Liang Lahat Gajahmungkur WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : LIANG LAHAT GAJAHMUNGKUR

Kapak Maut Naga Geni 212
SATU

Nenek menyeramkan yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu lari laksana angin. Sebentar saja beliau sudah jauh meninggalkan formasi bukit karang di Teluk Parangtritis. Memasuki sebuah lembah beliau memperlambat larinya. Di satu tempat yang sunyi dan teduh si nenek berhenti. Sosok anak kecil berpakaian serba hitam yang semenjak tadi dipanggulnya diletakkan di atas satu tonjolan tanah keras rata. Dia pandangi tubuh pingsan tak bergerak itu sambil menarik nafas berulang kali. Dalam hatinya sebetulnya nenek ini merasa sangat khawatir namun air mukanya yang menyeramkan sebaliknya malah menyorotkan hawa kemarahan.
“Anak setan! Tubuhmu panas mirip dipanggang! Tangan kananmu patah! Untung kau tidak mampus dihantam pukulan sakti nenek bermuka putih itu! Kepandaian cuma sejengkal berani-beraninya kau mempermainkan orang!”
Anak yang tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan itu yaitu Naga Kuning alias Naga Cilik.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) anak itu berani melawan Sabai Nan Rancak malah mempermalukan nenek sakti itu dengan menarik tanggal jubah hitamnya di sebelah bawah. Akibatnya Sabai Nan Rancak menjadi kalap. Setelah berhasil mematahkan tangan kanannya Sabai Nan Rancak menghantamnya dengan pukulan Kipas Neraka. Walau tidak terkena telak namun pukulan Kipas Neraka menciptakan si anak hangus sebagian pakaiannya. Wajahnya tampak sangat merah tetapi anehnya bibirnya berwarna kebiruan.
“Mukamu merah mirip udang direbus. Bibirmu sebiru jelaga. Ada hawa jahat mendekam dalam tubuhmu. Jantungmu pasti megap-megap…. Anak setan! Kalau tidak kasihan padamu seharusnya kubiarkan saja kau mampus! Mengapa saya mau-maunya menolongmu mencari urusan! Huh!”
Nenek itu menghela nafas panjang kemudian kembali mengoceh.
“Aku harus menyelidiki tubuhmu. Kalau tanda merah dan biru juga ada di dadamu jangan harap saya bisa selamatkan jiwamu!”
Si nenek membungkuk. Lalu jari-jari tangannya yang kurus berkuku panjang dan hitam bergerak ke dada si anak.
“Breett!”
Baju hitam yang dikenakan bocah pingsan itu robek besar di cuilan dada. Begitu dada si anak tersingkap , kagetlah si nenek. Dia tersentak bangun kemudian tersurut hingga dua langkah. Sepasang matanya mendelik memancarkan sinar aneh , menatap lekat ke arah dada si anak. Di situ , di dada itu ada gambar seekor naga besar berwarna kuning?
“Naga Kuning…” desis si nenek dengan bunyi bergetar.
Untuk beberapa lamanya nenek itu tegak tak bergerak , memandang melotot tak berkesip.
“Kalau anak ini memang benar…. Ah! Bagaimana saya bisa mempercayai! Satu-satunya yang tahu asal usul anak ini yaitu Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi orang sakti itu kuketahui sudah usang berpulang…. Kalaupun masih hidup di mana saya harus mencari!” Si nenek menarik nafas dalam berulang kali. Dia sadar kalau ketika itu sekujur tubuhnya terasa bergetar. Setelah terdiam beberapa usang akhirnya beliau berkata.
“Apapun yang terjadi , saya berkewajiban menolong anak ini! Kalau beliau hingga tewas di tanganku , saya bakal celaka seumur-umur! Masih untung tak ada warna merah dan biru di cuilan dadanya. Berarti saya bakalan bisa menolong walau sulit setengah mati! Mudah-mudahan Gusti Allah mau menurunkan kuasa , kekuatan dan kasihNya menyelamatkan anak ini!”
Si nenek kemudian cabut tiga tusuk konde yang menancap di kepalanya. Tusuk konde pertama ditusukkannya ke ubun-ubun si anak. Tusuk konde ke dua ditusukkan ke telapak kaki kanan kemudian yang terakhir ditancapkan ke telapak kaki kiri. Saat itu juga tubuh Naga Kuning berguncang keras. Si nenek cepat tempelkan tangannya kiri dan kanan di kening si bocah. Lalu mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Tubuh si anak yang tadi berguncang kini mengendur dan guncangan perlahan-lahan lenyap. Si nenek alirkan hawa sakti sejuk lewat asisten sedang hawa sakti hangat melalui tangan kiri. Dari wajah si anak yang berwarna merah keluar asap tipis. Si nenek merasa agak lega. Dia lipat gandakan fatwa hawa sakti. Namun jadi terperangah ketika mencicipi ada kekuatan aneh menolak keluar dari kening si anak , menciptakan dua tangannya bergetar. Selagi si nenek terkesiap tiba-tiba di belakangnya terdengar bunyi berisik sekali. Liang telinganya mirip ditusuk. Itulah bunyi kaleng yang dikerontangkan tiada hentinya.
“Setan alas! Tua bangka sialan! Beraninya kau mengacaukan pekerjaanku!” Si nenek menyumpah.
Suara kerontangan kaleng sirna. Kini terdengar bunyi tawa mengekeh.
“Sinto Gendeng! Walau sudah bacin tanah sifatmu masih tidak berubah! Memaki mengutuk serapah tak pernah berhenti! Sejak usang saya mencarimu! Apa kau tahu rimba persilatan tanah Jawa dan Andalas tengah dilanda malapetaka besar?!”
“Kalau tidak tahu kuliner saya mau mencapaikan diri meninggalkan puncak Gunung Gede?! Bukankah kau dan saya barusan mengalami sendiri di Teluk Parangtritis?!” jawab si nenek seraya berpaling. Dia ternyata yaitu Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Kau betul. Sebelumnya kita sama-sama berada di Teluk Parangtritis. Kini sama-sama tersesat di tempat ini…. Eh , saya merasa ada sosok lain yang bernafas tersendat-sendat di dekatmu. Apa yang kau lakukan di sini Sinto?”
“Aku tengah berusaha menolong menyelamatkan seorang bocah yang siap meregang nyawa. Mendekatlah kemari biar kau tahu siapa adanya anak ini!”
Orang yang diajak bicara melangkah mendekati si nenek. Begitu berada di dekatnya Sinto Gendeng pegang lengan kanan orang itu kemudian usapkan telapak tangannya ke atas dada anak yang pingsan. Orang ini ternyata yaitu seorang kakek bermata putih alias buta melek dan bukan lain yaitu insan sakti salah seorang tokoh aneh dunia persilatan yang dikenal dengan julukan Kakek Segala Tahu.
“Astaga!” berucap si kakek setengah berseru. Walau matanya buta tapi beliau mempunyai beberapa kehebatan. Diantaranya mengetahui sesuatu dengan jalan meraba.
“Ada gambar ular besar di dadanya. Bukankah anak ini si Naga kuning alias Naga Cilik , penjaga daerah telaga besar Gajahmungkur?!”
“Kau memang hebat. Meski buruk dan buta tapi punya kesaktian melihat secara aneh…!”Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh dan goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng.
“Apa yang terjadi dengan anak ini Sinto? Aku mencicipi ada hawa aneh dan panas ketika meraba dadanya. Aliran darahnya tidak beres. Nafasnya sudah hingga ke leher!”
“Anak ini menderita cidera berat. Tangan kanannya patah. Tapi yang gawat luka dalam yang dideritanya.”
“Aku tahu. Anak ini terlibat dalam bentrokan hebat di Parangtritis….”
“Dia dihajar Sabai Nan Rancak dengan pukulan Kipas Neraka!” kata Sinto Gendeng pula.
“Kalau bukan Naga Kuning , pasti anak ini sudah menemui kematian tadi-tadi.”
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Tangan kanannya yang memegang tongkat diayun-ayunkan kian kemari. Sesaat terdengar beliau bergumam. Lalu didengarnya Sinto Gendeng berucap.
“Sabai Nan Rancak. Jauh-jauh tiba dari Andalas pasti punya maksud tertentu. Aku semenjak usang menyirap kabar nenek satu itu tampaknya punya satu urusan besar di tanah Jawa ini. Agaknya telah terjadi sesuatu di luar pengetahuan kita. Aku lihat nenek muka putih itu muncul mengenakan Mantel Hitam sakti milik Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku yakin beliau juga telah menguasai Mutiara Setan sang Datuk. Belakangan ini beliau muncul di beberapa tempat di tanah Jawa. Tindak tanduknya aneh. Setiap beliau muncul pasti terjadi sesuatu! Kau tahu atau kenal dengan nenek keparat itu?”
Kakek Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
“Apa yang saya ketahui rasanya tidak sebanyak yang kau ketahui Sinto….”
“Maksudmu?”
“Seperti kau di masa muda dulu nenek itu pernah bercinta dengan Sukat Tandika alias Tua Gila….”
“Bukan cuma bercinta. Tapi bunting dan punya anak!” ujar Sinto Gendeng.
“Ha… ha… ha…!” Kakek Segala Tahu tertawa.
“Suaramu ketus. Pertanda masih ada rasa sakit hati di dalam dirimu….”
“Aku tidak ingin membicarakan masa kemudian sialan itu. Apa yang sebetulnya tengah terjadi di rimba persilatan tanah Jawa ini? Harap kau Suka menerangkan. Jangan menyembunyikan sesuatu walau barang sepotong pun!”
“Pertama kali saya bertemu dengan Sabai Nan Rancak yaitu di Bukit Tegalrejo. Waktu itu beliau tengah menunggu kedatangan sobatnya berjulukan Datuk Angek Garang. Seperti yang saya katakan padanya , sang Datuk tidak akan tiba hidup-hidup.
Ternyata benar. Datuk Angek Garang muncul naik gerobak. Tapi sudah jadi mayat. Pasti Tua Gila yang membunuhnya. Karena Malin Sati , murid tunggal kakek sedeng itu mati di tangan Datuk Angek Garang. Celakanya belakangan saya mendengar kabar bahwa Sabai Nan Rancak menuduh saya yang telah membunuh Datuk Angek Garang…!” Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya kemudian tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba beliau hentikan tawanya , menatap ke arah Sinto Gendeng dan berkata.
“Sinto , kalau saya terus bercerita , kapan kau akan menolong Naga Kuning?”
“Astaga!” Sinto Gendeng tersentak kaget.
“Aku hingga terlupa!”
“Aku ikut membantu!” kata si kakek pula.
“Kau tahu siapa aku! Tak perlu dibantu!” ujar Sinto Gendeng pula.
“Jangan takabur Sinto! Pukulan Kipas Neraka bukan pukulan sembarangan. Cidera yang dialami Naga Kuning parah sekali….” Si nenek mencibir.
“Dari dulu kau selalu meremehkan diriku.”
Kakek di belakang Sinto Gendeng tertawa mengekeh kemudian kerontangkan kaleng rombengnya.
“Kakek Setan! Kau mau menciptakan saya jadi budek! Hentikan perbuatanmu atau Liang Lahat kuhancurkan kaleng jahanam itu!”
Rupanya kerontangan kaleng yang memang disertai tenaga dalam itu telah menciptakan sakit kedua liang indera pendengaran Sinto Gendeng maka kembali beliau menyumpah dan mengancam.
“Sinto , saya Kakek Segala Tahu yang sudah jadi sahabatmu hingga karatan begini merasa wajib membantu! Terserah kau suka atau tidak! Ayo kau teruskan pekerjaanmu tadi! Obati luka dalamnya lebih dulu. Lengannya yang patah biar nanti saya yang mengurus!”
Si nenek pelototkan mata dan hendak memaki kembali. Tapi akhirnya cuma diam. Tadi sewaktu mengalirkan tenaga dalam ke tubuh si anak beliau mencicipi seolah ada satu kekuatan yang menolak. Sinto Gendeng berpaling pada bocah yang tergeletak di hadapannya.
Seperti tadi perlahan-lahan beliau duduk berjongkok kemudian mulai mengalirkan hawa sakti lewat kedua tangannya yang ditempelkan di kening Naga Kuning. Tiba-tiba si nenek merasa terganggu. Ada sebuah benda ditusukkan di pantatnya sebelah kanan.
“Jahanam! Apa yang kau lakukan?!” teriak Sinto Gendeng marah.

*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
DUA

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Aku menempelkan ujung tongkat bututku di bokongmu ,” katanya.
“Tenaga dalammu bagaimana pun hebatnya tidak cukup untuk menolong anak itu. Lewat tongkat ini saya akan mengalirkan tenaga dalamku ke dalam tubuhmu. Lalu kau tolong meneruskan ke tubuh anak itu! Gampang saja bukan?!”
“Gampang ndasmu!” maki Sinto Gendeng.
“Kalau mau menolong kenapa pakai menusuk pantatku segala?! Apa tidak ada cara lain yang tidak kurang bimbing mirip ini?!”
“Soalnya hanya bokongmu itu satu-satunya yang masih ada daging tebalnya! Bagian lain tubuhmu hanya tinggal tulang keropos!” Habis berkata begitu Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Si nenek memaki panjang pendek.
“Kalau kau tak suka saya pakai tongkat mungkin kau lebih suka saya mempergunakan tongkatku yang lain? Tapi tongkat satu ini lebih pendek dibanding yang kini saya pegang! Ha… ha… ha!”
“Setan tua! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” hardik Sinto Gendeng.
“Sudah jangan marah! Tongkat kayu tidak suka. Tongkat yang barusan kutawarkan kau juga tidak mau. Malah tambah sewot. Baiknya saya pergunakan saja tangan. Kutempelkan di pantatmu! Begitu?!”
“Kakek kurang asem! Sudah! Tutup mulutmu!”
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh kemudian tangan kirinya kembali menggoyangkan kaleng rombeng berisi batu-batu kerikil itu. Sinto Gendeng walau masih jengkel tapi terpaksa membisu saja. Dia salurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh Naga kuning melalui ke dua tangannya. Sementara di belakangnya si kakek yang menusukkan tongkat bututnya ke tubuh bawah si nenek mulai pula mengalirkan hawa saktinya lewat tongkat. Jika ada orang lain menyaksikan kejadian itu pastilah tak bisa menahan tawa karena lucu melihat keadaan kedua orang itu. Tiba-tiba pinggul dan pantat Sinto Gendeng tampak bergoyang-goyang.
“Hai! Jangan bergerak! Salah-salah tenaga dalamku bisa masuk ke tempat lain!” Kakek Segala Tahu berseru.
“Kakek setan! Tusukan tongkatmu menciptakan bokongku gatal dan geli!” jawab Sinto Gendeng.
Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan.
“Tahan saja! Pekerjaan ini tidak lama! Sebentar lagi juga selesai!” berkata si kakek.
“Jangan terlalu keras menekan bokongku!” kata Sinto Gendeng yang dijawab oleh Kakek Segala Tahu dengan tawa bergelak. Lalu ke dua orang renta itu sama-sama berdiam diri. Sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk menolong Naga Kuning yang terluka parah di sebelah dalam akhir hantaman pukulan sakti Kipas Neraka yang dilancarkan Sabai Nan Rancak. Dari tiga cuilan tubuh di mana tiga tusuk konde ditancapkan tiba-tiba keluar cairan berwarna biru.
“Racun pukulan menciptakan darah anak ini berwarna biru…” kata Sinto Gendeng dalam hati sementara di belakangnya Kakek Segala Tahu yang bermata putih tampak tenang-tenang saja walau sekujur tubuhnya telah lembap oleh keringat. Darah bercampur racun mengalir terus. Bersamaan dengan itu warna biru di verbal Naga Kuning perlahan-lahan berkurang. Wajahnya yang tadi merah berangsur-angsur berubah putih. Hawa panas yang menjalari tubuhnya juga mulai berkurang. Begitu warna biru di sekitar bibirnya lenyap , darah yang keluar dari tiga tempat bacokan konde berubah pula menjadi merah.
Sinto Gendeng tarik nafas lega. Kakek Segala Tahu kerenyitkan kening. Walau tidak melihat tapi kakek sakti ini bisa menduga apa yang terjadi. Maka beliau segera kerontangkan kaleng rombengnya keras-keras. Membuat Sinto Gendeng tergagau kaget dan tak sanggup mengunci verbal menahan makian. Sambil memaki panjang pendek Sinto Gendeng cabut tusuk konde di kepala dan dua kaki Naga Kuning. Benda ini kemudian ditancapkannya kembali ke kulit kepalanya.
Di tanah , Naga Kuning yang tadi pingsan gerakkan kaki kanannya kemudian dari tenggorokannya terdengar bunyi menggeru. Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya yang semenjak tadi terpejam. Begitu beliau melihat wajah renta menyeramkan si nenek dan si kakek yang ketika itu masih saja menusukkan tongkatnya ke pantat Sinto Gendeng , si anak usap-usap matanya sesaat kemudian bertanya.
“Kalian berdua sedang melaksanakan apa? Satu menungging satu menusuk dari belakang! Hik… hik…!”
“Bocah keparat!” Sinto Gendeng mendamprat.
“Jangan kau berpikiran kotor! Kau kira kami ini sedang melaksanakan apa?!" Si nenek kemudian berpaling pada Kakek Segala Tahu dan dengan tangan kirinya beliau kibaskan tongkat yang masih ditusukkan ke pantatnya itu.Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Bocah ajaib! Syukur kau masih bisa bicara tanda kau masih hidup!”
“Bocah geblek! Begitu siuman kau bicara ngacok! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa ketika ini?!”
“Maafkan saya Nek. Tentu saja saya tahu siapa kau adanya. Bukankah kau nenek sakti dari Gunung Gede berjulukan Sinto Gendeng , guru Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Hemmm! Bagus kau masih mengenali diriku. Aku dan kakek ini barusan telah menolongmu dari kematian akhir pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak yang berani kau permainkan!”
”Ah!” Naga Kuning berseru tertahan.
“Saya anak yang tidak tahu diri. Melupakan pertolongan orang. Nek , saya mengucapkan terima kasih. Juga padamu Kek….”
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. ketika dilihatnya Naga Kuning hendak bangun duduk , si kakek tekankan ujung tongkatnya ke dada si anak hingga Naga Kuning kembali terbaring ke tanah.
“Pertolongan kami belum rampung! Tangan kananmu patah. Tiduran saja! Aku akan mengobati. Awas kalau kau berani berteriak kesakitan!”
Naga Kuning gres sadar kalau tangan kanannya patah. Dia pergunakan tangan kiri hendak menyentuh asisten yang patah. Kakek Segala Tahu pukul tangan kiri bocah itu dengan ujung tongkatnya hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Dari dalam buntalan butut yang semenjak tadi dipanggulnya Kakek Segala Tahu keluarkan sebatang rotan sepanjang dua jengkal. Secara aneh rotan ini dibelahnya dengan tongkatnya. Dua belahan rotan ditempelkannya di lengan yang patah. Satu di sebelah kiri satu di sebelah kanan. Si kakek kemudian keluarkan segulung sobekan kain dan diserahkannya pada Sinto Gendeng seraya berkata.
“Tolong kau ikat kain ini di lengannya. Tepat di sekitar dua belahan rotan!”
Dengan merengut Sinto Gendeng lakukan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Selesai tangannya diikat Naga Kuning bertanya.
“Apa saya boleh bangun kini Kek?”
Kakek Segala Tahu tidak menjawab. Melainkan tiba-tiba ayunkan tongkatnya menggebuki lengan kanan anak itu pada cuilan yang dibalut kain. Kalau tidak ingat ucapan si kakek pasti ketika itu Naga Kuning sudah menjerit kesakitan digebuki begitu rupa. Dia hanya bisa berdiam diri pejamkan mata sambil menggigit bibir menahan sakit. Cukup usang gres Kakek Segala Tahu menghentikan gebukannya.
“Bocah , jangan kau berani melepaskan ikatan dan dua belahan tongkat sebelum lewat dua hari…” berkata Kakek Segala Tahu.
“Ucapanmu saya ingat baik-baik Kek. Aku berterima kasih kau menolongku walau barusan rasanya sama saja mirip kau mencincangi sekujur lengan ini!” Habis berkata begitu Naga Kuning mencoba bangun berdiri. Namun tubuhnya terhuyung dan hampir terjerembab jatuh.
“Anak tolol! Walau kau selamat dari cidera berat , fatwa darah dalam tubuhmu masih belum lancar!” kata Sinto Gendeng.
“Lekas lakukan sesuatu untuk mengatur jalan darah dan pernafasanmu!”
Mendengar ucapan itu Naga Kuning kemudian cepat-cepat duduk bersila di tanah. Tangan kanan diletakkan di atas paha , tangan kiri dimelintangkan di atas dada. Sepasang mata dipejamkan. Dia atur jalan nafasnya demikian rupa sehingga fatwa darahnya yang kacau perlahan-lahan teratur kembali. Begitu dirasakan keadaannya lebih baik , anak ini gres berani berdiri. Walau masih menghuyung Naga Kuning membungkuk dalam-dalam di hadapan Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang.
“Sinto Gendeng , kalau anak itu yaitu orang yang kuduga , sebetulnya kau yang harus memberi penghormatan padanya. Bukankah begitu?”
Tampang nenek sakti dari Gunung Gede itu menjadi merah gelap. Melihat si nenek salah tingkah Naga Kuning segera berkata sambil goyang-goyangkan tangan kirinya.
“Melihat keadaan lahir saya ini pantas menjadi cicitmu. Makara siapa pun diriku , mengapa kita harus menggunakan segala peradatan yang aneh-aneh!”
Mendengar kata-kata Naga Kuning itu Sinto Gendeng tampak menjadi lega. Sikapnya kini menjadi lunak dan nada ucapannya tidak kasar lagi.
“Naga Kuning , saya butuh beberapa keterangan darimu….”
“Anak kecil sepertiku keterangan apa yang bisa kau sanggup , Nek? Bukankah lebih baik bertanya pada Kakek Segala Tahu yang ada di sampingmu?” jawab Naga Kuning kemudian beliau memperhatikan dada pakaiannya. Seolah gres sadar kalau baju hitamnya robek besar dan dadanya tersingkap. Cepat-cepat anak ini rapikan pakaiannya sebisanya.
“Aku sangat perlu menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau tahu di mana beliau berada…?”
“Makhluk setengah insan setengah roh itu siapa yang tahu di mana beliau berada. Lebih baik kau menanyakan seratus hal yang susah , masih mungkin saya bisa menjawab ,” jawab Naga Kuning.
Sinto Gendeng menggerendeng dalam hati.
“Menurut riwayat , kau yaitu satu-satunya orang yang selalu dekat dengan Kiai itu….”
“Kau mendengar riwayat yang keliru , Nek….”
Sinto Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu di sebelahnya. Walau tidak melihat tapi kakek sakti ini tahu kalau dirinya diperhatikan. Maka beliau pun berkata setengah berbisik.
“Aku bisa tahu seribu satu hal. Tapi perihal di mana beradanya orang sakti merupakan satu dari beberapa hal yang tidak bisa kutembus dengan kesaktianku. Aku yakin anak itu tahu di mana beradanya sang Kiai. Mungkin beliau sudah diperintahkan untuk tidak memberi keterangan apa-apa. Kau harus memutar otakmu Sinto….”
Sinto Gendeng kembali berpaling pada Naga Kuning.
“Kapan terakhir sekali kau berada di Telaga Gajahmungkur?”
“Saya tidak ingat Nek. Tempat itu bukan satu tempat yang indah lagi kini semenjak orang yang menamakan dirinya Datuk Lembah Akhirat bermarkas tak jauh dari telaga itu.”
“Hemm…. Aku sudah mendengar banyak dongeng perihal orang-orang Lembah Akhirat. Katakan apa saja yang kau ketahui Naga Kuning….”
“Tak ada dongeng yang lebih baik daripada tiba sendiri menyelidik ke sana Nek….”
Mendengar ucapan anak kecil itu tadinya Sinto Gendeng hendak meradang marah. Namun dengan bunyi perlahan beliau berkata.
“Aku memang akan ke sana. Tapi banyak urusan yang harus kuselesaikan. Barusan saja waktu di Parangtritis saya sempat melihat muridku Wiro Sableng. Tapi beliau lenyap begitu saja…. Aku harus mencari anak setan itu lebih dulu! Dia berada dalam ancaman besar….”
“Bahaya besar katamu Nek? Justru yang saya tahu muridmu itu banyak pacarnya di mana-mana. Semua cantik-cantik. Berarti hidupnya senang , bukan dalam bahaya! Hik… hik… hik!”
“Naga Kuning , kau memancing kemarahanku! Jika kau tidak punya keterangan berharga yang bisa kau berikan lebih baik kau pergi saja!”
“Nenek Sinto , jangan kau marah. Aku memang mau pergi. Agar kau bisa berdua-dua dengan kakek buta itu….”
“Anak setan!” Sinto Gendeng tidak sanggup lagi menahan kemarahannya.
“Kau kira kami berdua punya korelasi apa yang tidak senonoh?!” si nenek maju mendekati Naga Kuning. Ulurkan tangan hendak menjambak rambutnya yang jabrik.
Si bocah tertawa keras kemudian berkelit. Sambil berlari tinggalkan tempat itu beliau berteriak.
“Kakek Segala Tahu , jangan mau sama nenek itu! Dia bacin pesing! Ha… ha… ha!”
Sinto Gendeng memaki panjang pendek hingga mulutnya yang peot termonyong-monyong. Hendak mengejar namun Naga Kuning sudah kabur. Kini kemarahannya ditumpahkan pada Kakek Segala Tahu.
“Anak setan itu berani mengurang ajari kita! Kau membisu saja mirip tuli! Manusia macam apa kau!”
Kakek Segala Tahu goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng. Lalu beliau tertawa gelak-gelak. Sinto Gendeng sendiri banting-banting kaki saking kesalnya.
“Sinto , ayo kita tinggalkan tempat ini. Sambil berjalan saya akan menuturkan apa saja yang saya ketahui terjadi di rimba persilatan. Hanya ada satu hal penting yang perlu buru-buru saya beritahukan. Pada bulan purnama yang akan tiba saya menerima firasat ada satu kejadian besar akan terjadi di Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm….” Sinto Gendeng bergumam.
“Kalau cuma itu tanpa menggunakan firasat pun saya sudah tahu. Itu sebabnya saya ketika ini akan menuju ke sana….”
“Lalu apa kau sudah mendengar riwayat seorang Datuk yang menguasai sebuah lembah berjulukan Lembah Akhirat. Letaknya tak jauh dari Gajahmungkur….”
“Itu termasuk hal yang akan kuselidiki…. Bocah pembangkang tadi memang benar. Aku harus tiba sendiri menyelidik ke sana!”
“Kita harus berhati-hati Sinto. Banyak tokoh silat terkemuka tiba ke tempat itu.
Mereka tak pernah keluar lagi. Tidak diketahui masih hidup atau sudah menemui ajal. Mayatnya pun tak pernah ditemukan. Mereka lenyap laksana ditelan bumi…. Terakhir yang kuketahui pergi ke sana yaitu tokoh berjuluk Dewa Sedih. Lalu menyusul Dewa Ketawa tidak diketahui pula di mana beradanya. Paling belakangan Sika Sure Jelantik dikabarkan telah bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat…. Banyak urusan yang tidak karuan. Semua kabarnya berpangkal pada sebuah kitab sakti berjulukan Kitab Wasiat Malaikat….”
“Kitab geblek! Itu hanya dongeng isapan jempol saja!” tukas Sinto Gendeng.
“Aku justru beropini lain. Kitab itu kemungkinan besar memang ada. Hanya saja perlu diselidiki apakah Datuk Lembah Akhirat benar-benar memilikinya. Atau kitab itu ada pada orang lain dan sang Datuk cuma mengarang dongeng untuk mengeruk laba tertentu. Guna menarik para tokoh untuk bergabung dengannya.”
“Kalau Dewa Sedih dan saudaranya si Dewa Ketawa benar-benar bergabung dengan Datuk Lembah Akhirat , saya akan menghajar dua renta bangka tidak tahu diuntung itu! Mengenai Sika Sure Jelantik , semenjak muda saya kenal beliau sebagai wanita culas!”
“Hemmm…..Kuharap ucapanmu itu tidak karena Sika Sure Jelantik yaitu juga salah satu sainganmu di masa muda dalam merebut Tua Gila….”
Paras Sinto Gendeng tampak merah mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Mulutnya termonyong-monyong. Mukanya yang keriputan kemudian kelihatan asam. Dalam hati beliau memaki habis-habisan.
“Sinto , saya tahu ketika ini pasti tampangmu merengut cemberut. Tapi kuharap kau mau mendengar kata-kataku. Mungkin Naga Kuning tidak mengetahui di mana beradanya Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi saya yakin anak itu tahu beberapa hai penting dalam rimba persilatan. Makara saya usul biar kita segera mengikuti ke mana larinya….”
“Bocah itu menjengkelkanku. Ke mana beliau mau pergi saya tidak perduli. Aku merasa lebih penting mencari muridku si sableng itu lebih dulu. Kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Keadaannya dalam ancaman besar….”
“Kalau begitu , hemmm…. Kita terpaksa meneruskan perjalanan berlainan arah. Namun ada satu hal sangat penting. Pada ketika bulan purnama empat belas hari di muka , saya harap kau berada di Telaga Gajahmungkur….”
Sinto Gendeng perhatikan wajah kakek buta itu. Mendadak saja hatinya berdebar.
“Ini kali ke dua beliau menyampaikan hal itu. Jangan-jangan ada orang yang sudah tahu mengenai pedang itu…” katanya dalam hati. Lalu beliau bertanya dengan nada tak hirau biar orang tidak curiga.
“Memangnya ada apa di sana?”
“Aku punya firasat akan terjadi satu hal besar di sana.” Lalu orang renta ini mendongak ke langit. Kaleng rombengnya digoyang beberapa kali.
“Aku melihat bulan purnama Sinto. Tapi diselimuti kegelapan….”
“Kau ngacok saja! Bulan purnama mana ada yang gelap!” potong Sinto Gendeng.
“Yang kulihat bukan kegelapan biasa Sinto. Bulan itu terselubung darah menghitam!”
Sinto Gendeng hendak menyampaikan sesuatu. Tapi si kakek lebih dulu menggoyang kalengnya tiga kali berturut-turut. Membuat si nenek palingkan kepala ke jurusan lain sambil menekap telinganya. Ketika beliau membalik kembali si kakek tak ada lagi di tempat itu.
Di kejauhan tampak orang renta itu sudah berada delapan tombak di depan sana. Melangkah tersaruk-saruk dengan pertolongan tongkatnya. Di lain kejap tokoh sakti yang pintar meramal dan bisa melihat banyak hal secara mistik itu lenyap dari pemandangan.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
TIGA

Ratu Duyung tak bisa berlari kencang karena beliau harus mengimbangi Pendekar 212 yang lari tertatih-tatih di belakangnya. Di satu tikungan jalan Wiro hentikan larinya. Dengan bunyi tersendat karena nafas sesak beliau berkata.
“Aku tak sanggup lari lebih jauh. Mau copot jantungku rasanya. Kita ini mau ke mana?”
Ratu Duyung yang ketika itu mengenakan pakaian serba hitam memandang berkeliling.
“Kita sudah cukup jauh meninggalkan teluk. Kuharap di sini cukup aman. Ikuti saya berlindung di balik semak belukar sana.”
Sang Ratu kemudian melangkah ke balik rimbunan semak belukar. Wiro mengikuti. Saat itu Wiro ingat sesuatu. Dia meraba seputar pinggangnya.
“Astaga! Senjataku!” katanya dengan wajah berubah.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) sewaktu terjadi pertempuran di Teluk Parangtritis , Naga Kuning telah pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro untuk menghadapi Sabai Nan Rancak. Namun si nenek sakti berhasil mematahkan tangan anak itu hingga Kapak Naga Geni 212 terlepas mental. Untungnya sebelum senjata mustika itu diambil oleh Sabai Nan Rancak , orang aneh berpakaian dan bercadar kuning mendahului mengambilnya.
“Aku harus kembali ke teluk! Kalau hingga senjata itu jatuh ke tangan orang lain , saya bisa celaka seumur-umur!”
“Wiro , tunggu!” kata Ratu Duyung seraya cepat memegang tangan sang jagoan , mencegahnya meninggalkan tempat itu.
“Ratu , antara kita memang ada satu hal besar yang perlu dijernihkan. Namun ketika ini saya lebih penting mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Harap kau suka melepaskan peganganmu….” Waktu bicara Wiro memandang ke jurusan lain seolah sengaja tidak mau menatap wajah bagus yang dihias sepasang mata berwarna biru indah itu.
“Wiro , dengar! Dalam keadaanmu mirip ini terlalu berbahaya untuk kembali ke teluk. Aku yakin Sabai Nan Rancak masih berada di sana. Lalu bagaimana kalau perjaka berjulukan Utusan Dari Akhirat itu mengetahui bahwa kau yaitu orang yang selama ini dicarinya?”
“Jadi kau sudah tahu kalau beliau juga bermaksud membunuhku?”
“Memang saya tidak sanggup memastikan. Tapi jikalau beliau mempunyai pukulan sakti Gerhana Matahari pasti beliau punya sangkut paut dengan Pangeran Matahari atau Si Muka Bangkai….”
“Bagaimana kau bisa tahu beliau mempunyai pukulan Gerhana Matahari?” tanya Wiro.
“Sudahlah , hal itu tidak perlu kita perdebatkan…”
“Yang saya heran , bukankah Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai itu sudah tewas di Pangandaran?”
“Mereka boleh mati tapi apakah keganjilan dalam rimba persilatan ini akan terhenti hanya pada kematian mereka berdua?”
“Kau benar. ,.” kata Wiro perlahan.
“Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Kita perlu bicara Wiro. Seperti kau katakan tadi antara kita ada satu problem besar yang perlu dijernihkan.”
“Hemmm….” Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala.
“Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku merasa seolah saya ini bukan diriku lagi….”
“Aku mengerti. Semua berpangkal pada diriku. Gurumu menuduh saya mencelakai dirimu. Aku tidak menyalahkan gurumu. Tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku hanya mementingkan diri sendiri. Gara-gara keinginanku lepas dari kutukan itu. Tapi sebaliknya kau yang jadi celaka. Wiro , jikalau saja saya tahu hal itu akan terjadi dengan dirimu , saya tidak akan mau melakukannya….”
Wiro terdiam. Dalam hati beliau berkata.
“Aneh , dulu sebelum bertemu saya begitu murka padanya. Sekarang sehabis berhadap-hadapan mengapa rasa murka itu menjadi lenyap. Seolah saya sudah memaafkannya sebelum beliau meminta….”
“Menurut perhitunganku , hanya tinggal sekitar sepuluh hari sebelum kau kembali mempunyai kesaktian dan tenaga dalam mirip dulu. Karena itu selama sisa waktu itu izinkan saya selalu mendampingimu. Kalau ancaman mengancam saya rela mengadu jiwa untuk keselamatanmu….”
Wiro menghela nafas panjang.
“Aku tidak tahu harus berkata apa. Dulu begitu sadar saya kehilangan segala-galanya sehabis kita berada di Puri itu , saya benar-benar naik pitam. Aku ingin mencarimu , ingin menghajarmu. Tapi sekarang….”
“Jika itu kehendakmu , saya siap mendapatkan hukuman. Dulu , saya begitu ingin bebas dari kutukan jahat itu. Setelah terlepas dari kutukan saya jadi takut sendiri untuk hidup di dunia mirip duniamu. Karenanya saya sudah mengambil tekad jikalau semua urusan selesai saya akan kembali berkumpul bersama anak buahku dalam alam serba mistik itu….”
“Kalau begitu pengorbananmu sia-sia belaka….”
“Bukan pengorbananku Wiro. Tapi pengorbananmu. Ketahuilah tak ada pengorban-an yang sia-sia. Setiap kejadian ada hikmahnya sendiri-sendiri walau mungkin gres di kemudian hari kita rasakan. Aku minta maaf atas semua apa yang terjadi. Jika kau ingin menghukumku , saya sudah siap. Lakukanlah ketika ini juga….”
Wiro garuk-garuk kepala. Wajahnya diangkat sedikit untuk melirik wajah sang Ratu. Saat itulah Wiro melihat bagaimana Ratu Duyung tegak dengan kepala tertunduk. Butiran-butiran air mata menetes jatuh membasahi kedua pipinya yang halus. Murid Sinto Gendeng jadi salah tingkah. Dia paling tidak bisa melihat orang menangis. Apalagi gadis secantik sang Ratu.
“Ratu , kurasa waktu di Puri dulu kau dan saya belum sempat melaksanakan apa-apa. Tapi mengapa….”
“Itu semua terjadi atas kuasaNya Yang Maha Kuasa. Aku meminta dengan hati higienis padaNya. Kau menolong dengan segala ketulusan. Sehingga sebelum itu terjadi saya telah terlepas dari kutukan. Hanya saja kau yang menanggung akibatnya….”
Wiro terdiam. Bukan saja karena mendengar ucapan Ratu Duyung tapi juga karena beliau kembali ingat pada Kapak Naga Geni 212 miliknya.
“Kita sudah bicara. Segala sesuatunya serba terang kini….”
“Jelas sudah , tapi apakah kau bisa mengerti dan mau memaafkan diriku?” tanya Ratu Duyung.
“Aku sudah memaafkan Sebelum kau meminta ,” jawab murid Sinto Gendeng pula.
“Antara kita tidak ada lagi kesalahpahaman. Sekarang izinkan saya kembali ke teluk untuk mencari senjata mustikaku…”
“Jangan pergi. Baiknya saya melihat ke dalam cermin lebih dulu ,” kata Ratu Duyung. Lalu beliau segera keluarkan cermin lingkaran dari balik baju hitamnya. Ketika beliau memandang ke dalam cermin sakti terkejutlah gadis bagus bermata biru itu.
“Ada apa Ratu?” tanya Wiro ketika melihat perubahan wajah sang Ratu.
“Aku melihat dua orang perjaka menuju ke tempat ini. Yang pertama perjaka berjulukan Utusan Dari Akhirat itu. Di belakangnya seorang perjaka berpakaian hijau. Aku rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya tapi lupa di mana…. Wiro , mereka segera hingga di sini. Lekas berlindung di balik pohon besar sana.”
Dada Pendekar 212 berdebar juga mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung itu. Tapi beliau tetap tidak bergerak dari tempatnya.
“Apa pun yang terjadi kita hadapi semua urusan bersama-sama….”
Ucapan Wiro menyentuh lubuk hati sang Ratu hingga gadis ini meremas jari-jari tangan Wiro penuh perasaan haru. Niatnya untuk bersedia mati demi menyelamatkan Wiro jadi bertambah besar. Ratu Duyung simpan kacanya di balik pakaian kemudian mendahului keluar dari rumpunan semak belukar. Wiro mengikuti. Belum usang mereka keluar dari balik semak-semak , mirip yang dilihat Ratu Duyung dalam cermin saktinya , dua perjaka tampak berlari cepat dari kejauhan. Wiro segera mengenali. Di sebelah depan yaitu Utusan Dari Akhirat. Di belakangnya menyusui perjaka sahabatnya berjulukan Panji.
“Heran , bagaimana Panji bisa muncul bersama perjaka ini. Bukankah sebelumnya beliau bersama Anggini dan Iblis Pemalu?” Baru saja Wiro berkata dalam hati , Utusan Dari Akhirat dan Panji telah hingga di hadapannya.
“Kau!” kata Utusan Dari Akhirat sambil menunjuk tepat-tepat ke arah Wiro yang berdiri tiga langkah di hadapannya.
“Tidak dinyana tidak diduga! Pemuda yang tadinya kuanggap bersahabat ternyata yaitu orang yang harus kubunuh! Wiro Sableng , sungguh mengenaskan kau harus mati di tanganku!”
Panji yang berdiri di samping Utusan Dari Akhirat maju selangkah dan berkata.
“Saudara , saya tidak ingin kau salah menurunkan tangan. Aku memang tidak tahu nama perjaka ini. Dia kukenal dengan julukan Pendekar 212. Kalau kau mencari Wiro Sableng , orangnya yaitu seorang renta renta. Bukan dia!”
Utusan Dari Akhirat tertawa lebar.
“Pendekar 212 dan Wiro Sableng yaitu orang yang sama! Kita barusan saja bertemu di tengah jalan. Aku menganggapmu sebagai seorang sahabat. Pemuda beranting emas , jangan kau berani menipuku!”
“Aku bersumpah tidak menipumu!” kata Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Aku pernah bertemu sendiri dengan Wiro Sableng. Orangnya tua. Berambut dan berjanggut putih….”
Seperti diceritakan dalam Episode pertama (Tua Gila Dari Andalas) ketika berada di Kerajaan Pulau Sipatoka , Tua Gila secara main-main dan seenaknya telah memberitahu pada Raja Tua Datuk Paduko Intan dan Datuk Pangeran Rajo Mudo bahwa namanya yaitu Wiro Sableng. Tentu saja beliau tidak pernah menduga kalau ucapannya itu di kemudian hari akan menjadikan problem mirip yang kini terjadi.
Sementara Utusan Dari Akhirat dan Panji bertengkar maka Wiro sendiri dan juga Ratu Duyung merasa heran mengapa Panji menyampaikan bahwa beliau bukan Wiro Sableng dan Wiro Sableng yaitu seorang renta renta.
“Ada yang tidak beres…” bisik Wiro pada Ratu Duyung.
“Kukira begitu. Tapi saya sudah bisa menduga jalan ceritanya. Tua Gila pernah menuturkan padaku bahwa satu ketika beliau tersesat ke sebuah pulau. Mungkin sekali ketika itu….”
“Kalian berdua berbisik-bisik apa?!” Utusan Dari Akhirat membentak.
“Sahabat! Pemuda ini yaitu temanku! Dan beliau bukan Wiro Sableng!” Lagi-lagi Panji berusaha meyakinkan.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung.
“Jika kau memang sahabatnya saya persilahkan bergabung dengannya. Aku tidak segan-segan membunuh kalian berdua.”
Dalam bingungnya Panji kembali hendak berkata. Namun ketika itu Wiro mengangkat tangannya. Padahal sebetulnya Ratu Duyung hendak bicara untuk menciptakan Utusan Dari Akhirat menjadi tambah gundah biar Wiro bisa diselamatkan.
“Utusan Dari Akhirat ,” kata Pendekar 212.
“Walau cuma sebentar tapi sebelumnya kita pernah bersahabat. Namun apa artinya persahabatan itu jikalau kau memang mempunyai maksud membunuh seorang berjulukan Wiro Sableng , berjuluk Pendekar 212. Karena akulah orang yang kau cari! Aku Wiro Sableng. Aku Pendekar 212!”
“Berani mati orang ini!” keluh Ratu Duyung dalam hati. Dia cepat melangkah maju dan tegak membelakangi Wiro. Sambil bertolak pinggang beliau berkata pada Utusan Dari Akhirat.
“Saudara , jikalau hatimu meragu jangan sekali-kali menurunkan tangan jahat apalagi membunuh. Harap kau suka meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu sahabatku!”
Utusan Dari Akhirat tersenyum.
“Sia-sia saja kalau kau bermaksud melindunginya. Orang yang punya diri telah memberitahu siapa dirinya! Jika kau punya maksud menantang diriku , saya tidak keberatan menjadikan dirimu sebagai korban berikutnya. Berarti hari ini saya harus mencabut tiga nyawa sekaligus!”
Habis berkata begitu Utusan Dari Akhirat melompat mundur dua langkah. Sepasang lututnya ditekuk. Tubuhnya membungkuk. Tangan kanannya diangkat ke atas. Udara mendadak menjadi redup.
“Ratu Duyung! Lekas menyingkir! Dia hendak lepaskan pukulan Gerhana Matahari!” seru Wiro memperingatkan.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
EMPAT

Meski sudah diperingatkan dan juga mengetahui kedahsyatan pukulan Gerhana Matahari namun Ratu Duyung sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah dengan perilaku damai beliau letakkan tangan kirinya di pinggang. Bersamaan dengan itu sepasang matanya yang bagus tampak menyorotkan sinar aneh. Sikap sang Ratu membuktikan bahwa beliau bersedia menghadapi tantangan atau serangan perjaka berpakaian hitam berambut gondrong di hadapannya.
“Ratu , saya melihat saputan tanda hitam di sekitar bibirmu. Pertanda sebelumnya kau pernah terluka di dalam. Makara jangan nekad….” Wiro berbisik.
Sang Ratu tersenyum kecil. Tanpa berpaling beliau menjawab.
“Ternyata kau masih bermata tajam walau dalam keadaan sakit. Tak usah khawatir. Aku sudah sembuh. Gurumu Eyang Sinto Gendeng yang mengobati!”
“Apa…?” kejut Wiro.
“Kapan kau bertemu dia? Di mana?!”
“Nanti saja saya ceritakan. Biar saya hadapi perjaka kesasar ini dulu….”
Karena merasa khawatir Pendekar 212 maju selangkah mendekati Utusan Dari Akhirat yang ketika itu tegak semakin membungkuk dan asisten diangkat ke atas. Sementara udara bertambah redup.
“Tahan!” tiba-tiba murid Sinto Gendeng berseru.
“Utusan Dari Akhirat! Mengapa kau punya niat jahat hendak membunuhku! Apa hubunganmu dengan Pangeran Matahari?!”
Sesaat Utusan Dari Akhirat terdiam. Namun kemudian perjaka ini menyeringai kemudian tertawa bergelak.
“Pertanyaan orang yang hendak mampus memang harus dijawab biar di alam abadi rohnya tidak jadi setan penasaran!”
“Jawab saja pertanyaanku! Jangan bicara tidak karuan! Kau sendiri sudah jadi setan ngacok sebelum mampus!” tukas murid Sinto Gendeng saking marahnya.
Rahang Utusan Dari Akhirat menggembung. Alisnya mencuat ke atas. Walau tampangnya tidak sama dengan Pendekar Matahari tapi Wiro melihat seperti perjaka di hadapannya itu telah berkembang menjadi sosok sang Pangeran. Hal ini menciptakan Wiro jadi bergidik karena menyadari bahwa beliau tidak bisa berbuat sesuatu kecuali mengandalkan jubah sakti Kencono Geni yang menempel di tubuhnya serta ilmu silat orang tidur yang diberikan si Raja Penidur.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!” Utusan Dari Akhirat membuka mulut.
“Agar kau puas ketahuilah bahwa saya yaitu adik satu guru Pangeran Matahari , murid kakek sakti Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat , kau menanggung dosa dan tanggung jawab atas kematian kedua orang itu! Apa kau kini sudah puas dan siap mendapatkan kematian?!”
Sulit bagi murid Sinto Gendeng mempercayai ucapan Utusan Dari Akhirat
“Dia memang mempunyai pukulan sakti Gerhana Matahari yang hanya dimiliki si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari. Tapi kedua orang Itu sudah tewas di Pangandaran. Dari mana bedebah ini mendapatkan ilmu kesakitan itu Sulit kuduga. Selain itu tak pernah saya mendengar Pangeran Matahari punya seorang adik seperguruan….” Wiro membatin.
“Kau belum memberitahu mengapa kau ingin membunuhku! Juga dua orang lainnya yaitu sahabatku Bujang Gila Tapak Sakti serta Kakek Tua Gila!”
Kembali Utusan Dari Akhirat sunggingkan seringai.
“Waktu di pantai bukankah saya sudah menyampaikan padamu? Membunuhmu dan dua orang itu yaitu perjanjian keramat yang menjadi tugasku! Kematian kalian yaitu takdir dari Yang Diatas!”
“Jahanam!” maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Katakan siapa yang menugaskanmu!”
“Roh mistik guruku Si Muka Bangkai!” jawab Utusan Dari Akhirat. Ketika dilihatnya Wiro tercengang melamun mendengar ucapannya itu perjaka ini berkata.
“Ada lagi yang ingin kau katakan atau tanyakan sebelum mampus?!”
“Ya ada! Kau tolol dan gila! Punya guru dan kakak seperguruan yang sudah jadi hantu!” jawab Wiro.
Tampang Utusan Dari Akhirat kelam membesi. Dari hidungnya keluar bunyi mendengus. Bersamaan dengan itu beliau menghantam ke depan. Di ketika yang sama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang tetap yakin bahwa insan berjulukan Wiro Sableng yaitu orang renta yang pernah tiba ke pulaunya tempo hari , berteriak seraya mendorong Utusan Dari Akhirat ke samping.
“Saudara! Pemuda itu bukan Wiro Sableng!”
Tiga larik sinar kuning , merah dan hitam berkiblat. Namun karena tubuhnya terdorong keras ke samping , serangan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Dari Akhirat meleset setengah tombak dari sasaran yang dituju yakni Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika melihat orang melancarkan serangan Ratu Duyung cepat mendorong tubuh Wiro ke samping hingga Serangan lawan semakin meleset jauh. Bersamaan dengan itu dari sepasang mata Ratu Duyung melesat dua sinar biru , menderu ke arah Utusan Dari Akhirat. Sang Ratu sengaja tidak menghantam eksklusif perjaka di hadapannya tapi hanya mengarahkan serangan setengah tombak di depan kaki lawan ,
“Byurrr! Byuuuur!”
Tanah di depan Utusan Dari Akhirat muncrat ke atas. Pemuda itu berseru kaget dan melompat dua tombak ke atas seraya melotot menyaksikan bagaimana di bawah sana kini kelihatan dua lobang besar mengepulkan asap biru.
“Itu sekedar peringatan dariku! Harap kau lekas angkat kaki dari tempat ini!”
Utusan Dari Akhirat memandang dengan mata berkilat-kilat. Tampaknya beliau tidak perduli dengan ucapan Ratu Duyung. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat itu. Malah kini beliau angkat ke dua tangannya ke atas dengan telapak terkembang.
“Jahanam! Bangsat ini hendak lepaskan pukulan Telapak Matahari!” kata Wiro dengan bunyi bergetar dan sempat terdengar oleh Ratu Duyung yang ada di sebelahnya.
“Aku memberi peringatan! Kau tetap berkeras kepala! Kau menentukan kematian di usia muda!” kata Ratu Duyung. Lalu tangan kirinya menyelinap ke balik baju hitam. Sesaat kemudian sang Ratu telah memegang cermin sakti. Cahaya menyilaukan yang keluar dari cermin dan melintas di wajah Utusan Dari Akhirat menciptakan perjaka ini tercekat. Dia cepat lindungi matanya dengan tangan kiri. Percaya bahwa beliau mempunyai kesaktian yang bisa menghadapi gadis bagus di depannya itu , si perjaka tetap tak bergeming dari tempatnya.
Dari belakang Panji yang tadi gagal mencegah serangan , untuk ke dua kalinya berusaha menarik dan mendorong tubuh Utusan Dari Akhirat. Kali ini Utusan Dari Akhirat tak tinggal diam. Begitu pinggangnya dicekal , sikutnya bergerak , menghantam ke belakang.
“Bukkk!”
Panji terpental dua tombak dan jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya serasa melesak kena hantaman sikut Utusan Dari Akhirat. Menahan sakit dan juga terbakar oleh hawa amarah Panji bangun berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang kemudian terdengar bunyi berdesing. Utusan Dari Akhirat merasa ada hawa cuek menyambar ke arah dua tangannya yang diangkat ke atas. Tanpa berpaling perjaka ini condongkan tubuh ke depan. Kaki kirinya menekan ke tanah. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar ke belakang dan kaki kanannya melesat.
Panji terkesiap kaget ketika melihat kaki kanan Utusan Dari Akhirat tahu-tahu melesat ke arah kepalanya. Dia cepat membungkuk sambil tusukkan pedang ke selangkangan lawan yang terbuka. Namun kaki kanan Utusan Dari Akhirat menghantam lebih dulu.
“Bukkk!”
“Breett!”
Panji mengeluh tinggi. Bahu kirinya serasa remuk. Tubuhnya terlempar dan terbanting di tanah. Dia berusaha bangun tapi roboh kembali megap-megap. Utusan Dari Akhirat tekap paha kiri celananya yang robek besar tersambar ujung pedang lawan. Seperti diketahui walau beliau mempunyai pukulan sakti yang dipelajarinya dari kitab
“Matahari , Sumber Segala Kesaktian” , namun intinya perjaka yang dulu berjulukan Layang Kemitir ini belum mempunyai dasar ilmu silat yang luar biasa. Itu sebabnya walau Panji sendiri tidak mempunyai ilmu silat tingkat tinggi namun perjaka dari Pulau Kerajaan Sipatoka ini masih sempat menusukkan pedangnya merobek paha kiri celana hitam lawan.
Utusan Dari Akhirat dalam keadaan murka besar melompat ke hadapan Panji. Kaki kanannya diayunkan untuk menendang kepala orang. Baik Wiro maupun Ratu Duyung sama mengetahui kalau tendangan itu bukan sembarang tendangan. Sekali kena dihantam maka kepala perjaka berkulit sawo matang dan beranting emas itu akan hancur. Nyawanya tidak tertolong lagi. Seolah lupa akan keadaan dirinya Wiro melompat ke muka untuk berikan pertolongan. Ratu Duyung berteriak memberi ingat tapi terlambat. Pendekar 212 hantamkan tangan kanannya ke pelipis kiri Utusan Dari Akhirat. Yang diserang tidak perdulikan serangan Hu beliau tetap teruskan tendangannya ke kepala Panji.
“Bukkkk!”
Jotosan Wiro mendarat di pelipis Utusan Dari Akhirat. Kepalanya hanya tersentak sedikit dan kelihatan kemerahan. Sebaliknya Wiro mengeluh kesakitan dan pegangi tangannya. Jotosan yang dilancarkan dengan seluruh kekuatan tenaga luar itu menciptakan beliau kesakitan sendiri. Sementara usahanya untuk menolong Panji tidak berhasil. Karena tendangan kaki kanan Utusan Dari Akhirat terus menderu ke kepala Panji. Sesaat lagi kepala Panji akan dibikin pecah oleh tendangan Utusan Dari Akhirat , mendadak di udara terdengar bunyi orang meraung disusul dengan bunyi tangis yang menciptakan semua orang tersirap. Lalu ada sesuatu menahan kaki kanan Utusan Dari Akhirat yang menciptakan tendangannya bukan saja tertahan tapi tubuhnya terhuyung keras ke belakang kemudian jatuh terduduk di tanah.
“Aku melihat langit! Aku melihat bumi! Aku melihat bawah umur insan di tempat ini berlaku salah kaprah! Bukankah nyawa mereka berada di tanganku…? Hik… hik… hik!” Suara tangis aneh memenuhi tempat itu.
Semua orang tersentak kaget. Lebih-lebih Utusan Dari Akhirat yang kini terhantar di tanah. Semua kepala dipalingkan ke kiri di mana ketika itu tampak tegak seorang kakek berwajah murung. Berkulit sangat hitam , mengenakan pakaian berupa selempang kain putih. Rambutnya digulung dan diikat di atas kepala. Alisnya panjang menjulai ke bawah. Tangan kirinya tiada henti mengusap sepasang matanya. Kakek ini keluarkan bunyi tangis berkepanjangan.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
LIMA

Sepasang mata Ratu Duyung tak berkesip memandangi sosok kakek yang tegak menangis itu. Demikian pula dengan Wiro Sableng.
“Dewa Sedih. Tokoh aneh berkepandaian tinggi. Terakhir sekali saya melihatnya di Pangandaran. Manusia satu ini memang aneh. Tapi kali ini saya mencicipi ada satu keganjilan lain dalam dirinya….” Membatin Ratu Duyung.
Wiro sendiri yang semula besar hati melihat kemunculan orang renta ini namun menindih perasaannya ketika pandangannya membentur asisten Dewa Sedih.
“Aneh…” desis Wiro dalam hati.
“Tangan kanan Dewa Sedih berwarna hitam. Padahal dulu-dulu tidak. Lalu apa maksud ucapannya tadi. Nyawa siapa yang dimaksudkannya berada di tangannya?”
“Kakek , kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih….” Kesunyian di tempat itu dipecahkan oleh bunyi Panji. Pemuda ini menciptakan gerakan menjura dalam keadaan berlutut kemudian bangun berdiri. Dewa Sedih menggerung keras.
“Ucapan terima kasih yaitu pengantar perkabungan. Hik… hik… hik! Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku melihat nyawa beterbangan dari bumi ke langit. Dari tempat ini ke atas sana….” Wiro garuk kepala melihat tindak tanduk Dewa Sedih yang tidak mirip biasanya ini. Maka beliau pun memancing.
“Dewa Sedih , saya senang berjumpa lagi denganmu. Apa kau ada baik-baik saja? Apa kau tahu di mana adikmu Si Dewa Ketawa kini berada?” Dewa Sedih mendongak ke langit. Sepasang matanya dipejamkan. Tangisnya seolah ditahan hingga beliau terseguk-seguk. Lalu perlahan-lahan beliau turunkan kepalanya dan berpaling ke arah .Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu pandangannya membentur tampang murid Sinto Gendeng itu maka meraunglah si kakek. Tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
“Anak manusia! Aku sedih. Tangis di mataku. Ratap di hatiku! Kau yaitu orang yang saya cari selama ini! Kau yaitu orang pertama yang nyawanya harus kupindah dari tubuh kasar ke alam barzah. Dari bumi ke langit! Hik… hik… hik…. Anak muda saya terpaksa membunuhmu ketika ini juga. Betapa menyedihkan…. Hik… hik… hik! Kau mati lebih dulu. Yang lain-lain bisa menyusul kemudian!”.
Berubahlah paras Pendekar 212 mendengar ucapan Dewa Sedih. Ratu Duyung terkesiap. Tenaga dalam segera dikerahkan ke tangan kanan. Sepasang matanya memancarkan kilat. Tangan kiri menggenggam gagang cermin lingkaran erat-erat.
“Kalau kakek sinting ini berani melepaskan tangan jahat terhadap Wiro , saya tidak akan menyesal membunuhnya ketika ini juga!” kata sang Ratu dalam hati.
“Dewa Sedih! Apa yang terjadi denganmu. Sejak usang kau menjadi sahabatku dan sahabat orang-orang rimba persilatan golongan putih. Mengapa ketika ini kau muncul hendak membunuhku? Jangan-jangan ada yang telah mempengaruhimu?!” Wiro bertanya dan eksklusif menyatakan kecurigaannya.
Dewa Sedih menangis keras. Lalu berucap.
“Persahabatan hanya sekental embun pagi. Maksud hendak membunuh sekeras butiran logam. Siapa yang besar lengan berkuasa itu yang menang. Mana mungkin embun lebih besar lengan berkuasa dari logam! Anak insan saya mengemban kiprah untuk membunuhmu! Kalau saya gagal , saya akan celaka seumur-umur! Barangku tak akan kembali ke tempat asalnya. Lebih baik saya mati daripada tak punya barang! Apa gunanya hidup! Hik… hik… hik!” Habis berkata begitu Dewa Sedih kemudian menangis kembali.
“Ah , dugaanku tidak meleset. Ada sesuatu yang telah menghipnotis kakek ini!” ujar Wiro dalam hati.
“Siapa yang memberi kiprah padamu?!” Tiba-tiba Ratu Duyung membuka suara. Tanpa berpaling pada sang Ratu , Dewa Sedih terus saja menangis. Begitu bunyi tangisnya reda beliau berkata.
“Anak gadis , mungkin kau satu-satunya yang bisa kuampuni nyawanya. Tapi dengan syarat harus ikut bersamaku sehabis yang lain-lain kukirim ke langit. Hik… hik…. Betapa untungnya dirimu. Betapa malangnya nasib tiga kurcaci muda yang ada di tempat ini!”
“Dewa Sedih , ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu! Harap kau mengingat-ingat. Kuasai hati , kuasai jalan pikiran! Jangan hingga salah menurunkan tangan!” kata Wiro.
Tangis Dewa Sedih tertahan. Suara segukan keluar dari tenggorokannya berulang kali.
“Aku tahu hatiku! Aku tahu pikiranku! Aku melihat langit! Aku melihat gantungan tempat nyawamu sebentar lagi bercokol! Jangan menciptakan hatiku tambah sedih anak muda!”
Dewa Sedih putar tubuhnya ke arah Wiro. Selangkah demi selangkah beliau maju mendekati murid Sinto Gendeng sambil tangan kanannya yang berwarna hitam diangkat setinggi dada. Tiba-tiba Utusan Dari Akhirat melompat dan tegak menghadang langkah Dewa Sedih.
“Orang renta aneh! Aku tidak tahu siapa kau adanya! Aku tidak akan perduli siapa adanya dirimu! Ketahuilah nyawa perjaka berjulukan Wiro Sableng itu sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tugasmu tidak sepenting tugasku!”
“Hik… hik…! Apakah satu nyawa bisa dibagi dua? Bagaimana cara membaginya?! Daripada membagi dua bukankah lebih baik ditambah satu nyawa lagi? Makara ada dua nyawa yang harus kucabut secara berbarengan! Sungguh sedih….. Sungguh sedih! Hik… hik… hik!”
Tangan kanan Dewa Sedih bergerak ke arah Wiro.
“Tunggu!” Ratu Duyung berseru seraya letakkan cermin lingkaran di depan dada.
Dewa Sedih usap matanya yang basah.
“Apa maumu anak gadis? Ingin minta mati duluan?!”
“Kau tadi bilang membunuh Pendekar 212 karena mengemban tugas. Katakan siapa yang memberi kiprah padamu!” Dewa Sedih mendongak ke atas kemudian meraung keras.
“Aku melihat langit. Aku mendengar anak insan bertanya perihal kematian. Biarlah malaikat maut saja yang nanti akan menjawab!”
“Tua bangka pengecut! Kau cuma bisa mewek menangis mirip bayi! Tapi takut memberitahu siapa tuan majikanmu! Dengar baik-baik , kau tidak akan bisa kembali menghadap dan berlutut di hadapan majikanmu! Kau akan menemui kematian lebih dulu di tempat ini!” Lalu Ratu Duyung berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kau hendak membunuh Wiro? Kau tentu tidak mau keduluan oleh kakek gila ini! Bagaimana kalau kita gotong royong memperlihatkan jalan ke neraka padanya. Aku mau tahu apa beliau masih bisa menangis di akhirat!”
Utusan Dari Akhirat sesaat terkesiap mendengar ucapan Ratu Duyung itu. Tapi dalam hati beliau mengakui ucapan si gadis bermata biru ada benarnya juga. Ratu Duyung berpaling ke arah Panji.
“Ambil pedangmu! Kau juga harus ikut membantu!”
Walau cidera tapi Panji jadi terbakar semangatnya. Dengan cepat beliau mengambil pedang yang tergeletak di tanah. Pemuda ini menyadari bahwa ketika itu beliau berada di tengah orang-orang berkepandaian tinggi. Dibanding dengan dirinya maka beliau bukan apa-apa. Namun rasa setia mitra yang ada dalam dirinya terhadap Wiro menciptakan beliau tidak merasa gentar* Hanya saja hingga ketika itu beliau merasa bingung. Apa betul perjaka berambut gondrong berpakaian hitam itu yaitu benar-benar Wiro Sableng?
“Wiro ,” bisik sang Ratu kemudian pada murid Sinto Gendeng.
“Jika terjadi bentrokan pukulan sakti , harap kau lekas mencari tempat berlindung. Aku menduga keras kakek ini telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat….”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Wiro.
“Lihat tangan kanannya. Berwarna hitam. Dia telah mempunyai ilmu pukulan maut yang disebut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. ilmu ini hanya dimiliki Datuk Lembah Akhirat dan kaki tangannya. Siapa yang kena hantamannya , tubuhnya akan jadi bubuk berwarna hitam!”
“Gila! Berbahaya sekali kalau begitu!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Apa jubah sakti yang kupakai tidak sanggup menahan kehebatan ilmu setan itu?”
“Aku tidak berani menduga-duga. Sebaiknya lekas cari selamat. Cari perlindungan….”
Wiro tak segera beranjak. Yang terpikir olehnya ketika itu yaitu bagaimana alhasil kalau Dewa Sedih menemui kematian di tangan orang-orang itu. Adiknya si Dewa Ketawa pasti akan murka besar. Orang-orang golongan putih akan ikut campur. Urusan besar bakal menghadang. Ternyata Ratu Duyung bisa membaca jalan pikiran murid Sinto Gendeng. Maka cepat beliau berkata dengan bunyi lantang biar Dewa Sedih ikut mendengar.
“Wiro! Buang kebimbangan dalam hatimu! Kakek di hadapan kita bukan insan baik-baik yang bisa dipercaya sebagai sahabat. Walau beliau bukan dari golongan hitam tapi beliau juga bukan tokoh golongan putih. Seringkali beliau tidak punya pendirian. Kalaupun punya maka beliau berada di pihak yang sesat. Ingat kejadian di Pengandaran tempo hari?
Kakek berhati bengkok ini sudah saatnya disingkirkan. Kalau tidak dunia persilatan akan dibikin kisruh oleh ulahnya!”
Dewa Sedih tersurat dua langkah. Matanya mendelik memandang pada Ratu Duyung. Lalu terdengar ratapnya.
“Aku dibilang bukan insan baik-baik. Hik… hik! Aku dikatakan tidak punya pendirian! Aku dibilang berhati bengkok dan harus disingkirkan! Hik… hik… hik! Malangnya nasibku! Anak gadis bermata biru , mulutmu lancang. Hatimu pasti tidak sebagus wajahmu! Lihat ke langit! Lihat bumi! Antara keduanya itulah jalanmu ke neraka!”
Dewa Sedih keluarkan satu gerungan keras. Tangan kanannya dihantamkan ke arah Ratu Duyung. Selarik Sinar hitam menggidikkan melesat. Inilah pukulan ganas mengandung tenaga dalam tinggi berjulukan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Siapa yang terkena maka tubuhnya akan dikobari api berwarna kehitaman. Lalu tubuh itu akan musnah berkembang menjadi bubuk mengerikan! Dewa Sedih mendapatkan ilmu kesaktian ini eksklusif dari Datuk Lembah Akhirat karena kiprah yang diberikan kepadanya sangat berat yakni membunuh beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Satu diantaranya yaitu Wiro Sableng!
Di samping itu sang Datuk merasa cukup sanggup mempercayai Dewa Sedih karena sebelumnya kakek ini telah berhasil membunuh beberapa tokoh silat golongan putih. Antara lain si Janggut Biru Berhati Emas dari daerah timur.
Ketika Dewa Sedih menggerakkan tangannya , sebelum sinar hitam berkiblat Ratu Duyung tidak tinggal diam. Gadis bagus dari alam aneh ini hentakkan kaki kanannya ke tanah. Tempat itu bergetar hebat laksana diredam gempa. Lalu tangan kirinya yang memegang cermin sakti dibabatkan ke depan. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya memancar dua larik sinar biru angker.
Di sebelah belakang Panji yang memegang pedang , begitu melihat tubuh Dewa Sedih bergerak dan tangannya menghantam ke depan segera melompat sambil babatkan pedang. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyerang terpaksa melompat mencari perlindungan.
Layang Kemitir alias Utusan Dari Akhirat sesaat merasa gundah siapa yang bakal diserangnya. Dia ingin membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangannya sendiri. Jika Wiro hingga menemui kematian di tangan si kakek berarti beliau tidak akan sanggup melaksanakan kiprah dari roh mistik Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai. Dalam keadaan mirip itu akhirnya beliau menciptakan keputusan bahwa beliau harus ikut menghantam Dewa Sedih. Maka dari samping beliau lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning , hitam dan merah menggemuruh ke arah si kakek.
Dewa Sedih menggerung keras. Dia tidak menyangka akan menerima serbuan begitu hebat. Walau beliau yakin pukulan maut yang dilepaskannya akan sanggup membunuh Ratu Duyung tapi di ketika bersamaan beliau terpaksa harus menyingkir selamatkan diri dari serangan pedang dari hantaman pukulan sakti Utusan Dari Akhirat.
“Bummm!”
“Bummm!”
“Bummm!”
Tiga letusan dahsyat menggoncang tempat Itu. Sinar hitam , merah , kuning dan biru laksana pijar letusan gunung berapi menggelegar di udara. Wiro terbanting ke tanah , terguling sejauh dua tombak kemudian mengeluh keras ketika keningnya sebelah kanan menumbuk akar pohon besar yang menonjol ke tanah. Ratu Duyung terpental hingga empat tombak. Dia gulingkan diri di tanah kemudian sambil berseru keras gadis ini melompat bangkit. Tubuhnya tergontai-gontai beberapa saat. Wajahnya yang bagus pucat mirip tidak berdarah. Di dadanya ada denyutan keras yang menyesakkan. Tangan kirinya yang memegang cermin lingkaran terasa kaku. Di cuilan lain Panji terkapar tak bergerak di tanah. Dari indera pendengaran dan hidungnya mengucur darah. Dari mulutnya keluar bunyi erang berkepanjangan. Utusan Dari Akhirat tampak tersandar di bawah pohon tak jauh dari tempat Wiro tergeletak dengan kening benjut dan berdarah. Tangan kanannya berdenyut kesemutan. Tak bisa digerakkan seolah lumpuh. Bentrokan pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi tadi telah menciptakan semua orang yang ada di tempat itu mengalami cidera. Termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng walaupun beliau tidak terlibat langsung.
Dalam keadaan masing-masing menderita cidera , semua orang masih sempat menyadari kalau Dewa Sedih tidak ada lagi di tempat itu. Ke mana lenyapnya kakek yang jadi pangkal bahala itu?!
Tiba-tiba terdengar bunyi tangis meraung. Semua kepala sama diangkat. Semua mata memandang ke atas. Di atas pohon besar di bawah mana Utusan Dari Akhirat dan Wiro berada kelihatan sosok Dewa Sedih tegak terbungkuk-bungkuk di atas sebuah cabang. Pakaian putihnya robek dan hangus di beberapa bagian. Dia menangis dengan darah mengucur keluar dari mulutnya.
“Aku melihat langit! Aku melihat bumi! Tapi saya tidak melihat jalan kematian! Datuk Lembah Akhirat mana kedahsyatan pukulan sakti yang kau berikan padaku?!”
Sambil menangis Dewa Sedih angkat tangan kanannya. Sampai sebatas pergelangan tangannya masih tetap berwarna hitam. Namun di atas pergelangan tangan kakek ini tampak merah membengkak.
“Datuk Lembah Akhirat saya menentukan mati daripada malu besar. Kepala ke bawah kaki ke atas! Kaki menjunjung langit , kepala mencium bumi! Hik… hik… hik!”
Di luar dugaan semua orang tiba-tiba Dewa Sedih jatuhkan diri dari cabang pohon. Seperti ratapannya tadi kakinya ke atas dan kepalanya ke bawah. Kakek ini benar-benar melaksanakan bunuh diri. Sesaat lagi kepalanya akan hancur membentur tanah tiba-tiba ada suara
“tar… tar… tar!” Menyusul bunyi orang tertawa membahana. Tak usang kemudian satu sosok tubuh melayang sebat kemudian menciptakan gerakan seolah terjun ke dalam air. Dua tangan melesat ke depan dengan telapak terbuka , menahan kepala Dewa Sedih hingga tidak menghantam tanah!
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
ENAM

Pemuda berkumis tipis dan berkulit halus itu duduk di atas tumbangan batang kayu , menatap ke Seantero telaga luas berair damai membiru. Sejak tadi beliau berada di tempat itu dan tampaknya mirip kebingungan.
“Kalau tidak melihat sendiri tidak pernah kuduga telaga ini begitu luas. Kedalamannya tentu sukar dijajagi. Dari sebelah mana saya harus terjun kemudian menyelam…? Kalau saja tidak diperintah kakek itu dan mengingat senjata sakti itu katanya bisa mengobati Pendekar 212 , tidak nanti saya mau tiba jauh-jauh tiba ke sini….”
Kembali si gadis yang bukan lain yaitu Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh yang sengaja menyamar berdandan mirip seorang perjaka merenung menatapi Telaga Gajahmungkur.
Tiba-tiba dari sebelah barat beliau melihat seorang anak kecil berpakaian hitam berlari cepat ke arahnya. Dalam waktu singkat si anak sudah berada dekat sekali. Puti Andini segera berlindung di balik serumpunan semak belukar. Ternyata si anak yaitu Naga Kuning yang sebelumnya telah ditolong dan diselamatkan oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Puti Andini perhatikan Naga Kuning yang ketika itu tegak di tepi telaga , sempurna di samping pohon kelapa yang hanya tinggal batang karena cuilan atasnya pupus rata dihantam petir.
“Rambutnya jabrik lucu. Keningnya benjut. Tangan kanannya dibalut. Kalau bukan murid seorang pintar tidak nanti beliau bisa lari secepat yang kulihat. Hemm…. Siapa adanya anak ini. Mengapa beliau berada di sini. Dia mirip memperhatikan sesuatu di tengah telaga. Kalau beliau mengetahui seluk beluk telaga ini rasanya ada baiknya saya bertanya padanya….”
Puti Andini hendak beranjak keluar dari balik semak belukar. Namun niatnya serta merta dibatalkan ketika melihat apa yang dilakukan Naga Kuning. Anak ini memasukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Saat itu juga dari mulutnya keluar bunyi suitan keras dan panjang , tiga kali berturut-turut.
“Dia mengeluarkan bunyi suitan. Memberi tanda atau memanggil seseorang…?”
Belum selesai bertanya-tanya dalam hati tiba-tiba Puti Andini melihat sebuah benda aneh berwarna kuning muncul di permukaan air telaga. Si gadis tak sanggup mengenali benda apa adanya. Karena selain jauh d; tengah , benda itu muncul hanya sekejap kemudian lenyap. Di ketika bersamaan anak kecil berpakaian hitam yang tangan kanannya dibalut dilihatnya lari ke arah telaga.
“Ah….” Puti Andini keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat bagaimana laksana melayang anak itu melesat di udara. Membuat gerakan berjungkir balik dua kali. Lalu dalam , keadaan tegak lurus , tangan ke bawah kaki ke atas anak itu terjun ke dalam Telaga Gajahmungkur.
Puti Andini melompat keluar dari balik semak-semak , berlari ke tepi telaga. Untuk beberapa lamanya beliau menunggu sambil memandang tak berkesip ke arah air telaga yang beriak tempat Naga Kuning tadi menceburkan diri. Ditunggu sekian usang si anak tidak muncul-muncul.
“Aneh…” pikir cucu Sabai Nan Rancak ini.
“Mengapa anak itu tak muncul lagi? Tak mungkin tenggelam. Kalau beliau tidak bisa berenang tidak mungkin beliau menceburkan diri. Tapi beliau bukan cuma sekedar pintar berenang. Dia bisa menyelam usang di dalam air….”
Puti Andini ingat pada Pedang Naga Suci 212 yang harus dicarinya di dasar telaga.
“Jangan-jangan anak itu murid seorang pintar yang mengetahui perihal adanya senjata sakti di dasar telaga. Kalau saya tidak melaksanakan sesuatu jangan-jangan bisa kedahuluan dan pedang sakti itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi kalau saya ikut menyelam , apa benar saya bisa berada usang di dalam air?”
Seperti diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini bertemu dengan Sika Sure Jelantik. Tertipu oleh dongeng yang dikarang si gadis , Sika Sure Jelantik merasa kasihan dan akhirnya suka terhadap gadis itu. Lebih dari itu si nenek kemudian memperlihatkan satu ilmu yang menciptakan Puti Andini bisa menyelam dan berada di dalam air dalam waktu lama. Namun sewaktu beliau hendak menerjunkan diri ke dalam telaga yang luas itu si gadis tertahan sesaat. Dia merasa bimbang apakah beliau benar-benar bisa bertahan di dalam air?
“Aku belum pernah mencoba sebelumnya. Kalau nenek itu menipuku mirip saya menipunya , bakalan celaka diriku. Tapi kalau tidak terjun membuktikan sendiri bagaimana mungkin saya tahu. Lagi pula tak ada jalan lain. Untuk mendapatkan pedang sakti yang dikatakan Tua Gila saya memang harus masuk ke dalam telaga , menyelam hingga ke dasarnya….”
Setelah menetapkan hati akhirnya cucu Sabai Nan Rancak itu terjun ke dalam telaga. Sesaat kemudian beliau telah berada di bawah permukaan air. Selain mencicipi kesegaran air telaga gadis ini juga mencicipi beberapa keanehan. Di dalam air yang redup temaram itu ternyata beliau bisa melihat cukup terang hingga beberapa tombak di sekitarnya. Kemudian beliau bisa bernafas melalui hidung tanpa air ikut tersedot. Pasti inilah kehebatan ilmu , yang diberikan nenek berjulukan Sika Sure Jelantik itu , pikir Puti Andini. Karena penglihatannya cukup terang Puti Andini masih sempat melihat bayangan anak kecil berpakaian hitam tadi berenang menukik menuju dasar telaga yang sangat dalam. Tanpa menunggu lebih usang Puti Andini segera berenang mengikuti.
“Aku pasti akan menemui kesulitan mencari Pedang Naga Suci 212 itu. Lebih baik saya mengikuti anak itu lebih dulu. Siapa tahu beliau memberi petunjuk yang tidak terduga…. Aku yakin anak itu bukan insan sembarangan. Kalau tidak mana mungkin beliau bisa berenang dan menyelam hingga sedalam ini! Orang biasa akan pecah gendang-gendang telinganya , akan kacau fatwa darahnya dan bisa terhenti denyutan jantungnya!”
Naga Kuning menyelam menuju dasar telaga di sebelah timur. Tempat ini dipenuhi tetumbuhan air serta batu-batu tinggi berbentuk aneh. Ikan-ikan banyak sekali warna dan bentuk berkeliaran di sela-sela kerikil dan tetumbuhan. Air telaga terasa lebih cuek dan keadaan semakin redup. Naga Kuning melesat di antara celah dua dinding kerikil berwarna kehijauan tertutup lumut tebal. Dia hingga ke cuilan dasar telaga yang cekung sedalam satu depa , membentuk lingkaran mirip sebuah piring besar. Di pertengahan lingkaran ada sebuah kerikil hitam ibarat dingklik kecil. Dudukan dingklik kerikil ini berbentuk miring hingga siapa saja yang duduk di atasnya akan mendongak ke arah sebuah goa kerikil berwarna putih. Ini yaitu satu pemandangan luar biasa yang sulit dipercaya.
Di kedalaman hampir dua ratus tombak dari permukaan air , di dasar telaga itu berdiri sebuah goa besar putih berkilauan. Bagian tengah goa yang merupakan susukan tertutup oleh satu dinding kerikil memancarkan hawa sangat cuek menggidikkan serta sinar merah. Pada pertengahan dinding ada goresan pena besar hitam berbunyi
“Liang Akhirat”. Keanehan yang tidak sanggup dipecahkan oleh otak insan ialah adanya dua buah tiang kerikil setinggi pundak insan di kiri kanan goa. Di atas masing-masing tiang terdapat sebuah pendupaan dipenuhi bara api yang menyala serta menghamparkan asap putih dan menebar harumnya bacin kemenyan!
Dari balik dinding kerikil ini terdengar bunyi detakan-detakan aneh seolah detak jantung makhluk raksasa yang sukar dibayangkan apa ada dan bentuknya. Demikian hebatnya bunyi detakan itu hingga dasar telaga dan kerikil berbentuk dingklik terasa bergetar terus-terusan. Selain itu pada saat-saat tertentu terdengar bunyi desisan keras dari balik dinding kerikil epilog verbal goa.
Semua keganjilan di dasar telaga itu seolah biasa-biasa saja bagi Naga Kuning. Ini satu membuktikan bahwa anak ini sudah sering dan terbiasa berada di tempat itu. Namun satu hal wajahnya tampak diselimuti kecemasan. Naga Kuning berenang cepat ke arah kerikil berbentuk dingklik kemudian duduk di atasnya. Dia menatap ke arah dinding merah di verbal goa. Air mukanya membayangkan rasa khawatir. Dalam keadaan mirip itu si anak perlahan-lahan pejamkan kedua matanya kemudian rangkapkan dua tangan di depan dada. Sikapnya mirip orang bersamadi. Tapi yang sebetulnya tengah dilakukannya ketika itu yaitu mencoba mengadakan kontak atau sambung rasa dengan seseorang di mana antara mereka berdua Saling terpisah di dua alam yang berbeda. Beberapa ketika berlalu. Tiba-tiba tampak tubuh Naga Kuning bergetar keras. Getaran ini bukan akhir getaran dasar telaga atau dingklik kerikil yang didudukinya. Tapi satu getaran aneh yang tiba dari alam mistik dan menembus masuk ke dalam tubuhnya. Naga Kuning buka ke dua matanya. Sepasang tangannya masih , diletakkan di atas dada. Dia menatap tak berkesip ke arah goa putih. Lalu tampak mulutnya terbuka menyusul terdengar suaranya berucap.
“Kiai…. Saya Naga Kuning tiba menghadapmu….”
Ini satu lagi keganjilan yang tak masuk akal. Seorang anak insan bisa bicara di dalam air dan suaranya keras bergema seolah beliau berada di dalam satu jurang di daratan terbuka!.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
TUJUH

Pada ketika gema ucapan Naga Kuning sirna , dari balik dinding kerikil merah epilog verbal goa terdengar dua desisan panjang disertai bunyi detakan keras seolah dasar telaga itu dihantam palu godam raksasa. Di antara suara-suara mengerikan itu tiba-tiba terdengar bunyi lain.
“Anak insan yang terlahir berjulukan Gunung , menjalani hidup sebagai Pangeran terbuang , yang oleh sementara orang disebut sebagai Kiai Paus Samudera Biru , yang oleh diriku sehari-hari dikenal dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Ternyata kau masih punya keberanian tiba menghadap. Tapi ingin saya tanyakan. Apakah kau masih punya malu untuk tiba ke tempat ini?”
Getaran di tubuh Naga Kuning semakin keras hingga kepalanya bergoncang-goncang. Tangan kanannya yang patah sakit bukan main namun beliau menguatkan diri untuk tidak merasakannya. Paras anak berambut lurus kaku ini tampak berubah pucat mendengar ucapan orang yang tidak kelihatan itu. Untuk beberapa lamanya beliau tak kuasa membuka verbal memperlihatkan jawaban.
“Naga Kuning! Mulutmu terkancing! Hatimu terpaku! Apa kau sudah menyadari kesalahanmu?!”
“Saya menyadari Kiai. Saya mohon maafmu dan minta ampun ,” jawab Naga Kuning.
“Itu salah satu sifat buruk insan beradab. Membuat kesalahan dengan sengaja. Lalu meminta maaf dan ampun! Coba kau katakan apa kesalahan yang telah kau perbuat!”
Tenggorokan Naga Kuning bergerak-gerak. Anak ini menelan ludahnya beberapa kali gres menjawab.
“Kesalahan saya yaitu meninggalkan Telaga Gajahmungkur tanpa izin Kiai. Meninggalkan Liang Lahat ketika diperintahkan untuk berjaga-jaga.”
“Bagus! Kau tahu apa kesalahanmu! Sosokmu memang sosok anak kecil. Tapi apa kau ingat berapa usiamu sebetulnya hingga hari ini?!” Naga Kuning tercekat. Keningnya berkerut. Wajahnya yang bocah berubah jadi renta karena berusaha keras mengingat-ingat.
“Kau tidak ingat lagi ketuaan dirimu Naga Kuning?”
“Saya ingat Kiai. Usia saya ketika ini tidak kurang dari seratus dua puluh tahun….”
Dari balik dinding kerikil merah epilog goa terdengar bunyi orang tertawa.
“Orang seusiamu sepantasnya berlaku bijaksana bertindak arif. Apa yang kau sanggup dari ketidakpatuhanmu itu Naga Kuning?”
“Saya… saya tidak mendapatkan apa-apa Kiai.”
Kembali dari balik dinding menggema bunyi tawa.
“Yang kau sanggup yaitu kau kehilangan seruling saktimu. Yang kau sanggup yaitu patah tangan kananmu! Bukan begitu Naga Kuning?”
“Ya , memang begitu Kiai….”
“Dan satu lagi. Kau telah membawa seseorang muncul di tempat ini sebelum waktunya…!” Naga Kuning memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dibalik ketidak mengertiannya anak ini menjawab.
“Saya tiba ke sini seorang diri Kiai. Saya tidak membawa siapa-siapa.”
“Kau tidak percaya pada ucapanku. Nanti akan kau lihat sendiri…. Sekarang terangkan apa saja yang kau lakukan di dunia luar sana. Siapa saja yang kau temui….”
“Saya bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan ternama Kiai. Seorang perjaka mengaku berjulukan Utusan Dari Akhirat. Lalu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada dalam peristiwa alam besar. Kehilangan ilmu silat dan kesaktiannya karena dikabarkan berzinah dengan Ratu Duyung. Saya juga sempat melihat Ratu itu. Lalu ada seorang sakti yang wajahnya selalu ditutupi cadar kuning. Saya juga bertemu dan bentrokan dengan nenek sakti dari Pulau Andalas berjulukan Sabai Nan Rancak. Dialah yang menciderai saya hingga patah tangan dan hampir menemui kematian kalau tidak ditolong oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Di satu tempat saya berada bersama Dewa Tuak dap Iblis Putih Ratu Pesolek. Hanya sayang saya tidak melihat keduanya secara langsung….”
“Hemmm…. Cukup banyak para tokoh yang kau temui. Tapi kau belum menyampaikan anak gadis yang kau temui di atas kapal itu…. Padahal bukankah itu pangkal karena segala ketololanmu?!” Paras Naga Kuning berubah merah.
“Saya memang bertemu dengan cucu Sri Baginda itu. Namanya Juminten….” Orang di balik dinding kerikil tertawa bergelak.
“Cucu Sri Baginda itu kabarnya lucu dan cantik. Dia juga menyukai dirimu. Jangan kau berbuat macam-macam Naga Kuning. Usia anak itu belum sepuluh tahun. Kau walau kelihatan masih bocah sebayanya tapi usiamu sudah seratus dua puluh tahun!”
“Saya paham Kiai. Tak mungkin saya berbuat yang bukan-bukan….” Orang yang dipanggil Kiai menghela nafas panjang.
“Naga Kuning , perbuatanmu menyalahi pesan dan perintah hampir menciptakan saya kebobolan. Apa kau mengenali dua mayat ini?”
Terdengar bunyi berdesir. Dari balik goa putih muncul sosok seekor ikan besar yang mempunyai dua buah tanduk di cuilan kepalanya. Di antara dua tanduk itu terbujur bertindihan dua tubuh manusia. Satu berpakaian hitam , satunya mengenakan pakaian merah. Kedua orang ini berusia lanjut dan berada dalam keadaan kaku dikarenakan telah menjadi mayat. Ikan besar yang membawa dua mayat di atas kepalanya berputar-putar di depan Naga Kuning. Anak ini memperhatikan. Dengan cepat beliau segera mengenali siapa adanya ke dua orang itu.
“Saya mengenali siapa mereka Kiai. Yang baju hitam yaitu Datuk Bonar. Dikenal dengan julukan Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Dia yaitu salah seorang kaki tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang. Konon Sutan itu dicurigai sebagai orang di rahasia penyebab pembunuhan-pembunuhan atas diri para tokoh silat belakangan ini. Kemudian mayat berbaju merah itu. Bukankah beliau Nyi Ulan Si Singa Betina Pedataran Bromo?”
“Betul…. Tapi apa kau tahu siapa beliau adanya?” bertanya bunyi di balik kerikil merah epilog verbal goa.
“Setahu saya beliau yaitu seorang nenek aneh yang selalu berpakaian mirip lelaki. Berhati culas. Karena itu beliau juga dijuluki Singa Betina Muka Seribu.”
“Hanya itu yang kau ketahui…?”
“Hanya itu saja Kiai ,” jawab Naga Kuning.
“Akan kukatakan padamu apa yang saya ketahui. Nyi Ulan sesungguhnya yaitu kaki tangan Datuk Lembah Akhirat. Dia punya silang sengketa besar dengan Sutan Alam Rajo Di Langit. Tapi karena maksud tertentu beliau bersekongkol dengan Datuk Bonar dan tiba ke tempat ini. Ini satu membuktikan bahwa agaknya antara orang di puncak Singgalang dan penguasa Lembah Akhirat ada satu jalinan korelasi rahasia yang pada saatnya karena efek kepentingan bisa berkembang menjadi bentrokan besar. Beberapa hari kemudian Datuk Bonar dan Nyi Ulan muncul di sini. Mencoba masuk ke dalam Liang Lahat dengan cara membobol jalan rahasia. Mereka sempat masuk dan mencapai Tangga Akhirat. Untung Naga Kembar mengetahui , menghalangi dan mengusir mereka. Keduanya berusaha membunuh Naga Kembar. Tapi mereka dibunuh lebih dulu!”
Naga Kuning terdiam mendengar keterangan itu. Dia tahu bagaimana besar kesalahan yang telah dibuatnya. Maka beliau segera berucap.
“Saya sangat menyesal Kiai. Semua Itu terjadi karena perbuatan saya meninggalkan tempat ini. Karena itu sekali lagi saya minta maaf dan mohon ampun.” Sambil berkata Naga Kuning memperhatikan ikan besar menyelinap pergi membawa dua mayat di atas kepalanya.
“Seingatku seumur hidupmu gres sekali ini kau berlaku tolol dan menciptakan kesalahan. Makara pada tempatnya kalau saya masih mau memberi maaf dan ampun padamu. Di luar sana tentu cuek sekali. Apa kau ingin cepat masuk ke dalam Liang Lahat?”
“Kalau Kiai berkenan saya akan sangat berterima kasih. Saat ini saya merasa seolah dipendam dalam lobang es saking dinginnya.” Saat itu juga terdengar bunyi berdesing. Kursi kerikil yang diduduki Naga Kuning berputar laksana gasing. Lalu mirip dilontarkan , tubuh Naga Kuning melesat ke atas ke arah goa kerikil putih. Bersamaan dengan itu dinding kerikil merah yang mengeluarkan hawa aneh terbuka sedikit. Tubuh Naga Kuning melesat melewati celah sempit. Sesaat kemudian dinding kerikil itu menutup kembali. Naga Kuning lenyap tak kelihatan lagi.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
DELAPAN

Puti Andini yang berusaha mengejar Naga Kuning menciptakan gerakan mengapung di dalam air. Dia memandang berkeliling. DI kiri kanan dan sebelah belakang tidak tampak apa-apa kecuali ikan-ikan kecil berenang kian kemari. Lalu di sebelah depan , menghalangi pengejarannya menjulang dinding kerikil serta flora air.
“Kemana lenyapnya anak itu?” pikir Puti Andini. Dia sengaja menunggu sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Namun si anak tidak kunjung muncul.
“Aku sudah hingga di dasar telaga. Daripada mencari anak itu lebih baik mulai menyelidik dimana beradanya Pedang Naga Suci 212. Sampai ketika ini saya tidak merasa apa-apa. Tapi bukan tidak mungkin terjadi sesuatu yang menciptakan diriku tidak bisa bertahan lebih usang di dasar telaga ini….” Memikir hingga di situ maka Puti Andini segera mulai menyelidiki dasar telaga di sekitarnya. Mencari sebuah benda yang belum pernah dilihatnya sebelumnya di dasar telaga yang begitu luas , cuek redup bukan satu pekerjaan mudah.
“Jangan-jangan saya harus menjelajahi dasar telaga ini hingga puluhan hari. Apa saya sanggup bertahan sekian lamanya?” pikir si gadis dengan perasaan bercampur bimbang. Walau Sika Sure Jelantik sebelumnya memberi tahu bahwa dengan ilmu yang diberikannya gadis itu sanggup berada di dalam air untuk jangka waktu 100 hari namun Puti Andini tetap saja merasa was-was. Di atas telaga sang surya mulai redup menuju ufuk tenggelamnya. Di dalam Telaga Gajahmungkur , apalagi jauh di dasarnya keadaan menjadi lebih redup. Kemana-mana memandang Puti Andini hanya melihat kegelapan.
“Pasti ketika ini matahari telah tenggelam. Tak mungkin meneruskan mencari senjata sakti itu. Aku harus naik ke daratan….” Ketika beliau muncul di permukaan telaga hari memang telah gelap karena sang surya telah tenggelam. Malam telah turun. Dalam keadaan pakaian lembap kuyup serta tubuh terasa cuek Puti Andini duduk di tepi telaga. Tanpa diketahuinya ada dua pasang mata mengintipnya. Sepasang di sebelah timur , sepasang lagi di sebelah barat
“Pedang Naga Suci 212…” desis si gadis.
“Sebilah pedang mustika sakti walaupun berada dalam sarungnya biasanya akan memancarkan cahayanya. Kalau senjata itu benar berada di dasar telaga , dalam gelap cahayanya akan terang terlihat. Besok akan kuteruskan lagi menyelam. Tapi sebaiknya saya membatasi diri hingga dua atau tiga hari saja. Kalau tidak bertemu juga perlu apa menghabiskan waktu? Atau sebaiknya saya menunggu ketika perjanjian dengan Tua Gila?” Seperti diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini dan Tua Gila menciptakan perjanjian bahwa mereka akan bertemu di pinggiran timur Jelaga Gajahmungkur pada bulan purnama 14 hari yang akan datang.
“Hari empat belas bulan purnama hanya tinggal delapan hari dimuka. Aku bisa menunggu. Tapi saya khawatir dalam waktu itu sesuatu bisa saja terjadi. Mungkin Wiro akan menemui celaka. Mungkin juga Tua Gila murka besar padaku karena saya menantinya dan tidak berusaha mencari sendiri senjata sakti itu….”
Berbagai pikiran membuncah kepala Puti Andini. Dari telaga bertiup angin keras.
“Ah , cuek sekali udara di sini. Sebaiknya saya bersalin pakaian dulu….”
Puti Andini melangkah ke tempat di mana beliau sebelumnya meninggalkan bungkusan perbekalannya. Dalam gelap beliau membuka kain epilog kepalanya. Tak lupa beliau menanggalkan kumis palsunya. Lalu karena menganggap tempat itu sepi tak ada orang lainnya apa lagi keadaan gelap maka yummy saja gadis ini menanggalkan pakaiannya. Sewaktu beliau gres saja mengenakan celana panjang ringkas warna merah sementara tubuhnya di cuilan atas tidak tertutup apa-apa tiba-tiba satu tangan memegang bahunya. Puti Andini terkejut setengah mati. Lupa akan keadaannya gadis ini hendak memaki murka , membalikkan tubuh untuk menghantam orang yang berada di belakangnya. Namun satu tangan yang kokoh lebih dulu menekap mulutnya. Lalu ada satu bunyi berbisik.
“Jangan mengeluarkan suara. Lekas kenakan bajumu. Ada orang mengintipmu di sebelah timur sana.”
Puti Andini membuka matanya besar-besar di dalam gelap. Tadinya beliau hendak menggigit tangan yang menekap mulutnya. Namun beliau rasa-rasa mengenali bunyi orang itu. Ketika beliau lebih memperhatikan gres beliau mengenali siapa adanya orang yang merangkulnya ketika itu.
“Panji…” bisik Puti Andini.
Tiba-tiba si gadis ingat akan keadaan tubuhnya yang polos di sebelah atas. Secepat kilat beliau melompat ke balik semak belukar sambil menutupi dadanya yang putih dan kencang , wajahnya merah karena malu. Orang yang muncul di tempat itu yaitu Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pemuda ini membungkuk mengambil baju merah milik Puti Andini yang tergeletak di dalam bungkusan kemudian dilemparkannya pada si gadis seraya menciptakan tanda dengan gerakan tangan biar si gadis jangan mengeluarkan bunyi dan cepat mengenakan baju itu. Sesaat sehabis Puti Andini selesai mengenakan baju merahnya Panji segera menyelinap ke balik semak belukar.
“Kau telah berlaku kurang ajari Kau berani mengintipku!” Dampratan menyambut Panji begitu beliau berada di hadapan Puti Andini.
“Jangan salah menduga ,” bisik si pemuda.
“Aku tidak bermaksud kurang ajar. Aku terpaksa melakukah hal itu karena di sebelah sana ada seseorang mengintip dan mengawasi gerak gerikmu.”
“Aku tidak percaya! Kau mengarang cerita!”
“Sssttt…. Jangan bicara keras-keras. Kalau kau tidak percaya mari kita sama-sama menyelidik ke sekitar semak belukar di sebelah sana…” kata Panji pula. Lalu perjaka ini hunus pedangnya seraya memberi isyarat pada Puti Andini untuk mengikutinya. Keduanya berjalan beriringan ke arah timur tepian Telaga Gajahmungkur. Mereka melewati beberapa pohon besar kemudian hingga ke balik serumpunan semak belukar di dekat sederetan pohon bambu hijau.
“Orang yang mengintai itu tadi kulihat berada di sini. Tapi kini tak ada lagi. Mungkin beliau telah melarikan diri atau masih mendekam di sekitar sini….” Panji berkata sambil memandang berkeliling.
“Aku tidak percaya padamu! Kau lagi-lagi mengarang cerita! Kau tadi sengaja mengintipku kemudian mengelak diri dengan akal-akalan menyampaikan ada orang lain mengintipku! Sungguh keji perbuatanmu!”
“Puti , saya bersumpah tidak berbuat keji padamu. Aku tadi benar-benar melihat ada seseorang mengendap-endap memperhatikanmu di tempat ini….”
“Dusta busuk!” maki Puti Andini seraya membalikkan tubuh.
“Tunggu. ,.!” seru Panji.
“Aku mencium bacin sesuatu….” Pemuda ini menghirup udara dalam-dalam. Si gadis kembali hendak mendamprat. Namun ketika itu hidungnya memang membaui sesuatu. Bau wangi semerbak.
“Kau lihat…” bisik Panji.
“Di tempat ini tak ada bunga tumbuh , tak ada pohon harum. Bau harum yang kita cium yaitu bacin wewangian. Berarti yang barusan berada di tempat ini dan mengintipmu yaitu seorang perempuan!”
“Mana ada wanita mengintip perempuan! Kau hanya hendak membela diri saja!”
“Bisa saja. Kalau beliau punya maksud sesuatu terhadapmu ,” tangkis Panji.
Dalam gelap Puti Andini jadi terdiam. Sepasang matanya masih memandang besar dan galak pada perjaka di hadapannya itu. Tiba-tiba beliau melihat noda darah di pakaian hijau dan pipi perjaka ini. Bagaimanapun marahnya cucu Sabai Nan Rancak ini pada si perjaka namun beliau menyadari bahwa perjaka ini pernah menyelamatkan jiwanya (baca Lembah Akhirat) Lain dari itu semenjak pertemuan mereka pertama kali , apapun beban pikiran dan beban hati yang dirasakannya Puti Andini selalu terkenang pada perjaka ini. Sebaliknya walau ada rasa suka dalam diri Panji terhadap Puti Andini tapi sesungguhnya hati perjaka ini sudah tertawan pada Anggini , murid Dewa Tuak.
“Aku melihat noda darah di wajah dan pakaianmu. Aku juga memperhatikan setiap kau menarik nafas kau mirip menahan sakit….”
“Ada satu kejadian besar…” jawab Panji. Lalu diceritakannya bentrokan hebat yang terjadi antara Ratu Dayung , Utusan Dari Akhirat , Pendekar 212 Wiro Sableng serta Dewa Sedih.
“Saat itu saya berada di sana. Ikut kebagian rejeki dihantam hawa ganas letusan pukulan-pukulan sakti yang saling berbenturan satu sama lain.”
“Celaka dunia persilatan kalau Dewa Sedih telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat ,” kata Puti Andini pula. Lalu beliau bertanya.
“Kau tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng sekarang?”
“Tak sanggup kupastikan. Aku meninggalkannya ketika tempat itu masih dilanda pertempuran dan muncul seorang kakek gendut yang bunyi ketawanya seolah mau meruntuhkan langit. Entah mengapa ketika itu saya teringat padamu. Lalu saya pergi begitu saja. Mungkin tidak sepantasnya saya berbuat begitu namun saya lebih mementingkan niat menolongmu mencari kerikil mustika yang menurutmu ada di dasar telaga ini dan sangat penting bagimu.”
Hampir tertawa si gadis mendengar ucapan Panji itu. Dia ingat dulu waktu bertemu pertama kali dengan Panji beliau menceritakan bahwa beliau bermaksud pergi ke Telaga Gajahmungkur untuk mencari sebuah kerikil mustika. Panji ingin sekali menolong karena beliau mempunyai kepandaian berenang dan menyelam. Namun ketika itu Puti Andini menolak untuk pergi bersama-sama. Ternyata kini beliau bertemu lagi dengan perjaka ini.
“Apa kau telah menemukan kerikil yang kau cari itu?” tanya Panji.
Puti Andini menggeleng.
“Aku akan menolongmu. Besok pagi-pagi begitu matahari terbit saya akan menyelam ke dasar telaga mencari kerikil itu….”
“Terima kasih. Aku tidak mau merepotkanmu. Aku bisa mencarinya sendiri ,” kata Puti Andini pula.
“Agaknya ada sesuatu yang membuatmu keberatan mendapatkan pertolonganku?” tanya Panji dengan nada agak kecewa.
“Hemm…. Kalau kau memaksa baiklah. Kita tunggu saja hingga pagi….”
“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan padamu Puti. Mengenai diri orang berjulukan Wiro Sableng. Apakah beliau seorang perjaka sepertiku atau seorang kakek-kakek. Lalu apakah Wiro Sableng itu orangnya sama dengan Pendekar 212?”
“Pertanyaanmu aneh. Wiro Sableng seorang perjaka sebayamu. Pendekar 212 yaitu julukannya dalam rimba persilatan. Memangnya ada apa?”
“Aneh…” ujar Panji.
“Kalau begitu siapa sebetulnya kakek yang tiba ke pulau tempo hari…?”
“Kakek yang mana maksudmu?” tanya si gadis. Panji kemudian menerangkan perihal ciri-ciri orang renta itu. Tak lupa beliau menerangkan perihal mayat anak kecil yang dimakamkan di pulau yaitu Malin Sati murid tunggal Tua Gila yang mati dibunuh Datuk Angek Garang.
“Kalau orang renta itu yang kau maksudkan , saya hampir pasti beliau yaitu Tua Gila. Kakekku sendiri!”
“Kakek bagaimana maksudmu?”
“Aku yaitu cucu Tua Gila!” Terkejutlah si perjaka mendengar kata-kata Puti Andini.
“Kalau beliau memang kakekmu dan kau yaitu cucunya , terima hormatku untukmu…” kata Panji seraya membungkuk yang menciptakan Puti Andini tertawa.
“Kau tahu dimana saya bisa menemui kakekmu itu?” tanya Panji.
“Dia sulit dicari. Tapi jikalau kau mau bersabar menunggu hingga beberapa hari dimuka , sesuai janjinya denganku beliau akan muncul di tempat ini.”
“Kalau begitu hingga kapan pun saya akan menunggu di tempat ini ,” kata Panji pula. Baru saja Panji berkata begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai menghamburnya bacin wangi sekali. Panji yang hendak duduk di tepi telaga cepat bangun berdiri seraya mencabut pedang sedang Puti Andini siapkan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi.
“Tahan! Aku tiba sebagai sahabat!” Orang yang tegak di seberang sana berseru. Ternyata suaranya menandakan beliau yaitu seorang perempuan.
Puti Andini yang rasa-rasa pernah mengenali orang itu bergerak maju.
“Bukankah kau gadis yang disebut dengan julukan Bidadari Angin Timur? Ingat , kita pernah bertemu di Pengandaran?”
Gadis di hadapan Puti Andini mengangguk. Gadis ini mengenakan pakaian hijau tipis , berparas bagus sekali. Tubuh dan pakaiannya menebar bacin harum semerbak. Dia ternyata memang yaitu Bidadari Angin Timur.
“Aku besar hati kau mengenaliku. Bukankah kau gadis dari seberang berjulukan Puti Andini yang dijuluki Dewi Payung Tujuh yang hebat itu?”
“Ah….” Puti Andini salah tingkah karena tidak begitu senang dipuji begitu rupa.
“Tunggu!” tiba-tiba Panji maju dua langkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
“Aku mengenali harum wewangianmu. Bukankah kau tadi orang yang mengintip di balik semak-semak sebelah sana?” Bidadari Angin Timur tertawa. Dua lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan.
“Aku mengintip bukan apa-apa. Aku harus berhati-hati sebelum tahu apakah kalian ini mitra atau lawan. Rimba persilatan kini dilanda banyak sekali keganjilan yang mendatangkan maut; Orang-orang Lembah Akhirat bertebaran di mana-mana. Apalagi tempat ini tidak jauh dari markas mereka. Aku ingin menanyakan seseorang pada kalian. Tadi saya sudah mendengar sesuatu dari perjaka ini. Tapi kurang jelas….”
“Hemm , siapa yang ingin kau tanyakan?”
“Pemuda berjulukan Wiro Sableng. Menurutmu terjadi bentrokan besar di satu tempat. Di mana kejadiannya berlangsung?”
“Di utara Teluk Parangtritis. Di satu kelokan jalan kira-kira sepenanakan nasi jauhnya dari sini…” jawab Panji mengira-ngira.
“Apa yang terjadi di sana?”
“Tiga orang berkepandaian tinggi terlibat dalam satu pertempuran. Mereka yaitu Dewa Sedih , Utusan Dari Akhirat serta Ratu Dayung. Wiro sendiri tidak ikut bertempur. Tapi mirip diriku , beliau juga mengalami cidera sewaktu tiga pukulan sakti beradu di udara kemudian bertabur menghantam sekelilingnya….”
“Kau tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan perjaka itu?” tanya Bidadari Angin Timur. Sejak tadi wajahnya tampak berubah pucat.
“Tidak sanggup kupastikan. Aku buru-buru pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi itu. Aku terpaksa menyelamatkan diri dan menghindarkan keterlibatan lebih jauh. Selain itu saya harus mencari gadis sahabatku ini.”
“Hemmm….” Bidadari Angin Timur melirik ke arah Puti Andini.
“Terima kasih atas keteranganmu. Aku harus segera pergi….” Gadis bagus itu kemudian berkelebat lenyap dalam kegelapan.
“Agaknya ada satu korelasi erat antara gadis tadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng…” kata Panji.
“Dia tampak sangat mencemaskan perjaka itu.”
“Dugaanmu bisa jadi betul. Tapi mungkin saja beliau sengaja mencuri dengar percakapan kita tadi….”
“Untuk apa?” tanya Panji.
Puti Andini tak segera menjawab. Diam-diam beliau merasa khawatir kalau Bidadari Angin Timur yang berkepandaian tinggi itu telah mengetahui adanya senjata sakti Pedang Naga Suci di tempat itu kemudian berusaha menyirap kabar mencari keterangan lebih jelas.
“Aku justru melihat sesuatu yang lain.” jawab Panji.
“Gadis itu tampaknya punya satu ganjalan yang merisaukan hatinya….”
“Ah , kau bisa-bisanya ngomong!” tukas Puti Andini.
“Kalau saya melihat dan menduga gadis tadi diam-diam menyayangi Pendekar 212…. Bagaimana dengan kau. Apakah kau pernah menyayangi seorang gadis?” Panji terkesiap mendengar pertanyaan yang tidak terduga ini.
“Kau sendiri bagaimana?” Akhirnya Panji balik bertanya.
“Apa kau pernah jatuh cinta atau sudah pernah bercinta?” Kini Puti Andini yang menjadi bungkam dengan muka merah.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
SEMBILAN

Sang Surya belum usang terbit. Di dalam telaga Gajahmungkur dua orang tampak berenang menuju dasar telaga. Keduanya yaitu Puti Andini dan Panji. Si perjaka merasa kagum dan terheran-heran ketika melihat bagaimana gadis yang menyamar sebagai perjaka berkumis kecil itu mempunyai kemampuan berenang dan menyelam luar biasa. Seperti diketahui selama hidup di Pulau Sipatoka berenang dan menyelam jauh ke dalam bahari yaitu pekerjaan yang sering dilakukannya. Sehingga beliau mempunyai kemampuan menyelam selain dalam juga sanggup bertahan lama. Namun sekali ini beliau merasa heran ketika gres menyelam pada kedalaman lima puluh tombak ke dua telinganya mengiang sakit. Hidungnya menjadi pedas , matanya perih dan dadanya terasa mendenyut sakit. Di bawah sana Puti Andini dilihatnya menukik terus menuju dasar telaga yang masih seratus lima puluh tombak jauhnya!
“Ada yang tidak beres di telaga ini. Masakan gres menyelam sejauh ini saya merasa letih dan sekujur tubuhku mendenyut sakit…” pikir Panji. Pemuda ini menjadi malu sendiri. Sebelumnya berulang kali beliau menyampaikan akan menolong Puti Andini mencari kerikil di dasar telaga. Tapi ternyata gres menyelam seperempat cuilan saja dari kedalaman telaga beliau mulai megap-megap.
Panji mencoba bertahan dan berusaha mengejar Puti Andini. Dia memaksakan terus menyelam menuju dasar telaga. Tapi sia-sia belaka. Bukan saja beliau tidak bisa mengejar gadis itu malah denyutan di dada dan kepalanya semakin keras. Degup jantungnya seolah mau pecah. Darah mengucur dari hidung dan pinggiran matanya. Panji menyerah. Pada kedalaman tujuh puluh tombak beliau berjungkir balik dalam air laju berenang naik ke atas kembali. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya seolah bertanggalan. Panji berenang menuju tepian telaga. Hanya sesaat lagi beliau akan hingga di daratan tiba-tiba ada sebuah benda menyusup di balik punggung pakaiannya. Lalu tubuhnya terasa disentakkan. Di lain kejap perjaka ini dapatkan dirinya terlontar ke udara setinggi empat tombak kemudian jatuh bergedebukan di pinggir telaga.
Untuk beberapa lamanya perjaka itu terkapar tertelungkup di tanah. Darah makin banyak mengucur dari hidungnya.
“Apa yang terjadi dengan diriku…?” Panji masih bisa berpikir kemudian palingkan kepalanya ke kanan ketika didengarnya ada bunyi orang melangkah mendekatinya. Kalau saja ketika itu malam hari pasti Panji mengira bahwa yang mendatanginya yaitu setan pelayangan atau hantu rimba belantara. Seorang nenek berjubah hitam melangkah terbungkuk-bungkuk ke arahnya. Mukanya yang keriputan kotor bukan saja berselimut debu tapi juga ada noda-noda darah yang telah mengering. Rambutnya putih panjang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang bulat. Sepuluh jarinya yang tersembul dari balik lengan jubah tampak berkuku panjang dan hitam. Namun tangan kanannya berwarna merah pekat Sampai sebatas pergelangan.
Tepat di samping Panji nenek ini hentikan langkahnya. Kaki kirinya diletakkan di atas kepala Panji kemudian ditekan hingga perjaka ini mengerang kesakitan.
“Pemuda waria beranting emas , apakah kita pernah bertemu…. Apakah kau kenal siapa diriku?” Kembali si nenek tekankan kakinya ke kepala si perjaka hingga erangan Panji semakin keras.
“A… saya tidak kenal siapa dirimu Nek. Rasa-rasanya…. Aduh! Aku mohon kau turunkan kakimu dari kepalaku….”
“Kalau bicara jangan diputus! Ayo katakan rasa-rasanya apa?!” Bentak si nenek. Kakinya tetap saja menekan kepala orang.
“Aku tidak kenal dirimu. Rasa-rasanya saya juga tidak pernah bertemu dirimu Nek. Aku mohon…”
“Hemmm…. Benar begitu?”
“Benar Nek ,” jawab Panji menahan sakit. Tangan ..kanannya bergerak ke pinggang. Maksudnya hendak menjangkau pedangnya. Tapi gerakannya terlihat oleh si nenek.
“Teruskan gerakanmu mengambil pedang. Kakiku sudah siap menghancurkan batok kepalamu!” Mau tak mau Panji terpaksa batalkan niatnya.
“Jangan kau berani macam-macam anak muda! Siapa kau punya nama dan mengapa berada di tempat ini. Aku tahu kau barusan keluar dari dalam telaga! Apa yang kau kerjakan dalam telaga itu nah?!” Panji berlaku cerdik. Sejak pertama kali melihat beliau sudah mengira nenek satu ini bukan insan berhati baik , Maka beliau tidak mau menceritakan apa yang sebetulnya dilakukan.
“Aku hanya mandi-mandi Nek. Menyegarkan diri sambil menyelam beberapa kali….”
“Jangan dusta! Aku tahu kau mencari sesuatu di dasar telaga!” hardik si nenek.
“Tidak , saya tidak mencari apa-apa. Telaga ini dalam luar biasa. Mana mungkin saya sanggup menyelam hingga ke dasar.”
“Hemm….” Si nenek memandang berkeliling.
“Kau sendirian di tempat ini?”
“Benar Nek , saya cuma sendirian….” Untung saja buntalan milik Puti Andini terletak di balik semak belukar sehingga si nenek tidak melihat.
“Kau orang aneh. Mengenakan anting tapi cuma satu. Kau ini waria atau setengah gila….”
“Anggap saja begitu. Terserah apa maumu Nek. Tapi tolong turunkan kakimu…. Kepalaku rasanya mau pecah!” Si nenek tertawa mengekeh.
“Dengar , namaku Sika Sure Jelantik. Aku tiba dari Lembah Akhirat!’ Kau dengar? Lembah Akhirat!”
“Aku dengar Nek…” jawab Panji.
“Bagus! Makara jangan berani macam-macam. Sekarang jawab pertanyaanku! Sudah berapa usang kau berada di telaga ini?!”
“Ba… gres pagi ini Nek. Aku dalam perjalanan menuju Gunung Lawu. Kemalaman di jalan kemudian pagi ini mandi di telaga. Aku….”
“Jangan nyerocos terus!” hardik Sika Sure Jelantik yang kini ternyata telah menjadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat.
“Selama berada di tempat ini apa kau pernah melihat seorang gadis berpakaian merah , berkulit putih dan berparas cantik?”
“Siapa nama gadis Itu Nek?” tanya Panji.
“Ah itulah sialannya! Aku tidak tahu nama anak itu!”
“Dia menanyakan Puti Andini ,” kata Panji dalam hati.
“Tidak Nek , Aku tidak melihat siapapun di tempat ini. Apa hubunganmu dengan gadis itu Nek?”
“Apa perdulimu? Dia bukan anakku , bukan cucuku. Tak ada sangkut darah. Tapi saya suka padanya!”
“Jangan-jangan kau punya cucu seorang perjaka yang ingin kau jodohkan dengan gadis bagus itu? Betul Nek?” Mula-mula Sika Sure Jelantik hendak mendamprat murka mendengar kata-kata Panji itu. Tapi kemudian beliau tertawa terbahak-bahak.
“Bagaimana saya bisa punya cucu. Punya laki saja tidak pernah! Hik… hik… hik!”
“Ah melihat raut wajahmu , saya yakin di masa muda kau yaitu seorang gadis cantik. Aku tidak percaya kalau tidak ada pria yang jatuh hati padamu ,” kata Panji pula.
Tampang si nenek bersemu merah. Entah jengah entah senang dipuji. Lalu terdengar tawanya cekikikan.
“Anak muda , saya yang sudah renta saja berani kau rayu dengan pujian. Apalagi terhadap gadis. Lagak dan sikapmu tentu sejuta puji sejuta rayuan! Dasar laki-laki! Apa kau kira saya akan melepaskan injakanku di kepalamu!” Si nenek lantas keraskan injakan kaki di muka Panji hingga kembali perjaka ini mengerang kesakitan. Sepasang mata Sika Sure Jelantik menatap ke arah pertengahan telaga seolah hendak menembus hingga di bawah permukaan air.
“Sayang saya ada kiprah dan kepentingan lain. Kalau tidak rasanya saya perlu menyelidik hingga ke dasar telaga ini. Gadis yang kutemui tempo hari itu apakah beliau telah mendapatkan kerikil hitam untuk mengobati ibunya? Jika bertemu akan kuajak beliau menjadi anggota Lembah Akhirat.” Si nenek termenung sesaat. Dia memandang pada perjaka yang mukanya masih diinjaknya kemudian bertanya.
“Anak mudai Kau belum memberi tahu namamu!”
“Namaku Panji Nek….”
“Panji. Panji apa? Panji Semirang , Panji Kemong atau Panji Banci…!” Si nenek cekikikan. Tanpa menunggu balasan Panji beliau kemudian tinggalkan tempat itu.
Kita tinggalkan dulu Panji yang mencoba bangun dan duduk menjelepok di tanah sambil pegang! mukanya yang sakit bekas diinjak. Mari kita ikuti Puti Andini yang menyelam ke dasar telaga Gajahmungkur. Dia meluncur ke bawah sempurna di tempat kemarin beliau kehilangan jejak Naga Kuning. Rencananya semula hendak menyelidik cuilan dasar telaga yang lain dibatalkan karena lenyapnya si bocah menjadi satu tanda tanya besar baginya.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
SEPULUH

Untuk beberapa lamanya Puti Andini berenang mondar-mandir di sepanjang dinding kerikil berlumut di dasar Telaga Gajahmungkur.
“Anak itu lenyap ‘di sini. Hanya ada dua kemungkinan. Dia dilahap ikan atau hewan buas. Atau. menyelinap masuk ke satu tempat. Berarti ada lobang atau jalan rahasia di sekitar sini….” Kembali Puti Andini memperhatikan keadaan di sekitarnya. Serombongan ikan sebesar telapak tangan berenang di sekitar dinding batu. Lalu menyelinap di balik flora air. Ditunggu-tunggu hewan Ini tidak kunjung .muncul. Puti Andini berenang mendekati flora lebat itu. Air telaga di tempat itu cuek luar biasa. Dengan tangan gemetar Puti Andini menyibakkan tumbuhan tersebut. Dia berdebar ketika melihat di balik tumbuhan yang tersibak ada sebuah celah sepemasukan tubuh manusia.
“Mungkin anak itu lolos lewat celah kerikil ini ,” pikir Puti Andini.
“Aneh , bagaimana pun tingginya dinding kerikil ini mengapa saya tidak melihat ujungnya di sebelah atas?”’ Cucu Tua Gila ini berenang mendekati celah kemudian mengintai lewat celah itu ke cuilan dinding di sebelah belakang. Matanya terpentang lebar ketika melihat ada cahaya putih di kejauhan.
“Aneh , cahaya apa itu?” Si gadis bertanya-tanya dalam hati. Dia mengintai sekali lagi lewat celah kemudian berenang lebih ke atas. Kepalanya disorongkan. Maksudnya hendak lolos lewat celah itu tapi terhalang pada cuilan bahu. Puti Andini membalikkan dan memutar tubuhnya berulang kali hingga akhirnya bahunya bisa lolos. Namun untuk kedua kalinya tubuhnya tertahan pada cuilan pinggulnya yang besar. Ketika dipaksakan , pinggul celananya robek hingga ke paha. Dalam keadaan mirip itu Si gadis tidak lagi memperhatikan keadaan pakaiannya. Begitu lolos lewat celah Puti Andini tidak segera berenang menuju arah cahaya putih. Baginya sesuatu keganjilan di dalam air bisa saja mengandung ancaman yang sanggup mencelakakan. Gadis ini terlebih dulu memandang berkeliling. Hanya beberapa tombak di bawahnya beliau melihat dasar telaga berbentuk aneh. Dasar telaga mencekung sedalam satu depa , membentuk lingkaran mirip piring besar. Di pertengahan cekungan ada sebuah dingklik terbuat dari batu.
“Ada dingklik , berarti ada yang pernah duduk di situ. Siapa…?” membatin Puti Andini. Diperhatikannya lagi dingklik itu tanpa berani mendekati. Baru kemudian disadarinya bahwa dingklik kerikil itu berukuran kecil. Orang cukup umur bertubuh besar tak mungkin muat duduk di situ.
“Mungkin itu dingklik anak yang tadi saya lihat di tepi telaga?” pikir si gadis. Kini beliau memandang ke depan ke arah cahaya putih. Perlahan-lahan Puti Andini berenang mendekati cahaya itu.
Setelah berenang sejauh lima belas tombak gadis ini tercengang heran ketika melihat cahaya putih itu ternyata yaitu sebuah goa kerikil besar yang memancarkan warna putih menyilaukan. Bagian yang seharusnya merupakan pintu atau verbal goa tertutup oleh dinding kerikil berwarna merah. Di sini ada sebaris tulisan. Dari arah dinding ini memancar hawa aneh disertai pantulan cahaya merah yang sangat cuek seolah menggiris tulang. Puti Andini menggigil menahan dingin. Lalu ada gelombang angin menerpa ke arahnya. Membuat Puti Andini terjungkir balik di dalam air dan kain pengikat kepalanya tanggal hingga rambutnya terlepas riap-riapan.
Puti Andini berusaha menabahkan diri walau sekujur tubuhnya ketika itu terasa cuek dan bergetar. Tiba-tiba hidungnya mencium bacin kemenyan santar sekali. Tengkuk si gadis jadi merinding. Dengan menguatkan hati dan beranikan diri beliau berenang mendekati goa kerikil putih biar bisa membaca apa yang tertera di dinding kerikil tersebut.
“Liang Akhirat.” Mulut Puti Andini bergetar ketika membaca goresan pena yang tertera di dinding merah. Lalu sepasang matanya membentur pandangan aneh lainnya. -Yakni dua buah tiang yang terletak di kiri kanan goa putih. Di atas kedua tiang itu ada dua buah pendupaan berisi bara menyala yang mengepulkan asap putih menebar bacin kemenyan.
“Aneh , benar-benar aneh. Bagaimana di dalam air ada dua pendupaan dengan bara menyala. Lalu ada kepulan asap dan menebar bacin kemenyan. Sampai matipun saya tak bisa percaya kalau tidak melihat sendiri. Tempat apa ini? Liang Akhirat? Ada alam abadi di dasar telaga? Apa ada sangkut pautnya dengan Lembah Akhirat? Jangan-jangan saya telah kesasar ke Lembah Akhirat!”
Puti Andini memandang berkeliling. Dia kembali bertanya-tanya.
“Dimana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212? Dimana beradanya anak berpakaian hitam kemarin?”
Tiba-tiba Puti Andini mendengar bunyi berdesis disertai detakan-detakan keras yang menggetarkan dasar telaga serta menciptakan air di sekelilingnya bergelombang. Dia tidak sanggup memastikan bunyi apa adanya namun diketahui suara-suara itu tiba dari dalam goa putih , dari balik pintu atau dinding kerikil merah yang menjadi epilog goa.
“Satu-satunya balasan pertanyaan yang ada dalam diriku terdapat di balik kerikil merah itu. Bagaimana saya bisa menerobos masuk ke dalam goa?” Sambil berpikir Puti Andini berenang mendekati goa putih. Sesekali beliau berpaling ke belakang , memandang ke arah dingklik kerikil di legukan dasar telaga berbentuk lingkaran. Sementara itu di dalam goa sesaat sehabis Puti Andini menerobos lewat celah kerikil terjadi percakapan antara Naga Kuning dengan bunyi tanpa sosok.
“Naga Kuning , sebentar lagi dari tempat ini kau akan melihat kemunculan orang yang kukatakan kemarin. Buka matamu lebar-lebar….”
Dari tempatnya duduk bersila Naga Kuning memandang tak berkesip ke arah pintu goa yang terbuat dari dinding kerikil berwarna merah. Secara aneh , dari tempat ini si bocah sanggup melihat ke dalam telaga menembus dinding goa batu. Kepalanya bergerak sedikit ketika apa yang dikatakan orang tadi menjadi kenyataan.
“Apa yang kau lihat Naga Kuning?”
“Ada seorang berpakaian merah menerobos masuk melewati celah di dinding kerikil ,” jawab Naga Kuning.
“Lelaki atau perempuan….”
“Perempuan Kiai. Tapi….”
“Matamu sudah lamur hingga tidak bisa membedakan lelaki dengan perempuan?!” Suara tanpa rupa menegur.
“Melihat kepada rambut dan potongan tubuhnya orang itu terang perempuan. Tapi mengapa beliau berkumis…?”
“Lagi-lagi kau berlaku tolol Naga Kuning. Apa kau lupa pada ujar-ujar yang mengatakan: Orang cerdik tidak akan tertipu oleh pandangan matanya. Karena sesungguhnya kenyataan ada dibalik semua keanehan.”
Naga Kuning terdiam mendengar kata-kata itu. Matanya kembali memandang tak berkesip ke depan.
“Maafkan saya yang kurang teliti Kiai. Orang yang tiba itu ternyata yaitu seorang gadis yang menyamar Sebagai seorang pemuda.”
“Apa kau mengenal atau pernah melihatnya sebelumnya?”
“Saya kira tidak Kiai. Menurut penglihatan Kiai apakah beliau orang yang kita tunggu?”
“Dia memang orang yang kita tunggu walau datangnya lebih cepat dari dugaan semula. Ini tak lain gara-gara kelakuanmu meninggalkan tempat pengawasan di Liang Lahat ini dan pergi keluyuran ke dunia luar sana….”
“Maafkan atas semua tindakan saya itu Kiai ,” kata Naga Kuning pula.
“Kalau beliau memang yang kita tunggu apakah beliau juga berjodoh dengan senjata sakti mandraguna itu?”
“Berjodoh atau tidak adakalanya bukanlah satu takdir yang tiba dari atas. Terkadang insan membuat-buat menjadi begitu. Padahal Yang Kuasa tidak bisa ditipu. Apa yang dicari gadis itu tidak akan pernah didapatkannya kalau usahanya tidak bisa membuka kunci Liang Akhirat dan masuk ke Liang Lahat ini.”
“Hati kecil saya ingin menolongnya Kiai. Tapi terserah Kiai….” Terdengar bunyi tawa membahana orang yang dipanggilkan Kiai itu.
“Aku menduga jalan pikiranmu telah dirasuk oleh apa yang kau lihat. Kau tertarik pada gadis bagus itu kemudian berniat ingin menolongnya. Bukan begitu Naga Kuning?”
“Kecantikan yaitu bunga hidup ciptaan Gusti Allah , Kiai. Tinggal terserah kita anak insan bagaimana melihat dan menilainya. Saya tahu siapa diri saya. Sama sekali tidak terkandung niat menolong karena termakan pandangan alias nafsu. Saya hanya mengkhawatirkan malapetaka besar akan tambah memporak-porandakan dunia persilatan. Rasanya sudah cukup jumlah para tokoh golongan putih menemui kematian karena sandiwara busuk yang dimainkan oleh manusia-manusia keji dan kaki tangannya….”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan Naga Kuning? Hendak memberi tahu kunci rahasia susukan ke tempat ini?”
“Tanpa izin Kiai saya tidak berani melaksanakan hal itu Kiai.”
“Aku tidak akan memberimu izin. Biarkan gadis itu mencari jalan sendiri. Aku tahu seseorang telah menolongnya hingga beliau bisa bertahan usang di dalam air. Itu sudah menjadi rezeki besar baginya. Tetapi jikalau hidup seseorang selalu berdasarkan pertolongan serta budi baik orang lain , apa jadinya dunia persilatan? Kuharap kau bisa memahami Naga Kuning.”
“Saya mengerti dan memahami Kiai…” jawab Naga Kuning.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
SEBELAS

Puti Andini berlaku cerdik. Dia berenang mendekati pintu goa putih dari arah samping. Dengan demikian beliau terhindar dari hawa aneh yang memancarkan sinar merah serta gelombang angin yang tiba menyambar dari pintu batu. Semakin dekat ke pintu goa semakin keras terasa bunyi detakan-detakan dari balik pintu batu. Sesekali terdengar pula bunyi mendesis menggidikkan. Sekali melihat saja gadis ini bisa menduga bahwa kerikil merah yang menutupi verbal goa beratnya ratusan bahkan mungkin ribuan kati. Bagaimana pun hebatnya kekuatan dan kesaktian seseorang tidak mungkin akan bisa mendorong pintu kerikil itu.
“Pasti ada peralatan rahasia untuk membuka pintu goa ini ,” pikir Puti Andini. Dia memandang berkeliling , memperhatikan dengan teliti. Mulai dari dasar telaga di depan pintu , dua buah tiang putih , dinding sekitar verbal goa , pintu kerikil itu sendiri bahkan hingga ke bara menyala di dua pendupaan yang mengepulkan asap berbau kemenyan. Gadis ini tidak menemukan apa-apa.
“Aneh ,” katanya dalam hati. Dia mendekati tiang putih terdekat.
“Ada bara menyala , ada asap mengepul. Tapi apakah bara menyala ini api benaran….”
Puti Andini ulurkan tangannya dekat-dekat di atas bara menyala dalam pendupaan. Dia terpekik. Waktu mulutnya terbuka air telaga eksklusif masuk menciptakan hidungnya terasa pedas dan tenggorokannya panas. Dia segera menekap mulutnya dengan tangan kiri dan pandangi jari-jari tangannya yang kelihatan memerah. Ternyata bara menyala dalam pendupaan itu api benaran dan panasnya bukan main.
“Bagaimana mungkin bara bisa menyalakan api di dalam air.” Membatin sang dara.
Setelah menyelidiki berulang kali dan tetap saja beliau tidak menemukan sesuatu petunjuk susukan ke dalam goa , cucu Sabai Nan Rancak ini menetapkan untuk menghantam pintu kerikil dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam. Maka beliau berenang menjauhi pintu dan tetap menghindar dari jalur hawa serta gelombang aneh. Dari jarak tiga tombak , sehabis mengerahkan tenaga dalamnya ke asisten Puti Andini menghantam. Air telaga bersibak membentuk jalur mirip terowongan begitu pukulan yang dilepaskan Puti Andini melesat ke depan. Pada ketika pukulan sakti itu mendarat di permukaan dinding kerikil merah yang bertuliskan Liang Akhirat , air bahari bergulung dahsyat , muncrat laksana pijaran bunga api raksasa. Dinding kerikil jangankan hancur , bergeming sedikit pun tidak! Dari balik dinding itu terdengar dua desisan panjang disusul bunyi detak-detak yang menyentak hingga ke dasar telaga.
“Wussss!”
Pukulan yang dilepaskan Puti Andini membalik dalam bentuk satu gelombang besar , membuntal bergulung. Menyapu ke arah si gadis. Di luar sadar Puti Andini membuka verbal berteriak keras. Tapi tidak ada bunyi yang keluar. Malah air telaga menggemuruh masuk ke dalam mulutnya! Selagi beliau megap-megap gelombang besar tadi melanda tubuhnya. Puti Andini terlempar hingga dua belas tombak. Tubuhnya laksana hancur. Tulang-tulangnya seolah tanggal. Dalam keadaan mirip lumpuh sesaat tubuhnya terapung dalam air. Lalu perlahan-lahan melayang turun ke dasar laut. Jatuhnya di dalam lingkaran cekung berbentuk piring , sekitar dua langkah dari dingklik kecil yang terbuat dari batu.
“Apa yang terjadi dengan diriku…? Sudah mati atau setengah mati…?” Puti Andini berusaha bangkit. Tubuhnya seolah tidak mempunyai bobot dan terapung tak menentu. Sementara itu di sekitarnya air telaga tampak membentuk gelombang riak besar berlapis-lapis.
“Jangan-jangan Tua Gila menipuku. Dia hanya menceritakan bahwa ada pedang sakti terpendam di dasar telaga ini. Tapi beliau sama sekali tidak menyampaikan Segala ancaman yang ada di tempat ini.”
Puti Andini memandang ke arah dingklik kecil terbuat dari kerikil dua langkah di sampingnya. Gelombang air menciptakan tubuhnya ikut bergerak tak menentu. Agar dirinya tidak terseret kian kemari Puti Andini ulurkan tangan berpegangan pada salah satu kaki dingklik batu. Gadis ini tersentak kaget ketika mencicipi dingklik kerikil itu ternyata mengeluarkan hawa hangat. Hawa aneh ini menjalar di sekujur tangannya kemudian masuk ke dalam tubuhnya. Sesaat kemudian rasa sakit di seluruh badannya serta merta lenyap.
“Kursi ajaib…” kata Puti Andini dalam hati. Kini beliau pergunakan dua tangan sekaligus memegangi dingklik kerikil itu. Semakin keras beliau memegang semakin banyak hawa aneh masuk dan bertambah besar lengan berkuasa terasa tubuhnya. Di balik dinding kerikil epilog goa Naga Kecil menatap ke luar goa tanpa berkesip , membuka mulut.
“Kiai , agaknya kita akan segera kebobolan. Kalau gadis itu sampai….” Orang yang diajak bicara memotong ucapan si anak.
“Kau tak perlu meneruskan ucapanmu Naga Kuning. Lihat! Gadis itu telah duduk di atas dingklik batu. Walau hanya sebagian tubuhnya duduk di atas dingklik kecil itu , tapi beliau telah menemukan kunci rahasia untuk masuk ke sini!”
“Yang saya heran Kiai ,” kata Naga Kuning pula.
“Kesaktian apa yang dimiliki gadis itu hingga beliau bisa berada dalam air begitu lama….”
“Kita akan segera mengetahui. Kita harus sanggup membongkar rahasia siapa dirinya dan siapa yang berada di belakangnya. Bukan tidak mungkin beliau disuruh dan diberi petunjuk oleh muridku si Sinto Weni alias Sinto Gendeng itu….” Di dasar telaga tiba-tiba Puti Andini mencicipi dingklik kerikil yang didudukinya bergetar keras. Dia cepat pegangi lengan dingklik biar tidak terpelanting. Lalu ada bunyi berdesing yang hebat sekali. Di lain ketika dingklik kerikil itu berputar kencang. Di atasnya si gadis ikut berputar laksana gasing. Lalu ada satu tekanan keras menghantam tubuh Puti Andini yang menciptakan gadis ini melesat ke atas laksana dilontarkan oleh satu kekuatan dahsyat. Cucu Sabai Nan Rancak itu seolah kaku tegang tak bisa berbuat suatu apa. Hendak menjerit pun tidak bisa. Tubuhnya melesat kepala lebih dulu ke arah dinding kerikil merah yang menutupi verbal goa putih. Matanya membeliak. Sebentar lagi kepalanya pasti akan hancur luluh bertabrakan dengan dinding kerikil itu!
Namun sesaat lagi kepala Puti Andini akan menghantam dinding kerikil bertuliskan Liang Akhirat itu tiba-tiba dinding itu bergerak ke samping. Satu celah sempit terbuka. Justru lewat celah inilah kepala dan sosok tubuh Puti Andini melesat lewat dan di lain saat
“Blukkk!”
Puti Andini jatuh tertelentang di atas lantai keras yang terbuat dari kerikil pualam berwarna kelabu. Keadaan di sekitarnya begitu redup. Nyaris gelap hingga beliau tidak bisa melihat dengan jelas. Hidungnya mencium bacin harum yang aneh.
Si gadis kedap-kedipkan sepasang matanya beberapa kali. Lalu memandang berkeliling. Begitu penglihatannya mulai terang dan beliau sanggup melihat keadaan di sekitarnya , pucatlah paras gadis ini dilanda kengerian. Ternyata ketika itu beliau tertelentang hanya tiga langkah di hadapan sebuah kuburan besar terbuat dari kerikil putih berkilat. Ada satu kerikil nisan besar di kepala makam. Namun nisan ini polos tak ada goresan pena apa-apa!
“Di mana saya berada. Tak ada air di sini. Makam siapa ini…?” tanya Puti Andini dalam hati dengan dada berdebar. Perlahan-perlahan dan juga dengan perilaku hati-hati gadis ini mencoba bangkit. Baru saja beliau bisa duduk , kembali Puti Andini tersentak kaget. Ternyata hanya dua langkah di samping kirinya terdapat sebuah lobang besar. Di salah satu sisi lobang menjulang sebuah dinding kerikil hitam berbentuk setengah Ijngkaran. Pada dinding ini ada goresan pena besar berbunyi
“Liang Lahat”. Lalu di bawah goresan pena Liang Lahat ini ada serangkaian tulisan. Belum sempat Puti Andini membaca apa yang tertulis di situ , di atas sana , pada puncak dinding kerikil hitam beliau melihat anak kecil berpakaian hitam duduk di atas sebuah dingklik kecil dari kerikil yang sama bentuknya dengan dingklik di cegukan dasar telaga. Anak ini memandang ke arahnya. Mulutnya ditekuk seolah mengejek.
“Aku mencarinya , ternyata anak itu ada di tempat ini…. Apa beliau tinggal di sini? Siapa sebetulnya anak itu?
Untuk beberapa lamanya Puti Andini pandangi anak di puncak batu. Karena si anak tidak bergerak atau melaksanakan sesuatu maka Puti Andini kembali arahkan pandangannya ke dinding kerikil berbentuk setengah lingkaran. Dia membaca goresan pena yang ada di dinding kerikil itu yang ternyata berupa ujar-ujar.
LIANG LAHAT
Sesungguhnya insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah ke tanah
Namun mengapa insan menjadi lupa
Bersikap sombong membusung dada
Bersikap angkuh besar kepala
Insan hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa
Tapi mengapa insan berani menantang Sang Pencipta
Berani tapi putih , lembut tapi jantan , perkasa tapi jujur
Bukankah itu lebih baik daripada berani tapi hitam , lembut tapi culas , perkasa tapi serakah
Liang Lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu dari keserakahan , saksi buta dari keculasan , saksi tuli dari ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah kebisuan , menyalangkan kebutaan hati , mendengar desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran
Yang Kuasa dan Sang Pencipta yaitu tempat bertanya , tempat meminta
Adakah insan bertanya dengan segala kebersihan hati?
Adakah ihsan meminta dengan kejujuran jiwa?
Liang Lahat , di sini kau berada.
Di sini pula mulai dan berakhirnya satu rahasia.

Puti Andini merasa sesak membaca ujar-ujar yang begitu panjang. Dia melirik ke atas. Anak kecil berpakaian hitam berambut lurus tegak itu masih duduk di atas batu. Tak bergerak tak melaksanakan apa-apa. Kecuali terus memandang ke arahnya tanpa berkesip.
“Aku harus melaksanakan sesuatu. Aku harus bertanya pada anak itu…” kata Puti Andini. Lalu beliau bergerak hendak bangun berdiri. Namun mendadak ada bunyi bergaung. Mula-mula perlahan , makin usang makin besar. Lantai kerikil pualam di mana beliau berada bergetar keras. Memandang ke depan terbelalaklah Puti Andini.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
DUA BELAS

Bagian atas kuburan besar yang terbuat dari kerikil putih bergeser ke samping kanan. Sebuah lobang berukuran lebar lima kaki dan panjang dua belas kaki menganga di hadapan Puti Andini. Si gadis tidak sanggup melihat apa ada mayat atau benda lain di dalam lobang karena pemandangannya tertutup oleh semacam kabut tipis berwarna putih yang menebar hawa sejuk sekali. Semua keganjilan ini semakin menciptakan merinding tengkuk Puti Andini. Wajahnya yang bagus memucat sedang jantungnya berdetak keras.
“Jangan-jangan liang lahat ini disediakan untuk diriku!” pikir Puti Andini.
“Aku harus mencari jalan keluar jikalau ancaman maut benar-benar mengancamku!” Si gadis memandang berkeliling. Pintu kerikil merah dari mana tadi beliau melesat masuk berada dalam keadaan tertutup rapat. Dinding hitam menjulang seolah tak ada batas mengelilingi tempat itu. Sementara itu bunyi mendesis dan detakan-detakan aneh semakin keras , menggetarkan lantai kerikil pualam di mana beliau terduduk. Cucu Sabai Nan Rancak ini mendongak ke atas dinding kerikil setengah lingkaran.
“Anak kecil berkening benjut berbaju hitam itu! Dia satu-satunya tempat saya bertanya.” Berpikir begitu si gadis segera berteriak memanggil.
“Hai…!”
Namun gres saja seruan itu keluar dari mulutnya tiba-tiba dari dalam lobang besar di samping kirinya terdengar bunyi mendesis sangat keras disusul oleh bunyi menggemuruh. Tempat itu laksana diguncang gempa. Puti Andini terbanting kian kemari. Ketika goncangan lenyap dari dalam lobang kerikil memancar dua larik sinar kuning. Sesaat kemudian melesat keluar dua makhluk panjang yang menciptakan Puti Andini tersurut menjauhkan diri dari lobang , mata membelalak , verbal terbuka lebar tapi tak kuasa untuk keluarkan jeritan.
Dua makhluk itu yaitu dua ular luar biasa besar dan panjangnya. Berwarna kuning emas , mempunyai sepasang mata merah menyorot. Binatang yang satu jantan satu betina ini mempunyai pengecap panjang terbelah yang selalu terjulur dan bergerak-gerak kian kemari. Gigi dan taring-taring mencuat di mulutnya yang terbuka menciptakan dua hewan ini tambah mengerikan. Pada cuilan belakang kepalanya ada sebuah tanduk berwarna hijau. Lalu di cuilan depan kepala ada mahkota putih bertaburan batu-batu permata memancarkan cahaya berkilauan. Dada dua hewan ini tampak bergerak-gerak. Setiap gerakan disertai bunyi detakan keras yang menggetarkan lantai. Suara detakan ini ternyata yaitu bunyi denyutan keras luar biasa jantung dua ekor ular besar itu!
“Ular sungguhan atau hewan jejadian…” pikir Puti Andini dalam takut yang luar biasa.
“Apa ini yang disebut orang naga…?”
Dua ular naga yang keluar dari Liang Lahat mendesis keras. Puti Andini kerenyitkan kening dan usap wajahnya yang ketampiasan cairan yang keluar dari verbal sepasang Naga Kuning. Di atasnya kedua hewan itu menggeliat-geliat beberapa kati kemudian tiba-tiba menukikkan kepala seolah hendak menerkam dan menelan bulat-bulat gadis itu. Kali ini Puti Andini tak sanggup lagi menahan jeritnya. Tapi sesaat kemudian dua ekor naga menarik tubuh masing-masing , naik ke atas , menggeliat lagi beberapa kali kemudian membelitkan tubuh di sepanjang dinding berbentuk lingkaran di atas mana bocah berpakaian hitam duduk tak bergerak , tenang-tenang saja. Puti Andini mencicipi nyawanya seolah melayang terbang. Wajahnya sepucat kain kafan dan dadanya menggemuruh turun naik.
“Kakek Tua Gila…. Kalau begini jadinya menyesal saya menuruti perintahmu!” kata Puti Andini dalam hati meratapi kebodohan sendiri dan mengumpati kakeknya si Tua Gila. Belum reda rasa takutnya tiba-tiba Puti Andini dikejutkan lagi oleh getaran-getaran keras yang kembali melanda tempat itu. Tidak itu saja. Dari dalam lobang makam melesat keluar kilatan-kilatan panjang disertai bunyi menggelegar dahsyat.
“Petir…. Bagaimana mungkin ada petir menyambar keluar dari makam itu!” kejut Puti Andini seraya menutup ke dua telinganya. Dia beringsut makin jauh takut terkena sambaran petir. Dia tak bisa bergerak lebih jauh ketika punggungnya tertahan oleh dinding hitam di belakangnya. Sekali lagi tempat itu bergoncang keras. Sekali lagi kilat menyambar dari dalam makam batu. Lalu satu sosok insan perlahan-lahan tersembul dari dalam lobang yang dipenuhi kabut putih.
“Ya Tuhan , makhluk apa lagi ini. Hantu atau manusia…?” ujar Puti Andini. Sekujur tubuhnya bergetar.
Saat Itu dari dalam lobang makam kerikil muncul sosok seorang renta mengenakan selempang kain putih. Kabut putih menciptakan wajahnya agak tersamar. Selain itu rambutnya yang putih panjang , alis , kumis serta janggut putih yang menjulai panjang ikut menyembunyikan mukanya. Orang renta ini tegak berdiri di atas lobang makam seperti melayang di awan. Sepasang matanya memandang cuek dan tajam ke arah Puti Andini. Membuat gadis ini merasa mirip ditembus oleh dua sinar gaib.
“Anak insan , kau tiba ke Liang Lahat melalui Liang Akhirat tanpa seperijinan kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab. Tidak boleh ada kedustaan di tempat ini. Jika jawabanmu tidak masuk nalar dan tidak bisa saya terima maka bagimu hanya ada satu keputusan. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Keputusan yang disebut hanya dengan satu kata. Mati!” Walau orang renta aneh itu mempunyai bunyi halus lembut namun apa yang diucapkannya menciptakan Puti Andini semakin kecut dan tambah pucat wajahnya.
“Or… orang tua…. Ka… kakek….” Puti Andini gundah sendiri , harus memanggil apa terhadap orang renta aneh itu.
“Sebelum saya memberitahu siapa diri saya , bolehkah saya mengetahui lebih dulu siapa kau ini adanya dan di mana sebetulnya ketika ini saya berada?” Untuk pertama kalinya Andini keluarkan suara. Dia mirip asing mendengar suaranya sendiri.
“Berjalan punya tujuan. Tujuan punya maksud. Kau pintar membaca. Kau melihat semua dengan nyata. Apa kau masih hendak bertanya? Banyak orang hiba pada insan bodoh. Tapi sangat menyedihkan jikalau melihat seseorang sengaja memperbodoh dirinya sendiri. Adakah layak tuan rumah memperkenalkan diri pada seorang tamu? Bukankah tamu yang seharusnya mengucapkan salam dan memberi tahu siapa dirinya pada tuan rumah. Mengatakan apa maksud tujuannya. Hidup di dunia ada jalur aturannya. Jangan diputar balik karena semua itu bisa membawa insan ke dalam jalan yang menyesatkan.” Merahlah paras Puti Andini mendengar kata-kata orang renta itu. Dia merasa mirip ditampar kiri kanan. Untuk beberapa lamanya gadis ini hanya bisa terduduk diam.
“Maafkan saya orang tua…” kata Puti Andini akhirnya dengan bunyi agak tersendat.
“Nama saya Puti Andini. Kedatangan saya ke tempat ini yaitu sesuai dengan petunjuk dan perintah kakek saya….”
“Apakah kakekmu itu punya asal usul , punya nama dan punya gelar?” tanya orang renta di atas makam.
“Dia berasal dari Pulau Andalas. Namanya Sukat Tandika. Gelarnya Tua Gila. Mungkin beliau punya gelar-gelar lain yang saya tidak ingat….”
Paras orang renta berselempang kain putih itu sekilas tampak berubah. Mulutnya berkomat-kamit. Setelah terdiam beberapa lamanya gres beliau berkata.
“Orang yang kau sebut sebagai kakek itu apakah beliau kakek yang ada pertalian darah denganmu atau hanya kakek sebagai panggilan?”
“Dia kakek kandung saya , saya cucu kandungnya…” jawab Puti Andini. Si orang renta menunjuk ke atas dinding berbentuk setengah lingkaran.
“Kau kenal dengan anak yang duduk di atas sana?” Puti Andini segera saja menggeleng.
“Naga Kuning , apa kau mengenal gadis ini?” Bocah di atas dingklik kerikil di puncak dinding tinggi tak segera menjawab baik dengan isyarat maupun ucapan. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah Puti Andini yang terduduk di lantai , mengarah ke pinggul dan pangkal paha si gadis yang tersingkap putih karena pakaiannya di cuilan itu robek besar akhir tersangkut sewaktu memaksa meloloskan diri lewat celah batu. Sepasang mata si orang renta memancarkan sinar aneh. Lalu suaranya berubah keras ketika beliau mengetahui apa yang tengah diperhatikan anak itu.
“Naga Kuningi Mata yaitu pangkal segala kebaikan dan kejahatan! Apa yang tengah kau perhatikan?! Kau tidak menjawab pertanyaanku!”
Di lantai kerikil pualam Puti Andini seolah gres sadar akan keadaan dirinya. Cepat-cepat beliau merapikan pakaiannya yang robek biar auratnya tertutup. Bocah di atas dinding kerikil tersentak kaget dan senyum-senyum malu.
“Naga Kuning! Jangan bertingkah tidak karuan! Siapa yang menyuruhmu tertawa!”
“Maafkan saya Kiai. Saya tidak kenal dengan gadis itu ,” jawab Naga Kuning kemudian mengusap wajahnya beberapa kali. Si orang renta memandang ke arah Puti Andini kembali kemudian berkata.
“Pakaianmu walaupun lembap menyatakan kau yaitu seorang perempuan. Rambutmu yang panjang ikut membuktikan , tetapi mengapa kau mengenakan kumis palsu? Kedustaan apa yang ada di balik penyamaranmu itu?”
“Saya…. Tidak ada kedustaan apa-apa. Saya menyamar hanya untuk menghindarkan ancaman yang tidak diinginkan. Dunia persilatan akhir-akhir ini dilanda kemelut. Pembunuhan dan kematian muncul secara aneh , cepat tidak terduga semudah orang membalikkan tangan….”
“Apakah kau banyak musuh?”
“Tidak dan saya tidak pernah ingin punya musuh. Tapi tidak semua orang berpikiran mirip saya…” jawab Puti Andini pula. Habis berkata begitu Puti Andini tanggalkan kumis palsu yang menempel di atas bibirnya. Begitu kumis palsu tanggal maka semakin terang kecantikan aslinya sebagai seorang gadis. Di atas dinding setengah lingkaran Naga Kuning kembali terpesona. Ini terang terlihat pada pandangan matanya. Tapi ketika dilihatnya orang renta yang dipanggilnya dengan sebutan Kiai memutar kepala dan memandang melotot ke arahnya anak ini cepat-cepat tundukkan kepala , usap wajahnya beberapa kali.
“Puti Andini , tidak semua orang sanggup berenang dan menyelam usang di dalam air. Apalagi di telaga yang sangat dalam mirip Telaga Gajahmungkur. Tekanan air , hawa dasar telaga tanpa udara bisa memecahkan jantung. Tapi kau mempunyai kemampuan untuk bertahan. Bahkan akhirnya masuk ke tempat ini. Apakah kakekmu yang berjulukan Tua Gila itu yang mengajarkan semacam ilmu padamu hingga kau bisa berenang dan menyelam sehebat yang telah kau lakukan?”
Puti Andini tak segera menjawab.
Orang renta di atas makam besarkan matanya. Dua ekor naga yang melilit di dinding kerikil menggeliat dan keluarkan bunyi mendesis.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
TIGA BELAS

Mengapa kau tidak menjawab?! tanya orang renta itu.
“Bukan kakek saya yang memperlihatkan ilmu itu ,” jawab Puti Andini.
“Lalu siapa?”
“Seorang nenek sakti….”
“Apa beliau tidak punya nama?”
“Dia pasti punya nama. Tapi saya tidak sempat menanyakan…” jawab Puti Andini.
“Aneh kedengarannya. Seolah tidak berbudi. Orang memberimu ilmu kepandaian. Menanyakan namanya pun kau tidak….”
Puti Andini tidak menjawab. Seperti diketahui ilmu kepandaian yang memungkinkan gadis itu sanggup berenang dan menyelam usang di dalam air diberikan oleh Sika Sure Jelantik. Sesaat sehabis ilmu itu masuk ke dalam tubuhnya Puti Andini jatuh pingsan sehingga beliau tidak sempat lagi bertanya siapa adanya nenek itu. Yang diketahuinya yaitu bahwa si nenek tengah mencari Tua Gila dan bermaksud hendak membunuh kakeknya itu. (Baca Episode “Lembah Akhirat”)
“Anak insan ,” orang renta yang tegak melayang di atas makam kembali membuka mulut.
“Katamu tadi kedatanganmu ke sini yaitu dengan petunjuk dan perintah kakekmu yang bergelar renta Gila. Petunjuk apa? Perintah apa?”
“Saya… saya tidak bisa menceritakannya….”
“Hemm…. Kenapa?!”
“Tidak kenapa-napa. Hanya tidak bisa saja…” jawab Puti Andini.
Dua ekor naga besar mendesis keras dan membuka verbal lebar-lebar. Lidah bercabang menjulur ke bawah. Tiba-tiba binatang-binatang ini meluncurkan kepalanya ke bawah , ke arah Puti Andini. walau tak hingga menyentuh dirinya namun Puti Andini laksana copot jantungnya karena takut dan terkejut.
“Anak manusia. Aku sudah berkata tadi. Di tempat ini dilarang ada kedustaan atau hal yang ditutup-tutupi. Kematian sangat dekat dengan dirimu. Seperti dekatnya kedua matamu satu sama lain….” Dua ekor naga keluarkan bunyi mendesis. Membuat Puti Andini menjadi kecut.
“Saya kemari mencari sesuatu….” Akhirnya si gadis berkata.
“Sesuatu! Sesuatu apa? Bicara yang jelas!”
“Atas suruhan Tua Gila saya kemari mencari sebilah pedang sakti berjulukan Pedang Naga Suci 212.” Menerangkan Puti Andini.
Berubahlah paras si orang renta mendengar keterangan Puti Andini itu. Di atas dinding berbentuk setengah lingkaran. Naga Kuning usap wajahnya berulang kali. Di bawahnya dua ekor naga yang melilit di dinding kerikil keluarkan bunyi aneh mirip bunyi lolongan anjing di malam buta. Di ketika bersamaan , di atas makam di sekitar tegaknya si orang renta berkiblat petir dua kali berturut-turut. Suara menggemuruh keluar dari dalam lobang berjulukan Liang Lahat. Beberapa ketika kemudian sehabis suasana reda , orang renta berselempang kain putih bertanya.
“Mengapa Tua Gila menyuruhmu mencari Pedang Naga Suci 212 itu? Apakah itu miliknya sehingga beliau yummy saja menyuruhmu begitu rupa?”
“Menurut penuturan kakek , senjata mustika sakti itu Sebenarnya memang bukan menjadi bagiannya. Tapi seseorang telah menukarnya dengan satu senjata lain. Bahkan kemudian juga mengambil pedang kemudian menyembunyikannya di dasar Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm. ,.. Kalau Tua Gila merasa Pedang Naga Suci 212 yaitu miliknya mengapa tidak beliau sendiri yang tiba mencarinya ke mari?”
“Saya tidak tahu alasannya. Setahu saya beliau tengah menghadapi urusan besar dalam rimba persilatan. Saya sendiri sebetulnya merasa tidak pantas mendapatkan senjata itu. Namun kakek memaksa karena beliau dan saya masih ada pertalian darah. Disamping itu kalau senjata tersebut memang saya dapatkan akan saya pergunakan untuk menolong seseorang. Karena kabarnya Pedang Naga Suci 212 mempunyai keampuhan daya pengobatan luar biasa….”
Orang renta di atas lobang makam untuk beberapa lamanya saling berpandangan dengan anak yang duduk di dingklik kerikil di atas dinding tinggi setengah lingkaran. Lalu beliau berpaling menatap Puti Andini dan bertanya.
“Bagaimana saya bisa mempercayai keteranganmu bahwa Tua Gila yang menyuruhmu tiba ke tempat ini?” Lama Puti Andini terdiam sebelum memperlihatkan jawaban.
“Saya memang tidak bisa membuktikan. Saya juga tidak bisa berkata lain. Saya hanya mengikuti ucapanmu tadi. Bahwa dilarang ada kedustaan di tempat ini….”
Paras si orang renta tampak kaku membesi mendengar ucapan Puti Andini itu.
“Kau menyampaikan bahwa jikalau kau mendapatkan Pedang Naga Suci 212 maka senjata sakti itu akan kau .pergunakan untuk mengobati seseorang. Mengobati siapa?”
“Seorang perjaka berjulukan Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setahu saya beliau pernah dianggap murid oleh Tua Gila.”
“Semakin aneh jalan ceritamu. Penyakit apa yang menimpa orang itu hingga seolah hanya Pedang Naga Suci 212 yang sanggup mengobatinya?”
“Pendekar itu kehilangan ilmu kesaktian dan tenaga dalamnya karena melaksanakan sesuatu yang terlarang….”
“Kalau memang begitu ceritanya bukankah pantas beliau mendapatkan peristiwa alam itu? Seorang jagoan begitu gampang melanggar pantangan!”
“Saya tidak tahu apa yang terjadi sebetulnya dengan dirinya. Namun sebagai seorang yang pernah mengenalnya saya sudah menganggapnya sebagai sahabat. Itu sebabnya saya mau menolong….”
“Apa benar hanya karena perasaan bersahabat saja kau ingin menolong Pendekar 212? Bukan karena dorongan perasaan lain? Rasa sayang , cinta atau suka padanya?”
Paras Puti Andini menjadi merah mendengar ucapan si orang tua. Di atas dingklik kerikil Naga Kuning tampak tersenyum-senyum. Si orang renta sendiri tetap cuek wajah dan sorotan sepasang matanya. Tiba-tiba beliau menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya dua kali berturut-turut.
Dua ekor naga yang bergelung di dinding tinggi menggeliat dan keluarkan bunyi mendesis keras. Lalu keduanya meluncur turun sepanjang dinding kerikil tinggi masuk ke dalam Liang Lahat hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Sesaat sehabis lenyapnya dua hewan aneh mengerikan ini di dasar lobang terdengar bunyi menggemuruh. Begitu bunyi gemuruh lenyap keadaan di tempat itu menjadi damai kembali. Puti Andini menarik nafas lega. Paling tidak dua makhluk yang menyeramkan yang membuatnya kecut setengah mati tak ada lagi di hadapannya. Namun kejutnya bukan alang kepalang ketika mendadak didengarnya orang renta di atas makam berseru.
“Naga Kuning! Aku merasa anak insan satu ini tidak pantas berada di tempat ini. Semua ceritanya bohong dusta belaka! Apa beliau mengira bisa menipu diriku?! Lemparkan beliau ke dalam Liang Lahat!”
“Orang tua!” seru Puti Andini tercekat.
“Kiai!” Naga Kuning keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya hingga tertegak di atas dingklik yang didudukinya. Dia menatap melotot pada orang renta „di bawah sana yang balik memandang padanya dengan mata mendelik dan wajah sedingin salju!
“Naga Kuning! Kau tidak tuli! Kau mendengar apa perintahku! Lemparkan anak insan itu ke dalam Liang Lahat!” Waktu bicara paras si orang renta tampak bertambah garang.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas…” ujar Naga kuning seolah ingin memastikan bahwa si orang renta tidak salah mengucap berikan perintah. Namun ucapannya segera dipotong.
“Jika kau tidak mau melemparkannya ke dalam Liang Lahat maka saya akan menyuruhnya melemparkan kau ke dalam lobang itu!” Berubahlah paras Naga Kuning.
“Orang renta itu tidak main-main…. Apa boleh buat. Gadis bagus , masih putih higienis begini rupa harus mendapatkan kematian secara mengenaskan. Ah , betapa malangnya…. Tuhan , jikalau Kau mendengar permintaanku tolong gadis itu!”
“Naga Kuning!” bunyi si orang renta menggelegar.
Anak kecil di atas dinding kerikil sana tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia melompat dari kursi. Melayang turun ke arah Puti Andini yang ketika itu masih tergeletak duduk di lantai kerikil pualam. Dinding kerikil setengah lingkaran itu terpisah belasan tombak dengan lantai kerikil pualam. Namun Naga Kecil menjejakkan kedua kakinya di lantai tanpa bunyi dan tanpa kaki bergoyang sedikit pun. Si anak memandang sedih pada gadis di hadapannya.
“Puti Andini , maafkan diriku. Aku harus melemparkan dirimu ke dalam Liang Lahat itu…” kata Naga Kuning dengari bunyi serak bergetar.
“Kau berdasarkan perintahi Aku layak mempertahankan diri!” jawab Puti Andini. Dalam keadaan mirip itu hasrat untuk mempertahankan diri menjadikan keberanian dalam diri si gadis. Dia salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Di hadapannya Naga Kuning masih membisu sejenak. Tiba-tiba cepat sekali anak itu melesat ke hadapan Puti Andini.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
EMPAT BELAS

Kita tinggalkan dulu Puti Andini yang tengah menghadapi malapetaka besar , hendak dilemparkan ke dalam Liang Lahat oleh Naga kuning atas perintah orang renta berjulukan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Kita kembali dulu ke tempat terjadi bentrokan besar antara Ratu Duyung , Dewa Sedih dan Utusan Dari Akhirat. Seperti dituturkan sebelumnya karena tidak bisa membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan tidak sanggup menghadapi lawan-lawannya , ditambah dengan rasa takut terhadap eksekusi yang akan dijatuhkan Datuk Lembah Akhirat , maka kakek aneh si Dewa Sedih ambil putusan gila yaitu bunuh diri. Dia menerjunkan diri dari atas pohon tinggi , kepala ke bawah kaki ke atas. Sesaat lagi kepalanya akan remuk menghantam tanah tiba-tiba terdengar bunyi pecut menderu di udara.
“Tar… tar… tar!” Lalu menyusul bunyi orang tertawa membahana. Di lain kejap satu tubuh gemuk melesat. Dua tangan diulurkan. Dua telapak tangan dikembangkan di atas tanah. Tepat di cuilan mana kepala Dewa Sedih akan jatuhi
“Blukkk!”
Batok kepala Dewa Sedih mendarat di atas dua telapak tangan itu. Lalu dua tangan bergerak ke samping untuk meredam daya berat tubuh Dewa Sedih. Sesaat kemudian tampak tubuh si kakek dilemparkan ke udara setinggi empat tombak. Begitu turun dua tangan kembali menyambut. Kali ini memegang pundak Dewa Sedih kemudian membantingkan orang renta ini ke tanah. Sesaat Dewa Sedih terkapar nanar. Telinganya menangkap bunyi orang tertawa keras sekali. Tampang Dewa Sedih eksklusif murung berat. Lalu terdengar bunyi ratapannya.
“Aku mendengar bunyi orang tertawa. Aku melihat langit. Aku melihat tanah. Mengapa saya tidak mati? Mengapa kepalaku tidak pecah? Hik… hik… hik!” Suara tawa membahana mendadak lenyap.
“Tua bangka gila! Hentikan tangismu! Manusia tidak tahu diri! Orang mati saja mau hidup kalau bisa! Kau yang masih bernafas ingin mampus! Apa pasal apa lantaran? Apa sudah bosan hidup? Ha… ha… ha?!
Yang tegak di tempat itu yaitu seorang kakek gemuk luar biasa. Dia mengenakan celana hitam gombrong , baju putih kesempitan. Karena tidak dikancingkan maka perut dan dadanya yang gembrot berlemak kelihatan membusai bergoyang-goyang. Rambutnya yang sudah putih disanggul di atas kepala. Matanya sipit. Di sampingnya tegak seekor keledai kecil kurus. Lalu di sebelah belakang tegak seorang lelaki berpakaian serba hijau. Baik muka maupun rambutnya yang mirip sarang tawon juga berwarna hijau. Di bibirnya sebelah bawah menancap sepotong tulang. Mukanya penuh dengan benjolan-benjolan menjijikkan. Tangan kanannya tergontai-gontai. Ternyata tangan itu hancur remuk mulai sebatas pergelangan hingga ke ujung-ujung jari. Selain itu orang ini tampaknya berada dalam keadaan kaku tertotok karena beliau sama sekali tidak bisa bergerak maupun bersuara. Orang ini bukan lain yaitu salah seorang pembantu utama Datuk Lembah Akhirat yang dikenal dengan nama Pengiring Mayat Muka Hijau.
Sebelumnya telah diceritakan dalam Episode “Pedang Naga Suci 212” Dewa Ketawa tengah mengadakan perjalanan untuk mencari kakaknya si Dewa Sedih yang dikabarkan telah terjerat dalam perangkap Datuk Lembah Akhirat hingga masuk menjadi anggota orang-orang jahat lembah Akhirat. Di tengah jalan Dewa Ketawa bertemu dengan Pengiring Mayat Muka Hijau. Antara kedua orang ini terjadi perkelahian hebat. Pengiring Mayat Muka Hijau diketahui berkepandaian sangat tinggi dan mempunyai pukulan sakti sangat berbahaya berjulukan Pukulan Penghancur Mayat yang juga dikenal dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Namun demikian Dewa ketawa yaitu tokoh dunia persilatan yang dikenal sebagai dedengkot berperangai serba aneh , tak kalah aneh dengan kakaknya yaitu si Dewa Sedih walau dalam banyak hal sifat baik Dewa Ketawa lebih menonjol daripada sang kakak. Tak hingga berkelahi lima jurus Dewa Ketawa berhasil mencengkeram hancur asisten Pengiring Mayat Muka Hijau yang sangat berbahaya itu. Bahkan kemudian Pengiring Mayat Muka Hijau ditotok hingga beliau tidak berdaya lagi. Dalam keadaan mirip itu Dewa Ketawa menjambak rambut Pengiring Mayat Muka Hijau kemudian menyeret orang itu dan melanjutkan perjalanan. Kini dengan petunjuk Pengiring Mayat Muka Hijau akan lebih gampang baginya mencari markas Datuk Lembah Akhirat. Dalam perjalanan menuju Lembah Akhirat inilah , ketika berada di sekitar Telaga Gajahmungkur Dewa Ketawa hingga di tempat kejadian di mana terjadi pertempuran hebat antara Ratu Duyung , Utusan Dari Akhirat dan kakaknya si Dewa Sedih. Sang adik tiba sempurna pada ketika yang sangat genting ketika Dewa Sedih hendak bunuh diri dengan cara melompat terjun dari atas pohon besar. Untung si gendut ini masih sempat melaksanakan sesuatu menolong kakaknya. Melihat siapa yang tiba Wiro Sableng menjadi lega. Dia segera keluar dari balik tempatnya berlindung. Ratu Duyung juga besar hati karena sebelumnya sudah mengena! kakek gendut ini. Hanya Utusan Dari Akhirat yang tampak agak gundah karena tidak tahu siapa adanya Dewa Ketawa dan apa hubungannya dengan kakek berjulukan Dewa Sedih itu. Panji yang berada di tempat itu sambil usap-usap mukanya yang kotor oleh debu dan darah segera bangun berdiri. Dewa Ketawa memandangi kakaknya sesaat kemudian tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka sinting! Orang hendak membunuh saya kau masih bisa tertawa!” hardik Dewa Sedih. Lalu kakek ini menggerung keras. Tapi diam-diam beliau gerakkan kedua tangannya ke dada. Ketika dua tangan itu dipukulkan ke depan terdengar bunyi berdentum dua kali berturut-turut. Lalu dari pinggiran ke dua tangannya meletup dua bola api yang menggelinding bergulung-gulung menyambar ke arah Ratu Duyung dan Utusan Dari Akhirat. Pukulan sakti yang bisa mengeluarkan bola-bola api itu yaitu kesaktian sangat langka dan hanya dimiliki oleh Dewa Sedih.
Melihat dua bola api menerjang dahsyat ke arah mereka Ratu. Duyung segera kiblatkan cermin saktinya. Utusan Dari Akhirat eksklusif lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Untuk kesekian kalinya tempat itu dilanda dentuman-dentuman keras disertai goncangan dahsyat. Dua bola api menjulang ke udara menutupi pemandangan.
“Ha… ha… hal Dewa Sedih! Kau masih saja senang bermain-main dengan bola-bola sialan ini!” Dewa Ketawa tertawa bergelak. Lalu kakek Ini kerahkan tenaga dalamnya ke verbal dan meniup keras-keras. Dalam rimba persilatan Dewa Ketawa dikenal mempunyai ilmu aneh yaitu ilmu meniup. Dengan ilmunya itu beliau sanggup menotok musuh , menciptakan lawan terpental dan cidera berat. Saat itu hingga empat kali beliau meniup hingga verbal dan tenggorokannya terasa pedas. Ketika dua bola api lenyap Dewa Ketawa , Utusan Dari Akhirat dan Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkesiap kaget. Ternyata Dewa Sedih tak ada lagi di tempat itu. Dan bukan beliau saja! Pengiring Mayat Muka Hijau juga tak ada lagi di situ. Lalu Panji ikut lenyap entah ke mana. Dewa Ketawa memandang berkeliling. Lalu tertawa gelak-gelak.
“Di mana kakek sialan itu sembunyikan diri hah?! Eh , gembel muka hijau itu lari ke mana? Astaga. Keledaiku juga ikut lenyap! Siapa yang berani mencuri! Sialan betul! Ha… ha… ha! Apa-apaan ini! Ha… ha… ha…!”
Ketika pandangannya membentur Pendekar 212 Dewa Ketawa hentikan tawanya. Dia menunjuk-nunjuk dengan verbal termonyong-monyong.
“Sobatku muda!” Begitu Dewa Ketawa biasa memanggil Wiro.
“Ternyata kau berada di sini! Ha… ha… ha! Kudengar kabar kau sudah kawin dengan Ratu Duyung. Kawin benaran atau kawin-kawinan! Ha… ha… ha!”
“Sobatku gendut! Senang bertemu lagi dengan kau! Tapi jangan mulutmu nyablak asal bicara!” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng sambil tangan kirinya memberi tanda bahwa Ratu Duyung yang barusan disebutnya itu berada di samping kirinya , tegak tak bergerak dengan wajah memerah. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak.
“Kau tak menjawab. Berarti kau tidak kawin benaran! Ha… ha… ha! Tapi hidup di dunia ini memang lebih sedap kalau cuma kawin-kawinan! Contoh saja diriku. Sudah renta bangka begini tak pernah kawin! Ha… ha… ha!” Perut dan dada Dewa Ketawa yang gembrot berguncang-guncang waktu tertawa. Lalu beliau kembali menyerocos.
“Aku pernah melihat Ratu Duyung. Wajahnya bagus selangit. Bola matanya biru. Tubuhnya wangi! Kalau saja saya masih muda. Hemmm…. Ha… ha… ha!”
“Kerbau Bunting! Jaga mulutmu!” teriak Wiro sambil banting kaki dan garuk-garuk kepala.
“Ha… ha! Jangan akal-akalan malu! Atau kau akal-akalan alim sekarang! Hai , saya mau tanya. Ha… ha… ha! Waktu kau kawin-kawinan dengan Ratu Duyung apakah kekasihmu yang lain tidak cemburu dan murka padamu? Ha… ha… ha! Aku tahu semua nama mereka. Anggini…. Lalu gadis dari alam mistik berjulukan Suci itu. Kemudian si rambut pirang Bidadari Angin Timur. Rasanya masih ada beberapa lagi. Ya… ya… saya ingat. Si Pandansuri. Lalu yang terakhir namanya kalau saya tidak salah Puti Andini. Gadis seberang yang punya kepandaian memainkan tujuh payung. Mungkin ada lagi yang lain? Ha… ha… ha!”
“Gendut sialan! Mulutmu sudah keterlaluan!” hardik Wiro.
“Apa kau tidak melihat Ratu Duyung ada di sebelahmu?!” Dewa Ketawa terkejut. Dia usap mulutnya dengan belakang telapak tangan. Matanya sesaat membesar. Lalu beliau kembali tertawa gelak-gelak.
“Sobatku muda , jangan kau membohongi diriku. Aku….” Seseorang berkelebat dan tegak di hadapan Dewa Ketawa.
“Aku Ratu Duyung memang ada di sini!” Melihat siapa yang berdiri di depannya kagetlah Dewa Ketawa. Si gemuk ini tersurut dua langkah. Matanya membelalak. Hidungnya bergerak-gerak dan mulutnya komat-kamit.
“Kau…. Betul kau Ratu Duyung? Pakaianmu pakaian hitam biasa. Mana mahkotamu…. Jangan-jangan bukan. Kau bukan Ratu Duyung. Tapi eh… wajahmu yang bagus memang saya kenali. Lalu sepasang matamu yang biru. Astaga! Kau betulan Ratu Duyung! Ha… ha… ha…! Aku besar hati bertemu dengan kekasih sahabatku Pendekar 212!” Dewa Ketawa tertawa mengekeh.
“Orang renta , saya mendengar kau memang berwatak aneh. Tapi kalau bicara mirip tadi saya tidak bisa terima…” kata Ratu Duyung pula dengan bunyi keras membuktikan marah.
“Gadis cantik! Kalau kau tak suka mendapatkan jangan diterima. Ha… ha… ha! Salah bicara sudah biasa! Aku tidak akan minta maaf padamu! Aku akan tertawa saja hingga puas. Ha… ha… ha…!” Ratu Duyung berpaling pada Wiro. Dia memberi isyarat seraya berkata.
“Aku akan meninggalkan tempat ini. Kalau kau ingin menemani renta bangka gendut gila ini silahkan saja!” Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Hendak pergi sebetulnya beliau ingin bicara banyak dengan Dewa Ketawa. Kalau tetap di situ beliau merasa tidak yummy terhadap Ratu Duyung. Akhirnya Wiro berkata.
“Sobatku Gendut saya terpaksa pergi. Temui saya dua hari lagi di tempat ini!”
“Siapa sudi berjanji dengan kau! Lagi pula saya ingin menyelidik. Mengapa kalian hendak membunuh kakakku si Dewa Sedih….”
“Siapa yang membunuhnya! Tua bangka tolol itu mau bunuh diri sendiri!” Yang menjawab Ratu Duyung dengan bunyi sengit karena masih sangat murka terhadap Dewa Ketawa.
“Kakakku memang brengsek. Tapi beliau tidak pernah dusta. Tadi beliau menyampaikan kalian hendak membunuhnya! Makara saya harus percaya dan harus tahu apa sebabnya. Kalian orang-orang golongan putih. Mengapa berserikat hendak membunuh sesama golongan?” Bicara hingga di situ Dewa Ketawa berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kecuali perjaka ini. Aku tidak tahu siapa kau adanya. Sesama sobat golongan putih?”
“Perduli dengan segala macam golongan! Kau mau menyelidik itu urusanmu! Saat ini yang ingin saya lakukan yaitu membunuh perjaka gondrong berjulukan Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini!”
“Oo…oo!” Dewa Ketawa pencongkan verbal kemudian tertawa gelak-gelak.
“Jika beliau berniat jahat terhadap saudaraku , berarti saya yang akan menghajarnya! Jangan sekali-kali kau berani memotong!”
Utusan Dari Akhirat mana perdulikan ucapan kakek gendut itu. Dia berputar ke arah Wiro kemudian eksklusif menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Dewa Ketawa tidak tinggal diam. Didahului dengan bunyi tawa mengekeh si gendut ini berkelebat memintas serangan Utusan Dari Akhirat. Cemeti keledai di tangan kanannya dihantamkan ke udara.
“Tar… tar… tar!”
Tiga larik sinar maut yang keluar dari asisten Utusan Dari Akhirat berdentum dan bertabur di udara begitu cemeti berkiblat. Baik Dewa Ketawa maupun Utusan Dari Akhirat sama-sama berseru kaget dan tersurut ke belakang. Dewa Ketawa lemparkan cemeti keledai yang terbakar hangus dan mengepulkan asap. Dia mendelik memperhatikan tangan kanannya yang tampak merah dan bergetar. Di seberang sana Utusan Dari Akhirat terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Mukanya pucat pasi. Lengan pakaiannya tampak hangus terkena hawa panas pukulan sakti yang dilepaskannya dan berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Gendut jahanam! Kau berani menghalangiku!” hardik Utusan Dari Akhirat.
“Pemuda sompret! Berani kau memakiku!” balas berteriak Dewa Ketawa;
“Aku akan mengiringi kematianmu dengan tertawa!” Habis berkata begitu Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Lalu beliau meniup ke depan. Utusan Dari Akhirat mencicipi ada satu gelombang angin dahsyat menghantam ke arahnya.
“Tunggu!” perjaka itu berteriak.
“Pemuda yang hendak kita bunuh tak ada lagi di sini! Jika kita meneruskan perkelahian ini pasti beliau lari jauh dan sulit dikejar!”
Dewa Ketawa memandang berkeliling. Saat itu baik Wiro maupun Ratu Duyung memang tak ada lagi di tempat itu.
“Anak gila! Berani beliau melarikan diri!” Memaki Dewa Ketawa kemudian tertawa gelak-gelak.
Melihat si gendut tidak meneruskan serangannya , Utusan Dari Akhirat segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Dewa Ketawa hentikan gelaknya. Dia kembali memandang berkeliling.
“Heh…. Pemuda sialan satu lagi itu juga lenyap. Aku tinggal sendiri! Ha… ha… ha…!” Sesaat Dewa Ketawa masih saja terus tertawa sambi! manggut-manggut Tiba-tiba bunyi tawanya lenyap. Dia ingat sesuatu.
“Pemuda yang saya tidak kenal tadi. Dia melepaskan pukulan Gerhana Matahari. Aku tahu betul! Aha…. Apa hubungannya dengan Pangeran Matahari yang sudah kojor itu? Adik seperguruan…. Ha… ha… ha…. Ini hal lucu yang perlu saya selidiki!”
Dewa Ketawa masukkan dua jari tangan kirinya ke dalam verbal kemudian keluarkan bunyi bersuit dua kali. Sesaat kemudian dari balik sebatang pohon besar melangkah keluar tunggangan kesayangannya yaitu si keledai pendek kurus. Begitu hewan ini hingga di depannya Dewa Ketawa eksklusif naik ke atas punggungnya. Biasanya beliau pergunakan cemeti untuk membedal hewan itu. Tapi karena cemetinya tadi terbakar hangus terpaksa beliau pergunakan tangan untuk menepuk pinggul tunggangannya. Keledai kurus itu melenguh kesakitan kemudian lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja keledai dan penunggangnya yang gemuk telah lenyap.
Sebenarnya Dewa Ketawa tidak betul-betul menunggangi keledai kurus kecil itu. Walau pantatnya kelihatan mirip duduk di atas punggung keledai tapi ke dua kakinya yang gemuk besar menyentuh tanah dan berlari kencang mengikuti larinya keledai. Sepasang kaki Dewa Ketawa beratnya puluhan kati. Namun demikian sama sekali tidak terdengar gedebuk bunyi kakinya waktu berlari.
*
* *

Kapak Maut Naga Geni 212
LIMA BELAS

Burung-burung merpati yang ratusan banyaknya berkeliaran jinak di lembah sunyi berhawa sejuk itu. Sebagian dari burung-burung itu beterbangan berputar-putar di udara. Sebagian lagi bermalas-malasan bertengger di cabang atau ranting pepohonan. Tapi yang paling banyak yaitu yang bergerombol berkeliaran di tanah sambil mencari apa saja yang bisa dipatuk dan dimakan. Inilah lembah yang dikenal dengan nama Lembah Merpati. Terletak di balik bukit kecil di utara Telaga Gajahmungkur. Saat itu menjelang tengah hari. Walau sang surya bersinar terik namun keadaan di Lembah Merpati tetap sejuk. Di satu tonjolan tanah yang ditumbuhi rumput subur sesosok tubuh berpakaian sedia kuning duduk sambil mempermainkan setangkai rumput. Wajahnya tak bisa dikenali karena kepala hingga ke rambut tertutup dengan sehelai cadar kain kuning. Burung-burung merpati berkeliaran di sekelilingnya. Yang jinak-jinak bertengger di pundak dan di atas kepalanya. Ada beberapa ekor duduk mirip mengeram di atas pangkuannya. Waktu berjalan seolah merayap. Di langit sang surya telah melewati titik tertingginya. Orang bercadar mulai gelisah. Dia memandang berkeliling. Sunyi , tak ada gerakan. Sesekali kesenyapan dipecahkan oleh gelepar sayap burung-burung merpati atau bunyi merpati jantan menggeru-geru mendekati merpati betina. Orang bercadar kuning membelai kuduk seekor merpati yang duduk di pangkuannya. Perlahan-lahan antara terdengar dan tiada dari mulutnya terdengar bunyi nyanyian.
Berbiduk ke hulu
Bersampan ke muara
Dua yang ditunggu
Seorang pun tidak memperlihatkan muka
Terang di hulu
Mendung di muara
Kalau tak tiba yang ditunggu
Rahasia akan terpendam seumur dunia
Panas di hulu Hujan di muara
Rahasia sengsara penuh murung sembilu Akankah terkuak menjadi bahagia
Berbiduk ke hulu Bersampan ke….
Suara nyanyian terputus. Orang yang menyanyi dongakkan kepala kemudian memasang indera pendengaran sambil memandang ke arah timur.
“Ada yang datang….” Sinar kegembiraan menyeruak di wajahnya yang terlindung cadar kuning. Dia tidak menunggu lama. Di balik rumpunan semak belukar dan pepohonan besar beliau melihat seorang berlari cepat. Burung-burung merpati yang ada di sekitar situ terkejut beterbangan. Sesaat kemudian orang ini telah berada di sebelah sana. Dia mirip tidak mau memperlihatkan diri di tempat terbuka. Sengaja berlindung di balik batang pohon besar. Kedua tangannya ditutupkan ke wajahnya.
Dia mengenakan baju hitam tanpa lengan dan bercelana panjang hitam. Orang ini bukan lain yaitu tokoh gres dalam dunia persilatan yang muncul dan memperkenalkan diri dengan nama Iblis Pemalu. Termasuk sebagai salah satu tokoh aneh karena di mana pun beliau berada dan apa pun yang dilakukannya paling tidak salah satu tangannya selalu menutup wajahnya.
Iblis Pemalu mendehem beberapa kali..
Lalu dari balik pohon terdengar suaranya.
“Aku malu untuk bertanya. Tapi lebih malu lagi jikalau tidak bertanya: Apakah kau sudah usang hingga di Lembah Merpati ini?’!
Pertanyaan itu dijawab oleh si cadar kuning dengan ucapan berpantun.
“Begitu sang surya menerangi bumi. Tubuh letih ini telah berada di sini. Letih menunggu tidak seberapa. Dibanding dengan rasa cemas membara.”
“Malu saya kalau salah menduga. Tapi apakah maksud ucapanmu tadi berarti orang yang kau tunggu belum datang?” Iblis Pemalu kembali bertanya dari balik pohon.
“Layangkan mata seputar lembah. Tukikkan pandang ke atas tanah. Meneliti ke balik semak. Mengintip ke balik pohon. Adakah sosok yang terlihat? Padahal hati ini sudah gelisah memohon….”
Iblis Pemalu keluarkan desah panjang.
“Sungguh memalukan. Kurasa saya sudah tiba sangat terlambat. Nyatanya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Aku hanya akan berada di tempat ini hingga matahari terbenam. Kalau hingga ketika itu orang yang kita tunggu tidak juga muncul , saya tidak akan malu-malu untuk angkat kaki dari tempat ini!”
“Malumu malumu sendiri. Gelisahku gelisahku sendiri. Tapi ada keterkaitan di antara kita. Mengapa pergi sebelum terang duduk cerita?”
Iblis Pemalu terdiam. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Perlahan-lahan rasa galau juga muncul di lubuk hatinya. Baru ketika itu dirasakan keletihan tubuhnya. Dia tiba dari tempat jauh. Membutuhkah sehari suntuk untuk hingga ke lembah itu. Iblis Pemalu menghela nafas panjang. Lalu duduk menjelepok di atas tanah di bawah pohon besar itu. Berdiam diri berlama-lama menciptakan Iblis Pemalu menjadi tidak enak. Dia lantas berseru bertanya.
“Apa yang kita lakukan kalau beliau benar-benar tidak datang?”
“Hari masih panjang. Dia belum tentu tidak datang. Kepastian memang belum menjadi kenyataan. Hanya kesabaran jadi kerikil ujian ,” menjawab orang bercadar kuning. Setiap katanya selalu mirip orang berpantun.
“Kalau beliau tidak datang!” kata Iblis Pemalu berkata dari baiik pohon.
“Aku tidak akan malu-malu mengangkat sumpah! Aku tidak akan sudi membantu lagi. Biar semua rahasia ini terpendam di perut bumi! Kalau perlu saya lanjutkan hingga di perut neraka. Aku tidak malu! Aku….”
“Ssttt…!” Tiba-tiba orang bercadar memberi tanda.
“Berhenti berbicara. Telingaku mendengar suara. Ada orang mendatangi. Melangkah secepat angin. Berlari secepat topan….”
Baru saja si cadar kuning ini berkata demikian tiba-tiba di Lembah Merpati muncul seorang nenek bertopi berbentuk tanduk kerbau. Di bawah topi rambutnya yang putih melambai-lambai ditiup angin lembah. Dia mengenakan sehelai mantel hitam. Di bahunya bertengger seekor burung Merpati. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada orang bercadar kuning yang duduk di atas rumput. Dia tidak memandang berkeliling. Tetapi beliau tahu kalau di balik sebatang pohon besar di belakangnya duduk mendekam sesosok tubuh.
“Sesuai perjanjian sesuai pintamu. Aku tiba memenuhi undangan!” kata nenek bermantel hitam yang bukan lain yaitu Sabai Nan Rancak si nenek sakti dari puncak Gunung Singgalang. Perlahan-lahan kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Orang berpakaian dan bercadar kuning bangun berdiri. Merpati yang bertengger di pundak dan kepalanya terbang ke udara. Yang tadi duduk di pangkuannya menggelepar ke atas kemudian hinggap di pundak kirinya. Di balik pohon perlahan-lahan Iblis Pemalu berdiri pula. Dari sela-sela jarinya beliau mengintip. Namun beliau hanya bisa melihat punggung Sabai nan Rancak.
*
* *
TAMAT
Episode berikutnya :
RAHASIA CINTA TUA GILA

No comments for "Liang Lahat Gajahmungkur WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"