Hantu Tangan Empat WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : HANTU TANGAN EMPAT / PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : HANTU TANGAN EMPAT / PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM
1
DI BALIK curahan riam Air Lajatuh tampak dua sosok mendekam tak bergerak. Mereka telah berada di tempat itu sebelum sang surya muncul menerangi bumi Latanahsilam. Dari perilaku keduanya sanggup diduga kalau mereka tengah menunggu sesuatu. Di langit awan pagi berarak biru. Dari arah timur serombongan burung melayang ke jurusan barat. Sosok di sebelah kanan mengusap wajahnya. Orang ini bertubuh besar kekar. Di pertengahan keningnya menempel sebuah benda ibarat beling sebesar kuku ibu jari kaki.“Lagandrung , semenjak dini hari kita berada di sini. Saat ini matahari sudah mulai tinggi. Orang yang kita tunggu belum juga muncul. Apa kamu yakin ia akan tiba ke sini?”
“Wahai adikku Lagandring! Jangan kamu ragukan apa yang kuketahui dan kukerjakan. Sejak puluhan tahun , setiap pertengahan bulan ganjil Hantu Tangan Empat selalu tiba ke tempat ini untuk membersihkan diri , berlangir bersiram air bunga. Sabarkan hatimu , kita tunggu saja. Dia niscaya datang.” menjawab orang di samping kiri Lagandring. Muka dan sosok tubuhnya sangat ibarat Lagandrung lantaran mereka berdua memang yaitu saudara kembar. Satu-satunya tanda yang membedakan sang kakak dari adiknya ialah kalau di kening Lagandring menempel beling berwarna merah maka di kening Lagandrung menempel beling berwarna putih.
“Yang menciptakan saya tidak sabar yaitu hadiah yang menunggu kita di Istana Kebahagiaan. Si Luhsariam itu! Wahai! Wajahnya memang tidak seberapa cantik. Tapi belum pernah saya melihat gadis mempunyai tubuh padat dan kencang mirip dia. Sewaktu penguasa Istana Kebahagiaan menyuruhku mengintai gadis itu ketika ia sedang mandi , rasanya mau kuterkam ia dikala itu juga!”
Lagandrung tertawa mengekeh mendengar kata-kata adiknya itu. “Kalau urusan kita selesai dan kita membawa kepala orang itu ke hadapan penguasa Istana Kebahagiaan , jangankan satu Luhsariam , sepuluh gadis mirip ia bakal bisa kamu dapatkan! Belakangan ini sang penguasa banyak gembiranya dan murah hati. Sebelum kita pergi saya sempat melihat sekitar selusin wanita bagus , kebanyakan masih gadis-gadis diturunkan dari sebuah kereta besar di pintu gerbang Istana…”
Lagandring menyeringai dan basahi bibirnya dengan ujung lidah. “Nasib kita memang sedang baik. Diangkat penguasa Istana Kebahagiaan menjadi orang-orang kepercayaannya. Aku…”
Ucapan Lagandring terputus ketika ia melihat kakaknya menciptakan isyarat dengan gerakan tangan kanan. “Aku mendengar bunyi sesuatu…”
Lagandring pasang telinganya. Matanya menatap menembus curahan air terjun. “Aku belum melihat apaapa. Tapi telingaku memang menangkap sesuatu. Suara orang bersiul-siul. Agaknya orang itu bersiul sambil bergerak menuju ke arah riam ini. Wahai! Apakah orang yang kita tunggu punya kebiasaan bersiul-siul mirip itu?”
Lagandrung pasang telinganya baik-baik kemudian gelengkan kepala. “Siulan itu bukan siulan biasa…”
“Membawakan nyanyian tidak karuan nada iramanya ,” kata Lagandring.
“Bukan itu yang saya maksudkan. Siulan itu mengandung tenaga dalam tinggi. Apa kamu tidak mencicipi gendang-gendang telingamu bergetar dan semilir angin mirip berubah arah?”
“Kau benar kakakku. Telingaku mulai terasa bergetar. Malah ada rasa sakit…” kata Lagandring pula kemudian kembali ia memandang ke depan menembus curahan riam Air Lajatuh.
“Siapapun orangnya , ia bukan orang yang kita tunggu!” berucap Lagandrung.
“Lihat! Ada orang berkelebat di atas watu sana!”
Lagandring berseru sambil menunjuk ke arah deretan batubatu yang mengelilingi telaga besar di depan air terjun. Sang kakak juga sudah melihat sosok orang yang melayang dan tegak di atas batu. Orang itu berdiri sambil bertolak pinggang. Dia memandang berkeliling sembari bersiul-siul. Rambutnya yang gondrong melambai-lambai tertiup angin.
“Apa kataku!” ujar Lagandrung. “Yang tiba memang bukan orang yang kita tunggu. Orang itu bukan Hantu Tangan Empat!”
“Mungkin ia sengaja muncul dengan merubah wajah?” ujar Lagandring.
“Aku tahu wajah orisinil Hantu Tangan Empat. Menurut penguasa Istana Kebahagiaan , Hantu Tangan Empat memang bisa merubah wajah , tapi terang bukan wajah mirip orang yang berdiri di atas watu itu. Orang itu bertubuh kekar. Masih muda dan berambut gondrong. Kau lihat sikapnya yang aneh. Sambil bersiul ia cengar-cengir dan sesekali menggaruk kepala…”
“Cuma seorang cowok tolol. Mengapa ambil peduli!” kata Lagandring.
“Kehadiran cowok itu bisa merusak urusan kita! Adikku Lagandring lekas kamu usir cowok itu dari tempat ini!”
Walau agak malas-malasan tapi Lagandring lakukan juga perintah kakaknya itu. Sekali lompat saja ia menembus air terjun. Demikian cepat gerakannya hingga ia tidak hingga berair kuyup oleh jatuhan air. Sesaat kemudian ia sudah berada empat langkah di hadapan cowok berambut gondrong. Belum sempat membentak , cowok di hadapan Lagandring malah menegur lebih dulu.
“Astaga! Kukira tidak ada orang di sekitar sini. Sahabat yang jidatnya ada beling warna merah , apakah kamu penghuni di tempat riam ini?”
“Pertama!” Lagandring membentak yang menciptakan cowok berambut gondrong pencongkan verbal keheranan.
Dalam hati Wiro memaki. “Sialan! Apa pertama yang dimaksudkan makhluk berkaca di jidatnya ini!”
“Pertama! Kita tidak bersahabat…!”
“Oh , begitu?! Tidak akrab boleh-boleh saja. Aku tidak rugi , kamu juga mungkin tidak untung!”
“Kedua!”
“Kedua! Huh…! Apa yang kedua?!” si gondrong kembali pencongkan mulutnya dan garuk-garuk kepala.
“Kedua! Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Walah! Aku gres saja hingga di sini! Sudah disuruh pergi! Apa-apaan ini! Memangnya tempat ini termasuk telaga dan riam itu milikmu?”
“Aku menghitung hingga tiga! Jika pada hitungan ke tiga kamu tidak angkat kaki berarti kamu minta mati!” hardik Lagandring.
Pemuda berambut gondrong tertawa gelak-gelak. “Kau jago berhitung rupanya! Coba ini berapa!” Si gondrong kemudian acungkan satu jari tangan kanannya.
“Satu!” teriak Lagandring. Tentu saja ia berteriak bukan menyahuti pertanyaan si cowok tapi sebagai memberi tanda bahwa ia sudah mulai dengan hitungan pertama.
“Pintar!” memuji cowok di hadapan Lagandring sambil senyum-senyum. “Sekarang ini berapa!” Lalu cowok itu acungkan dua jari tangan kanan.
“Dua!” berseru Lagandring. Mukanya mulai kaku mengetam. Kaca merah di keningnya memancarkan sinar aneh.
“Hebat!” seru cowok gondrong. “Nah , kalau ini berapa?!” Dia kini acungkan tiga jari tangan kanan.
“Tiga!” teriak Lagandring.
Kembali si gondrong tertawa gelak-gelak sambil tepuktepuk tangan. Tapi tawanya eksklusif lenyap ketika dengan didahului bunyi menggembor murka tiba-tiba Lagandring menerjangnya dengan satu serangan dahsyat. Tangan kanan memukul ke dada , kaki kanan ikut menyusul menendang ke bawah perut. Belum lagi dua serangan itu melesat setengah jalan , anginnya saja sudah menghantam laksana dorongan dua watu besar!
Melihat datangnya dua serangan ganas itu tanpa ayal si cowok cepat melompat ke udara. Lagandring hingga di atas watu sempurna di bawah lawan yang diserang. Begitu dua serangannya gagal , ia segera menghantam ke atas. Wussss!
Angin sedahsyat angin ribut prahara melabrak. Pemuda gondrong berseru keras. Dia berjumpalitan di udara. Lalu turun dan berusaha jejakkan dua kaki di atas watu di tepian telaga. Dia tidak menduga watu yang satu itu demikian licinnya lantaran terselimut lumut. Walau ia berusaha imbangi diri namun tak urung tubuhnya limbung dan mencebur masuk ke dalam air telaga. Untungnya telaga itu hanya sedalam dada. Dengan cepat si cowok bergerak menuju tepian. Lagandring tidak memberi kesempatan. Kepalanya digoyangkan. Selarik sinar merah menyembur keluar dari beling merah yang menempel di keningnya.
Melihat datangnya sambaran sinar merah yang niscaya sangat berbahaya cowok rambut gondrong hantamkan kaki kanannya ke dasar telaga. Tubuhnya melesat miring , jatuh tiga tombak dari tempatnya semula. Walau ia bisa menyelamatkan diri , namun dikala itu terjadilah satu hal yang luar biasa. Sinar merah yang gagal menghantam si cowok , mendarat di permukaan telaga. Air telaga serta merta bermetamorfosis merah dan bergejolak mengeluarkan bunyi mirip mendidih. Si cowok berteriak kaget ketika mencicipi air telaga yang tadinya sejuk kini berubah panas luar biasa. Sebelum sekujur tubuhnya matang direbus , cowok ini segera melompat ke cuilan tepi telaga yang terdekat.
Lagandring tidak tinggal diam. Dia bertindak cepat. Baru saja si gondrong menjejakkan kaki di tepi telaga dengan sekujur tubuh mengepulkan asap panas , Lagandring telah berada di hadapannya. Lelaki ini goyangkan kepalanya. Dan , wussss! Kembali sinar merah melesat ganas dari beling merah yang menempel di keningnya!
“Kurang ajar! Jahanam satu ini benar-benar tidak memberi kesempatan padaku!” memaki si gondrong. Dua lututnya ditekuk. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan. Lagandring tidak sempat memperhatikan bagaimana tangan lawannya kini sebatas siku ke bawah bermetamorfosis putih berkilauan laksana perak hingga ke ujungujung kuku! Lagandring gres sadar dan berteriak keras ketika melihat satu cahaya putih disertai hawa panas luar biasa berkiblat menghantam ke arahnya!
Satu letusan dahsyat menggema di tepi telaga riam Air Lajatuh. Tepian telaga sepanjang sepuluh tombak runtuh. Air telaga muncrat tinggi ke atas. Lagandring terpental empat tombak , jatuh terhenyak di dekat sebuah watu besar kemudian muntahkan darah segar. Sebagian pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu hangus mengepulkan asap. Tubuhnya di sisi kanan termasuk tangan kanan bergetar dan berubah kemerah-merahan mirip terpanggang. Di cuilan lain cowok berambut gondrong terguling-guling di tanah. Walau ia berhasil bangun namun nampak lututnya agak goyah dan mukanya pucat tak berdarah. Sepasang matanya memandang mendelik pada Lagandring.
“Untung tubuhku sudah berubah besar begini. Kalau masih cebol mirip dulu , bentrokan pukulan sakti tadi niscaya akan membuatku konyol!” Si cowok membatin. Dari kata-kata yang diucapkan dalam hati ini serta melihat kepada ciri-cirinya sudah bisa diduga si cowok bukan lain yaitu pahlawan kita , murid Eyang Sinto Gendeng Wiro Sableng yang jalan hidupnya telah membawa dirinya terpesat ke Negeri Latanahsilam , satu negeri 1200 tahun silam.
Tiba-tiba Lagandring berdiri. Matanya menyala laksana api. Tangan kanannya bergerak mencabut beling merah yang ada di keningnya. Mulutnya berkomat-kamit mirip membaca mantera. Kaca merah yang ada dalam genggamannya mengepulkan asap. Di dikala yang sama tubuhnya bermetamorfosis besar dan tinggi.
“Astaga! Dia bermetamorfosis dua kali lebih besar!”
Pendekar 212 tercekat. Kalau tadi ia masih mengerahkan setengah saja dari tenaga dalamnya , kini ia alirkan seluruh hawa sakti yang ada dalam tubuhnya ke tangan kanan. “Akan kuhantam selangkangannya! Masakan tidak amblas!” kata Wiro dalam hati. Tangan kanannya segera diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada dikala ia siap menghantam tiba-tiba dari balik riam berkelebat sesosok tubuh. Menyusul bunyi orang berseru.
“Lagandring! Tinggalkan cowok itu! Orang yang kita tunggu sudah datang!”
***
2
LAGANDRING menyeringai buruk. “Kau masih untung anak muda! Kalau tidak ada urusan lain yang lebih penting niscaya sudah kupanggang kamu dengan Sinar Darah Merah!”Wiro Sableng menyeringai kemudian menjawab. “Sebenarnya kamu yang lebih beruntung! Tadinya saya sudah siap merubah perabotan di bawah perutmu menjadi lontong busuk dan telor rebus busuk!”
“Pemuda jahanam! Kali ini kamu kulepas hidup-hidup! Tapi kalau sekali lagi kamu berani unjukkan diri dan bertingkah di hadapanku , wahai… , kupanggang habis tubuhmu mulai dari kepala hingga kaki!”
Lagandring batuk-batuk kemudian meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah tanda bentrokan pukulan sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tadi telah mengakibatkan dirinya terluka di dalam. Kaca merah yang tadi ditanggalkannya kini dipasangnya kembali ke keningnya. Saat itu juga tubuhnya kembali menjadi sebesar dan setinggi semula.
Diam-diam Wiro Sableng menarik nafas lega juga walau bergotong-royong ia tidak merasa takut untuk meneruskan pertarungan. “Ilmunya aneh. Dia bisa merubah diri menjadi dua kali lebih besar. Seperti raksasa! Melihat gelagatnya ia bukan bangsa makhluk baik-baik. Dia bicara segala macam urusan penting. Lalu siapa tadi yang berseru padanya dan melesat dari balik riam sana?”
Wiro ikuti kepergian Lagandring dengan pandangan mata. Ternyata orang itu berkelebat ke arah timur air terjun. Air terjun itu mengingatkan Wiro pada tempat kediaman Hantu Tangan Empat yang dulu pernah dikunjunginya bersama Peri Angsa Putih. Di situ telah menunggu seseorang yang bentuk sosok serta wajahnya sangat mirip dengan Lagandring. Kedua orang itu tampak bicara cepat kemudian menyelinap ke balik sebuah watu besar di belakang batang kayu yang tumbuh miring di tepi telaga.
“Agaknya akan terjadi sesuatu di tempat ini. Sementara saya menunggu teman-teman , tak ada salahnya mencari tahu apa yang hendak dikerjakan dua orang itu. Mereka mirip kembar!” Lalu Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Tanpa bunyi ia melesat naik ke atas pohon berdaun rindang.
Tak lama menunggu , dari balik pepohonan di sebelah kiri riam Wiro melihat sosok seorang kakek berambut putih panjang riap-riapan. Kumis serta janggutnya juga putih panjang. Jidat , hidung dan pipi sama rata. Di pundak kirinya tergantung sebuah kantung jerami. Walau cukup jauh namun Wiro segera bisa mengenali kakek itu bukan lain yaitu Hantu Tangan Empat.
“Dicari-cari susah bertemu. Kini kakek itu tahu-tahu muncul dekat air terjun. Apa yang hendak dilakukannya di tempat ini…”
Memandang ke kiri Wiro melihat sepasang insan kembar yang jidatnya dipasangi beling putih dan merah berkelebat dari balik pohon ke pohon lainnya , mendekati arah di mana Hantu Tangan Empat berdiri tengah menikmati pemandangan indah sekitar telaga dan air terjun. Wiro berpikir-pikir. “Jangan-jangan urusan penting yang tadi dikatakan orang itu ada sangkut pautnya dengan Hantu Tangan Empat…” Wiro terus memperhatikan.
Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat mengambil sesuatu dari dalam kantung jerami. Ternyata yang dikeluarkannya dari dalam kantung itu yaitu segenggam bunga aneka macam rupa dan warna. Bunga-bunga itu kemudian ditebarnya di permukaan air sambil melangkah sekeliling tepi telaga. Di satu tempat mendadak langkah si kakek tertahan. Sepasang matanya menatap ke cuilan atas telaga. Segenggam bunga terakhir yang barusan dilempar ditebarkannya ke dalam telaga tidak luruh jatuh ke atas air , tetapi tergantung di udara , sepuluh jengkal dari permukaan air telaga!
“Wahai… Bagaimana mungkin bunga-bunga itu melayang di udara , jatuh tidak bergerak pun tidak ,” si kakek membatin. Dia memandang berkeliling. Lalu tampak ia tersenyum dan usap-usap janggut putihnya. “Ada orang yang sengaja hendak unjukkan kehebatan tenaga dalam. Sengaja menahan jatuhnya bunga ke atas air. Satu peragaan yang hebat. Apakah di balik kehebatan ini tersembunyi maksud baik atau maksud buruk…?”
Di atas pohon Wiro juga telah melihat apa yang terjadi. Dia melirik ke kiri di mana dua orang kembar tadi terus berkelebat mendekati Hantu Tangan Empat. Tidak mirip tadi kali ini sambil bergerak mereka angkat tangan kiri ke samping , sama datar dengan tingginya bunga-bunga yang tergantung di permukaan telaga. Tak selang berapa lama ke duanya melintas di bawah pohon di atas mana Wiro berada. Di sini mereka mendekam sesaat. Tegak tak bergerak sambil dua tangan direntang ke samping sama tinggi dengan bunga-bunga yang menggantung di atas air telaga.
Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat kelihatan terus saja mengusap-usap janggutnya dengan tangan kanan. Tapi perlahan-lahan tangan kiri diangkat kemudian ditempelkan menyilang di atas dada. Bunga-bunga di atas telaga yang tadinya membisu menggantung di udara perlahanlahan bergerak turun ke bawah. Dari sini sudah bisa dinilai bagaimana tingkat tenaga dalam Lagandrung yang digabung dengan Lagandring masih kalah dengan yang dimiliki si kakek berjuluk Hantu Tangan Empat itu.
“Lagandring! Lipat gandakan tenaga dalammu! Rentang dua kaki! Lawan mengajak langgar kekuatan. Kita berdua ia sendiri kuliner kalah!”
Mendengar ucapan kakaknya itu Lagandring segera salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan. Dua kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya pengerahan tenaga dalam dua saudara kembar itu , sepasang kaki mereka hingga amblas setengah jengkal dan tanah yang mereka pijak kelihatan kepulkan asap!
Di atas watu di tepi telaga kakek berjuluk Hantu Tangan Empat melihat bunga di atas air telaga bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan ia mencicipi pula dua kakinya mulai bergetar. Getaran itu turun ke watu yang dipijaknya! Hantu Tangan Empat yaitu seorang tokoh disegani yang mempunyai kesaktian tinggi serta tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya. Namun diserang adonan dua kekuatan lawan begitu rupa tak urung ia mengalami kesulitan.
Hantu Tangan Empat memandang ke arah bunga-bunga di atas permukaan telaga. “Sebentar lagi bunga-bunga itu akan hancur jadi bubuk. Kalau saya tidak sanggup bertahan , kekuatan tenaga dalam yang menyerang bisa mencelakai diriku…” Si kakek kemudian kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Namun ia tak bisa bertahan lama. Apa yang barusan diduganya menjadi kenyataan sesaat kemudian.
Deessss! Dessss! Dessss! Terdengar bunyi berkepanjangan menyusul bunyi byaar… byaarr… byaaar! Belasan bunga yang menggantung di atas telaga hancur menjadi bubuk. Di atas watu , Hantu Tangan Empat mencicipi tekanan sangat hebat melanda dadanya. Wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya berair oleh keringat.
Sementara itu di atas pohon Wiro yang menyaksikan apa yang terjadi mulai merasa khawatir. “Aku tidak suka pada dua berandal kembar ini. Apalagi ia hendak mencelakai Hantu Tangan Empat , orang yang pernah menolongku. Kakek Peri Angsa Putih…” Habis berkata begitu Wiro kemudian turunkan ke bawah celana putihnya. Lalu , serrrr… Enak saja ia kencingi dua orang yang ada di bawah pohon. Lagandrung dan Lagandring yang tengah memusatkan kekuatan tenaga dalam dan hampir sanggup menghantam Hantu Tangan Empat sama-sama berseru kaget ketika dari atas ada kucuran air menyirami kepala dan sebagian tubuh mereka.
“Hujan aneh! Mengapa hanya terjadi di sini!” seru Lagandring.
“Ini bukan hujan!” teriak Lagandrung. “Air hujan tidak hangat begini!” Lagandrung kemudian dekatkan lengan kirinya yang berair ke hidung. “Sial kurang ajar! Air bau! Ini air kencing!”
Lagandring tiru perbuatan abangnya dan mengendus air yang membasahi bahunya. “Memang air kencing! Jahanam! Siapa yang berani melaksanakan pekerjaan gila ini!”
Dua kakak adik itu mendongak ke atas pohon. Mereka tidak melihat siapa-siapa lantaran sebelumnya Wiro Sableng telah melompat ke pohon di sebelahnya kemudian menyelinap turun dan lari ke arah tepi telaga di mana Hantu Tangan Empat tegak berdiri.
“Anak muda! Siapa kau?!” Hantu Tangan Empat menegur penuh curiga.
“Kek , kuliner kamu lupa pada saya? Saya Wiro Sableng , sahabat cucumu Peri Angsa Putih. Orang yang kamu tolong tempo hari…”
Si kakek kerenyitkan kening. “Wahai! Aku ingat sekarang! Kau muncul pada dikala yang salah , anak muda dari jagat seribu dua ratus tahun mendatang. Tapi , janganjangan kamu yang barusan memamerkan kekuatan mengajak saya bertanding kehebatan tenaga dalam!” Si kakek pelototi Wiro dari kepala hingga ke kaki dengan perasaan curiga.
“Kek , kuliner saya berani berlaku kurang asuh padamu. Lagi pula dibanding dengan dirimu , saya ini punya kepandaian apa?!” ujar Wiro.
“Heeee…” Hantu Tangan Empat masih saja memperhatikan Wiro dengan seksama dan curiga.
“Kek , orang yang patut kamu curigai yaitu sepasang insan kembar yang jidatnya ditempel kaca. Satu beling merah satu beling putih. Mereka sudah semenjak lama ada di sini menunggu kehadiranmu. Jika dugaan saya tidak salah niscaya sebentar lagi mereka akan muncul di sini…”
Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba dua sosok berkelebat dan tegak di hadapan Hantu Tangan Empat.
“Anak muda , kalau dua orang ini yang kamu maksudkan rasanya saya tidak perlu khawatir. Mereka yaitu dua sahabat lama yang puluhan tahun tidak pernah berjumpa!”
kata Hantu Tangan Empat pula begitu mengenali siapa yang datang. “Wahai sahabatku Lagandrung dan Lagandring sungguh hatiku senang melihat kamu muncul di sini. Kabar gembira apakah yang bisa kita perbincangkan sesudah sekian lama tidak bertemu? Tetapi , apakah kalian berdua bisa menunggu hingga saya selesai mandi di telaga?” Sementara ia berkata begitu di dalam hati Hantu Tangan Empat rahasia kembali merasa curiga terhadap Wiro. Bagaimana cowok itu tadi menyampaikan bahwa dua orang inilah yang telah mengajaknya bertanding kekuatan tenaga dalam hingga bunga-bunga di atas telaga hancur menjadi bubuk. “Jangan-jangan cowok ini memutar balik kenyataan. Jangan-jangan ia merasa sakit hati lantaran dulu saya tidak menolongnya sepenuh hati bahkan tidak bisa menciptakan dirinya dan dua temannya menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam.” Selagi Hantu Tangan Empat membatin mirip itu , Lagandring dan Lagandrung saling pandang kemudian sama-sama menyeringai.
“Wahai Hantu Tangan Empat ,” Lagandrung angkat bicara. “Kedatangan kami tidak membawa informasi menyenangkan. Kami muncul tidak pula dengan niat gembira berbincang-bincang…”
“Wahai! Kalian masih mirip dulu saja. Serba kesusu , selalu sibuk hingga tidak bisa menyebarkan waktu dengan para teman.”
Lagandrung gelengkan kepala. “Ketahuilah wahai Hantu Tangan Empat , kami tiba membawa informasi sedih. Jangan terkejut. Kami diperintahkan untuk mengambil kepalamu!”
Wiro tersentak kaget. Sebaliknya Hantu Tangan Empat tidak tampak terkejut. Malah ia tertawa bergelak.
“Lagandrung! Sejak kapan kamu pandai melawak!”
“Kami tidak melawak!” membentak Lagandring. Sang adik memang punya sifat lekas naik darah. Tawa Hantu Tangan Empat eksklusif terputus. Wajahnya kini berubah. Tapi hatinya masih tidak percaya.
Maka ia bertanya. “Kalau kalian tidak sedang membanyol , kemudian siapakah yang memerintahkan kalian mengambil kepalaku?!”
“Hantu Muka Dua!” jawab dua lelaki kembar itu berbarengan.
***
3
PENDEKAR 212 menyumpah dalam hati begitu mendengar nama yang disebutkan dua lelaki kembar itu. Hantu Tangan Empat sendiri selain kaget juga cepat menilai keadaan. Tadi ia hampir sempat dirobohkan oleh dua orang itu dalam langgar kekuatan tenaga dalam. Walau ia jauh dari rasa takut tapi naga-naganya kalau terjadi pertarungan antara ia dengan Lagandrung dan Lagandring , tidak akan gampang baginya menghadapi dua orang itu.“Lagandrung dan Lagandring , saya merasa kurang percaya kalau kalian berdua diberi perintah oleh Hantu Muka Dua untuk membunuhku! Mungkin kalian tidak tahu , tapi hingga dikala ini saya sendiri berada di bawah kekuasaan orang yang merasa dirinya sebagai Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini…”
“Hantu Muka Dua punya alasan minta nyawa dan kepalamu , wahai Hantu Tangan Empat…”
“Dia menyampaikan pada kalian alasannya itu?” tanya Hantu Tangan Empat.
“Hantu Muka Dua murka besar. Kau menghilang sesudah gagal melaksanakan perintahnya!” jawab Lagandrung pula.
“Perintahnya yang mana?” tanya Hantu Tangan Empat.
“Jangan berpura-pura tidak tahu!” sentak Lagandring.
Lagandrung menyambung. “Kau diperintahkan ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Untuk membunuh tiga orang dan mendapatkan Batu Sakti Pembalik Waktu. Kau gagal malah menghilang tidak berani menghadap Hantu Muka Dua. Lalu ada yang memberi tahu pada penguasa Istana Kebahagiaan itu bahwa kamu justru telah membantu tiga orang yang seharusnya dibunuh itu…”
“Betul! Membuat mereka jadi lebih besar dari sosok aslinya!” kata Lagandring.
“Kalau kini Hantu Muka Dua minta kami mengambil kepalamu , apa kamu berani melawan? Seharusnya hal ini sudah dilakukannya begitu kamu kembali menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam ini.”
“Wahai apa kalian berdua tahu , saya terpaksa tunduk pada Hantu Muka Dua lantaran ia menguasai istriku Luhbarini. Sekarang terbukti jahatnya! Setelah menculik dan menguasai Luhbarini ia masih mau memerintah kalian untuk membunuhku!”
“Kalau begitu , selain kamu pasrahkan istrimu , kamu juga pasrahkan diri sendiri untuk kami bunuh!” kata Lagandrung pula sambil menyeringai.
“Wahai! Kalau sebagai sahabat kalian tega melakukannya , kalian tunggu apa lagi? Cepat saja turun tangan. Apa saya pasrah atau bagaimana lihat saja nanti! Namun sebelum kalian bertindak izinkan saya mandi di telaga ini untuk terakhir kali!” Habis berkata begitu Hantu Tangan Empat mengeruk kantung jerami yang tergantung di bahunya , mengeluarkan segenggam bunga. Bunga aneka warna ini kemudian ditebarkannya di permukaan air telaga sambil mulai melangkah seolah Lagandrung dan Lagandring tidak ada di tempat itu.
Melihat diri mereka dipandang enteng marahlah dua lelaki kembar itu. Keduanya segera menyerbu.
“Tahan!” tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru dan melompat ke tengah kalangan.
“Pemuda keparat! Berani-beraninya kamu masih ada di tempat ini!” hardik Lagandring.
“Jangan-jangan ia yang tadi mengencingi kita dari atas pohon!” ujar Lagandrung dengan muka beringas penuh berang.
“Kalian pernah akrab , mengapa kini mau saja disuruh Hantu Muka Dua membunuh kakek ini , sahabat sendiri?!”
“Itulah kehidupan , wahai anak muda. Hari ini sahabat , besok lawan. Hari ini saudara besok jadi seteru…”
“Oh , begitu…?” ujar Wiro sambil angguk-angguk dan garuk-garuk kepala. “Kurasa kehidupan macam itu hanya bisa terjadi lantaran ada manusia-manusia culas munafik atau lantaran tergoda sesuatu. Melihat tampang-tampang kalian , jangankan sahabat , kalau Hantu Muka Dua menyuruh bunuh istri atau ibu kalian sendiri , niscaya kalian lakukan! Iya , kan?!”
“Jahanam! Lagandring lekas kamu bunuh bedebah satu ini!” teriak Lagandrung pada adiknya. Lalu tanpa menunggu lebih lama Lagandrung melompat menyerang Hantu Tangan Empat. Lagandring sendiri sudah lebih dulu menyergap Wiro.
“Aku sudah memberi ingat! Kalau kamu berani lagi unjuk diri dan bertingkah di depanku akan kupanggang sekujur tubuhmu! Mulai dari kepala hingga kaki! Kau keras kepala. Aku mau tahu hingga di mana kerasnya kepalamu , cowok tolol!”
Lagandring goyangkan kepalanya. Dari beling merah yang menempel di keningnya berserabutan keluar sinar merah angker. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sinar Darah Merah.
Seperti tadi murid Sinto Gendeng hendak hadapi serangan lawan dengan pukulan Sinar Matahari. Namun di dikala terakhir ia putuskan menghantam dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Ini yaitu jurus atau ilmu pukulan sakti inti pertama yang berasal dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang berisi Delapan Sabda Dewa dan disebut Enam Inti Kekuatan Dewa (Baca serial Wiro Sableng “Wasiat Iblis” s/d “Kiamat Di Pangandaran” terdiri dari 8 episode).
Lagandring tersentak dan berseru kaget ketika melihat bagaimana satu gelombang angin dahsyat menciptakan sinar merah yang keluar dari beling sakti di keningnya mencelat ke atas. Dia kerahkan tenaga coba bertahan. Akibatnya tubuhnya ikut terangkat ke atas. Sambil membentak berangasan Lagandring kembali goyangkan kepalanya. Sinar merah dari dalam beling di kening menyapu keluarkan bunyi mirip seratus ular mendesis.
Wiro tak tinggal diam. Sambil tekuk dua lututnya , dua telapak tangan didorong ke atas. Laksana disambar halilintar Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan mengeluarkan beberapa kali bunyi letusan yang menggetarkan seantero telaga. Air terjun seolah berhenti mengalir untuk sepersekian kejapan mata!
Di tepi telaga Lagandring terkapar dengan mata mendelik , verbal ternganga dan tubuh mirip lumpuh. Darah mengucur dari sela bibir dan hidungnya. Sebelumnya sewaktu bertarung melawan Wiro , orang ini sempat menderita luka di dalam. Bentrokan yang terjadi barusan membuka lukanya bertambah parah. Kalau saja bukan Lagandring mungkin dikala itu sudah megap-megap meregang nyawa!
Beberapa belas langkah di sebelah kanan telaga , Pendekar 212 Wiro Sableng terduduk di tanah dengan tubuh tergontai-gontai. Di pelupuk matanya ia seolah masih melihat sinar merah darah pukulan sakti yang dilepaskan lawan. Walau ia memejamkan mata sekalipun untuk beberapa dikala lamanya sinar merah itu masih menyelubungi pemandangannya. Dadanya berdegup keras tanda jantung dan jalan darahnya berada dalam keadaan tidak wajar. Murid Sinto Gendeng cepat duduk bersila , atur jalan darah dan pernafasannya. Perlahan-lahan ia kerahkan tenaga dalam ke cuilan tubuh yang dirasakannya cidera. Selagi keadaannya belum pulih betul , di depan sana dilihatnya Lagandring dengan terhuyunghuyung bangun berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut beling merah di keningnya.
“Dia hendak merubah dirinya menjadi raksasa kembali!” Wiro sadar apa yang akan segera terjadi.
Terhuyung-huyung ia bangun pula berdiri. Sebelum beling merah di tangan lawan mengepulkan asap , Wiro segera melabrak Lagandring dengan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung! Ini yaitu jurus silat yang dipelajarinya dari seorang tokoh beken di Pulau Andalas dikenal dengan panggilan Tua Gila (Siapa adanya Tua Gila harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas”).
Lagandring berseru kaget ketika laksana kilat , tangan kanan lawan menyambar ke arah batok kepalanya. Kalau tidak cepat ia rundukkan tubuh niscaya kepalanya kena dihajar Wiro. Mukanya pucat dan tengkuknya menjadi dingin.
Ternyata jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung yang dikeluarkan Wiro hanya tipuan belaka. Karena yang diincar murid Sinto Gendeng ini yaitu beling merah di tangan kanan lawan. Dia menyadari kesaktian benda aneh itulah yang menjadi andalan Lagandring dan sanggup merubah dirinya menjadi raksasa dengan bobot dua kali lebih besar aslinya. Karenanya begitu tangan kanan lancarkan serangan ganas , Wiro pergunakan tangan kiri untuk merampas beling merah di tangan lawan.
Tapi Lagandring rupanya cepat membaca maksud sang pendekar. Begitu tangan kiri Wiro berkelebat ia ayunkan kaki kanan kirimkan tendangan menyilang. Karena tidak mau tangannya cidera dihantam kaki lawan , murid Sinto Gendeng angkat tangan kirinya sebatas dada kemudian dengan tangan itu ia menghantam sisi kanan tubuh Lagandring. Untungnya Lagandring telah bersurut mundur satu langkah , kalau tidak , hantaman Wiro akan mendarat telak di barisan tulang-tulang iganya sebelah kanan! Walau selamat dari cidera berat tak urung pukulan Wiro menciptakan Lagandring terpental tiga langkah dan sesak nafasnya.
Sambil menahan sakit Lagandring usap-usap beling merah dengan jari-jari tangan kanan. Wiro tak mau membuang waktu. Sebelumnya ia telah melihat Lagandring melaksanakan hal itu dan tubuhnya kemudian bermetamorfosis besar serta tinggi. Sebelum beling merah mengeluarkan kepulan asap ia kembali menghantam. Kali ini Wiro lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Kembali Lagandring keluarkan teriakan kaget. Tubuhnya terangkat ke udara hingga dua jengkal. Cepat ia kerahkan tenaga dalam. Sambil lepaskan pukulan dengan tangan kiri ia teruskan mengusap beling merah di tangan kanan.
“Celaka! Aku tak berhasil mencegah!” ujar Wiro sewaktu melihat bagaimana sosok lawannya bermetamorfosis besar dan tambah tinggi hampir menyandak cabang pohon di atasnya! Wiro merasa dirinya seolah kembali ketika dirinya setinggi lutut. Sambil menyeringai Lagandring maju mendekati Wiro. Setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan bunyi keras dan menggetarkan tanah walau tidak sehebat langkah kaki watu Lakasipo (Baca “Bola Bola Iblis”).
Wutttt!
Tiba-tiba kaki kanan Lagandring menderu. Belum lagi tendangannya hingga , angin sudah menyambar laksana angin ribut prahara. Semak belukar hancur rambas beterbangan , pohon-pohon di kiri kanan berderak patah.
“Mati aku!” jerit Wiro ketika tubuhnya ikut tersapu.
Begitu jatuh di antara semak belukar ia segera menyelinap. Tapi Lagandring bergerak cepat sekali. Belum sempat Wiro bangun berdiri , kaki Lagandring sudah berada di depannya dan kembali menendang. Wiro jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Dia masih bisa selamatkan diri walau angin tendangan menciptakan tubuhnya melesak tertelungkup satu jengkal ke dalam tanah. Sebelum Wiro sempat keluarkan dirinya dari dalam lobang , kaki kanan Lagandring telah menghunjam ke punggungnya. Selain itu dari beling merah yang ada di tangan kanan lawan menyambar keluar pukulan Sinar Darah Merah. Sekali ini nyawa murid Sinto Gendeng tidak tertolong lagi. Kalaupun ada keajaiban menyelamatkan dirinya dan membuatnya masih bisa bernafas maka ia akan hidup dengan tubuh bungkuk cacat lantaran patah tulang punggung. Selain itu sinar merah yang keluar dari beling sakti Lagandring akan memanggang sebagian tubuhnya.
Dalam kesulitan mirip itu apalagi keadaannya tertelungkup membelakangi lawan , Wiro ambil keputusan untuk lepaskan pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar dengan tangan kiri sedang tangan kanan dengan tenaga dalam penuh ia hendak melepas Pukulan Sinar Matahari. Di dikala yang benar-benar menegangkan itu tiba-tiba terdengar bunyi orang tertawa mengekeh. Menyusul bunyi orang berucap. Dari suaranya terang ia yaitu seorang kakek-kakek.
“Anak tolol! Percuma kamu punya ilmu Belut Menyusup Tanah! Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk selamatkan diri?!”
***
4
PENDEKAR 212 Wiro Sableng terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. Dia memang punya ilmu atau jurus yang barusan disebut orang yaitu warisan Eyang Sinto Gendeng sewaktu ia digembleng di puncak Gunung Gede. Selama ini hampir tidak pernah dikeluarkan lantaran memang mungkin belum menemukan keadaan yang cocok. Kini ia tidak mau berpikir lebih lama. Dua kakinya serta merta lurus kemudian bergelung. Tangannya di sebelah atas lurus kemudian menekuk. Begitu ia menciptakan gerakan dengan pengerahan tenaga dalam di cuilan perut maka secara aneh sosoknya laksana seekor belut licin melesat di atas tanah , menembus semak belukar.Braaakkk!
Bummmm!
Kaki kanan Lagandring menghantam tanah hingga menguak lubang sedalam dua jengkal. Pukulan Sinar Darah Merah melabrak akar pohon besar hingga berserabutan dan terpanggang hangus. Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap entah ke mana!
“Jahanam! Ke mana perginya cowok keparat itu!” Maki Lagandring. Dengan geram ia memandang berkeliling. Dia bukan saja mencari ke mana lenyapnya Wiro tapi sekaligus menyelidik siapa yang barusan bicara memberi bisikan pada si cowok hingga lawannya itu bisa lolos!
Tapi Lagandring tidak melihat siapa-siapa. Selagi ia tertegak geram mirip itu tiba-tiba dari atas pohon melayang sesosok tubuh. Lagandring cepat balikkan diri begitu ia merasa ada sambaran angin. Namun terlambat. Dua tangan yang meskipun kecil dibanding dengan tangannya menggelung lehernya. Sebuah tumit menekan urat besar di lehernya hingga tubuhnya mirip setengah kaku. Nafasnya megap-megap dan pengecap terjulur sementara tulang lehernya mirip mau berderak patah.
“Jahanam! Kukunyah tubuhmu!” teriak Lagandring.
Dicekalnya sosok yang mencekik tubuhnya kemudian , bukkk!
Dibantingnya ke tanah. Namun jawaban gerakannya itu , beling merah yang ada dalam genggamannya terlepas jatuh ke tanah , menggelinding ke dekat orang yang barusan dibantingnya. Orang ini ternyata yaitu Wiro Sableng. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah murid Sinto Gendeng berjumpalitan kemudian siap menyelinap ke balik pohon selamatkan diri. Ketika hendak melompat ia sempat melihat beling merah milik Lagandring menggelinding di tanah dan menyusup masuk ke dalam semak belukar. Wiro cepat sambar benda itu , kemudian sembunyikan di balik pakaiannya.
Karena tidak lagi memegang beling merah sakti , sosok Lagandring perlahan-lahan mengecil mirip semula Mukanya pucat tubuhnya miring mirip layangan singit. Dia memandang kian kemari mencari-cari beling merahnya. Melihat lawan tidak lagi sebesar tadi tanpa tunggu lebih lama Wiro berkelebat keluar dari balik pohon eksklusif menyerang.
Diterjang secara tiba-tiba Lagandring berseru kaget. Dia balas menyerang hingga terjadilah perkelahian hebat. Setelah sepuluh jurus berlalu terlihatlah bahwa ilmu silat tangan kosong Lagandring berada jauh di bawah Wiro. Apalagi jurus-jurus yang dimainkan Wiro serba asing baginya. Maka tak urung Lagandring menjadi bulanbulanan. Untungnya Wiro tidak punya niat jahat. Serangannya lebih banyak mempermainkan lawan mirip menggelitik , menjewer , menendang bokong dan paling selesai , di puncak kejahilannya , Wiro tarik lepas celana Lagandring yang terbuat dari kulit kayu hingga orang ini kalang kabut.
“Lagandring! Lekas tinggalkan tempat ini!” Tiba-tiba terdengar seruan Lagandrung. Dalam keadaan mirip itu tentu saja Lagandring tidak pikir panjang. Tanpa banyak bicara ia menghambur lari mengikuti kakaknya walau untuk itu ia masih ketiban nasib sial lantaran pantatnya sempat ditendang Wiro!
Apa yang terjadi dengan Lagandrung?
Setelah memerintahkan adiknya menyerang Wiro , Lagandrung eksklusif menyerbu Hantu Tangan Empat yang hirau tak hirau terus saja menebar kembang di atas permukaan air telaga. Pukulan-pukulan Lagandrung tiba laksana air bah. Hantu Tangan Empat pergunakan bunga dalam genggamannya untuk menangkis serangan lawan. Walau cuma bunga lembut namun lantaran sudah diisi tenaga dalam , bunga-bunga itu berubah laksana menjadi watu dan melesat menyambar bersiuran ke arah Lagandrung.
Orang lain mungkin akan sulit menghindari serangan belasan bunga itu. Tapi Lagandrung dengan gampang bisa mengelak. Ketika ia kembali hendak menyerbu , di hadapannya Hantu Tangan Empat angkat tangan seraya berkata.
“Kita pernah bersahabat! Jangan kamu tergoda perintah jahat Hantu Muka Dua! Habisi semua kegilaan ini hingga di sini!” Hantu Tangan Empat memandang ke langit. “Wahai! Matahari sudah tinggi. Aku perlu cepatcepat mandi!”
Lagandrung meludah dan menjawab dengan seringai mengejek. “Kau boleh mandi kalau air telaga sudah kucampur dengan darahmu!”
Habis berkata begitu Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari beling putih yang menempel di keningnya menderu sinar putih sangat panas.
Hantu Tangan Empat lemparkan kantung jerami yang ada di bahunya. Benda ini hancur lebur berantakan. Sinar putih panas terus menyambar ke arah curahan air terjun. Terdengar berkepanjangan bunyi mirip besi panas dicelup ke dalam besi sewaktu sinar putih menembus curahan air terjun. Lalu dinding watu di belakang riam kelihatan terkuak , sesaat kemudian hancur berantakan!
“Hantu Tangan Empat! Kau lari ke mana?! Jangan harap bisa lolos dari tanganku!” Lagandrung berteriak ketika ia tidak lagi melihat si kakek.
“Aku berada di sini , Lagandrung! Himbauan seorang sahabat tidak kamu dengar. Apalagi harus kulakukan? Aku terpaksa mengajarkan etika bersopan santun padamu wahai Lagandrung!”
Lagandrung kertakkan rahang. Dia balikkan tubuh. Hantu Tangan Empat dilihatnya duduk bersila di atas sebuah watu besar di tepi telaga , menatap menyeringai ke arahnya. Ketika ia memperhatikan ternyata si kakek bergotong-royong tidak duduk bersila di atas watu itu lantaran sosoknya menggantung di udara satu jengkal di atas batu!
Dari apa yang disaksikannya itu bergotong-royong Lagandrung menyadari bahwa ilmu dan tenaga dalam Hantu Tangan Empat berada jauh di atasnya. Namun lantaran sudah kepalang tanggung , untuk mundur begitu saja tentu ia merasa malu.
“Hantu Tangan Empat , bicaramu sombong amat. Hendak mengajarkan tata cara bersopan santun padaku! Padahal sebelum kita dilahirkan etika sopan santun itu sudah ada di Negeri Latanahsilam ini! Karenanya biar saya saja yang memberi pelajaran padamu. Kau tak lebih dari seorang kacung yang tidak becus melaksanakan perintah tuan besarnya! Kaprikornus pantas kepalamu kucopot dari tubuhmu!”
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Ingin saya melihat bagaimana caramu mencopot leherku!” katanya.
Lalu ia ulurkan kepalanya. Lehernya mendadak berubah panjang. Selagi Lagandrung keheranan tahu-tahu muka Hantu Tangan Empat sudah berada hanya satu jengkal di depan wajahnya!
“Jahanam! Kau kira saya takut dengan segala ilmu setan yang kamu pamerkan! Putus lehermu!”
Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari cermin putih yang ada di keningnya tiba-tiba melesat sinar putih menyilaukan. Anehnya sinar ini berbentuk demikian rupa ibarat sosok sebilah pedang. Cepat sekali pedang jejadian itu menabas leher Hantu Tangan Empat yang telah bermetamorfosis panjang! Inilah ilmu pukulan Sinar Darah Putih!
“Ilmu sihir picisan! Siapa takut!” kata Hantu Tangan Empat kemudian tertawa mengekeh.
Sesaat lagi pedang cahaya itu akan menabas leher si kakek tiba-tiba dua tangan berkelebat. Satu mencekal hulu pedang , satu menangkap cuilan badan. Dua tangan itu tampak mengepulkan asap. Hantu Tangan Empat mengerenyit menahan panas luar biasa sinar putih yang dicekalnya. Ketika tangan itu memuntir , sinar putih meliuk. Kepala Lagandrung ikut meliuk. Lagandrung menjerit kesakitan. Sambil melompat mundur ia terpaksa tarik kembali serangan sinar putih. Ketika ia memandang ke depan nyali Lagandrung nyaris leleh.
Di hadapannya sosok Hantu Tangan Empat yang tadinya berupa seorang kakek berwajah rata kini telah bermetamorfosis satu makhluk menyeramkan. Rambutnya berubah warna menjadi merah dan lurus naik ke atas. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah. Sepasang matanya yang besar memberojol merah , bergoyang-goyang mirip mau jatuh. Menggidikkan. Bibirnya berwarna biru aneh. Hidung panjang membengkok sedang gigi mencuat panjang keluar dari mulut. Tangannya yang tadi dua kini kelihatan ada empat dan bergerak kian kemari tak bisa diam. Dua dari empat tangan inilah tadi yang berhasil menahan serangan pedang Sinar Darah Putih yang dilancarkan Lagandrung. Selama ini Lagandrung hanya mendengar perihal sosok Hantu Tangan Empat namun gres sekali ini ia melihat dengan mata kepala sendiri. Tak urung tengkuknya menjadi dingin! Untuk meneruskan niatnya nyalinya sudah putus. Dia maklum , kalau tidak bisa menghadapi Hantu Tangan Empat bagaimana mungkin ia bisa membawa kepala makhluk itu kepada Hantu Muka Dua. Selain itu ketika ia melirik ke kalangan pertarungan antara adiknya dengan Pendekar 212 hatinya bertambah kecut lantaran sang adik tengah berada dalam keadaan terdesak hebat hingga menjadi bulan-bulanan dipermainkan lawan bahkan diselomoti celananya hingga kelihatan bugil! Melihat gelagat yang tidak baik ini Lagandrung kemudian berteriak biar si adik mengikutinya melarikan diri.
Hantu Tangan Empat tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat dua saudara kembar itu lari lintang pukang. Lagandrung di sebelah depan. Adiknya di sebelah belakang sambil pegangi pantat celananya yang robek dibetot Wiro! Murid Eyang Sinto Gendeng sendiri memperhatikan kedua orang itu sambil tertawa-tawa , satu tangan menunjuk pantat Lagandring yang tersingkap tak karuan , satu tangan lagi menggaruk-garuk kepala! Begitu Lagandrung dan Lagandring lenyap , Pendekar 212 segera mendatangi Hantu Tangan Empat yang dikala itu telah kembali ke bentuknya semula yaitu seorang kakek bermuka rata.
“Kek , kamu tak apa-apa…?” tanya Wiro.
Hantu Tangan Empat usap matanya yang berair oleh air mata lantaran tertawa terpingkal-pingkal tadi. “Kau sendiri bagaimana?”
“Hampir celaka! Untung ada seseorang menolong…” jawab Wiro.
“He…” Hantu Tangan Empat hanya manggut-manggut seolah tak mau bertanya siapa adanya orang yang menolong Wiro tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu berkata pada Wiro. “Anak muda , kamu jangan ke manamana dulu.Tunggu hingga saya selesai mandi!” Laju yummy saja kakek itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya sesudah dinantikan sekian lama sosok Hantu Tangan Empat tak kunjung muncul. Mau tak mau Pendekar 212 jadi agak gelisah.
“Kek! Hantu Tangan Empat!” Wiro memanggil. Tak ada jawaban. Air telaga kelihatan tenang.
“Jangan-jangan ia jatuh pingsan di dalam air…” pikir Wiro. Dia segera hendak terjun ke dalam telaga tapi , byuuurrr! Hantu Tangan Empat muncul sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Tua bangka brengsek…” maki Wiro dalam hati. Dia memutar tubuhnya.
“Hai! Kau mau ke mana?!” Terdengar Hantu Tangan Empat berteriak.
“Tidak ke mana-mana. Hanya mencari orang yang barusan menolongku!” jawab Wiro. Lalu ia berkelebat ke arah sebuah pohon besar dari arah mana tadi ia mendengar bunyi kakek-kakek yang memberi petunjuk biar ia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Wiro bolak-balik mengitari pohon besar hingga lima kali. Dia bahkan memanjat naik ke atas pohon itu. Tapi ia tidak menemukan siapa-siapa.
“Ah , sayang sekali. Menyesal saya tidak bertindak cepat. Orang yang menolongku itu mungkin sudah pergi tanpa saya sempat menemui dan mengucapkan terima kasih!”
Wiro melihat ke arah air terjun. Di dalam telaga Hantu Tangan Empat masih asyik berkecimpung mandi. Sambil garuk-garuk kepala Wiro akhirnya dudukkan diri di bawah pohon besar. Belum lama duduk mendadak ia mendengar bunyi gemerisik semak belukar. Lalu ada bunyi orang menyanyi.
“Na… na… na… Ni… ni… ni. Na… na… na… Ni… ni… ni.”
“Eh , orang gila dari mana kesasar dan menyanyi di tempat ini?!” pikir pahlawan kita sambil bangun berdiri dan celingak-celinguk mencari orang yang menyanyi. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa. “Aneh , suaranya begitu dekat tapi orangnya tidak kelihatan.” Wiro melangkah ke kiri , berputar ke kanan , membelok lagi ke kiri. Tetap saja ia tidak melihat siapa-siapa.
“Na… na… na… Ni… ni… ni. Na… na… na. Ni… ni… ni.”
***
5
WIRO memandang berkeliling. Hatinya mulai waswas.“Jangan-jangan tempat ini ada hantu pelayangannya…” katanya dalam hati. Mendadak sudut matanya menangkap sesuatu. Dia berpaling ke kiri. Astaga! “Benar-benar aneh! Tadi saya mundar-mandir berulang kali di tempat itu. Tak ada siapa-siapa. Kini ada orang itu!” Wiro cepat melangkah ke balik satu pohon kayu. Dari sini ia memperhatikan.
Sepuluh langkah di hadapannya ada seorang kakekkakek memegang payung dari daun-daun kering. Sambil bernyanyi na-na-na ni-ni-ni ia melangkah setengah menari-nari mengelilingi sepokok pohon keladi hutan. Di punggungnya si kakek membekal sebuah kantong panjang. Murid Sinto Gendeng tekap mulutnya menahan ketawa. Banyak hal yang menciptakan Wiro ingin tertawa terpingkal. Kakek itu bermuka buruk selangit tembus. Pipinya keriput kempot. Hidungnya pesek dan matanya belok. Lalu bibirnya mencuat lantaran deretan gigi-giginya yang tonggos.
“Berarti seumur hidup ia tidak pernah bisa mengatupkan mulutnya!” kata Wiro , geli dalam hati. Lalu sambil bernyanyi si kakek goyang-goyangkan pinggulnya. Sesekali tubuhnya sebelah bawah didorong dilejanglejangkannya ke depan. Dan kini yang paling gila! Kakek ini mengenakan celana dari kulit kayu yang cuilan belakangnya sengaja dirorotkan ke bawah hingga pantatnya yang hitam kasap tersingkap jelas!
“Tidak meleset dugaanku! Kalau tidak sinting niscaya gila alias kurang waras!” kata Wiro dalam hati. Lalu sambil batuk-batuk Wiro keluar dari balik pohon.
Mendengar ada bunyi orang batuk , si kakek aneh tampak terkejut. Suara nyanyiannya lenyap. Langkah dan tariannya eksklusif berhenti. Lalu dengan gaya malu-malu lucu ia cepat-cepat angkat ke atas celananya yang tersingkap. Tapi ketika ia melihat Wiro , kakek ini tertawa lebar dan berkata. “Wahai! Kukira perempuan. Ternyata pria juga. Sama tanduknya dengan tandukku! Samasama di depan! Buat apa malu-malu! Hik… hik!” Lalu yummy saja celananya yang tadi sudah dibetulkan kini didodorkannya kembali , malah lebih bawah dari sebelumnya. Wiro tertawa geli. Di sebelah sana si kakek kembali menyanyi-nyanyi , menari memutari pohon keladi hutan. Payung di tangan kirinya diputar-putar demikian rupa hingga mengeluarkan bunyi berdesing keras. Setiap ujung payung yang berputar itu mengenai daun atau rerantingan maka daun dan ranting-ranting itu putus , melayang tinggi ke atas.
“Memutus ranting dengan daun kering bukan pekerjaan mudah! Hanya orang berkepandaian luar biasa bisa melakukannya! Kakek yang mirip sinting ini niscaya bukan makhluk sembarangan!” Baru saja Wiro membatin mirip itu tiba-tiba si kakek sudah ada di depannya. Dia menyengir hingga seluruh giginya memberojol keluar.
“He , Buyung! Kau tentu menduga saya ini sinting! Iya , kan?!”
“Walah , jangan-jangan ia bisa mendengar bunyi hatiku!” kata Wiro. Lalu ia balas menyengir. “Tidak , Kek. Menurutku kamu tidak sinting! Malah saya senang mendengar nyanyianmu!” kata Wiro pula.
“He , begitu? Terima kasih! Yang betul saja Buyung!”
“Betul , nyanyianmu sangat sedap didengar ,” kata Wiro.
Si kakek menyengir. “Terima kasih!” katanya lagi. Lalu , “Sekarang tolong kamu pegangkan tangkai payung ini!”
Karena payung eksklusif disodorkan kepadanya terpaksa Wiro pegang payung daun itu. Dari dalam kantong panjangnya si kakek keluarkan sebuah tambur terbuat dari batang pohon yang dilubangi kemudian ditutup dengan kulit kering binatang. Dia juga mengeluarkan sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi benda bulat. Sebelum berkata ia lebih dulu menyengir. “Kalau nyanyianku memang sedap didengar , berarti kamu harus ikut menari bersamaku! Aku menyanyi sambil memukul tambur. Kau memayungi saya dan ikut melangkah menari memutari pohon keladi itu. Setuju…?!”
“Anu Kek…”
“He , anu artinya memang setuju. Terima kasih Buyung!”
“Maksudku…”
“Aku lupa!” Si kakek aneh tidak pedulikan ucapan Wiro.
“Sebelum ikut menari saya perlu memberi tahu lebih dulu. Benda lingkaran yang ada di ujung pemukul tambur ini! Kau tahu benda apa ini sebenarnya?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Sulit saya menduga , Kek.”
Si kakek menyengir. “Coba kamu cium! Mungkin kamu bisa menerka!” Lalu yummy saja ujung pemukul tambur disodorkannya ke bawah lobang hidung Wiro. Bau sangit yang tidak yummy menyambar pernafasannya hingga murid Sinto Gendeng ini bersin hingga tiga kali. Si kakek tertawa terkekeh-kekeh. Lalu tangan kanannya dikembangkan , diletakkan di pinggir mulut.
“Benda lingkaran ini yaitu potongan biji sapi yang dikeringkan! Hik… hik… hik!” Waktu berucap si kakek mirip berbisik. Tapi ketika menyebutkan kata ‘biji’ suaranya sengaja dikeraskan , hampir berteriak. Lalu ia tertawa cekikikan.
“Untung biji sapi. Bukan biji manusia! Ha… ha… ha!” Si kakek menyambung ucapannya tadi kemudian tertawa gelakgelak.
“Sudah… sudah! Dari tadi kita tertawa saja! Ayo mulai menari! Payungi aku!”
Si kakek tonggos melangkah lucu. Sesekali berjingkatjingkat. Sambil tiada henti memukul tambur. Dari mulutnya terus menerus keluar nyanyian na-na-na ni-ni-ni. Pinggul dan pantatnya diogel-ogel , mulutnya senyum-senyum tonggos. Matanya sesekali dikedip-kedip genit. Lalu lidahnya dijulur-julur untuk membasahi bibir. Wiro yang memegang payung mau tak mau jadi melangkah mengikuti si kakek mengelilingi pohon keladi hutan. Sambil melangkah berputar-putar rahasia Wiro menghitung.
“Gila! Sudah dua ratus kali saya berputar mengikutinya mengelilingi pohon keladi!” kata Wiro dalam hati. Kakinya mulai pegal. Tangannya yang memegang payung terasa capai. Tapi di depannya si kakek terus saja menari. Semakin cepat ia menabuh tambur kecilnya semakin cepat pula langkah dan tarinya. Tubuhnya meliuk-liuk. Memandang ke depan Wiro melihat sosok kakek aneh itu seolah berputar siam mengelilingi pohon keladi mirip sebuah gasing! Akhirnya Wiro menentukan tegak saja berdiam diri.
“Hai! Baru segitu saja kamu sudah capai keletihan! Tapi kalau menari dengan gadis bagus semalam suntuk niscaya kamu lakoni! Begitu , kan?! Hik… hik… hik! Terima kasih kamu sudah memayungiku!”
Kakek itu jatuhkan dirinya di tanah. Tambur dan pemukulnya dimasukkannya ke dalam kantong panjang. Lalu ia ulurkan tangan mengambil payungnya. Payung ini tidak diletakkannya di tanah atau dilipatnya tetapi diletakkannya di atas kepala. Lalu hirau tak hirau mirip tidak ada apa-apa di kepalanya ia berpaling pada Wiro. Matanya jelalatan memandangi cowok itu dari kepala hingga ke kaki. Hidungnya yang pesek kembang kempis.
“Wahai! Baru saya sadar! Kau orang asing. Bukan orang sini! Kau niscaya tiba dari jauh!” Si kakek tiba-tiba berkata.
“Bagaimana kamu bisa tahu Kek?” tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Dari baumu!” jawab si kakek tonggos.
“Walah! Memangnya bauku bagaimana?!” tanya pahlawan kita.
“Orang-orang asing di Negeri Latanahsilam ini baunya bau rayap. Tapi kamu kucium bau amis! Hik… hik… hik!”
“Ah , jangan-jangan hidungmu yang pesek salah cium Kek!” kata Wiro agak sewot.
Kakek tonggos tertawa bergelak. “Terima kasih , atas pujianmu terhadap hidungku yang mancung!” kata si kakek sambil usap-usap hidungnya yang memang pesek. “Aku memperhatikan , semenjak tadi sudah berapa kali kamu menggaruk kepala. Yang saya ingin tahu , sudah berapa ahad kamu tidak pernah mandi anak muda?”
Murid Sinto Gendeng jadi cemberut. “Saya mandi setiap hari. Setiap ketemu kali atau telaga…”
“Kurasa kamu dusta anak muda! Kurasa kamu mandi hanya setiap hujan turun! Hik… hik… hik! Tapi jangan murka anak muda. Aku senang. Terima kasih kamu mau bersenda gurau denganku! Sekarang saya mau tanya…”
“Tidak , saya duluan yang tanya padamu Kek!”
“Wahai! Pasti kamu menanya mengapa saya pakai celana didodorkan di cuilan pantatnya!”
“Tidak , bukan itu pertanyaanku…”
“Terima kasih kamu tidak menanyakan pantatku! Hik…hik… hik. Apa yang mau kamu tanyakan anak muda?” Si kakek tertawa gelak-gelak. Payung di atas kepalanya mumbul turun naik.
“Sebelum kamu muncul di sini , mungkin waktu kamu tengah menuju ke sini , apakah kamu berpapasan atau melihat seorang lain?” Wiro bertanya begitu lantaran ia ingin menyidik siapa bergotong-royong yang menolongnya waktu berkelahi melawan Lagandring tadi. Yaitu yang memberi tahu biar ia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah yang selama bertahun-tahun tak pernah dipergunakannya.
“Memang , saya ada melihat orang lain selain dirimu!”
Kakek tonggos menjawab sambil pentang wajah bersungguh-sungguh.
“Siapa? Di mana?” tanya Wiro.
“Dia! Di sana!” jawab si kakek seraya goyangkan kepala ke arah Hantu Tangan Empat yang asyik mandi air kembang di dalam telaga di bawah air terjun. Wiro memaki dalam hati. “Bukan ia yang kumaksudkan. Tapi orang lain…”
“Heee… Ya… ya. Memang ada. Ada dua orang. Tapi sudah pada kabur. Itu , dua kembar yang tadi berkelahi denganmu dan kakek yang mandi dua bulan sekali itu! Lagandring dan Lagandrung!”
Wiro garuk-garuk kepala menahan jengkel.
Si kakek tertawa lebar kemudian berkata. “Terima kasih kamu hanya menggaruk kepala yang di atas , tidak kepala yang di bawah! Hik… hik… hik! Awas bisa berterbangan segala kutu dan tuma yang ada di tubuhmu! Hik… hik… hik!”
Wiro yang biasanya suka menarik hati orang kini merasa mati kutu. Walau jengkel mendengar ucapan si kakek namun sambil tertawa ia berkata. “Kakek tukang banyol , kalau kamu hanya melihat kakek yang sedang mandi itu , kemudian melihat Lagandrung dan Lagandring berarti tidak ada orang lain. Berarti kaulah tadi yang telah menolongku…”
“Aku tiba membawa payung dan tambur. Aku tiba menyanyi dan menari. Bagaimana mungkin saya menolongmu. Lagi pula pertolongan apa yang kuberikan padamu wahai anak muda? Tapi saya tak lupa mengucapkan terima kasih kamu telah menganggap saya melaksanakan sesuatu yang baik. Menolong orang lain bukankah itu sesuatu yang baik?”
Wiro mengangguk. “Kau yang memberi bisikan biar saya mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Hingga saya selamat dari serangan maut yang dilancarkan Lagandring…”
“Ilmu Belut Menyusup Tanah. Aneh nama ilmu itu. Baru sekali ini saya mendengar. Memangnya kamu punya ilmu itu?” Si kakek bertanya dengan unjukkan tampang tolol.
Wiro garuk-garuk kepala lagi. Untuk sesaat lamanya ia pandangi orang bau tanah di hadapannya itu. Lalu sambil nyengir ia berkata. “Kau tak mau mengaku tak jadi apa. Tapi saya yakin kamu yang tadi menolong saya. Suaramu sama dengan bunyi orang yang menawarkan bisikan itu.”
“Terima kasih kamu berkata begitu. Tapi wahai anak muda. Belutku saja saya tidak bisa mengurus , bagaimana saya mengurusi belutmu!” Sambil berkata begitu si kakek monyongkan mulutnya yang tonggos ke arah bawah perut Wiro kemudian tertawa gelak-gelak.
“Menolong orang tanpa ingin diketahui orang yang ditolong , itu artinya lapang dada tanpa pamrih. Tapi menciptakan resah orang bisa mengurangi pahala!”
Tiba-tiba terdengar orang berucap. Anehnya suaranya terdengar bergema di empat penjuru! Kakek tonggos dongakkan muka ke langit , mulutnya bergerak-gerak mirip mau ditutup tapi tak pernah bisa lantaran deretan gigi-giginya yang menjorok tonggos.
“Sekali bicara mengumandang empat kali di empat penjuru! Siapa lagi yang punya ilmu mirip itu kalau bukan sobatku Hantu Tangan Empat! Wahai! Apakah kamu sudah selesai mandi wahai kerabatku?! Terima kasih atas pujimu. Terima kasih juga atas cemoohmu!”
Wiro palingkan kepala. Di dekat riam Hantu Tangan Empat gres saja keluar dari dalam telaga. Jarak antara kakek itu dengan tempatnya berada terpisah belasan tombak. Tapi bunyi ucapannya terdengar seakan-akan ia berada di situ , dan di empat tempat sekaligus! Inilah ilmu kepandaian yang hanya dimiliki Hantu Tangan Empat , disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Lima tingkat lebih tinggi dari ilmu memindahkan bunyi yang selama ini dikenal oleh Wiro. Hal ini mengingatkan murid Sinto Gendeng pada bencana ketika pertama kali ia dan kawan-kawan bertemu dengan Hantu Tangan Empat di tanah Jawa (Baca riwayat pertemuan Wiro dengan Hantu Tangan Empat dalam serial Wiro Sableng berjudul “Bola-Bola Iblis”).
***
6
SESAAT kemudian Hantu Tangan Empat sudah berada di hadapan ke dua orang itu. Wajahnya yang rata kelihatan segar. Dia menatap ke arah kakek verbal tonggos. Si kakek yang dipandang tertawa lebar kemudian menjura memberi hormat. Tapi caranya memberi hormat menciptakan orang bisa jengkel. Kepalanya memang ditundukkan , tangan dibuai di depan dada tapi pantatnya sekaligus disonggengkan. Padahal dikala itu celananya masih didodorkan ke bawah!“Pelawak Sinting , wahai! Puluhan tahun kamu menghilang. Hari ini kamu muncul apa gerangan maksud niat dan tujuanmu?!” Hantu Tangan Empat menegur sambil rangkapkan tangan di atas dada. Seringainya pencong dan kaku.
Sesaat si kakek tonggos yang dipanggil dengan nama Pelawak Sinting tersenyum lebar dan pantatnya masih saja disonggengkan. Perlahan-lahan ia luruskan badannya kemudian berkata sambil tangannya diangkat ke atas , dilambaikan ke langit. Ketika ia bicara menjawab ucapan Hantu Tangan Empat maka suaranya mirip orang membaca puisi.
“Wahai Hantu Tangan Empat , terima kasih atas tegur sapamu yang menawan hati. Lihat ke atas. Pandanglah langit. Tiada berawan tiada mendung. Di sebelah sana serombongan burung terbang melintas udara. Angin bertiup lembut menyejuk jangat. Layangkan mata ke kiri. Air terjun jatuh menderu , bagus bentuk dan sedap suaranya hingga di telinga. Lihat dalam telaga , bungabunga aneka warna sesajian bekas mandimu mengambang elok menebar bau harum. Pagi seindah ini jarang terjadi. Salahkah diriku kalau saya muncul untuk melihat dan mencicipi keindahan alam ini? Kalau nanti mataku sudah mulai lamur , apa gunanya lagi. Bukankah begitu cara kita menikmati berkah yang melimpah wahai sahabatku Hantu Tangan Empat?”
Wiro garuk-garuk kepala menunggu apa jawaban Hantu Tangan Empat. Dalam hati ia berkata. “Jadi kakek geblek satu ini berjulukan Pelawak Sinting. Cocok dengan kelakuannya yang serba konyol… Tapi ucapannya tadi sungguh bagus!”
Hantu Tangan Empat sesaat masih tegak berdiam diri. Setelah melirik Wiro , selang berapa lama kemudian gres ia berkata. “Tak ada yang menyalahkan kehadiranmu wahai sahabatku Pelawak Sinting. Namun terbetik informasi bahwa kamu kabarnya telah bergabung dengan Hantu Muka Dua , membangun satu tempat berjulukan Istana Kebahagiaan , kemudian ikut menjadi salah satu pembantu tangan kanannya… Mungkin kamu bisa memberi keterangan?”
Si Pelawak Sinting mendongak ke langit kemudian tertawa mengekeh. “Terima kasih namaku tersebar dalam informasi begitu rupa! Terima kasih kamu memberi tahu padaku! Sebenarnya siapa saya ini maka dikabarkan bergabung dengan Hantu Muka Dua membangun Istana Kebahagiaan! Gubuk reot saja saya tak bisa membangun , buktinya saya tidak punya rumah. Apalagi membangun Istana Kebahagiaan! Amboi! memangnya saya ini tukang bangunan apa? Ha… ha! Lagi pula saya tidak suka jadi pembantu. Diriku sendiri tak bisa kubantu , bagaimana bisa membantu orang lain. Ha… ha… ha! Kalaupun saya jadi pembantu , Hantu Muka Dua mau memberi saya upah berapa? Ha… ha… ha! Aku ini cuma seorang kakek sinting.
Mana mungkin Hantu Muka Dua mau dekat-dekat dengan diriku? Sahabatku Hantu Tangan Empat , hidup di alam ini paling yummy seorang diri! Tidak ada yang mengikat. Ke mana mau pergi tidak ada yang melarang! Dada lapang pikiran lepas. Ha… ha… ha! Kau sendiri apakah selama ini baik-baik saja wahai sahabatku?” Ketika bicara si kakek yang berjulukan Pelawak Sinting itu gerak-gerakkan tangan , pundak dan pinggulnya secara lucu. Yang ditanya tersenyum. Si Pelawak Sinting kembali berucap.
“Wahai , wajahmu yang datar tersenyum. Tapi saya tahu di hatimu ada ganjalan! Malah sebetulnya akulah yang layak bertanya , siapa tahu saya bisa menolong…”
“Apapun yang terjadi dengan diriku , yaitu tanggung
jawabku sendiri ,” kata Hantu Tangan Empat pula.
“Belakangan ini semua orang di Negeri Latanahsilam hidup seolah nafsi-nafsian. Memikir dan mengurus diri sendiri , tidak mau peduli pada diri dan keadaan orang lain…”
“Wahai , jangan begitu Hantu Tangan Empat. Karena kita akrab jadi wajib saling tolong kalau salah satu mempunyai kesulitan…”
“Kau tidak akan bisa menolong. Jangankan kamu , Dewa dan para Peri-pun tampaknya tidak mempedulikan diriku…”
“Wahai! Hantu Tangan Empat , jangan bersikap hidup mirip itu. Aku tahu hal ihwalmu dengan Hantu Muka Dua. Jika kau…”
Hantu Tangan Empat gelengkan kepalanya. Dia melirik pada Wiro kemudian berkata. “Pelawak Sinting , saya tidak suka membicarakan hal ihwal yang satu itu!” Wajah datar Hantu Tangan Empat tampak keras membesi.
“Kalau begitu halnya , wahai apa gunanya saya berlamalama di tempat ini. Aku ingin menolong tapi yang punya diri malah menolak. Kaprikornus saya ini terang bukan termasuk orang yang nafsi-nafsian mirip katamu tadi. Aku mau pergi dulu. Tapi wahai Hantu Tangan Empat , ada sesuatu saya mau bilang padamu…” kata Pelawak Sinting.
“Apa?” tanya Hantu Tangan Empat pula.
“Habis mandi wajah dan tubuhmu kelihatan segar. Tapi apa gunanya kesejukan itu kalau habis mandi kamu tidak berganti pakaian. Masih saja mengenakan pakaian bau apek! Ha… ha… ha!”
Wajah Hantu Tangan Empat tampak merah. Pelawak Sinting lambaikan tangannya kemudian sambil putar tubuh dan melangkah ia mulai menyanyi. “Na… na… na…Ni… ni… ni…”
Melihat orang hendak pergi Wiro cepat menyusul dan menghadang di depan si kakek.
“Kek , sebelum kamu pergi , kamu harus mengakui dulu. Benar kamu yang tadi menolong saya? Lalu bagaimana kamu bisa tahu saya mempunyai Ilmu Belut Menyusup Tanah itu?”
“Anak muda , lagi-lagi urusan belut yang kamu bicarakan! Sudah kubilang belut di bawah perutku ini susah saya urusi , apalagi belutmu!” Entah jengkel atau murka payung di atas kepala si kakek kelihatan turun naik beberapa kali.
“Jangan terlalu bawel. Jangan salahkan saya kalau nanti saya pencet belutmu!”
Wiro garuk-garuk kepala. Si Pelawak Sinting hendak melangkah. Pendekar 212 kembali menghadang.
“Tapi Kek , saya merasa berhutang budi dan nyawa. Selain itu mungkinkah ada kekerabatan antara kamu dengan…”
“Hutang budi dan nyawa itu tidak ada di alam ini wahai anak muda. Yang ada hanya hutang uang atau harta! Hutang budi dan hutang nyawa hanya basa busuk orang geblek biar dianggap beradab! Ha… ha… ha!” Si kakek kemudian melangkah hendak lanjutkan perjalanan sambil mulutnya kembali bernyanyi “Na… na… na… Ni… ni… ni.” Tapi Wiro cepat mencegat hingga Pelawak Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Matanya yang belok memandang lebar-lebar namun ia tidak murka malah tersenyum. “Wahai anak muda , kamu keliwat memaksa. Seolah kamu mau mati besok dan saya mau meninggal lusa. Mari kuperlihatkan sesuatu padamu…”
Wuttt!
Payung daun yang semenjak tadi bertengger di atas kepalanya melesat ke atas , kemudian melayang melewati kepala Wiro. Selagi Wiro mengangkat kepala , mengikuti payung yang melesat dengan pandangan matanya tiba-tiba ia merasa ada sambaran angin lewat di bawah selangkangannya. Begitu ia memandang ke bawah ia hanya melihat satu bayangan melesat cepat sekali kemudian lenyap. Di depan sana waktu ia memperhatikan kembali ternyata payung daun milik Pelawak Sinting tak ada lagi. Si kakek sendiri juga seolah mistik entah ke mana!
“Kakek konyol itu…” kata Wiro setengah termangu. “Dia menyelinap di celah sempit antara dua kakiku! Satu hal yang tak mungkin dilakukan. Kecuali kalau ia mempunyai dan mempergunakan Ilmu Belut Menyusup Tanah. Sungguh aneh!”
Tiba-tiba terdengar bunyi nyanyian.
“Na… na… na. Ni… ni… ni…”
Wiro berkelebat ke arah sederetan pohon-pohon besar dari arah mana terdengarnya bunyi nyanyian itu. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.
“Kakek berjulukan Pelawak Sinting!” teriak Wiro. “Kalau saya ketemu kamu lagi akan saya dodorkan celanamu hingga ke lutut!”
“Terima kasih kamu mau berbuat begitu!” terdengar jawaban si kakek di kejauhan. “Jangan murka wahai anak muda! Kalau saya sudah melaksanakan hal itu lebih dulu pada dirimu!”
Wiro terkejut. Dia memandang ke bawah. Astaga! Ternyata celananya di cuilan belakang telah merosot hingga mendekati lutut!
“Kapan ia melakukannya?! Bagaimana caranya?! Gila!” Wiro mencak-mencak sendiri dan cepat-cepat tarik celananya ke atas. “Pasti dilakukannya waktu tadi ia menyelinap di celah dua kakiku! Huh! Benar-benar sinting dan konyol!” Wiro memandang ke arah bunyi si kakek. Ingin sekali ia mengejar.
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh kemudian berkata.
“Tak perlu kamu kejar kakek itu. Apakah kamu tidak mengerti arti ucapannya tadi yang menyampaikan kelak ia bakal menemuimu lagi?”
Pendekar kita garuk kepala. “Ucapannya yang mana Kek?” tanya Wiro.
“Wahai! Tadi ia bilang , Wahai anak muda , kamu keliwat memaksa. Seolah kamu mau mati besok dan saya mau meninggal lusa…”
Wiro menarik nafas dalam. “Terima kasih atas petunjukmu. Mudah-mudahan saya bisa bertemu lagi dengan kakek itu. Walau otaknya mungkin kurang beres tapi kelihatannya ia baik dan hatinya polos. Bagaimana kamu tadi bisa menyampaikan bahwa ia yaitu kaki tangan pembantu Hantu Muka Dua?”
“Anak muda , saya tahu kamu punya permusuhan besar dengan Hantu Muka Dua. Tapi hal menyangkut urusan Si Pelawak Sinting itu tak perlu kita bicarakan. Aku ingin tanya. Apa betul kamu cowok yang dulu dibawa oleh cucuku Peri Angsa Putih untuk dibentuk besar tubuhnya?”
“Memang betul Kek…”
“Tapi dikala itu saya hanya bisa merubah tubuhmu dan dua kawanmu hingga setinggi lutut. Bagaimana kamu kini bisa jadi sebesar ini?”
Wiro tersenyum. “Sebenarnya dikala itu kamu juga bisa merobah kami jadi sebesar mirip saya kini ini Kek.
Hanya saja kalau tidak salah kau… Kau terganggu garagara melihat Peri Sesepuh yang gembrot itu duduk ngongkong. Pahanya yang putih gembul tersingkap ke mana-mana. Mungkin juga kamu sempat melihat…”
“Jangan bicara kurang asuh anak muda!” hardik Hantu Tangan Empat dengan muka merah padam sedang Wiro berusaha biar tawanya tidak menyembur (Mengenai riwayat bagaimana Hantu Tangan Empat berusaha menolong membesarkan Wiro baca serial Wiro Sableng berjudul “Peri Angsa Putih”).
“Wiro , bagaimana kini tubuhmu bisa jadi sebesar ini. Siapa yang menolongmu? Apakah kamu telah bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”
“Belum Kek. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab susah dicarinya. Yang menolong saya yaitu seorang sakti yang disebut dengan nama Hantu Raja Obat. Orangnya gemuk. Di kepalanya ada sorban dan belanga tanah…”
“Aku tahu dan kenal makhluk satu itu. Dia anginanginan. Beruntung besar kamu menerima pertolongan dari dia. Biasanya ia suka membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Lalu isi perut orang itu dibedolnya dan dimasukkan ke dalam belanga di atas kepalanya…”
“Hueekkk!” Wiro tercekik dan mirip mau muntah mendengar ucapan Hantu Tangan Empat itu hingga si kakek mengerenyit heran. Sebelum ditanya Wiro sudah menerangkan. “Anu Kek… Saya… Justru saya bisa jadi besar begini sesudah minum air godokan yang ada dalam belanga itu… Huek!”
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh.
“Untuk mendapatkan sesuatu seseorang memang harus berkorban. Itulah hidup. Kau masih untung cuma disuruh minum air godokan , bukannya digodok masuk ke dalam belanganya oleh Hantu Raja Obat. Bagaimana dengan dua temanmu yang lain. Di mana mereka sekarang?”
“Mereka kurang beruntung…” Lalu Wiro menceritakan apa yang dialami Naga Kuning dan Si Setan Ngompol (sebagaimana yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Rahasia Bayi Tergantung”).
“Sekarang dua sahabat saya itu masih dalam saat-saat penantian hingga mereka berdua diperbolehkan meneguk obat dalam cangkir tanah itu…”
“Rahasia hidup memang pelik. Tapi kalau kita bisa menyelami dengan hati higienis dan kepala sehat niscaya lebih banyak manfaat yang bisa kita dapati…”
Wiro hanya manggut-manggut mengiyakan. Lalu ia ingat akan ucapan Si Pelawak Sinting tadi. “Kek , bagaimanapun kamu pernah menolong saya dan kawankawan. Sebagai tanda terima kasih…”
“Aku tidak pernah menawarkan pertolongan disertai pamrih. Lagi pula saya menolongmu mengingat cucuku sendiri , Peri Angsa Putih yang meminta. Sebenarnya saya telah menghadang satu ancaman sangat besar dengan melaksanakan hal itu…”
“Itu sebabnya , maksud saya Kek , kalau ada sesuatu yang bisa saya lakukan untukmu…”
“Tak ada yang bisa kamu lakukan wahai anak muda. Juga tidak ada yang saya minta padamu… Kecuali , ada satu pertanyaanku…”
“Silakan saja kamu bertanya. Siapa tahu saya memang bisa menjawab.” kata Wiro pula.
“Di mana beradanya watu tujuh warna yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu itu…”
Wiro pandangi wajah datar Hantu Tangan Empat beberapa lamanya. Dalam hati ia berkata , “Kakek ini agaknya masih menginginkan watu itu. Berarti ia masih berada di bawah perintah Hantu Muka Dua…”
“Maafkan saya Kek. Saya tak sanggup menawarkan jawaban. Terakhir sekali watu itu berada di tangan kakek sahabat saya berjulukan Si Setan Ngompol. Batu kemudian hilang lenyap. Tidak diketahui di mana beradanya…”
“Apakah watu sakti itu hilang ketika kalian masih berada di negeri seribu dua ratus tahun mendatang atau di Negeri Latanahsilam ini…” tanya Hantu Tangan Empat.
“Batu itu hilang di sini Kek. Belum lama sesudah kami berada di negeri ini…”
Hantu Tangan Empat termenung. Wiro tak sanggup menduga apa yang ada dalam benak orang ini. Maka diapun berkata. “Kek , harap kamu tidak marah. Dari ucapan Si Pelawak Sinting tadi kamu agaknya mempunyai satu problem besar yang kamu tak sudi saya mendengarnya. Lalu kalau sesudah kamu menolong saya masalahmu menjadi tambah besar , rasanya pantas-pantas saja kalau saya kini ingin membalas budi…”
Hantu Tangan Empat tertawa tawar. “Di negerimu memang ada ujar-ujar Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Tapi Negeri Latanahsilam lain. Di sini memang ada ubi tapi tak ada talas. Yang ada hanya tuba. Berarti seseorang yang berbuat budi , bisa saja mendapatkan tuba sebagai balasannya!”
“Tapi Kek , saya dan juga kawan-kawan tidak akan berlaku sejahat itu. Malah…” Wiro hentikan kata-katanya. Dia bertanya-tanya dalam hati apa ada perlunya meneruskan bicara dengan kakek satu ini? Melihat Wiro memutus ucapannya , Hantu Tangan Empat malah bertanya. “Wahai! Mengapa kamu tidak meneruskan kata-katamu?”
“Kek , saya tidak mengungkit dongeng lama. Tapi kalau kita bisa bicara dengan hati higienis dan kepala sehat mirip katamu tadi , segala ganjalan yang ada niscaya bisa dihadapi…”
“Anak muda , usiamu gres seumur tempurung…”
“Di negeriku orang biasa menyebut seumur jagung!” memotong Wiro sambil menyeringai.
“Di sana jagung berarti tiga hingga empat tahun. Di sini tempurung berarti tujuh belas hingga dua puluh lima tahun. Bukankah usiamu sekitar usia tempurung itu wahai anak muda?”
Murid Sinto Gendeng jadi termangu sesaat. “Kakek Hantu Tangan Empat , kalau kamu tak mau dibantu , rasanya tidak ada yang ingin memaksa. Namun kalau saya ingat sewaktu muncul di tanah Jawa kamu punya niat hendak membunuh saya dan dua mitra saya , kemudian sesampainya di sini kamu ternyata malah berbuat baik menolong kami , rasanya ada sesuatu yang tak bisa saya mengerti…”
“Hari ini berbuat jahat , besok berbuat baik. Atau sebaliknya. Hari ini melaksanakan kebaikan , lusa melaksanakan kejahatan. Bukankah memang begitu hidupnya manusia?” ujar Hantu Tangan Empat.
“Benar Kek , tapi rasanya tidak begitu dengan keadaan dirimu. Kau melaksanakan niat buruk dan perbuatan baik lantaran ada sesuatu yang memaksamu berbuat begitu…”
“Anak muda , kamu tahu apa soal hidup. Apa lagi soal hidupku. Yang penting saya tidak jadi membunuhmu , malah menolongmu. Kau harus bersyukur…”
“Saya dan kawan-kawan memang bersyukur dan berterima kasih padamu… Kek , apakah semua ini garagara Hantu Muka Dua?”
“Jangan hubungkan diriku dengan makhluk satu itu!” hardik Hantu Tangan Empat tapi sambil membuang muka , memandang ke jurusan lain.
“Kek , kamu menciptakan saya tambah tidak mengerti. Dulu jelas-jelas sekali kamu bilang kamu diperintah Hantu Muka Dua untuk membunuh kami bertiga dan mencari watu sakti tujuh warna itu. Sikap dan ucapanmu menciptakan saya tidak tahu apa bergotong-royong hubunganmu dengan Hantu Muka Dua…”
Karena Hantu Tangan Empat tak menawarkan jawaban maka Wiro melanjutkan ucapannya tadi. “Kek , ketahuilah kalau ada kesempatan menemui Hantu Muka Dua saya akan menciptakan perhitungan dengan makhluk satu itu! Kalau tidak ia akan mendahului membunuh saya dan kawankawan.
Di negeri saya ada seorang tokoh silat berjulukan Pangeran Matahari. Dia insan sejuta jahat yang dijuluki Pendekar Segala Cerdik , Segala Akal , Segala Ilmu , Segala Licik , Segala Congkak. Tapi ternyata Hantu Muka Dua jauh lebih jahat dari Pangeran Matahari. Sesuai dengan julukannya Hantu Segala Keji , Segala Tipu , Segala Nafsu.
Dia bukan saja menyuruhmu membunuh saya dan kawankawan , tapi juga pernah menugaskan seorang penghuni pulau berjulukan Tringgiling Liang Batu dan anak angkatnya berjulukan Hantu Jatilandak untuk mempesiangi kami bertiga. Begitu nyawa kami dihabisi , darah kami akan digunakan untuk merendam sebilah senjata. Untung kami bisa selamat. Lalu terakhir kali ia menugaskan Lagandrung dan Lagandring untuk membunuhmu , sekaligus menghabisi saya…”
“Jangan kamu berani menyentuh Hantu Muka Dua wahai anak muda berjulukan Wiro…”
“Aneh , mengapa kamu berkata begitu Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro keheranan.
“Makhluk itu menguasai…”
Di tanah tiba-tiba ada satu bayang-bayang besar bergerak berputar-putar. Hantu Tangan Empat mendongak ke atas Wiro ikut-ikutan memandang ke langit. Tinggi di udara tampak sebuah benda putih melayang berputarputar. Makin lama makin rendah.
“Angsa raksasa. Siapa lagi penunggangnya kalau bukan Peri Angsa Putih. Kelihatannya ia hendak menuju ke sini…” kata Wiro dalam hati begitu ia mengenali bebek putih berjulukan Laeputih yang jadi tunggangan Peri Angsa Putih itu.
“Kakek Hantu Tangan Empat , kebetulan sekali cucumu Peri Angsa Putih muncul di sini…” Wiro berucap sambil berpaling ke samping. Tapi kakek muka datar yang hati dan jalan pikirannya susah diraba itu ternyata tidak ada lagi di sebelahnya.
***
7
PERI BUNDA semenjak tadi rahasia memperhatikan tingkah laris Peri Angsa Putih. Sambil tersenyum akhirnya ia menegur. “Wahai Peri Angsa Putih , Peri tercantik dari segala Peri. Lain sekali kulihat tingkah lakumu hari ini…”“Wahai Peri Bunda , lain bagaimana maksudmu?” tanya Peri Angsa Putih sementara matanya terus saja menatap ke dalam cermin di dinding watu , memperhatikan wajahnya sambil sesekali mengusap pipi kiri dan kanan.
“Sejak pagi kamu bangun , kamu telah pergi ke telaga. Mandi sambil menyongsong terbitnya sang surya. Dalam telaga kamu bernyanyi ceria sambil menggosok tubuhmu dengan bunga Sri Melati. Bunga langka yang hanya dipergunakan para gadis yang hendak melangsungkan perkawinan…”
Peri Angsa Putih tertawa panjang. “Lucu kedengarannya ucapanmu wahai Peri Bunda. Apa kamu menduga saya ini hendak pergi kawin? Hik… hik… hik. Kawin dengan siapa , wahai Peri Bunda?”
“Aku tidak menyampaikan kamu akan kawin wahai Peri Angsa Putih. Kelainan sikapmu hari ini sungguh menciptakan saya heran. Sehabis mandi kamu berganti pakaian. Kau mengenakan pakaian panjang sutera putih kesenanganmu. Tapi sekali ini kamu tambah dengan sehelai selendang sutera biru sebiru bola matamu. Lalu kamu berdiri di cermin berlama-lama , berhias bersenyum-senyum…”
“Wahai! Tidak kusangka kamu memperhatikan saya hingga begitu teliti wahai Peri Bunda. Tak ada yang lain pada diriku. Kalau saya mandi di telaga berlama-lama , berlangir bunga Sri Melati , kemudian berpakaian dengan hiasan selendang sutera biru , kemudian berhias di depan cermin mematut diri , itu lantaran hari ini saya ingin turun ke Negeri Latanahsilam…”
“Wahai! Justru itulah yang menjadi tanda tanya besar bagiku , Peri Angsa Putih. Biasanya setiap pergi ke Negeri Latanahsilam , kamu berdandan apa adanya. Aku khawatir ada seseorang yang menunggumu di Latanahsilam. Dewa muda dan gagah yang manakah ia wahai Peri Angsa Putih?”
Peri Angsa Putih tertawa kembali. “Kau ini ada-ada saja wahai Peri Bunda. Jika ada Peri yang dinantikan Dewa maka kaulah Perinya…” Peri Angsa Putih melangkah mendekati Peri Bunda. Sambil memegang lengan Peri Bunda , Peri Angsa Putih berkata. “Bukankah dulu kita pernah berbincang betapa jenuhnya hidup di alam kita ini. Betapa kita merindukan sesuatu yang lain. Betapa kita ingin berada dalam satu alam bebas tanpa ikatan , tanpa hukum yang terasa menekan kepala menjepit kaki…”
“Wahai Peri Angsa Putih , teruskan bicaramu. Tapi lebih perlahan. Jangan hingga ada Peri lain yang mendengar. Terutama Peri Sesepuh. Bisa celaka kita berdua…”
Peri Angsa Putih memandang berkeliling. Bila dirasakannya kondusif maka diapun berkata. “Aku berani bicara lantaran bukankah dulu kita telah pernah berbincang perihal makin menipisnya batas antara kita para Peri dengan insan di bawah langit?”
“Ya , saya ingat hal itu. Tapi apa hubungannya dengan sikapmu yang aneh hari ini? Apakah secara rahasia kamu telah membina kekerabatan tertentu dengan seseorang di bawah sana?”
Peri Angsa Putih mengulum senyum yang menciptakan Peri Bunda menjadi berdebar. “Wahai kerabatku Peri Angsa Putih. Jangan kamu berani berbuat menyalahi aturan. Kau niscaya tahu betul apa yang terjadi dengan Luhmintari , peri yang melanggar larangan dan melaksanakan perkawinan dengan Lahambalang hingga melahirkan seorang anak dijuluki Hantu Jatilandak. Apa kamu ingin mendapatkan nasib mirip Luhmintari itu wahai kerabatku?” (Mengenai Hantu Jatilandak baca serial Wiro Sableng sebelum ini berjudul “Hantu Jatilandak”).
“Luhmintari…” ujar Peri Angsa Putih dengan bunyi perlahan dan bergetar. “Kerabat kita yang malang itu menemui maut dengan perut pecah ketika melahirkan bayinya si Jatilandak. Dan kini ia mendekam menjadi patung watu jawaban kutukan para Dewa serta Peri. Tidak , wahai Peri Bunda , saya tidak ingin mengalami nasib mirip Luhmintari…”
“Lalu siapakah yang hendak kamu jelang di negeri Latanahsilam?” tanya Peri Bunda pula.
“Terus terang , saya terbuai dan tergoda oleh mimpi…” kata Peri Angsa Putih.
“Wahai!” kata Peri Bunda setengah berseru. “Maukah kamu menceritakan apa mimpimu itu wahai Peri Angsa Putih?”
Peri Angsa Putih kembali pegang dua lengan Peri Bunda. Dengan tersenyum ia berkata. “Mimpi yaitu kembangnya tidur yang terkadang tidak pernah menjadi kenyataan. Terus terang , bergotong-royong , ngggg… Aku pergi ke Negeri Latanahsilam untuk menemui…”
“Kalau kamu bukan menemui seorang cowok , wahai apakah kamu berhajat hendak bersua dengan seorang duda?” Peri Bunda memotong.
“Duda? Siapa maksudmu Peri Bunda?” tanya Peri Angsa Putih. Wajahnya merona kemerahan.
“Maaf kalau saya salah menduga. Tapi bukankah kamu semenjak lama jatuh hati terhadap Lakasipo , lelaki gagah kematian istri dan mempunyai ilmu sangat tinggi itu?” Peri Bunda perhatikan wajah kerabatnya itu. “Wahai! Parasmu kulihat menjadi merah. Pertanda dugaanku tidak meleset!”
Peri Angsa Putih berusaha tersenyum. Peri Bunda lantas peluk sosok kerabatnya itu seraya berkata perlahan. “Wahai Peri Angsa Putih. Walau sosok kita yaitu sosok Peri , tapi memang tak bisa dipungkiri hati nurani dan jiwa rasa kita tak banyak bedanya dengan insan para penghuni Negeri Latanahsilam. Namun berhati-hatilah dalam bertindak. Jangan hati dan perasaanmu menipu jalan sehat nalar pikiranmu. Pikirkan pula tantangan serta jawaban yang akan terjadi kalau hingga kamu jatuh cinta pada orang yang tidak satu darah dengan turunan kita. Renungkan pola jawaban yang telah terjadi. Akupun kadang kala sulit keluar dari perasaan mirip ini walau hingga dikala ini saya masih bisa bertahan. Tapi hingga kapan…?”
Peri Angsa Putih sangat terharu mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Dipeluknya erat-erat kerabatnya itu seraya berkata. “Wahai Peri Bunda , Simpul Agung Dari Segala Peri , Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Terima kasih atas semua ucapan dan nasihatmu. Tapi ketahuilah , saya turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo. Aku berhasrat mencari kakekku , Hantu Tangan Empat. Seperti kamu ketahui hingga dikala ini ia masih berada dalam kesulitan. Dan setiap kutanya ia tidak pernah menjelaskan apa kesulitannya itu. Hanya dari perilaku dan tindakannya yang aneh-aneh saya menduga ia seolah berada di bawah satu tekanan yang sulit dilepaskan.”
“Oh… Begitu? Kaprikornus kamu bergotong-royong berniat mencari kakekmu sendiri. Kalau demikian pergilah selagi hari masih pagi.” kata Peri Bunda pula walau rahasia hatinya berdetak bahwa Peri Angsa Putih yang bagus dan bermata biru itu berdusta padanya.
“Aku pergi wahai Peri Bunda.”
“Selamat jalan Peri Angsa Putih. Jangan terlalu lama di Latanahsilam. Aku khawatir Peri Sesepuh memerlukan sesuatu dan mencarimu…”
“Aku tidak akan berlama-lama. Sebelum senja menjelang saya niscaya sudah kembali ke sini.” Peri Angsa Putih putar tubuhnya dan tinggalkan Peri Bunda.
Sesaat sesudah Peri Angsa Putih berlalu , Peri Bunda tegak merenung. Tapi tidak lama. Seolah tidak sadar Peri Bunda bicara sendirian. “Dari perilaku dan caranya berdandan , sekali ini saya tidak yakin kalau ia turun ke Latanahsilam untuk menemui kakeknya Hantu Tangan Empat. Lalu kalau kuhubung-hubungkan ucapannya menyangkut kekerabatan antara insan dengan para Peri , saya menaruh curiga. Jangan-jangan ia menemui seseorang. Dia tidak mengaku menemui Lakasipo. Padahal sewaktu Luhjelita muncul dan merayu Lakasipo ia kecewa setengah mati. Lalu siapa bergotong-royong yang hendak ditemui gadis itu? Aku harus menyelidik…”
Tanpa menunggu lebih lama Peri Bunda segera pula tinggalkan tempat itu tanpa mengetahui bahwa di balik sehelai tirai tebal dalam ruangan tersebut semenjak tadi Peri Sesepuh yang gemuk putih bermuka gembrot dan selalu keringatan memperhatikan kelakuannya dan mendengar apa yang diucapkan.
***
Laeputih , si bebek raksasa putih tunggangan Peri bagus bermata biru melayang berputar dua kali di udara. Sambil melayang dan perlahan-lahan merendah Peri Angsa Putih perhatikan sosok tegap di tepi telaga.“Dewa Agung!” kata sang Peri. “Mimpiku benar adanya.
Wahai! Orang itu yaitu cowok dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Ke mana lenyapnya kakekku Hantu Tangan Empat tidak saya pikirkan. Yang aneh bagaimana tahu-tahu sosoknya telah berubah sebesar sosok orang-orang di Negeri Latanahsilam. Apakah ia telah menemui Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan berhasil menerima pertolongan? Wahai , banyak dongeng yang akan kutanyakan padanya… Laeputih bebek tungganganku , terbanglah lebih rendah. Turun di tepi riam sebelah timur.”
Angsa putih raksasa tunggangan Peri Angsa Putih keluarkan bunyi menguik panjang tanda mengerti ucapan sang Peri kemudian perlahan-lahan hewan ini melayang turun ke arah timur Air Lajatuh. Sesaat lagi hewan ini akan hinggap di lamping watu dekat riam tiba-tiba sepasang mata biru Peri Angsa Putih membesar. Wajahnya berubah.
“Laeputih , jangan turun ke tanah. Melayang ke balik watu sebelah sana. Aku melihat seseorang berusaha mendahului kita menemui cowok di tepi telaga itu…”
Di tepi telaga Pendekar 212 Wiro Sableng tampak heran ketika tiba-tiba bebek putih raksasa lenyap dari pemandangan. Lalu tahu-tahu sebuah makhluk berwarna coklat melesat di udara. Di lain kejap makhluk ini telah mendarat tujuh langkah di hadapannya. Sang makhluk ternyata yaitu seekor kura-kura raksasa berwarna coklat yang mempunyai dua sayap lebar hingga bisa melayang terbang di udara. Di atas punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang rambutnya digulung di atas kepala.
Pakaiannya terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias dengan kalungan bunga. Untuk beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap tajam ke arah Wiro. Lalu lontarkan senyum yang sangat memikat. Barisan gigi-giginya putih , rata berkilat. Sesaat ia rapikan gulungan rambutnya. Senyumnya masih belum pupus ketika tiba-tiba ia melompat dari punggung kurakura raksasa dan sesaat kemudian telah berdiri di hadapan Wiro dengan gaya yang benar-benar mempesona.
“Luhjelita…” desis Peri Angsa Putih dengan bunyi bergetar , “Aku keduluan…” Hawa cemburu serta merta menjalari diri Peri ini hingga wajahnya yang bagus kelihatan menjadi merah. “Bagaimana ia tahu-tahu bisa muncul di sini. Dulu ketika saya berusaha mendekati Lakasipo , ia juga yang mendahului. Malah memikat lelaki itu hingga bisa dibawa ke tempat kediamannya di Goa Pualam Lamerah. Sekarang ia lagi yang menghambat jalanku. Apakah dia? Kalau tahu kejadiannya akan mirip ini…”
Peri Angsa Putih gigit bibirnya. Matanya tak berkesip memperhatikan gadis bagus penunggang kura-kura terbang berjulukan Luhjelita itu. Dalam kecemburuan , hatinya juga merasa sangat risau. “Aku khawatir ia sengaja menemui cowok itu untuk melaksanakan sesuatu. Bukankah ia tengah mencari satu ilmu? Bukan tidak mungkin cowok itu berada dalam bahaya. Wahai , apa yang harus saya lakukan?” Peri Angsa Putih kepal-kepalkan sepuluh jari tangannya.
“Pemuda gagah berambut panjang berwajah tampan! Kau niscaya lupa padaku! Tapi saya tidak lupa padamu!”
Luhjelita berkata sambil terus mengulum senyum dan melangkah melenggak-lenggok mendekati Wiro. Ketika ia berhenti , jarak mereka hanya terpisah kurang dari dua langkah.
Di balik lamping watu Peri Angsa Putih kelihatan asam parasnya. Dalam hati ia berkata. “Huh! Gadis berjulukan Luhjelita! Siapa yang tidak tahu sifatmu! Semua lelaki hendak kaujadikan korban kegenitanmu! Bermain senyum di bibir , menyembunyikan keculasan di lubuk hati!”
Di hadapan gadis bagus berpakaian jingga itu murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Coba mengingatingat. Di tempat perlindungannya Peri Angsa Putih diamdiam berkata setengah berdoa. “Kau harus ingat! Kau harus tahu siapa adanya gadis itu! Wahai! Jangan hingga kamu tertipu!”
Wiro berhenti menggaruk-garuk kepala. Kini jari-jari tangan kanannya digunakan untuk memijit-mijit keningnya. Lalu mulutnya tersenyum lebar. “Aku ingat siapa adanya kamu , gadis bagus bertubuh elok…”
“Wahai jangan keliwat memuji. Wajahku tidak bagus dan tubuhku buruk!” kata gadis di hadapan Wiro tapi sambil tersenyum dan lemparkan kerlingan mata. Dia maju sedikit dan berjingkat hingga ia bisa dekatkan wajahnya ke muka Wiro. “Kalau kamu benar ingat siapa diriku , coba kamu katakan.”
“Kau berjulukan Luhjelita. Kita bertemu pertama kali di tepi telaga Lasituhitam. Waktu itu saya bersama dua temanku dan seorang saudara angkat berjulukan Lakasipo. Kami terpaksa berpisah dengan Lakasipo lantaran ia harus menolong seorang gadis berjulukan Luhtinti dan juga lantaran kamu memintanya untuk tiba ke sebuah goa. Kalau tidak salah goa itu berjulukan Goa Pualam Lamerah!”
“Wahai! Ingatanmu ternyata sangat cerah! Secerah fajar menyingsing di pagi hari!” memuji Luhjelita. Namun diamdiam ia merasa khawatir apakah cowok gagah berambut gondrong itu tahu apa yang kemudian terjadi di dalam goa?
Murid Sinto Gendeng memang tidak suka dengan kebanggaan itu. Dia mendengar dari Lakasipo gara-gara mendatangi Luhjelita di goa tersebut Lakasipo hampir menemui maut di tangan Hantu Muka Dua. Luhtinti sendiri menerima celaka (Baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam berjudul “Peri Angsa Putih”).
“Luhjelita , apa kemunculanmu ini hendak bertanyakan hal ihwal menyangkut Lakasipo?” Wiro ejekan pertanyaan.
“Wahai , memang banyak yang hendak kubicarakan dengan lelaki gagah berkaki watu itu. Tapi saya tak tahu ia entah berada di mana…”
“Aku menduga Lakasipo yaitu kekasihmu. Kalau benar kuliner tidak tahu sang kekasih berada di mana?”
Paras Luhjelita menjadi bersemu merah.
“Kena batunya kamu wahai Luhjelita!” kata Peri Angsa Putih yang masih terus mengintai di balik lamping batu.
Walau ia merasa jengah dengan ucapan Wiro tadi namun Luhjelita keluarkan bunyi tawa merdu. “Orang sehebat dan segagah Lakasipo , kuliner sudi menjatuhkan hati terhadapaku gadis buruk begini rupa? Dia hanya pantas untuk pasangan para Peri di atas langit sana!” Habis berucap begitu kembali Luhjelita tertawa panjang dan merdu.
Di balik lamping watu , kini Peri Angsa Putih yang menjadi tidak enak. “Jangan-jangan gadis liar itu tahu kalau saya bersembunyi di tempat ini. Apa yang harus kulakukan? Pergi saja dari tempat ini?” Sang Peri sesaat merasa resah dan juga jengkel. Kalau belum bertemu dan bertegur sapa dengan Wiro rasanya belum puas hatinya. Maka ia mengambil keputusan untuk tetap saja mendekam di balik watu ini.
“Itu tidak mungkin , Luhjelita. Peri tidak mungkin kawin dengan insan biasa. Aku tahu benar hal itu… Kalau itu hingga terjadi akhirnya sungguh luar biasa…”
“Wahai sahabat muda berambut panjang! Belum berbilang tahun kamu berada di Negeri Latanahsilam ini , banyak hal yang sudah kamu ketahui. Namun jangan kamu menduga bahwa makhluk berjulukan Peri itu selalu berada dalam kehidupan yang serba suci. Banyak di antara mereka yang tersesat dan melanggar pantangan. Salah satu di antaranya yaitu peri yang kawin dengan seorang insan biasa berjulukan Lahambalang hingga melahirkan seorang anak kutukan. Berbentuk insan tapi tubuhnya penuh dengan duri mirip landak! Dan kurasa dikala ini atau di masa mendatang semakin banyak para Peri yang menjadi liar dan menentukan jalan sesat lantaran tidak bisa bertahan terhadap tantangan gelora nafsu. Bukan tidak mungkin kamu sendiri bisa-bisa sudah menjadi incaran mereka. Hatihatilah kamu wahai Wiro…”
Baru saja Luhjelita selesai berucap tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan menggeledek.
“Gadis berjulukan Luhjelita! Jahat sekali mulutmu! Bisa apa yang ada di hatimu hingga berani menghina kami bangsa Peri dari atas langit?!”
Wiro terkejut dan cepat melompat mundur lantaran mendadak ada angin yang menyapu hebat. Luhjelita sama sekali tidak memperlihatkan gejala kaget. Pertanda ia memang sudah tahu kehadiran orang yang barusan berkelebat dari balik lamping watu sana. Itu sebabnya malah ia sengaja mengeluarkan ucapan melecehkan tadi.
***
8
WALAU tidak kaget tapi Luhjelita tetap berlaku waspada. Begitu angin dahsyat menerpa , gadis ini segera melompat mundur. Sosoknya melayang setengah jengkal di udara. Begitu turun injakkan kaki di tanah ia keluarkan bunyi tawa.“Wahai! Tidak disangka! Ada Peri yang sengaja menyelinap sembunyikan diri untuk mencuri dengar pembicaraan orang! Itu satu bukti bahwa bangsa Peri memang tidak berhati polos dan berjiwa berani!”
Peri Angsa Putih tegak rangkapkan dua tangan di depan dada. Walau mukanya merah dan hati serta telinganya panas mendengar ucapan Luhjelita bahkan sebelumnya sengaja menghantam dengan dorongan angin mengandung tenaga dalam tinggi , namun dikala itu ia masih bisa menekan hawa amarah yang menguasai dirinya. Dengan bunyi damai sambil permainkan ujung selendang biru yang melingkar di lehernya ia berkata.
“Kepolosan hati dan keberanian juga tidak menjadi milik satu golongan. Tapi tergantung pada diri orang masingmasing. Belakangan ini banyak sekali orang yang pandai bermanis verbal padahal menyimpan hati culas menyembunyikan maksud jahat. Luhjelita siapa dirimu banyak orang yang sudah tahu. Kalau boleh saya bertanya , siapa lagi yang telah menjadi korban bujuk rayumu sesudah terakhir kamu mendapatkan sesuatu dari Lakasipo kemudian meninggalkan lelaki itu begitu saja?”
Berubahlah paras Luhjelita mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Gadis berpakaian warna jingga ini melirik sekilas pada Wiro yang berdiri memandang saling berganti pada dua gadis bagus itu sambil garuk-garuk kepala.
“Wajahmu berubah pucat! Wahai! Satu menandakan bahwa ucapanku tadi sempurna menghunjam di lubuk hatimu!” Peri Angsa Putih sambung ucapannya.
“Peri Angsa Putih , sungguh kamu tidak bermalu. Kau tergila-gila pada Lakasipo! Namun lelaki itu tidak mempedulikanmu. Buktinya ia meninggalkanmu begitu saja dan ikut saya ke Goa Pualam Lamerah! Apakah di atas langit sana tidak ada cowok yang cocok menjadi pasanganmu hingga kamu mengejar-ngejar Lakasipo. Kali ini kamu turun ke Latanahsilam niscaya tengah mengintai mangsa baru!” Lalu Luhjelita berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Sahabatku cowok gagah , berhati-hatilah. Bukan tidak mungkin kamu yang ada dalam incarannya!”
“Bermanis verbal , berminyak kata. Menyebar fitnah menyembunyikan keculasan. Itulah salah satu sifat buruk di Negeri Latanahsilam. Semula kusangka hanya kaum lelakinya saja yang berbuat mirip itu. Ternyata kamu wanita dan para gadis sudah ikut ketularan. Sungguh malang dirimu wahai Luhjelita! Kau yang dikenal dengan gadis puluhan kekasih , apakah perlu saya sebutkan satu persatu siapa saja mereka itu? Apakah masih belum puas hingga kini memutar balik kenyataan. Padahal bergotong-royong kamu tengah berusaha biar cowok asing itu jatuh di tanganmu? Aku tidak ada kekerabatan apa-apa dengan cowok berjulukan Wiro Sableng itu. Jika kamu merasa bisa merayu dan ingin memilikinya silakan saja. Akan kulihat apakah ia mau ikut bersamamu!”
Ditantang mirip itu panaslah hati Luhjelita. Dalam hati timbul tekadnya , apapun yang terjadi Wiro harus bisa diajaknya pergi.
“Peri dari atas langit! Jangan keliwat takabur lantaran merasa diri paling sakti dan paling cantik! Aku akan buktikan padamu sebentar lagi bahwa cowok ini akan sudi ikut bersamaku. Tapi sebelum itu kulakukan , saya ingin memberi pelajaran bersopan santun padamu!”
Habis berkata begitu Luhjelita dorongkan tangan kanannya ke arah Peri Angsa Putih. Selarik sinar berwarna jingga menggebubu. Peri Angsa Putih berseru kaget dan cepat menghindar sembari kibaskan lengan pakaiannya yang berupa gulungan sutera putih.
Dessss!
Sinar jingga serangan Luhjelita laksana menghantam ganjal kapas kemudian buyar. Tahu bahwa dalam kekuatan hawa sakti ia tak bakal sanggup mengungguli sang Peri , Luhjelita menyergap ke depan , lancarkan serangan tangan kosong. Cepat dan beruntun tak berkeputusan. Mendapat serangan sangat gencar begitu rupa Peri Angsa Putih tetap berlaku tenang. Gerakan-gerakannya sebat dan enteng. Namun lantaran kalah cepat dengan serangan berantai yang dilancarkan lawan , jurus demi jurus sang Peri akhirnya tertekan dan terdesak hebat. Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera berteriak.
“Hentikan perkelahian!”
Tapi tak satupun dari dua gadis bagus itu yang mau mendengar. Mau tak mau murid Sinto Gendeng terpaksa melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi ia ketiban nasib sial. Dia melintang di antara dua gadis itu pada dikala Peri Angsa Putih lancarkan satu pukulan kilat ke arah Luhjelita. Namun lantaran sosok Wiro melintang di depan maka hantaman Peri Angsa Putih mendarat telak di dada kanan sang Pendekar.
Bukkkk!
Wiro terjajar ke belakang hingga tiga langkah. Salah satu lututnya tertekuk dan tubuhnya hampir roboh kalau ia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk bertopang ke tanah. Peri Angsa Putih terpekik pucat ketika melihat apa yang terjadi. Saat itu justru tamparan tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan.
Plaaakkk!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Peri Angsa Putih. Peri bermata biru ini terpekik kesakitan. Darah mengucur di sudut kiri mulutnya. Meski menahan sakit jawaban pukulan yang kesalahan menghantam dadanya , namun melihat darah yang mengucur di sudut pipi Peri Angsa Putih , Wiro jadi memelas. Selain itu ia merasa ikut bersalah. Peri Angsa Putih berlaku lengah lantaran tadi telah kesalahan tangan memukul dirinya. Dengan cepat ia robek lengan kiri baju putihnya kemudian menyeka darah di pipi sang Peri. Belum sempat darah itu disapunya tiba-tiba Luhjelita menarik tangan kiri Wiro seraya berkata.
“Wiro! Tak ada gunanya berbaik hati pada Peri bermata biru itu. Apa kamu tidak tahu kalau Hantu Tangan Empat kakeknya yaitu kaki tangan Hantu Muka Dua! Kematianmu dan kawan-kawan sudah masuk dalam rencana mereka!”
“Aku sudah tahu siapa Hantu Tangan Empat , siapa pula Hantu Muka Dua!” jawab Wiro seraya berusaha menarik tangannya yang dibetot.
Namun entah apa yang dilakukan Luhjelita dikala itu mendadak Wiro mencicipi tubuhnya sebelah kiri menjadi lemas. Di lain dikala ia sudah ditarik naik ke atas punggung kura-kura raksasa. Binatang ini segera mengepakkan dua sayapnya.
Melihat apa yang terjadi Peri Angsa Putih cepat berteriak. “Wiro! Jangan dengar kata-katanya! Jangan ikut bersama dia! Dia justru yaitu kekasih Hantu Muka Dua!”
Di atas kura-kura raksasa berjulukan Laecoklat itu Pendekar 212 jadi bingung. Dia berusaha hendak melompat turun. Namun gerakan kura-kura raksasa sebat sekali. Begitu mengepakkan sayap hewan ini sudah berada hampir dua puluh tombak di udara. Murid Sinto Gendeng tak bisa berbuat apa-apa selain mendekam duduk di atas punggung kura-kura sambil pinggangnya dipegangi oleh Luhjelita.
“Hendak kamu bawa ke mana aku?” tanya Wiro.
“Tenangkan hatimu. Tak usah takut! Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku hanya ingin membicarakan beberapa hal. Untuk itu kamu akan kubawa ke tempat kediamanku di Goa Pualam Lamerah.”
Mendengar disebutnya nama goa itu , otak sang Pendekar bekerja cepat. Menurut dongeng Lakasipo ketika ia dibawa Luhjelita ke goa itu , justru di tempat itulah ia hampir terbunuh di tangan Hantu Muka Dua.
“Luhjelita , kalau kamu memang hanya punya maksud membicarakan sesuatu , mengapa harus ke Goa Pualam Lamerah? Turun saja di lereng bukit sana!” Wiro menunjuk ke arah lereng sebuah bukit sambil rahasia kerahkan tenaga dalamnya ke cuilan tubuh sebelah kiri yang tadi mendadak terasa lemas.
“Aku ingin memperlihatkan padamu betapa indahnya tempat kediamanku. Lagi pula kalau sewaktu-waktu kamu butuh tempat berteduh , apa salahnya kamu menetap di sana…”
“Aku berterima kasih pada tawaranmu. Tapi saya lebih suka kita turun di lereng bukit itu. Kita bicara di sana!”
“He… Kalau saya tidak mau memenuhi permintaanmu , apa yang hendak kamu lakukan wahai cowok gagah?”
bertanya Luhjelita sambil tangan kanannya menggelung pinggang Wiro lebih erat dan hembusan nafasnya menghangati tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng itu.
“Kalau kamu tidak mau mendengar permintaanku , berarti kamu menentukan mati berdua!”
“Wahai! Apa maksudmu Wiro?” tanya Luhjelita seraya kerenyitkan kening.
“Akan kuhancurkan kepala kura-kura coklat ini!”
“Kau tak akan tega melaksanakan hal itu ,” kata Luhjelita pula menganggap enteng.
“Kau benar-benar ingin menyaksikan sendiri?!” kata Wiro seraya kepalkan tinju kanannya dan kerahkan ilmu pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. Ini yaitu ilmu kesaktian yang didapat Wiro dari Tua Gila di Pulau Andalas. Jangankan kepala kura-kura raksasa itu , watu karangpun bisa hancur kalau kena dihantam.
Luhjelita tertawa merdu. Sambil mengusap punggung Wiro ia berkata.
“Mati berdua dengan seorang cowok gagah! Wahai betapa indahnya!” ujar Luhjelita. “Tapi siapa yang inginkan mati? Hik… hik… hik…! Baiklah Wiro. Kuturuti maumu. Kita turun di lereng bukit yang kamu tunjuk tadi!” Luhjelita mengetuk punggung kura-kura raksasa. Binatang ini berputar kemudian melayang ke arah lereng bukit di sebelah barat.
***
DI TEPI telaga Peri Angsa Putih memandang ke langit , memperhatikan kura-kura raksasa melayang tinggi. Jika dituruti amarah hatinya ingin ia melesat mengejar kemudian menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang bisa menyembur dari dua matanya. Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Wiro , tak ada gunanya. Penuh kesal gadis ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala , tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesaat kemudian gres ia menyadari kalau ia masih memegang robekan lengan baju si cowok yang tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka di sudut bibir jawaban tamparan Luhjelita.“Aku memukul tubuhnya. Pasti ia kesakitan sekali. Tapi dalam keadaan mirip itu ia masih ingat pada cidera yang kualami jawaban tamparan gadis liar itu. Wahai! Dia sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha mengusap darah di sudut bibirku. Wahai… Kalau saja saya bisa membaca isi hatinya…” Peri Angsa Putih tekapkan robekan baju Wiro itu ke wajahnya. Sepasang matanya berkacakaca.
“Aku khawatir akan keselamatannya. Aku harus bisa mengejar kura-kura terbang itu dan menciptakan perhitungan dengan Luhjelita…”
Peri Angsa Putih cepat memutar tubuhnya untuk segera menemui Laeputih si bebek raksasa. Tapi begitu ia membalik , begitu ia terkejut. Karena sempurna di hadapannya tegak berdiri Peri Bunda. Menatap ke arahnya dengan pandangan sayu seraya berkata.
“Kau benar , kamu turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo…”
“Peri Bunda , tentunya kamu sudah semenjak tadi berada di sini. Mungkin juga berkesempatan melihat apa yang terjadi. Wahai , dikala ini tak sanggup saya bicara berpanjang lebar. Aku harus pergi. Aku harus melaksanakan sesuatu…”
Lalu Peri Angsa Putih melangkah melewati Peri Bunda , melompat naik ke atas bebek raksasa. Sesaat sesudah Laeputih lenyap di batas pemandangan , Peri Bunda masih tegak di tempatnya. Beberapa kali ia menarik nafas dalam dan menatap ke arah air terjun. Air terjun yang menggemuruh jatuh seolah terasa mirip gemuruh hatinya.
“Tidak bisa kusalahkan kalau gadis itu bersikap aneh akhir-akhir ini. Rupanya telah terjadi sesuatu dengan cowok dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Ternyata ia memang gagah , jauh lebih gagah dari semua cowok yang ada di negeri ini. Bahkan Lakasipo bukan apa-apa dibanding dengan dirinya. Apakah Peri Angsa Putih telah jatuh hati pada cowok itu? Apakah akan terjadi lagi pelanggaran yang bisa membawa jawaban besar? Kegegeran lahirnya Hantu Jatilandak masih belum pupus. Kutuk masih belum berakhir. Sekarang agaknya akan terjadi lagi satu problem yang jauh lebih hebat. Kalau semua akan berakhir mirip itu kemudian bagaimana dengan diriku sendiri…? Luhjelita bukan gadis sembarangan. Ilmunya tinggi. Mampukah Peri Angsa Putih menghadapinya dan menyelamatkan cowok itu? Wahai , mungkin ia membutuhkan bantuanku…”
Peri Bunda melangkah ke tepi telaga kemudian menatap wajahnya dalam ke permukaan air yang mengalun lembut.
“Usiaku memang tidak semuda Peri Angsa Putih. Tapi kecantikan wajahku tidak kalah walau ia mempunyai sepasang mata biru. Kedudukanku yang lebih tinggi darinya mungkin bisa membendung hasrat yang tersembunyi di hati sanubarinya…”
“Peri Bunda , apa maksud ucapanmu barusan?”
Tiba-tiba ada bunyi menegur. Peri Bunda tersentak kaget dan cepat berpaling. Lalu buru-buru dengan wajah mendadak pucat ia menjura dan letakkan dua tangan yang dirapatkan di atas kepala.
“Peri Sesepuh…” kata Peri Bunda pula. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak berani menatap wajah Peri gemuk yang mengenakan pakaian merah itu. Dalam hati ia bertanya-tanya , bagaimana pimpinan tertinggi dari segala Peri yang ada di atas langit ini tahu-tahu bisa berada di tempat itu. “Jangan-jangan ia telah mengetahui dan mendengar pembicaraanku dengan Peri Angsa Putih…”
“Peri Bunda , dikala ini saya terpaksa menegurmu dengan keras. Masalah yang ditimbulkan Luhmintari dan Lahambalang hingga melahirkan Jatilandak masih belum terselesaikan. Apakah kamu hendak menambah problem gres wahai Peri Bunda?”
Peri Bunda hanya bisa tundukkan kepala , tak bisa menjawab.
“Jangan berdiam diri saja Peri Bunda. Aku ingin mendengar penjelasanmu!”
“Maafkan saya Peri Sesepuh. Sebenarnya saya turun ke Negeri Latanahsilam ini hendak mengikuti Peri Angsa Putih. Sejak beberapa hari ini saya lihat perilaku dan bicaranya aneh…”
“He… Lalu perilaku dan bicaramu sendiri bagaimana?”
tanya Peri Sesepuh pula yang kembali menciptakan Peri Bunda menjadi tak bisa menjawab. “Peri Bunda , saya minta kamu segera kembali ke Negeri Atas Langit…”
“Tapi bagaimana dengan Peri Angsa Putih? Saya khawatir ia berada dalam keadaan bahaya…”
“Diri Peri Angsa Putih tak perlu kamu khawatirkan. Biar saya yang mengurusi. Hanya harap katakan padaku ke mana kira-kira perginya orang-orang itu. Termasuk Peri Angsa Putih…”
“Kemungkinan besar mereka menuju ke Goa Pualam Lamerah ,” menjelaskan Peri Bunda.
“Kalau begitu biar saya yang mengejar ke sana. Kau kembali kini juga!”
“Baik wahai Peri Sesepuh…” Peri Bunda memberi hormat kemudian tinggalkan tempat itu.
Peri Sesepuh usap wajahnya yang selalu keringatan.
Lalu sambil gelengkan kepala ia berkata sendiri. “Pemuda asing berjulukan Wiro Sableng , tidak ditolong salah , ditolong juga salah. Apa yang harus kulakukan terhadapmu?”
***
9
DI LERENG bukit yang sejuk dan sunyi , Pendekar 212 Wiro Sableng tegak berdiri sementara Luhjelita yummy saja membaringkan diri di tanah di atas rerumputan. Matanya tak lepas-lepasnya menatap wajah si cowok sedang senyum terus bermain di bibirnya yang merah. Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.“Kita sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan apa yang hendak kamu bicarakan?” bertanya Wiro.
Luhjelita balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah sambil dua tangannya ditopangkan ke dagu. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa melihat sosok tubuh cuilan atas si gadis , putih dan kencang. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. “Aku banyak mendengar sifat aneh gadis ini dari Lakasipo. Aku harus berhati-hati…”
“Wahai Wiro ,” Luhjelita berkata. “Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun mata dilayangkan terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru membicarakan segala urusan?”
Wiro tersenyum. “Kau membawaku lantaran katamu ada yang hendak kamu bicarakan. Jika kamu tidak mau segera bicara biar saya yang bicara duluan.”
“He… Bicaralah , saya ingin mendengarkan ,” kata Luhjelita pula sambil melontarkan senyum dan kedipkan matanya.
“Apa betul kamu kekasih Hantu Muka Dua?”
Sepasang alis mata Luhjelita menjungkat ke atas. Dua matanya dibesarkan. Lalu bunyi tawanya yang panjang dan merdu mengumandang di lereng bukit itu. “Kau rupanya keliwat mempercayai kata-kata Peri Angsa Putih…”
“Lakasipo pernah menceritakan padaku tentang
kejadian di Goa Pualam Lamerah , tempat kediamanmu…”
“Wahai! Coba jelaskan apa yang diceritakannya…”
“Di goa itu kamu melaksanakan sesuatu terhadapnya…”
“Sesuatu apa?”
“Lakasipo sendiri tidak tahu pasti. Yang terang kamu meninggalkannya begitu saja di goa itu dan tahu-tahu muncul Hantu Muka Dua. Apa tujuanmu? Kau mengundang Lakasipo ke goamu. Di dikala yang bersamaan Hantu Muka Dua muncul di situ! Kalau tak ada kekerabatan apa-apa bagaimana Hantu Muka Dua bisa tiba ke Goa Pualam Lamerah? Lalu pada Lakasipo , Hantu Muka Dua sendiri menyampaikan bahwa kamu yaitu kekasihnya!”
Luhjelita keluarkan bunyi berdecik berulang kali dari mulutnya. Kepalanya digeleng-gelengkan dan matanya dibesarkan memandang ke langit. “Hantu Muka Dua makhluk gila basa! Aku hanya memberi senyum dan bicara ramah. Dia telah menganggap saya kekasihnya! Wahai! Sungguh gila! Aku memang bukan insan apa-apa. Kecantikanku tidak ada artinya dibanding Peri Angsa Putih yang kamu kagumi itu! Tetapi saya tidak terlalu tolol untuk mau jadi kekasih Hantu Muka Dua…”
“Kau mengharapkan sesuatu dari makhluk itu. Sebagai imbalannya…:”
“Kujual diriku padanya?! Begitu bukan kanal ucapanmu? Hik… hik… hik! Aku belum buta , saya belum pikun dan tidak picik. Jika di usia semuda ini saya harus jatuh cinta , kuliner saya jatuh cinta pada Hantu Muka Dua , sementara masih banyak cowok gagah di Negeri Latanahsilam ini? Aku tidak malu-malu menyampaikan bahwa saya kagum terhadapmu. Tapi saya juga maklum dan tahu diri siapa diriku!”
“Luhjelita , dengar dulu. Aku…”
“Sudahlah Wiro , tadinya memang ada beberapa hal yang hendak saya tanyakan padamu. Tetapi sebaiknya kubatalkan saja. Aku mendengar bunyi aliran air di kejauhan. Aku ingin mandi. Pertemuan kita cukup hingga di sini saja…”
“Tunggu dulu!” seru Wiro.
Tapi Luhjelita mirip merajuk dan melompat ke balik pohon. Sebelum itu ia memberi tanda pada Laecoklat biar kura-kura raksasa itu terbang mengikutinya dari udara.
Ternyata Luhjelita mempunyai ilmu lari bukan sembarangan. Walau Wiro kerahkan kepandaian tetap saja ia tertinggal belasan tombak di belakang. Di kejauhan kelihatan sebuah telaga kecil di tempat ketinggian. Dari sebuah celah bebatuan air telaga mengalir ke tempat rendah membentuk sungai kecil. Luhjelita lari menuju telaga di tempat ketinggian itu. Wiro yang hendak mengejar mendadak hentikan larinya ketika dilihatnya di tepi telaga Luhjelita menanggalkan pakaian kemudian mencebur masuk ke dalam air.
Mau tak mau sang pahlawan terpaksa hentikan pengejarannya. Malah ia melangkah berbalik surut dan akhirnya duduk di balik serumpun semak belukar , mencelupkan ke dua kakinya ke dalam sungai kecil yang airnya berasal dari telaga , tak berani memandang ke jurusan telaga.
Setelah menimbang-nimbang sesaat akhirnya Wiro memutuskan untuk tinggalkan tempat itu. “Daripada cari kasus dengan gadis itu , lebih baik saya pergi saja. Aku harus segera menemui Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. Bagaimana keadaan mereka. Apa mereka telah menerima tanda untuk meneguk obat yang bisa membesarkan tubuh mereka?” Baru saja Wiro mengangkat kakinya dari dalam sungai kecil tiba-tiba pandangannya membentur sekuntum bunga mawar berwarna kuning dihias dua helai daun hijau , meluncur di permukaan air sungai menuju ke arahnya.
“Bunga mawar kuning. Bagus sekali. Belum pernah saya melihat bunga mawar mirip ini…” kata Wiro. Lalu ia membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan orang begitu bunga dipegang murid Eyang Sinto Gendeng ini eksklusif dekatkan ke hidungnya kemudian mengendus bunga itu. “Heiii… harum sekali ,” kata Wiro pula. “Bunga sebagus ini dari mana datangnya?” Pendekar 212 memandang ke arah telaga. “Eh…!” Kening Wiro mengerenyit. Dikedipkedipkannya matanya. Lalu diusapnya. “Aneh , apa yang teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur. Lebih aneh lagi , dadaku sesak. Kepalaku mirip pusing!”
Wiro pandangi bunga yang dipegangnya. Sedekat itu sang bunga berada di depan matanya namun ia tak bisa melihat dengan jelas. “Ada yang tidak beres! Bunga mawar kuning yang barusan kucium. Jangan-jangan mengandung racun jahat! Celaka!”
Wiro mulai huyung. “Menurut Eyang Sinto Gendeng saya kebal segala macam racun. Tapi racun bunga itu niscaya jahat sekali…”
Dalam keadaan mirip itu , sebelum tubuhnya roboh Wiro segera susupkan tangannya ke balik pakaian. Dengan cepat ia memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212 kemudian mengatur jalan nafas dan kerahkan tenaga dalam menolak racun jahat yang memasuki jalan pernafasan dan peredaran darahnya. Tubuhnya terasa hangat sesaat. Hawa sakti yang ada dalam senjata mustika itu berusaha mendorong keluar racun jahat yang tersedot Wiro. Namun racun dalam bunga jauh lebih hebat. Setelah megapmegap berusaha menarik nafas dalam Wiro akhirnya roboh tertelentang di tepi sungai kecil. Walau ia tidak pingsan dan ingatannya tidak hilang sama sekali , namun pemandangannya sangat kabur dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
Dalam keadaan tidak berdaya mirip itu tiba-tiba ada satu bayangan guram tegak di hadapannya. Bayangan ini membisu sesaat kemudian membungkuk dan berlutut di sampingnya. Wiro merasa ada seseorang meraba tubuhnya. Tengkuknya merinding namun ia tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Lalu rabaan itu turun ke bawah. Terasa ada tangan-tangan yang dengan cepat membuka ikatan celana yang dikenakannya.
“Heeee… Ada senjata aneh. Berbentuk kapak bermata dua. Ini apa lagi… Sebuah watu hitam… Aku tidak butuh dua benda ini…”
Wiro sempat mendengar bunyi orang berucap. Tapi tidak niscaya apa itu bunyi lelaki atau bunyi perempuan. Datangnya seolah dari jauh sekali.
“Gila… Apa yang dilakukan makhluk berbentuk bayangan ini!” Wiro masih bisa membatin. Lalu lapat-lapat seolah berada di kejauhan Wiro mendengar bunyi seseorang keluarkan pekik kejut perlahan dan tertahan. Kemudian celananya ditarik orang ke bawah. Pada dikala itulah mendadak kesunyian di tepi sungai kecil di lereng bukit itu dirobek oleh bunyi tambur.
Orang yang tengah menggerayangi Pendekar 212 tersentak kaget. Dia berusaha bertindak cepat namun si pemukul tambur sudah muncul di balik pohon sana. Di atas kepalanya ia menjunjung sebuah payung terbuat dari daun kering. Dari mulutnya meluncur bunyi nyanyian.
“Na… na… na… Ni… ni… ni! Ada apa di sana , ada apa di sini! Meraba ke balik celana. Pasti tersentuh si pundipundi! Na… na… na! Ni… ni… ni!”
“Celaka! Aku tak punya kesempatan! Bagaimana bau tanah bangka sinting itu bisa muncul di sini!”
Baru saja orang itu berkata begitu tiba-tiba sebuah benda yang bukan lain yaitu payung daun kering menyambar ke arahnya. Tahu gelagat tidak baik , orang yang tengah menggerayangi Wiro tak berani menghantam payung aneh itu. Dengan cepat ia jatuhkan diri ke tanah , bergulingan kemudian lenyap di balik semak belukar di cuilan bawah sungai kecil. Sesaat kemudian sebuah benda tibatiba memukul cuilan tengah perut Pendekar 212 Wiro Sableng. Tepat di cuilan pusar! Benda itu bukan lain yaitu ujung tangkai payung daun kering yang tadi menyambar di udara seolah hendak menyerang sosok yang berada di dekat Pendekar 212.
***
10
PENDEKAR 212 Wiro Sableng pulih keadaannya mirip semula. Terheran-heran ia duduk menjelepok di tanah di tepi sungai kecil itu. “Apa yang terjadi dengan diriku?” Dia bertanya dalam hati.Memandang ke kiri dilihatnya Kapak Maut Naga Geni 212 serta pasangan watu hitam tergeletak di tanah. Cepat dua senjata mustika ini disimpannya ke balik bajunya. Saat itulah ia menyadari bahwa ikatan tali celana putihnya terbuka dan celana itu sendiri merosot hingga ke pangkal paha. “Gila! Apa yang telah saya lakukan? Bagaimana mungkin celana ini bisa lepas begini rupa? Aku ingat betul… walau tadi mirip mau pingsan , lemas dan tidak bisa melihat , tapi saya tidak membuka celana ini!” Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Matanya membentur mawar kuning yang tercampak di tebing sungai. Otaknya berpikir lagi. Pada dikala itulah telinganya menangkap bunyi gendang dibarengi bunyi orang menyanyi na-na-na ni-ni-ni!
“Kakek Si Pelawak Sinting!” ujar Wiro setengah berseru. Sesaat kemudian seorang kakek bermuka kempot , mempunyai dua mata belok dan hidung pesek serta verbal monyong tonggos telah berdiri di hadapan Wiro sambil memukul sebuah tambur dan bernyanyi-nyanyi. Di atas ubun-ubun kepalanya menclok sebuah payung terbuat dari daun-daun kering.
“Pelawak Sinting! Pasti kamu yang melakukan! Pasti kamu yang punya pekerjaan!” Wiro membentak.
Kakek pesek itu monyongkan mulutnya , simpan gendang dan penabuhnya di dalam kantong panjang , rangkapkan tangan di depan dada kemudian bertanya. “Apa katamu?! Aku melaksanakan apa? Memangnya saya mengerjakan apa?!”
“Kau melepas ikatan tali celanaku kemudian merorotkan celanaku hingga ke paha!” kata Wiro pula. “Siapa lagi kalau bukan kamu yang melakukan! Sebelumnya kamu telah mengerjai saya mirip itu!”
Payung di atas kepala si kakek mumbul hingga beberapa jengkal. Lalu ia tertawa gelak-gelak.
Wiro jadi tambah jengkel ia melompat berdiri. “Kek!
Jangan kamu tertawa! Mengaku saja! Saya…” Wiro mendadak jadi kelabakan lantaran gres sadar dikala itu ia berdiri dengan tubuh bugil sebelah bawah lantaran lupa mengikat kembali tali celana putihnya. Si Pelawak Sinting tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut murid Sinto Gendeng. Wiro cepat-cepat menarik celananya ke atas dan mengikatnya kuat-kuat , merapikan letak kapak dan watu hitam.
“Anak muda! Terima kasih atas tuduhanmu! Tapi apa perlu saya membukai celanamu! Celana wanita saja tak ingin saya bukai! Ha… ha… ha…!”
“Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kau. Selain itu kamu punya kesukaan buruk , tukang merorotkan celana orang!”
“Waw… waw! Merorotkan celana orang apakah itu satu kejelekan? Aku sendiri pakai celana melorot mirip itu! Lihat saja!” Lalu si kakek putar tubuhnya memperlihatkan pantatnya yang memang tersingkap lantaran celananya sengaja dilorotkan di cuilan belakang! “Anak muda , bergotong-royong tadi saya tidak mau mengganggu kamu lagi asyik bersama kekasihmu. Bercumbu rayu boleh-boleh saja. Tapi kalau hingga main gerayang-gerayangan ke dalam celana , walau ini tempat sunyi , kurasa sudah melewati batas! Pasti tadi kamu keenakan ya diraba-raba mirip itu? Ha… ha…ha!”
“Kek , jangan kamu berkata yang bukan-bukan! Apa maksud ucapanmu. Siapa yang bercumbu rayu! Siapa yang meraba-raba! Siapa yang punya kekasih?!”
Si Pelawak Sinting tertawa panjang kemudian menjawab.
“Terima kasih kamu tidak mau mengaku. Tapi saya melihat dengan mata kepala sendiri…”
“Gila!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Saya sendirian di tempat ini! Tapi coba katakan apa yang kamu lihat Kek?!”
“Terima kasih kamu memintaku memberi penjelasan!”
jawab Si Pelawak Sinting. Lalu ia bercerita. “Waktu saya hingga di tempat ini kulihat kamu berbaring menelentang , matamu terbuka meram melek tanda kamu sedang keenakan. Kan begitu tandanya orang keenakan? Betul tidak? Hik… hik… hik!”
“Teruskan saja ceritamu Kek…” kata Wiro menahan jengkel.
“Di sampingmu duduk seorang gadis. Dia tengah meraba-raba ke balik celanamu…”
“Gila! Kau mengarang dongeng atau bagaimana?!”
“Terima kasih kamu menganggap begitu! Tapi saya tidak mengarang cerita. Aku melihat dengan dua mataku ini!”
Lalu si kakek buka lebar-lebar matanya yang belok dan monyongkan mulutnya yang tonggos.
“Seorang gadis merabai diriku…!” Wiro menatap tajam wajah bau tanah di depannya. “Apa warna pakaian gadis itu?! Jingga?!”
“Tidak ada warna apa-apa…”
“Tidak ada warna bagaimana! Orang berpakaian walau terbuat dari apa niscaya ada warna. Hitam , putih , biru atau merah atau jingga…”
“Gadis itu tidak mengenakan pakaian. Dia jongkok di sampingmu dalam keadaan bugil! Kaprikornus apa salah kalau kukatakan saya tidak tahu warna pakaiannya? Ha… ha…ha… ha!”
“Edan! Benar-benar edan…!” kata Wiro sambil menggaruk kepalanya habis-habisan.
“Sekarang sesudah tertangkap berair kamu akal-akalan marah. Tadi waktu diraba-raba kamu membisu saja keenakan…”
“Kek , jangan kamu menduga yang bukan-bukan. Sesuatu yang aneh telah terjadi dengan diriku…”
“Kau betul anak muda. Sekarang sebaiknya kamu periksa cuilan bawah perutmu. Apa perabotanmu masih lengkap? Jangan-jangan sudah dicopot dan dilarikan gadis bugil itu…”
“Enak saja kamu bicara…”
“Eh , jangan berkata mirip itu. Tadi kamu bilang sesuatu yang aneh telah terjadi dengan dirimu. Lekas kamu periksa di balik celanamu! Kalau kamu hingga hidup tanpa perabotan seumur-umur…”
Murid Sinto Gendeng jadi bimbang. Tapi ia merasa malu untuk menyidik cuilan bawah tubuhnya itu.
“Wahai! Bukankah di negeri kelahiranmu ada orang yang punya ilmu aneh dan jahat. Yaitu bisa mencopot dan memasang kembali perabotan orang. Tunggu… kalau tidak salah orangnya berjuluk Datuk Lembah Akhirat…”
Air muka Pendekar 212 jadi pucat. “Bagaimana kamu bisa tahu hal itu?” tanyanya dengan bunyi gemetar (Mengenai Datuk Lembah Akhirat harap baca serial “Tua Gila Dari Andalas” , terdiri dari 11 Episode).
“Aku cuma dengar-dengar saja. Tapi benar , kan? Nah , kini apakah kamu masih belum mau menyidik keadaan dirimu?”
Dada sang pahlawan jadi berdebar. Tanpa tunggu lebih lama dan tanpa merasa malu lagi segera Wiro longgarkan ikatan tali celananya kemudian memperhatikan ke bawah. Masih belum puas ia susupkan tangan kirinya.
“Untung Kek…” kata Wiro dengan wajah lega.
“Untung bagaimana maksudmu?”
“Masih ada Kek. Masih lengkap…” jawab Wiro.
“Kantong menyannya masih ada?”
Wiro mengangguk.
“Lontong tak berdaunnya masih ada?”
Wiro mengangguk lagi.
“Ijuknya juga masih ada?”
“Brengsek kamu Kek!”
“Eh , saya tanya ijuknya masih ada atau tidak?!”
“Adaaaa!!!” jawab Wiro keras-keras.
Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Wiro memandang ke puncak bukit , ke arah telaga. Sepi , tak ada siapa-siapa. Gadis bagus berjulukan Luhjelita itu tak kelihatan lagi di sana. Lalu ia memungut bunga mawar kuning yang tergeletak di tanah dan mengacungkannya pada si kakek.
“Kek , seumur hidup gres sekali ini saya melihat bunga mawar berwarna kuning. Ketika tadi saya mengendus keharumannya tiba-tiba saja pemandanganku menjadi kabur…”
“Lekas kamu buang bunga celaka itu! Mawar kuning itu bunga beracun yang bisa membunuh. Jangankan insan , gajah besarpun bisa kelojotan dan menemui maut kalau menciumnya. Kau beruntung tidak hingga mati. Berarti kamu menyimpan satu ilmu kesaktian yang bukan sembarangan…”
“Aku tidak punya ilmu apa-apa. Tapi saya ingin bilang terima kasih padamu. Kalau kamu tidak muncul mendadak di tempat ini mungkin sesuatu yang lebih buruk telah terjadi atas diriku…”
“Terima kasih kamu menganggap saya menolongmu. Padahal tidak…” jawab Si Pelawak Sinting sambil menyeringai.
“Kek , kamu mungkin tahu asal-usul bunga mawar kuning itu? Dari mana asalnya… Siapa pemiliknya…”
“Wahai , siapa pemiliknya saya tidak tahu anak muda. Tapi dari mana berasalnya memang saya tahu…”
“Dari mana?” tanya Wiro.
“Mawar kuning berbisa itu hanya tumbuh di lapisan langit ke tujuh. Di alam kehidupan para Peri…”
Wiro terkejut. Dadanya bergetar dan mukanya berubah.
“Kalau begitu ini yaitu pekerjaan Peri Angsa Putih!”
“Terima kasih kamu pandai menuduh. Tapi jangan sekalikali berprasangka buruk tanpa bukti!” mengingatkan Si Pelawak Sinting.
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Saya berkata begitu lantaran Peri Angsa Putihlah satu-satunya Peri yang saya temui sebelumnya… Saya harus menyidik hal ini! Saya harus mencari Peri Angsa Putih dan menanyainya!” Wiro kepalkan tangan kanannya penuh perasaan geram.
“Sudahlah , saya tidak mau ikut campur urusanmu. Aku mau pergi. Apa kamu mau ikut?”
“Kau mau menyuruh saya memayungimu lagi , kamu bernyanyi dan menari. Dan saya mengikuti ke mana kamu pergi?”
Si Pelawak Sinting tertawa bergelak. “Terima kasih kamu menyatakan ketidaksenanganmu. Tapi sekali ini saya mengajakmu untuk berbuat pahala!”
“Apa maksudmu Kek? Jangan-jangan kamu hendak mengerjai saya lagi ,…”
“Sekali ini tidak. Maksudku belum. Aku mau menolong sahabatku si Hantu Tangan Empat dari tekanan Hantu Muka Dua. Jika orang-orang mirip Hantu Tangan Empat tidak ditolong , Hantu Muka Dua semakin merajalela. Hantu Muka Dua telah menculik Luhbarini , istri Hantu Tangan Empat. Perempuan itu disekapnya di satu liang watu tak jauh dari istana yang tengah dibangunnya yakni Istana Kebahagiaan. Dengan menguasai Luhbarini , Hantu Muka Dua bisa memaksa Hantu Tangan Empat melaksanakan apa saja. Termasuk memerintahnya untuk membunuhmu!”
“Tapi… Saya lihat Hantu Tangan Empat mirip pasrah saja. Tidak berusaha membebaskan istrinya.”
“Dia tidak berdaya. Tidak bisa melaksanakan apa-apa sekalipun ilmunya tinggi…”
“Kalau saya tidak salah Hantu Tangan Empat masih kakek Peri Angsa Putih. Mengapa para peri tidak turun tangan membantu?”
“Hantu Muka Dua ilmunya sangat tinggi , terkadang sangat aneh. Selain itu ia punya belasan kaki tangan yang juga berkepandaian tinggi. Di antara mereka banyak yang terpaksa atau terjebak masuk perangkap Hantu Muka Dua. Seperti yang terjadi dengan Hantu Tangan Empat. Kalau nekad mungkin ia bisa menyerbu ke tempat kediaman Hantu Muka Dua. Tapi kalau kelak istrinya sendiri menjadi korban apa gunanya? Sekarang saya punya maksud hendak menolong membebaskan istri Hantu Tangan Empat. Kau mau ikut bersamaku?”
“Tentu mau Kek. Aku perlu membayar hutang budi Hantu Tangan Empat yang pernah saya terima…” jawab murid Eyang Sinto Gendeng pula.
“Terima kasih kamu punya pikiran begitu. Ayo ikuti aku!”
Si kakek keluarkan tambur dan penabuhnya. Ketika ia siap menyanyi tiba-tiba ia melompat mundur sambil tarik tangan Wiro , menyelinap ke balik serumpunan semak belukar.
“Ada apa Kek?” tanya Wiro.
“Sssstt… jangan keras-keras bicara. Lihat ke depan sana…” Si Pelawak Sinting monyongkan verbal tonggosnya ke arah lereng menurun di bawah sana. Wiro cepat memperhatikan. Dia melihat kobaran api aneh bergerak cepat ke arah timur.
“Celaka! Kita kedahuluan!” ujar Si Pelawak Sinting.
“Lekas ikuti aku!” Sekali bergerak kakek itu sudah berada tiga tombak di sebelah depan.
***
11
SESAAT Wiro merasa bimbang. Tapi ketika ia ingat hutang budi pada Hantu Tangan Empat segera saja ia berkelebat menyusul Si Pelawak Sinting. Wiro tak perlu bertanya apa yang terjadi atau siapa yang tengah mereka ikuti. Di sebelah depan sana ia melihat satu sosok aneh , berlari cepat ke arah timur di mana terdapat tempat berbatu-batu berwarna kelabu. Sosok itu tidak beda adanya dengan sosok tubuh manusia. Tapi anehnya sekujur tubuh mulai dari kepala hingga ke kaki dikobari api! Anehnya lagi api itu tidak berwarna merah tapi kebirubiruan menandakan panas dan daya bakarnya lebih hebat dari api biasa!Sambil lari orang ini memanggul sesosok tubuh. Ketika Wiro memperhatikan , astaga! Kagetlah sang pendekar. Orang yang dipanggul makhluk api itu ternyata yaitu si kakek Hantu Tangan Empat! Luar biasanya , walau dipanggul di atas pundak yang dikobari api namun sosok Hantu Tangan Empat tidak ikut terbakar!
“Kek , siapa adanya insan berapi itu?!” tanya Wiro pada Si Pelawak Sinting.
“Hantu Api Biru! Itu nama panggilannya! Wahai! Dia yaitu salah satu dari tokoh hebat di Latanahsilam yang telah kena dibujuk Hantu Muka Dua , dijadikan kaki tangan pembantunya!”
“Celaka kalau begitu! Bagaimana Hantu Tangan Empat bisa jatuh ke tangannya? Kita harus segera membebaskan kakek itu!”
“Jangan gegabah anak muda! Hantu Api Biru tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Kita ikuti saja dulu makhluk itu. Kurasa ia niscaya akan membawa Hantu Tangan Empat ke sarangnya Hantu Muka Dua. Kalau saya tidak salah menduga di balik tempat watu kelabu itu terletak liang watu di mana istri Hantu Tangan Empat disekap. Lalu di seberangnya tengah dibangun apa yang dinamakan Istana Kebahagiaan!”
“Saya berdasarkan saja. Makin cepat kita menolong Hantu Tangan Empat dan istrinya makin baik!” ujar Pendekar 212.
Makhluk yang tubuhnya dikobari api biru hingga ke tempat yang dipenuhi batu-batu besar dan tinggi berwarna kelabu. Dia memandang berkeliling mirip mencari-cari sesuatu. Ketika matanya membentur sebuah watu yang di sebelah atasnya ditumbuhi cendawan hitam , makhluk ini segera berkelebat ke watu itu kemudian pergunakan tumitnya untuk menendang watu tiga kali berturut-turut. Wiro bersama Si Pelawak Sinting yang mendekam di balik sebuah watu memperhatikan bagaimana dua buah watu kelabu di depan watu yang ditumbuhi cendawan hitam tiba-tiba bergeser ke samping disertai bunyi berdesing halus. Di antara dua watu besar yang membuka itu kini kelihatan sebuah liang yang merupakan tangga turun setinggi tiga tombak. Hantu Api Biru segera melompat ke dalam liang batu. Dua buah watu besar kembali keluarkan bunyi berdesing kemudian merapat. Liang watu lenyap dari pemandangan. Si Pelawak Sinting melirik pada Wiro. Dia menunggu sesaat kemudian tarik lengan cowok itu dan melompat ke arah watu pembuka liang. Seperti yang dilakukan Hantu Api Biru , Si Pelawak Sinting hunjamkan tumitnya tiga kali berturut-turut. Dua watu besar serta merta terkuak ke samping.
“Cepat!” ujar Si Pelawak Sinting kemudian menerobos masuk ke dalam liang batu.
Wiro mengikuti dengan perasaan tegang. Ketika liang menutup kembali ternyata ruang di bawahnya tidak menjadi gelap. Si Pelawak Sinting hingga di cuilan terbawah tangga batu. Kakek ini kemudian menyusup ke sebuah lorong. Di depan sana kelihatan cahaya terang dari nyala api di tubuh Hantu Api Biru. Di sebelah ujung , lorong bercabang dua. Si Pelawak Sinting membelok ke kiri. Saat itu timbul tanda tanya di benak murid Sinto Gendeng. Mengapa si kakek eksklusif saja menentukan lorong yang sebelah kiri. Namun ia tidak punya waktu untuk berpikir panjang.
Tak selang berapa lama sosok Hantu Api Biru kelihatan di depan sana. Tegak di sebuah lobang watu yang sangat besar. Menurut perhitungan Wiro lobang itu berukuran tinggi sekitar lima tombak sedang panjang dan lebarnya kira-kira delapan kali delapan tombak. Dari tempatnya berdiri yang berada di ketinggian , Pendekar 212 melihat beberapa sosok tubuh bergeletakan di lantai lobang watu itu. Lalu ada satu sosok tubuh seolah dicetak , terpendam ke dalam salah satu dinding. Lapat-lapat terdengar bunyi mirip orang merintih.
“Ruangan apa itu Kek ,” tanya Pendekar 212 dengan tengkuk agak dingin.
Belum sempat ia mendapatkan jawaban di bawah sana Hantu Api Biru kelihatan turunkan sosok Hantu Tangan Empat kemudian tiba-tiba sekali Hantu Tangan Empat dilemparkannya ke dalam lobang besar itu.
Bukkkkk!
Sosok Hantu Tangan Empat bergedebuk di lantai batu. Tidak keluarkan bunyi tidak juga bergerak.
“Jahanam! Kita harus segera menghajar makhluk api itu Kek!” Wiro mulai tidak sabaran. “Ini niscaya ruang penyekapan! Mungkin istri Hantu Tangan Empat juga ada di sini!”
Si Pelawak Sinting melintangkan jari telunjuknya di atas mulutnya yang monyong kemudian berkata. “Ikuti aku…”
Sambil memegang tangan kiri Wiro ia bergerak cepat ke bawah. Begitu kakinya menginjak tepi lobang watu , si kakek berseru , “Hantu Api Biru! Aku datang!”
Sosok yang dikobari nyala api putar tubuhnya. Lalu tertawa mengekeh. “Aku sudah menjalankan tugasku! Bagaimana dengan kamu wahai kerabatku?!”
“Jika kamu bisa mengapa saya tidak! Lihat siapa di sampingku!” Si Pelawak Sinting menjawab.
Hantu Api Biru memandang pada Wiro yang tegak mulai merasa heran bahkan curiga. Bicara kedua orang itu menciptakan ia tersentak tidak enak. Hantu Api Biru tertawa mengekeh. Si Pelawak Sinting menimpali. Tiba-tiba , sama sekali tidak terduga oleh murid Eyang Sinto Gendeng , Si Pelawak Sinting dorong tubuhnya. Demikian hebatnya kekuatan dorongan itu menciptakan Wiro tidak bisa mempertahankan diri dan tak ampun lagi tubuhnya melayang jatuh , masuk ke dalam lobang watu besar! Dalam jatuhnya masih untung Pendekar 212 tidak panik dan kehilangan akal. Dengan cepat ia kerahkan ilmu meringankan tubuh kemudian berjungkir balik dua kali hingga begitu jatuh ia tetap berdiri di atas dua kakinya. Di atas sana , di tepi lobang watu , Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
“Jahanam! Aku tertipu! Kakek sinting itu ternyata kaki tangan Hantu Muka Dua! Mengapa saya jadi sebodoh ini?!”
Wiro memaki habis-habisan. Dia kerahkan hawa sakti ke kaki , siap mengenjot ke atas untuk melesat keluar dari dalam lobang batu. Lobang setinggi lima tombak itu tidak terlalu tinggi untuk bisa dilompatinya. Tapi ketika sosoknya gres mencapai ketinggian tiga tombak tiba-tiba ada hawa aneh tiba dari atas , menekan tubuhnya demikian rupa hingga ia terbanting ke bawah. Wiro semakin marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sampai tiga kali dicobanya tetap saja ia terbanting jatuh kembali! Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.
“Pelawak Sinting! Kakek sialan penipu! Kalau kamu tidak segera keluarkan saya dari tempat ini akan kuhabisi kamu dikala ini juga!” Wiro mengancam kemudian kerahkan hawa sakti ke tangan kanan. Tangan itu mulai dari siku ke bawah serta merta bermetamorfosis putih perak menandakan ia siap melepaskan pukulan Sinar Matahari.
“Anak muda , percuma saja. Tak ada satu kekuatanpun yang sanggup menembus Tabir Roh yang mengapung di atas permukaan lobang ini. Lagi pula makhluk yang kamu panggil dengan nama Pelawak Sinting itu bukan Pelawak Sinting lantaran akulah Si Pelawak Sinting sebenarnya!”
Tentu saja murid Sinto Gendeng tersentak kaget mendengar bunyi itu. Dia berpaling ke dinding sebelah kiri. Astaga! Yang barusan bicara yaitu sosok yang mendekam amblas di dalam dinding watu itu! Dan yang paling menciptakan Wiro melengak besar yaitu ketika menyaksikan bagaimana raut muka , bentuk sosok tubuh orang ini sangat sama dan ibarat Si Pelawak Sinting!
“Bagaimana mungkin!” pikir Wiro.
Di atas sana tiba-tiba terdengar Si Pelawak Sinting berseru. “Pendekar 212 Wiro Sableng , kamu dan semua yang ada dalam lobang celaka itu akan menemui kematian secara perlahan-lahan. Mungkin satu tahun , mungkin tiga atau lima tahun. Kalian akan lepas dari kematian kalau bersedia tunduk patuh menjadi anak buah pembantu Hantu Muka Dua! Untuk itu orang-orang kami akan tiba menanyaimu sekali dalam tujuh hari!”
“Manusia tonggos keparat! Kau rasakan dulu ini!” teriak Wiro marah. Tanpa pikir panjang ia eksklusif lepaskan pukulan Sinar Matahari! Sinar putih panas menyilaukan berkiblat ke atas.
Bummmm! Bummmm!
Dua letusan keras menggelegar. Lobang watu bergetar hebat. Pukulan Sinar Matahari musnah tanpa bekas pada ketinggian empat tombak! Wiro jatuh terbanting di lantai!
Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. Dia balikkan tubuhnya dan songgengkan pantatnya ke arah Wiro. Ketika bersama Hantu Api Biru ia hendak tinggalkan tempat itu , orang yang melesak di dalam dinding watu berteriak.
“Labodong! Kau makhluk jahanam! Kembalikan payung , tambur dan penabuh milikku! Kalau saya benarbenar menemui maut di tempat ini rohku akan tiba mencarimu dan mencekikmu hingga mampus!”
Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. “Aku memang tidak lagi memerlukan barang-barang busuk ini! Ambil saja kembali!” Dari atas sana Si Pelawak Sinting kemudian lemparkan ke dalam lobang payung daun , tambur serta penabuhnya. Lalu sambil tertawa-tawa bersama Hantu Api Biru ia tinggalkan tempat itu.
“Sialan! Benar-benar sialan!” maki Wiro tidak habishabisnya meratapi diri dalam kemarahan yang hampir tidak terbendung.
“Tidak ada kesialan dalam hidup ini wahai anak muda. Yang ada ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi atas diri kita sudah diatur oleh para Dewa penguasa alam…”
Wiro hendak memaki tapi ketika sadar yang berucap itu yaitu sosok yang melesak ke dinding watu ia segera palingkan kepala.
“Kek , siapa kamu adanya?! Bagaimana wajah dan bentuk tubuhmu sangat sama dengan insan di atas sana yang tadi menyonggengkan pantatnya?” Wiro ejekan pertanyaan.
“Terima kasih! Pertanyaanmu segera akan kujawab. Tapi harap kamu lebih dulu turun tangan menolong Hantu Tangan Empat…” Orang yang melesak di dalam dinding watu menjawab.
Mendengar ucapan itu Wiro segera mendekati sosok Hantu Tangan Empat yang tergeletak di lantai ruangan.
“Aneh , ia dilemparkan dari ketinggian sana. Tapi tak ada bekas cidera sedikitpun…” Wiro membatin begitu ia menyidik keadaan Hantu Tangan Empat. Segera saja ia kerahkan tenaga dalam. Sambil tempelkan dua tangannya ke dada dan pusar si kakek perlahan-lahan Wiro alirkan tenaga dalam.
Sesaat kemudian kakek itu mulai siuman dan buka sepasang matanya. Selagi pemandangannya masih mengabur kakek bermuka datar ini lapat-lapat mendengar bunyi erangan. Dia kenali betul bunyi itu. Hantu Tangan Empat cepat bangun dan duduk. Lalu memandang seputar ruangan. Dia kembali memandang ke arah Wiro. Ingatannya masih belum jernih.
“Anak muda , saya rasa-rasa pernah melihat wajahmu. Di mana saya berada dikala ini?”
“Wahai kerabatku Hantu Tangan Empat ,” sosok yang melesak di dinding berkata. “Istrimu Luhbarini ada di sudut kiri sana. Keadaannya mengenaskan. Tapi kamu niscaya bisa menolongnya.”
Mendengar ucapan itu Hantu Tangan Empat segera berdiri. Memandang ke sudut kiri ruangan nafasnya serasa berhenti. Satu sosok tubuh wanita dilihatnya terhantar di lantai ruangan , kurus mengenaskan , tak bergerak tapi keluarkan bunyi erangan.
“Istriku Luhbarini! Wahai!” Hantu Tangan Empat berseru setengah menggerung. Lalu ia lari dan jatuhkan diri , memeluk sosok tubuh istrinya kemudian merangkulnya. Suara erangan terputus. Dua mata yang selama ini terkatup , membuka sedikit. Lalu terdengar bunyi berucap halus dan lirih. “Hantu Tangan Empat , suamiku! Kaukah yang memeluk diriku dikala ini…”
“Luhbarini. Ini memang saya suamimu. Hantu Tangan Empat…”
“Ah… Kau kutunggu begitu lama. Mengapa gres tiba sekarang?”
Sepasang mata Hantu Tangan Empat berkaca-kaca.
“Maafkan diriku wahai Luhbarini. Keadaan membuatku tidak berdaya. Tapi dikala ini saya tidak peduli lagi. Kita harus keluar dari tempat ini sekalipun putus nyawa di tubuh , mati jazad berkalang tanah.”
Hantu Tangan Empat peluk tubuh istrinya erat-erat. Kedua orang ini saling rangkul dan sama-sama terisak. Wiro hanya bisa memperhatikan dengan perasaan haru. Dia memandang berkeliling. Dalam liang watu itu beberapa sosok insan dilihatnya bergeletakan di sana sini. Mereka niscaya musuh-musuh Hantu Muka Dua yang menjadi korban disekap di tempat ini , pikir Wiro. Dia bermaksud mendekati orang-orang itu kalau-kalau bisa menolong. Namun orang bau tanah yang terpendam di dinding watu tiba-tiba keluarkan ucapan.
“Anak muda , terima kasih. Tapi tak ada gunanya menolong mereka. Mereka semua telah jadi mayat…”
Wiro terkesima dan hentikan langkah. “Kakek di dinding , kamu belum menerangkan siapa dirimu. Bagaimana kamu hingga disekap di sini dan bagaimana saya bisa menolongmu. Lalu bagaimana kita bisa selamatkan diri keluar dari tempat ini…”
“Aku yaitu Labudung , adik kembar dari Labodong , insan yang padamu mengaku sebagai Si Pelawak Sinting. Sebenarnya akulah Si Pelawak Sinting. Kakakku jatuh dalam bujuk rayu Hantu Muka Dua dan berusaha mengajakku bergabung di Istana Kebahagiaan yang kini tengah dibangun. Aku menolak. Seperti terhadapmu ia menipuku kemudian menjebloskan saya ke dalam tempat ini. Anak muda , saya sudah lama menunggumu. Firasat menyampaikan bahwa kamu yang bisa membawa kami keluar dari tempat ini…”
“Bagaimana caranya?” tanya Wiro resah sambil garuk kepala. Dia berpaling ke arah Hantu Tangan Empat. “Kek , kamu mungkin tahu?” Wiro ejekan pertanyaan.
Hantu Tangan Empat gelengkan kepala. Wiro melangkah mendekati dinding di mana Labudung terpendam.
Si kakek tersenyum kemudian berkata. “Aku tahu maksudmu. Kau tak mungkin mengeluarkan saya dari dalam pendaman watu ini. Kau dan Hantu Tangan Empat serta istrinya segera saja berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini. Kau tiba dari tanah seribu dua ratus tahun mendatang yang lebih maju. Kau niscaya bisa mendapatkan petunjuk. Satu hal harus kamu ketahui , Labodong berdusta bahwa kita bisa bertahan hidup hingga satu tahun atau lebih. Juga ia dusta bahwa kita akan bebas dan dijadikan pembantu kepercayaan Hantu Muka Dua kalau mau tunduk dan patuh pada Hantu Muka Dua. Aku menerima firasat Hantu Muka Dua akan menghancurkan liang watu ini dan kita akan dikubur hidup-hidup di tempat ini!”
“Gusti Allah! Tolong kami!” kata Wiro dengan bunyi keras. Dia memandang berkeliling. Dua tangannya bergetar tanda ia kembali mengerahkan tenaga dalam menyiapkan pukulan. Maksudnya hendak menghantam salah satu sudut ruangan watu itu yang mungkin bisa dihancurkan biar sanggup jalan keluar.
“Anak muda , bagaimanapun hebatnya tenaga dalammu , apapun senjata yang kamu miliki , jangan harap bisa menjebolkan dinding liang watu itu…” kata Labudung alias Si Pelawak Sinting yang sebenarnya.
Kesal dan geram Wiro garuk-garuk kepala dan melangkah mundar-mandir.
“Anak muda…” tiba-tiba Hantu Tangan Empat berkata.
Saat itu ia tengah memapah istrinya dan berusaha melangkah ke arah Wiro. “Setahuku kamu mempunyai ilmu mengerahkan hawa sakti yang bisa melihat ke arah kejauhan. Lekas kamu pergunakan kepandaianmu itu untuk melihat siapa tahu ada jalan keluar. Aku yakin , niscaya ada jalan rahasia jalan keluar dari tempat celaka ini…”
Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia berpaling pada Labudung. Orang bau tanah ini tertawa lebar dan anggukkan kepala kemudian berucap. “Kalau saja saya bisa menggerakkan tanganku untuk menabuh tambur itu , niscaya saya bisa membantumu mencari jalan sambil menyanyi. Sayang diriku kena dipendam insan celaka Hantu Muka Dua itu…”
Sejak tadi Wiro tidak begitu memperhatikan. Tapi ketika ia melihat sekali lagi ke arah kakek yang terpendam itu ia jadi tertawa geli dan garuk-garuk kepala. Ternyata kakek satu ini juga mengenakan celana yang didodorkan hingga ke bawah pusar. Perlahan-lahan Wiro rangkapkan dua tangannya di depan dada. Aliran darah dan tenaga dalam diatur sedemikian rupa hingga bergerak ke arah kepala. Wiro kemudian kedipkan kedua matanya , menatap ke depan. Kegelapan. Dia hanya melihat kegelapan di depan sana. Dia coba alihkan pandangan mata ke dinding kiri. Tetap saja ia tak bisa melihat apa-apa. Berputar ke dinding sebelah kanan Wiro jadi berdebar. Tak ada petunjuk , hanya kegelapan yang dilihatnya. Perlahan-lahan ia putar lagi tubuhnya. Kini menghadapi dinding watu yang tadi dipunggunginya. Dadanya kembali berdebar. Samarsamar ia melihat sesuatu.
“Aneh , dua benda apa itu…?” Murid Sinto Gendeng membatin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Kini di belakang dua benda aneh itu ia melihat tegak dua sosok ibarat sosok manusia.
“Aku mendengar bunyi sesuatu!” Labudung berucap. Daun telinganya bergerak-gerak.
“Aku juga ,” kata Hantu Tangan Empat.
Wiro sendiri belum mendengar bunyi apapun. Pertanda dalam ilmu mendengar ini dua kakek aneh itu mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi darinya.
“Suara apa Kek?” tanya Wiro pada Hantu Tangan Empat.
“Seperti bunyi tanah digangsir orang…” jawab Hantu Tangan Empat sambil usap janggut putihnya.
Wiro buka matanya lebar-lebar. Kerahkan seluruh hawa sakti yang dimilikinya hingga tubuhnya bergetar dan kucurkan keringat. Dia kedipkan lagi matanya dua kali berturut-turut. Sesaat kemudian apa yang tadi dilihatnya kini tampak lebih jelas. Dari mulutnya keluar seruan.
“Tuhan Maha Besar! Pertolongan Gusti Allah sudah datang!” Wiro berseru gembira dan memandang pada Si Pelawak Sinting dan Hantu Tangan Empat.
“Tuhan… Siapa Tuhan yang kamu maksudkan itu anak muda? Siapa pula Gusti Allah yang kamu sebutkan itu?” Si Pelawak Sinting bertanya.
“Masakan kau…” Wiro cepat sadar. Orang-orang di Negeri Latanahsilam termasuk Si Pelawak Sinting ini mana tahu Tuhan atau Allah. Dia berusaha memberi penjelasan.
“Tuhan yaitu Dia yang menimbulkan langit dan bumi ini. Termasuk kita semua! Tak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari yang dimilikiNya. Tak ada ilmu kepandaian yang dimiliki siapapun melebihi yang dimilikiNya! Dia Maha Pengasih , Maha Penolong dan Maha Pelindung…”
“Apakah ia sama dengan Dewa wahai anak muda?”
“Sulit bagi saya menjelaskannya Kek. Yang terang dikala ini pertolonganNya segera menjadi kenyataan!”
Baik Hantu Tangan Empat maupun Si Pelawak Sinting sama-sama memandang seputar ruangan batu.
“Aku hanya mendengar , tidak melihat apa-apa. Apakah yang kamu sebut Tuhan atau Allah itu hanya bersuara , tidak berbentuk , tidak memperlihatkan diri?”
Wiro tersenyum sambil garuk-garuk kepala. “Kalau tanpa memperlihatkan diri Gusti Allah sanggup menolong kita , apa perlunya Dia memperlihatkan diri!”
“Ah , kalau begitu ingin sekali saya mengenal Tuhan atau Allahmu itu…” ujar Si Pelawak Sinting sambil hendak manggut-manggut tapi mengerenyit sakit lantaran kepalanya sebelah belakang menempel ke batu!
Sesaat kemudian bunyi mirip gerinda menderu memenuhi liang penyekapan itu. Lantai dan dinding bergetar hebat. Telinga mirip ditusuk. Tiba-tiba salah satu dinding ruangan jebol besar. Batu-batu berpelantingan. Debu beterbangan. Begitu debu surut ke bawah , muncullah dua sosok makhluk yang menciptakan Hantu Tangan Empat tersurut hingga dua langkah sementara Si Pelawak Sinting buka matanya yang belok lebar-lebar. Belum lagi habis kaget mereka , ke dalam liang menyusul melesat dua sosok tubuh , satu bersisik , satunya ditumbuhi duri-duri panjang mengerikan!
***
12
DUA SOSOK makhluk yang menerobos masuk pertama sekali yaitu sepasang landak raksasa yang dikenal Wiro sebagai Laeruncing dan Laelancip. Lalu di belakang mereka menyusul makhluk bersisik yang bukan lain yaitu Hantu Jatilandak. Makhluk ke tiga berbentuk dahsyat. Sekujur kepala , muka dan tubuhnya tertutup sisik hitam sekeras baja. Matanya seram sekali lantaran hanya berbentuk dua buah tonjolan putih mirip combong kelapa. Dia bukan lain yaitu makhluk aneh berkepandaian tinggi yang dikenal dengan nama Tringgiling Liang Batu. Dialah tadi yang gotong royong dua landak raksasa menggasir tanah , menjebol dinding watu dan menerobos masuk ke dalam liang penyekapan itu! (Untuk lebih mengetahui siapa adanya mereka harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Hantu Jatilandak”).“Tuhan Maha Besar!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng setengah berjingkrak. “Kalian semua benar-benar hebat! Kami semua berterima kasih atas pertolongan kalian!”
Wiro mengusap-usap Laelancip si landak betina dan Laeruncing si landak jantan kemudian memeluk Hantu Jatilandak yang telah menganggapnya sebagai saudara dan tak lupa menjura hormat kepada Tringgiling Liang Batu.
“Aku banyak mendengar , tapi gres kali ini melihat sendiri kalian semua wahai makhluk-makhluk gagah! Aku dan istri mengucapkan terima kasih atas perjuangan kalian menolong kami!” berkata Hantu Tangan Empat.
“Kita harus bergerak cepat!” Tringgiling Liang Batu berkata. “Sebelum menerobos masuk ke sini dari arah barat , kami melihat ada beberapa kelompok orang melaksanakan sesuatu. Kelihatannya mereka hendak meroboh atau menimbun tempat ini!”
“Apa kataku!” Si Pelawak Sinting berkata. “Hantu Muka Dua jahanam itu benar-benar makhluk Segala Keji! Lekas kalian tinggalkan tempat ini!”
“Kau bagaimana wahai sobatku?” tanya Hantu Tangan Empat.
“Jangan pedulikan diriku! Kalau kalian bisa selamat semua saya sudah senang. Lekas pergi…!”
“Kami tidak akan pergi kalau tidak bersamamu!” Selarik sinar putih berkiblat disertai bunyi menggaung mirip seribu tawon mengamuk.
Traang!
Tangan kanan Wiro bergetar hebat. Kapak Maut Naga Geni 212 memercikkan bunga api terang benderang. Murid Eyang Sinto Gendeng melompat mundur dan membelalak. Senjata mustika yang sangat diandalkannya itu tidak bisa menghancurkan dinding watu di mana Si Pelawak Sinting melesak terpendam. Wiro melirik pada sepasang landak. Dalam hatinya ia membatin. “Dua landak raksasa itu bisa menjebol dinding ini dengan taring-taringnya. Mengapa kapak ini…”
Laeruncing dan Laelancip seolah tahu apa yang ada di pikiran sang pahlawan kedip-kedipkan mata mereka kemudian keluarkan bunyi menggereng perlahan. Di dinding sana Si Pelawak Sinting mengekeh.
“Kek , kamu ini aneh. Semua orang merasa resah dan sedih tak bisa menolong mengeluarkan kamu dari pendaman batu. Tapi kamu sendiri malah tertawa begitu!”
“Na… na… na…! Ni… ni… ni! Aku bukan saja tertawa tapi masih bisa menyanyi. Terima kasih! Kenapa kalian susahsusah pakai resah dan sedih segala? Sudah lekas pergi. Tinggalkan tempat ini cepat. Tak usah pedulikan diriku lagi. Siapa tahu wahai anak muda , Tuhan atau Allahmu itu masih ingat diriku dan menolong! Hik… hik… hik…!”
Wiro garuk-garuk kepala mendengar kata-kata Si Pelawak Sinting itu. Hantu Jatilandak berpaling pada Tringgiling Liang Batu yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. Maklum arti pandangannya sang cucu ini Tringgiling Liang Batu kemudian melompat ke dinding tempat Si Pelawak Sinting terpendam. Sepuluh jari-jari tangannya yang mempunyai sisik dan kuku hitam setajam baja eksklusif ditancapkan ke dinding watu sepanjang sosok si kakek terpendam.
“Hai! Hendak kamu apakan diriku! Hendak kamu gelitik…?!” seru Si Pelawak Sinting kemudian tertawa cekikikan mirip orang kegelian.
Laksana pahat sakti jari-jari tangan Tringgiling Liang Batu menancap dan kepulkan cahaya hitam di dinding watu dan sekaligus membongkarnya. Pecahan watu dan debu beterbangan. Satu lobang besar terbentuk sekeliling sosok si kakek. Sesaat kemudian sambil pegang celananya yang kedodoran Si Pelawak Sinting melompat dari dinding. Begitu injakkan kaki di lantai ia segera menyambar payung daun , tambur dan penabuh miliknya. Kemudian sambil menabuh tambur itu ia tegak membungkuk , tanpa pedulikan celananya yang kembali merosot kedodoran , memberi hormat satu persatu pada semua orang yang ada di situ termasuk Laeruncing dan Laelancip sepasang landak raksasa sambil berulang kali mengucapkan terima kasih.
“Anak muda ,” kata Si Pelawak Sinting pada Wiro.
“Tuhan Gusti Allahmu benar-benar hebat! Bagaimana caranya saya berterima kasih padaNya?!”
“Dia Maha Tahu , Maha Mendengar apa isi hatimu. Tak usah mengatakanpun Gusti Allah sudah tahu kalau kamu menyukuri pertolonganNya…”
“Ah , begitu…? Aneh juga ya? Hik… hik… hik!”
“Para kerabat! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” Tringgiling Liang Batu berkata.
“Laelancip dan Laeruncing , kamu di sebelah depan…” kata Hantu Jatilandak pada dua ekor landak raksasa yang selama sekian tahun memeliharanya di sebuah pulau. Dua landak raksasa itu segera balikkan tubuh dan melesat masuk ke dalam lobang besar di dinding. Hantu Jatilandak menyusul , kemudian Hantu Tangan Empat yang dikala itu telah memanggul istrinya. Di sebelah belakang Pendekar 212 dan Si Pelawak Sinting kemudian di belakang sekali Tringgiling Liang Batu.
Setelah melewati terowongan cukup panjang yang sebelumnya dibentuk oleh rombongan Tringgiling Liang Batu , orang-orang itu hingga di satu tempat terbuka di sebelah timur tempat berbatu-batu. Pada dikala itu mendadakterdengar bunyi gemuruh hebat di belakang mereka. Ketika berpaling terkejutlah orang-orang itu. Kawasan liang watu di mana mereka berada sebelumnya tampak ambruk longsor. Batu-batu besar bergelindingan dahsyat menimbun tempat itu. Di udara debu dan pasir beterbangan hingga beberapa tombak.
“Pasti pekerjaan orang-orang Hantu Muka Dua!” kata Si Pelawak Sinting.
Tringgiling Liang Batu melompat ke depan kemudian berkata.
“Ambil jalan ke kiri! Ikuti aku!”
Orang-orang itu segera melaksanakan apa yang dikatakan Tringgiling Liang Batu. Namun begitu debu dan pasir turun luruh dan pemandangan menjadi terang kembali , mereka dapati berada dalam keadaan terkurung. Beberapa orang dengan perilaku berangasan berdiri di atas batu-batu besar. Yang pertama yaitu Si Pelawak Sinting palsu alias Labodong. Lalu di sebelahnya , di atas sebuah watu datar tegak Hantu Api Biru. Tak jauh di sebelah kiri di atas dua buah watu berdiri sepasang saudara kembar Lagandrung dan Lagandring yang sebelumnya pernah berkelahi langgar kekuatan melawan Hantu Tangan Empat dan Pendekar 212 Wiro Sableng! Melihat Lagandring Wiro segera ingat beling merah lingkaran milik orang itu yang hingga dikala itu masih berada dalam saku pakaiannya.
“Asyik sekali!” tiba-tiba Si Pelawak Sinting berseru.
“Terima kasih kalian berempat memberi kesempatan lolos pada kami dari timbunan watu itu. Juga terima kasih kalian mau susah-susah mengadakan penyambutan atas kedatangan kami! Hanya sayang mana majikan besar kalian penguasa Istana Kebahagiaan yang katanya yaitu Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam?! Apa masih yummy ngorok atau belum cebok dan belum mandi?! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka tolol! Nyawa hanya tinggal sekejapan mata malah bicara ngelantur!” Yang membalas ucapan Si Pelawak Sinting yaitu makhluk aneh yang sekujur tubuhnya mulai dari kepala hingga ke kaki dikobari api warna biru.
“Wahai para sobatku , hari ini mari kita menyebarkan pahala!” kata Si Pelawak Sinting. “Manusia-manusia kaki tangan Hantu Muka Dua pantas dibasmi. Aku biarlah menghadapi kakakku sendiri Si Pelawak Sinting palsu berjulukan Labodong itu. Kecuali kalau ia mau menyadari dosadosanya , pergi dari sini bertobat seumur-umur! Kalian mau cari pasangan lawan silakan pilih sendiri. Hik… hik… hik!”
Hantu Tangan Empat maju selangkah kemudian berkata
“Sebelumnya si kembar Lagandrung senang bermain-main dengan aku! Bagusnya permainan di tepi telaga dulu kita lanjutkan kembali! Ha… ha… ha…!” Saat itu juga Hantu Tangan Empat robah sosok tubuhnya. Rambutnya menjadi merah tegak berjingkrak. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah. Empat tangan mencuat dari tubuhnya , bergerak-gerak kian kemari mengeluarkan desau angin hambar menggidikkan. Di atas watu besar Lagandring rahasia merasa kecut kalau-kalau Pendekar 212 Wiro Sableng akan buka verbal menentukan dirinya sebagai lawan. Ternyata Wiro punya jalan pikiran lain.
“Pelawak Sinting sobatku ,” katanya pada Labudung.
“Sebenarnya saya ingin sekali memberi pelajaran pada kakakmu si Labodong itu. Tapi lantaran kamu sudah memilihnya jadi lawan , biar saya menghadapi insan puntung neraka itu yang kabarnya punya nama hebat Hantu Api Biru!”
“Terima kasih kamu mau mengerti!” kata Si Pelawak Sinting yang orisinil kemudian tertawa gelak-gelak.
Mendadak Wiro mendengar bunyi mengiang di telinganya sebelah kiri. “Anak muda , kalau kamu menentukan Hantu Api Biru sebagai lawanmu , hanya ada satu dari sekian ilmumu yang sanggup menghadapinya. Keluarkan Ilmu Angin Es!”
Murid Sinto Gendeng terperangah dan menoleh ke samping ke arah Hantu Tangan Empat lantaran ia tahu kakek inilah yang barusan bicara padanya. “Heran , bagaimana ia tahu saya mempunyai ilmu itu?” Namun diamdiam Wiro merasa berterima kasih. Jika dipikir memang kekuatan paling ampuh dalam menghadapi ilmu api yaitu ilmu angin es yang selama ini hampir tak pernah dikeluarkannya mirip juga Ilmu Belut Menyusup Tanah.
“Kalian semua sudah menentukan lawan , biar saya yang buruk ini menghadapi si kembar muda itu!” kata Hantu Jatilandak. Si kembar muda yang dimaksudkannya yaitu Lagandring.
“Nasibku jelek! Agaknya saya hanya akan jadi penonton!” kata Tringgiling Liang Batu.
Menganggap enteng Hantu Jatilandak , Lagandring menyeringai buruk kemudian berkata. “Sebelum kami mencabut nyawa kalian satu persatu saya harap cowok asing berjulukan Wiro lebih dulu mengembalikan beling merah milikku yang dicurinya di tepi telaga tempo hari!”
Mendengar ucapan itu Wiro segera keluarkan beling merah yang ada dalam saku pakaiannya. “Orang jelek! Kau inginkan kacamu silakan ambil sendiri! Kalau kamu bisa membunuhku kamu tentu sanggup mengambilnya!” Wiro acungkan beling itu ke atas. Tak sengaja sambil mengacung ia usap-usap beling merah itu. Wiro tidak menyadari apa jawaban usapan yang dilakukannya ini. Tiba-tiba tubuhnya berubah besar dan menjadi lebih tinggi. Terus… terus hingga sosoknya mencapai dua kali lebih besar dan lebih tinggi dari semula! Wiro berseru kaget. Semua orang yang berada di pihaknya juga terheran-heran kecuali Si Pelawak Sinting yang tertawa-tawa cekikikan. Hantu Api Biru yang menjadi lawannya rahasia merasa kecut juga. Karena itu ia memutuskan untuk menyerbu lebih dulu. Sambil melompat ke depan ia hantamkan dua tangannya kiri kanan.
Wusss! Wussss!
Dua larik kobaran api warna biru menggebubu menyambar dahsyat ke arah Pendekar 212. Tubuh Wiro yang besar merupakan sasaran empuk bagi serangan lawan. Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras kemudian mencelat ke atas hingga dua tombak. Di bawahnya sebuah watu besar yang kena hantaman dua larik kobaran api eksklusif terbelah empat dan karam dalam kobaran api biru! Mau tak mau Wiro jadi tercekat juga menyaksikan hal itu.
Dengan keluarkan jurus Tangan Dewa Menghantam Tanah yakni jurus ke enam dari ilmu silat langka yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa ia lindungi dirinya ketika berjungkir balik turun ke tanah. Besar tubuhnya yang dua kali masuk akal menciptakan setiap gerakan yang dilakukan Wiro mengeluarkan deru angin keras. Hantu Api Biru cepat mengelak cari selamat. Di dikala yang sama Wiro sudah tegak di belakangnya.
Hantu Api Biru menggertak murka walau bergotong-royong hatinya mendadak kecut melihat lobang besar yang menganga di tanah jawaban pukulan yang dilepaskan Wiro tadi. Cepat ia balikkan badan. Memandang ke depan ia melihat musuh tegak sambil angkat dua tangan tinggitinggi ke atas. Sepasang telapak membuka lebar ,
diarahkan ke depan sambil digoyang-goyangkan. Tampang Hantu Api Biru menjadi gelisah. Di atas watu ia kerahkan tenaga dalam ke kaki untuk membentengi kuda-kuda yang dibuatnya. Tiba-tiba ia mencicipi ada hawa hambar menerpa ke arahnya.
“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki cowok asing ini!” maki Hantu Api Biru dalam hati sementara sekujur tubuhnya terasa dingin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Lalu mirip tadi memukul dengan dua tangan sekaligus. Dua larik api biru laksana amukan gelombang menerpa ke depan. Kalau dalam serangan pertama sebelumnya Pendekar 212 selamatkan diri dengan melompat ke udara , kali ini ia tetap tegak di tempatnya , tak bergerak. Rahangnya menggembung. Hanya tinggal satu tombak dua gelombang api biru siap menghantamnya tiba-tiba Wiro pukulkan dua tangannya ke depan.
Suara angin mirip tiupan seribu seruling membuncah udara. Bersamaan dengan itu dua gelombang hawa yang bukan olah-olah dinginnya menyambar. Semua orang yang ada di tempat itu menggigil kedinginan. Hantu Api Biru kerahkan seluruh kekuatan. Dua gelombang apinya bergetar hebat. Dua kakinya goyah. Tiba-tiba ia keluarkan bentakan garang. Kaki kanannya dihantamkan ke watu hingga mengepulkan asap. Bersamaan dengan itu ia dorongkan dua tangannya hingga dua gelombang api biru melesat lebih deras.
Pendekar 212 merasa sekujur tubuhnya bergetar keras dan panas. Dia terjajar lima langkah. Dia berusaha bertahan namun dua gelombang api biru terus merangsak.
Wussss! Wussss!
Wiro berteriak keras , sakit dan kaget. Pakaian putih yang dikenakannya berubah hitam. Hangus! Untung tubuhnya sendiri tidak cidera hanya mengalami rasa panas yang amat sangat.
“Anak muda , jangan menganggap enteng musuh! Kalau kamu hanya mengerahkan setengah kekuatan tenaga dalammu , kamu tak akan bisa menghadapi Hantu Api Biru. Sebelum kamu dipanggangnya hidup-hidup lekas lipat gandakan tenaga dalammu!”
Wiro mendengar bunyi mengiang di pendengaran kirinya. Lagilagi Hantu Tangan Empat memberi kisikan menolong sang pendekar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai-sampai dua kakinya melesak sepertiga jengkal ke dalam watu yang dipijaknya.
Hantu Api Biru melengak kaget ketika melihat serangannya tadi hanya bisa menghanguskan pakaian lawan. Dia lebih kaget lagi sewaktu menyaksikan dua gelombang api birunya perlahan-lahan terdorong berbalik ke arahnya. Makin lama makin menciut. Dia berusaha bertahan. Mendadak ada hawa aneh yang sangat hambar menjalar ke dalam tubuhnya lewat sepasang lengan.
“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki cowok asing keparat ini?!” rutuk Hantu Api Biru dalam hati. Dia berusaha bertahan. Tubuhnya bergoncang keras. Hawa hambar luar biasa membungkus dirinya mulai dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki. Semakin ia bertahan semakin parah keadaannya. Asap putih tampak mengepul dari batok kepala , lobang hidung dan mulut. Jantungnya mendenyut sakit seolah berhenti berdetak. Dari verbal , hidung , pendengaran dan pinggiran matanya keluar lelehan darah. Wiro dorongkan dua tangannya ke arah lawan. Tak ampun lagi musnahlah dua gelombang api biru. Bersamaan dengan itu tubuh Hantu Api Biru mencelat mental , jatuh tersandar di sebuah watu besar. Sekujur tubuhnya tak berkutik lagi diselimuti lapisan aneh berwarna putih keras dan mengepulkan hawa hambar membeku. Sepasang matanya mendelik tak berkesip.
Kraak… kraaakkk… kraaakkk!
Lapisan putih beku dan hambar berupa kepingankepingan es yang membungkus tubuh Hantu Api Biru pecah-pecah kemudian berjatuhan ke tanah. Sosok Hantu Api Biru tetap tak bergerak. Mata terus membelalak tak berkesip tapi ia tidak bisa melihat apa-apa lagi lantaran dikala itu nyawanya telah putus meninggalkan jazadnya!
Wiro yang sempat jatuh terduduk di tanah jawaban bentrokan langgar kekuatan tadi dengan muka pucat perlahanlahan bangun berdiri sambil mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya.
Kini kita saksikan apa yang terjadi antara Hantu Jatilandak dan Lagandring. Seperti Hantu Api Biru , Lagandring melancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Sebaliknya Hantu Jatilandak begitu menggebrak menyongsong serangan lawan eksklusif saja lepaskan selusin duri-duri landaknya ke arah lawan. Sama sekali tidak menduga kalau duri-duri itu bisa lepas dari tubuh lawan dan merupakan senjata dahsyat , Lagandring kaget besar dan berseru keras. Dia cepat berkelebat selamatkan diri. Namun hanya sembilan saja duri beracun itu yang bisa dielakkannya. Dalam keadaan berbahaya itu dari samping Lagandrung segera membantu adiknya. Dari beling lingkaran putih yang menempel di keningnya ia semburkan sinar maut yang disebut Sinar Darah Putih. Sinar ini laksana kilat menyambar ke arah kepala Hantu Jatilandak.
“Curang pengecut! Aku lawanmu!” Hantu Tangan Empat membentak marah. Sekali berkelebat tinju kanannya tahutahu sudah ada di atas kepala lawan.
Lagandrung membentak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke atas menangkis hantaman lawan. Tapi tangan ke dua Hantu Tangan Empat bergerak lebih cepat mencekal lengan kanannya. Terpaksa Lagandrung pergunakan tangan kiri untuk menyodok perut lawannya.
Bukkk!
Praaakk!
Jotosan Lagandrung memang menyusup telak di perut Hantu Tangan Empat hingga tubuh si kakek terangkat satu jengkal ke atas. Walau kena hantaman begitu rupa namun Hantu Tangan Empat sama sekali tidak mengalami cidera. Sebaliknya Lagandrung harus membayar mahal lantaran kemplangan tangan pertama Hantu Tangan Empat tidak sanggup dikelit ataupun ditangkisnya. Begitu tinju Hantu Tangan Empat mendarat di batok kepalanya tak ampun lagi Lagandrung meraung keras kemudian menggelepar di tanah. Orang tertua dari dua saudara kembar ini menemui maut dengan kepala rengkah mata mencelet!
Suara raungan Lagandrung bukan saja menciptakan sang adik merinding ngeri , sekaligus tambah kewalahan menghadapi tiga duri landak serangan Hantu Jatilandak yang masih terus mengejarnya. Sambil jatuhkan diri Lagandring lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Namun hanya satu dari tiga duri landak beracun yang sanggup dibentuk mental. Dua lainnya menancap di dada kiri dan pundak kanan. Lagandring menjerit keras. Mukanya pucat. Dia berusaha mencabut dua duri itu. Walau berhasil namun racun duri landak telah menjalar ke dalam darahnya. Dia mencicipi nafasnya sesak. Lehernya terjulur seolah ada yang mencekik. Sesaat kemudian tubuhnya limbung kemudian terkapar di tanah. Kakinya melejang-lejang beberapa kali kemudian membisu tak berkutik lagi tanda nyawanya lepas sudah!
Sementara itu perkelahian antara dua kakak beradik kembar lainnya yakni Labudung alias Si Pelawak Sinting orisinil dengan Labodong atau Si Pelawak Sinting palsu berlangsung seru. Sebagai adik , Labudung memang setingkat lebih rendah kepandaiannya. Namun ia mempunyai kepandaian mengejek dan mempermainkan si kakak hingga Labodong menjadi sakit hati dan tergoda kejengkelannya sendiri. Akibatnya serangan-serangan Labodong banyak yang ngawur!
Dari cara dua saudara kembar ini berkelahi baik Wiro maupun yang lain-lainnya mengetahui bahwa walau dua kakak adik itu mengerahkan tenaga dalam yang hebat namun mereka sama sekali mirip sengaja tidak mengeluarkan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi langka dan mematikan yang mereka miliki. Dalam waktu singkat tiga puluh jurus berlalu cepat dan kelihatan Labodong mulai terdesak. Demi mencari selamat Labodong akhirnya mulai keluarkan pukulan-pukulan sakti sementara sang adik andalkan payung daun , tambur dan penabuhnya. Sambil menari-nari mirip orang sinting payung di atas kepala Labudung bergerak mumbul kian kemari. Setiap putaran yang dibentuk payung ini pinggiran payung yang laksana gerinda besar siap membabat kepala , leher atau tubuh lawan. Sementara bunyi tambur yang ditabuh dengan mengerahkan tenaga dalam menciptakan tempat itu mirip didera guruh tiada henti. Di satu gebrakan yang tampaknya mirip main-main Labudung secara tak terduga berhasil susupkan sikut kanannya ke rusuk kakaknya.
Kraaaakkk!
Dua tulang iga Labodong patah. Orang ini terjajar ke belakang sambil pegangi rusuknya. Mukanya merah mengelam dan keningnya mengerenyit menahan sakit. Ketika Labudung kembali hendak menggebrak dengan serangan , sang kakak angkat tangan seraya berseru.
“Tahan!” Sambil berteriak Labodong melompat mundur tiga langkah. “Cukup Labudung! Hentikan perkelahian gila ini! Kau mau membunuh kakak sendiri! Wahai!”
“Kau yang minta mampus sendiri! Sekarang apa perlunya meratapi diri!” hardik Labudung.
“Dengar…” kata Labodong pula. “Aku berjanji meninggalkan Hantu Muka Dua. Aku bertobat…”
“Manusia tolol! Coba tadi-tadi kamu bilang begitu , tak perlu saya menjatuhkan tangan keras!” kata Labudung.
“Aku minta maaf… Padamu… pada semuanya!”
Labodong menjura berulang kali kemudian putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.
“Ingat Labodong!” berkata Labudung. “Jangan kamu berani lagi mengaku-aku memalsu diri sebagai Si Pelawak Sinting! Jika saya tahu kamu mengulangi perbuatan itu , saya akan kocok kepalamu hingga kamu benar-benar sinting!”
“Wahai… aku! Aku…” Labodong putar tubuhnya kemudian melangkah pergi.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Wiro yang dikala itu masih berada dalam keadaan tubuh tinggi dan besar mirip raksasa berseru.
“Anak muda , apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Labodong.
“Pelawak Sinting palsu , bagaimana saya harus
membalas semua budi baikmu selama ini hingga akhirnya kamu menjebloskan saya ke liang watu itu!”
“Ah… wahai! Aku tak mengerti maksudmu! Jangan menyebut segala macam budi. Aku…”
“Kalau begitu kamu boleh pergi dengan aman. Tapi saya minta sesuatu darimu!” Habis berkata begitu Wiro ulurkan tangan kirinya mencekal pinggang Labodong. Lalu tangan kanannya bergerak menanggalkan celana yang dikenakan si kakek hingga orang ini berada dalam keadaan bugil di sebelah bawah.
“Nah , kini kamu boleh pergi , Kek. Selamat jalan!”
kata Wiro kemudian tertawa gelak-gelak. Semua orang yang ada di tempat itu termasuk Labudung ikut-ikutan tertawa.
“Wahai! Bagaimana ini!” Labodong alias Si Pelawak Sinting palsu jadi kalang kabut , berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangan. Akhirnya ia menyambar serumpun pohon berdaun lebat. Dengan daun-daun itu ditutupnya tubuhnya sebelah depan kemudian lari terbirit-birit tinggalkan tempat itu diikuti gelak tawa semua orang yang ada di situ.
Wiro tiba-tiba hentikan tawanya. Dia memandang pada dirinya sendiri kemudian berpaling pada Hantu Tangan Empat.
“Celaka Kek! Tubuhku masih sebesar raksasa begini! Bagaimana saya mengembalikannya ke bentuk semula?”
Hantu Tangan Empat yang dikala itu telah merubah diri kembali menjadi kakek bermuka datar tertawa lebar.
“Bukankah lebih yummy jadi orang besar mirip keadaanmu kini ini , wahai anak muda? Ke manamana kamu niscaya menjadi perhatian orang… Akan banyak para gadis tergila-gila padamu. Akan banyak orang wanita ingin mengetahui keadaan auratmu. Nah , apa tidak senang hidup mirip itu? Hik… hik… hik…!”
“Kakek Pelawak Sinting , jangan kamu menggodaku! Walah! Bisa repot Kek! Tolong Kek!”
“Anak muda , dulu kamu kalang kabut minta tolong biar tubuhmu dibesarkan. Kini kamu menerima berkah dua kali lebih besar! Apa tidak enak?” ujar Hantu Tangan Empat pula sambil menyeringai.
“Jangan kalian mempermainkan diriku. Jika tahu caranya harap segera saja mengatakan!” kata Wiro pula.
“Wahai , yang tahu bagaimana caranya mengembalikan dirimu mirip semula hanya Lagandrung dan Lagandring! Kau lihat sendiri , dua orang itu sudah menemui ajal!” Yang bicara yaitu Si Pelawak Sinting. Kakek ini kemudian tertawa mengekeh. Membuat Wiro jadi tambah bingung.
“Salah satu dari kalian niscaya tahu. Tapi kalian sengaja menciptakan saya resah kalang kabut!”
“Aku mau pergi…” Si Pelawak Sinting yummy saja bicara.
“Aku juga!” kata Hantu Tangan Empat sambil menggandeng istrinya.
“Kami juga!” kata Tringgiling Liang Batu.
“Sebelum diriku berubah mirip semula jangan ada yang berani pergi dari sini!” kata Wiro setengah mengancam.
Tapi Si Pelawak Sinting malah tambah keras ketawanya. Dia kemudian melangkah mendekati murid Sinto Gendeng itu kemudian berkata. “Punya otak untuk diolah. Punya nalar untuk diasah. Punya pikiran untuk mengingat! Wahai anak muda , sebelumnya bukankah kamu sudah pernah melihat Lagandrung dan Lagandring? Sebelumnya bukankah kamu sudah menyaksikan di mana mereka meletakkan beling aneh itu?” Habis berkata begitu si kakek kemudian melangkah pergi.
Wiro garuk-garuk kepala. Diperhatikannya beling merah yang semenjak tadi dipegangnya.
“Memang saya yang tolol!” kata Wiro sambil pukul jidatnya sendiri. Dia melirik sebentar pada jenazah Lagandrung. Lalu dengan cepat beling merah itu ditempelkannya ke pertengahan keningnya. Wiro mendengar mirip ada bunyi berdesing di telinganya kiri kanan. Secara aneh tubuhnya yang tadi besar kini berubah , kembali ke ukuran semula. Wiro geleng-gelengkan kepala. Menarik nafas lega kemudian garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum sendiri.
TAMAT
Episode Berikutnya:
HANTU MUKA DUA
Episode Berikutnya:
HANTU MUKA DUA
No comments for "Hantu Tangan Empat WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"
Post a Comment