Serial Pendekar Bayangan Sukma: 26 Pertarungan Para Pendekar
26 Pertarungan Para Pendekar
1
Padepokan Angsoka pagi itu
sunyi. Tak bersuara. Bahkan kokok ayam jantan pun nyaris hilang. Embun pagi
masih basah. Membasahi rumputrumput hijau dan pohon-pohon yang berada di
sekitar sana.
Di ujung sana, Gunung Lawu berdiri
dengan angker. Ditutupi kabut tebal. Udara dingin, menembus tulang sumsum.
Penuh misteri.
Begawan Batista menatap
murid-muridnya yang duduk berlutut dengan sikap semedi. Tak ada yang membuka mata. Begawan itu berjalan
perlahan, hilir mudik. Memperhatikan murid-muridnya yang tetap terpejam.
Sikapnya tegang. Penuh
pikiran.
Begawan yang sudah berusia 65
tahun itu berhenti melangkah. Mendesah. Pelan. Dingin. Kaku.
Dia mengusap dagunya yang
berjanggut putih. Pelan.
Diresapi.
Tapi jelas penuh pikiran.
Perlahan keluar kata-kata dari
bibirnya, "Mungkin kalian heran mengapa aku menyuruh kalian berkumpul di
sini. Memang ada sesuatu yang hendak kubicarakan."
Hening. Hanya desir angin yang
terdengar. Murid-muridnya hanya bertanya dalam hati.
Ada apa? Kenapa Sang Guru
memanggil dan mengumpulkan mereka pagi ini? "Ada apa?"
"Semalam aku mendapat
surat misterius, entah dari siapa," Sang Begawan berkata lagi. "Surat
itu berisi, menantang padepokan kita untuk bertarung di Gunung Pengging."
"Semalam aku bingung
memikirkannya. Entah dengan maksud apa pengirim surat misterius itu menantang
kita. Dan yang ku tahu, padepokan Resi Gohkarna berdiam di sana. Dugaanku,
apakah dia yang telah mengirimkan surat tantangan itu?"
Hening.
Hanya langkah sang Begawan yang
terdengar. Murid-muridnya yang berjumlah lima puluh orang, menggeram dalam
hati.
Jengkel.
"Dalam hal ini, kuharap
kalian jangan terpengaruh. Itu hanya dugaanku. Pagi ini, aku mengumpulkan
kalian, hendak menugaskan beberapa orang di antara kalian untuk menyelidik ke
sana. Hanya menyelidik. Aku juga menduga, mungkin ada orang ketiga yang hendak
mengadu domba."
"Sekarang buka mata
kalian, kerahkan pernafasan selembut mungkin. Tahan dan lepas
perlahanlahan."
Murid-murid sang Begawan
melaksanakan perintahnya. Dengan tujuan agar rasa jengkel menghilang. Sang
Begawan menatap tiga orang muridnya yang duduk paling depan.
"Lesmana, Mantari Dan
Anggada, kalian adalah murid-murid pilihanku yang mengemban tugas ini.
Bagaimana pendapat kalian?" Lesmana, pemuda bertubuh tegap dengan wajah
tampan dan dagu kukuh menjawab, "Guru... apakah tidak sebaiknya kami
melihat dulu surat misterius itu?"
"Benar, Guru,"
sambung Mantari seorang gadis yang berumur delapan belasan sambil mengangguk.
Kulitnya kuning langsat. Rambutnya hitam. Wajahnya cantik. Alisnya tebal. Dan
bibirnya memerah. Kedua matanya bersinar terang, menandakan dia gadis yang
ceria.
"Maafkan aku, untuk saat
ini tak akan kuperlihatkan."
"Kenapa, Guru?"
tanya Anggada. Pemuda yang bertubuh besar dengan wajah yang terlihat kasar itu
mengerutkan keningnya.
"Kalian hanya aku beri
tugas untuk menyelidik. Bukan untuk melihat surat misterius itu," sahut
sang Begawan tegas. Ia duduk bersimpuh di hadapan para muridnya. Jubah putihnya
menutupi kedua lututnya yang kukuh jika berdiri.
Tak ada yang bersuara.
Padepokan itu hening kembali.
Namun pertanyaan dalam hati
murid-muridnya bertalu-talu. Bagaimana mungkin surat misterius itu bisa datang
tanpa sepengetahuan mereka? Juga sang guru.
Apakah sangat tinggi ilmu yang
dimiliki pengirim surat misterius itu, sehingga sang guru yang tinggi ilmunya
pun tidak mengetahuinya?
Sebenarnya, Begawan Batista
sudah mengirangira, siapa yang bisa melakukan itu tanpa sepengetahuan mereka.
Hanya Resi Gohkarna dengan ajian Bayumati, itu sebabnya dia menugaskan ketiga
murid pilihannya untuk menyelidik ke sana.
Untuk tahu apa maksud Resi
Gohkarna menantang mereka.
Sang Begawan menatap ketiga
murid yang dipilihnya.
"Siapkah kalian untuk
melaksanakan tugas ini?"
Ketiga muridnya yang digemblengnya
hampir sepuluh tahun itu mengangguk dengan mantap.
"Hanya ingat,"
sambung Sang Begawan, "Jangan membuat onar. Tunjukkan bahwa kedatangan
kalian dengan maksud baik. Ingat pula, ini bukan menjawab tantangan. Tapi untuk
mengetahui, mengapa mereka mengirim tantangan pada kita."
"Baik, Guru."
Lesmana mengangguk seraya menghormat.
"Mantari," panggil
Sang Begawan. Mantari mengangguk. "Ya, Guru?"
"Kau seorang gadis,
cantik pula. Ada baiknya kau menyamar sebagai laki-laki sebelum
berangkat."
"Baik, Guru."
"Anggada." "Ya, Guru."
"Kau jaga kedua adik
seperguruanmu ini, Jangan sampai mereka lewat dari garis yang telah
kutetapkan."
"Baik, Guru." Pemuda
bertubuh tegap itu mengangguk.
"Nanti malam, kalian
temui aku di ruang semadiku. Sedangkan yang lain, tetap berlatih seperti biasa.
Menjaga ketentraman padepokan ini." Begawan Batista berdiri,
murid-muridnya seren-
tak berdiri. Memberi hormat.
Begawan Batista segera melangkah ke ruang khususnya, yang dinamakan ruang
semadi.
Murid-muridnya bubar. Berlatih
seperti biasa.
Padepokan Angsoka adalah
sebuah padepokan yang terkenal yang terletak di sebelah utara Gunung Lawu.
Padepokan yang dipimpin oleh Begawan Batista sendiri.
Dulu Sang Begawan adalah
ksatria Majapahit yang mengabdi selama tiga puluh tahun. Setelah Raden Wijaya
meninggal, dia pun mengundurkan diri.
Selama lima tahun dia bertapa
di Gunung Lawu sampai akhirnya mendirikan padepokan Angsoka yang berarti di
atas langit ada langit.
Walaupun memiliki ilmu
kanuragan yang hebat, Begawan Batista tak pernah menggunakannya untuk
kejahatan. Bahkan sebelum dia bertapa di lereng Lawu, di sana ada komplotan
perampok yang sangat kejam. Penduduk di sekitar gunung itu selalu dicekam rasa
ketakutan.
Tak ada yang berani melawan.
Melihat keangkaramurkaan itu,
Begawan Batista segera turun tangan. Dilatihnya para pemuda desa itu ilmu
kesaktian dengan dorongan semangat yang membaja. Lambat laun mereka mau
bertindak. Dengan keberanian yang luar biasa, mereka membasmi para perampok itu
sampai ke akarakarnya. Begawan Batista yang waktu itu masih bernama Wilkatama
diangkat sebagai kepala desa. Namun sang Begawan menolak. Dia menyingkir agak
ke Utara.
Untuk menyumbangkan ilmu
kesaktian yang dimilikinya, akhirnya Wilkatama mendirikan padepokan Angsoka dan
bergelar Begawan Batista.
Selama sepuluh tahun lebih
keadaan padepokan Angsoka aman dan tentram.
Tak ada goresan noda di atas
nama itu.
Namun semalam, tanpa diduga
datang surat tantangan entah dari siapa. Walaupun Begawan Batista menduga kuat
kalau surat itu datang dari Resi Gohkarna, namun dia masih tetap ragu,
mengingat hubungan mereka selama ini sangat akrab.
Bahkan mereka pernah
menganggap diri sebagai saudara.
Lalu apa maksud dari semua
ini? Siapa yang harus dicurigai?
Suasana yang mengherankan itu dibicarakan
Lesmana, Mantari dan Anggada di ruang belakang. "Apakah ini bertanda tidak
baik, Kakang Les-
mana?" tanya Mantari
dengan suara lembutnya. "Aku pun tidak tahu, Rayi Tari," Lesmana me-
narik nafas panjang. Menatap
Anggada, "Bagaimana dengan tanggapan Kakang Anggada?"
"Entahlah, Lesmana. Aku
pun tidak tahu. Tapi kuharap, dugaan Rayi Tari tidak menjadi kenyataan."
Walaupun wajahnya kasar dan seram, namun Anggada punya sifat yang dibanggakan.
Dia penyabar. Penyayang. Bahkan suka mengalah walaupun dengan adik-adik
seperguruannya. "Bagaimana jika benar, Kakang?" tanya Mantari.
"Apakah Rayi mengharapkan demikian?" tanya Anggada sungguh-sungguh
menatap wajah cantik
gadis lereng Lawu itu.
Mantari menggelengkan kepala.
"Sudah tentu tidak, Kakang. Namun aku kuatir. Ketentraman yang selama ini
telah terjadi bisa jadi berantakan."
"Aku pun menguatirkan
itu." Anggada menatap Gunung Lawu yang berdiri tegar. Kabut mulai menepi.
Matahari menyapu seisi alam, terang. Namun alam tetap bertahan dengan
misterinya.
"Kakang..." panggil
Lesmana. "Jika memang orang-orang Resi Gohkarna yang berbuat apa yang
harus lakukan? Menyerang mereka?"
"Sudah tentu tidak,
Lesmana. Kita harus mematuhi tugas yang diberikan guru. Kita hanya menyelidiki,
apa mereka yang mengirimkan surat itu dan kenapa mereka menantang kita?"
"Andaikata benar,
seharusnya kita sikat saja, Kakang!" Tari menggeram sambil mengepalkan
tangannya.
"Tidak. Jangan lakukan
itu."
"Mereka menghina kita,
Kakang!" kata Mantari keras kepala. Marah dia karena ada yang berani
menantang padepokan mereka.
"Tari... belum tentu
mereka yang melakukan ini." Sahut Anggada sabar.
"Kan kubilang jika
benar!" sahut Mantari ngotot.
Sifatnya yang sebenarnya sudah
kelihatan.
Anggada tersenyum sabar.
"Kita lihat apa yang akan dikatakan Guru nanti malam."
Mantari mendengus.
"Seharusnya kita sikat saja!" gerutunya sambil berlalu. Jalannya
dihentakkan. Mulutnya cemberut.
Lesmana terbahak. Anggada
tersenyum.
"Guru agaknya salah
menugaskan Mantari," desisnya.
"Ha ha ha ha apa Kakang
tidak tahu, kalau Rayi Tari suka pada Kakang?" Terbahak Lesmana.
Anggada tersipu. "Jangan
mengada-ada, Lesmana."
"Kakang memang kuno!
Tidak tahu hati perempuan! Lihat saja kalau dia menatap Kakang, begitu
mesra!"
"Itu hanya perasaan kau
saja, Lesmana. Tidak usah mengada-ada!" Desis Anggada yang entah kenapa
dadanya berdebar.
Lesmana masih terbahak.
"Payah! Rayi Tari cantik, Kakang! Apa Kakang tidak tertarik?"
Anggada terdiam. Benarkah
dugaan Lesmana itu? Memang, akhir-akhir ini dia suka melihat sikap Mantari yang
lain seperti biasanya. Sering pula Anggada melihat adik seperguruannya itu
mencuri pandang.
Kalau bentrok tersipu.
Memerah.
Ah... andaikata benar? Lho,
kenapa jadi ke sana. Anggada menepiskan bayangan itu.
Menatap Lesmana yang masih tertawa.
"Atau kau yang sebenarnya
naksir pada Rayi Tari, Lesmana?" kata Anggada tiba-tiba.
Tawa Lesmana seketika
terhenti. Tapi kemudian dia tertawa. "Kau segitu saja sudah cemburu,
Kakang..." "Aku serius. Kau yang lebih pantas bersanding
dengan Rayi Tari."
Kata-kata itu membuat Lesmana
terdiam. Tegang.
Tapi kemudian lagi-lagi
tertawa.
"Sudahlah, Kakang. Tidak
perlu dipikirkan itu." "Memang tidak perlu kita pikirkan, ayo kita
lihat
yang lain latihan."
Keduanya melangkah.
Di depan halaman Padepokan
Angsoka sekitar 40 orang murid sedang berlatih ilmu toya. Mantari yang memberi
contoh berseru-seru.
"Kalian harus penuh!
Jangan tanggung mengayunkan toya. Sabet dengan keras! Ayo lakukan lagi!"
Anggada yang melihat dari jauh
tersenyum. Benar-benar cekatan. Ah, dia pun seperti baru menyadari akan
kecantikan adik seperguruannya itu. Dia manis. Cantik. Manja. Namun kadang suka
ngambek pula.
Andaikata benar yang dikatakan
Lesmana, alangkah senang. Tapi apa benar dia menyukaiku?
Dia masih muda.
Aku? Sudah berumur 28 tahun.
Perbedaan sepuluh tahun itu sangat jauh. Dia lebih cocok dengan adik Lesmana
yang baru berusia 23 tahun! Wajah Lesmana pun lebih tampan daripadaku. Entah
kenapa tahu-tahu Anggada mengeluh. Lesmana yang agak bandel, menoleh. Lalu
tersenyum melihat pandangan kakangnya lekat pada Mantari. "Dia memang
cantik,," katanya tanpa menoleh pada Anggada, seolah berucap sendiri.
"Luwes. Menggemaskan. Manja. Juga... ya cantik..."
Anggada seperti tersadar. Dia
melirik, "Siapa maksudmu Lesmana?" tanyanya polos.
"Dia memang cantik,
Kakang." Lesmana tetap tidak menoleh. Malah mengangguk-angguk.
"Siapa?"
"Siapa lagi?"
Lesmana tersenyum menggoda.
Kali ini menoleh.
Kening Anggada berkerut.
"Aku tidak mengerti," katanya polos masih belum tahu kalau sedang digoda.
"Ya... si Rambut Panjang
itu. Rayi Mantari, Kakang," sahut Lesmana seraya berlari sebelum Anggada
sempat memukulnya karena gemas.
Dia bergabung dengan yang
sedang latihan, sambil tersenyum-senyum.
Anggada mendesah dalam hati.
Panjang. Gemas. Tapi senang.
Tak sadar dia memperhatikan
terus Mantari yang tengah melatih para murid lainnya.
Malamnya, ketiga murid
Padepokan Angsoka itu menghadap Begawan Batista. Sang Begawan memang sudah
menunggu, terbukti dengan kopi pahitnya yang tinggal setengah.
Ketiganya duduk di hadapan
sang Guru.
Anggada merasa heran, karena
tiba-tiba saja dia merasa kikuk berdekatan dengan Mantari yang terlihat
sekali-sekali meliriknya. Dan terlihat wajahnya yang kadang memerah.
Lesmana hanya mesem-mesem
saja.
Sekali lagi Sang Begawan
menerangkan tugas yang diberikan pada mereka.
Setelah itu dia berkata,
"Aku bermaksud memberikan kepada kalian tiga buah kitab kesaktian yang
sangat langka. Kitab ini kudapat dari orang sakti yang bernama Trijata yang
sudah lama wafat, dan makamnya berada di Gunung Muria. Kini Gunung Muria
didiami oleh sahabatnya yang sangat sakti, Ki Ageng Jayasih. Konon kabarnya dia
telah memiliki dua orang murid. Pertama, Nindia yang bergelar Dewi Penyebar
Maut yang telah mati di tangan manusia dewa Madewa Gumilang (baca: Kakek Sakti
dari Gunung Muria).
Lalu Pranata Kumala, dia
adalah putra manusia dewa Madewa Gumilang yang bergelar Pendekar Bayangan
Sukma. Konon kesaktian manusia dewa itu tak ada yang menandinginya sampai saat
ini. Dia adalah Pendekar budiman dari golongan putih yang selalu memerangi
kejahatan. Pendekar yang arif dan bijaksana."
Ketiga muridnya mendengarkan
dengan tertib. "Nama pendekar sakti itu sudah melambung ke
langit ke tujuh dan ke dasar
bumi. Aku yang sudah tua ini sebenarnya sangat berharap sekali dapat berjumpa
dengan manusia dewa itu, tetapi agaknya jarak yang memisahkan kami sangat jauh
adanya. Nah, Anggada, untukmu pelajarilah kitab Tapak Sepuluh. Lesmana,
pelajarilah kitab Abot Sewu. Dan untukmu Mantari, pelajarilah kitab Manuk
Mabur. Dan yang penting kalian ingat, kitab itu hanya bisa dipelajari dalam
satu malam. Tidak bisa lebih. Matahari menampakkan biasnya, harus sudah
selesai. Jika kalian gagal, berarti semuanya gagal. Berarti kitab-kitab
ini tidak berjodoh dengan kalian. Dan tidak bisa mengulangi mempelajarinya
lagi. Kalian mengerti?"
"Ya, Guru,"
ketiganya mengangguk.
"Nah, terimalah kitab
ini." Sang Begawan Batista memberikan masing-masing muridnya satu kitab
yang telah dipilihkannya. "Kalian harus mempelajarinya malam ini juga.
Besok, jika matahari sudah sepenggalah, kalian harus segera berangkat ke gunung
Pengging. Dan ingat, aku sendiri yang akan mencoba kemampuan kalian setelah
mempelajari kitab-kitab itu masing-masing, setelah bias matahari terlihat.
Kalian mengerti?"
"Kami mengerti,
Guru," ketiganya mengangguk dengan sikap hormat.
"Nah, terimalah kitab
ini." Sang Begawan memberikan masing-masing satu kitab. "Kalian harus
cepat mempelajarinya."
Walau terasa ngeri, mereka
mengangguk. Hanya satu malam, setelah itu dicoba pula.
Dan malam itu pula ketiganya
segera mempelajari kitab yang diberikan guru mereka dengan tekun. Sedikit pun
mereka tidak mengantuk, Berkonsentrasi penuh. Masing-masing berusaha
menamatkannya. Hanya satu malam.
Luar biasa. Hanya satu malam.
Sebelum bias mentari pagi
nampak, dari tempat masing-masing terdengar desahan lega.
Mereka selesai. Berhasil.
Namun dalam kondisi yang
sebenarnya sangat letih itu, Begawan Batista mencoba kemampuan mereka.
Tapak Sepuluh yang dipelajari
Anggada, adalah sejenis ilmu kesaktian untuk berkelit. Sulit dikejar.
Langkahnya bagai berada di sepuluh penjuru. Dan yang dahsyat, dalam berkelit
secepat angin, Anggada mampu mengeluarkan desingan angin yang memekakkan
telinga.
Abot Sewu yang dipelajari
Lesmana, menjadikannya bagaikan gunung yang tegar. Tak goyah oleh hembusan apa
pun dan dorongan tenaga apa pun. Malah membuatnya sangat kebal terhadap
pukulan.
Manuk Mabur yang dipelajari
Mantari sama seperti ilmu yang dipelajari Anggada, hanya bedanya kedua tangan
Mantari dapat mematuk bagai burung dengan cepat. Dan hasil patukannya sangat
luar biasa, mampu menghancurkan batu sebesar kambing hingga berkeping-keping.
Sang Begawan Batista tersenyum
sangat puas ketika melihat hasilnya setelah uji coba itu selesai dilaksanakan.
Ketiga muridnya benar-benar telah berhasil menamatkan kitab-kitab sakti itu.
"Kalian harus berhasil
melakukan penyelidikan ini. Saat ini pula kalian harus meninggalkan padepokan.
Doaku, semoga berhasil!"
Ketiganya mengangguk mantap.
Mentari sepenggalah, bersinar terang.
Lalu tiga sosok pun keluar
meninggalkan Padepokan Angsoka.
*** 2
Matahari telah tinggi ketika
mereka beristirahat di sebuah hutan yang agak lebat. Suasana angker.
Sunyi.
Sengatan matahari tak begitu
terasa. Terhalang pepohonan tinggi.
Selesai makan, Mantari yang
sudah menyamar sebagai laki-laki berkata, "Kakang... aku ingin mandi dulu.
Kulihat ada sungai di sana" Tari mengipas-ngipas tubuhnya. Dia kelihatan
berkeringat.
"Apakah tidak perlu
menunggu sore, Rayi Tari?" kata Anggada yang menyandarkan tubuhnya di
batang pohon.
"Kakang Gada gimana
sih!" Mantari merengut. "Namaku Surajaga! Bukan Mantari lagi!"
"Ah... aku lupa,"
Anggada tersipu.
Lesmana mengulum senyum.
"Soalnya namamu melekat terus di benak Kakang Anggada, Sura," katanya
menggoda.
Mantari yang menyamar sebagai
Surajaga tersipu. Lalu buru-buru lari ke sungai yang tak jauh dari sana.
Lesmana menatap Anggada yang
terdiam, "Gimana, Kakang? Benarkah dugaanku, kalau Rayi Tari menaruh hati
pada Kakang?"
"Kau ini masih bercanda
saja, Lesmana. Sudahlah, istirahat dulu, Kita harus meneruskan perjalanan
lagi."
Lesmana tertawa pelan. Anggada
memejamkan matanya. Di sungai, Mantari sudah asyik berenang ke sana ke mari.
Air sungai yang sejuk membuatnya segan untuk keluar dari sana. Mantari
berendam.
Dibasuhnya sekujur tubuhnya.
Mentari tidak begitu panas.
Walau menjilat tubuhnya yang kuning langsat.
Tiba-tiba Mantari memiringkan
kepalanya. Matanya terpusat pada semak-semak yang bergerak, tapi begitu dia
memalingkan kepalanya, semak itu diam.
Sunyi.
Terdengar gemerisik angin.
Gemericik air. Dan beberapa kicau burung.
Tak lebih.
Tapi mata Mantari tetap pada
semak itu. Dia yakin, melihat sosok tubuh di sana.
Hati-hati dia berenang ke
tepi.
Mencari pakaiannya. Lebih gila,
pakaiannya tidak ada! Mantari panik mencari-cari.
Tiba-tiba kepalanya berpaling
lagi pada semak tadi. Jelas, dia melihat sepasang mata buas terarah padanya.
Mantari buru-buru bersembunyi di balik batu besar.
"Siapa di sana? Kakang
Lesmana, ya?!" teriaknya yang tahu Kakang Lesmana suka menggodanya.
Tak ada jawaban.
Hanya kicau burung yang tetap
terdengar. Mantari mempererat kain yang melilit tubuh-
nya.
"Siapa di sana?!"
teriaknya lagi. Dalam berkain basah yang mencetak tubuhnya seperti ini bukan
main malunya jika diintip orang. Terutama lakilaki. Ini aib.
Tetap tak ada jawaban.
Mantari penasaran. Tiba-tiba
dia mengibaskan tangannya ke arah semak itu. Seperti ada dorongan angin yang
kuat semak itu terkuak.
Sosok tubuh meloncat dari
sana. Berdiri kukuh di batu besar.
"He he he he..."
tawanya dengan suara yang sengau. Laki-laki itu bertubuh pendek, bulat.
Hidungnya besar, begitu pula dengan matanya, seolah melotot. Di dadanya ada
gambar tengkorak. Kedua tangannya yang pendek melingkar sepasang gelang bahar
hitam. Keduanya kukuh, ada gelang sama.
Mantari mengira-ngira siapa
laki-laki ini. Kedatangannya mengherankan. Tak kedengaran. Tak ada tanda-tanda.
"Siapa kau orang
jelek?!" bentaknya jengkel karena merasa diintip.
"He he he he... jelek. Ya,
ya aku jelek. Aku jelek." Orang itu terkekeh. "Tapi kamu cantik. Ya
cantik. Kamu cantik. He he he orang jelek bertemu orang cantik. Ya, ya...
jelek... cantik... he he he he." "Jangan ketawa terus, Jelek!"
bentak Mantari jengkel. Pasti si
Jelek itu yang menyembunyikan
pakaiannya. Aduh, kenapa dia
tidak hati-hati tadi. "Senang
ya dengar ketawaku?
Tawaku bagus
ya? Ya, ya... bagus. Bagus.
Bagus." Orang itu terkekeh lagi.
Mantari masih jengkel. Dia
berharap Kakang Anggada atau Lesmana menyusul. "Gadis cantik... siapa
namamu, hah? Siapa? Ya, ya... siapa? Pasti bagus. Pasti. Ya, ya... pasti... he
he he he."
"Kesudian sekali aku
beritahu namaku padamu, Jelek!" bentak Mantari sengit.
"Jangan ragu-ragu,
Cantik. Ayo... katakan, biar aku, Ki Condromuko tahu namamu. He he he he... ya,
ya, tahu... siapa, siapa he he he he..."
Laki-laki pendek yang setiap
bicara terkekeh terus itu makin memualkan perut Mantari.
Tahu-tahu Mantari menyambar
sebutir batu dan menyambitnya ke arah laki-laki itu.
Namun entah dengan tenaga apa
batu itu melenceng dari sasaran.
Mantari ternganga. Padahal dia
yakin, batu itu akan tepat pada sasarannya! Wajah jelek itu yang masih
terkekeh.
"He he he he he...
menyerang Ki Condromuko susah! Ya, ya... susah! Susah... siapa namamu, Cantik?"
"Persetan!" geram
Mantari di hati. Tapi dia bisa mengukur kesaktian si Jelek yang menamakan
dirinya Ki Condromuko itu.
"Mau apa kau tahu
namaku?!"
"He he he... hanya mau
tahu. Ya, ya, mau tahu..."
Mantari mendengus.
"Kembalikan dulu bajuku!" "Namamu dulu he he he he..."
"Kembalikan bajuku! Awas
kau nanti?!"
"He he he... ya, ya
nanti. Nanti. Baju. Ya, namamu dulu. Namamu..."
"Awas kalau kau tidak
mengembalikan bajuku nanti!"
"Ki Condromuko tak pernah
berbohong he he he..."
"Namaku Ramasita!"
seru Mantari berbohong.
Ki Condromuko terdiam.
Manggut-manggut. "Ramasita... he he he... Ramasita... berarti bukan kau
yang kucari... he he he he... bajumu ada di balik pohon itu... Aku akan
pergi... he he he... Eh, nanti dulu. Ya, ya... nanti dulu..."
"Apalagi?" bentak
Mantari jengkel. "Aku sedang mencari seorang gadis. Ya, ya... seorang
gadis... Kau kenal Mantari? Ya, ya... Mantari? Ah pasti kau tidak kenal.
Sudahlah... he he he... bajumu di sana..." Laki-laki itu meloncat dan langsung
menghilang.
Namun kekehannya terdengar
nyaring. Mantari yang hendak memanggil tidak jadi. Orang itu mencari Mantari?
Apakah dia mencari aku? Iya? Tapi aku tidak mengenalnya.
Mantari buru-buru mengambil
pakaiannya. Sebentar saja dia sudah menjelma menjadi laki-laki. Rambutnya
digulung. Ditutup caping. Mengenakan kumis palsunya. Tipis.
Dia bukan Mantari lagi, tapi
Surajaga. Sambil menunggu kainnya kering, Surajaga memikirkan tentang laki-laki
aneh tadi. Dia mengaku bernama Ki Condromuko. Mencari Mantari. Apakah aku? Aku?
Kenal dia saja tidak.
Tapi kenapa dia mencari aku?
Atau hanya namaku saja yang sama dengan yang dicarinya?
"Hei, sedang apa kau
melamun di sini?" sebuah teguran terdengar. Surajaga bersiap menoleh.
"Ah, Kakang Lesmana. Mengagetiku saja."
"Sudah mandimu? Kakang
Anggada mengajak kita melanjutkan perjalanan."
Surajaga memeriksa kainnya
yang dijemur di batang pohon. Sudah agak kering. Lalu keduanya kembali ke
tempat semula.
Anggada yang menunggu sudah
bersiap. Mereka berkemas.
Surajaga bermaksud hendak
menceritakan lakilaki aneh tadi, tapi Anggada sudah menyuruh mereka untuk
melanjutkan perjalanan.
***
3
Laki-laki itu berusia 23
tahun. Bertubuh tegap. Dia memakai baju putih yang kelihatan sudah agak lusuh,
wajahnya letih. Tapi matanya berkilau. Jelas dia habis melakukan perjalanan
jauh. Rambutnya yang agak panjang diikat dengan secarik kain putih di
keningnya. Dia memegang sebuah buntalan kecil.
Ketika dilihatnya ada sebatang
pohon besar yang dapat melindunginya dari sengatan matahari, dia berhenti.
Membuka bekalnya.
Menikmatinya dengan ditemani
oleh kicau burung kecil.
Santai. Tapi tiba-tiba dia
membentak, masih tetap menikmati bekalnya, "Yang mengintip silahkan
keluar. Kalau ingin makan bersama, silahkan! Kalau ingin berbuat jahat, tidak
ada barang berharga milikku yang patut dirampas!"
Dari beberapa semak,
berloncatan lima orang laki-laki berwajah bengis, dengan wajah sedikit merah.
Memandang galak.
Golok mengkilat ada di tangan
masing-masing. Tetapi pemuda itu tetap acuh tak acuh.
Makan dengan nikmatnya.
Salah seorang membentak,
"Pemuda sombong!
Berani-beraninya kau lewat
tempat ini?"
"Kenapa?" Pemuda itu
masih tetap makan. Lalu minum. Lalu makan lagi.
Orang yang membentak tadi
menggeram. "Setan! Angkat kepalamu kalau berhadapan denganku!"
"Kenapa?" Masih
tetap makan.
"Aku penguasa di sini!
Kau sedang berhadapan dengan Tanasura!"
"Oh..."
Hanya itu. Lalu membuang
bungkusan bekalnya.
"Bangsat!" sergah
orang tadi geram. Dia mengacungkan goloknya. "Pemuda edan, belum merasakan
golokku rupanya!"
Tiba-tiba wajah pemuda itu
memucat. Seperti baru menyadari kalau orang-orang itu memegang golok. Berbeda
sekali dengan sikapnya yang santai tadi. "Oh... jangan, jangan bunuh
aku... Aku, aku tidak bersalah..." Dia beringsut ketakutan.
Orang itu tertawa. Begitu pula
dengan temantemannya "Pemuda edan! Ketahuilah, kami adalah murid-murid
padepokan Gohkarna yang berdiri megah di gunung Pengging!"
"Jangan... jangan bunuh
aku..." Pemuda itu ketakutan.
Wajahnya pucat. Berbeda dengan
sikapnya tadi yang santai dan tenang.
"Jangan sok tahu! Cepat
berikan barang-barang yang kau bawa!"
"Aku... aku tidak punya
apa-apa..." "Bajingan! Mau kupenggal kepalamu?!" "Aku...
aku tidak punya apa-apa..." "Cepat berikan!"
Salah seorang beranjak, merampas
buntalan yang dipegang pemuda itu yang sia-sia mempertahankannya. Memeriksanya.
Hanya ada dua buah baju yang kumal dan bau. Belum dicuci.
Orang itu membantingnya.
"Hhh! Kepalamu harus
sebagai gantinya!" "Jangan... jangan bunuh aku!"
"Lalu apa yang hendak kau
berikan pada kami?
Kedua kaki?!"
"O... jangan, jangan...
Aku... aku dengar, orangorang dari padepokan Gohkarna baik hati. Kenapa...
kenapa kalian kejam padaku?"
"Itu dulu! Kau tahu! Resi
Gohkarna, guru kami, telah menantang beberapa pendekar dari beberapa padepokan
untuk bertarung! Memperebutkan kedudukan di rimba persilatan ini!"
"Tapi..."
"Bajingan!" salah
seorang yang berberewok rupanya tidak sabar dengan percakapan itu. Dia
mengayunkan goloknya.
Belum lagi golok itu mengenai
sasaran, sebutir batu meluncur. Tepat menghalangi laju golok itu.
Tangan orang tadi gemetar.
Golok itu terlepas.
Sosok tubuh melompat dari
jalan setapak yang terhalang pohon.
Kelima orang itu bersiap.
Berbalik dengan garang. Pemuda tadi beringsut ketakutan.
"Hhh! Rupanya bocah
ingusan ingin ikut campur dalam urusan ini!" salah seorang membentak.
Orang yang menghalangi laju
golok tadi itu tak lain adalah Surajaga alias Mantari. Surajaga berkacak
pinggang.
"Tidak tahu malu! Lima
orang mengeroyok satu orang."
"Ini urusan kami,
Setan!"
"Kudengar kalian
orang-orang dari padepokan Gohkarna!?"
"Hm... ternyata
orang-orang gunung Pengging sudah merubah adat! Menjadi kejam, bengis dan tak
bersahabat!"
"Jangan banyak mulut!
Siapa kau sebenarnya!?" "Aku
Surajaga, yang kebetulan
melihat keingi-
nan kalian untuk berbuat keji
pada pemuda itu!" "Jangan
sombong, Bocah tengik!"
salah seorang
membentak, dan menyerang.
Surajaga mengesampingkan sedikit tubuhnya, serangan itu meleset. Dan
dengan gerakan yang ringan, Surajaga menggerakkan tangannya.
Seperti menepuk bahu lakilaki itu, tapi akibatnya dia tersaruk beberapa meter.
Teman-teman orang itu kaget.
Pemuda yang kelihatan sombong
tapi tak bisa apa-apa itu pun ternganga.
Dia bertepuk tangan.
"Hebat, hebat. Hajar
lagi, hajar lagi!" Wajahnya berseri.
Surajaga memang sudah bersiap
ketika serangan selanjutnya datang. Golok-golok itu berterbangan.
Orang-orang itu kaget.
Seketika jadi panik. Surajaga berpura-pura hendak menyerang, tan-
pa diperintah lagi orang-orang
itu kabur tungganglanggang.
Pemuda yang ketakutan itu
berdiri dan terbahak-bahak.
"Ha ha ha... besar lagak
saja! Rasain! Syukur! Coba hajar saja sampai mereka mampus, Kawan!"
katanya pada Surajaga.
Tanpa sungkan dia mendekati
dan mengulurkan tangannya.
"Aku Pratama.
Pengembara."
Mau tak mau Surajaga
mengulurkan tangannya pula. Kalau mau mengikuti kata hatinya, sebenarnya
Surajaga tidak mau bersentuhan dengan lakilaki.
Tapi dia sudah mengulurkan
tangan itu. "Surajaga."
"Ha ha ha... Kakang
Surajaga hebat sekali. Sekali hajar orang-orang itu lari. Kakang Surajaga
hendak ke mana?"
"Aku pun
pengembara," sahut Surajaga yang ingat kata-kata Anggada dan Lesmana.
Kedua kakangnya sebenarnya berada tak jauh dari mereka. Tadi ketika mereka
lewat, mereka melihat pemuda itu tengah dipermainkan orang-orang tadi.
Mantari segera menyodorkan
diri untuk membantu. Kedua kakangnya hanya mengangguk saja.
Dan sekarang keduanya muncul
sambil tersenyum.
Surajaga mengenalkan mereka.
Pratama ternganga. Kelihatan
kalau dia sangat kagum melihat kedua pemuda yang baru muncul itu.
"Oh... aku sangat bahagia
sekali bisa berkenalan dengan orang-orang dari Padepokan Angsoka," katanya
tulus. "Telah lama aku mendengar orangorang golongan putih yang bernaung
di padepokan Angsoka."
"Tidak perlu memuji
setinggi langit, Saudara," kata Anggada. "Hmm... sebenarnya...
siapakah Saudara ini?"
"Aku?" Pratama
bingung. Kan tadi sudah tahu. "Ya, Saudara." Anggada tersenyum
bijaksana. "Aku mengembara."
"Saudara dari
Timur?"
"Ya. Kalau Saudara Anggada
bertanya di mana rumahku, jawabanku, tanah inilah lantai rumahku dan langit
atap rumahku. Tujuan kalian sendiri hendak ke mana?"
"Kami pun sama seperti
Saudara. Pengembara. Tak punya tujuan," Anggada menyembunyikan maksud
mereka sebenarnya. Suaranya datar. Enak
didengar.
Pratama manggut-manggut.
"Tidak bisakah kita
berjalan bersama?" tanyanya berharap.
"Maafkan kami, Saudara
Pratama. Kita harus berpisah. Pengembara... hanya arah angin jadi tujuan.
Silahkan tuju ke arah angin mana yang akan Saudara tuju."
"Selatan."
"Selatan." suara
Lesmana agak kaget. Anggada, Surajaga pun begitu.
Ke arah Selatan berarti ke
gunung Pengging!
Apa orang ini punya tujuan ke
sana, atau hanya spontan menjawab?
"Iya. Ke Selatan. Aku
ingin melihat pegunungan yang indah di sana," sahut Pratama mantap, tanpa
menghiraukan keheranan mereka.
"Kalau begitu tujuan kita
sama. Kami pun ingin ke Selatan," kata Lesmana.
"Ke Gunung Pengging
juga?" "Ya."
Sudah terlanjur dijawab.
Lesmana pun baru menyadari keceplosannya. Menolak, sulit. Diajak serta, lain
tujuan.
Bagaimana?
Anggada berkata, "Kita
bisa berjalan bersama saudara Pratama. Tapi sekali lagi, maafkan kami, kami
tidak bisa mengajak Saudara bersama. Karena kami punya masalah yang lain.
Maafkan."
Pratama tersenyum. Dia
merangkum kedua tangannya di dada. "Tidak jadi masalah. Biar aku pergi
sendiri.
Memang sudah keinginanku
demikian."
"Saudara Pratama,"
panggil Surajaga. "Hatihati."
Pratama berhenti. Tertawa.
"Jangan kuatir, Surajaga. Aku pasti bisa menghadapi tantangan. Iya tidak?
Ha ha ha... Pratama!" Dia menepuk dadanya, lalu berlalu.
Surajaga mendengus gemas.
Lesmana berkata pelan, "Maafkan aku, Kakang. Aku keceplosan."
"Sudahlah. Ayo kita cari
tempat bermalam. Sebentar lagi malam akan tiba."
***
4
Desa Manur Biru adalah desa
yang tentram. Para penduduknya sebagian besar bertani dan berdagang. Satu sama
lain saling menghormati. Rukun.
Ki Lurah Aryopraksa memimpin
daerah itu dengan satu kesatuan yang utuh. Tak membedakan mana yang kaya dan
miskin. Sama.
Bahkan Ki Lurah sendiri pun
akan suka turun bersama penduduknya jika mereka panen bersama. Bergembira.
Mendendangkan Kidung Senja, Kidung yang berisikan persatuan, persahabatan dan
persaudaraan yang kokoh.
Tapi sore ini nampak Ki Lurah
Aryopraksa seperti sedang kebingungan. Jelas sekali kalau dia gelisah.
Nyi Lurah sendiri tidak tahu
kenapa suaminya begitu.
"Sikapmu tidak seperti
biasanya, Pak," kata Nyi Lurah penasaran, jawaban yang diberikan suaminya
tadi tidak memuaskannya.
"Sungguh, Bu. Tidak ada
apa-apa. Kemala sudah pulang?"
"Belum. Mungkin sebentar
lagi." Nyi Lurah menyiapkan sirihnya.
Ki Lurah mendesah dalam-dalam.
Memang ada yang dipikirkannya. Dia baru saja menerima surat dari padepokan
Gohkarna, yang meminta upeti setiap bulan berupa lima puluh keping uang emas.
Kalau tidak, desa dan seisinya
akan dihancurkan.
Itu yang mengkhawatirkan Ki
lurah.
Tapi dia tidak ingin
kebingungannya ini menular. Tapi kalau didiamkan, warganya bisa kelabakan.
Tiba-tiba Ki Lurah bangkit.
"Mau ke mana, Pak?" "Alun-alun."
Nyi Lurah bingung. "Ada
apa?" "Nanti kau akan tahu, bu!"
Ki Lurah bergegas hendak
keluar. Nyi Lurah menyusul.
"Pak!"
"Aku tidak lama, Bu!
Kalau Kemala pulang, jangan kasih ke mana-mana!"
Ki Lurah bergegas. Belum dua
puluh meter dari rumahnya mendadak saja dia merasa kakinya terkena sesuatu.
Dan dirasakannya tubuhnya
kaku. Darahnya seolah berhenti mengalir.
Ki Lurah bingung. Kenapa aku?
Kenapa tidak mau digerakkan kakiku? Ki Lurah mengerahkan tenaganya. Tapi tetap
gagal.
Malah semakin sakit.
Kedua mata kakinya perih.
Kakinya seolah terpaku di tempatnya, seolah ada tangan kuat yang
menggenggamnya.
"Hi hi hi... jangan
coba-coba berbuat nekat, Ki Lurah!" terdengar suara dari atas pohon.
Ki Lurah mendongak. Seorang
gadis cantik duduk dengan kaki menjuntai.
Tersenyum manis. Cantik.
Tatapannya jalang.
Bibirnya merekah.
Dengan satu gerakan ringan dia
meloncat turun.
"Ingat pesan suratku, Ki
Lurah?" gadis cantik itu berkata sambil mengikik. Suaranya merdu. Mampu
membuat setiap pria berdebar jantungnya. "Jangan ganggu ketentraman kami,
Iblis beti-
na!" geram Ki Lurah
marah.
"Hi hi hi hi... nyalimu
sungguh besar, Ki Lurah. Aku hanya melaksanakan pesan Resi Gohkarna. Kau setuju
bukan dengan keinginannya?"
"Iblis! Apa dia tidak
pikir, dari mana kami mendapat uang sebanyak itu setiap bulan, hah!?"
"Itu urusanmu, Ki Lurah.
Kami hanya menadah hi hi hi hi... terserah mau kau laksanakan atau tidak."
Ki Lurah Aryopraksa mengatupkan kedua rahangnya.
"Tidak!" semburnya
geram.
"Hi hi hi... kau tidak
ingin bukan melihat wargamu kami hajar habis-habisan?"
"Jangan lakukan itu pada
mereka! Lakukan itu padaku!" bentak Ki Lurah.
"Semudah menjetikkan
kuku, Ki Lurah!"
"Ayo lakukan, biar kau
puas! Setelah itu tinggalkan tempat ini! Jangan ganggu ketentraman kami!"
"Hi hi hi... nyawa tuamu
tidak berguna. Bagaimana dengan Kemala? Putrimu yang cantik itu? Bukankah dia
sangat bermanfaat? Tubuhnya montok. Wajahnya cantik. Bukankah ini sangat
berguna untuk orang-orang liar yang mau bergabung dengan kami?" Gadis itu
terkikik lagi.
"Laknat!" geram Ki
Lurah sengit. Dia meronta. Tapi kakinya bagai terpaku keras. Sakit. Malah
terasa tangannya mulai melemah.
"Bagaimana? Setuju?"
"Iblis!"
Satu tamparan membuat bibir Ki
Lurah Aryopraksa berdarah. Perihnya minta ampun. Sakitnya terasa ke hati.
Tapi ditahannya.
Matanya makin melotot.
Memancarkan kegeraman yang luar biasa.
"Orang sepertimu mati tak
pantas, hidup pun tak pantas, settttaaaan?!"
"Hi hi hi... kau pikir,
kau pantas?" Gadis itu terkikik. Walau lembut terdengar dingin. Matanya
berkilau, indah, namun dibalik semua itu tersimpan mata berbahaya yang siap
menerkam bahkan mencabut nyawa Ki Lurah.
"Bilang sama Resi
Gohkarna, aku, Aryopraksa siap mati untuk kebenaran!"
"Nyali yang luar
biasa!" Gadis itu geleng-geleng sambil menyeringai.
Tiba-tiba terdengar teriakan
ramai. Warga datang menyerbu dengan senjata di tangan. Golok. Klewang, Clurit.
Pentungan. Pisau. Mereka siap mencabut nyawa gadis cantik itu.
Tapi gadis itu malah tertawa.
Dingin. Sedikit pun tak
kelihatan gugup. Matanya berkilat lebih membahayakan.
Orang-orang itu langsung
menyerbu, gadis cantik itu melompat sambil terkikik, melewati gerombolan orang
itu.
"Aku di sini, orang-orang
dungu!"
Orang-orang itu berbalik dan
menyerang dengan pekikan yang gegap gempita.
Gadis itu malah terkikik.
Tiba-tiba dia mencabut sesuatu dari balik baju belakangnya. Sebuah pecut yang
ujungnya berduri.
Pecut itu bergerak.
Bergeletar.
Bercampur jeritan mengerikan.
Keras. Beberapa orang yang menyerang ambruk dengan wajah berdarah.
Kikikan iblis betina itu
semakin mengerikan. Tangannya bergerak ke sana kemari. Pecutnya bergeletar
semakin hebat. Pekikan penduduk yang ambruk dengan luka yang sangat parah
menggema.
Tak sedikit yang langsung
mati. Ki Lurah menahan pedih hatinya.
Namun tubuhnya tetap terpantek
dengan kuat. Tak bisa digerakkan. Dia tidak tega membiarkan warganya habis
dibunuhi gadis si penyebar maut itu.
"Tahan!" serunya
keras.
Namun orang-orang yang kalap
itu terus menyerang. Mereka sebenarnya sudah tahu dari Kemala, yang mencuri
baca surat ancaman yang diterima ayahnya.
Mereka sudah bersiap untuk
menyambut kedatangan penyebar maut. Namun sekarang, apakah mereka mampu
menanganinya, ini baru satu orang yang
datang, bagaimana kalau banyak?
Kebencian warga Glagah Wangi
terhadap Resi Gohkarna semakin menjadi-jadi. Resi baik hati, bersaudara dan
selalu menolong, telah menurunkan maut melalui kaki tangan anak buahnya. Apa
penyebabnya?
Mereka tahu, menghadapi
orang-orang resi Gohkarna sangat sulit. Namun demi kebenaran mereka rela
berkorban.
Tapi untuk apa berkorban kalau
sia-sia belaka? "TAHAAAAAAAAN!" teriak Ki Lurah Aryopraksa
keras.
Serentak orang-orang itu
berhenti. Memandang penuh kemarahan.
Gadis cantik itu terkikik.
"Hi hi hi hi... bagaimana, Ki Lurah? Kau terima?"
"Iblis betina!"
geram Ki Lurah putus asa. "Tidak! jangan biarkan orang-orang Gohkarna
menginjak-injak kita, Ki Lurah!" seru yang bertubuh besar. Dia memegang
klewang.
"Maumu apa hi hi
hi..." si gadis terkikik. "Membunuhmu, setan!" Orang itu
mengacung-
kan klewangnya. "Kau
telah membunuhi saudarasaudaraku!"
"Hi hi hi silakan, kalau
kau mampu?"
"Bangsat!" orang itu
menggeram hebat dan menyerang. Baru satu tindak, pecut si gadis sudah
menyambutnya dan bersarang di lehernya. Dan sekali tarik orang itu terbang
menabrak pohon.
Hancur dengan kepala berdarah.
Orang-orang memekik antara
takut dan marah. Ki Lurah mendesah panjang, dalam, putus asa. Tak ada jalan
lain. Harus dipenuhi.
"Jangan teruskan!"
serunya pada gadis cantik itu yang hendak bersiap mengayunkan pecutnya lagi.
"Kami akan penuhi!"
"Hi hi hi... kenapa tidak
sejak tadi kau bicara begitu, Ki Lurah Bukankah urusannya akan jadi cepat
selesai?"
"Bajingan!" geram
beberapa orang yang masih marah. Mereka kecewa melihat sikap Ki Lurah yang
kalah. Dengan jengkel ketiga orang itu bergerak dengan cepat.
Si gadis itu memang luar
biasa. Tanpa menoleh atau melirik sedikit pun, dia menggerakkan tangannya.
Pecutnya bergerak, bergeletar. Terdengar jeritan merobek sore yang berdarah itu.
Ketiganya ambruk.
Bersimbah darah dengan luka
robekan yang dalam di dada.
"Sudah kubilang, jangan
lakukan itu lagi!" geram Ki Lurah marah.
"Hi hi hi... kau
melihatnya sendiri, bukan? Jangan salahi aku! Mereka yang salah!" Gadis
itu terkikik. Wajahnya sudah tidak kelihatan cantik lagi. Mirip setan yang haus
darah.
Tatapan yang jalang semakin
jalang. Memerah.
Seperti harimau lapar yang
melihat daging empuk.
"Ingat Ki, dua minggu
lagi aku akan datang untuk mengambil upetimu itu! Dan ingat, jika tidak, maut
akan bertebar lagi di desa ini! Hi hi hi... yang lebih penting, Kemala, anakmu
itu... Tubuhnya bisa jadi makanan empuk orang-orang liar yang ingin bergabung
dengan kami! Jangan coba-coba membohongi kami Ki. Hi hi hi... salam dari Gunung
Pengging! Dari yang mulia Resi Gohkarna! Hi hi hi...!" tawa itu menggema
keras dan sosok itu menghilang dengan cepat. Bagaikan angin yang berdesir cepat
dan kencang.
Ki Lurah merasa ada sesuatu
yang mengenai kakinya dan seketika kakinya bisa terangkat.
Dia menatap warganya yang
masih setengah geram dengan lemah.
"Maafkan aku,
Saudara-saudara. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Hanya itu yang dapat
kulakukan," katanya pelan. Ia menunduk. Tatapannya tak lagi berwibawa.
Tapi sebagian warganya
mengerti akan persoalan yang mulai gawat ini. Ada yang mengusulkan untuk segera
bersiapsiap dan berlatih jika si Penyebar Maut itu datang lagi.
Ada yang mengusulkan untuk
minta bantuan orang-orang padepokan Angsoka.
Ada yang mengusulkan untuk
melapor pada kerajaan untuk minta perlindungan.
Ki Lurah bingung mau
memutuskan bagaimana.
Dia mengusap wajahnya yang
kelihatan lebih tua.
Lemah.
"Dalam hal ini, kita
memang tidak bisa berdiam diri. Tidak boleh pasrah atas kehendak Tuhan. Kita
harus bisa merubahnya. Karena nasib suatu kaum, berada di tangan kaum itu
sendiri."
"Tapi menghadapi
orang-orang Resi Gohkarna, sama dengan menghadapi dewa Syiwa. Kita tak bisa
berbuat apa-apa. Tidak bisa berbuat banyak. Perlawanan kita akan sia-sia."
"Berlatih dan bersiap
hanya itu yang bisa kita lakukan. Minta bantuan orang-orang Padepokan Angsoka,
sama saja kita mengadu antara mereka dengan orang-orang Resi Gohkarna. Ini
lebih gawat lagi. Perpecahan akan semakin besar. Kudengar orang-orang Tartar
sudah mulai masuk ke sini. Dan yang kudengar lagi, Resi Gohkarna mengundang
para pendekar untuk bertarung di gunung Pengging. Dalam hal ini, keadaan
semakin meruncing. Lebih baik kita bersiap. Minta bantuan kerajaan, belum tentu
mereka mau memperhatikan suara kita. Suara rakyat kecil yang tak banyak memberi
apa-apa. Tapi memang ada baiknya dicoba. Yah... mulai besok kalian harus
berlatih dan bersiap untuk menyambut kembali si Penyebar Maut itu. Sekarang
mari kita kuburkan saudarasaudara kita yang menemui ajalnya..."
Orang-orang segera bekerja.
Pekik tangis anak, istri dan orang tua yang gugur terdengar.
Begitu menyayat. Menyakitkan.
Ki Lurah Aryopraksa menatap
mega yang makin hitam.
Lagi dia mengusap wajah
tuanya.
Di dalam rumah, Kemala
mendesah pilu. Karena salah seorang yang gugur adalah Mariodewo, kekasihnya
yang sangat disayanginya.
Mariodewo adalah pemuda yang
nekat menyerang si Penyebar Maut tadi dengan beraninya!
***
5
Sebuah Bayangan berkelebat
dengan cepat sambil terkikik dengan nada mengerikan. Membedah langit, merobek
alam yang kian sunyi.
Malam dingin.
Keheningan itu dirobek oleh
tawa yang menyeramkan, yang mampu mengundang bulu kuduk berdiri lebih lama.
Bayangan itu terus berkelebat
sambil terus tertawa. Menjelang tengah malam, bayangan itu masuk ke perbatasan
Keraton Selatan.
Jalan sepi. Kiri kanan penuh
rumah penduduk yang sunyi. Hanya sekali-sekali terlihat para peronda yang
sedang menjalankan tugasnya.
Bayangan itu bersembunyi. Lalu
berkelebat lagi setelah para peronda itu menjauh. Bayangan itu mendengus.
"Sial! Hampir saja ada
yang melihat kedatanganku menuju Keraton Selatan."
Dengan sekali melompat,
bayangan itu sudah berada di belakang tumenggungan. Tempat yang luas dan dijaga
ketat itu membuatnya agak bimbang untuk masuk.
Dia menggerutu lagi,
"Sialan! Kenapa Raden Wijaya menyuruhku untuk datang malam-malam
begini?!"
Bayangan itu memperhatikan
sekitarnya.
Tiba-tiba dia tersenyum.
Mengambil sebutir benda kecil dari kantungnya yang terikat di pinggangnya.
Lalu melemparkannya ke halaman
Keraton Selatan.
Benda itu jatuh tepat di
beberapa penjaga yang sedang menjaga. Setelah mengeluarkan asap bening yang
tidak tampak oleh mata, beberapa menit kemudian nampaklah para penjaga itu
berdiam kaku.
Seperti terhipnotis.
Bayangan itu terkekeh. Lalu
melompat. Dengan sekali lompatan dia sudah ada di atap keraton yang tinggi.
Lalu celingak-celinguk dengan gerakan ringan.
Lalu dia melompat turun
setelah melihat sebuah kamar yang terang.
Dia mengetuk jendela kamar itu
dengan hatihati.
"Raden... Raden..."
desisnya.
Jendela itu terbuka. Seraut
wajah tampan dengan pakaian yang indah muncul.
"Lama sekali,
Nimas..."
"Sulit untuk menembus
kemari, Raden..." kata bayangan itu sambil melompat masuk.
Lalu Raden Wijaya menutup
kembali jendela kamarnya. Menatap bayangan itu yang menjelma menjadi gadis yang
sangat cantik sekali setelah berada di dalam kamar yang terang. Wajahnya
berkilau bagai rembulan karena kena sinar lampu.
Dadanya yang setengah
membusung turun naik karena nafasnya masih memburu.
Raden Wijaya yang
berpenampilan necis dan genit itu merangkulnya sambil tertawa.
"Kau semakin menggemaskan
aku saja, Nimas..." desisnya sambil menciumi bagian leher belakang gadis
tadi.
Tapi gadis itu menarik
kepalanya.
"Nanti dulu, Raden...
bagaimana dengan tawaranku itu? Kau belum menjawabnya, Raden..."
"Itu mudah."
"Raden akan
memenuhinya?" Mata itu berkilau penuh harap dan bibirnya terbuka
menampakkan senyumnya yang indah menawan.
"Ya, rencanamu sendiri
bagaimana?" Raden Wijaya melepaskan rangkulannya. Menuang arak merah ke
gelas.
Memberikannya sebuah pada
gadis itu.
"Setelah semua padepokan
dan para pendekar yang ada di sekitar sini saling hantam, kita tinggal masuk
saja, Raden. Bukankah begitu?"
"Hahaha... bagus, bagus,
Nimas Priatsih. Setelah itu, kita yang akan merampok tahta kerajaan selagi para
pendekar dan padepokan saling hantam. Sehingga mereka lupa akan kerajaan yang
dalam keadaan berbahaya!" Raden Wijaya terbahak sambil meminum araknya.
"Rencana Raden
bagaimana?" "Keraton Selatan harus kita kuasai."
"Bagaimana dengan ayah
Raden sendiri?"
Kali ini wajah tampan itu
sesaat terdiam. Tegang.
"Kita harus
menggulingkannya. Aku ingin menjadi penguasa di sini. Juga beberapa keraton
lain. Rencanamu untuk mengadu domba semua padepokan dan para pendekar itu bagus
sekali. Karena mereka yang menyulitkan kita. Para orang-orang sakti, terutama
dari Padepokan Angsoka dan Gohkarna, adalah bawahan ayahku. Mereka sangat patuh
pada ayahku. Ini sangat berbahaya bagi kita. Untuk itu, kita harus mengadu dan
menghancurkan mereka dengan jalan mengadu domba. Ini merupakan jalan yang
sangat baik. Dengan begitu mereka akan saling menghantam. Kau sendiri punya
rencana lain, Nimas?"
"Sebenarnya iya, Raden.
Tapi bagaimana dengan Keraton Barat, Timur dan Utara?"
"Setelah aku jadi
penguasa di sini dengan kekuatan yang ada, kita akan menyerang ke sana. Mau tak
mau, orang-orang sakti akan tunduk padaku karena akulah yang menjadi raja di
sini. Bukan begitu, Nimas?"
Nimas Priatsih
mengangguk-angguk. "Nimas... bagaimana dengan desa-desa lain?"
"Maksud, Raden?"
"Desa Manur Biru. Glagah
Wangi. Cempaka. Itu merupakan pos-pos yang harus kita tempati."
Nimas Priatsih tersenyum.
Genit. "Itu sih beres, Raden. Hamba sudah mengatur semuanya. Ketiga desa
itu sudah menjadi marah pada Padepokan Gohkarna. Bahkan hamba sendiri baru saja
menghantam desa Manur Biru. Ini bukankah sebuah berita yang baik, Raden?"
Raden Wijaya terbahak.
"Betul. Biar orangorang Gunung Pengging akan kelabakan karena banyaknya
orang-orang sakti yang akan menyerang ke sana."
"Tapi, Raden?"
"Bagaimana, Nimas?"
"Kapan Raden akan
memenuhi keinginanku?" "Untuk mengangkatmu sebagai permaisuriku?
Hahaha... tak lama lagi,
Nimas. Bukankah malam ini kau akan pergi ke nirwana bersamaku? Hahaha..."
Raden Wijaya merangkul sosok
yang menggairahkan itu. Nimas Priatsih terkekeh genit dan menjerit manja ketika
tubuhnya didorong ke peraduan.
Sebenarnya Raden Wijaya
bukanlah anak kandung dari raja Keraton Selatan. Dia hanyalah anak angkat yang
ditemukan baginda raja ketika sedang berburu. Bocah itu ditemukan saat anak itu
berusia dua tahun, sedang menangis karena orangtuanya mati dibunuh para
perampok.
Baginda tidak tega untuk tidak
memungutnya. Lalu diambilnya bocah itu dan diberi nama Wijaya. Saat itu istri
baginda sendiri sedang hamil tua anak yang pertama mereka.
Setelah anak kandungnya lahir,
perhatian baginda tidak ada saling memihak. Dia menganggap Wijaya pun sebagai
anak kandungnya. Tak dibedakan dengan anak kandungnya.
Namun ketika keduanya
menjelang masa kanak-kanak, Wijaya sudah menunjukkan sifat yang tidak baik. Dia
galak. Suka mencuri. Dan irinya kadang berlebihan. Tetapi baginda tetap sabar
karena dia pun menyayangi Wijaya bak anak kandungnya.
Raden Wijaya seharusnya
berterima kasih karena dengan fasilitas dan kasih sayang yang diberikan sang
raja begitu biasa.
Tak pilih kasih.
Namun ketika dia mendengar
desas-desus, bahwa Raden Wiladalah yang akan menggantikan kedudukan raja. Ini
membuatnya marah dan iri, meskipun dia tahu bukan anak kandung raja tetap dia
marah.
Wijaya merasa dialah yang
berhak menduduki tahta kerajaan menggantikan ayahnya yang sudah tua. Sudah
tentu keinginannya itu sulit untuk diterima mengingat dia bukanlah keturunan
darah biru. Hal inilah yang menyebabkan Raden Wijaya menjadi semakin dengki,
apalagi akhir-akhir ini adik angkatnya, Raden Wilada, semakin disanjung oleh
rakyat. Ini membuatnya semakin marah, jengkel dan mendendam.
Dengan bantuan kekasih
gelapnya Nimas Priatsih dari Daratan Pantai Timur, Raden Wijaya bermaksud
hendak menggulingkan kerajaan ayahnya. Dialah yang membuat rencana mengadu
domba para padepokan dan para pendekar dengan maksud saat mereka bertarung
mereka melupakan kerajaan. Dan ini sangat memudahkan Raden Wijaya untuk
membunuh baginda raja.
Sedangkan Nimas Priatsih
senang saja membantu. Dia adalah murid tunggal nenek jahat Eyang Pratikanisti
yang dulu pernah menyerang desa di lereng Gunung Lawu membantu perampok Bongsa.
Tetapi serangan itu gagal berkat bantuan Begawan Batista. Bahkan Eyang
Pratikanisti tewas di tangan Begawan Batista.
Selain itu, Raden Wijaya juga
menjanjikan kedudukannya sebagai permaisuri.
Lalu mulailah Nimas Priatsih
menyebarkan berita palsu tentang ancaman dan tantangan yang dilontarkan oleh
majikan gunung Pengging. Dia pun mulai menyebarkan teror di desa-desa dengan
mengatasnamakan Resi Gohkarna, agar orangorang marah dan menyerangnya.
Politik adu domba itu terus
dijalankan.
Kedua manusia itu kini
terbaring lemas di peraduan. Menatap langit-langit kamar dengan nafas turun
naik. Kadang memejamkan matanya sekalisekali.
"Nimas..."
"Ya, Raden?"
"Mendadak saja timbul
sebuah rencana yang jitu dalam benakku."
Nimas Priatsih melirik.
"Apakah itu, Raden?" "Bagaimana jika kau menggoda adik angkatku,
Raden Wilada?" tanya
Raden Wijaya berhati-hati.
Nimas Priatsih kaget.
"Maksud Raden?"
"Goda dia. Jerumuskan dia
ke lembah nista. Dengan begitu, kedudukannya sebagai calon pengganti ayahku
akan berantakan. Ayah akan membencinya dan kecewa padanya. Begitu pula dengan
rakyat, mereka tentu tak akan setuju mempunyai seorang raja yang berkelakuan
kotor."
"Tapi, Raden..."
Nimas Priatsih tercenung.
"Aku mengerti,
Manis..." Raden Wijaya mengecup bibir yang memerah itu. "Aku
mengerti. Kau pasti tidak rela tubuhmu dinikmati oleh Raden Wilada, bukan?
Memang bukan itu maksudku. Aku pun tak rela tubuhmu harus dinikmati olehnya.
Aku cinta padamu, Nimas. Mana mungkin aku membiarkan Raden Wilada menikmati
tubuhmu."
"Lalu maksud,
Raden?" Gadis itu separuh bernafas lega. Dia pun mencintai Raden Wijaya.
"Kau hanya menggodanya
saja. Kalau bisa bawa dia ke tempat Kembang Mawar milik Nyai Alas Ratih. Dengan
begitu dia akan lupa diri. Dan ini membuat kita lebih mudah menyingkirkannya
sebelum menyerang kerajaan. Bagaimana Nimas? Kau sanggup melakukannya?"
Nimas Priatsih mengangguk.
Raden Wijaya terbahak.
Merangkul Nimas Priatsih yang
terkikik genit dan manja itu.
"Setelah semuanya
berhasil, tentunya raja akan marah padanya dan akan membatalkan pencalonannya
sebagai penggantinya. Nah, dalam keadaan seperti itu, pasti raja akan menunjuk
ku untuk menggantikan kedudukannya. Ini adalah sasaran yang sangat empuk.
Selagi pikiran raja kacau balau oleh perlakuan Raden Wilada, aku akan menyuruh
Paman Patih Coro Ijo untuk segera memimpin pasukannya menyerbu istana.
Kesempatan ini sangat langka, karena para pendekar yang berpihak pada kerajaan
tentunya sedang bertarung di gunung Pengging. Ini memudahkan kita untuk segera
menggulingkan tahta kerajaan. Setelah itu, aku akan masuk membantu kerajaan.
Tentunya pasukan yang dipimpin Paman Patih Coro Ijo akan mengalah dan melarikan
diri. Sebagai gantinya, beberapa pengawal akan dibuat kambing hitam dan dibunuh
karena telah berkhianat pada raja. Dan namaku akan semakin harum di mata raja
dan rakyat, bukan?"
Nimas Priatsih terkikik.
"Hebat sekali akalmu,
Raden. Benar, dengan begitu semuanya akan berjalan lancar."
"Ini tergantung bagaimana
kau menjalankan tugas yang kuberikan."
"Tenang, Raden...
percayalah padaku, aku akan menjalankan tugas ini sebaik-baiknya. Bukankah aku
calon permaisurimu, Raden?"
"Benar, Nimas... kau benar.
Dan ingat, besok Raden Wilada hendak pergi berburu ke hutan Lampor. Kalau tidak
salah, dia hanya ditemani oleh Mona dan Prakista."
"Percayalah padaku,
Raden..."
***
Hutan Lampor adalah hutan yang
paling angker di sekitar Keraton Selatan. Hutan yang konon pernah dihuni oleh
seorang raksasa yang mati karena tersambar geledek dan mayatnya hancur menjadi
debu.
Konon hutan itu banyak pula
dedemit yang menyamar menjadi manusia.
Tetapi Raden Wilada telah
menetapkan tekadnya, karena dia belum pernah berburu ke sana. Dan keinginannya
itu harus tercapai. Di samping berburu adalah salah satu kegemarannya sejak
kecil.
Raden Wilada berkulit putih.
Wajahnya tidak begitu tampan. Alisnya tebal dengan kumis tipis di atas
bibirnya. Di belakang bahunya terdapat sebuah busur dan beberapa anak panah.
Matanya, waspada, memperhatikan sekitarnya. Dia mendengar di hutan ini banyak
rusa-rusa muda yang berkeliaran.
Di belakangnya, dua buah ekor
kuda mengikuti.
Dengan masing-masing
penunggangnya.
Yang menaiki kuda berbulu
hitam bernama Mona. Dia seorang abdi yang sangat setia pada Sang Raden. Usianya
kira-kira sama. Sekitar 23 tahun. Tubuh Mona besar dengan dagu yang kukuh. Dia
pun menyandang busur dan anak panah. Yang menunggang kuda berbulu coklat
bernama Prakista. Seorang abdi yang bertubuh pendek, tapi tidak gemuk. Boleh
dikatakan cebol. Tapi ketangkasannya menunggang kuda tidak kalah dengan Mona
atau pun Raden Wilada sendiri. Bahkan kalau dia mau dia lebih hebat dari Raden
Wilada. Tapi karena tidak mau mengalahkan junjungannya, Prakista selalu
berusaha untuk nampak le-
mah.
"Sejak tadi tidak kulihat
seekor rusa, Mona dan Prakista," kata Wilada sambil menghentikan jalan
kudanya.
"Entahlah, Raden. Mungkin
sedang bersembunyi," sahut Prakista sambil tertawa.
"Mungkin kita belum
melihatnya saja, Raden." kata Mona dengan suaranya yang berat. Dia memang
lain dengan Prakista yang selalu ingin bergurau saja.
"Atau... mereka sedang
pesta, Raden," kata Prakista.
"Atau juga... mereka yang
hendak memburu kita?"
"Ha ha ha..." Raden
Wilada tertawa. "Ada-ada saja kau, Prakista."
"Cebol! Jangan bercanda
terus!" bentak Mona. "Lho, kok jadi marah? Apa aku salah ngomong
begitu? Kan siapa tahu?!"
balas Prakista sambil tertawa.
"Ayo kita jalan
lagi," kata Wilada sambil menjalankan kudanya perlahan.
Kedua abdinya mengikuti. Mona
menajamkan kedua matanya, barangkali ada rusa yang berkelebat. Sedangkan
Prakista bernyanyi-nyanyi dengan riang.
Matahari baru sepenggalah.
Udara cerah. Kicau burung kecil terdengar ramai. Pijakan kaki kuda yang kadang
mematahkan ranting kecil yang berserakan, kadang terdengar.
Tiba-tiba sebatang anak panah
meluncur ke arah Raden Wilada dengan cepatnya.
Wilada yang sedang
memperhatikan sekitarnya, cepat melompat karena mendengar desingan yang
mengarah padanya.
"Hei!"
Anak panah itu lewat dan
menancap di batang pohon. Mona dan Prakista segera waspada.
"Siapa adanya yang telah
menyerang junjungan kami?" Mona membentak dengan sikap waspada. Suaranya
menggema dengan keras.
Dari balik semak belukar
muncul sosok tubuh yang indah terbalut pakaian ringkas berwarna putih. Di
tangannya memegang busur. Wajah gadis itu cantik. Kelihatan keningnya berkerut
melihat ketiganya yang diam terpaku, seolah kaget melihat kecantikannya.
Bidadari manakah ini? desis
Wilada dalam hati.
Prakista terbahak. "Ha ha
ha... rupanya gadis cantik yang menyerangmu, Raden?"
Wilada seperti tersadar. Mona
sendiri menghela nafas dalam.
"Siapakah gerangan
kiranya Nona?" tanya Wilada lembut.
Tapi gadis itu malah semakin
mengerutkan keningnya.
"Ha ha ha.... dia
kelihatan naksir padamu, Raden," tawa Prakista terdengar lagi.
Kali ini kening gadis itu
berubah. Matanya melotot marah pada Prakista.
"Hei, Cebol! Jangan
sembarangan omong! Siapa yang naksir orang ini, heh?!" bentaknya marah.
Tetapi Prakista malah semakin
terbahak. "Si Cantik rupanya galak, Raden."
"Cih!" gadis itu
meludah.
Wilada tersenyum. Kuatir bisa
salah paham. "Maafkan kawanku ini, Nona. Siapakah geran-
gan Nona?"
Gadis itu yang tak lain
Mantari melipat kedua tangannya di dadanya, sikapnya acuh tak acuh.
"Mau apa tanya-tanya
namaku?"
"Karena anak panah Nona
hampir saja menancap di tubuhku."
"Biar saja! Kan aku tidak
salah. Aku tengah memanah kelinci?!" bentak Mantari yang kesal. Sial,
kenapa aku tadi harus melepas samaranku, desisnya dalam hati. Ah, kenapa aku
tidak menuruti nasehat Kakang Anggada? Ingat Anggada mendadak wajahnya memerah.
Ih!
Perubahan itu disangka
Prakista karena gadis itu malu pada Raden Wilada.
Dia terbahak sambil menggoda,
"Benarkan dugaanku, Raden. Gadis itu naksir padamu."
Kali ini kemarahan Mantari
berlipat ganda. "Cebol jelek! Jangan sembarangan omong!" bentaknya
sambil menyerang.
Prakista menghindari serangan
itu sambil tertawa-tawa. Gerakannya ringan dan gesit.
"Haa ha ha... yang seperti
ini tidak cocok untukmu, Raden! Galak!"
"Setan!" bentak
Mantari semakin jengkel. "Siapa yang kesudian jadi pacar orang jelek
itu!"
"Kau belum tahu siapa
dia?!" Prakista menghindar dengan lincahnya.
Mantari jadi jengkel.
Tiba-tiba dia bergerak bagaikan burung dengan cepat. Kali ini Prakista
kebingungan. Belum lagi sadar sebuah sodokan telah menyodok dadanya.
Prakista terhuyung. Dadanya
sakit.
Mantari tertawa. "Rasakan
itu, Cebol!"
Mona yang sudah bersiap hendak
menyerang ditahan oleh Wilada.
"Tahan! Jangan teruskan
lagi! Kita hanya salah paham! Maafkan kelakuan kawanku itu, Nona."
Mantari mendongakkan kepalanya
angkuh. "Sikat saja, Raden! Biar dia tahu siapa Raden!"
seru Prakista biarpun dadanya
terasa sakit dia masih bisa tertawa dan bergurau. "Tangkap dan cium,
Raden!"
"Bangsat!" wajah
Mantari merah padam dan bersiap menyerang lagi.
"Tahan, Nona! Maafkan
kawanku, ini!" kata Wilada sambil menangkis serangan Mantari.
Mantari merasakan menghantam
batu yang kokoh. Jemarinya terasa nyeri.
Wilada merangkum kedua
tangannya di dada. "Maafkan kami, Nona. Prakista, Mona, ayo jalan!"
Mereka menaiki kuda
masing-masing. Prakista terkekeh-kekeh. "Untung saja ditahan oleh Raden
Wilada, kalau tidak kucium kau!"
Mantari melotot marah.
Kuda-kuda itu melaju.
"Sialan!" Mantari
meringis kesal. "Ada-ada saja gangguan. Hhh! Lebih baik kembali pada
Kakang Lesmana dan Anggada."
Mantari melompat ke balik
semak dan menghilang.
Sementara itu Prakista masih
menggoda Raden Wilada.
"Kenapa tidak Raden
tangkap saja. Lumayan Raden, biar galak tapi cantik. Yang begitu lebih asyik,
bukan? Ha ha ha!"
"Kau terlalu bertindak
gegabah tadi, Prakista," kata Wilada tenang. Tapi menyesali juga mengapa
hanya sesingkat itu pertemuannya dengan si cantik tadi. Yang lebih sial, dia belum
tahu siapa namanya!
"Dia memang cantik,
Raden. Bukankah Raden belum punya calon? Nah, ambil saja dia. Paling tidak
gadis dari Glagah Wangi atau Cempaka. Kedua desa itu memang penuh dengan
gadis-gadis cantik, Raden."
"Sudahlah."
"Tapi masih terkenang,
bukan?" Prakista, menggoda lagi.
"Kau ini ada-ada saja,
Prakista. Aku kenal saja baru tadi. Namanya juga belum aku tahu. Tapi yah...
dia memang sangat cantik."
Tiba-tiba Raden Wilada
menghentikan kudanya. Begitu pula dengan kedua abdinya. Mereka mendengar suara
isak dari balik pohon di depan sana. Ada apa lagi ini?
"Jangan-jangan dedemit,
Raden," Prakista timbul isengnya lagi.
"Lebih baik kita ke
sana."
Ketiganya agak mempercepat
laju kuda mereka. Isakan itu semakin jelas, dari balik pohon. Ketiganya turun
dan mendekati.
Dan ketiganya terkejut.
Seorang gadis yang cantik! Ya
ampun, banyak sekali gadis-gadis cantik berkeliaran di sini? Gadis itu
kelihatan kaget dan takut.
Raden Wilada membungkuk,
bertanya, "Kenapa gerangan Andika menangis?"
Gadis itu malah undur
ketakutan. Matanya mencari-cari.
"Sana! Sana! Aku sudah
tidak punya apa-apa lagi! Sungguh, aku tidak punya apa-apa lagi!" jeritnya
takut.
Wilada sesaat terdiam.
Mengira-ngira apa yang telah terjadi pada gadis ini.
"Tenang, Nona. Saya tidak
bermaksud jahat.
Apa yang telah terjadi?"
tanyanya lembut.
Gadis itu memperhatikan
ketiganya dengan seksama, seolah masih ragu akan kata-kata Wilada. sinar
matanya masih ketakutan.
Wilada tersenyum.
"Percayalah, kami tidak bermaksud jahat."
Sekali lagi gadis itu
memperhatikan mereka. Lalu katanya dengan terbata-bata, "Aku... aku
baru... baru saja dirampok..."
"Dirampok?" Gadis
itu mengangguk sambil terisak. "Ya, ya... semua barang-barangku dibawa
para perampok itu..."
Raden Wilada yang baik hati
dan seringkali timbul rasa kasihannya, "Lalu Andika hendak ke mana?"
Gadis cantik itu menunduk.
"Aku... aku tidak tahu..."
"Ha ha ha... kenapa tidak
dibawa ke tumenggungan saja, Raden?" kata Prakista. "Gagal yang
galak, yang lembut ini lebih baik. Bukan begitu, Raden?"
Prakista terbahak lagi. Mona
hanya melipat kedua tangannya. Sifatnya tak banyak bicara menjadikannya seperti
patung diam. Dia hanya bicara seperlunya.
Menatap gadis cantik yang
sedang dibimbing Wilada ke kudanya.
"Lebih baik Andika
tinggal di tumenggungan saja."
"Aku... aku tidak pantas
bersahabat dengan orang-orang tumenggungan..." desis gadis itu
takut-takut, menolak untuk dinaikkan ke kuda.
"Kau sudah bercakap-cakap
dengan kami. Kamu telah bersahabat dengan kami." Wilada tersenyum.
Gadis itu nampak gugup. Ia
memandang ketiganya bergantian.
"Siapa... siapa gerangan
Andika adanya?" tanyanya terbata-bata.
"Ha ha ha ah..."
Prakista terbahak. "Rupanya kau belum mengenal Raden Wilada, Nona? Inilah
Raden Wilada, putra kandung Pangeran Wilwatikta."
"Oh!" seketika gadis
terduduk berlutut berkalikali menyembah. "Maafkan sikapku, Raden, yang
tidak tahu siapa Raden sebenarnya."
Wilada jadi kikuk. Dia melirik
Prakista tajam.
Yang dilirik hanya mesem saja.
Wilada buru-buru menyuruh
gadis itu berdiri. "Janganlah bersikap demikian, Nona. Ya, aku
memang Raden Wilada. Tapi
sudahlah, janganlah kau merubah sikap. Tetaplah seperti tadi. Kita akrab. Hm...
siapakah nama Andika?"
"Namaku... namaku...
Rastili... Aku... aku dari desa Glagah Wangi..." gadis itu malah
menundukkan kepalanya.
Raden Wilada makin kikuk.
Prakista terbahak. "Nyiur
melambai, jadi lambang. Jadi sarang, burung elang. Jangan ragu, jangan bimbang,
segeralah Raden, bawa pulang. Ha ha ha..."
Sikap Raden Wilada jadi makin
kikuk.
Rastili tersipu. Dan malu-malu
dia melompat ke kuda Wilada. Dadanya berdebar keras ketika Wilada menaikkannya
ke kudanya.
Lalu...oh, Gusti, sang Raden
berada di belakangnya!
Prakista sudah gatal saja
mulutnya.
Sambil melompat ke kudanya,
dia berseru, "Tidak dapat rusa muda, kelinci muda juga tidak apa-apa.
Bukan begitu, Raden?"
Wilada melotot.
Rastili menunduk. Wajahnya
merona. Perlahan kuda-kuda itu bergerak. Wilada menjalankan kudanya dengan
hati-hati.
Di belakangnya Prakista
mendendangkan lagu asmara yang sendu. Sedangkan Mona hanya diam saja. Terus
mengikuti kuda-kuda itu berjalan.
Terdengar suara Prakista
menggoda, "Kita tidak jadi berburu, Raden?"
***
6
Mantari muncul dengan mulut
menggerutu. Dia melemparkan pantatnya di dekat kedua kakak seperguruannya,
masih tetap menggerutu.
Lesmana tertawa. "Hei,
hei... ada apa, Rayi? Apa mulutmu pagi ini senang mengomel?"
Mantari malah makin cemberut.
"Tidak lucu!"
"Lho?" Lesmana
terbahak. "Aku memang tidak sedang melucu!"
"Sudah diam!" Mantari
melotot, nampak semakin cantik.
Anggada yang baru saja
bersemadi untuk melancarkan jalan pernafasan menoleh, masih bersila dengan bahu
tegak.
"Mana hasil buruan mu,
Rayi?"
"Buruan apa,
Kakang?" kali ini suara Mantari tidak lagi judes, malah ada kesan tersipu.
"Bukankah kau pergi
berburu?"
Mantari hanya mendesah dalam.
Ih, kenapa kalau yang bertanya Kakang Anggada hati ini selalu tentram saja?
Dia pura-pura menurunkan busur
dan anak panahnya.
Lesmana yang suka iseng,
mendehem. Bermaksud menggoda. Sambil menatap ke atas dia berkata,
"Heran... kalau aku yang bertanya, kenapa selalu marah ya? Tapi kalau Kang
Anggada yang bertanya, sambutannya mesra. Tersipu. Bahkan seperti berharap.
Hmm... heran, heran." Dia menggeleng-geleng.
Mantari tahu kalau dia sedang
digoda. Makanya dia langsung mendongak, melotot pada Lesmana.
"Kakang kok ngomongnya
gitu?"
Lesmana pura-pura kaget.
"Lho, aku ngomong apa? Aku tidak merasa omong apa-apa?"
"Tadi?"
"Lho? Aduh, Rayi Mantari
ini bagaimana, sih?
Aku sedang bicara
sendiri..."
"Bohong! Kakang
menggodaku!" suara Mantari tersekat, seperti mau menangis.
"Lho, lho... kok jadi
begini? Aku tidak mengerti?" Lesmana masih berpura-pura, membuat Mantari
semakin sebal. Malu. Jengkel. Tapi juga senang.
"Jangan berpura-pura!
Kakang jahat!" sembur Mantari, kali ini suaranya bagai isakan belaka.
Lesmana hanya mengangkat bahu.
Masih berpura-pura tidak mengerti. "Aneh... aku bicara sendiri kok
dibilang menggoda? Rayi bertemu dedemit mana tadi, hingga marah-marah tidak
karuan padaku?"
Wajah Mantari merah padam.
Malunya tidak ketulungan. Lesmana bermaksud hendak menggoda lagi, tapi ketika
diliriknya Anggada nampak sedang memperhatikan sesuatu dia segera terdiam.
Sikapnya jadi waspada.
Begitu juga dengan Mantari.
Ngambeknya agak menghilang. Dia berbisik pada Anggada, "Ada apa,
Kakang?"
Anggada hanya terdiam.
Memperhatikan ke arah Timur dari mereka
beristirahat.
Mantari jadi penasaran,
bercampur ngeri, "Kakang... ada apa?"
Tanpa menoleh Anggada
menyahut, "Aku mendengar sesuatu yang mencurigakan.."
"Apa itu, Kakang?"
"Tajamkan
pendengaranmu," kata Anggada. Tampak dia seperti bersiap tempur. Dadanya
yang tegap semakin nampak kokoh ketika dia melipat kedua kakinya ke bawah.
Lesmana berdiri. Menajamkan
telinganya.
"Ada langkah yang menuju
kemari, Kang Anggada," bisiknya.
Mantari juga mendengar.
"Seperti langkah ratusan
orang yang berbaris."
Anggada mengangguk. "Ya.
Dan membuatku curiga. Kita berada di kerajaan Kuripan. Tapi mau apa orang-orang
itu seperti menuju kemari."
Keadaan yang agak sepi, pecah
dengan derap langkah yang terdengar agak keras. Kali ini seperti berpencar.
Ketiganya segera waspada.
Berdiri mengambil posisi
dengan sigap.
Tiba-tiba muncul enam orang
laki-laki berusia sekitar 45-an. Mereka mengenakan pakaian merah semua, salah
seorang memakai jubah hitam.
Anggada tahu, dia tanda dari
orang-orang padepokan Gohkarna. Lalu ada apa mereka hingga sampai ke sini? Apa
perlu mereka? Setahu Anggada, orang-orang padepokan Gohkarna hanya mau turun
jika raja Kuripan membutuhkan bantuan mereka. Kalau begitu adakah sesuatu yang
gawat?
Belum lagi Anggada bisa
menganalisa semua itu, salah seorang bergerak ke arahnya dengan tangan
terkepal.
Anggada kaget. Tapi cepat
menyambutnya. Dia menangkap kepalan tangan itu dan memuntirnya ke kiri. Tapi
orang itu dengan cepat bergerak, dan tangannya terlepas dari genggaman Anggada.
Lalu dia mengirimkan jotosan ke wajah Anggada.
Anggada menundukkan kepala dan
bersalto menghindar.
"Hmm... ada apa
orang-orang Gunung Pengging menghalangi perjalanan kami?" serunya
sementara kedua adik seperguruannya bersiaga.
"Hhh! Kami ingin membuat
kalian mampus di sini!" Orang itu melesat lagi. Anggada pun tak mau
dirinya dijadikan sasaran empuk serangan itu. Dia pun membalas.
Empat orang kawan berjubah
merah itu segera mengurung Lesmana dan Mantari.
Dan sebentar saja di tempat
itu sudah ramai oleh pertarungan yang hebat, sengit dan kejam. Orang-orang
berjubah merah itu memperlihatkan jurus-jurus yang tangguh. Tetapi tiga orang
murid Padepokan Angsoka pun segera mengimbanginya dengan hebat.
Sampai dua puluh jurus
berlangsung, tak seorang pun yang nampak terdesak. Tetapi lewat dua jurus
kemudian, Mantari sudah nampak kepayahan karena dua orang yang menyerangnya
terus mendesak dengan gigih.
Tenaga Mantari sudah semakin
terkuras.
Dia pun sudah mengeluarkan
jurus Manuk Maburnya. Tetapi dua orang penyerang dengan gesit menghindar dan
membalas.
Melihat hal itu, Anggada
dengan pukulan keras hingga terhuyung beberapa tindak.
Anggada menyeka darah yang
keluar dari mulutnya.
"Bangsat! aku akan
mengadu jiwa denganmu!" "Hahaha... murid-murid gunung Lawu hanya
begitu saja kemampuannya sudah
beraniberaninya menyerang ke Gunung Pengging! Majulah, akan kubuat mampus
kau!"
Kembali keduanya bertarung.
Sementara Mantari kian
terdesak, satu gedoran pun membuatnya ambruk. Dan dengan cepat salah seorang
yang berjubah merah itu menotoknya hingga tak mampu bergerak.
Melihat hal itu Anggada dan
Lesmana pun mempercepat serangannya dan meningkatkan jurus-jurusnya. Tetapi
lawan-lawannya begitu tangguh. Belum lagi dua lawan Mantari tadi datang
membantu, semakin membuat keduanya kerepotan.
Dan kini maut pun mengancam
keduanya.
Tiba-tiba saja dua larik sinar
berwarna merah melesat ke arah orang-orang berjubah merah itu. Serentak
orang-orang itu bersalto menghindari hantaman sinar merah yang kini menghantam
pohon hingga hangus.
"Bangsat! Siapa yang
beraninya hanya membokong!"
Terdengar derap langkah kuda
menuju ke arah mereka. Nampaklah dua ekor kuda dengan masing-masing
penunggangnya. Yang satu seorang laki-laki muda berwajah tampan. Yang satu
seorang wanita muda yang berparas jelita dengan sebilah pedang di punggungnya.
Yang laki-laki berkata,
"Maafkan aku... yang ikut campur dalam urusan ini... aku tidak begitu suka
melihat kalian bertingkah pengecut mengeroyok dua lawan yang sudah kehabisan
tenaga..."
"Hhhh! Anak muda,
siapakah kau gerangan?!" seru salah seorang yang bernama Morojarot.
"Aku dan istriku hanyalah
pengelana dari Laut Selatan. Namaku Pranata Kumala. Dan ini istriku, Ambarwati.
Salam kenal untuk kalian, orang-orang berjubah merah."
"Hhh! Nama kosong belaka
yang kau pamerkan di hadapan kami!"
Orang yang tak lain Pranata
Kumala dan istrinya Ambarwati itu tersenyum. Mereka memang sedang meneruskan petualangan.
Dan secara tidak sengaja mereka tiba di daerah ini.
Mendengar laki-laki itu
menyebutkan namanya, ketiga murid Padepokan Angsoka tertegun. Lakilaki inikah
yang pernah diceritakan guru mereka sebagai murid dari Ki Ageng Jayasih majikan
gunung Muria? Bila benar adanya, mereka akan merasa tertolong.
"Pranata, cepatlah kau
berlalu dari sini!" kata Morojarot. "Tapi ingat, tinggalkan istrimu
di sini! Lumayan untuk menghangatkan tubuh kami!"
Mendengar kata-kata yang
menjijikkan itu, Ambarwati menggeram. Dan dengan sekali salto dia menerjang
Morojarot sambil mengayunkan pedangnya yang dengan cepat sudah berada di
tangannya.
"Aih! Rupanya pemarah
benar kau!" seru Morojarot sambil menghindar. Tetapi Ambarwati terus
mencecarnya. Dan "Brekk!" jubah merah yang dikenakan Morojarot robek
terkena sabetan pedangnya.
"Bangsat busuk! Kau
rasakan itu! Sebentar lagi nyawamu yang akan kucabut!" geram Ambarwati.
Morojarot pun tak kalah
kagetnya. Tadi dia menganggap enteng lawannya dan tak menyangka kalau jubah merahnya
akan berhasil disambar pedang yang di tangan gadis itu.
Dia menggeram.
"Bangsat!" serunya sambil menerjang. Tetapi segera bersalto kembali
karena sinar merah itu kembali menyerangnya.
"Maafkan aku, Kisanak...
Sungguhan, aku dan istriku tidak tahu apa yang tengah terjadi di antara
kalian..." kata Pranata Kumala.
"Bangsat! Majulah
kau!" seru Morojarot dan serentak keempat kawannya pun mengurung Pranata
Kumala dan istrinya. Serentak pula mereka segera menyerang.
Tetapi lagi-lagi serangan
mereka kandas karena pukulan sinar merah kembali dilontarkan oleh Pranata
Kumala yang membuat orang-orang itu harus bersusah payah menghindar. Bahkan
tiga orang dari mereka mati dengan tubuh hangus tersambar sinar merah itu.
Hal ini membuat Morojarot
murka. Dia menerjang lagi. Dan kali ini Pranata pun bersalto dari kudanya,
melayani Morojarot dan kedua temannya.
Serangan-serangan kedua orang
itu cepat dan berbahaya. Pranata pun sudah menggunakan jurus Tangan
Bayangannya. Pertarungan pun tak terelakkan lagi. Tetapi murid Ki Ageng Jayasih
itu dapat mengimbangi keduanya. Di samping mereka tengah murka hingga tidak
mengontrol seranganserangan mereka juga ilmu mereka yang berada di bawah ilmu
Pranata Kumala.
Sebentar saja salah seorang
dari mereka sudah ambruk dengan muntah darah. Melihat hal itu, Morojarot pun
segera melarikan diri.
Setelah merasa yakin,
Morojarot tidak datang lagi, Pranata pun menghampiri Anggada dan Lesmana.
Sementara Ambarwati menghampiri Mantari.
Merasa diri mereka sudah cukup
pulih setelah menelan pil yang diberikan keduanya, mereka pun menjura.
"Terima kasih atas
pertolongan, Kisanak."
Pranata tersenyum. "Aku
paling tidak menyukai kekerasan. Hmmm... sebenarnya ada apakah hingga kalian
berbentrokan dengan orang-orang jubah merah?" "Maafkan kami
sebelumnya, Kisanak. Kalau boleh kami tahu, apakah Kisanak murid dari Ki Ageng
Jayasih, majikan Gunung Muria?"
Masih tetap tersenyum Pranata
menjawab, "Benar, Kisanak."
"Oh, terima kasih atas
pertolongan, saudara Pranata... Namaku Anggada, ini Lesmana dan Mantari dua
adik seperguruanku."
Lalu Anggada pun menceritakan
mengapa mereka sampai bentrok dengan orang-orang berjubah merah. Juga maksud
mereka menuju Selatan.
"Apakah hal ini biasa
dilakukan oleh orangorang Gunung Pengging?" tanya Pranata.
"Tidak, Saudara. Itulah
sebabnya, guru kami menugaskan kepada kami untuk menyelidik ke sana."
Pranata terdiam. "Kalau
aku boleh bicara, sepertinya ada yang ingin mengadu domba di antara sesama.
Mengingat tak pernahnya Resi Gohkarna berbuat seperti ini. Apalagi dia dikenal
sebagai laki-laki bijaksana."
"Maksud Saudara... ada
yang hendak menghancurkan kami dengan jalan mengadu domba?"
"Benar,. Hmm... apakah
ada sesuatu yang terjadi di Keraton Selatan?"
"Setahu kami, Raden
Wilada hendak menggantikan ayahnya sebagai raja."
"Apakah Raden Wilada
punya saudara?"
"Ya, dia bernama Raden
Wijaya. Setahu kami, dia adalah anak angkat baginda raja..."
Pranata Kumala terdiam. Lalu
katanya, "Bagaimana bila kita bersama-sama menuju Keraton Selatan lebih
dulu sebelum ke Gunung Pengging?" "Dengan senang hati, Saudara
Pranata."
***
7
Saat itu di halaman belakang
Keraton Selatan, baginda raja sedang menunggu kedatangan putranya, Raden
Wilada. Sejak beberapa hari belakangan ini, Wilada sering terlambat pulang.
"Mungkin dia sedang
pelesiran, Ayahanda," kata Raden Wijaya, yang sejak tadi menemaninya.
"Pelesiran?"
"Biasa saja, Ayah. Wilada
adalah laki-laki yang tentunya tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan selagi
muda."
"Kau omong apa,
Wijaya?" Kening baginda berkerut, tidak senang.
"Ini dugaan saya, Ayah.
Karena beberapa pengawal sering melaporkan hal itu pada saya. Kabarnya, Wilada
sering mendatangi tempat pelesiran Nyai Alas Ratih."
"Kalau memang benar
adanya, Wilada tak pantas menggantikan kedudukanku," kata raja marah. Lalu
memerintahkan pengawalnya untuk mencari Raden Wilada di tempat Nyai Alas Ratih.
Benar saja, para pengawal yang
ditugaskan itu menemukan Raden Wilada sedang dalam keadaan mabuk di pelukan dua
orang pelacur.
Ketika mereka melaporkan pada
raja, betapa murkanya sang baginda. Saat itu juga dia memerintahkan menangkap
Wilada dan mengurungnya di penjara bawah tanah.
Wijaya tersenyum dalam hati.
Rupanya Nimas Priatsih hebat dalam menjalankan tugasnya. Dan itu membuatnya
semakin besar untuk menjadi raja menggantikan ayahnya.
"Ayah... bagaimana
mungkin Wilada dipenjarakan sedangkan dia hendak dijadikan pengganti
ayah?" tanya Wijaya berpura-pura tidak tahu dan menutupi kegembiraannya.
Wajah baginda menjadi lesu.
Tetapi dia tak mungkin mengizinkan dan
memberikan tahta kerajaan kepada Wilada yang ternyata laki-laki busuk belaka.
Baginda tak pernah menyangka Wilada akan berbuat seperti itu.
Perlahan-lahan baginda menatap
Wijaya yang akhir-akhir ini di matanya nampak begitu baik. Yang ditatap
berlagak menunduk padahal hatinya tengah gembira.
"Wijaya... agaknya memang
kaulah yang pantas untuk menduduki tahta kerajaan di Keraton Selatan
ini..."
"Ayah..."
"Wilada tak seperti
sangkaanku semula, Wijaya. Nah, dua minggu kemudian, aku akan mengumumkan bahwa
kaulah yang menggantikan kedudukanku..."
"Ayah... apakah saya
pantas?" "Ya, kau memang pantas..."
"Terima kasih,
Ayah..." kata Raden Wijaya dengan hati yang bergembira karena semua
siasatnya berhasil. Dan kini dia tengah menunggu para pendekar saling bertarung.
***
Senja hari di Gunung Pengging.
Padepokan Gohkarna amat
terkenal di sekitar sana. Juga di beberapa daerah. Pemimpin Padepokan itu
seorang resi yang amat bijaksana. Usianya sebaya dengan Begawan Batista dari
Padepokan Angsoka.
Senja itu Resi Gohkarna sedang
kedatangan beberapa orang tamu. Mereka adalah jago-jago yang terkenal di dunia
persilatan. Kedatangan mereka sebagian besar meminta pertanggungjawaban Resi
Gohkarna yang telah membuat onar.
Sudah tentu Resi Gohkarna
merasa heran karena merasa tidak berbuat apa-apa. Bahkan dia bingung ketika
salah seorang dari tamunya mengatakan dia menantangnya.
"Tenang, tenang,
Saudara-saudaraku," kata sang Resi
dengan suara berwibawa. "Sebaiknya kita bicarakan masalah ini dengan
tenang."
"Jangan banyak bacot lagi
kau, Resi Tua!" seru salah seorang laki-laki yang berdiri gagah, di
punggungnya tersampir dua buah pedang. Wajah laki-laki itu tampan. Dia bernama
Jaya Tunggal. "Kau harus membayar nyawa adik seperguruanku yang dibunuh
oleh anak buahmu!"
"Sabar, Saudaraku Jaya
Tunggal. Terus terang, tak satu pun muridku yang kuizinkan meninggalkan tempat
ini!" "Bagaimana bila mereka kabur begitu saja?" "Mati
ganjarannya!"
"Nah, mengapa tidak kau
bunuh satu per satu muridmu yang telah membunuh adik seperguruanku?"
Wajah Resi Gohkarna merah
padam.
Sebagian orang yang datang pun
berseru untuk menuntut balas.
"Saudara-saudaraku,
tenanglah..."
"Buat apa kami tenang,
hah?! Kami datang untuk menuntut kematian saudara-saudara kami yang telah
dibunuh oleh murid-murid dari Gunung Pengging ini!"
"Dengan bukti apa kalian
menuduh muridmuridku yang melakukan semua ini?!" tanya Resi Gohkarna masih
bersabar.
"Dengan bukti apa?
Murid-muridmu semuanya memakai jubah berwarna merah. Sama seperti yang dipakai
oleh orang-orang yang menyerang kami! Dan sama seperti yang dipakai
sekarang oleh murid-murid di samping
kanan kirimu itu!"
"Tapi "
"Jangan banyak bacot
lagi, Resi Tua! Kau harus membalas nyawa adik seperguruanku saat ini
juga!" Lepas berkata begitu, Jaya Tunggal melesat menerjang dengan
mengibaskan kedua pedangnya ke arah Resi Gohkarna.
Resi tua yang tangguh dan
perkasa itu menghindari serangan tadi dengan sekali melompat.
Dan "Tep!" salah
sebuah pedang yang berada di tangan Jaya Tunggal kini berpindah tangan.
Membuat yang hadir mau tak mau
berdecak kagum. Tetapi bagi Jaya Tunggal ini merupakan suatu penghinaan. Dia
pun menerjang kembali. Kali ini beberapa orang murid padepokan Gohkarna yang
melayani.
Jaya Tunggal pun segera
mengimbanginya dengan permainan pedangnya yang kini tinggal sebuah.
Sambil menghindar dan membalas
menyerang dia berseru pada orang-orang gagah yang ada di sana, "Hei,
kalian semua! Mengapa hanya berpangku tangan saja, cepat kalian bunuh Resi
Gohkarna yang berubah itu!"
Orang-orang gagah yang hadir
di sana pun sadar, kalau kedatangan mereka hendak menuntut balas pada resi
Gohkarna. Sebentar saja beberapa orang pun sudah mengurung resi yang gagah
perkasa itu.
Mau tak mau di Padepokan
Gohkarna terjadilah pertarungan sengit para pendekar. Beberapa murid padepokan
itu pun bergerak membantu guru mereka.
Dan terdengar jerit kesakitan
yang mengundang wabah maut dari beberapa orang murid.
Tiba-tiba terdengar bentakan
keras yang mengandung tenaga dalam, "Hentikan semua!"
Serentak yang sedang bertarung
menghentikan gerakannya. Dan melihat sosok tubuh berjubah putih dengan wajah
yang arif dan bijaksana. Dia yang tadi membentak.
"Siapa kau?!" bentak
Jaya Tunggal.
Sosok itu tersenyum berwibawa
dan berkesan bijaksana. "Namaku mungkin tak banyak berarti, tak banyak
orang mengenalnya."
"Jangan banyak omong,
katakan siapa kau sebenarnya!" bentak Jaya Tunggal lagi.
"Aku hanya kebetulan
lewat jalan ini. Dan aku merasa ada sesuatu di sini, itulah sebabnya aku keluar
dari kediamanku di sebelah Barat sana..."
"Atau kau datang untuk
membunuh Resi Gohkarna?" bentak Jaya Tunggal lagi.
"Tidak, aku datang ingin
bertanya ada apa hingga kalian orang-orang gagah bertempur di sini?"
"Karena Resi Gohkarna
menantang kami, dan telah membunuh beberapa orang teman kami!"
Resi Gohkarna yang merasa
sedikit tertolong karena orang-orang itu menghentikan serangannya, memandang
sosok berjubah putih. Lalu bertanya, "Kisanak yang perkasa, siapa Kisanak
gerangan adanya? Akulah Resi Gohkarna yang memimpin padepokan di Gunung
Pengging ini..."
Sosok berjubah putih itu
tersenyum. "Aku? Ah... namaku tak berarti. Tapi kalau kalian memang
memerlukan namaku, baiklah. Namaku... Madewa Gumilang."
"Apa?!"
"Siapa?!"
"Madewa Gumilang?!"
"Pendekar Bayangan Sukma!"
Seruan-seruan kaget terdengar.
Sosok berjubah putih yang ternyata memang Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma itu tersenyum.
"Pendekar gagah budiman,
ternyata aku yang tua ini masih diberikan kesempatan oleh Gusti Allah untuk
berjumpa denganmu! Salam hormat dari kami, padepokan Gohkarna!" kata Resi
Gohkarna sambil menjura yang diikuti oleh murid-muridnya.
Begitu pula dengan beberapa
pendekar yang hadir.
"Aah, sikap kalian
seolah-olah aku ini dewa," kata Madewa dengan suara yang arif.
"Katakanlah... ada apa sebenarnya hingga kalian bertarung di sini?"
Menerangkanlah Resi Gohkarna
tentang keadaan yang menimpa padepokannya.
Madewa manggut-manggut.
Tapi tiba-tiba Jaya Tunggal
berseru membentak, "Hei, manusia sombong! Kalau kau memang benar Madewa
Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma, aku akan mengujimu!"
"Saudara... kita tidak
ada silang sengketa. Uji menguji bisa menimbulkan dendam bagi yang kalah."
"Sombong sekali ucapanmu!
Tahan serangan!" Jaya Tunggal pun menderu maju. Tetapi Made-
wa hanya mengibaskan tangan
kanannya. Mendadak saja tubuh Jaya Tunggal berbalik terpelanting ke belakang.
Orang-orang berdecak kagum.
Jaya Tunggal menjadi marah.
Dia berbuat lagi. Tetapi kembali Madewa menggerakkan tangan kanannya hingga
Jaya Tunggal terpelanting lagi.
"Hentikan, Saudara,"
kata Madewa. "Dan mengakulah di hadapan orang-orang gagah ini atas
kesalahanmu. Bertobatlah sebelum berlarut-larut."
Orang-orang gagah yang berada
di sekitar sana heran mendengar suara Madewa Gumilang. "Saudara Yang
agung... apa maksud Saudara
berkata begitu?" tanya
seorang kakek yang bernama Sambar Tiga.
"Hm... ketahuilah...
sebenarnya kalian para pendekar hanyalah diadu domba oleh orang-orang yang
hendak berkhianat pada kerajaan. Dan salah satunya adalah Saudara Jaya Tunggal
ini..."
"Bohong! Fitnah!
Dusta!" seru Jaya Tunggal "Tak
kusangka manusia dewa seperti kau menyebarkan fitnah sekeji itu!"
"Mengakulah,
Saudara..."
"Bangsat! Kau menyebarkan
fitnah yang sangat keji, Madewa!" sambil berseru begitu, Jaya Tunggal
kembali menderu menyerang. Kali ini dia tak mau tanggung lagi, dia mengibaskan
pedangnya dengan hebat.
Namun serangannya itu pun
harus kandas. Dengan menggunakan jurus Ular Meloloskan Diri dan Ular Mematuk
Katak, Jaya Tunggal harus terpelanting ke belakang.
"Tahan!" terdengar
seruan Madewa dan tubuh Jaya Tunggal yang hendak bangkit menjadi kaku.
"Aku mempunyai seorang saksi dalam kasus ini! Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya aku sudah mencium tentang para pemberontak yang akan menyerang
istana. Tetapi belum kuketahui siapa sesungguhnya otak semua ini!"
Madewa Gumilang mengangkat
tangan kanannya. Mendadak satu sosok tubuh melenting bersalto ke arahnya dan
hinggap di sampingnya dengan ringan. Sosok tubuh itu adalah Pratama, yang
pernah dijumpai Anggada, Lesmana dan Mantari atau Surajaga yang sedang dihajar
oleh para perampok.
"Ketahuilah
Saudara-saudaraku..." kata Madewa. "Pemuda ini bernama Pratama. Dia
adalah salah seorang murid dari Perguruan Topeng Hitam, perguruan yang aku
pimpin sesudah Paksi Uludara (baca: Keris Naga Merah), yang sedang mengikuti
petualangan yang dilakukan anak dan menantuku, Pranata Kumala dan Ambarwati.
Dia telah menyelidiki kejadian yang menimpa antara kalian, para pendekar. Dan
dia pun telah menyelidiki kejadian yang menimpa Keraton Selatan! Pratama,
ceritakanlah semuanya pada para pendekar di sini!"
Pemuda yang nampak lemah yang
ternyata seorang murid Perguruan Topeng Hitam menjura, "Salam hormat buat
para pendekar semua! Rupanya kita tengah diadu domba oleh satu gerombolan
pemberontak yang berkhianat pada Keraton Selatan. Dan salah seorang di antara
mereka adalah Jaya Tunggal. Juga yang telah menyebarkan surat tantangan ke
beberapa padepokan dan orangorang gagah."
"Saya juga melihat, ada
beberapa pasukan lengkap dengan senjatanya yang akan menyerbu kerajaan. Dugaan
saya, beberapa orang sakti dan tokoh persilatan kerajaan ikut terlibat. Hanya
sayang, siapa yang menjadi dalang dari semua perbuatan ini belum diketahui!
Untuk itu, atas nama Madewa Gumilang, atau guruku, kalian hendaknya saling
minta maaf dan menghilangkan silang sengketa di antara kalian! Terutama pada
perguruan atau padepokan Gohkarna!"
Mendengar penjelasan itu,
orang-orang gagah yang hendak menyerang dan menghancurkan padepokan Gohkarna
menjadi malu. Mereka pun meminta maaf pada Resi Gohkarna yang sudah tentu
memaafkan.
"Untunglah pertumpahan
darah ini berhasil kita selesaikan secara damai. Saudara Madewa yang agung,
kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Saudara. Bila saja Saudara
terlambat datang, mungkin darah akan mengalir di padepokan Gohkarna ini."
"Sebaiknya kalian segera
bersiap untuk membantu Keraton Selatan! Karena menurut perkiraanku, subuh nanti
para pemberontak akan menyerang istana! Ingat, pekerjaan mereka sangat rapi dan
tertutup."
"Tetapi tak ada salahnya
bila kalian menjagajaga di sana!"
"Tahan!" terdengar
seruan yang keras. Muncul seorang laki-laki berusia 60-an dengan gagah
mendekati mereka.
"Begawan Batista!"
seru Resi Gohkarna.
Orang yang ternyata memang
Begawan Batista itu mendekat. Dia menjura pada Madewa Gumilang.
"Aku yang sudah tua ini
ternyata masih diberi kesempatan untuk mengenal Madewa Gumilang atau Pendekar
Bayangan Sukma! Kusampaikan salam hormat dan kenalku kepada saudara Pendekar
Budiman!" kata Begawan Batista sambil menjura.
"Aku pun senang
berkenalan dengan Begawan Batista yang bijaksana!"
"Hmm... aku sudah
mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Saat ini pula aku minta maaf pada
padepokan Gohkarna yang telah menuduh kalian menjadi pengkhianat dan sombong,
mengingkari janji dan sumpah orang-orang dari golongan putih!"
"Hahaha... sudahlah,
Begawan Batista. Kita semua pun salah paham dalam masalah ini!"
"Sebaiknya kalian segera
bersiap!" kata Madewa Gumilang kemudian.
***
8
Tengah malam menjelang.
Lima sosok bayangan mendekati
Keraton Selatan.
"Saudara Pranata...
bagaimana bila dugaanmu salah?" terdengar salah seorang bertanya.
"Anggada... tak mungkin
aku berbuat kesalahan. Karena kupikir, pertarungan para pendekar yang akan
terjadi disebabkan oleh adu domba dari orang-orang yang hendak berkhianat pada
kerajaan Keraton Selatan. Mengingat mereka adalah orang-orang yang sangat
mengabdi dan setia pada kerajaan. Dan di saat mereka saling bertarung, para
pemberontak itu akan menggunakan kesempatan menyerang kerajaan. Dengan begitu
mereka akan aman dari orang-orang gagah yang patuh dan setia pada kerajaan Keraton Selatan.
Bukankah ini suatu akal yang sangat licik dan jitu?"
"Tapi... sepertinya tak
ada tanda-tanda pemberontakan bekal terjadi."
"Ingatkah kau bahwa saat
ini Raden Wilada calon pengganti Baginda raja tengah di penjara di bawah tanah?
Dan ingat pula, Raden yang baik hati itu mendadak saja terjerumus pada
perbuatan nista. Bukankah ini hal aneh?"
"Jadi maksudmu ada yang
hendak menggulingkan kerajaan dan merebut tahta kerajaan dari calon raja Raden
Wilada?"
"Benar."
"Kalau begitu... kau
menduga Raden Wijaya yang mengatur semua ini?"
"Benar. Hanya dialah
seorang yang bisa menggantikan kedudukan Raden Wilada bila dia sudah
tersingkir."
"Tapi... mengapa dia
masih mau memberontak, bukankah saingannya sudah disingkirkan?"
"Aku pun tidak tahu.
Hmm... sebaiknya kalian tetap di sini. Aku akan menyelinap ke keraton!"
"Hati-hati."
"Kakang..."
terdengar suara Ambarwati. "Tenang,
Rayi... tak ada yang perlu dice-
maskan," kata Pranata
Kumala yang dapat melihat sinar mata cemas dari kedua mata istrinya. Sinar
bulan di atas menerangi semua itu dan menjelaskannya.
"Hati-hati,
Kakang..." Pranata mengangguk. Lalu hati-hati dia menyelinap di tembok
keraton. Dan dengan sekali salto dia sudah berada di dalam keraton. Matanya
awas memperhatikan sekelilingnya. Suasana Keraton nampak aman-aman saja.
Beberapa orang prajurit tengah menjaga keraton tanpa mengantuk sedikit pun.
Tak ada tanda-tanda yang
mencurigakan.
Tetapi tiba-tiba matanya
menangkap sosok tubuh yang menyelinap ke belakang keraton. Dan memasuki
Tumenggungan. Lalu tubuh itu menyelinap.
Pranata menjadi penasaran dan
rasa ingin tahunya timbul. Dia pun mengikuti sosok tubuh itu yang kini tengah
melompat masuk dari jendela sebuah kamar yang terang.
Pranata sempat melihat sosok
tubuh yang membuka jendela itu. Diakah Raden Wijaya? Mengingat dari pakaian
yang dikenakannya mirip seorang pangeran?
Hati-hati Pranata mendekati
kamar itu. Dan menguping pembicaraan dari luar.
"Bagaimana, Paman
Patih?"
"Semua beres,
Raden," kata sosok yang baru datang itu yang ternyata Patih Coro Ijo.
"Bisa kita melakukan
penyerangan subuh nanti?"
"Bisa, Raden. Dalam
kesempatan penyerangan ini, sasaran kita adalah Ki Condro Seta atau si Tangan
Beracun. Agaknya hanya dia yang belum terpengaruh, Raden. Dia sungguh-sungguh
manusia yang bersih." "Yang lain?"
"Beres, Raden. Setelah Ki
Condro Seta berhasil kami lumpuhkan, barulah Raden dan pasukan Raden menyerang
kami. Seolah-olah Raden mengusir kami. Tentu saja kami akan mengalah. Dengan
begitu nama Raden sebagai calon pengganti raja setelah Raden Wilada dipenjara
akan semakin disanjung rakyat. Dan nama Raden akan tetap bersih."
"Bagus. Hahaha...
rencanamu matang juga Paman Patih. Sebentar lagi Nimas Priatsih akan muncul ke sini..."
Mendengar kata-kata itu,
Pranata langsung pergi dari situ. Dia tak mau dipergoki. Hmmm... berarti Raden
Wijayalah yang menjalankan siasat adu
domba itu.
Sebaiknya aku harus
membebaskan Raden Wilada lebih dulu. Lalu Pranata Kumala kembali kepada
teman-temannya dan istrinya. Dia pun menceritakan apa yang telah didengarnya
tadi.
"Kalian tetap waspada di
sini. Aku akan membebaskan dulu Raden Wilada." kata Pranata Kumala.
"Ingat, subuh nanti penyerangan itu dilakukan."
Sehabis berkata begitu,
Pranata pun melesat kembali ke dalam keraton. Dia menyelinap ke dalam. Beberapa
penjaga yang tengah menjaga ditotoknya hingga kaku.
Lalu dia menuju tangga bawah
tanah. Ada dua orang penjaga di sana.
Namun keduanya pun tak bisa
berbuat banyak. Mereka pun ditotoknya. Lalu dia mencari penjara Raden Wilada.
Setelah ditemukannya dia
berbisik. "Raden...
Raden..."
Raden Wilada yang tengah
menyesali dirinya karena mau dibujuk oleh Rastili alias Nimas Priatsih ke
lembah nista, terkejut karena ada yang memanggilnya.
"Siapa yang
memanggilku?" tanyanya.
"Sttt! Jangan berisik,
Raden. Nama saya Pranata Kumala."
"Hmmm... mau apa kau ke
sini?"
"Tenang, Raden. Saya
datang untuk membebaskan Raden."
"Hei, apa maksudmu?"
"Keadaan Keraton dalam
bahaya, Raden." "Aku tidak mengerti apa maksudmu?"
Lalu Pranata menceritakan
rencana keji dari Raden Wijaya. Wilada menggeram.
"Wijaya busuk! Rupanya
dia menyebabkan aku menjadi begini! Pasti gadis yang mengaku bernama Rastili
itu kaki tangannya!"
"Benar, Raden... kita
tidak punya banyak waktu! Cepatlah!"
Lalu Raden Wilada keluar dari
penjara yang telah dibuka Pranata dengan kunci yang diambilnya dari penjaga
tadi.
"Raden... sebaiknya kita
ke kamar baginda raja.
Raja harus segera
disingkirkan." "Tapi ayah masih marah padaku."
"Saya yang akan
menjelaskan semuanya."
Tentu saja baginda raja
terkejut ketika Raden Wilada dan orang yang tak dikenalnya masuk ke
peraduannya. Tetapi setelah dijelaskan oleh Pranata Kumala, dia pun mengerti.
Sejak kejadian yang menimpa
Raden Wilada, sebenarnya raja sangsi mengapa Raden Wilada berbuat seperti itu.
Lalu dia pun membangunkan istrinya.
Setelah itu Pranata membawa
ketiganya keluar dari keraton. Dan menyuruh Ambarwati dan Mantari
menyembunyikan mereka. Mantari kini sudah kembali pada aslinya membuka
samarannya sebagai Surajaga.
Tepat subuh menjelang,
terdengarlah pekik dan jeritan ke arah keraton. Derap langkah kuda menerjang
pintu gerbang keraton. Para penjaga berhamburan keluar dan menahan serangan
para pemberontak.
Seketika di Keraton istana
terjadi keributan dan banjir darah.
Ki Condro Seta alias si Tangan
Beracun melompat dari tempat tidurnya yang terletak di pojok Tumenggungan. Dia
pun menerjang keluar dan terkejut melihat pertempuran sedang terjadi.
Ki Condro Seta tak mau
berpikir panjang lagi. Dia pun memasuki kancah pertempuran. Patih Condro Ijo
yang menyamar dengan menggunakan sebuah topeng segera menyambutnya.
Terjadilah pertempuran yang
sengit antara Ki Condro Seta dan Patih Coro Ijo.
Di tempat lain, Nimas Priatsih
yang juga mengenakan sebuah topeng mengamuk menyabetkan pedangnya. Jeritan
terdengar. Darah pun berhamburan. Sejumlah pengawal istana terdesak hebat
karena jumlah pemberontak yang sangat banyak. Tetapi mereka berusaha bertahan
sekuat tenaga.
Namun semua itu sia-sia
belaka.
Ki Condro Seta sendiri pun
sudah beberapa kali kena sambaran pedang Coro Ijo yang kin dibantu oleh
beberapa anak buahnya.
Tiba-tiba masuk tiga orang
laki-laki ke kancah pertempuran itu yang langsung mengobrak-abrik barisan
pemberontak. Patih Coro Ijo dan Nimas Priatsih terkejut. Siapa pula mereka ini?
Sementara semangat Ki Condro
Seta muncul kembali. Dia tidak tahu siapa ketiga pendatang itu, tetapi agaknya
ketiga pendatang itu berpihak padanya melihat mereka menghantam para
pemberontak.
Pukulan tangan beracunnya pun
berkelebat lagi. Tiga orang pemberontak menjerit dan ambruk dengan tubuh
membiru.
Melihat hal itu, Patih Coro
Ijo menjadi murka. Dia menerjang hebat Ki Condro Seta yang menjadi kewalahan
dan akhirnya ambruk. Mati dengan leher hampir putus tersabet pedang Patih Coro
Ijo. Lalu Patih Coro Ijo segera menyambarkan pedangnya kepada tiga orang
pendatang itu. Begitu pula dengan Nimas Priatsih yang datang membantu.
Tiga orang yang datang itu tak
lain Pranata Kumala, Anggada dan Lesmana. Mereka pun membalas serangan-serangan
yang datang dengan gesit dan tangkas.
Masing-masing sudah
mengeluarkan jurusnya. Saling serang. Saling bertahan.
Suara-suara jerit kematian
masih terdengar. Sampai suatu ketika pedang Patih Coro Ijo me-
nyambar bahu Lesmana.
"Mundur kau, Lesmana!"
seru Anggada sambil berguling dan menggedor maju ke arah Patih Coro Ijo.
Patih Coro Ijo pun membalas
dengan hebat.
Sementara Pranata Kumala yang
berhadapan dengan Nimas Priatsih terus bertempur dengan hebat. Ternyata Nimas
Priatsih begitu tangguh. Serangan-serangan Pranata Kumala berhasil
dipatahkannya.
Bahkan berkali-kali dia
membalas.
"Terimalah ajalmu,
Manusia Sombong! Makanya jangan ikut campur dalam urusan ini!" seru Nimas
Priatsih sambil mengirimkan pukulannya.
"Manusia busuk! Nyatanya kau
yang ditunggu semalam oleh Raden Wijaya!" balas Pranata Kumala sambil
bersalto menghindar.
Nimas Priatsih menjadi kaget.
Berarti ada orang yang mengetahui semua rencana mereka. Kalau pun pasukan Raden
Wijaya masuk dengan bala pasukannya seolah-olah mengusir para pemberontak, akan
sia-sia belaka.
Berarti rencana ini sudah
gagal, sudah dicium orang.
Hal ini membuat Nimas Priatsih
menjadi marah.
Dia mempergencar serangannya.
Kali ini Pranata pun sudah
mengeluarkan jurus pukulan sinar merahnya yang mampu membuat Nimas Priatsih
tunggang-langgang menghindari serangan itu.
"Setan!" rutuknya.
"Kau yang setan,
Perempuan busuk!"
Tiba-tiba terdengar derap
langkah kuda memasuki tempat itu. Disusul dengan suara, "Hei, para
pemberontak! Menyerahlah kalian!"
Para pengawal istana gembira
begitu melihat Raden Wijaya dan pasukannya datang membantu.
"Raden!" "Bantu
kami!"
"Pemberontak-pemberontak
ini begitu banyak jumlahnya!"
Seruan-seruan penuh semangat
membahana. "Tenang, Para pengawal! Ayo, kita singkirkan
para pemberontak ini!"
seru Raden Wijaya sambil mengibaskan pedangnya ke sana kemari.
Nimas Priatsih yang merasa
sia-sia sandiwara Raden Wijaya bersalto mendekatinya.
"Raden... tidak usah
bersandiwara lagi! Rencana kita sudah diketahui orang!"
"Apa maksudmu,
Nimas?"
"Hahaha... jangan
berpura-pura lagi, Raden Wijaya yang berhati busuk!" terdengar tawa
Pranata Kumala di dekat mereka. "Hentikan semua sandiwaramu ini! Dan
menyerahkan diri!"
Raden Wijaya yang segera
tanggap apa yang telah terjadi, menggeram marah.
"Manusia lancang! Kau
harus mampus!" serunya sambil menggebrak kudanya ke arah Pranata.
Pranata cepat menghindar
dengan jalan bersal-
to. "Raden... biar aku
yang hadapi manusia lancang itu!" berseru Nimas Priatsih sambil melompat.
"Sebaiknya kau mencari raja dan Wilada! Bunuhlah mereka!"
Raden Wijaya berlari ke kamar
ayahnya. Tetapi kamar itu kosong. Begitu pula dengan kamar ibunya. Kosong
melompong.
Raden Wijaya menggeram.
Lalu dia berlari ke penjara
bawah tanah. Begitu pula adanya, penjara tempat Raden Wilada dihukum kosong
melompong.
"Bangsat! Berarti mereka
sudah diselamatkan orang-orang itu! Laknat! Kalian harus mampus!"
Raden Wijaya pun melesat
keluar lagi. Dia memerintahkan pasukannya untuk membunuh ketiga pendatang itu.
Sudah tentu pasukannya dan penjaga istana yang tidak tahu apa yang sesungguhnya
telah terjadi keheranan.
"Bagaimana, Raden?"
"Laksanakan perintahku cepat!"
Dan serentak pasukan itu pun
mengurung Pranata Kumala, Anggada Dan Lesmana. Yang harus mempertahankan
selembar nyawa mereka secara mati-matian.
Ketiganya pun sudah merebut
senjata dari tangan para prajurit dan menggunakannya untuk membela diri.
Tiba-tiba Pranata Kumala
bersalto menghindar, sambil mendekati Anggada dan Lesmana.
Lalu dia berbisik.
"Kerahkan tenaga dalam kalian dan alirkan pada kedua telinga kalian. Bila
nanti kalian merasakan sakit yang teramat sangat, lebih baik kalian pergi
meninggalkan tempat ini. Mengerti?!"
Walaupun tidak sepenuhnya
mengerti, tetapi keduanya mengangguk. Lalu mereka menyalurkan tengah dalam
mereka ke telinga.
Sementara Pranata Kumala
menghindari lagi serbuan dari Nimas Priatsih. Sambil melenting di udara dia
mencabut sesuatu dari balik bajunya.
Itu Seruling Naga! Seruling
sakti warisan dari ayahnya, Madewa Gumilang. Sedangkan Madewa sendiri
mendapatkan dari gurunya Ki Rengsersari (baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
"Senjata apa yang kau
keluarkan itu manusia lancang!" seru Nimas Priatsih.
Pranata langsung bersalto dan
ketika hinggap di tanah sudah dalam posisi bersila. Dia mengeluarkan hawa
murninya. Menenangkan pikiran dan dirinya.
Dan perlahan-lahan dia mulai
meniup serulingnya.
Terdengarlah alunan
perlahan-lahan. Merdu dan lembut. Namun
lambat laun terasa menyentak di telinga. Mendadak saja orang-orang yang berada
di sana, bagai diserang oleh ribuan tawon yang mendengung di telinga.
Menyakitkan.
Nimas Priatsih, Patih Coro Ijo
dan Raden Wijaya segera mengerahkan tenaga dalam mereka yang dialiri ke telinga
untuk menutup jalan pendengaran dari suara seruling itu.
Sedangkan pemandangan lain pun
terlihat. Beberapa orang yang mempunyai tenaga dalam paspasan sudah tergeletak
kelojotan dengan telinga berdarah.
Lalu meregang nyawa.
Anggada dan Lesmana sendiri
pun telah menyumbat telinga mereka dengan tenaga dalam.
Suara seruling yang terdengar
merdu itu malah menyakitkan di telinga.
Itulah kesaktian dari Seruling
Naga yang di tengah tubuh seruling itu ada gambar dua ekor naga sedang
bertarung.
Perlahan-lahan pemandangan
mengerikan pun terlihat. Satu per satu ambruk dengan telinga berdarah sebelum
meregang nyawa.
Tiba-tiba terdengar bentakan
keras yang mengandung tenaga dalam, "Pranata! Hentikan tiupan seruling
itu!"
Seruling Naga yang dipegang
oleh Pranata terlepas, menandakan betapa tingginya tenaga dalam orang yang membentak
tadi.
Pranata pun menjadi siaga.
Di hadapannya kini berdiri
sosok tubuh mengenakan jubah putih.
"Ayah!"
Madewa Gumilang yang membentak
tadi tersenyum, "Bila tak kau hentikan alunan serulingmu, betapa banyaknya
nyawa orang yang tak berdosa harus putus..."
"Maafkan aku, ayah...
keadaanku sudah sangat terdesak. Jumlah mereka sangat banyak, Ayah..."
"Ya, aku pun sudah tahu
apa yang telah terjadi di sini!"
Lalu muncullah beberapa
orang-orang gagah ke tempat itu. Mereka sangat terkejut menyaksikan pemandangan
berdarah yang terpampang di hadapan mereka.
Tiba-tiba Begawan Batista
berseru, "Baginda raja!"
Beberapa orang hendak menyerbu
masuk ke istana, tetapi Anggada berseru, "Tahan, Guru!"
"Kau, Anggada?
Lesmana!" seru Begawan Batista sambil melongok mencari Mantari. "Di
mana adik seperguruan kalian?!"
"Dia berada di satu
tempat yang aman, Guru." Begawan Batista menghela nafas lega. "Bagai-
mana keadaan Baginda
Raja?"
"Beliau dalam keadaan
sehat walafiat di satu tempat yang sangat tersembunyi. Dia bersama istrinya,
Raden Wilada, Rayi Mantari, dan Mbakyu Ambarwati."
"Siapa Ambarwati?!"
"Beliau adalah menantuku,
Begawan Batista," kata Madewa Gumilang.
Begawan Batista menoleh.
"Jadi... yang meniup seruling tadi anakmu? Pranata Kumala? Murid dari Kakek
sakti Ki Ageng Jayasih?"
"Benar, Begawan..."
"Hei, lihat!"
terdengar seruan dari Pranata Kumala. Nampaklah Nimas Priatsih, Patih Coro Ijo
dan Raden Wijaya bangkit hendak melarikan diri.
Mereka merasa sudah tak
berguna lagi berada di sini. Mereka juga merasa tak akan mungkin bisa
meneruskan rencana keji mereka. Apalagi sekarang betapa banyaknya pendekar yang
berdatangan, yang mereka adu domba untuk saling bersilang sengketa.
Itulah sebabnya mereka mencoba
melarikan di-
ri.
Tetapi langkah mereka tertahan,
karena bebe-
rapa pendekar yang merasa
geram sudah bersalto mengurung ketiganya.
"Menyerahlah
kalian!"
"Hhh! Sebelum tubuh
berkalang tanah, kami tak akan
menyerah!" seru Nimas Priatsih sambil menyerang.
Terjadilah pertempuran
kembali. Patih Coro Ijo. Nimas Priatsih dan Raden Wijaya yang tak kalau mereka
menyerah, ditangkap dan diadili.
Madewa berseru, "Tangkap
hidup-hidup! Mereka harus merasakan hukuman terlebih dahulu sebelum mati!"
Karena para pendekar itu
bekerja sama, maka dengan cepat ketiga orang itu berhasil diringkus dan diikat.
Tiba-tiba muncul sosok tubuh
pendek dengan kedua pergelangan tangan memakai gelang bahar.
"Ya, ya... hehe... aku
terlambat, terlambat... hehehe... pestanya sudah selesai... hehehe
selesai..."
Orang-orang menoleh pada sosok
bundar yang baru datang itu.
Begawan Batista memanggil,
"Ki Condromuko..." "Ya, ya... aku... aku Ki Condromuko... Oh,
kau rupanya, Begawan. Begawan Batista...
hehehe... ya, ya... aku tidak bisa menemui muridmu yang bernama Mantari...
heheh... ya, ya... Mantari... maafkan aku... hehehe... Ki Condromuko minta
maaf... Ya ya... minta
maaf..." "Tidak apa-apa. Kau tetap sahabatku yang sejati. Kau telah
melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengikuti ketiga murid
Padepokanku... Tidak apa-apa..."
"Benar... hehehe... benar
tidak apa-apa... hehe...
Ya, ya... tidak ketemu...
hehehe..."
Laki-laki yang setiap bicara
selalu terkekeh itu adalah Ki Condromuko yang pernah bertemu dengan Mantari
saat gadis itu sedang mandi. Ternyata dia adalah sahabat Begawan Batista yang
ditugaskan sang Begawan untuk mengikuti jejak ketiga muridnya.
Tetapi agaknya Ki Condromuko
tidak mengenal mereka.
Tiba-tiba laki-laki pendek
bundar itu tertekun pada Madewa Gumilang. Lalu dia terkekeh lagi seperti
biasanya.
"Hehehe... bukankah kau
Madewa Gumilang... ya, ya... Madewa Gumilang... hehehe... Pendekar Bayangan
Sukma... Hehehe... apa kabar Perguruan Topeng Hitam... ya, ya... Perguruan
Topeng Hitam?"
"Salam kenal dariku, Ki
Condromuko... Kabar Perguruan Topeng Hitam dalam keadaan baik," kata
Madewa Gumilang.
"Hehehe... tak
kusangka... hehehe... ya, ya... tak kusangka... aku akan bertemu dengan kau...
hehehe... ya, ya... ini kabar bagus... hehehe... ini hari bagus..."
Dari arah gerbang Keraton
muncullah raja bersama yang lainnya.
Serentak orang-orang di sana
menjura hormat pada Raja. Baginda raja cuma tersenyum, lalu melirik Raden
Wijaya, Patih Coro Ijo dan Nimas Priatsih yang menunduk.
Lalu raja melangkah mendekati
Raden Wijaya. "Anak tak tahu diuntung! Kau telah berbuat se-
suatu yang keji! Pengawal,
mulai besok umumkan pada seluruh rakyat, bahwa Raden Wilada tidak bersalah. Dia
tetap akan menjadi calon penggantiku! Dan umumkan pula pada rakyat, bahwa Raden
Wijaya akan dihukum seumur hidup! Begitu pula dengan Patih Coro Ijo! Sedangkan
wanita iblis ini, akan dihukum mati!" seru Raja murka.
Lalu berkata pada orang-orang
yang hadir, "Terima kasih atas bantuan kalian semua. Ternyata kalian masih
tetap setia kepadaku! Anak muda..." panggilnya pada Pranata Kumala.
"Terima kasih atas pertolonganmu... aku akan mengangkatmu menjadi Panglima
di Keraton Selatan ini..."
"Maafkan hamba... baginda
Raja. Bukan maksud hamba ingin menolak, tetapi hamba dan istri hamba,
Ambarwati... akan meneruskan petualangan hamba..."
Raja mendesah. Terlihat
kekecewaan di matanya. Tetapi dia tak bisa menolak keinginan Pranata Kumala dan
istrinya untuk meneruskan petualangannya.
"Baiklah kalau begitu.
Khusus kepada Pendekar Bayangan Sukma... rasa terima kasihku tak terhingga
padamu..."
"Baginda..." kata
Madewa dengan suara yang arif. "Sudah sepatutnya kita memerangi kejahatan,
bukan? Nah, aku permisi!" Sesudah berkata begitu, tubuh Madewa menghilang
dari pandangan.
Orang-orang berdecak kagum.
"Dia memang manusia dewa
yang baik dan budiman," kata Begawan Batista dan Resi Gohkarna
berbarengan.
Sementara Pranata Kumala dan
istrinya, Ambarwati pun pamit mundur untuk meneruskan perjalanan dan
petualangan mereka yang mereka tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
Yang pasti, mereka kagum pada
ayah mereka, Madewa Gumilang yang bisa melihat kejadiankejadian yang berada
jauh darinya.
Dan tanpa setahu mereka,
Pratama, salah seorang murid Perguruan Topeng Hitam terus membuntuti keduanya.
TAMAT
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 26 Pertarungan Para Pendekar"
Post a Comment