Pedang Naga Suci 212 WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : PEDANG NAGA SUCI 212

212
SATU

Walau dikala itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti kelapan mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung bergulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan bunyi aneh. Suara deru hujan deras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat hirau taacuh membungkus puncak gunung. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir menciptakan suasana benar-benar menggidikkan.
Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede , dua sosok tubuh tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan dada. Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah bermetamorfosis patung tanpa nafas. Sekujur tubuh ke dua orang ini berair kuyup mulai dari rambut hingga ke kaki. Hawa hirau taacuh luar biasa menciptakan tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini tidak sedang bersamadi atau bertapa lantaran sepasang mata mereka memandang tak ber-kesip ke tengah telaga yang airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan mengepulkan asap putih.
Orang di sebelah kanan ialah seorang cowok berpakaian dan berikat kepala putih. Wajahnya ganteng dan mempunyai sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak berkesip menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si cowok duduk tak bergerak seorang dara berpakaian biru muda , berparas elok dan berkulit hitam manis. Di pinggangnya melilit ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak ramping dan pinggulnya mencuat bagus. Gadis ini mempunyai rambut panjang sepinggang yang dijalin kemudian dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan , jalinan rambut ini menambah kecantikan wajahnya.
Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera , hawa hirau taacuh mencucuk , guntur menggelegar dan kilat menciptakan darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba si cowok tampak menciptakan gerakan. Perlahan sekali kepalanya dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis itu. Mulutnya bergerak sedikit mirip hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada bunyi yang keluar. Orang yang dipandangi tetap membisu tak bergerak. Si cowok sesaat menjadi bimbang. Akhirnya ia memutar kepala , memandang kembali ke arah telaga. Tapi ia mirip tidak sanggup memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa usang kembali ia menoleh ke kiri , pandangi gadis elok di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak namun tetap saja tak ada bunyi yang keluar. Hanya di dalam hatinya si cowok membatin. “Air mukanya terang masih membayangkan murka dan dendam. Dia pasti tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi kalau saya tidak bicara bisa-bisa lebih salah kaprah…. Hemmm. Bagaimana saya harus memulai. Hatinya sekeras kerikil , sikapnya segarang harimau betina….”
Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur menggelegar mirip merobek indera pendengaran dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan tempat itu kembali dibungkus kegelapan.
“Aku harus bicara! Terserah ia mau marahi” Pemuda berwajah ganteng ambil keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri. Lalu terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin.
“Sinto , apa kita tidak salah menghitung hari? Jangan-jangan kita tiba terlambat atau terlalu cepat….”
Si cowok menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke tengah telaga tanpa berkedip.
“Sinto , kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu….” Pemuda gagah di sebelah kanan si gadis kembali membuka suara.
Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus berkecamuk. Kegelapan dan hawa hirau taacuh semakin mencekam.
“Sinto Weni kalau kau….”
“Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-satunya kesalahan ialah kesalahan memperhitungkan dirimu….”
Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari lisan si gadis walaupun diucapkan secara lembut tapi menciptakan wajah cowok ganteng di sebelahnya menjadi berubah. Untuk beberapa lamanya ia terdiam dengan lisan ternganga.
“Sinto Weni adikku….”
“Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih baik segera saja angkat kaki dari tempat ini… ,”
Si cowok menggigit bibirnya sendiri. “Hatinya bukan saja sekeras kerikil tapi juga sepanas bara. Tak mungkin saya membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang lebih baik saya pergi saja. dari sini….”
“Sinto , terus terang saya memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai Gede Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid saya harus patuh. Itu sebabnya saya tiba ke sini sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak menginginkan kehadiranku di sini mungkin memang benar saya harus angkat kaki dari tempat ini. Selamat tinggal Sinto. Urusan di antara kita pasti ada dikala penyelesaiannya…. Satu hal perlu kau ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku setipis embun di permukaan daun. Praktis sirna terkena cahaya sang surya….”
Habis berkata begitu si cowok siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang dikatakan cowok itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak danterus menatap ke arah telaga.
Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar hebat. Si cowok yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya telah bundar , tekadnya telah tetap. Dia kembali berdiri berdiri. Namun sekali lagi gerakannya tertahan.
Mendadak di kejauhan terdengar bunyi orang menyanyi. Demikian halus lembut bunyi itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang perempuan.

Hari pertemuan tiba sudah
Dua warisan akan muncul di dunia
Benda mati akan membawa manusia
Memilih jalan lurus atau jalan sesat
Memilih sorga atau dunia maksiat
Karena itu insan diberi otak untuk berpikir
Diberi hati untuk menimbang
Manusia harus menguasai benda
Bukan benda yang harus menguasai manusia
Kalau warisan sudah berbagi
Saat berpisah tiba sudah.
Baru saja bunyi nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang raksasa yang menderu dari atas langit , kilat menghantam pertengahan telaga. Air telaga berobah menjadi panas , mencuat hingga puluhan tombak! Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa ketika guntur menyusul menggelegar. Sepasang muda-mudi yang duduk di tepi telaga merasa ada hawa ajaib keluar dari tanah kemudian menjalar masuk ke dalam tubuh masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan terhuyung-huyung. Mereka kerahkan tenaga supaya tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak damai kembali mirip semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-masing. Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan mirip itu sekonyong-konyong terdengar bunyi bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan dahsyat air di pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan dengan itu dari dalam telaga mencuat muncul sosok tubuh seorang bau tanah berselempang kain putih.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas!”
Pemuda dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan.
Orang bau tanah berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa Pamungkas seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa hirau taacuh menciptakan sosok dan wajahnya tampak samar. Orang bau tanah ini mempunyai rambut putih panjang menjulai yang bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian wajahnya. Selain dari itu kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut menyembunyikan mukanya.
Ada beberapa kecacatan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini. Pertama ia muncul dari dalam telaga. Apakah ia memang membisu dalam telaga itu? Manusia mana yang bisa hidup dalam air? Ke dua ia bisa berdiri di atas air telaga me-rupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu kecacatan ke tiga , walau dikala itu hujan terus mendera dan barusan ia keluar dari dalam air telaga namun baik tubuh , rambut maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali tidak basah! Baik si cowok maupun gadis berjulukan Sinto Weni sebelumnya tidak pernah melihat kemunculan dan penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat!
“Murid-muridku apakah kalian berdua sudah usang menunggu?!” Sang Kiai usikan pertanyaan. Sampai dikala itu ia tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga sementara cuaca tetap pekat mengetam.
“Kami belum berapa usang berada di tempat ini Kiai ,” menjawab si pemuda.
“Kalau Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun menunggu akan kami nantikan ,” berkata Sinto Weni.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu di tepi telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku , Tuhan menjadikan hidup insan ini tidak mudah. Cobaan dan ujian tiba silih berganti dalam banyak sekali bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umat-Nya. Semua cobaan dan ujian itu justru untuk menciptakan insan menjadi sabar dan berani menghadapi tantangan. Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran insan menyadari apa artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini hanya sejumput kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian , cobaan dan tantangan yang kelak akan kalian hadapi. Untuk semua itu sandarkan keberanian dan kekuatan kalian pada kekuatan dan proteksi Yang Maha Kuasa. Karena hanya keberanian dan kekuatan Tuhanlah yang maha benar dari semua kebenaran. Murid-muridku , Sinto Weni dan Sukat Tandika apakah selama empat tahun tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?”
“Berkat doa Kiai dan proteksi Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau empat tahun tidak terlalu usang namun kami merasa mulai mengenal apa artinya hidup dan apa artinya dunia persilatan….” Yang menjawab ialah cowok berjulukan Sukat Tandika. Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang ke tengah telaga sempurna pada arah sepasang kaki sang Kiai.
Di tengah telaga , Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada muridnya yang berjulukan Sinto Weni ia kembali usikan pertanyaan. “Murid-muridku apa kalian berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?”
“Kami… kami berdua ada baik-baik saja Kiai ,” hasilnya si gadis menjawab.
“Bagus kalau begitu ,” ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala walau bahwasanya ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini. “Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba persilatan bukan satu waktu yang lama. Tidak sanggup dijadikan ukuran apakah kalian telah bisa menjadi pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun saya sudah menyirap kabar bahwa ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan padamu Sinto Weni telah menciptakan geger dunia persilatan. Lalu saya juga mengetahui bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau sanggup dariku Sukat Tandika telah menciptakan orang-orang golongan hitam menjadi mati kutu. Seperti yang pernah saya katakan dulu , hari ini ialah hari pertemuan yang dijanjikan. Hari ini ialah hari dua warisan akan kuserahkan pada kalian. Dan hari ini pula kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih mengijinkan bagi kita bertemu. Adapun bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian , akan kalian lihat sendiri nanti. Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena dua benda warisan itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan untuk menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku pendek , saya tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di tempat masing-masing. Jangan bicara kalau saya tidak mengajak bicara. Jangan bergerak kalau tidak saya suruh!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas kemudian kembangkan ke dua tangannya ke samping. Bersamaan dengan itu terdengar , bunyi menggemuruh yang tiba dari dua arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang bau tanah mencuat setinggi sepuluh tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak mengeluarkan tiga warna yakni putih , merah dan biru. Bersamaan dengan mencuatnya air telaga di dua tempat , mendadak tiupan angin semakin kencang dan hujan mendera bertambah keras!
Sinto Wenidan Sukat Tandika mencicipi jantung masing-masing berdebar keras. Mata mereka dibuka lebar-lebar ketika ada bunyi mendesir di dalam telaga- Lalu dua buah kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak ingat pesan guru mereka tadi , pasti dikala itu sudah tersurut ke belakang atau keluarkan seruan tertahan ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam telaga!

*
* *

212
DUA

Dua makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas ternyata ialah dua ekor ular besar bermata merah , satu jantan satu betina , mempunyai pengecap terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring besar runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur batu-batu yang memantulkan sinar berkilauan. Di kepingan kepala sebelah belakang tampak sebentuk tanduk berwarna hijau.
“Ular naga…” desis cowok berjulukan Sukat Tan-dika dalam hati. “Setahuku hewan ini hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan atau hanya makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas?
Kalau si cowok berpikir mirip itu maka lain halnya dengan gadis berjulukan Sinto Weni. Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. “Permainan apa yang hendak diperlihatkan Kiai padaku? Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya padaku? Celaka!”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua tangannya diangkat sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia mirip tengah membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan kanan tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya kembali ke samping. Bersamaan dengan itu ia jentikkan jari-jari tangannya kiri kanan. Mendengar bunyi jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air telaga sementara di sebelan sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua tempat.
Sekali lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan. Terdengar bunyi menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan air telaga. Kali ini di dalam lisan masing-masing mereka menggigit sebuah benda.
Ular naga sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda berbentuk kapak yang mempunyai dua mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan terbuat dari gading. Bagian ujung gagang berbentuk tabrakan kepala naga jantan dan ada enam buah lobang kecil mirip lobang seruling. Pada dua mata kapak yang memancarkan sinar berkilauan itu tertera tiga buah angka. 212.
Dalam lisan ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk mirip gulungan ikat pinggang berwarna putih , mempunyai ujung berbentuk kepala naga sama mirip gagang kapak yang ada di lisan naga satunya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular naga kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi. Lalu hewan ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto Weni dan Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara. Namun sekali ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau mereka tetap bisa bertahan tanpa keluarkan bunyi tanpa bergerak rasanya dikala itu nyawa masing-masing sudah melayang terbang!
Di tepi telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak dan gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa lamanya hewan ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan meluncur mundur kembali ke dalam telaga.
Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga luruskan tubuh masing-masing laksana tonggak kemudian dongakkan kepala. Dari lisan mereka keluar bunyi raungan ajaib , terdengar antara lolongan srigala dan ringkik kuda , menciptakan merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali menjentik. Saat itu juga sosok tubuh sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun ke dalam air hingga hasilnya lenyap dari pemandangan.
“Murid-muridku…. Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum saya meminta kalian untuk menentukan sendiri mana yang kalian sukat , saya akan perlihatkan kepada kalian kehebatan dua benda itu.”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya , diarahkan pada dua benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas , senjata berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan bunyi ajaib mirip ribuan tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih laksana perak. Sinar ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus menghamparkan hawa panas luar biasa. Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di atas telaga mengikuti gerak putaran asisten Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai hantamkan tangan kanannya ke kiri , kapak bermata dua melesat laksana kilat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tepi telaga.
“Craasss!”
Batang pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar tumbang dengan bunyi bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang masih tegak kelihatan bermetamorfosis hitam gosong laksana habis dimakan api! Sukat Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata melotot tapi lisan ter-kancing.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak bermata dua melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang muda mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih berbentuk gulungan ikat pinggang melesat ke atas kemudian “srettt!” Gulungannya terbuka. Satu cahaya putih yang menghamparkan hawa hirau taacuh berkiblat. Di udara dikala itu tampak sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga betina. Pada tubuh pedang tertera angka 212. Pada kepingan ujung pedang yang lancip kelihatan sebuah lobang yang demikian kecilnya hingga sulit dilihat mata telanjang.
Kiai Gede Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat ke udara ,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan , menebar hawa hirau taacuh dan mengeluarkan bunyi berdesing yang menciptakan liang indera pendengaran laksana ditusuk!
“Lihat pedang!” berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar tangannya di atas kepala berulang kali. Terdengar bunyi tebasan tak henti-hentinya. Daun pohon bertaburan di udara kemudian melayang jatuh ke tanah dan ke dalam telaga. Dalam waktu beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya rimbun itu kini telah botak , hanya tinggal cabang dan ranting meranggas. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang putih itu di tepi telaga , begitu menyentuh tanah pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.
“Sekarang kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang sama saling baku hantam satu sama lain!” kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua tangannya sama disentakkan ke atas.
“Sreettt!”
“Wuttt!”
“Wuuutt!”
Pedang putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua menyusul melesat kemudian membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis menciptakan gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di udara dua senjata itu bermetamorfosis buntalan cahaya yang saling menggempur. Dua cahaya berkilauan saling menyabung. Hawa panas dan hawa .dingin berbenturan hebat. Suara mengaung dan bunyi mendesing mirip seruling seolah merobek langit.
“Traangg!”
Dua senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak. Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat yang menciptakan tempat itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi berulang-ulang , baik Sinto Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup indera pendengaran masing-masing dengan tangan sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah terguncang-guncang , aliran darah tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata sakti itu tidak lekas tidak boleh sepasang muda-mudi ini pasti akan menderita luka dalam yang parah!
Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas dikala itu menciptakan gerakan dua tangan ke kiri dan ke kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis elastis serta merta bergerak menjauh. Lalu perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Seperti tadi begitu menyentuh tanah pedang tipis elastis pribadi bergelung menggulung.
Untuk ke sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibentuk terkagum-kagum menyaksikan kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis elastis yang memancarkan cahaya putih menyilaukan itu.
“Murid-muridku , kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang barusan kalian lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di dalam dua senjata itu. Inilah dua warisan yang akan saya berikan pada kalian. Senjata berbentuk kapak cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini berjulukan Kapak Naga Geni 212. Jika lisan kepala naga yang merupakan gagang kapak ditiup maka senjata itu akan bermetamorfosis sebuah seruling yang bisa mengeluarkan bunyi keras. Membuat kacau jalan pikiran , peredaran darah dan bisa memecahkan gendang-gendang indera pendengaran lawan. Bilamana mata naga kiri kanan ditekan maka dari lisan naga akan melesat keluar jarum-jarum putih yang merupakan senjata rahasia ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini ia harus mempunyai tenaga dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya merupakan satu benda mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan oleh sembarang orang.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat kemudian meneruskan penuturannya.
“Senjata yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung berjulukan Pedang Naga Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok sebagai senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam tubuh pedang tersimpan ratusan senjata rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana lisan naga ditiup maka jarum-jarum itu akan melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak Naga Geni 212 , pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang bunyinya sanggup menghantam lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang tersimpan dalam pedang seseorang harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku dua senjata ini bukan senjata sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku hanya dengan satu maksud dan tujuan yakni membela kebenaran dan keadilan , menghancurkan angkara murka dalam rimba persilatan. Inilah warisan yang harus kalian jaga dengan baik , dalam merawat maupun mempergunakannya. Sekali kalian mempergunakan senjata itu di jalan yang salah maka kesaktiannya akan memukul balik pada diri kalian! Murid-muridku , walau tadi saya sebutkan bahwa Kapak Naga Geni 212 cocok untuk seorang kesatria dan Pedang Naga Suci 212 cocok untuk seorang satria dara perkasa , namun terserah pada kalian masing-masing untuk berunding menentukan yang mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 mempunyai pasangan sebuah kerikil hitam berbentuk persegi panjang. Jika kerikil ini digosokkan atau di-pukulkan ke mata kapak maka pengecap api akan mencuat keluar dan merupakan senjata luar biasa. Dua senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua orang jahat di rimba persilatan , merupakan senjata andalan atau senjata pamungkas bagi kalian masing-masing. Nah murid-muridku kini saya persilahkan kalian berunding. Setelah kalian mendapatkan warisan dua senjata mustika sakti itii maka saya akan merasa lega dan segera meninggalkan kalian….”
Dari balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa Pamungkas keluarkan sebuah kerikil hitam berbentuk empat persegi yang besarnya segenggaman tangan. Batu ini dilemparkannya dan jatuh sempurna di samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat Tandika bukan .seorang cowok yang suka mementingkan diri sendiri dan tak pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata demikian ia tetap saja duduk di tempatnya , seolah memberi kesempatan pada adik seperguruannya yaitu Sinto Weni untuk menentukan lebih dulu salah satu dari dua senjata mustika sakti itu. Bagaimanapun ia tidak berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan mengambil Pedang Naga Suci 212 dan ia akan kebagian Kapak Naga Geni 212.
Namun dugaan Sukat Tandika keliru.
*
* *

212
TIGA

Sinto Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas kemudian berkata. “Kiai jikalau memang kau memberi izin untuk menentukan , saya akan mengambil Kapak Naga Geni 212 dan kerikil pasangannya!”
Di tengah telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak kaget. Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni S
212 dan kerikil pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya , ia kemudian menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede Tapa Pamungkas segera menegur. “Sinto Weni , kau hanya boleh mengambil satu dari dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212. Mengapa kau juga mengambil Pedang Naga Suci 212?!”
Sinto Weni cepat membungkuk. “Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru menyelamatkannya.”
Baik Kiai Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti akan ucapan Sinto Weni. Kalau si cowok membisu saja tak berani bertanya , tidak demikian dengan sang Kiai. Orang bau tanah ini usikan pertanyaan.
“Apa maksud ucapanmu tadi , Sinto?!”
“Maafkan kalau jawaban saya terdengar , kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan , senjata sehebat Pedang Naga Suci 212 ini tak layak berada di tangan Sukat Tandika , Saya mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalati gunakannya! Makara biar Pedang Naga Suci 212 ini saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik hingga suatu dikala ada seseorang yang lebih pantas memilikinya.”
“Kau berani menilai kakak seperguruanmu mirip itu Sinto?! Kau berani memperlihatkan warisan berupa pedang itu pada orang lain?!” Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas tetap lembut namun alunan nadanya terang menegur keras.
“Kalau saya salah harap maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau memberi ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!”
Habis berkata begitu Sinto Weni membungkuk kemudian dengan gerakan luar biasa cepatnya bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini berkelebat dan lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan angin terus mendera kencang.
Melihat gurunya membisu saja walau memperlihatkan wajah masygul Sukat Tandika segera bergerak hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah.
“Sukat! Tak usah kau kejar!”
“Tapi Kiai…”
“Aku tahu kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu….”
“Bukan hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat peri laris budi pekertinya. Dia begitu merendahkan Kiai….”
Kiai Gede Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. “Tetap di tempatmu Sukat. Kita perlu bicara….”
“Sementara kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!” memotong si pemuda.
“Kita perlu bicara , Sukat. Setahuku gadis itu mempunyai perasaan halus , penuh welas asih walau kadang kala suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada sesuatu yang telah menciptakan dirinya berubah mirip itu. Dan yang tahu mengapa ia jadi begitu hanya , kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba ilmu dan pengalaman di rimba persilatan. Kau mau memperlihatkan klarifikasi padaku Sukat?”
Mendengar kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat , sesaat ia terdiam. “Saya rasa….”
“Jelaskan padaku terus terang….” Kiai Gede Tapa Pamungkas mirip mendesak.
“Kiai…. Sejak dilepas empat tahun kemudian , dua tahun pertama kami memang selalu bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin korelasi yang sangat akrab….”
“Akrab sebagai sobat , saudara seperguruan atau apa?” tanya Kiai Gede Tapa pula.
Kembali Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam ia gres menjawab. “Kami saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi….”
“Apa yang kau maksud dengan sesuatu itu?” tanya Kiai Gede Tapa.
“Untuk mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami sepakat saling berpisah. Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat , saya sendiri malang melintang ke banyak sekali penjuru. Saya kemudian bertemu dengan beberapa orang gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati cintanya…. Mungkin itu sebabnya ia menjadi sangat murka dan mendendam pada saya. Saya akan mencarinya….”
“Tidak , kau tetap di sini hingga saya selesai bicara!” tukas Kiai Gede Tapa. “Muridku Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta ialah sejuta senang dalam sejuta kesucian! Kalau ia dikhianati ia bisa sejuta membisu dalam sejuta derita. Namun bisa juga ia mendekam sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni telah menentukan dua hal yang terakhir. Kalau kau kejar ia dikala ini , selagi bara kebencian dan dendam berkobar hebat dalam diri-nya , bukan tidak mungkin ia akan membunuhmu….”
“Saya rela menemui kematian di tangannya….”
Kiai Gede Tapa tersenyum. “Hanya orang tolol yang menentukan jalan hidup mirip itu muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah dalam hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada kaum pria kalau ia menyimpang dari aturan alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan , ke dua harta dan ke tiga perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu dari tiga aturan alam itu muridku. Apa jawabmu?!”
“Saya mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni. Saya harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai….”
Kiai Gede Tapa tersenyum rawan.
“Kalau kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan waktu bertahun-tahun , mungkin belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau harus menunggu dan menentukan waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak ceroboh kau bisa celaka sendiri…. Lagi pula saya rasa ada baiknya untuk sementara Pedang Naga Suci 212 berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di tangan seorang yang benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama kebaikan serta kebenaran. Menyimpang dari itu Pedang Naga Suci 212 akan mendatangkan malapetaka bagi orang yang memakainya secara salah….”
“Nasihat Kiai akan saya perhatikan…” kata Sukat Tandika dan dalam hati ia berkata. “Kalau memang begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji senjata itu tidak cocok bagiku. Selama empat tahun terakhir ini saya banyak melaksanakan hal-hal yang tidak benar…. Agaknya saya harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku.” Sukat memandang ke arah Kiai Gede Tapa.
“Nasihat merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri yang menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu sama lain kemudian ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat menyambar. Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih berbuntal-buntal. Perlahan-lahan sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap masuk ke dalam telaga.
Sukat Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau dikala itu udara dinginnya bukan alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah bercampur dengan keringat.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang dalam rimba persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya itu justru Sukat Tandika semakin jauh karam dalam kata hati dan bujukan nafsu. Dia mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik. Praktis jatuh hati. Sebelum dan setelah kawin dengan seorang janda elok puteri Adipati Plered , cowok itu menjalin korelasi cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika sendiri kemudian melenyapkan diri selama bertahun-tahun. Ketika ia muncul kembali keadaannya berubah mirip orang kurang waras. Tindak tanduknya menggegerkan rimba persilatan. Dia bukan saja membasmi para tokoh golongan hitam tapi juga menumpas mereka dari golongan putih yang dianggapnya menjadi penghalang. Tak terang apa yang menjadi tujuan Sukat Tandika. Apa ia ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau semua perbuatannya itu akhir penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu?
Rimba persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut sebagai Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa gelar yang diberikan orang padanya , ia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila. Dalam usia tuanya ia kemudian bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengajarkan ilmu silat Orang Gila ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya telah diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto Weni sendiri dikenal dengan nama Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia persilatan kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan Pedang Naga Suci 212 tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya ia telah bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasihnya di masa muda. Sinto Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin ia menyadari semenjak menjalin korelasi dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi Setelah cinta dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti itu tidak mungkin , bisa dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng merahasiakan di mana ia menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu , pada hasilnya Tua Gila mengetahui juga dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian diberitahukannya pada Puti Andini , cucunya sendiri.
Sementara itu di rimba persilatan selain gosip besar mengenai Kitab Wasiat Malaikat kini kabar wacana adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar santar , menciptakan para tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata memasang indera pendengaran dan mengatur siasat untuk menjejakinya!
*
* *

212
EMPAT

Badai yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main. Sejak tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti , menerabas apa saja yang ada di permukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar samudera. Puluhan nelayan menemui kematian , karam bersama bahtera mereka.
Menjelang pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan segera terbit , angin ribut masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai , menyapu segala yang ada di daratan.
Di puncak barat Gunung Singgalang seorang bau tanah kurus mengenakan jubah hijau yang kebesaran berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi ia melangkah mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan sebentar-sebentar mengerling ke arah lisan goa di dalam mana ia dikala itu berada. Semua gerak-gerik orang bau tanah ini memberi mengambarkan bahwa dikala itu ia berada dalam satu kegelisahan. Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Bosan mundar-mandir hasilnya orang bau tanah ini duduk di lantai goa. Berusaha bersamadi. Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak bisa menghambat bunyi deru angin yang tiada henti-hentinya di luar sana.
Sadar ia tak akan bisa bersamadi orang bau tanah ini hasilnya berdiri berdiri. Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia kemudian sambil merapikan letak destar tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai ia berjalan menuju lisan goa yang sebagian tertutup oleh sebuah kerikil besar.
Si orang bau tanah menyeruak di antara lisan goa dan kerikil besar. Angin kencang menerpa muka dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar , janggut serta kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar.
“Pertanda apakah yang tengah diberikan alam…” kata si orang bau tanah dalam hati , “Sekian usang membisu di pulau besar ini gres kini ada angin ribut begini hebat. Alam agaknya mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu isyarat bagiku untuk segera keluar dari persekutuan manusia-manusia ajaib tapi jahat itu? Orang bau tanah itu kembali mengusap wajahnya yang cekung kemudian gelengkan kepala. Beberapa kali menarik nafas dalam , biasanya kalau ia berdiri di lisan goa mirip itu ia akan melihat pemandangan sangat indah di sepanjang lereng hingga kaki Gunung Singgaiang. Namun dikala itu ia nyaris tidak sanggup melihat apa-apa lantaran lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup dimana-mana.
tiupan angin ribut semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah jubah hijau si orang bau tanah tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang bau tanah ini melangkah mundur , masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat di depan goa , tersamar oleh angin ribut dan hujan.
Paras orang bau tanah ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. “Orang yang saya tunggu sudah datang…” hatinya berbisik.
“Wuttt!”
Tahu-tahu satu sosok serba hitam dalam keadaan berair kuyup telah berdiri di hadapan orang bau tanah itu.
Meski orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang bau tanah bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak berkesip. “Hemmm…. Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi dari ciri-ciri terang ia orangnya. Lebih baik saya bertanya dulu untuk memastikan ,” kata orang bau tanah berjubah hijau dalam hati.
“Orang tak dikenal , apakah kau tersesat mencari tempat berteduh? Atau memang goaku ini menjadi tujuanmu?”
Orang yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar hingga kepalanya yang berambut kasar mirip ijuk hampir menyondak lisan goa. Kulitnya hitam laksana arang. Pakaiannya yang berair kuyup juga berwarna hitam. Orang ini mempunyai alis aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis kiri hingga ke pelipis kanan. Di atas alis , pada keningnya terdapat enam buah lobang besar hitam. Lalu di bawah alis terdapat juga enam lobang serupa yakni tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin sekali dua belas lobang ini diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas.
“Aku mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?” Orang yang tegak di depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi orang bau tanah di hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan angin ribut keras begitu rupa ucapannya itu terang terdengar ke indera pendengaran si orang bau tanah mengambarkan ia barusan bicara dengan memperguna-kan tenaga dalam.
“Di puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin bertanya?!”
Si tinggi besar bermuka angker undur selangkah. “Turut yang saya dengar Sutan Alam Rajo Di Bumi ialah seorang yang meski bau tanah tapi berbadan tegap. Selalu mengenakan jubah putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar dengan kenyataan.”
Mata jereng orang bau tanah berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali. Sambil menyeringai ia kemudian berkata.
“Berita yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau lebih mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan?!”
“Kalau begitu…. Hemmm….” Lelaki berpakaian hitam berair kuyup dengan muka berlubang dua belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas sepasang mata. “Jadi saya tidak salah dikala ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”
“Kau berhadapan dengan orang yang kau cari!” kata orang bau tanah di dalam goa. “Aku sudah tahu kau baka! datang. Lebih dari itu saya juga sudah tahu maksud dan tujuan kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam Dari Sijunjung!”
Agak terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa ia adanya.
“Kalau kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi , maka harap kau suka terima salam hormatku!”
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada kemudian melipat lutut sedikit.
Orang bau tanah bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. “Tampangmu seburuk setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan , tahu bagaimana menghormati orang bau tanah sepertiku!”
“Kalau bicara soal hormat menghormati dilema usia tidak layak dijadikan pegangan….”
“Eh , apa maksudmu…?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih terkulum di bibirnya.
“Karena usiaku jauh lebih bau tanah darimu….”
Tentu saja orang bau tanah di dalam goa menjadi terkejut. “Aku berusia hampir tujuh puiuh tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu?!” Si orang bau tanah bertanya.
“Tujuh puluh delapan!” jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat Sutan Alam tampak mirip melongo tak percaya. Kalau memang benar bagaimana mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih mempunyai tubuh tegap kokoh begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih.
“Luar biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan , walau wajahmu seburuk setan ternyata kau kekal muda! Aku si bau tanah bangka ini ingin mencar ilmu ilmu apa yang kau pergunakan supaya tetap kekal muda! Ha… ha… ha!” Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Puas mengumbar tawa orang bau tanah ini berucap. “Lama mendengar nama besarmu. Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan masuk ke dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!”
Hantu Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya mencurah jatuh ke lantai goa. Di dalam goa ia merasa lebih hangat.
“Silahkan duduk tamu agungku!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk pada sebuah kerikil berbentuk kursi.
“Aku lebih suka berdiri saja….”
“Hemmm…. Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada atau bercuriga besar. Jangan-jangan dia….” Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala dan berkata. “Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi , saya sudah mengira apa maksud , kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai membicarakannya!”
“Kalau kau sudah maklum maksud kedatanganku , lebih gampang bagiku untuk menjelaskannya ,” jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada sepasang mata jereng orang bau tanah di hadapannya kemudian melanjutkan. “Sejak beberapa bulan belakangan ini beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas menemui kematian secara aneh. Tewas mengenaskan. Kematian mereka kemudian diikuti dengan tersiarnya kabar yang menciptakan dunia persilatan tanah Andalas menjadi geger….”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali kemudian berkata. “Apa yang kau dengar ternyata tidak beda dengan apa yang kini kau katakan. Hantu Balak Anam teruskan penuturanmu!”
“Di Utara ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga keras ialah seorang gadis sakti berjulukan Pandansuri yang konon merupakan anak angkat mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih lainnya yang dikenal dengan julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas secara mengerikan di tempat kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas tengah , tokoh silat Magek Bagak Bacufo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa pembunuhnya belum jelas. Namun tersiar dugaan bahwa si pembunuh ialah Tua Gila. Sementara itu Sabai Nan Rancak seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak diketahui di mana beradanya. Lalu di selatan seorang tokoh golongan putih yang dikenal dengan julukan Datuk Agung Berbangsa ditemui menemui kematian dalam keadaan tergantung di Baturaja. Pada jubah putihnya si pembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti Belanak. Seorang tokoh silat golongan putih , mitra usang Datuk Agung Berbangsa yang membisu di sebuah akademi silat di Bukit Martapura. Semua kejadian yang luar biasa ini telah menjadikan rasa saling curiga antara sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon telah terbentuk satu perserikatan golongan putih untuk memerangi orang-orang golongan putih yang dikabarkan melaksanakan pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam pada itu seorang tokoh paling disegani berjulukan Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap dari Gunung Sing-galang ini…. Ada yang mengira bahwa semua pembunuhan itu didalangi oleh Nyanyuk Amber!”
*
* *

212
LIMA

Sutan Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu. Dengan bunyi perlahan ia kemudian berkata. “Apa yang kau katakan barusan semua benar. Terus terang saya merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan tidak mungkin kita pun kelak akan jadi korban pembunuhan ajaib itu. Gila , apa yang sesungguhnya terjadi! Orang-orang golongan putih membunuh sesama sobat sendiri! Lenyapnya Nyanyuk Amber memang merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu , semenjak saya muncul di sini , Gunung Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai Nan Rancak di bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng sebelah barat. Namun anehnya , tak usang setelah saya menetap di sini Nyanyuk Amber lenyap dari tempat kediamannya. Lalu mirip katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-tiba mirip sirna.” (Mengenai Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Raja Rencong Dari Utara”).
Orang bau tanah berjubah hijau itu menarik nafas dalam. Dia mendongak menatap langit-langit goa kerikil kemudian terdengar suaranya bertanya. “Dari semua kejadian itu , kedatanganmu kemari pasti membawa satu rencana….”
“Betul sekali Sutan. Aku ingin supaya semua tokoh silat golongan putih berkumpul , berunding dan menentukan perilaku serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban berikutnya.”
“Aku mendukung maksud baikmu Ku. Karena kau yang tiba membawa usul bagaimana kalau kau juga mau bersusah payah untuk mengatur planning pertemuan itu….”
“Terima kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil. Bagaimana kalau untuk kepingan utara Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi para tokoh di kepingan tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta pertolongannya untuk mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka dikala ini sudah bisa ditentukan kapan dan di mana pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti makin baik…..”
“Aku bisa segera menentukan dikala yang paling sempurna ,” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi pula. “Namun sebelum hal itu saya katakan ada satu hal yang ingin saya katakan dan tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh silat berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit?”
“Bukankah tokoh satu itu lenyap secara ajaib beberapa waktu lalu?”
. “Mungkin ia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?”
Hantu Balak Anam gelengkan kepala. “Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum kejadian pembunuhan beruntun itu….”
“Apa mungkin ia sudah menemui ajal?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
“Sukar dipastikan. Kalau memang sudah menemui kematian mengapa mayatnya tak pernah ditemukan? Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti….”
“Apa?” tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
“Lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar kematian Tua Gila , Juga bersamaan dengan munculnya seorang satria muda dari tanah Jawa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali kemudian ia mundar-mandir di ruangan kerikil itu. Di hadapan Hantu Balak Anam ia hentikan langkah dan berkata. “Sebenarnya saya telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Patuk Tinggi Raja Di Langit. Namun hingga dikala ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah Jawa pun kudengar kejadian yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di pulau Andalas ini. Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang segolongan. Terakhir kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang , tokoh silat pulau Andalas mati dibunuh seorang tokoh ajaib dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Tapi ada juga dugaan , pembunuh bahwasanya ialah Tua Gila….”
“Jika itu benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah berada di tanah Jawa. Bukankah semenjak usang diketahui bahwa nenek itu ingin membalaskan sakit hatinya terhadap Tua Gila? Dan Tua Gila sendiri kabarnya melarikan diri ke tanah Jawa.”
“Rupanya banyak juga pengetahuanmu wacana apa yang terjadi di rimba persilatan akhir-akhir ini…” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai. “Ada satu hal yang ingin saya tanyakan padamu , Hantu Balak Anam. Apa kau mendengar riwayat sebuah senjata berbentuk pedang , berjulukan Pedang Naga Suci 212?”
Si muka hitam berlubang dua belas gelengkan kepala. “Mendengar namanya mungkin ada sangkut pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212.”
“Pedang itu ialah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak puluhan tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana letaknya hanya dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di daerah barat pulau Jawa yang juga ialah guru Pendekar 212. Orang ke dua ialah Tua Gila.”
“Apakah Sutan berminat terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?” tanya Hantu Balak Anam.
“Rasanya tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin mempunyai senjata mustika sakti. Termasuk saya dan juga kau tentunya! Namun urusanku di sini banyak sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di daerah ini kau bisa. pergunakan kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya Pedang Naga Suci 212 Itu , kemudian mem-bawanya kepadaku.”
Hantu Balak Anam mengangguk. “Akari saya coba melaksanakan apa yang kau katakan.” Namun dalam hati ia berkata. “Kalau saya berhasil menemukan , pedang mustika sakti itu tidak nanti saya serahkan padamu , keledai tua!”
Di luar goa hujan masih deras dan tiupan angin ribut belum mereda. Sutan Alam Rajo Di Langit batuk-batuk beberapa kali kemudian berkata. “Dalam udara hirau taacuh begini rupa , meneguk kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman mirip itu tidak sanggup ku-sediakan untuk tamu agung sepertimu. Aku masih mempunyai dua butir kelapa hutan yang manis. Apa kau tidak berkeberatan kalau saya suguhi minuman kelapa muda itu Hantu Balak Anam?”
“Hujan-hujan dan dingin-dingin mirip ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa muda. Tapi kalau tidak ada. minuman lain , apa lagi tenggorokanku memang terasa kering , apa boleh buat!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke kepingan dalam goa. Tak usang kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa diletakkannya di atas kerikil berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di depan dada. Matanya yang jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak. Hantu Balak Anam melihat bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah kelapa. Lalu “kraakk!” Sekali si orang bau tanah menarik buah kelapa dalam cengkeramannya terbelah dua. Dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi membalikkan dua belahan buah kelapa hingga tak ada airnya yang
tertumpah. Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu Balak Anam.
“Air kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan meneguknya!” kata Sutan Alam. Lalu ia mengambil buah kelapa satunya yang diletakkan di atas dingklik batu. Tapi lantaran agak terburu-buru , buah kelapa yang telah dipegangnya itu meluncur jatuh kemudian menggelinding ke lisan goa dan lenyap di luar sana.
“Ah nasibku sial. Tanda perut bau tanah ini tak akan menikmati air dan daging kelapa yang yummy Ku. Bodohnya akui” Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang matanya yang jereng memandang ke lisan goa.
“Biar saya keluar mengambil kelapa Ku ,” kata Hantu Balak Anam pula seraya meletakkan buah kelapa yang sudah terbelah di atas kerikil berbentuk kursi.
“Hujan masih derasi” mengingatkan Sutan Alam.
“Siapa takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah berair kuyup….”
“Kalau kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku , saya akan sangat berterima kasih.”
Hantu Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada dua belas lobang ini lenyap di lisan goa , Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat keluarkan satu lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka kemudian sejenis bubuk putih yang ada dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air pada dua belahan buah kelapa. Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan disimpan di balik jubahnya.
“Ah…! Kau berhasil mendapatkan kelapa itu!” kata Sutan Alam ketika tak usang kemudian Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh menggelinding keluar goa. Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi , gampang saja ia membelah buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu mirip orang kehausan tanpa tunggu lebih usang ia segera meneguk habis air kelapa di belahan pertama. Sambil mengusap mulutnya Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam. Sambil menyeringai ia menegur. “Apa lagi yang kau tunggu? Ayo lekas habiskan air kelapa itu!”
Hantu Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada di atas dingklik kerikil dan tanpa tunggu lebih usang segera meneguk habis air yang ada di belahan pertama , dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
“Bagaimana rasanya?!” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali berputar.
“Manis dan sejuk!” jawab Hantu Balak Anam kemudian meletakkan kelapa di atas dingklik batu.
Sutan Alam tertawa mengekeh. “Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut itu?”
Hantu Balak Anam menggeleng. “Airnya sudah cukup menciptakan hausku hilang dan perutku kenyang!”
Kembali Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diietakkahnya puia di atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya ia bertanya. “Apakah masih ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?”
Hantu Balak Anam berpikir sejenak kemudian gelengkan kepala. “Semua sudah saya utarakan ,” katanya.
“Kalau begitu kau sudah bisa mengatur urusan di kepingan tengah dan selatan pulau Andalas. Aku membereskan kepingan utara. Yang penting harap kau suka menyirap kabar di mana adanya Tua Gila , sekaligus muridnya berjulukan Wiro Sableng itu. Lalu mehcari tahu di mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212.”
“Akan saya lakukan Sutan!” kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
“Ada satu hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu kemudian muncul seorang tokoh silat gres , tidak berjulukan tidak bergelar. Tapi mempunyai kepandaian luar biasa. Dia seorang wanita yang selalu mengenakan pakaian kuning. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa usianya apa lagi mengira siapa ia adanya. Orang ini perlu diselidiki lantaran tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan tidak mungkin ia yang jadi racun semua pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih.”
“Apa yang kau katakan ini memang pernah kudengar ,” ujar Hantu Balak Anam. “Kalau ada kesempatan tak ada Salahnya saya menyelidiki.”
“Bukan kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk menyelidikinya. Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak bakal tenteram….”
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati ia berkata. “Kau boleh menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang saya suka! Aku tidak berada di bawah perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap ke arah lisan goa. Lalu duduk bersila di atas lantai goa , pejamkan sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas lutut. Seolah Hantu Balak Anam tidak ada lagi di situ orang bau tanah ini mulai bersamadi.
“Tua bangka sialan! Sebetulnya saya tidak suka padamu! Kalau tidak ingin menyelamatkan dunia persilatan di pulau ini tak akan saya tiba ke sini!” Hantu Balak Anam memaki dalam hati diperlakukan mirip itu. Dengan cepat ia membalikkan tubuh kemudian tinggalkan goa.
Hanya sesaat setelah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat itu , Sutan Alam Rajo Di Bumi buka ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya terkulum seringai buruk kemudian sambil melompat berdiri dari mulutnya keluar bunyi tawa bergelak. Dia melangkah ke lisan goa. Bayangan Hantu Balak Anam tak kelihatan lagi. Orang bau tanah berjubah hijau ini palingkan kepala ke belakang kemudian berkata dengan bunyi lantang.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi! Aku sudah jalankan kiprah sesuai perintahmu!”
Belum lenyap bunyi gema ucapan si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar bunyi berke-reketan. Salah satu dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik dinding yang terbuka secara ajaib itu muncul sesosok tubuh tinggi besar mengenakan destar serta jubah putih menjela lantai batu.
*
* *

212
ENAM

Hantu Balak Anam berlari kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan yang masih mencurah lebat. Di satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak bersandar ke sebatang pohon besar.
“Aneh…. Mengapa tubuhku mendadak terasa letih , padahal saya berlari belum berapa jauh. Dadaku sesak , jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam tubuhku tampaknya tidak beres. Aku….” Hantu Balak Anam terbatuk-batuk beberapa kali. Dia merasa ngeri sendiri mendengar bunyi batuknya. “Apa yang terjadi dengan diriku?” Diusapnya wajahnya. Dirabanya lehernya. Terasa panas. Lalu ia batuk-batuk lagi. Kemudian dirasakannya ada hawa panas seolah aben perut dan dadanya. Kepalanya berat mirip mau pecah. Ke dua telapak tangannya dibentangkan. Terkejutlah Hantu Balak Anam ketika melihat bagaimana telapak tangannya kiri kanan telah berubah warna menjadi kebiruan.
“Aku terpengaruhi racun…” desis Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar tak berpengaruh menahan batuk. Namun sekali ini ia batuk lagi , ada darah ikut menyembur keluar dari mulutnya. “Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti orang bau tanah di puncak Singgalang Ku! Sutan Alam keparat! Berani kau berlaku culas dan keji! Aku bersumpah membunuhmu!”
Dengan dua jari tangan kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah lambung , pusar , dada dan pangkal leher. Lalu ia mengeluarkan beberapa butir obat berbentuk bundar yang segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih enteng dan debaran jantungnya mengendur dengan cepat ia tinggalkan tempat itu , naik kembali menuju puncak Gunung Singgalang.
“Sutan Alam keparatl Serahkan nyawamu padaku!” teriak Hantu Balak Anam begitu ia hingga di depan goa. Kaki kanannya ditendangkan. Pinggiran kerikil lisan goa hancur berentakan. Hantu Balak Anam kemudian berkelebat masuk ke dalam.
Langkah Hantu Balak Anam tertahan ketika ia melihat di hadapannya berdiri sosok tubuh tinggi besar seorang bau tanah berjubah dan berdestar putih. Dia tidak kenal orang ini dan ia tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam membentak.
“Mana dia?!” Sepasang matanya memandang berputar. Rambutnya yang mirip ijuk dan berair kuyup mirip mau berjingkrak dan alisnya yang ajaib panjang mencuat pada ke dua ujungnya.
Orang bau tanah di hadapan Hantu Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam dengan damai kemudian menegur.
“Kau memasuki goaku tanpa memberi salam. Begitu masuk pribadi membentak. Siapa yang kau cari dan siapa dirimu sendiri?!”
Hantu Balak Anam menindih rasa amarahnya sementara dadanya kembali mendenyut sakit. Sepasang bola matanya memandang sekeliling goa.
“Kau mirip mencari sesuatu. Apa ada hewan peliharaanmu yang tengah kau kejar dan kesasar ke tempatku ini?!”
Hantu Balak Anam tak sanggup lagi menahan amarahnya. “Binatang itu berjulukan Sutan Alam Rajo Oi Bumii Tua bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku dengan air kelapa!” Hantu Balak Anam memandang ke arah kerikil berbentuk kursi. Tadi sebelum pergi di atas kerikil Ku terletak dua buah kelapa dalam keadaan terbelah. Tapi dikala Hu benda Ku tak tampak lagi.
“Aneh sekali ucapanmu hingga di telingaku! Aku ialah Sutan Alam Rajo Oi Bumi! Aku tidak mengenali dirimu , apakah kau mengenali diriku?!” Orang berjubah putih usikan pertanyaan.
“Jahanam! Apa artinya semua ini!! Belum usang saya meninggalkan tempat ini! Di sini saya menemui seorang kakek berjubah hijau mengaku berjulukan Sutan Alam Rajo Di Bumi! Kami bicara panjang lebar mengenai dunia persilatan. Dia menjamuku dengan air kelapa yang diberi racun! Sekarang ia tidak ada lagi di sini. Dan kau mengaku Sutan Rajo Di Bumi! Sandiwara apa yang ada di dalam goa celaka ini?!”
“Sobat , agaknya hawa amarah mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap damai dan terangkan apa yang terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi maka akulah orangnya!”
“Lalu siapa bau tanah bangka berjubah dan berdestar hijau yang mengaku berjulukan Sutan Alam Rajo Di Bumi yang kutemui di tempat ini?!”
“Sobatku , selama puluhan tahun saya tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau tidak percaya silahkan kau mengusut keadaan goa ini….”
“Aku memang tidak percaya!” tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang liar kian kemari kemudian kembali pada orang bau tanah di hadapannya. “Dengar , jikalau kau tidak menjelaskan dan berusaha menyembunyikan sesuatu saya akan membunuhmu dikala ini juga!”
“Malaikat maut datangnya memang tidak terduga ,” kata orang bau tanah tinggi besar yang mengaku berjulukan Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai mengejek. “Tapi jikalau kau muncul dan berkata hendak membunuhku , ini ialah satu kecacatan yang sangat mahal harganya!”
“Aku yakin ada hal yang tidak beres di tempat ini! Seseorang mengaku berjulukan Sutan Alam Rajo Di Bumi telah meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku berjulukan Sutan Alam Di Bumi! Dari pada susah-susah mengusut kasus biar kau yang saya bunuh lebih dulu!”
Habis berkata begitu Hantu Balak Anam menyergap orang berjubah putih dengan satu pukulan keras ke arah kepala. Yang diserang tentu saja tidak tinggal diam. Sambil menciptakan gerakan mengelak ia angkat tangan kirinya menepis hantaman lawan.
“Bukkk!”
Dua lengan yang sama-sama terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke dua orang itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih , terpental hingga dua langkah sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar ke dinding goa!
Dari akhir bentrokan itu Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan mempunyai kekuatan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini akhir imbas luka dalam racun yang menciderai dirinya.
“Kalau kuserang lagi dan terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!” membatin Hantu Balak Anam. “Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!” Walau agak susah payah namun Hantu Balak Anam masih sanggup menghimpun hampir tiga perempat tenaga dalamnya yang segera dialirkan ke kepala.
Di sebelah depan orang bau tanah berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak Anam semakin menghitam dan kepalanya seolah bertambah hingga empat kali lebih besar. Dua belas lobang yang ada di wajahnya tampak mengeluarkan cahaya ajaib berkilauan. Tiba-tiba dari lobang-lobang itu melesat dua belas larikan sinar hitam panas luar biasa , menderu ke arah dua belas kepingan tubuh si jubah putih!
“Dua belas jalur kematian!” teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali ilmu kesaktian apa yang tengah menyerangnya!
Serta merta orang bau tanah ini lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel rata di langit-langit goa. Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang matanya mendadak menjadi merah. Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya mencuat keluar dua larik sinar merah dan laksana kilat menghantam ke arah Hantu Balak Anam!
Kejut Hantu Balak Anam bukan olah-olah ketika ia mengenali ilmu kesaktian lawan yang dipergunakan untuk menyerangnya. “Sepasang Api Neraka! Astaga jadi kau benar Sutan Alam Rajo Di Bumi! Tahan!” seru Hantu Balak Anam seraya menyingkir dengan muka pucat.
Namun terlambat.
Salah satu dari dua sinar merah itu menghantam tubuhnya di kepingan bawah pundak sebelah kanan.
“Craaasss!”
Hantu Balak Anam menjerit keras. Bukan oleh rasa sakit akhir hantaman serangan lawan saja tapi juga oleh rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada kanannya kini telah geroak membentuk sebuah satu lobang besar mengerikan! Jubah hitamnya di sekeliling lobang mengerikan itu tampak hangus dikobari api.
Terhuyung-huyung Hantu Balak Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur dari bofongan luka di dada kanannya. Hantu Balak Anam menyadari dalam keadaan mirip itu terlalu berbahaya baginya untuk meneruskan perkelahian. Sambil kertakkan rahang menahan sakit ia berkata. “Orang bau tanah berjubah putih! Siapapun kau adanya jangan mengira urusan sudah selesai hingga di sini. Aku akan tiba lagi mencari dan mengorek nyawa busukmu!”
Orang bau tanah berjubah putih yang dikala itu masih menempel di atas langit-langit goa keluarkan tawa mengekeh.
“Hantu Balak Anam. tubuh kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu nyawamu!” Habis berkata begitu dua bola mata orang bau tanah ini kembali bermetamorfosis merah. Lalu dua larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat menghantam ke arah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang diserang sudah lebih dulu berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam lantai dan dinding goa. Goa kerikil itu menggelegar keras. Pecahan kerikil dan debu bertaburan di udara.
“Kurang ajar! Dia melarikan diri!” merutuk si jubah putih. Lalu perlahan-lahan ia melayang turun dari langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai kerikil kagetlah ia ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya. Ternyata tiga dari dua belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat menghantam tubuhnya. Yang pertama pada kepingan jubah sebelah bawah yang hanya menghanguskan ke dua pada kepingan lengan tangan sebelah kanan yang juga tidak membawa Cidera. Namun hantaman yang ketiga sempat menyerempet pinggulnya. Orang bau tanah ini cepat robek jubahnya di kepingan pinggul dan parasnya berubah ketika melihat bagaimana daging pinggulnya sebelah kanan luka besar dan membengkak berwarna merah kebiruan. Cepat ia menciptakan tiga totokan di sekitar luka. Lalu dengan terpineang-pincang ia masuk ke kepingan dalam goa. Dari sebuah legukan kerikil diambilnya satu kendi kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada dalam kendi perak ini kemudian diguyurkannya pada luka besar di pinggul. “Wusss!”
Cairan itu mirip menyiram satu benda panas hingga mengeluarkan bunyi berdengus dan mengepulkan asap. Si orang bau tanah hingga keluarkan keringat hirau taacuh menahan sakit. Kendi perak yang telah kosong terlepas jatuh dari tangannya. Tubuhnya disandarkannya ke dinding goa. Ketika ia memandang ke dinding goa di sebelah depannya tampangnya berubah garang. Dari mulutnya keluar teriakan keras ,
“Datuk Mangkuto Kamangl Lekas keluar dari balik dinding!”
Belum lagi lenyap gema bunyi orang bau tanah berjubah putih , dari arah depan terdengar bunyi berdesir disusul bunyi berkereketan. Dinding kerikil di hadapan orang bau tanah ftu secara ajaib bergeser ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut kanan. Dari pintu ini keluarlah orang bau tanah berjubah dan berdestar hijau. Mukanya yang cekung tampak agak pucat. Dia melangkah ke hadapan si jubah putih sementara dinding kerikil di belakangnya kembali bergeser menutup.
“Datuk Mangkuto , kau sadar bahwa kau telah melaksanakan satu kesalahan besar?!”
“Saya menyadari Sutan Alam Rajo Di Bumi ,” jawab si jubah hijau pada orang bau tanah berjubah putih yang sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di Bumi. Sedang orang bau tanah berjubah putih sendiri ialah Sutan Alam Rajo Di Bumi yang asli.
“Berapa kepingan racun dalam bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu Balak Anam Dari Sijunjung? Yang membuatnya tidak segera menemui kematian , malah sanggup kembali ke sini dan hendak membunuhku!”
“Saya hanya memperlihatkan setengah dari isi bungkusan , Sutan….”
“Itu kesalahan besarmu! Kau tahu Hantu Balak Anam bukan orang sembarangan. Setengah bungkus racun tidak akan membuatnya menemui ke-matian! Bukankah saya memerintahkan padamu supaya mempergunakan seluruh racun yang ada?!”
“Saya mengaku salah Sutan. Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari , mahal harganya dan lagi pula masih ada dua korban lain yang harus dibunuh dengan racun itu , maka saya hanya menaruhkan setengah….”
“Plaakkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Datuk Mangkuto Kamang , Kepalanya laksana dipuntir. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran di kepalanya tercampak ke lantai goa.
“Sutan , saya sudah mengaku salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan keras?!”
“Kau berani meradang!” Kau ingin satu tamparan lagi di muka burukmu Mangkuto?!” hardik Sutan Alam Rajo Di Langit.
“Sutan , saya tidak sanggup mendapatkan perlakuan ini! Mulai dikala ini saya keluar sebagai anggota persekutuan kejimu!”
Mendengar kata-kata Datuk Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam Rajo Di Bumi menjadi berubah merah. Lalu ia tertawa bergelak.
“Jika itu maumu kau boleh pergi Mangkuto. Selamat jalan!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi pula mirip tak acuh.
Tanpa menunggu lebih usang Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke pintu. Namun sebelum ia sempat keluar dari dalam goa , di sebelah belakang sepasang bola mata Sutan Alam Rajo Di Bumi bermetamorfosis merah. Lalu “wuss…. Wusss!” Dua larik sinar merah ilmu sakti Sepasang Api Neraka melesat. Datuk Mangkuto masih sempat berpaling dan berusaha selamatkan diri ketika melihat ada dua larik Cahaya merah menyambar ke arahnya. Namun terlambat. Dua larik sinar merah menghantam tubuhnya , menciptakan ia mencelat dan terhempas jatuh dua langkah di depan lisan goa. Sebuah lobang mengerikan yang mengepulkan asap terlihat di batok kepalanya. Satu lobang lagi membentang di punggungnya!
*
* *

212
TUJUH

Pertemuan dengan Anggini menciptakan Wiro merasa gembira. Bukan saja ia mendapat mitra seiring seperjalanan sambil mengobrol , tapi ia juga merasa mendapat pelindung jikalau terjadi apa-apa dengan dirinya dalam keadaan mirip itu. Sikap dan cara bicara Anggini jauh berbeda dari masa lalu. Tampaknya gadis ini telah matang oleh pengalaman. Selama perjalanan ia sama sekali tidak menyinggung dilema atau planning gurunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan murid Sinto Gendeng itu.
“Walau menurutmu guruku meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di masa muda , namun sebagai murid saya tetap merasa was-was. Apa lagi mengingat belakangan ini dikabarkan terjadi saling bunuh antara para tokoh silat sesama golongan putih. Semua kejadian itu dikaitkan pula dengan munculnya persekutuan orang-orang ajaib yang bermarkas di Lembah Akhirat…”
“Aku juga bertanya-tanya siapa adanya insan yang disebut dengan panggilan Datuk Lembah Akhirat itu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup pasti saya mengira sang Datuk ialah si Pangeran keparat itu! Agaknya rimba persilatan tidak pernah lepas dari manusia-manusia jahat berwatak ajaib ,” kata Wiro sambil melirik pada gadis berpakaian serba ungu di sampingnya itu.
Saat yang sama Anggini mengerling pula pada si cowok hingga pandangan mereka saling bertemu. Paras sang dara tampak bersemu merah sementara murid Sinto Gendeng tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
“Anggini , apakah kau berniat hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?” Wiro usikan pertanyaan-Lalu cowok ini menguap lebar-lebar.
“Rencana memang ada. Tapi saya harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak berada. Sekaligus memastikan bahwa ia tidak tersangkut dengan orang-orang Lembah Akhirat….”
Saat itu hari memasuki petang. Mereka hingga di satu pedataran aneh. Di ujung timur pedataran terdapat legukan mirip lembah kerikil cadas dikelilingi pohon-pohon besar. Di bawah pepohonan bertumbuhan bunga-bunga hutan yang sedang berkembang membentuk satu. pemandangan yang indah. Di salah satu sisi bebatuan cadas tampak air mengucur jernih.
“Indah sekali pemandangan di bawah sana. Ada bunga , ada air. Pasti sejuk. Aku ingin membasahi tenggorokan dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah sana…” kata Anggini.
Wiro memandang ke langit. “Jangan lama-lama , sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kau pergilah ke bawah sana. Aku menunggu di sini saja….”
“Apakah tidak terlalu jauh kau menunggu di sini?”
“Kurasa tidak. Kalau terlalu dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau membersihkan diri buka baju segala….”
“Ah , penyakit lamamu usil lisan rupanya belum hilang!” kata Anggini. Lalu gadis ini cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Beberapa kali ia menguap. Belum lagi Anggini hingga di lembah kerikil cadas murid Sinto Gendeng ini sudah mendengkur!
Di lembah Anggini membasahi wajah , kaki dan tangannya dengan air sejuk yang mengucur jatuh di antara batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu sepuasnya ia duduk berjuntai di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya digulung ke atas kemudian mirip anak kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid Dewa Tuak ini permainkan air dengan ke dua kakinya. Sementara kakinya mempermainkan air Anggini basahi tangannya kemudian diusapkan ke balik dada pakaiannya. Saat itulah ia menyadari kalau dia1 tidak sendirian di tempat itu. Ada seorang lain tak jauh dari situ. Orang ini mendekam di atas salah satu pohon besar yang mengelilingi lembah cadas. Mula-mula si gadis menyangka orang itu ialah Pendekar 212. Namun ketika diliriknya dengan sudut mata ternyata bukan.
“Pengintip lancang di atas pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!” Anggini berteriak.
Orang di atas pohon tak menjawab. Bergerak pun tidak.
“Bagus! Makara kau menentukan mati dari pada turun!” Tangan kanan si gadis bergerak ke pinggang. Lalu “wuttt!” Terdengar bunyi menderu. Tiga buah benda berupa paku perak melesat di udara. Menyambar ke arah pohon besar di mana orang yang mengintip berada. Anggini menunggu bunyi orang itu terpekik ditembus paku perak yang menjadi senjata rahasia andalannya. Tapi itu tak terjadi. Ketika ia memandang ke arah pohon , orang yang tadi mendekam di salah satu cabang tak kelihatan lagi. Dua dari tiga paku perak yang dilemparkan Anggini menancap di batang dah cabang yang melintang.
“Aneh , tak terdengar bunyi gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang! Gerakan orang itu cepat sekali. Jangan-jangan bukan insan tapi monyet atau orang hutan. Lalu ke mana kaburnya makhluk sialan itu?!” pikir Anggini. Pandangannya diputar berkeliling ke arah pohon-pohon besar sekitar lembah kerikil cadas.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika diperhatikan bunyi gemerisik itu berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah lagi ke pohon terdekat.
“Wuttt!”
Ada sambaran angin di belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di hadapannya telah tegak seorang cowok berwajah keren , berpakaian bagus berwarna hijau. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang sedang di indera pendengaran kanannya ada sebuah anting terbuat dari emas.
“Kau yang barusan mengintip orang mandi?!” hardik Anggini murka sekali.
“Jangan salah paham. Aku tidak mengintip…” si cowok agak tergagau dibentak begitu rupa.
“Lalu mengapa berada di atas pohon?!”
“Dengar , sebelum kau tiba ke tempat ini saya sudah lebih dulu berada di pohon itu…”
“Berarti pekerjaanmu memang sengaja menunggu orang tiba kemudian mengintainya waktu mandi….”
Si cowok tertawa lebar. “Namaku Panji , siapa namamu….”
“Pemuda kurang ajari Siapa tanyakan namamu?!” sentak Anggini.
“Ah , saya merasa tidak melaksanakan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang semenjak tadi membentak-bentakku!”
“Kesabaranku ada batasnya. Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Tidak bisa! Aku mau mandi di sini!” jawab cowok berbaju hijau yang ialah putera Raja Pulau Sipatoka yang juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Kau saja yang pergi!” Lalu yummy saja cowok itu membuka baju hijaunya hingga tampak dadanya yang bidang penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat.
Anggini terbeliak , wajahnya merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke belakang.
“Kau memang cowok kurang ajar! Biar saya beri sedikit pelajaran bersopan santun!” Lalu hampir tak kelihatan asisten gadis itu bergerak menampar
ke arah pipi kiri si pemuda.
“Rontok gigimu!” kata Anggini. Tapi “wutttt!” Tamparan yang dipastikannya akan mendarat keras di muka si cowok ternyata hanya mengenai angin. Malah saking kerasnya ia menciptakan gerakan menampar tubuhnya terputar setengah lingkaran. Kaki kanannya terpeleset dari atas kerikil yang dipijaknya. Belum sempat ia mengimbangi diri tahu-tahu tu-buhnya telah jatuh dan masuk ke dalam air setinggi dada!.
Pemuda berbaju hijau tampak terkejut sekali.
Dia ulurkan tangan berusaha hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal lengannya kemudian membetotnya kuat-kuat. Tak ampun lagi cowok itu ikut jatuh masuk ke dalam air. Si cowok ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam air begitu saja. Ketika tubuhnya melayang di atas kepala Anggini , tangannya yang dicekal menciptakan gerakan berputar hingga kini ia juga mencekal lengan si gadis. Akibatnya ke dua orang itu sama-sama jatuh ke dalam air saling tindih tubuh dan muka satu sama lain. Si cowok di sebelah bawah , Anggini menindih di sebelah atasi
Selagi Anggini memaki panjang pendek dan cowok berjulukan Panji batuk-batuk lantaran tertelan air , di tepi lembah kerikil cadas terdengar orang tertawa gelak-gelak.
“Kalian berdua sedang mandi bersama atau bergurau atau lagi apa?!”
Tanpa menoleh Anggini sudah tahu kalau yang tertawa itu ialah Wiro Sableng. Kemarahannya yang meluap ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat keluar dari air kaki kanannya menendang ke arah dada si pemuda!
“Tahan! Kenapa kau menyerangku!” teriak Panji seraya cepat-cepat menghindar dari tendangan si gadis.
Lagi-lagi serangan Anggini hanya mengenai tempat kosong , menciptakan murid Dewa Tuak ini jadi tambah beringas. Padahal dikala itu pakaiannya berair kuyup hingga bentuk tubuhnya seolah tercetak di bawah pakaian yang berair itu!
Mula-mula Panji memang tidak mau melawan. Dia menciptakan gerakan-gerakan kilat untuk menghindar atau berkelit. Namun serangan si gadis tiba bertubi-tubi. Di satu dikala ketika ia terdesak ke arah barisan batu-batu cadas setinggi punggung , Anggini gerakkan tangan kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari menusuk dengan deras ke arah jantung. Ini ialah totokan maut yang walau bisa dikelit Panji akan tetap mencelakainya.
“Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal!” seru Wiro kaget ketika melihat jurus maut yang dilancarkan murid Dewa Tuak itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya sendiri Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat terjun ke dalam air. Dua tangannya memegangi lengan Anggini dan ia sengaja bergantungan di tangan si gadis hingga Anggini tak sanggup meneruskan totokan mautnya.
“Apa-apaan kau ini?!” hardik Anggini. “Jangan bergelayutan mirip monyet di tanganku!”
“Sabar Anggini , jangan perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!”
Saking kesalnya Anggini hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro mirip dihenyakkan dan kecebur masuk ke dalam air. Megap-megap ia keluar. Sambil geleng-geleng kepala ia , menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak sanggup berbuat lain dari pada mengikuti. Kalau ia melawan , pakaiannya yang tertarik bisa robek di kepingan dada hingga ke perut!
“Nah duduk bagus-bagus di situ. Katakan apa yang terjadi!“ ujar Wiro sambil menyuruh duduk Anggini di atas sebuah kerikil tapi sang dara tetap saja berdiri dan menatap Wiro dengan mata berkilat-kilat.
“Kurasa otakmu kejangkitan penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja mengintip saya mandi!” kata Anggini setengah berteriak.
“Dia salah sangka! Aku tidak berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip…!” Panji membela diri. Dia merancah air kemudian naik ke atas batu-batu cadas tapi sengaja menjaga jarak dengan Anggini lantaran khawatir gadis itu akan menyerangnya kembali.
“Sobatku beranting emas ,” menegur Wiro Sableng. “Apa benar kau mengintipnya ketika sedang mandi?”
Panji menggeleng berkali-kali. “Istrimu itu salah sangka….”
“Pemuda lancang! Enak saja kau bicara! Siapa bilang saya istrinya!” hardik Anggini marah.
Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah bingung.
“Harap maafkan , saya tidak tahu kalau.». Sudahlah! Yang terang ia salah sangka. Aku sudah usang berada di atas pohon sana ketika ia tiba ke lembah kerikil ini. Lagipula ia tidak sedang mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas batu. Kalau ia mandi mana mungkin dikala ini ia masih berpakaian mirip itu. ,..”
“Anggini , kau dengar ucapan cowok ini. Dia tidak mengintipmu….”
Anggini palingkan wajah ke jurusan lain dan tampak merengut. “Mungkin saja ia tidak mengintip , tapi mengapa tadi ia hendak membuka baju , hendak bertelanjang di depanku?!”
Wiro jadi melengak. “Saudara , apa ucapan gadis sahabatku ini benar?” tanya Wiro.
“Benar , tapi tidak bermaksud bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju kemudian mandi. Mana mungkin saya berani melaksanakan hal segila itu! Sudahlah , kalau temanmu itu merasa saya memang bersalah , saya minta maaf saja. Tapi saya tetap tidak mau dituduh mengintip wanita mandi!”
Wiro angkat tangannya kemudian berkata. “Kalau saya boleh bertanya , kemudian apa yang kau lakukan di atas pohon?!”
“Aku dibesarkan di sekitar bahari dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat pohon ialah kesukaanku….”
“Berartikalau kau bukannya keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!” sergah Anggini.
Mendengar ucapan si gadis , Panji tidak murka malah tertawa lebar. “Sahabatku memang monyet dan ikan! Kami sering berpacu cepat memanjat pohon dan menyelam ke dasar laut!”
“Sahabat beranting emas , kau belum menyampaikan apa tujuanmu berada di atas pohon itu ,” Wiro mengingatkan.
“Terus terang saya mencari dua sahabat. Karena hari sudah petang saya menentukan duduk di atas pohon sambil memperhatikan keadaan sekitar sini ,” jawab Panji.
“Sahabat yang kau tunggu itu lelaki atau perempuan?” tanya Wiro.
“Satu wanita satu lagi lelaki.”
“Apa mereka punya nama?” tanya Wiro sambil senyum-senyum dan melirik pada Anggini.
“Yang satu memang seorang gadis….”
“Jelas bukan sahabatku ini , bukan?”
“Memang bukan , tapi sahabatmu ini lebih elok dari sahabatku itu!” jawab Panji polos menciptakan Anggini kembali merengut.
“Siapa nama sahabatmu itu?” tanya Wiro lagi.
Tak bisa kukatakan padamu ,” jawab Panji. Yang dimaksudkan cowok ini mirip dituturkan dalam Episode sebelumnya terang ialah Puti Andini yang ditolongnya dari serbuan anjing hutan ketika tergeletak di tengah jalan dalam keadaan pingsan akhir ilmu yang diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik.
“Hemmm…. Lalu sahabatmu yang satu lagi siapa dia?”
“Seorang kakek ajaib tapi sakti , Namanya Wiro Sableng!”
Murid Sinto Gendeng mirip hendak terlompat mendengar ucapan Panji , Anggini sendiri palingkan kepala dan memandang terheran-heran pada cowok beranting emas itu.
“Kau yakin sahabatmu itu seorang kakek berjulukan Wiro Sableng?”
“Eh , kenapa kau bertanya seolah tak percaya. Memang saya cuma bertemu satu kali dengan dia. Tapi pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang….”
“Mengapa kau mencarinya?” tanya Wiro pula.
“Dia seorang sahabat baik walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari lantaran ia satu-satunya sahabat baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di pulau ia telah menyelamatkan ayah dan ibuku dari racun jahat mematikan.”
“Sahabat , coba kau jelaskan ciri-ciri kakek berjulukan Wiro Sableng itu ,” ujar Wiro.
“Orangnya agak bungkuk , tidak terlalu tinggi. Rambut panjang putih , kumis dan janggutnya juga putih. Dia mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan mukanya sangat cekung seolah tak berdaging….”
“Tua Gila! Pasti dia!” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini , memberi isyarat bahwa ia akan memberi tahu bahwa bahwasanya dialah orangnya yang berjulukan Wiro Sablengi , Tapi Anggini menggelengkan kepala.
“Sahabatku , kalau kau memang hendak mencari sahabatmu itu lebih baik melanjutkan perjalanan dari pada mendekam di atas pohon….”
Sebenarnya Panji ingin menanyakan siapa adanya Wiro dan sobat gadisnya yang berpakaian serba ungu itu. Tapi hasilnya ia tetapkan lebih baik mengikuti nasihat si cowok yaitu melanjutkan perjalanan.
“Kalau kita berpisah kuharap tak ada lagi salah sangka di antara kita ,” kata Panji. Pemuda ini kemudian menjura pada Wiro dan Anggini. Ketika ia hendak bergerak pergi tiba-tiba udara di sekitar lembah kerikil cadas itu dipenuhi oleh suitan-suitan nyaring. Sesaat kemudian beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang telah tegak di atas batu-batu cadas di empat jurusan.
*
* *

212
DELAPAN

Orang pertama ialah kakek berwajah lancip mengenakan jubah hitam berbelang putih. Yang menciptakan wajahnya jadi angker ialah sepasang matanya yang merah sangat besar dan mencuat keluar seolah mau copot. Dia tegak menghadap ke arah lembah kerikil di mana Panji , Wiro dan Anggini berada , namun kepalanya terus-terusan mendongak ke langit seolah memandang sesuatu di atas sana.
Memperhatikan kakek yang tidak dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. “Tua bangka ajaib ini mendongak terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan sepasang matanya yang mirip ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke tanah!”
Orang ke dua duduk berjongkok di atas kerikil cadas paling tinggi. Wajahnya tidak kelihatan lantaran mirip sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua tangan berada di samping dengan telapak dikembangkan menekan kerikil yang didudukinya. Orang ini mengenakan celana panjang dan baju hitam tanpa lengan. Karena tubuhnya tak bergerak sedikitpun tak sanggup dipastikan apakah ia dikala itu tengah tertidur atau bagaimana.
Pendatang ke tiga tegak dengan perilaku keren. Kaki terkembang dan dua tangan berkacak pinggang. Manusia ini mempunyai kepala panjang tapi peang , berwajah hijau penuh benjol-benjol mirip ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting halus tersusun tinggi ke atas mirip sarang tawon. Keanehan insan ini masih ditambah dengan sepotong tulang yang ditancapi di bibirnya sebelah bawah.
“Baru sekali ini saya melihat makhluk mirip ini. Dedemit pun kalah seramnya!” berucap murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan kanannya yang berwarna hijau. “Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di asisten itu ,” pikir Wiro.
Orang ke empat ialah satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu bukan lain si nenek berjulukan Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam Episode pertama (Tua Gila Dari Andalas) semasa berada di pulau Kerajaan Sipatoka ia telah menyamar menjadi seorang dukun yang dikenal dengan panggilan Dukun Sakti Langit Takambang. Kini lantaran ia muncul dalam bentuk aslinya maka Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo tidak bisa mengenalinya. Sebaliknya si nenek memandang pada cowok itu dengan mata berkilat-kilat. Dulu ia ingin menguasai kerajaan Sipatoka dengan jalan meracuni ke dua orang bau tanah Panji yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan permaisuri. Namun gagal berkat pertolongan Tua Gila yang tersesat ke pulau Kerajaan itu. Kini melihat Panji berada di tempat itu , kebencian Sika Sure Jelantik jadi berkobar. “Tak sanggup ibu bapaknya , anaknya pun tak jadi apa! Putera Mahkota keparat ini harus disingkirkan dari muka bumi!” kata si nenek dalam hati penuh geram. Lalu ia melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Hemmm…. Pemuda keparat ini ada di sini pula! Dulu saya sudah berniat membunuhnya! Namun dikala itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang mukanya dan memenuhi permintaannya saya tidak jadi menghabisinya , tapi sekali ini tanganku sudah gatal untuk merampas nyawanya!”
Habis membatin begitu Sika Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga orang yang tiba bersamanya kemudian berkata. “Kita berempat tidak satu golongan tapi punya satu tujuan. Siapa yang hendak bicara dultian?!”
Kakek berjubah hitam putih yang matanya mem-berojol keluar mendehem beberapa kali seolah memberi isyarat bahwa dialah yang ingin bicara lebih dulu.
“Gadis berpakaian ungu berjulukan Anggini! Dengar baik-baik apa yang saya ucapkan. Karena kalau nyawamu sudah minggat kau tak bakal bisa mendengar apa-apa lagi…!”
Anggini yang berada di telaga dalam lembah kerikil terkejut sekali mendengar orang bau tanah tak dikenalnya itu menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa adanya kakek ini.
“Beberapa waktu kemudian di Pulau Andalas kau telah membunuh seorang berjulukan Datuk Mangkuto Kamang tanpa lantaran tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu membunuh seorang bau tanah , sungguh satu perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan sang Datuk sesama orang satu golongan putih dalam rimba persilatan.” Ketika bicara sepasang mata si kakek tampak bergerak bergoyang-goyang. Masih terus dengan kepala mendongak ia lanjutkan ucapannya.
“Sehabis membunuh kau melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun luasnya bumi ini , dalam kejahatan ia akan menjadi sempit. Hari ini kau kutemui. Berarti hari ini kau harus melepas nyawa membayar kematian Datuk Mangkuto Kamang. Aku Datuk Gadang Mentari ialah kakak Datuk Mangkuto Kamang I”
Anggini hingga ternganga mendengar apa yang barusan diucapkan orang bau tanah mengaku berjulukan Datuk Gadang Mentari itu , Sekilas ia berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng dilihatnya tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang kembali pada kakek berjubah hitam putih itu kemudian tertawa panjang.
“Orang bau tanah , saya tidak kenal dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang berjulukan Datuk Mangkuto Kamang itu! Kau muncul dan menuduh saya membunuh adikmu! Apa kau tidak keliru menjatuhkan tuduhan? Apa kau tidak terpesat kesasar ke tempat ini? Apa kau tidak sedang mimpi dan mengigau sementara hari belum lagi malam!”
Sepasang mata yang memberojol dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-goyang tanda ia dilanda kemarahan. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan sebuah benda berwarna ungu.
“Aku bicara tidak sembarang bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka matamu lebar-lebar. Benda apa yang saya lemparkan ke hadapanmu!”
Habis berkata begitu sang Datuk kemudian lemparkan benda yang dipegangnya ke hadapan Anggini. Benda itu ternyata ialah sehelai selendang ungu yang salah satu ujungnya ada goresan pena 212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat selendang itu. Bentuknya sangat sama dengan yang dimilikinya dan dikala itu melingkar di leher. Orang lain akan sulit membedakan ke dua selendang itu.
Sementara Anggini hanya tertegak menganga Wiro melangkah kemudian membungkuk mengambil selendang ungu yang dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang itu diperhatikannya sambil diusap-usap dengan jari tangan kiri kemudian didekatkannya ke hidung dan diciumnya.
“Pemuda rambut gondrong bermuka pucat!” hardik Datuk Gadang Mentari. “Apa yang kau lakukan?!”
“Hebat juga bau tanah bangka bermata brojol ini!” ujar Wiro dalam hati. “Dia mendongak dan sama sekali tidak melihat ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau saya melaksanakan sesuatu?!”
“Menurutku selendang ini memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak serupa alias tidak asli….”
“Aku tidak minta pertimbanganmu!” kembali Datuk Gadang Mentari membentak.
Wiro angkat pundak dan serahkan selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa memperhatikan si gadis pribadi saja mencampakkan selendang itu ke tanah.
“Apa yang dikatakan cowok ini benar! Selendang itu sama warna , sama bentuk dengan yang kumiliki. Tapi tidak asli. Selendangku terbuat dari sutera orisinil , selendang yang kau bawa terbuat dari sutera tiruan….”
“Selendang sahabatku berbau harum. Selendangmu busuk bacin tai ayam!” sambung Wiro pula.
Datuk Gadang Mentari tertawa pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari hidungnya terdengar bunyi mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah.
Hebatnya ludah yang disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan lenyap di udara.
“Orang bersalah selalu mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan melingkar menjirat leher adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa kau masih ingin mencari dalih?!”
“Perlu apa saya mencari dalih! Aku tak pernah membunuh orang berjulukan Datuk Mangkuto Kamang!” jawab Anggini ketus tapi tegas.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola matanya kembali bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya memang kepala ini tak bisa diluruskan!
“Aku punya seorang saksi yang mengetahui kejadian pembunuhan itu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang kau yang membunuh adikku!”
“Katakan siapa orangnya!” kata Anggini dengan bunyi keras.
“Aku tak bisa memberi tahu lantaran ia bukan seorang tokoh sembarangan.”
“Berarti semua ini ialah fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa maksudmu melaksanakan sandiwara keji ini?!” Sepasang mata Anggini membeliak dan suaranya lantang membahana.
“Orang yang menjadi saksi perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia ialah seorang tokoh di Gunung Singgalang!”
Kening Anggini mengernyit. “Aku mengenal dua orang tokoh yang membisu di gunung itu. Seorang kakek buntung sakti berjulukan Nyanyuk Amber. Namun semenjak usang ia melenyapkan diri dari Gunung Singgalang. Orang satunya lagi ialah seorang nenek berkepandaian tinggi berjulukan Sabai Nan Rancak. Dia….”
“Tidak , tidak!” memotong Datuk Gadang Mentari. “Bukan mereka yang menyaksikan perbuatan kejimu itu….”
“Berarti….”
“Sudahlah , saya tak ingin bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah jelas. Biar kawan-kawanku yang lain punya kesempatan untuk bicara!” Datuk Gadang Mentari berpaling ke arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja mendongak.
“Perempuan bau tanah sahabatku harap kau suka memberi tahu kedatanganmu pada calon-calon mayit yang ada di tempat ini!”
“Calon-calon mayat?!” Untuk pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia memandang pada Wiro dan Anggini kemudian satu persatu pada empat orang yang ada di sekelilingnya. Tak satu pun dari mereka yang dikenali cowok ini. Maklum saja ia gres sekali ini menginjakkan kaki di tanah Jawa. “Maksudmu kami bertiga ini yang kau sebut sebagai calon-calon mayat? Kalian hendak membunuh kami?!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka! Kau mewakili ke dua orang tuamu menjadi tumbal kematian! Hik… hik… hik!”
Terkejutlah Panji mendengar kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip menatap wajah bundar keriput si nenek sementara rambutnya yang putih panjang riap-riapan dihembus angin lembah. “Siapa bahwasanya wanita bau tanah ini…?” pikir Panji. Matanya turun ke bawah memperhatikan jubah hitam yang menempel di tubuh si nenek kemudian pandangannya membentur tangan kiri kanan Sika Sure Jelantik. Sepuluh kuku jari si nenek dilihatnya berwarna hitam dan panjang-panjang. Pemuda ini mencoba mengingat-ingat. “
“Wajahnya tidak sama. Tapi pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu suaranya. Aku mengenali betul. Tak mungkin salah! Jangan-jangan….”
*
* *

212
SEMBILAN

Nenek bermuka bundar dan ada tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar tawa panjang. Sementara Wiro dan Anggini memandang pada Panji terheran-heran lantaran barusan disebut sebagai Putera Mahkota oleh si nenek.
"Anak muda calon mayat! Aku ialah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal sebagai Dukun Sakti Langit Takambang!”
“Kau!” seru Panji dengan pengecap tercekat tapi wajah pribadi merah mirip saga! Dan darah amarah menggelegak!
“Hik… hik! Kau ialah calon mayit pertama di tempat ini!” hardik si nenek.
Wiro berpaling pada Anggini dan berbisik. “Agaknya siapa calon mayit ke dua di antara kita…?”
“Aku belum mau mati!” jawab Anggini tanpa berpaling pada Wiro.
“Ah , nasibku jelek. Dalam keadaan mirip ini agaknya saya memang ditakdirkan jadi calon mayit ke dua. Lebih dulu menemui kematian darimu!” keluh Wiro sambil garuk-garuk kepala. Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan air muka murung apalagi takut.
Murid Dewa Tuak terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 dan gres teringat akan keadaan Wiro. Walau cowok ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212 , mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan dibekali Si Raja Penidur dengan ilmu tidur , namun tetap saja si gadis merasa khawatir. Dia berbisik. “Jangan jauh-jauh dariku Wiro. Kalau ada apa-apa saya sulit membantumu…” kata Anggini cepat.
Wiro anggukkan kepala dan rahasia merasa terharu gadis itu memperhatikan keselamatannya.
“Dukun bau tanah keparat! Dulu kau melarikan diri dari pulau. Apa kini kau kira bisa lolos dari tanganku? Biaraku yang muda mewakili kedua orang tuaku memuntir putus kepalamu!”
Sika Sure Jelantik tertawa bergelak. “Umur hanya beberapa kali usia jagung! Tubuh masih bacin pesing! Ilmu dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya comberan busuk! Sombong amat bicara hendak memuntir putus kepalaku!”
“Siapa lagi yang hendak bicara?!” Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara. Dia masih terus mendongak ke langit dan sepasang matanya yang menjorok keluar bergerak-gerak liar.
“Tunggu! Aku masih belum habis bicara!” berteriak Sika Sure Jelantik.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang memberojol bergoyang beberapa kali.
“Kaii!” tiba-tiba Sika Sure Jelantik menghardik dan menuding dengan jari telunjuk tangan kirinya yang berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng mengambil perilaku membisu menunggu. “Terakhir kali nyawamu selamat lantaran gadis elok berlesung pipit kekasihmu itu menolongmu! Kali ini jangan harap kau bisa selamat dari kematian!”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras gadis ini berubah begitu mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang jadi kekasihnya. “Gara-gara lisan lancang nenek sialan ini , apa kini yang ada dalam benak serta hati Anggini…?” membatin Wiro.
“Pendekar 212 , apakah dikala ini kau masih belum mau memberi tahu di mana adanya kakek keparat Tua Gila?!”
“Bukankah tempo hari sudah kubilang di mana ia berada?!” ujar Wiro sambil cengar-cengir.
Di sampingnya Anggini yang tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si nenek tadi , bagaimanapun juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka ia cepat berbisik. “Wiro , jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini mempunyai kepandaian tinggi….”
Sepasang mata Sika Sure Jelantik mendelik. “Kapan kau memberitahu! Di mana?!”
“Kau sudah bau tanah , tak salah kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu padamu bahwa Tua Gila berada di satu kali kecil? Sedang membuang hajat besar alias berak?! Sampai dikala ini kurasa ia masih ada di sana. Memang mengherankan. Buang hajat besar saja hingga berminggu-minggu….” Wiro tertawa gelak-gelak. Anggini menggigit bibir melihat. Wiro abaikan nasihatnya. Datuk Gadang Mentari keluarkan bunyi menggereng dari tenggorokannya. Orang bermuka hijau yang rambutnya mirip sarang tawon keluarkan bunyi gemeretak dari rahangnya yang dikatupkan kencang-kencang. Sementara itu terdengar bunyi tertawa cekikikan tertahan. Yang tertawa ternyata ialah yang duduk dengan menyembunyikan mukanya di atas kerikil cadas paling tinggi.
Amarah Sika Sure Jelantik menggemuruh. Didahului satu teriakan keras ia siap melompat ke hadapan Wiro. Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari rentangkan tangan kirinya ke samping. “Wuuttt!” Selarik angin menyambar di depan Sika Sure Jelantik menciptakan gerakan si nenek tertahan.
“Datuk Gadang! Jangan kau berani menghadang diriku!” teriak Sika Sure Jelantik marah.
“Tenang dan sabar sedikit Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan bertindak sendiri-sendiri sebelum semua dari kita bicara?!”
Si nenek saking geramnya bantingkan kaki kirinya. “Kraakkk!” Batu yang dipijaknya retak kemudian terbelah dua. Sebelum kerikil roboh ia telah melompat ke kerikil lain di sebelahnya.
“Giliran siapa kini yang bicara?!” Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala masih mendongak dan sepasang mata terus bergerak-gerak.
Lelaki bermuka hijau letakkan tangan kirinya di atas dada kemudian batuk-batuk beberapa kali. Sebelum membuka lisan ia terlebih dulu memandang dengan agresif pada Wiro , Anggini dan Panji.
“Aku Pengiring Mayat Muka Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus untuk menjadi saksi pemusnahan orang-orang golongan putih yang melaksanakan kekejian dalam rimba persilatan! Bilamana orang-orang golongan putih tidak bisa diperbaiki maka saya membawa amanat untuk menyingkirkan mereka!”
Wiro pencongkan mulutnya. “Hebat benar kiprah insan ular keket ini!” katanya dalam hati.
Setelah mengusap bibirnya yang ditancapi tulang kecil , Pengiring Mayat Muka Hijau menatap ke arah Wiro kemudian berkata. “Jika kau benar orang yang dijuluki Pendekar 212 , mirip yang dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik , saya ingin menanyakan di mana adanya gurumu si Tua Gila itu?”
“Hemm…. Apa kau punya keperluan sama dengan nenek itu?” tanya Wiro seenaknya.
Pengiring Mayat Muka Hijau menyeringai. “Gurumu si Tua Gila itu telah membunuh seorang tokoh golongan putih di pulau Andalas. Korbannya ialah Magek Bagak Baculo Duo! Dosa besar ini harus dipertanggung jawabkannyal Kalau kau tidak memberitahu di mana ia berada maka saya akan mewakili dunia persilatan untuk menghabisimu dikala ini juga. Tapi mengingat nama besarmu saya bisa memberi pengampunan dengan satu syarat…”
“Asyik juga! Apa syaratmu insan muka hijau berambut sarang tawon?!” bertanya Pendekar 212 yang kembali menciptakan Anggini jadi panas dingin.
“Kau ikut dengan saya ke Lembah Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk Lembah Akhirat masuk menjadi anggota kami!”
“Hemmm…. Coba saya pikirkah dulu!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Sebelum saya memberi keputusan mau ikut denganmu atau tidak , apa boleh saya bertanya? Yang namanya Lembah Akhirat itu pasti letaknya di alam abadi ya? Walah , perjalanan ke sana pasti jauh sekali. Apa orang harus terbang menuju ke sana atau ada tangganya naik ke langit sana atau bagaimana ya…?” Wiro tutup ucapannya dengan tawa bergelak.
Orang yang duduk menutupi mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa. Murid Sinto Geri-deng mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya hingga di sana. Mulutnya kembali me-nyeletuk. “Manusia muka ular keketl Kau tahu Tua Gila semenjak usang berada di tanah Jawa ini , sedang buang hajat besan Kapan ia sempat-sempatnya membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu?! Ha… ha… ha…!”
“Baculo duo! Bukan Babiji Duo!” Orang yang duduk menutup wajah di atas kerikil cadas membetulkan ucapan Wiro kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
“Datuk Gadang Mentari! Aku sudah gatal tangan membetot jantung mencabut nyawa orang ini! Harap kau cepat memberi kesempatan pada mitra kita yang terakhir untuk bicara!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau dengan pelipis menggembung bergerak-gerak saking mendidih amarahnya.
“Sobatku di atas cadas!” berseru Datuk Gadang Mentari. “Jangan tertawa saja! Kami memberi kesempatan padamu untuk bicara!”
Orang di atas cadas hentikan tawanya tapi tetap saja duduk mirip tadi. Menyembunyikan wajahnya di balik sepasang kakinya yang dilipat.
Lalu terdengar suaranya berkata dengan nada rawan. “Datuk Gadang Mentari , kau tahu siapa dan bagaimana sifatku. Harap kau saja yang mewakili saya bicara!”
“Hemm….” Datuk Gadang Mentari bergumam. Matanya tak lepas memandang ke langit. “Sobatku Iblis Pemalu , jikalau itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada dua kecoak anabawang itu! Pemuda bergelar Pendekar 212 dan gadis berjulukan Anggini , dengar baik-baik apa yang saya katakan! Akibat ulah kalian berdua seorang tokoh berjulukan Datuk Bululawang menemui kematian! Malang bagi kalian berdua , Datuk Bululawang ialah kakak kandung sobatku Iblis Pemalu yang dikala ini duduk di atas kerikil cadas sanal Celaka bagi kalian berdua , hari ini hasilnya Iblis Pemalu berhasil menemui kalian di sini setelah sekian usang mencari-cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami bagi dua!”
“Mana bisa begitu!” Sika Sure Jelantik menukas. “Kita ada berempat jadi nyawanya harus dibagi empat!” Si nenek kemudian tertawa cekikikan.
Wiro memandang ke atas kerikil cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam duduk. Lalu berbisik pada gadis di sebelahnya. “Anggini , apa yang kau ketahui wacana insan ajaib berjulukan Iblis Pemalu itu?”
“Aku memang pernah mendengar nama insan satu ini. Dia malang melintang seorang diri. Tidak merangkul golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi tapi ia bukan bangsa insan yang gampang dikecoh oleh orang-orang golongan hitam , Aneh kalau hari ini ia ikut-ikutan dengan tiga insan kesasar itu! Lekas kau bicara menjelaskan kematian Datuk Bululawang itu!”
“Iblis Pemalu!” Wiro berseru. “Soal kematian kakakmu itu , apakah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?!”
“Sobatku Datuk Gadang Mentari , harap kau jawab pertanyaannya.” Iblis Pemalu bicara dan tetap sembunyikan wajahnya di balik paha.
“Dia memang tidak melihat sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri kakaknya! Tapi ia mendapat klarifikasi dari orang lain yang bisa dipercayai”
“Siapa orang lain itu?!” tanya Anggini.
“Agar sesama golongan putih tidak tambah ricuh , harap kau tidak memberi tahu siapa orangnya Datuk Gadang!” Yang bicara ialah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Berarti ada kedustaan besar di balik semua ini!” kata Anggini.
“Iblis Pemalu , harap kau tidak terpengaruhi fitnah!” kata Wiro.
Iblis Pemalu tidak menjawab tidak bergerak. Yang buka bunyi kembali , ialah Pengiring Mayat Muka Hijau , anak buah Datuk Lembah Akhirat. “Kau pintar bicara membela diri! Tapi siapa yang mau percayai Datuk Gadang , apakah kita sudah siap mulai dengan pesta kematian ini?!”
Tunggu! Aku mau bicara dulu dengan Iblis Pemalu!” teriak Wiro. Lalu ia naik ke atas batu-batu cadas dan memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau saja ia masih mempunyai kesaktian dan tenaga dalam , Wiro tak perlu susah payah naik ke atas kerikil itu. Tapi cukup sekali melompat dan melesat saja ia dengan cepat dan gampang bisa hingga di sana. “Iblis Pemalu , harap kau mau mendengar penjelasanku. Adikmu Datuk Bululawang bukan kami yang membunuh. Dia jadi korban pembalasan sakit hati Sandaka , seorang cowok berjuluk Manusia Paku. Pemuda itu sendiri ialah korban ilmu hitam Dewi Ular!”
Pengiring Mayat Muka Hijau mendengus. “Nama Sandaka ataupun Manusia Paku tak pernah dikenal. Kalau orangnya memang ada di mana ia sekarang. Juga Dewi Ular. Coba jelaskan di mana wanita itu berada!”
“Mereka amblas masuk jurang!” menerangkan Anggini.
Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengejek. “Semua yang kalian katakan tidak masuk akal! Datuk…. Bagaimana? Apa kita bisa mulai?” (Mengenai Sandaka atau Manusia Paku harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
“Datuk Gadang , kau belum memberikan satu permintaanku?” Tiba-tiba Iblis Pemalu berkata.
“Astaga , hampir saya terlupa!” kata Datuk Gadang Mentari. “Kami menyirap kabar , salah satu dari kalian mempunyai sebuah peta petunjuk di mana adanya sebilah pedang sakti berjulukan Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta itu kau berikan pada Iblis Pemalu maka segala urusan menyangkut dirimu akan dilupakannya!”
“Gila , kenapa urusan jadi panjang bertele-tele mirip ini!” keluh Wiro. “Kalian semua dengar! Aku tidak tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta petunjuk!”
“Aku juga!” kata Anggini.
“Aku yang menyimpannya!” Tiba-tiba Panji yang semenjak tadi berdiam diri keluarkan seruan.
Pengiring Mayat Muka Hijau , Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah cowok itu. Datuk Gadang Mentari memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja mendongak ke langit. Iblis Pemalu tampak menggeser dua tangannya yang semenjak tadi bersitekan ke batu.
“Datuk Gadang! Lekas kau rampas peta itu!” Berteriak Iblis Pemalu.
“Jangan-jangan ia hanya menipu!” Pengiring Mayat Muka Hijau berkata.
Panji menyeringai. Dari balik pakaiannya yang bagus ia mengeluarkan secarik kain putih yang telah lusuh. Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang ada di tempat itu. Lalu dengan cepat dimasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-gerakkan kedua kakinya. Iblis Pemalu keluarkan bunyi ajaib sementara Sika Sure Jelantik merupakan satu-satunya orang yang tampak tidak tertarik dengan urusan Pedang Naga Suci 212 itu. Sepasang matanya terus menerus mengawasi Wiro yang semenjak tadi diincarnya.
Tiba-tiba Panji berkelebat dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu ia sudah berada di salah satu puncak kerikil cadas. Terus melesat ke atas sebatang pohon besar dan lenyap di balik kerimbunan dedaunan.
“Kejar!” teriak Iblis Pemalu. Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak tertutup lagi di balik kedua pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di udara ia menciptakan gerakan aneh. Di lain kejap laksana terbang ia melesat ke arah pohon besar tempat lenyapnya Panji.
Datuk Gadang Mentari walau tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap berada di atas kerikil tempatnya berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak melepaskan Wiro dari pengawasannya.
“Sika Sure Jelantik , sementara dua sobat kita berusaha mendapatkah peta , bagaimana kalau kita berdua membagi-bagi rejeki?!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk Gadang Mentari itu ,
“Sika , kau urusi si cowok , saya biar membereskan yang gadis!” kata Datuk Gadang Mentari pula. Lalu sekali ia menggenjotkan ke dua kakinya , tubuhnya melesat ke arah Anggini. kepalanya tetap mendongak ke langit. Namun tangan kanannya menciptakan gerakan kilat. Menghantam ke jurusan Anggini.
Si nenek Sika Sure Jelantik keluarkan teriakan keras kemudian berkelebat ke arah Pendekar 212!
*
* *

212
SEPULUH

Kita ikuti pengejaran atas diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang dilakukan oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui putera Rajo Tuo Datuk Paduko kepercayaan yano juga merupakan cucu Tua Gila itu mempunyai ilmu kepandaian aneh-aneh. Antara lain bisa menyelam dalam waktu sanya W! dalam air. Lalu ia juga sangat pintar dalam soal panjat memanjat. Sekali berkelebat di atas pohon dirinya lenyap seolah berubah jadi angin.
Pengiring Mayat Muka Hijau ingin tau setengah mati. Dia memandang berkeliling. Satu bayangan hitam berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat menarik tangannya ketika mengenali orang itu ialah Iblis Pemalu. Sambil tutupi kedua mukanya dengan tangan insan ajaib ini mengawasi keadaan sekelilingnya lewat celah-celah jarinya.
“Ke mana lenyapnya jahanam itu! “kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah berteriak. “Aku merasa malu! Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil menangkap insan kampret itu!” kata Iblis Pemalu kemudian tutup lebih rapat mukanya dengan ke dua tangan.
Pengiring Mayat Muka Hijau tambah jengkel mendengar kata-kata sj Iblis Pemalu. “Kau menyelidik ke sebelah kiri! Aku ke jurusan kanan!” kata anak buah Datuk Lembah Akhirat ink Lalu tanpa menunggu jawaban orang si Pengiring Mayat Muka Hijau melompat ke atas pohon besar di sebelah kiri.
Tapi begitu kakinya menginjak salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon Hu amblas. Kalau ia tidak lekas bergayut pada cabang di atasnya paling tidak ia akan terperosok jatuh.
“Jahanam!” maki Pengiring Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas patahan cabang pohon. Ternyata cabang itu tidak patah biasa , melainkan ada tanda bekas dipotong dengan beda tajam. “Pasti cowok jahanam itu yang punya , pekerjaan!”
Perigiring Mayat Muka Hijau memaki.
“Sobatku dari Lembah Akhirat!” tiba-tiba terdengar bunyi Iblis Pemalu.
Pengiring. Mayat Muka Hijau membisu saja. Kembali terdengar bunyi Iblis Pemalu. “Aku aib tak sanggup mencari cowok pembawa peta itu! Mengapa kau tidak mengerahkan Ilmu Pukulan Mayat! Sekali kau menerabas semua pepohonan ini akan musnah dan jahanam itu tak bisa lagi bersembunyi! Lekas kau lakukan. Sebentar lagi matahari akan terbenam dan tempat ini akan diselimuti kegelapan!”
Pengiring Mayat Muka Hijau masih diam. Namun dalam hatinya ia membenarkan kata-kata Iblis Pemalu. Maka ia segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya yang telapaknya berwarna hijau. “Wusss!”
Pengiring Mayat Muka Hijau menghantam ke pohon di atasnya. Selarik sinar hijau menderu. Cabang , ranting dan daun-daun pohon di atas sana laksana dikobari api berwarna hijau. Dalam waktu sekejapan saja pohon itu bermetamorfosis bubuk berwarna hijau yang kemudian lenyap bertaburan tertiup angin , Di pohon yang kini menjadi gundul itu sama sekali tidak terlihat sosok cowok yang dikejar. Penasaran Pengiring Mayat Muka Hijau kembali menghantam pohon di samping kiri. Untuk kedua kalinya pohon ini pun mendapatkan nasib sama. Gundul laksana dimakan api! Namun Panji tetap saja tidak kelihatan!
“Jahanam!” Lagi-lagi Pengiring Mayat Muka Hijau menyumpah habis-habisan.
Tiba-tiba seseorang melayang turun dari atas pohon dan tegak di samping Pengiring Mayat Muka Hijau , menciptakan orang ini terkejut dan kembali menyumpah panjang pendek. Yang tiba ternyata ialah Iblis Pemalu.
“Sobatku Pengiring Mayat Muka Hijau!” Iblis Pemalu berbisik. “Aku sudah melihat cowok itu. Dia sembunyi di pohon sebelah kanan sana. Lekas kau menghantam kembali. Aku tak mau menyerangnya. Aku malu!”
Pengiring Mayat Muka Hijau habis sabarnya. Dia membentak. “Kau aib menyerangnya. Tapi tidak aib menginginkan peta rahasia itu!”
Iblis Pemalu menutup wajahnya dengan dua tangan tambah rapat. “Ah , ucapanmu menciptakan diriku tambah aib ,” katanya tetap dengan bunyi berbisik. “Ayo cepat kau menghantam pohon itu sebelum ia kabur dari sana!”
“Sialan! Bangsat ini memperalat diriku! Jangan harap kau bakal dapatkan peta itu!” rutuk Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tanpa berpaling pada orang di sebelahnya ia pribadi menghantam ke pohon yang dikatakan.
“Wusss!”
Untuk kesekian kalinya sinar hijau menggebu. Kali ini lebih dahsyat lantaran Pengiring Muka Mayat menghantam dengan penuh amarah serta pengerahan tenaga dalam tinggi
Pohon besar di sebelah sana bukan saja hancur lebur di sebelah atas tapi setengah dari batangnya ikut berubah jadi arang berwarna hijau yang kemudian lebur ditiup angin!
“Mana dia! Katamu bedebah itu ada di pohon itu! Kau lihat sendiri ia tidak ada di sana!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau murka ketika ia sama sekali tidak melihat sosok Panji.
“Ah , bagaimana ini. Tadi terang saya lihat ia mendekam di atas sana. Aku jadi malu!” Iblis Pemalu memandang liar kian kemari di antara celah-celah jarinya.
Tiba-tiba terdengar bunyi bergemeresak di belakang mereka. Iblis Pemalu dan Pengiring Mayat Muka Hijau cepat berbalik.
Sesosok tubuh berkelebat dari atas pohon kecil dan satu kaki menendang ke arah Pengiring Mayat Muka Hijau. Demikian cepat datangnya tendangan menciptakan anak buah Datuk Lembah Akhirat ini tidak sanggup berkelit. Meskipun ia tak sempat menghindar namun Pengiring Mayat Muka Hijau tidak membisu begitu saja. Tangan kanannya dihantamkan ke arah si penyerang.
“Bukkk!”
“Wuss!”
Satu tendangan menghantam dada kanan Pengiring Mayat Muka Hijau dengan telak. Selarik sinar hijau berkiblat!
Pengiring Mayat Muka Hijau terpental dua tombak dan menyangsrang jatuh di semak belukar. Dada kanannya serasa remuk.
“Memalukan! Ah , kau tidak apa-apa sobatku?!” tanya Iblis Pemalu dan mendatangi Pengiring Mayat Muka Hijau. Tangan kirinya masih ditutupkan ke mukanya. Tangan kanan diulurkan untuk menolong.
Saat itu bukan saja rasa sakit yang diderita Pengiring Mayat Muka Hijau tapi amarahnya pun sudah menggelegak hingga ke ubun-ubun. Dengan kaki kirinya diterjangnya perut Iblis Pemalu hingga orang ini terjengkang tapi cepat berdiri kembali.
Sambil menutupkan ke dua tangannya di wajahnya , Iblis Pemalu berkata. “Memalukan , diantara sahabat terjadi salah paham!”
“Jahanam! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku akan kubuat jadi debu kau dikala ini juga!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ah memalukan! Memalukan saya harus pergi!” Iblis Pemalu golengkan kepalanya beberapa kali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi ia berkelebat ke arah lenyapnya bayangan hijau yang tadi menyerang Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dengan susah payah Pengiring Mayat Muka Hijau keluarkan tubuhnya dari semak belukar. Dada kanannya yang cidera terkena tendangan diusapnya berulang kali. Dia memandang ke jurusan lenyapnya Iblis Pemalu. “Pemuda baju hijau itu tak bakal lari jauh! Aku yakin Pukulan Penghancur Mayat yang saya lepaskan tadi mengenai tubuhnya walau tidak telak….”
Dengan cepat ia mengerahkan tenaga dalam ke dada yang cidera. Lalu begitu selesai mengatur jalan nafas dan peredaran darah ia segera menyadari satu hal.
“Aku harus mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan Iblis Pemalu mendapatkan peta petunjuk di mana adanya Pedang Naga Suci 212 itu! Kalau hingga ia mendahului pasti Datuk Lembah Akhirat akan menjatuhi eksekusi berat padaku!”
Memikir hingga di sini Pengiring Mayat Muka Hijau segera berkelebat. Namun gerakannya tertahan lantaran tiba-tiba saja di tempat itu terdengar bunyi tawa membahana. Paras anak buah Datuk Lembah Akhirat yang berwarna hijau penuh benjolan mirip bisul ini tampak tegang. Suara tawa itu bukan bunyi tawa biasa. Kedua kakinya yang menginjak tanah sanggup mencicipi getaran hebat tanda siapa pun adanya orang yang tertawa pasti mempunyai ilmu kepandaian serta tenaga dalam luar biasa.
Berfirasat bakal ada ancaman yang mengancam Pengiring Mayat Muka Hijau cepat menyelinap ke balik sebatang pohon besar sambil mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya. Menyiapkan Pukulan Maut Penghancur Mayat!
*
* *

212
SEBELAS

Pengiring Mayat Muka Hijau jadi tegang sendiri. Karena setelah dinantikan agak usang orang yang tertawa itu belum juga muncul. Padahal bunyi tawanya begitu keras tanda orangnya tidak berada jauh dari tempat ia bersembunyi. Suasana yang mendadak menjadi sunyi senyap menciptakan anak buah Datuk Lembah Akhirat ini menjadi salah tingkah. Dia ingin segera keluar dari balik pohon tapi khawatir orang akan membokongnya. Tidak keluar menciptakan ketegangan semakin bertumpuk.
Si muka hijau ini tergagau ketika tiba-tiba kembali bunyi tawa meledak. Kali ini datangnya justru dari atas pohon di bawah mana ia berlindung. Mendongak ke atas terkejutlah dia. Seumur-umur gres sekali ini ia melihat pemandangan yang demikian luar biasa. Dia sempat menggosok mata berulang kali untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat atau tengah bermimpi.
“Keanehan apa ini! Sudah terbalikkah dunia hingga ada pemandangan begini rupa?!”
Di atas pohon besar , di salah satu cabang ia melihat seekor keledai pendek kurus. Tegak dengan indera pendengaran bergerak-gerak , mata berkedap-kedip dan ekor bergoyang-goyang kian kemari. Di atas punggung keledai kurus kering itu duduk seorang kakek gemuk luar biasa. Rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya tak berkancing dan kesempitan hingga dada dan perutnya yang gembrot berlemak tersembul. Pengiring Mayat Muka Hijau perhatikan wajah orang di atas pohon itu. Tua dan mempunyai sepasang mata sangat sipit.
“Benar-benar edani” kata si Pengiring Mayat dalam hati. “Keledai bisa berada di atas pohon! Tak masuk akal! Lalu si gendut yang duduk di atasnya! Meski hewan itu kurus tapi cabang pohon tidak mungkin menahan bobot tubuhnya. Apalagi ditambah dengan berat orang bau tanah bertubuh gemuk itul Tapi cabang tidak patah , bergoyang atau meliuk pun tidak! Siapa adahya dua makhluk ajaib ini?!” Tengkuk Pengiring Mayat Muka Hijau mendadak menjadi dingin. Dia tidak bisa mengira pasti. Namun terus memutar otak mengingat-ingat.
Tiba-tiba si gemuk di atas pohon keluarkan bunyi bersuit. Lalu tertawa bergelak. Ranting-ranting pohon bergemeretak. Daun-daun bergemeresik bahkan ada yang berguguran.
“Dasar keledai pandir! Tolol! Bodoh! Hendak kau bawa ke mana saya ini?! Jalan ke sorga bukan di sini! . Ha… ha… ha! Ayo lekas turun! Jangan menciptakan saya gamang. Bisa-bisa saya ngompo! di celana! Ha… ha… ha! Ayo turun!”
Si gemuk tepuk-tepuk pantat keledainya. Binatang ini mengeluarkan bunyi melenguh kemudian menggerakkan tubuh sebelah belakangnya ke atas beberapa kali. Si gemuk di atas punggung keledai bergoncang-goncang. Dada dan perutnya yang gembrot bergoyang-goyang.
“Keledai dungu! Apa yang kau lakukan ini! Aku bilang jangan menciptakan diriku jadi gamang! Nah… nah! Apa kataku! Lihat apa yang terjadi! Rasakan! Habis kau saya kencingi!”
Di bawah pohon Pengiring Mayat Muka Hijau tersentak kaget ketika ada air jatuh membasahi muka dan dadanya. Ketika mencium bacin air dan menyadari air apa adanya yang barusan membasahi muka serta pakaiannya menyumpahlah ia habis-habisan.
Sementara itu di atas pohon kakek gemuk kembali tertawa keras. Dia tepuk pantat keledai seraya berkata mengancam. “Keledai geblek! Lekas turun ke tanah! Kalau kau masih membandel akan saya tutup lobang anusmu! Jangan harap kau bisa buang hajat selama satu minggu!”
Entah mengerti ucapan si gemuk entah bagaimana , nyatanya keledai kurus itu melenguh tinggi dan putar-putar. ekornya. Lalu perlahan-lahan selangkah demi selangkah ia meniti cabang pohon. Begitu hingga pada batang pohon keledai ini terus membelok ke bawah dan betul-betul luar biasa! Binatang ini terus menjejakkan kaki pada batang pohon , bergerak turun ke bawah!
Pengiring Mayat Muka Hijau yang sudah tak sanggup menahan amarahnya sesaat jadi terkesiap. Dia memperhatikan dengan mata mendelik. Ketika ia mengetahui apa bahwasanya yang terjadi kembali ia menyumpah.
“Jahanam gendut itu menipuku! Ternyata kakinya yang menempel di batang pohon. Keledai di bawahnya hanya mengikuti gerakannya saja!” Walaupun demikian Pengiring Mayat Muka Hijau tetap tercengang melihat kehebatan kakek gemuk yang terus-terusan keluarkan bunyi tertawa itu. “Dia mempunyai tenaga dalam ajaib yang bisa membuatnya meniti pohon dengan tubuh melintang di udara!
Telapak kakinya mirip mempunyai perekat!”
Keledai dan si gemuk hasilnya menjejakkan kaki di tanah. Kini lebih terang di mata Pengiring Mayat Muka Hijau. Sebenarnya kakek gemuk itu tidak duduk di atas punggung keledainya lantaran ke dua kakinya yang panjang buntak menjejak tanah menopang tubuhnya yang berat!
Si gemuk usap-usap perutnya kemudian kembali mengumbar tawa yang menggetarkan seantero tem-pat. “Keledaiku , kau boleh pergi mencari makan. Tapi awas! Jangan jauh. Tempat ini terasa aneh. Banyak pohon gundul berwarna hijau. Aku menunggumu di sini sambil melepas lelah dan bernyanyi-nyanyi!”
Dengan satu gerakan ringan si gendut turun dari keledainya. Begitu hewan itu menyeruak di antara pepohonan si gemuk menghampiri sebatang pohon kemudian duduk menjelepok di tanah , bersandar ke pohon. Padahal di sebelah belakangnya tegak bersembunyi Pengiring Mayat Muka Hijau yang barusan dikencinginya!
Mencari saudara semata wayang
Entah hilang entah nyawa sudah melayang
Lain yang dicari
Lain yang ditemui
Kalau memang bukan maling bukan pencuri
Mengapa sengaja sembunyikan diri
Ha… ha… ha….
Enaknya hidup di dunia ini
Bisa tertawa bisa menyanyi
Ha… ha… ha!
Di balik pohon Pengiring Mayat yang sengaja menahan nafas maklum kalau nyanyi yang dilantunkan kakek gendut itu merupakan sindiran bagi dirinya. Dalam pada itu ia kini sudah bisa mengira siapa adanya orang itu. Maka tanpa tunggu lebih usang ia segera keluar dari balik pohon di belakang si gemuk.
“Bukankah saya berhadapan dengan tokoh dunia persilatan terhormat yang disebut dengan gelaran Dewa Ketawa?” Pengiring Mayat Muka Hijau menegur.
Suara tawa si kakek gemuk pribadi berhenti. Sepasang matanya yang sipit memandangi Pengiring Mayat Muka Hijau dari rambut hingga ke kaki. Lalu meledaklah tawa orang ini kembali.
“Kau pintar mengira siapa diriku. Tapi saya agaknya bakalan susah mengira siapa dirimu! Di atas kepalamu ada sarang tawon. Ha… ha… ha! Mukamu hijau benjal-benjol mirip ulat daun. Tubuhmu ada bacin pesingnya! Bibirmu diganduli tulang. Bagaimana kau mencium kekasih atau istrimu! Ha… ha… ha…. Siapa kau ini kira-kira ya? Ha… ha… ha!”
Rahang Pengiring Mayat Muka Hijau menggembung. Tenggorokannya turun naik. “Orang bau tanah gendut! Aku merasa banyolanmu tidak lucu!”
“Huss! Siapa yang sedang membanyol! Aku tadi cuma menyanyi , bukan membanyol! Jangan-jangan pendengaranmu agak terganggu alias tuli! Ha… ha… ha!”
“Dewa Ketawa! Kekonyolanmu sudah melampaui batas! Tadinya saya punya planning baik untukmu! Tapi kini terpaksa saya batalkan!”
“Ah , kalau begitu rejekiku memang jelek. Tapi bagaimana kau bisa menciptakan planning baik bagiku kalau dirimu sendiri kejatuhan sial! Barusan bukankah ada setan pohon yang mengencingimu?! Ha… ha… ha!”
“Dewa Ketawa , kau boleh tertawa hingga lidahmu copot! Jangan kaget kalau saya beri tahu bahwa kakakmu si Dewa Sedih ada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah Akhirat….”
“Eh , apa…?! Astaga kenapa telingaku tiba-tiba menjadi budek?!” Si gendut Dewa Ketawa ketok-ketok kepingan kepala dekat telinganya kiri kanan. “Coba kau ulangi lagi ucapanmu tadi! Aku kurang memperhatikan , kurang mendengar! Kau bilang kakakku mau kawin? Eh…! Ha. , , ha… ha! Coba ulangi lagi ucapanmu!”
“Kakakmu si Dewa Sedih berada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah Akhirat! Tak ada jalan kembali baginya ke dunia luar! Seumur-umur ia akan jadi budak Datuk Lembah Akhirat! Dan jangan menyesal kalau dirimu pun akan segera mendapatkan giliran!”
“Ha… ha…! Kalau hendak diajak jalan-jalan ke alam abadi saya pun suka! Belum pernah saya pergi ke sana. Kapan kita berangkat? Sekarang…?!” Dewa Ketawa bergerak bangkit.
Namun dikala itu juga Pengiring Mayat Muka Hijau menendang kakinya hingga si gendut itu jatuh terduduk kembali di bawah pohon.
“Hai! Barusan kau bilang hendak mengajak saya jalan-jalan ke akhirat! Mengapa kini menye-rimpung kakiku?!” tanya Dewa Ketawa terheran-heran sambil menahan tawa.
Tadi kakimu! Sekarang lisan besarmu!” hardik Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tangan kanannya melesat ke depan.
“Bukkk!”
Kepala Dewa Ketawa membentur batang pohon di belakangnya ketika jotosan asisten Pengiring Mayat Muka Hijau mendarat di mulutnya. Bibirnya pecah. Darah mengucur. Tapi si gendut ini masih bisa tertawa sambil seka darah di mulutnya.
“Kau baik hati sekali hanya memecahkan bibirku tidak merontokkan gigiku! Ha… ha… ha! Untung…. Karena dalam mulutku gigiku hanya tinggal dua! Ha… ha… ha!”
“Berapa nyawa yang adadalam tubuhmugendut keparat?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Eh , walau dara bertanyamu mulai kasar tapi ajaib juga! Kampret cuma punya satu nyawa! Burung hantu alias kokokbeluk juga punya satu nyawa! Ular keket yang tampangnya sepertimu hanya punya Satu nyawa. Keledai butut tungganganku juga punya satu nyawa. Lalu apa menurutmu saya bisa punya dua nyawa kalau yang satu saya pinjam darimu?! Ha… ha… ha…! Untung mukamu hijau. Kalau tidak pasti sudah merah dadu dikala ini! Ha… ha… ha!”
“Gendut edan! Kau akan menyesal hingga ke liang kubur! Nyawamu yang cuma satu itu terpaksa harus kau serahkan padaku dikala ini juga!”
Saat itu rahasia Pengiring Mayat Muka Hijau telah kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya untuk mengeluarkan pukulan sakti Penghancur Mayat. Selagi Dewa Ketawa masih asyik tertawa-tawa tiba-tiba ia hantamkan tangannya ke depan. “Wuutt!” “Settt!”
Belum lagi sinar hijau mematikan membersit keluar dari tangan Pengiring Mayat Muka Hijau tiba-tiba asisten anak buah Datuk Lembah Akhirat ini telah masuk dalam cengkeraman asisten Dewa Ketawa.
Pengiring Mayat Muka Hijau kaget luar biasa. Dengan cepat ia menarik tangannya. Namun bagaimanapun ia mengerahkan tenaga hingga keluarkan keringat hirau taacuh , ia tidak bisa melepaskan tangan kanannya dari cengkeraman si gemuk itu.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh. “Apa ceritamu wacana nyawa sudah selesai….” Dewa Ketawa mengejek. “Aku masih punya waktu untuk mendengarkan! Ha… ha… ha…!”
“Jahanam! Lepaskan cengkeramanmu! Atau kakakmu akan saya suruh bunuh biar jadi setan penasaran!” Membentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tonjolan-tonjolan di mukanya kelihatan mirip membengkak hingga kepalanya jadi tampak lebih besar.
Dewa Ketawa ganda tertawa. “Kasihan , kau kesakitan rupanya. Memang tanganku kasar , tidak sehalus tangan gadis elok jelita! Ha… ha… ha! Sudah , tak perlu cengeng. Lihat tanganmu akan saya lepaskan…. Ha… ha… ha!”
Ternyata Dewa Ketawa tidak segera melepaskan cengkeraman tangan kanannya pada tangan Pengiring Mayat Muka Hijau. Acuh tak hirau sambil terus tertawa-tawa lima jari tangannya bergerak meremas. Telapak tangannya menjepit laksana jepitan besi.
“Kreekkk…. Kereekkkk…. kereek!”
Terdengar bunyi berderak tiga kali.
Pengiring Mayat Muka Hijau menjerit setinggi langit.
Ketika Dewa Ketawa lepaskan cengkeramannya kelihatan bagaimana asisten Pengiring Mayat Muka Hijau telah hancur. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan!
“Manusia tak tahu diuntung! Tadi kau minta tanganmu dilepaskan. Setelah saya lepaskan bukannya mengucapkan terima kasih malah menjerit-jerit mirip anak kecil!”
“Keparat jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tiga jari tangan kirinya melesat laksana tiga mata tombak ke tenggorokan Dewa Ketawa.
Yang diserang sesaat masih tertawa. Tiba-tiba Dewa Ketawa meniup ke depan. Saat itu juga sekujur tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau menjadi kaku tak bisa bergerak , tak bisa bersuara! Inilah ilmu totokan dengan cara meniup yang dalam rimba persilatan hanya dimiliki oleh Dewa Ketawa!
“Ha… ha… ha! Sekarang kau sudah jadi anak baik penurut! Saatnya kau mengantarkan saya ke tempat terletaknya Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa berdiri berdiri. Dua jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari lisan itu keluar bunyi bersuit tiga kali nyaring sekali. Sesaat kemudian dari balik semak belukar menyeruak tiba keledai pendek kurus tunggangannya.
DewaKetawa tertawa panjang. “Bagus , sekali ini kau tiba cepat. Berarti kau juga senang diajak jalan-jalan ke Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa naik ke punggung keledai itu. Ke dua kakinya menjejak tanah. Dengan tangan kirinya dijambaknya rambut Pengiring Mayat Muka Hijau. Dengan asisten digebuknya pinggul keledai. Binatang dan penunggang sama-sama bergerak. Tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau ikut terseret!
*
* *

212
DUA BELAS

Panji menghentikan larinya ketika dirasakannya tangan kanannya mirip kesemutan. Ketika ia meneliti berubahlah paras cowok ini. Ujung baju hijaunya mulai dari pundak hingga ke pinggang nampak berlubang besar , berubah jadi bubuk!
“Sedikit saja pukulan itu lebih masuk ke dalam pasti sebagian tubuhku berubah jadi debu!” membatin si pemuda. “Rupanya bukan dongeng kosong bahwa orang-orang Lembah Akhirat mempunyai ilmu Pukulan Penghancur Mayat yang mengerikan itu! Kalau dibiarkan mereka malang melintang berbuat sekehendak hatinya celakalah dunia persilatan di tanah Jawa ini. Padahal saya gres saja menjejakkan kaki di sini. Belum punya pengalaman , apalagi yang namanya menimba ilmu baru!”
Tiba-tiba ingat pada Anggini dan Pendekar 212. “Dua orang itu agaknya bisa kujadikan sahabat. Apa yang terjadi dengan mereka. Apakah usahaku tadi sanggup menolong mereka? Sampai dikala ini tak ada yang mengejarku. Kalau mereka hingga dikeroyok empat celaka besar akan mereka hadapi! Aku harus kembali ke lembah kerikil itu!”
Berpikir hingga di situ Panji berusaha merapikan pakaiannya yang robek hangus itu. Ketika ia belum usang menyusuri jalan yang tadi dilewatinya tiba-tiba di depannya tegak menghadang Iblis Pemalu. Orang ini berdiri dengan kedua tangan menutupi wajah namun di antara sela-sela jarinya Panji melihat sepasang mata memandang tak berkesip padanya.
“Hanya ia seorang yang mengejar. Berarti yang tiga lainnya masih di lembah ,” pikir Panji yang tidak mengetahui kalau Pengiring Mayat Muka Hijau telah dibentuk tak berdaya oleh Dewa Ketawa.
“Sobatku , mengapa kau menghadangku?” menegur Panji dengan nada bersahabat.
“Aku bukan sobatmu! Aku aib jadi sobatmu! Lekas serahkan padaku peta itu!”
Melihat perilaku ajaib orang di hadapannya yang terus-terusan menutupi wajahnya Panji memutar otak. “Orang ajaib kalau diikuti segala perbuatannya bisa dijadikan sahabat. Tapi kalau meleset bisa membawa kematian…. Orang ini terang mempunyai ilmu kepandaian yang bisa membawa peristiwa bagiku! Aku harus berani ambil keputusan!”
Maka Panji lantas menggandakan perbuatan Iblis Pemalu. Dengan kedua tangannya ia menutupi mukanya. “Aku jadi aib kau tidak mendapatkan persahabatanku! Daripada aib terus lebih baik saya pergi saja….” Panji kemudian memutar diri dan melangkah pergi.
“Tunggu! Jangan pergi!” Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak dan sekali berkelebat ia telah berada di hadapan Panji. “Kalau kau tidak menyerahkan peta itu , saya tidak akan menjadi sahabatmu! Malah saya akan membunuhmu dikala ini juga!”
“Celaka! Bagaimana saya harus menjawab!” keluh Panji.
“Mengapa tak menjawab? Apa merasa malu?!” hardik iblis Pemalu.
“Ya… yai Aku merasa malu. Yang saya perlihatkan di lembah itu bahwasanya bukan peta. Tapi sehelai potongan kain butut!”
“Aku tidak percaya. Jangan menciptakan saya aib lantaran tertipu! Keluarkan kain itu! Perlihatkan padaku!” hardik Iblis Pemalu.
“Ah…. Aku benar-benar malu!” ujar Panji. Tangan kirinya diselinapkan ke balik pakaian. Ketika dikeluarkan tampak ia memegang sehelai kain putih yang sudah kusut dan dekil. Kain itu diulurkannya pada Iblis Pemalu.
“Aku aib memegangnya! Kembangkan di tanah!” perintah Iblis Pemalu.
Panji membungkuk. Potongan kain dikembangkannya di tanah. Di atas kain itu memang tidak ada goresan pena ataupun peta mirip yang dikatakan Panji.
“Balikkan kainnya!” kata !b!is Pemalu pu!a.
Kembali Panji mengikuti apa yang diperintahkan. Kain putih dibalikkan dan dikembangkan. Pada kepingan ini pun tidak ada apa-apanya. ,
“Hemmm…. Sayang matahari hampir tenggelam. Aku tak bisa mengembangkan kain itu ke arah matahari. Siapa tahu peta itu tersembunyi di dalamnya dan hanya bisa dilihat kalau dikembangkan di bawah penerangan tembus sinar sang surya!”
“Sobatku , kau cerdik sekali ,” memuji Panji.
“Jangan menciptakan saya aib dengan pujian!” hardik Iblis Pemalu.
“Harap maafkan aku. Tapi terus terang bahwasanya saya merasa aib dikarenakan telah menipumu….”
“Apa maksudmu? Jangan-jangan kau menyembunyikan peta yang sebenarnya!”
“Aku tidak menyembunyikan apa-apa lagi. Aku sengaja menipu kalian hanya lantaran ingin menolong dua sahabatku yang kini mungkin masih ada di lembah , dikeroyok oleh tiga orang kawan-kawanmu itu….”
“Aku tiba ke sana bukan untuk mengeroyok! Mengeroyok ialah perbuatan memalukan! Tunggu , jangan mengalihkan pembicaraan. Kau belum menerangkan tuntas apa maksudmu sengaja menipu!”
“Sekali melihat saja saya sudah tahu bahwa kau dan teman-temanmu ialah orang-orang persilatan berkepandaian tinggi. Aku dan dua kawahku tak mungkin bisa menang menghadapi kalian. Karena itu saya memancing dengan memperlihatkan secarik kain butut yang kebetulan kubawa. Lalu kukatakan saja kain itu ialah peta petunjuk di mana beradanya Pedang Naga Suci 212. Habis berkata begitu saya kemudian melarikan diri dengan cita-cita supaya kalian mengejar. Dengan demikian dua sahabatku itu selamat dari keroyokan kalian. Nyatanya yang mengejar saya cuma kau sendiri. Berarti tiga temanmu masih ada di sana! Pasti dikala ini tengah terjadi perkelahian hebat di lembah. Aku harus kembali ke sana menolong mereka!”
“Jangan kau berani pergi dari sini!” hardik Iblis Pemalu. Dua matanya berputar-putar memandangi Panji. Lalu dari mulutnya terdengar bunyi tawa cekikikan.
“Manusia ajaib , apa pula yang ditertawakannya!” pikir Panji.
“Sobatku , kalau kau tetap menghadang berarti kau melaksanakan perbuatan yang memalukan. Kau membantu tiga orang itu mencelakai dua temanku!”
“Jangan bicara seenak perutmu! Yang mengejarmu bukan saya sendirian. Tapi insan bermuka hijau itu juga ikut mengejar. Hanya saya tidak tahu hingga dikala ini ia tidak muncul!”
“Kalau kau Jngin dipermalukan apa kau mau memberi jalan supaya saya segera bisa kembali ke lembarrbatu?” tanya Panji pula.
“Berarti saya juga harus segera ikut ke sana!”
“Guna membantu tiga temanmu itu?!”
“Jangan bicara memalukan! Mereka bukan temanku! Aku ikut mereka lantaran diajak oleh Datuk Gadang Mentari , katanya saya akan dipertemukan dengan dua orang yang telah membunuh saudaraku yaitu Datuk Buluiawang! Kalau saya tidak ikut mereka bukankah itu satu hal yang memalukan? Tidak melaksanakan sesuatu terhadap orang-orang yang telah membunuh saudara sendiri?! Kalau saya dibentuk aib terus-terusan apakah menurutmu lambat laun kemaluanku tidak tambah besar? Astaga saya menyampaikan sesuatu yang salah! Sungguh memalukan! Maksudku….”
“Sudah! Sudah! Aku mengerti maksudmu!” kata Panji sambil tersenyum. “Pasti , tentu saja memalukan jikalau tidak melaksanakan sesuatu atas kematian saudara yang dibunuh orang. Aku sanggup mengerti perasaanmu. Tapi bakal memalukan lagi kalau ternyata dua orang itu bahwasanya bukan pembunuh saudaramu! Itu hanya pura-pura Datuk Gadang Mentari saja! Mungkin ia punya maksud tertentu atau disuruh oleh seseorang yang hendak mencari laba darimu….”
Iblis Pemalu terdiam sesaat. Mukanya yang selalu ditutup dengan dua tangan tampak berair keringatan. “Agar saya tidak tambah aib , apa yang harus saya lakukan?”
“Kau teruskan perjalananmu. Aku akan kembali ke lembah kerikil untuk menolong dua sahabatku itu!”
“Hemm… Kalau mereka sahabatmu , ialah memalukan kalau saya tidak menganggap mereka sahabatku juga. Aku ikut bersamamu!”
Panji terdiam bimbang. “Apakah orang yang kelihatannya kurang waras ini bisa dipercaya?” pikirnya. “Dia dijuluki Iblis Pemalu. Kalau tidak mempunyai sifat jahat mirip iblis , tidak mungkin ia digelari mirip itu.
“Kau aib membawa saya ke sana?” bertanya Iblis Pemalu. “Hemm…. saya tahu! Jangan-jangan…. Ha… ha… ha!”
“Jangan-jangan apa?!” tanya Panji tak mengerti.
“Kau takut saya merampas gadis elok berbaju ungu itu! Kau telah jatuh hati padanya! Benar?!”
Panji tertawa gelak-gelak. Tapi wajahnya tampak kemerahan.
Di balik ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tertawa lebar. “Wajahmu merah! Pasti dugaanku betul! Ha… ha… ha! Dengar sobatku. Eh siapa namamu?”
“Panji.”
“Dengar , jikalau saya sudah menganggap seseorang sebagai sahabat , walau hatiku bisa berubah sejahat iblis tapi saya tidak akan mengkhianatinya.”
“Terima kasih kau mau menganggapku sebagai sahabat ,” kata Panji dengan perasaan lega.
“Aku mengira gadis itu menyukaimu….”
“Kau bicara memalukan saja sobatku. Pemuda yang bersamanya ialah kekasihnya!” kata Panji.
“Bagaimana kau tahu?” tanya ibis Pemalu. Panji terdiam. “Nah , kau tak bisa menjawab. Berarti dugaanku tidak salah! Ayo lekas kita kembali ke lembah. Sebentar lagi hari akan gelap!”
Iblis Pemalu putar tubuhnya kemudian tinggalkan tempat itu. Kalau tadi Panji tidak menginginkan orang ajaib itu kembali ke lembah , kini ia yang jadi mengikuti.
Ketika hingga di lembah kerikil matahari telah karam dan keadaan di tempat itu mulai gelap. Mereka tidak menemukan Wiro ataupun Anggini. Sebaliknya di tempat itu menggeletak mayit Datuk Gadang Mentari. Kepalanya pecah. Mukanya hancur dan lehernya hampir putus dijirat selendang berwarna ungu.
“Kita tiba terlambat sobatku! Memalukan sekali!” kata Iblis Pemalu.
Panji hanya bisa anggukkan kepala. Dalam udara yang mulai gelap ia memandang berkeliling. Namun tak seorang lain pun tampak di tempat itu. Tiba-tiba Iblis Pemalu mendongak.
“Aku mendengar bunyi seseorang merintih…. Datangnya dari arah sana. Dari balik kerikil cadas besar…. Jangan bertindak yang memalukan. Lekas kita menyelidik ke sana!” Iblis Pemalu berkelebat ke arah kerikil besar di ujung kanan lembah. Lalu terdengar suaranya berseru. “Sobatku Panji! Lekas kemari!”
Panji melompat ke balik kerikil besar di mana Iblis Pemalu berada. Dia terkejut ketika menyaksikan sesosok tubuh tergeletak di tanah. Pakaiannya penuh robek. Luka berdarah terlihat di mana di mana-mana.
“Anggini!” seru Panji. “Apa yang terjadi?!”
“Sungguh memalukan!” desis Iblis Pemalu. Sepasang matanya berkilat-kilat memandangi sekujur tubuh Anggini. Lalu ia cepat berkata. “Panji , luka yang diderita sahabatmu tidak seberapa. Tapi racun yang mengendap dalam tubuhnya sangat jahat! Lekas kau suruh ia menelan obat ini!”
Iblis Pemalu angkat tangan kanannya dari wajahnya. Tangan kiri masih menutupi. Dari kantong celana hitamnya ia keluarkan satu lipatan kertas yang segera diserahkannya pada Panji. “Lekas kau. masukkan semua obat itu ke dalam mulutnya. Memalukan kalau ia hingga menemui kematian dan kita tidak bisa menolong!”
Panji yang telah percaya penuh pada Iblis Pemalu cepat membuka lipatan kertas di dalam mana terdapat sejenis bubuk berwarna kuning dan menebar bacin harum.
“Anggini , buka mulutmu. Telan obat ini….”
“Ja… jangan perdulikart di… diriku. Tolong sahabatku Pendekar 212. Dia… ia diculik nenek jahat berjulukan Sika Sure Jelantik…”
“Kami akan menolongnya nanti. Yang penting kau cepat telan obat ini!” kata Panji pula. Lalu setengah memaksa ditekannya ke dua pipi si gadis hingga lisan Anggini terbuka. Obat bubuk kuning yang ada dalam lipatan kertas dikucurkannya ke dalam lisan gadis itu. Anggini mengeluarkan bunyi tercekik kemudian batuk-batuk.
Panji cepat tekap lisan gadis itu hingga hasilnya obat dalam tubuhnya tertelan masuk ke dalam tenggorokan. Bersamaan dengan masuknya obat ke dalam perut si gadis pribadi jatuh pingsan.
“Anggini!” seru Panji yang jadi galau melihat keadaan si gadis dan menyangka telah menghembuskan nafas terakhir , Dia berpaling pada Iblis Pemalu dan memandang penuh curiga.
“Jangan khawatir. Gadis itu cuma pingan! Aku tidak melaksanakan sesuatu yang memalukan! Dengar , kau tunggu gadis itu hingga ia siuman. Aku akan coba mengejar nenek yang melarikan sahabatmu itu! Memalukan , sudah bau tanah bangka masih suka-sukanya melarikan anak muda!” Habis berkata begitu Iblis Pemalu segera berkelebat pergi sementara hari merayap gelap.
Apakah yang telah terjadi di lembah kerikil sepeninggalnya Panji , Iblis Pemalu dan Pengiring Mayat Muka Hijau?
*
* *

212
TIGA BELAS

Seperti dituturkan sebelumnya yang membunuh Datuk Mangkuto Kamang ialah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun Sutan Alam kemudian mengarang dongeng bahwa murid Dewa Tuak Angginilah yang membunuh sang Datuk disertai bukti-bukti palsu. Terhasut oleh fitnah itu maka Datuk Gadang mentari , kakak- kandung Datuk Mangkuto Kamang meninggalkan tempat kediamannya di muara sungai Siak. Sebenarnya Datuk Gadang Mentari sudah belasan tahun tak pernah lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Dalam usianya yang telah lanjut itu ia lebih banyak bersunyi diri di tempat kediamannya. Apa lagi ia menderita semacam penyakit yang menciptakan kedua matanya bertahap keluar dari rongganya. Itu sebabnya dalam keadaan bagaimanapun orang bau tanah ini terpaksa harus mendongakkan kepala supaya kedua bola matanya tidak bergayut yang dikhawatirkannya bisa tangga! dan jatuh!
Walau sudah usang tidak turun lagi ke rimba persilatan namun di daerah timur pulau Andalas orang bau tanah ini tetap dikenal sebagai salah seorang tokoh yang disegani mitra ditakuti lawan. Dengan demikian terang ia mempunyai kepandaian tinggi. Hari itu yang dihadapinya ialah seorang gadis yang meskipun masih muda belia tapi telah mendapat gemblengan hebat serta pengalaman luas. Ketika Sang Datuk melancarkan serangan tangan kosong Anggini pribadi balas menghantam dengan selendang ungunya.
“Wuttt!” “Desss!”
Tangan kanan Datuk Gadang beradu dengan ujung selendang ungu. Sang Datuk tersentak kaget dantersurut dua langkah. Mukanya yang mendongak tampak berobah sedang sepasang matanya bergerak cepat. Walau tangannya tidak cidera namun dari bentrokan tadi ia , segera maklum kalau lawannya yang masih muda itu mempunyai tenaga dalam tinggi. Ketika menyerang lagi untuk ke dua kalinya sang Datuk tidak berani memukul pribadi tapi kibaskan lengan jubahnya.
Satu gelombang angin menderu ke arah Anggini. Si gadis berteriak keras dan melompat ke atas. Dari atas selendangnya berkelebat menyambar ke arah kepala lawan. Datuk Gadang Mentari lipat ke dua lututnya. Begitu selendang lewat di atas kepalanya ia pribadi menghantam dengan dua tangan sekaligus.
Angin laksana topan prahara menyambar tubuh Anggini. Membuat gadis ini terpekik kaget. Dia cepat berputar. Walau sempat mengelak namun tak urung salah satu kaki celana ungunya tersambar robek. Merasa mendapat angin Datuk Gadang Mentari susul dengan serangan berantai hingga Anggini terpaksa melompat ke atas sebuah kerikil cadas.
Datuk Gadang Mentari agaknya tak mau memberi kesempatan. Beium lagi sepasang kaki si gadis menyentuh kerikil ia kembali melancarkan serangan tangan kosong-mengandung tenaga dalam tinggi.
“Braaakkk!”
Batu di bawah kaki murid Dewa Tuak hancur berantakan. Anggini kelihatan agak gugup dan terlambat mengatur kuda-kuda. Ketika ia melompat ke kiri , salah satu kakinya tertekuk dan tubuhnya miring. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Datuk Gadang Mentari. Didahului bunyi menggembor , dengan kepala mendongak ia menerjang dan kirimkan satu tendangan kaki kanan.
Anggini gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang.
“Wuttt!”
Selarik sinar ungu membeset ke arah kaki Datuk Gadang Mentari yang mencari sasaran di kepala si gadis. Namun serangan sang Datuk ternyata hanya tipuan belaka. Begitu sambaran selendang yang bisa mematahkan kakinya lewat , Datuk Gadang Mentari teka p matanya dengan tangan kiri kemudian menciptakan gerakan berjumpalitan dua kali. Ke dua kakinya mencuat ke udara. Anggini melompat mundur untuk menghindar namun tubuhnya tertahan oleh dinding kerikil cadas! Mau tak mau , satu-satunya jalan untuk selamatkan diri ialah melompat ke kiri atau ke kanan.
Anggini menentukan melompat ke kiri. Sayang gerakannya terlambat. Kaki kanan lawan memang bisa dielakkannya. Kaki itu menghantam kerikil cadas hingga pecah berantakan. Sebaliknya kaki kiri sang Datuk melesat mengikuti arah gerakan mengelak si gadis.
“Bukkk!”
Anggini terpekik. Tubuhnya terpental ke kanan begitu tendangan kaki Datuk Gadang Mentari menghantam pinggangnya. Di samping kanan telah menunggu dinding kerikil cadas. Anggini merasa seolah sekujur tubuhnya sebelah kanan hancur remuk begitu beradu keras dengan batu. Selendang sutera ungunya terlepas dari tangan dan jatuh ke dalam telaga kecil. Dia sendiri tersandar menahan sakit di dinding batu.
Datuk Gadang Mentari dengan kepala mendongak ke langit melangkah mendatangi.
“Anak gadis , bahwasanya saya dan gurumu si Dewa Tuak pernah bersahabat! Tapi dosamu keliwat besar! Aku terpaksa melupakan persahabatan itu dan membunuhmu dikala ini sebagai batasan sakit hati atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap saudaraku!”
“Aku tidak membunuh adikmu!” teriak Anggini.
Datuk Gadang Mentari keluarkan tawa mengekeh. Sekali berkelebat ia sudah berada satu langkah dari samping Anggini. Dua tangannya diulurkan cepat sekali dan tahu-tahu sudah mencekal leher si gadis!
Anggini merasa nyawanya seolah terbang. Namun ia tidak hilang akal. Dengan siku tangan kirinya dihantamnya rusuk orang bau tanah itu.
“Kraaakk!”
Paling tidak ada dua tulang iga Datuk Gadang Mentari yang patah. Selagi sang Datuk mengeluh tinggi kesakitan Anggini luncurkan dirinya masuk ke dalam telaga , dengan cepat mengambil selendangnya yang mengapung di air. Datuk Gadang Mentari yang walau mendongak dan kesakitan masih bisa mengetahui di mana lawannya berada. Tangan kiri-nya dihantamkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Di dikala yang sama , sedikit lebih cepat Anggini putar selendang suteranya ke arah kaki Datuk Gadang Mentari. Walau cuma sehelai selendang halus dan dalam keadaan berair , namun di tangan murid Dewa Tuak benda itu bisa berubah mirip ular atau tombak atau pentungan besi!
Datuk Gadang Mentari terjungkal begitu kaki kirinya dihantam selendang. Di dalam air Anggini sudah menunggu dengan hantaman berikutnya lantaran mengira sang Datuk akan terbanting jatuh ke dalam telaga. Namun lawan berlaku cerdik. Dengan menciptakan gerakan berputar Datuk Gadang Mentari berhasil melesatkan dirinya ke kanan hingga ia jatuh di antara batu-batu cadas di sebelah atas telaga. Orang bau tanah ini bergerak berdiri dengan cepat. Ketika dilihatnya Anggini muncul di antara dua Celah kerikil cadas , sang Datuk cepat menghantam salah satu kerikil di depannya. Hancuran kerikil berhamburan menghantam ke arah Anggini. Hancuran kerikil ini bukan sembarangan lantaran tidak ubahnya dengan puluhan senjata rahasia yang bisa menciptakan sekujur tubuhnya tercabik-cabik!
Secepat kilat Anggini jatuhkan diri ke tanah. Walau gerakannya sudah demikian cepat namun masih ada hancuran kerikil yang merobek pakaian dan melukai tubuhnya. Bahkan beberapa diantaranya menggores kening dan pipinya hingga menjadikan luka berdarah.
Datuk Gadang Mentari berdiri berdiri lebih dulu dari Anggini. Justru inilah kesalahannya. Sebelum ia melancarkan satu tendangan mematikan ke arah kepala si gadis , murid Dewa Tuak hantamkan selendangnya ke bawah perut sang Datuk. Jubah hitam belang putih Datuk Gadang Mentari robek besar. Dari sela robekan kelihatan darah mengucur. Sang Datuk terjajar mundur. Kepalanya masih mendongak namun tersentak-sentak.
“Gadis jahanam! Terima kematianmu!” Datuk Gadang Mentari kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri. Terdengar bunyi bersiur disusul melesatnya tiga buah benda terbuat dari besi hitam berujung tiga. Seumur hidupnya gres dua kali Datuk Gadang Mentari mengeluarkan senjata rahasia beracun itu. Yaitu pada keadaan sangat terdesak dimana ia tak sanggup lagi menghadapi lawan. Ini ialah kali ke tiga ia terpaksa mengeluarkan senjata itu untuk menyerang lawannya.
Anggini tak tinggal diam. Dengan tangan kirinya ia mengeruk ke dalam sebuah kantong kecil di balik pinggangnya. Ketika tangannya melesat keluar maka setengah lusin paku terbuat dari perak putih berukuran panjang setengah jengkal berkiblat berkilauan dalam udara yang mulai menggelap.
“Traang… trang… trang!”
Sembilan senjata rahasia berdentrangan di udara disertai memerciknya bunga api. Selagi Datuk Gadang Mentari terkesiap kecut melihat tiga senjata rahasianya dikepung dan dibentuk mental oleh enam senjata rahasia lawan , Anggini bergerak menyusup lancarkan serangan. Selendang ungu di tangan kanannya melesat ke udara kemudian berputar dan se-terusnya laksana seekor kepala ular mematuk ke bawah dua kali berturut-turut. Inilah jurus yang disebut Memecah Angin Memukul Matahari Menghancurkan Rembulan!
“Praaakk!”
“Praaakk!”
Datuk Gadang Mentari keluarkan pekik keras. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah dan mukanya yang hancur. Sepasang matanya mencelat mental entah ke mana. Walau cidera berat demikian rupa namun Datuk Gadang Mentari tak segera mati. Terhuyung-huyung ia melangkah menghampiri Anggini. Dua tangan diulurkan seolah hendak men-cekik. Ngeri dan juga khawatir lawan masih mempunyai ilmu simpanan yang bisa mencelakainya , murid Dewa Tuak kembali gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang. Senjata andalan si gadis melesat deras , laksana seekor ular menggelung leher Datuk Gadang Mentari!
Anggini putar pergelangan tangannya. Gerakannya menciptakan jiratan selendang mengencang dan “kraakk!” Tulang leher Datuk Gadang Mentari hancur. Kepalanya miring ke kiri. Nafasnya terhenti. Nyawanya melayang!
Belum lagi sempat Anggini melepaskan jiratan selendangnya dari leher si Datuk tiba-tiba ada siuran angin di belakangnya. Lalu “bukk!”
Satu hantaman keras mendera punggung Anggini hingga murid Dewa Tuak ini terpekik dan mencelat hingga dua tombak kemudian terhampar di tanah.
“Pengecut pembokong!” teriak Anggini dan cepat berdiri.
Di belakangnya terdengar bunyi orang tertawa mengekeh!
*
* *

212
EMPAT BELAS

Anggini berpaling. Dalam menahan sakit pada punggungnya gadis ini tersurut kaget. Di hadapannya tegak si nenek Sika Sure Jelantik dengan rambut acak-acakan dan jubah robek. Dia memanggul sesosok tubuh yang ketika diperhatikan si gadis menciptakan dirinya tercekat. Yang dipanggul oleh wanita bau tanah itu ternyata ialah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Apa yang terjadi dengan Wiro. Pingsan , dalam keadaan tertotok atau…? Kulihat pakaian putihnya robek dan hangus.” Habis membatin begitu murid Dewa Tuak ini pribadi membentak.
“Tua bangka pembokong keji. Ternyata kau bukan cuma seorang pengecut. Tapi juga penculik busuk! Apa yang kau lakukan terhadapnya?!”
Si nenek tertawa panjang. “Kau begitu mengkhawatirkan dirinya! Apa kau mencintainya?! Hik… hik… hik!”
“Jangan bicara hgacok! Lekas lepaskan cowok itu!” Hardik Anggini.
“Percuma kau memperhatikan dirinya. Apa kau tak tahu kalau ia dicintai oleh seorang gadis berwajah secantik bidadari?! Nasibmu buruk…. Hik… hik… hik!”
Walaupun wajahnya menjadi merah dari dadanya berdebar namun dalam keadaan mirip itu Anggini tidak terlalu memperhatikan ucapan Sika Sure Jelantik , Hantaman si nenek yang dilakukan secara membokong pada punggungnya menciptakan sekujur tubuhnya terasa sakit. Tapi ia bersedia bertekad mati demi menyelamatkan Wiro. Secepat kilat Anggini mengeruk kantong senjata rahasianya.
Enam buah paku berdesing di kegelapan. Membuat Sika Sure Jelantik terkejut dan hentikan tawanya.
“Gadis sialan! Dari senjata rahasiamu saya bisa mengira siapa kau adanya! Gurumu dan guru cowok ini masih satu komplotan! Makara jangan kira saya tidak tega membunuhmu! Terima kematianmu!”
Habis berkata begitu si nenek gerakkan tangan kirinya. Lima sinar hitam menderu ke arah Anggini. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Kilat Kuku Akhirat. Sebenarnya si nenek mempunyai ilmu yang sama namun berdaya kekuatan jauh lebih dahsyat yang disebut Jalur Hitam Bara Dendam. Namun pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam itu hanya akan dikeluarkannya untuk membunuh Tua Gila. Lagi pula ia menganggap dengan pukulan Kilat Kuku Akhirat sudah cukup bagi si gadis untuk meregang nyawa lantaran selama ini belum ada musuh yang sanggup bertahan.
Melihat enam paku peraknya yang dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi mental berpatahan Anggini segera maklum kalau lima jalur sinar hitam pukulan sakti yang dilepaskan si nenek tidak bisa dibentuk main. Serta merta gadis ini jatuhkan diri. Dua jalur sinar hitam masih sempat melabrak pita di kepala dan kepingan pundak baju ungu murid Dewa Tuak.
Gadis ini memekik keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Nyawanya serasa terbang. Dia tak berani bergerak ketika si nenek melangkah mendekatinya.
Untung saja Anggini terjatuh di bawah bayang-bayang gelap sebuah kerikil besar hingga si nenek tidak bisa melihat jelas. Mengira Anggini sudah menemui ajalnya Sika Sure Jelantik segera tinggalkan lembah kerikil itu dengan memboyong Pendekar 212 di pundak kirinya.
Sebelumnya telah terjadi perkelahian hebat antara Wiro dengan si nenek. Walau tidak lagi mempunyai kepandaian silat serta tenaga dalam namun ilmu tidur yang diberikan Si Raja Penidur serta Jubah Kencono Geni yang dikenakannya menciptakan Wiro sanggup bertahan hingga dua puluh jurus walau untuk itu ia dibentuk babak belur dan megap-megap kehabisan nafas serta tenaga.
Sika Sure Jelantik dua kali melepaskan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Sekujur baju putih yang dikenakan Wiro tampak robek hangus dan setiap mendapatkan pukulan itu tubuh Wiro terpental hingga tiga tombak. Asap mengepul.dari tubuhnya! Tapi sungguh mengherankan si nenek , cowok itu sama sekali tidak menemui ajalnya. Dari murka Sika Sure Jelantik bermetamorfosis heran. Dari rasa heran ini timbullah rasa ingin tahu.
Memikir hingga di situ , Sika Sure Jelantik hampiri Wiro yang tergeletak di tanah.
“Kau ingin membunuhku , lakukan cepat!” kata Wiro tanpa rasa takut seolah sudah pasrah menghadapi kematian.
“Nyalimu boleh juga anak muda! Tidak , jangan kawatir. Aku tak ingin membunuhmu cepat-cepat….”
“Kalau kau mengharapkan keterangan wacana guruku , walau lidahku kau copot saya tak akan memberi tahu!”
“Hemmm…. Kau memang murid yang pantas dipuji! Haik… hik!” Dua jari tangan kiri Sika Sure Jelantik bergerak cepat ke arah pangkal leher Wiro. Saat itu juga Pendekar 212 karam dalam totokan yang membuatnya tak bisa bergerak ataupun bicara!
Si nenek segera menyambar tubuh Wiro , me- , letakkannya di atas pundak kemudian berkelebat pergi dari tempat itu.
Tak usang setelah si nenek kabur Panji dan Iblis Pemalu muncul kembali di lembah kerikil yang ada telaganya itu. Mereka berhasil menemukan Anggini. Setelah memperlihatkan obat dan meminta Panji menjaga serta merawat gadis itu , Iblis Pemalu segera pergi untuk mengejar Sika Sure Jelantik yang sesuai keterangan Anggini telah melarikan Pendekar 212.
Iblis Pemalu berlari dengan satu tangan menutupi wajahnya. Tidak gampang untuk mencari jejek Sika Sure Jelantik. Selain hari telah gelap ia juga tidak mengetahui ke arah mana si nenek melarikan Wiro.
Ternyata si nenek melarikan Wiro ke arah timur. Meskipun malam begitu gelap dan jalan yang ditempuh terhalang oleh pepohonan serta berkelok-kelok namun ia bisa berlari dengan cepat. Pertanda ia mengenali betul seluk beluk daerah itu. Sesampainya di satu pedataran tinggi Sika Sure Jelantik pribadi mendaki ke lereng timur. Di satu tempat di mana terdapat sebuah gubuk tanpa dinding si nenek hentikan larinya. Tubuh Wiro yang berada dalam keadaan tertotok dilemparkannya begitu saja ke tanah.
212! “Pendekar Aku memberi kesempatan padamu hingga matahari terbit! Kalau hingga dikala itu kau tidak mau memberitahu dimana gurumu si Tua Gila berada maka tamatlah riwayatmu! Apa jawabmu?!” Si nenek membungkuk kemudian menotok leher Wiro membuka jalan suaranya. “Kau tidak tuli! Kau mendengar apa yang barusan saya ucapkan! Ayo jawab!”
Setelah menguap lebar-lebar gres Wiro menjawab.
“Kau sudah tahu apa jawabku! Aku tidak tahu dimana orang bau tanah itu berada. Kalaupun tahu tak bakal kukatakan!”
“Bagus! Murid dan guru sama saja! Sama-sama keras kepala! Kau sudah menentukan kematianmu sebelum marahari terbit besok pagi-pagi buta!”
“Aku tidak takut mati! Sekarangpun kalau kau mau membunuh silahkan!” jawab Wiro.
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Aku memang tidak akan membunuhmu cepat-cepat. Biar rasa takut menggerogoti dirimu! Biar kau tersiksa sebelum mampus! Jangan mengharap ada yang bakal menolongmu! Kalaupun gadis berbaju biru berwajah mirip bidadari kekasihmu itu muncul meminta pengampunan untuk ke dua kali bagimu , jangan harap saya bakal mengabulkan!” Yang dimaksud si nenek ialah Bidadari Angin Timur.
“Nek , kurasa kau ialah insan paling tidak berbudi dan paling tidak bersyukur di muka bumi ini!”
“Jahanam! Lancang betul mulutmu! Apa maksudmu hah?!”
“Ketika kau bercinta dengan gurukupaling tidak kau telah merasakah kebahagiaan hidup! Kalau kemudian kalian tidak berjodoh apa itu salah Tua Gila? Tidak! Juga bukan salahmu Nek! Kejadiannya sudah lewat puluhan tahun lalu. Di usia bau tanah mirip ini apa bukan lebih baik kalian berbaik-baik saja? Dengan -bersikap agresif dan terus mendesak guruku apa yang bakal kau dapat?!”
“Kalau ia mampus di tanganku saya merasa puas selangit!” jawab Sika Sure Jelantik.
“Belum tentu. Rasa puasmu mungkin hanya sesaat. Setelah itu kau mungkin akan dirundung penyesalan hingga malaikat maut memanggilmu masuk ke liang kubur!”
“Anak setan! Kau pintar bicara! Siapa bakal menyesal atas kematian insan terkutuk mirip gurumu itu?!”
“Nek , saya jauh lebih muda darimu. Katkanlah saya hijau dalam pengalaman. Tapi saya percaya pada satu ujar-ujar yang berkata begini. Kita gres menyadari betapa berartinya seseorang bagi kita setelah ia tidak ada lagi. Kuharap hal itu tidak terjadi dengan dirimu Nek!”
Sesaat lisan Sika Sure Jelantik jadi terkancing mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Hatinya tercekat. Hanya sepasang matanya yang memandang tak berkesip pada Wiro. Apakah ada kebimbangan kini menyeruak dalam dirinya? Ternyata tidak. Tiba-tiba ia membentak keras.
“Jangan kira saya akan terpengaruh oleh ucapan-ucapanmu! Keputusanku tidak berubah! Aku akan membunuhmu besok pagi sebelum matahari terbit!”
“Terserah padamu! Aku capek bicara denganmu! Lebih baik saya tidur saja!” Wiro kemudian menguap lebar-lebar.
Sika Sure Jelantik jadi jengkel ingin tau dan merasa seolah diejek. Dia membungkuk memperhatikan sosok Pendekar 212.
“Dia bisa menahan pukulan Kilat Kuku Akhirat hingga dua kali. Berarti ia mempunyai ilmu kebal luar biasa. Aku harus memeriksanya. Mungkin ia punya semacam jimat. Aku harus mendapatkan jimat itu! Hemmm….”
Si nenek pergunakan ke dua tangannya meraba-raba tubuh Wiro. Dia menyentuh sebuah benda keras di balik pinggang si pemuda. Ketika pakaian putih Wiro yang hancur hangus disibakkannya ia melihat Kapak Maut Naga Geni 212 terselip di pinggang cowok ini.
“Hemmm , senjata ini perlu saya amankan dulu…” kata si nenek kemudian kapak bermata dua itu ditariknya dan diletakkan di tanah.
“Kau merabai tubuhku , mengambil senjataku! Ternyata kau seorang bau tanah bangka yang masih menyimpan nafsu kotor! Ini membuktikan bagaimana pun buruknya sifat Tua Gila , ia jauh lebih baik darimu!”
“Plaaaakkk!”
Sika Sure Jelantik layangkan satu tamparan keras hingga darah mengucur dari sudut lisan Pendekar 212.
Gilanya yang ditampar malah menguap lebar-lebar. Hal ini menciptakan si nenek ingin tau setengah mati.
“Kau tidak mengerang kesakitan! Bagus! Apa kau mau kutampar sekali lagi hingga mukamu ku-bikin memar?!”
Murid Sinto Gendeng menyeringai. Si nenek kembali merabai tubuh Wiro. Saat itulah dalam gelap ia menyadari dan melihat bahwa di balik pakaian putihnya Wiro mengenakan satu pakaian berwarna merah. Si nenek dekatkan wajahnya meneliti. “Pakaian bagus , terbuat dari beludru merah. Ada renda-renda kuning emas. Aneh! Pakaian ini tidak cidera oleh pukulan saktiku! Jangan-jangan…”
“Breeett! Breettt!”
Sika Sure Jelantik tanpa pikir panjang segera merobek baju putih Wiro. Ketika ia hendak menanggalkan pakaian merah yang dikenakan si cowok yang bukan lain ialah jubah sakti Kencono Geni proteksi Si Raja Penidur mendadak ada bunyi tertawa cekikikan di belakangnya.
“Setahuku lelaki yang suka menelanjangi perempuan! Sekarang malah terbalik! Ada nenek-nenek hendak membugili seorang pemuda! Dunia sudah terbalik rupanya! Hik… hik… hik!”
Sika Sure Jelantik tersentak kaget. Dia berpaling ke arah datangnya bunyi tadi. Namun ia tidak melihat siapa-siapa!
*
* *
TAMAT
Episode berikutnya :
JAGAL IBLIS MAKAM SETAN

No comments for "Pedang Naga Suci 212 WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"