Kepala Iblis Nyi Gandasuri WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIR0 SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tit0

EP : KEPALA IBLIS NYI GANDASURI
SATU

Penunggang kuda berpakaian putih memacu tunggangannya secepat setan berkelebat. Menembus kegelapan malam dalam cuaca buruk di penghujung bulan ke sebelas. Terpaan t0pan dari depan menciptakan rambutnya yang g0ndr0ng melambai deras ke belakang. Di puncak sebuah bukit kecil kuda c0klat mandi keringat itu berhenti berlari kemudian meringkik keras tak mau maju lagi walau selangkahpun!

“Mmmmmm….” Penunggangnya bergumam kemudian mengusap leher bintang itu berulang-ulang. “Perasaan hewan ini tajam sekali….” Katanya dalam hati. Dia terus mengusap leher kuda kemudian berkata. “Tenang kudaku…. Tenang…. Tak ada yang perlu ditakutkan. Kau dan saya membawa kiprah agung! Menyelamatkan nyawa se0rang pangeran. Gusti Allah niscaya men0l0ng kita!”
0rang di atas kuda memandang ke bawah bukit. Di sebuah pedataran di bawah sana , kurang jelas dalam kegelapan malam kelihatan sebuah bangunan yang atapnya bertingkat dua. Nyala lampu minyak di langkan depan dari kejauhan terlihat ibarat titik merah.
Angin bertiup kencang di puncak bukit. Hujan rintik-rintik mulai turun.
“Kita harus melanjutkan perjalanan kudaku. Kau sudah siap….?” Si penunggang kuda bicara lagi. Tangan kanannya terus mengusap leher kuda. Binatang ini angkat kaki kirinya. Ek0rnya dikibaskan berulang kali. Dari ekspresi dan hidungnya terdengar dengusan halus. “Kita berangkat sekarang!” kata si penunggang kuda kemudian menepuk pinggul hewan itu dengan keras.
Kuda c0klat meringkik satu kali kemudian ibarat anak panah lepas dari busurnya hewan ini melesat menuruni bukit. Kurang dari sepeminuman teh kuda dan penunggangnya risik0nya hingga di depan rumah besar yang sebelumnya terlihat dari atas bukit. Selain besar rumah itu ternyata dikelilingi 0leh temb0k tinggi berbentuk benteng , dikawal 0leh belasan penjaga bersenjata pedang dan t0mbak serta membawa tameng.
Begitu kuda dan penunggangnya muncul di pintu gerbang rumah besar enam pengawal segera meny0ngs0ng. Empat menutup kanal dan dua 0rang mendatangi tamu tak dikenal itu dengan t0mbak terhunus. Enam pasang mata memandang tak berkesip penuh curiga.
“Anak muda! Siapa kau! Ini tempat terlarang! Tidak satu 0rangpun b0leh berada di tempat ini!” satu dari dua pengawal yang memegang t0mbak bertanya. Suaranya garang.
“Namaku Wir0 Sableng. Sese0rang mengutusku untuk menemui Pangeran Sampurn0!” jawab 0rang di atas kuda.
“Sableng…..” pengawal satunya berucap. “Kau tahu kalau sableng itu artinya gendeng?! sama dengan gel0 alias gila!”
Pemuda di atas kuda menyeringai , garuk-garuk kepala kemudian mengangguk.
“Kalau sudah tahu lekas kamu angkat kaki dari tempat ini! Di sini bukan tematnya 0rang-0rang gila keluyuran!”
“Namaku memang begitu. Tapi saya belum gila….”
“Mungkin gres setengah gila!” teriak pengawal dekat pintu masuk. Tiga mitra di sebelahnya tertawa gelak-gelak.
“Dengar saya tidak main-main. Aku harus menemui Pangeran Sampurn0….” Kata Wir0.
“Kurang ajar! Dasar gila disuruh pergi malah bandel!”
“Aku mau tahu apa keperluanmu menemui Pangeran malam-malam buta begini. Kulihat kamu 0rang asing. Bagaimana bisa tahu kalau ini tempat kediaman Pangeran Sampurn0?!” pengawal satunya bertanya.
“Dari mana saya tahu ini rumahnya Pangeran Sampurn0 buat apa dipers0alkan. Yang penting lekas kalian bangunkan Pangeran. Aku harus menemuinya untuk memberi tahu kalau nyawanya terancam!”
“Terancam….?”
“Nyawa Pangeran Sampurn0 terancam?! Kawan-kawan kalian dengar ucapan c0w0k sinting ini?!”
Enam pengawal di pintu gerbang itu kemudian tertawa mengejek. Salah se0rang dari mereka berkata “Di sini ada puluhan pengawal. Jangankan insan , angin sekalipun tak bisa tembus!”
“Aku tidak main-main….”
“Aku juga tidak!” hardik si pengawal. Kawan di sebelahnya rupanya sudah tidak sabar. Dia maju mendekat.
“Hanya ada satu cara mengusir 0rang gila ini!” kemudian t0mbak di tangannya diayunkan untuk menggebuk kepala penunggang kuda.
Tapi dia jadi terperangah ketika dengan kecepatan luar biasa si penunggang kuda menarik dan merampas t0mbaknya. Lima kawannya tak kalah kaget. Salah se0rang dari mereka mel0mpat dan eksklusif saja tusukkan t0mbaknya ke perut kuda. Melihat hal ini tentu saja Wir0 tidak tinggal diam. T0mbak rampasannya diayunkan ke bawah memukul t0mbak si pengawal.
Tranggg!
T0mbak di tangan pengawal itu terlepas mental dalam keadaan patah dua! Selagi dia kaget dan murka ujung tumpul t0mbak di tanagn Wir0 sudha menempel di keningnya. Sekali Wir0 mend0r0ng , pengawal itu terjajar keras dan jatuh terjengkang di tanah. Lima kawannya berteriak marah. Serta merta mereka menyerbu. Tiga dengan t0mbak , dua dengan pedang. Tapi serentak kelimanya berseru kaget. 0rang yang hendak mereka serang tidak kelihatan lagi di atas punggung kuda.
“Hai! Pemuda itu lenyap!”
“Jangan-jangan dia mahluk jejadian! Setan!”
“Astaga! Lihat!” teriak salah se0rang pengawal tiba-tiba. “Pemuda edan itu ada di sana!”
Empat pengawal cepat men0leh ke arah yang ditunjuk. Ternyata dikala itu c0w0k berpakaian putih berambut g0ndr0ng tengah melangkah cepat menaiki tangga bangunan. Lima pengawal serta merta mengejar. Mereka berhasil menghadang Wir0 di anak tangga teratas. Tanpa banyak bicara lagi kelimanya terus saja menyerang. Maka di malam buta itu terdengar bunyi riuh dentrangan senjata saling beradu. Dua jurus berlalu dengan cepat. Lima pengawal berkaparan di sekitar tangga. Dua mengerang karena kepalanya benjut di hantam t0mbak lawan. Satu terbungkuk­bungkuk kesakitan akhir s0d0kan ujung t0mbak di perutnya. Pengawal keempat terjengkang di tangga sambil urut-urut dadanya yang kena tendangan. Lalu pengawal kelima pegangi hidungnya yang mengucurkan darah. Untung saja hidungnya tidak remuk dihantam t0mbak.
Dalam keadaan ibarat itu tiba-tiba ada bunyi menegur disertai berkelebat satu bayangan.
“Anak-anak , ada apa di sini…..?!”
Wir0 berpaling. Tak jauh di ujung tangga tegak se0rang kakek berbaju dan bercelana hitam. Dia menyandang sehelai kain sarung. Pandangan matanya tajam ke arah Wir0. Tak satupun dari pengawal sanggup bersuara berikan jawaban. 0rang renta itu kembali menatap Wir0 yang dikala itu tengah berkata sendiri dalam hati. “0rang renta buruk ini niscaya bukan Pangeran Sampurn0. Jika dia memanggil para pengawal dengan sebutan anak-anak berarti dia punya kedudukan tinggi di tempat ini.” Maka Murid Eyang Sint0 Gendeng cepat berkata.
“Aku tiba untuk menemui Pangeran Sampurn0. Enam pengawal itu malah menganggap saya c0w0k gila. Mereka bukan saja mengusir tapi juga menyerangku…..”
“Lalu kamu menghajar mereka!”
“Terpaksa karena saya tentu saja tak mau digebuk….”
“Katakan siapa dirimu dan ada keperluan apa hendak menemui Pangeran Sampurn0. Melihat pada keadaan dirimu kamu bukan utusan dari K0taraja , bukan pula se0rang perajurit…..”
“Namaku Wir0 Sableng. Aku ke sini memang bukan di utus penguasa di K0taraja. Aku juga bukan se0rang perajurit. Aku diutus 0leh sese0rang….”
“Siapa?!” mem0t0ng 0rang renta berselempang kain sarung.
“Maaf , saya tak sanggup menyampaikan pada siapapun kecuali Pangeran……”
“Pemuda edan kurang ajar! Pada pimpinan kamipun kamu berani menghina! Teriak pengawal yang terkapar di tangga.
“Ah , rupanya saya berhadapan dengan pimpinan pengawal di empat ini!” kata Wir0. Dia menjura pada 0rang renta di hadapannya kemudian berkata. “Kuharap kamu bisa berlaku lebih bijaksana….. Aku tiba untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran Sampurn0 terancam. Ada yang ingin membunuhnya!”
0rang renta di hadapan Wir0 tersenyum. Dia berkata “Namaku Ki Ageng Bant0r0. Aku sudah menjadi pengawal Pangeran Sampurn0 semenjak dia masih bayi! Selama itu saya tahu betul tak ada satu mahlukpun yang akan tega menyakitinya , apa lagi membunuhnya! Beliau tidak pernah punya musuh! Kaprik0rnus ceritamu bahwa ada sese0rang yang mengutus untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran terancam , ada yang ingin membunuh dia , itu yakni 0m0ng k0s0ng belaka! Bukan tidak mungkin kamu sendiri punya maksud jahat! Buktinya enam anak buahku kamu buat babak belur…..”
“Aku menyesalkan insiden itu. tapi bukan saya punya mau , mereka minta sendiri!” jawab Wir0. “Sekarang apakah kamu tetap tidak mengizinkan saya menemui Pangeran? Aku harap kamu mau membantu menjagakan Pangeran dari tidurnya. Waktu untuk mencari selamat sempit sekali. Malaikat maut bisa tiba lebih dulu dari pada pert0l0ngan…..”
0rang renta berjulukan Ki Ageng Bant0r0 tersenyum sinis.
“S0al keselamatan Pangeran serahkan saja pada kami….”
“Salah se0rang anak buahmupun tadi juga bicara takabur ibarat itu. katanaya jangankan insan , anginpun tidak bisa tembus , kamu saksikan sendiri kenyataan kini. Mereka berkaparan di sana-sini….”
“Anak muda ,” kata Ki Ageng Bant0r0 pula. “Aku maklum kamu punya ilmu. Tapi kalau dengan sedikit ilmu saja kamu sudah bicara dan bertindak p0ngah , berarti kamu tidak labih baik dari anak-anak buahku. Dan dikala ini c0ba kamu memandang berkeliling. Lihat apa yang ada di sekitarmu!”
Wir0 agak heran mendengar ucapan terakhir 0rang renta itu. perlahan-lahan dia memandang berkeliling. Kagetlah murid Sint0 Gendeng ini. ternata tempat itu telah dikurung 0leh lebih dari dua puluh perajurit bersenjata lengkap. Sepuluh di antaranya memegang busur dan anak panah di arahkan tepat-tepat pada dirinya!
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia berpaling pada Ki Ageng Bant0r0.
“Jika kamu dan 0rang-0rangmu mau membunuhku , kelihatannya memang simpel saja. Tapi apakah itu akan men0l0ng menyelamatkan Pangeran Sampurn0?”
Ki Ageng Bant0r0 kembali sunggingkan senyum sinis. “Saat ini yang ingin kukatakan padamu apakah kamu mau mengalah secara baik-baik atau ingin mati terkutung-kutung!”
“Dunia ini memang aneh!” menyahuti Pendekar 212. “Maksud baik mau men0l0ng malah diterima salah! Kalau memang sulit berbuat kebajikan , biar saya pergi saja! Kuharap kamu tidak menyesal , 0rang tua….”
Wir0 putar tubuhnya untuk menurni tangga.
“Tetap di tempatmu!” hardik Ki Ageng Bant0r0. Sepuluh perajurit pemegang busur merentangkan anak panah , siap untuk di lepas. “Kau telah menciderai enam pengawal Pangeran. Apa kamu kira bisa pergi seenaknya?!”
Wir0 cuma menyeringai. “Aku tiba dengan tujuan baik dan pergi juga dengan maksud baik. Kalau kalian keliwat memaksa , jangan salahkan diriku!”
Baru saja Wir0 berkata begitu Ki Ageng Bant0r0 jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Clekkk!
Sepuluh busur bergerak , sepuluh anak panah melesat! Sasaran tertuju ke satu arah. Kepala dan tubuh Pandekar 212 Wir0 Sableng!
DUA

Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri ke tangga kemudian erguling ke bawah. Ki Ageng Bant0r0 berseru kaget karena gres menyadari paa yang bakal terjadi. Dia cepat menyambar sebatang t0mbak dari se0rang pengawal yang ada di dekatnya kemudian mel0mpat ke depan sambil babatkan t0mbak dalam gerakan setengah lingkaran. Terdengar bunyi berdentrangan berulang kali ketika t0mbak menghantam anak-anak panah yang melesat di udara. Namun tak semua anak panah bisa diruntuhkan 0leh si 0rang renta , empat di antaranya terus melesat menyambar. Inilah bersama-sama yang dikawatirkan Ki Ageng Bant0r0. Empat anak panah yang l0l0s itu menancap di tubuh empat 0rang anak buahnya yang tidak keburu mengelak karena tidak mengira dan masih berada dalam keadaan terkesiap. Keempatnya eksklusif rubuh.
Ki Ageng Bant0r0 berteriak marah. Dengan t0mbak masih di tangan dia menyerbu Pendekar 212 Wir0 Sableng tepat pada dikala c0w0k ini gres saja berusaha bangkit.
Wuttt!
Ujung runcing t0ngkat menyambar seujung jari di depan mata murid Sint0 Gendeng. Jantungnya serasa tanggal. Cepat dia jatuhkan diri lagi begitu dilihatnya Ki Ageng Bant0r0 memburu. Kali ini si 0rang renta kirimkan tusukan deras ke arah kepala Wir0.
Wuuuutt!
Claaap!
Terlambat saja Wir0 menjatuhkan diri niscaya tembus bat0k kepalanya. T0mbak di tangan Ki Ageng Bant0r0 menancap di tanah hingga sepertiga panjang.
“Gila!” maki Wir0. Kakinya dikibaskan c0ba menendang tulang kering lawan. Dengan sigap Ki Ageng Bant0r0 mel0mpat hingga setengah t0mbak kemudian dari atas kembali dia tusukkan senjatanya. Kali ini Wair0 bergerak lebih cepat. Tangan kiri berkelebat menepis penggalan bawah mata t0mbak. Bersamaan dengan itu dia berdiri dan menciptakan l0mpatan pendek sambil hantamkan tangan kanannya ke atas. Inilah jurus yang disebut “membuka jendela memanah matahari.”
Ki Ageng Bant0r0 mencicipi kepalanya ibarat c0p0t ketika tekukan telapak tangan Wir0 Sableng menghantam dagunya dengan keras. Pukulan ini bukan saja menciptakan tulan gdagunya retak dan rahangnya tergeser tetapi juga secara tidak sengaja menciptakan dia menggigit lidahnya senidir hingga ujungnya hampir putus dan darah mengucur. 0rang renta ini meraung kesakitan. Tapi karena lidahnya luka parah suaranya terdengar aneh menggidikkan di malam buta!
Sesaat seluruh anak buah Ki Ageng Bant0r0 yang ada di tempat itu terkesiap tak percaya. Belum pernah mereka melihat pimpinan mereka dir0b0hkan lawan ibarat itu. Apa lagi lawan se0rang c0w0k tak dikenal pula! Begitu sadar apa yang terjadi lebih selusin senjata diantara mereka tiba-tiba menyerbu sambil berteriak beringas. Mendadak pintu depan bangunan besar terbuka. Sinar terang merambas ke luar halaman. Sesaat kemudian se0rang lelaki paruh baya mengenakan baju putih lengan panjang dan sehelai kain sarung serta bersandal kulit keluar diiringi se0rang pelayan membawa lampu minyak besar.
“Ada insiden apa di sini….?” 0rang ini menegur seraya memandang berkeliling. Dia hendak berucap kembali akan tetapi mulutnya serta merta terkancing ketika melihat sekian banyak perajurit pengawal bergeletakan di sekitar tangga dan halaman rumah besar. Salah ssatu diantara mereka yakni Ki Ageng Bant0r0 yang mengerang sambil menutupkan kedua tangannya ke ekspresi yang mengucurkan darah.
Karena tak ada yang berani menjawab , Wir0 pergunakan kesempatan untuk maju ke hadapan 0ran gitu.
“Apakah saya berhadapak dengan Pangeran Sampurn0?” Wir0 0l0k-0l0kan pertanyaan.
“Aku memang 0rang yang kamu sebutkan itu Anak muda , saya tak kenal kamu dan tak pernah melihat sebelumnya. Apakah kamu yang telah menyebabkan malapetaka di tempat ini?!”
“Saya m0h0n dimaafkan. Saya tidak bermaksud mencelakai siapapun. Tapi mereka menyerang , menger0y0k bahkan bermaksud membunuh saya ,” Wir0 c0ba menerangkan.
“Para pengawal di sini terlatih dengan baik dan punya kepatuhan tinggi. Jika mereka tidak punya alasan mana mungkin hendak mencelakai dirimu?! Kau c0w0k asing , tiba dan muncul malam buta begini! 0rang mana yang tak akan curiga?”
“Saya sudah memberitahu maksud kedatangan. Namun para pengawal di sini menganggap saya 0rang gila. Lalu ada yang menyerang. Dalam keadaan terpaksa bagaimana mungkin saya hanya beridam diri…..?”
“Kalau begitu c0ba kamu katakan apa maksud kedatanganmu!” ujar Pangeran Sampurn0 pula sambil terus memperhatikan Wir0.
Wir0 agak ragu untuk bicara di depan 0rang banyak. “Pengeran , kalau b0leh saya ingin bicara di tempat lain saja. Hanya kita berdua….”
Pangeran Sampurn0 gelengkan kepala. “Jika kamu memang punya maksud baik , bicara terang-terangan! Hanya insan culas yang suka sembunyi-sembunyi…..”
“Kalau begitua mau Pangeran , saya mengikuti saja. Saya tiba diutus 0leh guru saya. Eyang Sint0 Gendeng dari gunung Gede.”
“Hemmmm cukup jauh perjalananmu. Dari barat ke timur sini.” Kata Pangeran Sampurn0 pula. Aku hampir lupa pada nenek sakti itu. gerangan apa yang membuatnya mengutusmu. Pamrih apa yang gurumu inginkan….?”
“Guru saya tidak punya pamrih apa-apa. Niat men0l0ng dilakuannya dengan nrim0 mengingat beberapa tahun silam Kerajaan pernah membantunya.” Suara Pendekar 212 agak meradang karena dia mulai jengkel dengan ucapan-ucapan sang Pangeran yang menghina gurunya. “Beliau meminta saya untuk memberikan pesan bahwa keselamatan Pangeran sangat terancam…..”
“Keselamatanku terancam?” ujar Pangeran Sampurn0 sesaat menatap Wir0 kemudian memandang berkeliling pada 0rang-0rangnya dengan senyum dikulum. “Ah! Gurumu baik sekali mau memperhatikanku dan mengirimmu jauh-jauh hingga ke sini. Ketahuilah , selama ini saya tak punya musuh. Tak ada 0rang beritikad jahat yang mengancam keselamatan diri ataupun keleuargaku. Tempat kediamanku terjaga siang dan malam. Semua k0ndusif tentram hingga dikala kemunculanmu menyebabkan ke0baran , melaksanakan tindak kekerasan malah membunuh!”
“Maaf Pangeran , tidak satu 0rangpun saya bunuh di tempat ini. Yang menemui janjkematian itu yakni akhir kena panah para pengawal Pangeran sendiri!”
Tiba-tiba sese0rang mel0mpat. Ternyata Ki Ageng Bant0r0. Dengan darah masih mengucur dari mulutnya dia berkata. Ucapannya agak sulit dimengerti.
“Pangeran! Manusia jahat ini pintar berdalih! Dia telah membunuh empat 0rang anak buahku! Izinkan saya meringkusnya hidup atau mati!” habis berkata begitu kepala pengawal Pangeran Sampurn0 ini l0l0skan kain sarungnya. Benda itu diputarnya dua kali di atas kepala. Kali ketiga tiba-tiba kain sarung itu melesat ke arah kepala Pendekar 212. Sebelum Wir0 sempat berbuat sesuatu kain sarung telah menjirat lehernya. Dia berusaha mel0l0skan diri sambil menghantam dengan tangan kanan. Tapi Ki Ageng Bant0r0 berlaku cerdik. Dengan cepat dia bergeak ke belakang punggung Wir0. Dari sini dipuntirnya kain sarung kencang-kencang hingga jiratan kain itu siap mematahkan tulang lehernya!
“Kain sarung jahanam! Senjata macam apa ini?” rutuk Wir0 dalam hati. Ketika mulutnya mulai terjulur dan dia sulit bernafas Wir0 yang tak mau mati k0ny0l eksklusif salurkan tenaga dalam ke tangan kanan sambil merapal aji kesaktian untuk melepas pukulan “sinar matahari” dia tak mau kepalang tanggung. Kalau bukan dia yang putus nyawa maka Ki Ageng Bant0r0 terpaksa harus dibunuhnya!
Ketika tangan kanan Wir0 berubah putih ibarat perak dan mengeluarkan sinar menyilaukan Pengeran Sampurn0 terkejut besar. Cepat dia mengangkat tangan dan berseru pada kepala pengawalnya. “Ki Ageng! Lekas lepaskan c0w0k itu!”
Sepasang mata Ki Ageng Bant0r0 mendelik. Dengan kesal kain sarung diputar balik mengendur kemudian dibet0tnya ke atas hingga lepas dari leher Wir0. Masih dengan perilaku meradang 0rang renta ini mundur beberapa langkah. Sementara Wir0 berdiri sambil pegangi lehernya dengan tangan kiri kanan.
Pangeran Sampurn0 mendatangi Wir0 , mencekal ke arah pakaian c0w0k ini kemudian berkata. “Sekarang jelaskan ancaman apa yang mengancam diriku! Siapa yang ingin membunuhku!”
“Se0rang wanita , Pangeran. Dia dekat sekali dengan dirimu. Karena berada di dalam rumahmu…..”
“Apa?” bunyi Pangeran Sampurn0 menggeledek.
“Se0rang wanita berjulukan Nyi Gandasuri. Dia yang ingin membunuhmu! Malam ini!” kata Wir0.
“Kurang ajar! Nyi Gandasuri yakni istriku sendiri!” teriak Pangeran Sampurn0 dengan sepasang mata membeliak ibarat hendak keluar dari sarangnya.
“Memang dialah yang akan membunuhmu Pangeran. Membunuh dan menghisap darahmu…..”
“Jahanam! Istriku sedang tidur….”
“Memang dia kelihatan tidur. Tapi itu hanya s0s0k kasarnya. S0s0k halus atau jiwa raga , r0hnya berada di tempat lain. Di bawah kekuasaan jahat!”
“Pemuda keparat! 0takmu terperinci sinting dan mulutmu lancang kurang ajar!”
Pangeran Sampurn0 berteriak keras kemudian plaaakkkk!
Tangan kirinya melayang menampar pipi kanan Wir0 hingga bibir c0w0k ini luka dan berdarah.Wir0 mencicipi tubuhnya bergetar karena berusaha menindih gelagak amarah. Tangan kanannya melesat ke atas mencekal pergelangan tanagn Pangeran Sampurn0.
Pangeran Sampurn0 yakni salah s0erang pewaris tahta Kerajaan yang mempunyai kepandaian silat serta tenaga dalam dan kesaktian bukan sembarangan. Dia mengibaskan tangannya. Disangkanya sekali sentak saja cekalan Wir0 bisa dilepaskan. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika justru cekalan c0w0k itu semakin kuat.
“Kerahkan seluruh tenagamu. Luar dalam! Kesaktianmu sekalian! Dan akan kupatahkan tulang lenganmu dalam sekejap!” kertak Wir0 dalam hati. Pandangan matanya menembus ke dalam sepasang mata sang Pangeran , menciptakan tergetar hati Pangeran Sampurn0. Butir-butir keringat memercik di kening sedang punggung pakaiannya juga berair 0leh peluh.
“Pangeran , memang sulit mempercayai apa yang tadi saya katakan. Tapi saya tidak bicara dusta. Istrimu akan membunuhmu malam ini. Karena begitu perjanjiannya dengan dua mahluk iblis Maharaja dan Maharatu Langit Darah yang menguasainya!”
“Keparat! Biar kupecahkan kepalamu!” senak Pangeran Sampurn0 yang tentu saja tidak mau mempercayai ucapan c0w0k yang tidak dikenalnya itu. Malah dalam marahnya dengan cepat tangan kirinya dihantamkan ke bat0k kepala Pendekar 212. Namun serangan maut itu tidak sanggup mencapai target karena dikala itu juga Wir0 mendahului memuntir pergelangan tangan kanan Pangeran Sampurn0 hingga terdengar bunyi berkeretak tanda sambungan sikunya terlepas. Pangeran Sampurn0 menjerit setinggi langit. Wir0 d0r0ng tubuh 0rang itu hingga terjelapak di depan pintu.
“Bunuh c0w0k itu! Cincang hingga lumat!” teriak sang Pangeran.
Ki Ageng Bant0r0 yang pertama sekali mel0mpat ke hadapan Wir0. Tangan kiri mencekal sarung sedang tangan kanan memegang sebilah g0l0k panjang. Sambil mel0mpat kepala pengawal itu berteriak pada puluhan anak buahnya biar ikut menyerbu. Maka lebih dari dua puluh pengawal menyernag dengan aneka macam macam senjata.
“Tewas diriku!” keluh murid Sint0 Gendeng. 0taknya cepat bekerja , tubuhnya cepat menciptakan gerakan menyelamatkan diri. Yang pertama sekali dilakukan Wir0 yakni menghantam ke kiri dan ke kanan dengan pukulan “tameng sakti menerpa hujan” Dia sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam keras , cukup menciptakan hampir selusin pengawal berjungkalan m0rat marit. Gerakan kedua menyusul. Wir0 jatuhkan diri di lantai. Bukan saja untuk mengelakkan sambaran g0l0k di tangan Ki Ageng Bant0r0 tapi sekaligus untuk sanggup menggulingkan diri ke arah Pangeran Sampurn0 yang masih terkapar di lantai sambil pegangi tangan kanannya yang keple terg0ntai­g0ntai karerna tanggal sambungan sikunya.
Ki Ageng bant0r0 dan sekitar sepuluh pengawal jadi tertegun begitu melihat Wir0 mencekal leher pakaian Pangeran mereka ibarat membembeng seek0r kucing.
“Yang berani b0leh maju! Kalian akan lihat bagaimana kepala Pangeran kalian akan kubantingkan ke lantai hingga pecah!”
Ki Ageng Bant0r0 meradang tapi tidak bergerak. Begitu juga semua anak buahnya. Keadaan di tempat itu sunyi sesaat kecuali bunyi erangan pangeran Sampurn0 yang terdengar tidak berkeputusan.
Sambil menyeret sang Pangeran Wir0 melangkah mundur ke ujung langkan depan rumah besar. Ki Ageng Bant0r0 bergerak hendak mengejar.
“Eit!” seru Wir0 seraya angkat tubuh Pangeran Sampurn0 tinggi-tinggi , siap untuk membanting.
“Keparat!” maki Ki Ageng Bant0r0. “Aku bersumpah akan mencincangmu!”
Murid Sint0 Gendeng menyeringai. Jaraknya sudah cukup jauh. Tiba-tiba tangan kanannya digerakkan. Tubuh Pangeran Sampurn0 melayang di udara , melesat ke arah Ki Ageng Sampurn0.
“Pangeran!” seru Ki Ageng bant0r0 seraya memburu c0ba menangkap tubuh Pangeran Sampurn0. Sebaliknya sang Pangeran sendiri terdengar mendamprat.
“Pemuda keparat! Makan jariku!” teriak Pangeran Sampurn0 marah. Sambil menahan sakit pada tangan kanan dalam keadaan tubuh terlempar ibarat itu dia tusukkan dua jari tangan kirinya ke arah Wir0.
Wir0 melengak kaget melihat dua jari tangan sang Pangeran tiba-tiba berubah panjang dan menusuk ke arah kedua matanya! Inilah ilmu kesaktian yang disebut “dua jari akhirat”. Jangankan mata insan , batupun sanggup dibentuk b0l0ng!
Murid Sint0 Gendeng cepat menghindar dengan mel0mpat ke samping. Justru dari arah ini tiba-tiba se0rang pengawal tiba meny0ngs0ng dengan sebilah kelewang.
“Kebetulan sekali!” seru Wir0. Dengan gerakan kilat ditangkapnya lengan si penyerang kemudian ditariknya demikian rupa hingga kepala dan tubuhnya terlindung dari serangan “dua jari akhirat” Akibatnya terjadilah hal yang tidak disangka 0leh Pangeran maupun semua 0rang yang ada di situ.
Pengawal yang menyerang Wir0 menjerit keras. Dua tuskan jari Pangeran Sampurn0 bersarang di keningnya.
Cr0sss!
Dua l0bang terlihat di kening pengawal. Darah mengucur mengerikan. Di dikala itu pula tubuh Pangeran Sampurn0 jatuh ke bawah. Kalau tidak lekas ditangkap 0leh Ki Ageng Bant0r0 , Pangeran ini niscaya jatuh berdebam ke lantai batu! Celakanya karena tubuh Pangeran Sampurn0 lebih tinggi dan besar sedang Ki Ageng Bant0r0 kecil , di samping itu kaki kepala pengawal ini terpeleset pula di lantai yang licn 0leh darah maka tak ampun lagi dia terrsungkur. Tumpang tindih dengan Pangeran Sampurn0.
“Pangeran maafkan saya….” Kata Ki Ageng Bant0r0. Bersama beberapa 0rang pengawal dia men0l0ng Pangeran itu berdiri berdiri. Saat itu Pendekar 212 Wir0 Sableng tak kelihatan lagi di tempat itu. Pangean Sampurn0 merasa sekujur tubuhnya hirau taacuh 0leh keringa. Di antara rintih kesakitan dia berkata.
“Papah saya ke dalam kamar…..”
TIGA
Suatu malam , empat puluh hari sebelum kedatangan Pendekar 212 Wir0 Sableng ke tempat kediaman Pangeran Sampurn0.
Langit malam yang redup semenjak senja menjadi tambah suram dan kelam ketika bulan purnama ditutup awan hitam yang dihembuskan angin dari arah Selatan. Di sekitar p0h0n beringin besar yang memayungi bekas reruntuhan candi serta merta berubah gelap gulita. Desau angin tak kuasa memecah kesunyian yang mencekam. Tak sanggup mengibas daun-daun apalagi akar gantung pep0h0nan yang menjulai panjang.
Tiba-tiba di kejauhan ada bunyi derap kaki kuda ramai sekali. Semakin usang semakin keras mendekati reruntuhan candi. Tapi anehnya baik kuda maupun para penunggangnya tak satupun kelihatan. Suara derap kaki binatang-binatang itu menggemuruh se0lah menerjang batu-batu berlumut bangunan candi , kemudian bergerak kencang melewati arah kanan p0h0n beringin. Ketika bunyi derap kaki kuda itu melewati reruntuhan candi , sebuah stupa tanpa kepala kelihatan berg0yang-g0yang dalam gelapnya malam. Lalu ketika bunyi tanpa ujud itu melewati p0h0n beringin , akar-akar gantung p0h0n tampak berg0yang-g0yang! Mahluk apakah yang bersama-sama barusan lewat ditempat itu? Ser0mb0ngan hantu berkuda? Begitu gemuruh bunyi lenyap suasana kembali sunyi dan gelap. Namun tidak lama. Sesaat kemudian seakan-akan tiba dari langit yang kelam , di arah Timur terdengar suitan nyaring sekali , tiga kali berturut-turut. Senyap seketika. Lalu ibarat menyahuti suitan yang tiba dari Timur tadi , dari jurusan Barat berkumandang pula suitan keras tiga kali berturur-turut.
Begitu bunyi suitan lenyap , tepat di puncak p0h0n beringin besar terdengar
suara 0rang bertanya tapi s0s0knya sama sekali tidak kelihatan. “Siapa yang datang?!” “Kami dua 0rang angg0t dari tempat Selatan!” Ada bunyi jawaban.
Terdengar juga di sekitar puncak p0h0n beringin. “Sebutkan angka kalian!” “Aku 114!” “Dan saya 129!” “Sebutkan keperluan kalian!” “Kami ingin menghadap Maharaja dan Maharatu Langit Darah!” “Membawa urusan apa?!” “Kami mengantar se0rang tamu. Cal0n angg0ta baru!” “Lelaki atau perempuan? Sebutkan usianya!” “Perempuan. Sekitar dua puluh lima tahun!” “Masih gadis atau janda atau punya suami?!” “Punya suami!” “Cantikkan dia?!” “Hanya bidadari yang sanggup menandingi kecantikannya!” Sunyi sesaat. “Kalian berdua tunggu di pintu gerbang Timur! Kami akan menanyakan
apakah Maharaja dan Maharatu Langit Darah bersedia mendapatkan kalian!” Tak selang berapa usang terdengar bunyi suitan tiga kali berturu-turut. “Kalian diperkenankan menghadap Maharaja dan Maharatu langit Darah!” “Kalau begitu harap bukakan pintu!”
“Pintu segera kami buka. Ingat peraturan! Kalian tidak diperkenankan memandang ke atas! Atas yakni langit dan langit yakni penggalan jagat yang berada dalam kekuasaan Maharaja dan Maharatu Langit Darah! Apa jawab kalian?!”
“Kami akan mentaati peraturan!”
“Kalau kalian mendengar ketentuan , kalian sudah tahu eksekusi yang bakal dijatuhkan?”
“Sudah!”
“Sebutkan!”
“Kepala kami akan dijadikan kerikil ganjalan tiang Istana Langit Darah selama seratus hari! Sekarang harap buka pintu gerbang! Tamu yang kami bawa sangat keletihan!”
Terdengar bunyi berdesir halus. Lalu bunyi benda berat bergeser menggetarkan p0h0n beringin hingga ke akar-akarnya yang berada jauh dalam tanah.
“Pintu sudah dibuka! Lekas masuk!”
Terdengar lagkah-langkah kaki kuda yang kemudian disusul bunyi benda berat bergeser ibarat tadi. Lalu malam kembali dibungkus kesunyian.
Menjelang dini hari , ketika udara semakin hirau taacuh dan kegelapan malam masih pekat menghitam tiga ek0r kuda dalam keadaan tubuh berlapis debu dan keringat berhenti di depan serumpunan bambu kuning. Penunggang di kiri kanan turun dengan cepat. Mereka yakni dua 0rang lelaki berpakaian hitam , mengenakan t0pi kain hitam berkerucut yang sebelah depannya ada gambar kepala kelelawar bermata besar. Pada dada dan punggung baju mereka tertera angka 114 dan 129. Keudanya membantu turun penunggang kuda ketiga yang ternyata yakni se0rang wanita muda berwajah sangat el0k , berambut hitam dik0nde dan ditancapi sebuah tusuk k0nde terbuat dari emas berhias tiga buah berlian. Walau keliahtan mengenakan pakaian putih ringkas namun bersama-sama di bawah pakaian itu dia menggunakan kebaya beludru hijau serta kain panjang yang disingsingkan ke atas demikian rupa hingga memudahkannya menunggang kuda.
“Nyi Gandasuri , kita segera akan memasuki tempat bersemayam Maharaja dan Maharatu Langit Darah. Ingat pantangan utama. Jangan sekali-sekali berani memandang ke atas. Jangan salah bertindak , jangan keliru berucap. Sekali mereka tidak suka padamu bukan saja maksudmu akan menjadi batal tetapi mungkin kamu juga akan menjadi tumbal untuk nenek m0yang mereka. Jka kamu untung mungkin kepalamu dijadikan ganjalan tempat tidur atau almari pakaian Maharatu Langit Darah….”
Perempuan muda yang dipanggil dengan nama Nyi Gandasuri itu membisu saja. Wajahnya agak pucat karena kecapaian melaksanakan perjalanan jauh. Dia melangkah mengikuti dua 0rang berpakaian hitam yang meegang lengannya kiri kanan. Ketika dilihatnya dirinya dibawa ibarat hendak menabrak rerumpunan p0h0n bambu kuning , dia hentikan langkah. Tapi dua 0rang lelaki di kiri kanannya terus bergerak dan settt…..settt….sett. Dua 0rang lelaki itu dan juga dirinya menembus rumpunan bambu. Tak ada halangan , tak ada yang menahan. Mereka masuk ibarat melewati sebuah pintu terbuka. Lalu tiba-tiba saja di hadapannya Nyi Gandasuri melihat sebuah istana yang keseluruhan bangunannya berwarna merah basah. Perempuan berusia 25 tahun ini perhatikan warna merah berair itu. hatinya berdebar. Dia kurang percaya. Diulurkannya tangan memegang. Diperhatikannya jari-jari tangannya yang berair dan merah sambil dig0s0k-g0s0kkan satu sama lain.
“Darah….!” Desis Nyi Gandasuri dengan tangan bergetar. Dia memandang berkeliling kemudian membatin.
“Aneh…. Di luar sana tadi keadaanya malam dan gelap. Mengapa tiba-tiba di sini keadaanya siang terang benderang.”
“Nyi Gandasuri ,” bisik lelaki yang di bajunya ada angka 114. “Jaga segala tindakanmu. Sem0ga saja Maharaja dan Maharatu tida melihat waktu tadi kamu meraba dinding darah itu.”
Ketiganya mulai melangkah menaiki tangga depan istana yang terdiri dari dua puluh satu anak tangga.
Walau agak tercekat 0leh ucapan 114 tadi Nyi Gandasuri terus melangkah menaiki tangga. Di undakan ke 16 dia berkata.
“Saya lihat keadaan di sini sunyi-sunyi saja. Tak ada satu 0rangpun. Siapa yang melihat perbuatan saya tadi? Kecuali kalian melap0rkannya nanti…..”
“Jangan t0l0l Nyi Gandasuri!” bisik 129. “Kita bukan berada di dunia biasa ibarat di luar sana. Ini yakni dunia magis wilayah kekuasaan Maharaja dan Maharatu Langit Darah! Seribu mata bisa saja memperhatikan tindak tanduk kita dikala ini….!”
“Seribu mata…..?” ujar Nyi Gandasuri sambil melirik berkeliling.
Tiba-tiba terdengar bunyi menggema keras sekali. Tiga 0rang itu mencicipi jantung mereka berdenyut keras , kaki bergetar dan gendang-gendang pendengaran mendenging sakit.
“Suara apa itu…..?” tanya Nyi Gandasuri pucat.
“G0ng Keramat menandakan ruangan ke tempat di maan Maharaja dan Maharatu Langit Darah berada akan segera dibuka. Ingat , jangan sekali-sekali melihat ke atas!”
Nyi Gandasuri , 114 dan 129 melangkah terus. Mereka telah melewati langkan istana yang merupakan pintu besar. Tujuh langkan di depan pintu terbuka ini membentang sebuah tirai hijau muda tak tembus pandang. Sayup-sayup dari belakang tirai terdengar bunyi ibarat air memancur deras sekali.
“Suara apa itu?” tanya Nyi Gandasuri. Hatinya mendadak saja menjadi sangat tidak enak.
Baik 114 maupun 129 tidak menjawab. Nyi Gandasuri palingkan kepalanya pada114. Lelaki ini risik0nya membuka mulut. “Aku tak berani menerangkan. Kau lihat saja sendiri nanti….”
Terdengar bunyi mendesir. Tirai hijau terbuka ke kiri dan ke kanan. Nyi Gandasuri hampir tersurut sedang 114 dan 129 cepat-cepat tundukkan kepala. Setelah darahnya yang tersirap hening kembali Nyi Gandasuri c0ba memandang ke depan walau mukanya menjadi sangat merah.
Sekitar dua puluh langakh di hadapannya terpampang temb0k kerikil lebar dan tinggi berbentuk tebing-tebing kecil diselang seling 0leh p0h0n-p0h0n bunga. Di penggalan tengah ada patung kerikil sangat hidup dari se0rang lelaki dan se0rang wanita dalam keadaan tanpa pakaian tengah melaksanakan k0relasi tubuh dengan muka menghadap ke depan. Dari ekspresi mereka yang terbuka lebar , dari sepasang liang pendengaran , l0bang hidung , mata , dubur , serta kemaluan mereka mengucur keluar cairan merah pekat disertai menyambarnya busuk amisnya darah! Seluruh cairan mengucur ke bawah , masuk ke dalam sebuah k0lam besar. Dalam cairan darah di k0lam Nyi Gandasuri melihat ada ikan-ikan aneh berkeliaran , tetapi yang menyeramkan yakni bahwa juga di dalam k0lam itu penuh dengan tengk0rak kepala serta tulang belulang manusia! Secara aneh cairan darah dalam k0lam terus naik ke atas kemudian turun kembali ke dalam k0lam lewat l0bang-l0bang di kepala dan aurat dua patung kerikil insan tadi hingga cairan darah dalam k0lam tidak pernah penuh atau luber.
Berdiri bulu tengkuk Nyi Gandasuri menyakdikan pemandangan itu. kemudian didengarnya 129 berkata. “Arah sini Nyi Gandasuri….” Lelaki itu melangkah mendahului ke samping kanan dinding batu. Kawannya mengikuti , Nyi Gandasuri cepat-cepat membuntuti keduanya.
Di samping kanan dinding kerikil itu terdapat sebuah tangga menurun. Ketika hingga di anak tangga terakhir Nyi Gandasuri terkesiap 0leh satu pemandangan taman yang indah luar biasa. Di mana-mana bunga-bunga kelihatan warna-warni menebar busuk wangi. Beberapa ek0r burung bertengger di cabang rendah p0h0n-p0h0n sambil berkicau-kicau. Lalu ada sebuah pedataran rumput.
Di pertengahan pedataran ada sebuah bangunan tanpa dinding berbentuk j0gl0 tiga tingkat. Tiang-tiang bangunan dan keseluruhan atau berwarna merah darah. Di bawah atap ada dua buah dingklik panjang beralas kain beludru merah dilengkapi bantalan-bantalan empuk.
Pada dingklik panjang sebelah kanan berbaring bermalas-malas satu s0s0k mempunyai wajah nenek keriput beralis merah mencuat ke atas , bermata merah menggidikkan. Rambutnya yang panjang berserakan juga berwarna merah. Perempuan renta ini memelihara kuku panjang melengkung juga berwarna merah. Tubuhnya ditutupi sehelai kain berbentuk selendang dan panjang , berwarna merah. Begitu tipisnya selendang lebar ini sehingga si nenek nyaris terlihat telanjang bulat. Pada kening si nenek menempel sebuah permata merah sebesar kuku ibu jari tangan yang memancarkan sinar gemerlapan.
Di dingklik panjang sebelah kanan berbaring se0rang kakek berambut merah menjulai bahu. Seperti si nenek dia juga mempunyai alis mencuat ke atas , sepasang mata dan kuku panjang berwarna merah. Di keningnya menempel sebuah permata yang memancarkan sinar merah. Ketika menyeringai kelihatan f0rmasi gigi-giginya berbentuk runcing-runcing dan merah. Auratnya juga hanya dilindungi sehelai selendang tipis merah hingga dirinya tak beda ibarat telanjang saja. Bulu-bulu dadanya kelihatan lebat berwarna merah. Sambil berbaring-baring si nenek melahap buah-buahan sedang si kakek asyik menggerag0t paha kambing panggang.
Sepasang kakek nenek aneh angker inilah yang dikenal sebagai Maharaja dan Maharatu Langit Darah. Keduanya sama memalingkan kepala ketika melihat kedatangan anak buah mereka 114 dan 129 membawa se0rang wanita muda berwajah sangat cantik.
Si nenek eksklusif campakkan buah yang tengah di makannya sedang si kakek buang begitu saja paha kambing panggang. Keduanya bergerak berdiri dan duduk di pinggiran dingklik panjang. Sepasang mata masing-masing berkilat-kilat memancarkan sinar merah memperhatikan wajah dan tubuh Nyi Gandasuri.
“Maharatu , hari ini kita menerima rejeki besar rupanya!” kata Maharaja langit Darah.
Si nenek menyeringai. Dari mulutnya keluar air liur. Berwarna merah. Air liur darah!
“Kau membisu saja , saya yang bakal menanyai!” kata si nenek.
Maharaja Langit Darah basahi bibirnya dengan pengecap merah berdarah. “Kau menanyai b0leh saja. Tapi ingat , saya yang menerima penggalan lebih dulu!”
“Enak saja! Apa kamu lupa perjanjian?! Jika yang tiba wanita maka dia jadi bagianku! Kau b0leh sanggup sisa! Hikkkk…..hik….. hik…..!”
EMPAT
Ketika berdiri dari berbaring dan duduk di tepi tempat tidur , selendang yang menutupi tubuh kakek nenek itu mer0s0t jatuh ke pangkuan hingga aurat mereka sebelah atas terbuka lepas. Nyi Gandasuri yang memang ber0tak terpelajar eksklusif saja melihat keanehab pada dua s0s0k tubuh ini. Sebagai 0rang-0rang yang lanjut usia seharusnya si nenek akan mempunyai dada rata , payudara leper bergelayutan samapi ke pinggang. Tapi yang terlihat dikala itu justru satu tubuh wanita yang putih bagus dan masih kencang. Begitu juga dengan keadaan tubuh si kakek. Di usia ibarat itu dadanya akan kelihatan tipis dan tulang-tulang iganya akan bersembulan keluar. Tapi yang terlihat justru satu s0s0k tubuh k0k0h tertutup bulu-bulu lebat berwarna merah di penggalan dada.
Dua lelaki yang membawa Nyi Gandasuri berlutut di hadapan kakek nenek itu. salah se0rang dari mereka kemudian berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas diikuti 0leh s0bat di sebelahnya.
“Salam darah untuk Yang Mulia Maharaja dan Maharau Langit Darah!”
Maharaja Langit Darah angkat tangan kirinya sedikit. Telapak tangannya ternyata berwarna merah. Kedua matanya tak berkesip memandang wajah dan tubuh Nyi Gandasuri. Sementara sang Ratu menyeringai sambil cibirkan bibir.
“Lekas sampaikan lap0ran kalian! Tengg0r0kanku mendadak kering. Hik….hik….hik!” kata Maharatu Langit Darah pula. Dia menggeliatkan hingga payudaranya membusung kencang ke depan dan mencuat tegang ke atas. 114 dan 129 cepat menunduk tak berani menikmati pemandangan yang merangsang itu.
114 membuka mulut. “Kami tiba membawa se0rang cal0n angg0ta. Namanya Nyi Gandasuri , usia 25 tahun…..”
Maharaja Langit Darah angkat tangannya. “Sudah….. sudah! Kalian berdua b0leh pergi. Hasil pekerjaan kalian akan kucatat dalam Buku Daftar Kabajikan Darah. Kalau sudah banyak kelak kalian akan dapatkan hadiah besar!”
“Terima kasih Maharaja Langit Darah ,” kata114 dan 129 berbarengan. Kedua 0rang ini menjura kemudian memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
Maharaja Langit Darah gulungkan selendang merahnya untuk menutupi aurat sebelah bawah. Lalu dia berdiri.
“Perempuan muda , namamu Nyi Gandasuri. Betul…..?”
Nyi Gandasuri mengangguk.
Sepasang mata yang merah dari Maharaja Langit Darah merayapi wajah dan sekujur tubuh Nyi Gandasuri. Ujung lidahnya berkali-kali diulurkan untuk membasahi bibir.
“Banyak 0rang tiba ke istana ini , membawa seribu satu macam maksud dan rencana. Harap katakan apa maksud kedatanganmu ke tempat ini. dan juga apakah kamu sudah diberi tahu 0leh dua 0rang anak buahku tadi segala tata hukum di tempat ini , segala tata hukum untuk menjadi angg0ta keluarga Istana Langit Darah?”
“Mereka memang sudah memberi tahu ,” jawab Nyi Gandasuri. “Hanya saja saya pikir tentunya saya akan menerima keterangan lebih terperinci dan lebih banyak dari Maharaja dan Maharatu….”
“Bagus , kamu bukan saja el0k jelita , mempunyai tubuh bagus tapi juga punya 0tak pintar dan cerdik. Sekarang…..”
Sampai di situ Maharatu langit Darah tiba-tiba berdiri. “Cukup! Kau b0leh duduk Maharaja. Pertanyaan selanjutnya saya yang akan mengajukan!”
Waktu berdiri tadi , tidak ibarat Maharaja , sang ratu terus saja berdiri tanpa memperhatikan keadaan dirinya. Atau mungkin saja dia memang sengaja berbuat begitu. Selendang merah yang menutupi tubuhnya mer0s0t jatuh ke tanah hingga dia berdiri dala keadaan bugil. Mau tak mau Nyi Gandasuri jadi jengah juga melihat keadaan sang Ratu itu.
“Nyi Gandasuri , sebelum kamu katakan apa maksud tujuan kedatanganmu ke sini , ada satu hal yang harus kamu ketahui. Siapa saja yang tiba ke Istana Langit Darah , lelaki atau wanita , renta atau muda , el0k atau buruk , kaya atau miskin akan punya beberapa pilihan. Pertama kecil sekali kemungkinan bahkan hampir tak pernah dia akan keluar dari sini hidup-hidup tepat ibarat layak kedatangannya pertama kali. Kedua dia harus meninggalkan tubuh kasarnya hingga simpulan zaman di tempat ini dan hanya tubuh halusnya yang kaan keluar dari sini. Ketiga bisa juga hanya tubuh kasarnya yang meninggalkan tampat ini tetapi r0h halusnya mendekam hingga simpulan zaman di tempat ini.”
“Saya sudah mendengar hal itu dari dua 0rang anak buahmu Maharatu ,” menjelaskan Nyi Gandasuri.
“Bagus , berarti kita bisa mempersingkat waktu. Pilihan mana yang akan nanti menjadi hanya saya dan Maharaja yang tetapkan , bukan dirimu. Sekarang harap kamu katakan apa maksud tiba ke sini yang berarti siap menjadi angg0ta keluarga Istana Langit Darah….. Turut penglihatanku , karena kamu sudah bersuami maka tentu maksudmu ada sangkut pautnya dengan diri suamimu….”
“Benar sekali Maharatu.”
“Siapa nama suamimu Nyi Gandasuri?” tnaya Maharatu Langit Darah pula.
“Suami saya Pangeran Sampurn0 Tj0kr0 Adiningrat…..”
Maharatu Langit Darah keluarkan ajakan tertahan sedang Maharaja Langit Darah saking kagetnya sampai-sampai selendang tipis merah yang menutupi aurat sebelah bawah jatuh ke tanah. Dan dia tidak berusaha mengambilnya kembali! Dia tegak dengan mata mel0t0t , menatap wanita di hadapannya sambil membayangkan bagaimana kira-kira kalau wanita muda el0k jelita di hadapannya itu berada dalam keadaan telanjang bulat. Kini dua 0rang bugil berdiri di hadapan Nyi Gandasuri , menciptakan perempua muda ini jadi merah mukanya dan cepat­cepat tundukkan kepala.
“Pangeran Sampurn0 , salah se0rang pewaris syah tahta Kerajaan!” ujar
Maharatu Langit Darah. “Betul Maharatu , memang dia 0rangnya. Namun…….” “Namun apa Nyi Gandasuri?” tanya Maharaja Langit Darah. “Suami saya tak akan pernah jadi Raja.” “Eh! Mengapa kamu berkata begitu?” tanya Maharatu Langit Darah.
“Dia hanya pewaris ketiga. Sebelum dia masih ada dua 0rang kakak satu darah. Satu lelaki satu perempuan. Selain itu suami saya tidak disukai 0leh 0rang-0rang dalan Kerat0n….”
“Hemmmm …… saya tahu kini ,” kata Maharatu Langit Darah. “Kedatanganmu ke mari musti ada sangkut pautnya dengan diri suamimu dan tahta Kerajaan….”
“Betul Maharatu.”
“Kalau begitu sebutkan saja apa maumu!” ujar sang Ratu pula.
“Sejak usang saya menginginkan untuk menjadi istri se0rang Raja. Menjadi istri pertama tentu saja tidak mungkin. Menjadi selir saya tidak mau. Sri Baginda dikala ini telah punya dua istri. Saya ingin menduduki tempat sebagai istri ketiga. Tapi itu tahap pertama saja……”
“Maksudmu?” bertanya Maharaja Langit Darah.
“Setelah saya jadi istri ketiga , satu persatu dua istri Sri Baginda harus disingkirkan. Hingga saya risik0nya menjadi istri pertama…..”
Maharaja dan Maharatu Langit Darah saling berpandangan. Lalu kedua insan aneh ini tertawa gelak-gelak.
Sambil usap-usap dadanya sendiri Maharatu Langit Darah berkata. “Kecantikan dan kebagusan p0t0ngan tubuhmu memang bisa kamu jadikan bekal pertama untuk mendampingi Sri Baginda sebagai Permaisuri. Lalu kepandaian dan kecerdikan 0takmu yakni m0dal kedua yang tak kalah pentingnya. Namun semua m0dal itu tidak ada artinya jikalau kamu tidak punya kemampuan untuk mewujudkan cita­citamu….”
“Itu sebabnya saya tiba kemari , siap menjadi angg0ta dan minta pert0l0ngan serta petunjuk bagaimana supaya saya bisa mencapai maksud itu.”
Maharatu Langit Darah tiba-tiba tertawa panjang.
“Kau tiba ke tempat yang tepat Nyi Gandasuri! Jika segala syarat bisa kamu penuhi , urusan selanjutnya hanya s0al mudah.”
“Saya m0h0n Maharatu mau menyampaikan syarat itu ,” kata Nyi Gandasuri pula.
Maharatu langit Darah tidak menajwab melainkan melangkah mendekati Nyi Gandasuri. Di hadapan istri Pangeran Sampurn0 itu dia berhenti sesaat guna menatap kecantikan wajahnya kemudian mengulurkan tangan mengusap pipi dan dagu Nyi Gandasuri. Mendadak saja Nyi Gandasuri merasa bulu kuduknya merinding. Tapi dikala itu dia hanya bisa tegak berdiam diri sambil tundukkan kepala. Kemudian Maharatu Langit Darah melangkah berputar mengelilingi dirinya hingga tiga kali.
“Sempurna……sempurna sekali ,” kat asang Ratu dalam hati dengan pandangan mata merah berkilat-kilat. “Belum pernah saya melihat wanita dengan kecantikan dan kemulusan kulit sesempurna dirinya. Tapi saya harus menilik dulu hingga ke dalam-dalam….”
Tiba-tiba Maharatu Langit Darah hentikan langkah tepat di hadapan Nyi Gandasuri.
“Nyi Gandasuri , di tempat ini terdapat banyak pantangan. Satu di antaranya para cal0n angg0ta tidak diperkenankan menggunakan perhiasan dalam bentuk apapun. Kulihat kamu menggunakan kalung emas bermata berlian , gelang , dan tiga cincin. Harap semua perhiasan itu dibuka dan serahkan padaku!”
Nyi Gandasuri tak segera melaksanakan apa yang diperintahkan Maharatu Langit Darah. Kepalanya diangkat. Pandangannya bertemu dengan pandangan sang Ratu. Tiba-tiba saja ada rasa takut dan patuh dalam diri istri Pangeran Sampurn0 itu. semua perhiasan yang menempel di badannya segera ditanggalkan kemudian diserahkan pada Maharatu Langit Darah. Sang Ratu eksklusif saja mengenakan semua perhiasan itu ke leher , pergelangan tangan , pendengaran dan jari-jarinya. Lalu sambil melangkah mundar mandir dia berkata.
“Nyi Gandasuri harap kamu mendengar baik-baik. Aku hanya bicara satu kali saja. Kau tidak diperkenankan men0lak atau membantah. Jika itu kamu lakukan bukan saja apa yang kamu inginkan tidak akan kesampaian , tetapi kamu juga akan terpaksa meninggalkan tempat ini secara tidak sempurna. Entah tubuh kasarmu yang pergi entah hanya r0h halusmu. Sekali lagi dengarkan baik-baik. Kau siap?”
“Saya siap Maharatu ,” kata Nyi Gandasuri.
“Untuk mencapai maksud besarmu menjadi permaisuri Sri baginda , pertama sekali kamu harus menyingkirkan penghalang paling dekat dalam kehidupanmu. Si penghalang yakni suamimu sendiri. Kau harus menyingkirkan Pangeran Sampurn0. Dengan kata lain kamu harus membunuhnya!” Sampai di situ Maharatu Langit Darah hentikan ucapannya dan juga langkah kakinya. Dia melirik pada Nyi Gandasuri dan melihat wajah wanita muda itu menjadi pucat.
“Kau hendak menyampaikan sesuatu Nyi Gandasuri?”
“Bisakah pembunuhan itu diserahkan dan dilakukan 0leh 0rang lain?”
Maharatu menyeringai. “Tang punya cita-cita untuk jadi istri Raja yakni kamu , bukan 0rang lain! Kaprik0rnus pertanyaanmu yakni pertanyaan t0l0l!” si nenek cemberut sesaat. Lalu dia meneruskan. “Kematian suamimu akan menjadi isu besar di seanter0 Kerajaan. Akan hingga ke pendengaran Sri Baginda. Kau akan mendapatkan perhatian dari padanya. Bukan saja karena kamu janda dari adiknya tetapi juga karena kamu mempunyai kecantikan dan kebagusan tubuh yang tidak ada tandingnya di Kerajaan. Ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan?”
Nyi Gandasuri menggeleng.
“Selanjutnya kamu harus menyingkirkan penghalang kedua dan ketiga. Yaitu kakak lelaki dan kakak wanita Pangeran Sampurn0. Setelah itu kamu lakukan , giliranmu untuk menyingkirkan penghalang berikutnya yakni Permaisuri dan istri kedua Sri baginda. Kau bersedia melaksanakan hal itu?”
“Saya bersedia Maharatu. Hanya saja saya ingin petunjuk bagaimana saya sanggup melakukannya. Mereka semua cal0n k0rban itu yakni 0rang-0rang penting yang dikelilingi 0leh banyak pengawal…..”
“Dengan ilmu yang akan kami berikan padamu , kamu sangat simpel bisa membunuh semua 0rang itu. kamu tidak memerlukan senjata apapun. Tidak pisau , g0l0k atau pedang , bahkan racunpun tidak! Kau akan membunuh mereka dengan jelan menyed0t darah mereka dari ubun-ubun masing-masing!”
Terkejutlah Nyi Gandasuri mendengar hal itu.
Sang Ratu dan Maharaja Langit Darah justru tertawa mengekeh.
“Bagaimana mungkin saya melaksanakan hal itu Maharatu?”
“Mengapa kamu harus bertanya begitu? Bukankah saya sudah bilang tadi. Dengan ilmu yang akan kami berikan padamu , kamu bisa melaksanakan pembunuhan itu dengan mudah…..”
“Kalau begitu saya siap menunggu petunjuk selanjutnya ,” kata Nyi Gandasuri pula dengan bunyi bergetar.
“Syarat berikutnya marupakan pemanis yang dilarang kamu lalaikan ,” Maharatu meneruskan ucapannya. “Selama kamu menjadi angg0ta keluarga Istana Langit Darah , setiap tiga bulan sekali kamu harus mencari darah segar yang harus kamu dapatkan dari k0rbanmu yaitu anak kecil berusia tujuh bulan ke bawah. Ketentuan itu berlaku seumur hidupmu ke anak cucu dan cicit , hingga kiamat! Jika kamu atau anak keturunanmu lalai melakukannya maka kamu atau mereka akan dipergunakan sebagai pengganjal tiang Istana atau penupang p0h0n-p0h0n besar di tempat ini selama empat puluh malam! Ada yang hendak kamu tanyakan Nyi Gandasuri?”
Yang ditanya dikala itu berada dalam keadaan terkesiap. Dia tak bisa berpikir panjang dan eksklusif saja gelengkan kepala.
“Syarat selanjutnya Nyi Gandasuri….. Setiap cal0n angg0ta keluarga Istana Langit Darah harus diteliti keadaan tubuhnya0leh kami berdua. Untuk itu pertama sekali kamu harus ikut ke kamarku. Aku sudah tua. Mataku kurang awas. Kaprik0rnus perlu waktu usang untuk melaksanakan pemeriksaan. Kau harus melayaniku selama satu hari satu malam…..” habis berkata begitu si nenek tertawa cekikikan.
LIMA
Maharaja Langit Darah tak mau ketinggalan. Cepat-cepat dia menimpali. “Selesai dia melaksanakan investigasi , kamu akan kubawa ke tempat ku. Mungkin saya butuh waktu lebih usang dari dia. Paling tidak sekitar tiga hari tiga malam….”
Nyi Gandasuri tidak berkata apa-apa. Dia memang sudah mendengar hal atau hukum itu dari dua lelaki yaitu 114 dan 129 yang membawanya ke tempat itu. Istri Pangeran Sampurn0 ini kemudain digandeng tangannya 0leh sang Ratu meninggalkan tempat itu. ternyata dia dibawa melewati sebuah jalan kecil yang di kiri kanannya membentuk jurang-jurang kerikil tak seberapa dalam. Lapat-lapat Nyi Gandasuri mendengar bunyi 0rang mel0l0ng , menjerit-jerit. Laalu ada juga bunyi erangan.
“Buka matamu lebar-lebar. Perhatikan kiri kaan jalan!” kata Maharatu Langit Darah.
Ketika Nyi Gandasuri melaksanakan apa yang dikatakan si nenek , parasnya menjadi pucat. Kuduknya merinding dan langkahnya jadi terhuyung-huyung.
Di sepanjang jurang sebelah kanan dilihatnya enam 0rang lelaki menggeletak dengan kepala ditindih kerikil besar. Walau kepala mereka sudah gepeng , 0tak dan darah berbusai keluar namun mereka tidak mati. Dari muut keenam 0rang ini keluar jeritan kesakitan tiada henti. Lalu di penggalan lain jurang empat lelaki tampak terbaring menelentang. Kaki masing-masing terkangkang lebar. Sebuah kerikil besar berwarna merah seakan-akan menyala menindih kemaluan mereka. Jerit keempat lelaki ini paling keras di antara jeritan-jeritan insan yang tersiksa lainnya.
Karena tak kuasa menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu Nyi Gandasuri berpaling ke kiri. Tetapi apa lacur. Justru di sepanjang jurang sebelah kiri dia melihat pemandangan yang tak kalah seramnya.
Tiga 0rang wanita dalam keadaan bugil diikat ke sebuah tiang. Puluhan ular menjilati sekujur tubuh mereka. Mematuk muka dan kepala serta sekujur aurat. Bahkan ada di antara binatang-binatang itu menembus masuk ke dalam ekspresi , lubang dubur dan lubang kemaluan mereka. Nyi Gandasuri pejamkan kedua matanya. Kalau tidak dipegang 0leh Maharatu Langit Darah , wanita ini niscaya sudah r0b0h pingsan karena ketakutan. Kemudian didengarnya si nenek tertawa panjang.
“Mahluk apa dia sebenarnya……” kata Nyi Gandasuri dalam hati. “Di tempat ibarat ini masih bisa tertawa…..”
“Buka matamu Nyi Gandasuri. Kalau kamu pejamkan hanya akan menambah rasa takut….”
Perlahan-lahan sambil melangkah mengikuti si nenek yang terus memegang tangannya Nyi Gandasuri membuka kedua matanya. Dia tak sanggup menahan jeritan ketika dua matanya terbuka di depannya terpampang satu s0s0k tubuh perempuna , dipancung pada sebuah t0mbak besi , mulai dari ubun-ubun hingga ke dubur , kepala ke bawah kaki ke atas! Darah mengucur dari bat0k kepalanya membasahi tambut kemudian mengucur jatuh ke dasar jurang batu. Darah juga mengucur dari dubur dan kemaluannya. Dari mulutnya yang juga mengeluarkan darah wanita ini mengerang perlahan , mungkin sedang sekarat.
“Semua 0rang yang kamu lihat tengah menjalani eksekusi karena kesalahan. Mereka semua yakni angg0ta keluarga Istana Langit Darah. Mereka disiksa demikian rupa tidak hingga menemui ajal. Berjalan terus , kamu akan melihat cara kami menyiksa 0rang-0rang bersalah lainnya…..”
Nyi Gandasuri tak bisa berbuat lain. Dia melangkah terus tetapi kedua matanya tak mau lagi dibukanya. Si nenek tertawa cekikikan. Nyi Gandasuri tidak tahu entah berapa usang dia melangkahkan kakinya , se0lah berhari-hari rasanya hingga risik0nya terdengar kembali bunyi Maharatu Langit Darah yang memegang lengannya itu.
“Kita sudah hingga di ujung jalan. Kalau tadi kamu tak mau melihat manusia­manusia disiksa itu , tak jadi apa. Sekarang buka matamu…..”
Perlahan-lahan Nyi Gandasuri membuka kedua matanya. Dia memandang berkeliling dengan terheran-heran.
“Aneh , bagaimana tahu-tahu saya berada di tempat ini?” Istri Pangeran Sampurn0 itu bertanya dalam hati. Saat itu didapatinya dirinya bersama maharatu Langit Darah berada dalam sebuah kamar sangat bagus. Sebuah ranjang tinggi terbuat dari besi berlapis kuningan berkilat terletak di tengah ruangan yang lantainya diberi alas permadani. Nyi Gandasuri tidak melihat jendela ataupun lampu namun anehnya ruangan besar itu berada dalam keadaan terang benderang.
Maharatu Langit Darah duduk di tepi ranjang. Sesaat dia menatap wajah Nyi Gandasuri lekat-lekat kemudian setengah berbisik dia berkata. “Buka pakaianmu Nyi Gandasuri…..”
“Saya…..”
“Jangan hingga saya yang melakukannya!” Maharatu langit Darah berkata dengan senyum dikulum tetapi sepasang matanya membersit sinar merah mengancam.
Mau tak mau perlahan-lahan Nyi Gandasuri membuka baju luarnya.
“Terus….terus…. mengapa berhenti?! Buka semua pakaian yang menempel di tubuhmu! Jangan ada yang tersisa….”
Ny Gandasuri mencicipi dadanya sesak dan tengg0r0kannya kering. Tangannya bergetar. Si nenek jadi tidak sabaran. Dia mel0mpat ke hadapan Nyi Gandasuri. Dua tangannya bergerak. Sepuluh jari yang berkuku-kuku panjang merah berkelebat.
Brettt…..bretttt!
Pakain Nyi Gandasuri r0bek hampir di setiap penggalan hingga risik0nya jatuh ke atas permadani. Perempuan muda ini menutupkan kedua tangannya ke ekspresi aga tidak berteriak ketika dia menyadari bahwa dikala itu seluruh pakaiannya telah tanggal dari auratnya!
Maharatu Langit Darah mundur dua langkah. Kedua matanya jelalatan ke wajah dan sekujur tubuh Nyi Gandasuri. Dua 0rang wanita yang sama-sama bugil itu untuk beberapa usang saling pandang.
“Wajahmu cantik….. tubuhmu benar-benar sempurna. Kau memang layak jadi Permaisuri Sri Baginda. Tapi melayani diriku lebih dulu yakni kewajiban ang tak bisa kamu t0lak….” Si nenek bergerak mendekati Nyi Gandasuri. Kedua tangannya dikembangkan. Lalu dia merangkul tubuh istri Pangeran Sampurn0 itu dengan penuh nafsu. Nyi Gandasuri jadi bergidik ketika insan itu menempelkan wajahnya ke dadanya dengan penuh nafsu. Bibirnya bergerak liar , lidahnya menjilat-menjilat. Sebentar saja dada Nyi Gandasuri telah berair 0leh darah yang keluar dari ekspresi Maharatu Langit Darah itu!
Nyi Gandasuri terbaring letih dan pucat di atas tempat tidur. Matanya terpejam , kepalanya terasa berat.
“Nyi Gandasuri….. hari ini kamu bebas. Kau b0elh pergi untuk mengatur segala apa yang menjadi niatmu….”
Perlahan-lahan dua mata wanita muda itu terbuka. Ditatapnya langit­langit kamar beberapa lama. Tiba-tiba dia ibarat melihat dua buah wajah di atas kamar itu. mula-mula samar. Perlahan-lahan mulai jelas. Lalu mendadak terdengar bunyi membentak marah.
“Kau berani melanggar pantangan! Berani memandang ke atas!”
Bayangan dua wajah di langit-langit kamar serta merta lenyap.
Nyi Gandasuri cepat berdiri kemudian duduk nanar di tepi ranjang.
“Maafkan saya Maharatu. Sekujur tubuh saya terasa sakit. Kepala saya berat dan pusing. Pemandangan ibarat berkunang…..”
“Hemmmmm….. biarlah sekali ini saya berbaik hati padamu! Seharusnya sebagai eksekusi kepalamu dijadikan ganjalan salah satu tiang Istana! Lekas kenakan pakaianmu dan pergi dari sini!”
Nyi Gandasuri terkejut. Baru dia sadar kalau dikala itu tubuhnya tidak tertutup selembar benangpun! Dipandanginya tubuhnya. Dia jadi merinding sendiri. Hampir seluruh badannya berwarna merah 0leh darah dan luka-luka ibarat bekas gigitan. Dia memandang berkeliling. Pakaiannya bergeletakan di mana-mana dalam keadaan r0bek. Dari pada tidak berpakaian sama sekali lebih baik mengenakan baju dan kain r0bek.
Sebelum dia mengenakan pakaian yang r0bek-r0bek iu Maharatu Langit Darah mengulurkan sebuah tabung kecil dari bambu. “Kau tak usah kawatir dengan darah dan gigitan di sekujur tubuhmu! 0leskan minyak ini , kamu akan kembali mulus.”
Mula-mula Nyi Gandasuri agak ragu-ragu. Namun risik0nya diambilny juga tabung bambu itu. minyak berbau harum yang ada di dalam tabung di0leskannya ke seluruh penggalan tubuhnya yang bern0da darah serta ada bekas gigitan. Sungguh ajaib. Semua n0da dan bekas gigitan itu lenyap seketika! Nyi Gandasuri kembalikan tabung minyak aneh itu kemudian cepat-cepat mengenakan pakaiannya.
Sambil mengenakan pakaiannya wanita muda ini mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Bulu kuduknya merinding. Dalam hati dia merutuk habis-habisan. “Manusia iblis! Bagaimana mungkin ada wanita ibarat dia?! Wajah dan keadaan tubuh berlainan. Menggauli diriku yang sama perempuannya ibarat dia….. Mahluk jahanam! Terkutuk kamu hingga hari kiamat! Kalau tidak ingat pada tujuan semula mau rasanya saya bunuh diri dikala ini juga!”
Begitu selesai berpakaian Nyi Gandasuri cepat melangkah ke pintu.
“Eitt! Tunggu dulu!”
Nyi Gandasuri hentikan langkahnya seraya berpaling. “Ada apa lagi Maharatu? Bukankah kamu tadi memperb0lehkan saya pergi…..?” “Betul. Tapi dengan muka pucat dan rambut berserakan ibarat itu apa kau
kira Maharaja Langit Darah akan suka melihatmu?” “Apa maksudmu Maharatu?” tanya Nyi Gandasuri. Manusia berwajah nenek tapi berbadan ibarat gadis yang sedang mekar itu
tertawa panjang. Dililitkannya selendang merahnya ke tubuh kemudian berkata. “Apa kamu lupa perjanjian? Setelah melayani diriku kamu harus melayani Maharaja Langit Darah?!”
Langsung Nyi Gandasuri mencicipi tubuhnya bergetar. Lututnya g0yah. Kalau tidak berpegangan pada tiang di kepala tempat tidur mungkin dia sudah jatuh terduduk.
“Sisir rambutmu , bedaki wajahmu! Kalau Maharaja Langit Darah puas dengan pelayananmu , niscaya dia bisa memepercepat semua yang menjadi keinginanmu….” “Rasanya saya lebih baik mati saja dikala ini!” batin istri Pangeran Sampurn0 ini menugucap ibarat itu. dia memandang ke pintu.
“Kau telah melanggar peraturan satu kali Nyi Gandasuri! Ingat , saya tidak akan mengampuni dirimu hingga dua kali!”
Mau tak mau Nyi Gandasuri risik0nya berdandan juga. Selesai menyisir rambutnya didapatinya Maharatu Langit Darah tak ada lagi di tempat itu. bergegas dia menuju ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka wanita ini hampir menjerit karena kagetnya. Di hadapannya berdiri Maharaja Langit Darah berkacak pinggang sambil sunggingkan seringai menggidikkan. Sepasang matanya menatap Nyi Gandasuri berkilat-kilat.
“Dua hari dua malam saya menunggumu! Kalau pagi ini kamu tidak juga keluar niscaya sudah kud0brak pintu dan kulempar keluar Maharatu itu….”
“Maharaja…… Saya sangat letih. Mungkin sakit. Izinkan saya….”
Maharaja Langit Darah tertawa gelak-gelak. Air liurnya yang berwarna merah hingga bercucuran.
“Jangan kawatir. Aku tahu bagaimana caranya melenyapkan keletihanmu. Bagaimana menyembuhkan penyakitmu….” Tiba-tiba Maharaja Langit Darah memeluk Nyi Gandasuri kemudian penuh nafsu dikecupnya bibir wanita itu hingga Nyi Gandasuri menggeliat ngeri dan jijik!
Maharaja Langit Darah kembali tertawa bergelak. Tiba-tiba ditangkapnya tubuh Nyi Gandasuri , dig0t0ngnya kemudian dilarikannya memasuki sebuah kamar.
ENAM
Kuda c0klat yang ditunggangi Pendekar 212 Wir0 Sableng berlari tersendat­sendat. Saat itu dia berada di satu pedataran yang penuh ditumbuhi alang-alang setinggi dada. Tak jauh di sebelah Timur tempat kediaman Pangeran Sampurn0. Jalan kecil berbatu-batu yang membujur dari timur ke arah barat memang sulit untuk dilewati. Namun murid Sint0 Gendeng ini segera maklum kalau larinya kuda yang tersendat-sendat bukan karena jalan yang kecil dan berbatu-batu.
“Kuda….. jikalau kamu mencium ancaman , hentikan larimu ,” kata Wir0 sambil usap leher kuda itu.
Seperti mengerti ucapan penunggangnya kuda c0klat hentikan lari. Kepalanya ditundukkan menusup alang-alang. Dari mulutnya keluar bunyi menggemb0r sedang ek0rnya berputar-putar tak bisa diam.
Wir0 memandang berkeliling. Sunyi dan kelam. Ujung alang-alang kelihatan bergerak-gerak ibarat 0mbak 0leh tiupan angin. Di empat tempat gerakan alang­alang itu ibarat terbelah. Murid Sint0 Gendeng serta merta berlaku waspada. Telinganya tak sanggup menangkap bunyi apa-apa namun matanya tak bisa ditipu. Belahan alang-alang di empat tempat hanya bisa terjadi kalau ada sesuatu yang bergerak.
“Mungkin hewan , mungkin juga insan ,” membatin Wir0.
“Jika insan berarti mempunyai kepandaian tinggi. Suara gerakannya tidak kedengaran. Ada empat 0rang. Hemmmm……”
“Kuda , ada empat mahluk hendak mencari kenal. Sebaiknya kamu jangan iktu campur! Cepat lari dari sini. Ikuti terus jalan di depanmu. Tunggu saya di ujung jalan!” habis berbisik di pendengaran kuda , Wir0 mel0mpat turun kemudian menepuk pinggul kanan hewan itu. Kuda c0klat d0ngakkan kepalanya sesaat. Setelah itu hewan ini menghambur sepanjang jalan kecil berbatu-batu.
Dari tempat berdiri Wir0 bisa melihat bahwa empat belahan di pedataran beralang-alang itu semakin menyempit dan membentuk k0tak. Dan dirinya di tengah­tengah k0tak itu!
“Jelas ini pekerjaan manusia-manusia bermaksud jahat!” pikir Wir0. “Mereka hendak memantekku di tengah pedataran alang-alang kemudian menghantam. Cerdik juga tapi masih ada t0l0lnya!” Wir0 segera tinggalkan jalan kecil , menyelinap ke dalam tempat alang-alang. Di satu tempat dia berhenti dan merunduk serendah mungkin. Tenaga dalam disalurkan ke tangan yang diluruskan. Perlahan-lahan Wir0 gerakkan tangan kanannya seperi 0rang melambai. Dari ujung-ujung jarinya melesat keluar serangkum angin. Membelah dan mengg0yang alang-alang. Gerakan alang-alang se0lah ada sese0rang melewati mengendap-endap. Wir0 melambai terus sambil memasang pendengaran dan mata. Dalam hati dia berharap tipuannya ini akan berhasil.
Tiba-tiba dari balik alang-alang di empat penjuru melesat keluar empat s0s0k hitam. Dari ketinggian sepuluh kaki empat s0s0k ini kemudian menukiki ke bawah , kearah ujung alang-alang yang bersibak 0leh lambaian tangan Wir0. Sambil menukik mereka menghantam dengan pukulan tangan k0s0ng.
“Mati!” Empat ekspresi berteriak bersamaan.
Bummmmm!
Empat pukulan mengandung tenaga dalam tinggi mendarat di tanah secara berbarengan. Tanah muncrat ke atas. Alang-alang terb0ngkar dan berhamburan ke udara. Empat s0s0k yang barussan melepaskan pukulan melayang turun. Mereka tersentak kaget dan saling pandang.
“Tidak ada!” salah se0rang di antara mereka berteriak keheranan. Tiga temannya juga merasa aneh. Apapun yang mereka hantam niscaya mahluk bergerak dan hidup. Tapi mengapa mereka tidak menemukan apa-apa di tempat itu selain tanah dan alang-alang yang terb0ngkar?
Empat 0rang yang ada di tempat itu mengenakan pakaian berbentuk jubah berwarna hitam. Pada penggalan dada dan punggung jubah tertera angka-angka putih yaitu 15 , 16 , 17 dan 18. Keempatnya menggunakan t0pi berbentuk kerucut. Pada sebelah depan t0pi ada gambar kelelawar bermata besar merentangkan sayap. Tampang keempat 0rang ini tampak ganas garang. Apalagi semuanya memelihara cambang bawuk lebat dan kumis tebal melintang. Tak sanggup memecahkan ketakn0rmalan di tempat itu keempat 0rang ini sama-sama alihkan pandangan ke kiri dari jurusan mana tadi tampak mulai bergerak dan bersibaknya alang-alang.
“Lihat!” teriak 0rang yang berdiri paling depan seraya menunjuk.
“Dia masih hidup!”
“Di sana!”
“Lekas buat gerakan Jala Darah!”
Empat lelaki berjubah kemudian keluarkan suitan keras. Selagi bunyi suitan itu masih menggema dalam udara malam , tubuh mereka sudah lebih dulu berkelebat lenyap.
Di depan sana Wir0 Sableng yang tadi sempat terlihat cepat bergerak. Berkelebat ke kiri kemudian lenyap dalam kerapatan alang-alang. Dia j0ngk0k mendekam sambil memasang telinga. Tidak terdengar bunyi apa-apa kecuali kerisik alang-alang tertiup angin malam.
“Mungkin mereka sudah pergi….” Pikir Wir0. Perlahan-lahan dia berdiri berdiri.
Tiba-tiba empat bayangan berkelebat. Tahu-tahu empat 0rang berpakaian hitam berada di depan belakang kiri dan kanannya. Masing-masing 0rang ini ulurkan tangan ke arah s0bat di hadapan mereka. Murid Sint0 Gendeng jadi terkejut ketika menyadari bahwa dikala itu empat pasang lengan berwarna merah dan berair yang saling bersilangan dengan k0k0h telah menjerat lehernya.
“Berani begerak patah lehermu”
“Tanggal kepalamu!”
Dua bentakan berturut-turut menggeledek di pendengaran Wir0. Wir0 sadar ancaman yang dihadapinya. Empat pasang lengan itu demikian k0k0h menjepit lehernya hingga jikalau keempat 0rang itu serempak menggerakkan lengan mereka , lehernya bisa remuk , kepalanya benar-benar bisa c0p0t!
Inilah yang disebut gerakan Jala Darah!
Untuk beberapa lamanya Wir0 hanya bisa tertegak diam. Bahkan bernafaspun dia ibarat hati-hati.
Sebenarnya dua tangannya bisa digerakkan untuk menghantam lawan. Tapi kalau dia tidak sanggup mendahului keempat lawan yang tengah menjepit lehernya maka dia bisa celaka sendiri
Salah se0rang dari empat insan berjubah hitam berkata. “Maharaja meminta kita membawa 0rang ini hidup atau mati! Dari pada rep0t-rep0t mengurusi lebih baik kita tanggalkan saja kepalanya dikala ini juga!”
“Tunggu dulu! Ingat pesan khusus Maharatu padaku!” kata 0rang berjubah di sebelah belakang. “Beliau ingin insan satu ini dibawa hidup-hidup!”
“Di Istana Langit Darah yang berkuasa yakni Maharaja Langit Darah! Kenapa kalian harus bertengkar?! Aku 0ke kita habiskan saja bedebah ini dikala ini juga. Kalau tidak bes0k-bes0k dia bisa menciptakan kita celaka!” 0rang di sebelah kanan membuka mulut. Wir0 melirik ke kanan memperhatikan 0rang ini sambil menyumpah dalam hati.
“Kalau begitu cepat kita lakukan sekarang!” kata 0rang di sebelah kiri Wir0.
“Tunggu dulu!” Wir0 tiba-tiba berucap kereas. “Siapa kalian?! Siapa Maharaja dan Maharatu itu?!”
“Keparat! Kau tak layak bicara atau minta apapun pada kami!”
“Aku tidak meminta. Malah mau memberi!” jawab Wir0.
“Mau memberi apa?!” hardik 0rang di sebelah depan.
“Jika kalian mau membebaskan diriku , kalian b0leh mengambil empat tail emas yang ada di kant0ng bajuku sebelah kiri dan sebelah kanan.”
Empat 0rang yang mengurung Pendekar 212 terdiam. Tapi antara mereka tampak saling pandang.
“Pemuda miskin sepertimu mengaku membawa empat tail emas di saku pakaian! Puah! Kau kira bisa menipu kami?!”
“Kalau tidak percaya silahkan periksa kedua kant0ng bajuku!”
Empat 0rang bertampang bernafsu itu jadi meragu. Mereka tidak sanggup melihat kedua saku pakaian Wir0 karena terlindung 0leh ketinggian alang-alang. Namun mereka sudah bisa menduga-duga di sebelah mana kira-kira letak kedua kant0ng itu. selain itu terhadap mitra masing-masing ada rasa kurang percaya hingga saling curiga mengawasi. Masing-masing merasa kawatir ada yang berlaku curang kemudian bertindak labih dulu hingga nanti ada yang tidak kebagian.
“Kenapa jadi t0l0l!” tiba-tiba salah se0rang dari mereka berkata. “Kalaupun dia kita bunuh , emas itu tak akan kemana. Kita bagi empat. Masing-masing sanggup satu tail!”
Namun keserakahan rahasia menghipn0tis lelaki di sebelah kiri yaitu yang pada pakaiannya tertera angka 15 dan bertindak selaku pimpinan dalam r0mb0ngan yang menyergap Wir0 itu. dia turunkan tangannya ke bawah. Tangan yang turun ini kemudian meluncur cepat ke saku baju sebelah kiri si pemuda.
Inilah yang dinantikan Wir0. Turunnya satu lengan berarti kurangnya daya menjepit sisa lengan-lengan lainnya. Apa lagi ketiga 0rang itu jadi tersita perhatian mereka pada gerakan tangan s0bat mereka. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan untuk selamat murid Sint0 Gendeng membentak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya dijatuhkan ke bawah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak memukul. Dua 0rang berjubah hitam terpental kemudian jatuh di antara alang-alang. Tapi segera berdiri se0lah j0t0san-j0t0san Wir0 tadi yang mengenai dada masing-masing tidak terasa apa-apa.
Sementara itu leher dan kepala Wir0 walaupun selamat namun kening serta pelipisnya masih sempat terkikis dua buah lengan hingga waktu menjatuhkan diri ke bawah kepalanya sempat terpuntir dan lecet di kening serta pelipisnya!
Dua 0rang yang masih berada di dekat Wir0 yakni yang berangka 16 dan 17 pada jubahnya hujamkan kaki untuk menendang perut serta muka sang pendekar. Tendangan mengarah perut berhasil dihindarkan Wir0 dengan berguling ke samping. Sedang kaki yang menendang ke jurusan kepalanya sanggup ditangkap kemudian dipuntirnya kuat-kuat hingga si penendang terbanting ke tanah dan untuk beberapa lamanya terkapar nanar.
Dua 0rang berjubah yang tadi dipukul mental dikala itu telah berdiri berdiri dan kembali menyerbu.
“Gila! Pukulan tadi telak sekali! Tapi keduanya ibarat tidak cidera sedikitpun! Siapa semua keparat-keparat berjubah dan bert0pi aneh ini? Mengapa mereka ingin membunuhku?!”
Sementara itu tiga 0rang lawan kembali menyerbu. Bahkan satu lagi yang tadi terkapar nanar akhir bantingan kini sudah bangun dan ikut menyerang kembali.
Lima jurus berlalu dengan cepat. Walau diker0y0k empat namun murid Sint0 Gendeng masih bisa menghadapi dan berkali-kali tendangan atau j0t0sannya berhasil mendarat di tubuh atau muka lawan.
Akan tetapi keempat 0rang itu ibarat mempunyai ilmu kebal. Walupun muka dan tubuh juga pakaian mereka tampak babak belur sementara t0pi-t0pi mereka yang berbentuk kerucut bercampakan di tanah tetap saja mereka menyerbu kembali.
“Manusia-manusia aneh!” pikir Wir0. “Makin digebuk makin kuat!” Dia mulai berpikir untuk mengerahkan tenaga dalam dan lepaskan salah satu dari pukulan saktinya.
“Siapkan serangan Lidah Darah!” tiba-tiba 0rang dengan jubah berangka 15 berteriak.
Murid Sint0 Gendeng cepat mengawasi. “Serangan Lidah Darah! Ilmu apa pula ini!” pikirnya.
Empat 0rang berjubah secara berbarengan keluarkan suitan keras. Di balik alang-alang mereka tegak rentangkan kaki. Kedua tangan diangkat ke atas. Dari ekspresi mereka keluar bunyi meracau.
“Eh , empat setan alas ini tengah meracau mantera atau mulai kesurupan…..” pikir Wir0. Lalu dilihatnya dari ekspresi 0rang-0rang itu mengucur keluar cairan merah. Darah! Murid Sint0 Gendeng tak mau berlaku ayal. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia yakin keempat 0rang itu akan menyerangnya dengan ilmu siluman.
Empat tengg0r0kan keluarkan bunyi ibarat 0rang mendengkur. Lalu empat ekspresi tiba-tiba terbuka lebar dan! Astaga! Dari keempat ekspresi 0rang itu melesat keluar pengecap berbentuk aneh. Selain panjang dan berlumuran darah juga membersitkan hawa panas!
Wir0 segera angkat tangannya untuk menghantam lebih dulu. Tapi cepat sekali empat pengecap panjang tiba menyambar. Dua pengecap menyambar ke arah tengg0r0kan Wir0 , satu menderu ke arah perut dan pengecap keempat melesat ke tangan kanannya. Sebelum Wir0 sempat memukul , lengannya sudah lebih dahulu digelung pengecap berdarah dan panas itu! lengannya ibarat disengat bara panas! Wir0 berteriak keras karena kesakitan dan juga marah! Tangan kanannya diputar demikian rupa. Sambil menahan sakit dia berhasil mencengkeram pengecap yang menggelung kemudian dengan cepat menyentakkannya kuat-kuat. 0rang yang lidahnya dibet0t tersungkur amblas masuk ke dalam alang-alang.
Dessss!
Lidah berdarah putus! Wir0 bantingkan pengecap itu ke dalam alang-alang degnan tengkuk merinding. Pada dikala itulah serangan tiga buah pengecap sampai. Dua mencekik lehernya dan satu menyambar perutnya.
Hantaman pengecap berdarah pada perutnya menciptakan tubuhnya terpental tapi tertahan 0leh cekikan dua pengecap pada lehernya. Murid Sint0 Gendeng mengeluh tinggi. Lehernya serasa remuk dan kepalanya se0lah tanggal.
“Tamat riwayatku!” keluh Wir0. Matanya mendelik dan lidahnya mulai terjulur. Dia c0ba pergunakan tangan kanannya untuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 tapi tak berhasil karena p0t0ngan pengecap panjang tadi sempat menggulung lengannya telah menciptakan lengan itu menjadi berat dan kaku. Di samping itu perutnya yang kena dihantam pengecap berdarah terasa sakit bukan kepalang. Tak ada jalan lain. Dia segera merapal ilmu kesaktian “pukulan sinar matahari” Hawa panas menjalar ke tangan kirinya. Tangan hingga ke lengan tampak menjadi seputih perak menyilaukan. Tidak tunggu lebih usang Wir0 segera menghantam ke arah dua 0rang berjubah yang dua pengecap mereka menjerat lehernya.
Wussss!
Sinar putih menyambar dahsyat. Sebelum menghantam dua 0rang berjubah sinar putih panas pukulan sinar matahari merambas alang-alang dan serta merta terbakar menjadi k0baran api!
Dua pengecap darah yang menjerat leher Wir0 meleleh musnah. Namun bekas jeratan meninggalkan tanda merah berdarah pada leher sang pendekar.
Dua suitan keras melengking di udara malam. Di bawah terangnya k0baran api Wir0 melihat dua s0s0k hitam berterbangan ibarat burung raksasa di permukaan alang-alang! Ternyata yakni dua 0rang berjubah hitam lainnya. Yang satu sambil melayang melesatkan lidahnya ke arah kepala Wir0. Satunya lagi tiba-tiba menciptakan gerakan jurngkir balik di atas alang-alang kemudian tidak terduga sama sekali dia sudah berada di atas kepala Wir0. Dia yakni 0rang yang tadi lidahnya dibet0t lepas. Ternyata kini dalam mulutnya ada pengecap baru. Lidah ini menyambar ke ubun-ubun Pendekar 212. Kaprik0rnus dua pengecap menyerang kepala Pendekar 212 sekaligus!
Murid Sint0 Gendeng tenggelamkan tubuhnya ke dalan alang-alang. Serangan pengecap yang menyambar dari depan lewat di atas kepalanya. Namun yang menghantam dari atas ke arah ubun-ubunnya tak bisa dikelit. Karenanya untuk kedua kalinya Wir0 lepaskan pukulan sinar matahari.
Jeritan 0rang berjubah di sebelah atas sana terdengar keras menggidikkan ketika tubuhnya dihantam pukulan sakti tiu. Tubuh itu tampak mencelat tinggi sekali dalam keadaan hangus!
Wir0 cepat putar tubuhnya untuk menghantam lawan keempat. Namun 0rang ini sudah menyelinap ke dalam alang-alang kemudian kabur cari selamat.
Wir0 tarik nafas lega. Dirabanya lehernya. Terasa basah. Ketika diperhatikannya tangannya , tangan itu bergelimang darah , membuatnya jadi bergidik dan juga memaki. K0baran api semakin besar aben alang-alang. Wir0 bergerak ke arah jalan kecil berbatu-batu. Dia segera menuju ke ujung jalan kecil di mana kudanya menunggu. Di satu tempat dia melihat dia buah benda hitam mengepulkan asap menyangsrang di alang-alang. Ketika didekati dan ditelitinya ternyata dua buah jubah hitam masing-masing berangka 16 dan 18.
“Aneh…. Kenapa cuma ada pakaiannya? Mana tubuhnya?!” pikir Wir0. “tak mungkin dua keparat itu masih hidup! Kalaupun kabur mengapa jubahnya ketinggalan di sini?!” Murid Sint0 Gendeng garuk-garukkepala karena tak sanggup memecahkan ketakn0rmalan itu. dia kembali ke pertengahan alang-alang tempat jatuhnya lawan ketiga yang tadi juga dihantamnya dengan pukulan sinar matahari. Di sini , di antara alang-alang lagi-lagi dia hanya menemukan sehelai jubah berangka 17! Murid Sint0 Gendeng gelengkan kepala. “Empat 0rang tadi jangan-jangan mahluk siluman. Mereka menyebut Maharaja dan Maharatu. Agaknya mereka yakni kaki tangan Maharaja dan Maharatu itu….. Mereka menginginkan nyawaku. Mengapa? Mungkin ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke tempat Pangeran Sampurn0? Jangan­jangan mereka mahluk-mahluk peliharaan sang Pangeran!”
Wir0 segera tinggalkan tempat itu. di kejauhan terdengar bunyi kent0ngan di beberapa tempat. Pertanda penduduk di sekitar situ telah melihat k0baran api yang aben pedataran alang-alang.
Ketika hingga di ujung jalan Wir0 tidak menemukan kuda c0klatnya. “Sialan! Binatang itu niscaya sudah kabur entah kamana!” katanya. Dia memandang berkeliing masih berusaha mencari-cari. Di bawah sebatang p0h0n besar tiba-tiba dia melihat sebuah benda besar hitam. Dia segera mendekati. Wir0 jadi tertegun. Benda besar hitam yang dilihatnya tadi ternyata yakni s0s0k kuda c0klatnya. Binatang ini terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Pada kepalanya kelihatan sebuah l0bang besar yang masih mengucurkan darah!
“apa yang terjadi dengan hewan ini?!” pikir Wir0. Tengkuknya tiba-tiba menjadi dingin. Saat itulah telinganya mendengar bunyi mendesir di atasnya. Dia mend0ngak. Sebuah benda aneh dilihatnya melayang turun dari atas p0h0n dengan deras. Dalam kegelapan malam sulit untuk melihat terperinci benda apa itu adanya. Namun ketika benda itu hanya tinggal sepuluh jengkal dari kepalanya murid Sint0 Gendeng jadi melengak kaget dan berseru keras!
TUJUH
Ki Ageng Bant0r0 mend0r0ng pintu kamar yang tidak terkunci. “Kalian tunggu di sini ,” katanya pada dua 0rang pengawal yang memapah Pangeran Sampurn0 Tj0kr0 Adiningrat. Lalu dia memegang lengan kiri sang Pangeran dan membantunya masuk ke dalam kamar.
Saat itu di atas tempat tidur besar tampak terbaring tidur ses0s0k tubuh wanita , membelakangi menghadap dinding. Walau nyala lampu di ruangan tidak seberapa terang namun Ki Ageng Bant0r0 masih bisa melihat terperinci bahwa wanita yang ada di atas tempat itdur tidak mengenakan apa-apa kecuali sehelai kain panjang yang mer0s0t ke bawah dan hanya menutupi auratnya hingga setinggi betis.
Ki Ageng Bant0r0 telah sering melihat kebagusan tubuh wanita el0k istri Pangeran Sampurn0 itu. Namun gres sekali ini dia melihat wanita itu dalam keadaan p0l0s ibarat itu walaupun hanya dari belakang. Jantung 0rang renta ini se0lah berhenti berdetak. 0tak k0t0rnya muncul menciptakan hatinya bicara. “Sayang hanya dari belakang. Kalau saya bisa melihat dari depan…..”
Baru saja Ki Ageng Bant0r0 membatin begitu tiba-tiba s0s0k telanjang di atas tempat tidur menggeliat kemudian berbalik.
“Ki Ageng , lekas berlalu dari sini!”
Kepala pengawal itu tersentak 0leh bunyi keras Pangeran Sampurn0 yang mendadak menjadi murka ketika melihat bagaimana sepsang mata 0rang renta yang memapahnya itu membeliak tak berkesip memperhatikan tubuh istrinya.
“Maafkan saya Pangeran ,” kata Ki Ageng Bant0r0 pula. Pegangannya pada lengan Pangeran Sampurn0 dilepaskan kemudian memutar tubuh dan cepat-cepat melangkah ke pintu. Di ambang pintu si 0rang renta berhenti. Dia c0ba berpaling sedikit kemudian berkata. “Cidera pada siku kanan Pangeran perlu segera menerima perawatan. Saya akan panggilkan jag0 urut dari Krasak…..”
“Keluar dari kamar ini Ki Ageng! Dan jangan lupa tutup pintu itu! Aku tahu meng0bati cidera sialan ini!”
Begitu didengarnya bunyi pitu ditutup Pangeran ini melangkah terhuyung­huyung kemudian jatuhkan diri di atas tempat tidur. Perempuan yang barusan menggeliat dan membalikkan tubuh , dalam keadaan setengah tidur setengah jaga membuka kedua matanya.
“Mas Sampurn0…..” Perempuan itu hendak bertanya gerangan dari mana barusan adanya sang Pangeran dan mengapa menjatuhkan diri ke atas tempat tidur ibarat itu. Pertanyaannya tertahan ketika dia mendengar erangan keluar dari ekspresi Pangeran Sampurn0. Serta merta dia berdiri dan duduk di atas tempat tidur. “Mas Sampurn0 ada apa dengan dirimu….? Kau demam Mas?” dengan telak tangan kirinya wanita itu memegang kening sang Pangeran. Dia menyangka lelaki itu tiba-tiba diserang demam. Tapi kening itu bukan terasa panas melainkan hirau taacuh dan berkeringat.
“Mas…..”
Pangeran Sampurn0 berteriak kesakitan ketika wanita itu memegang lengan kanannya.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi mas?!”
“Tangan kananku Nyi Ganda! Jangan dipegang!”
Istri Pangeran Sampurn0 itu memperhatikan tangan kanan suaminya dengan mata dibesarkan. “Memangnya ada apa dengan tangan kananmu Mas?”
“Se0rang c0w0k sinting muncul malam-malam buta ke tempat kita! Ketika saya keluar ternyata dia sudah betr0kan dengan para pengawal. Bahkan ada yang mati akhir ulahnya!”
“Siapa c0w0k itu? Peramp0k? Gar0ng….?”
“Namanya Wir0 Sableng. Murid se0rang nenek sakti di Gunung Gede yang pernah dekat dengan Kerajaan……”
“Wir0 Sableng….?” Mengulang sang istri dengan bunyi bergetar.
“Kau kenal c0w0k sinting itu?” tanya Pangeran Sampurn0 pula.
Nyi Gandasuri menggeleng. Lalu dia berkata.
“Kalau gurunya dekat dengan Kerajaan berarti muridnya juga menjadi sahabat Kerajaan. Lalu mengapa bentr0kan dengan para pegawal , hingga membunuh segala?!”
“Manusia edan itu memuntir sambungan siku tangan kananku hingga lepas! Jahanam betul!”
Paras Nyi Gandasuri , istri Pangeran Sampurn0 , jadi berubah.
“Sejak s0re tadi bersama-sama saya sudah punya firasat kurang baik ,” kata Nyi Gandasuri pula. “Rupanya inilah kejadiannya. Tapi Mas Sampurn0 , pasal karena apa c0w0k yang katamu sinting itu berani mencideraimu?”
“Aku menjadi kalap ketika ekspresi busuknya berani memfitnah dirimu….”
“Memfitnah diri saya….? Sungguh luar biasa! Katakan apa yang diucapkannya padamu Mas Sampurn0. Bahwa saya main gila dengan lelaki lain? Saya berani bersumpah…..” Nyi Gandasuri tidak meneruskan ucapannya. Sang Pangeran melihat ibarat ada kilatan sinar aneh dalam mata istrinya itu. kemudian digelengkan kepalanya perlahan.
“Katakan Mas…. Fitnah apa yang diucapkan c0w0k berjulukan Wir0 Sableng itu padamu.”
“Sudahlah…. Ucapan se0rang gila apa perlunya dipercaya.”
“Tapi Mas , saya merasa risih bahkan tidak senang kalau Mas tidak mengatakan. 0rang gila tidak mungkin memfitnah sekaligus menciderai Mas Sampurn0 dan membunuh para pengawal…. Saya minta Mas Sampurn0 tidak menyembunyikan apapun pada saya. Atau saya akan keluar dan menanyakan pada para pengawal. Pada Ki Ageng Bant0r0. Meerka niscaya ikut mendengar fitnah yang diucapkan c0w0k itu….”
“Jangan. Kau tak usah keluar. Jika kamu memang mau mendengar dari mulutku sendiri , baik. Akan kukatakan. Pemuda gila itu menyampaikan ada se0rang wanita hendak membunuhku….”
“Se0rang wanita hendak membunuhmu?!” belalak Nyi Gandasuri. Lalu senyum lebar menyeruak di mulutnya , disusul 0leh bunyi tertawa bergelak.
“Kalau itu dikatakannya memang benar c0w0k itu sinting edan! Perempuan mana pula yang akan membunuhmu! Mungkin bekas kekasihmu di masa muda yang cemburu dan dendam karena Mas Sampurn0 mengambil saya jadi istri dan bukannya dia. Sungguh lucu….!”
Pangeran Sampurn0 terdiam sesaat. Sambungan sikunya yang tanggal mendenyut sakit hingga dia mengeluh tinggi. Nyi Gandasuri rupanya tidak lagi memperhatikan cidera yang didera suaminya melainkan 0l0k-0l0kan pertanyaan. “Apa lagi yang dikatakan c0w0k gila itu?”
“Mmmmmmmm….. katanya wanita itu se0rang yang sangat dekat dengan diriku….”
“Siapa? Ibu Mas Sampurn0 yang sudah lumpuh itu? Nah , nah , nah! Bagaimana mungkin….”
“Dia menyebutkan sebuah nama Nyi Ganda…..”
“Kalau begitu Mas Sampurn0 sudah tahu…..”
Pangeran itu mengangguk perlahan. “Katanya wanita itu berada dalam rumah ini. Lalu dia menyebut sebuah nama. Namamu. Jelas-jelas dia berkata bahwa se0rang berjulukan Nyi Gandasuri yang akan membunuhku….”
Nyi Gandasuri terpekik. Tubuhnya melejang. Pangeran Sampurn0 melihat satu insiden aneh. Tubuh istrinya ibarat terangkat ke atas da hampir menyentuh langit­langit kamar. Lelaki ini hingga berseru melihat insiden itu. Perlahan-lahan tubuh itu turun kembali.
“Istriku , apa yang terjadi dengan dirimu? Barusan kulihat tubuhmu melayang. Kau ibarat se0rang mempunyai kesaktian….”
“Saya tidak mempunyai ilmu kesaktian apapun Mas Sampurn0. Apa yang saya dengar dari mulutmu menciptakan saya ibarat mau meledak! Saya akan cari c0w0k kurang asuh itu….”
“Ki Ageng Bant0r0 dananak buahku yang lain niscaya tidak tinggal diam. Biarkan mereka yang mencari insan itu. Sekarang yang penting yakni mencari tabib atau tukang urut untuk menyambung tulang siku-ku….”
“Tidak perlu….”
“Eh , apa maksudmu tidak perlu?” tanya Pangeran Sampurn0 yang serta merta menjadi beringas dan hendak bangkit. Dia lupa keadaan tangan kanannya. Langsung saja jeritan keluar dari mulutnya ketika dia c0ba mempergunakan kedua tangan untuk bert0pang pada permukaan tempat tidur.
“Tidak perlu memanggil tabib atau tukang urut! Saya sanggup men0l0ng cidera Mas Sampurn0 ,” kata Nyi Gandasuri pula.
“Kau?” kening sang Pangeran jadi berkerut dan kedua matanya mengecil. “Kau bisa menyembuhkan tanganku yang sakit? Eh , semenjak kapan kamu mempunyai ilmu kepandaian dalam peng0batan?”
Nyi Gandasuri tidak menjawab. Tubuhnya yang telanjang bergerak mendekati suaminya. Tangan kirinya diulurkan ke arah pundak kanan Pangeran Sampurn0. Tiba­tiba tangan itu mend0r0ng dengan keras hingga Pangeran Sampurn0 ibarat dihenyakkan ke tempat tidur. Bersamaan dengan itu , dalam keadaan tangan kiri masih menekan pundak kanan suaminya , Nyi Gandasuri pergunakan tangan kanan untuk menarik tangan kanan Pangeran Sampurn0 sekuat-kuatnya.
Trakkkkk!
Pangeran Sampurn0 menjerit keras kemudian tergeletak tak bergerak lagi di atas tempat tidur. Pingsan! Perlahan-lahan Nyi Gandasuri berdiri berdiri. Dia turun dari atas tempat tidur dan tegak di samping s0s0k suaminya. Kedua tangannya diangkat ke atas dikembangkan. Lehernya ditegakkan kemudian mulutnya dibuka sedikit demi sedikit.
Tiba-tiba ada satu bunyi mengiang di telinganya. Nyi Gandasuri , ingat apa yang sudah kami atur. Setiap k0rban harus berada dalam keadaan sadar. Setiap k0rban harus melihat apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kamu lakukan! Perhatikan wajah k0rbanmu pada saat-saat terakhirnya menuju kematian. Darah 0rang yang mati dalam keadaan ketakutan lebih nikmat dari pada segala macam darah!
Perlahan-lahan Nyi Gandasuri tundukkan kepala kemudian turunkan kedua tangannya. Sesaat dia menatap s0s0k suaminya. Lalu diambilnya sehelai baju malam berbentuk aneh berwarna hitam. Kerah jubah ini mencuat tegak ke atas , menutupi seluruh kepala penggalan belakang. Tanpa bunyi dia melangkah ke pintu. Di pintu dia tegak sesaat. Perlahan-lahan kedua matanya dipejamkan. Tanpa bunyi dia membuka pintu itu kemudian melangkah keluar. Jika ada yang melihat niscaya akan terheran-heran karena dikala itu Nyi Gandasuri berjalan dengan mata tertutup tidak beda ibarat 0rang berjalan dalam tidur!
Setelah apa yang terjadi di rumah besar itu sebelumnya maka Ki Ageng Bant0r0 telah memerintahkan anak buahnya untuk melaksanakan penjaggan ketat. Pada saat-saat tertentu dia sendiri ikut berkeliling guna menilik keadaan. Pengawal bertebaran di mana-mana. Namun anehnya mereka sama sekali tidak melihat s0s0k Nyi Gandasuri yang berjalan tidur itu. Perempuan ini melangkah sepanjang teras samping kiri bangunan. Turun dari teras kemudian melangkah di tanah berumput. Baru berhenti begitu diasampai di bawah sebatang p0h0n berdaun sangat rindang.
“Maharaja dan Maharatu , saya Nyi Gandasuri siap untuk mencari c0w0k berjulukan Wir0 Sableng itu! Kalau dia tidak segera dibunuh bisa-bisa mendatangkan peristiwa bagi kita! Lagi pula bukankah itu kiprah yang Maharaja dan Maharatu berikan pada dikala saya dilepas pergi dari Istana Langit Darah……?”
Ada sesiur angin menyambar puncak p0h0n di bawah mana Nyi Gandasuri berada. Lalu terdengar satu bunyi laki-laki.
“Nyi Gandasuri , kamu se0rang angg0ta yang baik. Penuh tanggung jawab. Pemuda yang kamu sebutkan namanya tadi memang sudah ditakdirkan mati di tanganmu! Menurut penglihatanku dia belum pergi jauh. Bunuh dia , bawa mayatnya ke hadapanku!”
“Ah , Maharaja sudah hadir dan mendengar rupanya ,” ujar Nyi Gandasuri.
“Jika kamu berhasil membawa mayatnya ke hadapanku tabungan kebajikanmu akan menjadi luar biasa besar. Kejadian itu kelak harus kita rayakan. Kau akan kuundang bersenang-senang di dalam kamarku selama satu minggu. Setelah itu saya akan membantu dengan segala cara biar kamu sanggup mencapai tujuanmu. Menjadi permaisuri Sri Baginda.”
“Saya menghaturkan terima kasih Maharaja. Saya minta izin untuk bertindak kini juga. Mencari c0w0k itu , membunuhnya kemudian membawanya ke hadapan Maharaja Langit Darah.”
“Bagus. Namun kamu tidak perlu buru-buru. Pemuda itu tak akan lari jauh. Ketahuilah sudah semenjak beberapa hari belakangan ini saya ingat dan rindu padamu. Ingin melihat wajah dan tubuhmu. Darahku menjadi panas jikalau mengingat-ingat saat­saat kamu berada di atas ranjang bersamaku temp0 hari. Sekarang , sebelum menjalankan kiprah itu , saya ingin kamu menghibur diriku dulu. Tanggalkan jubah hitam yang kamu pakai itu. Aku bisa melihat dirimu dari tempatku berada. Biar mataku melihat auratmu yang bagus. Dengan begitu nafsu birahiku bisa terlipur…..”
Nyi Gandasuri memandang berkeliling. Hatinya bimbang. Tapi risik0nya apa yang diperintahkan dilakukannya juga. Jubah hitam berleher tinggi dibukanya , dijatuhkan ke tanah.
Terdengar bunyi 0rang menarik nafas panjang.
Lalu ada bunyi tawa cekikikan. Menyusul bunyi perempuan. “Nyi Gandasuri , kecantikan wajah dan tubuhmu bukan cuma untuk Maharaja Langit Darah. Tapi juga menjadi penggalan Maharatu Langit darah. Kalau urusanmu dalam kamar Maharaja Langit Darah selesai kamu harus mampir ke kamarku. Kau dengar itu Nyi Gandasuri?’
“Saya dengar Maharatu ,” jawab Nyi Gandasuri pula. “Sekarang b0lehkah saya mengenakan pakaian kembali?’
“Kau b0leh pergi. Bawa mayat c0w0k berjulukan Wir0 Sableng itu ke hadapanku!” jawab bunyi tanpa ujud.
Nyi Gandasuri membungkuk. Terdengar bunyi nafas memburu. Selesai mengenakan jubah hitam berleher tinggi wanita itu jingkatkan kedua kakinya. Sepasang tangannya diangkat ke atas. Mulutnya dibuka. Lalu dia menghembus.
Settttt! Terdengar ibarat bunyi angin berdesir. S0s0k tubuh Nyi Gandasuri lenyap ditelan malam se0lah amblas ke dalam tanah!
Di balik serumpunan semak belukar dua 0rang yang semenjak tadi mencicipi sesak dada mereka menyaksikan apa yang terjadi untuk sesaat lamanya saling pandang tanpa bisa mengeluarkan suara. Yang satu risik0nya berkata dengan bunyi bergetar. “Ki Ageng Bant0r0 apa yang barusan kita saksikan yakni hal luar biasa. Aneh di atas aneh. Kita harus memberi tahu Pangeran Sampurn0.”
Yang diajak bicara yaitu Ki Ageng Bant0r0 kepala pengawal gedung kediaman Pangeran Sampurn0 menggeleng. “Mungkin kita harus merahasiakannya dulu hingga beberapa waktu. Aku mencium dibalik ketakn0rmalan ini ada hal yang mengerikan…..”
Baru saja Ki Ageng Bant0r0 berkata begitu tiba-tiba dari atas p0h0n melesat sebuah benda. Benda ini bergerak cepat sekali hingga kedua 0rang itu tidak bisa memastikan benda apa adanya. Kemudian terdengar dua jeritan keras. Pengawal yang ada di tempat kediaman Pangeran Sampurn0 jadi tercekat. Mereka masih berada di bawah imbas insiden munculnya Wir0 tadi. Kini terdengar dua bunyi jeritan yang menggidikkan. Beramai-ramai para pengawal ini menuju pintu gerbang gedung , terus keluar ke arah sebatang p0h0n besar dari arah mana tadi terdengar bunyi jeritan.
Hanya beberapa langkah dari p0h0n besar itu semua pengawal tersurut menggigil. Di tanah mereka melihat dua s0s0k tubuh terkapar dengan kepala berlumuran darah. Ubun-ubun kedua 0rang itu tampak berl0bang besar! Jelas keduanya sudah jadi mayat. Mulut menganga mata mencelet!
DELAPAN
Benda yang melayang turun dari atas p0h0n besar itu ternyata yakni p0t0ngan kepala se0rang wanita tua. Rambutnya yang panjang hitam riap-riapan menebar busuk kembang di pekuburan! Wajahnya sangat putih. Sepasang alisnya mencuat tebal dan hitam. Kedua matanya memancarkan sinar kemerahan. Di sudut-sudut bibirnya tersembul taring terbungkus cairan darah! Dari mulutnya yang terbuka dan melelehkan darah kelihatan menj0r0k keluar lidahnya yang berbentuk aneh. Lidah ini se0lah terbuat dari besi hitam , berbentuk c0r0ng lancip dan pada ujungnya ada l0bang seujung jari kelingking.
“Gusti Allah! Mahluk apa ini!” ujar Pendekar 212 dalam hati.
Kepala wanita dengan rambut berserakan dan wajah mengerikan itu melesat ke arah kepala Wir0. Lidah besinya bergerak , mencari target di ubun-ubun. Murid Sint0 Gendeng cepat berkelebat menyingkir sambil memukul.
Brerttt!
P0t0ngan kepala berputar aneh. Pukulan Wir0 mengenai tempat k0s0ng. Sebaliknya walau dia sudah berusaha menghindar dengan cepat namun pengecap besi masih sempat menggaruk pundak bajunya hingga r0bek besar. Wir0 mencicipi tubuhnya jadi dingin. Dia ingat pada kudanya yang ditemuinya telah jadi mayat dengan kepala b0l0ng. “Jangan-jangan mahluk jahanam ini juga yang membunuh kuda itu!” pikir Wir0. Dia merasa belum sempat menarik tangannya yang terd0r0ng ke depan tahu-tahu p0t0ngan kepala itu membalik kemudian melesat ke atas. Dari ketinggian satu t0mbak kepala itu menukik ke bawah. Lidah besi kembali mencari target di bat0k kepala murid Sint0 Gendeng. Gerakan serangan kepala ini sungguh luar biasa cepatnya.
Untuk kedua kalinya Wir0 dipaksa harus mel0mpat mencari selamat. Setelah mel0mpat dia jatuhkan diri di tanah kemudian berguling.
P0t0ngan kepala wanita menyeringai. Darah berlelehan dari mulutnya. Lidah besinya bergerak-gerak. Tiba-tiba didahului 0leh bunyi pekikan menggidikkan kepala ini kembali menyerang. Kali ini karena bukan tiba dari atas , Wi0r punya kesempatan untuk menghantam eksklusif dengan j0t0san tangan kanan.
Bukkk!
P0t0ngan kepala itu mencelat mental begitu j0t0san tangan kanan Wir0 menghantam pipi kirinya dengan telak.
“Pecah kepalamu! Tamat riwayatmu!” ujar Wir0 seraya mel0mpat bangkit. Tapi dia jadi termangu ketika pukulan tangan k0s0ng yang disertai tenaga dalam itu ternyata jangankan memecahkan p0t0ngan kepala , cidera sedikitpun tidak!
Sambil keluarkan bunyi pekik panjang p0t0ngan kepala berputar-putar di udara. Rambutnya riap-riapan menebar cairan merah. Darah juga menyembur-nyembur dari mulutnya. Lidah besinya bergerak tiada henti. Ketika p0t0ngan kepala ini kembali melesat Wir0 kerahkan seluruh tenaga dalamnya kemudian menghantam dengan pukulan sakti “kunyuk melempar buah”
Satu gel0mbang angin yang amat keras , laksana kerikil raksasa menggelinding , menderu dahsyat kearah p0t0ngan kepala. Meski tahu dirinya terancam serangan mematikan tapi p0t0ngan kepala tak berusaha menghindar. Malah menyeringai dan memekik tinggi.
Sesaat kemudian tak ampun lagi kepala tanpa tubuh itu dilabrak pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 212. Sinar terang aneh berkiblat sewaktu p0t0ngan kepala kena ditumbuk pukulan “kunyuk melempar buah” kepala mencelat tinggi se0lah hendak menembus langit.
“Astaga!” Pendekar 212 berseru kaget dan mendadak saja tengkuknya menjadi hirau taacuh ketika sesaat kemudian se0lah meluncur turun dari langit p0t0ngan kepala tahu-tahu hanya tinggal satu t0mbak saja di atas kepalanya.
Wusss!
Lidah besi mahluk kepala tanpa tubuh menderu tipis di samping kepala Pendekar 212. Terdengar jerit sang jag0an ketika tambut hitam yang riap-riapan mendera pipi kirinya. Murid Sint0 Gendeng terbanting ke tanah. Empat buah guratan panjang disertai lelehan darah kelihatan di pipi Wir0.
“Kepala pelesit jahanam!” maki Wir0 sambil mengusap pipinya yang luka.
Dia berusaha bangkit. Tapi gres pantatnya lepas dari tanah p0t0ngan kepala kembali menyerangnya.
“Setan alas! Makan pencarianmu!” teriak Wir0. Kini tidak kepalang tanggung dia lepaskan pukulan sakti yang paling menggegerkan dunia persilatan yaitu “pukulan sinar matahari”
Sinar putih menyilaukan se0lah membelah langit malam. Sinar sangat panas menerpa ke arah p0t0ngan kepala. Seperti waktu dihantam dengan pukulan “kunyuk melempar buah” tadi , mahluk ini sama sekali tidak berusaha menghindar. Malah pengecap besinya kelihatan dijulurkan lebih panjang. Lalu ekspresi itu meniup.
Werrrrrr!
Darah merah dan kental menyembur dari ekspresi dan l0bang pengecap besi , menembus sinar putih pukulan sinar matahari.
Bummmmm!
Ledakan keras menggetarkan udara dan tanah.
Wir0 berseru kaget ketika darah yang disemburkan p0t0ngan kepala bisa menembus sinar pukulan saktinya. Semburan darah terus menyambar ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat mengelak semburandarah yang kemudian bermetam0rf0sis tetesan-tetesan darah itu amblas menembus batang p0h0n di dekatnya!
Begitu menyemburkan darah p0t0ngan kepala melesat lurus ke atas. Lalu selagi Wir0 masih terkesiap melihat tetesan-tetesan darah menghantam p0h0n , p0t0ngan kepala didahului jeritan melengking melesat ke bawah. Lagi-lagi mahluk ini c0ba menusukkan pengecap besinya di kepala Wir0. Yang diarah selalu penggalan ubun-ubun.
“Edan!” maki Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih usang dia segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya sakti yang keluar dari dua mata kapak mustika ini menerangi tempat angker itu. Tapi p0t0ngan kepala tidak takut. Malah pekiknya semakin keras.
Wir0 menghantam.
Wuttt!
Sinar terang berkiblat. Suara ibarat ratusan taw0n mengamuk berkumandang. Kali ini kepala tanpa tubuh itu ibarat agak jerih untuk melaksanakan bentr0kan. Cepat­cepat dia melenceng lurus ke kiri , membel0k ke kanan kemudian tahu-tahu sudha berada di belakang kepala Wir0.
Pendekar 212 babatkan kapaknya seputar kepala. Sinat terang membuntal­buntal. P0t0ngan kepala keluarkan jeritan berulang-ulang. Wir0 menyangka mahluk itu ketakutan dan mungkin hendak kabur. Tapi sangkaannya meleset. Karena tiba-tiba saja p0t0ngan kepala itu menciptakan gerakan-gerakan aneh yaitu membeset lurus ke kiri , kemudian melesat ke kanan , membalik lurus ke depan , berputar kemudian meluncu lagi lurus ke kanan , naik ke atas dan diakhiri dengan menukik ke bawah , berusaha menusukkan pengecap besinya ke bat0k kepala sang pendekar.
“Celaka! Aku tak bia mengelak erus-terusan! Kapak Naga Geni 212 se0lah tidak bisa menghadapi mahluk jahanam itu! Apalagi pukulan-pukulan sakti! Apa yang harus kulakukan!” dalam hatinya terniat untuk segera mengeluarkan kerikil hitam pasangan kapak mustika. Dia hendak menggempur p0t0ngan kepala dengan semburan api sakti. Tapi pukulan matahari yang begitu panas sanggup ditahan 0leh lawan , hatinya merasa ragu apakah api sakti akan sanggup menciderai. Dalam keadaan bimbang ibarat itu , tidak sengaja salah satu jarinya menekan salah satu dari dua mata gesekan kepala naga yang merupakan penggalan gagang dari Kapak Maut Naga Geni 212. Mata gesekan kepala naga itu justru yakni picu untuk mengeluarkan jarum-jarum putih halus yang ada dalam r0ngga gagang dan merupakan senjata rahasia yang sangat berbahaya. Selama ini jarang sekali Wir0 mempergunakan senjata rahasia dalam tubuh kapak mustika itu. Tapi ketidak sengajaan itu justru membuatnya terheran­heran karena begitu selusin jarum bertabur berkilauan di dalam gelapnya udara malam , dari ekspresi p0t0ngan kepala terdengar bunyi menggeru. P0t0ngan kepala ini berputar sebentar kemudian melesat ke kiri. Wir0 memburu. Dia acungkan senjata sakti itu sambil menekan lagi mata kepala naga. Selusin jarum putih kembali melesat keluar dari gagang kapak yaitu dari penggalan ekspresi gesekan naga. Di sebelah sana terdengar mahluk p0t0ngan kepala menjerit aneh. Tampangnya yang angker kelihatan ibarat sangat takut.
Lalu p0t0ngan kepala ini berputar keras sambil melesat ke arah timur dan dalam waktu sangat cepat lenyap di kegelapan malam.
“Aneh….” Kata Wir0 sambil memperhatikan senjata mustikanya. “Mahluk jahanam itu tampaknya takut pada jarum-jarum putihku. Tapi apa yang ditakutinya? Pukulan sakti dan Kapak Maut Naga Geni 212 sanggup dihadangnya. Masakan dengan jarum-jarum halus malah dia ketakutan dan kabur. Pasti ada rahasinya. Aku harus mencari kelemahannya. Bukan tidak mungkin mahluk tadi ada sangkut pautnya dengan manusia-manusia berpeci kerucut yang menyerangku di pedataran alang­alang…..” Wir0 tarik nafas panjang. 0tak dan bunyi hatinya masih terus berkerja. “P0t0ngan kepala itu , bisa berputar. Rambutnya dan darah yang keluar dari mulutnya merupakan senjata berbahaya. Bergerak lurus-lurus…. Hemmmmm , mungkin itu salah satu kelemahannya. Aku harus berhati-hati. Bukan tidak mungkin dia akan muncul lagi….. Ah , kenapa jadi banyak mahluk aneh muncul mau membunuhku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan kiprah yang diberikan Eyang Sint0 Gendeng? Memberi ingat Pangeran Sampurn0 bahwa istrinya akan membunuhnya? Pangeran sialan! Kalau sudah diberi tahu tidak percaya perlu apa saya susah-sush memberi ingat!” Wir0 garuk-garuk kepala dan tinggalkan tempat itu dengan mata dan pendengaran dipasang untuk meragukan keadaan sekitarnya.
SEMBILAN
Di luar gedung besar kediaman Pangeran Sampurn0 Tj0kr0 Adiningrat udara malam terasa dingin. Hujan turun rintik-rintik dan angin beritup kencang. Kalau para pengawal yang bertugas di luar dikala itu merasa kedinginan maka di dalam kamar sang Pangeran dan istrinya saling rangkul di atas ranjang , asyik berhangat-hangat.
“Bagaimana keadaan tangan kananmu Mas Sampurn0?” tanya sang istri.
“Aku sungguh tak percaya. Kau ternyata spesialis uut. Memang masih terasa linu sedikit tapi saya sudah bisa menggerakkannya tanpa rasa sakit lagi….” Jawab Pangeran Sampurn0 kemudian mencium leher istrinya. Dia mendengar wanita tu mengeluarkan bunyi lirih.
Nyi Gandasuri menggeliat kemudian berkata. “T0l0ng lampunya dibesarkan….”
“Eh , aneh sekali ini. biasanya kamu selalu ilang ins0mnia kalau lampu terang. Kau tak bisa terangsang kalau lampu menyala besar. Sekarang malah minta lampu dibesarkan. Memangnya ada apa istriku?” ujar Pangeran Sampurn0 pula.
Nyi Gandasuri tersenyum lebar. Dengan tanagn kanannya ditariknya tubuh suaminya hingga berada di atas badannya. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu padamu. Kau sering-sering berkata saya ibarat wanita dingin. Kau lihat saja sebentar lagi. Saya akan melayani dan membahagiakan dirimu Mas Sampurn0. Kau akan mencicipi nikmat mulai dari kapala hingga ujung kaki….”
Pangeran Sampurn0 hampir tertawa membahak. Tapi ketika dilihatnya wajah istrinya yang el0k penuh kesungguhan , sambil turun dari atas tempat tidur dia berkata. “Luar biasa sekali kamu malam ini Nyi Ganda. Biasanya kamu selalu malu-malu walau hemmmmmm saya tahu bersama-sama hasratmu manyala-nyala….”
Sang istri tertawa perlahan kemudian berdiri dari berbaringnya.
Pangeran sampurn0 melangkah ke tengah kamar di mana tergantung lampu minyak. Dia berjingkat untuk mencapai putaran lampu. Api lampu membesar. Kamar kini menjadi terang benderang. Lelaki itu membalik ke arah tempat tidur.
Di atas tempat tidur dilihatnya Nyi Gandasuri duduk bersandar ke dinding. Saat itu dia tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya p0l0s putih dan ibarat memantulkan cahaya berkilat terkena sinar lampu. Dia duduk dengan kaki terkembang. Membuat semakin panas darah di tubuh sang Pangeran dan semakin aben hasratnya yang semenjak tadi mendadak jadi berk0bar-k0bar karena perilaku dan ucapan-ucapan sang istri yang tidak ibarat biasanya. Rupanya ketika dia membesarkan nyala lampu minyak tadi dengan cepat Nyi Gandasuri telah membuka seluruh pakaian di tubuhnya. Padahal biasanya kalau tidak dia yang menanggalkan pakaian sang istri , Nyi Gandasuri lebih banyak bersikap membisu saja.
Dengan nafas memburu Pangeran Sampurn0 segera saja hendak mel0mpat ke atas tempat tidur. Namun tiba-tiba saja gerakannya tertahan.
Di atas tempat tidur dilhatnya sang istri tersenyu aneh padanya. Bukan hal ini yang menciptakan Pangeran Sampurn0 berhenti melangkah. Melainkan 0leh satu tanda merah yang tiba-tiba saja dilihatnya melingkari leher istrinya. Tanda itu semakin usang semakin besar. Lalu tanda itu bermetam0rf0sis sebuah k0yakan luka yang aneh mengerikan. Dari luka melingkar mulai mengucur darah. Kucuran darah mengalir turun pada kedua bahunya terus membasahi sepasang payudaranya yang putih dan kencang. Dari sini darah terus mengalir ke perutnya yang p0l0s hingga akhinya membasahi alas tempat tidur.
“Nyi Ganda!” seru Pangeran Sampurn0 terbelalak. “Lehermu!”
Kalau sang suami demikian kagetnya melihat apa yang terjadi tapi sang istri justru tenang-tenang saja. Malah senyum Nyi Gandasuri semakin lebar. Kedua matanya dikedip-kedipkan sedang mulutnya perlahan-lahan dibuka. Mulut itu bergerak-gerak ibarat hendak menyampaikan sesuatu. Tapi dari ekspresi itu sama sekali tidak keluar sep0t0ng suarapun. Malah kini yang keluar yakni pengecap merahnya. Lidah itu dijulur-julurkan dan diputar-putarnya demikian rupa. Kalau saja tidak ada luka aneh di selingkar lehernya pastilah Pangeran Sampurn0 akan terangsang hebat dan mengecup ekspresi serta pengecap istrinya itu.
“Nyi Ganda , apakah kamu tidak mendengar ucapanku tadi? Lehermu! Ada luka melingkar. Ada darah menetes…..! Pegang lehermu , lihat dada dan perutmu!”
Nyi Gandasuri tidak menjawab. Matanya memandang tak berkesip pada suaminya. Sang Pangeran tiba-tiba saja menyadari bahwa dua mata istrinya telah berubah kemerah-merahan. Lalu wajahnya yang el0k menjadi sangat pucat.
“Istriku , apa bersama-sama yang terjadi dengan dirimu! Ya Tuhan! Nyi Ganda!” Pangeran Sampurn0 maju dua langkah. Tapi tepat di pinggiran tempat tidur kembali langkahnya tertahan dan matanya membelalak. Sang istri menyeringai. Lalu. Astaga!
Sedikit demi sedikit dari sudut bibir Nyi Gandasuri sebelah atas muncul keluar sepasang taring besar runcing mengerikan.
“Gusti Allah!” seru Pangeran Sampurn0. Dia mundur dengan sekujur tubuh bergidik. Lidah istrinya yang terjulur merah tiba-tiba berubah warna dan bentuk. Lidah yang tadinya bergerak-gerak elastis kini tampak kaku keras seprti besi. Bagian ujungnya meruncing. Dan pada ujung yang runcing itu ada sebuah l0bang!
“Nyi Ganda….!” Suara Pangeran Sampurn0 bergetar. Kembali dia menciptakan langkah mundur.
Di atas tempat tidur Nyi Gandasuri menyeringai. Mulutnya ibarat menghembus. Dari pengecap besi berbentuk c0r0ng yang keluar bukannya angin tetapi darah merah kental!
“Pangeran suamiku….. Mengapa takut? Bukankah kita akan bersenang-senang. Aku akan membahagiakanmu Mas Sampurn0….”
Tubuh p0l0s di atas tempat tidur kini berj0ngk0k kemudian beringsut ke pinggir.
“Mas Sampurn0…..”
“Nyi Ganda. Kaprik0rnus …..sebenarnya kamu insan jejadian…..!”
“Aku insan biasa. Istrimu…. Hik…hik….hik!” Nyi Gandasuri tertawa tinggi. Tiba-tiba penggalan leher di bawah dagu tepat di penggalan luka melingkar , melesat ke atas!
Pangeran Sampurn0 berteriak melihat kepala yang tanggal dari leher itu melayan ke atas sementara penggalan tubuh yang telanjang masih berj0ngk0k di epi tempat tidur.
“Demi Tuhan Nyi Ganda! Mengapa kamu bisa jadi begini?!” teriak Pangeran Sampurn0. Lalu ketakutannya jadi berlipat ganda sewaktu dilihatnya bagaimana muka el0k tapi pucat itu perlahan-lahan bermetam0rf0sis wajah renta keriputan. Wajah se0rang nenek yang menyeramkan.
Pangeran Sampurn0 putus nyalinya. Dia lari ke pintu. Tapi kalah cepat. P0t0ngan kepala iblis Nyi Gandasuri menukik ke arah bat0k kepalanya. Teriak sang Pangeran terp0t0ng.
Crasss!
Ubun-ubun Pangeran Sampurn0 jeb0l. Sepasang mata merah membelalak besar. Muka nenek yang menyeramkan itu menyeringai. Lalu terdengar bunyi ibarat air menggelegak ketika p0t0ngan kepala itu menyed0t dengan pengecap besinya. Darah membasahi kepala dan muka Pangeran Sampurn0.
Di pintu tiba-tiba terdengar bunyi ketukan-ketukan keras. Disertai bunyi 0rang berseru. “Pangeran! Pangeran Sampurn0! Ada apa di dalam sana?! Kami mendengar bunyi jeritan!”
Itu yakni bunyi se0rang pengawal yang bertugas di penggalan dalam ruah besar kediaman sang Pangeran. Karena tak ada balasan dari dalam mitra di sebelahnya berkata. “Buka paksa saja….”
Pintu dibuka paksa. Dua pengawal mel0mpat masuk ke dalam kamar yang terang benderang itu. Satu memegang t0mbak , satunya menghunus g0l0k. Lalu mendadak saja keduanya menjadi kaku ketakutan ketika menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar besar itu.
Pangeran Sampurn0 terkapar di lantai kamar. Mukanya tertutup darah dan di kepalanya ada sebuah l0bang besar mengerikan. Di atas tempat tidur ada satu s0s0k tubuh wanita telanjang tapi tanpa kepala. Dari lehernya yang kutung ada cairan darah ibarat mendidih kemudian mengalir membasahi tubuhnya. Lalu di mana kepalanya , pikir kedua pengawal di dalam kamar.
Tiba-tiba terdengar bunyi tawa cekikikan. Nyawa dua pengawal ibarat terbang ketika mereka mend0ngak ke atas. Di salah satu sudut langit-langit kamar mereka melihat p0t0ngan kepala berambut riap-riapan , bermuka nenek menyeramkan dan mulutnya mempunyai pengecap aneh berlumuran darah.
“Setan kepala!” teriak pengawal yng memegang t0mbak.
“Pelesit kudung!” seru temannya dengan muka pucat.
Serentak kedua 0rang ini menghambur ke arah pintu yang terbuka. Namun ibarat ada tangan yang mend0r0ng pintu kayu jati itu terbating keras dan tertutup. Dua pengawal tak bisa dan kelabakan berusaha membukanya. Dari sudut kamar bunyi cekikikan semakin mengumbar. Lalu p0t0ngan kepala itu menukik ke arah pengawal yang memegang t0mbak. 0rang ini hanya keluarkan pekikan pendek. T0mbaknya terlepas , tubuhnya r0b0h ke tanah. Ada l0bang besar di kepalanya.
Pengawal satunya sambil menjerit ketakutan berusaha membabatkan g0l0knya ke arah kepala iblis Nyi Gandasuri yang tiba menyerangnya. Tapi bac0kannya meleset. Di lain dikala terdengar jerit kematiannya.
Ketika malam itu selusin pengawal masuk ke dalam kamar mereka melihat Nyi Gandasuri menaangis menjerit-jerit di sudut kamar.
“T0l0ng….t0l0ng….” teriaknya memelas. Lalu tubuhnya yang kini sudah tertutup pakaian itu r0b0h pingsan ke lantai.
SEPULUH
Di puncak Gunung Gede se0rang nenek bermuka buruk bertubuh kurus ibarat jerangk0ng tersentak dari tidurnya. Dia duduk di tepi balai-balai kayu beralas tikar jerami kering. Di kepalanya yang berambut jarang ada lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai itu tidak disisipkan pada rambutnya melainkan ditancapkan di kulit kepalanya!
Sepasang amta di nenek yang cekung menatap ke arah pintu gubuk kayu yang terbuka. Di luar sana kelam bukan main angin malam berhembus dingin.
“Mimpi buruk….” Si nenek berkata pada dirinya sendiri. “Jangan-jangan anak setan itu gagal menjalankan tugasnya!” Si nenek berdiri. Sebelum keluar dari gubuk kayu diambilnya sebatang t0ngkat kayu yang tersandar dekat pintu.
Di luar udara dinginnya bukan main. Tapi si nenek hening saja se0lah tidak merasa apa-apa. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan.
“Di mana renta bangka itu?” dia kembali bicara sendirian. “Aku mendengar bunyi ng0r0knya tapi s0s0k b0br0knya tidak kelihatan!”
Walaupun memegang t0ngkat dan tubuhnya bungkuk sekali , tapi nenek berwajah menakutkan itu tidak pergunakan t0ngkat kayunya untuk membantunya berjalan. Malah t0ngkat kayu itu dib0lang-balingkannya kian kemari. Dia melangkah ke arah sebuah kerikil besar dari arah mana terdengar bunyi 0rang mendengkur. Tapi begitu hingga di belakang kerikil dia sama sekali tidak menemukan 0rang yang dicarinya itu.
“Ah! Keparat sialan renta bangka itu! Dia menipuku dengan ilmu memindahkan suara! W0ng edan! Suara ng0r0knyapun dipindah-pindah! Rupanya dia takut dib0k0ng 0rang!” saking kesalnya si nenek ket0k kerikil itu dengan ujung t0ngkat. Braakk! Batu hitam at0s itu g0mpal dan murak pada penggalan yang terkena pukulan.
Si nenek keluar dari balik batu. Dia memandang lagi berkeliling. Matanya membentur s0s0k p0h0n besar sejarak dua puluh langkah di sebelah kirinya. Memandang ke p0h0n yang menghitam dalam kegelapan itu si nenek ingat pada masa belasan tahun lalu. Ketika dia masih menggembleng muridnya di puncak Gunung Gede itu. Sang murid sering dilemparkannya ke atas p0h0n itu. Mukanya yang menakutkan dan mulutnya yang per0t tampak tersenyum. Lalu dia mulai melangkah ke arah p0h0n.
Sampai di bawah p0h0n dia tegak berdiam sebentar. Seluruh p0h0n sehening di pekuburan. Malah lagi-lagi dari arah balik kerikil besar kembali terdengar bunyi 0rang mendengkur. Si nenek menyeringai.
“Sekali ini kamu tak bisa menipuku renta bangka r0ngs0kan!” kemudian si nenek tempelkan t0ngkat kayunya ke batang p0h0n. Sesaat kemudian t0ngkat itu bergetar aneh. Getaran merambat ke batang p0h0n , menjalar ke atas. Di atas p0h0n , di sebuah cabang besar satu s0s0k tubuh yang sedang tidur nyenyak tampak terguncang­guncang.
“Hai! Gempa bumi atau sudah simpulan zaman dunia ini?! Sialan betul!” 0rang yang tidur terbangun eksklusif menyumpah.
Kepalanya ditukikkan ke bawah. Lalu dia berseru. “Sint0 Gendeng! Pasti kamu yang usil mengganggu tidurku!”
“Tua bangka r0ngs0kan! Kau turunlah sebentar! Aku mau bicara!” Si nenek di bawah p0h0n berteriak. Ternyata dia yakni si nenek sakti Eyang Sint0 Gendeng , guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wir0 Sableng , satu dari sedikit t0k0h utama dunia persilatan pada masa itu.
“Bicara malam-malam begini?! Uh! Ada-ada saja kamu ini! Apa tidak bisa menunggu hingga bes0k pagi?” “Kerjamu selama satu ahad di sini tidur melulu. Apa kamu kira tempatku ini tempat 0rang mendengkur dari pagi hingga malam hingga pagi lagi?!”
“Eh Sint0 kamu tahu sendiri. Kerjaku jalan melulu. Sepanjang tahun kalau dikumpulkan tidurku mungkin hanya belasan hari saja! Apa salahnya kalau sekali ini saya berleha-leha m0l0r terus di tempat teman….. Itu gunannya teman. Lagi pula saya tidur di p0h0n. Kau mana mungkin menyediakan ranjang bagus dan bantal empuk untukku! Ha…ha….ha….!”
“Sudah! Jangan bicara ngac0! Lekas turun! Atau saya yang naik ke atas sana. Menjewer telingamu dan menyeretmu ke bawah sini?!”
“Huahhhh!” 0rang di atas p0h0n menguap lebar-lebar. Lalu dala kegelapan malam dari atas p0h0n melayang turun sebuah benda. Mula-mula kelihatan sebuah caping lebar terbuat dari bambu. Di atas caping ini menyusul tampak sepasang kaki buruk keriput duduk bersila. Setelah itu gres kelihatan s0s0k tubuh dan kepala. 0rang yang melayang turun sambil duduk di atas caaping bambu itu ternyata se0rang kakek berpakaian r0mbeng penuh tambalan ibarat se0rang pengemis. Rambutnya sudah putih semua. Kedua matanya dipejamkan ibarat tidur. Di ketiak kirinya terkepit sebatang t0ngkat kayu. Di bahunya ada sebuah bantalan. Di tangan kanannya dia memegang sebuah kaleng r0mbeng. Sambil melayang turun dia mengg0yang­g0yangkan kaleng bututnya itu. maka terdengarlah bunyi berker0ntangan yang menusuk pendengaran di malam buta itu.
“Berisik! Hentikan perbuatan edanmu itu atau kurampas kaleng r0mbengmu dan kubuang ke jurang!” si nenek mengancam sambil tekap kedua telinganya yang terasa ibarat dicucuk 0leh bunyi ker0ntangan kaleng.
Kakek yang melayang turun tertawa gelak-gelak. Beberapa dikala lagi capingnya akan menyentuh tanah dia mel0mpat turun. Caping disambarnya eksklusif diletakkan di atas kepala. Kini si kakek berhadap-hadapan dengan si nenek.
“Kau masih tidur atau bagaimana? Mengapa kedua matamu masih terus dipicingkan?” si nenek menegur.
Wajah renta di bawah caping tersenyum. “Membuka mata atau tidak apa bedanya. Tetap saja saya tidak melihat apa-apa……” jawab si kakek. Namun kedua matanya dibuka juga. Yang kelihatan hanya sepasang mata berwarna putih. Ternyata kakek ini buta kedua matanya! Sudah bisa kita duga kakek aneh ini bukan lain yakni 0rang sakti yang dikenal dengan nama Kakek Segala Tahu.
“Uh…..! Malam-malam buta pakai pamer ilmu segala!” si nenek mencel0teh kembali.
“Eh , apa maksudmu Sint0?” tanya Kakek Segala Tahu. Tangan kanannya hendak dig0yangkan kembali. Tapi tidak jadi karena dia kawatir si nenek akan murka lagi.
“Tadi waktu kamu turun dari atas p0h0n. Mel0mpat saja kan bisa. Kenapa pakai duduk segala di atas caping! Supaya saya tahu bahwa tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhmu sudah selangit tembus ya?!”
Si kakek tertawa gelak-gelak. “Tua bangka t0l0l r0ngs0kan sepertiku ini mau pamer ilmu kepandaian di depan t0k0h dunia persilatan sepertimu mana saya berani Sint0? Tadi itu saya hanya sekedar melampiaskan rasa jengkel karena kamu bangunkan sewaktu saya enak-enak tidur dan bermimpi!”
“Kau bermimpi? Sama , saya justru memanggilmu turun karena saya juga bermimpi. Apa mimpimu?” tanya Sint0 Gendeng.
“Rasanya saya berada di satu puncak gunung yang indah. Ada sebuah rumah bagus ibarat istana kecil. Di depan istana ada se0rang el0k jelita. Berpakaian sangat tipis yang tersingkap kian kemari karena dihembuskan angin. Dia melambai­lambaikan tangannya padaku. Aku segera mendatangi. Kupikir rejeki besar nih! Eh , begitu hingga di hadapannya tiba-tiba saja gadis el0k jelita itu bermetam0rf0sis se0rang nenek-nenek pe0t. Dan nenek itu yakni kau!”
“Sialan keparat! Jahanam kau!” maki Sint0 Gendeng panjang pendek. Sementara Kakek Segala Tahu tertawa terkekeh-kekeh. Sambil mengusap matanya yang berair 0leh air mata si kakek kemudian berkata. “Nah , malam-malam buta begini mengapa kamu menyuruh saya turun dari p0h0n. Tadi katamu ada yang hendak kamu bicarakan.”
“Betul ,” jawab Sint0 Gendeng walau dengan wajah masih merengut. “Aku sudah kisah padamu bahwa saya mengutus muridku si sableng berjulukan Wir0 itu guna menemui Pangeran Sampurn0 Tj0kr0 Adiningrat! Dia kutugaskan menemui Pangeran itu untuk memberi peringatan bahwa istrinya sendiri yang berjulukan Nyi Gandasuri ingin membunuhnya…..”
“”Ya , ya saya sudah dengar kamu kisah begitu ,” kata Kakek Segala Tahu. “Ini sebagai akhir istrinya mempunyai ilmu iblis dan ingin menjadi permaisuri Sri Baginda.”
Sint0 Gendeng mengangguk. “Ternyata anak setan itu gagal menyelamatkan Pangeran Sampurn0….”
“Dari mana kamu tahu dia gagal?” bertanya Kakek Segala Tahu.
“Barusan saya mimpi. Aku melihat anak itu jatuh ke jurang dihantam ek0r buaya jadi-jadian…..”
“Mati?”
“Mati sih belum. Cuma babak belur….”
“Lalu mengapa itu jadi pers0alan?”
“Sialan kau! Kau tahu bagaimana hubunganku dengan Kerat0n. Pangeran Sampurn0 banyak membantu dan saya banyak berhutang budi padanya! Apa kamu merasa saya tidak punya kewajiban untuk men0l0ngnya dari ancaman maut?”
“Sint0 , kalau kamu sudah berusaha dan gagal itu bukan kesalahanmu. Itu berarti sudah takdir! Nah kenapa musti dipikirkan?!”
“Bukan saya memikirkan itu saja. Tapi saya juga kesal mangapa anak setan itu bisa gagal?!” ujar Sint0 Gendeng.
“Tunggu dulu Sint0. Sekarang ini banyak bermunculan t0k0h-t0k0h aneh dalam dunia persilatan. Selain aneh tentu saja mereka membekal ilmu kepandaian tinggi. Setiap ilmu gres , apalagi ilmu hitam yang mengerahkan mahluk-mahluk halus tidak simpel menghadapinya. Mungkin ini yang terjadi dengan muridmu.”
“Hemmmm , kalau begitu tidak salah saya minta bantuanmu dikala ini juga.”
“Sebagai s0bat yang sudah kenal puluhan tahun bantu membantu yakni jamak-jamak saja. Pert0l0ngan apa yang bisa saya berikan?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Kau carilah muridku itu. Dia niscaya tidak jauh dari K0taraja. Periksa apa yang terjadi. Lakukan sesuatu jikalau kamu memang bisa men0l0ngnya. Aku bersama-sama sudah usang bercuriga. Jangan-jangan ini semua pekerjaan se0rang yang sangat membenci dan mendendam muridku itu.”
“Siapa?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Wah , dia punya puluhan bahkan mungkin ratusan 0rang yang tidak suka padanya. Jika kamu selidiki sendirilah!”
Kakek Segala Tahu geleng-gelengkan kepala. “Jika se0rang s0bat meminta , maskan saya tega menampik. Apalagi s0bat secantikmu ini!”
“Kurang asuh kau! Pasti kamu bermaksud mengejekku!” damprat si nenek.
Kakek Segala Tahu tertawa lebar.
“Bes0k pagi saya tinggalkan tempat ini. Sekarang biar kuteruskan dulu tidurku!” habis berkata begitu si kakek gerakkan kedua kakinya. Wuttt! Tubuhnya melesat ke atas p0h0n. Lenyap dalam kegelapan. Tak usang kemudian terdengar bunyi 0rang mendengkur di balik kerikil besar sebelah sana. Eyang Sint0 Gendeng cuma bisa geleng-geleng kepala kemudian beranjak pula dari tempat itu.
SEBELAS
Kematian Pangeran Sampurn0 tentu saja merupakan satu insiden mengerikan dan menggegerkan. Beberapa hari sehabis jenazahnya dimakamkan , se0rang utusan dari Kerat0n dataang menemui Nyi Gandasuri. 0rang ini membawa pesan biar sang janda menghadap Sri Baginda.
Pada hari yang telah ditentukan maka datanglah Nyi Gandasuri menemui Raja. Karena ini yakni pertemuan keluarga maka para pengawal diminta pergi dan di tempat itu hanya ada Sri Baginda bersama permaisuri dan Nyi Gandasuri.
Menurut Raja kematian Pangeran Sampurn0 yang yakni adik kandungnya sendiri bukan kematian biasa. Dia dibunuh secara kejam. Tapi dibalik kekejaman iu ada suatu keanehan.
“Pada dikala suami Nyi Ajeng dibunuh , Nyi Ajeng sendiri ada dalam kamar. Mungkin Nyi Ajeng bisa menceritakan bagaimana kejadiannya atau melihat siapa pembunuhnya.”
“Saya memang berada di dalam kamar , Sri Baginda. Tapi saya sama sekali tidak melihat insan keji pembunuh suami saya itu. semua terjadi sangat cepat. Ketika saya terbangun dari tidur saya dapati Pangeran Sampurn0 sudah menggeletak di lantai kamar. Di dekatnya ada dua mayat pengawal.” Begitu keterangan Nyi Ageng Gandasuri yang tentu saja dusta belaka.
“Ada lap0ran menyampaikan bahwa Ki Ageng Bant0r0 , kepala pengawal gedung kediaman Dimas Sampurn0 serta beberapa pengawal lainnya beberapa waktu kemudian juga terbunuh dengan cara sama. Kepalanya berl0bang. Semua mayat putih pucat se0lah darahnya sudah dikuras habis dari tubuh masing-masing!”
“Semuanya memang serba mengerikan Sri Baginda. Saya sendiri terus terang saja merasa takut sepanjang saat. Bukan tidak mungkin saya akan menjadi k0rban pembunuhan pula….”
“Sri Baginda memang telah memikirkan hal itu Nyi Ageng Ganda ,” kata permaisuri Wiriapujiarti dengan bunyi ramah tapi terperinci wajahnya masam. “Karena itu Baginda juga telah tetapkan biar Nyi Ageng bisa tinggal di lingkungan Kerat0n….. Bukan begitu Sri Baginda?” ujar permaisuri pula seraya melirik penuh arti pada Sri Baginda.
Raja bukan tidak tahu kalau permaisuri mengidap rasa cemburu. Selain jauh lebih muda Nyi Gandasuri juga berwajah lebih el0k dan berkulit lebih putih serta mulus.
Setelah batuk-batuk beberapa kali Sri Baginda berkata. “Apa yang dikatakan permaisuri memang betul. Demi keselamatanmu sebaiknya Nyi Ajeng tinggal di lingkungan Kerat0n. Di sini pengawalan lebih sempurna. Sebegitu jauh memang k0rban pembunuhan aneh ini yakni 0rang pria semua. Tapi kami tidak mau berlaku lengah. Karena itu kami minta Nyi Ajeng tinggal di sini…..”
“Saya hanya akan merep0tkan keluarga Kerat0n saja. Rupanya memang sudah suratan nasib saya begitu. Saya menghaturkan ribuan terima kasih karena Sri Baginda dan permasiduri begitu memperhatikan saya. Jika itu titah dari Sri Baginda mana mungkin saya men0lak….”
“Nyi Ajeng b0leh pindah secepatnya kemari.” Kata sang Raja pula.
Keluar dari Kerat0n Nyi Gandasuri tersenyum-senyum se0rang diri. Dia tidak menyangka bahwa segala rencaanya kelak akan berjalan lebih cepat karena Sri Baginda sendiri yang membuka peluang. Waktu bicara tadi Nyi Gandasuri bukannya tidak melihat beberapa kali Sri Baginda melemparkan senyum serta lirikan mengandung arti.
Begitu Nyi Gandasuri keluar dari ruangan pertemuan permaisuri cepat berdiri. Raja memegang lengan istrinya dan berkata “Mengapa cepat-cepat pergi. Kita harus membicarakan dimana Nyi Gandasuri tadi layak ditempatkan…..”
Permaisuri tersenyum. “Semua kamar layak baginya kecuali kamar saya. Saya ada keperluan lain jadi m0h0n dimaafkan tidak sanggup mendampingi Baginda. Sem0ga Sri Baginda puas bisa men0l0ng janda itu. Bukankah dia adik ipar Sri Baginda sendiri?”
Sri Baginda tersenyum “Ucapan nada bicara dan raut wajahmu menyatakan kamu merasa tidak senang pada adik iparku itu. Kau cemburu padanya?’
“Kalau tubuh sekuntum bunga bagus di taman yang telah penuh bunga , apakah bunga-bunga lainnya tidak akan merasa ibarat itu? Sri Baginda tanyakan saja pada kumbang di taman…..” jawab permaisuri Wiriapujiarti. Lalu permaisuri ini memutar tubuhnya dan tinggalkan ruangan itu. Sri Baginda geleng-gelengkan kepala. “Memang benar kata 0rang. Perempuan berhati dan bermata tajam terhadap wanita di sekitarnya. Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang ada di batinku…..”
Tiga hari kemudian Nyi Gandasuri pindah ke dalam lingkungan Kerat0n. Padanya diberikan sebuah ruangan di sayap kanan bangunan utama. Demikian besarnya ruangan ini hingga hampir merupakan satu rumah tersendiri. Memandang berkeliling Nyi Gandasuri melihat di ruangan itu ada empat buah pintu. Maka diapun berkata pada pelayan lelaki yang tegak di sebelahnya. “Itu pintu kita masuk tadi. Lalu untuk apa ada tiga pintu lainnya?”
“Yang di sebelah kanan ujung pintu menuju serambi bangunan. Yang di sebelah kiri pintu menuju taman Kerat0n. Lalu pintu ketiga nanti Nyi Ajeng akan mengetahui sendiri pintu apa…..”
“Pelayan , saya tak mau berteka-teki. Pikiranku sudah cukup kusut karena kematian Pangeran Sampurn0. Aku minta kamu menyampaikan kini juga. Pintu apa itu!” tanya Nyi Gandasuri.
Karena tahu siapa adanya janda muda itu sang pelayan jadi takut juga. Maka diapun menerangkan. “Pintu itu khusus Nyi Ajeng. Tidak bisa dibuka dari dalam. Pada saat-saat tertentu Sri Baginda bisa saja muncul dan masuk ke sini….”
“0h…..” Nyi Gandasuri mengangguk perlahan.
“Semua kamar istri dan gundik Sri Baginda ada pintu ibarat itu….”
“Berapa kamar semuanya?” tanya Nyi Gandasuri pula.
“Sembilan , sepuluh dengan ini ,” jawab si pelayan.
“Berarti selama ini Sri Baginda punya se0rang permasuri , istri kedua dan tujuh selir ,” membatin Nyi Gandasuri. “Aku tidak mau dijadikan selir yang kedelapan!”
“Saya m0h0n diri Nyi Ajeng Gandasuri….”
“Ya , ya…. Pergilah. Kau pelayan baik. Nanti akan kusiapkan hadiah untukmu….”
“Terima kasih Nyi Ganda….” Pelayan itu kemudian cepat-cepat keluar dari ruangan besar tersebut.
Dari ruangan bangunan Kerat0n yan gbakal jadi tempat kediaman Nyi Gandasuri pelayan lelaki tadi melangkah cepat memasuki bangunan utama. Di satu l0r0ng dia membel0k ke kanan hingga mencapai satu ruangan besar yang penuh dengan aneka macam barang–barang antik pusaka Kerat0n. Dari sini dia melangkah lurus menuju ke kanan , memasuki sebuah ruangan kecil dan melangkah ke arah sebuah pintu yang tertutup. Dia mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut. Begitu mendengar bunyi sese0rang di dalam dia segera mend0r0ng pintu dan masuk.
Yang menunggunya di ruangan itu ternyata yakni permaisuri Wiriapujiarti. Setelah memberi pengh0rmatan si pelayan memberitahu bahwa Nyi Gandasuri telah menempati ruangan kediamannya.
“Malam ini harus kamu jalankan tugasmu dengan segera. Aku tidak suka berbuat begini. Tapi Ni L0r0 G0alidra dukun istana telah memberi tahu dan memberi ingat ancaman besar yang dibawa janda Pangeran Sampurn0 itu. Salah satu dari kami harus tersingkir.”
“Saya tahu hal itu karena saya ikut mendengar sendiri dari ekspresi Nyi L0r0 G0alidra. Kesetiaan saya terhadap permasuri menciptakan saya akan melaksanakan apa saja yang permaisuri perintahkan….”
Permaisuri Wiriapujiarti melangkah ke sebuah lemari kayu besar. Dari dalam lemari ini dikeluarkannya sebuah peti. Tiga dindingnya terbuat dari kayu. Dinding sebelah depan terbuat dari kawat berbetnuk jaring sehingga isinya bisa terlihat dengan jelas. Di dalam peti itu melingkar seek0r ular send0k berwarna hijau gelap. Binatang berbisa ini membuka gelungannya dan mengangkat kepalanya begitu peti disentuh.
“Malam ini juga kamu pergi ke kamar Nyi Gandasuri. Ambil jalan khusus yang dipergunakan Sri Baginda. Lepaskan ular ini ke dalam kamarnya. Kau tak usah kawatir bakal ketahuan. Para pengawal yang bertugas malam ini yakni 0rang­0rangku.”
“Perintah permaisuri akan saya jalankan.” Kata si pelayan pula.
Permaisuri anggukkan kepalanya sedikit. Ke dalam saku pakaian pelayang itu dimasukkannya sebuah kant0ng kain berisi uang. Lalu dengan cepat permaisuri tinggalkan tempat itu.
Kamar tidur gres biasanya menciptakan sese0rang tidak sanggup memejamkan mata dengan segera. Begitu yang terjadi dengan Nyi Gandasuri. Namun di samping hal itu ada pula hal lain yang membuatnya tidak sanggup segera memicingkan mata. Tujuannya untuk meminta pert0l0ngan pada Maharaja dan Maharatu Langit Darah ialah biar sanggup menjadi permaisuri Raja. Kini sehabis berada di dalam Kerat0n dia jadi gundah sendiri. Menurut planning yang akan dibunuhnya selanjutnya yakni kakak lelaki dan kakak wanita Pangeran Sampurn0. Setelah itu istri kedua Sri Baginda dan yang terakhir gres sang permaisuri. Tapi kini dia berada demikian dekat dengan sang permaisuri. Mengapa tidak mengambil jalan pintas saja eksklusif membunuh permaisuri Wiriapujiarti?
Karena memikirkan hal ini lewat tengah malam gres Nyi Gandasuri bisa memicingkan mata. Itupun sehabis dia mengambil keputusan untuk menghadap Maharaja dan Maharatu Langit Darah lebih dulu sebelum bertindak.
Menjelang dini hari Kerat0n kelihatan karam dalam kesunyian. Udara terasa hirau taacuh mencucuk. Dari dalam kamar tempat penyimpanan ular send0k , pelayan suruhan permaisuri keluar membawa peti berisi hewan maut itu. walau sudah diberi tahu bahwa semua pengawal yang bertugas malam itu yakni 0rang-0rang permaisuri namun si pelayan tetap saja berlaku hati-hati.
Dia berhasil mencapai pintu khusus tanpa halangan apapun. Dengan hati-hati , mempergunakan kunci rahasia dia membuka pintu tanpa bunyi sama sekali. Namun bagaimanapun juga Nyi Gandasuri yang kini telah bermetam0rf0sis satu mahluk tajam indera segera terbangun dari tidurnya ketika pintu did0r0ng si pelayan dari luar.
Mula-mula Nyi Gandasuri melihat sebuah peti menyembul dari balik pintu yang terbuka itu. kemudian muncul s0s0k si pelayan mengendap-endap. 0rang ini memandang berkeliling sejenak kemudian memperhatikan tempat tidur di mana Nyi Ageng terbaring tidur di balik kelambu putih berbunga-bunga. Pintu ditutupnya kembali kemudian dia melangkah mendekati tempat tidur. Setelah membuka epil0g peti perlahan-lahan peti dinaikkan sejajar tepi tempat tidur. Lalu dengan hati-hati disingkapnya kelambu putih. Ketika memandang ke dalam terkejutlah pelayan ini. di atas tempat tidur sama sekali tidak ada s0s0k tubuh Nyi Gandasuri. Dia jadi gundah dan berpikir-pikir apakah dia telah masuk ke dalam kamar yang salah. Maka dia berbalik sedikit sambil memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat satu pemandangan yang mengerikan.
Di sudut kamar sebelah kiri tegak s0s0k tubuh Nyi Gandasuri mengenakan pakaian tidur yang sangat tipis. Kedua kakinya terkembang. Kepalanya mend0ngak. Di lehernya kelihatan ada gurutan luka berdarah. Tiba-tiba dari bawah bibir sebelah atas mencuat keluar sebuah taring. Bersamaan dengan itu leher Nyi Gandasuri tersentak putus. Wajahnya yang el0k bermetam0rf0sis putih , berganti dengan wajah se0rang nenek-nenek menyeramkan. Melihat kepala Nyi Gandasuri mencelat ke atas begitu rupa sementara dari penggalan leher yang kutung dan masih menyatu dengan tubuh keluar bunyi ibarat air mendidih , takutnya si pelayan tentu saja bukan alang kepalang. Terlebih ketika dilihatnya kepala iblis Nyi Gandasuri ang melayang di atas langit-langit kamar tiba-tiba menukik lurus ke arahnya. Di dahului 0leh pekik ketakutan si pelayan lemparkan peti ular ke lantai padahal tadi sudah sempat membuka kaitan epil0g pintu peti.
Ular send0k hijau meluncu keluar. Pelayan lari ke pintu. Dari atas kepala iblis Nyi Gandasuri melesat ke atas bat0k kepala si pelayan. Terdengar jeritan pendek. Tubuh pelayan terbanting ke lantai. Ubun-ubunnya berl0bang besar. Nyawanya putus. Ular send0k yang melihat mangsa segera menyerbu mematuk tubuh si pelayan. Tapi sadar rupanya bahwa mangsanya itu sudah jadi mayat maka dia membalikkan kepala , memandang ke jurusan tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri yang ada di sudut kamar sebelah kiri. Binatang ini tegakkan kepalanya. Masih dengan kepala tegak ular berbisa ini melesat ke arah tubuh di sudut kamar itu.
Hanya sesaat lagi patukan ular send0k akan menghujam di paha Nyi Gandasuri tiba-tiba dari atas p0t0ngan kepala janda Pangeran Sampurn0 itu membeset ke bawah sambil menyemburkan darah dari pengecap besinya yang berl0bang.
Kepala ular send0k ibarat terpuntir. Mata kirinya hancur dan beberapa penggalan kepalanya tampak berl0bang. Binatang ini menggeliat beberapa kali. Kesempatan ini cepat dipergunakan 0leh kepala iblis Nyi Gandasuri untuk kembali ke tempat asalnya yaitu p0t0ngan leher yang masih menyatu dengan badan. Begitu kepala dan lehernya bersatu dan wajahnya kembali ke bentuk semula , maka menjeritlah Nyi Gandasuri melihat s0s0k ular yang menggeliat-geliat di lantai kamarnya.
Pintu kamar dari mana si pelayan menyelinap masuk terbuka lebar. Yang masuk ke dalam ternyata yakni Sri Baginda Raja sendiri. Dengn cepat dia menyambar peti yang menggeletak dekat kaki tempat tidur. Lalu dengan peti ini dihantamnya kepala hewan yang sedang menggeliat itu hingga hancur.
“Nyi Ajeng! Tenang…. Tak usah menjerit lagi. Kau k0ndusif sekarang. Ceritakan apa yang terjadi….” Kata Sri Baginda begitu hingga di hadapan Nyi Gandasuri. Dalam takutnya janda itu eksklusif menyusupkan kepala ke dada Sri Baginda dan merangkulnya Raja balas memeluk sambil berkata. “Aku melihat mayat se0rang pelayan. Mengapa dia berada di sini….”
“Dia yang membawa ular berbisa itu. Dia bermaksud membunuh saya dengan melepas hewan itu di atas tempat tidur. Untung saya terbangun dan menghindar dengan mel0mpat turun…..”
Tanpa berpaling Raja bertanya. “Siapa yang membunuh pelayan itu?”
“Kepalanya berl0bang besar. Dia menemui janjkematian ibarat kematian aneh yang dialami Pangeran Sampurn0…..” Satu bunyi menjawab di belakang Sri Baginda yang dikala itu tegak membelakangi pintu dan masih memeluki Nyi Gandasuri yang ketakutan.
Perlahan-lahan Sri Baginda lepaskan pelukannya kemudian memutar tubuh.
“Ni L0r0 G0ndria ,” ujar Sri Baginda ketika dia mengenali wanita renta bungkuk yang berdiri dekat mayat si pelayan. Dia yakni dukun istana yang p0puler dengan aneka macam ilmu selain ilmu peng0batan.
Sang dukun renta membunguku. “Maafkan saya dikarenakan telah berani masuk ke kamar ini. Saya mendengar bunyi jeritan Nyi Ajeng. Bersama beberapa pengawal eksklusif mendatangi kamar ini. Saya bersyukur Sri Baginda sudah berada di sini dan Nyi Ajeng terlepas dari ancaman maut…..”
“Panggilkan Patih Kerajaan. Ada persek0ngk0lan 0rang-0rang jahat hendak membunuh adik iparku dalam Kerat0n! Siapa pelakunya harus dicari dan ditangkap…..”
Dukun renta itu mengiyakan sambil membungkuk. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan kamar itu.
DUA BELAS
Di tempat berbukit-bukit di sebelah timur menjelang memasuki K0taraja hujan mulai turun. Walau cuma rintik-rintik tapi lama-lama bisa menciptakan berair pakaian. Memikir hingga di sini Pendekar 212 Wir0 Sableng risik0nya membawa kudanya menempuh jalan sepanjang selatan sebuah hutan belantara yang kabarnya sering dijadikan sarang bagi para penjahat yang hendak melaksanakan penjarahan di daerah pinggiran K0taraja.
Di sebuah tikungan menurun Wir0 memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh penuh dengan batu-batu besar. Di sebelah kanan gelap menghitam rimba belantara. Di sisi kiri ada sungai kecil yang telah mengering semenjak anim0 kemarau silam.
Ketika hampir melewati tikungan menurun itu tiba-tiba dari atas sebatang p0h0n besar melayang turun sebuah benda. Menyambar ke arah Pendekar 212. Kuda yang ditunggangi Wir0 meringkik keras. Murid Sint0 Gendeng cepat mel0mpat turun dan membiarkan hewan itu lari sendirian kemudian berhenti di kejauhan.
Wuutttt!
Benda dari atas p0h0n kembali melesat. Wir0 mel0mpat cari selamat karena dia sudah bisa mengira apa adanya benda itu. P0t0ngan kepala insan dengan rambut riap-riapan yang dulu pernah menyerangnya. Karena sudah tahu kalau p0t0ngan kepala itu tidak mempan dikapak tidak mempan dihantam dengan pukulan sakti maka Wir0 segera mengeluarkan Kapak Naga Geni 212. Bukan untuk dipergunakan sebagai senjata pembac0k atau pembabat melainkan untuk dipergunakan jarum rahasia yang ada di dalamnya menyerang p0t0ngan kepala!
Kali ketiga p0t0ngan kepala menyerang , Wir0 angkat Kapak Maut Naga Geni 212 sambil menekan salah satu dari dua mata gesekan naga yang menjadi gagang senjata.
Selusin jarum putih halus menyembur dari ekspresi kepala naga.
Clepp….clep…..clepp! Sembilan dari dua belas senjata rahasia berbentuk jarum itu menancap di wajah p0t0ngan kepala. Sampai di sini gres Wir0 melihat adanya keanehan. Dulu p0t0ngan kepala itu begitu takut melihat jarum-jrumnya dan lari terbirit-birit. Kini jangankan lari , malah yummy saja pentang tampang. Dan semudah itukah kini dia bisa menyarangkan jarum-jarumnya hingga menancap di muka p0t0ngan kepala iblis?
“Ada yang tidak beres!” pikir murid Sint0 Gendeng. “Dulu kepala ini selalu menyerang lurus-lurus , menukik mengincar bat0k kepala. Kini hanya bergerak mudar mandir ke depan ke belakang. Tidak pernah menukik! Akan kuc0ba dengan satu pukulan sakti!”
Tidak menunggu lebih lamaWir0 segera kerahkan tenaga dalam kemudian menghantam p0t0ngan kepala yang masih melayang-layang di udara dengan pukulan “segulung 0mbak menerpa karang.”
Wuurrrr!
Angin deras menghampar menghantam p0t0ngan kepala.
Prakkk! Byaarrr!
P0t0ngan kepala hancur berantakan. Tambutnya yang riap-riapan melayang putus dan lenyap entah kemana.
“Kayu!” seru Wir0 ketika meliaht kenyataan bahwa p0t0ngan kepala itu ternyata hanya sebuah b0neka terbuat dari kayu!. “Bangsat sial dangkalan! Siapa yang berani main-main!” Wir0 memaki geram.
Sebagai balasan terdengar bunyi 0rang tertawa gelak-gelak. Lalu ada bunyi kaleng berker0ntangan.
“Walah! Tua bangka sialan itu rupanya!” Wir0 memaki tapi tidak berani keras-keras. Sesaat kemudian dia berseru. “Kakek Segala Tahu! Buat apa masih bersembunyi! Ay0 tunjukkan tampangmu!”
Sambil tersenyum-senyum dan ker0ntangkan kaleng r0mbengnya 0rang renta yang disebut dengan julukan Kakek Segala Tahu itu melayang turun dari atas p0h0n.
“Gerakanmu sudah mulai lamban anak muda! Kalau p0t0ngan kepala iblis sungguhan yang tadi menyerangmu niscaya kamu sudah celaka! Hemmmm…..” Si kakek ulurkan kepalanya. “Kulihat ada bekas guratan-guratan luka di wajahmu. Siapa yang punya pekerjaan?”
“Siapa lagi kalau bukan kawanmu itu….!” jawab Wir0.
“Kawanku siapa?!” tanya Kakek Segala Tahu heran.
“P0t0ngan kepala iblis!” menyahut Wir0.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Kek , c0ba kamu katakan. Apa juntrunganmu muncul di sini dan berbuat ibarat anak-anak. Perlu-perlunya menciptakan b0neka kayu segala!” “Gurumu minta saya menemuimu.” “Eyang Sint0 Gendeng?” Si kakek mengangguk. “0rang renta itu punya firasat kamu menghadapi kesulitan.” “Kalau kesulitan siapa yang tidak pernah menemui…..” “Gurumu tahu kamu gagal menyelamatkan nyawa Pangeran Sampurn0…..” Wir0 garuk-garuk kepalanya. “Lalu apa yang bisa kamu bantu Kek?” “Aku sendiri tidak tahu sebelum saya menerima keterangan darimu.” “Seperti guru pernah menyampaikan yang jdai biang bahalanya adalah
perempuan berjulukan Nyi Gandasuri , bekas istri Pangeran Sampurn0 sendiri. Dia yang membunuh suaminya itu. Tapi sulit diketahui apa alasannya. Lalu beberapa waktu kemudian kakak lealki Pangeran Sampurn0 , adik Sri Baginda juga menemui janjkematian dengan cara sama ibarat yang dialami Pangeran Sampurn0. Setelah insiden itu berturut­turut terbunuh pula istri kedua Sri Baginda dan adik wanita Sri Baginda hampir menjadi k0rban pula jikalau tidak tiba-tiba pelakunya diperg0ki para t0k0h silat istana. Setelah itu dua t0k0h silat istana jadi k0rban…..”
Kakek Segala Tahu ker0ntangkan kaleng r0mbengnya. Dia mend0ngak ke langit. Matanya yang buta berputar-putar. Lalu dia berkata. “Kita tahu Nyi Gandasuri berniat membunuh suaminya. Tapi kita tidak tahu apa benar dia yang melakukannya. Jangan-jangan dia hanya kedahuluan 0leh sese0rang yang punya permusuhan dengan Pangeran itu…..”
“Tapi Kek….”
“Tunggu dulu! Ucapanku belum selesai!” ujar Kakek Segala Tahu. Setelah mengg0yang-g0tangkan kalengnya beberapa kali dia melanjutkan. “Baik Pangeran Sampurn0 maupun k0rban-k0rban lainnya menemui janjkematian secara mengerikan dalam cara yang sama. Bat0k kepala berl0bang besar , tepat di ubun-ubun. Darah dised0t habis! Berarti pelakunya siapapun dia adanya yakni satu 0rang yang sama. Atau dari satu kel0mp0k manusia-manusia iblis yang mempunyai ilmu hitam yang sama!”
“Saya curiga sekali si pembunuh yakni Nyi Gandasuri ,” ujar Wir0 pula. “Kita bisa menuduh tapi harus membuktikan. Apa kamu pernah melihatnya?”
“P0t0ngan kepala itu pernah menyerangku….”
“Kau lihat tampangnya?”
“Sekilas…..”
“Wajahnya ibarat wajah Nyi Gandasuri?”
Wir0 menggeleng. “Yang kulihat justru wajah se0rang nenek seram. Mulutnya ada taringnya. Lidahnya berbentuk c0r0ng. Seperti dari besi……”
“Pelesit kudung! Ada yang menamakan begitu berarti kelak dia akan mencari k0rban bayi-bayi di anak-anak satu tahun. Gila betul! Kau harus melaksanakan sesuatu anak muda!”
“Itu sebabnya kini saya tengah dalam perjalanan ke K0taraja Kerat0n.”
“Untuk apa?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Nyi Gandasuri diketahui kini tinggal dalam lingkungan Kerat0n.”
“Apa?!” si kakek terkejut besar.
“Sri Baginda mempunyai itikad baik untuk melindunginya. Namun ada kabar bahwa permaisuri sangat tidak berkenan. Lalu ada kabar usil bahwa Sri Baginda ingin mengambilnya menjadi istri kedua pendamping permaisuri….”
Kakek Segala Tahu mend0ngak ke langit. Sepasang matanya yang putih berputar-putar. Lalu dia ker0ntangkan kaleng bututnya. “Aku melihat sesuatu di langit. Ada bulan dilingkar awan berbentuk gelang hitam. Kerajaan dalan bahaya! Kalau hingga Sri Baginda mengambil Nyi Gandasuri menjadi istri kedua saya yakin bes0k­bes0k permaisuri akan menemui janjkematian pula! Penglihatanku mungkin salah. Tapi kalau begini jalan ceritanya , naga-naganya memang Nyi Gandasuri yang jadi pangkal bahala biang racun segala racun!”
“Kalau begitu adanya kamu ikut saya ke K0taraja Kek ,” kata Wir0 meminta.
Si kakek menyeringai. “Aku ke K0taraja?” katanya. “Huh , saya paling benci tempat-tempat ramai ibarat itu. Lagi pula saya tahu kamu sanggup mengatasi semua pers0alan…..”
“Kau lupa kek! Kalau saya sanggup mana mungkin Eyang Sint0 Gendeng memintamu mencariku!”
Kakek Segala Tahu yang merasa tersudut malah tertawa.
“Siapa yang kamu temui nanti di K0taraja? Apa kamu sudah punya penghubung?”
Pendekar 212 mengangguk. “Ni L0r0 G0alidra ,” katanya menjawab.
“Hemmm….. Dukun wanita itu. Ilmu peng0batannya memang b0leh. Aku tak tahu ilmu silat dan kesaktiannya. Tapi siapapun yang akan kamu temui berhati­hatilah. Dalam keadaan ibarat ini kamu tidak tahu siapa s0bat siapa lawan. Siapa musuh jelas-jelasan siapa musuh dalam selimut!”
“Aku harus pergi sekarang. Aku cuma mau memperlihatkan ini untukmu jikalau nanti kamu berhadapan dengan musuh yang berupa p0t0ngan kepala itu!”
Dari balik pakaian r0mbengnya Kakek Segala Tahu mengeluarkan sesuatu kemudian dis0d0rkannya pada Wir0. Pendekar 212 segera ulurkan tangan hendak mendapatkan benda yang diberikan namun tangannya ditarik kembali ketika dilihatnya benda apa yang hendak diberikan 0leh si kakek.
“Kau bergurau atau bagaimana Kek?!” murid Sint0 Gendeng jadi murka dalam jengkelnya.
“Memang kenapa? Kau tak mau mendapatkan senjata sangat berharga ini?”
Wir0 hendak memaki lagi tapi risik0nya hanya bisa tertawa gelak-gelak. “Seikat lidi tusuk satai buat apa! Kapak mustikaku saja tidak bisa menghadapinya! Pukulan saktiku juga tidak mempan! Apalagi kalau cuma lidi butut tusuk satai! Maafkan saya Kek , saya harus pergi sekarang.”
Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. Wajahnya kelihatan sayu. Lalu terdengar dia berkata. “Terserah padamu. Mau mendapatkan atau tidak. Tapi jikalau dikala ini kamu mau berpikir sedikit saja kelak kamu tidak akan menyesal mendapatkan tujuh batang lidi buruk ini!”
Lalu Kakek Segala Ttahu mencampakkan ikatan tujuh batang lidi itu ke tanah. Dia g0yangkan kalengnya. Begitu bunyi berker0ntangan lenyap s0s0knyapun berkelebat lenyap laksana gaib.
Murid Sint0 Gendeng gauk-garuk kepalanya. “Aku tak ada waktu untuk berpikir. Tapi biarlah kuambil saja tujuh batang lidi itu!” Setelah mengambil ikatan lidi berjumlah tujuh yang panjangnya cuma sejengkal Wir0 lanjutkna perjalanan. Kudanya ditemuinya tidak berapa jauh di ujung jalan dekat serumpun p0h0n bambu.
TIGA BELAS
Hari masih pagi ketika Wir0 hingga di pintu gerbang timur Kerat0n. Di dikala bersamaan Nyi Gandasuri sedang berjalan-jalan di taman. Dari tempat ini dia sanggup melihat penggalan timur Kerat0n termasuk pintu gerbang. Ketika dia memandang ke jurusan pintu gerbang , tak sengaja pandangannya membentur Wir0 yang gres turun dari kudanya kemudian menemui se0rang pengawal. Pengawal ini menyampaikan sesuatu pada temannya kemudian si s0bat memberi tanda pada Wir0 biar c0w0k ini menunggu. Dia sendiri melangkah masuk menuju bangunan Kerat0n.
“Pemuda berbahaya itu. ada apa dia tiba ke Kerat0n?” pikir Nyi Gandasuri. “Aku harus sanggup membunuhnya. Kalau tidak semua urusan bisa kapiran!” Lalu cepat-cepat dia menyelinap di balik jambangan-jambangan besar , memintas jalan pengawal tadi. Di satu tempat dia memanggil si pengawal. Meliaht siapa yang memanggil pengawal ini cepat mendatangi dan menjura h0rmat begitu hingga di hadapan Nyi Gandasuri.
“Ada apa Den Ayu memanggil saya?”
“Saya lihat ada se0rang penunggang kuda di pintu gerbang Kerat0n. Siapa dia dan apa keperluannya?”
“0h , c0w0k itu maksud Den Ayu. Dia mengaku berjulukan Wir0. Ingin bertemu dengan dukun sakti Ni L0r0 G0alidra. Katanya dia sudah ada kesepakatan dengan dukun Kerat0n itu.”
“Hemmm…..” sambil bergumam Nyi Gandasuri memutar 0taknya. “Memang benar. Ni L0r0 kemarin berpesan padaku. Jika c0w0k itu tiba katakan padanya bahwa Ni L0r0 akan menemuinya tengah malam nanti di selatan K0taraja , di persimpangan tiga dekat Candi S0mapal0. Katakan pada c0w0k itu biar dia tiba saja ke sana tengah malam nanti.”
“Kalau begitu kata Den Ayu akan saya sampaikan tamu muda tadi. Kaprik0rnus saya tidak perlu memberi tahu Ni L0r0 G0alidra?”
“Tidak usah , biar saya saja nanti menemuinya. Memberi tahu tamunya c0w0k berjulukan Wir0 itu telah tiba dan menunggu di tempat perjanjian tengah malam nanti ,” kata Nyi Gandasuri pula sambil tersenyum manis sekali hingga si pengawal merasa berbunga-bunga hatinya. Setelah menjura h0rmat dia cepat-cepat kembali ke pintu gerbang timur. Pada Pendekar 212 Wir0 Sableng disampaikannya apa yang dikatakan Nyi Gandasuri. Percaya bahwa pesan yang diterimanya berasal eksklusif dari Ni L0r0 G0alidra si dukun sakti maka Pendekar 212 segera tinggalkan pintu gerbang Kerat0n.
Candi S0mapal0 walaupun tidak terawat namun bangunannya msih tampak kukuh dan lima buah stupanya belum ada yang rusak. Seperti yang dipesankan 0leh dukun Kerat0n padanya , sebelum tengah malam Pendekar 212 Wir0 Sableng sudah berada di tempat itu. Namun semakin dekat pada dikala pertemuan semakin muncul rasa was-was dalam diri murid Sint0 Gendeng itu.
“Jangan-jangan ini jebakan saja. Gila! Bagaimana saya bisa begitu b0d0h! Melihat Ni L0r0 G0alidra itupun saya belum pernah. Tahu-tahu nanti ada yang tiba mengaku Ni L0r0 padahal maksudnya henak membunuhku! Aku benar-benar harus waspada…..”
Wir0 memandang ke langit. Bulan sabit kelihatan bagus menerangi sebagian langit malam. Angin sesekali bertiup kencang menciptakan berg0yang-g0yang ranting dan dedaunan beberapa p0h0n yang tumbuh di sekitar candi. Kemudian lapat-lapat terdengar bunyi derap kaki kuda di kejauhan. Tak selang berapa usang kelihatan kdau dan penunggangnya muncul. Se0rang berjubah kuning , berambut putih turun dari punggung hewan itu. dia melangkah terbungkuk-bungku menuju candi. Murid Sint0 Gendeng tidak segera keluar dari balik stupa besar di mana dia berlindung. Di tangga candi wanita renta bungkuk berhenti. Dia memandang berkeliling. Lalu terdengar dia berucap.
“Pendekar 212 Wir0 Sableng. Sesuai kesepakatan saya sudah datang. Mengapa kamu masih bersembunyi? Aku tidak punya waktu banyak….”
Penuh waspada Wir0 keluar dari balik stupa. Dia berhenti lima langkah di hadapan si nenek kemudian berkata.
“0rang renta , sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Bagaimana saya tahu bahwa kamu memang Ni L0r0 G0alidra , dukun istana?”
Si nenek tertawa lepas. Wir0 memperhatikan.
“Kepercayaan yakni m0dal keselamatan. Jika kamu tidak percaya bahwa saya yakni Ni L0r0 G0alidra mengapa kamu masih berdiri di hadapanku? Pergi saja sana! Ternyata saya kemari hanya membuang waktu percuma saja!”
Wir0 membisu saja. Kedua matanya memperhatikan nenek dari kepala hingga ke kaki.
“Kalau kamu tak pergi biar saya yang pergi!” Ni L0r0 G0alidra ibarat mengancam.
“Nek , tunggu dulu…..” ujar Wir0 cepat. “Kau betul. Kepercayaan yakni m0dal keselamatan. Tapi bisa juga sebaliknya. Kepercayaan bisa jadi sumber malapetaka!”
“Eh , apa maksudmu anak muda? Kita tiba ke sini mau bicara apa sebenarnya? Bicara mengenai maksudmu hendak menyingkap tabir pembunuhan 0leh mahluk p0t0ngan kepala itu atau membicarakan hal yang lain?!”
Pendekar 212 Wir0 Sableng tertawa lebar. Dia maju dua langkah. “Seumur hidup saya belum pernah melihat nenek-nenenk mempunyai f0rmasi gigi rapi bagus dan berkilat sepertimu! Kau Nyi L0r0 G0alidra palsu!”
Habis berkata begitu Wir0 Sableng eksklusif menghantam , lepaskan pukulan tangan k0s0ng mengandung tenaga dalam tinggi. Namun sebelum serangan maut itu mencapai target tiba-tiba lima bayangan hitam berkelebat memapasi. Kelimanya secara serentak sama gerakkan tangan memukul ke arah Wir0. Satu persatu gel0mbang pukulan 0rang-0rang ini mungkin tidak ada artinya. Tapi bergabung lima kekuatannya menjadi sangat dahsyat.
Murid Sint0 Gendeng berteriak keras kemudian mel0mpat ke atas sebuah stupa. Lima penyerang memburu. Salah satu di antaranya berteriak. “Kau telah membunuh beberapa 0rang teman-teman kami angg0ta istana Langit Darah! Apa mengira dikala ini bisa l0l0s dari kematian?!”
Karena berada di tempat yang lebih tinggi , Wir0 segera mengenali siapa lima penyerang. “Mereka lagi…..!” katanya dalam hati.
Lima 0rang itu mengenakan seragam jubah hitam yang ada angka-angkanya di punggung dan dada. Mereka mengenakan t0pi berbntuk kerucut bergambar kelelawar merentangkan sayap. Mahluk-mahluk sepertiinilah yang dulu hendak membunuhnya. Wir0 masih sempat mengingat salah se0rang penyerangnya dulu berangka 15. Kini 0rang yang sama juga ada di tempat itu. Berarti dialah yang membawa empat temannya untuk menghadang. Mereka berangka 8 , 9 , 11 dan 12. Lalu apa k0relasi kelima 0rang ini dengan dukun Ni L0r0 G0alidra palsu?”. “Mereka menyebut Istana Langit Darah. Istana apa itu? di mana letaknya?” Namun Wir0 tak bisa berpikir panjang. Saat itu lima insan berjubah telah menyerbunya kembali. Lima gel0mbang tenaga dalam jadi satu menghantam ke arahnya.
Braakkkk!
Byaarrrr!!
Stupa di bawah Wir0 Sableng hancur berkeping-keping. Kalau tidak cepat dia mel0mpat paling tidak kedua kakinya akan ikut hancur. Keluarkan keringat hirau taacuh Wir0 mel0mpat ke balik stupa lima langkah di sebelah kanan dan segera seja mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Wir0 maklum kalau 0rang berangka 15 pada jubahnya mempunyai ilmu demikian tingginya , yang berangka 8 , 9 , 11 dan 12 tentu mempunyai kepandaian lebih tinggi.
Lima insan berjubah segera mengurung Wir0. Tapi mereka tidak memperdekat jarak karena rupanya rahasia mereka jerih melihat senjata yang memancarkan sinar aneh di tangan lawan. Apalagi sebelumnya si angka 15 sudah memberi tahu akan kehebatan senjata itu.
Pada dikala itu dukun palsu Ni L0r0 G0alidra yang berdiri di belakang lima pengurung berjubah berkata. “Anak muda! Jika kamu mau serahkan senjatamu itu padaku , saya akan meminta lima kawanku ini memberi ampunan pada dirimu!”
“Bangsat! Jelas saya memang sudah kena jebak! Mereka satu persekutuan rupanya! K0mpl0tan manusia-manusia dari Istana Langit Darah! Keparat!” maki Pendekar 212 dalam hati , murka dan jengkel pada keb0d0hannya sendiri.
Wir0 kemudian menyeringai dan menjawab ucapan si nenek.
“Aku akan serahkan senjata ini padamu kalau kamu mau membuka ked0k dan memberi tahu siapa kamu sebenarnya!”
Si nenek tertawa tinggi. Lalu tangan kirinya bergerak ke wajahnya. Sekali tangan itu bergerak maka tanggallah t0peng tipis dan rambut palsu yang menutupi kepalanya. Sambil tertawa panjang 0rang ini campakkan t0peng itu ke lantai candi. Lalu tubuhnya diluruskan , tidak bungkuk lagi ibarat tadi. Wir0 sendiri dikala itu jadi tertegun tak percaya. Si nenek dukun palsu itu ternyata yakni se0rang wanita muda berwajah luar biasa cantiknya!
“Siapa kamu sebenarnya?!” tanya Wir0.
“Akulah Nyi Gandasuri 0rang yang kamu cari-cari!”
“Ah…..!” Wir0 hanya bisa keluarkan bunyi mendesah saking kagetnya.
Nyi Gandasuri ulurkan tanganya. Sesuai ucapanmu , kamu akan serahkan senjata itu jikalau saya membuka ked0k dan menyampaikan siapa diriku! Nah tunggu apa lagi?! Serahkan senjata itu padaku…..!”
Wir0 gerak-gerakkan Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya. “Memang tadi saya berucap ibarat itu. Tapi sehabis tahu kalau kamu yakni Nyi Gandasuri wanita bejat pembunuh suami mana mungkin saya memperlihatkan senjata ini padamu! Enaknya! Aku yakin kamu juga pembunuh yang lain-lainnya!”
“Dasar pengecap tak bertulang! Manusia curang! Kau memang layak dibunuh dikala ini juga!”
Nyi Gandasuri jentikkan jari-jari tangan kanannya.
Lima insan berjubah bergerak maju. Mereka tidak menghantam dengan pukulan tangan k0s0ng. Tapi serentak kelimanya membuka ekspresi dan wutt….wutt…..wutt…..wutt! Lima pengecap mereka melesat keluar , panjang dan berair bergelimang darah. Sebelumnya Wir0 sudah pernah kena gebuk lidah-lidah aneh dan berbahaya ini. Maka segera saja dia babatkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Sinar terang berkiblat. Suara ibarat ratusan taw0n mengamuk menderu. Lalu hawa panas menciptakan kelima penyerang tertegun sesaat. Tiga mel0mpat menjauhi tapi yang dua berhasil menyusup. Dua pengecap berair berdarah menyambar ke arah Wir0. Satu menghantam ke arah leher , satunya lagi melesat ke arah pergelangan tangannya , rupanya sengaja hendak merampas kapak.
Wir merunduk cepat untuk hindari serangan pengecap yang mengarah leher. Begitu lehernya terhindar dari jeratan pengecap dia segera membabatkan senjatanya ke arah pengecap yang c0ba menggelung gagang kapak. Namun di dikala yang bersamaan tiga pengecap lainnya ikut menyerbu. Dua di antaranya ke arah mata Pendekar 212. Yang ketiga menusuk laksana t0mbak ke penggalan perutnya.
“Celaka!” seru Wir0. Walau sadar dia tidak mungkin mengelakkan semua serangan itu murid Sint0 Gendeng kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212 , kemudian tangan kirinya lepaskan pukulan “sinar matahari”. Di dikala yang sama dia menciptakan gerakan jurus “Silat 0rang gila”. Tubuhnya berg0yang keras , c0nd0ng menghuyung aneh. Berturut-turut dia keluarkan jurus “ular gila membelit p0h0n menarik gendewa” , “dewa t0pan menggusur gunung” kemudian “kilat menyambar puncak gunung”. Sungguh dahsyat perlawanan mati hidup murid Sint0 Gendeng kali ini. Seumur hidupnya belum pernah dia mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya ibarat itu.
Manusia berjubah dengan angka 12 mencelat terjengkang. Pinggul dan paha kirinya tampak hangus! Pakaiannya mengepulkan asap. Pukulan sinar matahri menghantam telak badannya sebelah kiri. Di berteriak keras , bergulingan di lantai candi kemudian tergelimpang tak berkutik. Mati!
Satu lawan r0b0h. Namun Pendekar 212 harus membayar mahal. Tusukan pengecap yang menghantam perutnya bisa dikelit tapi secara tak terduga pengecap yang sekerras bsei itu menghajar dadanya dengan telak. Wir0 mencicipi dadanya ibarat meledak. Dari mulutnya keluar teriakan setinggi langit. Bersamaan dengan teriakan itu ikut menyembur darah. Dalam keadaan terhuyung nanar sambil menahan sakit yang bukan kepalang , Wir0 harus menghidarkan kepalanya pula dari semburan darah dua 0rang lawan. Ketika dia berusaha menyelamatkan diri dari serangan ini , pengecap yang lain telah sempat menjerat pergelangan tangannya. Lalu menyusul pengecap darah keempat menempel di tubuh Kapak Naga Geni 212.
Brettt!
Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari pegangan tangan kanan Pendekar
212. Murid Sint0 Gendeng berteriak marah. Dadanya mendenyut sakit. Ditahannya sebisa mungkin. Kaki kanannya menderu ke arah selangkangan insan berjubah berangka 9 yang barusan berhasil merampas senjata itu. 0rang ini meraung keras ketika angg0ta rahasianya hancur dimakan tendangan Wir0. Namun sebelum r0b0h menemui ajalnya dia masih sempat melemparkan kapak yang berhasil dirampasnya pada temannya yaitu si jubah berangka 8 , anak buah Istana Langit Darah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara mereka berlima.
“Dapat” teriak si jubah berangka 8 “Lekas tinggalkan tempat ini!” berteriak yang berangka 15 kemudian berkelebat pergi. “Kita bertemu di Istana Langit Darah!” seru 0rang berjubah dengan angka 11 kemudian menyusul kawannya si angka 15.
Pendekar 212 mel0mpat bangkit. Siap mengejar 0rang berjubah yang melarikan senjata mustikanya yaitu yang berangka 8. Namun tiba-tiba sekali sese0rang menghadangnya.
EMPAT BELAS
Pendekar 212 jadi tertegun ketika melihat yang tegak di depannya yakni Nyi Gandasuri , wanita el0k pembunuh suami itu. Sambil mengusap dadanya yang sakit sementara darah masih meleleh dari mulutnya c0w0k ini berkata. Suaranya bergetar.
“Kecantikanmu setinggi langit. Sayang kejahatanmu sedalam lautan…..”
Nyi Gandasuri tertawa tinggi. “Aku juga menyayangkan. Kalau saja kamu tadi mau menyerahkan senjata secara baik-baik kamu tak bakal mengalami nasib ibarat ini. Hantaman pengecap berdarah itu hanya sanggup kamu tahan selama tiga hari. Setelah itu kamu akan menghadap penguasa akhirat. Hik…. hik…..hik!”
“Perempuan iblis!” teriak Wir0. Kedua tangannya kiri kanan segera diangkat untuk melepaskan pukulan “sinar matahari”
Nyi Gandasuri mengangkat tangannya. “Bagaimana kalau kita menciptakan perjanjian?”
“Perempuan jahanam! Siapa sudi menciptakan kesepakatan denganmu!”
“Kau belum tahu apa perjanjian itu , mengapa terlalu cepat men0lak?” kata sang janda jelita pula. “Dengar , dalam waktu tidak berapa usang saya niscaya akan menjadi permaisuri Sri Baginda. Aku akan mintakan jabatan tinggi untukmu di Kerat0n. Di samping itu secara rahasia kita bisa menjalin k0relasi sebagai kekasih. Raja renta itu apa yang bisa dibuatnya untuk menyenangkan batinku!”
“Perempuan bejat!” teriak Wir0. “Jadi itu rupanya planning busukmu selama ini! Ingin jadi permaisuri hingga tega membunuh suami sendiri dan menjatuhkan k0rban pada 0rang-0rang lain tidak berd0sa!”
Nyi Gandasuri cuma tertawa. “Jadi kamu men0lak?”
“Kau b0leh menciptakan perjanjian dengan setan neraka! Di sana tempatmu kelak!”
Nyi Gandasuri mendengus. Dia g0yangkan pundak dan pinggulnya. Pakaian yang menempel di tubuhnya serta merta mer0s0t ke bawah. Di lain kejap wanita muda yang el0k jelita dan mempunyai keindahan tubuh tiada duanya ini berdiri di depan Pendekar 212 dalam keadaan tidak selembar benangpun menutupi auratnya.
Murid Sint0 Gendeng mencicipi dadanya mendenyut sakit dan nafasnya menjadi sesak. Kedua matanya terbelalak. Lalu segala sesuatunya terjadi sangat cepat. Di leher Nyi Gandasuri kelihatan luka melingkar mengucurkan darah. Bersamaan dengan itu dari sudut-sudut mulutnya mencuat keluar sepasang taring panjang dan tajam.
Desss! Kepala Nyi Gandasuri terlepas dari lehernya kemudian mencelat ke udara mengeluarkan bunyi menggidikkan. Sementara itu penggalan tubuh tanpa kepala yang telanjang tegak tak bergerak. Darah pada permukaan lehernya tampak bergej0lak ibarat mendidih.
Sambil melayang di udara p0t0nga kepala itu umbar tawa menggidikkan. Lalu wajahnya yang tadi el0k berubah seputih kafan untuk meudian berubah pula menjadi wajah menakutkan se0rang nenek.
“Anak muda , sudah semenjak satu bulan ini saya berhasrat menyed0t darah dari ubun-ubun kepalamu! Kau tak bisa l0l0s lagi kali ini. Tak bisa lari…..!”
P0t0ngan kepala itu membuka mulutnya leba-lebar. Lalu mencuatlah pengecap aneh itu. Berbentuk c0r0ng dengan l0bang di penggalan runcingnya , berkekuatan sekeras besi! Di dahului bunyi tawa panjang p0t0ngan kepala iblis Nyi Gandasuri melayang tinggi-tinggi ke udara kemudian menukik menyambar ke arah bat0k kepala Pendekar 212. Wir0 yang berada dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam cepat jatuhkan diri , berguling ke balik stupa. P0t0ngan kepala agaknya tidak mau mundur. Walaupun target sudah terlindung di balik stupa kerikil tetap saja dia meneruskan serangan.
Braakkk!!
Stupa kerikil hancur berantakan dihantam pengecap besi kepala iblis Nyi Gandasuri. Begitu hancur p0t0ngan kepala membumbung kembali ke atas kemudian dari jurusan lain menukik lagi ke bawah , kearah kepala Wir0. Ketika Wir0 menc0ba menghindar untuk cari selamat dikala itulah dua bayangan berkelebat mel0mpat temb0k candi S0mapal0. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi berker0ntangan.
“Kakek itu! untung dia datang!” ujar Wir0. Dia men0leh ke kiri. Memang benar. Di situ dilihatnya Kakek Segala Tahu tegak sambil melintangkan t0ngkat di depan dada. Di sebelahnya ada se0rang nenek bungkuk yang tangan kirinya memegang sebuah pendupaan yang selalu mengepulkan asap dan menebar harumnya busuk setanggi. Di pundak si nenek ada sebuah buntalan besar.
“Ah , nenek antik ini niscaya si dukun Ni L0r0 G0alidra….” Menduga Wir0 Sableng.
Wuuuutt!
Kepala iblis Nyi Gandasuri tiba menyambar. Wir0 tersentak kaget. Kembali jatuhkan diri seraya lepaskan pukulan sinar matahari.
Buummmm!
P0t0ngan kepala mencelat kena hantaman pukulan sakti itu. namun sesaat kemudian melayang turun kembali tanpa cidera sedikitpun malah terdengar tawanya mengekeh.
Rambutnya berputar ibarat baling-baling kemudian mulai menukik lagi untuk menyerang kepala Wir0.
“Anak t0l0l! Apakah kamu masih menyimpan lidi tusuk satai yang kuberikan temp0 hari?!”
Salah satu dari dua 0rang yang barusan tiba bertanya. Itu bunyi Kakek Segala Tahu.
Wir0 meraba ke balik pakaiannya. Benda yang ditanyakan memang masih disimpannya. Buru-buru dikeluarkan. “Masih ada Kek. Ini!”
“Lekas lemparkan padaku!” teriak Kakek Segala Tahu tidak sabaran dan sambil mengg0yang-g0yangkan kaleng r0mbengnya.
Wir0 berdasarkan saja dan lemparkan ikatan tujuh buah lidi ke arah si kakek. Di atas sana p0t0ngan kepala iblis Nyi Gandasuri berteriak keras ketika melihat ikatan lidi itu. Kalau tadi dia bermaksud hendak menyerang Wir0 maka kini kepala itu berputar kemudian melenceng dan menyambar ke arah Kakek Segala Tahu yang tengah memegang ikatan tujuh lidi. Namun kepala iblis Nyi Gandasuri terpaksa melesat ke atas ketika tiba-tiba nenek di samping Kakek Segala Tahu meniupkan pendupaannya ke arah kepala itu. Asap dan butir-butir setanggi yang membara menderu ke arah sepasang mata kepala iblis!
Selagi p0t0ngan kepala melesat ke atas Kakek Segala Tahu mel0mpat ke hadapan tubuh telanjang tanpa kepala Nyi Gandasuri. Dengan kecepatan kilat tiga buah lidi ditusukkannya ke kutungan leher. Si kakek menusuk demikian rupa hingga tiga penggalan lancip lidi mencuat di permukaan leher.
Di atas sana kepala iblis Nyi Gandasuri terdengar meraung keras. Si kakek tusukkan lagi empat lidi yang masih tersisa ke kutungan leher. Raungan kepala iblis semakin menjadi-jadi. Beberapa lamanya kepal ini melayang berputar-putar kemudian turun mendekati lehernya. Tapi segera naik lagi. Begitu hingga beberapa kali. Merasa kepalanya tak mungkin disambungkan lagi ke leher yang ditancapi tujuh lidi runcing itu , sehabis keluarkan jeritan panjang mengerikan p0t0ngan kepala iblis Nyi Gandasuri melesat terbang ke arah bulan sabit yang mulai redup dan risik0nya lenyap tak kelihatan lagi di batas titik pandang.
“Hai! Kalian mau ke mana!” tana Wir0 ketika melihat Kakek Segala Tahu dan si nenek sambil bergandengan tangan hendak berkelebat tinggalkan tempat itu. “Kawanku ini sudah tidak sabar lagi!” jawab si kakek seraya ker0ntangkan kaleng r0mbengnya. “Tak sabar mau apa? Hendak bercumbuan?!” tanya Wir0 seenknya. “Huss! Mulutmu usil amat!” sempr0t Ni L0r0 G0alindra. “Apa kamu kira tua
bangka ibarat kami masih pantas bercumbuan? Eh kamu tahu apa yang ada dalam
buntalan besar ini?” Wir0 gelengkan kepalanya. “Bubuk materi peledak!” “Dia tak sabaran mau meledakkan Istana Langit Darah , sumber segala
malapetaka itu!” Wir0 hanya bisa tertegak terheran-heran. “Kau tetap di sini. Jaga tubuh tanpa kepala itu. Aku kawatir kepalanya akan
kembali c0ba menyatukan diri!”
Si nenek dukun gelengkan kepalanya. “Sampai simpulan zaman kepala itu tak bakal kembali. Dia tak bisa menyatukan diri dengan tubuhnya lagi karena adanya tujuh lidi yang menancap di pangkal leher!”
“Kalau begitu buat apa saya menjaganya!” kata Wir0 pula.
“Sudah! Ini 0bat untukmu! Lekas telan supaya kamu tidak mati akhir gebukan pengecap darah itu!” Si nenek lemparkan sebuah benda berbentuk bundar hitam. Wir0 cepat menyambuti dan eksklusif menelannya tanpa ragu. Ketika dia berpaling kembali dua renta bangka itu sudah lenyap dari tempat tersebut.
Wir0 pegangi dadanya yang sakit. Tertatih-tatih dia melangkah mendekati s0s0k telanjang tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri.
“Tubuh begini bagus. Mulus tak ada seg0res cacatpun! Ah , betapa sayangnya….” Entah sadar entah tidak Wir0 pergunakan tangan kanannya menusapi penggalan dada tubuh p0l0s itu. Ketika jari-jarinya hendak meluncur ke penggalan perut tiba­tiba satu ledakan keras mengg0ncangkan candi. Dua buah stupa r0b0h . Dinding candi di sebelah selatan r0nt0k. Wir0 sendiri jatuh terlentang. Bersamaan degnan itu s0s0k tanpa kepala Nyi Gandasuri ikut jatuh menimpa dirinya.
Bagian dada yang membusung jatuh tepat di wajah Pendekar 212.
“Enak ya menciumi buah dada mayat!”
Wir0 tersentak. Tubuh tanpa kepala itu dilemparkannya ke samping kemudian dia cepat berdiri. Di hadapannya tegak Kakek Segala Tahu sambil memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Di samping si kakek berdiri Ni L0r0 G0alidra. Saking gembiranya Wir0 hingga berteriak dan memeluk si kakek.
“Terima kasih Kek. Kau telah men0l0ng mendapatkan senjata mustika ini kembali. Aku mendengar bunyi ledakan ibarat gunung meletus. Apa yang terjadi?” Si kakek tersenyum dan menjawab sambil tudingkan ibu jarinya pada Ni L0r0 G0alidra. “Tanyakan saja padanya.”
“Ah , saya cuma main-main dengan bubuk peledak. Aku sudah mengira-ngira di maan letak tempat Istana Langit Darah. Lalu saya pasang bubuk peledak di empat penjuru. Sebelum diledakkan kuasapi dan kujampai-jampai dulu. Kutebari dengan bunga tujuh rupa. Kubacakan satu ayat suci dan saya m0h0n kepada Gusti Allah. Karena bagaimanapun hebat dan pandainya insan kalau tidak ada ridh0 Yang Kuasa segala planning dan perbuatannya bisa saja menemui kegagalan! Gusti Allah rupanya mendengar d0aku. Aku meledakkan di dua sudut. Kakek ini dua sudut lainnya! Buummmm! Istana Langit Darah yang mistik itu benar-benar hancur berantakan. Puluhan anak buahnya bertebaran jadi bangkai. Termasuk se0rang gadis yang dijadikan gendak , dipanggil dengan sebutan Maharatu Langit Darah dan menggunakan t0peng wajah se0rang nenek. Cuma sayang , Maharaja Langit Darah berhasil melarikan diri! Kurang asuh betul….” Setelah menyumpah beitu si nenek keluarkan sebuah jubah hitam dari buntalannya. Pakaian itu ditebarnya di tanah serarya bertanya “Kau kenal jubah ini?”
Wir0 terbelalak besar ketika melihat pakaian itu. Sehelai jubah hitam bergambar gunung Merapi berwarna biru dengan latar belakang matahari berwarna merah.
“Pangeran Matahari….” Desis Wir0. “Jadi insan jahanam itu rupanya di belakang semua insiden ini!”
Bretttt!
Wir0 r0bek jubah hitam itu saking marahnya.
“Kami berdua harus pergi ,” kata Ni L0r0 G0alidra. Lalu enaknya saja pendupaan dari tanah itu diletakkannya di atas kepalanya. Dia berpaling pada Kakek Segala Tahu dan tanpa malu-malu memegang tangan si kakek kemudian menariknya pergi.
Wir0 campakkan jubah hitam ke tanah. Rahangnya menggembung. Tiba-tiba ada sebuah benda melayang dari langit. Di atas tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri benda ini melayang. Ternyata p0t0ngan kepala wanita iblis itu!
“P0t0ngan kepala celaka ini kembali lagi!” kata Wir0 tercekat sambil bersiap­siap dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Dalam gelapnya malam p0t0ngan kepala masih berputar-putar. Tampaknya hendak berusaha menyatukan diri dengan lehernya. Namun tidak mungkin karena terhalang 0leh tujuh buah lidi yang se0lah menjadi tujuh benda sakti penangkal , keramat.
Lalu entah dari mana datangnya mendadak ada ngiangan bunyi di pendengaran Wir0. “Pendekar 212….. Kalau kamu mau mencabut tujuh buah lidi itu hingga kepalaku bisa menyatu dengan tubuh kembali , seumur hidup saya bersedia menjadi hamba sahayamu……”
“Eh , siapa yang bicara?!” tanya Wir0 sambil memandang berkeliling.
“Aku , r0h Nyi Gandasuri…..” terdengar ngiangan menjawab.
“Kalau kamu bisa hidup lagi memang yummy melihat tubuhmu yang telanjang ,” kata Wir0 sambil tersenyum. “Hanya sayang mahluk iblis sepertimu mana bisa dipercaya. Suamimu yang Pangeran saja kamu bunuh. Apalagi diriku se0rang c0w0k luntang lantung tak karuan juntrungan……!”
Wir0 masukkan senjata mustikanya ke balik pakaian kemudian tinggalkan tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan terdengar bunyi wanita meratap aneh. Wir0 percepat langkahnya. P0t0ngan kepala iblis Nyi Gandasuri berputar tiga kali lagi di atas s0s0k tubuhnya kemudian melesat lenyap di kegelapan malam.

TAMAT

No comments for "Kepala Iblis Nyi Gandasuri WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"