Diam-Diam Kincir Hantu WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : RAHASIA KINCIR HANTU / PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM

BENDERA KUNING SAMPAI DI DEPAN KAKI SI HATI BAJA. DIA SIAP UNTUK MELOMPAT. TAPI TIBA-TIBA DI ATAS ATAP KAKEK KEPALA TELENG KELUARKAN SUITAN KERAS. BERSAMAAN DENGAN ITU KINCIR HANTU MENGELUARKAN SUARA DAHSYAT. DI ANTARA SUARA GEMURUH YANG MENEGAKKAN BULU ROMA ITU TERDENGAR SUARA ANEH BERKEPANJANGAN. CLAK…. CLAK…. CLAK…! PANTULAN SINAR PUTIH MEMBERSIT DARI PINGGIRAN RODA KINCIR , MEMBUAT DUA MATA HATI BAJA SAKIT SILAU. DIA BERMAKSUD MENGUSAP MATANYA DENGAN TANGAN KIRI. NAMUN BELUM KESAMPAIAN TIBA-TIBA JERITAN SETINGGI LANGIT MENGUMANDANG KELUAR DARI MULUTNYA. DARI BAWAH KAKINYA KELIHATAN DARAH MENYEMBUR.

1

GEMURUH bunyi kincir raksasa itu terdengar tidak berkeputusan. Pada siang hari saja suaranya begitu ngeri menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di atas atap rumah kincir seorang kakek berkepala teleng , mengenakan caping bambu duduk uncang-uncang kaki sambil menghisap pipa yang menebar anyir serta asap ajaib berwarna merah. Sambil hembuskan asap merah dari ekspresi dan hidungnya kakek ini memandang berkeliling. Dalam hati ia berkata. "Sudah tiga ahad berlalu sepi-sepi saja. Apakah orang sakti dan pintar di negeri ini sudah habis semua? Atau masih ada tapi tidak punya nyali untuk menjajal kincirku , takut menghadapi tantanganku? Kalau begini naga­naganya urusanku tidak bakal rampung!"
Di puncak bangunan terpancang sebuah bendera dari jerami kering berwarna kuning , melambai-lambai kaku ditiup angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam pipanya. "Sial! Lama-lama saya bisa mengantuk!" katanya setengah memaki. Kakek ini kemudian menatap kehalaman luas di depan rumah kincir. Seperti menghitung-hitung ia berucap.
"Satu… dua… sembilan… empat belas… ah! Sudah ampat belas orang sakti menemui kematian. Sudah tujuh purnama berlalu. Tapi tidak satupun dari mereka membekal benda yang kucari. Kalau hingga dua purnama lagi benda itu tidak kudapatkan , celaka diriku! Siapa diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku lebih dulu?!" Caping di atas kepala kakek teleng bergerak-gerak tanda si kakek menggeleng-geleng gelisah berulang kali.
Sementara itu di atas satu pohon besar di seberang halaman rumah kincir , tiga sosok tubuh mendekam di balik kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng bercaping. Mereka bukan lain yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng , bocah konyol berjulukan Naga Kuning dan si kakek berjuluk Setan Ngompol.
" Keterangan saudara kita Lakasipo ternyata betul. Kita balasannya menemukan benda ajaib yang disebut Kincir Hantu itu ," berkata Naga Kuning dengan bunyi sangat perlahan.
"Tengkukku mengkirik , saya setengah mati berusaha menahan ngompol. Apa kalian tidak melihat semua kecacatan mengerikan yang ada di bawah sana?! Siapa adanya kakek teleng bercaping itu? Tukang jaga atau pemilik Kincir Hantu itu…?" Yang bicara yaitu Si Setan Ngompol.
Wiro garuk kepalanya. "Kincir itu berputar alasannya yaitu arus air yang tiba dari sebelah kanan. Air dicurahkan ke susukan di sebelah kiri. Kincir biasanya untuk mengairi pesawahan. Tapi saya tidak melihat sawah atau ladang di sekitar sini. Lalu ke mana air itu perginya , untuk apa…? Dan ini yang gila! Empat belas mayat yang sudah jadi jerangkong bergeletakan di halaman rumah kincir. Semua jerangkong tidak mempunyai kaki. Putus mirip ditebas sesuatu…."
"Kurasa kakek di atas atap itu yang membunuhi semua orang itu! Lihat saja ia sengaja menancapkan bendera kuning di atas rumah kincir. Bukankah bendera kuning tanda perkabungan , tanda kematian?!"
"Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak bisa menahan kencing!" kata Setan Ngompol sambil menepuk pundak Wiro.
"Tunggu dulu!" kata Naga Kuning. "Dari sikapnya kakek itu mirip menunggu seseorang…."
"Mungkin menunggu korban berikutnya ," menyahuti Wiro. "Semua korban berkaki putus. Jika memang hendak membunuh orang mengapa tidak menusuk dada atau perut atau menabas lehernya? Sungguh aneh…. Kek , sebaiknya kita tunggu biar bisa melihat sendiri apa yang bantu-membantu terjadi di tempat angker Ini!"
"Kalau begitu biar saya turun. Kalian mau menunggu hingga tujuh hari tujuh malam silahkan saja! Aku tidak mau ikut-ikutan!" kata si kakek. Lalu ia menggeser kakinya , siap hendak melompat turun. Namun niatnya ini jadi urung ketika mendadak satu bayangan berkelebat disertai seruan keras.
"Lateleng! Aku tiba untuk menjajal kehebatan Kincir Hantumu!"
Sesaat kemudian seorang lelaki gagah , berjanggut dan berkumis lebat tapi rapi serta mengenakan topi tinggi merah mirip tarbus tahu-tahu sudah tegak di halaman di depan rumah kincir. Matanya menatap ke arah kakek bercaping kemudian berpaling memperhatikan kincir besar yang berputar dengan bunyi gemuruh.
Di atas atap rumah kincir kakek teleng berdiri kemudian buka capingnya dan menjura memberi hormat pada orang yang tegak di halaman.
"Wahai kerabat yang datang! Aku rasa-rasa mengenal dirimu! Tapi dari pada kesalahan mengira sebaiknya kamu suka memberi tahu siapa nama atau gelarmu!"
Orang di depan rumah kincir usap janggutnya , permainkan sebentar ujung kiri kumis lebatnya kemudian menjawab.
"Aku Lakerashati. Orang di Latanahsilam menyebutku Si Hati Baja! Apakah keteranganku cukup bagimu wahai Lateleleng?"
"Lakerashati! Bergelar Si Hati Baja! Sungguh satu kehormatan kamu mau mendatangi tempat burukku ini! Mendengar seruanmu tadi , apa benar kamu berniat hendak menjajal kehebatan Kincir Hantu milikku ini?"
Si Hati Baja angkat tangan kanannya dan menjawab. "Itu yang saya inginkan! Tetapi apakah imbalan mirip yang dikabarkan orang itu memang benar adanya? Aku tidak mau tertipu! Aku tidak mau menjadi korban alasannya yaitu ketololan mirip orang-orang ini!" Si Hati Baja memandang seputar halaman dimana berkaparan empat belas jerangkong. Dalam hati ia berkata. "Jerangkong­jerangkong ini tampaknya tidak membusuk lebih dulu. Ada sesuatu yang menciptakan mereka bisa eksklusif jadi tulang belulang mirip ini!"
Di atas atap rumah kincir kakek berjulukan Lateleng tertawa mengekeh. "Aku Lateleng seumur hidup tak pernah berdusta! Siapa saja yang sanggup berdiri selama tiga kali putaran di atas Kincir Hantu akan mendapatkan hadiah sebuah kitab berisi ilmu kesaktian yang sanggup menciptakan seseorang memanggil dan memelihara tujuh macam Jin. Inilah kitabnya!"
Dari balik capingnya kakek teleng itu kemudian keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun yang sangat liat. Bagian depan kitab itu ada goresan pena berbunyi "Kesaktian Menguasai Tujuh Jin." Kitab itu diacungkannya ke arah Si Hati Baja kemudian dimasukkannya kembali ke balik
caping. "Tetapi sesuai dengan syarat yang sudah kutentukan! Segala jawaban menjajal Kincir Hantu yaitu menjadi tanggung jawab sendiri! Wahai Si Hati Baja , apakah kamu mendapatkan syarat itu?"
"Aku menerima!" jawab Si Hati Baja.
"Kuharapkan kakimu benar-benar sekuat baja! Kudoakan biar kamu bisa berdiri di atas Kincir Hantu selama tiga kali putaran! Namun ada satu syarat lagi! Ketahuilah siapa saja yang ingin menjajal kehebatannya di atas Kincir Hantu sedikitnya harus berusia enam puluh tahun’. Berapakah usiamu wahai Hati Baja?"
"Hampir delapan puluh tahun!"
Lateleng tersenyum. Dalam hati ia berkata. "Kejadian itu empat puluh tahun silam. Berarti ada kemungkinan ia mempunyai benda itu!"
"Aneh! Mengapa kakek itu pakai menanya usia segala? Seperti sayembara saja!" kata Naga Kuning yang mendekam di atas pohon bersama Wiro dan Si Setan Ngompol.
"Hati Baja , apakah kamu sudah siap?!" Dari atas atap terdengar bunyi Lateleng bertanya.
"Aku sudah siap dari tadi!" jawab Lakerashati alias Si Hati Baja.
"Bagus!" Lateleng tertawa mengekeh. Dia sedot pipanya dalam-dalam kemudian kepulkan asap merah. Tanpa menoleh ke belakang ia cabut bendera kuning yang menancap di atas atap. Capingnya kembali diletakkan di atas kepala. Bendera kuning itu diacungkannya ke atas. "Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas kincir! Pada ketika kincir berputar dan bendera kuning berada di pecahan paling atas , kamu harus melompat ke atas kincir. Kau harus bertahan hingga bendera kuning mencapai pecahan atas kincir sebanyak tiga kali! Jika kamu bisa melaksanakan itu maka kamu akan mendapatkan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin!"
Si Hati Baja tertawa jumawa. "Baru tiga kali putaran. Tiga puluh putaran pun saya sanggup!"
Lateleng tertawa lebar. "Ucapanmu menciptakan saya kagum wahai Hati Baja! Bisakah kita mulai sekarang?!"
"Dengan segala hormat!" jawab Si Hati Baja seraya sunggingkan senyum dan sedikit tundukkan kepala.
"Lihat bendera!" seru Lateleng dari atas atap.
Tangannya yang memegang bendera bergerak. Bendera kuning melesat ke bawah kemudian menancap di pinggiran kayu yang merupakan roda kincir. Karena kincir berputar ke kiri maka bendera ikut berputar ke jurusan yang sama. Sesaat kemudian bendera kuning itu lenyap di sebelah kiri. Tak lama berselang muncul lagi di sebelah kanan dan ikut naik ke atas sesuai putaran kincir. Sesaat sebelum putaran kincir mengantar bendera kuning ke pecahan paling tinggi , Lateleng berseru.
"Hati Baja! Sekarang!"

2

LAKERASHATI alias Si Hati Baja gentakkan kaki kanannya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat enteng ke udara dan jatuh tegak sempurna di belakang bendera kuning yang menancap di roda kincir yang berputar. Karena roda berputar , biar ia tetap bisa bertahan di atas kincir maka Si Hati Baja mulai berlari-lari kecil di atas kepingan­kepingan kayu besi hitam yang membentuk cegukan dan mengantar air dan sengaja menghadap ke jurusan berlawanan dari arah putaran kincir. Sambil tertawa-tawa Si Hati Baja melaksanakan hal itu. "Pekerjaan begini mudah! Anak kecil yang gres mencar ilmu ilmu silat kampunganpun sanggup melakukannya!" katanya dalam hati.
Tak selang berapa lama bendera kuning kelihatan muncul di hadapan lelaki bertopi merah tinggi itu , borgerak di atas roda kincir , mendekati sepasang kaki Si Hati Baja yang berlari-lari kecil.
"Satu!" teriak Lateleng dari atas atap.
Si Hati Baja mendongak ke atas dan menyeringai.
Lateleng cabut pipanya dari sela bibir. Lalu dengan ujung pipa diketuknya pinggiran kincir. Putaran kincir yang tadi bergerak tidak terlalu cepat kini berubah kencang dan mengeluarkan bunyi bergemuruh. Untuk mengimbangi Hati Baja mempercepat larinya , hingga walau kincir bergerak lebih cepat ia masih tetap berada di atas kincir tanpa kesulitan apa-apa.
Di atas pohon berdaun rimbun di seberang halaman rumah kincir Wiro , Naga Kuning dan Si Setan Ngompol memperhatikan semua kejadian itu tanpa bergerak tanpa bersuara. Mereka masih terheran-heran apa bantu-membantu yang tengah berlangsung. Hanya untuk mendapatkan sebuah buku ajaib , seseorang diuji kepandaiannya begitu mudah. Lalu kalau cuma itu yang dilakukan mengapa ada empat belas mayat berkaki buntung berkaparan di halaman sana?! Keanehan apa bantu-membantu yang tersembunyi di balik kaki-kaki buntung itu?! Lalu mengapa kincir itu dinamakan Kincir Hantu?
Bendera kuning muncul untuk ke dua kalinya disisi kanan kincir raksasa. Begitu hingga di hadapannya , mirip tadi Lateleng sedot pipanya , kepulkan asap merah kemudian cabut pipa itu dan ketukkan ke pinggiran kincir begitu bendera kuning hingga di putaran tertinggi.
"Dua!" berseru kakek kepala teleng itu.
Kincir raksasa bergemuruh lebih keras dan putarannya juga semakin cepat. Tanah halaman bahkan hingga pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya berada bergetar keras.
"Gila! Apa yang terjadi!" Kakek berjuluk Si Setan Ngompol pegangi pecahan bawah perutnya yang mendadak berair alasannya yaitu tak sanggup menahan kencing.
Di atas kincir yang berputar Si Hati Baja tetap tenang. Masih tersenyum-senyum ia percepat gerakan kakinya untuk mengimbangi dan menjaga biar ia tetap berada di sebelah atas kincir.
"Kek , kalau cuma begitu-begitu saja kukira kamu bisa menjajal Kincir Hantu itu…." kata Naga Kuning pada Si Setan Ngompol. "Cuma sayang , kamu sudah keduluan orang menggunakan tarbus merah itu!"
Setan Ngompol membisu saja alasannya yaitu masih tegang memegangi pecahan bawah perutnya. Wiro memperhatikan semua yang terjadi di depannya tanpa berkesip. Sudut matanya melihat bendera kuning untuk ke tiga kalinya muncul di sisi kincir sebelah kanan.
"Putaran ke tiga…. Orang bertopi merah agaknya segera akan mendapatkan kitab sakti itu!" Naga Kuning kembali berkata dengan bunyi perlahan.
Si Hati Baja menyeruakkan senyum ketika ia melihat bendera kuning untuk kali ke tiga berputar ke arah tempatnya berlari di tempat di atas roda kincir.
Dia mempercepat larinya dan menjaga keseimbangan kaki serta tubuh.
"Lateleng! Sebentar lagi kamu harus menyerahkan kitab sakti itu padaku! Ternyata Kincir Hantumu yang digembar-gemborkan ini tidak ada apa-apanya! Ha… ha… ha!" Si Hati Baja tertawa bergelak.
Kakek bercaping di atas atap rumah ikut-ikutan tertawa kemudian sedot pipanya dalam-dalam.
"Aku siap menyerahkan kitab sakti ini padamu wahai Hati Baja!" kata si kakek seraya tepuk capingnya , di bawah mana ia menyimpan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin. "Tapi harap kamu sedikit bersabar , menunggu hingga bendera kuning mencapai putaran sebelah atas!"
SI Hati Baja menyeringai. Hatinya girang sekali alasannya yaitu bendera kuning hanya tinggal satu langkah didepannya. Begitu ia melompat sedikit dan membiarkan bendera itu lewat di bawahnya maka rampunglah putaran ke tiga. Diam-diam tangan kanannya dialiri tenaga dalam sambil membatin. "Kalau kakek ini menipuku , akan kuhantam dengan pukulan Baja Panas Meleleh Langit."
Bendera kuning hingga di depan kaki Si Hati Baja. Dia siap untuk melompat. Tapi tiba-tiba di atas atap kakek kepala teleng keluarkan suitan keras. Bersamaan dengan itu Kincir Hantu mengeluarkan bunyi dahsyat. Di antara gemuruh yang menegakkan bulu roma itu terdengar bunyi ajaib berkepanjangan.
"Clak… clak… clak…!"
Pantulan sinar putih membersit dari pinggiran roda kincir , menciptakan dua mata Hati Baja sakti silau. Dia bermaksud mengusap matanya dengan tangan kiri. Namun belum kesampaian tiba-tiba jeritan setinggi langit mengumandang keluar dari mulutnya. Dari bawah kakinya kelihatan darah menyembur! Saat itu juga sosok Si Hati Baja mirip terlempar setinggi dua tombak ke udara kemudian jatuh bergedebukan di tanah halaman di depan rumah kincir. Dua potong benda menyusul jatuh ke tanah! Air yang mengalir di sisi kiri kincir raksasa tampak berubah merah!
"Astaga! Apa yang terjadi!" ujar Naga Kuning , kemudian cepat-cepat tekap mulutnya alasannya yaitu sadar kalau-kalau suaranya terdengar hingga ke atap sana.
Si Setan Ngompol picingkan dua matanya yang belok jereng. Dua tangan eksklusif pegangi bawah perutnya yang kembali mengucur tak karuan!
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. "Gusti Allah!" Dia mengucap. "Sepasang kaki orang itu!"
Di atas atap kakek berjulukan Lateleng tegak berdiri , membuka capingnya dan menjura ke bawah , ke arah Si Hati Baja yang terkapar di tanah , mengerang sambil menggeliat-geliat.
"Wahai Hati Baja , ternyata kakimu tidak terbuat dari baja! Kau tidak bisa mencapai tiga kali putaran. Sayang… sayang sekali!" "Manusia jahanam! Kau menipuku!" teriak Si Hati Baja.
"Aku menipumu katamu?Tipuan apa yang kulakukan padamu?!" tanya si kakek sambil tenggerkan kembali capingnya di atas kepala.
"Apa yang kamu sembunyikan di permukaan kincir jahanam itu!" Si kakek geleng-gelengkan kepala kemudian berkata. "Jangan berpikir , apa lagi menuduh yang bukan-bukan
wahai Hati Baja! Seharusnya kamu berhati polos. Mengakui kamu tidak bisa berdiri selama tiga kali putaran di atas kincirku!"
"Bangsat tua?! Aku…."
Tubuh Si Hati Baja mendadak menggigil kemudian kelojotan. Dia coba kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Maksudnya hendak menghantam si kakek yang ada di atas atap dengan satu pukulan sakti. Namun ia tak punya kemampuan mengangkat tangan. Sementara dua kakinya yang kini buntung sebatas pergelangan tersentak­sentak.
Di atas atap Lateleng tertawa mengekeh. Sekali ia mengenjot dua kaki maka mirip seekor burung besar tubuhnya melayang turun ke tanah. Jatuh tegak sempurna di samping sosok Si Hati Baja.
"Hati Baja… Hati Baja , wahai! Nasibmu malang amatl Akan kulihat apakah kaju memang membekal benda yang saya cari?!"
Habis berkata begitu si kakek sedot pipanya dalam­dalam. Begitu mulutnya penuh dengan asap merah , asap itu kemudian disemburkannya ke sekujur tubuh si Hati Baja mulai dari kepala hingga ke kaki yang buntung. Juga pada dua potong kaki Si Hati Baja yang tergeletak tak jauh dari situ. Hal itu dilakukannya hingga tiga kali.
Di atas pohon Wiro dan dua kawannya kembali tersentak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi.
"Lihat!" kata Wiro dengan muka pucat seraya menunjuk ke halaman sana. "Sosok lelaki berjanggut itu bermetamorfosis jerangkong putih!"
Naga Kuning termenung mirip tak percaya. Kakek Si Setan Ngompol cepat-cepat palingkan muka tak berani memandang. Namun tak urung kencingnya sudah mengucur!
Wiro dan Naga Kuning terus memperhatikan. Kakek kepala teleng melangkah lebih dekat ke sosok Si Hati Baja yang telah bermetamorfosis tulang belulang. Lalu ia membungkuk. Mengangkat kaki kiri orang itu. Si kakek tampak gelengkan kepala. Kaki yang barusan dipegangnya dilepas begitu saja. Kini ia mengangkat kaki kanan yang buntung. Seperti tadi ia kelihatan mirip menilik ke dalam rongga tulang kaki itu kemudian kembali mencampakkannya. Kini ia memungut dua kutungan kaki Si Hati Baja. Memeriksa dan membalik­balikkannya.
"Kurang ajar! Aku tidak menemukan benda yang kucari! Lagi-lagi sialan!" Dua kaki buntung yang kin! hanya merupakan tulang putih itu dibantingkannya ke tanah hingga menancap amblas hingga setengahnya!
Dengan penuh perasaan jengkel Lateleng tegak berkacak pinggang. Di bawah caping sepasang matanya memandang tajam ke arah pohon besar. Dia tidak melihat apa-apa , kecuali tetesan-tetesan air yang jatuh dari sela-sela daun.
"Hemmmmm…. Tak ada hujan tak mungkin ada embun. Mengapa ada air menetes dari atas pohon?" Si kakek bergumam. Dia putar badannya kemudian melesat ke atas atap rumah kincir. Dia menunggu hingga roda kincir yang berputar mengantar bendera kuning ke atas. Begitu hingga di atas , bendera ini dicabutnya kemudian ditancapkannya di tempat semula yakni di atas atap. Sekali lagi matanya memandang tajam ke arah pohon besar di seberang halaman.
Pendekar 212 Wiro Sableng , Naga Kuning dan si kakek Setan Ngompol terkesiap kaget dan serasa terbang nyawa masing-masing ketika mendadak dari atas atap si kakek teleng berseru.
"Tiga makhluk yang sembunyi di atas pohon! Sllahkan turun ke tanah perlihatkan diri! Siang bolong begini sembunyikan diri sungguh tidak pantas!"
"Celaka! Kakek itu sudah tahu kita sembunyi disini!" kata Naga Kuning.
"Bagaimana ia bisa tahu…." kata Setan Ngompol masih tetap berpaling dan dengan bunyi serta tubuh gemetaran.
Wiro memandang berkeliling. Daun-daun pohon besar dimana mereka bersembunyi sangat lebat. Sekalipun kakek itu tadi berada di halaman bawah sana sulit baginya untuk melihat Namun! Pandangan Wiro membentur pada sehelai daun yang bergoyang-goyang alasannya yaitu kejatuhan tetesan-tetesan air dari atas. Wiro mengurut pandangannya ke atas. Matanya hingga pada sosok Si Setan Ngompol yang berair di pecahan bawah.
"Sial! Kek , kamu yang menciptakan apes!" kata Wiro. "Eh , mengapa saya yang kamu salahkan?!" jawab Si Setan Ngompol seraya pelototkan matanya yang jereng. Wiro tak sempat berdebat alasannya yaitu ketika itu Naga Kuning berteriak. "Awas! Kakek itu menyerang kita!"

3

PENDEKAR 212 dan Si Setan Ngompol palingkan kepala ke arah rumah kincir. Benar apa yang diteriakkan Naga Kuning. Dari jurusan bangunan tersebut , sementara kincir hantu masih terus berputar menggemuruh , kelihatan menyambar tiga buah benda sebesar kepalan , berbentuk lingkaran merah. Selagi melayang di udara , sempurna di atas halaman di depan rumah kincir , tiga benda itu berpijar terang kemudian meletus keras dan berubah bentuk.
Kalau tadi merupakan tiga buah bola-bola merah muka kini menjadi larikan asap berwarna merah dan membeset ke arah tiga jurusan yang semuanya mengarah ke pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya bersembunyi. Jelas tiga larikan asap merah itu satu persatu di arahkan pada Pendekar 212 , Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.
"Lompat!" teriak Wiro.
Tiga sosok berkelebat jungkir balik dari atas pohon , melompat ke tanah. Begitu injakkan kaki di tanah Wiro berguling hingga beberapa tombak , menjauh dari pohon besar. Hal yang sama dilakukan pula oleh si Setan Ngompol dan Naga Kuning.
"Wusss!"
"Wusss!"
"Wusss!" Tiga larik asap merah melabrak pohon besar.
Semula Wiro dan kawan-kawannya mengira pohon besar itu akan segera hancur awut-awutan atau dilalap kobaran api. Ternyata tidak. Apa yang mereka saksikan menciptakan mereka jadi merinding. Pohon besar itu kini bermetamorfosis pohon mati yang walau masih tegak tapi berada dalam keadaan memutih mulai dari ujung ranting hingga ke akar yang tersembul di atas tanah! Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan Wiro , Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kalau hingga kena dihantam oleh tiga larik asap merah itu! Mereka bisa bermetamorfosis jerangkong mirip yang tadi mereka saksikan apa yang terjadi dengan diri Si Hati Baja!
Setan Ngompol megap-megap mirip orang mau tenggelam. Di atas matanya melotot besar sedang di bawah kencingnya mancur tidak ketolongan!
"Tua bangka kepala teleng itu! Dia hendak menjadikan kita tulang belulang alias jerangkong! Aku nekad untuk menghajarnya!" Lalu kakek ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan , siap menghantam dengan pukulan berjulukan Setan Ngompol Mengencingi Bumi. Padahal ketika itu celananya sudah berair kuyup di sebelah bawah!
"Aku juga!" berseru Naga Kuning. Bocah yang bantu-membantu yaitu kakek berusia seratus tahun lebih ini angkat tangan kanannya. Lima jari ditekuk mirip mau mencengkeram. Tangannya perlahan-lahan ber­ubah menjadi kebiruan. Naga Kuning hendak melepas satu pukulan sakti berjulukan Naga Murka Merobek Langifl. Selama ini jarang sekali bocah ini keluarkan pukulan sakti tersebut. Ini satu menerangkan bahwa ia benar-benar marah.
"Tahan!" Pendekar 212 cepat berseru kemudian cepat melompat ke hadapan dua orang itu , menghalangi gerakan mereka.
"Apa-apaan ini?!" teriak Naga Kuning.
"Kau sudah gila? Mau mampus dimakan seranganku?!" membentak Si Setan Ngompol.
"Sahabatku , harap kalian bersabar. Jangan berlaku nekad! Kalau diturutkan hawa amarah , sudah tadi-tadi saya mendahului kalian menghajar kakek di atas atap itu! Kita bertiga ia sendirian kuliner kita bisa kalah! Tapi kalau hingga kakek itu bisa lolos dari hantaman kita dan balas menyerang , kita bisa celaka. Kepandaiannya sulit diukur! Biar saya bicara dulu! Kalian berdua berjaga-jaga! Naga Kuning , kuharap kamu mau mengeluarkan kesaktianmu yang berjulukan Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh. Ingat dulu bagaimana Hantu Tangan Empat setengah mati ketakutan melihat Ilmumu itu?"
Naga Kuning mengangguk perlahan.
"Akan saya lakukan Wiro ," katanya. "Tapi kalau kamu keburu mati duluan dihantam kakek teleng itu jangan salahkan diriku!"
Wiro berbalik kemudian melangkah ke tengah lapangan. Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti di kiri kanannya. Sampai di tengah lapangan murid Sinto Gendeng hentikan langkah kemudian lambaikan tangan kirinya ke arah kakek teleng di atas atap. Tangan kanan yang sudah dialiri tenaga dalam setiap ketika siap melepaskan Pukulan Sinar Matahari.
, "Orang bau tanah di atas atap!" Wiro berseru. "Kami bukan seterumu! Kami tiba bukan mencari permusuhan! Kami tiba bersahabat! Kami tiga perantau jauh yang tertarik dan ingin melihat sendiri kehebatan Kincir Hantumu! Mohon maaf kalau kehadiran kami terasa mengganggumu!"
Lateleng tidak segera menjawab. Dari bawah capingnya ia pandangi tiga orang itu. Dia hisap pipanya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap merah ke udara kakek ini kemudian tertawa mengekeh.
"Tiga perantau asing! Datang dari jauh! Wahai! Sungguh hebat! Yang satu berambut gondrong pintar bicara! Satunya lagi bocah anabawang berlagak orang gagah! Yang terakhir kakek-kakek yang mengencingi pohon rindangku! Apa itu namanya kedatangan yang bersahabat?"
"Mohon maatmu orang tua! Kakek sahabatku ini punya penyakit suka ngompol!" menjelaskan Wiro.
"Apa itu ngompol?!" tanya Lateleng tidak mengerti.
"Suka kencing tak karuan alasannya yaitu per di selang­kangannya sudah dol!" menjawab Naga Kuning.
Lateleng geleng-gelengkan kepala. Dia menuding ke arah Pendekar 212. "Kau tadi bilang ingin melihat sendiri Kincir Hantuku! Hemmm…. Berarti kalian hendak mencoba menjajal kincirku. Rupanya masih ada makhluk yang lebih tolol dari pada insan berjuluk Hati Baja yang sudah mampus dan kini tinggal jerangkong itu!"
Setan Ngompol terus saja mengucur air kencingnya mendengar ucapan Lateleng itu.
"Maaf Kek! Maksud kami bukan itu…!"
"Kau gondrong , masih muda! Juga kawanmu yang belia itu. Belum remaja untuk menjajal Kincir Hantu. Tinggal bau tanah bangka yang satu itu. Harap kenalkan diri! Apa kamu sudah siap untuk menjajal Kincir Hantuku dan mengharap imbalan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin?!"
Setan Ngompol cepat gelengkan kepala dan goyang­goyangkan ke dua tangannya. Di sebelah bawah semakin keras kucuran air kencingnya!
Sementara itu Kincir Hantu mulai bergerak perlahan dan balasannya berhenti.
"Orang bau tanah di atas atap ," Wiro cepat menjawab. "Kami bertiga , apa lagi kakek sahabatku ini mana berani bertindak congkak menjajal kehebatan kincirmu! Terus terang kami sangat kagum. Itu saja! Kami tidak ada maksud untuk menjajalnya!"
Kakek teleng cuma menyeringai sinis mendengar ucapan Wiro.
"Kalau kamu tidak bermaksud , wahai! Bagaimana kini kalau saya yang mengundang?!" ujar Lateleng pula kemudian membuka capingnya dan menjura kearah Si Setan Ngompol.
"Tidak…. Jangan! Maafkan aku! Maafkan kami bertiga!" kata Setan Ngompol dengan muka pucat.
"Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Aku dan kawan­kawan akan segera meninggalkan tempat ini. Kami mohon maafmu. Kami segera pergi…." Si Setan Ngompol cepat balikkan diri.
"Tunggu!" Lateleng membentak. "Dua kawanmu yang belum remaja itu boleh pergi. Tapi kamu yang anyir kencing kuda harus tinggal di tempat! Jangan berani bergerak apa lagi melangkah!"
"Celaka! Mati aku!" keluh Si Setan Ngompol dan serrr…. Air kencingnya semakin banyak tumpah membasahi celananya yang memang sudah kuyup!
"Orang tua!" seru Wiro. "Kami tidak punya niat melayanimu. Kau bisa menunggu lain orang saja. Mohon maaf. Biarkan kami pergi dengan aman!"
"Pemuda gondrong banyak cakap! Kalau begitu biar kamu yang kuundang naik ke atas kincir ini! Hari ini saya mencabut hukum bahwa hanya orang berusia paling rendah enam puluh tahun saja yang boleh menjajal kehebatan Kincir Hantu!"
Wajah murid SintoGendeng jadi berubah. Tangan kirinya pulang balik menggaruk kepala. "Maaf Kek! Lain kali saja saya penuhi undanganmu! Aku dan kawan-kawan masih ada keperluan lain. Kami sudah cukup puas sudah melihat kincirmu yang hebat!"
"Mana bisa begitu!"Kakek diatas atap meradang "Berani kamu bergerak satu langkah , nyawamu tertolong! Kecuali kalau kamu mau mengaku kamu yaitu insan paling pengecut dan tidak berani mendapatkan tantangan orang!"
Terbakarlah darah Pendekar 212 mendengar ucapan si kakek. Namun masih bersabar dan sambil menyeringai ia menjawab. "Terserah kamu mau bilang apa! Aku tidak berminat melayani undanganmu!"
"Wiro ," kata Naga Kuning. "Biar saya saja yang melayani kakek sombong kepala teleng itu! Kalau ia masih banyak ekspresi akan kuhantam dengan pukulan Naga Hantu dari Langit Ke Tujuh!"
"Ha… ha! Bocah anabawang itu ternyata lebih punya nyali dari padamu perjaka perantau berambut gondrong! Sungguh memalukan!" Dari atas atap kakek bercaping berteriak mengejek kemudian tertawa mengekeh.
"Kakek kepala teleng! Aku terima tantanganmu!" teriak Wiro. Kesabarannya buyar. Dia terpancing. Naga Kuning dan Setan Ngompol cepat memberi ingat tapi sang pahlawan sudah melesat ke atas dan di lain kejap sudah berdiri di atas roda kincir.
Begitu berada di atas kincir Wiro cepat perhatikan roda yang berputar. Memeriksa. Dia tidak melihat hal-hal yang mencurigakan. Semua pecahan roda itu mirip kincir biasa adanya , terbuat dari kayu besi berwarna kehitaman. Tak ada sesuatu yang berbentuk benda tajam terbuat dari logam. Lalu benda apa yang telah menabas putus sepasang kaki Si Hati Baja?! Serta juga kaki-kaki empat belas orang lainnya itu tentunya?! "Celaka! Aku punya firasat ia bakal mendapat celaka besar!" kata Si Setan Ngompol sambil pegangi pecahan bawah perutnya. Naga Kuning walau tidak menjawab tapi belakang layar bocah ini merasa sangat khawatir. Dia memberi isyarat pada kakek bermata jereng itu. Ke dua orang ini segera menyiapkan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi di tangan kanan masing-masing. Jika terjadi sesuatu dengan Wiro mereka eksklusif akan menghantam kakek bercaping di atas atap. Diatas atap Lateleng tegak berdiri , buka capingnya membungkuk menjura."Orangmuda! Apakah kamu sudah siap?!" “Kau boleh mulai!" jawab Wiro. Tapi matanya masih memperhatikan roda kincir. "Gila! Tidak ada apa-apanya “ kata Wiro dalam hati. "Aku yakin keparat kepala teleng ini menyembunyikan sesuatu!"
Lateleng tersenyum. Dia melirik ke tangan kanan wiro kemudian sambil berkata. “Tangan kananmu bergetar halus. Bukankah itu satu menerangkan bahwa kamu tengah mengerahkan tenaga dalam?” “Matamu tajam! jawab Pendekar 212 sambil menahan rasa kaget alasannya yaitu tidak menyangka kakek kepala teleng itu tahu apa yang tengah dilakukannya. “Terus terang saya tidak percaya padamu! Aku harus menjaga segala kemungkinan. Apa kamu takut?!"
Lateleng tertawa lebar. "Aku penguasa tunggal di tempat ini! Kincir Hantu yaitu milikku! Sebenarnya kamu yang takut! Kalau tidak mengapa menyiapkan pukulan sakti untuk menyerang?!"
"Orang tua! Dari tadi kamu bicara saja! Kapan akan mulai!" Menantang Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si kakek kembali menjura. "Dengan segala senang hati! Kita akan mulai sekarang! Jika kamu bisa bertahan di atas kincir sebanyak tiga kali putaran , kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin jadi milikmu!"
"Aku tidak butuh segala kitab begituan!" jawab Wiro. "Aku ingin menciptakan perjanjian denganmu!"
"Oohooo! Apa yang ada dalam benakmu wahai perjaka dari rantau jauh?!" tanya si kakek teleng. Untuk pertama kalinya sepasang matanya kelihatan membeliak.
"Jika saya sanggup bertahan hingga tiga kali putaran , Kincir Hantu ini menjadi milikku! Kau boleh angkat kaki dari sini!"
Orang bau tanah di atas atap tertawa bergelak. "Kau pintar tapi licik!"
"Jadi kamu takut mendapatkan permintaanku?!"
"Wahai! Siapa bilang! Kau terlalu takabur anak muda! Itu berarti separuh dari nyawamu sudah kamu berikan padaku! Ha… ha… ha!" Lateleng cabut bendera kuning di atas atap kemudian ditancapkannya di kayu roda kincir. Bersamaan dengan itu kincir raksasa itu keluarkan bunyi menderu dan mulai bergerak ke kiri! Di halaman di bawah sana Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan dengan penuh tegang.


4

KETIKA kincir mulai bergerak dan berputar ke kiri Pendekar 212 segera berlari-lari kecil ke arah berlawanan. Setiap ke dua kakinya menjejak kayu roda , ia kerahkan tenaga dalam. Maksudnya hendak mencoba menjebol kayu kincir untuk melihat apa yang tersembunyi di sebelah bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu atos sekali!
Selagi Wiro mencari logika apa yang harus dilakukannya tiba-tiba kakek teleng ketukkan pipanya kepinggiran kincir seraya berseru.
"Satu!"
Kincir bergetar kemudian menggemuruh berputar lebih cepat.
Di sebelah depannya Wiro melihat bendera kuning bergerak menuju ke arahnya kemudian lewat di bawah ke dua kakinya. Wiro melirik tajam pada si kakek , memandang ke bawah ke arah dua temannya kemudian kembali memperhatikan kincir yang berputar semakin cepat , menciptakan ia harus berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian bendera kuning muncul kembali untuk ke dua kalinya. Kincir berputar semakin kencang. Dengan Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya Pendekar 212 tidak perlu merasa khawatir akan kehilangan keseimbangan bagaimanapun cepatnya kincir itu berputar. Malah seenaknya perjaka konyol ini berlari melompat-lompat di atas kincir sambil bersiul-siul kecil. Namun alasannya yaitu ia masih belum sanggup memecahkan teka teki atau rahasia yang tersembunyi di balik keangkeran kincir itu tetap saja hatinya merasa tidak enak.
"Pemuda konyol sombong!" Kakek bercaping mendumal dalam hati. "Sekarang kamu masih bisa bersiul-siul. Sebentar lagi gres kamu tahu rasa!"
"Dua!" berteriak Lateleng. Seperti tadi kembali ia ketukkan pipanya ke pinggiran roda kincir. Kincir itu sekali lagi bergetar keras diantara bunyi gemuruhnya. Si kakek balikkan capingnya dan perlihatkan pada Wiro kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin. "Kurang dari satu putaran lagi anak muda! Kitab ini akan jadi milikmu!"
Wiro tidak perdulikan ucapan si kakek. Sambil berlari sepasang matanya terus memperhatikan kincir yang berputar. Di langit sang surya bersinar terik. Di sebelah depan bendera kuning muncul untuk kali ke tiga! Wiro mendadak merasa tambah tegang. Di halaman rumah kincir Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan tidak berkesip. Bergerak dari sisi kanan menuju ke kiri , mendekati dua kaki Pendekar 212!
Lateleng sedot pipanya dalam-dalam. Lalu pipa dicabut dan diketukkan ke pinggiran kincir.
"Tiga!" berseru kakek kepala teleng itu.
Kincir Hantu menggemuruh dahsyat seolah di situ memang ada puluhan hantu yang tengah menggereng marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak tegang. Mereka memandang penuh tegang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si kakek sudah tidak memegangi pecahan bawah perutnya lagi. Percuma saja. Dalam keadaan sangat tegang mirip itu dipegangpun kencingnya tetap mengucur tak berkeputusan. Wiro sendiri berusaha menguasai diri. Matanya memperhatikan keadaan penuh waspada. Dadanya bergetar ketika kemudian dari pecahan bawah roda kincir sebelah kanan bendera kuning menyembul muncul dan bergerak cepat ke arahnya!
Lateleng kembali acungkan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin sambil berseru. "Wahai anak muda! Kau hebat sekali! Kitab ini agaknya memang berjodoh denganmu!"
Wiro tidak perdulikan seruan orang. "Kakek itu tampaknya sengaja hendak mengalihkan perhatianku!" Membatin Pendekar 212.
Hanya satu langkah lagi bendera kuning akan lewat di bawah dua kaki Wiro tiba-tiba terdengar bunyi ajaib berkepanjangan.
"Clak… clak… clak!"
"Suara ajaib itu!" seru Naga Kuning tercekat. Dia Ingat betul. Suara mirip itu terdengar sebelum dua kaki Si Hati Baja terpapas buntung! Berarti Wiro berada dalam bahaya.
"Wiro! Awas! Kakimu!" teriak Naga Kuning.
Murid Eyang Sinto Gendeng memang sudah memasang indera pendengaran dan berlaku waspada semenjak tadi-tadi. Namun ia tidak tahu apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba dari arah pinggiran roda kincir membersit sinar putih menimbulkan Pendekar 212 kesilauan dan untuk sesaat tidak sanggup melihat apa-apa lagi. Sambaran sinar putih menyilaukan ini juga melesat secara ajaib ke arah Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ke dua orang ini berseru kaget dan terpaksa lindungi mata dengan tangan masing-masing.
"Aku tidak sanggup melihat apa-apa!" seru Naga Kuning.
"Aku juga! Aneh , sinar menyilaukan itu menciptakan kencingku terasa lebih panas! Anuku hingga bergeletar!" menyahuti Setan Ngompol dengan mata terjereng-jereng.
Di atas roda kincir Pendekar 212 berseru kaget ketika mendadak dua kakinya terasa sangat berat. Bagaimanapun ia kerahkan tenaga berusaha melompat , ia hanya bisa mengangkat kakinya ke atas sejarak seujung kuku!
"Celaka! Apa yang terjadi!" Wiro kerahkan tenaga dalam. Terbayang olehnya apa yang terjadi dengan Si Hati Baja.
"Clakk!"
Tanpa terlihat oleh Pendekar 212 yang masih kesilauan , sebuah benda putih menyilaukan menderu memapas ke arah kaki kanannya.
Saat itulah tiba-tiba terjadi satu kecacatan yang berlangsung sangat cepat. Satu tangan menyambar ke bawah , merangkul dada dan ketiak Wiro. Ber­samaan dengan itu tubuhnya terangkat ke atas. Wiro merasa seolah dibetot ke atas menembus langit. Ketika dua matanya bisa melihat masuk akal kembali , ia dapatkan dirinya tergolek dan berada di satu tempat di balik serumpunan semak belukar. Sepasang mata sang pahlawan terpentang lebar ketika melihat siapa yang tegak di hadapannya.
Murid Sinto Gendeng segera melompat bangkit.
"Luhrinjani…" desis Pendekar 212. Belum lagi habis rasa tegangnya atas apa yang barusan dialaminya di atas sana , kini tengkuknya jadi merinding. Karena ia tahu sosok yang ada di hadapannya ketika itu bantu-membantu telah mati beberapa waktu yang silam!
"Kau…!"
" Kita tidak banyak waktu. Lekas tinggalkan tempat Ini sebelum kakek di atas rumah kincir turun ke tanah lancarkan serangan. Kawan-kawanmu juga harus cepat angkat kaki dari sini!"
"Tapi bagaimana…."
Sosok wanita berwajah ayu , mengenakan pakaian panjang terbuat dari sebentuk sutera putih , rambut tergerai lepas dan melambai-lambai ditiup angin perlihatkan wajah tidak sabaran. Dengan tangan kirinya makhluk ini mencekal leher baju Pendekar212. Sekali ia bergerak Wiro seolah diajak melayang terbang. Di dekat pohon besar wanita itu menukik menyambar Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luar biasa sekali. Seperti menenteng tiga anak kucing , wanita berpakaian putih bergerak cepat seolah melayang.
Di atas atap kincir kakek kepala teleng tidak tinggal diam. Dia cepat kenakan capingnya di atas kepala kemudian menggembor murka menyaksikan apa yang terjadi.
Tangan kanannya digoyangkan tiga kali berturut-turut.
Tiga larik asap merah menyambar ke bawah.
"Kita serang!" teriak Naga Kuning yang pertama kali melihat datangnya tiga larik asap merah itu. Si setan Ngompol mancur air kencingnya. Wiro yang sudah menyaksikan keganasan asap merah serangan Kakek teleng itu segera menghantam lepaskan pukulan Sinar Matahari.
"Bummm! Bummm! Bummm!"
Tiga dentuman dahsyat menggetarkan seantero tempat. Sosok wanita berpakaian putih bergoyang keras kemudian melayang jatuh ke tanah , tapi tetap dalam keadaan tegak. Wiro mencicipi sekujur tangan kanannya berdenyut sakit dan kaku.
DI atas atap rumah kincir Lateleng delikkan mata.
"Wahai! Aku hanya melihat selarik sinar putih menyilaukan. Lalu ada hawa panas menyambar. Tiga larik asap merahku buyar walau cahaya putih itu berhasil dihancurkan. Wahai! Siapa yang menghantam! Perempuan jejadian itu atau perjaka berambut gondrong?! Jahanam betul! Aku harus menyelidik ke bawah. Mengejar dan membantai mereka semua!" Lalu mirip seekor alap-alap kakek itu terjunkan diri dan melayang ke bawah.
"Kita dikejar!" kata Naga Kuning setengah berteriak.
Wiro kembali siapkan pukulan Sinar Matahari.
Perempuan berpakaian putih cepat berucap." Kalian bertiga lekas tegak lurus-lurus. Jangan bergerak , jangan bersuara. Jika kalian mengikuti apa yang kukatakan , pasti kakek itu tidak akan melihat kita!"
"Kakek itu tidak buta! Siang bolong begini kuliner ia tidak bisa melihat kita!" ujar Naga Kuning. Seperti Wiro ia juga siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan.
"Wahai! Jangan berlaku bodoh! Jika mau selamat ikuti ucapanku!" kata Luhrinjani pula , wanita berpakaian putih itu.
"Ikuti saja apa yang dikatakannya…" bisik Wiro alasannya yaitu ia tahu wanita berpakaian putih itu bukan makhluk sembarangan tapi mayat hidup yang mempunyai kepandaian tinggi berkat pertolongan Para Peri Dari Langit Ke Tujuh. Hal ini diketahuinya dari Lakasipo beberapa waktu lalu.
Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol kemudian tegak lurus-lurus , tidak bergerak dan tidak bersuara. Hanya mata mereka saja yang jeialatan memperhatikan Lateleng. Kakek pemilik Kincir Hantu ini begitu menjejakkan kaki di halaman luas segera berkelebat kian ke mari , mencari-cari sambil mulutnya terus menerus mengeluarkan bunyi mengomel.
"Barusan mereka ada di sekitar sini! Bagaimana mungkin bisa lenyap mirip ditelan bumi!" Si kakek buka capingnya. Untuk beberapa lamanya ia berdiri diam. Hanya kepalanya yang dipalingkan kian ke mari disertai mata membeliak. "Kurang didik betul! Mereka benar-benar lenyap!" Lateleng menggeram marah.
Apa yang terjadi? Berkat ilmu kesaktian yang dimiliki Luhrinjani si kakek tidak melihat ke empat orang itu. Padahal ketika itu Wiro dan dua kawannya norta wanita berpakaian putih hanya satu langkah saja di samping kirinya. Seandainya si kakek menggerakkan tangannya ke samping pasti ia akan menyentuh sosok Si Setan Ngompol yang ketika itu tegak tak bergerak di bawah pohon tapi air kencingnya mengucur jatuh.
Ilmu kesaktian yang dimiliki Luhrinjani itu berjulukan Menutup Mata Memutus Pandang. Konon itu Adalah salah satu dari beberapa ilmu kesaktian yang diturunkan Para Peri Dari Negeri Atas Langit kepada wanita bernasib malang itu. Namun bagaimanapun hebatnya kesaktian tersebut celakanya kesaktian ini tidak menciptakan Luhrinjani bisa melenyapkan kencing Si Setan Ngompol dari pandangan mata Lateleng. Sambil dekapkan capingnya di depan dada sepasang mata’ kakek teleng itu perhatikan tanah yang berair sempurna di antara ke dua kaki Si Setan Ngompol.
Lateleng mendekat kemudian berjongkok di depan tanah yang basah. Si Setan Ngompol pejamkan mata. Untung ia masih ingat ucapan Luhrinjani biar tidak bergerak. Padahal tadi ketika melihat Lateleng mendekatinya , malah jongkok di depannya nyawanya serasa terbang dan ia hampir saja gerakkan tangan hendak memegangi pecahan bawah perutnya! Naga Kuning berdiri laksana patung sambil menggigit pecahan bawah bibirnya. Berusaha menahan ketegangan.
Pendekar 212 berdiri menahan nafas. Kepalanya terasa gatal dan ia hampir tak sanggup menahan diri hendak menggaruk. Luhrinjani satu-satunya yang berdiri dengan perilaku hening sambil memperhatikan gerak-gerik Lateleng.
Setelah jongkok di depan Setan Ngompol , Lateleng ulurkan tangan , menepuk-nepuk tanah yang berair oleh air kencing Si Setan Ngompol. Lalu jari-jarinya yang berair didekatkannya ke hidungnya.
"Hue!" Si kakek keluarkan bunyi mirip orang mau muntah. Dia meludah habis-habisan. "Bau pesing jahanam!" Makinya. Dia mendongak ke atas. Saat itu kebetulan di salah satu cabang pohon kelihatan seekor bajing besar sedang kencing. Selesai kencing hewan ini melompat ke cabang pohon lainnya dan lenyap dari pemandangan.
"Tupai celaka! Kau rupanya!" Lateleng kembali memaki. Lalu ia berdiri dan melesat kembali ke atas atap. Dari atas atap rumah kincir ini ia menilik Kincir Hantunya dan merasa lega alasannya yaitu tidak ada pecahan yang rusak jawaban bentrokan asap merah saktinya dengan pukulan Sinar Matahari tadi.
Setan Ngompol menarik nafas lega. "Tupai kencing di atas pohon itu telah menyelamatkanku dan kawan-kawan! Bagaimana saya membalas budi hewan itu ," kata si kakek jereng dalam hati.
"Kita kondusif kini ," Luhrinjani berkata dengan bunyi perlahan. "Ikuti langkahku. Kita bergerak tiga tangkah lurus ke depan , kemudian berbelok tiga langkah ke kanan , berbelok lagi tiga langkah ke kiri. Lalu lurus lagi hingga kita melewati pohon cempedak hutan di depan sana…."
Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti apa yang dikatakan Luhrinjani. Setelah melewati pohon cempedak hutan Luhrinjani hentikan langkah dan berpaling pada ke tiga orang itu. "Saat ini kita berada cukup jauh dari daerah Kincir Hantu. Wahai , saya bangga bertemu dengan kalian bertiga. Gembira tapi juga heran. Terakhir sekali saya melihat kalian , sosok kalian hanya sebesar jari. Bagaimana kini bisa berubah sebesar ini?"
Wiro kemudian menceritakan pertemuannya dengan luhclnta serta Hantu Raja Obat.
"Kalian beruntung!" kata Luhrinjani. Dia menatap Pendekar 212 sesaat kemudian meneruskan ucapannya. "Dan kamu tiga kali beruntung…."
"Apa maksudmu Luhrinjani?" tanya Wiro pula.
"Keuntungan pertama , kamu selamat dan diobati oleh Hantu Raja Obat. Keuntungan ke dua , kaki kananmu tak hingga putus dibabat Kincir Hantu. Coba kamu lihat apa yang telah terjadi dengan kasutmu sebelah kanan…."
Wiro angkat kaki kanannya sedikit kemudian perhatikan kasut yang dikenakannya. Berubahlah paras sang pendekar. Bagian tapak kasut yang terbuat dari kulit Itu ternyata telah terbabat putus hingga setengahnya. Wiro memandang pada Luhrinjani. "Kalau kamu terlambat menolongku , berarti kakiku yang putus…. Aku dan Juga kawan-kawan sangat berterima kasih padamu Luhrinjani. Sekarang apakah kamu mau menyampaikan keuntungan ketiga itu?"
Yang ditanya tersenyum. "Tak mungkin kukatakan di depan dua sahabatmu ini. Nanti saja saya ceritakan kalau ada kesempatan…."
"Antara kami bertiga tidak ada rahasia. Mengapa tidak diceritakan kini saja?" kata Wiro. Semen­tara Naga Kuning mendekati Si Setan Ngompol kemudian membisiki kakek ini. "Aku khawatir , jangan-jangan wanita ini telah jatuh cinta pada sang pangeran sableng sahabat kita ini!"
Setan Ngompol menyeringai dan menyahuti. "Buruk nian nasib kita kalau begitu. Semua wanita anggun naksir padanya. Kita kemudian kebagian apa?! Hik…hik… hik…!"
Luhrinjani menatap Pendekar 212 sesaat kemudian menggeleng. "Ketahuilah , Hantu Raja Obat yaitu makhluk ajaib yang hati dan jalan pikirannya bisa berubah dalam sekejapan mata! Apa kalian pernah mendengar berapa banyak insan yang tidak di­senanginya dijadikan Godokan obat kemudian dijarang dalam periuk tanah di atas kepalanya yang bersorban?"
Wiro mengangguk. Naga Kuning jadi merinding. Setan Ngompol eksklusif mulas perutnya. Apa yang dikatakan Luhrinjani memang benar adanya dan pernah ada orang yang memberi tahu sebelumnya.
"Luhrinjani , Lakasipo telah menganggap kami sebagai saudara angkat. Berarti kaupun yaitu saudara kami. Kami bertiga menghaturkan terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami dari tangan kakek teleng pemilik Kincir Hantu itu…."
Luhrinjani anggukkan kepalanya dengan perlahan. Parasnya yang anggun kemudian tampak berubah sayu. Dia menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong.
"Luhrinjani , kulihat perubahan pada wajahmu. Seolah ada satu ganjalan kesedihan di hatimu. Apakah…."
Luhrinjani menghela nafas panjang. "Langkahku jauh hingga ke sini alasannya yaitu menyirap kabar bahwa suamiku Lakasipo ada bersama kalian. Namun wahai , saya tidak menemukannya. Mungkin kamu dan kawan-kawan mengetahui gerangan dimana Lakasipo berada?"
Yang menjawab Naga Kuning. "Terakhir kami bersamanya ketika bertemu dengan Hantu Raja Obat. Saat Itu ia menyampaikan hendak pergi menemui seseorang. Tapi ia tidak menyebut siapa orangnya , hanya menyebut tempat di mana orang itu berada…."
Luhrinjani mendongak ke langit kemudian pejamkan mata­nya sesaat. Dia berpaling pada Naga Kuning. "Mungkin suamiku menyebut nama sebuah gunung…?"
"Betul sekali!" sahut Naga Kuning.
Wiro menyambung. "Aku ingat , kalau tidak salah Lakasipo menyebut nama gunung itu. Gunung La­batuhitam…."
"Wahai!" Wajah Luhrinjani tampak berubah. Suaranya bergetar ketika berkata. "Demi Para Dewa dan Mara Peri. Demi segala Roh yang tergantung antara langit dan bumi. Jangan-jangan memang benar firasatku. Dia menemui wanita itu…."
"Perempuan siapa maksudmu Luhrinjani?" tanya SI Betan Ngompol yang bersuara sehabis semenjak tadi membisu saja.
"Tak bisa kukatakan. Wahai , saya harus pergi sekarang…. Tapi ada satu lagi pertanyaanku. Apakah kalian pernah mendengar nama Hantu Santet Laknat?"
"Kami pernah mendengar dari Lakasipo ," jawab Wiro. "Menurut Lakasipo dukun jahat itulah yang mencelakai dirinya atas usul Lahopeng…" (Baca: "Bola Bola Iblis")
"Tahu dimana dukun itu berada?"
Wiro dan dua kawannya sama-sama gelengkan kepala.
"Karena tak ada yang ingin kutanyakan lagi , saya harus pergi kini ," kata Luhrinjani pula.
"Kakak sahabatku! Tunggu dulu!" berkata Naga Kuning. "Bolehkah saya menanyakan ilmu apa yang kamu pergunakan tadi hingga kakek teleng pemilik Kincir Hantu itu tidak bisa melihat kita semua?"
"Aku tidak sanggup memberi tahu padamu. Tidak kini , entah nanti…" jawab Luhrinjani. Perempuan ini segera balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu. Wiro menunggu hingga Luhrinjani terpisah agak jauh dari Naga Kuning dan Si Setan Ngompol , kemudian dengan cepat ia menyusul ,
"Luhrinjani , saya terpaksa bersikap keras kepala. Aku ingin kamu menyampaikan apa keberuntunganku yang ke tiga. Dua sahabatku itu tidak akan mendengar kalau kamu mengatakannya sekarang…."
Luhrinjani menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212. Membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini menjadi agak tercekat , apa lagi kalau ia ingat yang di hadapannya itu bantu-membantu yaitu roh halus dari orang yang sudah lama mati!
"Wahai! Kau memaksa rupanya. Tapi baiklah. Akan kukatakan padamu. Keberuntunganmu yang ke tiga ialah ada seorang gadis anggun berhati baik jatuh cinta padamu…."
"Siapa?!" tanya Wiro kaget alasannya yaitu tidak menyang­ka hal itu yang akan diucapkan Luhrinjani. "Kau terkalah sendiri…" jawab Luhrinjani sambil tersenyum. "Peri Angsa Putih…?" tanya Wiro. Luhrinjani tidak menjawab dan masih tetap mengulum senyum. "Luhjellta?" tanya Wiro lagi. Luhrinjani masih tersenyum mirip tadi.
"Kami kaum wanita tidak ingin membuka rahasia pribadi isi hati sesama kami. Cobalah kamu Ingat-ingat! Ada seorang lain yang sebelumnya telah menyampaikan padamu ," jawab Luhrinjani. Lalu wanita berpakaian serba putih ini melangkah pergi.
Wiro kembali mengejar. Tapi aneh! Sekali ini wa laupun ia berjalan setengah berlari tetap saja ia tak bisa mendekati wanita itu. Ketika ia perhatikan pecahan bawah kaki Luhrinjani , serta merta Pendekar 212 hentikan langkahnya. Sepasang kaki luhrlnjani ternyata tidak menginjaktanah! Ketika Wiro memandang lagi ke depan , wanita itu telah lenyap sepertl ditelan bumi! (Mengenai Luhrinjani harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Bola Bola Iblis")
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. "Ada seorang lain yang sebelumnya telah menyampaikan padamu…" kata­kata Luhrinjani itu terngiang kembali di indera pendengaran Wiro. "Siapa.. ,?" Wiro coba mengingat-ingat. Namun sebelum ia bisa mendapatkan jawaban tiba-tiba satu makhluk raksasa putih muncul di udara kemudian menukik ke bawah dan sesaat kemudian telah bersimpuh di tanah , beberapa langkah di hadapan Pendekar 212. Tapi alasannya yaitu ketika itu pikiran sang pahlawan masih dicekat oleh rasa menduga-duga maka ia seolah tidak melihat makhluk putih itu.

5

WAHAI sahabat berjulukan Wiro yang konon berjuluk Pendekar 212 , gerangan apakah yang meresapi pikiranmu hingga mata seolah tertutup kabut dan indera pendengaran mirip terhalang angin?"
Wiro tersentak kaget. "Peri Angsa Putih…" katanya begitu ia menyadari siapa yang duduk di atas punggung bebek putih raksasa. "Maafkan , saya hingga tidak…."
"Teka teki hidup yang tidak terjawab memang menciptakan seseorang bisa resah , jadi lupa diri dan lupa keadaan sekelilingnya…."
Wiro coba tersenyum dan garuk-garuk kepala. Dalam hati ia membatin. "Apakah Peri anggun ini sempat mendengar percakapanku dengan Luhrinjani tadi?"
Saat itu Naga Kuning dan Si Setan Ngompol telah berada pula di tempat itu. Keduanya menjura memberi penghormatan. "Sahabatku Peri anggun bermata biru , kami senang bisa bertemu lagi denganmu ," kata Naga Kuning.
"Aku juga merasa bangga bisa melihat kalian semua ," jawab Peri Angsa Putih sambil tersenyum kemudian melirik pada Wiro. "Kuharap kalian semua baik baik saja…."
"Peri Angsa Putih , apakah pertemuan ini suatu kebetulan saja atau memang kamu sudah kangen kemudian punya niat menemui kami? Eh , maksudku kangen pada sahabatku Wiro?" tanya Naga Kuning sambil senyum-senyum. Di lain pihak Wiro mengira kemunculan sang Peri yaitu untuk membicarakan kasus bunga mawar beracun tempo hari.
Pertanyaan Naga Kuning itu menciptakan wajah Peri Angsa Putih bersemu merah sedang Wiro ulurkan tangan mencubit punggung Naga Kuning hingga bocah Ini melintir kesakitan.
Sebenarnya semenjak beberapa waktu kemudian Peri Angsa Mutlh memang berusaha mencari Wiro. Dia ingin menemui sang pahlawan untuk menjernihkan duduk kasus bunga mawar beracun yang hampir merenggut nyawa Wiro dan yang berdasarkan Luhjelita berasal dari dirinya. (Mengenai perselisihan segi tiga antara Wiro , Peri Angsa Putih dan Luhjelita harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Tangan Empat" dan "Hantu Muka Dua") Namun niatnya untuk membicarakan hal Mu menjadi sirna ketika tadi secara tidak sengaja ia sempat mendengar ucapan-ucapan Luhrinjani yang menyebut wacana seorang gadis anggun berhati baik yang jatuh cinta pada Wiro. Untuk menutupi rasa aib dan sekaligus kekecewaannya untung Peri Angsa Putlh sanggup mencari logika mengeluarkan jawaban.
"Wahai , sebagai sahabat tentu saja saya selalu Ingin bertemu dengan kalian. Namun selain itu memang saya ingin menemui Wiro…."
"Nah! Apa kataku!" ujar Naga Kuning pula sambil menepuk pundak Si Setan Ngompol hingga kakek ini tersentak kaget dan eksklusif terkencing.
Wiro menatap wajah sang Peri. "Kau ingin membicarakan perihal bunga mawar kuning itu…" tanya Pendekar212.
Peri Angsa Putih goyangkan tangannya dan ge­lengkan kepala. "Kalau bukan itu mungkin perihal kesalahanmu memukul diriku waktu bertengkar dengan Luhjelita ," kata Wiro pula.
"Bukan , bukan itu ," jawab Peri Angsa Putih. "Aku mencarimu untuk meminta kembali selendang sutera biruku yang terjatuh sewaktu terjadi perkelahian dengan anak buah Hantu Muka Dua beberapa waktu lalu." (Baca "Hantu Muka Dua")
Sesaat Wiro jadi terpana dan tatap Peri Angsa Putih dengan pandangan penuh tanda tanya. "Aku punya firasat bantu-membantu ia bukan mencari selendang itu ," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu ia berucap. "Selendang itu memang ada padaku. Kau tentu ingat selendang itu terjatuh di tanah. Sementara kamu pergi begitu saja. Aku…." Wiro tidak melanjutkan ucapannya. Sebenarnya ia ingin selendang milik Peri Angsa Putih itu tetap ada padanya. Namun yang empunya tiba meminta. Apapun alasannya ia harus mengembalikan. "Sebenarnya aku…." Lagi-lagi Pendekar 212 tidak bisa lanjutkan kata-katanya. Ketika ia berusaha menatap mata biru Peri Angsa Putih , ia merasa seolah yang berada di hadapannya ketika itu yaitu Ratu Duyung , penguasa daerah samudera di tanah Jawa yang juga mempunyai sepasang mata berwarna biru.
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan selendang biru milik Peri Angsa Putih dalam keadaan terlipat rapi serta menebar anyir harum semerbak. "Selama selendang ini ada padaku , saya mencicipi satu kesegaran dalam diriku ," kata Wiro seraya meluruskan lipatan selendang biru.
"Dengan selendang ini dulu kamu menyelamatkan jiwaku. Sebenarnya… saya ingin selendang ini tetap berada di tanganku…."
Peri Angsa Putih terkejut alasannya yaitu tidak menyangka Wiro akan berkata mirip itu. Sesaat ia jadi resah sendirl alasannya yaitu bantu-membantu ia memang bukan muncul untuk mencari selendang itu.
"Wahai , tidak kusangka ia akan menyampaikan perasaan hatinya begitu polos. Menyesal saya meminta selendang itu kembali…" kata Peri Angsa Putih dalam hati.
"Tapi saya sadar selendang ini bukan milikku. Selama ini saya menyimpannya baik-baik. Jika ada Iwylnnnya yang- rusak atau kotor saya mohon maaf. Kuaerahkan kembali selendang ini padamu , Peri Ang­an Putih. Terimalah…."
"Ya… ya! Selendang itu memang harus dikembalikan!" kata Naga Kuning menarik hati Wiro.
SI Setan Ngompol sambil senyum-senyum dan terjereng-Jereng menyambungi. "Selendang pakaiannya orang perempuan. Masak pria ke mana-mana membawa selendang. Milik orang lain pula! Hik… hik! sungguh tidak pantas!"
Wiro delikkan mata pada ke dua kawannya itu. Lalu ia ulurkan tangan kanannya yang memegang selendang. Sesaat Peri Angsa Putih hanya berdiam diri , Diam-diam ia meratapi segala perbuatan dan ucapanya tadi. "Aku telah berlaku tolol!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. "Seharusnya tidak perlu kuminta kembali selendang itu. Jika selendang itu tetap ada padanya bukankah berarti setiap ketika ia akan selalu Ingat padaku!"
Setelah berdiam diri cukup lama balasannya dengan berat hati Peri Angsa Putih ulurkan tangan mendapatkan selendang biru tersebut. Kemudian untuk beberapa lamanya gadis ini masih tegak berdiri menatap dengan pandangan sayu pada Pendekar 212 sementara Wiro sendiri menatap sang peri dengan pandangan kecewa.
Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kini belakang layar ikut mencicipi ada sesuatu yang saling mengganjal di antara ke dua orang itu.
"Wiro ," Peri Angsa Putih berucap perlahan. "Mungkin kamu masih mengira akulah yang hendak meracuni dirimu dengan bunga mawar kuning itu. Saat ini saya bersumpah demi Para Dewa dan Para Peri serta semua roh antara langit dan bumi. Aku tidak melaksanakan hal itu. Aku ingin mendengar tanggapan eksklusif dari dirimu sendiri ketika Ini juga. Katakanlah sesuatu…."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Namun…."
"Namun apa Wiro?" Peri Angsa Putih bertanya dengan nada tidak sabaran.
"Seandainya Luhjelita juga mengucapkan sumpah mirip sumpahmu tadi , kemudian siapa di atara kalian yang bisa ku percaya?"
Mendengar ucapan Wiro itu sepasang mata Peri Angsa Putih tampak berkaca-kaca. "Wahai , kalau hal itu kamu tanyakan padaku maka jawabku yaitu ini. Percayailah sumpahnya. Jangan percaya pada sumpah seorang Peri sepertiku!"
Habis berkata begitu Peri Angsa Putih balikkan diri kemudian tinggalkan tempat itu. Wiro mirip tersadar dan hendak memanggil tapi yang dilakukannya hanya membisu tak bergerak.
"Anak tolol! Mengapa kamu berucap mirip itu pada Perl Angsa Putih!" Tiba-tiba kakek Setan Ngompol berkata.
"Kok , apa maksudmu?" tanya Wiro.
"Kau tahu! Tidak ada satu gadispun di dunia ini yang mau dibanding-bandingkan dengan gadis lain oleh seorang perjaka yang belakang layar disukainya…."
"Maksudmu Peri Angsa Putih menyukaiku?" tanya Wiro.
Naga Kuning pencongkan mulutnya. "Aku yang bocah saja bisa melihat. Kau yang punya diri tidak tahu diri! Jika kamu tidak suka pada gadis itu dan kebetulan ia suka padaku , jangan nanti kamu jadi menyesal!"
"Anak muda ," kata Setan Ngompol menyambung bicara. "Apa kamu tidak melihat bagaimana dua mata Putri Angsa Putih jadi berkaca-kaca ketika kamu membandingkannya dengan Luhjelita , perawan genit yang gentayangan ke mana-mana memikat lelaki itu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku…. Ah , bantu-membantu saya juga menyukai Peri Angsa Putih ," kata Wiro pula ,Dia membisu sejenak. "Tapi…."
"Nah , tapinya ini yang bikin brengsek! Suka tapi masih ada tapi!" kata Naga Kuning kemudian pasang muka merengut.
Sementara itu tanpa setahu ke tiga orang itu , disatu tempat yang terlindung , seorang wanita berwajah putih jelita kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik ke atas ketika mendengar ucapan Wiro yang menyampaikan bantu-membantu ia juga menyukai Peri Angsa Putih , Dalam hati ia berkata lirih. "Kalau hati perjaka asing Itu benar sudah tertambat pada Peri Angsa Putih , agaknya jelek nian nasib diriku. Padahal saya sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan duniaku kalau saja saya mendapatkan dirinya. Aku telah berusaha. Namun agaknya saya tidak mendapat restu. Mungkin cara yang kutempuh salah. Ah…." Leher jenjang wanita anggun itu tampak bergerak turun naik. Dia menggigit bibirnya kencang-kencang untuk menahan linangan air mata. Setelah mengusap pecahan bawah cuping hidungnya wanita ini kemudian berkelebat pergi ke arah sang surya yang memancarkan sinar terik menyilaukan. Kalaupun Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol melihat bayangannya maka mereka hanya akan melihat seberkas cahaya biru yang serta merta lenyap tanpa mereka bisa melihat dengan terperinci apa adanya.
"Aku tidak bermaksud menyakiti hati Peri Angsa Putih. Kalian tahu , banyak hutang budi kita padanya…."
"Dia sudah pergi. Apa gunanya bicara begitu?"ujar Naga Kuning.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Setan Ngompol.
"Aku akan menunggu hingga malam datang…’ kata Wiro.
"Eh , apa yang ada di benakmu wahai Kakak Wiro?" tanya Naga Kuning sambil miringkan kepalanya. Kata­kata dan gerakannya terperinci meledek sang pendekar.
"Begitu malam tiba saya akan kembali ke tempat Kincir Hantu itu!"
"Gila! Apa yang hendak kamu lakukan?!" tanya Naga Kuning.
"Aku mau menyelidik. Rahasia apa bantu-membantu yang ada di balik kincir itu…."
"Serrr!" Kencing Si Setan Ngompol mengucur begitu mendengar kata-kata Wiro.
"Kakimu hampir amblas! Kita semua hampir jadi jerangkong! Dan kamu bilang mau pergi kesana kembali! sungguh edan!"
"Terserah kalian mau bilang apa! Niatku sudah tetap. Aku harus menyelidik. Belasan orang mati mengerikan. Jika kalian tidak mau ikut jangan banyak omong!"
"Kami memang tidak mau ikut! Akhir-akhir ini ucapan dan tindakanmu kami lihat banyak anehnya!" kata Naga Kuning pula , bocah yang sesungguhnya yaitu kakek berusia lebih dari seratus tahun. (Mengenal Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode)
Naga Kuning berpaling pada Setan Ngompol. Sesaat kedua orang ini saling pandang. Si kakek hanya membisu saja.
*
* *
TIGA orang itu tegak di bawah pohon besar , memandang tak berkesip ke arah lapangan. Sekeliling mereka dicekam kegelapan malam.
"Wiro , apa kita tidak kesasar ke tempat yang salah?" Naga Kuning keluarkan suara. Dari suaranya terperinci bocah ini berada dalam keadaan tercekat.
"Ini pohon besar yang dihantam kakek bercaping itu. Di depan kita terbentang halaman luas. Tempatnya terperinci sama! Tapi memang yaitu ajaib kalau rumah kincir dan kincirnya tak kelihatan lagi di depan sana!" kata Wiro.
"Rumah dan Kincir Hantu bisa lenyap! Ada yang tak beres. Aku khawatir ada ancaman mengancam kita! Menyesal saya ikut bersama kalian!" kata Setan Ngompol dan mirip biasa dua tangannya cepat pegangi pecahan bawah perutnya.
"Aku tidak mengerti. Rumah dan kincir sebesar itu tahu­tahu bisa lenyap! Mungkin sengaja dipindah?" berucap Naga Kuning.
"Orang sakti manapun tidak mungkin memindahkan bangunan sebesar itu!" kata Si Setan Ngompol.
"Mungkin ini salah satu rahasia Kincir Hantu yang harus kita pecahkan. Siang hari masih nongkrong di depan sana. Malam hari tahu-tahu lenyap. Mungkin kakek itu punya ilmu mirip yang dimiliki Luhrinjani? Aku perlu menyelidik lebih dekat ke sana…."
Naga Kuning pegang pinggang celana Wiro. "Jangan gegabah. Keanehan di dalam kegelapan. Bagaimana kalau ini semua hanya merupakan satu jebakan. Sebelum kamu hingga ke ujung lapangan sana mungkin aneka macam senjata rahasia akan bertabur menembus tubuhmu. Bukan tidak mungkin kakek kepala teleng itu mendekam di tempat gelap sana. Lalu kalau ada yang tiba , dalam jarak dekat ia akan semburkan asap pipanya! Apa kita semua mau jadi jerangkong?"
"Kau betul juga!" kata Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Segera pergi saja dari tempat celaka ini!" kata Si Setan Ngompol yang semenjak tadi sudah dilamun rasa takut dan berusaha menahan kencingnya. Naga Kuning menyampaikan hal yang sama. Tapi Pendekar 212 masih penasaran. Dia dekati satu pohon kecil setinggi kepalanya. Dengan sekali hantam saja pertengahan batang pohon itu patah dua. Lalu Wiro lemparkan pecahan atas pohon ke arah di mana sebelumnya rumah dan kincir berada.
"Braaakk!"
Pohon jatuh di ujung lapangan.Tidak ada gerakan. tak ada suara. Tidak terjadi apa-apa. Wiro berpaling pada dua kawannya. Naga Kuning dan Setan Ngompol unikkan apa arti pandangan itu.
"Kalau kamu tetap keras kepala , silakan saja menyelidik ke sana…" kata Naga Kuning pula. "Aku dan kakak Ini menunggu di sini."
Wiro anggukkan kepala. Dia mulai melangkah. Dia berjalan tidak eksklusif menempuh lapangan terbuka dari arah depan , tapi bergerak dulu ke kanan , menyisi sepanjang tepi lapangan kemudian membelok ke kiri. Di ujung sana ia membelok lagi ke kiri. Kini bergerak ke arah di mana sebelumnya rumah kincir dan Kincir Hantu berada. Sebegitu jauh tak terjadi apa-apa. Namun ketika murid Sinto Gendeng hanya tinggal satu tombak saja lagi dari asumsi letak bangunan , mendadak dalam kegelapan malam berkiblat dua buah sinar kebiru-biruan , menderu ke arah Pendekar 212.
"Senjata rahasia! Wiro awas!" teriak Naga Kuning memperingatkan.
Wiro memang sudah mendengar kemudian mellhat gerakan dua benda bersinar biru itu. Sambil jatuhkan diri Wiro hantamkan tangan kanannya melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dua benda biru terpental. Namun!
"Blaaarr!"
"Blnaarr!"
Dua ledakan dahsyat menggema di udara malam. Dua buah benda biru hancur bertaburan membentuk keping-keping aneh. Keping-keping ini kemudian bermetamorfosis larikan-larikan panjang. Lalu laksana tangan­tangan gurita , larikan-larikan sinar biru itu menyambar mencengkeram ke arah Pendekar 212.
Wiro gulingkan dirinya di tanah. Menyingkir kesisi lapangan sebelah kanan dari arah mana tadi ia tiba kemudian kembali lepaskan satu pukulan sakti ber­nama Dewa Topan Menggusur Gunung.
Sepuluh larik sinar biru yang mirip tangan-tangan gurita yang tadi hendak mencengkeramnya mencelat buyar ke udara. Namun luar biasanya , buyaran yang berjumlah dua puluh empat ini bermetamorfosis mirip dua benda biru yang pertama kali menyerang Wiro , menderu dengan kecepatan setan dalam gelapnya malam , menyambar ke arah sosok Pendekar 212!
"Celaka!" ujar Setan Ngompol melihat apa yang terjadi. Kakek ini serta merta gerakkan tangan kanannya. Serangkum angin menebar anyir pesing menderu ke ujung lapangan. Inilah pukulan Setan Ngompol Mengencingi Langit.
Naga Kuning tidak tinggal diam. Begitu melihat Wiro berada dalam keadaan ancaman ia segera menghantam tangan kanannya. Sinar biru panjang menderu dalam kegelapan malam , memapaki gerakan dua puluh empat benda biru yang menyerbu Pendekar 212.
Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya yang sudah disiapkan untuk melepas pukulan Sinar Matahari berkelebat ke depan.
Selarik sinar putih menyilaukan disertai hamparan hawa panas laksana sambaran kilat menyambar ke depan. Tiga pukulan sakti menggempur dua puluh empat benda biru.
Letusan-letusan mirip hendak mengoyak gendang­gendang indera pendengaran berdentuman di tempat itu. Tanah bergetar. Pepohonan berderak. Semak-semak berserabutan dan debu serta pasir beterbangan ke udara.
Ketika keadaan hening kembali Wiro dan kawan­kawannya sudah menjauhkan diri dari tanah lapang. Setan Ngompol terbatuk-batuk sambil pegangi bawah perutnya. Naga Kuning tegak dengan tubuh gemetar alasannya yaitu tangannya yang tadi digunakan untuk menghantam benda-benda biru itu kini terasa mirip kaku dan panas. Wiro sendiri yang melepas pukulan Sinar Matahari dengan mengerahkan hampir sepertiga tenaga dalamnya mencicipi dadanya berdebar dan pemikiran darahnya tak karuan.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat celaka ini! Kendali kalau ada diantara kalian yang mau mampus percuma!" kata Si Setan Ngompol pula yang kembali kuyup celananya.
Wiro dan Naga Kuning sepakat untuk pergi dari tempat Itu. Namun gres sama bergerak satu langkah tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dari balik gundukan tanah tinggi disertai bunyi membentak.
"Kalian bertiga memang sudah ditakdirkan mampus percuma!"
Belum habis kejut Wiro dan kawan-kawannya melihat kelebatan bayangan hitam yang disusul bentakan bernafsu itu , mendadak tiga buah benda bercahaya merah mirip bara api melesat ke arah mereka!
"Sialan! Siapa lagi yang punya pekerjaan ini!" teriak Wiro. Dia cepat melompat selamatkan diri sambil mendorong dua kawannya.
Tiga benda merah melesat di samping mereka kemudian amblas ke dalam sebuah kerikil besar di dekat rerumpunan semak belukar. Batu itu serta merta dikobari api kemudian bergemeretak pecah menjadi empat pecahan , hangus menghitam dan kepulkan asap.
Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah. Naga Kuning tertelungkup dengan muka pucat Wiro memandang ke arah kegelapan , kejurusan datangnya serangan tadi. Dia melihat sesosok tubuh tinggi besar. Salah satu tangannya buntung. Di pecahan perut orang ini sebelah dalam seolah ada sesuatu yang mengeluarkan cahaya kemerahan.

6

UNTUK sementara waktu kita tinggalkan dulu Wiro dan dua sahabatnya yang tengah mendapat serangan di malam gelap oleh seseorang yang belum diketahui siapa adanya.
Dalam Episode sebelumnya (Hantu Muka Dua) telah diceritakan bagaimana kakek utusan Para Dewa berjulukan Lamanyala menemui putera bungsu Laselayu yang tengah bertapa di sebuah pulau karang. Iamanyala memberi tahu , kalau perjaka itu mengikuti apa yang dikatakannya maka kelak ia akan menjadi seorang sakti mandraguna , dijuluki Hantu Muka Dua alasannya yaitu nantinya ia akan menjalani hidup dengan mempunyai dua muka kembar. Selanjutnya ia akan menjadi pelambang Segala Keji , Segala Tipu , Segala Nafsu. Untuk mendapatkan semua itu maka pertapa muda Itu harus pergi ke Negeri Latanahsilam. Dia harus menemui beberapa tokoh sakti di negeri itu dan merampas ilmu kesaktian yang mereka miliki. Kemudian si perjaka yang oleh Lamanyala diberi nama Labahala harus pergi ke Lembah Seribu Kabut. Disitu bertapa seorang sakti yang bukan lain yaitu Lasedayu dan bantu-membantu yaitu ayah kandung Labahala sendiri. Konon pada masa itu Lasedayu yaitu yang paling sakti di seluruh negeri , melebihi kehebatan Hantu Tangan Empat yang merupakan dedengkot para Hantu sakti yang ada. Untuk menundukkan Lasedayu , Labahala harus mencungkil dan merampas pusar orang sakti itu. Lamanyala kemudian membekali Labahala dengan sebuah benda yakni sendok ajaib bergagang pendek dan terbuat dari emas murni. Sendok ini merupakan satu benda sakti dan diberi nama Sendok Pemasung Nasib.
Dengan sendok inilah Labahala harus mencungkil pusar Lasedayu.
Labahala tidak pernah tahu bahwa pertapa sakti di Lembah Seribu Kabut yang akan didatanginya itu yaitu ayah kandungnya sendiri. Lamanyala sengaja mengatur semua itu alasannya yaitu dendam kesumatnya ter­hadap Lasedayu. Bukan saja Lasedayu telah meng­ambil Jimat Hati Dewa titipan Para Dewa , tetapi juga alasannya yaitu Lasedayu telah menciptakan kakek itu menjadi mengerikan seumur hidup. Sosok tubuhnya sebelah kanan hancur dan tinggal merupakan satu gerakan besar begitu rupa sehingga tulang iga , sebagian isi dada dan isi perutnya terlihat dengan terperinci , luar biasa angker mengerikan! Selain itu antara Lamanyala dengan Para Dewa di Atas Langit telah terjadi perselisihan hebat Para Dewa tidak menyukai cara yang ditempuh Lamanyala dalam menjatuhkan eksekusi atas diri Lasedayu yang dianggap semata-mata hanya merupakan pelampiasan dendam pribadi. Dalam amarahnya Lamanyala balasannya menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Utusan Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dengan demikian ia bebas melaksanakan apa saja berdasarkan kehendak hatinya.
LEMBAH Seribu Kabut….
Saat itu malam gres saja hingga ke ujungnya. Udara terasa hirau taacuh mencucuk dan kegelapan masih mencekam di semua penjuru. Di daerah selatan Negeri Latanahsilam satu bayangan berkelebat cepat ke arah timur dimana terletak satu daerah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Lembah ini diberi nama demikian alasannya yaitu jangankan malam atau pagi hari , pada siang hari saja selagi matahari bersinar terik , kabut menyungkup seantero lembah menutup pemandangan.
Bayangan tadi berlari cepat menembus kegelapan dan udara hirau taacuh , eksklusif ke sentra lembah. Di satu tempat ia hentikan langkah. Di kejauhan terdengar bunyi lolongan hewan buas penghuni lembah. Orang ini memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa , kecuali pepohonan , semak belukar , bebatu­an. Semua menghitam dalam kegelapan. Kabut dan kegelapan malam menciptakan pandangannya sangat terbatas.
"Sunyi… gelap dan dingin. Di mana saya harus mencari orang sakti berjulukan Lasedayu itu…." Orang Ini berkata dan bertanya-tanya dalam hati. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Pandangannya memben­tur sebuah kerikil besar. Rasa letih menciptakan ia me­langkah mendekati kerikil kemudian duduk di sana. "Mungkin saya harus menunggu hingga matahari terbit. Jika hari sudah terang saya akan menilik seluruh lembah ini. Bukan tidak mungkin ia tinggal di dalam sebuah goa…."
Karena kerikil yang didudukinya itu agak datar maka orang ini baringkan dirinya. Perjalanan jauh menciptakan sekujur tubuhnya letih. Sesaat antara tertidur dan jaga tiba-tiba ia bangun dan duduk di atas batu. Ada bunyi mirip langkah kaki di sebelah kanan. Namun memandang ke jurusan itu ia tidak melihat siapa-siapa. Rasa tegang perlahan-lahan merayapi hati orang ini.
"Mungkin berbahaya kalau saya hingga ketiduran…" pikir orang itu. Lalu ia duduk bersila di atas batu. Sesaat terbayang di pelupuk matanya wajah kakek sakti berjulukan Lamanyala itu. Dia coba membayangkan bagaimana kira­kira sosok dan tampang insan berjulukan Lasedayu. Dalam keadaan mirip itu orang ini tidak mengetahui kalau dari sebelah atas , sebuah benda besar perlahan­lahan melayang turun ke arah kepalanya. Dia gres menyadari ketika serangkum angin sangat halus menyapu tengkuknya.
Saat itu bibir lembah di sebelah timur kelihatan mulai terang menerangkan sang surya siap memperlihatkan dirinya kembali di muka bumi. Orang yang duduk di atas kerikil dongakkan kepalanya ke atas. Tapi! Astaga! Sebuah benda tiba-tiba menekan dari atas , menciptakan ia tidak bisa mendongak atau memutar kepala. Dia kerahkan tenaga bahkan tenaga dalam , tetap saja ia tak sanggup melepaskan diri dari tindihan benda di atas kepalanya itu.
"Makhluk kurang ajar! Siapapun kamu adanya pantas kubantai ketika ini juga!" Orang di atas kerikil membentak kemudian secepat kilat tangan kanannya dipukulkan ke atas!
Selarik sinar hijau berkiblat dalam keremangan di final malam yang segera berganti siang itu.
Tindihan di atas kepala orang ini mendadak lenyap. Satu bayangan berkelebat dua tombak ke atas.
Serangan yang dilancarkan orang di atas pundak cepat luar biasa. Tapi sasaran yang diserang bergerak lebih cepat untuk selamatkan diri. Sinar hijau sehabis menembus kabut dan udara kosong menghantam satu pohon hcsar. Pohon ini eksklusif bermetamorfosis Hijau Ialu meleleh tumbang seolah bermetamorfosis lumpur hijaui Benar-benar luar biasa mengerikan.
" Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!" Satu bunyi berseru di sebelah atas.
Orang yang lepaskan pukulan melompat turun dari batu. Ketika ia memandang ke atas , kakinya eksklusif tersurut. Sejarak tiga tombak di atas kerikil ia melihat seorang bau tanah dalam perilaku duduk bersila , mengapung di udara sambil rangkapkan dua tangan di muka dada. Sepasang matanya memandang tajam pada orang di bawahnya. Satu tangan kemudian bergerak mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut panjang warna kelabu.
"Bukan main! Orang bau tanah itu mempunyai tenaga dalam tinggi luar biasa! Juga ilmu meringankan tubuh yang sangat langka! Dia bisa mengapung di udara mirip duduk enak-enakan di lantai yang lembut!"
"Anak muda yang muncul di penghujung malam , Malam kabut dan udara dingin. Wahai , siapa kamu adanya. Apakah kamu berpunya nama?"
Orang di depan kerikil sesaat tegak membisu tak menjawab. Apa perlu ia menjawab pertanyaan orang itu. Tapi ia harus mengetahui terperinci siapa adanya orang tersebut. Makara ia memang perlu membuka ekspresi untuk bicara.
"Guruku yang pertama memberi saya nama Lajundai. Guruku yang ke dua menamakan saya Labahala!. Terserah kamu mau memanggil saya siapa! Tapi pantas kamu ketahui saya muncul menyandang satu gelar besar! sebelum kukatakan gelar itu harap beri tahu apakah kamu makhluknya yang bernama.Lasedayu , penghuni dan penguasa Lembah Seribu Kabut ini?!"
Orang bau tanah di atas sana kerenyitkan kening. Alis matanya yang lebat tebal mencuat ke atas. Lalu tampak ia menyeringai. Kembali dua tangannya disilangkan di atas dada.
"Kau punya dua orang guru. Tentu kamu yaitu seorang perjaka sakti. Wahai anak muda , coba kamu beri tahu siapa nama gurumu yang pertama dan ke dua itu!"
"Kau tak layak bertanya dan saya tak layak menjawab!"
Orang yang mengapung di udara tertawa datar.
"Jangan tertawa! Tak ada yang lucu , katakan saja apa kamu orangnya yang berjulukan Lasedayu?!" menghardik Lajundai alias Labahala.
"Kau mirip orang yang kesusu. Ada sesuatu yang menciptakan kamu tidak sabaran! Jangan kamu keliwat memaksa anak muda! Pukulan yang tadi kamu lepaskan yaitu Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh. Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh seorang tokoh berjulukan Hantu Lumpur Hijau yang membisu di Kubangan Lumpur. Bagaimana kamu bisa memilikinya. Apa kamu murid atau punya kekerabatan tertentu dengan dirinya?!"
Labahala tertawa lebar. Sambil angkat tangan acungkan tinju ia berkata. "Aku bukan murid bukan kerabat Hantu Lumpur Hijau. Ilmu Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh itu saya rampas dari Hantu Lumpur Hijau!"
"Kau rampas dari Hantu Lumpur Hijau? Wahai! Kau tentu bergurau…."
"Siapa bilang saya bergurau! Lihat! Aku juga telah merampas beberapa kesaktian yang dimiliki Hantu Tangan Empat. Saksikan ini! Apa kamu mengenali ilmu kesaktian yang akan kuperlihatkan ini?!"
Begltu berucap maka tubuh Labahala bermetamorfosis asap berwarna merah kemudian tanpa mengeluarkan bunyi , bergulung berputar mirip gasing , membentuk kerucut terbalik. Orang bau tanah di atas sana buka dua tangannya yang disilangkan di depan dada. Dia terkejut besar ketika mencicipi tubuhnya mulai tersedot ke arah kerucut asap itu! Buru-buru ia mengapung naik hingga setinggi tiga tombak!
‘Ilmu Tangan Hantu Tanpa Suara!" seru orang diatas sana dengan air muka berubah.
Di bawahnya Labahala hentikan putaran tubuhnya kemudian ia kembali ke ujudnya semula. "Sekarang kamu percaya saya tidak berdusta wahai makhluk berjanggut kelabu?! Dan apakah kamu masih belum mau memberi tahu apakah kamu ini Lasedayu atau bukan?!"
"Aku akan memberi tahu siapa diriku. Tapi saya perlu tahu dulu bagaimana kamu bisa mendapatkan semua Ilmu milik para Hantu di Tanahsilam itu?!"
"Sudah kukatakan! Aku merampas semua ilmu itu" jawab Labahala.
*
* *

7

PERLAHAN-LAHAN orang yang duduk mengapung di udara bergerak turun hingga kini ia hanya lima jengkal saja dari atas kerikil datar di hadapan Labahala.
"Aku memang orang yang berjulukan Lasedayu. Penguasa Tujuh Penjuru Angin Negeri Latanahsilam. Aku tidak membenarkan perbuatanmu merampas ilmu kesaktian para Hantu yang berada di bawah kekuasaanku. Kau harus kembalikan semua ilmu rampasan itu dengan cara menyerahkan dua tanganmu kiri kanan padaku! Lekas ulurkan dua tanganmu!"
Labahala tertawa bergelak mendengar kata-kata orang berjulukan Lasedayu yang bukan lain yaitu ayah kandungnya sendiri.
"Lasedayu , saya memang sudah mendengar nama besarmu! Tapi bukan berarti saya harus tunduk dan sanggup kamu perlakukan mirip Para Hantu lainnya! Aku justru tiba untuk memaklumkan bahwa mulai hari ini kamu berada dalam kekuasaanku! Aku yaitu Raja Diraja Para Hantu di Negeri Latanahsilam! Aku pelambang Hantu Segala Keji , Segala Tipu , Segala Nafsu!"
"Siapapun kamu adanya saya tidak peduli! Lekas ulurkan dua tanganmu!" membentak Lasedayu. Tubuhnya yang mengapung bergerak satu langkah mendekati Labahala.
"Lasedayu , kamu punya mata tapi tidak melihat tingginya Gunung Latinggimeru. Kau bisa melihat tapi tidak menampak dan tidak tahu dalamnya lautan Lasamuderahijau! Lihat wajahku baik-baik!"
Labahala kemudian usap wajahnya. Saat itu juga kepalanya berubah jadi mempunyai dua muka berbentuk muka raksasa berwarna merah! Hidung besar , bibir tebal dilengkapi taring yang mencuat. Rambut panjang awut­awutan dan sepasang mata melotot besar berwarna merah mirip api!
Lasedayu tersentak kaget , sampai-sampai melambung satu tombak ke atas.
"Makhluk jejadian! Siapa kamu sebenarnya?!" hardik Lasedayu.
"Aku bukan makhluk jejadian! Aku yaitu Hantu Muka Dua! Raja Diraja Para Hantu Tujuh Penjuru Angin Negeri Latanahsilam! Jangan kamu berani bertingkah di hadapanku!"
Dalam kagetnya Lasedayu menyadari bahwa ia dihentikan berlaku ayal. Dia maklum kalau makhluk di hadapannya itu punya maksud jahat. Maka sebelum terjadi hal yang tidak diingini ia tetapkan untuk menghantam Labahala lebih dulu! Tanpa tunggu lebih lama ia segera lepaskan satu pukulan , mengantar Ilmu kesaktian yang disebut Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Perut Bumi!.
Serangkum angin sedahsyat puting beliung dan memancarkan sinar merah menderu ke bawah. Labahala yang tidak menyangka bakal diserang secara mendadak begitu rupa berteriak murka dalam kagetnya dan buru-buru selamatkan diri. Dia melesat ke kiri kemudian menciptakan gerakan berputar dan tahu-tahu sudah berada di belakang kerikil besar! Di depan sana ia menyaksikan bagaimana pukulan Lasedayu yang tidak mengenai sasarannya menghantam sebuah pohon besar. Pohon ini serta merta terkelupas seluruh permukaan kulitnya hingga dalam waktu sekejapan mata hanya tinggal bagiannya yang berwarna putih , kemudian roboh tumbang dengan bunyi bergemuruh!
Sesaat bulu kuduk Labahala mau tak mau jadi merinding juga. Dalam hati ia membatin. "Mungkin ini ilmu yang berdasarkan Lamanyala berjulukan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumil Luar biasa! Jika insan hingga kena sasarannya pasti akan menemui ajal dengan tubuh hanya tinggal tulang belulang saja! Aku harus dapatkan ilmu kesaktian itu! Semua petunjuk Lamanyala ternyata benar adanya!"
Kejut Lasedayu bukan kepalang. Bukan saja ketika melihat lawan sanggup selamatkan diri dari ilmu kesaktian yang sangat diandalkannya itu , tetapi juga ketika menyaksikan bagaimana Labahala tahu-tahu sudah berada di sebelah belakangnya , di balik kerikil besar. Cepat Lasedayu berbalik.
Saat itu sinar sang surya yang gres terbit telah mencapai bibir sebelah timur Lembah Seribu Kabut. Sinarterangnya jatuh ke sentra lembah , memantul pada sebuah benda kuning yang berada dalam genggaman Labahala.
Lasedayu lindungi dua matanya ketika sinar kuning itu menyapu mukanya dan menciptakan pemandangannya sesaat menjadi gelap. Dalam keadaan masih mengapung di udara ia melesat ke kiri. Ketika ia bisa melihat dengan terperinci kembali kagetnya bukan alang kepalang. Pemuda berjulukan Labahala dengan muka raksasa kembar mengerikan itu sudah berada di depannya. Dalam jarak sedekat itu gres Lasedayu melihat benda apa yang ada di tangan Labahala.
"Sendok Emas Pemasung Nasib!" teriak Lasedayu. Kaki kanannya eksklusif dihantamkan ke arah kepala Labahala. Namun gerakannya kalah cepat. Sendok emas di tangan lawan menderu laksana kilat ke arah perutnya.
"Settttt…. Craaasss!" Lasedayu menjerit setinggi langit. Darah menyembur dari pertengahan perutnya. Dia segera pergunakan dua telapak tangan untuk menutup luka besar di perut , membendung muncratan darah. Dengan tubuh sempoyongan ia melayang turun dan jejakkan kaki di tanah. Memandang ke depan Lasedayu melihat perjaka bermuka raksasa kembar itu tegak sambil menyeringai. Di tangan kanannya , di atas sendok emas {bergagang pendek menempel sebuah benda sebesar {ujung ibu jari kaki , berbentuk daging merah hidup ‘bergerak-gerak! Itulah pusar Lasedayu yang berhasil [dicungkil oleh Labahala dengan Sendok Pemasung Nasib yang didapatnya dari kakek berjulukan Lamanyala!
Dengan kesaktian yang dimilikinya Lasedayu bisa menutup luka besar di pecahan pertengahan perutnya. Namun sesaat kemudian tubuhnya mulai bergeletar. Dua kakinya goyah. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut di tanah. Kesaktian yang dimilikinya berangsur-angsur sirna. Pandangan matanya yang membeliak besar dan galak kepada Labahala berubah kuyu dan sayu. Sekujur tubuhnya lemas seolah tidak mempunyai tulang , urat dan otot lagi. Mukanya berubah pucat dan menjadi tiga kali lebih bau tanah , seolah telah menjadi kakek-kakek!
Labahala tertawa mengekeh sambil acungkan sendok yang ditempeli pusar Lasedayu. Daging pusar yang tadi hidup berdenyut-denyut kini membisu dan seolah bermetamorfosis kerikil , menyatu dengan sendok emas itu!
Labahala tertawa bergefak. "Lasedayu! Pusarmu sudah berada di tanganku! Kesaktianmu seluruhnya berpindah ke dalam tubuhku! Ha… ha… ha!"
Labahala gerakkan tangan kanannya , siap untuk menyimpan sendok emas dan pusar Lasedayu ke balik pakaian kulit kayu yang dikenakannya.
"Selamat tinggal Lasedayu! Ha… ha… ha…!"
Sambil memutar tubuh untuk berkelebat pergi Labahala masukkan sendok emas ke balik pakaiannya. Namun mendadak terjadi hal yang tidak terduga.
Didahului satu siuran angin serta satu gelombang kabut yang menutupi pemandangan , di udara ber­kelebat satu bayangan serba putih. Lasedayu mencelat dan terbanting ke tanah oleh sambaran angin itu sementara Labahala sempat terjajar sempoyongan hingga beberapa langkah. Selagi ia berusaha meng­imbangi diri tiba-tiba satu tangan laksana kilat me­nyambar ke arah lehernya , mirip pedang yang hen­dak membabat putus. Ketika ia berusaha mengelak sambil palangkan tangan kiri tahu-tahu ada lagi satu tangan menyambar. Labahala tersentak kaget ketika menyadari sendok emas yang masih ditempeli pusar Lasedayu tak ada lagi dalam genggaman tangan ka­nannya!
"Jahanam berani mati!" teriak Labahala murka sekali. Dia hantamkan tangan kiri kanan. Yang kiri lepaskan pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh sedang tangan kanan menghantam pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Pukulan ke dua ini gres saja dirampasnya dari Lasedayu. Walau belum mantap namun kekuatannya sanggup menciptakan lawan bermetamorfosis tulang belulang! Bayangan putih yang diserang menciptakan gerakan
aneh. Tubuhnya melesat ke atas namun di sebelah bawah , ujung pakaiannya yang berbentuk mirip jubah memapas dahsyat , mengeluarkan angin deras , menciptakan tanah laksana dilanda gempa.
"Plaakk… plakkkk… plaakk!"
Dua larik angin pukulan sakti yang dilepaskan Labahala terpental. Labahala sendiri terbanting ke tanah. Begitu ia melompat bangun bayangan putih tadi telah berkelebat ke arah matahari terbit dan balasannya lenyap dalam sinar menyilaukan yang membutakan pemandangan!
Dua muka raksasa Labahala menggeram. Dua pasang matanya mirip mau melompat keluar dan taring-taring dalam mulutnya mencuat bergemeletakan!
"Jahanam! Dia merampas sendok emas itu! Kurang ajar! Aku bersumpah mencari tahu siapa adanya bedebah pencuri itu!" Labahala murka besar. Seperti orang kalap ia menghantam kian ke mari , menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya! Lalu tanpa pedulikan lagi Lasedayu yang tergeletak tak bergerak di tanah , Lajundai alias Labahala segera tinggalkan tempat itu.
Matahari pagi bergerak naik. Kabut melayang tu-run ke pecahan paling bawah Lembah Seribu Kabut. Lasedayu mengerang panjang. Sambil pegangi perutnya yang luka ia berusaha bangun dan duduk menjelepok di tanah. Selagi ia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya kemudian mencoba bangun berdiri tiba­tiba dari arah barat bibir lembah kelihatan nyala api ajaib bergerak cepat menuruni lembah. Demikian cepatnya hingga dalam waktu dua kejapan mata benda ini sudah berada di hadapan Lasedayu.
Lasedayu terkesiap kaget ketika mengenali siapa adanya makhluk yang tubuhnya dikobari api itu. Dia bukan lain yaitu Lamanyala , kakek sakti yang dulu pernah menjadi Utusan Para Dewa. Sisi kanan tubuhnya berlubang besar mengerikan. Kakek ini tegak berkacak pinggang di hadapan Lasedayu yang megap-megap mencoba berdiri.
"Wahai Lasedayu , apakah kamu sadar bagaimana kutukanku beberapa puluh tahun silam kini telah menjadi kenyataan?!"
"Tua bangka jahanam. Kau rupanya! Apa maksud ucapanmu barusan?!" bunyi Lasedayu masih keras dan garang.
"Hidup keluargamu morat marit! Kau tak tahu dimana istrimu berada. Kau juga tidak tahu dimana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan seluruh kesaktianmu! Kau kini tidak beda dengan bangkai hidup tak ada gunanya! Ha… ha… ha… ha… ha! Dan kini kutukan paling menyiksa akan kamu alami!"
Kakek berjulukan Lamanyala itu angkat tangan kirinya. Telapak tangan dibuka dikembangkan dan diarahkan pada Lasedayu.
"Bangkit…. Tegak! Berdirilah Lasedayu. Tapi jangan berdiri dengan dua kakimu! Mulai hari ini kamu akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur! Ha… ha…ha!"
Lamanyala gerakkan tangan kirinya. Secara ajaib sosok Lasedayu yang tadi susah payah berdiri kini bangun tegak. Lalu perlahan-lahan tubuh itu naik ke atas , berputar dengan kepala menghadap ke tanah.
Mau tak mau Lasedayu harus ulurkan tangan menjaga biar bukan kepalanya yang menempel di tanah.
" Bagus Lasedayu! Wahai bagus sekali! Kau sudah mengerti rupanya! Ha… ha… ha! Kaki ke atas kepala ke bawah. Dua tangan dijadikan pengganti kaki untuk berjalan! Itulah kehidupan barumu Lasedayu! Ha…ha…ha!"
Lasedayu keluarkan bunyi menggembor. Tiba-tiba ia mengejar ke arah si kakek. Seperti yang dikatakan Lamanyala tadi , Lasedayu benar-benar pergunakan dua tangannya sebagai kaki.
Lamanyala tertawa terkekeh-kekeh. "Selamat tinggal Lasedayu! Ha… ha… ha!" Sekali berkelebat si kakek lenyap ke balik kabut ‘yang menggantung di dasar lembah.
*
* *

8

ORANG TUA berjubah putih itu melompat ke dalam bahtera yang rupanya memang sudah menunggunya di tikungan sungai. Walau tubuhnya tinggi besar dan jarak pinggiran sungai ke bahtera cukup jauh namun sedikit pun bahtera itu tidak bergerak. Jelas ia seorang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam sangat tinggi. Selain itu ada satu hal sangat ajaib dan sangat mengerikan pada orang ini yakni pecahan kepalanya. Otaknya tidak berada di dalam batok kepala melainkan berada dan terlihat menyembul di luar kepala mulai dari atas kening hingga ubun-ubun. Otak ini terbungkus oleh sejenis selubung bening mirip lapisan beling dan terlihat selalu bergerak hidup!
Pemilik bahtera , seorang lelaki muda bermuka hitam penuh ketakutan segera saja mengayuh perahunya menuju ke hilir. Di satu tempat sebelum mencapai sebuah tikungan bahtera membelok menyeberang kemudian merapat di tepian sungai di mana terdapat sebuah gubuk kecil tak berdinding. Tanpa berkata apa-apa , orang bau tanah berjubah melompat ke daratan. Tubuhnya melayang laksana terbang melewati atap gubuk kemudian lenyap diantara kerapatan pepohonan. Waktu menciptakan gerakan melompat meninggalkan bahtera tadi lagi-lagi bahtera itu tidak bergeming sedikitpun.
Pemilik bahtera yang kini merasa lega gelengkan kepala. "Manusia ajaib mengerikan! Seumur-umur gres kali ini saya melihat insan otaknya berbungkah di luar kepala! Manusia aneh! Tapi apa betul ia insan sungguhan? Ihhh! Datang dan pergi bicara.hanya dengan isyarat tangan dan gerakan mata! Wahai…. Bahkan ia tidak memberi upah sama sekali!"
Orang ini menghela nafas panjang. Mendadak pandangannya membentur sebuah benda berkilauan yang menancap di pinggiran perahu. Diraba-rabanya benda Itu sesaat kemudian dicabutnya. Begitu memperhatikan satu seruan kecil keluar dari mulutnya.
"Orang bau tanah aneh. Benar-benar aneh! Aku telah berburuk sangka. Ternyata ia meninggalkan lempengan perak ini sebagai sewa dan upah perahu! Siapa kah gerangan. Aku pernah menyirap kabar dulu ada seorang bau tanah tinggal di pedalaman sana. Memiliki ilmu kesaktian yang hampir setingkat kesaktian Para Dewa. apa ia orangnya?" Pemilik bahtera itu timang-timang lempengan perak kemudian menciumnya berulang kali. Orang bau tanah berjubah putih yang otaknya terletak diluar batok kepala itu berlari laksana angin. Rambutnya yang panjang putih bukan saja menutupi kepala pecahan belakang hingga ke punggung , tapi juga menjulai di sebelah depan menutupi wajahnya. Walau matanya terhalang namun ia bisa berlari dengan kecepatan luar biasa. Sesekali ia sengaja menerjang pepohonan yang menghadang di depannya mirip tidak sabar untuk menghindar. Saat itu ia memang tengah berpacu dengan waktu. Dia sedang menghadapi urusan genting. Kemampuannya untuk hingga di tujuan dalam waktu secepat mungkin akan menyelamatkan nyawa seseorang. Sambil lari sesekali ia mendongak ke atas memperhatikan matahari. Kalau ia hingga di tujuan pada ketika matahari mencapai titik tertingginya berarti ia akan gagal menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.
Sambil berlari dalam hati tiada putusnya ia mengucap. "Lawungu! Jangan kamu mati dulu! Wahai Para Dewa , Para Peri dan semua roh yang ada antara bumi dan langit! Tolong sahabatku itu!" Otak di atas kepalanya berdenyut keras.
Berlari sejauh lima ratus tombak orang bau tanah ini hingga di satu daerah hutan yang banyak ditebari batu-batu besar. Di satu tempat ia membelok ke kiri dan hingga di hadapan sebuah lobang besar yang merupakan ekspresi sebuah goa. Tanpa ragu orang bau tanah ini masuk ke dalam goa itu.
Di dalam goa yang hanya diterangi oleh sebuah obor kecil , tergolek sesosok tubuh. Kaki kanannya mulai dari telapak hingga ke lutut diselimuti luka besar yang telah memborok dan menebar anyir sangat busuk.
"Sahabatku Lawungu , saya merasa bahagia! Hari ini saya sanggup melunasi hutang nyawa itu!" Si orang bau tanah berucap kemudian membungkuk. Sosok di lantai goa tidak bergerak. Orang bau tanah ini sesaat menjadi kecut.
Jangan-jangan ia terlambat! Orang yang hendak ditolongnya telah keburu menemui ajal. Celaka!
"Lawungu!" Orang bau tanah itu pegang dada Lawungu , orang yang tergolek di lantai. Dia menjadi lega begitu mencicipi masih ada denyutan jantung walau sangat perlahan dan lemah. Lalu ia kerahkan tenaga dalam dan alirkan ke dalam tubuh orang itu. Sesaat kemudian orang bau tanah berjulukan Lawungu keluarkan bunyi mengerang.
"Lawungu! Buka matamu! Aku datang!"
Lawungu buka dua matanya yang semenjak tadi terpejam. Mengerikan sekali. Sepasang mata itu tertutup genangan nanah! Orang bau tanah berjubah putih tercekat kaget!
Walau tidak melihat namun Lawungu masih bisa mengenali siapa yang ada di dekatnya dari suaranya.
Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar.
"Wahai sahabatku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab , apakah kamu berhasil mendapatkan satu-satunya benda yang bisa menyembuhkan borok , membunuh racun ular dalam darahku dan menyelamatkan jiwaku?!"
"AkU berhasil sahabatku! Aku membawanya Lawungu!" Lalu orang bau tanah berjubah putih yang ternyata yaitu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang sangat populer di Negeri Latanahsilam sebagai makhluk berkepandaian sangat tinggi keluarkan sendok emas dari balik jubahnya. Karena sahabatnya tidak bisa melihat maka Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menggenggamkan sendok emas itu ke tangan kanan Lawungu.
Begitu sendok emas sakti itu berada dalam genggaman Lawungu , satu hawa ajaib menjalar masuk kedalam tubuhnya kemudian mengalir ke dua jurusan yakni kaki kanan dan sepasang matanya. Seperti bara api kejatuhan tetesan air dua mata serta kaki kanan basi Berborok dari Lawungu keluarkan bunyi "cess…cess…cess!" Lalu ada kepulan asap. Genangan infeksi di duamata orang bau tanah itu mirip mendidih! Tubuh Lawungu menggeliat dan gerahamnya bergemeletakan menahan sakit yang amat sangat. Namun penuh harapanLawungu genggam erat-erat sendok emas itu.
"Sendok Pemasung Nasib…" desis orang bau tanah ini yang usianya hampir seumur Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Sahabatku! Kau tahu apa yang harus kamu kerjakan. Cepat lakukan. Aku telah lama menunggu ketika ini. Aku sudah siap! Semoga Para Dewa memberkahimu wahai sahabatku!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab luruskan kaki kanan Lawungu yang telah membusuk. Dia menekan urat besar di beberapa pecahan kaki sebelah atas.
"Tabahkan hatimu wahai sahabatku!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Aku tahu sakitnya mirip ditusuk besi panas! Tapi wahai sahabatku , bertalianlah! Kesembuhan akan menjadi bagianmu! Para Dewa akan menolongmu!"
" Lakukan cepat! Aku sudah siap sahabatku!" kata Lawungu pula.
Dengan menggigit bibir Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tusukkan Sendok Pemasung Nasib ke telapak kaki kanan Lawungu.
"Crosss!"
Darah bercampur infeksi dan daging yang telah membusuk muncrat mengerikan dan menjijikkan. Sendok emas yang ditusukkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan mengerahkan tenaga dalam amblas ke dalam kaki kanan Lawungu , masuk menembus tulang hingga sebatas pergelangan kaki! Lawungu menjerit setinggi langit. Dinding dan langit-langit goa laksana mau runtuh. Lalu ia jatuh pingsan. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sendiri terduduk terkulai di lantai , tersandar ke dinding goa. Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
"Hantu Sejuta Tanya…. Sahabatku…." Lawungu berucap sambil putar kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Mataku! Aku bisa melihat kembali!"
Kakek berjubah putih sibakkan rambut yang menjulai di depan mukanya kemudian memperhatikan dua mata Lawungu. Sepasang mata yang tadinya tertutup nanah. itu kini kelihatan putih bening dengan dua bola mata hitam , menatap berseri ke arahnya.
"Terima kasih Dewa!" seru Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Hantu Sejuta Tanya! Lihat! Kaki kananku juga sembuh!" berseru Lawungu sambil angkat kaki kanannya kemudian melompat berdiri! Memang sungguh luar biasa. Berkat Sendok Pemasung Nasib yang kini berada dalam kaki Lawungu , kaki kanan orang bau tanah itu yang tadinya hanya merupakan borok membusuk kini kembali utuh mirip semula.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ikut berseru bangga kemudian melompat dan memeluk sahabatnya itu. Untuk beberapa lamanya dua orang bau tanah ini saling berangkulan.
"Kau telah menolongku. Kau menyelamatkanku dari kematian yang mengerikan!" Apa yang diucapkan Lawungu memang benar. Kalau hingga Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terlambat menolongnya maka ia akan menemui ajal secara tersiksa alasannya yaitu sebelum menemui kematian tubuhnya akan membusuk dulu secara perlahan-lahan.
"Jangan kamu berkata begitu wahai sahabatku Lawungu! Kau pun pernah menyelamatkan nyawaku. Kau sembuh berkat pertolongan Para Dewa. Sekarang , seumur hidupmu kamu akan ke mana-mana membawa sendok sakti itu di dalam kaki kananmu. Kecuali Para Dewa menginginkan sendok itu keluar dari tubuhmu tanpa mengurangi kekuatan dan melenyapkan kesembuhanmu! Aku yakin sendok itu akan melipatgandakan tenaga dalam serta kesaktianmu!"
"Setelah sengsara sekian lama kini saya jadi makhluk paling beruntung!" kata Lawungu pula. Dia menggosok matanya dan goyang-goyangkan kaki kanannya berulang kali.
"Setelah mendapat kesembuhan , apa yang akan kamu lakukan wahai Lawungu?" tanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Apakah saya perlu mengatakan? Lalu apa artinya kamu dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"
Kakek berjubah putih tertawa datar. "Aku tahu kamu akan mencari nenek berjuluk Hantu Santet Laknat itu!"
"Perempuan celaka itu akan kuhajar habis-habisan sebelum nyawanya kubuat minggat dari tubuh!" kata Lawungu dengan rahang menggembung dan mata membeliak besar. "Aku tahu , ia yang mengirimkan ular hitam berbisa itu untuk mencelakaiku! Dendam di masa muda dibalaskannya di usia tua! Perempuan gila! Tunggu bagianmu!" Saking marahnya Lawungu tendangkan kaki kanannya.
"Braakkk!"
Dinding goa yang terkena tendangan serta merta hancur , membentuk satu lobang besar. Lawungu ter­belalak dan terkejut sendiri melihat hal itu. Karena sebelumnya walau ilmu kesaktiannya tinggi namun untuk menjebol dinding goa kerikil yang sangat tebal itu dengan tendangan tak bakal bisa dilakukannya. Kini ia sanggup menciptakan dinding goa itu berlobang besar hanya dengan satu tendangan yang dilakukan secara tidak sengaja!
*

9

DI DALAM bangunan kerikil di puncak bukit yang kelak di kemudian hari akan dibangun apa yang dikenal sebagai Istana Kebahagiaan , Lajundai alias Labahala alias Hantu Muka Dua tengah bermesra-mesraan dengan empat orang gadis jelita. Seorang pembantu memberitahu bahwa tamu yang semenjak lama dinantikan sudah berada di halaman , menunggu izin untuk masuk.
Biasanya dalam keadaan mirip itu Hantu Muka Dua akan murka besar kalau diganggu. Namun tamu yang tiba memang seorang penting yang sudah ditunggunya semenjak lama. Dia telah menebar selusin orang suruhan untuk mencari dan menemukan orang Itu. Satu tahun berlalu gres mereka berhasil. Dengan cepat Hantu Muka Dua mengenakan pakaiannya , kemudian bergegas keluar.
Saat itu matahari yang gres karam masih meninggalkan sinar kuning keemasan di langit dan menyapu puncak bukit. Di bawah sinar kekuningan yang mulai pupus bermetamorfosis kegelapan , di bawah bayang-bayang satu kerikil besar berbentuk pilar tegak berdiri seorang kakek berwajah tirus , berpakaian compang camping. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat terbuat dari kerikil yang memancarkan sinar biru redup.
"Hantu Muka Dua ," sang tamu menegur. "Sebelum pembicaraan dimulai , saya harap jangan sekali-kali menyebut nama atau gelarku! Batu dan pohon bisa punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar. Angin yang bertiup menebar kabar ke delapan penjuru. Aku tak ingin ada orang di luar tahu kedatanganku ke tempat ini!"
Hantu Muka Dua yang ketika itu berpenampilan dalam wajah lelaki separuh baya berkulit kuning di sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang membisu sejenak mendengar kata-kata tamunya itu. Lalu perlahan-lahan ia mulai tertawa. Lama-lama tawanya itu bermetamorfosis kekehan panjang.
"Wahai! Tertawa terkadang bisa menyehatkan tubuh. Tapi bukan tidak mungkin suatu ketika tertawa bisa menciptakan seseorang berumur pendek!" kata kakek berwajah tirus yang rupanya tidak suka mendengar tawa Hantu Muka Dua.
Kalau saja orang lain yang berkata mirip itu , mungkin Hantu Muka Dua sudah melompatinya dan menghajarnya habis-habisan. Dia yaitu Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam. Tidak bisa orang lain bicara seenaknya terhadapnya. Tapi alasannya yaitu ia memerlukan orang itu maka Hantu Muka Dua menahan luapan amarahnya. Wajahnya depan belakang tidak sempat bermetamorfosis sepasang wajah raksasa yang biasanya terjadi kalau ia sedang marah.
Hantu Muka Dua hentikan tawanya. "Kau tak mau disebut namamu! Apa susahnya! Biar saya memanggilmu dengan nama Kera Sakti Tak Bernama. Kau setuju?!"
Wajah tirus si kakek yang memegang tongkat kerikil biru sesaat tampak berubah. "Kalau kamu menyebut saya Kera Sakti Tak Bernama maka mulai kini saya akan memanggilmu Orang Hutan Tak Berekor. Kau setuju…?"
Amarah Hantu Muka Dua hampir meledak. Dalam menahan didihan kemarahannya , dua kakinya hingga melesak satu jengkal ke dalam tanah. Dalam hati ia berkata. "Kalau urusan ini sudah selesai , akan kusuruh orang mencincang tubuh jahanam satu ini hingga lumat!"
"Aku sepakat saja. Karena semua orang tahu Orang Hutan jauh lebih pintar dan pintar dari pada simpanse biasa!" Hantu Muka Dua balasannya lontarkan ucapan Itu kemudian sunggingkan seringai mengejek.
Orang bau tanah yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama balas menyeringai kemudian berkata. "Sekarang katakan padaku apa keperluanmu meminta saya tiba ke tempat ini. Tapi! Sebelum kamu memberitahu saya ingin biar kamu lebih dulu membunuh dua belas orang anak buahmu yang telah kamu tugaskan untuk mencariku. Kau harus melakukannya ketika ini juga , di tempat ini di hadapanku!"
Kejut Hantu Muka Dua bukan alang kepalang. Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Mukanya yang dua eksklusif bermetamorfosis muka raksasa berwarna merah dan garang!
"Hemmmm!" Kakek yang disebut Kera Sakti Tak Bernama bergumam." Kau kulihat marah. Tak ada satu orang pun boleh murka padaku! Itu aturanku semenjak puluhan tahun lalu. Aku tidak merasa perlu menciptakan urusan denganmu! Selamat tinggal Orang Hutan Tak Berekor!"
"Wahai! Tunggu! Jangan salah sangka! Jangan bercepat marah!" Hantu Muka Dua berseru. Dua mukanya yang tadi berbentuk raksasa kini berubah kembali menjadi wajah lelaki separuh baya.
Kakek bermuka tirus hentikan gerakannya yang sempat hendak berbalik pergi itu. Dua alisnya naik ke atas. Tatapannya mirip hendak menembus batok kepala Hantu Muka Dua.
"Sahabatku ," kata Hantu Muka Dua pula dengan bunyi bergetar alasannya yaitu terpaksa harus menindih amarah. Sebagai orang yang dijuluki Hantu Segala Keji , Segala Tipu dan Segala Nafsu ia benar-benar merasa dikurang ajari dan direndahkan oleh si kakek di hadapannya itu. "Kuharap kamu mau bersabar untuk mendengar satu kisah mengapa saya hingga memintamu tiba ke mari."
"Saat ini saya tidak butuh ceritamu! Aku ingin kamu segera memenuhi permintaanku tadi. Dua belas orang anak buahmu itu harus dilenyapkan! Kalau kamu tidak melaksanakan , pembicaraan kita cukup hingga di sini!"
"Mudah saja memenuhi permintaanmu itu! Tapi apa perlunya?" Hantu Muka Dua jadi penasaran.
"Tadi sudah kukatakan! Batu dan pohon bisa punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar! Angin bisa menebar kabar! Apalagi manusia! Punya indera pendengaran , mata dan mulut! Dan jumlah mereka dua belas orang pula! Kau terima permintaanku atau kamu boleh masuk kembali ke sarangmu di bangunan kerikil itu!"
"Aku bisa mendapatkan permintaanmu!" jawab Hantu Muka Dua walau dalam hati ia memaki habis-habisan. Setelah berucap begitu Hantu Muka Dua bertepuk tangan tiga kali. Seorang gadis berambut panjang muncul. Dia menjura kemudian tegak menunduk menunggu perintah.
"Dua belas orang yang berada di dalam kebun di belakang bangunan kerikil , lekas kamu suruh mereka segera ke sini!"
Si gadis rundukkan tubuhnya sedikit , menjura kemudian tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dua belas orang lelaki muncul di tempat itu. Hantu Muka Dua meminta mereka tegak berjejer di depan satu dinding batu.
"Kalian telah berjasa besar berhasil menemui dan meminta kakek ini tiba ke sini. Hari ini saya akan memberi hadiah besar pada kalian!"
Mendengar ucapan Hantu Muka Dua tentu saja dua belas orang itu menjadi sangat gembira. Sebelumnya mereka memang telah mendapatkan hadiah dari Hantu Muka Dua alasannya yaitu bisa menuntaskan kiprah dengan baik. Kini diberitahu bahwa mereka akan mendapat hadiah besar , tentu saja semuanya merasa senang.
Maka ke dua belas orang itu tegak berjejer dengan perilaku gagah dan wajah berseri-seri.
Hantu Muka Dua gerakkan ke dua tangannya mirip hendak mengambil sesuatu di balik pakaian kulit kayu yang dikenakannya. Tapi sekonyong-konyong dua tangan itu dipukulkannya ke depan. Dua larik sinar merah berkiblat disusul menderunya dua gelombang angin dahsyat. Dua belas orang yang berjejer di depan dinding kerikil keluarkan seruan kaget. Beberapa di antara mereka yang mengenali pukulan maut itu segera melompat cari selamat. Namun tidak satu orang pun yang bisa meloloskan diri. Dua belas anak buah Hantu Muka Dua itu terpental menghantam dinding kerikil di belakang mereka kemudian jatuh berkaparan. Tubuh mereka mengepulkan asap merah. Begitu asap sirna kelihatanlah satu pemandangan mengerikan. Sosok dua belas orang itu kini hanya tinggal tulang belulang berserakan!
Hantu Muka Dua berpaling pada kakek di depannya. "Kera Sakti Tak Bernama , kamu saksikan sendiri kehebatan pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Aku sudah melaksanakan apa yang ,kau minta! Apa kamu puas?!"
Orang bau tanah itu silangkan tongkat birunya di depan dada , menyeringai sesaat kemudian berkata. "Kau sudah melaksanakan pinta. Sekarang silakan bicara. Apa yang hendak kamu ceritakan padaku. Apa yang kamu tanyakan dan apa yang hendak kamu suruh saya melakukan!"
"Kau pernah mendengar sebuah benda yang disebut Sendok Pemasung Nasib?" bertanya Hantu Muka Dua.
Kakek yang dipanggil dengan sebutan Kera Sakti Tak Bernama mendongak ke langit hitam kelam. Sesaat kemudian terdengar ia berucap.
"Puluhan tahun silam benda milik Para Dewa itu dibawa seseorang ke Negeri Latanahsilam. Ada kabar yang menyampaikan sendok tersebut sebelum lenyap dipergunakan untuk mencelakai seorang sakti berjulukan Lasedayu hingga orang itu kini menjadi seorang kakek pikun , berjalan dengan mempergunakan dua kakinya dan dijuluki Hantu Langit Terjungkir…"
"Wahai , pengetahuanmu ternyata cukup luas!" memuji Hantu Muka Dua.
Si kakek menatap lekat-lekat ke wajah Hantu Muka Dua. "Di antara kabar yang kusirap menyatakan kamu yaitu murid Lasedayu. Apa benar wahai Orang Hutan Tak Berekor?!"
Hantu Muka Dua meludah ke tanah. "Aku tidak berguru pada orang setolol Lasedayu! Justru saya telah merampas semua ilmu yang dimilikinya alasannya yaitu makhluk tolol mirip ia tidak layak mempunyai aneka macam ilmu kesaktian!" Hantu Muka Dua berkata sambil busungkan dada. "Kau tadi menyampaikan sendok sakti itu lenyap. Kau tahu ke mana lenyapnya sendok itu? Siapa yang mencurinya atau di mana beradanya sekarang?"
Kakek di hadapan Hantu Muka Dua gelengkan kepala.
"Ketahuilah wahai Kera Sakti Tak Bernama! Aku memintamu ke sini guna menugaskanmu mencari Sendok Pemasung Nasib itu hingga sanggup kemudian menyerahkannya padaku! Aku mendapat kabar bahwa Hantu Langit Terjungkir juga tengah berupaya mendapatkannya! Makara kamu punya dua tugas. Mencari Sendok Emas Pemasung Nasib dan membunuh orang berjulukan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir itu! Terserah mana yang hendak kamu lakukan lebih dulu!"
"Apakah Lasedayu masih membisu di Lembah Seribu Kabut?" tanya si kakek.
"Setahuku ia lenyap dari lembah itu semenjak empat puluh tahun silam! Tugasmu untuk mencari tahu di mana ia berada…."
Kera Sakti Tak Bernama menyeringai kemudian berkata. "Diriku yaitu diriku! Aku bukan bangsa insan yang suka diperintah oleh orang lain. Aku tidak akan mengerjakan apa-apa sebelum tahu apa imbalan balas yang kamu berikan padaku…."
Hantu Muka Dua tersenyum walau dalam hati ia keluarkan rutukan. "Ketahuilah , semenjak saya mempermaklumkan diri sebagai Raja Diraja di Negeri Latanahsilam ini segala sesuatunya berada dalam genggaman kekuasaanku , termasuk dirimu! Jika ada orang merasa dan menganggap diri paling sakti di negeri ini , saya akan menjungkir balikkannya dan melempar rohnya hingga tergantung antara langit dan bumi semudah saya membalikkan telapak tangan! Tapi terhadap mereka yang mau membantuku , tersedia imbalan yang luar biasa besarnya. Untukmu saya telah menyiapkan satu jabatan tinggi dalam Istana Kebahagiaan. Selain itu kamu akan kuberikan kekuasaan penuh di wilayah Negeri Latanahsilam sebelah timur. Harta kekayaan berlimpah ruah akan mengelilingimu. Lalu saya tidak lupa menyediakan kesenangan hidup yang selalu didambakan setiap lelaki. Wahai Kera Sakti Tak Bernama , harap kamu suka mengikuti saya masuk ke dalam bangunan batu…."
Hantu Muka Dua putar tubuhnya kemudian berjalan ke arah bangunan batu. Si kakek mengikuti dari belakang namun belakang layar ia siapkan satu pukulan sakti di tangan kiri sedang ke tongkat kerikil biru yang ada di tangan kanannya ia alirkan tenaga dalam. Bagai­manapun ia masih belum mempercayai insan bermuka dua yang dijuluki sebagai Hantu Segala Keji , Segala Tipu dan Segala Nafsu ini.
Masuk ke dalam bangunan mereka hingga ke sebuah ruangan di mana sebelumnya Hantu Muka Dua bersenang-senang dengan empat orang gadis cantik. Saat itu ke empat gadis tersebut masih ada di ruangan tersebut dalam keadaan nyaris tidak berpakaian. Melihat kemunculan Hantu Muka Dua mereka menyangka lelaki itu hendak melanjutkan bermesraan dengan mereka. Namun betapa terkejutnya ke empat gadis ini ketika Hantu Muka Dua berkata.
" Harap kalian suka melayani kakek sahabatku ini!"
Kakek yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama itu sesaat membisu tegak tak bergerak seolah ia tidak tertarik pada ke empat gadis jelita itu. Tapi begitu Hantu Muka Dua lenyap di balik sehelai tirai kayu si kakek segera melompati gadis paling dekat , eksklusif memeluk dan menciuminya.
. Dari balik tirai Hantu Muka Dua mengintai menyeringai. "Bandot bau tanah , puaskan nafsumu! Lain hari begitu kamu dapatkan Sendok Pemasung Nasib , dirimu akan kujadikan bangkai tak berguna!"

10

KITA kembali kepada apa yang terjadi dengan tiga sekawan Pendekar 212 Wiro Sableng , Naga Kuning serta kakek berjuluk Si Setan Ngompol (baca pecahan final Bab Lima).
Ketika orang itu memandang tak berkedip pada sosok tubuh dalam kegelapan yang barusan menyerang mereka dengan tiga benda menyala mirip bara api.
"Astaga!" kata Naga Kuning sambil menggamit Wiro. "Makhluk bertangan buntung itu , bukankah ia yang berjulukan Latandai alias Hanfu Bara Kaliatus?!"
"Memang ia ," jawab Wiro.
Setan Ngompol pegang erat-erat pecahan bawah perutnya. "Bagaimana ia bisa muncul di sini. Bukankah waktu itu ia sudah dikutuk Peri Bunda dan melarikan diri bersama walet terbang…."
"Lihat perutnya ," balas berbisik Wiro. "Ada cahaya kemerahan. Berarti bara api yang jadi senjata andalannya masih mendekam di situ. Luar biasa kalau ia masih bisa hidup!"
Sosok yang tegak dalam kegelapan itu memang Latandai yang berjuluk Hantu Bara Kaliatus adanya. Seperti dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Bara Kaliatus") alasannya yaitu melaksanakan siasat keji terhadap istrinya yang berjulukan Luhsantini , Hantu Bara Kaliatus oleh Peri Bunda dikutuk. Bara api yang ada di kepala dan tubuhnya dimasukkan sang Peri ke dalam perutnya. Dalam keadaan menderita luar biasa Hantu Bara Kaliatus melarikan diri , terbang bersama walet raksasa tunggangannya. Ternyata Hantu Bara Kaliatus pergi memencilkan diri ke satu tempat. Di sini ia bersamadi siang malam di bawah terik sinar matahari serta dinginnya udara malam. Tak kenal panas tak peduli hujan. Samadinya yang luar biasa menciptakan Para Peri menjadi khawatir alasannya yaitu bukan tidak mungkin Hantu Bara Kaliatus akan mendapat satu kekuatan gres hingga bisa mempunyai kesaktian dan menjadikan bara menyala yang ada dalam perutnya sebagai senjata dahsyat mirip sebelumnya.
Dugaan Para Peri tidak meleset malah secara tidak terduga muncul Hantu Santet Laknat Nenek sakti berhati jahat yang merupakan guru Latandai ini membantu muridnya hingga Latandai berhasil mendapatkan kesaktian baru. Puluhan bara api yang mendekam dalam perutnya bisa dilontarkannya keluar lewat mulutnya , dijadikan senjata dahsyat! Berarti apa yang selama ini disebut ilmu "Bara Setan Penghancur Jagat" akan muncul kembali di rimba persilatan Negeri Latanahsilam. Bedanya kalau dulu bara itu berada dikepala dan pecahan luar tubuh Hantu Bara Kaliatus maka kini berada dalam perutnya!
Pada pertemuan dengan muridnya Itu si nenek Hantu Santet Laknat tidak lupa menegaskan kembali perintah yang pernah diberikannya pada Hantu Bara Kaliatus.
"Dari beberapa kiprah yang saya berikan padamu , gres satu yang kamu laksanakan. Kau hanya bisa membunuh Lasingar! Wahai! Bagaimana dengan tugas-tugas lainnya , Latandai?!" tanya si nenek dengan pandangan mata tajam mirip memantek batok kepala Latandai.
"Mohon maafmu Nek. Aku memang belum melaksanakan dua kiprah lainnya yaitu membunuh Luhsantini istriku sendiri dan insan berjulukan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu itu…. Aku mendapat halangan besar ketika hendak melakukannya…."
"Peduli setan segala macam halangan! Bagaimana pun juga kamu harus membunuh mereka atau kamu yang akan kubuat meregang nyawa!"
"Aku akan membunuh mereka sesuai perintah…."
"Harus kamu lakukan! Apalagi istrimu Luhsantini telah bercinta dengan Lakasipo!"
Berubahlah paras Hantu Bara Kaliatus mendengar ucapan si nenek. Rahangnya menggembung , gerahamnya bergemeletakan dan darahnya mirip mendidih.
"Mereka berdua pasti kubunuh Nek. Pasti!" Hantu Bara Kaliatus menggeram dan kepalkan dua tinjunya. Nyala bara api yang memancar di perutnya kelihatan lebih terang.
"Jangan lupa seorang perjaka asing dari negeri seribu dua ratus mendatang berjulukan Wiro Sableng! Kau juga harus membunuhnya dan dua kawannya!"
"Akan saya lakukan Nek ," kata Hantu Bara Kaliatus. "Bagus , lebih cepat kamu melaksanakan lebih baik. Tapi awas dan ingat! Jika kamu hingga tidak melaksanakan , eksekusi dariku lebih hebat dari kutukan Peri Bunda!"
"Aku mengerti Nek , semua perintahmu akan saya laksanakan!" kata Hantu Bara Kaliatus pula seraya membungkuk. Sambil meninggalkan tawa cekikikan Hantu Santet Laknat tinggalkan Latandai….
Hantu Bara Kaliatus pandangi tiga orang di hadapannya dengan mata berkilat-kilat dan pelipis bergerak-gerak. Lalu ia membentak.
"Kalian tiga makhluk yang dulu kerdil’. Sebelum kubunuh kalian bertiga lekas beritahu di mana beradanya mitra kalian berjulukan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu!"
"Kami tidak tahu!" Naga Kuning yang menjawab.
"Bagus! Kalau begitu kamu yang mati duluan!" Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebar. Otot perutnya menyentak.
Cahaya merah bergerak dari perutnya , meluncur ke dada terus ke tenggorokan. Di lain kejap "wussss!"
Sebuah bara api melesat ke arah kepala Naga Kuning. Bocah ini berseru keras , jatuhkan diri ke tanah seraya hantamkan tangan kirinya , membalas serangan orang. Selarik sinar biru menyambar ke arah perut Hantu Bara Kaliatus. Serangan Naga Kuning mendarat telak di perut Hantu Bara Kaliatus.
"Deessss!"
Naga Kuning , juga Wiro serta Setan Ngompol melengak kaget ketika melihat bukan saja perut Hantu Bara Kaliatus tidak mempan dihantam pukulan sakti yang memancarkan sinar biru itu , tetapi sinar biru itu sendiri malah berbalik menghantam ke arah Setan Ngompol. Kakek ini berteriak kaget , selamatkan diri jungkir balik. Air kencingnya muncrat ke mana-mana!
Melihat ilmu kesaktian Hantu Bara Kaliatus mirip berlipat ganda dari sebelumnya , Pendekar 212 tak mau berlaku ayal. Dia segera menyergap dan lancarkan serangan tangan kosong. Hantu Bara Kaliatus menggeram berang. Dia balas menghantam. Perkelahian seru berlangsung hebat Masing-masing pihak merasa asing dengan jurus-jurus silat yang dimainkan lawan hingga ke duanya saling berhati-hati.
Lewat tujuh jurus Hantu Bara Kaliatus yang hanya mempunyai satu tangan itu alasannya yaitu tangan kirinya buntung sebatas siku (akibat jotosan Luhsantini , istrinya sendiri) mulai terdesak. Lebih-lebih sewaktu Wiro mulai keluarkan ilmu silat "Orang Gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya melesat ajaib kian ke mari. Gerakannya mirip orang mabok. Seolah gampang dipukul oleh lawan tapi ternyata setiap serangan Hantu Bara Kaliatus selalu meleset Dada Hantu Bara Kaliatus mulai jadi bulan-bulanan pukulan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun lawan mempunyai kekuatan luar biasa. Walau tubuhnya hingga beberapa kali terpental oleh jotosan Wiro , namun ia sanggup berdiri lagi , memasang kuda-kuda gres dan lancarkan serangan balasan.
Satu kali Wiro sengaja menghantam pecahan perut lawan yang memancarkan sinar merah. Pendekar 212 berseru kaget alasannya yaitu begitu tangannya menyentuh kulit perut lawan , hawa panas luar biasa menyengat. Ketika diperhatikan jari-jari dan sebagian punggung telapak tangannya ternyata telah menjadi lecet merah mirip terpanggang!
Hantu Bara Kaliatus tertawa mengejek. Lalu ia buka lebar-lebar mulutnya.
"Wiro! Awas!" teriak Naga Kuning.
Tanpa diberitahu pun Wiro sudah maklum apa yang hendak dilakukan lawan. Dengan cepat perjaka ini melompat ke kiri. Dari samping ia kemudian siap lepaskan satu pukulan sakti. Namun ketika itu Si Setan Ngompol sudah mendahului. Apa yang dilakukan kakek ini sungguh gila! Pada ketika air kencingnya mancur jawaban ketegangan luar biasa ia sengaja menampungnya dengan dua tangan. Lalu dengan jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara air kencing itu dicipratkannya ke arah Hantu Bara Kaliatus. Walau cuma air tapi alasannya yaitu diberi kekuatan tenaga dalam maka tetesan-tetesan yang terkecil sekalipun akan sanggup menembus batu!
Hantu Bara Kaliatus tidak mau berlaku sembrono. Dia tahu ke tiga orang itu yaitu orang-orang yang tiba dari negeri seribu dua ratus tahun lebih maju. Maka begitu air kencing menyiprat ia segera berkelebat menjauhkan diri. Namun masih ada air kencing yang sempat mengenai perutnya.
"Cesss… cesss… cessss!"
Suara mirip benda berapi terpercik air terdengar berkepanjangan. Asap mengepul dari perut Hantu Bara Kaliatus. Ternyata air kencing Si Setan Ngompol tidak bisa menciderai perut lawan , apalagi hingga menembusnya! Sebaliknya Hantu Bara Kaliatus malah tertawa bergelak. Sekali ia membuka mulutnya , tiga bara api sekaligus melesat keluar , melesat ke arah tiga pecahan tubuh Si Setan Ngompol yaitu kepala , dada dan pecahan bawah perut! Mendapat serangan tak terduga dan mengarah tiga pecahan tubuhnya itu si kakek jadi kalang kabut. Walau ia bergerak luar biasa cepat , ia hanya bisa menghindari serangan bara api yang menyambar ke kepala dan dadanya. Bara api ke tiga , yang menyambar ke arah pecahan bawah perutnya tidak sanggup dielakannya.
"Celaka perabotanku!" seru Si Setan Ngompol dengan muka pucat. Dia telah berusaha melompat sambil kangkangkan ke dua kakinya mengharap bara api itu akan lewat di bawah selangkangannya , tapi percuma saja!
Naga Kuning dalam kagetnya tak sempat berbuat apa-apa. Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri berusaha mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya , namun terlambat. Dia balasannya tetapkan untuk menghantam lawan dengan Pukulan Sinar Matahari. Masih tetap terlambat tak ada gunanya!
Dalam keadaan luar biasa gentingnya itu tiba-tiba dari balik pohon besar berkelebat mengapung satu bayangan besar disertai bentakan garang.
"Siapa berani mencelakai tiga saudaraku!"
Satu ringkikan keras menggelegar.
Lalu "tranggg!"
Bara api yang menyambar selangkangan Si Setan Ngompol terpental. Sebuah benda berbentuk bola hitam somplak. Sosok yang mengapung di udara terdorong hingga setengah tombak tapi masih bisa jatuhkan diri di tanah dan pasang kuda-kuda pertahanan yang secepat kilat bisa bermetamorfosis kuda-kuda menyerang!
Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah. Sambil usap-usap pecahan bawah perutnya ia berulang kali mengucap.
"Nasibmu masih untung buyungl Ada orang yang menolongmu!"
"Serrrrrr."
Karena diusap-usap dan masih dalam keadaan cemas tegang , sibuyung balasannya kembali memancur!

11

HANTU Bara Kaliatus menggeram murka ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. Sebaliknya Wiro dan dua temannya sama-sama memperlihatkan kegembiraan alasannya yaitu yang muncul dan yang barusan menolong Si Setan Ngompol yaitu Hantu Kaki Batu Lakasipo. Dengan hantaman bola kerikil di kaki kanannya Lakasipo berhasil menciptakan mental bara api yang hendak merenggut nyawa Si Setan Ngompol. Bola kerikil yang disebut sebagai Bola
Iblis itu kelihatan gompal besar di salah satu sisinya.
Sejak bentrokan di Gunung Labatuhitam dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus telah menaruh dendam kesumat terhadap Lakasipo. Apalagi dari gurunya Hantu Santet Laknat ia mendapat kabar kalau Luhsantini , bekas istrinya telah bermain cinta dengan musuh besarnya itu! Kemarahan Hantu Bara Kaliatus jadi berlipat ganda ketika ia melihat siapa wanita berpakaian merah yang tegak di samping Lakasipo ketika itu. Bukan lain yaitu Luhsantini , bekas istrinya sendiri!
Bara api dalam perut Hantu Bara Kaliatus pancarkan cahaya terang. Dari tenggorokan orang ini keluar bunyi menggembor. Dia memandang membeliak pada Lakasipo." Makhluk keparat! Aku memang sedang mencarimu! Sekarang kamu tiba sendiri antarkan nyawa!"
Lakasipo menyeringai kemudian menjawab. "Kau salah mengira wahai makhluk bermuka insan tapi berhati iblis! Aku tiba justru hendak menjemput nyawamu!"
"Jahanam terkutuk!" maki Hantu Bara Kaliatus. Dia alihkan pandangannya pada Luhsantini dan tumpahkan kemarahannya pada wanita ini.
"Wahai! Benar rupanya kabar yang kusirap! Kau telah menjadi gendak lelaki berkaki kerikil ini! Istri yang dulu sangat kupuja ternyata tidak lebih dari seorang pelacur!"
Wajah anggun Luhsantini menjadi merah padam. Perempuan ini segera membuka ekspresi menukas.
"Latandai! Jangan bermimpi menganggap saya masih istrimu! Perbuatan kejimu telah menimbulkan kita mencari jalan sendiri-sendiri! Ternyata bukan hanya hatimu yang berbisa! Mulutmu juga penuh racun! Sungguh menjijikkan kamu masih menyebutku sebagai istri! Wahai! Apa kamu lupa kamu pernah hendak membunuhku hingga dua kali? Apa kamu lupa juga telah mencelakai anak kandung darah dagingmu sendiri? Hingga Lamatahati menjadi cacat seumur hidupnya? Apa kamu lupa bagaimana para Peri mengutukmu?! Wahai! Dosamu selangit tembus sedalam dasar samudera!"
"Masih untung anak itu cuma cacat! Mauku ia harus mati! Karena ia yaitu anak haram jadah hasil hubunganmu dengan perjaka berjulukan Lasingar yang sudah kuhabisi itu! Kau juga menawarkan tubuhmu pada Hantu Muka Dua! Dan wahai! Kini kamu menjadi gendak peliharaan pria berkaki kerikil itu!"
"Mulutmu beracun! Hatimu berbisa! Otakmu kotor penuh pikiran keji! Dulu saya berharap biar Lamatahati , anakmu sendiri yang kelak akan membunuhmu! Tapi ketika ini saya tetapkan biar tanganku sendiri menamatkan riwayatmu! Kekejianmu terhadap kami ibu dan anak sudah melewati takaran! Semua roh yang tergantung antara langit dan bumi sudah lama menunggu rohmu!"
Habis berkata begitu Luhsantini kemudian melompat kehadapan Hantu Bara Kaliatus seraya lepaskan pukulan sakti berjulukan Di BalikLabukit Menghancur Lagunung. Kehebatan pukulan ini , pecahan depan sasaran yang kena dipukul tidak akan mengalami cidera atau cacat sedikit pun. Namun pecahan belakang sebaliknya akan mengalami kehancuran mengerikan!
"Perempuan jalang tak berguna! Mampuslah kau!” teriak Hantu Bara Kaliatus. Dia menganggap enteng serangan bekas istrinya itu. Namun jadi tersentak kaget ketika mencicipi sambaran angin yang sangat dahsyat menghantam ke arahnya. Hantu Bara Kaliatus segera maklum kalau ilmu kepandaian Luhsantini kini jauh lebih tinggi dari sebelumnya! Maka tanpa berlak ayal ia segera balas menghantam dengan pukulan Selusin Bianglala Hitam. Dua belas larik sinar hitam menggebubu ke arah Luhsantini. Pukulan sakti inilah yang dulu mencelakai anaknya sendiri yang masih bayi.
Lakasipo cepat dorong Luhsantini ke samping hingga wanita itu terjajar hingga satu tombak.
Bersamaan dengan itu Lakasipo hantamkan kaki kanannya. Bola kerikil membabat ke perut Hantu Bara Kaliatus. Walau kesaktiannya berpusat pada pecahan perut dan perut itu seolah kebal atos namun Hantu Bara Kaliatus tidak mau cari penyakit. Bola kerikil yang membungkus dua kaki Lakasipo bukan bola kerikil biasa. Itu yaitu hasil pekerjaan santet si dukun keji jahat berjulukan Hantu Santet Laknat yang juga yaitu gurunya sendiri.
Dua belas larik sinar hitam menyambar udara kosong. Sementara itu tendangan Lakasipo berhasil dielakkan oleh Hantu Bara Kaliatus. Begitu selamat dari hantaman bola kerikil , Hantu Bara Kaliatus segera semburkan dua bara api. Dia menciptakan gerakan mirip hendak menyerang Lakasipo. Tapi tiba-tiba ia mem­balik dan arahkan semburan bara apinya pada Luhsantini.
"Luhsantini awas!" teriak Lakasipo. Dia cepat melompat kemudian hantamkan kaki batunya. Namun dua bara api itu luput. Untung Wiro yang telah bersiap siaga cepat bertindak. Murid Sinto Gendeng melompat sambil lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang. Pukulan sakti yang mengerahkan dua pertiga tenaga dalam ini berhasil menciptakan mental salah satu dari dua bara api. Celakanya , bara api yang satu lagi masih terus melesat ke jurusan Luhsantini walau kini arahnya agak meleset.
Didahului teriakan keras Luhsantini melompat selamatkan diri. Namun mirip hidup dan punya mata bara api yang satu ini mengejarnya. Si Setan Ngompol yang berada di dekat situ segera ulurkan tangan membetot Luhsantini hingga wanita ini terpelanting jungkir balik.
"Wusssss!"
Bara Setan penghancur Jagat itu masih sempat menyerempet pundak kiri pakaian merah yang dikenakan Luhsantini hingga kejap itu juga pundak kiri pakaiannya dikobari api. Luhsantini menjerit keras. Naga Kuning cepat menolong. Sambil melompat ia kerahkan tenaga dalam ke mulutnya kemudian meniup. Kobaran api yang mengkremasi pakaian Luhsantini serta meria padam.
"Luhsantini! Kau tak apa-apa?!" teriak Lakasipo.
Perempuan itu tidak menjawab , melainkan terus menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus , lancarkan serangan bertubi-tubi. Lakasipo segera pula bergabung. Dikeroyok dua Hantu Bara Kaliatus jadi kelabakan.
Lakasipo bukan saja menggempur dengan serangan Kaki Roh Pengantar Mauf tapi juga pergunakan tangan kosong , bertubi-tubi menghantamkan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Luhsantini yang selama memencilkan diri di Gunung Labatuhitam ternyata telah mendapat gemblengan dari seorang tokoh rahasia hingga kalau dulu ia hanya seorang wanita yang tidak tahu apa-apa kini bermetamorfosis pahlawan berkepandaian tinggi dan menghujani Lakasipo dengan serangan-serangan gencar. Membuat lawan tidak sempat melancarkan serangan dengan bara api yang ada dalam perut.
Lama kelamaan Hantu Bara Kaliatus tidak sanggup lagi mengimbangi serbuan ke dua orang itu. Dia hanya bisa melaksanakan gerakan mengelak atau mundur terus­terusan. Kalau hingga Wiro atau salah satu dari dua temannya ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran celakalah dirinya. Apalagi beberapa kali pukulan Luhsantini menyerempet tubuhnya. Walau tidak mengalami cidera berarti namun tubuhnya terasa sakit­sakit terserempet pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung itu. Sadar kalau ancaman besar bakal mengancamnya maka Hantu Bara Kaliatus keluarkan satu suitan keras. Dalam gelapnya malam , di udara tiba-tiba melayang satu makhluk besar menebar anyir busuk. Ternyata makhluk ini yaitu walet raksasa tunggangan Hantu Bara Kaliatus.
Kepakan sayap hewan ini menjadikan angin luar biasa kerasnya. Selagi orang-orang yang ada di bawah sana tergontai-gontai bertahan biar tidak jatuh terpelanting , Hantu Bara Kaliatus melesat ke punggung walet raksasa. Luhsantini cepat mengenjot tanah. Sebelum Hantu Bara Kaliatus melesat kabur ia masih sempat daratkan satu pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung di paha kiri bekas suaminya Itu. Karena dalam keadaan bergerak pukulan tersebut tidak berapa telak namun masih sempat terdengar keluhan kesakitan keluar dari ekspresi Hantu Bara Kaliatus. Walet hitam juga keluarkan pekik kesakitan menerangkan pukulan yang dilepaskan Luhsantini ikut mengenai tubuh hewan itu!
Luhsantini melompat turun di tanah , tegak mendongak ke langit penuh gemas. Satu tangan memegang pundak wanita ini.
"Tak usah kecewa. Satu ketika pembalasan akan menjadi pecahan makhluk mafia itu. Kau tidak apa-apa wahai Luhsantini?" Yang bertanya yaitu Lakasipo. Lelaki ini cepat menilik pundak di balik pakaian yang terbakar. Dia merasa lega alasannya yaitu kulit pundak itu hanya lecet saja.
Luhsantini palingkan wajahnya. Dia tersenyum pada Lakasipo yang barusan bicara dan mengkhawatirkan , keselamatan dirinya. Sejak lelaki itu menolongnya di Gunung Labatuhitam tempo hari (baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Bara Kaliatus") walau mereka lama tidak bertemu namun antara ke dua orang ini telah terjalin satu sambung rasa yang hari demi hari semakin mendalam.
Melihat keadaan ke dua kaki Lakasipo serta me­ngetahui riwayat lelaki itu di masa kemudian timbullah rasa hiba Luhsantini terhadap lelaki berkaki kerikil ini. Rasa hiba bermetamorfosis suka dan selanjutnya rasa suka itu berganti dengan perasaan cinta kasih sayang.
Lakasipo bukan tidak tahu kalau Luhsantini jatuh hati terhadapnya. Selain itu ia juga mengetahui riwayat perkawinan Luhsantini dengan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Nasib seolah mempersatukan mereka. Dia tidak bisa menipu diri bahwa ia pun mengasihani dan menyukai Luhsantini. Namun dalam diri Lakasipo terkadang muncul rasa kebimbangan. Luhsantini mempunyai paras jelita. Namun hati Lakasipo seolah bercabang­cabang. Setiap rasa kasihnya menggelora terhadap wanita ini dan ia ingin menemuinya di Gunung Labatuhitam , ingatan dan perasaan Lakasipo terbagi pada Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Malah belakangan ini entah mengapa ia selalu terkenang pada dara anggun berjulukan Luhcinta. Selain itu ada rasa khawatir kalau-kalau mendiang roh istrinya yakni Luhrinjani muncul secara mendadak. Di balik semua itu ada pula perasaan rendah diri menyamak di hati Lakasipo mengingat keadaan kakinya yang terbungkus bola batu. Walau bola-bola kerikil itu menciptakan ia menjadi seorang sakti mandraguna namun ia merasa seakan-akan itu juga merupakan satu cacat pada dirinya. Dia telah berusaha dengan aneka macam cara untuk menghancurkan bola-bola kerikil itu. Tapi tidak ada satu benda atau senjata pun yang sanggup membelah kerikil tersebut. Satu-satunya jalan yaitu mencari Hantu Santet Laknat dan meminta nenek jahat itu untuk mengobati memusnahkan santetnya.
Wiro walau bangga melihat kedatangan Lakasipo namun alasannya yaitu lelaki itu tiba bersama Luhsantini maka ia merasa khawatir kalau Luhrinjani yang belum lama pergi akan muncul kembali di tempat itu secara tidak terduga. Ingin memberi tahu pada saudara ang­katnya itu Luhsantini berada terlalu dekat. Selagi ia mencari logika bagaimana cara memberi tahu pada Lakasipo , Lakasipo bertanya padanya bagaimana ia dan kawan-kawan bisa berada di tempat itu. Wiro kemudian menceritakan. Mulai dari kabar yang mereka dengar yang menciptakan mereka berkeinginan untuk melihat dengan mata kepala sendiri Kincir Hantu itu , hingga pengalaman pahit yang mereka alami sepanjang siang dan awal malam tadi.
"Katamu kincir itu lenyap begitu malam datang. Wahai saya yakin kincir itu masih tetap di tempatnya semula. Tak mungkin ada yang memindahkan…" kata Lakasipo.
Luhsantini ikut bicara. "Mungkin sekali ada satu kekuatan sakti menyungkupi rumah dan kincir itu , menciptakan mata kita tidak bisa melihatnya. Bukankah orang berjulukan Lateleng itu mempunyai semacam ilmu asap?"
Lakasipo anggukkan kepala menyetujui pendapat Luhsantini. "Sejak beberapa waktu kemudian saya memang sudah mendengar kisah mengenai kincir itu. Kita tunggu hingga pagi hari. Aku juga ingin menyelidik rahasia apa yang ada di balik kincir itu. Aku punya firasat , kalau terjadi satu kejadian besar di negeri ini yang berkaitan dengan kecacatan dan kecacatan itu berakhir pada kematian maka biasanya di belakangnya Hantu Muka Dualah yang punya pekerjaan. Sekitar empat puluh tahun silam pernah tersiar informasi wacana lenyapnya seorang sakti berjulukan Lasedayu yang membisu di Lembah Seribu Kabut. Lalu muncul seorang kakek yang digelari Hantu Langit Terjungkir. Ada yang me­ngatakan orang bau tanah ini bantu-membantu yaitu Lasedayu itu. Tapi bukti-bukti tak cukup menunjang. Kemudian setahun kemudian tersiar pula informasi menghilangnya se-orang kakek sakti yang biasa dipanggil dengan se­butan Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Kakek ini konon punya kebiasaan mengelana ke aneka macam pelosok negeri untuk melaksanakan pekerjaan aneh-aneh. Mulai dari orang baik hingga yang jahat. Berita menarik paling final yang kudengar ialah planning seorang tokoh berjulukan Lawungu hendak menciptakan perhitungan dengan Hantu Santet Laknat yang juga yaitu musuh besarku! Di balik semua itu tersiar pula kabar bahwa tentu Muka Dua mengaku-aku kalau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yaitu gurunya. Sementara Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sendiri tidak pernah muncul seolah menyembunyikan diri. Lalu di balik semua kecacatan itu muncul Kincir Hantu dan pemiliknya seorang mengaku berjulukan Lateleng. Siapa Lateleng ini yaitu satu hal sangat menarik untuk diketahui. bisa jadi ia bantu-membantu yaitu Lasedayu. Tapi bukan tidak mungkin pula Lateleng ini bantu-membantu yaitu Si Tongkat Biru Pengukir Bumi. Bagaimana memecahkan semua rahasia ini sungguh soal yang pelik…."
"Kelihatannya memang begitu , Lakasipo ," kata Wiro. "Karenanya sebaiknya kita lebih dulu mulai dengan menyingkap rahasia yang ada di balik Kincir Hantu itu. Dari gerak gerik Lateleng yang kulihat siang tadi , ia mirip mencari sesuatu pada diri orang-orang yang jadi korbannya. Aku curiga , kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin yaitu kisah kosong belaka! Hanya digunakan untuk menarik perhatian biar orang-orang berdatangan ke sini untuk menjajal Kincir Hantu itu. Mereka dijebak dan menemui ajal dalam jebakan itu!"
"Tapi setahuku kitab itu memang pernah ada.
Hanya saja dikabarkan lenyap lima puluh tahun lalu. Bukan tidak mungkin Lateleng memang memilikinya…" kata Lakasipo pula.
"Lalu apa bantu-membantu yang dicari kakek teleng itu? Hingga tega membunuh orang-orang yang tiba ke tempatnya?!"
"Dia sulit dituduh melaksanakan pembunuhan. Bukankah orang-orang itu tiba sengaja untuk menjajal kehebatan Kincir Hantu. Apalagi dengan komitmen akan diberikan kitab sakti kepada siapa yang berhasil bertahan hingga tiga kali putaran di atas roda kincir…" jawab Lakasipo pula. Sejenak ia berpikir kemudian gres melanjutkan ucapannya. "Menurutmu , mirip yang kamu saksikan dan malah kamu alami sendiri , ada kecacatan di atas roda kincir itu. Pertama kakimu mendadak terasa berat , tak bisa melompat "
"Keanehan itu bisa saja hasil perbuatan Lateleng dengan mengerahkan tenaga dalam menciptakan siapa saja yang ada di atas roda kincir menjadi merasa berat ke dua kakinya. Tak sanggup melompat , tak sanggup menghindari benda yang kemudian menabas dua kakinya…" ujar Wiro.
"Benda yang menabas kaki itu!" kata Lakasipo pula. "Kau coba menyidik apa adanya. Tapi tidak berhasil. Waktu hal itu akan terjadi , lebih dulu sepasang matamu silau oleh pantulan sinar matahari yang jatuh di atas roda kincir…."
"Aku curiga roda itu dipasangi sesuatu benda yang berkilauan ketika kejatuhan sinar sang surya. Sayang saya tak bisa mencari tahu benda apa itu adanya. Aku coba menghancurkan kayu roda kincir dengan kakiku. Ternyata kayu itu seatos baja! Tapi…."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Pada ketika korban terakhir , lelaki berjuluk Si Hati Baja menemui ajal , sebelumnya kami menyaksikan ada sinar melesat dari roda kincir yang menciptakan ia kesilauan. Hal yang sama juga terjadi dengan diriku. Jika sinar menyilaukan itu merupakan satu hal yang diandalkan maka saya bisa mengira Lateleng hanya melayani orang-orang yang tiba pada siang hari. Karena pada malam hari tidak ada sang surya!" Wiro pandangi sepasang kakinya. Sambil gelengkan kepala ia berkata. "Kalau saja Luhrinjani tidak muncul secara tiba­tiba menolongku , mungkin ketika ini saya sudah menjadi jerangkong mirip yang lain-lainnya itu."
Lakasipo melirik ke arah Luhsantini dan belakang layar menahan rasa kejut mendengar ucapan Pendekar 212 tadi. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi merasa segan alasannya yaitu Luhsantini berada di dekat situ. Sebaliknya Luhsantini jadi merasa kurang enak. Kalau hingga roh mendiang istri lelaki yang dikasihinya itu muncul lagi di tempat itu secara tidak terduga , ia tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi.
Wiro memandang pada dua kakinya yang hampir amblas di atas putaran roda Kincir Hantu. Kemudian ia perhatikan sepasang kaki Lakasipo. Otaknya bekerja. Lalu ia berkata. "Aku sepakat denganmu. Besok pagi kita lakukan penyelidikan. Tapi hati-hati. Lateleng dan Kincir Hantunya bisa menebar maut secara tak terduga…."
"Aku mencari tempat untuk istirahat dulu. Kalian jangan ke mana-mana ," berkata Luhsantini kemudian ia tinggalkan orang-orang itu.
Baru saja wanita itu lenyap di balik rerumpunan semak belukartiba-tiba di udara terdengar bunyi menguik. Lalu satu makhluk besar melayang turun dalam kegelapan malam.
Ketika Wiro mengenali siapa yang tiba , ia segera membisiki Lakasipo. "Hantu Kaki Batu , kamu punya tamu yang tidak terduga. Sungguh senang malam ini kamu bakal ditemani dua orang wanita cantik…."
"Jangan kamu berkata begitu. Bisa saja ia muncul bukan mencariku , tapi mencarimu ," sahut Lakasipo.
"Kita lihat saja ," kata Setan Ngompol pula. "Jika kalian tidak mau menerimanya , saya tidak keberatan untuk menemaninya ngobrol hingga pagi hari! Malah kalau perlu mengobrol hingga mengompol!" Setan Ngompol kemudian tertawa cekikikan.
"Tua bangka gendeng tak tahu diri!" maki Naga Kuning.

12

MAKHLUK besar yang melayang turun itu ternyata yaitu seekor kura-kura terbang berwarna coklat. Penunggangnya sudah bisa diterka. Yaitu bukan lain gadis anggun genit Luhjelita.
Sambil tertawa lebar gadis ini melompat turun dari atas punggung kura-kura coklat. Sebelumnya secara belakang layar ia telah menguntit perjalanan Wiro. Gadis ini merasa perlu menemui perjaka itu untuk menjernihkan perselisihan yang terjadi antara ia dengan Peri Angsa Putih yang juga menyangkut diri Wiro. Dia berhasil mengetahui kalau Wiro dan dua kawannya tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat di mana Kincir Hantu terletak. Maka ia segera mengejar ke sana. Namun ia tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Lakasipo. Seperti telah dituturkan sebelumnya (baca serial Wiro Sableng berjudul "Peri Angsa Putih") bantu-membantu Luhjelita pernah jatuh hati pada Lakasipo. Namun sehabis Pendekar 212 berubah sosok menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam , kegagahan sang pahlawan menciptakan hati si gadis kini jadi terpaut pada perjaka itu.
Karena tadi Luhsantini telah beranjak pergi , Luhjelita tidak tahu kalau wanita itu juga ada di tempat itu.
Selagi Luhjelita tegak kikuk di bawah pandangan Wiro dan Lakasipo , Si Setan Ngompol mendatangi gadis itu. "Sahabatku dara jelita berpakaian Jingga berjulukan Luhjelita. Ini satu pertemuan tidak disangka. Banyak orang gagah di tempat ini. Siapakah yang kamu cari?"
"Jelas bukan mencarimu! Karena kamu tidak termasuk orang gagah!" menyahuti Naga Kuning sambil monyongkan mulutnya pada si kakek kemudian tekap hidung menahan tawa. Setan Ngompol delikkan mata dan cubit pinggang si bocah hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Luhjelita tersenyum. "Aku bangga melihat banyak sahabat di sini. Aku…." Gadis itu memandang pada Wiro. "Aku ingin bicara denganmu. Wahai…."
"Sebelum kalian berdua bicara , saya perlu bicara denganmu lebih dulu , Luhjelita ," kata Lakasipo.
Sementara itu Luhsantini yang semula hendak beristirahat membaringkan tubuh telah berada di tempat itu , terbangun oleh bunyi menguik dan deru sosok Laecoklat , kura-kura raksasa tunggangan Luhjelita. Dia segera bangun berdiri mendatangi. Begitu melihat Luhjelita , Luhsantini ingin sekali menemui dan merangkul gadis itu. Sewaktu dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus hendak membunuhnya di kawah Gunung Latinggimeru , Luhjelitalah yang menyelamatkannya walau bayi yang ada dalam dukungannya balasannya yang kena celaka. Dia berhutang budi dan nyawa pada gadis berpakaian Jingga itu. Namun ketika mendengar percakapan Lakasipo dengan Luhjelita , Luhsantini batalkan niatnya menemui gadis itu. Dadanya berdebar dan rasa cemburu menciptakan parasnya serta merta menjadi merah. Berat dugaannya antara Lakasipo dan Luhjelita ada kekerabatan yang agaknya bukan Cuma kekerabatan biasa.
"Wahai Lakasipo , orang gagah dan sakti di Negeri Latanahsilam , gerangan apakah yang hendak kamu bicarakan dengan diriku!" Luhjelita bertanya.
"Peristiwa ketika saya ikut bersamamu ke Goa Pualam Lamerah…" jawab Lakasipo.
"Ah , celaka! Dia masih ingat kejadian itu. Bagaimana saya harus bicara…." Luhjelita jadi merasa tidak enak. Namun sambil lontarkan senyum genit ia berkata.
"Kukira hanya saya saja yang mengingat-ingat kejadian itu. Ternyata kamu tidak pernah melupakan. Aku sudah lama tidak ke goa itu. Mungkin sudah saatnya saya harus ke sana. Mungkin bersamamu…?"
Lakasipo gembungkan rahangnya menerangkan lelaki ini tidak senang dengan ucapan Luhjelita barusan. "Aku ingin kamu berterus terang wahai Luhjelita. Apa yang telah kamu lakukan terhadap diriku di Goa Pualam Lamerah itu?"
Wajah Luhjelita kelihatan berubah. Sepasang matanya terbuka lebar dan dua alisnya yang hitam naik ke atas. "Wahai , Lakasipo. Nada pernyataanmu mirip menuduh! Memangnya apa yang telah saya lakukan terhadapmu? Kau tiba dan pergi tanpa cidera barang sedikit pun!"
"Bukan tidak mungkin kamu sengaja memancing menjebakku ke goa itu. Karena sebelumnya kamu telah berserikat dengan Hantu Muka Dua. Buktinya Hantu Muka Dua tahu­tahu muncul di tempat itu. Berniat jahat hendak membunuhku. Sementara kamu sendiri lenyap entah ke mana!"
"Terus terang saya memang melarikan diri. Tapi saya tidak memancing atau menjebakmu. Kau tertidur di dalam goa. Mungkin alasannya yaitu keletihan perjalanan jauh. Aku meninggalkanmu di satu ruangan yang kondusif kemudian melarikan diri alasannya yaitu Hantu Muka Dua hendak membunuhku!"
"Hantu Muka Dua hendak membunuhmu? Wahai! Tak percaya aku! Bukankah ia kekasihmu?!"
Wajah Luhjelita menjadi sangat merah. Dia menggigit bibir menahan gelora hatinya. Di batinnya ia berkata. "Kalau kamu tahu wahai Lakasipo , walau kini saya tidak lagi tertarik padamu , tapi waktu itu saya benar-benar jatuh cinta padamu…."
"Mungkin saya bukan gadis baik-baik Lakasipo. Tapi untuk menjadikan Hantu Muka Dua sebagai kekasihku , walau final zaman Negeri Latanahsilam ini hingga tujuh kali rasanya hal itu tidak mungkin terjadi…."
"Lalu apakah kamu tidak mau menceritakan apa yang bantu-membantu terjadi di goa itu?!" tukas Lakasipo.
Luhjelita melirik pada Pendekar212 Wiro Sableng. Gadis ini gelengkan kepala. "Tidak ada…. Tidak ada terjadi apa-apa di dalam goa itu. Jangan kamu berburuk sangka terhadapku. Apa kamu kira saya telah melaksanakan sesuatu yang tidak senonoh terhadap dirimu?! Aku tahu di luaran orang menyebut saya sebagai gadis binal tukang rayu dan tukang bujuk , menebar cinta palsu murahan. Aku tidak sehina itu. Apalagi terhadap dirimu yang aku…." Luhjelita seolah tersadar. Cepat ia putuskan ucapannya kemudian tutupkan dua tangannya kemukanya.
Lakasipo terdiam. Tak ada yang bergerak , tak ada yang bersuara. Lalu terdengar bunyi Luhjelita menahan sesenggukan.
Di balik semak belukar gelap , Luhsantini tegak tak bergerak walau ada gemuruh di dadanya. Dari pembicaraan antara Lakasipo dan Luhjelita semakin keras dugaan wanita itu bahwa antara ke dua orang tersebut sebelumnya pernah terjalin satu hubungan. "Goa Pualam Lamerah…" kata Luhsantini dalam hati. "Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sikap dan cara bicara Lakasipo tadi seolah memperlihatkan ketidaksenangan terhadap gadis itu. Apakah ini merupakan satu perubahan yang mendadak semenjak ia berada di dekatku? Kasihan gadis itu…. Aku merasa berdosa kalau mungkin saya merebut kekasihnya…." Memikir hingga ke situ Luhsantini balasannya balikkan diri , tinggalkan tempat itu.
Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning saling bertukar pandang dengan Setan Ngompol. Naga Ku­ning berbisik pada kakek ini. "Aku jadi kepingin tahu apa kelanjutan ucapan gadis itu. Jangan-jangan ia telah jatuh cinta pada saudara kita itu…."
"Hussss! Jangan kamu berlancang mulut! Melihat gerak-geriknya saya yakin bukan Lakasipo yang di­sukainya tapi mitra kita si sableng satu ini!" ujar Si Setan Ngompol.
"Masih lega saya kalau ia menyayangi Wiro , bukannya kau!" kata Naga Kuning kembali menarik hati kemudian tundukkan kepala menahan tawa.
Merasa tidak ada gunanya ia berada lebih lama lagi di tempat itu sementara ia tidak bisa menahan gejolak hatinya , Luhjelita segera putar tubuh hendak berlalu. Namun bunyi Wiro menciptakan langkahnya tertahan.
"Sahabatku Luhjelita , tunggu dulu…."
Si gadis turunkan dua tangannya , menatap ke arah Wiro. Dia membisu menunggu apa yang hendak dikatakan Wiro selanjutnya. Hatinya berdebar. Dia tahu semenjak beberapa waktu kemudian pahlawan itu menaruh syak wasangka besar terhadapnya. Apakah mirip Lakasipo Wiro juga hendak membicarakan hal itu di depan orang banyak? Menambah kekecewaan dan sakit hatinya?
"Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi tidak sempurna waktunya kalau dibicarakan sekarang…."
Luhjelita jadi lega. "Pemuda ini jauh lebih punya perasaan dibanding dengan lelaki berkaki kerikil berjulukan Lakasipo itu ," kata si gadis dalam hati.
"Tongkat biru itu ," Pendekar 212 berkata seraya menunjuk ke sebuah tongkat kerikil yang memancarkan warna biru redup dan terselip di pinggang Luhjelita. "Setahuku kamu tidak pernah membawa tongkat atau mempunyai senjata mirip itu. Kalau saya boleh bertanya , semenjak kapan kamu mempunyai benda itu. Apa memang itu milikmu?"
Pertanyaan Pendekar 212 Wiro Sableng menciptakan terkejut dua orang. Yang pertama tentu saja Luhjelita sendiri dan yang ke dua yaitu Lakasipo. Hantu Kaki Batu segera berbisik pada Wiro.
"Wahai , kalau kamu tidak menyebut saya hingga tidak memperhatikan tongkat itu. Ingat ceritaku se­belumnya wacana seorang tokoh sakti berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi? Yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya?"
Wiro anggukkan kepala. Sepasang matanya tetap menatap Luhjelita. Dia menatap dengan pandangan biasa-biasa saja , tidak menyorot apalagi memperlihatkan hawa amarah atau kebencian. Hal itu menciptakan Luhjelita agak lega sedikit Maka gadis anggun dengan rambut tergulung di atas kepala itu menjawab polos.
"Tongkat ini memang bukan milikku. Aku menemukannya di satu tempat "
"Apakah kamu tahu siapa pemiliknya?"
"Kalau saya tak salah mengira tongkat kerikil biru ini yaitu milik seorang bergelar Tongkat Biru Pe­ngukur Bumi…."
Wiro melirik pada Lakasipo menciptakan Luhjelita menduga-duga apa arti lirikan itu.
"Kalau saya boleh bertanya lagi , di manakah pemilik tongkat itu kini berada?" ujar Wiro pula.
"Orang bau tanah itu kutemukan sudah jadi mayat. Tubuhnya" Luhjelita tidak meneruskan ucapannya , ia cepat beralih kata. "Tongkat ini kutemukan tak jauh dari jenazahnya."
"Terima kasih atas keteranganmu ," kata Wiro kemudian tersenyum.
Senyuman itu menciptakan hati Luhjelita mirip diguyur air yang sangat sejuk. Dia tidak menyangka akan mendapatkan senyuman itu dari perjaka yang dianggapnya telah membenci dirinya.
"Aku…." Luhjelita tidak tahu mau bicara apa. Lalu dicabutnya tongkat kerikil biru dari pinggangnya. "Tongkat ini bukan milikku. Aku tidak membutuhkannya. Mungkin lebih sempurna kalau berada di tangan kalian!" Walau Luhjelita menyebut "kalian" namun tongkat biru itu dilemparkannya ke arah Wiro. Pendekar 212 cepat menangkapnya. Pada ketika tongkat itu berada dalam genggaman Wiro , ketika itu pula Luhjelita lenyap dalam kegelapan. Yang terdengar kemudian yaitu gemuruh kepakan sayap kura-kura terbang tunggangannya.
*
* *

13

LIMA orang yang berlindung di balik semak belukar itu memandang tegang tak berkedip ke arah Kincir Hantu yang mulai berputar menggemuruh begitu sang surya muncul terang di ufuk timur.
"Kincir sudah berputar , saya masih belum melihat kakek berjulukan Lateleng itu…" kata Lakasipo. Sambil bicara ia melirik ke arah Luhsantini yang semenjak pagi tadi tak banyak bicara.
"Itu muncul orangnya!" kata Naga Kuning tiba-tiba seraya menunjuk ke depan. "Dia ada di atas atap rumah kincir!"
Semua mata serta meria memandang ke atas rumah kincir. Menang benar. Di atas atap kelihatan seorang yang wajah tuanya hanya sebagian kelihatan alasannya yaitu tertutup caping. Di mulutnya terselip sebuah pipa mengepulkan asap merah. Di atas atap di sebelah belakangnya menancap sebuah bendera berwarna kuning.
Wiro memandang pada semua orang yang ada di situ. "Kalian sudah siap semua?" Semua yang ditanya termasuk Luhsantini anggukan kepala.
Lima orang itu kemudian keluar dari balik semak belukar , menyeberangi lapangan. Bergerak menuju Kincir Hantu. Sambil melangkah Lakasipo berkata pada Wiro. "Melihat pipa dan warna asap yang mengepul , saya ingat pada seorang tokoh langka berjuluk Si PenghembuRoh. Setahuku ia satu-satunya yang mempunyai ilmu kesaktian sangat ganas. Dengan cara meniup asap ia bisa merubah sosok insan menjadi jerangkong mirip yang berserakan di ujung lapangan sana…."
"Kalau begitu bedebah bau tanah di atas atap itu pastilah Si Penghembus Roh itu!" kata Wiro pula.
"Aku ragu. Ciri-cirinya tidak mirip tokoh langka itu…" jawab Lakasipo pula. Lalu ia hentikan pemikiran tenaga dalamnya yang menuju ke kaki. Akibatnya "duk… duukk… duukk!" Bola-bola kerikil yang membungkus kaki Lakasipo mengeluarkan bunyi keras. Tanah bergetar dan membentuk lobang-lobang.
Tiba-tiba kakek bercaping di atas atap rumah kincir bangun berdiri. Lima orang itu yang berjalan di tanah lapang serta merta hentikan langkah. Si Setan Ngompol belum apa-apa sudah mulai berair pecahan bawah celananya alasannya yaitu tegang.
Di atas atap rumah kincir , kakek berjulukan Lateleng sedot pipanya kemudian hembuskan asap merah tinggi­tinggi ke udara. Setelah itu ia buka capingnya dan menjura ke arah orang-orang yang berdiri di tanah lapang di depan Kincir Hantu.
"Ada serombongan tamu tiba berkunjung! Aku Lateleng sungguh mendapat kehormatan besar! Tapi mataku belum lamur apalagi buta. Kalian ke sini bukan mencari kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin! Kau yang berambut gondrong dan kamu kakek berkuping lebar serta kamu budak konyol berpakaian serba hitam berambut mirip ijuk! Bukankah kalian bertiga perantau asing yang kemarin muncul di sini dan sempat membuatku jengkel? Ada gerangan apa kalian masih berani kembali unjukkan muka di tempat ini?! Kalau hari ini saya murka besar jangan harap kalian bertiga bisa melihat matahari karam sore nanti!"
Pendekar 212 angkat tangan kirinya kemudian menjawab. "Aku tiba membawa dua teman. Mereka ingin mencoba kepandaian menjajal kehebatan Kincir Hantumu! Apa kamu berani mendapatkan tantangan?!"
Kakek di atas rumah kincir menatap tajam pada Lakasipo yang berkaki kerikil dan Luhsantini. Dalam hati ia menggeram. "Jahanam berambut gondrong itu! Dia benar-benar menciptakan kesulitan besar padaku! Si kaki kerikil itu mungkin saja ia menyembunyikan benda yang saya cari di salah satu kakinya. Tapi saya tahu betul kehebatan kerikil yang dijuluki Bola Bola Iblis itu. Apa saya sanggup menghancurkannya? Lalu wanita berpakaian serba merah itu. Dia pantas jadi temanku bersenang-senang. Tapi kini malah bisa menjadikan ancaman bagiku!"
Walau hatinya merasa tidak lezat namun kakek. kepala teleng umbar tawa bergelak. "Wahai kalian berlima dengar ucapanku baik-baik! Pagi ini saya masih merasa segar dan berhati senang. Tapi dalam sekejap pikiranku bisa berubah. Sebelum pikiranku berubah saya perintahkan pada kalian semua biar segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Kecuali wanita berpakaian merah! Dia boleh tetap berada di sini menemaniku!"
Lakasipo mendengus keras. Luhsantini perlihatkan muka geram sementara Naga Kuning mencibir dan Si Setan Ngompol bersungut-sungut Wiro membisu sesaat. Lalu sambil menggaruk kepala ia membatin. "Aku ingat sekarang. Suara kakek teleng itu mirip pernah kudengar sebelumnya…."
"Lakasipo , kakek teleng itu agaknya jerih melihat bola-bola iblis di ke dua kakimu ," bisik Naga Kuning.
Wiro menggaruk kepalanya kembali seraya berkata. "Dia mengincar Luhsantini. Tapi bukan tidak mungkin ia menyembunyikan sesuatu…. Kalau dugaanku betul…."
Sementara itu Kincir Hantu berputar terus dengan bunyi menggemuruh menggetarkan tanah lapangan.
"Kakek di atas rumah kincir!" Pendekar 212 berteriak. "Perempuan anggun baju merah ini menjadi milikmu kalau kamu mengizinkan kawanku yang berkaki kerikil ini menjajal kehebatan kincirmu!"
"Wiro , lancang sekali mulutmu!" teriak Luhsantini marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol melongo.
Lakasipo pelototkan mata. Tangan kirinya eksklusif mencekal tengkuk baju Pendekar 212. Suaranya menggeram murka ketika berkata setengah berteriak. "Jangan kamu berani menjual sahabat! Perlu apa memaksa kalau si kepala teleng itu takut mendapatkan tantangan kita?!"
Wiro menyeringai. "Kalau ia memang takut lebih baik kita tinggalkan tempat ini! Tapi apa tidak sebaiknya sebelum pergi kita hancurkan dulu Kincir Hantu itu! Rumah kincirnya sekaligus! Kalau perlu si teleng pengecut di atas atap itu sekalian!"
"Weehh! Kemarin bernafsu amat! Sekarang kecut mirip banci!" mengejek Naga Kuning kemudian tertawa gelak-gelak.
"Mungkin ia perlu diberi semangat! Diberi minum air kencingku!" menyambung Si Setan Ngompol yang akhiri kata-katanya dengan tawa cekikikan.
Menggelegak amarah Lateleng mendengar ucapan­ucapan Wiro dan kawan-kawannya. Tapi ia pintar menutupi sikap. Dia sengaja mengumbar tawa bergelak.
Di bawah sana Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi tawa penuh ejek. Lakasipo juga keluarkan bunyi mengekeh. Naga Kuning , Setan Ngompol dan Luhsantini susul menyusul keluarkan tawa.
"Sudah teleng ternyata pengecut!" berteriak Naga Kuning.
"Kepala atas teleng tapi kepala bawah tahu wanita cantik! Hik… hik… hik!" berseru Si Setan Ngompol.
"Rupanya di sini tidak ada kaca! Membuat bau tanah bangka itu tidak tahu ia jelek rupa!" menyusul teriakan Luhsantini.
Ditertawai , diejek dan dicaci maki mirip itu menggeletarlah sekujur tubuh Lateleng. Amarahnya meluap. Darahnya mirip mendidih dan dadanya seolah terbakar. Berulang kali ia mengusap mukanya depan belakang seolah ada sesuatu yang berusaha ditahannya.
"Manusia-manusia jahanam! Siapa pengecut! Siapa penakut! Aku bukan makhluk banci! Manusia kaki batu! Aku terima kesombonganmu! Silakan melompat ke atas kincir! Aku mau lihat hingga di mana kehebatanmu!"
Orang bau tanah di atas atap rumah kincir balasannya terpancing murka dan mendapatkan tantangan. Padahal semua ucapan dan ulah Wiro serta kawan-kawannya tadi hanya sandiwara belaka yang sudah diatur demikian rupa memang untuk menjebak si kakek teleng itu. Begitu pancingan mereka mengena tanpa tunggu lebih lama Lakasipo segera melesat ke atas kincir! Dua kaki batunya hinggap di atas permukaan roda kincir tanpa mengeluarkan bunyi sedikit pun , menciptakan Lateleng merasa jerih kemudian belakang layar alirkan tenaga dalam ke tangan kirinya.
Di ketika yang sama Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol serta Luhsantini telah melesat pula ke atas atap rumah kincir.
"Kalian mau apa?! Lekas turun!" teriak Lateleng marah.
"Kami hanya mau menyaksikan permainan gila ini dilakukan tanpa kecurangan!" jawab Wiro seenaknya tapi tangan kanannya meraba pinggang kiri di mana terselip Kapak Maut Naga Geni 212. Sepasang matanya meneliti seputar atap rumah kincir. Pandangannya membentur sebuah tonjolan kayu yang menyembul keluar dari permukaan atap dan berada tak jauh dari kaki Lateleng. Murid Sinto Gendeng yang cukup punya pengalaman wacana aneka macam peralatan rahasia segera saja meragukan tonjolan kayu itu yaitu satu peralatan yang ada hubungannya dengan Kincir Hantu. Mulai ketika itu gerak-gerik kaki Lateleng serta tonjolan kayu itu tidak lepas dari perhatian Pendekar 212.
Si Setan Ngompol tegak di atas atap sambil pegangi bawah perutnya yang mengucur habis-habisan. Dia menyeringai kecut , ketika Lateleng melotot padanya. "Aku tidak mau berbuat apa-apa. Bukankah saya sahabatmu yang akan memberimu minuman penyegar kalau kamu kehausan? Lihat saja! Bukankah matahari pagi mulai bersinar terik?" Sambil berucap kakek bermata jereng ini siapkan pukulan sakti Sct.m Ngompol Mengencingi Pusara.
Kakek teleng bantingkan capingnya di atas kepala dan memaki panjang pendek dalam hati. Dia berpaling pada Naga Kuning. Anak ini tegak tak hirau sambil mengorek hidungnya , begitu asyik hingga matanya meram melek. "Aku naik ke atap cuma pingin tahu permainan sulap apa yang ada di tempat ini!" Naga Kuning berucap sambil melirik pada Lateleng yang memelototinya. Padahal ketika itu di tangan kirinya ia sudah menyiapkan pukulan Naga Kuning Merobek Langit
Ketika Lateleng berpaling ke arah Luhsantini , wanita anggun ini lemparkan senyum manis kemudian berkata dengan bunyi merdu. "Wahai kakek gagah pemilik Kincir Hantu. Bukankah kamu minta saya menemanimu? Bukankah temanku si gondrong itu menjanjikan diriku untukmu kalau kamu mendapatkan tantangan si kaki kerikil itu? Sekarang saya yaitu milikmu."
Selagi si kakek teleng kelihatan mirip terkesiap , Luhsantini cabut bendera kuning di atas atap kemudian serahkan pada si kakek. Mau tak mau Lateleng terima bendera itu namun dalam hati ia membatin. "Orang-orang ini. Agaknya mereka merencanakan sesuatu. Gila! Mungkin saya sudah terperangkap dalam jebakan mereka! Jahanam betul! Untung hingga ketika ini mereka masih belum tahu siapa diriku sebenarnya. Awas kalian! Yang empat orang itu akan kuhabisi sebentar lagi!"
"Kakek gagah , apakah kita bisa mulai?" bertanya Luhsantini dengan bunyi merdu serta layangkan senyum.
"Ya… ya! Kita segera mulai!" jawab Lateleng. Lalu ia berpaling pada Lakasipo. "Makhluk berkaki kerikil , saya belum tahu namamu. Harap suka memberitahu alasannya yaitu saya tidak ingin kamu menemui kematian tanpa saya tahu siapa dirimu sebenarnya!"
" Aku Lakasipo , berjuluk Hantu Kaki Batu!" jawab Lakasipo.
"Hemmmm…." Lateleng bergumam. Dalam hati ia merutuk. "Hantu keparat , saya sudah tahu siapa kamu sebenarnya! Bersiaplah mendapatkan Kematian!" Lateleng pindahkan pipanya ke tangan kiri. Wiro memperhatikan tangan kanan kakek itu mengeluarkan getaran , menerangkan ia telah mengerahkan tenaga dalam. Dengan tangan kanan berada di hulu kapak , Pendekar 212 siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan kiri.
Lateleng tancapkan bendera kuning di roda kincir yang berputar. Lalu kakek ini ketukkan pipanya ke pinggiran roda kincir seraya berseru.
"Satu!"
Kincir Hantu menggemuruh dan berputar kencang. Lakasipo mulai berlari-lari di atas roda kincir. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi tegang tapi belakang layar sama menyiapkan pukulan-pukulan sakti. Atap rumah kincir itu agaknya dalam waktu tidak berapa lama lagi akan menjadi ajang perkelahian dahsyat!
*
* *

14

GEMURUH bunyi Kincir Hantu seolah masuk menggelegar didalam tubuh orang-orang yang ada di tempat itu , terutama Lakasipo yang berlari melawan putaran roda. Tak lama kemudian bendera kuning muncul di sisi kanan kincir , bergerak mendekati kaki Lakasipo. Dengan gerakan enteng Lakasipo melompat. Bendera kuning lewat di bawahnya bersama kucuran air menuju ke sisi kiri.
Mulut Lateleng tampak menyeringai namun dibawah caping yang melindungi sebagian mukanya , sepasang mata kakek ini melirik tajam kian ke mari , memperhatikan Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawannya.
"Dua!" seru Lateleng sambil ketukkan pipa ke pinggiran roda kincir begitu bendera kuning lewat di bawah kaki Lakasipo. Putaran kincir berubah tambah kencang. Suara gemuruhnya menggetarkan rumah kincir serta lapangan di bawah sana. Lakasipo mempercepat larinya. Setiap ketika lelaki ini saling memberi isyarat mata dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi semua gerak-gerik ke dua orang ini tidak lepas dari perhatian si kakek teleng.
Tak selang berapa lama bendera kuning muncul lagi di sisi kanan. Lateleng cabut pipanya kemudian kepulkan asap merah ke udara.
“Tiga!" Kincir Hantu berderak keras kemudian berputar lebih kencang. Gemuruh suaranya kali ini seolah hendak meruntuhkan langit dan menjungkir balikkan rumah kincir , menciptakan orang-orang yang ada di atas atap bangunan tergontai­gontai dan sesekali terlonjak ke atas.
"Lakasipo! Kau harus bertahan! Putaran kincir hanya tinggal sedikit lagi! Kitab sakti itu akan segera menjadi milikmu! Kau benar-benar luar biasa! Aku tidak kecewa menyerahkan kitab langka itu kepadamu!"
Lakasipo tidak acuhkan ucapan orang. Dia sudah mendapat peringatan dari Wiro bahwa kakek itu berusaha mengalihkan perhatian dengan ucapan-ucapan serta gelak tawanya. Lakasipo malah kerahkan tenaga dalam ke arah kaki. Terjadilah hal yang hebat. Kaki-kaki kerikil itu menghantam ebonit roda kincir , mengeluarkan bunyi dak-duk-dak-duk berkepanjangan diseling bunyi berderak seolah kincir itu siap untuk runtuh hancur berantakan. Walau demikian , luar biasanya tidak ada pecahan kincir yang pecah atau rusak.
Lateleng sesaat menjadi cemas. Namun seringai segera tersungging di mulutnya ketika bendera kuning muncul kembali di sisi kanan sebagai epilog putaran yang akan berakhir begitu mencapai sepasang kaki kerikil Lakasipo.
"Saatmu akan segera hingga Lakasipo! Nyawamu tak akan tertolong!" kata Lateleng dalam hati. Dia sedot pipanya dalam-dalam seraya melirik pada empat orang yang ada di atas atap.
Walaupun dua kaki kerikil itu tampak berat sekali menghunjam roda kincir namun dengan kesaktiannya yang ditunjang tenaga dalam tinggi Lakasipo bisa berlari ringan. Dia kelihatan tenang-tenang saja padahal dadanya menggemuruh dilanda kecemasan. Wiro dan yang lain-lainnya ketika itu telah berada di puncak ketegangan.
Bendera kuning bergerak cepat. Hanya tinggal dua langkah dari sepasang kaki Lakasipo.
"Lakasipo! Kau memang hebat! Aku tidak menyesal menyerahkan kitab Kesaktian Menguasai Jin padamu!" berseru Lateleng. Lalu kakek ini keluarkan suitan keras dan panjang. Bersamaan dengan itu secepat kilat kaki kirinya bergerak menginjak tonjolan kayu yang menyembul di atas rumah. Kincir Hantu keluarkan bunyi gemuruh dahsyat menyeramkan. Di antara bunyi gemuruh itu terdengar bunyi aneh.
"Clak… clak… clak!"
Dari pinggiran roda kereta mendadak mencuat sinar putih menyilaukan , menyambar wajah Lakasipo , membutakan pemandangannya. Luar biasanya cuatan sinar menyilaukan itu juga menyambar ke arah mata semua orang yang ada di atas atap. Sebelum sinar menyilaukan itu sempat membutakan pemandangan mereka keempat orang di atas atap telah lebih dulu bergerak.
"Celaka! Aku tidak bisa mengangkat dua kakiku!" teriak Lakasipo.
Lalu "traannggg!" Kaki batunya sebelah kiri dihantam benda keras tajam berkilat hingga terbelah dua. Lateleng buka mulutnya lebar-lebar kemudian semburkan asap merah ke arah Wiro dan kawan-kawannya. Tangan kanannya ikut bergerak menghantam. Selarik sinar hijau menderu ke arah tiga sasaran yakni , Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Siapa saja yang terkena akan menemui ajal dengan tubuh hijau meleleh mirip lumpur!
Walau semua itu terjadi dengan cepat namun Wiro sempat menyadari bahwa Lateleng sama sekali tidak menyerang Luhsantini! Apakah ini alasannya yaitu ia memang tidak ingin menciderai wanita yang dijadikannya sahabat bersenang-senang itu atau ada alasan lain.
Wiro dan tiga orang lainnya yang semenjak tadi sudah mengambil perilaku penuh waspada , begitu melihat Lateleng berkelebat gerakkan kaki kiri menginjak tonjolan kayu , ke empat orang ini segera menghantam ke arah Lateleng yang ketika itu telah pula melancarkan pukulan sakti Hantu Hijau Penjungkir Langit.
Wiro lepaskan pukulan Sinar Matahari kemudian jatuhkan diri dan bergulingan di atas atap. Kapak Naga Geni 212 yang sudah ada di tangan kanannya dibacokkan ke arah tonjolan kayu yang dipijak Lateleng. Bukan saja ia hendak menghancurkan alat rahasia di atas atap itu tapi sekaligus ia juga ingin membabat putus kaki kiri Lateleng. Namun si kakek bertindak cepat selamatkan kakinya. Ketika kakinya hendak dipergunakan untuk menendang kepala Wiro , Si Setan Ngompol dan Naga Kuning telah lebih dulu menyeruduk tubuhnya hingga tak ampun lagi kakek ini terdorong jatuh ke bawah. Bahunya menghantam pinggiran roda kincir. Satu jeritan dahsyat menggelegar dari ekspresi Lateleng. Darah tampak mengucurdari pundak kirinya jawaban benturan dengan lempengan benda tajam putih yang mencuat di pinggiran roda kincir. Ketika jatuh ke tanah sialnya mukanya jatuh terhimpit selangkangan Si Setan Ngompol hingga wajahnya dan kepalanya berair kuyup oleh kucuran air kencing!
Di atas atap rumah kincir letusan-letusan dahsyat menggelegar mirip mau meruntuhkan langit. Pukulan sakti yang dilepaskan Lateleng serta semburan asap merahnya yang bisa merontokkan daging tubuh Itu bentrokan dengan pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro , pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara yang dilepaskan Setan Ngompol serta pukulan Naga Kuning Merobek Langit yang dihantamkan Naga Kuning. Ditambah pula dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung yang dilepaskan Luhsantini.
Atap rumah kincir hancur awut-awutan dan beterbangan di udara. Rumah kincir roboh bergemuruh. Kincir Hantu bergetar hebat kemudian ambruk jadi tiga pecahan , menggelinding di tanah lapang.
Pada ketika letusan menggelegar Lakasipo cepat mencekal lengan Luhsantini. Lalu ke duanya menciptakan gerakan jungkir balik di udara , melayang turun ke tanah dengan kaki lebih dulu.Tubuh dan pakaian mereka kotor oleh hancuran atap dan bangunan rumah kincir.
Di pecahan lapangan yang lain Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah lebih dulu melompat ke tanah simpan Kapak Naga Geni 212-nya kemudian lari ke arah Setan Ngompol dan Naga Kuning yang sedang bergumul dengan Lateleng. Saat itu kakek ini tidak lagi mengenakan capingnya yang telah mental hancur jawaban tersambar letusan di atas atap. Kitab yang ada di bawah caping itu ikut musnah dan tidak diketahui apakah benar-benar kitab orisinil atau hanya tiruan belaka.
Digumul berdua Lateleng menghantam kian kemari , menciptakan Setan Ngompol dan Naga Kuning berpelantingan ke tanah. Ke dua orang ini cepat bangun menyerang. Mereka tidak mau kehilangan si kakek teleng yang terperinci hendak coba melarikan diri. Naga Kuning hanya sempat menarik celana panjang si kakek hingga Lateleng melarikan diri cuma mengenakan baju dan celana dalam. Namun kakek ini tidak peduli. Dia kelabakan dengan luka di pundak kirinya.
"Bahuku… darah…. Aku terlukai Wahai!" Sambil lari Lateleng mengeluh tak berkeputusan. Tangan kanannya memegangi pundak kiri sementara tangan kiri yang terluka itu dicobanya untuk mengusapi kepalanya depan belakang.
Lakasipo dan Wiro berusaha mengejar. Namun gerakan mereka mendadak tertahan ketika memperhatikan ke depan , kepala Lateleng telah berubah. Kakek itu kini mempunyai satu kepala dengan dua muka. Berupa muka kakek-kakek berwajah pucat pasi!
"Astaga! Hantu Muka Dua! Dia Hantu Muka Dua!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jahanam! Kau mau lari ke mana!" teriak Lakasipo kemudian lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Lima larik sinar hitam menderu ganas. Tapi di depan sana Lateleng yang memang bantu-membantu yaitu Hantu Muka Dua yang menyamar telah lenyap. Hanya noda-noda kucuran darahnya yang masih tertinggal di tanah. Wiro dan Lakasipo sama-sama terduduk di tanah. Selagi Lakasipo pandangi kerikil di kaki kanannya yang kini hanya tinggal sebelah Pendekar 212 bangun berdiri. Dia melangkah menghampiri salah satu hancuran roda kincir. Ketika Wiro menilik ternyata di sepanjang pinggiran roda sebelah atas penuh dipasangi lempengan baja putih berbentuk empat persegi yang ujungnya sangat tajam. Dengan menekan alat rahasia berupa tonjolan kayu di atas atap , baja-baja putih itu mencuat keluar dari balik lapisan kayu , memantulkan sinar menyilaukan begitu kejatuhan sinar matahari dan menabas kaki orang yang ada di atasnya!
"Cerdik dan keji!" ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala. "Yang saya belum mengerti mengapa Hantu Muka Dua melaksanakan kegilaan itu! Apa bantu-membantu yang dicari bedebah kepala dua itu? Senjata sakti mandraguna…?" Sambil garuk-garuk kepala Pendekar 212 ambil satu kepingan baja putih dari reruntuhan roda kincir kemudian melangkah mendapatkan Lakasipo untuk memperlihatkan lempengan benda maut itu. Namun langkah sang pahlawan terhenti ketika tiba-tiba seorang kakek berpakaian ungu gelap penuh debu. Entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah berada di tengah lapangan. Melangkah perlahan mendekati Lakasipo yang masih terduduk di tanah , didampingi Naga Kuning , Luhsantini dan Si Setan Ngompol.
Kakek tak dikenal itu berhenti di hadapan Lakasipo , sesaat menatap wajah Hantu Kaki Batu itu kemudian sehabis melirik pada sepasang kaki kerikil Lakasipo ia berkata.
"Puluhan hari saya habisi untuk melaksanakan perjalanan ini. Ternyata tidak sia-sia. Wahai , apakah kamu orang yang berjulukan Lakasipo , bergelar Hantu Kaki Batu?"
Lakasipo tidak segera menjawab. Dia menaruh curiga pada kakek tak dikenalnya itu. Khawatir kalau-kalau si kakek yaitu kaki tangan atau anak buah Hantu Muka Dua. Wiro membuka ekspresi memberi jawaban.
"Dia memang Lakasipo. Kau sendiri siapa adanya Kek?"
Yang ditanya palingkan kepalanya ke arah Wiro , pandangi Pendekar 212 mulai dari kepala hingga ke kaki kemudian berkata. "Orang muda kamu yaitu insan hebat dalam kesederhanaan. Hidupmu penuh suka alasannya yaitu begitu banyak gadis yang jatuh hati padamu. Penuh suka walau ujian dan ancaman mengancam di mana-mana. Aku senang bertemu denganmu "
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Kek , apa mungkin kamu seorang juru ramal?!" tanya Wiro pula.
Kakek berpakaian ungu itu tersenyum. "Aku tiba dari jauh mencari Lakasipo untuk menyerahkan satu benda sangat berharga yang telah kubawa ke mana-mana selama beberapa tahun." Habis berkata begitu si kakek kemudian duduk di hadapan Lakasipo. Dia singsingkan pecahan bawah pakaiannya yang berbentuk jubah dan ulurkan kaki kanannya. Tidak terduga oleh semua orang yang ada di situ , si kakek hantamkan tangan kanannya ke pergelangan kaki kanan.
"Praaakk!"
Kaki hancur dan tulangnya patah. Anehnya tak ada darah yang mengucur! Enak saja kakek ini tarik kakinya yang patah itu kemudian dari dalam rongga tulang kakinya ia mengeluarkan sebuah benda berupa sendok bergagang pendek terbuat dari emas. Pada pecahan sendok yang ceguk ada sebuah benda kemerah-merahan yang sudah membatu dan menempel erat kedasar sendok. Semua orang jadi merinding menyaksikan apa yang dilakukan si kakek.
"Sendok ini bukan benda sembarangan. Bernama Sendok Pemasung Nasib. Kau ambillah dan serahkan pada seorang berjulukan Lasedayu yang dikenal dengan julukan Hantu Langit Terjungkir. Dia pernah tinggal di Lembah Seribu Kabut. Di mana ia berada kini tidak kuketahui…."
Tidak peduli orang yang jadi kaget mendengar kata-katanya , dan tidak peduli apakah orang mau memenuhi permintaannya si kakek masukkan sendok emas itu ke dalam genggaman tangan kanan Lakasipo. Lakasipo sendiri dalam terkesiapnya tidak berusaha menolak. Malah ia memperhatikan apa yang kemudian dilakukan kakek yang duduk di depannya itu. Enak saja si kakek sambung kembali kakinya yang hancur patah. Lalu ia mengusap satu kali , meniup satu kali. Kaki yang hancur patah itu utuh kembali!
Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning termenung monyong. Si Setan Ngompol mendelik menahan kencing sedang Luhsantini tekap mulutnya dan menatap ke arah tangan kanan Lakasipo.
" Kek , siapa kamu ini adanya?" tanya Lakasipo ketika dilihatnya kakek itu bangun berdiri. Dia segera pula bangun dari duduknya.
Si kakek tersenyum. "Wahai! Namaku bukan satu hal yang penting. Selamat tinggal orang-orang gagah…." Sekali ia membalikkan tubuh tahu-tahu kakek itu sudah berada di ujung lapangan kemudian lenyap.
"Gila!" Pendekar 212 berkata setengah berseru.
"Eh , siapa yang gila?!" tanya Naga Kuning.
"Hantu Muka Dua! Untuk mendapatkan sendok butut itu saja ia hingga membunuh lima belas orang. Aku dan Lakasipo hampir jadi korbannya!" Wiro garuk-garuk kepala.
"Walau Hantu Muka Dua gila atau edan tapi masih sempat meninggalkan satu kenang-kenangan untuk sahabatnya Si Setan Ngompol ini!" berucap Naga Kuning.
"Apa maksudmu bocah geblek?!" kata Setan Ngompol sambil delikkan mata.
Dari balik punggungnya Naga Kuning keluarkan celana milik Hantu Muka Dua yang berhasil dibetotnya hingga lepas tertinggal.
"Kek ," kata Naga Kuning pula sambil tersenyum pada Setan Ngompol. "Hantu Muka Dua sengaja meninggalkan celana ini alasannya yaitu ia tahu kamu tidak punya celana. Yang kini kamu pakai selain tak pantas disebut celana juga sudah leleh anyir pesing! Nah ambillah celana pemberiannya ini , segera pakai. Tak usah malu-malu!" Habis berkata begitu Naga Kuning tertawa cekikikan dan lemparkan celana Hantu Muka Dua hingga menyangkut di pundak kiri Si Setan Ngompol.
"Anak kurang ajar! Berani kamu mempermainkan aku! Siapa sudi menggunakan celana makhluk jahat itu!" kata Setan Ngompol dengan mata mendelik besar.
"Yang jahat Hantu Muka Dua. Celananya ‘kan tidak Kek!" jawab Naga Kuning pula.
"Bocah sialan!" mengomel si kakek tapi tangannya kemudian mengambil celana itu dari bahunya. Lalu masih pelototkan mata pada Naga Kuning ia melangkah ke balik semak-semak. Semua orang yang ada di tempat itu tertawa bergelak. Tak lama kemudian sebuah benda melayang di udara dan jatuh menyungkup kepala Naga Kuning. Bocah ini kelagapan kalang kabut dan memaki panjang pendek. Ternyata yang menyungkup kepalanya itu yaitu celana berair kuyup anyir pesing milik Si Setan Ngompol!
TAMAT
Segera terbit
RAHASIA PATUNG MENANGIS

No comments for "Diam-Diam Kincir Hantu WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"