Lembah Akhirat WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : LEMBAH AKHIRAT
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : LEMBAH AKHIRAT

SATU
Bayangan putih yang berkelebat di malam gelap dan hambar itu tiba-tiba lenyap laksana ditelan bumi. Beberapa ketika kemudian satu bayangan lagi muncul di tempat itu. Sambil mengusap keringat yang membasahi keningnya orang ini memandang berkeliling. Ternyata ia seorang cowok berwajah ganteng , berkumis tipis , mengenakan pakaian serba merah. Sehelai kain hitam menutupi kepalanya hingga ke kening.“Heran , apa ia punya ilmu amblas ke dalam tanah? Barusan saja saya masih melihat ia berada di depanku. Bagaimana tahu-tahu lenyap tanpa bekas?” Orang yang berkata dalam hatinya itu memandang berkeliling. “Malam gelap sekali. Tapi mataku tak bisa ditipu. Tak ada pohon besar untuk bersembunyi. Tak ada semak belukar untuk mendekam. Aneh….”
Orang ini kemudian melangkah ke kiri. Dari sini ia menciptakan gerakan memutar. Tetap saja orang yang tadi diikutinya tidak kelihatan. “Apa saya meneruskan perjalanan saja menuju Kutogede. Bagaimana kalau berpapasan lagi dengan guru. Seperti kejadian beberapa hari lalu. Hampir saya kepergok olehnya! Kalau ia hingga menemuiku bakalan celaka diriku! Selain itu saya harus memberitahukan satu hal penting pada orang yang kukejar tapi lenyap begitu saja!”
Sambil bicara dalam hati , sepasang mata orang ini terus memandang kian kemari. Apa yang dicarinya tidak kelihatan. Sesaat ia merasa bingung. Apa akan terus mencari orang yang tadi dikejarnya atau meneruskan perjalanan saja. Selagi ia menimbangnimbang begitu tiba-tiba dari sebuah lobang sedalam pinggang yang nyaris tak kelihatan lantaran karam dalam kegelapan malam yang sangat pekat menyambar serangkum angin dahsyat. Menghantam ke arah cowok berpakaian merah yang tegak di tempat terbuka itu. Meski terkejut mendapat serangan tak terduga itu namun lantaran sebelumnya ia telah berlaku waspada maka begitu sambaran angin yang sanggup menghancurkan watu mematahkan pohon besar itu menderu ke arahnya , cowok berbaju merah melompat ke udara. Dengan sudut matanya ia telah melihat dari mana datangnya serangan gelap itu. Karenanya begitu melayang turun cowok ini balas melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi , diarahkan ke lobang di kegelapan.
“Wusss!”
“Byarrr!”
Lobang terbongkar. Tanah laksana berubah jadi air dan muncrat ke udara. Dalam gelap terdengar bunyi orang memaki kemudian kurang jelas tampak bayangan putih melayang ke udara. Pemuda berbaju merah mengikuti gerakan tubuh yang melayang. Ketika ia hendak menghantam kembali tiba-tiba ia melihat ada sebuah benda melesat di udara. Sebelum ia sempat melihat terang , tahu-tahu sekujur tubuhnya telah dilibat ikatan benang halus berwarna putih.
“Ah! Memang ia rupanya!” kata cowok berpakaian merah begitu ia mengenali benda apa yang mengikatnya hingga ia tak bisa bergerak barang sedikit pun. Tiba-tiba dari arah kegelapan benang putih halus itu dikedut orang. Tak ampun lagi tubuh si cowok melesat ke udara. Lalu laksana layang-layang ditarik ke bawah hingga menghunjam tajam ke arah tanah. Bersamaan dengan itu dari kegelapan terdengar orang berteriak.
“Makan tanganku! Jebol batok kepalamu!”
“Astaga! Dia hendak membunuhku!” ujar si pemuda. Dalam keadaan terikat dan melayang begitu rupa ia coba gerakkan badannya ke kiri mirip gelondongan kayu. Tapi orang di dalam gelap lebih cepat menyentakkan benang yang mengikat tubuhnya. Akibatnya sernakin deras dirinya tertarik ke bawah , kepala lebih dulu! “Celaka! Hancur kepalaku!”
“Kek! Jangan bunuh diriku!”
“Eeee anak gila! Walau gelap saya tidak buta! Orang berpakaian merah yang menguntitku semenjak dari pantai dua hari kemudian ini yaitu seorang pemuda! Tapi mengapa suaranya mirip perempuan? Apa masih ada bencong di dunia ini?!”
“Kek! Aku Puti Andini! Jangan….”
“Anak setan kurang ajar! Akan saya rotan kau hingga seribu kali!” “Dettt… dettt…dettt!” Benang halus putih kembali dikedut orang hingga tiga kali. Sosok orang berpakaian merah melayang berputar satu kali. Kalau tadi tubuhnya menghunjam deras ke tanah maka kini tubuh itu laksana layang-layang yang diturunkan bergerak ke bawah perlahan-lahan dan akibatnya tergolek menelentang di tanah.
“Gadis nakal! Terlambat kau menyampaikan siapa dirimu , nyawamu tak ketolongan!
Apa yang kau lakukan itu? Kau sengaja mencari mati?!” Seorang tua berpakaian putih berkepala botak plontos muncul di samping Puti Andini yang menyamar sebagai seorang pemuda. “Kek , buka dulu ikatan Benang Kayanganmu. Nanti saya terangkan….” “Kau kira saya tak tahu semenjak dua hari kemudian kau menguntitku terus menerus…!” “Betul , tapi buka dulu ikatan benang saktimu. Aku sulit bernafas!”
“Itu sanksi semoga kau tahu rasa!” jawab orang dalam gelap. Lalu ia gerakkan tangannya dua kali. Benang sakti yang melibat tubuh orang yang terhampar di tanah secara ajaib terbuka. Orang ini segera membuka kain lebar yang menutupi kening dan kepalanya. Begitu epilog kepala terbuka maka terlepaslah rambut panjang yang sebelumnya tergulung. Lalu tangannya bergerak menanggalkan kumis tipis yang menghias kepingan atas bibirnya. Serta merta wajahnya yang tadi kelihatan mirip wajah cowok ganteng dan halus kini menjelma wajah seorang gadis elok berambut panjang. Dengan cepat gadis ini melompat tegak dan menjura. Orang tua yang berdiri di depannya keluarkan tawa mengekeh.
“Hebat juga dandanan penyamaranmu! Sekarang ayo katakan mengapa kau menguntit membayangiku terus menerus! Apa kau tidak sadar itu pekerjaan berbahaya yang membuatku bisa salah menurunkan tangan maut?! Kau tahu banyak orang yang ingin membunuhku semenjak beberapa waktu belakangan ini!”
“Maafkan saya Kek. Aku tadinya masih mewaspadai apa kau yang saya ikuti selama beberapa hari ini benar-benar kakekku Tua Gila. Soalnya penyamaranmu jauh lebih hebat dariku!”
Orang tua berkepala botak tertawa terkekeh-kekeh. Tangan kirinya bergerak ke kepingan belakang kepala. Sekali ia menarik maka terlepaslah satu topeng tipis yang membungkus muka dan kepalanya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang kakek cekung keriput. Sepasang matanya mempunyai rongga dalam dan sangat lebar. Rambutnya , kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin. Ternyata ia yaitu tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati dan di masa mudanya juga dikenal dengan julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa.
“Kita sama-sama menyamar. Tentu punya alasan. Apa alasanmu Cucuku?” tanya Tua Gila pada Puti Andini yang memang yaitu cucunya sendiri. (Seperti dituturkan dalam Episode I Tua Gila Dari Andalas) dari korelasi cintanya dengan Sabai Nan Rancak di masa muda lahirlah seorang anak wanita yang diberi nama Andam Suri. Anak ini kemudian kawin dengan Datuk Paduko Intan. Ketika melahirkan Puti Andini , Andam Suri meninggal dunia. Datuk Paduko Intan melenyapkan diri. Ternyata ia telah menjadi searang Raja kecil di sebuah kerajaan pulau Sipatoka. Dari istrinya yang kedua Datuk Paduko Intan dikarunia seorang putera yakni Datuk Pangeran Rajo Mudo. Kalau tidak tersesat ke pulau Sipatoka itu seumur hidup Tua Gila tak akan pernah bertemu dengan bekas menantu dan puteranya yang berarti yaitu juga cucunya.
“Puti Andini , kau belum menyampaikan mengapa kau menyamar dan meninggalkan pulau Andalas?”
“Tak usang sesudah Datuk Angek Garang meninggalkan Andalas , guruku Sabai Nan Rancak juga berangkat. Dia berpesan semoga saya segera kembali ke Singgalang. Tapi sesudah ditinggal sendirian saya merasa apa gunanya mendekam di gunung itu. Walau saya mendapat pengalaman pahit di tanah Jawa sebelumnya tapi perasaan hatiku mendorongku untuk kembali ke sini. Untuk menghindarkan segala macam urusan yang tidak diduga , terutama jangan tertangkap berair guru saya terpaksa menyamar… , Nah kini giliranmu Kek menceritakan mengapa kau menyamar jadi kakek botak!”
Tua Gila tertawa lebar kemudian berkata. “Aku tahu perasaan hati yang mana yang paling keras mendorongmu untuk kembali ke tanah Jawa ini. Kau ingin menemui muridku si sableng itu bukan?” Tua Gila tertawa mengekeh melihat paras Puti Andini menjadi merah.
“Kau jangan mengganggu saya Kek!” kata si gadis seraya memalingkan wajahnya ke jurusan lain. “Ayo lekas kau ceritakan apa sebabnya kau menyamar.” “Banyak orang yang ingin membunuhku. Kau tahu sendiri. Salah seorang diantaranya yaitu gurumu Sabai Nan Rancak. Kemanapun saya pergi maut selalu membayangi. Aku tidak takut mati. Tapi ada beberapa urusan yang perlu saya selesaikan kalaupun kelak saya harus mati. Di tengah perjalanan menuju kesini saya mendapat kabar dari seorang sakti di daerah maritim selatan bahwa satu malapetaka telah menimpa muridku Wiro Sableng. Bahaya besar mengancam dirinya. Selama seratus hari ia akan kehilangan semua ilmu silat dan kesaktiannya. Aku harus melaksanakan sesuatu untuk menolongnya. Celakanya dimana ia berada belum ku ketahui. Kemungkinan ia berada di Gunung Gede tempat kediaman gurunya. Sebelum menuju ke sana saya akan menyelidik dulu barang beberapa hari….”
“Aku sanggup membayangkan kesulitan besar yang kau hadapi Kek. Kalau saja saya bisa menolong….” Puti Andini terdiam sesaat. Lalu ia bertanya. “Bagaimana dengan Malin Sati , muridmu itu Kek?”
Wajah Tua Gila eksklusif berubah mengelam. Rahangnya menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak. “Anak malang …” desah si kakek. “Setelah kusadari dirinya hanya tinggal tubuh kasar , anak itu saya kuburkan di sebuah pulau….”Sampai di sini Tua Gila hentikan penuturannya. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah akan diceritakannya pertemuannya dengan Rajo Tuo Datuk Paduko Intan yang yaitu ayah kandung cucunya itu. Juga perihal Datuk Pangeran Rajo Mudo yang merupakan saudara satu ayah Puti Andini. “Urusan nanti bisa panjang. Aku khawatir. Untuk sementara biar saya rahasiakan dulu ihwal orang-orang itu pada gadis ini….”
Wajah Tua Gila tampak berkerut. Dia mirip merenung.
Karena usang orang tua itu tidak kunjung membuka lisan maka Puti Andini kemudian berkata. “Kek , tak usang sesudah saya menginjakkan kaki di Jawa ini saya menyirap kabar perihal adanya sebuah kitab maha sakti disebut Kitab Wasiat Malaikat. Konon kitab itu berada di tangan Datuk Lembah Akhirat yang membisu di sebuah lembah berjulukan Lembah Akhirat. Aku pernah tahu perihal Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Putih Wasiat Dewa. Katanya Kitab Wasiat Malaikat ini jauh lebih hebat dari dua kitab itu. Menurut kabar , Datuk Lembah Akhirat akan menawarkan kitab sakti itu pada siapa saja yang dianggapnya cocok. Apa kau pernah tahu hal ihwal Kitab Wasiat Malaikat itu Kek?”
“Aku memang mendengar isu itu. Bahkan apa yang ku dengar kitab itu hanya akan diberikan pada orang yang berjodoh tapi harus dari golongan putih. Lalu kabarnya telah jatuh beberapa korban dalam memperebutkan kitab tersebut. Bagaimana urusannya kurang terang bagiku. Aku tidak tertarik untuk mendapatkannya lantaran urusanku jauh lebih penting. Apa kau berniat mencarinya?” tanya Tua Gila.
“Mungkin…. Siapa tahu saya berjodoh” jawab Puti Andini.
“Mudah-mudahan kau memang berjodoh mendapatkannya. Namun jikalau kau suka dan jikalau kau ada niat hendak menolong muridku Pendekar 212 , ada satu hal yang bisa kau lakukan.”
Mendengar disebutnya Pendekar 212 sepasang mata si gadis kelihatan membesar dan mengeluarkan cahaya. “Kek , saya akan melaksanakan apa saja untuk menolong muridmu itu. Katakan apa yang kau ingin saya lakukan.”
“Puluhan tahun silam ketika saya dan Sinto Gendeng masih sama-sama menuntut ilmu sebagai saudara satu guru kami diwarisi dua senjata mustika sakti. Yang pertama yaitu sebilah pedang putih disebut Pedang Naga Suci 212. Senjata kedua berupa sebilah kapak bermata dua disebut Kapak Naga Geni 212. Sinto Gendeng menentukan Kapak Naga Geni 212 dan ia berhasil mendapatkannya. Padahal senjata itu seharusnya cocok untuk diriku yang laki-laki. Aku berembuk dengan Sinto Gendeng semoga kapak diserahkan padaku dan ia mengambil pedang saja. Tapi waktu itu kami sudah berseteru lantaran saya berlaku culas dalam bercinta dengan dirinya. Sinto Gendeng melenyapkan diri membawa Kapak Naga Geni 212 dan sekaligus menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 di suatu tempat. Bertahuntahun saya berusaha mencari pedang itu tapi sulit dijajagi dimana beradanya. Ketika akibatnya saya mengetahui letak penyimpananya , saya tidak berminat lagi. Sekarang kurasa tiba saatnya saya menyelusuri lagi keberadaan pedang sakti itu. Namun bukan untuk diriku dan saya tidak punya waktu untuk mencarinya. Mungkin kau berjodoh dengan Pedang Naga Suci 212 itu ….”
Puti Andini terbelalak mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Mungkinkah saya salah dengar atau orang tua ini yang salah bicara?” pikirnya. “Pedang maha sakti itu hendak diberikannya padaku?!”
*
* *
* *

DUA
Tua gila menatap paras gadis di depannya beberapa usang kemudian bertanya. “Mengapa kau terbelalak? Kau kira saya main-main?” Polos saja Kek , mengapa kau mau menyerahkan senjata itu padaku?” tanya Puti Andini.“Hemmm…. Itu rupanya yang ada dalam benakmu. Baik saya tua bangka ini akan coba menjawab. Hik… hik… hik!” Tua Gila tertawa dulu gres meneruskan ucapannya. “Pertama saya sudah tua , sudah tua , tinggal menunggu datangnya malaikat maut saja. Suat apa saya menghabiskan waktu mencari Pedang Naga Suci 212? Apa saya masih mau jadi jagoan? Ha… ha… ha! Kedua Pedang Naga Suci 212 itu dirancang untuk perempuan. Aku tak mau dikatakan bencong lantaran menggunakan pedang perempuan. Hik… hik… hik! Yang ketiga daripada senjata itu kuberikan pada orang lain bukankah lebih baik saya berikan padamu cucuku sendiri? Hal ke empat , dulu kau dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Gadis elok sakti bersenjata tujuh buah payung. Sejak senjatamu dihancurkan musuh kini kulihat kau tidak lagi mempunyai senjata lain….”
“Aku akan menemui spesialis pembuat payung di pantai utara Jawa ,” menerangkan Puti Andini.
“Itu bagus. Namun rasanya lebih baik kalau tujuh buah payung itu kau ganti dengan sebilah pedang. Apa kau tidak merasa berabe ke mana-mana membawa tujuh buah payung?”
Cucu Tua Gila itu mengusap pipinya beberapa kali kemudian berkata. “Kek , saya mau saja mengganti payung dengan pedang. Tapi bagaimana kalau guruku Sabai Nan Rancak nanti menanyakan? Ilmu payung tujuh itu saya pelajari darinya.”
“Ah itu urusanmu dengan dia. Bukankah kau pintar mencari akal? Ha… ha… hal”
Tua Gila kemudian meneruskan. “Hal terakhir yang paling penting ialah Pedang Naga Suci 212
memiliki daya pengobatan luar biasa. Mungkin dengan senjata itu malapetaka yang tengah dihadapi muridku Wiro Sableng bisa dimusnahkan.”
Sepasang mata Puti Andini membesar ketika mendengar nama Pendekar 212 disebutkan. “Kalau memang begitu katamu saya akan segera mencari Pedang Naga Suci 212. Namun tentu saja untuk mencari senjata itu akan memakan waktu. Apakah muridmu bisa bertahan…?” “Itulah yang saya risaukan ,” jawab Tua Gila. “Tadinya saya berencana pergi ke Gunung Gede tempat kediaman gurunya. Namun rasanya terpaksa saya batalkan. Lebih baik saya mencari muridku lebih dulu…. Sekarang saya akan memberitahu dimana Pedang Naga Suci 212 berada. Di dasar telaga besar Gajahmungkur!” Puti Andini tampak terkejut. “Kek , sesuai kabar yang saya sirap dan kalau saya tidak salah , bukankah telaga itu berada di tempat yang disebut Lembah Akhirat?”
Tua Gila mengangguk. “Aku tahu maksudmu. Menurut hikayat yang saya dengar , ratusan tahun silam terjadi satu musibah besar. Sebuah pedataran luas di barat daya Gunung Lawu tiba-tiba digoncang gempa dahsyat. Pedataran itu amblas ke pusar bumi membentuk sebuah lembah luas. Sebagian dari lembah digenangi air aliran Bengawan Solo , membentuk sebuah telaga yang kemudian diberi nama Telaga Gajahmungkur. Ratusan penduduk karam menemui maut di telaga ini. Sebagian pedataran lagi menjelma lembah. Ternyata di sini lebih banyak penduduk yang amblas tertimbun tanah. Orang-orang menamakan lembah ini sebagai Lembah Akhirat. Dan kini kabarnya di tempat itu berada Kitab Wasiat Malaikat yang lebih hebat dari Kitab Wasiat Iblis ataupun Kitab Putih Wasiat Dewa. Sesuai namanya maka Kitab Wasiat Malaikat hanya boleh dikuasai oleh orang-orang golongan putih. Nah kalau kau berangkat ke tempat itu , saya harap kau lebih dulu mencari Pedang Naga Suci 212. Baru mencari Kitab Wasiat Malaikat jikalau memang itu juga menjadi tujuanmu….”
“Kek , Telaga Gajahmungkur itu setahuku luas bukan main. Bagaimana saya bisa menemukan Pedang Naga Suci 212 itu?”
“Aku tidak suka mendengar ucapan mirip itu!” kata Tua Gila dengan keras dan mata cekung membelalak. “Kita orang-orang persilatan dihentikan mengenal kata tidak bisa!”
Puti Andini merasa kecut melihat wajah kakeknya sendiri. Melihat sikap cucunya itu Tua Gila tertawa dan bertanya. “Memangnya kau tidak bisa berenang?” .
“Aku bisa berenang Kek. Tapi bukan itu yang saya khawatirkan. Telaga Gajahmungkur selain luas juga dalam sekali. Mampukah saya menyelam usang untuk mencari senjata sakti itu?”
“Pasti mampu! Kau harus menyelam walaupun hingga seribu kali! Bahkan hingga kiamat! Jangan tinggalkan Telaga Gajahmungkur sebelum kau dapatkan Pedang Naga Suci 212! Itu perintah dari saya kakekmul Dan kau akan kualat kalau tidak melakukannya!”
“Aku berjanji mengikuti perintahmu itu Kek ,” jawab Puti Andini. “Lalu kalau Pedang Naga Suci 212 berhasil saya temukan , di mana saya akan mencari muridmu untuk mengobati?”
Tua Gila usap-usap janggut putihnya. “Kita menciptakan kesepakatan saja. Malam bulan purnama empat belas hari yang akan tiba kita bertemu di timur Telaga Gajahmungkur. Mudah-mudahan saya telah berhasil menemukan muridku. Sekarang saya harus pergi….”
“Tunggu dulu Kek , ada sesuatu yang perlu saya beritahu padamu ,” kata Puti Andini seraya memegang lengan kakeknya.
“Hemm , ada apa lagi?” tanya Tua Gila. Sewaktu sang cucu hendak menjawab Tua Gila angkat tangan kirinya memberi isyarat. Lalu dengan sangat perlahan ia berkata. “Aku punya firasat ada seseorang mendengarkan pembicaraan kita. Dia bersembunyi di sekitar sini. Aku sanggup mencium baunya ….”
Tua Gila dan juga Puti Andini memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-.apa. Tibatiba dari arah kanan terdengar bunyi berkeresek dan muncul satu moncong panjang disusul tubuh gemuk yang kemudian berlari cepat dan lenyap dalam kegelapan malam.
“Hanya seekor babi hutan Kek. Apa yang perlu kau khawatirkan?” ujar Puti Andini.
Tua Gila tertawa mengekeh. “Mudah-mudahan penciumanku tidak saru dengan bau hewan tadi.. .. Nah , kau hendak menyampaikan apa Cucuku?”
“Ketika masih berada di Pulau Andalas , saya mendengar guruku Sabai Nan Rancak
dan Datuk Angek Garang berjanji bertemu pada hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo
dekat Candi Mendut”
Mendengar disebutnya nama Datuk Angek Garang rahang Tua Gila eksklusif menggembung. “Datuk keparat pembunuh muridku itu! Dia tak bakal lolos dari kematian!”
Tua Gila gerakkan jari-jari tangan kanannya. Lima tulang jarinya terdengar berkeretakan.
“Sekarang sudah delapan hari lewat dari waktu yang kau sebutkan itu. Berarti mereka sudah tak ada lagi di situ ,” kata Tua Gila pula.
Puti Andini gelengkan kepala. “Malam tadi tak sengaja saya melihatnya di Jenar , tengah menuju ke utara. Jika ia memang menuju ke tempat perjanjian berarti malam ini ia akan hingga di sana. Bukit Tegalrejo itu tak jauh dari sini Kek….”
“Cucuku , keteranganmu sangat penting artinya bagiku. Aku mengucapkan terima kasih. Aku akan segera menyidik daerah sekitar bukit itu”
“Aku ikut bersamamu Kek!”
“Tidak bisa! Apa kau lupa tugasmu? Mencari Pedang Naga Suci 212?!” “Maafkan saya Kek ,” kata Puti Andini cepat. “Nah , saya pergi sekarang!” Dengan cepat Tua Gila mengenakan kembali topeng tipisnya. Maka kembali berubahlah ia menjadi seorang kakek kepala botak. Sekali berkelebat ia pun lenyap dari tempat itu.
Sesaat sesudah Tua Gila berlalu Puti Andini segera pula hendak mengenakan kain hitam tutupan kepala dan menempelkan kumis palsunya. Namun tiba-tiba “bettt!”
Satu bayangan hitam berkelebat. Sesosok tubuh berdiri di depan Puti Andini menciptakan gadis in tersurut beberapa langkah!
“Mana dia?!” orang di depan Puti Andini membentak.
*
* *
* *

TIGA
Sepasang mata membeliak memperhatikan Puti Andini mulai dari kepala hingga ke kaki. Si gadis melihat seorang nenek berjubah hitam , berambut putih panjang riapriapan dan berwajah lingkaran dengan tahi lalat di dagu kiri. Sepuluh kuku jarinya panjang dan berwarna hitam. Perempuan tua ini bukan lain yaitu Sika Sure Jelantik yang juga telah berada di tanah Jawa dalam menguntit dan mengejar Tua Gila. Sebelumnya ia telah bertekad untuk membunuh kekasih di masa mudanya itu. Namun kemudian ia dilamun oleh rasa serakah yakni ingin sekaligus mendapatkan Kalung Permata Kejora yang diketahuinya berada di tangan Tua Gila. Namun ketika tahu bahwa benda itu tak ada lagi pada Tua Gila maka ia memutuskan untuk menguntit si kakek. Sampai ia mengetahui dimana beradanya kalung sakti tersebut gres ia akan menghabisi insan yang sangat dibencinya itu.“Gadis tolol! Apa kau tuli atau gagu hingga tak menjawab pertanyaan orang?!” Sika Sure Jelantik menghardik garang. “Mana dia? Aku sanggup mencium baunya!”
“Nek…. Siapa yang kau maksudkan?” tanya Puti Andini lantaran mendadak ditanya tanpa tahu ujung pangkal.
Sika Sure Jelantik hendak membentak kembali tapi kali ini ia bisa sedikit menguasai diri. “Aku mencari seorang kakek berpakaian putih. Punya janggut putih , rambut putih , kumis putih! Muka cekung dan mata selebar ini!” Si nenek pergunakan jari-jari tangannya untuk membuka lebar-lebar kedua matanya.
Otak cerdik Puti Andini cepat bekerja. “Jangan-jangan nenek ini salah satu yang pernah jadi kekasih kakekku di masa muda kemudian dikecewakan. Setelah tua menjadi musuh dan kini ingin membalaskan dendam. Hemmm… Betapa pun jahatnya Tua Gila dulu , ia tetap kakekku. Aku harus membelanya. Biar saya mempermainkan nenek ini , mengajaknya bicara panjang lebar , semoga Tua Gila bisa lari lebih jauh….”
Puti Andini cepat menjura. “Maafkan saya tak segera menjawab. Aku masih terkejut dengan kehadiranmu yang tiba-tiba. Pasti kau seorang berkepandaian tinggi. Aku yang muda sekali lagi mohon maaf. Mengenai orang yang kau tanya itu saya semenjak tadi berada di sini dan tak melihat siapa-siapa….”
“Jangan dusta! Baunya masih tercium di tempat ini!” hardik Sika Sure Jelantik.
“Tadi memang ada yang muncul di sini Nek. Di sebelah sana. Lalu kabur ke jurusan sana. Tapi bukan manusia. Seekor babi hutan gemuk!”
“Jahanam! Kutampar mulutmu , ku rusak wajahmu yang elok gres tahu rasa! Aku bertanya insan mengapa kau menawarkan jawaban binatang?!”
“Itulah Nek , harap kau tidak marah. Yang kulihat di sini memang hanya seekor babi hutan. Mungkin saja orang yang kau cari itu memang lewat di sini sebelum saya berada di tempat ini. Aku lihat kau seorang nenek yang baik. Jika saya bisa menolong niscaya saya akan melakukan!”
“Anak anabawang sepertimu ini bisanya apa!” ujar Sika Sure Jelantik masih murka tapi sudah agak mengendur. “Kau sendiri mengapa malam-malam buta begini ada di sini?”
Puti Andini mulai bersandiwara. Dia tak segera menjawab tapi unjukkan wajah murung. Lalu dengan bunyi agak tersendat ia menjawab. “Aku…. Ada kiprah yang harus kulakukan. Aku harus menemukan sebuah watu hitam yang kabarnya berada di dasar Telaga Gajahmungkur….”
“Ada-ada saja kau ini! Kalau cuma sebuah watu hitam di mana pun ada. Mengapa hingga mencari ke dasar telaga? Kau mau berapa gerobak watu hitam hah?!”
“Yang kucari bukan watu hitam biasa Nek ,” jawab Puti Andini. “Batu itu mempunyai mukjizat besar untuk mengobat penyakit…. Kabarnya ada di dasar Telaga Gajahmungkur.”
“Eh , memangnya siapa yang sakit?” Sika Sure Jelantik mulai tertarik.
“Ibuku…” jawab Puti Andini.
“Apa sakit ibumu hingga hanya sebuah watu yang bisa mengobatinya?”
“la menderita sakit dan sengsara batin lantaran ditinggal ayah. Ayah terpengaruhi oleh seorang gadis penghibur kemudian meninggalkan ibu begitu saja semenjak setahun silam…. Aku telah berupaya mencari dukun , tabib dan banyak sekali orang pintar tapi sia-sia saja. Seorang sakti menyampaikan perihal watu hitam itu. Hanya itu kini satu-satunya harapanku untuk mengobati ibu….”
“Dasar laki-laki! Semua memang jahanam!” kata Sika Sure Jelantik pula sambil mengepalkan tinju.
Puti Andini menyeka matanya dengan ujung baju merah dan memperkeras isakannya.
“Jangan menangis! Aku paling tidak suka melihat orang menangis! Apa lagi perempuan! Itu sebabnya lelaki mencemoohkan kita sebagai makhluk lemah! Setan betul!”
“Aku menangis bukan lantaran apa Nek. Tapi lantaran saya sangat khawatir tak bakal pernah bisa mendapatkan watu hitam pengobat ibuku itu.”
“Eh , mengapa begitu? Bukankah kau sudah tahu watu itu berada di dasar Telaga Gajahmungkur?”
“Betul Nek. Tapi telaga itu luas dan dalam sekali. Walau saya bisa berenang tak mungkin saya sanggup menyelam berlama-lama….”
Dua bola mata Sika Sure Jelantik membesar. “Anak ini mirip tahu saya punya kepandaian menyelam dalam air. Jangan-jangan ia sengaja hendak mengajakku….”
“Nek , mengapa kau memperhatikan saya melotot begitu rupa?” tanya Puti Andini sedih.
“Tidak , tidak apa-apa ,” jawab Sika Sure Jelantik.
“Kalau begitu izinkan saya pergi. Aku harus mencari watu itu hingga dapat….”
“Tunggu dulu…!” Si nenek berkata.
“Kau ingin menyampaikan sesuatu Nek?”
“Aku akan menawarkan satu ilmu kepandaian padamu. Tapi hanya punya kekuatan selama seratus hari….”
Puti Andini unjukkan wajah kaget. “Ilmu… ilmu apa yang hendak kau berikan padaku Nek?”
“Agar kau bisa berada dalam air dalam waktu lama. Agar kau bisa menyelam hingga ke dasar telaga dan mencari serta mendapatkan watu hitam pengobat ibumu itu!”
“Nek , kau tidak main-main atau bagaimana? Kita gres saja kali ini bertemu tapi kau hendak menawarkan ilmu kepandaian….”
“Sudahlah , jangan banyak bertanya! Sebelum ilmu itu saya berikan padamu kau harus berjanji! Setelah ibumu sembuh kau harus mencari ayahmu , memintanya kembali pada ibumu….”
“Aku akan lakukan petunjukmu itu Nek. Tapi bagaimana kalau ayahku menolak?”
“Kau harus membunuhnya! Laki-laki mirip ayahmu itu harus disingkirkan dari muka bumi! Jika kau tidak bersedia mengikat perjanjian , ilmu itu tidak akan kuberikan….”
Puti Andini akal-akalan termenung. Sejurus kemudian ia menganggukkan kepala.
“Aku berjanji Nek.”
“Satu hal perlu kau ketahui. Begitu ilmu itu masuk ke dalam tubuhmu kau akan tergeletak pingsan selama satu hari satu malam di tempat ini….”
Paras Puti Andini jadi berubah. “Kalau begitu…. Maukah kau menolong meletakkan saya di tempat yang aman? Aku khawatir daerah ini banyak celengnya. Bisa-bisa….”
“Jangan terlalu banyak meminta. Kalau kau sudah kuberi ilmu dan kau pingsan , bukan urusanku lagi mengurus dirimu! Katakan kau mau ilmu itu atau tidak? Terserah!”
“Baik Nek , bagaimana menurutmu sajalah!” jawab Puti Andini.
“Sekarang mendekat ke sini!”
Murid Sabai Nan Rancak itu melangkah ke hadapan Sika Sure Jelantik.
“Dongakkan kepalamu dan pejamkan mata!” perintah si nenek selanjutnya seraya melipat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
Puti Andini lakukan apa yang dikatakan si nenek. Begitu ia mendongak dan pejamkan mata tiba-tiba ia mencicipi ada dua benda tumpul menekan dan menutup sepasang lobang hidungnya. Satu aliran hawa hambar mengalir masuk ke dalam jalan pernafasannya. Kepalanya terasa mau pecah. Lidahnya terjulur dan sepasang bola matanya mirip mau melompat dari rongganya. Gadis ini keluarkan pekik kesakitan kemudian roboh tak sadarkan diri.
Sika Sure Jelantik menghela nafas dalam. Dia membungkuk mengusap wajah Puti Andini hingga mata dan mulutnya terkatup kembali. Tiba-tiba seolah gres sadar si nenek berkata. “Tololnya diriku. Aku sama sekali tidak menanyakan namanya! Ah sudahlah” Si nenek pandang wajah gadis itu sekali lagi kemudian tinggalkan tempat itu.
*
* *
* *

EMPAT
atu pemandangan luar biasa tampak di hutan Delanggu. Sebuah tandu besar terbuat dari lima buah batang pohon kelapa dipanggul oleh empat orang kakek bertubuh tinggi kerempeng. Gerakan mereka lincah dan cepat menyeruak di antara semak belukar dan kerapatan pepohonan. Padahal lima batang kelapa itu beratnya bukan main. Apalagi diatas tandu itu kelihatan bergelung sesosok tubuh gemuk luar biasa. Suara dengkurnya yang berkepanjangan menandakan si gendut ini tengah tertidur lelap. Namun anehnya sebuah pipa panjang yang mencantel di sela bibirnya terus saja mengepulkan asap , menebar bau tembakau yang tidak sedap. Siapakah adanya orang gemuk yang ditandu oleh empat kakek kurus itu? Dia bukan lain yaitu Si Raja Penidur , dedengkot dunia persilatan yang sulit dijajagi ilmunya. Selama hidupnya yang puluhan tahun ia lebih banyak tidur daripada melek. Sebenarnya jarang ia pergi ke mana-mana. Kalau ia terpaksa meninggalkan tempat kediamannya maka berarti ada satu hal penting yang terjadi di dunia persilatan. Untuk pergi ke mana-mana ia selalu ditandu oleh orang-orang yang juga berpenampilan aneh. Seperti empat kakek kurus kerempeng itu. Jangankan memanggul lima batang kelapa , menggotong batang pohon biasa saja rasanya mereka tidak akan sanggup. Tapi buktinya walau berempat mereka sanggup memanggul lima batang kelapa yang dijadikan tandu dan dibebani sosok tubuh ratusan kati itu!Sekeluarnya dari hutan Delanggu empat kakek memanggul tandu ke arah barat kemudian menyusuri daerah selatan Gunung Merapi. Setelah menyeberangi sebuah sungai dangkal Si Raja Penidur terus dilarikan ke jurusan barat maritim hingga akibatnya hingga di satu bukit kecil. Salah seorang kakek di sebelah depan angkat tangan kirinya memberi tanda. Tiga kawannya segera hentikan lari.
“Ini bukit yang dikatakan Raja Penidur! Kita berhenti di sini , menunggu hingga ia bangun dan mendapatkan petunjuk selanjutnya!”
Perlahan-lahan tandu batang kelapa itu diturunkan.
“Kalau begitu lekas kita menciptakan teratak untuk berlindung dan bermalam. Kita tidak tahu kapan Raja Penidur akan bangun. Mungkin seminggu. Bisa juga sebulan lagi!” berkata kakek kurus di sebelah belakang sambil membetulkan celananya yang kedodoran. Empat kakek cabut golok panjang dari balik pinggang masing-masing kemudian membuatkan kerja menebangi pohon dan mengumpulkan ranting-ranting berdaun untuk dibentuk gubuk. Menjelang petang pekerjaan itu rampung. Selagi ke empatnya melepaskan lelah , tiba-tiba dengkur Raja Penidur berhenti. Empat kepala cepat berpaling. Di atas tandu batang kelapa sosok Raja Penidur tampak bergerak menggeliat. Asap dari pipa mengepul keras. Lalu terdengarlah bunyi si gemuk ini batuk-batuk.
“Malam apa siang ketika ini…?” Si Raja Penidur usikan pertanyaan. Suaranya parau. Apalagi ketika itu pipa panjang masih terselip di sela bibirnya.
“Saat ini sore hari , Raja Penidur. Masih cukup usang sebelum matahari tenggelam.” Menjawab salah seorang dari empat kakek.
“Hemmm….” Raja Penidur bergumam kemudian menguap lebar-lebar. Jari kelingking tangan kanannya dimasukkan ke dalam liang pendengaran kanan kemudian digoyang-goyangkan beberapa kali. Sepasang mata-nya tampak terbalik-balik tanda mencungkil pendengaran itu nikmat sekali baginya. “Aku mendengar ada orang melangkah di kejauhan. Salah satu dari kalian lekas menyelidik ke arah timur. Cari orang itu. Jika bertemu jangan berkata apa-apa perihal diriku. Bawa eksklusif ke sini!” Raja Penidur kemudian menguap kembali. Dia membalikkan badannya ke kiri. Gerakannya kini menciptakan batang-batang pohon kelapa yang menahan tubuhnya berderak-derak. Salah seorang dari empat kakek cepat berdiri. Dia segera bergegas ke jurusan timur. Tak usang berselang di kejauhan , dari arah depan ia melihat seorang berpakaian putih berjalan menuruni lereng bukit.
“Apa yang dikatakan Raja Penidur tidak meleset. Pasti orang ini yang dimaksudkannya….” Si kakek segera memapasi orang itu. Ternyata ia yaitu seorang cowok berambut gondrong , berwajah pucat. Di balik pakaiannya ada sesuatu yang menyembul tanda ia membekal senjata. Pemuda ini berjalan tertatih-tatih , entah kecapaian entah sedang sakit. Melihat ada orang sengaja mendatanginya cowok itu hentikan langkahnya.
“Anak muda bermuka pucat! Lekas kau ikut dengan aku!”
Yang ditanya pandangi kakek kurus tinggi di hadapannya sesaat kemudian berkata. “Orang tua , saya tidak kenal denganmu , mengapa saya harus ikut bersamamu?”
“Jangan banyak cerita! Aku tidak punya waktu banyak! Ayo lekas ikut!”
Si cowok menyeringai dan garuk-garuk kepala. “Kalaupun kau seorang gadis elok , belum tentu saya mau ikut! Coba katakan dulu siapa kau adanya! Mengapa saya harus ikut denganmu dan ikut ke mana?!”
“Kau menciptakan saya kehilangan kesabaran!” Si kakek mengomel. Dia melompat ke depan siap untuk menyergap dan meringkus. Pemuda berambut gondrong sambut sergapan orang dengan satu jotosan ke arah dada. .
“Bukkk!”
Jotosan itu sempurna menghantam dada yang kurus kerempeng. Tapi si kakek sama sekali tidak bergeming malah cowok yang memukul tampak mengernyit dan kibas-kibaskan tangannya yang terasa sakit. Selagi ia kesakitan begitu rupa kakek di hadapannya kembali menyergap.
“Tunggu! Katakan dulu siapa kau adanya!” teriak cowok gondrong.
“Tutup mulutmu! Kau mau ikut secara baik-baik atau saya terpaksa menurunkan tangan keras?!”
“Hemmmm , saya kini bisa menerka siapa kau adanya. Jangan-jangan kau bangsa tua bangka yang doyan daun muda , suka sesama jenis!”
“Jahanam! Kalau tidak menjalankan perintah akan kurobek mulutmu!” teriak si kakek kurus murka sekali. Sekali ia berkelebat maka cowok di hadapannya terhuyung ke kiri. Lalu cepat sekali tangan kirinya menyambar tengkuk baju putih si cowok dan di lain kejap cowok itu telah berada di atas pundak kirinya kemudian dilarikan ke arah dari mana tadi ia datang. Tak selang beberapa usang si kakek hingga kembali ke tempat Raja Penidur dan tiga temannya berada. Lima batang pohon kelapa berderak-derak begitu Si Raja Penidur membalikkan tubuh sambil menguap lebar-lebar. Kedua matanya masih saja terpicing.
“Kau berhasil menemukan orang itu?!” Raja Penidur bertanya.
“Aku berhasil! Dia bersamaku ketika ini!” jawab kakek yang tiba membawa sosok cowok berpakaian putih di bahunya.
“Lemparkan ia ke perutku!”
Si kakek goyangkan bahunya. Tubuh cowok yang dipanggulnya melesat ke atas setinggi tiga tombak kemudian melayang jatuh ke bawah dengan deras.
“Blukkk!”
“Uhhhh!” Si cowok mengeluh kesakitan walau tempat jatuhnya itu terasa empuk. Rasa empuk yang aneh. Hidungnya mencium bau tembakau terbakar. Dia angkat kepala dan memandang berkeliling , berusaha mencari tahu di mana ia berada dan yang lebih penting mengetahui di atas apa ia barusan jatuh tertelungkup. Dia melihat baju hitam luar biasa besarnya dan tidak terkancing. Dia melihat tubuh gemuk berlemak dan berkeringat! Lalu ia melihat wajah serta pipa panjang yang mengepulkan asap itu.
“Astaga! Raja Penidur! Kau rupanya!” Pemuda ini segera hendak turun dengan cara menggelindingkan dirinya dari tubuh yang gemuk besar itu. Namun belum sempat ia bergerak tangan kiri yang gemuk besar Raja Penidur tiba menyambar. Kepala cowok berambut gondrong eksklusif karam ke dalam rangkulannya. Celakanya kepingan muka masuk ke dalam ketiak! Membuat bukan saja si cowok pengap sulit bernafas tapi juga mirip mau tanggal hidung dan pecah kepalanya oleh bau ketiak yang menghimpit mukanya! Perutnya laksana diaduk-aduk dan mulutnya mau muntah!
“Raja Penidur…. Uhh… uhh! Lepaskan cekalanmu! Aku Wiro Sableng!”
Si cowok berpakaian putih dan berambut gondrong yang ternyata yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng pergunakan kedua tangannya untuk melepaskan pitingan tangan Si Raja Penidur. Tapi bagaimanapun ia berusaha tetap saja tak mampu. Dalam pelukan Raja Penidur ia berteriak terus-terusan.
“Kakek Raja Penidur! Lepaskan! Aku Wiro Sableng , murid Sinto Gendeng. Kau sobatku dan sobat guruku! Lepaskan…. Aduh! Uhhh!”
Si Raja Penidur menguap lebar-lebar. Pipanya mengepulkan asap berbau tidak enak.
“Kakek Raja Penidur!” teriak Wiro sekali lagi.
“Uaaahhhh!” Kembali tokoh silat ajaib itu menguap.
“Kek! Kalau kau tidak mau melepas cekalanmu saya terpaksa menendang perutmu! Kalau saya salah tendang bijimu bisa pecah!”
“Uaahhh! Ha… ha… ha…!” Asap tembakau me ngepul makin keras. Wiro semakin pengap dan terbatuk-batuk. “Aku mau lihat hingga di mana kehebatan murid Sinto Gendeng! Ayo tendang apa saja dari tubuhku yang bisa kau tendang! Uaahhh!” Meskipun sudah bicara tapi sepasang mata Si Raja Penidur tetap saja terpejam!
“Kalau itu maumu baik! Jangan salahkan diriku!” teriak Wiro , kemudian sikut kanannya dihantamkan ke dada Raja Penidur. Menyusul tumitnya dihunjamkan ke perut. Belum juga terlepas cekalan si gendut itu Wiro hantam lambung Raja Penidur dengan tendangan keras. Semua serangan itu tentu saja hanya mengandalkan tenaga luar yang tidak punya daya kekuatan apa-apa lagi.
“Uaahhh! Murid Sinto Gendeng , kau memukuli dan menendangiku atau tengah mengusap-usap tubuhku?! Ha… ha… ha!”
“Sialan!” Maki Wiro dalam hati. “Kau rasakan yang ini!” Lalu dibukanya mulutnya lebar-lebar , siap menggigit dada Raja Penidur yang gembrot.
Uaaahhh!” Walau matanya masih terpejam tapi Raja Penidur tahu apa yang hendak dilakukan murid Sinto Gendeng itu. Masih memiting kepala Wiro ia balikkan tubuhnya. Gerakannya ini tak ampun lagi menciptakan sebagian tubuh Pendekar 212 terhimpit. Wiro merasa tubuhnya mirip hancur. Selagi ia mengeluh kesakitan Raja Penidur kembali membalik. Kini kepingan tubuh Wiro yang lain yang kena tersepit. Ternyata apa yang dilakukan si gendut itu tidak cuma hingga di situ. Dia bukan cuma menjepit atau menghimpit tubuh Wiro dengan badannya yang gemuk berat tapi juga membantingnya kian kemari. Sekali ia mencekal tengkuk Wiro kemudian kepala cowok itu dihunjamkan ke dadanya yang gembrot. Kadang-kadang ia memegang kaki atau tangan Pendekar 212 terus membantingkannya ke atas perutnya. Demikian berulangkali. Kalau mula-mula Wiro masih bisa mengeluarkan bunyi berteriak kesakitan , lama-lama suaranya hanya tinggal erangan. Keadaannya mulai dari rambut hingga ke kaki tidak karuan rupa!
Raja Penidur tertawa mengekeh kemudian menguap dua kali. “Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini! Aku muak padamu! Kau hanya mengganggu tidurku saja! Pergi sana!”
Lalu sekali tangannya bergerak tubuh Pendekar 212 terlempar ke samping dan jatuh tertelentang di tanah.
“Uaahhhh!” Raja Penidur menguap lebar-lebar kemudian sesudah menghembuskan asap pipanya ia jentikkan tangan kiri. Salah satu dari empat kakek kurus tinggi segera mendekati. Dari balok pakaiannya Raja Penidur kemudian mengeluarkan segulung kain berwarna merah.
“Letakkan jubah ini di atas tubuh cowok itu! Tidak! Kau taruh di atas kepalanya saja semoga kepala dan wajahnya tertutup. Kasihan juga kalau malam nanti mukanya yang buruk itu habis digerogoti nyamuk! Ha… ha… ha!”
Kakek yang tegak di samping Si Raja Penidur segera mengambil jubah yang disodorkan kemudian meletakkan benda ini sedemikian rupa hingga kepala dan wajahnya tertutup.
Kain berwarna merah itu ternyata yaitu sehelai jubah beludru merah berlapis kain sutera juga berwarna merah. Seluruh tepi jubah diberi umbai-umbai yang terbuat dari benang warna emas.
“Uaahhhh!” Si Raja Penidur kembali menguap. Lalu ia bertepuk empat kali. Empat kakek kurus tinggi yang semenjak tadi hanya membisu berdiri memperhatikan apa yang terjadi , mendengar isyarat tepukan itu serta merta mengangkat tandu batang kelapa. Mereka segera menggotong Si Raja Penidur ke arah selatan. Di kejauhan bunyi dengkurnya terdengar membahana!
*
* *
* *

LIMA
emeletak bunyi roda-roda gerobak dan kaki-kaki kuda terdengar tiada putusputusnya di malam cerah itu. Di angkasa bulan sabit dan bintang-bintang menerangi daerah yang dilalui hingga kuda penarik gerobak sanggup dipacu kencang. Pengemudi atau kusir gerobak seorang lelaki tua tinggi besar bertampang garang. Kulitnya sangat hitam. Jenggot serta kumisnya tebal meranggas. Di atas kepalanya bertengger sebuah destar merah. Pakaiannya yang serba hitam dan gombrong menambah keangkerannya.Saat itu kuda penarik gerobak telah berlari kencang laksana dikejar setan. Namun sang pengemudi masih juga mendera kuda itu dengan cambuk di tangan kirinya. Jelas ia ingin cepat hingga ke satu tujuan dan punya satu urusan sangat penting.
“Binatang jahanam! Larimu mirip kuda bunting! Ayo lari lebih cepat! Cepaaattt!”
Pengemudi gerobak berteriak. Lalu cambuk di tangan kirinya kembali dihantamkan ke punggung kuda. “Delapan hari saya terlambat! Sesuai perjanjian ia akan menunggu paling usang delapan hari dari ketika pertemuan yang telah ditentukan. Ini yaitu malam terakhir jikalau ia memang masih ada di tempat itu! Jahanam! Kalau saja saya tidak terpikat pada pelacur berbadan sintal itu tak bakal jadi begini! Mengapa saya tolol sekali! Urusan penting saya sepelekan begitu saja!”
“Darrr… darrr… darrr!”
Si tinggi besar kembali hantamkan cambuknya ke tubuh kuda penarik gerobak. Tibatiba ia tarik tali kekang yang dipegangnya di tangan kanan. Serta merta kuda penarik gerobak tertahan larinya. Beberapa belas tombak di hadapannya tampak melintang satu batang kayu besar menghalangi jalan. Di atas batang kayu ini duduk seorang tua tak dikenal , berkepala botak. Dari mulutnya meluncur bunyi nyanyian.
Jauh berjalan banyak nan dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Pengemudi gerobak berusaha menghentikan larinya kuda dengan menarik tali kekang kuat-kuat. Empat kaki kuda menggeru tanah. Debu dan pasir beterbangan di udara. Walau kuda berusaha menghentikan larinya namun dorongan gerobak yang ditariknya demikian hebat hingga hewan ini tak sanggup lagi menghindari ukiran dengan orang tua berkepala botak dan batang pohon.Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Sekejap lagi ukiran itu akan terjadi , orang tua berkepala botak melesat lenyap. Kuda meringkik keras. Dua roda gerobak menghantam batang pohon. Selanjutnya kuda dan gerobak sama-sama tergelimpang dan terbanting ke tanah! Orang di atas gerobak sendiri keluarkan seruan keras. Tubuhnya melesat ke udara , jungkir balik kemudian melayang turun dengan sepasang kaki menjejak tanah lebih dulu. Jelas orang ini mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak semenjak tadi-tadi ia sudah terhempas berkelukuran di tanah!
“Jahanam! Kemana perginya tua bangka kepala botak itu?!” ujar si tinggi besar berkepala botak. Selagi ia mencari-cari tiba-tiba kembali terdengar bunyi nyanyian.
Jauh berjalan banyak nan dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Si tinggi besar ini palingkan kepalanya ke kiri. Di sebelah sana , di atas gerobak yang terbalik dilihatnya kakek kepala botak duduk di atas roda gerobak yang berputar-putar. Dia menyanyi sambil sengaja ikut memutarkan diri pada roda gerobak!Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
“Setan alas!” Lelaki tua tinggi besar merutuk. Matanya berkilat-kilat. Rahangnya menggembung dan dari mulutnya terdengar bunyi bergemeletakan tanda dirinya telah dibungkus kemarahan.
Kalau jalan sudah tersesat
Sulit balik untuk kembali
Kalau hidup mencari celaka
Kutuk sengsara segera tiba
Sekali melompat kusir kereta itu hingga di depart gerobak yang terbalik.Sulit balik untuk kembali
Kalau hidup mencari celaka
Kutuk sengsara segera tiba
“Tua bangka gila! Siapa kau?! Mengapa sengaja menghadang jalanku!”
Roda gerobak terus berputar. Kakek botak yang duduk berjuntai di pinggiran roda gerobak ikut berputar-putar.
“Kau tak menjawab pertanyaanku! Makan ini!”
Si baju gombrong hitam menunggu orang tua di atas roda gerobak berputar hingga di hadapannya. Lalu secepat kilat tangan kanannya melesat ke arah muka orang yang ketika itu masih saja terus-terusan menyanyi.
“Bukkkk”
Dua lengan beradu keras di udara ketika orang yang diserang menangkis. Si tinggi besar baju gombrong tersurut satu langkah sambil mengernyit menahan sakit pada lengannya yang barusan bentrokan. Roda gerobak terus berputar. Begitu orang tua botak hingga lagi di hadapannya kembali si baju gombrong hitam menghantam. Kali ini sekaligus dengan pukulan kiri kanan.
Kakek botak di atas roda yang berputar tiba-tiba menciptakan gerakan aneh. Kedua kakinya jingkrak-jingkrakan. Kepalanya bergerak menghuyung kian kemari mirip kepala seekor ular mabok. Tangannya direntang-rentang menciptakan gerakan aneh. Tubuh-nya mirip mau terjungkal jatuh dari atas roda gerobak. Namun ajaib dan luar biasanya semua gerakan yang dibuatnya itu bisa mengelakkan serangan maut yang dilancarkan lawan!
“Bangsat tua! Kau mau lari ke mana?!” teriak si tinggi besar ketika dilihatnya orang tua berkepala botak itu tidak ada lagi di atas roda gerobak. Tiba-tiba di belakangnya terdengar bunyi nyanyian.
Hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo
Datang dari jauh untuk kesepakatan bertemu
Sayang maksud tak pernah kesampaian
Nyawa yang terhutang harus dilunasi lebih dulu
Si tinggi besar berpakaian serba hitam gombrong palingkan kepala. Darahnya tersirap oleh rasa kaget mendengar bait-bait nyanyian yang dilantunkan orang tua berkepala botak tak dikenalnya itu.Datang dari jauh untuk kesepakatan bertemu
Sayang maksud tak pernah kesampaian
Nyawa yang terhutang harus dilunasi lebih dulu
“Siapa jahanam ini sebenarnya. Bagaimana ia bisa tahu perihal perjanjianku di bukit Tegalrejo?!” Sehabis membatin begini ia melompat ke hadapan si tua botak yang ketika itu duduk menjelepok di tanah di pinggir jalan.
“Tua bangka sinting! Siapa kau sebenarnya?!”
Yang ditanya dongakkan kepala. Sepasang matanya menatap tajam pada orang yang tegak di hadapannya menciptakan si tinggi besar ini jadi tergetar. Lalu mulutnya terbuka lebar dan terdengar bunyi tawanya berkekehan.
“Jika kau masih terus bersikap gila dan tak mau menjawab pertanyaanku , terpaksa kupecahkan kepalamu!” Orang tua di hadapan kakek botak tak sanggup lagi menahan marahnya. Kaki kanannya ditendangkan ke kepala si botak.
Tubuh kakek yang diserang tampak terhuyung aneh. Kepalanya mirip tersentak ke samping. Tendangan maut lawan lewat hanya seujung kuku di samping kepalanya. Begitu tendangan orang tidak mengenai sasaran tubuh kakek botak mencelat ke atas dan “Buk!” Satu jotosan mendarat di pelipis si tinggi besar. Tubuhnya terpelanting. Darah mengucur membasahi mukanya yang hitam!
Terdengar bunyi tawa mengekeh disusul bunyi nyanyian.
Darah telah mengucur
Pertanda raga akan segera hancur
Darah telah mencuat
Pertanda nyawa sebentar lagi akan minggat
Datuk Angek Garang sayang sekali kau tak punya kesempatan minta ampun dan bertobat!Pertanda raga akan segera hancur
Darah telah mencuat
Pertanda nyawa sebentar lagi akan minggat
Mendengar namanya disebut terkejutlah si tinggi hitam berpakaian gombrong. Memang bergotong-royong ia yaitu Datuk Angek Garang , seorang tokoh silat dari Andalas yang berserikat dengan Sabai Nan Rancak untuk membunuh Tua Gila. Dia pula yang membunuh Malin Sati , murid tunggal Tua Gila. Datuk Angek Garang pergunakan lengan baju hitamnya untuk mengusap darah yang membasahi sebagian wajahnya. Mulutnya komat-kamit entah hendak mengucapkan apa. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah orang tua berkepala botak yang tegak di hadapannya sambil tertawa-tawa. Perlahan-lahan Datuk Angek Garang angkat ke dua tangannya. Telapak tangan digosokkan satu sama lain. Dari sela-sela jarinya keluar kepulan asap hitam. Bersamaan dengan itu menebar bau busuk sekali.
“Pukulan Hawa Neraka! Ha… ha… ha..!” Kakek botak tertawa gelak-gelak.
“Bagus! Kau sudah tahu pukulan sakti apa yang akan kukeluarkan untuk membungkam lisan serta jalan nafasmu!” ujar Datuk Angek Garang.
“Kau sangat pintar memberi nama ilmu pukulan bau kentut itu Datuk Angek Garang! Justru hawa neraka itulah yang akan mengantar rohmu ke alam akhirat! Ha… ha…ha!”
Bersamaan dengan itu kakek botak lepaskan topeng yang menutupi kepala dan wajahnya.. Maka kelihatanlah wajahnya yang asli.
“Tua Gila…” desis Datuk Angek Garang dengan bunyi bergetar. Diam-diam ia menjadi kecut. Dulu di Andalas bersama Sabai Nan Rancak dan Magek Bagak Baculo Duo ia tak sanggup menghabisi kakek ajaib ini. Sekarang berhadapan hanya seorang diri bagaimana mungkin nyalinya tidak akan leleh. Maka ia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. Kedua tangannya kemudian dihantamkan ke depan. Dua larik sinar hitam menggebu. Bau sangat busuk menghampar menciptakan Tua Gila mirip tersumbat jalan pernafasannya. Lehernya mirip dicekik. Dengan cepat orang tua ini kerahkan tenaga dalam. Sambil berteriak keras ia melesat ke udara. Dart balik pakaian putihnya dicabutnya sebuah tongkat kayu. Lalu laksana seekor burung elang yang menyambar mangsanya Tua Gila melayang menukik ke bawah. Tongkat di tangan kanan berkiblat!
“Kraaakk!”
Datuk Angek Garang menjerit keras ketika tulang telapak dan jari-jari tangan kirinya hancur kena pukulan tongkat. Walau tongkat itu hanya sebuah tongkat kayu terbuat dari kayu butut dan enteng , tetapi di tangan Tua Gila seolah menjelma palu besi!
“Tua Gila! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Datuk Angek Garang. Dia kembali melepaskan pukulan Hawa Neraka dengan tangan kanannya. Namun serangan ini disusul dengan satu lompatan. Selagi tubuhnya melayang satu tombak di udara ia kebutkan lengan baju hitamnya yang gombrong. Tiba-tiba tiga buah keris kecil ajaib berwarna merah dan mengeluarkan api menderu ke arah Tua Gila , mencari sasaran di tiga kepingan tubuh orang tua ini.
Tua Gila mendengar deru serangan senjata rahasia itu. Namun pemandangannya tertutup oleh asap hitam Pukulan Hawa Neraka. Dia menciptakan gerakan jungkir batik untuk mengelakkan serangan sambil putarkan tongkat kayunya ke samping sedemikian rupa untuk melindungi dirinya. Karena ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka tongkat itu menjelma gulungan sinar coklat yang hebat.
“Bummm!”
Dua tenaga dalam bentrokan keras. Dua keris merah api berhasil dibentuk mental. Tapi keris yang ke tiga menyusup lebih cepat dan berhasil menancap di pundak kiri Tua Gila. Pakaian yang dikenakan si kakek eksklusif terbakar. Tubuhnya yang ditancapi keris api laksana dipanggang. Tua Gila menjerit keras saking sakit dan marah. Tongkat kayunya mental dan hancur berkeping-keping di udara.
Dengan terlebih dulu menutup jalan nafasnya tua Gila melompat menerobos kepulan asap hitam Pukulan Hawa Neraka. Saat. itu di balik kepulan pukulan saktinya sendiri Datuk Angek Garang tampak tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada. Sepasang matanya mendelik. Dari mulutnya mengucur darah kental.
“Datuk Angek Garang! Kau membunuh muridku! Hari ini kau terima balasanmu! Aku inginkan nyawamu insan anjing!”
Apa yang terjadi kemudian berlangsung sangat cepat.
Datuk Angek Garang meraung keras ketika mata kirinya amblas kena bacokan dua ujung jari tangan kanan Tua Gila. Namun bunyi raungan ini serta merta lenyap laksana direnggutkan setan begitu satu renggutan dahsyat merobek leherya , mematahkan tulang leher dan membusai otot serta urat-urat besar di leher itu!
Tua Gila tegak terhuyung-huyung memperhatikan Datuk Angek Garang yang terkapar mati di depan kakinya sesudah terlebih dulu menggelepar-gelepar beberapa kali. Dalam keadaan terluka Tua Gila berusaha membalikkan gerobak yang terbalik. Kuda penarik gerobak yang masih ketakutan diusapnya berulang kali hingga menjadi jinak. Lalu dengan satu tendangan tubuh Datuk Angek Garang dibuatnya mencelat dan jatuh menelungkup di atas gerobak. Di salah satu kepingan depan gerobak ada sebuah obor. Tua Gila segera menyalakan obor ini.
“Kuda baik…. Kau tahu ke mana tujuanmu semula. Pergi ke bukit Tegalrejo. Bawa jenazah itu…” kata Tua Gila sambil mengelus leher kuda penarik gerobak.
Seolah mengerti apa kata orang hewan itu meringkik keras kemudian bergerak ke arah timur sesudah Tua Gila menyingkirkan watu kayu yang menghalangi jalan. Tua Gila sendiri mungkin lantaran kehabisan tenaga atau terlalu banyak darah yang mengucur , mungkin juga ada racun dalam tubuhnya dari keris merah api tiba-tiba mengeluh pendek kemudian roboh di tanah.
*
* *
* *

ENAM
Di lereng timur Bukit Tegalrejo nenek bermuka putih keriput Sabai Nan Rancak nampak gelisah sesudah Kakek Segala Tahu meninggalkannya seorang diri dalam menanti kedatangan sobatnya yakni Datuk Angek Garang. Bukan saja ia gelisah dikarenakan telah lewat delapan hari waktu yang ditentukan Datuk Angek Garang belum juga muncul , tetapi lebih dari itu apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu melipat gandakan kegelisahan itu. (Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Asmara Darah Tua Gila).Kakek Segala Tahu telah meramalkan padanya bahwa Datuk Angek Garang , orang yang ditunggunya tak akan pernah datang. Kalaupun ia muncul di kaki Bukit Tegalrejo itu maka ia akan muncul tanpa nyawa.
Sabai Nan Rancak menghela nafas panjang. Lalu telinganya menangkap bunyi gemeretak roda. Memandang ke kaki bukit sebelah timur dalam kegelapan malam Sabai Nan Rancak melihat sebuah gerobak ditarik seekor kuda tanpa kusir , ada obor menyala di kepingan depannya , bergerak perlahan menuju kaki bukit. Hatinya mendadak tidak enak. Dengan cepat nenek ini berkelebat menuruni bukit hingga dalam waktu singkat ia telah berada di depan gerobak. Sabai mengusap leher kuda itu beberapa kali kemudian memegang tali kekangnya. Begitu kuda dan gerobak berhenti si nenek mengusut kepingan belakang gerobak. Parasnya eksklusif berubah dan matanya membeliak.
“Datuk Angek Garang!” desis si nenek dengan tenggorokan tercekik. Di atas gerobak menggeletak satu sosok tubuh berpakaian gombrong warna hitam. Kepalanya menggunakan sebuah destar merah. Dari ciri-ciri orang itu terang sudah bagi Sabai Nan Rancak bahwa ia yaitu Datuk Angek Garang , sobat yang sesuai perjanjian akan menemuinya di tempat itu pada hari tujuh bulan tujuh.
Sabai pandangi lagi tubuh yang menggeletak menelungkuk itu. “Aku harus melihat mukanya. Jangan-jangan hanya ciri-ciri saja yang sama. Siapa tahu bukan dia…” Berpikir hingga di situ dengan tangan kirinya Sabai Nan Rancak balikkan tubuh di atas gerobak hingga tertelentang. Begitu matanya memandang tubuh dan muka orang yang ada di lantai gerobak itu si nenek hingga tersurut tiga langkah saking ngerinya. Meski tampang Datuk Angek Garang sebagian tertutup darah , salah satu matanya terbongkar dan lehernya seolah habis dimangsa harimau kemudian tangan kirinya hancur namun Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali. Orang yang telah jadi jenazah mengerikan di atas gerobak itu memang yaitu Datuk Angek Garang.
“Kakek Segala Tahu…” desis Sabai Nan Rancak begitu ia ingat pada kakek bercaping , berpakaian compang camping membawa tongkat kayu dan kaleng rombeng itu.
“Apa yang dikatakannya betul. Jangan-jangan ia yang telah membunuh Datuk Angek Garang. Lalu tiba memberitahu akal-akalan meramal! Kurang ajar! Aku akan menyelidik dan mencarinya. Jika benar ia yang membunuh sobatku ini , akan kukorek jantungnya! Aku tak ada waktu mengurus jenazah ini!” Sabai Nan Rancak gebrak pinggul kuda. Binatang penarik gerobak meringkik keras kemudian menghambur lari laksana dikejar setan.
*
* *
Kita kembali pada keadaan Puti Andini , gadis elok murid Sabai Nan Rancak yang sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Seperti dituturkan sebelumnya secara tidak sengaja ia telah bertemu dengan Sika Sure Jelantik yang tiba dari Pulau Andalas untuk mencari Tua Gila. Dengan kecerdikannya gadis ini berhasil memikat si nenek hingga akibatnya diberi ilmu yang menciptakan ia bisa menyelam usang di dalam air. Namun akhir dari pemberian ilmu itu Puti Andini jatuh pingsan. Sika Sure Jelantik kemudian meneruskan perjalanan dengan agak menyesal lantaran ia tidak sempat mengetahui siapa nama gadis itu.* *
Malam berlalu merayap. Menjelang pagi sekelompok babi hutan muncul di tempat Puti Andini tergeletak. Selagi binatang-binatang ini mengendus-endus tubuh si gadis tibatiba muncul tiga ekor anjing hutan , rata-rata bertubuh besar dan sedang kelaparan. Semula mereka hendak memangsa kawanan babi hutan tadi. Namun lantaran babi-babi itu melarikan diri maka kini sosok Puti Andini yang jadi sasaran.
Tiga anjing hutan melolong panjang dapatkan mangsa segar itu. Mata mereka berkilat merah , pengecap terjulur dan gigi-gigi besar runcing mencuat di lisan yang terbuka. Salah seekor dari mereka yaitu anjing hutan betina yang paling besar dan sedang hamil serta paling lapar eksklusif melompati tubuh Puti Andini. Moncongnya menyambar ke arah pergelangan kaki gadis ini. Siap untuk ditarik dan digeragot putus!
Pada ketika itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Lalu “Crasss!”
Leher anjing hutan betina yang hendak memangsa kaki Puti Andini putus. Kepalanya menggelinding. Darah muncrat dan tubuhnya terbanting roboh melejang-lejang.
Dua anjing lainnya menyalak keras. Lalu mengejar kuda dan penunggangnya yang barusan menebas batang leher sahabat mereka. Sadar kalau dua anjing besar itu bisa mencelakai kudanya maka si penunggang ketika melewati sebatang pohon melompat ke atas. Sesaat ia bergelantungan berputar-putar pada cabang pohon itu. Ketika dua ekor anjing mendatangi ia cepat melayang turun dan hunus pedangnya yang masih berair oleh darah. Orang ini ternyata yaitu seorang cowok bertampang keren berkulit sawo matang , mengenakan pakaian hijau terbuat dari beludru bagus sekali. Potongan tubuhnya yang kekar menambah kejantanannya. Di pendengaran kanannya mencantel sebuah anting-anting kecil terbuat dari emas. Anjing di sebelah kanan menyerang lebih dahulu. Dia menunggu hingga hewan itu hingga dekat sekali di depannya gres ia menggerakkan tangan yang memegang pedang.
“Craaasss!”
Anjing besar melolong panjang menggidikkan. Isi perutnya berbusaian dari luka besar yang merobek tubuhnya sebelah bawah. Anjing ketiga mirip kesetanan menggembor keras kemudian melompati cowok beranting-anting emas itu. Yang satu ini ternyata mempunyai gerakan cepat luar biasa. Sekali melompat dua kaki depannya telah berada di depan dada si cowok , siap untuk merobek. Tidak sempat mempergunakan pedangnya lantaran jarak terlalu pendek , cowok itu cepat melompat ke samping. Dari samping gres ia tebaskan pedangnya.
“Crasss… crasss!”
Dua kaki depan anjing besar tertebas putus. Binatang ini roboh ke tanah. Bergulingguling dan terkaing-kaing kemudian tersaruk-saruk dengan dua kaki depan buntung ia melarikan diri dalam kegelapan malam menjelang pagi. Setelah membersihkan pedangnya yang berlumuran darah kemudian memasukkannya ke dalam sarung cowok ini cepat melangkah menghampiri sosok Puti Andini yang masih terbujur di tanah.
*
* *
Ketika ia siuman , Puti Andini dapatkan dirinya terbaring di atas sebuah jaring yang terbuat dari akar-akar panjang pepohonan hutan. Memandang berkeliling ternyata ia berada di antara dua cabang pohon tinggi. Gadis ini merasa gamang ketika ia melihat ke bawah.* *
“Bagaimana saya tahu-tahu berada di sini…?” pikir Puti Andini. “Apa ada hantu hutan membawaku ke sini? Bagaimana caranya saya turun ke bawah…. Ah , sungguh aneh! Seingatku si nenek berkuku panjang itu katanya hendak menawarkan satu ilmu padaku. Dia menyuruh saya memejamkan mata. Lalu ada rasa sakit luar biasa. Setelah itu saya tidak tahu apa-apa lagi. Dan kini saya berada di sini! Apa ia yang melakukan? Gila! Mengapa susah-susah hingga meletakkan saya di atas pohon mirip ini?!” Puti Andini mengusut keadaan dirinya. Pakaian merahnya kotor tapi tubuhnya tak kurang suatu apa. Memandang berkeliling ia dapatkan ketika itu hari masih sangat pagi. Di sekelilingnya terdengar bunyi kicauan burung. Gadis ini menarik nafas dalam dan tubuhnya terasa segar. Namun sesaat kemudian kembali ia merasa gelisah. Dia mulai berpikir bagaimana caranya semoga bisa turun dari pohon yang tinggi itu.
Dalam keadaan mirip itu tiba-tiba di antara kelebatan semak belukar di bawahnya ia melihat ada seorang berpakaian hijau bergerak cepat. Dalam waktu singkat ia sudah berada di bawah pohon di mana Puti Andini berada. Belum sempat si gadis memperkirakan siapa adanya orang itu tiba-tiba si baju hijau ini dengan kecekatan luar biasa memanjat pohon tinggi itu. Di lain ketika tahu-tahu ia sudah berada di atas pohon di dekat jaring di mana Puti Andini berada. Di tangan kanannya ada sesuatu dibungkus dengan daun pisang. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang.
Si cowok tidak menyangka kalau gadis di atas pohon itu sudah bangun dan sadarkan diri. Sesaat sepasang matanya yang hitam menatap. Dua pasang mata muda-mudi ini saling bertemu pandang. Dua hati saling bergetar.
Melihat yang muncul di hadapannya yaitu seorang cowok gagah berpakaian bagus kejut dan rasa khawatir Puti Andini menjadi hilang. Ingin sekali ia mengetahui siapa adanya cowok yang sangat pintar memanjat pohon ini. Namun ia menentukan bersikap menunggu.
“Aku besar hati melihat kau sudah bangun…” si cowok membuka pembicaraan.
“Bangun? Apakah sebelumnya saya ini tidur atau pingsan?” bertanya Puti Andini.
“Terserah kau mau menyebutkan apa. Pingsan boleh tidur juga boleh. Tapi tidurmu usang sekali. Aku menemuimu pagi buta hari kemarin. Kau gres terbangun pagi ini. Tentu tidurmu lelap dan lezat sekali. Apakah dihiasi dengan mimpi-mimpi indah?”
Ucapan si cowok menciptakan Puti Andini tertawa lebar , rasa senangnya terhadap cowok ini segera timbul. “Aku ingat betul. Waktu saya pingsan saya niscaya tergeletak di tanah di satu tempat. Bagaimana tahu-tahu berada di sini? Apa kau yang membawa saya ke atas sini? Kalau benar perlu apa susah-susah melakukannya? Sampai menciptakan jaring ketiduran dari akar pohon segala?”
“Wah pertanyaanmu cukup panjang. Aku akan jawab satu persatu. Biar saya bercerita sedikit…” jawab si cowok pula. “Aku menemuimu tergeletak di tengah jalan tak jauh dari hutan ketika sekelompok anjing hutan , siap memangsamu….”
“Apa?!” Dua mata Puti Andini terbelalak. Tengkuknya terasa dingin.
Si cowok melanjutkan. “Saat saya mengusut dirimu saya agak sulit menerka apa yang menjadikan dirimu pingsan dan berada di tempat itu. Lalu tubuhmu kunaikkan ke atas pohon….”
“Eh , bagaimana caranya?” tanya Puti Andini heran.
“Tentu saja kupanggul di bahu. Apa kau kira kubembeng rambutmu yang bagus itu?”
Puti Andini tertawa. “Aku melihat kau tadi cekatan sekali naik memanjat pohon. Dari mana kau belajar?”
“Kami orang-orang pulau rata-rata mempunyai kepandaian memanjat pohon semenjak kecil ,” jawab si pemuda.
“Kau orang pulau? Sekitar sini tak ada pulau…”
“Ah , maksudku…. Aku memang bukan orang sini. Aku…. Ah , perihal asal usulku sudahlah. Tak perlu dibicarakan.”
“Namaku Puti Andini. Siapa namamu?”
“Hemmm…. Aku….” Pemuda itu hendak menjawab memberitahu siapa dirinya bergotong-royong tapi cepat membatalkan. Setelah berpikir sejenak ia berkata. “Panggil saja saya Panji….”
“Namamu cuma satu kata? Pendek amat!” kata Puti Andini pula. Si cowok cuma tertawa mendengar kata-kata itu.
“Sekarang apakah kau tidak akan menurunkan saya dari atas pohon ini?” bertanya si gadis.
“Tentu saja. Tapi saya tahu kau lapar. Aku membawa sesuatu untukmu sekedar pengisi perut. Makanlah.” Pemuda yang mengaku berjulukan Panji itu menyerahkan bungkusan daun pisang pada Puti Andini. Ketika dibuka isinya ternyata dua potong besar singkong rebus.
“Kau curi dari mana singkong ini?” tanya Puti Andini.
“Aku tidak mencurinya. Aku minta pada seorang penduduk desa pagi buta tadi. Desanya cukup jauh dari sini.”
“Terima kasih. Aku memang sangat lapar. Kau mau sepotong?”
“Tadi ada tiga potong. Aku sudah makan satu potong ,” jawab Panji.
Sambil makan Puti Andini terus mengajak cowok itu bicara. “Aku lihat kau mengenakan pakaian sangat bagus. Kalau kau bukannya anak orang kaya atau turunan aristokrat , niscaya kau…”
“Aku seorang cowok biasa saja…” memotong Panji.
“Aku tidak percaya! Aku lihat kau juga mengenakan anting emas di pendengaran kananmu? Bagiku terasa ajaib kalau laki-laki pakai anting segala. Apa kau banci? Hik… hik…hik!”
“Banci? Apa artinya itu?” tanya Panji.
Makin keras tawa Puti Andini. “Banci artinya lelaki yang bersifat mirip perempuan. Bicara mirip wanita , berdandan mirip perempuan….”
“Apa saya bicara mirip perempuan?”
“Tidak , tapi kau berdandan mirip perempuan!” jawab Puti Andini kemudian tertawa lagi.
“Kalau kuberikan anting emas ini padamu apa kau mau memakainya?” tanya Panji.
“Buat apa? Kalau kupakai bisa lebih gawat lagi?”
“Gawat? Kenapa gawat?”
“Mana ada wanita pakai anting cuma se-belah!” Gelak Puti Andini semakin keras.
Panji akibatnya ikut-ikutan tertawa.
“Aku sudah menghabiskan dua potong singkong rebus yang kau berikan. Terima kasih. Sekarang saatnya kau menurunkan saya dari atas pohon ini.”
“Bersabarlah barang sebentar. Aku ingin tahu ceritanya mengapa kau hingga kutemukan menggeletak di tengah jalan. Apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau lakukan di tempat itu?”
“Aku kesasar lalu….”
“Aku tahu kau berdusta. Tapi teruskan bicaramu ,” kata Panji pula.
Puti Andini tercekat kemudian tersenyum. “Baik , akan kuceritakan yang sebenarnya.” Lalu gadis ini memberi tahu ihwal hingga ia berada di tempat Panji menemukan dan menolongnya. Dia tidak menuturkan mirip apa yang dikatakan pada Sika Sure Jelantik. Tidak ada dongeng perihal ibunya yang sakit. Pada Panji dikatakannya bahwa ia tengah mencari sebuah watu hitam yang berada di dasar Telaga Gajahmungkur.”
“Untuk apa gunanya watu itu bagimu?” tanya Panji agak heran.
“Aku tak bisa mengatakannya. Tapi watu itu sangat berarti bagiku. Bagaimanapun saya harus mendapatkannya….”
“Selama tinggal di pulau , semenjak kecil saya sering menyelam hingga ke dasar maritim sekitar pulau. Kalau kau suka saya bersedia membantumu mencari watu itu….”.
“Terima kasih , saya harus mendapatkannya sendiri tanpa pertolongan siapa-siapa ,” jawab murid Sabai Nan Rancak itu. Lalu ia bertanya. “Sekarang kurasa sudah saatnya kau menurunkan saya dari atas pohon ini.”
“Kalau itu pintamu , saya tidak akan menolak ,” jawab Panji. “naiklah ke punggungku , lingkarkan kedua tanganmu di leherku.”
“Hemmmm….” Si gadis bergumam. “Apa tak ada cara lain untuk turun dari sini?” tanyanya dengan wajah sedikit kemerahan.
“Ada satu cara lain. Malah lebih cepat!”
“Katakan padaku!”
“Langsung terjun melompat ke bawah sana!” jawab Panji.
Puti Andini menggigit bibirnya. Dia memandang ke bawah. Saat itu ia berada di ketinggian hampir tujuh tombak. Sulit baginya untuk melihat kepingan tanah yang datar lantaran tertutup semak belukar lebat. Selain itu tak ada kepingan yang lowong untuk dijadikan arah lompatan.
“Apa boleh buat. Aku terpaksa mengikuti caramu!” kata si gadis akhirnya.
Panji tertawa lebar. Dia menginjakkan kakinya di atas jaring kemudian tegak membelakangi Puti Andini. Kembali kebimbangan mensugesti gadis ini. Namun akibatnya ia lingkarkan juga kedua tangannya di leher Panji. Tubuhnya dirapatkan ke punggung si pemuda.
“Lingkarkan kedua kakimu ke depan perutku ,” kata Panji.
“Tadi tidak ada kau sebutkan begitu!” tukas si gadis yang jadi jengah.
“Terserah! Aku cuma khawatir peganganmu di leherku mengendur lantaran gamang.”
Mau tak mau Puti Andini lakukan juga apa yang dikatakan cowok itu. Kedua kakinya digelungkan ke tubuh Panji hingga kini badannya melekat erat di tubuh si pemuda.
Panji menciptakan gerakan mengayun di atas jaring akar pohon. Pada ayunan yang ke lima tubuhnya melesat tinggi ke udara.
“Hai! Aku minta diturunkan bukan dibawa ke atas!” teriak Puti Andini.
“Lihat saja! Aku tidak punya kemampuan terbang ke udara!” jawab Panji kemudian tertawa
bergelak. Sesaat kemudian ketika tubuhnya turun ia menyambar batang pohon terdekat. Pada cabang pohon ini ia menciptakan satu kali putaran memaksa Puti Andini pejamkan mata lantaran gamang. Dari cabang ini Panji kemudian melayang turun lagi ke bawah. Di satu tempat ia kembali berpegangan ke cabang pohon. Berputar satu kali dan melesat ke bawah. Hal ini dilakukannya hingga beberapa kali hingga akibatnya ia menjejakkan kakinya di tanah. Menyangka ketika itu dirinya masih diajak melayang di udara Puti Andini masih saja terus merangkul leher Panji dan menggelungkan kakinya di pinggang si pemuda.
“Puti Andini , kita sudah turun di tanah. Mengapa kau masih merangkuli tubuhku?”
Terkejut bukan main si gadis mendengar kata-kata itu. Dengan muka merah ia lepaskan rangkulannya dan melompat turun! Panji membalik dan tertawa polos , menciptakan Puti Andini semakin jengah. Buru-buru gadis ini berkata. “Terima kasih atas semua pertolonganmu. Aku berharap satu ketika bisa membalas semua budi baikmu. Aku harus pergi sekarang….”
“Kau , apakah saya dihentikan mengantarkanmu ke telaga tempat kau mencari watu hitam itu?”
“Terima kasih. Aku bisa pergi sendiri. Hemmm…. Kalau saya boleh tahu kau sendiri akan menuju ke mana?”
“Aku akan mencari seorang sahabat. Seorang kakek bermuka cekung berjulukan Wiro Sableng….”
Terkejutlah Puti Andini mendengar ucapan cowok itu “Seorang kakek bermuka cekung berjulukan Wiro Sableng?!”
“Benar. Kau kenal padanya?”
Puti Andini tertawa gelak-gelak.
“Eh , kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya Panji keheranan.
“Manusia berjulukan Wiro Sableng itu bukan seorang tua bangka bermuka cekung. Tapi seorang cowok yang usianya kurasa sedikit lebih tua darimu!”
“Aneh , ia sendiri yang menyebutkan namanya begitu sewaktu dulu meninggalkan pulau tempat kediamanku ,” kata Panji pula. (Seperti dituturkan dalam Episode I berjudul Tua Gila Dari Andalas , sewaktu hendak meninggalkan pulau Kerajaan Sipatoka , ketika ditanya namanya Tua Gila lezat saja menyampaikan namanya Wiro Sableng).
Dari balik baju beludru hijaunya Panji mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama sehelai sapu tangan besar berwarna merah. Yang lain yaitu sehelai kumis palsu.
“Aku menemukan dua benda ini dekat tubuhmu tergolek. Mungkin milikmu?”
Puti Andini segera mengenali kain epilog kepala merah dan kumis palsunya itu. Cepat kedua benda itu diambilnya.
“Aku pergi sekarang!” kata Puti Andini sambil terus tertawa cekikikan.
“Hail Tunggu dulu! Ada yang hendak saya tanyakan!” seru Panji. Namun ketika itu Puti Andini telah lenyap di balik kerapatan semak belukar.
*
* *
* *

TUJUH
Lelaki separuh baya berjubah merah itu hentikan larinya di tepi lembah. Memandang ke bawah ia hanya melihat kerimbunan pepohonan , mendengar bunyi kicau burung. Dia mengusap kepalanya yang botak beberapa kali. Kepala itu keringatan , dicat kuning dan ada goresan pena angka 3 berwarna hitam.“Apa betul ini yang dinamakan Lembah Akhirat? Subur , sunyi sama sekali tidak membayangkan keangkeran….” Si botak membatin. Dia memandang berkeliling. Menarik nafas dalam. “Di mana saya harus mencari sang datuk penguasa lembah yang begini luas…. Kalau saya bergerak terus menuju ke utara , niscaya akan mencapai sentra lembah. Mungkin di sana letak markas Datuk Lembah Akhirat….” Setelah membisu beberapa usang akibatnya orang ini melangkahkan kaki. Namun gres berjalan tiga langkah tiba-tiba terdengar bunyi suitan keras di sebelah timur. Suitan ini mendapat sambutan dari arah barat. Suitan ketiga tiba dan sebelah utara. Pada ketika itulah melesat tiga benda lingkaran mengeluarkan bunyi mengaung. Masing-masing benda ditancapi sebentuk tongkat terbuat dari bambu. Benda-benda ajaib ini melesat dari tiga jurusan yaitu samping kiri kanan dan dari sebelah depan!
Begitu tiga benda menancap di tanah tersurutlah lelaki berkepala botak. Tampangnya menjadi pucat. Tiga benda di atas tongkat bambu dan menancap di tanah itu ternyata yaitu tiga buah tengkorak manusia. Masing-masing berwarna hitam , merah dan hijau! Untuk sesaat lamanya si botak berjubah merah hanya tegak laksana patung , tak berani bergerak. Hanya sepasang matanya memandang melotot melirik ke kiri dan ke kanan. Kepalanya yang botak kuning terasa hambar keringatan.
Orang ini tidak menunggu lama. Mendadak ada tiga bayangan berkelebat dan tahutahu tiga sosok ajaib sudah mengurungnya. Di hadapannya kini ada tiga orang lelaki berwajah hitam , merah dan hijau. Rambut mereka juga sama dengan warna muka mereka. Selain itu ketiganya mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna sama mirip warna wajah masing-masing. Tiga orang ini membawa tombak yang pada kepingan tengahnya ditancapi sebuah tengkorak insan berwarna hijau , hitam dan merah.
“Sebutkan nama dan gelar!” Orang berwajah merah membentak.
“Katakan keperluan!” Si muka hitam menghardik.
“Beritahu tiba membawa apa!” Yang muka hijau menimpali.
Si botak kepala kuning jadi tergagau kecut. Mukanya sepucat kain kafan ketika tiga ujung tombak yang terang mengandung racun disorongkan dekat sekali ke lehernya.
“Namaku Klewing. Aku tidak bergelar tapi dikenal sebagai orang nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar. Keperluanku kemari untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Aku tiba membawa satu keping emas.”
“Perlihatkan emas itu!” perintah si muka hijau.
Si botak mengeruk saku jubah merahnya. Ketika tangannya dikeluarkan ia telah menggenggam satu kepingan emas sebesar ujung jari kelingking. Emas ini dipegangnya erat-erat , takut diambil tiga orang di hadapannya. Tiga orang yang mukanya berwarna saling pandang melempar isyarat.
“Ikuti kami!” kata yang bermuka merah.
Tokoh Kembar nomor 3 masukkan kepingan emas ke dalam saku jubahnya kembali kemudian melangkah mengikuti tiga orang yang sudah sanggup dipastikannya sebagai para pengawal atau penjaga daerah Lembah Akhirat.
Si jubah merah ini dibawa menuju sentra lembah. Sepanjang jalan ia menyaksikan pemandangan yang aneh. Di mana-mana ia melihat tebaran debu tebal berwarna hitam , merah atau hitam di tanah , Klewing tak sanggup menerka debu apa adanya itu. Makin jauh ke sentra lembah semakin banyak tumpukan pasir berwarna itu ditemuinya. Walau ia ingin sekali mengetahui namun Klewing tak berani usikan pertanyaan pada tiga orang yang berada di dekatnya.
“Aneh , semula saya menerka Lembah Akhirat yaitu lembah maha menyeramkan. Tapi ternyata keadaannya biasa-biasa saja. Atau mungkin dibalik semua ketaknormalan ini ada sesuatu yang mengerikan…?” Klewing terus berjalan mengikuti tiga orang itu. Di samping sebuah pohon besar yang dilingkari semak belukar sangat lebat tiga pengawal Lembah Akhirat berhenti. Salah seorang dari mereka menyelinap ke balik pohon. Tak usang kemudian semak belukar di sebelah kanan bergerak dan menguak aneh. Lalu tampak sebuah lisan goa. Si muka hitam masuk ke dalam goa. Si muka merah memberi isyarat pada Klewing semoga mengikuti. Lalu di sebelah belakang pengawal bermuka hijau menyusul dengan tombak terhunus.
Bagian dalam goa merupakan satu tangga watu menurun. Begitu mereka masuk semak belukar yang tadi menguak tertutup dengan sendirinya. Klewing mencicipi hawa hambar menggidikkan sepanjang perjalanan menyusuri goa yang ternyata cukup panjang itu. Tak usang kemudian Klewing melihat ada cahaya terang di sebelah depan membuktikan ia akan segera hingga di ujung goa. Memang benar. Begitu hingga di ujung goa Tokoh Kembar nomor 3 ini melihat satu pedataran terbentang di hadapannya. Puluhan orang bermuka hijau , merah atau hitam berdiri seputar pedataran lengkap dengan tombak yang ditancapi tengkorak di tangan masing-masing.
“Heran , saya tidak melihat satu orang wanita pun…” membatin Klewing.
Di tengah pedataran ada satu watu besar setinggi setengah tombak. Salah satu sisi watu berbentuk tangga. Sekeliling watu ada kobaran api setinggi tiga jengkal. Lalu di atas watu besar itu tampak satu gentong kayu besar. Gentong ini berisi air yang mengeluarkan bunyi riak seolah mendidih. Asap tipis yang menebar bau ajaib mengepul keluar dari gentong. Klewing tercekat ketika melihat dari dalam gentong muncul sepasang kaki besar berotot penuh bulu , lurus tak bergerak. Pada kedua pergelangan kakinya terikat satu tengkorak kecil.
“Ada orang merendam dirinya di dalam gentong secara aneh…” kata Klewing dalam hati. “Sulit kuduga apa yang dilakukannya. Tapi jikalau ia tidak mempunyai kepandaian luar biasa mustahil ia melaksanakan hal itu…. Tengkorak kecil di kedua kakinya itu niscaya tengkorak belum dewasa , mungkin bayi….” Tengkuk satu-satunya orang yang masih hidup dari Delapan Tokoh Kembar ini menjadi dingin.
Si botak Klewing kemudian dibawa ke sebuah bangunan terbuat dari watu yang tidak bedanya sebuah goa besar. Di dalam bangunan tampak duduk tiga orang bertampang ajaib angker.
Yang di sebelah kanan mempunyai muka berwarna merah , di tengah hitam dan di ujung kiri hijau. Tiga orang ini mempunyai rambut ikal kecil , sangat rapat dan keras. Rambut mereka berwarna sesuai warna wajah. Si hitam mempunyai rambut tinggi runcing ke atas mirip kerucut. Si merah rambutnya berbentuk lingkaran tinggi mirip tempurung besar sedang si hijau berambut mirip sarang tawon , panjang ke atas. Ketiga orang ini mengenakan jubah berlengan gombrong yang warnanya sesuai dengan warna wajah masing-masing. Si hitam mempunyai wajah lebar , dihias alis , kumis dan janggut tebal berwarna hitam. Sepasang telinganya ditusuk dengan sepotong tulang manusia. Dia seolah tidak mempunyai hidung. Bagian yang seharusnya ada hidung hanya ada dua buah lubang hingga hidungnya seolah gerumpung. Orang ini yaitu Pengiring Mayat Muka Hitam , salah satu dari tiga pembantu utama Datuk Lembah Akhirat.
Lelaki bermuka merah tidak punya alis. Tidak memelihara janggut ataupun kumis. Cuping hidung sebelah kiri ditancapi potongan tulang manusia. Dia ini dikenal dengan panggilan Si Pengiring Mayat Muka Merah. Juga merupakan salah satu pembantu utama Datuk Lembah Akhirat. Orang ketiga yang mukanya berwarna hijau mempunyai kepala panjang peang. Mukanya yang hijau tampak berbenjol-benjol seolah diserang penyakit bisul. Sepotong tulang insan menancap di bibir-nya sebelah bawah. Orang yang terakhir ini me-rupakan pembantu ke tiga Datuk Lembah Akhirat dan dijulliki Si Pengiring Mayat Muka Hijau. Dari ke tiga insan angker itu Si Pengiring Mayat Muka Hitam bertindak sebagai pimpinan mereka.
“Manusia atau setankah yang ada di hadapanku ini? Seumur hidup saya tidak pernah melihat makhluk sedahsyat ini…. Yang mana di antara mereka Datuk Lembah Akhirat?” begitu Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3 membatin dalam hati.
“Menjura pada Tiga Pengiring Mayat!”
Klewing tergagau oleh bentakan pengawal bermuka hitam yang ada di sampingnya. Cepat-cepat ia membungkuk memberi penghormatan pada ketiga orang yang duduk di dalam bangunan watu itu.
“Tiga Pengawal Lembah Akhirat! Apa perlunya tuyul kuning berjubah merah ini kalian bawa ke hadapan kami?! Apa kalian sengaja mencari mati mengganggu ketentraman tiga wakil tertinggi Datuk Lembah Akhirat?!”
Mendengar bentakan Si Pengiring Mayat Muka Hitam yang merupakan orang tertinggi di antara tiga pembantu Datuk Lembah Akhirat , tiga pengawal bersurut mundur dan cepat menjura. Yang di tengah segera berkata.
“Maafkan kami , kami tidak bermaksud mengganggu ketentraman Wakil Datuk Lembah Akhirat bertiga. Tamu ini tiba untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Dia membawa secuil emas sebagai bekal….”
“Hemmm….” Si Pengiring Mayat Muka Hitam rangkapkan dua lengan di depan dada. Mulutnya menyunggingkan seringai dan ia saling pandang dengan dua temannya.
“Kalau begitu kalian bertiga lekas angkat kaki dari hadapan kami!”
“Maafkan kami para Wakil Datuk Lembah Akhirat…” kata tiga pengawal bersamaan.
Setelah menjura dalam-dalam ketiganya kemudian cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Sampai di luar bangunan watu mereka merasa lega. Yang satu berbisik pada temannya. “Untung Si Pengiring Mayat Muka Hitam tidak sewot benar. Ingat , dua hari kemudian ia membunuh dua sahabat kita hanya gara-gara secara tak sengaja mereka melihat Si Pengiring Mayat Muka Hitam sedang kencing di bawah pohon…. Gila! Kalau saja saya bisa kabur dari tempat ini sudah usang saya minggat….”
“Ssst… , Jalan pikiranmu sama dengan kami berdua ,” jawab sahabat pengawal yang barusan bicara. “Tapi hati-hati kalau bicara. Pohon , watu dan tanah bisa jadi intel di tempat ini. Belum lagi teman-teman bangsa penjilat!”
“Sebenarnya dua sahabat kita yang-malang itu bukan dibunuh lantaran tidak sengaja melihat Si Pengiring Mayat Muka Hitam kencing di bawah pohon ,” kata pengawal bermuka hijau. “Tapi dekat pohon itu ada seekor babi wanita gemuk. Si Pengiring Mayat Muka Hitam merasa mirip di-pergoki. Hik… hik… hik! Dasar insan edan!”. “Bangsat satu itu memang aneh! Perempuan banyak di tempat penyekapan. Mengapa doyannya hik… hik…hik…!”
Tiga pengawal Lembah Akhirat cepat menyelinap di balik bebatuan dan semak belukar , Kembali ke tempat pengawalan masing-masing sambil terus tertawa cekikikan.
*
* *
* *

DELAPAN
Begitu tiga pengawal berlalu Pengiring Mayat Muka Hitam berpaling pada si botak berjubah merah. “Botak kepala kuning! Pengawal menyampaikan kau membawa secuil emas. Perlihatkan padaku!”Mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Hitam , Klewing cepat keluarkan kepingan emas dari saku jubah merahnya kemudian diperlihatkan pada wakil Datuk Lembah Akhirat itu. Sekali tangannya bergerak maka kepingan emas sudah berada dalam genggaman Pengiring Mayat Muka Hitam. Emas ini diperhatikan kemudian ditimang-timangnya beberapa kali.
“Kawan-kawan , emas yang dibawanya memang murni. Tapi besarnya tidak lebih besar dari bijinya. Ha… ha… ha! Apa pantas urusan ini kita teruskan?”
“Kita tanya saja dulu. Kalau ia memang tidak pantas berada di sini , kita akan usir! Tapi salah satu matanya harus ditinggalkan!”
Kalau saja Klewing bukan seorang tokoh silat berpengalaman , mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Merah itu tentu saja akan menciptakan ciut nyalinya. Satu-satunya orang yang masih hidup dari Delapan Tokoh Kembar ini tetap berlaku hening dan diam.
“Botak kepala kuning. Ceritakan siapa dirimu!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Aku Klewing. Aku tiba dari selatan. Bermaksud menghadap Datuk Lembah Akhirat….”
“Tunggu!” memotong Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kami belum menanyakan maksud kedatanganmu ke sini. Kawanku minta semoga kau menerangkan siapa dirimu….”
“Aku tidak mengerti. Aku sudah katakan namaku….”
“Botak kepala tahi tolol!” hardik Pengiring Mayat Muka Merah. “Nama buruk itu tak usah diulang-ulang. Yang kami ingin tahu apa gelarmu! Kau dari golongan hitam atau golongan putih!”
Sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau ikut berkata. “Kau harus tahu , hanya orang-orang persilatan golongan putih yang diperbolehkan tiba ke tempat ini! Kau dari pihak mana botak?!”
“Aku…. Aku memang dari golongan putih walau dulu sering terlibat urusan tidak benar….”
“Hemmm….” Pengiring Mayat Muka Merah berpaling pada si muka hitam. Sambil usap-usap hidungnya yang ditancapi tulang ia berkata. “Bagaimana pendapatmu?”
Pengiring Mayat Muka Hitam lantas usikan pertanyaan pada Klewing. “Mengapa kepalamu botak dan apa artinya angka tiga di kepalamu itu?!”
“Aku yaitu orang ke tiga Delapan Tokoh Kembar…” menerangkan Klewing.
Mata ketiga pembantu utama Datuk Lembah Akhirat membesar. Ketiganya kemudian tertawa terbahak-bahak. “Kami memang pernah dengar nama kelompokmu! Kaprikornus kau salah satu dari kembar delapan? Luar biasa! Apa saja yang dikerjakan ibumu hingga ia bisa beranak sekali delapan! Ha… ha… ha!” Pengiring Mayat Muka Hitam permainkan jari telunjuk tangan kanannya di permukaan lobang hidungnya yang sama rata dengan pipi.
“Kalau kau kembar delapan , mana saudaramu yang tujuh lagi?!”
“Mereka sudah mati semua….”
“Hah! Tujuh saudaramu mati semua?! Malang benar Ha… ha… ha!” ujar Pengiring Mayat Muka Hitam kemudian tertawa gelak-gelak. Dua kawannya ikut-ikutan tertawa.
“Apa tujuh saudaramu itu mati kecebur sumur atau disambar geledek atau diserang penyakit sampar?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau sambil senyum-senyum seolah mengejek.
Walau hatinya panas mendengar ucapan orang tapi Tokoh Kembar nomor 3 ini berusaha hening dan menjawab perlahan. “Mereka menemui maut di Pangandaran. Dibunuh oleh beberapa orang tokoh silat. Antara lain Iblis Pemabuk , Ratu Duyung , Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng….”
“Hemmm…. Kaprikornus mereka terlibat urusan besar di Pangandaran yang menggegerkan itu. Kabarnya Pangeran Matahari juga menemui ajalnya di tempat itu! Kau sendiri bagaimana bisa lolos…?”
“Waktu itu saya cepat membaca situasi. Daripada mati konyol saya cepat-cepat melarikan diri.”
“Sungguh pengecut!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kau lari selamatkan diri sementara tujuh saudaramu mampus meregang nyawa!”
“Aku bukan pengecut! Keadaan tidak memungkinkan untuk menghadapi pihak musuh. Lagipula kalau saya menemui maut , siapa yang bakal menuntut balas kematian tujuh saudaraku?!” Klewing membantah dengan bunyi keras.
Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh.
“Hemm…. Otakmu agak cerdik juga rupanya.
Jadi kau tiba ke sini dengan satu maksud. Untuk membalaskan sakit hati kematian saudara-saudaramu!”
“Itu hal yang pertama. Hal kedua saya ingin mengetahui seluk beluk Kitab Wasiat Malaikat yang kini ramai dihebohkan di rimba persilatan. Siapa tahu saya berjodoh mendapatkannya. Paling tidak mempelajari sebagian isinya yang kabarnya mengandung ilmu kesaktian luar biasa. Selain itu saya juga ingin bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat ini.”
“Lelewing….”
“Namaku Klewing!” kata si botak kepala kuning itu ketika Pengiring Mayat Muka Hitam salah menyebutkan namanya. Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak.
“Aku sengaja salah menyebut namamu. Soalnya tampangmu memang mirip-mirip hewan berjulukan lelewing itu! Ha… ha… ha!”
“Jahanam!” rutuk Klewing tapi hanya dalam hati ketika mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Merah tadi.
“Teman-teman…” kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Aku melihat ada hal yang tidak beres dalam keterangan insan botak kepala kuning ini. Dia bilang dari golongan putih. Tapi mengapa saudara-saudaranya justru dibunuh oleh para tokoh golongan putih!”
“Hemmm….” Pengiring Mayat Muka Hitam menyeringai kemudian membentak. “Apa jawabmu?!”
“Saat itu kami tertipu. Dipikat oleh seorang gadis elok yang ternyata yaitu kaki tangan Pangeran Matahari. Hingga kami menentukan pihak yang keliru!” Menerangkan Klewing alias Tokoh Kembar Nomor 3.
“Kawan-kawan , menurutmu apakah jawaban bandit ini bisa diterima?” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau pada si muka merah dan hitam.
“Mauku ia kita lempar saja ke luar sana. Tak ada gunanya mengurusi insan macam begini!” berucap Pengiring Mayat Muka Merah.
“Atau saya robah saja tubuhnya jadi debu hijau ketika ini juga!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau.
Klewing yang mulai merasa khawatir cepat berkata. “Aku mohon kalian mau membantu mempertemukan diriku dengan Datuk Lembah Akhirat. Aku ingin erat dengan kalian. Di kemudian hari jikalau saya punya rejeki saya tidak akan melupakan kalian….”
Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengekeh. “Manusia buruk sepertimu jauh rejeki! Kalau hidupmu kelak sengsara apa yang hendak kau bagi pada kami?!”
Pengiring Mayat Muka Hitam angkat tangannya kemudian berkata. “Aku mau memberi kesempatan padanya. Jika ia tidak dongeng perihal emas yang dibawanya pada Datuk Lembah Akhirat mungkin ia masih ada harganya untuk dibawa menghadap penguasa tertinggi Lembah Akhirat itu. Bagaimana berdasarkan kalian….”
Pengiring Mayat Muka Merah dan Pengiring Mayat Muka Hijau tampak mirip berpikir-pikir. Padahal semua ini yaitu sandiwara yang mereka atur semua. Sebelumnya setiap orang yang hendak menemui Datuk Lembah Akhirat memang selalu mereka peras begitu rupa. Tiba-tiba terdengar bunyi suitan keras di luar bangunan watu tiga kali berturut-turut. Para wakil Datuk Lembah Akhirat dengan cepat melangkah keluar. Mau tak mau lantaran ingin tahu Klewing juga mengikuti keluar.
Di depan mereka ketika itu delapan orang pengawal Lembah Akhirat nampak mengusung dua buah tandu. Di atas ke dua tandu itu menggeletak sesosok tubuh seorang kakek berjanggut berkumis dan berambut biru serta seorang lelaki separuh baya. Keduanya telah jadi jenazah dan menebar bau busuk. Si kakek tampak hancur sebagian wajahnya sedang jenazah satunya kelihatan hampir putus batang lehernya seolah ditabas golok atau pedang yang sangat tajam!
Klewing tidak mengenal siapa adanya jenazah lelaki separuh baya itu. Tapi ia kenal betul jenazah satunya. Si kakek diketahuinya yaitu salah seorang tokoh silat golongan putih dari daerah timur yang dikenal dengan julukan Janggut Biru Berhati Emas.
“Penyebab kematian kedua orang ini niscaya tewas dibunuh. Siapa yang membunuh?
Mengapa mereka berada di tempat ini?” Berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawab muncul dalam benak Klewing.
Dua usungan jenazah diturunkan ke tanah. Delapan pengawal Lembah Akhirat menjura. Salah seorang dari mereka berucap dengan bunyi lantang.
“Dua jenazah siap dibuang di dalam daerah Lembah Akhirat. Apakah para wakil Datuk Lembah Akhirat berkenan memberi izin?!”
“Katakan dulu siapa yang telah menghabisi kedua orang ini?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Seorang tokoh silat golongan putih dikenal dengan julukan Dewa Sedih!” jawab Pengawal Lembah Akhirat yang mukanya berwarna hijau.
Tokoh Kembar Nomor 3 terkejut sekali mendengar keterangan si pengawal. Sementara tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tampak menyeringai sambil manggutmanggut.
“Kami ingin segera membuang mayat. Harap petunjuk dari para wakil yang terhormat.” Berkata pengusung jenazah muka hijau.
Pengiring Mayat Muka Merah angkat tangan kanannya dan berkata. “Aku Pengiring Mayat Muka Merah menyetujui semoga dua jenazah itu segera dibuang!”
Si muka hijau melaksanakan hal yang sama. Dia mengangkat tangan kanannya seraya berkata. “Aku Pengiring Mayat Muka Hijau memperbolehkan kalian membuang dua jenazah itu!”
Orang ke tiga menyusul. Sambil mengangkat tangannya ia berucap. “Aku Pengiring Mayat Muka Hitam , pembantu utama Datuk Lembah Akhirat , saya mewakili Datuk Lembah Akhirat , saya menyetujui dan memerintahkan kalian untuk segera membuang dua jenazah itu dalam bentuk sesuai aturan Datuk Lembah Akhirat!” Si muka hitam memberi isyarat pada dua temannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau dan Muka Merah menyeringai kemudian sama-sama anggukkan kepala. Tiba-tiba kedua orang ini membalik dan hantamkan tangan mereka ke arah jenazah yang tergeletak di atas usungan. Terjadilah hal yang luar biasa dan sangat menggidikkan Klewing. Dua larik sinar merah dan hijau menebar kemudian menghantam dua sosok jenazah di atas usungan. Mayat kakek berjanggut biru tampak laksana dikobari api berwarna merah. Ketika sinar merah lenyap tubuhnya hanya tinggal bubuk berwarna merah sementara usungan di atas mana mayatnya sebelumnya berada tidak rusak sedikit pun!
Seperti kakek berjanggut biru tubuh jenazah lelaki separuh baya mula-mula dihantam dan dibungkus sinar hijau. Lalu “wuss!” Seolah ada api berwarna hijau melumat tubuhnya. Sesaat kemudian api hijau lenyap dan kini tinggallah onggokan debu tebal berwarna hijau di atas usungan!
Pengiring Mayat Muka Hitam melirik pada Klewing. “Botak kepala kuning , nasibmu bisa mirip itu kalau ada tingkah perbuatanmu yang tidak menyenangi kami! Ingat itu baikbaik!”
Tokoh Kembar Nomor 3 itu membisu saja.
“Angkat dua usungan. Lekas pergi dari sini!” perintah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Yang merah dibuang di sebelah timur. Yang hijau buang di sebelah barat!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Perintah kami jalankan!” kata pengawal Lembah Akhirat. Setelah menjura lebih dulu kemudian delapan orang pengawal kembali mengusung dua jenazah di atas tandu yang kini telah berubah jadi debu kemudian tinggalkan tempat itu menuju Lembah sebelah timur dan barat.
“Bagaimana dengan si botak ini? Apa pantas kita beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat?” membuka bunyi Pengiring Mayat Muka Merah.
Tak ada salahnya mencoba. Kalau kemudian hari janjinya untuk membuatkan rejeki dengan kita tidak ditepati , ia akan mendapatkan siksa neraka sebelum kita merubah mayatnya menjadi debu!”
Pengiring Mayat Muka Hijau mengangguk. Si muka merah hanya menyeringai.
“Klewing! Kau kami beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat. Tapi kau harus menunggu hingga penguasa tertinggi di lembah ini selesai bersamadi!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Aku tidak mengerti…” kata Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3.
Si muka hitam memberi isyarat kemudian bersama dua temannya melangkah tinggalkan tempat itu. Si botak kepala kuning mengikuti. Mereka kembali ke tempat di mana tadi Klewing melihat sebuah gentong besar berisi air seolah mendidih disertai kepulan asap. Di dalam gentong yang terletak di atas watu besar itu tampak sepasang kaki insan , berbulu dan di-gelantungi tengkorak kecil. Bagian tubuh dari pertengahan paha ke atas tidak kelihatan lantaran berada dalam gentong kayu. Sejak tadi Klewing tak habis pikir apa yang dilakukan orang itu di dalam gentong? Mandi atau hendak bunuh diri atau apa?
“Siapa orang di dalam gentong?” Klewing beranikan diri bertanya.
“Orang di dalam gentong yaitu pimpinan kami. Penguasa tunggal di daerah ini.
Datuk Lembah Akhirat. Dia sedang melaksanakan samadi di dalam gentong berisi air. Dia gres berhenti bersamadi kalau air beriak dalam gentong habis. Air dalam gentong akan habis lantaran penguapan dan juga tetes demi tetes yang keluar dari sebuah lobang kecil di kepingan bawah. Kapan habisnya air itu boleh kau tanyakan pada setan!”
Klewing menatap tampang Pengiring Mayat Muka Hitam sesaat kemudian pandangi gentong berisi sosok insan yang hanya kakinya saja yang kelihatan. Dalam hati orang ini berkata. “Jadi itu Datuk Lembah Akhirat. Aneh sekali caranya bersamadi. Melihat kecilnya tetesan air dan udara sekitar sini sejuk , air dalam gentong gres akan habis sesudah berminggu-minggu…. Jangan-jangan saya telah salah menentukan tiba ke tempat celaka ini!”
*
* *
* *

SEMBILAN
Tak usang lagi matahari akan segera terbit menerangi jagat. Tua Gila yang tengah berlari cepat tiba-tiba mencicipi dadanya sakit , kepalanya berat dan pemandangannya berkunang. Tubuhnya terasa panas seolah dipanggang. Di bawah sebatang pohon orang tua ini hentikan larinya , duduk menjelepok di tanah bersandar ke pohon. Tua Gila gerakan tangan kanannya ke dada. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melenyapkan rasa sakit di kepingan itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya bergerak ke pundak kiri. Dia menyentuh sesuatu. Terkejutlah si kakek. Ternyata keris merah api Datuk Angek Garang masih menancap di situ.“Senjata jahanam…. Pasti mengandung racun jahat! Kalau saya tidak segera mendapatkan obat penolak racun tamatlah riwayatku! Setan betul! Begitu banyak urusan yang harus kuhadapi , mengapa saya mesti mampus lebih cepat…!” Tua Gila menyeringai.
Dengan tangan kanannya ia berusaha mencabut keris kecil yang menancap di pundak kirinya itu. Namun sebelum ia bisa melaksanakan tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan tak ampun lagi tokoh silat ini terkapar melingkar di tanah. Pingsan siap menuju sekarat!
Ketika matahari bergerak naik dan di arah timur serombongan burung terbang menembus awan kelabu seorang pejalan kaki nampak keluar dari kerapatan pepohonan. Ada beberapa ketaknormalan pada diri orang ini. Pertama ia mengenakan pakaian ringkas warna kuning atas bawah. Rambutnya hitam berkilat disanggul ke belakang. Dari keseluruhan wajahnya hanya sepasang mata dan sebagian keningnya saja yang kelihatan lantaran wajah itu sengaja dilindungi dengan sehelai kain cadar berwarna kuning!
Keanehan kedua sambil berjalan orang ini melantunkan bunyi nyanyian tanpa syair.
Dari mulutnya terus menerus terdengar bunyi mirip gema saluang (sejenis seruling yang umum terdapat di tanah Minang). Lagu yang dibawakannya meski sulit diduga lagu apa tapi terang menyatakan perasaan sedih berhiba-hiba. Dan dari bunyi nyanyian itu terang diketahui bahwa orang bercadar kuning ini yaitu seorang perempuan. Dari rambutnya yang masih hitam agaknya ia belum terlalu berumur. Walau hal itu tidak sanggup dipastikan lantaran wajahnya yang terlindung.
Mendadak bunyi nyanyian wanita itu lenyap , berganti dengan satu keluhan pendek disertai tarikan nafas. Langkahnya terhenti begitu melihat sosok Tua Gila tergelimpang di bawah pohon.
“Tanah Jawa…. tanah Jawa…. Semakin jauh saya berjalan semakin banyak kutemui keganjilan. Hari ini saya melihat seorang tua terbujur sengsara di tengah jalan. Siapa gerangan orang tua ini…?”
Perempuan berpakaian serba kuning berjongkok di samping tubuh Tua Gila.
“Wajahnya tak kukenal. Sekujur kulitnya merah laksana dipanggang!” Lalu orang ini melihat keris merah kecil yang menancap di pundak kiri si kakek. “Hemmm…. Kalau senjata ini saya kenali betul. Ini yaitu keris merah api milik Datuk Angek Garang dari Andalas! Pasti sebelumnya telah terjadi perkelahian antara orang tua ini dengan si Datuk….”
Perempuan bercadar kuning berpikir sejenak. Dalam hati ia berkata lagi. “Menolong sesama kerabat walau tidak saling mengenal yaitu aturan dan peradatan rimba persilatan. Orang tua ini tengah sekarat. Kalau tidak kutolong niscaya ia akan menemui ajal. Paling usang umurnya hanya hingga matahari terbenam nanti.”
Berpikir begitu wanita bercadar kuning mengeluarkan satu kantong kain dari balik pakaiannya. Dari dalam kantong ini diambilnya dua jenis obat. Obat pertama berwarna kuning berbentuk butiran sebesar ujung kelingking. Obat kedua berupa bubuk juga berwarna kuning. Memasukkan obat ke dalam lisan orang yang pingsan semoga ia bisa menelannya bukan pekerjaan mudah. Perempuan bercadar menekan pipi Tua Gila yang cekung. Begitu mulutnya terbuka , butiran obat kuning dimasukkannya ke dalam mulut. Lalu dengan tangannya yang lain ia menotok tenggorokan Tua Gila. Dari lisan si kakek terdengar bunyi mirip ia bertahak. Obat kuning tertelan lewat tenggorokan , masuk ke dalam perutnya. Orang bercadar merasa agak lega sedikit. Obat berupa bubuk kuning ditebarkannya di pundak Tua Gila yang masih ditancapi keris merah api. Daging di sekitar tancapan keris yang tadinya berwarna merah dan infeksi perlahan-lahan menjelma biru. Ketika warna biru menjelma hitam pada ketika itulah orang bercadar mencabut keris yang menancap dari pundak Tua Gila.
Darah hitam dan bau anyir mengucur dari luka bekas bacokan keris. Perempuan bercadar duduk bersila di tanah. Sepasang matanya terus memperhatikan darah hitam yang mengucur. Sambil memperhatikan dari mulutnya kembali keluar bunyi nyanyian tanpa syair.
Darah hitam yang mengucur perlahan-lahan menjelma kemerahan. Suara nyanyian wanita itu semakin keras tanda hatinya lega. Munculnya darah segar menggantikan darah hitam berarti dalam tubuh si kakek kini tak ada lagi racun yang mengendap. Setelah menunggu beberapa usang lagi wanita bercadar kemudian menotok pundak kiri Tua Gila. Darah segar eksklusif berhenti keluar dari luka.
“Tugas menolong telah selesai. Aku harus meninggalkan tempat ini. Harus meninggalkan orang tua ini….”
Perlahan-lahan si cadar kuning berdiri. Dia menatap sekali lagi pada tubuh dan wajah Tua Gila kemudian memutar diri dan tinggalkan tempat itu. Dari mulutnya kembali keluar bunyi nyanyian berhiba-hiba.
“Tunggu!”
Tiba-tiba satu seruan terdengar di belakangnya. Perempuan bercadar kuning berpaling. Orang tua yang barusan ditolongnya dilihatnya telah duduk melunjur dan bersandar ke batang pohon di belakangnya. Kedua mata orang ini terpejam tapi tangan kanannya dilambaikan seolah memanggil.
“Ada apa orang tua…?” tanya wanita bercadar.
“Kau tuan penolongku! Mengapa pergi begitu saja sesudah menolong?”
“Hemm…. Apa maunya orang tua ini?” pikir si baju kuning. “Waktu kutolong terang ia pingsan berat. Waktu saya tinggalkan ia masih belum siuman. Bagaimana ia tahu saya yang menolongnya?!”
“Hai! Tuan penolongku! Kemari dulu!”
“Orang tua , kau berucap berbudi-budi. Aku yang awam jadi tidak mengerti. Aku bukan tuan penolong mirip yang kau ucapkan. Aku hanya kebetulan lewat dalam perjalanan.”
Tua Gila menyeringai kemudian tertawa.
“Orang tua aneh. Dalam keadaan begitu rupa masih bisa tertawa…” membatin si cadar kuning ,
“Kau tak mengaku telah menolongku! Itu tandanya kau berbudi luhur tidak punya pamrih. Aku suka hai itu. Satu lagi yang saya suka darimu yaitu gaya bahasamu. Kau bicara dengan kata-kata seakan-akan bait-bait pantun.”
“Orang tua kau bersalah sangka. Tak ada pertolongan tak ada apa. Kalau kau mau memuji itu membuktikan kau baik di lisan dan baik di hati.”
Tua Gila tertawa mengekeh. Saat itu kedua matanya masih terpejam. “Tuan penolongku , kau boleh menampik dibilang telah menolong. Tapi coba kau perhatikan tanganmu. Ada sedikit noda darah di sela jarimu. Pada salah satu kepingan pakaianmu juga ada noda darahku. Kalau kau tidak menolong bagaimana tangan dan pakaianmu kotor begitu rupa…? Hik… hik…hik!”
Wajah di balik cadar kuning jadi berubah kaget. Orang ini perhatikan kedua tangannya. Memang di situ ada noda darah. Lalu ketika ditelitinya pakaiannya , pada pinggiran baju sebelah kiri juga ada noda darah. “Aneh , kedua matanya masih terpejam , bagaimana ia bisa tahu ada noda di tangan dan bajuku?”
“Orang tua , pekertimu yang baik saya rasakan dari ucapan serta tawamu. Hanya sayang saya tak bisa memenuhi permintaanmu. Perjalananku masih panjang. Berbagai urusan masih menghadang….”
“Perempuan pintar berpantun. Jika kau tak mau berlama-lama di tem pat ini saya benar-benar merasa sedih. Tapi saya mesti bilang apa. Sebelum pergi maukah kau memberi tahu siapa nama atau gelarmu?” Sambil bertanya begitu perlahan-lahan Tua Gila buka sepasang matanya.
“Ketika lahir konon orang tuaku tak memberi nama. Setelah besar rimba persilatan tidak memberi gelar apa-apa. Aku hanyalah aku. Dalam diriku yang ada hanyalah aku….”
“Kalau kau segan memberi nama tak jadi apa. Biarlah kau kukenang dengan nama Dewi Penolong Bercadar Kuning…”
Mendengar ucapan Tua Gila wanita bercadar tertawa kemudian berkata. “Hari ini kau menganggap saya penolongmu. Di lain ketika mungkin kita menjadi seteru. Kau tak tahu siapa diriku. Aku tak tahu siapa dirimu.”
“Eh , mengapa kau berkata begitu?” tanya Tua Gila.
“Rimba persilatan dunia penuh petaka. Hari ini berbuat baik , besok bisa berbuat dosa. Hari ini menjadi mitra , besok menjadi lawan. Hari ini se-seorang bisa tertawa dalam senang , lusa mungkin menangis dalam sengsara….”
Mau tak mau Tua Gila jadi tercekat mendengar ucapan tuan penolongnya itu. Dia menggaruk kepalanya yang ditumbuhi rambut putih tipis kemudian menghela nafas panjang.
“Duka sengsara , senang bahagia. Itu menjadi kepingan setiap insan yang hidup di dunia. Hari ini saya berbahagia lantaran ada seorang berbudi luhur menyelamatkan jiwaku. Tapi sekaligus saya merasa sedih lantaran tidak tahu siapa ia adanya. Juga lebih sedih lagi lantaran tidak tahu bagaimana tua bangka ini harus membalas budi….”
“Orang tua , lupakan segala balas budi. Semua perbuatan menjadi catatan Tuhan Yang Maha Tinggi. Sebagai insan biasa jangan berharap budi dibalas budi. Dasar kehidupan insan justru yaitu berbalas kasih….”
“Ah , semakin tidak tahu saya mengartikan ucapan wanita yang serba berpantun ini!” kata Tua Gila dalam hati.
“Orang tua , saya besar hati melihat kau sembuh. Kalau langit masih biru , selama ombak masih memecah pantai kita niscaya bertemu….”
“Pantun lagi! Pantun lagi!” ujar Tua Gila dalam hati. Lalu ia berkata. “Tuan penolong yang saya panggil dengan sebutan Dewi Penolong Bercadar Kuning. Tadi kau bilang banyak sekali urusan masih menghadang. Jika kau mau memberi tahu mungkin saya bisa menolong.”
“Terima kasih atas budi baikmu. Tapi saya yaitu aku. Aku hanyalah aku. Urusanku yaitu urusanku. Paling pantang bagiku menciptakan orang lain jadi terganggu….”
“Aku hanya khawatir…. Rimba persilatan penuh dengan banyak sekali kebijaksanaan kancil dan kekejaman. Jika kau hingga celaka…. Tapi sudahlah. Orang berkepandaian tinggi sepertimu tentu bisa menghadapi segala marabahaya….”
“Tak ada yang lebih tinggi daripada Tuhan Yang Kuasa. Tak ada yang lebih bisa daripada Tuhan Yang Esa. Manusia hanya meminta proteksi padaNya. Bahagia sengsara tiba silih berganti. Tinggal insan yang akan memilih.”
Tua Gila angguk-anggukkan kepala. “Dewi Penolong Bercadar Kuning. Aku ucapkan selamat jalan padamu. Aku berdoa untuk keselamatanmu!”
“Terima kasih orang tua. Sebelum pergi satu hal perlu kau ketahui. Jangan berdiri sebelum matahari mencapai titik tertinggi. Tubuhmu masih lemah. Tunggu hingga kekuatanmu bertambah. Selamat tinggal….!”
Tua Gila mengangguk lagi dan lambaikan tangannya. Hanya sesaat saja wanita bercadar kuning itu berlalu tiba-tiba semak belukar di balik pohon besar terkuak. Lalu sekali meloncat saja di hadapan Tua Gila tegaklah sesosok tubuh berjubah hitam rambut putih riap-riapan di bawah topi berkeluk berwarna merah dihias benang merah.
Sepasang mata Tua Gila yang cekung lebar laksana melesak ke dalam dan tambah besar ketika mengenali siapa adanya orang itu.
“Sabai…” desis Tua Gila.
Tengkuknya eksklusif dingin. Dia coba berdiri. Tapi mirip yang dikatakan wanita bercadar kuning tadi , ternyata ketika itu tubuhnya memang sangat lemah akhir racun keris merah api Datuk Angek Garang yang sempat menancap di pundak kirinya. Ketika ia mencoba berdiri tubuhnya serta merta jatuh terduduk kembali!
Tua Gila cepat meraba pinggangnya di mana tersimpan senjata yang paling diandalkannya yaitu benang sakti Benang Kayangan. Orang di hadapan Tua Gila menyeringai.
“Apa kau kira kali ini kau bisa lolos dari kematian Sukat Tandika?!”
“Kau bisa membunuhku! Tapi saya menentukan kita mati bersama! Ha… ha… ha!”
*
* *
* *

SEPULUH
Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh. “Siapa sudi jalan ke neraka bersama tua bangka bejat sepertimu!” katanya kemudian meludah ke tanah. Tua Gila balas dengan tawa bergelak.“Hukuman memang layak kau jatuhkan atas diriku. Tapi sesudah saya mati apa kau akan mendapatkan kepuasan dalam hidupmu? Kau sendiri sudah tua Sabai! Mengapa berperilaku mirip belum dewasa tapi mengumbar racun dendam kesumat tanpa perhitungan!”
“Aneh , dulu kau menyatakan pasrah menghadapi kematian! Hari ini tampaknya kau ingin hidup seribu tahun lagi! Agaknya ada wanita gres yang akan kau jadikan korban kebusukan cinta bejatmu?!”
“Kau mau membunuhku silahkan. Lebih cepat lebih baik! Tapi ada satu hal yang perlu saya beritahu padamu….”
“Setan! Rahasia apa yang kau ketahui mengenai diriku! Aku tak punya rahasia apaapa. Kecuali ingin membunuhmu semenjak puluhan tahun lalu!”
“Aku tahu kau bergotong-royong tidak sejahat dan sebuas ini Sabai. Ada seseorang mengendalikan dirimu. Sadar atau tidak sadar kau telah dipergunakan orang….”
“Tua bangka bermulut busuk!” teriak Sabai Nan Rancak. “Kau mencari dalih untuk menutupi kebejatanmu di masa muda!”
“Tenang Sabai. Aku akan segera mati di tanganmu , itu sudah jelas. Tapi apa kau sadar bahwa segala perbuatanmu yang dikendalikan orang lain akan mengacaukan rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa? Kau tengah diperalat seseorang Sabai….”
“Jahanam! Katakan siapa orangnya!”
“Aku tidak tahu , tapi saya merasakan. Kau yang lebih tahu!’ jawab Tua Gila.
“Kalau begitu lebih baik kau mampus saja ketika ini! Tapi sebelum kau kukirim ke neraka , ada satu hal ingin kutanyakan. Bagaimana kau bisa bebas dan melarikan diri waktu di Andalas tempo hari? Siapa yang menolongmu?!”
Tua Gila menyeringai kemudian kakek ini luruskan jari telunjuk tangan kanannya dan menunjuk ke langit.
“Dia Yang Maha Kuasa yang menolongku!” kata Tua Gila. Seperti diketahui yang menolong Tua Gila ketika itu yaitu Puti Andini , murid dan cucu Sabai Nan Rancak yang merupakan juga cucu Tua Gila sendiri.
Mulut Sabai Nan Rancak berkomat-kamit. Dia maju satu langkah seraya berkata.
“Saatmu sudah tiba Sukat!”
“Silahkan! Sudah kukatakan lebih cepat saya kau bunuh lebih baik jadinya! Tapi….Ada satu hal lagi. Dalam hidupmu selain ingin membunuhku , apakah kau pernah menginginkan sesuatu menjadi milikmu? Sebuah benda sakti mandraguna?”
Muka keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah berkeriput lantaran mengernyit.
“Apa maksudmu?! Apa kau kira bisa memperpanjang umurmu dengan bicara segala macam hal ngawur?!”
“Kalung Permata Kejora , Sabai. Kau ingat kalung sakti itu? Kalung berantai perak bermata hijau?!”
Sabai Nan Rancak tak sadar tersurut satu langkah saking kagetnya mendengar ucapan Tua Gila. Sebaliknya si kakek tertawa gelak-gelak.
“Menurut riwayat kau tidak bisa membunuhku kalau tidak menggunakan kalung sakti itu. Apakah kau sudah mempunyai benda itu kini Sabai…?”
“Soal kematianmu bukan ditentukan oleh segala macam kalung! Tapi saya yang menentukan!” hardik Sabai Nan Rancak. Lalu ia bergumam. “Hemmm…. Di mana kau sembunyikan kalung itu Sukat? Kalau kau tidak memberitahu kucabut lidahmu sebelum kau kubuat mampus!”
“Aku tidak akan memberitahu walau kau mencabut segala kepingan tubuhku! Ha… ha…ha!”
Seperti diketahui Kalung Permata Kejora berada di tangan Ratu Duyung. Sang Ratu menemukan benda itu di maritim sewaktu menolong Tua Gila dari serangan Sika Sure Jelantik.
“Kau beritahu atau tidak bagiku sama saja!” kata Sabai Nan Rancak walau kini hatinya bercabang dua. Yaitu apakah ia memang harus segera membunuh Tua Gila atau menyiksa bekas kekasihnya itu hingga ia mengaku di mana beradanya Kalung Permata Kejora.
“Nasibmu buruk Sukat! Kau harus mampus ketika ini juga! Aku akan buktikan bahwa tanpa kalung itu saya akan sanggup membunuhmu!”
Habis berkata beg itu Sabai Nan Rancak keluarkan bentakan kemudian tubuhnya berkelebat , melayang setinggi pinggang. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Tua Gila. Walau keadaannya sangat lemah ketika itu namun Tua Gila masih sanggup luncurkan tubuhnya ke bawah sambil miringkan kepala ke kiri. Tendangan Sabai Nan Rancak menderu seujung jari di samping pendengaran kirinya.
“Braakk!”
Terdengar bunyi patahnya pohon besar yang tadi jadi sandaran Tua Gila. Pohon yang patah itu kemudian tumbang dengan bunyi bergemuruh.
Tua Gila gulingkan tubuhnya di tanah. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang telah memegang Benang Kayangan bergerak. “Seettt…. settt!” Benang sakti yang kehebatannya telah menggegerkan dunia persilatan itu menderu melibat tubuh Sabai Nan Rancak. Namun gerakan Tua Gila sangat lambat akhir kehilangan daya kekuatan. Dengan gampang lawan menangkap benang sakti itu. Lalu dengan satu gerakan kilat Sabai Nan Rancak me-lompat ke arah Tua Gila. Benang yang berhasil dipegangnya digelungkan ke dada terus ke leher si kakek. Tua Gila berusaha lepaskan diri tapi tidak mampu. Jiratan benang sakti miliknya sendiri laksana sayatan pisau , mulai melukai kulit lehernya.
“Percaya ucapanku Sukat! Bukan hanya Kalung Permata Kejora yang sanggup menghabisimu! Benang sakti milikmu sendiri ternyata yang akan membunuhmu! Hi… hik…hik!”
Sabai Nan Rancak putar dua tangannya. Dua kaki Tua Gila melejang ke atas akhir jiratan mematikan itu. Dua matanya yang cekung mirip hendak melompat keluar. Lidahnya terjulur mengerikan. Dari lehernya keluar bunyi mirip ayam dipotong. Sesaat lagi leher Tua Gila akan putus akhir jiratan maut itu tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat. Bersamaan dengan itu ada cahaya kuning laksana tebaskan pedang menerpa dari atas ke bawah mirip hendak membelah Sabai Nan Rancak mulai dari batok kepala hingga ke dada! Sabai Nan Rancak berteriak marah. Dari hawa hambar yang menyertai sambaran cahaya kuning itu ia segera maklum kalau serangan yang menerpanya tidak bisa dianggap sepele. Dia terpaksa lepaskan jiratan di leher Tua Gila. Bersamaan dengan itu didahului bentakan keras Sabai Nan Rancak hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar merah melesat lurus kemudian menebar membentuk kipas. Si nenek tidak tanggung-tanggung. Bukan saja ia berusaha menyelamatkan diri tapi sekaligus juga menyerang lawan dengan pukulan sakti berjulukan Kipas Neraka!
“Bummm!”
Satu ledakan keras menggelegar.
Sabai Nan Rancak terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit. Dia coba bertahan semoga tidak jatuh. Namun lutut kirinya goyah. Nenek ini akibatnya terduduk setengah berlutut.
Waktu ledakan keras menggelegar tubuh Tua Gila yang kerempeng itu terguling hingga dua tombak. Begitu ia mencoba bangun mendadak ada sambaran angin. Tahu-tahu tubuhnya sudah digendong orang kemudian orang ini melarikannya dengan cara yang aneh. Tubuhnya mirip diajak melompat-lompat. Setiap lompatan menciptakan sosok orang yang menggendongnya melayang di udara sejauh tiga tombak. Dalam beberapa kejapan mata saja Tua Gila sudah dibawa lari jauh. Ketika Sabai Nan Rancak berhasil berdiri kembali , Tua Gila tak ada lagi di tempat itu.
“Ada seseorang menolongnya!” desis si nenek sambil usap-usap mukanya yang keriputan. Hatinya seribu gemas seribu jengkel. “Gerakan si penolong begitu cepat. Sambaran angin yang berasal dari tenaga dalamnya luar biasa. Aku teringat pada insiden yang dialami muridku Puti Andini. Tidak heran kalau dulu ia gagal mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa , gagal membunuh Tua Gila. Tanah Jawa penuh para tokoh sakti.
Bagaimana saya harus menuntaskan semua urusan ini? Tua Gila keparat! Urusan dengan dirinya belum selesai , ia menggantung duduk masalah dengan membawa masalah baru. Kalung Permata Kejora. Ah , di mana benda itu beradanya sekarang? Mungkin ia yang menyembunyikan? Puluhan tahun kemudian kalung itu kuberikan pada seseorang untuk disampaikan pada anakku Andam Suri. Tapi orang itu tak pernah muncul lagi. Tak sanggup kupastikan apakah kalung tersebut hingga di tangan Andam Suri. Aku sendiri tidak pernah melihat anakku hingga dikabarkan ia meninggal dunia….”
Sabai Nan Rancak merasa tubuhnya letih sekali. Dia mencari tempat yang baik untuk duduk. Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak terang apa yang diperbuat nenek dari Singgalang ini. Entah tengah kesal lantaran tidak sanggup membunuh Tua Gila. Mungkin juga sedih merenungi nasib. Mungkin juga tengah menitikkan air mata.
*
* *
Tua Gila terbatuk-batuk kemudian ia tertawa mengekeh begitu tubuhnya digulingkan di tanah. Dia berusaha duduk di tanah dan memandang ke depan.* *
“Kau lagi!” katanya dengan mata membelalak kemudian tertawa gelak-gelak.
“Orang tua. Jangan mencari ancaman baru. Orang yang menginginkanmu belum berada jauh. Jika ia sempat mendengar tawamu niscaya ia kembali membuatmu celaka!”
Tua Gila tekap mulutnya kemudian tertawa cekikikan.
“Dua kali kau menyelamatkan jiwaku!”
“Siapa nenek berjubah hitam? Yang begitu ingin membunuhmu tanda ada dendam terpendam?!”
Tua Gila geleng-gelengkan kepalanya. “Urusan lama. Kalau saja nenek tolol itu mau berpikir sedikit tidak perlu semua ini terjadi….”
“Jalan pikiran insan berbeda-beda. Di antara perbedaan itulah muncul malapetaka! Semua orang menjadi gila! Semua orang jatuh dalam sengsara!”
Tua Gila menghela nafas dalam kemudian berkata. “Aku tahu , kau tidak akan mau mendapatkan terima kasihku. Aku juga tahu kau tidak akan mau memberitahu namamu. Kalau begitu biar saya meminta yang lain saja. Maukah kau menyingkapkan cadar kain kuning yang menutupi mukamu semoga saya bisa melihat wajahmu?”
“Hal itu tidak bisa saya lakukan. Hal ini bukan saya punya kemauan. Keadaanlah yang memaksaku berbuat demikian ,” jawab si cadar kuning tetap dengan kata-kata bernada pantun.
“Baiklah , saya tidak memaksa. Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Tua Gila.
“Seperti tadi kukatakan. Jangan bergerak sebelum matahari mencapai puncak kepala. Jangan hingga hal itu terlupakan. Kecuali kau mau mencari celaka…”
“Nasihatmu akan kuperhatikan Dewi Penolong Bercadar Kuning ,” kata tua Gila seraya kedap-kedipkan sepasang matanya yang lebar dan cekung.
*
* *
* *

SEBELAS
Malam telah larut. Di kejauhan terdengar banyak sekali bunyi hewan malam. Suara tetesan air di dalam gentong yang jatuh ke watu di atasnya makin usang terdengar makin perlahan dan dalam jarak yang lebih panjang. Sepasang mata Klewing yang merah tapi redup kelihatan membesar ketika ia melihat sepasang kaki yang semenjak sekian usang membisu tak bergerak , tiba-tiba bergoyang. Tengkorak bayi yang diikatkan ke pergelangan kaki kiri kanan berputar ajaib mengeluarkan bunyi mirip puput padi.Dua puluh hari lebih menunggu bukan waktu yang singkat. Keadaan Klewing sudah tak karuan rupa. Kepalanya yang botak mulai bertumbuhan rambutnya. Kumis dan cambang bawuknya meliar. Pipinya cekung. Jubah merahnya kotor dan bau. Kedua mata Klewing semakin membesar ketika disaksikannya bagaimana tubuh di dalam gentong secara ajaib bergerak ke atas seolah melayang. Lalu tampaklah satu sosok tubuh lelaki penuh bulu yang hanya mengenakan sehelai cawat. Rambutnya yang berair hitam menyatu dan mengucurkan air. Di lehernya tergantung kalung terbuat dari tulang jari-jari manusia!
Di malam buta itu mendadak terdengar suitan keras dari tiga jurusan. Lalu terdengar bunyi genderang ditabuh. Bersamaan dengan itu dari tiga arah nampak sinar terang puluhan obor.
”Air dalam gentong telah habis! Datuk Lembah Akhirat telah selesai menjalankan samadi yang keseratus sembilan puluh tiga! Siapkan upacara penyambutan!”
Pedataran luas di sentra lembah di mana gentong kayu besar terletak kini diramaikan oleh puluhan orang. Klewing sama sekali tidak memperhatikan orang-orang itu. Perhatiannya tertuju pada sosok yang barusan keluar dari dalam gentong. Setelah melayang di udara , perlahan-lahan sosok tubuh tinggi besar penuh bulu dan hanya mengenakan cawat itu melayang turun. Lalu tegak di ujung tangga watu di depan gentong.
Tokoh Kembar nomor 3 memandang tak berkesip. Orang yang berair kuyup itu berdiri dengan mata terpejam.
“Tenaga dalamnya tinggi sekali” kata Klewing dalam hati antara kagum dan ngeri.
“Kalau tidak mana mungkin ia bisa keluar dari dalam gentong laksana melayang. Apa lagi bobot tubuhnya demikian besar!”
Sesaat kemudian dua orang tiba berlari-lari. Yang satu membawa kasut terbuat dari kulit. Satunya lagi membawa seperangkat pakaian berbentuk jubah hitam , lengkap dengan kain hitam pengikat kepala. Meskipun wajahnya yang garang tertutup kumis , jenggot dan cambang bawuk liar namun Klewing sanggup melihat bahwa orang yang barusan keluar dari gentong itu mempunyai muka tiga warna yaitu , hitam , hijau dan merah. Inilah ia Datuk Lembah Akhirat. Penguasa daerah lembah sebelah barat telaga Gajahmungkur yang semenjak beberapa ini usang menjulang namanya dalam dunia persilatan lantaran diketahui mempunyai kitab sakti berjulukan Kitab Wasiat Malaikat. Tersebar dalam rimba persilatan bahwa sang Datuk akan menyerahkan kitab itu pada siapa yang dianggapnya berjodoh asalkan dari golongan putih.
Suara genderang semakin keras ketika kasut disorongkan ke kaki orang dan jubah hitam dikenakan ke tubuhnya yang tinggi besar. Bersamaan dengan itu seseorang menyipratkan semacam wewangian ke tubuh dan pakaian orang itu. Perlahan-lahan Datuk Lembah Akhirat buka sepasang mata di bawah dua alisnya yang sangat tebal menjulai. Suara genderang ditabuh semakin riuh. Lalu seolah ada yang memberi isyarat bunyi genderang itu menjadi perlahan hingga akibatnya sirap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya bunyi genderang maka enam orang pengawal Lembah Akhirat muncul menggotong sebuah dingklik , sebuah meja besar penuh dengan banyak sekali minuman dan santapan besar.
Begitu duduk di atas dingklik Datuk Lembah Akhirat menyambar sebuah guci tanah berisi minuman keras kemudian meneguknya hingga habis. Setelah itu ia mulai menyantap hampir semua yang terhidang di atas meja tanpa mengacuhkan mereka yang ada di sekitarnya.
Selesai makan Datuk Lembah Akhirat lunjurkan sepasang kakinya. Tangan kanan mengusap perut , tangan kiri menyeka mulut. Tiba-tiba Datuk ini bertepuk tiga kali seraya berteriak.
“Kalian berani mendapatkan mati! Kalian berani menyuruh saya menunggu!” Meja di hadapannya digedor dengan tangan kanan. Tak ampun lagi meja itu ambruk. Apa yang ada di atasnya bermentalan berantakan.
Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat yaitu Pengiring Mayat Muka Hitam , Hijau dan Merah cepat tiba ke hadapan sang Datuk kemudian menjura. Si muka hitam cepat berkata.
“Ketiduran sudah disiapkan. Teman tidur sedang menuju ke sini. Datuk hanya tinggal memilih!”
Datuk Lembah Akhirat kibaskan tangan kirinya. Tiga wakil segera undurkan diri. Di ketika itu enam orang pengawal muncul bersama tiga orang wanita muda yang kesemuanya bertubuh gemuk dan mengenakan jubah yang tak terikat atau tak terkancing hingga sebagian auratnya sebelah depan terlihat jelas.
“Datuk , silahkan menentukan di antara mereka bertiga!” Pengiring Mayat Muka Hitam berkata dari samping meja yang ambruk.
Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Bola matanya membeliak menatapi tiga gadis bertubuh gemuk itu satu persatu. Gadis paling kanan berambut pendek sebahu. Mukanya lingkaran dan dandanannya mencorong. Ketika tertawa kelihatan gigi-giginya dilapisi perak. Bentuk tubuhnya membuntal gembrot mulai dari atas hingga ke bawah.
Sang Datuk alihkan pandangannya pada gadis gemuk di sebelah tengah. Gadis ini mempunyai rambut panjang dilepas riap-riapan. Di sebelah atas tubuhnya membusung gembrot penuh lemak. Seolah tak mempunyai pinggang , di sebelah bawah kembali tubuhnya membengkak besar. Kulitnya hitam manis seolah berminyak. Dia berdiri sambil lemparkan senyum genit. Datuk Lembah Akhirat basahi bibirnya dengan ujung lidah. Lalu matanya dialihkan pada gadis ke tiga. Gadis satu ini walaupun gemuk luar biasa tapi tubuhnya lebih tinggi dari dua gadis lain. Dada dan pinggulnya mirip menggembung. Caranya berdiri menciptakan betis dan sebagian pahanya tersingkap. Perutnya yang juga tak sanggup disembunyikan kelihatan berlipat-lipat. Dibandingkan dengan dua gadis gemuk lainnya yang satu ini mempunyai wajah menarik walau jidatnya lebar.
“Hanya tiga orang ini?!” Datuk Lembah Akhirat bertanya pada Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Kami cuma mendapatkan tiga yang baru. Dua lagi masih dalam perjalanan. Hanya Datuk keburu menuntaskan samadi. Mohon maafmu Datuk….”
“Siapa kowe punya nama?!” Tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat menuding tepat-tepat pada gadis ketiga yang tinggi gemuk.
Saking terkejutnya yang ditanya sesaat tak bisa menjawab.
“Datuk menanyakan namamu. Lekas jawab! Jangan menciptakan Datuk kehilangan kesabaran , menjadi murka dan kehilangan nafsu! Kau bias dijadikan umpan anjing-anjing peliharaannya!” membentak Pengiring Mayat Muka Merah.
“Nama saya Yuyulentik , Datuk…” Perempuan gemuk yang ditanya akibatnya menjawab.
“Apamu yang lentik! Kulihat bulu matamu tidak lentik!” kata Datuk Lembah Akhirat pula. Lalu tertawa gelak-gelak. Perlahan-lahan ia bangun dari kursinya. “Bawa Yuyulentik ke kamar ketiduranku!” kata sang Datuk pula. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung ia berjalan menuju ke sebuah bangunan di ujung pedataran.
Pengiring Mayat Muka Hijau segera mendekati gadis gemuk berjulukan Yuyulentik. Sebelum menuntun gadis gemuk ini ia berbisik. “Kau terpilih melayani Datuk selama satu animo sebelum ia kembali bersamadi. Nasibmu baik , rejekimu besar. Awas , jangan lupa membagi-bagi apa yang kau sanggup pada kami bertiga…!”
Yuyulentik anggukkan kepala. Lalu melangkah saja mengikuti ke mana si muka hijau itu membawanya.
Ketika hampir hingga di hadapan bangunan yang dituju tiba-tiba satu sosok berjubah merah tiba menyongsong dan menjura di hadapan Datuk Lembah Akhirat. Dua wakil Datuk yakni si muka hitam dan muka merah segera hendak mendamprat. Tapi Datuk Lembah Akhirat memberi isyarat dengan tangan. Dua pembantu terpaksa hentikan langkah tak berani membentak.
“Monyet bau berjubah merah berkepala kuning! Aku tak punya waktu lama. Siapa namamu , apa keperluanmu!”
“Aku Klewing , orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar yang kini hanya tinggal nama saja. ,..” Lalu dengan cepat Klewing menceritakan riwayatnya. Tak lupa juga menerangkan tujuannya tiba ke situ.
Datuk Lembah Akhirat tertawa. “Soal Kitab Wasiat Malaikat yang kau inginkan itu , jikalau memang berjodoh dengan dirimu niscaya akan menjadi milikmu! Namun untuk mendapatkan kitab sakti itu banyak persyaratannya! Apa kau bisa melakukan?!”
“Karena sudah punya tekad , apa pun yang Datuk perintahkan akan saya lakukan!” jawab Klewing tanpa ragu.
Sang Datuk menyeringai. “Pertama kau harus membunuh seorang tokoh golongan putih. Lalu menyebar kabar bahwa yang membunuh tokoh itu yaitu seorang tokoh golongan putih lainnya! Sanggup?!”
“Aku sanggup melaksanakan Datuk!”
“Bagus! Kau punya dendam pada beberapa tokoh golongan putih. Terutama yang telah membunuh tujuh saudaramu. Aku akan memilihkan calon korban untukmu. Kau sanggup membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng?!”
Klewing belakang layar agak terperangah lantaran tidak menerka ia akan disuruh membunuh pendekar sakti itu. Tapi akibatnya ia mengangguk seraya berkata. “Akan saya lakukan Datuk….”
“Lalu siapa tokoh yang akan kau fitnah sebagai pembunuh Pendekar 212?!” tanya Datuk Lembah Akhirat pula.
“Dewa Tuak!” jawab Klewing.
“Hemmm… Kenapa Dewa Tuak?” bertanya Datuk Lembah Akhirat.
“Karena dari apa yang saya ketahui tokoh tua itu bermaksud menjodohkan muridnya dengan Pendekar 212. Tapi sang pendekar menolak dengan cara yang memalukan hingga Dewa Tuak menjadi marah!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia berpaling pada tiga orang wakilnya.
“Tuyul kepala kuning ini ternyata cerdik juga! Kita perlu orang-orang golongan putih mirip dia!”
Tiga wakil sang Datuk hanya anggukkan kepala.
Sang Datuk berpaling pada Klewing. “Selesai tugasmu membunuh Pendekar 212 , kau eksklusif menyeberang ke pulau Andalas. Cari seorang tokoh silat yang disegani dan bunuh. Lalu sebarkan kabar bohongi bahwa yang membunuh yaitu seorang tokoh silat golongan putih lainnya! Kau mengerti?!”
“Aku mengerti Datuk!” jawab Klewing.
“Sekarang ulurkan tangan kananmu! Buka telapak tanganmu lebar-lebar.”
Klewing ulurkan tangan kanannya dan membuka telapaknya lebar-lebar sambil dalam hati bertanya apa yang hendak dilakukan oleh sang Datuk.
“Aku memberimu tiga warna. Hitam , hijau dan merah. Warna mana yang paling kau sukai?!”
“Merah!” jawab Klewing.
Tangan kanan Datuk Lembah Akhirat tiba-tiba melesat ke depan , mencengkeram tangan Klewing demikian rupa hingga telapak tangannya melekat erat dengan telapak tangan si botak kepala kuning itu. Satu cahaya merah membersit keluar dari tangan sang Datuk. Klewing merasa tangannya mirip terseduh air mendidih. Ketika Datuk Lembah Akhirat melepaskan pegangannya Klewing melihat bagaimana kini telapak tangannya telah berubah seolah dicat dengan cat merah yang tak bisa dikelupas!
“Kau sudah menjadi orang kepercayaanku Klewing. Kau sudah menjadi anggota kelompok Lembah Akhirat! Berarti kau harus menjalankan bulat-bulat segala apa yang saya perintahkan tanpa berani melanggar!”
“Aku tak akan melanggar segala perintah Datuk. Aku siap berangkat kini juga untuk melaksanakannya ,” kata Klewing pula.
“Bagus , tapi apa jaminanmu kau tidak bakal berkhianat?!”
“Aku berani bersumpah. Menyerahkan nyawa jikalau Datuk menghendaki!” jawab Klewing pula penuh semangat.
Sang Datuk ganda tertawa dan berkata. “Banyak sumpah diucapkan. Banyak kesepakatan dikumandangkan. Banyak nyawa dijadikan petaruh. Tapi seringkali semua itu hanya isapan jempol belaka! Aku tidak mau berlaku tolol! Di Lembah Akhirat ada cara tersendiri untuk menciptakan seorang anggota setia pada kelompok dan saya selaku penguasa tunggal.”
“Kalau begitu aturannya saya akan mengikuti ,” kata Klewing.
“Bagus!” ujar Datuk Lembah Akhirat seraya menyeringai. “Kau harus menyerahkan barangmu padaku! Bila mana semua urusan selesai , kau bukan saja akan mendapatkan beberapa inti ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat , tetapi barangmu juga akan dikembalikan. Kau kemudian akan kujadikan wakil penguasa tunggal Lembah Akhirat di daerah tertentu! Setuju?!”
“Setuju Datuk. Hanya saya tidak mengerti barang apa yang harus saya serahkan padamu?”
Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak.
Datuk Lembah Akhirat maju mendekati. Tiba-tiba tangan kanannya melesat ke bawah perut Klewing. Orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar ini tak merasa sesuatu apa kecuali digerayangi hawa hambar yang aneh. Datuk Lembah Akhirat menarik tangan kanannya kembali. Sesuatu kini tergenggam di dalam tangannya. Dia berpaling pada Pengiring Mayat Muka Merah yang ketika itu sudah siap dengan sebuah kantong kain berwarna merah. Datuk Lembah Akhirat memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam kantong merah.
Klewing tiba-tiba saja menjadi pucat wajahnya. Hawa hambar menjalar ke sekujur tubuhnya. Tangan kirinya meraba ke bawah perut. Dia terkejut besar. Tangan kanannya ikut meraba-raba. Pucat pasi muka si botak kuning ini. Tak perduli banyak orang di tempat itu ia menyingkapkan jubah merahnya. Matanya mendelik ketika melihat di bawah perutnya tak ada apa-apa lagi.
“Datuk…!” seru Klewing mirip hendak menggerung. “Apa yang kau lakukan padaku!”
“Kau dikebiri sementara Klewing. Kelak jikalau semua urusan sudah selesai dan kau jalankan dengan baik , mirip kataku tadi milikmu yang paling penting itu akan saya kembalikan. Kau boleh memintanya pada Pengiring Mayat Muka Merah. Tapi tidak ada jaminan bahwa barangmu itu tidak akan tertukar dengan barang orang lain! Ha… ha… ha…!”
Klewing merasa nyawanya seolah terbang. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Dengan terhuyung-huyung ia tinggalkan tempat itu. Datuk Lembah Akhirat masih tertawa bergelak. Tangan kanannya digelungkannya ke pinggang gembrot Yuyulentik. Sebelum masuk ke dalam bangunan ia bertanya pada tiga wakilnya yang bermuka hijau , hitam dan merah itu.
“Selama saya bersamadi apakah Dewa Sedih telah melaksanakan tugasnya?!”
“Sudah Datuk ,” jawab Pengiring Mayat Muka Hitam. “Dia telah membunuh dua tokoh silat golongan putih. Mayat kedua orang itu belum usang kami musnahkan menjadi debu dan para pengawal telah membuangnya di dua tempat.”
“Bagus. Kalian tahu di mana kakek sakti itu kini berada?”
“Sesuai petunjuk Datuk ia dipersiapkan untuk menyeberang ke Pulau Andalas untuk menciptakan kekacauan di sana. Saat ini ia masih berada di tempat peristirahatan di selatan Lembah Akhirat.”
Datuk Lembah Akhirat mengangguk-angguk. “Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing…. Kalau tiba saatnya saya akan menyuruh kalian memanggil Dewa Sedih ,” kata Datuk Lembah Akhirat pula kemudian membawa si gemuk Yuyulentik masuk ke dalam bangunan.

DUA BELAS
Hari itu yaitu hari ke-70 Pendekar 212 Wiro Sableng kehilangan kekuatan dan kesaktiannya. Yaitu sebagai akhir menolong melepaskan Ratu Duyung dari kutukan yang selama bertahun-tahun membuatnya menjadi makhluk setengah insan setengah ikan. Di pagi hari yang cerah itu Wiro gres saja membasuh muka di sebuah mata air di sebelah timur hutan Delanggu. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit akhir bantingan dan pitingan Si Raja Penidur kemarin. Saat ini ia belum mengenakan baju putihnya tapi telah menggunakan jubab Kencono Geni yang diberikan Raja Penidur. Kapak Naga Geni 212 dan watu hitam pasangannya yang kini tak ada artinya lagi semenjak ia kehilangan tenaga dalam , terselip di pinggang celananya. Wiro duduk di tepi mata air sambil merenung.“Jubah ini niscaya dicurinya dari keraton. Diberikan padaku semoga kupakai untuk melindungi diri dari siapa saja yang bermaksud jahat. Selama jubah ini ada padaku saya tak akan mempan gebukan , pukulan sakti ataupun senjata tajam. Aku harus berterima kasih pada kakek gendut itu. Namun yang saya tidak mengerti yaitu ucapannya. Dia berkata: Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini!”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk rambutnya yang basah. “Aku tak bisa berpikir memecahkan arti ucapannya itu. Satu ketaknormalan lagi semenjak ia memitingku rasa kantukku selalu tiba menyerang. Jangan-jangan saya sudah ketularan penyakit tidurnya!”
Wiro menguap lebar-lebar. Lalu seolah mengomel ia berkata. “Masih begini pagi saya sudah ngantuk lagi! Padahal malam tadi tidurku cukup lelap dan lama…. Apa yang terjadi dengan diriku? Apa bergotong-royong yang dilakukan Si Raja Penidur itu?”
Wiro kenakan baju putihnya hingga jubah merah Kencono Geni kini terlindung di balik pakaian itu. (Mengenai jubah Kencono Geni sakti ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bahala Jubah Kencono Geni”)
“Perutku lapar. Tapi rasa mengantuk tidak tertahankan. Gila!” Wiro bangun berdiri dan tinggalkan mata air. Dia sengaja berjalan cepat semoga kantuknya lenyap. Tapi semakin cepat ia berjalan , semakin banyak keringat yang keluar semakin berat terasa kepala dan matanya. Tubuhnya pun menjadi letih sekali. Karena tidak tahan akibatnya Wiro mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia mendapatkan satu tempat agak higienis di bawah sebatang pohon waru berdaun rindang. Langsung saja murid Sinto Gendeng ini rebahkan diri , berbaring setengah bersandar ke batang pohon. Tidak mirip biasanya kali ini begitu tertidur ia keluarkan bunyi mendengkur! Wiro agaknya benar-benar telah ketularan penyakit tidur Si Raja Penidur. Namun anehnya walau matanya terpejam dan dengkurnya menggembor keras , sayup-sayup ia masih bisa mendengar bunyi kicau burung di kejauhan. Itulah sebabnya ketika satu bayangan merah berkelebat , meski matanya terpejam , tubuhnya tak bergerak dan dengkurnya menjadi-jadi Pendekar 212 masih sanggup mendengar bunyi angin kelebatan orang yang datang.
Di hadapan Wiro ketika itu berdiri Klewing , satu-satunya Delapan Tokoh Kembar yang masih hidup dan telah menjadi anak buah Datuk Lembah Akhirat. (Mengenai Delapan Tokoh Kembar harap baca “Kiamat Di Pangandaran”).
“Nasibku baik , rejekiku besar. Belum usang mencari saya berhasil menemukan pendekar keparat ini. Kalau tidak lantaran ulahnya tujuh saudaraku tak bakal menemui ajal!”
Rahang si botak kepala kuning menggembung. “Pendekar keparat! Rasakan pembalasanku!”
Habis memaki begitu Klewing eksklusif lancarkan satu tendangan maut. Yang diarahnya yaitu kepingan bawah dagu Pendekar 212.
Sekejapan lagi tendangan itu akan menghancurkan rahang serta mematahkan tulang leher Pendekar 212 tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini menguap lebar kemudian mirip tak hirau balikkan tubuhnya ke samping. Tendangan maut Klewing lewat. Kalau tidak lekas ia merubah arah tendangannya kakinya akan menghantam batang pohon waru!
“Uaahhh…!” Wiro kembali menguap sementara matanya terus terpejam. Kaki kanannya dilunjurkan ke depan. Walau gerakannya tidak cepat dan tidak keras namun kaki itu sempat menyentuh kaki kanan Klewing yang berada dalam kuda-kuda mengimbangi dirinya. Karena sentra bobot tubuhnya terpengaruh hampir saja Klewing terjajar. Dengan geram dan sambil membentak ia melompat. Dari mulutnya terdengar teriakan “Menjungkir Langit!” Tangan kanannya diletakkan di atas kepala. Tangan kiri diluruskan ke depan dengan telapak terbuka. Lalu si botak ini meniup. Inilah ilmu kesaktian yang sangat diandalkan oleh kelompok Delapan Tokoh Kembar. Satu gelombang angin yang mengeluarkan bunyi deru sehebat air bah menyapu ke arah Pendekar 212!
“Uahhh!” Wiro Sableng lagi-lagi menguap. Tubuhnya miring dan berguling ke kiri.
Namun sekali ini gerakannya kurang cepat. Walau inti serangan lewat di atasnya namun sebagian angin serangan Klewing masih sempat menyapu tubuhnya. Tak ampun lagi Pendekar 212 mencelat mental hingga empat tombak.
Klewing cepat memburu ke tempat Wiro jatuh terkapar. Dia menerka sang pendekar niscaya sudah menemui ajalnya. Tapi alangkah kagetnya si botak ini ketika melihat Pendekar 212 duduk menjelepok di tanah. Matanya masih terpejam. Dia menguap dua kali berturutturut sambil garuk-garuk kepala!
Apakah yang telah terjadi? Bagaimana Wiro bisa selamat dari tiupan angin sakti Klewing yang sanggup menghancurkan watu besar itu?!
Ini semua berkat pertolongan Si Raja Penidur. Bantingan dan pitingan yang dilakukannya tempo hari terhadap Wiro yaitu untuk menyalurkan sebagian ilmunya yang bisa menciptakan Wiro mengeluarkan gerakan-gerakan ajaib ketika diserang walaupun ia berada dalam keadaan setengah tidur. Ilmu ini sangat cocok dengan keadaan Pendekar 212 yang ketika itu tanpa kekuatan tanpa kesaktian. Lalu dengan menyerahkan jubah sakti Kencono Geni yang kini digunakan Wiro , pukulan sakti atau senjata apa pun tidak akan bisa menciderai dirinya!
Sesaat Klewing tertegun sambil membatin. “Ilmu apa yang kini dimiliki pendekar keparat ini! Aku menyirap kabar ia telah kehilangan segala kesaktian! Mengapa kini ia masih sanggup bertahan terhadap serangan mautku?!”
Selagi Wiro menguap dan garuk-garuk kepalanya kembali si jubah merah ini lancarkan satu tendangan. Kali ini yang ditujunya yaitu Pendekar 212. Seperti tadi sesaat lagi tendangan itu akan menghancurkan kepala murid Sinto Gendeng , mendadak tubuh sang pendekar terhuyung ke kiri kemudian rebah ke tanah. Di sini ia menguap satu kali kemudian berguling ke kiri.
“Jahanam!” rutuk Klewing. Dia melompat. Dengan satu gerakan kilat kaki kanannya dihunjamkan ke perut Wiro.
“Hekkk!”
Pendekar 212 keluarkan bunyi mirip orang muntah. Klewing terbelalak. Hunjaman kakinya yang sanggup menjebol perut lawan ternyata tidak menciptakan sang pendekar cidera. Malah Klewing mencicipi ada satu kekuatan dahsyat menghantam keluar dari tubuh Wiro , membuatnya terlempar ke udara hingga dua tombak. Penasaran dari atas si botak ini kembali keluarkan ilmu kesaktiannya. Dia meniup dengan tenaga dalam penuh.
“Wuss!”
Satu gelombang angin menghantam. Tanah di bawah pohon terbongkar menjelma satu lobang besar. Pohon waru besar tumbang bergemuruh. Tapi Wiro sendiri lenyap entah ke mana. Ketika Klewing memandang berkeliling dilihatnya cowok itu duduk tersandar sambil garuk-garuk kepala pada sebatang pohon pisang hutan. Kedua matanya bergerak-gerak tapi masih tetap terpejam!
Merasa dipermainkan si botak nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar ini jadi semakin ganas. Dia kembali menerjang. Dua tangan dihantamkan ke depan. Tapi justru pada ketika itu gerakannya tertahan oleh selarik sinar ungu yang berkiblat bukan saja memapasi serangannya terhadap Wiro tapi sekaligus membuatnya terdorong hingga tiga langkah.
Memandang ke depan si botak berjubah merah ini menjadi terkejut. Dia dapatkan seorang dara berpakaian ungu , berwajah elok tegak di hadapannya sambil bertolak pinggang. Sebuah pita besar berwarna ungu menghiasi kepalanya. Lalu di lehernya melingkar sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Klewing tak pernah melihat atau mengenal gadis ini sebelumnya. Namun dari gerakannya memapasi serangannya tadi ia maklum kalau si elok ini mempunyai kepandaian tinggi.

TIGA BELAS
Gadis liar! Siapa kau?! hardik Klewing dengan mata berkilat-kilat. Bukan saja lantaran murka tetapi juga lantaran belakang layar garang melihat gadis elok ini. Dia lantas terbayang pada insiden sewaktu ia bersama saudara-saudaranya hendak memperkosa Puti Andini di Pangandaran dulu.“Uahhh!” Di bawah pohon Wiro terdengar menguap kemudian mendengkur. Klewing memaki dalam hati. Si gadis hanya melirik sebentar kemudian balas menghardik pada Klewing.
“Botak kepala tahi! Jaga mulutmu kalau tidak mau kurobek!”
Klewing tertawa lebar. “Apa urusanmu mencampuri duduk masalah orang!”
“Persoalanmu yang mana yang merasa saya campuri?!” tanya si gadis sambil kini berkacak pinggang dengan dua tangan sekaligus.
“Liar tapi tolol! Atau berpura-pura tolol! Mengapa kau menolong cowok yang
hendak saya bunuh itu!”
“Ohh… jadi kau hendak membunuh cowok yang sedang tidur dan tak berdaya itu!”
“Siapa bilang ia tidur dan tak berdaya! Dia justru mempunyai ilmu aneh! Ilmu tidur!”
Gadis berbaju ungu tertawa bergelak. “Baru sekali ini saya dengar ada ilmu tidur! Kau yang tolol! Tidak tahu dipermainkan cowok itu! Hik… hik… hik!”
Tampang si botak jadi merah padam.
“Aku memberi pengampunan padamu! Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Hemm…. Kau mengancam! Kalau saya tidak meninggalkan tempat ini apa yang hendak kau lakukan?!” Menantang gadis baju ungu kemudian perlahan-lahan tangannya bergerak menarik lepas selendang ungunya yang melingkar di leher. Pada ketika itulah Klewing melihat pada salah satu ujung selendang tergurat tiga buah angka. 212!
“Apa hubunganmu dengan Pendekar 212?!” Klewing usikan pertanyaan.
“Botak tolol! Pertanyaanku tadi belum kau jawab. Malah mengajukan pertanyaan! Ayo katakan apa yang hendak kau lakukan jikalau saya tidak pergi dari sini!”
“Nasibmu bakal sama dengan cowok itu. Aku akan membunuhmu! Malah mungkin lebih buruk dari kematian!”
“Maksudmu?!” sentak si gadis.
Klewing tertawa lebar. “Kau tahu apa maksudku! Kelak kau akan menyukai dan minta ampun semoga dirimu tidak dibunuh. Karena ingin bersenang-senang lebih lama!”
“Ooo begitu…? Otakmu tolol tapi hatimu keji! Aku menyirap kabar nyawa tujuh saudaramu digusur para tokoh golongan putih lantaran kekejian yang sama. Apa kau ingin cepat-cepat menyusul mereka?!”
“Gadis jahanam! Terima kematianmu!” teriak Klewing. Lalu ia meniup kuat-kuat ke arah si gadis. Tapi sebelum angin sakti keluar dari mulutnya , gadis berpakaian Ungu menyergap lebih dahulu seraya kebutkan selendang ungunya.
“Wuuut!”
Klewing kerahkan tenaga dalam dan coba bertahan. Namun sia-sia belaka. Ketika si gadis kembali gerakkan tangannya , selendang ungu yang jadi senjatanya bukan saja menghantamkan angin dahsyat tapi sekaligus laksana kepala seekor ular , mematuk ke muka Klewing.
Mau tak mau si botak kepala kuning ini cepat selamatkan diri dengan melompat ke samping. Begitu menginjakkan kaki di tanah ia balas menghantam. Tapi ketika itu kaki kiri Pendekar 212 yang tengah mengorok tiba-tiba menyapu ke depan. Tak ampun lagi si jubah merah ini eksklusif terjungkal jatuh duduk. Pada ketika itulah selendang ungu si gadis tiba menyambar. Leher Klewing masuk dalam jiratan yang membuatnya tak berkutik lagi. Dia tak berani bergerak apalagi mencoba loloskan diri. Dia maklum sekali si gadis sentakkan tangannya yang memegang selendang maka tanggallah lehernya!
Siapakah adanya gadis elok berkepandaian tinggi dan mempunyai gerakan serba cepat ini? Dia bukan lain yaitu Anggini , murid tunggal kesayangan Dewa Tuak tokoh silat yang populer dengan kegemarannya menenggak tuak harum dan selalu membawa dua tabung tuak kemanapun ia pergi.
Dari arah pohon terdengar bunyi orang menguap panjang disusul bunyi menggeliat.
Lalu ada bunyi bertanya. “Eh , enaknya tidurku barusan. Sampai tidak tahu apa yang terjadi!”
Sunyi sesaat , lalu. “Astaga! Anggini , betul engkau yang ada disana itu?!”
“Wiro! Bicara basa-basi kita lupakan dulu! Kau mau saya apakan si botak kepala kuning ini?!”
Wiro usap-usap matanya kemudian berdiri dan cepat melangkah ke samping Anggini.
Sesaat ia usap-usap kepala Klewing kemudian menjitaknya dua kali hingga si botak ini meringis kesakitan.
“Wiro , kurasa orang ini membunuhmu bukan hanya lantaran dendam kesumat kematian saudara-saudaranya. Tapi juga lantaran ada yang menyuruh….”
“Eh , bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepalanya.
“Lihat telapak tangan kanannya!”
Wiro tarik tangan kanan Klewing kemudian balikkan telapak tangan si botak itu. Ternyata keseluruhan telapak tangannya berwarna merah.
“Botak , apa artinya tanda merah ini?!” tanya Pendekar 212.
Klewing berdiam diri , tak mau menjawab.
“Itu tanda bahwa ia yaitu anggota persekutuan Lembah Akhirat…” menerangkan Anggini. “Apa kau tidak tahu? Tidak pernah mendengar apa yang tengah terjadi di dunia persilatan akhir-akhir ini?”
Wiro gelengkan kepala. “Selama ini saya menyembunyikan diri….”
“Menyembunyikan diri? Memangnya kenapa?” tanya Anggini. Sejak tadi ia bergotong-royong sudah heran melihat tindak tanduk Pendekar 212.
“Nanti saja kita bicara ,” jawab Wiro. Lalu kembali ia mengusap-usap kepala botak Klewing. Kepada si gadis ia berkata. “Anggini , pinjamkan saya senjata rahasiamu yang berbentuk paku perak itu!”
“Ah , ia masih ingat senjata rahasiaku. Pertanda ia tidak pernah melupakan diriku…” membatin si gadis. Dengan cepat Anggini mengeluarkan apa yang diminta. Selain selendang ungu maka sejumlah paku perak sepanjang setengah jengkal merupakan senjata rahasia yang tidak bisa dibentuk main dan telah menciptakan ciut nyali tokoh silat golongan hitam. Sebatang paku diserahkannya pada Wiro.
Melihat Wiro mengacung-acungkan paku sambil mengusut mukanya , si botak kepala kuning jadi merinding juga. “Apa yang hendak kau lakukan?!” tanyanya dengan bunyi bergetar.
“Hemm…. Menusuk matamu rasanya kurang sedap ,” kata Wiro kemudian tertawa terbatukbatuk.
“Menindis telingamu atau menambah satu lobang lagi di hidungmu rasanya kurang bagus! Hemm…. Kalau kau anggota satu persekutuan dan pimpinan persekutuan itu yang menyuruhmu membunuhku , saya akan melaksanakan sesuatu lain dari yang lain untuknya!”
Dengan gerakan cepat kemudian Wiro pergunakan paku perak itu untuk menggurat angka 212 di kening Klewing. Dengan dalamnya ia menggurat hingga tulang kening si botak ini kelihatan memutih sementara darah mengucur membasahi mukanya.
“Kau kembali pada pimpinanmu! Perlihatkan keningmu dan sampaikan salamku padanya!” Wiro berpaling pada Anggini , memberi isyarat semoga si gadis melepaskan jiratan selendangnya.
“Orang ini hendak membunuhmu , kau melepaskannya begitu saja?” ujar Anggini.
“Aku tidak bodoh! Jika ia gagal membunuhku tentu pimpinannya punya perhitungan sendiri terhadapnya….”
Tanpa banyak bicara Anggini lepaskan jiratan selendang ungunya dari leher Klewing. Wiro lantas tendang pant at si botak seraya berkata. “Botak! Lekas minggat dari tempat ini!”
“Kalian akan mendapatkan pembalasan dariku! Kalian akan mendapatkan pembalasan dari Datuk Lembah Akhirat!” kata Klewing seraya bangun berdiri.
“Hemmm…! Itu rupanya gelar pimpinan komplotanmu!” ujar Wiro sambil menyengir. “Katakan pada Datukmu itu! Akhirat itu tidak ada di lembah! Jika ia kurang terang saya nanti akan mendatanginya dan memperlihatkan jalan ke Akhirat!”
Klewing mendengus kemudian tanpa banyak bicara segera tinggalkan tempat itu. Anggini berpaling pada Pendekar 212. Dua orang yang telah sangat usang tak pernah bertemu ini sesaat saling pandang seolah melepas kerinduan. Ternyata itu belum cukup. Keduanya saling mendekat kemudian karam dalam saling rangkul.
“Adikku Anggini , apakah selama ini kau baik-baik saja?” bisik Wiro sambil membelai belakang kepala gadis murid tunggal Dewa Tuak itu.
“Aku baik-baik saja. Aku besar hati bertemu denganmu Wiro.” Sepasang mata gadis ini berkaca-kaca.
“Aku juga…” jawab Wiro kemudian ingat bagaimana guru mereka sangat ingin semoga mereka bersatu menjadi sepasang suami istri.
“Apa yang terjadi dengan dirimu Wiro? Ketika kau diserang habis-habisan oleh orang itu tadi , caramu menghadapinya sungguh aneh….”
Wiro menguap lebar-lebar kemudian lepaskan pelukannya.
“Sejak kapan kau mengidap penyakit suka menguap dan jadi pengantuk mirip ini…? Lalu kau juga kulihat mirip punya ilmu kebal. Tak mempan gebukan. Apa kau sudah berguru pada orang sakti gres selain Tua Gila dan Sinto Gendeng?”
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Aku akan ceritakan. Ini semua pekerjaan Si Raja Penidur. Tapi maksudnya baik. Dia ingin menolongku….”
Wiro kemudian tuturkan riwayat dirinya semenjak ia menolong Ratu Duyung di Puri Pelebur Kutuk.
“Pengalamanmu sekali ini sungguh luar biasa. Kau bermaksud menolong orang tetapi kena musibah tidak terduga. Menurut perhitunganmu tinggal berapa hari lagi kau gres bebas dari musibah ini , Wiro?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau saya tidak salah hitung mungkin sekitar tiga puluh hari. Tapi kini saya merasa lebih tenteram. Si Raja Penidur menawarkan ilmu silat orang tidur itu padaku. Juga ada Jubah Kencono Geni di bawah bajuku….”
Anggini tertawa. “Lain kali kalau hendak menolong saya harus lebih berhati-hati Wiro….”
“Ya , ya…. Memang seharusnya begitu!” ujar Pendekar 212. Dalam hati ia membatin.
“Lain sekali sikap Anggini dengan Bidadari Angin Timur atau Bunga. Dia bisa mendapatkan apa yang telah saya lakukan sebagai satu pertolongan murni , bukan mengandung maksud apa-apa. Ah…. Kalau saja Bidadari Angin Timur bersifat mirip Anggini…. Saat ini saya melihatnya sikapnya juga lain. Jauh lebih dewasa. Seolah ia tidak ingin lagi mengingatingat soal perjodohan itu….” (Mengenai asal usul pertemuan dan korelasi Wiro dengan Anggini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut Bernyanyi Di Pajajaran” dan “Keris Tumbal Wilayuda”).
“Anggini , apa yang membawa dirimu hingga tersesat ke tempat ini’?” Wiro usikan pertanyaan sambil memegang tangan Anggini dan mengajaknya duduk di tanah.
“Guruku , Dewa Tuak…” jawab Anggini.
Wiro melirik pada selendang ungu yang melingkar di leher si gadis. Pada salah satu ujung selendang terdapat guratan angka 212. Sekian tahun berlalu ternyata selendang itu masih ada dan dipeliharanya dengan baik.
“Ada apa dengan Dewa Tuak?” tanya Wiro.
Lama sekali ia tidak pernah kembali ke tempat kediamannya. Kabar pun tidak pernah kudengar. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Di usia setua ia bisa saja ia jatuh sakit atau bagaimana….”
“Hemmm….” Wiro usap-usap dagunya dan unjukkan wajah sedih. “Kau benar , terakhir kali saya bertemu dengan gurumu di Pangandaran beberapa waktu lalu. Dia memang sedang sakit-sakitan….”
Berubahlah paras Anggini. “Apa yang terjadi dengan guruku Wiro? Kau tahu di mana ia sekarang?!”
“Gurumu itu! Dewa Tuak…. Dia tidak tahu menjaga kesehatan. Akibatnya penyakit lamanya kambuh kembali! Ah , kasihan dia…!”
“Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi dengan Dewa Tuak!” kata Anggini setengah berteriak.
“Gurumu itu jatuh sakit , Anggini. Sakit lama. Sakit asmara….”
“Wiro! Jangan bergurau! Aku….”
“Tenang Anggini ,” ujar Wiro sambil senyum-senyum menciptakan si gadis jadi tambah tak karuan rasa. “Aku bilang tadi gurumu itu kambuh penyakit lamanya. Mungkin lebih parah dari yang dulu-dulu. Gurumu kambuh penyakit asmaranya. Penyakit jatuh cinta seri yang ke sekian ratus!”
“Wiro!” Sepasang mata Anggini melotot besar. “Jangan kira saya tidak tega memukulmu kalau masih terus bergurau!”
“Siapa bergurau! Gurumu Dewa Tuak itu memang sedang sakit jatuh cinta pada seorang nenek yang pernah jadi kekasihnya di masa muda. Mereka bertemu di Pangandaran. Sama-sama bertempur melawan para tokoh golongan hitam. Kau tahu sendiri apa akhir pertemuan itu. Segala yang terjadi di masa muda seolah muncul dan mereka rasakan kembali. Kakek dan nenek itu sama-sama jatuh sakit. Tapi sakit lezat bahagia! Sakit asmara alias sakit cinta! Ha… ha… ha!”
Wiro tertawa gelak-gelak. Anggini banting-bantingkan kaki dan menjotos dada Pendekar 212 beberapa kali saking gemasnya. Untung saja ketika itu Wiro terlindung oleh jubah sakti Kencono Geni. Kalau tidak pukulan-pukulan yang cukup keras itu bisa menciderainya.
“Siapa nenek kekasih guruku itu?” tanya Anggini akhirnya.
“Seorang nenek elok dikenal dengan julukan Iblis Muda Ratu Pesolek atau Iblis Putih Ratu Pesolek…”
Anggini menarik nafas lega. “Aku pernah mendengar perihal wanita itu. Guruku sendiri yang menuturkan riwayat mereka. Kalau ia kini memang sedang tergilagila lagi dengan si nenek saya bisa merasa lega. Aku hanya khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Kau tahu rimba persilatan di tanah Jawa ini semakin macam-macam. Berbagai kejadian ajaib muncul dan semuanya berakhir dalam bayang-bayang maut. Kau pernah mendengar perihal Kitab Wasiat Malaikat yang kini dicari oleh para tokoh?”
“Selama ini keadaanku menciptakan saya terpaksa mirip menyembunyikan diri. Aku buta segala apa yang terjadi di luaran…. Apa yang kau ketahui perihal Kitab Wasiat Malaikat itu?”
“Kabarnya kitab itu yaitu raja diraja segala kitab sakti. Hanya para tokoh silat golongan putih yang akan berjodoh. Konon kitab itu kini berada di tangan seorang Datuk yang bermarkas di Lembah Akhirat. Sang Datuk akan menyerahkan kitab itu pada seseorang tokoh golongan putih yang dianggapnya cocok untuk menerima. Namun apa yang terjadi selama ini beberapa tokoh silat golongan putih lenyap secara aneh. Kalau mati mayatnya tak pernah ditemui apalagi kuburnya…. Aku khawatir guruku Dewa Tuak terpikat akan isu itu kemudian berusaha mendapatkan Kitab Wasiat Malaikat.”
“Kau sendiri apakah berniat ingin mendapatkannya?”
Anggini menggeleng. “Bagaimana dengan kau?” balik bertanya si gadis.
“Banyak masalah besar masih mengerubungi diriku. Bagaimana mungkin saya memikirkan segala macam kitab…” Wiro hendak menceritakan perihal Kitab Putih Wasiat Dewa yang ketika itu disimpannya di balik bajunya. Tapi akibatnya ia memutuskan lebih baik tidak menyampaikan hal itu pada si gadis.
“Wiro , kita harus meninggalkan tempat ini ,” kata Anggini seraya berdiri.
“Ya , saya akan ikut ke mana kau pergi ,” jawab Wiro seraya ulurkan tangannya.
Anggini memegang tangan Wiro kemudian membantu sang pendekar bangun berdiri.
"Uaahhhh!" Wiro menguap.
"Hemm…. Penyakit tidurmu kambuh lagi! Kau mau tidur dulu atau mau pergi bersamaku atau bagaimana…? Kalau mau tidur silahkan saja. Aku tak bakal menungguimu!" ujar Anggini menggoda.
Wiro cepat tutup mulutnya dengan tangan kanan. "Uahhh! Aku menentukan ikut bersamamu! Biar saya tidur sambil jalan saja!"
*
* *
* *

EMPAT BELAS
Tiga pasang mata memandang Klewing dengan membeliak membuktikan membersitkan kemarahan. Orang nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar itu merasa jantungnya berdebar keras dan tengkuknya menjadi dingin. Berulangkali ia mengusap kepalanya yang botak keringatan."Ikuti kami!" kata Pengiring Mayat Muka Hitam. Lalu ia memberi isyarat pada dua temannya si muka merah dan muka hijau.
Klewing melangkah mengikuti ketiga orang itu. Dia sudah maklum mau dibawa ke sana. Di hadapan sebuah bangunan watu Klewing disuruh menunggu dijaga oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Muka Merah.
Tak usang kemudian si muka hitam keluar kembali. Di belakangnya mengikuti Datuk Lembah Akhirat yang hanya mengenakan sehelai celana kolor hitam gombrong. Di belakang penguasa Lembah Akhirat ini kelihatan seorang wanita muda bertubuh sangat gemuk yang nyaris tidak mengenakan apa-apa. Klewing mengenali wanita gemuk itu bukanlah Yuyulentik yang dulu pernah dilihatnya. Datuk Lembah Akhirat membisikkan sesuatu pada wanita itu. Si gemuk ini kemudian masuk ke dalam.
Sepasang mata Datuk Lembah Akhirat pandangi tampang Klewing. Tampaknya ia tenang-tenang saja , tak ada bayangan kemarahan. Malah menyeringai. Suaranya pun menegur dengan halus.
"Jadi kau gagal membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng…?!"
"Maafkan diriku Datuk…" jawab Klewing tak berani menatap tampang Datuk Lembah Akhirat.
"Kau malah diberinya hadiah tiga guratan angka di kening! Sungguh memalukan!
Tak pernah kejadian anggota persekutuan Lembah Akhirat mengalami penghinaan mirip ini!"
"Aku motion maafmu Datuk. Aku bergotong-royong hampir sanggup membunuhnya. Namun tiba-tiba muncul seorang wanita muda berkepandaian tinggi menolong Pendekar 212!"
Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. "Kau tidak bisa membunuh Pendekar 212. Kau juga tidak sanggup mengalahkan lawan yang hanya seorang wanita muda. Kau tahu nasib apa yang bakal menimpamu Klewing?!"
"Aku mengerti telah berbuat kesalahan besar Datuk! Beri kesempatan padaku sekali lagi…!"
"Kesempatan hanya sekali seumur hidup. Tak bisa mempergunakan kesempatan maka malapetaka besar akan menimpa dirimu!"
"Datuk…. Aku bersedia dieksekusi dan dibatalkan jadi anggota persekutuan Lembah Akhirat…."
"Hukumanmu tidak seringan itu , anjing kurap kepala kuning!" Kemarahan Datuk Lembah Akhirat akibatnya meledak. Dia berpaling pada Pengiring Mayat Muka Hitam kemudian anggukkan kepala. Si muka hitam menoleh pada kawannya si muka merah.
"Lekas panggil Dewa Sedih , bawa ke sini! Dia harus menyaksikan pelaksanaan sanksi semoga tidak berbuat kesalahan yang sama!"
Pengiring Mayat Muka Merah segera tinggalkan tempat itu.
"Datuk , apa yang hendak kau lakukan?!" tanya Klewing dengan muka pucat dan bunyi bergetar.
"Plaakkk!"
Satu tamparan melanda pipi kiri Klewing hingga kepalanya hampir melintir. Yang menampar yaitu Pengiring Mayat Muka Hijau.
"Sekali lagi kau berani membuka lisan tanpa ditanya kuhancurkan kepala botakmu!" ancam si muka hijau.
Tak usang kemudian Pengiring Mayat Muka Merah muncul bersama seorang kakek berkulit hitam , berpakaian selempang kain putih. Rambutnya yang putih digulung di atas kepala. Alis matanya yang hitam menjulai ke bawah. Tampangnya memperlihatkan kesedihan mendalam. Dari hidung dan mulutnya keluar bunyi sesenggukan mirip hendak menangis.
"Dewa Sedih! Sebentar lagi kau akan melihat pelaksanaan hukuman! Ini semoga kau sadar bahwa kejadian serupa bisa terjadi pada dirimu jikalau kau berbuat kesalahan atau tidak sanggup menjalankan perintah…."
Dewa Sedih eksklusif keluarkan bunyi menangis. Dia meratap. "Aku melihat langit , saya melihat lembah. Aku melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib manusia…."
Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Dalam hati ia membatin. "Orang tua sakti ini sudah mengetahui apa yang bakal terjadi…."
Klewing sendiri semakin pucat mukanya. Kalau tidak bersandar ke dinding watu mungkin kedua lututnya sudah terkulai roboh!
"Pengiring Mayat Muka Merah!" tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata. "Manusia ini berada di bawah pengawasanmu. Selesaikan dia!"
"Datuk!" jerit Klewing seraya hendak menjatuhkan diri minta ampun pada Datuk Lembah Akhirat. Namun lehernya keburu dicekal oleh Pengiring Mayat Muka Merah.
Dalam takut yang amat sangat , Klewing menjadi nekad. Sebelum dijatuhi sanksi yang niscaya sanksi mati ia harus sanggup membunuh salah seorang yang ada di hadapannya. Dia menentukan sang Datuk. Mulutnya terbuka. Dia kemudian meniup ke arah Datuk Lembah Akhirat. Satu gelombang angin menderu laksana air bah. Namun setengah jalan serangan itu menjadi buyar. Dewa Sedih meraung keras. Tangan kanannya dipukulkan.
Gelombang angin serangan Klewing terdorong ke samping kemudian buyar berantakan!
Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia melangkah mendekati Dewa sedih kemudian menepuk pundak orang tua ini berulang-ulang seraya berkata. "Kau anak buahku yang hebat! Terima kasih kau telah menolongku dari serangan si botak gila itu!"
Sebagai jawaban Dewa Sedih tutupi wajahnya dengan kedua tangan kemudian menangis keras. Telapak tangan kanannya tampak berwarna hitam. Pertanda bahwa ia berada di bawah pengawasan Pengiring Mayat Muka Hitam.
"Pengiring Mayat Muka Merah , kau tunggu apa lagi? Selesaikan dia!" Yang bicara yaitu Pengiring Mayat Muka Hitam.
Mendengar ucapan itu si muka merah cekal leher Klewing kuat-kuat kemudian membantingkannya ke tanah. Klewing merasa sekujur tubuhnya hancur luluh. Terhuyunghuyung ia bangun berdiri. Namun dalam keadaan setengah tegak setengah duduk Pengiring Mayat Muka Merah hantamkan tangan kanannya ke arah si botak.
Selarik sinar merah bertabur. Jeritan Klewing terdengar mengenaskan. Tubuhnya lenyap dalam buntalan api berwarna merah. Sesaat kemudian tubuh itu telah menjelma seonggok debu berwarna merah.
"Aku melihat langit! Aku melihat lembah! Aku melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib manusia! Hik… hik… hik!" Ratap tangis Dewa Sedih si kakek sakti ajaib semakin menjadi-jadi.
Pengiring Mayat Muka Merah memanggil dua orang pengawal. Mereka diperintahkan membersihkan debu merah dan membuangnya ke selatan lembah.
"Dewa Sedih , sobat besarku!" Datuk Lembah Akhirat berkata. "Aku sudah memikirkan satu kedudukan tinggi bagimu. Namun sebelum hal itu saya berikan , kau kini ketambahan satu kiprah baru…."
"Hik… hik…. Aku melihat langit. Aku melihat lembah. Aku melihat darah…."
"Bagus , kalau kau bisa melihat darah berarti kau akan sanggup menjalankan tugas!"
"Hik… hik…. Sebutkan kiprah itu Datuk. Tanganku sudah gatal untuk melakukannya…" kata Dewa Sedih pula sambil mengusut air matanya.
"Cari Pendekar 212 hingga dapat! Bunuh dan sebarkan isu bahwa yang membunuhnya yaitu Iblis Putih Ratu Pesolek lantaran cowok itu tak mau melayani dirinya!"
Tangis Dewa Sedih terhenti sesaat. "Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku melihat insan mati berkaparan. Hik… hik… hik…."
"Kalau tugasmu itu kau laksanakan dengan baik. Kau lekas kembali menemuiku. Satu kiprah lagi akan kuberikan padamu. Setelah itu kau akan kuberikan kedudukan tinggi yang saya janjikan…."
"Hik… hik…. Aku melihat langit , saya melihat lembah. Aku melihat kitab. Hik… hik…hik! Kitab Wasiat Malaikat! Datuk , apakah saya akan mendapatkan kitab sakti itu sesuai janjimu?" Dewa Sedih bertanya sesenggukan.
Datuk Lembah Akhirat tersenyum. "Kalau kau memang berjodoh dengan Kitab Wasiat Malaikat , kitab itu niscaya akan menjadi milikmu!"
Sang Datuk kemudian memberi isyarat pada Pengiring Mayat Muka Hitam. "Antarkan ia ke tempatnya kembali. Berikan makan enak…."
"Datuk , apakah saya boleh minta sesuatu…?" tiba-tiba Dewa Sedih usikan pertanyaan.
"Hem…. Katakan saja. Jika memang pantas niscaya akan kuberikan…"
"Selama dua bulan di tempat ini saya tak pernah melihat perempuan. Aku melihat langit , saya melihat lembah! Tapi tidak melihat perempuan! Hik… hik… hik. Sebelum pergi saya ingin diri tua ini tidur dikeloni perempuan. Tak perlu gadis atau yang masih muda. Hik… hik… hik! Nenek-nenek pun jadilah!"
Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Tiga wakilnya ikut-ikutan tertawa.
"Dewa Sedih , sekalipun saya berikan wanita kau mau berbuat apa?!" ujar sang Datuk. "Apa kau lupa bahwa kau ketika ini berada dalam keadaan dikebiri? Barangmu telah kuambil dan kutitipkan pada wakilku Pengiring Mayat Muka Hitam!"
Dewa sedih unjukkan wajah bengong. Lalu tangannya meraba ke bawah perut. Dia tidak mencicipi apa-apa. Langsung saja si kakek menangis menggerung-gerung.
*
* *
* *
TAMAT
Episode berikutnya :
PEDANG NAGA SUCI 212
Episode berikutnya :
PEDANG NAGA SUCI 212
No comments for "Lembah Akhirat WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"
Post a Comment