Muslihat / Tipu Daya Cinta Iblis WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : MUSLIHAT CINTA IBLIS
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : MUSLIHAT CINTA IBLIS
SATU
Di ujung malam di mana cuaca masih gelap dan hawa hirau taacuh membungkus serta angin berhembus kencang , maritim selatan bergelombang dahsyat tidak menyerupai biasanya. Dalam keadaan menyerupai itu sebuah bahtera berpenumpang dua orang -seolah tak bisa dipercaya- meluncur pesat membelah ombak. Bertindak sebagai juru mudi ialah seorang gadis berparas bagus mengenakan pakaian biru tipis. Rambutnya yang panjang melambai lambai ditiup angin. Di sebelah depan bahtera tegak seorang pmuda bertubuh tinggi kokoh. Keningnya diikat dengan sehelai kain merah. Dia mengenakan sebuah mantel hitam. Dengan cara ajaib yakni berdiri dan mempergunakan dua batang bambu panjang besarnya tidak melebihi ibu jari orang ini mendayung perahu. Setiap bambu-bambu itu dicucukkan ke dalam air maritim , bahtera melesat ke depan.“Aku melihat satu gundukan benda hitam di depan sebelah kiri. Mungkin itu pulau yang kita cari!” berkata lelaki muda di depan bahtera seraya arahkan matanya ang tidak berkedip jauh ke depan.
“Bukannya mungkin , tapi itu memang pulau tujuan kita!” , menjawab juru mudi si gadis cantik.
“Bagus! Kita hingga lebih cepat dari dugaan!” ujar perjaka bermantel hitam. “Namun saya menangkap isyarat-isyarat aneh!”
“Isyarat ajaib apa?” tanya si gadis
“Sebelumnya saya dan juga kau pernah menyiasati dan menyelidik keadaan pulau itu. Setiap hal itu dilakukan selalu ada kekuatan-kekuatan yang membuyarkan pemusatan pikiran. Sekarang getaran-getaran itu masih terasa. Tapi halus sekali bahkan nyaris sirna…”
“Aku tidak heran ,” menjawab si gadis. “Kekuatan dan kesaktian yang kau miliki ketika ini mana ada yang bisa menandingi” Pemuda yang berdiri di depan bahtera menyeringai. Cuping hidungnya tampak mengembang oleh kebanggaan itu. Dua bambu panjang di kiri kanan kembali ditusukkan ke dalam air laut. Perahu kecil itu melesat pesat ke depan. Tak selang berapa usang bahtera hingga di pulau batu. Dua penumpangnya melompat ke luar sebelum bahtera sempat menyentuh dasar pulau.
“Hati-hati” , kata si pemuda. “Di tempat menyerupai ini ancaman bisa muncul tak terduga. Maut bisa menyambar sebelum kita sempat melihat!”
Sambil memegang tangan perjaka bermantel hitam , gadis berkata. “Kalau saya sendirian di pulau ini mungkin saya merasa khawatir. Tapi bersama jagoan yang menjadi raja diraja di dunia persilatan siapa takut?!”
“Kau pintar memuji. Kalau urusan di pulau ini sudah selesai saya akan membawamu bersenang-senang selama tiga hari tiga malam. Kau suka….?”
sebagai jawaban si gadis memeluk tubuh perjaka kemudian mengecup bibirnya.
Kalau saja berada di tempat lain mungkin perjaka itu sudah terangsang dan ikut terbuai dalam gelegak nafsu.
“Jangan gila…! si perjaka berbisik dengan bunyi bergetar. “Urusan dulu gres bersenang-senang!”
“Di tempat sesunyi dan hirau taacuh begini , apa yang perlu dikhawatirkan?”
Gadis berbaju tipis berkata dan tampaknya tidak mau menghentikan peluk ciumnya. Dia gres terperangah ketika si perjaka menjambak rambutnya kemudian mendorong tubuhnya.
“Kekasihku kalau kau tidak mau menuruti kemauanku , sebaiknya kau menyingkir dulu!” Atau mungkin kau lupa pernah menyaksikan bagaimana saya menggebuk babak belur dua gadis bagus kurang latih tempo hari?”
Mendengar ancaman orang , gadis bagus ini lepaskan rangkulannya. Nafasnya mengengah dan dadanya yang besar tampak turun naik tanda dia berusaha menekan gejolak nafsu yang menguasai dirinya. Dalam udara yang masih gelap dan angin puting-beliung laksana bayangbayang dua orang itu berkelebat di pulau batu. Di salah satu puncak bebukitan kerikil mereka berhenti dan memandang berkeliling.
"Jangan-jangan kita terlambat. Aku hampir yakin pulau ini kosong … !" berkata lelaki bermantel.
"Hari masih gelap. Penglihatan kita terbatas. Sebentar lagi pagi segera datang. Bagusnya kita tunggu hingga hari terang , menjawab gadis berbaju biru tipis. Lalu dia mencari tempat yang rata dan merebahkan tubuhnya. Dari caranya menggolekkan tubuh serta gayanya memandang terang dia kembali berusaha memikat si pemuda. Tapi yang hendak dipikat tak bergerak di tempatnya malah bertanya.
"Kekasihku. apa yang membuatmu hingga bertingkah ajaib menyerupai ini?"
"Apa ini salahku? Ingat berapa usang sudah kita tidak bersenang-senang? Sekarang ada kesempatan. Mengapa tidak dipergunakan?"
Pemuda itu membungkuk. mendekatkan kepalanya ke wajah si gadis. Mengira dirinya hendak dicium , si gadis itu gerakkan tangan untuk merangkul. Tapi dengan cepat perjaka di atasnya mengi baskan tangan itu seraya berkata. "Sekali lagi kau berani melaksanakan sesuatu yang mengganggu urusanku , kupecahkan kepalamu. Aku tidak main-main"
Si gadis terbelalak. Rahang si perjaka menggembung , pelipisnya bergerak-gerak dan pandangan matanya menyengat angker. Perlahanlahan dia bangun dan duduk di ganjal kerikil tidak bergerak juga tidak berani keluarkan suara.
Perlahan-lahan langit dan ujung maritim di sebelah timur kelihatan mulai terang tanda sang surya akan segera muncul menerangi jagat. Tak usang kemudian pulau itu menjadi terang benderang. Kemanapun mata dilayangkan hanya bebatuan merah yang tampak. Pemuda bermantel memberi aba-aba supaya gadis yang duduk di ganjal kerikil segera bangkit.
“Kita salah menduga. Agaknya bukan cuma kita berdua yang ada di pulau kerikil merah ini”
Gadis berbaju biru bangun berdiri. Dalam udara seterang itu terang terlihat bagaimana tipisnya pakaian yang membalut tubuhnya hingga setiap lekuk auratnya terlihat dengan jelas.
“Bagaimana kau bisa bilang begitu? Kau melihat sesuatu?" bertanya si gadis.
Yang ditanya menggoyangkan kepala ke arah barat. Di tepi pantai pulau kerikil sebelah barat tampak dua buah bahtera terapung-apung di sela-sela kerikil karang merah.
“Kalau begitu kita harus bertindak cepat mencari orang itu!” kata si gadis pula. Belum selesai dia berucap perjaka bermantel sudah berkelebat Mula mula kedua orang itu mengitari pinggiran pulau. Mereka tidak menemukan siapa-siapa kecuali gejala di sebelah timur bahwa sebelumnya memang ada orang di tempat itu
“Sebaiknya kita mengusut ke kepingan tengah pulau” , kata orang bermantel pada gadis temannya.
Si gadis mengangguk. Kedua orang itu kemudian berkelebat ke sentra pulau. apa yang mereka temukan di pertengahan pulau itu menciptakan keduanya terkesiap. Di sini mereka menemukan kepingan pulau yang hancur porakporanda.
“Ada orang di bawah sana!” si gadis menunjuk.
Lelaki bermantel mengangguk. “Aku melihat gejala sebelumnya ada sebuah… mungkin dua buah terowongan di bawah sana , batu-batu yang sangat atos ini… Bagaimana dan siapa yang telah menghancurkannya? Ini bukan perbuatan alam. tapi pekerjaan tangan manusia!" Orang ini terdiam sesaat sementara sepasang matanya lurus menilik dengan tajam "Hemmm…. Ada keanehan. Tempat ini hancur berantakan. Batubatu merah pecah dan rengkah. Tapi saya sama sekali tidak melihat puing atau pecahan batul"
Paras si mantel hitam mendadak berubah.
“Keparat!" keluar kutukan dan mulutnya. “Jangan-jangan kita sudah kedahuluan…. Kau tunggu di sini. Aku akan turun menyelidik!"
"Aku ikut!” ujar si gadis. Lalu begitu perjaka bermantel masuk ke dalam lobang dia pribadi saja ikut terjun.
“Hemm!…. ini terowongan pertama…" kata si perjaka begitu menjejakkan kakinya di dalam lobang dan melihat lisan sebuah terowongan. dia masuk ke dalam terowongan hingga beberapa belas langkah. "Agaknya terowongan ini berafiliasi dengan pantai. Ada angin bertiup ke arah sini…. Tak ada apa-apa di sini."
Kedua orang itu segera keluar dari dalam terowongan. Di lisan terowongan mereka perhatikan jalan masuk lobang di sebelah bawah. Keadaan di tempat ini lebih parah dibandingkan dengan lobang sebelah atas.
Tanya berkata apa-apa dia melompat turun. Sesaat kemudian dia sudah menginjakkan kaki di atas lantai lobang kerikil merah yang pecah dan rengkah. Tidak menyerupai di atas. Di sini dia melihat ada dinding kerikil yang jebol dan pecahan-pecahan kerikil bertebaran di mana-mana. Otaknya yang cerdik serta merta bisa menduga. Ada dua orang menjebol tempat ini. Yang pertama menjebol tanpa menebar pecahan batu. Yang kedua daya hantamnya mungkin lebih dahsyat tapi tidak bisa menghindarkan pecahan kerikil bertebaran ke mana-mana..:"
Pemuda ini menyampaikan apa yang ada dalam benaknya pada si gadis. Lalu bertanya. "Kau bisa menerka siapa kira-kira dua orang penjebol tempat ini?"
"Sulit menduga” Jawab si gadis kemudian menatap wajah perjaka berdagu kukuh itu. “Aku melihat parasmu berubah. Agaknya ada sesualu yang mendadak menjadi ganjalan?"
Ini akhir penipuan yang dilakukan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan Aku bersumpah akan menguliti tubuh mereka kemudian mencincangnya sampal lumat! Pendekar 212 Wiro Sableng belum mati! Aku yakin salah satu dan dua penjebol tempat ini ialah dial"
"Manusia satu itu bisa kita urus nanti. Sekarang baiknya kita menyelidik ke dalam terowongan sana ," kata si gadis pula.
Dengan hati-hati kedua orang ini masuk ke dalam terowongan kedua. Belum jauh masuk tiba tiba perjaka bermantel hentikan langkahnya sementara si gadis keluarkan seruan tertahan dan tersurut hingga dua langkah. Di lantai terbujur sesosok jerangkong manusia.
"Lagi-lagi saya melihat keanehan. Batu-batu atos di luar sana bisa hancur dan rengkah. Tapi jerangkong lapuk ini seolah tidak tersentuh sedikit pun. Tetap utuh. Tak ada satu tulang pun yang tanggal dari persendiannya!”
Pemuda itu membatin dan memandang dengan mata tak berkedip Rahangnya menggembung , dagunya seolah membatu.
"Tengkorak siapa itu…" terdengar si gadis bertanya.
“Aku yakin itu tengkorak orang Cina yang dikabarkan melarikan diri dari Tiongkok sekitar tujuh puluh tahun silam. Tapi siapa pun jerangkong keparat ini adanya bagiku tidak penting! Jauh lebih penting mencari di mana beradanya kitab itu!” Nada kesal terang terdengar pada bunyi orang bermantel hitam. Beberapa kali dia menjambak dan menyisir-nyisir rambutnya yang hitam dan lembap oleh keringat. Si gadis sendiri ketika itu pakaiannya telah lembap oleh peluh hingga membungkus ketat tubuhnya yang bagus.
“Aku akan menyelidik ke dalam sana. Kau tunggu di sini!” Si perjaka kemudian melangkah melewati jerangkong di lantai terowongan. Tak selang berapa usang dia muncul kembali dengan paras membesi.
"Benda yang kita cari tidak ada di sini. kita telah kedahuluan orang. Pasti manusia-manusia yang telah menjebol tempat ini yang mendapatkannya! Keparat!”
"Belum tentu mereka …"
Lantas siapa? Setan pulau atau jin laut?! si perjaka membentak Dibentak menyerupai itu gadis berpakaian tipis geleng-gelengkan kepata "Kau telah mempunyai satu kitab sakti. Itu ialah kenyataan. Tapi wacana Kitab Dewa itu. Dari jalinan kisahnya sulit dipercaya kalau kitab itu benar-benar ada. Jangan-jangan hanya dongeng kosong yang sengala disebar untuk mengacaukan dunia persilatan!”
Pemuda di hadapan si gadis menyeringai kemudian tertawa. Tawanya seolah dipaksakan. "Kalau begitu banyak tokoh dan dedengkot dunia persilatan merebutkan kitab yang satu itu , kalau Ratu Duyung dikabarkan ikut campur urusan ini dan kalau Pendekar 212 hingga menyabung nyawa , bagiku Kitab Putih Wasiat Dewa bukan dongeng kosong!" Si perjaka memandang ke arah jerangkong di depannya.
“Keparat jahanam! Sayang kau tidak bisa bicara! Biar kuhancurkan sekalian!"
Habis berkata begitu perjaka ini hentamkan kaki kanannya ke arah jerangkong Karena tendangan itu bukan tendangan bisa maka sekali tendang saja pastilah jerangkong yang sudah sangat lapuk itu akan mental den hancur berantakan. Pada ketika tendangan akan mendarat di sosok jerangkong sekonyongkonyong di kejauhan melengking bunyi tiupan seruling menusuk telinga. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi dahsyst auman harimau menggetarkan seantero tempat itu. Lalu udara di dalam terowongan yang tadinya panas mendadak berubah menjadi sangat dingin.
DUA
GADIS berbaju biru berteriak supaya mereka segera keluar dari dalam terowongan. Tapi perjaka bermantel tidak mengacuhkan. Tendangannya tetap diteruskan. Sejengkal lagi kaki kanannya akan menghantam kepingan kepala Jerangkong tiba-tiba entah dari mana datangnya , satu tabir kabut putih menutupi terowongan itu. Dua orang di dalam terowongan tak sanggup melihat apa-apa lagi. Tendangan kaki kanan si perjaka melenceng ke samping , menghantam dinding terowongan. Bagian kerikil yang terkena tendangan pribadi hancur berkeping-keping"Melangkah mundur. Keluar dari tempat ini cepat. Ada kekuatan mistik menguasai tempat ini!” teriak perjaka bermantel. Dia sama sekali tidak merasa takut namun menghadapi musuh atau kekuatan yang tidak terlihat mau tak mau dia merasa kawatir juga kemudian melangkah mundur sambil menarik tangan si gadis.
Di dalam lobang di luar terowongan kedua , mereka menunggu namun kabut yang menutupi pemandangan tidak kunjung sirna. Si perjaka meraba baju hitamnya dl kepingan dada.
"Aneh…. Ketika ada kekuatan menghalangi kenapa dia tidak membalas dengan sinar kematian…? Ah! Sekarang semakin terang bagiku , kesaktian yang kumiliki dari benda di balik pakaianku ini tidak akan keluar kecuali saya menerima serangan secara langsung!" memikir hingga di situ semakin tidak yummy hati si pemuda. Lalu sambil memberi aba-aba pada si gadis dia mendahului melesat keluar dari lobang.
Baru saja mereka menginjakkan kaki masing-masing di luar lobang di permukaan bukit kerikil merah , kedua orang ini dikejutkan oleh empat sosok tubuh yang berkelebat muncul dan pribadi mengurung mereka.
"Siapa kalian?! Jangan berani berniat jahat kecuali ingin jadi bangkai tak berkubur di pulau kerikil merah ini!" teriak si gadis yang segera melihat gelagat tidak baik.
Sebaliknya lelaki bermantel tetap damai saja. memandang satu persatu pada keempat orang yang ada di sekelilingnya sambil menyeringai. Dia hanya mengenaI satu saja dari keempat orang itu , yang agaknya sengaja menentukan tempat berdiri menjauh dari tiga orang lainnya. Orang ini bertubuh gemuk pendek , wajahnya merah angker menyerupai dedemit. Pada cuping hidungnya sebelah kin melingkar anting ajaib terbuat dari akar bahar. Dia hanya mengenakan sehelai celana gombrong pulih dekil. Bagian tubuhnya yang tidak tertutup kelihatan merah menyerupai udang rebus. Sekujur tubuhnya menebar busuk minuman keras. Di pinggangnya melingkar sebuah ikat pinggang besar. Pada ikat pinggang ini bergelantungan selusin kendi terbuat dari tanah , masing-masing penuh berisi tuak keras. Di tangan kirinya ada lagi sebuah kendi yang setiap selang beberapa ketika disorongkannya ke mulutnya kemudian dengan lahap tuak keras yang ada dalam kendi itu diteguknya.
Kalau berdiri kepalanya tak bisa membisu , bergerak kian kemari. Tubuhnya bergoyang-goyang seolah mau rubuh. Dari mulutnya terdengar bunyi berkepanjangan. Entah meracau entah menyanyi.
"Sobat bau tanah yang saya hormati dan kupanggil dengan gelar besar lblis Pemabuk! Ada apakah! kau muncul membawa tega gembel buruk ini?!
Mendengar perjaka bermantel munyebut gelar si gemuk pendek bertelanjang dada yang membawa kendi-kendi tuak terkejutlah gadis di sebelahnya Alamat urusan menjadi runyam. Kalau tidak ditangani bisa berabe. Aku dengar Iblis Pemabuk me miliki kepandaian tinggi luar biasa begitu si gadis membatin.
Tiga orang yang disebut sebagai gembel buruk kelihatan menjadi merah menyerupai melepuh tampang masing-masing Dari pakaian dan dekilnya tubuh mereka memang tidak salah ketiganya disebut gembel jelek. Mereka mengenakan pakaian rombeng banyak tambalan. Yang di sebelah kanan seorang kakek tegak memegang sepotong tongkat butut. Di sampingnya seorang nenek berdiri sambil berkipas-kipas dengan kipas bambu yang selalu dibawanya ke mana-mana. Di sebelah nenek ini berdiri seorang kakek memegang satu batok kelapa yang selalu diulurkan menyerupai perilaku seorang minta sedekah.
Anehnya walau tadi muka mereka menjadi merah diejek namun sesaat kemudian ketiga orang bau tanah ajaib ini dongakkan kepala kemudian sama keluarkan bunyi tertawa mangekeh. Begitu kekehan mereka berhenti kakek yang memegang batok kelapa yang rupanya menjadi pimpinan diri tiga insan ajaib itu berpaling pada perjaka bermantel kemudian membentak.
“Si gendut pemabuk itu tidak ada sangkut pautnya dengan kami bertiga Kami tiba sendiri dia tiba sendiri”
"Oh! Begitu?!” lelaki bermantel kerenyitkan kening. menyeringai kemudian angguk-anggukkan kepala.
“Di tempat lain si gemuk pendek berjuluk lblis Pemabuk tertawa melengkung kemudian berkata. Terima kasih. sudah ada yang menerangkan jadi saya tak perlu memberi tahu!”
“Kalau terhadap lblis Pemabuk perjaka bermantel bersikap dan blcara hormat rnaka tidak begitu halnya dengan tiga bau tanah bangka yang tegak di depannya.”
“Monyet-monyet rombeng! Kalau kalian memang tidak tiba berbarengan dengan sobatku Iblis Pemabuk dan tidak ada sangkut pautnya dengan sobat tuaku itu , maka lekas beri tahu siapa kalian dan apa tujuan kalian bersikap menghadang mengurung diriku dan kekasihku ini.”
“Kekasih cantik! Huah! Kapan saya bisa punya kekasih secantik itu!" tiba-tiba lblis Pemabuk berteriak kemudian buka mulutnya lebar-lebar dan glukgluk-gluk dia tenggak tuak dalam kendi yang dipegangnya. Eh , dia kenal saya , tapi saya tidak kenal dia…! Anak muda bermantel! Menyebutku sobat bau tanah ialah satu penghinaan! Sekali lagi kau berani memanggilku begitu ambles nyawamu!” ,
Lelaki bermantel cepat menjura. "Orang gagah. harap maafkan kalau panggilan itu tidak berkenan di hatimu!” Lalu dia berpaling pada tiga orang bau tanah di hadapannya.
"Jika kalian bertiga tidak mau menyampaikan siapa kalian dan apa tujuan muncul di pulau ini menyingkirlah sebelum kepala kalian saya potes satu demi satu!"
Mendengar kata-kata itu karuan tiga orang bau tanah itu tertawa gelak-gelak. Yang satu bolang-baling kan tongkatnya. Si nenek terus berkipas-kipas sedang kakek satunya lagi ulur tarik tangannya yang memegang batok berulang kali.
Pemuda bermantel habis kesabarannya. Dia maju selangkah tapi kakek yang memegang batok cepat menghadang sambil berkata.
"Masih muda jangan cepat mengibas amarah! Orang pemarah bisa mati berdiri! Bukankah begitu leman-teman?"
"Betul!" tenak si nenek sambil berkipas. Kali ini kipasnya mengeluarkan bunyi menderu-deru menyerupai kobaran api ditiup angin deras.
"Betul!" seru si kakek satunya sambil goyang-goyangkon tongkatnya di udara hingga mengeluarkan bunyi menyerupai cambuk.
“Hemmm…. Monyet-monyet bau tanah ini sengaja unjukkan kehebatan.
Dikiranya saya takut!" Lalu dia berseru. "Aku memberi kesempatan sekali lagi. Jika kalian bertiga tidak lekas merat dari hadapanku , jangan salahkan kalau kekasihku yang bagus ini akan memberi pelajaran pada kalian!"
"Pelajaran apa?!" tanya kakek yang memegang tongkat dengan nada dan perilaku mengejek.
"Mungkin pelajaran bagaimana caranya berciuman! Ha… ha… ha … !" menimpali kakek yang memegang batok kelapa.
"Kalau memang itu pelajarannya , apa saya boleh pula meminta pelajaran berciuman darimu , anak muda?! Hik… hik … hikkk!" Si nenek tertawa cekikikan.
Batas kesabaran perjaka bermantel habis sudah. Dia angkat tangan kanannya untuk menghantam tapi kakek yang memegang batok kelapa cepat berseru.
"Tahan! Biar kita blcara baik-baik dulu! Urusan baik kalau menggunakan cara baik hasilnya tentu baik pula!"
“Tua bangka keparat! Kau masih belum memberi tahu apa kau punya urusan! Kau juga tidak memberi tahu siapa dirimu dan dua kawanmu itu adanya!"
“Wuuuut!"
Si kakek lambaikan batok kelapanya hingga serangkum angin keras menderu namun hal ini bukan merupakan serangan yang ditujukan pada perjaka bermantel.
“Hari sudah siang! Tak ada gunanya blcara bertele-tele. Apa maumu akan kupenuhi. Baik! Aku segera memberi tahu siapa saya dan dua sahabatku. Kami bertiga selalu sungkan memberi tahu nama. Biar kuberi tahu saja julukan kami bertiga. Harap kau memasang indera pendengaran dan mendengar baik-baik. Kami ialah Tiga Pengemis Dari Akhirat!”
Gadis berbaju biru jadi ternganga sedang perjaka bermantel hitam walau agak bergetar tapi tetap berlaku terang. Siapa yang tidak mengenal tiga insan berjuluk Tiga Pengemis Dari Akhirat ini! Sesuai dengan gelaran yang mereka sandang , ketiganya memang merupakan pengemispengemis yang hidup dari sedekah orang lain. Namun mereka bukan pengemis biasa. Selain mempunyai kepandaian tinggi mereka populer ganas dan kejam. Soal membunuh bagi mereka sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Bahkan pernah tersiar kabar bahwa ketiganya menerobos masuk ke dalam Keraton dan mengamuk habishabisan sebelum beberapa perwira tinggi yang dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana tiba mengusir.
Sambil menyeringai perjaka bermantel berkata “Aku gembira bisa bertemu muka dengan orang-orang hebat macam kalian. Tapi ada gerangan apa Tiga Pengemis jauh-jauh tiba dari Akhirat ke pulau kerikil merah yang serba gersang ini “
Kakek yang memegang batok kelapa batuk-baluk beberapa kali kemudian menjawab. “Seperti tadi saya bilang. Hari sudah siang. Urusan harus diselesaikan cepat. Tak usah bicara panjang lebar bertele-tele. Dengar baik-baik anak muda. Aku tiba ke pulau ini untuk mendapatkan Kitab Pulih Wasiat Dewa. Kalian berdua kulihat keluar dari dalam lobang sana. Salah satu dari kalian niscaya telah mendapatkan kitab sakti itu ketika ini. Lekas serahkan padaku , kemudian kalian boleh pergi dengan aman!"
Di sebelah belakang terdengar bunyi gelegukan berulang kali. Iblis Pemabuk meneguk habis tuak dalam kendi tanah. Begitu seluruh isi ambles ke dalam perut dia tidak segera membuang kendi tanah itu melainkan menyerupai makan kerupuk garing kendi tanah itu dikunyahnya hingga habis. Kalau tidak terpaku pada urusan Kitab Pulih Wasit Dewa semua orang yang ada di situ niscaya akan melengak terkesiap melihat apa yang barusan dilakukan Iblis Pemabuk.
"Aku sudah berkata apakah kalian berdua tuli hingga tidak segera menyerahkan benda yang saya minta?!" Pengemis bau tanah yang memegang batok kelapa membentak
"Pengemis tua! Kau dan dua kawanmu jauh-jauh tiba dari darul abadi hanya menciptakan ketololan besar Kau tiba ke tempat yang salah. Bicara pada orang yang salah! Berarti kalian kalau mati pun secara salah!"
“Apa maksudmu?!" hardik pengemis bau tanah yang wanita seraya melotot dan sesaat berhenti berkipas-kipas. Lelaki bermantel menyeringai. Dia berpaling pada gadis di sebelahnya.
“Kekasihku , perlihatkan pada mereka kita bukan bangsa kecoak yang bisa diancam dan ditakut-takuti!"
Gadis berbaju biru tipis tersenyum. Gigi-giginya kelihatan rata putih bercahaya. Bibirnya dikulum. Mulutnya dibuka sedikit. Lidahnya yang lembap dijulurkan ke kiri dan ke kanan sedang sepasang matanya terpejam. Selagi Tiga Pengemis Dari Akhirat terpesona melihat perilaku yang seolah mengundang ltu tiba-tiba tubuh si gadis berkelebat lenyap. Seruan tertahan terdengar tiga kali berturut-turut. Di lain kejap si gadis telah kembali tegak di samping perjaka bermantel. Dia berdiri sambil memegang batok kelapa. tongkat dan kipas bambu milik Tiga Pengemis Dari Akhirat.
Lelaki bermantel tertawa bergetak melihat dua kakek dan satu nenek pengemis di depannya berdiri dengan muka pucat.
"Ah… ah… ah! Kekasihmu , memang telah memperlihatkan pelajaran yang sangat berguna. Kuharap lumayan dibanding dengan pelajaran yang barusan kami berikan padanya!"
Tentu saja perjaka bermantel dan gadis di sampingnya Makara heran mendengar ucapan itu sementara Iblis Pemabuk terus saja meneguk minuman keras dari dalam kendi tanah seolah tidak perduli apa yang terjadi di depan hidungnya.
Pemuda bermantel berpaling pada gadis di sebelahnya. Si gadis sendiri menyerupai galau menunduk memperhatikan dirinya. Astaga! Dua orang itu sama-sama terperangah. Si gadis seputih kertas wajahnya. Saat itu ternyata pakaiannya di kepingan dada tepat di arah jantung telah berlubang Lalu pada pergelangan tangan sebelah kiri tampak guratan panjang. Lebih dari itu pada pakaian biru di kepingan bawah sentra kelihatan robekan memanjang. Jika ketiga orang itu berniat jahat terhadapnya maka tadi-tadi waktu dia merampas tongkat , batok kelapa dan kipas , dirinya pun bahwasanya sudah diancam ancaman maut. Tiga Pengemis Dari Akhirat bisa menusuk hancur jantungnya memutus urat besar di pergelangan tangannya atau menjebol isi perutnya!
Bagaimana pun tabahnya si gadis namun rahasia dia jadi keluarkan keringat hirau taacuh juga. Ketika ketiga orang bau tanah itu mengulurkan tangan , entah sadar entah tidak si gadis menyerahkan kembali tongkat , batok kelapa dan kipas yang tadi dirampasnya dengan kecepatan kilat.
"Kita sudah saling memperlihatkan pelajaran berucap kakek yang memegang batok kelapa. "Sekarang apakah kalian masih belum mau menyerahkan kitab yang kami minta?!"
" Kami memang masuk ke dalam lobang kerikil , terus ke dalam terowongan sebelah bawah. Kami hanya menemukan satu sosok jerangkong. Kitab yang kalian inginkan tidak kami temui!" menjawab lelaki bermantel hitam
“Dusta!" hardik kakek yang memegang batok
“Beraninya kau bicara bohong sehabis nyawa kekasihmu kami ampuni!” teriak pengemis neneknenek.
“Penipu busuk!” hardik kakek yang memegang tongkat. Ketiganya serentak maju ke depan tapi perjaka bermantel cepat menyongsong Begitu hingga di hadapan ketiga pengemis , berkepandaian tinggi itu dia kibaskan mantel hitamnya ke belakang. Kini terlihat pakaiannya sebelah dalam. Yakni sehelai baju dan celana hitam. Pada dada baju hitamnya terpampang lukisan puncak gunung Merapi berwarna biru , berlatar belakang sang surya yang memancarkan sinar merah dan kuning.
“Pangeran Matahari” seru Tiga Pengemis Dari Akhirat dengan tenggorokan mendadak kelu dan pengecap tercekat. Tampang keriput mereka berubah pucat sedang sepasang kaki masing-masing bersurut mundur. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa orang dengan siapa ketika itu mereka menciptakan urusan ialah momok nomor satu dalam rimba persilatan yaitu perjaka berjuluk Pangeran Matahari yang dikenal sebagai jagoan ganas segala cerdik , segala nalar , segala ilmu , segala licik segala congkak!
Di seberang sana Iblis Pemabuk terus saja rnenenggak minuman keras dari dalam kendi tanah walau kini beberapa kali sepasang matanya mengerling tajam ke arah si pemuda.
“Tiga Pengemis Dari Akhirat! Buka mata kalian baik-baik! Apa sudah tahu dengan siapa ketika ini kalian tengah berhadapan?!"
Dua kakek dan satu nenek saling bertukar pandang. Lalu kakek yang memegang batok kelapa menjura dan mengumbar tawa.
“Sungguh tidak disangka. Dan kami bertiga sungguh sangat bersyukur ternyata kami berhadapan dengan tokoh besar rimba persilatan yang kami kenal dengan gelar dahsyatnya yaitu Pangeran Matahari! Kami gembira ternyata kami berhadapan dengan sobat satu golongan!”
“Manusia-manusia haram jadah! Siapa bilang saya sobat kalian!"
Pangeran Matahari membentak kemudian meludah. Sikap sombong congkak dan ganasnya yang semenjak tadi disembunyikan kini keluar.
"Kami tidak menyalahkan kalau Pangeran tidak merasa bersobat dengan kami bertiga. Itu disebabkan kita tak pernah saling jumpa sebelumnya. Karena kita sama-sama satu golongan tentu Pangeran tidak akan terlalu berat hati menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu pada kami , Paling tidak meminjamkannya barang beberapa lama!"
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. Lalu dengan mata angker melotot dia berkata.
"Kalian bertiga lekas angkat kaki dari sini. Kalau tidak saya akan mengirim kalian ke kampung halaman kalian di Akhirat sana!"
“Pangeran , mengapa bersikap sekasar itu dengan kawan-kawan satu golongan?!" Nenek pengemis kini angkat bicara.
"Perempuan sundall Biar kau kubuat mampus duluan!" hardik Pangeran Matahari. Lalu telapak tangan kanannya didorong ke depan. Perlahan saja. Satu gelombang angin panas mengeluarkan bunyi desis tajam menyambar. Nenek pengemis cepat kibaskan kipas bambunya. Bersamaan dengan itu dia menyingkir ke samping. Dari samping wanita bau tanah ini batas menggempur dengan menusukkan ujung kipasnya ke tenggorokan Pangeran Matahari.
Pada ketika itu juga Pangeran Matahari mencicipi ada hawa ganas di dadanya di mana terikat Kitab Wasiat Iblis. DI lain kejap selarik sinar hitam disertai aliran angin dahsyat menyapu ke arah nenek pengemis. Satu jeritan menggoncang tempat itu. Tubuh si nenek mencelat beberapa tombak. Ketika tubuh Itu jatuh ke atas kerikil merah keadaannya mengerikan untuk disaksikan Sosok tubuh si nenek kini telah berubah menjadi tulang belulang berwarna hitam mengepulkan asap! Sementara dua kakek pengemis menjerit keras menyaksikan kematian sobat mereka. Iblis Pemabuk masih terus asyik dengan tuaknya. Dari mulutnya tiada henti keluar ucapan-ucapan yang tidak terang sedang tubuhnya terhuyung kian kemari dan sepasang kakinya digesek-gesekkan di atas kerikil merah.
“Pangeran keparat! Kau telah membunuh salah satu dari kami! Tak ada jalan lain! Serahkan nyawa anjingmu pada kami!” teriak kakek pengemis disebelah kanan. Batok di tangannya digoyangkan. Serangkum sinar kelabu berkiblat , menyambar ke arah Pangeran Matahari. Kakek pengemis satunya tidak menunggu lebih lama. Tongkatnya ditusukkan ke dada sang Pangeran tepat di arah jantung. ini merupakan dua serangan yang sebelumnya sukar dikelit atau ditangkis lawan lantaran gerakan dua kakek itu besar-besar cepat luar biasa.
Namun apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa dan mengerikan. Didahului oleh bunyi menderu keras , dari dada Pangeran Matahari melesat keluar dua larik sinar hitam. Dua kakek membentak nyaring Meski mereka telah menyaksikan kematian si nenek namun mereka tidak mau menyingkir. Malah keduanya lipat gandakan tenaga serangan. Sinar kelabu yang keluar dari batok kelapa menggelegar Tusukan tongkat menderu siap untuk menembus dada hingga ke jantung. Sang Pangeran berdiri tak bergeTak. Di wajahnya menyeruak seringai mengejek. Sesaat kemudian terdengarlah jeritan dua kakek pengemis itu. Tubuh mereka yang kurus mengapung di udara kemudian jatuh bergedebukan di atas kerikil merah tak jauh dari kerangka hitam si nenek Keduanya menemui selesai hidup dalam keadaan tidak berbeda. Berubah menjadi tulangtulang hangus menghitam. Sesaat kesunyian yang mengandung maut menggantung di udara. Pangeran Matahari melirik ke arah lblis Pemabuk. Manusia gemuk pendek ini tampak duduk menjelepok di atas sebuah gundukan kerikil merah dan masih terus sibuk dengan kendi tuaknya. Sang Pangeran melangkah mendekati. Tiba-tiba Iblis Pemabuk melompat dan berteriak. Satu langkah lagi kau maju akan kubunuh! Jangan harap saya mau membagi minuman yummy ini padamu!"
Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Dia menunggu dan berharap supaya Iblis Pemabuk menyerangnya. Ternyata orang itu kembali sibuk dengan minumannya.
"Aku harus memancingnya supaya dia benar-benar menyerang!" kata Pangeran Matahari dalam hati. Lalu dia berseru.
"Iblis Pemabuk , saya yakin kau yang membawa tiga bau tanah bangka itu kemari. Kau menciptakan saya tidak senang. Hatiku tidak tenteram kalau saya tidak membunuhmu!"
"Ah … !" lblis Pemabuk seolah terkejut mendengar ucapan lantang Pangeran Matahari Itu. Setelah meneguk tuaknya beberapa kali hingga mukanya bertambah merah , kendi diturunkannya kemudian dia memandang pada perjaka di depannya. Sambil geleng-gelengkan kepala dia mulai tertawa. "Anak manusia! llmumu memang tinggi! Setan sekalipun bisa kau bunuh hingga tujuh kali! Tapi Jangan mimpl hendak membunuhku! Aku tidak akan terpancing untuk menyerangmu! Ha… ha… ha!"
Pangeran Matahari jadi terkejut besar. "Apakah insan pantat botol ini tahu rahasia kesaktian Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik dada pakalanku? membatin Pangeran Matahari. Otak cerdiknya segera diputar kemudian berkata. "Harap kau beri maaf. Tadi memang saya sengaja memancing. Tapi sehabis tahu kau bahwasanya tidak berniat jahat akupun tak akan memendam maksud tidak baik terhadapmu Aku malah berniat mengundangmu tiba ke puncak Merapi untuk hadir dalam pesta mabuk-mabukan tujuh hari tujuh malam. Kalau kau suka tujuh wanita bagus akan kusediakan untukmu!"
"Ah undangan bagus! Aku suka minum hingga satu malam suntuk. Apalagi kalau hingga tujuh malam. Tapi saya tidak doyan perempuan! Aku yakin wanita yang kau berikan padaku ialah bangsa pelacur yang bisa menciptakan saya ketularan penyakit kotor! Huh!"
"Untukmu kupilihkan para gadis yang masih perawan."
Iblis Pemabuk terdiam dan tampak setengah melongo. Bagaimana? Kau terima undanganku?
Yang ditanya menggeleng kemudian tertawa panjang. "Aku harus mengakui kehebatanmu Pangeran. Kalau kau bisa memperlihatkan tujuh perawan padaku , hitung-hitung sudah berapa puluh perawan yang kau lalap sendiri?"
Tampang Pangeran Matahari tampak merah mengelam. Namun dia cepat menekan amarahnya. "Kalau kau tak suka pelacur atau perawan masih banyak wanita lain. Sebutkan saja yang bagaimana yang kau suka""
Iblis Pemabuk hentikan tawanya. Dia meneguk tuak dalam kendi. Tubuhnya kembali terhuyung-huyung. Lalu dia melangkah terseok-seok ke arah gadis baju biru. Tiga langkah di hadapan si gadis dia berhenti. Matanya berputar-putar jelalatan memandang gadis ltu.
"Kau suka padanya? Kalau suka kau boleh menjemputnya di gunung Merapi TapI kalau kau mau memberitahu di mana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa kau boleh mengarnbilnya ketika ini juga!"
Si gadis berpaling murka dan berteriak. "Jangan Kau berani memperlakukan diriku serendah itu! ,
Setengah berbisik Pangeran Matahari berkata. Kekasihku , jangan kawatir. Si gendut pemabuk ini tidak akan mengiyakan pertanyaanku Betul…. Memang betul! Aku tidak suka padanya!" Iblis Pemabuk berucap. "Dia memang bagus Wangi tubuhnya bisa mengalahkan harumnya tuakku. Tapi maaf saja. Aku tidak tahu dimana beradanya kitab yang kau tanyakan itu Lagipula saya tidak suka bersenang senang dengan wanita bekasmu!"
Wajah si gadis menjadi merah menyerupai saga mendengar kata-kata itu Sambil tertawa panjang Iblis Pemabuk balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Kau biarkan bedebah yang menghina diriku dan ilmumu itu pergi begitu saja…?!- teriak si gadis.
Aku memang ingin membunuhnya. Tapi sengaja. , kutunda. Siapa tahu kelak dia ada gunanya bagi Si gadis merengut dan membuang muka ke jurusan lain. Pada ketika itulah pandangannya membentur sesuatu di atas kerikil merah di hadapannya.
Iihat!" teriak si gadis seraya menunjuk ke depan.
Pangeran Matahari maju beberapa langkah dan rnemperhatikan kerikil merah yang barusan ditunjuk Di situ tertera goresan pena buruk tak karuan tapi masih bisa dibaca , berbunyi: Aku mengundangmu tiba ke Pangandaran hari 10 bulan 10. Kalau kau tidak berani tiba lebih baik bunuh diri dari sekarang.
Pangeran Matahari dan kekasihnya saling pandang.
"Pasti Iblis Pemabuk yang menciptakan goresan pena itu. Mempergunakan kuku kakinya…" desis si gadis
"Jelas undangan ltu ditujukan padaku. Ada apa harl sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran?" Sang Pangeran coba berpikir
"Soal undangan gila itu mengapa musti dipikirkan sekarang. Lagipula hari sepuluh bulan sepuluh masih lama…" berkata si gadis.
Kau betul kekasihku Mari kita tinggalkan pulau ini. Ada kiprah yang harus benar-benar kau laksanakan kata Pangeran Matahari pula sambil melingkar-kan tangannya di pinggul gadis bagus itu.
TIGA
GEROBAK sapi yang sarat dengan padi kering itu meluncur perlahan di jalan mendaki menu-ju Kotaraja. Kusir gerobak seorang perjaka kurus sesekali melirik ke samping di mana duduk terkantuk-kantuk seorang kakek berjubah putih. Orang ini mengenakan caping lebar hingga sebagian wajahnya tertutup. Dia ikut menumpang dari desa Tambak Lor di kaki sebuah bukit jauh di sebelah Selatan Kotaraja. Sepanjang perjalanan dia tak banyak bicara. Beberapa kali kusir gerobak mencoba mengajaknya bercakap-cakap namun jawabnya pendek-pendek saja. Agaknya dia memang tak mau bicara atau mungkin juga keletihan.Anak muda kusir gerobak itu sama sekali tidak mengetahui kalau mata orang bau tanah yang terpejam itu bahwasanya tidak mengantuk. Sebaliknya sepasang mata itu tiada hentinya memperhatikan keadaan tempat-tempat yang dilalui.
“Banyak perubahan kulihat. ini saja masih Jauh dari Kotaraja. Kalau sudah masuk ke Kotaraja keadaannya tentu lebih banyak berubah. Salahsalah saya bisa kesasar kalau berjalan sendiri. Tujuh puluh tahun memang bukan waktu singkat. Orang-orang seusiaku di Keraton niscaya sudah banyak yang mati. saya masih bersyukur diberi umur panjang. Namun apa gunanya hidup hingga seusia bau tanah renta , begini kalau hanya mendekam dan menahan beban batin.” Lakek bercaping itu bicara sendiri dalam hati kemudian menarik nafas panjang "Orang bau tanah , kukira kau sudah tertidur pulas." perjaka kusir kereta menegur.
Kepala yang menggunakan caping itu bergerak sedikit. Dengan tangan kirinya si orang bau tanah mengangkat kepingan depan capingnya Dia melihat sesuatu di kejauhan. Untuk pertama kalinya orang bau tanah ini ejekan pertanyaan. Bukankah itu pintu gerbang menuju Kotaraja?"
"Betul Kek. Bukankah ke sana tujuanmu? Anak muda , maukah kau berbalk hati sekali lagi menolongku?"
"Menolong apa Kek? tanya kusir gerobak
"Aku tak ingin memasuki Kotaraja. Ambil jalan berputar , membelok ke kanan. Melewati pinggiran timur."
"Wah , berarti kita menyimpang jauh sekali. Aku harus buru-buru hingga di Kotaraja majikanku pemilik padi akan murka besar kalau saya kemalaman dan terlambat hingga di gudangnya”
“Aku mengerti … “ kata orang bau tanah bercaping.
Anak muda kusir gerobak Itu merasa hiba juga rupanya Lalu dia berkata "Bagaimana kalau kau saya turunkan di pintu gerbang kemudian kau meneruskan perjalanan dengan jalan kaki atau mencari tumpangan lain?”
“Begitupun tak tadi apa. Tapi saya menumpang gerobak sapimu ini tidak cuma cuma.”
"Maksudmu Kek?
Dari balik jubah putihnya orang bau tanah itu mengeluarkan sebuah benda bundar berwarna kuning yang berkilauan terkena sinar matahari petang Benda itu diletakkannya di atas pangkuan kusir gerobak. Begitu melihat benda tersebut , kusir gerobak segera mengarnbilnya.
"Uang emas…" katanya kemudian berpaling pada si orang bau tanah yang wajahnya selalu terlindung caping lebar itu. "Tak pernah kulihat uang menyerupai ini sebelumnya. Agaknya ini mata uang usang Apa betul-betul emas Kek?"
"Itu emas murni Untukmu , kalau kau mau membawaku ke jurusan timur…."
“Kau tidak bergurau Kek?"
“Apa kau kira saya bergurau?"
"Wah . wahl Untuk uang emas ini saya tidak kawatir dimarahl majikanku Dipecatpun saya tidak takutl! kata perjaka penarik gerobak. Lalu pecutnya diangkat tinggi-tinggi. Dihantamkan ke punggung Sapi penarik gerobak. Bersamaan dengan itu dia menarik tali kekang. Gerobak berderik keras dan membelok ke arah timur.
Si kakek kembali berdiam diri dan duduk terkantuk-kantuk. Sementara itu sang surya perlahan-lahan merayap ke ufuk tenggelamnya Di satu tempat si kakek angkat kepingan depan caping bambunya dan bertanya pada perjaka kusir gerobak.
“Anak muda , tembok panjang dan tinggi di sisi jalan sebelah kiri ini tembok apakah?” si kakek ejekan pertanyaan.
"Orang bau tanah , kau tentunya sudah puluhan tahun tak pernah tiba ke Kotaraja , tak pernah melewati jalan ini. Tidak heran kalau kau tidak tahu tembok apa yang ada di sisi kiri jalan. Itu tembok pembatas tempat makam istana…."
Mendadak saja dada kakek bercaping itu jadi berdebar. Dia berpikir sesaat kemudian bertanya lagi. "Di mana pintu masuknya?"
Masih jauh di depan sana…."
“Kalau begitu turunkan saya selewatnya pintu masuk."
Kusir gerobak itu jadi heran. Kalau kau hendak menyambangi makam seseorang mengapa tidak turun tepat di depan pintu masuk? Yang ditanya tidak menjawab.
"Lagipula sudah petang begini saya kawatir kau tidak akan diizinkan masuk tempat makam. Baik oleh juru kunci maupun para pengawal."
Orang bau tanah itu membisu saja. Gerobak meluncur terus hingga melewati pintu masuk tempat makam istana.
"Berhenti di sini." kata si kakek. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia turun dari gerobak. Sesaat dia masih tegak di tepi jalan memperhatikan gerobak sapi berputar. Setelah gerobak itu lenyap di kejauhan gres dia berbalik. Pandangannya segera tertuju pada sebatang pohon besar yang tumbuh di bersahabat tembok sebelah sana dengan cabang-cabangnya menjuntai masuk melewati tembok tempat makam.
Meskipun usianya sudah sangat lanjut ternyata orang bau tanah itu masih cukup cekatan untuk memanjat pohon. Dalam waktu singkat dia sudah berada di kepingan dalam tempat makam istana. Dia bergerak cepat dari satu makam ke makam lainnya. Setiap dia berdiri di depan sebuah makam hatinya berdebar. Dengan cepat dia memperhatikan nama jago kubur yang dimakamkan di situ. Saking perhatiannya tercurah pada apa yang dilakukannya orang bau tanah ini hingga tidak menyadari bahwa ketika itu seorang pengawal bersenjata tombak tahu-tahu muncul di depannya bersama juru kunci makam.
“Orang bau tanah , kau tahu berada di mana ketika ini?" juru kunci makam yang berusia enam puluh tahun Itu menegur dengan ramah.
Sebaliknya sang pengawal pribadi saja membentak. "Buka capingmu! Aku ingin melihat tampangmul Jangan-jangan kau seorang gembong pemberontak yang hendak merusak makam Kerajaannya!”
“Kalian petugas-petugas yang cekatan. Aku berdasarkan perintah … " kata si orang bau tanah kemudian perlahan-lahan dibukanya caping lebar di atas kepala yang semenjak tadi menutupi mukanya. Begitu caping terbuka juru kunci makam dan si pengawal tersurut hingga tiga langkah. Mereka melihat satu wajah bau tanah berkumis , berambut dan berjanggut putih Mulutnya komatkamit mengunyah sirih dan tembakau. Wajah Itu wajah bau tanah biasa saja , namun yang menciptakan kedua orang itu jadi tercekat ialah begitu melihat muka si orang bau tanah belang sebelah. Bagian sebelah kanan berwarna biru. Saat itu petang hari menjelang matahari hendak tenggelam. Suasana di tempat makam yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar lebih gelap dan mendatangkan suasana angker “Orang tua. siapa kau adanya? Mengapa masuk ke dalam tempat makam istana tanpa izin? , Orang bau tanah juru kunci makam bertanya. Suaranya bergetar tanda dia berusaha menahan rasa takut.
“Saudara , kau tentu saja tidak mengenali siapa diriku. Aku lahir empat puluh tahun lebih dulu dari kau Harap maafkan kalau saya masuk tanpa izin dari kalian berdua. Aku mencari makam seseorang…"
"Orang bau tanah kami harus membawamu ke gardu untuk ditanyai!” pengawal bertombak membuka mulut.
Orang bau tanah bermuka belang yang bukan lain ialah Raja Obat Delapan Penjuru Angin alias Pangeran Soma tidak perdulikan ucapan si prajurit. Dia terus bicara dengan sang juru kunci.
"Raja Tua , ayahanda dari Raja yang bertahta kini pernah mempunyai seorang istri berjulukan Siti Layangsari. Seperti Raja Tua wanita itu juga telah meninggal dunia. Aku melihat makam besar Raja Tua di sebelah sana. Apakah Siti Layangsari juga dimakamkan di tempat ini?"
"Orang tua!" hardik pengawal makam."Sungguh lancang kau berani menanyakan peri kehidupan Raja Tua dan istrinya! Aku harus menangkapmu kini juga!”
"Pengawal kau rupanya tak bisa diajak bicara secara baik-baik. Terpaksa saya membuatmu jadi patung!” , Habis berkata begitu Raja Obat Delapan Penjuru Angin kebutkan caping bambunya
"Hekkk!"
Terdengar bunyi menyerupai tercekik di tenggorokan pengawal makam. Saat itu juga dia tak sanggup bersuara dan tak bisa menggerakkan tubuhnya lagi.
“Juru kunci makam , apakah kau Ingin kujadikan patung menyerupai dia?”
Orang bau tanah penjaga makam itu tentu saja menjadi ketakutan.
“Kau kulihat ketakutan. Kalau kau tak mau kuubah jadi patung hidup lekas beri jawaban atas pertanyaanku tadi"
Juru kunci itu menggelengkan kepala berulang kali "Aku sudah bekerja lebih dari tiga puluh tahun Aku tahu betul tak ada wanita berjulukan Siti Layangsari dimakamkan di tempat ini."
Raja Obat alias Pangeran Soma jadi terdiam mendengar keterangan orang di hadapannya. “Kau yakin sekali hal itu?"
“Yakin sekali. Aku berani bersumpah saya tidak berrdusta !"
"Kau juga tidak pernah mengetahui di mana Siti Layangsari dikebumikan?"
Yang ditanya menggeleng.
“Kau juga tidak pernah mendengar dongeng satu insiden besar sekitar seratus tahun kemudian wacana istri Raja Tua yang dibuang lantaran melahirkan anak bermuka cacat?"
“Aku tidak tahu banyak tapi saya memang pernah mendengar dongeng itu dari seseorang…"
“Siapa orangnya?" tanya Raja 0bat.
“Aku tidak ingat. Sudah usang sekali. Mungkin sekitar tiga puluh tahun kemudian dongeng itu kudengar. Orang yang menceritakan mungkin sudah meninggal….. "
"Coba kau ingat siapa orangnya…."
Juru kunci makam lstana itu memutar otaknya , berusaha keras mengingat. Akhirnya sambil menggeleng dia berkata “Tak bisa kuingat…."
"Akan kusebutkan sebuah nama. MungkIn dia orangnya. Lawunggeni?"
"Astagal Betul! Dia yang pernah menceritakan hal itu padak!" Tapi dia telah meninggal dunia dua puluh tahun silam. Dikebumikan di kampung halamannya." Sang juru kunci mengangkat kepalanya dan menatap wajah orang bau tanah di hadapannya. Ketika dia melihat wajah yang cacat belang itu tiba-tiba saja dia ingat. "Kau … Seruan sang juru kunci lenyap lantaran Raja Obat cepat menekap mulutnya.
“Jangan berteriak. Lekas katakan dimana letak tempat pemakaman rakyat…."
"Ada dua. Satu di selatan. satu lagi tak jauh dar sini. Hanya terpisah oleh satu sungai kecil….!".
"Terima kasih." Orang bau tanah itu menurunkan tangannya yang menutup lisan juru kunci makam" Lalu sekali berkelebat sosoknyapun lenyap.
EMPAT
MATAHARI semakin menggelincir jauh ke titik tenggelamnya. Raja Obat berjalan setengah berlari. Di satu tempat dia menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Menunggu sambil memasang mata dan telinga.“Mataku mungkin sudah lamur , apa lagi hari mulaI gelap. Tapi telingaku tak mungkin ditipu. Perasaanku tak bisa dikelabui. Ada seseorang mengikutiku…. Tapi dia mendadak lenyap…." Raja Obat menunggu sesaat lagi. Akhirnya dia keluar dari balik semak belukar , sengaja mengambil jalan berputar dan kembali ke jurusan dari mana tadi dia tiba dan menyelidik. Namun tetap saja dia tidak melihat atau menemukan siapa-siapa.
“Jangan-jangan saya sudah pikun!" kata Raja Obat dalam hati. Dengan menenteramkan hatinya dia melanjutkan perjalanan.
Ketika Raja Obat hingga di daerah pemakaman di seberang kali kecil itu sang surya hampir karam dan udara bertambah gelap. Kawasan pemakaman tanpa pagar ini tidak terpelihara. Dia segera berkeliling menyelidik , memperhatikan setiap kuburan yang ada satu persatu. Hampir tidak ada papan nisan yang masih utuh. Agaknya sia-sia saya menyelidik. Apa lagi sebentar malam segera datang. Mungkin hingga ajalku saya tak akan pernah menemukan di mana kubur Ibuku…." Raja Obat tegak termenung bersahabat serumpun pohon bambu. Berulang kali terdengar dia menarik nafas dalam. Akhirnya orang bau tanah ini tetapkan untuk meninggalkan tempat itu. Langkahnya tertahan ketika sayup-sayup dia mendengar bunyi menyerupai seorang wanita menangis sendu terisak-isak.
"Eh , menjelang malam menyerupai ini , di tengah pekuburan siapa gerangan yang menangis? Raja Obat memandang berkeliling. "Mungkin ada mayit yang bangun kemudian menangis? Atau setan kuburan hendak mengganggu diriku…?" Orang bau tanah berusia seratus tahun lebih itu tegak terdiam. Suara isak tangis itu semakin keras. Datangnya dari pinggiran pekuburan sebelah timur. Raja Obat berpikir sejenak kemudian risikonya melangkah ke jurusan datangnya bunyi orang menangis. Tak usang kemudian , di balik formasi tiga pohon Kemboja besar dia melihat sebuah makam yang masih merah. Di sebelah kiri tubuh makam bersimpuh membelakangi sosok seorang wanita berambut panjang , berpakaian merah. Dua tangannya ditekapkan ke wajahnya. Perempuan inilah yang sedang menangis.
Kubur gres masih merah. Ada wanita menangis menjelang malam begini. Harum tubuhnya tercium hingga ke sini. Pasti yang dimakamkan di situ seorang sangat dicintainya. Tapi…. Apa yang kulihat ini benar-benar seorang anak manusia? Jangan-jangan…
Raja Obat melangkah melewati tiga pohon Kemboja besar. Lalu bergerak ke seberang kanan makam. Di sini dia membisu sesaat sambil memperhatikan orang yang menangis.
"Masih muda…. Mungkin masih gadis…" membatin Raja Obat.
Tangis orang di samping makam semakin keras. Bahu dan dadanya tampak berguncang-guncang. Raja Obat gelengkan kepala. Dia jadi bingung. Dalam keadaan menyerupai itu apakah pribadi mengusir saja Mau menunggu hingga tangis orang mereda. Karena dinantikan wanita itu tak kunjung hentikan tangisnya sedang sepasang tangannya terus saja menekap wajahnya risikonya si orang bau tanah mengeluarkan bunyi mendehem beberapa kali. Suara tangisan serta merta berhenti. Dua tangan yang menutupi wajah diturunkan.
Raja Obat terkesiap. Orang yang menangis itu ternyata ialah seorang dara berparas bagus sekali. Sebaliknya si gadis tampak terkejut. Seperti ketakutan dia beringsut mundur. Dua matanya yang bagus tapi sembab memandang besar-besar. Seumur hidupnya Raja Obat alias Pangeran Soma belum pernah melihat gadis secantik ini. Apalagi selama tujuh puluh tahun dia hidup menyendiri di pulau kerikil merah. Sekalipun usianya sudah seratus tahun lebih namun kewajaran dirinya sebagai seorang lelaki melihat gadis yang begitu jelita tak bisa disembunyikannya. Untuk sesaat orang bau tanah ini terpana. Anak gadis , kau tak usah takut. Walau tampangku angker dan belang sebelah tapi saya bukan orang jahat. Bukan juga setan yang hendak mengganggumu…."
“Kau… kau.. si… siapa?!" tanya sang dara dengan bunyi gagap.
Bayangan ketakutan masih menempel di wajahnya. "Mengapa malammalam begini berada di tempat ini?!"
Aku hanya seorang bau tanah yang malang. Nasib diri membawaku ke tempat ini. Aku mencari makam , seseorang tapi tidak kutemukan. "Makam siapa? Istrimu…? Anakmu atau cucu mu?"
Raja Obat tersenyum rawan. "Aku tak pernah , punya istri. Makara tak punya anak apalagi cucu…." Lalu Raja Obat bertanya.
"Kau sendiri siapa? Mengapa , malam-malam begini berada di pekuburan? Makam siapa yang kau tangisi ini? Dan tanahnya yang masih merah serta bunga-bunga segar yang bertaburan atasnya agaknya makam ini masih baru. Mungkin sekali jenazahnya gres dikuburkan siang tadi …. "
"Siapa diriku kau tak perlu tahu. Makam siapa yang saya tangisi ini kau juga tak perlu tahu. Kuharap kau segera saja pergi dari sini. Tinggalkan saya sendirian. Biar saya menangis hingga air mataku kering !"
"Anak gadis , mendengar ucapanmu saya bisa me duga kau ialah seorang gadis yang sabar berhati keras. Kedukaan dan kesedihan cepat atau lambat ialah kepingan setiap manusia. Kehilangan seorang yang kita kasihi merupakan takdir yang tak bisa dihindari. Namun apakah kedukaan dan kesedihan itu kita inginkan menciptakan diri kita menjadi sakit dan sengsara… Rumahmu tentu di sekitar sini Sebaiknya kau pulang saja. Jika hatimu belum puas besok pagi-pagi kau bisa menyambangi lagi makam ini…"
"Orang bau tanah , saya tidak perlu nasihatmu. Kalau saya sakit atau sengsara apa pedulimu?! Jangankan sakit atau sengsara , matipun saya mau ketika ini juga. Biar saya segera bisa menyusul dirinya!"
“Hemm…. Jika begitu nada ucapanmu mengertilah saya sekarang. Aku bisa menerka siapa yang dimakamkan di tempat ini…."
"Jangan kau berani berlaku lancang orang tua! "Aku tidak bermaksud lancang. Maafkan kalau kau menerka menyerupai itu. Pada dasarnya nasib kita mungkin sama. Sama-sama kehilangan orang yang kita kasihi. Namun kau masih jauh beruntung. Kau masih mempunyai makam orang yang kau kasihi. Aku tidak. Sekali lagi kunasihati. pulanglah. Jangan hingga kesedihan yang berlarut-larut membualmu sengsara. Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang. Selamat tinggal anak dara … "
Raja Obat alias Pangeran Soma memutar tubuhnya. Langkahnya tertahan ketika di belakangnya si gadis memanggil. “Orang bau tanah , tunggu!"
Sewaktu orang bau tanah itu berbalik didapatkannya si gadis telah berdiri di samping kuburan.
"Kupikir semua ucapanmu ada benarnya. Kau ialah orang terakhir yang bersikap baik terhadapku. Kalau saya boleh bertanya makam siapakah yang lengah kau cari di tempat ini?"
Aku mencari kubur ibuku. Tapi menyerupai tadi kukatakan , saya bernasib malang. Aku tidak menemui makam dia di tempat ini…. Hari sudah malam , saya harus pergi…."
“Kemanakah tujuanmu dari sini?" tanya si gadis.
“Aku sendiri tidak tahu. Aku tak punya kadang tidak punya sanak. Mungkin saya akan mencari tum-pangan untuk tidur malam ini. Kalau terpaksa saya bisa tidur di mana saja…. "
"Rumahku di atas bukit di sebelah timur sana. Tak jauh dari sini. Kalau kau suka kau boleh bermalam di tempatku. Aku tinggal sendirian…."
"Terima kasih atas kebaikanmu. Tapi bagaimanapun juga tidak baik kita berada di satu rumah berduaan sementara kita tidak punya hubungan keluarga…."
“Tak usah merisaukan hal itu. Aku sudah menganggap dirimu sebagai orang bau tanah atau kakek sendiri….”
Raja Obat terdiam sejenak. Paras bagus di depannya tersenyum. Semerbak harum busuk baju dan , tubuh sang dara menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Ketika si gadis memegang lengannya risikonya Raja Obat berkata. Baiklah , saya mengucapkan , terima kasih atas budi baikmu. Lalu dia melangkah mengikuti gadis berbaju merah itu.
Ternyata gadis bagus itu mempunyai kepandaian berlari cepat. Kalau saja lengannya tidak dicekal terus sudah semenjak tadi-tadi Raja Obat tertinggal di belakang. Seumur hidupnya kerikil sekali ini Raja Obat alias Pangeran Soma berjalan seiring dengan seorang gadis cantik. Apalagi sepanjang jalan si gadis selalu memegang lengannya erat-erat. Ditambah wanginya busuk tubuh si gadis orang bau tanah ini merasa seribu senang dalam hatinya. Sampai-sampai dalam hatI dia meratapi diri sendiri dan membatin.
“Kalau saja saya dilahirkan tujuh puluh tahun lebih cepat dan usiaku ketika ini hanya tiga puluh tahun hemm…."
LIMA
GUA BATU kecil itu terletak di lereng selatan Gunung Merbabu. Meskipun terlindung oleh pepohonan besar berusia ratusan tahun serta semak belukar lebat , namun jikalau seseorang berdiri di sebuah kerikil tinggi yang ada di depan gua maka dia dengan terang akan sanggup melihat keindahan tempat lereng selatan. Nun jauh di sana menjulang Gunung Merapi dengan puncak tertutup awan kelabu.Pendekar 212 Wiro Sableng untuk beberapa ketika lamanya masih berdiri di atas kerikil tinggi , memandang ke arah Gunung Merapi. “Saat bagiku untuk menyelidik apakah dia berada di sana” membatin murid Sinto Gendeng ini. Lalu dia kerahkan tenaga dalam , dialirkan ke kepala. Sepasang matanya yang tidak berkedip dikedipkan dua kali. Ternyata ketika itu dia lengah mengerahkan ilmu kesaktian yang disebut "Menembus Pandang. Mula-mula dia melihat bayangan gelap kelabu. Perlahan-lahan kurang jelas muncul warna putih. Dia sanggup menembus formasi pohon-pohon , semak belukar. bebatuan. Lalu dia melihat sebuah telaga kecil. Pandangannya diarahkan lebih jauh. Samar-samar tampak sebuah bangunan. Lama dia memandang dengan mata tak berkedip. Ternyata bangunan itu kosong.
“Pangeran keparat itu tak ada di sana…" kata Wiro dalam hati. Hatinya agak tega namun hanya sesaat. Dia segera ingat.
Sejak dia berpisah dengan Raja Obat Delapan Penjuru Angin tempo hari dia merasa ada seseorang mengikuti perjalanannya. Sebelum menuju pribadi ke lereng Gunung Merbabu dia sengaja mengambil jalan berputar-putar. Namun si penguntit masih tetap saja berada di belakangnya. Celakanya setiap dia berusaha menjebak atau memergoki , orang itu selalu lenyap seolah ditelan bumi.
"Dia memlliki kepandaian tinggi. Aku harus waspada." membatin Wiro.
Murid Sinto Gendeng merasa curiga yang menguntitnya ketika itu ada ah si nenek genit berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek , saudara kembar Iblis Tua Ratu Pesolek yang menemui selesai hidup dibunuh Pangeran Matahari di bukit di luar Kartosuro. Sebelumnya si nenek telah muncul di pulau kerikil merah Walau ketika itu dia tidak memperlihatkan niat jahat namun siapa tahu diamdiam dia menunggu sampat Wiro berhasil mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa
Wiro sengaja tegak berlama-lama di depan lisan goa Menunggu hingga kakinya pegal dan tak satu makhluk pun yang muncul. Akhirnya dia balikkan diri melangkah menuju lisan gua. Saat itulah terdengar bunyi “kraaaakk!"
"Seseorang menginjak ranting kering” kata Wiro dalam hati. Serta merta Pendekar 212 siapkan pukulan sakti Sinar Matahari seraya cepat berbalik Serta merta dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia tidak mau ambil risiko. Kitab Putih Wasiat Dewa yang ketika itu ada padanya harus dijaga balk-baik , diselamatkan sebagaimana dia mengamankan nyawanya sendiri
"Aku yakin siapapun adanya penguntit itu niscaya mengincar kitab sakti ini. Aku harus melaksanakan sesuatu. Kalau tidak diriku bisa celaka dan Kitab Putih Wasiat Dewa bisa jatuh ke tangan orang lain yang tidak bertanggung jawab."
"Orang yang bersembunyi , tidak perlu bertaku pengecut! Unjukkan dirimu! Aku sudah tahu kalau kau semenjak usang menguntit perjalananku” Wiro tiba-tiba keluarkan seruan lantang.
Sunyi sejenak. Hanya gema seruannya yang bergaung di lereng gunung itu Namun sesaat kemudian terdengar bunyi ajaib menyerupai bunyi sapi atau hewan digorok.
“Kraaakk!”
Kembali terdengar bunyi ranting kering terpijak. Di lain kejap semak belukar delapan langkah di hadapan Wiro tersibak. Lalu muncullah satu sosok makhluk yang luar biasa mengerikan. Sekujur tubuhnya yang hanya mengenakan sehelai cawat rombeng penuh dengan koreng masih bernanah dan menebar busuk busuk. Sebagian dari tubuh itu hangus kemerahan laksana dipanggang Bagian perutnya robek besar , usus campur darah membusai menjela-jela. Dua kakinya tidak beda menyerupai kayu hangus dan hancur di beberapa bagian. Tubuhnya laksana disambung di kepingan dada tapi tidak begitu pas hingga keadaannya termiring-miring. Tangan kirinya buntung sebatas bahu. Kepalanya paling mengerikan. Wajahnya tidak karuan. Hidung lisan dan pipi serta kening hancur Dua indera pendengaran sumplung. Salah satu dari matanya melesak ke dalam sedang satunya tagi memberojol ke luar!
Tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng menjadi dingin. "Mustahil siang bolong begini ada setan atau hantu gunung muncul. Makhluk apa sesungguhnya yang ada di hadapanku ini?”
"Gila! Bukankah jahanam ini sudah mampus? Tubuhnya cerai berai ke dalam maritim kena hantaman pukulan Sinar Matahariku tempo hari! Janganjangan arwahnya yang berubah menjadi jadi setan dan gentayangan hendak menuntut balas!"
Mendadak Wiro ingat busuk busuk itu. Juga bekas-bekas koreng yang sudah hangus.
"Pendekar 212 , kalau Kitab Putih Wasiat Dewa kau serahkan padaku , saya akan mengampuni selembar nyawamu!" Suara makhluk ini sember parau. Ketika Wiro memperhatikan lagi ternyata tenggorokannya robek besar dan hangus. Ada cairan meleleh dari luka di leher itu.
"Makhluk Pembawa Bala" Bukankah tempo hari kau sudah mampus dengan tubuh dan kepala ter-kutung-kutung!
Makhluk menyeramkan yang memang ialah Makhluk Pembawa Bala adanya menyeringai mengerikan Mulutnya yang hancur bergoyanggoyang sedang bola matanya yang memberojol bergerak gundal-gandil. Dia keluarkan bunyi tertawa menggidikkan.
"Jangan mengira dengan kesaktianmu kau bisa membunuh siapa saja! Di luar langit masih ada langit lain! Buktinya kau saksikan sendiri saya masih hidup , berhasil mengejarmu hingga ke lereng Merbabu ini dan meminta kau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu! Ha.. , ha… hak…hakkkk!" Suara tawa Makhluk Pembawa Bala tercekik. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang penuh luka koreng dan luka bakar serta hangus.
“Kitab itu! Lekas serahkan! Aku tahu kitab itu ada padamu!" Makhluk Pembawa Bala menyentak.
"Sayang kau tiba terlambat!" menjawab Wiro.
"Apa maksudmu?!"
“Setan gunung lebih dulu merampas kitab sakti itu dan melarikannya ke langit. Kalau kau benar mempunyai Kemampuan di atas langit masih ada langit , silahkan susul ke langit sana!"
"Jahanam! Kau berani mempermainkan diriku! Putus nyawamu!” ,
Teriak Makhluk Pembawa Bala murka sekali. Tangan: kanannya yang hangus hancur tiba-tiba berkelebat cepat ke arah dada Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng yang semenjak tadi memang sudah berwaspada melompat mundur tiga langkah sambil hantamkan tangan kanannya Sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Inilah kali kedua Pendekar 212 Wiro Sableng lepaskan pukulan sakti “Sinar Matahari" untuk menghantam Makhluk Pembawa Bala Kali pertama dulu waktu di pulau kerikil merah. Tubuh Makhluk Pembawa Bala mencelat hancur berantakan. Wiro Masih belum bisa mengerti bagaimana makhluk itu masih hidup dan muncul kembali walau dalam keadaan morat-marit mengerikan!
"Pukulan Sinar Matahari! Apa hebatnya!" teriak Makhluk Pembawa Bala mengejek.
"Kurang ajar! Jangan harap tubuhmu bisa bersambung kembali!" teriak murid Sinto Gendeng dan lipat gandakan tenaga dalamnya. Sehingga keadaan di depan gua itu menjadi terang benderang , panas dan menyilaukan. Beberapa pohon patah bertumbangan dan hangus. Semak belukar dan dua gundukan kerikil gunung hancur lebur. Semua berubah hitam hangus! Namun Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan.
"Gila! Sudah mampus atau bagaimana dia?!" pikir Wiro sambil memandang berkeliling. Kalau mampus mengapa tak terdengar jeritannya. Hancuran tubuhnya juga tidak kelihatan!"
Ketika Wiro memandang ke bawah hatinya tercekat. Enam langkah di hadapannya terlihat sebuah lobang sebesar pemelukan tangan.
"Lobang itu tadi tidak ada!"
Wiro mendekati sambil siapkan lagi pukulan "Sinar Matahari" di tangan kanannya.
“Mendadak dari dalam lobang terdengar bunyi tawa bergetak. Lalu sekonyong-konyong muncul satu kepala! Kepala Makhluk Pembawa Bala!
“Jahanam! Belum mampus dia rupanya!" Secepat kilat Pendekar 212 lepaskan pukulan Sinar Matahari. Cahaya panas terang menyilaukan kembali berkiblat di tempat itu.
Tanah terbongkar dalam menghitam. Kepala Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan. Wiro melompat ke arah lobang yang kini telah tertutup oleh timbunan hancuran tanah dan bebatuan.
Sekonyong-konyong di belakangnya terdengar satu bunyi tertawa keras tapi sember. Suara tawa Makhluk Pembawa Bala! Wiro berpaling dan jadi melengak. Dari sebuah lobang di tanah perlahan lahan tampak muncul ke atas kepala Makhluk Pembawa Bala! Tanpa menunggu lebih usang Wiro segera nyergap dan hantamkan satu tendangan.
“Bukkk!"
Tendangan keras murid Sinto Gendeng tepat menghantam kepala Makhluk Pembawa Bala. Pipi sebelah kiri rengkah. Bola matanya yang mem-rojol mencelat mental entah kemana. Namun makhluk itu masih belum menemui ajal. Untuk beberapa ketika kepala yang muncul dari lobang di tanah bergoyang-goyang sedang dari mulutnya yang hancur mengumbar bunyi tawa sember.
"Jahanam!" maki Pendekar 212. Walau ada rasa ngeri namun amarah lebih menguasai dirinya. Sekali himpat saja kepala Makhluk Pembawa Bala itu siap untuk dicengkeram kemudian dipuntir. Namun sesosok tubuh berkelebat mendahului. Angin yang keluar dari tubuh orang ini menciptakan gerakan Wiro agak tertahan . Dalam waktu bersamaan satu tangan putih halus dan mulus meleset menusukkan sepotong kayu panjang.
“Crasss!"
Batangan kayu itu menancap ambles hingga setengahnya ke batok kepala Makhluk Pembawa Bala. Darah muncrat dari hidungnya yang gerumpung , telinganya yang sumplung , sepasang matanya yang hanya tinggat rongga dan juga dari mulutnya yang hancur serta tenggorokannya yang robekl
Dalam keadaan tersentak kaget Wiro cepat palingkan kepala. Saat itulah dia mendengar satu bunyi tertawa merdu.
"Ah. kukira gadis yang saya rindukan selama ini.”
“Ternyata dia!" ujar Wiro Dengan lisan ternganga dan masih belum surut kagetnya murid Sinto Gendeng pulang balik garuk-garuk kepala.
ENAM
DUA langkah di hadapan Wiro berdiri berkacak pinggang seorang gadis jelita mengenakan baju panjang hitam berbunga-bunga putih. Sikapnya genit sekali. Sebentar-sebentar pinggulnya digoyangkan dan lidahnya yang merah dipermainkan membasahi bibirnya Wiro segera mengenali siapa adanya gadis ini. Yakni nenek ajaib berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek yang tempo harl muncul di pulau kerikil merah Pendekar 212 keluarkan siulan. Sang dara tersenyum lebar Sobatku bagus jelita! tegur Wiro. Kalau kemunculanmu menolong diriku dari Makhluk Pembawa Bala itu , sungguh saya sangat berterima kasih….""Hik… hik… hik!" Si gadis yang bentuk aslinya bahwasanya ialah seorang nenek keriput berdandan mencorong tertawa cekikikan kemudian berkata “Pertolonganku belum tuntas! Nyawamu masih terancam! Lihat ke lobang!"
Wiro cepat putar kepalanya ke arah lobang. Saat itu dilihatnya kepala yang ditancapi batang kayu dari Makhluk Pembawa Bala tiba-tiba melesat keluar dari lobang Didahului raungan keras sekujur tubuhnya menyusul meleset keluar dari dalam lobang. Sesaat makhluk mengerikan ini tegak sempoyongan Dari tenggorokannya yang robek keluar bunyi menggembor berkepanjangan. Setindak demi setindak dia melangkah mendekati Pendekar 212 sambil tangan kanannya menggapai-gapai berusaha memegang dan mencabut batang kayu yang menancap di batok kepalanya Makhluk Pembawa Bala berhasil menyentuh batangan kayu. Namun sebelum dia sempat mencabut kayu itu dari samping kiri gadis itu berkelebat menyambar tangan kanannya. Lalu terdengar bunyi "kraakkk!"
Makhluk Pembawa Bala meraung keras sewaktu tangan kanannya dipuntir patah kemudian dibetot lepas dari persendian bahunya. Kini makhluk ini tidak lagi mempunyai tangan baik kanan maupun kiri! "Perempuan lblis…. Hati-hati kaul Kematianmu sudah kugurat di neraka!”
"Hik… hik… hik!" Si gadis tertawa panjang mendengar ucapan Makhluk Pembawa Bala itu. "Belum mampus rupanya kau sudah jalan-jalan ke neraka! Lebih bagus kau cepat minggat dari sini. Mencari pertolongan supaya ada yang mau mencabut kayu yang menancap di kepalamu itu!"
"Perempuan-jahanam! Tunggu pembalasanku! Habis berteriak keras dan sember Makhluk Pembawa Bala putar tubuhnya dan berkelebat lenyap.
"Sobatku bagus , saya berterima kasih atas perlolonganmu ," berkata Wiro sambil menjura. Namun dia sengaja menjaga jarak lantaran belum sanggup mengira apa maksud kehadiran lblis Putih Ratu Pesolek kali ini. Si gadis dilihatnya membuka lisan hendak menyampaikan sesuatu. Pendekar 212 cepat mendahului. "Ada satu hal yang tidak saya mengerti. Sebagai orang rimba persilatan yang jauh berpengalaman mungkin kau bisa menerangkan…."
"Hemm…. Yang kau tanyakan menyangkut diriku atau apa?" balik bertanya Iblis Pulih Ratu Pesolek.
"Menyangkut makhluk jahanam tadi ," sahut Wiro
“Hemmm…. Apa yang ingin kau ketahui. Jika saya bisa menjawab lantas apa imbalan yang bisa kau penuhi!"
Mendengar ucapan orang Pendekar 212 jadi merinding. "Gila! Kalau dia minta imbalan supaya saya melayaninya celaka diriku! Walau diluar kelihatan dia gadis bagus mulus begini rupa tapi di dalam saya kan sudah tahu!" kata Wiro dalam hati. Mau tak mau dia jadi urungkan niat untuk bertanya. Melihat si perjaka terdiam , gadis itu tertawa panjang. “Baiklah , kau boleh bertanya. Aku tidak akan minta imbalan apa-apa!"
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi lega. “Waktu di pulau kerikil merah tempo han saya telah menghajar orang itu dengan satu pukulan sakti. Tubuhnya mencelat ke udara dalam keadaan cerai berai dan masuk ke laut. Jelas-jelas niscaya riwayatnya sudah tamat ketika itu. Tapi bagaimana tahu-tahu dia muncul iagi. Apa yang tadi itu bukan sosok lahirnya tapi jelmaan arwahnya yang gentayangan jadi setan?!"
"Kau pernah mendengar orang yang punya ilmu kesaktian disebut kebal tanah?" tanya Iblis Pulih Ratu Pesolek yang berubah menjadi sebagai seorang gadis bagus itu. Wiro gelengkan kepala.
“Aku pernah mendengar ilmu kebal tanah itu namun belum pernah menyaksikan sendiri. Katanya. orang yang mempunyai ilmu kebal tanah walau tubuhnya hancur berkeping-keping , kepalanya putus , anggota badannya tanggal tapi begitu salah satu kepingan tubuhnya yang hancur jatuh dan bersentuhan dengan tanah , secara gila tubuhnya akan kembali bersatu. Dia akan hidup lagi walau sambungan tubuhnya tidak karuan dan mengerikan…."
"Jadi Makhluk Pembawa Bala tadi mempunyai ilmu kebal tanah itu?"tanya Wiro pula.
Si gadis gelengkan kepala "Dia mempunyai sejenis ilmu kesaktian lain. Disebut ilmu kebal air. Kalau tubuhnya hancur kemudian ada yang tersentuh air , tubuh ltu akan bergabung dan dia hidup kembali. Ingat waktu kau memukulnya hingga hancur di pulau kerikil merah?!"
Wiro mengangguk. “Aku mengerti sekarang. Begitu potongan tubuhnya menyentuh air maritim dia hidup kembali. Muncul dalam keadaan lebih mengerikan! Ilmu gila! Tapi kurasa dia masih punya Ilmu lain yang hebat. Kalau tidak bagaimana mungkin dia masih bisa hidup padahal kepalanya sudah kau pantek dengan kayu!
"Dugaanmu tidak meleset. Kalau tadi tangannya tidak saya betot lepas , segala ilmu kesaktian yang dimilikinya niscaya akan dipergunakannya kembali untuk menyerangmu Kecuali ada yang menolongnya mencabut batang kayu itu dari kepalanya maka umurnya hanya sepanjang seratus hari dari sekarang!"
"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih ," kata Pendekar 212 pula.
"Sekarang apakah masih ada hal lain yang hendak kau tanyakan padaku?"
“Tidak” , jawab Wiro cepat. Dia menjawab begitu supaya si gadis lekaslekas meninggalkan tempat itu. Tapi dia justru kecele. Si gadis rapikan sanggulnya yang bagus. "Waktu di pulau kerikil merah tempo hari , kau berkata soal bercumbu-cumbuan antara kau dan saya bisa dibicarakan nanti. Apakah yang kau maksud dengan nanti itu sudah bisa kutagih sekarang?”
Wiro mendadak saja merasa tengkuknya menjadi dingin. "Benar apa yang diperingatkan Raja Obat tempo hari. Saat itu saya bicara ngaco. Kini dia bertanya menagih!”
"Heh. apa mendadak mulutmu jadi gagu , Pendekar 212?!"
Anu . Begini…." Wiro jadi gugup dan garuk-garuk kepala. "Terus terang saya mengagumi kecantikanmu …. "
"Nah … nah . nah! Berarti harapanku akan terkabul!" ujar si gadis pula Dia melangkah mendekati.
"Tunggu dulu!" ujar Wiro cepat Maksudku bukan begitu. Aku masih banyak menghadapi urusan besar. Semua menyangkut nyawaku dan masa depan rimba persilatan. Kalau belum apa-apa saya melaksanakan sesuatu yang tidak betul saya bisa kualat. .."
"Siapa bilang! Kita melakukannya dalam suaana suka sama suka. Betul kan?!
“Dengar sobatku cantik.." kata Wiro yang mulai merinding. "Aku ini cuma seorang perjaka rendah. Kau seorang tokoh dunia persilatan yang harus kuhormati. Mana mungkin saya bisa menjadi pasanganmu Bagaimana kalau saya carikan seorang tokoh yang sama tingkat kehebatannya dengan dirimu?"
Si gadis tertawa panjang. “Sejak kapan kau jadi Mak Comblang tukang menjodohkan orang?!"
“Percayalah , saya punya banyak sahabat dan kenalan para dedengkot dunia persilatan. Salah satu di antara mereka niscaya ada yang menyukaimu…."
"Ah , saya tidak kesepakatan mau-mauan dengan mereka. Tapi saya ingin tahu. Coba kau sebutkan siapa saja bau tanah bangka yang kau maksudkan itu?"
"Ada Si Raja Penidur…"
Si gadis tertawa cekikikan. “Manusia sebesar gajah itu! Dalam setahun belum tentu dia satu kali melek! Duduk saja dia sulit , bagaimana mau bersuka-suka denganku?" (Mengenai Si Raja Penidur harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Siluman Teluk Gonggo")
“Jangan kawatir. Masih ada yang lain. Pernah dengar nama Tua Gila dari Andalas?"
"Hemmm… orang gila berjuluk Pendekar Gila Patah Hati itu? Dia memang orang hebat. Tapi apa enaknya bercumbu dengan orang gila? Hik… hik.. , hikkk." (Mengenai Tua Gila sanggup dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang").
"Bagaimana dengan tokoh ajaib berjuluk Kakek Segala Tahu?" ujar Wiro pula
"Bisa sengsara saya berteman dengan dia. Mencarinya sesulit kutu dalam comberan!"
Kalau dengan Dewa Ketawa bagaimana?!" Wiro mencoba lagi.
Si gadis mesem-mesem. "yang satu ltu potongannya memang masih keren. Tapi sayang saya punya dugaan berpengaruh syarafnya ada yang putus. Buang hajat besar saja dia masih bisa tertawa-tawa macam orang sinting!
(Dewa Ketawa ialah paman sekaligus guru Bujang Gila Tapak Sakti. Harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Bujang Gila Tapak Sakti" ). Dia punya saudara berjuluk Dewa Sedih….
“Lebih celaka lagi! Apa enaknya berafiliasi dengan orang yang pagi sore sepasang matanya torus ngompol alias nangis terus-terusan…."
Wiro garuk-garuk kepala "Bagaimana kalau dengan Iblis Pemabuk?"
" Wah berat urusannya! Dia lebih senang memegang pantat botol dari pada. . Hik… hik. , hik…!" Si gadis tertawa cekikikan hingga keluar air mata. Mau tak mau murid Sinto Gendeng jadi ikut tertawa terpingkalpingkal.
"Sudah? Tak ada lagi sahabat atau kenalanmu yang hendak kau jodohkan dengan diriku?!" Si gadis bertanya seolah menantang.
Murid Sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala. “Kau sudah bertemu dengan Raja Obat. Kau tidak suka padanya. Hemm… siapa lagi ya?" Wiro berusaha mengingat-ingat. “Hai! Kau pernah dengar nama bssar seorang dedengkot persilatan. berjuluk Dewa Tuak?!”
Gadis di hadapan Wiro tertegun dan menatap lekat-lekat ke wajah sang pendekar. Wiro mellhat sesaat wajahnya yang bagus berubah ke bentuk aslinya yakni paras seorang nenek yang tertutup dandanan tebal medok! Hanya sesaat. Di lain kejap kembali wajah itu pada bentuk palsunya yakni wajah gadis bagus jelita.
"Apa yang terjadi dengan bau tanah bangka ini? Apa yang ada dalam benaknya? Dia menyerupai menerawang ke masa kemudian ," kata Wiro dalam hati.
"Pendekar 212…" kata si gadis. Suaranya perlahan dan bernada rawan."Apakah dia masih hidup…?"
"Dewa Tuak? Tentu saja dia masih hidup. Masih bernafas. Masakan saya mau memperkenalkan dirimu dengan orang yang sudah ada dalam kubur. Belum selang beberapa usang saya bertemu dengan dia. Ah….Rupanya usulanku kali ini tepat kena batunya…. Berkenan di hatimu. Kau suka padanya. Paling tidak pernah mengenalnya. Atau mungkin juga dulu pernah bercinta…."
"Diam!” teriak si gadis menggeledek. Mukanya tampak merah mengelam.
Wiro hingga tersurut satu langkah dibentak menyerupai itu. “Harap maafkan kalau saya kesalahan bicara. Tapi saya kenal betul orang bau tanah satu itu. Dia sudah menyerupai kakekku sendiri. Aku banyak berhutang budi bahkan berhutang nyawa padanya…."
"Aku bukan tidak suka pada ucapanmu. Tapi…." Si gadis menarik nafas panjang.
Wiro semakin syak bahwa orang di hadapannya itu pernah kenal dengan Dewa Tuak bahkan pernah menjalin hubungan di masa lalu. Lalu murid Sinto Gendeng melihat sepasang mata si gadis berkacakaca.
"Eh. dulu waktu di pulau kerikil merah dia menangis. Karena saudara kembarnya dibunuh orang. Sekarang lagi-lagi kulihat dia menangis. Apa ada lagi saudara kembarnya yang dibunuh orang?!
Rasa hiba yang mendadak muncul di hati Pendekar 212 menciptakan perjaka ini mengeluarkan sehelai selampai dan menyerahkannya pada si gadis.
"Terima kasih … !" kata si gadis sambil mendapatkan sapu tangan itu kemudian menyusut wajah menyeka kedua matanya. "Puluhan tahun kemudian saya menyirap kabar Dewa Tuak tewas dalam satu bentrokan besar dengan enam tokoh silat golongan hitam. Bagaimana saya bisa percaya ucapanmu yang menyampaikan dia masih hidup…."
"Masakan saya berdusta pada orang sebaikmu?!" kata Wiro pula. "Atau kau ingin saya bersumpah?!"
Si gadis menatap dalam-dalam ke mata Wiro. “Aku percaya padamu…"katanya sambil memegang Irigan Pendekar 212. "Mungkin sengaja ada yang menebar kabar palsu…."
"Kalau itu terjadi puluhan tahun kemudian , saya masih belum lahir. Memangnya antara kau…."
"Dengar Wiro , kalau kau bertemu dengan si Suro Lesmono itu katakan padanya mulai matahari terbit hari sepuluh bulan sepuluh saya akan menunggunya di Pangandaran …. "
“Suro Lesmono? Siapa Suro Lesmono?" Wiro bertanya terheran- heran.
“Ah. kau tidak terlalu mengenaI si kakek rupanya. Suro Lesmono ialah nama sebenamya Dewa Tuak"
“Ah!" Wiro keluarkan seruan tertahan.
"Jika begitu pesanmu saya akan berusaha mentaatinya."
“Aku berterima kasih atas kebaikanmu." kata si gadis pula kemudian sepasang matanya memandang tajam ke arah dada Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng Makara berdebar. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah gadis itu mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada pakaiannya?
“Pendekar 212…. Mulai hari ini kemana kau pergi berlakulah hatihati…."
"Apa maksudmu? Wiro akal-akalan bertanya.
"Maksudku bukan cuma nyawamu yang harus kau selamatkan , tapi belasan bahkan puluhan nyawa orang-orang persilatan akan tergantung atas keselamatan dirimu…."
"Ah! Dia tahu! Pasti dia sudah tahu saya telah mempunyai kitab itu! kata Wiro dan dia tidak sanggup menyembunyikan perubahan wajahnya.
Selagi Pendekar 212 terperangah begitu rupa , tiba-tiba "cup!" Satu kecupan mendarat di bibirnya "Hai!" teriak murid Sinto Gendeng seraya raba bibirnya dengan ujung jari. “Perempuan brengsek! Lagi- lagi saya kecolongan! Gila! Gerakannya menyerupai waktu di pulau kerikil merah dulu hampir tak terlihat. Tahu- tahu ciumannya sudah mendarat!” Sambil menggruk kepala murid Sinto Gendeng menarik nafas panjang berulang kali. “Masih untung dia menciumku dalam ujud seorang gadis cantik. Kalau menyerupai dulu dalam ujud nenek-nenek. puah! Sial sekali nasibku!"
Wiro memandang ke arah lenyapnya si gadis. "Tapi satu hal saya ketahui. Dia tidak menginginkan kitab sakti ini. Dia tidak bermaksud jahat padaku….!".
TUJUH
RUMAH kayu di puncak bukit itu berada dalam keadaan gelap. Si gadis segera menyalakan sebuah lampu minyak hingga bangunan yang tidak seberapa besar itu kini menjadi terang. Di situ hanya terdapat perabotan berupa sebuah dingklik kayu , tempat tidur beralaskan jerami kering dan sebuah meja di atas mana terletak sebuah kendi berikut dua cangkir dari tanah. Karena cuaca di bukit itu selalu diselimuti kesegaran dan tidak berdebu maka kepingan dalam bangunan kayu termasuk semua perabotan yang ada berada dalam keadaan bersih.Si gadis menuangkan air bening dari kendi ke dalam dua cangkir. Dia meneguk habis air dalam cangkir pertama kemudian menyerahkan cangkir satunya pada Raja Obat seraya berkata. “Orang bau tanah , kau tentu sangat letih. Sebaiknya kau segera tidur saja…” Saat itu sekujur tubuh Raja Obat alias Pangeran Soma memang tak karuan rasa saking letihnya. Namun mengingat di situ cuma ada satu tempat tidur , walaupun dia sudah bau tanah renta tetap saja dia merasa bagai seorang lelaki yang harus mendahulukan pihak perempuan. “Tubuhku memang letih , namun keletihan batinku rnelebihi segala-galanya. Aku akan bersemedi dulu di serambi rumah. Kau saja yang tidur…."
Si gadis tersenyum mendengar ucapan Raja Obat. "Orang-orang bau tanah berkata , yang muda jangan sekali-kali berlaku tidak hormat terhadap yang lebih tua. Makara , dengan kata lain kau lebih pantas tidur di atas ranjang jerami itu. Aku bisa mencari tempat lain .Di dingklik pun saya bisa tidur…”
Raja Obat geleng-geleng kepala. "Selama ini ak banyak mendengar wacana kehebatan gadis-gadis pesilat. Tidak sangka han ini saya akan bertemu dengan salah satu di antaranya. Anak gadis , kata saya boleh bertanya siapa namamu. Apakah kau tinggal menyendiri di tempat ini? Lalu makam siapa yang kau tangisi malam tadi?"
“Pertanyaanmu banyak amat , orang tua. Biarlah saya berlaku lancang sedikit dan menanyaimu lebih dulu. Kau bilang mencari makam ibumu.
Melihat usiamu yang sudah lanjut niscaya ibumu telah berpulang belasan tahun lalu. Tidak heran kalau kau sulit mencari makamnya di pekuburan yang tida terpelihara itu. Tapi bagaimana kejadiannya hingga kau sendiri tidak tahu di mana pastinya letak makam lbumu"
"Ah , pertanyaan gadis ini tak mungkin kujawab. Atau apakah sudah saatnya saya berterus terang?” Setelah berpikir sejenak akhimya Raja Obat berkata “Seperti saya katakan waktu di pekuburan tadi saya hanya seorang bau tanah malang …. "
Banyak insan malang di atas dunia ini. Bahkan yang jauh lebih malang dariku ataupun darimu Kau bilang tidak punya istri. Apakah kau seorang pemuka agama atau apa. Sulit bagiku membayangkan cara dan jalan hidupmu. Bahasamu halus tan kau keturunan ningrat atau bangsawan. Sikapmu di perjalanan tadi memperlihatkan kau pernah berada di sekitar daerah ini tapi banyak lupanya. Mengapa kau tidak menerangkan siapa dirimu bahwasanya orang tua?"
"Gadis ini bukan saja bermata tajam tapi juga berotak cerdik ," membatin Raja Obat.
“Apakah saya berterus terang saja menyampaikan siapa diriku. Mungkin dia bisa membantu. Tapi…. Bagaimana mungkin. Usianya saja paling tidak seperlima usiaku. Mana dia tahu segala kejadian puluhan tahun silam …" Orang bau tanah itu sesaat menjadi bimbang.
Si gadis menarik nafas dalam. Rambutnya yang bagus panjang dilepasnya ke pundak hingga wajahnya kelihatan tambah cantik. "Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu , saya tidak memaksa. Biar saya menerangkan siapa adanya diriku sendiri. Aku dilahirkan sekitar sembilan belas tahun kemudian di satu desa di timur Kotagede. Ketika saya ditahirkan kedua orang luaku sudah tiada. Menurut paman mereka menjadi korban keganasan penyakit sampar yang berjangkit pada masa itu. Paman memeliharaku dan memberi saya nama Andini. Aku dibesarkan tanpa saudara , tanpa sahabat bermain , lanpa kasih sayang sama sekali. Sepertimu , pamanku tidak punya istri. Beliau lebih banyak mengabdikan diri sebagai prajurit Kerajaan. Empat tahun kemudian dia tewas ketika menumpas sekelompok pemberontak di kaki Gunung Merapi…."
Andini hentikan penuturannya sejenak. Kedua matanya dipejamkan. Raja Obat melihat betapa bagus jelita dan anggunnya wajah gadis itu. Kemudian dilihatnya pundak Andini bergoyang-goyang tanda dia berusaha menahan diri supaya tidak sesenggukan.
Agaknya tragedi alam kematian pamannya merupakan cobaan yang paling berat baginya. Ketika kedua matanya dibuka kelihatan mata itu berkacakaca. Lalu si gadis meneruskan. "Sewaktu usiaku mencapai enam belas tahun saya berkenalan dengan seorang pemuda. Namanya Handoko Dari perkenalan biasa lama-lama hubungan kami berubah menjadi jalinan cinta. Ketika kami tidak bisa lagi dipisahkan gres saya ketahui bahwa Handoko ialah putra seorang pejabat tinggi pembantu Sultan. Dia putra seorang Tumenggung berjulukan Caroko Sindu Winoto…. “
"Kau beruntung sekali kalau begitu…" kata Raja Obat.
Si gadis menggeleng. Air matanya bercucuran "Jauh dari beruntung. Malah malapetaka yang datang. Sang Tumenggung murka besar ketika mengetahui hubungan putera tunggalnya dengan diriku yang hanya rakyat jelata dan tidak tahu asal usul , tak punya orang bau tanah , tak punya siapasiapa. Dia memerintahkan Handoko tetapkan hubungan. Tapi kami telah terlanjur jauh dalam bercinta. Kekasihku nekad. Walaupun ada ancaman dia akan diusir dan tidak diakui sebagai anak lagi dia nekad. Ayahnya berusaha membujuk akan memintakan satu jabatan tinggi pada Sultan bagi putranya itu. Mungkin jabatan Adipati. Asalkan Handoko tetapkan hubungan dengan diriku , kemudian segera melangsungkan perkawinan dengan seorang gadis turunan ningrat pilihan kedua orang tuanya. Handoko menolak. Dia menentukan yang terburuk. Suatu malam sekitar satu ahad kemudian dia lenyap meninggalkan gedung kediamannya.
Seorang kepercayaannya memberi tahu bahwa dua hari di muka ini dia akan menemuiku di rumah kayu ini. tapi kemarin pagi dia ditemukan telah jadi mayat di hutan Watuireng. Lehernya hampir putus akhir gorokan senjata tajam. Tumenggung Sindo Winoto yang sudah tidak mau tahu terhadap puteranya itu bahkan sampai-sampai tega tidak mau mengurus jenazahnya. Beberapa orang mitra dan keluarga terdekatnya kemudian menguburkannya di sini. Aku dengar ibunya ketika ini sedang sakit keras. Lalu ada kabar lain menyampaikan bahwa mungkin mayit Handoko akan dipindahkan ke makam yang lebih pantas di samping tempat makam istana.."
"Aku sangat sedih mendengar nasib riwayatmu. tapi kau masih muda. Masa depan masih menunggumu…-"
“Masa depanku sudah dibawa Handoko ke da kuburnya…" kata Andini pula dan kini gadis itu tak sanggup menahan sesenggukannya. Dia menangis sambil duduk di dingklik dan membenamkan wajahnya di balik sepasang telapak tangan.
Raja Obat melangkah mendekatinya dan membelai rambut gadis itu.
"Aku tahu kau seorang gadis tabah. Kau harus berpengaruh menghadapi cobaancobaan besar itu Andini."
“Aku akan berusaha tapi mampukah saya menghadapinya seorang diri. Aku merasa diriku seperti dalam bahaya…."
"Kau akan mampu. Pasti bisa ," kata Raja Obat pula sambil terus membelai rambut si gadis. Perlahan-lahan Andini angkat kepalanya. Kedua tangannya digelungkannya ke pinggang Raja Obat orang bau tanah itu dipeluknya erat-erat.
"Jika kau tidak keberatan aku… saya akan menganggap dirimu sebagai pengganti semua orang yang kukasihi itu. Ayahku…. lbuku…. Paman….Handoko."
Terharu oleh dongeng nasib diri gadis bagus itu dan lisan Raja Obat lantas saja meluncur kata kata mengenai dirinya. Seratus tahun hidup tanpa mengenai ayah maupun ibu , apalagi yang din makan kasih sayang dari kedua orang tua. Karena tidak punya saudara , dia tidak mengenai kasih mengasihi antara sesama saudara. Karena hidup dikucilkan dirinya tidak mengenal kebahagiaan hidup berteman. Masa kecilnya hanya merupakan lembaran hitam. Lalu lantaran hidup membujang seumur-umur dia tidak pula mengenal kebahagiaan sebagai seorang suami. seorang ayah. Apa yang dinamakan kekasih dia buta sama sekali. Semua itu kini bercampur aduk menjadi satu , menciptakan dadanya sesak dan tenggorokannya turun naik. Perlahan-lahan sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
"Siapa diriku tidak banyak kuketahui…" kata Raja Obat pada selesai penuturannya. Dia tetap merahasiakan jati dirinya sebagai seorang pangeran. "Orang-orang memanggilku Soma. Aku tidak ingat siapa yang memberi nama itu…."
Andini angkat kepalanya. "Siapapun dirimu bagiku kau ialah orang gagah yang telah menempuh kehidupan sulit dengan segala ke-tabahan. Setelah tahu namamu saya tidak akan memanggilmu lagi dengan sebutan orang bau tanah atau kakek. Bolehkah saya memanggilmu Paman Soma … ?" Raja Obat tersenyum dalam kerawanan wajahnya
"Melihat kepada umur kau pantas menjadi cucu-ku …. "
Si gadis merengut dan menyentakkan tangan Raja Obat. “Aku tidak suka panggilan itu. Biar kau murka saya akan memanggilmu Paman Soma. Dan saya tidak suka melihat lelaki menangis …. " Pangeran Soma semakin lebar tawanya. Tangannya yang membelai kepala turun memegang pundak Andini. Lalu dia berkata. "Kau anak baik….”
"Aku belum menyerupai yang kau katakan itu. Malam ini saya tidak bisa menyediakan masakan apa-apa untukmu. Kau tentu lapar…."
"Aku sudah biasa hidup dengan perut kosong selama berharl-hari … " jawab Raja Obat.
"Nah , apa kataku Bukankah itu memperlihatkan kau seorang hebat?!"
kata si gadis pula seraya melirik ke arah bungkusan milik Raja Obat yang terletak di ujung tempat tidur. Dia berdiri dari dingklik kemudian mengambil bungkusan itu. Si orang bau tanah memperhatikan. Ternyata Andini hanya memindahkan bungkusan dari kaki tempat tidur kayu ke kepingan kepala.
"Paman Soma , kau niscaya letih , perlu istirahat. Nah kini tldurlah. Besok pagi-pagi sekali saya akan membangunkan dirimu dan kita blcara lagi mengenai riwayat kita masing-masing. Jika memang masih ada yang dibicarakan…."
"Bukan saya , tapi kaulah yang harus beristirahat. Seperti tadi kataku , saya akan bersemedi di luar sana …"
Andini tertawa. Tangannya digelungkan ke pinggang Raja Obat kemudian sekali dorong saja maka rebahlah orang bau tanah itu di atas ranjang beralaskan jerami kering.
“Hai. Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Raja Obat Sesaat si gadis masih terus tertawa. Kemudian dia berkata "Aku yang muda harus mengalah pada kau yang lebih bau tanah dan kuhormati Tidur sajalah. Pejamkan matamu. Aku akan memijiti kakimu , punggung dan kepala supaya lekas pulas…."
"Tidak usah… Tidak perlu! Jangan! Andini…."
Bagaimanapun orang bau tanah itu menolak namun si gadis terus saja melaksanakan apa yang dikatakannya. Kedua tangannya dengan cekatan memijat kaki Raja Obat Mula-mula betis kanan , ketika naik ke lutut orang bau tanah ini menggeliat kegelian. Tapi tubuhnya sebelah bawah tidak bisa digerakkan lantaran ketika itu Andini sudah menduduki sepasang kakinya terus memijiti punggungnya.
Seumur hidupnya orang bau tanah itu tidak pernah dipijiti orang. Juga tidak pernah ada tangan wanita yang pernah menyentuh auratnya. Kini diperlakukan menyerupai itu , dalam kegeliannya bagaimanapun juga ada hawa ajaib menjalari sekujur tubuh sang pangeran. Apa lagi yang memijat tubuhnya ialah seorang gadis berwajah begitu bagus , mempunyai kulit dan potongan tubuh bagus. Sampai-sampai Raja Obat berulang kali beristigfar menyebut nama Tuhan dalam hatinya lantaran tengkuknya mendadak merinding dan rasa takut mulai menjalari dirinya.
"Andini , cukup! Aku sudah tidak letih lagi Kau boleh pergi , saya sudah bisa tidur…" berkata Raja Obat.
“Tenang dan membisu sajalah Paman Soma. Kalau kau mau tidur silahkan saja Tidurlah , ngorok yang keras"" jawab si gadis. Tangannya menyelinap ke balik jubah si orang tua.
Lelaki berusia seratus tahun yang terbaring menelungkup itu laksana disengat kalajengking Darahnya mendadak panas dan mengalir lebih cepat. Tubuhnya membara menyerupai dipanggang Degup jantungnya menggelegar
“Andini… Apa yang kau lakukan terhadapku?!" Suara Raja Obat karam dalam desau nafasnya sendiri. Dia segera membalikkan tubuh Sepasang matanya membelalak. Dia tidak tahu kapan gadis itu menanggalkan pakaiannya. Dilihatnya ketika itu tubuh Andini tidak tertutup sehelai benang pun. Orang bau tanah ini cepat tutupkan kedua matanya sementara getaran ajaib yang tak pernah dialaminya sebelumnya semakin menjadi-jadi Ternyata walau matanya terpejam namun Raja Obat seolah melihat sosok Andini lebih jelas. Tak ada jalan lain. Dia harus melepaskan diri secara paksa. Raja Obat bergerak bangkit. Namun di sebelah atas tubuh polos si gadis menekan dan mendorongnya. Di telinganya terdengar satu bisikan disertai hembusan nafas harum , "Paman Soma , jangan takut. Aku tidak akan mencelakai dirimu. Malam ini ialah malam senang kita berdua. Kau ialah kekasihku. Aku ialah kekasihmu…. Tidakkah kau ingin mencicipi nikmatnya bercinta?"
DELAPAN
PADA ketika perhatian dan pikiran seseorang tertuju penuh pada sesuatu , selalu ada kemungkinan dia akan bertindak kurang waspada terhadap hal-hal lain di sekitarnya. Hal ini disadari sekali oleh murid Sinto Gendeng. Setelah meninggalkan pulau kerikil merah di pantai selatan tempo hari. gres ketika itulah dia merasa tepat waktu dan kondusif untuk mengeluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa , guna membaca , mendalami dan mempelajari isinya. Sejak kitab sakti itu berada di tangannya dia mencicipi satu ketenangan dalam dirinya. Namun di balik ketenangan itu perilaku waspada tak pernah dilupakannya. Cepat atau lambat riwayat kitab itu akan diketahui orang-orang di dalam maupun di luar rimba persilatan. Pada ketika itu terjadi maka dirinya akan menjadi orang buruan. Bahaya maut akan mengancam dari mana-mana. Karenanya bahkan terhadap Raja Obat yang telah membantunya memberi tahu dan mendapatkan kitab itu secara halus dia tidak memberi tahu bahwa kelak dia akan pergi ke tempat itu. Satu tempat yang dianggapnya paling kondusif untuk menyelami dan mempelajari keseluruhan isi kitab sakti tersebut. Bagaimanapun dia berhati-hati ternyata dua orang telah muncul secara tidak diduga. Yakni nenek sakti berjuluk lblis Putih Ratu Pesolek dan Makhluk Pembawa Bala.“Aku harus mempelajari isi kitab sakti ini dengan cepat. Kalau perlu besok sebeium mataharl terbit saya harus mencari tempat lain yang lebih kondusif … "kata Wiro dalam hati.
Wiro duduk bersila di lantai gua dengan punggung menghadap ke dinding sebelah dalam Di hadapannya ada sebuah lampu minyak. Nyala api lampu minyak tak bisa membisu akhir hembusan angin malam yang tiba dari lisan gua.
"Jika nyala api berhenti bergoyang , berarti ada sesuatu yang menutupi pintu gua. Sesuatu Itu bisa saja hewan hutan , tapi bisa juga seseorang yang muncul untuk mendapatkan kitab sakti. Aku benar-benar harus berhati-hati…."
Saat itu murid Sinto Gendeng masih mengenakan baju hitam pemberian Ratu Duyung dulu. Dari balik pakaian ini dengan tangan agak bergetar dan degup jantung mengeras dia keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Sesaat kitab itu diletakkannya di atas keningnya seraya hatinya berucap "Tuhan , hanya dengan kehendak dan ridhoMu saya berhasil mendapatkan kitab ini. Karenanya hanya kepadaMu saya meminta proteksi supaya diriku selamat dari segala marabahaya selama kitab sakti ini berada di tanganku. Semoga saya bisa berbakti pada dunia persilatan dalam menegakkan kebenaran dan menghancurkan kejahatan …. "
Perlahan-lahan Wiro turunkan kitab yang terbuat dari daun lontar itu kemudian diletakkannya di atas pangkuannya. Sesaat dia memperhatikan nyala api lampu minyak. Api lampu menyerupai tadi masih bergoyang-goyang oleh tiupan angin.
Wiro mengusap lambat permukaan kulit depan buka di mana tertera goresan pena besar dalam abjad Jawa Kuno berbunyi Kitab Putih Wasiat Dewa Kulit lontar dibukanya , terpampang kini di hadapannya halaman pertama. Melihat apa yang tertulis di halaman pertama itu pikiran Wiro melayang pada kejadian beberapa waktu kemudian ketika dia secara ajaib masuk ke dalam alam mistik masa lampau. Dia seolah berada di satu masa , menjadi kepingan dari waktu lampau dan segala apa yang terjadi. Termasuk melihat Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Secara ajaib dia mempunyai kemampuan mengingat hampir setiap baris rangkaian kalimat pada beberapa halaman kitab. Walau demikian , dengan bunyi perlahan dia merasa perlu mengulang dan membaca lagi apa yang tersurat di halaman pertama ltu."
Bilamana tiba kebenaran maka meraunglah para iblis pembawa kejahatan.
Kejahatan mungkin bisa berjaya
Tapi pada ketika kebenaran dan keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain bisa membendungnya.
Kejahatan aben dan merusak laksana api.
Tetapi api itu sendiri bahwasanya ialah kekuatan dahsyat
Yang diarahkan para Dewa untuk aben mereka.
Bilamana api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berguna.
Wiro membalik halaman kedua. Di sini , di dalam sebuah lingkaran putih tertera gambar kepala seekor harimau putih -Datuk Rao Bamato Hijau.." desis Wiro. Baru saja dia menyebut nama ltu tiba-tiba entah dari arah mana , di kejauhan menggema bunyi auman harimau. Di ketika yang bersamaan dari sepasang mata harimau pada gambar di halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa itu melesat keluar dua larik cahaya hijau menyilaukan Wiro merasa kepalanya seolah tanggal dari persendian dan mencelat lepas. Dua matanya panas dan pemandangannya menjadi gelap walau ketika itu dalam keadaan nyalang.Kejahatan mungkin bisa berjaya
Tapi pada ketika kebenaran dan keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain bisa membendungnya.
Kejahatan aben dan merusak laksana api.
Tetapi api itu sendiri bahwasanya ialah kekuatan dahsyat
Yang diarahkan para Dewa untuk aben mereka.
Bilamana api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berguna.
Celakal Apa yang terjadi dengan diriku. Aku mendadak buta!" ujar Wiro. Sepasang matanya digosok berulang kali. Semakin digosok semakin panas kedua matanya dan semakin menghitam pemandangannya. " Mati aku!" keluh Pendekar 212
Tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi alunan seruling. Lembut dan sangat menawan Selembut terdengarnya bunyi itu , selembut itu pula rasa panas dan pandangan gelap yang dialami Wiro menjadi sirap Ketika keadaannya pulih kembali dan dia sanggup melihat segala sesuatunya menyerupai tadi bahkan kini lebih terang seolah di dalam gua itu bukan cuma ada satu lampu minyak tapi belasan banyaknya!
Tuhan…. Mukjizat atau apakah yang barusan saya alami ini!" ujar Wiro kemudian diusapnya KiItab Putih Wasiat Dewa di pangkuannya. Kembali sepasang matanya berbenturan dengan dua mata hijau gambar harimau putih pada daun lontar halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa. Saat itulah ada bunyi mengiang di telinganya. Semula disangkanya bunyi Raja Obat yang memang mempunyai kesaktian mengirimkan bunyi dari jarak jauh. Namun sehabis didengarnya baik-baik dia segera maklum bunyi mengiang itu ialah bunyi Datuk Rao Basaluang Ameh , orang bau tanah ajaib yang muncul membentuk diri dari kabut atau asap putIh.
"Anak manusIa berjulukan Wiro Sableng. terlahir berjulukan Wiro Saksana , bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ketahuilah waktu berada di pulau kerikil merah dulu. kau telah mendapatkan ilmu kesaktian berjulukan Pukulan Harimau Dewa. Barusan saja kau telah mendapatkan ilmu kedua yang terkandung di dalam Kitab Putih Wasiat Dewa berjulukan Sepasang Pedang Dewa. Bilamana keselamatanmu terancam dalam menghadapi senjata lawan yang tak sanggup kau hancurkan , kau hanya tinggal menyebut nama ilmu itu maka dari matamu akan melesat keluar dua larik sinar hijau laksana sepasang pedang yang luar biasa tajamnya dan menyerupai kilat sambarannya. Namun lantaran ilmu kesaktian ini sangat berbahaya maka penggunaannya sangat terbatas Dalam waktu 360 hari kau hanya boleh mengeluarkannya sebanyak dua kali. Ingat , hanya dua kali!"
Suara yang mengiang lenyap dari pendengar an Pendekar 212 Untuk beberapa lamanya perjaka dari Gunung Gede ini duduk terpana dengan lisan ternganga. Lalu dia ingat , dia harus berbuat dan melaksanakan sesuatu. Cepat Wiro membungkuk seraya berkata. "Datuk Rao Basaluang Ameh saya sangat berterima kasih padamu…." Tak ada jawaban.
Perlahan-lahan Wiro luruskan duduknya kemudian mendongak ke atap gua seraya berkata. "Tuhan , sungguh maha besar berkahMu atas diriku. Aku akan menjaga semua kepandaian yang diberikan padaku..” api lampu minyak terus bergoyang Wiro kembali menatap halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa. Di bawah gambar harimau dan lingkaran pputi tertera goresan pena berbunyi:
Putih lambang kesucian dan kebenaran.
Harimau lambang keberanian dan kejantanan
Barang siapa berjodoh dengan kitab ini
maka kemanapun dia pergi
harimau putih akan menjadi kekuatan ,
menjaga dirinya dari segala musuh
ilmu hitam dan iblis jahat
Wiro terus membalik halaman berikutnya. Di halaman ketiga menyerupai yang pernah dilihatnya dalam alam arus waktu masa lampau di situ termuat apa yang disebut Delapan Sabda Dewa yang secara ajaib satu persatu sanggup diingatnya walau hanya dibaca seolah dalam mimpi.Harimau lambang keberanian dan kejantanan
Barang siapa berjodoh dengan kitab ini
maka kemanapun dia pergi
harimau putih akan menjadi kekuatan ,
menjaga dirinya dari segala musuh
ilmu hitam dan iblis jahat
Delapan Sabda Dewa
Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti dan bisa mempelajari yang tersurat maupun yang tersirat , menguasai yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa yang telah disabdakan.
Delapan Sabda Dewa ialah delapan jalur keselamatan.
Tanah…. Air…. Api…. Udara…. Bulan._ Matahari…. Kayu…. Batu.
Rangkaian goresan pena Delapan Sabda Dewa ini menghabiskan dua halaman sendiri hingga kini Wiro akan hingga ke halaman kelima. Murid Sinto Gendeng lantas ingat. Waktu berada dalam arus waktu masa lampau dia melihat bagaimana Kanjeng Sri Ageng Musalamat tidak bisa menggerakkan tangan untuk membalik halaman kelima. Pada waktu itu muncul Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa dia tidak berjodoh dengan kitab sakti itu. Karenanya dia tidak diperkenankan membuka halaman berikutnya yakni halaman kelima.
"Bagaimana dengan diriku.. ?" pertanyaan itu muncul di hati Pendekar 212 Wiro Sableng. "Apakah saya bisa membalikkan halaman keempat ini dan melihat ke halaman kelima?"
Dadanya berdebar. Jari-jari tangannya bergetar ketika digerakkan untuk membalik halaman keempat. Hampir halaman kelima tersingkap tiba-tiba kembali terdengar bunyi auman harimau yang menggetarkan gua kerikil di lereng Gunung Merbabu itu. Menyusul tiupan saluang. Sesaat Wiro jadi terkesiap. Apakah ini satu menunjukan bahwa diapun tidak akan menerima perkenan melihat halaman kelima?
Pendekar 212 menatap ke depan dan bertanya-tanya dalam hati apakah Datuk Rao Basaluang Ameh dan harimau putihnya akan muncul ketika ini? Namun tak ada kabut atau asap putih muncul di tempat itu. Wiro teruskan membalik halaman keempat. Halaman lima Kitab Putih Wasiat Dewa kini terpampang di depan mata Pendekar 212 Ternyata di situ hanya ada serangkaian kalimat berbunyi:
Musuh umat insan hanya ada dua. Pertama yang tiba dari luar. Kedua yang tiba dari dalam dirinya sendiri. Kalau Delapan Sabda Dewa dipelajari , dimengerti dan diamalkan Niscaya insan akan terlindung dari segala mara bahaya. Mana ada jalan selamat kalau bukan JalanNya Tuhan?
Wiro mengulangi membaca tiga baris kalimat itu hingga beberapa kali. Dalam hati kembali dia melafal satu persatu Delapan Sabda Dewa yang ada di halaman sebelumnya. Kemudian kembali dia tundukkan kepala memperhatikan kitab yang ada di pangkuannya. Menurut apa yang dilihatnya kitab itu hanya mempunyai dua halaman yang belum dibuka "Hanya tinggal dua halaman…"desis Wiro Apakah semua inti ilmu kesaktian terpendam pada dua halaman terakhir kitab ini?"" Pikir murid Sinto Gendeng selanjutnya. Tiba-tiba terdengar bunyi Datuk Rao Basaluang Ameh di telinganya
“Anak muda jangan ragu Kitab yang ada padamu hanyalah alat pembimbing menuju satu kesaktian. Kesaktian itu sendiri ialah satu kekuatan mistik yang tidak satu manusiapun sanggup menjelaskan lantaran semua tiba dari Yang Maha Kuasa. Antara kitab itu sebagai benda nyala dan kesaktian sebagai yang mistik ada satu sambung rasa yang hanya kau yang akan menguasainya lantaran kaulah yang berjodoh dengan kitab itu…."
Keraguan yang tadi memang sempat menyeruak di dalam hati Pendekar 212 serta merta sirna. "Terima kasih Datuk Rao Basaluang Ameh ," kata sang jagoan kemudian dengan terang dibalikkannya halaman kelima.
Pada halaman keenam yang kini terpampang di depan matanya Wiro melihat enam lukisan orang lengah melaksanakan gerakan silat Masingmasing lukisan diberi nomor mulai dari 1 hingga 6. Bagian halaman yang tersisa penuh dengan tulisan-tulisan kecil hingga untuk membacanya Wiro harus mengangsurkan kitab itu lebih bersahabat ke lampu minyak yang ada di hadapannya. Dia kemudian mulai membaca goresan pena demi tulisan:
Menyerang ialah awal kekuatan sedang bertahan ialah selesai kekuatan Ilmu silat.
Dalam menghadapi musuh jahat , lebih dahulu bertindak ialah tindakan tepat dari pada bertahan menunggu datangnya tragedi Musuh pertama insan ialah yang tiba dari luar.
Bilamana mereka tiba maka mereka akan menyerang dari enam arah , yaitu: atas (1) depan (2) , belakang (3) , samping kiri (4) , samping kanan (5) dan dari sebelah bawah (6).
Sampai di sini Wiro memperhatikan dengan seksama keenam lukisan dan masing-masing arah serangan yang disebutkan Enam lukisan ini menggambarkan enam gerakan serangan berdasarkan enam arah yang disebut….Serangan dengan telapak tangan kanan terkembang , tidak mengepal Tulisan selanjutnya mungkin… hem…. Mungkin ini nama-nama jurusnya…." Wiro memperhatikan kelanjutan rangkaian goresan pena yang telah dibacanya.
Enam inti Kekuatan Dewa
1.Tangan Dewa Menghantam Matahari
2.Tangan Dewa Menghantam Batu Karang
3.Tangan Dewa Menghantam Rembulan
4.Tangan Dewa Menghantam Air Bah
5.Tangan Dewa Menghantam Api
6.Tangan Dewa Menghantam Tanah
"Hemmm…" Wiro jadi bergumam sendiri. "Benar , ini enam jurus serangan. Namanya diubahsuaikan dengan enam dari delapan unsur Sabda Dewa. Penampilan lukisan-lukisannya sederhana sekali tapi seumur hidup gres kali ini saya melihat jurus-jurus begini aneh. Kudakuda sepasang kaki lain dari yang lain. Juga gerakan tangan terlihat janggal. Lalu mengapa setiap tangan kanan pada lukisan kelihatan lebih besar…? Tidak mungkin pelukis kitab ini melaksanakan kesalahan. Pasti ada artinya…."
Wiro coba memecahkan arti telapak tangan kanan yang lebih besar dari tangan kiri ttu Tapi tidak bisa mengartikannya. Akhirnya untuk beberapa usang dia hanya duduk sambil memandangi telapak tangan kanannya yang sebentar-sebentar dikembangkan , kemudian dikepal Dikembangkan lagi , dikepal lagi. Demikian berulang-ulang.
"Mungkin saya harus minta petunjuk dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Tapi bagaimana cara memanggil orang sakti dari alam mistik itu? Lagi pula sebaiknya blar saya pecahkan sendiri. Kalau semua minta petunjuk bisa-bisa saya dikatakan tak punya otak untuk berpikir…."
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala dengan tangan kiri. Matanya masih memandangi telapak tangan kanannya yang terkembang Sekonyong-konyong dia ingat. Telapak tangan yang terkembang itu ditiupnya satu kali. Serta merta muncullah gambar kepala harimau putih bermata hijau inilah gambar kepala Datuk Rao Bamato Hijau , hewan sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah dikatakan sebagai sahabat yang akan melindungi Wiro.
"Aku mengerti sekarang… ," membatin murid Sinto Gendeng. Dia mulai sanggup memecahkan teka teki dalam lukisan. "Telapak tangan kanan yang terkembang dan lebih lebar melambangkan pukulan yang dilancarkan tidak dengan cara mengepal tapi seolah mendorongkan telapak tangan! Lalu sebelum telapak tangan itu digunakan untuk menyerang tentunya sudah ditiup lebih dulu , diisi dengan kesaktian berlambang kepala harimau putih!"
Wiro menarik nafas lega. Agaknya kehebatan Kitab Putih Wasiat Dewa ini bersumber pada enam jurus serangan yang disebut Enam Inti Kekuatan Dewa itu. Namun apa yang ada di dalam kitab itu tidak akan ada artinya jikalau dirinya tidak lebih dulu mendapatkan kekuatan dari dua Datuk berupa pukulan sakti yang sanggup dilancarkan tanpa pengerahan tenaga dalam sama sekali! Berarti ada kanan antara benda mati yakni sang kitab yang kini dimilikinya dengan dirinya sendiri selaku pemilik kitab. Ada kaitan antara yang nyala yaitu petunjuk dalam kitab dengan yang mistik yakni kekuatan sakti yang kini tersImpan dalam tubuhnya.
"Cerdik sekali orang yang menciptakan kitab ini. Seseorang tidak akan menguasai ilmu yang ada dalam kitab tanpa mempunyai lebih dulu kesaktiannya. Kesaktian tidak ada artinya jikalau tidak mengikuti setiap petunjuk di dalam kitab…"
Pada ketika itu entah bagaimana Wiro lantas ingat akan Kitab Wasiat Iblis yang kini berada di tangan Pangeran Matahari musuh besarnya. Mau tidak mau dia jadi ingin tahu dan ingin membuktikan mana yang paling hebat di antara dua kekuatan sakti yang mereka miliki.
"Cepat atau lambat saatnya akan datang. Tapi kapan…. Di mana…?" Wiro bertanya sendiri dalam hati.
Perlahan-lahan Wiro membalik halaman keenam hingga kini dia hingga pada halaman terakhir dari Kitab Putih Wasiat Dewa yakni halaman ketujuh. Pada halaman ini tertera tulisan:
Musuh insan yang kedua ialah yang tiba dari dalam , yaitu dirinya sendiri.
Musuh ini lebih ganas dan lebih berbahaya dari musuh yang tiba dari luar.
Dia bisa muncul dalam banyak sekali bentuk. Namun semuanya berpangkal pada lupa diri.
Hanya insan yang bertakwa dan kokoh keyakinan yang sanggup lolos dari malapetaka ini.
Renungkan Delapan Sabda Dewa.
Minta tolong dan minta ampun hanya pada Yang Satu.
“Kitab luar biasa…" kata Pendekar 212 sambil mengusap daun lontar halaman terakhir Kitab Putih Wasiat Dewa berulang kali. Tiba-tiba nyala api lampu minyak di hadapannya tidak bergoyang lagi.Musuh ini lebih ganas dan lebih berbahaya dari musuh yang tiba dari luar.
Dia bisa muncul dalam banyak sekali bentuk. Namun semuanya berpangkal pada lupa diri.
Hanya insan yang bertakwa dan kokoh keyakinan yang sanggup lolos dari malapetaka ini.
Renungkan Delapan Sabda Dewa.
Minta tolong dan minta ampun hanya pada Yang Satu.
"Ada yang datang. Sosok tubuhnya menutup lisan gua , menghalangi tiupan angin!"
Pendekar 212 cepat tutup Kitab Putih Wasiat Dewa dan masukkan ke balik baju hitamnya. Dia bangun berdiri dan menyelinap ke balik legukan gua di dinding kiri. Matanya membelalak sewaktu yang dilihatnya muncul di lisan gua ialah kepulan asap putih yang serta merta membentuk sosok Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau.
“Aneh , keduanya muncul tanpa didahului auman dan tiupan seruling ," kata Wiro dalam hati tapi dia cepat-cepat keluar dari balik legukan dinding gua dan membungkuk menghormati kedatangan kedua makhluk dari alam mistik itu.
"Datuk…."
Datuk Rao Basaluang Ameh angkat tongkatnya memberi aba-aba supaya Wiro tidak meneruskan ucapannya.
"Kami tiba hanya sesaat. Lekas tinggalkan gua ini. Di satu bukit yang terletak di sebelah tImur Kutogede ada sebuah rumah kayu. Raja Obat alias Pangeran Soma berada di situ Dia berada dalam cengkeraman ancaman besar Kalau kau tidak lekas tiba ke sana menolongnya , saya kawatir nyawanya tidak akan terselamatkan ….”
Wiro masih terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan itu sementara Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau sudah lenyap dari hadapannya , tanpa auman , tanpa tiupan saluang.
SEMBILAN
BERKAT ilmu "menembus pandang" yang didapatnya dari Ratu Duyung , begitu berada di kaki bukit sebelah timur Kutogede dia segera bisa menjajagi di mana letaknya rumah kayu itu. Tubuhnya bergetar ketika kurang jelas di dalam rumah kayu dia melihat sosok Raja Obat tergeletak nyaris tanpa pakaian dalam keadaan sekarat. "Apa yang terjadi dengan orang bau tanah itu!" pikir Wiro. Laksana terbang dia lari menuju ke atas bukit. Begitu hingga di depan rumah kayu Pendekar 212 melabrak pintu dan melompat masuk. Sepasang kakinya laksana dipantek di lantai rumah. Dua matanya membeliak. Raja Obat tergeletak di atas ranjang beralas jerami kering tanpa pakaian. Jubah putih yang biasa dikenakannya berkerimuk di kepingan bawah perut. lembap oleh darah. Erangan kematian keluar dari mulutnya. Dadanya turun naik dan nafasnya hanya tinggal satu-satu."Raja Obatl teriak Wiro seraya melompat mendekati ranjang. "Aku Wiro! Apa yang terjadi?!
Sepasang mata Raja Obat yang terkatup hanya bergerak sedikit. Pendekar 212 segera tempelkan dua telapak tangannya ke dada orang bau tanah itu kemudian alirkan tenaga dalam. "Raja Obatl Jangan mati sebelum kau menyampaikan apa yang terjadi!" kata Pendekar 212 pula seraya berlutut di samping tempat tidur dan mendekatkan mukanya ke wajah si orang tua. Suara erangan Raja Obat terhenti sesaat. Wiro memandang pada jubah yang menutupi kepingan bawah perut orang bau tanah itu. Diulurkannya tangannya. Kerimukan jubah diangkat.
"Jahanam!" teriak Pendekar 212.
Aurat Raja Obat di kepingan bawah perut hancur mengerikan Darah masih mengalir. Wiro tutup kepingan itu kembali dengan jubah berdarah. Dia memandang berkeliling. Ketika dilihatnya sebuah bungkusan yang diketahuinya ialah milik orang bau tanah itu segera diambilnya. Dia tahu betul. Sewaktu meninggalkan pulau merah , Raja Obat telah membekali dirinya dengan beberapa keping kerikil merah yang menurutnya jikalau diharapkan sanggup dipergunakan sebagai obat. Wiro ambil satu kepIng kerikil merah kemudian meletakkannya ke dalam tangan Raja Obat.
"Raja Obat , Pangeran Soma…. Kau bisa mendengar suaraku? Aku Wiro…."
Sepasang mata si orang bau tanah bergerak kembali. Dia menyerupai berusaha membukanya tapi tidak mampu. "Raja Obat…."
Wiro…." Suaranya hampir tidak terdengar kalau Wiro tidak mendekatkan telinganya ke lisan si orang tua. "Aku… saya telah melaksanakan dosa besar. Terhadap diriku… juga terhadap dirimu…."
"Dosa besar…. Dosa besar apa?!" tanya Wiro
"Gadis itu…. Andini! Dosa besar… Aku tertipu. Di… dia mengajakku bercinta. Imanku runtuh…. Aku tak bisa menolak. Ternyata dia hanya menipu. Dia hanya mencari keterangan wacana dirimu dan Kitab Putih Wasiat Dewa…."
"Andini…? Puti Andini…?" desis Wiro. Matanya membelalak memandangi wajah belang si orang tua. Raja Obat…. Nyawamu harus diselamatkan dulu…. Aku meletakkan sekeping kerikil merah dalam tangan kananmu. Kau merasakan…”
"Aku merasakan…. Aku tahu maksudmu. Tak ada gunanya Wiro Nyawaku mustahil ditolong. ,.."
"Kau harus mencoba hancurkan kerikil itu. Nanti saya akan menaburkan di lukamu…"
"Keadaanku sudah sangat parah. Malaikat maut sudah di depan mata. Aku mohon maafmu Wiro. Di luar sadar saya telah menceritakan pada gadis itu bahwa Kitab Putih Wasiat Dewa ada di tanganmu. Hati-hatilah….Dia niscaya akan mencari dan membunuhmu untuk mendapatkan kitab sakti itu…."
"Tapi…." Wiro terdiam. Ada kebimbangan dalam hatinya. "Raja Obat , kau bisa menyampaikan ciri-ciri gadis itu yang katamu berjulukan Andini itu?”
"Putih…. Cantik…. Berambut panjang. Mengenakan baju merah…."
"Apakah…. Apa dia membawa…."
"Dia kekasih seorang perjaka berjulukan Handoko , putera seorang Tumenggung berjulukan Caroko Sindu Winoto…. Tapi kurasa dia berdusta…." Dengan susah payah Raja Obat menuturkan riwayat si gadis.
"Raja Obat , saya bersumpah akan mencari gadis itu. Tapi ketika ini kau harus kuselamatkan dulu. Remas kerikil merah itu. Atau tunjukkan padaku bagaimana cara saya menolongmu … ?"
Wajah belang Raja Obat alias Pangeran Soma tersenyum aneh. "Aku sudah terlalu usang hidup di dunia ini Wiro. Nasibku buruk. Di saat-saat selesai menjelang kematianku justru saya telah berbuat dosa besar. Aku pantas mendapatkan kematian dengan cara begini…."
"Tidak!" teriak Pendekar 212 Lalu dia tempelk kedua telapak tangannya kembali ke atas dada orang tua. Tapi sebelum dia mengalirkan tenaga dalam untuk kali yang kedua Raja Obat telah menghembuskan nafas terakhir.
Murid Sinto Gendeng memukul dinding rumah hingga hancur kemudian terhenyak duduk di lantai .
"Andini … Dewi Payung Tujuh … ! Gadis itu yang memunuh Raja Obat?!" Wiro kepalkan kedua tangannya. "Dia memang membekal kiprah dari gurunya untuk mencariku dalam menjejaki Kitab Putih Wasiat Dewa.
Aku juga tahu bahwa dia akan membunuhku jikalau saya menolak menyerahkan kitab sak itu Tapi kalau dia tega membunuh orang bau tanah ini.. Kalau memang dia yang melaksanakan saya tak kolam mengingat segala hutang budi dan nyawa terhadapnya. Bagus! Bagus Andini! Kini kau memberi alasan untuk membunuhmu!"
####
KUDA tunggangan dua prajurit Kerajaan itu meringkik keras begitu memasuki hutan jati Seperti melihat setan binatang-binatang itu mengangkat sepasang kaki depan masing-masing tinggi-tinggi ke atas mencampakkan penunggang mereka hingga jatuh terbanting di tanah kemudian menghambur lari. Sambil merintih kesakitan dua prajurit itu mencoba bangun berdiri. Salah seorang dari mereka menyumpah.“Binatang jahanam! Setan apa yang merasuki mereka hingga kita dilemparkan begini rupa!"
"Jangan memaki bermulut kotor! ini bukan tempat sembarangan Kalau mau copot lidahmu ditarik setan rimba belantara!" teriak prajurit satunya sambil memijati pinggulnya yang memar.
"Dasar orang udik! Percaya tahayul!" damprat temannya seraya mencoba berdiri Pada ketika inilah dia tidak sengaja memandang ke ganjal dan berteriak keras. "Lihat! Ada orang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah!
Temannya yang selang kesakitan mendongak ke arah yang ditunjuk dan ikut-ikulan kaget. "Apa kataku! Itu akhir mulutmu bicara kotor seenaknya! Yang tergantung di pohon itu niscaya setan jejadian!"
"Aku tidak buta! Buka matamu lebar-lebar! Itu sosok perempuan!
Apa kau tidak bisa melihat tubuhnya yang tersingkap telanjang lantaran pakaiannya jatuh terjulai ke bawah?!"
"Terserah kau mau bilang apa! Bagiku itu tetap setan rimba belantara yang hendak mengganggu kita!" Habis berkata begitu prajurit satu ini dengan terpincang-pincang segera melarikan diri. Temannya sesaat menjadi bingung. Ketika dia hendak kabur pada satu tangan memegang bahunya hingga dia menjerit kaget setengah mati.
" Apa yang terjadi di tempat ini?!" Ada bunyi orang bertanya.
Ketika dia membalikkan tubuh prajurit itu melihat seorang perjaka berambut gondrong berpakaian hitam tegak di hadapannya. "Kau…. kau bukan setan … ?!"
"Prajurit sialan! Orang bertanya malah disangka setan! Kalau saya setan sudah dari tadi-tadi kupencet bijimu!" hardik si perjaka yang bukan lain ialah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
"Ka… kalau begitu !! … lihat di atas sana…" Prajurit itu menunjuk ke atas , arah sebelah belakang Wiro.
Pendekar 212 cepat berpaling. Wajahnya berubah , sepasang matanya mendelik! Pada cabang sebatang pohon yang cukup tinggi , tergantung sesosok tubuh wanita kaki ke atas kepala ke bawah. Pakaiannya yang berwarna biru terjulai menutupi kepalanya hingga wajahnya tidak kelihatan. Tetapi mulai dari ujung kaki hingga ke lekukan dada tubuh yang mulus elok ltu nyaris telanjang , hanya tertutup potongan-potongan pakaian dalam.
“Baju tipis warna biru…." Wiro coba menghirup udara di tempat itu dalam-dalam "Dari sini saya mencium busuk tubuhnya. Jangan-jangan…."Wiro berpaling pada prajurit yang masih ketakutan di depannya kemudian berkata. "Kau tetap di sini. Aku akan naik ke atas pohon , coba menurunkan wanita yang tergantung ltu. Waktu saya menurunkan bantu saya menanggapi. Pegang bahunya…."
Tanpa menunggu jawaban orang Pendekar 212 cepat memanjat pohon besar dan naik ke kepingan cabang di mana sosok tubuh wanita itu tergantung.
“Kraaakkk!"
Wiro hantam cabang pohon pada kepingan yang terikat tali. Cabang patah dan talinya putus. Dengan cepat Wiro menyambar ujung tali kemudian perlahan-lahan menurunkan sosok tubuh yang tergantung.
DI sebelah bawah prajurit yang dimintal bantuannya cepat memegang pundak wanita yang diturunkan. Sesaat dia menahan nafas melihat tubuh setengah telanjang ltu. Lalu perlahan-lahan tubuh itu dibaringkannya di tanah. Dia mendongak kaget ke atas dan tidak percaya ketika melihat perjaka yang tadi naik ke pohon kini turunnya tidak meluncur melalui batang tapi pribadi melompat , jungkir balik di udara dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di depannya.
Wiro cepat menilik wanita yang terbujur di tanah. Ketika pakaian biru yang menutupi kepalanya disingkapkan dan ditutupkan ke tubuhnya , Wiro merasa menyerupai dihenyakkan oleh rasa terkejut. "Ya Tuhan! Bidadari Angin Timur! Memang dia rupanya!" Wiro tekap wajah gadis itu dengan kedua tangannya. Dadanya sesak dan dia menyerupai hendak menangis. Sekian usang dia mencari dan merindukan , begitu bertemu ternyata gadis yang rahasia dicintainya ini telah jadi mayat. Tidak! Kau dihentikan mati! Tuhan , jangan cabut nyawanya … !"
SEPULUH
WAJAH itu ternyata ialah wajah bagus seorang gadis. Rambutnya coklat pirang , panjang sebahu. Anehnya di mulutnya ada secarik robekan kain berwarna merah. Wiro berteriak memerintah prajurit yang tegak termenung supaya segera melepaskan lkatan tali pada sepasang kaki si gadis. Lalu dia sendiri meraba denyutan urat besar di pergetangan tangan kiri. Merasa kurang yakin dia letakkan telinganya di atas dada Bidadari Angin Timur."Masih ada bunyi detakan jantung. Nadinya Juga Masih berdenyut! Dia masih hidup! Terima kasih Tuhan !" Pendekar 212 cepat salurkan tenaga dalamnya ke tubuh gadis itu melalui lengah dan dada. Dengan hati-hati dia menarik cabikan kain merah dari lisan si gadis. Wiro tidak menunggu lama. Mula-mula dia melihat kaki kanan gadis itu bergerak. Lalu dan sela bibirnya keluar bunyi erangan halus. Wiro usap wajah gadis itu berulang kali , mendekatkan wajahnya seraya berbisik "Bangun…. Bangun…. Jangan buat saya jadi ketakutan kehilanganmu!"
Sepasang mata Bidadari Angin TImur terbuka Mula-mula mata itu menatap lurus-lurus ke langit biru di atasnya. Wiro membelai kening dan rambut pirang si gadis kemudian berbisik. "Bidadari Angin Timur…. Lihat ke sini. Tidakkah kau mengenali diriku?"
Dua bola mata yang tadi redup itu kini kelihatan bercahaya bagus , berputar memandang ke arah wajah yang ada di sampingnya. Sesaat mata itu menyipit sedikit kemudian membuka lebar-lebar. Satu seruan keluar dari bibirnya yang merah ,
"Wiro?!"
"Ini memang saya , Bidadari Angin Timur! Apa yang terjadi dengan dirimu!"
Si gadis tersenyum. Dua lesung pipit muncul di pipinya. Sepasang tangannya tiba-tiba merangkul ke atas memeluk Pendekar 212 erat-erat ke dadanya. Mereka sama-sama sanggup mencicipi delak jantung masing masing Pendekar 212 merasa seribu bahagia.
,.Aku… saya tidak tahu harus menyampaikan apa. Pasti kau yang telah menolong diriku…" bisik Bidadari Angin Timur seraya membelai rambut gondrong Pendekar 212
Wiro hendak menjawab tapi dia mendadak ingat pada prajurit yang masih berada di tempat itu. "Kau boleh pergi. Aku berterima kasih kau telah memperlihatkan pertolongan…."
Si prajurit masih tertegak galau menyaksikan apa yang terjadi. Lalu dia angguk-angukkan kepala dan sesaat kemudian tinggalkan tempat itu Sambil melangkah pergi sesekali dia menoleh ke belakang Seperti meratapi diri dia mengomeli temannya yang tadi lari duluan. Kalau kawanku itu tidak lari dan saya sempat menolong si gadis , niscaya saya yang akan dipeluk dan diciumi gadis itu! Ah , nasibku masih jelek!"
Wiro mendukung Bidadari Angin Timur ke bawah pohon yang rindang. Kalau kau sudah merasa tenangan , maukah kau menceritakan apa yang terjadi?"
Sesaat wajah si gadis tampak kemerahan. Mungkin dia sadar apa yang tadi dilakukannya. Memeluk dan menciumi perjaka itu terdorong rasa terima kasih dikarenakan telah diselamatkan.
"Kalau kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa ," ujar Wiro. "Tapi kalau ada orang yang hendak membunuhmu dengan cara keji menyerupai tadi ini bukan urusan main-main. Jika dia tahu kau masih hidup , cepat atau lambat dia niscaya akan mengulangi kembali…"
Bidadari Angin Timur terdiam.
"Apa kau punya musuh besar? Ada yang mendendam terhadapmu? Si gadis masih membisu Namun sesaat kemudian dia berusaha mulai.
“Terus terang saya merasa malu…. "
"Hemm… Mengingat hubungan kita di masa lalu. apa lagi yang harus kau malukan? Ingat insiden di telaga tempo hari? Aku tidak pemah bisa melupakan saat-saat penuh senang itu." (Baca Episode ll "Wasiat Dewa").
Wajah Bidadari Angin Timur bersemu merah. Wiro tertawa lebar dan berkata. "Aku tahu kau akan menceritakannya padaku. Aku harus tahu siapa yang melaksanakan perbuatan kurang latih dan keji ini padamu!"
“Semua ini terjadi lantaran salahku sendiri!”
"Salahmu sendiri?" ulang Wiro. "Aku jadi tidak mengerti!" Lalu perjaka ini garuk-garuk kepalanya.
"Semua terjadi lantaran hasratku yang selalu ingin berada bersahabat denganmu…."
Murid Sinto Gendeng jadi ternganga mendengar ucapan jujur si gadis.
"Kalau begitu apa yang terasa di hatiku juga terasa di hatinya. Ah….Gayung bersambut kata berjawab. Aku tidak bertepuk sebelah tangan!" Wiro pandangi wajah jelita itu sejenak.
"Aku tidak menyangka. Kalau begitu perjaka buruk ini rupanya yang jadi pangkal bahala!" kata Wiro pula seraya tepuk keningnya sendiri Bidadari Angin Timur tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan menambah kecantikannya. Membuat Pendekar 212 ingin mendekap wajah itu dalam kedua tangannya kemudian menciumnya hablshabisan.
"Aku tidak menyampaikan demikian Wiro. Maksudku… Kita sudah berafiliasi semenjak lama. Namun bertemu sekali-sekali. Itupun tanpa rencana , tidak terduga. Seperti yang kau akui tadi , semenjak pertemuan kita di telaga tempo hari aku…. Aku tidak bisa melupakanmu .. Tapi saya merasa kawatir , Karena saya tahu banyak gadis yang jauh lebih bagus dari pada diriku menyukai dirimu." Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur tundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang kemerahan.
“Bidadari Angin Timur , mendengar ucapanmu barusan apakah saya bisa menyampaikan bahwa kau menyayangi diriku?" Murid Sinto Gendeng pribadi bicara blak-blakan hingga kembali wajah si gadis bersemu merah.
“Ada ujar-ujar menyampaikan begini ," kata Bidadari Angin Timur pula.
Seorang gadis jikalau dia menyampaikan tidak berarti mungkin. Jika dia bilang mungkin bisa berarti ya. Kalau dia menyampaikan ya maka dia bukan seorang gadis lagi!"
Wiro tertawa gelak-gelak. "Sekarang saya ingin tahu. Kau ini termasuk gadis yang tidak , yang mungkin atau si iya tadi?!"
Satu cubitan keras pada lengannya menciptakan Wiro Sableng terpekik kesakitan.
"Bidadari Angin Timur sebelum kita terus bicara soal hubungan kita dan tertawa ha-ha hi-hi di rimba belantara ini , saya ingin kau menuturkan lebih dulu apa yang terjadi dengan dirimu…."
"Baik , memang kupikir saya harus memberi tahu padamu ," jawab Bidadari Angin Timur pula. "Setelah kita berpisah di telaga , saya berusaha menyirap kabar wacana dirimu Entah mengapa saya selalu mengawatirkan keselamatanmu ini mungkin lantaran kau pernah berkata bahwa ada kiprah penting yang harus kau laksanakan. Dalam dunia persilatan tersiar kabar wacana sebuah kitab sakti berjulukan Kitab Wasiat Iblis. Aku menerka mungkin kau ikut-ikutan mencari kitab itu supaya sanggup menjadi tokoh nomor satu dalam dunia persilatan. Aku mencarimu hingga di pantai selatan. Ada yang melihatmu naik bahtera menuju ke tengah laut. Aku semakin kawatir Pantai selatan akhir-akhir ini tidak aman. Ada momok jahat di sana , dipanggil dengan julukan Makhluk Pembawa Bala. Dia akan membunuh siapa saja yang lewat di tempat itu…."
"Aku memang telah bertemu dengan dia. Makhluk keparat itu telah coba membunuhku beberapa kali!” Terkejutlah Bidadari Angin Timur mendengar ucapan Wiro itu.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Sewaktu berada di atas bahtera , dia berusaha membunuhku secara membokong. Aku disepitkannya ke lantai bahtera yang mulai bocor. Aku tak bisa berteriak , tak bisa bergerak. Padahal ketika itu saya memang melihat kau berada di atas bahtera , tak berapa jauh dari perahuku. Sayang kau tidak melihat…."
Si gadis hingga menarik nafas panjang saking tercekat mendengar keterangan Wiro.
"Belum usang ini dia muncul kembali hendak membunuhku! Untung saya masih bisa selamat!"
“Kalau dia berniat membunuhmu , niscaya ada dendamnya terhadapmu Atau mungkin ada sesuatu yang diinginkannya darimu…"
Murid Sinto Gendeng berpikir sejenak. “Apakah akan kukatakan terus terang padanya…?”
"Eh kenapa kau terdiam?" bertanya Bidadari Angin Timur.
“Makhluk Pembawa Bala memang menginginkan sesuatu dariku.” kata Wiro akhirnya
“Apa? Senjata saktimu…? Bukankah Kapak Maut Naga Geni 212 dan pasangannya kerikil hitam sakti milikmu telah dicuri orang?!"
"Eh , bagaimana kau bisa tahu hal itu?" tanya Wiro terkejut Lalu menatap tajam ke mata si gadis.
SEBELAS
BIDADARI Angin TImur memandang ke langit. "Jika senjata hebat menyerupai senjata mustika milikmu lenyap dicuri orang apa kau kira dunia persilatan tidak punya indera pendengaran menylrap dan memperbincangkannya?!"Wiro menarik nafas dalam. "Ya. kapak dan kerikil sakti itu dicuri oleh dua insan keparat yaitu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan…."
"Manusia-manusia jahanam itu! Aku akan membunuhnyal Mereka hampir mencelakai diriku!”
“Astaga! Aku gres ingat kejadian di sumur bau tanah di luar Kartosuro! Setelah dua senjataku mereka curi , rupanya mereka juga hendak mencelakai dirimu. Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa lolos dari tangan manusia-manusia jahanam itu?”
“Aku berpura-pura pingsan. Waktu mereka lengah kuhantam keduanya kemudian melarikan diri..” jawab si gadis.
"Semakin besar dendam kesumatku pada dua insan setan itu. Kau tahu kepada siapa senjata-senjata saktiku mereka berikan?"
"Tak bisa kuduga…" kata Bidadari Angin Timur pula."
“Mereka menyerahkan kapak dan kerikil sakti itu pada Pangeran Matahari di puncak Gunung Merapi!"
"Astaga! Gila!" seru Bidadari Angin Timur dengan mata terbelalak.
"Jangan-jangan mereka ialah kaki tangan suruhan Pangeran Laknat itu!"
"Bukan hanya jangan-jangan. Ada bukti yang engatakan mereka memang kaki tangan suruhan Pangeran Matahari! Antara kita dan mereka sudah ada kaitan silang sengketa dendam kesumat. Berarti kita berdua harus mencari dan membereskan mereka!”
"Aku ingin mengelupas kulit mereka hidup–hidup!” kata Bidadari Angin Timur dengan nada geram.
"Kita akan menemukan mereka. Pasti! Dunia ini terlalu sempit untuk bedebah cecunguk menyerupai mereka!” Lalu Wiro bertanya. "Setelah kau tidak menemukan diriku di maritim selatan , apa yang kau lakukan? Aku terpaksa kembali ke pantai walau dengan selangit perasaan kawatir. Selain Makhluk Pembawa Bala , pantai selatan juga berada di bawah kekuasaan Ratu Duyung…."
"Justru orang-orang Ratu Duyung yang menyelamatkan diriku dari tangan maut Makhluk Pembawa Bala…."
“Wajah Bidadari Angin Timur memperlihatkan keterkejutan "Kau.. orangorang Ratu Duyung menyelamatkan dirimu?" Ketika Wiro mengangguk si gadis bertanya lagi. "Mereka membawamu ke tempat kediaman Ratu Duyung? Kau bertemu dengan sang Ratu?"
Wiro mengangguk lagi.
"Berarti… , Apakah Ratu Duyung memintamu melaksanakan sesuatu untuk memusnahkan kutukan atas dirinya dan anak buahnya?
"Jadi kau tahu juga dongeng yang satu itu…" ujar Wiro. Dia hendak tersenyum namun urung sewaktu dilihatnya paras gadis di sebelahnya berubah.
“Kau telah melaksanakan hubungan….”
"Sampai ketika ini saya masih…."
"Sulit kupercaya. Jika Ratu Duyung menginginkan seseorang untuk melaksanakan hal itu , orang itu tidak gampang menampiknya."
"Tapi saya berhasil menolak permintaannya ……
"Dan kau dibiarkannya pergi hidup-hidup begitu saja?”
"Kalau saya dibunuhnya apa kau kira saya bisa berada bersamamu ketika ini?" ujar Wiro pula.
"Ah , saya tak tahu bagaimana harus mengatakannya…."
"Jika ada hal yang tidak kau senangi katakan saja , biar ada kejelasan.”
"Kalau kelak saya punya suami saya ingin dia hanya milikku seorang semenjak nikah hingga mati. Aku akan memperlihatkan sesuatu yang suci padanya dan saya harapkan dia juga masih suci…"
Wiro terdiam mendengar kata-kata Bidadari Angin Timur itu Si gadis memandang lekat-lekat padanya seolah menyelidik. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala kemudian tersenyum. Sambil membelai rambut pirang si gadis dia berkata. "Kau akan mendapatkan apa yang kau harapkan itu."
"Darimu?"
"Dariku!" jawab Wiro. "Kau percaya?
Bidadari Angin Timur tersenyum manis dan angkat bahunya Kalau begitu lanjutkan ceritamu yang tadi terpotong
"Lama saya menyirap kabar mencari tahu di mana kau berada namun tak banyak yang kudapat. Hal itu menciptakan saya berpikir mungkin sekali kau masih berada di tempat maritim selatan. Kemungkinan telah dijadikan sandera oleh Ratu Duyung…."
"Orang sepertiku tidak ada harganya dijadikan sandera. Untuk ditukar dengan apa … ?!” ujar Wiro pula sambil terus membelai rambut si gadis.
“Akhir-akhir ini banyak kejadian ajaib dalam rimba persilatan. Beritaberita ajaib juga bersimpang siur…."
"Misalnya?” tanya Pendekar 212 pula.
"Misalnya ya menyerupai dicurinya dua senjata mustikamu itu. Lalu seorang nenek sakti yang selama ini menghilang tahu-tahu muncul gentayangan kian kemari gara-gara saudara kembarnya mati dibunuh orang….”
"Hemmm…. Maksudmu Iblis Putih Ratu Pesolek?"
Jadi kau sudah tahu dan kenal padanya?" balik bertanya Wiro Pendekar 212 gelengkan kepala berdusta
"Kau pernah dongeng padaku wacana seorang kakek sakti berjuluk Kakek Segala Tahu. Aku berusaha mencarinya guna mendapatkan keterangan wacana di mana beradanya dirimu. Tapi mencari orang bau tanah itu sama saja sulitnya dengan mencarimu. Akhirnya saya tersesat kembali ke sekitar Kotaraja. Pagi tadi waktu berada di tempat hutan jati ini tiba-tiba seseorang menyerangku secara pengecut. Ternyata dia seorang gadis bagus berpakaian merah yang saya tidak pernah kenal sebelumnya. Aku coba menanyakan mengapa tidak ada pangkal tidak ada alasannya dia menyerangku. Gadis itu tldak menjawab Sepertinya dia habis melaksanakan sesuatu dan kawatir ada orang lain mengetahui , itu sebabnya dia berniat hendak membunuhku! Namun sekali ini dia ketemu kerikil , Aku berhasil mendaratkan beberapa pukulan ke tubuhnya. Waktu dia mulai terdesak , dari bungkusan yang dibawanya dia mengeluarkan sebuah benda. Ternyata sebuah payung berwarna merah! Dengan payung di tangan dipergunakan sebagai senjata saya dibentuk tak berdaya. Serangan-serangan payungnya menciptakan kepalaku pening. Akhirnya saya roboh Dalam keadaan setengah sadar gadis itu mengikat kedua kakiku dengan seutas tali Lalu tubuhku digantungnya di cabang pohon sana kaki ke atas kepala ke bawah Sewaktu dia melaksanakan perbuatan gila itu dia tidak hentinya mengeluarkan tawa cekikikan. Mulutnya kudengar berucap.
Jangan mimpi
kau bakal mendapatkan perjaka itu! Sampai matipun kau tak akan memilikinya! Aku telah meng-ikatnya dengan hutang budi dan nyawa! Kau masih berusaha merampasnya dariku! Sekarang ini eksekusi bagimu! Kematian!
Apa yang terjadi selanjutnya kau tahu sendiri. Kalau kau tiba terlambat mungkin saya sudah jadi mayat dan masih tergantung di pohon sana! Sesaat sebelum dia mengikatku , saya masih sanggup mengumpulkan tenaga dan menggigit bahunya. Tapi luput Aku hanya sempat menggigit robek pakaian merahnya… Itu sebabnya ketika kau menemui dan menolongku , cabikan pakaian merahnya masih ada dalam gigitanku!”
Wiro memeluk Bidadari Angin Timur erat-erat. Wajahnya mengarah ke depan seolah memandang sesuatu di kejauhan.
"Kau menyerupai memikirkan sesuatu kata Bidadari Angin Timur sambil memegang jari-jari tangan Wiro dan menciumnya dengan mesra. "Tuhan Maha Besar. Masih mempertemukan kita. Ceritamu kurasa ada sanakut pautnya dengan apa yang kualami malam tadi di bukit sana. Seorang bau tanah mati dibunuh secara keji di sebuah rumah kayu di bukit itu…."Siapa?"
"Raja Obat Delapan Penjuru Angin…."
"Astaga! Mana mungkin! Bukankah orang itu kabarnya tinggal di satu pulau terpencil di tempat maritim selatan?"
"Betul. Panjang ceritanya bagaimana dia kemudian meninggalkan pulau itu. Yang terang saya yakin pembunuh Raja Obat ialah sama dengan gadis yang menggantungmu. Namanya Andini. Bergelar Dewi Payung Tujuh. Seorang gadis sakti berasal dari Pulau Andalas!”
Bidadari Angin Timur lepaskan dirinya dari pelukan Wiro. "Jadi kau kenal gadis pembunuh itu?!"
Pendekar 212 anggukkan kepala. "Dia pernah menolongku menyelamatkan jiwaku sewaktu hampir mati akhir keroyokan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan …. "
Si gadis menyerupai tersentak dan berdiri tegak. Dua matanya memandang tajam seolah hendak menembus batok kepala Pendekar 212. "Berarti dirimulah yang dimaksudkannya dengan ucapan-ucapannya waktu menggantung diriku. Berarti hubungan kalian berdua sudah sangat jauh. Dia mencintaimu , tak ingin kehilanganmu , tak ingin saya mengambil dirimu Itu sebabnya dia hendak membunuhku secara keji…"
Wiro ikut-ikutan berdiri. " Segala hutang budi dan nyawa Itu tidak saya pikirkan lagi ketika saya mengetahui dia telah membunuh Raja Obat Apa lagi kini saya ketahui bahwa dia juga hendak membunuhmu! Dia telah menentukan kematiannya sendiri!" Wiro angkat kedua tangannya Dengan tanganku sendiri saya akan menghabisi gadis keparat ltu…."
Wajah Bidadari Angin Timur tiba-tiba saja menjadi sayu redup. Setengah terpejam dia menggelengkan kepala "Dugaanku tidak meleset. Banyak gadis bagus berkepandaian tinggi mencintaimu dan ingin mempunyai dirimu. Satu diantaranya yang berjulukan Andini itu. Diriku yang malang mungkin cuma akan bermimpi seumur hidup Jangan kau bunuh gadis itu. Dia menyayangi dirimu. Aku….!” Si gadis tekap wajahnya dengan kedua tangan , berusaha menahan tangis.
Bidadari Angin Timur. “Aku bersumpah hanya kau satu-satunya gadis yang saya cintai.." Wiro ulurkan tangan hendak memeluk tapi si gadis cepat bersurut mundur.
“Jangan sentuh diriku Wiro. Aku akan pergi dan jangan coba mencari…”
Apa maksudmu?! Kau…." Wiro terkejut mendengar kata-kata itu.
"Kalau kita memang berjodoh , kita niscaya bertemu. Tapi dengan satu syarat Wiro…."
“Apa?! Katakan!"
“Kau harus membunuh gadis berjulukan Andini bergelar Dewi Payung Tujuh ltu!"
"Aku bersumpah akan melakukannya! Tapi selama saya belum melaksanakan dan kau tidak memperbolehkan saya menemuimu… Itu satu hal yang saya tidak sanggup Aku saya benar-benar mencintaimu…."
Bidadari Angin Timur tersenyum. “Sudah berapa kali kata-kata menyerupai itu kau ucapkan pada gadis lain Pada gadis keparat itu.. Pada Ratu Duyung mungkin … ?!"
Wajah Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi merah.
"Jangan berkata menyerupai itu Bidadari Angin Timur Aku sadar saya bukan perjaka baik-baik. Tapi menyangkut soal yang satu itu tidak berdusta. Hanya kau yang ada dalam hatiku…."
“Baik.." kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum. "Tetapi kau harus membuktikan lebih dulu. Membunuh gadis itu!"
“Aku akan lakukan!” jawab Wiro dengan bunyi keras bergetar.
"Sebelum kita berpisah ada satu hal yang ingin saya tanyakan Dan kau harus menjawab dengan jujur!"
"Apa yang ingin kau ketahui ?tanya Pendekar 212.
“Menurutmu Raja Obat dibunuh di sebuah rumah di satu bukit malam tadi…”
Setelah dia dijebak melaksanakan perbuatan mesum!"
"Aku tidak tanyakan hal yang satu itu! Yang saya ingin tahu mengapa gadis itu membunuhnya?!"
"Andini memerlukan beberapa keterangan ," jawab Wiro.
"Keterangan apa?" tanya si gadis lagi. "Mengenai Kitab Putih Wasiat Dewa…."
"Ada apa dengan kitab itu? Si gadis mengejar terus dengan pertanyaan gencar.
"Dia ingin tahu di mana kitab itu beradanya. Di luar sadar Raja Obat memberitahu kitab itu ada padaku…. Betul begitu?!"
Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala. Bidadari Angin Timur tersenyum. Kau berdusta padaku Wiro. Aku tahu kitab itu memang ada padamu… Paras murid Sinto Gendeng jadi berobah pucat.
"Dengar Wiro. Syarat percintaan kita kini bertambah satu. Pertama saya harus bunuh Andini. Kedua kalau kau memang menyayangi diriku , saya ingin kau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa padaku…." Habis berkata begitu si gadis balikkan tubuhnya dan berkelebat pergi.
"Bidadari Angin Timur! Jangan pergi! Tunggu!" teriak Wiro. Sambil berusaha mengejar dia buka baju hitamnya di balik mana dia menyimpan Kitab Putih Wasiat Dewa “Bidadari Angin Timur! Tunggu" Demi cintaku saya akan berikan apa yang kau minta! Bidadari Angin Timur!" Wiro keluarkan kitab sakti terbuat dari daun lontar itu dari balik pakaiannya dan terus mengejar ke arah lenyapnya si gadis. Di cabang sebatang pohon besar seorang bau tanah renta berkata pada sahabat di sampingnya. "Anak setan itu! Cinta menciptakan dia jadi buta dan mata hingga ke pantat! Lekas kenakan penyamaranmu! Kita harus segera merampas Kitab Putih Wasiat Dewa sebelum diserahkannya bulat-bulat pada gadis itu!"
Sang sahabat di sebelahnya menyeringai dan menjawab. "Jangan keliwat keras memakil Di masa muda kitapun mengalami hal menyerupai itu … !"
“Sialan! Kau juga anak setan rupanya!"
Yang didamprat tertawa terbatuk-batuk.
“Sudah! Jangan tertawa saja! Lekas serahkan wewangian itu padaku! Aku kawatir dia mengenali diriku dari busuk badanku!"
"Hik… hik… hik!" Sang sahabat tertawa kemudian keluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu berisi minyak wangi. Begitu mendapatkan epilog tabung segera dibuka. Minyak wangi yang ada di dalam tabung pribadi diguyurkan ke tubuhnya!
“Ini ambil kembali tabungmu!"
Ketika mendapatkan tabung bambunya kembali , yang empunya segera memeriksa. Wajahnya pribadi cemberut. Sial! Kau habiskan semua minyak wangiku!" Orang ini memaki dan mencampakkan tabung bambu itu ke tanah.
"Ala…! Minyak wangi butut saja hingga murka begitu! Nanti saya ganti dengan sebakul tahi kerbau! Hik… hik… hik!"
Tabung bambu kecil yang dilemparkan dari atas pohon ternyata bukan hanya lemparan biasa. Benda itu melayang ke arah Pendekar 212 yang berlari mengejar Bidadari Angin Timur sambil memanggil-manggil.
DUA BELAS
TABUNG bambu kecil bekas tempat minyak wangi yang besarnya hanya sejari kelingking Itu melayang jatuh mengenai pinggang sebelah belakang Pendekar 212 Saat itu juga Wiro merasa sekujur tubuhnya sebelah bawah terutama kedua kakinya menjadi !emas. Dia tak bisa berlari se-cepat sebelumnya Terseok-seok perjaka ini risikonya hentikan larinya dan tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi perutnya yang entah apa sebabnya tiba-tiba saja menjadi mulas. Lalu "brutt… buttt… buttt!"Angin keras berulang kali keluar dari tubuhnya sebelah bawah.
"Setan alas" Apa yang terjadi dengan diriku?!walau mengeluh Wiro masih bisa memaki. Dia ingat ada sesuatu barusan jatuh mengenai pinggangnya. Mungkin benda itu penyebabnya Wiro memperhatikan tanah sekitarnya. Matanya membentur tabung bambu kecil itu. Ketika dia melangkah menghampiri untuk mengambil pada ketika itulah dari atas sebuah pohon besar melayang turun dua makhluk yang menciptakan murid Sinto Gendeng jadi tercekat.
"Makhluk-makhluk apa ini? Dibilang pocong bukan! Dibilang hantu mengapa berbentuk ajaib begini rupa?!"
Di hadapan Wiro ketika itu berdiri dua sosok tubuh berselubung kain putih. Di sebelah bawah kain putih menjulai tidak beda menyerupai jubah. Sebaliknya di kepingan atas yaitu di kepala. kain itu diikat demikian rupa menyerupai lkatan jenazah. Dari keseluruhan makhluk-makhluk ini hanya sepasang mata mereka saja yang kelihatan lantaran ada dua lobang kecil yang sengaja dibentuk di kepingan kepala.
"Kalian siapa?!" hardik Wiro
Dua makhluk menjawab dengan tawa cekikikan.
Sialan!" maki murid Sinto Gendeng Cuping hidungnya kembang kempis. Dia mencium busuk harum dari sosok makhluk di sebelah kanan “Kalian bukan setan bukan pula hantu kesiangan!"
“Juga bukan dedemit kesasar!" menyahuti makhluk di sebelah kiri. Lalu bersama temannya dia kembali tertawa ha-ha hi-hi!”
"Kalau kalian memang masih bisa disebut insan tentunya punya niat jahat! Hanya orang-orang berhati busuk yang Sengaja menutupi tubuh menyembunyikan wajah!"
"Hik… hik! Wajah kami memang buruk Apa lagi kalau dibanding dengan si baju biru tadi! Makara pantas saja kalau kami menutup wajah! Bukan begitu Sobatku?!"
“Betul! Hik… hik… hik!" Makhluk satunya menjawab sambil tertawa pula cekikikan. Lalu dia menyambung. Bagus juga sandiwara pendek yang tadi kita lihat! Hik… hik!" Anak muda kau ada bakal Makara pemain ludruk! Hik…hik… hik!"
"Edan! Apa maksudmu?!" hardik Pendekar 212
"Tadi kami melihat kau dan gadis itu bercumbu mesra. Lalu tampaknya ada yang kurang beres. Gadismu mengajuk risikonya lari. Kau mengejar sambil memanggil-manggil…. ,”
"Iya.. mengejar setengah menangis. Mengeluarkan benda itu dan mau diberikan gadIsnya untuk membujuk! Hik… hik… hik!"
Paras Wiro menjadi merah gelap. Dia ingat ketika itu dia masih memegang Kitab Putih Wasiat Dewa. Cepat-cepat kitab sakti ini dimasukkannya ke balik baju hitamnya.
Urusanku dengan gadis itu perlu apa kalian ikut campu?!" hardik Wiro.
"Walah!" Makhluk berselubung kain putih di sebelah kanan berucap setengah berseru. Siapa bilang kami mau ikut campur urusan begituan!"
Kami cuma bilang tadi telah menyaksikan satu sandiwara pendek! Tidak lebih tidak kurang! Bukan begitu kawanku?!" Makhluk di sebelah kiri menggoyangkan kepalanya kemudian mengiyakan dan tertawa panjang.
“Hemm. . Kalian menyembunyikan sosok tubuh dan wajah dibalik kain. Aku juga tahu kalian bicara dengan suara-suara dipalsukan! Jangan-jangan saya mengenaI kalian!"
Dua makhluk berselubung kain putih kembali tertawa ha-ha hi-hi menciptakan Pendekar 212 menjadi jengkel.
"Jangan menciptakan saya kehilangan kesabaran! Aku ada urusan yang lebih penting dari pada melayani kalian makhluk-makhluk sial kesasar!"
"Ah , kami juga tahu apa urusan pentingmu itu. Tak lain mengejar gadis bagus tadi. Eh , apa kau memang betulan mencintainya….? Hik-hik!"
"Jahanam!" hardik Wiro. “Menyingkir dari hadapanku!"
"Kalau kami tidak mau menyingkir kemudian bagaimana?!" Makhluk yang sebelah kanan bertanya menyerupai sengaja menantang.
"Tubuh kalian berdua akan kubuat cerai-berai!" jawab Wiro seraya siapkan pukulan Sinar Matahari. Salah satu dari kalian tadi melempar saya dengan potongan bambu itu! Jelas kalian punya niat jahat!"
"Ah. orang-orang menyerupai kami ini selalu ketiban tuduhan jelek. Tidak menyerupai gadis bagus tadi. Menerima cinta mesra tapi pakai syarat segala! Hik… hik… hik!”
Untuk kesekian kalinya wajah murid Sinto Gendeng menjadi merah padam. Kesabarannya hilang. Lagi pula dia menaruh curiga besar dua makhluk yang bersembunyi di balik selubung kain putih itu punya niat hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari tangannya.
"Tidak perduli siapapun mereka harus kuhabisi ketika ini juga!" kata Wiro. Niatnya semula hendak menghantam dua orang itu dengan pukulan Sinar Matahari dibatalkan. "Ini ketika terbaik saya menjajal kehebatan Pukulan Harimau Dewa. Dua musuh ada di depan Berarti saya harus menghantam dengan jurus kedua: Tangan Dewa Menghantam Batu Karang!"
Berpikir hingga di situ Pendekar 212 segera dekatkan tangan kanannya ke mulut. Ketika dia siap untuk meniup , makhluk di sebelah kanan berseru. "Tunggu!"
"Bangsat! Apa maumu?!" hardik Wiro.
"Jika kami berdua menyingkapkan kain putih ini dan memperlihatkan siapa kami bahwasanya , apakah kau mau menganggap urusan yang tidak anak ini selesai hingga di sini?!"
Hemmm.." Wiro bergumam kemudian berkata dalam hati. "Kalian kira bisa menipuku? Walau saya sudah melihat tampang kalian tetap saja saya akan menghajar kalian hingga modar!" Lalu pada orang yang barusan bicara Wiro berkata. "Baik , silakan saja memperlihatkan diri. Mudah-mudah tampang kalian tidak jelek-jelek amat!"
Dua orang berselubung kain putih tertawa cekikikan. Keduanya membungkuk untuk menarik ke atas kepingan terbawah kain putih masingmasing. Begitu kepingan kaki tersingkap pada ketika itu pula terdengar dua letupan halus.
"Setan alas! Kalian mengerjai diriku!" teriak Wiro murka ketika dia melihat ada kepulan asap kelabu mencuat keluar dari balik kain putih yang menyelubungi dua orang tak dikenal itu. Wiro cepat melompat mundur sambil meniup tangan kanannya Tapi perbuatannya ini menciptakan dia lalai untuk menutup jalan nafas. Begitu hawa ajaib yang membersit dari kepulan asap kelabu menyentuh hidungnya tak ampun lagi murid Sinto Gendeng ini terhuyung jatuh dan terkapar di tanah!
"Tidak susah memperdayai anak tolol ini" kata orang berselubung di sebelah kanan. Bersama temannya dia tidak terlihat lagi lantaran tertutup oleh kepulan asap kelabu yang semakin usang semakin melebar menyungkup tempat itu Tak selang berapa usang terdengar salah satu dari mereka berkata.
"Aku mendengar ada yang datang. Lekas kita pergi… !"
“Hemmm…. Aku sudah bisa menerka siapa yang akan muncul di sini! Bagaimana kalau kita berikan sedikit pelajaran padanya?!" sang sahabat bertanya.
“Buat apa membuang waktu percuma. Teman-teman sudah menunggu kita. Persiapan untuk hari sepuluh bulan sepuluh harus segera dirampungkan . . . . ”
"Baik , saya mengikut saja! Ayo kita pergi!"
TIGA BELAS
GADIS berpakain biru tipis itu lari terus hingga di satu tempat dia menyadari bahwa si perjaka tidak ada lagi di belakangnya. "Janganjangan dia kesal dan tak mau mengejar saya lagi." membatin Bidadari Angin Timur. Ah. mengapa saya tadi tega memperlakukannya menyerupai itu? Padahal tadi terang kudengar dia bersedia menyerahkan kitab yang saya minta."Gadis ini merenung sejenak. "Sebaiknya saya kembali menemuinya supaya urusan ini bisa selesai." Lalu dibalikkannya tubuhnya dan kembali ke arah mana tadi dia datang. Sewaktu Bidadari Angin Timur hingga di tempat dia meninggalkan Wiro didapatinya perjaka itu tergeletak di tanah.
"Celaka! Apa yang terjadi? Jangan-jangan ada orang jahat menciderainya. Aku mencium busuk ajaib di tempat ini. Semacam hawa beracun yang menciptakan orang pingsan tak sadarkan diri…."
Si gadis cepat membungkuk di samping tubuh Wiro. Dia memeriksa. Tangan kanannya meraba ke dada. Saat itulah Pendekar 212 siuman dari pingsannya. Dia batuk-batuk beberapa kali kemudian bergerak duduk.
"Bidadari Angin Timur…" desis Pendekar 212 begitu pandangannya membentur si gadis. Kau kembali….? Tak jadi pergi meninggalkan aku?"
Si gadis tersenyum kemudian gelengkan kepala. Kedua orang ini pribadi saja saling berpelukan. "Apa yang terjadi kekasihku…?” bisik Bidadari Angin Timur. Ucapan itu terdengar menyerupai bebunyian yang tiba dari sorga di indera pendengaran murid Sinto Gendeng.
Sambil terus mendekap si gadis Wiro menerangkan. "Tak usang sehabis kau pergi ada dua orang melompat dan atas pohon. Mereka sengaja meng-hadangku”
“Siapa mereka?!"
"Tidak bisa kuduga Mereka menyelubungi sekujur tubuh hingga ke kepala dengan kain putih…." "Hemmm…. terang mereka mempunyai maksud jahat!"
"Betul! kata Wiro pula. “Mereka niscaya kabur melarikan diri ketika kau tiba ke sini." Wiro tiba-tiba ingat pada Kitab Putih Wasiat Dewa dan cepat meraba dadanya.
“Ada apa?" tanya Bidadari Angin Timur. "Dadamu terkena pukulan?! Mari kuperiksa…!"
Wiro gelengkan kepala dan menarik nafas lega. Ternyata kitab sakti itu masih ada di balik baju hitamnya. Dia tanggalkan kancing pakaiannya kemudian keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa.
“Kau menginginkan kitab ini , bukan? Ambillah."
Wiro mengangsurkan kitab sakti itu pada si gadis. Bidadari Angin Timur tidak segera mengambilnya.
“Eh. apa yang ada dalam pikiranmu. Bukankah sebelumnya kau inginkan kitab ini? Sebagai salah satu dari dua syarat yang mernbuktikan bahwa saya mencintaimu?"
Si gadis tertawa lebar. Barisan giginya kelihatan rata bagus dan bercahaya. Pendekar 212 tak sanggup menahan hatinya lagi Segera saja bibir yang merah menawan ltu dikecupnya dengan bernafsu. Bidadari Angin Timur membalas kecupan tak kalah kasar hingga sepasang muda mudi ini tersendat-sendat nafas masing-masing.
"Sebenarnya tadi saya hanya bergurau wacana kitab ini ," kata Bidadari Angin Timur.
"Bergurau bagaimana?"
"Aku tidak sungguhan menyampaikan ini sebagai syarat. Tapi untuk kematian gadis berjulukan Andini itu saya tidak main-main Wiro….”
"Hemm…. Makara kau tidak mau mendapatkan kitab ini?"
“Bukan begitu …”
"Dengar , saya telah menghabiskan waktu panjang dan menyabung nyawa untuk mendapatkan kitab ini. Aku telah membaca seluruh isinya. Jika kau memang menginginkan saya menyerahkan dengan ikhlas..”
"Kau sungguhan?”
"Ya , sungguhan!"
"Tidak menganggap saya macam-macam?”
"Aku mencintaimu Jangankan kitab ini. Nyawakupun kalau kau minta saya berikan…!"
"Aku terharu mendengar kata-katamu itu ,” kata si gadis pula kemudian kembali memeluk Pendekar 212 erat-erat dan menciumi wajahnya. "Aku senang saya tidak salah menyayangi dirimu …. "
Lalu Bidadari Angin Timur mengambil Kitab Putih Wasiat Dewa yang diserahkan Wiro kepadanya. Kitab sakti ini diletakkannya di pangkuannya. Jari-jari tangannya kemudian bergerak ke dada Wiro. Si perjaka mengira gadis itu hendak mengancingkan kembali bajunya. Tapi ternyata malah membuka kancing-kancing yang lain. Ketika baju itu hendak ditanggalkannya Wiro memegang lengaH si gadis dan bertanya.
"Ada apa Bidadari…?
"Kau menyerahkan kitab ini padaku padahal kitab ini tidak gampang kau dapat. Kau bahkan rela menyerahkan nyawa jikalau saya minta. Wiro…. Aku merasa bukan insan yang punya perasaan kalau semua pengorbananmu itu tidak saya balas…"
"Maksudmu?"
"Aku akan menyerahkan tubuh dan kehormatanku padamu. Untukmu seorang…."
Darah Pendekar 212 menjadi panas dan sekujur tubuhnya bergetar mendengar ucapan itu. Dia ingat kejadian di telaga dulu. Sebenarnya pada ketika itupun agaknya Bidadari Angin Timur tulus menyerahkan tubuhnya namun Wiro tidak hingga lupa daratan. Kini malah si gadis menyampaikan secara terbuka dan berani.
"Jangan jangan kau hendak menguji diriku.." bisik Wiro sambil menyelipkan tangannya ke bawah rambut di kuduk si gadis.
"Kekasihku , tidak ada uji menguji ketika ini. Aku rela menyerahkan diriku. Kalau kau tidak percaya lihat..! "
Tangan kanan Bidadari Angin Timur bergerak. Lalu "brett! Breettt! Dia merobek pakaiannya sendiri hingga dadanya yang putih kencang terpentang menantang.
Murid Sinto Gendeng menyerupai kesilauan melihat sepasanq payudara yang begitu bagus. Yang agaknya belum pernah tersentuh tangan lelaki Wiro gerakkan kedua tangannya ke dada. Bidadari Angin Timur pejamkan kedua matanya. Namun dia tidak mencicipi sentuhan apalagi remasan Dua tangan Wiro menarik dan merapatkan dada pakaiannya yang robek. Si gadis menyerupai tersentak dari buka kedua matanya.Ada apa Wiro? Kau tiba-tiba benci padaku? Mungkin menganggapku sebagai gadis murahan…?" Wiro menggeleng.
Dengar kekasihku , tak pernah ada tangan lelaki yang menyentuh tubuhku sebelumnya. Aku ingin hanya kau yang melakukannya …. "
Wiro kembali menggeleng. Lalu berkata. Saat untuk hingga ke situ akan tiba juga. Yang saya inginkan ketika ini ialah kita gotong royong mengadakan perjalanan mencari gadis berjulukan Andini itu. Setelah itu kau akan kuajak ke Gunung Gede…"
"Gunung Gede? Jauh amat? Buat apa kesana segala?" tanya Bidadari Angin Timur
Itu tempat kediaman guruku. Aku akan memberitahu dan minta izin pada dia sebelum kita melangsungkan pernikahan."
"Wiro!" Bidadari Angin Timur terpekik. “Kau tidak main-main!"
Siapa berani main-main dengan gadis secantikmu ini?!"
Sang dara tertawa panjang. Lalu berbisik. “Tak jauh dari sini ada satu anak sungai berair jernih. Agak ke timur ada sebuah gerojokan kecil. Tempatnya rindang dan sejuk Aku ingin mandi di sana. Kau mau menemani?"
"Tentu saja!" jawab Wiro kemudian keduanya sama-sama bangun berdiri.
Ternyata memang besar tak jauh dari situ ada sebuah anak sungai. Mereka menyusuri sungai kecil ini ke arah tImur. Sayup-sayup terdengar bunyi curahan air diselingi bunyi kicau burung-burung.
“Luar biasa indahnya!" kata Wiro ketika dia hingga di tebing sungai yang ketinggian dan melihat sebuan gerojokan kecil di bawah sana. Dia berpaling pada Bidadari Angin Timur yang tegak di sampingnya Sambil memeluk pinggang gadis ini dia berkata. "Kau tadi bilang ingin mandi. Nah pergilah mandi. Aku akan menunggu dan berjaga-jaga di sebelah sana. Di atas kerikil besar itu.!"
"Kau tidak ikut mandi?" tanya si gadis.
Maunya ya mau. Tapi saya kawatir lupa diri dan melanggar sendiri apa yang saya katakan tadi!"
Bidadari Angin Timur berjingkat kemudian mencium leher perjaka itu. "Baiklah , saya akan turun ke gerojokan sana. Kau boleh melihat saya mandi sepuasmu dengan matamu yang nakal! Tolong kau pegangkan pakaianku!"
Tanpa malu-malu Bidadari Angin Timur tanggalkan baju birunya Lalu sambil tertawa panjang dia berlari menuruni tebing sungai kecil. Sesaat kemudian dia sudah ada di bawah air mancur , melambai-kan tangan pada Wiro.
Pendekar212 balas melambai Dia melangkah ke kerikil besar pada ketika Bidadari Angin Timur masuk ke bawah gerojokan dan tubuhnya yang bagus dibasahi oleh air jernih dan sejuk. Di atas kerikil besar Wiro melihat pakaian biru Bidadari Angin Timur kemudian duduk dan memandang ke arah gerojokan kecil. Dia tidak melihat si gadis.
"Eh , ke mana gadis itu?" tanya Wiro dalam hati. Dia memperhatikan terus dan menunggu. Kalaupun dia mandi di belakang gerojokan niscaya masih bisa terlihat. Air terjun itu tidak seberapa besar. Dari sini saja saya bisa melihat bebatuan di sebelah belakangnya. “Hemm… Pasti dia hendak berbuat nakal. Bersembunyi memperdayaiku …!" Wiro tersenyum. Namun sehabis agak usang menunggu dan Bidadari Angin Timur tidak juga kelihatan Wiro segera berdiri. Dia memandang berkeliling. Kembali arahkan matanya ke gerojokan kemudian berseru.
"Bidadari! Di mana kau?!”
Tak ada jawaban. Wiro berseru lagi lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Sosok si gadis tetap tidak kelihatan Dengan melompat dari satu kerikil ke kerikil lain yang ada di tengah sungai kecil itu Wiro risikonya hingga di depan air terjun.
"Bidadari Angin Timur…?!" Dia memanggil Ketika tidak didapat jawaban dia menyelinap ke bawah air terjun. Di balik gerojokan ternyata ada sebuah telah. Kekasihku! Kau hendak mempermainkan aku? Awas jikalau kudapat akan kucium kau habis-habisan!" seru Wiro Dia melompat memasuki celah batu.
Di balik celah yang menyerupai pintu itu dia menemukan satu jurang tertutup kerimbunan tanaman liar serta bebatuan Dalam keadaan lembap kuyup dia memandang berkeliling.
“Bidadari!” Wiro berteriak sekuat yang bisa dilakukannya. Suara teriakannya menggema di dalam jurang kemudian sirna "Apa yang terjadi? Apa bahwasanya yang lengah dilakukan gadis itu?! Tak mungkin dia bergurau…!" Wiro pandangi pakaian biru lembap milik si gadis yang ada dalam pegangannya. Dia ingat. Waktu gadis itu melangkah pergi menuju gerojokan saya tidak melihat dia memegang kitab itu. Tentunya kitab itu ada dalam pakaian ini! Tapi rasa-rasanya tadi saya tidak melihat dan dia tidak menyerahkan kitab itu!"
Wiro buka lipatan pakaian biru milik Bidadari Angin Timur. Pakaian yang lembap ltu dikembang kannya. Seolah ada yang menyambar sekujur tubuhnya ketika dia memang tidak menemukan Kitab Putih Wasiat Dewa! Selagi dia terkesiap menyerupai itu tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi tawa perempuan. Pendekar 212…. Jika kau masih menyayangi diriku kau boleh meniduri pakaianku! Hik… hik… hik! “
“Bidadari Angin Timur!" teriak Wiro.
Suara tawa lenyap di kejauhan.
"Jahanam" hanya makian itu yang bisa dikeluarkan oleh Pendekar 212. Tubuhnya terasa gontai. Dia terduduk lemas di atas sebuah batu. Pakaian biru lembap dibantingkannya ke tanah Dua tangannya dikepalkan. Murid Sinto Gendeng sadar kalau orang telah mempunyai "Apa yang harus saya lakukan sekarang? Kitab Putih Wasiat Dewa amblas dilarikan gadis jahanam itu! Dunia persilatan akan ditimpa malapetaka hebat! Bagaimana saya harus mempertanggungkan hal ini pada guru dan para tokoh silat lainnya?! Tololnya diriku! Wiro memukul keningnya sendiri berulang kali. Dia ingat pada kemampuannya melihat jauh. Segera dia kerahkan ilmu Menembus Pandang" Namun tak ada gunanya Orang yang hendak dijejaki sudah berada terlalu jauh dan tempat itu penuh dengan jurang serta tebing dan dinding kerikil tebal.
SOSOK tubuh tinggi kekar yang duduk di atas dingklik dalam bayangbayang kegelapan itu memalingkan kepalanya ke arah pintu. Cangkir tanah berisi minuman keras di tangan kanannya diangkatnya ke bibir kemudian isinya diteguk hingga habis. Mukanya yang berdagu kokoh serta merta menjadi kemerahan. Sepasang matanya berputar liar Sesaat kemudian telinganya mendengar bunyi langkah-langkah halus. Dia berpaling ke pintu dan berkata.
"Aku sudah punya firasat kau akan tiba ketika ini! Pintu tidak dikunci! Masuklah!"
Pintu besar yang terbuat dari kayu jati itu bergeser ke samping_ Sinar terang merambas masuk ke dalam ruangan. Dari tempatnya berdiri orang yang duduk di atas dingklik melihat seorang gadis berpakaian merah tipis tegak di ambang pintu yang terang hingga auratnya terlihat kentara sekali seolah tidak mengenakan apa-apa. Rambutnya yang panjang pirang melambailambai ditiup angin yang berhembus dari arah selatan puncak Gunung Merapi.
"Pangeran! Aku berhasil mendapatkan kitab itu!" Gadis di ambang pintu berucap
Pangeran Matahari , orang yang duduk di atas dingklik menyerupai hendak melonjak saking girangnya mendengar kata-kata ltu Tapi kecongkakan yang mendarah daging di dalam dirinya hanya menciptakan dia memberi tanggapan biasa-biasa saja Dengan sedikit memuji dia berkata. Bagus! Kekasihku , kau memang hebat! Kau memang pantas menjadi Ratu pendampingku dalam merajai dunia persilatan. Melangkahlah ke hadapanku dan perlihatkan kitab itu…."
Si gadis melangkah ke hadapan Pangeran Matahari. "Mana kitabnya?"
"Di balik pakaian merahku. Silahkan Pangeran membuka dan mengambilnya sendiri ," jawab si gadis
Dua tangan Pangeran Matahari melesat ke depan. Bukan membuka kancing pakaian dan menanggalkan ikat pinggang yang melilit di pinggang si gadis secara masuk akal , tapi dua tangan itu merobek kian kemari. Hingga dalam waktu singkat pakaian merah yang tadi menempel di tubuh si gadis kini terkapar di lantai dalam keadaan cabik-cabik tak karuan.
Di bawah sepasang payudara yang putih membusung di situlah terikat sebuah kitab. Kali ini Pangeran Matahari berlaku lebih lambat Tali pengikat kitab sakti itu dibukanya dengan hati-hati dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyambut kitab yang kemudian terlepas Jatuh dari tubuh si gadis.
"Kitab Putih Wasiat Dewa!" Pangeran Matahari membaca goresan pena besar dalam abjad tuhan Kuna yang terpampang di sampul kitab. –Luar biasa! Benar-benar luar biasa! Aku akan menjadi raja di raja dunia persilatan! Kitab Wasiat Iblis ada di tangankul Ditambah dengan Kitab Putih Wasiat Dewa! Siapa bisa menundukkan diriku! Ha… ha… ha!"
Pangeran Matahari menyeringai memandangi gadis yang tegak di depannya. " Kekasihku sebelum kau duduk kepangakuanku. sebelum kau kubawa ke dalam kamar tolong kau nyalakan empat lampu besar dalam ruangan ini!"
Gadis yang disuruh segera menyalakan empat Lampu minyak yang ada di dalam ruangan itu hingga keadaannya kini menjadi terang-benderang. Pangeran Matahari tidak perdulikan tubuh polos yang bagus itu sepasang matanya memperhatikan Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada dalam pegangan tangannya yang gemetar. Sampul kitab dibukanya. Halaman pertama terpentang. Kosong!
Hemmm… " Walau mereka agak heran sang Pangeran membalik membuka halaman kedua. Kosong! Eh , bagaimana ini?!" Pangeran Matahari memandang melotot pada gadis di depannya. Si gadis melangkah mendekat Pangeran Matahari kembali membalik halaman berikutnya. Berikutnya dan seterusnya! Semua halaman yang ada hanya merupakan halaman putih kosong , tidak ada apa-apanya!
"Jahanam! Palsu! Kitab ini palsu! Lihat! Tak ada isinya! Semua halaman kosong!"
Saking marahnya Pangeran Matahari bantingkan kitab yang terbuat dari daun lontar itu hingga salah satu ujungnya menancap di lantai batu!
TAMAT
Segera Menyusul…
GEGER DI PANGANDARAN
Segera Menyusul…
GEGER DI PANGANDARAN
No comments for "Muslihat / Tipu Daya Cinta Iblis WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"
Post a Comment