Cerita Silat Indonesia Pendekar Siluman Darah: 12 Pembalasan Surti Kanti
Kumpulan cerita silat / cersil Pendekar Siluman Darah untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Pendekar Siluman Darah episode 12 Pembalasan Surti Kanti
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Pendekar Siluman Darah episode 12 Pembalasan Surti Kanti
BAB 1
Langit mendung yang tadinya bergayut di atas dua perguruan bersaudara itu, perlahan-lahan menghilang bagaikan tersapu oleh ketenangan. Kematian utusan Iblis, sepertinya berpengaruh pada keadaan. Apakah dengan matinya Utusan Iblis kerajaan Segara Anakkan akan tenang? Ternyata semua hanya dapat terjawab oleh Yang Wenang, yang mempunyai segala rahasia alam.
Siang itu alun-alun kerajaan nampak ramai, penuh sesak oleh rakyat yang berbondong-bondong datang untuk menyaksikan orang-orang yang telah sekian lama membuat keonaran. Mereka datang ketika pagi masih buta, dengan harapan dapat menyaksikan dengan jelas wajah kedua orang yang menurut cerita berwajah Kelelawar.
Di alun-alun itu riuh rendah rakyat memaki dan mencemooh:
"Cincang mereka!" "Hukum picis!" "Bakar!"
"Ah, percuma kalian berteriak-teriak" "Kenapa?"
"Bukankah kedua Utusan Iblis itu telah mati oleh seorang Pendekar yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah?"
"Ooh...!" Seketika semua rakyat melenguh panjang ketika mendengar penuturan orang yang mengerti.
"Percuma dong kita ke sini!"
"Loh percuma bagaimana? Jelas ada manfaatnya. Kita jadi dapat tahu wajah orang-orang yang hendak merongrong kerajaan." "Ya....Ya !" jawab yang lain.
Tengah mereka bercakap-cakap terdengar seorang Ponggawa istana membacakan acara.
"Wahai seluruh rakyat Kerajaan Segara Anakkan, hari ini juga kalian akan dapat melihat mukamuka orang yang telah membuat keonaran dan membunuh tuanku Suwarna Angresta!"
"Rakyat seketika terdiam, mereka turut terharu dan sedih demi mendengar nama Suwarna Angresta yang telah mereka kenal sebagai orang yang baik dan merakyat.
Saking trenyuh dan sedih, tak terasa air mata rakyat Segara Anakkan meleleh. Mereka berkabung, mereka benar-benar telah kehilangan seorang Pembesar yang mau merakyat.
Sepontanitas seluruh rakyat berseru dengan
marah.
"Cincang saja jadi sate!" "Picis jadi seratus!" "Kuliti saja!"
"Bakar!"
"Jangan! Penggal kepalanya dan gantung di de-
pan alun-alun biar menjadi perhatian yang lain!" "Tenang saudara-saudara, tenang! Seperti Sau-
dara-saudara, kami pun telah kehilangan seorang yang sungguh-sungguh patut dijadikan suri tauladan. Maka sebagai rasa hormat kita pada beliau, marilah kita sesaat mengheningkan cipta,"
Berkata sang Ponggawa. "Hening cipta...,"
Tanpa banyak membantah lagi, seluruh rakyat kerajaan Segara Anakkan seketika itu terdiam hening. Mata mereka seketika berkaca-kaca, lalu menangis. Mereka telah benar-benar kehilangan seorang pembesar yang merakyat, dialah Suwarna Angresta. Seorang anggota keluarga istana yang seharusnya berhak menduduki kursi kerajaan, sepertinya tak mau dengan segala jabatan itu. Ia lebih suka merakyat, menyisihkan segala tata cara kerajaan dan menggeluti tata kehidupan rakyat yang penuh dengan liku-liku. Akhir dari pengorbanannya, adalah mati tragis dibantai bersama murid-muridnya oleh orang yang mengakui utusan Iblis.
"Selesai...," berkata Ponggawa kembali setelah sekian lama terdiam dalam hening, memberikan penghormatan terakhir bagi seorang pahlawan rakyat yaitu Suwarna Angresta. "Nah para rakyat kerajaan Segara Anakkan, apa yang hendak kalian lakukan bagi orangorang yang telah membuat keonaran dan membunuh bahkan bisa dikatakan membantai Kanjeng Suwarna Angresta?"
"Bawa orang-orang itu kemari kalau masih hidup! Kalau memang telah mati, penggal kepalanya dan gantung di depan alun-alun sebagai peringatan bagi yang lainnya!" berseru rakyat, menjadikan alun-alun seketika riuh.
Apa yang dikehendaki rakyat kerajaan Segara Anakkan ternyata dilaksanakan juga. Hari itu juga, kepala dua orang utusan iblis yang ternyata Rundanu dan istrinya dipenggal dan di-gantung di depan alunalun. Dibawah dua kepala itu, dipentang lebar-lebar tulisan yang isinya, "INILAH HUKUMAN BAGI ORANGORANG YANG BERBUAT KEONARAN."
***
Surti Kanti yang turut menyaksikan kepala kedua orang tuanya yang dipenggal, seketika itu menangis meraung-raung histeris. Ia berlari sambil menangis, menjadikan semua mata yang ada di situ beralih memandang ke arahnya. Semua rakyat tercengang, den-
gan hati di-selimuti beberapa macam pertanyaan.
"Hai, kenapa gadis itu menangis sembari berla-
ri?"
"Apakah tidak mungkin kalau gadis itu adalah
anak kedua orang yang digantung?" menjawab orang yang ditanya.
"Mungkin juga,"
Gadis muda yang tak lain Surti Kanti, terus berlari bagaikan tak kenal lelah. Ia berlari sembari menangis dan menyebut nama ayah dan ibunya, juga nama orang yang telah membuat ayah dan ibunya mendapat hukuman pancung.
Mendengar gadis itu menyebut-nyebut nama Jaka Ndableg, seketika para prajurit istana tersentak. Mereka seketika itu mengejar Surti Kanti, namun Surti Kanti telah lari dan lari dengan kencangnya.
"Apakah dia anak kedua orang yang digantung kepalanya itu?"
"Mungkin juga," menjawab prajurit yang ditanya, "Tapi siapakah Jaka Ndableg itu...?"
"Hem, apakah kau tak mendengar tentang seorang pendekar muda yang telah mampu membinasakan kedua Utusan Iblis?" tanya prajurit Sona.
Ditanya begitu oleh Sona, seketika Gading Wangku mengerinyitkan alis matanya. Lalu dengan mendesah bagaikan tak mengerti, Gading Wangku berkata. "Hem, benar. Aku mendengar Patih Singa Barong menyebut-nyebut nama pemuda itu. Ayo kita ke patih Singa Barong untuk melaporkan hal ini."
Dengan segera, kedua prajurit itu berlari menuju ke istana.
Patih Singa Barong yang melihat dua prajuritnya berlari-lari mendekatinya, seketika mengernyitkan mata. Kemudian patih Singa Barong segera bertanya, mana kala kedua prajurit itu telah dekat benar. "Ada apa kalian berlari-lari?"
"Ampun tuan patih, kami hendak melapor," menjawab kedua prajurit itu serentak, menjadikan patih Singa Barong kembali kernyitkan alis matanya. Dipandangi kedua prajurit itu, yang tertunduk tanpa berani menentang pan-dang.
"Apa yang hendak kalian laporkan?"
"Kami melihat seorang gadis berlari-lari menangis setelah menyaksikan dua kepala yang digantung didepan alun-alun," menjawab Sona.
"Hem, mungkin ia trenyuh melihat itu karena ia wanita," berkata sang patih.
"Ampun tuan patih. Gadis itu bukannya menangis biasa, namun ia menyebut-nyebut nama Jaka Ndableg. Begini ia menyebut nama Jaka Ndableg orang yang pernah tuan patih bicarakan."
"Aku mengerti, bagaimana ia menyebut Pendekar Pedang Siluman Darah itu, Gading?"
"Dia menyebut, Awas kau Jaka! Aku tak akan tenang jika belum menghisap darahmu yang telah menjadikan kedua orang tuaku mendapat hukuman."
"Benarkah...?" tanya sang patih tak yakin. "Benar, Tuan Patih," menjawab keduanya se-
rentak.
"Baiklah! Siapkan oleh kalian berdua sepasu-
kan prajurit dan cari gadis itu." "Daulat Tuan Patih!"
Setelah menyembah, kedua prajurit utama itu segera berkelebat pergi untuk mempersiapkan prajurit. Sesaat patih Singa Barong tercenung, lalu dengan segera ia pun berkelebat masuk ke dalam istana untuk menghadap raja guna menerangkan apa yang telah di laporkan oleh kedua prajurit utamanya.
"Ada apa paman patih? Sepertinya ada berita yang sangat penting?" tanya sang Raja. Sang patih tak menjawab, ia menyembah terlebih dahulu. Setelah duduk bersila di hadapan sang Raja dan menarik napas untuk sesaat, sang patih pun berkata:
"Ampun Sri Baginda yang Mulia, hamba menerima laporan dari dua prajurit utama tentang seorang gadis muda yang menangis dan berlari-lari setelah melihat dua kepala yang dipampang di depan alun-alun. Gadis itu juga menyebut-nyebut nama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Hem, lalu apa hubungannya, paman patih?"! "Gadis itu memaki-maki Pendekar Pedang Si-
luman Darah. Hamba merasa yakin kalau gadis itu adalah anak dari dua orang yang d pancung!"
Terbelalak mata sang raja dan permaisuri mendengar penuturan patihnya. Keduanya seketika saling pandang, lalu memandang. Pada sang patih sembari berkata.
"Kalau benar begitu, cari gadis itu. Gadis itu kelak sungguh berbahaya!"
"Daulat Sri Baginda, kami akan berusaha mencarinya."
Setelah kembali menyembah, sang patih segera pamit mundur untuk menjalankan tugasnya. Hari itu juga, patih Singa Barong dan lima prajuritnya dengan menggunakan kuda mencari Surti Kanti.
Dihelanya kais kuda dengan kencang, menjadikan sang kuda berlari bagaikan angin membawa tubuh-tubuh mereka yang terguncang-guncang. Di wajah keenam orang itu, jelas tergambar rasa khawatir kalau-kalau Surti Kanti kelak akan membuat keonaran karena dendam demi melihat kedua orang tuanya dipancung. Apakah keenam orang utusan kerajaan itu akan mampu menemukan Surti Kanti? Nah, ikuti terus kisah ini... BAB II
Surti Kanti terus berlari dan berlari dengan kencang sembari menjerit-jerit histeris. Ia begitu terpukul dengan kejadian itu, yang dirasakan olehnya telah membuat segala yang ada pada dirinya kini tiada arti. Dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman Darah yang dianggapnya biang dari kejadian ini, bagaikan bunga api yang meletup-letup.
"Jaka Ndableg, aku akan membalas segalanya. aku akan membalas segala perbuatanmu!" memekik Surti Kanti terus berlari. "Aku tak akan tenang bila belum menghisap darahmu, Jaka...!"
Sesampai di rumah, Surti Kanti kembali meraung-raung histeris. Ditutupnya segala pintu rumah, lalu ia pun masuk mengurung diri di dalam kamar, menangis dan menangis.
Tengah Surti Kanti menangis, seketika dengan tiba-tiba seorang pemuda yang ia tahu teman kedua orang tuanya telah berdiri di hadapannya. Pemuda itu tak lain Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan tersenyum, menjadikan Surti Kanti tersentak marah.
"Kenapa kau tersenyum, kenapa?!" membentak Surti Kanti, matanya memandang kesal dan marah. "Karena kaulah kami menderita!"
"Menderita...? Hem, apakah kau tidak merasakan kekayaan yang diperoleh oleh kedua orang tuamu karena bantuanku?" bertanya pemuda itu dengan senyum sinis masih mengambang di bibirnya. "Seharusnya kau mengucapkan terima kasih padaku, karena kalian telah aku rubah kehidupannya. Kalian dulu miskin bahkan papa, tapi sekarang kalian kaya raya. Semua adalah usahaku, semua adalah bantuan dariku." Mendengar ucapan Anggada, seketika itu Surti Kanti yang sudah tak memikirkan kehidupan lagi terdiam. Di dalam benaknya hanya ada satu pikiran, bagaimana untuk membalas semuanya pada Jaka Ndableg.
"Kau ingin membalas sakit hati kedua orang tuamu?"
"Hai, kenapa kau tahu isi hatiku?" balik bertanya Surti Kanti terheran-heran. Betapa tidak segala keinginannya hanya ada dalam hatinya, namun ternyata pemuda yang berdiri di hadapannya sembari kembangkan senyum ini mengerti.
"Kau jangan heran atau kaget kalau aku mengerti apa yang menjadi pikiranmu, karena aku bukan manusia macammu. Akulah Penguasa Puri Kegelapan," berkata Anggada, menjadi Surti Kanti tersentak kaget setelah tahu siapa sebenarnya pemuda itu. Saking kagetnya, sampai-sampai Surti Kanti mendesah.
"Ah....! Jadi... Jadi kau, kau..."
Melihat Surti Kanti tergagap sambil ketakutan, pemuda yang bernama Anggada tersenyum saja. Kini ia makin mendekat ke arah Surti Kanti yang makin ketakutan. Senyumnya masih mengambang, sorot matanya tajam menghujam pada mata Surti Kanti. Dari bibirnya yang terurai senyum terbersit suara mendesis. "Kau harus menurut padaku. Kau harus men-
jadi abdiku bila kau ingin membalas dendam pada pendekar muda itu. Akan aku turunkan segala ilmu yang aku miliki padamu, kau mau Surti?"
Surti Kanti yang tadinya ketakutan, kini mengangguk mengiyakan. Dan ketika si pemuda mendekat seraya memeluk tubuhnya, Surti Kanti bagaikan patung diam membiarkan tangan pemuda itu bereaksi. Tangan pemuda itu sedikit demi sedikit berubah. Dari tangan mulus, kini berubah berbulu lebat. Surti Kanti yang telah terpengaruh oleh ilmu Iblis Anggada hanya diam dan diam, sampai akhirnya perubahan pada diri Anggada benar-benar telah menyeluruh. Mukanya kini bukan muka manusia lagi, namun muka kelelawar yang menyeramkan. Namun di mata Surti Kanti, pemuda itu masih berujud seperti semula tampan dan ganteng.
Ketika Anggada mengajaknya untuk mengalunkan irama cinta, Surti Kanti langsung menyambutnya. Surti Kanti hanya menjerit sesaat, mana kala lehernya terasa perih. Leher Surti Kanti ternyata berlubang digigit oleh Anggada. Walau pun begitu, Surti Kanti merasakannya sebuah kenikmatan. Gigi Anggada yang runcing dan tajam, menghujam di leher Surti Kanti. Dari gigi-giginya yang tajam, mengalir tetesan darah hitam legam masuk ke dalam tubuh Surti Kanti. Seketika tubuh Surti Kanti bagaikan melayang, terbawa pada sebuah alam yang terasa asing baginya.
Setelah darah itu benar-benar masuk ke dalam tubuhnya dan membaur dengan darah seketika perubahan terjadi pada diri Surti Kanti. Tubuh Surti Kanti seketika berbulu lebat, hitam legam. Mukanya berubah menjadi muka kelelawar. Matanya tajam memerah, sepertinya memendam bara api. Mulutnya seketika mencicit, melengking menggidigkan bulu kuduk.
"Dinda, maukah kau menjadi istriku? Menjadi pendampingku?" berbisik Anggada.
"Hem..." mendesah Surti Kanti, memandang tajam pada Anggada.
"Jadi kau mau, Dinda?"
"Dengan senang hati, Kanda. Asalkan... " Surti Kanti tidak meneruskan ucapannya. Dengan tersenyum manja, dipeluknya erat tubuh Anggada. Hal itu menjadikan Anggada makin beringas, mendekap erat tubuh Surti Kanti. "Asal apa, Dinda?"
"Asalkan kanda mau menurunkan segala ilmu padaku untuk aku gunakan sebagai pembalas dendamku pada Kerajaan Segara Anakkan dan terutama pada Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Jangan khawatir, Dinda. Kanda akan menurunkan seluruh ilmu yang Kanda miliki pada Dinda. Dan perlu Dinda ingat, Kanda tak akan membiarkan Dinda melawan pendekar muda itu."
"Benarkah, Kanda?"
Anggada hanya mengangguk, menjadikan Surti Kanti makin mengencangkan pelukannya. Sesaat kedua makhluk Iblis itu saling gelut dan saling rengkuh. Dari mulut keduanya mencicit, persis kelelawar. Setelah beberapa saat keduanya berbuat begitu, tampak mulut Anggada berkomat-kamit. Tak berapa lama kemudian, keduanya menghilang berganti dengan sepasang kelelawar. Kelelawar itu terbang, meninggalkan rumah Surti Kanti yang kembali sepi.
***
Dari kejauhan tampak enam orang penunggang kuda menuju ke arah di mana rumah Rundanu berada. Keenam orang itu yang tak lain patih Singa Barong dan kelima prajurit utamanya, terus memacu kudakuda mereka.
Tak berapa lama kemudian, keenam orang itu sampai di depan rumah Rundanu yang tampak sepi. Serta merta, kelima prajurit utama itu segera turun dari kuda dan melangkah mendatangi rumah tersebut.
"Hem, sepi. Kemana gadis itu...?"
"Panggil dia...!" seru patih Singa Barong tak sabar. "Bila tak ada jawaban, dobrak pintunya!"
"Surti Kanti, keluar kau...!" berseru prajurit utama I. Tak ada jawaban dari dalam rumah.
"Surti Kanti, apa kau tuli, ha.....!" prajurit utama II turut berseru. Kembali tak ada jawaban dari dalam rumah, menjadikan kelima prajurit itu menggeram marah. "Setan! Rupanya ia ingin mempermainkan kita. Ayo, kita dobrak!"
Tanpa banyak kata lagi, kelima orang; prajurit itu segera mendobrak pintu. "Braaak...!"
Pintu rumah itu terbuka, hancur terhantam oleh pukulan dan tendangan kaki dan tangan kelima prajurit utama. Dengan berang kelima prajurit utama segera berkelebat masuk. Namun belum sempat mereka memasuki lebih jauh, dua ekor kelelawar besar tiba-tiba menyambar ke arah mereka.
"Awas kelelawar setan!" berseru prajurit I Dengan segera kelima prajurit itu elakan seran-
gan kelelawar setan dengan merundukkan kepala. Namun begitu, kelelawar setan itu kembali memandang ke arah mereka. Mata kelelawar itu memerah bagaikan memendam permusuhan, lalu setelah mencicit melengking yang mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri kelelawar setan itu kembali menyerang.
Sayapnya yang lebar membuka, mengepak menghantam kelima prajurit yang dengan segera cabut golok dan tebaskan pada kelelawar itu.
Tapi bagaikan mengerti saja, kelelawar itu segera elakan serangan golok mereka. Kelelawar hantu itu terbang berputar-putar dengan mulut membuka lebar, menunjukan gigi-giginya yang ranting dan tajam.
"Benar-benar kelelawar Iblis!"
"Jangan kita terpengaruh oleh matanya, serang...!"
"Cuit... Cuit...!"
Kelelawar Iblis itu kembali mencuit, mengeluarkan suara yang mendirikan bulu kuduk. Matanya yang merah memandang tajam pada kelima prajurit, sepertinya mendendam.
Kelelawar satunya datang, mendampingi kelelawar yang tengah bertarung.
"Cuiiit..... Cuiiit !" kelelawar yang baru datang
mencuit, lalu sesaat memandang pada kelima prajurit sepertinya hendak mencari wajah kelima prajurit itu. Lalu tanpa bersuara lagi kedua kelelawar iblis itu terbang, meninggalkan kelima prajurit yang terbengong.
"Aku rasa gadis itu mempunyai ilmu siluman," berkata prajurit utama I.
"Mungkin juga ," gumam prajurit utama-III
"Hoi Apakah kalian menemukannya?" berseru
sang patih yang masih duduk di atas pelana kudanya. "Kenapa kalian hanya terbengong kaya sapi ompong?"
"Tak ada siapa-siapa, tuan Patih," menjawab Prajurit I
"Bakar saja rumah iblis itu!" kembali sang patih berseru.
Tanpa banyak kata lagi, kelima prajurit itu segera menggeledah seluruh ruangan dalam rumah itu, namun mereka tak menemukan orang yang mereka cari. Seluruh ruangan itu kosong dan nampak berdebu sejak ditinggal mati Ki Rundanu dan istrinya.
"Mengapa kalian lama-lama di dalam! Apa yang kalian cari prajurit-prajurit tolol!” membentak marah sang patih, yang telah jemu berlama-lama dari tempat itu. Entah perasaan apa, tiba-tiba bulu kuduk patih Singa Barong yang pemberani itu seketika merinding. “Ayo kalian keluar dan bakar rumah itu…!”
Demi mendengar seruan patihnya, kelima prajurit Utama itu segera berkelebat keluar. Dengan segera, kelima prajurit itu meloncat jatuhkan diri mereka tatkala sebuah benda tiba-tiba melayang menyerang kelimanya. “Setan! Benar-benar rumah ini telah dihuni Iblis!” memaki patih Singa Barong gusar. Ia segera turun dari keduanya, hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke dalam rumah itu. Seketika terdengar ledakan dahsyat mana kala pukulan sang patih seperti membentur pukulan lain.
“Bedebah! Ternyata ada Iblis yang berani mengusikku. Keluar kau, Iblis!” bentak sang patih penuh amarah. Namun tak ada jawaban atau ujud orang keluar, hanya desah angin berlalu menerpa sang patih yang seketika itu berkelit sembari hantamkan ajiannya. “Ajian Wungkir Alur, Hiat…!”
“Duar…!”
“Aaaahhhh….!” terdengar jeritan, mana kala Ajian Wungkir Alur yang dilontarkan sang patih berkelebat menghantam. Terbelalak mata kelima prajurit utama, demi mendengar pekikan kesakitan tanpa ujud itu. Setelah habis pekikan tanpa ujud, sebuah bayangan kelelawar berkelebat terbang dengan darah berceceran. Kelelawar itu tak jauh terbang, ambruk ke tanah. Serta merta kelima prajurit itu memburu, dan mereka seketika memekik mana kala mendekat
“Kelelawar setan…!”
“Apa….!?” berseru kaget sang patih seraya mendekat ke arah kelima prajuritnya yang masih terpaku melihat kelelawar setan yang tergeletak.
Mereka lebih tersentak sampai melompat mundur, mana kala terlihat perubahan pada tubuh kelelawar itu. Tubuh kelelawar itu makin membesar dan besar sebesar tubuh manusia. Setelah ujud kelelawar itu sebesar ujud manusia, tubuhnya seketika berubah menjadi manusia yang menjadikan kelima prajurit dan sang patih tersentak.
“Rundanu…!”
“Hai, jadi… jadi siapa yang telah digantung kepalanya?” menggumam sang patih tak yakin pada penglihatannya.
Belum juga keenam orang istana itu tersadar dari rasa kagetnya, tiba-tiba seekor kelelawar lain berkelebat menyerang mereka. Serta merta sang patih berseru memperingatkan pada kelima prajuritnya.
“Awas serangan…!” “Wuut… Wuuttt…!”
“Aaahhh…!!!!” memekik prajurit utama-IV seraya menutupi mukanya. Dari muka yang tertutup tangan, melelah darah deras mengucur. Sesaat tubuh prajurit utama-IV kejang-kejang, lalu ambruk dengan nyawa melayang.
“Pringgo…!” memekik kelimanya, mana kala melihat Pringgo tergeletak mati dengan muka tercabikcabik.
“Kelelawar Setan! Jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!” membentak sang patih marah. “Terimalah ini, Hiat….!”
Patih Singa Barong hantamkan ajiannya yaitu ajian Wungkir Alur, yang telah mampu membunuh satu diantara dua kelelawar setan itu. Kelelawar setan itu memandang ke arahnya dengan mata memerah bagaikan terbakar api. Kelelawar itu mencicit, kepakan sayap lalu menyerang.
“Cuiiittt.. Cuuiiit…!” “Wuuuuttt… Dest….!” “Aaaahhhh…!”
Kelelawar itu memekik. Ya, memekik seperti manusia, lalu jatuh ke tanah mati. Seperti kelelawar pertama yang ternyata jelmaan Rundanu, kelelawar ini pun berubah membesar dan makin besar. Setelah tubuhnya sama dengan manusia, kelelawar itu berubah ujud menjadi seorang wanita yang mereka kenal adalah istri Rundanu. “Nyi Rumini…!”
“Ah, apa pula ini…?” mengeluh sang patih, tak mengerti dengan segala kejadian yang baru saja mereka alami. “Apakah kita ini tidak tengah bermimpi? Coba kalian cubit lengan kalian!”
Dengan menurut, keempat prajurit utama itu segera mencubit lengan masing-masing dengan keras. Seketika keempatnya menjerit kesakitan, menjadikan sang patih terheran-heran. Dia pun akhirnya mencubit lengannya, dan sang patih pun menjerit.
“Auh…! Jadi kita bukan bermimpi,” gumam sang patih. “Lalu bagaimana ini terjadi?”
“Entahlah tuan patih, kami juga tak mengerti,” menjawab kelimanya berbareng.
“Sungguh-sungguh pengalaman yang aneh,” kembali sang patih menggumam. “Bagaimana mungkin orang yang telah mati terpenggal bisa menjadi kelelawar dan mati lagi? Ah, suatu keanehan…”
Kelima orang itu seketika terdiam, tak mengerti dengan apa yang mereka alami. Pengalaman yang benar-benar sukar untuk dipikir secara akal.
“Jangan bengong, bakar rumah itu!” “Daulat tuan patih!”
Dengan segera keempat prajurit itu membakar rumah iblis. Api seketika berkobar, melalap rumah Iblis. Setelah melihat rumah itu benar-benar habis terbakar, kelimanya segera pergi kembali ke kerajaan dengan membawa tubuh temannya yang telah mati…
*** BAB III
Patih Singa Barong segera menghadap sang Raja untuk menceritakan apa yang telah ia alami bersama kelima prajurit utamanya. Dengan wajah tegang, sang patih segera menyembah diikuti oleh keempat prajuritnya. Hal itu menjadikan sang Raja mengerutkan kening, heran melihat mimik muka patihnya yang kelabu.
"Ada apa paman Singa Barong?* Sepertinya engkau membawa berita buruk hingga wajahmu begitu murung?" tanya sang Raja.
"Ampun baginda yang mulia sesembahan hamba. Memang hamba membawa berita yang sungguh tak dapat hamba percayai dan tak dapat dicerna dengan akal sehat," menjawab patih Singa Barong, menjadikan sang Raja tersentak kerutkan kening. Mata sang Raja membeliak, memandang pada patihnya sembari bergumam.
"Hem... Gerangan apa itu, Paman Patih?" "Mulanya hamba kira hanya mimpi, tapi ternya-
ta benar-benar kenyataan hidup," menjawab sang patih. "Ketika kami mendatangi rumah Rundanu, keanehan itu kami dapatkan ! "
"Keanehan ? Keanehan apa, Paman Patih?"
Sejenak sang patih menarik napas panjang, lalu katanya kemudian.
"Kami diserang oleh empat ekor kelelawar Se-
tan."
"Kelelawar Setan...!" memekik sang Raja dan
permaisuri kaget.
"Maksudmu, Paman patih?"
"Daulat tuanku, memang benar apa yang terjadi. Kelelawar itu menyerang kami, bagaikan seorang manusia saja layaknya."
"Aneh...," guman sang Raja, "Terus...?"
"Dua kelelawar pertama tidak meneruskan menyerang, dan pergi entah kemana. Setelah dua kelelawar itu pergi, kami bermaksud membakar rumah tersebut. Namun sungguh-sungguh mengejutkan, karena tiba-tiba sebuah benda melayang dengan sendirinya menyerang kami."
Demi mendengar cerita sang patih, sang Raja tampak tercenung sepertinya turut terhanyut dengan cerita itu. Matanya memandang mata patih Singa Barong, nafasnya mendesah berat.
"Lalu, paman patih?"
Singa Barong tercenung sesaat, bergidik bulu kuduknya demi mengingat semua kejadian tersebut. Sesaat ditariknya napas perlahan, sebelum kembali bercerita.
"Hal itu menjadikan kami seketika mengelakkannya. Hamba segera menyerang dengan ajian yang hamba miliki. Seketika itu, dari dalam rumah berkelebat seekor kelelawar, yang langsung menyerang kami. Rupanya hantaman ajian yang hamba lontarkan, tepat mengenai tubuhnya. Kelelawar setan itu ambruk sebelum sempat menyerang, jatuh ke tanah dan mati. Yang menjadi kekagetan kami, kelelawar itu berubah menjadi Ki Rundanu yang telah dihukum pancung..."
"Apa...?!" tersentak sang Raja kaget, tak percaya pada apa yang diceritakan oleh patihnya. "Apa kau tak cuma mengarang cerita saja, paman patih?"
"Ampun, Baginda yang mulia sesembahan hamba. Kalaulah baginda kurang percaya, paduka hamba perkenankan menanyai keempat prajurit kami." Sang Raja terdiam, ia juga merasa ada kejang-
galan pada para prajuritnya. Bukankah Singa Barong membawa lima prajurit, mengapa kini tinggal empat?" "Mana prajuritmu yang seorang, paman patih?" "Mati diserang oleh kelelawar setan." menjawab
Singa Lodra, yang menjadikan sang Raja kembali terbeliak kaget.
"Untuk itu, hamba menyampaikannya kehadapan paduka. Kalaulah paduka kurang yakin, hamba perkenankan paduka menilik orang-orang yang tergantung."
"Hem, baik. Ayo kita kesana!"
Segera sang Raja yang diiringi oleh patih Singa Barong dan empat prajurit utama menuju ke pintu gerbang alun-alun. Mereka ketika tersentak, mana kala melihat apa yang terjadi. Ternyata di situ yang tergantung bukan kepala manusia, tetapi buah-buah kelapa.
Patih." "Hem, sungguh-sungguh suatu misteri, Paman
"Itulah, Paduka. Hamba dan keempat prajurit pun sungguh tak mengerti akan semua yang terjadi," menjawab patih Singa Barong.
"Prajurit, ambil buah kelapa itu!" perintah sang Raja dengan penuh kekesalan, yang dengan segera dijalankan oleh empat prajurit utamanya. "Hem, apakah mereka telah menganut ilmu Iblis...?"
"Kami rasa juga begitu, tuanku," menjawab sang patih. "Tapi menurut hamba, kelelawar satunya yang bersama kelelawar penyerang pertama adalah biang ilmu Iblis mereka."
"Kenapa kau bisa berkata begitu, Paman pa-
tih?"
"Ampun, baginda yang mulia. Sebab kelelawar
itu lebih besar dan lebih menyeramkan dibandingkan dengan ketiga kelelawar lainnya."
"Mungkin juga," menggumam sang Raja dan bergegas pergi meninggalkan alun-alun menuju ke istananya, diikuti oleh keempat prajurit dan patih Singa Barong di belakangnya. Pikiran sang Raja melayang, bingung dan tak mengerti dengan segala keganjilan yang terjadi pada kejadian-kejadian yang baru berlalu menimpa kerajaannya...
*** GEROMBOLAN GAGAK BIRU...
Gerombolan Gagak Biru, merupakan sebuah gerombolan perampok dan penyamun. Gerombolan Gagak Biru dipimpin oleh seorang dara, bernama Dewi Era Wati anak Tumenggung Sumara Bumi. Dewi Era Wati adalah anak dari hubungan gelap Tumenggung Sumara Bumi dengan Laras Sari, atau Rampok Bukit Perawan.
Sebagai anak seorang perampok, didikan Era Wati pun selalu menjurus pada hal-hal yang keras. Karena dididik terus menerus begitu, jadilah Dewi Era Wati seorang gadis liar dan telengas.
Jarang mangsanya dibiarkan hidup-hidu walau mangsanya telah benar-benar takluk dan menyerahkan hartanya.
Karena tindakannya yang terlalu kejam dan telengas, menjadikan nama Gagak Biru menjadi momok yang sangat ditakuti oleh rakyat...
Siang begitu panas, terasa menyengat sang mentari dengan sinarnya. Angin bertiup lamat-lamat, menerpa apa yang dapat diterpa.
Dari arah barat seseorang gadis berpakaian biru-biru dengan pedang dipundaknya. Memacu kuda berwarna coklat. Gadis itu memacu kudanya dengan kencang, menyusuri jalan berumput lebat. Rumput alang-alang itu begitu tinggi, hampir menutupi tubuh gadis berpakaian biru hingga bila dilihat dari kejauhan yang tampak hanya kepalanya saja.
"Hia, hia, hia... Ayo Lokal, kenapa kau lemah? Bukankah kau telah kenyang makan? Ayolah, kita tak banyak waktu untuk berleha-leha. Teman-temanku telah lama menunggu. Hia...!"
Bagaikan mengerti ucapan si gadis berpakaian biru yang tak lain Dewi Erawati atau Dewi Gagak Biru, kuda itu segera kencangkan larinya.
"Suit...!"
"Swing... Swing... Swing!
Tersentak Dewi Gagak Biru, mana kala tibatiba berdesing puluhan anak panah menderu ke arahnya. Marahlah seketika Dewi Gagak biru loncat dari kudanya dengan pedang siap di tangannya,
"Bedebah! Rupanya ada kroco-kroco yang hendak unjuk gigi, Hiat...!"
Ditebaskan pedang di tangannya, menyampok puluhan anak panah yang seketika itu berguguran patah menjadi dua.
"Hoi... Kalian para kroco bongkrek, keluarlah! Jangan pengecut seperti banci. Hadapi aku Dewi Gagak Biru!"
"Suit...!" Terdengar suitan.
Mata Dewi Gagak Biru memandang liar sekelilingnya, yang di tumbuhi alang-alang setinggi dada. Pedang Lumajang Biru yang telah menghisap darah puluhan bahkan ratusan korban siap di tangannya. Dewi Gagak Biru menggeretak marah demi tak ada seorang pun yang menampakkan muka.
"Hem, baik kalau begitu! Kalau kalian memang tak mau unjukan congor kalian! Hiat...!"
Pedang Lumajang Ungu seketika berkelebat cepat di tangan Dewi Gagak Biru, menebas rumputrumput alang-alang yang tinggi. "Suit...!"
Kembali terdengar suitan, yang makin mendidihkan amarah Dewi Gagak Biru. Matanya yang tajam, seketika menangkap kelebatan sesosok tubuh di balik alang-alang.
"Hem, jangan harap bisa lolos!"
Habis mendengus demikian, Dewi Gagak Biru yang sudah terkenal sadis bagaikan seekor burung gagak berkelebat. Pedang di tangannya di arahkan pada orang yang nampak.
"Hiat...!" "Dest!" "Aaahhh...!"
Memekik orang itu seketika, mana kala Pedang Lumanjang Biru di tangan Dewi Gagak Biru menebas lengannya. Lengan itu puntung, menjadikan jeritan yang menyayat. Sesaat lelaki bermuka ular menggelepar-gelepar, lalu diam tak bernyawa. Dewi Gagak Biru tersenyum sinis, matanya melotot. Dengan beringas pedang di tangannya kembali dihujamkan ke tubuh orang yang telah mati itu bertubi-tubi, menjadikan tubuh orang itu hancur bagai tercabik-cabik.
"Lihat oleh kalian! Bila kalian tak mau menyerah, maka kalianpun akan seperti ini keadaannya!"
Diangkatnya tubuh orang yang telah hancur itu tinggi-tinggi, lalu dengan keras dihempaskan, dilemparkan pada orang-orang yang menurut perkiraannya berada.
Ternyata dugaan Dewi Gagak Biru benar adanya. Orang-orang yang ada di situ terbelalak kaget, melihat tubuh temannya telah mati dengan tubuh hancur.
"Suit...! Serang...!"
Bersamaan dengan suara seruan itu, seketika dari balik alang-alang berkelebat puluhan orang yang langsung menyerang Dewi Gagak Biru.
"Hem, rupanya memang benar dugaanku, bahwa kalian kroco-kroco yang ingin unjuk gigi. Mana ketua kalian, suruh dia keluar!" membentak marah Dewi Gagak Biru.
"Jangan bermimpi, Dewi. Serang...!" berseru ketua musuh.
"Slompret! Jangan salahkan aku bila telengas turunkan tangan, Hiat...!"
Tubuh Dewi Gagak Biru berkelebat bagaikan terbang, melayang dengan pedang Lumanjang Biru di tangannya. Pedang Lumajang Biru di tangannya bagaikan bermata menebas dengan liar. Setiap tebasan pedangnya, menjadikan jerit-jerit kematian musuh. Namun ternyata musuh bukannya susut, malah bertambah banyak.
"Bedebah!" menggeretak sang Dewi marah. Menyadari kalau begitu terus menerus tak bak-
al ungkulan, sang Dewi segera keluarkan ajiannya yaitu Ajian Sukma Lelana. Ajian yang berapa syair itu, merapalkan ajian aneh. Bila siapa saja yang mendengarkannya dengan seksama, niscaya orang itu akan terhanyut dalam alunan syair tersebut, sesuai dengan bait-baitnya.
"Kala Kehidupan telah Pupus, Datanglah hari kematian, Orang-orang akan memekik berontak, tak ingin hari itu datang. Namun mereka tak mampu. Orang-orang itu menangis dan menangis, lalu terkulai lemas..."
Mendengar syair tersebut, seketika orang-orang yang mengeroyoknya menangis. Ya mereka menangis terhanyut oleh isi syair tersebut. Mereka benar-benar meratap, entah apa yang tengah mereka ratapi. Lalu mereka lemas, ngejuprak jatuh di tanah.
Melihat hal itu Dewi Gagak Biru tersenyum. Namun seketika senyum itu berubah jadi rasa kaget, mana kala terdengar bentakan dari seseorang. Bentakan itu sekaligus menyadarkan para pengeroyoknya dari pengarah ajian Sukma Lelana.
"Bodoh! Kenapa kalian sebodoh itu, serang dia!" Bagaikan baru tersadar dari tidur, mereka se-
ketika tersentak kaget. Secepat kilat, golok yang tadinya terlepas mereka ambil kembali. Mereka pun kembali menyerang Dewi Gagak Biru, yang dengan segera berkelebat menghindar.
"Woro Kendil, kau telah mendahului. Jangan salahkan bila aku bertindak!" Membentak marah Dewi Gagak Biru sembari tangkiskan pedang ke arah serangan yang datang serentak.
"Trang...! Trang, trang, trang...!"
"Hua, ha, ha... Dewi, kau tak akan bebas semaumu sebab aku akan selalu menjadi penghalang bagimu. Kau dan anak buahmu akan bebas berkeliaran, bila kau mau mengakui bahwa akulah penguasa tunggal gerombolan begal di sini. Dan kau harus menjadi pengikutku."
"Kampret busuk! Jangan bermimpi, Woro!" membentak Dewi Gagak Biru gusar. "Auoooooooooo! Aauuoooooo...!"
Tiba-tiba Dewi Gagak Biru berseru, bersamaan dengan itu berkelebat ratusan orang yang langsung menyerbu ke arena pertarungan. Mereka adalah anak buah Dewi Gagak Biru, yang sedari tadi memang telah berada di sekitar tempat itu.
"Nah, Woro.. Apakah kau masih mau ngebandel?" bertanya Dewi Gagak Biru dengan sinis. "Sebentar lagi anak buahmu akan lumat bersama dengan hilangnya Gerombolan Pajang, hua, ha, ha...!"
"Jangan harap aku akan menyerah padamu, Kuntilanak!" "Baik, kalau begitu. Bersiaplah untuk aku kirim kau ke akherat, supaya kau dapat tenang tanpa banyak bacot, Hiat...!"
Sang Dewi Gagak Biru seketika berkelebat menyerang, menjadikan Woro Kuntil tersentak melompat mundur. Pertarungan kini berjalan imbang dengan kedatangan anak buah Gagak Biru. Dewi Gagak Biru kini langsung berhadap-hadapan dengan Woro Kuntil, tanpa harus repot melayani anak buah Woro Kuntil.
Pedang di tangan Dewi Gagak Biru bagaikan Dewi Kematian, bergerak cepat menyerang Woro Kuntil. Diserang begitu rupa, Woro Kuntil tak mau tinggal diam. Dengan senjatanya yang bernama Toya Iblis, Woro Kuntil papaki serangan pedang Lumajang Biru tangan Dewi Gagak Biru.
Tampaklah kini bahwa nama Gagak Biru memang tak bisa dipandang enteng. Dalam sekejap saja, anak buah Woro Kuntil dapat segera didesak. Korban berjatuhan, dengan jerit-jerit melolong-lolong menahan sakit yang teramat sangat. Tubuh korbannya tak dibiarkan hanya mati saja, namun tubuh korban itu dilumatkan hingga benar-benar hancur! Itulah tradisi Gagak Biru, mereka benar-benar ingin menunjukkan siapa adanya Gagak Biru, yang perlu diperhitungkan...!
"Menyerahlah Woro Kuntil!"
"Huh... Lebih baik aku mati dari pada menyerah pada Kuntilanak macammu," jawab Woro Kuntil sewot. Ia tahu kalau anak buahnya telah lumat dibantai Gagak Biru, namun sebagai seorang begal sejati ia tak mau menyerah. Baginya lebih baik mati dari pada takluk menjadi pengikut begal lain.
"Hem, itu yang kau mau. Baik, bersiaplah.
Hiat...!"
Kembali dua pimpinan begal itu berkelebat saling serang. Senjata-senjata di tangan mereka, tak ubahnya nyawa mereka sendiri. Siapa yang senjatanya lebih hebat, dialah yang akan menang.
"Mampus kau Woro Kuntil!"
Bersamaan dengan ucapan itu, Dewi Gag Biru segera tebaskan pedang dengan liar dan ganas. Woro Kuntil tersentak berusaha tangkiskan Toya Iblis, namun sungguh-sungguh keliru perhitungan Woro Kuntil. Ternyata serangan itu hanya tipuan belaka, sedang serangan sebenarnya, menyusul kemudian. Tak ayal lagi, pedang Lumajang Biru di tangan Dewi Gagak Biru, menerobos masuk ke sela-sela pertahanan Woro Kuntil yang lowong.
"Ah...!" mengeluh Woro Kuntil, dadanya tertembus pedang. Matanya melotot, memandang tajam pada Dewi Gagak Biru sembari mendekap dadanya yang berlubang mengeluarkan darah. "Kau hebat, Dewi. Aku... Aku, ah..." tubuh Woro Kuntil ambruk, nyawanya melayang.
"Hua, ha, ha... Akulah penguasa tunggal para rampok. Akan aku dirikan sebuah kerajaan Rampok. Hua, ha, ha..." Dewi Gagak Biru tertawa tergelak-gelak, sepertinya ia merasa gembira. Kesombongan dan kecongkakannya makin menjadi, merasa saingannya telah tak ada. Ya, saingannya si Woro Kuntil, telah dapat ia lumatkan.
BAB IV
Dengan kemenangannya atas gerombolan yang dipimpin oleh Woro Kuntil, menjadikan nama Gagak Biru makin memomok di mata masyarakat. Sepak terjangnya makin mengganas, merampok dan membegal orang-orang dengan sadis. Era Wati selaku ketuanya, tak segan-segan untuk turun tangan sendiri, memimpin anak buahnya yang jumlahnya makin bertambah banyak. Nama Dewi Gagak Biru makin kondang, menyaingi nama Pendekar kita yaitu Pendekar Pedang Siluman Darah. Berbeda dengan kekondangan nama pendekar kita, nama Dewi Gagak Biru merupakan nama yang menakutkan bagi orang-orang yang benar. Namun sangat menyenangkan bagi orang-orang yang memang mencari celahcelah untuk menjalankan itikad buruknya...
Pihak Tumenggung yang dipimpin oleh seorang Tumenggung Galuh Anom, telah berusaha menumpasnya. Namun sejauh itu, keadaannya yang terbalik. Bukannya Gagak Biru yang tertumpas, namun pihak Galuh Anomlah yang tertumpas.
"Kalau begini terus menerus, bisa-bisa kita yang bakal diserang Kanjeng Tumenggung," berkata penasehat Tumenggung Galuh Anom menjadikan sang Tumenggung seketika terdiam. Tangannya menopang dagu, sepertinya tengah bingung bagaimana mencari jalan keluarnya. Apakah ia mesti mengalah pada gerombolan Gagak Biru dan menyerahkan jabatannya pada Dewi Era Wati atau Dewi Gagak Biru? Sungguh sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Teror Gagak Biru yang menteror Ketemenggungan, berjalan sejak Tumenggung Galuh Anom menolak untuk dijadikan gabungan dengan Tumenggung yang dipimpin oleh Sumara Bumi. Entah apa sangkut pautnya, tiba-tiba Gerombolan Gagak menteror.
"Bagaimana menurutmu, Paman Wiraba?" tanya sang Tumenggung setelah sekian lama terdiam, pada Wiraba penasehatnya. "Apakah kita kembali mengirim pasukan untuk memberantasnya?"
"Apakah kita tidak lebih baik meminta bantuan pada Tumenggung Sendang Lalean, Gusti?" balik bertanya Wiraba.
"Maksudmu, Paman?"
"Kita meminta tolong pada Kanjeng Tumenggung Sendang Lalean untuk mengirimkan prajuritprajuritnya kemari. Sebagai balasannya kita beri dia hadiah bila dapat menumpas Gagak Biru."
"Hem, apa itu tidak menjadikan namaku jelek di mata rakyatku, Paman?"
"Hamba rasa tidak, Kanjeng. Rakyat akan senang bila gerombolan Gagak Biru lenyap dari daerah sini," menjawab Wiraba, sepertinya ia yakin dengan usulnya.
Tumenggung Galuh Anom terdiam, menganalisa kembali apa yang telah disarankan oleh penasehatnya. Hatinya bertanya-tanya, apakah mungkin?
Bingung Tumenggung Galuh Anom memikirkan semuanya. Gerombolan gagak biru terlalu ganas, menteror penduduk ketemenggungan. Gerombolan itu juga sukar untuk ditumpas. Jangankan menumpas, mengusirnya dari wilayah Ketemenggungan pun sukar. Bukannya gerombolan itu yang terusir, sebaliknya para prajuritlah yang kocar-kacir. Kebanyakan para prajurit telah enggan untuk mengurusi gerombolan Gagak Biru. Mereka telah tahu siapa sebenarnya Gerombolan Gagak Biru, yang telah menjadikan ketidak tenangan rakyat.
"Kalau itu yang terbaik menurut paman, aku pun setuju."
"Daulat, Kanjeng Tumenggung."
"Nah, siapkan prajurit untuk menyampaikan suratku pada Kanjeng Tumenggung Sendang Lalean," berkata Tumenggung Galuh Anom memerintah.
"Daulat, Kanjeng Tumenggung."
Dengan segera, Wiraba pergi untuk menemui prajurit-prajurit yang hendak diutusnya untuk menyampaikan surat pada Tumenggung Sendang Lalean. Tak berapa lama kemudian, Wiraba telah menghadap kembali di ikuti oleh dua orang prajurit.
"Hamba menyampaikan sembah, Kanjeng Tumenggung," berkata dua prajurit itu sembari menyembah.
"Sembah kalian aku terima," menjawab Tumenggung Galuh Anom.
"Daulat Kanjeng Tumenggung, gerangan apa kami dipanggil menghadap?" tanya Sumantri, seorang prajurit dari keduanya.
"Benar, Kanjeng Tumenggung. Hamba juga tak mengerti, gerangan apa kesalahan hamba hingga hamba dipanggil?" lanjut Suryana.
"Tak ada kesalahan pada diri kalian," menjawab Tumenggung Galuh Anom, menjadikan kedua prajurit itu seketika tenang hatinya hingga keduanya menarik napas panjang. "Sumantri, dan kau Suryana. Aku akan mengutus kalian untuk menyerahkan surat pada Kanjeng Tumenggung Sendang Lalean. Kalian harus menunggu surat itu, sampai Kanjeng Tumenggung Lalean menjawabnya."
"Daulat, Kanjeng Tumenggung!" menjawab keduanya bareng.
"Tunggulah sesaat, aku akan menulis surat
itu."
Tumenggung Galuh Anom segera bergegas ma-
suk, meninggalkan dua prajuritnya yang duduk menunggu. Ditulisnya surat di atas selembar daun lontar, yang isinya sebagai berikut.
Sembah pangabekti kaulo....
Dening Raka Tumenggung Sendang Lalean. Raka Tumenggung,
Kalih dugi nipun serat meniko, kawulo nyuwun dumateng Raka Tumenggung panulungan ingkang wujudipun Bala bantuan. Sebab nipun, teng Temenggungan ingkang kawulo pimpin enten kekacauan ingkang tekan saniki dereng saged kawulo tumpas.
Cekap saniki mawon serat saking kawulo, Sembah pangabekti kawulo,
Rayi panjenengan
Ttd Galuh Anom
Sesaat Galuh Anom kembali tercenung, dipandangi surat yang ia tulis. Pikirannya berkecamuk aneka macam perasaan, bimbang gulana menggurat di hati. "Apakah aku tidak ada artinya lagi? Mana harga diriku sebagai seorang pimpinan?" mengeluh hati Galuh Anom. "Namun memang aku tak mampu menanggulangi pengaco-pengaco itu. Ah, apalagi artinya harga diri, kalau memang harus berjalan begitu."
Digulungnya daun lontar bertuliskan suratnya, lalu bergegas Galuh Anom kembali keluar menemui prajuritnya. Ditatapnya sesaat kedua prajurit itu, sebelum kembali berkata.
"Prajurit, ini surat untuk Tumenggung Sendang Lalean. Berikan pada Tumenggung dan tunggulah jawabannya. Nah, berangkatlah kalian. Aku do'akan semoga kalian berhasil dan selamat sampai tujuan."
"Daulat kanjeng Tumenggung, hamba pamit undur."
"Ya, berangkatlah."
Setelah menyembah terlebih dahulu, kedua prajurit itu pun segera berlalu pergi membawa surat itu untuk Tumenggung Sendang Lalean.
Dipacunya kuda dengan kecepatan tinggi, dengan harapan segera dapat tiba di tempat tujuan. Namun ketika kedua prajurit itu tengah memacu kuda mereka, tiba-tiba sepuluh orang telah berdiri menghadang. Tersentak kedua prajurit kaget, sehingga keduanya segera menghentikan lari kuda dengan paksa menjadikan sang kuda meringkik.
Wajah kesepuluh orang penghadang itu seram, dengan cambang berewok menutupi dagu mereka. Mata mereka merah bagaikan mabok tuak, memandang tajam pada kedua prajurit yang tersurut mundur.
"Ada apa Ki Sanak kalian menghadang kami?" tanya Sumantri.
Kesepuluh orang itu hanya mendengus dengan mata tajam menghujam tetap memandang ke arah dua prajurit. Bagaikan sebuah patung, kesepuluh orang itu tak gerak. Memberi jalan tidak, mendekati pun tidak.
"Bunuh, mereka!"
Tiba-tiba seorang yang berdiri paling muka memekik, mengomandokan pada kesembilan orang lainnya untuk menyerang. Tersentak ke dua prajurit kaget, dan mereka berusaha membalikkan kudakudanya. Namun belum sempat semua itu dilakukan, serta merta kesembilan orang bertampang menyeramkan itu telah mendahului menyerang. Tak ayal lagi, kedua prajurit Ketemenggungan pun keteter. Keduanya tak siap apa-apa, menjadikan keduanya bagai mainan bagi kesembilan manusia bermuka menyeramkan.
Tak begitu lama perkelahian itu berjalan dua orang prajurit Ketemenggungan seketika memekik dan ambruk ke tanah. Kuda-kuda mereka berlarian ketakutan, kencang tak terkendali. Belum puas sepertinya kesembilan orang penyerang itu melihat kedua prajurit Ketemenggungan tergeletak sekarat. Mereka kembali menghantamkan pukulan dan bacokan golok hingga kedua prajurit itu akhirnya mati. Tubuhnya besetbeset bagaikan dicincang. Setelah merasa musuhnya mati, kesepuluh orang berwajah menyeramkan itu segera berlalu meninggalkannya. Entah kemana kesepuluh orang itu pergi, yang dalam sekejap saja telah menghilang.
* * *
"Kita harus segera mengadakan penyerbuan ke Temenggungan sebelum kita didahului, Dewi," berkata Sanur, selaku wakil dari Dewi Gagak Biru. "Ternyata mereka hendak meminta bantuan pada Tumenggung Sendang Lalean."
"Hem, memang benar, Memang kita harus mendahului," menjawab Dewi Gagak Biru. "Kalau tidak, maka cepat atau lambat kita yang akan diserangnya seperti dua bulan yang lalu. Baiklah, kita tunjukan pada Tumenggung Galuh Anom bahwa kita patut menggantikannya yang bodoh dan pengecut itu. Hari ini juga, susun strategi penyerangan,"
Hari itu juga, gerombolan Gagak Biru dibawah pimpinan langsung sang ketuanya yaitu Dewi Gagak Biru mengadakan persiapan perang. Tekad mereka untuk memberontak dan menyingkirkan Tumenggung Galuh Anom telah membulat.
Era Wati atau Dewi Gagak Biru tampak berjalan mondar-mandir memeriksa setiap peleton barisan, yang jumlahnya ada dua puluh peleton. Wajah-wajah prajuritnya nampak berseri-seri, sepertinya mereka senang menerima tugas itu. Ya, mereka telah dididik untuk tak takut menghadapi apapun, atau siapa pun.
"Kalian siap untuk melakukan penyerangan!?" "Siap, Tuan Putri Gagak Biru!" menjawab se-
mua serentak.
"Bagus! Kalian tahu tempat untuk berkumpul?" "Tahu, Tuan Putri Dewi Gagak Biru!" "Nah, di situlah kalian harus berkumpul. Ingat! Jangan sekali-kali kalian keluar dari alang-alang maut itu, sebelum ada komando dariku, mengerti"
"Mengerti!"
"Sawung dan kau Suwing, kau berikan surat tantangan ini."
Disodorkan gulungan daun lontar yang telah diisi oleh tulisan, pada Sawung Suwing yang segera menerimanya.
"Ingat! Pancing mereka untuk menuju ke Alangalang maut!"
"Daulat, Ketua."
"Berangkatlah, kalian!" Dengan segera kedua Sawung-Suwing segera gebah kudanya berangkat menuju ke Ketemenggungan untuk menyerahkan surat tantangan itu. Digebahnya kuda memburu, bagaikan kilat kuda itu berlari membawa tubuh SawungSuwing.
Sementara yang lainnya, kini tampak ber gerak menuju ke alang-alang maut. Tempat itu biasanya untuk menyergap mangsa, tempat itu pula biasanya mereka melakukan persembunyian dari kejaran pihak kerajaan.
Dibawah pimpinan langsung Dewi Gagak Biru, seratus prajurit gerombolan. Gagak Biru itu berjalan dengan gagah berani. Mereka seperti yakin akan kemenangan yang bakal mereka raih. Ya, mereka yakin itu, sebab pimpinannya yang terkenal tangkas dan sakti turut serta selalu bersama mereka.
***
dup." "Bunuh semuanya, jangan sampai disisa hi"Daulat, Ketua!" menjawab mereka serempak. Mereka terus bergerak menuju ke alang-alang maut, dimana mereka akan mengadakan penyergapan. Sesampai mereka di alang-alang maut, mereka segera menyembunyikan diri dibalik alang-alang yang tinggi hingga mereka tak nampak barang rambutpun.
Dari kejauhan dua orang penunggang kuda nampak memacu kuda-kuda mereka dengan kencang. Keduanya adalah Sawung-Suwing, yang telah menunaikan tugas mereka,
"Sawung... Suwing, bersembunyilah!" Mendengar seruan pimpinannya, dengan segera
Sawung-Suwing berkelebat dari kuda-kudanya. Tubuh keduanya seketika hilang ditelan oleh alang-alang maut yang tinggi.
Semuanya terdiam tiada yang berkata-kata.
Tak berapa lama antaranya, tampak dari kejauhan segerombolan pasukan menuju ke arah mereka. Pasukan itu seketika menghentikan kuda-kuda mereka di pinggir alang-alang maut. Mata mereka memandang hamparan rumput yang tinggi, yang terpapar di depan mata mereka.
"Dewi Gagak Biru, dimana kau!" berseru pimpinan prajurit dengan gusarnya, merasa ia telah dipermainkan oleh Dewi Gagak Biru
"Kalau kau takut, menyerahlah!" "Suittt...!"
Terdengar suitan dari balik alang-alang.
Mata ketua prajurit melotot marah, kesal dengan permainan yang baginya terlalu bertele-tele. Mulutnya mendengus, memaki kesal. Ia tidak menyadari bahwa kalau prajuritnya masuk ke alang-alang, mereka akan terjebak.
"Setan! Rupanya nama Dewi Gagak Biru hanya nama isapan jempol, yang nyatanya pengecut!"
"Suit...!" Kembali terdengar suitan melengking. "Bedebah! Serang, jangan takut!" Mendengar komando pimpinannya, seketika para prajurit yang jumlahnya tujuh puluh lima orang itu menyusup ke alang-alang maut. Tak ayal lagi, seketika mereka menjerit mana kala kedatangannya disambut dengan tebasan golok dan tusukan tombak.
Gusar dan marah, pimpinan prajurit menyaksikan korban bergelimpangan dari pihaknya. Dengan gusar, pimpinan prajurit itu tanpa memikirkan akibatnya langsung terjun menyelusup ke alang-alang maut. Tersentak ketua prajurit, mana kala sebuah hantaman mengarah ke arahnya. Hantaman itu datang begitu cepat, yang dilancarkan dari seorang gadis yang tak lain Dewi Gagak Biru adanya.
"Pengecut! Keluar kau Dewi Iblis!" memaki marah pimpinan prajurit setelah mampu menghindari serangan mendadak tersebut. Bersamaan dengan habisnya suara pimpinan prajurit, sesosok tubuh gadis ramping berkelebat bagaikan terbang dan berjalan di atas alang-alang menuju ke arahnya berdiri. Bibir gadis itu tersenyum sinis, lalu dengan angkuh gadis itu berkata.
"Kalian telah masuk perangkap ku, maka tak akan kalian mampu keluar dari tempat ini dengan nyawa masih menggantung di badan. Nah bersiaplah, Hiat...!"
"Kalianlah yang harus minggat dari daerah ini, Hiat !"
Tubuh keduanya berkelebat bagaikan terbang dengan tangan menggenggam senjata masing-masing berupa pedang. Keduanya seketika itu bertarung di udara, saling tebas dan saling tangkis.
Trang !"
Kedua pedang itu saling beradu. Mata pimpinan prajurit itu seketika terbelalak kaget. Tangannya yang memegang pedang terasa kesemutan. Yang lebih kaget dari itu semua, pedang di tangan pimpinan prajurit itu tiba-tiba patah menjadi dua. Melihat hal itu, tertawa bergelaklah Dewi Gagak Biru. Lalu dengan tanpa memperdulikan rasa kaget pimpinan prajurit, Dewi Gagak Biru kembali berkelebat setelah melompat mundur akibat benturan tadi.
"Berdo'alah sebelum kau ajal, Hiat...!"
"Hem, lebih baik aku mati di tanganmu, dari pada aku mengakui kekalahanmu Iblis Betina, Hiat...!" Dengan pedang yang tinggal sepotong, pemim-
pin prajurit Ketemenggungan seketika nekad memapaki serangan Dewi Gagak Biru.
Disisi lain, hampir seluruh pasukan Ketemenggungan tak berkutik menghadapi amukan anak buah Gagak Biru yang ganas. Jerit-jerit kematian terus menggema, bersama ambruknya sosok-sosok tubuh prajurit. Seperti apa yang menjadi kebiasaan anggota Gagak Biru, mereka pun tak menghentikannya sampai di situ. Dengan sadis, direjamnya tubuh para prajurit.
Dewi Gagak Biru mendengus sesaat, memandang tajam dengan pedang dikiblatkan pada musuh. Matanya makin lama makin menyipit, dengan senyum sinis mengembang di bibir.
"Nah, bersiaplah untuk menyambut Malaikat Maut, Hiat...!"
"Wuut, Wut. !"
Pedang Lumajang Biru berkelebat cepat, bergulung-gulung laksa badai puting beliung. Pedang itu seketika bagai menghilang, bersamaan dengan hilangnya tubuh Dewi Gagak Biru yang terbungkus gumpalan kabut.
Melihat hal itu, tersentaklah pemimpin prajurit kaget melompat mundur. Matanya mendelik, mulutnya menganga bengong. Namun belum juga ia hilang dari kekagetannya, seketika terdengar teriakan nyaring bersamaan dengan kelebatan pedang.
"Hiat...! Mati kau anjing Galuh!" "Crooss...!"
"Aaahhhh "
Melengking seketika pimpinan prajurit, kepalanya puntung terpenggal pedang Lumajang Biru. Kepala itu menggelinding, diikuti oleh ambruknya tubuh pimpinan prajurit.
"Ambil kepala pimpinan prajurit itu! Kita serang Ketemenggungan!" berseru Dewi Gagak Biru pada anak buahnya, yang seketika itu pula melakukannya. Diambilnya kepala pimpinan prajurit, lalu dibungkus dengan baju yang ia kenakan.
"Ayo kita berangkat.!"
Dengan penuh semangat seluruh pasukan gerombolan Gagak Biru berderet-deret menuju ke Ketemenggungan. Langkah mereka begitu pasti, sepertinya kemenangan yang bakal mereka raih. Ya, memang hanya ada satu di hati mereka, mati atau menang berkuasa.
***
Tumenggung Galuh Anom tersontak kaget, ketika dilihatnya serombongan pasukan gerombolan Gagak Biru berbondong-bondong datang. Mereka lengkap dengan senjata, siap untuk berperang.
"Bagaimana paman? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Tumenggung Galuh Anom, mukanya pucat pasi. "Apa yang harus kita lakukan, Paman?"
"Lebih baik kanjeng Tumenggung menyerah sa-
ja."
"Apa...? Apakah kau ini sudah gila!" "Hua, ha, ha... Memang aku sudah gila," menjawab Wiraba tenang, sepertinya tak gentar sedikit pun dengan kedatangan Gagak Biru yang hendak menyerang Ketemenggungan. "Akulah sebenarnya orang yang paling menghendaki kau tergulingkan, Galuh."
"Bedebah! Rupanya kau tak lebih seekor anjing penjilat!"
"Hua, ha, ha... Terserah apa yang kau katakan, Galuh. Yang penting, kau akan segera terbang ke akherat sana."
"Iblis! Jangan harap kau mampu melakukannya, Wiraba!" membentak Galuh Anom gusar, setelah tahu siapa sebenarnya Wiraba yang sebenarnya tangan kanan Dewi Gagak Biru. Wiraba hanya tersenyum kecut, lalu dengan angkuhnya ia berkata.
"Kenapa tidak, Galuh. Bukankah mereka teman-temanku sebentar lagi akan mengganyang dagingmu? Hua, ha, ha !"
"Licik! Kubunuh kau Wiraba, Hiat !"
"Percuma kau buang-buang tenaga, Galuh!" "Hem, lebih baik aku mati bersamamu, Wiraba."
Bagaikan orang nekad, Galuh Anom terus me-
rangsek Wiraba yang masih berusaha menghindar. Serangan-serangannya yang sangat ganas, mengarah pada hal-hal yang dapat mematikan. Hal itu menjadikan Wiraba benar-benar terdesak hebat, tak mampu untuk sekali pun membalas. Ketika Wiraba hampir saja terhantam pukulan Galuh Anom, tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita yang langsung menangkisnya.
"Wiraba, mundur kau!"
"Daulat, Pimpinan," menjawab Wiraba yang segera berkelebat ke luar bergabung dengan para prajurit gerombolan Gagak Biru, yang langsung menyerbu ke dalam. Galuh Anom makin bertambah marah, setelah tahu siapa adanya orang yang telah menolong Wiraba dari tangan mautnya. Gadis cantik itu tersenyum sunggingkan bibir, sinis. Dan dengan tenangnya, Dewi Gagak Biru memapaki setiap serangan Galuh Anom. Mendapat serangannya tak pernah mengena, Galuh Anom makin nekad. Dia tak menyadari siapa sebenarnya Dewi Gagak Biru yang telah menjadi momok yang ditakutkan.
Dewi Gagak Hitam yang tak mau membuangbuang waktu segera cabut pedangnya. Sinar pedang Lumajang Biru memancar dan menerpa muka Galuh Anom yang seketika itu melompat mundur. Dengan kibasan cepat, Galuh Anom cabut Tri Sula Setan yang tergantung di dinding.
"Percuma, Galuh. Menyerahlah!" seru Dewi Gagak Biru sinis.
"Setan! Jangan kira aku takut menghadapimu.
Ayo kita buktikan!"
Habis berkata begitu, Galuh Anom secepat kilat menyerang Dewi Gagak Biru dengan Tri Sula Setannya. Matanya merah marah, giginya beradu menimbulkan gemerutuk menahan marah.
Sementara di pihak lain, dengan cepat anak buah Gagak Biru telah mampu menghancurkan barisan prajurit Ketemenggungan. Mereka seperti haus darah, mencincang dan merejam tubuh para prajurit dengan beringas.
Dewi Gagak Biru telah kondang namanya, mana mungkin mau mengalah dengan orang-orang macam Galuh Anom. Melihat Galuh Anom nekad, menjadikannya malah bertambah semangat. Hal itu tidak disadari oleh Galuh Anom, yang terus berusaha mencerca Dewi Gagak Biru.
"Hiat...!" Dewi Gagak Biru berkelebat, tebaskan pedangnya menyilang menjadikan pedang ini bagaikan sebuah gunting. Tersentak Galuh Anom melihat hal itu, segera ia tusukkan Tri Sula Setan. Namun terlambat, sebab pedang Lumajang Biru di tangan Dewi Gagak Biru telah mendahului dengan cepat.
"Crooosss...!"
"Aaaahhhh...!"
Melengking seketika jeritan Galuh Anom bersamaan dengan puntung kepalanya. Darah seketika membanjir, mencurat dari urat-urat leher. Tubuhnya perlahan doyong, lalu ambruk menggedebug di tanah. Mata Galuh Anom yang telah mati, melotot mengerikan.
Dengan kemenangan itu, makin bertambah momoklah nama Gagak Biru. Dewi Gagak Biru saat itu juga mengangkat dirinya menjadi Tumenggung bergelar, Tumenggung Gagah Biru. Walau telah menjadi Tumenggung, Dewi Gagak Biru terus mencoba memperluas wilayah kekuasaannya....
Dengan pasukan gerombolan begalnya, Gagak Biru terus menteror rakyat. Tujuannya hanya satu, kemenangan dan kemenangan juga nama yang disegani seperti Pendekar Pedang Siluman Darah....
BAB V
ALAM SILUMAN...
Penguasa puri kegelapan nampak duduk di sebuah kursi berukir, yang terbuat dari tulang belulang manusia.
Di hadapannya, duduk bersilah Rake Suyung Belung seorang guru besar kerajaan Puri Kegelapan yang dipimpin oleh Wala Kowara. Dialah yang di serahi oleh Wala Kowara atau Anggada untuk mendidik Surti Kanti. Wala Kowara mempunyai tujuan dengan para manusia, yaitu menaklukan bangsa manusia.
"Ampun paduka Raja Agung Wala Kowara, gerangan apa paduka mengundang hamba?" bertanya Suyung Belung, nadanya jelas penuh takut. Suyung Belung tahu siapa pimpinannya, seorang siluman yang sakti dan kejam.
"Aku ingin menanyakan tentang perkembangan Surti Kanti, bagaimana dia?"
"Ampun tuanku, sungguh hamba tiada kira kalau bangsa manusia benar-benar pintar."
"Maksudkan, Paman?" tanya Wala Kowara tak mengerti dengan maksud ucapan Rake Suyung Belong.
Rake Suyung Belung terdiam menghela nafas panjang, lalu katanya kemudian.
"Sungguh segala ilmu yang hamba miliki telah dengan lahap diserap oleh Tuan Putri Surti Kanti."
"Bagus!" berseru Wala Kowara girang. "Itu berarti cita-citaku untuk menguasai bangsa manusia akan dapat terlaksana."
"Itu yang hamba harapkan, agar hamba pun dapat menikmati alam manusia dengan leluasa tanpa adanya gangguan dari bangsa manusia."
"Ya, ya. Hua, ha, ha ! Akulah kelak penguasa
tunggal!" bergelak tawa Wala Kowara, sepertinya bangga.
Sementara di lain tempat, nampak Surti Kanti yang tengah belajar ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh Suyung Belung dengan giat. Segala ilmu silat, baik yang biasa dipakai oleh bangsa manusia, maupun bangsa siluman dilalapnya dengan cepat.
"Hiat...! Serat Layu Urip, Hiat!" "Jlegar! Jlegar! Jlegar!" Terdengar ledakan dahsyat, mana kala selarik sinar perak yang keluar dari tangan Surti Kanti menghantam batu-batu cadas.
Tubuh Surti Kanti berkelebat laksana seekor burung walet, lalu menukik ke bawah setelah mencapai titik kulminasi atas. Tangannya menyatu dengan jari-jari mengepal. Dan...!
"Duar! Duar!"
Kembali terdengar ledakan dahsyat, saat kedua tangan Surti Kanti menghunjam di antara Gunung Batu Cadas itu. Batu-batu cadas berterbangan, sepertinya terhempas oleh tenaga yang mana dahsyat.
"Hebat! Hebat!"
Terdengar seruan gembira, mengomentari apa yang dilakukan Surti Kanti yang telah kembali melompat, berdiri dua orang yang sudah ia kenal. Orang pertama adalah Rake Suyung Belung gurunya, sementara berdiri di samping Suyung Belung adalah Wala Kowara atau Penguasa Puri Kegelapan yang tersenyum bangga padanya.
Melihat Wala Kowara, serta merta Surti Kanti berseru seraya memburu ke arah Wala Kowara.
"Kakang Wala!"
Surti Kanti yang telah dua tahun lebih berpisah dengan Wala Kowara seketika tanpa memperdulikan gurunya memeluk erat tubuh Wala Kowara. Sang guru yang memahami hanya tersenyum, membiarkan ke dua junjungannya melepaskan kerinduan.
"Surti, kau harus dapat mempelajari semua yang di ajarkan oleh Rake Suyung Belung! Ingat! Kau harus mampu dalam waktu singkat kau harus membalas semua dendam. Ingat! Yang perlu kau hitungkan adalah Pendekar Muda Pedang Siluman Darah!"
"Aku mengerti, kakang. Maka itulah aku dengan tak mengenal lelah belajar terus," jawab Surti Kanti manja. Kepalanya direbahkan pada dada Wala Kowara yang menerima dengan membalas membelai rambut Surti Kanti.
"Bagus Surti! Bila kelak kau telah mampu mengalahkan Jaka Ndableg, maka kita akan merajai dunia. Bukan begitu, Sayang?"
Surti Kanti hanya tersenyum menganggukkan kepalanya. Dengan dibimbing Wala Kowara, Surti Kanti berjalan menuju ke pondok gurunya.
"Kapankah semua akan selesai, Guru?" tanya Surti Kanti pada gurunya, mana kala mereka berjalan menuju ke pondok. Sang guru tersenyum, menarik napas dan dihempaskan.
"Tak akan lama lagi, Tuan Putri." menjawab Rake Suyung Belung, menjadikan Surti Karti tersenyum hatinya berbunga. "Seperti Tuan putri, hamba pun ingin sekali melihat dan merasakan hidup di alam manusia."
Surti Kanti tercenung diam, mendengar penuturan gurunya. Matanya berkaca-kaca memandang hampa. Pikirannya seketika melayang pada alamnya, yaitu alam manusia. Ia telah rindu sekali pada kampung halamannya, namun untuk kembali dan menampakkan diri, perlu kesaktian. Sebab dirinya kini menjadi buronan kerajaan Segara Anakkan.
Wala Kowara yang melihat perubahan pada raut muka kekasihnya seketika bertanya. "Apa yang engkau pikirkan, Sayang?"
"Ah, tidak kakang. Aku hanya melamun bagaimana agar aku dapat segera kembali alam manusia, tanpa adanya ketakutan."
Mendengar ucapan kekasihnya, seketika Wala Kowara tersenyum gelengkan kepala. Ditatapnya lekatlekat Surti Kanti, yang tampaknya juga tengah memandang ke arahnya. "Tak akan lama lagi, Kasihku. Kalau kau cepat dan telaten belajar, aku kira tak akan menunggu waktu lama. Bukan begitu, Rake?"
"Daulat, Tuanku. Memang benar apa ya kau ucapkan Baginda Wala Kowara, bahwa tuan Putri tak akan lama lagi bisa menikmati alam manusia kembali. Untuk itu, kiranya perlu waktu 40 hari lagi."
Berbinar-binar mata Surti Kanti mendengar penuturan gurunya. Kerinduannya akan kampung halaman, seketika kembali menguak. Senyumnya mengembang, seirama dengan derap langkah kakinya yang dibimbing dalam dekapan Wala Kowara si Penguasa Puri Kegelapan.
***
Pendekar kita Jaka Ndableg tengah dudukduduk di atas batang pohon asem yang tumbang. Tampaknya ia tengah merenungkan sesuatu. Sekalikali ia tersenyum, lalu geleng-gelengkan kepala.
"Hidup. Ah, sungguh-sungguh aneh hidup ini. Kadang aku tak habis pikir, untuk apa hidup ini? Apakah untuk saling baku hantam seperti yang aku lakukan selama ini? Huh... Pusing, pusing. Memang kalau didiamkan, maka hanya kekacauan yang terjadi. Sedangkan aku dituntut untuk menjadi seorang yang memerangi kejahatan dan keangkara murkaan. Aku banyak musuh, juga banyak sahabat;"
Tengah Jaka merenung sendiri, tiba-tiba ia dikejutkan oleh deru kaki-kaki kuda yang dipacu dengan memburu. Jaka tersentak kaget tengokkan kepala memandang pada asal suara itu.
"Hai, kenapa dua orang itu diseret?" Tanya Jaka pada diri sendiri. "Apa salahnya? Hem, ini lagi kehidupan. Tampaknya kedua orang yang diseret itu orang yang sudah tua renta, kasihan. Baik, aku akan mencoba menanyakannya. Hiat !"
Dengan segera Jaka bangkit dari duduknya berjalan menuju ke arah dimana dua penunggang kuda yang berwajah menyeramkan itu tengah menyeret lelaki tua renta itu.
"Sampurasun !" menyapa Jaka setelah sampai
pada dua orang penunggang kuda yang seketika menghentikan jalan kudanya. Kedua orang itu memandang tajam pada Jaka, sepertinya hendak menilai siapa adanya Jaka. Melihat kedua orang penunggang kuda itu terdiam, Jaka dengan segera kembali mengulang.
"Sampurasun...! Apakah kalian telah tuli?" Mendengar omongan Jaka yang asal nyerocos,
seketika marahlah kedua orang penunggang kuda. Salah seorang dari mereka serta merta membentak.
"Monyet! Apa kau bilang!"
"Oh, maaf, aku kira anda berdua tuli," menjawab Jaka dengan cengar-cengir bagaikan tak bersalah. "Tadi bukankah aku telah menyapa? Tapi kalian ternyata tak menjawab, sehingga aku berkesimpulan bahwa kalian memang benar-benar tuli."
"Edan! Kau berani lancang dengan prajurit Segara Anakkan!" membentak marah orang yang bertubuh tinggi besar dengan kepala botak. Matanya melotot bagai hendak keluar, menjadikan Jaka tersenyum geli. Jaka yang Ndableg, seketika ingin mencandai kedua prajurit Sagara Anakkan yang rupanya belum mengenali siapa adanya dirinya.
"Ooh, kiranya tuan para prajurit Segara Anakkan. Maaf, sungguh aku yang bodoh ini tidak mengetahui siapa adanya tuan-tuan berdua. Sekali lagi saya minta maaf."
"enak saja kau ngomong. Anak muda! Kau telah menghina kami, maka sepantasnyalah kau harus dihukum!" kembali orang bertubuh tinggi besar membentak. Namun begitu, Jaka yang dasarnya Ndableg cengengesan mendengarnya. Hal itu menjadikan kedua orang prajurit Segara Anakan makin bertambah marah "Duh tuan berdua, apakah tuan tidak merasa kasihan padaku yang memang bodoh? Kalaulah tuan hendak menghukum saya, saya minta berilah pada saya hukum itu. Pasti yang namanya hukum itu
enak. Bukan begitu, Tuan-tuan?"
Terbelalak mata kedua prajurit Segara Anakan mendengar omongan Jaka yang dirasa aneh. Mata mereka menyipit, memandang tak berkedip pada Jaka, lalu kedua prajurit itu tertawa bergelak-gelak yang diikuti oleh Jaka. Makin tersentak kaget kedua prajurit kerajaan Segara Anakan, demi melihat tingkah Jaka yang kaya orang sinting. Betapa tidak, orang lain pasti akan diam melihat prajurit Segara Anakan, tapi Jaka malah ikut tertawa ketika kedua prajurit itu tertawa.
"Anak edan! Kau berani ikut-ikutan tertawa," membentak marah kedua prajurit itu.
"Rupanya anak muda ini benar-benar gila, Kakang Bengkol," berkata prajurit satunya, yang bermuka seperti burung betet.
"Mungkin juga, Adik Betet," menjawab. "Ayo kita tinggalkan pemuda gila ini."
Ketika kedua prajurit kerajaan Segara Anakan itu hendak kembali berjalan tiba-tiba Jaka berseru yang menjadikan keduanya segera mengurungkan kembali langkah kudanya.
"Tunggu tuan-tuan!"
"Edan! Kau sepertinya sengaja menghambat langkah kami. Ada apa, Anak Edan!" membentak marah Bengkok. "Apakah kau ingin ini?!"
Bareng dengan habisnya ucapan Bengkok, seketika berdesing sebuah pisau belati mengarah pada Jaka. Jaka seketika tersentak, lemparan tubuh ke angkasa sembari kibaskan tangan menangkis dengan ajian Getih Sakti. Seketika pisau itu mental, sedang Getih Sakti terus menyerbu ke arah kuda yang ditumpangi Bengkok. Seketika kuda itu meringkik, lalu ambruk mati dengan tubuh meleleh mengeluarkan bau.
"Setan! Rupanya kau hendak membikin masalah. Jangan salahkan jika aku menurunkan tangan kasar!"
"Hem, bukankah kau pun tadi bermaksud mencelakai aku?" tanya Jaka acuh dengan senyum masih melekat di bibirnya. "Ucapanmu sungguh ucapan yang tak dapat di anuti sebagai seorang prajurit. Semestinya kalian menjadi kroco-kroco penyamun, yang biasa bergaul dengan monyet-monyet"
Menggeram seketika kedua orang prajurit itu, mana kala mendengar ucapan Jaka yang terasa pedas. Mata keduanya memerah, seperti terbakar amarah. Setelah mendengus, Betet seketika membentak.
"Bedebah! Rupanya kau seorang pemuda yang pura-pura gila. Siapa namamu, sebelum kami kirim kau ke neraka!"
"Ooh, sungguhkah kau mampu mengirimku ke neraka?" tanya Jaka ngebanyol. "Sungguh aku pun ingin melihat yang namanya Neraka itu. Menurut cerita, bukankah Neraka itu berapi? Kalau kau bicara hendak mengirimku ke Neraka, mungkinkah kau penghuninya?"
"Bedebah! Lancang mulutmu. Ayo adik Betet, kita kasih pemuda edan ini pelajaran, biar ia mau mengerti siapa kita."
"Ayo, kakang. Jangan lengah, Anak muda!
Hiat...!"
Serentak kedua orang yang mengaku prajurit kerajaan Segara Anakan berkelebat menyerang Jaka. Diserang dengan secara serentak, tidak menjadikan Jaka keteter. Namun sebaliknya Jaka dengan tingkahnya yang khas melayani serangan kedua musuhnya dengan santai.
"Waduh, kenapa kalian begitu bernafsu hendak memelukku? Nah, begitulah akhirnya ngelosor ke tanah."
Dengan berkata begitu Jaka, segera mengelakkan serangan kedua musuhnya yang hendak menubruk. Tak ayal lagi, tubuh keduanya seketika nyosor mencium tanah. Jaka tertawa gelak-gelak melihat muka kedua musuhnya berantakan dengan goresangoresan di kedua pipi, menjadikan luka barut yang mengeluarkan darah.
"Apa aku bilang. Kalian sih, main sosor saja." "Setan! Jangan ketawa dulu, Anak Sundel!"
membentak Bengkok marah, merasa Jaka telah mempermainkan. "Kau harus membayarnya, Hiat!"
"Eeh... Rupanya kau memang nefsong, ya. Awas jatuh lagi!"
Jaka kembali elakan serangan musuhnya dengan kaki menyilang. Dan untuk kedua kalinya, kedua orang itu nyosor mencium tanah. Mau tak mau, kedua orang yang terikat turut tertawa melihat kelucuan itu.
Merasa dirinya dipermainkan, kedua orang itu makin-makin saja marahnya. Mereka menyerang dengan membabi-buta, mengamuk bagaikan mata gelap. Jaka yang diserang malah tersenyum-senyum dengan sekali-kali ngoceh.
"Ladalah, kalian kok persis topeng monyet? Nah, begini kalau mau menjadi topeng monyet." Jaka seketika berkelebat, melentingkan tubuhnya ke angkasa. "Begini cara monyet menendang. Hiat...!" Kaki Jaka bergerak cepat, menendang telak dada kedua orang musuhnya. Seketika kedua musuhnya terpental, melayang ke belakang dan jatuh dengan pantat bagaikan diremas.
Kedua orang ini meringis kesakitan. Kini keduanya sadar siapa sebenarnya pemuda yang tengah mereka hadapi. Dengan terbata-bata kedua orang itu meminta ampun.
"Am... ampunilah kami. Sungguh kami kapok. Kalau kami boleh tahu, siapakah kau adanya anak muda?"
"Apakah itu penting? Bukankah tadi kalian menyebutkan dengan anak edan? Nah itulah namaku," menjawab Jaka tenang.
"Baiklah. Agar kalian tenang, aku akan mengatakan pada kalian siapa sebenarnya aku ini. Dengar baik-baik oleh kalian, aku yang kalian katakan anak edan bernama Jaka Ndableg."
Terbelalak mata kedua orang itu, mendengar nama pemuda yang telah mampu mengalahkannya. "Pantas, kalau ilmu silatnya begitu tinggi dan aneh," bergumam keduanya dalam hati.
"Siapa sebenarnya kalian? Kalau kalian orangorang Kerajaan Segara Anakkan, mengapa kalian bertindak kejam?"
"Kejam? Kami tidak kejam, Tuan Pendekar" menjawab keduanya dengan nada takut. "Sungguh kami tadi tak mengetahui siapa adanya tuan pendekar adanya, sehingga kami terlalu lancang bertindak. Entah apa yang bakal kami terima hukuman dari sang Raja apabila beliau mengetahui kami telah berani lancang pada tuan," meneruskan Bengkok
"Ah, itu tak usah kalian pikirkan. Sekarang, aku ingin tahu kenapa kalian mengkerangkeng kedua orang tua itu?" tanya Jaka seranya menunjuk pada kedua orang tuan yang terikat kedua tangannya. Segera kedua prajurit Segara Anakan memandang ke arah yang ditunjuk Jaka, lalu dengan singkat kedua prajurit itu segera menceritakan mengapa kedua orang tua itu diikat.
Kening Jaka seketika mengerut, mana kala mendengar penuturan dari kedua prajurit yang menceritakan bahwa kerajaan kini tengah diteror oleh gerombolan Gagak Biru dibawah pimpinan seorang Gadis Dewi Gagak Biru.
"Jadi kerajaan kini tengah dalam keadaan kacau?" tanya Jaka.
"Begitulah, Tuan Pendekar," menjawab Betet. "Maka itulah, kami selalu menangkap orang-orang yang sekiranya kami curigai."
"Tapi aku kira, kedua orang tua itu tak bersa-
lah."
"Alasan tuan Pendekar?" tanya Bengkok tak
mengerti.
"Mana mungkin orang setua mereka ikut terlibat dalam gerombolan Gagak Biru? Aku Rasa, gerombolan Gagak Biru mempunyai orang-orang yang berjiwa pemberani dan sadis. Bukan begitu?" tanya Jaka berbalik pada kedua orang prajurit, yang seketika mengangguk-angguk mengerti.
"Sedangkan kedua orang tua itu, menggambarkan ketakutan di wajahnya. Bukankah ini jelas untuk alasan bahwa mereka tak mungkin terlibat?" meneruskan Jaka. "Lepaskan mereka. Aku berjanji akan segera membantu kerajaan menyelidiki sekaligus menghentikan sepak terjang Gagak Biru yang telah telengas itu bila aku mampu"
"Ah, sungguh kami sangat gembira mendengarnya. Kapankah tuan Pendekar berkunjung ke Kerajaan?" tanya Betet dengan wajah berseri-seri, sepertinya ia tak merasakan lagi luka-luka di kedua pipinya. "Kalian pulanglah ke kerajaan, aku akan menyusul," menjawab Jaka, yang menjadikan kedua prajurit itu tersenyum bahagia. Setelah menjura hormat, kedua prajurit itupun segera berkelebat pergi meninggalkan Jaka yang masih terpaku memandangi kepergian keduanya.
Setelah membebaskan kedua orang tua yang berucap terimakasih sampai beratus-ratus kali, sehingga mereka tak menyadari kalau Jaka telah berlalu Jaka menyusul kedua prajurit itu. Tinggallah kedua orang tua itu, terbengong-bengong mana kala menyadari bahwa orang yang dijurai telah tak ada.
"Kemana pemuda sakti itu?" gumam mereka bagaikan orang linglung.
Setelah geleng-geleng kepala, keduanya segera berlalu pergi meninggalkan pantai itu yang kembali sepi. Hanya tiupan angin dan gulungan ombak memecah, menepiskan pasir-pasir pantai....
***
BAB VI
Melihat kedatangan Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah, seketika sang Raja dan patihnya Singa Barong segera menyambut kedatangan Jaka. Ratusan prajurit pilihan disiagakan membentuk pagar berjejer, menjadikan Jaka hanya geleng-geleng kepala. Jaka segera menjura hormat, mana kala dilihatnya sang Raja tengah menunggu kedatangan dirinya.
"Hamba menyampaikan sembah, Baginda." "Ooh, janganlah tuan Pendekar berbuat ini.
Semestinya kamilah yang harus menyembah tuan Pendekar," menjawab Sang Raja, seraya mempersilahkan Jaka untuk masuk ke dalam istana, "Sungguh kami sangat mengharapkan kedatangan tuan Pendekar."
Jaka tersenyum, gelengkan kepala.
"Mungkin tuan Pendekar telah mengerti apa yang telah terjadi di kerajaan Segara Anakkan," kembali sang Raja berkata, yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh Jaka, "Ah, syukurlah kalau begitu. Jadi begitulah keadaan kerajaan saat ini. Pemberontakan yang bermaksud merongrong kewibawaanku kini merajalela. Salah satu kerusuhan yang sampai sekarang susah untuk ditumpas, adalah dari gerombolan Gagak Biru yang terkenal dengan kesadisannya."
"Apakah belum pernah ada yang mencoba membasminya?" tanya Jaka.
Sang Raja menghela napas panjang, lalu dengan nada berat ia pun kembali berkata. "Sudah. Bahkan Tumenggung Galuh Anom telah berkali-kali melakukannya, namun semua mengalami kegagalan. Bahkan Tumenggung Galuh Anom sendiri yang menjadi korban, mati dibantai oleh gerombolan Gagak Biru yang kini menguasai Ketemenggungan Galuh Wangi."
"Ah, sungguh terlalu biadab," mendesah Jaka
kaget.
"Benar apa yang tuan Pendekar ucapkan. Sejak
kepergian Tuan Pendekar dari sini, setelah menumpas Utusan Iblis kerajaan kini menghadapi teror dari Gagak Biru."
Jaka terdiam membisu, ia duduk setelah sang Raja pun duduk. Mereka duduk-duduk di atas tiker, tidak seperti lajimnya seorang raja. Memang sang Raja ingin menghormati benar-benar Pendekar yang telah mampu menghentikan kejahatan di kerajaannya, sehingga sang Raja menganggap Jaka Ndableg adalah temannya bukan tamunya. Setelah keduanya terdiam sembari menyantap jamuan yang dihidangkan oleh danyang-danyang, sang Raja kembali berkata.
"Tadinya kami telah putus asa,"
"Putus asa? Untuk apa?" tanya Jaka seraya mengernyitkan keningnya kaget demi mendengar penuturan sang Raja. "Apalah artinya hidup bila kita telah dihinggapi rasa keputus asaan."
"Memang benar apa yang telah engkau katakan, Tuan Pendekar."
"Ah, janganlah Baginda menyebut hamba Tuan Pendekar. Sebut saja nama hamba yang jelek, Jaka Ndableg."
"Baiklah, Jaka Ndableg. Memang benar apa yang engkau katakan, bahwa putus asa tak ada artinya bagi manusia hidup yang telah diberi oleh Yang Wenang segalanya. Namun sungguh kami merasakan itu, disebabkan kami telah tak mampu menghentikan sepak terjang teror Gagak Biru. Kami telah mencoba mengadakan penyerangan, namun malah prajurit kami yang hancur terbantai oleh gerombolan Gagak Biru." menerangkan sang Raja. "Kini dengan kedatangan dirimu, harapan kami kembali tumbuh. Kami dengan rendah hati memohon bantuanmu."
Jaka terdiam bisu, merenungkan ucapan sang Raja. Sesekali nafasnya mendengus, lalu dihempaskan panjang-panjang. Didongakkan kepalanya memandang pada langit-langit balai istana, dan kemudian Jaka pun berkata.
"Demi ketentraman serta kebenaran, aku akan mencoba membantu,"
"Ah, sungguh tak terkira ucapan terima kasih kami," berkata sang Raja dengan wajah berseri-seri mendengar ucapan Jaka Ndableg. Harapannya yang selama ini pupus, kini tumbuh kembali. "Apakah kau memerlukan banyak prajurit?" "Ah, janganlah mengorbankan orang yang tak berdosa, biarlah aku yang buruk ini yang menjadi tumbal mereka bila itu telah menjadi suratan Yang Maha Esa."
"Ooh, sungguh agung hatimu."
Jaka gelengkan kepala mendengar ucapan sang Raja. Bibirnya terurai senyum, menjadikan hati sang Raja seketika terbersit rasa kagum. Kagum akan tingkah laku Jaka yang santun, kagum akan jiwa pendekarnya yang tak mau mengorbankan orang lain demi sesuatu hal yang dikiranya bakal melakukan pekerjaan yang berbahaya.
"Nah, sekarang juga aku akan ke tempat markas Gagak Biru. Dimana aku harus melangkah? Sebab aku belum tahu letak Ketemenggungan Galuh Wangi," berkata Jaka.
"Ooh, sampai-sampai kami lupa. Sebentar, akan aku suruh juru gambar istana menggambar denah wilayah Tumenggung Galuh Wangi." Segera sang Raja meninggalkan Jaka, yang kemudian kembali datang dengan membawa sebuah gambar peta wilayah kerajaan dan letak Ketemenggungan Galuh Wangi.
"Jadi aku harus berjalan menuju ke Selatan?" tanya Jaka setelah melihat sesaat gambar peta itu.
"Benar. Tapi janganlah kau hanya berjalan, ambillah seekor kuda yang bagus untuk menempuh perjalananmu."
"Ah, terima kasih. Tak usahlah Baginda repot-
repot."
"Tidak Jaka, aku tidak repot. Malah akulah
yang telah merepotkan dirimu," menjawab sang Raja. "Paman patih Singa Barong, tunjukan pada saudara Jaka kandang kuda, biar dia memilih sendiri kuda yang akan ia pakai."
"Daulat, Baginda." menjawab Singa Barong yang dengan ramahnya mengajak Jaka menuju ke kandang kuda, setelah keduanya menyembah pada sang Raja.
Jaka seketika memilih salah seekor kuda dari berpuluh-puluh kuda yang ada di kandang tersebut. Pilihan Jaka yang sangat aneh, menjadikan patih Singa Barong terheran-heran seraya bertanya.
"Kenapa Tuan Pendekar memilih kuda yang kurus? Lagi pula kuda tersebut masih muda, saya kira tak akan kuat."
"Biarlah, Paman Patih," menjawab Jaka. "Sampaikan pada Rajamu, bahwa aku akan memberi kabar bila aku berhasil. Dan jangan sekali-kali kalian memikirkan tentang keselamatan diriku. Hia, hia, hia."
Digebahnya kuda sakit-sakitan itu, menjadikan sang patih yang melihatnya geleng-geleng kepala seranya bergumam. "Sungguh seorang pendekar aneh. Kuda sakit-sakitan digebah begitu rupa..."
Belum juga habis gumamannya, seketika ia dikejutkan oleh apa yang dilihatnya. Ternyata kuda yang sakit-sakitan, seketika mampu melejit dengan cepatnya membawa tubuh Jaka! Hingga dalam sekejap saja, Jaka telah menghilang dari pandangannya. Mata sang Patih melotot, tak percaya pada apa yang telah dilihatnya. Dengan segera sang Patih berlari menuju ke istana, melaporkan apa yang baru saja ia lihat.
"Sungguh-sungguh tak dapat dicerna dengan akal, Baginda."
"Hem, memang dia bukan pendekar sembarangan," mengguman sang Raja, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah, sungguh besar jasanya bagi kemanusiaan khususnya kerajaan ini."
*** Sang patih Singa Barong tidak menyadari, bahwa sebenarnya Jaka tidak mengendalikan kudanya. Bahkan Jaka telah menggeret sang kuda dengan ilmu larinya, yaitu ajian Angin Puyuh. Karena menggunakan ajian itulah, Jaka berlari secepat angin bahkan melebihi dengan angin.
Setelah memberikan kudanya pada seorang penduduk yang miskin, segera Jaka meneruskan perjalanannya. Ketika Jaka tengah berlari seketika ia dikejutkan dengan bentakan seseorang.
"Berhenti!"
"Hem, ada saja yang usilan," berguman Jaka dalam hati. Jaka segera menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh menghadap pada orang yang membentaknya, yang telah berdiri di hadapannya.
"Kisanak menyuruhku berhenti?" tanya Jaka pura-pura bloon.
Mendelik mata kelima orang itu, mana kala mendengar pertanyaan Jaka yang seperti bodoh. Mata mereka yang mendelik, bukan menjadi Jaka takut sebab ia bukanlah anak kecil. Malah dengan tersenyumsenyum, Jaka kembali bertanya.
"Eh, kenapa Ki Sanak sekalian melotot? Apakah mata Ki Sanak buta hingga tak dapat melihat?"
Mendengar ucapan Jaka, seketika kelimanya mendengus gusar. Salah seorang yang berdiri paling muka melangkah ke arahnya, lalu dengan bengis membentak.
"Setan kecil! Siapa yang menyuruhmu keliaran di daerah kami!"
"Ooh, jadi ini daerahmu, toh...?" guman Jaka bagai orang linglung. "Maaf ya Oom, sungguh aku tak mengerti."
"Maaf, maaf. Enak saja kau ngomong. Ayo ikut
aku!" "Kemana, Oom?"
"Diam! Jangan banyak tanya." Membentak orang tersebut gusar, demi mendengar ucapan Jaka yang ngelantur. Dengan kasar orang itu segera menyeret tangan Jaka untuk mengikuti kemana mereka pergi. Jaka hanya menurut, mengikuti langkah kelima orang tersebut.
"Edan! Kenapa mereka mengajakku ke sini?" bergumam Jaka dalam hati. "Ah, kiranya aku mungkin hendak diajukan pada ketuanya. Heh, mungkinkah mereka ini anak buah Gagak Biru? Ya, mungkin. Baiklah, aku akan menuruti apa yang menjadi kemauan mereka, semoga apa yang aku duga benar adanya."
Jaka pun dengan menurut mengikuti kemana kelima orang tersebut menuju. Ternyata kelima orang itu menuju ke sebuah rumah, yang cocoknya dikatakan Bangsal. Ya, mereka memang menuju ke bangsal Ketemenggungan.
"Hem, benar juga dugaanku, ternyata ini Ketemenggungan Galuh Wangi," berkata Jaka dalam hati, yang menurut ketika diperintahkan duduk menggelesot di atas lantai. "Setan, dikiranya aku ini apa?"
"Kau jangan banyak tingkah bila dihadapan pimpinan kami, mengerti?" hardik lelaki yang sedari tadi mengomel. "Awas kalau kau bertingkah macammacam, aku lumatkan kau!"
"Ya, Oom?"
"Setan! Masih ngebandel." "Plak...!"
"Aduh, Ooom. Sakit....." seru Jaka pura-pura memegangi pipi yang tadi kena tampar. Sebenarnya hati Jaka mangkel juga diperlakukan seperti itu, namun demi membuktikan kebenaran bahwa memang tempat itu markas Gagak Biru dan sekaligus ingin tahu kaya apa wajah pimpinan Gagak Biru menjadikan Jaka menahan amarahnya.
"Pimpinan akan datang, semua harap berdiri!" terdengar seruan dari seseorang, yang menjadikan semuanya sepontan berdiri mematung. Tak luput Jaka yang dipaksa untuk berdiri juga.
"Hem, kaya apa sih...?" guman Jaka dalam hati.
Tak lama antaranya, seorang dara cantik jelita keluar dari dalam ruangan dalam. Dara itu berpakaian serba biru, hanya ikat kepalanya saja yang merah. Matanya memandang tajam pada Jaka, seperti hendak menembus mata Jaka yang memandangnya pula.
"Inilah Dewi Gagak Biru?"
Tersentak semua orang yang ada di situ, mana kala mendengar gumaman Jaka yang dianggap mereka telah berani kurang ajar. Melototlah semuanya, dengan mata memerah marah.
"Siapa kau, Anak muda?" tanya Dewi Gagak Biru, nadanya membentak.
"Ah, aku yang rendah ini adalah orang gelandangan belaka yang kebetulan ditangkap oleh anak buahmu. Sungguh cantik wajahmu, Nona."
Makin tersentak kaget semua yang ada di situ, mendengar ucapan Jaka yang dirasa makin kurang ajar pada pimpinannya. Mereka seketika mendengus dan bermaksud menyerang. Namun segera, Dewi Gagak Biru telah mencegahnya.
"Jangan!"
"Kenapa, Pimpinan? Anak ini telah kurang ajar!" memprotes Wiraba, sepertinya tak mau menerima keputusan pimpinannya. "Pemuda ini akan makin kurang ajar bila didiamkan."
"Wiraba! Apakah kau mau menentang ku?" tanya Dewi Gagak Biru dengan mata melotot marah, menjadikan Wiraba seketika terdiam menundukkan muka. "Anak Muda, katakan siapa adanya dirimu." Jaka tersenyum, menjadikan Dewi Gagak Biru membelalakkan mata.
"Aku...? Akulah Jaka Ndableg."
Terbelalak semuanya mendengar siapa adanya pemuda yang sedari tadi diremehkan, lebih-lebih kelima orang yang telah menangkapnya.
"Hem, mau apa kau kemari, Jaka?"
"Hua, ha, ha... Tentu aku ingin menangkapmu, Dewi," menjawab Jaka tenang, menjadikan Dewi Gagak Biru seketika melotot marah. Ia tahu kalau pendekar muda yang berdiri dihadapannya bukan tokoh persilatan sembarangan. Namanya telah menjulang, dengan julukannya yang mampu mendirikan bulu kuduk musuh-musuhnya yaitu Pendekar Pedang Siluman Darah. Namun selaku ketua Gagak Biru yang ditakuti, tak pantaslah jika harus menyerah. Sementara anak buahnya kini telah mengurung sang pendekar, siaga dengan senjata di tangan masing-masing tinggal menunggu perintahnya.
"Pendekar Pedang Siluman Darah, apakah kau tidak melihat bahwa kau telah dalam kandang macan?" tanya Dewi Gagak Biru sinis.
Jaka tertawa mendengar ucapan sang Dewi, lalu dengan tenang Jaka menjawab. "Ooh, kiranya aku kini tengah berada di antara macan-macan ompong. Hem, tak mungkin kalau macan ompong dapat menggigit, bukan?"
"Bedebah! Kau terlalu meremehkan kami, Pendekar. Jangan kira kami takut dengan nama besarmu, Serang !"
Mendengar seruan Dewi Gagak Biru, seketika seratus orang anak buahnya yang telah mengurung Jaka berkelebat menyerang. Diserang begitu rupa, tak menjadikan Jaka gentar. Bahkan dengan bersuit, Jaka segera lemparkan tubuh keluar. Melihat Jaka keluar, seratus anak buah Gagak Biru serta merta memburunya. Hal ini memang yang diharapkan Jaka, yang dengan segera hantamkan ajian Getih Saktinya pada mereka. Sungguh sebuah hantaman yang tak terduga-duga, sehingga pengeroyoknya tak dapat lagi menghindari hantaman tersebut. Menjeritlah lima orang yang terkena, tubuh kelima orang itu meleleh bagaikan disiram timah panas dan ambruk dengan nyawa terbang.
Terkesiap yang lainnya melihat hal itu, namun dengan segera mereka kembali menyerang mana kala didengarnya seruan Dewi Gagak Biru membentak. "Dungu! Serang lagi...!"
"Dewi Gagak Biru, kenapa kau hanya membuang-buang nyawa anak buahmu!" berseru Jaka, mana kala melihat anak buah Gagak Biru yang telah tersurut nyalinya kembali menyerang. "Bukankah lebih baik kau saja yang menghadapiku?"
"Bedebah! Jangan sombong kau! Baik, mari kita buktikan siapa yang pantas disebut pendekar nomor wahid!" membentak Dewi Gagak Biru. Seketika tubuhnya melayang, menyerang Jaka. Melihat hal itu Jaka segera egoskan tubuh mengelak, sehingga serangan Dewi Gagak Biru pun melesat di samping kanannya beberapa centi saja.
"Nah, bukankah dengan adanya kau yang turun kau akan lebih cepat membereskannya?"
"Jangan banyak omong! Hiat. !"
Dewi Gagak Biru yang telah mengenal siapa Pendekar Pedang Siluman Darah, tanpa sungkansungkan lagi keluarkan segala ilmu yang ia miliki. Jurus-jurus Gagaknya keluar, mengumbar amarahnya. Sementara Jaka yang juga tak ingin membuang-buang waktu segera keluarkan jurus-jurus yang diajarkan oleh keempat gurunya. Jurus Empat Pendekar Sakti, bukanlah jurus kelas kroco. Jurus-jurus itu telah teruji oleh guru-gurunya, yang telah malang-melintang puluhan tahun di dunia persilatan.
"Terimalah jurus Gagak mematuk cacing, Haaat...!"
"Hua, ha, ha... Lucu nama jurusmu, Nona. Hem baik, terimalah jurus balasan ku. Jurus Kera memetik bulan, Hiat. !"
Keduanya seketika berkelebat melayang di udara dengan ilmu meringankan tubuh, menjadikan tubuh mereka melayang ringan. Terbelalak mata semua yang melihatnya, sampai-sampai mulut mereka tenganga.
"Wuut, wuut, wuut..."
Terdengar kibasan tangan keduanya, menjadikan angin besar menerpa orang-orang yang ada di situ. Angin itu, mampu membuat semua yang ada di situ jatuh terpelanting. Dewi Gagak Biru lemparkan tubuh ke belakang bersalto. Kembali Dewi Gagak Biru berdiri, memandang pada Jaka yang tampak tersenyum.
"Serang!"
Dewi Gagak Biru mencabut pedang pusaka Lumajang Biru.
"Keluarkan senjatamu, Pendekar!"
"Aku tak memiliki senjata. Biarlah aku akan menangkapmu dengan tangan kosong saja," menjawab Jaka, menjadikan Dewi Gagak Biru makin gusar. Digerak-gerakannya pedang Lumajang, membentuk lingkaran sinar yang menggulung-gulung menutupi tubuhnya. Jaka terbelalak juga menyaksikan permainan pedang Dewi Gagak Biru, sampai-sampai Jaka mengerutkan jidatnya.
"Hebat. Sungguh hebat permainan pedangnya. Pantas kalau ia sangat ditakuti oleh pihak kerajaan. Aku yakin, kalau prajurit-prajurit kerajaan pun tak akan mampu mengalahkan permainan pedangnya. Hem, apakah kau akan menggunakan pedang Siluman Darah?" tanya hati Jaka ragu, merasa permainan pedang Dewi Gagak Biru sungguh tiada tandingannya.
"Kenapa kau terdiam, Pendekar?" tanya Dewi Gagak Biru dengan senyum sinis, menganggap Jaka takut dengan pedang pusakanya. "Kau takut dengan pedangku?"
Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan Dewi Gagak Biru.
"Dewi Gagak Biru, apakah tidak berbahaya kau bermain-main dengan pedang?" tanya Jaka, nadanya meremehkan. Hal itu menjadikan makin bertambah marahnya Dewi Gagak Biru, yang serta merta segera menyerang Jaka dengan pedangnya. Pedang di tangannya berkelebat cepat, membabat dan menusuk tubuh Jaka.
Jaka tersentak, lemparkan tubuh ke belakang mengelak. Namun Dewi Gagak Biru tak segera menghentikan, bahkan dengan liar dan ganas terus mencercanya. Pedang Lumajang Biru di tangannya, bagaikan bermata saja merangsek Jaka harus bersalto menghindari serangan tersebut.
"Edan! Kalau aku biarkan, bisa-bisa akulah yang menjadi korban, Dewi Gagak Biru, terimalah ini. Ajian Getih Sakti, Hiat...!"
Dewi Gagak Biru yang tengah mencercanya tersentak, mana kala selarik cairan merah mengarah ke arahnya. Seketika Dewi Gagak Biru elakan serangan itu dengan lemparkan tubuh ke samping. Dewi Gagak Biru telah tahu, kehebatan ajian itu tadi, mana kala Jaka menyerang anak buahnya.
"Setan! Ini balasan untukmu. Ajian Sungakal Nyawa, Hiat...!"
"Bahaya!" memekik Jaka, mana kala melihat apa yang dikeluarkan oleh Dewi Gagak Biru. "Aku akan coba dengan ajian Petir Sewu, Hiat!"
"Duar!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, mana kala dua ajian itu bertemu di udara. Tubuh keduanya terpental ke belakang. Jaka tersentak, mana kala dirasakan dadanya sesak sukar bernapas. Sementara Dewi Gagak Biru tersenyum dan kemudian tertawa mengejek.
"Hari ini hari kematianmu, Pendekar! Sebentar lagi Ajian Sangkal Nyawa akan merenggut nyawamu. Hia, hi, hi...! Kau akan mati!"
Mendengar ucapan Dewi Gagak Biru, seketika Jaka terdiam. Dadanya makin lama makin sakit. Nafasnya terasa berat, tulang-tulangnya terasa sakit dan ngilu. Kepalanya seperti berat, berputar-putar.
"Gusti Allah, apakah aku akan mati?" keluh-
nya.
"Hua, ha, ha... Sebentar lagi kau akan tahu apa
yang namanya akherat, Pendekar!" berseru Dewi Gagak Biru mengejek, demi dilihatnya Jaka ngeduprak dengan menahan sakit.
Ketika Jaka telah benar-benar sekarat, tiba-tiba ditelinganya terdengar seruan seseorang wanita berkata padanya. "Jaka, kau dengar aku?"
"Ya, aku dengar. Siapa kau?" tanya Jaka dengan suara lemah.
"Akulah Ratu Siluman Darah. Kau tak boleh mati, sebab bahaya kini tengah mengancam dunia persilatan. Sebentar lagi, akan datang Surti Kanti dan Wala Kowara si Penguasa Puri Kegelapan hendak mengaco dunia manusia. Kau harus hidup. Memang ajian Sangkal Nyawa sangat ganas. Bila dalam waktu setengah hari kau tak mampu mengobatinya, maka kau akan mati. Kau harus hidup, maka kau harus sembuh dari pengaruh Ajian Sangkal nyawa,"
"Tapi... Tapi aku tak tahu dengan apa harus menyembuhkannya?"
"Panggil pedangmu. Hanya dia yang dapat menghilangkan ajian tersebut. Tusukan pedang itu di ulu hatimu, niscaya kau akan sembuh. Ingat Jaka, kau harus hidup. Lakukan, aku selalu memantaumu."
"Terimakasih, Sri Ratu." berkata Jaka dengan lemah. Sesaat ditariknya napas yang terasa menyesak, lalu kemudian dengan duduk bersila Jaka segera memanggil Pedangnya. "Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!" Terbelalak mata Dewi Gagak Biru dan lainnya, demi melihat sebuah pedang yang tiba-tiba telah muncul dalam genggaman Jaka. Saking kagetnya, sampai-sampai mereka seketika memekik, menyebut nama pedang yang dari ujungnya mengalir darah merah. "Pedang Siluman Darah!" Jaka segera tusukan ujung pedang ke ulu hatinya. Sesaat Jaka menjerit, mana kala ujung pedang menembus kulit ulu hatinya. Darah merah kebiru-biruan, keluar terhisap oleh pedang Siluman Darah. Seketika itu pula, Jaka sembuh dari luka dalam yang hampir saja merenggut nyawanya.
"Aku tak ada waktu lagi. Kata Kanjeng Ratu Siluman Darah, tak lama lagi Surti Kanti dan Wala Kowara si Penguasa Puri Kegelapan akan muncul. Hem, siapa mereka adanya?" bergumam Jaka. Dalam hati tak mengerti. "Hem, aku harus segera membereskan Dewi Gagak Biru segera."
"Dewi Gagak Biru, hari ini juga akhir dari segala sepak terjangmu. Dan hari ini pula Gagak Biru akan hilang, Hiat...!"
Segera Jaka berkelebat dengan Pedang Siluman Darah yang tergengam di tangannya. Pedang itu masih melelehkan darah merah, menjadikan seram bagi yang melihatnya.
Dewi Gagak Biru tersentak melihat Jaka telah sembuh dari serangan ajian Sangkal Nyawanya. Segera Dewi Gagak Biru sambut serangan Jaka dengan pedang Lumajang Birunya.
"Hiat...!"
"Trang "
"Aaahhhh "
Memekik Dewi Gagak Biru, mana kala Pedang Siluman Darah membabat putus pedangnya sekaligus membelah tubuh menjadi dua. Semua mata tersentak, menyaksikan keajaiban di depannya tengah terjadi. Tubuh Dewi Gagak Biru yang terbelah, tak mengeluarkan darah setetes pun, terhisap darahnya oleh Pedang Siluman Darah.
"Sekarang juga, aku perintahkan pada kalian! Bubarkan perserikatan gerombolan Gagak Biru. Kalau kalian membandel, maka pedang Siluman Darah ini akan menghabiskan kalian semua!"
Mendengar ucapan Jaka, seketika semua anak buah Gagak Biru jatuhkan diri sujud mengakui kekalahannya. Mereka tak berani berkata, diam sujud.
"Jawab!"
"Baik Tuan Pendekar, kami akan membubarkan
diri."
"Bagus! Ingat! bila kelak kalian mengingkari,
maka Pedang Siluman Darah ini yang akan berbicara pada kalian."
Setelah melihat bekas anak buah Gagak Biru pergi meninggalkan Ketemenggungan untuk kembali pada masyarakat, Jaka pun dengan segera berkelebat pergi untuk memberikan laporan pada Raja Kerajaan Segara Anakan. Gerombolan Gagak Biru yang telah menjadi momok telah hilang, namun Jaka harus menghadapi apa yang telah dikatakan oleh Ratu Siluman Darah, tentang Surti Kanti dan Wala Kowara yang hendak muncul. Benarkah kedua Iblis itu akan datang? Mengapa mereka mengincar Jaka? Ikuti kisah ini pada bab selanjutnya...
***
BAB VI
DI KERAJAAN SILUMAN PURI KE GELAPAN...
Surti Kanti tampak tengah melakukan meditasi, dalam usahanya penyempurnaan ilmu yang telah ia pelajari dari sang guru yaitu Rake Suyung Belung. Matanya terpejam rapat kakinya menyilang bersila, tangannya rapat mendekap di dada.
Sudah empat puluh hari lamanya Surti Kanti, melakukan tapa brata tersebut, tidak makan atau pun tidak minum. Semua dijalankan oleh Surti Kanti dengan tabah, karena didorong oleh rasa dendamnya pada Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah yang telah membinasakan kedua orang tuannya. Juga dendamnya pada kerajaan Segara Anakkan, yang telah menghukum kedua orang tuanya serta memburu dirinya.
"Tuan Putri, bangunlah. Tapa brata yang tuan putri lakukan telah cukup. Bangunlah...." berkata Rake Suyung Belung.
Perlahan-lahan mata Surti Kanti membuka, memandang pada orang yang telah berbicara padanya. Lama ia terdiam membisu dengan mata tak berkedip, lalu dengan suara serak Surti Kanti berkata.
"Kenapa guru membangunkan, aku?"
"Telah cukup apa yang kau lakukan, Tuan Putri. Kini saatnya Tuan Putri kembali ke dunia manusia. Baginda Maha Raja Wala Kowara telah menunggu Tuan Putri, beliau ada di padepokan."
Perlahan Surti Kanti bangun dari duduk bersilah, berdiri sesaat lalu berjalan dengan ringannya melangkah ke Padepokan. Rake Suyung Belung berjalan di belakangnya, mengiringi langkah sang murid ke Padepokan.
Sungguh Surti Kanti telah benar-benar menjadi orang sakti, sehingga langkahnya pun bagaikan tertiup angin. Maka dalam sekejap saja, tubuhnya yang tampak berjalan biasa, telah jauh berkelebat. Hal itu menjadikan Rake Suyung Belung geleng-geleng kepala, sementara di bibirnya tergerai senyuman bangga.
Kedatangan Surti Kanti segera disambut hangat oleh Wala Kowara, yang bangga dengan hasil yang telah diperoleh oleh kekasihnya Dalam benak Wala Kowara kini terbayang kemenangan-kemenangan, menaklukan bangsa manusia yang memang telah menjadi rencananya.
"Hebat, hebat! Ternyata kau mampu menjalankannya, Sayang."
"Kanda, apakah hari ini juga kita akan kembali ke alam manusia?"
"Ya, setelah aku menyerahkan tampuk kekuasaanku pada perdana menteriku," jawab Wala Kowara. "Ayo kita ke istana."
Dengan menunggang kereta kencana, ketiga orang itu segera menuju ke istana Puri Kegelapan. Kereta kencana itu melaju bagaikan terbang, walau tanpa kuda yang menjalankannya. Itulah kereta kencana milik Penguasa Puri Kegelapan, yang dijalankan oleh para Jin mara kayangan berhaluan hitam. Saking cepatnya kereta itu berkelebat, hingga tak lama kemudian ketiganya pun telah sampai.
Dengan penuh kasih, Wala Kowara si Penguasa Puri Kegelapan segera mengangkat tubuh Surti Kanti. Dibopongnya tubuh Surti Kanti, masuk ke dalam istananya, diikuti oleh Rake Suyung Belung. Namun Suyung Belung segera berhenti langkahnya, mana kala dilihatnya kedua raja dan kekasihnya masuk ke dalam kamar.
* * *
Selang tak beberapa lama kemudian, kedua pemuda-pemudi itu kembali keluar. Pakaian Surti Kanti kini telah berubah, begitu juga dengan pakaian Wala Kowara. Surti Kanti mengenakan pakaian merahmerah, sedang Wala Kowara mengenakan hitam-hitam dengan ikat kepala hitam bergambar kelelawar merah.
"Rake, apakah kau pun akan turut bersama kami?" tanya Wala Kowara pada Rake Suyung Belung, yang seketika itu menyembah. "Kalau kau mau ikut, ikutlah. Sekaligus untuk membantu kami jika kami ternyata mempunyai tantangan berat dari Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Daulat Maha Raja Wala Kowara," menjawab Rake Suyung Belung.
"Benar Guru, lebih baik guru ikut. Sungguh saya akan merasa senang bila guru ikut bersama kami menghadapi Pendekar Pedang Siluman Darah yang terkenal kesaktiannya." menambahkan Surti Kanti. "Walau pun aku merasa mampu menghadapi pendekar muda itu, Guru. Namun saya ingin menunjukkan pada guru, hasil yang selama ini saya, peroleh dari didikan dan gemblengan guru."
"Daulat, Tuan Putri. Dengan senang hati hamba akan mengiringi Tuan Putri dan Baginda Maha Raja Wala Kowara. Semoga tenaga hamba nantinya ada guna," menjawab Rake Suyung Belung kembali menyembah.
"Ooh, betapa aku bahagia dapat berkelana den-
gan guru."
"Baiklah, Rake. Hari ini juga, kita akan berangkat ke alam manusia. Namun aku harus melimpahkan tampuk pimpinan Puri Kegelapan ini pada perdana mentriku dahulu," berkata Wala Kowara. "Ponggawa panggil patih Jaya Sena!"
"Daulat Maha Raja Wala Kowara," menyahuti ponggawa, yang segera berlalu pergi setelah terlebih dahulu menyembah.
Tak berapa lama kemudian, Patih Jaya Sena telah datang menghadap. Jaya Sena segera sujud menyembah, lalu dengan suara pelan bernada takut berkata. "Duh Maha Raja Wala Kowara, gerangan apa hingga hamba dipanggil?"
"Jaya Sena, aku dan istriku hendak kembali ke alam manusia. Mungkin kami akan lama di sana, seperti kala itu kala aku menyusup ke tubuh salah seorang murid Resi Wilmaka. Karena waktuku tak dapat aku tentukan, maka aku serahkan kekuasaan Puri Kegelapan ini padamu."
"Daulat Baginda Maha Raja Wala Kowara, Dengan segenap jiwa raga, hamba akan menjalankan titah baginda."
Setelah segalanya selesai, Wala Kowara, Surti Kanti dan Rake Suyung Belung segera pergi menghilang dari hadapan patihnya. Mereka pergi ke dunia manusia dengan satu tujuan, mengacau dan mempengaruhi manusia untuk mengikutinya. Tujuan lain yang utama, menyingkirkan Pendekar Pedang Siluman Darah yang dapat menjadikan penghalang bagi cita-cita mereka.
* * *
Malam telah begitu larut, hujanpun datang dengan titikan-titikan gerimis. Halilintar membahana, menyilaukan bagi yang menatap. Angin bertiup menderu-deru, sepertinya akan datang prahara di dunia manusia.
Dua orang lelaki yang kemalaman dari perjalanan, tampak berlari-lari menerobos hutan. Keduanya telah basah kuyup, tersiram air hujan yang sepertinya tak kenal belas kasihan. Keduanya seketika jatuhkan diri, mana kala sebuah kilatan yang mereka anggap petir berkelebat didepan mereka berjarak sepuluh tombak.
Kedua lelaki itu seketika tersentak, mana kala dilihat oleh mereka apa yang telah terjadi. Dari ledakan dan kilatan sinar menyilaukan mata itu, muncul tiga orang dari dalamnya. Tersentak keduanya setelah tahu siapa adanya gadis diantara dua lelaki yang mengapitnya sehingga keduanya seketika memekik menyebut nama gadis itu yang telah digegerkan meninggal.
"Surti Kanti!"
"Bukankah dia Surti Kanti yang telah mati Kang Rebo?"
"Benar adik Legi. Apakah kita tidak tengah bermimpi?"
"Tidak, kakang," menjawab Legi. "Mereka kemari, Legi. Kita lari saja,"
Dengan segera kedua lelaki itu hendak lari, ketika dirasakan oleh mereka selarik sinar berkelebat menyambar mereka yang seketika itu menjerit.
"Ampun ! Jangan bunuh kami!"
Saking takutnya, kedua lelaki itu seketika terkencing-kencing.
Melihat kedua orang itu ketakutan, dengan segera Surti Kanti berkelebat. Dihadangnya dua lelaki yang telah ketakutan itu, lalu dengan ilmu Iblisnya Surti menyulap muka menjadi muka kelelawar yang menakutkan. Seketika itu, kedua lelaki itu memekik dengan mata melotot yang akhirnya ambruk pingsan.
* * *
Malam itu para prajurit utama yang pernah membakar rumah Rundanu tak dapat memicingkan mata barang sekejap, mereka telah mencoba untuk tidur, namun bagai ada yang memaksa mata mereka tak dapat terpejam. Karena tak dapat tidur-tidur, keempat Prajurit Utama itu pun sepakat untuk main gaple.
"Aku tak dapat tidur malam ini. Perasaanku seketika gelisah," berkata prajurit utama-II.
"Lho, kok sama," menimpali prajurit-III. "Aku juga."
"Aku juga!"
"Hem, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres," menggumam prajurit I. "Aku seperti kembali terbayang pada kelelawar Setan itu."
"Aku pun begitu," nambah prajurit-III.
"Ada apa, ya?" kembali prajurit-1 bergumam. Tengah mereka tercenung hingga lupa membuang kartu gaple, seketika terdengar cuit nyaring yang menjadikan keempatnya seketika itu memandang ke arah suara itu. Mereka seketika tersentak, manakala mereka melihat tiga kelelawar besar berkelebat menuju ke arah mereka. Mata kelelawar itu merah, sepertinya mata itu berlumur dengan darah.
"Cuit...Cuit....Cuit..."
"Kelelawar Setan itu. Awas !" berseru prajurit-
I memperingatkan pada ketiga temannya manakala tiga ekor kelelawar itu berkelebat hendak menyerang mereka. Seketika keempatnya jatuhkan diri, sehingga mereka pun luput dari serangan ketiga kelelawar setan itu. Namun belum juga mereka tenang, ketiga kelelawar setan itu telah kembali menyerang.
Prajurit-II segera hunus pedangnya, babatkan ke arah ketiga kelelawar itu. Namun bagaikan manusia saja, kelelawar setan itu segera kelitkan tubuh. Dengan sayap mengembang, dihantamnya tangan prajurit yang memegang pedang.
"Cras..."
"Aaahh...." memekik seketika prajurit-II, tangannya puntung tersambar sayap kelelawar Setan. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya terkulai mati.
Melihat seorang temannya mati, marahlah ketiga prajurit yang lainnya. Dicabutnya pedang, dan dengan menggeram ketiganya segera hadang ketiga kelelawar itu. Namun belum juga pedang di tangan prajurit-prajurit itu beraksi, kelelawar itu telah berubah menjadi tiga sosok tubuh manusia. Satu diantaranya sangat mereka kenal, yaitu Surti Kanti yang telah digegerkan mati.
"Kau..!" memekik ketiga prajurit terkejut.
Surti Kanti tersenyum sinis, dan dengan suara sengau berkata.
"Kalian telah membakar rumahku, maka kalian pun akan aku bakar. Terimalah ini, Hiat. !"
Tersentak ketiga prajurit itu, demi dilihatnya dari tangan Surti Kanti keluar api yang menyala-nyala. Belum sempat mereka hilang dari kagetnya, Surti Kanti telah hantamkan api tersebut ke arah mereka. Seketika tubuh ketiga prajurit itu terbakar, bergulingguling sesaat sebelum akhirnya terkulai mati. Demi melihat ketiga prajurit itu telah mati dan hari telah menginjak pagi, ketiganya segera berkelebat pergi. BAB VII
Kerajaan Segara Anakan yang baru saja tenang dengan tertumpasnya gerombolan Gagak Biru, kembali digegerkan dengan kematian empat prajurit utamanya. Kematian itu sungguh penuh misteri, sebab semuanya bagaikan tak ada yang mendengar pertarungan atau jeritan keempat prajurit mana kala mereka tengah bertarung. Sepertinya seluruh penduduk ke-
rajaan dan para prajurit lainnya tertidur, pulas. "Bagaimana menurut pendapatmu, Paman pa-
tih Singa Barong?"
"Ampun, Tuanku. Apakah ini bukan tindakan dari bekas orang-orang gerombolan Gagak Biru?" balik bertanya Singa Barong.
"Ah, mana mungkin mereka yang telah diancam oleh Pendekar Pedang Siluman Darah berani berbuat begitu?" tanya sang Raja tak yakin.
Keduanya kembali terdiam dengan pikiran masing-masing. Segala pertanyaan bergema di hati mereka, tentang kematian keempat prajuritnya yang sungguhsungguh tak dapat di cerna oleh akal. Ketika sang Raja tengah termenung, patih Singa Barong tiba-tiba kembali berkata nadanya seperti tersentak.
"Aku ingat, Paduka."
"Ingat apa. Paman Patih?" tanya sang Raja ka-
get.
"Masihkah paduka ingat tentang cerita ku keti-
ka membakar rumah Rundanu?" "Ya, kenapa...?"
"Hamba rasa, ini ada hubungannya dengan kejadian itu."
"Hem....," sang Raja bergumam. Kepalanya diangguk-anggukan sepertinya memahami. "Jadi yang paman patih kira, orang-orang itu yang berbuat?"
"Tepat, Paduka. Kalau bukan orang-orang itu, mana mungkin hanya keempat prajurit utama yang dibunuhnya?"
"Sungguh-sungguh petaka!" bergumam keluh sang raja. "Baru saja kerajaan terbebas oleh Gagak Biru, kini telah datang kembali kekacauan yang lebih membahayakan. Jadi kalau begitu, kita sekarang tengah menghadapi iblis, Paman Patih?"
Patih Singo Barong hanya mampu menganggukkan kepala. Bibirnya dirasakan kelu untuk berkata-kata. Mata sang patih redup, seakan ada rasa takut menyelimuti hatinya. Takut kalau-kalau dirinya pun akan menjadi korban pembalasan kelelawar Setan.
"Perketat penjagaan!" berkata sang Raja, padanya memerintah. "Daulat, Yang mulia." menjawab sang Patih. Setelah terlebih dahulu menyembah, Patih Singa Lodra segera meninggalkan balai pertemuan. Kini tinggal sang Raja, yang terdiam merenung keadaan kerajaannya yang tak pernah tenang. Hilang petaka satu datang petaka yang lainnya. Dengan langkah tergopoh-gopoh Patih Singa Barong berjalan menuju barakbarak prajurit. Mukanya nampak pucat pasti, sepertinya ia tengah menghadapi masalah yang menyangkut nyawanya. Ya, memang masalah ini menyangkut nyawanya. "Prajurit!"
"Daulat, Paman patih," menjawab semua prajurit yang segera berkelebat keluar dari barak-barak mereka menemui patihnya.
"Malam nanti, seluruhnya harus diperketat penjagaan."
"Daulat, Paman patih!" menjawab para prajurit Habis menyampaikan pesan sang Raja, patih
Singa Barong yang biasanya tenang seketika terburuburu pergi meninggalkan para prajurit yang hanya terbengong-bengong melihat tingkah patihnya yang tidak seperti biasa-biasanya. Para prajurit itu hanya mampu gelengkan kepala, tak mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh patihnya.
* * *
Malam kembali tiba, menggantikan siang yang terang berganti dengan gelap yang penuh misteri. Angin malam berhembus, seperti menggigilkan. Hawa dingin yang teramat sangat, terasa menusuk masuk sungsum. Lolongan anjing liar, makin mendirikan bulu kuduk bagi yang mendengarnya.
Malam itu patih Singa Barong tampak gelisah. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Bayangan-bayangan ketakutan, menjadikan matanya tak dapat dipejamkan barang sesaat pun.
Berbatang-batang rokok kawung telah dihisap. Bergelas-gelas kopi telah ia reguk untuk dapat menjadikan dirinya tenang. Namun segala yang diinginkannya tak jua datang. Malah ketakutan makin menjadi, menerpa dirinya. Walau ia tahu bahwa lima orang prajurit pilihan telah mengawal rumahnya, tapi ketakutan masih terus saja menghantui sang patih.
Melihat suaminya tampak gelisah, sang istri datang menghampiri dan bertanya. "Ada gerangan apa hingga kakang Mas tampak tak tenang? Apakah baginda Raja murka pada Kakang Mas?"
Bagaikan tak mendengar pertanyaan sang istri, patih Singa Barong masih terdiam kelu. Matanya sesekali memandang ke pintu rumah yang sedari sore telah ditutup rapat-rapat. Hal itu menjadikan sang istri makin tak mengerti, dan kembali mengulang tanya.
"Apakah ada kerusuhan yang melanda kerajaan?"
"Benar, Istriku. Dan mungkin akan melanda di-
riku." menjawab patih Singa Barong dengan hambar, menjadikan kerut di kening sang istri yang kembali menanya.
"Melanda kita...? Apa maksud Kakang mas?" "Kelelawar Setan itu telah membunuh keempat
prajurit Utama yang dulu bersamaku membakar rumah Rundanu."
Terbelalak mata sang istri kaget. "Jadi... jadi kakang menakutkan itu?" "Ya...," menjawab Singa Barong lesu.
Tengah keduanya bercakap-cakap, tiba-tiba keduanya dikagetkan oleh seruan prajurit-prajurit yang menjadikan keringat dingin Singa Barong makin banyak mengalir.
"Aku harus keluar, apapun yang akan menimpaku!" memekik Singa Barong dalam panik, menjadikan istrinya seketika membelalakkan mata kaget. "Jangan, Kakang!"
"Tidak istriku, aku harus menghadapi sendiri. Para prajurit itu tak tahu apa-apa." Tanpa menunggu jawaban sang istri, Singa Barong segera berkelebat ke luar. Dilihatnya tiga orang tengah bertarung menghadapi kelima prajuritnya yang tampak tak ada artinya bagi ketiga orang itu.
"Minggir! Mereka bukan lawan kalian. Dan mereka tentunya mencari diriku!" berseru Singa Barong, seakan telah mengerti siapa adanya ketiga orang yang berdiri memandang padanya tajam, lebih-lebih gadis yang berdiri di tengah. Mata gadis itu seperti memendam bara api, ya bara api permusuhan dan dendam.
Walau bibir gadis itu tersenyum, namun jelas terlihat bahwa senyum itu adalah senyum kematian. Singa Barong yang biasanya pemberani, kini seperti terkupas keberaniannya mana kala melihat mata ketiga orang itu.
"Siapa kalian? Kenapa kalian menteror kerajaan ini?"
Gadis itu mendengus sesaat, sebelum berkata. "Singa Barong, kaulah yang telah menyuruh
keempat prajurit mu membakar rumahku. Dan kau pula yang telah membunuh kedua orang tuaku. Maka itu, aku datang untuk membalas apa yang telah engkau lakukan pada kedua orang tuaku."
Makin meleleh saja keringat dingin dari pelipis Singa Barong demi mendengar penuturan sang gadis. Ia telah menyadari siapa sebenarnya gadis dan kedua lelaki itu, yang tak lain dari pada Iblis-iblis yang mampu mengubah diri mereka menjadi kelelawar.
"Jadi kaliankah Iblis kelelawar itu...?"
"Benar apa yang engkau duga, Singa. Nah, bersiaplah untuk menemui kematian. Bila kau telah mati, maka seluruh rakyat kerajaan Segara Anakan ini akan aku bunuh satu persatu. Hua, ha, ha... Mana pendekar kalian yang kalian agung-agungkan itu, Hah!?"
Mendengar nama Jaka Ndableg diremehkan oleh mereka, seketika Singa Barong yang takut berubah menjadi beringas. Ia tahu bahwa dirinya tak berarti apa-apa, namun setidak-tidaknya dapat menahan sesaat sepak terjang manusia Iblis itu. Maka dengan mendengus marah Singa Barong segera cabut keris pusakanya, berkelebat menyerang ketiga Iblis itu.
Ketiga manusia Iblis itu menyeringai, lalu setelah menggeram ketiganya seketika berubah ujud menjadi kelelawar raksasa. Kelelawar itu matanya merah... merah bagaikan mengandung darah. Setelah mencicit panjang, ketiga kelelawar itu bareng menyerang patih Singa Barong.
Diserang oleh tiga mahluk Setan, menjadikan Singa Barong seketika itu bagaikan tak ada arti apaapa. Dihantamkannya ajian yang ia miliki, namun tak ada artinya. Ajian itu hanya menjadikan ketiga kelelawar Setan itu makin mengganas.
Salah satu kelelawar mencicit, mengembangkan sayapnya dan kemudian menukik. Sayapnya yang lebar itu mengepak, bagaikan sebilah golok menebas ke leher Patih Singa Barong. Singa Barong segera elakkan diri, namun dengan cepatnya kelelawar yang menyerangnya telah menukik. Mulutnya yang lancip, tak mampu dielakkan oleh Singa Barong. Mulut itu seketika bagaikan bor menghunjam di leher Singa Barong, yang menjerit seketika. Tubuh Singa Barong kejang, lalu ambruk dengan tubuh pucat darahnya terhisap oleh kelelawar Setan itu.
Kelelawar Setan itu segera pergi tinggalkan para prajurit yang hanya terbengong, mana kala melihat tubuh Singa Barong telah tak bergerak lagi. Kelima prajurit yang tercekam, seketika memburu menuju ketubuh Singa Barong yang tergeletak. Kelimanya tersentak, mana kala melihat patihnya telah mati dengan leher lobang besar....
* * *
Kembali kerajaan dijadikan gempar dengan kematian Singa Barong. Seluruhnya seketika berkabung hari itu, mengiringi pemakaman patih Singa Barong.
Baginda Raja nampak berdiri dengan mata berlinang. Ia tahu kini siapa pelaku dari semuanya. Berdiri di samping sang Raja, pendekar kita Jaka Ndableg yang juga tertunduk lesu. Ternyata ucapan Ratu Siluman Darah benar adanya, dan ternyata ia telah terlambat datang. Korban telah banyak berdatangan, sepertinya iblis-iblis itu sengaja menantangnya. "Apa maksud dari Surti Kanti?" bergumam Jaka Ndableg dalam diamnya di depan makam patih Singa Barong. "Aku jadi tak habis pikir, mengapa Iblis-iblis itu mencariku? Apakah ini suatu tanda ancaman bagi dunia?"
Dengan diiringi sang Raja, Jaka berjalan membisu dengan segala pikirannya. Keduanya berjalan meninggalkan makam patih Singa Barong, mana kala senja telah datang. "Apa yang dapat saya bantu, Baginda Raja?"
"Kau tahu siapa pelaku semua ini, Jaka?" Jaka terdiam sesaat menunduk muka, lalu mengangguk lemah.
"Dia adalah anak dari Rundanu yang telah kau bunuh. Dia datang mencari orang-orang yang telah terlibat dalam pembunuhan ayah dan ibunya."
"Kalau begitu, bukankah memang mereka sebenarnya mencariku?"
"Mungkin, Jaka."
"Apa yang mereka maui dari diriku?" tanya Jaka seperti pada diri sendiri, menjadikan sang Raja hanya terdiam dan diam. "Kenapa mereka mesti membantai orang-orang yang tak tahu masalahnya?"
Sang raja masih terdiam.
Mata sang raja memandang sedih pada Jaka, sepertinya ia takut kalau-kalau Jaka pun akan menjadi korbannya. Kalau Pendekar Pedang Siluman Darah juga menjadi korbannya, tidak mungkin tidak mereka akan dengan leluasa mengepakkan sayap mereka untuk merajai dunia. Sebab dengan tidak adanya Pendekar Pedang Siluman Darah, tak akan ada lagi pendekar yang berani menghadapi mereka yang memiliki ilmuilmu iblis dan siluman.
"Mungkin mereka sengaja membunuh korban demi korban untuk dapat mengundang perhatianmu, Jaka," berkata sang Raja setelah sekian lama terdiam. Jaka hanya tercenung, matanya memandang kosong bagaikan tengah memantau sebuah kejadian. Ya kejadian yang telah terjadi...
"Ini malam mungkin mereka datang lagi, sebab tidak mungkin tidak mereka telah mengetahui kedatanganmu."
Jaka hanya menarik napas panjang! Matanya masih kosong memandang kelangit-langit. Tangannya seketika menyapu muka, sepertinya Jaka habis memanjatkan do'a.
"Gusti Allah, akankah aku mampu menghadapi semuanya?" keluh Jaka dalam hati. Melihat Jaka hanya diam, sang Raja pun akhirnya terhanyut dalam kebisuan. Hanya desah-desah angin yang mereka hembuskan dari napas-napas mereka yang terdengar.
* * *
Senja telah berganti dengan malam, menjadikan keadaan kerajaan yang tengah terundung malang itu kembali sepi mencekam. Para prajurit telah siaga, menjaga kalau-kalau iblis-iblis itu akan datang lagi.
Memang benar iblis-iblis itu datang lagi, terbukti ketika mereka tengah tercenung diam tiba-tiba terdengar ciutan-ciutan nyaring melengking.
Semua mata seketika membelalak, memandang ke asal suara cuitan itu. Jaka yang tengah dudukduduk bersama sang Raja dan permaisuri serta sesepuh istana, turut tersentak.
"Kalian di dalam saja, biar aku yang keluar."
Tanpa memperdulikan semua yang seketika mengikuti langkahnya Jaka segera berkelebat keluar menemui para prajurit yang tengah dicekam oleh rasa takut. "Cuit...! Cuiit... Cuiiiit..."
"Hem, inikah yang dikatakan Sri Ratu Siluman Darah?" tanya Jaka, dalam hati, seraya memandang pada tiga ekor kelelawar yang terbang menuju ke arahnya berdiri. Kelelawar-kelelawar itu seketika berhenti, manakala telah dekat padanya. Mata ketiga kelelawar itu memandang tajam ke arah Jaka yang juga memandang tajam ke arah kelelawar-kelelawar itu. Jaka Ndableg tersentak mana kala didengarnya ketiga kelelawar itu berbicara. Bukan Jaka saja, tapi semua yang ada disitu pun turut kaget mendengar ucapan kelelawar Setan itu.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
"Hai, kalau memang sebangsa siluman atau macam apa pun yang mampu mengubah ujud kalian, aku minta kalian jangan kaya Iblis-iblis busuk yang menyembunyikan muka kalian."
Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga kelelawar itu berubah menjadi manusia. Salah seorang dari manusia itu, adalah seorang gadis cantik yang sungguh-sungguh mereka telah mengenalnya. Maka demi melihat gadis cantik itu, seketika berseru kagetlah semua prajurit-prajurit menyerukan nama gadis tersebut. "Surti Kanti !"
"Bukankah dia telah mati?" tanya sang Raja yang tiba-tiba telah berdiri di samping Jaka.
"Hem, rupanya gadis ini telah terpengaruh oleh kedua Iblis Penguasa Puri Kegelapan, Baginda," menjawab Jaka, menjadikan sang Raja seketika tersentak kaget.
Tengah semuanya terdiam, dicekam rasa kaget, terdengar suara gadis itu kembali berkata dengan nada sinis ditunjukkan pada Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah yang dianggapnya pembunuh kedua orang tuanya.
"Jaka Ndableg, aku belum tenang bila belum menghisap darahmu."
Tersentak semuanya mendengar ucapan Surti Kanti, yang sepertinya sangat mendendam pada Pendekar Pedang Siluman Darah. Namun Jaka yang telah tahu siapa adanya pendamping Surti Kanti tampak tenang.
"Hem, rupanya kau pun telah terbawa oleh Iblis, Surti!" menjawab Jaka. "Kedua orang tuamu korban Iblis yang berdiri di sampingmu. Kini kau pun telah terkena pengaruhnya."
"Lawan dia, Surti. Aku berada di sampingmu," berbisik Penguasa Puri Kegelapan, menjadikan Surti Kanti yang telah terpengaruh olehnya seketika mendengus. Tanpa di duga sebelumnya, tiba-tiba Surti Kanti berkelebat menyerang Jaka Ndableg.
Diserang begitu tiba-tiba, menjadikan Jaka tersentak juga. Di lemparkan tubuhnya ke belakang, mana kala sebuah tendangan kaki Surti Kanti mengarah ke perutnya.
"Akan aku hisap darahmu, Jaka Ndableg!" "Hem, mungkin sebaliknya Surti Kanti. Kau-lah
yang akan menjadi tumbal oleh ulahmu sendiri," berkata Jaka meledek, menjadikan Surti Kanti makin bertambah marah. Sementara Wala Kowara dan Rake Suyung Belung nampak masih tenang menonton pertarungan Jaka dengan Surti Kanti. Surti Kanti yang tak mengetahui bahwa dirinya telah diperalat oleh Iblis, makin mencerca Jaka dengan serangan-serangan maut yang didapatkannya dari Rake Suyung Belung.
Jaka tersentak melihat jurus-jurus aneh yang diperagakan oleh Surti Kanti, sehingga sukar bagi Jaka untuk dapat menembus blokade serangan Surti Kanti yang rapat. Jaka seketika mengeluh tertahan dengan tubuh sempoyongan ke belakang, mana kala tangan Surti Kanti menghantam dadanya. "Ach...!"
"Kau tak akan mampu menghadapinya Jaka, bila kau tak menggunakan pedangmu. Nanti kalau kau telah menggunakan pedangmu, aku minta tumpas dua Iblis yang berdiri itu. Mereka sangat bahaya bila masih hidup. Hanya dengan Pedang Siluman Darah, kau akan mampu membunuh mereka semua. Percuma kau mengeluarkan segala ajian yang telah keempat gurumu wariskan, karena mereka bahkan memiliki yang lebih dibanding dengan ajian-ajian mu. Nah, lakukan itu," berkata suara Ratu Siluman Darah.
"Baiklah Sri Ratu, aku akan menggunakan pedang itu," menjawab Jaka. "Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!"
Benar juga apa yang dikatakan oleh Ratu Siluman Darah, mereka seketika tersentak menyaksikan sebuah pedang yang tiba-tiba telah berada di tangan Jaka. Pedang itu dari ujungnya menetes darah, meleleh membasahi batang pedang. Tengah mereka terbengong, secepat kilat Jaka berkelebat tebaskan pedang Siluman Darah ke arah Surti Kanti.
"Aaah...!" Surti Kanti memekik, lalu tubuhnya
hilang.
Tersentak kedua Iblis lainnya melihat hal itu.
Wala Kowara dan Suyung Belung seketika hendak berlalu pergi, mana kala dengan secepat kiat Jaka telah berkelebat menghadang mereka, Jaka segera babatkan Pedang Siluman Darah ke arah keduanya, yang seketika itu memekik dan ambruk ke tanah. Tubuh mereka seketika hancur menjadi serpihan-serpihan pasir.
Semua seketika tersenyum, dan mereka bergegas memburu ke arah Jaka. Namun seketika semuanya tersentak, mana kala Jaka tiba-tiba telah tak ada di tempatnya... Dengan matinya Surti Kanti dan Dua Iblis Penghuni Alam Kegelapan, maka tenanglah kerajaan Segara Anakan. Sebagai rasa suka cita, esok harinya diadakan syukuran.
Ditaburkannya debu leburan tubuh ketiga Iblis itu ke laut...
Sekian
No comments for "Cerita Silat Indonesia Pendekar Siluman Darah: 12 Pembalasan Surti Kanti"
Post a Comment