Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 14: Ajian Duribang
Kumpulan cerita silat / cersil Raja Petir untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 14:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 14: Ajian Duribang
1
"Hiaaa...!"
Suara teriakan melengking tinggi memecah su- asana pagi yang dipenuhi cericit burung dan desiran lembut angin yang bertiup semilir. Suara teriakan itu memantul di dinding-dinding Gunung Prataram. Dan membubung ke langit. Lalu lenyap terbawa angin.
Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat terdengar belum lama setelah suara teriakan lenyap. Suara ledakan itu be- rasal dari kaki Gunung Prataram. Dua orang lelaki tampak saling mengembangkan senyum. Kelihatannya mereka tengah merasakan suatu kebahagiaan atau kepuasan hati.
"Sungguh tak kusangka pukulan jarak jauhmu lebih sempurna dari yang kumiliki, Laga Lembayung," ucap lelaki berjenggot panjang warna putih.
Lelaki berpakaian kuning berusia sekitar enam puluh tahun dan berambut hitam legam itu terse- nyum, seraya menghampiri lelaki muda berusia sekitar dua puluh satu tahun yang bernama Laga Lembayung. Lelaki muda berpakaian kelabu itu menundukkan ke- pala mendengar pujian lelaki berjenggot putih yang tak lain gurunya.
"Ah, Ki Partugi terlalu berlebihan memuji ke- mampuanku," kilah Laga Lembayung dengan wajah agak tersipu.
"Aku tak akan mengatakan yang tak patut ku- katakan, Laga. Kemampuanmu tadi menunjukkan kau pantas menerima pujian itu. Kau begitu sempurna memainkan jurus 'Melebur Karang'," ucap lelaki tua yang ternyata bernama Ki Partugi.
Laga Lembayung tak membantah ucapan Ki Partugi. Disadarinya kalau ucapan itu keluar dari ke- tulusan hatinya.
"Sekarang, kuminta kau memperagakan 'Ajian Duribang' yang tidak dimiliki tokoh-tokoh persilatan mana pun. Tidak juga Adi Madrani yang tidak bermi- nat mempelajari ilmu silat," pinta Ki Partugi kemudian. Ki Madrani adalah saudara angkat Ki Partugi.
Lelaki itu lebih menyenangi perniagaan daripada mem- pelajari ilmu kekerasan seperti yang dipelajari Ki Par- tugi.
Perpisahannya dengan Ki Partugi terjadi pada sewindu yang silam. Saat itu mereka berdua membawa barang dagangan dengan menggunakan kapal layar bersama para pedagang lainnya. Naas, dalam perjala- nan itu mereka dihadang orang-orang bertopeng yang mengaku Perompak Laut. Pada kejadian itu, Ki Madra- ni mendapat bacokan pada tangan kiri dan tercebur ke laut. Sedangkan Ki Partugi dengan segenap kemam- puan melawan para perampok-perampok itu. Meski akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawan. Dan menceburkan diri ke laut mencari selamat.
"Apakah kira-kira Ki Madrani masih hidup, Ki?" tanya Laga Lembayung sebelum memenuhi permintaan Ki Partugi.
"Entahlah. Setelah kejadian itu, aku berusaha mencarinya. Namun tak kutemukan mayatnya," ucap Ki Partugi.
"Seandainya Ki Madrani masih hidup, apakah dia tertarik mempelajari ilmu silat, termasuk 'Ajian Duribang'? Karena menurutku, Ki Madrani merasa terpukul dengan kejadian itu dan sadar akan penting- nya ilmu bela diri," tanya Laga Lembayung lagi.
Ki Partugi tersenyum sebelum menjawab perta- nyaan muridnya.
"Hal itu bisa saja terjadi, Laga. Tapi kecil sekali kemungkinannya. Kukatakan demikian karena Adi Madrani tak mungkin bertahan di laut dengan tangan yang terluka parah," jawab Ki Partugi.
"Seandainya ada kapal Iain yang lewat di perai- ran itu dan melihat Ki Madrani yang tengah terapung, lalu menolongnya. Kurasa hal itu bisa saja terjadi, Ki," bantah Laga Lembayung.
Ki Partugi kembali mengembangkan senyum-
nya.
"Itulah yang aku harapkan, Laga. Aku bersyu-
kur sekali seandainya Adi Madrani masih hidup," ucap Ki Partugi. "Ayolah, perlihatkan ‘Ajian Duribang’ ting- kat terakhir yang telah kau kuasai."
"Baik, Ki," ucap Laga Lembayung seraya meng- gerakkan kakinya lima langkah menjauh dari hadapan Ki Partugi.
Ki Partugi ikut melangkah sejauh tiga tindak, hingga jarak mereka menjadi lebih jauh. Mata lelaki berjenggot putih itu menatap lurus wajah Laga Lem- bayung yang tengah memusatkan pikiran.
Sesungguhnya, Ki Partugi tahu siapa Laga Lembayung. Pemuda ini adalah putra dari Kerajaan Suraloka. Anak dari lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang di Kerajaan Suraloka menduduki tempat sangat penting. Dialah Patih Sodrana.
Lalu, mengapa Ki Partugi tidak memanggil Laga Lembayung dengan sebutan terhormat 'tuan muda', misalnya? Nah! Di situlah letak kelebihan Laga Lem- bayung. Meskipun dia seorang anak patih, tapi dia tak suka dipanggil ‘tuan muda’.
Terhadap sikap rendah hati yang ditunjukkan Laga Lembayung, akhirnya Ki Partugi pun tak ingin di- rinya dipanggil 'guru'. Ki Partugi meminta Laga Lem- bayung menyebut namanya dengan tambahan ‘Ki’ se- bagai tanda bahwa dirinya lebih tua dari Laga Lem- bayung. Itu terjadi selama hampir tujuh tahun. Selama Laga Lembayung berguru padanya.
Ki Partugi ingat ketika pertama kali hatinya ter- tarik untuk mengambil Laga Lembayung menjadi mu- ridnya. Waktu itu Laga Lembayung tengah dikeroyok tiga pembegal. Ki Partugi menyaksikan bagaimana La- ga Lembayung berusaha keras mempertahankan diri dengan ilmu bela diri yang seadanya. Tetapi karena kemampuan ilmu silat pengeroyoknya lebih tinggi, ma- ka Laga Lembayung berhasil dikalahkan. Untung keti- ga pengeroyok itu tak menghabisi nyawanya.
Ketika Ki Partugi menanyakan apakah Laga Lembayung menyesali hartanya yang dirampok, pemu- da itu menjawab 'Mungkin harta itu bukan milikku'. Jawaban itulah yang disukai Ki Partugi, hingga timbul hasrat di hatinya untuk mengambil Laga Lembayung sebagai murid.
"Ayo lakukan, Laga!" perintah Ki Partugi setelah dirasa pemusatan pikiran Laga Lembayung sudah cu- kup.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Laga Lem- bayung segera merenggangkan dua telapak tangannya yang semula bersatu. Perlahan gerakan itu dilakukan, hingga jarak kedua telapak tangannya terpaut satu ja- ri.
Kemudian Laga Lembayung mengepalkan jari- jarinya yang terbuka. Seiring dengan itu, aliran tenaga dalam ke seluruh tubuhnya dilakukan Laga Lem- bayung sepenuhnya. Seketika otot-otot tangannya ber- sembulan. Lalu dengan cepat tangannya diputar tiga kali. Dan ketika putaran itu selesai dilakukan, saat itu juga tangannya dihentakkan kuat-kuat
"Hiaaa...!" Glarrr!
Sebuah ledakan keras terjadi saat Laga Lem- bayung menggelar ‘Ajian Duribang’. Sebongkah batu sebesar perut gajah hancur berkeping-keping.
Yang mengagumkan dari 'Ajian Duribang' yang telah dikuasai Laga Lembayung adalah batu itu bukan hanya hancur berkeping-keping, tapi kepingan batu itu menjadi merah membara dan mengepulkan asap tipis. Tak terbayangkan akibatnya jika kepala manusia yang menjadi sasaran.
Laga Lembayung menatap kepingan batu yang membara. Napasnya memburu dan keringat memba- sahi dahinya.
"'Ajian Duribang' tingkat akhir yang kau pera- gakan itu pun begitu sempurna, Laga. Rasanya ke- sempurnaan itu hanya kau yang memiliki," ucap Ki Partugi setelah menghampiri sosok lelaki bertubuh ke- kar yang mengenakan pakaian kelabu itu.
"Terima kasih, Ki. Namun semua ini tak lepas dari peran sertamu," ucap Laga Lembayung merendah. Ki Partugi yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Bunga Merah, merasa puas
mendengar ucapan Laga Lembayung.
'Tapi kuingatkan sekali lagi, jangan pergunakan 'Ajian Duribang' tingkat terakhir itu untuk mengakhiri perlawanan musuh-musuhmu. Kecuali jika kau benar- benar menemui jalan buntu, dan hanya dengan men- gerahkan 'Ajian Duribang' tingkat akhir kau terbebas dari maut," ujar Ki Partugi lagi.
"Baik, Ki. Akan kuingat pesanmu," Laga Lem- bayung menundukkan kepala setelah mengucapkan janjinya.
Laga Lembayung sadar sepenuhnya kalau 'Ajian Duribang' yang terdiri dari dua tingkatan itu memiliki kedahsyatan yang tidak patut dipergunakan di sembarang waktu. Maka pemuda itu berjanji dalam hati untuk tidak memperagakan 'Ajian Duribang' ting- kat terendah sekalipun. Kecuali pada saat-saat seperti yang tadi disebutkan Ki Partugi.
"Sekarang semuanya telah selesai, Laga. Kau telah tampil sebagai sosok yang memiliki ilmu bela diri yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Amalkanlah ilmu yang kau miliki untuk kebaikan. Hadapi tantan- gan yang seberat apa pun dalam kehidupan di dunia yang selalu timpang ini. Enyahkan segala bentuk keba- tilan," nasihat Ki Partugi. "Sekarang, kembalilah ke Ke- rajaan Suraloka. Amalkan ilmu yang kau punyai untuk keutuhan wibawa kerajaan. Dan sampaikan salamku pada ayahmu."
"Baik, Ki. Akan kujalani segala pesanmu. Ba- rangkali hanya itu wujud baktiku terhadap budi baik yang telah kau berikan padaku."
Ada kesedihan dalam ucapan Laga Lembayung itu. Memang begitulah kenyataannya. Bertahan-tahun dia hidup bersama Ki Partugj. Selama itu pula Laga Lembayung digembleng dalam hal pekerti bermasyara- kat dan Ilmu olah kanuragan serta ilmu kesaktian. Se- lama tahun-tahun itu, Ki Partugi memberi berbagai bentuk kebaikan tanpa pamrih. Semuanya itu semakin membuat hati Laga Lembayung seperti digayuti kebim- bangan untuk berpisah dengan Ki Partugi si Pendekar Bunga Merah. "Ki "
Parau ucapan yang keluar dari mulut Laga Lembayung. Bibir lelaki putra Patih Sodrana itu berge- tar.
"Jangan beratkan perpisahan ini dengan ke- bimbangan hatimu, Laga. Tak ada perpisahan yang menyedihkan kalau masing-masing kita saling ikhlas. Karena perpisahan itu hakikatnya nyata. Dan akan se- lalu mewarnai segala bentuk kehidupan manusia," pa- par Ki Partugi memotong ucapan Laga Lembayung.
"Saya mengerti, Guru," tukas Laga Lembayung seraya menjura hormat.
Terkesiap juga hati Ki Partugi mendengar Laga Lembayung memanggilnya dengan sebutan 'guru'.
"Jangan memanggilku seperti itu, Laga. Bukan- kah kita sudah berjanji tidak akan saling memanggil dengan sebutan yang dapat membuat kepongahan?" ucap Ki Partugi sedikit menekan.
"Izinkan untuk terakhir kalinya kusebutkan ka- ta-kata itu," bantah Laga Lembayung hati-hati.
Ki Partugi tidak membantah. Tangan lelaki ber- juluk Pendekar Bunga Merah itu terulur perlahan ke arah punggung Laga Lembayung. Dan dengan segenap perasaan telapak tangannya diusapkan.
"Berangkatlah sekarang, Laga. Jangan khawa- tirkan keadaanku di sini. Kelak jika kau membutuh- kanku, kau bisa menemuiku di puncak Gunung Prata- ram ini."
"Ki"
"Sudah lama aku ingin menghindari rimba ke- kerasan, Laga. Namun aku tidak bisa melakukan ka- rena ilmu-ilmuku belum kuturunkan. Sekarang ada kau yang mewakiliku untuk menumpas segala bentuk keangkaramurkaan. Aku akan menghabiskan sisa hi- dupku di puncak Gunung Prataram ini," sergah Ki Par- tugi. "Ayolah berangkat. Lihatlah, langit nampak begitu indah. Dan matahari bersinar penuh kegagahan. Jadi- lah kau seperti matahari yang selalu bersinar dan di- hormati karena wibawa yang tinggi."
"Baiklah, Ki. Aku berangkat sekarang," tukas Laga Lembayung seraya menjura hormat.
Ki Partugi membalas penghormatan Laga Lem- bayung. Dan ketika kepala Ki Partugi dan muridnya te- rangkat, Laga Lembayung segera menjatuhkan lutut- nya dan memeluk kaki gurunya.
"Aku berangkat, Ki. Doakan dan ikhlaskan se- gala yang telah kau berikan padaku," ucap Laga Lem- bayung dengan wajah masih mencium kaki Ki Partugi
"Tentu, Laga," ujar Ki Partugi.
Laga Lembayung bangkit dari bersimpuhnya. Ditatapnya sejenak wajah tua lelaki yang berjuluk Pendekar Bunga Merah itu. Sesaat kemudian, Laga Lembayung membalikkan badan dan melangkah tegar meninggalkan Ki Partugi yang menatapnya dari bela- kang.
Lelaki tua berpakaian kuning itu terus berdiri tegak memandangi kepergian Laga Lembayung yang te- lah merebut hatinya. Laga Lembayung tak ubahnya anak kandung. Ah...! Ketika tubuh pemuda itu lenyap ditelan kelebatan hutan, Ki Partugi membalikkan ba- dan setelah mengucapkan sepatah kata perpisahan.
"Selamat jalan, Laga. "
***
Siang itu matahari berada tepat di atas kepala. Angin yang bertiup sesekali menghantarkan elusan se- juk sesaat.
Di tengah cuaca seperti itu tampak seorang le- laki bertubuh kekar melangkah perlahan. Dari cara le- laki itu melangkah bisa disimpulkan kalau dia bukan penduduk Desa Magetan yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. Lelaki itu berwajah tampan dan gagah. Kelihatannya dia orang persilatan.
Lelaki gagah berpakaian kelabu yang tak lain Laga Lembayung itu terus melangkah. Sedikit pun dia tak mempedulikan sengatan matahari yang bersinar garang di langit Desa Magetan yang membatasi kotara- ja dengan desa-desa lainnya.
Laga Lembayung tiba-tiba terusik kepekaannya. Langkahnya terhenti dan bola matanya berputar-putar seolah mencari sesuatu. Sedangkan kepalanya sedikit ditelengkan. Putra Patih Sodrana itu sedang mencari- cari sumber suara yang didengarnya samar-samar. Be- gitu tersamar dengan gesekan dedaunan yang tertiup angin.
Agak lama juga Laga Lembayung memantapkan pendengarannya. Pada saat berikutnya, tubuhnya su- dah mencelat ke arah suara itu. Begitu cepatnya gera- kan Laga Lembayung. Ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh dilakukannya dengan sempurna. Hingga tak heran dalam waktu singkat dia sudah berada di tempat jeritan itu berasal.
Bukan main murkanya Laga Lembayung me- nyaksikan delapan lelaki gagah bergeletakan tanpa nyawa. Kemurkaannya tak Iain karena melihat pa- kaian yang dikenakan delapan lelaki itu. Pakaian yang dikenalinya sebagai pakaian prajurit Kerajaan Suralo- ka.
"Hhh...!" Laga Lembayung menarik napas pan- jang-panjang untuk meredam kemarahannya.
Ada peristiwa apa di Kerajaan Suraloka? Tanya Laga Lembayung dalam hati. Di benak lelaki berpa- kaian kelabu ini seketika terekam wajah tua orangtua- nya. Patih Sodrana.
"Bagaimana keadaan ayah? Ah.... Aku begitu mengkhawatirkannya," gumam Laga Lembayung, bica- ra pada diri sendiri.
Laga Lembayung berusaha menghilangkan pra- sangka buruk yang melintas di benaknya. Tatapan le- laki muda murid Ki Partugi ini beralih pada mayat- mayat yang bergelimpangan. Tatapan matanya penuh kedukaan.
Aku harus menguburkan mereka! Tekad Laga Lembayung dalam hati. Maka, pemuda itu segera menghampiri tanah kosong yang ada di dekat situ yang terdapat jejeran pohon-pohon jati. "Hih!"
Blarrr!
Tak ada kesukaran bagi Laga Lembayung membuat sebuah lubang besar untuk mengubur dela- pan mayat prajurit Kerajaan Suraloka itu. Hanya den- gan sekali hentakan tangan, disertai 'Ajian Duribang' tingkat pertama, terciptalah sebuah lubang lebar seki- tar satu setengah tombak. Dan ketika Laga Lembayung kembali melakukan pukulan, maka...
"Hiaaa...!" Blarrr!
Tanah merah kembali berpentalan ke udara. Lubang itu kini semakin besar. Laga Lembayung me- narik napas dalam-dalam. Kemudian dengan cepat memasukkan mayat-mayat ke dalam lubang dan me- nimbunnya.
"Hhh...!"
Peluh membasahi pakaiannya ketika Laga Lembayung menarik napas lega. Tenaganya telah diku- ras untuk mengubur mayat-mayat prajurit kerajaan itu.
Sesaat Laga Lembayung memandang langit De- sa Magetan. Kemudian dengan langkah pendek, perja- lanannya kembali dilanjutkan menuju Kerajaan Sura- loka.
***
2
"Haiiit..!" Trang! Trang! Blagkh!
Sesosok tubuh terbalut pakaian hitam terjeng- kang ketika rusuk kirinya terhantam sodokan sikut kanan gadis cantik berpakaian jingga. Lelaki berpa- kaian hitam itu menjerit keras sesaat. Kemudian tu- buhnya ambruk ke tanah dan tak lagi mampu melan- jutkan pertarungan.
Sesaat pertarungan terhenti. Dua puluh lelaki yang berdiri pongah di hadapan gadis berpakaian jing- ga yang tak lain Mayang Sutera, kekasih Raja Petir, nampak tak percaya kalau teman mereka tak mampu menghadapi Mayang Sutera.
Suasana di Desa Magetan yang indah hening sesaat. Mereka yang bertarung kini terlibat saling me- natap.
"Hm.... Kukira kau gadis yang hanya mampu melayani lelaki di kamar," ucap sosok tinggi besar ber- pakaian merah.
Lelaki yang ucapannya agak kotor itu meman- dang wajah cantik Mayang. Matanya yang menjorok ke dalam sangat bertentangan dengan alis matanya yang hampir tak ada. Namun sebaliknya, wajah bagian pinggir lelaki tinggi besar itu ditumbuhi bulu-bulu ka- sar hitam pekat.
"Sungguh tak kusangka gadis secantikmu me- miliki isi," lanjut lelaki brewok yang memimpin belasan lelaki berpakaian hitam.
"Itulah pelajaran buat kalian kaum laki-laki!" bentak Mayang. "Jangan sekali-kali meremehkan pe- rempuan!"
"Ha ha ha...!"
Lelaki brewok berpakaian merah itu tertawa ke-
ras.
"Dipuji sedikit saja besar kepala! Dasar perem-
puan...!" ejek lelaki brewok itu.
"Hentikan!" bentak Mayang sedikit mengerah- kan tenaga dalam. Suaranya terdengar memantul di sudut-sudut Desa Magetan.
Lelaki brewok itu terhenyak mendengar benta- kan kuat yang dilakukan gadis cantik di hadapannya. Tawanya langsung lenyap. Kini tatapan matanya tertu- ju tajam ke wajah Mayang.
"Kau ternyata gadis setan! Semula aku ingin menikmati kecantikanmu, tapi kini seleraku hilang su- dah. Yang ada keinginan untuk melenyapkanmu!" ujar lelaki brewok itu dengan nada kasar. "Ketahuilah. Aku Sagana, pantang dibentak!"
Mayang Sutera membalas tatapan tajam lelaki brewok yang mengaku bernama Sagana itu.
"Sagana! Aku juga pantang mendengar kata- kata kotor yang selalu keluar dari mulutmu yang bu- suk! Aku ragu kalian mampu melenyapkanku!" balas Mayang tak kalah kasar.
"Setan! Cincang mulut perempuan liar itu!" pe- rintah Sagana pada belasan lelaki berpakaian hitam.
Belasan lelaki berwajah kasar segera berlompa- tan mengurung Mayang Sutera. Sungguh suatu pe- mandangan yang janggal. Seorang perempuan belia berhadapan dengan belasan lelaki berwajah kasar yang menghunus senjata bermacam-macam. Akan tetapi ji- ka melihat gadis itu, maka kejadiannya menjadi wajar. Kehebatan ilmu bela diri gadis cantik berpakaian jing- ga itu tidak bisa diragukan lagi.
"Majulah kalian semua kalau ingin segera ma- suk ke liang kubur!" ucap Mayang menantang.
Mayang menyadari belasan lelaki yang mengu- rungnya itu adalah orang-orang yang seringkali beru- rusan dengan kekerasan. Mereka pasti mengenal ilmu silat. Mayang harus mengeluarkan seluruh kepan- daiannya untuk melumpuhkan mereka.
Belasan lelaki yang mengurung Mayang wajah- nya berubah gelap. Itu karena ucapannya yang seperti merendahkan. Namun anak buah Sagana itu tak bera- ni menyerang sebelum mendengar perintah pimpinan- nya.
"Ganyang...!"
Perintah Sagana terdengar menggelegar. Bela- san lelaki berpakaian hitam segera berlompatan den- gan senjata terhunus. Mayang dengan segenap kewas- padaannya memperhatikan gerakan belasan lelaki yang meluruk ke arahnya.
"Hm"
Rrrt!
Selesai bergumam, Mayang segera mengem- bangkan payung kecil yang terbuat dari logam keras. Payung kecil yang selama ini menjadi senjata andalan- nya untuk menghadapi setiap lawan.
"Hiaaa!"
"Heaaat!"
Mayang segera mengatur kedudukannya den- gan membawa mundur kakinya selangkah. Dua lelaki bertubuh kekar melesat lebih cepat dari rekannya den- gan senjata berupa pedang pendek dan golok. Gerakan mereka membelah dan menebas.
Wrrr....
Gadis cantik berpakaian jingga itu segera me- mutar senjatanya dengan pengerahan tenaga dalam. Kemudian kakinya menghentak kuat. Tubuh gadis itu melejit menyongsong dua sosok tubuh yang melesat ke arahnya.
"Hiaaat..!" Trang!
Bret!
Dua pengeroyok yang tiba lebih dulu ternyata harus mengalami kegagalan yang begitu cepat. Lelaki yang satu terpental karena senjatanya beradu dengan permukaan payung Mayang yang berputar keras. Se- dangkan temannya harus merelakan nyawanya pergi meninggalkan raga. Senjata Mayang Sutera telah membabat perutnya setelah lebih dulu menangkis se- rangan. Tubuh lelaki itu langsung ambruk tak bernya- wa. Namun kematiannya tidak membuat lelaki lainnya merasa jera. Mereka terus merangsek maju bagai lebah menemukan madu.
Keadaan di sekitar tempat pertarungan menjadi tak sedap dilihat. Tanah sekitar tempat itu berlubang terkena pukulan nyasar. Dan pohon-pohon kecil ber- tumbangan. Darah berceceran membasahi tanah Desa Magetan.
Kemurkaan belasan lelaki yang menyaksikan kematian temannya semakin membuat Mayang was- pada. Serangan-serangan yang datang dari setiap pen- juru harus dihadapinya dengan perhitungan matang.
Maka Mayang mengeluarkan seluruh kemam- puannya. Tubuhnya berkelebat cepat dan menyelinap di antara kelebatan senjata lawan. Gerakannya yang seperti orang menari di antara rumpun bambu. Meliuk menghindari benturan. Namun sekali senjatanya ber- gerak, lengking kematian pun terdengar susul- menyusu!.
"Hih!" Breeet! "Aaa...!"
Kembali seorang lawannya dijemput ajal. Le- hernya hampir putus terbabat payung logam kuning milik Mayang. Darah memancur dari leher lelaki ber- pakaian hitam itu. Tubuhnya ambruk menggelepar se- perti ayam disembelih.
Memang dalam menghadapi lawan-lawannya yang berjumlah tidak sedikit dan mengenakan senjata, Mayang tak segan-segan mengeluarkan jurus-jurus andalan. Seperti jurus 'Benteng Emas' yang berguna menahan gempuran lawan, sekaligus memberikan se- rangan balasan.
Apa yang dilakukan Mayang memang berhasil menghalau serangan lawan dan menewaskan beberapa orang. Hingga Sagana menjadi gusar. Maka dipu- tuskannya untuk membantu anak buahnya. Sagana segera menghentakkan kakinya, kemudian melenting ke udara melewati kepala orang-orang yang tengah bertarung.
Jleg! "Hiaaa...!" Trang!
Tubuh Sagana terpental mundur saat senja- tanya yang berupa clurit hampir mendarat di leher Mayang. Pekik tertahan mengiringi terhuyungnya tu- buh lelaki brewok berpakaian merah itu.
"Setan!" umpat Sagana sambil memegangi tan- gannya yang bergetar hebat.
Mata Sagana berkilat-kilat bagai naga terluka ketika melihat kehadiran lelaki berpakaian kelabu. Le- laki bertubuh kekar dan berwajah tampan itu berdiri tegak di hadapan Sagana pada jarak dua setengah tombak.
"Kau sudah menyuruh anak buahmu menge- royok gadis belia itu. Sekarang dengan kecuranganmu, kau ingin membokongnya!" ucap lelaki berpakaian ke- labu itu dengan suara ditekan. "Laki-laki macam apa kau...?!"
Sagana tak meladeni ucapan lelaki muda itu. Hanya matanya saja menatap garang sebagai tanda dia tidak sudi dengan campur tangan ini. Lelaki muda berpakaian kelabu yang tak lain Laga Lembayung tak membalas tatapan tajam Sagana. Tatapan mata Laga Lembayung memperhatikan pertarungan Mayang Sute-ra dan anak buah Sagana.
"Teruskan perlawananmu, Nisanak! Biar aku yang menghadap tua bangka pengecut ini!" teriak Laga Lembayung keras.
Sagana marah bukan main disebut tua bangka pengecut. Seketika itu pula dia melesat menerjang La- ga Lembayung. Angin menderu mengiringi tibanya se- rangan Sagana dengan senjata dibabatkan ke lambung putra Patih Sodrana itu.
"Hiaaa...!"
Menyaksikan gerakan Sagana, dengan tenang Laga Lembayung memiringkan tubuhnya.
Dua jari lagi serangan Sagana menyentuh kulit Laga Lembayung yang sudah lebih dulu merubah ke- dudukan. Serangan maut itu pun luput.
Tapi Sagana mempunyai gerakan kilat yang pa- tut mendapat acungan jempol. Sesaat serangannya berhasil dielakkan, serangan berikutnya berhasil dila- kukan dengan tiba-tiba dan tanpa ditingkahi pekikan seperti semula.
Wuuut! "Heh?!"
Laga Lembayung terkejut melihat senjata Saga- na sudah berpindah tangan. Dan tahu-tahu sudah berkelebat mengarah lehernya.
"Uts!"
Dengan gerakannya yang tak kalah cepat, Laga Lembayung merendahkan tubuhnya dalam kedudukan kuda-kuda rendah. Dan ketika serangan kedua Sagana berhasil dielakkannya, Laga Lembayung menjatuhkan tubuhnya seraya memberikan serangan menyampok ke arah kaki Sagana.
Sagana tentu saja terkejut menyaksikan keje- lian Laga Lembayung yang mampu membaca pertaha- nannya yang kosong. Untung Sagana memiliki kepekaan yang baik. Sehingga sampokan lawan berhasil di- elakkan dengan membuang tubuhnya ke arah kiri Laga Lembayung.
Crak! Crak! "Heh...?! Ops!"
Laga Lembayung segera bergulingan di tanah. Ternyata saat membuang tubuhnya, Sagana melaku- kan serangan dengan membacokkan senjatanya secara sembarangan ke bagian tubuh Laga Lembayung. Mak- sud Sagana untuk memberi jarak pertarungan dan berjaga-jaga agar lawan tidak memberikan serangan susulan.
"Hup!"
Laga Lembayung melentingkan tubuhnya keti- ka Sagana tidak lagi melanjutkan serangan. Lentingan yang disertai perputaran tubuh dua kali cukup manis dilakukan Laga Lembayung. Apalagi dengan cara men- darat yang tanpa menimbulkan suara. Jelas menun- jukkan dirinya memiliki ilmu meringankan tubuh ting- kat tinggi. Kedua lelaki yang terpaut usia cukup jauh itu terlihat saling pandang, seperti sedang mengukur kekuatan masing-masing.
Sementara pada pertarungan lain, Mayang Su- tera tanpa menemui kesulitan merobohkan lawan- lawannya. Meski menggunakan payungnya, namun senjata itu tidak digunakan lagi untuk membabat la- wan-lawannya. Senjata itu dipergunakan Mayang un- tuk menangkis serangan lawan.
Trang! Trang!
Kembali Mayang menangkis serangan lawan yang tertuju ke bagian dada dan perut. Benturan keras membuat kedua lawannya yang barusan menyerang terpental balik. Dan dengan kecepatan geraknya, Mayang langsung mengejar.
Tuk! Tuk!
"Aaakh...!" "Akh!"
Dua lelaki berpakaian hitam dilumpuhkan Mayang dengan totokan yang terarah ke jalan darah. Kedua lelaki berwajah kasar itu langsung ambruk dan tak lagi mampu meneruskan pertarungan. Sedangkan sepuluh lelaki yang bermaksud meneruskan penyeran- gan dengan berat hati mengurungkan maksudnya. Me- reka termangu menatap wajah cantik Mayang. Kenge- rian tergurat jelas di wajah lelaki-lelaki itu.
"Mengapa kalian bengong seperti kerbau dun- gu?!" bentak Mayang garang.
Lelaki-lelaki berwajah kasar itu tidak menjawab bentakan Mayang.
"Aaa...!"
Mayang dan lawan-lawannya serta-merta meno- leh ke arah jeritan yang cukup keras.
Rona wajah Mayang dan lelaki-lelaki kasar itu berubah. Curat wajah dara cantik berpakaian jingga itu menampakkan kegembiraan melihat lelaki berpa- kaian kelabu berhasil melumpuhkan Sagana. Sebalik- nya, wajah anak buah Sagana bertambah kecut me- nyaksikan pemimpinnya berhasil dipecundangi Laga Lembayung.
Di sela-sela bibir Sagana nampak darah me- rembes. Lelaki berpakaian merah itu mengalami luka dalam setelah kepalan tangan Laga Lembayung meng- gedor dadanya. Dua orang anak buah Sagana membu- ru tubuh pimpinannya. Dan mengangkatnya bangkit.
"Sebaiknya kita pergi dari sini, Kakang Sagana," ucap salah seorang lelaki berpakaian hitam yang me- nyangga tubuh Sagana.
"Sebaiknya begitu. Mereka terlalu tangguh un- tuk kita," timpal Sagana menyetujui.
"Bagaimana dengan teman-teman yang tergeletak itu?" tanya anak buah Sagana yang satunya. "Suruh teman-teman membebaskan mereka da-
ri totokan gadis setan itu," perintah Sagana.
Salah seorang anak buahnya segera berteriak lantang.
"Bebaskan yang tergeletak itu. Totok jalan da- rah mereka!"
Ucapan itu terdengar jelas oleh anak buah Sa- gana yang lain. Dengan cepat mereka membebaskan teman-temannya.
"Kami akan membalas dendam padamu, Anak Muda!" ancam Sagana.
"Namaku Laga Lembayung! Kau ingat itu, Ki sanak," timpal Laga Lembayung mendengar ancaman Sagana.
"Dan kau juga, Gadis Setan!" lanjut Sagana sambil menuding wajah Mayang Sutera alias Dewi Payung Emas.
"Kutunggu apa yang akan kalian lakukan pa- daku, Sagana!" balas Mayang.
"Huh! Kalian memang bocah-bocah sombong!" bentak Sagana. "Kalian rasakan nanti balasan kami!"
Setelah berkata begitu, Sagana menatap wajah anak buahnya. Kemudian....
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!" perintah Saga- na lantang.
Belasan lelaki berpakaian hitam itu segera ber- lompatan cepat mengikuti jejak pimpinannya yang su- dah berlari lebih dulu. Sementara, lima mayat teman- nya ditinggalkan begitu saja.
Apakah mereka yang membantai prajurit- prajurit Kerajaan Suraloka? Batin Laga Lembayung se- saat setelah belasan lelaki itu lenyap ditelan kelebatan hutan d Desa Magetan.
"Terima kasih atas bantuanmu, Kakang Laga Lembayung," ucap Mayang ketika menyadari di tempat itu hanya tinggal mereka berdua.
"Eh! Ja... jangan ucapkan itu padaku...," uca- pan Laga Lembayung gugup. Sementara mata putra Patih Kerajaan Suraloka itu menatap wajah cantik Mayang Sutera.
"Panggil aku Mayang, Kakang," ucap Mayang lembut "Tapi nama lengkapku Mayang Sutera."
"Eh, ya. Mayang. Tadi itu.... Eh "
Kegugupan Laga Lembayung semakin menjadi ketika Mayang membalas tatapannya. Pemuda itu sungguh tak tahu mengapa dirinya menjadi gugup se- perti ini. Apakah karena selama tujuh tahun lebih di- rinya tak pernah bertemu gadis-gadis yang membuat- nya gugup, atau... kecantikan Mayang yang membuat- nya begitu?
"Pertolonganku hanya kebetulan saja, Mayang," ucap Laga Lembayung sedikit tenang. Dia sudah mampu menguasai hatinya. "Kebetulan aku melewati tempat ini."
"Tapi aku harus tetap mengucapkan terima ka- sih, Kakang Laga Lembayung," kilah Mayang.
"Eh! Hendak ke mana kau sebenarnya, Mayang?" tanya Laga Lembayung mengalihkan per- cakapan.
"Aku tak hendak pergi, Kakang. Aku hanya in- gin menikmati udara pagi. Tapi puluhan lelaki itu telah mengusik kelnginanku," jawab Mayang.
"Apa kau penduduk Desa Magetan ini?" tanya Laga Lembayung lagi.
Mayang Sutera menggeleng. "Lalu ?"
"Aku tengah mengembara dengan seorang te- manku," jelas Mayang.
"Ah! Mana temanmu itu?" tanya Laga Lembayung. "Boleh aku mengenalnya? Apakah dia seorang perempuan juga?"
Mayang tersenyum mendengar pertanyaan be- runtun lelaki di hadapannya.
"Tentu saja dengan senang hati aku bersedia memperkenalkanmu dengan temanku, Kakang Laga. Tapi dia seorang laki-laki," tukas Mayang, menyetujui permintaan pemuda itu.
Wajah Laga Lembayung bersemu merah men- dengar ucapan Mayang. Tapi lelaki berpakaian kelabu itu kini sudah pandai menguasai keadaan.
"Dia pasti kekasihmu. Atau bahkan suamimu," ucap Laga Lembayung, menutupi kekikukannya.
Mayang Sutera tersenyum.
"Kalau kau sebut suami rasanya salah besar, Kakang Laga," jelas Mayang.
"Calon suami tak berbeda jauh dengan suami, Mayang," kilah Laga Lembayung dengan raut wajah tersenyum lucu.
"Ha ha ha...!"
Tawa Mayang betul-betul terlepas mendengar ucapan dan cara bicara putra Patih Sodrana itu.
"Kita temui dia sekarang, Kakang Laga," putus Mayang sesaat setelah tawanya reda.
Laga Lembayung mengangguk, menyetujui usul gadis cantik itu. Dan ketika Mayang mengayunkan langkah, Laga Lembayung mengikutinya di belakang.
***
3
Siang yang beranjak sore membawa langkah Mayang Sutera ke sebuah penginapan di pinggiran De-
sa Magetan, yang berjarak sekitar tiga puluh lima pal dari kotaraja.
Langkah kaki Mayang yang tidak begitu tergesa dibuntuti lelaki berpakaian kelabu yang tak lain Laga Lembayung. Tidak begitu lama perjalanan itu dilaku- kan. Kini di hadapan mereka terpampang sebuah pen- ginapan yang cukup sederhana. Seorang lelaki berpa- kaian kuning keemasan terlihat tengah menatap Mayang dengan wajah keheranan.
"Ah. Maafkan aku, Kakang Jaka. Aku terlambat kembali ke penginapan," ucap Mayang ketika tiba di dekat lelaki berpakaian kuning keemasan yang tidak lain Jaka Sembada, lelaki muda digdaya yang berjuluk Raja Petir.
Sementara di belakang Mayang berdiri Laga Lembayung dengan sikap canggung. Ketika tatapan Jaka hinggap di wajahnya, Laga Lembayung segera mengembangkan senyum bersahabat.
"Oh, ya. Silakan duduk, Kakang Laga. Aku akan menceritakan semuanya pada Kakang Jaka," tu- kas Mayang mempersilakan kawan barunya duduk di hadapan Jaka. Sedangkan gadis itu duduk di samping Raja Petir.
"Sebaiknya Kakang berdua saling berkenalan dulu," pinta Mayang.
Laga Lembayung mengulurkan tangan lebih du- lu. Dan Jaka segera menyambut uluran tangan lelaki itu.
"Laga Lembayung," ucap lelaki berpakaian ke- labu memperkenalkan diri dengan tegas.
"Jaka Sembada," balas Jaka tak kalah tegas.
Sesaat lamanya kedua lelaki itu saling berjabat tangan. Pada saat berikutnya tautan tangan keduanya lepas. Namun Laga Lembayung seperti orang terkesi- ma. Tatapan mata lelaki itu menerawang jauh, seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kau.... Kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya Laga Lembayung kemudian.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Laga Lem- bayung.
"Lupakan saja julukan itu, Laga," ucap Jaka. Sengaja tak memanggil Laga Lembayung dengan sebu- tan 'kakang' atau 'adi'. Menurut Jaka, usianya dan usia Laga Lembayung tak berbeda jauh, malah mung- kin sama.
Sepasang alis Laga Lembayung terangkat men- dengar ucapan Jaka.
"Aku lebih suka kau mengingatku sebagai Jaka Sembada, bukan Raja Petir," tandas Jaka melihat ke- heranan Laga Lembayung.
"Oh! Maafkan, aku tadi tak bersikap hormat padamu, Kakang Jaka," tukas Laga Lembayung seraya menundukkan kepala.
"Jangan bersikap begitu padaku, Laga. Dan jangan panggil aku kakang. Kurasa usia kita tak ber- beda jauh," pinta Jaka merendah.
"Benar rupanya ucapan guruku. Kau memang seorang tokoh yang rendah hati," puji Laga Lem- bayung. "Namun, kuharap kau tak keberatan ku- panggil kakang."
Mayang yang duduk di sebelah Jaka, terse- nyum mendengar pujian Laga Lembayung. Jaka tak membantah keinginan Laga Lembayung. Akhirnya pe- muda itu membiarkan Laga Lembayung memanggil di- rinya kakang.
"Sekarang giliran aku yang bercerita," selak Mayang Sutera ketika tak didengarnya lagi ucapan La- ga Lembayung dan Jaka Sembada.
"Silakan bercerita. Biar aku tahu di mana kau mengenal Laga Lembayung," ucap Jaka menyetujui keinginan kekasihnya.
Mayang Sutera segera menceritakan kejadian yang dialaminya. Bagaimana dirinya dikeroyok anak buah lelaki berpakaian merah yang mengaku bernama Sagana. Dan kedatangan Laga Lembayung yang merin- gankan bebannya, sekaligus menyelamatkannya dari bokongan Sagana.
"Begitulah, Kakang Jaka. Pengeroyokku kira- kira berjumlah dua puluh orang. Tanpa bantuan Ka- kang Laga, aku tak tahu apa yang terjadi padaku," ucap Mayang menuntaskan ceritanya.
Jaka tertegun mendengar cerita kekasihnya. Dia sungguh menyesal telah menaruh curiga pada La- ga Lembayung yang telah menyelamatkan Mayang dari bencana.
"Ah! Terima kasih atas pertolonganmu, Laga. Maafkan sikapku yang telah mencurigaimu," tukas Ja- ka terus terang.
Laga Lembayung tak menyahuti ucapan Raja Petir. Baginya, ucapan Jaka tak ubahnya igauan da- lam mimpi. Dia baru yakin kalau di dunia ini masih ada orang ternama yang memiliki budi pekerti dan si- kap rendah hati.
"Pertolonganku tidak seberapa jika dibanding- kan dengan sepak terjangmu membasmi segala bentuk keangkaramurkaan, Kakang Jaka. Mungkin kelak kau yang akan menolongku," ujar Laga Lembayung.
Jaka Sembada tersenyum.
"Oh, ya. Sebenarnya kau hendak ke mana, La- ga?" tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.
"Aku hendak ke Kerajaan Suraloka," jawab Laga Lembayung singkat.
"Ke Kerajaan Suraloka?" ulang Mayang Sutera. "Apakah Kakang hendak melamar jadi prajurit?"
Laga Lembayung menggelengkan kepala dengan senyum tipis tergurat di wajahnya.
"Tidak, Mayang," ucap Laga Lembayung. "Lalu?"
"Untuk menemui ayahku," jawab Laga Lem- bayung tak bermaksud membanggakan diri.
"Ayahmu...? Beliau bekerja untuk Kerajaan Su- raloka?" tanya Jaka, ingin menegaskan.
Laga Lembayung mengangguk-angguk kepala. "Sebagai apa?" tanya Mayang ingin tahu.
Sesaat Laga Lembayung membiarkan perta- nyaan Mayang. Dan gadis cantik berjuluk Dewi Payung Emas itu tidak mendesak Laga Lembayung untuk se- gera menjawabnya.
"Maaf. Aku tak bermaksud menyombongkan di- ri," ucap Laga Lembayung kemudian. "Di Kerajaan Su- raloka, ayahku menjabat sebagai patih."
"Jadi kau seorang putra patih, Kakang? Oh. Begitu sederhananya penampilanmu. Juga tutur ka- tamu sopan," puji Mayang.
Laga Lembayung tersipu mendengar pujian ga- dis cantik kekasih Raja Petir itu.
"Maaf, Laga. Kalau boleh kutahu, sebenarnya dari mana kau ini. Sepertinya telah menempuh perja- lanan jauh," kata Jaka menutupi ketersipuan Laga Lembayung.
"Seperti orang-orang lain, dan mungkin juga seperti Kakang Jaka. Aku pun ingin memiliki sedikit kemampuan ilmu bela diri. Sebab, menurutku seorang lelaki akan percuma jika tak memiliki ilmu olah kanu- ragan dalam kehidupan yang keras ini. Terlebih hidup di lingkungan kerajaan, yang bukan mustahil penuh persaingan. Untuk itu aku meninggalkan kerajaan un- tuk menuntut ilmu silat. Syukur aku mendapat seo- rang guru yang berilmu tinggi dan berwatak baik, arif, dan bijaksana. Tujuh tahun lebih aku menuntut ilmu pada Ki Partugi," jelas Laga Lembayung menceritakan asal-usulnya.
"Cukup lama juga kau meninggalkan Kerajaan Suraloka dan ayahmu," timpal Jaka.
"Ya. Itu sebabnya aku harus segera ke sana. Aku khawatir telah terjadi sesuatu di sana," tutur Laga Lembayung.
"Kejadian apa maksudmu, Kakang?" tanya Mayang.
"Sebelum aku memergoki pertarunganmu den- gan Sagana dan anak buahnya, aku telah menemukan delapan mayat prajurit Kerajaan Suraloka. Aku tak ta- hu siapa yang membunuh mereka. Aku khawatir ke- matian mereka ada sangkut-pautnya dengan keama- nan Kerajaan Suraloka," ujar Laga Lembayung mene- rangkan.
"Hm...," gumam Jaka. Matanya merayapi wajah cemas Laga Lembayung.
"Jika begitu, sebaiknya kau segera kembali ke Kerajaan Suraloka," putus Jaka.
"Sebaiknya memang begini, Kakang Jaka," ujar Laga Lembayung menyetujui. "Kuharap kalian berdua sudi singgah di Kerajaan Suraloka. Tenaga dan kepan- daian kalian sangat dibutuhkan jika di sana terjadi se- suatu yang tak diinginkan."
"Tentu saja, Laga. Dengan senang hati kuterima undanganmu," sahut Jaka.
Mayang Sutera menganggukkan kepala menye- tujui ucapan Raja Petir.
"Baiklah. Aku pergi sekarang."
Laga Lembayung bangkit dari duduknya. Kemudian tangannya diulurkan untuk berjaba-
tan tangan dengan Jaka dan Mayang. Laga pun mem- bawa langkahnya meninggalkan pasangan pendekar muda itu.Namun baru tiga langkah kaki Laga Lembayung terayun, tiba-tiba dari selatan penginapan yang ditum- buhi pohon-pohon besar berlompatan beberapa sosok tubuh berpakaian hitam. Puluhan lelaki berpakaian hi- tam itu langsung menutup jalan Laga Lembayung.
Lelaki putra Patih Sodrana itu tentu saja was- pada dengan keadaan seperti itu. Di pikirannya terlin- tas dugaan kalau lelaki berpakaian hitam yang meng- hadang jalannya ada hubungannya dengan pengeroyok Mayang. Atau mungkin dengan kematian prajurit Kera- jaan Suraloka.
Jaka dan Mayang yang melihat puluhan lelaki berpakaian hitam, segera beranjak mendekati Laga Lembayung. Tatapan Jaka tajam ke arah lelaki berpa- kaian hitam yang berjumlah tiga puluh orang lebih.
"Tikus-tikus kurap!" maki Mayang geram. "Tenang, Mayang. Kita lihat saja, apa yang me-
reka inginkan," ucap Jaka, menenangkan Ma-yang.
Baru saja selesai ucapan Jaka, dari arah yang sama melesat tiga sosok lelaki berpakaian merah. Ge- rakan ketiga lelaki itu begitu ringan. Dan mendarat tanpa menimbulkan suara. Jelas mereka memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Begitu juga ilmu si- latnya. Tiga lelaki yang berperawakan berbeda itu ber- diri angkuh di hadapan Jaka, Mayang, dan Laga Lem- bayung.
Lelaki pertama bertubuh tinggi besar. Badan- nya tegap dan otot tubuhnya bersembulan keluar dari pakaiannya yang cukup ketat. Wajahnya kasar ditum- buhi kumis tipis. Dialah Sugali. Sedangkan dua lelaki lainnya bertubuh pendek. Namun yang satunya memi- liki perut buncit, hingga tampak lebih mirip gentong air daripada manusia. Sedang temannya bertubuh ku- rus. Mereka bernama Guliwa dan Pardira.
"Ha ha ha.... Kalian harus mampus sekarang!
Tak ada alasan bagi kami untuk membiarkan kalian mereguk udara lama-lama!" Ucap lelaki kurus kering yang bernama Pardira. "Bukan begitu Adi Guliwa dan Adi Sugali?"
"Ha ha ha...!"
Tawa membahana tercipta sebagai jawaban per- tanyaan Pardira.
"Mereka memang tak pantas hidup!" umpat Gu- liwa. Telunjuk lelaki bertubuh mirip gentong air itu menuding wajah Jaka, Mayang dan Laga Lembayung bergantian.
"Ya. Kalau kalian mampu memukul mundur Sagana dan anak buahnya, kini ganti kalian yang kami hempaskan ke karang kematian," ucap Sugali tak mau kalah.
"Maaf Kisanak sekalian. Rasanya di antara kita tak ada permusuhan. Mengapa tiba-tiba saja Kisanak sekalian memusuhi kami?" tanya Jaka tenang. Sua- ranya bagai air dingin yang mengalir menembus keger- sangan.
Tiga lelaki berpakaian merah itu menatap Jaka tajam-tajam.
"Apa pedulimu bertanya seperti itu, Kucing Ko- reng?!" bentak Pardira keras.
Kaki Mayang terangkat satu langkah menden- gar penghinaan lelaki kurus itu. Begitu juga Laga Lembayung. Mereka bermaksud menghajar mulut lan- cang Pardira. Namun tangan Jaka telah lebih dulu menahan langkah Mayang dan Laga Lembayung.
"Sabar. Aku tidak merasa terhina dengan uca- pan yang tak benar itu," cegah Jaka.
Mayang Sutera dan Laga Lembayung mengu- rungkan niatnya menghajar lelaki kurus itu.
"Kisanak. Ketahuilah, aku bukan kucing koreng seperti yang kau ucapkan itu. Kalau boleh kutebak,
kaukah yang berjuluk Cacing Kurang Makan?" balas Jaka tenang. Namun ucapannya berpengaruh dahsyat bagi Pardira.
Wajah Pardira berubah gelap mendengar julu- kan yang diberikan Jaka. Seketika itu pula tangannya terangkat ke atas, memberi perintah pada rekan- rekannya.
"Seraaang...! Ganyang bocah-bocah ingusan itu!" teriak Pardira.
Puluhan lelaki berpakaian hitam, Guliwa serta Sugali segera merangsek menyerang Jaka, Mayang, dan Laga Lembayung. Teriakan dan pekikan mereka hingar-bingar memekakkan telinga.
"Hiaaa...!"
"Heaaat...!"
**
4
Sore yang seharusnya indah dengan angin yang bertiup semilir tak dapat dirasakan lagi. Puluhan lelaki dan seorang dara cantik berpakaian jingga terlihat sal- ing hantam, saling tusuk dan saling babat. Mereka be- rusaha menjatuhkan lawan secepatnya.
Suara pekikan marah dan kesakitan serta den- tang senjata beradu berbaur dengan suara pukulan dan sodokan serta berdebuknya tubuh-tubuh yang ke- na hajar.
Pertarungan yang terpecah menjadi tiga bagian berjalan cukup seru. Dara jelita yang berjuluk Dewi Payung Emas bergerak manis dan lincah, berkelebat di antara serbuan senjata lawan.
Meskipun lawan tidak sedikit, namun perlawa-
nan Mayang Sutera belum menggunakan senjata seca- ra penuh. Senjatanya yang berupa payung logam ma- sih tertutup, Tetapi serangan balasannya mampu mendesak sepuluh lelaki berpakaian hitam dan Sugali.
Mayang Sutera hanya melakukan gerak-gerak cepat menghindar. Dan serangan balasannya hanya untuk menotok jalan darah lawan. Gerakan Mayang Sutera terangkum dalam ilmu 'Menepak Laut Meng- genggam Air' dan 'Totokan Pembeku Gerak'.
"Hiaaa...!" Bet! Bet! Tuk! Tuk!
Terdengar dua jeritan yang hampir bersamaan. Seiring dengan bergeraknya tangan Mayang yang menggenggam payung. Ujung senjata yang terbuat dari logam keras berkelebat cepat menotok punggung dua lelaki berpakaian hitam yang tengah berada di udara. Kedua anak buah Sugali itu langsung terjengkang, dan ambruk di tanah tanpa mampu melanjutkan pertarun- gan.
Para penghuni penginapan yang menyaksikan pertarungan dari dalam, sempat terkagum-kagum me- nyaksikan gadis yang berjuluk Dewi Payung Emas itu.
"Ck ck ck...! Gadis cantik itu hebat betul. Tapi apakah mereka bertiga mampu menghadapi lawan yang banyak?" ucap seorang lelaki pendek yang men- gintip dari balik jendela penginapan.
Pada saat itu, Jaka tengah berhadapan dengan Pardira. Pertarungan itu berlangsung cukup seru. Le- laki pendek kurus itu tampak bernafsu sekali menun- dukkan Jaka. Sayang, lelaki itu tidak tahu dengan sia- pa dia berhadapan. Seandainya sejak pertama tahu, mungkin dia beserta anak buahnya akan mundur tera- tur. Tetapi itu tidak terjadi. Pardira dengan mata gelap terus berkelebat menyerang bagian-bagian peka tubuh Raja Petir.
Jaka segera mengerahkan jurus ‘Lejitan Lidah Petir’. Jurus yang diperuntukkan untuk menghadapi keroyokan lawan dengan mengandalkan kecepatan leji- tan seperti petir menyambar. Beberapa serangan ganas lawan kandas dan membentur tempat kosong. Setiap kali serangan lawan tiba, yang diserangnya justru le- nyap meninggalkan tempatnya.
Kenyataan itu membuat Pardira gusar bukan main. Mulutnya berteriak-teriak memberi perintah pe- nyerangnya agar lebih cepat dan terarah. Namun sayang lawannya Raja Petir. Maka keinginan Pardira hanya tinggal keinginan. Serangan lelaki berpakaian hitam ini sia-sia saja.
"Hiaaa...!"
"Yeaaat...!"
"Haiiit...!"
Tiga lelaki berpakaian hitam yang merasa pena- saran, menyerbu Jaka dengan golok-golok berukuran besar. Sasarannya leher, perut dan dada pemuda itu. Angin berkesiutan mengiringi datangnya serangan dahsyat tiga anak buah Pardira.
Tetap seperti kejadian-kejadian awal, ketiga le- laki itu terpaksa menebaskan senjatanya ke tempat kosong. Sebab Jaka sudah tak ada di tempat ketika se- rangan mereka tiba. Sebaliknya, Jaka menggelar jurus 'Petir Menyambar Elang' yang dipadu dengan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
Tubuh Raja Petir yang berada di udara berputar balik dan meluruk cepat menyerang ketiga anak buah Pardira yang masih tertegun.
"Haaat...!"
Plak! Plak! Plak!
Tamparan tangan yang sedikit dialiri tenaga da- lam, membuat ketiga lelaki itu tak sempat berkutik. Mereka langsung ambruk ke tanah. Pingsan.
Sengaja Jaka melakukan hal itu. Karena dia merasa tidak mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa mereka. Apalagi masalahnya belum diketahui secara pasti.
Apa yang dilakukan Jaka ternyata tidak diikuti Laga Lembayung. Putra Patih Sodrana itu terpaksa mengeluarkan tangan besi untuk menghadapi lawan- lawannya yang sangat menginginkan nyawanya.
"Hiaaa...!"
Sebuah sambaran senjata berkelebat mengarah leher Laga Lembayung. "Heaaat...!"
Belum lagi serangan dari depan sampai, lawan Laga Lembayung yang lain melejit dari arah belakang dengan senjata yang bergerak membacok kepala.
Menghadapi serangan cepat dari dua arah yang berlawanan, tanpa pikir panjang Laga Lembayung menggelar pukulan jarak jauhnya yang bernama jurus ‘Melebur Karang’.
"Haaat..!"
Wrrr...!
Serangkum angin keluar dari tangan kanan La- ga Lembayung yang menghentak. Begitu cepat-nya hingga lawan yang berada di depan tak mampu menge- lak.
Brasss! "Aaa...!"
Tubuh lelaki itu terhempas dengan bagian dada gosong. Nyawanya melayang seketika itu juga.
Laga Lembayung tak peduli melihat kematian lawan. Pemuda itu masih harus menghadapi serangan bokongan. Maka, setelah selesai menggelar jurus 'Melebur Karang', tubuhnya berbalik menghadapi se- rangan lawan.
Bet!
"Uts!"
Laga Lembayung mencondongkan tubuhnya ke belakang ketika serangan lawan datang mencecar da- da. Seiring dengan gerakannya, diam-diam Laga Lem- bayung menciptakan 'Ajian Duribang' tingkat pertama.
"Hih!" Bleps! "Aaakh...!"
Tubuh orang berpakaian serba hitam itu lang- sung terjengkang ke belakang terkena pukulan Laga Lembayung. Lelaki itu ambruk ke tanah dengan tanda merah terlihat pada pergelangan kaki. Sedangkan nyawanya melayang, seiring dengan pukulan yang me- nerpa dada.
"Jangan salahkan aku jika nyawa kalian kuki- rim ke neraka!" teriak Laga Lembayung keras.
Ucapan putra Patih Sodrana itu ternyata ber- pengaruh besar pada Guliwa. Lelaki pendek seperti gentong air itu tertegun tanpa melanjutkan serangan.
"Suiiiit...!"
Tiba-tiba terdengar siulan yang cukup keras. Siulan yang dilakukan Pardira dengan menge-
rahkan tenaga dalam.
Pada awalnya, Jaka, Mayang dan Laga Lem- bayung tertegun mendengar siulan yang melengking tinggi itu. Namun mereka tersadar ketika melihat la- wan-lawannya berkelebat cepat. Mereka membopong kawan-kawannya yang tergeletak pingsan. Sedangkan yang menjadi mayat tak dipedulikan. Pardira, Sugali, dan Guliwa bergerak meninggalkan tempat pertarun- gan. Diikuti puluhan anak buahnya.
Jaka, Mayang dan Laga Lembayung hanya me- mandangi kepergian mereka tanpa berusaha mengejar. Jaka tak ingin mengejar puluhan lelaki berbaju hitam dan tiga lelaki berpakaian merah karena merasa tak mempunyai urusan dengan mereka. Begitu juga Laga Lembayung yang lebih mementingkan segera kembali ke Kerajaan Suraloka daripada harus mengejar pulu- han lelaki yang tidak diketahui keinginannya.
Perkelahian telah usai. Beberapa orang yang menonton pertarungan dari dalam penginapan, dan seorang lelaki setengah baya pemilik penginapan serta beberapa pembantunya berhamburan keluar meng- hampiri Jaka, Mayang dan Laga Lembayung. Mereka berdecak kagum atas kehebatan ketiga anak muda itu. "Kalian betul-betul hebat," puji lelaki berpa-
kaian coklat yang tak lain pemilik penginapan. "Baru kali ini aku menyaksikan mereka tak berkutik."
"Siapa sebenarnya mereka, Ki?" tanya Jaka yang merasa tertarik dengan ucapan lelaki setengah baya itu.
"Secara jelasnya aku tak tahu siapa mereka, Anak Muda. Namun pekerjaan mereka sehari-hari memang membegal pendatang-pendatang baru di Desa Magetan ini. Mereka menamai dirinya Macan Hutan Lindung."
"Apa markas mereka di Hutan Lindung?" tanya Mayang polos.
"Bisa jadi, Nisanak," ucap pemilik penginapan. "Hm...," gumam Jaka.
"Aku bangga gerombolan Macan Hutan Lindung berhasil kalian taklukkan. Tapi, aku juga khawatir me- reka melakukan pembalasan terhadap penginapanku," ucap pemilik penginapan dengan raut wajah yang tiba- tiba berubah pucat.
Ketiga anak muda itu tersentak mendengar ucapan pemilik penginapan itu.
"Aku akan menunggu kedatangan mereka un- tuk membalas dendam di penginapan ini, Kisanak," ucap Mayang, mencoba menenangkan kekhawatiran lelaki setengah baya itu.
Jaka memandang wajah kekasihnya, merasa terharu dengan tanggung jawab yang ditunjukkan Mayang.
"Betul, Ki. Aku akan tetap di penginapan ini sampai mereka datang untuk membalas dendam. Na- mun aku lebih berharap mereka tidak melakukannya," timpal Jaka.
Tatapan pemuda berpakaian kuning keemasan itu kemudian beralih pada Laga Lembayung.
"Silakan kau kembali ke Kerajaan Suraloka, La- ga," ucap Jaka, tanpa bermaksud memerintah.
"Kau benar, Kakang Jaka. Aku memang harus segera menemui ayahku. Aku ingin membuktikan ke- cemasanku," ucap Laga Lembayung, menyetujui usul Jaka.
"Kudoakan tak terjadi apa-apa di Kerajaan Su- raloka, Laga," tukas Jaka seraya memegang bahu Laga Lembayung. "Aku akan mengunjungimu setelah per- soalan di penginapan ini selesai."
"Kalau begitu, aku pergi sekarang. Kutunggu kedatangan kalian berdua," ucap Laga Lembayung se- raya menatap wajah Jaka dan Mayang bergantian. "Mari Kakang Jaka, Mayang dan Kisanak semua. "
Tubuh putra Patih Sodrana itu segera berbalik. Dan melangkah cepat-cepat. Mayang, Jaka dan bebe- rapa penghuni penginapan menatap tubuh Laga Lem- bayung dari kejauhan. Sampai tubuh yang terbalut pakaian kelabu itu lenyap.
Jaka segera memandang wajah pemilik pengi-
napan.
''Maaf, Ki. Bisakah kau menolongku mengurus
mayat-mayat itu?" pinta Jaka sopan.
Pemilik penginapan menganggukkan kepala. Dengan gerakan tangannya, lelaki setengah baya itu
memerintah pembantu-pembantunya untuk mengurus mayat anggota Macan Hutan Lindung. Sedangkan Jaka kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Diikuti Mayang yang kamarnya bersebelahan dengannya.
***
5
Udara pagi sangat jernih ketika Laga Lem- bayung tiba di muka gapura kehormatan Istana Sura- loka. Dari situ, kira-kira seperempat pal jauhnya, ter- dapat pagar pembatas dari beton dengan pintu berlapis baja. Kelihatan sangat tegar dan kuat.
Agak menjorok ke dalam tampak bangunan yang lebih tinggi dari pagar pembatas. Bangunan tinggi memanjang searah dengan pagar batas itu ruang pen- gintaian yang dihuni pasukan panah. Penghuni ban- gunan pengintai tak kurang lima ratus ahli panah.
Laga Lembayung bersikap tenang, karena tidak dilihatnya ada hal-hal yang dikhawatirkan, melan- jutkan langkahnya setelah sesaat tadi memandangi muka Istana Suraloka yang masih penuh kesan wiba- wa. Bangunannya nampak terawat rapi. Dan para pen- jaganya patuh dan sigap.
"Berhenti!"
Sebuah bentakan yang cukup kuat membuat Laga Lembayung mengurungkan langkahnya yang tinggal selangkah lagi melewati gapura kehormatan.
Dua penjaga gapura yang bertubuh tinggi kekar menghadang Laga Lembayung dengan tombak.
"Gerak-gerikmu semenjak tadi kuperhatikan sangat mencurigakan. Siapa kau? Ada keperluan apa melintasi gapura kehormatan?" tanya lelaki tinggi kekar dengan kumis kasar melintang.
Laga Lembayung tersenyum mendengar perta- nyaan penjaga itu. Dia maklum dengan perbuatan-nya yang mungkin menjadi prajurit jaga setelah Laga Lem- bayung tak lagi tinggal di lingkungan kerajaan. Itu se- babnya Laga Lembayung tidak marah. Malah dikagu- minya kewaspadaan prajurit jaga itu. Kewaspadaan seperti itulah yang dibutuhkan untuk keamanan suatu kerajaan.
"Namaku Laga Lembayung," ucapnya memper- kenalkan diri.
Laga Lembayung baru hendak meneruskan ucapannya ketika dilihatnya dari arah belakang penja- ga nampak seorang berlari-lari kecil ke arahnya. Laga Lembayung tak meneruskan niatnya.
"Tuan muda!"
Panggilan lelaki setengah baya yang tengah ber- lari itu membuat dua penjaga yang menghadang Laga Lembayung dengan tombak cepat menarik senjatanya masing-masing. Kemudian bergerak cepat mundur sa- tu langkah dengan sikap tegap, dengan tombak dipe- gang di samping pinggang.
"Tuan muda, mana prajurit-prajurit yang ditu- gas menjemputmu?" tanya lelaki setengah baya setelah lebih dulu merundukkan kepala.
"Ah, Paman Wibi. Kau sehat-sehat saja?" balik Laga Lembayung mengalihkan percakapan. Sungguh tak enak kalau menceritakan kematian delapan praju- rit kerajaan yang ditemukannya di mulut Desa Mage- tan.
Lelaki setengah baya yang dipanggil Paman Wi- bi itu menganggukkan kepala.
"Ah! Syukurlah jika begitu," ucap Laga Lem- bayung. "Bagaimana dengan ayahku, Paman?"
"Beliau sehat. Tak kurang suatu apa," ujar Paman Wibi.
Dua prajurit jaga yang mendengar percakapan Laga Lembayung dengan orang kepercayaan Patih So- drana menjadi semakin tak enak hati. Jantung kedua lelaki itu berdebar keras. Sementara paras mereka ber- semu merah. Mereka khawatir kedudukannya akan le- pas mengingat sikapnya yang kasar pada lelaki yang begitu dihormati Paman Wibi.
Setelah mendengar kabar baik tentang ayah- nya, Laga Lembayung segera melangkah menghampiri dua penjaga yang tadi menghadang perjalanannya. Jantung dua penjaga itu semakin berdegup kencang melihat langkah kaki Laga Lembayung yang meng- hampiri. Berdirinya pun tampak bergetar.
"Namamu siapa, Kisanak?" tanya Laga Lem- bayung pada lelaki bertubuh kekar yang berkumis ka- sar melintang.
"Hamba... ham "
Laga Lembayung tersenyum melihat kegugupan lelaki berwajah kasar di hadapannya.
"Kenapa menjadi gugup seperti itu? Sebagai seorang prajurit jaga seharusnya bersikap tegas dan tegap. Seperti yang kau perlihatkan barusan padaku. Aku suka sikapmu yang pertama itu. Tegas," ujar Laga Lembayung.
Seperti ada air sejuk menyirami hati lelaki ber- kumis kasar melintang. Hatinya tiba-tiba menjadi te- nang. Dan jantungnya berdetak teratur. Semua itu berkat ucapan Laga Lembayung yang begitu penuh wi- bawa.
"Nama hamba Jonawa, Tuan Muda," ucap lelaki berkumis kasar melintang tegas.
"Nah, begitu! Dan kau?" tanya Laga Lembayung pada lelaki bertubuh tegap tanpa kumis. Rambutnya ikal berwarna hitam legam. "Hamba Lapak, Tuan Muda," jawab lelaki yang berdiri di sebelah kanan Jonawa.
"Bagus! Aku senang dengan sikap yang kalian tunjukkan. Sebagai prajurit jaga, modal kalian adalah kewaspadaan penuh pada setiap keadaan. Jangan se- kali-kali lengah. Karena kelengahan kalian berakibat kekacauan bagi kerajaan ini," tukas Laga Lembayung menasihati. "Namun, hiasilah kewibawaan kerajaan ini dengan budi yang luhur serta sopan-santun kalian."
Dua prajurit jaga itu hanya menundukkan ke- pala mendengar ucapan Laga Lembayung yang dirasa- kan sangat benar dan patut dijunjung tinggi.
"Aku maklum kalau kalian tak mengenalku. Sudah tujuh tahun lebih aku meninggalkan Kerajaan Suraloka. Mungkin kau bertugas di kerajaan ini sete- lah aku tidak di sini. Prajurit! Angkat kepala kalian. Dan tatap wajahku," pinta Laga Lembayung
Prajurit jaga yang bernama Jonawa dan Lapak serta-merta mengangkat wajah. Mata mereka nampak takut-takut menatap wajah putera Patih Sodrana.
"Kalian ingat baik-baik. Namaku Laga Lem- bayung, putra Patih Sodrana," ujar Laga Lembayung.
"Ohhh"
Ada nada keterkejutan yang terlontar begitu sa- ja dari mulut prajurit jaga itu.
"Di antara kita tak ada perbedaan, Paman Jo- nawa dan Paman Lapak," kilah Laga Lembayung. "Asalkan kita dapat saling menghormati kepentingan masing-masing. "
Dua prajurit jaga itu menundukkan kepala mendengar ucapan luhur putra Patih Sodrana. Sung- guh keduanya mengagumi sikap dan budi pekerti lela- ki muda yang berdiri di hadapannya. Yang menurut mereka begitu luhur.
"Kembalilah pada tugas masing-masing," perintah Laga Lembayung seraya memegang pundak salah seorang prajurit jaga.
Dua prajurit jaga itu segera mematuhi perintah Laga Lembayung setelah lebih dulu menjura hormat
"Sebaiknya lekas kita temui ayah. Paman," ajak Laga Lembayung pada Paman Wibi.
"Ayo, Tuan Muda," timpal Paman Wibi. Lalu melangkah lebih dahulu. Diikuti Laga Lembayung den- gan langkah panjangnya, hingga keduanya melangkah sejajar.
***
Suasana di kepatihan sunyi dan lengang. Angin berhembus semilir menggoyangkan pucuk-pucuk ce- mara yang tumbuh berjajar rapi. Sejauh mata meman- dang, yang terlihat hanya taman-taman indah di su- dut-sudut lingkup kepatihan.
Burung-burung kecil bersenandung sambil ber- lompatan dari ranting ke ranting, menambah keinda- han suasana kepatihan. Sementara di tempat-tempat tertentu tampak beberapa prajurit jaga menunaikan tugasnya. Mereka menjura ketika melihat kedatangan Paman Wibi dan Laga Lembayung.
Memasuki halaman rumah Patih Sodrana, Laga Lembayung dan Paman Wibi disambut dengan tundu- kan kepala empat prajurit jaga. Laga Lembayung membalas penghormatan mereka.
"Anakku...!" sambut seorang lelaki tua berpa- kaian putih bergaris renda keemasan, Lelaki berusia lima puluh dua tahun itu menghambur menyongsong Laga Lembayung yang berdiri tegak di ruang utama kepatihan.
"Ayah...!"
Laga Lembayung pun melakukan hal yang sama. Mereka berangkulan melepaskan kerinduan yang bertahun-tahun terpendam di dasar hati. Suasana ha- ru meliputi ruang utama kepatihan itu.
"Kau bertambah tampan dan gagah, Anakku," ujar lelaki berambut panjang yang digelung ke atas.
Dialah Patih Sodrana, ayah kandung Laga Lembayung.
"Ah, Ayah. Kau pun begitu. Meski usiamu ber- tambah, namun wibawa Ayah tak kalah bertambah- nya," timpal Laga Lembayung.
Patih Sodrana tersenyum mendengar ucapan anaknya. Kemudian tangannya kembali terulur me- rangkul tubuh Laga Lembayung. Saat itu ingatan Patih Sodrana kembali pada masa ketika ibu Laga Lem- bayung masih hidup. Istrinya, Saraswati, amat me- nyayangi Laga Lembayung. Namun sayang dia harus menghadap Sang Pencipta untuk selamanya di saat putra satu-satunya berusia sebelas tahun.
"Kau bertemu di mana dengan delapan prajurit yang kuutus?" tanya Patih Sodrana sambil mengajak putranya duduk.
Laga Lembayung tidak segera menjawab perta- nyaan ayahnya. Tatapannya beralih ke wajah Paman Wibi.
"Terima kasih atas kesediaanmu mengantarku, Paman," ucap Laga Lembayung dengan harapan Pa- man Wibi mengerti kalau dirinya hanya ingin berdua saja dengan ayahnya.
Paman Wibi memang orang yang cerdik dan berwawasan luas. Dia mengerti maksud ucapan Laga Lembayung. Maka, lelaki itu segera menundukkan ke- pala dan memohon diri.
***
"Ahhh...!"
Patih Sodrana terkejut mendengar cerita Laga Lembayung akan kematian delapan prajurit kerajaan yang ternyata diutus ayahnya untuk menjemputnya.
"Apakah kematian mereka perlu kita laporkan ke hadapan Prabu Lokawisesa?" tanya Laga Lem- bayung hati-hati.
"Melaporkan kematian mereka memang harus, Laga." jawab Patih Sodrana seraya memandang barisan pohon cemara yang kelihatan melalui jendela. "Namun kita harus memberikan alasan yang tepat agar Prabu Lokawisesa tidak menjadi resah atas kabar buruk ini."
"Kurasa kematian mereka karena hal yang bi- asa Ayah. Tidak ada sangkut-pautnya dengan wibawa kerajaan. Barangkali saja dalam perjalanan mereka bertemu sekawanan pembegal yang menginginkan har- ta-harta mereka," ucap Laga Lembayung mencoba mencarikan jalan keluar.
Patih Sodrana mengangguk-angguk mendengar kemungkinan yang dipaparkan putranya.
"Kemungkinan itu mungkin benar, Laga. Tapi yang jelas keamanan di sekitar kerajaan perlu dilipat- gandakan. Dan kewaspadaan harus ditingkatkan. Khususnya bagi diri kita," timpal Patih Sodrana.
Kini Laga Lembayung yang mengangguk mem- benarkan ucapan ayahnya.
"Ah. Kau kelihatan lelah sekali, Laga. Sebaiknya beristirahatlah dulu. Ceritanya bisa kita lanjutkan nanti," putus Patih Sodrana seraya memegang bahu putranya.
Laga Lembayung tak membantah ucapan ayah- nya. Dia memang sangat lelah dan perlu istirahat un- tuk mengembalikan tenaganya seperti semula.
"Besok pagi kita menghadap Maha Pati Gempita dan Prabu Lokawisesa," ucap Patih Sodrana. Laga Lembayung mengangguk. Kemudian berla- lu meninggalkan ayahnya menuju kamar.
***
6
Di ruangan Prabu Lokawisesa kegembiraan se- dang melanda. Prabu Lokawisesa menampakkan air muka cerah. Berkali-kali senyumnya tercipta, yang ter- tuju pada Laga Lembayung. Lelaki bertubuh tegap dan tampan.
Di sebelah kanan Laga Lembayung duduk den- gan khidmat Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita. Beliau adalah saudara lain ibu dengan Prabu Lokawi- sesa. Maha Patih Gempita putra seorang selir men- diang ayah Prabu Lokawisesa. Namun selama belasan tahun dia tidak menetap di Istana Suraloka. Maha Pa- tih Gempita tinggal di sebuah padepokan yang berada di luar kerajaan. Ketika dia berkeputusan menetap di istana, Prabu Lokawisesa memberinya jabatan sebagai maha patih. Meskipun di Kerajaan Suraloka sudah ada seorang patih, yakni Patih Sodrana. Pemberian jabatan itu dilakukan sang Prabu karena rasa persaudaraan yang tinggi pada Maha Patih Gempita. Walaupun dia anak seorang selir. Di Kerajaan Suraloka kini ada seo- rang patih dan maha patih.
"Aku senang melihatmu kembali, Laga," ucap Prabu Lokawisesa dengan senyum terkembang. "Menu- rutku, sekarang kau bukan Laga Lembayung yang du- lu. Tubuhmu nampak kekar dengan otot-otot bersem- bulan keluar sebagai simbol kegagahan," puji Prabu Lokawisesa gembira.
Laga Lembayung merasa risih mendapat pujian demikian dari orang yang sangat dihormatinya. Maka sebisanya putra Patih Sodrana itu menyembunyikan kerisihannya dengan menundukkan kepala dalam- dalam.
"Laga. Kehadiranmu di tengah-tengah kami kini adalah sebagai Laga Lembayung yang telah memiliki kemampuan ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh. Kuduga kemampuanmu lebih tinggi dari punggawa- punggawa di kerajaan ini. Atau bahkan mampu mele- bihi kepandaian ayahmu, dan Maha Patih Gempita. Aku bangga jika hal itu benar nyata. Aku akan mem- berikan kedudukan yang tinggi padamu, sebagai pe- mimpin punggawa-punggawa inti," lanjut Prabu Loka- wisesa.
Laga Lembayung memberanikan diri mengang- kat sedikit kepalanya. Kemudian berkata dengan so- pan-santun yang tinggi.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Rasanya hamba tak pantas menerima pujian. Apalagi jabatan yang se- perti Paduka janjikan," ucap Laga Lembayung hati- hati. "Hamba rasa, hamba tak patut disejajarkan den- gan punggawa-punggawa yang telah puluhan tahun berbakti di Suraloka ini. Terlebih untuk berdiri sama tinggi dengan ayah hamba, dan Maha Patih Gempita. Hamba merasa malu sekali, Yang Mulia."
Prabu Lokawisesa tersenyum mendengar uca- pan Laga Lembayung. Begitu juga Patih Sodrana. Di- rinya begitu bangga melihat anaknya bersikap rendah hati di hadapan Prabu Lokawisesa.
Ternyata begitu juga sikap Maha Patih Gempita atas ucapan Laga Lembayung. Maha Patih Kerajaan Suraloka itu tampak tersenyum. Tapi senyumnya terkesan dibuat-buat. Seperti tak senang dengan pu- jian Prabu Lokawisesa dan jawaban Laga Lembayung. Terlebih dengan keinginan Prabu Lokawisesa yang bermaksud memberi kedudukan pada putra Patih So- drana sebagai pimpinan punggawa-punggawa inti. Mungkin sikap Maha Patih Gempita yang seperti itu karena dirinya sampai saat ini belum dikarunia seo- rang anak pun.
"Aku tambah bangga dengan sikapmu yang rendah hati, Laga. Namun kuharap kau tidak berkebe- ratan jika aku ingin menyaksikan kepandaian yang kau miliki," ucap Prabu Lokawisesa sesaat setelah memandangi wajah tampan Laga Lembayung.
"Kalau Yang Mulia menginginkan hal itu, ham- ba dengan senang hati akan mematuhinya," jawab La- ga Lembayung tegas. "Tapi sebelumnya hamba meng- haturkan sembah maaf seandainya Yang Mulia tidak berkenan dengan apa yang hamba perlihatkan. "
Kembali Prabu Lokawisesa tersenyum menden- gar ucapan putra Patih Sodrana itu. Langkah kakinya pun tercipta mendekati Laga Lembayung.
"Mari kita ke taman belakang istana. Tak sabar rasanya hati ini ingin menyaksikan kebolehanmu, La- ga," ucap Prabu Lokawisesa seraya menyentuh bahu Laga Lembayung. Lalu mengajaknya berjalan beririn- gan.
Dengan langkah takut-takut, Laga Lembayung mengikuti langkah kaki Prabu Lokawisesa. Sementara Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita bergegas men- gikuti langkah Prabu Lokawisesa dan Laga Lembayung yang berjalan menuju taman belakang istana. Sebuah taman yang cukup luas.
"Ayo mulailah, Laga," perintah Prabu Lokawise- sa setelah sesaat menempati kursinya.
Laga Lembayung melangkah lebih ke tengah. Pemuda itu berdiri tegak lalu memberi hormat. Sebe- lum memperlihatkan kepandaian yang diperoleh sela- ma tujuh tahun perantauannya. Sebuah kuda-kuda kokoh diciptakan Laga Lembayung dengan sempurna. Sementara tangannya bergerak melipat-lipat, kaku, namun terlihat begitu lincah. Kadang melipat, di lain waktu menohok, me- nangkis dan menebas dengan telapak tangan kanan bergantian dengan tangan kiri. Semua gerakan itu di- lakukan dengan cepat. Tapi tidak terdengar bunyi yang mengiringi gerakan Laga Lembayung. Itulah jurus tan- gan kosong 'Menentang Ombak Meredam Debur'.
Prabu Lokawisesa tersenyum bangga menyak- sikan gerakan-gerakan cepat yang disuguhkan Laga Lembayung, Seperti gerakan seorang penari. Puji Pra- bu Lokawisesa dalam hati.
Lelaki berusia lima puluh lima tahun yang menduduki singgasana tertinggi di Kerajaan Suraloka itu terns memperhatikan dengan seksama setiap gera- kan yang dilakukan putra tunggal Patih Sodrana itu. Mata Prabu Lokawisesa seolah tak berkedip. Sementa- ra lidahnya berdecak-decak penuh kekaguman.
Seperti halnya Prabu Lokawisesa, Patih Sodra- na pun memendam perasaan yang sama. Tapi pera- saan itu tidak ditunjukkan ketika dilihatnya Maha Pa- tih Gempita menunjukkan sikap kurang senang den- gan apa yang dilakukan putranya.
"Hei?!"
Tiba-tiba Prabu Lokawisesa terpekik melihat kehebatan yang dipertontonkan Laga Lembayung, yang memainkan ilmu 'Kijang Emas'.
Tubuh putra Patih Sodrana itu melejit bagaikan terbang. Gerakannya begitu cepat, melesat dari pohon ke pohon. Sebuah penguasaan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh tingkat sempurna. Apalagi ketika tubuh Laga Lembayung dengan ringan mendarat pada sebuah ranting pohon yang hanya pantas dihinggapi seeker burung merpati. Ranting pohon itu hanya melengkung sedikit dari kedudukannya, yang bergerak- gerak seperti tergesek hembusan angin. Kemudian dari tempat bertenggernya, Laga Lembayung kembali me- layang seraya berputar dua kali. Dan mendarat tanpa menimbulkan suara di tempat semula dia berdiri.
"Hebat!" puji Prabu Lokawisesa. Mendadak Pra- bu Lokawisesa bangkit dari duduknya. Dan berjalan cepat ke arah Laga Lembayung. Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita yang menyaksikan perbuatan jun- jungannya, bergegas bangkit dan berjalan ke arah Laga Lembayung.
"Tidak percuma kau mengembara selama tujuh tahun lebih, Laga. Ilmu yang kau miliki begitu hebat," puji Prabu Lokawisesa.
Laga Lembayung tertunduk.
"Kurasa masih ada kepandaian lain yang kau miliki," duga Prabu Lokawisesa seraya memegang bahu Laga Lembayung.
Laga Lembayung mengangkat kepalanya sedi- kit, lalu mengangguk.
"Ada, Yang Mulia," ucap Laga Lembayung per-
lahan.
"Apa nama ilmu itu?" tanya Prabu Lokawisesa. "Sebuah ajian, Yang mulia," jawab Laga Lem-
bayung polos. Sebenarnya pemuda itu tak ingin mem- beritahukan ilmu andalannya. Tapi karena Prabu Lo- kawisesa yang meminta, Laga Lembayung tak kuasa menolaknya.
"Sebuah ajian?" ulang Prabu Lokawisesa. "Apa namanya?"
'"Ajian Duribang'."
'"Ajian Duribang'," ulang Prabu Lokawisesa te-
gas.
Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita pun
menyebutkan nama itu. Namun ucapan mereka hanya tercetus dalam hati.
"Kau bersedia memperlihatkannya padaku, La- ga?" pinta Prabu Lokawisesa.
"Untuk Yang Mulia, apa pun akan hamba laku- kan," jawab Laga Lembayung mantap.
"Lakukanlah," putus Prabu Lokawisesa.
Laga Lembayung menjauh dua langkah dari sang Prabu. Demikian pula Prabu Lokawisesa, untuk memberi tempat pada Laga Lembayung memperli- hatkan kemampuannya. Laga Lembayung tak ingin mengecewakan lelaki yang begitu dihormatinya. Sete- lah dilihatnya sang Prabu duduk di tempatnya semula, ajiannya segera disiapkan.
Pemuda itu membentuk kuda-kuda rendah yang kokoh. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Seiring dengan matanya yang terpejam, mulut Laga Lembayung bergerak-gerak seperti tengah berdoa. Na- mun sesaat itu tangan kirinya bergerak melakukan pukulan dengan telapak tangan terbuka.
"Hiaaa...!" Bresssh...!
Sebuah sinar kemerahan melesat dari telapak tangan Laga Lembayung. Begitu cepat menghantam sebatang pohon sebesar dua kali pelukan orang dewa- sa. Bunyi seperti bara tercelup air terdengar jelas. Po- hon yang terhantam ‘Ajian Duribang’ tingkat pertama itu masih tetap berdiri tegak. Tapi pada bagian batang pohon itu tampak bercak-bercak kemerahan pada se- tiap satu jengkal tangan lelaki dewasa.
Prabu Lokawisesa kelihatan tidak tertarik den- gan pukulan yang terangkum dalam ‘Ajian Duribang’. Pukulan tangan kiri Laga Lembayung itu dilihatnya ti- dak bisa menumbangkan pohon besar itu. Laga Lem- bayung maklum dengan sikap Prabu Lokawisesa. Den- gan tenang, dihampirinya sang Prabu. "Ampun, Yang Mulia. Kalau Yang Mulia berke- nan, hamba ingin Yang Mulia menyaksikan keadaan pohon yang terkena pukulan hamba dari dekat," ucap Laga Lembayung hati-hati.
Prabu Lokawisesa tanpa diminta dua kali sege- ra bangkit dan beranjak lebih dahulu menuju pohon yang terkena pukulan Laga Lembayung. Sedangkan Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita tergopoh- gopoh mengikuti dari belakang.
"Setiap jengkal batang pohon ini berwarna me- rah, Yang Mulia. Artinya, jika ada angin yang bertiup maka pohon besar ini akan tumbang," jelas Laga Lem- bayung.
Prabu Lokawisesa tertegun mendengar penjela- san Laga Lembayung.
"Mari kita saksikan dari kejauhan saja, Yang Mulia," ajak Laga Lembayung seraya mempersilakan Prabu Lokawisesa.
Diikuti Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita, Prabu Lokawisesa meninggalkan pohon itu. Dan kem- bali ke tempat duduknya. Tetapi baru saja Prabu Lo- kawisesa duduk, pohon sebesar dua pelukan tangan lelaki dewasa itu runtuh menjadi beberapa bagian.
Bruk! Bruk...!
Bunyi berisik akibat runtuhnya pohon itu membuat hati Prabu Lokawisesa senang. Ucapan Laga Lembayung benar adanya. Sang Prabu gembira melihat kedahsyatan ilmu putra Patih Sodrana itu.
Sementara Laga Lembayung sudah bersiap memamerkan 'Ajian Duribang' tingkat terakhir. Sasa- rannya kali ini sebongkah batu besar yang berada di bawah pohon beringin.
Gerakan dasar seperti pada 'Ajian Duribang' tingkat pertama dilakukan Laga Lembayung. Setelah memantapkan pemusatan pikiran, Laga Lembayung menarik napas dalam-dalam. Kemudian....
"Hiaaa!"
Glarrr. !
Batu besar itu hancur berkeping-keping ketika dua telapak tangan Laga Lembayung menghentak den- gan kuat, dan selarik sinar merah melesat cepat menghantam batu besar itu.
Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana dan Maha Pa- tih Gempita tampak kagum dengan kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Laga Lembayung. Kekaguman sang Prabu bertambah ketika menyaksikan kepingan batu itu menjadi merah seperti bara dan mengepulkan asap tipis.
"Hamba kira hanya itu yang hamba dapat se- lama tujuh tahun dalam pengembaraan, Yang Mulia. Hamba harap Yang Mulia tidak kecewa dengan apa yang hamba tunjukkan tadi," ucap Laga Lembayung seraya bersimpuh di hadapan sang Prabu.
Prabu Lokawisesa tersenyum melihat kerenda- han hati pemuda itu.
"Aku mengagumi kepandaianmu, Laga. Se- moga ilmu itu dapat kau tempatkan pada tempat yang benar. Dan kau persembahkan untuk kewibawaan Ke- rajaan Suraloka," ujar Prabu Lokawisesa.
Laga Lembayung menganggukkan kepala men- dengar petuah Prabu Lokawisesa.
"Akan hamba junjung tinggi apa yang menjadi harapan Yang Mulia," ucap Laga Lembayung. Kemu- dian beringsut mendekati Patih Sodrana.
Suasana hening sesaat. Pada saat berikutnya, Patih Sodrana membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat yang dalam.
"Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap Patih So- drana sopan.
Prabu Lokawisesa menatap wajah Patih Sodrana.
"Ada apa, Paman Patih? Sepertinya ada sesuatu
yang hendak kau bicarakan padaku?" tanya sang Pra- bu, seolah mengetahui isi hati Patih Sodrana.
"Betul, Yang Mulia. Menurut putra hamba, se- pulangnya menuntut ilmu, dalam perjalanan dia me- nemukan delapan lelaki berpakaian prajurit Kerajaan Suraloka. Kedelapan lelaki itu ditemukan sudah men- jadi mayat. Dugaan hamba mereka adalah prajurit- prajurit kerajaan yang hamba utus untuk menjemput kedatangan Laga Lembayung."
Terhenyak hati Prabu Lokawisesa mendengar penuturan Patih Sodrana. Tatapan matanya tertuju ta- jam ke wajah patih kepercayaannya itu.
"Namun menurut perkiraan hamba, kematian mereka disebabkan oleh sekelompok pembegal yang selalu memburu harta kekayaan. Bukan karena hal- hal yang bermaksud merongrong ketenteraman Kera- jaan Suraloka," lanjut Patih Sodrana. "Laporan hamba ini semata demi pertimbangan kita agar tidak lengah dengan keadaan di sekeliling wilayah kerajaan."
"Ada betulnya perkiraan Patih Sodrana, Yang Mulia," timbal Maha Patih Gempita untuk menutupi keterkejutannya dengan berita yang dibawa Patih So- drana. "Kematian delapan prajurit kerajaan itu bisa ja- di karena perbuatan pembegal-pembegal yang gila har- ta. Namun begitu, kita harus tetap waspada. Kalau perlu kita usut kediaman pembegal-pembegal itu. Dan kita musnahkan mereka."
"Baiklah. Kita pikirkan masalah itu nanti. Patih Sodrana dan Laga Lembayung, kembalilah ke kepati- han. Begitu juga denganmu, Paman Maha Patih Gem- pita. Aku akan kembali ke tempatku," perintah Prabu Lokawisesa.
Patih Sodrana, Laga Lembayung, dan Maha Patih Gempita tidak membantah. Setelah memberi hor- mat, mereka berlalu dari tempat itu.
***
7
Hari-hari berlalu dengan tenang di lingkungan Kerajaan Suraloka. Prabu Lokawisesa telah mengang- gap kematian delapan prajurit utusan Patih Sodrana karena perbuatan orang-orang yang hanya senang memburu harta atau segala bentuk kekerasan. Kema- tian delapan prajurit kerajaan itu tidak ada sangkut pautnya dengan rencana untuk merongrong kewiba- waan kerajaan, kewibawaan Prabu Lokawisesa.
Tak terasa lima belas hari sudah Laga Lem- bayung tinggal di kepatihan. Hatinya senang karena seluruh penghuni kerajaan, terlebih Prabu Lokawisesa, begitu menaruh hormat dan perhatian padanya. Se- mua itu disebabkan sikap Laga Lembayung, yang pan- dai menempatkan diri pada setiap tingkatan manusia yang berada di lingkungan Kerajaan Suraloka.
Selama lima belas hari keberadaannya di kepa- tihan, banyak sudah cerita pengalaman yang dipapar- kan Laga Lembayung kepada ayahnya. Termasuk per- temuannya dengan seorang tokoh muda digdaya. Siapa lagi kalau bukan Jaka Sembada yang bergelar Raja Pe- tir. Dan kekasihnya yang bernama Mayang Sutera alias Dewi Payung Emas.
Patih Sodrana menaruh simpati atas cerita La- ga Lembayung mengenai Raja Petir. Dan mengakui ka- lau dia pernah mendengar kabar tentang sepak terjang tokoh muda itu, yang selalu berpihak di jalan kebena- ran. Kabar itu didengar Patih Sodrana ketika dia melintasi Desa Blambangan yang masih termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Suraloka. Patih Sodrana mengin- ginkan anaknya meniru jejak Raja Petir. Hadir di ten- gah manusia sebagai sosok yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menyingkirkan kelaliman.
Tetapi ketenangan hati Laga Lembayung dan Patih Sodrana tiba-tiba saja terusik. Itu terjadi pada hati ketujuh belas Laga Lembayung tinggal di kepati- han. Kabar tentang kematian Punggawa Adikara menggema ke seluruh pelosok istana dan kepatihan, serta rumah-rumah prajurit Kerajaan Suraloka.
Kematian Punggawa Adikara yang memimpin pemanah kerajaan, membuat Prabu Lokawisesa seperti disengat binatang berbisa. Beliau menyempatkan diri melihat langsung mayat Punggawa Adikara. Ditemani pengawal-pengawal setianya Prabu Lokawisesa men- gunjungi rumah duka keluarga Punggawa Adikara. Demikian pula Patih Sodrana dan Maha Patih Gempi- ta.
Mayat Punggawa Adikara terbujur kaku. Pada persendian tubuh lelaki yang sudah mengabdi selama puluhan tahun itu tampak tanda kemerahan yang be- gitu jelas. Pikiran Prabu Lokawisesa langsung menera- wang pada kedahsyatan ilmu yang pernah dipamerkan Laga Lembayung tujuh belas hari yang lalu. Tanda kemerahan pernah dilihatnya pada sebatang pohon yang terkena pukulan 'Ajian Duribang'.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Paman Patih?" tanya Prabu Lokawisesa pada Maha Patih Gempita.
Wajah Maha Patih Gempita tampak sedikit gu- gup ketika sekonyong-konyong pertanyaan itu terlon- tar untuknya.
"Hamba tak tahu pasti kejadiannya, Yang Mu- lia. Hamba baru tahu setelah wakil Punggawa Adikara datang ke kediaman hamba, dan mengabarkan kematian Punggawa Adikara," jawab Maha Patih Gempita setelah berhasil menenangkan kegugupannya.
"Dan kau, Patih Sodrana?"
Tatapan mata Prabu Lokawisesa langsung me- mandang lurus wajah Patih Sodrana.
"Seperti Maha Patih Gempita, hamba pun tak tahu persis kejadian yang dialami Punggawa Adikara," jawab Patih Sodrana sopan.
Prabu Lokawisesa mengangguk. Kemudian ta- tapannya beralih pada mayat Punggawa Adikara yang terbujur kaku. Tatapan matanya tak lepas memandang tanda merah yang terdapat pada persendian tubuh Punggawa Adikara.
"Paman patih, apakah kalian tahu arti tanda merah di persendian tubuh Adikara?" tanya Prabu Lo- kawisesa pada Maha Patih Gempita dan Patih Sodrana. Sesaat Maha Patih Gempita dan Patih Sodrana membiarkan pertanyaan sang Prabu. Suasana sejenak
menjadi hening.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Juga kau, Patih Sodrana," ucap Maha Patih Gempita memecah kehe- ningan. "Menurut hemat hamba, kematian Punggawa Adikara disebabkan oleh pukulan maut yang disertai pengerahan 'Ajian Duribang'."
Ucapan Maha Patih Gempita membuat hati Pa- tih Sodrana terkejut bukan main. Namun, lelaki itu be- rusaha menenangkan hatinya. Patih Sodrana tidak menyalahkan ucapan Maha Patih Gempita. Tanda- tanda kematian yang ada pada tubuh Punggawa Adi- kara telah menunjukkan kebenarannya.
Kematian punggawa Kerajaan Suraloka itu dis- ebabkan oleh pukulan maut yang disertai pengerahan 'Ajian Duribang'.
Sementara keluarga almarhum Punggawa Adi- kara diam saja mendengar ucapan Maha Patih Gempita. Mereka telah menyerahkan persoalan ini pada pembesar-pembesar kerajaan itu.
"Menurutmu bagaimana, Paman Patih Sodra- na?" tanya Prabu Lokawisesa kemudian.
"Hamba sependapat dengan Maha Patih Gempi- ta," jawab Patih Sodrana dengan berat hati.
"Hm...," gumam Prabu Lokawisesa perlahan. "Kita putuskan perkara ini setelah pemakaman Adika- ra."
Setelah berkata demikian, Prabu Lokawisesa segera bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan rumah duka. Tak lupa kepada istri dan anak-anak Punggawa Adikara sang Prabu mengucapkan kata-kata bijaksana yang berupa nasihat, agar selalu tabah dan mengikhlaskan kepergian Punggawa Adikara sebagai kodrat yang telah digariskan Sang Pencipta.
***
Setelah pemakaman Punggawa Adikara dilak- sanakan dengan cara kebesaran, Prabu Lokawisesa mengundang pembesar-pembesar kerajaan untuk membicarakan kematian yang tidak wajar ini. Di se- buah ruang pertemuan yang mewah, tampak pejabat- pejabat tinggi kerajaan dan Maha Patih Gempita serta Patih Sodrana telah siap mendengarkan keputusan yang akan diambil Prabu Lokawisesa.
"Penyebab kematian Punggawa Adikara telah sama-sama kita ketahui," ucap Prabu Lokawisesa, memulai keputusannya. "Sebuah pukulan maut yang disertai ilmu 'Ajian Duribang' telah mengakhiri hidup punggawa yang telah puluhan tahun menanamkan ja- sanya pada kerajaan. Sepengetahuanku, ilmu dahsyat itu hanya dimiliki putra Patih Sodrana, yakni Laga Lembayung. Namun begitu, aku tidak ingin menjatuh- kan tuduhan tanpa alasan kepada putra Patih Sodra- na. Barangkali saja ada orang lain yang memiliki ilmu sejenis, dan melakukan hal keji itu untuk mengkam- binghitamkan Laga Lembayung."
Hening sejenak mewarnai pertemuan itu. Wa- jah-wajah pejabat tinggi yang hadir terlihat dibalut ke- tegangan. Terlebih wajah Patih Sodrana. Meski dia ya- kin betul kalau Laga Lembayung tidak membunuh Punggawa Adikara."
"Untuk melahirkan keputusan yang seadil- adilnya, maka kuminta yang hadir di sini untuk men- gajukan pendapat masing-masing," ujar Prabu Lokawi- sesa lagi.
Keheningan kembali meliputi. Dan pecah ketika Maha Patih Gempita membuka percakapan seraya memberi penghormatan pada Prabu Lokawisesa.
"Ampun, Yang Mulia. Bukannya hamba lancang menguraikan pendapat, tapi ini semata untuk kepen- tingan kerajaan dan keputusan yang akan diambil," ucap Maha Patih Gempita perlahan, namun terdengar begitu mantap.
"Ya. Uraikan pendapatmu, Paman Patih," perin- tah Prabu Lokawisesa,
Maha Patih Gempita kembali memberi hormat "Menurut hamba, kematian Punggawa Adikara
memang disebabkan oleh 'Ajian Duribang'. Seperti juga hamba ketahui bahwa ilmu itu hanya dimiliki putra Patih Sodrana, yakni Laga Lembayung. Jadi pendapat hamba, alangkah baiknya jika putra Patih Sodrana un- tuk sementara ditempatkan pada sebuah ruangan khusus yang dijaga ketat oleh para prajurit terpilih."
Merah padam wajah Patih Sodrana mendengar uraian Maha Patih Gempita. Tubuhnya seketika berge- tar. Namun Patih Sodrana mencoba menahan kemara- hannya. Lelaki setengah baya itu duduk dengan te- nang, berusaha menanggapi uraian Maha Patih Gempi- ta dengan pikiran jernih
"Uraianmu cukup masuk akal, Paman Maha Patih Gempita," ucap Prabu Lokawisesa menimpali ucapan Maha Patih Gempita. "Bagaimana dengan yang lain? Silakan menyangkal pendapat Paman Maha Patih Gempita jika di antara kalian ada yang tidak sependa- pat"
Kesunyian kembali merambah ruang perte- muan. Tak ada seorang pun yang berbicara. Tidak juga Patih Sodrana.
"Bagaimana denganmu, Paman Patih Sodrana?" tanya Prabu Lokawisesa penuh wibawa.
Patih Sodrana mengangkat wajahnya sedikit. Dengan tatapan mendung, diperhatikannya wajah tampan Prabu Lokawisesa.
"Maafkan hamba, Yang Mulia," sembah Patih Sodrana dengan suara parau. "Menurut hemat hamba, apa yang terbaik adalah keputusan yang dikeluarkan Yang Mulia. Itulah suara hati hamba, Yang Mulia."
"Baiklah," tukas Prabu Lokawisesa setelah mendengar ucapan Patih Sodrana. "Karena aku tak in- gin memutuskan perkara ini dengan sebelah pihak, maka aku ingin Laga Lembayung hadir di tengah- tengah pertemuan ini. Aku ingin tahu pendapatnya tentang penempatannya di sebuah ruangan khusus dan dijaga prajurit-prajurit pilihan."
Memang, setiap mengambil keputusan, Prabu Lokawisesa tidak pernah meminta pendapat penasihat kerajaan. Karena di Kerajaan Suraloka, jabatan pena- sihat dirangkap oleh maha patih, dalam hal ini Maha Patih Gempita.
"Pengawal! Perintahkan Laga Lembayung untuk menghadap," perintah Prabu Lokawisesa.
Seorang pengawal setia sang Prabu bergegas meninggalkan ruang pertemuan setelah memberi sem- bah sebagai tanda hormat. Dan tak lama kemudian,
sosok gagah putra Patih Sodrana hadir di hadapan Prabu Lokawisesa. Tatapan mata yang hadir di ruang pertemuan pun langsung tertuju pada wajah tampan Laga Lembayung.
"Ampun, Yang Mulia. Hamba menghadap," ucap Laga Lembayung seraya memberi hormat.
Prabu Lokawisesa segera berbicara setelah Laga Lembayung memberi hormat.
"Kematian Punggawa Adikara menurut kami yang hadir di ruangan ini adalah akibat pukulan dah- syat yang dilancarkan dengan pengerahan 'Ajian Duri- bang'. Setahu kami, ajian tersebut hanya kau yang memiliki, Laga. Maaf, bukan aku menuduhmu mela- kukan kekejian itu. Namun bukti-bukti telah membe- ratkan dirimu. Untuk itu aku mengundangmu ke ten- gah-tengah kami untuk memberikan tanggapan atas kematian Punggawa Adikara, sekaligus pembelaan di- rimu," ujar Prabu Lokawisesa dengan berwibawa.
Laga Lembayung menundukkan kepala dalam- dalam. Pemuda ini tak segera memenuhi keinginan sang Prabu. Pikirannya disibukkan oleh kematian Punggawa Adikara yang meninggalkan bukti yang sa- ma jika 'Ajian Duribang' digunakan untuk membunuh manusia. Tanda kemerahan pada persendian itu kun- cinya. Apakah ada orang lain yang mempunyai ilmu yang berakibat sama? Atau ada orang lain yang memi- liki 'Ajian Duribang'?
"Laga Lembayung," panggilan sang Prabu ter- dengar begitu lembut. "Kematian Punggawa Adikara mungkin disebabkan 'Ajian Duribang'. Tapi mungkin juga disebabkan oleh ilmu lain yang menimbulkan aki- bat yang sama dengan ‘Ajian Duribang’. Jadi, mungkin ada orang lain selain dirimu yang menguasai ‘Ajian Duribang’. Karena itu, kami semua sependapat untuk sementara waktu menempatkan dirimu di sebuah ruangan khusus yang dijaga prajurit-prajurit pilihan, sampai pembunuh itu tertangkap atau ada seseorang yang mengakui perbuatan keji itu. Berbicaralah, Laga. Apalah kau setuju dengan pendapat itu? Aku, Paman Maha Patih Gempita dan juga ayahmu telah sepakat dengan keputusan itu."
Laga Lembayung mengangkat wajahnya perla- han. Kemudian dengan tenang ditatapnya wajah-wajah lelaki yang hadir di ruangan itu. Tatapan mata Laga Lembayung berhenti di wajah ayahnya cukup lama. Dan Patih Sodrana membalas tatapan Laga Lem- bayung. Tatapan lelaki setengah baya itu seperti se- buah danau tenang yang menyimpan ketabahan hati, Pandangan Laga Lembayung kemudian beralih ke wa- jah Prabu Lokawisesa. Hanya sesaat mata bening Laga Lembayung menatap wajah sang Prabu. Saat berikut- nya kepala Laga Lembayung kembali tertunduk.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Bukannya ham- ba membantah ucapan Yang Mulia, tapi ucapan ham- ba sekarang hanya untuk mewakili hati nurani yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Ju- jur hamba katakan kalau hamba tak pernah melaku- kan kekejian yang tengah dibicarakan. Memang pada waktu kejadian itu terjadi, hamba tidak sedang berada di tempat. Jadi kemungkinan tuduhan itu jatuh pada hamba sangat memungkinkan. Terlebih kematian Punggawa Adikara memiliki tanda-tanda yang sama ji- ka kematian itu disebabkan oleh 'Ajian Duribang' yang hamba yakini hanya hamba yang memiliki."
Suasana hening seketika. Laga Lembayung me- natap wajah-wajah di sekelilingnya dengan berbagai macam perasaan.
"Berdasarkan keyakinan hati hamba, hamba tak pernah melepaskan pukulan yang disertai penge- rahan 'Ajian Duribang' setelah hamba mempertunjuk-
kannya di hadapan Yang Mulia. Namun untuk keda- maian dan ketenteraman seluruh penghuni Kerajaan Suraloka, hamba menjunjung tinggi keputusan Yang Mulia untuk menempatkan hamba di sebuah ruangan khusus yang dijaga prajurit-prajurit pilihan. Hal ini hamba lakukan sebagai darma bakti hamba pada Yang Mulia Prabu Lokawisesa," lanjut Laga Lembayung den- gan nada suara yang gamblang.
Semua yang hadir pada pertemuan itu terbawa hanyut oleh kata-kata yang terangkai rapi dari mulut putra Patih Sodrana. Demikian pula Patih Sodrana. Sungguh dia terharu dengan ucapan putranya. Lelaki setengah baya itu bangga dengan sikap ksatria Laga Lembayung.
Setelah mendengar keputusan Laga Lem- bayung, Prabu Lokawisesa memutuskan pertemuan selesai. Dan Laga Lembayung dibawa ke ruang khusus sesuai dengan keputusan sang Prabu.
***
8
Patih Sodrana kembali kehilangan putra tung- galnya. Pertama ketika Laga Lembayung berangkat menuntut ilmu. Kedua ketika Laga Lembayung menja- lankan keputusan yang ditetapkan sang Prabu. Meski Patih Sodrana diperkenankan menjenguk anaknya, namun ketidakpuasan tetap merambah hatinya. Ha- tinya tetap merasakan kehilangan.
Ketidakpuasan Patih Sodrana membuatnya memutuskan untuk menyelidiki kematian Punggawa Adikara.Maka hari ini Patih Sodrana datang mengha- dap Prabu Lokawisesa untuk meminta izin melihat-
lihat keadaan di luar kerajaan. Permohonan Patih So- drana dikabulkan sang Prabu.
Tanpa ditemani orang-orang kepercayaannya, Patih Sodrana pergi ke luar kepatihan. Namun belum jauh meninggalkan gapura kehormatan, dua orang muda datang mendekatinya.
"Maaf, Kisanak. Apakah bangunan megah itu Istana Kerajaan Suraloka?" tanya anak muda berpa- kaian kuning keemasan yang tak lain Jaka Sembada.
Di sebelah lelaki berpakaian kuning itu berdiri sosok dara jelita berpakaian jingga. Dialah Mayang Su- tera atau Dewi Payung Emas.
Patih Sodrana tidak segera menjawab perta- nyaan anak muda itu. Tatapannya tertuju ke wajah dan sekujur tubuh Jaka.
"Betul sekali, Anak Muda. Bangunan megah itu memang Istana Kerajaan Suraloka, Apakah kalian ber- dua ini hendak mengunjungi istana itu?" tanya Patih Sodrana sambil menunjuk bangunan Istana Kerajaan Suraloka.
"Betul sekali, Ki," jawab Mayang tegas.
"Hm...," Patih Sodrana menggumam perlahan. "Kalau boleh kutahu, siapa yang akan kalian kunjun- gi?" tanya Patih Sodrana lagi.
"Sahabat kami, Ki" jawab Jaka. "Sahabat kalian? Siapa namanya?"
"Laga.... Laga Lembayung," kembali Mayang menjawab pertanyaan Patih Sodrana.
Ada bias keterkejutan tersirat di wajah tua Pa- tih Sodrana. Jaka dan Mayang bukannya tidak me- nangkap gurat keterkejutan di wajah Patih Sodrana, namun Jaka tidak ingin mengetahuinya.
"Apakah kalian berdua teman seperguruan La- ga Lembayung?" ucap Patih Sodrana menyelidiki. Per-tanyaannya terkesan mencurigai Jaka dan Mayang.
Jaka dan Mayang sama-sama menggelengkan kepala. Kemudian Jaka menceritakan perkenalannya dengan Laga Lembayung. Dari mulai pertolongan yang diberikan Laga Lembayung pada Mayang, hingga per- tarungannya dengan puluhan lelaki gerombolan Macan Hutan Lindung.Patih Sodrana tertegun sesaat setelah menden- gar cerita Jaka Sembada.
"Maaf, Ki. Kalau boleh kami tahu, siapakah Ki- sanak ini sesungguhnya?" tanya Jaka hati-hati.
Patih Sodrana tersenyum mendengar perta- nyaan Jaka.
"Untuk apa kau mengetahui siapa diriku, Anak Muda?" balas Patih Sodrana.
"Aku heran Kisanak terkejut sewaktu kuse- butkan nama Laga Lembayung," tukas Jaka.
Patih Sodrana kembali tersenyum. Dia sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa dua anak muda di hadapannya itu adalah orang-orang yang pernah di- ceritakan Laga Lembayung. Dialah Jaka Sembada atau Raja Petir, dan Mayang Sutera.
Patih Sodrana lalu menyentuh bahu Jaka. "Laga Lembayung adalah putra tunggalku,
Anak Muda," jelas Patih Sodrana. "Jad.... Kisanak adalah Patih "
"Ya. Aku Patih Sodrana," potong ayah Laga Lembayung, "Kalian berdua pasti Jaka dan Ma-yang, bukan?"
"Gembira sekali kami dapat bertemu dengan- mu, Paman Patih," ucap Jaka mengubah panggilannya.
Patih Sodrana tidak menimpali ucapan Jaka. "Laga telah menceritakan padaku tentang per-
kenalan kalian. Namun sayang kalian tidak dapat me- nemuinya sekarang," ucap Patih Sodrana sedikit pa- rau.
Jaka dan Mayang terkejut mendengar nada bi- cara Patih Sodrana.
"Ada apa dengan Laga Lembayung, Paman Pa- tih?" tanya Mayang ingin tahu.
Patih Sodrana menatap wajah Mayang dan Ja- ka bergantian.
"Secara kasar kukatakan bahwa anakku tengah ditawan," jawab Patih Sodrana.
Kedua anak muda itu tampak terkejut menden- gar jawaban Patih Sodrana.
"Siapa yang menawan Laga, Paman Patih?" tanya Jaka penasaran.
"Kuasa Hukum Kerajaan." Jaka dan Mayang ti- dak melanjutkan pertanyaannya. Hati mereka sibuk mereka-reka kesalahan yang telah dilakukan Laga Lembayung.
"Dugaanku ada seseorang yang telah memfit- nah Laga," ucap Patih Sodrana.
"Maksud Paman Patih?"
Patih Sodrana menceritakan dengan terperinci mengenai kematian Punggawa Adikara. Juga penyebab kematian itu, yang bertalian erat dengan ilmu yang dimiliki Laga Lembayung.
"Maaf, Paman Patih. Apakah Paman yakin bu- kan Laga yang melakukan pembunuhan itu?" tanya Jaka.
"Yakin sekali, Jaka. Aku tahu persis perangai putra tunggalku," sahut Patih Sodrana.
Jaka seketika menatap wajah Mayang. Kedua- nya menduga kalau di Kerajaan Suraloka telah terjadi sesuatu yang tidak beres.
"Maaf, Paman Patih. Kalau Paman Patih yakin dengan pendapat Paman, saya mencoba untuk mena- rik kesimpulan bahwa ada duri dalam daging di Kera- jaan Suraloka ini. Jika Paman Patih menginginkan, kami ingin membantu menyelidiki keadaan di sekitar Kerajaan Suraloka," ucap Jaka mengajukan keingi- nannya.
Patih Sodrana tentu saja gembira dengan kein- ginan Jaka. Hatinya merasa senang atas bantuan cu- ma-cuma dari tokoh muda digdaya itu.
"Keinginanmu sangat menggembirakan hatiku, Jaka. Aku juga senang kalau dalam penyelidikanmu itu kau tinggal di kediamanku, di kepatihan. Aku akan memintakan izin pada Yang Mulia Prabu Lokawisesa," sambut Patih Sodrana dengan wajah dihiasi kebaha- giaan.
Jaka dan Mayang menyerahkan segalanya ke- pada Patih Sodrana. Juga ketika dirinya dibawa meng- hadap Prabu Lokawisesa. Jaka dan Mayang menurut saja.
***
Malam merangkak perlahan. Langit tampak di- penuhi awan pekat yang berarak. Hawa dingin menye- bar di sudut-sudut kepatihan. Malam sebentar lagi akan dirambah hujan. Tiga orang prajurit jaga yang bertugas di kediaman Patih Sodrana merasakan hawa dingin yang menusuk kulit. Terlihat dari cara mereka berdiri yang merapat ke dinding. Tangan mereka dide- kapkan di dada.
"Akan turun hujan deras," gumam salah seo- rang penjaga.
Seiring dengan selesainya ucapan penjaga itu, hujan pun turun mengguyur bumi Kerajaan Suraloka. Suara guntur terdengar saling bersahutan.
Glar! Glegarrr...! Grudug... gruduk...!
Pada saat guntur menggelegar tampak tiga sosok bayangan hitam muncul dengan melenting-kan tubuh dari balik rerimbunan pohon. Cepat dan gesit ketiga sosok bayangan itu melenting. Tahu-tahu sudah mendarat tanpa suara di hadapan tiga penjaga yang tengah merasakan hawa dingin menggigit
Glegar!
Grudug... grudug...!
Bersamaan dengan suara guntur yang mengge- legar, ketiga sosok bayangan itu menyerang tiga penja- ga dengan totokan-totokannya.
Tuk! Tuk! Tuk! "Aaakh!"
Pekik kesakitan terdengar berturut-turut, na- mun jeritan yang keluar dari mulut penjaga tertutup suara guntur yang menggelegar. Hingga tak seorang pun yang mendengarnya. Termasuk Patih Sodrana, Jaka dan Mayang yang tengah berada di kamar mas- ing-masing.
Kemudian tubuh ketiga sosok bayangan itu me- lenting ke wuwungan, tepat di atas kamar Patih So- drana tidur. Ringan tiga sosok tubuh itu mendarat di wuwungan kamar Patih Sodrana. Dan dengan segenap keahliannya, mereka memasuki ruangan tidur Patih Sodrana.
Namun sayang, salah seorang di antara mereka bertindak ceroboh. Sebuah genteng yang sengaja dis- ingkapnya terlepas dari tangan. Dan jatuh menimbul- kan suara berisik. Patih Sodrana yang memang belum terlelap mendengar suara itu.
"Siapa di atas?!" bentak Patih Sodrana. Bersa- maan dengan selesainya ucapan Patih Sodrana, tiga sosok tubuh itu meluruk dari wuwungan rumah. Keti- ga sosok berpakaian hitam itu langsung menyerang Patih Sodrana dengan senjata masing-masing.
Tiga buah arit membabat ke arah leher, perut, dan paha Patih Sodrana. Cepat dan keras serangan ge- lap itu. Namun Patih Sodrana bukanlah lelaki tua yang menjabat sembarang patih. Dia juga memiliki ilmu si- lat yang patut dibanggakan. Buktinya, hanya dengan sekali gerakan saja tiga serangan maut itu berhasil di- elakkan.
Tiga sosok tubuh berpakaian hitam dan penu- tup kepala hitam itu tidak merasa heran melihat Patih Sodrana mampu menghindari serangan mereka. Keti- ganya segera menghentikan serangan. Mata ketiganya yang berada di balik topeng hitam, memandang remeh Patih Sodrana.
"Kau harus mampus sekarang juga, Sodrana!" bentak salah seorang sosok bertopeng dengan suara berat dan kasar.
"Siapa kau? Apa yang ingin kau lakukan di si- ni?" tanya Patih Sodrana geram.
"Kau akan mampus, Sodrana! Jadi, tak perlu tahu siapa kami!" bentak sosok bertubuh pendek.
"Kurang ajar!" maki Patih Sodrana. "He he he...!"
Salah seorang sosok bertopeng itu terkekeh. La- lu meloncat menerjang Patih Sodrana dengan senja- tanya yang berupa arit. Suara angin berkesiutan men- giringi tibanya serangan sosok itu.
"Heaaa...!" Bet! Bet! "Hits!"
Patih Sodrana berkelit lincah ketika senjata orang bertopeng berkelebat mencecar lambung dan le- hernya. Di tengah kelitannya, Patih Sodrana yang cer- dik segera berpikir kalau bertarung di kamarnya ada- lah suatu kebodohan. Ruangan kamarnya memang ti- dak sempit, tapi untuk menghadapi keroyokan tiga so- sok bertopeng itu rasanya dia tidak menemui keleluasaan bergerak.
Maka Patih Sodrana segera memutuskan untuk bertarung di luar kamar. Dengan perhitungan cukup matang, Patih Sodrana menghentakkan kaki kuat- kuat. Tubuh lelaki setengah baya itu seketika melesat ke wuwungan yang dibobol tiga tamu tak diundang itu.
"Hiaaa...!"
Cepat dan gesit gerakan yang dilakukan Patih Sodrana. Hingga dalam waktu singkat telah berada di wuwungan rumahnya. Tiga sosok bertopeng itu pun segera mengejar buruannya.
Pertarungan berlanjut di luar rumah Patih So- drana. Dan rupanya Jaka dan Mayang telah turut ter- libat dalam pertarungan. Setelah keduanya mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar Patih Sodrana, kedu- anya segera berlari menuju asal suara. Dan ketika orang-orang yang bertarung itu berlari ke atas wuwun- gan, Jaka dan Mayang segera mengejarnya.
"Siapa mereka, Paman Patih?" tanya Jaka keti- ka ada kesempatan untuk bertanya.
"Entah. Yang jelas kita harus menangkap me- reka hidup-hidup," jawab Patih Sodrana.
Patih Sodrana tak lagi memperhatikan Jaka ke- tika salah seorang lawan mengibaskan sesuatu dari balik pakaian hitamnya.
"Jangan sombong kau, Sodrana! Bagaimana mungkin kau dapat menangkap kami hidup-hidup, Te- rimalah ini! Hih!"
Wesss...!
"Awas, Ki!" teriak Jaka saat melihat puluhan benda pipih meluncur deras ke arah Patih Sodrana.
Jaka menduga benda pipih itu adalah puluhan jarum yang mengandung racun ganas. Terbukti dari bau amis yang menyertai datangnya senjata rahasia itu. Jaka tak ingin melihat Jarum-jarum itu menembus
tubuh Patih Sodrana. Maka, segera saja disajikan pu- kulan jarak jauhnya sesaat setelah memberi perin- gatkan pada Patih Sodrana.
"Hih!"
Wusss...!
Prat! Prat..!
Puluhan jarum beracun terpental balik terhalau serangkum angin keras yang keluar melalui pukulan jarak jauh Raja Petir.
Tiga sosok berpakaian hitam dengan topeng hi- tam yang menutupi wajah tampak terkejut dengan ke- hebatan lelaki muda berpakaian kuning keemasan itu. Senjata rahasia mereka terpental balik mengancam ke- selamatan mereka sendiri. Dengan geram, ketiga sosok itu menghentak kaki dengan keras. Tubuh ketiganya melenting ke udara, menghindari jarum-jarum bera- cun.
"Kurang ajar!" maki salah seorang sosok berpa- kaian hitam itu.
Ketiga sosok itu mendarat ringan di tanah be- cek. Hujan memang mulai reda sesaat setelah perta- rungan di luar kediaman Patih Sodrana dimulai. Bebe- rapa lamanya enam sosok tubuh itu tampak saling memandang. Sesaat kemudian, ketiga lelaki berpa- kaian serba hitam itu kembali menyerang. Kali ini se- rangan mereka terpecah menjadi tiga. Masing-masing saling berhadapan dengan satu lawan.
"Hati-hati, Mayang." ucap Jaka memperin- gatkan kekasihnya.
Mayang tak membalas ucapan Jaka. Gadis itu kelihatan sibuk menghadapi lawannya yang bertubuh gempal.
"Hiaaa...!" Bet! Bet! "Hop!" Sambaran senjata sosok berpakaian hitam yang menjadi lawan Mayang terarah ke bagian tubuh yang mematikan. Serangan itu begitu cepat, dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin berkesiutan meningkahi serangan sosok bertubuh gempal itu.
Mayang meladeni serangan-serangan itu den- gan ketenangan yang luar biasa. Pengalamanlah yang mengajari dara jelita itu untuk selalu tenang dalam menghadapi setiap pertarungan.
Maka dengan ketenangannya, Mayang berhasil mengelakkan serangan sosok berpakaian hitam itu. Namun begitu, Mayang juga menemui kesulitan saat dia harus melancarkan serangan balasan. Sosok ber- tubuh gempal itu memiliki kegesitan yang patut di- acungkan jempol. Setiap kali serangan Mayang datang, saat itu pula lawannya berhasil mengelak. Bahkan memberikan serangan balasan yang tak dapat diduga datangnya.
"Mampus kau!" bentak sosok bertubuh gempal
itu.
Bet!
Sebuahsampokansenjatakearahdada
Mayang dilancarkan sosok bertubuh gempal dalam rangkaian serangan balasan.
Mayang terkejut bukan main. Tapi berkat ke- waspadaannya, Mayang segera menangkis serangan itu dengan payungnya yang masih menutup.
Trang! "Akh...!"
"Ukh...!"
Pekik tertahan terdengar berturut-turut. Ber- samaan dengan itu dua tubuh terhuyung-huyung se- jauh dua langkah ke belakang. Sosok bertubuh gempal terhuyung seraya memegang tangannya yang bergetar dan terasa linu. Begitu juga Mayang Sutera. Hebat juga tenaga dalam orang ini. Puji Mayang dalam hati. Gadis itu merasa tenaga dalamnya tak berbeda jauh dengan sosok bertubuh gempal itu. Di saat Mayang dan lawannya masih merasakan nyeri pada tangannya. Tiba-tiba....
"Aaa!"
Pekik kematian membubung tinggi ke langit. Sosok berpakaian hitam yang menjadi lawan Patih So- drana tersungkur di tanah dengan tenggorokan ter- tembus arit miliknya sendiri.
Kejadian itu begitu cepat berlangsung. Saat so- sok berpakaian hitam yang menjadi lawan Raja Petir menghantamkan senjatanya ke arah ulu hati, Jaka menangkis dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Senjata yang berada di tangan penyerang Jaka lang- sung terpental deras dan menghantam tenggorokan lawan Patih Sodrana yang tengah berada di udara. Se- dangkan lawan Jaka harus merasakan sakit yang he- bat pada pergelangan tangannya.
Sosok bertubuh gempal, lawan Mayang, terke- jut menyaksikan kematian temannya. Sementara yang seorang lagi terkulai di tanah. Sosok itu tiba-tiba ber- gerak hendak melarikan diri. Namun Mayang telah le- bih dulu dapat membaca maksud lawan. Saat itu juga Mayang mengejar sosok bertubuh gempal dengan sen- jata yang sudah terhunus.
"Hiaaa!"
Bret! "Aaa!"
Senjata Mayang yang berupa payung kecil be- rukuran runcing membabat telak punggung sosok ber- tubuh gempal itu. Pekik kesakitan terdengar. Dan tu- buh sosok terbungkus pakaian hitam itu roboh dengan punggung mengucurkan darah.
Tiga sosok berpakaian hitam yang mengenakan selubung kepala hitam itu kini tergeletak tanpa daya. Seorang di antaranya telah menjadi mayat. Patih So- drana dengan kegeraman yang luar biasa menghampiri lawan-lawan yang sudah tidak berdaya itu.
Bret! Bret! Bret!
Dengan kasar Patih Sodrana menarik kain pe- nutup wajah tiga orang berpakaian hitam itu
"Heh?!"
Patih Sodrana terkejut melihat salah seorang yang ingin membunuhnya ternyata seorang perem- puan. Begitu juga Jaka dan Mayang. Saat itulah tiba- tiba....
"Eugkhh...!"
"Eugkhh...!"
Dua orang tamu tak diundang itu terkulai. Ma- ti. Rupanya mereka membunuh diri untuk menjaga ke- rahasiaan penyamarannya. Dari mulut kedua orang itu menyebar bau amis.
"Dia tewas karena menggigit pil yang diletakkan di mulutnya. Pil beracun ganas," ucap Jaka.
"Pasti ada seseorang yang mengutus mereka. Dan menyuruh mereka melakukan bunuh diri daripa- da harus membongkar rahasia," duga Patih Sodrana.
Jaka dan Mayang membenarkan dugaan Patih Sodrana.
Malam semakin larut. Suara-suara serangga terdengar jelas, karena hujan telah berhenti. Sementa- ra Patih Sodrana dan Jaka sibuk menyingkirkan mayat-mayat itu. Patih Sodrana berniat melaporkan kejadian ini pada Prabu Lokawisesa.
***
9
Prabu Lokawisesa murka mendengar kabar yang disampaikan Patih Sodrana. Kemurkaannya bu- kan saja karena ada orang yang bermaksud mele- nyapkan nyawa Patih Sodrana. Tapi lebih jauh dis- ebabkan ada orang-orang yang bermaksud merongrong kewibawaan kerajaan. Dan mempertimbangkan keja- dian yang menimpa Patih Sodrana, Prabu Lokawisesa menitahkan untuk memperketat penjagaan di sekitar istana dan kepatihan. Seluruh prajurit jaga dari semua kesatuan harus meningkatkan kewaspadaan.
Di hati Prabu Lokawisesa terbersit suatu ke- simpulan kalau yang membunuh Punggawa Adikara bukanlah Laga Lembayung. Namun sang Prabu belum ingin mengeluarkan Laga Lembayung dari ruang khu- susnya. Beliau ingin melihat perkembangan keadaan lebih dulu.
Di saat penjagaan ketat yang dilakukan pihak kerajaan, Jaka dan Mayang memohon pada Patih So- drana untuk menyelidiki peristiwa itu di luar istana. Karena menurut Jaka, bukan mustahil orang-orang dekat sang Prabu yang melakukan semua itu. Dan bu- kan mustahil pula mereka sedang menyusun kekuatan di luar kerajaan. Untuk kemudian menyerbu dan menggulingkan kedudukan sang Prabu.
Merasa alasan yang diberikan Jaka cukup dite- rima, Patih Sodrana mengijinkan Jaka dan Mayang melakukan penyelidikan di luar istana. Namun Patih Sodrana menginginkan Jaka untuk secepatnya mela- porkan hasil penyelidikannya. Terutama yang berhu- bungan dengan rencana untuk merongrong wibawa ke- rajaan. Tentu saja Jaka dan Mayang menyanggupi permintaan Patih Sodrana. Pada hari itu juga kedua pendekar muda itu meninggalkan kepatihan.
"Dari mana kita memulai penyelidikan ini, Ka- kang?" tanya Mayang ketika keduanya sudah berada di luar kepatihan.
"Kau ingat desa yang membatasi kotaraja?" Ja- ka balik melontarkan pertanyaan pada gads jelita ber- pakaian jingga itu.
"Desa Magetan yang Kakang maksud?" duga Mayang.
"Betul."
"Dan hutan lindung di desa itu yang menjadi sasaran penyelidikan kita?" duga Mayang lagi.
"Pikiran kita sama," ucap Jaka seraya terse- nyum dan memegang pinggang Mayang.
"Ah, Kakang," ujar Mayang malu-malu seraya menyentuh tangan kekasihnya.
"Ayo kita mulai penyelidikan ini! Hop!"
Tubuh Jaka melesat cepat meninggalkan Mayang. Gadis jelita berpakaian jingga itu sesaat ter- perangah menyaksikan tindakan Jaka. Namun sesaat berikutnya Mayang sudah menghentakkan kaki me- nyusul kekasihnya. Mereka saling berkejaran. Dan be- berapa saat kemudian, kedua anak muda itu sudah berlari sejajar.
Kedua pendekar muda yang disegani di dunia persilatan itu mengerahkan ilmu lari cepat dan merin- gankan tubuh. Maka tak heran jika hanya dalam wak- tu singkat mereka sudah tiba di tepi hutan lindung.
"Sepertinya tidak ada kegiatan di dalam hutan sana, Kakang," duga Mayang.
"Kita harus waspada. Mungkin kegiatan mereka di ujung hutan lindung sebelah sana," jawab Jaka
Belum lagi hilang gema suara Jaka, tiba-tiba dua sosok tubuh meluruk dari atas sebatang pohon besar yang berdaun rimbun. Dua sosok lelaki bertubuh kekar itu langsung memberikan pukulan dan ten- dangan yang mengandung tenaga dalam tinggi.
"Hiaaa...!" Bet! Bet!
Dua serangan berturut-turut mencecar dada dan perut Jaka serta Mayang. Namun serangan itu hanya membentur angin ketika Jaka dan Mayang ber- kelit lincah. Kemudian menghentakkan kakinya mela- kukan lompatan ke belakang untuk mengatur jarak
"Hei! Mengapa Kisanak berdua menyerang ka- mi? Apa alasannya?" tanya Jaka tak mengerti.
"Aku ingin membuat kalian jadi bangkai!" "Hiaaa...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar yang sebelah ma- tanya ditutup bahan kulit berwarna hijau lurik kemba- li bergerak hendak menyerang Jaka dan Mayang, ta- pi....
"Tahan, Kisanak!" bentak Jaka menggelegar.
Lelaki tinggi besar itu seketika menghentikan gerakannya.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Bertatap muka pun baru kali ini. Kenapa kalian begitu memusuhi kami? Adakah perbuatan kami yang meru- gikan Kisanak berdua?" tanya Jaka tenang.
"Kita memang baru kali ini bertatap muka. Anak Muda!" hardik lelaki tinggi kekar yang berkumis seperti sapu ijuk. "Tapi aku menginginkan nyawamu!"
"Kau boleh saja menginginkan nyawa kami. Ta- pi apa alasannya? Ah, perkenalkan dulu. Namaku Ja- ka," ucap Jaka lagi, tanpa terpancing kata-kata kasar yang dilontarkan lelaki di hadapannya.
'Tanpa kau sebut pun aku sudah tahu nama lengkapmu. Jaka Sembada alias Raja Petir. Huh! Kau ingin menyombongkan julukanmu heh?! Dengar, Bo- cah! Meski julukanmu sering disebut-sebut tokoh persilatan, namun aku Naga Mata Tunggal dan kawanku Bajing Ireng, tidak takut pada julukanmu!" tukas lelaki yang mengaku berjuluk Naga Mata Tunggal.
"Ayo bersiaplah, Raja Petir! Jangan sia-siakan hidupmu yang hanya satu kali!" ujar rekan Naga Mala Tunggal yang tak lain Bajing Ireng.
Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Bajing Ireng dan Naga Mata Tunggal mengatur kedudukan. Keduanya meloloskan senjata masing-masing. Naga Mata Tunggal mengeluarkan sepasang bola duri beran- tai panjang yang dililitkan di pinggang. Sedangkan Baj- ing Ireng meloloskan golok pendek yang bagian depan- nya bergerigi mirip gigi bajing.
Jaka dan Mayang kelihatan tidak merasa gen- tar melihat senjata yang terhunus di tangan Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng. Namun dengan waspada dua pendekar muda itu memperhatikan lawan-lawannya yang bergerak memperagakan jurus dasar andalannya.
"Hiaaa...!" Wuk! Wuk!
Mendadak Naga Mata Tunggal memutar bola durinya dengan diiringi pekik yang cukup keras. Bola duri itu berputar cepat di atas kepala Naga Mata Tung- gal. Lalu....
"Haaat!"
Wuuuk!
Bola duri yang dihubungkan dengan rantai baja itu berkelebat ke atas kepala Raja Petir. Tokoh muda yang matang pengalaman itu tentu tidak membiarkan serangan Naga Mata Tunggal. Hanya dengan meren- dahkan tubuhnya, serangan bola duri itu luput. Na- mun bola duri yang lainnya sudah berkelebat mence- car bagian bawah tubuh Jaka.
Wuuuk! "Uts!"
Jaka cepat menghentakkan kakinya kuat-kuat. Tubuh pemuda itu melenting indah ke udara. Pada saat itu, dua sosok tubuh tiba-tiba melesat dari atas pohon besar yang lain. Kedua sosok berpakaian hijau dan coklat itu langsung melancarkan pukulan dahsyat ke tubuh Jaka.
"Hiaaa...!"
"Heaaat..!"
Jaka terkejut menyaksikan kenyataan yang ada. Pada saat tubuhnya berada di udara, dua seran- gan berturut-turut mengancamnya. Itu cukup menyu- litkannya untuk menghindari serangan yang datang begitu mendadak. Tak ada pilihan lain, dia harus me- nangkis serangan-serangan itu.
Seketika itu juga Jaka mengangkat tangan me- lindungi bagian tubuh yang menjadi incaran lawan. Tak pelak lagi, dua benturan keras terdengar berturut- turut.
Plak! Plak! "Heh?!"
Jaka tampak terkejut merasakan tenaga dalam lawan. Kekuatan tenaga dalam itu tidak terpaut jauh dengan yang dimilikinya. Dua lelaki berpakaian hijau dan coklat pun terperangah menyaksikan kekuatan tangan Jaka. Keduanya merasakan linu pada tangan- nya.
'Tidak percuma kau berjuluk Raja Petir, Anak Muda? Ternyata julukanmu bukan omong kosong," ucap lelaki berpakaian hijau setelah berhasil meredam linu yang mendera tangannya.
"Kalau orang lain yang menerima ‘Pukulan Maut Sepasang Iblis Api’ maka tangan orang itu akan matang seperti ayam panggang. Tapi ternyata bagimu tidak. Raja Petir. Kau memang tokoh yang hebat!"
"Ya. Kau memang hebat. Raja Petir. Namun sayang kehebatanmu akan terbungkam kedahsyatan ilmu-ilmu Sepasang Iblis Api. Ha ha ha...!" timpal lelaki berpakaian coklat.
Dua lelaki berjuluk Sepasang Iblis Api itu ter- tawa keras. Begitu juga Naga Mata Tunggal. Rupanya mereka bersekongkol untuk melenyapkan Jaka dari rimba persilatan. Sementara, Jaka sekilas melirik ke arah pertarungan Mayang Sutera dengan Bajing Ireng.
"Perempuan itu kekasihmu. Raja Petir?" tanya lelaki berpakaian coklat yang berambut merah.
Jaka tidak menjawab pertanyaan lelaki itu. Pe- muda itu mengkhawatirkan keselamatan Ma-yang. En- tah mengapa tiba-tiba perasaan Jaka dilanda kegelisa- han.
"Ha ha ha. Mengapa kau bengong seperti ma-
can ompong, Raja Petir?! Apakah kau gentar mengha- dapi kami?" ejek lelaki berpakaian hijau yang juga be- rambut merah. Rupanya, itulah yang menyebabkan mereka mendapatkan julukan Sepasang Iblis Api.
"Hentikan kesombongan kalian, Sepasang Iblis Api," ucap Jaka tegas. "Aku bukan gentar pada kalian. Tapi aku tidak yakin kalian dapat mengalahkanku."
Merah padam wajah Sepasang Iblis Api men- dengar ucapan Jaka. Maka saat itu juga....
Prok! Prok! Prok!
Tepukan tangan yang cukup kuat dilakukan le- laki berpakaian hijau. Suara tepukan itu menggema dan memantul-mantul. Dan seiring dengan lenyapnya suara itu, tiga sosok bayangan berkelebat cepat dan mendarat di sisi kanan Sepasang Iblis Api.
Jleg!
***
10
Tiga sosok lelaki berpakaian putih berdiri tegak dengan sorot mata tajam menatap wajah Jaka.
"Aku orang pertama dari Tiga Hantu Putih," ucap lelaki tinggi kurus.
"Aku orang kedua." "Dan aku orang ketiga."
Suara perkenalan itu didengar Jaka dengan je- las. Sementara tatapan matanya menyelusuri tubuh ti- ga lelaki berpakaian putih itu. Corak pakaian mereka sama persis.
"Karena kehadiranmu di rimba persilatan, to- koh-tokoh golongan hitam selalu gagal setiap kali ingin mereguk keinginannya. Sekarang juga kau harus mampus!" ucap orang pertama dari Tiga Hantu Putih.
"Ya. Kau harus mampus!" sambut orang kedua dan ketiga
Menegang otot-otot Jaka mendengar ucapan le- laki di hadapannya.
"Kalian boleh saja mempunyai keinginan mem- bunuhku. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, apakah perbuatan kalian ini ada sangkut-pautnya dengan ke- jadian di Istana Suraloka?" tanya Jaka.
"Untuk apa kau tahu itu, Bocah!" bentak lelaki pertama dari Sepasang Iblis Api.
"Naga Mata Tunggal! Kau bantu Bajing Ireng membekuk gadis liar itu. Biar kami berlima yang me- ringkus dan mencabut nyawa Raja Petir!" ujar lelaki itu lagi.
Naga Mata Tunggal langsung mencelat mema- tuhi ucapan orang pertama Sepasang Iblis Api.
Sepeninggal Naga Mata Tunggal, orang pertama Sepasang Iblis Api memberi aba-aba untuk segera menggempur Raja Petir. Maka saat itu juga Tiga Hantu Putih langsung bergerak mengurung Jaka. Begitu pula Sepasang Iblis Api.
"Hiaaat...!"
"Haaat..!"
Orang ketiga Tiga Hantu Putih serta orang ke- dua Sepasang Iblis Api bergerak melancarkan seran- gan. Angin berkesiutan mengiringi serangan keduanya yang langsung menggunakan senjata yang berupa ke- ris panjang dan sebatang pedang.
Raja Petir tentu saja tidak menganggap remeh serangan kedua lawannya yang dilancarkan secara bersamaan. Sebelum senjata-senjata itu merejam tu- buhnya, Jaka telah lebih dulu bergerak lincah dengan jurus ‘Lejitan Lidah Petir’.
Bet! Bet!
Serangan gencar yang dilancarkan lelaki be- rambut merah dan lelaki berpakaian putih menemui tempat kosong. Tubuh Jaka dengan mengerahkan ju- rus 'Lejitan Udah Petir' begitu sukar untuk ditembus senjata. Rasa penasaran dua lelaki itu membuat mere- ka terus melancarkan serangan. Malah serangannya kali ini dibantu rekan-rekannya yang lain. Maka perta- rungan satu lawan lima pun tak dapat dihindarkan la- gi.
Lima lelaki itu menyerang Jaka dari berbagai arah. Tanpa memberi kesempatan pada Jaka untuk memberikan serangan balasan. Senjata-senjata mereka yang berupa keris dan pedang terus berkelebat mence- car bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Keparat! Maki Jaka dalam hati. Aku harus menggelar ‘Aji Bayang-bayang’.
Sementara Jaka sibuk melayani lima penge- royoknya, Mayang Sutera pun menghadapi hal yang sama. Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng begitu sulit ditundukkan. Meskipun gadis itu telah mengeluarkan senjatanya yang berupa payung namun Naga Mata Tunggal begitu sulit didekati. Sebab, senjatanya mam- pu menjangkau jarak jauh.
Pada pertarungan satu lawan dua ini Mayang kelihatan terdesak. Kedudukan Mayang terus tergem- pur mundur hingga tepi hutan lindung terlampaui.
"Haaat..!" Trang!
Wut!
Dengan gencar Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng melancarkan serangan-serangannya. Mau tak mau Mayang terus bergerak mundur untuk menghin- dari keganasan serangan lawan. Meski sesekali gadis itu berusaha menangkis serangan lawan yang terlalu cepat datangnya dan mengarah ke jantung.
Bunyi berdentangan dan percik bunga api tak dapat dihindari. Mayang masih berusaha memberikan perlawanan gigih. Senjatanya yang berupa gelang- gelang emas yang terselip di balik bajunya telah dike- luarkan untuk menjaga jarak pertarungan. Gelang- gelang emas yang dilempar Mayang melesat cepat mencecar tubuh Bajing Ireng dan Naga Mata Tunggal.
Singgg...!
"Uts!"
"Ops!"
Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng berlompa- tan sesaat setelah senjata Mayang melesat ke arah me- reka. Senjata itu memang berhasil dihindari kedua la- wan Mayang. Namun gelang-gelang itu seperti mem- punyai mata. Senjata itu kembali meluncur ke arah pemiliknya.
Tap! Tap!
Mayang menangkap senjata miliknya dan ber- maksud melemparnya kembali. Tapi bukan main terkejutnya gadis cantik itu ketika tiba-tiba saja dari atas kepalanya bertebaran jaring-jaring yang mengurung geraknya.
Wrrr! Wrrr...!
Mayang berusaha mendobrak jaring itu dengan senjatanya. Namun jaring itu lebih cepat menutupi tu- buh Mayang. Apalagi jaring itu tidak cuma satu. Jar- ing-jaring lain berjatuhan menutupi tubuh gadis itu.
Dua belas lelaki berpakaian hitam yang ma- sing-masing memegang ujung jaring kelihatan saling berputar. Akibatnya, tubuhnya semakin terjerat. Gadis itu sedikit pun tidak mampu menggerakkan tubuhnya, sebab kedua belas lelaki itu mempererat pegangannya pada tali jaring.
"Ha ha ha...!"
Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng tertawa terbahak-babak menyaksikan lawannya terkurung da- lam jaring. Kemudian mereka mendekati tubuh Mayang yang sudah tidak berdaya.
"Ha ha ha.... Kau sesungguhnya amat cantik. Tapi sayang kau terlalu galak," ucap Naga Mata Tung- gal dengan genit
"Cuh!"
Mayang meludahi tubuh Naga Mata Tunggal.
Namun sasaran yang dituju lebih dulu menghindar. "Sudah kukatakan kau itu galak! Sekarang kau
tahu sendiri akibatnya. Sebentar lagi dirimu akan di- pasung!" tukas Naga Mata Tunggal menakut-nakuti
Mayang membelalakkan matanya mendengar ucapan Naga Mata Tunggal.
"Kubunuh kau jika aku berhasil lepas dari sini!" ucap Mayang geram.
"Ha ha ha.... Siapa yang bisa menolongmu, Anak Manis? Kekasihmu pun kurasa tidak mungkin. Untuk menghadapi Sepasang Iblis Api dan Tiga Hantu Putih saja dia tak akan sanggup, mana mungkin dia bisa mengeluarkan mu dari kekuasaan kami?" kilah Bajing Ireng sambil membusungkan dada. "Sayang aku tak punya kuasa untuk memperlakukanmu seenak pe- rutku. Kalau tidak "
"Lelaki bejat!" maki Mayang yang sudah dapat membaca arah bicara Bajing Ireng.
"Ha ha ha...," Bajing Ireng tertawa lepas men- dengar makian Mayang.
"Ayo kita bawa dara nakal ini ke hadapan Yang Mulia," perintah Naga Mata Tunggal.
Belasan lelaki yang memegang tali jaring segera bergerak menarik tubuh Mayang. Sementara gadis cantik kekasih Raja Petir itu dengan terpaksa melang- kahkan kaki terseok-seok.
***
Sementara Mayang Sutera telah berhasil dita- wan Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng, tidak demi- kian halnya dengan Jaka Sembada. Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu terlalu sukar untuk ditaklukkan Sepasang Iblis Api dan Tiga Hantu Putih. Meskipun ke- lima pengeroyoknya telah mengeluarkan segenap ke- mampuan mereka.
"Kau memang tangguh. Raja Petir! Tapi mam- pukah kau menghadapi 'Ajian Iblis Api'. Ayo Darga! Ke- rahkan ajian itu!" ajak orang pertama Sepasang Iblis Api.
Lelaki berambut merah yang bernama Darga segera menuruti perintah itu. Langkah kakinya ditarik mundur. Sesaat setelah membaca mantera-mantera, tangannya menghentak keras ke depan.
"Haiiit...!"
"Haaat...!"
Dua pekikan keras terdengar bersamaan. Dan dua hentakan tangan terlihat. Maka, dua gumpalan si- nar merah pekat meluncur deras ke arah Raja Petir.
Wesss! Wesss!
Melihat serangan lawan, Jaka segera memapaki dengan 'Pukulan Pengacau Arah'. Angin bergulung ter- cipta dari telapak tangan Jaka yang terbuka. Angin itu meluruk cepat menghadang sinar merah pekat milik Sepasang Iblis Api.
Wrrr...! Glarrr!
Ledakan seperti guntur terdengar seketika keti- ka segulungan angin ciptaan Jaka dan dua gumpalan sinar merah pekat berbenturan di udara. Tubuh Sepa- sang Iblis Api terhuyung tiga langkah ke belakang. Se- dangkan Jaka hanya terdorong satu langkah.
Sepasang Iblis Api terlihat saling berpandan- gan. Mereka tak menyangka kalau serangannya den- gan mudah dapat dipatahkan lawan. Tatapan mata Sepasang Iblis Api kemudian beralih ke wajah-wajah Tiga Hantu Putih. Lalu mata orang pertama Sepasang Iblis Api mengerling. "Mulai!"
Wesss! Wesss. !
Werrr! Werrr. !
Seiring dengan teriakan orang pertama Sepa- sang Iblis Api, bertebaranlah senjata-senjata rahasia yang berupa lempengan logam pipih beracun milik Se- pasang Iblis Api dan gumpalan serbuk putih beracun Tiga Hantu Putih.
Jaka tidak menyangka dengan apa yang dila- kukan lawan. Cepat Raja Petir bergerak melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan ketika menjejak tanah, tu- buhnya kembali melenting. Senjata lawan yang berupa lempengan logam pipih tidak menemui sasaran. Se- dangkan gumpalan serbuk putih beracun menimbulkan ledakan ketika menyentuh tanah.
Blers! Blers!
Udara di sekitar tempat meledaknya gumpalan serbuk putih itu dipenuhi asap berwarna putih. Bau anyir tercium begitu menyengat.
Jaka yang mengetahui siasat licik lawannya se- gera mengacaukan asap putih yang menghalangi pan- dangan matanya. Dan bukan main terkejutnya Jaka ketika melihat lawan-lawannya sudah tidak berada di tempat. Mereka telah menghilang entah ke mana.
Jaka cemas melihat kenyataan ini. Apalagi ke- tika mendatangi tempat Mayang bertarung. Di sana ti- dak dijumpainya siapa pun, sehingga kecemasannya semakin bertambah.
Setelah berpikir sesaat, akhirnya Jaka memu- tuskan untuk mencari Mayang di dalam hutan lin- dung. Pemuda itu yakin kalau Mayang masih hidup. Maka, seketika itu pula tubuh Raja Petir melesat cepat menuju hutan lindung.
Apakah Raja Petir berhasil menemukan Mayang Sutera? Siapa tokoh yang berdiri di balik penawanan- nya? Dan, bagaimana nasib Laga Lembayung? Serta apa yang terjadi di Kerajaan Suraloka?
Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan- pertanyaan itu, silakan simak serial Raja Petir berikut- nya dalam episode "Api di Suraloka".
SELESAI
No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Raja Petir (Bondan Pramana) 14: Ajian Duribang"
Post a Comment