoh-tokoh golongan hitam. Setelah itu, baru kita tentukan, siapa yang pantas mendapatkan Arca Singa Emas itu," ujar Punggi jelas.

Jaraga tak segera menjawab usulan itu. Namun hatinya membenarkan keinginan Punggi. Untuk menjatuhkan Raja Petir, memang bukan persoalan mudah. Dan memang tidak ada salahnya bila harus bergabung.

"Kalian setuju, Lima Jin Gunung Sampa?" tegas Punggi melihat lima lelaki yang menjadi lawan Jaka hanya diam saja.

"Baik! Biar aku yang mulai lebih dulu menyerang bocah sombong itu. Dan kalau kalian mau turut membantu, rasanya itu akan lebih baik," Sanggi. Dan kakinya sudah terayun dua langkah ke arah Jaka.

"Bersiaplah untuk mampus. Raja Sombong!" maki Sanggi dengan kepalan tangan langsung naik ke atas dada.

Jaka tak menimpali. Hanya tatapan matanya saja yang menusuk tajam, dilayangkan pada wajah kurus milik lelaki yang menantangnya.

"Hwaaa...!"

Pekik melengking terdengar seiring melesatnya tubuh orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat

Lesatan Sanggi cepat bukan main, hingga menimbulkan hembusan angin keras. Apalagi, ketika pukulannya digerakkan ke arah kepala Jaka. Bunyi menderu langsung terdengar mengiringi tibanya kepalan maut bertenaga dalam tinggi.

Bets! "Ets!"

Jaka menggeser tubuhnya ke samping kanan menghindari pukulan tangan kanan Sanggi. Ringan saja gerakannya, namun mampu membuat keinginan Sanggi hanya tinggal impian kosong saja. Memang, serangannya lolos beberapa jengkal dari kepala Jaka.

Rasa penasaran rupanya telah menjerat hati orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat ini. Diiringi pekikan keras, kembali tubuhnya meluruk menyerang Jaka.

"Haaat..!" "Uts!"

Jaka berhasil menghindar dengan melenting ringan menggunakan jurus ‘Lejitan Lidah Petir’. Sehingga serangan Sanggi yang menggunakan cakar untuk melukai lambung kembali gagal.

"Keparat kau. Raja Petir!" hardik Sanggi mendapatkan serangannya kembali gagal. Sementara Raja Petir pun sudah mendarat di tanah.

Maka seketika itu juga....

Srat!

Sanggi langsung meloloskan senjata berupa kapak kecil bertangkai panjang. Senjata berwarna hitam sampai ke tangkai itu digenggamnya kuatkuat. Jelas tenaga dalamnya disalurkan pada benda itu. Kemudian....

Wuk! Wuk..!

Kapak kecil bergagang panjang itu diputarputar keras. Bunyi menderu yang terdengar diiringi pula oleh angin mendesis kuat. Sehingga, mampu menerbangkan kerikil-kerikil kecil yang berada di sekitar tempat Sanggi berpijak.

"Hiaaa. !"

Orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat kini betul-betul melesat dengan senjata yang masih terayun di udara.

Bet! Bet! "Uts!"

Kembali Raja Petir mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir', untuk mengelakkan serangan. Namun kali ini Sanggi seolah mampu membaca gerakannya. Maka ketika Jaka mencelat ke samping kanan, Sanggi juga bergerak ke kanan disertai kelebatan kapaknya yang cepat, terarah ke pangkal paha.

Serangan Sanggi memang cukup berbahaya. Namun orang yang dicecarnya kali ini adalah Jaka, yang sudah kenyang asam-garam pertarungan. Maka hanya memutar tubuhnya saja, serangan Sanggi sudah berhasil dielakkan. Sehingga, ujung kapak yang tajam itu hanya meleset sejengkal dari pangkal paha. Bahkan gerakan Jaka yang memutar tanpa diduga-duga sama sekali berubah menjadi sebuah serangan balasan ke arah Sanggi.

"Awas!" sentak Jaka memperingati Sanggi. Kedua tangan Raja Petir yang terentang,

bergerak memainkan jurus 'Petir Menyambar Liang'. Gerakannya demikian cepat ke arah kepala dan dada, sehingga lelaki berpakaian gambar kerangka manusia itu sesaat jadi gugup. Namun saat selanjutnya, sudah diputuskannya untuk memapak serangan Raja Petir.

Plak! Plak! "Aaakh...!"

Pekik tertahan seketika terdengar, manakala sepasang tangan saling berbenturan keras. Tubuh Sanggi terlihat tergempur mundur empat langkah ke belakang. Sedangkan Jaka hanya merasakan sedikit getaran.

Ditilik dari keadaan yang seperti itu, jelas bisa dipastikan kalau kekuatan tenaga dalam Jaka berada di atas tenaga dalam Sanggi.

"Keparat kau. Raja Petir!" maki Sanggi setelah mampu menguasai diri.

"Kakang Punggi! Kita keroyok saja bocah setan itu!" teriak Sanggi kemudian.

Orang tertua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat yang memang sudah gatal tangannya untuk melenyapkan Raja Petir, segera saja menghentakkan kakinya ke tanah

"Hop!"

"Ayo, Adi Sanggi. Kita lumat tubuh Raja Petir! Biar dunia persilatan tahu, Sepasang Tengkorak Cadas Keramat bukanlah tokoh sembarangan," sambut Punggi, penuh semangat

Srat!

Punggi meloloskan senjatanya yang berupa kapak kecil bertangkai panjang warna hitam pekat

"Mainkan jurus ‘Kapak Maut Cadas Keramat’!" teriak Punggi sambil memutar-mutar senjatanya.

Sanggi yang mendengar ucapan kakaknya, segera melesat ke arah kanan Jaka. Sehingga kedudukan Raja Petir kini tercegat dari kiri dan kanan.

Wuk! Wuk..!

Bunyi menderu dari kapak bertangkai panjang yang dimainkan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat membuat hati Dewi Nalar yang menyaksikan semakin tersiksa kecemasan. Namun perasaan itu tidak terjadi pada diri Mayang. Kekasih Raja Petir ini begitu yakin kalau Jaka mampu menandingi kesaktian lawan-lawannya.

"Hiyaaa...!"

"Heaaat..!"

Sanggi dan Punggi melesat cepat. Sementara senjata masing-masing diarahkan ke bagian selangkangan Raja Petir dan bagian kepala.

Jaka yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, langsung saja mengangkat kedua tangannya. Tangan tokoh muda digdaya itu seketika bergetar hebat. Jelas Raja Petir tengah melakukan penyaluran tenaga dalam tinggi.

Bet! Bet! Tap! Tap!

Di luar dugaan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat, Jaka cepat menggerakkan kedua tangannya. Lalu, cepat ditangkapnya tangkai kapak yang tengah berkelebat ke bagian tubuhnya.

Kapak milik Sanggi yang berkelebat mencecar bagian bawah, nampak terangkat ke atas setelah tercekal kuat tangan Jaka. Sedangkan kapak Punggi yang juga tertangkap, tetap berada di atas.

Adu kekuatan tenaga dalam pun tak terhindari lagi. Otot-otot sepasang tangan Raja Petir yang mencekal senjata lawan-lawannya nampak mengeras di permukaan. Sementara itu Punggi dan Sanggi juga mengerahkan tenaga dalam untuk menarik senjata.

"Hrrrg...!"

"Hrghhh...!"

Gerengan-gerengan kemarahan keluar dari mulut Sepasang Tengkorak Cadas Keramat yang berusaha menarik pulang kapaknya. Namun walau sudah mengerahkan seluruh tenaga yang ada, kapak yang dicekal Jaka tak juga berhasil ditarik

Kenyataan seperti itu segera saja dimanfaatkan orang pertama dan kedua dari Lima Jin Gunung Sampa. Dengan cara licik mereka tibatiba melesat ke arah Jaka sambil mengayunayunkan pecut ke udara.

"Hiaaa...!"

"Yeaaat..!"

Ctar! Ctar...!

Mayang dan Dewi Nalar yang menyaksikan kelicikan Jaraga dan Malaba geram bukan kepalang. Maka tanpa membuang waktu, kedua gadis cantik itu melesat ke arah dua orang dari Lima Jin Gunung Sampa.

"Haiiit..!"

"Hiaaat..!"

Tubuh Dewi Payung Emas dan Dewi Nalar sama-sama berkelebat cepat, menyongsong pecut milik Jaraga dan Malaba dengan payung kecil dari logam dan selendang merah. Mayang yang bergerak menyongsong Jaraga, mengerahkan jurus 'Benteng Emas'. Sedangkan Dewi Nalar menggelar ilmu 'Selendang Merah' ke arah Malaba.

Ctar! Blangngng...!

Bunyi keras dua pasang senjata yang beradu pun tak terelakkan. Dan seketika empat sosok tubuh juga sama-sama terdorong dua langkah ke belakang.

"Keparat kalian, Gadis-gadis Liar!" maki Malaba mendapatkan niatnya untuk melenyapkan Jaka terhalang. "Akan kulumat tubuh kalian!"

"Ganggada, Guriwang, Sitinja!" panggil Malaba pada tiga rekannya yang tidak ikut bertarung. "Ringkus gadis liar itu!"

Ganggada, Guriwang, dan Sitinja segera saja bergerak ke arah Mayang dan Dewi Nalar yang sudah siap menerima serangan dengan senjata masing-masing. Namun belum lagi niat tiga dari Lima Jin Gunung Sampa terlaksana, tiba-tiba saja melesat sesosok tubuh berpakaian putih yang bergerak cepat bagai angin. Sosok itu lalu mendarat ringan di tanah bagai sehelai kapas.

"Laki-laki bejat moral!" umpat sosok berpakaian putih yang ternyata sudah cukup tua.

Lelaki itu bertubuh tinggi kurus. Rambut, kumis, dan jenggotnya sudah berwarna putih. Ikat kepalanya juga berwarna putih.

"Untuk apa kalian ingin memperebutkan Arca Singa Emas itu?"

Pertanyaan yang dilemparkan kakek berpakaian putih itu seperti terdengar dari jarak beriburibu pal jauhnya. Bergema dan memantul-mantul.

Lima Jin Gunung Sampa yang mendapatkan pertanyaan itu seperti tak kuasa menjawab.

"Kalau kalian menginginkan kekayaan, memang Arca Singa Emas dapat memberi kekayaan. Karena dari benda itu akan dapat ditemui letak Goa Singa yang banyak menyimpan benda berharga dan batu permata. Namun jika bertujuan mencari kitab-kitab dan senjata-senjata pusaka, maka kalian harus berhadapan denganku, pemilik sah benda-benda itu," lanjut kakek berpakaian putih bersih itu.

"Jangan-jangan, kau juga ingin memiliki Arca itu, Tua Bangka Bau Tanah!" hardik Jaraga mangkel.

Kakek berbaju putih itu tersenyum.

"Untuk apa merebut barang yang sesungguhnya aku yang punya? Jika aku mau, mudah sekali mendapatkannya. Karena, akulah Pertapa Goa Singa yang memiliki benda yang tengah kalian perebutkan. Namaku, Ki Ajisentanu," sangkal kakek berpakaian putih ini, yang mengaku bernama Ki Ajisentanu.

"Serahkan Arca Singa Emas itu padaku, Dewi," pinta Ki Ajisentanu.

Orang tua itu lalu mengulurkan tangan pada Dewi Nalar. Tatapan mata lembut Ki Ajisentanu membuat Dewi Nalar teringat tatapan mata ayahnya. Ada getaran aneh yang tiba-tiba saja dirasakan Dewi Nalar. Dan nalurinya untuk menyerahkan Arca Singa Emas itu tiba-tiba saja menyemak. Lalu, terulurlah tangan Dewi Nalar, memberikan benda yang selama ini dijaganya dengan taruhan nyawa.

"Terima kasih, Cucuku," ucap Ki Ajisentanu saat menerima Arca Singa Emas dari Dewi Nalar

Dewi Nalar mengangguk disertai senyum sedikit terkembang.

"Hentikan pertarungan itu!" sentak Ki Ajisentanu pada Punggi, Sanggi, dan Jaka yang tengah saling mengadu kekuatan tenaga dalam.

Tubuh Sepasang Tengkorak Cadas Keramat itu tersentak, dan langsung tergempur mundur begitu bentakan Ki Ajisentanu terdengar menggelegar. Sehingga, kedua senjata itu tertinggal di cekalan tangan Jaka yang hanya bergetar ketika bentakan Ki Ajisentanu terdengar. Dan kenyataan ini membuat pertapa sakti, pemilik sah Arca Singa Emas itu terkagum-kagum.

"Sungguh aku kagum melihat pendirianmu yang selalu berpihak pada orang-orang yang lemah dan benar. Raja Petir," ucap Ki Ajisentanu.

Jaka hanya tersenyum saja mendengar pujian kakek berpakaian putih bersih itu.

"Kalian semua! Berkumpullah di situ!" perintah Ki Ajisentanu pada Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat.

Aneh! Tujuh tokoh yang berilmu tinggi ini menuruti saja perintah kakek berpakaian putih itu. Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat kini berkumpul di hadapan Ki Ajisentanu.

"Kalian saksikan keajaiban Arca Singa  Emas ini," ujar Ki Ajisentanu seraya menggosok bagian kaki Arca Singa Emas yang sebesar anak ayam itu.

Maka, keanehan pun seketika nampak. Tebing rendah yang berada tepat di belakang rumah Ki Sapartoga yang sudah rata dengan tanah, tibatiba saja bergetar. Sebentar kemudian, tanah tebing itu bergeser membuka seperti pintu. Kini, terciptalah sebuah goa yang cukup besar, hampir mirip dengan mulut seekor singa yang tengah menganga. Itulah sebabnya, goa itu dinamakan Goa Singa. Dari dalamnya tampak memendar sinar kekuningan.

Jaka, Mayang, dan semua yang menyaksikan menjadi terheran-heran. Dengan tatapan mata tak berkedip, mereka menyaksikan keanehan Goa Singa yang gemerlapan dengan sinar kekuningan.

"Masuklah ke dalam goa itu. Ambillah apa yang kalian inginkan," perintah Ki Ajisentanu pada Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat

Seperti kerbau dicucuk hidung, Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat melangkah tergesa memasuki mulut Goa Singa.

Sementara mata Ki Ajisentanu kini beralih memandang wajah Dewi Nalar

"Cucuku. Biarlah Arca ini kubawa bersama orang-orang serakah itu. Biar dunia ini tak selalu dilanda keributan. Juga, biar arwah Satyagana, Bagura, juga Sapartoga ayahmu, damai di alam baka," lanjut Ki Ajisentanu.

Air mata Dewi Nalar langsung menetes mendengar perkataan kakek berpakaian putih yang menyebut-nyebut nama ayahnya itu.

"Dan untukmu, Raja Petir. Berdirilah yang tegar pada jalan kebenaran," ujar Ki Ajisentanu pada Jaka. "Aku kagum padamu. Permisi." Ki Ajisentanu segera melangkah cepat memasuki mulut Goa Singa

Seiring masuknya tubuh Ki Ajisentanu yang membawa Arca Singa Emas ke mulut Goa Singa yang menyimpan teka-teki, maka seketika itu juga pintu goa menutup. Dan seketika itu pula, tebing rendah itu menjadi seperti sedia kala. Yang terlihat kini hanyalah setumpukan arang bekas bangunan rumah Ki Sapartoga yang terbakar, dengan latar belakang tebing indah yang ditumbuhi semak belukar.

Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya termenung menyaksikan keanehan yang baru saja berlalu. Sementara matahari di langit Desa Granggas mulai menyengat

Tak ada yang tahu, apa yang bakal terjadi di dalam Goa Singa itu. Yang jelas, siapa pun yang masuk ke dalamnya, tak akan kembali lagi. Terutama, bagi orang yang punya niat buruk.

SELESAI



No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 18: Misteri Arca Singa"