Diam-Diam Bayi Tergantung WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : RAHASIA BAYI TERGANTUNG / PETUALANGAN WIRO DI LATANAHSILAM

SATU

Dalam rimba belantara di kaki Gunung Labatu Hitam yang biasanya diselimuti kesunyian sekali ini terdengar bunyi aneh berkepanjangan. Seperti ada seseorang yang tengah mengucapkan atau merapal jampi-jampi tak berkeputusan. “Kau mendengar bunyi itu wahai tiga saudaraku?” bertanya sosok tinggi besar berewokan yang dua kakinya terbungkus kerikil besar berbentuk bola. Orang ini yaitu Lakasipo , bekas Kepala negeri Latanahsilam yang kemudian dikenal dengan julukan Bola-Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya , berkat pertolongan Hantu Tangan Empat maka Wiro dan Naga Kuning serta si kakek berjuluk Setan Ngompol sosok tubuhnya berhasil dirubah menjadi lebih besar walau belum mencapai sebesar sosok orang-orang di Negeri Latanahsilam. Karena itulah jikalau sedang mengadakan perjalanan jauh Lakasipo selalu membawa ke tiga saudara angkatnya itu dengan cara menyelipkan mereka di balik sabuk besar yang melilit pinggangnya.
“Kedengarannya mirip orang membaca mantera panjang…” berkata Wiro menyahuti ucapan Lakasipo tadi.
“Mungkin ia orang yang kita cari. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ,” ikut bicara Setan Ngompol.
“Mungkin juga itu yaitu bunyi hantu atau jin rimba yang sedang mengigau!” ucap Naga Kuning.
“Bocah sialan!” maki Setan Ngompol. “Jangan bicara yang menciptakan saya kaget dan kepingin beser!” Kakek ini cepat tekap kepingan bawah perutnya sementara Naga Kuning usap-usap mulutnya menahan geli.
“Sebaiknya kita turun dari kuda. Menyelidik ke jurusan datangnya bunyi itu. Siapa tahu yang bersuara mirip orang membaca mantera yaitu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang kita cari.”
“Berarti klarifikasi yang diberikan Tringgiling Liang Batu tidak dusta. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu benar-benar berada di tempat kaki gunung ini.” (Mengenai riwayat Tringgiling Liang Batu harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak).
Lakasipo berpikir sejenak. Lalu ia anggukkan kepala. Diusapnya kuduk Laekakienam , kuda hitam besar berkaki enam yang mempunyai sepasang tanduk di kepalanya. Lalu ia turun dari punggung tunggangannya itu. “Laekakienam , jangan kemana-mana. Tunggu di sini hingga kami kembali!”
Kuda berkaki enam kedipkan dua matanya yang merah kemudian menjilat tangan Lakasipo.
“Lakasipo , kamu hams pergunakan kesaktianmu semoga langkah kaki batumu tidak mengeluarkan bunyi dan menggetarkan tanah. Aku khawatir orang yang meracau akan mendengar kemudian melenyapkan diri sebelum kita hingga ke tempatnya.” berkata Wiro.
“Hal itu sudah kupikirkan ,” jawab Lakasipo. Dia mulai melangkah ke jurusan datangnya bunyi orang meracau. Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh dan mengandalkan tenaga dalam , setiap langkah yang dibentuk Lakasipo akan mengeluarkan bunyi duk-duk-duk dan menggetarkan tanah yang dipijaknya. Tapi kali ini sehabis ia mengeluarkan kesaktian maka setiap langkah yang dibuatnya selain cepat juga tidak mengeluarkan bunyi atau menggetarkan tanah. Berjalan kira-kira lima puluh tombak memasuki rimba belantara yang pepohonan serta semak belukarnya semakin rapat , bunyi orang yang mirip merapal mantera itu semakin keras tanda orangnya semakin dekat. Lakasipo melangkah terus. Setan Ngompol yang diam-diam merasa tegang tambah keras memegang dan menekan kepingan bawah perutnya.
“Aku mendengar bunyi sesuatu!” Wiro berseru.
Baru saja seruannya itu berakhir tiba-tiba terdengar bunyi menggemuruh di belakang mereka disertai rambasnya semak belukar dan tumbangnya beberapa pohon. Lakasipo cepat berkelebat ke balik sebatang pohon besar. Sesaat kemudian hanya tiga tombak di depan mereka meluncur menggelinding sebuah benda aneh berwarna kuning. Semak belukar rambas bermentalan. Sebatang pohon yang cukup besar patah kemudian tumbang menggemuruh. Di lain kejap benda yang bergulung tadi lenyap di balik kerapatan pepohonan sementara di tanah makhluk yang menggelinding meninggalkan jejak berupa puluhan lubang-lubang dalam sebesar jari kelingking.
“Makhluk a pa yang barusan lewat itu!” ujar Setan Ngompol yang sudah berair kepingan bawah perutnya ,
“Manusia bukan , hewan juga rasanya bukan!” menjawab Naga Kuning.
“Aku mencium baunya ketika barusan lewat. Sepertinya kedaluwarsa itu pernah kucium sebelumnya…” berucap Lakasipo.
Wiro garuk-garuk kepala sambil pandangi lo-bang-lobang di tanah kemudian perhatikan batang pohon di sebelah kiri yang kulitnya retak-retak mirip digurat benda tajam. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini kemudian berkata. “Aku menduga jangan-jangan yang barusan lewat yaitu makhluk berduri dari Rimba Lahitamkelam yang berjulukan Hantu Jatilandak itu!” ,
“Wahai! Dugaanmu tidak salah Wiro. Bau yang kukatakan tadi memang kedaluwarsa tubuhnya!” kata Lakasipo pula.
“Mungkin dugaan kalian tidak salah. Tetapi ketika kita meninggalkan pulau kediamannya terperinci Hantu Jatilandak tidak kemana-mana. Lagi pula perlu apa ia gentayangan ke tempat ini?” berkata Naga Kuning.
“Tidakkah kalian memperhatikan sesuatu?” Tiba-tiba si kakek Setan Ngompol berkata.
“Apa maksudmu Kek?” tanya Lakasipo.
“Suara orang meracau dikala ini tidak terdengar lagi! Lenyap!” jawab Setan Ngompol.
“Berarti kita bisa-bisa kehilangan jejak mencarinya!” kata Lakasipo. Baru saja ia berucap beg it u tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi bentakan-bentakan.
“Sesuatu terjadi di dalam hutan sana! Lakasipo! Ayo cepat melangkah ke jurusan itu!”
Mendengar kata-kata Wiro segera saja Lakasipo melangkah cepat memasuki rimba belantara ke arah terdengarnya suara-suara bentakan. Dia lupa mengeluarkan kesaktiannya. Akibatnya setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan bunyi duk-duk-duk dan tanah yang terpijak selain amblas juga menyebabkan getaran keras. Memasuki rimba sejauh tiga puluh langkah , di satu tempat Lakasipo berhenti. Matanya mendelik besar. Tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Wiro , Naga Kuning dan juga Setan Ngompol tak kalah heran dan kejut masing-masing.
Di hadapan ke empat orang itu , di satu kepingan rimba belantara yang pohon-pohonnya bertumbangan tegak sesosok tubuh kuning tinggi kurus. Sekujur badannya , makhluk yang hanya mengenakan sehelai cawat terbuat dari kulit kayu ini ditumbuhi duri-duri panjang berwarna coklat , mulai dari ubun-ubun hingga ke kaki.
“Kau benar Wiro ,” bisik Setan Ngompol. “Makhluk yang tadi menggelinding melewati kita memang Hantu Jatilandak. Kini ia berada di tempat ini!”
Kalau Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol sesaat masih pandangi sosok yang ditumbuhi duri-duri panjang dan runcing itu maka lain halnya dengan Lakasipo. Dua mata lelaki ini membeliak besar melihat kuda kaki enam miliknya yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di tempat itu. Binatang ini tegak membisu tidak berkesip tidak bergerak seolah kena sirap. Lalu di atas punggung hewan ini duduk bersila seorang kakek mengenakan celana hitam terbuat dari kulit kayu. Bagian tubuhnya yang tidak tertutup yakni tangan , dada dan juga kulit mukanya , kemudian sepasang kaki penuh dengan totol-totol hitam , dan coklat mirip bulu macan tutul.
“Lakasipo ,” berkata Wiro. “Bagaimana kudamu tahu-tahu bisa berada di tempat ini dan dijadikan tunggangan oleh kakek aneh itu?!”
“Wahai! Justru itu yang jadi tanda tanya besar dalam benakku!” jawab Lakasipo dan matanya masih terus membeliak. “Sesuatu yang hebat telah terjadi! Kakek yang bertubuh mirip macan tutul itu niscaya mempunyai kepandaian luar biasa. Laekakienam kulihat mirip kena sirap dan berada di bawah kekuasaannya!
“Kau tahu siapa makhluk bau tanah bangka yang duduk di atas Laekakienam itu?” Naga Kuning bertanya.
“Tak pernah kulihat makhluk ini sebelumnya. Aku hanya bisa menduga. Pernah kudengar wacana seorang kakek berjuluk Hantu Seratus Tutul! Jangan-jangan ia orangnya. Setahuku ia bukan orang baik-baik. Sama jahatnya dengan Hantu Muka .Dua!”
“Kita harus berhati-hati Lakasipo ,” kata Wiro. “Kelihatannya ia sudah sengaja mencari karena dengan menguasai Laekakienam mirip itu!”
Seolah tidak perdulikan kehadiran Lakasipo dan tiga insan cebol yang terikat di pinggangnya , makhluk yang tubuhnya mirip macan tutul di atas kuda hit am berkaki enam memandang tak berkesip pada Hantu Jatilandak. Lalu orang ini dongakkan kepala dan dari mulutnya keluar bunyi meracau panjang mirip orang merapal mantera atau jampi-jampi. Sesaat kemudian perlahan-lahan kepalanya yang tadi mendongak diturunkan , mulutnya masih terus meracau sedang dua matanya menatap tajam ke a rah Hantu Jatilandak. Tiba-tiba racauannya putus. Dari mulutnya menyembur bentakan keras.
“Hantu Jatilandak! Takdir telah jatuh atas dirimu! Pada hari pertama kamu meninggalkan pulau kediamanmu maka hari itu pula kamu akan menemui kematian! Aku akan menguliti tubuhmu! Aku memerlukan kulitmu yang berduri itu untuk kujadikan sehelai mantel sakti!”
“Gila! Enak saja bau tanah bangka bertubuh mirip macan tutul itu hendak menguliti si Jatilandak!” kata Naga Kuning.
Orang diatas kuda hitam kaki enam kemudian gerakkan tangannya kiri kanan ke pinggang. Sesaat kemudian dua pisau berbentuk arit kecil tampak berkilauan dalam genggamannya.
Melihat Hantu Jatilandak hanya berdiam diri dan tidak menanggapi ucapannya , orang di atas kuda hitam kembali membentak.
“Hantu Jatilandak! Kau membisu saja! Agaknya kamu memang sudah siap untuk ku pesiangi dikala ini juga!”
Kuping lebar Hantu Jatilandak tiba-tiba bergerak mencuat kaku ke atas. Duri-duri di kepalanya berjingkrak kaku. Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Ludahnya berwarna kuning. Dari tenggorokannya terdengar bunyi menggereng. Lalu mulutnya menyeringai , disusul keluarnya bunyi ucapan.
“Kakekku Tringgiling Liang Batu pernah bertutur. Negeri Latanahsilam penuh keanehan. Di dalam kecacatan itu ada orang-orang menginginkan kematian orang lain seolah dirinya sendiri punya lebih dari satu nyawa dan tidak takut mendapatkan balasan! Wahai makhluk bertubuh macan tutul yang duduk di atas punggung kuda milik orang lain , apakah benar kata kakekku itu bahwa kamu punya dua nyawa?! Hingga kalau kamu kubunuh kamu masih punya nyawa cadangan?!”
Menggembunglah rahang kakek di atas kuda hitam berkaki enam. Dua matanya membeliak menyorotkan sinar kematian. Tiba-tiba ia keluarkan teriakan dahsyat. Tubuhnya lenyap dari punggung kuda , melesat ke arah pohon kayu di sebelah kanan. Dua tangannya bergerak. Dua pisau yang dipegangnya berkelebat berkilauan cepat sekali. Sesaat kemudian ketika ia kembali melesat duduk di atas punggung kuda , batang pohon di sebelah kanan kelihatan gundul memutih. Gulungan kulit kayu yang sebelumnya membungkus pohon itu kini terhampar di kaki pohon!
Kalau Lakasipo , Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol terbeliak besar melihat apa yang dilakukan Hantu Seratus Tutul , bahkan Setan Ngompol sudah kembali kucurkan air kencing maka Hantu Jatilandak tetap hening saja malah meludah ke tanah.
“Lakasipo ,” kata Pendekar 212. “Untung bukan kudamu yang dijadikannya teladan dikuliti!”
Di atas punggung kuda hitam berkaki enam Hantu Seratus Tutul tertawa gelak-gelak.
“Hantu Jatilandak! Kau saksikan sendiri bagaimana saya menguliti pohon besar itu! Untuk menguliti tubuhmu waktu yang ku perlukan hanya sepertiga dari waktu menguliti pohon itu! Wahai! Bersiaplah Jatilandak! Selagi pisauku masih tajam , kamu tidak akan merasa sakit sedikitpun! Kau akan menemui ajal senikmat bayi yang tidur nyenyak! Ha… ha… ha!”
Habis berkata dan tertawa mirip itu Hantu Seratus Tutul melesat dari atas punggung Laekakienam. Berkelebat ke arah Hantu Jatilandak dan tahu-tahu dua pisau berbentuk arit kecil di tangannya kiri kanan telah berkiblat ke arah kepala Hantu Jatilandak. Rupanya ia hendak menguliti cucu Tringgiling Liang Batu ini dari kepala lebih dulu!
Hantu Jatilandak tentu saja tidak tinggal diam. Sepasang matanya sorotkan sinar kuning. Tangan kirinya dikibaskan ke depan. Dua belas duri panjang dan lancip laksana paku-paku besi melesat ke arah selusin sasaran di kepala dan tubuh Hantu Seratus Tutul.
Hantu Seratus Tutul tertawa bergelak. Dia gerakkan dua tangannya yang memegang pisau. Dua larik sinar putih bertabur!

*
* *

DUA

raasss! Craaasss!” Dua duri yang melesat ke arah kepala berhasil dibabat putus oleh sepasang pisau berbentuk arit. Dengan membungkuk dan melompat ke samping kiri Hantu Seratus Tutul berhasil mengelakkan delapan sambaran duri landak. Begitu serangan tidak mengenai sasaran secara aneh delapan duri ini berputar membalik dan kembali menancap ke tempatnya semula yakni di tangan kiri Hantu Jatilandak. Sisa dua duri ternyata tidak sempat dielakkan si kakek. Walau tidak hingga menancap di tubuhnya namun duri-duri itu masih sempat menyerempet pundak kiri dan ping-gang kanan menyebabkan luka yang mengucurkan darah. C
Dari lisan Hantu Seratus Tutul melesat bunyi gerengan marah. Demikian hebatnya bunyi gerengan ini hingga menggetarkan seantero tempat. Bersamaan dengan itu wajah si kakek mendadak sontak bermetamorfosis tampang seekor macan tutul benaran. Daun telinganya yang lebar berjingkrak. Taring runcing mengerikan mencuat di sudut-sudut mulut. Di kepingan bawah tubuhnya muncul ekor panjang yang menyentak-nyentak kian kemari. Lalu “cleeep… cleeppp!” Dari ujung-ujung jari tangan dan kakinya mencuat keluar kuku-kuku panjang , hitam runcing mengerikan. Si kakek kini telah bermetamorfosis seekor macan tutul jejadian. Membuat Lakasipo , Wire-dan Naga Kuning tak bergeming ngeri. Setan Ngompol tak usah ditanya lagi. Saat itu juga ia sudah terkencing-kencing karena kaget dan ngeri!
Hantu Jatilandak sesaat terkesiap melihat perubahan sosok dan wajah lawannya. Dalam hati ia yakin bahwa musuh memang berniat hendak menguliti membunuhnya. Dia meludah ke tanah kemudian berkata. “Wahai! Baru hari ini saya meninggalkan hutan Lahitamkelam. Tak kenal orang tak pernah punya musuh maupun seteru. Mengapa kamu ingin mencelakai diriku? Mengapa kamu inginkan jiwa dan ragaku?! Siapa kamu sebenarnya?!”
“Aku Hantu Seratus Tutul! Sudah kubilang hari ini yaitu hari takdir kematianmu! Makara tidak perlu berbanyak tanya!” Habis berkata begitu Hantu Seratus Tutul kembali keluarkan gerengan keras. Lalu tubuhnya berkelebat ke depan. Dua pisau siap menguliti tubuh Hantu Jatilandak sedang kuku-kuku jari mencari kesempatan merobek-robek!
Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Duri-duri di muka dan kepalanya berjingkrak kaku. Dari sepasang matanya tiba-tiba berkiblat dua larik sinar kuning. Menghantam ke arah dada dan perut Hantu Seratus Tutul!
“Lakasipo!” Wiro berteriak. “Bagaimanapun Hantu Jatilandak telah menjadi sahabat kita! Kita harus menolongnya! Apa lagi kamu tadi menyampaikan Hantu Seratus Tutul sama jahatnya dengan Hantu Muka Dua! Ayo bantu Hantu Jatilandak! Tunggu apa lagi?!”
“Kurasa Hantu Jatilandak tidak akan kalah. Apa lagi Hantu Seratus Tutul sudah terluka. Sebentar lagi racun duri landak akan membuatnya kelojotan. Tapi….”
“Dua pisau di tangan macan jejadian itu mungkin bukan apa-apa bagi Hantu Jatilandak. Tapi kuku-kuku tangan serta kakinya niscaya sangat berbahaya. Mengandung racun jahat mematikan! Kalau kita tidak lekas menolong Hantu Jatilandak , ia akan segera menemui kematian. Lalu lawan akan menguliti tubuhnya!.”
“Ucapan Wiro ada benarnya!” kata Setan Ngompol pula. “Tapi kalau kamu mau berniat membantu Hantu Jatilandak , lebih dulu harap kamu menurunkan saya ke tanah semoga bisa mencari tempat aman!” Lalu sehabis menggeliat beberapa kali kakek ini berhasil lepaskan diri dari sabuk di pinggang Lakasipo. Sambil terkencing-kencing ia lari mencari proteksi di balik sebatang pohon besar. Wiro dan Naga Kuning yang juga maklum besarnya ancaman jikalau mereka masih terikat di balik sabuk melaksanakan hai yang sama. Keduanya melompat turun kemudian bergabung dengan Setan Ngompol.
Melihat tiga saudara angkatnya telah melepaskan diri dan lari ke balik pohon , tanpa tunggu lebih usang Lakasipo segera melompat ke kalangan pertempuran sambil lepaskan tendangan yang disebut Kaki Roh Penghantar Maut. Dari kerikil hitam yang membungkus kakinya , didahului kepulan asap hitam maka menyambarlah satu gelombang angin yang amat dahsyat!
Hantu Seratus Tutul tersentak kaget ketika dapatkan sekujur tubuhnya seolah tertahan oleh satu tembok baja yang tidak kelihatan. Ketika ia coba memaksa , tubuhnya bergoncang keras. Dengan menggereng penuh amarah makhluk satu ini melesat dua tombak ke udara. Gelombang angin yang tadi berusaha ditahannya lewat deras di bawah kakinya kemudian “braakkkk!” Satu pohon yang ada di belakangnya berderak patah dan tumbang menggemuruh!
Hantu Seratus Tutul jungkir balik dan cepat melayang turun. Begitu injakkan kaki ia membentak garang. “Ada setan bantalan berkaki kerikil dari mana yang. berani ikut campur urusan orang lain!” Hantu Seratus Tutul delikkan matanya. Tiba-tiba ia berseru. “Wahai! Kalau tidak salah penglihatanku , kalau tidak meleset dugaanku , bukankah kamu manusianya yang berjulukan Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu?!”
“Kalau kamu sudah tahu kemudian kamu mau apa?!” Balik membentak Lakasipo.
“Kenapa kamu tahu-tahu muncul dan membantu insan bertubuh landak itu?!” tanya Hantu Seratus Tutul.
“Hantu Jatilandak yaitu sahabatku! Sebagai sahabat saya tidak ingin ia dicelakai orang di depan mataku!”
“Ah , memang sudah kudengar. Ternyata Hantu Kaki Batu seorang berbudi tinggi berhati luhur! Tetapi mungkin kamu tidak tahu wahai Hantu Kaki Batu. Antara kamu dan saya ada hubungan yang lebih berpengaruh dari tali persahabatan. Antara kita ada kaitan hubungan darah!”
Terkejutlah Lakasipo mendengar kata-kata Hantu Seratus Tutul itu. Sesaat ia tegak termangu dan bertanya-tanya. “Bertemu gres kali ini. Dia bilang ada hubungan darah antara saya dengan dirinya. Apakah bisa kupercaya?”
“Hantu Seratus Tutul! Jika ucapanmu benar maka sebagai orang bersaudara harap kamu menghabisi niat jahatmu terhadap Hantu Jatilandak hingga di sini!”
“Wahai Lakasipo! Berat nian permintaanmu! Aku sudah terlanjur bersumpah untuk membunuh Hantu Jatilandak dan menjadikan kulitnya sebagai mantel sakti!”
“Kuharap kamu suka melupakan sumpahmu itu dan pergilah dari sini dengan aman!”
Hantu Seratus Tutul gelengkan kepala. “Tidak mungkin! Sumpah sudah terucap! Tak mungkin ditarik kembali!”
“Biasanya orang bersumpah dengan orang lain. Dengan siapa kamu bersumpah? Siapa yang menyuruhmu?!” hardik Hantu Jatilandak.
“Kau tak perlu tahu! Kau tak layak bertanya!” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Kalau begitu kutuk sumpah akan menelan dirimu sendiri!” kata Hantu Jatilandak kemudian meludah ke tanah. Dari dua matanya kembali muncul sinar kuning menggidikkan. Dia maju satu langkah. Lakasipo cepat menengahi sambil berseru. Tapi dua orang itu agaknya tak bisa dicegah lagi. Pada dikala keduanya sama-sama melesat hendak saling menyerang dan Lakasipo bermaksud hantamkan kakinya kembali ke arah Hantu Seratus Tutul , mendadak ada bunyi teriakan wanita berkumandang di dalam rimba belantara itu.
“Kalian tiga makhluk menyedihkan. Mengapa mencari mati padahal masih ada kehidupan? Sebelum kalian sama menemui ajal dalam ketololan bisakah kalian menjawab beberapa pertanyaanku lebih dahulu?!”
Suara teriakan itu terdengar keras namun ada serangkum nada kelembutan membuktikan orangnya mempunyai rasa welas asih yang tinggi. Selain itu bunyi teriakan tadi datangnya dari kejauhan di sebelah timur rimba. Namun belum lagi gemanya lenyap sosok orang yang berteriak sudah muncul di tempat itu , tegak di atas batang pohon besar yang tumbang , delapan langkah di belakang Hantu Seratus Tutul.
“Astaga! Kalau bukan bidadari niscaya yang muncul ini yaitu Peri paling bagus di negeri Latanahsilam!” kata Setan Ngompol dari balik potion dengan sepasang mata dibuka lebar-lebar. Naga Kuning leletkan lidah. Murid Sinto Gendeng sendiri diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang tegak di atas batang pohon itu memang lebih bagus dari Luhjelita ataupun Peri Bunda , maupun Peri Angsa Putih. Namun dibalik kecantikan itu ia melihat adanya satu bayangan aneh yang dikala itu tidak bisa ditebaknya apakah bayangan itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang jahat atau hanya satu ganjalan yang terpendam di lubuk hati.
Hal yang sama terjadi juga dengan Hantu Jatilandak dan Lakasipo. Ke dua orang ini sesaat jadi tegak terdiam. Sama-sama mengagumi kecantikan si gadis yang bertubuh tinggi semampai , ramping dan mengenakan sehelai kulit kayu berwarna biru sebagai pakaiannya. Di keningnya ada sebuah kembang tanjung berwarna kuning. Rambutnya hitam berkilat , tergerai jatuh hingga di pinggangnya yang langsing. Bibirnya tiada henti mengulas senyum.
Karena ia satu-satunya yang tegak membelakangi gadis bagus di batang pohon maka Hantu Seratus Tutul segera balikkan diri. Kalau makhluk ini ikut-ikutan terpesona melihat kecantikan gadis itu sebaliknya si gadis kerenyitkan wajahnya ketika melihat tampang Hantu Seratus Tutul yang merupakan tampang macan tutul bahkan lengkap dengan ekornya segala!
“Gadis cantik! Wahai! Siapa kau?! Apakah tidak menyadari besarnya ancaman berada di tempat ini?!”. “Apa lagi kalau kamu hingga berani ikut campur urusan kami! Menyingkirlah! Cari tempat yang kondusif hingga saya menuntaskan mempesiangi dua orang itu! Begitu urusanku selesai kamu akan kubawa ke satu tempat yang disebut Istana Kebahagiaan! Di sana kita bisa bersenang-senang. Untuk gadis secantikmu apa saja yang kamu inginkan niscaya menjadi kenyataan!” Hantu Seratus Tutul julurkan pengecap membasahi bibir dan kedip-kedipkan mata.
*
* *

TIGA

semula semua orang yang ada di tempat itu sama menyangka si gad is akan menjadi murka mendengar ucapan yang tidak senonoh itu. Nyatanya ia malah tersenyum kemudian tertawa berderai. “
Gadis aneh! Jelas insan makhluk berupa macan jejadian itu bicara kotor , ia malah tertawa seolah senang!” kata Setan Ngompol.
“Suara tawanya terdengar merdu menyejukkan hati! Ah , saya bisa-bisa jadi jatuh cinta padanya!” kata Naga Kuning.
“Bocah kedaluwarsa tidak tahu diri!” semprot Setan Ngompol. “Kencing saja belum lempang! Bicara jatuh cinta segala!”
Naga Kuning jadi panas. “Tapi Kek! Kalau menentukan diantara kita berdua , gadis itu niscaya menentukan aku! Tidak mungkin ia menentukan kamu yang sudah reyot dimakan rayap dan kedaluwarsa pesing!”
“Naga Kuning , agaknya kamu lupa pada gadis berjulukan Luhkimkim yang kamu gila-gilai itu ,” Wiro ikut bicara.
“Hik… hik!” Setan Ngompol tertawa. “Gadis cilik junior itu saja kamu masih belum bisa mendapatkan , kini mau jatuh cinta pada si jelita itu! Hik… hik! Tapi siapa tahu nasibmu bagus bocah! Kau diambilnya untuk jadi ganjalan tempat ketidurannya! Hik… hik… hik!”
“Kakek brengsek! Kelak akan ku buktikan gadis berpakaian biru itu lebih menyukai diriku ketimbang dirimu! Lihat saja nanti!” kata Naga Kuning dengan muka bersungut-sungut.
Gadis yang tegak di atas tumbangan batang pohon hentikan tawanya. Sepasang mat any a yang bening bagus menatap Hantu Seratus Tutul. Lalu ia berucap. Suaranya lembut.
“Senang hatiku diajak ke Istana Kebahagiaan. Pasti banyak hal-hal luar biasa yang membahagiakan bakal kutemui di sana. Makhluk bermuka macan , gres bertemu kamu sudah bersikap baik terhadapku. Ah , sungguh hatiku sudah senang walau belum hingga ke Istana Kebahagiaan yang kamu katakan itu. Hanya saja wahai makhluk bermuka macan. Apakah kamu terlebih dulu sudi menjawab beberapa pertanyaanku?”
“Jangankan beberapa , seribu atau sejuta pertanyaanmu pun akan kujawab. Tetapi wahai gadis bagus bermata bagus. Biaraku menuntaskan urusan dulu dengan dua durjana ini. Nanti kita bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk saling bertanya jawab….”
“Wahai , begitu tegakah hatimu menyuruh saya menunggu? Lagi pula saya tidak berpengaruh melihat kalau nanti dirimu hingga celaka di tengah ke dua orang itu”
“Aku tidak akan celaka. Mereka berdua yang bakal menemui kematian!” kata Hantu Seratus Tutul sambil busungkan dada. “Tetapi oke , orang secantikmu dilarang dibiarkan menunggu terlalu lama. Apa lagi di tempat mirip ini. Silahkan , pertanyaan apa yang hendak kamu olok-olokan wahai gadis cantik? Tapi wahai! Bolehkah saya bertanya dulu siapa gerangan namamu?”
“Namaku Luhcinta ,” jawab si gadis.
Di balik pohon Naga Kuning pribadi berkata. “Kalian dengar! Namanya saja Luhcinta! Ah , saya benar-benar jatuh cinta!”
“Bocah geblek!” kembali Setan Ngompol menyemprot.”
“Wahai , orangnya bagus namanya pun bagus!” memuji Hantu Seratus Tutul. “Aku sendiri dikenal orang dengan panggilan Hantu Seratus Tutul….”
Si gadis tertawa merdu. “Namamu pun bagus! Cocok dengan keadaanmu!”
Hantu Seratus Tutul tertawa lebar. Hidung macan nya mengembang. “Sekarang kamu boleh memberikan apa yang hendak kamu tanyakan padaku wahai Luhcinta.”
“Pertanyaan pertama , apakah kamu pernah mengetahui seorang lelaki berjulukan Latampi?”
Begitu ditanya begitu Hantu Seratus Tutul gelengkan kepala.
“Sayang kamu tak bisa menjawab pertanyaan pertama. Aku beralih pada pertanyaan ke dua. Apakah kali pernah mendengar riwayat seorang wanita berjulukan Luhpiranti…”
“Luhpiranti…. Luhpiranti….” Hantu Seratus Tutul menyebut nama itu berulang-ulang sambil pukul-pukul keningnya. “Rasa-rasanya saya memang pernah mendengar mama itu. Tapi lupa entah di mana dan kapan. Ah….”
“Pertanyaan ketiga mungkin bisa menjadi petunjuk padamu. Pernah kamu mendengar seorang berjulukan Hantu Penjunjung Roh?”
“Pertanyaanmu yang satu ini bisa kujawab!” kata Hantu Seratus Tutul pula sambil menyeringai. “Dia yaitu seorang nenek sakti yang tak punya tempat kediaman. Selalu mengembara….”
“Hanya itu yang kamu ketahui?”
“Ada satu hal. Nenek sakti itu tidak bakalan panjang umurnya!”
“Wahai! Mengapa kamu bisa berkata begitu?” tanya gadis berjulukan Luhcinta.
“Karena saya akan membunuhnya!” jawab Hantu Seratus Tutul sambil busungkan dada.
“Mengapa kamu hendak membunuhnya?” tanya Luhcinta lagi.
“Karena ia tidak tunduk padaku. Tidak mau tunduk pada pimpinan tertinggi Istana Kebahagiaan!”
“Siapa gerangan pimpinan tertinggi Istana Kebahagiaan yang kamu maksudkan itu?” Luhcinta memburu terus dengan pertanyaan beruntun. Setiap bertanya senyum tidak pupus dari bibirnya yang bagus.
“Hal itu tidak bisa ku terangkan dikala ini ,” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Mengapa tidak bisa?”
“Karena belum saatnya!”
“Kalau begitu , kapan saatnya kamu bisa memberi tahu?!” tanya gadis di atas batang kayu pula.
“Tergantung keadaan. Yang niscaya kalau kita sudah hingga di Istana Kebahagiaan nanti.”
Luhcinta tersenyum. “Aku kecewa padamu wahai Hantu Seratus Tutul. Dua pertanyaanku yang pertama tidak bisa kamu jawab. Pertanyaan ke tiga hanya kamu jawab sedikit , malah membuatku jadi bingung. Wahai walau hatiku suka tapi kurasa tak ada gunanya saya ikut bersamamu ke Istana Kebahagiaan itu. Ha rap maafkan , saya tidak akan mau bicara lagi denganmu. Tak ingin saya bertanya lagi! Pergilah dari sini! Dengan begitu kamu bisa menghindari malapetaka mati terbunuh di tempat ini.”
“Wahai Luhcinta…!” seru Hantu Seratus Tutul.
Namun si gadis tidak perdulikan dirinya lagi. Dia melompat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Hantu Jatilandak.
“Makhluk aneh berkulit kuning bertubuh mirip landak! Wahai , apakah kamu mempunyai nama? Mungkinkah kamu bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku tadi?”
Hantu Jatilandak tundukkan kepalanya sedikit seolah memberi hormat kemudian menjawab. “Aku biasa dipanggil dengan nama Hantu Jatilandak. Mengenai semua pertanyaanmu tadi , harap maafmu. Aku gres saja meninggalkan rimba dan pulau kediamanku. Segala sesuatu yang terjadi di dunia luar tidak pernah kuketahui. Makara mustahil saya menjawab atau memberi keterangan.”
“Hemm…. Ternyata kamu berhati polos dan jujur. Aku tak ingin lagi bicara denganmu tapi kamu boleh tetap berada di sini.” Luhcinta berpaling ke arah Hantu Seratus Tutul. “Wahai , kamu masih berada di sini. Apa tidak mendengar ucapanku tadi? Tinggalkan tempat ini. Agar tidak menerima celaka.”
“Gadis , walau kamu bagus dan baik budi sikap tapi jangan terus-terusan berucap yang menciptakan saya jadi tidak sabaran! Tidak ada seorangpun di tempat ini yang boleh mengatur diriku!”
Luhcinta tersenyum. “Begitu…?” Gadis ini kemudian memandang pada Lakasipo. Setelah menatap sejurus ia berkata. “Orang gagah , dalam rasa sukaku melihatmu saya mencicipi agaknya ada satu ganjalan besar di hati sanubarimu dalam menghadapi kehidupan ini. Aku turut merasa prihatin. Kalau saja saya bisa menolong niscaya saya akan lakukan. Namun demikian , apakah kamu menyadari bahwa dalam kehidupanmu yang malang kamu seharusnya bersyukur bahwa ada beberapa wanita bagus diam-diam mencintaimu?”
Paras Lakasipo jadi berubah kemerahan.
“Orang gagah berkaki kerikil , apakah kamu pernah mendengar ujar-ujar: Syukurilah hidup sebelum tiba kematian. Syukurilah cinta kasih sebelum bermetamorfosis kebencian.”
“Ujar-ujar itu indah dan bagus sekali ,” kata Lakasipo. “Artinya dalam dan banyak sekali maknanya bagiku , Akan kuingat baik-baik. Dan saya sangat berterima kasih kamu telah member! tahu ujar-ujar itu padaku.”
Gadis berjulukan Luhcinta tersenyum. “Sekarang kalau kamu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku tad?!”
“Mengenai orang lelaki berjulukan Latampi. Puluhan tahun silam ia pernah tinggal di salah satu pelosok terpencil Negeri Latanahsilam. Kemudian ia meninggalkan negeri , mengembara mencari ilmu. Kudengar ia menemukan seorang guru sakti dan berhasil mendapatkan banyak sekali ilmu yang aneh-aneh. Namun ia lenyap begitu saja.”
Ketika mendengar ucapan Lakasipo itu walau bibirnya merekah senyum namun sepasang mata bening gadis berjulukan Luhcinta kelihatan membesar bercahaya.
“Apakah menurutmu ia sudah meninggal dunia wahai orang gagah berkaki batu?” tanya Luhcinta. Sepasang matanya yang tadi membesar bagus kini mengecil sayu seolah takut mendengar jawaban yang mengkhawatirkan.
“Tidak pernah kudengar kabar kematian dirinya. Pada masa itu ada insiden orang-orang gagah di Negeri Latanahsilam mempunyai kemampuan meninggalkan negeri ini mirip yang terjadi dengan Hantu Balak Anam. Dia lenyap dan pindah ke alam lain yang seribu dua ratus tahun lebih dahulu dari alam di sini. Namun sulit diketahui ataupun dibuktikan apakah Latampi juga ikut melenyapkan diri meninggalkan Negeri Latanahsilam , pergi ke dunia lain itu.”
“Apakah orang berjulukan Hantu Balak Anam itu pernah muncul kembali di negeri ini? Atau mungkin ada yang mengetahui hal ihwalnya?” tanya Luhcinta.
Lakasipo tak segera menjawab. Dia melirik pada Wiro dan kawan-kawannya sesaat. Si gadis ikut memandang ke arah yang dilirik Lakasipo. Tapi ia tidak sanggup melihat Wiro , Naga Kuning ataupun Setan Ngompol karena terhalang oleh pohon besar. Lalu didengarnya ucapan Lakasipo. “Hantu Balak Anam tak pernah tiba lagi ke Latanahsilam. Juga tak banyak diketahui hal ihwalnya di negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu.”
“Keteranganmu tidak terlalu lengkap tapi sudah cukup menciptakan hatiku lega karena ada satu kenyataan dan kebenaran yang kini bisa kupastikan. Apakah kamu juga bisa memberi tahu wacana wanita berjulukan Luhpiranti?”
“Kalau saya tidak salah menduga Luhpiranti yaitu istri dari Latampi. Perempuan ini juga lenyap bersama lenyapnya Latampi. Sampai pada satu ketika ditemukan sesosok mayat wanita di dalam satu rimba belantara. Mayat itu sudah demikian rusaknya. Nyaris tinggal tulang belulang Walau banyak yang menduga tapi sulit membuktikan itu yaitu mayat Luhpiranti yang menemui kematian entah karena dibunuh entah bunuh diri….”
Wajah Luhcinta kelihatan mirip membeku. Sepasang matanya seolah bermetamorfosis kerikil dan menatap Lakasipo tanpa berkesip. Membuat lelaki ini mencicipi munculnya getaran aneh dalam dadanya.
“Lelaki berkaki kerikil , apakah kamu bisa memberi petunjuk untuk membuktikan bahwa Luhpiranti yaitu benar-benar istri Latampi?”
Lakasipo merenung sejenak. “Ke dua orang bau tanah mereka kabarnya sudah tiada. Sanak kerabat bersahabat mereka juga tak punya. Namun….”
“Namun apa wahai orang gagah berkaki batu?” Pertanyaan si gadis terdengar lembut tetapi juga bernada penuh harapan.
“Ada seorang yang kini masih hidup dan menjadi saksi upacara perkawinan mereka di Bukit Batu Kawin puluhan tahun silam….”
“Katakan siapa orangnya dan di mana saya bisa menemuinya!” kata Luhcinta seraya maju mendekat hingga jaraknya dengan Lakasipo kini hanya terpisah satu langkah.
Berada sedekat itu Lakasipo pandangi wajah bagus di depannya penuh rasa kagum. Debaran dalam dadanya semakin bergejolak. Dalam hati ia berkata. “Tak pernah saya melihat gadis secantik ini. Hatiku berdebar. Detak jantungku mengeras. Wahai perasaan apakah yang menggelora dalam diriku terhadap gadis ini?”
“Orang gagah berkaki batu. Apakah kamu tidak ingin memberi tahu siapa adanya orang yang bisa memberi petunjuk kesaksian bahwa Luhpiranti benar-benar yaitu istri Latampi?”
“Orang itu yaitu nenek berjulukan Lamahila. Nenek yang biasa menjadi pimpinan upacara watak perkawinan bagi semua orang di Latanahsilam.”
“Apakah nenek itu masih ada di Latanahsilam dikala ini?”
Lakasipo anggukkan kepala.
“Semua keteranganmu sangat besar artinya bagiku wahai orang gagah berkaki batu. Siapa gerangan namamu?” “
“Aku berjulukan Lakasipo. Orang-orang menjuluki Hantu Kaki Batu.”
Luhcinta mengangguk-angguk beberapa kali kemudian ia ulurkan tangannya memegang tangan Lakasipo. “Lakasipo , saya sangat berterima kasih atas semua keteranganmu. Tapi saya akan lebih berterima kasih jikalau kamu bisa men jawab pertanyaanku yang terakhir…”
“Kau ingin menanyakan wacana nenek sakti berjulukan Hantu Penjunjung Roh itu…?”
Luhcinta tersenyum lebar. “Tadinya memang hendak ku tanyakan. Tapi semua jawabanmu telah bisa kucerna hingga lebih baik saya menanyakan hal lain yang lebih penting. Kau pernah mendengar seorang berjulukan Lajundai?”
“Kenapa kamu menanyakan orang itu?!” Yang bertanya yaitu Hantu Seratus tutul.
Luhcinta tersenyum dan berpaling. Lalu gadis ini geleng-gelengkan kepala.
“Hantu Seratus Tutul , bukankah saya sudah memintamu semoga pergi dari sini?”
“Kau tidak bisa mengatur Hantu Seratus Tutul! Kau yang harus tunduk padaku Luhcinta!”
Si gadis tersenyum. “Dari pertanyaanmu agaknya kamu tahu siapa dart di mana beradanya orang berjulukan Lajundai itu.”
“Aku akan memberi tahu jikalau kamu bersedia ikut saya ke istana Kebahagiaan!” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Kalau beg it u kamu pergilah duluan ke istana yang kamu sebutkan itu. Aku menyusul kemudian!”
“Luhcinta! Aku memang suka padamu! Kecantikan dan tubuhmu yang bagus menggairahkan darahku! Tapi jangan bersikap keras kepala berani membantah! Aku tidak segan-segan menguliti tubuhmu mirip yang akan kulakukan terhadap Hantu Jatilandak!”
“Aku sedih mendengar kata-katamu itu. Bukankah sesama insan saling bersaudara? Mengapa kalian mengandalkan hidup pada amarah dan angkara murka? Padahal cinta dan kasih sayang jauh lebih baik bagi semua orang….”
Kalau semua orang terkesiap mendengar kata-kata si gadis maka Hantu Seratus Tutul tertawa gelak-gelak. “Angkara murka sangat cocok buat orang-orang ini. Cinta kasih paling cocok untuk kita berdua. Bukankah begitu gadis bagus Luhcinta?! Ha… ha… ha!”
“Ah , saya salah menduga hatimu ,” berucap si gadis. Lagi-lagi sambil tersenyum. “Cinta kasih yang ada dalam dirimu ternyata sesuatu yang kotor dan keji. Tidak cocok untukku. Bahkan tidak untuk hewan sekalipun….”
Merahlah tampang macan Hantu Seratus Tutul. Tenggorokannya turun naik dan keluarkan bunyi menggembor. Didahului teriakan yang lebih merupakan gerengan keras insan yang mewujudkan dirinya sebagai macan tutul jejadian ini menyergap ke depan. Dua pisau di tangannya kiri kanan berkiblat ganas. Salah satu kakinya menendang ke perut Luhcinta!.
*
* *

EMPAT

Gadis yang diserang tidak tinggal diam. Sekali ia jejakkan sepasang kakinya ke tanah , tubuhnya melesat dua tombak. Lalu dari atas ia menciptakan gerakan menggeliat mirip seorang penari. Dua tangannya didorongkan perlahan ke bawah. Melihat gerakan si gadis yang lemah-lemah saja apa lagi disertai senyum dikulum , Hantu Seratus Tutul ikut melesat ke atas. Dua pisau di tangannya kembali berkelebat. Tapi setengah jalan tiba-tiba satu gelombang angin yang sangat sejuk menerpa batok kepala , ke dua pundak dan dadanya. Tak ampun lagi Hantu Seratus Tutul terbanting ke tanah. Kalau tidak cepat berjungkir balik niscaya ia akan jatuh duduk terhenyak atau muka berkelukuran lebih dulu!
“Gadis binal! Kau membuatku marah!” teriak Hantu Seratus Tutul. Tangannya kembali berkelebat ke atas. Namun di dikala yang sama tubuhnya menciptakan gerakan aneh. Dua kakinya melesat dan ini ternyata serangan gotong royong sedang gerakan dua tangan tadi hanya tipuan saja.
“Sreettt!”
Luhcinta terpekik. Ujung pakaian kulit kayunya robek tersambar kuku-kuku runcing kaki kanan Hantu Seratus Tutul. Untung kulit kakinya tidak ikut tersambar.
“Wahai Hantu Seratus Tutul. Tidak ada rasa hiba di hatimu terhadap kaum wanita sepertiku. Atau mungkin kamu makhluk yang tidak punya hati? Tidak punya perasaan? Tidak punya rasa kasihan?”
“Aku akan menangkapmu hidup-hidup. Akan ku-bawa kamu ke Istana Kebahagiaan! Di situ kamu bakal tahu apa yang saya punya untukmu! Ha… ha… ha!” Hantu Seratus Tutul kemudian kembali lancarkan serangan.
Melihat insiden ini Lakasipo dan Hantu Jatilandak tak tinggal diam. Keduanya melompat memapasi serangan Hantu Seratus Tutul. Maka terjadilah perkelahian seru tiga lawan satu.
Bagaimanapun hebat dan tingginya ilmu kepandaian Hantu Seratus Tutul namun dikeroyok tiga mirip itu ia menjadi kelabakan dan lama-lama terdesak hebat.
“Kurang ajar! Kalau saya tidak segera merat selamatkan diri nyawaku bisa kapiran!” Hantu Seratus Tutul memaki sendiri dalam hati. Dia lepaskan dua jotosan yang mengeluarkan sepuluh larik sinar coklat. Bersamaan dengan itu kuku-kuku jari kakinya mencakar ke tanah. Begitu dua kakinya ditarik keluar maka tanah dan pasir beterbangan ke udara menutupi pemandangan.
“Hantu keparat! Jangan lari!” teriak Hantu Jatilandak. Dua larik sinar kuning melesat dari matanya. Namun terlambat. Hantu Seratus Tutul telah lenyap dari tempat itu. Di tanah yang tadi dicakar dua kakinya kini kelihatan dua buah lobang besar.
“Makhluk satu ini sungguh tidak punya rasa welas asih dan berbahaya!” kata Luhcinta kemudian alihkan pandangannya pada Lakasipo dan Hantu Jatilandak. “Kalau kalian berdua tidak membantu niscaya saya sudah celaka. Aku mengucapkan terima kasih pada kalian berdua….”
“Ketahuilah wahai Luhcinta ,” kata Lakasipo. “Manusia tadi hanya satu saja dari sekian banyak orang-orang berhati culas , jahat dan keji!”
“Ah , betapa saya harus berhati-hati menjaga diri…” kata Luhcinta pula seraya tersenyum.
“Ilmu kepandaianmu mengagumkan. Gerakanmu selembut penari tetapi mengandung tenaga dalam luar biasa. Kalau saya boleh bertanya siapa kamu ini gotong royong dan siapa gerangan gurumu?”
Luhcinta tersenyum. Dalam hati ia memuji ketajaman mata Lakasipo. .Namun dengan merendah ia berkata. “Aku hanya seorang gadis tolol kesasar di Negeri Latanahsilam ini. Lagi pula kalau kuberi tahu siapa diriku , mungkin banyak kesulitan yang akan menghadang walau datangnya bukan dari kalian. Karenanya biarlah dikala ini -Siapa adanya diriku tetap menjadi rahasia. Lakasipo , apakah kamu bisa memberi komplemen keterangan mengenai orang berjulukan Lajundai itu?”
“Manusia satu itu tidak kuketahui siapa ia adanya. Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Maafkan sekali ini saya tidak sanggup membantu. Tapi dari ucapan-ucapan Hantu .Seratus Tutul tadi terperinci ia tahu banyak wacana orang itu…”
Luhcinta mengangguk. Tiba-tiba gadis ini mendengar bunyi orang berucap halus dari balik batang potion besar.
“Lakasipo , saya tadi ikut menyimak pembicaraan-Agaknya mengenai orang berjulukan Lajundai itu ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan yang disebut-sebut Hantu Seratus Tutul. Itu sebabnya ia menggantung keterangan dengan mengajak gadis berpakaian biru itu ke Istana Kebahagiaan ,…”
“Hai! Aku tak melihat orangnya. Tapi saya mendengar suaranya. Halus dan kecil! Lakasipo! Siapa gerangan yang barusan bicara?” Si gadis melirik ke arah pohon besar.
“Wahai…. Aku lupa memberi tahu. Aku punya tiga orang saudara angkat. Salah satu diantaranya yaitu yang barusan bicara.”
“Kau punya tiga saudara angkat! Sungguh beruntung! Bolehkah saya melihat siapa mereka adanya? Suara yang tadi bicara terdengar aneh di telingaku.”
“Saudara-saudaraku , kalian bertiga keluarlah. Ada gadis bagus hendak melihat kalian!” berseru Lakasipo.
Wiro pribadi mendorong Setan Ngompol hingga kakek ini terjerembab jatuh dan terkencing-kencing. Sambil senyum-senyum dan satu tangan menekap kepingan bawah perutnya si kakek berdiri berdiri. “Orang-orang memanggilku Si Setan Ngompol!”
“Setan Ngompol? Nama yang aneh? Mengapa orang menyebutmu mirip itu wahai kakek cebol?” bertanya Luhcinta.
“Anu… sebabnya….” Si kakek kelagapan tak bisa menjawab.
Naga Kuning pribadi saja nyerocos. “Anunya punya penyakit….”
“Anunya…. Apa anunya itu?” tanya Luhcinta yang menciptakan Lakasipo menutup lisan menahan ketawa sedang Wiro dan Naga Kuning sudah keburu meledak tawa masing-masing.
“Saluran kencing si kakek sudah tidak punya perasaan welas asih!” jawab Naga Kuning. “Kaget sedikit saja pribadi beser! Hik… hik… hik! Jangan dekat-dekat dengan dia. Bau pesing! Hik… hik… hik!”
Si Setan Ngompol merengut kemudian beser lagi. Luhcinta tertawa lebar dan berkata. “Justru kakek itu masih beruntung. Kalau ia masih bisa kencing berarti masih ada kanal welas asih. Yang repotkan kalau ia tidak bisa kencing sama sekali! Salurannya tersumbat!”
“Mampet!” kata Wiro.
“Buntu!” ujar Naga Kuning hingga semua orang yang ada di situ kembali tertawa.
“Lakasipo , saudara angkatmu ini sungguh lucu. Sudah kakek tapi tingginya hanya selutut. Pakaiannya juga aneh. Apa yang lain-lainnya juga sama tingginya? berkata Luhcinta.
Dari balik pohon menyusul keluar Naga Kuning. Bocah ini lambaikan tangannya pada Luhcinta. “Banyak sudah saya melihat gadis bagus di Negeri Latanahsilam ini. Tapi tidak ada yang secantikmu. Bahkan Peri sekalipun kalah bagus dengan dirimu!”
Luhcinta tertawa lebar. “Kau pintar memuji. Tapi saya tahu pujianmu bukan dibuat-buat atau sekedar untuk mencari perhatian. Aku suka padamu walau kamu agak genit. Hik… hik… hik!” Luhcinta menunggu sesaat. Lalu ia memandang pada Lakasipo. “Katamu kamu punya tiga saudara angkat. Yang muncul cuma dua. Mana satunya lagi?”
“Wiro , mengapa kamu masih sembunyi di balik pohon? Ayo lekas keluar perkenalkan diri!” berseru Lakasipo.
Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng tidak juga keluar dari balik pohon. Terpaksa Lakasipo ulurkan kepalanya.
“Hai apa yang kamu lakukan!” tanya Lakasipo ketika dilihatnya Wiro sibuk membetulkan pakaiannya.”
“Ssttt…! Jangan keras-keras!” kata Wiro dari bawah pohon sambil membetulkan celananya yang melorot ke bawah karena putus tali pengikatnya. Ternyata waktu ia tadi mendorong Setan Ngompol , kakek itu menarik celananya hingga tali pengikatnya putus. Kini Wiro jadi kelabakan membenahi diri semoga bisa menyambung tali celananya lebih dulu. Tapi setiap disambung selalu lepas. Tidak sabar Lakasipo mendorong Wiro dari balik pohon. Terbungkuk-bungkuk sambil satu tangan memegangi pinggang celana dan satunya lagi garuk-garuk kepala Wiro terpaksa keluar dari balik pohon.
“Gadis bagus Luhcinta maafkan aku. Ada aral yang melintang hingga keadaanku jadi mirip ini! Namaku Wiro….”
“Kalau bicara dua tangan harus lepas menghormat!” kata Naga Kuning pula. Lalu dengan jahilnya ia tarik tangan kiri Wiro yang memegangi pinggang celana. Kalau tidak lekas Wiro jatuhkan diri ke tanah niscaya auratnya sebelah bawah akan tersingkap tak karuan.
“Anak setan kurang ajar! Apa yang kamu lakukan padaku!” sentak Wiro sementara semua orang yang ada di situ termasuk Hantu Jatilandak dan Luhcinta tertawa terpingkal-pingkal.
“Walah!” Setan Ngompol menimpali. “Kalaupun tersingkap seberapa besarnya anumu? Kecil pitit saja pakai disembunyikan segala. Pasti tidak kelihatan oleh gadis itu! Hik… hik…hik!”
Sambil pegangi celananya , kali ini dengan dua tangan sekaligus Wiro berdiri berdiri. “Awas kamu berani jahil lagi!” kata wiro sambil delikkan mata pada naga kuning. Lalu ia mendongkak memandang ke arah Luhcinta. “Bolehkah saya menayakan sesuatu?”
“Hei…. Apa yang hendak kamu tanyakan wahai anak muda yang tingginya selutut?” Sambil berkata Luhcinta perhatikan sosok Pendekar 212. Pandangannya mendekat dan membesar hingga sesaat kemudian seluruh wajah Wiro berada dalam ruang tatapan matanya. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki si gadis. Yaitu bisa mendekatkan pandangan matanya hingga benda yang jauh atau kecil bisa besar dalam penglihatannya. Berdebarlah dada si gadis ketika melihat bahwa sosok kecil si cowok ternyata mempunyai Wajah yang gagah walau gerak-gerik dan mimiknya kelihatah konyol.
“Wiro , orang menunggu pertanyaanmu!” berkata Lakasipo mengingatkan Wiro yang masih belum juga mengajukan pertanyaan dan masih sibuk dengan celananya yang tanggal talinya.
“Anu , begini….. Namamu itu….”
“Ya , ada apa dengan namaku?” tanya si gadis.
“Namamu bagus tapi aneh. Mengapa kamu diberi nama Luhcinta? Siapa yang memberi nama….”
“Pertanyaan tolol! Kata Naga Kuning Mencela. “Orang mau berjulukan apa , apa pedulimu Wiro. Siapa yang memberi namanya begitu apa urusanmu?”
Wiro jadi garuk-garuk kepala walau hatinya jengkel mendengar ucapan Naga Kuning itu. “Gadis berpakaian biru , kalau kamu tidak suka harap tak usah menjawab pertanyaanku tadi.” kata wiro.
“Aku akan menjawab ,” menyahuti Luhcinta dengan tersenyum. Namun sekali ini ada sesuatu yang membayangi senyumnya itu. “Tapi dengan satu syarat. Setelah kujawab kamu tidak akan mengajukan pertanyaan susulan.”
“Syaratmu kusetujui ,” jawab Wiro tanpa pikir panjang.
“Siapa yang memberi nama bukan ayah atau ibuku. Tapi seorang nenek yang kuanggap sekaligus pengganti ayah dan ibuku. Mengapa nenek itu memberiku nama Luhcinta itu yaitu karena ia mempunyai satu pandangan hidup dimana segala-galanya harus berdasarkan cinta kasih. Hanya dengan cinta kasih insan akan menemui kebahagiaan sejati dalam hidupnya….”
Wiro hendak membuka lisan tapi Luhcinta cepat mengingatkan. “Hai , ingat syarat perjanjian kita! Kau tidak akan mengajukan pertanyaan susulan!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku… saya tidak bermaksud bertanya. Tapi hanya sekedar bicara memberi tahu jalan pikiranku….”
“Kalau begitu silahkan kamu bicara ,” kata Luhcinta pula.
“Sewaktu kamu masih bayi mungkin nenekmu sudah melihat bahwa kelak kamu akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Kau akan menjadi gadis kecintaan puluhan bahkan mungkin ratusan cowok , Sebaliknya kamu sendiri akan menyadari bahwa kelak hanya ada satu lelaki yang kamu cintai….”
Wiro tidak teruskan ucapannya. Dalam hati Pendekar 212 berkata. “Wajah gadis itu mendadak berubah. Dia menatap diriku aneh. Tidak… bukan aneh!
Ada kemesraan dalam sinar bening sepasang matanya.”
Untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi sunyi. Tak ada yang bicara tak ada yang bergerak. Akhirnya Luhcinta berkata memecah kesunyian.
“Lakasipo , semua sahabat yang ada di sini. Pertemuan dengan kalian memberi banyak kejelasan pada beberapa hal yang selama ini masih samar dalam diriku. Ucapan-ucapan kalian banyak yang baik untuk dijadikan materi renungan. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan kalian semua. Kalau saja ada kesempatan saya ingin sekali bertemu lagi dengan kalian….”
“Luhcinta…” menegur Setan Ngompol. “Memangnya kamu mau kemana?”
“Aku terpaksa meninggalkan kalian dikala ini juga. Ada urusan besar yang harus kukerjakan… ,”
“Kalau kami bisa membantu…” kata Wiro.
Luhcinta tersenyum. Sekilas kembali Wiro melihat bagaimana gadis itu menatapnya dengan mesra. “Terima kasih. Aku percaya ketulusan hati kalian semua. Tap! urusan ini harus saya selesaikan sendiri. Selamat tinggal para sahabat….”
Luhcinta hendak putar tubuhnya.
“Tunggu dulu!” Tiba-tiba Wiro berseru. Ketika Luhcinta memandang padanya Wiro teruskan ucapannya. “Saat ini kami dalam perjalanan mencari seorang sakti berjulukan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Siapa tahu ia bisa memberi klarifikasi wacana hal-hal yang masih gelap bagimu.”
“Terima kasih kamu mengingatkan pada orang sakti itu. Sebelumnya guruku juga telah memberi tahu. Jika ada kesempatan mencari orang bau tanah itu mungkin besar manfaatnya. Namun dikala ini saya belum bisa melaksanakan hat itu. Masih ada urusan lebih besar , lebih pelik dan penting yang harus saya selesaikan. Aku terpaksa mendahului kalian meninggalkan tempat ini. Namun sebelum pergi ada satu hal ingin kutanyakan padamu Lakasipo. Mengenai saudara-saudara angkatmu itu. Keadaan mereka tidak beda dengan dirimu. Hanya saja , mengapa sosok mereka begitu kecil…?”
Lakasipo hendak menjawab tapi memandang dulu pada Wiro. “Tak ada salahnya. Katakan saja padanya.” ujar Wiro.
“Luhcinta , tiga saudara angkatku ini gotong royong bukan penduduk Negeri Latanahsilam. Mereka tiba tersesat dari negeri yang seribu dua ratus tahun mendatang…. Keadaan sosok mereka yang begini kecil menyebabkan kesulitan. Kalau kamu melihat sebelumnya mereka tidak lebih dari sejari kelingking. Saat ini , kami tengah berusaha mencari satu kerikil sakti semoga mereka bisa kembali ke negeri mereka. Kalau kerikil itu tidak ditemukan maka kami harus mencari tahu siapa adanya orang pintar yang sanggup menciptakan mereka bisa menjadi besar mirip kita…:”
“Ah , sungguh kasihan kalian bertiga…” kata Luhcinta seraya menatap sayu pada Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol. “Kalau saja saya bisa menolong….”
“Terima kasih kamu memperhatikan kami ,” kata Wiro. “Kau sendiri juga punya urusan lebih besar. Jangan memikirkan kami….”
Luhcinta tersenyum. Walau sekilas kembali ia menatap mesra ke arah Wiro. “Para sahabat , saya pergi sekarang.” Sekali berkelebat gadis bagus bertubuh tinggi dan ramping itupun lenyap dari tempat itu. Setan Ngompol dan Naga Kuning jatuhkan diri ke tanah.
“Sukar dipercaya ada gadis secantik itu…” kata Lakasipo sambil terus memandang ke arah lenyapnya Luhcinta. Di sebelahnya Hantu Jatilandak juga tampak tegak termangu.
“Jangan-jangan kita semua sudah pada jatuh cinta pada gadis itu!” kata Naga Kuning perlahan.
Lakasipo akhirnya alihkan pandangan pada Hantu Jatilandak. “Sahabatku , kamu meninggalkan pulau dan tahu-tahu berada dalam rimba belantara ini. Tentu ada satu urusan besar dan penting yang tengah kamu telusuri.”
“Kau benar Hantu Kaki Batu. Tak usang sehabis kamu dan tiga sobat ini meninggalkan pulau saya bersikeras pada kakekku Tringgiling Liang Batu semoga ia mengizinkan diriku pergi untuk menyelidik asal usulku. Menurut kakek , ayahku masih hidup. Bernama Lahambalang sedang ibu yang katanya berjulukan Luhmintari kabarnya sudah meninggal. Aku akan berusaha mencari makamnya. Kalau kalian tidak keberatan , saya ingin ikut bersama kalian mencari orang sakti berjulukan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu. Siapa tahu ia bisa menolong menyingkapkan tabir gelap asal usul diriku. Tapi jikalau kalian keberatan saya terpaksa menempuh jalan sendiri di negeri yang serba asing bagiku ini.”
“Hantu Jatilandak. Kau sahabat kami. Kau boleh ikut kemana kami pergi…” kata Wiro.
Hantu Jatilandak membungkuk kemudian tersenyum. “Terima kasih…” katanya. Lalu tiba-tiba tangannya berkelebat menangkap sosok Wiro. Sekali tangan itu bergerak maka Wiro terlempar ke udara setinggi sepuluh tombak lebih.
“Hai! Apa yang kamu lakukan ini?!” teriak Pendekar 212. Bukan saja ia gamang ketakutan tapi juga khawatir kalau Hantu Jatilandak berniat jahat terhadapnya. Sebaliknya Hantu Jatilandak sambil tertawa-tawa ulurkan tangannya menangkap tubuh Wiro kembali. (Mengenai riwayat Hantu Jatilandak harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak).
*
* *

LIMA

Sinar terik sang surya menyambut Luhcinta begitu gadis ini keluar dari rimba belantara. Di satu daerah berbatu-batu yang tanahnya mendaki gadis itu perlambat jarinya. Sayup-sayup ia mendengar bunyi air mengucur di sebelah depan. Rasa haus tiba-tiba saja menciptakan tenggorokannya mirip kering. Tepat di puncak pendakian Luhcinta hentikan langkah. Memperhatikan ke bawah ia melihat satu pemandangan sangat indah.
Di hadapannya terbentang sebuah lembah subur. Sisi sebelah kanan ditumbuhi banyak sekali bunga-bungaan yang sedang berkembang. Sebaliknya sisi sebelah kiri tertutup tempat berumput di selang-seling bebatuan besar. Di sela-sela batu-batu itu ada satu aliran air menuju dasar lembah. Di dasar lembah , air ditampung oleh sebuah telaga dangkal sebelum mengalir lagi melalui celah-celah kerikil ke kepingan yang lebih rendah.
Pemandangan itu menciptakan Luhcinta ingat akan lembah tempat kediaman gurunya dimana ia digembleng selama bertahun-tahun hingga menjadi seorang gadis mempunyai kepandaian tinggi. Hanya saja Luhcinta hams mengakui bahwa lembah yang kini terbentang di hadapannya jauh lebih indah dari lembah tempat kediaman sang guru. Dengan melompat dari satu kerikil ke kerikil lainnya Luhcinta menuruni lembah menuju telaga dangkal di bawah sana. Udara di lembah terasa sejuk menciptakan rasa hausnya berkurang. Begitu hingga di telaga jernih , si gadis celupkan kaki , masukkan ke dua tangannya ke dalam air kemudian membasahi mukanya. Setelah itu ditampungnya curahan air yang mengucur di celah-celah kerikil dan meneguk sepuasnya.
Air telaga yang sejuk dan higienis menciptakan wajah Luhcinta memerah segar. Namun di balik semua kecantikan dan kesegaran wajah itu masih terlihat satu bayangan adanya ganjalan berat di lubuk hati si gadis. Hal inilah yang terlihat dan terbaca oleh Pendekar 212 sewaktu sebelumnya bertemu dengan Luhcinta di dalam rimba belantara siang tadi.
Semula ada keinginannya hendak mandi di dalam telaga itu. Namun entah mengapa niatnya diurungkan kemudian ia duduk di satu tempat yang higienis , bersandar ke sebuah kerikil besar. Angin lembah bertiup sejuk. Membuat sepasang mata Luhcinta menjadi berat. Dalam keadaan terkantuk-kantuk gadis ini ingat akan nasib dirinya. Berulang kali Luhcinta menarik nafas panjang. Lalu terbayang wajah sang guru yang pada akhirnya menciptakan ia ingat akan riwayat dirinya sebagaimana dituturkan oleh si nenek.
*
* *
Sore itu hujan turuh lebat sekali. Cuaca gelap sesekali diterangi oleh sambaran petir. Guntur menggelegar menambah mencekamnya suasana. Dalam keadaan mirip itu kelihatan sosok seorang nenek berjalan berair kuyup terseok-seok. Di tangan kanannya ia memegang sebatang tongkat terbuat dari bambu kuning yang besarnya sepergelangan lengan dan panjang kurang dari sepuluh jengkal.
Sambil melangkah si nenek tiada hentinya keluarkan bunyi nyanyian. Selain itu tangannya yang memegang tongkat tak bisa , diam. Sebentar-sebentar tangan itu digerakkan untuk memukul rambas semak belukar yang menghalangi jalannya. Bahkan beberapa kali tongkat itu diayun menggebuk batang-batang pohon hingga patah bertumbangan.
Hujan lebat begini rupa
Tubuh reyot seharusnya berada di dalam goa
Membaca doa sambil hidupkan pendupa
Agar sisa hidup bisa mengurangi segala dosa.
Hujan gila begini rupa
Cuaca gelap menutup pandangan mata
Seharusnya tubuh reyot ini berada di dalam goa
Tapi mengapa bunyi hati mengajak bicara
Tua bangka di dalam goa!
Keluarlah membawa langkah!
Berjalan ke arah utara!
Akan kamu Temui sesuatu menusuk mata!
Tua bangka reot di dalam goa!
Keluarlah ayunkan langkah!
Pada dikala sesuatu tertumbuk mata!
Itulah artinya awal perkara
Kenyataan di depan mata
Jangan lari cari selamat
Tanggung jawab di atas kepala
Agar selamat seluruh ummat
Tiba-tiba si nenek jatuhkan dirinya , duduk menjelepok di tanah becek , mendongak ke langit kemudian tundukkan kepala menatap tanah di hadapannya.
“Aneh berbilang aneh. Wahai saya yang bau tanah ini bagaimana bisa berada di tempat ini. Di bawah curahan hujan lebat , udara gelap dan dingin. Aneh dan gila! Aku bisa menyanyi…. Astaga… apa yang kuucapkan tadi dalam nyanyianku? Gila! Aku tak ingat! Aku tak ingat lagi…!”
Tiba-tiba si nenek sentakkan kepalanya. Seperti tadi ia mendongak ke langit. Hujan membasahi mukanya yang keriput. Cuping hidungnya tampak bergerak-gerak. “Aku mencium sesuatu. Bau busuk… , Sangat busuk….” Si nenek palingkan kepalanya ke arah kiri , menatap dengan sepasang mata menyorot ke arah rimba belantara di kejauhan. Perlahan-lahan ia berdiri berdiri. Lalu melangkah ke arah sumber kedaluwarsa d! dalam. rimba belantara. Saat itu tidak ada bunyi apa lagi nyanyian keluar dari mulutnya.
“Aneh , tadi saya bisa menyanyi. Sanggup keluarkan suara…. Sekarang mengapa mulutku terkancing bungkam seribu bahasa. Dan kedaluwarsa itu… semakin menusuk…”
Si nenek ayun-ayunkan tongkatnya kian kemari hingga mengeluarkan bunyi menderu-deru. Di satu tempat ia hentikan langkah. Matanya berputar-putar. Telinganya sebelah kiri dielus-elus berulang kali , “Aku belum tuli. tapi yang kudengar itu terperinci bunyi tangisan bayi! Ada bayi menangis di dalam hutan!”
Dengan langkah-langkah cepat si nenek lanjutkan perjalanan. Belum terlalu jauh ia berjalan , di bawah sebatang pohon yang tak seberapa tinggi tiba-tiba nenek ini hentikan langkahnya , Dua kakinya yang kurus seolah ditancap ke tanah becek. Matanya mendelik. Mulutnya menganga pencong!
“Demi segala Peri , demi semua Dewa dan para roh yang ada di langit dan di bumi! Wahai mataku tidak lamur apa lagi buta! Betulkah apa yang kulihat ini?!”
Di atas sana , pada cabang paling rendah pohon di hadapan si nenek , tergantung satu sosok tubuh perempuan. Seutas tambang menjirat lehernya yang mulai membusuk. Di dada wanita ini ada sebuah kantong terbuat dari jerami. Kantong itu bergerak-gerak seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Curahan air hujan yang mengguyur sekujur tubuh mayat tergantung itu mengucur deras ke bawah , , melewati kaki dan jatuh ke tanah.
Si nenek mirip beku kaku , memandang melotot , berusaha , memperhatikan wajah wanita yang tergantung itu. Dia tersentak ketika tiba-tiba dari dalam kantong jerami melesat bunyi tangis bayi. Si nenek tersadar.
“Ada orok di dalam kantong itu! Wahai!” Si nenek terlonjak. Kaki kiri dibanting ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melayang ke atas. Tongkat di tangan kanan berkelebat. “Craasss!” Tali yang mengikat kantong jerami ke tubuh mayat putus. Mayat tergantung bergoyang-goyang. Di lain kejap si nenek sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah. Di bawah pohon besar kantong jerami diletakkannya di tanah. Lalu dengan tangan gemetar ia buka kantong itu.
“Demi para Dewa penguasa alam! Sungguh tak sanggup kupercaya!” Perempuan bau tanah itu keluarkan bunyi kemudian jatuhkan diri berlutut. Dari dalam kantong jerami ia keluarkan satu sosok kecil yang menangis keras dan ternyata yaitu satu bayi perempuan!
“Wahai anak! Berkah apa yang diturunkan para Dewa hingga saya menemuimu di tempat ini? Melihat keadaanmu usiamu belum lagi dua bulan! Siapa wanita yang tergantung di pohon itu? Ibumu…? Kasihan…. Berapa usang kamu sudah tergantung di atas pohon wahai anak? Ah , bagaimana ini? Akan kubawa kemana dirimu? Akan kuapakan engkau wahai anak? Semoga para Dewa member! petunjuk! Wahai…!” Saat itu entah bagaimana si nenek tiba-tiba ingat kembali pada bait-bait nyanyian yang tadi dibawakannya. “Tidak bisa tidak , ini semua niscaya petunjuk dan tuntutan para Dewa….” Si nenek membatin. Diusapnya pipi dan kepala si bayi. Lalu dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam kantong jerami kembali. Saat itulah ia melihat ada sebuah benda kecil di dalam kantong. Ketika diperhatikan ternyata sebuah kerikil merah berukir bentuk bunga mawar yang biasa dijadikan hiasan rambut perempuan. Si nenek masukkan kerikil merah itu ke dalam kantong kembali. Perlahan-lahan ia berdiri. Bayi di dalam kantong didekapnya erat-erat di tangan kiri. Sesaat sebelum berlalu ia memandang ke cabang pohon , tempat mayat tergantung.“
“Wahai wanita malang di atas pohon. Jazadmu telah membusuk tapi rohmu masih utuh dan bisa melihat serta mendengar. Jika bayi ini yaitu anakmu , saya akan membawanya , bukan mengambil bukan mencuri. Aku membawanya dengan satu tanggung jawab. Akan memeliharanya. Akan mengasihinya mirip anak dan cucu sendiri. Wahai roh wanita di atas pohon , saya pergi sekarang. Relakan bayi ini berada di tanganku dan jangan kamu ikuti kemana kami pergi….”
Gadis bagus berpakaian kulit kayu yang diberi jelaga warna biru tegak di atas kerikil besar di tengah a lira n sungai kecil yang mengalir di pertengahan Lembah Laekatakhijau. Di keningnya , sempurna di pertengahan melekat sekuntum kecil bunga tanjung berwarna kuning. Di sekitarnya ratusan bahkan mungkin ribuan ekor katak hijau yang ukurannya mulai sebesar ibu jari hingga sebesar kelapa tanpa kulit mendekam tak bergerak tetapi mata binatang-binatang ini memandang tak berkesip ke arah sang dara.
“Luhcinta!” Tiba-tiba ada seruan keras. Datangnya dari atas sebuah pohon besar yang tumbuh menjulang di tepi sungai sebelah kiri. Di atas salah satu cabang pohon ini kelihatan duduk seorang nenek menampilkan satu hal yang luar biasa. Si nenek duduk di satu cabang kecil yang seekor kucing saja jikalau berada di atasnya akan merunduk jatuh ke bawah! Nyatanya si nenek duduk enak-enakan malah sambil enjot-enjotkan tubuhnya. Dan cabang itu sama sekali tidak patah. Kalau ia tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi , mustahil si nenek bisa berbuat mirip itu. Lalu hal kedua yang mungkin bisa menciptakan orang lain menyaksikan dengan tengkuk merinding ialah keadaan si nenek yang duduk dengan sekujur tubuh digelayuti ratusan katak hijau! Demikian banyak dan rapatnya hewan ini melekat di kepala dan tubuh si nenek hingga hanya sepasang mata , lobang hidung dan lisan si nenek saja yang tidak tertutup katak-katak hijau itu!
Mendengar si nenek berseru menyebut namanya gadis di atas kerikil mendongak dan palingkan kepala sedikit.
“Apa kamu sudah siap?!”
“Saya siap wahai Nenek Lembah Laekatakhijau!” Suara si gadis nyaring tetapi tidak terasa adanya sesuatu yang menggelegar yang disertai hawa kekerasan.
“Ingat Luhcinta! Kau boleh bertahan , boleh balas menyerang. Tapi tidak satupun katak-katak itu boleh cidera , apa lagi matt! Sesama makhluk hidup yaitu bersaudara. Kecuali kalau takdir menyampaikan Iain! Kau hanya boleh mengandalkan tangan kosong! Sumber kekuatanmu yaitu cinta dan kasih sayang!”
“Saya ingat Nek! Saya perhatikan!”
Nenek di atas pohon yang disebut dengan nama Nenek Lembah Laekatakhijau acungkan tongkat bambu kuning di tangan kanannya kemudian dari mulutnya keluar satu suitan keras. Mendengar suitan itu ratusan katak yang ada di seantero tempat , termasuk yang semenjak tadi melekat di tubuh si nenek melesat ke udara , menyerbu gadis tinggi semampai di atas kerikil di tengah sungai. Walaupun yang menyerang cuma kodok tapi gigitan dan cakarannya cukup berbahaya. Apa lagi jumlahnya demikian banyak , Bisa-bisa sekujur sosok si gadis hanya tinggal tulang-belulang sementara kulit dan dagingnya hancur dan ludes digeragot!
Anehnya gadis di atas kerikil di tengah sungai perlihatkan wajah penuh senyum kemudian dua tangannya dikembangkan ke depan , dua telapak terbuka. Gerakan tangannya , dorongan dua telapak tangan dengan jari-jari yang bergerak tiada henti serta geseran sepasang kaki berbetis putih dan bagus , nyaris merupakan gerakan seorang penari yang penuh kelembutan. Dari dua telapak tangan yang terbuka dan mengandung tenaga dalam tinggi keluar tiupan angin yang sama sekali tidak keras , tidak beda tiupan angin lembah di pagi hari penuh kelembutan.
“Kalian semua sahabat-sahabatku. Tidurlah…!”
Terjadilah hal yang aneh , sukar dipercaya. Siuran angin lembut yang keluar dari dua telapak tengah si gadis menciptakan ratusan katak melayang jatuh secara perlahan-lahan. Di atas kerikil , di dalam air atau di tanah. Ada juga yang menyangsrang di semak belukar atau jatuh di atas pohon. Semuanya membisu tak berg era k. Sepasang mata mereka terkatup. Semua hewan itu berada dalam keheningan alias benar-benar tidur!
Ternyata ada beberapa ekor katak yang berhasil lolos , menyelusup dan hinggap di tubuh si gadis. “Ah , kalian bawah umur nakal! Tidurlah!” Si gadis usap kepala katak-katak itu. Semuanya masih melekat di tubuhnya tapi begitu diusap pribadi membisu tertidur. Satu demi satu sang dara ambil binatang-binatang itu kemudian meletakkannya di atas batu.
Di atas cabang pohon Nenek Lembah Laekatakhijau tertawa terkekeh-kekeh sambil uncang-uncang ke dua kakinya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang.
“Bagus… bagus! Tidak seekor pun katakku yang terluka. Tapi menyuruh mereka tidur terus-terusan tidak baik! Luhcinta! Lekas kamu bangunkan mereka!”
“Akan saya bangunkan Nek!” jawab si gadis lagi-lagi dengan senyum menghias wajah. Lalu ia bertepuk tiga kali dan berteriak nyaring. “Wahai para sahabat! Hari sudah siang! Lekas bangun!”
Suara mengorek terdengar di mana-mana. Semua katak yang tadi membisu tidur kini gerakkan kepala , kedipkan mata kemudian melesat kian kemari. Puluhan di antaranya kembali hinggap di sekujur kepala dan muka si nenek!
“Bocah-bocah nakal! Kalian pergilah dulu bermain-main sambil mencari makan. Aku perlu membicarakan sesuatu dengan Luhcinta!” Mendengar ucapan si nenek puluhan katak yang melekat di kepala dan badannya segera melesat pergi. Si nenek sendiri melompat turun dari cabang pohon. Dia memberi tanda pada si gadis kemudian melangkah terbungkuk-bungkuk memasuki sebuah goa.
*
* *

ENAM

Si nenek pandangi wajah gadis bagus di hadapannya dengan sepasang mata berkaca-kaca. Yang dipandang sendiri dikala itu berulang kali mengusap air mata yang meluncur jatuh ke pipinya seolah tak mau berhenti. “
Wahai Nenek pemelihara dan tempat saya berlindung selama berbilang tahun. Mengapa gres pada dikala saya hendak kamu lepas pergi kamu menuturkan riwayat hidup saya. Mengapa tidak dari dulu-dulu kamu ceritakan pada saya….”
Wajah wanita bau tanah itu tampak tambah rawan. Bagaimanapun ia berusaha namun air mata akhirnya tumpah juga ke pipinya yang keriput. Dengan tangan kirinya dibelainya rambut si gadis.
“Wahai cucuku Luhcinta. Jangan kamu bersalah duga berburuk sangka. Tidak ada maksud yang tidak baik dari semua apa yang kulakukan. Jika riwayatmu kuceritakan semenjak kamu masih kecil , maka berarti saya telah memperlihatkan satu ganjalan pahit dalam jalan kehidupanmu. Dalam keadaan pikiran dan hatimu saling tumpang tindih dilanda ganjalan itu , mustahil saya akan mendidik dan menempamu menjadi seorang gadis lembut sekaligus berkepandaian tinggi mirip kini ini. Aku sengaja memperlihatkan nama Luhcinta padamu , karena hanya cinta kasihlah yang menciptakan insan bisa sabar dan selamat menghadapi kehidupan dunia. Hanya dengan cinta kasihlah insan bisa hidup bahagia. Dicintai dan saling mencinta. Banyak insan , mengira bahwa kekuatan yang dahsyat yaitu kekuasaan atau kesaktian. Padahal kekuatan paling dahsyat di antara , langit dan bumi yaitu , cinta kasih! Kelak kamu akan , membuktikannya sendiri wahai cucuku Luhcinta. Aku juga sengaja menentukan dikala yang sempurna hari ini. Saat kamu akan kulepas pergi ke dunia luar. Inilah dikala yang paling sempurna bagimu untuk menyelidiki asal usul dirimu. Aku telah menceritakan ciri-ciri dan wajah wanita yang tergantung di dalam hutan itu. Mungkin itu tidak terlalu , sanggup menolong. Tapi ada sesuatu yang bisa kamu andalkan dalam penyelidikanmu wahai cucuku….”
Si nenek kemudian keluarkan sebuah benda berwarna merah. Ketika si gadis memperhatikan ternyata yaitu sebuah kerikil merah yang diukir demikian rupa membentuk setangkai bunga mawar. Dia pernah melihat benda mirip ini sebelumnya yang biasa dijadikan hiasan pada ikatan rambut.
“Mawar merah gesekan kerikil ini , kutemukan , dalam kantong jerami tempat kamu terbungkus. Aku yakin benda ini sanggup kamu pergunakan sebagai materi petunjuk menelusuri asal usulmu. Mungkin sekali ini yaitu milik wanita yang tergantung itu. Ibumu. Dia sengaja meletakkan di dalam kantong jerami dengan satu maksud tertentu. Ambil lah wahai Luhcinta….”
Si gadis mengambil bunga mawar dari kerikil itu. Memperhatikan dan mengusap-usapnya beberapa usang kemudian perlahan-lahan mendekatkannya ke hidung dan menciumnya. Saat itu terjadilah satu keajaiban. Di depan Luhcinta muncul satu bayangan biru yang makin usang makin terperinci dan akhirnya membentuk sosok wanita separuh baya berwajah cantik. Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil bertabur kerikil permata. Pakaiannya terbuat dari gulungan sutera biru yang panjang sekali seakan-akan bergulung hingga ke langit. Saat itu juga tempat tersebut dipenuhi oleh kedaluwarsa harum semerbak. Hidung si nenek tampak kembang kempis. Dia sanggup mencium kedaluwarsa harum itu tetapi tidak melihat sosok wanita bagus berpakaian biru yang barusan seolah turun dari langit.
Walau hatinya tergoncang melihat kecacatan ini namun Luhcinta berhasil tabahkan diri. Dengan mengulas senyum di bibir ia berkata. “Wahai wanita bagus bermahkota! Siapa gerangan kamu adanya?”
“Aku yaitu Peri Bunda dari Negeri Atas Langit. Kedatanganku untuk memberi petunjuk. Jika kamu tinggalkan lembah ini pergilah ke arah matahari terbit. Pada pagi hari ke dua sehabis kamu berada di perjalanan kamu akan mendapatkan petunjuk yang kelak bakal menyingkapkan asal usul dirimu. Namun ingat baik-baik wahai gadis berjulukan Luhcinta. Apapun kelak yang bakal kamu sanggup dan ketahui dari petunjuk itu janganlah kamu berpaling rasa dan duga , janganlah hatimu berontak membara bahwa tidak ada keadilan di dunia ini , bahwa cinta kasih hanya satu hal yang palsu belaka bahkan keji dan kotor. Ingat baik-baik wahai Luhcinta. Tabahkan hatimu! Jangan goyang dalam pikiran , jangan goyah di lubuk hati…. Kalau gurumu menanamkan cinta kasih dalam dirimu maka ketahuilah cinta kasih yaitu sesuatu yang utuh , satu kekuatan yang ada kalanya tak bisa dibagi tapi seringkali bisa diberikan untuk semua makhluk dan berkahnya bisa untuk semua orang. Ingat baik-baik petuah gurumu dan camkan apa yang barusan saya katakan. Selamat tinggal Luhcinta….”
“Wahai Peri… Tunggu dulu! Saya ingin bertanya!” Luhcinta memburu ke lisan goa. Tapi sosok Peri Bunda telah sirna.
“Cucuku Luhcinta. Kau berlaku aneh. Kulihat kamu bicara sendirian. Lalu lari ke pintu seolah mengejar seseorang. Apa yang terjadi? Kau barusan bicara dengan siapa?”
Teguran sang guru menciptakan Luhcinta palingkan diri. “Nek , apa kamu tidak melihat…?”
“Melihat apa?”
“Seorang wanita bagus barusan berada dalam goa ini. Dia mengaku berjulukan Peri Bunda….”
“Peri Bunda?” Nenek Lembah Laekatakhijau terkejut.
“Kau tidak mengigau tidak bergurau Luhcinta?”
“Mana saya berani berlaku begitu Nek….”
“Ceritakan apa yang terjadi! Katakan apa yang diucapkan Peri itu padamu!”
Begitu mendengar penuturan Luhcinta , si nenek pegang kepala murid yang sudah dianggap mirip anak atau cucunya sendiri itu seraya berkata. “Luhcinta , kamu telah menerima berkah dari sang Peri. Kau telah diberi petunjuk. Lakukan apa yang dikatakannya.. ..” “;
“Akan saya lakukan Nek ,” jawab Luhcinta.
*
* *
Terbitnya Sang Surya pada hari ke dua perjalanannya sehabis meninggalkan Lembah Laekatakhijau menyebabkan rasa tegang di diri Luhcinta. Seperti yang dikatakan Peri Bunda , hari itu ia akan menemukan petunjuk yang akan menyingkapkan tabir rahasia asal usulnya. Namun kedatangan pagi kali ini justru memunculkan setumpuk pertanyaan dalam hatinya. Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan memberi petunjuk? Di mana? Saat itu Luhcinta berada di kaki bukit yang dikelilingi sawah luas. Sejauh mata memandang hanya padi yang masih hijau yang kelihatan. Belum kelihatan seorang petani pun berada di sawah. Luhcinta berdiri di bersahabat sebuah dangau. Memandang ke langit higienis , memperhatikan serombongan burung terbang ke arah selatan.
Dalam keadaan mirip itu tiba-tiba ada sambaran angin. Luhcinta cepat berpaling. Satu bayangan berkelebat tahu-tahu satu sosok telah berdiri berkacak pinggang di atas dangau! Sebagai murid nenek sakti di Lembah Laekatak hijau , Luhcinta telah digembleng menjadi seorang gadis lembut tapi berhati tabah. Walau gres beberapa hari saja berada di dunia luar yang serba asing baginya namun kemampuan bersikap waspada menciptakan ia tidak merasa takut akan hal apapun. Akan tetapi dikala itu si gadis mencicipi tengkuknya masbodoh dan lututnya bergetar. Seumur hidup belum pernah ia melihat insan mempunyai dua muka di satu kepala. Dan dikala itu , insiden aneh itulah yang dialaminya!
Di atas dangau tegak bertolak pinggang seorang cowok sangat gagah yang mukanya ada dua , satu depan satu di belakang. Wajah di sebelah depan higienis kuning sedang Wajah di sebelah belakang hitam berkilat. Dua wajah itu memandang lekat-lekat ke arah Luhcinta , lisan menyeringai , dua mata bergerak tak bisa diam.
“Makhluk aneh apakah ini adanya. Guru tak pernah menceritakan padaku. Mukanya dua , satu putih satu hitam. Bola matanya berbentuk segitiga. Keseluruhan wajahnya walau tersenyum tidak membersitkan kelembutan , malah tidak ada bayangan cinta kasih. Aku harus berhati-hati….”
“Gadis bagus berpakain biru. Pagi hari berada di tengah sawah. Dari dandanan dan gerak gerikmu terperinci kamu orang asing di Latanahsilam ini. Seandainya engkau tersesat biarlah saya memperlihatkan arah jalan yang benar. Kemana tujuanmu wahai gadis yang menghias keningnya dengan sekuntum bunga tanjung? Bolehkah saya bertanya siapa gerangan namamu?”
Luhcinta memandang dengan tersenyum menciptakan orang di atas dangau yang bukan lain yaitu Hantu Muka Dua tambah berkobar hasrat kejinya. Seperti diketahui Hantu Muka Dua mempunyai kemampuan merubah-rubah dua wajah di kepalanya. Jika dua wajahnya muncul dalam rupa cowok gagah maka itu berarti ia terangsang untuk bercinta.
Sambil memandang , otak Luhcinta bekerja. Dalam hati ia membatin. “Hemm…” Makhluk bermuka dua ini muncul mirip kilat yang bermetamorfosis bayang-bayang. Pertanda ia mempunyai kepandaian tinggi. Wajah , sikap dan cara bicaranya seolah lapang dada tapi saya mencium tak ada cinta kasih dibalik semua itu. Pertanyaannya banyak sekali mirip ia tengah menyelidik. Makhluk satu ini tak bisa kupercaya , tetapi jikalau saya hadapi dengan hening dan kebaikan hati mungkin saya bisa memanfaatkannya. Mungkin dialah petunjuk yang diberikan Peri Bunda. Orang yang akan menyingkap tabir asal-usul diriku”
Luhcinta kembali tersenyum. “Pemuda gagah , saya Luhcinta sungguh kagum padamu. Kurasa di jagat raya ini hanya kaulah satu-satunya insan yang mempunyai dua wajah di satu kepala. Jika saya boleh bertanya siapa gerangan kamu adanya. Mungkin saya bisa minta bantuanmu menjawab beberapa pertanyaan…”
Hantu Muka Dua balas senyuman si gadis dengan tawa lebar. “Aku dikenal dengan panggilan Hantu Muka Dua. Sebagai orang asing kamu tentu tidak tahu siapa diriku , Tetapi kamu telah berlaku tepat. Jika meminta pertolongan akulah orang satu-satunya yang bisa menolongmu. Apa lagi kalau hanya pertolongan berupa menjawab pertanyaan….”
“Wahai Hantu Muka Dua , apakah kamu pernah mendengar riwayat seorang wanita yang menemui ajal , bunuh diri dengan cara menggantung diri di sebuah rimba belantara. Kejadiannya sudah cukup usang , berbilang tahun yang silam….”
Empat alis Hantu Muka Dua di dua wajahnya menjungkat ke atas. Satu membuktikan bagi Luhcinta bahwa makhluk itu mengetahui sesuatu wacana insiden yang ditanyakannya. Terlebih ketika dilihatnya empat mata aneh Hantu Muka Dua menatapnya lekat-lekat.
“Wahai…. Aku ingat sekarang. Wajah gadis ini sama nian dengan wajah wanita itu…. Ah! Mungkinkah?!” Kata-kata itu menyeruak dalam hati Hantu Muka Dua. “Wahai gadis berjulukan Luhcinta , memang pernah saya mendengar insiden itu. Peristiwanya telah usang sekali. Mengapa kamu bertanyakan hal itu. Apa dirimu ada sangkut paut dengan insiden itu?”
“Seseorang menyampaikan diriku memang punya hubungan darah dengan wanita yang mati menggantung diri itu….” menerangkan Luhcinta.
“Melihat kepada usiamu , kamu tentulah anak wanita yang malang itu.”
Luhcinta tersurut satu langkah. “Bagaimana kamu bisa menduga mirip itu?”
Hantu Muka Dua melompat turun dari atas dangau. “Dengar wahai gadis cantik. Dirimu rupanya menyimpan satu rahasia hidup maha besar. Aku Hantu Muka Dua kebetulan banyak tahu wacana riwayat wanita tergantung itu. Tapi di sini bukan tempat yang sempurna untuk menuturkan semuanya padamu. Ha rap kamu suka ikut saya ke tempat kediamanku. Talk jauh dari sini. Di situ saya akan terangkan semuanya padamu. Aku yakin kamu memang yaitu anak wanita yang bunuh diri itu!”
“Hantu Muka Dua , kamu baik sekali. Bagaimana kalau semua riwayat yang kamu ketahui kamu ceritakan saja pribadi di sini? Budimu niscaya tidak akan kulupakan.”
Hantu Muka Dua menyeringai. “Aku merasa kamu tidak percaya pada diriku. Sosokku memang menakutkan. Kepalaku mempunyai dua wajah yang mengerikan. Mana ada insan yang mau menganggap saya orang baik-baik….”
“Aku percaya padamu wahai Hantu Muka Dua. Buruk rupa seseorang bukan jaminan bahwa ia tidak mempunyai sikap yang baik. Bukan jaminan bahwa ia tidak mempunyai cinta kasih.. ,.”
“Dengar wahai Luhcinta ,” Perempuan yang mati tergantung itu yaitu Luhpiranti. Dia mempunyai seorang suami berjulukan Latampi. Apa kamu masih tidak percaya bahwa saya benar-benar mengetahui insiden hebat di masa kemudian itu?”
“Luhpiranti…. Latampi….” Si gadis mengulang menyebut nama-nama itu. “Guru sendiri tidak pernah tahu siapa nama ayah dan ibuku….” Luhcinta menatap Hantu Muka Dua sejurus kemudian berkata. “Aku percaya padamu wahai Hantu Muka Dua. Aku bersedia ikut ke tempat kediamanmu….”
“Kau gadis berotak jernih. Kita berangkat sekarang!” kata Hantu Muka Dua sambil menyeringai lebar dan usap-usap telapak tangannya satu dengan lainnya.

TUJUH

Seperti pernah dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng berjudul Peri Angsa Putih) diketahui bahwa Hantu Muka Dua mempunyai sat u tern pat kediaman rahasia terletak di bawah Telaga Lasituhitam. Pada insiden ia membawa Luhcinta ke tempat itu belum ada ruangan yang disebut Ruangan Obor Tunggal yaitu ruang penyiksaan terkutuk bagi perempuan-perempuan yang dibencinya. Yang ada barulah Ruang Dua Belas Obor yakni satu ruangan kerikil diterangi dua belas obor dan menjadi tempat ketiduran Hantu Muka Dua.
Hantu Muka Dua pribadi membawa murid Nenek Lembah Laekatakhijau itu ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Saat itu di dalam ruangan terdapat tiga orang gadis yang rata-rata berpakaian seronok nyaris bugil. Pemandangan ini menciptakan Luhcinta serta merta menjadi tidak lezat , khawatir serta curiga. Apa lagi di situ tidak ada kursi atau kursi. Yang ada hanya sebuah kerikil besar dialasi anyaman rumput kering dan dijadikan ranjang tempat tidur. Walaupun hatinya tidak lezat namun Luhcinta tetap saja memoles senyum di bibirnya yang bagus.
“Jangan perhatikan mereka wahai Luhcinta. Tiga gadis ini yaitu pembantu yang mengurus dan menjaga tempat kediamanku jikalau saya pergi.” Lalu pada tiga gadis di dalam ruangan Hantu Muka Dua segera berkata. “Lekas kalian memberi hormat pada tamuku! Kalau sudah memberi hormat segera siapkan hidangan dan minuman. Kami lapar! Setelah itu kalian Semua boleh pergi! Kami haus! Berikan minuman lebih dulu!”
Tiga gadis di dalam Ruang Dua Belas Obor segera berdiri kemudian menjura memberi hormat pada Luhcinta. Sebelum sempat si gadis membalas penghormatan itu ketiganya telah meninggalkan ruangan.
“Wahai Hantu Muka Dua , kita telah berada di tempat kediamanmu. Apakah kamu bisa segera mulai memberi keterangan wacana orang-orang berjulukan Latampi dan Luhpiranti itu…?”
“Luhcinta gadis bagus dan cerdik! Mengapa terburu-buru. Kau perlu istirahat barang sebentar. Lagi pula apa salahnya menunggu hingga pembantuku tiba membawakan minuman untuk kita….”
“Kalau begitu katamu saya berdasarkan saja. Tetapi begitu kamu selesai minum harap kamu suka memberi keterangan….”
“Jangan khawatir wahai Luhcinta. Sejuta keterangan akan kuberikan padamu walaupun mulutku harus bicara hingga pagi besok dan pagi besoknya lagi…. Lelaki mana yang tidak mau bertutur cakap dengan gadis secantikmu walau tidak tidur sekalipun hingga berhari-hari….”
Luhcinta tersenyum. Salah satu dari tiga gadis tadi muncul dan masuk ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Dia membawa satu nampan kayu di atas mana terletak dua cangkir tanah berisi minuman yang mengepulkan asap dan kedaluwarsa lezat segar. Dua gelas tanah itu diletakkannya di atas ranjang batu. Ketika Luhcinta memandang kepadanya gadis ini kedipkan matanya tiga kali berturut-turut.
“Wahai , apa arti kedipan mata gadis itu…” pikir Luhcinta.
“Lekas keluar kamu dari sini!” Hantu Muka Dua membentak. Gadis pembawa minuman serta merta menghambur pergi. Sambil tersenyum Hantu Muka Dua kemudian berkata pada Luhcinta. “Ini minumanmu , teguk hingga habis. Kau tentu haus dan letih….” Hantu Muka Dua kemudian ambil salah satu gelas tanah dan memberikannya pada Luhcinta. Dia sendiri mengambil gelas kedua pribadi meneguk isinya hingga habis. Dua pasang matanya kelihatan membersitkan sinar aneh. Dua wajahnya kelihatan merah. Di dalam tubuhnya darahnya mengalir makin cepat dan tambah panas. Hal itu disebabkan di dalam minuman yang diberikan si pembantu untuknya sesuai dengan kebiasaannya Hantu Muka Dua mempergunakan sejenis bubuk yang sanggup memberi kekuatan mirip kuda setan pada dirinya.
Secara diam-diam ia juga telah memerintahkan para pembantu untuk membubuhi sejenis serbuk perangsang di dalam minuman yang disuguhkan pada tamu perempuan. Pembantu yang membawa minuman tadi dan mengetahui hal itu serta hiba hati melihat Luhcinta yang kelak bakal mendapatkan perbuatan malu dari Hantu Muka Dua berusaha memberi peringatan dengan kedipan mata tadi. Hanya sayang Luhcinta tidak mengetahui apa arti isyarat tersebut!
“Harap kamu suka meneguk minuman yang disuguhkan. Sebagai tanda penghormatan padaku selaku tuan rumah….”
“Kau tuan rumah yang baik ,” kata Luhcinta. “Sebentar lagi akan ku minum. Saat ini saya belum begitu haus…. Sementara itu apakah kamu bisa memberi keterangan yang kamu janjikan?”
“Teguk habis dulu minumanmu , gres saya memberi keterangan ,” jawab Hantu Muka Dua. Suaranya mulai kasar dan tampangnya agak beringas. Kulit mukanya sebelah depan tambah merah sedang sebelah belakang tambah menghitam.
“Wahai , saya tidak haus. Sebentar lagi niscaya ku minum….”
“Kalau kamu tak suka meneguk minuman itu , , serahkan gelas minuman itu padaku!” kata Hantu Muka Dua pula. Lalu gelas tanah dirampasnya dari tangan Luhcinta. “Gadis cantik…. Kau tiba ke tempat yang salah! Ha… ha..ha.”
“Wahai! Apa maksudmu Hantu Muka Dua?” tanya Luhcinta.
“Maksudku ini!” Hantu Muka Dua gerakkan tangannya yang memegang gelas tanah. Minuman yang ada di dalam gelas tanah itu melesat ke muka Luhcinta. Sebagian di antaranya ada yang masuk ke dalam mulutnya tapi tidak hingga tertelan.
“Hantu Muka Dua , mengapa kamu berlaku kasar!” Berseru Luhcinta. Pada dikala Itu Hantu Muka Dua sudah mendobraknya. Memeluk penuh nafsu dan menciumi wajahnya dengan beringas.
“Wahai! Ternyata dirimu begini adanya!” seru Luhcinta yang kini sadar kalau dirinya telah terjebak. Dengan kanannya bergerak. Telapak melekat di perut Hantu Muka Dua. Begitu ia mendorong terpekiklah Hantu Muka Dua. Tubuhnya terpental dan terbanting ke dinding batu!
“Pukulan kasih Mendorong Bumi!” seru Hantu Muka Dua dengan wajah kaget dan dua muka di kepalanya pribadi bermetamorfosis wajah kakek-kakek pucat pasi. Sambil pegangi perutnya yang mendenyut sakit sementara tulang punggungnya serasa hancur , kemarahan meluap dalam diri Hantu Muka Dua. Saat itu juga dua mukanya kembali berubah. Kali ini berupa dua muka raksasa mengerikan. “Pukulan itu hanya dimiliki nenek keparat di lembah Katak. Berarti kamu yaitu muridnya Nenek Lembah Laekatakhijau!”
Dua kali Luhcinta terkejut. Pertama ketika Hantu Muka Dua mengetahui pukulan yang barusan dilepaskannya. Kedua sewaktu Hantu Muka Dua mengetahui siapa gurunya.
“Ha… ha… ha! Nenek satu ini memang sudah usang kucari untuk kujadikan makhluk pertama percobaan ruang penyiksaan yang kuberi nama Ruang Obor Tunggal! Sekarang rejeki besar di depan mata. Tidak tahu kamu muridnya si Laekatakhijau! Dendam karatanku selama ini akan kesampaian…!”
“Wahai…. Pembicaraan kita mengapa jadi berubah Hantu Muka Dua? Bukankah kamu berkata hendak memberi tahu riwayat dua orang berjulukan Latampi dari Luhpiranti itu? Sekarang kamu bicara hal-hai yang saya tidak mengerti….”
“Kau tidak perlu mengerti. Yang kamu harus mengerti yaitu melayani diriku hingga puas! Ha… ha… ha!”
Kembali Hantu Muka Dua menyergap Luhcinta. Kali ini si gadis cepat menghindar kemudian berkelebat ke arah pintu ruangan. Namun dari belakang tiba-tiba melesat dua larik sinar hijau. Sinar-sinar aneh ini ternyata menyembul keluar dari sepasang mata Hantu Muka Dua sebelah depart.
Luhcinta berteriak kaget ketika dua larik sinar hijau mirip dua utas tali tahu-tahu mengguluhg sekujur tubuhnya hingga ia tidak bisa menggerakkan kaki maupun tangan! Sekali Hantu Muka Dua menyentakkan kepalanya tubuh Luhcinta terlempar ke atas ranjang kerikil dan masih dalam keadaan terikat dua larik sinar hijau itu!
“Makhluk jahat! Apa yang hendak kamu lakukan padaku?!” teriak Luhcinta. “Apa tidak ada rasa hiba di hatimu? Apa kamu tidak punya rasa cinta kasih sesama manusia?!”
“Cinta kasih?! Ha… ha… ha! Justru saya akan memperlihatkan rasa cinta kasihku padamu! Ini bukti pertama!”
“Breeettt!”
Pakaian Luhcinta robek besar di kepingan dada. Si gadis menjerit. Dia coba menendang dan memukul. Tapi tak bisa bergerak. Dalam hati Luhcinta jadi mengeluh dan menyesali nasib sendiri.
“Wahai Peri Bunda. Karena mengikuti petunjukmu saya menemui nasib mirip ini. Tolong diriku. Insyafkan makhluk bermuka dua itu. Masukkan rasa kasih ke dalam tubuhnya hingga ia tidak berlaku jahat padaku…”
Namun ajakan si gadis seolah tidak terdengar oleh Peri Bunda. Seperti orang kemasukan setan , sambil tertawa-tawa Hantu Muka Dua yang wajahnya kini telah bermetamorfosis dua muka anak muda melompat ke atas ranjang batu. Ketika ia hendak menanggalkan pakaian tiba-tiba Ruang Dua Belas Obor dilanda getaran aneh. Bersamaan dengan itu dinding sebelah kiri jebol mengeluarkan bunyi bergemuruh. Pecahan kerikil berhamburan. Dari lobang besar di binding kiri ruangan menyeruak keluar satu sosok tubuh yang di kepalanya ada asap aneh berwarna merah , bergulung-gulung membentuk kerucut dengan kepingan runcing tegak di atas batok kepalanya…”
Hantu Muka Dua tersentak kaget mirip melihat setan. Cepat ia melompat ke sudut ruangan. Bersamaan dengan itu dua alur sinar merah menderu menyirami tubuh Luhcinta. Dua larik sinar hijau laksana tali yang semenjak tadi mengikat sekujur tubuh Luhcinta serta merta lenyap.
*
* *

DELAPAN

Hantu Penjunjung Roh! Kau…!” teriak Hantu Muka Dua yang dikala itu dua wajahnya mendadak sontak telah bermetamorfosis dua wajah kakek pucat keriput. Ini satu membuktikan selain terkejut ia juga tengah dicekam rasa takut. Orang yang barusan memasuki ruangan lewat dinding yang jebol tertawa mengekeh. Ternyata ia yaitu seorang nenek aneh. Sekujur tubuhnya ditutupi akar-akar panjang berwarna coklat gelap. Di atas kepalanya yang ditumbuhi rambut kelabu tipis ia mirip menjulang satu pendupaan berbentuk kerucut terbalik. Kerucut aneh ini berwarna merah dan mengepulkan asap angker.
Si nenek hentikan kekehannya. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah Hantu Muka Dua. Astaga! Ternyata dua bola mata si nenek juga berbentuk kerucut kecil berwarna merah. Bagian lancipnya menjorok keluar hampir sama rata dengan hidungnya!
“Tujuh ratus purnama saya memberi kesempatan padamu untuk bertobat! Tapi dasar otak dan hatimu sudah jadi batu! Kau tidak melaksanakan itu! Kau tetap gentayangan dengan wujud Hantu Muka Dual Menyebar melapetaka di delapan penjuru angin!”
“Nenek keparat! Kalau saja saya tidak punya pantangan membunuh perempuan! Pasti sudah kuhabisi dirimu dikala ini!” teriak Hantu Muka Dua. “Hik… hik… hik! Kau takut membunuh perempuan! Anggap saja saya ini laki-laki! Lihat diriku!”
“Wusss!!”
Asap merah di atas kepala si nenek yang berbentuk kerucut mengepul tinggi ke atas menyondak langit-langit ruangan batu. Ketika asap itu kembali ke bentuknya semula maka keadaan si nenek telah bermetamorfosis seorang lelaki separuh baya , tegak berkacak pinggang.
“Aku sudah menjadi laki-laki! Apa kamu masih takut membunuhku?! Hik… hik… hik!”
“Perempuan jahanam! Aku bersumpah akan menjebloskanmu ke ruang penyiksaan abadi!” teriak Hantu Muka Dua. Lalu tangan kanannya bergegas ke balik pakaian.
“Wusss! Dessss!”
Satu kepulan asap hijau pekat membumbung menutupi pemandangan. Sosok Hantu Muka Dua berkelebat lenyap ke arah pintu ruangan.
“Kau kira kali ini bisa lolos dari tanganku?!” Tempat untuk rohmu sudah ku sediakan di atas kepalaku!” teriak Hantu Penjunjung Roh yang dikala itu telah berubah pada bentuknya semula yaitu sosok seorang nenek berambut kelabu. Dia berkelebat ke pintu ruangan berusaha mengejar.
Di atas ranjang kerikil , Luhcinta yang semenjak tadi terhenyak dalam kejut dan aneh melihat semua yang terjadi tiba-tiba melompat turun , jatuhkan diri di hadapan si nenek sehingga gerakan wanita bau tanah itu jadi terhalang.
“Nek , tak usah kamu kejar orang jahat itu. Beri ia kesempatan untuk berpikir. Siapa tahu tidak kini tapi nanti cinta kasih akan masuk ke dalam tubuhnya , mengalir di dalam darahnya dan tertanam di lubuk hatinya. Hingga kelak ia mau bertobat dan menjadi orang baik…”
Mendengar kata-kata itu , si nenek yang sudah nekad hendak mengejar Hantu Muka Dua jadi hentikan gerakannya. Saat itu ia masih belum melihat terperinci wajah Luhcinta karena asap hijau yang ditinggalkan Hantu Muka Dua masih mengambang dalam ruangan. Namun dengan bunyi perlahan si nenek berkata.
“Kau gadis berhati baik dan tulus. Agaknya anutan kasih sayang begitu mendalam dalam hati sanubarimu. Tetapi wahai gadis tulus! Tahukah engkau bahwa begitu banyak makhluk yang menemui celaka bahkan kematian hanya karena berbuat baik secara berkelebihan?”
“Mereka mati dalam kebaikan. Dalam cinta kasih. Apakah ada kematian yang lebih indah dan” itu Nek?”
Hantu Penjunjung Ron tersurut dua langkah. Mukanya mengerenyit mendengar kata-kata Luhcinta itu. Dalam hati ia berkata. “Aneh! Seharusnya saya ma rah besar mendengar ucapan gadis kedaluwarsa ken-cur yang mirip mengajari diriku si bau tanah bangka ini! Tetapi ucapannya sangat menyentuh , mendatangkan kesegaran dalam hatiku. Siapa gerangan adanya anak ini?!”
Si nenek kibaskan tangan kirinya. Asap hijau yang memenuhi ruangan serta merta lenyap. Begitu keadaan terang kembali dan si nenek bisa melihat terperinci wajah Luhcinta , terpekiklah wanita bau tanah ini. Sepasang kakinya mundur dua langkah , mukanya yang keriputan memutih sementara kerucut asap merah di atas kepalanya naik hampir menyentuh langit-langit batu.
“Kau…!” Suara si nenek keras tapi bergetar dan seolah tercekik. “Nenek , wahai gerangan apakah yang membuatku memandang begitu rupa? Apakah salah saya telah menghalangimu mengejar Hantu Muka Dua? Atau apakah….” “
“Wajahmu!” desis si nenek lagi-lagi dengan bunyi bergetar dan mata kerucutnya membesar , membeliak tak berkedip.
“Wajah saya…?” Luhcinta usap mukanya. “Ada a pa dengan wajah saya wahai Nenek penolong diriku? Apakah wajah saya buruk , menyeramkan hingga kamu mirip takut atau mungkin benci melihatku…?”
Hantu Penjunjung Ron gelengkan kepala.
“Anak…. Siapa namamu?!”
“Saya Luhcinta….”
“Kau… kamu berasal dari mana Luhcinta?”
“Saya… saya , kata guru saya berasal dari Negeri Latanahsilam….”
Si nenek maju mendekati Luhcinta. Tiba-tiba ia ulurkan ke dua tangannya , membelai wajah si gadis. Luhcinta mencicipi adanya getaran-getaran aneh pada jari-jari yang membelai itu.
“Wajahmu…” kata si nenek perlahan. “Mengapa sama benar dengan….”
“Nek!” Luhcinta pegang dua tangan si nenek. “Kau melihat wajah saya. Sama dengan wajah siapa saya ini Nek?”
“Wahai! Barusan kamu menyebut guru. Katakan siapa gurumu!”
“Hantu Lembah Laekatakhijau…” jawab Luhcinta semakin jauh dibawa rasa heran melihat tindak tanduk dan ucapan si nenek yang telah menyelamatkannya dari Hantu Muka Dua.
“Demi sejuta Dewa sejuta Peri!” Si nenek berteriak. “Anak , kamu ikut saya kini juga!”
“Ikut kemana Nek…?” tanya Luhcinta.
“Kita ke Lembah Laekatakhijau! Menemui gurumu si bau tanah bangka sialan itu!”
“Wahai , mengapa kamu memaki nenek guru saya itu?” tanya Luhcinta.
“Karena berpuluh tahun ia menjadikanmu sebagai muridnya , tapi ia tidak pernah memberi tahu padaku! Luhmasigi! Kau benar-benar bau tanah bangka keparat!”
“Eh , siapa wanita berjulukan Luhmasigi itu Nek?” tanya Luhcinta lagi.
“Itu nama orisinil gurumu si nenek keparat di Lembah Katak itu!” teriak Hantu Penjunjung Roh. Lalu sekali ia bergerak tahu-tahu sosok Luhcinta sudah berada di panggulan pundak kirinya.
*
* *

SEMBILAN

Sepasang mata merah berbentuk kerucut aneh Hantu Penjunjung Ron memandang seputar lembah. Luhcinta yang berdiri di sebelah si nenek ikut memperhatikan berkeliling. Kemanapun mata memandang hanya katak-katak hijau yang kelihatan. Di tanah , di atas bebatuan , di dalam sungai kecil , di batang-batang dan cabang-cabang pohon bahkan hingga ke daun-daunnya dipenuhi oleh ribuan katak-katak hijau mulai dari yang sekecil ibu jari kaki hingga sebesar buah kelapa.
“Aku tidak melihat nenek sialan itu!” kata Hantu Penjunjung Roh. “Dimana dia?!”
“Saya juga tidak melihatnya Nek ,” jawab Luhcinta sambil terus memperhatikan ke setiap sudut lembah. ,
Di goanya ia tidak ada. “Jangan-jangan sedang pergi keluyuran! bau tanah bangka geblek! Masih suka jual tampang!” kata Hantu Penjunjung Ron lagi. Dia luruskan tubuhnya yang bungkuk , kemudian berteriak.
“Luhmasigi! Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau! Dimana kau?! Kalau ada di sini jangan sembunyi! Apa kamu sedang berak atau bagaimana?! Hik…hik!”
Luhcinta tutup mulutnya dengan tangan untuk menahan semburan tawa mendengar teriakan si nenek tadi. Suara teriakan keras itu mengejutkan ratusan katak. Banyak diantara mereka berlompatan dengan mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk. Sampai bunyi gaung teriakan Hantu Penjunjung Roh lenyap tak ada bunyi jawaban.
“Sialan! Aku tahu ia ada di sini! Aku tahu ia mempermainkan aku!” kata Hantu Penjunjung Roh. Asap merah berbentuk kerucut di atas kepalanya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Sesekali naik ke atas kemudian turun lagi. Dua matanya yang juga berbentuk kerucut lancip semenjak tadi bergerak terus tak bisa diam. “Luhmasigi! Kalau kamu tidak mau muncul , akan kupanggang semua katak peliharaanmu di lembah ini!”
Dua mata si nenek mendadak keluarkan sinar merah terang menggidikkan. Agaknya ia tidak main-main. Kalau dua larik sinar merah mengandung hawa panas disemburkannya maka jikalau benda mati yang terkena mirip kerikil , akan hancur lebur. Jika benda hidup akan mati seolah terpanggang!. Tiba-tiba terdengar bunyi tawa cekikikan. Tumpukan katak yang ada di tengah sungai kecil kelihatan bergerak. Bangkit membentuk sosok insan yang ditempeli ratusan katak hijau. Hanya mata , hidung dan mulutnya saja yang kelihatan. Inilah ia si Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau yang tubuhnya tertutup oleh katak-katak peliharaannya!
“Muridku Luhcinta! Wahai! Enam hari kemudian kamu tinggalkan lembah ini! tahu-tahu kamu muncul kembali di sini! Ada apakah wahai muridku? A pa dunia luar sana tidak kamu sukai atau ada sesuatu yang memaksamu kembali ke sini?!”
Hantu Penjunjung Roh yang berdiri di sebelah Luhcinta serta merta menjadi jengkel. “Jelas-jelas saya berada di sini! Tegak di samping muridnya! Masakan ia tidak melihat?! Si nenek sialan ini benar-benar melecehkan diriku!”
Luhcinta menjadi galau untuk menjawab. Dia melirik pada Hantu Penjunjung Roh. Saat itu sambil melangkah mendekati si gadis , nenek ini berkata. “Orang yang kita cari tak ada di lembah ini! Mari kita pergi saja. Lain waktu kita kembali lagi!”
Kali ini Hantu Lembah Laekatakhijau yang merasa dianggap seolah tidak ada di tempat itu. Tapi tidak mirip Hantu Penjunjung Roh , nenek satu ini tertawa cekikikan. Lalu berkata.
“Aku barusan berlangir! Mataku masih tertutup wewangian lulur. Harap maafkan kalau tidak melihat muridku tiba membawa seorang tamu agung! Hik… hik… hik! Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh , sifat dan keadaanmu masih saja tidak berobah. Masih cepat naik darah kemudian bicara ngaco! Puluhan tahun hingga dikala ini kamu masih saja menjunjung asap merah itu? Apa yang kamu panggang di atas kepalamu? Daging tidak ikan pun tidak! Hik… hik… hik!”
Tampang Hantu Penjunjung Roh menjadi kelam membesi. Melihat hal ini Luhcinta segera mendahului bicara , memberi tahu. “Nek , saya membawa nenek ini ke sini karena ada sangkut pautnya dengan diriku….”
“Wahai! Kau bagus , ia jelek! Bagaimana bisa ada sangkut pautnya?!” tukas Hantu Lembah Laekatakhijau kemudian tertawa lagi cekikikan.
“Luhmasigi! Kau jangan kelewat menghina! Waktu masih sama-sama muda tidak ada lelaki yang suka padamu! Itu sebabnya kamu menentukan hidup bersama katak-katak kedaluwarsa itu!”
“Hai! Jangan menghina hewan peliharaanku! Jika mereka kusuruh menggerogoti dirimu , dalam tempo sekejapan mata kamu bisa berubah jadi jerangkong! Katakan mengapa kamu tiba ke sini mengganggu saya sedang berlangir!”
“Puih! Seribu tahun kamu mandi lulur tak bakal kamu jadi cantik! Tidak akan kulitmu yang keriput akan menjadi padat bagus! Dengar Luhmasigi! Aku mau murka padamu!”
“Wahai! Itulah sifatmu! Selalu marah-marah tak karuan!”
“Dengar!” hardik Hantu Penjunjung Roh. “Berbilang tahun kamu menggembleng seorang anak menjadi muridmu hingga ia menjadi gadis begini besar! Mengapa kamu tidak pernah memberi tahu padaku?!”
“Wahai! Apa urusanmu nenek penjunjung ketiding asap!” sahut Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Apa urusanku?! Enak saja kamu bicara! Menurut gadis ini kamu menemuinya di satu rimba belantara. Berada di dalam satu kantong yang terikat di dada seorang wanita yang mati gantung diri di atas pohon!”
“Wahai! Apa sangkut pautnya insiden itu dengan dirimu? Apa kamu mau tanya bagaimana caranya mati gantung diri? Hik… hik… hik!”
“Tua bangka sialan!” maki Hantu Penjunjung Roh. “Coba asah dulu otakmu! Coba kamu ingat-ingat! Waktu kamu menemukan mayat tergantung itu , apa kamu masih ingat bagaimana wajahnya?”
“Memangnya kenapa?!”
“Sialan kau! Jawab saja pertanyaanku!” hardik Hantu Penjunjung Roh.
“Perempuan yang mati tergantung itu yaitu ibu muridku ini….”
“Itu saya sudah tahu. Dia sudah kisah padaku! Jawab saja pertanyaanku tadi! Terangkan ciri-ciri wanita itu!”
“Orangnya masih muda….”
“Sialan kamu Luhmasigi! Aku tidak tanya muda atau tua! Aku ingin tahu ciri-ciri wajahnya. Bentuk rupanya….”
“Wajahnya cantik…. Seperti muridku ini. Kulitnya putih. Kalau saya tidak salah ada tahi lalat di dagunya sebelah kiri.. ,.”
Hantu Penjunjung Roh tiba-tiba menjerit.
“Sialan! Kau jangan mengejutkan aku! Berteriak mirip orang kemasukan setan!” Membentak Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Ada tahi lalat di dagu kirinya katamu!”
“Kau tidak tuli! Itu yang saya katakan tadi. Ada tahi lalat di dagu kirinya!” kata Hantu Lembah Laekatakhijau.
Hantu Penjunjung Roh kembali menjerit. Dia melompat ke hadapan Luhcinta dan memeluk gadis itu seraya menggerung. “Jangan-jangan kamu ini…. Wahai! Aku tidak bersangsi! Pasti! Pasti kamu yaitu anaknya! Kau yaitu anak Luhpiranti , wanita muda yang mati bunuh diri itu! Wajahmu sama dengan wajahnya. Tidak beda sedikitpun! Wahai anak! Kau… kamu yaitu cucuku!”
Luhcinta merasa mirip mendengar bunyi halilintar yang mengejutkan. “Nek , kamu niscaya akan apa yang kamu ucapkan barusan? Yakin?”
“Aku pasti! Aku yakin sejuta yakin! Kau yaitu puteri anakku Luhpiranti!”
Hantu Lembah Laekatakhijau melangkah keluar dari dalam sungai. “Luhcinta…. Apakah kamu masih menyimpan benda yang kutemukan dalam kantong gendongan itu?”
“Saya masih menyimpannya Nek ,” jawab Luhcinta.
“Keluarkan dan perlihatkan padanya….”
Dengan tangan gemetar Luhcinta keluarkan kerikil merah yang diukir berbentuk bunga mawar kemudian diperlihatkannya pada Hantu Penjunjung Roh. Untuk kesekian kalinya si nenek terpekik kemudian jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya bergeletar. Asap berbentuk kerucut terbalik yang ada di atas kepalanya mengepul , tinggi kemudian turun lagi. Matanya yang merah dan juga berbentuk kerucut membesar aneh.
Luhmasigi alias Hantu Lembah Laekatakhijau mendongak ke langit. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Dengan bunyi tersendat ia menjelaskan. “Hiasan kepala berbentuk mawar merah terbuat dari kerikil itu kutemukan dalam kantong gendonganmu , wahai Luhcinta. Tergantung di dada wanita yang menggantung diri itu….”
Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh menggerung keras. “Ukiran bunga mawar kerikil merah itu dulunya yaitu milikku. Ketika anakku Luhpiranti menginjak remaja , hiasan rambut itu kuberikan padanya. Benda hiasan mirip itu cuma ada satu di Negeri Latanahsilam. Wahai Luhcinta. Kau… kamu yaitu cucuku sendiri. Luhpiranti yaitu anak sekaligus muridku. Luhpiranti itu ibumu…”
Luhcinta menangis keras. Lalu peluk tubuh si nenek kuat-kuat. Di tepi sungai kecil Hantu Lembah Laekatakhijau jatuh berlutut. Memperhatikan dua orang yang berpelukan dan bertangisan di depannya dengan seribu rasa.
Luhcinta usap air mata yang membasahi pipinya kiri kanan.
“Wahai Nenek Luhniknik , aku…. Walau akan hancur rasanya hati ini , apakah kamu mengetahui riwayat sedih mengapa hingga ibuku meninggal mengenaskan begitu rupa? Apia ia benar-benar bunuh diri atau ada orang jahat yang membunuhnya?”
“Hantu Penjunjung Roh ,” Hantu Lembah Laekatakhijau keluarkan ucapan. “Aku juga buta dengan latar belakang kematian wanita yang katamu berjulukan Luhpiranti itu. Wahai Luhniknik , jikalau kamu memang mengetahui riwayat hi tarn atau putihnya harap kamu suka menuturkan pada kami berdua….”
Hantu Penjunjung Roh usap mukanya berulang kali.
“Cucuku Luhcinta , saya memang tahu rahasia riwayat kematian ibumu. Tetapi apakah kamu bisa sabar mendengarnya jikalau saya memberi tahu?”
“Saya akan sabar Nek. Ceritakan padaku semuanya…” jawab Luhcinta.
“Karena jikalau kamu tidak sabar , tidak sanggup mendapatkan kenyataan saya khawatir kamu akan hancur dalam sedih berkepanjangan atau dendam kesumat hebat mengerikan!”
“Nek , apapun nanti yang akan terjadi harap jangan jadikan alasan untuk tidak menceritakan apa yang kamu ketahui. Betapapun juga itu yaitu rahasia diriku. Apakah kamu tega melihat diriku yang seolah sebatang kara ini karam terus dalam kegelapan seumur-umur?”
Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh memandang pada Nenek Lembah Laekatakhijau. Guru yang memelihara dan menggembleng Luhcinta semenjak kecil ini anggukkan kepala. “Ceritakan semuanya pada Luhcinta. Jangan ada yang disembunyikan. Bertahun-tahun saya menggembleng dan menempanya sehingga menjadi seorang gadis kokoh jasmani maupun rohani. Muridku akan sanggup mendapatkan kenyataan betapapun pahitnya….”
Si nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh menghela nafas dalam kemudian anggukkan kepala. “Baiklah , akan kuceritakan semuanya….”
*
* *

SEPULUH

Dua mata si nenek berjulukan Luhniknik yang berbentuk kerucut aneh itu melesak masuk ke dalam. Kelopak mata menutup. Beberapa dikala lamanya ia kelihatan duduk tak bergerak dengan mata terpejam. Sepertinya tengah berusaha. memusatkan pikiran , mungkin juga berusaha menguatkan hati.
Tak usang kemudian bersamaan dengan terbukanya dua mata itu meluncurlah kata demi kata dari lisan si nenek.
“Waktu itu hujan turun cukup lebat. Namun anehnya di langit kelihatan matahari bersinar terang. Selagi saya berusaha menepekuri kecacatan itu tiba-tiba muncul Luhpiranti , ibumu. Dia tampak gagah. Datang dengan menunggang seekor capung raksasa. Ini yaitu aneh. Aku bertanya-tanya dari mana ia mendapatkan tunggangan aneh itu. Ibumu memang telah berbuat kesalahan. Meninggalkan tempat kediaman lebih usang dari yang sudah kutentukan. Mungkin saya masih bisa memberi maaf. Namun ketika ia turun dari tunggangannya dan saya melihat keadaan sosok tubuhnya , rasanya tubuhku dipanggang. Darahku tersirap , nyawa seolah melayang ke langit ke tujuh. Bagaimana tidak! Kulihat ibumu dalam keadaan hamil! Aku murka besar dan pribadi mendampratnya….”
*
* *
“Hebat!” Sungguh luar biasa! Wahai Luhpiranti! Aku memberi kesempatan enam purnama padamu wahai anakku , untuk mencari pengalaman di dunia luar. Ternyata delapan belas purnama kamu menghilang tinggalkan tempat kediaman kita tanpa kabar tanpa berita! Mengembara boleh saja tapi jangan mengembara mirip orang gila. Tak ingat pulang tak ingat rumah! Dan kini sekalinya kamu pulang kulihat perutmu besar! Kau hamil wahai Luhpiranti! Kau mengandung!” Sepasang mata berbentuk kerucut merah nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh itu mencuat keluar. pari kepalanya yang ada asap berbentuk kerucut terbalik mengepul asap merah. Dengan bunyi bergetar Hantu Penjunjung Roh lanjutkan ucapannya.
“Luhpiranti , dirimu yang hamil apakah karena memang kamu telah bersuami atau akhir terperosok ke dalam jurang nafsu hinamu sendiri atau ada lelaki yang menodai dirimu? Lekas berucap! Katakan padaku!”
Luhpiranti jatuhkan diri. Karena perutnya yang besar ia tak bisa bersila , ia hanya berlutut saja di hadapan sang guru. Wajahnya yang bagus kelihatan merah dan sepasang matanya mulai berkaca-kaca.
“Wahai Bunda , saya sadar telah menciptakan banyak kesalahan besar. Saya tak tahu apakah harus memohon maaf lebih dulu atau meminta padamu untuk segera menjatuhkan hukuman! Apapun yang akan kamu lakukan terhadap saya akan saya terima dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala….” Lalu gadis hamil berjulukan Luhpiranti itu rapatkan dua telapak tangan di atas kepala.
Saat itu ingin sekali Hantu Penjunjung Roh menjenggut rambut muridnya. Namun melihat keadaan Luhpiranti yang hamil besar ia masih bisa menahan luapan amarah dan hanya membentak saja. “Lekas katakan apa yang terjadi Luhpiranti! Jangan kamu menciptakan kesabaranku hilang!”
“Bunda , sewaktu masa enam purnama yang kamu berikan berakhir , saya memang dalam perjalanan pulang. Namun di tengah jalan muncul satu halangan besar. Seorang yang rupanya telah usang menguntit saya unjukkan diri secara terang-terangan. Ternyata ia yaitu seorang cowok berwajah cakap bertubuh kekar. Dia mengaku berjulukan Lajundai.”
“Lajundai…. Aku mirip pernah mendengar nama itu. Teruskan dulu ceritamu Luhpiranti…” kata Hantu Penjunjung Roh.
Sang murid lanjutkan penuturannya. “Lajundai mengaku memang telah semenjak usang mengikuti saya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Walau dikala itu ia memperlihatkan sikap baik namun saya punya firasat cowok itu membekal niat yang tidak baik. Saya katakan saya memaafkan perbuatannya dan minta semoga ia tidak mengikutiku lagi. Ketika saya hendak meneruskan perjalanan ia berusaha menghalangi , Malah mengajak pergi ke satu tempat yang katanya penuh dengan pemandangan indah. Waktu saya menolak cowok itu marah. Belangnya tersingkap. Dia berusaha melaksanakan hal-hal yang tidak senonoh terhadap saya. Peringatan saya tidak di perdulikannya. Antara kami akhirnya terjadi perkelahian hebat. Ternyata cowok itu mempunyai ilmu silat dan kesaktian tinggi. Melebihi apa yang saya miliki. Saya bertahan hampir seratus jurus. Setelah itu saya tidak bisa lagi menghadapinya. Dalam keadaan tak berdaya Lajundai membawa saya ke satu tempat lalu….”
*
* *
“Dia memperkosamu!” kata Hantu Penjunjung Roh dengan bunyi bergetar , muka mengelam dan sepasang mata kerucut melesat keluar sementara di atas kepalanya yang ada kerucut aneh kepulkan asap merah.
Luhpiranti menggeleng.
“Anak yang kamu kandung itu yaitu anak si jahanam berjulukan Lajundai itu!” kata Hantu Penjunjung Roh lagi.
Kembali Luhpiranti menggeleng. “Maksud keji Lajundai mungkin akan terealisasi , malapetaka dan malu besar akan menimpa diri saya kalau saja dikala itu tidak muncul secara tiba-tiba seorang cowok gagah menolong saya. Pemuda itu menyerang Lajundai. Antara mereka terjadi perkelahian hebat selama belasan jurus. Rupanya Lajundai kalah ilmu. Dalam keadaan babak belur akhirnya ia melarikan diri. Saya mengucapkan terima kasih pada cowok yang menolong. Mengingat ia telah menanam budi dan sikapnya sangat baik serta lapang dada , saya tidak menolak sewaktu ia menyampaikan ingin mengantarkan saya kembali ke tempat kediaman guru. Kami sengaja mengambil jalan pintas semoga bisa lekas sampai. Namun di tengah jalan kami dilanda hujan lebat yang turun terus menerus selama beberapa hari disertai banjir besar. Kami terpaksa mencari proteksi di dalam sebuah goa di puncak bukit. Di tempat itu kami… ,” Luhpiranti tersendat sesaat. Kepalanya tertunduk dan sepasang matanya menatap sayu ke tanah. “Di dalam goa kami melaksanakan sesuatu yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah menjadi suami istri.
Kami….” Luhpiranti teteskan air mata tapi cepat diusapnya. “Begitu sadar kalau kami telah melaksanakan satu kesalahan dan dosa besar kami berdua menjadi sangat takut. Walau cowok itu menyampaikan akan bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya dan bersumpah tidak akan meninggalkan saya , namun saya begitu takut hingga tidak berani meneruskan perjalanan pulang. Lebih-lebih ketika saya menyadari bahwa akhir hubungan di dalam goa itu ternyata saya , telah mengandung. Kami memutuskan menemui seorang nenek yang biasanya menjadi ketua watak pernikahan. Kami meminta pertolongan nenek itu untuk menikahkan kami dengan beberapa orang saksi. Kami kemudian dinikahkan. Sementara itu cowok yang telah menjadi suami saya berulang kali membujuk semoga saya mau menemui guru….”
“Mengapa ia tidak membawamu menemui orang tuanya saja?!” memotong Hantu Penjunjung Ron.
“Menurutnya ia tak punya ayah lagi , ibunya pun ia tidak tahu berada dimana. Entah masih hidup atau sudah mati ,” jawab Luhpiranti. “Setelah berulang kali mendesak dan membujuk akhirnya saya mau juga mengikuti ajakan suami saya. Datang menemui Bunda di sini….”
Hantu Penjunjung Roh menatap anak yang sekaligus muridnya itu beberapa dikala kemudian melangkah mondar-mandir. Dari mulutnya tiada henti keluar bunyi tak terperinci karena hanya gumamnya saja yang kedengaran. Tiba-tiba ia membalik , memandang kepada anaknya. “Luhpiranti , kamu belum menyampaikan siapa nama cowok suamimu itu!”
“Dia berjulukan Latampi wahai Bunda….”
“Siapa?!” Suara Hantu Penjunjung Roh keras luar biasa menciptakan Luhpiranti tersentak kaget. Ketika Luhpiranti angkat kepalanya memandang sang ibu , ia melihat bagaimana wajah ibunya berubah pucat.
“Suami saya berjulukan Latampi , wahai Bunda.”
Kini Luhpiranti melihat terperinci bagaimana tubuh ibunya bergeletar keras dan wajahnya bertambah pucat. “Luhpiranti , kamu tiba dengan menunggang seekor capung sakti. Pasti hewan ini milik suamimu.” Luhpiranti membenarkan.
“Dia menyuruhmu tiba bersama seekor capung! Dia sendiri tidak kemari! Tidak berani unjukkan muka! Suami macam apa ia wahai Luhpiranti? Pengecut! Tidak punya rasa tanggung jawab!”
“Bunda , gotong royong kami tiba berdua. Tapi tak jauh dari sini saya minta ia turun dari capung dan menunggu. Saya khawatir begitu pribadi bertemu , Bunda akan khilaf melaksanakan sesuatu padanya….”.
Hantu Penjunjung Roh pelototkan mata anehnya. “Aku mau murka atau tidak , saya mau menggebuknya atau tidak itu hakku!” kata Hantu Penjunjung Roh pula. “Sekarang lekas kamu panggil suamimu itu! Aku mau lihat bagaimana tampangnya!”
“Bunda , kalau kamu mau berjanji….”
“Setan alas! Aku tidak mau berjanji apa-apa! Kalau saya mau menghajar akan saya lakukan! Siapa yang berani menghalangi? Kau?!”
Walau galau akhirnya Luhpiranti melangkah mendekati capung raksasa yang tadi ditungganginya. “Laecapung , pergilah temui suamiku Latampi. Bawa ia kemari….”
Capung raksasa putar kepalanya ke kiri dan ke kanan tanda mengerti. Lalu sekali hewan ini kepakkan sayap-sayapnya , tubuhnya yang raksasa membumbung ke angkasa. Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh sesaat tegak termangu. Hatinya berulang kali berkata.
“Nama bisa saja sama… nama bisa saja sama. Aku berharap… wahai!”
“ Tak usang menunggu Laecapung muncul kembali membawa penunggang seorang lelaki muda berwajah gagah. Begitu turun dari capung lelaki ini pribadi jatuhkan diri , berlutut di depan Hantu Penjunjung Roh.
Sepasang mata kerucut Hantu Penjunjung Roh yang gotong royong berjulukan Luhniknik ini memandang tak berkesip , menatap wajah suami anaknya itu. Dalam hati ia berkata dengan ada penuh guncangan. “Demi semua Dewa dan semua Peri. Wahai! Mengapa wajahnya sama benar dengan Lasegara , suami keparat itu….”
“Orang muda benar kamu berjulukan Latampi?! Benar kamu telah menikahi anakku Luhpiranti walau bunting duluan?!”
Wajah lelaki muda di hadapan Hantu Penjunjung Roh kelihatan menjadi merah. Tanpa angkat kepalanya orang ini anggukkan kepala. “Benar wahai Ibunda…. Saya berjulukan Latampi dan Luhpiranti yaitu istri saya. Saya tiba untuk meminta maaf….”
“Jangan bicara segala maaf dulu! Aku ingin menyelidik perihal dirimu! Siapa nama ibumu? Dimana ia sekarang?!”
“Maafkan saya Ibunda. Saya tidak tahu siapa nama ibu saya dan dimana ia berada sekarang. Ayah tidak pernah menyampaikan apa-apa.”
“Lalu siapa nama ayahmu?” tanya Luhniknik yang dikala itu mendadak saja merasa dadanya sesak.
“Ayah berjulukan Lasegara ,” jawab Latampi.
Dua kaki Hantu Penjunjung Roh tersurut dua langkah. Dari tenggorokannya keluar bunyi parau. Mata kerucutnya melesat keluar kemudian masuk kembali.
Tubuhnya huyung.
“Bunda , wajahmu pucat sekali. Apakah kamu sakit wahai Bunda?” tanya Luhpiranti sambil berdiri berdiri dan memegang lengan Luhniknik.
“Aku tidak apa-apa…” ucap Luhniknik. Suaranya terperinci terdengar bergetar. “Latampi , berdirilah. Putar tubuhmu! Hadapkan punggungmu ke punggungku!” Tiba-tiba Luhniknik berkata.
Walau tidak mengerti apa maksud mertuanya itu namun Latampi lakukan apa yang dikatakan. Luhniknik ulurkan tangannya.
“Breeettt!”
Pakaian kulit kayu Latampi robek besar di sebelah belakang. Punggungnya tersingkap lebar. Di punggung itu ada tanda hijau sebesar telapak tangan. Melihat tanda ini Luhniknik mirip melihat setan kepala sepuluh. Dia menjerit keras sambil mundur menjauh.
“Bunda…. Ada apa?!” seru Luhpiranti cepat memburu.
“Latampi…. Kau… kamu adalah…. Wahai para Dewa! Wahai para Peri! Mengapa hal ini bisa terjadi!”
“Bunda….”
“Latampi , kamu yaitu anakku. Kau yaitu darah dagingku! Luhpiranti yang kamu jadikan istrimu ini yaitu adik kandungmu….” Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh keluarkan satu teriakan dahsyat kemudian roboh tak sadarkan diri. Luhpiranti dan Latampi laksana mendengar bunyi halilintar. Keduanya berteriak pula kemudian menubruk tubuh Luhniknik.
Mendengar kisah yang dituturkan si nenek , Luhcinta sang cucu pribadi meratap keras dan jatuhkan diri , bersimpuh di kaki neneknya itu. Hantu Penjunjung Roh pejamkan mata sambil usap-usap kepala cucunya sementara si Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau tegak termangu-mangu dengan mata berkaca-kaca. Ribuan katak yang ada di lembah seolah mengerti. Kalau tadi mereka mengorek keluarkan bunyi hiruk-pikuk , kini semuanya membisu tak bergerak tak bersuara hingga hanya ratap tangis Luhcinta yang terdengar di lembah itu.
“Wahai Nenek Hantu Penjunjung Roh ,…” Luhcinta berucap diantara tangis nya. “Kalau benar saya ini anak Latampi dan Luhpiranti , kemudian anak apa saya ini sebenarnya? Saya lebih hina dari anak haram….”
Hantu Penjunjung Roh yang berada dalam keadaan terguncang hebat tak bisa menjawab. Hantu Lembah Laekatakhijau akhirnya yang bersuara. “Wahai muridku Luhcinta. Di dunia ini gotong royong tidak ada yang dinamakan anak haram. Semua itu terjadi atas kehendak takdir. Jangan kamu menganggap dirimu hina. Perjalanan hidup seseorang sudah ada garisnya. Dirimu sama sucinya dengan air embun yang turun dari langit….”
“Wahai dua nenek yang kukasihi. Bagaimana saya bisa hidup menanggung beban berat begini rupa. Berat gunung mungkin bisa saya pikul. Tapi berat beban batin mungkin akan menghancurkan diri saya….”
“Luhcinta! Jangan kamu berkata begitu! Kau yaitu muridku Hantu Lembah Laekatakhijau. Berbilang tahun saya menggembleng menjadi insan yang kokoh jasmani dan rohani. Apakah kamu akan membiarkan dirimu hancur menghadapi gres satu cobaan ini? Jangan kamu menciptakan saya malu wahai muridku!”
Mendengar kata-kata gurunya itu Luhcinta jadi tersendat tangisnya. Dadanya menggemuruh. Jiwanya nuraninya berguncang hebat. Tak tahu apalagi yang hendak dikeluarkannya dalam ratapannya. Dia mendengar gurunya berkata pada neneknya Hantu Penjunjung Roh.
“Luhniknik , ceritamu tadi cukup panjang. Namun belum hingga ke ujung yang memberi tahu bagaimana insiden selanjutnya dengan ibu muridku yang berjulukan Luhpiranti itu. Bagaimana hingga insiden itu bisa terjadi? Bagaimana hingga Luhpiranti tidak tahu kalau ia punya seorang kakak berjulukan Latampi….”
“Kau benar Luhmasigi. Akan kuceritakan pada kalian berdua…” jawab Luhniknik pula. “Ketika Latampi dan Luhpiranti masih kecil , waktu itu mereka gres berusia sekitar dua dan satu tahun. Aku dan suamiku Lasegara berpisah. Luhpiranti tetap bersamaku sedang Latampi dibawa oleh Lasegara. Selama belasan tahun hingga ke dua anak kami menjadi remaja , kami maupun bawah umur tak pernah bertemu satu sama lainnya….”
“Kau tak pernah menyampaikan pada Luhpiranti bahwa ia gotong royong punya seorang kakak kandung berjulukan Latampi…” ujar Nenek Hantu Lembah Katak.
Itulah dosa dan kesalahanku. Jadi…. Jika dalam insiden ini ada yang bersalah maka akulah orangnya. Dan si jahanam Lasegara itu…” kata Luhniknik.
“Lalu apa yang kemudian terjadi? Luhpiranti ibu muridku ini hati gantung diri? Kau tidak tahu…. Tidak berusaha mencegah nya?”
“Ketika saya sadar dari pingsan , kudapati Luhpiranti dan Latampi tak ada lagi di tempat itu. Capung sakti juga lenyap. Berarti mereka sudah kabur entah kemana. Beberapa waktu kemudian saya menyirap kabar wacana adanya mayat wanita muda yang mat! tergantung di rimba belantara. Aku tidak begitu menaruh perhatian karena tidak akan menyangka sehabis melahirkan anak Luhpiranti kemudian mati menggantung diri…. Saat itu waktuku lebih banyak tersita dalam menuntut ilmu kesaktian. Aku berhasil mendapatkan ilmu aneh dan langka mirip yang kalian lihat. Di kepalaku ada kerucut asap merah. Aku berhasil mendapatkan ilmu tetapi saya menelantarkan anak-anakku sendiri…”
“Sudahlah , kamu tak usah terlalu menyalahi dan menyesali diri sendiri Luhniknik. Itu sebabnya saya tak pernah mau kawin. Kalau pria dan wanita sudah tahu nikmatnya bergaul satu sama lain , segala macam urusan aneh bisa muncul dan menciptakan diri tak karuan….”
Dua nenek itu menunggu hingga Luhcinta reda tangisnya. Lalu Luhmasigi alias Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau bertanya. ”Muridku , saya tahu kamu niscaya bisa sabar menghadapi kenyataan ini. Yang saya tidak tahu apa yang bakal kamu lakukan sekarang?”
“Wahai , memang itu juga yang ingin saya ketahui cucuku Luhcinta ,” kata Hantu Penjunjung Roh pula.
Walau gotong royong di dalam hatinya sudah ada tekad yang muncul namun sehabis agak usang berdiam diri gres Luhcinta berkata. “Dengan izin guru dan nenek saya akan mencari jejak dimana beradanya makam ibunda Luhpiranti. Lalu saya akan mencari Latampi. Dia yaitu paman , sekaligus ayah saya. Saya juga akan mencari makhluk berjulukan Lajundai itu. Dia pangkal karena terjadinya insiden besar ini….”
“Hemmm…. Kalau saya jadi engkau , saya niscaya akan melaksanakan a pa yang barusan kamu katakan itu ,” kata Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Cucuku Luhcinta , kamu memang harus mencari makam ibumu hingga dapat. Kau juga harus mencari ayahmu Latampi. Dalam mencari Lajundai berhati-hatilah. Puluhan tahun silam saya pernah menyirap kabar bahwa insan itu tengah berusaha mendapatkan satu ilmu yang sangat hebat. Kalau dikala ini ia masih hidup niscaya ia telah menguasai ilmu itu.”
“Terima kasih atas pesan yang tersirat Nenek dan Guru. Kapankah saya boleh meninggalkan tempat ini?”
“Kau boleh pergi kapan saja kamu suka!” jawab Hantu Penjunjung Roh.
“Kalau begitu izinkan saya pergi kini juga wahai Nenek dan Guru….”
“Doaku bersamamu wahai cucuku…” ujar Hantu Penjunjung Roh.
“Doaku juga bersamamu Luhcinta!” kata Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau.
Luhcinta berlutut dan cium tangan nenek serta gurunya.”
Tak usang sehabis Luhcinta pergi , Hantu Penjunjung Roh berpaling pada Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Luhmasigi , apa kamu cukup memberi bekal ilmu pada cucuku? Kau tahu dunia ini penuh seribu satu macam mara ancaman dan tipu daya….”
“Kau tak usah khawatir Luhniknik. Luhcinta yaitu murid tunggalku. Semua ilmu yang saya miliki sudah kuwariskan padanya….”
“Jangan-jangan kamu hanya mengajarkan ilmu tidur dengan katak!” ujar Hantu Penjunjung Roh sambil menyeringai.
“Wahai Luhniknik. Ada satu hal ingin saya katakan padamu. Tidur dengan katak lebih nikmat dari pada tidur dengan laki-laki. Hik… hik… hik!”
“Jadi itu rupanya karena kamu tidak pernah kawin dengan laki-laki! Hik… hik… hikkkk!”
Dua nenek itu sama-sama tertawa terkekeh-kekeh.
*
* *

SEBELAS

Selama perjalanan di dalam hutan hingga keluar lagi dari hutan , orang-orang itu tak banyak bicara. Mereka seolah karam dalam alam pikiran masing-masing. Lakasipo malah lebih suka menuntun Laekakienam dari pada menunggang kuda berkaki enam itu.
“Aneh , saya tak bisa melupakan gadis itu…” bisik Naga Kuning perlahan sekali semoga tidak ada yang mendengar.
Si kakek Setan Ngompol yang dibisiki akal-akalan tolol. “Gadis yang mana? Luhkimkim maksudmu..?”
“Bukan! Gadis berbaju biru tadi. Itu…. Yang berjulukan Luhcinta….”
“Hemmm…. Dia memang bagus sekali. Terus terang saya juga selalu ingat-ingat dirinya ,” kata Setan Ngompol sambil menyeringai.
Apa yang dibicarakan ke dua orang itu walau berbisik-bisik gotong royong didengar oleh Wiro. tapi ia berpura-pura tidak tahu. Malah ia berkata pada Lakasipo. “Sobatku Hantu Kaki Batu! Sejak tadi kamu kulihat berjalan setengah melamun. Apa yang ada dalam benakmu?! Siapa yang kamu pikirkan?!”
“Aku tidak melamun. Aku tidak memikirkan siapa-siapa!” jawab Lakasipo tetapi mukanya menjadi merah. Karena gotong royong dikala itu ia memang tengah bengong mengingat-ingat Luhcinta!
Wiro usap-usap perut Lakasipo hingga lelaki ini menggeliat kegelian. “Sobatku , jangan kamu menipu diri sendiri. Aku tahu semua kita yang ada di sini termasuk sobat kita Hantu Jatilandak niscaya tengah mengingat membayang-bayang wajah bagus jelita gadis berjulukan Luhcinta itu…. Kalian jangan ada yang berpura-pura. Benar lean?”
Semua yang ada di situ sama-sama tertawa lebar.
“Dengar , apa kalian masih mau ketemu dengan gadis itu?”
“Tentu saja mau! Tapi kita tidak tahu ia pergi kemana!” Yang menjawab Naga Kuning.
“Kalau ia suka bertemu kita , kalau tidak bagaimana?” tanya Setan Ngompol.
“Kalau tidak suka paling-paling tidak suka padamu!” kata Naga Kuning pula. Membuat si kakek merengut marah. ,
“Aku bisa menduga kira-kira kemana gadis itu perginya!” kata Wiro pula seraya rangkapkan dua tangan di depan dada.
“Kemana?!” Beberapa lisan bertanya hampir berbarengan.
Wiro tersenyum. “Lakasipo , kamu tahu rumah wanita tukang mengawinkan orang di Negeri Latanahsilam itu? Siapa namanya nenek satu itu?”
“Aku tahu tempat kediamannya. Namanya Lamahila. ,.” menerangkan Lakasipo.
“Gadis itu niscaya menuju ke sana!” kata Wiro pula.
“Bagaimana kamu bisa menduga begitu?” Hantu Jatilandak untuk pertama kalinya bersuara.
“Waktu ia bertanya padamu wacana apakah ada orang yang bisa memberi petunjuk kesaksian bahwa Luhpiranti benar-benar istri Latampi , bukankah kamu menyampaikan bahwa orang itu yaitu Lamahila. Nenek tukang mengawinkan orang di Latanahsilam! Nah , terperinci Luhcinta ingin membuktikan dan mengetahui dari si nenek langsung. Jelas ia akan mencari Lamahila….”
“Jelas pula kita akan menemuinya di sana!” sambung Naga Kuning.
“Kau mungkin benar sobatku Pendekar 212.”
“Bukan mungkin tapi pasti!” kata murid Sinto Gendeng pula seraya garuk kepala. “Agar lebih cepat hingga ke sana , sebaiknya kita tunggangi saja kuda kaki enammu. Eh , apa kita semua bisa naik?”
“Pasti bisa!” jawab Setan Ngompol. “Tapi sobat kita Hantu Jatilandak apa mungkin duduk di atas punggung Laekakienam dan kuda itu tidak bakalan luka tertusuk duri-durinya?!”
“Pasti bisa!” kata Hantu Jatilandak pula. Lalu ia usap kepingan belakang tubuhnya hingga ke kaki. Serta merta puluhan duri-duri lancip yang melekat di tubuhnya rebah sama datar dengan kulitnya.
“Hebat juga mitra kita satu ini ,” kata Naga Kuning memuji. Lalu ia berbisik pada Wiro. “Menurutmu apa duri yang ada di tubuh Hantu Jatilandak itu tumbuh hingga ke dalam-dalam…?”
“Dalam-dalam mana maksudmu Naga Kuning?”
“Maksudku duri itu juga tumbuh di kepingan anunya….”
“Kalau itu kamu tanya saja pribadi kepadanya. Atau minta Lakasipo semoga kamu diceploskan ke balik celananya!” jawab Wiro sambil menyeringai.
“Walah! Bisa jadi saringan tubuhku!” kata Naga Kuning pula.
*
* *
Dugaan Wiro Sableng tidak meleset. Ternyata Luhcinta memang pergi ke Latanahsilam mencari rumah kediaman nenek berjulukan Lamahila itu. Walau gadis ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sanggup menciptakan ia berlari sangat cepat namun Latanahsilam cukup jauh. Paling cepat menjelang malam gres ia akan sampai.
Sepanjang perjalanan ia mengingat-ingat semua pengalaman dan insiden yang dialaminya semenjak ia meninggalkan lembah tempat kediaman gurunya hingga ia ditolong oleh Hantu Penjunjung Roh yang ternyata yaitu neneknya sendiri. Kemudian gadis ini teringat pada Lakasipo dan tiga kawannya.
“Tiga insan kerdil itu. Entah mengapa saya selalu saja ingat pada yang satu. Pemuda kerdil konyol berjulukan Wiro itu. Kalau selesai urusanku di Latanahsilam dan saya tahu niscaya bahwa saya ini anak yang dilahirkan Luhpiranti dan ayahku memang lelaki berjulukan Latampi , saya akan berusaha menemui Hantu Raja Obat. Mudah-mudahan saja ia bisa menolong membesarkan tiga orang kerdil itu.”
Tepat ketika sang surya menggelincir ke ufuk tenggelamnya Luhcinta dengan diantar oleh seorang anak kecil hingga di depan pintu rumah kediaman Lamahila. Setelah mengucapkan terima kasih gadis ini memperhatikan keadaan rumah kayu di tengah tempat peladangan itu. Pohon-pohon besar tumbuh di beberapa tempat. Bayang-bayangnya menciptakan keadaan di depan rumah menjadi gelap. Luhcinta mengetuk pintu seraya berseru.
“Nenek Lamahila , apakah kamu ada di dalam?!”
Tak ada jawaban.
Luhcinta mengetuk kencang dan memanggil lebih keras. ”Siapa di luar?” Tiba-tiba terdengar bunyi orang di dalam rumah.
“Saya Luhcinta. Datang dari jauh untuk satu keperluan!”
“Apa kamu hendak minta dikawinkan?!” Orang di dalam rumah bertanya.
Luhcinta tersenyum. “Aku tiba untuk urusan lain. Ada satu hal yang ingin kutanyakan!”
“Kalau begitu masuklah wahai tamu dari jauh. Pintu tidak dikunci!”
Luhcinta mendorong daun pintu yang serta merta mengeluarkan bunyi berkereketan begitu terbuka. Masuk ke dalam rumah gadis ini dapatkan keadaan agak gelap. tak ada lampu minyak atau obor. Dia tegak sesaat untuk membiasakan penglihatannya. Bagian dalam dari rumah yang cukup besar itu hanya merupakan satu ruangan terbuka. Di sudut kanan bersahabat sebuah tempayan besar ada satu kursi terbuat dari kayu. Di atas kursi inilah Luhcinta melihat sesosok tubuh duduk terbungkuk-bungkuk membelakanginya.
“Nenek Lamahila…” tegur Luhcinta ,
Yang disapa keluarkan bunyi bergumam kemudian batuk-batuk. Luhcinta melangkah mendekati sosok yang duduk. ternyata orang ini mengenakan sehelai kerudung kulit kayu hingga hampir seluruh wajahnya tertutup. Apalagi di dalam rumah keadaannya gelap hingga ia tidak sanggup melihat terperinci wajah si nenek.
“Nenek Lamahila , maafkan kalau saya mengganggu dirimu. Agaknya kamu dalam keadaan kurang sehat. Dengar , saya tidak akan lama. Saya….”
Luhcinta hentikan ucapannya ketika tiba-tiba si nenek keluarkan bunyi tawa mengekeh kemudian singkapkan kerudung yang menutupi wajahnya!
Terkejutlah gadis ini begitu melihat kepala dan wajah yang tersingkap itu. Dia tidak melihat wajah seorang nenek tapi satu kepala berbentuk kepala macan tutul!
“Hantu Seratus Tutul!” seru Luhcinta dan cepat melompat mundur.
Suara kekehan sosok di atas kursi kayu berganti dengan bunyi mirip macan menggereng. Makhluk ini memang bukan lain yaitu Hantu Seratus Tutul yang sebelumnya telah melarikan diri dari rimba belantara sehabis dikeroyok oleh Lakasipo , Hantu Jatilandak dan Luhcinta. Karena ia mendengar percakapan Lakasipo dengan Luhcinta , mirip Wiro Hantu Seratus Tutul ini bisa menduga bahwa cepat atau lambat Luhcinta akan mencari nenek berjulukan Lamahila itu. Maka Hantu Seratus Tutul mendahului mendatangi tempat kediaman si nenek. Pada dikala mana nenek Lamahila tidak berada di rumah.
“Waktu di hutan kalian mengeroyokku. Sekarang kita berhadapan satu lawan satu wahai gadis berjulukan Luhcinta. Kalau kamu turuti apa mauku kamu tidak akan ku apa-apakan! Tapi jikalau kamu melawan nasibmu lebih jelek. Kau akan kubunuh hingga saya merasa puas! Wahai Luhcinta , mengapa kita tidak berbaik-baik dan berbuat cinta? Kau tiba kemari , bukankah sengaja mencariku?”
Luhcinta tersenyum.
“Wahai Hantu Seratus Tutul! Kekejian rupanya masih ada dalam benakmu. Nafsu kotor masih mengalir dalam darahmu! Aku kemari bukan mencarimu. Tetapi mencari nenek Lamahila….”
“Orang yang kamu cari tidak ada di rumah. Dia tidak akan kembali hingga besok pagi. Kau boleh menunggu. Lalu sambil menunggu bukankah kita lebih baik bersenang-senang? Di sudut sana ada sebuah ranjang. Walau terbuat dari kayu tapi alasnya jerami kering yang lembut….”
“Kalau pemilik rumah tidak ada , saya terpaksa pergi dulu. Kau boleh tinggal di sini. Seorang diri…!” Luhcinta kemudian balikkan tubuh , melangkah ke pintu. Tapi cepat sekali kakek yang tubuhnya berbentuk macan Tutul itu menghadang langkahnya.
“Jangan menciptakan kesabaranku hilang wahai gadis cantik. Lekas tanggalkan pakaianmu…!”
“Wahai! Kau rupanya sudah terlalu jauh dirasuk nafsu keji dan kotor. Aku minta jalan….”
“Aku minta tubuhmu!” jawab Hantu Seratus Tutul. Lalu ia menyergap.
Luhcinta segera dorongkan dua telapak tangannya. Gerakannya perlahan dan lembut. “Macan jejadian , hari sudah malam. Tidurlah….” Dua larik angin sangat sejuk berhembus menerpa Hantu Seratus Tutul. Orang ini terkejut besar ketika mencicipi tiba-tiba tubuhnya terdorong dan matanya menjadi berat. Rasa kantuk yang amat sangat menyerangnya. Perlahan-lahan tubuhnya huyung ke tanah.
“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku!” Hantu Seratus Tutul cepat sadarkan diri. Dia segera kerahkan tenaga dalam menolak kekuatan yang laksana mau menyirap tidur dirinya. Dari mulutnya melesat auman dahsyat yang menciptakan rumah kayu itu berderik-derik. Bersamaan dengan itu sosok tubuhnya bermetamorfosis lima. Lima insan berbentuk macan Tutul ini kemudian secara berbarengan menyerbu Luhcinta. Dua tangan keluarkan kuku-kuku hitam panjang. Membeset ganas ke arah wajah dan tubuh Luhcinta.
“Wahai Hantu Seratus Tutul , jikalau kamu inginkan saya mengapa kamu dan empat macan hendak melukai diriku!” Berseru Luhcinta. Tangan kirinya didorongkan ke depan. Tangan kanan menciptakan gerakan mengayun dari bawah ke atas sementara dua kaki borings dengan tumid menjejak tanah.
Empat rangkul angin sejuk menyambar ke depan. “Jika kesegaran tidak mendatangkan kesabaran maka berubahlah menjadi hawa panas!”
“Wusss… wusss!”
Dua larik angin yang tiba dari bawah serta merta menjadi panas luar biasa. Dua ekor macan tutul yang menerima serangan menggereng keras kemudian melompat. Yang satu sempat cidera karena sambaran angin panas. Daun telinganya sebelah kiri dan bulu-bulu kepala sekitar tengkuk kelihatan hangus mengepulkan asap! Makhluk ini meraung keras: Tanpa perdulikan rasa sakit ia kembali menyerbu Luhcinta bersama empat kawannya.
Murid nenek dari Lembah Laekatakhijau ini menghadapi semua serangan dengan tenang. Dua tangan dan dua kakinya bergerak tiada henti. Dia mirip seorang penari di atas panggung. Meliak-liuk lembut dan sesekali tiba-tiba menempelak lawan dengan pukulan yang sangat keras. Seekor lagi dari lima macan tutul itu cidera , hidungnya hancur.
Meski dua sahabat mereka sudah terluka namun tiga lainnya masih terus menyerbu. Malah bertambah beringas dan ganas. Luhcinta yang berkepandaian tinggi namun boleh dikatakan tidak punya pengalaman sama sekali lambat laun menjadi terdesak juga. Ketika gadis ini berkemas-kemas hendak mengeluarkan ilmu kesaktian yang disebut “Tangan Dewa Merajam Bumi” yang sanggup menciptakan para penyerang terbanting ke tanah dan lumpuh , tiba-tiba Hantu Seratus Tutul keluarkan suitan keras. Bersamaan dengan itu ia melesat ke depan seolah terbang. Empat sosok macan lainnya berguling lantai rumah.
“Seettttt!”
“Dess… desss… dess… dess!”
Luhcinta terpekik. Tubuhnya terjatuh ke tanah. Sebelum ia sempat menghantam tubuhnya telah jatuh tertelentang di lantai rumah. Dua tangan dan kakinya berada di dalam cekalan empat macan jejadian hingga sulit baginya untuk melepaskan diri. Kuku-kuku macan itu mencekam demikian rupa. Kalau ia bergerak sedikit saja maka akan lukalah keempat anggota badannya.
Hantu Seratus Tutul tertawa bergelak. “Luhcinta gadis bagus tapi keras kepala! Apakah kamu sudah siap untuk bercinta? Ha… ha… ha…?” Kakek bermuka dan bertubuh macan ini berjongkok di samping si gadis. Sepasang matanya berkilat-kilat. Lidahnya diulur berulang kali menjilati bibirnya. Tangannya bergerak ke dada Luhcinta. Sebelum ia berhasil menyentuh tubuh si gadis , tiba-tiba terdengar satu auman dahsyat. Membuat Hantu Seratus Tutul terlonjak kemudian jatuh terduduk di lantai. Sementara empat macan lainnya dongakkan kepala dan mengaum keras. Empat buntut mereka bergerak liar kian kemari. Sepasang mata mereka kemudian memandang besar ke dinding rumah sebelah kanan yang tiba-tiba jebol. Dari jebolan dinding tiba-tiba menyeruak muncul satu kepala harimau besar berbulu putih bermata hijau!”
*
* *

DUA BELAS

Ketika harimau putih melangkah ke arahnya Hantu Seratus Tutul berteriak pada empat macan tutul jejadian semoga segera menyerang. Empat macan tutul mengaum keras kemudian melompat menyergap harimau putih. Begitu menerima serangan , harimau putih tundukkan kepala. Dari sepasang matanya melesat dua larik sinar hijau. Dua macan tutul sebelah depan terpental melabrak dinding rumah. Dibarengi auman keras tubuh dua hewan ini bermetamorfosis asap dan akhirnya lenyap. Melihat insiden itu dua mitra mereka segera putar tubuh siap untuk larikan diri. Kembali dua larik sinar hijau membeset. Seperti tadi dua macan tutul terpental jauh , meraung keras kemudian berubah jadi asap!
Bulu tengkuk Hantu Seratus Tutul merinding dingin. Sekujur tubuhhya gemetar mirip diguyur air es .
“Harimau putih bermata hijau! Kau kesasar ke tempat yang salah! Lekas tinggalkan tempat ini kalau tidak mau kubunuh!”
Harimau putih tanpa perdulikan ancaman itu mengaum dahsyat kemudian melompat menyerang Hantu Seratus Tutul.
“Jangan bunuh orang itu!” Satu bunyi wanita berteriak. Ternyata Luhcinta. Gadis ini walaupun dirinya tadi hendak dinodai Hantu Seratus Tutul namun dalam keadaan mirip itu masih bisa timbul rasa kasihannya. Saat itu tubuh Hantu Seratus Tutul sudah ada dalam gigitan harimau putih. Sekali hewan ini mengatupkan rahangnya amblaslah tubuh kakek bermuka macan itu. Nyawanya tidak tertolong lagi. Namun teriakan Luhcinta tadi menciptakan harimau putih menahan gerakan mulutnya. Sesaat ia menatap si gadis. Lalu kepalanya diputar ke arah dinding rumah yang jebol. Binatang ini tak bergerak seolah menunggu seseorang.
Dari luar rumah terdengar bunyi teriakan. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau dengar ucapan gadis itu. Sampai terperinci apa maksudnya jangan bunuh orang dalam gigitanmu!”
“Duukkk… duukkkk… dukkkk.” Tanah terasa bergetar. Seolah ada raksasa yang melangkah di luar sana. Sesaat kemudian masuklah Hantu Kaki Batu ke dalam rumah. Diiringi Hantu Jatilandak. Di balik sabuk yang melintang di pinggang Hantu Kaki Batu tiga sosok kecil yaitu Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol berkemas-kemas melompat turun.
Luhcinta kerenyitkan kening kemudian mengulas senyum di bibir. “Wahai , salah satu dari mereka niscaya telah menolong diriku. Harimau besar bermata hijau ini agaknya yang berjulukan Datuk Rao Bamato Hijau ,” katanya dalam hati. Dia sama sekali tidak menduga kalau yang jadi tuan penolongnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Datuk Rao Bamato Hijau menggereng kemudian campakkan sosok Hantu Seratus Tutul yang dikala itu telah berubah kembali wujudnya menjadi seorang kakek-kakek. Beberapa kepingan tubuhnya tampak luka mengucurkan darah akhir gigitan harimau putih. Ketika melihat siapa-siapa yang tiba ia jadi bertanya-tanya mengapa ada diantara orang-orang itu mengeluarkan perintah semoga ia tidak dibunuh. “Berarti salah satu diantara mereka yaitu orang sakti dan mempunyai harimau putih itu…” pikir Hantu Seratus Tutul.
“Wahai Luhcinta , kami tidak mengerti mengapa kamu inginkan orang yang hendak melaksanakan perbuatan terkutuk atas dirimu dibiarkan hidup! Yang bicara yaitu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu.
Luhcinta cepat menjawab. “Membunuh orang yang tidak berdaya itu semudah membalikkan telapak tangan wahai sahabatku Lakasipo. Tetapi apakah kamu tidak tahu bahwa kematian tidak selamanya jalan keluar dari satu persoalan? Kekuatan kasih jikalau dipergunakan mungkin lebih menguntungkan dari pada pembunuhan….”
Walau tidak memahami akan ucapan si gadis namun Lakasipo jadi terdiam. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. “Tidak mengerti saya sifat gadis bagus ini. Sudah dua kali orang hendak mencelakainya. Masih saja ia unjukkan sikap sabar. Setiap ucapan dan tindakannya berdasarkan kasih. Tidak percuma ia berjulukan Luhcinta!”
Semua orang tak ada yang bicara. Mereka seolah menunggu dan ingin melihat apa yang hendak dilakukan Luhcinta. Gadis ini melangkah melewati Hantu Jatilandak , Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol. Di hadapan Lakasipo ia berhenti sebentar dan berkata. “Aku tidak mau orang itu dibunuh karena saya ingin mengorek keterangan lebih dulu darinya. Apa artinya kematian tak berkhasiat dibanding keterangan penting yang bisa kudapat….”
Lakasipo hanya anggukkan kepala. Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada Naga Kuning serta Setan Ngompol. Sebelum melangkah mendekati Hantu Seratus Tutul yang hingga dikala ini masih tergelimpang di lantai rumah , Luhcinta lebih dulu mendatangi Datuk Rao Bamato Hijau. Tanpa rasa takut diusapnya tengkuk hewan itu seraya berkata. “Wahai Datuk Rao Bamato Hijau. Aku Luhcinta mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi….”
Datuk Rao Bamato Hijau seolah senang mendengar kata-kata itu kemudian menjilat-jilat lengan si gadis. Luhcinta kemudian dekati Hantu Seratus Tutul. (Mengenai harimau sakti berjulukan Datuk Rao Bamato Hijau harap baca serial Wiro Sableng Wasiat Iblis terdiri dari 8 Episode).
“Orang bau tanah , ini dikala yang sempurna kamu harus menceritakan padaku siapa adanya Lajundai. Siapa penguasa Istana Kebahagiaan itu dan saya merasa kamu gotong royong yaitu kaki tangan seseorang….”
“Aku punya pendapat yang sama!” Tiba-tiba Hantu Jatilandak ikut bicara. “Kau hendak membunuh dan menguliti tubuhku! Siapa yang menyuruhmu….”
“Tidak ada! Tidak ada yang menyuruhku…!” kata Hantu Seratus Tutul.
“Wahai , jikalau kamu tidak mau bicara mungkin sekali ini saya sendiri yang akan meminta harimau sakti ini untuk membunuhmu!” kata Luhcinta. Waktu bicara suaranya tetap lembut bahkan disertai ulasan senyum di bibirnya.
“Gadis cantik….” Siapapun kamu adanya saya Hantu Seratus Tutul tidak berdusta.. ,.”
Luhcinta kembali tersenyum. “Kek , apakah kamu masih ingin mengajakku ke Istana Kebahagiaan? Bukankah penguasa istana itu yang menjadi majikanmu?” Sebenarnya Luhcinta hanya menduga-duga dan memancing saja. Namun ucapannya itu ternyata menciptakan berubah paras Hantu Seratus Tutul. Namun orang ini masih saja mengancing mulutnya.
“Aku juga tahu , kamu tahu banyak wacana insan berjulukan Lajundai. Hatiku sedih kalau kamu tidak mau bicara….” Luhcinta berpaling pada Datuk Rao Bamato Hijau. “Harimau sakti Datuk Bamato Hijau. Aku tak sanggup menolong kakek itu lagi. Terserah kamu mau berbuat apa terhadapnya!”
“Datuk Rao sahabatku! Kau telah mendengar ucapan gadis itu. Tunggu apalagi?!” Satu bunyi kecil berteriak. Luhcinta berpaling. Gadis ini terkejut ketika mengetahui yang barusan bicara yaitu Wiro , salah satu dari tiga orang bersosok setinggi lutut itu.
Datuk Rao mengaum keras. Dua larik sinar hijau memancar dari kedua matanya. Ketika hewan ini melangkah ke arahnya , putuslah nyali si kakek.
“Jangan! Tahan!” Si kakek berteriak. . “Ah , kamu akhirnya mau bicara juga…” kata Luhcinta sambil tersenyum. “Bicaralah. Tak perlu takut….”
“Memang… memang ada yang menyuruhku. Tapi bukan membunuhmu wahai gadis berjulukan Luhcinta. Aku hanya ditugaskan membunuh Hantu Jatilandak. Juga lelaki berkaki kerikil itu beserta tiga temannya manusia-manusia kerdil itu! Tapi saya tidak diperintahkan membunuhmu. Aku hanya kebetulan bertemu dengan kamu di tengah jalan. Terhadapmu saya hanya hendak melampiaskan….”
“Hantu Seratus Kutul!” berteriak Wiro.
“Namaku Hantu Seratus Tutul. Bukan Kutul!”
“Persetan Tutul atau Kutul!” hardik murid Sinto Gendeng. “Katakan siapa yang menugaskanmu membunuh kami-kami ini semua?!”
Hantu Seratus Tutul terdiam. Matanya memandang melotot pada Wiro. Murid Sinto Gendeng berpaling pada harimau putih. “Datuk Rao! Bunuh insan tidak berkhasiat itu!”
Harimau putih mengaum keras. Dua matanya pancarkan sinar hijau angker. Hantu Seratus Tutul jadi leleh nyalinya. Dia angkat kedua tangannya dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro yang tingginya kini sepinggangnya.
“Jangan suruh hewan itu membunuhku! Jangan…. Aku akan bicara. Aku akan katakan semua….”
Wiro angkat tangan , member] tanda pada Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti ini rundukkan kepala dan hentikan langkah.
“Yang memerintah saya membunuh gadis itu , juga semua kalian adalah…”
Belum sempat Hantu Seratus Tutul mengucapkan nama tiba-tiba berkiblat selarik sinar merah disertai deru angin laksana sambaran puting beliung. Semua orang berseru kaget dan berlompatan jauhkan diri. Hantu Seratus Tutul hanya keluarkan jeritan pendek. Lalu “wuuussss!”
Pendekar 212 berseru kaget ketika melihat sinar merah itu menghantam ke jurusan tempat ia dan Hantu Seratus Tutul berada. Sambil melompat selamatkan diri Wiro pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar putih perak menyilaukan mata menderu ke depan , berusaha menangkis hantaman cahaya merah! : “Dessss!”…”-
Wiro terguling di tanah. Dia cepat bangkit. Dadanya sesaat mendenyut sakit. Tangan kanannya mirip kesemutan. Walau tengkuknya agak masbodoh karena sangat tegang dan lututnya goyah namun ia bangga melihat kenyataan. Dalam keadaan tubuh yang tidak sebanding ia masih bisa melepaskan pukulan Sinar Matahari dan sanggup mendorong sinar merah hingga dirinya selamat. Tapi apakah memang ia yang hendak dihantam oleh pembokong gelap itu? Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat Hantu Seratus Tutul.
Ketika semua orang memandang ke tengah rumah , termasuk Wiro , mereka jadi merinding. Sosok Hantu Seratus Tutul hanya tinggal tulang belulang. Kulit dan daging tubuhnya terkelupas mengerikan!
“Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi!” seru Lakasipo yang mengenali pukulan yang telah menamatkan riwayat Hantu Seratus Tutul.
“Pukulan itu hanya dimiliki Hantu Muka Dual” berucap Pendekar 212. “Berarti ia barusan ada di sini. Membunuh si kakek karena tidak mau rahasianya terbuka….”
“Tunggu dulu. Menduga boleh saja. Tapi bersikap penuh selidik harus diutamakan ,” Luhcinta ikut bicara. “Mungkin juga bukan kakek ini yang jadi sasaran. Tapi salah satu dari kita…” berkata Luhcinta. “Atau mungkin penyerang gelap memang inginkan nyawa si kakek , tapi sekaligus juga mengincar nyawa sahabatku berjulukan Wiro Sableng itu!”
Sesaat semua orang jadi terdiam. Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.
“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini cepat-cepat ,” kata Setan Ngompol sambil pegangi kepingan bawah perutnya yang sudah berair kuyup oleh kucuran air kencing.
“Tunggu , kita perlu bicara. Mencari kejelasan siapa kira-kira orang di diam-diam yang mengatur perintah atas diri Hantu Seratus Tutul ,” kata Lakasipo.
“Juga mencari tahu siapa si pembokong sialan tadi!” kata Naga Kuning.
“Aku tetap berbesar duga si pembokong yaitu Hantu Muka Dua ,” berkata Lakasipo.
“Antara Hantu Seratus Tutul dan Hantu Muka Dua ada kesamaan ilmu yang bisa mengelupas atau menguliti tubuh manusia. Hanya bedanya kakek bermuka macan ini mengandalkan dua pisau kecil berbentuk arit sedang Hantu Muka Dua pukulan sakti berjulukan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Lalu si pembunuh Hantu Seratus Tutul niscaya sekali Hantu Muka Dua. Hanya ia yang mempunyai kesaktian yang mengerikan itu. Jelas karena Hantu Muka Dua tidak mau rahasianya tersingkap. Tapi dibalik semua itu kurasa ada hal lain yang hendak disembunyikan Hantu Muka Dua. Yang dikala ini sulit kuduga apa adanya. Dia membunuh Hantu Seratus Tutul dengan pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Berarti ia membiarkan atau sengaja memberi tahu bahwa dialah pelakunya….” Wiro berpaling pada Luhcinta kemudian berkata. “Hantu Seratus Tutul menyebut-nyebut Istana Kebahagiaan. Jangan-jangan Hantu Muka Dualah penguasa istana itu….” “Mungkin sekali!” kata Lakasipo. “Bukankah selama ini ia selalu mengumbar kata bahwa ia yaitu Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam?!”
“Selain itu!” Wiro rnenyambungi. “Mungkin sekali Hantu Muka Dua membunuh si kakek muka macan itu semoga ia tidak memberi keterangan wacana insan berjulukan Lajundai.”
“Kalau benar makhluk berjulukan Hantu Muka Dua itu yang jadi biang racun semua insiden ini , sungguh ia makhluk yang sangat keji. Akupun hampir dicelakainya….” Lalu Luhcinta menceritakan pertemuannya dengan Hantu Muka Dua yang membawanya ke tempat kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam.
“Sahabat kami Luhcinta ,” Setan Ngompol ikut bicara sehabis terus-terusan berdiam diri. “Waktu bertemu pertama kali kamu pernah menanyakan wacana beberapa orang. Yang masih kuingat antaranya Latampi , Luhpiranti…. Jika kamu mau memberi tahu siapa adanya orang-orang itu kemudian juga siapa adanya Lajundai , mungkin kita bisa mengembangkan pikir dan nalar untuk membantumu….”
“Betul , kamu juga menyebut satu nama yaitu Hantu Penjunjung Bakul… Maksudku Hantu Penjunjung Roh!” kata Wiro pula.
Luhcinta tersenyum. “Panjang ceritanya. Semua menyangkut riwayat diriku. Aku tak mungkin….”
“Bagaimanapun panjangnya kami bersedia dan ingin sekali mendengar ,” kata Lakasipo.
“Ya , betul. Walau hingga tujuh hari tujuh malam , kami akan mendengarkan penuturanmu!” ucap Naga Kuning pula.
Luhcinta tersenyum. Dia memandang ke arah Wiro seolah minta persetujuan. Hal ini menciptakan Lakasipo , Naga Kuning dan Setan Ngompol menjadi agak cemburu.
“Ada apa gotong royong antara kamu dengan gadis itu. Dari tadi kulihat ia terus-terusan memandangmu mirip kamu ini kecakepan saja!” bisik Naga Kuning.
“Mengapa salahkan diriku! Dia punya mata! Boleh saja melihat siapa saja. Mungkin matanya menjadi sepat kalau melihat dirimu atau si kakek itu. Jadinya saya yang dipandang-pandang…” jawab murid Sinto Gendeng sambil menyengir. Naga Kuning dan Setan Ngompol donggakkan kepala kemudian menoel puncak hidung masing-masing dengan jari telunjuk mengejek Wiro. Wiro sendiri dikala itu melangkah menghampiri Datuk Rao Bamato Hijau. Dia peluk leher harimau sakti ini dan ciumi kepingan kepalanya diantara dua mata. “Sahabat pelindungku Datuk Rao Bamato Hijau. Aku berterima kasih kamu bersedia kupanggil untuk menolong gadis itu. Kalau saja kita tidak cepat bertindak tentu dikala ini dirinya telah ternoda….”.
Datuk Rao Bamato Hijau kedip-kedipkan matanya. Lidahnya dijulurkan menjilati tangan Wiro.
“Datuk , saya dilarang membiarkanmu berlama-lama di tempat ini. Sekali lagi saya dan gadis itu mengucapkan terima kasih….”
“Datuk Rao Bamato Hijau , jikalau saya ingat padamu dan ingin bertemu apakah bisa?” tanya Luhcinta kemudian lezat saja ia ikut memeluki dan menciumi wajah sang datuk. Harimau putih itu keluarkan bunyi menggereng halus dan usap lengan Luhcinta dengan jilatan lidahnya. Si gadis tersenyum dan terpekik kecil kegelian.
“Selamat jalan Datuk…” kata Wiro.
Datuk Rao Bamato Hijau mengaum. Semua orang tergagau kaget. Pada dikala sosok harimau putih itu lenyap Wiro dan Luhcinta yang kini hanya memeluk angin sama-sama terjerembab dan pipi mereka saling bergeseran!
“Sialan si Wiro itu! Dia niscaya berpura-pura jatuh!” kata Naga Kuning berbisik pada Setan Ngompol.
“Anak itu rejekinya memang lebih besar. Kalau saja sosoknya sama besar dengan si gadis , lebih keenakan lagi dia! Lalu kita mau bilang apa?!” Setan Ngompol mencibir kemudian tertawa perlahan. “Dikata apa…?” jawab Setan Ngompol.
Dengan wajah agak kemerahan Luhcinta memandang berkeliling kemudian berkata.
Kita belum usang berkenalan. Tapi begitu banyak saling menanam budi. Aku percaya pada kalian semua sahabatku. Kalau memang kalian mau tahu , saya akan ceritakan riwayat diriku. Aku mulai semenjak diriku yang masih berusia dua bulan ditemukan seorang nenek sakti di dalam hutan. Di dalam satu kantong yang tergantung di tubuh seorang wanita muda yang mati menggantung diri….”
Selagi semua orang terkejut mendengar kata-kata si gadis , Luhcinta melangkah meninggalkan tern pat itu. Semua orang serta merta bergerak mengikuti. Di satu tempat yang sunyi yang dipilih sendiri oleh Luhcinta , gadis itu kemudian menuturkan riwayat dirinya.
*
* *

TIGA BELAS

Suasana hening sunyi menyelimuti tempat itu begitu Luhcinta selesai menceritakan riwayat kehidupannya. Lakasipo menatap si gadis dengan perasaan penuh haru. Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol tertunduk sedih. Bahkan kuda hitam berkaki enam milik Lakasipo yang ada tak jauh dari tempat itu tegak membisu mirip termenung , seolah turut larut dalam keharuan.
Dalam keadaan mirip itu ada bunyi prang menahan isak dan menarik nafas panjang berulang kali. Orang ini yaitu Hantu Jatilandak. Dia duduk di tanah tundukkan kepala. Wajahnya yang penuh duri berusaha ditutupinya dengan ke dua tangan.
“Hai , apa-apaan si Jatilandak itu!” bisik Naga Kuning pada Wiro dan Setan Ngompol. “Kita semua memang terharu mendengar riwayat sedih Luhcinta , tapi mengapa pakai sesenggukan segala….”
“Dia ingin diperhatikan gadis bagus itu. Kepingin disayang-sayang…” jawab Setan Ngompol seraya pencongkan mulutnya yang kempot.
Saat itu Luhcinta sendiri telah melangkah mendekati Hantu Jatilandak. Dipegangnya pundak Hantu Jatilandak kemudian berkata. “Wahai sahabatku yang gagah. Rupanya kesedihanku yaitu kesedihanmu juga….”
“Maafkan saya orang buruk yang berlaku kurang pintar ini. Wahai sahabatku Luhcinta , riwayatmu mengingatkanku pada diriku sendiri. Walau kini hatiku senang bahwa di dunia ini tidak saya sendiri yang bernasib malang , namun menghadapi kehidupan selanjutnya saya mirip berada di lautan kebingungan….”
“Apa yang membuatmu berperasaan mirip itu Hantu Jatilandak? Ingin saya mendengar untung perasaanmu , apakah juga sehebat derita nasib diriku…?”
“Sebenarnya saya meninggalkan pulau tern pat kediaman guruku Tringgiling Liang Batu bukan untuk bersuka-suka melihat dunia luar. Tapi dalam maksud mencari ayah dan ibuku. Menurut guru kedua orang tuaku telah kejatuhan peristiwa alam berupa kutuk dari para Peri di Negeri Atas Langit. Konon ayah yaitu seorang berjulukan Lahambalang , penduduk Latanahsilam sedang ibu yaitu Peri dari Negeri Atas Langit. Antara mereka gotong royong dilarang kawin. Tapi ayah dan ibu sudah demikian saling mencinta. Mereka melanggar pantang larangan. Ketika saya lahir ibu meninggal dan ayah lenyap entah kemana. Aku sendiri lahir dalam keadaan buruk mengerikan mirip ini….”
Semua orang , termasuk Naga Kuning dan Setan Ngompol yang tadi mencemooh Hantu Jatilandak jadi terdiam.
“Wahai Hantu Jatilandak , ternyata kita sama-sama mempunyai ganjalan dalam hidup ini. Aku , juga teman-teman di sini sangat ingin mendengar riwayatmu. Kalau kamu bersedia menceritakan…”
Hantu Jatilandak menatap wajah Luhcinta sesaat kemudian anggukkan kepala. (Mengenai riwayat Hantu Jatilandak harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak) Untuk ke dua kalinya semua orang yang ada di tempat itu ikut dalam haru sehabis mendengar kisah yang diturunkan Hantu Jatilandak. Mereka tidak menyangka begitu hebat kisah kehidupan cowok yang tubuhnya mulai dari kepala hingga ke kaki ditumbuhi duri-duri ibarat bulu landak itu.
“Wahai para sahabat ,” Lakasipo akhirnya keluarkan ucapan sehabis cukup usang mereka berdiam diri. “Ternyata kita semua termasuk diriku mempunyai ganjalan hidup. Rasanya sudah saatnya kita memusatkan perjuangan mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Siapa tahu ia bisa memberi petunjuk bagaimana saya bisa bebas dari dua kaki kerikil ini. Juga memberi petunjuk dimana beradanya ayah Luhcinta yang berjulukan Latampi itu. Siapa adanya Lajundai. Lalu dimana beradanya ayah Hantu Jatilandak yang berjulukan Lahambalang. Di mana pula makam ibunda Luhcinta serta makam ibunda Hantu Jatilandak. Juga sangat dibutuhkan Hantu Sejuta Tanya dan Sejuta Jawab bisa menolong tiga sahabatku ini semoga bisa kembali ke dunia seribu dua ratus tahun mendatang dari mana mereka berasal. Atau menolong menciptakan sosok mereka bisa Sebesar kita semoga keselamatan mereka tidak terus-terusan terancam. Sahabat kami Luhcinta , apakah kamu akan melanjutkan perjalanan seorang diri atau bergabung bersama kami mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”
Luhcinta jadi terdiam. Ditatapnya wajah Lakasipo beberapa usang kemudian ia berpaling pada Wiro.
“Lihat , lagi-lagi ia memperhatikan Wiro ,” bisik Naga Kuning.
“Sudah , biar saja ia mau melihat pada siapa ,” jawab Setan Ngompol. “Yang penting kalau ia mau ikut bersama kita niscaya asyik jadinya perjalanan kita….”
“Wahai Lakasipo dan semua sahabatku! Beruntung saya bertemu dengan kalian. Terus terang saja Negeri Latanahsilam ini sangat luas dan serba asing bagiku. Apalagi guru telah memberi ingat banyaknya hal yang bisa membahayakan diriku. Jika kalian tidak keberatan , saya mau ikut bersama kalian….”
Naga Kuning berseru gembira. Si Setan Ngompol berjingkrak-jingkrak tapi kemudian pegangi bawah perutnya yang mendadak berair lagi! Wiro garuk-garuk kepala melihat kelakuan dua temannya itu. Luhcinta tersenyum-senyum. Lakasipo melangkah mendekati kuda hitamnya. Ketika semua orang bersiap hendak pergi tiba-tiba mengumandang satu seruan disertai menghamparnya kedaluwarsa mirip rempah-rempah direbus. “
“Luhcinta sahabatku gadis tercantik di seluruh jagat! Jangan pergi dulu sebelum saya membayar hutang budi baikmu! Jangan bikin saya tidak bisa tidur tidak sedap makan! Bukan karena rindu atau jatuh hati padamu! Tapi karena ganjalan hutang piutang budi baik itu! Ha… ha… ha!”
Sesaat kemudian terdengar bunyi “beerrr… beerrr… beerrr!” Lalu muncullah seorang gemuk bermuka lingkaran , mengenakan pakaian panjang dan sangat gombrong terbuat dari anyaman rumput kering ibarat jerami. Di pipinya sebelah kiri ada satu tahi lalat besar atau tompel berwarna hi tarn ditumbuhi bulu-bulu hitam halus. Di atas kepalanya ada segulung kain ibarat sorban. Lalu hebatnya , di atas sorban ini ia menjunjung sebuah belanga besar terbuat dari tanah. Dari dalam belanga ini mengepul asap kecoklatan menebar kedaluwarsa harumnya rempah-rempah!
“Sahabatku kakek sakti berjuluk Hantu Seribu Obat!” seru Luhcinta begitu melihat siapa yang muncul di tern pat itu. “Hidup saling tolong menolong yaitu satu keharusan. Itu tandanya insan harus hidup berdasarkan kasih sayang satu sama lainnya. Mengapa kamu menganggap pertolonganku menyelamatkan dirimu tempo hari sebagai hutang budi segala. Aku harap kamu tidak lagi punya pikiran mirip itu….”
Yang disebut Hantu Seribu Obat tertawa lebar kemudian batuk-batuk. “Wahai…. Ternyata kamu punya banyak sahabat di tempat ini. Tapi Luhcinta , , saya sudah bersumpah tidak akan pergi dari tempat ini sebelum kamu meminta satu pertolongan apa yang kamu inginkan dariku! Aku bisa memberimu obat semoga tetap awet muda sejuta tahun….”
Luhcinta tertawa merdu mendengar kata-kata hantu bersosok gemuk itu.
“Aku tidak main-main…. Akan kuramu kini juga obat awet muda itu untukmu!” berkata Hantu Seribu Obat kemudian usap-usap tompel di pipi kirinya sementara tangan kanannya menyelinap ke balik jubah dan tahu-tahu ia sudah memegang sebuah gelas terbuat dari tanah.
“Tunggu!” kata Luhcinta. “Terima kasih kamu mau memberi obat gila itu untukku wahai Hantu Seribu Obat. Namun jikalau memang saya boleh meminta , bukan semata memenuhi permintaanmu sebagai balas budi , tapi untuk menolong orang lain. Bisakah kamu memperlihatkan obat semoga tiga sahabatku yang kecil-kecil ini menjadi besar sosok mereka? Besar mirip kita-kita ini..?”
Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol tentu saja terkejut tetapi bangga sekali mendengar kata-kata Luhcinta itu.
“Ya Tuhan! Ternyata besar sekali rejeki kita malam ini! Ada orang yang mau menolong kita!” ujar Naga Kuning.
“Kalau benar si gendut bertompel besar itu bisa menolong kita , ah! sungguh senang hatiku! Kita tidak akan dibayangi rasa takut celaka lagi. Dan saya akan mencari nenek bagus berjulukan Luhlampiri itu!”
“Husss!” Wiro pelototkan matanya pada Setan Ngompol. Tapi mulutnya menyeringai. “Belum apa-apa niatmu sudah buruk saja!” Setan Ngompol yang terkejut disentak pribadi pegang kepingan bawah perutnya.
“Kau punya tiga sahabat yang kecil-kecil katamu! Wahai apa mereka tiga kurcaci di bersahabat belukar itu?!”
“Sialan! Kita disebutnya tiga kurcaci!” maki Naga Kuning.
“Betul sekali wahai sahabatku Hantu Seribu Obat. Mereka masing-masing berjulukan Wiro , Naga Kuning dan Setan Ngompol. Kalau kamu bisa menolong saya sangat berterima kasih…” kata Luhcinta pula.
“Kami juga sangat berterima kasih!” menyambungi Wiro.
Hantu Raja Obat dekati ke tiga orang itu kemudian jongkok di hadapan mereka. “Hee…. Tidak sulit! Tidak sulit! Tapi ada syaratnya walau cuma gampang! Mereka harus sabar menunggu….”
“Walau bersiang bermalam hari , kami akan menunggu Kek!” kata Naga Kuning.
Hantu Seribu Obat menyeringai. Dia pejamkan kedua matanya. Dari mulutnya keluar bunyi merapal. Lama sekali ia berbuat mirip itu hingga semua yang ada di tempat itu diam-diam mulai merasa gelisah. Menjelang tengah malam dari balik jubah jeraminya Hantu Seribu Obat keluarkan sebuah gelas tanah. Lalu belanga berisi godokan rempah-rempah yang ada di atas kepalanya diturunkan. Hawa panas menyambar ke arah semua orang yang ada di tempat itu. Tapi Hantu Raja Obat lezat saja memegang belanga yang panas itu dengan tengah kirinya. Perlahan-lahan sambil terus merapal ia kucurkan cairan dalam belanga ke dalam gelas tanah. Gelas tanah kemudian diletakkannya di tanah di hadapan Naga Kuning.
“Kurcaci berjulukan Naga Kuning , ini obat untukmu. Jangan minum sebelum kuberi tahu saatnya!”
“Terima kasih Kek. Eh Bapak…” kata Naga Kuning.
“Aku bukan kakek apalagi bapakmu!” kata Hantu Seribu Obat tapi sambil tersenyum dan kedipkan mata….”
Dari dalam jubahnya Hantu Seribu Obat keluarkan gelas tanah ke dua. Seperti tadi diiringi rupakan mantera ia terangkan cairan dalam belanga ke gelas tanah , kemudian gelas tanah diletakkannya di depan Setan Ngompol.
“Kakek kedaluwarsa pesing. Ini batumu! Jangan minum sebelum kuberi tahu saatnya!”
“Hantu Seribu Obat , saya si Setan Ngompol mengucapkan ribuan terima kasih ,” kata Setan Ngompol seraya menjura.
Hantu Seribu Obat tertawa lebar. Lalu ia keluarkan gelas tanah ke tiga. Sebelum menerangkan cairan godokan rempah-rempah yang harum ke dalam gelas tanah itu ia perhatikan dulu wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu orang ini tersenyum. “Anak muda , saya melihat seribu nalar seribu rencana dalam benakmu. Tap! saya bangga nalar dan rencana itu semua menuju kepada yang baik-baik…. Bolehkah saya membisikkan sesuatu padamu?”
“Hantu Seribu Obat , aku….” Wiro terpaksa tidak teruskan ucapannya karena dikala itu Hantu Seribu Obat sudah membungkuk dan mendekatkan mulutnya ke telinganya. Lalu dengan bunyi sangat perlahan orang ini berkata. “Bagaimana kalau saya meramal sesuatu wacana dirimu wahai anak muda bertampang tolol , konyol tapi berhati polos….”
“Sil… silahkan saja. Aku suka mendengar…” kata Wiro.
“Ratusan orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada satu cowok yang berkenan di hatinya. Kau!”
Wiro undur melangkah dan tetap wajah besar Hantu Seribu Obat. “Gadis itu…. Maksudmu gadis yang mana? Siapa?”
“Anak setan! Ha… ha… ha! Bukankah begitu gurumu selalu memanggilku?!”
“Astaga! Bagaimana kamu bisa tahu?!” tanya Wiro dengan terkejut , lisan ternganga dan mata melotot.
Hantu Seribu Obat tertawa mengekeh hingga Wiro merasa tanah yang dipijaknya bergetar. “Sudahlah , kamu tak usah tanyakan hal itu. Sekarang….”
“Tunggu dulu. Kau belum menyampaikan siapa adanya gadis itu….”
“Siapa lagi kalau bukan si bagus tinggi semampai bertubuh ramping dan berwajah selagi tembus itu. Luhcinta!”
“Hantu Seribu Obat! Kau jangan bergurau….”
“Bergurau yang enak-enak apa salahnya! Lagi pula saya tidak bergurau padamu. Kau akan lihat kenyataan di kemudian hari. Bisa-bisa kamu lupa jalan pulang ke negeri asylum anak muda! Ha… ha… ha!”
Hantu Seribu Obat kembali jongkok dan mulai menerangkan cairan di dalam belanga ke gelas tanah ketiga. Gelas diletakkannya di depan Wiro seraya berkata. “Ini batumu. Jangan di minum sebelum saya beritahu saatnya!”
“Terima kasih Hantu Seribu Obat ,” kata Wiro seraya menjura dalam-dalam.
Hantu Seribu Obat kemudian duduk bersila di tanah. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit entah merapal apa dan tanpa suara. Makin larut malam makin masbodoh udara di tempat itu. Secara aneh kantuk mulai menyerang semua orang yang ada di situ. Secara aneh pula mereka mirip dihantui oleh rasa ketidaksabaran.
Setan Ngompol dan Naga Kuning menatap ke arah gelas tanah di hadapan masing-masing secara terus menerus dan sesekali mereka sating pandang. Wiro juga duduk bersila di tanah , sikapnya tenang. Matanya dipejamkan seolah bersamadi. Luhcinta duduk di bawah sebatang pohon. Sesekali memperhatikan wajah Pendekar 212 dari kegelapan. Hantu Jatilandak gotong royong ingin Luhcinta memintakan obat bagi dirinya semoga duri-duri di sekujur kepala dan tubuhnya bisa dilenyapkan. Tapi karena merasa sungkan ia menentukan membisu saja. Sebaliknya Lakasipo sengaja agak menjauhkan diri di satu sudut yang gelap. Sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya ia selalu menatap wajah jelita Luhcinta.
Menjelang dini hari hawa masbodoh semakin menjadi-jadi. Rasa kantuk hampir tak sanggup ditahan lagi. Hawa ketidaksabaran semakin menggila. Tiba-tiba Hantu Seribu Obat berdiri berdiri. Tanpa berkata apa-apa ia melangkah pergi dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan. Lama dinantikan tak kunjung kembali.
“Hantu Seribu Obat pergi begitu saja! Bagaimana dengan kita? Jika ia kembali tujuh hari kemudian apa kita harus menunggu dan gres minum obat itu sehabis mendapatkan tanda dari dia? Walah , tidak kukira sesulit ini urusannya….”
“Kita tunggu saja. Kalau ia tidak muncul kembali bagaimana nanti saja…” jawab Setan Ngompol.
Ketika langit di ufuk timur mulai terang dan di dalam rimba belantara ayam-ayam hutan terdengar berkokok , Hantu Seribu Obat tidak juga muncul. Hantu Jatilandak dan Lakasipo telah tertidur. Luhcinta masih tetap duduk di bawah pohon dan Wiro masih terus dalam sikap tadi yaitu bersila mirip bersemadi.
“Aku sudah tidak sabaran…” kata Naga Kuning pada Setan Ngompol. ,
“Aku juga. Dari tadi saya sudah enam kali ngompol. Bagaimana menurutmu?” bertanya Setan Ngompol.
“Mungkin Hantu Seribu Obat hanya mau menguji kita. Sebenarnya kita sudah boleh meneguk obat itu. Aku yakin ia tidak akan kembali…” sahut Naga Kuning.
“Kalau begitu kita teguk saja obat dalam gelas tanah itu!” berkata Setan Ngompol.
“Setuju!” jawab Naga Kuning.
Dua orang itu yakni Naga Kuning dan Setan Ngompol segera saja menyambar gelas tanah. Lalu “gluk… gluk… gluk!” Keduanya teguk habis cairan di dalam gelas tanah yang selain harum ternyata juga masih hangat. Sesaat kemudian keduanya merasa tubuh mereka ringan dan segar sekali.
“Kakiku mulai membesar!” berseru Naga Kuning seraya pegang kaki kanannya yang dikala itu memang bermetamorfosis besar , tambah besar dan akhirnya mencapai ukuran kaki orang di Negeri Latanahsilam. Namun bocah ini kembali berteriak. “Ya Tuhan! Mengapa cuma kaki kananku saja yang membesar. Bagian lain tubuhku tetap tidak berubah!” Naga Kuning jadi kelabakan dan pegangi kepala , tubuh serta kaki kirinya. Memandang ke samping ia tambah terkejut menyaksikan si kakek Setan Ngompol. Kakek ini tak kalah kaget dan bingungnya. Ternyata dari keseluruhan auratnya hanya kaki kirinya saja yang besar!
“Kau kaki kanan! Aku kaki kiri!” teriak Setan Ngompol. “Aduh! Bagaimana ini. Kaki kiriku membesar. Anuku jadi miring kejepit. Aku jadi kepingin ngompol terus-terusan! Celaka! Kalau begini jadinya menyesal saya minum obat itu!”
Tiba-tiba terdengar bunyi tawa bergelak. Sesaat kemudian muncullah Hantu Seribu Obat di tempat itu. Lakasipo dan Hantu Jatilandak telah terbangun. Mereka kaget melihat apa yang terjadi atas diri Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luhcinta merasa bersalah dan pucat galau wajahnya. Hanya Pendekar 212 saja yang masih tetap duduk , bersila , membisu tak bergerak dalam keadaan mata terpejam.
“Itulah akhir kalau insan tidak berdasarkan kata , tidak mendengar ucapan. Tidak mematuhi segala tanda dan isyarat! Itu satu membuktikan bagaimana karenanya kalau insan tidak memperlihatkan rasa setia kawan. Kalau kawanmu yang satu masih mau menunggu dan bersabar dengan segala ketenteraman hati dan ketenangan jiwa , mengapa kalian berdua mau melaksanakan kesalahan , melanggar apa yang saya katakan? Meneguk obat sakti sebelum saya memberi tahu saatnya? Aku kasihan padamu wahai Naga Kuning dan Setan Ngompol. Kalian harus menunggu hingga bulan purnama terbit. Pada dikala itulah kalian boleh meneguk obat di dalam gelas tanah. Dan kalian akan menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam….”
“Tapi obat dalam gelas tanah itu sudah kami minum habis!” kata Naga Kuning.
“Ah , kamu keliru. Coba lihat lagi ke dalam gelas tanah..”
Naga Kuning dan Setan Ngompol ulurkan kepala , memandang ke dalam gelas tanah di hadapan mereka. Keduanya terkejut karena ternyata mereka melihat gelas tanah itu masih berisi penuh obat berbau harum itu!
“Aneh…” kata Naga Kuning perlahan sambil memandang pada Setan Ngompol.
“Bagaimana dengan sahabat kami Wiro?” tanya Naga Kuning pula.
“Oh , dia…. Karena ia patuh pada apa yang saya katakan maka ia akan mendapatkan berkah mirip apa yang diinginkannya dan mirip apa yang dimintakan Luhcinta.” Hantu Seribu Obat berpaling pada Wiro. “Anak muda , apakah kamu sudah siap meneguk obat yang kuberikan?”
Pendekar 212 Wiro Sableng buka kedua matanya , menatap ke arah Hantu Seribu Obat kemudian berkata. “Dengan izinmu saya akan meneguk obat cairan sakti.”
Hantu Seribu Obat tersenyum. “Kau ku ijinkan meneguk obatmu. Aku tahu di sini kami hanya mengenal Dewa sebagai penguasa tertinggi yang serba kuasa dan penuh kasih. Di negerimu kamu mengenal Tuhan Yang Maha Esa , Maha Kasih dan Maha Kuasa. Apakah kamu keberatan kalau saya memohon kepada Dewa semoga permintaanmu bisa dikabulkan dan di dalam hatimu kamu berdoa pada Tuhanmu minta semoga permohonanmu dikabulkan?”
Wiro mengangguk. Diam-diam ia merasa tegang.
“Kalau begitu mari kita sama-sama berdoa…” kata Hantu Seribu Obat pula.
Wiro pejamkan mata , berdoa dalam hati , memohon kepada Yang Maha Kuasa , Tuhan Seru Sekalian Alam.
“Kau boleh minum obatmu wahai anak muda….”
Terdengar bunyi Hantu Seribu Obat. Dengan tangan gemetar dan tak lupa menyebut nama Tuhan , Pendekar 212 ambil gelas tanah di hadapannya kemudian meneguk cairan harum hangat di dalamnya hingga habis. Belum sempat ia meletakkan gelas tanah itu ke tempat semula , ajaib!
Tiba-tiba ia melihat tubuhnya semakin tinggi. Tanah tempat ia hendak meletakkan gelas semakin jauh. Di sekitarnya terdengar seruan Naga Kuning dan Setan Ngompol. Juga decak kaget Lakasipo , Hantu Jatilandak dan Luhcinta. Memandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya telah sama tinggi dengan Hantu Jatilandak , Lakasipo dan Luhcinta. Wiro raba pakaiannya. Lalu ia meraba pinggang. Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggangnya ternyata juga ikut menjadi besar!
“Benar-benar ajaib…” kata Wiro dalam hati. Lalu ia ingat pada dua temannya. Di sebelah sana Naga Kuning dan Setan Ngompol tegak termiring-miring karena hanya satu kaki mereka saja yang jadi besar. Keduanya melambaikan tangan pada Wiro.
“Terima kasih Tuhan. Kau mengabulkan permintaanku ,” kata Wiro. “Terima kasih Hantu Seribu Obat! Kau telah menolongku….” Wiro memandang berkeliling. Mencari-cari. Tapi Hantu Seribu Obat tak ada lagi di tempat itu.
“Dia sudah pergi…” kata satu bunyi lembut dan merdu di samping Wiro.
Ketika Wiro berpaling pandangan Pendekar 212 saling beradu dengan Luhcinta.
“Sahabatku Luhcinta , kalau bukan kamu yang meminta mungkin saya tak bisa jadi mirip ini. Aku sangat berterima kasih padamu….”
Luhcinta membuka lisan hendak menjawab. Namun sesaat ia hanya tegak terdiam. Matanya yang bening terbuka lebar. Dia berdiri mirip terpesona. Setelah keadaan Wiro menjadi sebesar dirinya , ia tidak menyangka kalau cowok ini benar-benar mempunyai wajah tampan.
“Sahabat , kamu hendak menyampaikan sesuatu?” tanya Wiro.
Luhcinta tersenyum. Walau agak kikuk ia membuka lisan juga. “Kasih sayang yaitu sumber kekuatan di alam ini. Kasih sayang yaitu kepingan semua manusia. Para Dewa telah memperlihatkan kasihnya padamu. Aku bangga melihat keadaan dirimu mirip kini ini wahai Wiro…” kata Luhcinta. Matanya yang bagus bening menatap mesra pada Pendekar 212. Lalu ia ulurkan tangan memegang lengan si pemuda. Saat itu juga keduanya mencicipi ada hawa hangat mengalir di tubuh masing-masing , mendatangkan rasa senang yang tiada taranya.
Si kakek Setan Ngompol unjukkan wajah cemberut. Termiring-miring ia melangkah mendekati Naga Kuning kemudian berkata. “Kalau tahu akan jadi begini , lebih baik saya minta obat supaya tidak ngompol-ngompol aja pada Hantu sialan itu!” Setan Ngompol saking kesalnya kemudian tepuk-tepuk kepingan bawah perutnya. “Nasibmu masih buruk buyung.” Katanya tapi apa lacur. Karena ditepuk-tepuk pribadi si buyung terpancar beser!
TAMAT
Episode berikutnya :
HANTU TANGAN EMPAT

No comments for "Diam-Diam Bayi Tergantung WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"