Purnama Berdarah WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIR0 SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tit0

EP : PURNAMA BERDARAH



1


HUJAN lebat mendera Pantai Selatan. Suara hujan yang diterpa hembusan angin keras yang tiba dari maritim menjadikan bunyi menggidikkan di pendengaran siapa saja yang mendengarnya. Di bawah hujan lebat itu se0rang penunggang kuda memacu tunggangannya sepanjang tepian pantai , menembus hujan dan deru angin ke arah timur. Tepat di satu bukit karang yang menjulang 0rang ini hentikan kudanya. Sambil menepuk tengkuk hewan itu ia berkata. “Jangan ke mana-mana. Tunggu di sini hingga saya kembali!”

Seperti mengerti akan ucapan 0rang , kuda itu mendekatkan kepalanya ke pundak tuannya dan menjilat pundak itu beberapa kali. Ketika petir kelihatan menyambar di tengah maritim , penunggang kuda tadi telah lenyap dari tempat itu. Dia mel0mpat ke sebuah celah sempit di kaki bukit karang. Di dalam celah itu ada p0t0ngan bukit yang berbentuk mirip tangga kasar. 0rang ini menaiki tangga itu dengan gerakan cepat. Tangga kerikil karang itu licin dan ada yang berselimutkan lumut. Hujan lebat menciptakan udara menjadi redup gelap. Kalau tidak mempunyai kepandaian tinggi tak mungkin 0rang itu bisa menaiki tangga kerikil begitu cepat.

Di puncak tangga kerikil membentang sebuah pedataran kerikil yang penuh dengan gerunjul-gerunjul karang runcing. Pada sebelah kiri pedataran menjulang bukit berbentuk dinding setinggi lima t0mbak. Pada salah satu p0t0ngan di kaki dinding inilah kelihatan sebuah l0bang besar yang merupakan ekspresi g0a. 0rang tadi bergegas menuju pintu g0a. Di ekspresi g0a ia berhenti sebentar. Dia mengusap wajahnya dua kali berturut-turut kemudian gres masuk ke dalam.

Bagian dalam g0a kerikil karang itu terasa hangat dan merupakan satu ter0w0ngan lurus sedalam sepuluh t0mbak. Di ujung ter0w0ngan kelihatan menyala sebuah lampu minyak yang meliuk-liuk terkena tiupan angin dari luar. Di belakang lampu ini terhampar sehelai kulit hewan yang sudah dikeringkan. Bagian kepalanya yang berupa kepala seek0r srigala menghadap ke dinding g0a sebelah kiri. Di atas kulit hewan itu , di sebelah kanan tampak satu s0s0k tubuh terbalut kulit hewan tegak kepala di bawah kaki ke atas. Kedua telapak tangan menjejak kulit di lantai g0a sedang sepasang kaki bersilang di sebelah atas. Rambutnya yang panjang riap-riapan terjulai ke bawah dan wajahnya tertutup 0leh janggutnya yang panjang menjulai. Udara di dalam g0a itu menebar bau tidak sedap.

0rang yang barusan masuk dalam keadaan lembap kuyup sesaat tegak memperhatikan s0s0k tubuh yang tegak kepala ke bawah kaki ke atas itu. Lalu mulutnya terbuka berucap , “Eyang Srigala Karang , saya tiba untuk kedua kali!”

Tubuh yang tegak kaki ke atas kepala di bawah itu tidak bergerak. Namun di balik janggut panjang yang menutupi hampir keseluruhan wajahnya , sepasang matanya terbuka sedikit. Menyusul mulutnya bersuara , “Kemala , kamu tiba untuk kedua kali. Berarti hatimu telah tetap untuk meminta biar saya meluluskan keinginanmu?!”

“Betul sekali Eyang Srigala Karang.” 0rang ini ternyata yakni se0rang perempuan.

“Bagus kalau begitu. Aku sudah katakan bahwa sekali kamu memutuskan meminta bantuanku , berarti kamu harus memenuhi segala syarat dan aturan!”

“Saya akan memenuhi ,” jawab Kemala yang pakaian dan rambutnya lembap kuyup.

“Aku sudah katakan. Kalau kamu melanggar syarat dan hukum maka apa yang kamu minta akan berbalik mencelakai dirimu sendiri!”

“Saya sudah mengerti hal itu Eyang.”

“Apa yang kamu minta segera terkabul. Setelah kamu melihat sendiri nanti , maka gres saya akan menyampaikan syarat-syaratnya.”

“Eyang , apakah tidak sebaiknya Eyang menyampaikan lebih dulu syarat-syarat itu?” ujar Kemala.

“Kau yang meminta dukungan , saya yang menentukan syarat. Lagi pula apa sulitnya memenuhi syarat yang tidak sukar?”

0rang yang berdiri di depan lampu minyak membisu sejurus. Maka terdengar 0rang yang disebut dengan Eyang Srigala Karang itu berkata. “Aku tidak suka pada 0rang-0rang yang tiba dengan hati meragu bimbang. Jika perasaan itu ada dalam hati sanubarimu , cepat-cepat saja meninggalkan g0a ini! Aku tidak punya terlalu banyak waktu mengurusi tamu sepertimu! Aku mau dengar jawabanmu!”

“Saya tidak ragu. Apapun nanti syarat dari Eyang akan saya penuhi.” kata Kemala pula.

Eyang Srigala Karang keluarkan bunyi tawa mengekeh , menciptakan 0rang di depannya sesaat jadi tercekat. “Aku akan pertemukan kamu dengan makhluk yang akan menjadi sahabat dan suruhanmu!” kata Eyang Srigala Karang. Lalu tangan kiri sang Eyang tampak terangkat dari atas tikar kulit binatang. Tangan ini bergerak ke arah kepala srigala yang dikeringkan. Kemudian mengusap kepala itu tiga kali berturut-turut. Pada final usapan ketiga tiba-tiba asap kelabu mengepul keluar dari dua pendengaran , mata , dan hidung yang ada di kepala srigala yang telah dikeringkan itu. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi mirip gerengan atau auman binatang. Demikian kerasnya bunyi ini hingga lantai dan dinding g0a bergetar. Kemala tercekat sesaat. Kedua matanya dibuka lebar-lebar. Dia menyaksikan bagaimana kepulan asap itu berbuntal menjadi satu. Lalu bermetam0rf0sis s0s0k seek0r hewan buas berupa srigala yang mengerikan. Kedua mata hewan ini berwarna merah , laksana bara api. Telinganya mencuat ke atas. Mulutnya hingga ke gigi , taring , dan lidahnya tampak lembap 0leh darah. Begitu juga dua kaki depannya yang mempunyai kuku-kuku panjang runcing. Binatang ini berputar menghadap ke arah Kemala kemudian menggereng keras. Kemala mencicipi nyawanya mirip terbang. Tapi perempuan ini cepat menguasai dirinya kembali.

“Kawanmu ini harus kamu panggil dengan nama Datuk. Jika kamu ingin menemuinya dan menyuruh ia melaksanakan sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi keinginanmu , maka kamu cukup menyebut namanya tiga kali berturut­turut. Dia akan muncul di hadapanmu menunggu perintah. Dia hanya akan melaksanakan satu perintah saja yaitu mencabik-cabik hingga mati setiap 0rang yang kamu inginkan. Namun ingat , pembunuhan itu hanya bisa kamu lakukan pada malam bulan purnama. Lain dari dikala yang telah ditentukan itu , Datuk tidak akan melakukannya. Dia hanya akan berkeliaran di mana-mana atau muncul jikalau kamu panggil , tapi tidak akan melaksanakan perintah membunuh!”

“Mengapa Datuk hanya bisa melaksanakan pembunuhan pada malam bulan purnama saja Eyang?” tanya Kemala.

“Begitu yang telah ditentukan 0leh alam mistik dan ilmu gaib. Tak se0rang pun bisa mer0bahnya. Malam bulan purnama yakni malam yang indah. Malam kebanyakan 0rang lelaki dan perempuan saling bermesraan dan mencicipi saat-saat paling bahagia!” jawab Eyang Srigala Karang. “Kau harus mendapatkan ketentuan ini. Kau telah berjanji.”

“Ya , saya menerimanya Eyang ,” kata Kemala pula dengan bunyi perlahan.

Eyang Srigala Karang tertawa mengekeh. “Aku tahu , kamu ingin membunuh dan membunuh sebanyak dan secepat mungkin. Jika keinginanmu itu diikuti , dalam waktu singkat puluhan 0rang akan menjadi k0rbanmu. Sekarang siapkan dirimu untuk mendapatkan syarat-syarat yang harus kamu lakukan.”

Kemala tegak lurus-lurus tak bergerak.

“Syarat pertama! Setiap sesudah tiga kali melaksanakan pembunuhan pada tiga malam purnama , se0rang c0w0k yang mempunyai sepasang pendengaran panjang ke atas mirip srigala akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani c0w0k ini , memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengannya…”

“Eyang!” seru Kemala terkejut sekali dan parasnya eksklusif berubah.

“Kau tak b0leh men0lak , tak layak membantah. Itu syarat yang tidak bisa dir0bah! Ingat ucapan-ucapanku sebelumnya!”

“Tapi Eyang , saya…”

“Berani kamu bicara lagi maka Datuk akan kusuruh mencabik-cabik sekujur tubuhmu mulai dari kepala hingga kaki!”

Datuk , si srigala bermata merah itu keluarkan bunyi l0l0ng raungan keras. Dua sinar merah api mirip berkelebat keluar dari kedua matanya , menyambar ke arah Kemala. Gadis ini tersentak mundur.

Eyang Srigala Karang kembali mengekeh. “Datuk , mulai dikala ini kamu bertuan pada gadis di hadapanmu ini. Ikuti segala perintahnya sesuai dengan aturan. Ingat , kamu hanya b0leh membunuh pada malam bulan purnama!”

Srigala itu kembali meraung panjang.

“Sekarang kamu b0leh pergi Datuk!”

Eyang Srigala Karang mengusap kepala srigala yang sudah dikeringkan tiga kali berturut-turut. Binatang bermata merah itu perlahan-lahan bermetam0rf0sis asap kemudian lenyap dari pemandangan.

“Syarat kedua dan terakhir!” terdengar Eyang Srigala.

Kemala terdiam. Sepasang matanya menatap ke arah wajah yang tertutup janggut itu.

“Tanggalkan seluruh pakaianmu!”

Kemala mirip mendengar petir menyambar di depan hidungnya! “Apa kata Eyang?!”

“Tanggalkan semua pakaian yang menempel di tubuhmu!”

“Apa maksud Eyang?!” tanya Kemala. Suaranya keras membuktikan ada hawa amarah memasuki dirinya.

“Apa maksudku tak perlu kamu ketahui! Aku memerintahkan supaya kamu membuka seluruh pakaianmu! Seka

rang juga! Ini syarat yang harus kamu lakukan!”

“Syarat gila!” teriak Kemala.

Eyang Srigala Karang tertawa panjang. “Jika kamu men0lak perintah , Datuk akan muncul membunuhmu!”

“Saya tidak takut! Syarat yang Eyang katakan tidak mungkin saya lakukan!”

“Apa sulitnya membuka pakaian!”

“Membuka pakaian memang mudah! Tapi ada maksud busuk dalam diri Eyang hendak mencemari saya!”

Eyang Srigala Karang kembali tertawa. Begitu bunyi tawanya sirap dari mulutnya keluarlah bunyi mirip raungan srigala dalam rimba belantara di malam gelap gulita.

Tiba-tiba tubuhnya yang semenjak tadi berdiri di atas kedua tangannya bergerak berjumpalitan. Kini ia tegak di atas kedua kakinya. Wajahnya yang semenjak tadi tertutup 0leh janggutnya yang panjang kini terlihat jelas. Ternyata ia mempunyai wajah mirip seek0r srigala , lengkap dengan gigi-gigi serta taring-taring besar runcing. Kedua telinganya panjang mencuat ke atas. Keseluruhan wajahnya hingga ke pendengaran tertutup 0leh selapis bulu-bulu berwarna c0klat. Lalu kedua matanya ibarat sepasang mata Datuk makhluk srigala itu. Berwarna merah laksana bara api!

“Kalau kamu tidak mau membuka sendiri pakaianmu , terpaksa saya yang akan melakukannya!” kata Eyang Srigala Karang.

Eyang Srigala Karang mengulurkan tangan kanannya ke depan ke arah Kemala. Ketika tangan itu menciptakan gerakan-gerakan asing , terjadilah hal yang sulit dipercaya. Seluruh pakaian yang menempel di tubuh Kemala seakan-akan terbang , lepas bertanggalan hingga kini gadis itu tegak menjerit dalam keadaan bugil. Kemala berteriak tiada henti sambil kedua tangannya berusaha menutupi auratnya.

Eyang Srigala Karang tertawa panjang.

“Syarat harus dipenuhi! Aturan harus diikuti! Ah…! Tubuhmu ternyata putih sekali. Bagus dan mulus. Mendekatlah kemari biar sanggup kujamah…”

“Manusia keparat! Kau rupanya tidak lebih dari se0rang dukun cabul!” teriak Kemala.

“Kau tidak lebih baik dariku! Kau meminta ilmu hitam untuk melampiaskan kebusukanmu! Mendekat kataku!”

“Tua bangka cabul! Aku bersumpah akan membunuhmu!”

“Kalau kamu tidak mau mendekat , biar saya yang mendatangi!” kata Eyang Srigala Karang pula. Lalu ia maju selangkah demi selangkah.

Kemala yang dalam keadaan terancam tampak tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Kalau tadi kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi auratnya sedapat­dapatnya , kini ia sengaja menurunkan kedua tangan itu dan berbagi kedua tangannya ke samping. Gerakan ini menciptakan sepasang mata api Eyang Srigala Karang menjadi silau 0leh pemandangan yang memperabukan nafsunya. Dia menyangka Kemala telah siap menyerahkan diri mematuhi syarat yang dikatakannya. Kedua tangannya diulurkan hendak menjamah dada si gadis.

Sesaat lagi jari-jari tangan yang k0t0r menjijikkan itu akan menyentuh payudara Kemala , tiba-tiba gadis ini keluarkan bentakan keras. Tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya menghantam ke depan.

Bukkk!

Eyang Srigala Karang berseru kesakitan. Tubuhnya terpental membentur dinding tanggapan j0t0san Kemala yang telak menghantam dada kirinya. Jantungnya mirip berhenti berdenyut. Kedua mata apinya membelalak. Dia sama sekali tidak menyangka akan dihajar mirip itu.

“Kau… kau…” kata 0rang tua bermuka srigala itu sambil berdiri tertatih-tatih dan memegangi dadanya yang mendenyut sakit. “Kau memukulku. Perbuatanmu merangsang nafsuku! Lihat… lihat apa yang akan kulakukan!” Eyang Srigala Karang kemudian menggerakkan kedua tangannya membuka pakaiannya sendiri yang terbuat dari kulit hewan yang dikeringkan.

“Manusia terkutuk!” teriak Kemala.

Dampratan itu dibalas dengan tawa mengekeh 0leh Eyang Srigala Karang. Tapi tawanya lenyap begitu tendangan Kemala menabas salah satu kakinya hingga tubuhnya terbanting ke lantai g0a. Sambil meringis kesakitan 0rang tua ini masih bisa berusaha berdiri. Dia tegak terhuyung-huyung memandangi Kemala dengan mata berapi-api. Ternyata meskipun mempunyai ilmu mistik yang asing , 0rang tua ini sama sekali tidak menguasai kepandaian silat. Maka sewaktu ketiga kalinya serangan Kemala mendarat di tubuhnya , Eyang Srigala Karang mel0l0ng kesakitan. Hidungnya yang dihantam j0t0san keras mengucurkan darah. Sekarang hawa amarah lebih menguasai dirinya daripada nafsu bejatnya. Dia sama sekali tidak menduga kalau gadis di hadapannya mempunyai kepandaian silat. 0rang tua ini mel0mpat ke arah kepala srigala yang dikeringkan. Dia berusaha mengusap kepala srigala itu dengan tangan kirinya. Jelas ia hendak memanggil Sang Datuk! Kemala yang tahu apa yang hendak dilakukan 0rang tua itu kembali berkelebat. Kali ini pukulannya melanda lambung Eyang Srigala Karang. Selagi tubuh 0rang tua itu tertekuk ke depan , Kemala menyambar dan menjambak rambutnya yang panjang riap-riapan. Lalu kepala itu ditariknya kuat-kuat , dibantingkan ke dinding g0a karang!

Praaakk!

Untuk kesekian kalinya terdengar bunyi jeritan keras dan panjang dari ekspresi Eyang Srigala. Keningnya tampak rengkah dan darah membasahi wajahnya yang tertutup bulu-bulu halus berwarna c0klat itu. Tapi ia belum mati. Suara menggereng kini terdengar berkepanjangan dari tengg0r0kannya. Kemala cepat menyambar pakaiannya yang terhamparan di lantai g0a kemudian berkelebat menuju ekspresi g0a. Di luar sebelum melenyapkan diri ia mengusap wajahnya dua kali berturut-turut.

Eyang Srigala Karang merangkak mendekati kepala srigala yang diawetkan. Namun sebelum berhasil mencapainya , tubuhnya tergelimpang di lantai. Darah makin banyak mengucur dari luka mengerikan di keningnya. Dalam keadaan sekarat 0rang tua ini melafatkan sesuatu yang diakhiri dengan ucapan: “Datuk Putra datanglah. Aku perlu dirimu…”

Begitu ucapan itu berakhir terdengar bunyi menderu mirip gemuruh 0mbak memecah di tepi pantai. Lalu dalam g0a , entah dari mana datangnya muncul s0s0k tubuh se0rang c0w0k yang mengenakan destar. Wajahnya ganteng namun ia mempunyai sepasang pendengaran yang panjang mencuat ke atas serta berbulu mirip pendengaran seek0r srigala. Sedang kedua matanya berwarna biru dan pandangannya menggidikkan. Di samping si c0w0k mendekam s0s0k lain yang ternyata yakni sang Datuk , yaitu srigala bermata api.

“0rang tua , saya sudah datang. Katakan kepentinganmu!” Pemuda berdestar hitam dan bertelinga mirip srigala berkata.

“Kau lihat apa yang terjadi pada diriku! Gadis itu yang melakukan. Gadis berjulukan Kemala itu! Aku akan segera menemui kematian! Tapi saya akan mati secara penasaran! Aku ingin pembalasan. Lakukan sesuatu! Bunuh gadis itu! Suruh Datuk mencabik-cabik tubuhnya!”

Pemuda berjulukan Datuk Putra gelengkan kepala. “Perjanjian apa yang sudah kamu buat dengan gadis itu tidak bisa dirubah. Dia mempunyai kekuatan untuk menguasai dan memerintah Datuk…”

“Aku tidak peduli! Kau harus melaksanakan sesuatu , Datuk Putra!” kata Eyang Srigala Karang hampir berteriak tapi kemudian ia mengeluh kesakitan sambil memegangi dadanya.

“Aku akan perhatikan permintaanmu. Cuma mungkin belum bisa dilakukan apa-apa sebelum 40 kali bulan purnama. Kau melaksanakan kekeliruan. Meminta syarat yang seharusnya tidak menjadi syarat! Kau terjebak 0leh nafsu k0t0rmu sendiri!”

Eyang Srigala Karang terbujur di lantai g0a. Kedua matanya yang merah kini telah tertutup darah dari rengkahan kepalanya.

Pemuda dari alam mistik berjulukan Datuk Putra berpaling pada srigala bermata api di sampingnya. “Kau sudah mendapatkan tuan yang baru. Kau harus berada di mana ia berada. Pergilah…”

Srigala yang ekspresi dan kedua kaki depannya bergelimangan darah itu meninggikan kepalanya , menggereng beberapa kali , kemudian memutar diri dan mel0mpat ke ekspresi g0a. Datuk Putra membungkuk mengambil lampu minyak. Minyak lampu itu disiramkannya ke sekujur tubuh Eyang Srigala Karang. Lalu disulutkannya api pelita ke salah satu p0t0ngan tubuh si 0rang tua.

Wussss!

Serta merta api besar menggebubu memperabukan tubuh Eyang Srigala Karang. Datuk Putra tetap berada dalam g0a itu hingga seluruh tubuh sang Eyang musnah dimakan api yang secara asing tubuh itu terbakar tanpa mengeluarkan bau daging terpanggang. Selain itu ketika api akhirnya padam , tubuh itu kini hanya tinggal berbentuk se0ngg0k tulang belulang yang hitam mengg0s0ng!

Dengan sisa-sisa tikar kulit hewan yang sebagian terbakar hangus termasuk kepala srigala yang dikeringkan , Datuk Putra membungkus tulang belulang Eyang Srigala Karang. Tulang belulang ini kemudian dibawanya ke tepi pantai. Dia mend0ngak ke langit yang hingga dikala itu masih mengucurkan hujan lebat. Kemudian tikar kulit berisi tulang-tulang Eyang Srigala Karang itu dilemparkannya jauh-jauh ke tengah laut.

“Kau k0ndusif di tempatmu yang gres ,” kata Datuk Putra seraya memandang ke tengah laut. “Jika kamu berkeras untuk muncul di dunia ini kembali , kamu harus sanggup menanggung segala akibatnya. Kita memang 0rang-0rang dari dunia gelap dan hitam. Tapi berbuat kekeliruan tidak ada ampunannya!”

Di tengah maritim tampak halilintar menyambar. Lautan sekilas jadi terang benderang. Datuk Putra rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Daun telinganya yang mencuat panjang ke atas tampak bergerak-gerak tiada henti. Lalu mirip tadi kemunculannya yang entah dari mana , sesaat kemudian tubuhnya pun lenyap entah ke mana!


2

SEBENARNYA dikala itu sedang anim0 penghujan. Hampir tiap hari , siang atau malam hujan turun. Namun pada siang dan malam hari pesta perkawinan Rumini , puteri Kepala Desa Cadas Brantas , dengan se0rang c0w0k berjulukan Randu Wulung yang kabarnya yakni se0rang perwira muda di jajaran pasukan kerajaan , udara tampak cerah. Siang hari ketika upacara ijab kabul dilangsungkan tidak setetes hujan-pun turun. Begitu pula pada malam harinya. Udara terasa sejuk segar dan di langit bulan purnama tiga belas hari tampak indah menghias langit yang ditaburi bintang gemintang.

Yang punya hajat tentu saja merasa bersyukur sedang para tamu ikut senang sambil bertanya-tanya pawang hujan dari mana yang digunakan 0leh tuan rumah sehingga begitu ampuh mencegah turunnya hujan.

Lewat tengah malam pesta perkawinan usai sudah. Semua tamu pulang ke rumah masing-masing. R0mb0ngan pemain gamelan sudah lama pergi. Rumah Kepala Desa yang tadinya ramai kini tampak sunyi walau masih ada dua lampu minyak besar yang sengaja dinyalakan terus di beranda depan.

Pagi harinya Kepala Desa dan isterinya telah lama bangun. Suami istri ini bersama sanak keluarga dan karib kerabat duduk berkumpul di ruang tengah rumah besar sambil menikmati k0pi hangat dan sarapan pagi.

“Sepasang pengantin yang berbahagia rupanya masih tertidur pulas…” kata se0rang di antara keluarga yang masih merupakan paman pengantin perempuan sambil senyum-senyum.

“Maklum saja. Namanya pengantin gres ,” menyahuti angg0ta keluarga yang lain kemudian menghirup k0pi hangatnya hingga mengeluarkan bunyi keras.

0br0l punya 0br0l tak terasa pagi bergerak siang. Dua pengantin di dalam kamar masih juga belum keluar.

“Tak lezat rasanya kalau mereka masih terus di dalam kamar. Matahari sudah tinggi ,” kata Kepala Desa pada istrinya. “C0ba kamu bangunkan mereka…”

Istri Kepala Desa bangun dari duduknya. Lalu melangkah ke p0t0ngan depan kiri rumah besar di mana terletak kamar pengantin. Perempuan ini mengetuk pintu kamar. Mengetuk hingga berulang kali dan lantaran tak ada jawaban akhirnya ia kembali ke ruang tengah , memberitahu pada suaminya.

“Mereka mungkin masih sangat pulas. Makara harus keras mengetuk membangunkan mereka ,” kata Kepala Desa. Dia bangun berdiri. “Sudah , biar saya saja yang membangunkan.”

Kepala Desa Cadas Brantas mengetuk pintu kamar pengantin. Mula-mula perlahan saja. Lalu lebih keras. Dan lebih keras lagi bahkan sambil berseru memanggil-manggil nama anak perempuannya. Tetap saja tak ada jawaban.

Beberapa 0rang angg0ta keluarga yang ada di ruangan tengah ikut berdiri dan berkumpul di depan pintu kamar. “C0ba ketuk lebih keras ,” kata salah se0rang dari mereka.

Kepala Desa kali ini bukan lagi mengetuk , tapi mengged0r pintu kamar.

“Aneh , apa mereka begitu pulas hingga tidak terbangun 0leh ged0ranku?!” kata Kepala Desa sambil memandang pada 0rang-0rang yang ada di depan pintu.

“Tak ada l0bang tempat mengintip. Berarti tak ada jalan lain. Kita harus mend0brak pintu!” kata se0rang angg0ta keluarga yang berbadan tinggi besar. “Kalau Kangmas izinkan tentunya.”

Kepala Desa Cadas Brantas meraba dagunya kemudian mengangguk , “Ya , kita d0brak saja ,” katanya menyetujui.

Lelaki tinggi besar tadi mundur beberapa langkah sementara semua 0rang yang ada di pintu bersibak ke samping. Dengan kaki kanannya yang berpengaruh 0rang tinggi besar menghantam pintu kamar hingga pintu itu hancur berantakan. Begitu pintu terpentang lebar , Kepala Desa masuk ke dalam kamar diikuti beberapa 0rang , di antaranya istrinya sendiri. Begitu masuk ke dalam kamar hampir semua 0rang secara berbarengan keluarkan seruan keras. Isteri Kepala Desa paling keras jeritannya. Dia menutupi mukanya dengan kedua tangan kemudian terhuyung-huyung dan pasti r0b0h kalau tidak lekas ada yang memegangi.

“Gusti Allah! Apa yang terjadi di sini?!” teriak Kepala Desa. “Anakku Rumini! Randu Wulung!”

Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Cadas Brantas. Sepasang pengantin gres , Rumini dan Randu Wulung , pagi tadi ditemukan telah jadi mayat. Rumini terkapar menelentang di atas ranjang pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat tidur. Pakaian pengantin yang masih menempel di tubuh masing-masing penuh dengan r0bekan-r0bekan besar. R0bekan-r0bekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya meng0yak pakaian mereka tapi hingga tembus ke daging tubuh dua insan malang itu. Yang lebih mengerikan , wajah Rumini dan Randu Wulung hampir tak bisa dikenali. Karena wajah-wajah mereka juga tampak k0yak r0bek mengerikan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi kamar senang itu diperciki darah mulai dari ranjang hingga ke lantai dan beberapa p0t0ngan dinding.

Jelas sepasang pengantin itu menemui final hidup lantaran dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?!

Menurut dugaan 0rang banyak , sepasang pengantin itu menemui final hidup lantaran dik0yak muka dan tubuhnya dengan sejenis senjata tajam , mungkin pisau atau clurit besar.

“Aku tidak punya musuh. Siapa yang begitu jahat menghabisi nyawa anak menantuku! Kejam! Jahat luar biasa!” kata Kepala Desa Cadas Brantas sambil mengepal­kepalkan kedua tinjunya dan berulang kali mengusap mukanya. Sementara itu istrinya berada dalam kamar masih menangis dan sesekali menjerit memilukan. Rumini yakni anak mereka satu-satunya. Bilamana gadis itu meninggal dunia lantaran sakit mungkin tidak demikian hebat murung kedua 0rang tuanya. Namun Rumini mati dibunuh 0rang , secara luar biasa kejam begitu rupa! Pada hari perkawinannya pula! 0rang tua mana yang bisa pasrah!

“Bapak Santik0 ,” kata se0rang lelaki separuh baya berbadan tegap. Dia yakni Gandar Set0 , Perwira Tinggi atasan Randu Wulung yang menyempatkan diri tiba ke Cadas Brantas untuk menghadiri pesta perkawinan c0w0k bawahannya itu. Karena istrinya kurang sehat , perwira ini membawa serta anak perempuannya sebagai wakil sang ibu. Anak perempuan Gandar Set0 yang berjulukan Ratih Kiranasari bertubuh tinggi semampai , berkulit putih dan mempunyai wajah termasuk cantik. Namun dalam usianya yang hampir memasuki 30 tahun itu ia masih juga belum bersuami , belum menemukan j0d0h. Hal ini g0t0ng r0y0ng menjadi salah satu ganjalan tidak lezat dalam diri sang ayah. Pada masa itu kebanyakan gadis sudah menikah dan berumah tangga di usia 16 atau 17 tahun. Bahkan ada yang telah kawin di usia lebih muda dari itu. Karenanya tidak disalahkan kalau banyak 0rang ber0pini bahwa Ratih Kiranasari sudah termasuk yang disebut perawan tua.

Malam itu Gandar Set0 dan puterinya menginap di rumah se0rang kenalan di desa Cadas Brantas. Pagi harinya ketika hendak berangkat ke K0taraja , begitu mendengar inf0rmasi murung kematian sepasang pengantin yang menggegerkan itu , dengan bergegas Perwira Tinggi ini mendatangi rumah murung yang sebelumnya merupakan rumah pesta perkawinan itu. Setelah menyuruh anak gadisnya tetap berada dalam kereta , Gandar Set0 segera turun dan masuk ke dalam rumah.

Perwira Tinggi ini sudah sering melihat kematian 0rang. Baik di medan perang maupun ketika menumpas para penjahat dan peramp0k pengacau Kerajaan. Namun belum pernah ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian yang mengerikan begini rupa.

“Ganas. Kejam sekali!” kata Ganda Set0 dalam hati. Lalu ia menemui Kepala Desa Santik0 yang duduk terkulai di sebuah kursi besar.

“Bapak Santik0 ,” tegurnya sambil memegang pundak Kepala Desa itu. “Saya tahu ini c0baan yang sangat berat dan besar bagimu dan istri. Namun saya harapkan kamu bisa tabah menghadapinya. Saya berjanji untuk mengusut kematian Rumini dan Randu. Saya sendiri nanti yang akan memancung batang leher pembunuh biadab itu!”

Kepala Desa itu menatap wajah Gandar Set0 sesaat kemudian dianggukkannya kepalanya yang berwajah pucat itu perlahan sekali.

“Saya tidak punya musuh. Baik di masa muda saya maupun dikala ini. Siapa 0rangnya yang begitu kejam dan berhati keji membunuh anak menantuku pada malam hari senang mereka.”

“Setahu saya Randu Wulung juga tidak punya musuh. Dia disenangi 0rang di dalam maupun di luar jajaran pasukan kerajaan. Dia se0rang cal0n perwira tinggi yang dibutuhkan Sri Baginda menggantikan kami yang sudah tua-tua ini. Saya dan tentu saja kerajaan sangat kehilangan dirinya…” Perwira Tinggi itu membisu sesaat. Lalu dengan bunyi rawan ia meneruskan ucapannya. “Hidup ini memang aneh. Dalam abn0rmalitas itu ada banyak sekali rasa jahat , iri hati dan kedengkian. Bukan tidak mungkin bawahan saya menjadi k0rban ketiga hal tersebut.”

“Raden Gandar…” kata Kepala Desa Cadas Brantas dengan bunyi bergetar. “T0l0ng… kamu usutlah kasus ini hingga berhasil menangkap pembunuhnya.”

“Saya berjanji. Tadi pun saya sudah c0ba melaksanakan penyelidikan singkat. Agaknya si pembunuh masuk lewat jendela. Saya dapatkan jendela kamar pengantin dalam keadaan terbuka. Ada beberapa p0t0ngan daun jendela yang memperlihatkan gejala bekas dic0ngkel.”

“Maafkan kalau saya ingin memberitahukan sesuatu ,” kata se0rang angg0ta keluarga. Dia yakni lelaki tinggi besar yang tadi mend0brak pintu kamar untuk sanggup masuk ke dalam.

Kepala Desa Cadas Brantas dan Perwira Tinggi Gandar Set0 berpaling pada 0rang ini.

“Apa yang hendak kamu beritahukan Padullah?”tanya Santik0.

“Malam tadi saya hampir tertidur waktu lapat-lapat saya mendengar bunyi mirip l0l0ngan hewan di kejauhan. Terdengarnya mirip bunyi raungan anjing. Tetapi sesudah saya simak saya yakin betul itu bukan bunyi l0l0ngan anjing. Saya tidak sanggup memastikan bunyi l0l0ngan hewan apa. Mungkin anjing hutan atau srigala. Tapi kita tahu sendiri di sekitar sini tidak pernah ada anjing atau srigala hutan. Walau hati saya mendadak jadi tidak lezat , saya menc0ba memejamkan mata , tidur. Lalu saya mendengar ada bunyi halus. Suara mirip jendela atau pintu terbuka. Tapi saya ragu dikala itu. Mungkin saja yang saya dengar yakni hembusan angin malam atau desah daun-daun pep0h0nan yang tertiup angin. Lalu akhirnya saya tertidur…”

Baik Kepala Desa Santik0 maupun Perwira Tinggi Gandar Set0 kelihatannya sama-sama tidak tertarik dengan apa yang dikatakan Padullah itu.

“Saya menunda kepulangan ke K0taraja pagi ini. Saya tetap di sini hingga kedua mayit dimakamkan ,” kata Gandar Set0 pula. “Namun puteri saya Ratih Kiranasari akan saya suruh pulang lebih dulu. Saya akan keluar untuk memberitahu padanya.”

Perwira Tinggi itu kemudian menemui puterinya. Gadis itu akhirnya berangkat ke K0taraja hanya ditemani kusir kereta. Sebelum pergi Gandar Set0 berkata pada anaknya biar begitu hingga di K0taraja ia menghubungi se0rang pejabat Kerat0n , memberitahu apa yang telah terjadi dengan diri Perwira Muda Randu Wulung.




3

KERETA yang dikemudikan kusir tua itu meluncur meninggalkan desa Cadas Brantas. Untuk mencapai K0taraja kendaraan ini harus menempuh satu daerah berbukit-bukit kemudian melewati tempat rimba belantara Jati Mundu. Hutan Jati Mundu merupakan hutan penghubung tempat luar k0ta dengan pinggir timur K0taraja. Hutan ini menjadi sentra kemudian lintas semua 0rang yang mau ke atau meninggalkan K0taraja. Hutan Jati Mundu tidak terlalu luas , tetapi p0h0n-p0h0n yang tumbuh di dalamnya besar-besar , berusia ratusan tahun hingga batang-batangnya banyak yang diselimuti lumut. Di samping itu semak belukarnya pun lebat-lebat. Namun demikian , walau keadaannya mirip itu , tidak ada 0rang yang merasa takut melewati rimba belantara ini. Hutan Jati Mundu dikenal aman. Tak ada hewan buas mirip harimau atau ular. Bukan pula jadi tempat persembunyian atau sarangnya 0rang-0rang jahat mirip begal dan ramp0k.

Setelah melewati jalan menurun di kaki bukit , kereta yang dikemudikan kusir tua itu mulai memasuki hutan Jati Mundu. Saat itu tirai jendela depan kereta terbuka dan satu wajah bagus muncul.

“Pak Tua , tak usah melarikan kuda terlalu cepat. Perlahan saja. Saya letih , mau menc0ba tidur sebelum hingga di K0taraja. Malam tadi saya menghadiri pesta perkawinan sepasang pengantin yang malang itu hingga larut. Makara kurang tidur…”

Kusir kereta berambut putih itu men0leh. “Saya berdasarkan apa kata Den Ayu saja. Tapi bukankah ayah Den Ayu berpesan biar kita cepat-cepat hingga di K0taraja kemudian menghubungi se0rang pejabat di sana?”

“Kau betul Pak Tua , K0taraja tidak terlalu jauh dari sini. Lagi pula hari masih pagi. Memang ada pesan yang harus disampaikan. Namun semua itu tidak akan men0l0ng menghidupkan sepasang pengantin yang terbunuh itu. Makara perlahan-lahan saja Pak Tua. Saya tak mau tidur singkat saya terganggu.”

“Baik Den Ayu. Saya akan menuruti apa kata Den Ayu ,” jawab kusir kereta. Lalu dalam hati 0rang tua yang sudah mengabdi puluhan tahun pada ayah sang dara itu membatin. “Kasihan. Wajahnya bagus , budi pekertinya tak ada yang tercela. Kenapa belum ada juga pria yang berkenan di hatinya untuk dijadikan suami? Atau mungkin benar kata-kata 0rang , Den Ayu Ratih tinggi hati dan terlalu memilih. Kasihan kalau ia nanti benar-benar jadi perawan tua seumur hidupnya.” Lalu sesuai dengan yang diperintahkan anak majikannya itu kusir kereta memperlambat lari kuda.

Memasuki Hutan Jati Mundu udara terasa redup dan sejuk. Hari masih terlalu pagi. Belum ada satu 0rang pun yang berpapasan dengan kereta itu. Seringkali terdengar bunyi kicau burung-burung hutan yang bertengger di pep0h0nan atau berterbangan kian kemari.

Di p0t0ngan lain hutan Jati Mundu se0rang c0w0k pejalan kaki yang melewati hutan itu sambil bersiul-siul membawakan lagu tidak menentu tiba-tiba tergagau dan tersurut mundur ketika di hadapannya muncul s0s0k tubuh seek0r hewan berm0nc0ng panjang. Semula dikiranya seek0r anjing hutan. Tapi ketika diperhatikan hewan itu lebih banyak berupa seek0r srigala liar.

Yang menciptakan si c0w0k khawatir ialah menyaksikan m0nc0ng hewan itu bersel0m0tan cairan merah. Ketika hewan ini menggereng kelihatan gigi-gigi dan taring­taringnya yang besar runcing juga tertutup cairan merah. Si c0w0k memperhatikan sepasang kaki depan binatang. Seluruh kuku-kuku srigala liar ini panjang runcing berkeluk juga diselimuti cairan merah. Lalu pada beberapa p0t0ngan bulu tubuhnya yang berwarna c0klat terang tampak ada percikan-percikan cairan berwarna sama. Ketika lidahnya dijulurkan terperinci kelihatan cairan merah bercampur dengan ludahnya.

“Darah…” desis si c0w0k dalam hati. “Mungkin hewan ini gres saja menyantap seek0r kelinci hutan atau anak menjangan. Tapi mungkin juga barusan membunuh 0rang!” Pikirnya lebih jauh. Yang menciptakan c0w0k ini bertindak waspada bukan saja lantaran melihat darah itu namun menyaksikan adanya kilapan sinar asing pada sepasang mata srigala hutan yang berwarna merah itu! “Srigala biasa tidak mempunyai dua mata merah bersinar mirip itu. Makhluk apa g0t0ng r0y0ng yang ada di depanku ini?” Lalu c0w0k ini ingat. “Setahuku , kata 0rang di hutan Jati Mundu ini jangankan hewan buas , seek0r lalat pun tak bakal ditemui. Tapi bagaimana hari ini saya tiba-tiba berhadapan dengan makhluk celaka ini? Nasibku yang apes atau bagaimana?!”

Srigala bermata merah itu membuka mulutnya. Gigi-gigi dan taringnya yang runcing kemerahan mencuat mengerikan. Lidahnya yang lembap merah terjulur keluar. Kepalanya merunduk dan kedua kakinya diluruskan panjang-panjang ke depan tanda siap menerkam.

“Binatang ini hendak menyerangku ,” kata si pemuda. Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang. Sebilah kapak bermata dua yang memancarkan cahaya putih berkilau kini tergenggam di tangan c0w0k itu. Dalam hati ia berkata , “Binatang atau iblis serang diriku! Niscaya kubelah kepalamu dengan Kapak Naga Geni 212 ini!”

Entah mengapa srigala bermata asing angker itu perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua kaki depannya ditarik , kepalanya yang merunduk ditegakkannya kembali. Setelah menggereng sekali lagi hewan ini kemudian memutar diri , mel0mpat masuk ke dalam serumpunan semak belukar dan lenyap!

Si c0w0k menarik nafas lega. Sambil tangan kirinya menggaruk kepalanya yang berambut g0ndr0ng , tangan kanannya menyelinapkan senjata mustikanya ke balik pakaiannya. Si c0w0k yang tentu saja Pendekar 212 dari Gunung Gede berjulukan Wir0 Sableng itu siap meneruskan perjalanannya. Mulutnya hendak mengeluarkan siulan lagi sekedar untuk menenteramkan perasaan tanggapan melihat hewan asing tadi. Namun gerakannya tertahan.

Telinga Wir0 menangkap bunyi derak r0da kereta dan derap kaki kuda di dalam hutan itu. Dia cepat bergerak ke jurusan datangnya suara.

Di pinggir sebuah jalan tanah yang cukup lebar dalam hutan c0w0k ini berhenti. Sesaat kemudian sebuah kereta ditarik seek0r kuda dan dikemudikan 0leh kusir tua berambut putih muncul dari kel0kan jalan. Pemuda ini cepat meny0ngs0ng. Sambil mengangkat tangan kanannya ia berseru.

“Pak Tua! Hentikan dulu keretamu!”

***

Beberapa dikala sebelum kereta itu dihentikan. Ratih Kiranasari berada di pinggiran hutan Jati Mundu. Gadis ini membawa sebuah keranjang bambu berisi manggis dan mangga hutan yang besar-besar dan matang. Dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Udara pagi itu cerah dan segar sekali. Apalagi angin bertiup sep0i-sep0i sejuk. Tiba­tiba satu jeritan keluar dari ekspresi sang dara ketika mendadak sekali seek0r hewan berbentuk srigala mel0mpat keluar dari semak-semak di tepi jalan dan merunduk siap menerkam dirinya.

Binatang ini keluarkan gerengan aneh. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi , taring dan pengecap yang bersel0m0tan darah. Sehabis menggereng hewan ini mel0mpat menyergap Ratih Kiranasari. M0nc0ngnya terbuka lebar sedang sepasang kaki depan yang berkuku runcing menerjang siap mer0bek muka dan tubuhnya!

Sekali lagi puteri Perwira Tinggi itu menjerit. Lalu tubuhnya tersentak. Kedua matanya terbuka. Sekujur tubuhnya keringatan. Dadanya turun naik. Nafasnya memburu sesak. Dia menyibakkan tirai jendela di sampingnya. Disadarinya kereta dikala itu berhenti di tengah hutan. Dig0s0knya kedua matanya. Ternyata ia barusan bermimpi. Lalu ia menarik tirai jendela sebelah depan dan memanggil kusir kereta.

“Pak Tua , ada apa kamu menghentikan kereta?”

“Ada se0rang tak dikenal menghentikan kereta ,” jawab kusir tua itu.

Lewat jendela kecil di belakang kusir kereta itu , Ratih Kiranasari memandang ke luar , ke arah jalanan di depannya. Di sebelah sana dilihatnya se0rang c0w0k berambut g0ndr0ng , berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak mengangkat tangan kemudian melangkah mendekati kereta yang berhenti. Ratih Kiranasari untuk beberapa dikala lamanya mirip terpana melihat c0w0k itu. “Pakaiannya sederhana , tubuhnya tegap penuh 0t0t , wajahnya ganteng dan mulutnya setiap dikala melempar senyum. Siapa gerangan c0w0k ini yang menciptakan hatiku jadi tergetar. Jelas ia bukan se0rang petani atau pencari kayu di rimba belantara ini..”

Selagi puteri Perwira Tinggi ini bertanya-tanya dalam hati mirip itu , di luar sana didengarnya bunyi kusir tua berkata pada si pemuda.

“Anak muda , ada apa kamu menyuruh saya menghentikan kereta?” tanya kusir kereta. Melihat gelagatnya c0w0k ini bukan 0rang jahat , ramp0k atau begal. Dia sama sekali tidak membawa senjata dan tampangnya tidak seram. Meskipun heran namun kusir tua itu tidak menaruh curiga apalagi takut.

Pemuda di depan kereta menjawab. “Ada seek0r hewan buas gentayangan di rimba belantara ini. Jika kamu hendak meneruskan perjalanan hati-hatilah. Sebaiknya menyiapkan g0l0k atau parang!”

Kusir tua itu menatap wajah c0w0k g0ndr0ng itu sesaat kemudian sambil tertawa ia berkata , “Anak muda , puluhan tahun saya hidup di wilayah ini. Ratusan kali saya melewati hutan Jati Mundu ini. Belum pernah diketahui 0rang ada hewan buas di sini. Juga ramp0k atau begal. Dan melihat wajah dan sikapmu kamu tentu bukan se0rang penjahat!”

Si g0ndr0ng balas tertawa. “Terima kasih kamu menyampaikan saya bukan 0rang jahat. Tapi kamu harus percaya pada keteranganku wacana hewan buas itu. Aku barusan saja melihatnya dalam hutan ini. Mungkin ia masih berkeliaran di sekitar sini. Mulut dan sepasang kaki depannya penuh darah tanda ia gres saja membunuh makhluk bernyawa. Entah hewan entah manusia! Makara hati-hatilah. Kau hendak menuju ke mana , Pak Tua? Apa yang kamu bawa dalam kereta?”

Pertanyaan terakhir Wir0 Sableng menciptakan kusir tua itu mulai curiga. “Kalau memang ada hewan buas di sekitar sini , mengapa kamu sendiri tidak takut dan meninggalkan hutan ini?” tanya kusir tua itu pula.

Yang ditanya jadi garuk-garuk kepala. Lalu ia berkata. “Terserah kaulah , Pak Tua. Aku hanya memberitahu biar kamu berhati-hati…”

Kusir tua itu hendak menyentakkan tali kekang kuda biar hewan itu berjalan kembali. Namun di belakangnya terdengar bunyi Ratih Kiranasari. Sejak tadi gadis ini telah memperhatikan c0w0k yang tegak di depan kereta itu. Lewat jendela kecil di belakang punggung kusir kereta Ratih berkata. “Pak Tua , jangan pergi dulu. Suruh c0w0k itu mendekat ke samping kereta. Saya mau bicara dengannya.”

“Akan saya beritahu Den Ayu ,” jawab kusir kereta. Lalu ia berkata pada si pemuda. “Anak muda , puteri majikanku ingin bicara denganmu. Melangkahlah ke samping kereta sebelah kiri.”

“Ah , ada se0rang puteri rupanya dalam kereta. Sungguh saya tidak menduga ,” jawab c0w0k tadi kemudian ia melangkah cepat-cepat ke samping kiri kereta. Saat itu pula kain tirai jendela tersingkap dan satu wajah jelita muncul menjenguk keluar.

“Hemm… Ini rupanya sang puteri. Wajah dan dandanannya anggun. Kulitnya putih tapi agaknya sudah agak berumur.” kata Wir0 menilai dalam hati.

“Saudara , apa betul kamu memberitahu kusir kereta ada seek0r hewan buas di hutan ini?”

“Betul sekali. Saya barusan sempat melihatnya. Hampir saja saya hendak diterkam dijadikan mangsa.”

Ratih Kiranasari tersenyum. Waktu tersenyum ini kelihatan lesung pipit muncul di kedua pipinya dekat dagu. “Rupanya hewan itu takut padamu ,” katanya. Lalu ia bertanya. “Binatang buas yang kamu lihat itu apakah sebangsa harimau atau singa. Atau ular besar?”

“Bukan , bukan harimau atau singa. Bukan juga ular besar. Tapi seek0r anjing hutan. Seek0r srigala… Mulut , gigi dan pengecap serta sepasang kaki depannya berlumuran darah. Kedua matanya berwarna merah dan meny0r0tkan sinar angker!”

“Aneh ,” kata Ratih.

“Apanya yang aneh?” bertanya si pemuda.

“Apa yang kamu katakan begitu sama dengan apa yang barusan saya mimpikan. Tadi saya sempat tertidur dalam kereta. Dalam mimpi saya sedang berjalan di hutan kemudian muncul hewan berbentuk srigala itu. Aku terbangun sewaktu hewan ini siap menerkamku.”

Si c0w0k garuk-garuk kepala. “Ya betul aneh. Bagaimana mungkin mimpimu sama dengan apa yang saya lihat. Sebaiknya kamu segera meneruskan perjalanan. Tutup rapat-rapat semua jendela…”

“Terima kasih kamu memberitahu wacana srigala itu. Kalau saya b0leh bertanya , apakah kamu tinggal di sekitar sini?” tanya Ratih.

“Saya tiba dari jauh.”

“Apakah kamu punya nama?”

Pendekar 212 tertawa lebar. “Setiap 0rang tentu saja punya nama…”

“Lalu siapa namamu?”

“Wir0…”

“Cuma Wir0? Pendek amat!”

“Sebetulnya ada sambungannya. Tapi sudahlah…” Pemuda itu garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum. Dia sengaja tidak mau menerangkan nama belakangnya yaitu Sableng!

“0rang tak mau memberitahu kuliner saya memaksa ,” kata Ratih pula. “Jika kamu benar melihat srigala dalam mimpiku itu berkeliaran di hutan Jati Mundu ini , terus terang saya merasa khawatir. Aku harap kamu men0l0ng tidak setengah-setengah.”

“Maksudmu?” tanya Wir0.

“Apakah kamu mau ikut menemani kami hingga di K0taraja?”

Wir0 tak menjawab. Terdengar Ratih Kiranasari berkata lagi. “Hitung-hitung sebagai pengawal. Kalau hewan buas menyeramkan itu muncul menghadang , melihat kamu tentu ia akan lari. Tak berani mengganggu…”

Wir0 garuk-garuk kepala dan memandang pada kusir kereta. 0rang tua ini berkata setengah berbisik. “Ikuti saja usul anak majikanku. Tidak banyak c0w0k yang beruntung mendapat usulan begini baik darinya. Kurasa ia suka padamu!”

Wir0 menyeringai. “Kebetulan saya memang hendak ke K0taraja. Baiklah , saya akan menemanimu.”

Ratih tersenyum gembira. Wir0 mel0mpat ke atas kereta. Duduk di depan di samping kusir tua. Si gadis berkata. “Jika kamu mau kamu b0leh duduk di dalam sini.”

“Terima kasih. Biar saya duduk di sini saja ,” jawab Wir0.

Kusir tua menarik tali kekang kuda. Begitu kereta mulai bergerak berbisik pada Wir0 , “Tidak pernah saya melihat c0w0k set0l0lmu. Diajak duduk di dalam sana mengapa kamu men0lak?”

Wir0 menyengir. “Bagaimana kalau kamu saja yang duduk di sampingnya. Biar saya yang mengemudikan kereta.”

Kusir tua itu tertawa gelak-gelak. “Anak muda , kamu yang disukainya , bukan si tua bangka ini!”

Wir0 tertawa. “Siapa nama gadis bagus itu?” tanyanya.

“Ratih Kiranasari ,” jawab kusir kereta.

“Nama bagus 0rangnya pun cantik…”

“Anak muda , ketahuilah tidak banyak c0w0k yang beruntung sepertimu. Bisa diajak seperjalanan mirip dikala ini.”

“Maksud Pak Tua apa?”

“Puteri majikanku itu kata kebanyakan 0rang bagus tapi tinggi hati. Banyak c0w0k yang menyukainya , ingin memperistrikannya. Tapi lantaran merasa anak se0rang Perwira Tinggi ia berlagak jual mahal. Banyak pilih. Akibatnya hingga dikala ini ia masih belum kawin. 0rang mulai usil. Mengatakan ia sebagai perawan tua.”

“Belum kawin tapi benar-benar masih perawan , kan?” ujar Wir0.

“Anak muda. Aku punya firasat puteri majikanku ini suka padamu ,” bisik si 0rang tua.

“Kau ngac0 saja Pak Tua! Se0rang puteri pejabat tinggi suka pada c0w0k gelandangan macamku? Kau tahu sendiri , ia minta saya ikut seperjalanan lantaran khawatir dengan hewan buas itu…”

“Eh , s0al hewan buas itu apakah bukan karanganmu saja. Maksudmu g0t0ng r0y0ng yakni ingin berkenalan dengan gadis itu. Yah mudah-mudahan ia memang suka padamu. Tampangmu tidak jelek-jelek amat!”

Wir0 tersenyum penc0ng mendengar ucapan kusir tua itu.

“Dengar ,” Kusir itu kembali membuka mulut. “Jika kamu memang suka padanya , saya mau membantu menyampaikan pada 0rang tuanya. Kalau hingga kamu dipungut jadi menantu , wah kamu bakalan diberikan jabatan tidak mengecewakan di K0taraja. Tapi jikalau hal itu benar-benar terjadi jangan lupa hadiah untukku!”

“Makin lama makin tak karuan igauanmu!” tukas Wir0. Baru saja ia berkata begitu tiba-tiba di sebelah belakang terdengar jeritan Ratih Kiranasari.

Wir0 singkapkan tirai jendela kecil di belakangnya. Ratih dilihatnya duduk ketakutan. Mukanya pucat dan matanya membeliak memandang keluar jendela.

“Ada apa?” tanya Wir0 sementara kuda penarik kereta memperlihatkan ulah aneh.

“Bin… hewan itu…” kata Ratih dengan bunyi gugup ketakutan. Dia menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. Kuda kereta tiba-tiba terdengar meringkik. Wir0 berpaling ke arah yang ditunjuk Ratih. Dia melihat apa yang menakutkan gadis itu.

Di balik semak-semak sepanjang jalan yang dilalui kereta , kelihatan bayangan s0s0k tubuh srigala bermata merah yang sebelumnya sempat ditemui Wir0. Binatang ini bergerak sejajar dan searah jalannya kereta. Kusir kereta sibuk berusaha menenangkan kuda yang tampak ketakutan.

“Pak Tua ,” kata Wir0 , “Jalankan terus kereta ini.” Lalu ia siap-siap mel0mpat.

“Kau hendak ke mana?” tanya kusir kereta.

“Saya berusaha biar hewan itu tidak menyerang kereta ,” jawab Wir0. Lalu ia mel0mpat turun dari kereta dan berlari di sepanjang jalan antara srigala dan kereta.

Di satu kel0kan jalan srigala buas itu memutar larinya mendekati Wir0.

“Anak muda , hewan itu hendak menyerangmu!” teriak kusir kereta. Dari dalam kereta Ratih Kiranasari juga sudah melihat apa yang bakal terjadi. Gadis ini menutup wajahnya dengan kedua tangan seraya berd0a biar Wir0 selamat dari hewan buas itu.

“Jangan perdulikan saya!” teriak Wir0. “Larikan terus kereta!” Lalu ia hentikan larinya. Srigala bermata api dengan m0nc0ng dan kaki depan bersel0m0tan darah yang merasa ditantang , lari ke arah Wir0. Pendekar 212 siapkan pukulan Kunyuk Melempar Buah di tangan kanan. Ketika hewan itu hanya tinggal lima langkah dari hadapannya ia segera angkat tangan kanannya untuk menghantam. Tapi srigala bermata api tiba-tiba hentikan gerakan dan kini ia malah duduk di tengah jalan dengan pengecap lembap berdarah terjulur-julur. Kedua matanya menatap tajam ke arah Wir0.

Melihat hewan ini tak jadi menyerang , murid Sint0 Gendeng dari Gunung Gede hentikan pula gerakannya menghantam dengan pukulan sakti. Srigala itu perlahan­lahan rundukkan tubuhnya. Kedua kaki depannya dilunjurkan dan dagunya diletakkan di atas kedua kakinya itu. Matanya yang tadi bersinar merah mengerikan kini tampak memandang sayu ke arah Wir0. Dari mulutnya terdengar bunyi mirip anjing menggerang halus pilu dan jinak. Sikapnya mirip minta dikasihani.

“Aneh , hewan apa ini sebenarnya. Mengapa ia tiba­tiba berubah mirip menderita sesuatu yang menyakitkan dan bersikap jinak.” Dengan agak ragu Wir0 melangkah mendekati srigala itu. Tiba-tiba hewan ini mengangkat kepalanya dan mel0l0ng panjang. L0l0ngannya tidak terdengar buas , tapi lagi-lagi memilukan. Walau demikian Wir0 sempat kaget dan tersurut dua langkah. Kemudian dilihatnya srigala itu kembali meletakkan kepalanya di atas kedua kakinya.

Setelah memperhatikan sejenak Wir0 beranikan diri lagi mendekati srigala itu. Tangan kanannya tetap disiapkan untuk melepaskan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah jikalau sewaktu-waktu srigala itu tiba-tiba menerkam dan menyerangnya. Semakin dekat Wir0 padanya semakin memilukan terdengar bunyi erangan hewan ini.

“Makhluk berbentuk srigala , apapun kamu adanya , jikalau kamu bersikap akrab , saya pun akan akrab denganmu…” kata Wir0 bicara pada srigala itu.

Sepasang mata yang sayu merah tampak berkedip­kedip beberapa kali. Wir0 ulurkan tangan kirinya. Dibelainya kepala kemudian tengkuk srigala itu.

“Ah , kamu ternyata mau akrab denganku!” kata Wir0. “Kalau begitu biar saya pergi. Jangan turuti aku. Sekali kamu masuk ke K0taraja 0rang-0rang pasti akan membunuhmu.”

Wir0 mengusap lagi kepala hewan itu. Ketika ia hendak bergerak pergi , srigala ini menjulurkan lidahnya yang lembap berdarah dan sempat menjilat punggung telapak tangan kiri si pemuda. Wir0 mengernyit jijik dan cepat menjauh.

Pada dikala itu terdengar bunyi derap kaki kuda dan gemeletak r0da-r0da kereta. Wir0 berpaling. Ternyata kereta yang membawa Ratih Kiranasari dan dikemudikan 0leh kusir tua itu muncul kembali.

Srigala yang melunjur di tengah jalan tiba-tiba bangun dengan cepat. Kedua daun telinganya berdiri tegang ke atas. Dari mulutnya terdengar bunyi menggereng keras kemudian hewan ini mel0mpat ke balik semak-semak dan lenyap dalam rimba belantara.

“Pak Tua , kenapa kamu kembali?!” tanya Wir0 begitu kereta berhenti di sampingnya.

“Den Ayu Ratih yang menyuruh. Dia khawatir kamu diapa­apakan 0leh hewan itu. Ternyata tadi kamu malah kulihat mengusap-usap kepalanya!”

Tirai samping jendela terbuka. Wajah bagus Ratih Kiranasari muncul. “Wir0 , kamu tidak apa-apa?”

Wir0 tersenyum. “Binatang itu ternyata aneh. Tampangnya memang mengerikan. Tapi ternyata ia tidak menyerang saya…”

Ratih memperhatikan tangan kiri si pemuda. “Ada n0da darah di tangan kirimu ,” katanya kemudian.

Wir0 memperhatikan. Memang di punggung tangan kirinya ada n0da darah bekas jilatan pengecap srigala tadi. Wir0 mengambil setangkai daun. Dengan daun ini disekanya n0da darah itu. Wir0 kemudian mel0mpat ke atas kereta.

“Pak Tua lekas putar kereta. Kita harus meninggalkan hutan ini cepat-cepat!”




4

GANDAR Set0 dan istrinya sama-sama memandang pada puteri mereka satu-satunya dengan mata tak berkedip dan wajah yang menyatakan keheranan. “Banyak abn0rmalitas terjadi akhir-akhir ini , Salah satu di antaranya yakni dirimu Ratih ,” kata Perwira Tinggi itu pada puterinya.

Ratih Kiranasari hanya bisa menatap wajah kedua 0rang tuanya sesaat kemudian tundukkan kepala.

Sang ibu memegang lengan anak gadisnya itu kemudian berkata. “Anakku , kami berdua tidak merasa heran jikalau kamu menyampaikan telah tertarik pada se0rang pemuda. Memang terus terang kami memang sangat mendambakan biar kamu segera menemukan se0rang cal0n suami. Aku dan ibumu sudah sama lanjut dan ingin melihat kamu punya suami , kemudian punya anak , cucu kami. Tapi kalau c0w0k itu ternyata se0rang c0w0k yang tidak diketahui asal-usul dan juntrungannya , tentu saja kami sangat keberatan anakku. Batalkan saja niatmu untuk mempertemukannya pada kami.”

“Jangan-jangan ia se0rang c0w0k gelandangan!” kata Gandar Set0 pula menimpali ucapan istrinya.

“Saya memang tidak tahu asal usulnya. Namun saya yakin ia bukan gelandangan…”

“Buktinya kamu ketemu ia di Hutan Jati Mundu. Dia tidak tinggal di K0taraja dan juga bukan 0rang sekitar sini. Lalu siapa g0t0ng r0y0ng c0w0k yang kamu katakan itu?”

“Ayah , ia se0rang c0w0k yang punya ilmu. Buktinya saya lihat sendiri ia bisa menjinakkan seek0r srigala buas di hutan itu.”

Perwira Tinggi itu tertawa gelak-gelak.

“Di Jati Mundu tak ada hewan buas. Apalagi srigala. Yang kamu lihat dijinakkannya itu jangan-jangan hanya seek0r kambing hutan!”

“Ayah , saya tidak terlalu b0d0h membedakan mana kambing dan mana srigala. Binatang yang saya lihat diusapnya itu sama sekali tidak bertanduk!”

“Mungkin saja kambing betina! Jelas tidak punya tanduk!” tangkis sang ayah.

“Kalau ayah dan ibu tidak percaya tanyakan saja pada Pak Tua Tej0 , kusir kita. Dia ikut melihat apa yang saya saksikan.” Ratih terus berusaha meyakinkan kedua 0rang tuanya.

“Sudahlah anakku. Taruh c0w0k itu punya ilmu kepandaian dan ia memang bisa menjinakkan hewan buas dalam Hutan Jati Mundu mirip katamu. Tapi satu hal harus kamu ingat , kami 0rang tuamu tidak akan menj0d0hkanmu dengan se0rang c0w0k gelandangan! Kami lebih suka kamu jadi se0rang perawan tua seumur hidup daripada punya menantu yang memberi malu dan menurunkan derajat kami!”

Berubahlah paras Ratih Kiranasari mendengar kata­kata ayahnya itu. Kedua b0la matanya tampak mirip membesar dan mengeluarkan sinar yang sesaat sempat menciptakan ayah dan ibunya tercekat. Gadis ini bangun dari kursinya.

“Ayah dan ibu terlalu diperbudak 0leh kedudukan , jabatan , tingkatan dan derajat. Ayah dan ibu lupa! Semua insan dilahirkan sama , terbuat dari darah dan daging! Saya tidak meminta ayah ibu menj0d0hkan saya dengan c0w0k yang ayah katakan sebagai gelandangan itu lantaran ia juga belum tentu mau pada saya! Dan saya benar-benar tidak mengerti , ada 0rang tua yang lebih suka melihat anak gadisnya menjadi perawan tua hanya lantaran gila jabatan dan derajat!”

“Ratih!” teriak Gandar Set0 keras sekali.

Ratih sendiri dikala itu sudah bangun berdiri kemudian bergegas masuk ke dalam kamarnya. Pintu dikuncinya dari dalam. Sunyi sesaat kemudian terdengar isak tangisnya. Gandar Set0 dan istrinya berusaha masuk ke dalam kamar dan mengetuk pintu berulang kali. Tapi Ratih menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis lebih keras.

Gandar Set0 geleng-gelengkan kepala. Kedua suami istri itu saling pandang beberapa ketika. Perwira Tinggi ini akhirnya mengangkat pundak dan berkata. “Biarkan saja. Nanti kalau ia sudah damai pasti mengerti sendiri.”

“Saya rasa ada baiknya kamu menemui kusir kita itu Ppak ,” berkata sang istri.

Paras Perwira Tinggi itu tampak berubah. Dia menatap istrinya sesaat kemudian berkata. “Nah , nah… nah! Rupanya hatimu mulai mendua. Kalau kamu memang ingin bermenantukan gelandangan yang kata anakmu itu pintar menjinakkan hewan buas , silahkan kamu temui dan bicara sendiri dengan Tej0!” Habis berkata begitu Gandar Set0 tinggalkan istrinya masuk ke dalam kamar tidur sambil membanting pintu. Tinggal kini sang istri yang tegak sendiri termangu-mangu di depan pintu. Sesaat kemudian ia kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi tetap saja tak ada jawaban.

Perempuan ini akhirnya masuk ke dalam kamar menemui suaminya.

“Yang saya takutkan , Pak-ne ,” katanya , “Jika kita terlalu keras saya khawatir anak itu akan melarikan diri , minggat dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan malu.”

“Kalau ia memang mau minggat saya tidak akan mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku tidak takut kehilangan anak daripada mendapatkan malu besar. Kalau ia kabur bersama c0w0k gelandangan itu , akan kubunuh kedua-duanya!” kata Gandar Set0 dengan wajah keras membesi.

***

Di p0t0ngan belakang gedung kediaman Perwira Tinggi Gandar Set0 ada sebuah gudang besar didampingi sangkar kuda dan kereta. Tak berapa jauh dari bangunan itu ada sebuah rumah kecil. Malam terasa dingin. Meski di langit ada bulan purnama empat belas hari namun halaman belakang gedung besar itu diselimuti kegelapan. Dalam kegelapan inilah tampak sese0rang mengendap­endap menuju p0t0ngan depan bangunan kecil. Di depan pintu ia berhenti , memandang berkeliling sebentar kemudian mulai mengetuk. Walaupun p0t0ngan dalam rumah berada dalam keadaan gelap namun penghuninya ternyata belum tidur. Begitu pintu diketuk terdengar bunyi 0rang bertanya dari dalam.

“Siapa?”

“Pak Tua Tej0 , buka pintu. Cepat! Saya mau bicara…?”

Pintu segera terbuka. “Den Ayu Ratih? Malam-malam begini Den Ayu menemui saya ada apakah?”

0rang yang tiba itu ternyata yakni Ratih Kiranasari , puteri Perwira Tinggi. Dia eksklusif masuk ke dalam rumah kecil itu , tegak bersandar di pintu. Ketika kusir tua Tej0 hendak menyalakan lampu minyak , gadis itu cepat mencegah.

“Ada apa g0t0ng r0y0ng , Den Ayu?”

Dengan singkat dan cepat Ratih menceritakan pembicaraannya dengan kedua 0rang tuanya.

“Lalu , mengapa Den Ayu tiba ke mari? Apa yang bisa saya lakukan?”

“Pak Tua Tej0 tahu di mana c0w0k berjulukan Wir0 itu menginap di K0taraja?”

“Saya tidak tahu. Bukankah sewaktu berpisah kemarin pagi saya dengar Den Ayu berjanji akan menemuinya lagi di satu tempat?”

“Betul , tapi masih dua hari lagi. Saya perlu bertemu dengan ia kini juga. Saya akan minta ia menemui kedua 0rang tua saya.”

“Itu satu maksud yang baik. Tapi saya sarankan jangan sekarang-sekarang ini. Mereka lagi bingung. Mungkin juga marah. Beri kesempatan barang beberapa hari. Kalau mereka sudah tampak biasa-biasa saja gres c0w0k itu disuruh datang.”

Ratih terdiam.

“Maaf Den Ayu. Kalau c0w0k berjulukan Wir0 itu dipertemukan dengan kedua 0rang tua Den Ayu , apa yang harus dilakukannya? Melamar Den Ayu?”

“Siapa meminta ia melamar aku?!”

“Lalu… Ah , saya mungkin tidak mengerti. Katakan saja apa yang harus saya lakukan ,” kata kusir tua Tej0.

“Pak Tua harus mulai mencari c0w0k itu malam ini juga! Pak Tej0 harus men0l0ng saya!”

“Tentu. Pasti saya mau men0l0ng. Tapi mencari c0w0k berjulukan Wir0 itu malam-malam begini rasanya satu pekerjaan sia-sia belaka…”

Ratih Kiranasari tampak kecewa.

“Den Ayu , masuk kembali ke dalam gedung. Tidurlah. Bes0k kita bicarakan lagi hal ini. Kalau ada penjaga yang sempat melihat Den Ayu ada di tempat ini saya khawatir mereka bisa salah sangka…”

Tanpa berkata apa-apa gadis itu keluar dari rumah kecil itu. Kusir tua Tej0 memandang sambil menggelengkan kepala. Mengira puteri majikannya itu benar-benar kembali ke rumah dan tidur , 0rang tua ini menutupkan pintu kembali. Ternyata Ratih tidak kembali ke dalam rumah. Seperti 0rang yang berjalan sambil tidur gadis ini melangkah sepembawa kakinya. Penjaga yang terkantuk-kantuk di pintu gerbang sama sekali tidak melihat gadis ini lewat di depannya.

***

“Nandang , hari sudah larut malam. Aku khawatir ada r0nda dusun melihat kamu berada di sini…” kata perempuan yang duduk sambil mendekap c0w0k di sampingnya. Saat itu mereka duduk di atas sebuah kursi panjang sambil bersandar pada batang p0h0n besar di sebelah belakang.

“Halaman ini luas sekali. Banyak p0h0n dan semak­semaknya. Mata r0nda dusun tak akan sanggup memandang hingga ke sini. Lagi pula lampu di dalam rumah sudah kamu matikan. Kalaupun ada yang memperhatikan pasti mereka mengira kamu sudah tidur , Sarti.” Menjawab c0w0k yang mendekap tubuh langsing Sarti.

“Sinar bulan purnama cukup terang. Saya khawatir Nandang…”

“Ah , apa yang harus dikhawatirkan. Bukankah kamu sendiri tadi yang meminta biar kita duduk bermesraan di tempat ini sambil memandang bulan purnama empat belas hari yang indah itu?”

Sarti terdiam. Untuk kesekian kalinya dirasakannya jari­jari tangan c0w0k itu meraba dan memeras lembut dadanya hingga tubuhnya kembali menggeletar dan darahnya menjadi panas.

“Lagi pula , Sarti…” kata si c0w0k berbisik ke pendengaran Sarti. “Kau tidak mengajakku masuk ke dalam rumah kali ini. Aku tidak akan pergi sebelum kita melewati malam yang begini indah mirip malam-malam sebelumnya.”

“Nandang , saya khawatir suamiku akan kembali malam ini. Kalau ia hingga menemukan kita di dalam kamar , di atas tempat tidur…”

“Aku yakin Sent0t pasti tidak akan pulang malam ini. Paling cepat bes0k pagi. Aku tahu banyak yang harus diurusnya di Wates. Ajak saya ke kamarmu Sarti…”

“Jangan malam ini Nandang. Waktu kita masih banyak.”

“Kalau begitu kita lakukan di sini saja? Lihat bulan purnama itu. Indah sekali…”

“Jangan Nandang…” men0lak Sarti tapi ia tidak berusaha menepiskan sepasang tangan si c0w0k yang mulai melucuti pakaiannya.

“Kita tidak pernah bermesraan di tempat terbuka mirip ini. Apalagi ada rembulan yang begitu indah. Tidakkah kamu mencicipi d0r0ngan yang meluap-luap dalam tubuhku , kekasihku…?” bisik Nandang sambil menciumi pendengaran Sarti hingga perempuan muda ini menggelinyang. Saat itu kebayanya sudah lepas dari tubuhnya. Angin malam bertiup masb0d0h tapi Sarti mencicipi badannya mirip dik0bari api. Dari mulutnya terdengar bunyi sesalan halus. “Aku menyesal dan akan menderita seumur hidup mengapa ayah mengawinkan saya dengan Sent0t yang hampir dua puluh tahun lebih tua dariku. Sementara gadis­gadis dusun kulihat kawin dengan pemuda-pemuda gagah…”

“Jangan sesali hidup ataupun 0rang tuamu ,” kata Nandang pula seraya tangannya meluncur ke bawah. “Lupakan Sent0t. Bukankah saya akan selalu berada di dekatmu setiap dikala kamu membutuhkan diriku?”

Sarti menyusupkan kepalanya ke dada Nandang. “Aku memang membutuhkanmu Nandang. Aku tak bisa berpisah denganmu. Bawa saya ke mana kamu pergi…”

“Akan tiba saatnya Sarti. Pasti…” jawab Nandang kemudian merebahkan istri Sent0t di atas kursi panjang. Sambil tersenyum Sarti memperhatikan c0w0k kekasihnya itu membuka bajunya. Di atasnya bulan purnama empat belas hari memancarkan sinar indah sekali. Belum pernah Sarti melihat bulan purnama seindah itu. Keindahan itu mirip bertambah-tambah ketika Nandang meneduhi tubuhnya , menciumi lehernya dengan penuh nafsu. Sarti memagut punggung c0w0k ini kuat-kuat. Tapi tiba-tiba sekali dilepaskannya.

“Ada apa , Sarti?” bertanya Nandang.




5

MELIHAT wajah Sarti yang mirip ketakutan Nandang memandang berkeliling. Lalu ia bertanya sekali lagi. “Ada apa…?” “Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak. Aku khawatir ada 0rang mengintai perbuatan kita…”

“Itu hanya perasaanmu saja. Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini ,” kata Nandang pula kemudian ciumannya bertubi­tubi mendarat di wajah , leher dan dada Sarti. Sesaat perempuan ini jadi hanyut lupa diri. Namun di lain ketika kedua tangannya mend0r0ng dada Nandang ke atas.

“Eh , apa-apaan kamu ini , Sarti?” Nandang jadi kesal.

“Apa kamu tidak mendengar? Ada bunyi gemerisik semak-semak. Aku mirip melihat bayangan sesuatu di sebelah sana…” Sarti memandang ke jurusan gelap dekat serumpunan p0h0n salak.

“Supaya kamu tidak ketakutan terus biar saya menyelidik ke sekitar p0h0n salak itu. Ada-ada saja kamu Sarti. Kau tunggu di sini…”

Sarti menutupi tubuhnya dengan kain panjang. Nandang memegang lengannya seraya berkata. “Awas kalau kamu mengenakan pakaianmu kembali. Aku akan menyelidik. Cuma sebentar. Pasti kamu hanya takut tak beralasan… Tak ada apa-apa di sekitar sini.”

Nandang bangun berdiri. Dia tidak perduli lagi kalau dikala itu ia sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Dalam keadaan bugil c0w0k ini melangkah ke arah p0h0n salak. Dia tiba dari sebelah kiri. Sepi , tak ada siapa atau bayangan apa pun di situ. Nandang meneruskan langkahnya memutari p0h0n salak ke sebelah belakang. Juga tidak ada apa-apa.

“Sarti… Sarti… Jangan-jangan ia hanya mempermainkan saya ,” kata Nandang. Dia segera hendak meninggalkan tempat itu. Namun sudut matanya menangkap dua buah cahaya asing di sebelah kiri. Pemuda ini cepat berpaling. Nafasnya tertahan. Beberapa langkah di depan kirinya dilihatnya s0s0k hewan mirip seek0r anjing besar mendekam duduk dengan m0nc0ng terbuka. Kedua matanya berwarna merah , memancarkan sinar asing menggidikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya besar tajam mengerikan. Suara nafas makhluk ini terdengar mirip gerengan harimau. Tengkuk Nandang menjadi dingin. Namun jikalau ia men0leh ke samping kanan hewan itu , terlihat satu pemandangan lain. Di bawah sinar bulan purnama tegak se0rang perempuan berwajah bagus , mengenakan kemben dan kain panjang halus. Rambutnya yang panjang tergerai lepas di atas bahunya yang putih. Kalau hewan di sampingnya meny0r0tkan pandangan yang mengerikan sebaliknya perempuan bagus ini tampak tersenyum. Hanya saja Nandang tidak memperhatikan bahwa di balik senyum itu tersembunyi satu bayangan angker menyeramkan.

“Kau… kamu siapa…?” tanya Nandang dengan bunyi agak tersendat.

Perempuan muda dan bagus di depannya tidak menjawab. Kedua matanya memperhatikan tubuh si c0w0k yang sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Pandangan perempuan itu menciptakan Nandang sadar akan keadaan dirinya. Dia menurunkan kedua tangannya berusaha menutupi p0t0ngan bawah tubuhnya.

Si bagus di depannya kembali tersenyum. “Tak usah kamu menutupi aurat. Aku suka melihat tubuhmu yang tegap!”

Ucapan itu tentu saja menciptakan dada Nandang jadi berdebar. “Ah , perempuan muda bagus berpengawal anjing besar ini jangan-jangan se0rang peri…” membatin Nandang.

“Anak muda , apakah kamu mau membagi kesenangan yang kamu berikan pada perempuan di atas kursi itu padaku?” Tiba-tiba si bagus di bawah bulan purnama berkata.

Semakin menggeletar sekujur tubuh Nandang.

“Aku tidak tahu siapa kamu adanya…”

“Namaku Kemala. Apakah nama itu tidak bagus?”

“Bagus sekali. Sebagus 0rangnya…” jawab Nandang.

Perempuan bagus itu tertawa perlahan. “Kau c0w0k pintar memuji dan merayu. Pantas perempuan itu tergila­gila padamu meski sudah jadi istri 0rang. Sekarang jawab pertanyaanku tadi.”

Nandang tak bisa menjawab.

“Apa wajahku lebih buruk dari istri Sent0t. Apa tubuhku lebih buruk dari perempuan kekasih gelapmu itu?”

Nandang harus mengakui bahwa wajah perempuan di depannya jauh lebih bagus dari Sarti , juga p0t0ngan tubuhnya begitu indah dan sangat menggiurkan. Namun tetap saja ia tidak mau menjawab.

“Kau tidak mau membagi kebahagiaan itu padaku?” Si bagus bertanya lagi sambil mengusap kepala hewan di sampingnya.

“Dengar , aku…”

“Sudahlah! Tak usah banyak bicara lagi!” Si bagus menghentikan usapannya pada kepala srigala besar di sampingnya kemudian berkata. “Datuk , lakukan tugasmu…”

Sepasang mata srigala ini membersitkan sinar merah mengerikan. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar bunyi l0l0ngan panjang. Nandang mencicipi nyawanya mirip terbang dan lututnya bergetar g0yah. Sebelum sempat ia melaksanakan sesuatu tiba-tiba srigala besar itu sudah mel0mpat dan menerkamnya. Nandang berteriak keras. Tapi bunyi teriakan itu putus begitu kaki kanan srigala yang berkuku panjang menyambar lehernya. Batang leher Nandang k0yak besar mengerikan. Tulang lehernya patah. Darah menyembur muncrat!

Di atas kursi panjang di bawah p0h0n Sarti setengah terl0mpat ketika mendengar bunyi l0l0ngan hewan dari arah p0h0n salak. Lalu menyusul bunyi teriakan 0rang.

“Itu Nandang…” kata Sarti dalam hati. Mukanya mendadak pucat. Cepat-cepat ia menutupi tubuhnya dengan kain panjang kemudian dengan dada berdebar ia melangkah ke arah p0h0n salak ke jurusan mana tadi lenyapnya Nandang.

“Nandang… Nandang…” memanggil Sarti. Tak ada jawaban. “Nandang kamu di mana…?” Sarti hingga di dekat p0h0n salak kemudian memandang perkeliling. Tiba-tiba satu jeritan keras keluar dari ekspresi Sarti. Kedua matanya mirip hendak tanggal dari r0ngganya. Hanya beberapa langkah di hadapannya menggeletak tubuh Nandang. Tubuh tanpa pakaian itu bergelimang darah penuh luka cabik-cabik. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Salah satu matanya mencuat keluar , hidungnya tanggal dan mulutnya s0bek. Di lehernya ada luka terbuka yang masih mengucurkan darah!

Sarti membalikkan tubuh untuk melarikan diri dalam ketakutannya. Namun di hadapannya tiba-tiba saja muncul seek0r hewan besar menghadangnya dengan ekspresi berlumuran darah terbuka mengerikan. Kedua matanya mirip bara api menyala! Untuk kedua kalinya Sarti menjerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya terserandung akar p0h0n yang men0nj0l di atas tanah. Tubuhnya jatuh terduduk. Srigala besar melangkah mendekati. Saat itulah dalam takutnya Sarti melihat ada s0s0k se0rang perempuan bagus melangkah di belakang srigala besar itu.

“T0l0ng… t0l0ng…!” jerit Sarti.

“Perempuan serakah! Tak ada yang bakal bisa men0l0ngmu!” Si bagus di belakang srigala berkata. “Sudah punya suami tak cukup bagimu! Masih mau main gila dengan lelaki lain! Apa kamu kira hanya kamu satu-satunya perempuan yang hidup di dunia ini?!”

“T0l0ng! Siapa kau…?!” teriak Sarti.

“Datuk , bunuh perempuan itu!”

Mendengar perintah itu srigala besar meraung panjang kemudian menerkam tubuh Sarti. Perempuan ini masih sempat menjerit sekali lagi. Lalu bunyi jeritannya lenyap , bertukar dengan bunyi tubuh yang dicabik-cabik srigala itu.

S0s0k tubuh Sarti terbujur di tanah dalam keadaan hancur k0yak mengerikan. Si bagus berjulukan Kemala yang rambutnya tergerai lepas ke pundak sesaat memperhatikan tubuh itu tanpa bergeming. Lalu ia berkata pada hewan di depannya.

“Datuk , kamu b0leh pergi sekarang. Kita bertemu lagi tiga puluh hari di muka. Tepat pada dikala purnama tiga belas hari muncul di langit.”

Srigala bermata merah itu memutar tubuhnya kemudian merunduk mirip menyembah. Setelah menggereng keras hewan ini mel0mpat ke kiri dan lenyap dalam kegelapan malam.

Tempat itu kini kembali sunyi senyap. Di langit rembulan masih tampak seindah sebelumnya. Hanya kini ada awan hitam bergerak menutupi.

Perempuan yang tinggal se0rang diri di tempat itu terdengar menghela nafas panjang. Lalu diusapnya wajahnya dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang dingin.




6

ISTRI Gandar Set0 tidak bisa memicingkan matanya sementara suaminya sudah tertidur ng0r0k di sebelahnya. Pikiran perempuan ini masih mengingat pada ketegangan yang terjadi antara ia dan suaminya di satu pihak dan dengan puteri mereka Ratih Kiranasari. Setelah b0lak-balik beberapa kali akhirnya perempuan ini turun dari tempat tidur. Di luar kamar ia termenung sesaat sebelum kemudian melangkah menuju kamar tidur anaknya. Dia tahu Ratih telah mengunci kamar itu dari dalam. Tetapi entah mengapa ia tidak mengetuk pintu melainkan eksklusif membukanya. Agak heran ternyata ia mendapatkan pintu kamar tidak dikunci. Perempuan ini masuk ke dalam. Kamar berada dalam keadaan gelap. Namun caha­ya rembulan yang menyeruak masuk lewat l0bang angin cukup membantu hingga ia sanggup melihat keadaan seisi kamar. Di atas ranjang sama sekali tidak ada s0s0k tubuh puterinya!

“Ke mana anak itu…?” bertanya istri Perwira Tinggi ini dalam hati. Diperiksanya kamar sekali lagi. Setelah memastikan Ratih tidak ada dalam kamar , perempuan ini cepat keluar. Dia mengusut seluruh rumah. Anak gadisnya tetap tidak ditemukan. Dia segera menuju ke pintu depan , membuka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu gerbang tampak tertidur pulas. Penjaga yang biasa mer0nda tidak kelihatan. Perempuan ini tidak sanggup lagi menahan rasa khawatirnya. Setengah berlari ia masuk ke dalam kamar , membangunkan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka lenyap entah ke mana.

“Jangan-jangan ia telah diculik c0w0k asing itu Pak­ne!” kata istri Gandar Set0.

Gedung kediaman Perwira Tinggi itu menjadi heb0h. Semua pengawal dipanggil. Setelah dimaki habis-habisan mereka diperintahkan untuk segera mencari Ratih Kiranasari. Namun 0rang-0rang itu termasuk Gandar Set0 sendiri tidak tahu harus mencari ke mana. Tej0 si kusir tua jadi bingung. Malam itu sebelumnya putri majikannya itu telah menemuinya dan menanya apakah ia tahu di mana beradanya c0w0k berjulukan Wir0. “Kini kalau ia tiba-tiba lenyap jangan-jangan ia mencari c0w0k itu. Den Ayu Ratih , kenapa senekad itu dirimu…”

Gerak gerik kusir tua yang tidak mirip biasanya itu terlihat 0leh Gandar Set0. Perwira Tinggi ini jadi curiga. Dia menghampiri 0rang tua ini dan berkata. “Pak Tej0 , sikapmu agak lain kulihat. Aku rasa kamu tahu apa yang terjadi dengan anakku… Selain kami 0rang tuanya kamu yakni 0rang yang paling dekat dengan Ratih. Apa yang kamu ketahui Pak Tej0?!”

“Saya… saya tidak tahu…” Kusir tua itu bukan saja jadi gugup tetapi juga mulai ketakutan.

Saat itu tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda.

“Ada 0rang datang!” seru se0rang pengawal.

Semua 0rang yang ada di depan gedung sama berpaling ke arah pintu gerbang. Seek0r kuda ditunggangi dua 0rang memasuki halaman dan hingga di tangga depan gedung. Semua 0rang karuan saja jadi terkejut. Karena yang duduk di sebelah belakang yakni Ratih Kiranasari sendiri , sedang di sebelah depan yang memegang tali kekang kuda yakni se0rang c0w0k tak dikenal berambut g0ndr0ng.

Gandar Set0 mel0mpat. Dengan cepat dipegangnya pinggang puterinya kemudian diturunkannya ke tanah. Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh anaknya mulai dari rambut hingga ke kaki.

“Ratih , kamu tidak apa-apa? Kau barusan dari mana?!”

Gadis itu tak menjawab. Ibunya sudah hingga pula di tempat itu , memeluknya kemudian membimbingnya ke dekat tangga gedung. Gandar Set0 kini membelalak memandang pada si g0ndr0ng yang masih duduk di atas kuda dan yang bukan lain yakni Pendekar 212 Wir0 Sableng.

“Kau siapa?!” hardik Perwira Tinggi itu keras sekali.

Wir0 segera turun dari punggung kuda. Dia membungkuk dengan perilaku h0rmat. “Saya Wir0. Saya…” jawab Pendekar 212. Belum sempat ia meneruskan ucapannya Gandar Set0 sudah mendamprat.

“Jadi kamu c0w0k gelandangan yang…”

“Ayah! Jangan menghina dia!” Tiba-tiba terdengar teriakan Ratih Kiranasari.

Perwira Tinggi itu mel0t0t ke arah anaknya. Hampir terl0mpat makian dari mulutnya. Dengan bunyi bergetar ia berkata. “Kau membelanya! Benar rupanya kamu menyukai c0w0k ini! Anak tak tahu diri. Memberi malu 0rang tua!” Gandar Set0 berpaling pada Wir0. “Berani kamu main gila dengan anakku! Kau bawa anakku di malam buta kemudian kamu kembalikan lagi dengan cara mirip ini! Benar-benar kurang ajar! Kupecahkan kepalamu!”

Gandar Set0 mel0mpat ke hadapan Wir0.

“Perwira , biar saya jelaskan dulu…” kata Wir0.

Namun j0t0san Perwira Tinggi itu sudah menghantam pipi kanannya lebih dulu.

Bukkk!

Wir0 terjajar dan terpuntir ke belakang. Pipi kanannya tampak memar merah dan bengkak. Ratih Kiranasari berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat memegang pinggang ayahnya ketika lelaki ini hendak menghajar Wir0 kembali.

“Jangan , Ayah! Jangan pukul dia! Dia yang men0l0ng saya…”

“Men0l0ngmu? Dia? Si gelandangan ini? Apa yang g0t0ng r0y0ng terjadi anakku?! Dia membawamu dari rumah ini kemudian kamu bilang ia men0l0ngmu!”

“Tidak , saya pergi dari rumah mau saya sendiri. Saya tidak sadar apa yang saya lakukan. Ketika ia menemui saya , saya terg0lek di sebuah p0nd0k di pinggiran Desa Gedangan. Dia kemudian membawa saya pulang ke mari…”

“Ceritamu tidak masuk akal! Kau mengarang! Kau pasti telah diguna-gunainya hingga bisa keluar malam-malam untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah kamu lakukan pada anak gadisku?!”

Gandar Set0 mend0r0ng Ratih Kiranasari ke samping kemudian ia menyerbu Wir0 dengan ganas. Si gadis menjerit keras. Dia mel0mpat di antara ayahnya dan Pendekar 212. Wir0 tahu betul serangan yang dilancarkan 0leh Perwira Tinggi itu bukan serangan main-main atau hanya sekedar melampiaskan kemarahan. Tetapi merupakan serangan ganas yang bisa membunuhnya lantaran terperinci dirasakannya serangan itu disertai tenaga dalam tinggi. Di K0taraja siapa yang tidak kenal dengan Perwira Tinggi Gandar Set0 yang dijuluki Manusia Besi. Dia dikabarkan mempunyai aji kesaktian yang jikalau dikeluarkan akan merubah sekujur tubuhnya menjadi sekeras dan seat0s besi. Apa saja yang kena gebuk atau tendangannya pasti akan hancur binasa , termasuk tubuh insan jikalau kena dihantamnya! Dan kini agaknya ia telah mengeluarkan aji kesaktiannya itu untuk menyerang Wir0 yang dianggapnya telah melaksanakan sesuatu yang memalukan atas diri puterinya.

Ratih yang sudah tahu akan ilmu yang dimiliki ayahnya itu dan takut Wir0 akan mendapat celaka cepat menghalangi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh ayahnya sehingga Perwira Tinggi itu kini jadi sulit bergerak.

“Anak setan! Lepaskan rangkulanmu!” teriak Gandar Set0. “Atau kepalamu ikut saya pecahkan dikala ini juga!”

“Jangan ayah! Dia tidak bersalah! Dia tidak melaksanakan apa-apa! Dia menemukan saya dalam keadaan setengah sadar kemudian membawa saya ke mari!”

“Anak setan! Siapa percaya ucapanmu!” Gandar Set0 menggerakkan tubuhnya tapi Ratih pun mengencangkan rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak selain membentak dan memaki habis-habisan.

“Wir0! Pergilah! Lari cepat!” teriak Ratih. Gadis ini khawatir ia tidak bisa bertahan lama sebelum ayahnya melemparkannya ke tanah.

Pendekar 212 sesaat masih tertegak di tempat itu. Pipinya yang memar masih sakit. Tapi hatinya lebih sakit lagi diperlakukan dan dihina semena-mena mirip itu.

“Pengawal! Jangan biarkan bedebah ini lari! Tangkap dia!” teriak Gandar Set0 sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan puterinya. Delapan 0rang pengawal segera menyerbu ke arah Wir0.

“Wir0! Lari!” teriak Ratih sekali lagi.

Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Lalu sekali l0mpat saja ia sudah berada di atas punggung kuda. Namun empat 0rang pengawal masih sempat mengejarnya. Pengawal kelima malah sudah merangkul leher kuda tunggangannya. Di dikala itu pula Gandar Set0 hampir sanggup melepaskan diri dari pelukan anak gadisnya.

Wir0 gerakkan kaki kiri menendang salah se0rang pengawal yang c0ba menarik pinggangnya. 0rang ini terjungkal dan tergelimpang di tanah sambil menjerit-jerit kesakitan. Pengawal yang c0ba menahan lari kuda dengan merangkul leher hewan itu dihantamnya dengan satu pukulan ke atas bat0k kepalanya hingga mel0s0h jatuh dan pingsan dengan mata mel0t0t. Ketika kudanya mulai bergerak , se0rang pengawal lagi berusaha menghalangi sambil membabatkan sebilah g0l0k pendek. Wir0 jambak rambut 0rang ini kemudian menyeretnya hingga belasan langkah. Di satu tempat 0rang ini dihempaskannya ke tanah. Begitu jatuh , kaki kiri kuda sebelah belakang menginjak dadanya. Terdengar bunyi berderak patahnya tulang-tulang iga. Pengawal ini menjerit pendek kemudian membisu entah pingsan entah mati.

“Kejar!” teriak Gandar Set0 murka sekali. Beberapa 0rang pengawal segera menyiapkan kuda. Namun gerakan mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar bunyi kent0ngan dipukul 0rang dari arah selatan. Lalu disahuti 0leh kent0ngan lain dari jurusan berbeda. Malam yang tadinya sepi ini kini jadi ramai 0leh bunyi kent0ngan.

“Anak kurang ajar!” hardik Gandar Set0 marah. Tangan kanannya melayang dan , plakk! Tamparannya mendarat di pipi Ratih Kiranasari yang hingga dikala itu masih memeluki tubuhnya. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya sebelah kiri. Perlahan-lahan gadis ini lepaskan pegangannya kemudian melangkah pergi. Sang ayah mirip sadar apa yang telah dilakukannya cepat mengejar , namun dikala itu ada dua 0rang penunggang kuda memasuki halaman. Begitu hingga di hadapan Gandar Set0 keduanya mel0mpat turun dan menjura. Salah se0rang dari mereka berkata.

“Perwira , kami dari Desa Gedangan. Kepala Desa meng–Zutus kami untuk memperlihatkan lap0ran. Satu hal mengerikan telah terjadi di desa kami…”

“Apa yang terjadi di desamu?!” tanya Gandar Set0 dengan rahang menggembung tanda menahan amarah.

“Se0rang c0w0k desa berjulukan Nandang ditemukan mati dalam keadaan muka dan tubuh tercabik-cabik. Di samping mayatnya tergeletak mayat Sarti , istri penduduk desa berjulukan Sent0t. Keadaannya sama. Mati dengan tubuh k0yak-k0yak mengerikan…”

“Gila!” teriak Gandar Set0.

0rang desa yang satu lagi terdengar menambahkan. “Tubuh Nandang dan Sarti ditemukan tanpa pakaian sama sekali…”

Gandar Set0 kepalkan kedua tinjunya. Kepalanya mend0ngak. Di langit tak sengaja ia melihat rembulan empat belas hari. Di mata Perwira Tinggi ini , bulan purnama yang begitu indah terlihat mirip sebuah b0la api yang mengerikan. Sekilas kembali terbayang kematian mengerikan yang terjadi malam kemarin atas diri bawahannya Randu Wulung dan Rumini , sepasang pengantin yang sangat malang itu. Semua mereka menemui kematian dengan cara yang sama! Biadab mengerikan!

“Jangan-jangan c0w0k g0ndr0ng berjulukan Wir0 itu yang melakukannya…” desis Gandar Set0.

Ucapan yang meskipun perlahan ini ternyata masih sempat terdengar 0leh Ratih Kiranasari yang dikala itu sesenggukan karam dalam pelukan ibunya. Si gadis mengangkat kepalanya. Lalu berkata , “Ayah! Kau sungguh keterlaluan! Kini kamu menuduh c0w0k itu sebagai pembunuh Nandang dan Sarti!”

Amarah Gandar Set0 menggelegak kembali. Dengan langkah-langkah besar ia mendekati puterinya. Tangan kanannya diangkat siap untuk menampar lagi. Namun kali ini Perwira Tinggi ini masih bisa menguasai dirinya. Perlahan-lahan tangannya diturunkan kembali. Dia memandang berkeliling. Begitu ia melihat kusir tua Tej0 , ia segera berkata. “Siapkan kudaku! Kita harus menemui Patih Kerajaan malam ini juga! Keamanan K0taraja terancam. Dua pembunuhan terjadi dua malam berturut-turut! Se0rang c0w0k gelandangan yang sangat saya curigai gentayangan bebas! Aku yakin ia makhluk jahatnya yang melaksanakan pembunuhan-pembunuhan itu!”




7

PENDEKAR 212 Wir0 Sableng menatap wajah kusir tua yang lembap 0leh keringat itu beberapa dikala kemudian sambil menggaruk kepala ia berkata , “K0taraja dan tempat-tempat ramai lainnya tidak k0ndusif bagiku kini ini Pak Tua. Perwira Tinggi Gandar Set0 kabarnya telah mengeluarkan perintah untuk mencari dan menangkap diriku hidup atau mati! Gila! Aku dituduh sebagai pembunuh sepasang pengantin Randu Wulung dan Rumini. Lalu saya juga dikatakan yang menghabisi c0w0k sesat Nandang dan Sarti di Gedangan. Edan!”

“Anak muda , harap kamu jangan marah. Apa betul bukan kamu yang membunuh keempat 0rang itu?”

Kedua mata Pendekar 212 memandang mendelik. “Pak Tua , kalau bukan kamu yang bicara begitu sudah kubet0t lepas lidahnya…”

“Jangan murka padaku Wir0. Itulah anggapan semua 0rang di K0taraja dan sekitarnya dikala ini. Atau mungkin…”

“Mungkin apa?” tanya Pendekar 212 jadi tambah jengkel.

“Perwira Tinggi majikanku juga punya anggapan semua k0rban itu mati tanggapan k0yakan hewan buas. Lalu ia ingat pada kisah puterinya wacana srigala yang ditemukan di Hutan Jati Mundu. Jangan-jangan srigala itu hewan peliharaanmu…”

“Itu lebih gila! Lebih edan!” kata Wir0.

“Kalau tidak mengapa hewan buas itu begitu jinak padamu , anak muda…?”

“Itu yang saya tidak mengerti ,” jawab Wir0 sambil garuk­garuk kepala. Lalu ia berkata , “Saat ini saya tidak lebih dari se0rang bur0nan. Tapi belum ada se0rang petugas pun dari K0taraja mengetahui kalau saya ada di sini. Kau berhasil mencari dan menemukanku , Pak Tua. Sungguh hebat! Sekarang katakan apa keperluanmu.”

“Terus terang , saya disuruh 0leh Den Ayu Ratih. Dia ingin bertemu dengan kamu malam ini…”

“Hemmm…” Wir0 kembali garuk-garuk kepala.

“Kau harus menemuinya Wir0. Dia merindukan dirimu tanda ia benar-benar menyukaimu. Katanya sudah satu ahad lebih ia tidak melihatmu…”

Wir0 mengusap pipi kanannya yang masih kelihatan infeksi tanggapan j0t0san Gandar Set0 temp0 hari.

“Anak muda , saya tahu kamu tentu sangat membenci ayahnya alasannya yakni sudah memukulmu. Lebih dari itu ia juga telah menuduhmu dan menjadikan dirimu sebagai se0rang bur0nan. Namun jangan kamu melihat semua itu. Den Ayu Ratih memerlukanmu.”

“Baiklah Pak Tua. Di mana saya harus menemuinya?” tanya Pendekar 212.

“Kau tahu reruntuhan Candi Bl0r0k di timur desa Tumpakrej0?”

Wir0 berpikir sebentar kemudian mengangguk.

“Den Ayu Ratih akan tiba ke sana. Tepat pada pertengahan malam…”

“Sendirian?”

“Aku minta menemaninya. Tapi ia bersikeras akan tiba se0rang diri…”

“Baiklah. Aku akan menunggu di Candi Bl0r0k ,” kata Wir0.

Tej0 si kusir tua tersenyum. Sebelum pergi ia memberi h0rmat dan berkata. “Anak muda , kamu 0rang baik. Kalau kamu nanti memang berj0d0h dengan puteri majikanku itu nasibku tentu akan tambah baik…”

***

Di langit tak ada bulan. Bintang pun cuma ada satu

dua. Malam gelap , sunyi dan dingin. Bangunan Candi Bl0r0k yang beberapa bagiannya sudah runtuh tampak menghitam angker dalam kegelapan malam. Satu bayangan putih berkelebat di belakang candi kemudian lenyap dalam kegelapan dan tahu-tahu ia sudah berada di pelataran candi sebelah dalam. Sesaat ia memandang berkeliling. Setelah memastikan tak ada 0rang lain di tempat itu , ia kemudian pergi duduk di atas sebuah arca tanpa kepala.

“Memang lebih baik biar saya yang menunggu ,” kata 0rang ini dalam hati. Dia memandang ke langit di atasnya. “Belum tengah malam ,” ia kembali membatin. Lalu pikirannya mengelana jauh. “Walaupun gadis itu menyukaiku setengah mati dan saya memang ada rasa senang padanya , tapi untuk berj0d0h dengan dirinya… Ah! Ini satu hal yang berat. Bahkan tidak mungkin. Apa yang akan dibicarakannya malam ini? Kalau ia merayuku dengan kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya dan saya tidak bisa bertahan bisa celaka diriku!” 0rang yang duduk di atas arca buntung ini kemudian garuk-garuk kepala. Gerakannya terhenti ketika tiba-tiba ia mendengar ada bunyi derap kaki kuda di kejauhan. Makin lama bunyi itu makin keras tanda semakin dekat dan memang mengarah ke candi di mana ia berada.

0rang itu bangun dari arca yang didudukinya. Di samping kiri candi dilihatnya mendatangi se0rang penunggang kuda. “Ah , ia datang…” 0rang ini menarik nafas lega dan tersenyum. Namun kemudian kedua matanya menyipit dan senyumnya lenyap. “Eh , bukan dia. Penunggang kuda itu se0rang lelaki , bukan Ratih…” 0rang ini melangkah ke dinding candi sebelah kiri biar bisa melihat lebih jelas. Begitu ia mengenali penunggang kuda itu parasnya jadi berubah 0leh rasa kejut. “Astaga! Itu Perwira Tinggi Gandar Set0! Bagaimana ia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini?! Jangan-jangan…”

0rang yang tiba menunggang kuda c0klat memang yakni Perwira Tinggi Gandar Set0. Dari pakaian ringkas yang dikenakannya serta sebilah g0l0k besar yang terselip di pinggangnya terperinci kalau kedatangannya ke tempat itu bukan suatu kebetulan belaka. Dan ini segera terbukti. Setelah hentikan kudanya di depan Candi Bl0r0k , Perwira Tinggi itu kemudian berteriak.

“Manusia bur0nan berjulukan Wir0! Lekas serahkan diri! Kau sudah terkurung! Jangan harap bisa l0l0s!”

Murid Eyang Sint0 Gendeng yang memang yakni 0rang yang berada dalam Candi Bl0r0k mirip disentakkan. Kedua matanya membesar ketika memandang berkeliling. Dari kegelapan di seputar bangunan candi muncul banyak sekali 0rang. Jumlah mereka tidak kurang dari seratus. Sebagian menunggang kuda. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian pasukan kerajaan.

“Kurang ajar! Aku dijebak!” maki Pendekar 212 dengan kedua tangan terkepal. Dia kembali memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Di samping Perwira Tinggi Set0 kini dilihatnya berjejer enam 0rang penunggang kuda. Empat di antara mereka yakni perwira-perwira muda Kerajaan yang dari perilaku mereka terperinci mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Murid Eyang Sint0 Gendeng tidak begitu mengkhawatirkan kehadiran empat perwira muda itu maupun puluhan prajurit yang telah mengurung seanter0 bangunan Candi Bl0r0k. Yang dirisaukannya selain si Perwira Tinggi sendiri terlebih lagi yakni dua 0rang yang berada di kiri kanannya. 0rang di sebelah kiri se0rang nenek berambut putih jarang , berkulit hitam. Sekilas tampangnya mirip Eyang Sint0 Gendeng. Di keningnya ada sebuah benj0lan hampir ibarat tanduk pendek. Bibirnya sumbing hingga seluruh gigi atasnya yang masih utuh berwarna hitam t0ngg0s kelihatan menj0r0k ke luar , menjijikkan. Di tangan kirinya nenek ini memegang sebuah pendupaan berisi bara api menyala dan menabur asap kelabu berbau aneh. Pendupaan itu tentu saja panas sekali tetapi si nenek memegangnya tenang-tenang saja mirip memegang sebuah kayu.

Pendekar 212 mengingat-ingat. “Kalau saya tidak salah duga nenek berbibir sumbing itu dikenal dengan julukan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Kepandaian silatnya tidak seberapa. Tetapi pendupaan di tangan kirinya itu telah menciptakan dirinya menjadi m0m0k n0m0r satu dan ditakuti di tanah Jawa ini!” Lalu dalam hati Wir0 memaki­maki dirinya sendiri habis-habisan yang telah berlaku b0d0h hingga hingga tertipu dan terjebak di tempat itu. “Kusir tua keparat itu , ia ternyata ular kepala dua!”

Wir0 mengalihkan perhatiannya pada kakek berpakaian merah yang menunggangi kuda di sebelah kanan Perwira Tinggi Gandar Set0. Kepalanya yang gundul sengaja dicat merah. Ketika menyeringai kelihatan gigi-giginya juga dicat merah. “Si Bayangan Api…” desis Wir0. “Aneh , mengapa jag0-jag0 tingkat tinggi ini bisa bergabung dengan 0rang-0rang Kerajaan?” pikir Wir0 lagi.

Murid Eyang Sint0 Gendeng ini tidak tahu bahwa secara rahasia Gandar Set0 telah melaksanakan penyelidikan atas dirinya. Dari beberapa sumber ia kemudian mengetahui bahwa c0w0k berjulukan Wir0 itu g0t0ng r0y0ng yakni Wir0 Sableng yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Menyadari siapa g0t0ng r0y0ng 0rang bur0nannya maka itulah sebabnya Gandar Set0 membawa serta si Bayangan Api dan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut , ditambah dengan empat 0rang perwira muda berkepandaian tinggi dan puluhan prajurit.

Beberapa 0rang di K0taraja yang kenal siapa adanya Pendekar 212 tidak menyetujui cara Gandar Set0 yang eksklusif melaksanakan pencarian terhadap Wir0. Mereka mengusulkan biar menghubungi Sint0 Gendeng terlebih dahulu di Gunung Gede lantaran mereka tidak bisa percaya begitu saja kalau murid nenek sakti itu kini telah menjadi 0rang jahat dan melaksanakan pembunuhan keji di beberapa tempat. Namun Gandar Set0 sanggup meyakinkan Patih Kerajaan bahwa tindakannya yakni benar dan harus cepat dilaksanakan sebelum c0w0k bur0nan itu kembali melaksanakan pembunuhan lagi. Di samping itu Gandar Set0 juga menyimpan dendam tertentu terhadap Pendekar 212. Dia menganggap c0w0k ini juga menjadi biang racun yang hendak menjerat puterinya.

“Pendekar 212 Wir0 Sableng!” teriak Gandar Set0. “Apakah kamu nyatanya begini pengecut tidak berani menyerahkan diri?!”

Wir0 tentu saja terkejut ketika 0rang menyebut gelar dan nama panjangnya. “Dari mana keparat ini tahu siapa diriku ,” katanya dalam hati dan masih tetap berlindung di balik dinding candi.

Dari atas kudanya Perwira Tinggi Gandar Set0 kembali berteriak. “Pendekar 212! Jika kamu tidak mau menyerahkan diri maka saya akan menyerbu ke dalam candi!”

“Sialan! Dia benar-benar tahu kalau saya berada di tempat ini!” maki murid Eyang Sint0 Gendeng. Sambil mengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan akhirnya ia keluar dari balik dinding dan melangkah menuruni p0t0ngan depan Candi Bl0r0k. Tiga langkah dari depan reruntuhan tangga Pendekar 212 berhenti. Dia memandang pada Gandar Set0 dan bertanya.

“Aku sudah berada di hadapanmu. Katakan apa keperluanmu Perwira Tinggi!”

“Kau yang harus menyampaikan apa kamu mau ditangkap hidup-hidup dengan tubuh utuh atau ingin menyerahkan diri sesudah sekujur tubuhmu mulai dari kepala hingga ke kaki kami cincang lumat!” Gandar Set0 menjawab dengan pelipis bergerak-gerak dan rahang menggembung tanda ia mulai mendekati puncak amarahnya.

“Perwira , kamu ingin menangkap dan mencincang diriku! Katakan apa salahku!”

Gandar Set0 keluarkan bunyi mendengus. “Lagakmu sungguh hebat! Kau membunuh secara keji empat 0rang tak berd0sa. Kau bahkan menculik puteriku…”

“Tuduhan dusta! Kau punya bukti kalau saya yang membunuh empat 0rang itu? Kau juga punya bukti bahwa saya menculik puterimu? Padahal puterimu sendiri menyampaikan saya tidak menculiknya. Aku menemuinya dalam keadaan setengah sadar di dekat Gedangan!”

Perwira Tinggi itu menggerakkan tangannya. Empat 0rang perwira muda mel0mpat turun dari kuda masing­masing , eksklusif mengurung Pendekar 212.

“Manusia iblis ini tidak b0leh dibiarkan hidup lebih lama. Cincang hingga lumat!” perintah Gandar Set0 kemudian.

Empat g0l0k besar mengeluarkan bunyi berseresetan begitu dicabut dari sarungnya. Tanpa menunggu lebih lama keempat perwira muda yang mengurung menyerbu Wir0. Empat bilah g0l0k besar berkelebat dalam kegelapan malam.

Murid Eyang Sint0 Gendeng berteriak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya merunduk. Bersamaan dengan itu ia hantamkan kedua tangannya ke depan. Dua 0rang perwira muda berteriak kesakitan. Tubuh mereka mencelat mental kemudian terhampar di tanah. Megap-megap sebentar sesudah itu pingsan tak berkutik lagi.

Dua bilah g0l0k lagi tiba membabat dari belakang. Murid Eyang Sint0 Gendeng jatuhkan diri ke tanah. Tiba­tiba tubuh itu membalik sambil kaki kanan menendang. Terdengar dua kali bunyi bergedebukan. Dua perwira muda yang tadi menyerang dari belakang sama-sama menjerit. Yang satu eksklusif r0b0h begitu tulang kering kaki kirinya patah dihantam tendangan Wir0. Satunya lagi mencelat kemudian terkapar di tanah dengan perut pecah. Nyawanya tidak ket0l0ngan lagi!

Selagi Wir0 bergerak bangun , Gandar Set0 yang sudah gatal tangan menarik tali kekang kudanya. Binatang ini mel0mpat ke depan ke arah Wir0. Bersamaan dengan itu Perwira Tinggi lepaskan satu pukulan jarak jauh. Serangkum angin menderu menyambar Pendekar 212 menciptakan tubuhnya bergetar keras. Dia mencicipi mirip ada sebuah jaring yang tak kelihatan membungkus tubuhnya. Sebelum dirinya menjadi tidak berdaya , Wir0 jatuhkan tubuh ke tanah kemudian berguling ke kiri guna menghindari injakan empat kaki kuda tunggangan Gandar Set0. Ketika Perwira Tinggi itu berusaha memutar kudanya dan hendak menyerang kembali , Pendekar 212 untuk pertama kalinya lepaskan serangan balasan. Dia berlaku cerdik. Dia tidak menghantam ke arah Gandar Set0. Yang ditujunya justru kuda tunggangan Perwira Tinggi itu. Kuda betina ini meringkik keras sewaktu angin pukulan jarak jauh yang dilepaskan Wir0 melabrak rusuknya. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Selagi penunggangnya berusaha mengendalikan kuda itu , Wir0 kembali menghajar dengan pukulan sakti berikutnya yaitu Benteng T0pan Melanda Samudera.

Angin sederas angin puting-beliung prahara menciptakan tempat di sekitar Candi Bl0r0k jadi bergetar. Gandar Set0 dan kudanya terhempas ke kiri. Sebelum hewan ini jatuh tersungkur Perwira Tinggi itu sudah lebih dulu mel0mpat ke udara. Gerakannya mel0mpat disertai dengan gerakan mencabut g0l0k besar di pinggang. Begitu ia menukik , tubuhnya kelihatan melesat ke arah Wir0. Senjata di tangannya menyambar ganas. Yang diincar yakni batang leher murid Sint0 Gendeng itu!

Untuk kesekian kalinya Wir0 terpaksa jatuhkan diri. Hanya kali ini gerakan mengelak itu disertai dengan tendangan kaki ke arah tangan lawan yang memegang senjata.

Kraakk!

Terdengar bunyi patahan tulang begitu kaki kanan Wir0 menghajar lengan Gandar Set0. Perwira Tinggi ini menjerit keras. G0l0knya terlepas mental sedang tangan kanannya kelihatan mengambai-ambai!

Semua 0rang yang ada di tempat itu tentu saja sangat terkejut menyaksikan apa yang terjadi. Gandar Set0 yang dikenal dengan julukan Manusia Besi , mempunyai tubuh at0s tak mempan senjata tajam , kini ternyata mengalami hari naas. Kena diciderai hingga patah lengan kanannya! Iblis Sumbing rahasia merasa tidak lezat sedang si Bayangan Api sesaat tampak tertegun. Mereka jadi berpikir. Rupanya nama besar Pendekar 212 bukan satu nama k0s0ng belaka!

Beberapa 0rang perajurit cepat bergerak hendak men0l0ng Perwira Tinggi yang cidera itu. Namun dikala itu kakek berpakaian dan berkepala b0tak merah sudah mendahului. Sekali ia berkelebat turun dari kudanya , tubuhnya berubah laksana sambaran api. Di lain kejap tahu-tahu ia sudah merangkul Gandar Set0 yang kemudian dibawanya ke tempat yang lebih aman.

“Harap kamu tidak bergerak dari tempat ini Perwira. Kulihat cideramu cukup parah!” kata si Bayangan Api. “Biar saya yang akan menangkap c0w0k itu. Aku akan menghajarnya hingga lumat lebih dulu sebelum kuhabisi nyawanya…”

Ketika ia hendak melangkah mendekati Wir0 , nenek berjuluk Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut sudah memajukan kudanya seraya berkata. “S0batku , kamu jaga saja perwira itu. Biar saya yang menangani kec0ak satu ini!” Lalu sambil meninggikan tangannya yang memegang pendupaan , nenek itu mengarahkan kudanya mendekati Wir0. “Manusia berjulukan Wir0 Sableng , bergelar Pendekar 212 murid Sint0 Gendeng dari Gunung Gede! Apa kamu sudah tahu kalau nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan lagi?”

Karena mulutnya sumbing maka kata-kata yang diucapkannya terdengar lucu dan sulit dimengerti Wir0. Seumur-umur gres kali itu ia mendengar 0rang sumbing bicara. Maka c0w0k ini pun berkata.

“Nek , kalau bicara biar betul. Jangan tel0 mirip 0r0k! Aku tidak mengerti apa yang kamu ucapkan!” Brengseknya waktu bicara ini Wir0 sengaja menirukan bunyi si nenek yang tidak karuan! Tentu saja hal ini menciptakan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut menjadi murka setengah mati. Tangan kirinya yang memegang pendupaan diturunkan sejajar bahu. Kepulan asap kelabu berbau asing semakin menggebubu.

Tiba-tiba dari ekspresi yang sumbing itu keluar bunyi pekik menggidikkan. Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak. Tahu-tahu dari tangan si nenek ada lima buah senjata rahasia berbentuk paku menyambar ke arah murid Sint0 Gendeng.

Dari sinar redup hitam yang keluar dari lima buah senjata rahasia itu Wir0 segera maklum kalau senjata­senjata terbang itu mengandung racun jahat. Maka ia segera menghantam dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Lima senjata rahasia berbentuk paku mencelat bermentalan. Tapi si nenek justru malah tertawa nyaring. Kepalanya merunduk mirip hendak mencium Wir0. Pendupaan di tangan kirinya didekatkan ke mulut. Wir0 kirimkan satu j0t0san kilat ke lambung lawan yang masih berada di atas punggung kudanya ini. Tapi tiba-tiba sekali si nenek meniup. Asap kelabu berbau asing menyambar ke arah muka Wir0. Murid Sint0 Gendeng cepat menutup jalan nafasnya dan berusaha mel0mpat menjauhi. Namun terlambat! Hawa asing yang keluar dari asap kelabu itu telah lebih dahulu menyusup memasuki hidung dan mulutnya. Saat itu juga Wir0 mencicipi kepala dan kedua matanya menjadi sangat berat. Sekujur angg0ta badannya terasa lemah. Dia mirip amblas ke dalam sebuah l0bang gelap dan tidak sadarkan diri lagi. Jatuh tergelimpang di depan kaki kuda tunggangan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.

Nenek tua ini tertawa mengekeh kemudian memandang pada si Bayangan Api. “Kau tunggu apa lagi sahabatku? Lekas ringkus c0w0k itu. Kita bawa ke hadapan Patih Kerajaan biar ia segera dijatuhi eksekusi mati. Atau ada yang akan mempesianginya dikala ini juga?!”

“Aku yang akan menghabisinya!” kata Gandar Set0 kemudian dengan susah payah berusaha berdiri. “Pinjami g0l0kmu!” katanya pada se0rang prajurit yang tegak di sampingnya.

“Dimas Gandar. Tak perlu susah-susah. Biar kuseret c0w0k keparat ini ke hadapanmu!” kata si Bayangan Api pula. Lalu dicekalnya salah satu pergelangan kaki Wir0. Tubuh c0w0k itu kemudian diseretnya ke hadapan si Perwira Tinggi. Rahang Gandar Set0 tampak menggembung. Matanya berkilat. G0l0k yang di tangan kiri digenggamnya erat-erat. Begitu s0s0k Wir0 dilemparkan di hadapannya , dengan bergegas Perwira Tinggi ini ayunkan senjatanya ke arah batang leher Pendekar 212!




8

MURID Sint0 Gendeng hanya bisa terima nasib. Dia menghadapi kematian dengan sepasang mata tidak berkesip sementara g0l0k di tangan kiri Gandar Set0 membabat deras ke bawah. Sesaat lagi p0t0ngan tajam dari senjata itu akan menebas putus batang lehernya tiba-tiba entah dari mana munculnya satu bayangan berkelebat. Gerakan tubuhnya mengeluarkan angin deras. Tubuh Gandar Set0 tahu-tahu terjajar hingga tiga langkah. Dari mulutnya keluar seruan pendek disusul dengan terlepas mentalnya g0l0k yang ada di tangan kirinya!

“Manusia kurang ajar! Siapa kau?!” teriak Perwira Tinggi itu. Ketika ia dan semua 0rang yang ada di situ memandang ke depan , mereka menyaksikan satu pemandangan yang sulit dipercaya!

Se0rang gadis berpakaian hijau gelap tegak di tengah kalangan perkelahian dengan memanggul tubuh Pendekar 212 di pundak kirinya. Pandangannya tampak bengis tetapi kebengisan ini tidak melenyapkan kecantikan wajahnya.

“Ada bidadari nyasar dan ikut campur urusan kita…” kata si Bayangan Api kemudian tertawa mengekeh.

“Siapa kau?’“ Gandar Set0 kembali membentak.

“Mengapa kamu menginginkan c0w0k itu?!” ikut membentak Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.

Lalu si Bayangan Api menimbrung kembali. “Apa hubunganmu dengan Pendekar 212?!”

Gadis di tengah kalangan menyeringai sinis.

“Siapa saya kalian tak layak bertanya. Mengapa saya inginkan c0w0k ini bukan urusan kalian. Apa hubunganku dengan dirinya perlu apa kalian mengetahui?!”

“Gadis cantik! Lagakmu s0mb0ng banget!” kata si Bayangan Api sambil usap-usap kepalanya yang gundul dan dicat merah itu. Mata kirinya dikedipkan berkali-kali. “Dengar , berikan c0w0k itu pada kami!”

“Untuk apa?!” tanya gadis bagus itu.

“Kau tak layak bertanya!” jawab si Bayangan Api kemudian tertawa mengekeh. Kedua tangannya diulurkan ke depan. “Lekas serahkan c0w0k itu padaku! Atau saya akan mengambilnya bersama-sama tubuhmu sekaligus!”

“Tua bangka buruk berkepala mirip pantat m0nyet!” hardik si gadis yang memanggul Wir0. “Kalau kamu merasa bisa c0ba kamu rampas c0w0k ini dariku!”

Tampang si Bayangan Api jadi tampak merah mirip udang rebus. “Gadis yang masih bau pupuk! Rupanya kamu tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa hingga bicara kurang bimbing seenaknya!”

“Aku cukup tahu siapa kau! Gelarmu si Bayangan Api. Kau mengerjakan apa saja asal dibayar. Seperti tadi saya bilang , kepala b0takmu yang merah sama dengan pantat m0nyet.”

Tiba-tiba terdengar bunyi tawa cekikikan. Yang tertawa ternyata yakni Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. “Kau gadis k0cak! Cel0tehmu lezat didengar. Aku mulai suka denganmu. Gadis jelita , apakah kamu juga tahu siapa diriku?” Sambil berkata begitu nenek berbibir sumbing yang keningnya ada benj0lan mirip tanduk ini melangkah mendekati si gadis. Yang didekati damai saja se0lah tidak takut sama sekali.

“Kau minta saya menerangkan siapa dirimu?!” Gadis di tengah kalangan sunggingkan senyum. “Aku mulai dengan usiamu nenek tua! Umurmu dikala ini kalau saya tidak salah duga sudah hampir tujuh puluh! Benar?!”

“Eh , kamu benar!” jawab si nenek dan rahasia merasa heran.

“Kau tiba dari Madura , mencari makan di tanah Jawa. Betul?!”

“Ah , kamu juga betul!” jawab Iblis Sumbing mangkel tapi tambah heran.

“Kau dijuluki 0rang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut!”

“Kau gadis hebat. Pasti kamu se0rang t0k0h persilatan gres yang mulai naik daun!” Memuji si nenek.

“Apa sudah cukup penjelasanku wacana dirimu?!”

“Eh!” Si nenek jadi agak tersentak. Kini ia mulai merasa tidak enak. “Apa lagi yang kamu ketahui wacana diriku?”

“Banyak!”

“Misalnya?”

“Bukan misalnya. Tapi nyatanya! Kau mau dengar?”

“Bilang saja!”

“Kau tidak bakalan malu nantinya?!”

“Gadis sialan! Malu? Mengapa musti malu?!”

Si gadis perdengarkan bunyi tertawa panjang. “Baiklah , akan kukatakan apa adanya. Bibirmu sumbing bukan cacat dari lahir. Se0rang musuh mer0bek bibirmu itu!”

“Astaga!” Si nenek terkejut dalam hati. “Siapa gadis ini sebenarnya. Mengapa ia tahu banyak wacana diriku?”

“0rang itu membuatmu cacat dalam satu perkelahian. Gara-gara kamu menculik anak gadisnya. Betul…?”

Wajah buruk Iblis Sumbing berubah gelap. “Cukup! Hentikan 0cehanmu! Sekarang serahkan c0w0k itu padaku dan lekas minggat dari sini!”

“Ha… ha…! Sekarang kamu takut sendiri mendengar 0cehanku. Padahal saya belum selesai! Aku tahu kamu bangsa perempuan yang tidak suka pada lawan jenismu. Karena itu seumur-umur kamu tidak pernah kawin! Kau lebih suka bercinta dengan perempuan…”

“Gadis sundal haram jadah! Biar kur0bek ekspresi k0t0rmu!” Iblis Sumbing menggemb0r kemudian tangan kirinya tiba-tiba berkelebat ke arah muka si gadis. Yang diserang tundukkan kepala dan pukulkan tangan kanannya untuk menangkis. Karena menganggap enteng , si nenek tidak berusaha menghindari terjadinya bentr0kan lengan.

Bukkk!

Gadis jelita yang memanggul tubuh Wir0 mencicipi lengannya bergetar keras. Sebaliknya Iblis Sumbing keluarkan jerit kesakitan. Tangannya mirip dipukul besi. Rasa sakit pada lengannya itu menjalar ke seluruh tubuh hingga ia terhuyung-huyung hingga tiga langkah. Marah dan malu menciptakan si nenek jadi kalap.

Didahului 0leh satu teriakan dahsyat si nenek mel0mpat ke depan. Pendupaan di tangan kirinya diturunkan ke muka. Asap kelabu mengepul deras. Lalu ia meniup kuat­kuat , Wusss!

Asap kelabu yang menebar bau asing dan sangat berbahaya menderu ke muka si gadis , eksklusif masuk ke r0ngga hidung dan mulutnya. Sesaat ia tampak mirip kelagapan. Iblis Sumbing tertawa panjang. Sekejapan lagi gadis ini akan tidak berdaya , limbung kemudian jatuh mirip apa yang telah terjadi dengan c0w0k yang barusan dit0l0ngnya.

Tetapi alangkah terkejutnya si nenek ketika melihat gadis di hadapannya itu bukannya jatuh malah dari mulutnya terdengar bunyi tawa panjang menimpali bunyi tawanya sendiri! Selagi perempuan tua ini dibungkus rasa kaget tiba-tiba si gadis runcingkan mulutnya dan meniup asap kelabu yang mengepul keluar dari dalam pendupaan.

Wusss!

Kepulan asap itu kini berhembus deras ke arah si pemilik pendupaan. Senjata makan tuan!

Iblis Sumbing menjerit keras. Kedua matanya terasa perih dan lantaran ia barusan membuka ekspresi begitu lebar , kepulan asap serta merta memenuhi mulutnya terus memasuki r0ngga-r0ngga pernafasan. Akibatnya tak tert0l0ng lagi. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Mata dan kepalanya terasa berat. Sesaat kemudian tak ampun lagi tubuhnya amblas jatuh ke tanah.

Kakek bergelar si Bayangan Api cepat men0l0ng Iblis Sumbing sementara Gandar Set0 mel0mpat ke arah gadis yang memanggul Wir0 sambil berteriak pada angg0ta pasukannya untuk bantu menyerang. Puluhan perajurit berserabutan melaksanakan penyerangan. Gadis yang jadi bulan-bulanan serangan tertawa nyaring. Tubuhnya tiba­tiba mencelat ke atas. Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuhnya. Sulit sekali dicari 0rang pintar yang bisa mel0mpat setinggi itu sambil membawa beban insan di bahunya!

“Kejar! Jangan biarkan ia melarikan diri!” teriak Gandar Set0.

Beberapa perajurit melemparkan g0l0k dan t0mbak mereka. Tetapi tak satu pun yang mengenai target ,

“Keparat! Seharusnya saya membawa serta pasukan panah!” maki Gandar Set0. Dalam keadaan salah satu tangannya patah begitu rupa Perwira Tinggi ini menc0ba menyusul mel0mpat ke atas sambil lepaskan satu pukulan tangan k0s0ng. Tapi hantamannya luput. S0s0k tubuh si gadis dilihatnya berkelebat turun ke arah kiri candi.

“Biar saya yang mengejar!” Di bawah sana terdengar bunyi teriakan si Bayangan Api. Seperti angin ia berkelebat ke samping kiri Candi Bl0r0k. Dia masih sempat melihat bayangan si gadis. Serta merta kakek ini lepaskan pukulan sakti. Tapi serangannya hanya menghantam pinggiran candi. Bangunan yang kena hantam ini hancur berserakan.

“Gadis keparat! Apa kamu kira bisa l0l0s dari tanganku!” kertak si Bayangan Api. Tidak percuma ia mendapat gelar mirip itu. Sekali ia bergerak tubuhnya tenyap dan hanya bayangan merah tertinggal di belakangnya. Saat itu ia sudah berada di p0t0ngan candi yang lain. Di satu tempat gelap ia kembali melihat bayangan 0rang yang dikejarnya. Dengan geram 0rang tua berkepala b0tak ini keruk saku pakaian merahnya. Setengah lusin senjata rahasia berupa panah-panah kecil berwarna merah melesat dalam kegelapan malam meninggalkan cahaya merah panjang mirip nyala api di ek0rnya.

“Pasti kena!” kata si Bayangan Api penuh yakin lantaran selama ini tidak ada yang bisa l0l0s dari serangan senjata rahasianya itu. Ia berkelebat menyusul ke arah lesatan senjatanya , Tapi ia jadi terperangah dan berseru kaget ketika tiba-tiba dari depan dilihatnya ada satu gel0mbang angin dahsyat yang menciptakan lima panah merah yang tadi dilepaskannya berbalik dan menghantam ke arah dirinya sendiri pada lima sasatan yang sulit dielakkan!

“Perempuan celaka. Kurang ajar!” maki si Bayangan Api panjang pendek. Dia jatuhkan diri ke tanah. Tiga anak panah lewat di atas tubuhnya. Anak panah ke empat menembus leher pakaiannya. Anak panah ke lima menancap di pundak kirinya. Si b0tak tua ini menjerit kesakitan!




9

HAWA asing berasal dari asap kelabu pendupaan Iblis Sumbing yang menciptakan Pendekar 212 jadi lumpuh tak berdaya perlahan-lahan keluar dari r0ngga hidungnya setiap ia bernafas. Perlahan-lahan pula ia mulai sadar dan ingat apa yang telah dialaminya. Dalam keadaan masih lemas ia hanya bisa berdiam diri di atas panggulan pundak kiri perempuan yang melarikannya. Wir0 berusaha melihat wajah 0rang yang men0l0ngnya itu tapi tak berhasil.

“Kuharap saja tuan pen0l0ngku ini bukan se0rang nenek sakti berwajah menyeramkan ,” kata Wir0 dalam hati. “Bau tubuhnya harum semerbak. Ilmu larinya tinggi sekali. Dia mempunyai tenaga luar biasa. Siapa perempuan ini sebenarnya?” Wir0 c0ba mengingat-ingat. “Mungkin Pandansuri , anak angkat mendiang Raja Renc0ng Dari Utara? Tak mungkin ia berada sejauh ini hingga ke tanah Jawa. Barangkali Anggini , murid Dewa Tuak…” Wir0 berusaha memutar kepalanya biar sanggup melihat wajah perempuan yang memanggulnya. Tapi masih susah. “Anggini selalu mengenakan pakaian ungu. Agaknya bukan dia. Astaga! Jangan-jangan Dewi Bunga Mayat!” Wir0 kembali mengingat lebih dalam. “Ah , bukan dia. Dewi Bunga Mayat selalu berkebaya putih dan mengenakan kain panjang. Tubuhnya menebar harum bunga kenanga. Yang mendukungku ini mempunyai wewangian semerbak yang tak pernah saya baui sebelumnya. Tapi , rasa-rasanya…”

Selagi berpikir-pikir mirip itu tiba-tiba Wir0 mencicipi 0rang yang memanggulnya menghentikan larinya. Lalu perlahan-lahan tubuhnya diturunkan , dibaringkan di atas tanah. Wir0 tidak perdulikan di mana ia berada. Yang dilakukannya dikala itu yakni segera melihat wajah 0rang di sampingnya itu. Hati sang her0 jadi berdebar. Kedua matanya membesar dan mulutnya berdecak melihat bahwa 0rang yang men0l0ngnya ternyata se0rang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan baju ringkas warna biru.

Seperti mendapat kekuatan Wir0 bangun dan duduk di tanah. Karena si gadis bersimpuh di sebelahnya maka tubuh dan wajah mereka berada begitu dekat. Sepasang mata bening sang dara memandang tak berkedip padanya.

“Gadis bagus tuan pen0l0ng. Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana. Kalau saya b0leh tahu siapa kamu ini adanya?”

Gadis di samping Wir0 tersenyum mendengar ucapan itu.

“T0l0ng men0l0ng yakni satu keharusan dalam dunia persilatan. Memberitahu siapa diriku bukan satu keharusan ,” berkata sang dara.

Wir0 tertawa lebar. “Ah , bagaimana saya akan mengingat budi 0rang. Kalau namanya saja saya tidak tahu… Dan saya bukan cuma berhutang budi. Tapi nyawa. Kau telah menyelamatkan diriku dari nenek bermulut sumbing itu.”

“Sudah , hal itu tidak perlu diingat-ingat lagi. Yang penting kini kamu sudah selamat. Dan saya harus segera meninggalkan tempat ini.”

Wir0 memandang berkeliling. Ternyata ia dan gadis pen0l0ngnya itu berada di puncak sebuah bukit kecil. Ketika dilihatnya si gadis hendak berdiri , cepat Wir0 memegang tangannya. Untuk sesaat lamanya kedua 0rang ini saling berpandangan.

“Sahabatku yang cantik. Sebelum pergi beritahu siapa namamu. Dan katakan apa yang harus kulakukan untuk membalas kebaikanmu.”

Gadis itu masih menatap Wir0 beberapa jurus lamanya kemudian berkata. “Aku bisa memperlihatkan seribu nama padamu.”

“Kalau begitu sebutkanlah. Siapa tahu saya bisa menghafalnya ,” jawab Wir0 sambil menahan tawa.

“Kau cerdik dalam kelucuanmu Pendekar 212!”

“Eh , ia tahu siapa diriku!” membatin Wir0.

“Namaku Kemala. Panggil saya dengan nama itu.”

“Namamu indah , wajahmu cantik. Aku benar-benar mirip kedatangan bidadari.” Wir0 kemudian lepaskan pegangannya pada tangan si gadis. “Terima kasih. Aku akan mengingat nama itu sepanjang zaman. Kalau saja saya bisa bertemu lagi kelak…”

“Pendekar 212. Ada satu cara jikalau kamu memang ingin membalas budi kebaikanku.”

“Katakanlah.”

“Temui se0rang gadis berjulukan Ratih Kiranasari. Dia menyukaimu. Bukan cuma suka tapi juga cinta. Bawa ia ke mana kamu pergi. Ambil ia jadi istrimu…”

Murid Eyang Sint0 Gendeng jadi melengak. Perlahan­lahan ia bangun berdiri. Gadis berjulukan Kemala juga berdiri. Keduanya berdiri berhadap-hadapan.

“Permintaanmu terlalu berat. Tidak mungkin kupenuhi. Bagaimana kamu bisa tahu…”

“Kabulkan saja harapanku. Sekarang saya harus pergi ,” kata sang dara.

“Tunggu!” ujar Wir0. “Aku bisa memenuhi permintaanmu menemui puteri Perwira Tinggi itu. Tapi saya tak mungkin membawanya ke mana saya pergi. Apa lagi mengambilnya jadi istri. 0rang gelandangan macam saya ini…”

Gadis di hadapan Wir0 maju selangkah. “Kalau dengan saya , kamu mau…?!” Wir0 jadi salah tingkah dan garuk-garuk kepala. Dia tak bisa menjawab. Jantungnya berdetak keras menciptakan debaran pada dadanya.

Kemala berdiri sangat dekat di hadapannya. Dia sanggup mencicipi hembusan nafas gadis bagus itu. Si gadis berjingkat. Tubuhnya kini hampir sama tinggi dengan Pendekar 212. Kedua tangannya digelungkan di belakang leher Wir0. Kepalanya diangkat. Sesaat kemudian bibirnya menempel di permukaan bibir Wir0. Ketika sang her0 memperlihatkan reaksi , Kemala mengecup bibir c0w0k itu penuh nafsu. Wir0 siap merangkul dan balas melumat bibir yang membara itu. Namun ia hanya merangkul angin. Kemala secara luar biasa cepatnya berkelebat pergi. Di satu tempat ia berhenti kemudian mengusap wajahnya dua kali. Setelah itu ia pun lenyap dari tempat itu.

Di atas puncak bukit itu kini hanya Pendekar 212 se0rang diri karam dalam kegelapan malam.

Wir0 termangu sambil garuk-garuk kepala. “Ilmunya luar biasa. Kecupannya menciptakan saya mirip mau gila. Gadis aneh. Muncul men0l0ng secara aneh. Perginya juga aneh. Sebelum pergi meninggalkan pesan aneh! Gila! Bagaimana saya harus kawin dengan puteri Perwira Tinggi itu? Ayahnya saja benci setengah mati padaku. Ingin membunuhku! Ah! Bagaimana ini! Daripada kawin biar saya menanggung d0sa mungkir janji! Melanggar pesan 0rang! Kalau dengan ia sih… ah!” Wir0 tidak meneruskan ucapannya.

***

Tepat tigapuluh hari berlalu semenjak kematian mengerikan menimpa diri Sarti dan Nandang di Desa Gedangan , pagi hari itu K0taraja digemparkan 0leh kejadian pembunuhan yang bentuk serta keadaannya sama dengan yang dialami Sarti dan Nandang serta Randu Wulung dan Rumini. K0rban kali ini yakni puteri sulung se0rang ningrat yang gres melangsungkan perkawinan selama tiga bulan di mana sang isteri berada dalam keadaan hamil muda. Keduanya ditemukan telah jadi mayat dalam kamar tidur. Sekujur muka serta tubuh luka dicabik-cabik mengerikan.

Perwira Tinggi Gandar Set0 didampingi 0leh Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut serta si Bayangan Api pagi itu juga segera menemui Patih Kerajaan. Tangan kanannya yang patah tampak dibalut dan masih belum begitu sembuh.

Tanpa banyak basa bau dan peradatan segala , Perwira Tinggi itu eksklusif saja bicara menyangkut kasus besar yang telah menggemparkan K0taraja itu.

“Paman Patih , ini yakni kali yang ketiga sepasang 0rang yang sedang berkasih-kasihan menemui ajal. Dibunuh secara keji dan kejam. Saya meminta izinmu untuk melaksanakan sesuatu…!”

Patih kerajaan mengusap janggut putihnya. “Apa yang hendak kamu lakukan Dimas Gandar?”

“Saya akan memperbanyak menyebar kepetangan di seluruh negeri. Si pembunuh harus segera dibekuk batang lehernya! Kalau tidak pasti k0rban-k0rban berikutnya akan segera menjadi mangsa si pembunuh biadab itu!”

Patih kerajaan mengangguk. “Aku sepakat sekali maksudmu itu Dimas Gandar. Kalau saya tidak salah ingat , bukankah kamu pernah menyampaikan bahwa kamu sudah tahu siapa 0rangnya. Yaitu se0rang her0 sesat berjulukan Wir0 Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Bukti perbuatan jahatnya masih tampak pada tangan kananmu yang cidera.”

Paras Perwira Tinggi Gandar Set0 tampak menjadi kemerahan.

“Betul sekali Paman Patih. Pencarian atas dirinya tetap kami lakukan… Hanya saja saya mulai merasa adanya sedikit keraguan. Jangan-jangan bukan ia pelakunya.”

“Semua urusan kuserahkan padamu Dimas Gandar. Kalaupun bukan ia 0rangnya , apakah kamu tidak bermaksud menangkap c0w0k itu? Bagaimanapun juga ia telah mencelakaimu. Dan pernah menculik puterimu.”

Gandar Set0 terdiam.

“Bagaimana keadaan puterimu kini Dimas Gandar?” Patih kerajaan mengalihkan pembicaraan sesudah melihat sang perwira mirip tertekan tidak enak.

“Ratih Kiranasari ada dalam keadaan baik-baik saja Paman Patih. Terima kasih atas perhatianmu.”

Patih tua itu mengangguk. Dia memandang pada dua 0rang yang ikut menemani bawahannya itu kemudian berkata. “Kulihat kamu membawa serta dua 0rang sahabat berkepandaian tinggi yang bisa diandalkan. Lalu apa sulitnya menangkap si pembunuh biadab dan mencari Pendekar 212 Wir0 Sableng?”

Karena Gandar Set0 tak bisa menjawab maka si Bayangan Api kemudian membuka mulut. “Seperti Paman Patih ketahui kami bertiga pernah menjebaknya di Candi Bl0r0k. Tapi kita lihat saja hasilnya. Pendekar 212 bukan se0rang her0 tingkat bawah. Kami memang berniat untuk memburunya hingga kapan pun. Namun sekali ini kami tidak saja harus mengandalkan kepandaian tapi juga kecerdikan. Apalagi tiga kali pembunuhan itu kami rasa ada sisi keanehannya di balik kekejaman dan kekejian aktual yang kita lihat.”

“Hem… asing bagaimana maksudmu?” tanya Patih Kerajaan ,

“Tiga kali pembunuhan terjadi atas diri lelaki perempuan yang merupakan pasangan saling berkasih sayang , walau satu pasang yaitu Nandang dan Sarti merupakan pasangan sesat memalukan. Lalu hal lain yang kami perhatikan , ketiga pembunuhan itu terjadi pada setiap bulan purnama. Selanjutnya kematian mereka dalam cara yang sama yaitu mati mirip dicabik-cabik hewan buas. Menurut beberapa 0rang yang mengetahui , menjelang dikala terjadinya kejadian mengerikan itu terdengar mirip bunyi l0l0ngan anjing! Hal lain , Den Ayu Ratih , puteri Perwira Tinggi Gandar Set0 menyampaikan pernah melihat seek0r srigala berkeliaran di Hutan Jati Mundu. Bukan tidak mungkin hewan ini pembunuhnya. Tapi ia tidak se0rang diri. Pasti ada yang memelihara dan memerintahkannya. Kami bertiga tadinya yakin Pendekar 212 yang memelihara hewan buas itu. Namun mirip tadi yang dikatakan Perwira Tinggi Gandar Set0 , kami mulai merasa ragu. Apa benar ia terlibat dalam semua pembunuhan itu atau tidak.”

“Segala abn0rmalitas akan tetap terpendam aneh. Semua hal yang bersifat rahasia akan tetap tidak terungkap jikalau kita tidak memecah dan mengungkapkannya. 0leh lantaran itu sekali lagi saya katakan , kalian bertiga saya tugaskan untuk menyingkap abn0rmalitas dan misteri ini , menangkap pelakunya. Entah ia itu seek0r hewan buas , se0rang insan atau punsetan iblis! Jika kalian merasa masih kurang berpengaruh , saya bersedia menghimpun beberapa 0rang pintar lagi untuk membantu…”

“Terima kasih atas petunjuk Paman Patih ,” kata Gandar Set0 pula. “Biarlah kami bertiga dulu meneruskan pengusutan. Bilamana dirasakan perlu akan tenaga pemanis kami tentu akan memberitahu Paman Patih. Sekarang kami bertiga m0h0n diri…”

Patih Kerajaan berdiri dari kursinya kemudian mengantarkan ketiga 0rang itu hingga ke pintu.




10

MALAM sebelum pagi yang menggemparkan itu. Se0rang berpakaian biru gelap berlari kencang dari jurusan timur. Dari rambutnya yang riap-riapan terperinci ia yakni se0rang perempuan. Hampir ia hingga ke pinggiran K0taraja di tempat timur itu tiba-tiba perempuan ini hentikan larinya. Cahaya rembulan tiga belas hari menimpa kepala dan tubuhnya. Ternyata perempuan ini yakni se0rang gadis muda berwajah bagus jelita.

Si gadis men0leh ke belakang. Lalu memandang berkeliling. “Jelas tadi kurasa ada sese0rang mengikuti. Tapi tahu-tahu ia lenyap mirip ditelan bumi. Biar kupancing.”

Gadis itu melanjutkan larinya kembali. Sambil berlari ia memasang telinganya tajam-tajam. Sekitar duapuluh langkah berlari telinganya kembali menangkap ada sese0rang membayang-bayanginya dari belakang. Di satu tempat kembali gadis ini hentikan larinya kemudian membalik dan hantamkan tangan kanannya ke jurusan di mana ia merasa pasti beradanya 0rang yang mengikutinya.

Wuuuttt!

Angin pukulan yang deras bersiuran di kegelapan malam.

Braaak!

Sebatang p0h0n waru kecil patah dan tumbang dengan bunyi berisik. Hanya itu yang terdengar kemudian sepi lagi. Tak ada bunyi 0rang menjerit atau mengeluh kesakitan terkena pukulan tangan k0s0ng mengandung tenaga dalam tinggi yang tadi dilepaskan si gadis. Dengan jengkel gadis itu memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanan. Tapi ia jadi melengak kaget ketika tiba-tiba di hadapannya terdengar bunyi menggemuruh mirip deburan 0mbak. Lalu entah dari mana asal muasalnya tahu-tahu di hadapan si gadis berdiri se0rang c0w0k berdestar hitam. Wajahnya ganteng tapi kedua telinganya lancip mencuat ke atas serta berbulu mirip pendengaran seek0r anjing hutan atau srigala. Sepasang b0la matanya bercahaya biru dalam kegelapan malam. Sesaat si gadis tampak tercekat. Namun ia segera sanggup menguasai dirinya. Dalam hati ia membatin. “Seperti perjanjian yang dikatakan Eyang Srigala Karang ternyata ia memang datang… Bagaimana saya men0laknya…”

“Gadis berjulukan Kemala. Kau pernah melihat diriku. Apa kamu masih mengenali…?”

“Aku mengenali ,” jawab si gadis yang ternyata Kemala adanya.

“Katakan siapa diriku!” Pemuda bertelinga srigala dan bermata biru memerintah.

“Kau Datuk Putra. Pendatang dari dunia gelap. Penguasa rimba belantara alam mistik hitam…”

“Bagus! Kau ternyata tidak lupa siapa diriku. Tapi apakah kamu juga ingat perjanjian yang kamu buat dengan Eyang Srigala Karang?”

Kemala terdiam.

“Jawab pertanyaanku Kemala!”

“Sebetulnya saya tidak punya perjanjian apa-apa dengan 0rang tua itu. Tapi ia memang menyampaikan sesuatu wacana dirimu. Bahwa kamu kelak akan muncul kalau saya sudah melaksanakan tiga kali pembunuhan…”

“Memang betul begitu. Tapi apa kamu juga ingat apa yang harus kamu lakukan untukku?”

Kembali Kemala tak bisa menjawab.

Pemuda bermata biru yang disebut dengan nama Datuk Putra tersenyum. “Perjanjian yang kamu buat dengan Eyang Srigala Karang mengikat dirimu dengan diriku. Sekarang ikuti aku…” katanya. Lalu membalikkan diri dan melangkah pergi.

Kemala memperhatikan.

Gadis ini terkejut ketika ia melihat bahwa Datuk Putra bukan melangkah di rimba belantara atau di satu tempat tepi K0taraja yang penuh semak belukar. Tapi c0w0k bermata biru itu dilihatnya melangkah menaiki tangga panjang yang berlapiskan permadani biru indah sekali. Di kiri kanan jalan berderet bunga-bunga aneka warna yang menyebar bau harum semerbak. Datuk Putra melangkah perlahan , menaiki anak tangga satu demi satu. Di depan sana kelihatan sebuah bangunan besar berbentuk istana , terang benderang bermandikan cahaya putih kebiruan , hijau dan merah lembayung.

Kemala mengedipkan kedua matanya berulang kali. Bahkan kemudian mengusapnya. Apa yang dilihatnya memang satu kenyataan. Dia tidak bermimpi. Dan entah apa yang mend0r0ngnya , gadis ini menggerakkan kedua kakinya. Selangkah demi selangkah mengikuti Datuk Putra menaiki tangga menuju pirttu yang terbuka dari bangunan berbentuk istana.

Di depan pintu Datuk Putra tampak menghentikan langkahnya kemudian memutar tubuh , berpaling ke arah Kemala yang dikala itu gres saja menjejakkan kedua kakinya di anak tangga teratas.

“Kekasihku , masuklah…” terdengar Datuk Putra berkata sambil menciptakan gerakan tangan yang mempersilahkan Kemala masuk ke dalam istana.

0tak si gadis walaupun sangat terpukau dengan suasana sekelilingnya tapi masih bisa bekerja baik. “Kekasihku…? Dia memanggil saya kekasih…? Apa g0t0ng r0y0ng yang hendak dilakukannya padaku?” Lalu kembali Kemala ingat akan ucapan Eyang Srigala Karang beberapa bulan lalu. “Setiap sesudah tiga kali melaksanakan pembunuhan pada tiga malam purnama , se0rang c0w0k yang mempunyai sepasang pendengaran panjang ke atas mirip srigala akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani c0w0k ini , memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengannya… kamu tak b0leh men0lak. Tak layak membantah. Itu syarat yang tidak bisa dir0bah!”

“Masuklah…” Datuk Putra kembali mempersilahkan seraya membungkuk dengan perilaku h0rmat se0rang pangeran mempersilahkan tuan puteri. Perlahan-lahan Kemala melangkah memasuki pintu besar istana. Datuk Putra mengikutinya dari belakang. Ruangan besar di balik pintu itu ternyata yakni sebuah kamar yang luar biasa indahnya. Di lantai terhampar permadani tebal dan lembut. Di dinding tirai aneka warna menghias. Di tengah ruangan terletak sebuah tempat tidur yang rangka-rangkanya berwarna kuning berkilauan se0lah terbuat dari emas. Bau ruangan itu benar-benar luar biasa harumnya.

“Kau harus melayani c0w0k ini , memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengannya…” Kembali terngiang bunyi Eyang Srigala Karang di kedua pendengaran Kemala. Bulu kuduk gadis ini jadi merinding. Dia membalikkan diri hendak menuju ke pintu dan segera meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba saja dua daun pintu besar itu bergerak dan menutup dengan cepat , menjadikan bunyi keras.

“Kemala , tak ada yang perlu ditakutkan. Menurut perjanjian seharusnya saya tiba ke kamar tidurmu. Tetapi kini kita malah berada di suatu tempat yang maha indah. Mengapa harus takut? Jangan sia-siakan waktu. Kita punya kesempatan bersenang-senang hingga sebelum matahari terbit.”

“Datuk Putra , apa yang hendak kamu lakukan?”

“Ah , merdu sekali suaramu menyebut namaku.” kata c0w0k bertelinga srigala dan bermata biru itu. “Kita kemari dan berada di tempat ini untuk memenuhi perjanjian. Nah mendekatlah padaku biar kita bisa bermesraan…”

“Aku tidak sudi…” kata Kemala seraya melangkah mundur mendekati pintu.

Datuk Putra tersenyum. Kedua tangannya bergerak menanggalkan kancing-kancing pakaiannya. Dia menatap pada Kemala dengan pandangan mesra kemudian berkata. “Kekasihku , ikuti apa yang saya lakukan. Buka pakaianmu.”

“Tidak…!” jawab Kemala. Di hadapannya dilihatnya Datuk Putra benar-benar membuka seluruh pakaiannya. Sesaat kemudian selagi ia berada dalam keadaan takut dan jijik menyaksikan pemandangan di depannya , tiba-tiba Datuk Putra mel0mpat ke arahnya. Dari tengg0r0kkannya terdengar bunyi menggemb0r mirip bunyi srigala. Sekali terkam saja tubuh Kemala sudah berada dalam pelukannya.

“Tidak! Lepaskan!” teriak si gadis. Kedua tangan Datuk Putra bergerak. Kemala menjerit. Entah bagaimana kedua tangan c0w0k itu tahu-tahu berhasil menanggalkan pakaian atasnya hingga Kemala kini berada dalam keadaan p0l0s di sebelah atas. Sepasang tangan Datuk Putra kini bergerak ke bawah. Saat itu rasa takut Kemala bermetam0rf0sis amarah. Gadis ini gerakkan tubuhnya. Dua tangannya ikut bekerja.

Tubuh Datuk Putra tiba-tiba mental ke atas. Selagi tubuh c0w0k ini mengapung jatuh , Kemala gerakkan tangan kanannya. Serangkum angin menderu dahsyat menghantam ke arah dada Datuk Putra. Pemuda bermata biru ini menciptakan gerakan jungkir balik di udara. Lalu tubuhnya melesat ke kiri. Sekali lagi tubuhnya berputar kemudian di lain kejap c0w0k ini sudah tegak di sudut kamar yang luas itu. Dia berpaling ke atas ketika terdengar bunyi bergemuruh. Pukulan tangan k0s0ng yang dilepaskan Kemala menghantam temb0k ruangan sebelah atas kiri hingga hancur awut-awutan dan kini kelihatan sebuah l0bang di dinding itu.

“Kekasihku , tidak kusangka kamu mempunyai ilmu kepandaian begitu tinggi. Tentunya akan lebih sedap bermesraan dengan 0rang secantik dan sepandaimu ini…”

Sambil berkata begitu Datuk Putra melangkah mendekati Kemala. Wajahnya tampak begitu mesra. Tapi begitu ia hanya satu langkah saja lagi dari hadapan si gadis tiba­tiba dari mulutnya keluar bunyi l0l0ngan dahsyat. Bersamaan dengan itu luar biasa cepatnya tangan kanannya melesat menghantam ke bat0k kepala Kemala!

“Manusia ingkar janji! Pecah kepalamu!” hardik Datuk Putra.

Suara l0l0ngan yang dahsyat menciptakan Kemala sesaat jadi tercekat. Untung gadis ini cepat menguasai diri dan sadar ancaman maut yang mengancam. Dengan cepat tangan kirinya dipukulkan melintang ke atas.

Bukkk!

Dua lengan saling beradu hingga menjadikan bunyi keras. Kemala mencicipi lengan kirinya mirip dipukul dengan besi. Sesaat tubuhnya terg0ntai-g0ntai. Sebaliknya Datuk Putra tampak menyeringai. Tubuh atau lengannya tidak bergeming sedikit pun. Namun tiba-tiba seringainya lenyap mirip direnggut setan. Lengan kanannya yang tadi beradu keras dengan lengan kiri Kemala tiba-tiba terasa panas mirip disengat bara api. Sengatan ini menjalar ke seluruh tubuhnya dengan cepat , menciptakan getaran yang menyakitkan laksana disayat pisau berapi. Datuk Putra cepat kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dan menumpas rasa sakit. Namun gres saja ia hampir berhasil menguasai diri tiba-tiba tinju kanan Kemala menderu menghantam lambungnya.

Datuk Putra menjerit keras. Tubuhnya terl0ntar ke belakang , menghantam dinding ruangan dengan keras.

“Gadis iblis!” desis Datuk Putra seraya bangun berdiri. “Kau bukan saja mengingkari kesepakatan , tapi berani berbuat kurang ajar. Melakukan kesalahan besar!” Datuk Putra mel0l0ng keras. Kedua tangannya diangkat ke atas. Ternyata kedua tangan itu telah bermetam0rf0sis dua kaki depan srigala. Kuku-kukunya mencuat keluar mengerikan.

“Kau akan mati dengan tubuh tercabik-cabik. Seperti kamu membunuh k0rban-k0rbanmu!” Sekali lagi Datuk Putra mel0l0ng. Wajahnya yang ganteng mendadak bermetam0rf0sis mirip seek0r srigala. Mulutnya membuka lebar. Lidahnya terjulur dan gigi-giginya tampak besar runcing , taringnya mencuat mengerikan.

“Makhluk iblis! Kau kira saya takut padamu!” hardik Kemala. Begitu Datuk Putra yang kepala dan kakinya telah berubah jadi srigala itu mengemb0r dan menerkamnya , si gadis angkat kedua tangannya ke atas kemudian serentak did0

r0ngkan ke depan.

Wuttt! Wuuuttt!

Dua larik gel0mbang angin yang mengeluarkan sinar hitam keluar dari telapak tangan Kemala kiri kanan. Tubuh Datuk Putra terangkat ke atas begitu dua larik cahaya hitam itu menghantam tubuhnya. Dari mulutnya keluar bunyi raungan keras kemudian tampak ada cairan merah mengalir dari sela-sela pengecap dan giginya! Makhluk insan berkepala srigala ini jatuh terkapar di lantai. Hanya sesaat lantaran di lain kejap ia cepat berdiri. Kepala dan kedua tangannya kembali ke bentuk semula.

“Gadis laknat! Aku tidak main-main lagi. Serahkan dirimu atau kamu mati dikala ini juga!” berkata Datuk Putra. Daun telinganya yang mirip srigala bergerak-gerak.

“Aku mau lihat apa kamu benar-benar bisa membunuhku!” jawab Kemala kemudian gadis ini tertawa panjang. Mukanya yang bagus membersitkan sinar bengis.

“Kalau begitu terimalah kematianmu dikala ini juga!” kata Datuk Putra. Kedua matanya yang biru memandang tak berkedip. Ditujukan tepat-tepat pada Kemala. Tiba-tiba cahaya biru pada kedua b0la matanya menjadi terang benderang. Di lain dikala dua larik sinar biru keluar menderu dari sepasang mata c0w0k dari alam mistik itu.

Wusss!

Wusss!

Kemala sempat terpekik. Lalu cepat menghindar.

Dua larik sinar biru menderu dan menghantam Kemala. Masih setengah jalan gadis ini sudah sanggup mencicipi hawa sangat panas yang keluar dari kedua sinar angker itu. Didahului 0leh satu bentakan garang tubuh Kemala terangkat ke atas kemudian mirip melayang tubuh ini berkelebat ke kiri. Dua larik sinar dahsyat menderu lewat di samping kepala si gadis , terus menghantam dinding ruangan besar. Kain tirai menjadi hangus dan api mulai berk0bar di ruangan itu. Di belakang kain tirai , dinding ruangan hancur berkeping-keping.

“Kepandaianmu tinggi , ilmumu bagus!” memuji Kemala. “Sayang kamu kurang cepat!” Lalu gadis ini balas menghantam dengan tangan kanannya. Serangkum cahaya hitam yang membersitkan bau menggidikkan menderu menghantam Datuk Putra. Pemuda ini terbanting ke dinding. Tubuhnya sebelah kanan terperinci tampak hangus , namun tak ada bau daging terbakar membuktikan ia memang bukan makhluk insan adanya! Tiba-tiba ia menggerang kemudian berdiri sambil memandang beringas ke arah Kemala.

“Kau kira saya sudah kalah? Kau kira kamu bisa membunuh diriku? Ha… ha… ha… Nyawamu ada di tanganku Kemala!” Selangkah demi selangkah Datuk Putra maju mendekati Kemala.

“Makhluk iblis keparat!” maki Kemala dalam hati. Lalu ia berbisik. “Datuk , Datuk , Datuk datanglah cepat. Kau kutugaskan untuk membunuh makhluk ini!”

Tiba-tiba ada bunyi menggelegar di atas atap bangunan. Menyusul mener0b0snya satu s0s0k panjang berwarna c0klat. Sesaat kemudian seek0r srigala besar yang kuku-kuku kaki depan dan mulutnya berselem0tan darah mendekam di samping Kemala. Sepasang matanya mengeluarkan sinar merah laksana bara api.

“Datuk , bunuh makhluk di depanmu! Cabik-cabik tubuhnya!”

Srigala yang dipanggil dengan nama Datuk itu menggereng keras. Punggungnya naik ke atas. Kedua kakinya dijulurkan ke depan sedang kepalanya merunduk. Binatang ini siap menerkam Datuk Putra.

Melihat hal ini Datuk Putra cepat membentak.

“Datuk! Kau berada di bawah kekuasaan Eyang Srigala Karang. 0rang tua itu berada dalam kekuasaanku! Kau haras tunduk padaku! Jangan dengar perintah gadis keparat itu!”

Datuk Srigala menggereng. Binatang dari alam mistik ini tampak mirip bimbang. Melihat hal ini Kemala cepat berkata.

“Datuk! Kau berada di bawah kekuasaanku! Tidak ada yang berhak memerintahmu selain aku! Jalankan apa yang saya katakan! Bunuh Datuk Putra!”

Mendengar ini Sang Datuk kembali keluarkan bunyi menggereng. Lalu mel0l0ng panjang. Sesaat kemudian tubuhnya mel0mpat ke arah Datuk Putra.

“Datuk! Jangan! Pergi! Bunuh gadis itu!” teriak Datuk Putra. Tapi tak ada gunanya. Datuk srigala tidak patuh padanya. Sesuai perintah Kemala hewan jejadian itu mulai mencabik dan meng0yak Datuk Putra mulai dari kepala hingga ke kaki. Hanya dalam waktu beberapa kejapan saja tubuh c0w0k itu sudah hancur luluh dik0yak dan dicabik Datuk srigala. Satu abn0rmalitas dilihat Kemala. Walau tubuh Datuk Putra cabik dan k0yak , namun tidak ada setetes darah pun keluar dari luka-luka mengerikan di tubuhnya itu!

Dari ekspresi Datuk Putra terdengar bunyi mirip air mendidih kemudian bersamaan dengan lenyapnya bunyi itu terlihat kepulan asap membungkus s0s0knya. Setelah itu tubuh yang dibungkus asap itu terangkat ke atas , melayang di udara dan lenyap lewat dinding kamar yang jeb0l.

Bersamaan dengan lenyapnya tubuh Datuk Putra terjadi lagi satu keanehan. Bangunan besar berupa istana megah itu tiba-tiba saja lenyap. Kemala dapatkan dirinya berada di satu daerah liar penuh semak belukar di tempat timur K0taraja.

“Eh , saya berada di tempat sebelumnya saya tadi berada…” kata gadis itu dalam hati. Dia men0leh ke samping ketika mendengar bunyi gerengan halus. Dilihatnya Datuk Srigala mendekam di tanah di sampingnya. Kemala mengusap kepala hewan ini. “Datuk , kini tak ada lagi yang menguasai kita. K0taraja berada dalam genggaman kita. Kerajaan berada dalam kekuasaan kita. Bahkan tanah Jawa ini! Kita bisa berbuat sesuka apa yang kita maui. Aku bisa mendapatkan c0w0k mana saja yang saya sukai. Namun… Kau tahu Datuk , hanya ada satu c0w0k yang mengikat lubuk hatiku… Di manakah ia berada dikala ini…?” Kemala termangu sejurus.

Datuk Srigala melunjurkan kepalanya di atas kedua kaki depannya kemudian menggereng halus. Kemala kembali mengusap kepala hewan ini. “Kau b0leh pergi kini Datuk. Ingat , bes0k malam bulan purnama hari empat belas kamu akan kupanggil lagi. K0rban kita sekali ini bukan insan sembarangan. Se0rang pangeran yang main gila dengan istri se0rang perajurit!”

Datuk Srigala kedip-kedipkan matanya. Perlahan-lahan ia bangun berdiri , kemudian sekali berkelebat hewan ini pun lenyap di kegelapan malam.




11

GEDUNG kediaman Perwira Tinggi Gandar Set0 diselimuti kegelapan dan kesunyian. Di pintu gerbang memang ada tiga 0rang pengawal berjaga­jaga. Namun perilaku mereka santai-santai saja dan sesekali terdengar bunyi gelak tawa ketiganya. Dengan gampang Wir0 mel0mpati temb0k sam–ping yang tidak seberapa tinggi. Begitu memasuki halaman dalam ia cepat menyelinap di antara p0h0n-p0h0n pisang , kemudian bergerak mendekati sebuah jendela. Dia tahu betul ini yakni jendela kamar tidur Ratih Kiranasari. Sesaat Wir0 hendak mengetuk jendela itu , tahu-tahu entah dari mana datangnya , muncul saja dua 0rang pengawal yang rupanya sedang melaksanakan per0ndaan.

“Pencuri tengik! Berani kamu hendak mencuri di rumah Perwira Tinggi Kerajaan?!” Salah se0rang dari dua pengawal membentak.

Kawannya tanpa banyak menunggu eksklusif menghunjamkan ujung g0l0k ke perut Wir0. “Jeb0l lambungmu pencuri tak tahu diuntung!”

Murid Eyang Sint0 Gendeng keluarkan bunyi siulan dari mulutnya. Tangannya kiri kanan bergerak. Saat itu juga dua pengawal mencicipi tubuh mereka menjadi kaku. Sekujur tubuh tak kuasa digerakkan lagi. Mulutpun mirip terkunci tak bisa mengeluarkan bunyi lagi. Keduanya telah kena dit0t0k 0leh sang pendekar. Wir0 memandang kedua 0rang pengawal itu dengan tersenyum sambil meletakkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir.

“Kalian berdua tenang-tenang saja di sini. Aku tak begitu suka diganggu.” kata Wir0 pula kemudian kembali mendekati jendela. Sekali lagi ia hendak mengetuk , namun sekali lagi pula gerakannya tertahan. Dari samping terdengar bunyi sese0rang menegur.

“Kalau Den Ayu Ratih Kiranasari yang kamu cari , ia tidak ada dalam kamar itu…”

Wir0 berpaling. Yang menegur ternyata Tej0. Kusir tua itu berdiri di hadapannya. Wir0 ingat akan perbuatan kusir tua ini beberapa waktu yang kemudian hingga ia terjebak dan hampir tertangkap 0leh Perwira Tinggi Gandar Set0 kalau tidak dit0l0ng 0leh Kemala si gadis misterius. Mengingat hal itu ingin sekali Wir0 menampar 0rang tua ini.

“Sekali ini apakah kamu bicara sungguhan Pak Tua? Kau menjebakku beberapa waktu lalu. Ingat?”

“Saya bekerja mencari makan di sini , anak muda. Saya terpaksa melaksanakan hal itu lantaran diperintahkan 0leh majikan saya Perwira Tinggi Gandar Set0…”

“Apakah ia juga yang memerintahkan untuk menyampaikan bahwa anak gadisnya tidak ada di kamarnya malam­malam buta begini?” tanya Wir0.

“Sekali ini saya tidak bicara dusta , anak muda. Di rumah hanya ada istri majikan saya saja se0rang diri. Para pembantu sudah tidur di kamar masing-masing.”

“Hem… sedang ke mana majikanmu Pak Tua?”

“Saya tidak tahu ke mana. Tapi tadi begitu malam tiba saya lihat Perwira Tinggi Gandar Set0 dijemput 0leh beberapa 0rang. Dua di antara mereka yakni nenek berbibir sumbing dan kakek berkepala b0tak merah. Lalu ada se0rang kakek tinggi kurus yang selalu mempermainkan sebuah b0la besi yang ada rantainya dan bergerigi…”

“Yang bermulut sumbing itu pastilah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut dan kakek b0tak pasti si Bayangan Api.”

“Saya tidak tahu terperinci gelaran kedua 0rang itu. Namun saya rasa memang mereka.”

“Ke mana 0rang-0rang itu pergi?” tanya Wir0.

“Saya tidak tahu pasti. Tapi saya mendengar mereka menyebut-nyebut nama se0rang pangeran…”

“Pangeran? Pangeran mana? Pangeran siapa?”

“Kalau saya tidak salah dengar mereka menyebut nama Pangeran R0n0 Kuw0r0. Mereka kemudian meninggalkan gedung ini , mengambil jalan ke arah barat.”

“Lalu apakah Den Ayu Ratih Kiranasari juga ikut bersama r0mb0ngan 0rang-0rang itu?”

Kusir tua Tej0 menggeleng. “Inilah yang saya tidak mengerti. Saya hanya melihat secara kebetulan. Ketika hendak keluar minta r0k0k pada pengawal , saya lihat Den Ayu Ratih mel0mpat keluar dari jendela. Sebetulnya saya hendak menegur apa yang tengah dilakukannya. Tapi ia keburu berlalu. Jangan-jangan ia menyelinap keluar untuk mencarimu , anak muda…”

Wir0 jadi garuk-garuk kepala. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke mana harus mencari gadis itu?” pikir murid Sint0 Gendeng dalam hati. Akhirnya ditinggalkannya tempat itu dan berlari menuju ke barat.

***

Rumah kayu di tengah ladang itu diselimuti kegelapan. Cahaya bulan purnama empat belas hari yang cukup terang tidak bisa mener0b0s p0h0n beringin berdaun lebat yang tumbuh di sebelah rumah.

Di tempat gelap , di balik serumpunan semak belukar empat 0rang mendekam tanpa bergerak tanpa bersuara. Setelah berada di tempat itu cukup lama , salah se0rang dari mereka mulai resah dan b0san berdiam diri terus­terusan. Dia berbisik , “Mungkin sekali 0rang yang kita tunggu tidak tiba malam ini…”

0rang di sebelahnya balas berbisik. “Aku yakin ia akan datang. Mungkin sebentar lagi. S0alnya se0rang prajuritnya mendengar terperinci pesan yang disampaikan lewat se0rang temannya.”

“Kita tunggu saja. Jika pembunuh keji itu memang masih gentayangan di sekitar sini , pasti ia akan muncul melaksanakan niat terkutuknya…”

“Berhenti berbicara. Aku mendengar bunyi kaki kuda mendatangi!”

0rang-0rang yang tadi bicara segera menutup mulut. Memang betul. Saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda mendatangi dari kejauhan. Tak lama kemudian di balik sebatang p0h0n cempedak hutan kelihatan muncul ses0s0k tubuh berpakaian hitam bersama kuda tunggangannya. Di bawah p0h0n 0rang ini berhenti sebentar. Kelihatannya ia mirip tengah memperhatikan suasana. Ketika dirasakannya semua serba k0ndusif , maka ia turun dari kuda kemudian menuntun hewan itu ke arah rumah kayu. Di satu tempat ia menambatkan kudanya pada sebatang p0h0n kecil kemudian melangkah ke p0t0ngan belakang rumah. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu belakang.

“Pangeran…?”

Dari dalam rumah terdengar bunyi perempuan perlahan sekali.

“Betul. Lekas bukakan pintu…”

“Tunggu , saya akan nyalakan lampu minyak dulu.”

“Jangan b0d0h. Jangan nyalakan lampu. Buka saja pintunya ,” kata lelaki di pintu belakang.

Pintupun kemudian terbuka. Lelaki tadi menyelinap lenyap ke dalam rumah.

“Gelap sekali Pangeran , bukankah lebih baik menyalakan lampu minyak?” Parempuan di dalam rumah membuka mulut.

“Sebenarnya saya tidak suka ada penerangan di dalam sini. Tapi baiklah. Aku sudah lama tidak melihat kecantikan parasmu dan keindahan tubuhmu…”

Lalu sebuah lampu minyak dinyalakan. Sinarnya kecil dan redup sekali. Tetapi 0rang yang dipanggil dengan sebutan pangeran sudah sanggup melihat terperinci perempuan di hadapannya. Langsung saja ia memeluk dan menciumi perempuan itu.

“Aku hampir gila tidak melihatmu sekian lama. Banyak sekali pekerjaanku di K0taraja…”

“Bagaimana dengan suami saya , Pangeran?”

“Kau tak usah khawatir. Sesuai permintaanmu , usulanku menaikkan pangkatnya jadi prajurit kepala telah dikabulkan Pimpinan Pasukan di K0taraja…”

“Saya mengucapkan terima kasih Pangeran. Saya sudah menyiapkan ranjang untuk kita berdua…”

“Bagus. Kau seharusnya pantas menjadi selir se0rang pangeran sepertiku. Bukan istri se0rang prajurit…”

“Tapi bukankah saya sudah bersedia untuk menjadi milik Pangeran selama-lamanya?” Perempuan itu membawa masuk lampu minyak ke dalam kamar. Lelaki tadi mengikutinya. Begitu masuk ke dalam kamar lelaki ini terus saja merebahkan diri di atas ranjang. Setelah menyantelkan lampu minyak di dinding kamar perempuan itu berdiri di tepi ranjang , Satu demi satu ia menanggalkan pakaiannya. Terakhir sekali ia membuka gelungan sanggulnya hingga rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas di depan dadanya. Melihat kepada raut wajah dan bentuk tubuh perempuan ini paling tinggi usianya sekitar duapuluh tahun dan belum pernah melahirkan. Sedang 0rang yang dipanggil dengan sebutan pangeran berusia hampir enampuluh. Rambut dan janggut serta kumisnya telah putih.

“Mulailah Arini…” bisik pangeran itu seraya mengusap tubuh perempuan yang tegak di samping tempat tidur.

Dari ekspresi perempuan berjulukan Arini tiba-tiba terdengar bunyi nyanyian. Nyanyian itu terdengar merdu walaupun perlahan. Sambil menyanyi ia menggerakkan tangan , kaki dan pinggul dan sesekali dadanya mirip se0rang penari. Kedua mata sang Pangeran terbuka lebar. Dia sudah berulang kali menyaksikan hal ini. Tapi ia tak pernah b0san dan inilah yang membuatnya selalu tergila­gila pada perempuan muda istri se0rang prajurit yang malam itu tengah menjalankan kiprah di K0taraja. Sambil mendengar bunyi nyanyian halus dan tarian yang memperabukan darahnya itu , sang Pangeran mulai menanggalkan pakaiannya.

Di luar rumah , di balik semak belukar. Terdengar bunyi rutuk perlahan. “Memang gila! Tidak kusangka Pangeran R0n0 Kuw0r0 begini mesum pekertinya. Isterinya sudah tiga. Gundiknya tidak terbilang. Masih saja ia menyempatkan diri menggauli isteri 0rang lain…”

“Pangeran itu mungkin tidak salah…” jawab mitra di sebelahnya.

“Tidak salah bagaimana maksudmu? Jelas ia melaksanakan perbuatan k0t0r! Kau kira apa yang dikerjakannya malam-malam begini mendatangi perempuan itu?!”

“Saya bilang Pangeran itu tidak salah. Yang salah yakni istri prajurit itu. Mengapa ia terlalu bagus dan menggiurkan begitu rupa…”

“Sudahlah , kenapa bertengkar! Kalian kira kita ini berada di tempat apa?” Se0rang di antara mereka menengahi.

“Semua diam. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Kuharap semua sesuai dengan rencana…”

Baru saja 0rang yang satu ini berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi l0l0ngan srigala , panjang menggidikkan. Empat 0rang di balik semak belukar sempat tercekat. Salah se0rang dari mereka berbisik. “Makhluk pembunuh itu tidak berapa jauh dari sini. Kita tunggu saja dan bersiaplah.”

Di atas sebatang p0h0n tak jauh dari rumah kayu di mana Pangeran R0n0 Kuw0r0 dan Arini tengah bergelung­gelung di atas tempat tidur , tanpa setahu empat 0rang yang sembunyi di balik semak belukar , dalam kegelapan mendekam se0rang berpakaian serba putih. Seperti empat 0rang yang ada di balik semak itu , diapun telah sempat menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Lalu ia mengambil perilaku menunggu dan tersentak ketika telinganya mendengar bunyi l0l0ngan srigala di kejauhan.

Di atas sebatang p0h0n lain , rahasia mendekam pula ses0s0k tubuh gemuk luar biasa sambil mengipasi wajahnya yang selalu berkeringatan dengan sehelai kipas lipat dari kertas. Mulutnya tidak berhenti k0mat kamit menggerag0t sebuah mangga hutan. Begitu mangga habis dimakannya kini tinggal bijinya. Sambil cengar cengir se0rang diri di atas p0h0n , si gendut yang mengenakan baju serta celana terbalik ini dan menggunakan sebuah peci hitam kupluk kebesaran di kepalanya memandang berkeliling. Dia menimbang-nimbang apakah akan melemparkan biji mangga itu pada salah se0rang yang bersembunyi di balik semak belukar di bawah sana atau pada c0w0k berpakaian putih g0ndr0ng yang mendekam di atas p0h0n dekat rumah kayu. Si gendut ini akhirnya menentukan 0rang yang di atas p0h0n. Tangannya yang memegang biji mangga bergerak melempar. Gerak lemparannya mirip hirau tak hirau saja. Tapi begitu melesat biji mangga itu laksana terbang menderu ke arah sasaran. 0rang di atas p0h0n terkejut dan mengeluh kesakitan ketika biji mangga menghantam keningnya. Dia hendak menyumpah panjang pendek tapi cepat menutup mulutnya. Padahal empat 0rang itu di bawah sana sudah sempat mendengar keluhannya tadi.

“Bangsat sialan! Siapa yang menyambit keningku!”

Di bawah sana , di balik semak belukar empat 0rang yang bersembunyi saling pandang. “Aku mendengar bunyi mirip 0rang mengeluh kesakitan…”

“Betul ,” menyahuti mitra di sebelahnya. “Datangnya dari atas sana…” Dia kemudian menunjuk ke atas p0h0n besar di belakangnya.

“Diam semua! Tidak kalian dengar bunyi l0l0ngan makhluk hantu dan derap kaki kuda yang semakin mendekat?!” ujar lelaki ke tiga yang memegang b0la besi.

Dalam kegelapan malam tiba-tiba terasa ada angin menderu. Sesaat kemudian dekat rumah kayu kelihatan dua s0s0k makhluk. Sinar bulan purnama tidak menyentuh s0s0k tubuh itu. Namun empat 0rang yang ada di balik semak belukar dan dua 0rang yang mendekam di atas p0h0n sanggup melihat dengan terperinci siapa adanya makhluk­makhluk itu.

“Lihat!” bisik salah se0rang dari empat 0rang di balik semak-semak. Suaranya bergetar.

“Astaga…” Menyahuti yang lain. “Aku belum buta. Aku mengenali sekali. Perempuan muda itu yakni 0rang yang temp0 hari men0l0ng Pendekar 212 ketika hendak kutabas batang lehernya! Makara ia rupanya biang bahalanya…”

“Dia membawa seek0r srigala besar bermata mirip bara api. Mengerikan. Pasti hewan itu yang jadi suruhannya dalam melaksanakan pembunuhan!”

Di atas p0h0n 0rang berpakaian putih mirip tak percaya akan pemandangannya.

“Kemala… Ah! Kalau tidak melihat sendiri tidak percaya aku! Dia tiba bersama hewan itu. Dia pemilik srigala penyebar maut itu…?”

Di bawah sana gadis yang tegak di samping srigala besar dengan ekspresi dan kaki depan penuh lumuran darah sesaat memandang berkeliling. Tidak mirip biasanya kali ini ia tiba-tiba saja merasa tidak enak.

“Seperti ada makhluk-makhluk lain di sekitar sini…” Katanya dalam hati. Dia memandang lagi ke sekitarnya. Tak kelihatan apa atau siapapun. Lalu tangan kanannya mengusap kepala srigala itu.

“Datuk , jalankan tugasmu. Bunuh kedua insan mesum di dalam rumah itu!”

Srigala besar itu menggereng. Kepalanya mend0ngak ke atas. Mulutnya terbuka dan lidahnya menjulur. Sepasang matanya membersitkan sinar merahnya bara api yang angker sekali. Tiba-tiba hewan ini menggereng sekali lagi. Lebih keras. Lalu tubuhnya melesat ke depan. Dinding rumah yang terbuat dari kayu laksana sehelai kertas tipis saja. Hancur awut-awutan kena seruduknya. Sesaat kemudian di dalam rumah terdengar pekik jerit Pangeran R0n0 Kuw0r0 dan Arini mengerikan sekali. Lalu sunyi!

Dari dinding rumah yang jeb0l kelihatan keluar srigala tadi. M0nc0ng dan kedua kaki depannya kelihatan berlumur darah mengerikan. Binatang ini berhenti di samping si gadis.

“Bagus Datuk. Kau menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini!” kata si gadis pula.

Pada dikala itulah empat 0rang yang bersembunyi di balik semak belukar , kalau tadi mereka se0lah terpukau 0leh apa yang terjadi , kini mereka mirip disentakkan dan sama-sama mel0mpat keluar!

“Makhluk-makhluk iblis! Kali ini kalian tidak bisa l0l0s lagi!” Satu dari empat 0rang itu membentak.

Srigala besar menggereng. Si gadis terkejut dan cepat memandang berkeliling. Empat 0rang telah mengurungnya. Tiga di antara mereka segera dikenalinya. Yang se0rang yaitu kakek kurus tinggi yang memegang b0la besi berantai tidak diketahuinya siapa adanya.

“Tiga durjana tidak tahu diri! Pelajaranku temp0 hari rupanya tidak menciptakan kalian kap0k! Kalian berani muncul lagi , malah membawa se0rang kawan!”

Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut menggemb0r kemudian berkata. “Perempuan durjana! Kau dan hewan peliharaanmu hanya bisa hidup hingga malam ini! D0sa kalian sudah lewat dari takaran! Cuma kematian satu­satunya penebus d0sa-d0samu!”

Si gadis yaitu Kemala tertawa perlahan. “Nenek sumbing , bicarapun kamu belum pintar , mau menghabisi kami pula. Tua bangka tidak tahu diri! Nanti kujejali lagi mulutmu dengan asap pendupaan yang kamu bawa itu!”

Lelaki yang tangannya diikat kain mendengus. Dia bukan lain yakni Perwira Tinggi Gandar Set0. “Iblis perempuan! Ajalmu tak lama lagi! Sebelum mampus lekas katakan mengapa kamu membunuhi 0rang-0rang itu?”

“Ah , kamu tentunya Perwira Tinggi Gandar Set0!” jawab Kemala. “Dengar Perwira. Aku memberi keampunan bagi jiwamu. Lekas tinggalkan tempat ini! Tiga kawanmu tak perlu kamu perdulikan. Mereka memang layak mampus di tempat ini! Malam ini juga!”

Dua 0rang di samping Gandar Set0 tentu saja merasa tersinggung. Kakek-kakek yang memegang b0la besi dan dikenal dengan julukan si Pelumat Jagat berbisik pada kakek b0tak di sebelahnya. “Bayangan Api , kucing betina itu tampaknya tidak memandang sebelah mata pada kita. Untung wajahnya cantik. Kalau ia bisa melayaniku barang semalaman mungkin bisa kukurangi eksekusi bagi dirinya…”

Celakanya apa yang dikatakan kakek tinggi kurus itu terdengar 0leh Kemala. Maka gadis ini pun mel0t0t.

“Tua bangka cabul! Kau sama saja dengan lelaki-lelaki lain! Sudah renta masih saja hendak mengumbar nafsu! Kau layak mati pertama sekali!”

“Bagus , saya mau tahu bagaimana rasanya mati di tangan gadis secantikmu. Tapi eh…! Apa betul kamu masih gadis , masih perawan? He… he… he!

“Keparat! Terima kematianmu!” teriak Kemala. Gadis ini mel0mpat ke depan. Tangan kanannya menderu ke arah kepala si kakek kurus. Yang diserang tak tinggal diam. B0la besi bergerigi dan berantai di tangan kanannya menyapu ke depan.

Wuuuttt!

B0la besi itu lenyap dan kini hanya kelihatan sinar hitam disertai angin masb0d0h menggidikkan. Si gadis terkejut ketika merasa ada sesuatu menyambar ke atas lehernya. Dengan cepat ia tinjukan tangan kirinya.

Buukkk! Byuuurrr!

Kemala tersurut satu langkah. Tangan kirinya merah dan lecet. Gadis ini tampak menahan rasa kagetnya. Tapi yang lebih terkejut yakni kakek bergelar si Pelumat Jagat. Dia mel0mpat mundur hingga tiga langkah. Parasnya berubah putih. Di tangan kanannya kini ia hanya memegang rantai. B0la besinya ternyata hancur lebur dihantam pukulan tangan kiri Kemala!

“Celaka! Jangan-jangan gadis ini bukan insan biasa. Tapi makhluk jejadian yang mempunyai ilmu hitam! Kalau tidak segera dihabisi bisa berabe!” Lalu ia berpaling pada tiga kawannya. “Para sahabat! Tak perlu sungkan! Lekas ker0y0k gadis dajal ini!”

Mendengar seruan si Pelumat Jagat , Gandar Set0 segera hunus g0l0k besar dengan tangan kiri sedang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa sudah lebih dulu mel0mpat sambil meniupkan asap pendupaannya. Kali ini ia tidak mengandalkan asap pendupaan yang mengandung hawa asing tapi tidak mempan terhadap si gadis , melainkan ia meniup untuk melesatkan jarum-jarum beracun yang ada di atas bara api! Begitu ia meniup selusin jarum merah membara menderu ke arah Kemala. Si Bayangan Api tidak tinggal membisu , ia mel0mpat ke dalam kalangan pertempuran sesudah terlebih dulu melepaskan lima senjata rahasia berupa anak panah berwarna merah!

Kemala tampaknya tenang-tenang saja melihat empat serangan penger0y0k itu. Sebaliknya 0rang berpakaian putih di atas p0h0n tidak sanggup lagi menahan diri melihat ancaman yang mengancam si gadis. Sambil lepaskan satu pukulan sakti ia mel0mpat turun dari atas p0h0n!

“Pukulan Sinar matahari!” teriak si Bayangan Api ketika ia melihat ada bunyi menggemuruh disertai berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan.

Empat penger0y0k cepat mel0mpat mundur.

Bummm!

Sinar pukulan yang menebar hawa sangat panas itu menghantam tanah hingga terb0ngkar. Bumi laksana dilanda lindu. Semua yang menyerang tersentak mundur dan semua senjata yang digunakan untuk menyerbu mental ke udara bersama kerikil dan pasir serta tanah yang beterbangan. Di tanah kini kelihatan sebuah l0bang besar!

“Ha… ha! Se0rang sahabat telah menciptakan liang kubur bagi kalian! Siapa yang mau masuk lebih dahulu?!” berseru Kemala. Memandang ke samping dilihatnya Pendekar 212 Wir0 Sableng tegak dengan kaki terpentang , menatap ke arah empat 0rang yang mengurung.

“Dicari-cari tidak bertemu. Sekarang malah tiba sendiri! Dua tangkapan sekaligus! Besar nian rejeki kita?” kata Gandar Set0 begitu melihat Pendekar 212 berada di tempat itu.

“Sudah kuduga , c0w0k keparat ini punya kekerabatan tertentu dengan gadis iblis ini! Ternyata betul! Sayang se0rang her0 sakti mandraguna yang disegani dalam dunia persilatan ternyata berk0mpl0t dengan gadis pembunuh!” membuka ekspresi Si Bayangan Api.

“Kalian 0rang tua-tua terserah mau bilang apa. Tapi saya tidak sudi melihat empat 0rang t0k0h silat menger0y0k se0rang gadis!”

“Yang kami ker0y0k bukan gadis biasa. Tapi gadis iblis!” jawab Gandar Set0. “Kau mau men0l0ngnya? Berarti bersiaplah untuk mampus!”

“Kalian tidak bisa melawannya. Ilmunya jauh berada di atas kalian. Jangan jadi 0rang-0rang t0l0l. Pergi dari tempat ini. Jangan ganggu sahabatku ini!”

“Ternyata kamu pun memang sudah benar-benar sesat mirip iblis betina itu! Kawan-kawan mari kita berjibaku menyingkirkan sepasang iblis ini!” teriak si Bayangan Api.

Keempat 0rang itu siap hendak menyerbu kembali. Wir0 segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212.

“Wir0 , tunggu!” tiba-tiba Kemala berseru.

“Kemala , tinggalkan tempat ini cepat. Biar saya yang melayani empat tua bangka ini!” ujar Pendekar 212.

“Mengapa kamu atau saya harus mencapaikan diri menghadapi 0rang-0rang ini? Biar Datuk yang membereskan mereka?” kata Kemala pula seraya melangkah mendekati srigala besar. Tangan kanannya mengusap kepala hewan itu yang segera menggereng dan d0ngakkan kepalanya.

“Kemala , saya ingin kamu tidak melaksanakan pembunuhan lagi. Aku akan c0ba menyadarkan keempat 0rang itu. Aku minta biar kamu segera meninggalkan tempat ini!”

Si gadis hendak membantah tapi melihat air muka Pendekar 212 ia menjadi bimbang. Akhirnya ia berkata perlahan. “Datuk , mari kita pergi..”

Srigala yang tadi tampak buas kini kelihatan ikut jinak. Dia membalikkan diri mengikuti langkah tuannya. Tapi gres satu langkah bergerak tiba-tiba dari atas p0h0n melayang turun sebuah benda bundar berputar-putar , kemudian bluk! Se-0rang c0w0k berbadan gendut buntak , bermuka bundar yang selalu keringatan tahu-tahu tegak menghadang di depan Kemala dan Datuk Srigala. Di tangan kanan c0w0k gendut itu ada sebuah kipas lipat dari kertas yang dikipas­kipaskannya kian kemari. Kepalanya disungkup dengan sebuah peci hitam kupluk.

“Gadis dan srigala , kalian tidak b0leh pergi dulu sebelum kalian kubebaskan dari sekapan iblis pembawa ilmu hitam!”

“Gendut keparat! Siapa kamu yang berani menghadang jalanku?!” hardik Kemala sementara srigala di sampingnya mulai kelihatan beringas.

“Aku se0rang sahabat. Pemuda yang kamu sukai itu juga sahabatku! Kepercayaan pada sahabat yakni di atas segala-galanya!”

“Gendut! Aku tak kenal dirimu , apa lagi menjadi sahabatmu!” hardik Kemala.

Si gendut tertawa. “Persahabatan itu tidak selalu harus saling kenal…”

Kemunculan c0w0k gendut berpeci kupluk dan mengenakan pakaian terbalik ini menciptakan Wir0 terkejut. Beberapa waktu yang kemudian ia muncul secara tiba-tiba mirip dikala ini untuk menyelamatkan se0rang gadis. Kini ia muncul kembali dan berkata hendak membebaskan Kemala dan srigala itu dari sekapan iblis! “Si gendut ini ngac0 atau bagaimana…?” kata Wir0 pula. Selagi ia berpikir-pikir mirip itu dari samping tiba-tiba sekali si Bayangan Api dan si Pelumat Jagat telah bergerak menyerangnya. Dari jurusan lain Gandar Set0 dan Iblis Sumbing juga ikut bergerak menghantam ke arah Kemala.

Si gendut tampak jengkel sekali. Setelah memaki panjang pendek ia mel0mpat mundur. “Manusia-manusia t0l0l! Kalian semua mencari kematian secara sia-sia!”




12

SI BAYANGAN Api walau mempunyai kepandaian silat tinggi namun ia tidak membawa senjata. Memang ia membekal senjata rahasia berupa panah-panah merah tapi dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa senjata rahasia itu tidak mungkin dipergunakan. Hal yang sama juga terjadi dengan si Pelumat Jagat. B0la besi yang merupakan senjata andalannya telah dihancurkan 0leh Kemala. Sebenarnya kedua t0k0h silat ini menghadapi Pendekar 212 dengan setengah hati. Apalagi dikala itu murid Eyang Sint0 Gendeng sudah eksklusif keluarkan senjata mustikanya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212. Setiap senjata ini dibabatkan atau dibac0kkan terdengar bunyi bergemuruh laksana ribuan taw0n mengamuk. Sinar panas putih menyilaukan yang keluar dari kedua mata kapak menciptakan dua lawannya menjadi semakin ciut nyali masing-masing. Karena tak berani mendekat kedua kakek ini berusaha menggempur dengan pukulan-pukulan tangan k0s0ng jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Si Pelumat Jagat sesekali bertindak curang , c0ba menyerang dari belakang. Namun semua serangan lawan dibentuk mental 0leh sambaran-sambaran Kapak Maut Naga Geni 212.

Setelah menggempur habis-habisan hingga limabelas jurus gerakan si Bayangan Api tidak lagi secepat kilat dan tubuhnya tidak lagi laksana bayangan merah. Begitu juga si Pelumat Jagat gerakan-gerakannya menjadi lamban. Kedua kakek ini mulai main mata , saling memberi isyarat bahwa lebih baik mereka kabur saja dari tempat itu. Begitu ada kesempatan keduanya menyerang gencar secara kilat kemudian satu menghambur ke kiri , satunya lagi ke arah kanan.

Murid Eyang Sint0 Gendeng cepat hendak hantamkan pukulan Sinar Matahari ke arah si Pelumat Jagat dan lepaskan jarum-jarum rahasia dari ekspresi kapak ke arah si Bayangan Api namun sesudah berpikir maksudnya itu segera dibatalkan. Sebenarnya buat apa mengejar 0rang-0rang itu dan mencelakai mereka. Keduanya pasti hanyalah menjalankan kiprah untuk menumpas kejahatan Kemala. Dan ia sudah menyaksikan sendiri tadi bagaimana si gadis memerintahkan srigala peliharaannya membunuh Pangeran R0n0 Kuw0r0 serta istri prajurit yang ser0ng itu. Meski ia belum menyaksikan mayat kedua 0rang itu , namun mirip kejadian yang sudah-sudah dua 0rang di dalam rumah pasti menemui final hidup dengan tubuh tercabik-cabik.

Wir0 putar tubuh memperhatikan perkelahian yang terjadi antara Kemala yang diker0y0k 0leh Iblis Sumbing dan Perwira Tinggi Gandar Set0. Baik Gandar Set0 maupun Iblis Sumbing sangat garang untuk sanggup menghabisi lawannya dikala itu juga. Si nenek berulang kali tiupkan asap kelabu dari pendupaan yang ada di tangan kirinya. Tujuannya bukan untuk menciptakan lawan menjadi lemas 0leh hawa yang keluar dari dalam asap. Dari perkelahian pertama sebelumnya ia sudah tahu Kemala mempunyai ilmu kebal yang tak sanggup ditembus 0leh asap pendupaannya. Karenanya asap itu ditiup untuk menghalangi pemandangan lawan sehingga ia bisa bergerak leluasa dalam melancarkan serangan-serangan. Tetapi Kemala bukan lawan yang gampang dikec0h. Setelah mengambil perilaku bertahan selama sepuluh jurus tiba-tiba gadis ini berseru.

“Datuk! Lekas kamu hajar nenek bermulut sumbing itu. Jangan diberi ampun! Aku akan melayani Perwira Kerajaan ini!”

Mendengar ucapan tuannya itu srigala besar menggereng keras. Kedua matanya memancarkan sinar membara. Didahului 0leh bunyi meraung yang menggidikkan hewan ini kemudian mel0mpat ke arah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Si nenek yang menganggap remeh serangan hewan ini pergunakan kaki kirinya untuk

menendang.

Bukkk!

Tendangan kaki kanan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut memang tepat mengenai p0t0ngan dada srigala bermata api. Binatang ini mencelat hingga dua t0mbak. Tapi apa yang dialami si nenek sendiri menciptakan c0w0k gendut berk0piah kupluk dan juga Pendekar 212 jadi merinding. Si nenek terdengar menjerit setinggi langit. Kaki kanannya sebatas paha hingga ke betis ternyata telah k0yak lebar dan dalam. Meskipun gelap tapi tulang tungkainya masih bisa terlihat jelas. Pendupaan di tangan kirinya jatuh. Belum sempat benda ini menyentuh tanah tiba-tiba srigala itu kembali menyerbunya dengan ganas. Raungan si nenek tertindih 0leh bunyi raungan hewan itu. Leher Iblis Sumbing tampak r0bek. Urat-uratnya mencuat putus dan darah menyembur. Dadanya terkuak menyebulkan tulang-tulang iganya. Lalu di sebelah bawah perutnya r0bek membusai semua isi yang ada di dalamnya!

Pemuda gendut mengeluarkan bunyi mau muntah menyaksikan kejadian itu. Murid Eyang Sint0 Gendeng mengerenyit sambil menutup ekspresi dengan tangan kiri sementara tengkuknya merinding dingin. Dia sempat tertunduk ngeri. Ketika ia mengangkat kepalanya kembali , sekujur tubuh si nenek sudah tak bisa dikenali lagi!

“Gusti Allah!” seruan itu keluar dari ekspresi Perwira Tinggi Gandar Set0 begitu ia sempat melihat apa yang terjadi atas diri Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Sekujur tubuhnya bergetar hebat dan tiba-tiba saja ia mirip tidak punya tulang belulang lagi , lemas dan ketakutan setengah mati.

“Perwira , saya memberi kesempatan padamu. Jika kamu tidak segera minggat dari sini saya akan suruh hewan itu meng0yak tubuhmu!” kata Kemala pula dengan pandangan mata tak berkedip.

“Jangan! Jangan!” Hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan 0leh Gandar Set0. Lalu ia memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat itu secepat yang bisa dilakukannya.

Kemala menarik nafas dalam. Dia memandang berkeliling. Pandangannya bertemu dengan pandangan Pendekar 212 yang dikala itu melangkah mendekatinya dengan wajah se0lah tak percaya.

“Kemala…” desis Wir0 begitu ia hingga di hadapan si gadis.

“Wir0 , kini kamu tahu siapa diriku. Kau pasti amat menyesal. Kau hendak melaksanakan sesuatu terhadapku?” meluncur kata-kata itu dari ekspresi Kemala.

Wir0 menggeleng kemudian menggaruk kepala. “Aku… saya tak tahu harus bicara apa. Harus melaksanakan apa. Terus terang memang saya tidak menyangka…”

Si gadis tampak tersenyum. “Apakah kamu sudah menemui Ratih Kiranasari , gadis yang mencintaimu itu?”

“Eh! Tunggu dulu!” Tiba-tiba c0w0k gendut yang semenjak tadi asyik menyaksikan jalannya perkelahian berseru. “Aku mau bicara!”

“Gendut tak tahu diri! Jangan campuri urusan kami!” sentak Kemala.

“S0batku , lebih baik kamu dengarkan kata-katanya ,” ujar Wir0 pula pada si gendut berk0piah kupluk

“Busyet! Kau yang harus mendengarkan saya Wir0?! Jangan hingga terjebak! Kau tak tahu siapa adanya gadis ini!” menjawab si gendut.

“Eh! Apa maksudmu?” tanya Wir0 pada si gendut kemudian berpaling pada Kemala dan kembali men0leh pada c0w0k gemuk di hadapannya itu.

Kemala sendiri dikala itu mendadak berubah wajahnya. Dia memandang ke arah bulan purnama empat belas hari di langit. Mulutnya terbuka. “Datuk , lekas kamu bunuh c0w0k gendut itu!”

Srigala bermata api meraung keras. Tubuhnya merunduk. Si gendut mel0mpat mundur seraya berseru pada Wir0. “S0bat! Lekas kamu berikan padaku kerikil hitam pasangan Kapak Naga Geni 212! Cepat!”

Srigala besar itu semakin merunduk. Kedua kaki depannya karam ke dalam tanah tanda ia hendak menciptakan satu terkaman yang hebat luar biasa.

“Wir0 lekas! Berikan padaku kerikil hitam keramat pasangan Kapak Naga Geni 212!” teriak si gendut sekali lagi.

Dalam heran dan bingungnya tentu saja Wir0 tidak memenuhi usul si gendut itu. Tiba-tiba srigala besar melesat ke depan. Si gemuk menjerit kalang kabut kemudian lari lintang pukang selamatkan diri ke balik p0h0n beringin besar. Walaupun gerakannya terlihat lamban dan benar­benar mirip 0rang ketakutan tetapi anehnya si gendut ini ternyata berhasil l0l0s dari terkaman srigala.

Melihat serangannya gagal hewan ini menggereng marah. Dia membalik dan kembali menyerang. Kali ini si gendut mel0mpat ke atas. Kedua tangannya menangkap akar gantung besar p0h0n beringin. Tubuhnya yang gendut dig0yangnya. Hebat sekali , tubuh yang beratnya hampir 150 kati itu berayun-ayun kemudian melesat ke depan. Terkaman srigala lewat setengah jengkal di bawah selangkangannya! Si gendut menjerit. Pegangannya dilepaskan dari akar gantung. Tubuhnya jatuh melesat tepat ke arah Wir0. Kedua 0rang ini sama-sama jatuh bergedebukan di tanah , bergulingan beberapa kali kemudian tampak si gendut berdiri lebih dahulu. Ketika Wir0 berdiri pula dilihatnya si gendut memegang sebuah benda hitam di tangan kanannya. Wir0 cepat meraba pinggangnya. Astaga! Batu hitam empat persegi pasangan Kapak Naga Geni 212 yang selalu disimpannya di balik pinggang pakaian telah lenyap. Benda itu kini berada dalam genggaman si gendut berpeci kupluk!

“Gendut sialan! Kau hendak berbuat apa dengan kerikil mustika itu! Lekas kembalikan!” teriak Wir0 dan hendak mel0mpat untuk merampas kerikil hitam miliknya.

“Sahabat , tabah dulu! Justru hanya benda ini yang bisa men0l0ng srigala jejadian itu bebas dari ilmu hitam , dari sekapan iblis! Juga hanya kerikil mustika ini yang sanggup membebaskan sebagian dampak iblis dalam diri Kemala!”

“Aku tidak mengerti maksudmu!” teriak Wir0 masih marah.

“Kalau kamu belum mengerti makanya lihat saja!” jawab si gendut. Lalu ia melangkah ke arah srigala bermata api yang kembali hendak menerkamnya. Dengan cepat si gendut ini acungkan ke depan kerikil mustika hitam di tangan kanannya. Terjadilah hal yang aneh. Raungan srigala mendadak berubah kuncup dan kini mengecil tak ubah mirip bunyi seek0r anjing yang ketakutan dimarahi tuannya. Binatang ini bersurut sambil rundukkan kepalanya. Tiba-tiba ada sinar merah melesat dari kedua matanya , menyerang ke arah si gendut. 0rang yang diserang cepat menangkis dengan kerikil hitam di tangannya. Dua larik sinar merah tadi kelihatan bergetar keras kemudian membalik dan laksana masuk menembus ke dalam ke dua mata srigala. Binatang ini meraung panjang. Tubuhnya tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan tubuh itu tampak dibungkus 0leh kepulan asap hitam berbau amis. Ketika asap hitam sirna , di tanah hanya kelihatan se0ngg0k tulang belulang putih , membujur rapi mirip ruas-ruas tulang srigala.

“Datuk…!” jerit Kemala ketika menyaksikan apa yang terjadi. Dia memburu hendak menjatuhkan diri di atas tumpukan tulang belulang itu.

“Jangan!” teriak si gendut seraya mend0r0ngkan tangan kirinya. Serangkum angin deras menyambar menciptakan gerakan tubuh Kemala tertahan kemudian perlahan-lahan terjajar mundur. Baru saja ia menjauh sejarak tiga langkah tiba­tiba terdengar letusan-letusan keras. Tulang belulang di tanah bermentalan kian kemari kemudian lenyap tak berbekas mirip asap dihembus angin malam!

Kemala memutar tubuhnya ke arah si gendut. Sepasang matanya membersitkan sinar pembunuhan. Kedua tangannya diangkat ke atas.

“Kau… Kau membunuh Datuk. Sekarang kamu harus jadi pengiring kematiannya!” Kemala menjerit panjang. Suara jeritannya hampir ibarat l0l0ngan srigala. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke arah si gendut. Melihat hal ini si gendut cepat angkat tangannya yang memegang kerikil mustika hitam milik Pendekar 212 Wir0 Sableng. Seperti kesilauan Kemala menutupi kedua matanya dengan tangan kiri. Tapi terlambat. Sebagian cahaya rembulan yang memantul di atas kerikil hitam berbalik menembus kedua matanya. Gadis ini menjerit. Sekali ini bunyi jeritannya 0risinil bunyi jeritan manusia. Lalu tubuhnya jatuh terkapar di tanah! Si gendut menarik nafas lega. Dia keluarkan kipas kertasnya kemudian mengipasi muka dan lehernya yang lembap 0leh keringat!

“Kemala!” teriak Wir0 seraya berlari dan jatuhkan dirinya di samping gadis itu.

Ketika Wir0 meletakkan kepala Kemala di atas pangkuannya dan membelai kening gadis itu , ia mencicipi sese0rang meletakkan sesuatu di atas kepalanya. Wir0 memegang benda yang diletakkan itu kemudian berpaling.

Si gendut tegak di sampingnya. Sambil menyeringai ia berkata. “Sahabat , saya telah menyelamatkan gadis itu dari sekapan ilmu iblis. Ketahuilah , kerikil hitam yang kamu miliki itu yakni raja-diraja pen0lak segala ilmu hitam. Kau memilikinya selama bertahun-tahun , tapi tak pernah tahu bagaimana memanfaatkannya. Gadismu itu kini sudah selamat. Tapi gres setengahnya. Yang setengah lagi hanya kamu yang bisa melakukannya…”

Wir0 pegang benda di atas kepalanya. Ternyata si gendut tadi telah meletakkan kerikil hitam mustika miliknya seenaknya saja di atas kepalanya. Cepat-cepat Wir0 memasukkan kerikil itu ke balik pakaiannya. Ketika dilihatnya si gendut hendak pergi , Pendekar 212 cepat bangun dan berkata.

“Gendut! Jangan pergi dulu! Aku perlu petunjukmu! Katamu gadis itu gres selamat setengahnya. Yang setengah lagi saya harus melakukannya. Melakukan apa? Bagaimana?”

“Kau lihat wajah gadis itu?”

“Tentu saja saya melihatnya!”

“Cantik sekali bukan?!”

“Bujang Gila Tapak Sakti!” teriak Wir0 menyebut nama si gendut. “Bukan saatnya kamu bergurau!”

“Siapa yang bergurau?!” sahut si gendut pula. “Jelas gadis itu cantik. Tapi itu bukan parasnya yang asli!”

“Eh! Apa maksudmu?”

“S0batku. Biar saya t0l0ng kamu sekali lagi. Tadi kukatakan ia gres tert0l0ng setengah. Kini kutambah seperempat lagi. Yang seperempatnya kamu yang melakukan! Setuju?”

Karena galau Wir0 menyampaikan sepakat saja.

Si gendut yang bergelar Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. “Ingat s0bat , kesepakatan harus kamu penuhi. Kau harus menyempurnakan pelepasan sekapan iblis yang seperempat lagi!”

Habis berkata begitu si gendut ini betulkan letak pecinya kemudian duduk di samping tubuh Kemala. Kedua telapak tangannya diusapkan satu sama lain. Lama-lama kedua tangan itu tampak menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap putih yang menjadikan hawa sangat dingin. Si gendut membungkuk. Dengan hati-hati kedua tangannya yang masb0d0h itu diusapnya ke sekujur wajah Kemala.

Kedua mata Pendekar 212 membeliak besar ketika melihat apa yang terjadi. Di bawah cahaya bulan purnama empat belas hari dilihatnya perlahan-lahan , bertahap wajah Kemala berubah. Ketika si gendut mengangkat tangannya dan wajah telah tepat perubahannya , murid Eyang Sint0 Gendeng jadi ternganga lebar. Ker0ngk0ngannya tersekat dan lidahnya se0lah kelu. Dia hanya bisa mengeluarkan bunyi desis perlahan.

“Ratih Kiranasari…”

Gadis yang tergeletak di tanah itu memang Ratih Kiranasari adanya!

Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti bangun berdiri. Dia memegang pundak Pendekar 212 kemudian berkata. “Tinggal seperempat lagi s0batku. Itu kamu punya pekerjaan. Gadis itu akan pingsan tak sadarkan diri seumur-umurnya bilamana kamu tidak men0l0ngnya!”

“Katakan bagaimana cara saya men0l0ngnya!” jawab Wir0 pula.

“Sesuai kesepakatan kamu tidak akan mengelak atau mencari dalih!”

“Tidak!”

“Kau tahu Kemala menyukai dirimu?”

Wir0 mengangguk.

“Sekarang kamu lihat sendiri Kemala ternyata yakni Ratih Kiranasari.”

“Pantas… pantas ia menyuruh saya menemui Ratih. Ternyata 0rangnya sama. Dia-dia juga…” Wir0 garuk-garuk kepala. “Aku ingat sekarang. Bau harum tubuh Kemala sama dengan wanginya tubuh Kiranasari”

Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum. “S0batku , kini kamu dengar baik-baik. Ratih Kiranasari akan sadar dari pingsannya jikalau kamu menggauli dirinya…”

Paras Pendekar 212 karuan saja menjadi berubah merah. Matanya mel0t0t. “Gendut , kamu jangan bergurau!”

“Aku tidak bergurau s0batku. Ini duduk kasus hidup atau mati sese0rang. Gadis itu telah terlanjur terjebak dalam ilmu hitam. Semua gara-gara tidak ada satu c0w0k pun yang mau mengasihi dan bersedia dijadikan suaminya. Dalam dirinya muncul dendam. Dendam ini tak sanggup dikuasainya hingga dirinya terjebak dalam ilmu hitam. Dia harus membunuh setiap 0rang yang sedang berkasih­kasihan. Ingat , tiga perempat kehidupan dunia hitamnya telah musnah. Kini tinggal yang seperempat. 0batnya yang saya katakan tadi…”

“Gila!”

“Ini bukan gila! Hanya itu satu-satunya jalan penangkal ilmu hitam biar keluar dari tubuhnya. Aku akan pergi biar kamu bisa melaksanakan apa yang saya katakan!”

“Tunggu!” kata Wir0 seraya cepat memegang tangan si gendut.

“Tunggu apa lagi s0batku?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Bagaimana , hemmm… Bagaimana kalau kamu saja yang melakukannya?!”

Si gendut tertawa terpingkal-pingkal. “S0batku , saya sih mau-mau saja. Tapi tidak bakalan mempan! Dia akan tert0l0ng kalau digauli 0leh lelaki yang dicintainya. Nah , saya tahu sekali gadis itu mencintaimu. Bukan saya si gajah bunting ini! Nah , carilah tempat yang baik biar kamu benar­benar senang melaksanakannya.”

Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti tepuk­tepuk pundak Wir0. Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala. Dipandanginya wajah Ratih Kiranasari sementara dirasakannya si gendut masih terus menepuk-nepuk bahunya.

“Gendut ,” kata Wir0 seraya berpaling pada 0rang yang tegak di sebelahnya.

Astaga! Ternyata si gendut itu tak ada lagi di sampingnya. Tetapi anehnya tepukan-tepukan tangannya masih terasa di bahunya! Sadarlah Wir0 kalau g0t0ng r0y0ng Bujang Gila Tapak Sakti itu sudah lama meninggalkan tempat itu. Dengan kesaktiannya ia bisa menciptakan tepukan-tepukan tangan di pundak sang her0 padahal dirinya sudah berada di tempat lain!

Cahaya bulan purnama semakin terang. Wajah Ratih Kiranasari semakin terperinci kelihatan dan tampak bertambah cantik. Dirinya se0lah se0rang bidadari yang sedang tertidur lelap. Perlahan-lahan Wir0 mengangkat tubuh gadis itu.

“Bujang Gila Tapak Sakti!” katanya. “Kalau ternyata kamu menipu diriku , akan kucari kamu hingga ke langit ke tujuh sekali pun!”

TAMAT

No comments for "Purnama Berdarah WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"