Hantu Langit Terjungkir WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : HANTU LANGIT TERJUNGKIR / PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : HANTU LANGIT TERJUNGKIR / PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM
1
DI DALAM telaga yang kedalamannya setinggi leher , Pendekar 212 Wiro Sableng kibas-kibaskan rambut gondrong basahnya. Dia bermaksud hendak menselulupkan tubuhnya hingga kepala sekali lagi gres keluar dari telaga itu. Namun tiba-tiba , pluk! Sebuah benda menghantam kepalanya. Kagetnya sang satria bukan kepalang. Pundaknya hingga tersentak ke atas. Benda yang tadi mengenai kepalanya itu jatuh ke telaga. Sebelum karam ke dalam air Wiro cepat mengambilnya.Ternyata sebuah jambu muda berwarna hijau. Wiro memandang berkeliling. “Tak ada pohon jambu sekitar telaga ini. Berarti ada orang jahil mempermainkanku!” pikir murid Sinto Gendeng sambil memperhatikan seputar telaga. Tapi ia tak melihat siapa-siapa. “Jangan-jangan ini pekerjaan bocah konyol Naga Kuning atau si kakek geblek Setan Ngompol. Awas mereka berdua. Akan kubalas nanti!”
Wiro kemudian memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam air telaga yang sejuk itu. Sesaat kemudian kepala disusul tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga. Justru dikala itu sebuah jambu muda berwarna hijau kembali melayang di atas telaga kemudian mendarat di kepalanya!
“Sialan! Naga Kuning! Setan Ngompol! Awas kalian berdua! Jangan berani kurang asuh menimpuk mempermainkanku!”
Dari balik sebuah pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat tiba-tiba terdengar bunyi tertawa haha-hihi.
Pendekar 212 kerenyitkan kening dan menggaruk kepalanya yang basah. “Itu bukan bunyi Naga Kuning atau Setan Ngompol…” kata Wiro dalam hati. Kalau tadi ia merasa jengkel dan murka kini perasaannya jadi tidak enak. Dengan cepat ia melangkah dalam air , menyisi tepian telaga ke tempat ia meninggalkan pakaiannya yaitu di celah kering antara dua watu besar. Sebelum mengenakan pakaian , lebih dulu ia mengusut Kapak Naga Geni 212 , watu sakti warna hitam pasangan kapak mustika itu dan sebuah tongkat watu memancarkan cahaya biru redup. Tongkat ini didapatnya dari Luhjelita beberapa waktu yang lalu. Tiga benda itu masih berada dalam lipatan baju dan celana putihnya. Wiro dengan cepat mengenakan pakaiannya kembali. Baru saja ia selesai mengikatkan tali celananya tiba-tiba , pluk! Kembali sebutir jambu hijau mendarat di kepalanya kemudian mirip tadi dari balik pohon besar terdengar bunyi tawa cekikikan.
Wiro ikat tali celananya kencang-kencang. Rahangnya menggembung dan matanya memandang menyorot ke arah pohon besar. Dengan membungkuk-bungkuk ia menyusup mendekati pohon itu. Sesaat kemudian , sekali lompat ia sudah berada di balik pohon. Di situ ia tidak menemukan siapa-siapa. Tapi di tanah ia melihat hampir selusin jambu muda bertebaran. Beberapa di antaranya ada bekas gigitan.
“Kurang ajar… Kabur mereka! Siapa makhluk-makhluk kurang asuh itu adanya!” Wiro memaki dalam hati kemudian membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling besar. Jambu itu ditimang-timangnya sesaat. Setelah dibersihkannya dengan bajunya kemudian dimakannya. “Hemm…Enak juga ,” berucap Pendekar 212 dalam hati sambil menyeringai. Namun seringai murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta merta lenyap begitu pluk… pluk…pluk… Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu hijau menimpa kepalanya! Menyusul terdengar bunyi tawa cekikikan.
“Benar-benar kurang ajar!” Wiro mendongak ke atas sambil tangan kanannya siap untuk menghantamkan.
Namun di atas pohon ia tidak melihat insan atau binatang. Walau begitu matanya yang tajam bisa melihat dedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak. Wiro memperhatikan tak berkedip. Tangan kirinya menggaruk kepala. “Tadi pasti ada orang di atas pohon itu. Binatang pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari bunyi tawanya agaknya lebih dari satu orang. Mereka mempunyai kepandaian bergerak sangat cepat. Aku tidak sanggup melihat sosok mereka padahal bunyi tawa mereka masih menggema.”
Sepasang mata Wiro melirik tajam seputar tempatnya berdiri. Beberapa langkah dari pohon besar dari atas mana tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa kepalanya , ada lagi sebuah pohon yang batangnya sebesar pemelukan lengan. Wiro tersenyum. “Makhluk-makhluk yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat ke atas pohon sana! Kini giliranku mengerjai mereka!”
Pendekar 212 dekati pohon itu kemudian lingkarkan dua lengannya merangkul batang pohon sambil mengerahkan tenaga dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu Pendekar 212 mulai menggoyang batang pohon. Mulamula perlahan. Pohon bergeletar mulai dari akar hingga ke puncaknya.
“Hik… hik! Aih nyamannya…” Di atas pohon berdaun rimbun itu terdengar bunyi orang.
“Aku juga enak. Aku bahagia…” Ada satu bunyi lain menyahuti.
Wiro kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini ia menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon hingga ke ranting-ranting bergoyang kencang , keluarkan bunyi berderik-derik. Dedaunan bergeletar mirip ditiup angin. Suara orang tertawa di atas pohon serta merta lenyap.
“Wahai! Mengapa mendadak jadi kencang begini? Tak sedap nian rasanya?”
“Getarannya membuat saya mirip mau kencing! Hik…hik… hik! Saudaraku , baiknya kita tinggalkan pohon ini!”
“Tunggu , jambuku sudah habis. Kau masih punya? Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku dengar tadi ia menyampaikan jambu itu enak. Hik… hik…hik!”
“Jambuku juga sudah habis! Wahai , getaran pohon ini semakin keras. Ayo kita pergi saja!”
Di bawah pohon Wiro memandang ke atas. “Sial!” Dia menggerendeng. “Ranting dan daun pohon ini rapat sekali! Aku tidak sanggup melihat orang-orang di atas sana! Mereka pasti sudah kabur lagi!” Wiro lepaskan rangkulannya pada batang di bawah pohon. Lalu memutar tubuh , maksudnya hendak duduk bersandar di bawah pohon itu. Namun begitu berputar mendadak sontak ia jadi tersentak kaget. Matanya membeliak dan verbal ternganga. Di hadapannya berdiri dua orang gadis manis , yang wajah serta potongan tubuh mirip pinang dibelah dua , mirip sekali satu dengan lainnya. Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu yang sangat halus hingga ibarat kain biasa , berwarna putih keabu-abuan dan agak berkilat. Rambut mereka yang tergerai panjang hingga ke pinggang berwarna kepirangpirangan. Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi mereka yang putih berkilat dan rata.
“Dua gadis manis berpakaian serba putih di dalam rimba belantara. Sekian usang berada di Negeri Latanahsilam ini , gres sekali ini saya bertemu sepasang dara kembar. Apa mereka makhluk hidup sungguhan , bangsa peri atau , jangan-jangan…” Pendekar 212 memandang ke bawah , memperhatikan sepasang kaki gadis itu.
“Hik… hik…” Gadis di sebelah kanan tertawa. “Lihat ,” katanya pada gadis di sebelahnya. “Dia memperhatikan kaki kita. Hik… hik! Di negerinya makhluk halus memang tidak menginjak tanah. Rupanya ia hendak menyamakan di sana dengan di sini…”
“Kalian siapa…?” bertanya Pendekar 212. Walau ia senang bertemu dengan dua dara manis jelita itu namun hatinya mendua lantaran mengira jangan-jangan mereka yaitu hantu penghuni rimba belantara itu.
“Kami dua gadis bahagia!” menjawab dara di sebelah kiri.
“Aku tidak mengerti ,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
“Biar saya menerangkan ,” ujar gadis di sebelah kiri.
“Hidup di muka bumi ini hanya sementara. Mengapa harus berbuat sia-sia? Setiap makhluk hidup harus berbuat dan merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang , dada lapang. Langit akan tampak cerah , sang surya tampak gagah dan rembulan berseri indah. Kebahagiaan menghindarkan segala macam penyakit , membuat makhluk berumur panjang , tak ada musuh tetapi justru banyak sahabat…”
Wiro tambah keras menggaruk kepalanya. “Aku baiklah dengan semua ucapan kalian. Tapi kalian ini siapa sebenarnya?”
“Kami orang-orang di atas pohon yang tadi kau goncang-goncang!” jawab gadis di samping kanan sambil tidak putus-putusnya tersenyum.
“Yang tadi berlaku kurang asuh melempari kepalaku dengan jambu hijau?!” tanya Pendekar 212.
Dua gadis itu tertawa gelak-gelak. “Itulah salah satu kebahagiaan hidup!”
“Melempar orang kau bilang kebahagiaan hidup?!” ujar Wiro dengan mata dibesarkan.
“Betul , lantaran kami melaksanakan bukan dengan hati jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan semata. Buktinya kami berdua bisa tertawa-tawa. Dan kau sendiri sehabis tahu siapa yang melempar pasti juga merasa bahagia! Hik… hik… hik!”
Pendekar 212 menyeringai. Sesaat kemudian ia ikutikutan tertawa malah lebih keras dari tawa dua gadis itu.
“Wahai , rupanya kebahagiaan telah menjadi bagianmu pula! Kami senang melihat kau bisa tertawa!”
Mendengar kata-kata si gadis Wiro hentikan tawanya.
“Jangan-jangan dua gadis ini miring otaknya ,” pikir Wiro.
Lalu ia berkata. “Jadi kalian rupanya kesasar di rimba belantara ini lantaran mencari kebahagiaan!”
Dua gadis kembali tersenyum. Yang di samping kanan menjawab. “Kami tidak kesasar. Kami tengah melaksanakan perjalanan bersenang-senang , mencari dirimu!”
“Mencari diriku? Sekarang sudah bertemu. Apa yang hendak kalian lakukan?”
“Membuat dirimu bahagia!”
“Caranya?” tanya Pendekar 212 sambil dalam hati bertanya-tanya apa gotong royong niat dua gadis tak dikenal dan kelihatan genit meriah ini.
“Caranya yaitu membebaskan dirimu dari satu beban yang gotong royong tak perlu terjadi…”
“Beban? Beban apa? Aku tidak merasa punya beban ,” kata Wiro pula.
Dua gadis itu tersenyum manis. Yang satu bertanya.
“Apa benar kau orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?”
Wiro mengangguk.
“Wahai , perbedaan waktu antara negeri ini dengan negeri asalmu saja sudah merupakan beban bagi dirimu. Lalu rangkaian kejadian yang kau alami di negeri Latanahsilam ini , apakah itu bukan merupakan beban? Bukan cuma satu , tapi banyak. Apakah kau tidak sadar?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin ucapanmu benar. Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip satu sama lain. Harap kau juga mau memberi tahu mengapa kalian mencariku.”
“Pertanyaan pertama biar saya yang menjawab ,” kata gadis di sebelah kanan. “Kami yaitu dua gadis kembar.
Aku yang bau tanah berjulukan Luhkemboja dan adikku ini berjulukan Luhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan sebutan Sepasang Gadis Bahagia.”
“Kemboja dan Kenanga… Itu dua bunga yang ada sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak tumbuh di pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di atas makam orang yang sudah mati…” Rasa tidak yummy kembali menyelubungi Pendekar 212 walau dua gadis manis di hadapannya selalu bicara dan memandang padanya dengan senyum.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Langsung saja ia usikan pertanyaan sambil menatap tajam pada dua gadis di hadapannya itu. “Kalian mengaku dijuluki sebagai Sepasang Gadis Bahagia. Apakah kalian punya sangkut paut dengan Istana Kebahagiaan , sarangnya Hantu Muka Dua , makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji , Segala Tipu , Segala Nafsu itu?”
Mendengar kata-kata Wiro itu dua gadis manis tertawa panjang. Wiro bertambah curiga.
***
2
GADIS berjulukan Luhkemboja hentikan tawanya kemudian berkata. “Kebahagiaan itu ada dua macam wahai cowok dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Pertama kebahagiaan yang dicari berdasarkan nafsu. Seperti hasrat ingin kaya , ingin kedudukan tinggi dan ingin berkuasa , ingin mendapatkan anak gadis orang. Hantu Muka Dua termasuk dalam golongan ini. Lalu ada kebahagiaan yang diinginkan secara masuk akal , diniati dengan hati tulus bersih. Kami berdua berusaha masuk ke dalam golongan ini. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan dan Hantu Muka Dua…”Walau masih menaruh hati tidak yummy namun Wiro merasa agak tenteram mengetahui bahwa dua gadis ini bukan kaki tangan Hantu Muka Dua , musuh bebuyutannya semenjak menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam.
Gadis berjulukan Luhkenanga kemudian membuka verbal menyambung ucapan kakak kembarnya. “Kami mencarimu lantaran ingin membantu membebaskan dirimu dari beban paling selesai yang mungkin kau tidak sadar telah jatuh di atas pundakmu.”
Wiro usap-usap pundaknya kiri kanan. “Beban yang mana? Beban apa maksudmu?” Murid Sinto Gendeng usikan pertanyaan lantaran makin usang bicara dengan dua gadis itu semakin banyak yang ia tidak mengerti. “Belum usang berselang kau mendapatkan sebuah tongkat terbuat dari watu berwarna biru. Tongkat itu bukan milikmu. Kau tak tahu harus menyerahkannya pada siapa. Kau tidak tahu pasti siapa pemiliknya. Wahai , bukankah itu suatu beban bagimu?”
Selagi Wiro terkejut mendengar kata-kata itu , dua gadis kembali memandang tersenyum padanya.
“Kalian pasti salah menduga. Aku tidak pernah mendapatkan atau mempunyai tongkat yang kalian sebutkan itu ,”
kata Wiro berdusta. Dia yakin , tongkat watu biru yang diterimanya dari Luhjelita dan dikala itu terselip di pinggang di bawah baju putihnya , tongkat itulah yang dimaksudkan dua gadis kembar ini.
“Berdusta yaitu satu penyakit yang membuat insan jadi tidak bahagia…” kata Luhkenanga pula.
“Tongkat itu tidak ada padaku. Kalaupun ada belum tentu saya berikan padamu lantaran saya yakin benda itu bukan milik kalian…”
“Memang bukan milik kami. Tapi kami menerima kiprah untuk mencarinya hingga dapat…”
“Siapa yang memberi tugas…?” tanya Wiro.
Dua gadis itu saling pandang kemudian sama-sama tersenyum. “Pemiliknya yang sah tentu. Tapi kami tidak bisa memberi tahu padamu ,” jawab Luhkenanga.
Wiro ganti tersenyum. “Tidak mau bicara jujur dan polos yaitu satu beban yang membuat orang tidak bahagia. Bagaimana kalian bisa menemukan kebahagiaan kalau dalam hati sendiri ada ganjalan yang tidak melapangkan dada?”
Walau kata-kata Wiro membuat dua gadis kembar menjadi merah wajah masing-masing namun keduanya tetap saja melayangkan senyum.
“Aku senang mendengar ucapanmu ,” menyahuti Luhkemboja. “Tapi harap kau bisa membedakan kebahagiaan dengan tugas. Bila seseorang bisa melaksanakan kiprah maka itu akan menjadi satu kebahagiaan besar baginya. Lagi pula kami tidak akan membebani dirimu dengan hal-hal yang tidak kau ingini kalau kami tidak menerima keterangan terperinci bahwa tongkat watu biru itu memang ada padamu.”
Wiro tertawa. Sambil geleng-gelengkan kepala ia bertanya. “Siapa yang memberi keterangan ndeso itu pada kalian?”
“Siapa lagi kalau bukan kekasihmu!” jawab Luhkemboja.
“Kekasihku?” Murid Sinto Gendeng jadi terkejut. “Aku tidak punya kekasih di negeri Latanahsilam ini!”
Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa gelak-gelak.
“Siapa yang mengaku-aku kalau saya ini kekasihnya?”
Wiro jadi penasaran. “Kalian berdua mengarang cerita!”
“Wahai , si gadis sendiri yang mengatakan. Bagaimana kami tidak percaya?”
“Kalau begitu lekas katakan siapa orangnya!”
“Luhjelita!” jawab Luhkemboja dan Luhkenanga berbarengan.
Tentu saja Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kaget mendengar ucapan itu.
“Wajahmu berubah merah , sikapmu memperlihatkan keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan kebahagiaan atau bagaimana?”
“Antara saya dengan gadis berjulukan Luhjelita itu tidak ada kekerabatan apa-apa , kecuali sebagai sahabat. Di mana ia sekarang?”
“Saat ini ia berada di satu tempat aman. Terpaksa kami sembunyikan untuk dijadikan jaminan bahwa ia memperlihatkan keterangan benar! Dia menyampaikan kau kekasihnya sedang kau menyampaikan ia hanya seorang sahabat. Dia menyampaikan tongkat watu biru itu ada padamu , tapi kau sendiri berkata tidak memilikinya. Siapa yang berdusta , siapa yang menyembunyikan kebenaran dengan menginjak kebahagiaan?” Luhkemboja yang barusan bicara menatap lekat-lekat ke arah Pendekar 212.
“Wahai kakakku Luhkemboja , mengapa kita tidak memutuskan secara adil saja?” Dara kembar berjulukan Luhkenanga berkata. “Pemuda ini berucap benar bahwa gadis berjulukan Luhjelita itu bukan kekasih , atau belum menjadi kekasihnya tapi gres merupakan seorang sahabat saja. Lalu Luhjelita juga berucap benar bahwa tongkat watu biru itu telah diserahkannya pada cowok ini yang berdasarkan ia berjulukan Wiro Sableng. Bukankah semenjak tadi kita sudah melihat bayangan tongkat mustika itu di balik baju putihnya? Wahai cowok dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang , apa jawabmu?”
Untuk beberapa lamanya Wiro hanya tegak berdiam diri.
Kemudian sambil garuk-garuk kepala ia berkata. “Baiklah , kalau kalian memang sudah tahu , saya mengaku. Tongkat watu biru itu dikala ini ada padaku. Tapi saya tidak akan memberikannya. Kalau saya ingin membebaskan diri dari beban , maka tongkat ini akan kuserahkan pada Luhjelita. Katakan saja di mana ia kalian sembunyikan…”
“Dia berada di dalam sebuah goa , di satu kaki bukit di daerah selatan. Tak jauh dari sini. Jika kau keluar dari rimba belantara ini dan mengikuti sebuah jalan setapak , goa itu pasti akan kau temui. Wahai , demi kebahagiaan kita semua , apakah kau kini bersedia menyerahkan tongkat watu biru itu?”
“Aku akan merasa lebih senang kalau tongkat ini saya serahkan pada Luhjelita kemudian gadis itu menyerahkan padamu. Aku terlepas dari beban dan kalian merasa bahagia…” jawab Wiro yang tetap tidak mau menyerahkan tongkat watu biru pada dua gadis berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu. Bisa saja dua gadis ini tengah melaksanakan siasat hendak menipunya. Selain itu ia merasa tongkat watu biru ini pastilah satu tongkat yang sangat berharga.
“Untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang kita harus menempuh jalan berliku. Tapi kalau ada jalan pintas yang sama baiknya mengapa tidak pribadi dilaksanakan. Tongkat itu milik kakek kami. Kami ditugaskan untuk mencarinya dan membawanya kembali kepadanya…”
“Apakah kakekmu itu yang berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi?” bertanya Pendekar 212.
“Dari mana kau tahu nama itu?” balik bertanya Luhkenanga.
“Ketika Luhjelita memperlihatkan tongkat itu padaku , ia menjelaskan tongkat itu ditemuinya dekat sesosok mayit seorang kakek yang dikenalnya sebagai Si Tongkat Biru Pengukur Bumi…”
“Si Tongkat Biru Pengukur Bumi bukan kakek kami. Dia justru yang mencuri tongkat itu dari kakek kami. Si Tongkat Biru Pengukur Bumi yaitu kaki tangan Hantu Muka Dua. Orang ini kemudian dihabisi oleh Hantu Muka Dua sendiri lantaran dikhawatirkan akan berkhianat. Mayatnyalah yang ditemukan Luhjelita…”
“Aku percaya keteranganmu , Luhkenanga. Tapi tongkat ini tetap tidak bisa kuserahkan padamu atau saudaramu. Agar sama-sama menerima kebahagiaan , kita sama-sama pergi ke goa di mana kalian menyekap Luhjelita. Tongkat kuserahkan padanya dan kalian kemudian boleh mengambil dari tangannya…”
“Sayang sekali kami inginkan tongkat itu sekarang…” kata Luhkemboja.
“Apakah kebahagiaan bisa didapat dengan cara memaksa?” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kami tidak memaksa. Kami tengah menjalankan tugas!” jawab Luhkemboja.
“Apakah kiprah bisa dijadikan topeng alasan untuk mendapatkan kebahagiaan?” kembali murid Sinto Gendeng menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar menjadi kemerahan walau senyum tetap menghias bibir mereka.
“Wahai , untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang harus menempuh jalan sulit berliku ,” kata Luhkemboja pula. Dia memandang pada Luhkenanga.
“Adikku , rupanya tak ada jalan lain. Agaknya kali ini kita hanya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?”
“Aku sudah siap wahai Luhkemboja. Tapi biarkan saya membujuk cowok ini sekali lagi ,” jawab Luhkenanga. Lalu gadis ini mendekati Wiro dua langkah dan berkata.
“Kepercayaan yaitu salah satu dasar kebahagiaan. Kami telah menceritakan kebenaran padamu. Sahabatmu Luhjelita ada dalam keadaan baik di goa itu. Tongkat yang ada padamu bukan milikmu. Apa sulitnya menyerahkan pada kami?”
“Kau bicara wacana kepercayaan. Aku mau bicara wacana kebijaksanaan. Harap kalian sudi memaafkan. Bagaimanapun juga tongkat ini tidak akan saya serahkan pada kalian. Kupersilahkan kalian jalan duluan. Kita samasama ke goa itu. Apa sulitnya mendapatkan usulanku?”
Luhkenanga berpaling pada Luhkemboja. Sang kakak gelengkan kepalanya. Luhkenanga kemudian berkata. “Usulmu tidak kami terima. Kebahagiaan ada di tangan kita bersama. Aku mohon kau mau menyerahkan tongkat watu biru.”
Wiro balas dengan gelengan kepala.
Luhkenanga menarik nafas dalam. “Tak ada jalan lain. Kakak Luhkemboja , saya sudah siap!”
Luhkemboja mengangguk. Dua gadis ini kemudian melangkah mundur. Di satu tempat mereka hentikan langkah. Lalu dari verbal mereka yang selalu menyunggingkan senyum tiba-tiba keluar bunyi gelak tawa berderai.
“Jurus Bahagia Naik ke Pelaminan!” Luhkemboja berseru.
Sosok dua gadis kembar itu melesat ke udara. Dua kaki dirapatkan begitu rupa , dua tangan diletakkan di atas lutut. Sikap mereka mirip pengantin sedang duduk di dingklik atau di atas pelaminan. Mulut tersenyum simpul. Namun tiba-tiba kaki kiri mereka ditendangkan ke depan.
Wuttt!
Wuuut!
Murid Eyang Sinto Gendeng tersentak kaget ketika dapatkan dua larik angin deras menghantam ke arahnya. Karena tidak mengira akan menerima serangan , Wiro hanya sempat menghindarkan diri dari sambaran angin yang tiba dari sebelah kanan. Sedang hantaman angin dari sebelah kiri yang berasal dari tendangan Luhkemboja tak sanggup dielakkannya.
Bukkk!
Walau angin yang melabrak , tapi begitu mengenai dadanya terdengar bunyi bergedebuk. Wiro seperti terkena jotosan. Tubuhnya terpental hingga beberapa langkah kemudian terjengkang di tepi telaga. Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa terpingkalpingkal. Lalu dua gadis kembar ini membuat gerakan mirip orang berenang. Selagi Wiro berusaha bangun berdiri tiba-tiba Luhkemboja berseru.
“Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan!”
Sosok dua gadis itu yang sesaat masih melayang di udara tiba-tiba menukik ke bawah , menyambar ke arah Pendekar 212. Wiro yang tidak mau kebablasan hingga dua kali segera hantamkan tangan kirinya , menyongsong gerakan dua lawan dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dua gelombang angin menderu dahsyat. Namun serangan Wiro hanya mengenai tempat kosong lantaran dua gadis yang mempunyai gerakan luar biasa cepatnya benar-benar laksana menyelam. Dua tangan mereka menyambar , satu ke kepala Wiro satunya lagi ke pinggang.
Dalam keadaan mirip itu tentu saja Pendekar 212 lebih memperhatikan serangan berbahaya yang di arahkan ke kepala. Sambil bergulingan ia pukulkan tangan kiri untuk menangkis serangan di sebelah atas sedang dengan menendang ia coba menghajar tangan lawan yang menyambar ke arah pinggang.
Ternyata serangan ke kepala hanya tipuan belaka. Begitu perhatian Wiro terpecah , sambaran yang ke arah pinggang tak sanggup dimentahkannya dengan tendangan. Tangan lawan yang menyambar lewat di bawah kakinya , melesat laksana kilat ke pinggangnya. Lalu dua bunyi tawa cekikikan mengumandang di tempat itu. Suara tawa lenyap. Wiro tersentak kaget dan cepat bangun berdiri. Ternyata dua gadis kembar tak ada lagi di situ. Gerakan mereka melenyapkan diri sungguh cepat luar biasa.
“Astaga!” Wiro pegang seputar pinggangnya. Kapak Maut Naga Geni 212 dan watu hitam pasangannya masih ada. Tapi tongkat watu biru lenyap! Dia memandang berkeliling. Karena tidak sempat melihat ke arah mana kaburnya dua gadis kembar tadi , Wiro hanya bisa memaki sendiri. “Sial! Aku kecolongan!” Wiro termangu dan garukgaruk kepala. “Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan… Mereka mempergunakan jurus aneh itu untuk menyambar dan merampas tongkat watu biru yang ada di balik bajuku…” Wiro geleng-gelengkan kepala.
“Hanya sebuah tongkat watu butut. Mengapa harus saya pikirkan…” membatin murid Sinto Gendeng. “Tapi kalau cuma tongkat buruk , mengapa dua gadis kembar itu sangat menginginkan? Siapa gotong royong pemilik tongkat itu? Mungkin saya harus menyelidik sementara menunggu munculnya Si Setan Ngompol dan Naga Kuning…”
Karena tidak tahu mau mengejar ke mana , ketika ia ingat keterangan Luhkemboja dan Luhkenanga wacana Luhjelita , Wiro segera saja berkelebat ke arah selatan. Mungkin dua gadis kembar itu bicara dusta wacana Luhjelita yang mereka sekap di dalam goa. Tapi tak ada salahnya menyelidik. Apalagi letak goa itu tidak jauh dari sana. Wiro berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Dalam berlari mirip itu ia tidak memperhatikan lagi keadaan di sekitarnya. Dia tidak menyadari kalau di udara , jauh di belakangnya ada satu benda putih terbang mengikutinya.
***
3
KITA tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah berusaha menyelidik goa tempat Luhjelita disekap. Kita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Lasedayu.Walau langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun sang surya belum nampak muncul. Dinginnya udara pagi masih mencekam tulang dan persendian tubuh. Kegelapan masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di daerah selatan Negeri Latanahsilam di mana terletak sebuah lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Keadaan masih gelap gulita lantaran kabut mengapung di seantero tempat. Jangankan pada malam atau pagi hari , siang hari saja ketika matahari bersinar terik , kabut tebal acap kali menutupi pemandangan.
Dalam keadaan mirip itu dari jurusan tenggara berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya hanya berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan amis mirip kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak tidak mungkin ia bisa bergerak demikian cepat di daerah yang banyak pepohonan dan berbatu-batu serta masih gelap itu. Sepasang matanya seolah bisa menembus kegelapan malam menjelang pagi serta kepekatan kabut yang menggantung di mana-mana.
Cepat sekali bayangan hijau tadi telah berada di pertengahan lembah. Orang ini berkelebat ke arah sebuah watu besar di atas mana mendekam satu sosok aneh. Sosok ini tidak tegak pada dua kakinya tetapi mempergunakan sepasang tangan untuk dijadikan kaki. Sementara dua kakinya berada di sebelah atas. Makhluk ini hanya mengenakan sehelai celana compang-camping. Karena cara berdirinya yang aneh maka rambutnya yang putih panjang , begitu juga kumis dan janggutnya menjulai ke bawah menutupi wajahnya. Dari sekujur tubuh orang ini mengepul keluar asap tipis berwarna kebiruan. Sepertinya ada satu kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya yang terpendam dan tak bisa dikeluarkan.
Sosok di atas watu ini masih tetap mendekam tak bergerak ketika bayangan hijau yang muncul dari kegelapan dan kabut hingga di hadapannya. Ternyata yang muncul ini yaitu satu makhluk aneh angker. Sosoknya mulai dari ujung rambut di atas kepala hingga ke kaki mirip terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap dan basah. Tetesan-tetesan air jatuh menitik dari tubuh yang berair ini. Sepasang matanya juga berwarna hijau pekat. Menatap seram tak berkesip ke arah makhluk yang tegak dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Jempol kaki kanan orang di atas watu bergerak dua kali. Lalu dari balik riap rambut dan kumis serta janggut putih panjang yang menutupi wajah terdengar bunyi berucap.
“Aku mencium amis kubangan. Di balik kelopak mataku yang tertutup ada bayangan warna hijau. Sepasang telingaku mendengar tetesan-tetesan air jatuh ke tanah. Wahai , kuharap saya tidak salah menduga. Yang muncul di hadapanku dikala ini bukankah kerabat berjuluk Hantu Lumpur Hijau…”
Sosok hijau yang tegak di depan watu sesaat masih pandangi orang yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah itu. Setelah kedipkan mata hijaunya satu kali makhluk yang disebut Hantu Lumpur Hijau ini membuka mulut. Ternyata gigi dan lidahnya juga berwarna hijau pekat!
“Puluhan tahun tidak bertemu. Mata dan indera pendengaran tertutup rambut terjulai. Tapi kau masih mengenali diriku. Wahai saya juga ingin memastikan. Bukankah kau yang konon disebut Hantu Langit Terjungkir. Yang dulu dikenal berjulukan Lasedayu? Kalau benar , sungguh dahsyat keadaanmu. Kau memang layak dinamakan Hantu Langit Terjungkir!”
Orang di atas watu terdengar menarik nafas dalam dan panjang. “Belasan tahun tidak pernah kedatangan tamu. Sungguh hari ini saya merasa senang ada seorang yang mau tiba berkunjung. Wahai kerabat usang , selamat tiba di Lembah Seribu Kabut. Ada gerangan apa hingga kau tiba berjauh-jauh ke tempat kediamanku yang tidak nyaman ini?”
Hantu Lumpur Hijau mendehem beberapa kali kemudian menjawab. “Kedatanganku membekal maksud kurang enak. Aku tiba untuk minta pertanggungan jawabmu.”
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir mengembang ke samping. Dari balik riapan rambut panjangnya yang menjulai ke bawah menyentuh watu mengepul asap biru tipis.
“Datang dari jauh dengan maksud kurang enak. Wahai harap kau berterus terang Hantu Lumpur Hijau. Katakan apa yang kurang yummy itu! Hidupku sudah dibenam derita sengsara semenjak puluhan tahun silam. Jangan menambah deritaku dengan tidak berterus terang…”
“Muridmu telah merampas ilmu kesaktianku yang berjulukan Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!” kata Hantu Lumpur Hijau dengan bunyi keras bergetar tanda ia berusaha menahan didihan amarah.
Suara orang mirip tercekik keluar dari tenggorokan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Muridku? Muridku yang mana? Seumur-umur saya tidak pernah mempunyai murid…”
Hantu Lumpur Hijau mendengus. “Pemuda itu tiba mengagul membawa nama besarmu! Dia menyampaikan membawa perintah darimu untuk mengambil ilmu kesaktianku itu. Ketika saya melawan ia pribadi menyerangku habis-habisan. Kesaktiannya tinggi sekali. Aku tak sanggup menghadapinya. Dia kabur sehabis berhasil merampas ilmu kesaktian itu.”
“Kau tidak menyebutkan apa cowok itu punya nama atau tidak. Tapi apa perduliku. Bernama atau tidak saya memang tidak pernah punya murid!”
“Dia mengaku berjulukan Lajundai! Dia juga mengaku berjulukan Labahala! Lalu ia menyebutkan gelarnya Hantu Muka Dua. Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini!”
“Lajundai… Labahala! Hantu Muka Dua! Memang dia!”
“Wahai! Sekarang kau mengaku kalau ia muridmu!”
“Tidak , saya bukan mengaku!”
“Lalu apa maksud ucapanmu tadi. Memang dia!”
“Maksudku ,” jawab Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Pemuda itu pernah muncul di lembah ini…”
“Hantu Langit Terjungkir , apapun kilahmu saya tetap berpegang pada ucapan Lajundai. Bahwa kau gurunya dan kau yang menyuruh ia untuk merampas ilmu kesaktian yang paling saya andalkan itu…”
“Kita usang erat walau jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada ucapan cowok jahat itu daripada ucapanku?” ujar Hantu Langit Terjungkir pula.
“Kalau kau memberi tahu di mana cowok itu berada dan membantu saya mendapatkan kembali ilmu kesaktianku , mungkin saya bisa berubah pikiran…”
“Tidak mungkin. Tidak mungkin wahai kerabatku. Pemuda itu tinggi sekali ilmu kesaktiannya. Jangankan kau sendiri , kita berdua bahkan tak mungkin menghadapinya.”
“Kau bersiasat! Kau sengaja melindunginya lantaran ia memang muridmu!”
“Aku tidak bersiasat wahai Hantu Lumpur Hijau. Aku tidak pula berniat melindunginya. Sejak sekian tahun silam saya juga ingin menghajarnya. Tapi saya sadar saya tak bisa melawannya!”
“Kau berdusta! Kesaktianmu tidak di bawah Hantu Tangan Empat yang dianggap sebagai orang paling hebat di negeri ini. Lagi-lagi kau memang bersiasat untuk melindunginya!”
“Dengar kerabatku wahai Hantu Lumpur Hijau. Hantu Muka Dua , dalam keadaan kita mirip ini bukanlah tandingan kita. Jika Para Dewa menurunkan dukungan , satu hari kelak mungkin kita bisa membalaskan sakit hati!”
“Aku sudah usang menunggu dukungan Dewa. Tapi dukungan itu mana mau tiba kalau kita sendiri tidak berusaha! Hantu Langit Terjungkir , kalau kau berserikat dengan muridmu terpaksa saya menjatuhkan tangan kasar terhadapmu! Ketahuilah , walau ilmu kesaktianku Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh telah dirampas oleh muridmu , saya masih ada beberapa ilmu lain. Memang tidak sehebat ilmu yang satu itu. Tapi saya yakin akan sanggup mengirimmu ke alam roh hanya dalam dua tiga jurus saja!”
“Wahai , kalau begitu takdir nasibku memang buruk. Hantu Lumpur Hijau , puluhan tahun menderita sengsara , hidup terjungkir menghadap langit ke atas kepala ke bawah , bertangan kaki mirip ini membuat selesai hidup bagiku merupakan satu hal yang saya dambakan. Kematian akan mengakhiri semua derita sengsara itu…”
“Kalau memang kau sudah pasrah mendapatkan selesai hidup , akupun tidak merasa ragu-ragu lagi!” kata Hantu Lumpur Hijau pula. Lalu tangannya dihantamkan ke depan. Selarik sinar hijau menderu ke arah dada Lasedayu. Sinar ini ibarat sebatang tombak yang meluncur cepat dan deras sekali.
Di atas watu Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir keluarkan bunyi berdesah. “Pukulan Tombak Lumpur Penambus Roh!” Makhluk ini tidak bergerak sedikitpun untuk selamatkan diri. Agaknya ia memang sudah benarbenar pasrah mendapatkan kematian. Sesaat lagi larikan angin sakti yang berbentuk tombak itu akan mendarat di dada Hantu Langit Terjungkir tiba-tiba terdengar bunyi gelegar ringkikan kuda. Di lain kejap sesosok tubuh melesat di udara. Lalu sebuah benda lingkaran menghantam ke arah Tombak Lumpur Penambus Roh.
Traaanggg!
***
4
SEPERTI diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya dengan judul “Rahasia Kincir Hantu” , seluruh kesaktian yang dimiliki Lasedayu telah dirampas dan dikuras habis oleh Labahala alias Hantu Muka Dua. Hal itu dilakukannya dengan mempergunakan benda sakti berjulukan Sendok Pelangkah Nasib yang juga disebut Sendok Pemasung Nasib. Sejak itu pula dunia ini menjadi terjungkir balik bagi Lasedayu. Selain kehilangan ilmu kesaktian , keadaannya jadi berubah. Dia tidak lagi bisa berdiri sebagai wajarnya insan biasa yakni kaki ke bawah kepala ke atas. Tapi ia hanya bisa berdiri dan berjalan dengan mempergunakan sepasang tangannya. Dua kaki berada di atas , dua tangan berada di bawah. Sejak itulah orang-orang di Negeri Latanahsilam menyebutnya dengan julukan Hantu Langit Terjungkir. Walau ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya telah dirampas seluruhnya oleh Hantu Muka Dua , namun dikala itu gotong royong Hantu Langit Terjungkir telah mempunyai satu ilmu gres yang secara tak sengaja didapat dan dipelajarinya dari alam.Selama bertahun-tahun ia mengamati keadaan lembah di sekitarnya yang selalu tertutup kabut berwarna putih kelabu dan terkadang tampak mirip kebiru-biruan. Ke manapun ia pergi di lembah itu sosoknya selalu dikelilingi oleh kabut. Penciuman dan jalan pernafasannya selalu bersentuhan dengan kabut. Dari hasil pengamatannya itu Lasedayu menyadari bahwa kabut yang gotong royong hanya merupakan salah satu lapisan udara yang mengapung dan tidak bisa diraba itu sesungguhnya yaitu satu kekuatan dahsyat. Maka bertahap , hari demi hari , ia mulai menyerap kabut itu ke dalam tubuhnya melalui jalan pernafasan. Selama bertahun-tahun hal itu dilakukannya. Sampai pada suatu hari ia mencicipi tubuhnya menjadi sangat ringan seolah seenteng kapas. Dia bisa mengapung seolah bisa berjalan di udara.
“Tubuhku mirip kabut! Ringan sekali. Seperti kabut saya bisa bergerak ke mana saya suka. Wahai! Mukjizat apa yang telah diberikan alam padaku!”
Keterkejutan Lasedayu tidak hingga di situ. Ketika dicobanya ternyata ia bisa mengatur anutan darah dalam tubuhnya. Tubuhya yang selama ini berada dalam keadaan kaku dan cuek kini seolah dialiri hawa panas. Lasedayu mencoba lebih jauh. Dia menghimpun tenaga dalam di pusarnya yang bolong. Berkali-kali dicobanya tapi tidak terjadi apa-apa. Lasedayu tidak putus asa. Kalau ia bisa mengatur jalan darah berarti ada kemungkinan ia juga bisa menghimpun satu kekuatan tenaga dalam gres di dalam tubuhnya.
Entah berapa ratus kali ia mencoba dan tak juga berhasil maka berpikirlah orang bau tanah ini. “Ketika saya masih hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah , sentra kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang keadaanku mirip ini. Pusar tak punya. Semua serba terbalik. Jangan-jangan sentra kekuatan tenaga dalamku juga berubah terbalik. Berpindah ke potongan tubuh yang lain.”
Lasedayu kemudian mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak menerima petunjuk. Sampai berminggu-minggu berlalu ia masih belum juga menemukan di mana kini beradanya sentra kekuatannya. Suatu pagi , sang surya gres saja terbit dan cuaca di lembah mulai terang. Lasedayu tegak kaki ke atas kepala ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama ia mencicipi kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas. Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari sekujur tubuhnya , mulai dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki mengepul asap tipis berwarna kebiru-biruan. Dicobanya menarik nafas dalam kemudian menghembus ke depan. Selarik asap biru melesat keluar dari verbal orang bau tanah ini.
Lasedayu berteriak gembira. “Aku mempunyai tenaga dalam baru! Pusat tenaga dalamku ada di kening! Wahai! Aku menemukan satu ilmu kesaktian baru!” Namun kegembiraannya mirip sirna ketika ia berpikir , janganjangan ia hanya sekedar mempunyai kemampuan menyerap dan menghembuskan udara. Apa arti dan kegunaannya? Bukankah di tempat cuek semua orang bisa mengeluarkan udara berbentuk mirip asap dari verbal dan hidungnya setiap kali ia bernafas? Untuk beberapa lamanya Lasedayu mirip terhenyak dalam keputus-asaan. Namun ketika ia teringat pada Labahala alias Hantu Muka Dua yang telah mencelakai dirinya begitu rupa , dendam berkecamuk dalam tubuhnya , perlahan-lahan semangatnya bangun kembali.
“Aku harus membuktikan bahwa apa yang ada dalam tubuhku dikala ini benar-benar satu hawa sakti yang sanggup kumanfaatkan untuk membalas dendam!” katanya dalam hati. Lalu orang bau tanah ini kerahkan anutan darah ke kepalanya.
Sepasang matanya yang kelabu memancarkan cahaya aneh. Keningnya menjadi panas. Bersamaan dengan itu ia gerakkan dua kakinya. Menendang di udara.
Wuuttt!
Wutttt!
Dua larik sinar biru menderu di udara. Membelah kabut. Lalu di sebelah sana terdengar bunyi benda berderak patah. Lasedayu sibakkan rambut dan kumis yang menjulai menutupi wajahnya. Sepasang matanya yang berwarna kelabu membeliak besar. Dua pohon yang selama bertahun-tahun tumbuh tegak di sebelah sana hancur patah potongan tengah batangnya , kemudian bergemuruh tumbang!
Sekujur batang pohon yang telah patah itu bermetamorfosis biru!
Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi namun Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir masih belum percaya diri. Perlahan-lahan tubuhnya diapungkan ke atas. Dua tangannya bergerak. Sosoknya kemudian diputar ke arah sebuah watu besar sejarak tiga tombak dari tempatnya berdiri kepala ke bawah kaki ke atas. Kalau tadi dua kakinya yang digerakkan maka kali ini tangan kanannya yang dipukulkan.
Wuuuttt!
Selarik sinar biru menggebubu dari telapak tangan Lasedayu. Lalu di depan sana , braakk! Batu besar hancur berantakan. Pecahan-pecahan watu bermetamorfosis kebiru-biruan. Orang bau tanah ini berseru girang. Sosoknya mencelat ke atas beberapa kali. Lalu dari mulutnya keluar teriakan. “Lajundai! Labahala! Hantu Muka Dua! Siapapun kau adanya! Aku akan mencarimu! Tunggu pembalasanku!”
Habis berteriak begitu Lasedayu segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun selintas ingatan muncul dalam benaknya. Apakah memang perlu ia mencari Hantu Muka Dua untuk melampiaskan dendam kesumat? Seperti yang dikatakan Lamanyala , makhluk api utusan atau Wakil Para Dewa , bukankah peristiwa yang dialaminya jawaban ulah perbuatannya di masa muda? Dia telah membunuh seorang berjulukan Latumpangan yang ketitipan sebuah jimat sakti berjulukan Jimat Hati Dewa. Setelah membunuh Latumpangan dan merampas serta memakan Jimat Hati Dewa , ia kemudian mencelakai Lamanyala , Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kutukan kemudian jatuh atas dirinya. Yang membuat dirinya tersiksa seumur-umur. Hidup terjungkir kaki di atas kepala di bawah! Dendam yang membara dalam diri Lasedayu perlahanlahan mengendur. Apalagi ketika ia ingat pada istri dan empat orang anaknya yang tidak diketahuinya di mana rimbanya.
“Apakah perlu saya membalaskan dendam kesumat sakit hati? Bukankah keadaan diriku hingga begini rupa lantaran dimakan aturan alasannya yaitu akibat? Bukankah lebih baik sisa hidup ini kupergunakan untuk menanti datangnya kematian? Hanya selesai hidup yang akan mempertemukan saya dengan istri dan anak-anakku di alam roh kalau memang mereka telah menemui maut jawaban peristiwa banjir puluhan tahun silam itu…”
Berhari-hari lamanya Lasedayu mendekam di Lembah Seribu Kabut dengan benak dibuncah alam pikiran mirip itu hingga akhirnya ia mengambil keputusan untuk tidak mencari Hantu Muka Dua guna melaksanakan pembalasan. Perasaan ingin mati cepat inilah yang kemudian membuat Hantu Langit Terjungkir tidak berusaha menyelamatkan diri , hanya tegak membisu penuh pasrah sewaktu Pukulan Tombak Lumpur Penambus Roh yang dilepaskan Hantu Lumpur Hijau menghantam ke arahnya! Orang bau tanah ini benar-benar akan menemui maut kalau dikala itu tidak ada sebuah benda berbentuk lingkaran menderu menangkis serangan orang.
Traaannggg!
Walau terperinci benda berbentuk tombak hijau itu hanya merupakan selarik sinar namun luar biasanya begitu beradu dengan benda lingkaran ia mengeluarkan bunyi berkerontangan seolah terbuat dari besi betulan. Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada Lasedayu selamat dari tambusannya. Benda lingkaran yang digunakan menangkis serangan gugus gompal sedikit sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi cepat bangun kembali dan bergerak ke arah Hantu Lumpur Hijau yang dikala itu tengah berusaha bangun berdiri. Bentrokan tombaknya dengan benda lingkaran tadi membuat ia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya yang mirip lumpur berdenyut-denyut dan tetesan air keluar lebih banyak. Ini satu membuktikan bahwa makhluk ini tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu berdiri ia putar tubuh ke arah makhluk yang mendatanginya.
Dukkk… Dukkkk.
Tanah lembah bergetar. Muka hijau Hantu Lumpur Hijau sesaat berubah redup kelabu membuktikan ia tengah mengalami keterkejutan. Hantu Lumpur Hijau memang kaget besar ketika ia memandang ke depan dan mengenali siapa yang melangkah mendekatinya.
***
5
HANTU Kaki Batu…” desis Hantu Lumpur Hijau. “Apa kekerabatan makhluk ini dengan Hantu Langit Terjungkir hingga ia barusan bertindak menyelamatkan orang itu…” Sambil menduga-duga begitu Hantu Lumpur Hijau melirik ke arah kejauhan di mana tampak seekor kuda hitam besar berkaki enam yang merupakan tunggangan orang yang dijuluki Hantu Kaki Batu itu.Seperti Hantu Lumpur Hijau , Lasedayu juga merasa heran mengapa ada orang yang selama ini hanya dikenal namanya tapi tidak punya kekerabatan apa-apa telah menyelamatkan dirinya dari kematian.
Duukkk… duukkkk… duukkkk!
Sosok tinggi besar yang sepasang kakinya terbungkus watu lingkaran melangkah terus mendekati Hantu Lumpur Hijau. Dua langkah di hadapan Hantu Lumpur Hijau , orang ini yang bukan lain Lakasipo adanya hentikan langkah kemudian berucap.
“Hantu Lumpur Hijau , saya tidak ada permusuhan denganmu. Karenanya lekas kau angkat kaki dari Lembah Seribu Kabut ini!”
Walau tadi hatinya kecut melihat kemunculan Hantu Kaki Batu yang terperinci tidak berpihak kepadanya namun ucapan Lakasipo membuat Hantu Lumpur Hijau merasa sangat dihina dipandang enteng. Dalam marahnya ia menyahuti. “Wahai! Kau yang muncul mencari lantai terjungkat! Sekarang kau pula yang berucap tidak punya permusuhan dengan diriku! Sungguh aneh!”
Hantu Kaki Batu menyeringai. “Sudahlah , tak perlu bicara berpanjang lebar. Tinggalkan saja tempat ini biar lantai terjungkat yang kau katakan itu tidak kupatahkan!”
“Pongahnya dirimu! Apa hubunganmu dengan Hantu Langit Terjungkir?! Hingga mencampuri urusanku dan menyelamatkan dirinya?!” Hantu Lumpur Hijau membentak sambil melirik pada Lasedayu. Lasedayu sendiri dikala itu tentu saja ingin tahu dan ingin mendengar jawaban Lakasipo.
“Antara saya dan orang bau tanah itu tidak ada kekerabatan apaapa. Tapi niat menolong yaitu dasar kekerabatan baik bagi semua makhluk di Negeri Latanahsilam ini!”
“Wahai! Kau menolong orang yang salah! Kau menolong makhluk jahat! Apakah itu pantas disebut dasar kekerabatan baik?!”
Hantu Langit Terjungkir keluarkan bunyi menggeram tapi tetap tak bergerak di tempatnya. Lakasipo usikan pertanyaan. “Apa kesalahan Hantu Langit Terjungkir. Apa kejahatan yang telah diperbuatnya?”
“Aku tiba ke Lembah Seribu Kabut ini untuk minta pertanggungan jawabnya. Muridnya telah merampas ilmu kesaktianku!” jawab Hantu Lumpur Hijau.
“Kalau saya tidak salah , orang bau tanah ini tadi sudah memberi tahu padamu bahwa Hantu Muka Dua bukan muridnya. Seumur-umur ia tidak punya murid. Mengapa kau berkeras kepala tidak mempercayai ucapan orang?!”
“Hemmm… Kalau begitu rupanya kau sudah usang berada di tempat ini hingga mendengar pembicaraan kami!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
“Aku sudah berada di sini sebelum kau muncul. Itu kalau kau ingin tahu!” ujar Lakasipo pula yang membuat Hantu Langit Terjungkir jadi terkejut dan menduga-duga janganjangan insan berkaki watu ini juga punya niat jahat terhadap dirinya walaupun pertama kali muncul telah menolong menyelamatkan dirinya dari serangan maut Hantu Lumpur Hijau.
“Aku tidak percaya pada ucapan Hantu Langit Terjungkir. Sama dengan saya tidak mempercayai dirimu! Aku yakin antara ia dengan Hantu Muka Dua ada kekerabatan tertentu!”
“Sudahlah! Kita habisi saja pembicaraan hingga di sini. Harap kau mau pergi dari sini!”
“Bagaimana kalau kau saja yang segera angkat kaki dari sini?!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
Lakasipo tertawa bergelak. “Tubuhmu mulai dari kepala hingga ke kaki merupakan lumpur lembek dan busuk! Tapi wahai! Otakmu keras dalam ketololan! Mungkin ini bisa membuatmu untuk tidak bicara berpanjang lebar!”
Habis berkata begitu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu jentikkan lima jari tangan kanannya.
Wussss!
Lima larik sinar hitam menggebubu ganas. Menyambar ke arah lima potongan tubuh Hantu Lumpur Hijau membuat orang ini terkejut besar. Sambil berteriak menyebut nama serangan itu ia cepat melompat cari selamat.
“Lima Kutuk Dari Langit!”
Lima lobang hitam mengepulkan asap menguak di tanah bekas tempat Hantu Lumpur Hijau tadi berdiri tegak!
Sang hantu bergeletar sekujur tubuh lumpurnya. Sejak ilmu kesaktian yang sangat diandalkannya dirampas Hantu Muka Dua , Hantu Lumpur Hijau mempunyai satu kelemahan yakni tidak tahan terhadap hawa panas , apalagi pukulan sakti mengandung hawa panas mirip Lima Kutuk Dari Langit yang tadi dihantamkan Lakasipo!
Sadar kalau dikala itu tak mungkin baginya untuk menghadapi Lakasipo maka Hantu Lumpur Hijau berpaling pada Hantu Langit Terjungkir dan berkata. “Nasibmu masih baik. Ada orang tolol muncul menolong. Tapi lain waktu jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!”
Habis berkata begitu Hantu Lumpur Hijau kemudian berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang mengapung di udara.
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Dia yang ndeso menyampaikan orang tolol!” Lalu orang bau tanah ini berpaling ke arah Lakasipo. Dari balik julaian rambut putihnya yang panjang ia memperhatikan kemudian berkata. “Wahai , selama ini hanya nama yang kukenal. Apakah benar dugaanku kau yaitu makhluk yang dijuluki Hantu Kaki Batu , korban kebusukan nenek jahat berjulukan Hantu Santet Laknat?”
“Wahai!” seru Lakasipo. “Dugaanmu tidak salah! Kau sebut nama nenek keparat itu! Mengingatkan saya bahwa masih ada urusan dendam kesumat yang belum terselesaikan dengannya!”
Hantu Langit Terjungkir menyeringai di balik julaian rambut putihnya. “Selama dunia terkembang , walau langit terjungkir mirip yang dikala ini saya lihat , urusan dendam kesumat tidak pernah habis-habisnya! Akupun gotong royong mempunyai satu dendam kesumat besar luar biasa! Tapi apa ada gunanya untuk dilampiaskan?”
“Lalu itu sebabnya waktu tadi Hantu Lumpur Hijau hendak membunuh kau hanya membisu pasrah?” ujar Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir kembali menyeringai. “Wahai , turut bicaramu kau sudah usang berada di tempat ini. Bahkan sebelum Hantu Lumpur Hijau muncul. Kau menyelamatkan diriku dari kematian! Tapi saya perlu kejelasan apakah kau tiba dengan maksud baik atau membekal niat jahat mirip makhluk yang barusan merat itu?!”
“Aku tiba membekal maksud baik. Aku membawa amanat dari seseorang untuk disampaikan padamu ,” menjelaskan Lakasipo.
“Sungguh luar biasa kejadian hari ini!” kata Hantu Langit Terjungkir sambil geleng-gelengkan kepala. “Aku hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang lain. Kini orang lain itu berkata ia tiba membawa satu amanat! Wahai Hantu Kaki Batu , amanat apa yang hendak kau sampaikan pada diri bau tanah ringkih dimakan usia dan derita ini?!”
“Sebelum kujawab pertanyaanmu , saya juga ingin satu kejelasan bahwa kau memang yaitu Hantu Langit Terjungkir yang terlahir berjulukan Lasedayu. Kulihat pusarmu yang berlubang , kulihat cara tegakmu yang terbalik , kaki ke atas tangan dijadikan kaki. Namun di Negeri Latanahsilam ini seseorang bisa saja menyamar menggandakan diri. Hantu Muka Dua contohnya , ia bisa membentuk ujudnya mirip sosok dirimu!”
Hantu Langit Terjungkir tertawa panjang. “Aku suka pada orang cerdik sepertimu. Ada ujar-ujar yang menyampaikan begini , ‘Seseorang harus tulus mirip seekor burung merpati. Tapi ada kalanya harus cerdik mirip ular.’
Hantu Kaki Batu , kau sendiri sudah mengetahui bahwa saya begitu pasrah menghadapi bahkan menginginkan kematian. Jika kau tadi tidak yakin saya yaitu benar-benar Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu , tentu kau tidak akan menolong menyelamatkan nyawaku dari Hantu Lumpur Hijau!”
“Wahai , mendengar ucapanmu itu saya yakin kau memang yaitu Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. Sebelum kukatakan amanat yang kubawa itu , apakah kau berkesudian menceritakan riwayat hingga kau berkeadaan mirip ini?”
Si orang bau tanah menarik nafas panjang dan dalam. “Wahai , menceritakan nasib sendiri sama dengan menusukkan duri ke lubuk hati yang telah sarat dengan derita sengsara ini. Tapi mungkin juga bisa sedikit menghapus ganjalan hati. Kalau kau suka mendengar akan kuceritakan. Tapi pendek-pendek saja…”
“Aku suka mendengar riwayatmu ,” jawab Lakasipo.
“Semua derita sengsara ini terjadi ketika seorang berjulukan Lajundai alias Labahala yang mengaku Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini , bergelar Hantu Muka Dua , suatu hari di masa puluhan tahun silam muncul di lembah ini. Sebelum muncul di Lembah Seribu Kabut ini rupanya ia telah mendatangi beberapa tokoh di tempat lain dan merampas ilmu kepandaian para tokoh itu.
Ternyata ia mendatangiku juga dengan maksud yang sama. Dia membekal sebuah benda terbuat dari emas yang disebut Sendok Pelangkah Nasib atau lebih dikenal dengan nama Sendok Pemasung Nasib. Kejutku bukan alang kepalang. Karena sendok itu yaitu satu-satunya benda di muka bumi ini yang bisa menguras semua ilmu kesaktian yang kumiliki! Dengan satu gerakan kilat Hantu Muka Dua menusukkan sendok emas itu ke perutku , mencungkil pusarku. Kau lihat sendiri dikala ini. Pusarku hanya merupakan satu lobang besar di pertengahan perutku. Dalam keadaan tak berdaya dan mandi darah sehabis ditinggal kabur oleh Hantu Muka Dua tiba-tiba muncul Lamanyala…”
“Lamanyala , saya pernah dengar nama itu. Siapa orang itu adanya?” tanya Lakasipo.
“Dia yaitu utusan atau Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dia mempunyai kesaktian hebat. Sekujur tubuhnya dikobari api. Sejak puluhan tahun ia telah menjadi musuh besarku. Karena saya telah merampas dan menelan Jimat Hati Dewa yang berada di bawah pengawasannya. Selain itu tubuhnya telah kubikin cacat mengerikan…”
“Lamanyala pasti muncul untuk membalas dendam!” memotong Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala. “Dia muncul hanya untuk menyampaikan sesuatu yang hingga dikala ini masih terngiang di telingaku , Hidup keluargamu moratmarit! Kau tak tahu di mana istrimu berada. Kau juga tidak tahu di mana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan seluruh kesaktianmu!’ Setelah berkata begitu ia mengutuk , ‘Mulai hari ini kau akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur!’ Seperti kau saksikan sendiri dikala ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah!” (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir harap baca serial Wiro Sableng dua Episode sebelumnya yaitu “Hantu Muka Dua” dan “Rahasia Kincir Hantu”).
“Wahai… Riwayatmu sungguh hebat. Aku gres tahu kalau kau punya empat orang anak…”
“Empat orang anak. Tapi apa artinya…” ujar Hantu Langit Terjungkir. “Aku tidak tahu di mana mereka sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga tidak tahu apakah istriku Luhpingitan masih hidup atau entah sudah tiada…”
“Sungguh berat beban derita hidup orang bau tanah ini ,” kata Lakasipo dalam hati. Lalu pada Hantu Langit Terjungkir ia berkata. “Orang bau tanah , lantaran kau sudah menceritakan riwayat nasib dirimu , kini tiba saatnya saya memenuhi janji. Memberi tahu amanat apa yang saya bawa untukmu. Apakah kau kenal dengan seorang bau tanah berjulukan Lawungu?”
Hantu Langit Terjungkir keluarkan seruan tertahan. Berkali-kali ia menarik nafas dalam. Tenggorokannya turun naik. “Lawungu… Lawungu…” katanya beberapa kali.
“Puluhan tahun silam , kau belum lagi dilahirkan. Di Negeri Latanahsilam ini ada satu kelompok orang-orang yang mengaku gagah lantaran paling tinggi ilmunya. Mereka tiga bersahabat. Yang pertama yaitu yang dikenal dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Yang kedua saya sendiri. Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk dengan urusan masing-masing kami kemudian berpisah dan usang tak saling bertemu… Wahai! Mengapa kau bertanyakan Lawungu padaku?”
“Karena kakek itulah yang menitipkan amanat yang kukatakan itu ,” jawab Lakasipo.
“Kau… Lawungu! Amanat apa yang dititipkan sahabatku itu?!” tanya Hantu Langit Terjungkir. Dengan tangan kirinya ia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai hingga kini Lakasipo untuk pertama kalinya sanggup melihat terperinci sebagian wajah orang bau tanah itu. Wajah ini putih mirip tidak berdarah sedang sepasang matanya berwarna kelabu.
“Katakan cepat. Amanat apa yang dititipkan Lawungu padamu!”
“Aku dimintanya menyerahkan benda ini…” kata Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning yang berkilauan tertimpa sinar sang surya pagi.
“Sendok Pemasung Nasib!” seru Hantu Langit Terjungkir dengan keras dan mata mendelik besar. Sekujur tubuhnya bergeletar. Lebih-lebih ketika Lakasipo mengulurkan tangannya siap menyerahkan sendok itu pada si orang tua.
Hantu Langit Terjungkir keluarkan bunyi mirip hendak menangis. Tangan kanannya bergetar keras ketika diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun hanya sekejapan lagi sendok itu akan disentuhnya tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat , dan…! Lakasipo serta Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru kaget. Sendok Pemasung Nasib lenyap disambar orang. Bersamaan dengan itu bayangan kuning yang tadi berkelebat ikut menghilang!
Lakasipo coba mengejar sambil lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Namun tak ada gunanya. Yang hendak dihantam sudah keburu kabur. Hantu Langit Terjungkir meraung keras. Betapa tidak. Melihat sendok emas tadi timbul kembali impian hidupnya dengan mempunyai segudang kesaktian. Namun impian tinggal harapan. Sendok emas amblas dirampas sosok kuning tidak dikenal.
***
6
KEMBALI kepada Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah berusaha mengusut di mana beradanya Luhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di situ tumbuh sejenis pepohonan setinggi kepala insan , yang batang , ranting serta dedaunannya ditancapi duri-duri berwarna coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Wiro ingat pada sahabatnya yang malang yaitu Hantu Jatilandak. Dia tidak tahu di mana cowok yang sekujur tubuhnya penuh duri landak itu kini berada.Karena pepohonan berduri tumbuh cukup rapat , Wiro tak bisa berlari cepat. Dia harus hati-hati , jangan hingga tergores duri coklat yang bukan tidak mungkin mengandung racun. Di satu tempat ketinggian murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini hentikan larinya , memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu yang tergantung melambai-lambai di ujung sebuah ranting berduri. Wiro segera bergerak , memperhatikan lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di ujung ranting berduri itu yaitu robekan pakaian terbuat dari kulit kayu halus berwarna jingga.
“Kain jingga…” ujar Wiro berdebar. “Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku menempuh arah yang benar. Agaknya gadis itu berada di sekitar sini. Kini tinggal mencari di mana goanya.” Wiro memandang berkeliling , tak berkesip. Dia tidak melihat apa-apa. Juga tidak menemukan petunjuk lain. Lalu ia mendengar ada bunyi menderu di udara. Memandang ke atas ia tidak melihat sesuatupun. Langit cerah. Sinar sang surya terasa mulai menyengat. Wiro sibakkan semak belukar di samping kirinya kemudian meneruskan perjalanan. Berjalan sejauh belasan tombak mendadak ia melihat kelainan pada serumpunan semak belukar dan pohonpohon berduri di arah sebelah kanan. Semak-semak dan pepohonan itu terkuak ke kiri kanan dan ada gejala bekas rambasan.
“Ada orang membuat jalan setapak di tempat itu. Aku harus mengikuti jalan itu. Mungkin menuju ke goa yang dikatakan dua gadis kembar manis tapi sialan itu!” Berpikir begitu Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke ujung semak belukar yang terkuak. Tak usang mengikuti jalan kecil itu tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah benda aneh yang mencuat mirip bukit watu kecil , berwarna coklat. Selagi tegak keheranan Wiro kembali terkejut lantaran bukit watu ini kelihatan bergerak. Tidak mau mengalami celaka yang tidak terduga , Wiro segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan untuk sewaktuwaktu bisa menghantamkan pukulan sakti.
Batu coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung kanan bukit watu ada sesuatu yang lain , bergerak naik ke atas. Ternyata kepala seekor kura-kura raksasa.
“Astaga , Laecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan Luhjelita…” Dalam kejutnya Wiro juga merasa gembira.
Kalau tunggangannya berada di sana , berarti Luhjelita tidak berada jauh dari situ.
Laecoklat berpaling pada Wiro. Matanya dikedipkedipkan. Melihat hewan ini tidak bersikap galak Wiro beranikan diri mendekat kemudian melompat ke atas punggungnya yang keras atos. Sambil mengusap kepala hewan itu Wiro berkata. “Laecoklat , bisa kau memperlihatkan padaku di mana Luhjelita berada?”
Kura-kura raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua kali kemudian palingkan kepalanya ke kiri. Setelah menghadap ke kiri , kepala itu sedikit ditundukkan. Wiro memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun pohon berduri yang telah dirambas orang kelihatan sebuah verbal goa watu yang tingginya sepenyandak kepala manusia.
“Kura-kura pintar!” Memuji Wiro. Lalu sekali melompat ia sudah hingga di depan pintu goa. Tanpa menunggu lebih usang murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke dalam goa yang ternyata potongan dalamnya terbuat dari sejenis watu putih berkilauan hingga keadaan di situ tidak gelap. Berjalan masuk sejauh enam tindak , Wiro tiba-tiba hentikan langkahnya. Dia mendengar bunyi orang mendesah dan sesenggukan berulang kali. Suara perempuan. Luhjelita-kah itu? Apa yang terjadi dengan dirinya? Karena belum melihat sosok orang , Wiro melangkah masuk lebih jauh ke dalam goa. Untuk kedua kalinya kembali langkah sang satria terhenti. Di sana , sejarak enam langkah di hadapannya , di lantai goa watu putih tergeletak sesosok tubuh perempuan. Pakaiannya , sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar di lantai. Hanya sebagian saja yang masih menutupi auratnya hingga sosok wanita itu nyaris tidak terlindung. Wiro memperhatikan wajah wanita itu. Dia segera mengenali dan berseru memanggil.
“Luhjelita!”
Seperti mendengar bunyi malaikat , wanita yang tergeletak di atas lantai putar kepalanya. Begitu ia melihat dan mengenali siapa yang berdiri di depan sana pribadi ia meraung.
“Wiro…!”
Perempuan itu yang memang Luhjelita adanya menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang manis nampak pucat pasi dan berair oleh air mata. Gadis itu kemudian tutup mukanya dengan dua tangan dan menangis lebih keras.
“Luhjelita , apa yang terjadi dengan dirimu!” seru Wiro kemudian mendekat dan duduk di samping sosok Luhjelita. Dia hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita lebih dulu bergerak bangun dan rangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro kemudian menangis lebih keras.
“Luhjelita , tenangkan dirimu. Katakan apa yang telah terjadi. Dengar , kenakan pakaianmu lebih dulu… Aku menyesal tidak bisa tiba lebih cepat menolongmu…”
“Terlambat Wiro , tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal mirip ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah , pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang saya derita terlalu besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro…” Gadis itu lepaskan rangkulannya di leher Wiro kemudian menangis lebih keras sambil menutupkan dua tangannya di atas wajah. Pendekar 212 jadi bingung. Dia tak berani menyentuh tubuh Luhjelita yang dikala itu memang tidak tertutup apaapa. Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang bertebaran di lantai. Pakaian ini ditutupkannya sebisanya ke tubuh si gadis. Pada dikala itulah ia melihat ada bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada seseorang di verbal goa. Wiro berpaling , hendak bangun berdiri. Namun gerakannya tertahan oleh bunyi Luhjelita.
“Wiro…”
Wiro terpaksa kembali mendekati gadis itu , duduk disampingnya. “Kenakan pakaianmu , gres nanti kita bicara. Aku merasa ada seseorang di luar goa. Aku akan menyelidik sebentar. Nanti kembali lagi ke sini…”
“Jangan… jangan pergi. Aku takut Wiro. Takut sekali. Aku… rasanya saya ingin mati saja dikala ini. Jangan pergi. Siapapun yang ada di luar sana biar saja…”
“Gadis ini sedang kacau pikiran ,” kata Wiro dalam hati.
“Tadi disuruhnya saya pergi , jangan menemuinya lagi. Sekarang ia tidak mau ditinggal…”
Wiro terpaksa mengikuti kata-kata Luhjelita. Karena si gadis tidak berusaha mengenakan pakaiannya , setengah memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian. Dalam keadaan lain , berdua-dua mirip itu bisa membuat sang satria jadi panas dingin.
“Gila , mengapa keadaan bisa mirip ini. Kalau ada orang lain yang melihat bisa-bisa ia salah sangka!” Wiro membatin sambil garuk-garuk kepala.
“Nah , kau sudah berpakaian rapi. Duduklah bersandar ke dinding goa sebelah sini. Kelihatannya kau berada dalam satu goncangan besar…”
“Luar biasa besarnya Wiro. Membuat saya rasanya ingin mati saja dikala ini ,” jawab Luhjelita lirih. Gadis ini beringsut ke kiri kemudian duduk bersandar ke dinding goa.
“Ceritakan apa yang terjadi…” kata Wiro pula seraya duduk di hadapan si gadis.
“Aku ingin tahu dulu , bagaimana kau bisa hingga di sini?” tanya Luhjelita sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah. Rambutnya awut-awutan.
Wiro kemudian bercerita.
“Aku bertemu dan diserang oleh dua orang gadis kembar mengaku berjuluk Sepasang Gadis Bahagia…”
Mendengar Wiro mengucapkan nama itu Luhjelita pribadi terpekik. “Dua gadis jahanam itu! Mereka…!”
Jeritan Luhjelita terputus , bersambung dengan ratapan panjang.
***
Kita tinggalkan Wiro dan Luhjelita yang ada di dalam goa. Kita kembali pada saat-saat sebelumnya ketika Wiro berusaha mencari goa di mana Luhjelita disekap oleh sepasang dara kembar. Seperti dituturkan lantaran perhatiannya sangat terpusat pada perjuangan mencari dan menyelamatkan Luhjelita , murid Sinto Gendeng ini hingga tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok burung besar yang bukan lain yaitu Laeputih , belibis raksasa milik Peri Angsa Putih. Binatang ini terbang mengikutinya dari kejauhan. Tentu saja hewan itu melayang mengikuti atas kehendak si pemiliknya yakni Peri Angsa Putih yang ada di atas punggungnya.Sang Peri merasa heran melihat Wiro berlari ke arah daerah tinggi berbatu-batu dan dipenuhi semak belukar serta pohon-pohon berduri. Saat itulah belibis tunggangan yang berjulukan Laeputih itu keluarkan bunyi menguik halus. Peri Angsa Putih yang sudah tahu sifat hewan kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya berucap.
“Aku tahu , kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat apa-apa. Melayanglah lebih rendah. Hatihati. Jangan hingga orang yang kita ikuti melihat kita…”
Laeputih menguik halus kemudian tukikkan kepalanya ke bawah. Sesaat kemudian belibis putih inipun melayang merendah. Gerakan sayapnya dibentuk demikian rupa hingga ia terbang hampir tanpa suara. Di ketinggian tertentu Laeputih berputar dua kali. Peri Angsa Putih memandang ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling oleh semak belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba matanya melihat sesuatu. Tapi belum terperinci benar. Dada sang peri mendadak berdebar. Matanya digosoknya.
“Lae…” bisik Peri Angsa Putih pada hewan tunggangannya. “Berputar sekali lagi , jangan terlalu cepat…”
Laeputih lakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih. Binatang ini kembali melayang berputar. Peri Angsa Putih memasang mata tajam-tajam. Debaran di dadanya semakin kencang. Matanya membelalak dan dua tangannya memegangi pangkal leher. Wajahnya berubah pucat.
“Laecoklat…” desis sang peri. “Kura-kura bersayap tunggangan Luhjelita! Laeputih , lekas terbang ke balik bukit sana. Melayang berputar hingga saya memberi perintah berikutnya!”
Di langit sebelah timur Laeputih berputar berulang kali. Namun sang Peri masih belum memberi arahan selanjutnya. Di atas punggung belibis putih itu Peri Angsa Putih justru berada dalam pikiran kacau balau serta hati tak karuan rasa.
“Wiro… Dia menuju ke bukit terpencil itu. Ternyata di situ ada Laecoklat , kura-kura terbang milik Luhjelita. Pasti gadis itu juga berada di bukit itu. Jangan-jangan antara mereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu…Wahai para Dewa , wahai para Peri Agung. Apa yang harus saya lakukan?!” Rasa cemburu mengkremasi diri Peri ini hingga wajahnya yang manis jelita menjadi merah hingga ke pangkal leher.
Seperti diketahui semenjak ia pertama kali bertemu dengan Wiro yang masih berada dalam sosok kecil dibanding dengan orang-orang yang ada di Negeri Latanahsilam , Peri Angsa Putih memang telah merasa suka kepadanya. Lalu sewaktu sosok Wiro bermetamorfosis besar , rasa suka sang Peri semakin bertambah besar , malah bermetamorfosis rasa menyayangi. Peri Angsa Putih menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Pendekar 212. Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi bangsa Peri di Negeri Atas Langit.
Sebelumnya ia pernah tertarik pada lelaki gagah berjulukan Lakasipo berjuluk Hantu Kaki Batu. Rasa tertarik ini lebih didorong lantaran hiba melihat nasib yang dialami Lakasipo yakni sehabis istrinya meninggal bunuh diri. Namun sehabis kejadian itu , kalau kini ia boleh menentukan maka rasa tertarik dan cinta kasihnya ingin diberikannya sepenuhnya pada cowok dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Peri Angsa Putih sadar akan pantangan yang hendak dilanggarnya serta jawaban besar yang bakal dihadapinya. Namun ia mirip tidak berdaya. Semakin ia coba menghilangkan Wiro dari pikirannya , semakin berkobar dan terpateri kasih sayang dalam lubuk hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari telaga cinta , semakin jauh ia karam ke dalamnya. Dalam keadaan mirip itu banyak sekali ganjalan kemudian ditemuinya. Luhjelita , gadis manis berkepandaian tinggi itu muncul dan dirasakannya sebagai saingannya. Kemudian muncul pula gadis yang dikenalnya dengan nama Luhcinta.
Kecantikannya melebihi Luhjelita dan agaknya antara si gadis dengan Wiro telah terjalin satu hubungan. Semua kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa seperti langit hendak runtuh menyungkup dirinya. Apalagi kemudian ia menyirap kabar yang bersifat tekateki. Hantu Raja Obat kabarnya pernah berucap bahwa ada seorang gadis yang akan memperlihatkan cinta kasihnya hanya pada Wiro seorang. Lalu ia juga pernah mendengar sendiri Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang gotong royong telah usang meninggal dunia tapi rohnya bisa muncul kembali mirip insan biasa itu berucap bahwa memang ada seorang gadis yang sangat menyayangi Wiro Sableng.
Celakanya Luhrinjani tidak mau menyebutkan siapa orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain ingin tau juga merasa sangat khawatir. Gadis yang dimaksud Luhrinjani itu tentulah gadis penghuni Negeri Latanahsilam , bukan bangsa Peri mirip dirinya. Seringkali dalam merenung di malam sepi Peri Angsa Putih mengucurkan air mata. Itu sebabnya ia merasa lebih suka berada di Negeri Latanahsilam dari pada berada di negerinya sendiri. Kalaupun ia berada di negeri bangsa Peri , ia lebih suka memencilkan diri.
Terkadang ada hasrat di hatinya untuk menemui Hantu Raja Obat atau mencari makhluk roh berjulukan Luhrinjani itu untuk menanyakan. Siapa gotong royong gadis yang mereka katakan sebagai satu-satunya gadis yang memperlihatkan cintanya hanya kepada Wiro? Namun sehabis dipikirnya lebih dalam ia memutuskan untuk tidak melaksanakan hal itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya telah tergila-gila pada Pendekar 212 Wiro Sableng dan menaruh cemburu pada gadis-gadis lainnya yang pernah berafiliasi dengan cowok itu. Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di sebuah bukit di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di situ , Peri Angsa Putih merasa seolah sekujur tubuhnya terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.
“Gadis berjulukan Luhjelita itu. Dia selalu mendahului atau memotong setiap rencana yang hendak saya lakukan. Kini mereka melaksanakan pertemuan diam-diam di bukit itu. Apakah saya harus menyelidik apa yang mereka lakukan? Ah… Bagaimana ini!” Dalam bingungnya Peri Angsa Putih membiarkan belibis tunggangannya melayang berputarputar hingga beberapa kali. “Daripada tambah hancur hatiku , kurasa lebih baik saya pergi saja dari sini. Luhjelita bukan saja cantik. Tapi juga pandai memikat. Aku tidak punya kepandaian mirip itu. Aku… Laeputih , kita harus…”
Namun maksud sang Peri hendak memerintahkan belibis putihnya meninggalkan daerah itu tidak terucapkan. Malah pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau , akhirnya ia mengambil keputusan yang berbeda.
“Lae , kita kembali ke bukit tadi. Hati-hati , jangan hingga terlihat oleh Laecoklat…”
***
7
HAMPIR tanpa bunyi dan tidak terlihat oleh kura-kura coklat , Peri Angsa Putih menyusup di balik kelebatan semak belukar dan pohon-pohon berduri hingga akhirnya ia hingga ke verbal goa. Di verbal goa Peri ini hentikan langkahnya. Sesaat hatinya meragu , apakah akan terus masuk ke dalam goa atau bagaimana. Jangan-jangan gadis berjulukan Luhjelita berada di dalam goa. Dia tidak suka pada Luhjelita dan ia yakin Luhjelitapun benci sekali padanya. Semua ini berpangkal pada perasaan mereka yang sama-sama ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro Sableng. Perselisihan mereka hingga pada saling pukul memukul (baca Episode sebelumnya berjudul “Hantu Muka Dua”).Tiba-tiba Peri Angsa Putih dikejutkan oleh bunyi wanita menangis keluar dari dalam goa. Dia memasang telinga. Sulit untuk mengenali bunyi tangisan siapa itu adanya. Dengan dada berdebar akhirnya Peri Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa. Tepat di pertengahan goa , langkah Peri Angsa Putih tertahan. Sepasang kakinya laksana dipantek. Sekujur badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya membeliak. Apa yang disaksikannya membuat ia ingin menjerit. Hatinya benar-benar terpukul. Lututnya mulai goyah. Dia mirip mau roboh!
Di depan sana , seorang gadis dalam keadaan tanpa pakaian duduk di lantai sambil rangkulkan ke dua tangannya ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis itu bukan lain yaitu si manis genit Luhjelita! Saat itu terdengar Luhjelita berkata lirih tapi terperinci mirip petir menyambar masuknya ke indera pendengaran Peri Angsa Putih.
“Terlambat Wiro , tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal mirip ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah , pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang saya derita terlalu besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro…”
Menggigil sekujur tubuh Peri Angsa Putih melihat keadaan kedua orang itu , lebih-lebih mendengar apa yang barusan diucapkan Luhjelita. Dia tidak sanggup membayangkan apa arti maksud ucapan gadis itu. Tapi pasti telah terjadi sesuatu. “Mereka telah melaksanakan sesuatu di dalam goa ini sebelum saya datang. Wahai Dewa… Wahai Peri!” Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya erat-erat ke leher , berusaha menahan jeritan yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya. Khawatir ia tidak sanggup menahan diri , tanpa menunggu lebih usang gadis dari Negeri Atas Langit ini segera memutar tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun bayangannya sempat terlihat oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini segera hendak bergerak keluar goa guna menyelidik. Tapi niatnya batal lantaran mendadak Luhjelita memanggilnya. Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih
bukannya kembali menemui belibis putih tunggangannya yang ditinggalkannya di satu tempat kelindungan , tapi ia justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu tempat ketika dadanya terasa sesak dan kakinya bergetar berat tak sanggup lagi di langkahkan kakinya , Peri Angsa Putih gulingkan diri di tanah kemudian menangis tersedu-sedu. Sang Peri tidak tahu berapa usang ia berada dalam keadaan mirip itu ketika tiba-tiba ada cahaya biru berkelebat di atasnya disertai menebarnya amis harum semerbak. Peri Angsa Putih turunkan dua tangan yang semenjak tadi ditekapkannya ke wajahnya yang berair oleh air mata. Peri ini terbelalak ketika melihat siapa yang tegak di depannya. Dia segera menghapus air matanya , mengusap wajahnya dan membungkuk ,
“Peri Bunda… Simpul Agung Dari Segala Peri , Peri Junjungan Dari Segala Junjungan…”
Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih dikala itu ternyata yaitu Peri Bunda , Peri separuh baya berwajah cantik. Pakaian birunya yang panjang menjela-jela hingga ke tanah. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur watu permata. Walau usianya sudah agak baya namun kecantikannya masih mempesona.
Peri Bunda yaitu salah seorang Peri yang sangat dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa Putih tadi membungkuk dan menyapa dengan segala panggilan penghormatan. Dalam kejutnya melihat Peri Bunda , Peri Angsa Putih bertanya-tanya bagaimana Peri Bunda tahu-tahu berada di tempat itu. Walau ingin mengetahui , namun Peri Angsa Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda berkata padanya dengan penuh kelembutan.
“Wahai Peri Angsa Putih kerabatku yang cantik. Setelah cukup usang kau meninggalkan negeri kita , sungguh aneh menemukan dirimu di dalam rimba belantara ini. Lebih aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah. Menangis. Dari bunyi tangismu agaknya ada suatu keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Peri Angsa Putih katakan padaku apa yang terjadi. Katakan kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menolongmu.”
Ditegur begitu rupa kesedihan Peri Angsa Putih jadi bertambah , membuat ia kembali menangis tersedu-sedu dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang berurai air mata. Peri Bunda dekati kerabatnya itu. Sambil membelai rambut hitam Peri Angsa Putih ia berkata. “Peri Angsa Putih , segala kesulitan dan kesedihan tidak sanggup diakhiri hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari sedih deritamu. Karena itu mulailah menceritakan padaku apa yang terjadi…”
Peri Angsa Putih pergunakan pakaian putihnya untuk mengusap wajahnya kemudian berkata. “Peri Bunda , semuanya serba tidak terduga. Aku… dia…” Kembali Peri Angsa Putih sesenggukan.
“Kuatkan hatimu wahai Peri Angsa Putih. Bicaralah dengan ketabahan seorang Peri. Tak usah terburu-buru. Aku akan mendengarkan dengan sabar…” Kembali Peri Bunda membelai kepala Peri Angsa Putih dengan penuh kasih sayang.
“Peri Bunda , sungguh baik sekali hatimu. Kau sangat memperhatikan diriku. Apakah kau masih ingat pembicaraan kita beberapa waktu kemudian wacana menipisnya batas antara kita para Peri dengan insan di bawah langit?”
Peri Bunda pejamkan mata sesaat mirip merenung. Begitu ia membuka kedua matanya yang bagus , diapun berkata , “Wahai , tentu saja saya ingat. Pembicaraan itu sangat besar artinya bagimu bukan? Bagiku merupakan sesuatu yang perlu menerima perhatian. Apakah ada kekerabatan pembicaraan kita waktu itu dengan keadaanmu dikala ini?”
“Peri Bunda , terus terang hatiku memang telah melangkah jauh walau sepasang kakiku masih terikat demi menjaga segala pantangan dan larangan kaum Peri…”
Peri Bunda kerenyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu wahai Peri Angsa Putih. Atau…hemmm… Mungkinkah kau…”
“Peri Bunda , barusan saja saya menyaksikan sesuatu di dalam sebuah goa tak jauh dari tempat ini.”
“Apa yang kau saksikan di dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih?” tanya Peri Bunda pula.
“Aku menyaksikan Luhjelita…”
“Luhjelita , gadis manis genit perayu lelaki itu! Apa yang kau saksikan wahai kerabatku? Mengapa ia , sedang apa dia?” Pertanyaan Peri Bunda tiba beruntun.
Tenggorokan Peri Angsa Putih turun naik dan suaranya bergetar ketika ia berucap , “Gadis itu… Tanpa pakaian…Dia berdua dengan…” Tangis Peri Angsa Putih kembali tersembur.
Setelah tangisnya mereda gres Peri Bunda bertanya.
“Kau melihat Luhjelita. Berdua dengan siapa wahai kerabatku?”
Karena memang hanya akan membuat sesak dadanya menahan-nahan kisah , maka Peri Angsa Putih kemudian menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa waktu lalu. Sepasang mata Peri Bunda jadi terbelalak , wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih. Dia memandang lekat-lekat pada Peri Angsa Putih yang memandang kepadanya dengan sepasang mata berurai air mata.
“Wahai Peri Bunda…” kata Peri Angsa Putih tersengguksengguk.
“Sungguh saya tidak mengira mereka mau melaksanakan hal itu. Dan sehabis itu terjadi mereka bicara segala macam penyesalan… Sangat menjijikkan…!”
Lama Peri Bunda terdiam. Setelah geleng-gelengkan kepala beberapa kali gres ia berucap , “Begitulah sifat dan martabat bangsa insan di muka bumi , yang tidak sama dan dihentikan terjadi dengan kita para Peri dari Negeri Atas Langit. Luhjelita , gadis perayu itu tidak menghargai diri dan kesuciannya sendiri. Begitu gampang ia menyerahkan diri. Dan cowok berjulukan Wiro Sableng itu saya menaruh curiga ia gotong royong yaitu apa yang disebut sebagai cowok hidung belang. Kau dengar mereka bicara segala penyesalan. Itu semua hanyalah siasat basa-basi lantaran pasti di lain dikala mereka akan melaksanakan hal-hal mesum mirip itu… Dan saya yakin , cowok dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu , sehabis mendapatkan kesucian Luhjelita , pasti ia akan mencari mangsa lainnya!”
Mendengar kata-kata Peri Bunda itu Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya ke wajah , kemudian kembali terisakisak.
“Peri Angsa Putih , turunkan dua tanganmu. Angkat wajahmu dan pandang wajahku. Aku harus menanyakan sesuatu padamu. Aku harus menyampaikan sesuatu padamu. Apakah kau mendengar ucapanku wahai kerabatku?”
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih turunkan kedua tangannya , menatap wajah Peri Bunda dan menunggu hingga Peri yang digelari Simpul Agung Segala Peri , Peri Junjungan Dari Segala Junjungan itu berkata.
“Melihat kepada air mukamu. Dari cara kau menuturkan apa yang kau saksikan , saya melihat dan bisa mencicipi bahwa kau sangat terpukul. Kalau saya boleh bertanya wahai Peri Angsa Putih , dan kalau kau mau berterus terang , apakah kau mempunyai satu perasaan tertentu terhadap cowok dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?”
Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan biar tidak terisak. Setelah menguatkan hatinya gres ia berkata.
“Wahai Peri Bunda , itu sebabnya tadi saya mengingatkanmu pada pembicaraan kita beberapa waktu lalu…”
“Hemmm… Aku mengerti kini ,” ujar Peri Bunda pula. “Rupanya kau telah jatuh cinta pada cowok itu…”
“Wahai Peri Bunda , saya tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku terhadap cowok itu. Karena selama ini hal-hal mirip itu tidak pernah saya alami. Lagipula bukankah itu merupakan satu pantangan besar yang berat hukumannya kalau hingga dilanggar…”
“Jadi benar kau telah jatuh cinta pada cowok berjulukan Wiro Sableng itu?”
“Peri Bunda ,” sahut Peri Angsa Putih yang bermata biru itu. “Ingat pembicaraan kita dulu. Waktu itu saya menanyakan padamu , apakah kau sependapat denganku bahwa dunia kita semakin usang semakin mengalami banyak perbedaan. Bahwa batas antara kita bangsa Peri dan insan di bawah langit sana semakin tipis. Laksana kabut pagi yang gampang dipupus ditelan sinar matahari…?”
“Aku memang ingat pembicaraan kita itu , wahai kerabatku. Tapi dikala ini yang saya inginkan ialah biar kau mau menjawab pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah jatuh cinta pada Wiro Sableng?”
Ditanya mirip itu Peri Angsa Putih jadi tundukkan kepala.
“Kau tidak mau menjawab pertanyaanku Peri Angsa Putih?”
Karena didesak akhirnya dalam menunduk Peri Angsa Putih anggukkan kepalanya. Peri Bunda pejamkan sepasang matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa diketahuinya dikala itu Peri Angsa Putih telah mengangkat kepala dan memandang padanya. Peri Angsa Putih merasa heran melihat perilaku Peri Bunda yang mendongakkan wajah dengan mata terpejam mirip itu.
“Peri Bunda…” memanggil Peri Angsa Putih.
Sadar dan agak terkejut Peri Bunda buka sepasang matanya , menatap ke dalam mata biru Peri Angsa Putih , kemudian berkata.
“Kerabatku Peri Angsa Putih , jangan berisau hati. Mungkin kau memang telah melaksanakan satu kesalahan. Jatuh cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun dalam keadaan mirip itu kau masih ingat bahwa hal itu merupakan satu pantangan besar. Yang kalau kau langgar akan menyebabkan malapetaka besar , bukan saja bagi dirimu tapi juga bagi negeri kita. Ingat apa yang terjadi di Negeri Atas Langit ketika seorang peri yang kemudian mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta dengan seorang lelaki berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan kemudian melangsungkan perkawinan yang membuahi seorang anak cacat mengerikan berjulukan Jatilandak? Alam kita terkontaminasi , segala tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak berhembus selama setahun penuh. Kalaupun berhembus maka hawa busuk tercium di mana-mana dan udara terasa pengap. Air berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke tempat rendah. Akibatnya banyak daerah mengalami kekeringan. Bunga-bunga menjadi layu. Pucuk tidak akan menjadi buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke tanah. Lalu semacam penyakit menular bertebar menakutkan. Aku , kita semua bangsa Peri tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Karenanya wahai kerabatku Peri Angsa Putih , saya mewakili para Peri di Negeri Atas Angin , berharap dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala.
Sebelum terlambat , sebelum tiba penyesalan yang tiada gunanya , jangan kau lanjutkan kesesatan itu. Jangan langgar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu , kikis rasa kasih sayangmu , buang jauh-jauh rasa sukamu , apapun namanya terhadap cowok berjulukan Wiro Sableng itu. Aku tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku tahu kau punya kebesaran jiwa ketabahan hati dan perilaku tegas dalam mengambil keputusan. Jauhi cowok itu , lupakan semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku dan para Peri akan berusaha menolongmu…”
Peri Angsa Putih tercekat mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Wajahnya kembali pucat tidak berdarah. “Peri Bunda…” ucapnya tersendat. “Mungkinkah… Mungkinkah saya bisa melupakan cowok itu? Kasih sayang , cinta tulusku terhadapnya telah terpendam di lubuk hati , menjadi satu dalam anutan darahku. Berada dalam setiap tarikan nafasku. Ke mana mataku memandang , wajahnya yang terlihat. Wahai…”
Peri Bunda tersenyum. “Dengar baik-baik wahai Peri Angsa Putih. Kita para Peri tidak mengenal dan dihentikan mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap makhluk di bumi. Terhadap insan di Negeri Latanahsilam saja hal itu sudah merupakan satu pantangan besar yang kalau dilanggar sangat mengerikan akibatnya. Apalagi cowok itu konon tiba dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Satu negeri yang tidak kita kenal. Ingat ketika pertama kali ia dan kawan-kawannya muncul di sini? Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki kita…!”
Peri Angsa Putih , Peri yang mempunyai sepasang bola mata berwarna biru bagus ini mengusap air mata yang berderai jatuh di pipinya. “Peri Bunda… Wahai , saya tidak tahu harus menyampaikan apa…”
“Kau tidak perlu menyampaikan apa-apa dengan mulutmu , wahai Peri Angsa Putih. Tapi berucaplah dalam hatimu bahwa kau akan menjauhkan cowok itu dan melupakannya untuk selama-lamanya. Semua apa yang terjadi hanya kita berdua yang tahu. Aku tidak akan mengungkapkannya pada Peri yang lain.”
Peri Angsa Putih terduduk bersimpuh. Mukanya ditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya digelengkan , dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya bergerak , tapi suaranya hanya keluar di dalam hati.
“Tidak mungkin Peri Bunda… Tidak mungkin saya menjauhkan dirinya lantaran dirinya sudah terpateri dalam hatiku. Cinta kasihku terhadapnya sudah larut dalam anutan darahku. Kasih sayangku terhadapnya menjadi satu dengan hembusan nafasku. Peri Bunda , kalau saya harus menentukan sesuatu yang lain , saya lebih suka menentukan kematian…”
“Peri Angsa Putih , saya tahu kau tidak akan mengecewakan saya dan kerabat para Peri lainnya. Aku tahu kau akan mengambil keputusan sesuai dengan semua nasihat yang kusampaikan tadi. Aku tidak punya waktu berlama-lama di sini dan harus kembali ke Negeri Atas Langit. Kuharap kau juga segera kembali ke sana. Semakin berlama-lama kau di negeri ini semakin buruk risikonya bagimu…”
Setelah berucap begitu dengan lembut Peri Bunda cium kening Peri Angsa Putih kemudian melesat ke udara dan lenyap di ketinggian langit sebelah timur.
Hanya sesaat sehabis Peri Bunda meninggalkan tempat itu , dari balik watu rerimbunan semak belukar lebat , beranjak pula seseorang yang telah usang mendekam di situ. Dia telah mendengar seluruh pembicaraan antara Peri Bunda dengan Peri Angsa Putih. Apa yang didengarnya itu membuat hatinya tergoncang hebat. Dia gres menyadari betapa dalam kasih sayangnya terhadap cowok itu sehabis mengetahui benar-benar ada gadis lain yang menyayangi si pemuda. Dalam pikiran kacau mirip itu ia tidak lagi memperhatikan arah maupun gerak jalannya. Pakaiannya tersangkut di ujung ranting lancip. Secarik kecil robekannya terkait tinggal di ujung ranting.
***
8
KEMBALI ke dalam goa di mana Pendekar 212 Wiro Sableng berada bersama gadis manis Luhjelita. Saat itu Luhjelita telah mengenakan pakaian jingganya kembali. Gadis ini duduk di lantai goa , bersandar ke dinding batu. Sepasang matanya sembab bekas menangis dan wajahnya masih agak pucat.“Luhjelita , apakah kini kau bisa menyampaikan apa yang terjadi? Tadi saya menyebutkan nama Sepasang Gadis Bahagia. Kau begitu terkejut , murka besar malah meraung keras!”
“Dua gadis kembar itu! Mereka jahanam-jahanam yang telah mencelakai menodaiku!” teriak Luhjelita. Lalu gadis itu hantamkan tinjunya ke dinding goa.
Braakkk! Goa watu bergetar. Bagian yang terkena pukulan hancur berlobang besar.
“Aku ingin menghancurkan kepala mereka mirip saya menghancurkan dinding watu ini!” teriak Luhjelita. Lalu , braakkk! Sekali lagi ia hantamkan kepalan tangan kanannya. Lobang ke dua menganga di dinding goa. Ketika Luhjelita yang mirip kesetanan hendak menghantam untuk ke tiga kalinya , Wiro cepat pegang tangan gadis itu dan berkata.
“Gadis berkepandaian tinggi sepertimu jangan hingga dirasuk amarah dan melaksanakan hal yang hanya mencelakai diri sendiri!”
Luhjelita menggerung. Dua matanya memandang besar berapi-api pada Wiro. Wiro coba tersenyum. Perlahan-lahan gadis ini turunkan tangannya.
“Diriku memang sudah celaka! Saat ini matipun saya mau! Kau mau lihat bagaimana saya memecahkan kepala dengan membenturkannya ke dinding watu ini?! Mau?!”
“Jangan jadi orang gila!” kata Wiro pula tapi cepat-cepat menekap kepala si gadis dengan dua tangannya lantaran khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak nekad. “Aku percaya dua gadis kembar itu telah mencelakaimu lantaran mereka memang bukan gadis baik-baik. Mereka telah merampas tongkat watu biru yang dulu kau berikan padaku. Dengar , saya percaya mereka telah mencelakaimu. Tapi kalau kau katakan mereka juga menodaimu , ini yang saya tidak mengerti!”
“Tidak mengerti! Apa yang tidak kau mengerti! Apa kau tidak tahu siapa mereka?!”
“Siapapun mereka , mana mungkin mereka menodaimu. Mana ada wanita menodai perempuan…” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
Luhjelita mendengus gemas. “Kau dengar baik-baik Wiro!” katanya setengah berteriak. “Dua gadis itu yaitu gadis-gadis binal yang cuma berangasan melaksanakan kekerabatan tubuh dengan sejenisnya!”
Wiro melamun ternganga. “Maksudmu…” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepala. “Aku tidak…”
“Kau tidak mengerti! Kau juga tolol! Apa perlu kujelaskan terang-terangan?! Menjijikkan!”
“Apanya yang menjijikkan?” tanya Wiro.
Luhjelita acungkan tinjunya. Siap hendak dijotoskan ke verbal Wiro. Wiro membisu dan damai saja. Pelahan-lahan Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca dan isakannya memenuhi goa itu.
“Aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi saya benar-benar tidak mengerti…”
“Aku akan jelaskan…” kata Luhjelita akhirnya dengan bunyi lirih. “Dua gadis kembar itu mempunyai kelainan.
Mereka tidak pernah suka pada laki-laki. Mereka hanya berangasan dan bernafsu pada kaum perempuan. Mereka menghadangku di satu tempat , menanyakan tongkat watu biru yang kutemukan dekat mayit Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Aku tak mau memberi tahu. Terjadi perang verbal disusul perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata mempunyai kepandaian tinggi dan juga licik. Mereka berhasil membuatku tidak berdaya. Mereka membawaku ke dalam goa ini kemudian mengancam. Jika saya tidak menerangkan di mana beradanya tongkat watu biru itu maka mereka akan menodai diriku… Daripada menjadi korban kebejatan dan kemesuman mereka saya terpaksa menyampaikan bahwa tongkat watu biru itu telah saya berikan padamu. Tapi memang dasar mereka dua insan bejat. Setelah kuberi tahu mereka tetap saja berbuat keji menodaiku!”
“Menodaimu… Maksudmu , maaf… Maksudmu mereka mengancam hendak memperkosamu?”
Luhjelita beliakkan matanya ke arah Wiro tapi kemudian anggukkan kepalanya kemudian palingkan wajah yang bersemu merah ke arah lain.
“Luhjelita , bagaimana mungkin… Bagaimana mungkin mereka melaksanakan hal itu padamu? Bagaimana bisa wanita dengan perempuan… Memangnya mereka menggunakan apa…?”
“Pertanyaan gila!” teriak Luhjelita kembali marah.
“Mereka menanggalkan pakaianku secara paksa! Mereka menggerayangi seluruh tubuhku! Bukan cuma meraba! Mereka melaksanakan perbuatan mesum itu! Menodaiku bergantian!” Luhjelita tekapkan dua tangannya ke wajahnya kemudian menangis terisak-isak. Wiro terdiam melamun , pandangi Luhjelita sambil garukgaruk kepala. “Luhjelita… Kalaupun mereka menodaimu , kurasa dikala ini kau masih tetap perawan. Maksudku kau tidak hingga kehilangan kegadisanmu!”
Plaaakkk!
Tamparan Luhjelita mendarat di pipi kiri Pendekar 212 hingga Wiro sempoyongan. Melihat Wiro mengerenyit kesakitan sambil usap-usap pipinya yang terasa sakit pedas , Luhjelita jadi sadar dan menyesal atas perbuatannya. Saking menyesalnya gadis ini pribadi memeluk Wiro seraya berkata. “Maafkan diriku. Aku tidak berniat menyakiti dirimu. Aku… pikiranku sangat kacau. Semua yang kau ucapkan mirip mempermainkan diriku. Aku menyesal… Maafkan…”
Wiro pegang dua lengan Luhjelita. Lalu berkata. “Dulu…Di negeri asalku di tanah Jawa , saya juga pernah mengalami kejadian aneh , lucu tapi juga mesum menjijikkan. Aku bertemu dengan dua gadis cantik. Mereka hendak menggagahiku. Ternyata mereka yaitu dua orang lelaki yang hanya punya gairah terhadap lelaki. Aku… Tapi saya tidak sempat… Ah sudahlah!” Wiro menutupkan tangannya ke mulut. Tapi semburan tawanya tidak terbendung. Akhirnya murid Sinto Gendeng ini tersadar ke dinding goa dan tertawa gelak-gelak hingga keluar air mata. Luhjelita mula-mula memandang dengan wajah beringas. Lalu cemberut. Namun kemudian ia ikut-ikutan tertawa walau sambil banting-banting kaki (Mengenai apa yang dikatakan Wiro itu harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang Iblis Betina”).
Tiba-tiba Luhjelita hentikan tawanya. Wajahnya yang manis kembali kelihatan beringas. Lalu berubah sayu sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam kemudian berkata.
“Bagaimana hidupku selanjutnya. Aku merasa sangat malu. Kalau saja ada orang lain yang tahu…”
“Mengapa kau mengkhawatirkan kehidupanmu selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang pada dirimu…?”
“Pemuda sinting…! Jangan bergurau terus!”
“Aku tidak bergurau. Walau apa yang kau alami akan sangat menghantui dirimu tapi lambat laun harus bisa kau lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan apa-apa. Lalu tak ada orang lain yang menyaksikan atau tahu hal itu kecuali aku. Dan saya tidak akan mungkin menceritakannya pada orang lain. Lalu…”
“Sudah! Yang terperinci saya akan mencari dua gadis kembar jahanam itu! Sebelum mereka kuhabisi belum puas hatiku!”
“Kau harus berlaku hati-hati Luhjelita. Menurutmu mereka berkepandaian tinggi. Aku sendiri sudah menghadapi mereka. Keduanya mempunyai gerakan sangat cepat. Buktinya mereka berhasil merampas tongkat watu biru itu. Kalau kau suka , saya mau membantumu! Sekaligus mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu hingga membunuh mereka segala?!”
“Kalau tidak dibunuh mereka akan menodai gadis-gadis lainnya! Sampai dikala ini entah sudah berapa puluh gadis yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul , mengapa nasibku hingga begini. Kalau sudah kubunuh mereka mungkin saya akan menjalani kehidupan memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia ini…”
“Jangan bodoh. Kau masih muda! Masakan mau memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi apa…?”
“Mau jadi apa bukan urusanmu. Tapi…” Luhjelita ingat pada ilmu yang tengah dicari dan dituntutnya.
Dipandanginya tangan kanannya di mana terlihat tiga buah tahi lalat hitam. Lalu ia melirik pada Wiro. Dia tahu lantaran pernah melihat dan hampir mendapatkan. Di bawah pusar sang satria ada tiga buah tahi lalat yang dulu hampir sanggup dipindahkannya ke telapak tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan seseorang berjuluk Si Pelawak Sinting (Baca Episode Wiro Sableng berjudul “Hantu Tangan Empat”).
“Tapi apa?” Wiro bertanya.
Luhjelita gelengkan kepala. Lalu ia bangun berdiri.
“Aku harus pergi sekarang.”
“Mencari dua gadis kembar itu?” tanya Wiro.
“Aku perlu menemui seseorang terlebih dulu. Kau betulan ingin membantuku menghadapi dua gadis kembar itu?”
“Tentu. Tapi saya juga perlu mencari dua sahabatku lebih dulu ,” jawab Wiro.
“Kakek tukang ngompol amis pesing dan anak lelaki konyol itu?”
Wiro tertawa mendengar kata-kata Luhjelita itu.
“Karena dikala itu masing-masing kita punya kepentingan , bagaimana kalau kita berjanji bertemu di satu tempat…”
“Setuju-setuju saja ,” jawab Wiro. “Kau yang menentukan tempat dan waktunya…”
“Di sebelah selatan Gunung Latinggimeru ada sebuah daerah dipenuhi batu-batu berbentuk aneh. Aku akan menunggumu di dekat tiga buah watu berbentuk tonggak lancip mengarah ke langit. Saatnya malam bulan purnama penuh mendatang.”
Wiro anggukkan kepala.
“Kau benar-benar akan datang?” Luhjelita bertanya seolah tidak percaya.
“Kita memang tak sering berjumpa. Tapi apakah saya pernah berdusta padamu?”
“Mana saya tahu ,” jawab Luhjelita. “Mungkin di dikala pertemuan , sebelum mencari Sepasang Gadis Bahagia kita perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo hari…”
Wiro jentikkan jari-jari tangannya seraya berkata. “Itu memang salah satu keinginanku!”
Luhjelita ulurkan tangan kanannya mirip hendak memegang lengan Pendekar 212. Tapi niatnya itu dibatalkan. Dia membalikkan tubuh dan melangkah cepat menuju verbal goa. Tak jauh dari verbal goa , di satu tempat yang kelindungan seseorang yang semenjak tadi menunggu mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita , dalam hati ia berkata. “Agaknya apa yang dikatakan Peri Bunda benar adanya. Tadi di dalam goa kulihat dan kudengar sendiri ia menangis meratapi diri yang ditimpa aib. Kini keluar dari goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada sekelumit senyum di bibirnya. Rupanya memang ia gadis yang pandai merayu lelaki untuk diajak berbuat mesum!”
Baru saja ia berkata begitu sepasang mata biru orang yang mengintai tampak membesar ketika dari verbal goa ia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah keluar sambil garuk-garuk kepala.
“Mungkin memang ada benarnya saya harus menuruti nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan melupakan cowok itu! Seperti gadis murahan tadi ia juga tampak keluar sambil cengar-cengir! Sungguh menjijikkan!” Orang ini balikkan badannya siap hendak melangkah pergi. Namun ada kebimbangan di wajahnya. “Wahai… Apakah saya memang sanggup melupakannya? Mungkin saya harus menemui Hantu Raja Obat untuk mencari keterangan. Mungkin juga saya perlu mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab untuk mendapatkan petunjuk…”
***
9
LEMBAH Seribu Kabut. Saking marahnya Lakasipo hantamkan kaki batunya hingga sebatang pohon besar patah dan tumbang menggemuruh. Di atas watu Hantu Langit Terjungkir mendesah berulang kali sambil menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai.“Tololnya diriku! Bagaimana mungkin saya berlaku ayal dan lengah! Hingga benda yang sangat berharga itu hingga dirampas dan dilarikan orang. Wahai , titipan amanat orang saya sia-siakan. Bagaimana saya harus mempertanggungjawabkan!” Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menatap orang bau tanah yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. “Hantu Langit Terjungkir , saya mohon maaf atas kelalaianku ini. Aku bersumpah akan mencari si pencuri dan dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib itu.”
“Aku memang ikut meratapi kejadian ini…” kata Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. “Tapi mau dibilang apa. Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa hidupku seumur-umur akan sengsara mirip ini.” Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambutnya yang menjulai. Orang bau tanah ini ternyata mempunyai wajah pucat putih seolah tidak berdarah. Sepasang matanya berwarna kelabu , menatap ke arah Lakasipo kemudian berkata.
“Orang yang tadi merampas Sendok Pemasung Nasib itu dari tanganmu , pastilah seorang berkepandaian luar biasa tinggi. Gerakannya laksana kilatan cahaya , mirip hantu di siang bolong. Aku tidak sempat melihat sosok , apalagi wajahnya. Siapa ia tak bisa diduga…”
“Aku akan menyelidik. Aku musti mendapatkan sendok emas itu kembali…” kata Lakasipo pula.
“Terus terang , saya tidak terlalu berharap wahai Hantu Kaki Batu ,” kata si orang bau tanah setengah berputus asa. “Saat ini saya hanya menginginkan satu dukungan saja darimu…”
“Katakanlah , mungkin itu bisa sebagai penebus kesalahanku ,” ujar Lakasipo.
“Jika kau bertemu sahabatku berjulukan Lawungu itu , atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab , beri tahu bahwa saya ada di lembah ini. Katakan padanya bahwa sebelum mati saya sangat ingin bertemu dengannya. Terutama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Mungkin ia tahu perihal istri dan empat anakku…”
“Permintaanmu pasti akan kulaksanakan , Hantu Langit Terjungkir. Jika kau mengizinkan saya juga akan menyirap kabar wacana anak istrimu. Kau telah menjelaskan bahwa istrimu berjulukan Luhpingitan. Kalau saya boleh tahu , siapakah nama ke empat anakmu?”
Hantu Langit Terjungkir kelihatan sedih. “Kau orang baik. Kalau anak-anakku masih hidup usia mereka kira-kira sebaya denganmu. Hanya sayang… Wahai. Waktu saya pergi meninggalkan mereka sebelum banjir besar melanda negeri , saya belum berkesempatan memperlihatkan nama kepada masing-masing mereka…”
“Sayang sekali , tapi saya akan berusaha melaksanakan apa yang bisa saya lakukan ,” kata Lakasipo kemudian menyambung ucapannya. “Dengan memohon maaf sekali lagi atas kelalaianku , saya minta diri. Cepat atau lambat saya akan menemuimu kembali di Lembah Seribu Kabut ini.”
Lakasipo menjura kemudian balikkan tubuhnya. Ketika ia melangkah pergi sepasang kaki batunya mengeluarkan bunyi bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit Terjungkir memperhatikan dengan pandangan sepasang mata kelabunya. Tiba-tiba orang bau tanah ini melihat sesuatu di lengan atas sebelah belakang , dekat ketiak Lakasipo. Mata Hantu Langit Terjungkir membeliak besar. Dadanya berdebar keras.
“Tanda bunga dalam lingkaran! Dewa Maha Besar! Tidak salahkah penglihatanku?! Jangan-jangan ia yaitu salah satu dari…” Hantu Langit Terjungkir usap kedua matanya berulang kali. Dari mulutnya kemudian melesat teriakan yang membahana di Seantero lembah.
“Hantu Kaki Batu! Tunggu dulu! Kembali!”
Di balik kabut di kejauhan sana Lakasipo hentikan langkahnya kemudian berbalik. Hatinya bertanya-tanya ada apa Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi justru ketika Lakasipo membalik , pada dikala yang sama satu gelombang api sangat dahsyat berkiblat seolah mencurah dari langit. Lakasipo cepat melompat mundur. Nyala api mengobari daerah lembah. Ketika akhirnya kobaran api itu sirna Hantu Langit Terjungkir tidak kelihatan lagi di tempatnya.
“Ada gelombang api dari atas langit! Apa yang terjadi? Ke mana lenyapnya orang bau tanah itu?!”
Tiba-tiba di langit terdengar bunyi tawa bergelak. Lakasipo mendongak ke atas. Di langit sebelah timur ada sesosok tubuh dibalut kobaran api , melesat laksana terbang menuju ke utara.
“Lamanyala… Pasti itu Lamanyala. Makhluk Wakil Para Dewa yang diceritakan Hantu Langit Terjungkir…” pikir Lakasipo. “Jangan-jangan ia telah mencelakai orang bau tanah itu. Telah membunuhnya!” Lakasipo berkelebat kian kemari. Mencari sambil memanggil-manggil. Namun tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu Kabut kini disungkup kesunyian.
***
TAK usang sehabis Lakasipo meninggalkan Lembah Seribu Kabut , satu watu besar tampak bergerak kemudian terguling ke kiri. Dari sebuah lobang di potongan bawah watu itu muncul sosok tubuh Hantu Langit Terjungkir , kotor coreng-moreng oleh tanah liat basah. Ketika kejadian gelombang api melesat dari langit orang bau tanah ini bukan saja sudah tahu apa yang bakal terjadi , tetapi juga mengetahui siapa yang punya pekerjaan. Secepat kilat ia melompat kemudian menyelinap masuk ke dalam lobang di bawah watu besar itu. Lobang tersebut memang sengaja dibuatnya untuk berlindung dari segala macam ancaman yang tidak diinginkan. Hantu Langit Terjungkir selamat dari sambaran api lantaran sehabis menerima ilmu yang ditimbanya dari kekuatan alam tubuhnya menjadi sangat enteng mirip kabut dan ia bisa bergerak luar biasa cepatnya. Dari tempatnya berdiri kaki ke atas tangan ke bawah Hantu Langit Terjungkir memandang ke langit. Mulutnya komat-kamit , pelipisnya menggembung. Matanya yang kelabu menyorotkan hawa amarah.“Jahanam Lamanyala! Siapa lagi kalau bukan ia yang punya pekerjaan! Belum puas ia rupanya! Caranya tadi menghantam dengan gelombang api terperinci hendak memisahkan saya dengan Hantu Kaki Batu. Tepat pada dikala saya melihat sebuah tanda di lengan lelaki itu. Mungkin sekali Lamanyala tidak menginginkan saya mendapatkan jejak anak-anakku!”
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir memandang ke arah lenyapnya Lakasipo. “Hantu Kaki Batu…” desisnya.
“Firasatku menyampaikan kau memang salah seorang dari mereka. Tidak ada insan lain di dunia ini yang mempunyai tanda bunga dalam lingkaran mirip yang kau miliki di belakang lenganmu sebelah kanan. Kau… Wahai para Dewa , mengapa kau putus petunjuk ini? Ke mana saya harus mencarinya? Lakasipo… Hantu Kaki Batu , saya yakin kau salah seorang dari mereka. Kalaupun saya tidak menemukan tiga lainnya , kau seorang sudah cukup menjadi pengobat hati dan derita sengsara puluhan tahun ini. Lakasipo… Nama gagah walau bukan saya yang memberikan. Istriku Luhpingitan , wahai… Di mana kau berada. Apakah kita masih bisa bertemu atau kau telah mendahuluiku ke alam roh?” Sepasang mata kelabu si orang bau tanah berkaca-kaca. Dia menghela nafas dalam beberapa kali. “Mungkin saatnya saya harus meninggalkan Lembah Seribu Kabut ini! Mendekam di sini berpuluh tahun tidak akan mungkin saya bisa menemukan istri dan anak-anakku. Aku harus keluar dari sini. Aku harus mencari jejak ke mana perginya Hantu Kaki Batu tadi. Lakasipo…Aku yakin… Aku yakin sekali. Kalau saja si keparat Lamanyala tadi tidak melancarkan serangan kobaran api pasti saya sudah menerima kejelasan mengenai dirimu.”
Habis berkata begitu Hantu Langit Terjungkir gerakkan dua kakinya. Dua larik sinar biru membeset , membuat kabut yang mengapung bersibak di udara. Di dikala itu pula sosok si orang bau tanah berkelebat ke arah timur. Kepalanya masih tetap di sebelah bawah dengan rambut melambai awut-awutan. Mendadak ada cahaya merah membabat udara , memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir.
“Kurang ajar! Masih ada saja orang hendak mencelakai diriku!” teriak Hantu Langit Terjungkir murka ketika menyadari cahaya merah itu bukan cuma memotong gerakannya tapi tiba-tiba laksana seekor ular api membalik menghantam ke arahnya.
Sambil berjumpalitan di udara orang bau tanah itu tendangkan ke dua kakinya.
Wuuuutttt!
Wuuuutttt!
Dua larik sinar kebiru-biruan menyambar keluar dari sepasang kaki Hantu Langit Terjungkir. Begitu beradu dengan cahaya merah terdengar bunyi desssss… desss!
Asap tebal mengepul di udara jawaban bentrokan dua kekuatan sakti , yang satu mengandalkan panasnya kekuatan api sedang yang lainnya berasal dari kabut alam yang sejuk!
Hanya sesaat sehabis terjadinya dua bentrokan kekuatan dahsyat itu di kejauhan terdengar bunyi orang menjerit kesakitan. Orangnya sendiri tidak kelihatan entah berada di mana. Sementara itu Hantu Langit Terjungkir sendiri terpental hingga dua tombak kemudian jatuh bergulingan di tanah. Dia cepat berdiri di atas ke dua tangannya. Walau dadanya berdenyut sakit namun ia tidak menderita cidera luar maupun dalam.
“Penyerang jahanam! Membokong secara pengecut! Aku sudah tahu siapa kau adanya! Mengapa masih menyembunyikan tampang?!” Berteriak Hantu Langit Terjungkir.
Saat itu juga dari balik pohon yang dikelilingi semak belukar keluar sesosok tubuh , melangkah tertatih-tatih. Keadaannya sungguh mengerikan.
“Jahanam kurang ajar! Memang ia rupanya!” kertak Hantu Langit Terjungkir seraya cepat kerahkan tenaga dalamnya yang kini berpusat di kening. Tidak tidak mungkin orang yang barusan keluar dari balik pohon itu akan menghantamnya secara licik untuk ke dua kali.
***
10
SOSOK yang melangkah ke hadapan Hantu Langit Terjungkir itu bukan lain yaitu Lamanyala , makhluk yang telah dicabut kewenangannya sebagai Wakil atau Utusan Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Keadaannya tidak berbeda mirip terakhir kali muncul. Tubuhnya masih dikobari api mulai dari kepala hingga ke kaki. Sisi kanan badannya hanya merupakan satu lobang menggeroak besar mengerikan. Ini jawaban hantaman yang dilancarkan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir sewaktu dulu terjadi perkelahian hebat antara mereka. Saat itu Lasedayu masih mempunyai kesaktian Jimat Hati Dewa yang dirampasnya dari Latumpangan kemudian ditelannya (Baca Episode berjudul “Hantu Muka Dua”).Walau bentrokan kekuatan hawa sakti tadi membuat Lamanyala menderita sakit cukup parah namun begitu hingga di hadapan Hantu Langit Terjungkir ia menyeringai dan semburkan tawa mengekeh.
“Tidak kira bau tanah bangka yang sudah dikuras seluruh ilmu kesaktiannya ternyata masih membekal ilmu. Tapi sayang cuma ilmu kepengan hingga tidak ada gunanya , tidak ada yang menaruh rasa takut! Ha… ha… ha!”
Hantu Langit Terjungkir balas tertawa kemudian meludah ke tanah. “Sosokmu masih berbentuk setengah insan setengah setan tapi masih bisa jual lagak di hadapanku! Jangan menyesal kalau sekali lagi kuhantam tubuhmu bisa-bisa hanya tinggal jerangkong! Ha… ha… ha!”
“Kutuk telah jatuh atas dirimu! Bertahun-tahun kau didera derita sengsara. Tapi masih saja sombong kalau bicara!” tukas Lamanyala. Dia meniup ke depan. Dari verbal , hidung dan dua telinganya menyembur kobaran api.
“Mungkin saya perlu menambahkan derita sengsaramu jadi beberapa kali lipat!”
“Wahai! Jika kau memang bisa silahkan mencoba!”
jawab Hantu langit Terjungkir pula. Lalu kedua kakinya digerakkan. Satu ke depan satu ke belakang. Sebelum kedua kaki itu menghantam , di depan sana Lamanyala tekukkan lututnya kemudian serentak pukulkan kedua tangannya. Maka menggebubulah dua gelombang kobaran api , laksana ombak besar menggemuruh menggulung ke arah Hantu Langit Terjungkir. Hantu Langit terjungkir yang tidak jerih menghadapi serangan lawan putar tubuhnya potongan pinggang ke kaki dalam gerakan setengah lingkaran kemudian menendang. Dua larik sinar kebiru-biruan menebar. Hawa cuek menyambar. Satu larik menangkis dan menghambat datangnya dua gelombang kobaran api serangan lawan. Satu larik lagi menyusup ke bawah kemudian menderu di atas permukaan tanah , menyambar ke arah Lamanyala.
Deesssss!
Asap mengepul ke udara begitu larikan sinar kebiruan saling bentrok dengan dua gelombang api. Lamanyala terkejut sekali ketika melihat bagaimana serangannya terdorong hebat kemudian pecah ke kiri dan ke kanan jawaban bentrokan dengan kekuatan lawan. Di dikala itu pula larikan sinar biru kedua menyambar ke arah kakinya. Kakek berbadan geroak bolong ini tersentak kaget. Sambil berteriak keras ia melompat ke atas kemudian meniup dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Empat larik kobaran api laksana gurita menyerbu Hantu Langit Terjungkir. Orang bau tanah yang diserang tetap berlaku tenang.
Kalau tadi ia pergunakan kekuatan kaki maka kini ia hadapi serangan lawan dengan menjentikkan lima jari tangan kanannya. Serta merta melesatlah lima sinar biru memapasi empat sinar api serangan lawan. Kejut Lamanyala bukan kepalang. Masih setengah jalan ia sudah sanggup mencicipi getaran dahsyat serangan Hantu Langit Terjungkir. Sambil berseru keras ia cepat-cepat melesat ke udara.
“Belum apa-apa kau sudah memperlihatkan ketakutan menghadapiku Lamanyala! Jangan kira kau bisa lari dari tanganku! Sekali ini saya tidak memberi ampun lagi padamu!”
Baru saja Hantu Langit Terjungkir berkata begitu tibatiba dari samping kanan mencuat satu sinar hijau. Sebuah cahaya aneh berbentuk tombak raksasa menderu ke arah Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku Lamanyala! Jangan takutkan makhluk pencuri jimat itu! Aku tiba membantumu! Kita berdua masakan tidak bisa menyingkirkannya dari muka negeri ini!”
Hantu Langit Terjungkir karuan saja jadi tercekat besar dan berteriak keras. Serangan lima larik sinar birunya terpaksa ditarik kemudian ia cepat-cepat mencari selamat.
“Kurang ajar! Makhluk keparat itu tiba lagi!” merutuk Hantu Langit Terjungkir ketika melihat siapa yang menyerangnya , bukan lain Hantu Lumpur Hijau. Seperti dituturkan sebelumnya makhluk ini telah melarikan diri lantaran takut menghadapi Hantu Kaki Batu yang muncul membantu Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku Hantu Lumpur Hijau! Terima kasih kau mau menolongku! Kita berdua pasti bisa membereskan makhluk tak berkhasiat ini. Tapi ketahuilah , selesai hidup terlalu yummy baginya. Aku ingin membunuhnya secara perlahanlahan. Biar ia tersiksa dulu seumur-umur!”
“Kalau begitu katamu wahai Lamanyala , saya mengikut saja. Mari kita berebut pahala menggebuk insan tidak tahu diri ini!”
Dikeroyok dua walau ia bisa bertahan sambil sekalisekali balas menghantam namun lambat laun Hantu Langit Terjungkir menjadi agak terdesak juga. Untung saja ia mempunyai dispensasi tubuh serta gerakan yang luar biasa cepatnya hingga hingga dua puluh jurus berlalu dua lawannya itu masih belum sanggup menyentuhnya. Namun Lamanyala yang pernah menjadi Utusan atau Wakil Para Dewa walau cacat , selain mempunyai kepandaian tinggi juga berotak cerdik. Setelah dua puluh lima jurus berlalu ia dan Hantu Lumpur Hijau tidak sanggup merobohkan lawan maka ia mulai memutar otak. Hanya sebentar saja , ia segera menemui kelemahan lawan.
Seperti diketahui Hantu Langit Terjungkir yang telah dikuras habis ilmu kesaktiannya oleh Hantu Muka Dua kini mempunyai ilmu kesaktian gres berdasarkan kekuatan alam , terutama kekuatan yang berasal dari kabut yang selalu menyungkup daerah lembah. Kabut bersifat hampa dan hanya ada di udara dingin. Untuk melenyapkan kekuatan kabut hawa panas yaitu musuh utamanya. Walau sekujur tubuh Lamanyala dikobari api panas namun tidak cukup berpengaruh untuk mempengaruhi kekuatan lawan. Maka Lamanyala kemudian membuat kobaran api besar. Dia berlari mengelilingi Hantu Langit Terjungkir sementara Hantu Lumpur Hijau terus lancarkan serangan. Sosok Lamanyala yang dikobari api berputar mengelilingi Hantu Langit Terjungkir. Saat demi dikala ia memperciut putaran lingkarannya sambil menambah besar kekuatan api yang mengobari tubuhnya.
“Celaka! Apa yang dilakukan bedebah bertubuh geroak itu!” ujar Hantu Langit Terjungkir ketika ia dapatkan dirinya dikelilingi lingkaran api hanya sejarak beberapa jengkal saja sementara sosok Lamanyala tidak kelihatan lagi! “Aku tidak sanggup melihat apa-apa. Hanya api! Tubuhku mirip mau leleh. Dua tanganku seolah bermetamorfosis besi dibakar!”
Dalam keadaan mirip itu pukulan-pukulan Hantu Lumpur Hijau mulai pula bersarang di punggung , perut atau dadanya. Sekujur tubuhnya babak belur. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Dua tulang iganya malah sudah patah! Kalau ia tidak bisa keluar dari lingkaran api , paling usang orang bau tanah ini hanya bisa bertahan tiga jurus di muka! Tubuhnya akan lumat dihantam pukulan serta tendangan Hantu Lumpur Hijau kemudian hangus gosong dipanggang kobaran api Lamanyala! Sebelum maut berpantang mati. Begitu kata ujar-ujar.
Dalam keadaan siap meregang nyawa lantaran Hantu Langit Terjungkir tidak mungkin tertolong lagi , tiba-tiba terjadi satu keanehan. Langit di atas lembah seolah redup padahal tidak ada mendung tidak ada hamparan kabut. Lalu udara mendadak bermetamorfosis dingin. Makin usang hawa cuek ini semakin menggila hingga dua kakek yang mengeroyok Hantu Langit Terjungkir mulai menggigil kedinginan.
“Gila! Apa yang terjadi! Api di sekujur tubuhku meredup padam. Aku merasa cuek luar biasa!” Lamanyala menggigil. Rahangnya hingga bergemeletakan. “Hantu Lumpur Hijau! Apa kau juga merasa dingin?!”
Tak ada jawaban. Lamanyala berpaling dan kagetlah dia. Hantu Lumpur Hijau dilihatnya seolah telah bermetamorfosis patung. Sekujur tubuhnya kaku tegang dibungkus hawa cuek dan mengepulkan asap. Makhluk ini telah bermetamorfosis patung es! Tak bisa bergerak , tak bisa bersuara. Sepasang matanya yang hijau melotot membeliak tapi bola matanya tidak bisa bergerak sedikitpun!
Nyali Lamanyala menjadi leleh. Bukan saja ia merasa kecut melihat apa yang terjadi dengan Hantu Lumpur Hijau , tapi juga ketika menyaksikan kobaran api di tubuhnya telah mati semua. Kobaran api yang diciptakannya untuk menggempur Hantu Langit Terjungkir , juga ikut-ikutan mengecil akhirnya lenyap sama sekali! Lalu hawa cuek mirip menggempur sekujur tubuhnya , mulai dari ubunubun hingga telapak kaki. Mulai dari permukaan jangat hingga ke tulang sumsum!
“Celaka! Aku tak bisa menggerakkan dua tanganku!”
Lamanyala keluarkan seruan tertahan. “Kakiku juga kaku!”
Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hawa panas mengalir dari pusarnya tapi segera sirna. Malah rasa cuek yang menyungkup tubuhnya jadi berlipat ganda. Kini bukan hanya asap yang mengepul dari tubuh makhluk itu. Tapi dari pinggiran mata , dari liang hidung , indera pendengaran dan mulutnya mulai membersit darah kental. Begitu meleleh begitu darah ini membeku!
Lamanyala menjerit setinggi langit. Tapi… , hekkk! Tenggorokannya mirip tersumpal. Suaranya lenyap seolah direnggut setan. Lalu mirip Hantu Lumpur Hijau makhluk ini tak bisa lagi bergerak ataupun bersuara! Dia telah bermetamorfosis patung es!
***
11
WALAU Hantu Langit Terjungkir berada sangat dekat dengan Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala yang dikala itu telah bermetamorfosis patung-patung kaku cuek dan mengepulkan asap , namun kakek satu ini sama sekali tidak mengalami hal mirip yang dialami kedua orang itu. Ini satu membuktikan apapun yang terjadi , Hantu Langit Terjungkir tidak ikut menjadi sasaran untuk dijadikan patung es!Terheran-heran Hantu Langit Terjungkir memandang berkeliling. Pandangannya membentur sosok seorang cowok berpakaian serba putih , berambut gondrong. Pemuda tak dikenalnya ini berdiri sekitar dua belas langkah di sebelah sana sambil angkat sepasang tangan dengan telapak diarahkan ke depan. Perlahan-lahan cowok ini kemudian menurunkan dua tangannya itu kemudian dirangkapkan di atas dada.
“Pemuda itu… Aku tak kenal siapa dia. Tapi agaknya ia mempunyai satu ilmu aneh. Dia barusan menolongku dengan ilmunya itu! Wahai… Aku harus menemuinya!”
Hantu Langit Terjungkir membatin sambil melirik pada dua musuhnya yang masih tak bisa bergerak tak bisa bersuara dan tubuh mereka terus-menerus mengepulkan asap dingin.
“Edan!” Tiba-tiba si gondrong membentak. “Apa yang salah! Mengapa saya ikut-ikut kedinginan dan mau kencing!” Si gondrong ini segera salurkan hawa panas ke dalam anutan darahnya. Tapi rasa ingin kencing memang tak sanggup ditahannya lagi. Begitu tangannya digerakkan pribadi saja ia menggaruk kepala kemudian lari ke balik semak belukar. Di sini ia segera dodorkan celana putihnya. Belum sempat ia membuang air seninya tibatiba dari balik semak belukar terdengar orang memaki dan menjauhkan diri sebelum diguyur air kencing!
“Anak setan! Kau kira saya ini patung kayu apa! Enak saja mau dikencingi!”
Si gondrong terkejut dan memandang ke depan. “Setan Ngompol! Kau rupanya! Mengapa kau sembunyi di situ?! Pasti kau tadi mengganggu mantera aji kesaktian Angin Es yang saya keluarkan!”
“Wiro! Aku jengkel padamu!” kata kakek bermata jereng berkuping lebar dan sebentar-sebentar ngompol itu.
“Sudah semenjak usang saya tidak ngompol-ngompol. Datang ke sini mencarimu tahu-tahu kau hajar dengan Ilmu Angin Es yang membuat saya tak tahan pribadi ngocor! Itu sebabnya tadi saya sengaja mengacau biar kau juga kebagian ngompolnya! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka brengsek! Kalau kau tidak berniat bandel , Ilmu Angin Es itu tidak akan mempengaruhimu! Pasti kau memang sudah punya niat jahil sebelumnya! Pantas saya ikut-ikutan kedinginan dan tak bisa menahan kencing!” Si gondrong berpakaian putih yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng adanya memaki.
“Hik… hik… hik! Sekali-sekali kau rasakan bagaimana enaknya ngompol di celana!” Satu bunyi ikut menimbrung. Suara anak-anak. Wiro putar tubuhnya.
“Naga Kuning sialan! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Bicara lagi biar saya guyur dengan air kencing!”
“Hik… hik… hik! Kalau mau mengencingi jangan aku! Dia saja!” kata Naga Kuning. Lalu anak ini dorong sosok si Setan Ngompol ke balik semak belukar. Tepat pada dikala itu Pendekar 212 Wiro Sableng memang tidak sanggup lagi menahan diri. Air kencingnya mengucur dan jatuh muncrat di muka si Setan Ngompol. Memercik di kedua matanya yang jereng bahkan ada yang sempat masuk ke dalam mulutnya.
“Hueekkk!” Setan Ngompol memaki habis-habisan kemudian meludah muntah-muntah!
Wiro cepat-cepat rapikan celananya ketika dilihatnya ada orang mendatangi. Ternyata orang bau tanah yang berjalan dengan mempergunakan dua tangannya itu.
“Orang muda , saya tidak tahu mengapa kau barusan menolongku. Wahai! Aku mengucapkan terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku…” Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut putihnya. Matanya yang kelabu dikedipkedipkannya pada Wiro. Mulutnya menyunggingkan
senyum dan dua kakinya digerak-gerakkan. “Kau mempunyai ilmu aneh. Sanggup membuat dua kakek jahat itu kaku tegang seolah dibungkus es. Siapakah kau adanya anak muda berambut panjang sebahu? Yang di dadanya saya lihat ada jarahan angka 212?”
Wiro balas tersenyum. “Aku berjulukan Wiro Sableng…”
“Wahai! Tunggu! Logat suaramu terdengar lucu. Kau…Aku pernah menyirap kabar. Kau pastilah cowok asing yang katanya tiba dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu!”
“Aku dan teman-teman ini…” kata Wiro sambil menunjuk pada Setan Ngompol dan Naga Kuning , “tak sengaja kesasar hingga di negeri ini. Aku tiba ke lembah ini lantaran mencari seorang sahabat.”
“Aku yaitu satu-satunya penghuni Lembah Seribu Kabut. Apakah sahabat yang kau cari itu memang tinggal di sini?” tanya Hantu Langit Terjungkir.
Wiro gelengkan kepala. “Sahabatku itu tiba ke sini lantaran ia harus memberikan satu amanat untuk seorang berjulukan Hantu Langit Terjungkir. Jika melihat keadaan dirimu , bukankah kau kakek gagah yang mempunyai julukan hebat itu?”
Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak. “Sudah usang saya tak pernah tertawa ,” katanya. “Bicara denganmu yummy juga! Kau pandai memuji tapi hatimu polos! Anak muda , ucapanmu tadi membuat dadaku berdebar. Siapakah sahabat yang sedang kau cari itu? Apakah ia berpunya nama?”
“Namanya Lakasipo. Berjuluk Hantu Kaki Batu…”
Wajah si orang bau tanah tampak berubah kaget. “Kau mencari ke tempat yang betul. Tapi sayangnya , Lakasipo telah lebih dulu meninggalkan tempat ini. Dia… Wahai , justru dikala ini timbul satu permintaanku padamu. Jika kau bertemu dengan Lakasipo , katakan biar ia segera tiba ke tempat ini. Dia tidak perlu mengurusi mencari Sendok Pemasung Nasib itu! Aku ingin sekali bicara dengan dia! Sangat penting! Menyangkut diam-diam dirinya dan diriku!”
“Hantu Langit Terjungkir , saya merasa heran mendengar ucapanmu. Setahuku sahabatku Lakasipo tiba ke sini untuk menyerahkan Sendok Pemasung Nasib itu padamu sesuai yang diamanatkan seorang kakek sakti berjulukan Lawungu. Sekarang mengapa kau menyampaikan bahwa ia tidak perlu mencari sendok sakti itu…?”
“Aku harus menceritakan sesuatu padamu wahai anak muda. Ketika Lakasipo hendak menyerahkan sendok itu padaku , ada seorang berkepandaian tinggi merampas kemudian melarikannya!” Orang bau tanah itu kemudian menuturkan kejadian lenyapnya sendok emas itu. Lalu menghela nafas berulang kali. “Aku kecewa sekali , benar-benar kecewa. Tapi apa mau dikata. Wahai , mungkin nasibku memang harus sengsara seumur-umur. Tapi , ada satu kejadian yang membuatku penuh impian hidup kembali. Aku mempunyai firasat akan bertemu dengan anak-anakku kembali. Paling tidak dengan salah seorang dari mereka…”
“Kek , rupanya kau punya riwayat hidup yang luar biasa. Kau punya berapa orang anak dan apakah selama ini tidak pernah bertemu dengan mereka?”
Ditanya begitu sepasang mata Hantu Langit Terjungkir jadi berkaca-kaca. “Aku punya empat orang anak. Dari seorang istri berjulukan Luhpingitan. Tapi saya tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Aku tak bisa menuturkan riwayatku padamu. Jika kau sanggup mencari Lakasipo dan menyuruhnya tiba ke sini itu sudah sangat menolong bagiku. Aku berpengharapan besar bahwa Lakasipo yang berjuluk Hantu Kaki Batu itu adalah…” Hantu Langit Terjungkir tidak bisa meneruskan penuturannya. Mungkin juga ia tidak mau bercerita terlalu banyak dengan orang-orang yang gres dikenalnya itu. Melihat hal ini Wiro kemudian merubah pembicaraan.
“Kek , apa benar kau tidak bisa berdiri di atas kedua kakimu. Hingga sepasang tangan terpaksa kau jadikan kaki?”
“Makhluk berjulukan Lamanyala itu telah menjatuhkan kutuk atas diriku. Para Dewa mendapatkan kutuknya lantaran saya telah mencuri dan menelan satu benda sakti yang disebut Jimat Hati Dewa. Akibat kutukannya itu saya jadi begini…”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya , memandang pada Si Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Kek , boleh saya mencoba menurunkan sepasang kakimu ke bawah kemudian menaikkan kepalamu ke atas? Kurasa kau bisa berjalan mirip wajarnya semua orang.”
Hantu Langit Terjungkir tersenyum pahit.
“Aku sudah mencobanya ratusan bahkan mungkin ribuan kali. Setiap kucoba kedua kakiku kembali naik ke atas. Kalau kau mau membuktikan sendiri silahkan saja…” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
Wiro kemudian pegang pundak orang bau tanah itu. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol pegang dua kaki si kakek kemudian menariknya ke bawah. Perlahan-lahan sosok Hantu Langit Terjungkir berputar demikian rupa hingga ke dua kakinya turun ke bawah , menyentuh tanah sementara kepalanya naik ke atas sebagaimana wajarnya manusia.
“Ah , tubuhmu ternyata seringan kapas , Kek!” kata Wiro terheran-heran. “Nah begini cara berdiri yang benar. Wah , kau ternyata masih gagah Kek!” kata Wiro.
Hantu Langit Terjungkir tertawa kemudian berkata.
“Anak muda , kau lihat sendiri. Kau telah berhasil membalikkan diriku kepala ke atas kaki menginjak tanah. Sekarang coba kalian lepaskan tangan-tangan kalian dari pundak dan kakiku!”
Wiro ikuti ucapan Hantu Langit Terjungkir. Begitu Wiro lepaskan tangannya dari pundak orang bau tanah itu , dan Naga Kuning serta Si Setan Ngompol lepaskan pula pegangan mereka pada sepasang kaki si kakek , sosok Hantu Langit Terjungkir secara aneh mumbul ke atas kemudian perlahan-lahan kepalanya berputar ke samping , terus turun ke bawah. Dengan sendirinya kedua kakinya naik ke atas. Sebelum kepalanya menyentuh tanah , orang bau tanah itu cepat ulurkan tangan ke bawah untuk menopang tubuhnya.
Wiro memperhatikan apa yang terjadi dengan perasaan aneh dan garuk-garuk kepala. Naga Kuning mencolek tangan Si Setan Ngompol kemudian berkata. “Ada kecacatan pada orang satu ini. Kurasa jangan-jangan kantong menyannya besar mirip bola dan ada hawa di dalamnya. Mungkin itu yang membuat tubuhnya sebelah bawah selalu naik ke atas lantaran lebih ringan dari udara.”
Si Setan Ngompol menekap hidung dan mulutnya menahan ketawa mendengar ucapan Naga Kuning itu. Ditekap di atas yang di bawah lolos. Serrr… Kakek itu kembali pada penyakit lamanya. Kencingnya tumpah tak bisa ditahan!
“Hantu Langit Terjungkir , kami akan meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan kami bisa menemui Lakasipo secepatnya dan menyuruhnya ke sini…” Wiro memberitahu.
Hantu Langit Terjungkir anggukkan kepala kemudian pegang betis Wiro dan berkata. “Kau telah menyelamatkan diriku. Di negerimu saya dengar ada ujar-ujar mirip ini , Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Kelak satu ketika saya akan mencarimu , membalas budi baikmu…”
“Kau baik hati , tapi saya menolong tidak mengharapkan pamrih…”
“Kek , saya mau tanya. Apa yang hendak kau lakukan pada dua insan jahat itu?!” Naga Kuning tiba-tiba usikan pertanyaan sambil menunjuk pada Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala.
“Berapa usang ia akan menjadi patung es mirip itu?” balik bertanya Hantu Langit Terjungkir pada Pendekar 212.
“Jika mereka tetap berada di udara terbuka tapi terkena cahaya matahari , mereka gres bisa bebas sekitar tujuh hari. Jika tidak terkena matahari bisa-bisa dua puluh hari. Tapi kalau mereka berada dalam air bisa-bisa empat puluh hari.”
Naga Kuning menyambung kata-kata Wiro itu. “Waktu ke sini , kami melihat ada satu comberan busuk , dalamnya sekitar seleher. Di dalamnya ada macam-macam kotoran , ular air , kodok dan lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja dua kakek jahat itu ke sana?!”
Hantu Langit Terjungkir menyeringai geli. “Ada baiknya saya mengikuti usulmu itu wahai sahabat kecil yang nakal! Ha… ha… haaa!”
Di sebelah sana Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala walau berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak bisa bersuara dan dilamun hawa cuek luar biasa tapi keduanya masih bisa mendengar apa yang diucapkan Naga Kuning tadi. Karuan saja keduanya menyumpah habis-habisan.
Ketika mereka hingga di tepi lembah sebelah timur , Naga Kuning berkata. “Wiro , gotong royong kami mencarimu lantaran ada satu benda gila kami temui dalam sebuah goa di daerah sebelah selatan. Jika kita mencari Lakasipo lebih dulu mungkin benda itu sudah diboyong orang…”
“Benda ajaib. Benda gila apa maksudmu , Naga Kuning?” tanya Pendekar 212.
“Sebuah patung watu wanita cantik. Patung itu bisa tersenyum. Pandai mengedipkan mata tapi juga bisa menangis.”
“Jangan kau bergurau. Mana ada patung mirip yang kau katakan itu!”
“Anak ini tidak dusta. Aku sendiri ikut berada dalam goa itu…” berkata Si Setan Ngompol. “Aku hingga terkencingkencing melihat kecacatan itu! Kalau saja patung itu makhluk hidup mungkin saya sudah jatuh hati dan tidak akan meninggalkannya!”
“Kalau begitu…” kata Wiro sambil menghentikan langkah dan garuk kepala. “Mungkin ada baiknya kita segera menuju ke goa itu.”
***
12
SEPERTI diceritakan dalam episode sebelumnya , “Rahasia Patung Menangis” , patung manis Luhmintari yang hendak diboyong para Peri ke Negeri Atas Langit berhasil diselamatkan oleh Peri Angsa Putih. Patung ini kemudian disembunyikannya dalam sebuah goa di satu tempat terpencil. Secara tidak sengaja Naga Kuning dan Si Setan Ngompol terpesat ke tempat itu , masuk ke dalam goa dan menemukan patung Luhmintari.Kedua orang ini bukan saja heran bisa menemukan patung begitu bagus halus dan manis di dalam goa , namun juga merasa aneh lantaran melihat dari kedua mata patung sesekali meluncur jatuh tetesan-tetesan air. Ketika disentuh ternyata tetesan air itu terasa hangat mirip air mata betulan.
“Aku melihat ia mirip tersenyum…” bisik Setan Ngompol dengan bunyi gemetar. “Aku khawatir ini satu tempat angker. Kalau saya ngompol dan kencingku hingga jatuh di tempat ini bisa-bisa ada yang bakal mengutuk diriku. Aku keluar dulu…” Sebenarnya si kakek sudah merasa takut dan cuek tengkuknya. Itu sebabnya ia buru-buru keluar. Ditinggal sendirian Naga Kuning jadi kecut pula. Rasa takutnya tak sanggup ditahannya lagi ketika dilihatnya mata kiri patung itu mirip mengedip! Anak ini pribadi menghambur lari keluar goa.
“Kita harus mencari Wiro , memberi tahu adanya patung itu. Jangan-jangan patung itu satu patung keramat. Janganjangan ada kesaktian tersembunyi di dalamnya!”
Si kakek baiklah maksud Naga Kuning. Kedua orang itu segera tinggalkan tempat tersebut dan pergi mencari Pendekar 212 yang kemudian mereka temukan di Lembah Seribu Kabut. Dari Lembah Seribu Kabut ketiga orang itu pribadi menuju daerah di mana goa berisi patung terletak. Setelah melewati sebuah bukit yang penuh ditumbuhi bunga-bunga yang tengah mekar akhirnya mereka hingga ke tempat tujuan. Di dalam goa usang murid Sinto Gendeng tegak terkagum-kagum memperhatikan patung wanita manis dengan rambut tergerai lepas itu.
“Belum pernah saya melihat patung sebagus ini. Halus sekali. Para pemahat di tanah Jawa kurasa tidak sanggup membuat yang seapik ini…” Wiro geleng-geleng kepala. Dia perhatikan wajah patung kemudian berkata pada dua temannya.
“Kalian bilang patung ini bisa menangis menitikkan air mata. Bisa mengedipkan mata. Saat ini kulihat biasa-biasa saja. Kecantikan dan kehalusan buatannya memang mengagumkan sekali.”
“Kalau tidak berpenyakit suka ngompol rasanya mau saya tinggal di dalam goa ini ,” kata Si Setan Ngompol sambil tekap potongan bawah perutnya dengan tangan kiri tapi tangan kanannya yummy saja mengusap-usap perut patung. Wiro melangkah seputar patung. Ketika ia hingga di sebelah depan patung kembali , satria kita mendadak tersurut dua langkah. Dia melihat bibir patung mirip bergerak membentuk senyum.
“Kau tak percaya! Apa kataku!” bisik Naga Kuning.
Pendekar 212 ulurkan tangan hendak mengusap bibir patung. Tiba-tiba di verbal goa terdengar bunyi aneh.
Buuuuttttttttttt..!
“Hai , bunyi apa itu?” Mata jereng Si Setan Ngompol berputar. Tangannya pribadi turun menekap ke bawah.
Buuuuttttttt…!
Suara aneh panjang itu kembali terdengar. Datangnya memang dari luar goa.
“Ada bayangan di dinding goa. Ada orang di luar sana ,” bisik Naga Kuning.
“Jangan-jangan pemilik goa , pemilik patung ini. Lekas sembunyi di balik lekukan goa di ujung sana!” kata Wiro.
Ketiga orang itu kemudian menyingkir ke ujung goa di mana ada sebuah lekukan batu. Mereka mendekam di lekukan ini. Dari sebelah depan tidak terlihat sebaliknya dari tempat mereka berada ketiganya sanggup melihat sebagian goa sebelah depan dan seluruh sosok belakang patung. Bayangan di dinding goa kembali bergerak. Lalu , serrrr… Seperti angin berhembus satu sosok berpakaian kuning melangkah seolah melayang di dalam goa.
Buuuutttttt…!
“Ada orang masuk…” bisik Wiro.
“Kau dengar bunyi itu…?” ujar Naga Kuning.
“Seperti bunyi orang kentut…” berucap Wiro.
“Kalau memang kentut mengapa panjang amat. Juga mengapa sering sekali. Dari tadi sudah tiga kali kudengar!” kata Naga Kuning.
Setan Ngompol mendekamkan punggungnya ke dinding goa. Pejamkan mata tak berani bergerak tak berani bersuara. Dua tangannya sudah menekap potongan bawah perut menahan ngompol.
Buuutttttt…
Suara aneh itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras lantaran lebih dekat , membuktikan sumber bunyi sudah berada dalam goa.
“Celaka… Aku tak tahan mau beser!” kata Setan Ngompol.
“Jangan ngawur! Harus kau tahan!” kata Naga Kuning.
“Siapa tahu ini tempat suci tak boleh dikotori. Salah-salah kita bisa kesambet semua!” (kesambet = kemasukan roh halus)
“Jangan bicara menakuti aku! Nanti saya kencing benaran!” kata si kakek mata jereng sambil cucukkan jempol kakinya ke pantat Naga Kuning yang duduk berjongkok di depannya.
Buuuutttttt…!
“Bunyi sialan!” rutuk Setan Ngompol. Dia sudah tidak sanggup menahan kencing. Dan di dikala mirip itu tiba-tiba mirip meledak satu bunyi tawa keras melengking menggelegar di seantero goa. Suara tawa perempuan. Habis sudah! Setan Ngompol tak bisa menguasai diri. Kencingnya mancur , jatuh ke bawah sepanjang kaki celananya.
“Hai! Apa ini?!” ujar Naga Kuning ketika merasa punggung pakaiannya berair oleh cairan hangat. Dia menoleh ke belakang. “Sialan! Kek! Kau mengencingi punggungku!”
“Jangan berisik! Tahan ucapan kalian! Lihat , ada orang aneh berdiri di depan patung!” bisik Wiro.
Naga Kuning dan Setan Ngompol segera ulurkan kepala , memandang ke arah depan. Memang benar. Saat itu di depan patung manis Luhmintari , tegak seorang nenek-nenek yang keadaan dirinya serba kuning. Mulai dari rambut , muka hingga pada pakaian. Di atas kepalanya , pada rambut yang disanggul di sebelah atas tapi diriapkan di sebelah kuduk menancap tiga buah sunting berhias watu permata warna kuning. Tiga sunting ini selalu bergoyang kian kemari.
Selain berhiaskan tiga buah sunting di kepalanya , si nenek juga menggunakan giwang-giwang lingkaran berbentuk rantai. Lalu di lehernya bergelantungan banyak sekali kalung. Semuanya juga berwarna kuning. Naga Kuning colek pinggul Pendekar 212 kemudian berbisik.
“Lihat kalung-kalung nenek itu. Salah satu di antaranya bukankah itu sendok sakti yang terbuat dari emas…?”
Wiro besarkan matanya dan perhatikan rangkaian kalung yang tergantung di leher si nenek.
“Astaga…! Kau benar Naga Kuning. Salah satu yang dijadikan kalung oleh si nenek yaitu Sendok Pemasung Nasib. Makara ia rupanya yang merampas dan melarikan sendok sakti itu ketika Lakasipo hendak menyerahkannya pada Hantu Langit Terjungkir…”
“Kita harus hati-hati. Jangan-jangan ia bangsa neneknenek jahat…” kata Si Setan Ngompol mulai kecut.
“Jahat dan sinting!” menyambungi Naga Kuning.
“Nenek mirip ini biasanya suka menggerayangi kakek sepertimu!”
“Sialan kau!” maki Si Setan Ngompol.
Tiba-tiba nenek muka kuning itu songgengkan pantatnya. Lalu , buuuuuutttttttt…! Ada bunyi keluar dari potongan tubuhnya sebelah bawah belakang disertai sambaran angin.
“Gila! Nenek sialan itu rupanya yang kentut semenjak tadi!”
kata Naga Kuning. “Kentutnya keras amat. Lantai goa ini seolah terasa bergetar. Untung tidak mengandung amis yang membuat hidung tanggal! Hik… hik… hik!”
“Aku pingin kencing!” kata Setan Ngompol.
“Kencing saja! Biasanya tidak pakai bilang segala!” tukas Naga Kuning jengkel.
Si nenek muka kuning kembali tertawa melengking. Lalu ia melangkah ke hadapan patung , memandang dan berdecak terkagum-kagum sambil goleng-goleng kepala. Beberapa kali ia melangkah berkeliling sambil sesekali mengusap tubuh patung. Selama melangkah mengelilingi patung itu kentutnya terpancar berulang kali bertalu-talu. Setelah tertawa sekali lagi nenek ini jatuhkan diri di depan patung. Sambil usap-usap kaki patung ia berkata diseling bunyi terkadang mirip orang meratap , terkadang mirip orang tertawa.
“Wahai patung manis jelita di dalam goa! Pertemuan ini sungguh tidak disangka tidak diduga. Tidak dikira tidak dinyana. Agaknya kaulah patung sakti yang akan sanggup menolong penyakit diriku…” Si nenek membisu sebentar kemudian , butttt… Kembali ia kentut. Habis kentut ia sambung ucapannya tadi. “Puluhan tahun saya mencari orang pandai. Puluhan tahun saya mencari obat. Namun wahai. Penyakitku tak kunjung sembuh! Tidak saya menenggak angin. Tidak saya menyantap udara. Tapi mengapa kentutku panjang bertalu-talu! Sehari dua ratus kali kentut. Berapa seminggu? Berapa sebulan? Berapa dalam setahun? Hik…hik… hik…! Silahkan hitung sendiri!”
Buuuutttt…!
Si nenek muka kuning bangun berlutut kemudian peluk patung watu itu. “Wahai patung watu berwajah manis jelita. Mengapa kau membisu saja. Tidakkah kau pandai bersuara? Wahai patung watu manis jelita. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku! Jawablah wahai patung. Jawablah!” Si nenek sesenggukan , kemudian kentut panjang dan tertawa cekikikan.
“Wahai patung watu di dalam goa , mengapa kau belum juga menjawab ucapanku! Tolong diriku…”
Di balik lekukan goa Naga Kuning menggamit Wiro kemudian menunjuk-nunjuk ke arah nenek muka kuning. “Nenek tukang kentut itu pasti miring otaknya. Supaya ia cepat keluar dari sini mengapa tidak kau jawab saja…”
“Gila! Kita tidak tahu siapa adanya dia. Mengapa mau mencari penyakit. Jika sudah bosan ia pasti pergi sendiri dari sini…”
“Kalau ia bosan! Kalau tujuh hari tujuh malam ia nongkrong terus di sini celaka kita semua…”
“Aduh , saya kencing lagi!” Setan Ngompol bersandar ke dinding goa. Celananya kembali berair kuyup. Naga Kuning buru-buru menjauh.
Wiro garuk-garuk kepala. Ucapan Naga Kuning ada betulnya pikirnya. Dia usap-usap tenggorokannya.
“Rubah suaramu mirip bunyi perempuan…” bisik Naga Kuning.
“Patung watu manis jelita ,” si nenek kembali berucap.
Dan kembali kentut panjang. “Wahai patung watu manis jelita… Aku mohon jawab permintaanku. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku…”
***
13
TIBA-TIBA di dalam goa muncul satu bunyi menyahuti ucapan-ucapan si nenek. Suara wanita , agak tersendat-sendat. “Wahai wanita bau tanah bermuka kuning. Siapa dirimu hingga berani menginjakkan kaki mengotori goa suci ini?”Si nenek tersentak kaget hingga bangun berdiri. Sesaat ia pandangi patung watu itu dengan wajah berubah. Lalu ia meraung panjang , menangis keras. Habis menangis ia tertawa-tawa bangga terpingkal-pingkal sambil berjingkrak-jingkrak. Setiap berjingkrak dari bawah tubuhnya bertalu-talu keluar bunyi buuuutttttt… buuuttttt…buutttt…
“Patung baik! Ternyata kau bisa bicara! Hik… hik… hik! Jika kau bisa bicara pasti kau patung sakti keramat. Berarti pasti bisa mengobati penyakitku!”
Buuuutttttt…
“Nenek muka kuning , waktuku tidak banyak. Siapa kau adanya dan apa penyakit yang kau idap?” di dalam goa kembali ada bunyi perempuan.
“Wahai patung manis jelita. Siapa namaku gotong royong saya tidak tahu. Hik… hik… hik! Tapi orang-orang memberi saya nama Luhkentut! Mereka juga menggelariku Nenek Selaksa Kentut. Hik… hik… hik! Soal penyakitku masakan kau tidak tahu waw… waw! Hik… hik! Kau sudah dengar sendiri. Kau sudah saksikan sendiri. Setiap dikala tubuhku mengeluarkan angin yang bisa bersuara buutt buutt!
Bukankah itu namanya kentut?! Hik… hik… hik. Aku ingin dengan kesaktianmu kau bisa mengobatiku wahai patung manis jelita…”
“Sudah berapa usang kau menderita penyakit kentutkentut ini wahai nenek muka kuning?”
“Aku tidak ingat. Mungkin dua puluh tahun , mungkin lima puluh tahun , bisa juga lebih. Aku sudah bosan mendengar kentutku sendiri…”
“Apa ada potongan tubuhmu yang lecet jawaban kentutkentut itu?”
“Geblek!” Naga Kuning menukas perlahan. “Mengapa kau usikan pertanyaan tolol begitu?”
“Hik… hik… hik! Aku tidak pernah mengusut wahai patung manis jelita. Mungkin kau bisa tolong mengusut sendiri…” Habis berkata begitu di depan patung si nenek kemudian angkat potongan bawah pakaian kuningnya dan menungging.
Wiro membuang muka! Si Setan Ngompol melotot jereng. Naga Kuning tutupkan dua tangannya ke mata sambil berkata. “Rasakan sekarang!”
“Bagaimana wahai patung watu sakti. Ada yang lecet di tubuhku sebelah bawah?” bertanya si nenek muka kuning.
“Tidak… sudah…”
“Coba lihat , periksa sekali lagi wahai patung manis jelita!”
“Mampus kau!” kata Naga Kuning pada Wiro.
Buuuttttt…!
“Sudah… sudah kuperiksa. Tak ada yang lecet!
Turunkan pakaianmu…” kata Wiro cepat.
“Wahai , bangga saya mendengar tidak ada perabotanku yang lecet atau rusak! Hik… hik… hik! Sekarang wahai patung sakti , bisakah kau menolong menyembuhkan penyakit kentut-kentutku ini?”
Wiro garuk-garuk kepala sambil memandang pada Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Ubi… ubi…” bisik si kakek mata jereng.
Wiro kerenyitkan kening.
“Nenek muka kuning berjulukan Luhkentut , bergelar Nenek Selaksa Kentut , saya perlu tahu asal muasal penyakitmu. Coba kau ingat-ingat apakah kau pernah salah makan…?”
“Wahai mana saya ingat…”
“Apa dulu kau pernah makan ubi hingga berkeranjangkeranjang…?”
“Hik… hik… hik! Kau betul! Kau tahu asal muasal alasannya yaitu penyakitku! Berarti kau bisa mengobati diriku! Dulu waktu hidupku morat-marit tak karuan saya memang banyak makan ubi , ubi hutan yang hitam-hitam itu! Hik… hik… hik! Apa obatnya wahai patung sakti? Aku ingin cepat sembuh…”
Buuuuttttt…
“Kau beruntung wahai Luhkentut. Penyakit kentutmu tidak disertai bau. Kalau ada baunya akan sulit sekali disembuhkan…”
“Wahai patungku , patung penolongku…” si nenek jatuhkan diri menciumi kaki patung sambil terkentutkentut.
“Apa yang harus kulakukan? Apa obat yang mujarab…?”
“Apakah sebelumnya kau pernah minta dukungan Hantu Raja Obat?”
“Hantu keparat itu! Memang pernah…!”
“Kau diberinya obat?”
“Dia menipuku.! Makhluk jahat itu malah mencelakai diriku!” jawab Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut.
“Menipu mencelakai bagaimana?”
“Dia menambal tubuhku dengan tumbukan daun cabaicabaian! Akibatnya saya megap-megap setengah mati kepanasan!”
Wiro , Naga Kuning dan Si Setan Ngompol sama-sama menekap verbal menahan ketawa.
“Patung manis patung jelita! Mengapa kau membisu saja! Kau belum menyampaikan apa obat buatku! Apa yang harus kulakukan…”
“Wahai , apa kau tahu ‘kibul’ ayam?”
“Ayam saya tahu. Tapi kibul saya tidak tahu…” jawab si nenek muka kuning.
“Anus… Anus ayam kau tahu?”
Si nenek menggeleng. “Anus saya juga tidak tahu! Hik…hik… hik…!”
Buuutttttt…!
“Kau tidak tahu kibul , tidak tahu anus…?”
“Tidak , saya tidak tahu wahai patung sakti manis jelita…”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Dubur… dubur…” bisik Si Setan Ngompol.
“Kalau dubur kau tahu?!”
“Wahai , kalau dubur saya tahu betul!” jawab si nenek kemudian buuutttt… ia kembali kentut.
“Nenek geblek! Padahal dubur dan anus sama saja!” memaki Naga Kuning.
“Luhkentut , dengar baik-baik. Untuk menyembuhkan penyakitmu kau harus mencari dan makan dubur ayam sebanyak tujuh puluh tujuh buah. Ambil potongan yang ada lancip-lancipnya. Itu yang namanya kibul! Makan mentahmentah!”
“Mentah-mentah…?!” Si nenek keluarkan bunyi tercekik mirip mau muntah.
“Mentah-mentah dan dihentikan dicuci!”
Lidah si nenek muka kuning terjulur. Air liurnya muncrat. Dia mirip mau muntah betulan. Tapi kemudian malah tertawa melengking-lengking dan berjingkrakjingkrak.
“Aku sudah sembuh! Aku sudah sembuh!” teriaknya.
Buuuttt… buuutttt… buuutttt!
“Nenek Selaksa Kentut , saya menolong tidak pernah minta imbalan. Tapi sekali ini saya terpaksa melanggar pantangan. Jika kau merasa sudah sembuh bolehkah saya meminta sesuatu darimu?”
“Hik… hik… hik! Katakan saja! Asal kau tidak minta duburku! Hik… hik… hik!”
Buuttttt!
“Jika kau tidak keberatan , saya ingin kau memperlihatkan kalung berbentuk sendok itu…”
Si nenek tundukkan kepala. Dia mengacak-acak kalung yang banyak bergelantungan di lehernya. Lalu tertawa panjang. “Matamu awas juga wahai patung manis jelita. Benda ini tidak ada artinya bagiku. Kau meminta pasti saya berikan. Tapi tidak sekarang…”
“Kapan…?”
“Kalau saya sudah makan tujuh puluh tujuh kibul alias anus alias dubur ayam itu! Hik… hik… hik!”
Buuuttttt…!
“Celaka , bagaimana saya bisa menolong Hantu Langit Terjungkir…” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
“Kau yang salah. Mengapa hingga kau minta ia makan tujuh puluh tujuh kibul ayam. Coba kalau cuma tujuh saja. Pasti bisa lebih cepat mendapatkan sendok emas itu!” kata Naga Kuning.
Sekonyong-konyong tubuh nenek muka kuning mumbul ke atas. Ketika ia menukik tahu-tahu sudah berada di hadapan Wiro dan kawan-kawannya. Pendekar 212 tergagau. Naga Kuning keluarkan seruan kejut tertahan sedang Si Setan Ngompol pribadi mancur kencingnya. Si nenek tertawa cekikikan. Dia menunjuk pada Wiro seraya berkata.
“Satu!”
Lalu , buuuttttt!
Dia menunjuk pada Naga Kuning.
“Dua!”
Buuuttttt!
Sekali lagi ia menunjuk. Kali terakhir ini pada Si Setan Ngompol. Bahkan bukan cuma menunjuk tapi sekaligus menowel puncak hidung si kakek hingga dalam takutnya kencing si kakek tumpah laksana pancuran!
Buuuttt!
“Kalian bertiga! Hik… hik… hikkk! Ketahuan! Hik… hik…hik…!”
Buuuttttt…!
“Wahai! Ternyata kalian lelaki semua! Hik… hik… hik! Yang mana di antara kalian tadi meniru bunyi perempuan…” Sepasang mata kuning si nenek memandang menyambar wajah-wajah di depannya.
“Aku ,” kata Wiro mengakui. Dia mengira wanita bau tanah muka kuning itu akan murka besar atau menyerangnya.
Si nenek pandangi wajah sang satria sejenak kemudian tertawa gelak-gelak. “Anak berambut panjang macam wanita habis sakit panas! Siapa namamu?!”
“Namaku Wiro Sableng ,” jawab Wiro.
Si nenek meledak tawanya. “Wiro Sableng! Hik… hik! Kau tahu apa arti sableng di Negeri Latanahsilam ini?”
“Aku tahu. Pernah seorang sahabat memberitahu.”
“Apa…? Apa artinya sableng?”
“Sableng di sini artinya kencing kuda ,” jawab Wiro.
Luhkentut tertawa cekikikan. Lalu kentut buutttt…buuttt… buttt!
“Dengar kalian bertiga. Aku tidak tahu permainan atau tipuan apa yang kalian lakukan. Tapi kalau sehabis makan tujuh puluh tujuh dubur ayam penyakit kentutku tidak sembuh , kalian bertiga akan kupesiangi. Dubur kalian akan kupanggang! Ingat itu baik-baik! Awas!”
Wiro tetap tenang. Naga Kuning kelihatan kecut sementara Si Setan Ngompol kembali mengucur air kencingnya.
“Hik… hik…! Aku sembuh! Aku sembuh!”
Si nenek jingkrak-jingkrakan. Dan mirip tadi kentutnya kembali memberondong.
Buuutttt… Buuutttt… Buutttt!
“Kalian bertiga ingat perjanjian kita! Hik… hik… hik!” Si nenek kedipkan matanya pada Si Setan Ngompol kemudian kembali kentut , banyak dan panjang.
“Eh! Aku ingat sesuatu!” Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut pijit-pijit keningnya. “Bagaimana saya yakin kalian tidak akan kabur atau sembunyikan diri kalau nanti terbukti saya tidak sembuh! Wahai! Aku perlu jaminan dari salah satu kalian! Jaminan berupa… Hik… hik! Potongan salah satu potongan tubuh kalian!”
“Mati aku!” kata Naga Kuning dalam hati.
Wiro terkesiap sedang si kakek Setan Ngompol sudah jatuh melosoh ke lantai goa.
“Wahai! Kalian bertiga jangan takut. Aku tidak minta yang aneh-aneh. Aku cuma minta kalian menyerahkan salah satu daun indera pendengaran kalian! Hik… hik… hik!”
Si Setan Ngompol dan Naga Kuning pribadi tekap kuping masing-masing. Wiro merunduk tapi mengawasi waspada. Si nenek kembali tertawa dan kentut-kentut.
“Siapa yang sukarela mau menyerahkan sepotong kupingnya?!”
Tak ada yang menjawab , tak ada yang bergerak. Luhkentut pandangi tiga orang di depannya satu persatu. Ketika ia memandang pada Naga Kuning , bocah yang ketakutan kupingnya mau diambil ini segera berkata sambil menunjuk pada Si Setan Ngompol. “Kuping ia saja. Kupingnya besar lebar!”
“Anak jahanam! Biar kutendang bokongmu!” Setan Ngompol murka besar. Kaki kanannya hendak ditendangkan.
“Sudah! Serahkan saja kupingmu! Daripada ia minta potongan tubuhmu yang lain! Apa kau mau menyerahkan anumu!” teriak Naga Kuning lantaran dikala itu dilihatnya si nenek mulai bergerak mendekati.
“Anak setan!” Si Setan Ngompol tendangkan kakinya.
Tapi gerakannya didahului si nenek. Mendadak Setan Ngompol mencicipi ada sambaran angin halus di pipi kanannya. Lalu telinganya terasa cuek sekali. Dia cepat meraba telinganya yang kanan. Astaga! Daun telinganya yang lebar tak ada lagi!
Si nenek tertawa panjang sambil ulurkan tangannya. Di atas telapak tangannya yang terkembang kelihatan potongan daun indera pendengaran Si Setan Ngompol.
“Gila! Dia benar-benar mengambil indera pendengaran kakek itu! Bagaimana mungkin! Bagaimana ia melakukan? Tak ada darah dan si kakek mirip tidak merasa sakit!” Wiro terheran-heran tapi rasa-rasa ngeri juga. Naga Kuning mendelik. Mukanya pucat dan mulutnya ternganga. Ketika meraba dan menyadari daun telinganya sebelah kanan tak ada lagi , Si Setan Ngompol terlonjak kemudian berteriak tak karuan. Di sebelah bawah kencingnya berbusaian! Nenek muka kuning kembali terkentut-kentut. Dia lambai-lambaikan potongan daun indera pendengaran Si Setan Ngompol. Lalu sambil tertawa cekikikan ia berkelebat lenyap di verbal goa.
“Lebih baik kita segera tinggalkan goa ini!” kata Si Setan Ngompol sambil tekap indera pendengaran kanannya yang sudah rata.
Wiro dan Naga Kuning menyetujui. Ketiganya segera menuju ke verbal goa. Tapi belum hingga , tiba-tiba meledak tawa melengking. Satu bayangan kuning berkelebat. Ketiga orang itu terdorong mirip dilanda angin dan jatuh tumpang tindih di lantai goa. Memandang ke depan ternyata si nenek muka kuning telah berdiri di verbal goa , menghalangi jalan mereka. Si Setan Ngompol jadi pucat pasi dan terkencing-kencing.
“Celaka! Jangan-jangan ia mau minta kupingmu yang satu lagi!” bisik Naga Kuning pada Setan Ngompol , membuat kakek ini bergeletar ketakutan dan berair lagi celananya.
“Mending kalau cuma kuping! Bagaimana kalau si nenek minta barang langka yang ada di bawah pusarmu!” ujar Wiro. Setan Ngompol tambah muncrat kencingnya.
“Wahai! Aku lupa menanyakan! Anak muda berjulukan Wiro Sableng! Dubur ayam yang harus kumakan mentahmentah itu! Dubur ayam betina atau ayam jantan?!”
Wiro garuk-garuk kepala. Bingung menjawab lantaran memang semua yang dikatakannya itu cuma dikarangkarang. Tapi tidak diduga risikonya jadi begini!
“Dubur ayam jantan Nek!” yang menjawab Naga Kuning.
Luhkentut pelototkan matanya yang kuning. “Aku bertanya pada si rambut panjang itu! Bukan padamu!” Lalu si nenek berpaling pada Wiro.
Murid Sinto Gendeng ini cepat berkata. “Benar Nek , memang dubur ayam jantan!”
“Heemmmmm , begitu? Hik… hik… hik!” Si nenek manggut-manggut kemudian tertawa dan , buuutttt… buuuttt!
Sehabis kentut panjang dua kali itu ia melirik pada Setan Ngompol , kedip-kedipkan matanya , memutar tubuh dan berkelebat pergi.
Wiro menoleh pada Naga Kuning. “Anak geblek! Mengapa kau katakan padanya kalau ia harus makan dubur ayam jantan?”
“Dubur ayam jantan keras dan alot!” sahut Naga Kuning. “Biar nenek itu kesusahan memakannya! Bisa-bisa ia kelolotan tercekik! Dia membuat kita semua jadi susah. Biar gantian ia nanti yang susah!”
Wiro jadi tertawa bergelak. Si Setan Ngompol walau dalam galau berat jawaban kehilangan indera pendengaran kanan tapi akhirnya ikut-ikutan terkekeh mendengar ucapan Naga Kuning itu.
TAMAT
Episode Berikutnya:
RAHASIA MAWAR BERACUN
Episode Berikutnya:
RAHASIA MAWAR BERACUN
No comments for "Hantu Langit Terjungkir WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"
Post a Comment