Wasiat Malaikat WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : WASIAT MALAIKAT

SATU

Setan Ngompol pegang lengan nenek di sebelahnya seraya berkata. “Aku melihat ada dinding kerikil di bawah sana. Mari kita selidiki….” sinenek yang bukan lain yaitu Sinto Gendeng guru Pendekar 212 pribadi mengomel.
“Aku kemari mencari Pedang Naga Suci 212! Buat mengobati muridku yang sedang kapiran! Bukan untuk mengusut segala macam dinding! Lagi pula apa kau lupa. Sepasang naga kuning niscaya berada di dalam telaga ini. Salah bergerak kita bisa jadi mangsa mereka!”
“Memang kita harus hati-hati ,” ikut bicara Panji. “Selain sepasang naga dan Makhluk Api Liang Neraka bukan tidak mungkin Kiai Gede Tapa Pamungkas mempunyai makhluk peliharaan lain….”
Ketiga orang tersebut ketika itu berada dalam Telaga Gajahmungkur. Berkat ilmu yang diberikan Ratu Duyung mereka bukan saja sanggup berenang hingga jauh ke dasar telaga tapi luar biasanya juga bisa bernapas dan bicara dalam air tidak beda seolah mereka berada di daratan terbuka. Seperti diketahui sebagai penguasa salah satu daerah bahari selatan Ratu Duyung mempunyai banyak sekali kesaktian antara lain hidup di dalam air. Sehabis geger besar di Pangandaran beliau pernah membawa Wiro ke dasar laut. Karenanya tidak sulit baginya untuk menyirap memberi kekuatan pada Sinto Gendeng , Panji dan Setan Ngompol hingga ketiga orang ini bisa berada dalam air. Malah ilmunya jauh lebih hebat dari yang dimiliki oleh tokoh rimba persilatan lainnya yakni Sika Sure Jelantik. Nenek satu ini telah menolong dan memperlihatkan ilmu serupa pada Puti Andini , namun hanya berkekuatan selama 100 hari.
“Sinto , jangan kau menakut-nakuti aku. Nanti saya ngompol lagi!” berkata Setan Ngompol yang sudah punya rasa tidak enak.
“Siapa menakuti renta bangka sepertimu! Coba kau lihat ke kanan sebelah bawah!” teriak Sinto Gendeng.
Setan Ngompol lakukan apa yang dikatakan si nenek. Panji juga ikut menoleh. Begitu Setan Ngompol memperhatikan ke kanan ke arah dasar telaga pandangannya membentur satu sosok ajaib bergelung yang bukan lain yaitu naga kembar betina peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang sebelumnya sudah mereka lihat sewaktu masih berada di tepi telaga.
“Kau benar Sinto! Celaka kita bertiga!” kata Setan Ngompol. Kakek ini pribadi tekap kepingan bawah perutnya. Tapi lantaran takut beliau tak bisa menahan kencingnya. Begitu air kencing si kakek mencemari air telaga maka di dasar telaga terdengar bunyi menggemuruh. Air telaga menggelombang.
Naga betina yang memang sudah tahu kalau ada makhluk lain di dalam telaga , segera bergerak menggeliat. Kepalanya dipentang. Dari mulutnya keluar desisan keras yang menciptakan air telaga laksana ombak besar menghantam ke arah Sinto Gendeng , Setan Ngompol dan Panji hingga ketiga orang ini terpental beberapa tombak. Naga betina ini siap menyerbu. Tapi begitu sepasang matanya yang merah melihat cairan kuning mengambang di hadapannya hewan ini keluarkan ringkikan ajaib dan panjang menggidikkan kemudian bersurut menjauh.
“Ha… ha…! Naga itu takut melihat air kencingku!” kata Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil menunjuk-nunjuk ke arah naga betina. Tapi bunyi tawanya serta merta lenyap dan bermetamorfosis jeritan kaget ketika dari arah kiri naga jantan yang sebelumnya mendekam membisu tiba-tiba membuka gelungan tubuhnya kemudian meluncur ke arah tiga orang itu.
Kini bukan cuma Setan Ngompol yang terkencing-kencing saking kaget dan takut. Sinto Gendeng juga ikut berair kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya. Cairan kuning bertebaran dimana- mana. Seperti naga betina tadi , begitu melihat dan mencium air larangan yang keluar dari tubuh Setan Ngompol dan Sinto Gendeng , naga jantan meringkik ajaib dan meliukkan tubuh kemudian berenang menjauh.
Di dasar telaga untuk kesekian kalinya muncul bunyi menggemuruh disertai goncangan keras. Untuk beberapa lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi pemandangan.
“Nek! Nenek Sinto Gendeng!”
Tiba-tiba ada teriakan memanggil Sinto Gendeng.
“Edan! Siapa yang memanggil diriku di tempat mirip ini! Apa telaga ini ada hantunya?!” ujar Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga masih keruh. Si nenek tak bisa melihat dengan jelas.
“Suaranya mirip bunyi anak kecil!” kata Setan Ngompol seraya celingak-celinguk ikut mencari. “Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh , apa ada tuyul berkeliaran dalam air?!” Sinto Gendeng pentang dua matanya besar-besar.
“Nek! Saya di bawah sini!”
Setan Ngompol meniup ke bawah. Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih. Begitu beliau memandang ke bawah beliau melihat satu dinding tinggi berkeluk , laksana sebuah tonggak raksasa. Lalu pada kepingan bawah dinding kerikil itu dilihatnya satu sosok terpentang seolah menempel ke dalam batu. Setan Ngompol pegang lengan Sinto Gendeng kemudian menunjuk ke bawah sana. “Kau lihat dinding kerikil itu? Lihat di sebelah bawahnya. Ada patung anak kecil!”
Saat itu air telaga telah jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang , “itu bukan patung! Itu manusia!” ujar Sinto Gendeng. “Kalau patung mana mungkin bisa bicara!”
“Kalau insan mengapa menempel di dalam dinding batu! Tidak bergerak-gerak! Aku gres yakin itu insan kalau mendengar beliau kentut!” Habis berkata begitu Setan Ngompol tertawa mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.
“Biar saya berenang ke bawah ,” berkata Panji.
“Ya , mari kita turun menyelidiki!” kata Sinto Gendeng yang jadi penasaran. Lalu mendahului melesat ke bawah. Sejarak lima tombak dari dasar telaga Sinto Gendeng keluarkan seruan yang menciptakan Setan Ngompol kaget dan buru-buru tekap kepingan bawah pusarnya.
“Astaga! Anak itu kiranya!”
“Heh , anak itu anak siapa?!” tanya Setan Ngompol.
Sinto Gendeng tidak perdulikan pertanyaan orang terus saja beliau berenang menukik ke arah dasar dinding. Kali ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang Setan Ngompol berhenti berenang lantaran beliau lebih tertarik pada rangkaian goresan pena yang tertera di dinding batu.
Di sebelah atas tertulis besar kata-kata “Liang Lahat”. Namun belum sempat beliau membaca seluruh goresan pena yang ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu tiba-tiba di bawah sana Sinto Gendeng berteriak memanggil. Si kakek segera berenang ke dasar telaga.
“Kau lihat sendiri! Yang ada dalam kerikil itu insan atau patung!” kata Sinto Gendeng begitu Setan Ngompol hingga di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke arah yang ditunjuk Sinto Gendeng. “Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya bisa kedap kedip tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam dinding batu!”
“Dia memang tak bisa bergerak tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal betul anak ini!” kata Sinto Gendeng pula. “Naga Kuning , saya tahu daerah ini ada di bawah pengawasanmu. Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau perlihatkan padaku ketika ini!”
Anak kecil yang dipendam di dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya kemudian menjawab.
“Ini bukan permainan. Saya dieksekusi pendam ke dalam kerikil oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas.”
“Heh , apa orang renta itu masih ada di sekitar sini?” bertanya Sinto Gendeng sambil melirik berkeliling.
“Dia sudah pergi. Tidak tahu pergi ke mana!”
“Ceritakan apa yang terjadi atas dirimu! Mengapa kau dieksekusi begini rupa?!”
“Nanti akan saya jelaskan Nek. Tapi harap kau mau menolong membebaskan saya dari dalam kerikil ini.”
“Kalau kesalahanmu tidak besar niscaya hukumanmu tidak seberat ini! Apa yang kau lakukan bocah sial? Kau mengintip sang Kiai lagi kencing atau bagaimana? Hik… hik… hik!”
“Sinto! Jangari membanyol! Aku bisa kencing!” berkata Setan Ngompol.
“Tubuhnya tak bisa bergerak. Mungkin beliau ditotok Nek ,” kata Panji pula.
“Hemmm…. Kalau benar kau ditotok cepat beri tahu kepingan tubuhmu sebelah mana yang ditotok biar saya bisa menolong ,” kata Sinto Gendeng.
“Saya tidak ditotok. Tapi dipendam dalam batu! Saya bisa bergerak kalau bebas dari pendaman…” menerangkan Naga Kuning.
“Kalau begitu biar saya tarik tangan dan kakimu!” kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek ini cekal tangan kiri dan pergelangan kaki kanan Naga Kuning. Sekali menarik niscaya anak itu bisa dikeluarkannya dari pendaman batu. Tapi hingga mukanya mengerenyit keriputan dan rahangnya menggembung sosok Naga Kuning tak bisa dikeluarkan. Tubuh anak ini menempel laksana jadi satu dengan dinding kerikil Liang Lahat.
Sinto Gendeng tak mau mengalah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tetap saja tubuh Naga Kuning tidak bergerak barang sedikit pun! Malah tiba-tiba dari kepingan tubuh bawah sebelah belakang si nenek kelihatan gelembung-gelembung air banyak sekali disertai bunyi merepet berkepanjangan. Lalu air bahari di sekitar situ mendadak menjadi bau:
“Sialan kau Sinto! Kau kentut ya!” teriak Setan Ngompol seraya berenang menjauh sedang Panji tutup hidungnya dengan belakang telapak tangan sambil pergunakan tangan kanan untuk mendorong air di sekitarnya yang menjadi amis akhir kentut si nenek. Di dinding kerikil Naga Kuning tertawa gelak-gelak. Sebaliknya Sinto Gendeng hanya menyengir.
“Baru kentut saja kalian sudah kelabakan! Belum lagi menghadapi ancaman besar!” kata si nenek pula.
“Nek…!” Naga Kuning ikut bersuara.
“Bocah sialan! Diam sajalah! Dan kau renta bangka tukang ngompol jangan membisu saja! Bantu saya mengeluarkan anak ini dari dalam batu! Kau juga Panji! Jangan akal-akalan jadi orang geblek! tarik pinggang anak ini!”
“Menurut penglihatanku anak ini tidak bisa dikeluarkan walau ada seratus kuda yang menarik tubuhnya!” kata Setan Ngompol pula.
“Kau cuma bicara. Bantu saja. Tarik pinggangnya!” hardik Sinto Gendeng.
“Nek….”
“Kau! Nak – Nek…. Nak – Nek! Diam!” hardik Sinto Gendeng jengkel.
“Dengar dulu Nek…. Kakek ini benar. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa mengeluarkan tubuh saya dari dalam dinding kerikil Liang Akhirat ini….”
“Kalau begitu nasibmu benar-benar sial! Kau akan mampus cepat atau lambat! Hik…hik… hik! Sudah! Aku hanya menghabiskan waktu saja! Aku ada urusan lain di dasar telaga ini!”
“Saya tahu apa yang kau cari. Saya tahu benda itu berada di mana. Jika kau mau menolong akan saya katakan padamu!”
“Naga Kuning , kalau kau memang tahu dimana beradanya benda yang dicari Nenek ini , mengapa kau tidak lekas mengatakan?” berkata Panji. Pemuda ini yang mulai tahu sifat si nenek yang simpel naik darah berusaha membujuk , Sinto Gendeng pelototkan mata.
“Hemmm…. Dulu saya menolongmu waktu kau digebuk Sabai Nan Rancak. Aku tidak mengharapkan pamrih. Tapi hari ini keadaan lain. Baik , saya akan menolongmu. Sudah kulakukan. Tapi tidak bisa. Lalu apa lagi?!”
“Ada caranya Nek…” kata Naga Kuning pula.
“Coba kau bilang!”
“Kiai Gede Tapa Pamungkas , Telaga Gajahmungkur dan segala apa yang telah dibangun oleh sang Kiai di tempat ini yaitu Liang Akhirat dan Liang Lahat termasuk Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Lahat , mempunyai satu pantangan besar ,
Tidak boleh terkena air larangan. Semuanya bisa musnah!”
“Air larangan! Sebut saja air kencing!” tukas Sinto Gendeng sambil menyeringai buruk.
“Tapi air kencing itu tidak air kencing orang sembarangan Nek ,” ujar Naga Kuning.
“Hanya mempan kalau air kencingnya yaitu air kencing orang yang telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan dan tujuh hari…. Air kencing temanmu cowok beranting-anting ini tidak mempan dan tak bisa menolongku!”
“Ada-ada saja…!” ujar Setan Ngompol kemudian tertawa terbahak-bahak dan tentu saja sambil ngompol lagi. Sementara Panji hanya bisa termenung mendengar kata-kata Naga Kuning itu.
“Kau bicara panjang lebar. Tapi belum menyampaikan bagaimana caranya kami menolongmu!” kata Sinto Gendeng. “Atau mungkin tubuhmu bisa kukorek dengan tusuk konde yang ada di kepalaku!” Si nenek pribadi hendak mencabut dua buah tusuk konde perak di kepalanya.
“Saya tahu tusuk konde itu sakti mandraguna. Bisa menembus kerikil gunung sebesar apapun. Tapi kesaktiannya tidak mungkin bisa membebaskan diri saya. Hanya ada satu cara Nek. Tubuh saya hanya bisa bebas bila diguyur dengan air larangan!”

*
* *

DUA

Sinto gendeng pelototkan mata mendengar keterangan Naga Kuning itu. Dia berpaling pada Setan Ngompol yang ketika itu memandang termenung ke arahnya. Dua kakek nenek ini kemudian tertawa gelak-gelak sementara Panji rahasia merasa tidak enak. Dia tidak melihat ada hal yang lucu. Pemuda ini maklum kalau telaga itu diselimuti banyak sekali macam kecacatan yang terkadang mengandung keangkeran dan sekaligus ancaman maut. Karena tertawa begitu rupa Setan Ngompol dan Sinto Gendeng sama-sama terkencing-kencing. Akibatnya Telaga Gajahmungkur kembali terkontaminasi air larangan. Suara menggemuruh terdengar lagi di dasar telaga. Gelombang kembali menggoncang. Sepasang naga meringkik panjang. Beberapa lamanya keadaan di telaga diselimuti kegelapan. Begitu keadaan damai dan air yang keruh jernih kembali Sinto Gendeng berkata.
“Gila! Masakan air kencing lebih sakti dari senjata mustika dan lebih hebat dari kekuatan tenaga dalam!”
“Nek , kau menyaksikan sendiri setiap kau dan temanmu mengeluarkan air kencing keadaan di sini laksana mau kiamat. Sepasang naga meringkik ketakutan. Telaga ini laksana mau terjungkir balik!”
“Nek , saya rasa anak ini tidak bicara dusta…” berbisik Panji pada Sinto Gendeng.
Sinto Gendeng terdiam sejurus. “Naga Kuning , kalau memang air kencing yang bisa membebaskan dirimu dari pendaman kerikil itu baiklah. Mari kita lihat! Setan Ngompol cepat kau kencingi bocah itu!”
“Eh , mengapa aku?!” seru Setan Ngompol sambil memandang dengan sepasang matanya yang jereng mendelik pada si nenek.
“Apa susahnya mengencingi anak itu! Apalagi kau tukang ngompol. Punya banyak persediaan air larangan! Sudah! Ayo kau kencingi dia! Hik… hik… hik!”
“Tunggu dulu!” Naga Kuning tiba-tiba berseru. “Yang mempan dan sanggup membebaskan diri saya dari pendaman kerikil Liang Lahat ini hanyalah air kencing wanita yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan tujuh hari! Lalu air larangan itu harus jatuh pribadi dari atas. Tidak boleh mengucur lewat tubuh atau pakaian….”
“Nah… nah… nah!” Setan Ngompol berseru keras kemudian tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. “Sinto! Berarti hanya kau yang bisa menolongnya!”
Nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu pen-tang wajah murka dan untuk beberapa lamanya beliau tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku tidak mau!” kata Sinto Gendeng akhirnya. “Kau cuma mau mengerjaiku!”
“Kalau tidak mau bocah itu tidak akan memberi tahu di mana tersembunyinya benda yang kau cari itu. ,.” kata Setan Ngompol yang menciptakan Sinto Gendeng tambah murka , “Perduli setan! Dulu saya sendiri yang menyembunyikan benda itu. Aku masih bisa mengira-ngira dimana letaknya! Aku niscaya bisa mendapatkannya tanpa pemberian setan kecil ini!”
“Jangan tolol Sinto. Kejadian itu puluhan tahun silam. Keadaan sudah berubah. Sampai tubuhmu bongkok kemudian lempang kemudian bongkok lagi belum tentu kau bisa menemukan!” ujar Setan Ngompol.
“Bocah setan! Kau benar-benar mengerjaiku!” kata Sinto Gendeng pada Naga Kuning dengan mata melotot.
“Sinto! Pertolongan itu simpel sekali melakukannya! Kau hanya menempatkan dirimu di atas kepala anak itu. Lalu menyingsingkan kain bututmu , menungging sedikit dan serrr…. Beres sudah!”.
“Sialan kau Setan Ngompol! Kau bisa berkata begitu lantaran bukan kau yang melakukan!” Menggerendeng Sinto Gendeng.
“Nek , untuk kebaikan mungkin sekali ini kau terpaksa mengalah…” berkata Panji.
Sambil terus mengomel panjang pendek si nenek berenang berputar-putar. Akhirnya beliau naik ke atas. “Aku peringatkan pada kalian semua!” kata Sinto Gendeng. “Setan Ngompol! Kau lekas mendekam di belakang dinding kerikil sana! Jangan berani mengintip auratku! Kau juga Panji! ikuti kakek itu ke belakang dinding batu!”
“Sinto…. Sinto! Aurat gadis saja saya tidak doyan mengintip. Apalagi ebonit lapuk yang sudah; dimakan rayap sepertimu!” Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Namun beliau melaksanakan juga apa yang dikatakan si nenek yaitu berenang ke balik dinding Liang Lahat sambil tekap tubuhnya sebelah bawah dengan kedua tangan. Panji berenang mengikuti di belakangnya. Sinto Gendeng kembali memaki panjang pendek kemudian bergerak mendekati dinding kerikil , sempurna di atas kepala Naga Kuning.
“Bocah setan! Aku akan menolongmu! Tapi awas! Jangan kau berani melirik atau mengintip ke atas! Kalau itu kau lakukan jangan menyesal kedua matamu akan saya korek dan seumur hidup kau akan terpendam dalam kerikil celaka itu!”
Naga Kuning mencibir.
“Nek , sepasang mata ini memang sudah puluhan tahun tidak melihat aurat terlarang. Tapi kau tahu siapa diri saya. Lagipula mana mungkin saya berlaku tidak hormat terhadap orang yang hendak menolong?!” Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga Cilik atau Naga Kecil ini bersama-sama yaitu seorang kakek berusia jauh lebih renta dari Sinto Gendeng atau Setan Ngompol.
“Sudah! Kau bocah renta bangka pandai bicara! Aku segera menolongmu! Tutup matamu!” Sinto Gendeng kemudian tempelkan tubuhnya sebelah belakang yang bungkuk ke dinding Liang Lahat sempurna di atas sosok Naga Kuning yang terpendam ke dalam dinding kerikil itu.
Naga Kuning segera pejamkan ke dua matanya. Tapi sesudah menunggu cukup usang tidak terjadi apa-apa.
“Nek , kau masih berada di atas atau bagaimana?!” Naga Kuning bertanya.
“Diam! Aku masih di bersahabat dinding di atas kepalamu! Tutup mulutmu! Kau hanya membuyarkan perhatianku!” Terdengar bentakan Sinto Gendeng.
Naga Kuning tak berani berkata apa-apa lagi. Tapi sesudah kembali menunggu cukup usang dan tetap tak terjadi apa-apa anak ini menjadi tidak sabaran. Kedua matanya dibuka.
”Nek….”
“Tutup mulutmu! Tutup matamu! Atau kutusuk hingga kau buta!”
“Saya sudah menunggu lama! Tapi kau tidak kencing-kencing juga!” jawab Naga Kuning. Walau sesaat tapi anak ini masih sempat melihat si nenek di atasnya , menempel ke dinding kerikil menungging.
Dia berusaha menahan diri biar tidak tersenyum apalagi hingga tertawa cekikikan.
Dalam hati anak ini berkata , “Seumur hidup gres sekali ini saya melihat nenek-nenek. Ternyata ibarat ikan pepes kering kejemur matahari!”
Dari sebelah atas terdengar bunyi Sinto Gendeng.
“Aku sudah berusaha kencing. Tapi tidak bisa-bisa! kencing sialan! Dipaksa tidak mau. Biasanya sebentar-sebentar saya kencing!”
Di balik dinding kerikil Liang Lahat Setan Ngompol dan Panji tertawa cekikikan mendengar ucapan Sinto Gendeng tadi. Sebaliknya Sinto Gendeng keluarkan bunyi menggerendeng kemudian mengedan-edan sekuat tenaga biar bisa kencing hingga tubuhnya tambah bungkuk hampir terlipat. Setelah berusaha setengah mati tiba-tiba beerrrrr…. Naga Kuning merasa ada air hangat laksana mancur mengucur membasahi kepalanya. Air hangat dan amis pesing ini turun ke muka terus membasahi tubuhnya. Si bocah mirip mau muntah ketika ada air kencing membasahi mukanya mengalir ke bawah hidung , turun ke bibirnya dan hampir tertelan!
Pada ketika yang sama Naga Kuning merasa dinding kerikil dimana beliau terpendam menjadi panas. Tiba-tiba didahului bunyi menggemuruh seolah tiba dari dasar telaga yang menciptakan dinding kerikil Liang Lahat itu bergoncang keras , tubuh Naga kuning terpental keluar. Ada hawa ajaib mendera keras menciptakan Sinto Gendeng tersapu hingga beberapa tombak.
“Hai! Apa yang terjadi?!” Terdengar bunyi Setan Ngompol berseru. Kakek ini dalam keadaan terkencing-kencing keluar dari balik dinding kerikil bersama Panji. Wajah mereka tampak pucat. Dilihatnya
Naga Kuning melayang dalam air sedang Sinto Gendeng tengah berenang mendekati anak itu.
“Bocah setan! Kau sudah kutolongi! Sekarang katakan di mana beradanya benda yang kucari!” Tahu-tahu si nenek sudah berada di depan Naga Kuning yang ketika itu tengah mengusap mukanya berulangkali berusaha membersihkan sisa-sisa air kencing Sinto Gendeng yang tadi ikut , membasahi mukanya.
“Nek , terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih. Kalau kau tidak mengencingi diri saya akan terpendam selamanya di Liang Lahat itu…. Sebelum saya memberi keterangan saya mau bertanya dulu. Mana kakek yang dulu ikut mengobati lengan saya yang patah? Dan siapa kakek satu ini? Apa pacarmu yang baru?!”
Panji tersentak mendengar ucapan si bocah yang begitu berani. Setan Ngompol sesaat termenung kemudian tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. Sebaliknya Sinto Gendeng pribadi naik darah.
“Bocah kurang ajar! Naga Kuning! Kau minta saya gebuk?!”
“Harap maafkan , bukan maksud saya mau kurang ajar. Cuma mau menanya saja , itu tanda saya suka padamu dan juga pada orang renta berjuluk Kakek Segala Tahu itu…”
“Bocah sialan! Kalau kau memang benar-benar anak kecil boleh saja kau bilang suka padaku! Apa kau tidak sadar sudah berapa umurmu?!
“Ah , maafkan saya. Saya memang tidak tahu diri!”
kata Naga Kuning pula tersipu-sipu kemudian ketika si nenek tidak melihat ke arahnya beliau mencibirkan bibirnya.
Setan Ngompol mendekati Sinto Gendeng dan bertanya. “Menurutku anak ini paling bantar gres berusia dua belas tahun. Aku tidak mengerti pertanyaanmu tadi. Memangnya bocah itu berapa usianya?”
“Kau tak perlu mengerti. Dibikin mengerti kau tak bakalan mengerti. Yang kau mengerti cuma beser alias ngompol!” jawab Sinto Gendeng membentak saking kesalnya. Dibentak begitu rupa dalam air Setan Ngompol melayang mundur dan unjukkan muka sedih. Dalam keadaan mirip itu tetap saja beliau kembali ngompol.
“Apa kataku! Sedih saja kau masih ngompol!” kata si nenek. Dia berpaling pada Naga Kuning. “Kau tunggu apa lagi! Ayo beri tahu di mana beradanya benda yang saya cari itu!”
“Nek , di dasar telaga ini tersimpan banyak sekali benda rahasia. Belasan orang coba mencarinya. Mereka bukan saja tidak berjodoh dengan benda-benda itu tetapi mereka hanya mencari kematian. Tolong kau beri tahu benda apa yang tengah kau cari.”
“Bocah geblek!” maki Sinto Gendeng. “Kau mau menipuku atau bagaimana?! Tadi kau bilang tahu apa yang saya cari. Sekarang malah bertanya!”
“Maafkan saya Nek. Soalnya mirip saya bilang tadi ada beberapa benda sangat berharga dicari orang di Telaga Gajahmungkur ini. Saya takut memberi keterangan keliru….”
Setelah menggerendeng lebih dulu gres si nenek memberi tahu.
“Aku mencari sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 212. Senjata ini tidak bersarung. Bentuknya bergulung mirip ikat pinggang. Puluhan tahun kemudian pedang itu saya sembunyikan di satu tempat di dasar telaga ini. Sekarang senjata itu harus segera kutemukan untuk mengobati muridku!”
“Maksudmu mengobati Pendekar 212 Wiro Sableng?” tanya Naga Kuning.
“Betul!” jawab Sinto Gendeng. Lalu tidak sabaran beliau berkata. “Ayo lekas kau terangkan dimana pedang itu beradanya!”
“Naga Kuning ,” tiba-tiba Panji berkata. “Aku punya seorang sahabat , gadis berjulukan Puti Andini. Berpakaian serba merah…. Katanya beliau ke sini mau mencari sesuatu. Sebuah batu….”
“Setan alas!” teriak Sinto Gendeng. “Gadis hantu siapa yang kau tanya! Jangan berani bicara memotong ucapan orang! Kau tahu saya tidak suka kau ikut ke tempat ini! Kalau bukan gara-gara Kakek Segala Tahu sialan itu jangan harap….”
“Sinto! Jangan membentak terus-terusan. Aku jadi kaget-kagetan dan kencing terus!” Setan Ngompol berkata.
Tadinya si nenek juga hendak mendamprat kakek satu ini. Tapi beliau risikonya berpaling pada Naga Kuning dan berkata. “Kau masih belum mau bicara menyampaikan di mana pedang sakti itu?!”
Naga Kuning menghela napas dalam. Wajahnya tampak murung.
“Nek , bersama-sama kau tiba terlambat….”
Mata Sinto Gendeng membeliak. Wajah tuanya membersitkan seribu kerutan. Setan Ngompol yang merasa tegang mendengar percakapan kedua prang itu rahasia kembali terkencing di celana.
“Bocah setan! Apa kau bilang?! Aku terlambat? Memangnya pedang sakti itu sudah diambil orang lain? Siapa?!”
*
* *

TIGA

Senjata itu masih ada dalam telaga ini , Nek. Masih dalam keadaan tergulung. Tapi berada di perut naga kembar yang betina itu….” Menerangkan Naga Kuning seraya menunjuk pada naga kuning betina yang mendekam di kejauhan. Sinto Gendeng menatap sejurus ke arah naga betina. “Aku tidak percaya. Bagaimana pedang itu bisa berada dalam perut naga. Mana ada ular doyan pedang!”
“Kau betul Sinto ,” menimpali Setan Ngompol. “Bocah ini hendak menipu kita!”
“Nenek Sinto , kau tahu siapa diri saya ini. Mana mungkin hendak berlaku culas padamu. Dua kali dengan ini kau menolong diri saya. Walau cuma seorang renta bangka bertampang bocah buruk tapi saya bukan bangsa insan yang tidak mengerti budi orang. Saya sudah memberi tahu apa yang kau ingin tahu. Walau budimu belum sanggup saya balas namun saya terpaksa meninggalkanmu. Air larangan sudah terlalu banyak di tempat ini. Bukan tidak mungkin sebentar lagi telaga ini akan amblas musnah. Lebih baik kalian cepat-cepat pergi dari sini….”
“Sebelum saya menemukan pedang itu saya tidak akan keluar dari Telaga Gajahmungkur ini!” jawab Sinto Gendeng. “Dan kau bocah jelek. Jangan buru-buru ngambek! Apa yang barusan kau bilang tidak masuk akal….”
“Nek , kau hidup sudah puluhan tahun. Kawanmu yang kau panggil dengan nama Setan Ngompol ini niscaya juga sudah lebih delapan puluh tahun malang melintang di rimba persilatan. Saya jauh lebih renta dari kalian. Apa di usia kalian yang begini renta masih tidak menyadari kalau hidup di dunia ini banyak yang tidak masuk akal? Bahwa untuk menghadapi semua yang tidak masuk logika itu insan harus punya seribu akal? Satu pola , kita manusia-manusia biasa bisa berada di dalam air begini dalam , apa masuk akal?! Kiai Gede Tapa Pamungkas makhluk setengah insan setengah roh. Sepasang naga kembar bukan ular besar biasa. Di luar langit masih ada langit lain. Di luar logika masih ada logika lain! Siapa berani melupakan kekuasaan Gusti Allah?!”
Walau jadi terdiam mendengar ucapan Naga Kuning tapi tak urung Sinto Gendeng tetap saja unjukkan wajah cemberut.
“Nek ,” kata Naga Kuning lagi. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pedang sakti bergulung itu ditelan oleh naga betina: Dan bukan cuma Pedang Naga Suci 212. Ada seorang gadis anggun berjulukan Puti Andini ikut ditelan naga dan kini mendekam di dalam perut hewan jejadian itu!”
Sinto Gendeng keluarkan seruan tercekat dan pandangi Naga Kuning dengan mata melotot sementara Setan Ngompol lag Magi terkencing lantaran kaget mendengar keterangan si bocah yang mengejutkan , sementara itu Panji menjadi pucat pasi. “Puti Andini…. Puti….” Pemuda ini menyebut nama si gadis berulang kali.
“Kalau keteranganmu betul , apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan pedang yang ada dalam perut naga itu….”
“Juga menolong gadis yang kau bilang anggun itu!” ujar Setan Ngompol. Lalu beliau berkata pada Sinto Gendeng. “Turut ceritamu bukankah gadis itu yang kau katakan sebagai cucu Sukat Tandika , bekas kekasihmu di masa muda?”
Kembali Sinto Gendeng unjukkan muka cemberut. “Urusan utama ku mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Soal cucu Tua Gila itu kalau memang bisa kutolong akan kulakukan. Tapi bila orang ditelan ular menurutmu apa masih bisa hidup?”
“Ah , menyedihkan sekali kalau gadis yang katanya anggun itu hingga menemui ajal ditelan ular…” kata Setan Ngompol pula. “Naga Kuning , kau niscaya tahu caranya bagaimana mendapatkan pedang dan menyelamatkan gadis itu.” . “Naga Kuning , kau harus menolong kami!” ujar Panji.
“Saya tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin kita terpaksa menunggu….”
“Kami tidak punya waktu lama. Selain hanya bisa bertahan hingga tengah malam nanti , juga muridku perlu cepat disembuhkan. Satu insiden besar yang menebar nyawa dan darah agaknya akan terjadi di Gajahmungkur ini…. Kami harus bergerak cepat sebelum orang-orang Lembah Akhirat menimbulkan peristiwa lebih besar….”
“Naga itu takut dengan air kencing!” berkata Panji. “Bagaimana kalau kalian berdua mengguyur-nya dengan air larangan itu. Begitu beliau mampus kita bedol perutnya!”
“Kau betul Panji!” ujar Sinto Gendeng pertama kali menyetujui ucapan si pemuda.
“Setan Ngompol! Ayo lekas siapkan kencingmu yang banyak. Kita serbu ular naga betina itu!” kata Sinto Gendeng.
“Nenek Sinto dan Kakek Setan Ngompol , naga itu bukan hewan biasa. Air larangan memang bisa membunuhnya. Namun kalau beliau mati setahuku tubuhnya akan lenyap bermetamorfosis pasir kuning. Rohnya melesat ke angkasa. Aku khawatir bersama rohnya beliau akan membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan gadis berjulukan Puti Andini itu…”
Mendengar keterangan Naga Kuning itu tiga orang yang ada di hadapan Naga Kuning menjadi bingung.
ini urusan gila! Pasti ada cara untuk mendapatkan senjata itu. Apapun akan kulakukan untuk menolong muridku….”
“Seandainya pedang itu sudah kau sanggup dan Pendekar 212 berhasil disembuhkan , kemudian apa yang akan kau lakukan dengan Pedang Naga Suci 212 itu Nek?”
Pertanyaan Naga Kuning yang tiba-tiba itu menciptakan Sinto Gendeng sesaat terdiam. Tapi tiba-tiba beliau membentak murka yang menciptakan Setan Ngompol tersembur air kencingnya.
“Bocah setan! Aku kini tahu apa yang ada di benakmu! Kau sengaja tidak mau menolongku. Karena kau khawatir saya akan mengambil dan menguasai pedang itu!”
“Saya memang ditugaskan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menjaga segala sesuatu yang ada di Telaga Gajahmungkur. Setelah sang Kiai meninggalkan telaga tanggung jawab lebih besar berada di pundak saya….”
“Kau bocah tolol , renta bangka geblek! Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menghukummu , mengapa kau masih perdulikan orang yang sudah tidak ada itu?!” Menukas Sinto Gendeng.
‘Nek , Kiai Gede menghukum saya lantaran memang saya bersalah. Walau beliau tidak ada lagi di tempat ini tapi beban kiprah yang diberikannya tetap menjadi tanggung jawab saya. Saya hanya ingin mengatakan. Jika pedang itu kau pergunakan sepenuhnya untuk menyembuhkan muridmu , siapa yang mau mencegah. Tetapi , sesudah muridmu sembuh kau masih ingin menguasai senjata mustika sakti tersebut maka itu berarti menyalahi maksud dan tujuan , menyalahi budpekerti dan aturan….”
“Bocah pandai ngomong!” semprot Sinto Gendeng. “Katamu dalam hidup ini insan harus menggunakan seribu akal! Apa salahnya kalau saya mengikuti kata-katamu itu dan mempunyai Pedang Naga Suci 212?! Dulu pun senjata itu sudah berada di tanganku…. Daripada jatuh ke tangan orang jahat bukankah lebih baik saya yang menguasainya?! Perduli setan dengan segala budpekerti dan aturan. Maksud dan tujuan bisa berubah sesuai keadaan! Itu gres namanya hidup menggunakan akal!”
Naga Kuning tersenyum. “Manusia memang harus menggunakan seribu logika dalam menghadapi tantangan hidup. Tapi logika yang mana? Ada logika yang sepenuhnya tiba dari otak atau alam pikiran. Ada logika yang memadu otak dengan perasaan hati. Lalu ada logika yang mempergunakan otak tapi juga dipengaruhi oleh dorongan yang tiba dari bawah pusar. Saya tidak tahu kau menggunakan logika yang mana Nek…. Jika maksudmu mendapatkan Pedang Naga Suci bukan semata lantaran hendak menolong muridmu , saya khawatir kau akan menghadapi urusan besar. Karena Kiai telah menceritakan riwayat pedang itu. Senjata mustika itu hanya boleh dimiliki oleh seseorang. Terserah orang itu nanti mau memperlihatkan kepada siapa. Saya rasa kau sudah tahu hal itu Nek , jadi tak perlu saya beberkan.”
Dari wajah si nenek Naga Kuning maklum kalau Sinto Gendeng masih tidak puas.
Maka beliau menunjuk ke atas ke arah dinding kerikil Liang Lahat. “Nek , sebelum kita meneruskan bicara , ada baiknya kau membaca dulu apa yang tertera di dinding kerikil itu….”
“Perlu apa saya mengikuti nasihatmu! Membaca segala goresan pena bobrok di atas kerikil sialan!” hardik Sinto Gendeng.
Naga Kuning tidak perduli. Dia berenang ke atas. Setan Ngompol ikut berenang ke atas lantaran sebelumnya memang beliau sudah membaca sedikit rangkaian goresan pena di atas kerikil itu. Sesampainya di atas dan melihat Sinto Gendeng masih tetap berada di bawah sana , Naga Kuning berseru.
“Nek , bila kau tak mau membaca sendiri goresan pena di kerikil ini , biaraku bacakan dan kau silahkan pasang kuping mendengarkan!”
Lalu Naga Kuning membaca keras-keras rangkaian goresan pena yang ada di batu.
LIANG LAHAT
Sesungguhnya insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah ke tanah
Namun mengapa insan menjadi lupa
Bersikap sombong membusung dada
Bersikap angkuh besar kepala
insan hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa
Tapi mengapa insan berani menantang Sang Pencipta
Berani tapi putih , lembut tapi jantan , perkasa tapi jujur
Bukankah itu lebih baik daripada berani tapi hitam , lembut tapi culas , perkasa tapi serakah! Liang lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu dari keserakahan , saksi buta dari keculasan , saksi tuli dari ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah kebisuan , menyalangkan kebutaan hati , mendengar desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran
Yang kuasa dan Sang Pencipta yaitu tempat bertanya , tempat meminta
Adakah insan bertanya dengan segala kebersihan hati? Adakah insan meminta dengan kejujuran jiwa….

Naga kuning belum sempat mengakhiri membaca bait-bait goresan pena yang ada di atas
batu. Masih tertinggal satu bait lagi. Namun Sinto Gendeng yang merasa semua yang dibacakan si bocah sengaja untuk menyindir dirinya , kembali menjadi murka dan membentak.
“Naga Kuning! Kau boleh membaca goresan pena itu hingga seribu kali. Mulai dari pagi hingga pagi lagi tujuh hari tujuh malam! Jangan harap saya akan terpengaruh! Kalau saja kau. bukan orang yang dipercayakan Kiai Gede Tapa Pamungkas guruku , sudah dari taditadi kau kulabrak! Sekarang dengar ucapanku! Apa yang akan kulakukan nanti dengan Pedang Naga Suci 212 yaitu urusanku sendiri! Jika kau coba menghalangi saya terpaksa akan melupakan segala macam budi….”
“Kalau memang begitu Nek , urusan lebih baik diselesaikan kini sebelum semuanya menjadi kapiran! Saya akan mendahuluinya mendapatkan senjata sakti itu! Kalaupun kau berhasil mendapatkan pertama kali , saya bersumpah untuk merampasnya!”
Merasa ditantang marahlah Sinto Gendeng. Dia tidak perduli lagi siapa adanya Naga Kuning. Melihat ketegangan yang terjadi Setan Ngompol sudah ter-kencing-kencing. Dia berusaha mencegah terjadinya bentrokan namun ketika itu didahului satu pekikan keras nenek sakti dari Gunung Gede itu melesat ke arah si anak.
“Bocah Setan! Aku tidak meminta kau membalas segala budi pertolonganku! Tapi yaitu tolol dan kurang asuh kalau kau mencoba menghalangiku!”
Tangan kanan si nenek bergerak ke arah kepala. Setan Ngompol maklum apa yang dilakukan si nenek. Cepat-cepat beliau tekap perutnya sebelah bawah. Panji yang juga sudah bisa memperkirakan apa yang hendak diperbuat Sinto Gendeng segera berseru. “Nek! Jangan serang anak itu! Kita memerlukan dia!” Yang dikhawatirkan cowok ini yaitu kalau beliau hingga kehilangan jejak Puti Andini.
Namun Sinto Gendeng yang sudah khilaf lantaran nekad dan murka gerakkan tangannya. Dua tusuk konde perak laksana sepasang anak panah lepas dari busurnya melesat berkilauan di dalam air. Tusuk konde pertama mencari sasaran sempurna di mata kiri si bocah , satunya lagi mengarah dada kiri sempurna di jurusan jantung. Jelas Sinto Gendeng bertekad menghabisi anak ini!
Lima tusuk konde yang selalu menancap di kepala Sinto Gendeng bukanlah tusuk konde biasa lantaran merupakan senjata yang sangat berbahaya dan mengandung racun mematikan. Kini dua dari lima tusuk konde itu digunakan untuk menyerang dan membunuh Naga Kuning.
Naga Kuning yang menerima serangan itu seolah terkesiap dan tidak percaya kalau si nenek benar-benar hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Dia tidak sempat bergerak mengelak atau pun menangkis.
Dalam keadaan mirip itu tiba-tiba berkiblat satu sinar putih menyilaukan yang sesaat menerangi seantero dasar telaga. Air telaga yang hambar bermetamorfosis panas. Tusuk konde perak yang melesat ke arah mata kiri Naga Kuning terpental ke atas sewaktu ujung tusuk konde hanya tinggal setengah jengkal saja dari sasaran!
Seseorang telah turun tangan menolong anak itu. Namun tusuk konde kedua yang mengarah jantung tidak mungkin dihindari. Ujung tusuk konde yang lancip menghantam telak dada kiri Naga Kuning. Tapi begitu menyentuh dada si anak senjata itu tidak bisa melukai apalagi menancap tembus dan menusuk hingga ke jantung. Seolah menghantam satu permukaan licin dan atos tusuk konde itu terpental ke samping.
“Kurang ajar! Bocah itu ternyata memang benar telah mempunyai ilmu lumba-lumba putih yang menciptakan tubuhnya licin mirip kulit ikan!” mengomel Sinto Gendeng. “Tapi siapa yang barusan menolong menangkis tusuk konde yang mengarah matanya. Padahal saya tahu betul kedua mata anak ini yaitu dua titik terlemah segala kesaktian yang dimilikinya!”
Sinto Gendeng memandang berkeliling penuh marah. Sepasang matanya mendelik berapi-api. Rahangnya menggembung dan mukanya yang keriput kelam membesi. Dalam marahnya beliau melihat dua sosok tubuh melayang dalam air. Begitu mengenali kedua orang itu maka meledaklah dampratannya.
*
* *

EMPAT

Sebelum kita melanjutkan apa yang terjadi di dasar Telaga Gajahmungkur mari kita ikuti dulu apa yang berlangsung di salah satu tepian telaga. Setelah gurunya Eyang Sinto Gendeng dan Seta n Ngompol masuk ke dalam telaga bersama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo dan perginya Kakek Segala Tahu , di tepi telaga hanya tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng berdua dengan Ratu Duyung. Untuk beberapa usang kedua orang ini hanya berdiam diri. Sesekali Wiro melirik. Gadis di sebelahnya dilihatnya memandang ke arah telaga terus-terusan. Murid Sinto Gendeng ini mendehem beberapa kali kemudian membuka pembicaraan dengan bertanya.
“Menurutmu apakah guruku akan berhasil mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu?”
“Kau khawatir mereka gagal dan kau tidak bisa ditolong?” Ratu Duyung malah balik bertanya.
“Soal diriku sudah nasib jadi begini. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang saya khawatirkan yaitu mendadak terjadi satu hal besar di tempat ini. Dan saya tidak bisa berbuat apa. Apalagi Kapak Naga Geni 212 milikku entah di mana beradanya. Guruku niscaya murka besar kalau….” Wiro tiba-tiba ingat pada cermin bulat yang dimiliki Ratu Duyung.
“Mana cermin saktimu. Mungkin kau bisa melihat melalui cermin itu di mana beradanya Kapak Naga Geni 212.
Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Dia segera memusatkan perhatian dan pandangan mata ke permukaan cermin itu. Sesaat kemudian tampak cermin bergetar. Wiro mendekat dan coba melihat. Tapi beliau tidak melihat apa-apa dalam cermin itu.
“Kau melihat sesuatu Ratu.. ,?” bertanya Wiro.
“Cermin bergetar….” kata Ratu Duyung perlahan. , Wiro memperhatikan. Cermin bulat itu memang tampak bergetar dalam pegangan gadis sakti bermata biru. “Ada daya tolak dari satu kekuatan sakti. Aku hanya melihat sesuatu berwarna kuning. Bergerak sangat cepat. Tidak terang apakah sosok manusia. Sulit diterka lelaki atau perempuan….”
“Maksudmu kalau itu yaitu sosok insan maka beliau mengenakan pakaian serba kuning?”
“Mungkin…. Aku tak berani memastikan. Bayangan kuning lenyap dari dalam cermin. Aku tak bisa memantau lebih jauh….”
Wiro termenung sambil garuk-garuk kepala. “Be-rat dugaanku. Bayangan kuning ya rig kau lihat dalam cermin yaitu sosok orang berpakaian dan bercadar kuning. Waktu terjadi pertempuran di teluk beliau muncul menolong. Jangan-jangan senjata itu ada padanya…."
“Aku mengira demikian. Kau tak usah khawatir. Senjatamu berada di tempat yang aman….”
“Aku tetap khawatir. Soalnya siapa bisa mengira sifat manusia…. Di luar bisa saja baik. Di dalam mungkin penuh maksud tertentu….”
Ratu Duyung terdiam. Pandangan matanya masih terus ke arah telaga. Sejak insiden di Puri Pelebur Kutuk dulu beliau selalu memendam rasa bersalah tak berkeputusan. Walau sebelumnya kasus itu sempat mereka bicarakan dan Wiro telah menganggap selesai namun di lubuk hati gadis ini selalu ada perasaan penyesalan yang sulit dilupakannya. Karena itu setiap Wiro menyampaikan sesuatu beliau seolah merasa bahwa ucapan cowok itu seolah merupakan sindiran yang ada hubungannya dengan insiden lama. Melihat sang Ratu berhening diri , rahasia Wiro mengira mungkin gadis itu tersinggung dengan ucapannya tadi. Maka sambil memegang jari-jari tangan kiri Ratu Duyung , Wiro berkata. “Ratu , jangan kau merasa tersinggung. Segala ucapanku polos belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan diri kita berdua atau apapun yang pernah terjadi antara kita berdua….”
“Aku tahu…” jawab Ratu Duyung dengan bunyi setengah berbisik. “Tapi sulit bagiku melenyapkan rasa bersalah dari lubuk hati ini. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaanku terhadap diriku sendiri dan terhadap dirimu. Aku….”
Ratu Duyung tersendat. Ucapannya terhenti. Sepasang matanya yang biru tampak basah. Wiro meremas jari-jari tangan gadis itu. Malah dengan tangannya yang lain beliau merangkul pundak sang Ratu seraya berbisik.
“Ratu , jangan menangis….”
“Kalau tidak menangis rasanya hati ini belum lega Wiro. Dada ini serasa sesak berkepanjangan. Tekanan batin mengikuti kemana pun saya pergi….”
“Kau gadis gagah. Kau bisa menyingkirkan semua itu….”
“Aku insan biasa. Manusia biasa yang jalan hidupnya ditakdirkan lain….”
“Jangan menyalahi dirimu. Jangan menyalahi siapa-siapa. Kau yaitu kau dan saya senang serta gembira melihat kau apa adanya….”
“Betul ucapanmu itu Wiro?” tanya Ratu Duyung seraya menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212. Dua pasang mata sama beradu pandang. Dua hati berpadu rasa. Dua jantung berdegup penuh cinta.
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
Entah siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu dua insan itu telah karam dalam pelukan mesra.
“Wiro…” bisik Ratu Duyung sambil membelai kuduk cowok itu.
“Hemmm….” Wiro bergumam.
“Seringkali rasa senang mirip yang kualami ketika ini menipu diriku sendiri. Membuat saya lupa siapa diriku sebenarnya’….”
“Bukankah kukatakan tadi kau yaitu kau. Dan saya gembira melihat kau apa adanya…” kata Pendekar 212 balas membelai punggung Ratu Duyung dengan usapan jarijari tangan yang lembut. Ratu Duyung pejamkan kedua matanya. Wajahnya disandarkan di dada kiri Wiro. “Aku suka mendengar kata-katamu itu Wiro. Tapi saya sadar hatiku tak bisa ditipu oleh jalan pikiran. Sebaiknya pikiranku tidak pula sanggup ditipu oleh bunyi hati.
Sesuatu i di lubuk hati ini mendekam semenjak usang , tak kuasa saya utarakan. Bahkan mungkin terpaksa harus ku-tanam lebih dalam dan*lebih jauh”. Lebih dalam dari sentra bumi. Lebih jauh dari ujung dunia. Biarlah hanya getaran nya saja yang tetap hidup dalam alam-i ku yang serba aneh. Alamku yang tak mungkin bersatu dengan alammu….”
Wiro mendekap pipi Ratu Duyung dengan dua tangannya kemudian mengangkat kepala gadis itu. Se-pasang mata biru Ratu Duyung tampak berkaca-kaca. Walau berair oleh air mata tapi di balik segala kedukaan yang ada masih terbayang cahaya senang dan mesra. Sudah semenjak usang gadis ini membayangkan betapa indah dan mesranya bila berada dalam pelukan Wiro. Semua ini menjadi kenyataan. Mereka bermesraan. Namun hingga berapa usang kemesraan ini akan didapat dan dirasakannya?
“Tuhan…. Jangan kau pupus dan sirnakan kebahagiaan ini dari tanganku….” Suara yang muncul di lubuk hati Ratu Duyung lebih merupakan bayangan ketakutan daripada permintaan. Lehernya yang putih jenjang bergerak-gerak membuktikan beliau berusaha menahan gelora hatinya. Wiro merunduk. Dengan permukaan bibirnya ditelusurinya leher dan tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ratu Duyung mencicipi kehangatan yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sesaat terbayang kembali olehnya insiden di Purr Pelebur Kutuk. Ketika mereka berdua-dua berada di atas ketiduran tanpa sehelai benang pun menutupi aurat.
Ratu Duyung mendesah halus. Tubuhnya menggeliat. Pelukannya tiba-tiba mengencang seolah Wiro tak akan dilepaskannya untuk selama-lamanya. Wiro mencicipi dada berair keringatan berdegup kencang di wajahnya yang memanas. Hampir beliau terlupa dan hendak membenamkan wajahnya di belahan dada gadis itu tiba-tiba Wiro ingat , perlahan-lahan ditariknya kepalanya. Dilihatnya wajah Ratu Duyung memerah. Sepasang matanya terpejam , bibirnya yang merah terbuka merenggang dan cuping hidungnya bergerak-gerak.
Wiro ingin sekali mengecup bibir yang bagus dan berair itu. Namun cowok ini masih sanggup menahan diri. Dalam gelora yang membakar darahnya beliau masih ingat untuk tidak berbuat lebih jauh. Jangan hingga dorongan hatinya menghipnotis jalan pikiran.
“Ratu ,” bisik Wiro di antara desah napasnya yang panas clan menderu. “Tadi kau menyampaikan alammu masih berbeda dengan alamku. Padahal sesudah insiden di Puri itu , bukankah kutukan yang menimpa dirimu telah sirna? Kau bukan lagi makhluk setengah insan setengah ikan? Kau benar-benar telah menjadi seorang anak insan , seorang gadis dengan segala kecantikan , keanggunan dan kesucian yang ada.”
Sepasang mata Ratu Duyung yang berair masih terpejam. Dua tangannya masih merangkul lembut punggung dan belakang kepala cowok itu. “Kau betul. Diriku dan juga diri semua anak buahku telah bebas dari kutukan yang menyengsarakan itu. Namun dalam kebahagiaan itu saya juga menyadari. Sekian usang hidup di dasar samudera dalam alam yang berbeda telah menjadikan diriku bersatu men-darah daging dengan alam yang serba ajaib itu. Membuat diriku asing di tengah alammu walau wujud diriku tidak beda dengan insan lainnya. Aku merasa diri ini tidak punya tempat dalam dunia ini….”
“Itu hanya perasaanmu saja Ratu. Perlahan-lahan tapi niscaya kau akan terbiasa. Kau kelak akan mencicipi betapa bahagianya hidup di dunia ini. Dengan segala masalahnya baik suka maupun duka…”
Ratu Duyung gelengkan kepalanya. Air mata jatuh berderai dari celah-celah barisan bulu matanya yang panjang dan lentik. Mulutnya terbuka namun tidak ada ucapan yang sanggup dikeluarkannya. Hanya bunyi hatinya yang berkata dan tak mungkin terdengar oleh Wiro. “Kau tidak tahu Wiro , bukan hidup di alammu itu yang menakutkan diriku. Tapi hidup tanpa dirimu di sampingku yang menciptakan saya seolah merasa mati dalam hidup ini.
Aku boleh tahu besarnya kasih sayang kecintaanku padamu. Tapi saya tidak tahu apakah kau mempunyai dan berapa besarnya kasih sayang dan rasa cintamu terhadapku. Yang saya tahu yaitu saya tak bakal sanggup mempunyai dirimu. Ini mirip sudah menjadi takdir. Kau tak akan pernah menjadi milikku. Hati ini tahu , perasaan ini-mengerti , ada seorang iain yang kau kasihi dan kau cintai dengan seputih hatimu. Wiro , setinggi gunung kasih sayangku , sedalam lautan cintaku padamu tapi saya sadar bahwa saya hanya akan meratap dalam kebahagiaanmu bersama gadis lain itu….”
Ratu Duyung berusaha menahan sengguk tangis hingga bahunya terguncangguncang. Wiro peluk gadis ini erat-erat. Terasa kehangatan air mata Ratu Duyung menyentuh dadanya.
“Ratu , kau harus berani menghadapi kenyataan. Hidup yang bersama-sama hidup yaitu hidup di alam ini , bukan di alammu. Kita akan bersama-sama. Kita akan berjalan berdampingan dalam suka maupun susah….”
Ratu Duyung angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru dibuka. Menatap lembut penuh mesra. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. “Semua yang kau ucapkan itu pancaran bunyi hatimu yang tulus. Tapi Wiro. Tidak mungkin kita bersamasama , berjalan berdampingan dalam suka maupun susah. Karena saya tahu kau bukan milikku. Ada gadis lain yang lebih baik dan cocok untuk dirimu….”
Wiro hendak menggaruk kepalanya mendengar kata-kata Ratu Duyung itu tapi si gadis tersenyum dan pegangi tangan sang pendekar.
“Kau tahu hal itu Wiro. Kau tak akan mau menipu dirimu sendiri. Yang saya pinta ketika ini hanyalah izinkan diri ini sedikit lebih usang berada dalam keadaan mirip ini , bermesra berdua-dua dengan dirimu. Karena mungkin ini kesempatanku yang pertama dan yang terakhir….”
“Eh , memangnya kau mau ke mana? Mau melaksanakan apa?” tanya Wiro.
“Kau bukan milikku tapi milik gadis lain. Cintamu bukan milikku tapi milik seorang lain. Kau harus mengakui itu. Aku tak perlu menyebut siapa adanya gadis itu….”
“Aku….” Wiro gelengkan kepala dan usap pipi sang Ratu dengan jari-jari tangan kanannya. “Kalau kau sudah tahu…. Aku akan berterus-terang padamu. Aku memang pernah menyukai dan mengasihi seorang gadis….”
Ratu Duyung pejamkan sepasang matanya yang biru. Jauh di lubuk hatinya seolah ada sembilu menyayat perih. Bibirnya bergetar.
“Tapi saya hanya bertepuk sebelah tangan ,” terdengar kembali bunyi Wiro. “Aku senang orang tak suka. Aku sayang orang tak cinta….”
Ratu Duyung perlahan-lahan buka kedua matanya. Gadis ini berusaha menguatkan hatinya untuk bisa berucap.
“Wiro , cinta tak selalu mirip apa yang kita lihat. Bagi seorang gadis cinta yang ada dalam hatinya terhadap seorang cowok tidak ubahnya mirip gunung es yang kelihatan hanya secuil di permukaan samudera. Bagian cinta yang sangat besar disimpan dan disembunyikan di bawah permukaan laut. Di dalam bahari hati sanubarinya. Dipeliharanya baik-baik….”
“Ah , saya tidak mengerti…” ujar Wiro. Kembali beliau hendak menggaruk kepala tapi lagi-lagi tangannya dipegang oleh Ratu Duyung.
“Gila! Kepalaku mau pecah rasanya lantaran gatal! Aku tak bisa menggaruk! Lepaskan peganganmu Ratu.”
Ratu Duyung tersenyum. Sambil terus pegangi tangan Wiro beliau berkata.
“Sebagian dari keindahan cinta justru yaitu pada ketidakmengertian itu Wiro… ,”
Perlahan-lahan Ratu Duyung angsurkan wajahnya mendekati wajah Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi kelagapan ketika bibir gadis itu menyentuh permukaan bibirnya. Tapi kegelapan si cowok hanya sebentar. Dilain ketika dua insan ini karam dalam kemesraan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Wiro…” bunyi Ratu Duyung bergumam diantara desau napas. Wajahnya disusupkan ke pundak si cowok dan sepasang matanya melirik ke arah timur , ke balik serumpunan semak belukar. “Sudah pergi…. Dia sudah pergi…. Pasti hatinya akan tersayat perih menyaksikan saya dan cowok yang dicintainya dalam keadaan begini rupa. Apakah beliau bisa mengerti , apakah gadis itu mau memahami. Bahwa hanya ini kebahagiaan hidup yang bisa kudapatkan dan tak lebih dari ini. Aku hanya meminta secuil kebahagiaan ini. Kalau ini satu dosa semoga kau mau memaafkan dan Tuhan mau mengampuni. Sahabat , saya tidak akan menodai diriku dan diri cowok yang kau kasihi. Kau akan mendapatkan nya sebagai seorang kekasih yang bersih. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian berdua….”
“Ratu , saya mendengar mirip kau bicara sendirian…” kata Wiro seraya mendekap wajah Ratu Duyung dengan dua tangannya ,
“Wiro , kita sudah terlalu usang di tempat ini. Kau tahu daerah ini kurang amah. Orang-orang Lembah Akhirat bisa muncul setiap saat. Lagipula saya punya firasat ada sesuatu bakal terjadi di dasar telaga. Sebaiknya kita menyusul orang-orang itu masuk ke dalam telaga….”
“Tapi Eyang Sinto Gendeng meminta kita berjaga-jaga di sini….”
“Jika sesuatu akan terjadi niscaya akan terjadi walau kita berjaga-jaga bagaimanapun. Mari….” Ratu Duyung memegang lengan Pendekar 212 , siap mengajaknya terjun ke dalam air.
“Ratu , kau tahu saya tak mungkin masuk ke dalam air sepertimu , Kecuali kau mendekap dan menyirap diriku mirip yang kau lakukan terhadap orang-orang itu.”
“Hemmm….” Sang Ratu meragu sejenak. Kalau dilakukannya apa yang dipinta Wiro yakni memperlihatkan ilmu kemampuan masuk ke dalam telaga dengan cara mendekap , mungkin lain yang akan terjadi. Mungkin salah seorang dari mereka akan lupa diri.
“Guruku ada di dalam telaga. Dia niscaya murka besar kalau diketahuinya saya ikut masuk. Padahal beliau sudah berpesan biar kita tetap berada di sini untuk berjaga-jaga.”
“Aku tahu sifat gurumu. Gampang murka simpel pula baiknya.”
“Tapi Ratu mungkin ancaman lebih besar akan menghadang diriku di dalam telaga sana. Walau saya masih mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan juga mempunyai ilmu tidur yang diberikan Si Raja Penidur tapi saya khawatir….”
“Celaka bisa terjadi di mana-mana. Kalau dihadang , malapetaka malah tak datang. Kalau lengah celaka malah jatuh menimpa.”
Wiro terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung itu.
“Apa yang kau pikirkan Wiro? Kau takut mati karam dalam air? ingat kejadian sesudah geger besar di Pangandaran? Kau dan saya naik kereta kuda. La lu kita sama-sama masuk ke dalam samudera….”
“Ah!” Wiro gerakkan tangan kanannya yang tidak lagi dipegang Ratu Duyung kemudian menggaruk kepala sepuas-puasnya. Dia tidak menolak lagi sewaktu Ratu Duyung menarik tangannya untuk kedua kali dan mencebur masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.

*
* *

LIMA

Ketika Wiro dan Ratu Duyung bermesraan di tepi telaga seseorang berkelebat ke balik serumpunan semak belukar di sudut telaga tak berapa jauh dari dua muda-mudi itu berada. Orang ini mengenakan pakaian biru , berambut panjang pirang. Bau tubuh dan pakaiannya- yang harum menebar ke mana-mana. Bau harum inilah yang menciptakan Ratu buyung menyadari bahwa ada seseorang bersembunyi tak jauh dari tempat itu. Wiro sendiri lantaran sudah hilang kesaktiannya tidak bisa mencium amis harum tersebut. Dari amis wangi tersebut Ratu Duyung sudah bisa memperkirakan siapa adanya orang tersebut.
Sambil terus bercakap-cakap dengan Wiro , Ratu Duyung menyelidik , Memandang berkeliling risikonya beliau mengetahui bahwa orang itu bersembunyi di baiik serumpunan semak belukar. Rasa berdosa tiba-tiba saja muncul dalam hati Ratu Duyung. Tapi sebagai insan biasa yang tidak luput dari efek perasaan , apalagi perasaan seorang wanita yang selalu mempunyai rasa cemburu dan rasa ingin mempunyai seseorang , maka Ratu Duyung tidak memberitahukan kehadiran orang itu pada Wiro. Dia juga tak mau memutus percakapan dan buru-buru pergi dari tempat itu. Apa salahnya kalau ketika itu beliau boleh mereguk sedikit kebahagiaan , berdua-dua bermesraan dengan orang kepada siapa beliau berhutang budi dan kepada siapa cinta kasihnya tercurah.
Lain halnya dengan orang yang bersembunyi di balik semak-semak yang bukan lain Bidadari Angin Timur adanya. Gad is ini merasa sekujur tubuhnya bergeletar laksana dipanggang menyaksikan Wiro bermesraan dengan Ratu Duyung. Jari-jari tangannya terkepal dan dua matanya menyorotkan sinar murka penuh cemburu! Kalau beliau tidak berpikir panjang ketika itu juga mau beliau melompat keluar dan melabrak kedua orang itu. Tetapi begitu pikiran jernih memasuki kepalanya maka perlahan-lahan gadis ini bisa menguasai dirinya. Malah rahasia beliau menyadari mungkin semua itu terjadi lantaran kesalahannya sendiri. Selama ini beliau mengambil perilaku curiga dan selalu menjauhi Wiro. Apa yang harus disesalinya kalau kini cowok itu jatuh ke tangan gadis lain? Namun bagaimanapun beliau ingin berpikir jernih , rasa mementingkan diri sendiri tidak mungkin dipupusnya sama sekali.
“Ratu Duyung , ternyata kau yaitu gadis gampangan. Dan kau Wiro , kau tak lebih dari seorang cowok mata keranjang yang sanggup bercinta dengan siapa saja dan tega melukai hati setiap gadis…”
Bidadari Angin timur bersimpuh di tanah. Wajahnya ditutup dengan sepasang tangannya yang berjari-jari halus. “Apa yang harus saya lakukan? Menangis? Berteriak marah! Atau lebih baik kupukul sendiri kepala ini hingga pecah?! Aku mencarinya ke teluk. Dari kabar yang kudapat katanya beliau dalam bahaya. Ternyata kini beliau berada di tepi telaga. Bercinta dengan Ratu murahan itu!”
Bidadari Angin Timur turunkan kedua tangannya. Wajahnya menjadi sangat merah. Dua matanya laksana kobaran api. Cepat-cepat kepalanya dipalingkan ke jurusan lain. Tak sanggup beliau menyaksikan bagaimana Ratu Duyung dan Wiro Sableng saling berkecupan.
“Mesum…. Hidup ini ternyata penuh kemesuman!” jerit Bidadari Angin Timur.
Tinjunya kiri kanan dipukul-pukulkannya ke paha. Tiba-tiba beliau mendengar bunyi sesuatu masuk ke dalam telaga. Ketika beliau menoleh Ratu Duyung dan Pendekar 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu.
“Mereka masuk ke dalam telaga. Aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan. Jangan-jangan Ratu itu mempunyai istana di dalam telaga. Tempat mereka berdua bisa berbuat apa saja. Aku harus masuk ke dalam telaga! Harus! Tapi tak mungkin…. Walau saya bisa berenang tak mungkin bisa bertahan usang dalam telaga itu!” Kembali si gadis dibuncah perasaan murka dan cemburu. Dia melangkah mondar-mandir. Dia berpikir keras apa yang harus dilakukannya biar kedua orang itu segera keluar dari dalam telaga. “Aku tak mungkin membakar telaga ini! Aku juga tak punya racun untuk ditebar hingga mereka sesak napas dan terpaksa keluar dari dalam air. Apa yang harus kulakukan! Apa!!!”
Selagi beliau melangkah mondar-mandir di tepi telaga mirip itu tiba-tiba saja sesosok tubuh berjubah hitam tegak di hadapannya. Dia melihat sepasang tangan berkuku panjang. Lalu beliau mendengar bunyi tawa cekikikan.
“Gadis anggun berlesung pipit! Kita bertemu lagi! Hik… hik… hik!”
Bidadari Angin Timur angkat kepalanya. Dia melihat satu wajah bulat putih penuh keriput. Rambut putih yang dulu dilihatnya digulung di atas kepala kini tergerai lepas riapriapan. Orang ini semakin jauh lebih renta daripada ketika pertama kali ditemuinya.
“Nenek Sika Sure jelantik…” ujar Bidadari Angin Timur.
Si nenek tertawa panjang. “Aku senang kau masih ingat namaku. Padahal saya tak pernah tahu siapa namamu! Hik..; hik… hik!”
“Nenek Sika saya gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa yang membawamu ke Telaga Gajahmungkur ini?” bertanya si gadis.
“Justru saya yang ingin bertanya. Apa yang membuatmu hingga berada di tempat ini! Hik… hik… hik! Dari cahaya matamu , dari rona air mukamu saya mengira keras kau berada dalam gelombang perasaan hati yang sulit kau kendalikan! Betul kan…?! Hik… hik… hik!”
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Gadis ini cuma menatap dengan tersenyum pada si nenek.
“Ah , kau tersenyum. Sepasang lesung pipit itu masih ada di kedua pipimu. Anakku , kau ingat pertemuan kita pertama kali , dulu. Aku menemuimu , dalam keadaan menangis berurai air mata. Sekarang pun kulihat sepasang matamu yang bagus berair oleh air mata. Wajahmu memperlihatkan adanya pukulan hati yang sangat berat. Sinar matamu seolah menyembunyikan satu dendam kesumat. Anakku , apakah ini menyangkut dilema dulu juga? Masih ada hubungannya dengan cowok yang kau bilang berjulukan Wiro Sableng bergelar Pendekar 212 itu? (Mengenal pertemuan pertama Sika Sure jelantik dengan Bidadari Angin Timur harap lihat Episode Asmara Darah Tua Gila)
Bidadari Angin Timur mengangguk perlahan. “Kau tentu masih ingat Nek , waktu itu kukatakan terus terang padamu ada satu ganjalan yang menciptakan saya tak mau berterus terang pada cowok itu bahwa saya mencintainya. Aku mengambil perilaku rnenjauhinya. Aku tak mau menjadi materi permainan cinta murahnya. Karena saya tahu banyak gadis anggun mengelilinginya. Semua menaruh hati pada cowok itu. Dan barusan saja saya melihat beliau bercinta bermesra dengan salah satu dari gadis itu. Di depan mataku. Mereka berpegangan tangan , saling berangkulan. Ma lah saya saksikan sendiri mereka….” Si gadis tidak sanggup lanjutkan ucapannya. Kepalanya digelengkan beberapa kali. Air mata menggelinding jatuh ke pipinya yang merah.
Sika Sure Jelantik usap kepala Bidadari Angin Timur. Seperti diketahui nenek satu ini yaitu seorang berhati keras dan kejam. Namun bagaimanapun juga beliau yaitu seorang wanita yang ikut merasa pilu melihat kesedihan yang diderita wanita iain. Apalagi terhadap Bidadari Angin Timur yang sudah dianggapnya sebagai cucu atau anak sendiri.
“Anakku , mirip yang saya bilang dulu. Kau menanam pohon beracun dalam tubuhmu sendiri. Semakin jauh hari berlalu semakin tinggi pohon itu mencuat ke kepalamu dan semakin dalam akarnya menghunjam ke kakimu. Kau harus segera mengambil keputusan. Menemui cowok itu dan menyampaikan terus terang bahwa kau mencintainya….”
“Aku tak sanggup melaksanakan itu Nek. Tidak ada seorang gadis pun yang mau berbuat begitu bagaimanapun besar cintanya terhadap seorang pemuda…”
“Kalau begitu kau mungkin terpaksa harus meninggalkannya….”
“Itu sama saja dengan bunuh diri!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Anakku , itulah kehebatan cinta! Bisa membunuh orang secara pelan-pelan bahkan bisa secara cepat! Nasib diriku sebagai contohnya. Sampai ketika ini tanganku sudah gatal untuk membunuh bekas kekasihku yang serong dimasa muda! Tapi belum juga kesampaian!”
“Nek , kalau seandainya kau bertemu dengan beliau dan beliau meminta maaf dengan setulus hati , bagaimana jawabmu?!”
“Pertanyaan gila sekali!” tukas Sika Sure Jelantik. “Dia memang pernah memperlihatkan perilaku menyesal dan minta maaf. Tapi apakah harga diriku ini hanya sebatas penyesalan dan undangan maaf? Aku sudah keburu berkubang dalam rasa aib setinggi langit sedalam lautan! Lalu suatu hari beliau tiba cengar-cengir bicara segala macam penyesalan dan minta maaf. Tidak anakku! Sika Sure Jelantik bukan wanita berhati loyang. Tapi juga tidak mempunyai hati emas! Dan sebagai wanita hatimu dengan hatiku mungkin berbeda. Buktinya kau hanya membisu saja ketika menyaksikan mereka bercinta di tepi telaga di depan mata kepalamu!”
“Nek , apa betul kadangkala cinta itu yaitu pengorbanan…?”
Sika Sure Jelantik tertawa gelak-gelak. “Pengorbanan yaitu istilah orang yang berada dalam keadaan dikalahkan dan lemah tak bisa berbuat apa. Apakah kau merasa orang yang dikalahkan dalam merebut hati cowok pujaanmu itu anakku?”
Paras Bidadari Angin Timur kelihatan bersemu merah.
“Apakah kau tak bisa lagi mengalihkan cintamu pada cowok lain?”
“Dia yaitu cowok pertama dan yang terakhir yang saya cintai Nek. Hati dan cinta kasihku hanya untuk beliau seorang walau mungkin saya tidak akan mendapatkannya….”
“Lalu kau mau menjadi perawan renta yang patah hati! Sungguh tolol perbuatanmu anakku! Hidup hanya satu kali , jangan disia-siakan….”
“Tapi bagaimana dengan dirimu sendiri Nek? Setelah kekasihmu mengkhianati dirimu , apa kau sanggup berpaling pada lelaki lain?”
“Itu pertanyaan gila! Aku tak mau menjawab!” kata Sika Sure Jelantik seraya bantingkan kaki kanannya hingga tepian telaga itu terasa bergetar. “Sekarang saya mau tanya. Apa yang membuatmu berada di Telaga Gajahmungkur ini. Kau boleh punya seribu alasan cinta! Tapi niscaya ada satu hal lain….”
“Tidak ada alasan lain Nek. Setelah saya menyirap kabar cowok itu bersama serombongan para tokoh silat tengah bergerak ke telaga maka saya segera ke sini. Aku memang menemuinya. Tapi sedang….”
“Sekarang di maha beradanya cowok itu?” tanya si nenek.
“Aku tidak tahu Nek. Mungkin sekali mereka masuk ke dalam telaga….” Menerangkan Bidadari Angin Timur.
Terkejutlah si nenek mendengar hal itu. “Dengar , saya pernah bertemu dan menolong seorang gadis tak dikenal. Tololnya saya tidak tahu namanya. Tapi ciri-cirinya berkulit putih , rambut panjang hitam dan pakaian merah. Menurut ceritanya beliau tengah mencari sebuah kerikil hitam di Telaga Gajahmungkur ini. Batu itu berguna untuk menyembuhkan ibunya yang sedang sakit. Pertanyaanku , apakah kau melihat gadis dengan ciri-ciri yang saya katakan itu?”
Bidadari Angin Timur menggeleng.
“Apa warna pakaian gadis yang bercinta dengan Pendekar 212?” tanya si nenek menyelidik lebih jauh.
“Hitam….”
Sika Sure jelantik mendongak ke langit kemudian menatap tajam ke arah telaga. “Setahuku Pendekar 212 tidak mempunyai ilmu menyelam dalam air. Jika beliau berani masuk ke dalam telaga berarti ada seseorang yang membekalinya ilmu. Hanya ada satu orang mempunyai kepandaian mirip itu. Ratu Duyung. Tapi sang Ratu tak pernah mengenakan pakaian hitam….”
“Gadis berpakaian hitam bersama Pendekar 212 itu memang Ratu Duyung Nek ,” menjelaskan Bidadari Angin Timur.
“Hah?!” Si nenek tersentak kaget. “Kenapa tidak kau beri tahu dari tadi! Ratu Duyung dan Pendekar 212 ada dalam telaga! Beberapa tokoh silat katamu sebelumnya telah menuju ke sini tapi tak kelihatan mata hidungnya! Jangan-jangan mereka sudah berkumpul di dasar telaga sana! Pasti ada sesuatu! Anakku , ayo kau lekas ikut bersamaku ke dalam telaga!”
“Aku tak bisa Nek….”
“Aku akan berikan ilmu menyelam seratus hari padamu!”
“Bukan itu masalahnya Nek. Aku hanya tak ingin masuk ke dalam telaga. Kuharap kau bisa memahami…”
“Hemmm…. Baik. Aku bisa memahami. Jika bertemu dengan Pendekar 212 biar saya memberi pelajaran padanya hingga nyawanya lepas dari badan!”
“Kuharap kau tidak melaksanakan hal itu Nek ,” memohon Bidadari Angin Timur.
Si nenek tersenyum. “Kau benar-benar mengasihi cowok itu. Tapi saya tak bisa menjamin apa saya akan membunuhnya atau tidak….” Tanpa menunggu tanggapan Bidadari Angin Timur si nenek segera saja melompat masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.
*
* *

ENAM

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Rahasia Cinta Tua Gila) Puti Andini telah ditelan oleh ular naga betina. Sebelumnya gadis ini menyaksikan bagaimana naga betina itu menyedot dan menelan kerikil putih sebesar dua kepalan tangan yang ditemukannya di dasar telaga.
Ketika tubuhnya disedot dan siap ditelan oleh naga betina itu Puti Andini berusaha selamatkan diri dengan coba menghantamkan satu: pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan diarahkan sempurna ke arah tanduk hijau yang mencuat di atas kepala naga betina. Namun belum sempat beliau menghantam ular naga tiba-tiba ulurkan lidahnya yang bercabang , pribadi melibat tubuh si gadis. Dalam keadaan tak berdaya , sekali pengecap menyentak maka tubuh Puti Andini pun lenyap ke dalam verbal hewan itu. Si gadis menjerit keras. Namun jeritannya tidak terdengar lantaran tubuhnya sudah berada dalam verbal ular naga. Dilanda rasa takut yang amat sangat gadis ini risikonya pingsan. Tubuhnya melayang masuk ke dalam tenggorokan , terus amblas ke perut ular naga.
Puti Andini , cucu Sabai Nan Rancak dan Tua Gila ini tidak tahu berapa usang beliau berada dalam keadaan pingsan. Ketika beliau siuman pertama sekali yang didengarnya yaitu bunyi hentakan keras duk… duk… duk… tak berkeputusan. Tubuhnya bergetar dan tersentak-sentak setiap bunyi itu terdengar. Lalu ada hawa sangat hambar menyelimuti sekujur tubuhnya. Demikian dinginnya hingga beliau merasa kulit dan daging tubuhnya seolah disayat-sayat. Dalam keadaan mirip itu beliau merasa dadanya sesak dan jalan napasnya mirip tertutup.
Perlahan-lahan Puti Andini buka kedua matanya. Dia dapatkan dirinya terbaring di dalam satu lorong redup berlantai tertutup cairan sangat licin berwarna kemerahan. Ada amis tidak yummy menyengat hidungnya. Gadis ini coba berdiri. Tapi untuk sesaat beliau hanya bisa duduk. Saat itulah beliau merasa ada cairan hangat di bawah hidungnya , sekitar pipi sementara sepasang matanya terpaksa setengah dipejamkan lantaran hawa hambar ajaib serta amis menusuk di tempat itu menciptakan matanya menjadi perih. Dirabanya kepingan bawah hidungnya. Jari-jari tangannya menyentuh cairan hangat. Ketika diperhatikannya ternyata darah.
“Ada darah keluar dari hidungku….”
Put! Andini mengusap pipinya kiri kanan. “Darah lagi…. Yang ini keluar dari dua liang telinga…. Aku…. Suara duk… duk… duk yang mirip hantaman palu itu….” Dia membutuhkan waktu beberapa ketika sebelum menyadari bahwa ketika itu beliau berada dalam tubuh ular naga betina. Dihunjam oleh rasa takut gadis ini cepat tegak berdiri. Kakinya terpeleset oleh licinnya lantai yang dipijaknya yang bukan lain yaitu perut besar ular naga betina! Dia mencoba bangun lagi sambil tangannya menggapai sesuatu di atas kepalanya untuk tempat bergayut. Saat itu terdengar bunyi menggemuruh. Si gadis terpelanting dan terpekik ketika tiba-tiba lorong perut ujar di mana beliau berada ketika itu berputar kencang dan membantingkan tubuhnya hingga jungkir balik kemudian meluncur sejauh beberapa tombak. Sesaat kemudian Puti Andini dapatkan dirinya berada dalam cairan busuk setinggi betis.
“Aku meluncur. Ke arah mana…? Mungkin ke kepingan ekor atau ke arah kepala? Napasku sesak. ,.. Mataku perih…. Kepalaku mirip mau pecah! Agak-nya saya akan menemui ajal dalam perut hewan ini! Aku tidak mau mati di sini. Aku harus melaksanakan sesuatu….”
Anehnya pada saat-saat mirip itu tiba-tiba muncul bayangan wajah seorang gagah yang indera pendengaran kanannya menggunakan anting-anting. “Panji…” desis Puti Andini. “Pemuda itu…. Di mana beliau sekarang? Dia tak bisa menolongku. Tak satu orang pun bisa menolongku…. Kalau saja dulu saya tidak meninggalkannya mungkin tidak begini nasibku. Kakek Tua Gila! Ini semua gara-gara petunjuk gilamu! Panji…. Ah , mengapa di ketika mirip ini saya ingin sekali melihat cowok itu….”
Megap-megap Puti Andini bersandar ke dinding di belakangnya yang yaitu kepingan dari perut besar * ular naga. Dalam keadaan mirip itu beliau melihat isi perut ular yang baginya tampak ajaib dan sangat menyeramkan. Tiba-tiba untuk kedua kalinya muncul bunyi menggemuruh. Perut ular bergerak dan membanting tubuh si gadis. Cairan busuk mengguyur muka dan tubuhnya menciptakan gadis ini berteriak keras kemudian semburkan muntah campur darah. Sadarlah Puti Andini kalau ada kepingan tubuhnya di sebelah dalam yang telah terluka.
“Aku tidak mau mati! Aku harus melaksanakan sesuatu! Aku harus keluar dari tempat celaka ini!” Dia memandang berkeliling. ‘Aku harus merangkak ke arah verbal ular. Itu satusatunya tempat untuk lolos. Tapi yang mana kepingan kepala , mana kepingan ekor? Atau kuhantam saja isi perut hewan ini. Tubuhnya di sebelah dalam niscaya tidak seatos sebelah luar! Makhluk aneh. Punya isi perut tapi tidak bertulang!”
Puti Andini seka darah yang terus mengucur dari hidungnya. Tangan kanannya diangkat. Tenaga dalam dialirkan penuh. Dia menghantam ke arah benda-benda ajaib yang merupakan kepingan dari isi perut ular naga.
“Wusss!”
Pukulan sakti si gadis menderu dan keluarkan bunyi menggema dahsyat. Bendabenda ajaib di depan sana kelihatan hancur berantakan. Lalu ada cairan merah mengguyur laksana curahan hujan. Saat yang sama terdengar bunyi ringkikan dahsyat. Tubuh ular naga betina tersentak ke atas , kemudian berputar bergulung-gulung. Puti Andini terpental kian kemari. Ketika beliau jatuh ke bawah beliau dapatkan dirinya terapung dalam cairan merah setinggi pinggang. Sementara itu bunyi duk… duk… duk menghantam indera pendengaran dan kepalanya semakin keras.
“Darah… di mana-mana darah….” Suara Puti Andini menggigil bukan saja lantaran hawa hambar yang mencucuk tapi juga oleh rasa takut amat sangat. Walau tenaganya seolah terkuras beliau berusaha bergerak , merancah dalam cairan merah setinggi pinggang. Dia tidak tahu apakah ketika itu beliau bergerak ke arah kepala atau ke kepingan ekor ular. Sementara dari bagian-bagian tubuh dalam ular naga yang hancur masih terus mengucur cairan darah yang makin usang menciptakan sekujur tubuh putih Andini berair kuyup. Sementara itu genangan darah di kepingan bawah perut semakin tinggi. Di satu sudut Puti Andini tersandar benarbenar kehabisan tenaga.
“Tamat riwayatku sekarang…” pikir si gadis. Mulutnya terbuka megap-megap.
Dadanya tambah sesak. Dia mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tapi yang masuk ke rongga pernapasannya hanya amis busuk sedang dari lobang hidungnya tak terasa lagi ada hembusan napas. Mulutnya terbuka megap-megap. Lututnya lung la i goyah. Sesaat tubuhnya akan terperosok jatuh ke dalam genangan darah ular tiba-tiba jauh di sebelah kirinya dari balik tubuh ular yang melingkar tampak seberkas cahaya terang.
“Mulut ular…. Pasti itu verbal ular….” Didorong oleh keinginan untuk menyelamatkan diri dan keluar hidup-hidup dari dalam perut ular itu Puti Andini . mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Perlahan-lahan beliau bergerak menyusuri dinding perut ular ke arah berkas cahaya yang muncul di sebelah sana.
Hanya satu tombak lagi beliau akan mencapai tikungan perut ular dari arah mana membersitnya cahaya terang tiba-tiba ular naga betina itu kembali memutar tubuh sambil meringkik keras. Untuk kesekian kalinya keadaan di dalam perut ular itu mirip selesai zaman bagi Puti Andini. Tubuhnya terpental kian kemari. Menghantam dinding perut dan terhempas ke dalam genangan darah. Untung baginya ketika beliau mencoba merangkak , genangan darah di lekukan tubuh ular di mana beliau berada hanya setinggi mata kaki. Dengan mata perih setengah terpejam gadis ini berpaling ke kanan; Dia hanya melihat kegelapan. Dia alihkan pandangan ke kiri. Harapan nya kembali muncul ketika dari arah sebelah sana kelihatan lagi berkas cahaya terang tadi.
Karena hanya bisa merangkak , itulah yang dilakukan Puti Andini. Dalam keadaan susah payah dan nyawa seolah sudah di depan mata risikonya anak Andam Suri ini berhasil mencapai kepingan perut ular yang terang. Terduduk di atas perut ular yang tergenang darah matanya terpacak ke depan. Dalam rongga besar perut ular itu beliau melihat sebuah benda putih melayang-layang seolah tanpa bobot. Benda inilah yang mengeluarkan cahaya menerangi sebagian perut ular.
“Astaga , benda putih yang melayang itu…. Bukankah itu kerikil putih ajaib yang saya temui di dasar telaga. Diperebutkan oleh dua ekor naga kemudian risikonya ditelan oleh naga betina?”
Puti Andini merangkak maju. mendekati kerikil putih yang melayang-layang. Ketika dirasakannya cukup bersahabat dengan sisa tenaga yang ada beliau menciptakan lompatan. Coba menangkap kerikil itu. Tapi luput. Puti Andini tersungkur. Saat itu terdengar bunyi menggemuruh. Perut ular bergoncang keras. Puti Andini terbanting ke kiri , terhempas menghantam dinding perut ular. Megap-megap beliau terkapar di atas genangan darah. Tapi sepasang matanya berusaha memperhatikan dan mengikuti gerakan kerikil putih yang melayang-layang. Dia beringsut berusaha mendekat kembali. Ternyata kerikil putih itu melayang ke jurusannya. Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan. Untuk kedua kalinya beliau melompat. Luput lagi! Padahal telapak tangan kirinya sempat bergeseran dengan kerikil itu.
Namun ketika itu tiba-tiba si gadis mencicipi satu kecacatan terjadi dengan dirinya. Waktu tangan kirinya bergeseran dengan kerikil putih beliau merasa ada satu hawa ajaib yang menciptakan kekuatannya pulih sedikit. Walau dadanya masih terasa sesak dan darah masih meleleh dari indera pendengaran serta hidungnya namun jalan napasnya terasa lebih longgar. Dengan kekuatan yang ada kini gadis itu bisa berdiri. Pandangannya tak lepas dari kerikil putih yang masih melayang-layang dalam perut ular. Tiba-tiba beliau melihat dua buah benda menempel di perut ular di hadapannya , di belakang kerikil putih. Pikiran si gadis jadi terbagi dua. Satu pada kerikil putih yang ingin ditangkapnya , kedua pada dua benda yang menempel di perut ular naga.
Benda pertama sebuah kitab dalam keadaan terkembang dan koyak.
“Aneh , perut ular ini hambar dan lembab. Semua tempat berair oleh darah. Tapi mengapa kitab itu tetap kering. Kitab apa gerangan adanya…?”
Puti Andini alihkan pandangannya pada benda kedua. Benda ini yaitu sebuah kerikil empat persegi panjang seukuran genggaman manusia. Salah satu ujungnya berbentuk bulat dengan dua tonjolan di kiri kanan ibarat kepala insan lengkap dengan indera pendengaran tapi tanpa wajah.
Batu ini mempunyai tujuh warna mirip tujuh warna pelangi yang mengingatkan Puti Andini pada payung tujuh warna nya serta gelar yang disandangnya yaitu Dewi Payung Tujuh. “Batu warna pelangi…” kata si gadis dalam hati. Seperti kitab di sebelahnya kerikil ini kelihatan kering , tidak berair atau pun terkena noda darah. “Dua benda ajaib , bagaimana bisa berada dalam perut ular…? Jangan-jangan dalam perut hewan ini pula tersimpan Pedang Naga Suci 212….”
Walau besar keinginan si gadis hendak menyelidik kitab serta kerikil ajaib itu namun beliau memutuskan untuk mendapatkan kerikil putih lebih dulu. Maka kembali Puti Andini memusatkan perhatiannya pada kerikil putih yang melayang-layang dalam perut ular.
“Kalau hewan ini tidak bergerak dan saya tidak hingga terjungkir balik kerikil ajaib itu niscaya saya dapatkan!” Puti Andini maju selangkah demi selangkah. Batu putih melayang di atas kepalanya berputar-putar. Lalu perlahan-lahan turun ke bawah melewati pundak kirinya. Si gadis cepat bersurut sambil memutar diri kemudian menyergap. Dua tangannya melesat ke atas.
“Dapat!” seru Puti Andini. “Plaaak!’ Tangan kiri dari tangan kanannya saling beradu. Dia hanya menangkap angin!
“Aneh…. Batu itu melayang perlahan. Dekat sekali di depan hidungku. Tapi mengapa saya tak bisa menangkapnya?” Puti Andini seka darah yang membasahi kepingan atas bibirnya. Sementara itu hawa hambar terasa semakin mencucuk dan amis tidak yummy semakin menusuk hidung.
Si gadis pandangi kerikil putih. “Aku harus dapatkan kerikil itu. Bagaimana caranya?”
Puti Andini memutar otak. Sesaat beliau pandangi dirinya sendiri yang berair kuyup oleh darah serta cairan busuk dalam perut ikan. Selintas pikiran menyeruak di kepala si gadis. Dengan cepat dibukanya baju merahnya. “Tak ada siapa-siapa di dalam perut ikan ini. Tak ada yang akan melihat diriku setengah telanjang mirip ini!”
Puti Andini peras baju merahnya sekering yang bisa dilakukan. Lalu baju itu dikembangkan , dipegang dengan kedua tangan. Apa yang dilakukan Puti Andini memang masuk akal. Walau ruangan dalam perut naga itu cukup besar namun dengan mempergunakan bajunya sebagai jaring , peluangnya untuk sanggup menangkap kerikil putih itu akan lebih besar. Maka dalam keadaan tanpa pakaian di sebelah atas beliau melangkah mendekati kerikil putih. Ha nya dua langkah lagi dari hadapan kerikil putih , begitu Puti Andini siap untuk menangkap benda itu dengan baju merahnya tiba-tiba kerikil putih melesat ke atas. Gerakan yang hanya menangkap angin di atas pijakan yang licin menciptakan sang dara jatuh terbanting dalam keadaan tertelentang. Selagi beliau mencoba berdiri tiba-tiba kerikil putih melesat ke bawah. Menyambar ke arah dadanya yang polos sebelah kiri. In! yaitu satu serangan yang tidak terduga.
Puti Andini cepat gulingkan diri untuk mengelak. Namun kerikil tiba lebih cepat.
“Mati aku!” keluh Puti Andini. Dia kemudian menjerit keras.
Batu putih menghantam permukaan dada kirinya dengan telak. Hantaman kerikil putih yang hanya sebesar dua kepalan tangan itu menciptakan tubuhnya terhenyak laksana ditindih dua gunung puluhan kati. Matanya mendelik besar. Di balik cairan darah yang mengotori mukanya gadis itu sepucat kain kafan!
*
* *

TUJUH

Sudah matikah aku….” Puti Andini bertanya pada diri sendiri. “Duk… duk… duk.”
“Aku mendengar bunyi duk-duk-duk itu. Berarti saya belum mati. Tapi dadaku berat sekali. Seolah ditindih kerikil sebesar kerbau….” Dia mencoba bangun tapi tak mampu. Memandang ke bawah gadis ini terkejut. Batu putih yang tadi menghantam tubuhnya ternyata menempel di dadanya yang putih , sempurna di atas jantung. Dia kembali coba berdiri , berguling ke kiri kemudian ke kanan. Tetap tak bisa. Tiba-tiba ada hawa ajaib mengalir ke dalam tubuhnya. Hawa ini berasal dari kerikil putih yang menempel di dadanya yang telanjang.
Dadanya yang sesak perlahan-lahan menjadi lega. Rongga pernapasannya yang sebelumnya mirip tersekat kini menjadi lancar , Darah yang tadi masih mengucur dari indera pendengaran dan lobang hidungnya serta merta berhenti. Tubuhnya terasa seringan kapas. Ketika dicobanya bangun sekali lagi , ternyata beliau bukan saja bisa berdiri tapi juga melesat ke atas hampir menyundul tubuh atas ular naga. Waktu jatuh ke bawah beliau merasa tubuhnya mirip melayang dan kakinya sama sekali tidak tergelincir menginjak perut licin ular naga yang digenangi darah!
“Ada kecacatan terjadi dengan diriku!” ujar Puti Andini dalam hati.
Baru saja beliau berkata begitu tiba-tiba muncul bunyi menggemuruh. Ular naga betina keluarkan ringkikan dahsyat kemudian membanting-banting diri di dalam telaga. Kalau tadi gerakan sedikit saja dari hewan itu menciptakan Puti Andini seolah merasa selesai zaman dalam perut ular , kini dengan tubuhnya yang begitu ringan beliau sanggup bergerak cepat mengimbangi diri hingga tidak jungkir balik atau terhempas dan terbanting-banting.
Ketika beliau tegak kembali Puti Andini terkejut. Batu putih itu ternyata masih menempel di atas dadanya yang kencang dan bergoyang-goyang mengikuti detak jantungnya yang keras. Dengan gemetar Puti Andini gerakkan tangan kanannya untuk memegang kerikil itu. Hanya seujung rambut saja jari-jari tangannya akan menyentuh kerikil putih , tibatiba satu tangan berkelebat mirip mengusap dadanya. Tahu-tahu kerikil putih itu tak ada lagi di atas dadanya. Disaat bersamaan muncul bunyi menggemuruh disertai bunyi ringkik panjang. Namun tidak terjadi apa-apa. Perut ular di mana Puti Andini berada tidak bergerak sedikit pun. Bahkan bunyi duk-duk-duk bunyi jantungnya tidak terdengar seolah ular raksasa ini telah berhenti bernapas. Ketika beliau memandang ke depan tersurutlah gadis ini hingga punggungnya menyentuh perut naga.
Lima langkah di hadapannya tegak sosok tubuh seorang sangat renta berpakaian berupa selempang kain putih. Rambutnya yang panjang putih menjulai ke bawah. Walau hanya sebagian saja wajah orang ini yang kelihatan namun Puti Andini segera mengenali. Cepat Puti Andini tutupkan kedua tangannya di dadanya yang terbuka polos.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang renta yang saya lihat di ruang kerikil pualam. Yang keluar dari makam putih…” desis Puti Andini dalam hati.
Si orang renta gerakkan kepalanya sendiri. Rambutnya yang menjulai menutupi wajahnya tersibak ke belakang. Kini kelihatan keseluruhan wajah orang renta ini , berkumis dan berjanggut putih panjang. Sepasang matanya memandang tajam ke arah Puti Andini , menciptakan si gadis merasa tidak enak.
“Apa lagi yang ada di benak orang renta ini. Sebelumnya beliau menyuruh anak-kecil berjulukan Naga Kilning itu menjebloskan diriku ke dalam Liang Lahat. Kini tahu-tahu beliau ada dalam perut ular naga. Apa memang beliau tinggal di sini? Yang terang beliau bisa menerobos ruang dan waktu dan muncul secara tak terduga….”
“Suci kembali kepada suci. Hanya kesucian bisa mendapatkan kesucian….” Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
“Apa maksud ucapan orang renta ini….” kata Puti Andini dalam hati tak mengerti.
Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas ulurkan tangan kanannya yang memegang kerikil putih. Walau jarak mereka terpisah lima langkah namun luar biasanya seolah bisa memanjang tangan sang Kiai tahu-tahu sudah berada sejengkal di bawah dagu si gadis. Hawa hambar yang keluar dari kerikil putih menyambar menyapu wajah Puti Andini.
“Sesuatu yang suci yang bisa berada di tangan yang suci….” Kembali si orang renta berkata.
“Orang tua…. Apa maksudmu. Aku tidak mengerti ,” ujar Puti Andini.
“Bukankah kau masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur untuk mencari benda ini? Ambillah!” Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangan kanannya yang memegang kerikil putih. Kembali ada hawa hambar menyapu wajah sang dara.
Puti Andini pandangi kerikil putih dalam genggaman si orang tua. Dalam hati beliau berkata. “Yang kucari bersama-sama bukan kerikil putih itu….”
“Anak gadis mengapa kau mendadak menjadi ragu. Ambillah. Benda ini memang berjodoh denganmu. Tak ada satu kekuatan pun bisa menghalangi pemilikanmu atas benda ini.”
“Batu putih ini….”
“Dengar , saya tak mungkin berada lebih usang di tempat ini. Lekas ambil kerikil ini dan tinggalkan Telaga Gajahmungkur….”
“Tapi saya terperangkap dalam perut ular besar ini. Bagaimana mungkin….”
“Kau akan menyesal seumur hidup bila tidak segera mengambil kerikil putih ini!” memotong Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Puti Andini ulurkan tangan kanannya. Pada waktu itulah tiba-tiba keadaan dalam perut ular menjadi sangat redup. Yang kelihatan hanya kerikil putih itu. Di kejauhan , entah darimana arahnya menggema bunyi suitan ajaib disusul bunyi ringkikan panjang. Lalu ada bunyi menggelegar beberapa kali berturut-turut. Namun dalam perut ular tidak terjadi apaapa , tak ada goyangan bahkan getaran pun tidak terasa.
Kiai Gede Tapa Pamungkas lepaskan kerikil putih yang dipegangnya. Dalam gelap benda ini berkilauan jatuh ke bawah , cepat disambut oleh Puti Andini. Hawa hambar pribadi menjalari tubuhnya.
“Anak gadis yang berjodoh , saya pergi sekarang. Selamat tinggal…. Kita tak akan bertemu lagi. Anggap juga kita tak pernah bertemu!”
Memandang ke depan Puti Andini hanya melihat sekilas bayangan putih berkelebat. Lalu beliau tak melihat apa-apa lagi. Orang renta itu lenyap dari hadapannya. Bersamaan dengan itu perlahan-lahan keredupan di tempat itu berkurang.
“Dia muncul dan lenyap secara aneh. Kalau beliau memang berniat baik mengapa beliau tidak menyelamatkan diriku keluar dari perut naga ini? Lalu segala ucapannya tadi? Sesuatu yang suci hanya bisa berada di tangan yang suci. Apa maksudnya…?”
Selagi berpikir begitu tiba-tiba Puti Andini mencicipi mirip ada cairan sangat hambar mengucuri tangan kanannya yang memegang kerikil putih. Ketika diperhatikan terkejutlah gadis ini. Batu putih yang ada di atas telapak tangannya dilihatnya meleleh cair mirip lapisan salju tersentuh hawa panas. Begitu kerikil putih berhenti meleleh kini di telapak tangannya si gadis melihat sebuah benda ajaib , bergulung mirip sebuah ikat pinggang. Ujung benda ini berbentuk kepala seekor naga , terbuat dari materi keras putih yang berdasarkan dugaannya yaitu sejenis tulang atau mungkin sekali gading. Bagian benda yang bergulung memancarkan cahaya putih menyilaukan serta menebar hanya sangat dingin.
Puti Andini mendadak mencicipi sekujur tubuhnya bergetar. Dadanya berdebar keras. Seumur hidup beliau belum pernah melihat Pedang Naga Sues 212. Tua Gila walau menyuruh beliau mencari senjata mustika itu namun tidak pernah menyampaikan bagaimana bentuk atau warnanya.
“Jangan-jangan….” Puti Andini gerakkan tangan kanannya memegang kepingan benda yang berbentuk kepala ular naga. Tiba-tiba!
“Sreeetttt!”
Laksana kilat benda yang bergulung bergerak membuka. Cahaya putih berkiblat. Puti Andini terpekik. Benda yang dipegangnya terlepas. Sesuatu yang tajam menggurat pundak di atas dada kirinya. Bersamaan dengan itu gadis ini terjajar dua langkah ke belakang. Lalu terdengar bunyi sesuatu robek besar.
“Craaaasss!”
Puti Andini kembali menjerit.
Perut naga di sebelah depannya robek besar dan panjang laksana ditoreh oleh sebuah benda yang sangat tajam. Bersamaan dengan itu ular naga meringkik keras dan membalikkan tubuhnya , menggelepar kian kemari. Puti Andini melihat air telaga masuk ke dalam perut ular. Namun dari dalam perut ular menghantam tekanan yang sangat dahsyat disertai semburan darah , mendorong ke luar. Benda putih yang tadi melukai dada kiri Puti Andini melesat ke luar dari perut ular. Samar-samar si gadis masih sempat melihat bentuk benda itu. Ternyata sebuah pedang sangat tipis , memancarkan cahaya putih dengan hulu berbentuk kepala naga.
“Pedang Naga Suci 212!” seru Puti Andini dalam , hati dengan mata terbelalak. Dia berusaha menyambar pedang itu dengan tangan kanan. Namun disaat yang sama tubuhnya terpental keluar perut ular yang robek besar. Tekanan yang dahsyat menciptakan pedang yang berusaha digapainya terdorong jauh hingga beliau hanya menangkap air sedang dirinyasendiri terlempar jauh.
Bersamaan dengan itu dari dalam perut naga betina terlempar pula dua buah benda yaitu kitab putih yang koyak dan kerikil persegi panjang yang dibalut tujuh warna. Naga betina yang perutnya jebol sepanjang dua tombak dan mengeluarkan asap ajaib membanting-banting diri kian kemari hingga air telaga laksana dibuncah gelombang. Tanah , pasir serta bebatuan dan semua benda yang ada di tempat itu termasuk sosok Puti Andini terpental-pental kian kemari. Keadaan gelap mengelam. Di kejauhan terdengar bunyi menggemuruh laksana gunung runtuh.
“Celaka! Kemana lenyapnya pedang tadi…” ujar Puti Andini. Dia menggapai-gapai kian kemari. Kaki dan tangannya digerak-gerakkan. Tiba-tiba beliau merasa satu keanehan. Gerakan nya tadi menciptakan tubuhnya bisa bertahan dan tidak terpental lagi. Padahal air telaga masih terus membuncah.
“Apa yang bersama-sama terjadi di tempat ini!” pikir Puti Andini. Dia memandang berkeliling berusaha mencari dimana adanya pedang putih yang tadi terlepas dari tangannya. Sesaat ketika .keadaan mulai damai dan terang kembali yang dilihatnya bukan pedang itu melainkan sosok-sosok jerangkong dan tulang belulang insan serta beberapa jenazah mengapung di sekitarnya.
Lalu telinganya menangkap riakan-riakan halus di sebelah atas. Ketika beliau mendongak memperhatikan terkejutlah gadis ini. Di atas sana di antara mereka memegang sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya putih.
“Pedang itu!” seru Puti Andini dalam hati. Segera saja gadis ini berenang ke atas. Lagi-lagi beliau merasa aneh. Dia hanya menggerakkan tangan serta kaki biasa-biasa saja. Tapi tubuhnya melesat ke atas cepat sekali. Hingga dalam waktu singkat beliau sudah berada di bersahabat kelompok orang-orang itu.
*
* *

DELAPAN

Di dalam telaga , beberapa ketika sebelum perut ular naga dibusai robek oleh pedang putih. Dua orang yang barusan dilihat Sinto Gendeng di dalam Telaga Gajahmungkur itu bukan lain yaitu Pendekar212dan Ratu Duyung. “Ratu keparat bermata biru itu! Pasti-dia yang punya gara-gara hingga si anak setan ikut masuk ke dalam telaga ini! Berani- beraninya gadis itu mencampuri urusanku!”
Untuk sesaat nenek sakti dari Gunung Gede ini lupakan kemarahannya terhadap Naga Kuning. Kini kejengkelannya ditumpahkan pada Ratu Duyung dan muridnya. Sinto Gendeng cepat berenang menyongsong Wiro dan Ratu Duyung. Panji serta Setan Ngompol berenang mengikuti di sebelah belakang. Begitu hingga di hadapan Ratu Duyung si nenek pribadi mendamprat.
“Ratu Duyung! Gara-garamu muridku jadi celaka sengsara! Sekarang beraninya kau
mencampuri urusanku! Bertindak menjadi penghalang! Menolong bocah kurang asuh itu!
Apa maumu! Berada di pihak mana kau sebenarnya?!”
Dibentak oleh guru cowok yang dicintainya mirip itu Ratu Duyung hanya bisa tundukkan kepala sambil pegang cermin bulat sakti yang tadi dipergunakannya menangkis serangan tusuk konde yang hendak menusuk mata kiri Naga Kuning. Di atas beling itu kini tampak menempel dua buah tusuk konde yang tadi digunakan Sinto Gendeng untuk menyerang si bocah. Walau beliau maklum mengapa si nenek hingga murka besar namun Ratu Duyung merasa sedih. Baginya apa perlunya si nenek mengungkit dilema usang yang dianggapnya sudah selesai.
Melihat Ratu Duyung hanya membisu sambil tundukkan kepala Sinto Gendeng berpaling pada muridnya.
“Anak setan! Bukankah kau saya perintahkan tetap di tepi telaga untuk berjaga-jaga?! Mengapa masuk ke sini bersama gadis bermata biru ini?! Kalian berdua dasar manusiamanusia gatal!”
“Eyang , kami tiba ke sini bukan untuk mengacau. Ratu Duyung melihat sesuatu yang mungkin…”
“Bukan untuk mengacau katamu! Dia mencampuri urusanku! Dia menghalangiku membunuh anak itu!” hardik Sinto Gendeng hingga Setan Ngompol yang ada di sebelahnya tersentak kaget dan terkencing.
Wiro garuk-garuk kepala. “Eyang , apa perlunya membunuh Naga Kuning. Dia anak baik…. Dia pernah menolongku. Dia….”
“Kalau bicara soal tolong-menolong saya dua kali menyelamatkan dirinya! Berarti dua kali pula saya boleh membunuhnya!” jawab Sinto Gendeng hampir berteriak hingga gelembung-gelembung air melayang-layang di sekitar mulutnya.
Naga Kuning yang semenjak tadi berdiam diri tibatiba berenang ke hadapan Sinto Gendeng kemudian berkata. “Nek , betul sekali ucapanmu. Kau telah menyelamatkan diriku hingga dua kali! Jika kau memang merasa sebagai wakil Tuhan untuk mencabut nyawaku silahkan kau bunuh saya ketika ini juga!”
Lalu , “Brettt!”
Naga Kuning robek baju hitamnya hingga dadanya terpentang telanjang. Di atas dada itu terpampang gambar ular naga berwarna kuning. Sepasang matanya berwarna merah. Di mata Sinto Gendeng gambar ini seolah hidup dan bergerak ke arahnya dengan kepala terpentang. Si nenek cepat berenang mundur dengan wajah berubah. Ketika beliau memperhatikan wajah Naga Kuning , wajah itu dilihatnya bukan lagi wajah seorang bocah melainkan wajah seorang kakek-kakek.
Melihat gurunya terpojok , Wiro cepat ambil dua buah tusuk konde perak yang menempel di cermin bulat yang dipegang Ratu Duyung kemudian diserahkannya pada Sinto Gendeng.
“Anak setan! Kau hanya bisa menciptakan saya aib setengah mati! Kapan kau bisa menyenangkan diriku si renta bangka ini! Jauh-jauh saya ke sini lantaran hendak menolongmu! Mencari Pedang Naga Suci 212 untuk mengobati dirimu! Malah kau berbuat kurang asuh terhadapku!” Dengan wajah cemberut Sinto Gendeng sambar dua buah tusuk konde perak yang diserahkan muridnya.
“Maafkan saya Nek ,” kata Wiro. “Jika kau tidak suka melihat kami berada di sini , kami akan naik ke atas kembali….” Lalu Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung.
“Aku juga merasa tidak perlu berada lebih usang di tempat ini!” ucap Naga Kuning. Lalu beliau berenang pula menuju permukaan telaga.
Pada waktu itulah tiba-tiba ada bunyi ringkikan keras disusul oleh menebarnya sesuatu mirip kabut di sebelah atas telaga. Lalu menyusul bunyi menggemuruh dan bersamaan dengan itu air telaga tampak berubah merah oleh darah kemudian bergulung-gulung hingga semua orang yang ada di tempat itu berpelantingan kian kemari!
Dalam keadaan yang tiba-tiba menjadi kelam di atas sana ada seberkas cahaya putih berkiblat. Setan Ngompol pegangi perutnya yang bocor berat terkencing-kencing. Sinto Gendeng letakkan dua. tangan di atas mata. Hatinya berdebar melihat kilauan cahaya putih itu. Dia berteriak pada Setan Ngompol. “Ikuti saya cepat!”
Sepasang kakek nenek itu segera berenang ke arah kilatan cahaya putih. Panji mengikuti. Wiro dan Ratu Duyung sesaat saling-pandang dalam kebimbangan. Akhirnya keduanya berenang menyusul orang-orang tadi.
Di sebelah depan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol berhenti berenang ketika mereka menyadari bahwa bersama-sama mereka bergerak mendekati sosok besar ular naga betina yang perutnya kelihatan robek besar. Lalu dari perut itu melesat keluar sebuah benda yang memancarkan cahaya putih berkilauan. Disusul oleh sosok seorang gadis tanpa baju. Lalu menyusul pula dua buah benda berupa kitab dan sebuah kerikil berwarna. Si nenek tidak perdulikan gadis setengah telanjang atau pun kitab dan kerikil berwarna. Yang diperhatikannya yaitu benda panjang yang memancarkan cahaya putih dan melesat paling depan.
“Pedang Naga Suci 212!” seru si nenek. Dia segera melesat ke atas untuk menyambar senjata sakti mandraguna itu. Hanya sedikit lagi jari-jari tangannya akan menyentuh gagang pedang berbentuk kepala naga putih itu , tiba-tiba dari samping melesat sesosok tubuh dan tahu-tahu pedang yang hendak diambil Sinto Gendeng telah berada dalam genggaman orang lain.
“Jahanam!” maki Sinto Gendeng. “Siapa kau! Serahkan pedang itu padaku!” Di hadapannya , di dalam air , Sinto Gendeng melihat seorang nenek berjubah hitam berambut putih mengambang-ngambang kian kemari. Jari-jari tangannya yang memegang pedang selain sangat panjang juga berwarna merah.
Wiro dan Ratu Duyung , Naga Kuning serta Panji segera mengenali nenek berjubah hitam yang memegang pedang putih itu yaitu Sika Sure Jelantik.
Seperti diketahui Sika Sure Jelantik memang mempunyai ilmu kepandaian berada usang di dalam air. Namun tidak mirip ilmu yang dimiliki Ratu Duyung (yang oleh Ratu Duyung mirip diceritakan sebelumnya diberikan pada Sinto Gendeng , Setan Ngompol , Panji dan Wiro) atau Naga Kuning. Dia tidak bisa bicara dalam air. Sewaktu dimaki oleh Sinto Gendeng beliau hanya menggoyang-goyangkan tangan kemudian melesat ke permukaan telaga. Melihat orang hendak melarikan diri Sinto Gendeng segera mengejar.
Sementara itu Setan Ngompol dan Ratu Duyung terbagi perhatiannya pada dua benda lain yang terlempar keluar dari perut robek ular naga betina. Karena kerikil berwarna kebetulan melesat tak jauh dari tempatnya berada maka Setan Ngompol segera berenang mengejar dan berhasil menangkap benda itu. Untuk sesaat beliau memperhatikan terheranheran.
“Sialan! Cuma sebuah batu! Kukira apa! Tapi bentuknya mengapa ajaib begini. Ujung satunya mirip muka insan tanpa wajah. Ada kuping. Lalu warnanya tujuh macam. Lalu eh…. Batu ini hambar sekali! Ah….” Si kakek kembali terkencing. Semula kerikil itu hendak dibuangnya begitu saja. “Kalau kerikil ini keluar dari perut naga berarti kerikil ini bukan benda sembarangan. Buktinya begitu kupegang saya terus-terusan kencing!” Akhirnya Setan Ngompol sembunyikan kerikil itu di kantong celananya yang gombrong.
Di kepingan lain telaga , Ratu Duyung telah berhasil pula menangkap benda yang melayang di air. Ketika diperhatikannya ternyata benda itu yaitu sebuah kitab yang telah koyak.
“Aneh , ada kitab keluar dari perut naga besar , terbuat dari daun lontar putih yang langka. Agaknya sudah puluhan tahun mendekam dalam perut naga itu. Tapi tidak berubah warna , dan tidak berair ,… Hanya ada kepingan kitab yang koyak. Kitab apa ini adanya?”
Sang Ratu tutupkan kitab yang terkembang itu. Pada ketika itulah beliau membaca goresan pena besar yang berada di sampul kitab. Bibirnya bergetar ketika melafalkan apa yang tertulis di situ. “Wasiat Malaikat”.
Entah mengapa Ratu Duyung mendadak mencicipi tengkuknya menjadi hambar dan sekujur tubuhnya mirip digeletari satu kekuatan aneh.
“Kitab Wasiat Malaikat. Aku memang pernah mendengar. Rimba persilatan memang mempergunjingkannya semenjak puluhan tahun lalu. Para tokoh berusaha menyirap kabar , mencarinya hingga kemana-mana. Datuk Lembah Akhirat mengaku mempunyai dan menyimpan kitab ini. Ternyata…. Mungkin kitab ini bukan kitab yang asli. Atau mungkin Datuk Lembah Akhirat menebar dongeng bohong untuk maksud tertentu….” Sebelum ada orang yang tahu Ratu Duyung segera sembunyikan kitab daun lontar itu di balik baju hitamnya.
Kembali kepada Sika Sure jelantik.
Begitu gagang Pedang Naga Suci 212 tergenggam di tangannya , Sika Sure Jelantik merasa ada hawa panas menyengat telapak dan jari-jari tangannya. Hawa panas ini terus menjalar sepanjang lengan dan masuk ke tubuhnya. Walau beliau berada dalam air namun sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat. Si nenek segera kerahkan tenaga dalam hingga hawa hangat itu berkurang sedikit , ini memang satu kecacatan yang tidak diketahui oleh Sika Sure Jelantik. Sesuai dengan keterangan yang pernah diberikan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas dan hanya diketahui oleh Sinto Gendeng serta Tua Gila maka pedang mustika sakti itu hanya berjodoh dan hanya bisa disentuh serta dimiliki oleh seorang wanita suci. Jika pedang dipegang oleh wanita suci maka senjata ini akan mengeluarkan hawa sejuk dingin. Sebaliknya bila disentuh oleh wanita yang dalam hidupnya tidak lagi mempunyai kesucian maka senjata itu akan mengeluarkan hawa panas yang kalau tidak dilepaskan lama-kelamaan akan menciptakan tangannya melepuh bahkan keracunan sekujur tubuhnya. Seperti diketahui Sika Sure Jelantik pernah menjalani hidup yang tidak suci selama berafiliasi dengan Tua Gila di masa mudanya. Demikian pula dengan Sinto Gendeng. Hingga Pedang Naga Suci tak akan mungkin sanggup mereka kuasai. Kalau dipaksakan malah bisa membahayakan diri mereka sendiri.
Melihat Sika Sure Jelantik tidak perdulikan bentakannya malah mirip berusaha hendak berenang menuju permukaan telaga , Sinto Gendeng menjadi tambah marah. “Tua bangka itu kelihatannya memang bukan wanita baik-baik! Biar saya beri hadiah untuk ketololannya!” Habis berkata begitu Sinto Gendeng melesat mengejar sambil lepaskan satu pukulan sakti. Melihat gerak tangan si nenek Wiro tahu pukulan apa yang dilepaskan sang guru. Yakni pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Di atas sana Sika Sure Jelantik tersentak kaget ketika satu gelombang angin yang dahsyat menciptakan air telaga bersibak membentuk jalur ganas mirip terowongan besar. Ada bunyi menggemuruh di bawah kakinya. Sadar kalau dirinya diserang Sika Sure Jelantik cepat menyingkir sambil gerakkan tangan kirinya untuk menangkis dengan pukulan sakti. Namun sadar kalau ketika itu beliau tengah memegang sebuah senjata sakti maka tidak menunggu lebih usang serta merta si nenek babatkan Pedang Naga Suci 212 ke bawah.
*
* *

SEMBILAN

Cahaya putih menyilaukan mata bertebar dalam air. Telaga Gajahmungkur laksana disergap puluhan kilat. Hawa ajaib hambar menebar seolah air telaga bermetamorfosis es. Semua orang yang ada di dalam telaga menggeletar kedinginan. Setan Ngompol rapatkan dua kakinya kemudian melipat lutut hingga ke dada. Seperti biasa beliau tak sanggup menahan kencing.
Dalam keadaan mirip itu tiba-tiba dari sebelah atas menggemuruh gelombang air. Karena paling bersahabat dengan sumber cahaya dan hantaman gelombang Sinto Gendeng yang pertama sekali terpental. Nenek sakti ini memaki panjang pendek sementara tubuhnya terpental jungkir balik. Menyusul Setan Ngompol dan Panji. Wiro dan Ratu Duyung yang berada di sebelah belakang , walau jauh tetap saja ikut kena sambaran gelombang air dan mencelat beberapa tombak.
Sementara itu Naga Kuning satu-satunya orang yang agaknya tahu apa yang bakal terjadi. Begitu melihat kiblatan cahaya putih disusul oleh bunyi gemuruh air , cepat-cepat anak ini berenang ke dasar telaga kemudian berlindung di balik dinding tinggi Liang Lahat. Namun tak urung Naga Kuning masih juga terpental dan dinding di balik mana beliau bersembunyi mengeluarkan bunyi berderak. Lalu ujung dinding sebelah atas kelihatan patah , melayang jatuh dengan dahsyat , menambah hebatnya gelombang air telaga. Naga Kuning memandang ke atas. Penglihatannya tertutup oleh keruhnya air telaga. Apa lagi ketika itu air telaga telah bercampur baur pula dengan darah naga serta kencing Setan Ngompol dan Sinto Gendeng.
“Aku tak sanggup melihat jelas. Pandanganku tidak tembus. Tapi saya yakin seseorang telah menemukan Pedang Naga Suci 212. Lalu mempergunakan senjata sakti itu untuk menangkis serangan Sinto Gendeng. Siapa yang kini menguasai pedang itu. Aku melihat nenek berambut putih di atas sana. Tadi juga saya sempat melihat ada sosok tubuh setengah telanjang. Jelas tubuh seorang gadis lantaran dadanya kulihat molek , kencang dan putih bagus! Hik… hik..! Atau jangan-jangan….” Si bocah tertawa sendirian.
Saat itu Puti Andini gres saja berhasil hentikan tubuhnya yang terlontar sesudah terjungkir balik dalam air beberapa kali. Dia mengingat-ingat apa yang barusan terjadi sambil usap-usap pundak kirinya yang tergurat. “Aku melihat cahaya putih berkiblat. Lalu ada rasa perih akhir tabrakan luka di bahuku. Tubuhku kemudian terlempar dari perut ular yang jebol….” Di bawah sana si gadis tiba-tiba mendengar bunyi orang membentak. Berarti beliau tidak sendirian di dalam telaga itu.
“Jahanam! Apa yang terjadi!” Yang berteriak yaitu Sinto Gendeng. Dadanya mendenyut sakit seolah ditindih oleh , kerikil besar sementara sekujur tubuhnya menggeletar kedinginan. Cepat nenek ini dorongkan kedua tangannya ke atas. Melepas pukulan sakti Benteng Topan Melanda Samudera.
“Byuuuurrrr! Byuuuurrr!”
Air telaga laksana menggelegak kemudian mendobrak ke atas di dua tempat. Telaga Gajahmungkur kembali bergoncang keras. Sinto Gendeng tertawa , mengikik kemudian berteriak.
“Mampus kau!” Yang dimakinya yaitu wanita renta berjubah hitam di atas sana. Tapi nenek sakti ini mendadak keluarkan seruan tegang ketika dari atas kembali menyambar sinar putih. Kali ini sinar itu tidak menebar melainkan berbentuk panjang. Laksana tombak raksasa melesat ke arahnya. Sekali lagi si nenek berteriak keras kemudian menyingkir. Ujung sinar putih menyambar lebih cepat. Agaknya kali ini Sinto Gendeng tak mungkin selamatkan diri.
“Eyang!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Di luar sadar tanpa-ingat keadaan dirinya beliau segera berenang untuk menolong gurunya.
“Pendekar 212! Jangan mencari mati!” Naga Kuning yang menyaksikan kejadian itu berseru keras. “Celaka! Guru dan murid niscaya akan menemui ajal! Apa yang harus saya lakukan!” Bocah ini tekuk jari-jari tangannya dalam gerakan mirip hendak mencakar. Lalu dua tangannya dihantamkan ke arah datangnya sinar putih. Dua larik cahaya biru pekat menerpa ke atas , membabat cahaya putih yang menghunjam ke arah sosok Sinto Gendeng , Beg itu dua larik cahaya biru menyentuh sinar putih dua tangan Naga Kuning bergetar keras kemudian tubuhnya terpental hingga dua tombak. Si bocah terperangah menyaksikan bagaimana serangannya amblas sementara itu sinar putih terus menderu ke arah Sinto Gendeng. ketika beliau meraba mulutnya terasa ada cairan hangat. “Aku terluka. ,..” Membatin Naga Kuning. Air muka bocah ini tampak berubah.
Sesaat lagi sinar putih itu akan menghantam tubuh Sinto Gendeng tiba-tiba dari samping kiri melesat satu cahaya putih yang tak kalah hebat kilauannya dari sinar putih yang menyerang si nenek.
Dua sinar saling beradu mengeluarkan letupan keras. Air telaga mencuat ke banyak sekali penjuru. Sinto Gendeng selamat walau tubuhnya terpental dan untuk sesaat lamanya melayang-layang dalam air yang keruh. Nenek ini bergidik ketika di dasar telaga samarsamar dilihatnya satu lobang besar dan dalam akhir hantaman’-sinar putih tadi.
“Siapa yang barusan menolongku?!” ujar Sinto Gendeng dalam hati. Dia memandang berkeliling. Di sebelah sana dilihatnya Setan Ngompol mengambang dalam air. Cairan kuning yang keluar dari bawah perutnya bersatu dengan air telaga yang berwarna merah ternoda darah ular naga betina. Jauh di samping kiri Sinto Gendeng melihat Naga Kuning bersandar di dinding Liang Lahat. Anak ini berdiri pejamkan mata sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada. Dari sela bibirnya tampak keluar cairan merah. “Bocah itu tadi berusaha menolongku. Tapi saya tahu ada seorang iain yang barusan menyelamatkan jiwaku!”
Sinto Gendeng putar kepalanya ke jurusan lain. Pandangannya membentur sosok Ratu Duyung yang ketika itu berada di dasar telaga , tegak sambil pegangi cermin bulatnya. Wajahnya pucat. Matanya yang biru membelalak sedang bibirnya bergetar. Tapi itu hanya sebentar. Sesaat kemudian gadis ini kelihatan bisa menguasai dirinya kembali.
“Gadis itu…” desis si nenek. “Dia yang menyelamatkan diriku. Tapi agaknya bukan hanya dengan mengandalkan kesaktian cerminnya. Ada satu kekuatan lain menyertai kilatan yang keluar dari cerminnya itu. Aku sanggup merasakan…. saya melihat ada pancaran cahaya putih ajaib di sekitar tubuhnya! Mulai dari kepala hingga ke kaki. Astaga! Itu yaitu pancaran cahaya batin yang jarang dimiliki manusia! Dan tidak sembarang orang bisa melihatnya mirip yang saya saksikan ketika ini….” Sinto Gendeng berenang mendekati Setan Ngompol kemudian berkata , “Coba kau perhatikan gadis berpakaian hitam yang memegang cermin bulat itu….”
“Aku sudah melihatnya dari tadi. Wajahnya cantik. Sepasang matanya bagus sekali. Tak pernah saya melihat mata luar biasa mempesona mirip itu. Apa maksudmu Sinto. Apa kau hendak menjodohkan diriku dengan si jelita itu?”
“Tua bangka bangkotan tak tahu diri!” maki Sinto Gendeng.
Setan Ngompol tertawa bergelak hingga air kencingnya kembali terpancar.
“Aku mau tanya! Apa kau melihat ada cahaya ajaib seolah membungkus sekujur tubuhnya?”
Setan Ngompol tekap mulutnya dengan tangan kiri sedang tangan kanan nenekap kepingan bawah perutnya. Orang renta bermata jereng berkuping lebar ini goleng-golengkan kepala. “Aku tidak melihat segala macam cahaya ajaib yang kau katakan itu Sinto.”
“Benar dugaanku ,” kata si nenek sakti dalam hati. “Tidak semua orang bisa melihat cahaya yang membungkus tubuh gadis itu…. Bagaimana beliau tahu-tahu bisa berada dalam keadaan mirip itu…. Coba saya tanyakan pada anak setan itu.” Sinto Gendeng hendak berenang mendekati Pendekar 212. Namun di dasar telaga Wiro telah lebih dulu bergerak berenang mendekati Ratu Duyung.
Sesaat sesudah berada bersahabat sang Ratu , murid Sinto Gendeng jadi tertegun. Dua matanya memperhatikan gadis jelita itu lekat-lekat.
“Ada kelainan pada gadis ini. Wajahnya lebih berseri. Parasnya tambah cantik. Tubuhnya seolah memancarkan daya pesona luar biasa. Sepasang matanya juga tampak lebih biru , lebih bercahaya. Aku juga melihat satu keanehan. Ketika tadi beliau melancarkan serangan dengan cermin sakti , ada seberkas cahaya memancar di balik pakaian hitamnya….“
Merasa dirinya diperhatikan Ratu Duyung palingkan kepala pada Wiro kemudian bertanya.
“Caramu memandangku ajaib sekali Wiro. Ada apa? Apa yang ada dalam pikiranmu?”
“Kau telah menyelamatkan guruku. Aku sangat berterima kasih ,” jawab Wiro.
Ratu Duyung pandangi cermin saktinya.
“Aku , melihat ada sinar ajaib di balik pakaianmu ketika kau mengerahkan tenaga dalam dan melancarkan serangan dengan cermin….”
“Sinar ajaib apa…?”
“Aku tidak tahu. Kau sendiri apa tidak sadar…?”
Ratu Duyung terdiam sesaat gres menjawab. “Memang ada satu kecacatan kurasakan dalam tubuhku. Aku mempergunakan cermin sakti untuk menangkis sinar putih yang tiba dari atas telaga. Gurumu memang selamat. Tapi saya merasa bahwa bukan cuma kekuatan cermin sakti ini yang telah menolong nenek itu. Seolah ada satu kekuatan lain dalam tubuhku. Kekuatan itu datangnya dari sini….” Ratu Duyung usapkan tangan kirinya ke kepingan perut di atas pusar di mana beliau menyembunyikan kitab kuno terbuat dari daun lontar yang telah koyak itu. “Kitab Wasiat Malaikat…. Kitab ini yang jadi sumber kekuatan dahsyat dan ajaib itu…” ujar Ratu Duyung dalam hati dengan dada berdebar.
“Ada apa Ratu…?” tanya Pendekar 212.
“Apakah akan kuceritakan saja padanya…?” pikir Ratu Duyung. Hatinya bimbang. Lalu didengarnya Wiro berkata.
“Tadi saya memperhatikan. Ada beberapa benda keluar dari perut ular naga yang robek. Satu dari benda-benda itu berhasil kau tangkap. Benda apakah…?”
“Ah , beliau melihat saya menyambar kitab itu.;… Bagaimana ini? Apa harus kukatakan terus terang….” Ratu Duyung memandang ke atas. Saat itu dilihatnya Sinto Gendeng dan Setan Ngompol saling bicara sambil memandang ke arahnya.
“Wiro , lekas ikuti aku. Kita harus segera keluar dari telaga ini.”
“Sekali ini kita tak satu pendapat Ratu. Aku melihat kilatan cahaya putih ajaib mengeluarkan hawa hambar sekali. Aku melihat sebuah benda melayang di atas sana. Aku mendengar guruku berteriak menyebut Pedang Naga Suci 212. Kau tahu keadaan diriku.
Saat pulihnya kekuatanku mungkin hanya tinggal satu atau dua hari. Kau tahu dalam waktu satu dua hari itu sesuatu bisa terjadi dengan diriku. Konon pedang sakti itu sanggup menyembuhkan diriku dengan seketika. Aku harus mendapatkan pedang itu Ratu. Paling tidak harus membantu guruku untuk mendapatkannya!”
“Kalau begitu….” Ratu Duyung tak sanggup meneruskan ucapannya. Karena di atas sana tiba-tiba beliau melihat terjadi sesuatu.
Sika Sure jelantik yang ketika itu masih memegang Pedang Naga Suci 212 mencicipi tangannya semakin panas. Ketika diperhatikannya ternyata tangan kanannya sudah melepuh dan mengepulkan asap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam sementara di bawahnya dilihatnya ada beberapa orang berenang mendekat.
“Pedang sakti luar biasa! Tapi mengapa hendak mencelakai diriku? Gila! Gagang pedang ini semakin panas seolah bermetamorfosis bara. Semakin saya kerahkan tenaga dalam untuk melawan hawa panas , semakin parah sakit di tanganku! Aku tak bisa bertahan. Tapi kalau senjata ini saya lepaskan , si nenek keparat Sinto Gendeng itu niscaya akan merampasnya. Aku juga melihat beberapa orang lain berenang menuju ke sini. Janganjangan mereka semua masuk ke dalam telaga ini memang untuk mencari pedang ini. Apa yang harus saya lakukan?”
Sika Sure Jelantik memandang berkeliling kemudian ke kepingan bawah telaga. “Gadis itu….Bukankah beliau yang dulu saya berikan ilmu menyelam seratus hari? Hemmm…. Mungkin beliau bisa membantuku keluar dari kesulitan menghadapi pedang sakti ini….”
Dari bawah sementara itu Panji berenang dengan cepat menuju kepingan atas telaga. Dadanya berdebar keras. Semula beliau merasa ragu akan apa yang dilihatnya. Karena itu beliau berenang lebih cepat. “Mungkin memang gadis itu. Bukankah beliau pernah menyampaikan ingin menyelidik ke dasar telaga untuk mencari sebuah benda? Tapi mengapa kini keadaannya mirip itu? Bercelana tapi tidak mengenakan baju!”
Hanya tinggal beberapa tombak barulah Panji yakin beliau tidak salah menduga. “Puti Andini!” teriak Panji.
Mendengar ada orang yang menyebut namanya dalam air , Puti Andini. memandang berkeliling. Dia melihat seorang berpakaian hijau.
“Pemuda itu….” kata si gadis dalam hati. Saking girangnya beliau membuka verbal untuk berteriak balas memanggil. Tapi beliau lupa bahwa ilmu yang diberikan Sika Sure jelantik hanya untuk bertahan usang dalam air , tidak berkemampuan baginya untuk bicara. Be-gitu mulutnya terbuka air telaga pribadi masuk ke mulutnya terus ke dalam tenggorokan. Gad is itu megap-megap menggapai kian kemari. Panji cepat memegang salah satu lengan gadis itu.
“Puti , apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan mirip ini. Tanpa baju. Ada luka di pundak kirimu!”
Puti Andini berpaling. Kedua matanya membesar. Jika beliau tidak aib ingin sekali gadis ini memeluk cowok yang entah mengapa semenjak beberapa usang ini sangat dirindukannya. Namun begitu sadar keadaan dirinya yang tanpa pakaian cepat-cepat beliau berenang menjauh sambil menutupi dadanya.
Melihat hal itu Panji segera buka baju hijaunya kemudian berenang mengejar Puti Andini dan serahkan pakaian itu pada si gadis. Sambil membelakangi si cowok Puti Andini kenakan pakaian hijau yang diberikan Panji. Namun belum sempat beliau mengancingkan pakaian itu tiba-tiba di depannya meluncur sebuah benda yang memancarkan cahaya putih disertai tebaran hawa dingin. Menyusul munculnya satu sosok berpakaian hitam berambut putih yang mengambang kian kemari dalam air.
“Nenek Sika Sure Jelantik…” kata Puti And ini dalam hati begitu mengenali siapa adanya orang yang berenang di atasnya sementara sepasang matanya terpentang lebar memandang pada benda yang ada dalam genggaman tangan kanan si nenek. Sika Sure Jelantik acung-acungkan pedangnya ke atas sedang tangan kiri dilambaikan berulang kali memberi isyarat.
“Nenek itu memberi .tanda biar kita mengikutinya…” kata Panji. “Setahuku beliau bukan orang baik-baik. Apa kau mengenalnya?”
Puti Andini menjawab dengan anggukan kepala. Di atas sana kembali si nenek memberi isyarat biar Puti Andini cepat-cepat mengikutinya. Si gadis memandang sesaat pada Panji kemudian menoleh pada Sika Sure Jelantik. Melihat si gadis masih ragu , Panji risikonya menarik tangan Puti Andini dan membawanya berenang menuju permukaan telaga. Di bawah sana Sinto Gendeng tidak tinggal diam. Nenek ini segera berenang ke atas. Setan Ngompol mengikuti sementara di kepingan lain Wiro dan Ratu Duyung juga telah meluncur menuju permukaan telaga.
*
* *

SEPULUH

Sosok Sika Sure jelantik yaitu yang pertama sekali melesat keluar dari permukaan air pada tepian Telaga Gajahmungkur sebelah barat. Nenek ini berjungkir balik dua kali di udara kemudian melayang turun dan tegak di pinggiran telaga pada kepingan yang penuh ditebari batu-batu besar berwarna hitam. Saat itu beliau masih coba bertahan memegang Pedang Naga Suci 212 walau kulit tangannya yang merah ajaib telah melepuh dan mengepulkan asap. Daging tangannya laksana dipanggang bahkan tulang-tulang telapak tangan dan jarinya ada yang hingga terkuak putih menyembul! Seperti diketahui nenek satu ini telah terperangkap oleh fitnah dan hasutan orang-orang Lembah Akhirat hingga kini tangan kanannya berwarna merah membuktikan beliau telah menguasai salah satu ilmu dahsyat andalan orang-orang Lembah Akhirat yang disebut ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga atau yang juga dikenal dengan Ilmu Penghancur Mayat.
Puti Andini dan Panji menyusul muncul di permukaan telaga. Karena muncul agak ke tengah maka keduanya terpaksa berenang dulu untuk mencapai tepian berbatu-batu di mana Sika Sure Jelantik berada.
Di tepi telaga Sika Sure Jelantik menunggu hingga Puti Andini dan Panji naik ke daratan kemudian megap-megap melangkah ke atas kerikil dalam keadaan berair kuyup.
“Bajumu belum kau kancingkan. Lekas kau rapikan….”
Puti Andini terkejut mendengar bisikan Panji. Begitu sadar beliau cepat-cepat mengancingkan baju hijau milik si cowok yang dipakainya.
“Anak gadis!” Tiba-tiba nenek berambut putih berair riap-riapan di atas kerikil membuka mulut. “Bukankah kau orangnya yang tempo hari pernah kuberikan ilmu menyelam seratus hari?!”
“Benar Nek. Aku tidak melupakan budi baikmu itu dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Mohon maafmu kalau hingga ketika ini belum sanggup membalas budi baikmu itu…” jawab Puti Andini sambil melirik bergidik pada tangan kanan si nenek yang berwarna merah dan berada dalam keadaan mengelupas dan mengepulkan asap panas. “Pedang Naga Suci 212 ,” kata Puti Andini. “Senjata ini sebelumnya dalam keadaan tergulung. Pedang ini yang melukai bahuku dan merobek jebol perut ular naga betina….” Si nenek menyeringai.
“Ini bukan saatnya bicara segala macam budi! Lihat tanganku yang memegang pedang!”
Puti Andini tercekat ngeri. Sedang Panji tak bisa lagi menahan diri pribadi berteriak.
“Nek , tanganmu terluka parah! Mengapa kau masih memegangi senjata itu?!”
“Eh , anak muda waria beranting emas. Kita belum usang bertemu di tepi telaga. Aku masih ingat namamu. Panji! Apa hubunganmu dengan gadis ini?!” “Dia… dia….” Panji tak bisa menjawab. Si nenek tertawa cekikikan. “Waktu saya bertemu kau , katamu kau habis berenang dan menyelam di telaga hanya untuk senang-senang menyegarkan diri. Kini saya tahu , kau tengah mencari gadis ini! Hik… hik… hik! Berarti kau punya rasa suka padanya! Hik… hik… hik!”
Baik Panji maupun Puti Andini jadi sama-sama bersemu merah wajah masingmasing. Si nenek berpaling pada Puti Andini. Wajahnya yang keriputan tampak mengerenyit menahan sakit yang amat sangat.
“Anak gadis! Waktu pertama bertemu denganku kau bilang kau akan mencari sebuah kerikil hitam di dasar Telaga Gajahmungkur. Katamu kerikil itu punya khasiat untuk menyembuhkan ibumu yang sakit gara-gara ditinggal kabur oleh bapakmu yang tergila-gila dengan seorang wanita penghibur! Apa kau sudah menemukan kerikil hitam itu?!”
Puti Andini jadi tergagau dan tak bisa menjawab lantaran beliau memang telah berdusta. (Baca Episode ke-3 Lembah Akhirat)
“Parasmu berubah! Kau tak bisa menjawab. Berarti kau telah mendustai diriku!”
“Harap maafkan diriku Nek. Perlu waktu banyak untuk menerangkan….”
“Persetan dengan segala keterangan! Aku tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi orang-orang di dalam telaga itu akan segera muncul. Aku….”
Sika Sure jelantik kembali mengerenyit. Kali ini sambil terbungkuk-bungkuk. Tangan kanannya tampak bergetar keras dan menebar amis daging terpanggang.
“Pedang celaka…” rutuk si nenek. Dia maju ke hadapan Puti Andini. “Tolong kau pegangkan dulu pedang ini. Lalu kau dan kekasihmu si cowok waria pakai anting itu lekas ikut bersamaku!”
Habis berkata begitu Sika Sure Jelantik kemudian angsurkan pedang yang dipegangnya pada Puti Andini. Tanpa ragu-ragu Puti Andini cepat ulurkan tangan untuk mendapatkan senjata itu. Tapi tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat antara Sika Sure jelantik dan si gadis. Pedang Naga Suci 212 terbetot lepas dari tangan si nenek. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi orang terpekik kesakitan! Lalu menyusul bunyi benda berdesing dan berkiblatnya cahaya putih disertai bunyi menderu-deru ditambah dengan tebaran angin hambar luar biasa;
Baik Sika Sure Jelantik maupun Puti Andini sama-sama tersurut kaget dan memandang terbelalak ke depan.
“Kau!” teriakan keras keluar dari verbal Sika Sure Jelantik seraya menunjuk luruslurus ke depan di mana di atas sebuah kerikil besar tegak berdiri seorang nenek berjubah hitam. Di kepalanya bertengger sebuah topi berbentuk tanduk kerbau. Saat itu beliau tegak berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang kulitnya kelihatan merah terkelupas seolah melepuh! Nenek satu ini yaitu Sabai Nan Rancak yang dikenal sebagai nenek Puti Andini.
Sementara itu Pedang Naga Suci 212 yang tadi berada di tangan Sika Sure Jelantik kini tampak menancap di atas sebuah kerikil hingga sedalam sepertiganya , Bagian atasnya bergoyang-goyang pulang-balik memancarkan kilauan cahaya putih dan deru angin serta hawa dingin.
Apa yang barusan telah terjadi?
Ketika Sika Sure Jelantik hendak menyerahkan Pedang Naga Suci 212 pada Puti Andini , belum sempat gadis ini menyentuh senjata sakti mandraguna itu tiba-tiba muncullah Sabai Nak Rancak. Dengan satu kelebatan cepat dan gerakan kilat beliau berhasil merampas pedang dari tangan Sika Sure Jelantik. Namun begitu jari-jari tangannya memegang gagang pedang pribadi beliau terpekik lantaran ternyata gagang senjata itu panas sekali seolah beliau memegang bara api. Sabai Nan Rancak kibas-kibaskan tangan kanannya. Ketika diperhatikannya ternyata telapak tangannya telah terkelupas melepuh. Pedang sakti yang dilemparkannya menancap di kerikil hingga sepertiganya.
“Nenek Sabai!’ berseru Puti Andini begitu melihat neneknya berada di tempat itu , tegak di atas kerikil sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang cidera. Sabai Nan Rancak palingkan kepala. Darahnya pribadi naik ke kepala begitu melihat cucunya berada di tempat itu.
“Kau memang cucu murtad! Sejak dulu saya katakan saya tidak suka kau pergi ke tanah Jawa ini. Ternyata…;”
Pada ketika itu sekonyong-konyong ada orang tertawa mengekeh. Semua kepala dipalingkan ke arah tebing telaga sebelah kiri di mana terdapat sebuah kerikil besar berwarna coklat kehitaman. Di atas kerikil ini tampak duduk seorang kakek berkepala botak , mengenakan pakaian putih lusuh.
Tiga orang pribadi tercekat. Yang pertama yaitu Sika Sure Jelantik. “Tua bangka botak di atas kerikil itu. Kalau saya bisa lebih mendekat dan mencium amis badannya janganjangan….”
Si nenek goyangkan kepalanya hingga rambut putihnya yang berair riap-riapan tersibak ke belakang. Kelihatanlah wajahnya yang menakutkan , menatap tajam pada kakek botak di atas kerikil yang ketika itu masih saja terus tertawa. Sabai Nak Rancak yaitu orang ke dua yang ikut terkesiap melihat kehadiran kakek botak itu , “Aku bertemu pertama kali dengan insan satu ini di Lembah Merpati. Hatiku menaruh syak wasangka tapi tampangnya lain , suaranya juga lain!”
Orang ketiga walau tercekat tapi diluar sadar bergerak maju satu langkah seraya berseru.
“Kek!”
Kakek botak di atas kerikil menyeringai. Tangan kanannya dilambaikan ke arah Puti Andini sedang jari tangan kirinya disilangkan di depan bibir. “Ssstttt…. Jangan mengganggu tawaku. Lagipula tak baik ketawa lantaran ada dua nenek sedang kesakitan di tempat ini! Ha… ha… ha!”
Melihat gelagat si botak terhadap Puti Andini baik Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik jadi curiga. Sika Sure Jelantik segera hendak membentak tapi Sabai Nan Rancak keburu mendahului.
“Tua bangka botak! Dua kali dengan ini kita bertemu!”
“Ah , rupanya pertemuan pertama itu sangat berkesan di hatimu. Berarti semenjak itu kau tak pernah melupakan diriku!”
Wajah keriput Sabai Nan Rancak menjadi merah padam sementara kakek botak di atas kerikil kembali tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka botak , otakmu rupanya kotor dan mulutmu lancang! Perlu apa saya mengingat-ingat dirimu! Tua bangka edan tak tahu diri!” Memaki Sabai Nan Rancak.
“Ah , pada pertemuan sekali ini kau jadi pemarah dan galak sekali. Padahal pada pertemuan pertama di lembah itu kau karam dalam rasa sedih yang amat dalam. Sampai-sampai kau bertanya padaku , apakah saya bisa membantu membunuh dirimu!”
Kembali wajah Sabai Nan Rancak merah mengelam.
“Tua bangka sialan! Lekas katakan siapa kau adanya! Atau kupanggang tubuhmu dengan pukulan ini!” Sabai Nan Rancak mengancam seraya angkat tangan kanannya. Lang sung tangan ini menjadi merah. Si nenek rupanya siap menghantamkan pukulan Kipas Neraka!
Orang renta botak di atas kerikil angkat kedua tangannya kemudian membungkuk dalamdalam.
“Bukan maksudku hendak bersikap kurang ajar. Bukan maksudku hendak menyinggung perasaanmu. Aku mohon maafmu. Bolehkah saya mendendangkan lagu yang pernah saya nyanyikan waktu di Lembah Merpati tempo hari?”
“Manusia jahanam! Siapa sudi mendengar nyanyianmu!” hardik Sabai Nan Rancak.
Lalu beliau berpaling pada cucunya. “Puti Andini! Lekas kau katakan siapa adanya renta bangka berotak miring ini!”
“Guru…. Aku….”
“Puti , saya menaruh firasat kau tahu siapa adanya orang renta botak itu. Siapapun beliau adanya kuharap kau tidak memberi tahu pada gurumu. Aku khawatir keadaan akan tambah kacau di tempat ini!”
Yang bicara berbisik itu yaitu Panji yang ketika itu masih tegak di bersahabat Puti Andini. Si gadis yang memang tahu siapa adanya kakek botak itu bersama-sama sudah berniat untuk tidak membuka rahasia. Namun lantaran yang bertanya yaitu guru dan nenek kandungnya sendiri maka Puti Andini menjadi gugup.
Sabai Nan Rancak jadi curiga. Dia melangkah mendekati cucunya dan berkata dengan bunyi mendesis dan air muka beringas.
“Berat dugaanku kau tahu siapa adanya kakek botak itu! Jika kau tidak memberi tahu , saya tak segan-segan menghajarmu dengan pukulan Kipas Neraka ini!” Sabai Nan Rancak angkat tangan kanannya yang memancarkan warna merah. Namun gerakannya tertahan ketika dari pinggiran telaga di samping kirinya melesat keluar tiga sosok tubuh. Mereka yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng , Ratu Duyung dan Naga Kuning.
*
* *

SEBELAS

Melihat munculnya Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung , Sabai Nan Rancak bertambah naik amarahnya. “Pemuda jahanam satu ini! Beberapa kali saya ingin membunuhnya. Mungkin sekali ini gres bisa kesampaian. Aku akan pergunakan pedang sakti yang menancap di batu!”
Sabai Nan Rancak kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri untuk melindungi diri. Lalu sekali berkelebat beliau berhasil memegang gagang Pedang Naga Suci 212. Ketika senjata itu hendak ditariknya , kembali nenek sakti dari Pulau Andalas ini terpekik dan tersurut tiga langkah sambil kibas-kibaskan tangan kirinya. Seperti kejadian dengan tangan kanannya tadi , kini tangan kirinya ikut melepuh luka. Menyaksikan kejadian itu Sika Sure jelantik ingat pada apa yang dialaminya kemudian perhatikan tangan kanannya yang cidera.
Di atas kerikil tinggi kakek botak kembali tertawa bergelak. Namun mendadak tawanya lenyap , berganti dengan seruan kaget. “Oo alah!”
Dari dalam telaga untuk kesekian kalinya melesat keluar sosok-sosok manusia. Yang kini ini yaitu sosok Sinto Gendeng dan si Setan Ngompol.
Kakek botak kerenyitkan kening dan goleng-goleng kepala. “Gawat… gawat! Bagaimana tiga berandal ini bisa muncul bersamaan di tempat ini! Kalau saya tidak bertindak cepat , kalau anak itu tidak berlaku sigap keadaan bisa jadi tambah tak karuan…” Si botak memandang ke jurusan Puti Andini.
Maksudnya hendak memberi isyarat tapi si gadis ketika itu justru tengah memandang ke arah lain yakni pada Pendekar 212 dan Ratu Duyung serta Naga Kuning. Begitu muncul di tepi telaga Sinto Gendeng pribadi berteriak keras hingga suaranya menggelegar di seantero tempat.
“Jangan ada yang berani menyentuh pedang!”
Selagi semua orang terkesima si nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini berkelebat menyambar Pedang Naga Suci 212 yang masih menancap di atas batu. Beg itu jari-jari tangannya yang kurus menyentuh gagang pedang , Sinto Gendeng menjerit keras dan terjajar ke belakang hingga dua langkah. Mukanya yang hitam keriput kelihatah kelabu membesi. Ketika tangan kanannya diperhatikan , tangan itu ternyata telah terkelupas. Maka disela desis kesakitan si nenek memaki panjang pendek. Lalu beliau bertindak nekad. Walau jelas-jelas tangan kanannya cidera tapi kembali beliau mencekal gagang pedang. Sekali ini dengan mengerahkan tenaga dalam. Ternyata beliau sanggup memegang gagang senjata yang berbentuk kepala naga betina itu. Tapi hanya sesaat lantaran dilain kejap kelihatan tubuhnya bergetar keras. Dari tangannya yang menggenggam pedang mengepul asap putih disusul lelehan darah. Semakin beliau mengerahkan tenaga dalam semakin parah keadaan tangannya. Bahkan kini dari kepalanya yang ditancapi lima tusuk konde perak tampak mengepul pula asap putih tipis.
Si nenek menjerit satu kali. Dia masih berusaha bertahan dan nekad hendak menarik pedang yang menancap di batu. Lalu beliau menjerit sekali lagi. Kali ini yang ke tiga jeritannya disertai dengan terlemparnya tubuhnya hingga empat langkah kemudian terjengkang di atas kerikil , sempurna di bawah kerikil tinggi di mana kakek botak berada! Dan mirip tadi kakek ini lagi-lagi keluarkan tawa mengekeh. Namun kali ini tawanya pendek saja lantaran beliau menyusul dengan ucapan yang menciptakan orang-orang yang ada di tepi telaga itu menjadi tertegun.
Hanya si Setan Ngompol yang tampak serba salah menekapi kepingan bawah perutnya yang ngocor mendengar jeritan-jeritan dan melihat keadaan tangan Sinto Gendeng yang cidera.
“Berlaku nekad hanya akan menerima kualat! Memaksakan niat hanya akan menerima laknat! Pedang Naga Suci 212 yaitu pedang keramat! Pedang Naga Suci 212 yaitu sakti dan suci. Pedang Naga Suci 212 yaitu pedangnya kaum hawa. Karenanya hanya wanita yang suci saja lah yang sanggup menyentuhnya!”
“Botak gila bermulut sedeng!” Sinto Gendeng berteriak. “Apa kau kira saya ini insan kotor!. Puluhan tahun silam saya telah menguasai senjata ini dan membawanya ke mana-mana kemudian menyimpannya di satu tempat….”
“Orang sakti bertusuk konde lima ,” menjawab kakek botak di atas kerikil tinggi , “Mulutku mungkin lancang hingga hati dan perasaanmu tersinggung. Aku tidak menyampaikan dirimu insan kotor. Tapi keadaan yang menyatakan. Hatimu mungkin baik. Tapi ada perbedaan antara kebaikan dan kesucian. Seperti kataku Pedang Naga Suci 212 hanya bisa disentuh oleh wanita yang masih suci lahir dan batin…. Kalau kau merasa dirimu suci harap kau bisa menilai sendiri….”
Merah padam wajah Sinto Gendeng. Dia mengerling pada Sabai Nan Rancak dan melihat tangan kanan nenek itu cidera berat. Dia memandang ke arah Sika Sure jelantik. Ternyata nenek satu ini pun penuh luka tangan kanannya. Perlahan-lahan , sesudah menyadari arti ucapan kakek botak tadi , wajah renta nenek ini menjadi berubah.
“Kakek botak! Kau tidak mengenal diriku dan saya tidak tahu siapa dirimu! Bagaimana kau bisa menilai saya ini suci atau tidak!” Sinto Gendeng bertanya setengah berteriak tanda beliau masih belum puas.
“Seperti kataku tadi , saya bukan menilai kau suci atau tidak. Yang bisa mengetahui kesucian dirimu yaitu engkau sendiri. Usiamu sudah puluhan tahun. Apakah seluruh hidupmu kau jalani dengan kesucian hati dan batin? Katamu dulu kau pernah menguasai dan membawa Pedang Naga Suci 212 kemana-mana. Mungkin sekali dimasa itu kau masih sebersih udara pagi , seputih kertas dan seharum bunga melati….” Habis berkata begitu kakek botak lemparkan lirikan pada Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik.
Untuk beberapa ketika lamanya keadaan di tepi telaga itu menjadi sunyi sehening di pekuburan. Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak. Tiba-tiba Naga Kuning keluarkan tawa cekikikan.
“Sayang tokoh silat berjuluk Tua Gila tidak ada di tempat ini! Kalau saja beliau hadir di sini tentu beliau gembira luar biasa melihat tiga kekasihnya dimasa mudanya berkumpul di tempat ini! Ha… ha… ha!”
“Bocah setan! Kau jangan berani bicara sembarangan!” teriak Sinto Gendeng lantaran merasa sangat tersinggung.
Sabai Nan Rancak yang juga merasa tersindir gerak-gerakkan sepuluh jari tangannya hingga mengeluarkan bunyi berkeretekan dan memandang mendelik pada Naga Kuning. Lalu Sika Sure Jelantik terdengar menggereng. Tangan kanannya perlahan-lahan diangkat ke atas.
“Tunggu! Jangan kalian murka padaku!” teriak Naga Kuning mencibir. “Aku bicara apa adanya! Kalian muncul di sini bersama-sama mencari apa? Pedang Naga Suci 212? Turut ucapan kakek botak di atas kerikil sana terang kalian tidak bakal bisa mendapatkannya….”
“Siapa bilang saya ke sini mencari pedang!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku juga!” menimpali Sabai Nan Rancak.
“Aku memang ke sini mencari Pedang Naga Suci 212!” ujar Sinto Gendeng polos tanpa malu-malu. Lalu beliau berpaling pada Wiro dan berkata. “Anak setan! Lekas kau ambil pedang sakti itu!”
“Guru…. Eyang , saya tak bisa melakukah hal itu. Senjata itu bukan milikku…” jawab Wiro.
“Benar-benar anak setan! Senjata itu milikku. Aku yang membawanya dan menyembunyikannya di dasar Telaga Gajahmungkur! Setelah puluhan tahun pedang itu risikonya ditemui. Sekarang pedang itu saya berikan padamu sebagai pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Saya tak berani mengambilnya , Nek…” kata Wiro.
“Tolol pengecut!” teriak Sinto Gendeng marah. “Apa kau tidak ingat justru senjata itu yaitu obat mujarab untuk memulihkan kesaktian dan tenaga dalammu!”
Wiro terkesima. Dia bukannya tidak mengetahui hal itu , tapi sesudah mendengar katakata kakek botak tadi hatinya menjadi was-was. Pertama pedang itu katanya yaitu pedang perempuan. Kedua hanya orang suci saja yang bisa menyentuhnya. Dia sendiri bukankah pernah satu kali ketiduran dengan Ratu Duyung? Secara tak sadar murid Sinto Gendeng itu melirik ke arah Ratu Duyung. Bagi sang Ratu lirikan itu menciptakan hatinya jadi bergoncang. Tiba-tiba Ratu Duyung melompat ke depan. Gadis ini heran sendiri lantaran gerakannya luar biasa cepat. Di sekelilingnya tak satu orang pun yang melihat terang apa yang dilakukan gadis ini. Tahu-tahu beliau telah tegak sambil memegang gagang Pedang Naga Suci 212 yang menancap di batu!
Sang Ratu mencicipi ada satu hawa hambar sejuk menjalar masuk ke dalam tubuhnya hingga ketika beliau mencicipi satu ketenangan dan ketentraman luar biasa. Tubuhnya mirip seringan kapas hingga ketika itu beliau seolah melayang di atas mega. Tak ada hawa panas , tak ada sengatan mirip bara api. Kulit tangannya yang halus tidak terkelupas. Dia sama sekali tidak cidera sedikitpun! Tapi ketika beliau coba mencabut senjata itu dari dalam kerikil , bagaimanapun beliau mengerahkan seluruh tenaga luar dan tenaga dalam , Pedang Naga Suci 212 tidak bergeming barang sedikit pun!
“Ratu Duyung , kau berhasil memegang Pedang Naga Suci 212 tanpa terluka tanpa cidera! Berarti kau yaitu seorang gadis yang masih suci lahir dan batin. Tapi kau tidak bisa mencabut senjata mustika sakti itu dari dalam kerikil , Itu satu membuktikan bahwa kau tidak berjodoh untuk memilikinya.”
Ratu Duyung dan semua orang yang ada di tepi telaga memandang ke arah orang yang bicara yakni si kakek botak di atas kerikil tinggi.
Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati beliau berkata. “Setelah kejadian di Puri tempo hari , berdasarkan si kakek botak ternyata gadis ini masih suci. Lalu apakah diriku juga bisa dianggap masih suci?” Wiro pandangi Pedang Naga Suci 212 yang hingga ketika itu masih menancap di batu.
“Wiro!” Tiba-tiba terdengar teriakan Sinto Gendeng. “Lekas kau ambil pedang itu! Jika Ratu Duyung masih suci berarti beliau masih perawan dan kau masih perjaka! Selain itu kau memerlukan pedang itu untuk menyembuhkan semua kelemahanmu!” Murid Sinto Gendeng bergerak melangkah.
“Tunggu dulu!” kakek botak berseru. “Sudah kukatakan bahwa Pedang Naga Suci 212 yaitu senjatanya perempuan….”
“Jangan dengarkan ucapannya! Anak setan lekas kau ambil pedang itu kemudian tinggalkan tempat ini! Aku akan menghajar siapa yang berani menghalangi! Setan Ngompol harap kau bantu aku!”
Pendekar 212 jadi bimbang. Saat itulah Puti Andini memandang ke jurusan si kakek botak. Orang renta ini tidak menunggu lebih lama. Dia kedipkan matanya kemudian tanpa ada lain orang yang sempat melihat beliau tudingkan ibu jari tangan kirinya ke arah Pedang Naga Suci 212 yang menancap di batu.
*
* *

DUA BELAS

Maklum akan arti isyarat kedipan mata dan gerakan ibu jari yang diberikan kakek botak , maka secepat kilat Puti Andini berkelebat ke arah kerikil besar tempat Pedang Naga Suci 212 menancap.
“Berani pegang pedang berarti mampus!”
Sinto Gendeng berteriak keras. Nenek ini kemudian menerjang ke arah Puti Andini dengan jurus yang disebut Kepala Naga Menyusup Awan. Tubuh si nenek laksana terbang di udara. Tangan kiri menyambar ke pinggang sedang tangan kanan memukul ke arah kepala Puti Andini.
Wiro yang menyaksikan gerakan sang guru jadi terperangah. Garukan kepalanya terhenti di samping kuping kanan. Dia maklum jurus yang dilancarkan Eyang Sinto Gendeng ketika itu sangat cepat dan berbahaya. Puti Andini tak mungkin mengelakkan diri. Di ketika yang sama Sika Sure Jelantik tak tinggal diam. Melihat Sinto Gendeng menyerang Puti Andini yang sebelumnya dipercayakannya untuk menitipkan Pedang Naga Suci 212 , maka sambil berteriak beringas , “Tua bangka edan! Hendak kau apakan cucuku?!”
Sika Sure Jelantik lantas memotong gerakan nenek sakti dari Gunung Gede ini dengan satu pukulan sakti yang “dilancarkan dengan tangan kiri. Lima larik sinar hitam berkiblat dari ujung lima kuku tangan kirinya yang hitam.
“Tua bangka setan!” maki Sinto Gendeng dalam hati. “Berani beliau menyerangku! Dia menyebut gadis itu cucunya! Apa-apaan ini! Aku tahu betul siapa dia! Sama sekali tidak punya kekerabatan apa-apa dengan si gadis walau sama-sama tiba dari seberang!”
Sabai Nan Rancak juga terkejut. Sesaat beliau bimbang. Ada yang harus dilakukannya dalam keadaan mirip itu. Semua berlangsung begitu cepat. Kalau beliau ikut turun ke gelanggang pertempuran siapa yang hendak diserbunya. Sejak dulu sesuai dengan kiprah yang diberikan Sutan Alam Rajo Di Bumi , tokoh silat di Gunung Singgalang , ketika itu beliau ingin segera membunuh Sinto Gendeng. Apalagi Sinto Gendeng terang menyerang cucunya dan berusaha merampas Pedang Naga Suci 212. Tapi mengira bahwa ada kekerabatan tertentu antara Puti Andini dengan Sika Sure Jelantik yang juga dibencinya maka beliau khawatir Sika Sure Jelantik nantinya akan kembali merampas pedang sakti itu dari tangan si gadis.
“Tak ada jalan lain! Aku harus mendahului merampas pedang sakti itu!” kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Maka beliau segera melepas pukulan K/pas Neraka. Sinar merah panas bertabur di udara kemudian melebar menyapu apa saja yang ada di depannya. Siap menghantam Sika Sure Jelantik , Sinto Gendeng bahkan Puti Andini.
Melihat ancaman besar mengancam Puti Andini , Panji tak tinggal diam. Pemuda ini segera turun tangan membantu. Yang dilakukannya yaitu menyergap Sinto Gendeng yakni lawan yang paling bersahabat dengan si gadis. Seperti-diketahui walau mempunyai ilmu silat namun tingkat kepandaian cowok ini jauh dibawah semua orang yang ada di tempat itu. Sebenarnya Panji sendiri mengetahui hal ini. terjun ke gelanggang pertempuran tokoh-tokoh silat tingkat tinggi itu sama saja dengan mengantar nyawa. Namun apapun yang terjadi atas dirinya Panji tidak rela kalau Puti Andini hingga menerima celaka. Sinto Gendeng memaki dalam hati begitu tahu ada orang hendak menelikung pinggangnya. Masih melayang di udara Sinto Gendeng hantamkan kaki kanannya.
“Bukk!”
Panji mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental hingga dua tombak. Tergeletak di bawah kerikil tinggi di mana kakek botak berada. Dari sela bibirnya kelihatan lelehan darah. Sementara itu sesaat lagi lima larik sinar hitam pukulan maut Sika Sure Jelantik akan menghantam Puti Andini dan sinar merah pukulan Kipas Neraka menebar kematian tibatiba di udara berkelebat se-gulungan benda ajaib , putih halus berkilauan. , “Jahanam apa pula ini?!”
Sinto Gendeng memaki sewaktu tangannya yang siap menghantam Puti Andini terjirat oleh sesuatu yang tak segera bisa dilihat dan dipastikannya. Disaat yang sama sekonyong-konyong menggemuruh kiblatan cahaya putih disertai menebarnya hawa yang sangat dingin. Lima larik sinar hitam pukulan yang dilepaskan Sika Sure Jelantik buyar laksana disapu topan.
Pukulan Kipas Neraka masih bisa menyebar dan menderu namun arahnya berubah ke atas menghantam udara kosong. Beberapa orang terpental kemudian jatuh tergeletak di sekitar tebing batu. Selagi orang-orang ini berusaha bangun dengan tubuh bergeletar kedinginan tiba-tiba dari atas melayang jatuh sebuah benda hitam.
“Taaarrr!”
Sebelum jatuh ke atas kerikil benda ini meledak. Lalu asap hitam yang memerihkan mata bertabur menutupi pemandangan. Kutuk serapah terdengar di mana-mana.
Ketika asap hitam lenyap dan udara di tepi telaga terang kembali maka di tempat itu yang kelihatan hanya tinggal tiga orang. Yang pertama yaitu Sinto Gendeng. Nenek sakti ini memaki panjang pendek sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya yang dilibat oleh sejenis benang halus berwarna putih berkilat. Dia segera mengenali benang itu. Membeliaklah sepasang matanya.
“Setan alas! Ini niscaya pekerjaannya Tua Gila! Jahanam benar! Kakek botak tadi niscaya dia!”
Orang kedua yaitu Sabai Nan Rancak. Nenek satu ini melangkah mundar mandir sambil keluarkan bunyi menggerutu. Ketika beliau memutar langkah maka pandangannya saling bentur dengan Sinto Gendeng.
“Kalau kau memang membenci insan satu itu , mengapa kau tidak mengejarnya! Aku curiga kalian sudah semenjak usang berserikat!” Sabai Nan Rancak menyemprot Sinto Gendeng yang merupakan saingannya dimasa gadis dewasa dalam memperebutkan Sukat Tandika alias Tua Gila. Mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu marahlah Sinto Gendeng. “Aku tahu otakmu miring semenjak dulu! Aku juga tahu kau mencari Tua Gila bukan untuk membalas dendam. Tapi hendak berbaik-baik dan ingin menjadi gendaknya kembali! Rupanya kau mau minta dibikin bunting lagi hah?!”
“Nenek setan bermulut kotor!” teriak Sabai Nan Rancak kemudian lepaskan pukulan Kipas Neraka dengan tenaga dalam penuh. Sinto Gendeng tidak tinggal diam. Dia tahu kehebatan pukulan lawan. Tapi tahu pula kelemahannya. Pukulan Kipas Neraka mirip diketahui menebar lebar sama rata dengan tanah. Karenanya begitu sinar merah berkiblat Sinto Gendeng segera melesat setinggi tiga tombak. Lalu dari atas beliau menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari!
Seperti diketahui Pukulan Sinar Matahari telah menimbulkan kegegeran selama Pendekar 212 Wiro Sableng malang melintang dalam rimba persilatan. Namun sekali ini yang mengeluarkan pukulan sakti itu yaitu sang dedengkotnya yakni nenek sakti Sinto Gendeng guru Pendekar 212. Maka kedahsyatannya tak bisa dibayangkan.
Tempat itu laksana dilabrak petir raksasa. Udara dilanda kesilauan luar biasa. Hawa panas membakar seolah matahari hanya satu tombak di atas batok kepala. Air Telaga Gajahmungkur bergemericik mirip mendidih.
Cahaya putih Pukulan Sinar Matahari saling labrak dengan sinar merah pukulan Kipas Neraka. Karena Sinto Gendeng menghantam dari atas maka pukulan saktinya melabrak pukulan sakti lawan di kepingan tengah yang merupakan titik lemahnya. Satu letusan keras menggelegar. Batu dan tanah di tepi telaga bergetar hebat. Air telaga muncrat hingga dua tombak. Pohon-pohon berderak. Ranting-ranting putus dan dedaunan luruh ke tanah laksana dilanda topan.
Sinto Gendeng melayang turun. Tubuhnya seolah barusan menembus dinding api. Ketika beliau menjejakkan kaki di tanah terang nenek ini terhuyung-huyung. Lututnya goyah. Tiga tombak di depannya Sabai Nan Rancak terjengkang di tanah dengan muka seputih kain kafan. Tiba-tiba nenek sakti dari Singgalang ini berteriak keras. Dia bangun berdiri dengan muka mirip iblis. Dengan gerakan cepat beliau menanggalkan Mantel Sakti yang dikenakannya sambil melangkah cepat mendekati lawan.
Sinto Gendeng yang maklum akan kehebatan Mantel Sakti yang dulunya yaitu milik Datuk Tinggi Raja Di Langit ini tidak mau berlaku ayal. Dengan tangan kiri beliau segera cabut dua tusuk konde peraknya. Lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Ketika tangan kiri kanan Sinto Gendeng menghantam ke depan maka dua tusuk konde perak menderu di udara dan pukulan sakti berjulukan Tameng Sakti Menerpa Hujan berkiblat.
Sabai Nan Rancak belum sempat mengebutkan mantel hitamnya untuk menyerang Sinto Gendeng. Tahu-tahu lengan bajunya sebelah kanan robek besar. Dia masih untung lantaran tusuk konde beracun yang dilemparkan Sinto Gendeng hanya merobek pakaiannya. Namun selagi beliau terhuyung-huyung menahan dahsyatnya hantaman pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan , tusuk konde kedua menyambar deras ke sisi kirinya. Sabai Nan Rancak angkat tangan kiri ke atas , pergunakan mantel hitam untuk menangkis.
“Breeeettt!”
Mantel Sakti robek besar. Ujung tusuk konde menekuk bengkok tapi masih terus menembus mantel kemudian kepingan kepalanya menoreh lengan kiri Sabai Nan Rancak. Nenek ini terpekik dan pucat wajahnya begitu melihat dari balik lengan kiri jubah hitamnya yang robek ada darah meleleh. Saat itu juga beliau mencicipi tangannya panas. Hawa panas segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Terhuyung-huyung beliau sandarkan diri ke pohon besar di tepi telaga. Memandang ke depan beliau tidak melihat lagi sosok Sinto Gendeng. Hanya tampak nenek berambut putih riap-riapan Sika Sure Jelantik tegak sekitar sepuluh langkah darinya , memandang menyeringai seolah mengejeknya. Lalu nenek itu pun berkelebat pergi.
“Tusuk konde jahanam…” maki Sabai Nan Rancak. Dia jatuhkan mantel hitam ke tanah. La lu dengan tangan kanannya dirobeknya jubah hitam di kepingan mana lengannya terluka akhir tabrakan tusuk konde perak. Dengan cepat nenek ini tekan kuat-kuat lengannya yang cidera. Dari luka di lengan itu membersit lelehan darah berwarna kehitaman.
“Racun…. Tusuk konde celaka itu ternyata mengandung racun jahat!” Tidak menunggu lebih usang Sabai Nan Rancak segera totok urat besar di pangkal lehernya sebelah kiri.
Pada ketika itulah tiba-tiba ada seorang tinggi besar berambut tegak kaku berkelebat di depannya. Di mukanya yang hitam ada dua belas lobang mengerikan. Sepasang alisnya yang tebal bergabung menjadi satu. Di pundak kanannya sebelah belakang ada satu lobang luka besar yang tembus hingga ke kepingan dada dan menebar amis busuk. Walau penglihatannya ketika itu mulai buram namun Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali siapa adanya orang berpakaian serba hitam itu. Hantu Balak Anam!
“Kau muncul lagi! Aku tak suka melihatmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!” Hantu Balak Anam menyeringai.
“ingat dua kali pertemuan kita sebelumnya Sabai?”
“Persetan dengan pertanyaanmu! Cepat minggat dari hadapanku!” hardik Sabai Nan Rancak.
Hantu Balak Anam kembali menyeringai. Dia melirik pada Mantel Sakti yang ada di tanah. Takut mantel itu hendak diambil orang si nenek segera injakkan kaki kanannya di atas mantel.
“Tak usah khawatir Sabai. Aku tidak akan merampas Mantel Sakti itu. Aku tahu itu yaitu barang curian. Kau mencari penyakit sendiri lantaran dengan mencuri kau menambah musuh. Apa kau masih belum mengerti kalau kau telah diperalat orang? Dengar baik-baik Sabai. Terakhir sekali bertemu saya menanyakan padamu apa kau punya kekerabatan tertentu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang…”
“Manusia jahanam! Pergi dari hadapanku!” hardik Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya diangkat.
“Kau berada dalam keadaan terluka Sabai. Lukamu bukan luka biasa. Kurasa ketika ini sekujur tubuhmu sudah dijalari racun. Kalau kau kerahkan tenaga dalam untuk menghantamku dengan Pukulan Kipas Neraka , sama saja kau mempercepat kematian sendiri!”
Pucatlah paras si nenek. Tengkuknya hambar lantaran beliau menyadari apa yang dikatakan Hantu Balak Anam benar adanya.
“Dengar apa yang akan kukatakan padamu Sabai. Beberapa tokoh silat Pulau Andalas kembali ditemui tewas akhir pembunuhan keji. Ada isu bahwa kaulah yang telah membunuh mereka….”
“Fitnah busuk! Mana mungkin saya membunuh para tokoh itu. Selama ini saya berada di tanah Jawa!” kata Sabai Nan Rancak hampir berteriak. “Katakan siapa yang melancarkan fitnah keji itu! Mungkin sekali kau!”
Hantu Balak Anam tertawa , “ingat , dulu saya pernah hingga dua kali menanyakan apa hubunganmu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi. Kau tidak mau memberi tahu. Itu tak jadi apa. Tapi terus terang saya menaruh curiga padamu Sabai. Kalau terbukti kau memang berkomplot dengan Sutan keparat itu , saya akan mengadu jiwa denganmu! Lihat tubuhku yang bolong ini! Kekasih gelapmu itulah yang telah mencelakai diriku!”
“Manusia jahanam! Mulutmu lancang dan kotor!” Sabai Nan Rancak melompat ke hadapan Hantu Balak Anak dari Sijunjung yang diserang cepat menghindar.
“Tua bangka tolol! Tidak tahu kalau dirimu diperalat orang! Kau tahu Sabai! Aku menerima kabar Sutan Alam Rajo Di Bumi lenyap dari puncak Singgalang. Cepat atau lambat beliau akan segera muncul di tanah Jawa ini. Mungkin beliau tak sanggup menahan rindunya terhadapmu. Tapi mungkin juga beliau tiba untuk membunuhmu!”
Habis berkata begitu Hantu Balak Anam putar tubuh kemudian dengan langkah damai beliau tinggalkan tempat itu. Sabai Nan Rancak kembali terduduk di bawah pohon besar. Tubuhnya terasa semakin panas dan pemandangannya bertambah kabur.
“Celaka! Racun jahat tusuk konde nenek iblis itu. Sanggupkah saya bertahan atau saya akan menemui ajal di tempat ini?”
Sabai Nan Rancak kerahkan tenaga dalam , atur jalan darah dan pernafasan. Dia menotok lagi tubuhnya di beberapa bagian. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat di hadapannya. Bau sangat harum menusuk- penciumannya. Si nenek angkat kepalanya.
“Gadis berbaju biru , pikiranku sedang kacau. Apakah kita pernah bertemu? Apakah kau tiba bermaksud baik atau jahat?”
“Lupakan semua pertanyaanmu itu Nek. Kau terluka cukup parah. Ada racun mengalir dalam tubuhmu , izinkan saya menolong.”
Sabai Nan Rancak tampak bimbang. “Terima kasih…. Tapi saya tidak percaya padamu. Aku menentukan lebih baik mati saja. Kehidupan dimasa laluku hanya derita sengsara. Kehidupan dimasa tiba hanyalah neraka! Jangan berani menolong! Jangan berani menyentuh tubuhku!”
“Aku tak pernah melihat racun sejahat ini. Siapa yang telah mencelakaimu Nek?”
“Iblis wanita berjulukan Sinto Gendeng! Musuh besarku semenjak lama. Sial nasib diriku! Ternyata kepandaiannya luar biasa dan bisa bergerak mendahuluiku. Apa salah kalau ketika ini saya rasanya kepingin mati saja?!”
Berubahlah paras si gadis berbaju biru mendengar keterangan Sabai Nan Rancak itu. Dalam hati beliau bertanya-tanya silang sengketa apa yang ada antara si nenek dengan guru cowok yang dikasihinya itu.
“Nek , jangan tolol. Tidak ada yang paling menyedihkan daripada menemui kematian secara penasaran. Lihat jariku!”
“Eh , kau hendak melaksanakan apa?!” tanya Sabai Nan Rancak ketika dilihatnya gadis anggun di hadapannya meluruskan jari telunjuk tangan kanannya. Jawaban yang diterima si nenek yaitu satu totokan sempurna di pertengahan keningnya. Sabai Nan Rancak menjerit keras. Topi berbentuk tanduk kerbau yang menempel di kepalanya terlempar ke atas. Dari ubun-ubunnya mengepul asap kehijau-hijauan.
Bidadari Angin Timur menghela napas lega. “Terlambat saya menolongnya-nyawa nenek satu ini tak mungkin diselamatkan lagi….” Lalu dari baiik pakaian birunya beliau mengeluarkan sebutir obat berwarna hijau. Obat ini dimasukkannya ke dalam verbal Sabai Nan Rancak. Dengan satu totokan pada tenggorokan si nenek , obat itu meluncur masuk ke dalam perut Sabai Nan Rancak.
“Sebetulnya saya ingin menunggu hingga kau siuman Nek. Banyak yang bisa kita bicarakan. Sayang waktuku sangat sempit. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu lagi….Semoga lekas sembuh.” Setelah pandangi wajah renta keriput itu sesaat Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.
*
* *

TIGA BELAS

Seperti diceritakan sebelumnya , sesudah ada letusan yang menebar asap hitam memerihkan mata menutup pemandangan beberapa orang yang tadi berada di sekitar tepian Telaga Gajahmungkur lenyap. Yang tinggal hanyalah Sinto Gendeng , Sika Sure Jelantik dan Sabai Nan Rancak.
Sesudah terjadi bentrokan hebat antara Sabai dan Sinto Gendeng , Sika Sure Jelantik tinggalkan tempat itu sementara Sinto Gendeng sendiri telah lenyap lebih dulu. Nenek ini berkelebat pergi ke arah lenyapnya kakek tukang kencing si Setan Ngompol. Lalu kemana perginya orang-orang yang lain?
Di arah timur Telaga Gajahmungkur ketika itu tampak kakek berkepala botak berjalan memanggul sesosok tubuh cowok tanpa baju. Kakek ini sepertinya mirip berjalan biasa saja. Namun orang yang ada di belakangnya dan berusaha mengejar tetap saja mengalami kesulitan mendekati si kakek.
Pemuda yang dipanggul di pundak kiri si kakek ternyata yaitu Panji yang ketika itu berada dalam keadaan setengah sadar akhir tendangan kaki kanan Sinto Gendeng. Sekujur tubuhnya terikat dalam gulungan benang halus berwarna putih berkilauan.
“Kek! Tunggu!” Seseorang di sebelah belakang berseru memanggil kakek botak.
Kakek botak seolah tak acuh. Dia lari terus. Di satu kelokan jalan beliau membelok ke kiri , menyelinap ke balik serumpunan pohon bambu dan mendekam di situ. Ketika orang yang mengejar hingga di tikungan jalan tentu saja beliau jadi kehilangan.
“Kek! Di mana kau! Aku tahu kau bersembunyi! Ini bukan saatnya bergurau!” Orang yang mengejar ini bukan lain yaitu Puti Andini. Di tangan kanannya gadis ini memegang Pedang Naga Suci 212 yang berkilauan terkena siraman matahari.
“Sssttt! Aku di sini…. Lekas kemari!”
Batang-batang bambu terkuak ke samping. Dari celah-celah pohon muncul satu kepala botak menyeringai. Puti Andini cepat melompat kemudian menyelinap ke balik rerumpunan bambu.
“Cucuku , lekas kau simpan pedang sakti itu!” kata kakek botak begitu melihat Puti Andini masih memegang pedang telanjang.
Si gadis sesaat jadi bingung. “Bagaimana saya mau menyembunyikan. Pedang ini tidak bersarung….”
“Anak tolol! Sejak diciptakan senjata itu memang tidak punya sarung!” Dengan cepat kakek botak mengambil Pedang Naga Suci 212 dari tangan Puti Andini. Dengan tangan kanannya beliau menekuk ujung pedang kemudian yummy saja mirip sebuah ikat pinggang senjata itu digulungnya. Bersamaan dengan tergulungnya pedang , cahaya putih yang menyilaukan lenyap dengan sendirinya. Puti Andini jadi terheran-heran menyaksikan hal itu. Sedang kakek botak kepanasan tangannya.
“Lekas kau sembunyikan senjata ini di balik pakaian. Hati- hati. Jangan hingga jatuh. Jangan hingga tertangkap berair orang lain!”
Puti Andini cepat mengambil Pedang Naga Suci yang kini berada dalam keadaan tergulung kemudian memasukkannya ke balik baju hijaunya. “Kek , menurutmu Pedang Naga Suci 212 hanya bisa disentuh oleh wanita yang masih suci. Barusan kau yummy saja memegang , bahkan menggulung senjata itu tanpa cidera mirip yang terjadi dengan nenek Sika Sure Jelantik dan Sinto Gendeng serta Sabai Nan Rancak….”
Kakek botak tersenyum. “Aku memang bukan wanita , bukan juga insan suci. Tapi saya tidak punya niat jahat untuk merampas atau mempunyai senjata ini….”
“Tapi Kek….”
“Sudah! Jangan banyak tanya dulu. Lekas ikut aku. Kita harus sembunyi. Aku khawatir ada orang mengikuti….” Kakek botak balikkan tubuh , melangkah cepat memasuki kerapatan pepohonan.
“Tunggu Kek!”
“Apa lagi? Kenapa kau jadi begini bawel?!”
“Kek , saya tahu kau belakangan ini suka menyamar. Tapi lama-lama saya jadi galau sendiri melihat mukamu….”
“Kalau begitu jangan lihat mukaku!” kata si kakek kemudian tertawa mengekeh sambil usap-usap kepalanya yang plontos.
Puti Andini geleng-geleng kepala. Ketika orang renta itu hendak melangkah cepat beliau pegang lengannya dan bertanya. “Kek , sahabatku cowok yang kau panggul ini bagaimana keadaannya?” Puti Andini merasa cemas melihat noda darah di verbal Panji.
“Tak usah khawatir. Dia cuma pingsan ,” jawab si kakek. “Eh , kau suka padanya bukan…?”
“Kau tahu apa mengenai kekerabatan kami berdua. Aku mengenalnya belum usang ,”
jawab Puti Andini. Kakek botak tertawa. “Cinta kalau dinantikan tak pernah datang. Malah suka muncul secara tiba-tiba.
“Ha… ha… ha! Aku tahu kau suka padanya. Aku bisa melihat dari sinar matamu dan nada suaramu waktu bertanya….”
Paras Puti Andini menjadi merah. Terlebih ketika dilihatnya Panji menggerakkan kepala dan membuka mata. Walau tidak melihat tapi kakek botak tahu kalau cowok yang dipanggulnya telah sadarkan diri.
“Anak muda , kau sudah siuman. Apa sudah bisa berjalan sendiri? Pinggangku mau patah semenjak tadi memanggulmu!”
“Kakek , saya tidak mengenalmu. Tapi kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih. Jika kau mau melepas lilitan benang ajaib ini saya segera akan turun dari bahumu!”
Kakek botak tertawa kemudian gerakkan tangan kanannya yang memegang ujung benang putih halus. Tubuh Panji tersentak ke udara. Bergulung-gulung beberapa kali kemudian jatuh ke tanah dengan kaki lebih dulu. Sesaat cowok ini tegak terhuyung-huyung. Kakek botak menunggu hingga Panji sanggup berdiri dengan benar gres menarik benang putih halus yang masih melilit sebagian tubuhnya.
“Sudah… sudah! Tak usah pakai segala macam peradatan!” kata si kakek botak ketika Panji hendak menjura memberi penghormatan padanya. “Lekas ikuti aku. Kita harus sembunyi hingga keadaan aman!”
“Kek , saya harus mencari seseorang. Aku terpaksa tidak bisa ikut bersamamu!”
“Eh , apa-apaan kau ini! Tadi kau mengejarku. Sekarang malah mau pergi!” Kakek botak pelototkan mata.
“Aku ada urusan sangat penting. Aku harus menemui Wiro Sableng. Kita sudah mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Saatnya kita menolong cowok itu….”
Mendengar kata-kata si gadis kakek kepala botak jadi terkesiap. “Astaga! Kau benar cucuku. Tapi yang lebih penting ketika ini yaitu menyelamatkan lebih dulu senjata mustika itu. Kau tahu mengapa saya sengaja membawamu bersembunyi di tempat ini. Semua orang yang tadi ada di telaga niscaya berusaha mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Se-karang kalian berdua ikuti saja aku. Ada satu goa rahasia tak jauh dari tempat ini. Kita sembunyi dulu di sana hingga keadaan aman.”
Kakek botak kemudian putar tubuhnya dan berjalan mendahului di sebelah depan. Panji memberi kesempatan pada. Puti Andini untuk melangkah di belakang si kakek. Ketika gadis ini lewat di depannya beliau segera berbisik. “Tadi kau bicara menyebut-nyebut Pedang Naga Suci 212. Tapi saya tidak melihat senjata itu. Kau simpan di mana?”
“Aku tak bisa menerangkan sekarang….” jawab Puti Andini.
Panji»masih belum puas. “Kakek botak itu. Apa kau kenal padanya. Apa beliau bisa dipercaya?”
“Dia kakekku sendiri. Aku cucunya. Dia yang memberi petunjuk padaku hingga mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Apa atasanku tidak mempercayainya?”
“Aku ingat pada ceritamu perihal kerikil hitam. Ternyata kau hanya mengelabui diriku ,” ujar Panji agak kecewa. Namun sambil tersenyum beliau menunjuk pada kakek botak yang sudah jauh di depan sana.
“Aku melihat wajahnya aneh. Sepertinya dia….”
“Hemmm….” Puti And ini bergumam. Dalam hati gadis ini berkata. “Jangan-jangan beliau tahu kalau kakekku ini menyamar mengenakan topeng tipis.” Dengan tersenyum si gadis risikonya berkata , “Ternyata matamu cukup tajam. Tidak banyak orang punya kepandaian meneliti sepertimu. Tapi sekali lagi saya bilang , kini bukan waktunya menerangkan segala-galanya. Nanti saja….” Habis berkata begitu Puti Andini segera bergerak cepat menyusul kakek botak. Panji risikonya mengikuti di belakang. Baru saja ke dua orang ini berjalan beberapa langkah tiba-tiba dari arah kanan terdengar bunyi bentakan-bentakan. Lalu ada sinar merah , kuning dan hitam berkiblat di udara. Serta merta ranting dan daundaun pepohonan yang ada di sekitar tempat itu terbakar hangus. Semak belukar dikobari api.
“Astaga! Apa yang terjadi?!” ujar Panji. Baru saja cowok ini berkata begitu tiba-tiba kakek botak sudah berada di hadapan mereka.
“Lekas ikuti aku. Sesuatu terjadi di sebelah sana. Mungkin hanya tipuan belaka. Jangan melaksanakan sesuatu tanpa izinku!” Lalu kakek botak cepat berkelebat di antara kerapatan pepohonan. Panji dan Puti Andini mengikuti sambil berpegangan tangan.
Berjalan sejarak lima belas tombak ke. tiga orang itu hingga di «satu tempat yang ditumbuhi rapat pohon-pohon jati renta yang tidak lagi mempunyai daun. Di depan sebatang pohon jati besar berdiri seorang cowok berwajah tampan. Dia mengenakan pakaian serba hitam dan rambutnya gondrong sebahu. Pemuda ini tegak dengan kaki merenggang , tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan diangkat di atas kepala dengan jari-jari terkepal.
Delapan langkah dari hadapan cowok tadi tegak Ratu Duyung. Cermin bulat sakti tergenggam di tangan kanannya. Sepasang matanya yang biru memandang tak berkesip pada cowok di depannya yang bukan lain yaitu Raden Layang Kemitir yang dalam rimba persilatan memperkenalkan diri dengan julukan Utusan Dari Akhirat. Seperti dituturkan dalam Episode Utusan Dari Akhirat cowok yang yaitu putra seorang darah biru terhormat di Banten ini telah menemukan sebuah kitab sakti berjulukan Matahari Sumber Segala Kesaktian. Kitab ini ditemukannya di balik pakaian Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat , guru Pangeran Matahari yang menemui aja! sewaktu terjadi bentrokan besar di Pangandaran. Berbekal ilmu kesaktian yang tersimpan di dalam kitab maka arwah Si Muka Bangkai yang menampakkan diri secara ajaib memerintahkan Layang Kemitir untuk mencari dan membunuh tiga musuh besarnya yang sekaligus musuh Pangeran Matahari. Ketiga orang itu yaitu Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti , Tua Gila dan Wiro Sableng. Ketika Wiro dan Ratu Duyung meninggalkan Telaga Gajahmungkur kedua orang ini segera melaksanakan pengejaran terhadap Puti Andini yang telah mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Karena Wiro tidak bisa berlari secepat yang dilakukannya , maka untuk sanggup mengejar Puti Andini , Ratu Duyung menempuh jalan pintas. Mereka hampir berhasil memapasi orang yang dikejar namun justru di tempat itu berselisih jalan dengan Utusan Dari Akhirat. Pemuda ini dalam perjalanan menuju Telaga Gajahmungkur. Rupanya beliau juga telah menyirap kabar akan terjadi sesuatu di telaga yang luas itu. Beg itu melihat Wiro , Utusan Dari Akhirat segera menghadang.
“Pendekar 212! Kau sudah ditakdirkan mati di tanganku! Apa sekali ini kau masih bisa kabur?!”
Beg itu membentak Layang Kemitir pribadi menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari ke arah Wiro. Langit seolah menjadi redup. Tiga larik sinar ajaib menyambar ganas. Ratu Duyung yang berada di samping murid Sinto Gendeng cepat mendorong cowok itu hingga Wiro terpelanting dua tombak dan jatuh di balik sebatang pohon besar.
“Ratu! Lekas menyingkir! Pemuda itu hendak menyerang dengan pukulan Gerhana Matahari!” Wiro berteriak memperingatkan lantaran beliau mengenal sekali pukulan sakti yang akan dilancarkan Utusan Dari Akhirat.
*
* *

EMPAT BELAS

Tapi ketika itu ada satu keberanian luar biasa dalam diri Ratu Duyung. Tangan kanannya menyelinap ke balik pakaian mengeluarkan cermin saktinya. Ketika beliau mengerahkan tenaga dalam mendadak beliau merasa ada satu kekuatan ajaib mendahului aliran tenaga dalamnya. Begitu beliau mengiblatkan cermin saktinya maka menggemuruhlah selarik sinar putih , panas menyilaukan mata laksana ada puluhan kilat menyambar menjadi satu!
Ratu Duyung terkesiap sendiri ketika menyaksikan bagaimana cahaya putih yang keluar dari cerminnya menghantam Pukulan Gerhana Matahari yang mengeluarkan sinar merah , kuning dan hitam hingga melesat bertaburan ke udara. Menghantam ranting-ranting dan daun pepohonan hingga terbakar. Ranting-ranting yang dikobari api itu begitu luruh ke bawah pribadi membakar semak belukar kering yang ada di sekitar tempat itu. “Lagi-lagi cermin ini mengeluarkan kehebatan luar biasa tidak mirip biasanya…” kata sang Ratu dalam hati.
Layang Kemitir tegak terbelalak. Dadanya berdenyut sakit. Matanya perih dan sepasang lututnya bergetar. Sejak mewarisi ilmu kesaktian dari kitab Matahari; Sumber Segala Kesaktian , cowok ini merasa dirinya sebagai yang paling hebat. Karena-nya beliau menjadi kecut ketika serangannya tadi dihantam mental oleh cahaya putih yang keluar dari cermin bulat di tangan Ratu Duyung. Sambil menggeram beliau angkat tangannya lurus-lurus ke atas. Jari-jari tangan dikepal.
“Wiro , siapa bersama-sama cowok edan ini?” bertanya Ratu Duyung.
“Dia mengaku murid Si Muka Bangkai , mengaku sebagai saudara seperguruan Pangeran Matahari. Awas Ratu! Dia hendak melepas pukulan Merapi Meletus ,” bisik Wiro pada Ratu Duyung. “Sebaiknya kita lekas menyingkir. Tak usah melayani cowok geblek itu. Aku khawatir….”
“Kau tetap saja di balik pohon itu. Siapapun yang berani berlaku kurang asuh terhadap kita perlu diberi pelajaran pahit!” jawab Ratu Duyung. Saat itu tangan kirinya mengusap ke dada dimana tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. Gadis ini tahu sekali bahwa kekuatan hebat yang mengalir mendahului hawa sakti cermin bulatnya berasal dari kitab sakti itu. Karenanya penuh percaya diri beliau tegak tak bergeming menghadapi Layang Kemitir.
“Gadis anggun bermata biru!” seru Layang Kemitir seraya sunggingkan seringai genit yang menjijikkan Ratu Duyung. “Apa gunanya membela cowok sableng yang bakalan menemui ajal menjadi bangkai tak berguna itu! Lebih baik kau ikut padaku. Kita bisa hidup bersenang-senang sepanjang umur dunia!”
“Pemuda jahanam! Berani kau bicara kurang ajar!” teriak Pendekar 212. Dia melompat dari balik pohon , siap menyerang Layang Kemitir. Tapi Ratu Duyung cepat menahan dadanya dan mendorong Wiro.
“Ho… ooo! Pendekar 212 Wiro Sableng? Ke-kasihmu atau istrimu?! Ha… ha… ha!”
Wiro menggeram murka hingga tubuhnya bergetar keras. Ratu Duyung sendiri tetap damai walau dari hidungnya ketika itu beliau keluarkan bunyi mendengus. Sepasang matanya yang biru dan wajahnya yang anggun membersitkan hawa menggidikkan tapi dari mulutnya malah keluar bunyi tawa memanjang.
“Pemuda tak tahu diri! Baru mempunyai ilmu se-dangkal comberan sudah bicara takabur setinggi langit! Kau mau melepaskan pukulan Merapi Meletus?! Silahkan! Aku mau lihat hingga di mana kehebatanmu!”
Ratu Duyung melintangkan cermin saktinya di depan dada. Pada ketika itu juga hawa sakti mencuat keluar dari perutnya di kepingan mana beliau menyembunyikan Kitab Wasiat Malaikat. Hawa ajaib ini kemudian masuk ke dalam cermin sakti hingga benda itu memancarkan sinar menyilaukan.
Utusan Dari Akhirat sesaat jadi terkesiap melihat keangkeran cahaya yang keluar dari cermin bulat. Selain itu rahasia beliau merasa terkejut bagaimana Ratu Duyung tahu bahwa beliau hendak melepaskan pukulan Merapi Meletus. Otak cerdik dan logika panjang mirip yang dimiliki Pangeran Matahari , walau kadarnya masih sangat rendah , mulai bekerja.
“Gadis anggun bermata biru: Aku kagum akan kecantikan dan keberanianmu.
Mungkin ketika ini kau tidak menyukai diriku. Tapi kalau umur sama panjang siapa tahu kita kelak akan bertemu dalam satu jalinan cinta mesra. Ha… ha… ha!”
“Hemmm…. Begitu?!” ujar Ratu Duyung menyahut sementara Pendekar 212 Wiro Sableng merasa kupingnya panas dan hatinya geram sekali mendengar ucapan orang.
“Kalau saya boleh tahu sudah berapakah usiamu anak muda?”
“Eh , apa maksudmu gadis cantik?” tanya Layang Kemitir agak heran.
“Apa kau tuli? Orang bertanya berapa usiamu? Karena kemarin kami berdua melihat kau kencing berdiri. Kencingmu saja masih belum lempang , bagaimana mau bercinta dengan gadis secantik Ratu Duyung…” Yang berkata yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Habis berkata begitu beliau tertawa gelak-gelak.
Merah padam tampang Layang Kemitir mendengar ucapan Wiro itu. Dadanya laksana disulut api. Dalam keadaan mirip itu Pendekar 212 kembali menambahkan ejekan.
“Kalau kencing saja belum becus saya curiga jangan-jangan setiap kencing kau tidak pernah cebok!”
Ratu Duyung tertawa cekikikan. “Anak muda! Benar-benar memalukan! jangankan saya , kambing betina pun mungkin tidak suka padamu! Hik… hik… hik!”
“Bangsat keparat!” teriak Utusan Pari Akhirat dengan darah mendidih. Tangan kanannya diturunkan ke bawah. Ketika tangan itu hendak dihantamkannya ke arah Ratu Duyung beliau tersirap kaget lantaran orang yang hendak diserang tak ada lagi di tempatnya semula. Yang masih tegak di tempat itu yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. “Hemmm…. ini kesempatan paling baik untuk menamatkan riwayat cowok itu!” Maka Utusan Dari Akhirat segera menghantam ke arah Wiro.
Namun pada ketika itu tiba-tiba dari samping terdengar bunyi teriakan keras disertai berkelebatnya satu bayangan hitam , menyusul kiblatan cahaya putih menyilaukan. Seperti diketahui meski mempunyai ilmu kesaktian yang didapatnya dari kitab Matahari , Sumber Segala Kesaktian , namun intinya Layang Kemitir alias Utusan Dari Akhirat tidak mempunyai kepandaian silat tinggi dan tenaga dalam inti. Begitu ada orang berkelebat ke arahnya beliau bukannya mengelak malah dengan nekad coba menghantamkan pukulan Me-rapi Meletus ke arah orang yang menyerangnya. Padahal untuk itu beliau harus memutar tubuh. Dalam ilmu silat setiap gerakan yaitu waktu. Kalau gerakan tidak didasari kecepatan maka simpel sekali bagi lawan untuk mencuri kesempatan melaksanakan serangan. Sebelum Utusan Dari Akhirat sempat berbalik satu tendangan mendarat di pundak kanannya sebelum beliau sempat melepaskan pukulan saktinya.
“Bukkk!”
Utusan Dari Akhirat mencelat hingga tiga tombak. Pemuda ini terkapar di tanah. Mengerang kesakitan. “Hancur bahuku…. Hancur bahuku…” katanya berulang kali.
Saat itu tiba-tiba terdengar bunyi orang tertawa mengekeh. “Apa yang terjadi di tempat ini?!” Ada orang bertanya. Lalu menyusul bunyi kaleng berkerontangan keras menusuk pendengaran. “Siapa yang barusan kena gebuk? Ha… ha… ha!”
Sesaat kemudian di tempat itu muncullah seorang kakek bungkuk berpakaian lusuh penuh tambalan. Dia menyandang sebuah buntalan di pundak kirinya. Tangan kanan memegang sebuah kaleng rombeng yang diguncang terus-menerus. Di kepalanya ada caping bambu yang masih baru. Di tangan kirinya orang renta ini memegang sebatang tongkat kayu.
Orang renta ini yang bukan lain yaitu Kakek Segala Tahu adanya kerontangkan kalengnya tiga kau kemudian berkata. “Hai , saya mau lihat! Siapa saja yang ada di tempat ini!”
Kakek Segala Tahu memandang berkeliling. Tentu saja kakek ini tidak bisa melihat apa-apa lantaran kedua matanya tertutup selaput putih alias buta! Tapi sambil senyum-senyum beliau berkata. “Aku mencium amis pesing sangat santar. Sinto , apakah kau berada di sekitar sini? Bau pesingmu biasanya tidak sesantar ini. Apa ada orang lain di dekatmu? Kalau benar dugaanku maka orang itu yaitu sahabat usang si Setan Ngompol!”
Di balik serumpun semak belukar Sinto Gendeng dan Setan Ngompol saling pandang. Kalau si nenek memaki dalam hati maka Setan Ngompol tak habis pikir bagaimana orang buta mirip Kakek Segala Tahu itu mempunyai kemampuan untuk mengetahui siapa orang yang ada di dekatnya.
Kakek Segala Tahu mendongak sambil gosok-gosok indera pendengaran kirinya dengan ujung tongkat. “Ada seseorang enak-enakan duduk di atas pohon sebelah sana! Siapa kau adanya? Harap memberi tahu nama!”
Saat itu di atas cabang sebuah pohon jati terdengar bunyi orang menjawab. “Kek , saya si bocah konyol Naga Kuning!”
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Ah , suaramu masih saja ceria. Tanganmu yang cidera tentu telah sembuh! Aku dengar ada peristiwa alam besar terjadi di tempat kediamanmu di dasar Telaga Gajahmungkur!” Orang renta ini kerontangkan kaleng rombengnya.
Dia mendongak ke atas. “Hari telah petang. Udara agak mendung. Tapi telingaku mencium amis yang sangat harum mewangi di tempat ini. Siapakah kau gerangan…?” Sepi. Tak ada yang menjawab. Tak ada gerakan.
“Ah , si anggun itu tak mau menjawab. Malu beliau rupanya. Atau mungkin juga beliau tak mau kehadirannya diketahui orang?” Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Di balik pohon keladi hutan berdaun lebar Bidadari Angin Timur mendekam tak bergerak. Dia memang sengaja bersembunyi lantaran tidak ingin kehadirannya diketahui orang.
“Aku tahu masih ada beberapa prang di tempat ini. Jika kalian memang para sahabat mengapa tidak memberi tahu…?”
“Kek! Aku Wiro Sableng! Aku bersama Ratu Duyung. Dia yang barusan menghajar seorang cowok berjuluk Utusan Dari Akhirat!”
“Ratu Duyung! Apa kabarmu?! Pendekar 212! Aku senang mendengar suaramu. Syukur kau masih hidup! Ha… ha… ha!” Orang renta ini memandang berkeliling. “Masih ada beberapa orang lagi di tempat ini. Sembunyi di balik pohon atau semak belukar! Tak jadi apa! tak jadi apa. Tapi semua kalian yang hadir di tempat ini! ingat malam nanti yaitu malam bulan purnama empat belas hari! Malam ini yaitu malam perjanjian. Kita berkumpul di Telaga Gajahmungkur sebelah barat! Nah , saya pergi sekarang! Sampai nanti malam!” Si kakek kerontangkan kalengnya tiga kali.
Semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesiap lantaran gres sadar bahwa malam nanti yaitu malam bulan purnama empat belas hari. Ketika mereka memandang lagi ke depan Kakek Segala Tahu tak ada lagi di tempat itu.
Sementara itu di satu tempat yang terlindung Puti Andini memandang pada kakek botak di sampingnya. Si kakek gelengkan kepala. “Jangan kau berani membuka mulut! Kita tidak perlu memberi tahu kehadiran kita di sini. Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di tempat ini. Kau dan Panji tetap di sini. Aku coba menyelidik ke balik pohon besar sana. Aku barusan melihat ada seseorang menyelinap di tempat itu.”
Tak jauh dari situ , di balik pohon keladi hutan berdaun sangat lebar Bidadari Angin Timur mencicipi tubuhnya tegang ketika tiba-tiba di belakangnya ada satu bunyi berkata perlahan tapi jelas.
“Sahabat berwajah jelita. Waktu kita tidak lama. Ambil senjata ini. Berikan pada pemiliknya sebelum malam tiba….”
Sebuah benda yang memancarkan cahaya berkilauan tiba-tiba diangsurkan di depan Bidadari Angin Timur hingga gadis ini tersurut kaget.
“Kapak Naga Geni 212 yang dikabarkan lenyap!” desis Bidadari Angin Timur. Dia berpaling ke samping. Saat itu sempurna di sebelahnya tegak seorang mengenakan pakaian serba kuning. Wajah dan rambutnya tertutup cadar berwarna kuning pula.
“Siapa kau…. Mengapa senjata ini ada padamu?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Seperti kataku tadi. Kita tak punya waktu lama. Lekas simpan senjata ini. Sembunyikan di balik pakaianmu. Lekas ambil!”
Walau hatinya bimbang tapi lantaran , mengenali sekali bahwa senjata itu yaitu Kapak Naga Geni 212 milik Wiro maka Bidadari Angin Timur segera mengambil dan menyimpannya di balik pakaiannya.
“Sekarang dengar. Di sekitar tempat ini ada beberapa orang bermaksud jahat. Lihat ke depan , ke arah semak belukar lebat….”
Bidadari Angin Timur menoleh ke arah yang dikatakan. Di jurusan itu beliau melihat beberapa orang berpakaian ajaib dan mukanya dicat merah , hijau dan hitam. “Mereka yaitu orang-orang Lembah Akhirat. Mereka tengah memata-matai kita. Mereka punya maksud jahat! Mereka mencari Pedang Naga Suci 212! Bermaksud merampasnya!”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Aku tahu kau mempunyai gerakan laksana angin secepat kilat. Kita harus bertindak cepat merampas pedang mustika itu. Lalu….”
Bidadari Angin Timur terkejut. “Kau berada di pihak mana sebenarnya? Mengapa kau hendak merampas senjata orang?!”
“Bukankah kau ingin menolong Pendekar 212. Bagaimana kalau orang-orang Lembah Akhirat bergerak lebih cepat. Kita harus mendahului sebelum terlambat. Hanya Pedang Naga Suci 212 yang bisa menyembuhkan peristiwa alam yang menimpa diri orang yang kau cintai itu….”
Berubahlah paras Bidadari Angin Timur.
“Dengar , selain orang-orang Lembah Akhirat , ada orang lain yang juga punya niat jahat. Sekarang ikuti apa yang saya katakan. Aku akan melompat ke arah gadis berjulukan Puti Andini itu kemudian membelok dan lari ke kanan. Aku tidak melaksanakan apa-apa. Hanya mencuri perhatian , Kau mendatangi si gadis dari arah lain. Kau harus bisa mengambil Pedang Naga Suci 212 yang disembunyikan di balik kain. Sebelum tengah malam kita bertemu di barat Telaga Gajahmungkur. Tapi ingat. Jangan dulu bergabung dengan para tokoh! Kau harus bisa membawa Pendekar 212 ke satu tempat di mana ada dua pohon yang batang nya tumbuh saling bersilang. Bagaimana caranya tak perlu kubilang. Terserah akalmu yang panjang. Kau siap?”
Bidadari Angin Timur menatap mata bening orang bercadar kuning itu. “Pedang Naga Suci 212 bukan senjata sembarangan. Siapa yang berniat jahat bisa celaka sendiri. Paling tidak tangannya akan terkelupas hingga kelihatan tulang!”
“Aku tahu kau yaitu seorang perawan suci. Maksud kita mengambil Pedang Naga Suci 212 bukan untuk merampas atau mencuri. Kita punya niat baik tersembunyi. Menolong seorang kekasih. Kekasihmu sendiri. Jangan ada keraguan di dalam hati!”
“Baik , saya siap. Tapi ingat satu hal. Jika kau menipu , lehermu akan kupatahkan lebih dulu!”
Orang bercadar tersenyum di balik cadarnya. Dengan tangan kanannya dibelainya pipi Bidadari Angin Timur seraya berkata. “Tidak ada yang paling senang di dunia ini selain menolong orang yang kau cintai! Nan , saya bergerak sekarang! Buang rasa bimbang yang masih mengambang!”
*
* *
TAMAT
Episode berikutnya :
DENDAM DALAM TITISAN

No comments for "Wasiat Malaikat WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"