Diam-Diam Patung Menangis WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : RAHASIA PATUNG MENANGIS / PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM

SINOPSIS :
HANTU JATILANDAK INGAT PADA CAIRAN HANGAT YANG TERSENTUH JARI-JARI TANGANNYA. KETIKA DIA MEMPERHATIKAN WAJAH PATUNG ITU KAGET HANTU JATILANDAK BUKAN KEPALANG. TERNYATA CAIRAN HANGAT ITU KELUAR DARI DUA MATA PATUNG. SEOLAH TETESANTETESAN AIR MATA. "PATUNG MENANGIS…." DESIS HANTU JATILANDAK. BARU SAJA HANTU JATILANDAK SELESAI MEMBATIN TIBATIBA DALAM GELAPNYA MALAM TERDENGAR DUA SUARA TAWA BERGELAK. "MANUSIA BURUK RUPA! TIDAK BISA BERCINTA DENGAN MANUSIA , MELAMPIASKAN NAFSU BERPELUK-PELUKAN DENGAN PATUNG BATU! HA… HA… HA!"

Kapak Maut Naga Geni 2121

DI DALAM kamar yang diterangi dua obor itu , di atas tempat tidur kayu tergeletak menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang bagus tertutup oleh keringat serta kerenyit menahan sakit. Dari mulutnya terus menerus keluar bunyi erangan , ditingkah desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini mempunyai perut besar luar biasa , tertutup sehelai kain rajutan terbuat dari rumput kering. Ketika pandangannya membentur sosok nenek dukun beranak yang hendak menolong melahirkannya , dua mata wanita itu membeliak besar. Dari mulutnya keluar gerengan mirip bunyi gerengan babi hutan.
"Tua bangka buruk! Siapa kau?!"
Lahambalang , suami wanita yang hendak melahirkan itu cepat mendekat dan berkata. "Wahai istriku Luhmintari , nenek Luhumuntu ini , ia dukun beranak yang akan menolongmu melahirkan…."
"Menolong saya melahirkan." Sepasang mata wanita di atas ranjang kayu semakin membesar dan wajahnya bertambah beringas. "Siapa yang akan melahirkan?! Aku tidak akan melahirkan!"
"Tenanglah Luhmintari. Orang akan menolongmu…."
"Aku tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh pertolongan’ Tidak akan ada apapun yang keluar dari perutku. Tidak akan ada bayi yang keluar dari rahimku! Kau dengar wahai Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk dukun beranak celaka?!" Habis membentak mirip itu Luhmintari tertawa panjang. Luhumuntu , si nenek dukun beranak jadi merinding.
Dia dekati lahambalang kemudian berbisik. "Suara istrimu kudengar lain Tawanya kudengar aneh…."
Baru saja si nenek berkata begitu tiba-tiba dari perut besar Luhmintari terdengar bunyi gerangan keras. Bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar pula bunyi lolongan anjing hutan. Si dukun beranak Luhumuntu tarik rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari. Begitu perut yang hamil besar itu tersingkap , si nenek eksklusif tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan tertahan kemudian mundur dua langkah!
Lazimnya perut wanita hamil , biasanya menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh Luhumuntu dan Lahambalang yakni satu perut yang didalamnya mirip ada puluhan duri. Permukaan perut Luhmintari tampak penuh tonjolan-tonjolan runcing dan tiada hentinya berdenyut bergerak-gerak mengerikan!
Seumur hidup gres kali ini dukun beranak itu melihat perut yang keadaannya mirip itu.
"Demi Dewa dan Peri!" ujar Lahambalang dengan bunyi tergetar "Apa yang terjadi dengan istriku! Mengapa perutnya mirip ini?!"
Dukun beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya.
"Lahambalang , istrimu segera akan kutangani. Harap kau cepat keluar dari kamar ini."
"Nenek Luhumuntu , kalau boleh saya ingin menungguinya hingga ia melahirkan…" kata Lahambalang pula.
"Keluar!" teriak Luhumuntu.
Mau tak mau Lahambalang keluar juga dari kamar itu. Si nenek segera membanting pintu. Ketika ia melangkah mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan tampang beringas.
"Nenek celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"
"Luhmintari , saya akan menolongmu melahirkan. Aku akan melepaskan tali yang diikatkan suamimu pada dua kakimu. Jangan kau berbuat yang bukan-bukan!"
"Kau yang berkata dan akan berbuat yang bukanbukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil! Aku tidak akan melahirkan! Tidak ada bayi dalam perutku! Tidak ada bayi yang akan keluar dari rahimmu! Hik… hik… hik!"
Luhmintari keluarkan bunyi mirip tertawa tapi juga setengah menangis.
"Tenang Luhmintari. Kau terang hamil besar dan siap melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil hubunganmu sebagai suami istri dengan Lahambalang…."
Si nenek kemudian dekati tempat tidur. Dengan hati-hati ia lepaskan ikatan tali pada dua kaki Luhmintari. Begitu dua kakinya bebas , kaki yang kanan tidak terduga bergerak menendang.
"Bukkkk!"
Si nenek Luhumuntu terpekik dan terpental ke dinding.
Di luar Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu! Ada apa"?!"
Luhumuntu usap-usap perutnya yang barusan kena tendangan. "Tidak ada apa-apa Lahambalang! Kau tak usah khawatir!" Lalu si nenek memandang pada Luhmintari dan berkata. "Sebagai dukun saya berkewajiban menolongmu melahirkan. Apapun yang akan keluar dari rahimmu saya tidak perduli!" Lalu dengan cepat si nenek kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangannya ia kemudian menekan perut wanita itu. Luhmintari meraung keras. Dari dalam perutnya kembali terdengar bunyi menggereng. Di kejauhan lagilagi terdengar bunyi lolongan anjing hutan.
"Jangan sentuh perutku! Nenek celaka! Pergi kau!"
Si nenek dukun beranak tidak perdulikan hardikan Luhmintari. Dua tangannya terus menekan perut wanita itu. Semakin kuat. Luhmintari menjerit keras. Lalu terdengar bunyi robek besar. Bersamaan dengan itu ada bunyi tangisan kecil. Seperti bunyi tangisan bayi , tapi anehnya disertai bunyi gerengan halus!
Luhumuntu terpekik ketika ada suatu benda melesat menyambar perutnya. Nenek ini mundur terhuyunghuyung. Ketika ia memperhatikan keadaan dirinya ternyata di pecahan perut ada tiga guratan luka cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut kamar terdengar bunyi tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu sosok Luhmintari tidak bergerak sedikitpun. Tubuhnya yang tadi hangat dan penuh keringat perlahan-lahan menjadi dingin.
"Braaakkk!"
Pintu kamar terpentang hancur. Lahambalang melompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil meringis pegangi perutnya yang luka bergelimang darah. Lahambalang melangkah ke arah tempat tidur. Namun gerakannya serta merta tertahan. Dua kakinya mirip dipantek ke lantai. Matanya membeliak besar. Sosok istrinya tergeletak tak bergerak. Mata mendelik lisan menganga. Perutnya robek besar mengerikan. Dan darah masih mengucur mengerikan!
"Luhmintari!" teriak Lahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek ia kembali berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku?! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"
Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar si nenek dukun beranak menjawab. "Istrimu tewas wahai Lahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya… bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar. Tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah! Robek besar!"
"Kau…! Apa katamu?!" Dua mata Lahambalang membeliak besar. "Aku tidak percaya! Kau… kau pasti menggunakan cara gila! Kau pasti menoreh perut istriku dengan pisau!"
"Aku tidak pernah membawa pisau wahai Lahambalang. Aku tidak pernah menolong orang dengan menggunakan pisau!" jawab si nenek. Tubuhnya melosoh kelantai. Dua tangannya masih terus menekapi perutnya yang luka.
"Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.
Si nenek Luhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan gemetar ia menunjuk ke sudut kamar. "Itu…. Benda yang di sudut sana…. Itulah bayimu. Kuharap kau bisa menabahkan diri menghadapi kenyataan wahai Lahambalang…."
Lahambalang berpaling ke arah yang ditunjuk si nenek. Karena tidak tersentuh cahaya api obor , sudut kamar yang ditunjuk berada dalam keadaan gelap. Namun Lahambalang masih bisa melihat seonggok benda bergelimang darah tergeletak di sana. Dan ia mendengar bunyi tangisan bayi. Walau bunyi itu kedengarannya agak aneh.
"Anakku…" desis Lahambalang. Dia melangkah membungkuk. Satu langkah dari hadapan benda di sudut kamar tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari mulutnya. "Tidaaakkkk!"
"Lahambalang , kataku kau harus sabar menghadapi kenyataan…." berucap si nenek dukun beranak.
"Tidaakkk!" teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan bayiku! Itu bukan anakku!"
"Lahambalang , betapapun kau tidak mau mengakui itu bukan anakmu bukan bayimu! Tapi itulah kenyataan yang keluar dari perut istrimu!" kata Luhumuntu pula.
Lahambalang tekapkan dua tangannya ke muka kemudian menggerung keras. Di sebelah sana , di sudut yang kegelapan terdengar bunyi tangisan bayi gila lantaran disertai bunyi menggereng halus. Sosok yang menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar itu memang satu sosok mirip bayi kecil. Tapi sekujur permukaan tubuhnya , mulai dari kepala hingga ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri gila berwarna kecoklatan!
"Lahambalang , itu anakmu. Itu bayimu! Jangan biarkan ia kedinginan di sudut kamar itu…" Luhumuntu si dukun beranak berucap.
Sekujur tubuh Lahambalang bergetar. Mulutnya mengucapkan sesuatu tetapi tidak terang kedengaran apa yang dikatakannya.
"Lahambalang , ambil anakmu. Dukung bayi itu…."
Lahambalang pejamkan dua matanya. Tenggorokannya turun naik , sesenggukan menahan tangis. Dua tangannya terkepal kencang.
"Apa yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku Luhmintari! Nasibmu… nasibku… nasib anak kita! Apa semua ini lantaran kau melanggar larangan? Karena tolong-menolong sebagai seorang Peri kau dihentikan kawin denganku insan biasa? Kalau ini memang satu kutukan , sungguh kejam dan jahat!"
Tiba-tiba Lahambalang berdiri berdiri. Mukanya kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya bergemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal semakin kencang hingga mengeluarkan bunyi berkeretakan. Satu teriakan dahsyat kemudian keluar dari mulutnya.
"Wahai para Peri di atas langit! Kalau ini benar kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh! Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat?! Mengapa tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam! Jahat Peri keparat terkutuk! Aku akan mencari seribu jalan melaksanakan pembalasan! Kalian tunggu pembalasanku!"
Habis berteriak begitu Lahambalang membungkuk mengambil sosok bayi gila yang tergeletak di sudut kamar. Lalu ia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil lari tidak henti-hentinya ia berteriak.
"Ini bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian menukar bayiku dongan makhluk celaka ini! Peri jahat! Peri jahanam! Tunggu pembalasanku!"
Dalam gelap dan dinginnya malam menjelang fajar itu Lahambalang lari terus membawa bayi gila yang tiada hentinya menangis. Lelaki itu gres hentikan larinya ketika dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di ujung sebuah tebing. Di depannya menghadang satu jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah timur langit mulai terang tanda sang surya siap memunculkan diri.
"Ini bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri diatas langit tunggu pembalasanku!"
Dengan tubuh bergefetar dan lembap oleh keringat Lahambalang angkat bayi bergelimang darah dan penuh duri gila itu. Sang bayi menangis keras. Di kejauhan seolah tiba dari tengah maritim terdengar lolongan mirip lolongan anjing hutan. Didahului teriakan keras dan panjang Lahambalang yang seolah sudah kerasukan setan itu lemparkan bayi di tangan kanannya. Bayi malang itu melesat jauh ke udara , lenyap dari pemandangan seolah menembus langit. Lahambalang pandangi tangannya yang berlumuran darah kemudian menatap ke langit. Sekali lagi ia menjerit , meraung dahsyat! (Untuk jelasnya mengenai insiden lahirnya bayi gila ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Jatilandak").
LAHAMBALANG lari laksana dikejar setan. Walau sekujur tubuhnya telah mandi keringat dan tenaganya hampir terkuras namun ia lari terus. Dalam dukungannya terbujur sosok Luhmintari yang telah jadi mayat , mulai kaku dan dingin. Walau telah berkurang namun masih ada darah yang mengucur dari luka besar di perut wanita malang ini.
Di satu daerah bebukitan berbatu-batu , Lahambalang mulai terhuyung. Nafasnya menyengat panas di tenggorokan dan dadanya menggemuruh sesak. Dalam keadaan mirip itu ia masih juga terus berlari. Puncak bukit! Dia berusaha mencapai puncak bukit watu itu! Tapi ketika satu tonjolan watu menyandung kaki kirinya , tak ampun lagi Lahambalang terguling jatuh. Dengan sosok istrinya masih dalam dukungan , lelaki ini menggelinding belasan tombak ke bawah bukit kemudian terhampar di samping sebuah watu besar. Lahambalang mengerang pendek kemudian berdiri dan duduk. Mayat istrinya diletakkan di pangkuan. Dia memandang berkeliling.
"Luhmintari istriku! Di mana saya jatuh di situlah tempat perpisahan kita. Mungkin ini satu petunjuk. Agaknya di sini saya harus menyemayamkan dirimu! Wahai Luhmintari , tubuh kasar kita boleh berpisah. Tapi rasanya mungkin tak akan usang kau menunggu. Aku akan menyusulmu. Tunggu saya di alam roh wahai istriku!"
Dengan hati-hati Lahambalang dudukkan mayat istrinya di tanah , bersandar ke watu besar di belakangnya. Air mata mengucur membasahi dua pipinya yang cekung dan penuh berewok meranggas. Berkali-kali ia mengusap rambut Luhmintari. Berkali-kali pula ia menciumi wajah wanita itu. Kalau tadi sekujur tubuhnya letih seolah tidak bertulang lagi , namun ketika itu tiba-tiba mirip menerima satu kekuatan , Lahambalang melompat ke atas batu. Dengan dua tangan terkepal dan diacungkan ke langit ia berteriak.
"Para Peri di atas langit! Untuk semua apa yang telah kalian lakukan atas diriku , atas diri istriku dan atas diri anakku! Aku bersumpah akan melaksanakan pembalasan! Aku bersumpah kutuk jahat akan jatuh atas Negeri Atas Langit dan semua Peri yang ada di sana!"
Begitu Lahambalang selesai berteriak mendadak di atas langit terdengar bunyi menggelegar disertai berkiblatnya satu cahaya putih yang menyambar ke bawah. Satu hawa yang sangat cuek menyapu ke arah watu di mana Lahambalang berdiri. Lelaki ini terpental dari atas watu kemudian jatuh berguling-guling ke kaki bukit. Untuk beberapa lamanya hawa cuek masih menyungkup sekitar watu besar , di dekat mana sosok mayat Luhmintari berada. Demikian cuek dan anehnya hawa yang turun dari atas langit itu , semua benda cair yang ada di tempat itu menjadi beku. Semua benda keras menjadi tegang kaku berubah bentuk menjadi kelabu kehitaman.
Selagi hawa cuek luar biasa membuncah begitu rupa tiba-tiba ada satu benda biru meluncur dari langit sebelah selatan. Benda ini berputar-putar beberapa kali di atas bukit watu sebelum melayang turun mendekati watu besar di mana sebelumnya Lahambalang tegak meneriakkan sumpah dan kutuknya.
"Wahai…" benda biru itu mengeluarkan suara. Ternyata ia yakni sosok Peri Bunda yang mengenakan pakaian sutera biru panjang menjela dan menebar kedaluwarsa harum semerbak. Mahkota kecil ditaburi batu-batu permata di atas kepalanya memantulkan sinar berkilauan. Wajah jelita sang Peri kelihatan berubah ketika ia menatap ke arah watu besar dan memperhatikan sosok wanita yang ada di belakang batu. "Wahai…. Jangan-jangan para Peri telah keliru dan terlambat menurunkan Hawa Dingin Pembendung Bala itu. Lahambalang lenyap. Yang ada hanya mayit istrinya. Dan…."
Belum habis Peri Bunda mengucapkan bunyi hatinya itu tiba-tiba dari langit sebelah timur , di bawah terik silaunya sinar matahari , menukik sebuah benda berwarna putih disertai bunyi menguik panjang dan bunyi kepakan yang menjadikan sambaran angin keras. Peri Bunda segera palingkan kepalanya. Benda putih yang melayang turun itu yakni seekor belibis putih raksasa. Di atas punggung hewan ini duduk seorang dara berpakaian putih. Keharuman tubuh dan pakaiannya telah menebar ke Seantero tempat walau ia masih puluhan tombak di atas sana. Dialah Peri tercantik di Negeri Atas Langit yang mempunyai sepasang mata biru.
"Peri Bunda , Simpul Agung Dari Segala Peri , Peri Junjungan Dari Segala Junjungan , untung saya lekas menemuimu!" berkata Peri Angsa Putih dari atas punggung Laeputih belibis tunggangannya.
"Wahai Peri Angsa Putih , kulihat kau mirip terburuburu. Wajahmu agak pucat. Gerangan apakah hingga kau mendadak muncul menyusul saya ke sini selagi saya melaksanakan kiprah menangani satu kasus besar. Apakah kau menaruh syak wasangka kalau-kalau saya turun ke negeri ini untuk menemui pemuda…."
"Wahai Peri Bunda!" Peri Angsa Putih cepat memotong ucapan Peri Bunda. "Ketahuilah , Peri Sesepuh yang memerintahkan saya untuk mencarimu kemudian memintamu segera kembali ke Negeri Atas Langit!"
"Hemm… Begitu? Gerangan apa alasannya yakni musababnya maka Peri Sesepuh berlaku begitu padahal ia juga yang memberi perintah biar saya turun ke sini?"
"Telah terjadi sesuatu di Negeri Atas Langit!" jawab Peri Angsa Putih.
"Telah terjadi sesuatu? Apa maksudmu Peri Angsa Putih?"
"Negeri dilanda petaka besar. Satu penyakit kulit menyerang semua penghuni Negeri Atas Langit! Lihat kulitku…" Peri Angsa Putih ulurkan dua tangannya. Ketika Peri Bunda memperhatikan terkejutlah dia. Dua lengan Peri Angsa Putih penuh dengan bercak-bercak putih berair. "Gelembung Air…" desis Peri Bunda dengan muka pucat. Dia menatap paras Peri Angsa Putih sesaat.
"Ada apa , Peri Bunda?" tanya Peri Angsa Putih tidak enak.
"Wajahmu…. Gelembung Air itu juga ada pada wajahmu!"
Peri Angsa Putih terpekik mendengar ucapan Peri Bunda dan segera usapkan dua tangannya ke wajahnya yang cantik. Dia mencicipi , pada wajahnya yang sebelumnya mulus itu kini ada gelembung-gelembung kecil berair.
Peri Bunda tak sengaja perhatikan pula lengannya yang tersembul dari balik pakaian birunya kemudian terpekik ketika melihat gelembung-gelembung kecil itu juga ada pada tangannya!
Selama dua tahun para Peri di Negeri Atas Langit dengan banyak sekali cara dan sumbangan beberapa orang pintar balasannya bisa melenyapkan penyakit kulit menular yang menyerang. Semua Peri berhasil disembuhkan tanpa meninggalkan cacat di tubuh serta wajah masing-masing. Namun hawa cuek gila yang menyungkup daerah bukit watu tak sanggup dilenyapkan dan mengakibatkan tempat itu menjadi satu daerah mengandung rahasia yang hanya bisa diawasi oleh Peri dari kejauhan.

Kapak Maut Naga Geni 2122

PULUHAN tahun berlalu sesudah insiden Lahambalang melempar bayinya dan terjadinya kegegeran di Negeri Atas Langit….
DI tikungan sungai yang penuh dengan semak belukar , hampir tersamar mendekam seorang berpakaian serba hitam. Wajahnya dilumuri lumpur dan diberi jelaga hitam. Dari keseluruhan mukanya hanya pecahan sekitar sepasang bola matanya saja yang masih kelihatan putih. Orang ini tidak putus-putusnya memandang ke arah rimba belantara di depannya.
"Seharian lebih saya berada di sini. Kakek itu masih belum kelihatan. Kalau saya menyelidik ke dalam hutan mungkin saya akan menemuinya. Tapi berarti gadis yang kuperkirakan akan lewat di tempat ini tidak sanggup kutemui. Dua orang itu sama-sama pentingnya. Aku harus mengambil keputusan…."
Di dalam hutan bunyi kicau burung tiba-tiba berhenti dan lenyap. Orang di balik semak belukar memasang indera pendengaran dan kembali menatap tajam ke arah depan. Dia berusaha hening namun tak sanggup menahan debar dadanya ketika di depan sana ia melihat satu bayangan putih berkelebat laksana angin , bergerak sejajar dengan tepian sungai.
Tanpa menunggu lebih usang orang di balik semak belukar ini segera melesat keluar. Di lain ketika ia telah berada dekat sebuah pohon besar , siap memotong lari orang berjubah putih. Melihat ada orang tak dikenal , berpakaian dan bermuka hitam menghadang jalannya , si jubah putih segera hentikan larinya. Kedua orang itu saling memperhatikan dengan perasaan sama-sama heran. Si jubah putih merasa heran melihat si penghadang yang mukanya dilumuri tanah liat kemudian diberi jelaga hitam. Sebaliknya si muka hitam terkesiap lantaran tidak menyangka orang yang dicarinya selama ini begitu menakutkan penampilannya. Orang berjubah putih di hadapannya itu ternyata yakni seorang kakek yang otaknya terletak diluar kepala , terbungkus oleh sejenis selubung bening hingga ia sanggup melihat otak itu bergerak berdenyut menggidikkan!
Untuk beberapa ketika lamanya ke dua orang ini tegak tak bergerak dan saling tatap. Di antara mereka agaknya sama-sama sungkan untuk mulai menegur. Namun si kakek berjubah putih , sesudah berdehem beberapa kali balasannya membuka lisan juga.
"Wahai kerabat tak dikenal. Pakaianmu serba hitam menandakan kau mirip dalam satu perkabungan. Wajahmu sengaja dilumuri tanah liat. Lalu diberi jelaga hitam. Pertanda kau tidak ingin dirimu dikenali siapa adanya. Lalu walau jelas-jelas kehadiranmu sengaja menghadangku tapi kau tidak menegur membuka suara. Pertanda ada satu keraguan mengganjal dalam hatimu! Wahai , apakah betul semua ucapanku…?"
Sepasang mata orang bermuka hitam sesaat membesar kemudian redup kembali. "Orang renta berotak di luar kepala ini agaknya tajam dalam pandangan dan pintar dalam mengajuk rasa…" Si muka hitam membatin.
"Orang muka hitam , saya hanya bertanya satu kali. Jika kau tak mau menjawab , saya harap kau jangan menghalangi jalanku lebih lama!"
"Orang renta , saya tidak bermaksud jahat…."
"Wahai! Tidak ada yang menuduhmu begitu. Katakan saja apa keinginanmu!"
"Agar kau tidak kesalahan , pertama sekali saya ingin menanyakan apakah engkau kakek sakti yang di Negeri Latanahsilam ini disebut sebagai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
Si kakek yang otaknya terletak di luar kepala mengangguk membenarkan. Lalu berkata , "Aku sudah mengiyakan dengan anggukan kepala. Sekarang saya balas bertanya. Apakah kau orangnya yang semenjak beberapa usang belakangan ini menebar kebaikan dan budi pertolongan dimana-mana? Hingga kau dikenal dengan lulukan Si Penolong Budiman? Yang dianggap bahkan dipuja sebagai penolong yang hebat dan luar biasa?"
Si muka hitam terkejut , lantaran tidak menyangka kakek berjubah putih itu telah mengetahui siapa dirinya.
"Wahai , orang-orang memang menggelariku begitu. Padahal saya merasa sangat tidak pantas menerima julukan itu. Menolong yakni sifat yang terlahir ada dalam setiap diri manusia. Hanya saja masing-masing orang mempunyai cara serta ketika sendiri-sendiri untuk mau melaksanakan pertolongan atau tidak. Lagi pula saya bukanlah seorang hebat dan luar biasa. Sesuatu yang hebat dan luar biasa itu tidak akan bertahan lama. Yang bisa bertahan yakni sesuatu yang serba sederhana dan terbungkus dalam timbang rasa bijaksana…."
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tatap wajah hitam di depannya. Lalu kakek ini sibakkan rambut putih panjang yang menjulai menutupi wajahnya. Seringai tipis muncul di wajahnya.
"Muka hitam , kau pintar bertutur bicara sepandai kau menutupi wajahmu dengan tanah liat dan jelaga hitam. Tapi apakah kau tahu , seorang yang tidak jujur hidupnya hanya mencari celaka?"
"Wahai , kejujuran bukan segala-galanya. Terkadang seseorang memang harus menjadi seekor burung merpati untuk memperlihatkan ketulusan hatinya. Tetapi ada kalanya seseorang harus bermetamorfosis secerdik ular untuk menyelamatkan dirinya dari orang lain. Makara kalau kau berniat untuk menanyakan siapa diriku , tak banyak yang bisa kuberikan sebagai jawaban. Sejak usang saya mencarimu. Hanya saja gres pada kesempatan ini saya bisa menemuimu. Mohon maaf kalau kau tidak berkenan dengan caraku. Sebagai orang yang dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab , yang tahu sejuta kasus dan punya sejuta jawaban , ada hal yang ingin kutanyakan padamu…."
"Wahai , saya bukan orang yang tahu segala-galanya. Seseorang yang menganggap dirinya tahu segala-gala sama saja dengan mencari bencana. Karena pengetahuannya itu akan menjadi bayang-bayang yang selalu mengejarnya sepanjang hidup…."
"Wahai , saya tidak sependapat dengan ucapanmu ," kata Si Penolong Budiman. "Menurutku , baik buruknya Ilmu pengetahuan tergantung bagaimana seseorang mempergunakannya."
Si kakek tersenyum. Dalam hati ia berkata. "Ucapanucapanku hanya untuk menguji. Ternyata ia memang
seorang yang jujur polos dan punya sifat berterus terang untuk menyampaikan sesuatu yang tidak selalu benar."
"Wahai kerabat muka hitam. Baiklah , saya menunggu apa gerangan yang hendak kau tanyakan padaku."
"Aku tengah mencari seorang berjulukan Lajundai alias Labahala yang konon kini dianggap sebagai Raja Diraja Segaia Hantu di Negeri Latanahsilam ini dan dijuluki Hantu Muka Dua. Sebelum melaksanakan pencarian Ingin kutanyakan padamu. Di luaran saya menyirap kabar bahwa Hantu Muka Dua yakni muridmu. Apakah hal itu benar wahai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
Si kakek terdiam , usap mukanya kemudian gelak mengekeh.
"Dunia luar dunia penuh sejuta keanehan. Salah satu di antaranya yakni isu yang kau dengar itu…" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab gelengkan kepala.
"Hantu Muka Dua bukan muridku , saya bukan guru Hantu Muka Dua. Tidak pernah saya mengajarkan secuil ilmupun padanya. Bagaimana hal itu tersebar diluaran sesudah kuselidiki ternyata yakni ulah perbuatan Hantu Muka Dua sendiri. Dia sengaja menebar kabar dengan maksud tujuan tertentu.
"Wahai , terima kasih kau telah mau memberi keterangan. Jika kelak saya bertemu dengan Hantu Muka Dua , saya tak akan bersikap ragu dan tak ada ganjalan bagiku untuk menghadapinya…."
"Orang muka hitam , dari penampilan dan tutur bicaramu saya melihat ada satu ganjalan hidup yang penuh teka-teki dalam dirimu. Jika kau tidak bisa memecahkannya kau mungkin akan mengakhiri hayat dalam keadaan kecewa penasaran…."
"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab , penglihatanmu , sungguh tajam , perasaanmu sangat dalam. Aku berterima kasih. Apakah kau mungkin memperlihatkan satu petunjuk yang harus kulakukan?"
Kakek yang otaknya berada di luar batok kepala itu merenung sejenak. Lalu ia berkata. "Sebelum matahari tenggelam pergilah ke arah selatan. Jangan berhenti sekalipun kau harus menempuh perjalanan sekian hari sekian malam. Kau gres berhenti kalau hingga di satu daerah bukit watu dimana udara terasa sangat cuek walau sang surya bersinar terik pada siang hari…."
"Jika saya hingga di tempat itu , apa yang harus kulakukan wahai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
Si kakek tersenyum. "Tadi kukatakan , saya bukan insan yang tahu segalanya. Lakukan saja apa yang kukatakan. Sampai di sana mungkin kau akan menerima petunjuk dari para Dewa…..”
“Kalau begitu , sekali lagi saya mengucapkan terima kasih ,” kata Si Penolong Budiman seraya tundukkan kepala dan menjura. Ketika ia angkat kepalanya kembali , kakek jubah putih itu tidak ada lagi dihadapannya.

Kapak Maut Naga Geni 2123

GAGAK hitam itu mengeluarkan bunyi menguik panjang , terbang berputar-putar di atas hutan jati kemudian hinggap di cabang rendah sebuah pohon. Makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna kuning serta ditumbuhi duriduri coklat dan hanya mengenakan cawat itu hentikan larinya , memandang ke atas pohon. Orang ini yakni Hantu Jatilandak , insan yang lahir dalam kutukan para Peri lantaran ibunya Luhmintari yang merupakan seorang Peri melanggar pantangan , kawin dengan Lahambalang seorang insan biasa.
"Gagak hitam itu…. Wahai , ada yang kurasa gila ," kata Hantu Jatilandak dalam hati. "Sejak pagi tadi ke mana saya pergi di situ ia muncul. Seperti sengaja mengikuti perjalananku. Apa mungkin kakek Tringgiling Liang Batu yang mengirimnya. Tidak boleh jadi. Kakek tak pernah memelihara burung. Wahai , menandakan apa ini sebenarnya?" Pemuda itu memandang berkeliling , menduga-duga dimana ia berada ketika itu. "Mungkin saya harus kembali ke pulau. Menemui kakek di hutan Lahitamkelam…."
Gagak hitam di atas pohon kembali keluarkan bunyi menguik. Lalu hewan ini kepakkan sayapnya , terbang ke pohon lain dan hinggap di salah satu cabang. Dia memandang ke arah Hantu Jatilandak mirip sengaja menunggu. Gerak-gerik burung ini lama-lama menciptakan Hantu Jatilandak jadi kesal. Dia segera mematahkan satu ranting kecil kemudian dilemparkannya ke arah gagak hitam. Patahan ranting menancap di cabang pohon. kalau gagak hitam tidak lekas bergerak terbang , ranting itu akan menancap sempurna di tenggorokannya. Binatang itu terbang dan hinggap di pohon lain. Ternyata ia tidak terbang jauh dan hinggap membisu , memandang ke arah Hantu Jatilandak. Dalam kesalnya Hantu Jatilandak sudah punya niat untuk membunuh burung itu dengan duri-duri coklat yang ada di tubuhnya. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.
"Kalau kuperhatikan , gagak itu selalu terbang ke satu arah. Ke selatan. Setiap kuusik ia melarikan diri , tapi tidak terbang jauh. Hinggap di pohon , memandang gila padaku…. Kalau saja ia bisa bicara…."
Gagak di atas pohon menguik keras. Lalu melesat ke pohon lain. "Terbang lagi…. Tetap ke arah selatan…"
kata Hantu Jatilandak sambil memperhatikan. "Jika saya menuju ke pulau berarti arah yang kutempuh yakni arah berlawanan. Ke utara. Akan kucoba lari ke arah utara. Apa yang terjadi…."
Habis berkata begitu Hantu Jatilandak balikkan tubuhnya , akal-akalan lari ke jurusan utara. Burung gagak hitam menguik lagi kemudian melesat terbang melintas didepan Hantu Jatilandak , demikian terus berulang kali. Ketika balasannya cowok bertubuh kuning dengan duri-duri mengerikan itu hentikan larinya , burung gagak tadi melesat ke pohon di sebelah kanan dan hinggap disalah satu cabangnya. Hantu Jatilandak memperhatikan. Ternyata mirip sebelumnya , gagak hitam itu lagi-lagi berada di arah selatan. Kini ada perasaan di hati Hantu Jatilandak bahwa gagak hitam itu bukan burung biasa.
"Ketika saya lari ke utara , burung itu mirip berusaha menghalangi. Kini akan kucoba lari ke selatan…." Sekali lompat saja Hantu Jatilandak kemudian melesat dua tombak , terus lari secepat yang bisa dilakukannya menuju selatan. Di atas sana , gagak hitam tadi ternyata juga terbang ke arah selatan. Malah mirip sengaja berada di sebelah depan , seolah menuntun lari Hantu Jatilandak.
Hantu Jatilandak tidak , tahu berapa usang dan berapa jauh ia lari mengikuti gagak hitam itu. Dia gres sadar ketika dua kakinya mendadak terasa berat dan di barat sang surya hampir menggelincir masuk ke titik tenggelamnya. Memandang ke depan Hantu Jatilandak melihat gagak hitam melayang turun kemudian hinggap di atas sebuah watu besar di tempat ketinggian. Hantu Jatilandak memperhatikan berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada di satu bukit penuh bebatuan. Ketika ia memandang lagi ke arah ketinggian di depan sana , gagak hitam itu tak kelihatan lagi di atas watu besar! Sementara udara mulai berangsur gelap. Batu- watu besar di sekelilingnya kelihatan mirip berubah gila dalam kehitaman malam yang segera turun.
"Burung gagak itu lenyap. Benar-benar aneh…" kata Hantu Jatilandak dalam hati. Saat itulah ia gres menyadari bahwa tempat dimana ia berada diselimuti hawa cuek luar biasa. Tubuhnya yang tanpa pakaian dan penuh keringatan mulai menggigil. Tak ada pepohonan atau semak belukar untuk berlindung dari hawa dingin. Hantu Jatilandak melangkah mendekati sebuah watu besar. Dalam gelap ia melihat ada sedikit cegukan pada watu itu. Mungkin ia bisa berlindung di cegukan tersebut. Hantu Jatilandak hampiri watu besar itu kemudian sandarkan punggungnya.
"Apa yang harus kulakukan di tempat ini? Burung ‘gagak hitam itu lenyap entah kemana. Petunjuk apa yang tolong-menolong hendak diberikan hewan itu. Apa saya harus terus berada di sini , menunggu hingga pagi?"
Hantu Jatilandak rangkapkan dua tangan di depan dada menahan cuek yang amat sangat. Sambil berpikir-pikir Hantu Jatilandak ulurkan kepalanya sedikit , memandang berkeliling. Dia dapati ternyata di samping kiri ada sebuah watu yang dalam gelap bentuk dan besarnya mirip sosok manusia. Hantu Jatilandak ulurkan tangannya mengusap pecahan watu yang menghadap kearahnya. Dia tersentak kaget tapi juga gembira lantaran ketika tangannya menyentuh watu ada hawa hangat menjalar masuk ke dalam tubuhnya hingga ia tidak kedinginan dan menggigil mirip tadi.
Dari hanya memegang pecahan belakang watu itu Hantu Jatilandak alihkan pegangannya ke depan. Jarijarinya mengusap-usap kian kemari. Baru ia menyadari kalau jari-jarinya bukan mirip menyentu watu yang keras dan kasar , tetapi seolah mengusap sosok tubuh insan benaran , halus dan lembut! Pemuda bersosok gila itu terus mengusap pecahan depan batu. Usapannya naik ke atas. Mendadak ia jadi tersentak ketika jarijarinya terasa lembap oleh cairan hangat. Hantu Jatilandak bergerak keluar dari dalam cegukan watu besar. Ketika ia memperhatikan watu yang tadi diusap-usapnya itu terkejutlah ia lantaran watu itu berbentuk satu sosok patung wanita berambut terurai.
"Wahai siapa yang menciptakan patung begini bagus. Halus… benar-benar mirip insan hidup. Aneh! Bagaimana patung ini bisa berada di tempat ini? Mungkin ada seorang pemahat yang tengah mengerjakan pembuatan patung ini pada siang hari. Kalau malam ia pergi untuk istirahat. Tak bisa jadi. Patung ini benarbenar sudah rampung. Bagus dan sangat halus buatannya…." Hantu Jatilandak ingat pada cairan hangat yang tersentuh jari-jari tangannya. Ketika ia memperhatikan wajah patung itu kaget Hantu Jatilandak bukan kepalang. Ternyata cairan hangat itu keluar dari dua mata patung. Seolah tetesan-tetesan air mata.
"Patung menangis…." desis Hantu Jatilandak.
"Bagaimana mungkin…. Apa arti semua kecacatan ini. Bermula dari burung gagak hitam itu. Lalu kini patung ini…." Hantu Jatilandak pegang wajah patung itu dengan dua tangannya. "Benar-benar cantik…" katanya.
Lalu anehnya tetesan air mata semakin banyak keluar dari sepasang mata patung. "Aku harus menunggu hingga pagi! Kalau patung ini memang sedang dikerjakan seseorang , besok pasti saya akan bertemu dengan pemahatnya. Kalau tidak , mungkin saya akan menemukan kecacatan lain atau satu petunjuk…."
Baru saja Hantu Jatilandak selesai berucap tiba-tiba entah dari mana datangnya , seolah dari kejauhan bergema satu bunyi halus. Suara perempuan.
"Wahai anak insan , kau mengadakan perjalanan siang malam sejauh ini. Di matamu yang kuning terpancar satu ganjalan hati yang selama ini membayangimu kemana kau pergi. Hal apakah yang menjadi onak dan duri dalam hati sanubarimu?"
"Siapa yang barusan bicara?!" kata Hantu Jatilandak setengah berseru. Dia memandang berkeliling menembus kegelapan. Lalu pandangannya tertuju kembali pada patung wanita bagus di hadapannya. Diperhatikannya lisan patung. Tak ada perubahan , apa lagi bergerak. Tengkuk Hantu Jatilandak terasa merinding.
"Wahai anak malang. Kau tak bersedia menjawab.
Tak jadi apa…."
"Tunggu dulu!" kata Hantu Jatilandak. "Dengan siapa saya bicara? Siapa yang bicara dengan diriku! Bagaimana saya bisa bicara dengan seseorang yang tak bisa kulihat!"
"Anak malang , kau bicara dengan hatinuranimu sendiri. Selama kau tidak mau berterus terang dengan dirimu sendiri maka ganjalan hidup akan tetap mendekam dalam dirimu…."
"Wahai , baik… saya bicara. Aku anak insan yang tidak tahu siapa ayah dan siapa ibuku! Bertahun-tahun saya coba memecahkan teka-teki , mencari tahu siapa mereka adanya dan dimana mereka berada. Tapi sia-sia belaka…."
"Anak malang , kau harus segera meninggalkan tempat ini…" kata bunyi di kejauhan. Hantu Jatilandak perhatikan lisan patung. Ternyata memang tidak bergerak.
"Tidak , saya akan menunggu hingga pagi. Aku ingin melihat kecantikan dan kemulusan patung ini di bawah sapuan sinar matahari…"
"Wahai anak malang…"
"Kau terus-terusan menyebutku anak malang. Apakah kau mengetahui seluk beluk rahasia diriku?" Hantu Jatilandak bertanya.
"Tak akan kujawab pertanyaanmu wahai anak malang. Karena jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Satu hal saya minta padamu , jangan bellama-lama berada di tempat ini. Sesuatu tidak terduga bisa saja terjadi. Sekarang juga tinggalkan tempat ini. Pergilah ke Negeri Latanahtembikar. Temui Kepala Negeri yang berjulukan Latrubus. Orang ini dulunya berjulukan Lahambalang. Dialah ayahmu. Jika ia tidak mengakui dirimu sebagai puteranya lantaran ragu tidak percaya , temuilah seorang nenek dukun beranak berjulukan Luhumuntu di Negeri Latanahsilam. Dialah satu-satunya saksi yang mengetahui siapa dirimu. Bawa wanita renta ke hadapan Kepala Negeri Latanahtembikar biar lenyap segala ke-raguan. , ,."
Hantu Jatilandak serasa tidak percaya mendengar ucapan orang yang tak kelihatan itu. Dia memandang berkeliling kemudian mendongak ke langit. "Wahai , sungguh ini satu isu yang mengejutkan. Hatiku gembira luar biasa. Namun…."
"Jangan menciptakan keraguan dalam dirimu sendiri wahai anak malang. Pergilah segera. Semoga Dewa memberkatimu…."
Hantu Jatilandak menyeringai mendengar ucapan terakhir itu. Dia memandang ke arah kegelapan.
"Wajahmu menandakan ada yang tidak berkenan di hatimu. Kau mengalihkan muka ke jurusan lain menandakan ada kekecewaan dalam dirimu. Wahai , jelaskan padaku sebelum kau pergi. Gerangan apa yang kau rasakan ketika ini?"’
"Kesengsaraan hidup yang saya alami ketika ini justru lantaran kutuk Para Dewa dan Para Peri. Apakah mungkin saya mengharapkan berkah dari para Dewa?"
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu lantaran jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Sekarang pergilah wahai anak malang… , Waktumu hampir habis…."
"Aku ingin menolong seorang sahabat. Dia juga tidak mengetahui siapa dan dimana ayah bundanya. Namanya Luhcinta. Apakah kau bisa menolong memberi petunjuk?"
"Menolong orang lain yakni sangat baik , apa lagi dilakukan dengan hati bersih. Tetapi kalau hal itu berada di luar jangkauan kita mengapa harus mempersulit diri sementara diri sendiri diselubungi banyak sekali kesulitan? Berkah para Dewa juga akan turun pada diri sahabatmu itu. Dia kelak akan mengetahui siapa ibu dan ayahnya. Wahai jangan berada lebih usang di tempat ini. Pergilah….Aku melihat tanda-tanda kurang baik…."
Hantu Jatilandak pandangi patung watu di hadapannya.
Suara itu memang tiba dari kejauhan dan lisan patung semenjak tadi diperhatikannya sedikitpun tidak bergerak. Tapi ada rasa percaya dalam diri cowok ini bahwa yang barusan bicara padanya yakni patung wanita itu. "Aku akan menguji…" kata Hantu Jatilandak dalam hati. Lalu dengan hati-hati ia tempelkan pipinya yang berduri ke pipi patung wanita itu seraya berbisik.
"Patung watu , kau bukan saja bagus tetapi juga baik. Aku tidak menganggapmu patung. Bagiku kau yakni insan hidup. Jika saja saya memang pernah punya ibu , saya ingin ibuku secantik dan sebaik dirimu. Aku pergi sekarang. Selamat tinggal. Jika ada kesempatan saya pasti akan menemuimu lagi di tempat ini…."
Sekonyong-konyong ada detak gila di pecahan dada patung. Lalu dari dua mata patung itu mengalir deras tetesan air mata. Sepasang mata Hantu Jatilandak membesar "Berarti… wahai! Berarti ia mendengar , paling tidak patung ini mengerti apa yang saya ucapkan. Aku yakin ia juga tadi yang bicara secara gila padaku…."
Baru saja Hantu Jatilandak selesai membatin tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar dua bunyi tawa bergelak. Satu bunyi tawa lelaki , satunya lagi bunyi tawa perempuan.
"Manusia buruk rupa! Tidak bisa bercinta dengan insan , melampiaskan nafsu berpeluk-pelukan dengan patung batu! Ha… ha… ha!"

Kapak Maut Naga Geni 2124

KITA tinggalkan sementara Hantu Jatilandak dan patung menangis di bukit berbatu-batu itu. Kita ikuti dulu perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dan dua temannya yaitu si bocah konyol Naga Kuning dan kakek kedaluwarsa pesing Si Setan Ngompol. Pemilik bahtera bertubuh gemuk buntak itu lambaikan tangannya pada tiga orang yang berada di tepi sungai.
"Aku tahu kalian hendak ke Tanahsilam. Perjalanan cukup jauh dari sini. Jika ada bahtera mengapa mau berlelahlelah berjalan kaki? Dengan bahtera kalian bisa hingga lebih cepat!"
"Bagaimana kerbau buntak itu tahu kita hendak ke Latanahsilam ," tanya Wiro pada dua temannya , Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.
Di atas bahtera si gemuk kembali berseru. "Aku pernah melihat kalian bertiga di Negeri Latanahsilam. Bukankah kalian orang-orang gagah yang kabarnya tiba dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang? Wahai , kalau kalian mau naik perahuku biar tidak dibayarpun saya mau! Aku merasa besar hati bisa membawa orang-orang hebat mirip kalian…."
"Kalau tidak bayar memang tidak mengecewakan juga!" kata Naga Kuning.
"Dengan naik bahtera bisa mengurangi kencingku.
Berarti menghemat air yang ada dalam tubuhku!" kata Si Setan Ngompol sambil senyum-senyum. Lalu bersama Naga Kuning ia mendahului naik ke atas perahu. Wiro masih tegak di tepi sungai. Memperhatikan pemilik bahtera itu sejenak.
"Hai! Kau menentukan jalan kaki atau bagaimana?!" seru Naga Kuning.
Akhirnya Pendekar 212 menyusul masuk ke dalam perahu. Sepanjang perjalanan pemilik bahtera yang mengaku berjulukan Labuntalan itu tidak henti-hentinya berceloteh. Menurutnya orang senegeri Latanahsilam mulai mengenal Wiro dan kawan-kawannya semenjak tubuh mereka masih merupakan sosok-sosok katai.
"Orang di Latanahsilam mulai mengenal kalian bertiga sesudah terjadi Bakucarok , perkelahian hidup mati antara Lahopeng dengan Lakasipodi tanah lapang ," kata Labuntalan pula. (Baca Serial Wiro Sableng berjudul"Bola-Bola Iblis").
Sambil bercerita pemilik bahtera itu terus saja mendayung. Diam-diam Wiro memperhatikan. Sekali dayungnya dikayuh bahtera melesat hingga beberapa tombak ke depan. Padahal ketika itu mereka melawan arus. Murid Eyang Sinto Gendeng mempunyai kesan bahwa Labuntalan mengayuh perahunya bukan cuma mengandalkan tenaga kasar dan tenaga luar. "Agaknya si gendut satu ini mempunyai tenaga dalam tidak rendah. Aku menaruh curiga jangan-jangan ia bukan tukang penyewa bahtera biasa. Setahuku orang di Negeri Latanahsilam pelit-pelit. Adalah gila kalau ia mau-mauan mengantar sejauh ini ke Latanahsilam tidak usah dibayar. Aku harus mengetahui siapa ia sebenarnya. Aku akan menguji…."
Diam-diam Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam kemudian dialirkan ke sebelah bawah tubuhnya. Perahu yang sedang meluncur laju itu perlahan-lahan bergerak turun ke bawah seolah beban yang dibawanya bertambah berat ratusan kati. Sewaktu air sungai hampir mencapai pinggiran bahtera gres Naga Kuning dan Si Setan Ngompol menyadari dan sama terkejut. Namun Wiro cepat memberi tanda. Dia terus memperhatikan si gemuk yang mendayung perahu. Walau bahtera itu menjadi sangat berat dan daya luncurnya tertahan namun Labuntalan terus saja mendayung seolah tidak terjadi apa-apa. Kini kecurigaan Pendekar 212 jadi bertambah besar. Saat itu di depan mereka tampak meluncur perlahan sebuah bahtera , didayung oleh seorang perempuan. Karena orang ini membelakangi maka wajahnya tidak kelihatan.
"Labuntalan , harap kau suka menepikan bahtera ," kata Wiro.
"Wahai , ada apa? Kita masih jauh dari tujuan!" ujar pemilik bahtera seraya mengayuh lebih berpengaruh hingga perahunya meluncur mendekati bahtera di sebelah depan.
"Kami ada keperluan sebentar. Kakek temanku ini kepingin kencing! Kecuali kalau kau membolehkan ia beser di atas perahumu!" kata Naga Kuning pula.
Pada ketika bahtera yang ditumpangi Wiro berjajar dengan bahtera di depannya , wanita yang mendayung palingkan kepala. Ternyata ia yakni seorang wanita renta berdandan mencorong. Selagi Wiro dan Naga Kuning rasa-rasa pernah melihat nenek itu , Si Setan Ngompol sudah lebih dulu berseru seraya lambaikan tangan.
"Luhlampiri!"
Si nenek di atas bahtera balas melambaikan tangan disertai lontaran senyum yang menciptakan Si Setan Ngompol jadi belingsatan lupa diri. Langsung saja ia berdiri di atas bahtera hingga bahtera yang masih berat oleh tenaga dalam Wiro itu bergoyang kian kemari. Air sungai masuk ke dalam perahu. Si kakek seolah tidak hirau , terus saja lambai-lambaikan tangannya kegirangan. Sebenarnya kalau Setan Ngompol mengerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sekalipun ia berjingkrak-jingkrak , bahtera itu tidak akan bergoyang sedikitpun.
"Kek , kau mabok atau kesurupan melihat nenek mencorong itu!" berkata Naga Kuning.
"Kurasa mabok belum , kesurupan juga tidak. Tapi kegatalan!" menjawab Pendekar 212.
Si Setan Ngompol tidak perdulikan ejekan dua sahabatnya itu. Sambil terus melambaikan tangan dan senyum-senyum ia berkata. "Luhlampiri , nenek bagus bertubuh montok! Kucari-cari belum sempat bertemu. Tahu-tahu kini kau muncul sendiri seolah diantar malaikat! Bukan main…. Kau tambah bagus saja. Kulitmu tambah putih , mirip berkilau!" Si kakek leletkan lidahnya sambil geleng-geleng kepala. Matanya yang jereng berputar-putar.
"Wahai kakek gagah dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Apa kau tega membiarkan saya kedinginan seorang diri dalam bahtera ini?"
"Wahai! Mana tahan saya mendengar ucapanmu sahabatku cantik!" Si Setan Ngompol kedipkan matanya kemudian berpaling pada Wiro dan Naga Kuning. "Rejeki besar ini dihentikan dilewatkan. Kawan-kawan saya terpaksa meninggalkan kalian. Aku mau pindah perahu! Berdempet-dempet dengan kalian di bahtera ini gerah rasanya! Dari pada semaput lebih baik saya pindah ke bahtera nenek bagus itu!"
"Kakek sialan…" memaki Naga Kuning.
Si Setan Ngompol siap hendak melompat. Tapi celananya digaet jari-jari Naga Kuning hingga merosot ke bawah. Kalau tidak lekas kakek ini pegangi celananya , auratnya akan tersingkap terang depan belakang. Di seberang sana si nenek tertawa cekikikan melihat insiden itu.
"Anak kurang ajar! Kau mau kutendang?!" sentak Si Setan Ngompol sambil menahan kencingnya.
"Kek , apa kau lupa ucapan Lakasipo?!" Wiro cepat menegur.
"Weh! Ucapannya yang mana?!" tanya si kakek.
"Lakasipo pernah menerangkan. Nenek itu pernah kawin dengan… entah sepuluh entah selusin laki-laki. Semua suaminya menemui ajal! Kau mau ikut-ikutan mati?!"
"Anak tolol! Memangnya saya mau kawin sama nenek itu?!" ujar Setan Ngompol seraya pegangi pecahan bawah perutnya.
"Kawin betulan memang belum tentu. Tapi kalau ketelanjuran kawin-kawinan berarti kau memang sengaja mencari penyakit…."
"Kalian berdua masih muda-muda tahu apa. Penyakit itu ada dua macam tahu! Pertama penyakit yang benar-benar sakit. Ke dua penyakit sakit-sakit enak. Nah saya mau mendapatkan penyakit yang sakit-sakit lezat itu! Aku tahu kalian berdua ngiri! Jangan khawatir dua sobatku. Nenek itu tak mungkin hamil! Ha… ha… ha!"
Setan Ngompol tertawa bergelak. Lalu tanpa tunggu lebih usang ia melompat. Tubuhnya melayang di udara , masuk ke dalam bahtera yang ditumpangi si nenek.
"Tua bangka edan! Namanya saja Luhlampiri. Masih saudara dengan Nenek Lampir tukang cekik. Kalau sudah dicekik lehernya atas bawah gres kakek geblek itu tahu rasa!" Naga Kuning memaki panjang pendek.
Begitu masuk di dalam bahtera , Si Setan Ngompol segera mengambil pendayung dari tangan Luhlampiri. Keduanya bicara sambil tertawa-tawa seolah sudah bersahabat dan kenal lama.
Tiba-tiba bahtera itu berbalik berputar arah.
"Eh , mau kemana mereka?!" ujar Wiro keheranan.
"Mereka agaknya tak mau searah dengan kita…" ucap Naga Kuning.
Ketika berpapasan Si Setan Ngompol tempelkan dua jari tangan kanannya di bibir kemudian dilayangkan ke depan. "Silahkan meneruskan perjalanan. Tunggu saya di Latanahsilam. Aku mau mencari penyakit enak-enak! Ha… ha… ha!"
"Benar-benar kakek geblek!" sungut Wiro.
"Biarkan saja! Kalau belum kena batunya ia belum kapok! Biar kita meneruskan perjalanan ke Latanahsilam…" Wiro berpaling ke haluan. "Astaga! Si gendut itu lenyap!"
Naga Kuning kaget besar. Dia memutar kepala. Pemilik bahtera berjulukan Labuntalan yang tadi duduk di sebelah belakang mereka tak ada lagi di atas perahu. Pendayung juga ikut lenyap. Sementara itu bahtera perlahan-lahan miring ke samping. Air masuk dari lamping sebelah kanan.
"Dinding bahtera berlobang besar!" ujar Pendekar 212 sambil meraba dengan kaki kanannya.
"Pasti ini pekerjaan si gendut celaka itu!"
"Aku memang sudah curiga sebelumnya! Tak bisa kuduga siapa ia sebenarnya! Naga Kuning , kita harus segera tinggalkan bahtera ini sebelum karam. Sungai ini cukup dalam!"
Wiro dan Naga Kuning kerahkan ilmu meringankan tubuh. Pada ketika bahtera itu amblas tenggelam ke dalam sungai ke duanya telah melesat di udara , melompat ke tebing sungai.
"Naga Kuning , dengar. Kalau si gendut pemilik bahtera itu musuh dalam selimut , saya khawatir jangan-jangan nenek berdandan mencorong itu sama belangnya! Berarti sahabat kita Si Setan Ngompol berada dalam bahaya!"
"Bahaya apa?!" sungut Naga Kuning. "Saat ini janganjangan ia sudah mendapatkan penyakit enak-enak itu!
Aku tahu betul kelakuan si kakek itu! Pasti sudah dilakukannya-di atas perahu!"
"Aku tidak perduli apa yang dilakukannya! Yang saya khawatirkan nyawanya ketika ini tengah terancam! Kita harus mengejarnya!"
"Kita tak punya perahu!"
"Kita mengejar dengan berlari sepanjang tepian sungai!" kata Wiro kemudian tidak perdulikan Naga Kuning ia segera lari ke arah lenyapnya Si Setan Ngompol dan Luhlampiri. Naga Kuning banting-banting kaki kesal. Sebelumnya ia sudah punya rencana begitu hingga di Latanahsilam ia akan segera mencari gadis bagus berjulukan Luhkimkim yang selalu dikenangnya itu.

Kapak Maut Naga Geni 2125

DI ATAS bahtera pembicaraan antara Si Setan Ngompol dan si nenek berjulukan Luhlampiri berlangsung meriah. Sesekali diseling gelak tawa. Sikap nenek yang genit menciptakan Setan Ngompol jadi berani. Tangannya merangkul kian kemari. Hidungnya menciumi wajah si nenek yang berdandan mencorong hingga muka Setan Ngompol berselomotan bedak dan gincu. Ketika Setan Ngompol hendak menyelinapkan tangannya ke balik kain si nenek , Luhlampiri tertawa cekikikan dan menggeser duduknya menjauhi si kakek tapi ke dua kakinya sengaja diangkat demikian rupa hingga tersingkap mulai dari lutut ke atas. Walau sudah renta ternyata sepasang paha si nenek masih kencang dan putih mulus. Melihat perilaku si nenek yang jelas-jelas mengundang hampir saja Setan Ngompol hendak melompati nenek itu.
"Di hutan di tepi sungai sana , ada satu pondokan. Aku sudah usang tidak ke sana. Tempatnya bersih. Agaknya sekali ini bersamamu saya ingin sekali menginap paling tidak tujuh hari tujuh malam! Bagaimana pendapatmu wahai kakek gagah?" Luhlampiri kedipkan matanya dan lontarkan senyum genit.
Sepasang mata jereng Setan Ngompol membuka lebar dan berputar-putar. Nafasnya belum apa-apa sudah memburu dan darahnya menjadi panas. "Jangankan tujuh hari tujuh malam! Tujuh ratus hari tujuh ratus malampun saya mau mendekam di pondok itu bersamamu!"
"Hik… hik… hik!" Luhlampiri tertawa cekikikan. "Sejak pertama kali saya melihatmu di Tanahsilam dulu , saya sudah mengira kaulah lelaki idaman menjadi mitra hidupku untuk selama-lamanya! Ternyata dugaanku tidak meleset!"
"Dan kau yakni nenek bagus montok. Kau akan kujadikan panutan hati , ganjalan kekasih hidupku siang dan malam…."
"Hik… hik…. Kau kakek nakal! Masakan saya akan kau jadikan ganjalan? Memangnya mau diganjal bagaimana?!" tanya Luhlampiri kemudian digigitnya indera pendengaran kiri Si Setan Ngompol yang lebar hingga kakek ini menjerit kesakitan dan balas menggigit dada si nenek. Ke duanya kemudian tertawa ha-ha-hi-hi.
"Kakek gagah kekasihku , lekas dayung dan bawa bahtera ke tepi sana…."
Setan Ngompol segera mendayung bahtera menuju tepi sungai. Di satu tempat begitu bahtera berhenti sepasang kakek nenek ini segera naik ke darat. Tak jauh berjalan memasuki rimba belantara sampailah mereka ke sebuah pondok kayu. Dari keadaan kayu serta bersihnya pondok agaknya bangunan itu belum usang didirikan.
"Aku aib menyampaikan ," kata Luhlampiri sambil mendorong pintu pondok. "Sebenarnya pondok ini sudah usang kusiapkan , sengaja untuk kita berdua. Begitu usang saya menunggu kau , gres hari ini bertemu dan membawamu ke sini. Aku benar-benar tersiksa dalam kerinduan…."
"Aku tidak tahu begitu besar perhatianmu terhadapku , Luhlampiri…" kata Setan Ngompol seraya peluk nenek itu penuh gairah.
Tanpa menutup pintu si nenek eksklusif saja melangkah ke satu ranjang kayu di sudut kanan pondok. Dia tegak di samping ranjang , berbalik dan memandang pada Setan Ngompol.
"Tidakkah kau ingin membuka pakaianmu wahai kakek gagah kekasihku?"
"Aku…." ditantang begitu rupa Setan Ngompol jadi kikuk dan terkencing. "Aku justru ingin kau membuka pakaian lebih dulu…."
"Kau orang renta nakal! Maunya untung dan senang sendiri!" kata Luhlampiri. "Tapi tak apa. Kau kekasihku dan saya suka padamu. Demimu apapun akan kulakukan!"
Lalu dengan cepat si nenek buka bajunya yang terbuat dari kulit kayu kering dan lembut itu. Si Setan Ngompol jadi panas dingin. Matanya dipentang tak berkesip. Sebentar lagi ia akan menyaksikan satu tubuh putih molek yang selama ini diimpi-impikannya. Tapi apa yang terjadi kemudian justru tidak mirip yang diduga Si kakek!
Begitu pakaian si nenek terbuka , ternyata di bawah pakaian itu ia masih mengenakan pakaian lain berwarna warni. Tak ada kulit putih dan dada molek yang terlihat. Malah satu pemandangan lain menciptakan Setan Ngompol kaget tercekat. Setelah membuka baju luarnya kelihatanlah kini , ternyata si nenek mempunyai dua tangan palsu yang terbuat dari besi yang sudah karatan mulai dari pundak hingga ke ujung-ujung jari!
"Wahai kekasihku , kulihat mukamu berubah! Ada apakah?!" Luhlampiri bertanya sambil tersenyum. "Ingin sekali saya merangkul tubuhmu dengan dua tanganku ini!" Si nenek angkat ke dua tangannya. Jari-jarinya runcing tajam mirip mata pisau. Setan Ngompol cepat mundur dan terkencing! Dia memperhatikan sepasang kaki si nenek. Baru disadarinya kalau kaki itu pendek sebelah! Berdebar dada Setan Ngompol.
"Aneh! Waktu di atas bahtera kau terus menerus memelukku. Tanganmu menggerayang kian kemari. Sekarang kau mirip ketakutan. Wajahmu pucat. Malah kau mundur menjauhiku! Wahai kekasihku kakek gagah. Hik… hik… hik! Mengapa kau berubah kaku…?!"
"Luhlampiri…. Aku tidak menyangka…. Apa yang terjadi dengan ke dua tanganmu?!" tanya Setan Ngompol.
"Kau tidak menyangka…? Wahai! Coba kau perhatikan ini! Kau pasti lebih tidak menyangka!"
Tangan besi sebelah kiri si nenek bergerak ke mukanya.
"Breeettt!"
Satu topeng tipis terbuat dari daun kering robek dan tanggal dari wajah si nenek. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Satu wajah wanita renta berkumis halus dan ada anting-anting besar mencantel di kedua telinganya. Kejut Setan Ngompol bukan alang kepalang. Mata jerengnya mendelik besar. Lututnya goyah dan mukanya sepucat kain kafan! Kencingnya mancur membasahi lantai pondok.
"Nenek Pembedol Usus" lisan Si Setan Ngompol bergetar mengucap nama orang yang tegak di depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa cekikikan. Tenggorokannya seolah menenggak watu panas!
"Kau memang kekasihku tercinta! Buktinya kau masih ingat siapa diriku! Hik… hik… hik!"
Si nenek yang tadinya menyaru sebagai Luhlampiri ternyata yakni anak buah Hantu Muka Dua yang dikenal dengan julukan Nenek Pembedol Usus.
"Saat ini , apakah kau masih ingin melihat tubuhku wahai makhluk berasal dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?"
Setan Ngompol tak menjawab. Dia hanya tegak dengan mata jereng melotot. Kencingnya mengucur tak berkeputusan.
"Hik… hik! Untuk orang yang akan segera mampus biar saya memperlihatkan satu hadiah besar. Semoga kau bisa menemui kematian sambil ketawa! Hik… hik… hik!" Si nenek kemudian robek dada pakaiannya. Dadanya yang besar tapi peot memberojol keluar bergundal-gundil! "Buka matamu lebar-lebar! Puaskan hatimu melihat tubuhku! Hik… hik… hik!"
Si nenek kemudian berhenti tertawa. Mukanya berubah garang.
"Setan Ngompol! Aku akan menciptakan bukan cuma air kencing yang mengucur dari tubuhmu! Tapi juga darahmu! Ingat insiden di sumur melintang beberapa waktu lalu? Waktu terjadi pertempuran kau mengencingi dua tanganku hingga tidak bisa kembali ke asalnya! Hik…hik! Dua tanganku boleh musnah! Tapi kemampuanku membedol usus insan tidak pernah lenyap walau kini saya hanya mempunyai sepasang tangan palsu! Hik… hik! Apa kau sudah puas melihat dadaku?!" (mengenai insiden perkelahian Setan Ngompol dengan Nenek Pembedol Usus silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul"Hantu Muka Dua").
Kalau tadi Si Setan Ngompol memang kecut lantaran kaget , kini keberaniannya muncul , walau otak kotor masih menempel di kepalanya. "Perempuan renta , siapapun kau adanya! Peristiwa usang mengapa harus diingat! Semua terjadi lantaran kau mengambil langkah keliru hingga sempat diperalat orang lain…."
"Tua bangka keparat! Siapa yang memperalat diriku?!" sentak Nenek Pembedol Usus.
"Jangan mencari dalih! Bukankah kau diperalat oleh Hantu Muka Dua? Kalau ketika ini kau mau insaf bukankah sebaiknya kita melanjutkan kemesraan semenjak di bahtera tadi? Aku tidak menampik kalau kau suka…."
Nenek Pembedol Usus meludah ke tanah. Tua bangka berotak kotor! Baik , saya sepakat kita melanjutkan kemesraan. Sekarang biar kau rasakan bagaimana sedapnya kalau auratmu kuusap dengan tangan besi ini!"
Didahului bunyi tawa mengikik Nenek Pembedol Usus melompat ke depan. "Wuttt!" Tangan besinya menyambar ke bawah perut si kakek. Setan Ngompol berseru kaget.
"Breeett!"
Celana Si Setan Ngompol yakni celana gres hasil rampasan dari Hantu Muka Dua (baca serial Wiro Sableng berjudul "Rahasia Kincir Hantu") robek besar di pecahan bawah pusarnya. Walau air kencingnya muncrat kemana-mana namun si kakek masih sempat melompat selamatkan diri.
"Nenek tolol! Jelek-jelek begini tidak semua wanita saya suka! Kuberi kesempatan untuk bermesra kau malah minta disuguhkan racun! Kalau kuhancurkan dua payudaramu yang peot itu apa kau kira bisa diganti dengan payudara palsu mirip sepasang tanganmu itu?! Ha… ha… ha!"
Mendengar ejekan Setan Ngompol meledaklah amarah si nenek. Didahului teriakan keras ia melompat kirimkan serangan. Si kakek sambut gebrakan lawan dengan jurus Setan Ngompol Mengencingi Langit. Satu gelombang angin menebar hawa lembab dan kedaluwarsa pesing menghantam si nenek. Membuat tubuh Nenek Pembedol Usus terdorong dan tangan kanannya yang digunakan menyerang terbanting ke kanan. Namun hebatnya dengan menciptakan gerakan mirip bersalto , si nenek kembali lancarkan serangan. Kini tangan kirinya yang menyambar. Lalu sambil miringkan tubuh kaki kanannya membeset ke samping.
Dengan gampang Setan Ngompol elakkan serangan tangan besi yang menyambar hendak menjebol perutnya. Namun ia tidak bisa meloloskan diri dari tendangan kaki si nenek.
"Buukkk!"
Setan Ngompol terpental begitu kaki lawan mendarat di pinggul kirinya. Dalam keadaan termiring-miring dan menahan sakit lawan kembali menggempur. Dua tangan besi si nenek menyambar ganas. Sepuluh jarinya yang mirip pisau berkarat berkelebat dan selalu mengarah ke perut Setan Ngompol. Untuk beberapa jurus si nenek berhasil mendesak Setan Ngompol hingga lawannya ini terkencing-kencing habis-habisan. Dalam keadaan celana lembap kuyup Setan ngompol berusaha keluar dari desakan lawan. Dia mainkan jurusjurus ilmu silat langka yang dimilikinya dan selama ini jarang dikeluarkan. Setiap serangan mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh hiqgga sosoknya berkelebat seolah tidak menginjak tanah. Selain itu setiap pukulan yang dilancarkannya selalu menebar hawa lembab pengap dan kedaluwarsa pesing.
Sebelum dirinya terdesak , Nenek Pembedol Usus segera maklum , satu-satunya cara menghadapi lawan ialah ia harus bergerak cepat dan mengatur pernafasan demikian rupa hingga tidak menghirup hawa pengap dan kedaluwarsa pesing itu. Dengan menjerit bernafsu si nenek melesat ke udara. Terjadilah perkelahian hebat antara dua renta renta itu , yang boleh dikatakan jarang insiden dan jarang disaksikan orang. Mereka berkelahi serang menyerang , gempur menggempur dengan tubuh berkelebat di udara , hanya sesekali menjejak tanah untuk kemudian melancarkan serangan lagi.
Beberapa kali sudah lengan atau kaki mereka saling beradu. Setiap lengannya bentrokan dengan lengan besi si nenek , Setan Ngompol merasa seolah tulang tangannya hancur luluh. Mau tak mau ia terpaksa menghindarkan bentrokan mirip itu. Sebaliknya setiap dua kaki mereka saling beradu , si neneklah yang menderita kesakitan. Akibatnya setiap ia menjejak tanah gerakannya selalu goyah. Satu kali tendangan Si Setan Ngompol mendarat di tanah. Untuk sesaat lamanya ia tak bisa bergerak. Tulang pinggulnya sebelah kiri ternyata remuk.
Dari mulutnya keluar bunyi mengerang.
"Setan Ngompol…. Aku… tolong-menolong hanya menguji hatimu. Aku ingin tahu hingga di mana rasa suka yang kau ucapkan. Ternyata kau tega menjatuhkan tangan keras…" Sepasang mata si nenek tampak berkacakaca.
"Aku pasrah…. Aku ingin kau membunuhku ketika ini juga. Tapi sebelum saya menemui kematian , ingin kutunjukkan padamu. Sebenarnya saya semenjak usang belakang layar mencintaimu…."
Tentu saja Si Setan Ngompol jadi melongo mendengar ucapan si nenek. "Kau… kau mencintaiku semenjak lama?"
"Dengan sepenuh hati wahai kekasihku. Penuhi permintaanku. Bunuhlah diriku. Aku akan merasa tenteram di alam roh kalau tanganmu sendiri yang merenggut nyawaku…."
"Aku…. Tak mungkin saya membunuhmu!" kata Setan Ngompol pula seraya melangkah mendekat.
"Bunuh saya dan peluk diriku sebelum ajalku melayang…."
"Kalau kau memang menyayangi diriku , bagaimana mungkin saya membunuhmu! Mari kulihat cidera di pinggulmu. Aku menyesal menjatuhkan tangan keras. Aku akan mengobatimu…."
"Kau berjanji akan mengobatiku wahai kakek gagah kekasihku?"
"Aku bersumpah!"
"Kalau begitu malam nanti , maukah kau jadikan malam pengantin bagi kita berdua?" Sambil berkata begitu si nenek kedap-kedipkan matanya dan layangkan senyum manja. Tangan kirinya bergerak membuka dada pakaiannya yang robek.
Setan Ngompol mengangguk berulang kali. "Aku akan mendukungmu ke dalam pondok…" Sesaat matanya terkesima memandangi dada si nenek.
Si nenek tertawa lepas. "Aku besar hati dan senang punya kekasih sepertimu. Mendekatlah. Peluk saya sebelum kau dukung ," pintanya. Matanya kembali tampak berkaca-kaca.
Penuh haru Setan Ngompol membungkuk , ulurkan dua tangannya untuk merangkul si nenek.
"Peluk diriku kekasihku. Pejamkan matamu. Ingin sekali saya mencium wajahmu…." kata si nenek lirih.
"Jangan wajahku. Aku ingin kau mencium bibirku!" kata Si Setan Ngompol masih bisa menawar dalam keadaan mirip itu.
Lalu kakek geblek ini pejamkan matanya sambil monyongkan bibirnya. Perlahan-lahan ia turunkan kepalanya. Dekatkan bibirnya ke bibir si nenek yang juga ikut-ikutan runcingkan mulutnya. Sesaat lagi bibir-bibir dua renta bangka itu akan saling berkecupan , tiba-tiba tangan kanan si nenek yang terbuat dari besi berkarat melesat ke atas! Tepat ke pertengah perut Si Setan Ngompol!

Kapak Maut Naga Geni 2126

SEKEJAPAN lagi perut Setan Ngompol akan jebol dan ususnya dibedol si nenek , tiba-tiba satu sinar putih berkiblat disertai hamparan hawa panas. Dua pekikan keras tenggelam dalam deru dahsyat mirip ribuan tawon mengamuk. Sosok Si Setan Ngompol terpental dan tergulingguling. Bahu bajunya hangus mengepulkan asap. Tertatihtatih kakek ini berdiri terduduk di tanah. Mukanya yang keriput tampak pucat pasi sedang di sebelah bawah kencingnya mancur habis-habisan! Dia memandang kian kemari. Celangak-celinguk. Rasa kejutnya kini berganti keheranan. Lucunya hingga ketika itu bibirnya yang tadi diruncingkan lantaran hendak mencium Nenek Pembedol Usus hingga ketika itu masih saja dalam keadaan monyong.
"Kekasihku…. Di mana kau…?" Si kakek bersuara.
Tangan kanannya diletakkan di atas lisan kemudian bibirnya diusap-usap berulang kali.
"Tua bangka geblek! Jangan mimpi di siang bolong! Jangan mengigau selagi matamu mendelik!"
Setan Ngompol palingkan kepalanya. Dia merasa heran ketika melihat sosok Naga Kuning berada di hadapannya. "Eh , kau…! Apa maksud ucapanmu barusan?!"
Wirodekati kakek itu kemudian usap-usap jidatnya. "Ingat Kek , sadar! Kau tidak kesambat tidak kesurupan. Juga tidak mimpi! Orang yang kau sebut kekasih itu sudah jadi bangkai gosong! Sedikit saja kami terlambat , perutmu hampir dijebolnya. Ususmu hampir dibusainya!"
Melihat si kakek masih melamun Naga Kuning jadi jengkel. Sosok tanpa nyawa Nenek Pembedol Usus diseretnya kemudian diletakkannya di depan Setan Ngompol. Seperti si kakek , sewaktu cahaya putih berkiblat Nenek Pembedol Usus juga terpental. Tubuhnya mencelat ke udara kemudian jatuh terbanting ke tanah tak berkutik lagi. Sekujur sosoknya gosong hitam mengepulkan asap. Dua tangannya yang terbuat dari besi tampak merah menyala!
"Pukulan Sinar Matahari…. Dia menemui kematian akhir hantaman pukulan Sinar Matahari…" desis si kakek begitu memperhatikan tubuh gosong yang terkapar di tanah di hadapannya.
"Kalau sobatku ini salah menentukan sudut pukulan , kaupun akan mengalami nasib mirip itu…" kata Naga Kuning pula.
"Serrrr!" Si kakek eksklusif terkencing. Kesadarannya pulih. "Jadi kalian berdua telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih…" Setan Ngompol usap mukanya berulang kali. Sekali lagi dipandanginya sosok hangus Nenek Pembedol Usus. "Nenek ini ternyata memalsu diri. Menyamar menjadi Luhlampiri. Maksudnya hendak membalaskan dendam. Sungguh jahat! Aku bersyukur. Luhlampiri yang orisinil masih hidup…" Perlahanlahan si kakek berdiri berdiri kemudian melangkah menuju tepian sungai.
"Kek! Kau mau kemana?!" berseru Naga Kuning.
"Ke sungai mencari perahu! Aku mau ke Negeri Latanahsilam. Sudah kukatakan Luhlampiri yang orisinil masih hidup. Aku ke sana menemuinya!"
"Tua bangka geblek! Benar-benar ngebet edan!" Naga Kuning hendak mengejar.
"Biarkan saja! Otaknya sedang kacau! Dinasihatipun tak ada gunanya!"
Di tepi sungai ia segera menemukan bahtera yang sebelumnya ditumpanginya bersama Nenek Pembedol Usus. Tanpa banyak kisah ia melompat masuk ke dalam perahu. Pada ketika ia membungkuk menjangkau pendayung , dua tangan kukuh tiba-tiba mencuat dari dalam air. Dengan cepat dua tangan ini mencekal salah satu kaki Setan Ngompol kemudian menariknya ke dalam air.
Wiro berpaling pada Naga Kuning. "Aku mendengar bunyi mirip orang mencebur ke dalam air. Kakek itu pergi mencari bahtera atau mencebur mandi!"
Naga Kuning tak menjawab. Wiro berpikir-pikir sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Serta merta Wiro melompat dan lari menuju tepi sungai. Naga Kuning mengikuti dari belakang. Di tepi sungai Wiro dan Naga Kuning hanya menemukan bahtera dalam keadaan mengapung terbalik. Si Setan Ngompol tak kelihatan mata hidungnya. Tiba-tiba Naga Kuning berseru seraya menunjuk ke tengah sungai.
"Wiro! Lihat!"
Air sungai di sebelah tengah tampak merah.
"Darah!" ujar Wiro. "Jangan-jangan kakek itu bunuh diri atau dibunuh orang!’?
"Bunuh diri? Apa alasannya? Dibunuh orang , oleh siapa?!" kata Naga Kuning pula.
"Aku akan menyelidik!" Wiro segera hendak melompat terjun ke dalam sungai yang lebar dan dalam itu. Tapi Naga Kuning cepat menghalangi. "Urusan di dalam air serahkan padaku! Sudah usang saya tidak menyelam!"
Seperti diketahui Naga Kuning tolong-menolong yakni seorang kakek sakti yang berusia sekitar 120 tahun. Dia merupakan orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas , seorang penguasa dan penjaga salah satu daerah samudera sebelah selatan yang oleh sementara orang dianggap sebagai makhluk setengah insan setengah roh. Jika Naga Kuning sanggup mengarungi dan menyelami maritim luas , maka sungai baginya bukan berarti apa-apa. Sekali melompat maka sosoknya lenyap di bawah permukaan air sungai. (Mengenai asal usul Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode).
Di dalam sungai , walau air sungai kuning dan agak keruh namun dengan kesaktian yang dimilikinya Naga Kuning bisa melihat cukup jelas. Dua orang dilihatnya tengah bergumul , saling mencekik dan saling menendang. Naga Kuning segera mengenali. Ke dua orang itu bukan lain yakni Si Setan Ngompol dan Labuntalan , si gendut pemilik bahtera yang sebelumnya lenyap secara aneh.
Dalam ilmu kesaktian tolong-menolong Setan Ngompol jauh berada di atas Labuntalan. Tetapi berkelahi di dalam air tak biasa dilakukan si kakek. Begitu ia diseret lawan masuk ke dasar sungai , kakek ini segera megap-megap. Dengan gampang Labuntalan yang memang mempunyai kepandaian berkelahi di dalam air menjadikan si kakek bulan-bulanan jotosan dan tendangannya. Darah mengucur dari hidung dan lisan Si Setan Ngompol. Darah inilah yang kemudian muncul di permukaan sungai dan terlihat oleh Wiro serta Naga Kuning. Dalam keadaan tak berdaya kakek ini dicekik oleh Labuntalan kemudian dibenamkannya ke dasar sungai. Pada ketika genting itulah Naga Kuning melesat laksana seekor ikan pesut.
Labuntalan tersentak kaget ketika tiba-tiba rambutnya ada yang mencengkeram. Lalu kepalanya disentakkan ke belakang. Lehernya mirip mau tanggal. Selagi ia masih diselimuti rasa kaget dan kesakitan mendadak ada sesuatu menyusup di selangkangannya. Satu remasan keras pada anggota rahasia di bawah pusarnya menciptakan orang ini membuka lisan berteriak keras. Tapi lantaran ia berada di dalam air , bukan saja bunyi teriakannya tidak terdengar , malah air sungai yang masuk ke dalam mulutnya. Labuntalan megap-megap menahan sakit dan sulit bernafas. Dari bawah perutnya kelihatan darah bercampur air mengapung naik ke permukaan sungai. Naga Kuning lepaskan jambakannya di rambut Labuntalan. Selagi si gendut itu menggapai-gapai sia-sia meregang nyawa di dalam air Naga Kuning cepat menolong Si Setan Ngompol dan menariknya ke permukaan air sungai. Namun sebelum sempat di bawa ke tepian tiba-tiba terjadilah satu hal yang tak terduga.
Sebuah bahtera muncul di balik tikungan meluncur cepat laksana kilat di atas permukaan sungai. Dari atas bahtera melesat sebuah benda yang ternyata yakni segulung jala gila berwarna biru. Jala ini dalam kecepatan luar biasa melibat sekujur tubuh Si Setan Ngom-pol yang berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan. Kurang dari sekejapan mata bahtera itu telah berada belasan tombak di depan sana dan balasannya lenyap dari pemandangan. Sosok Si Setan Ngompol yang tergulung dalam jala biru ikut melesat lenyap.
Demikian cepatnya semua itu terjadi hingga Wiro yang ada di tepi sungai dan Naga Kuning yang masih di dalam air tidak sempat berbuat apa-apa.
"Wiro! Astaga! Apa yang terjadi?!" berseru Naga Kuning seraya berenang cepat dan melompat ke daratan.
"Ada orang berperahu menebar jala! Menculik Setan Ngompol!" jawab Wiro. "Aku tak sempat mengenali siapa orangnya. Gerak bahtera dan caranya menebar jala cepat luar biasa!"
"Setan Ngompol dalam bahaya! Kita harus mengejar!" teriak Naga Kuning.
Ke dua orang itu segera melaksanakan pengejaran dengan berlari di sepanjang tepi sungai. Cukup usang berlari , jangankan menyusul. Melihat bahtera dan orang yang menculik si kakek itupun mereka masih belum berhasil.
"Percuma , keparat penculik itu sudah lenyap entah kemana!" kata Wiro kemudian hentikan larinya.
Naga Kuning dalam keadaan lembap kuyup gelenggelengkan kepala. "Setan Ngompol…. Ini semua ia sendiri yang punya gara-gara! Kalau ia tidak mengikuti nenek jahanam si Luhlampiri palsu itu , urusan tidak hingga jadi kapiran begini rupa!" Bocah itu bantingbanting kakinya. Tiba-tiba ia hentikan menghentakkan kaki dan tegak tak bergerak. Naga Kuning berpaling pada Wiro. "Telingamu mendengar sesuatu…?"
"Ya , ada bunyi orang menyanyi. Seperti bunyi anakanak ," jawab Wiro. "Datangnya dari sana!" Wiro menunjuk ke arah kejauhan. Tidak menunggu lebih usang bersama Naga Kuning ia segera lari ke jurusan datangnya bunyi orang bernyanyi itu.
Di satu tempat Naga Kuning hentikan larinya. Sambil pegangi lengan Wiro bocah ini berkata. "Dengar baikbaik.
Perhatikan syair dalam nyanyian itu. Tidakkah gila kedengarannya…?!"
Ke dua sahabat itu kemudian pasang indera pendengaran baik-baik.
Kalau ingin bertemu sahabatmu terakhir kali
Datanglah ke Perjamuan Pengantar Arwah
Tempatnya sebelah timur lereng Labukit Tanpa Mentari
Saatnya malam hari esok lusa

Wiro dan Naga Kuning saling pandang.
"Bait-bait syair nyanyian itu selalu di ulang-ulang , mirip sengaja ditujukan pada kita!" kata Wiro. "Kita harus segera menemukan anak yang sedang menyanyi itu!"
Wiro dan Naga Kuning kembali lari ke jurusan bunyi anak menyanyi. Baru bergerak beberapa langkah bunyi nyanyian tiba-tiba lenyap dan berganti dengan bunyi anak menangis serta ratap ketakutan.
"Tolong…! Aku takuti Aku gamang! Turunkan diriku! Tolong! Aku takut jatuh…!"
Di cabang sebatang pohon tinggi Wiro dan Naga Kuning kemudian menemukan seorang anak berusia sekitar delapan tahun dalam keadaan terikat. Disampingnya terikat sebuah keranjang berisi mempelam. Wiro dan Naga Kuning segera naik ke atas pohon , melepas ikatannya kemudian membawa turun ke tanah sekalian dengan keranjang berisi mangga itu.
"Anak , katakan apa yang terjadi denganmu! Bagaimana kau bisa berada di atas pohon dalam keadaan terikat?!" bertanya Wiro.
"Orang jahat itu yang melakukannya!" jawab si anak sambil memandang ke arah sungai penuh takut.
"Orang jahat siapa? Kau mengenalinya?" tanya Naga Kuning.
Si anak menggeleng. "Tidak pernah kulihat orang itu sebelumnya. Rambutnya panjang sepinggang. Tubuhnya bau! Matanya merah. Mukanya bopeng. Giginya besar-besar. Mungkin ia bukan orang tapi roh jahat! Aku takut…!"
"Kau tak usah takut. Ada kami di sini menolongmu. Coba ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi…."
Si anak kemudian bercerita. "Aku dan kawan-kawan kesasar dalam hutan di tepi sungai. Kami tadinya mencari kelinci hutan. Aku terpisah dengan kawan-kawan. Lalu wahai! Muncul si muka bopeng itu. Dia memberiku sekeranjang mempelam. Padaku ia mengajarkan satu nyanyian. Lalu saya dinaikkannya ke atas pohon. Diikat. Di atas pohon saya harus melantunkan nyanyian yang diajarkannya itu. Kalau tidak mau mempelam akan diambil dan saya akan dijejali ulat bulu…."
"Orang muka bopeng itu tak ada di sini. Kau tahu kemana perginya?" tanya Wiro sambil usap kepala si anak. Yang ditanya menggeleng.
"Kau tahu dimana letak Labukit Tanpa Mentari yang kau sebut dalam nyanyian?" tanya Wiro lagi. Si anak kembali menggeleng.
"Kau masih ingat ke jurusan mana orang muka bopeng itu perginya?" tanya Wiro selanjutnya.
Si anak menunjuk ke arah timur sejajar hilir sungai.
"Anak pandai. Kami akan antarkan kau ke tempat aman!" kata Naga Kuning. Dia berpaling pada Wiro. "Kita harus mencari Lakasipo. Dia yang paling tahu semua daerah di Negeri ini."
Wiro mengangguk. "Mencari si Kaki Batu itu mungkin sama sulitnya dengan mencari Bukit Tanpa Mentari.
Terakhir sekali ia memberi tahu akan mencari Hantu Santet Laknat yang telah mencelakainya…."
Naga Kuning angkat anak lelaki disampingnya kemudian ia lemparkan ke arah Wiro. Si anak terpekik kaget dan ketakutan. Tapi begitu Wiro mendukungnya di atas pundak dan membawanmya lari ke arah timur si anak tertawatawa kegirangan. Naga Kuning menyambar keranjang berisi mempelam kemudian segera lari mengikuti Wiro.

Kapak Maut Naga Geni 2127

KITA kembali pada Hantu Jatilandak di bukit watu berhawa dingin. Begitu mendengar bentakan dan gelak tawa di belakangnya , cowok yang muka dan sekujur tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat ini jauhkan kepalanya dari wajah patung dan lepaskan rangkulannya. Dia cepat berpaling. Dalam gelapnya malam ia melihat dua orang tak dikenal tegak berkacak pinggang di atas dua watu besar terpisah kurang dari sepuluh langkah di hadapannya.
Yang pertama yakni seorang nenek berambut acak-acakan berwarna kelabu campur putih. Dia mengenakan pakaian panjang warna hijau renta yang pecahan atasnya berbentuk kemben. Ketika menyeringai kelihatan tak satu gigi pun tumbuh di gusinya. Nenek ini berhidung pesek hampir serata pipinya yang keriput. Dia tegak dengan kaki terkembang. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang tanpa sarung terbuat dari watu pualam warna merah.
Di watu besar sebelah kiri tegak orang ke dua. Seperti si nenek ia juga mempunyai rambut acak-acakan putih kelabu , tidak punya gigi barang satu pun alias ompong reong. Matanya yang kanan kecil sipit sebaliknya mata sebelah kiri melotot besar. Kakek ini berpakaian jubah kuning gelap. Dia juga membekal sebilah pedang watu merah tak bersarung.
Hantu Jatilandak awasi ke dua orang itu tanpa bergerak dan tak bersuara. Dia mengambil perilaku membisu menunggu sambil berlaku waspada. Setiap ketika ia bisa melesatkan duri-duri coklat di muka atau di tubuhnya yang mengandung racun ke arah ke dua orang itu.
"Tak bersuara tak bergerak! Malu rupanya tertangkap lembap bercumbu dengan patung! Hik… hik… hik!" si nenek buka bunyi kemudian tertawa cekikikan.
Di watu sebelah kiri si kakek memandang berkeliling.
"Landak bermuka insan ini cuma sendirian. Mana teman-temannya?!"
"Dia masih membisu mirip gagu! Kita harus segera mendampratnya dengan pertanyaan , gres dengan tangan dan kaki!" kata si nenek pula.
Si kakek anggukkan kepala kemudian membentak.
"Hantu Jatilandak! Mana sobat jahanammu orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang berjulukan Wiro Sableng itu!"
Hantu Jatilandak tetap bungkam tidak bersuara , tidak berikan jawaban. Sebaliknya ia bersitkan ludah. Ludah yang berwarna kuning ini jatuh di atas sebuah watu , mengepulkan asap kuning!
Meski merasa terhina namun sepasang kakek nenek sama-sama tertawa bergelak. "Mungkin lidahmu perlu kucabut! Setelah itu wahai! Mau kulihat apakah kau masih bisa meludah! Hik… hik… hik!" Si nenek tertawa cekikikan.
"Agaknya perlu diberi tahu siapa kita adanya! Agar landak bermuka insan kuning ini tahu diri! Tidak jual lagak dan meludah segala!" Kakek di atas watu besar sebelah kiri gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Tubuhnya melesat ke depan. Selarik cahaya merah berkiblat.
"Traanngg!"
"Braaakkk!"
Sebuah watu besar yang terletak tiga langkah di hadapan Hantu Jatilandak terbelah dua. Sebelum dua belahan jatuh ke tanah si kakek sudah melesat dan tegak kembali di atas watu tempatnya semula!
Orang lain mungkin akan tersentak kaget dan kecut nyalinya melihat kemampuan si kakek dan kehebatan pedang merahnya. Tapi Hantu Jatilandak yang sudah kesal melihat tingkah laris dua kakek nenek itu tidak pandang sebelah mata. Malah kembali ia semburkan ludahnya. Meledaklah kemarahan sepasang kakek nenek itu. Si kakek acungkan pedang merahnya ke udara seraya berteriak.
"Muridku Lagandrung dan Lagandring! Kami guru kalian! Lajahilio dan Luhjahilio! Kami telah menemukan salah seorang pembunuh kalian! Kalian bisa sedikit bertenang diri di alam roh! Sebentar lagi bedebah pembunuh akan segera kami habisi!"
Hantu Jatilandak kerenyitkan kening begitu mendengar teriakan kakek di atas batu. Ingatannya melayang pada insiden beberapa waktu lalu. Sewaktu ia dan kakeknya Tringgiling Liang Batu , Wiro dan Pelawak Sinting serta Hantu Tangan Empat bertempur melawan kaki tangan Hantu Muka Dua. Dua orang diantaranya yakni Lagandrung dan Lagandring. Dia berhasil membunuh Lagandring sementara Wiro menghabisi Lagandrung. (Baca Episode berjudul "Hantu Tangan Empat")
Ternyata sepasang kakek nenek ini yakni guru Lagandrung dan Lagandring. Apa lagi maksud kemunculan mereka kalau bukan menuntut balas melampiaskan dendam kematian murid-murid mereka.
"Dua kaki tangan Hantu Muka Dua yang sudah binasa itu tinggi sekali tingkat kepandaiannya. Berarti kakek nenek ini jauh lebih tinggi. Aku tidak takut!" membatin Hantu Jatilandak kemudian kembali ia meludah.
"Lajahilio! Tanganku sudah gatal mau mencincang insan landak ini!" berkata si nenek. "Tapi ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu!" Lalu Luhjahilio melompat ke watu di samping kiri dan membisikkan sesuatu pada kakek berjulukan Lajahilio yang tolong-menolong yakni kekasihnya. Sejak muda belia mereka malang melintang sehilir semudik. Hidup bersama tanpa kawin hingga menerima julukan Sepasang Hantu Bercinta. Lajahilio menyeringai mendengar bisikan si nenek. Dia memberi isyarat. Lalu dua kakek nenek ini samasama hunus pedang watu pualam merahnya.
Hantu Jatilandak yang semenjak tadi sudah berwaspada begitu melihat dua lawan bergerak serta merta gerakkan dadanya. Dua lusin duri coklat beracun melesat dari tubuhnya. Enam menyambar ke arah Lajahilio , enam lagi ke jurusan Luhjahilio. Dua orang yang diserang putar goloknya. Demikian sebatnya hingga yang kelihatan hanyalah gulungan sinar merah berbentuk lingkaran.
"Craasss! Craaas! Craaas!"
Selusin duri landak bertaburan ke udara. Luruh ke tanah dalam keadaan terbelah hancur. Hantu Jatilandak menggeram marah. Dia goyangkan kepalanya. Sepasang kakek nenek mengira lawan hendak menyerang lagi dengan duri-duri beracun yang ada di mukanya. Ternyata Hantu Jatilandak menggempur dengan dua larik sinar kuning yang keluar dari sepasang matanya!
"Luhjahilio! Awas serangan sinar beracun!" teriak Lajahilio.
Dua kakek nenek ini segera berkelebat selamatkan diri sambil kiblatkan pedang watu merah.
"Blep! Blep!"
Dua kakek nenek itu mencelat mental. Jungkir balik mereka masih bisa mendarat di tanah dengan dua kaki menjejak lebih dulu.
Tangan Lajahilio dan Luhjahilio bergetar keras. Pedang merah di tangan mereka berubah oleh bungkusan sinar kuning. Dada masing-masing mendenyut sakit dan jalan nafas seolah tersumbar. Dengan tubuh keringatan dua kakek nenek kerahkan tenaga dalam. Perlahanlahan selubung kuning yang membungkus senjata mereka sirna. Dua pedang itu kembali ke warna semula yakni merah.
"Luhjahilio , berdasarkan penglihatanku insan landak itu gres mengerahkan setengah tenaga dalamnya waktu melancarkan serangan sinar kuning tadi. Keadaan kita berbahaya. Saatnya melaksanakan apa yang tadi kau bisikkan. Aku akan menggempurnya habis-habisan!"
Hantu Jatilandak menggeram panjang sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang sinar kuning ilmu kesaktiannya yang berjulukan Mega Kuning Liang Batu , yang selama ini tidak pernah dikeluarkannya ternyata masih bisa ditangkis dengan pedang sakti di tangan lawan. Maka ia segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun ketika itu Lajahilio telah melompat ke arahnya. Pedang merah di tangan kanan kakek ini pancarkan sinar terang menandakan ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Hantu Jatilandak hendak sambut serangan si kakek dengan sinar Mega Kuning Liang Batu , tapi perhatiannya terbagi pada Luhjahilio yang berkelebat ke kiri sambil membabatkan pedang merahnya. Hantu Jatilandak meraung keras ketika melihat apa yang dilakukan si nenek. Ternyata Luhjahilio babatkan pedang merahnya untuk memapas leher patung wanita bagus di samping watu besar.
"Craaaasss!"
Aneh , begitu leher patung kena dibabat terdengar bunyi mirip pedang memapas putus leher sungguhan. Kepala patung jatuh menggelinding ke tanah. Dan lebih gila lagi! Dari kutungan leher baik yang di tubuh maupun yang di kepala keluar cairan merah mirip darah!
Luhjahilio berseru Kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya Hantu Jatilandak meraung marah. Dia tidak lagi memperhatikan sambaran pedang Lajahilio. Masih untung senjata si kakek hanya membabat putus sembilan bulu landak yang ada di punggungnya. Walaupun rasa sakit menggeletari sekujur tubuhnya pecahan belakang namun Hantu Jatilandak tidak peduli.
Didahului dengan menghantamkan selusin duri landaknya ke arah Luhjahilio , Hantu Jatilandak susul menyerang dengan sinar Mega Kuning Liang Batu. Luhjahilio terpekik ketika dua duri landak menyusup di kembennya dan menusuk permukaan kulitnya. Nenek ini berkelebat ke balik watu besar. Untung ia berlaku cepat. Walau watu besar itu hancur berantakan dihantam sinar Mega Kuning Liang Batu dan mengepulkan asap kuning beracun namun si nenek masih sempat selamatkan diri dengan menciptakan dua lompatan cepat.
Seperti tidak sadar kalau ketika itu ia tengah menghadapi ancaman besar dari dua musuh berkepandaian sangat tinggi , Hantu Jatilandak jatuhkan diri memungut kutungan kepala patung wanita cantik.
"Patungku…. Patungku…. Kasihan lehermu…."
Hantu Jatilandak sesenggukan dan dekapkan kepala patung ke dadanya kemudian berusaha bangkit. Pada ketika itulah Lajahilio dan Luhjahilio menyergap. Dua pedang merah diarahkan satu ke leher Hantu Jatilandak , satunya sempurna di arah jantung. Namun Hantu Jatilandak mirip tidak peduli. Baginya patung watu itu lebih berharga dari nyawanya sendiri!
"Kalian mau membunuhku saya tidak peduli. Tapi wahai! Jangan ciderai patung ini…."
Dua kakek nenek tertawa mengekeh. Hantu Jatilandak tetap tidak peduli. Dia terus berusaha berdiri.
"Izinkan saya meletakkan kepala patung ini di tempatnya semula…." Hantu Jatilandak meminta setengah meratap.
Dari dua matanya yang kuning kelihatan tetesan air mata. Gelak tawa Lajahilio dan Luhjahilio semakin keras.
"Makhluk gila ini benar-benar sudah jatuh cinta dengan patung itu!" kata Luhjahilio. Dia memberi isyarat pada si kakek kekasihnya. Lajahilio anggukkan kepala. Dua pedang merah kemudian berkelebat ganas. Pedang di tangan si nenek membacok ke kepala patung yang ada dalam dekapan Hantu Jatilandak. Sementara si kakek membabat ke pangkal leher Hantu Jatilandak! Dalam keadaan mirip itu Hantu Jatilandak sama sekali tidak lagi pedulikan keselamatan jiwanya. Dia masih berusaha menyelamatkan kepala patung dengan merangkul dan mendekapnya erat-erat ke dadanya.
Sesaat lagi kepala patung akan terbelah hancur dihantam tusukan pedang watu pualam merah di tangan Luhjahilio dan leher Hantu Jatilandak akan terbabat putus oleh pedang Lajahilio , sekonyong-konyong dua sinar gila menyambar merobek kepekatan malam!

Kapak Maut Naga Geni 2128

SAMBARAN sinar pertama berwarna hitam berbentuk kipas terkembang. Di dalam sinar hitam yang menebar ini berkilauan ratusan serpihan-serpihan bunga-bunga api. Nenek berjulukan Luhjahilio berseru kaget ketika melihat sinar yang melesat ke arah Lajahilio. Dia berteriak memberi peringatan.
"Pukulan Menebar Budi! Lajahilio! Awas!"
Sambil berteriak si nenek berbalik dan lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti dengan tangan kirinya. Gerakannya menghantam ini mau tak mau menciptakan urung tusukan pedangnya ke kepala patung. Pukulan hawa sakti si nenek memang bisa mendorong sinar hitam yang menyerang Lajahilio dan menyelamatkan kekasihnya. Tapi begitu dua kekuatan sakti tersebut saling bentrokan , satu letusan keras menggelegar. Bunga-bunga api berlesatan mirip senjata rahasia , menderu ke arah si nenek.
Luhjahilio menjerit keras. Tubuhnya terpental hingga setinggi dua tombak. Pedang watu pualam merahnya terlepas mental entah kemana. Darah membersit dari mulutnya. Puluhan percikan bunga api laksana ujungujung jarum menancap di tubuhnya! Pada ketika yang sama , selagi tubuhnya melayang turun , sinar ke dua yang menderu dalam kegelapan malam tiba menghantam , mendarat di punggungnya dengan telak.
Tak ampun lagi tubuh si nenek terlempar ke arah watu besar. Luar biasa dan mengerikan sosok si nenek melesak datar masuk ke dalam watu hingga setengahnya!
Lajahilio sendiri yang tadi hampir membabat putus leher Hantu Jatilandak sangat terkejut dan berteriak keras saksikan apa yang terjadi. Babatan pedangnya ke leher Hantu Jatilandak serta merta terhenti dan senjata itu kini dilemparkannya ke arah kegelapan di mana ia melihat sosok serba hitam yang tadi melepaskan pukulan dahsyat hingga si nenek kekasihnya amblas kedalam watu besar!
Dalam rimba persilatan di Negeri Latanahsilam ketika itu hanya ada satu ilmu pukulan yang bisa menciptakan orang amblas masuk ke dalam tembok atau watu atau pohon yakni yang disebut Pukulan Kasih Mendorong Bumi. Pukulan ini dimiliki oleh gadis masih sangat belia dan berwajah jelita berjulukan Luhcinta. Lajahilio pukulkan tangannya berulang kali ke watu besar di mana Luhjahilio terpentang amblas hingga remuk. Lalu dengan mengerahkan tenaga luar dan tenaga dalam ia tarik sosok kekasihnya dari dalam batu.
"Kreeekkk!"
Tubuh yang tertarik dari dalam watu itu keluarkan bunyi berkrekekan. Si kakek merinding bergidik. Dia memang berhasil menarik mengeluarkan sosok Luhjahilio dari dalam watu tapi keadaannya mengerikan lantaran sebagian daging di sebelah wajah , dada dan perut si nenek ternyata tertinggal lengket di dalam batu.
Wajah wanita renta yang berada dalam keadaan lumpuh akhir pukulan sakti Kasih Mendorong Bumi yang menghantamnya kini kelihatan tak lagi berdaging , tanpa hidung , kening , alis serta bibir dan dagu!
Lajahilio menggerung keras menyaksikan keadaan kekasihnya itu. Amarahnya meluap. Darah di kepalanya seolah mau muncrat menembus ubun-ubun. Cepat ia menyambar dan mendukung sosok sang kekasih. Sepasang matanya memandang melotot dan menyorot penuh geram ke arah dua orang di kegelapan namun tak berani melaksanakan apa-apa. Dalam hati kakek ini membatin. "Dua orang dalam gelap itu pasti dara berjulukan Luhcinta dan Si Penolong Budiman. Dua pendekar berkepandaian yang sukar dijajagi. Hantu Muka Dua saja belum tentu bisa menghadapi salah satu dari mereka. Aku tak mau cari penyakit walau kelak Hantu Muka Dua akan menjatuhkan eksekusi berat padaku!"
Tanpa banyak bicara , dengan "darah mendidih si kakek balasannya putar tubuh. Sebelum berkelebat pergi dan menghilang di kegelapan malam ia masih sempat keluarkan suara.
"Kalian berdua! Aku tidak akan melupakan wajah kalian! Suatu ketika kami berdua akan melaksanakan pembalasan!"
Orang dalam gelap mendengus. Satunya lagi berkata.
"Sebelum pergi silahkan ambil dua senjata milik kalian! Kami tidak perlu senjata-senjata laknat ini!"
Terdengar bunyi berkeretekan kemudian dua buah benda melayang jatuh di hadapan Lajahilio. Ternyata yakni dua pedang milik kakek nenek berjuluk Sepasang Hantu Bercinta itu. Ketika si kakek memperhatikan dua pedang watu pualam merah yang dilemparkan orang , ia menggeram keras. Dua senjata itu tak karuan rupa lagi. Gagangnya hancur , pecahan tajamnya bergompalan dan badannya ada yang patah tak karuan.
"Jahanam! Dia menghancurkan pedang dengan Ilmu Keppeng. Ilmu mematah tulang! Memang ia rupanya! Bangsat yang membikin geger Negeri Latanahsilam semenjak beberapa waktu belakangan ini!
Awas , nantikan pembalasanku!" Saking marahnya Lajahilio tendang dua pedang yang sudah hancur itu kemudian berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Akan halnya Hantu Jatilandak , mirip tadi ia masih tidak perdulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Kepala patung yang putus sesaat masih didekapnya. Darah gila yang keluar dari kutungan leher patung belepotan di tubuhnya yang penuh duri. Dengan hati-hati dan terbungkuk-bungkuk ia membawa kutungan kepala patung itu kemudian letakkan ke tubuh patung yang masih terduduk utuh di samping watu besar yang telah hancur.
"Patungku…. Kasihan kepalamu…" kata Hantu Jatilandak. Dibelainya rambut patung dan diusapnya wajahnya berulang kali. Lalu dengan hati-hati kepala patung diletakkannya di atas bekas kutungannya hingga bersambung kembali. Begitu leher patung yang putus bersatu kembali , terdengar bunyi halus dalam gelap.
"Wahai Hantu Jatilandak , sungguh besar arti perbuatanmu menyatukan kembali patung yang buntung itu. Kelak para Dewa akan memberkatimu…."
Hantu Jatilandak tegak tertegun. Lalu dengan bunyi perlahan ia berkata. "Suara tanpa ujud , sesuai ucapanmu sebelumnya , saya harus pergi ke Negeri Latanahtembikar. Kalau urusanku selesai saya akan segera kesini. Aku akan mengambil patung ini , membawanya kesatu tempat dan merawatnya baik-baik…."
Angin malam bertiup dingin. Hantu Jatilandak mendengar bunyi orang menarik nafas dalam dan panjang.Beberapa jenak lamanya ditatapnya wajah dan sosok patung itu. "Walau cuma watu mati tanpa nyawa tapi saya yakin patung inilah yang mengeluarkan semua ucapan yang hingga ke telingaku. Mungkin ada roh masuk ke dalam patung watu ini…."
Dengan perasaan berat Hantu Jatilandak memutar tubuh hendak beranjak pergi dari tempat itu. Namun gerakannya tertahan. Di depannya dalam kegelapan malam dua orang tegak berdiri memandang memperhatikannya. Seperti diketahui ketika tadi ia diserang oleh sepasang kakek nenek berjulukan Lajahilio dan Luhjahilio cowok yang tubuhnya penuh duri ini mirip tidak perduli. Tapi tolong-menolong ia mengetahui apa yang terjadi. Maka begitu melihat dua orang itu , Hantu Jatilandak segera membungkuk memberi penghormatan.
"Wahai , kalian berdua telah menyelamatkan jiwaku. Aku sangat berterima kasih…." Hantu Jatilandak menatap ke sebelah kanan di mana berdiri seorang dara berpakaian biru. Dalam gelapnya malam wajahnya yang bagus tampak sangat anggun. Hantu Jatilandak kembali menjura. "Wahai sahabatku Luhcinta , ternyata dalam nasib yang sama malang kau masih bisa menurunkan tangan kasih , menolong menyelamatkan diriku. Aku berterima kasih padamu. Aku masih ingat waktu kau menuturkan nasib untung dan perasaanmu tempo hari. Apakah kau sudah berhasil menyingkapkan semua tekateki hidup dirimu? Apakah kau sudah menemui orangorang yang dulu pernah kau tanyakan itu?"
Sebenarnya gadis berbaju biru dalam gelap yang memang Luhcinta adanya hendak menjawab. Namun ia sengaja berdiam diri lantaran di sampingnya , hanya terpisah sekitar tujuh langkah tegak sosok serba hitam orang yang selama ini mengikutinya secara diam-diam.
Walau orang ini tadi juga turun tangan membantu menyelamatkan Hantu Jatilandak namun Luhcinta tetap menaruh curiga terhadapnya. Karenanya ia membisu saja dan sengaja tidak mau bicara di hadapan orang itu. Karena pertanyaannya tidak menerima jawaban Hantu Jatilandak kemudian berpaling pada sosok yang satu lagi. "Mungkin kita pernah berjumpa. Maafkan saya kalau salah menduga. Bukankah kau yang disebut orang Si Penolong Budiman? Wahai , sungguh beruntung diriku. Malam ini saya kejatuhan berkat mendapatkan pertolongan darimu. Aku berterima kasih padamu wahai sahabat…."
Begitu Hantu Jatilandak menyebut nama orang di hadapannya itu , terkejutlah gadis berpakaian biru yang ada hiasan bunga tanjung di keningnya. Gadis ini cepat palingkan kepala , menatap tajam pada sosok yang tegak sekitar sepuluh langkah di sisi kanannya.
"Benar ia rupanya. Makhluk muka hitam yang terusterusan mengikuti. Beberapa waktu kemudian saya berhasil menghilang dari kuntitannya. Bagaimana malam ini ia tahu-tahu bisa berada di bukit cuek ini? Sebaiknya saya segera pergi saja…."
Orang bermuka hitam yang maklum akan gerak hati Luhcinta segera maju mendekat hingga tiga langkah kemudian berucap. "Wahai gadis , pertemuan ini mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sedang bagiku yakni satu impian yang sangat besar…."
"Harapan apa?" tanya Luhcinta heran. Gadis ini jadi berdebar. Dia membatin. "Setiap impian yang baik selalu disertai rasa kasih. Apakah orang ini…."
"Gadis berjulukan Luhcinta , kau tentu masih ingat pertemuan kita terakhir di bukit tempat Peri Angsa Putih disekap dalam sumur melintang…!" (Harap baca Episode berjudul "Hantu Muka Dua")
"Aku ingat. Malah lebih dari itu. Bukankah kau yang selama ini selalu menguntit diriku secara diam-diam? Jika kau memang membawa satu impian , apakah begitu caranya memperkenalkan diri? Harapan yang baik selalu berlandaskan kasih. Aku tidak melihat hal itu tercermin dalam wajahmu wahai kerabat. Mungkin lantaran kau menempuh hidup dengan cara menyembunyikan wajah? Sang Pencipta memperlihatkan wajah kepada setiap orang , entah wajah itu bagus entah buruk. Itu pelambang keadilan dalam kasih sayang. Kau justru menyembunyikan rasa kasih itu…."
Lama orang bermuka hitam tercenung mendengar ucapan Luhcinta. Dalam hati ia berkata. "Wahai gadis berjulukan Luhcinta. Jika kau tahu nasib perjalanan hidupku. Justru rasa kasih sayang sudah habis ditelan derita. Tapi jauh di lubuk hati ini masih ada setetes kasih sayang yang saya jaga baik-baik biar tidak hilang. Hanya saja kasih sayang itu tidak bisa kuberikan sebelum saya bisa menyingkap teka-teki hidup ini. Bertahun-tahun saya mengelana mencari dan mencari. Sampai ketika ini semua itu berakhir pada kesia-siaan…."
"Wahai gadis berjulukan Luhcinta , cinta kasih yang murni tidak tercermin dari bagus dan buruknya wajah seseorang. Menyembunyikan sesuatu bukan selalu berarti melupakan kasih anugerah Sang Pencipta. Kasih memang harus berada di mana-mana. Dan tempatnya yang terkudus yakni dalam lubuk hati manusia. Tetapi garis nasib seseorang terkadang tidak memungkinkan ia mewujudkan kasih sayangnya mirip yang dikehendaki oleh orang lain. Itulah sebabnya saya berkata , pertemuan denganmu yakni membawa satu impian besar. Harapan akan tinggal impian kalau kasih yang ada dalam impian itu tidak bisa mewujudkan diri. Bukan lantaran mau yang empunya diri , tapi lantaran keadaan. Sekarang terserah padamu , apakah kau mau memperlihatkan jalan. Pada pertemuan yang kemudian saya tidak melihat kesempatan dalam keadaan. Malam ini mungkin saatnya. Namun sekali lagi harapanku hanya tinggal harapan. Semua sangat tergantung pada dirimu…."
Sesaat Luhcinta tampak termangu mendengar ucapan orang bermuka hitam. Lalu gadis ini berucap.
"Wahai , rasanya segala sesuatunya tidak semua tergantung pada diriku. Bolehkah saya mengetahui impian apa yang ada dalam hatimu?"
"Aku akan mulai dengan pertanyaan pertama. Di luaran tersirap kabar bahwa selama ini kau mengelana dan selalu bertanya wacana beberapa orang di balik beberapa nama…."
"Hemmm…. Kalau kau sudah tahu saya tidak akan membantah. Tadi pun sahabatku berjulukan Hantu Jatilandak ini telah mengungkapkannya…" kata Luhcinta sambil berpaling pada Hantu Jatilandak.
Orang bermuka hitam yaitu Si Penolong Budiman berkata. "Sebelumnya saya telah menemui orang pintar berjulukan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Dia yang memberi petunjuk biar saya tiba ke tempat ini. Ternyata tidak terduga saya menemuimu di tempat ini…."
Hantu Jatilandak berdehem beberapa kali kemudian .berkata.
"Antara kalian berdua ada pembicaraan yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan diriku atau tidak pantas kudengar. Lebih baik saya segera pergi saja dari sini…."
"Wahai Hantu Jatilandak , kuharap kau tetap berada di sini ," kata Luhcinta pula. Dia sengaja meminta lantaran seandainya orang bermuka hitam itu ternyata yakni insan culas yang punya maksud jahat terhadapnya , kalau Hantu Jatilandak masih ada di tempat itu pasti ia akan menolong.
"Tidak ada salahnya kau tetap berada di sini wahai kerabatku Hantu Jatilandak. Siapa tahu kau bisa membantu disaat kami berdua tidak bisa memecahkan masalah…" berkata Si Penolong Budiman.
Mendengar ucapan orang itu maka Hantu Jatilandak balasannya bersedia tetap berada di tempat itu. Sebelum ia duduk di atas pecahan watu besar cowok ini berkata.
"Sahabatku Penolong Budiman , kau beruntung bisa bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Aku sudah bertahun-tahun mencarinya. Aku perlu menemuinya untuk mencari tahu riwayat gelap yang menyelubungi diriku."
"Aku berhasil menemuinya hanya secara kebetulan , di satu rimba belantara di pinggir sungai…" jawab Si Penolong Budiman. "Aku turut bersedih mengetahui riwayatmu wahai Hantu Jatilandak. Jika saya bisa membantu pasti akan kulakukan sesuatu untukmu…."
Hantu Jatilandak ucapkan terima kasih kemudian duduk di atas batu. Si Penolong Budiman berpaling pada Luhcinta kemudian lanjutkan pembicaraannya.
"Dari kabar yang kusirap , kau pernah bertanyakan wacana seorang berjulukan Lajundai. Apakah benar?"
Sepasang mata Luhcinta membesar dan menatap lekat-lekat pada si muka hitam. Lalu ia anggukkan kepala. "Apakah kau mengetahui orang itu dan di mana beradanya?" bertanya Luhcinta. "Atau mungkin kau ada sangkut paut dengan dirinya?!"
"Wahai…. Orang itu berada di Istana Kebahagiaan!" jawab Si Penolong Budiman.

Kapak Maut Naga Geni 2129

KAGETLAH Luhcinta mendengar jawaban itu. "Wahai! Jika ucapanmu itu benar adanya , dapatkah kau memperlihatkan bukti dan kesaksian?"
"Seseorang bisa saja memperlihatkan bukti dan kesaksian. Tetapi bukti dan kesaksian yang terbaik yakni kalau orang yang menginginkannya sendiri yang melaksanakan penyelidikan. Aku hanya cukup memberitahu. Lajundai itu sebelumnya berjulukan Labahala. Dan ia bukan lain yakni makhluk yang berjulukan Hantu Muka Dua!"
Luhcinta hampir terlonjak mendengar ucapan Si Penolong Budiman itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Dalam hati yang panas membara ia berkata. "Wahai! Makara jahanam itu bukan saja pernah hendak berbuat keji terhadap ibuku , tapi juga terhadap diriku. Kalau hidup insan lebih dikuasai nafsu dari pada kasih , inilah jadinya! Cukup sudah kejahatan yang dibentuk Hantu Muka Dua di Negeri Latanahsilam ini. Kalau kasih memang tidak bisa menyadarkannya , saya memohon pada Para Dewa dan Para Peri biar diberi kemampuan untuk membasmi insan itu…."
"Wahai gadis berjulukan Luhcinta , kau kini sudah mengetahui siapa adanya Lajundai. Kalau saya boleh tahu , gerangan apa yang ada di balik pertanyaanmu terhadap orang itu?"
Luhcinta tidak mau menerangkan hal yang sebenarnya.
Gadis ini hanya menjawab: "Kau tentu sudah tahu insan bagaimana adanya Hantu Muka Dua. JiKa insan jahat mirip ia tidak segera dibasmi apa jadinya Negeri ini. Secara semena-mena ia telah memaklumkan diri sebagai Raja Diraja Segala Hantu. Menjadikan dirinya sebagai makhluk Segala Keji. Segala Tipu dan Segala Nafsu…."
"Aku sepakat dengan pendapatmu wahai kerabat berjulukan Luhcinta. Aku masih ada beberapa pertanyaan kalau kau sudi menjawab…."
"Aku akan menjawab kalau memang bisa kujawab ," kata Luhcinta pula.
"Dalam kabar yang kusirap kau juga menanyakan seorang berjulukan Hantu Penjunjung Roh."
"Tentang nenek sakti itu , saya sudah menerima jawaban , bahkan saya sudah menemuinya ," kata Luhcinta Lalu gadis ini bertanya. "Wahai , apa maksud tujuan di balik semua pertanyaan ini?"
Si Penolong Budiman tidak menjawab malah ejekan lagi satu pertanyaan. "Setelah kau menerima Jawab dan bertemu sendiri dengan Hantu Penjunjung Roh apakah kau sudah mengetahui siapa nenek itu ada apa hubunganmu dengannya?"
"Wahai , saya tidak akan menjawab pertanyaan Aku mulai curiga. Kutanyakan apa maksud semua tanyaanmu tapi kau tidak menjawab…"
"Kau tidak menjawab , saya tidak memaksa Ku dengar kau juga menanyakan wacana seorang wanita berjulukan Luhpiranti , mengapa ? Apa hubunganmu dengan wanita itu ?” tambah Si Penolong Budiman ejekan pertanyaan.
Luhcinta tersenyum tapi gelengkan kepala “ Saat ini saya tak bisa menjawab pertanyaanmu itu…”
“Juga wacana lelaki berjulukan Latampi yang juga menjadi salah satu pertanyaanmu”
“Hm mungkin saya mau menjawab pertanyaanmu kalau kau mau menyampaikan siapa dirimu kemudian memperlihatkan wajah aslimu”.
Si Muka Hitam tersenyum. “Rupanya dasar kasih sayang yang menjadi panutanmu mempunyai keterbatasan yang menciptakan kita sama-sama tidak mau berlaku terbuka , padahal kasih sayang itu memerlukan keterbukaan hati serta kepercayaan semua pihak..”
“Kalau begitu perlihatkan padaku mukamu yang asli. Jangan sembunyikan dibalik tanah liat dan jelaga hitam.. “
“Aku akan penuhi permintaanmu wahai gadis berjulukan Luhcinta. Asalkan kau berjanji memberitahu apa hubunganmu dengan Luhpiranti dan Latampi…”
”Aku berjanji”
“Aku percaya pada janjimu!”. Kata Si Penolong Budiman pula , kemudian ia pergunakan jari-jari tangannya untuk melepaskan tanah liat yang di cat hitam yang selama ini menempel menutupi wajahnya. Orang ini melangkah mendekati Luhcinta hingga gadis itu dengan terang ia melihat wajahnya.
"Apakah kau mengenali siapa diriku wahai Luhcinta?"
Luhcinta perhatikan wajah orang itu. Entah mengapa dada gadis ini eksklusif berdebar. "Wahai , ternyata ia lelaki separuh baya berwajah ganteng sekali."
Perasaannya semakin gila ketika sepasang mata mereka saling beradu pandang. Luhcinta tundukkan kepala.
"Aku… wahai. Aku tidak mengenali siapa dirimu ," kata si gadis balasannya dengan bunyi bergetar.
Si Penolong Budiman palingkan wajahnya pada Hantu Jatilandak kemudian berkata. "Mungkin kau mengenali siapa saya wahai kerabatku Hantu Jatilandak?"
"Tidak , saya tidak pernah melihatmu sebelumnya. Aku tidak kenal wajahmu…."
Orang itu kemudian memandang pada Luhcinta. "Aku sudah perlihatkan wajah asliku. Sekarang saya menagih janji. Harap kau mau memberitahu apa hubunganmu dengan Latampi dan Luhpiranti…."
"Ke dua orang itu adalah…."
Belum sempat Luhcinta menuntaskan ucapannya tiba-tiba di langit kelihatan belasan nyala api laksana barisan obor bergerak turun ke bawah. Barisan obor itu berbentuk bulat dan gerakannya turun sangat cepat. Udara yang sudah sangat cuek di tempat itu mendadak bertambah luar biasa dinginnya. Semua orang yang ada di tempat itu jadi menggigil dan kaku mirip beku sekujur tubuh mereka. Luhcinta , Hantu Jatilandak dan Si Penolong Budiman kerahkan tenaga dalam dan cepat atur jalan darah masing-masing. Tapi tak ada gunanya. Ketiga orang ini tetap saja tak bisa bergerak dan membuka suara.
Pada ketika barisan obor berbentuk bulat mencapai ketinggian sepuluh tombak dari atas bukit watu , ketiga orang itu gres bisa melihat bahwa yang membawa nyala api itu yakni lima belas sosok wanita muda berpakaian tipis berwarna abu-abu.
"Peri dari atas langit…." Ke tiga orang itu sama membatin.
Tiba-tiba lima belas nyala api melebar dan menyatu kemudian bergerak ke arah patung watu mirip bulat tabir. Tidak satu pun dari ke tiga orang yang ada di tempat itu mengetahui apa yang terjadi. Sesaat kemudian dalam gelapnya malam bulat tabir api dengan cepat tampak bergerak naik ke atas. Begitu tabir api berpisah dan kembali membentuk lima belas nyala api berada jauh di atas sana , udara cuek lenyap. Tubuh Hantu Jatilandak , Luhcinta dan Si Penolong Budiman terlepas dari kebekuan. Darah mereka kembali mengalir wajar. Hantu Jatilandak yang pertama sekali berteriak keluarkan bunyi penuh tegang.
"Patungku! Patung itu lenyap!" Hantu Jatilandak melompat ke dekat watu besar pecah di mana patung wanita bagus yang bisa mengeluarkan air mata sebelumnya berada. Dia meraba-raba kian kemari mirip orang buta berusaha memegang sesuatu. Ketika menyadari bahwa patung itu memang tak ada lagi di situ , Hantu Jatilandak menggerung keras kemudian jatuhkan diri.
"Patungku…."
"Para Peri dari atas langit mengambil patung itu!"
seru Luhcinta. Gadis ini kemudian cepat dekati Hantu Jatilandak. Sambil memegang pundak Hantu Jatilandak ia berkata.
"Wahai kerabatku , patung itu tentu sangat besar artinya bagimu…."
"Patung itu sama dengan nyawaku…" kata Hantu Jatilandak. "Mengapa para Peri mengambilnya! Mereka mencuri patungku!"
"Aku yakin , para Peri tidak mencuri patung itu wahai Hantu Jatilandak…" membujuk Luhcinta. "Jika mereka melaksanakan sesuatu pasti ada sebabnya. Pasti ada pesan yang tersirat kasih sayang dibalik insiden ini…."
Hantu Jatilandak tiba-tiba menggerung lagi kemudian melompat tegak. "Aku tidak percaya! Para Peri itu selalu menjatuhkan tangan jahat terhadapku! Karena perbuatan mereka ayahku lenyap tak tentu rimbanya! Ibuku tak diketahui di mana beradanya. Kini satu-satunya benda yang sangat kusayangi mereka ambil! Terkutuk! Jahat!"
Saking marahnya Hantu Jatilandak hantamkan tangan kanannya ke pecahan watu besar yang ada di dekatnya. Batu itu hancur berkeping-keping dan setiap kepingan yang tadinya berwarna kelabu bermetamorfosis kekuning-kuningan serta mengepulkan asap!
"Bersabar dan tabahlah wahai kerabatku Hantu Jatilandak ," kata Si Penolong Budiman.
"Kesabaran dan ketabahan yakni dua dari sekian banyak kekuatan kasih di atas muka bumi ini…." Luhcinta menambahkan.
Hantu Jatilandak mendengus dan berpaling pada si gadis. "Kita insan di muka bumi selalu bicara wacana kasih sayang. Tapi para Peri di atas langit sana mengumbar malapetaka! Apa dosa kesalahanku hingga saya diperlakukan mirip ini?! Mengapa derita tidak pernah putus menimpa diriku?!"
Penuh haru Luhcinta gelengkan kepalanya. Hatinya sangat pilu melihat keadaan Hantu Jatilandak hingga ia tak bisa berkata lagi sementara Si Penolong Budiman tegak termangu.
Tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar bunyi menguik. Lalu ada bunyi menggelepar dan sambaran angin. Seekor burung gagak hitam entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah hinggap di ujung lancip sebuah batu.
"Gagak itu…" desis Hantu Jatilandak. "Makhluk pemberi petunjuk…. Dia muncul lagi…."
Gagak di atas watu menguik lagi. Angguk-anggukkan kepalanya ke arah Hantu Jatilandak kemudian kepakkan sayapnya. Sesaat hewan ini berputar-putar rendah kemudian terbang ke arah timur. Ingat insiden sebelumnya di mana si gagak memberi petunjuk hingga ia hingga ke tempat itu , Hantu Jatilandak segera lari mengikuti burung itu. Luhcinta sesaat masih diam. Lalu gadis ini pun berkelebat pula ke arah lenyapnya Hantu Jatilandak.
"Gadis berjulukan Luhcinta! Tunggu dulu! Kau belum memenuhi janjimu!" berseru Si Penolong Budiman. Namun Luhcinta telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Si Penolong Budiman bermaksud hendak mengejar pula. Namun ia sadar keadaan mukanya. "Aku harus menutupi wajahku lebih dulu. Baru mencari gadis itu. Wajahnya sama benar. Aku yakin dia…." Orang ini menarik nafas dalam kemudian tinggalkan daerah bukit watu itu penuh kecewa.

Kapak Maut Naga Geni 21210

LUHCINTA hampir kehabisan tenaga lantaran sepanjang malam ia berlari terus menerus mengikuti Hantu Jatilandak. Di sebelah depan Hantu Jatilandak juga mencicipi sekujur tubuhnya mirip mau bertanggalan. Nafasnya megap-megap. Dia lari mengikuti gagak hitam yang terbang rendah di depannya.
Pada ketika langit di sebelah timur tampak terang , gagak hitam melesat ke arah selatan , memasuki satu daerah bebukitan rendah ditumbuhi aneka warna kembang yang sedang mekar. Baik Hantu Jatilandak maupun Luhcinta tidak sempat memperhatikan keindahan disekelilingnya. Mereka lari terus. Waktu menyeberangi satu anak sungai kecil dan dangkal serta berair sejuk jernih , Hantu Jatilandak pergunakan kesempatan untuk meneguk minum sepuas hatinya kemudian lari lagi mengikuti gagak hitam yang berputar-putar seolah sengaja menunggu. Hal yang sama juga dilakukan Luhcinta. Gadis ini basuh mukanya kemudian teguk air sejuk itu. Ketika dilihatnya Hantu Jatilandak melanjutkan larinya , ia pun ikut mengejar.
Di salah satu puncak bebukitan yang penuh bungabunga itu , gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas sebuah watu runcing berlumut. Di sini hewan ini menguik beberapa kali. Hantu Jatilandak memandang berkeliling.
"Kau menerima sesuatu petunjuk…?" tanya Luhcinta begitu hingga di sebelah Hantu Jatilandak.
"Burung itu berhenti di sini. Berarti ada sesuatu ditempat ini. Tapi saya belum melihat apa-apa. Semua tempat ditumbuhi bunga-bunga…."
Luhcinta ikut memperhatikan keadaan di tempat itu sementara matahari sudah muncul penuh dan kini keadaan jadi terang benderang.
"Di belakang watu tempat burung itu hinggap…" kata Luhcinta. "Aku melihat bunga-bunga tumbuh agak terkuak. Mungkin ada seseorang sebelumnya melewati tempat itu…."
"Coba kita menyelidik ," kata Hantu Jatilandak pula.
Ke dua orang itu bergerak ke balik watu berlumut.
Gagak hitam menguik keras beberapa kali.
"Lihat!" Luhcinta berseru , menunjuk ke arah depan.
"Di balik rimbunan bunga-bunga setinggi kepala itu….Ada lobang besar…."
Hantu Jatilandak cepat menyelidik. Apa yang dikatakan Luhcinta ternyata benar. Di balik serumpun bunga-bunga yang batangnya hampir setinggi kepala insan , ketika disibakkan kelihatan sebuah lobang besar.
"Mulut sebuah goa…" kata Hantu Jatilandak.
Luhcinta mengangguk. "Aku mencium ada kedaluwarsa harum keluar dari dalam sana…."
"Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik masuk ke dalam ," kata Hantu Jatilandak.
"Kita masuk sama-sama ," kata Luhcinta pula.
Maka ke dua orang itu pun masuk ke dalam. Semula mereka menyangka keadaan dalam goa itu gelap gulita. Ternyata ada cahaya terang di sebelah depan. Berjalan sejauh hampir lima puluh langkah , Hantu Jatilandak keluarkan seruan tertahan dan hentikan langkahnya.
"Ada apa…?" tanya Luhcinta.
Hantu Jatilandak memberi isyarat. "Bicara perlahan. Lihat ke depan sana…" Hantu Jatilandak miringkan tubuh sengaja merapat ke dinding kanan goa biar Luhcinta sanggup melihat terang ke ujung goa.
Sewaktu si gadis memandang ke depan , ia cepat tekap lisan menahan seruan yang hampir keluar dari tenggorokannya. Di depan sana , di ujung goa tampak tegak patung wanita bagus yang sebelumnya ada di bukit dingin. Tak jauh dari patung ada sebuah obor yang nyala apinya mulai mengecil. Keadaan di dalam goa sejuk sekali dan ada kedaluwarsa harum memenuhi udara.
"Aku mirip pernah mencium kedaluwarsa harum ini sebelumnya…" bisik Luhcinta.
"Aku juga…" jawab Hantu Jatilandak. "Aku tidak mengerti , bagaimana patung wanita bagus itu berada di sini…."
"Betul. Malam tadi kita lihat sendiri belasan Peri turun dari langit memboyong mencurinya…" kata Luhcinta pula. "Peri-peri itu membawa patung ini ke dalam goa ini?"
"Aku tak bisa menduga. Hati-hatilah Luhcinta. Aku mau mendekat ke ujung sana. Aku punya firasat ada orang lain dalam goa ini. Dia bersembunyi di balik sosok patung…."
"Kau juga hati-hati…" kata Luhcinta yang merasa senasib dengan cowok malang itu.
Baru saja Hantu Jatilandak bergerak dua langkah tiba-tiba dari balik patung di ujung goa ada bunyi membentak.
"Siapa di sana?!"
"Suara perempuan…" bisik Luhcinta. "Aku mirip mengenali tapi tak bisa memastikan lantaran bunyi itu disertai gema pantulan dinding goa…."
"Jika tidak menjawab jangan salahkan kalau saya menjatuhkan tangan jahat!" Suara dari balik patung kembali menggema.
"Aku Hantu Jatilandak!" memberi tahu Hantu Jatilandak.
"Aku Luhcinta!"
"Hantu Jatilandak , berikan satu bukti bahwa kau memang Hantu Jatilandak adanya!"
Si cowok jadi bingung. Luhcinta berbisik. "Kirimkan satu duri landakmu ke balik patung…."
Hantu Jatilandak gerakkan pipi kanannya. Sebuah duri coklat yang ada di pipi itu melesat ke depan , menancap di dinding goa sebelah sana.
Sunyi sejenak. Sesaat kemudian dari balik patung wanita menangis muncul sesosok tubuh berpakaian serba putih dan menebar kedaluwarsa wangi.
"Peri Angsa Putih!" Hantu Jatilandak dan Luhcinta berseru hampir berbarengan. Terkejut dan tidak menyangka sama sekali akan menemui sang Peri di tempat itu. Sesaat ke dua orang yang gres masuk ini tegak terpana menatapi wajah Peri Angsa Putih. Aneh , ke dua orang ini melihat ada bekas menangis pada sepasang mata biru sang Peri.
"Kalian tiba hanya berdua?" tanya Peri Angsa Putih lantaran belakang layar ia mengharap Pendekar 212 Wiro Sableng juga muncul bersama mereka. Sang Peri menjadi kecewa lantaran memang hanya Hantu Jatilandak dan Luhcinta yang masuk ke dalam goa. Apalagi semenjak beberapa waktu lagi ia merasa cemburu atas kekerabatan Wiro dengan Luhcinta.
Dari hanya terkejut Hantu Jatilandak bermetamorfosis marah. Kehidupannya yang penuh derita selama ini yakni gara-gara kutukan para Peri. Patung yang sangat disayanginya lenyap dilarikan orang. Ternyata Peri Angsa Putih yang melakukannya!
"Peri Angsa Putih , jadi kau rupanya yang punya pekerjaan! Sungguh saya tidak menyangka! Dari dulu tindakanmu selalu mendatangkan kesengsaraan padaku!" Hantu Jatilandak membentak.
"Wahai , apa maksud ucapanmu Hantu Jatilandak?" tanya Peri Angsa Putih. Suaranya terdengar agak serak.
"Jangan berusaha mencari dalih. Kau mirip ayam putih terbang siang yang tertangkap lembap dan tak mungkin berdusta lagi!"
Peri Angsa Putih memandang pada Luhcinta.
"Kerabatku berjulukan Luhcinta , mungkin kau bisa menerangkan maksud semua ucapan Hantu Jatilandak…."
Luhcinta menjadi kikuk. Gadis ini berkata. "Hantu Jatilandak , harap kau bicara terus terang pada Peri itu. Tak perlu menggunakan kata-kata berkias. Agar dilema yang kau hadapi bisa terang dan tak ada salah mengira satu dengan yang lain."
"Peri Angsa Putih , kau tahu di mana patung wanita bagus ini sebelumnya berada?" bertanya Hantu Jatilandak.
"Aku tahu. Di bukit watu cuek ," jawab Peri Angsa Putih polos.
"Lalu bagaimana patung ini tahu-tahu berada dalam goa ini bersamamu? Apakah patung watu ini punya kaki , bisa berjalan sendiri atau ada yang membawanya ke sini?"
Berubahlah paras Peri Angsa Putih mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Sesaat ia memandang ke arah Luhcinta , menunggu kalau-kalau gadis itu akan mengucapkan sesuatu menyambung kata-kata Hantu Jatilandak. Ketika si gadis tidak berkata apa-apa maka Peri Angsa Putih kemudian membuka mulut. "Hidup memang penuh keanehan. Apa yang dilihat dengan mata aktual belum tentu sesuai dengan apa yang diduga. Apa yang dijelaskan dengan kata-kata belum tentu didengar dipercaya. Wahai Hantu Jatilandak , ketahuilah , malam tadi serombongan Peri , entah siapa yang memerintah , turun ke Negeri Latanahsilam untuk mengambil patung ini dari bukit watu dingin. Mereka bermaksud membawa patung ini ke Negeri Atas Langit lantaran rasa khawatir yang berkelebihan. Mereka takut patung ini bisa menjadikan sesuatu yang tidak diingini…."
"Patung watu , hanya sebuah benda mati menjadi materi kekhawatiran ketakutan! Sungguh bodoh sekali para Peri di Negeri Atas Langit itu!" kata Hantu Jatilandak pula. "Aku mengira , salah satu dari para Peri yang mengambil patung ini yakni kau sendiri!"
"Patung itu bukan patung biasa wahai Hantu Jatilandak. Kau mengetahui sendiri. Mana ada patung biasa pintar berkata-kata. Mana ada patung watu bisa mengeluarkan air mata. Mana mungkin patung biasa mengucurkan darah ketika lehernya ditebas. Noda darah itu masih ada pada tubuhmu…."
Hantu Jatilandak pandangi dada dan ke dua tangannya. Memang darah yang mengucur secara gila dari kutungan leher patung wanita itu masih menempel di tubuh Hantu Jatilandak.
"Aneh , mengapa kau tahu semua insiden itu?" tanya Hantu Jatilandak.
"Tidak gila , lantaran semenjak patung itu berada di bukit watu cuek saya berada tidak jauh dari sana…."
"Apa kepentinganmu wahai Peri Angsa Putih?"
"Sejak usang antara kami bangsa Peri terdapat perselisihan dalam cara berpikir dan bertindak. Tak mungkin dan tak boleh hal ini kujelaskan padamu. Aku salah seorang yang menentang cara berpikir serta tindakan para Peri yang kuanggap kuno dan tidak mau melihat perubahan-perubahan yang terjadi di atas bumi. Namun agaknya saya hanya berjalan sendiri. Para Peri lainnya tidak sepakat bahkan marah. Itulah sebabnya setiap hal yang bertentangan dengan para Peri lainnya saya selalu melaksanakan secara diam-diam…."
"Aku sungguh gembira mendengar kata-katamu wahai Peri Angsa Putih. Tapi berdasarkan kakekku Tringgiling Liang Batu , justru kaulah Peri yang hendak menculik diriku ketika saya dilahirkan dan dilemparkan oleh ayahku hingga jatuh ke pulau kediaman kakekku itu…. Sekarang kau bicara lain. Mungkin saya perlu mendengar ucapan Peri lain untuk mengetahui siapa dan bagaimana dirimu sebenarnya…."
Walau hatinya merasa tersinggung atas ucapan Hantu Jatilnndak itu namun Peri Angsa Putih berusaha tersenyum dan menjawab. "Jika kau memang berniat , siapa yang melarangmu untuk bertemu dan bicara dengan para Peri? Wahai , saya berada di sini. Di dalam goa di mana patung wanita bagus yang kau sayangi juga berada di sini. Ayam putih terbang siang katamu. Aku tertangkap tangan. Tertangkap basah! Tertangkap tangan dan lembap bagaimana? Seperti kukatakan tadi dan kau ketahui sendiri. Para Peri sengaja hendak memboyong patung ini ke Negeri Atas Langit. Aku satu-satunya yang tidak menyukai hal itu. Tapi tak mungkin saya menentang Peri sebanyak itu. Satu-satunya jalan yakni bertindak secara diam-diam. Malam tadi dengan menyamar saya mencuri patung ini dan membawanya ke dalam goa ini…."
"Mengapa kau melaksanakan hal itu wahai Peri Angsa Putih? Menjadi pendekar untuk sebuah patung benda mati?"
"Terus terang saya tidak suka dengan tindakan para Peri. Mereka telah melangkah terlalu jauh dalam mengurus hal-hal yang tak patut mereka lakukan. Kemudian satu hal yang amat penting , mirip saya katakan tadi patung ini bukan patung biasa. Apakah kau tidak merasa bahwa dalam pemikiran darahmu , dalam detak jantungmu mirip ada pertalian batin antaramu dengan patung ini…."
"Aku tidak mengerti…."
"Kau menyukai patung ini. Kau menyayangi mengasihinya. Wahai , itulah yang kumaksudkan pertalian batin , sambung rasa. Kau bahkan tidak peduli akan keselamatan tubuh serta jiwamu sendiri demi menyelamatkan patung ini. Itulah rasa kasih sayang sejati. Mengenai kasih sayang pengetahuanku hanya secupak dangkal. Mungkin kerabat Luhcinta bisa menjelaskan…."
Luhcinta membisu saja tapi ia tahu kalau Peri Angsa Putih menyindirnya. "Apa pula maksud Peri satu ini menyindirku…" membatin Luhcinta.
"Aku akan membawa patung ini dari sini!" Hantu Jatilandak tiba-tiba berkata.
"Kau memang berhak atas patung ini…" kata Peri Angsa Putih pula. "Tapi kalau saya menyarankan , hingga keadaan benar-benar kondusif biar saja patung ini tetap di sini. Para Peri di Negeri Atas Langit tidak tahu kalau patung ini kusembunyikan di sini…."
"Apa yang dikatakan Peri Angsa Putih mungkin benar. Sebaiknya kau mengikuti nasihatnya ," Luhcinta ikut bicara.
"Kalau begitu saya berdasarkan saja. Namun ada satu hal yang perlu kutanyakan padamu wahai Peri Angsa Putih. Menurutmu patung ini bukan patung biasa. Aku juga tahu dan menyadari. Lalu , apakah kau mungkin tahu asal usul patung ini? Tak mungkin tahu-tahu bisa berada di bukit watu dingin. Untuk menemuinya saya menerima petunjuk gila dari seekor gagak hitam. Burung itu juga yang memberi petunjuk letak goa ini padaku…. Kalau patung ini memang dipahat orang , siapakah pemahatnya? Mengapa sesudah selesai patung ditinggalkan begitu saja di bukit sunyi?"
"Wahai…." Peri Angsa Putih menatap sejurus wajah Hantu Jatilandak. "Jika kuceritakan satu kebenaran padamu , apakah kau akan cukup sabar mendengarnya?"
"Penderitaan dan kesengsaraan telah menempa diriku menjadi orang paling sabar di muka bumi ini , wahai Peri Angsa Putih."
Luhcinta kemudian menyambung. "Kebenaran yakni salah satu kekuatan paling luar biasa dari kasih sayang. Aku yakin Hantu Jatilandak akan sabar mendengar ceritamu wahai Peri Angsa Putih."
"Kalau begitu baiklah. Patung itu yakni tubuh kasar ibu kandung yang melahirkanmu. Ayahmu yang berjulukan Lahambalang membawa mayit ibumu ke bukit watu cuek dan meninggalkannya di sana. Para Peri khawatir satu petaka besar akan menimpa mereka kalau jazad ibumu dibiarkan dalam keadaan mirip itu. Maka mereka menurunkan hawa cuek luar biasa hingga sosok ibumu membeku menjadi patung batu. Sosoknya memang berbentuk patung batu. Tapi ketahuilah sesungguhnya ia masih dalam keadaan hidup lantaran ia mendengar dan punya perasaan…. Walau mungkin secara logika sehat kalian tidak bisa mendapatkan kenyataan ini…."
Sekujur tubuh Hantu Jatilandak bergetar. "Tidak!"
katanya dengan bunyi serak. "Aku bisa mendapatkan kenyataan ini. Suara batinku sebelumnya memang sudah mengira begitu." Hantu Jatilandak memandang ke arah patung. Air mata meluncur ke pipinya yang penuh dengan duri-duri panjang berwarna coklat. "Ibu…." Suara Hantu Jatilandak tercekat. Pemuda malang ini kemudian jatuhkan diri di lantai goa. Bersimpuh dan mencium kaki patung.
Luhcinta usap ke dua matanya. Peri Angsa Putih tundukkan kepala menahan derai air mata.
Hantu Jatilandak gres bergerak ketika bahunya terasa kejatuhan tetesan air hangat. Ketika ia memandang ke atas dilihatnya air mata keluar , jatuh menetes dari sepasang mata patung. "Ibu…!" Hantu Jatilandak meratap panjang dan peluk serta ciumi patung watu itu. Tiba-tiba Peri Angsa Putih melangkah ke pintu goa.
"Ada orang datang…" bisiknya. "Kalian tetap di tempat. Aku akan menyelidik…." Lalu dengan cepat ia menuju ke lisan goa. Dari balik rerumpunan bunga ia mengintip. Terkejutlah Peri Angsa Putih. Enam orang Peri berpakaian merah muda dilihatnya melangkah menuju rerumpunan bunga-bunga.
"Wahai , bagaimana mereka bisa mengetahui tempat ini. Pasti ada yang jahat membocorkan rahasia. Apa yang harus kulakukan?"
Di depan sana enam orang Peri semakin dekat. Peri paling depan malah telah menyibakkan kelompok bungabunga sebelah depan.
Peri Angsa Putih pejamkan mata. Telapak tangannya dikembangkan. Dalam hati ia membaca mantera. Lalu dengan bunyi sangat perlahan ia mengucap.
"Kebenaran datangnya dari Junjungan Segala Junjungan! Tak ada satu kekuatan pun bisa meruntuhkannya! Tapi bila ketika ini kebenaran akan roboh juga , biarlah saya mati terhimpit di cadas paling bawah. Wahai para Dewa , wahai para Peri dan semua roh baik yang tergantung antara langit dan bumi. Tolong diriku. Tolong orangorang di dalam goa ini!" Habis mengucap begitu Peri Angsa Putih tiup telapak tangan kanannya. Lalu tangan itu dilambaikannya pulang balik ke lisan goa. Saat itu juga muncullah larikan-larikan benang halus mirip terbuat dari kapas Benang-benang itu bersusun demikian rupa menutupi lisan goa yang besar , membentuk sarang laba-laba Peri Angsa Putih kembali meniup. Seekor laba-laba besar kemudian muncul mendekam di atas jaring.
Ketika enam orang Peri menyibakkan bunga-bunga di lisan goa , Peri Angsa Putih telah melompat masuk ke dalam goa. Dia masih sempat mendengar salah seorang dari mereka berkata. "Tidak mungkin patung sebesar itu disembunyikan di dalam goa tanpa memutus dan merusak jaring laba-laba ini. Aku rasa sudah semenjak usang goa ini tidak pernah dimasuki insan atau binatang! Wahai kerabatku , mari kita menyelidik ke tempat lain!"
Peri Angsa Putih merasa lega ketika mengetahui ke enam Peri di luar sana telah pergi meninggalkan tempat itu. Ketika ia berbalik dilihatnya Hantu Jatilandak dan Luhcinta telah berdiri di hadapannya. Hantu Jatilandak tundukkan tubuhnya dalam-dalam dan berkata. "Wahai , Peri Angsa Putih Peri penolongku. Maafkan kalau sebelumnya ada salah mengira dalam diriku terhadapmu. Aku tidak tahu harus berucap bagaimana untuk menyatakan rasa terima kasihku padamu…."
Dalam harunya Peri Angsa Putih masih bisa tersenyum. Dia ulurkan tangan hendak mengusap rambut Hantu Jatilandak. Tapi menarik tangannya kembali begitu sadar kalau di kepala si cowok tidak ada rambut , melainkan duri-duri landak yang panjang dan runcing!
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 21211

KUDA HITAM berkaki enam itu melesat ke dalam senja memasuki malam. Lakasipo yang berada di sebelah depan menunjuk ke arah timur. Sebuah bukit terjal kelihatan menghitam di kejauhan.
"Itu bukit tujuan kita ," kata Lakasipo kemudian memperlambat lari kudanya. "Yang di arah barat itulah yang disebut Labukit Tanpa Mentari. Pada pagi hari hingga siang bukit itu tidak pernah kena matahari. Waktu matahari beralih ke barat sinarnya juga tidak bisa menyentuh bukit lantaran ada bukit lain yang lebih tinggi menghalangi."
"Aku heran ," kata Naga Kuning yang duduk di paling depan Laekakienam. "Kalau ada orang mau membunuh kakek tukang ngompol itu , mengapa susah-susah mengundang dan mengadakan Perjamuan Pengantar Arwah segala!"
"Nenek berjuluk Hantu Pembedol Usus yang menyamar jadi Luhlampiri itu jelas-jelas yakni kaki tangan Hantu Muka Dua ," menyahuti Wiro. "Aku yakin penculikan Si Setan Ngompol ini satu jebakan yang didalangi oleh Hantu Muka Dua!"
"Aku juga mengira begitu ," kata Lakasipo yang duduk di sebelah belakang. "Hantu keparat itu tidak akan berhenti menyiasati kita sebelum kita semua menemui ajal!"
Udara mulai terasa dingin. Apalagi Laekakienam si kuda raksasa berlari laksana angin. Tak selang berapa usang mereka hingga di balik bukit besar yang menghalangi bukit kecil di sampingnya. Antara ke dua bukit itu terdapat satu lembah kecil tertutup rimba belantara.
Inilah pecahan dari daerah yang disebut Labukit Tanpa Mentari.
Suasana gelap dan sunyi mencekam. Saking sepinya bunyi tiupan angin terdengar jelas. Naga Kuning memandang berkeliling kemudian hendak melompat turun. Wiro cepat mencekal leher baju anak ini.
"Jangan bertindak gegabah! Pakai turun segala! Aku merasa ancaman berada di sekitar kita!"
"Tapi saya tidak melihat apa pun kecuali hitam gelap. Telingaku tidak mendengar bunyi apa pun! Lakasipo , apa benar ini daerah yang disebut Labukit Tanpa Mentari? Jangan-jangan kita tersesat ke tempat yang keliru!"
"Kita tidak keliru. Aku sudah pernah tiba ketempat ini sebelumnya…."
"Jika ada undangan yang disebut makan-makan , apa pun namanya pasti kedaluwarsa masakan sudah hingga ke hidungku. Mungkin juga ada penyambutan yang meriah.
Bukankah kita tamu-tamu agung yang perlu dihormati?" Naga Kuning kembali berucap.
"Kita yakni tamu-tamu yang hendak dipesiangi oleh kaki tangan Hantu Muka Dua!" kata Wiro.
Lakasipo hentikan kudanya di satu tempat. Dari balik pakaiannya ia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari jerami kering. Lalu ia mengeluarkan tiga butir benda berwarna coklat dan diberikan satu persatu pada Wiro dan Naga Kuning.
"Apa ini? Tahi kambing atau tahi tuyul?!" tanya Naga Kuning sementara Wiro memperhatikan benda yang ada di telapak tangannya itu.
"Obat penangkal racun! Lekas telan! Jika kita diundang makan oleh musuh , sudah pasti masakan atau minuman yang dihidangkan akan mengandung racun mematikan! Makara kita harus berjaga-jaga…."
"Tapi hidangan dan minuman masih belum kelihatan!" kata Naga Kuning pula.
"Sudah , lekas saja kalian telan!"
Naga Kuning dan Wiro saling pandang sejenak. Tanpa banyak kisah ke dua orang itu kemudian masukkan butiran coklat itu ke dalam mulut. Begitu obat masuk ke dalam lisan Wiro keluarkan bunyi tercekik dan mau muntahkan obat itu yang ternyata pahit sekali. Hal yang sama juga terjadi dengan Naga Kuning. Anak ini eksklusif mual perutnya dan mau muntah. Tapi Lakasipo cepat tepuk tengkuk ke dua orang ini hingga obat yang ada dalam perut mereka meluncur ke dalam tenggorokan , masuk ke dalam perut.
"Obat dajal! Pahitnya bukan main!" kata Naga Kuning.
Pendekar 212 hanya bisa menyengir kemudian meludah beberapa kali. Kesunyian di daerah antara dua bukit itu dipecah oleh bunyi bebunyian yang mendadak terdengar dari arah lembah. Wiro memandang ke jurusan rimba belantara gelap di bawahnya.
"Tetabuhan apa itu…?" ujar Naga Kuning.
"Tuan rumah yang mengundang agaknya telah mengetahui kedatangan kita…" kata Lakasipo pula.
"Suara tetabuhan itu seolah dekat sekali. Tapi saya tidak melihat apa-apa…." Wiro bersuara.
Naga Kuning menepuk paha Pendekar 212 kemudian berkata. "Coba kau pergunakan ilmu kesaktian Menembus Pandang yang kau sanggup dari Ratu Duyung…."
"Kau benar. Akan kucoba ," sahut Wiro. Sesaat sang pendekar jadi ingat dan rindu pada Ratu Duyung.
Kemudian ia arahkan pandangannya ke rimba belantara gelap , kerahkan tenaga dalam ke mata kemudian kedipkan kedua matanya dua kali.
"Apa yang kau lihat?" tanya Naga Kuning tidak sabaran.
"Tunggu…" jawab Wiro. "Pandanganku masih kabur…." Lalu ia lipat gandakan hawa sakti ke kepala.
Sesaat kemudian sang pendekar keluarkan bunyi berdecak. "Luar biasa…" ujar murid Sinto Gendeng. Dua matanya tidak berkesip. Naga Kuning dan Lakasipo tidak sabaran. "Aku melihat lebih dua belas gadis , cantikcantik semua. Mereka duduk mengelilingi meja yang diterangi puluhan kayu-kayu gila menyala. Mereka mengenakan pakaian kuning muda. Tapi , astaga!"
"Tapi apa?!" Lajcasipo bertanya.
"Astaga apa?!" Naga Kuning menyambung.
"Pakaian mereka di sebelah punggung tersingkap lebar. Di sebelah depan sangat rendah. Lalu pada pecahan pinggul terbelah tinggi…." Wiro basahi bibirnya dengan ujung lidah. "Dari sini saja sudah terlihat kemulusan dan keputihan tubuh mereka…."
"Jebakan salah-salah bisa menciptakan kita lupa ," kata Lakasipo. "Apa lagi yang kau lihat. Hantu Muka Dua ada di sana?"
Wiro menggeleng. "Manusia Segala Tipu , Segala Keji dan Segala Nafsu itu mana berani unjukkan muka terang-terangan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung kaki tangannya. Aku juga tidak melihat mitra kita Si Setan Ngompol. Di atas meja banyak hidangan dan minuman. Namun belum ada satu pun yang menyentuh.
Ada dua buah bangku kosong di kiri kanan meja. Rupanya sesuai undangan , untukku dan untuk Naga Kuning…. Tunggu dulu. Ada dua orang menggotong sebuah bangku besar. Homm…. Kukira itu bangku untukmu Lakasipo. Aneh , bagaimana mereka bisa mengetahui kehadiranmu?"
"Hantu Muka Dua punya banyak pembantu dan mata-mata. Kalian sudah siap?" tanya Lakasipo. Wiro dan Naga Kuning anggukkan kepala. Lakasipo tepuk pinggul kuda hitam berkaki enam. Binatang raksasa ini segera melompat lari menuruni lembah kecil. Tak selang berapa usang dalam kegelapan di depan sana kelihatan cahaya terang. Lalu sesaat kemudian mereka hingga di ujung satu pedataran terbuka. Lakasipo hentikan Laekakienam di balik sebatang pohon besar. Suara tetabuhan masih terus terdengar. Malah tambah keras.
Baru saja kedua raksasa itu berhenti tiba-tiba empat belas orang gadis berpakaian kuning bergerak berdiri dari bangku masing-masing , memutar tubuh mereka ke arah pohon besar dan secara bersamaan berucap. "Para tetamu yang diundang telah datang! Selamat tiba di Perjamuan Pengantar Arwah. Mengapa tidak terus menghampiri meja perjamuan dan duduk di antara kami?"
Setelah berkata begitu ke empat belas gadis itu sama-sama bungkukkan tubuh memberi penghormatan. Karena pakaian mereka di sebelah dada terbuka lebar maka waktu membungkuk pecahan dada gadis-gadis bagus ini seolah melompat keluar , putih menantang! Lakasipo , Naga Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik besar melihat pemandangan itu.
Naga Kuning berucap. "Kita di sini saja. Jangan buru-buru ke sana. Biar mereka membungkuk hingga berulang kali. Sampai kita puas melihat! Hik… hik!"
"Bocah gendeng! Orang mengincar nyawa kita! Kau masih bicara ngawur!" maki Pendekar 212. "Kalau tidak untuk menyelamatkan mitra kita kakek tukang ngompol itu , jangan harap saya mau-mauan ke sini!"
"Lagakmu! Tadi kau sudah keluar iler melihat punggung dan dada serta paha putih!" menyahuti Naga Kuning.
Jengkel Wiro sentil kuping kiri Naga Kuning hingga bocah ini meringis kesakitan dan mau membalas.
"Jangan bertengkar!" kata Lakasipo menengahi.
Lalu ia memberi isyarat. "Kita turun. Ingat semua yang sudah diatur. Kalau selamat kita harus selamat semua. Kalau ada yang celaka , yang lain harus menyabung nyawa untuk menolong." Lalu Lakasipo melompat turun.
Karena ia telah mengerahkan tenaga dalam maka sewaktu kakinya menyentuh tanah sama sekali tidak terdengar bunyi atau pun getaran.
"Aku tidak percaya kalau belasan gadis bagus itu tega-teganya membunuh kita!" kata Naga Kuning masih bercanda kemudian melompat turun dari kuda mengikuti Lakasipo. Wiro turun paling belakang.
Beberapa langkah sebelum mereka mencapai meja besar , enam gadis berpakaian kuning muda segera menyambut kemudian mengantarkan mereka ke bangku masingmasing. Naga Kuning duduk sendirian di sisi kanan meja. Bocah ini duduk cengar-cengir dan tiada hentinya memandang penuh kagum pada dua gadis bagus di kiri kanannya.
Di sisi kiri Wiro dan Lakasipo duduk terpisah dua kursi. Suara tetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis yang duduk di ujung meja sebelah kanan berdiri berdiri. Suara tetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis di ujung meja membungkuk ke arah Naga Kuning di sisi kanan dan Wiro serta Lakasipo di sisi kiri meja. Naga Kuning serasa berhenti nafasnya melihat dada putih besar yang mirip hendak membusai keluar itu.
"Gila! Tanganku jadi gatal mau meraba…" kata si bocah dalam hati.
"Atas nama tuan rumah yang mengundang , kami mengucapkan selamat tiba pada tiga orang gagah yang telah sudi hadir di tempat ini. Sebagai penghormatan pertama kami persilahkan para tamu agung membasahi tenggorokan , meneguk anggur murni yang ada dalam piala kayu…."
Gadis bagus yang duduk di samping kiri Naga Kuning kemudian ambil cangkir kayu berbentuk piala berisi minuman dan menyerahkannya pada anak itu sambil tersenyum kedipkan mata. Naga Kuning mirip melayang di sorga balas tersenyum serta kedipkan dua matanya berulang kali kemudian ambil piala kayu. Gadis yang duduk di samping kanan Naga Kuning membantu anak ini mendekatkan piala kayu ke bibirnya.
"Gluk… gluk…." Naga Kuning teguk minuman dalam piala kayu dua kali. Rasa hangat menjalar hingga ke perutnya. Mukanya berubah merah. Bocah ini tersenyum.
Kedipkan matanya. Dengan dua tangannya dipegangnya lengan gadis bagus di sebelahnya kemudian dekatkan piala kayu ke lisan dan teguk kembali anggur di dalamnya. Sesaat kemudian anak ini batuk-batuk kemudian tersandar ke kursi. Dua matanya berputar-putar dan mulutnya pencong ke kiri. Air liurnya mulai meleleh.
Di sisi meja yang lain Wiro dan Lakasipo juga mengalami hal yang sama. Dua orang ini tampak mirip melayang-layang mirip meneguk minuman yang disuguhkan. Ke duanya senyum-senyum kemudian terduduk dengan mata mendelik tapi sayu hampir mirip orang juling.
"Dari tadi minum melulu!" kata Naga Kuning ketika si bagus di sebelahnya kembali mendekatkan piala kayu ke mulutnya. "Apa saya boleh menyantap masakan di atas meja?"
Dua gadis di sebelahnya tersenyum manis. "Tamu yang mulia , harap sudi menunggu. Hidangan di atas meja belum boleh disentuh sebelum hidangan utama disiapkan dan disajikan."
"Lalu mana hidangan utamanya?!" tanya si bocah sambil julurkan lidahnya.
"Harap bersabar wahai tamu agung! Sebentar lagi masakan utama akan segera dihadirkan. Sambil menunggu harap habiskan minuman dalam piala…."
Ke tiga orang itu mirip setengah dicekoki , diberi minuman dalam piala kayu. Tak selang berapa usang keadaan mereka kelihatan semakin parah.
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk terkulai. Tangan kanannya ada di atas kepala mirip mau menggaruk. Tapi ia seolah tidak punya daya untuk menggerakkan jari-jarinya! Matanya semakin juling. Mukanya tambah kuyu. Mulutnya komat-kamit termonyong-monyong mirip hendak menyampaikan sesuatu , tapi yang keluar justru yakni bunyi hembusan angin turun naik mirip orang bengek!
Lakasipo sebentar-sebentar menyedot hidungnya mirip orang ingusan. Matanya berputar jelalatan. Dari mulutnya tiada henti keluar sendawa. Sesekali diseling bunyi mirip mau muntah.
Naga Kuning lain pula keadaannya. Dia tidak lagi duduk di bantalan bangku tapi pindah ke lengan kursi. Matanya kuyu jereng. Dari mulutnya keluar ludah dibarengi bunyi cegukan. Setiap cegukan berhenti , dari pecahan bawah tubuhnya mengepos keluar bunyi angin alias kentut!
"Aneh…" bisik seorang gadis berpakaian kuning pada mitra di sebelahnya. Tiga orang itu memperlihatkan tanda-tanda aneh. Padahal tegukan ke dua tadi sudah bisa menciptakan mereka menemui ajal…."
"Wahai , setahuku mereka arif tinggi. Mungkin saja bisa bertahan beberapa waktu. Tapi lihat saja sebentar lagi. Selama ini tidak ada satu orang pun bisa lolos dari kematian sesudah meneguk Racun Pelibas Usus. Mereka akan menemui kematian dengan usus hancur lebih dulu. Lalu menjerit-jerit mirip orang kemasukan roh jahat. Setelah itu tegang kaku tak bernyawa!"
Naga Kuning dan Wiro Sableng delikkan mata. Tapi ketika para gadis memandang padanya , ke dua orang ini eksklusif kuyu kembali.
Tiba-tiba terdengar bunyi mirip dua piring kaleng diadu satu dengan lainnya. Lalu muncul sebuah gerobak terbuat dari besi. Seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam yang mukanya bopeng , berambut panjang sepinggang dan bermata merah mendorong kereta itu. Setiap ia menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya besar-besar. Pada lantai gerobak ada setumpuk kayu bakar menyala. Lalu pada palang besi yang melintang di atas gerobak , hampir tak sanggup mengemban amanah dan sungguh mengerikan terikat sesosok tubuh insan dilumuri minyak dan hanya mengenakan sehelai cawat kecil. Orang itu ternyata mau dijadikan kambing guling!
Jarak antara sosok orang itu dengan api kayu memang cukup jauh tapi hawanya tetap saja panas bukan kepalang. Sosok tubuh yang malang itu kelihatan merah hampir melepuh. Tidak bergerak dan juga tidak bersuara. Mungkin sekali sudah tidak bernyawa lagi! Dan orangnya bukan lain yakni si kakek berjuluk Si Setan Ngompol!
Baik Wiro , maupun Naga Kuning dan Hantu Kaki Batu alias Lakasipo sama sekali tidak memperlihatkan gelagat apa-apa. Ke tiga orang ini tetap saja dalam keadaan mirip tadi.
"Makanan utama sudah datang!" Gadis di ujung meja berseru memberi tahu sesudah bertepuk tangan tiga kali.
Orang bermuka bernafsu yang mendorong gerobak besi hentikan gerobak itu di sisi kanan. Lalu ia ambil sebuah sapu pendek terbuat dari jerami yang tergantung dalam sebuah kaleng berisi minyak di salah satu tiang gerobak besi. Minyak ini dipoleskannya ke muka dan sekujur tubuh Si Setan Ngompol. Ketika ujung sapu menyentuh pecahan bawah perut si kakek , perut orang renta ini berkedut-kedut kemudian ces… ces… ces. Ada tetesan air jatuh ke atas kayu bakar. Si kakek terkencing! Pertanda ia masih hidup walau mungkin sudah sekarat!
Orang bermuka bopeng dekati gadis di ujung meja. Dia membisikkan sesuatu kemudian kembali melangkah ke gerobak besi. Si gadis bertepuk tiga kali.
"Hidangan utama Perjamuan Pengantar Arwah yakni seekor kambing muda yang masih belum tumbuh tanduk siap disajikan! Wahai para tamu agung! Juru masak ingin bertanya. Para tamu agung mau mengecap kambing guling ini dalam keadaan mentah , setengah matang atau matang!"
Si gadis memandang pada Wiro , Naga Kuning dan Lakasipo yang duduk terkulai di bangku masing-masing.
"Wahai! Tak ada jawaban! Berarti para tamu minta masakan utama dihidangkan secara matang!" Gadis itu memberi tanda pada juru masak dengan lambaian tangan.
Si muka bopeng menyeringai. Dengan tangan kirinya ia putar palang besi di atas perapian. Sosok Si Setan Ngompol berputar-putar di atas gerobak. Lalu si muka bopeng cabut dua buah benda yang tersisip di pinggangnya yakni sebilah golok penjagal besar , berbentuk empat persegi panjang , putih berkilat dan sebatang besi lancip. Golok digosok- gosokkdnnya berulang kali ke batangan besi hingga mengeluarkan bunyi ukiran mengerikan. Di atas gerobak sosok Si Setan Ngompol kembali kucurkan air kencing.
Tiba-tiba tangan kiri juru masak bermuka bopeng itu tusukkan besi lancip ke perut Si Setan Ngompol. Tangan kanan yang memegang golok persegi panjang dibacokkan ke pangkal paha si kakek!
Serrrr! Air kencing Si Setan Ngompol mancur deras!

Kapak Maut Naga Geni 21212

HANYA tinggal sejengkal ujung besi lancip akan menembus perut dan sekejapan lagi pecahan tajam golok penjanggal akan memutus amblas pangkal paha Si Setan Ngompol , tiba-tiba tiga sosok melesat ke udara.
"Braaakkk!"
Sosok pertama mendarat di meja perjamuan. Membuat meja itu hancur berantakan. Semua apa yang ada di atas meja itu mencelat bermentalan. Delapan kaki meja melesak amblas ke dalam tanah!
Itulah sosok Hantu Kaki Batu alias Lakasipo. Dia menghancurkan meja perjamuan dengan gebrakan Kaki Roh Pengantar Maut. Para gadis di sekeliling meja berpekikan kemudian saling berhamburan. Namun hanya empat orang saja yang bisa kabur. Karena begitu mereka hendak melarikan diri sosok ke dua yang melesat ke udara yakni Naga Kuning cepat mendorong sosok gadis terdepan. Enam orang eksklusif jatuh saling tindih. Dua orang coba berdiri berdiri hendak kabur lagi tapi pakaiannya dibetot si bocah. Dari pada robek dan jadi bugil dua gadis ini menentukan diam. Empat gadis lagi , termasuk yang tadi menjadi juru bicara perjamuan tertegun membisu tak bisa bergerak. Tubuh mereka kaku tegang dimakan totokan Naga Kuning! Anak ini kemudian melompat ke arah gerobak besi. Dengan cepat ia lepaskan ikatan di tangan dan kaki Si Setan Ngompol kemudian seret kakek ini ke tempat aman.
"Anak setan…. Aku hampir meregang nyawa! Mungkin jiwaku tidak ketolongan lagi! Mengapa kalian bersikap alon-alon asal kelakon menolongku?!"
"Aku tak bisa menjawab ketika ini Kek! Yang penting kami bisa menolongmu walau keadaanmu mirip kambing guling benaran! Lalu yang juga tak kalah pentingnya , kapan lagi bisa berdekatan dan berpegang-pegang tangan dengan gadis-gadis bagus itu! Hik… hik… hik!"
"Bocah edan! Aku hampir matang dipanggang orang , kau masih saja bisa enak-enakan cari kesempatan!"
Setan Ngompol memaki habis-habisan. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan panas.
Di atas meja , begitu menciptakan meja hancur berantakan Lakasipo eksklusif melompat ke arah juru masak muka bopeng. Kaki kanannya menderu ke kepala tukang jagal itu. Tapi dengan cepat si muka bopeng jatuhkan diri , berguling di tanah. Tubuhnya secara gila berubah hijau pekat. Tangan kanannya memukul. Selarik sinar hijau pekat berkiblat. Bau kedaluwarsa menebar!
"Pukulan Kelabang Racun Hantu!" teriak Lakasipo mengenali pukulan itu. "Jadi kau yakni Hantu Kelabang Dari Bukit Racun!" Lakasipo cepat menyingkir selamatkan diri.
Si muka bopeng bergelak. Saat itu ia sudah tegak berdiri dan berkata dengan bunyi keras. "Sayang kau mengenali diriku di ketika kematian sudah di depan mata!" Orang ini kembali hantamkan tangan kanannya. Lakasipo gembungkan rahang. Tangan kanannya menggempur. Lima larik sinar hitam menderu dahsyat.
"Lima Kutuk Dari Langit!" Kini si muka bopeng yang berjuluk Hantu Kelabang Dari Bukit Racun itu yang berteriak kaget begitu mengenali pukulan yang dilepaskan Lakasipo. Dia cepat melompat ke kiri. Namun ketika itu sosok Pendekar 212 berkelebat. Selarik sinar putih mengeluarkan bunyi mirip ribuan tawon mengamuk dan menghampar sinar panas berkiblat di tempat itu. Hantu Kelabang Dari Bukit Racun pergunakan besi runcing dan golok penjagal untuk menangkis.
"Traangg!"
"Traaang!"
Si muka bopeng berteriak kesakitan. Dua tangannya melepuh kepulkan asap. Besi runcing dan golok empat persegi terbabat buntung kemudian hancur berkeping-keping , hangus mengepulkan asap! Putuslah nyali Hantu Kelabang Dari Bukit Racun ini. Walau ia masih menyimpan satu ilmu kesaktian namun ia menentukan lebih baik selamatkan diri. Tanpa banyak kisah ia segera putar tubuh untuk larikan diri. Tapi di depannya tiba-tiba menghadang Naga Kuning. Melihat cuma seorang bocah yang menghadangnya si muka bopeng eksklusif melabrak sambil pukulkan tangan kanannya.
Larikan sinar hijau melesat di atas kepala Naga Kuning. Bocah ini mirip kambing bandot mengamuk menyeruduk ke depan. Kelabang Hantu terhenyak ke tanah. Naga Kuning cepat berkelebat hendak menetaknya.
Tapi si bocah jadi berseru kaget ketika melihat bagaimana sosok orang itu mulai dari kepala hingga ke kaki berubah mirip seekor kelabang. Kelabang raksasa jejadian ini berjingkrak ke udara. Buntutnya melesat menghantam kepala Naga Kuning sedang kepalanya dengan dua tangan sebelah depan menyambar ke leher Lakasipo!
Lakasipo memang bisa mengelak selamatkan diri. Tapi Naga Kuning yang tidak mengira insiden itu terlambat menciptakan gerakan selamatkan diri. Ekor beracun kelabang raksasa itu hingga di batok kepalanya!
Pada ketika itulah sebuah benda putih menerobos laksana kilat , memayungi batok kepala Naga Kuning. Lalu ketika benda putih ini bergerak berputar terdengar bunyi craaasss!
Ekor kelabang jejadian putus amblas. Cairan hijau menyembur dibarengi bunyi raungan aneh. Naga Kuning jatuhkan diri walau pakaian hitamnya sempat terkena semburan cairan hijau. Ketika ia memandang ke depan dilihatnya sosok Hantu Kelabang Dari Bukit Racun telah berubah kembali menjadi sosok lelaki muka bopeng garang. Namun satu kakinya tak ada lagi , buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dipergunakan Wiro untuk melindungi kepala Naga Kuning , sekaligus membabat putus ekor kelabang jejadian yang dalam bentuk aslinya yakni kaki kiri Hantu Kelabang Dari Bukit Racun!
Terhuyung-huyung Hantu Kelabang berdiri berdiri. Kakinya yang buntung diangkat tersentak-sentak. Belum sempat ia berdiri dengan benar satu jotosan mendarat di mukanya!
"Kraaakkk!"
Jotosan dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng menciptakan hancur hidung Hantu Kelabang. Pipinya melesak ke dalam tengkorak kepalanya! Raungan yang keluar dari mulutnya yang ikut hancur terdengar gila mengerikan!
Tangan Wiro sekali lagi berkelebat. Sosok Hantu Kelabang mendadak sontak menjadi kaku tegang tak bisa bergerak begitu totokan ampuh dengan telak disarangkan Wiro ke pangkal leher si tukang jagal itu.
"Kambing guling muka bopeng pasti lebih lezat dari pada kambing renta tukang ngompol!" kata Wiro. Lalu tubuh kaku Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun digotongnya , dibawa ke arah gerobak besi.
"Jahanam! Kau mau bikin apa?!" teriak si muka bopeng walau dalam keadaan kaku tapi masih bisa bicara lantaran Wiro memang sengaja tidak menotok jalan suaranya.
"Ha… ha…! Tidak kira kambing ini bisa bicara! Lihat saja apa yang akan kubikin padamu! Ada budi ada talas.
Ada keji ada libas! Ha… ha… ha!" Sambil tertawa-tawa murid Sinto Gendeng ikat pergelangan tangan dan dua kaki orang itu ke palang besi yang melintang di atas kayu api pada gerobak besi. Wiro kemudian putar palang besi itu hingga sosok si muka bopeng ikut berputar. Lalu ke atas tubuh yang berputar ini ia guyurkan minyak dari dalam kaleng yang tergantung pada tiang gerobak.
Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun berteriak seolah pengecap dalam mulutnya yang hancur mau copot!
Semua gadis berpakaian kuning yang tidak sempat melarikan diri palingkan muka , tidak berani menyaksikan apa yang terjadi. Apalagi begitu mereka mulai mencium kedaluwarsa daging yang mulai meleleh terpanggang.
"Tobat! Ampun! Lepaskan aku!" teriak Hantu Kelabang.
Lakasipo tiba mendekat. "Siapa biang keladi yang menyuruh kalian melaksanakan kebiadaban terhadap kakek temanku?! Lekas jawab!" Lakasipo membentak sambil jambak rambut Hantu Kelabang yang mulai berbau sangit dijilat api.
"Ampun! Aku akan bilang! Hantu Muka Dua! Dia yang memerintahkan kami!" jawab Hantu Kelabang Hijau berteriak. "Aduh , tolong! Lepaskan aku! Panas sekali! Tubuhku terbakar!"
Lakasipo menyeringai. "Bagus , saya akan panggil Hantu Muka Dua untuk menolongmu! Sebelum ia tiba biar saya menolong menciptakan tubuhmu jadi sejuk dingin…." Lakasipo ambil kaleng minyak dari tangan Wiro kemudian guyurkan hingga habis. Sosok Hantu Kelabang Hijau kepulkan asap menebar kedaluwarsa menggidikkan. Di bawahnya kayu api pemanggang berkobar lebih besar. Naga Kuning melompat ke hadapan gadis-gadis itu.
"Waktu kakek itu kalian perlakukan dengan keji , semua kalian tersenyum tertawa! Sekarang mengapa kalian palingkan muka memperlihatkan rasa ngeri! Satu-satu kalian akan kami panggang mirip si muka bopeng itu!
Kau duluan!" Si bocah menuding ke arah gadis yang tadi bertindak sebagai juru bicara. Gadis ini eksklusif pucat wajahnya. Dia segera jatuhkan diri. Kawan-kawannya mengikuti.
"Tamu agung! Jangan salahkan kami! Kami hanya orang suruhan!"
"Peduli amat! Mengapa mau disuruh!" kata Naga Kuning seraya dongakkan kepala dan rangkapkan tangan di depan dada sementara dua kaki tegak direnggangkan.
Sikapnya mirip seorang pendekar jempolan. Wiro dan Lakasipo cuma menyeringai melihat kelakuan anak itu.
"Kalau kami tidak mau , kami akan dimasukkan ke dalam ruangan penyiksaan oleh Hantu Muka Dua!"
"Betul! Sudah banyak sahabat kami dijebloskan ke dalam Ruang Obor Tunggal di Istana Kebahagiaan!"
"Dosa kalian sama besarnya dengan dosa Hantu Muka Dua , jadi kami para tamu agung mustahil memberi ampun!"
Si gadis jatuhkan diri hampir bersimpuh. "Aku dan kawan-kawan akan lakukan apa saja asal tidak dipanggang di atas kereta besi itu!" Si gadis memohon.
"Hemmm… begitu?" Naga Kuning turunkan kepalanya.
Memandang sambil tersenyum dan kedipkan mata pada si gadis. Lalu ia bertanya. "Coba katakan apa saja yang bisa kau lakukan untukku dan kawan-kawan…."
"Apa saja! Apa saja yang kalian minta!"
"Misalnya?!" tanya Naga Kuning.
Si gadis di sebelah depan berpaling dulu pada teman-teman di belakangnya. Ketika para gadis itu anggukkan kepala gres ia menjawab. "Ada sebuah bangunan rahasia di sebelah timur rimba belantara. Di dalamnya ada dua belas kamar. Kami bisa membawa kalian ke sana sebelum hingga pertengahan malam. Kalian boleh berada di sana hingga sang surya terbit…."
"Tawaran menggiurkan ," kata Naga Kuning sambil senyum dan kedip-kedipkan matanya. "Kalau hingga di sana , kemudian apa yang mau kalian lakukan?" Si bocah bertanya.
"Terserah para tamu agung. Kami hanya mengikut!"
"Wah , asyik juga! Tapi biar kutanya dulu temantemanku!" kata Naga Kuning.
Saat itu Lakasipo dan Wiro Sableng sudah melangkah mendekati Naga Kuning. Mereka memandang pada gadis-gadis bagus yang duduk bersimpuh di tanah itu.
"Kalian gadis baik-baik yang bisa kembali ke jalan baik. Jika kalian berjanji mau meninggalkan Istana Kebahagiaan , kami akan melepaskan kalian!"
Gadis-gadis itu eksklusif jatuhkan diri dan berbarengan berucap. "Kami berjanji!"
"Hai! Janji itu tidak berlaku untukku!" Naga Kuning berteriak.
"Buang pikiran kotor yang ada dalam benakmu Naga Kuning!" kata Wiro.
"Hai! Siapa yang punya pikiran kotor?!" teriak si bocah.
"Aku dan Lakasipo tidak tuli. Kami dengar semua pembicaraanmu. Kami lihat sendiri perilaku genitmu! Bocah edan tak tahu diri! Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan!" sentak Pendekar 212.
"Kalian salah sangka! Aku tidak mencari kesempatan dalam kesempitan! Terbalik! Justru saya mencari yang sempit kalau ada kesempatan! Hik… hik… hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan kemudian melesat ke atas pohon dan duduk di salah satu cabangnya ketika Wiro hendak melabraknya.
"Kalian semua boleh pergi! Jauhkan diri kalian dari Istana Kebahagiaan!" kata Wiro kemudian.
Semua gadis itu tak ada yang bergerak. Mereka dongakkan kepala menatap ke arah Wiro dengan perasaan tidak percaya.
"Sungguhkah? Kami boleh pergi begitu saja…?"
Wiro anggukkan kepala
Si gadis berdiri berdiri. Kawan-kawannya mengikuti. Wiro kemudian melepaskan totokan pada beberapa gadis yang tadi dilakukan Naga Kuning.
Gadis bagus di sebelah depan berkata. "Namaku Luhcempaka. Budi kalian tidak akan kami lupakan. Jika ada kesempatan dikemudian hari tentu kami akan membalasnya…."
"Tidak usah memikirkan hal itu. Kalian boleh pergi dengan kondusif ," kata Pendekar212. Matanya terasa silau melihat sosok-sosok bagus yang pakaiannya tersingkap di sana-sini itu.
Gadis-gadis itu membungkuk. Melihat ini Naga Kuning eksklusif melompat turun dari cabang pohon. Matanya tidak berkedip memperhatikan belahan dada gadis cantik. Sewaktu hendak bergerak pergi si gadis di sebelah depan memberi isyarat pada teman-temannya. Lalu dari balik pakaian kuningnya ia mengeluarkan satu tabung bambu. Tabung itu diserahkannya pada Wiro.
"Apa ini?" tanya Pendekar 212.
"Di dalam tabung itu ada cairan obat. Bisa kau pergunakan untuk mengoles tubuh kakek yang tadi digarang itu. Dalam waktu tiga hari luka bakarnya pasti akan sembuh!"
"Terima kasih…" kata Wiro sambil tersenyum.
"Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan kalian. Hanya itu dan ini…." Lalu si gadis melompat ke depan. Bersama kawan-kawannya secara tidak terduga ia berkelebat , satu persatu menciumi Wiro , Lakasipo dan Naga Kuning.
Naga Kuning usap-usap pipinya sambil menatap ke arah kegelapan tempat lenyapnya gadis-gadis bagus berpakaian kuning muda itu. "Lumayan ," katanya. "Dari pada tidak menerima apa-apa sama sekali! Hik… hik… hik!"
"Kalian beruntung , saya tetap saja ketiban nasib jelek! Lekas bawa kemari obat dalam tabung itu ke sini!" Dari arah kiri terdengar ucapan si kakek Setan Ngompol.
Wiro memandang pada Naga Kuning kemudian serahkan tabung bambu ke tangan si bocah. "Serahkan padanya…" kata Wiro pula.
Naga Kuning ambil tabung bambu itu kemudian melangkah mendekati Si Setan Ngompol.
"Ah , kau si bocah setan! Hari ini harap kau mau sedikit berbakti pada kakekmu ini ," kata Setan Ngompol begitu melihat Naga Kuning berada di depannya me megang tabung bambu berisi obat. "Tolong usapkan obat itu dengan tanganmu ke tubuhku. Selangkanganku sebelah belakang lebih dulu!"
"Sialan! Siapa sudi!" kata Naga Kuning setengah berteriak dan bantingkan kaki kanannya ke tanah.
Si Setan Ngompol tertawa cekikikan! Lakasipo dan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut tertawa gelak-gelak.

TAMAT
Segera terbit:
HANTU LANGIT TERJUNGKIR

No comments for "Diam-Diam Patung Menangis WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"