Wasiat Dewa WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIR0 SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tit0

EP : WASIAT DEWA
SATU

LIDAH Tiga Bayangan Setan terjulur sedang kawannya si Elang Setan terbatuk-batuk dengan mata berair memerah.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya Elang Setan.

“Aku bersumpah akan membunuh Pangeran keparat itu!” jawab Tiga Bayangan Setan.

“Jangan t0l0l! Tingkat kepandaiannya di atas kita! Apalagi kini ia mempunyai Kitab Wasiat Iblis itu….”

“Kita harus pergunakan akal! Cari kesempatan waktu ia lengah!”

“Kalau begitu kita terpaksa mengikuti kemana ia pergi!” kata Elang Setan pula.

“Aku benar-benar tidak suka ini! Pangeran jahanam! Mayatmu kelak akan kukupas! Kulitmu kujembreng kujadikan mantel!” kertak Tiga Bayangan Setan. “Aku yakin bisa membunuhnya. Ilmu Tiga Bayangan Setanku niscaya bisa menaklukannya….Ay0 kita ikuti dia!”
Kedua 0rang itu segera mengejar Pangeran Matahari. Tahu 0rang mengikuti sang Pangeran menghentikan langkah dan berbalik.
“Kenapa kalian mengikutiku?!” tanya Pangeran Matahari membentak dengan mata mel0t0t.
“Maafkan kami. Bukankah kami merupakan anjing-anjing pengawalmu? Makara kemana Pangeran pergi kami harus mengikuti.” jawab Tiga Bayangan Setan.
Pangeran Matahari menyeringai. Dalam hati ia berkata. “Siapa percaya pada kalian! Menurut mauku sebaiknya kubunuh saja keduanya ketika ini daripada menyusahkan dikemudian hari. Tapi hemmm…. Sebelum mereka mampus ada baiknya kuperalat lebih dulu….” Sang Pangeran kemudian d0ngakkan kepala. Kedua matanya dipejamkan tanda ia tengah berfikir keras. Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan pada dua 0rang di depannya.
“Kalian berdua tak usah mengikuti aku!” kata Pangeran Matahari pula.
“Lalu… kemudian apa yang kami lakukan? Menunggu hingga datangnya ketika kematian seratus hari dimuka tanpa kau memberi 0bat penawar? Pangeran harap kasihani selembar nyawa kami…” kata Elang Setan setengah meratap.
“Kalian kembali ke sumur watu itu! Aku akan mengatur kedatangan sese0rang….”
“Kembali ke sumur batu…?” ujar Elang Setan sambil memandang pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa… apa yang kami lakukan di sumur itu?” Tiga Bayangan Setan usikan pertanyaan.
“Tunggu hingga 0rang yang kumaksud itu datang!”
“Siapa ia adanya Pangeran?” tanya Elang Setan.
“Se0rang c0w0k berjulukan Wir0 Sableng , berjuluk Pendekar 212!”
“Pendekar 212 Wir0 Sableng!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan hampir bersamaan dengan muka berubah.
“Begitu ia muncul di sumur watu ia harus segera kalian bunuh!”
“Pangeran…. Pendekar 212 bukan insan sembarangan….”
“Jika ia bukan insan sembarangan apa berarti ia setan? Rupanya kalian takut…?
“Selama hidup kami tidak mengenal takut. Tapi dalam keadaan keracunan menyerupai ini sulit bagi kami….”
“Setan alas! Aku tidak perduli apa kesulitan kalian! Kau punya satu kesulitan! Aku punya seribu! Dan dengar , ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Pendekar 212 harus tidak tahu kalau saya yang menyuruh kalian untuk membunuhnya! Kalian dengar?!”
“Kami dengar ,” jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagus! Aku pergi sekarang!”
“Pangeran! Tunggu…!” seru Elang Setan.
“Kau tidak sanggup memastikan kapan Pendekar 212 muncul. Jika hingga lewat seratus hari ia tidak tiba , kami sudah mati k0ny0l akhir racun dalam tubuh. Kemana kami harus mencarimu?”
“Manusia anjing! Kau tidak layak mengatur diriku! Jika saya tidak memberimu 0bat penawar dalam waktu seratus hari berarti itu nasib kalian yang jelek! Ha… ha…ha…!”
Pelipis Tiga Bayangan Setan menggembung sedang rahang Elang Setan terkatup rapat-rapat tanda kedua 0rang ini tengah berusaha menahan meledaknya amarah yang ketika itu memperabukan diri masing-masing. Pangeran Matahari bukannya tidak tahu hal itu. Sambil menyeringai ia berkata. “Kalau kalian merasa terlalu usang menunggu kematian hingga seratus hari di muka , saya bersedia mengirimmu ke liang neraka ketika ini juga!” Lalu sang Pangeran mend0ngak dan angkat tangan kanannya.
“Tunggu!” seru Tiga Bayangan Setan.
“Jangan!” ujar Elang Setan cepat. “Kami akan mematuhi perintahmu. Kami akan berjaga-jaga di sumur watu itu!”
“Bagus! Sekarang mengg0ngg0nglah dan kembali ke sumur itu!” Pangeran Matahari balikkan diri kemudian tinggalkan daerah itu.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan mengg0ngg0ng beberapa kali. Sambil keluarkan bunyi menyalak menyerupai anjing itu tiba-tiba Tiga Bayangan Setan kepalkan kedua tinjunya. Dengan cepat dua kepalan itu diangkat ke atas kemudian saling diadu di atas kepala. Tiga bayangan menyerupai asap mengepul di kepalanya. Dia hendak keluarkan ilmu kesaktiannya yaitu melepas tiga makhluk raksasa jejadian tapi Elang Setan cepat menarik dan menghempaskan kedua tangannya ke bawah. Tiga bayangan raksasa serta merta lenyap.
“Jangan t0l0l! Kau mungkin bisa memb0k0ngnya dari belakang! Tapi kita berdua tidak bakalan l0l0s dari kematian! Kau saksikan apa yang terjadi dengan Ratu Pes0lek!”
Tubuh Tiga Bayangan Setan berg0ncang keras akhir menahan kekuatan sakti yang tadi dilepas dan kini terpaksa masuk kembali ke dalam tubuhnya.
“Apa kau percaya ia bakal muncul memberi 0bat penawar racun yang ada di tubuh kita?” sentak Tiga Bayangan Setan.
“Aku memang tidak percaya padanya! Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik menghabiskan sisa hidup seratus hari sambil mencari jalan dari pada eksklusif mampus ketika ini juga!” jawab Elang Setan.
Dengan menghentakkan kaki Tiga Bayangan Setan kembali ke sumur batu. Saking kesalnya t0ngkat sakti Wesi Ketatt0n yang tergeletak di tanah milik Jar0t Ampel yang mati dibunuhnya beberapa waktu kemudian diinjaknya hingga amblas ke dalam tanah.
“Aku bersumpah akan meng0rek jantung Pangeran keparat itu Tiga Bayangan Setan. Lalu kita santap bersama-sama! Sekarang kita terpaksa bersabar…” kata Elang Setan setengah membujuk sambil pegang pundak saudara angkatnya itu.
“Aku akan bersamadi ,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Mungkin arwah guru yang ada di dalam sumur bisa memberi petunjuk.”
“Aku menentukan tidur saja…” kata Elang Setan pula kemudian duduk bersandar pada kaki sebatang p0h0n.
DUA

PENDEKAR 212 Wir0 Sableng hentikan larinya. Dia memandang berkeliling sambil d0ngakkan kepala menghirup udara pagi dalam-dalam.
“Aneh… di rimba belantara begini ada basi harum ,” katanya dalam hati sambil terus menghirup dan mencium. Hidungnya kelihatan kembang kempis dan mulutnya term0ny0ng-m0ny0ng. “Mungkin ada bidadari yang kebetulan turun ke hutan ini? Heh…. Aku rasa-rasa pernah mencium basi harum menyerupai ini sebelumnya….”
Murid nenek sakti Eyang Sint0 Gendeng dari puncak Gunung Gede ini angkat tangan kanannya ke atas. Telapak dikembangkan dan diputar-putar ke aneka macam jurusan. Di satu arah ia hentikan gerakannya ketika terasa dingin. “Angin bertiup dari arah sana. Berarti basi harum itu tiba dari situ.”
Wir0 melangkah ke jurusan yang diduganya sebagai sumber datangnya basi harum. Pada langkah kedua belas telinganya menangkap bunyi air mengucur. “Mungkin ada pancuran di sebelah sana…” pikir Wir0. Dia berjalan terus hingga langkahnya hingga di hadapan batu-batu besar dan semak belukar. Suara air mengucur dan basi harum justru tiba dari balik batu. Lalu sesekali terdengar bunyi 0rang menyanyi. Suara perempuan. Wir0 bergerak ke sebelah kanan batu. Ketika serumpun daun keladi hutan disibakkannya , sang jag0an hampir keluarkan seruan tertahan. Cepat Wir0 tutup mulutnya dengan tangan kiri tapi sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar.
“Di dalam hutan ada pemandangan begini hebat! Rejekiku besar sekali hari ini!”
kata Wir0 dalam hati kemudian ia mencari daerah yang lebih baik sem0ga bisa melihat lebih jelas.
Di bawah sana , hanya sejarak kurang dua puluh langkah dari daerah Wir0 mengintai ada sebuah telaga kecil. Pada sisi kanan telaga terdapat dinding watu yang tak seberapa tinggi. Dari cuilan atas watu mengucur air membentuk sebuh jeram kecil. Telaga kecil itu dikelilingi batu-batu besar berbentuk rata. Di salah satu watu berdiri se0rang gadis tinggi semampai yang sambil menyanyi-nyanyi kecil membuka gulungan rambutnya. Ternyata ia mempunyai rambut berwarna pirang , digerai lepas hingga ke pinggang. Dia mengenakan pakaian biru tipis. Pakaian , tubuh dan rambutnya menebar basi harum yng tercium hingga ke hidung Wir0.
“Rambut dan basi wangi itu…” desis Wir0. “Sayang ia membelakangi. Aku tak sanggup melihat wajahnya. Tapi jikalau melihat pada bentuk dan warna pakaiannya… saya hampir niscaya ia adalah….”
Ucapan membatin murid Sint0 Gendeng terputus. Dadanya berdebar keras-keras dilihatnya sambil terus bernyanyi-nyanyi kecil gadis itu mulai membuka pakaian birunya. Si gadis hanya membuka cuilan atas kemudian membiarkan pakaian itu lepas dan mer0s0t jatuh ke atas batu. Wir0 tekap mulutnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan menggaruk kepala habis-habisan. Sepasang matanya mel0t0t tidak berkesip dan menyerupai mau mel0mpat dari r0ngganya.
“0 ladalah! Benar-benar p0l0s. Bagaimana saya bisa tahan menyaksikan pemandangan ini. Apakah saya harus ikut-ikutan membuka pakaian dan menyebur ke dalam telaga? Memandang terus-terusan bisa menciptakan saya jadi setengah gila!” murid Sint0 Gendeng tarik nafas panjang. Dua lututnya bergetar. Ketika ia c0ba menggeser kakinya , tiba-tiba tanah yang dipijaknya bergerak l0ngs0r.
“Celaka!” Wir0 keluarkan seruan tertahan. Dia cepat mengimbangi diri dan berusaha menggapai watu di sampingnya tapi watu itu licin. Tangannya luput sementara tanah di bawah kedua kakinya semakin keras l0ngs0rnya. Tak ampun lagi sang jag0an jatuh terper0s0k. Tubuhnya meluncur hingga sepuluh langkah , ketika ia c0ba mel0mpat tubuhnya terpelanting lantaran tanah yang dipijaknya ternyata berair dan licin. Tak ampun lagi sepuluh langkah ke bawah tubuhnya terguling-guling. Wir0 tergeletak jatuh tepat di samping watu di mana gadis berambut pirang gres saja menanggalkan pakaiannya. Si gadis menjerit keras. Secepat kilat ia menyambar pakaian dan mengenakannya kembali. Pada ketika s0s0k Wir0 tergeletak di samping watu di bawahnya si gadis keluarkan teriakan marah.
“Pemuda lancang! Minta mati berani mengintai 0rang mandi!”
Begitu berteriak si gadis hantamkan tumit kanannya ke leher Wir0. Ini merupakan satu serangan maut yang dalam keadaannya menyerupai itu tak mungkin dielakkan 0leh Pendekar 212 Wir0 Sableng. Murid Sint0 Gendeng hanya bisa berteriak dan c0ba lindungi lehernya dengan lengan kanan. Tapi ketika diangkat tangannya tertahan 0leh ujung batu!
“Tamat riwayatmu pengintai lancang!”
Wir0 hanya bisa mel0t0t menunggu kematian. Tiba-tiba si gadis yang lancarkan serangan maut tahan gerakan kaki kanannya. Matanya masih mendelik dan wajahnya yang el0k masih terbungkus hawa marah. Tapi dari mulutnya kemudian terdengar seruan.
“Kau!”
Kalau tadi Wir0 merasa nyawanya se0lah sudah terbang dan wajahnya sudah sepucat mayat , kini ia menarik nafas lega dan berusaha bangun dengan cepat.
“Wir0 Sableng! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Wir0 sesaat tertegun kemudian balas berteriak. “Bidadari Angin Timur!”
“Demi Tuhan! Aku tidak menyangka kalau kau 0rangnya yang berlaku kurang ajar! Berani mengintip wanita mandi!”
Wir0 berdiri. “Tunggu…. Jangan salah sangka!”
“Kau sudah tertangkap tangan! Masih hendak mungkir?!”
Wir0 garuk-gruk kepala. “Tidak , tunggu dulu. Biar saya jelaskan. Aku tadi berada di hutan sebelah sana. Ketika berjalan saya mencium basi harum. Aku ingat betul basi itu yaitu harumnya tubuh , rambut dan pakaianmu….” Sampai disitu Wir0 hentikan ucapannya. Wajah gadis el0k di hadapannya dilihatnya tidak berubah. Dia kemudian meneruskan. “Kemudian kudengar ada bunyi air mengucur , juga bunyi wanita menyanyi. Aku hingga akrab watu besar di atas sana. Ketika memandang ke bawah kulihat s0s0k tubuhmu. Karena kau membelakangi saya tak segera mengenali. Lalu tibatiba tanah yang kupijak l0ngs0r. Aku jatuh hingga ke sini…. Percayalah saya tidak berbuat kurang bimbing mengintipmu! Semua serba tidak sengaja….”
“Kau tidak berdusta?” tanya si gadis.
“Aku bersumpah tidak berdusta!” jawab Wir0 seraya angkat kedua tangannya ke atas. “Lagi pula kalaupun hal ini terjadi , mengingat kekerabatan kita dimasa kemudian kurasa kau bisa memaafkan….”
Si gadis membisu saja. Dalam hati Wir0 jadi bertanya-tanya. Kemudian dilihatnya gadis itu tersenyum dan rapatkan pakaian birunya.
“Kalau kau mau mandi silahkan saja. Aku akan pergi dari sini hingga kau selesai….”
“Ada apa kau tahu-tahu bisa muncul di daerah ini Wir0?” tanya si gadis.
“Aku sengaja mengambil jalan pintas. Aku dalam perjalanan ke sebuah pulau di pantai bahari selatan. Kau sendiri mengapa berada disini?”
Si gadis menarik nafas panjang. Sambil menyisir rambut pirangnya dengan jarijari tangan kanan ia berkata. “Dunia ini sempit juga rupanya. Buktinya kita bisa bertemu secara tidak terduga dalam rimba belantara ini. Aku dalam perjalanan ke Kart0sur0….”
“Hemm…. Rupanya kau punya urusan penting di sana.”
“Sangat penting Wir0. Aku harus pergi ke sebuah bukit kecil di luar Kart0sur0. Ada satu kiprah maha besar yang harus kuselesaikan….”
Pendekar 212 ingat akan pertemuannya dengan Si Raja Penidur , Sint0 Gendeng dan Kakek Segala tahu di puncak Merbabu beberapa waktu lalu. Sambil tersenyum Wir0 berkata. “Rasanya saya tahu urusan apa kau pergi ke bukit kecil di pinggiran Kart0sur0 itu.”
“Hah?! Kau malang melintang kemana-mana. Punya banyak kenalan 0rang-0rang pandai. Tidak heran kalau kau mungkin tahu apa urusanku. Tapi saya mau menguji. C0ba kau sebutkan!” kata si gadis pula.
Wir0 garuk-garuk kepalanya. “Aku mendengar wacana sebuah kitab sakti berjulukan Kitab Wasiat Iblis. Kabarnya berada di bukit itu. Tersimpan secara abn0rmal dalam sebuah sumur….”
Paras si gadis berubah.
“Parasmu berubah , berarti dugaanku betul!” kata Pandekar 212.
“Kau memang hebat! Aku tidak akan menanyakan bagaimana kau bisa menduga begitu tepat….”
“Mencari sebuah benda keramat atau benda sakti sama saja dengan mengadu nyawa. Kau harus hati-hati kalau memang bermaksud mendapatkan kitab itu.”
“Eh , mengapa kau bilang begitu Wir0?”
“Aku yakin bukan kau saja yang menginginkan kitab sakti itu. Pasti banyak 0rang-0rang lain berkepandaian tinggi. Jika satu benda dicari 0leh banyak 0rang berarti akan terjadi perebutan. Perebutan berarti pertumpahan darah…!”
“Hemmm…. Kau mungkin betul. Tapi saya tidak takut mengadu nasib!”
“Aku tahu kau mempunyai kepandaian tinggi. Walau begitu tetap saja harus berhatihati. Karena kalau kau bisa mendapatkan kitab itu , yang lain-lain bisa bergabung dan menger0y0kmu untuk merampas kitab itu.”
“Terima kasih atas nasihatmu. Kau sendiri tidak berminat mendapatkan kitab sakti itu?” tanya si gadis pula.
Wir0 garuk-garuk kepala “Tentu saja ada keinginan. Tapi sayangnya disaat yang bersamaan ada hal lain yang lebih penting harus dikerjakan….”
“Aku tidak secerdikmu. Makara tidak bisa menduga apa urusanmu itu. Apa kau mau mengatakan…?”
Wir0 Sableng tertawa. Lalu menjawab. “M0h0n dimaafkan , saya tidak bisa mengatakannya padamu.”
“Juga mengingat kekerabatan kita di masa lalu?” ujar si gadis.
Wir0 garuk-garuk kepala. “Sampai ketika ini kau tidak pernah memberitahu siapa namamu. Aku memberi panggilan padamuu Bidadari Angin Timur. Karena kau secantik bidadari dan gerakanmu secepat angin….”
“Kau b0leh terus memanggilku dengan nama itu…”ujar si gadis seraya tersenyum. (Siapa adanya gadis yang diberi nama Bidadari Angin Timur ini harap baca serial Wir0 Sableng berjudul Guci Setan)
Wir0 tatap lekat-lekat wajah yang tersenyum itu. “Bidadari Angin Timur…”
katanya dalam hati. “Kecantikanmu semenjak dulu tak pernah kulupakan. Justru pada pertemuan ini mendadak rasa rinduku menggel0ra. Gila betul!” Di hadapannya si gadis masih tersenyum. “Senyum itu mengakibatkan munculnya dua lesung pipit di wajahnya. Hemmm… Dua lesung pipit itu sepertinya….”
“Kau se0leh termenung memikirkan sesuatu. Kau tak mau lagi memanggil diriku dengan sebutan Bidadari Angin Timur itu?”
“Ah , tentu saja mau!” jawab Wir0 cepat. Lalu dengan p0l0s ia berkata. “Terus terang saya tidak pernah melupakan dirimu semenjak pertemuan kita gara-gara Guci Setan itu….”
Satu getaran abn0rmal yang tak pernah dirasakan sebelumnya menjalari dada Pendekar 212 Wir0 Sableng. “Gila , mengapa saya tiba-tiba begitu kangen pada gadis ini. Ingin memeluknya , ingin menciumnya. Apakah saya sudah jatuh cinta atau Cuma…. Ah! Bagaimana ini!” Wir0 lagi-lagi garuk-garuk kepala.
Apa yang ada dalam pikiranmu Wir0…? tanya Bidadari Angin Timur perlahan seraya menatap dalam-dalam ke mata sang jag0an menciptakan Wir0 jadi salah tingkah.
“Aku… saya juga besar hati mengetahui kau selalu ingat padaku…” jawab Wir0.
“Pertemuan ini satu hal yang sangat berarti bagiku.”
“Bagiku juga… Lalu , apakah kau mau menyertaiku ke Kart0sur0?”
“Tentu…tentu saja saya mau…. Tapi….” Wir0 ingat akan kiprah dari tiga t0k0h silat yang salah satu yaitu gurunya sendiri.
“Ah , hatimu bimbang. Aku tak ingin memaksa. Mungkin lain waktu kau mau berjalan bersamaku lagi….” Suara Bidadari Angin Timur terdengar sedih. Hati Pendekar 212 jadi luluh. Ketika si gadis membalikkan tubuhnya Wir0 cepat pegang tangannya dan berkata.
“Saat ini kau lebih penting bagiku. Aku akan antarkan kemana kau ingin pergi.”
“Sungguh?” tanya Bidadari Angin Timur ingin kepastian sambil pegang jari-jari tangan sang pendekar.
Wir0 anggukkan kepala. Si gadis dekapkan kedua tangannya ke pipi Wir0 kemudian perlahan-lahan menarik wajah sang jag0an hingga akhirnya dua bibir mereka saling bertemu.
“Aneh… Mengapa ia jadi begini berani? Karena besar hati saya mengantarkannya ke Kart0sur0? Atau lantaran kangen. Atau….”
Murid Sint0 Gendeng tak bisa berfikir lebih usang lantaran ketika itu pelukan dan ciuman Bidadari Angin Timur menciptakan dirinya serasa terbakar. Ketika ia balas merangkul tubuh si gadis , Bidadari Angin Timur miringkan tubuhnya ke samping hingga tak ampun lagi keduanya masuk ke dalam telaga.
TIGA
AKU mencium basi busuk…” kata Wir0. Bidadari Angin Timur hentikan langkahnya. Dia mend0ngak sebentar kemudian menunjuk ke arah kiri. “Datangnya dari arah sana. Mari kita selidiki….”
Kedua 0rang itu dengan cepat bergerak menuju datangnya sumber basi busuk di lereng bukit kecil. Tiba-tiba si gadis hentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Wir0.
“Ada mayat yang sudah tak karuan rupa bergeletakan di sana….”
Wir0 sibakkan semak belukar dan memandang ke arah yang ditunjuk Bidadari Angin Timur. “Bukan hanya satu mayat. Ada tiga… empat… Mungkin lebih. Sudah membusuk. Dikerubungi belatung dan lalat….” Wir0 meludah ke tanah. “Sebagian hanya tinggal tulang belulang belaka….”
“Mengerikan sekali keadaan di daerah ini….”
“Sebaiknya kita pergi saja ,” kata Wir0.
“Tunggu! Wir0 lihat…” bunyi gadis di sebelahnya terdengar bergetar.
“Apa…?”
“Di sebelah sana. Sumur batu…. Aku merasa niscaya itu sumur yang saya cari. Tempat tersembunyinya Kitab Wasiat Iblis ,” bisik si gadis.
Wir0 memandang ke arah sumur watu itu. Lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi kecuali bunyi lalat yang beterbangan di atas bangkai-bangkai insan itu.
“Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik. Jika kuberi tanda gres bergerak.” Si gadis anggukkan kepala dan berbisik. “Hati-hati. Jangan kau biarkan saya sendirian terlalu usang disini.” Gadis ini lepaskan pegangannya pada lengan Wir0.
Wir0 cepat mendekati sumur watu , melangkahi mayat-mayat yang membusuk.
“Gelap , berkabut…. Sumur ini niscaya dalam sekali.” Kata Wir0 dalam hati begitu ia berdiri di tepi sumur dan memandang ke dalamnya. “Apa betul Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini? Bangkai-bangkai insan itu. Siapa mereka? K0rban saling bunuh antara pemburu kitab sakti?” Wir0 perhatikan cuilan sebelah atas sumur yang agak terang. Dia melihat ada ulir berbentuk tangga menurun sepanjang dinding sumur.
“Aku tidak berminat mendapatkan kitab itu. Tapi kalau jalan ke dasarnya gampang apa salahnya menyelidik. Hanya saja dari dalam sumur saya mencium basi busuk. Pasti ada mayat di dalam sana….”
Wir0 berpaling ke arah semak-semak daerah tadi ia meninggalkan Bidadari Angin Timur. “Sahabatku cantik! Silahkan tiba ke sini! Wir0 memanggil. Tak ada jawaban.
“Bidadari Angin Timur! Aku di sini!” seru Wir0. Dia menunggu sesaat. “Eh , apa gadis itu sudah dicekik hantu bisu hingga tak bisa menjawab?!” Wir0 memanggil lebih keras. “Bidadari Angin Timur!”
Tiba-tiba dari balik semak belukar terdengar bunyi tawa bergelak , menciptakan Pendekar 212 terkejut bukan main.
“Ada sesuatu yang tidak beres!” pikir murid Sint0 Gendeng. Dia cepat melangkah ke arah semak belukar daerah tadi ia meninggalkan Bidadari Angin Timur. Namun belum sempat ia mencapai daerah itu dari balik semak belukar muncul dua 0rang bertampang angker.
0rang pertama mengenakan jubah hitam. Memiliki mata kanan membeliak besar sebaliknya mata kiri hampir tertutup. Kepalanya b0tak abn0rmal lantaran hanya yang sebelah kiri sedang cuilan kanan mempunyai rambut panjang awut-awutan. Mukanya sebagian tertutup kumis dan cambang bawuk lebat.
“Manusia apa ini , buruk angker. Ada tiga guratan pada keningnya…” kata Wir0 dalam hati. Dia berpaling pada 0rang kedua. Yang pertama sekali diperhatikannya yaitu bentuk sepasang tangan 0rang itu. Selain ditumbuhi bulu lebat dua tangan itu tidak berbentuk tangan insan tapi berupa cakar berkuku hitam runcing. Daging wajah 0rang ini hancur menyerupai dicacah sedang hidungnya tinggi bengk0k. Sepasang matanya mengerikan lantaran cuilan bawahnya menggembung merah dan selalu berair . “Aku rasarasa kenal dua kadal menakutkan ini” , membatin Wir0.
Yang menciptakan Pendekar 212 jadi tersentak kaget ialah lantaran dua insan tak dikenal itu keluar dari semak belukar sambil menyeret bidadari Angin Timur.
“Bidadari!” seru Wir0 seraya hendak mel0mpat. Tapi dua 0rang yang menyeret si gadis lebih dulu meny0ngs0ng menghadang , melepas si gadis begitu saja hingga jatuh tertelungkup di tanah.
“Dia tidak bergerak , juga tidak bersuara! Pasti dua keparat itu telah memb0k0ngnya dengan t0t0kan hebat!”
“Siapa kalian?!” Bentak Bentak Wir0.” Apa yang kau lakukan terhadap sahabatku?!”
Dua 0rang yang dibentak menyeringai. Si jubah hitam membuka mulut. “Jawaban pertama saya yang menjawab. Aku datuk dunia persilatan dikenal denagn Tiga Bayangan Setan!”
“C0c0k!” seru Wir0.
Tiga Bayangan Setan kerenyitkan kening dan pel0t0tkan matanya yang gembung.”Apa maksudmu c0c0k?!”
“Mukamu memang menyerupai setan!”
“Kurang ajar!” Tiga Bayangan Setan menggemb0r murka dan eksklusif hendak menyerang Wir0. Tapi sahabat disebelahnya berkata.”Kau belum memperkenalkan diriku…”
Mulut Tiga Bayangan Setan k0mat-kamit sebentar gres bicara. “Dia dikenal dengan julukan Elang Setan!”
“Aha! Juga c0c0k! Muka menyerupai setan tangan menyerupai cakar elang. B0leh saya bertanya…?”
“Bangsat!” Kau mau tanya apa?!” hardik Elang Setan.
“Dengan tangan menyerupai itu bagaimana kau menyuap makanan? Lalu satu lagi…bagaimana kau ceb0k?! Lalu kulihat cakar kelingking kirimu buntung. Apa patah waktu kau ngupil?!”
“Setan bantalan minta mampus!” Elang Setan berteriak keras kemudian mel0mpat sambil tangan kanannya membeset kearah leher Wir0.
Murid Eyang Sint0 Gendeng maklum kehebatan cakar lawan. Waktu sinar hitam dan merah bertabur keluar dari tangan kanan Elang ia cepat mundur dua langkah sambil d0r0ngkan tangan kanan melepas pukulan “benteng angin puting-beliung melanda samudera”.
Elang Setan Keluarkan seruan tertahan ketika mencicipi ada satu gel0mbang angin laksana temb0k yang tak kelihatan menahan gerakannya. Ketika ia kerahkan tenaga untuk menembus kedua kakinya malah terangkat ke atas.
“Kurang ajar!” Kau kira saya tidak sanggup menembus pertahananmu!” teriak Elang Setan. Dia melesat dua t0mbak ke atas kemudian jungkir balik di udara. Di lain kejap tubuhnya meluncur laksana sebatang t0mbak. Dua tangan terpentang lurus. Satu diarahkan ke muka Wir0 , satunya lagi ke cuilan dada tepat di arah jantung. Sebelum serangan hingga dua larik sinar merah bercampur hitam menerpa lebih dahulu!
“Serangan ganas! Dia hendak mencakar hancur mukaku dan menjeb0l dadaku!”
Wir0 kertakkan rahang. Cepat ia bergerak ke samping kiri. Dia merasa angin menggidikan menampar mukanya sebelah sewaktu serangan cakar elang lawan lewat di samping kepalanya.
Ternyata serangan Elang Setan kearah muka tipuan belaka. Dia sengaja memperlambat gerakan serangannya sem0ga gampang dihindar. Namun bersamaan dengan itu cakar setan tanmgan kanannya melesat ke dada.
“Serahkan jantungmu!” teriak Elang Setan sambil tertawa bergelak lantaran ia yakin serangan mautnya itu akan berhasil. Sadar kalau ia tak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan maka Wir0 cepat kerahkan tenaga dalam. Tangan kirinya bergerak , memukul ke atas. Dua lengan beradu keras.
“Bukkk!”
Suara tawa Elang Setan mendadak s0ntak terputus berganti dengan seruan kesakitan. Tubuhnya terpental hingga empat langkah kemudian terjengkang di tanah. Walau sangat kesakitan tapi ia cepat mel0mpat berdiri. Dalam hati ia merasa tidak percaya. Sepasang lengannya itu kebal terhadap segala macam rasa sakit. Waktu Pangeran Matahari menghantamkan tangannya ke sumur watu , justru bibir sumur watu yang g0mpal sementara lengannya sendiri tidak cidera. Tapi kini bentr0kan dengan lengan Wir0 ia merasa sakit bukan main. Yang lebih membuatnya sakit hati , di hadapannya dilihatnya Wir0 masih tetap berdiri walau lengan kirinya tampak membengkak merah.
Elang Setan mel0mpat ke samping Tiga Bayangan Setan dan berbisik. “Manusia ini benar-benar berbahaya. Sesuai kiprah kita harus membunuhnya ketika ini juga!”
Apa yang dibisikan Elang Setan sempat terdengar 0leh Wir0. Sang Pendekar serta merta membentak.
“Siapa yang menugaskan kalian membunuhku? Siapa yang membayar kalian?!”
EMPAT
TIGA Bayangan Setan dan Elang Setan sama-sama menyeringai. “Telingamu tajam juga rupanya!” ujar Tiga Bayangan Setan. “Siapa yang menugaskan kami membunuhmu tak usah kau tanyakan. Jika masih ingin tau nanti tanyakan saja pada setan kuburan! Ha…ha… ha…!”
Elang Setan pegang pundak saudara angkatnya itu kemudian berkata. “Tapi mungkin kita akan mempertimbangkan untuk tidak membunuhnya kalau ia menyerahkan barang berharga yang dimilikinya….”
“Apa maksudmu?!” bertanya Wir0 sambil melirik ke arah s0s0k Bidadari Angin Timur yang tertelungkup tak berdaya , tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Dalam hati Wir0 membatin. “Setahuku gadis itu mempunyai kepandaian tinggi. “Gerakannya laksana kilat. Kalau ia bisa dilumpuhkan begitu rupa berarti dua insan keparat ini mempunyai kepandaian luar biasa. Aku harus berlaku hati-hati.”
“Kami mendengar kau membekal satu senjata mustika berupa kapak sakti bermata dua berikut pasangannya watu api hitam mukjizat. Kalau kau mau menyerahkan dua benda itu pada kami , kami akan mengampuni selembar nyawamu!” Yang bicara yaitu Tiga Bayangan Setan. Mendengar ucapan Tiga Bayangan Setan Wir0 segera maklum kalau dua 0rang di hadapannya sudah mengetahui siapa dirinya. “Apa yang kumiliki tidak untuk dipertukarkan. Tapi jikalau kalian berdua memaksa bagaimana kalau dua benda itu saya tukar dengan dua nyawa kalian!” Habis berkata begitu Wir0 tertawa gelak-gelak.
Tiga Bayangan Setan maju selangkah. ”Kau mau nyawaku silahkan ambil! ”Dia pentang dada dan menantang. ”Kau mau berbuat apa unutuk ambil nyawaku silahkan lakukan! ”Pilih daerah yang empuk sem0ga nyawaku yummy keluarnya. Ha…ha…ha!”
“Manusia buruk gundul sebelah! Kau akan menyesal berani bicara keliwat takabur!” Begitu selesai bicara Pendekar 212 Wir0 Sableng mel0mpat ke depan. Tangan kanannya melesat dalam jurus ”kepala naga menyusup awan.” Yang di arah yaitu dada Tiga Bayangan Setan , tepat di cuilan jantung.
“Bukkk!”
Tubuh Tiga Bayangan Setan mencelat hingga dua t0mbak. Sesaat ia terkapar dan tersandar ke dinding sumur batu. Wajahnya yang menakutkan sama sekali tidak memperlihatkan bayangan rasa sakit , malah mel0ntarkan seringai mengejek. Dari mulutnya tak ada darah yang mengucur.
“Seharusnya jantungnya pecah dan ketika ini sudah k0ny0l! Gila! Ilmu kebal apa yang dimiliki setan bantalan gundul sebelah ini?!” ujar Wir0 dalam hati sambil perhatikan tinju kanannya.
Tiga Bayangan Setan keluarkan tawa bergelak kemudian berdiri: Dia berpaling pada Elang Setan dan berkata. “Berikan t0mbak Wesi Ketat0n itu padanya…”
Elang Setan mengambil t0mbak besi yang separuh amblas di tanah kemudian melemparkannya pada Pendekar 212 Wir0 Sableng. Cara Elang Setan melemparkan Senjata itu tidak sembarangan. Salah tangkap atau kurang cepat memegangnya cuilan runcing atau cuilan yang berbentuk pisau tipis melingkar bisa membabat leher Wir0. Sambil merunduk Wir0 tangkap t0mbak yang dilemparkan dengan tangan kiri.
“Astaga! Setahuku ini yaitu senjata Tubagus Kasatama , 0rang bau tanah bergelar Dewa Berjubah Kuning Ber0ngkat Besi!” membatin murid Sint0 Gendeng begitu ia pegangi dan perhatikan t0ngkat besi dalam genggamannya.”Apa yang terjadi-dengan 0rang bau tanah kepercayaan Kerat0n itu?”
“Kau mengenali senjata itu Pendekar 212?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Dan kau ingin tahu dimana pemiliknya kini berada , apa yang telah terjadi dengan dirinya?!” menimpali Elang Setan sambil usap-usap lengannya yang masih sakit akhir bentr0kan dengan Wir0 tadi.
“Apa yang telah kalian lakukan terhadap 0rang bau tanah itu?!” sentak Wir0.
Tiga Bayangan Setan tertawa panjang. ”Kau tak usah khawatir keadaan 0rang bau tanah itu. Saat ini niscaya ia sehat-sehat dan tenang-tenang berada di dalam akhirat!”
“Jadi kalian telah membunuhnya?!” Wir0 mel0t0t besar.
“Saudara angkatku hanya meng0rek jantungnya dari dalam dadanya. Kalau ia kemudian menemui kematian mana bisa kami dipersalahkan!” Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Jahanam!” rutuk Wir0. Sebagai 0rang yang punya kekerabatan akrab dengan Kerat0n di barat dan timur , Wir0 kenal baik dengan Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Bert0ngkat Besi. Saking marahnya Wir0 kerahkan tenaga dalam dan siap untuk lepaskan ”pukulan sinar matahari” kearah Tiga Bayangan Setan. Tapi di depan sana , sambil bersandar ke dinding sumur Tiga Bayangan Setan kembali menantang.
“Pukulanmu tadi terlalu empuk! Sungguh memalukan lantaran dilepas 0leh 0rang yang katanya punya nama besar dalam dunia persilatan dan hingga dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ternyata kau tidak punya kepandaian apa-apa! Bagaimana selama ini kau bisa menipu dunia persilatan?!”
Murid Sint0 Gendeng merasa terbakar. Dia melangkah dekati Tiga Bayangan Setan.
“Nah , nah! Ternyata kau masih punya nyali untuk melawanku. Silahkan pergunakan t0mbak sakti itu! Kau b0leh menusuk tubuhku dengan ujung yang runcing , atau membabat putus leherku dengan cuilan yang bundar pipih setajam mata pisau!”
“Manusia s0mb0ng! Aku mau tahu hingga dimana kehebatanmu!” Wir0 pindahkan t0mbak Wesi Kerat0n ke tangan kanannya. Karena tangan itu telah dialiri tenaga dalam penuh maka t0mbak sakti hingga mengeluarkan cahaya hitam menggidikkan.
“Kau b0leh pilih cuilan yang kau suka! Mukaku , dada atau perut! Atau kau suka cuilan di bawah perutku?!” Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak. Dia memandang tak berkesip ketika Wir0 dengan kecepatan kilat mel0mpat ke hadapannya. T0ngkat besi di tangan kanan ditusukkan ke arah kening Tiga Bayangan Setan dimana terdapat tiga guratan aneh!
Kepala Tiga Bayangan Setan se0lah terl0ntar ke belakang tapi tubuhnya tetap tak beranjak dari dinding sumur batu. Bersamaan dengan kilatan abn0rmal keluar dari tiga guratan di keningnya. Lalu terdengar bunyi berdentrang. Ujung runcing t0mbak yang ditusukkan Wir0 ke kening 0rang itu patah. Wir0 sendiri mencicipi tangannya bergetar keras dan se0lah memegang besi panas hingga ia terpaksa lepaskan senjata itu. Menyaksikan t0mbak sakti bisa patah sedang kening Tiga Bayangan Setan tidak cedera sedikitpun , Pendekar 212 ambil keputusan untuk lancarkan serangan sakti berupa “pukulan sinar matahari” yang selama ini sulit dicari tandingannya dan merupakan pukulan sakti dikenal paling mematikan dalam rimba persilatan.
Sebagai t0k0h silat g0l0ngan hitam yang menjadi menjadi m0m0k dimana-mana tentu saja Tiga Bayangan Setan segera menduga pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan lawan begitu dilihatnya tangan kanan Pendekar 212 bermetam0rf0sis putih berkilau laksana perak mendidih!
“Pukulan sinar matahari! Aku sudah usang mendengar kehebatannya. Tapi kalau tidak dibuktikan mana saya mau percaya!” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Manusia setan ini benar-benar sangat takabur!” kata murid Sint0 Gendeng yang jadi kalap lantaran dipandang enteng begitu rupa. Seluruh tenaga dalam disalurkannya ke tangan kanan. Didahului teriakan lantang tangan itu dihantamnya ke depan!
“Wusss!
Sinar putih menyilaukan disertai panas luar biasa berkiblat menghantam Tiga Bayangan Setan yang ketika itu masih berdiri bersandar ke dinding sumur batu. Meski percaya diri namun Tiga Bayangan Setan tidak mau berlaku ayal. Tubuhnya melesat ke atas setinggi dua t0mbak. Dua tangannya mengepal kemudian diadukan satu sama lain di atas kepala.
Pukulan sinar matahari menghantam sumur watu hingga hancur berkeping-keping. Walau pukulan sakti itu tidak mengenai sasarannya namun hawa panas menciptakan kaki jubah hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan hangus! Sementara itu hancuran sumur bertebar ke aneka macam penjuru menutupi pemandangan.
“Jahanam! Pukulan sakti itu benar-benar berbahaya!” rutuk Tiga Bayangan Setan walau tubuhnya tidak cidera sedikitpun.
Mau tak mau hati Pendekar 212 Wir0 Sableng rahasia jadi tergetar juga melihat lawan sanggup mel0l0skan diri dari pukulan saktinya. Dua kepalan Tiga Bayangan Setan meletup keluar tiga s0s0k yang mula-mula berupa asap namun dalam waktu sekejapan saja bermetam0rf0sis tiga s0s0k makhluk berbentuk raksasa , rambut riap-riapan , taring mencuat dan mata merah. Ketiganya keluarkan bunyi menggereng kemudian serentak ulurkan tangan kanan , memukul kearah bat0k kepala Pendekar 212 Wir0 Sableng!
Seumur hidup gres sekali ini murid Sint0 Gendeng melihat ilmu hitam begitu hebat. Dia mel0mpat jauhkan diri. Ketika Tiga Bayangan Setan berusaha menyergap dan tiga raksasa jejadian lancarkan serangan Wir0 eksklusif menghantam dengan “pukulan sinar matahari”!
Wusss!”
Sinar putih dan panas berkiblat. Tiga Bayangan Setan jatuhkan diri ke tanah. Tiga makhluk raksasa keluarkan raungan keras.
“Bummmm!”
“Bummmm!”
Dua ledakan keras menggelegar.
Tiga Bayangan Setan jatuh terbanting ke tanah. Makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan mental seakan-akan tanggal dari bat0k kepalanya , berubah jadi asap. Tapi makhluk raksasa yang di sebelah tengah tetap utuh. Malah didahului raungan keras ia melesat ke depan. Kalau sebelumnya s0s0knya hingga sedada kini makhluk rakasasa jejadian ini keluar utuh dari bat0k kepala Tiga Bayangan Setan sementara dua temannya tadi musnah akhir hantaman pukulan sakti yang dilepaskan Wir0 perlahan-lahan kembali ke bemtuknya semula!
“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan.
Makhluk raksasa yang di tengah menghantam kearah Wir0.
“Jin dan segala macam makhluk jejadian takut dengan api!” Pikiran itu tiba-tiba muncul di benak Wir0. Secepat kilat ia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan watu hitam pasangannya. Mata kapak kalau diadu dengan watu hitam akan mengeluarkan pengecap api. Inilah yang dilakukan segera 0leh Wir0. Namun sebelum tangannya bergerak Tiga Bayangan Setan berteriak memberi perintah.
“Rampas!”
Pendekar 212 Wir0 Sableng berseru kaget ketika tiba-tiba dua tangan raksasa yang sebelah tengah bermetam0rf0sis panjang dan menyambar kearah dua senjata mustika yang dipegangnya.
Wir0 cepat menghindar dengan mel0mpat ke belakang. Begitu ada kesempatan ia segera hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212. Wir0 sengaja mener0b0s diantara dua tangan yang terjulur. Yang diarahnya yaitu bat0k kepala raksasa di sebelah tengah. Namun alangkah kagetnya murid Sint0 Gendeng ini ketika lebih cepat dari gerakannya , tangan raksasa jejadian sebelah kanan bergerak mendahului mencengkram mata kapak sedang tangan kiri memukul kearah bat0k kepalanya!
Pendekar 212 hanya punya kesempatan sekejapan untuk memilih. Apa ia mau selamatkan senjata mustikanya atau hindarkan kepalanya dari kehancuran!
“Setan bantalan keparat!” Wir0 masih sempat memaki. Dia tak kuasa mempertahankan Kapak Naga Geni 212 dari renggutan raksasa jejadian yang sangat kuat. Senjata mustika sakti itu terlepas pegangannya lantaran mau tak mau ia harus selamatkan kepala!
Ketika hantaman pada kepalanya berhasil diledakan Pendekar 212 masih berusaha menerjang ke muka untuk dapatkan senjatanya kembali. Tapi s0s0k raksasa sebelah kiri tiba-tiba hantamkan tangan kanannya. Wir0 merasa menyerupai di gebuk bal0k besar. Dari mulutnya keluar jeritan keras disertai semburan darah. Tubuhnya mencelat hingga tiga t0mbak dan terkapar di tanah tak berkutik lagi.
“Kita berhasil membunuhnya!” teriak Elang Setan. “Dunia persilatan akan geger! Nama kita akan mencuat setinggi langit! Aku mau tahu siapa t0k0h persilatan yang tidak merinding mendengar nama kita! Ha…ha…ha!”
Tiga s0s0k raksasa jejadian di atas kepala Tiga Bayangan Setan lenyap. Sambil meyeringai puas ia berkata pada Elang Setan. “Ambil watu hitam di tangan kiri c0w0k itu. Kita perlu segera mencari Pangeran Matahari untuk memberi tahu kejadian besar ini. Tugas dari ia sudah kita jalankan. Empat puluh hari lebih kita menunggu munculnya Pendekar 212. Saatnya kita minta ia memperlihatkan 0bat penawar racun dalam tubuh kita.”
Saat itu tiba-tiba udara menjadi redup se0lah matahari tertutup awan tebal. Tiga Bayangan Setan memandang ke langit dan serta merta terperangah. Di langit dilihatnya ada pemandangan aneh.
“Elang Setan! Lihat!” Tiga Bayangan Setan berseru seraya menunjuk ke langit.
Saat itu di langit tampak tujuh paying tujuh warna dalam keadaan terkembang meluncur demikian rupa laksana terbang. Mula-mula tujuh payung itu terbang memanjang dalam bentuk garis lurus. Tepat di atas lereng bukit dimana Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berada , tujuh payung bergerak berputar membentuk lingkaran dengan payung warna merah berada berada di tengah lingkaran. Melihat tujuh payung warna warni secara abn0rmal terbang di udara saja sudah merupakan keanehan. Apalagi ketika itu terperinci terlihat ada ses0s0k tubuh bergantungan pada tangkai payung berwarna merah. Cara 0rang ini bukan memgang payung dengan tangannya tapi justru kedua kakinya yang menjepit gagang payung. Makara ketika itu keadaan tubuhnya menggelantung kaki ke atas kepala ke bawah. Dari bentuk dan warna pakaian serta rambunya yang tergerai jatuh ke bawah sanggup diduga 0rang yang bergantung pada gagang payung merah yaitu se0rang perempuan.
“Aneh…”desis Elang Setan.
“Aku mencium basi bahaya…” berkata Tiga Bayangan Setan. “Kita sudah dapatkan senjata mustika itu. Buat apa mencari urusan baru. Lekas ambil watu hitam itu. Aku akan membawa si gadis!”
Tiga Bayangan Setan bergerak cepat ke daerah Bidadari Angin Timur tergeletak sedang Elang Setan berkelebat merenggut watu hitam sakti dari genggaman tangan kiri Pendekar 212.
LIMA
Pangeran Matahari mendera kuda tunggangannya habis-habisan hingga hewan itu lari menyerupai kesetanan. Ketika hari mulai gelap , memasuki sebuah lembah di utara Tegalrej0 gres ia memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh kini menurun terus , penuh semak belukar dan gelap. Tapi kuda itu bergerak terus tanpa halangan se0lah ia sudah tahu seluk beluk jalan yang ditempuhnya.
Pangeran Matahari usap-usap leher kudanya seraya berkata. “Kau kuda baik , kuda cerdik. Empat tahun tak pernah ke sini ternyata kau masih ingat jalan! Di akrab g0a sana banyak tumbuh rumput segar hijau dan gemuk! Kau nanti b0leh makan sepuasmu!”
Lewat sepeminuman teh kuda yang ditunggangi Pangeran Matahari berhenti di hadapan sebuah gundukan watu besar , diapit 0leh dua batang p0h0n besar serta tertutup 0leh semak belukar tinggi. Disekitar daerah itu tumbuh banyak sekali rumput segar gemuk.
“Kita sudah sampai…” kata Pangeran Matahari. “Kau b0leh istirahat dan makan rumput sepuasmu!”
Lalu sang Pangeran turun dari kudanya. Baru saja ia menginjakan kaki di tanah hewan itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan keluarkan bunyi menggemb0r. Pangeran Matahari yang tadinya hendak melangkah segera hentikan gerakannya dan menatap kudanya.
“Kau mengetahui sesuatu yang saya belum ketahui. Ada apa…?” Pangeran Matahari usap-usap cuilan atas hidung hewan itu. Sang kuda menggemb0r lagi , kemudian meringkik halus.
“Hemmm… Terima kasih… Kau mengingatkan sem0ga saya berlaku waspada!” Sang Pangeran buka matanya lebar-lebar dan memandang berkeliling. Tapi ia memang tidak memperhatikan tapi kini ia bisa melihat. “Ada semak belukar yang terusik. Tapi tak ada gejala bekas rumput terpijak. Hanya 0rang-0rang berkepandaian tinggi yang bisa punya pekerjaan menyerupai ini….” Pangeran Matahari besarkan mata , pasang indera pendengaran kemudian memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi. Ketika ia mend0ngak ke atas , dadanya berdebar. Pada cabang p0h0n di sebelah kanan gundukan watu besar ses0s0k tubuh kelihatan menelungkup membelintang. Ada cairan mengucur dari cuilan kepalanya.
“Kudaku , kau pergilah merumput. Tenang dan jangan keluarkan suara. Tak ada apa-apa di daerah ini…” bisik sang Pangeran pada kudanya. Lalu ia putar tubuhnya. Sekali kedua kakinya menekan tanah , tubuhnya berayun dan melesat ke atas. Sesaat kemudian ia sudah berada di cabang p0h0n dimana ada s0s0k tubuh tergeletak membelintang. Pangeran Matahari membungkuk berusaha untuk melihat wajah 0rang. Tapi kepalanya laksana disentakkan. Dia meludah ke tanah. Wajah dan kepala 0rang di cabang p0h0n itu hancur mengerikan , tak bisa dikenali! Siapapun ia adanya 0rang ini sudah jadi mayat. Jelas ia dibunuh 0rang!
Pangeran Matahari perhatikan pakaian 0rang. Pakaian ringkas warna c0klat. Pada pinggangnya melilit sebuah rantai besi yang diganduli puluhan kepingan-kepingan besi berbentuk segitiga tajam.
“Senjata andalannya ini tak sempat dipergunakan. Lawan keburu menghabisinya…” pikir Pangeran Matahari. Dari atas cabang p0h0n ia bisa melihat keadaan di bawahnya lebih jelas. Tak ada gerakan , tak ada suara. Kehitaman mendekam dimana-mana. Akhirnya ia mel0mpat turun kembali. “Siapapun 0rang yang membunuh lelaki di cabang p0h0n itu niscaya ia sudah meninggalkan daerah ini… Mungkin saya harus membatalkan niat untuk tinggal di daerah ini. Paling tidak saya hanya bisa pergunakan untuk sekedar bermalam…”
Pangeran Matahari kemudian mencabuti semak belukar yang menghalangi langkahnya menuju gundukan watu besar.”Semak belukar tak terusik. Belum ada yang masuk ke daerah ini…” Pangeran Matahari merambas p0h0n-p0h0n jalar yang menutupi gundukan batu. Ketika semak belukar dan p0h0n jalar yang tersingkir , cuilan depan gundukan watu besar itu ternyata yaitu verbal sebuah g0a besar.
Sang Pangeran tak segera masuk. Dia d0ngakkan kepala kemudian menghirup udara dalam-dalam.”Udara segar bercampur basi minyak. Berarti memang tak ada insan yang masuk ke sini. Dan minyak 0b0r-0b0r di dalam sana masih utuh…”
Bagian dalam g0a itu cukup besar dan tinggi. Suasana gelap menyambut Pangeran Matahari. Dia melangkah ke dinding kanan , meraba-raba hingga akhirnya tangannya menyantuh sebuah 0b0r besar yang tergantung di dinding batu. Dengan cepat 0b0r dinyalakan. Keadaan dalam g0a kini jadi terang. Di dinding sebelah kiri kelihatan lagi sebuah 0b0r yang segera dinyalakan 0leh sang Pangeran hingga keadaan dalam g0a jadi terang benderang.
Pada cuilan tengah g0a sebelah dalam ada sebuah watu tinggi berbentuk rata yang keseluruhannya telah diselimuti lumut kehijauan. Pada ujung watu sebelah kanan berdiri satu patung insan berkepala singa yang cuilan atasnya berl0bang. Pada l0bang ini menancap sebuah 0b0r kecil. Setelah menyalakan 0b0r kecil ini Pangeran Matahari buka mantelnya kemudian mengembangkannya di atas watu rata. Duduk di atas watu Pangeran Matahari rangkapkan kedua tangan di depan dada , pejamkan mata dan tubuhnya untuk beberapa usang tak bergerak sedikitpun. Hembuskan nafasnya bahkan tidak terdengar. Apa yang dilakukan sang Pangeran ketika itu yaitu mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta hawa sakti yang ada dalam tubuhnya.
Sesaat kemudian sepasang mata Pangeran Matahari tampak terbuka , wajahnya kelihatan merah. “Kitab Wasiat Iblis yang ada padaku membawa perubahan besar. Sebelumnya tak pernah saya merasa jalan darah , pernafasan dan hawa sakti dalam tubuhku begini luar biasa…”
Dari balik baju hitamnya sang Pangeran keluarkan kitab sakti itu. Tangannya sesaat terasa bergetar. Sampul kitab berwarna hitam , terbuat dari daun l0ntar kering yang dicelup dalam sejenis dawai. Beberapa cuilan dari sampul kitab ini sudah gugus dimakan usia. Dengan tangan masih agak gemetar Pangeran Matahari letakkan kitab di atas pangkuannya kemudian membuka sampulnya. Pada halaman pertama kitab daun l0ntar itu tertera g0resan pena berbunyi “Kitab Wasiat Iblis”. Dihalaman kedua yang keadaannya sangat rusak kurang jelas tertera g0resan pena dalam huruf-huruf Jawa kun0 berbunyi :
”Kitab ini berj0d0h bagi siapa saja yang
sanggup membunuh lawan sambil tersenyum , meneguk darah musuh menyerupai meneguk
tuak harum , melahap jantung seteru menyerupai menyantap daging panggang.”
Pangeran Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. Dia membuka halaman ketiga yang ternyata merupakan halaman terakhir. Di situ ada sebaris g0resan pena dalam karakter sangat kecil dan rusak hingga untuk membacanya lebih terperinci Pangeran Matahari terpaksa mendekatkan kitab itu ke 0b0r yang ada di atas kepala patung singa.

“Induk kekuatan segala ilmu hitam dan ilmu putih hanya satu. Kekuatan ilmu
hitam selalu satu langkah di depan ilmu putih , Kekuatan ilmu hitam selalu satu jengkal
di atas ilmu putih. Siapa yang mempunyai Kitab Wasiat Iblis ini akan menjadi induk segala
induk dari kekuatan dunia iblis. 0rang yang punya j0d0h hanya satu. Ilmu yang ampuh
hanya satu. Yang satu itu tersimpan dalam kitab ini. Untuk menguasai ilmu penguasa
dunia ini yang berj0d0h hanya perlu merawatnya baik-baik , membawanya kemana dia
pergi. Serahkan semuanya pada kekuatan Maha Iblis! Tapi bilamana disertai samadi dan
puasa tiga kali setiap Kemis malam Jum’at Kliw0n maka kesempurnaan ilmu akan
tercapai. Tak ada satu kekuatan di langit dan di bumi bisa menandingi!”
Sesaat Pangeran Matahari duduk sambil d0ngakkan kepala ke langit-langit g0a batu. Dia ingat kehebatan Kitab Wasiat Iblis sewaktu berhadapan dengan Iblis Tua Ratu Pes0lek. Dia belum sempat melaksanakan sesuatu ketika nenek sakti itu menyerangnya. Tahu-tahu dari dada , di balik pakaian hitamnya dimana Kitab Wasiat Iblis tersimpan melesat cahaya hitam pekat , menghantam lawan hingga menemui maut dalam keadaan mengerikan yaitu hanya tinggal tulang belulang hangus hitam!
“Kekuatan hebat dalam kitab ini bekerja sewaktu saya diserang Ratu Pes0lek. Berarti Kitab Wasiat Iblis ini memang berj0d0h dengan diriku…” Pangeran Matahari cium kitab hitam itu beberapa kali kemudian meletakkannya di atas kepala. “Kitab Wasiat Iblis kitab mustika sakti. Kau akan jadi junjunganku. Dengan kekuatan yang kau miliki selama jagat terkembang saya akan menguasai dunia persilatan.” Pangeran Matahari menyeringai.
Bayangan Pendekar 212 muncul di pelupuk matanya. “Manusia Wir0 Sableng , tunggu kedatanganku. Sekali ini kau tak bakal bisa l0l0s dari tangan mautku!”
Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan tangannya yang memegang kitab di atas kepala. Ketika ia hendak memasukkan kitab itu ke balik baju hitamnya tiba-tiba terdengar bunyi tiupan keras.
“Bleppp!”
0b0r besar di dinding kanan g0a watu padam!
“Siapa?!” hardik Pangeran Matahari kemudian cepat selinapkan Kitab Wasiat Iblis ke balik pakaiannya. Tak ada jawaban.
“Berani bergurau di daerah ini berarti mengantar nyawa!” kata Pangeran Matahari lantang hingga suaranya menggema di dalam g0a watu itu. Tetap saja tak ada jawaban.
“Kurang ajar!”
Baru saja Pangeran memaki menyerupai itu tiba-tiba kembali berdesir angin keras.
“Bleppp!”
Kini 0b0r besar di dinding kiri g0a padam hingga cuilan depan g0a menjadi kelam. Satu-satunya 0b0r yang masih menyala yaitu di atas kepala patung insan berkepala singa. 0b0r ini menerangi watu rata dan s0s0k Pangeran Matahari yang duduk di atasnya.
“Mematikan lampu minyak bisa kuanggap satu pekerjaan mudah. Tapi membunuh api 0b0r yang begitu besar hanya bisa dilakukan 0leh insan berkepandaian sangat tinggi!” membatin Pangeran Matahari.
Pada ketika itu tiba-tiba muncul satu s0s0k memasuki verbal g0a. Pangeran Matahari cepat mengambil mantelnya dan berdiri. Tenaga dalam siap dialirkan ke tangan kanan untuk melancarkan pukulan maut “Telapak Merapi”.
Di pertengahan g0a s0s0k yang masuk hentikan langkahnya. Pangeran Matahari tidak sanggup melihat wajah 0rang ini lantaran terlindung 0leh kegelapan. Dia hanya bisa melihat cuilan paling bawah pakaian yang dikenakannya yaitu sehelai jubah hitam. Ujung kakinya tersembul dari balik jubah. Dia tidak menggunakan kasut. 0rang ini ternyata mempunyai kaki sangat hitam dengan kuku-kuku panjang juga berwarna hitam.
“Hanya guruku si Muka Bangkai yang tahu daerah ini. Kalau ada 0rang lain muncul disini terperinci ia membawa maksud tidak baik!” pikir Pangeran Matahari.
“Tamu tak diundang. Melangkah ke daerah terang. Aku mau melihat tampangmu sebelum nyawamu kubikin terbang ke neraka!”
Pangeran Matahari menyangka ucapannya itu tidak diperdulikan. Bahkan mungkin ia akan eksklusif diserang. Ternyata salah. Dua kaki hitam berkuku panjang bergerak maju dan berhenti dua langkah di hadapan watu datar.
Cahaya api 0b0r kecil di kepala patung insan berkepala singa menerangi s0s0k tubuh itu. Kini Pangeran Matahari sanggup melihat 0rang yang berdiri di hadapannya. 0rang ini bertubuh sangat jangkung , mengenakan jubah hitam. Kepalanya yang menggunakan s0rban hitam hampir menyentuh cuilan atas g0a. Sepasang tangannya menjulang ke samping , begitu panjangnya hingga ujung jari hingga betis. 0rang ini mempunyai muka sangat hitam dan berminyak. Dibawah cahaya 0b0r mukanya tampak berkilat-kilat. Dua matanya yang besar dilingkari serbuk hitam. Karena dua mata ini berwarna merah maka pandangannya tampak meny0r0t menggidikan. Dari sela mulutnya yang terus menerus berk0mat kamit menetes keluar cairan berwarna merah lantaran dalam mulutnya ia selalu mengunyah tembakau campur daun sirih.
“Heran!” Kata Pangeran Matahari. “Ada makhluk buruk tak tahu diri masuk ke dalam g0aku! Katakan siapa kau adanya!”
Manusia bers0rban hitam sunggingkan senyum sinis gres menjawab. Suaranya parau menyerupai tercekik.
“Aku yaitu 0rang yang dilihat gurumu Si Muka Bangkai dalam mimpinya tujuh puluh hari lalu!”
Jantung Pangeran Matahari berdetak keras. Kejutnya bukan 0lah-0lah namun ia cepat balas l0ntarkan seringai buruk dan berkata. “Mimpi…? Mimpi apa? Jangan berani ngac0 dihadapkanku! Jangan sekali-kali menyebut nama atau gelar guruku untuk urusan yang tidak-tidak!”
Si jangkung berjubah dan bers0rban hitam tertawa pendek.
“Aku tidak bicara ngac0! Kau yang berdusta dan pintar menyembunyikan keterkejutanmu!”
“Manusia berkulit sehitam arang ini punya kemampuan menduga hatiku ,”membatin Pangeran Matahari. Lalu ia membentak. “Jangan menciptakan saya muak ! Lekas katakan siapa dirimu , apa kepentinganmu kemudian lekas minggat dari hadapanku!”
Tangan kanan sang Pangeran tampak bergetar tanda tenaga dalamnya sudah tersalur penuh.
“Aku tiba dari jauh. Di timur saya dikenal dengan julukan Datuk Sengkang Makale. Di barat saya dijuluki Hantu Tinggi Pelebur Jiwa. Di utara 0rang-0rang memanggilku Sepasang Tangan Kematian. Lalu di selatan 0rang-0rang menggelariku Pencabut R0h Bers0rban Hitam. Nah , saya sudah menjawab pertanyaanmu!”
“Pangeran Matahari tertawa lebar. “Julukanmu banyak juga rupanya. Tapi tak satupun membuatku merinding. Ha…ha…ha…! Sudah , kini katakan apa kepentinganmu tiba kesini. Kalau sudah lekas angkat kaki dari hadapanku! G0a ini jadi busuk akhir basi badanmu!”
“Aku tiba untuk meminta Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik pakaianmu!”
Paras Pangeran Matahari berubah. Tapi ia lekas mengumbar bunyi tawa bergelak kemudian berkata. “Manusia muka hitam sinting! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?!”
“Aku lebih dari tahu siapa tahu siapa dirimu. Kau terlahir dengan nama An0m. Ditakdirkan sebagai se0rang Pangeran terlantar lantaran ibumu hanya istri ketiga dari penguasa Kerajaan. Kau hampir mampus kalau tidak diselamatkan 0leh kakek sakti berjuluk Setan Muka Pucat alias Si Muka Bangkai. Dari ia kau mendapatkan segala kepandaian silat dan kesaktian. Dari petunjuk yang saya berikan dalam mimpinya maka kau berhasil mendapatkan Kitab Wasiat Iblis setalah mengalahkan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Nah apakah kurang lengkap semua keteranganku?!”
Untuk beberapa ketika lamanya Pangeran Matahari tegak menyerupai patung. Mulutnya ternganga. Dia d0ngakan kepala kemudian angkat tangan kanannya ke atas. 0rang muka di hadapannya menyeringai dan berkata.
“Jangan teruskan gerakanmu , atau kau akan jadi debu ketika ini juga!”
Pangeran Matahari yang dikenal sebagai jag0an segala pintar , segala nalar , segala c0ngkak dan segala licik merasa sangat dihina 0leh ucapan dan ancaman Datuk Sengkang Makale. Dia meludah ke lantai kemudian berkata. “Aku hanya bersedia menukar Kitab Wasiat Iblis itu dengan nyawamu. Apa jawabmu Hantu Tinggi Pelebur Nyawa!”
“Jika saya b0leh menawar , bagaimana kalau nyawaku ditukar dengan kitab ditambah nyawamu?!”
Rahang Pangeran Matahari menggembung. Sepasang matanya membeliak berapiapi. Datuk Sengkang Makale tertawa gelak-gelak
“Aha! Agaknya kau punya dua nyawa hingga berani berucap begitu!” ujar Pangeran Matahari.
“Kau sudah melihat sendiri ada insan mampus yang mayatnya melintang di cabang p0h0n! Mayat itu kini kedinginan! Apa kau mau menemaninya?!”
“Siapa 0rang itu?! Kenapa kau membunuhnya?!” Tanya Pangeran Matahari.
“Dia se0rang t0k0h dari utara menyadang julukan Sepasang Tangan Beracun. Aku membunuhnya lantaran ia menc0ba bersaing untuk dapatkan Kitab Wasiat Iblis! Kalau saya bisa membunuhnya riwayatmu malam ini?!”
Pangeran Matahari tahu betul bahwa 0rang yang mati itu bukan t0k0h sembarangan. Jika si k0rban hitam bergelar Hantu Tinggi Pelebur Nyawa ini bisa membunuhnya terperinci ia memang mempunyai kepandaian yang sulit dijajaki. Tapi dasar berjiwa c0ngkak , Pangeran Matahari anggap enteng 0rang di depannya malah kembali ia meludah.
“0rang s0mb0ng sepertimu biasanya bakal menemui kematian dengan tubuh cerai-berai!”
Si jangkung Hitam terus saja tertawa. Tiba-tiba ia semburkan gumpalan tembakau dan sirih yang semenjak tadi dikunyahnya. Benda ini melesat deras kearah patung singa berkepala insan dan amblas dalam patung watu itu!
“Pangeran , kita akan lihat siapa yang t0l0l diantara kita. Siapa yang tidak sadar tingginya langit akan mampus lebih dulu!” Habis berkata begitu si hitam ini ulurkan kaki kanannya ke lantai yang kejatuhan ludah Sang Pangeran. Ludah itu dipijaknya kemudian kakinya diputar-putar. Tiba-tiba terlihat Pangeran Matahari tersentak ke depan. Mulut dan perutnya laksana tertusuk ratusan jarum. Dia cepat kerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Tak urung butir-butir keringat memercik di keningnya. Bibirnya bergetar. Sang Datuk tertawa mengekeh.
“Manusia jahanam! Dengan kepandaian picisan itu apa kau kira bisa menghindar dari kematian?!” hardik Pangeran Matahari. Tangannya yang sudah menyiapkan pukulan “Telapak Merapi” did0r0ngkan ke arah 0rang tinggi hitam yang hanya berada empat langkah di depannya.
“Wussss!”
Dari telapak tangan kanan Pangeran Matahari keluar angin deras menggemuruh dan mengg0ncang g0a batu. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat panas. Jangankan tubuh insan , watu sekalipun bisa hancur dan hangus terkena hantaman pukulan sakti ini. Tapi di hadapan sang Pangeran Datuk Sengkang Makale tak sedikitpun bergeming malah hadapi serangan maut itu dengan tangan kiri dit0lakkan di pinggang sedangkan tangan kanan diangkat ke atas dengan jari telunjuk menunjuk lurus-lurus ke langit-langit g0a!
Terjadi suatu hal yang hebat dan menciptakan Pangeran Matahari terbeliak besar. Sinar hitam pukulan saktinya laksana tersed0t , tertarik kearah jari telunjuk Datuk Sengkang Makale. Suara gemuruh dan hawa panas perlahan-lahan menjadi sirna. Sebaliknya jari telunjuk sang Datuk kelihatan memancarkan sinar hitam legam. Ketika jari itu dijentikkannya ke atas terdengar ledakan dahsyat. Cahaya hitam dan angin keras menderu. Atap g0a watu hancur berantakan. Lantai watu bergetar hebat kemudian terbelah. Kalau sang Pangeran tak cepat mel0mpat , kedua kakinya akan terper0s0k ke dalam belahan lantai g0a! Untuk sesaat pandekar segala pintar segala c0ngkak itu tegak tersandar ke dinding g0a yang masih utuh. Wajahnya pucat pasi!
“Barusan saya hanya menyed0t dan melepas setengah kekuatan pukulan saktimu Pangeran!” kata Datuk Sengkang Makale. “Yang setengah lagi biar kukembalikan padamu!”
Lalu sang Datuk jentikkan telunjuk tangan kanannya ke arah Pangeran Matahari. Sinar hitam berkiblat! Nyawa sang Pangeran terancam 0leh pukulan sakti miliknya sendiri yang diredam kemudian dilepas kembali 0leh lawan untuk menyerang dan menghabisi nya! Sadar ancaman besar mengancamnya Pangeran Matahari tak mau berlaku ayal. Secepat kilat ia angkat kedua tangannya untuk menangkis dan balas menghantam dengan pukulan “Gerhana Matahari”.
Namun sebelum pukulan maut itu sempat dilepas mendadak ia mencicipi dadanya ia mencicipi ia mencicipi dadanya dilanda hawa panas. Lalu tiba-tiba sekali dari dada Pangeran Matahari menderu satu gel0mbang angin luar biasa dahsyatnya disertai berkiblatnya sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menghampar laksana di neraka. Sinar hitam maut yang dijentikkan sang Datuk disapu habis!
L0l0ngan setinggi langit keluar dari verbal Datuk Sengkang Makale. Tubuhnya mencelat keluar g0a , sesaat menyangsrang di semak belukar kemudian jatuh di atas rerumputan. Asap mengepul.
Ketika Pengeran Matahari keluar dari g0a ia menyaksikan apa yang telah terjadi dengan nenek sakti berjuluk Ratu Pes0lek. S0s0k jangkung Datuk Sengkang Makale yang punya empat julukan itu hanya tinggal tulang-belulang hitam hangus mengeluarkan kepulan asap tipis!
Pangeran Matahari keluarkan Kitab Wasiat Iblis dari balik bajunya. Benda ini terasa hangat. Perlahan dan hati-hati kitab sakti ini diletakkannya di watu g0a kemudian ia jatuhkan diri menyembah.
“Junjunganku Kitab Wasiat Iblis! Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!”
Lalu kitab itu diciumnya berulang kali , diletakkannya di atas kepalanya kemudian ia melangkah masuk kembali ke dalam g0a.
ENAM
Tujuh payung warna warni yakni merah , biru , kuning , putih , hitam , hijau dan ungu melayang turun menuju lereng bukit tak jauh dari sumur watu dimana s0s0k Pendekar 212 terkapar. Payung warna merah hingga lebih dulu. Sejengkal lagi kepalanya akan menyentuh tanah , wanita yang bergelantungan pada payung itu kemudian mel0mpat ke samping. Di lain kejap ia sudah tegak di tanah bukit. Lalu clep! Gagang lancip payung merah menancap di tanah. Sekali lagi secara abn0rmal terdengar bunyi clep! Payung warna merah yang tadi mengembang kini kuncup dengan sendirinya.
Perempuan yang tegak di samping payung merah ternyata yaitu se0rang gadis berwajah sangat cantik. Mukanya tidak disentuh alat perias sedikitpun namun kedua pipinya kelihatan merah. Begitu juga bibirnya tampak segar merah. Sepasang alisnya sangat hitam menaungi barisan bulu mata yang tebal lentik. Dia mengenakan pakaian ringkas warna biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya hitam , tergerai lepas dipermainkan angin bukit.
Enam payung yang masih terkembang di udara sesaat kemudian satu persatu menyusul turun mengitari payung merah dan gadis el0k itu. Lalu ujung-ujung gagang payung yang lancip menancap di tanah. Satu persatu pula secara abn0rmal enam payung yang tadi terkembang menguncup!
Gadis di tengah kelilingan payung memandang berkeliling. Seperti diketahui bukit di sekitar sumur watu itu dilanda basi busuk beberapa mayat yang bertebaran di sana-sini. Tapi si gadis se0lah tidak menciumnya. Dengan hening kemudian ia melangkah kearah sumur watu kemudian menatap ke dalam.
“Aku yakin memang ini sumur yang dikatakan guru. Tapi firasatku menyampaikan saya tiba terlambat. Benda yang kucari itu sudah tak ada di sini. Tadi saya melihat ada dua 0rang meninggalkan bukit ini. Mungkin mereka telah mendapatkan benda itu. Sebaiknya saya naik ke udara kembali. Mereka tentu belum jauh…”
Gadis el0k itu melangkah kea rah payung merah yang menancap di tanah. Tibatiba ia hentikan langkah dan membalik. Matanya memperhatikan s0s0k tubuh Pendekar 212.
“Banyak mayat di daerah ini. Yang satu itu masih segar. Pasti belum usang menemui ajal! Pasti dua 0rang yang kulihat tadi yang membunuhnya… Hemm…apakah perlu menyelidiki siapa ia adanya?” Berpikir hingga disitu si gadis melangkah mendekati tubuh Pendekar 212 yang terkapar menelungkup. Dengan ujung kakinya ia balikkan tubuh c0w0k itu hingga terlentang. Sesaat ia pandangi muka Pendekar 212.
“Ada bekas darah di sekitar mulutnya. Mukanya sepucat kain kafan. 0rang ini mati akhir luka dalam yang amat parah. Hemmm… Tak pernah saya melihat ia sebelumnya.” Setelah memperhatikan sesaat lagi , si gadis siap untuk beranjak. Angin bukit bertiup kencang menyingkapkan pakaian putih Wir0 di cuilan dada. Saat itulah ia tak sengaja melihat rajah tiga buah angka yang tertera di dada si pemuda.
Gerakan kaki si gadis yang hendak melangkah serta merta tertahan. Sepasang matanya yang bening membesar. ”Dua satu dua…!” desisnya. “Astaga!” Bukankah dia…” Gadis ini sesaat tampak meragu. Air mukanya mendadak pucat. Lalu perlahanlahan ia berlutut. Tangannya diulurkan memegang lengan kiri Wir0. “Tak ada denyutan nadi….Dia memang benar-benar sudah mati! Ah…. Bagaimana ini? Padahal berdasarkan guru saya harus…” Si gadis akhirnya duduk di samping tubuh Pendekar 212 , menatap terus menerus. Lalu mata itu melihat tanda merah kebiruan di cuilan dada. “Bekas pukulan aneh…” katanya dalam hati. Lalu menyambung. “Nasib insan memang di tangan Yang Kuasa. Mana saya menyangka kalau pertemuan dengan dirinya ternyata ia sudah menjadi mayat begini rupa…. Satu-satunya kebajikan yang bisa kulakukan yaitu mengubur jenazahnya!” Gadis itu kembali memandang berkeliling. Di lereng bukit sekitar lima puluh langkah dibawahnya ada sebatang p0h0n rindang. “Mungkin di bawah p0h0n itu kubur yang baik untuknya…” Si gadis bangun berdiri kemudian membungkuk.
Tangan Wir0 kiri kanan dicekalnya. Perlahan-lahan , dengan sangat hati-hati ia menyeret mayat Pendekar 212 ke arah p0h0n besar di bawah sana. Baru enam langkah ia menyeret s0s0k tubuh itu tiba-tiba terdengar bunyi 0rang terbatuk-batuk.
“Mayat hidup!” Si gadis terpekik. Lepaskan pegangannya pada tangan Wir0 kemudian mel0mpat menjauh dengan wajah berubah. Tubuh Wir0 yang tadi terangkat lantaran pegangannya dilepas jadi terbanting ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu menggeliat. Membuat gadis tadi jadi tambah ketakutan.
“Astaga! Jelas tadi ia sudah mati. Bagaimana bisa hidup kembali!” ujar si gadis dalam hati ketika dilihatnya s0s0k Wir0 berbalik ke kanan kemudian dengan susah payah ia berusaha berdiri. Tapi dalam perilaku merangkak tubuhnya kembali terhempas. Dari mulutnya keluar bunyi keluhan disertai kucuran darah. Wir0 angkat kepalanya. Pandangannya kabur. Samar-samar ia melihat ses0s0k tubuh berdiri di hadapannya.
“Demi Tuhan , siapapun kau adanya t0… t0l0ng….”
“Dia benar-benar masih hidup!” ujar si gadis. Ketika kepala Wir0 terkulai kembali ia cepat mendatangi.
DUA mata yang terbuka itu tak sanggup mengenali benda-benda apa yang ada di atas tubuhnya. Dia hanya melihat kurang jelas warna hijau , merah , kuning dan entah warna apa lagi. Pendekar 212 pejamkan kembali matanya. Beberapa ketika kemudian gres dibukanya.
“Aneh , benda-benda apa ini?” 0taknya mulai bisa berpikir. “Tubuhku terasa sakit. Tulang-tulangku menyerupai luluh. Tengg0r0kanku kering menyerupai terbakar. Mulutku pahit. Dadaku uh… mendenyut sakit. Bernafaspun serasa mau mati! Eh , berada dimana saya ini…?” Wir0 merasa getaran-getaran di tanah. Matanya melirik. “Ada 0rang melangkah di dekatku… Aku hanya melihat kaki berkasut . Pakaian biru kembangkembang itu membungkuk. Wir0 melihat rambut hitam tergerai. Lalu rambut itu bergerak menyerupai disibakkan. Kelihatan satu wajah.
Wir0 pejamkan kedua matanya. Dibuka kemudian dikedip-kedipkan berulang kali.
“Heh… Jangan-jangan saya ini memang sudah mati dan masuk s0rga. Buktinya saya melihat wajah el0k rambut panjang. Pasti itu wajah bidadari…” ujar Wir0 perlahan tapi cukup terdengar 0leh 0rang yang berada di sampingnya.
“Hik… hik… hik…”
Wir0 terkejut mendengar ada bunyi 0rang wanita tertawa cekikikan tapi tertahan-tahan. Matanya berputar memandang kian kemari. “Astaga…. Jangan-jangan yang kulihat tadi bidadari jejadian alias hantu perempuan!” kata Wir0 kemudian berusaha berdiri. Namun ia cuma bisa duduk. Itupun dengan terhuyung-huyung. Rambut tergerai dan wajah el0k lenyap , berganti dengan satu s0s0k utuh mulai dari kaki hingga kepala yang duduk du hadapan Pendekar 212.
“Si..siapa kau…? Berada dimana saya ketika ini?” Wir0 bertanya. Kepalanya terasa berat. Dia kuatkan diri berusaha sem0ga tidak rubuh. Tapi tak bisa.
Gadis di hadapan Wir0 menjawab. ”Keadaan tubuhmu masih sangat lemah. Sebaiknya kau berbaring saja dulu…”
“Aku…aku lemah?” Wir0 memandang berkeliling hingga matanya kembali menatap kearah wajah el0k di depannya. “Memangnya saya kenapa…?” Wir0 turunkan kepalanya. Wajahnya eksklusif berubah ketika nmelihat ada n0da darah di baju serta dadanya yang tersingkap. Dia juga melihat tanda merah kebiruan membelintang di dadanya. Saat itu kembali rasa sakit menyerang dadanya menciptakan ia merintih panjang. Lalu kembali Wir0 menatap gadis di depannya dengan air muka penuh pertanyaan.
“Pertama saya menemuimu , kukira kau sudah mati. Aku mengubur jenazahmu…” si gadis berniat hendak memberitahu.
“Tengkukku merinding mendengar ucapanmu. Apa betul…” Wir0 berucap.
Tangan kanannya hendak menggaruk kepala tapi ia masih tak bisa menggerakkan. Malah ketika itu tubuhnya terasa huyung dan akhirnya ia terbaring terlentang di tanah.
“Baiknya kau jangan banyak bbicara dulu. Kau menderita luka dalam amat parah. Hanya kekuasaan Allah yang membuatmu masih hidup ketika ini… Berbaring menyerupai itu lebih baik bagimu.”
“Allah memang Maha Besar. Maha Pen0l0ng. Apa… apa yang berg0t0ng-r0y0ng terjadi dengan diriku. 0takku masih belum bisa mengingat….”
“Jangan banyak berpikir , jangan bergerak. Juga tak perlu banyak bicara…”
“Mana mungkin saya berbuat begitu. Itu sama saja menyerupai mati sungguhan…” kata Wir0.
“Terserah. Kalau kau mau sembuh ikuti nasihatku. Kalau tidak…Jika 0rang-0rang yang ingin membunuhmu itu muncul kembali dan kau masih dalam keadaan menyerupai ini , tamat riwayatmu!”
“Eh , siapa yang ingin membunuhku…?” Wir0 usikan pertanyaan tapi mendadak mukanya mengernyit. Dadanya mendenyut sakit menyerupai ada yang meremas di sebelah dalam.
“Telan ini…” kata gadis berpakaian biru seraya mengeluarkan sebutir benda berwarna hitam sebesar ujung jari kelingking.
“Apa ini…? Tahi kambing?” Tanya Wir0.
Paras si gadis berubah memperlihatkan rasa jengkel. “Bergurau memang sehat. Tapi harus pada tempatnya. Aku memberimu 0bat tapi kau bicara melantur. Aku akan simpan saja 0bat ini! Kau b0leh menunggu sembuh hingga seratus hari!”
Murid Sint0 Gendeng jadi terkejut mendengar ucapan itu. “Jangan buru-buru marah. Aku tidak kenal kau. Maksudmu bisa saja baik. Tapi kecurigaan ada kalanya memperpanjang umur , bukan sebaliknya. Dengar….Di balik pakaian putihku ada sebuah kant0ng kecil berisi 0bat. T0l0ng ambilkan dan masukkan ke dalam mulutku…”
Gadis berbaju biru angkat tangannya. “Kant0ng kain butut dan basi ini?!” ungkapnya seraya memperlihatkan sebuah kant0ng kain yang memang milik Wir0.
“Jangan menghina! Dalam kant0ng itu ada 0bat pemberian guruku!”
Si gadis tersenyum lebar. “Kant0ngnya saja sudah butut basi begini. 0batnya tentu lebih buruk lagi!”
“Kau keliwat menghina!” Wir0 berteriak tapi tengg0r0kannya mendadak tercekik hingga ia batuk-batuk hingga keluar air mata. Dia c0ba bangun dan ulurkan tangan mengambil kant0ng kain di tangan si gadis. Namun ia hanya bisa bergerak sedikit kemudian jatuh lagi ke tanah.
“Apapun 0bat yang ada dalam kant0ng ini tak akan bisa men0l0ng dirimu! Kau bukan menderita luka dalam akhir pukulan manusia. Tapi 0leh pukulan iblis. Hanya 0bat iblis pula yang bisa menyembuhkanmu…”
“Maksudmu …?” Wir0 melirik pada benda hitam di tangan si gadis. “Berati yang di tanganmu itu 0bat iblis!”
“Terserah kau mau menyebutnya apa. Kau mau menelannya atau tidak?”
“Tidak…” jawab Wir0.
“Kalau begitu tak ada gunanya saya berlama-lama di daerah ini. Selamat tinggal. Selamat bertemu dengan teman-temanmu…”
Eh teman-temanku siapa?!” Tanya Wir0 heran.
“Yang sudah meninggal lebih dulu darimu!” jawab si gadis kemudian letakkan kant0ng kain milik Wir0 dan cepat berdiri.
Dalam hati Pendekar 212 menyerupai mau merutuk habis-habisan. Tapi di mulutnya malah muncul senyum lebar. “Tunggu!”
“Aku tak punya waktu melayanimu!” jawab si gadis. Tangannya bergerak mencabut sebuah tiang yang menancap di tanah. Ketika tiang itu diangkat gres Wir0 mengenali bahwa banda itu adalh gagang sebuah payung berwarna merah. Wir0 memandang ke atas.”Ah , kalau begitu enam benda warna warni lain yang ada di atas tubuhku ini yaitu payung semua…” piker Wir0. “Tujuh payung terkembang…Bagaimana ia bisa memakainya semua? Siapa berg0t0ng-r0y0ng gadis el0k ini. Apa benar ia hendak men0l0ngku…?”
“Hai , kau betulan mau pergi?!” Wir0 bertanya.
“Kau tidak membutuhkan pert0l0ngan…”
“Siapa bilang?!” tukas Wir0.
Si gadis hentikan gerakannya yang hendak melangkah pergi. Dia memandang pada Wir0 dengan pandangan mengkal.
“Baik , saya bersedia mendapatkan pert0l0nganmu. Aku mengucapkan terima kasih…Tapi b0leh saya tahu dulu siapa dirimu sebenarnya? Kau niscaya punya nama dan …Hek!”
Wir0 tercekik. Ternyata si gadis telah melemparkan 0bat hitam di tangannya ke dalam mulutnya. Begitu berada dalam verbal 0bat itu keluarkan letupan halus. Wir0 mencicipi verbal dan seluruh kepalanya menyerupai terbakar. Dia menjerit keras. Perlahanlahan kulitnya terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan-lahan kulit mukanya kelihatan menghitam.Warna hitam ini menjalar ke leher terus ke dada dan akhirnya turun terus hingga ke ujung kaki. Bersamaan dengan itu Wir0 merasa nafasnya sangat sesak. Matanya perih. Dalam Keadaan menyerupai itu akhirnya ia hanya melihat kegelapan kemudian tak tahu apa-apa lagi.
TUJUH
Pendekar 212 sadar akan dirinya ketika sang surya bersinar terik di langit. Perlahan-lahan ia buka kedua matanya. Dia c0ba berpikir. Ternyata daya ingatannya telah jernih kembali. Bukan itu saja , ia mencicipi ada kekuatan lagi dalam tubuhnya walau rasa sakit masih ada di cuilan dada. Masih dalam keadaan terbaring di tanah ia memutar mata , memandang berkeliling.
“Benda kuning warna-warni itu… Payung-payung itu tak ada lagi… Gadis el0k berpakaian biru kembang kuning itu…” Wir0 bangun duduk. Lalu berdiri. “Aneh , kekuatanku sudah pulih. Pasti berkat 0bat yang diberikan gadis itu. Kemana dia?!” Ketika ia hendak memandang lagi berkeliling mencari-cari , tiba-tiba Wir0 ingat akan senjata mustikanya. Diperiksanya pinggang pakaian , ia meraba kian kemari. Jantungnya bergemuruh.
“Kapak Naga Geni 212! Batu hitam sakti!” teriak Wir0 keras tapi bergetar.
“Celaka! Dua senjata mustika itu lenyap! Pasti telah di bawa kabur Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan! Jahanam! Aku bersumpah membunuh dua insan setan itu!” Wir0 terduduk lemah di tanah. Saat itulah pertama kalinya Wir0 memperhatikan kedua tangannya , kemudian kedua kakinya. Disingkapnya dada pakaiannya.
“Ya Tuhan! Pa yang terjadi dengan diriku! Kulit tubuhku hitam semua! Mukaku niscaya juga!” Wir0 usap wajahnya. “Celaka! Jangan-jangan…” Wir0 berucap sambil mengusap-usap ke dua tangannya tapi warna hitam itu tidak berubah se0lah ia memang sudah hitam semenjak dilahirkan!
Udara di atas Wir0 tiba-tiba redup se0lah ada awan tebal menghalangi cahaya yang surya. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi wanita berkata.
“Kau tak usah khawatir. Warna hitam itu nanti akan hilang sendirinya. Keadaanmu akan pulih jikalau bulan purnama muncul dan tubuhmu terkena sinarnya!”
Wir0 palingkan kepala dan mend0ngak. Dia hampir tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tujuh payung warna-warni melayang di atas bukit dalam keadaan terkembang. Pada gagang payung warna merah tampak bergantung gadis el0k berpakaian biru berbunga-bunga.
“Ah ia rupanya! Luar biasa! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga bisa terbang dengan payung sementara enam payung mengiring se0lah mengawalnya!” Wir0 berdecak kagum kemudian lambaikan tangan.
“Sahabat , turunlah! Aku ingin bicara banyak denganmu!” seru Wir0.
“Urusanku di daerah ini sudah selesai! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu!”
gadis baju biru menjawab. Payung merah yang dipegangnya melayang di atas bukit kemudian perlahan-lahan naik ke atas.
Murid Sint0 Gendeng garuk kepalanya. “Ah! Syukur! Sekarang saya bisa garuk kepala!” murid Sint0 Gendeng merasa lega tapi begitu melihat tujuh payung terbang semakin jauh ia segera berlari mengikuti. Celakanya lantaran lereng bukit menurun dengan sendirinya dengan payung-payung itu bertambah jauh.
“Kul0mpati terlalu jauh! Bagaimana caranya…” Tiba-tiba Wir0 melihat sebuah p0h0n besar dengan cabang-cabangnya yang panjang di bawah sana. “Tujuh payung bakal melewati p0h0n itu. Ini kesempatan bagiku…” Secepat kilat Wir0 lari ke arah p0h0n , memanjatnya dengan cepat kemudian merangkak ke salah satu cabang di arah mana tujuh payung akan lewat. Walau payung-payung itu masih tetap akan melayang di atasnya namun jaraknya tidak seberapa tinggi lagi. Payung warna ungu yaitu payung yang paling akrab dengan ujung cabang. Tanpa menunggu lebih usang Wir0 kerahkan tenaga dalam dan mengayun dirinya pada cabang p0h0n. Tubuhnya melesat ringan ke atas.
Wir0 berhasil menangkap gagang payung warna ungu , yakni payung yang berada di sebelah tengah. Gadis berpakaian biru berada dua payung di sebelah depannya.
“Hai! Apa yang kau lakukan?!” teriak gadis itu ketika melihat Wir0 tahu-tahu sugah bergantungan pada gagang payung ungu.
“Aku mau ikut kemana kau pergi! Aku tadi sudah bilang ingin bicara banyak denganmu!” jawab Wir0. Lalu ketika ada kesempatan ia melesat ke samping dan berhasil menangkap gagang payung hijau. Kini ia hanya terpisah satu payung dari si gadis sementara tubuhnya dan si gadis serta lima payung lain terus melayang di atas bukit. Wir0 sesaat memandang ke bawah. Karena tak biasa berada di udara menyerupai itu ia merasa gamang juga. Di sebelah bawah ia melihat sebuah kali kecil berair jernih.
“Kau tak bisa mengikutiku! Kau harus turun!” berteriak si gadis.
“Tidak! Kalau kau mau turun saya gres ikut turun! Jawab Wir0.
“Jangan memaksa saya melaksanakan kekerasan!”
“Ahai! Gadis secantikmu mana tega menjatuhkan tangan keras!” jawab Wir0 sambil tertawa lebar.
“Kau mau mengujiku! Baik! Aku akan buat kau tahu rasa!” jawab si gadis dengan bunyi keras. Dia tampak murka lantaran merasa ditantang. Rambutnya yang tergerai melambai-lambai tertiup angin. Kepalanya dig0yangkan. Tiba-tiba clep!
Payung hijau yang digelantungi murid Eyang Sint0 Gendeng itu menguncup dengan keras. Ujungnya memukul tangan dan kepala Wir0. Pendekar 212 mengeluh keras. Bukan saja lantaran kesakitan tetapi juga terkejut. Kepalanya laksana dijapit hingga ia tak bisa bergerak. Japitan itu makin usang makin kencang. Walau payung cuma terbuat dari kertas dan ruas-ruas bambu namun bagaimanpun ia berusaha tetap saja Wir0 tak bisa melepaskan kepalanya. Dengan tangan kirinya yang bebas ia berusaha tetap saja Wir0 tak bisa melepaskan kepalanya. Pukulannya tak sampai-sampai sementara tangan kanannya yang memegang payung selain sakit terjepit juga terasa mulai lemah hingga tak mungkin baginya bertahan lama.
Di sebelah kiri bawahnya terdengar bunyi tawa cekikikan.
“Sialan! Dia menertawaiku!” memaki Wir0. “Kalau bukan gidas el0k sudah kukencingi ia ketika ini. Aduh…! Bagaimana ini?!” Jepitan payung di kepala Wir0 semakin keras. Tangan kanannya bertambah lemah dan hilang rasa. Melirik ke bawah Wir0 melihat bukit cukup jauh di bawah sana. “Kalau saya harus melepaskan payung celaka ini lebih baik saya menentukan jatuh masuk ke dalam kali sana…” pikir Wir0. Karena tak sanggup lagi menahan sakit dan mulai pengap dalam jepitan payung hijau Wir0 akhirnya terpaksa lepaskan pegangannya pada gagang payung. Ketika tubuhnya melayang ke bawah tiba-tiba saja selintas pikiran muncul di benaknya. Di udara murid Sint0 Gendeng liukkan tubuh menciptakan gerakan aneh. Tiba-tiba tubuh Pendekar 212 melesat ke samping kiri dan terdengar jeritan gadis berpakaian biru itu ketika Wir0 berhasil menangkap dan merangkul pinggangnya!
Payung merah berguncang keras ketika si gadis mer0nta-r0nta c0ba lepaskan diri dari pelukan Wir0. Seumur hidup gres kali ini ia dipeluk 0rang menyerupai itu. 0leh pria pula!
“Pemuda kurang ajar! Lepaskan diriku!” teriak si gadis. Sebaliknya Wir0 yang keenakan memeluk gadis el0k itu malah tertawa gelak-gelak.
“Aku sedang keenakan , b0d0h dan rugi kalau saya melepaskan pelukan!” jawab Wir0 seenaknya.
“Benar-benar insan kurang ajar!” Si gadis murka sekali. Tangan kirinya digebukkan.
“Bukkk!”
Tubuh Wir0 menggeliat ketika gebukan si gadis menghantam pundak kirinya dengan keras. Sakitnya bukan main. Tulang belikatnya serasa patah. Tapi dasar brengsek ia bukannya berteriak kesakitan malah berseru.
“Aduh! Enaaak!”
Karena beban yang ditahan payung merah dua kali lebih berat dari sebelumnya maka perlahan-lahan payung itu melayang ke bawah.
“Kau benar-benar tidak mau melepaskan pelukanmu?!” Si gadis kembali berteriak.
“Kita turun saja sama-sama , mengapa musti rebut-ribut! Aku tidak bermaksud kurang ajar!” jawab Wir0 dan tambah memperkencang pelukannya.
Si gadis hilang sabarnya. Kaki kanannya bergerak. Lututnya dihantamkan ke bawah perut Pendekar 212. Kali ini Wir0 benar-benar kesakitan. Dia berteriak keras. Lalu tak sadar kalau ketika itu ia berada di udara , begitu lepaskan pelukan kedua tangannya berada digunakan menekap cuilan bawah perutnya.
“Hancur kep0nakanku!”
Tubuh Pendekar 212 melayang jatuh ke bawah. Untung saja ketika itu jaraknya ke tanah tidak terlalu jauh. Lagi pula ia masih bisa menentukan jatuh dengan mencebur masuk ke dalam anak sungai berair jernih!
Dalam keadaan berair kuyup Wir0 berenang menuju tebing sungai. Sementara di udara payung merah daerah gadis el0k bergantung perlahan-lahan kembali melayang naik ke udara diikuti 0leh enam payung warna-warni lainnya. Bersamaan dengan jatuhnya Wir0 ke anak sungai tadi , dari balik pakaian gadis baju biru melayang jatuh pula secarik kertas. Tepat ketika Wir0 mencapai pinggiran sungai , kertas itu jatuh di atas sebuah batu.
“Eh , kertas apa ini..?” ujar Wir0. Dia mend0ngak ke atas.
Di udara gadis baju biru tampak sibuk menyelidiki pakaiannya. Dia memandang ke bawah. “Astaga! Kertas itu…” katanya dengan paras berubah. Begitu dilihatnya Wir0 ulurkan tangan hendak ambil kertas yang jatuh di atas watu , ia segera berteriak. “Jangan sentuh benda itu!” Lalu si gadis kerahkan tenaga. Kedua kakinya digerak-gerakkan. Tangan kirinya diputar-putar. Secara abn0rmal payung merah yang digelantunginya melesat kencang ke bawah hingga dalam waktu cepat sekali ia sudah menjejakkan kaki di depan watu di mana kertas tadi terjatuh. Namun ia kalah cepat lantaran ketika itu Wir0 telah lebih dulu mengambil kertas itu. Ketika diperhatikannya ternyata hanya sehelai kertas k0s0ng. Tak ada g0resan pena ataupun gambar di atasnya.
“Kembalikan kertas itu padaku!” ujar si gadis di hadapn Wir0
“Aneh , hanya sehelai kertas k0s0ng mengapa ia begitu bersikeras memintanya…?” pikir Wir0 dalam hati kemudian membalik-balikkan kertas itu beberapa kali.
“Hai! Kau tuli tidak mendengar 0rang berkata?!” hardik si gadis.
Wir0 tersenyum kemudian ulurkan tangan kanannya yang memegang kertas. Sesaat lagi jari-jari si gadis akan menyentuh kertas itu Wir0 tarik tangannya hingga 0rang hanya menangkap angin. Murid Sint0 Gendeng tertawa gelak-gelak. Merasa di permainkan gadis baju biru menjadi marah. Dia bukan saja berusaha merampas kertas itu tapi sekaligus kirimkan serangan.
“Serangannya ganas sekali…” membatin Wir0 dan cepat berkelit. Namun tangan kiri si gadis sempat melabrak ulu hatinya. Selagi tubuh Wir0 terkekuk ke depan tangan kanan lawan menyambar ke arah kertas. Wir0 masih sempat berkelit. Tapi entah bagaimana pegangannya pada kertas terlepas dan kertas itu melayang sebentar kemudian masuk ke dalam sungai. Sesaat kertas itu dihanyutkan arus namun di satu daerah tertahan di antara dua buah batu.
Wir0 melihat perubahan abn0rmal pada wajah gadis di hadapannya. “Heran , hanya selembar kertas k0s0ng mengapa ia begitu ng0t0t?!’ pikir Wir0. Sambil pegangi perutnya yang tadi dihantam dengkul gadis itu Wir0 berpaling kearah sungai. Matanya yang ditujukan pada kertas yang terjepit di antara dua buah watu tiba-tiba terpentang lebar. “Aneh , tadi kertas itu k0s0ng tak ada apa-apanya. Kini saya lihat menyerupai ada sesuatu di situ….” Wir0 bergerak menuruni tebing sungai.
“Tetap di tempatmu! Jangan kau berani menyentuh kertas itu!” Gadis di belakangnya berkata. Suaranya bukan merupakan ancaman k0s0ng lantaran ketika itu juga mel0mpat ke hadapan Wir0 dan d0r0ngkan kedua tangannya dan dada sang pendekar. Jarak dua tangan dan dada terpisah sekitar tiga jengkal. Dua rangkum angin hambar menyambar tanpa bunyi sama sekali , menciptakan murid Sint0 Gendeng terlempar hingga dua t0mbak. Dia jatuh terbanting di antara tujuh buah payung yang menancap di tepi sungai , semua dalam keadaan kuncup!
Karena sebelumnya dadanya pernah cidera akhir hantaman makhluk raksasa jejadian yang keluar dari kepala Tiga Bayangan Setan dan kini mendapat hantaman di cuilan yang sama , jadinya Wir0 mencicipi sakit sekali , menciptakan ia terhuyunghuyung ketika c0ba berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar lelehan darah. Luka dalamnya ternyata kambuh kembali.
“Hanya lantaran sehelai kertas kau tega mencelakaiku…” desis Wir0. Dia kerahkan tenaga dalam dan atur jalan nafas serta darah.
Si gadis tak menjawab. Malah balikkan diri kemudian menuruni tebing sungai dengan cepat. Di satu daerah ia siap untuk mel0mpat , mengambil kertas yang tersangkut di celah dua buah watu sungai.
Pada ketika ia membungkuk , dari belakang tiba-tiba menderu satu gel0mbang angin deras. Si gadis tak sempat melihat apa yang terjadi. Tapi ia maklum kalau ada 0rang menyerang dengan satu pukulan sakti. Secepat kilat ia membuang diri ke samping. Namun tak urung sambaran angin masih sempat menyerempet tubuhnya sebelah kiri. Tak ampun lagi gadis ini terpelintir kemudian tubuhnya terjungkal ke dalam sungai!
Wir0 yang barusan lepaskan pukulan “segulung 0mbak menerpa karang” dalam keadaan menahan sakit pada dadanya cepat pergunakan kesempatan untuk mel0mpat ke atas salah satu watu dimana lembaran kertas berair itu sebelum dihanyutkan air melewati celah di antara dua batu.
“Hai!” terdengar seruan gadis baju biru dari dalam sungai. Dia berusaha berenang secepatnya sebelum Wir0 berhasil mengambil kertas itu. Namun kalah cepat. Dia masih jauh sewaktu Wir0 meletakkan kertas berair itu di atas batu. Sepasang mata murid Sint0 Gendeng terbelalak membaca apa yang tertulis di atas kertas itu. Meskipun air sungai menciptakan g0resan pena itu luntur namun Wir0 masih bisa merangkainya satu sama lain dan membaca keseluruhan apa yang tertulis di situ.

Muridku Puti Andini.
Karena keperluan sangat penting di Gunung Singgalang saya tidak sanggup menemuimu.
Seperti yang saya pesankan dulu , seterimanya surat ini kau harus segera berangkat ke tanah Jawa.
Cari c0w0k bergelar Pendekar 212. Dia tahu dimana mendapatkan kitab sakti itu.
Bagaimana caranya terserah padamu. Jangan ragu-ragu membunuhnya jikalau kau mengalami kesulitan.
Wir0 ambil kertas berair itu dari atas batu. Dia mengangkat kepala tepat ketika gadis yang berenang hingga di akrab watu dalam keadaan berair kuyup.
“Kau inginkan kertas ini? Ambilah!” kata Wir0 seraya menjatuhkan lembaran kertas yang berair dan hampir r0bek itu ke atas batu.
Si gadis usap mukanya yang basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan ia berkata se0lah pada diri sendiri. “Tak ada gunanya lagi. Dia sudah sempat membaca apa yang tertulis di kertas itu…”
DELAPAN
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memacu kuda masing-masing menuju puncak Gunung Merapi. Namun selewatnya pertengahan lereng , jalan yang buruk tidak memungkinkan mereka meneruskan perjalanan dengan kuda. Keduanya terpaksa tinggalkan binatang-binatang itu di satu daerah kemudian melanjutkan dengan jalan kaki.
“Ini daerah terkhir kita mencarinya. Kalau ia tak ada di puncak Merapi ini kita berdua bakal celaka…” kata Tiga Bayangan Setan seraya menc0ba berjalan cepat bahkan setengah berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh semak belukar dan 0nak duri.
Hari itu yaitu hari kesembilan puluh semenjak mereka menelan 0bat mengandung racun kematian yang telah mereka telan lantaran dipaksa 0leh Pangeran Matahari. Sangat beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang Pangeran guna mendapatkan p0bat penawar menyerupai yang 0ernah dijanjikan.
“Tiga Bayangan , saya masih tetap pada rencana semula. Begitu ia memberi kita 0bat penawar kita intai ketika ia lengah kemudian membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu bisa kita habisi , berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia persilatan…”
“Apa yang ada di0takmu juga merupakan keinginanku , Elang Setan. Tapi selama Kitab Wasiat Iblis ada apadanya , jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun dengan cara membi0k0ng. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu Pes0lek…”
“Kalau begitu kita akan celaka seumur-umur!” kata Ekang Setan pula.
“Jangan dulu frustasi , “kata Tiga Bayangan Setan. “Kita harus cari jalan lain yang ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan itu…”
“Menjebak bagaimana?” Tanya Elang Setan.
“Setahuku ia yaitu se0rang c0w0k mata keranjang. D0yan perempuan. Kita cari se0rang gadis untuk merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab Wasiat itu akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil kitab tersebut….”
“Rencanamu masuk akal. Sayang gadis el0k berpakaian biru itu berhasil l0l0s. Kalalu tidak ia bisa kita jadikan jebakan…” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa. “Kau lupa bagaimana ia menghajarmu hingga mukamu bisul sebelah. Singa betina menyerupai itu mana bisa diatur. Salah-salah kita yang dijebaknya masuk liang kubur…”
Semakin tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh sedang udara bertambah hambar padahal ketika itu tengah hari tepat dan sang surya bersinar terik terang benderang.
Tak berapa usang kemudian kedua 0rang itu akhirnya hingga juga di puncak timur Gunung Merapi.
“Itu bangunannya. Kuharap ia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah riwayat kita!” kata Elang Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung terbuat dari kayu jati beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati sebuah tangga. Di sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar. Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga. Di pintu depan Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.
“Pangeran Matahari! Apa kau ada di dalam? Kami tiba membawa kabar besar hati untukmu!”
Sunyi tak ada jawaban. Dua 0rang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan mengetuk lagi lebih keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.
“Pangeran Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tiba menghadapimu! Kami berhasil menjalankan tugas!”
Tetap saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati. “Kita sudah mengetuk dan memanggil. Mungkin ia sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke dalam ,” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan mengangguk tanda 0ke kemudian mend0r0ng pintu kayu. Begitu pintu terbuka keduanya segera menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu k0s0ng.
“Celaka! Nyawa kita tak akan ket0l0ngan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari saja!” kata Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti.
Namun gres saja keduanya hingga di ambang pintu ses0s0k tubuh tinggi kekar tahu-tahu menghadang di situ.
“Pangeran Matahari!” seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan kemudian menjura dalam-dalam.
Di ambang pintu 0rang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian bergambar Gunung Merapi warna biru di cuilan dada.
“Hemmm…cara kalian mengh0rmat menyerupai saya ini se0rang pam0ng rendahan saja! Lekas berlutut di hadapan Pangeran Matahari!”
Dibentak menyerupai itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri berlutut patuh walau dalam hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.
“Hemmm… Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah satu dari kalian menyampaikan tiba membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan tugas! Kalian b0leh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga Bayangan Setan , kau yang menjelaskan!”
Dua 0rang itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka verbal beri keterangan.
“Pangeran Matahari , sesuai kiprah yang kau berikan kami berhasil membunuh Pendekar 212 Wir0 Sableng…”
Sepasang mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit. Rahangnya yang persegi dan dagunya yang k0k0h sesaat kelihatan menggembung. Kepalanya did0ngakkan. Lalu terdengar ia berkata.
“Tiga Bayangan Setan. C0ba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!”
“Aku Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar 212 Wir0 Sableng.”
“Dimana dan bagaimana kejadiannya!” ujar Pangeran Matahari.
“Di bukit di luar Kart0sur0. Tak jauh dari sumur watu , daerah Pangeran Matahari menemukan Kitab Wasiat Iblis itu , “jawab Tiga Bayangan Setan. ”Nyawanya amblas sesudah terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!”
“Hemmm…” Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya.
Wajahnya yang c0ngkak tidak berubah , tampak dingin-dingin saja. “Setahuku dari ubunubun di kepalamu bisa keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu telah membunuh Pendekar 212?”
“Yang sebelah kiri , Pangeran , “jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagian mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?” bertanya lagi Pangeran Matahari. “Kepala atau tubuh?!”
“Tepat di cuilan dadanya Pangeran.”
Untuk beberapa ketika lamanya Pangeran Matahari masih d0ngakkan kepala. Lalu perlahan-lahan ia mengalihkan pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang lekat-lekat tak berkesip menyerupai itu Tiga Bayangan Setan rahasia merasa merinding.
“Apa yang ada di benak insan ini…?” membatin Tiga Bayangan Setan. “Dia se0lah tidak yakin saya telah membunuh musuh besarnya itu!”
“Tiga Bayangan Setan , katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212. Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku?!”
Mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang.
“Tapi Pangeran ,” yang menjawab yaitu Elang Setan. “Sebelumnya kau tidak pernah memerintah begitu…”
“Elang Setan , tutup mulutmu!” hardik Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada Elang Setan. “Tiga Bayangan Setan saya tanya , bukan kau! Jangan berani bermulut lancang kalau tidak ditanya!”
“Maafkan saya Pangeran , “kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.
Pangeran Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa jawabanmu?!” bentaknya.
“Aku m0h0n maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan. Karena kami tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas… Tapi kami punya sesuatu yang mungkin bisa memperlihatkan keyakinan padamu kalau Pendekar 212 memang sudah tamat riwayatnya!”
“Apa sesuatu itu?!” Tanya Pangeran Matahari dengan bunyi datar.
Dari balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya terang menyilaukan dan menciptakan Pangeran Matahari terbelalak tapi juga berseru gembira.
“Kapak Maut Naga Geni 212!”
Elang Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kant0ng pakaiannya yang tebal dekil ia keluarkan sebuah watu hitam empat persegi.
Batu mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!” kembali Pangeran Matahari berseru.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang tentu saja dengan cepat segera diambil 0leh Pangeran Matahari. Dengan mata berkilatkilat ia perhatikan kapak dan watu hitam.
“Kalian berdua memang hebat!” memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni 212 dibabatkannya ke udara. Terdengar bunyi menyerupai ribuan taw0n berdengung disertai berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas. Pangeran Matahari geleng-geleng kepala kemudian tertawa panjang.
“Pangeran , dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar 212 Wir0 Sableng telah menemui maut di tangan kami?!”
Pangeran Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil d0ngakkan kepala. Setelah itu diarahkan pandangannya berganti-ganti pada dua 0rang di depannya. Sesaat ia angguk-anggukkan kepala gres berkata.
“Aku sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia , sebagai pembantupembantu , sebagai pengawal-pengawalku yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan yaitu satu pekerjaan yang besar!” Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pinggang dan simpan watu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu ia bertanya: “Apa ada hal lain yang hendak kalian sampaikan?”
“Memang ada Pangeran ,” jawab Elang Setan. “Pertama kami mau memberi tahu , waktu kami berada di bukit Pendekar 212 Wir0 Sableng muncul bersama se0rang gadis el0k berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu. Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada Pangeran. Tapi di tengah jalan , sekitar sepuluh hari kemudian gadis itu berhasil mel0l0skan diri!”
“Hemmm… Itu sebabnya kulihat mukamu bisul besar. Pasti ia telah menggebukmu cukup keras…” ujar Pangeran Matahari sambil menyeringai. “Tapi Kalian tak usah khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada lagi yang hendak kalian katakan?!”
“Mengenai 0bat penawar itu , “kata Tiga Bayangan Setan pula. “Bukankah Pangeran telah berjanji akan memberikannya sebelum ketika seratus hari sampai?”
“Kalian tak usah khawatir. 0bat itu memang sudah kusiapkan!”
Wajah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat lega. Mereka memperhatikan bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran keluarkan dua butir 0bat berwarna putih , berkilauan menyerupai perak. “Ambil se0rang satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum kalian sempat menghitung hingga sepuluh!”
Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-masing sebutir 0bat itu dari telapak tangan Pangeran Matahari kemudian memasukkannya ke dalam verbal dan segera menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa tergelak-gelak. Mendadak saja dua 0rang itu merasa syak.
“Pangeran…” Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus lantaran sang Pangeran memberi instruksi dengan melambaikan tangan kiri.
“Racun seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!”
Kaget dua 0rang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan 0lah-0lah. Muka mereka mendadak s0ntak pucat putih sperti kertas.
“Pangeran! Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas…!” ujar Tiga Bayangan Setan hampir berteriak dan pegangi perutnya. Sementara kawannya memandang mel0t0t pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda ia menahan amarah yang meluap.
“Kau menipu kami Pangeran!” ujar Elang Setan.
Pangeran Matahari semakin keras tawanya.
“Kalian harus berterimakasih lantaran saya sudah memperpanjang umur kalian hingga tiga ratus hari dimuka! Mengapa berani bicara keras dan kurang bimbing padaku?!”
“Sesuai perjanjian….”
“Setan bantalan keparat! Siapa yang berjanji padamu?!” sentak Pangeran Matahari pada Tiga Bayangan Setan. “Dengar baik-baik. Pasang indera pendengaran kalian! Kembali ke bukit ke luar Kart0sur0 itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wir0 Sableng , bawa kepalanya ke daerah ini. Aku akan berada disini seratus hari dari sekarang!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama saling pandang dan ternganga. Elang Setan beranikan diri membuka mulut. “Pangeran , bukit itu sangat jauh dari sini. Kalau kami hingga di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak busuk atau dimakan hewan buas….”
“Plakkkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bisul kelihatan jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku tangannya mencuat lurus.
Pangeran Matahari menyeringai. “Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !” ujar sang Pangeran sambil memandang pada Elang Setan.
Elang Setan hendak membuka verbal mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat memegang bahunya dan berkata. “Mari kita tinggalkan daerah ini….” Katanya.
Sesaat Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak. Lalu perlahan-lahan ia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya menuruni tangga rumah panggung.
“Ingat! Kalian punya waktu seratus hari melaksanakan kiprah itu! Dan kalian cuma punya umur tiga ratus hari dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku! Masih mending saya tidak menyuruh kalian mengg0ngg0ng menyerupai anjing menyerupai dulu. Ha…ha…ha…!”
“Jahanam keparat!” maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak menendang.
“Krakkkkk!”
Kayu pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah bunyi tawa Pangeran Matahari tambah keras. Sesaat sesudah kedua 0rang itu lenyap dari pemandangan , Pangeran Matahari menghentikan tawanya kemudian menutup pintu rumah. Dia berbalik dan berseru. “Kekasihku! Kau b0leh turun sekarang!”
Dari atas atap rumah tiba-tiba melayang ses0s0k tubuh se0rang gadis. Begitu turun ke lantai rumah ia eksklusif memeluk Pangeran Matahari. Sang Pangeran membalas dengan penuh nafsu. Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis. Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si gadis terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya yang putih jenjang.
SEMBILAN
Gadis berjulukan Puti Andini itu tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu. Untuk beberapa lamanya wajahnya disembunyikan dibalik kedua tangannya.
Wir0 pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati. “Dulu Kitab Wasiat Iblis mengakibatkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya d0ngeng sama. Semakin banyak keterangan yang harus kuk0rek dari gadis ini.”
Sewaktu Puti Andini turunkan tangannya dari atas watu dan memandang menengadah pada Wir0 , murid Sint0 Gendeng pandangi wajah yang berair dan sangat el0k itu. “Aku harus mengakui , kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jikalau ia ingin membunuhku apa artinya…”
Puti Andini naik ke atas batu. Tapi arus sungai ketika itu cukup deras dan watu yang dipegangnya agak licin. Wir0 ulurkan tangan , berusaha membantu si gadis untuk naik keatas batu. Untuk beberapa ketika Puti Andini tampak ragu-ragu. Akhirnya perlahan-lahan diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling bersentuhan. Sepuluh jari saling mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran abn0rmal dalam dirinya. Detak jantungnya mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar 212 biasa-biasa saja. Sekali tarik saja gadis itu berhasil dit0l0ngnya naik ke atas watu kemudian dibantunya mel0mpat ke tebing sungai. Sebelum menyusul mel0mpat ke tepi sungai Wir0 sesaat perhatikan lagi kertas berair yang ada di atas batu. “Kepandaian insan ada-ada saja. Waktu kering kertas itu se0lah k0s0ng saja. Begitu terkena air serta merta terlihat g0resan pena yang tertera disitu…”
Karena pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat dari materi yang agak tipis dan dalam keadaan berair kuyup , pakaian itu menyerupai membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wir0 sanggup melihat setiap lekuk belahan auratnya.
Puti Andini tiba-tiba balikkan badannya , melangkah ke arah gugusan tujuh payung hijau yang tadi sempat memukul kepala Wir0 kelihatan dalam keadaan kuncup.
“Kau mau kemana?!” tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut payung merah dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja ia bisa menciptakan terkembang payung hijau yang tadi kuncup.
“Aku…. Aku harus pergi ,” jawab si gadis.
“Mencari Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?”
“Apa yang saya lakukan dan kemana saya harus pergi bukan urusanmu!”
“Kau betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi… Kuharap kau mau…”
“Kau terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan saya tidak melayanimu!”
“Hemmm… Bukan saya , tapi kau yang keras kepala!” ujar Wir0 mulai jengkel. Lalu ia berseru. “Lihat batu!”
Meski tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wir0 , Puti Andini men0leh juga kearah watu di tengah sungai. Saat itu terdengar bunyi menderu disusul dengan melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.
“Wussss!”
“Braakkk…byaar!”
Batu besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari dalam keadaan hangus. Sebagian ada yang dik0bari api.
“Batu saja bisa terbakar , apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!”
Sesaat panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian ia tersenyum se0lah tidak perduli akan yang barusan dilakukan Pendekar 212.
“Mengancam 0rang dengan pertunjukan t0l0l yaitu perbuatan anak kecil!”
Murid Sint0 Gendeng hampir terl0njak mendengar ejekan itu. “Gadis tengil…!”
“Apa itu tengil?!” tanya Puti Andini tidak mengerti.
Wir0 mau memaki panjang pendek saking kesalnya. “Dengar , saya hanya mau usikan beberapa pertanyaan. Tapi jikalau kau benar-benar keras kepala , saya jadi ingin tahu seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!”
“Hemmm , begitu…? Baiklah. Kalau saya mengalah bukan berarti saya takut pada ancamanmu. Apa saja yang ingin kau tanyakan?”
“Pertama kejadian di bukit itu. Kurasa kau tiba sesaat sesudah dua penger0y0k menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati jikalau tidak kau t0l0ng. Kau berpayung di atas , tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa menceritakan apa yang kau lihat?”
“Cuma sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua 0rang meninggalkan lereng bukit. Salah se0rang diantara mereka mendukung ses0s0k tubuh wanita mengenakan pakian biru….”
“Itu niscaya Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah menculiknya! Keselamatan Gadis itu niscaya terancam!”
“Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan katamu…?” ujar Puti Andini dengan wajah berubah.
“Kau kenal mereka…?”
Puti Andini menggeleng. “Aku hanya tahu mereka yaitu dua iblis yang harus dimusnahkan!”
“Gurumu yang berkata begitu? Atau memberimu kiprah begitu?!”
Si gadis tidak menjawab. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan…”
“Jika kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan terhadapku terperinci sekali berlawanan. Kau seharusnya membunuhku , bukan menyelamatkan diriku…”
“Aku membunuhmu jikalau kau sudah mempunyai Kitab Wasiat Dewa dan tak mau menyerahkan padaku!” jawab Puti Andini.
Wir0 menyeringai lebar.
Si gadis sadar kalau ucapan Wir0 tadi sengaja memancing dirinya untuk menyampaikan apa yang berg0t0ng-r0y0ng yang harus dilakukannya.
“Siapa gurumu…?”
Puti Andini tidak menjawab.
“Baik , kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan se0rang t0k0h silat dijuluki Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa…?”
“Siapa yang tidak kenal bau tanah bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus 0rang hanya gara-gara patah hati…”
Hampir saja terl0mpat hardikan dari verbal Pendekar 212 lantaran bagaimanapun juga Tua Gila yaitu guru malah sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai siapa adanya Tua Gila harap baca seial Wir0 Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang)
“Kau menyebut 0rang bau tanah itu dengan nada permusuhan….”
“Dia memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku yaitu musuhku juga!” jawab Puti Andini.
“Aku tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu , mengapa gurumu memerintahkan sem0ga kau membunuhku?!” tukas Wir0 Sableng.
“Kau tak usah khawatir. Kematianmu bisa diundur hingga kau mendapatkan Kitab Wasiat Dewa itu…”
“Sialan… Enak saja kau bicara!” kata Wir0 sambil kepalkan kedua tinjunya.
“Jika kau tak ada pertanyaan lain , saya akan pergi. Jangan berani menghalangi!”
“Tunggu! Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!”
“Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam menyerupai pantat kuali! Kalau tidak percaya c0ba berkaca di air sungai!” Si gadis kemudian tertawa panjang. Karena tak tahu mau berbuat apa , saking gemasnya Wir0 hantamkan kaki kanannya ke tanah sungai hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal! Si gadis malah tertawa terpingkal-pingkal!
“Puti Andini !” teriak Wir0. ‘Jangan kau berani bicara main-main!”
“Wir0 Sableng!” balas berteriak si gadis.
“Eh , bagaimana kau tahu namaku?!” Wir0 keheranan.
“Waktu kau pingsan saya melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup memberi tahu siapa kau adanya….” Jawab Puti Andini pula.
“Waktu saya sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam g0s0ng menyerupai ini. Saat saya siuman kembali gres kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam legam. Kau telah melaksanakan sesuatu padaku!”
“Kau benar! Lalu apakah kau meratapi diri dan menentukan mati daripada mendapatkan keadaan menyerupai ini? Tubuhmu yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat jahat. Waktu 0bat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu , jiwamu selamat tapi kulitmu menjadi g0s0ng. Bukankah itu lebih baik daripada menemui kematian mengenaskan? Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu hanya sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu , warna hitam itu akan serta merta lenyap…”
“Bagaimana kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung terus menerus…”
Puti Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala. “Kau bicara menyerupai anak kecil. Muncul tidaknya bulan purnama yaitu kehendak Tuhan , bukan segala macam awan atau udara mendung!”
“Sial! Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!” pikir Wir0 kemudian garukgaruk kepalanya berulang kali.
“Kau masih ada pertanyaan?!”
“Ya…ya! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku. Kau sempat melihat mereka melarikan diri. Katakan kearah mana mereka kabur.”
“Selatan ,” jawab Puti Andini pendek.
“Aku bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!”
“Kau mungkin bisa membunuh Elang Setan , tapi tidak kawannya yang berjulukan Tiga Bayangan Setan itu!” kata Puti Andini.
“Aku tahu ia kebal pukulan sakti , tahan senjata tajam. Tapi tetap saja ia tak punya nyawa rangkap!” jawab Wir0 meradang.
“Masalahnya bukan apakah ia punya nyawa lebih dari satu. Tapi ia memang tidak bisa dibunuh hingga dunia final zaman kalau tidak mengetahui kelemahannya!”
“Lalu apa kau tahu kelemahan insan setan itu?!” Tanya Wir0 menahan gusar.
“Mengenai diri se0rang insan iblis , hanya iblis lainnya yang tahu!”
“Apa maksudmu?!” Tanya Wir0.
“Untuk mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari se0rang t0k0h silat g0l0ngan hitam yang abn0rmal tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis Pemabuk. Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah dibunuhnya lebih dulu!”
“Dimana saya bisa menemukan 0rang yang kau sebutkan itu?” Tanya Pendekar 212. “Menyelidiki se0rang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan saya bukan iblis!”
Habis berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala. Bersamaan dengan itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah. Enam payung yang menancap di tanah melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya ke tanah. Payung merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh si gadis terangkat ke udara. Wir0 hendak mengejar. “Jangan kau berani mengikuti!”
Wir0 tidak peduli. Dia mel0mpat berusaha menyambar gagang payung hitam yang ketika itu sudah naik setinggi kepala.
“Dasr sableng keras kepala!” terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya bergerak menciptakan gerakan berputar. Enam buah payung yaitu payung biru , kuning , hijau , putih , hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan bunyi deru angin yang dahsyat. Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing menghantam kearah Pendekar 212. Tiga menusuk kearah muka dan kepala , tiga lagi menghunjam ke dada dan perut!
Wir0 berseru tegang. Secepat kilat ia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat jatuh yang paling k0ndusif yaitu anak sungai berair jernih. Sesaat s0s0k tubuh Pendekar 212 lenyap di bawah air. Ketika ia muncul di permukaan air sungai dan berenang ke tepi , enam buah payung kelihatan telah mengudara , menyusul payung merah dimana Puti Andini bergantung.
Wir0 geleng-geleng kepala. Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke udara ia berkata. “Kau tak mau diikuti , tapi lihat saja nanti. Jika kau punya kepentingan dengan Kitab Wasiat Dewa , kau sendiri yang bakal mengikutiku!”
Setelah Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 resah sendiri.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai bahari selatan? Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu? Mungkin saya harus mencari Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua insan setan itu telah mencuri Bidadari Angin Timur… Seumur hidup gres saya resah seberat ini! Gila betul!” Murid Sint0 Gendeng garuk kepalanya berulang-ulang.
SEPULUH
Muara Kali 0pak ramai 0leh bahtera yang gres kembali melaut. Para nelayan sibuk memunggah ikan. Para tengkulak hilir pulang kampung memb0r0ng ikan dengan harga semurah mungkin yang adakala menciptakan jengkel nelayan. Dalam keadaan menyerupai itu Wir0 berusaha mencari bahtera sewaan. Sampai siang dan muara menjadi sepi tak satu pun pemilik yang mau disewa. Selain mereka letih , rata-rata ketika itu mereka sudah mengant0ngi uang cukup banyak. Perlu apa bersusah payah menyewakan bahtera pada se0rang c0w0k tak dikenal yang kelihatannya tidak berkant0ng tebal , berkulit dan bermuka hitam buruk pula!
Wir0 tegak bersandar pada sebuah bahtera k0s0ng. Pemiliknya tengah mengumpulkan barang – barangnya. Sebelumnya Wir0 sudah bicara dengan 0rang ini. Melihat Wir0 berada di situ , pemilik bahtera mendekatinya dan bertanya. “Muka pantat dandang , kau masih belum sanggup bahtera sewaan?”
Wir0 delikkan mata dan memaki dalam hati lantaran dirinya dipanggil dengan sebutan muka pantat dandang. Ini gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam akhir 0bat yang diberikan 0leh Puti Andini. Meski jengkel Wir0 menjawab juga dengan gelengan kepala.
“Anak muda , berg0t0ng-r0y0ng kemana tujuanmu?”
“Sebuah pulau. Didiami 0leh se0rang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja 0bat Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau itu?”
“Kami para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau bisa menunjukan bahwa si Raja 0bat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau. Dari sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan , mungkin ratusan pulau tersebar di bahari selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk mencari si Raja 0bat yang belum tentu ada?”
Wir0 garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sint0 Gendeng , Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu. “Tidak mungkin mereka berdusta wacana Kitab Wasiat Dewa itu. Tapi kalau begini susahnya mencari , kurasa hingga ubanan saya tak bakal menemukan 0rang bau tanah itu. Padahal katanya ia cuma bisa memberi keterangan dimana kitab sakti itu beradanya. Makara kalau sudah diberitahu saya masih harus mencari kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi terpendam di pantai utara! Celakanya diriku ini!” Wir0 garuk-garuk kepala berulang kali.
Dari dalam saku pakaiannya Wir0 kemudian keluarkan sekeping perak. Benda berharga ini ditimang-timangnya. Pemilik bahtera tersenyum kemudian berkata. “Aku tidak tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak se0rang nelayan atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang mungkin tidak kau ketahui…”
“Apa?!” Tanya Wir0 sambil terus menimang-nimang kepingan perak.
“Saat ini harihari menjelang bulan purnama. Di bahari sekitar sini biasanya muncul sebuah pusaran air. Tidak terduga kapan munculnya dan tidak terduga di cuilan mana dari bahari selatan ini. Tapi yang terperinci terjadinya selalu pada siang hari. Jangankan bahtera , gunungpun sanggup dised0t 0leh pusaran itu hingga amblas ke dasar samudera!”
“Ah , ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!” kata Wir0 pula. Dia berpaling pada nelayan di sampingnya. “Apa ada hal lain yang saya tidak ketahui dan ingin kau beritahu?”
Nelayan pemilik bahtera tertawa lebar. “Memang ada ,” jawabnya. “Kalau kau beruntung kau akan bertemu dengan se0rang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau mengantarmu ke laut…”
“Dimana saya bisa menemui nelayan abn0rmal itu. Siapa namanya?”
“Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali 0pak ini menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!”
“Eh , kenapa kalian memberi nama begitu padanya?”
“Karena ia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah , menebar basi amis. Jangankan insan , kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa lekas bertemu dengannya. Agar kau ketularan…!” Sambil tertawa-tawa pemilik bahtera tinggalkan Wir0.
Murid Sint0 Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. “Kalau memang ia yang mau dan tahu kediaman si Raja 0bat , tak ada jalan lain. Aku harus menunggu hingga ia muncul.”
Lima hari berlalu . Wir0 berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap sem0ga nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu hari lagi berlalu. Kesabaran murid Sint0 Gendeng mulai g0yah. Kini memasuki hari ketujuh. Siang itu muara Kali 0pak tampak sunyi. 0mbak besar-besaran menggemuruh dan memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang. Wir0 berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya.”Aku akan menunggu hingga s0re nanti. Kalau 0rang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari sini. Bagaimana dengan tiga 0rang bau tanah yang mengakibatkan saya hingga di sini , urusan nantilah!”
Wir0 menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar lantaran memang belum diisi semenjak pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wir0 memandang ke tengah bahari biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gel0mbang besar. Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.
Di tengah bahari kelihatan sebuah titik putih. Makin usang makin besar dan bergerak menembus gel0mbang menuju tepi pantai. Wir0 mengusap kedua matanya beberapa kali kemudian terus memperhatikan. Semakin akrab ke pantai semakin terperinci di mata Wir0 bahwa benda di tengah bahari itu yaitu sebuah bahtera berwarna putih tanpa layar. Se0lah tidak perduli akan besarnya gel0mbang buasnya 0mbak , bahtera itu meluncur pesat kearah pantai. Di atasnya hanya ada se0rang penumpang.
Lalu Wir0 melihat dan menyadari satu hal aneh. 0rang di atas bahtera mengenakan sebuah caping lebar. Wajahnya ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali tidak menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai di samping kiri bahtera putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian kemari. Gerakannya inilah yang menciptakan bahtera bisa melesat kencang diantara gemuruh gel0mbang.
“0rang abn0rmal di atas bahtera jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!”
Berpikir begitu murid Sint0 Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun kelapa. Hujan rintik mulai melebat. Wir0 berlari ke tepi pasir kemudian melambai-lambaikan tangannya sementara bahtera semakin mendekat ke tepi pantai.
Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba 0rang di samping kiri bahtera angkat tangan kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya tibatiba berputar , membalik ke arah tengah laut. Pada ketika itu justru sebuah gel0mbang besar muncul. Suara gemuruhnya terdengar hingga ke tepi pantai di mana Wir0 berada.
“Astaga! Hai! Awas! “ teriak Wir0.
Namun gel0mbang besar telah menelan bahtera putih dan penumpangnya. Dalam sekejap saja bahtera itu pun lenyap.
“Pasti amblas ke dalam laut!” pikir Wir0. “0rang gendeng! Mungkin ia sengaja mencari mati. Bunuh diri!” Wir0 geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah bahari terdengar bunyi 0rang berteriak. Wir0 memperhatikan.
“Eh….” Murid Sint0 Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas bahtera , berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya berair kuyup.
“Aneh , kurasa tadi ia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan menyerupai anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih menempel di kepalanya! Aku harus tahu siapa adanya insan abn0rmal ini!”
Saat itu sekitar sepuluh t0mbak di sebelah kanan bahtera putih tiba-tiba muncul menderu satu gel0mbang besar. 0rang bercaping di atas bahtera kembali angkat tangan kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke udara setinggi lima t0mbak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh ke dalam bahari , bahtera dan penumpang lenyap ditelan samudera!
“Sekarang jangan harap ia bisa muncul hidup-hidup!” membatin murid Sint0 Gendeng. Mendadak. “Hai!” Wir0 berseru kaget.
Did0r0ng 0leh sebuah 0mbak besar bahtera putih tiba-tiba muncul kembali di permukaan laut. Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang , menginjak cuilan kiri kanan perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut mengikuti yang dialun 0mbak.
Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya , begitu layaknya bahtera putih melesat menuju menuju pantai , melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wir0 berseru kaget dan jatuhkan diri ke pasir.
“Wusss!”
Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar bunyi braaakk!
Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wir0 palingkan kepala. Perahu putih dilihatnya melabrak gubuk daerah ia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur berantakan. Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!
“Eh , di mana 0rang bercaping itu?” Tanya Wir0 dalam hati seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba ada bunyi tawa bergelak diseling bunyi menyerupai 0rang meludah beberapa kali. Wir0 cepat bangun berdiri. Men0leh ke kiri sebelah atas lagi-lagi ia dibentuk terkejut. 0rang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang p0h0n kelapa , duduk berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya ditutupi kain. 0rang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika angin bertiup Wir0 mencium basi busuk dan amis.
S0s0k di atas p0h0n tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu menyerupai seek0r tringgiling , menggelinding jatuh ke bawah , kepalanya lebih dulu!
“Hancur kepalamu!” seru Wir0 tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang bergulung itu jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai. Tapi ia kecele lantaran dengan satu gerakan abn0rmal tubuh bergulung itu melenting dan di lain kejap tahu-tahu 0rang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.
“Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang saya tak punya waktu banyak. Harus buru-buru pergi….” Lalu 0rang ini berusaha menarik bahtera putihnya dari reruntuhan gubuk. Saat itulah Wir0 tiba mendekati. Sebelum menegur murid Sint0 Gendeng dengan cepat perhatikan 0rang itu.
“Tubuhnya basi busuk , amis! Tangan dan kakinya…astaga! Dia menderita penyakit kulit. K0reng-k0reng yang mengelupas pecah , mengeluarkan nanah campur darah!” Wir0 teringat pada ucapan se0rang nelayan beberapa hari lalu. Begitu 0rang lewat di depannya sambil menyeret bahtera putih Wir0 cepat menegur.
“Bapak bercadar…Kau niscaya yang dipanggil 0rang dengan sebutan Makhluk Pembawa Bala. Kalau betul…”
Belum sempat Wir0 meneruskan ucapannya , tanpa berpaling dan terus melangkah menyeret bahtera menuju ke bahari 0rang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata.
“Buseett! Kalau memang ada makhluk menyerupai itu di k0l0ng langit , saya pun mau melihatnya! Hik…hik…!” Dari mulutnya 0rang ini keluarkan bunyi menyerupai meludah. Ketika diperhatikan , Wir0 melihat kain yang menutupi wajah 0rang bercaping itu berwarna merah dan berair di cuilan mulut.
“Tak pelak lagi! Memang dia!” kata Wir0 kemudian eksklusif saja memegang lengan 0rang itu walau kemudian ia memegang tangang yang penuh k0reng cacar berdarah busuk dan bernanah!
“Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu , tapi saya yakin kau memang 0rang berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa Pert0l0ngan. Dengar , saya butuh pert0l0nganmu. Tunggu… Mari kubantu menyeret perahumu ke laut…”
“Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa insan berkulit arang!” 0rang berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.
“Aku butuh pert0l0nganmu… Kau niscaya bisa men0l0ngku!”
“Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu?!”
Wir0 jadi tertegun mendengar ucapan 0rang itu. ”Apa maksudmu?” tanya Pendekar 212.
“Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah bahari sana! Makanya saya tanya apa kau sudah berkemas-kemas menghadapi kematian?!”
“S0al mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!”
0rang bercaping keluarkan bunyi meludah. Kain epil0g wajahnya kembali tampak berair dan warna merah.
“Kau betul. Kematian anak insan di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak insan yang berlaku t0l0l. Sengaja mencari mati! Salah se0rang di antaranya yaitu kau sendiri!”
“Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa kiprah untuk menyelamatkan dunia persilatan!” kata Wir0. Tanpa sadar ia telah ketelepasan bicara.
“0h begitu….? Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik! Malaikat mana ada yang hitam g0s0ng sepertimu!”
Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata 0rang itu. Tanpa perduli 0rang tidak suka padanya Wir0 terus saja mengikuti masuk ke dalam laut. Begitu bahtera putih mengapung di atas permukaan air bahari , 0rang bercaping eksklusif mel0mpat naik. Wir0 tak menunggu lebih lama. Dia segera pula mel0mpat. Pemilik bahtera jadi marah. Dia keluarkan bunyi menggemb0r kemudian membentak.
“Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku?!”
“Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh pert0l0nganmu. Antarkan saya ke pulau daerah kediaman Raja 0bat Delapan Penjuru Angin!”
“Kau mau kutendang dari atas bahtera ini atau turun secara baik-baik!” hardik 0rang bercaping.
“Jika kau mengancam begitu saya juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau membawaku , akan kuhancurkan bahtera ini!”
Diancam menyerupai itu 0rang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada kemudian tertawa gelak-gelak. “Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!”
Hilang sabarnya Wir0 berteriak. “Pasang matamu! Lihat bagaimana saya menjeb0l perahumu!”
Habis berteriak begitu Wir0 eksklusif hantamkan tinjunya ke dasar perahu. “Braak!”
Lantai bahtera yang terbuat dari kayu itu jeb0l berlubang. Tangan kanan Wir0 sendiri jebl0s masuk ke dalam lubang itu hingga sebatas siku. Berarti sebagian tengahnya terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid Sint0 Gendeng ini jadi terkejut. Bagaimanapun ia kerahkan tenaga tetap saja tidak bisa menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.
“Celaka! Bagaimana bisa begini?!” ujar Wir0 dalam hati. Dia melirik ke samping. 0rang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja , melangkah ke sisi bahtera yang lain sambil tertawa panjang kemudian duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang penuh k0reng cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wir0 berkutat berusaha mengeluarkan tangannya yang terjepit di l0bang bahtera , 0rang itu gerak-gerakkan kedua kakinya. Perlahan-lahan bahtera mulai bergerak. Makin usang makin kencang.
“Gila! Tanganku!” teriak Wir0.
“Ha..ha…!” 0rang bercaping tertawa. “Setahuku bahari sekitar sini banyak ikan buasnya. Pernah kau merasa digerag0t ikan Hiu atau ditusuk ikan T0dak bermulut runcing menyerupai t0mbak?! Kuharap tanganmu tetap utuh hingga di daerah tujuan. Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap mendapatkan kematian mendadak? Ha…ha…ha!”
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku?!” teriak Pendekar 212.
Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia g0yangg0yangkan kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya bahtera putih itu melesat tambah cepat.
“Kalau kau tidak melepaskan tanganku , saya akan pukul bahtera ini dengan pukulan sakti! Biar kita karam dan mampus sama-sama!” teriak Wir0 mengancam.
“Pemuda muka hitam , kau masih galak saja! C0ba kau buktikan ucapanmu! Apa kau bisa menggerakan tanganmu sebelah kiri?!”
“Mengapa tidak?!” jawab murid Sint0 Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan sinar matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti. 0rang bercaping hening saja malah berpalingpun tidak. Wir0 jadi kalap. Dengan tenaga penuh ia hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin hambar bertiup. Wir0 merasa lengan kirinya hingga ke tulang bergetar aneh. Setelah itu ia tidak bisa lagi menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih menyilaukan menjadi surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.
“Ha…ha…ha! Ha…ha…ha…!” 0rang bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin kencang. Wir0 mencicipi kepalanya pusing dan perutnya menyerupai mau muntah!
Saat itulah tiba-tiba Wir0 melihat ada sebuah bahtera meluncur di permukaan laut. Walau terperinci bahtera ini berusaha mengejar bahtera yang ditumpanginya , namun begitu terkejar bahtera itu tampaknya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa usang dua bahtera meluncur bersisi-sisian. Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang bahtera Wir0 berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal bahtera di sebelah sana.
“Heh… penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang…!
Astaga!” Wir0 terkejut tapi juga gembira. “Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin Timur!”
Wir0 lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak bisa digerakkan. Dia c0ba berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata ia tidak bisa keluarkan bunyi barang sedikitpun!
“Jahanam! Manusia caping basi busuk itu niscaya telah men0t0k diriku!” Wir0 merutuk setengah mati. “Kuharap gadis itu bisa melihatku… Nah , perahunya agak mendekat. Pasti ia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh pert0l0nganmu!”
Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat hingga beberapa t0mbak. Tapi kemudian bergerak ke kanan , menjauhi bahtera putih.
“Celaka! Kenapa menjauh? Gadis itu niscaya tadi terus saja pergi?! Sial betul!” Wir0 sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran. “Mustahil ia tidak melihat! Mustahil ia tidak mengenaliku! Tapi…” Wir0 gres sadar keadaan dirinya yang ketika itu hitam legam mulai dari kepala hingga ke kaki. “Kulitku! Mungkin ini sebabnya ia tidak mengenali dan terus saja pergi? Hik…hik!”
“Jahanam!” maki murid Sint0 Gendeng. “Men0leh pun ia tidak tadi. Bagaimana ia bisa tahu ada gadis el0k di bahtera itu?!”
Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samarsamar di kejauhan.
SEBELAS
Dalam keadaan tak bisa bergerak , tangan kanan terjepit di lantai bahtera sementara matahari bersinar terik , Pendekar 212 merasa tubuhnya seakan-akan dipanggang. Yang membuatnya jengkel setengah mati , 0rang bercaping di samping bahtera enak-enak saja duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi kecil. Laut luas menghampar , tak kelihatan pantai tak tampak pulau.
“Hendak dibawa kemana saya ini…?” pikir Wir0.”0rang ini benar-benar menjadi bala bagiku!”
Tiba-tiba bunyi nyanyian 0rang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.
“Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah tiba menjemput dirimu!” Wir0 mencicipi ada angin halus hambar menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja kini ia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar menjadi kecut ketika melihat di sekeliling bahtera bermunculan beberapa ek0r ikan hiu sebesar manusia!
Wir0 membuka verbal hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala. Ternyata walau kini ia bisa menggerakkan kepala namun hingga ketika itu mulutnya tetap saja tak bisa mengeluarkan bunyi alias tetap gagu! Wir0 merasa sekujur tubuhnya dingin. “Tanganku…” kata Wir0 dalam hati begitu menyadari tangannya yang terjepit di lantai bahtera dan berada di dalam air laut. “Sekali ikan-ikan itu menyambar niscaya bunting!”
“Anak muda , kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikanikan itu berg0t0ng-r0y0ng makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah. Ha…ha…ha…!”
Wir0 putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. “Kalau ikan-ikan itu menyerang apa kau sendiri bisa selamat?!” ujar Wir0. Suaranya tak keluar dari dalam mulut. Tiba-tiba ia mencicipi sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang berada di dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk memperhatikan , dilihatnya ada warna merah di air laut. “Tanganku luka! Warna merah itu niscaya darahku…! Celaka!
Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku…” Wir0 jadi gemetar membayangkan apa yang akan segera terjadi. Tiba-tiba bahtera putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di dalam bahari telah melihat dan mencium basi darah . Beberapa di antara mereka menjadi liar dan menabrak bahtera dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin usang g0ncangan makin keras. Air bahari mulai masuk. Perahu putih 0leng kian kemari , hanya menunggu terbalik saja.
“Selamat tinggal anak muda!”
“Heh! Mau kemana makhluk celaka ini?!”
Dari salah satu cuilan lantai bahtera Wir0 melihat 0rang itu mengeluarkan sebuah benda empat persegi dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar cepat 0rang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan kemudian pergunakan dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada Wir0 , lambaikan tangan kiri seraya berkala. “Sekali lagi , selamat tinggal anak muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja 0bat Delapan Penjuru Angin di akhirat! Ha…ha…ha!” Habis berkata begitu insan yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu mel0mpat ke dalam laut. Papan injakkannya mengapung di atas air. Sekali kaki kanannya menciptakan gerakan menyerupai mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan!
“Jahanam betul!” rutuk murid Sint0 Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang sudah akrab di depan matanya. “Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik saya selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir saya harus berkubur di dasar laut. Sem0ga takdir Tuhan mengampuni segala d0saku…!” Begitu Wir0 berkata setengah meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan 0rang yang paling akrab muncul di depannya. Eyang Sint0 Gendeng , kemudian Kakek Segala Tahu. Menyusul Si Raja Penidur. Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti , disusul dengan Tua Gila. Muncul pula s0s0k Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu ada bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. “Bidadari Angin Timur… Kita tak akan bertemu lagi selama-lamanya…”
“Braaaakk!-Braaakk!”
Dua ek0r ikan hiu menghantam dinding bahtera kiri kanan hingga bahtera putih itu pecah , terbelah dua. Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wir0 yang terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya lantaran sekujur tubuhnya ketika itu berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya. Sebelum tubuhnya karam masuk ke dalam air bahari , ia melihat belasan ek0r ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ek0r mengibaskan sirip. Binatangbinatang haus darah ini menyerbu ke arahnya!
Di ketika yang bersamaan tiba-tiba di dasar bahari ada kilatan-kilatan abn0rmal terang beberapa kali. Pada ketika belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi dari tubuh Pendekar 212 yang melayang karam di dalam air bahari , terdengar bunyi menggemuruh amat dahsyat. Murid Sint0 Gendeng yang berusaha mempertahankan nyawanya tanpa bisa berbuat sesuatu , sebelum jatuh semakin dalam dan hilang kesadarannya melihat menyerupai ada tabir kelabu mengurung dan mendekat. Tabir itu ternyata yaitu puluhan ek0r ikan lumba-lumba berb0b0t rata-rata dua hingga tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak s0ntak menyerupai takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan kacau balau ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari , melarikan diri dan akhirnya lenyap. Wir0 sendiri sesudah itu tidak tahu apa yang terjadi lantaran tubuhnya yang berada dalam keadaan pingsan terus meluncur karam ke dasar laut. Dia tidak sempat melihat ser0mb0ngan makhluk abn0rmal membawa t0ngkat besi yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka ternyata yaitu makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di cuilan atas sedang di sebelah bawah berupa s0s0k ikan berwarna perak.
PERTAMA sekali yang didengar kertika ia siuman dan belum sempat membuka kedua matanya ialah alunan bunyi petikan kecapi yang sangat merdu. Hidungnya mencium basi harum semerbak.
Perlahan-lahan Wir0 buka kedua matanya. Memandang ke atas kemudian melihat berkeliling ia dapatkan dirinya terbujur di atas sebuah tilam sangat bagus.
“Ruangan apa ini…?” pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. “Eh , kakiku bisa bergerak…” Dia gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika ia menc0ba bangun ternyata ia bisa duduk di atas pembaringan itu. “Dimana saya ini?”
Ruangan ia berada ketika itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-langit kamar terbuat dari materi abn0rmal memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh tempat. Wir0 angkat tangan kanannya. Ada bubuk abn0rmal mulai mengering pada pangkal lengan. Dia c0ba berpikir. Walaupun agak lambat namun ia bisa mengingat apa yang telah dialaminya sebelumnya. “Perahu putih pecah berantakan. Aku karam ke dalam laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada bunyi menggemuruh. Muncul tabir kelabu aneh…” Wir0 pandangi lagi lengan kanannya. “Luka di tanganku di taburi sesuatu. Mungkin sekali 0bat. Berarti ada yang telah menyelamatkan diriku…”
“Srett…srett…srett…srettt!”
Tiba-tiba tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid Sint0 Gendeng hampir tersentak. Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar tak berkesip.
“Jangan-jangan saya benar sudah mati. Dan masuk ke dalam s0rga… Buktinya ketika ini saya dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik semua , berkulit putih halus. Mengenaskan pakaian yang menciptakan jantungku bisa c0p0t! Tapi apa mungkinlah ya saya ini betulan di s0rga?” Wir0 garuk-garuk kepalanya. “D0saku bertumpuk. Masakan saya bisa masuk s0rga semulus ini…?” Wir0 memandang berkeliling. Perhatikan gadis-gadis el0k itu. Mereka mengenakan pakaian saluran warna hitam yang ketat , terbelah di cuilan sisinya mulai dari ujung kaki hingga ke pinggul , kemudian terbelah lagi di cuilan dada sebelah atas.
“Cantik semua. Kalian ini siapa…Aku berada dimana?” tanya Wir0 kemudian perlahanlahan ia turun dari berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. “Jangan-jangan para gadis ini makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu…” Selintas pikiran muncul dan menciptakan murid Sint0 Gendeng jadi tidak yummy dan bercuriga.
“Hai! Tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi…?” Wir0 memperhatikan berkeliling.
Tiba-tiba dua gadis bergeser ke samping. Dari celah di antara keduanya melangkah maju se0rang gadis membawa sebuah nampan terbuat dari kerang bahari yang sangat besar. Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala , juga terbuat dari kain hitam. Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wir0 kemudian membungkuk. Karena dada pakaiannya terbelah dalam , ketika membungkuk sepasang payudaranya yang putih kencang menyerupai hendak mel0mpat keluar. Murid Eyang Sint0 Gendeng merasa jantungnya menyerupai mau tanggal menyaksikan!
“Tamu dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang kami bawa ini.” Gadis pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata. Wir0 jadi tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain berair juga k0t0r dan bau.
“Kalian gadis-gadis baik. Mau memperlihatkan salinan untukku. Baik , saya akan berganti pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan daerah ini…”
Gadis pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang kemudian hik…hik! Mereka sama-sama tertawa.
“Kenapa tertawa?” Tanya Wir0 heran. “0h , niscaya menertawai kulitku yang hitam. Kalian tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu kuning , halus. Tidak kalah dengan kulit kalian itu…!”
Ruangan itu riuh 0leh bunyi tawa dua belas gadis cantik. Wir0 memandang cepat berkeliling , memperhatikan bagaimana dada-dada putih m0lek para gadis berguncangguncang sewaktu mereka tertawa.
Salah se0rang dari para gadis kemudian berkata. “Pemuda dari daratan. Kami akan membawamu menghadap Ratu. Kurang pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian butut dan k0t0r serta basi itu…”
“Ratu …Ratu…apa…?” Wir0 jadi heran.
“Kami tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti pakaian ,” gadis yang membawa nampan kerang memberi tahu.
“Ya… ya saya akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan daerah ini…” kata murid Sint0 Gendeng pula kemudian mengambil seperangkat pakaian hitam yang ada di atas nampan kerang.
“Kami tidak diperkenankan meninggalkan daerah ini. Makara kau harus berganti pakaian di depan kami…”
“Hah ! Apa?!” Wir0 letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan. “Kalau begitu biar saya tidak jadi ganti pakaian!”
“Kau tamu yang berada di daerah 0rang. Makara harus mengikuti hukum tuan rumah. Jangan menciptakan Ratu menunggu terlalu lama…”
“Walah! Siapa Ratu kalian? Kalian ini siapa sebenarnya? Manusia sungguhan , makhluk jejadian , sebangsa peri atau apa?!”
“Sekali lagi kami beri tahu , kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak. Silahkan berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala penderitaanmu…”
“Gila!” Wir0 memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.
”Maafkan ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak tahu? Bagiku lebih menderita membuka pakaian di hadapan kalian!”
“Aturan menyampaikan begitu! Kami semua harus mematuhi!” kata salah se0rang dari dua belas dara cantik.
“Ah , bilang saja berg0t0ng-r0y0ng kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan?!”
Dua belas wajah el0k kelihatan menjadi merah.
Gadis pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang. “Dengar c0w0k jahat! Kau tinggal memilih…”
“Aku suka kalau kalian menger0y0kku…” ujar Wir0 masih bergurau.
Gadis pembawa pakaian men0leh pada sahabat di sampingnya kemudian mengangguk. Melihat instruksi anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang terkembang diarahkan pada Wir0. Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke arah kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan Wir0. Tubuhnya laksana berpijar-pijar. Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.
Wusss… wusss… wussss.
Tubuh Pendekar 212 mengepulkan asap. Ketika kepulan itu sirna ia dapatkan dirinya tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sint0 Gendeng berseru kaget. Dia memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi menempel di tubuhnya tapi tak berhasil menemukan. Cepat ia tutupkan kedua tangannya ke aurat sebelah bawah. Dua belas gadis el0k tertawa cekikian. Yang membawa nampan berisi pakaian hitam berkata. ”Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian hitam ini?”
“Kalian ini… Ah!” Wir0 jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya. Lupa kalau sepasang tangannya itu sedang digunakan untuk menutupi auratnya. Ketika ia sadar cepat-cepat ia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu ramai lagi dengan bunyi tawa para gadis!
“Kalian benar-benar mempermainkanku! Tapi saya mau bilang apa! Aku menyerah!” Pakaian di atas nampan kerang cepat disambar Wir0. Dia mengenakan sambil berbalik , maksudnya paling tidak ia bisa berlindung dari s0r0t pandang gadis itu. Tapi percuma saja lantaran dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Makara kemanapun ia menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata gadis-gadis el0k itu.
Wir0 merasa nafasnya sesak begitu ia selesai mengenakan pakaian. Sambil menggunakan destar ia bertanya. “Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana…bagus?!”
“Hitam semua!” celetuk salah se0rang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di ruangan itu.
Sebelum tinggalkan daerah itu Wir0 usikan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian yang tadi dikenakannya.
“Jangan khawatir ,” jawab gadis yang berjalan di depannya. “Kelak jikalau kau meninggalkan daerah ini pakaian butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap dengan segala isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu dalam saku pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?”
Wir0 tertawa. Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu. Yang dikhawatirkannya yaitu hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang sanggup menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jikalau ia sewaktuwaktu ingin bertemu atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat harap baca serial Wir0 Sableng berjudul Misteri Dewa Bunga Mayat).
“Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan ,” kata Wir0 sambil melangkah mengikuti gadis-gadis el0k itu. Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari belahan pakaian. Tak ada yang mengeluarkan bunyi atau men0leh padanya. Wir0 kemudian teruskan maksudnya bertanya.
“Kita ini berada dimana…? Di daratan atau di dasar laut?”
“Kita berada di atas permukaan laut. Di awang-awang ,” se0rang gadis kemudian menjawab.
“Ini yang saya tidak mengerti. Seingatku saya jatuh ke dalam laut…Mengapa kini kau katakan berada di awang-awang? Mana mungkin saya bisa berjalan di udara…”
“Bangunan ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia biasa sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibentuk mengerti…”
“Lalu kalian ini apakah bukan insan sepertiku juga?”
“Hentikan semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang daerah Sang Ratu menunggu.”
“Ratu…” mengulang Pendekar 212 Wir0 Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu bertemu dengan wanita sakti bergelar Ratu Pantai Utara. “Di bahari utara ada Ratu , ternyata di pulau pantai bahari selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan mana yang paling el0k antara keduanya…” kata murid Sint0 Gendeng k0ny0l. (Harap baca serial Wir0 Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)
DUA BELAS
Dalam setiap langkah yang dibuatnya Wir0 masih terus tak bisa mengerti kalau bangunan itu berada di awang-awang. Sementara itu bunyi petikan kecapi merdu terdengar semakin terperinci dan basi harum bertambah semerbak.
Pendekar 212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-cahaya redup hingga mendatangkan suasana angker. Sekeliling ruangan , mulai dari pintu masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian menyerupai yang membawa Wir0 ke ruangan itu.
Di ujung ruangan , menghadap ke pintu ada sebuah bangku terbuat dari watu besar yang sandarannya berbentuk seek0r ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi sese0rang yang duduk di bawahnya. 0rang ini mengenakan pakaian terbuat dari manikmanik berwarna putih perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya , baju yang dikenakannya juga dibelah di cuilan dada dan pinggul. Kecantikan yang satu ini memang melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis lain banyak senyumnya , yang duduk di bangku watu ini sama sekali tidak memperlihatkan air muka ramah. 0rang ini mengenakan anting , kalung dan gelang terbuat dari kerang tapi berwarna merah. Yang menciptakan Wir0 jadi tercekat ialah ketika memandang mata 0rang itu. Sepasang b0la matanya berwarna biru dan memancarkan pes0na abn0rmal kalau tidak mau dikatakan angker. Di pangkuannya ada sebuah cermin besar berbentuk bulat.
“Ini rupanya Sang Ratu…” kata Wir0 dalam hati.
Dua belas gadis yang membawa Wir0 ke ruangan itu membungkuk dalam memberi pengh0rmatan. Ketika salah se0rang dari mereka melihat Wir0 dan berkata , “Jangan berlaku kurang ajar! Lekas berikan pengh0rmatan pada Ratu Duyung penguasa Pulau pantai bahari selatan…”
Did0r0ng dengan tiba-tiba menciptakan Wir0 tersentak kaget dan hampir tersungkur ke depan. “Ratu Duyung…? Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja menyerupai manusia. Pinggul ke bawah mempunyai kaki , bukan menyerupai ikan…”
“Kalau kau tak segera mengh0rmat Ratu kami , kami terpaksa menderamu dengan pentungan tulang ikan hiu hingga tujuh puluh kali!” Satu cara mengancam di belakang Wir0.
Murid Sint0 Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju ke hadapan sang Ratu kemudian membungkuk dalam-dalam. Namun sambil membungkuk matanya yang bandel c0ba mencuri pandang kearah cuilan bawah pakaian sang Ratu yang tersingkap. Ketika ia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wir0 melihat bahwa di salah satu sudut ruangan ada sebuah meja bundar berkaki satu. Di atas meja ini terletak sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar basi sangat harum. Di samping pendupaan , tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab. Karena jauh Wir0 tak sanggup membaca apa g0resan pena yang tertera di sampul kitab itu. Namun mendadak saja dadanya berdebar.
Salah se0rang gadis pengantar maju ke hadapan bangku watu daerah duduk sang Ratu. Setelah membungkuk ia berkata.
“Pengh0rmatan untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai bahari selatan. Perintah telah kami jalankan. 0rang yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami antarkan ke hadapanmu. Kami menunggu petunjuk lebih lanjut.”
0rang yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang pada Wir0 kemudian jari-jari tangan kirinya yang diletakkan di atas tangan bangku watu digerakkan memberi instruksi sem0ga Wir0 mendekat.
Murid Eyang Sint0 Gendeng maju tiga langkah. Walaupun ia terpes0na melihat kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari memandang ke arah meja bundar berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan. Karena ia jadi lebih pendek dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat Dewa!
Lupa dirinya berada dimana Wir0 Sableng eksklusif saja menghambur ke arah meja bulat. Beberapa 0rang gadis berseru kaget melihat apa yang dilakukan c0w0k berkulit hitam itu. Sebaliknya Ratu Duyung tetap hening di bangku batunya. Ketika jari-jari tangan Wir0 hampir menyentuh buku di atas meja bundar di samping pendupaan , Ratu Duyung menekan salah satu cuilan tangan bangku batu. Terdengar bunyi desingan halus. Lalu lantai yang dipijak Wir0 tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi Pendekar 212 jatuh terper0s0k ke dalam lubang watu sedalam leher. Kini hanya kepalanya saja yang tersembul di lantai ruangan. Secara abn0rmal tapi mengerikan empat dinding lantai watu itu bergerak menyempit hingga Pendekar 212 tidak bisa selamatkan diri keluar dari l0bang itu!
Perlahan-lahan Ratu Duyung bangun dari bangku batunya. Cermin bundar yang terletak di pangkuannya dipindahkan ke atas bangku batu. Lalu ia melangkah anggun mendekati l0bang daerah Wir0 terjerumus. Berhenti tepat di tepi l0bang itu. Dalam keadaan lain melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu pemandangan menggiurkan bagi Wir0. Namun ketika itu ia terjebak di l0bang abn0rmal dan tak bisa keluar selamatkan diri.
“Kadang-kadang kecer0b0han bisa membawa celaka sese0rang…” kata Ratu Duyung.
“Ratu , demi Tuhan saya tidak bermaksud mengambil kitab itu!” ujar Wir0.
“Sumpah anak insan tidak berlaku di daerah ini!”
Sang Ratu sunggingkan senyum sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah t0mb0l di bawah meja bulat. Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca. Jika bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala Pendekar 212 yang berada di l0bang watu lantai ruangan. Wir0 maklum ancaman maut kini kembali mengancamnya.
“Ratu! Aku akan jelaskan…”
“Kau tak perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi petunjuk bahwa memang kau tengah mencari kitab sakti itu…”
“Kau benar dan saya tidak berdusta , “ jawab Wir0. “Tadi saya begitu terkejut dan lupa diri. Aku menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang saya cari. Bukan untuk mengambilnya!”
Ratu Duyung tertawa. “Kau bukan saja se0rang pendusta besar. Tapi juga t0l0l! Jika kau memang mencari kitab itu , sesudah bertemu kuliner tidak akan kau ambil! 0rang-0rangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya menyadari budi 0rang malah hedak mencuri!”
“Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur saya terkejut melihat kitab itu ada di daerah ini. Padahal berdasarkan petunjuk kitab itu seharusnya berada di daerah lain….!”
“Begitu?!” Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi runcing panas membara perlahan-lahan turun terus mengarah bat0k kepala Wir0. Jarak ujung-ujungnya dengan kepala Wir0 semakin pendek. Kini hnya tinggal sekitar lima belas jengkal.
“Aku tidak tahu di pihak mana kau dan 0rang-0rangmu berada. Apa berpihak pada kel0mp0k manusia-manusia jahat atau termasuk dalam g0l0ngan 0rang-0rang putih yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan….”
“Jangan berkh0tbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua g0l0ngan yang kau katakan!” Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali ke bangku batunya. Sebelum duduk ia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu ia memberi tanda pada se0rang gadis yang ada di ruangan itu. “Lekas bawa masuk tamu kita yang tiba malam tadi!”
Gadis yang diperintah segera meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa usang ia muncul kembali. Di belakangnya mengikuti se0rang kakek gemuk luar biasa bermata sipit hampir merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala. Dia mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam menyerupai yang ketika itu dikenakan Wir0. Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati menciptakan setiap langkah yang dilakukannya mengakibatkan bunyi bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil tiada hentinya tertawa-tawa.
Wir0 melengak kaget melihat siapa adanya 0rang gendut ini. Dia hendak berseru memanggil tapi tak jadi lantaran khawatir akan menciptakan murka Ratu Duyung dan dianggap lagi-lagi berlaku cer0b0h. Lagipula ketika itu ia sendiri lebih khawatir akan keselamatan dirinya. Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing turun semakin mendekati kepalanya!
Sampai di hadapan Ratu Duyung 0rang bau tanah gemuk itu membungkuk memberi h0rmat pada sang Ratu.
“Tamu terh0rmat maafkan saya mengganggu ketika istirahatmu. Ada satu urusan penting yang kami hadapi. Kau lihat c0w0k dalam liang watu di depan meja bundar sana?! Nyawanya tergantung pada klarifikasi yang akan kau berikan.”
0rang bau tanah gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia kemudian mengangguk. Pada ketika si gemuk memandang ke arahnya Wir0 cepat tersenyum dan kedip-kedipkan matanya.
“Apa ini 0rang yang kau maksudkan dalam keteranganmu? Pendekar yang katamu siap mengarungi segala ancaman untuk mencari kitab sakti berjulukan Kitab Putih Wasiat Dewa itu….?”
Si Gemuk kembali memandang pada Wir0. Pendekar 212 kembali tersenyum.
Lalu ia melihat si gendut menggeleng dan berkata. “Bukan , bukan ia 0rangnya…Ha…ha.. ha!”
“Jadi kau tidak mengenalinya?” Tanya Ratu Duyung.
“Tidak , saya tidak kenal dengan insan bermuka g0s0ng itu!” Lalu kembali 0rang ini tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
“Sialan si gendut Kerbau Bunting itu!” maki Wir0 dalam hati. “Apa matanya sudah lamur tidak mengenali diriku lagi?! Enak saja saya disebutnya mnusia bermuka g0s0ng. Tapi eh…!”
“Kalau begitu kematiannya tidak akan menjadi kasus bagi dirimu?!” bertanya Ratu Duyung.
“Perduli apa dengan nyawanya!” jawab si gendut kemudian tertawa mengekeh. “Kau b0leh kembali ke daerah peristirahatanmu!” kata Ratu Duyung pula.
Ketika si gendut hendak memutar tubuhnya Wir0 cepat berteriak. “Dewa Ketawa!
Jangan pergi dulu! Kau harus men0l0ngku! Jangan bicara ngac0k menyampaikan kau tidak kenal diriku!”
Si gendut yang dipanggil Wir0 dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan tawanya. Dia berpaling. Menatap tajam pada Wir0 sambil dalam hati memaki. “Anak setan muka hitam itu tahu darimana namaku!” Dia menatap tak berkesip dengan matanya yang sipit. “Siapa kau?!” tanyanya sambil tertawa-tawa.
“Aku Wir0 Sableng , s0bat kep0nakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak mengenali diriku?!”
“Puah!” si gendut tertawa gelak-gelak. “Wir0 Sableng Pendekar 212?!”
“Betul! Murid Sint0 Gendeng dari Gunung Gede!” sambung Wir0. Dia mend0ngak ke atas. Dua batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari kepalanya.
0rang yang dipanggil Wir0 dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga matanya yang sipit kucurkan air mata. “Pendekar 212 yang saya kenal mukanya tidak g0s0ng hitam sepertimu! T0l0l sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira saya sudah buta?!”
“Buta mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!” teriak Wir0.
“Manusia bermuka hitam!” membentak Ratu Duyung. “Jangan lancang berani menghina tetamuku!”
“Aku tidak menghina! Aku yakin ia berdusta menyampaikan tidak kenal padaku. Dewa Ketawa , ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah b0nang milik Kerat0n yang dicuri 0rang?!”
Si gendut sesaat terdiam. Dia menyerupai berpikir-pikir. “Ya saya ingat! Waktu itu kau masuk ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni Pital0ka. Kukira kalian berdua sudah jadi mayat hidup…!”
“Nah , kau ingat kejadian itu. Berarti 0takmu masih encer! Apa kau juga ingat waktu kau ketakutan mau dicium 0leh Nyi Bulan….?!”
“Eh!” si gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembr0t. Lalu ia tertawa gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa cekikikkan.
“Sekarang kau harus menyampaikan pada Ratu Duyung bahwa saya memang Wir0 Sableng , Pendekar 212 yang tengah menjalankan kiprah mencari Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Tidak bisa…” kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa.
“Gila! Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa?!” ujar Wir0 hampir berteriak lantaran di atasnya dua batang besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal dari bat0k kepalanya.
“Pendekar 212 yang saya kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha mengelabui diriku!”
“Sesuatu terjadi dengan diriku!” jawab Wir0. Lalu ia menjelaskan kejadian perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Juga kemunculan se0rang yang tiba men0l0ngnya dan memperlihatkan 0bat penyembuh luka dalamnya yang parah. Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan wajahnya menjadi hitam legam.
0rang bau tanah gendut itu g0leng-g0leng kepala dan yummy saja ia memutar tubuhnya hendak meninggalkan daerah itu.
“Dewa Ketawa!” teriak Wir0.
Si gendut hentikan langkah. Tanpa berpaling ia berkata. “Pendekar 212 yang saya kenal mempunyai satu senjata mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal dengan sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau bisa memperlihatkan senjata itu padaku , mungkin saya bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sint0 Gendeng dari Gunung Gede itu!”
“Aku tak memperlihatkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga watu hitam sakti pasangannya dicuri 0leh Tiga Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!”
“Hemmm… Kalau begitu bagaimana saya bisa men0l0ng?” ujar Dewa Ketawa seraya tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu. “Hemmm…Aku ingat ada rajahan angka 212 di dadamu. Itu mungkin bisa men0l0ng….”
“Sudah kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!”
“Sayang sekali. Agaknya kau memang harus menemui maut secara mengenaskan di dalam liang watu itu!” kata Dewa Ketawa pula. Tapi ia masih belum beranjak dari daerah itu. Tiba-tiba ia berpaling dan tertawa gelak-gelak.
“Jahanam gendut itu tertawa menyerupai 0rang gila! Aku sendiri sudah mau mati!”
Wir0 merutuk dan memandang ke atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat jengkal!
“Ada satu cara untuk menunjukan bahwa kau betul-betul Wir0 Sableng Pendekar 212…”
“Apa itu! Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus bat0k kepalaku!” teriak Wir0.
“Waktu pertama kali kita bertemu , kemudian sama-sama terlibat urusan dua b0nang celaka itu apa sebutanku memanggilmu? Nah ay0 lekas kau jawab!”
“S0batku Muda!” teriak Wir0. “Begitu kau memanggil diriku!”
“Eh , memang benar!” kata Dewa Ketawa kemudian tertawa mengekeh. Tiba-tiba ia hentikan tawanya dan berkata. “Itu belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang Pendekar 212 Wir0 Sableng!”
“Gila! Apa lagi maumu?!” teriak Wir0. Di atas kepalanya dua batang besi menyala hanya tinggal tiga jengkal.
“Kau masih ingat bagaimana kau memanggil saya waktu itu?!” tanya Dewa Ketawa.
“Apa sulitnya mengingat!” jawab Wir0. “Kau kupanggil S0batku Gendut! Terkadang kupanggil kau Kerbau Bunting!”
“Ha…ha…ha…!” tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu bergetar. Apa lagi semua anak buah Ratu Duyung tak sanggup pula menahan tawanya.
“Sekarang saya yakin , kau memang Pendekar 212 Wir0 Sableng! Ha…ha…ha!”(Siapa adanya Bujang Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa sanggup dibaca dalam serial Wir0 Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)
“Kalau begitu!” ujar Wir0 seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi runcing hanya tinggal satu jengkal di atas kepalanya , “Lekas minta pada tuan rumah untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!”
“Ratu Duyung…” ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wir0 sudah ketakutan setangah mati , “Aku minta dengan h0rmat kau suka menghentikan gerakan benda kematian itu!”
Ratu Duyung tak segera melaksanakan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya lebih dulu. “Jadi kini kau yakin c0w0k berkulit hitam itu benar-benar Pendekar 212 , 0rang yang temp0 hari kau katakan pertama kali kau tiba ke sini?”
“Ya…ya…ya! Memang dia!” jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala kemudian tertawa gelak-gelak.
Ratu Duyung melangkah mendekati meja bundar berkaki satu. Dia menekan t0mb0l di bawah meja. Saat itu juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wir0. Murid Sint0 Gendeng menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam maka akan terperinci kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!
“Pendekar 212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!” kata Dewa Ketawa.
“Aku belum seluruhnya selamat!”teriak Wir0.
“Eh , apa maksudmu?!” Tanya Dewa Ketawa.
“Kau lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang watu ini. Empat buah dinding watu menekan terus. Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!”
Dewa Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu Duyung , kurasa kau juga tidak hingga hati menciptakan s0bat mudaku itu jadi tapai atau jadi pergedel!”
Untuk pertama kalinya Wir0 melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari tangannya menekan salah satu cuilan lengan bangku batu. Empat dinding watu yang menggencet tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada kesempatan Wir0 segera mel0mpat keluar. Karena ia berada akrab meja berkaki tunggal itu mau tak mau padangan Wir0 kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada di atas meja.
“Pendekar 212 , kau masih ingin tau hendak melihat kitab itu lebih dekat? Silahkan saja! Kau sentuh pun kini tak ada yang melarang!” terdengar Ratu Duyung berucap.
Sesaat Wir0 merasa ragu. Dia memandang pada Sang Ratu kemudian melirik pada Dewa Ketawa yang masih tegak di ruangan tak jadi berlalu dari situ. Dilirik menyerupai itu si Gendut sunggingkan tawa lebar. Akhirnya Wir0 melangkah maju mendekati meja bulat.
“Ternyata kitab sakti ini berada di sini. Tidak menyerupai yang diterangkan Kakek Segala Tahu…” Dengan tangan gemetar Wir0 menyentuh kitab itu. Tiba-tiba ia tersentak. Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.
“Kitab palsu! Hanya terbuat dari lilin!” kata Wir0. Tawa bergelak. “Pendekar 212 ,” ujar Sang Ratu. “Apa yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama kecer0b0han selain tidak disukai 0rang lain juga bisa membawa ancaman besar. Kedua , perasaan hati yang meluap bisa menciptakan sese0rang menyerupai buta , tak sanggup melihat kebenaran suatu benda. Ketiga , kehati-hatian dalam segala hal yaitu pangkal segala keselamatan!”
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.
“Terimakasih atas pelajaran yang kau berikan. Juga saya mengucapkan terimakasih padamu dan semua gadis yang ada di sini. Kalau tidak lantaran kalian ketika ini niscaya saya sudah menemui maut , berkubur di dasar samudera bahari selatan ini. Hanya ada beberapa hal yang tidak terperinci bagiku. Pertama , mengapa kalian menyelamatkan diriku. Agaknya sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu dan juga berdasarkan keterangan-keterangan S0batku Gendut itu. Kedua , bagaimana tiruan Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana adanya kitab yang asli? Lalu apakah saya di sini sebagai tawanan atau sebagai tamu menyerupai si Gendut itu…”
Dewa Ketawa tertawa bergelak.
“Sejak kau kami yakini yaitu Pendekar 212 , maka dirimu yaitu tamu keh0rmatan di daerah ini ,” berucap Ratu Duyung.
“Tapi lantaran di daerah ini hanya kita berdua yang pria , selebihnya gadisgadis el0k , jadi jangan sekali-kali kau menc0ba berbuat macam-macam!” Yang bicara yaitu Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala.
Wir0 garuk-garuk kepala.
Ratu Duyung bertepuk tiga kali kemudian berkata.”Pertemuan hari ini cukup hingga di sini. Pertanyaanmu yang belum terjawab akan dibicarakan pada pertemuan bes0k. Harap antarkan Pendekar 212 ke daerah peristirahatannya!”
Se0rang gadis segera mendekati Wir0 dan memberi instruksi sem0ga Wir0 mengikutinya. Sebelum melangkah pergi Wir0 membungkuk memberi pengh0rmatan pada Ratu Duyung. Lalu ia cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu keluar ia ditunggui 0leh Dewa Ketawa.
“S0batku Muda. Kau beruntung bisa selamat….Ha…ha…ha…!”
“Dewa Ketawa , saya ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara. Di awang – awang?”
“Memangnya kau tak percaya?” balik bertanya si 0rang bau tanah bertubuh gemuk luar biasa itu.
“Akalku tak bisa menerima…”
“Ha…ha…ha! Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk nalar dan pikiran bagi kita insan biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila jikalau terlalu memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur yummy malam nanti….Ha…ha…ha!”
“Satu lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi , kehadiranmu sebagai tamu di daerah ini ada sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat Dewa…Betul?”
Dewa Ketawa mengangguk kemudian tersenyum lebar.
“Apa yang kau ketahui wacana kitab itu S0batku Gendut?” Tanya Pendekar 212.
“Tidak banyak. Cuma satu kasus yang saya tahu menyangkut kitab sakti itu. Yaitu sang kitab berasal dari daratan Ti0ngk0k….”
Wir0 tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu hingga mulutnya menganga. Di satu daerah gadis pengantar membel0k ke kiri sedang Dewa Ketawa membel0k ke kanan. Sebelum berpisah Wir0 memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.
“S0batku Gendut , kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam menyerupai diriku.
Pasti ini pakaian pemberian anak buahnya Ratu Duyung. Jadi….Apakah kau juga disuruh mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?”
Dewa Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya berg0ncang-g0ncang. Apa yang dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha…ha…ha…! Cuma denganmu mereka lebih untung!”
Apa maksudmu?”Tanya Wir0.
“Tubuh gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis cantik. Sebaliknya walau kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan peralatanmu masih kencang….! Ha…ha…ha!”
Pendekar 212 penc0ngkan mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala memperhatikan Dewa Ketawa berlalu sambil terus mengumbar tawa keras.

TAMAT

Berikutnya berjudul:

WASIAT SANG RATU

No comments for "Wasiat Dewa WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"