Jagal Iblis Makam Setan WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : JAGAL IBLIS MAKAM SETAN
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : JAGAL IBLIS MAKAM SETAN
SATU
SEPASANG mata Sika Sure Jelantik bergerak liar menatap tajam ke arah kegelapan di eliling gubuk di mana ia berada. Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur di tanah lam keadaan kaku karena ditotok oleh si nenek.Aneh , terang barusan saya mendengar bunyi orang! Juga bunyi tawa keparatnya! Tapi mana bangsatnya?!” Sika Sure Jelantik memaki dalam hati. Ke dua matanya terus meliar coba menembus kegelapan. Tetap saja ia tidak melihat apa-apa. “Jangan-jangan bunyi angin menipu pendengaranku!” Lalu wanita renta ini kembali palingkan wajahnya ke arah murid Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling sekali lagi kemudian dengan cepat ulurkan ke dua tangannya untuk menanggalkan jubah sakti Kencono Geni yang dikenakan Wiro.
Saat itulah kembali dari dalam gelap terdengar bunyi tertawa cekikikan. “Hik… hik! Nenek tak tahu diri! Kau masih mau meneruskan maksudmu membugili cowok itu?! Hik… hik!”
Sika Sure Jelantik pukulkan tangan kanannya ke tanah hingga tanah itu membentuk lobang dan salah satu tiang gubuk bergoyang keras kemudian jatuh ke tanah. Dengan murka si nenek membentak.
“Manusia atau setan sekalipun! Kenapa sembunyikan diri di dalam gelap! Unjukkan tampangmu!”
“Sika , tinggalkan cowok itu. Kau tak bakal sanggup apa-apa darinya!” Orang di dalam gelap menjawab ucapan si nenek.
“Hemmm… Kau tahu namaku! Berarti kau seorang yang saya kenal! Jangan terlalu pengecut memperlihatkan diri!”
“Jika itu maumu , apa susahnya! Tapi jangan kecewa karena kau tak bakalan bisa melihat wajahku!” jawab bunyi dalam gelap. Lalu terlihat satu bayangan hitam berkelebat disertai bunyi siuran angin. Tahu-tahu di depan gubuk yang kini atapnya miring karena salah satu tiangnya roboh , duduk menjelepok di tanah seorang berpakaian serba hitam. Seperti dikatakannya tadi si nenek tak bakal melihat wajahnya. Karena orang ini duduk sambil menutup mukanya dengan ke dua tangan. Meski Sika Sure Jelantik memang tidak sanggup melihat wajah orang itu namun ia sudah mengetahui siapa ia adanya.
“Iblis Pemalu! Permainan konyol apa yang sedang kau lakukan dikala ini?! Ucapan-ucapanmu tadi benar-benar membuatku marah! Kalau bukan kau orangnya dikala ini pasti kau sudah kubunuh!”
“Nenek Sika , saya malu! Justru saya yang harus bertanya. Permainan konyol apa yang hendak kau perbuat terhadap cowok itu!”
“Apa urusanku tak perlu kau banyak cingcong! Kau memperlihatkan perilaku aneh. Bukankah kita sebelumnya tiba dalam satu rombongan bersama dua sahabat lainnya? Mana Pengiring Mayat Muka Hijau dan Datuk Gadang Mentari?!”
Sambil terus menutupi wajahnya dibalik dua tangan , Iblis Pemalu menjawab. “Aku malu tak sanggup menyampaikan dimana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau. Tapi si Datuk Gadang Mentari sudah mati menemui ajal! Memalukan sekali tiba jauh-jauh dari tanah seberang hanya mencari mati di tanah Jawa! Bukankah kau sendiri menyaksikan kematiannya di lembah kerikil itu?”
“Jadi gadis berjulukan Anggini , murid renta Gila itu benar-benar membunuh sahabat kita Datuk Gadang Mentari….”
“Huss…! Jangan berkata yang memalukan! Tua bangka itu bukan sahabatku. Aku berada bersama rombongannya hanya ikut-ikutan saja!”
“Rupanya kau bukan cuma seorang pemalu. Tapi juga pengkhianat. Teman dibunuh orang kau biarkan saja!”
“Datuk Gadang Mentari bukan temanku! Kau juga bukan temanku! Aku malu berteman dengan kalian!”
Wiro Sableng yang semenjak tadi mendengar percakapan ke dua orang itu rahasia merasa absurd melihat perubahan perilaku orang berjuluk Iblis Pemalu itu. Untuk menyelidik tentu saja tidak mungkin. Tahu kalau kini Iblis Pemalu tidak lagi sehaluan dengan si nenek maka murid Sinto Gendeng ini lantas tertawa bergelak.
“Nenek jelek! Kau dengar orang tak mau berteman denganmu! Aku saja yang orang lain merasa malu! Apa kau tidak merasa malu?!”
“Tutup mulutmu! Jangan ikut campur urusanku!” hardik Sika Sure Jelantik murka sekali hingga sekujur tubuhnya bergetar. Dia berpaling pada Iblis Pemalu yang dikala itu tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro.
“Mana ia merasa malu!” ujar Iblis Pemalu.
“Nenek renta ini tidak punya kemaluan! Astaga! Maksudku tidak punya rasa malu! Hik… hik… hik!”
“Aku tidak merasa rugi tidak menjadi sahabatmu! Kalau kau tidak berteman denganku , harap lekas angkat kaki dari sini! Jangan membuat saya muak!” Membentak Sika Sure Jelantik pada Iblis Pemalu dengan mata dipelototkan.
“Ah , diriku bisa membuatmu jadi muak! Memalukan sekali! Kalau kau memang muak melihatku , sebelum kau muntah apa salahnya kau saja yang minggat dari sini?! Atau mungkin itu kau anggap sesuatu yang memalukan?!”
Semakin murka Sika Sure Jelantik mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu. Namun ia masih bisa menimbang. Kalau memperturutkan kemarahannya mau dikala itu ia menghantam dan membunuh Iblis Pemalu dengan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Namun dari pada mencari kasus lebih baik mengalah dan membawa Wiro Sableng dari tempat itu. Maka tanpa banyak bicara ia segera membungkuk , siap memanggul tubuh Pendekar 212. Tapi di sampingnya Iblis Pemalu terdengar berkata.
“Aku memintamu pergi seorang diri! Tidak membawa serta cowok itu! Jangan melaksanakan hal yang memalukan nenek Sika!”
“Iblis Pemalu , harap kau jangan keliwat menekan! Pemuda ini milikku! Aku boleh membawanya kemana saja! Aku boleh melaksanakan apa saja terhadapnya!”
“Memalukan sekali! Mana ada hukum mirip itu?!” ujar Iblis Pemalu dengan dua tangan masih terus dipergunakan menutupi , wajahnya.
Sika Sure Jelantik angkat kepalanya ke atas kemudian keluarkan tawa panjang. “Sekalipun kau raja di raja rimba persilatan , jangan mengira kau bisa mengatur diriku! Jangan kau berani bergerak di tempatmu! Atau kau akan mampus percuma!”
Tanpa mengacuhkan Iblis Pemalu si nenek Sika Sure Jelantik dengan gerakan cepat menarik salah satu tangan Wiro hingga sosok murid Sinto Gendeng ini melayang ke atas dan “bluk!” Tahu-tahu sudah berada di atas pundak kirinya.
Iblis Pemalu ternyata tak tinggal diam. Sebelum Sika Sure Jelantik berkelebat pergi melarikan Wiro ia sudah berkelebat dan tegak menghadang jalan si nenek.
“Kau benar-benar mencari mampus!” hardik Sika Sure Jelantik. Tangan kirinya dihantamkan ke arah. Iblis Pemalu. Lima larik sinar sangat hitam menggebubu dalam gelapnya malam.
“Memalukan!” terdengar seman Iblis Pemalu.
“Memalukan!” ikut berteriak murid Sinto Gendeng. Dia sengaja memanasi si nenek.
Lima larik sinar maut terus mencuat dari lima kuku jari Sika Sure Jelantik.
“Mampus!” teriak si nenek sambil menyeringai ketika melihat bagaimana lima sinar mautnya hanya tinggal sejengkal lagi dari tubuh yang jadi sasaran!
Tapi laksana mistik ditelan bumi sosok Iblis Pemalu mendadak sontak lenyap dari pemandangan. Lima larik sinar hitam pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat mendarat pada sebuah kerikil besar di depan serumpunan semak belukar. Batu dan semak belukar sama-sama mencelat berhamburan hancur beran
takan!
“Kurang ajar! Bagaimana mungkin ia bisa lolos dari pukulan saktiku!” ujar Sika Sure Jelantik dan cepat memutar tubuh memandang berkeliling.
“Nenek Sika , kau letakkan saja cowok itu di tanah kemudian pergi dari sini. Bukankah itu lebih baik bagimu dari pada berbuat lain yang bisa memberimu malu besar?!”
Si nenek cepat putar tubuhnya ke kiri. Dilihatnya Iblis Pemalu tegak di atas atap gubuk yang hampir rubuh. Tangan kiri berkacak pinggang sedang tangan kanan menutupi wajah.
“Kalau kau memang inginkan cowok ini , mengapa kau tidak berani merampasnya dari tanganku? Pengecut memalukan!” Sika Sure Jelantik mengejek seraya keluarkan bunyi mendengus dari hidung dan mulutnya.
Iblis Pemalu , tertawa mengekeh seraya usap-usap wajahnya dengan tangan kanan.
“Aku sudah memberi kesempatan padamu. Tapi kau tidak mau mempergunakan! Sungguh memalukan! Jika kau inginkan saya merampas cowok itu dari tanganmu lihat saja bagaimana jadinya!”
Habis berkata begitu tubuh Iblis Pemalu lenyap dari atas atap.
“Wutttt!”
Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika tiba-tiba ada sambaran angin di samping kanan. Lalu ada satu tangan hendak mencengkeram tengkuk cowok yang ada di panggulannya. Si nenek cepat membungkuk seraya hantamkan siku kanannya. Serangannya meleset. Tiba-tiba si nenek membuat gerakan berputar. Dengan mengandalkan kaki kirinya sebagai referensi Sika Sure Jelantik berputar dalam gerakan setengah lingkaran. Kaki kanannya menendang dan “bukk!”
Sosok Iblis Pemalu yang tadi ada di belakangnya mencelat kena hantaman kaki kirinya.
“Memalukan!” Iblis Pemalu berseru sambil menahan sakit. Tangan kiri memegang perutnya yang kena tendang sedang tangan kanan tetap menutupi wajahnya. Selagi ia berusaha mengimbangi diri Sika Sure Jelantik tak mau memberi kesempatan. Tangan kanannya dipukulkan. Lima larik Kilat Kuku Akhirat menyambar ke arah Iblis Pemalu.
“Tamatlah riwayatmu kini insan sinting geblek!” teriak Sika Sure Jelantik dengan mata berkilat-kilat dan lisan sunggingkan senyum maut.
Di depan sana Iblis Pemalu tiba-tiba memutar tubuhnya. Dalam keadaan membelakangi lawan ke dua tangannya dipukulkan ke belakang.
“Wusss!”
“Wusss!”
Dalam gelap kelihatan dua larik cahaya putih bergulung-gulung membentuk dua bundar aneh. Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika melihat lima larik sinar sakti pukulan Kilat Kuku Akhiratnya masuk ke dalam dua bundar cahaya putih , ikut tergulung kemudian dua bundar putih bersama lima larik sinar hitam berbalik menghantam ke arahnya!
Dalam keadaan mirip itu Sika Sure Jelantik masih bisa berpikir cepat. Bukan ia saja yang harus menyelamatkan diri dari hantaman maut itu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng juga harus diselamatkan. Kalau hingga cowok itu menemui kematian tambah sulit baginya untuk mencari tahu di mana beradanya musuh besarnya si Tua Gila itu!
Maka si nenek pun melaksanakan satu hal yang hebat!
*
* *
* *
DUA
SIKA Sure Jelantik lemparkan tubuh Pendekar 212 ke atas. “Hekkk!” Suara mirip orang muntah melesat keluar dari tenggorokan murid Sinto Gendeng ini begitu tubuhnya yang dilemparkan ke atas jatuh membelintang di atas cabang pohon. “Tua bangka sialan!” maki Wiro. “Untung tubuhku nyangsrang di sini! Kalau amblas ke tanah pasti nyawaku tidak ketolongan!” Wiro memandang ke bawah. Cabang pohon dimana tubuhnya terbelintang tanpa bisa bergerak berada sejarak lebih empat tombak dari tanah! Rasa gamang dan ngeri karena khawatir akan jatuh sementara dirinya masih berada dalam keadaan tertotok membuat murid Sinto Gendeng ini mirip mau membuang hajat besar. “Nenek jelek! Turunkan saya dari atas pohon.”
Sika Sure Jelantik mana perdulikan teriakan Wiro. Begitu bahunya lepas dari beban sosok tubuh Wiro si nenek lesatkan dirinya ke atas. Gulungan cahaya putih dan sinar pukulan Kilat Kuku Akhirat lewat hanya setengah jengkal di bawah kakinya. Bagian bawah jubahnya terasa panas. Ketika ia meneliti ternyata ujung jubahnya telah berkembang menjadi abu! Diam-diam tengkuk si nenek menjadi cuek , “iblis Pemalu. Aku mengenalnya gres satu minggu! Siapa makhluk absurd tapi dahsyat ini sebenarnya? Aku tak pernah melihat wajahnya. Tadi waktu melepaskan pukulan berbentuk dua gulungan sinar putih dia. pergunakan ke dua tangannya. Tapi ia sengaja membelakang hingga tampangnya tetap tidak kelihatan! Tanah Jawa benar-benar sarat dengan insan berkepandaian tinggi!”
“Memalukan! Bagaimana mungkin seranganku tidak mengenai sasaran!” Iblis Pemalu mengomel. Saat itu dari atas dilihatnya Sika Sure Jelantik melayang turun. Sepasang kaki si nenek menghunjam ke arah kepalanya. Iblis Pemalu tak tinggal diam. Dua tangan menutup wajah. Dua kaki dihentakkan ke tanah. “Settt!” Tubuhnya lenyap. Tahu-tahu sudah berada di udara , membuat si nenek terkejut sekali karena lawan berada demikian erat dengannya dan “wutt… wutt!” Dua kaki Iblis Pemalu menerjang ke depan. Dalam keadaan mirip itu tak ada jalan lain bagi Sika Sure Jelantik selain balas menghantam dengan ke dua kakinya pula.
Maka terjadilah perkelahian saling tendang di udara. Suara beradunya kaki terdengar tiada henti dan gres lenyap ketika Sika Sure Jelantik tampak limbung kemudian jatuh terkapar di tanah tak kuasa bangun kembali. Dia berusaha mengatupkan lisan rapat-rapat namun tak urung bunyi erangannya terdengar juga.
Iblis Pemalu melayang turun ke tanah. Untuk beberapa lamanya ia tampak tegak terbungkuk-bungkuk. “Memalukan…. Memalukan….” Kata-kata itu keluar dari mulutnya berulang kali. Kedua tangan menutupi wajah. Sepasang matanya memperhatikan Sika Sure Jelantik lewat celah-celah jarinya.
“Aku meminta cowok itu secara baik-baik. Kau bersikap keras kepala. Memalukan! Sekarang lihat apa akibatnya! Berdiri pun kau tak sanggup! Dan saya sendiri! Huh! Rasanya mau putus kaki ini!”
Di atas pohon Wiro berteriak. “Sobatku iblis Pemalu! Jangan mengoceh saja! Tolong turunkan aku!”
Iblis Pemalu memandang ke atas pohon yang gelap. Lalu tertawa cekikikan. Dengan muka ditutupi ke dua tangannya ia balas berteriak. “Aku malu melihatmu di atas pohon sana! Memang tak ada tempat lain yang lebih baik bagimu! Hik… hik.. hik!”
“Jangan bergurau! Turunkan saya dari atas pohon keparat ini!”
“Memalukan! Kau memerintah menurunkanmu! Apa saya yang meletakkanmu di atas cabang pohon?!”
“Jangan ngaco! Memang bukan kaul Tapi apa salahnya kau segera menolong diriku!” jawab Wiro yang jadi sangat jengkel.
“Nenek buruk itu yang melempar kau ke atas pohon. Dia memang tak punya malu! Minta padanya biar menurunkan kau kini juga!”
Sika Sure Jelantik yang tergeletak di tanah menyeringai menahan sakit. “Iblis Pemalu keparat! Kau meminta saya menurunkan cowok gendeng itu! Baik! Kau saksikan sendiri bagaimana caraku menurunkannya!” Habis berkata begitu si nenek hantamkan tangan kanannya ke atas. Lima larik sinar pukulan Kilat Kuku Akhirat menderu ke arah Wiro.
“Tobat! Tamat riwayatku!” teriak Wiro dengan mata melotot. “Iblis Pemalu! Lakukan sesuatu!”
Tapi Iblis Pemalu cuma tutup mukanya rapat-rapat dan gelengkan kepala.
“Setan alas! Nyawaku benar-benar tidak bisa tertolong!” keluh Pendekar 212.
“Wuttt!”
Sesaat lagi Wiro akan menemui kematian ditembus lima larik sinar maut tiba-tiba sebuah benda putih halus melesat di kegelapan malam tanpa bunyi sedikitpun. Wiro mencicipi ada sesuatu yang mengikat ke dua pergelangan kakinya. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya terasa laksana dibetot dan berputar di udara. Di sampingnya cabang pohon tempat ia tadi terjuntai melintang hancur awut-awutan dihantam sinar Kilat Kuku Akhirat.
“Apa yang terjadi dengan diriku?!” ujar Wiro. Tubuhnya berputar di udara laksana terbang. Perlahan-lahan tubuh itu melayang ke bawah , makin ke bawah dan akhirnya “bukk!” Wiro terbanting keras menelungkup. Bukan di tanah. Tapi di atas sosok tubuh Sika Sure Jelantik! Kakinya saling bertumpuk dengan kaki si nenek. Perut dan dadanya berbenturan keras dengan perut dan dada Sika Sure Jelantik. Bahkan mulutnya pun saling bertempelan dengan lisan si nenek hingga keduanya seolah sedang berciuman mesra!
Sika Sure Jelantik memaki panjang pendek. Wiro keluarkan bunyi mirip mau muntah dan meludah berulang kali. “Sialan! Ludahnya masuk ke dalam mulutku!” rutuk murid Sinto Gendeng.
Dalam kegelapan terdengar bunyi orang tertawa terkekeh-kekeh! Si nenek menggereng marah. Wiro pasang pendengaran baik-baik. Saat itu tubuhnya yang tak bisa bergerak akhir totokan masih tertelentang menelungkup di atas tubuh si nenek.
“Aku rasa-rasa mengenali bunyi tawa itu. Jangan-jangan… Ah , apa benar dia?”
“Jahanam! Berani kau mencium mulutku!” Sika Sure Jelantik berteriak marah. Tangannya kiri kanan dipukulkan ke arah batok kepala Wiro. Ini merupakan satu serangan mengepruk yang sanggup memecahkan kepala murid Sinto Gendeng itu.
Wiro yang seolah tidak sadar ancaman maut mengancamnya balas berteriak. “Siapa suka mencium nenek anyir macammu!”
Sesaat lagi dua tangan si nenek akan menghancurkan kepalanya tiba-tiba Wiro merasa benda absurd yang menjirat dua pergelangan kakinya disentakkan. Tubuhnya yang masih tertelungkup di atas tubuh si nenek terbetot ke kiri kemudian terguling di tanah. Hal ini menyelamatkannya dari serangan maut Sika Sure Jelantik. Saat itu pula sebuah benda halus panjang melayang di sampingnya. Ujung benda ini laksana seekor ular mematuk ke arah jalan darah di pangkal leher Wiro. Serta meria dikala itu juga totokan yang menguasai dirinya buyar! Mulutnya eksklusif membuka. Dia menguap lebar-lebar. Sepasang matanya meredup mirip mengantuk. Ulahnya ini tidak lain akhir efek ilmu tidur yang diberikan Si Raja Penidur padanya tempo hari. Sesaat kemudian sesudah menyadari dirinya bebas dari totokan Wiro cepat gulingkan diri mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi diambil dan diletakkan Sika Sure Jelantik di tanah. Baru saja senjata ini disimpannya di balik pakaian tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras.
“Aku mencium anyir badanmu!!” Nenek yang cidera ke dua kakinya ini mencoba bangun berdiri tapi tidak bisa. Seperti gila ia berteriak. “Sukat Tandika! Jangan bersembunyi! Lekas unjukkan diri mendapatkan kematian!” Si nenek gerak-gerakkan tangan kanannya ke banyak sekali arah , Siap menghantam dengan pukulan sakti paling hebat yang dimilikinya yakni Jalur Hitam Bara Dendam. Ini merupakan pendalaman dari ilmu Kilat Kuku Akhirat yang memang direncanakannya untuk dipergunakan membunuh Tua Gila. Tangan kiri si nenek bersitekan ke tanah untuk menopang tubuhnya. Sepasang matanya jelalatan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba ada sambaran angin di belakangnya. Si nenek membalik , siap menghantam dengan pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat. Tapi terlambat. Satu totokan bersarang di punggungnya. Langsung dikala itu sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang dalam keadaan mirip merangkak.
“Jahanam! Siapa berlaku pengecut menotok dari belakang!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku malu melakukannya. Tapi apa boleh buat! Nenek liar sepertimu harus dibentuk jinak! Hik… hik… hik!”
“Iblis Pemalu keparat!” rutuk si nenek.
Iblis Pemalu melangkah mendekati Pendekar 212. “Tadi ia menotokmu dan hendak menelanjangimu! Aku barusan telah menotoknya. Dia tak bisa bergerak lagi! Apa kau mau membalas menelanjanginya?! Hik… hik… hik!”
“Apa enaknya melihat tubuh renta keriput mirip yang dimilikinya! Memalukan saja!” jawab Wiro menimpali ejekan iblis Pemalu walau bekerjsama ia masih jengkel pada orang ini karena tadi tidak menolongnya turun dari cabang pohon.
Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro.
“Dua insan gila! Aku bersumpah akan membunuh kalian!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku mau pergi dari sini. Malu lama-lama berada di tempat ini. Kau mau kemana? Mau pergi sama-sama denganku asal kau tidak malu saja?!” tanya Iblis Pemalu pada Wiro.
“Aku , hemm…. Biar saya di sini dulu menemani nenek-nenek ini. Kasihan kalau ia hingga mati kedinginan di tempat ini….”
“Terserah padamu. Tapi awas , jangan kau gerayangi tubuh renta bangka itu. Jangan melaksanakan sesuatu yang membuat malu saya malu sebagai temanmu! Aku pergi kini ,” kata Iblis Pemalu.
“Tunggul Jangan pergi dulu! Ada yang ingin kubicarakan denganmu!” kata Wiro pula. Lalu tanpa menunggu jawaban orang ia memandang berkeliling. Dia tahu siapa yang barusan menolongnya. Maka diapun berseru. “Kakek Tua Gila , mengapa masih bersembunyi?!”
Sika Sure Jelantik yang rahasia juga sudah memastikan bahwa Tua Gila bekas kekasihnya yang kini menjadi insan paling dibencinya di atas dunia ini berada di tempat itu , serta merta salurkan tenaga dalam ke tangan kanan menyiapkan serangan maut Jalur Hitam Bara Dendam. Lima kukunya yang panjang mengeluarkan sinar hitam angker dan tampaknya ada asap tipis keluar dari tangannya. Matanya memandang liar berkilat. Begitu Tua Gila muncul dari dalam kegelapan eksklusif akan dihantamnya dengan pukulan sakti itu. Tapi ia lupa bahwa dikala itu sekujur tubuhnya berada dalam keadaan tertotok. Walau secara luar biasa ia masih sanggup menyalurkan tenaga dalam dan menyiapkan pukulan Jalur Hitam Bara Dendam namun ia tidak bisa menggerakkan apa lagi mengangkat tangan kanannya itu untuk menyerang.
Di dalam gelap terdengar bunyi orang batuk-batuk beberapa kali. Lalu berkelebat muncul satu bayangan. Tapi orang ini ternyata bukan Sukat Tandika alias Tua Gila!
*
* *
* *
TIGA
SIKA Sure Jelantik menyumpah habis-habisan ketika ia menyadari kalau tak bisa menggerakkan tangan kanan untuk melepas pukulan Jalur Hitam Bara Dendam. Dalam keadaan mirip itu ia merasa agak lega sedikit walau sepasang matanya membeliak berkilat. Yang muncul di tempat itu bukanlah Sukat Tandika alias Tua Gila kekasihnya di masa muda.Iblis Pemalu yang belum sempat meninggalkan tempat itu memandangi orang yang tiba lewat sela-sela jari ke dua tangannya yang dipergunakan menutupi wajah.
Wiro garuk-garuk kepala , memandang tak berkesip dan bertanya-tanya siapa adanya orang yang berdiri di bawah bayangan gelap pohon besar di sampingnya.
“Aku memang tidak kenal pada wanita renta ini. Tak pernah melihatnya sebelumnya. Tapi mengapa wajahnya mengingatkan saya pada seseorang…?” Murid Sinto Gendeng membatin.
Orang yang muncul di tempat itu ialah wanita renta berjubah hitam. Dia mengenakan sebentuk topi mirip tanduk kerbau , terbuat dari kain berbenang perak. Di bawah topi rambutnya yang putih panjang menjela punggung dan dada. Walau wajahnya keriputan dimakan usia namun masih ada bayangan kecantikan yang dimilikinya di masa muda. Nenek ini bukan lain ialah Sabai Nan Rancak , salah seorang tokoh silat penguasa Gunung Singgalang yang mirip telah dituturkan dalam Episode sebelumnya (Asmara Darah Tua Gila) menyeberang dari Andalas ke tanah Jawa dalam mencari musuh besarnya yaitu Tua Gila.
“Kau siapa?!” membentak Sika Sure Jelantik.
“Ya , kau siapa?!” Wiro ikut-ikutan bertanya.
Iblis Pemalu tetap berdiri memandang dengan muka ditutup.
Nenek berjubah hitam menyeringai. Kepalanya digoyangkan hingga rambutnya yang putih panjang tersingkap ke belakang. Walau wajahnya kini kelihatan menyeluruh namun baik Sika Sure Jelantik maupun Wiro tetap saja tidak mengenali siapa adanya nenek satu ini.
“Nenek yang terkapar di tanah!” Sabai Nan Rancak berkata dengan nada sinis. Dia menatap ke arah Sika Sure Jelantik , sama sekali tidak perdulikan Pendekar 212. “Kau tidak kenal diriku. Tapi saya kenai kau siapa adanya. Bukankah kau yang berjulukan Sika Sure Jelantik? Nenek culas yang pernah menyamar jadi dukun sakti di suatu pulau?! Yang tiba ke tanah Jawa ini untuk mencari seorang kakek berjulukan Sukat Tandika alias Tua Gila alias Iblis Gila Pencabut Jiwa alias Pendekar Gila Patah Hati?!”
Berubahlah paras angker Sika Sure Jelantik. “Setan renta ini tahu banyak perihal diriku! Aku sama sekali tidak mengenali siapa ia adanya! Sial keparat!”
“Nenek , kau mengenali renta bangka satu ini , kau sendiri siapa?!” Wiro beranikan diri ejekan pertanyaan.
“Tutup mulutmu! Aku bicara dengan dia! Dan saya belum mendapat jawaban! Pada gilirannya saya akan bicara denganmu!” sentak Sabai Nan Rancak.
“Aduh galaknya si muka keriput ini!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Walau dalam keadaan Cidera ke dua kaki dan tak berdaya karena tertotok Sika Sure Jelantik tetap saja galak. Dia menjawab dengan lantang.
“Tua bangka rongsokan! Rupanya namaku demikian terkenalnya hingga kau tahu siapa diriku! Dan perihal dirimu yang sudah lapuk dimakan rayap usia , apa perduliku untuk mau tahu!”
Sabai Nan Rancak mendongak kemudian tertawa panjang.
“Bicaramu memang hebat! Tapi saya tahu jiwamu tergoncang besar! Aku merasa tidak ada gunanya bicara lebih panjang denganmu!” Sabai Nah Rancak berpaling pada Wiro Sableng. “Aku juga kenal siapa dirimu anak muda! Jangan kau berani beranjak dari tempatmu sebelum saya mendapat keterangan!”
“Malam begini gelap tak ada bulan tak ada bintang. Penerangan apa yang bisa saya berikan padamu?!” ujar Wiro seenaknya sambil senyum-senyum.
“Orang yang mau mampus bicaranya memang sering tidak karuan!” balas Sabai Nan Rancak.
Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan orang tapi tetap saja tak mau kalah. “Nek , kau rupanya insan hebat luar biasa. Sampai-sampai tahu kalau ada yang akan mati. Kalau dibanding usiamu dengan usiaku , bukankah kau yang lebih anyir tanah alias erat liang kubur?!”
“Sobatku! Kau betul! Memalukan saja si renta bangka ini bicaranya!” Iblis Pemalu berteriak kemudian tertawa gelak-gelak.
“Hemmm… Ada satu lagi orang gila rupanya di tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak tak mau kalah mengejek. “Heran , kenapa orang-orang gila selalu menentukan mati berkawan-kawan daripada sendiri-sendiri! Hik… hik… hik!”
Di balik ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tampak mengerenyit menahan tawa sedangkan Wiro kelihatan tegak termangu dan garuk-garuk kepala.
“Kau!” tiba-tiba Iblis Pemalu gerakkan tangan kirinya dan menuding tepat-tepat kepada Sabai Nan Rancak. “Kau tiba laksana munculnya hantu malam. Memalukan! Kau tahu banyak perihal orang lain tapi tidak mau memberi tahu siapa diri sendiri! Memalukan! Biaraku beritahu pada orang-orang di sini siapa kau adanya!”
Sabai Nan Rancak sesaat jadi tercekat tapi ia membisu tak bergerak dan tak membuka lisan walau dalam hati ia berusaha menduga-duga siapa adanya insan absurd yang terus-terusan menutupi wajahnya dengan tangan. “Kau tidak beda dengan nenek renta berjulukan Sika Sure Jelantik itu! Kau tiba jauh-jauh dari seberang bukankah punya maksud sama dengan dia?!”
Berdebar dada Sabai Nan Rancak mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu.
“Manusia absurd bermulut panjang! Apa maksudmu!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Kau berkeliaran hingga di sini bukankah karena juga mencari Tua Gila? Orang yang di masa mudamu menjadi kekasihmu!”
“Jahanam!” teriak Sabai Nan Rancak. Tubuhnya berkelebat. Tangan kirinya lancarkan satu pukulan keras ke arah dada Iblis Pemalu. Tapi yang diserang bergerak cepat hindarkan diri dan tahu-tahu sudah tegak empat langkah di samping kanan Sabai Nan Rancak.
“Kau malu rahasiamu saya bongkar? Ha… ha… ha!” Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak. “Sika Sure Jelantik , kalau kau dulu kawin dengan Sukat Tandika , maka nenek satu ini akan menjadi madumu! Ha… ha… ha…! Benar-benar hidup yang memalukan!”
Baik Sika Sure Jelantik maupun Sabai Nan Rancak sama bersemu merah wajah masing-masing dalam gelap.
“Orang gila! Siapa kau adanya!”
cak menegur. Suaranya tetap keras.
“Siapa saya itulah satu hal memalukan untuk diberi tahu!” jawab Iblis Pemalu pula. “Tapi saya tidak malu memberi nasihat! Sebaiknya kau yang berjulukan Sabai Nan Rancak kembali saja ke pulau Andalas. Tanah Jawa terlalu keras bagimu! Kau tidak akan mendapatkan keberuntungan!”
“Aku memang tidak mencari untung tiba ke sini. Aku mencari nyawa orang!” jawab Sabai Nan Rancak. Lalu ia berpaling pada Wiro dan berkata. “Aku tahu siapa kau adanya anak muda! Lekas kau suruh keluar gurumu! Aku tahu ia ada di tempat ini! Tapi takut memperlihatkan diri!”
“Bukan takut! Mungkin malu!” ujar Iblis Pemalu.
“Jika kau punya kepentingan dengan Tua Gila , harap kau mencari dan mendapatkannya sendiri!” jawab Wiro.
“Baik! Kalau begitu biar kau kubuat mampus dulu gres si Tua Gila itu mau memperlihatkan diri!”
Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak kembangkan telapak tangan kanannya kemudian diangkat dan diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dalam gelap satu sosok yang semenjak tadi mendekam tak bergerak rahasia merasa cemas. “Dia hendak menghantam anak itu dengan pukulan sakti Kipas Neraka! Celaka! Jangankan ia , akupun tak sanggup mendapatkan pukulan maut itu!” Lalu orang ini sibakkan semak belukar di depannya. Dia melompat keluar seraya berteriak.
“Tahan serangan!”
Seorang kakek berpakaian putih kini tegak antara Wiro dan Sabai Nan Rancak.
“Manusia jahanam Sukat Tandika!” Teriak Sika Sure Jelantik. Dia serasa mau terbang untuk melumat tubuh kakek itu.
“Kakek Tua Gila!” seru Wiro.
“Ha… ha! Makara ini ia si renta bangka memalukan itu!” Ikut bicara Iblis Pemalu.
Sesaat Sabai Nan Rancak tampak tergoncang. Matanya mendelik memandangi Tua Gila yang tegak menatap ke arahnya dengan pandangan kosong.
“Waktu di pantai Andalas kau bisa lolos! Waktu kau terluka oleh keris Datuk Angek Garang kau masih bisa selamat karena ada orang bercadar menolongmu! Di malam yang gelap ini agaknya tidak insan tidak juga hantu yang akan menyelamatkan nyawamu!”
Tua Gila hanya berdiam diri mendengar Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya masih terus memandangi tak berkesip walau tampak sayu.
“Manusia dan hantu mungkin tidak akan menolongnya! Tapi Tuhan Yang Kuasa pasti menolong!” Ujar Pendekar 212.
“Betul sekali! Tuhan memang tidak pernah malu menolong umatNya yang kesusahan!” menimpali Iblis Pemalu kemudian tertawa mengekeh.
“Akan kita lihat apa Tuhanmu memang akan menolong!” ujar Sabai Nan Rancak pula dengan mata berapi-api. Lalu dua tangannya sekaligus diangkat ke atas.
Tua Gila mencicipi tengkuknya dingin. Dia ingat keterangan Putri Andini dulu bahwa bagaimana pun saktinya dirinya ia tak akan sanggup menghadapi pukulan sakti Kipas Neraka yang dimiliki Sabai Nan Rancak.
“Dia mengangkat dua tangan sekaligus. Berarti hendak menghantamku dengan dua pukulan Kipas Neraka! Satu saja saya tak sanggup menghadapi , apa lagi hingga dua hantaman. Aku pasrah mendapatkan kematian!”
Tiba-tiba Iblis Pemalu berseru.
“Orang tua! Jangan tegak membisu memalukan! Lakukan sesuatu biar kau tidak mati penuh penyesalan!”
Tua Gila hanya menyeringai mendengar kata-kata itu. Dia tetap tak bergerak di tempatnya. “Banyak urusanku yang masih terbengkalai. Tapi maut agaknya tiba lebih cepat! Kematian mungkin satu-satunya jalan yang sanggup melepaskan diriku dari segala beban bathin dan pikiran!”
Sabai Nan Rancak gerakkan ke dua tangannya. Mendadak sontak dikala itu juga dua larik sinar memerah melesat keluar dari telapak tangan Sabai Nan Rancak. Dua sinar lurus mengerikan ini mengembang mirip kipas. Sekalipun dikala itu Tua Gila berusaha menyelamatkan diri maka keadaannya sudah terlambat sekali. Tak ada lagi ruang Untuk menyingkir apa lagi menangkis.
“Pukulan Kipas Neraka!” teriak Iblis Pemalu yang mengenali pukulan sakti yang dilepaskan Sabai Nan Rancak.
“Kek!” teriak Wiro melihat Tua Gila membisu saja seolah sengaja memasang badan. Dengan cepat Pendekar 212 melompat menghadang dua tebaran sinar merah yang panas luar biasa. Dia yang masih mengenakan jubah Kencono Geni mengandalkan kesaktian jubah itu untuk melindungi Tua Gila. Namun ia hanya mencari celaka karena tolong-menolong dengan si kakek ia mungkin akan menemui kematian dihantam pukulan Kipas Neraka itu!
“Sobat tolol memalukan! Mengapa mau-mauan mencari mati?!” teriak Iblis Pemalu.
Pada dikala yang menegangkah itu tiba-tiba ada bayangan kuning berkelebat. Wiro terpental ke kiri sedang Tua Gila jatuh terduduk di tanah kemudian terguling hingga dua tombak!
*
* *
* *
EMPAT
ORANG berpakaian dan bercadar kuning berOrang berpakaian dan bercadar kuning berlutut di kegelapan malam. Hanya kaki kirinya saja yang bersitekan ke tanah. Dua tangan di angkat ke depan dengan telapak terkembang. Sepasang mata menatap tak berkesip ke arah dua larik sinar merah yang tiba menerpa dengan sangat ganas.Dua tangan bahkan sekujur tubuh orang bercadar kuning ini tampak bergoncang keras. Pakaiannya serta meria berair oleh keringat. Di kening dan penggalan sekitar matanya muncul butiran-butiran keringat. Ini satu membuktikan ia tengah mengerahkah tenaga luar dan dalam untuk melawan satu kekuatan besar yang hendak menyapunya.
Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Dua larik pukulan Kipas Neraka yang melesat keluar dari dua tangan Sabai Nan Rancak tertahan satu jengkal di depan dua tangan orang bercadar kuning. Perlahan-lahan tebaran sinar merah yang berbentuk kipas tampak menciut dan akhirnya kembali ke asalnya yakni bentuk garis lurus. Ketika orang bercadar perlahan-lahan mendorongkan ke dua tangannya maka dua larik sinar merah ikut terdorong seakan-akan masuk kembali ke dalam tangan Sabai Nan Rancak.
“Jurus Menghormat Kipas Neraka!” teriak Sabai Nan Rancak dengan paras berubah dan mundur beberapa langkah. Dia sama sekali tak bisa mempercayai serangan mautnya tadi bisa dimentahkan begitu saja. “Orang bercadar! Siapa kau! Dari mana kau mempelajari jurus Menghormat Kipas Neraka tadi?!”
Orang bercadar perlahan-lahan bangun berdiri. Tua Gila , Wiro dan Iblis Pemalu terkagum-kagum melihat apa yang barusan terjadi.
“Manusia absurd bercadar kuning! Untuk ke tiga kalinya ia menolongku! Ah….” Tua Gila goleng-goleng kepala.
Setelah mengusap keningnya yang berair dan mengatur gejolak jalan darahnya , orang bercadar berkata. Ucapannya mirip orang berpantun.
“Saling hormat pada sesama ialah kewajiban manusia. Di mata Tuhan insan satu tidak ada kelebihannya kecuali ketakwaannya/Menjatuhkan eksekusi , bersikap pongah dalam keadilan ialah kesesatan yang menyedihkan. Karena setiap insan tidak lepas dari pada kesalahan. Mana ada hidup yang paling lezat dari pada mencari tenteram di masa tua. Masa muda hanyalah kenangan buruk dan indah yang akan punah ditelan usia.”
“Jahanam! Aku bertanya kau menjawab dengan syair keparat!” teriak Sabai Nan Rancak tak sanggup lagi menahan amarahnya.
“Siapa bertanya tak akan sesat di tengah jalan. Siapa berpura bertanya akan sesat di ujung jalan. Mengapa tidak kembali ke awal jalan?”
Sabai Nan Rancak berteriak keras. Tubuhnya melayang di udara. “Orang gila! Mari kutunjukkan padamu jalan ke neraka!”
“Wuttt!”
Satu jotosan yang luar biasa cepatnya menderu ke arah kepala orang bercadar kuning.
“Kemarahan pangkal kesesatan. Kesesatan ialah temannya setan. Setan ialah kehancuran!”
“Bukkk!”
Sabai Nan Rancak terpekik. Tubuhnya mencelat dua tombak dan jatuh terjengkang di tanah. Ketika ia menilik tangan kanannya yang tadi dipergunakan untuk menyerang matanya jadi mendelik. Tangan itu kini berkembang menjadi putih karena kulitnya telah terkelupas hingga tulang-tulangnya kelihatan putih menonjol!
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku!” teriak Sabai Nan Rancak. Seperti kalap , penuh nekad ia kembali menerjang. Saat itulah Tua Gila cepat menghadangnya dan dengan perilaku hening serta bunyi lembut kakek ini berkata.
“Sabai , jangan celakakan diri sendiri. Orang itu bukan tandinganmu. Kembalilah ke Andalas. Janah Jawa bisa menjadi neraka bagimu! Kalau tiba saatnya saya akan menyusul. Apa pun yang kau harapkan dariku , termasuk nyawaku kelak akan kuserahkan padamu! Hanya ingat satu hal yang kukatakan tempo hari padamu. Ada seseorang entah kau sadari atau tidak telah memanfaatkan dirimu melaksanakan perbuatan-perbuatan aneh….”
“Setan renta jahanam!” teriak Sabai Nan Rancak. “Aku tidak butuh nasihatmu!” Tangan kiri si nenek berkelebat.
Bukkk!”
Tua Gila tidak menyangka ucapan baiknya akan dibalas dengan satu hantaman ke arah dadanya. Orang renta ini terpental dua tombak dan tertelentang di tanah muntahkan darah segar.
“Kek!” seru Wiro seraya memburu. Namun dikala itu walau terluka di dalam Tua Gila masih bisa berdiri. Dia tersenyum pahit. “Aku tak apa-apa…” katanya ketika Wiro memegangi lengannya.
“Akan kubunuh jahanam itu!” teriak Wiro.
“Sudahlah! Dia sudah tak ada lagi di sini. Sudah pergi!” kata Tua Gila pula.
Wiro berpaling , memandang berkeliling. Ternyata memang benar Sabai Nan Rancak tak ada lagi di tempat itu.
“Kek ,” ujar Wiro setengah berbisik. “Orang bercadar kuning yang tadi menolongmu juga tak ada lagi….”
“Astaga!” Tua Gila memandang berkeliling. “Temanmu yang selalu menutupi mukanya itu juga lenyap!” ujar si kakek.
“Pada kemana mereka? Pergi begitu saja!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Km! mau tak mau pandangan Wiro dan Tua Gila tertuju pada si nenek Sika Sure Jelantik. Melihat dirinya dipandangi begitu rupa si nenek membentak.
“Sukat Tandika! Kalau kau memang pria lepaskan totokanku dan terima kematianmu di tanganku!”
“Nenek jelek!” hardik Wiro yang jadi naik darah. “Kalau mulutmu tak bisa membisu nanti kusumpal dengan ini!” Wiro kemudian cabut umbi besar keladi hutan dan menyorongkan ke lisan si nenek. Di depan lisan Sika Sure Jelantik keladi hutan itu digoyang-goyangkannya kian kemari sengaja mempermainkan hingga si nenek memaki habis-habisan.
“Wiro , hentikan perbuatanmu!” Tua Gila mengambil keladi hutan dari tangan Wiro dan mencampakkannya di tanah. Dia tegak erat Sika Sure Jelantik. “Sika , kau terluka parah. Menurut penglihatanku tulang kakimu kiri kanan patah!”
“Apa perdulimu?!” hardik Sika Sure Jelantik. Sebenarnya wanita renta ini sudah tahu keadaan kakinya. Memang benar ada bagian-bagian tulang kakinya yang patah akhir beradu tendangan dengan Iblis Pemalu.
“Dengar , saya akan membawamu ke satu tempat yang baik dan mengobati kakimu yang cidera hingga sembuh. Mungkin kesempatan ini bisa kita pergunakan untuk bicara dari hati ke hati….”
“Kek ,” tiba-tiba Wiro menyeling. “Kurasa saya lebih baik pergi saja. Agar kau bisa leluasa menuntaskan urusanmu dengan bekas pacarmu ini!”
“Anak setan! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” hardik Tua Gila. “Jangan kau berani pergi tanpa izinku!”
Wiro hanya tertawa bergumam sementara Sika Sure Jelantik unjukkan wajah merah cemberut.
“Aku tidak sudi ditolong! Jangan berani menyentuh tubuhku!”
“Sika , harap kau pergunakan nalar sehat! Jangan keras kepala tidak karuan. Aku menolongmu dengan ikhlas. Tidak ada pamrih atau maksud biar kau memaafkan segala perbuatanku di masa lalu….”
“Kek , kalau ia tidak mau ditolong biar saja. Kabarnya di sini banyak hewan buas , ular berbisa. Belum lagi segala hantu dedemit yang konon doyan meniduri nenek-nenek peot mirip dia!” Wiro kembali mempermainkan si nenek saking kesalnya melihat tindak tanduk Sika Sure Jelantik yang tidak mau ditolong oleh Tua Gila.
Sementara Sika Sure Jelantik memaki tiada henti Tua Gila angkat si nenek dan memanggulnya di pundak kiri. Dia berpaling pada Wiro. “Aku akan membawanya ke satu tempat. Harap kau mengikuti….”
“Kek , bukannya lebih bebas bila kalian hanya berdua saja?!”
“Jangan bergurau terus-terusan anak geblek! Ikuti aku! Banyak hal yang ingin saya bicarakan denganmu!”
“Kek , apa kau sudah berpikir sepuluh kali? Nenek itu sudah bersumpah hendak membunuhmu! Apa tidak salah kaprah kalau kau kini menolongnya?!”
“Aku tahu apa yang saya lakukan!” jawab Tua Gila pula dengan mata cekung melotot.
Wiro garuk-garuk kepala. Ketika Tua Gila berkelebat pergi mau tak mau ia terpaksa mengikuti.
*
* *
* *
LIMA
TUA Gila membawa Sika Sure Jelantik ke sebuah kaki bukit di mana terdapat sebuah goa dan satu mata air kecil tak jauh dari sana. Keesokan paginya selagi Sika Sure Jelantik masih tertidur lelap dan Pendekar 212 mandi di mata air Tua Gila mengambil beberapa jenis dedaunan di dalam hutan. Daun-daun ini ditumbuknya hingga lumat kemudian diborehkannya pada kaki kiri kanan si nenek yang cidera. Lima ranting pohon yang lurus-lurus kemudian diikatkannya sepanjang kedua kaki si nenek.“Jika satu ahad kau bisa menjaga diri , tidak banyak bergerak apa lagi berjalan , tulang-tulangmu yang patah bisa bertaut kembali. Minggu berikutnya kau pasti sembuh…” berkata Tua Gila.
“Aku tidak suka kau tolong! Aku tidak akan berterima kasih!” jawab Sika Sure Jelantik ketus.
Tua Gila menyeringai. “Kau tidak suka ditolong itu urusanmu. Kau tidak mau berterima kasih saya tidak meminta. Aku hanya merasa punya kewajiban untuk menolongmu!”
“Agar saya mau melupakan semua perbuatan terkutukmu di masa lalu?! Jangan mimpi! Jangan mengharap!”
Tua Gila menyeringai. “Kau tahu sifatku Sika. Seumur hidup hingga kini saya tak pernah bermimpi atau mengharap!”
“Manusia busuk! Mengapa tidak kau bunuh saja saya dikala ini!” teriak Sika Sure Jelantik. Mukanya kelihatan tegang membesi. Tenggorokannya turun naik kemudian tampak ada air mata mengambang di ke dua matanya dan perlahan-lahan menetes membasahi pipinya yang keriput. Tua Gila kelihatan mirip tercekat. Jelas ia terpengaruh dengan kesedihan hati yang diperlihatkan si nenek.
Menyaksikan hal ini Wiro yang gres tiba segera menarik Tua Gila ke satu tempat kemudian berbisik. “Kek , kau sudah menjalankan kewajibanmu. Buat apa melayani renta bangka tak tahu diri itu! Lepaskan saja totokannya kemudian kita tinggalkan tempat ini. Habis perkara!”
tua Gila memegang pundak Wiro dan berkata. “Perkara tidak awet la n habis mirip dugaanmu. Lagi pula saya tidak sejahat dugaan orang. Aku menolongnya karena saya merasa itu kewajibanku. Aku menolongnya dengan nrimo tanpa mengharapkan apa-apa. Apa lagi memohon biar ia mau memaafkan segala dosa perbuatanku di masa muda. Aku ingin ia tetap hidup biar ia bisa melaksanakan apa yang diinginkannya. Yaitu membunuhku….”
“Kek , jalan pikiranmu telah dipengaruhi bunyi hatimu!” ujar murid Sinto Gendeng.
“Itu ujar-ujar yang selalu diucapkan orang persilatan. Jangan jalan pikiran dipengaruhi hati karena bisa membawa celaka , tapi orang lupa pikiran dan hati bersumber pada satu sumber yang sama. Yakni kebenaran.”
“Kek , saya rasanya lucu mendengar kau berfilsafat….”
“Keren betul bicaramu anak muda! Sudah! Lebih baik kau ikut saya ke mata air. Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu!”
Wiro hanya bisa garuk kepala dan mengikuti si kakek menuju mata air.
Di dalam goa Sika Sure Jelantik semakin deras mengucurkan air mata. Walau Wiro dan Tua Gila tadi bicara berbisik-bisik namun karena mempunyai pendengaran yang tajam si nenek sempat mendengar semua ucapan ke dua orang itu. Hatinya terasa perih mirip disayat-sayat. “Kenapa jalan nasibku begini sengsara? Mengapa saya tidak segera saja mati dalam kesengsaraan ini. Sukat Tandika , bila saja….” Si nenek tak sanggup meneruskan bunyi batinnya. Dadanya menggemuruh ditelan perasaan.
Begitu hingga di mata air yang dikelilingi pepohonan rindang Tua Gila segera bicara.
“Hal pertama yang ingin kutanyakan padamu , apa kau kenal dengan seorang dara berjulukan Puti Andini?”
Wiro tersenyum. “Aku tak ingat apa pernah menceritakannya padamu. Tapi karena kau bertanya saya akan menjawab Kek. Gadis itu bergelar Dewi Payung Tujuh. Berasal dari pulau Andalas. Bukankah nenek berjulukan Sabai Nan Rancak itu ialah gurunya?”
“Hemmm , anak ini tahu banyak perihal Puti Andini. Apa ia juga tahu gadis itu ialah cucuku?” membatin Tua Gila. “Lanjutkan keteranganmu. Apa lagi yang kau ketahui perihal gadis itu , Wiro.”
“Dia pernah disuruh oleh gurunya untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Juga diperintah untuk membunuhku….” (Baca Episode berjudul Wasiat Dewa).
Tua Gila anggukkan kepala. “Kau sudah mempunyai Kitab Putih Wasiat Dewa. Sampai dikala ini ia tidak membunuhmu. Apa kau mengira gadis itu masih punya niat jahat terhadapmu?”
“Beberapa kali pertemuan memang ia tidak memperlihatkan niat buruk itu. Tapi hati orang siapa tahu?” ujar Wiro pula.
“Kalau begitu bisa kubilang antara kau dan Puti Andini tidak ada lagi kasus atau perselisihan apa lagi silang sengketa?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Yah , bisa saja dikatakan begitu. Bagiku dari dulu tak ada kasus apa-apa. Malah saya berhutang budi dan nyawa padanya. Waktu saya luka parah dan keracunan dihantam Tiga Bayangan Setan , kalau bukan ia yang menolong pasti saya sudah menemui ajal. Kurasa walaupun ia masih bersikap tidak baik padaku , saya tetap akan menghormatinya….” (Mengenai Tiga Bayangan Setan harap baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Dewa).
“Hemmm… Menghormati katamu , itu kata yang sulit ditafsirkan karena banyak mengandung arti….”
“Maksudmu Kek?” tanya Wiro.
“Apa kau punya rasa suka terhadap Puti Andini?” Tua Gila eksklusif saja bertanya. Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh ketika dilihatnya murid Sinto Gendeng itu memandang padanya dengan mata membeliak dan lisan ternganga.
“Harap kau tidak masukkan dalam hati , anak muda. Aku hanya bergurau!” kata Tua Gila pula. Namun Wiro maklum dibalik gurauan itu Tua Gila memang punya maksud sesuatu.
“Jangan-jangan semenjak muridnya dibunuh persekutuan Sabai Nan Rancak orang renta ini sudah mengangkat si gadis jadi muridnya ,” pikir Pendekar 212 pula.
“Pada bulan purnama empat belas hari mendatang saya akan bertemu dengan gadis itu di pinggiran timur Telaga Gajah Mungkur. Kalau kau suka kau boleh ikut bersamaku ke sana….”
Semakin keras dugaan Wiro bahwa si kakek memang punya maksud tertentu.
“Hemm… Terus terang saya suka ikut denganmu. Tapi saya ada urusan lain. Aku harus mencari seorang sahabat yang terakhir sekali kutinggalkan dalam keadaan terluka….”
“Siapa sahabatmu itu. Seorang cowok atau seorang gadis hah?! Ah , dari sinar matamu saya tahu ia pasti seorang gadis berwajah cantik. Kalau bukan seorang gadis kau mana mau bersusah payah segala!”
“Namanya Anggini. Murid tunggal tokoh silat bergelar Dewa Tuak….”
“Ah!” Tua Gila jadi kaget. Lalu bertanya. “Anggini! Murid sahabatku si Dewa Tuak. Sejak pertemuan terakhir di Pangandaran usang sudah saya tidak mendengar kabarnya. Apa dikala ini ia masih bersuka-suka dengan kekasihnya si Ratu Pesolek itu? Ha… ha… ha! Wiro , apa yang terjadi dengan murid Dewa Tuak?”
Wiro kemudian menuturkan penghadangan yang dilakukan oleh empat orang yaitu Iblis Pemalu , Pengiring Mayat Muka Hijau , Sika Sure Jelantik dan Datuk Gadang Mentari.
“Sika Sure Jelantiklah yang mencelakai Anggini. Aku tak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Seorang sahabat menemaninya ketika kutinggal pergi….”
“Sika Sure Jelantik…” kata Tua Gila sambil menghela nafas panjang. “Sulit membuatnya mau mengerti. Kalau Anggini hingga celaka jangan harap ia lolos dari maut! Dewa Tuak pasti akan mengejarnya hingga ke liang neraka sekalipun!”
“Mengenai Iblis Pemalu ,” kata Wiro pula. “Siapa ia sebenarnya? Apakah ia berpihak pada orang-orang golongan putih atau kaki tangan golongan hitam?”
“Siapa ia adanya memang sulit diketahui. Dia muncul belum lama. Ketinggian ilmunya serta tindak tanduknya yang absurd membuat namanya mencuat dengan jelas. Walau kelihatannya ia bukan orang baik-baik tapi saya yakin ia bukan kaki tangan orang-orang Lembah Akhirat. Namun sikapnya yang absurd dan sering berubah mendatangkan prasangka bahwa insan satu ini praktis ditarik ke kiri atau ke kanan. Dia hanya mengikut arah angin atau mana sukanya saja walau cuma sesaat. Orang mirip ia harus dibaik-baiki , harus pandai memuji dan menyanjung. Aku seolah yakin bahwa sifatnya yang mirip pemalu itu hanya dibuat-buat saja. Biar kita lupakan dulu Iblis Pemalu. Sebaliknya saya menyirap kabar bahwa Anggini telah membunuh Datuk Mangkuto Kamang….”
“Itu fitnah yang tak karuan juntrungannya Kek ,” jawab Wiro.
“Justru karena fitnah itulah perlu diselidiki.
Akhir-akhir ini banyak kejadian hebat di dunia persilatan pulau Andalas dan Tanah Jawa. Sesama golongan putih saling baku hantam. Lalu belum lagi lenyapnya tokoh-tokoh rimba persilatan secara aneh. Satu di antaranya ialah kakek sakti berjuluk Dewa Sedih. Dia lenyap dan kabarnya berada dalam kekuasaan orang-orang Lembah Akhirat…. Saudaranya si Dewa ketawa pasti akari mengobrak-abrik Lembah Akhirat. Namun kecacatan yang berselubung maut menyungkup Lembah Akhirat. Aku khawatir Dewa Ketawa akan mengalami nasib sial….”
“Kau tahu siapa bekerjsama yang menjadi penguasa Lembah Akhirat itu Kek?”
“Dia hanya dikenal dengan panggilan Datuk Lembah Akhirat. Beberapa tokoh kabarnya berusaha menyelidik. Namun satu persatu mereka lenyap tak tahu rimbanya….”
“Mengenai kepergianmu ke Telaga Gajah Mungkur menemui Puti Andini , agaknya ada satu urusan penting di sana?”
Tua Gila mengangguk. “Ini satu urusan yang sebetulnya perlu saya beri tahu padamu beberapa tahun yang silam. Namun mungkin gres dikala ini sempurna untuk kukatakan. Kau pernah mendengar riwayat sebilah pedang berjulukan Pedang Naga Suci 212!”
Wiro kerenyitkan kening mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Aku mempunyai Kapak Naga Geni 212. Kau menyebut Pedang Naga Suci 212. Apa ada kekerabatan satu dengan lainnya?” tanya murid Sinto Gendeng pula.
“Kapak dan pedang itu merupakan dua senjata yang bekerjsama tidak terpisahkan. Berasal dan merupakan warisan dari seorang kakek sakti berjulukan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Waktu saya dan gurumu si Sinto Gendeng menjadi murid Kiai yang membisu di Gunung Gede itu , kami diwarisi dua senjata. Seharusnya saya mendapatkan Kapak Naga Geni 212 , tapi Sinto Gendeng mendahului , malah ia melarikan Pedang Naga Suci 212.”
Tua Gila kemudian menuturkan riwayat dua senjata sakti itu yang didengar Wiro dengan penuh perhatian. (Mengenai riwayat Kapak Maut Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212 harap baca Episode terdahulu berjudul Pedang Naga Suci 212).
Lama Wiro termenung mendengar penuturan -Tua Gila. Dia coba mengingat-ingat. “Kek , kalau saya tidak salah mengingat , waktu kapak mustika sakti itu diberikan padaku , Eyang Sinto pernah berkata Kapak Naga Geni 212 itu ia yang membuat. Dia menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk menciptakannya….”
Tua Gila tertawa mengekeh. “Gurumu itu namanya bukan Sinto Gendeng kalau tidak melaksanakan atau bicara gendeng. Mungkin ia tidak bermaksud buruk berdusta padamu. Mungkin ia berkata begitu biar kau tidak mensia-siakan jerih payahnya dan biar kau merawat senjata itu sebaik-baiknya.”
“Mungkin juga begitu…” kata Wiro perlahan.
“Aku menaruh firasat bahwa Pedang Naga Suci 212 berjodoh dengan Puti Andini. Itu sebabnya ia kusuruh pergi menyelidik dan mencari pedang mustika itu di Telaga Gajah Mungkur…. Aku sendiri tidak berminat mendapatkan dan memilikinya…. Aku sudah terlalu tua. Urusan rimba persilatan kini berada di tangan kalian orang-orang muda….”
“Mana bisa begitu Kek. Kami yang muda-muda hanya dianggap sebagai sapu lidi pembersih. Sementara para tokoh yang sudah tua-tua berbuat macam-macam mengotori dunia persilatan!”
Tua Gila tertawa gelak-gelak. Begitu tawanya mereda Wiro berkata.
“Kek , tentunya kau punya satu alasan mewarisi pedang sakti itu pada Puti Andini , bukan hanya sekedar firasat. Atau mungkin gadis itu sudah kau angkat jadi muridmu pengganti Sati?”
ENAM
YANG ditanya tak segera menjawab. Kemudian sekulum senyum menyeruak di wajah orang renta ini. Satu senyum pahit yang menandakan keperihan hati. Karena Sati , satu-satunya murid Tua Gila yang namanya barusan diucapkan Wiro telah tewas dibunuh Datuk Angek Garang di pulau Andalas beberapa waktu yang lalu.“Hemm…. Kau betul. Alasan utamaku ialah ia kuanggap seorang gadis hero sejati. Masih suci dan bersih. Masa depannya dalam dunia persilatan penuh dengan tantangan. Berarti ia perlu satu senjata yang diandalkan.”
“Bukankah dari gurunya Sabai Nan Rancak gadis itu telati mempunyai satu ilmu kepandaian dan senjata berupa tujuh buah payung?” ujar Wiro.
Tua Gila tertawa lebar. “Itu juga betul. Walau ia kelak mempunyai pedang sakti itu , tentu saja ia dihentikan melupakan ilmu payungnya yang hebat. Selain itu , saya berhutang jiwa padanya. Waktu saya dalam keadaan tak berdaya dan hampir mati di tangan Sabai Nan Rancak serta teman-temannya , Puti Andini menyelamatkan diriku….”
Dalam hatinya Tua Gila merasa bimbang. Apakah akan diceritakannya pada Wiro bahwa Puti Andini bekerjsama ialah cucunya sendiri. Sebaliknya dalam hatinya Wiro juga bertanya-tanya. “Kurasa ada satu hal lain yang sangat berpengaruh membuat kakek ini memberi tahu perihal pedang itu pada Andini. Dia tadi tidak menjawab ya atau tidak apakah ia telah mengangkat Puti Andini menjadi muridnya ,”
“Apa yang ada dalam benakmu Wiro?” tanya Tua Gila ketika dilihatnya Wiro mirip termenung.
“Aku cuma khawatir Kek. Bagaimana kalau kelak pedang itu hingga jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak. Kau bisa lebih celaka lagi….”
Mulut Tua Gila tampak berkomat-kamit. “Aku cukup percaya pada gadis itu. Buktinya ia berani menanggung akhir berhadapan dengan gurunya demi menyelamatkan diriku…. Lagi pula ada semacam petunjuk bahwa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212 kelak akan bersatu kembali. Bukan itu saja. Aku menyirap kabar sekitar lima tahun silam. Kapak dan Pedang itu mempunyai seorang anak yaitu sebilah keris yang tak kalah saktinya dengan sepasang induknya….”
Mendengar ucapan Tua Gila itu Pendekar 212 terdiam namun otaknya cepat bekerja. “Kalau Kapak dan Pedang kelak akan bersatu bahkan punya anak , jangan-jangan kakek ini hendak menjodohkan saya dengan Puti Andini. Gila betul! Ada kekerabatan apa bekerjsama antara Tua Gila dengan gadis dari seberang itu….”
“Eh , kau kembali kulihat memikirkan sesuatu!” Tua Gila menegur.
Wiro menyeringai. “Aku coba memasukkan ke dalam akalku bagaimana mungkin sebilah kapak dan pedang bisa punya anak sebilah keris….”
Tua Gila tertawa lebar. Dengan jari telunjuk tangan kanannya ditekannya dada murid Sinto Gendeng seraya berkata. “Itu kelak yang harus kau selidiki , Wiro. Omong-omong bagaimana soal perjodohanmu…?”
“Perjodohanku?” balik bertanya Wiro karena tidak mengerti. “Apa maksudmu Kek?”
“Kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu. Bukankah Dewa Tuak pernah kasak-kusuk dengan Sinto Gendeng hendak menjodohkanmu dengan Anggini murid tunggalnya itu?”
Wiro hendak tertawa membahak tapi akhirnya sambil garuk-garuk kepala ia menjawab. “Baik Eyang Sinto Gendeng maupun Dewa Tuak tak pernah mendesak kalau mereka memang menginginkan perjodohan itu….”
“Lalu…. Hem… jadi terserah pada kalian yang muda-muda kalau begitu?”
“Bisa saja kau katakan mirip itu Kek. Namun kami pun tidak pernah membicarakan hal itu. Anggini seorang gadis yang segala sesuatunya tak bisa harus ditentukan oleh orang lain….”
“Bagus…. Bagus!”
“Bagus bagaimana maksudmu Kek?” Wiro mengejar dengan pertanyaan. Dalam hati semakin berat dugaannya bahwa Tua Gila memang ingin menjodohkannya dengan Puti Andini. “Kalau tidak apa perlunya ia menanyakan hubunganku dengan Anggini. Dia tampak bahagia ketika kuberi tahu bahwa guru masing-masing tidak mendesak dan saya ataupun Anggini tak pernah lagi membicarakan soal perjodohan itu.”
“Maksudku ,” jawab Tua Gila pula. “Aku besar hati kalian bisa berlaku benar-benar sebagai orang cukup umur dan serba matang menghadapi masa depan….” Tua Gila kemudian angguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu ia menyambung ucapannya.
“Ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan padamu. Seseorang menitipkan sebuah kalung sakti berjulukan Kalung Permata Kejora. Kalung itu seharusnya saya serahkan pada Sabai Nan Rancak. Orang yang menitipkan tidak tahu kalau saya punya bentrokan besar dengan si nenek dari Gunung Singgalang itu. Celakanya justru kalung itu yang katanya sanggup membunuhku. Sekarang kalung itu tak ada padaku….”
“Hemmm , sudah kau serahkan pula pada seorang gadis cantik?” tanya Wiro.
“Anak setan! Jangan mengejek!” hardik Tua Gila dengan mata lebar melotot.
Wiro menahan tawa sambil garuk-garuk kepala.
“Kalung mustika itu lenyap. Aku yakin pasti jatuh masuk ke dalam maritim sewaktu diserang oleh Sika Sure Jelantik. Dia menginginkan Kalung Permata Kejora itu….”
“Kurasa benda itu belum ada di tangannya….”
“Benar , otakmu cerdik juga. Setiap kali hendak membunuhku ia selalu menanyakan di mana beradanya kalung itu. Aku khawatir kalau-kalau benda itu jatuh ke tangan orang lain….”
“Apa Sabai Nan Rancak tahu kalau kalung itu berada padamu?” tanya murid Sinto Gendeng.
“Aku pernah menyampaikan padanya tapi tidak memberi tahu di mana beradanya karena memang saya sendiri tidak tahu benda itu hilang entah di mana….”
“Kalau begitu besar kemungkinan kalung itu masih berada di dasar maritim tempat kau diserang oleh Sika Sure Jelantik. Atau barangkali juga berada di tangan anak buah Ratu Duyung….”
Tua Gila jambak-jambak rambut putihnya yang tipis. “Aku tidak yakin Ratu Duyung mengambil benda itu sewaktu saya pingsan di tengah laut. Kalau ia menemukan pasti akan dikembalikan padaku. Lagi pula waktu saya meninggalkan tempat kediamannya saya tidak bertemu dengan dia. Menurut anak buahnya Ratu Duyung tengah berada di satu tempat untuk satu urusan penting…. Kapan terakhir sekali kau bertemu dengan dia?”
Wiro coba mengingat. “Waktu itu saya sedang bersama Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung tiba-tiba muncul. Agaknya ia merasa tidak lezat atau cemburu melihat saya berdua-duaan dengan Bidadari Angin Timur kemudian pergi begitu saja tanpa sempat membicarakan apa-apa. Bidadari Angin Timur sendiri kemudian pergi pula tanpa setahuku. Agaknya ia juga menanam rasa cemburu besar terhadap Ratu Duyung.”
Tua Gila tertawa terkekeh dan goleng-golengkan kepalanya berulang kali.
“Kek , apa yang lucu? Ada apa kau ketawa?”
“Aku wajib mengingatkan dirimu , anak muda! Kau tahu akhir ulahku di masa muda , terlalu banyak punya kekasih di hari renta begini semua mereka itu menjadi musuhku! Ingin membunuhku! Aku tidak ingin hal mirip itu terjadi atas dirimu!”
“Aku memang banyak kenalan gadis-gadis elok Kek. Tapi mereka semua ialah teman-teman biasa , mungkin kuanggap sebagai saudara. Soal kekasih yang saya suka cuma seorang. Yaitu Bidadari Angin Timur….”
Tua Gila kembali tertawa. “Sifat cowok dan pemudi kalau sering berdekatan , walau tadinya tidak ada kekerabatan apa-apa bisa saja terjadi sesuatu. Kau tahu , anak muda. Kalau di satu tempat contohnya kau hanya berdua saja dengan seekor kambing. Lama-lama kambing itu bisa saja kau lihat elok juga , mirip cantiknya seorang gadis! Hik… hik… hik! Apa lagi seorang gadis sungguhan walau tadinya kau tidak menyukainya. Makara hati-hati anak muda! Jangan hingga nanti ada yang bilang gurunya kencing berdiri muridnya kencing menungging! Ha… ha… ha…!”
Tua Gila usap dua matanya yang lebar dan berair. Dia memandang ke langit.
“Matahari sudah tinggi. Cukup usang kita meninggalkan nenek itu….”
“Kalau begitu kita segera saja kembali ke goa ,” kata Wiro.
“Ya , tapi masih ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu….”
“Apa lagi Kek?” tanya Wiro kurang sabaran.
“Belakangan ini ada kabar yang meriwayatkan adanya satu makam disebut Makam Setan di sebuah pulau di pantai barat Andalas…. Aku jadi ingat pada insiden yang kita alami beberapa waktu lalu. Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bangsat yang menjerumuskan kita ke dalam makam batu! Mungkinkah ia masih hidup?”
“Apa yang membuatmu berpikiran mirip itu Kek?” tanya Wiro.
“Di pantai barat pulau Andalas ramai dibicarakan orang perihal sebuah kuburan yang diberi nama Makam Setan. Kalau ternyata makam ini ada sangkut pautnya dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit….”
“Mengapa setan renta itu masih kau pikirkan Kek? Dia sudah usang jadi jerangkong di liang kerikil itu!” kata Wiro pula. “Baiknya kita segera kembali ke goa Kek.”
Tua Gila mengangguk.
Ketika mereka hingga di goa di kaki bukit , Sika Sure Jelantik tak ada lagi di tempat itu.
“Apa yang terjadi?” ujar Tua Gila sambil memandang berkeliling.
“Jangan-jangan nenek itu kabur melarikan diri ,” ujar Wiro.
“Tidak mungkin. Kakinya masih cidera. Lagi pula ia masih dalam keadaan tertotok ketika kita tinggalkan. Sesuatu telah terjadi. Ada orang yang menculiknya! Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik keadaan sekitar sini.”
Tak usang kemudian Tua Gila muncul kembali. “Tak ada gejala ke mana lenyapnya nenek itu.”
Wiro menunjuk ke tanah di depan lisan goa. “Ada bekas-bekas telapakan kaki. Lebih dari dua orang.”
“Kau betul , saya bisa membedakan jejak mereka dengan bekas kaki kita! Bagaimana sekarang…?”
“Aku harus mencarinya ,” jawab Tua Gila.
“Kau bermaksud mencari nenek itu? Buat apa mempersusah diri? Padahal ia benci setengah mati padamu!”
“Soal kebencian itu tidak ada hubungannya dengan kelenyapannya! Aku harus menyelidik , Wiro.”
“Nenek brengsek itu hendak membunuhmu! Mengapa kini kau mengkhawatirkan dirinya? Ingat urusan di masa muda? Kalau kau berpikir hingga ke situ , ia benar-benar akan membuatmu celaka! Heran…. Nenek buruk begitu saja masih ada yang mau menculik….”
“Jaga mulutmu anak muda!” hardik Tua Gila dengan berang. “Terserah kau mau bilang apa. Bagaimana pun saya harus mencarinya….”
“Jangan harap sekali ini saya mau ikut denganmu Kek ,” kata Wiro.
Tua Gila tampak cemberut/Dengan ketus ia menjawab. “Aku juga tidak mengajakmu!” Tua Gila siap berkelebat pergi.
“Tunggui” seru Wiro.
“Anak setan! Apa lagi maumu?!” hardik Tua Gila. Bola matanya mirip mau keluar dari rongganya yang cekung.
Wiro menunjuk ke batang pohon besar di belakang Tua Gila. “Lihat! Ada guratan goresan pena di batang pohon itu!”
,”Kau bergurau atau hendak menipuku anak muda?!”
“Siapa bergurau! Siapa menipu! Lihat dan baca sendiri!” ujar Wiro setengah kesal. Lalu melangkah melewati si orang renta mendekati pohon besar.
Tua Gila putar tubuhnya. Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang bukan senda gurau. Pada batang pohon yang kulitnya terkelupas ada sebaris goresan pena berbunyi: “Jika ingin mencari Sika Sure Jelantik silahkan tiba ke Lembah Akhirat!”
“Jahanam!” rutuk Tua Gila.
“Nenek itu agaknya diculik oleh orang-orang Lembah Akhirat Kek!” kata Wiro dengan bunyi bergetar.
“Pasti! Aku memang akan menuju ke sana! Kalau hingga terjadi apa-apa dengan Sika akan saya ratakan seluruh Lembah Akhirat!”
“Kek , jangan terlalu bersemangat menolong bekas kekasihmu itu….”
“Tutup mulutmu! Diam!” hardik Tua Gila.
Wiro garuk-garuk kepala. Bagaimana saya harus memberitahu monyet yang jauh lebih renta dariku ini!” katanya dalam hati. “Kalau kau tidak memperbolehkan saya bicara terserah saja! Mulutku jadi tidak pegal karena tak perlu banyak bicara! Tapi kalau semua ini hanya tipuan belaka , kau akan celaka tiga belas Kek. Aku khawatir orang-orang Lembah Akhirat menjebakmu dengan sengaja menculik nenek itu. Kalaupun kau sanggup membebaskan Sika Sure Jelantik kemudian apa untungmu? Apa bekerjsama maumu menyelamatkan orang yang jelas-jelas telah mencoba membunuhmu hingga beberapa kali!”
“Sudah! Kau urus urusanmu. Aku urus urusanku!” Habis berkata begitu Tua Gila lantas berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Dasar orang renta gila!” gerutu Wiro sendirian.
TUJUH
APA bekerjsama yang telah terjadi dengan Sika Sure Jelantik? Hanya sesaat sesudah Tua Gila dan Wiro hingga di tepi mata air tempat mereka berbincang-bincang tiba-tiba muncul tiga orang bertampang dan berpakaian absurd di depan goa. Dua orang mengenakan jubah merah , mempunyai wajah dan rambut berwarna merah mirip dicat. Masing-masing memegang sebatang tongkat yang penggalan tengahnya ditancapi sebuah tengkorak kepala manusia.Orang ke tiga ialah yang paling angker di antara manusia-manusia absurd ini. Dia mengenakan jubah gombrong warna merah. Wajahnya tanpa alis , berwarna merah dan hidungnya ditancapi sepotong tulang manusia. Di atas kepalanya bertengger rambut merah pekat , keriting kecil dan lebat berbentuk batok kelapa.
Dari ciri-ciri ke tiga orang itu terang sudah bahwa mereka ialah orang-orang dari Lembah Akhirat. Yang berpakaian gombrong dikenal dengan julukan Pengiring Mayat Muka Merah , salah satu dari tiga tangan kanan pembantu Datuk Lembah Akhirat.
“Kita sudah terlalu usang meninggalkan Lembah Akhirat! Kalau hari ini tidak berhasil mencari tahu di mana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau , kita harus segera kembali!” Berkata Pengiring Mayat Muka Merah sambil memandang ke arah goa. Setelah memperhatikan tanah di depan goa ia melanjutkan. “Ada bekas-bekas kaki walaupun tersamar. Cepat kalian menyelidik ke dalam goa!”
Dua lelaki bermuka merah yang memegang tombak berkepala tengkorak serta meria menyelinap masuk ke dalam goa. Sesaat kemudian salah seorang di antara mereka keluar lagi dan memberi tahu.
“Ada seorang nenek bertampang angker tergeletak di lantai goa. Dua kakinya dalam keadaan cidera. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak….”
“Sudah mampus atau masih hidup?!” sentak Pengiring Mayat Muka Merah.
“Masih hidup. Pasti masih hidup karena ada hembusan nafas keluar dari hidungnya dan erangan halus dari mulutnya.”
Pengiring Mayat Muka Merah mendorong anak buahnya ke samping kemudian melompat masuk ke dalam goa. Seperti yang diterangkan tadi di lantai goa tampak terbujur seorang nenek berjubah hitam. Sepasang kakinya dilumuri ampas berwarna hijau dan diikat dengan beberapa ranting kayu. Dua mata si nenek yang tertutup perlahan-lahan membuka. Lalu mulutnya menghardik.
“Siapa kalian? Setan atau masih bisa disebut manusia?!”
Dua anak buah Pengiring Mayat Muka Merah tersurut saking kagetnya disentak demikian. Pengiring Mayat Muka Merah tampak tenang. Dia memperhatikan tampang si nenek dengan seksama kemudian menyeringai.
“Nenek sakti Sika Sure Jelantik! Sungguh peruntungan kami besar sekali hari ini. Tidak menyangka akan bertemu dengan seorang tokoh besar sepertimu!”
“Kau kenal diriku! Huh! Kau sendiri siapa?!” Sika Sure Jelantik kerutkan kening dan pelototkan mata.
“Kami orang-orang Lembah Akhirat. Aku Pengiring Mayat Muka Merah , pembantu kepercayaan Datuk Lembah Akhirat!”
Tampang si nenek sesaat berubah. “Mereka bukan orang baik-baik. Aku sudah menyirap kabar orang-orang Lembah Akhirat jahat dan busuk. Penuh tipu muslihat dan kejam luar biasa!”
“Aku tidak suka melihat tampang-tampang kalian! Lekas keluar dari dalam goa ini!”
“Kau tidak suka kami tidak jadi apa. Tapi kami justru suka dirimu!” jawab Pengiring Mayat Muka Merah. “Kulihat dua kakimu cidera. Agaknya ada tulang yang patah , ijinkan kami menolongmu.”
“Aku tidak butuh pertolonganmu! Keluar!”
“Kami akan keluar bila itu maumu. Tapi saya merasa kasihan. Kau agaknya merasa tidak perlu ditolong dikarenakan telah ada yang menolong.. Bukan begitu?”
“Apa urusanmu!”
“Kami memang tidak ada urusan. Tapi ada satu hai yang perlu saya beri tahu padamu ,” kata Pengiring Mayat Muka Merah. “Siapapun yang kau anggap telah menolong mengobati cidera pada kedua kakimu bekerjsama orangnya telah menipu dirimu. Dia bekerjsama bermaksud jahat dan keji!”
“Jangan bicara ngacok!”
“Pertama , kalau orang hendak menolong , mengapa tubuhmu dalam keadaan tertotok?! Kedua obat yang digunakan melumuri dua kakimu yang cidera ialah ramuan tumbuk berasal dari dedaunan beracun!”
Sepasang mata Sika Sure Jelantik kembali mendelik. “Kau mau menipuku!”
“Apa untungnya saya menipumu? Dengar , dalam waktu dua hari ke dua kakimu akan mulai membusuk akhir racun jahat. Racun kemudian akan menjalar ke sekujur tubuhmu. Kalau jantungmu tak hingga berhenti berdetak dan kau masih bisa bertahan hidup maka anggota badanmu akan lumpuh dan kedua matamu akan buta!”
Paras Sika Sure Jelantik semakin berubah.
“Jika kau tidak mau kami tolong , maka tidak ada gunanya kami berlama-lama di sini. Selamat tinggal nenek yang malang….”
Sika Sure Jelantik memandang berkeliling.
“Kau mencari orang yang katamu telah menolongmu?” ujar Pengiring Mayat Muka Merah. “Dia pasti sudah usang meninggalkan kau di sini. Membiarkan dirimu menderita sengsara dan menemui kematian secara perlahan-lahan….” Habis berkata begitu Pengiring Mayat Muka Merah memberi isyarat pada ke dua anak buahnya. Mereka kemudian sama bergerak menuju lisan goa.
“Tunggu!” seru Sika Sure Jelantik.
“Hemm…. Ada sesuatu yang hendak kau katakan Nek?” tanya Pengiring Mayat Muka Merah.
“Kau tadi menyampaikan hendak menolongku…”
“Benar!”
“Bagaimana caranya?”
“Kami mempunyai sejenis obat yang ampuh. Kau bisa sembuh dalam waktu satu hari satu malam….” “Kalau begitu lakukanlah. Mana obat itu!”
Pengiring Mayat Muka Merah melangkah mendekati sosok Sika Sure Jelantik. “Obat itu tidak kami bawa dikala ini. Obat itu tersimpan di Lembah Akhirat. Kami akan membawamu ke sana bila kau memang suka ditolong!”
“Jahanam! Bangsat bermuka merah ini jangan-jangan memang hendak menipuku!” membatin Sika Sure Jelantik.
Pengiring Mayat Muka Merah letakkan telapak tangan kirinya di atas kening si nenek kemudian berkata. “Tubuhmu agak panas. Pertanda racun jahat dari tumbukan dedaunan itu mulai bekerja. Waktumu sangat terbatas. Perjalanan ke Lembah Akhirat tidak dekat. Jika kita berangkat kini , lusa pagi gres sampai. Kurasa nyawamu masih bisa tertolong….”
Sika Sure Jelantik memandang melotot ke langit-langit goa. Dari mulutnya terdengar kutuk serapah walaupun perlahan. “Tua Gila keparat! Kau benar-benar jahanam!”
“Ah , jadi itukah orangnya yang telah mencelakaimu Nek?” ujar Pengiring Mayat Muka Merah dengan seringai penuh arti. “Kau tak usah khawatir! Kalau kau sudah sembuh Datuk Lembah Akhirat pasti akan menolongmu mencari jalan biar kau bisa membalas dendam….”
“Dari dulu-dulu saya memang sudah punya niat untuk membunuhnya! Tapi belum kesampaian…!” kata Sika Sure Jelantik pula yang terang sudah terpengaruh oleh kata-kata bujukan orang.
“Maksudmu akan kesampaian. Selain itu siapa tahu kau berjodoh dengan Kitab Wasiat Malaikat….”
“Apa betul kitab sakti itu benar-benar ada?” tanya si nenek yang semakin terpikat
“Tentu saja ada. Datuk Lembah Akhirat yang memegangnya. Dia akan memperlihatkan pada seseorang yang dianggapnya cocok. Siapa tahu Datuk Lembah Akhirat suka dan memperlihatkan kitab itu padamu. Datuk sangat menghormat dan menyukai orang renta secantikmu ini….”
Sika Sure Jelantik tersenyum mendengar ucapan terakhir Pengiring Mayat Muka Merah itu. Maka ia pun berkata. “Baik , kalian boleh membawa saya ke Lembah Akhirat!”
“Kau melaksanakan keputusan yang sempurna Nek!” ujar Pengiring Mayat Muka Merah. Lalu pembantu Datuk Lembah Akhirat ini memberi isyarat pada dua anak buahnya. Ke dua orang itu segera menggotong sosok Sure Jelantik dan membawanya ke luar goa.
Sebelum meninggalkan tempat itu dengan jari-jari tangannya Pengiring Mayat Muka Merah mengupas permukaan kulit pada batang pohon besar. Lalu dengan sepotong patahan ranting ia menggurat permukaan batang pohon , menuliskan sebaris kalimat.
*
* *
* *
DELAPAN
SUTAN Alam Rajo Di Bumi menatap wajah Sabai Nan Rancak beberapa dikala kemudian berkata. “Aku besar hati dengan kemunculanmu yang tiba-tiba ini Sabai. Selama kau pergi banyak terjadi hal-hal yang menghebohkan dalam rimba persilatan pulau Andalas. Beberapa tokoh golongan putih dibunuh. Para pembunuh walau sulit dijajagi siapa adanya tapi saya berhasil mencari tahu. Kebanyakan sesudah membunuh mereka menghilang ke tanah Jawa. Seperti dara berjulukan Anggini , murid Dewa Tuak. Dia kabur sesudah diketahui membunuh Datuk Mangkuto Kamang. Agaknya ada orang-orang tertentu yang dikirim ke sini untuk mengacau….”“Aku kembali membawa kabar buruk ,” berkata Sabai Nan Rancak dengan bunyi agak tersendat. Waktu bicara ia memandang ke jurusan lain seolah tidak berani menatap wajah orang di hadapannya.
Sutan Alam Rajo Di Bumi tersenyum. “Kabar apapun yang kau bawa bagiku tidak menjadi problem Sabai. Aku besar hati melihat kau kembali. Apakah selama ini kau ada merasa rindu padaku Sabai?”
“Bagaimana dengan dirimu sendiri. Apakah kau merindui diriku?” balik bertanya Sabai Nan Rancak. Kali ini ia bertanya dengan menundukkan kepala.
“Kau tahu bagaimana hatiku padamu. Rasanya ingin saya balikkan langit. Ingin kutarik matahari biar siang berganti malam dan malam cepat berganti siang. Agar saya segera sanggup bertemu denganmu….”
“Sutan….”
“Ah , kau lagi-lagi memanggilku dengan sebutan itu. Sudah berapa kali saya menyampaikan , bila kita berdua-dua mirip ini kau harus memanggilku dengan nama asliku!”
Sabai Nan Rancak tersenyum. “Suto , Suto Abang….” kata si nenek akhirnya menyebut nama orisinil Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Aku khawatir , kerinduanmu akan berkembang menjadi kemarahan sesudah tahu kegagalan apa yang kubawa pulang ke Singgalang ini.”
“Kau boleh membawa seribu kegagalan Sabai. Hatiku tidak akan berubah…. Kau tahu Bagaimana saya mengasihimu. Aku membutuhkan dirimu. Kau membutuhkan diriku…. Kita orang-orang yang patah hati diterjang cinta dan bertemu dalam satu perasaan…” Sutan Alam alias Suto Abang membisu sesaat. Diulurkannya tangannya memegang jari-jari si nenek. “Aku sudah menyampaikan isi hatiku. Apalagi yang kau khawatirkan Sabai?”
“Terus terang saya menaruh khawatir kalau lama-lama kekerabatan kita ini diketahui orang luar….”
Lelaki renta bertubuh tinggi besar itu bangun dari dingklik kerikil yang didudukinya. “Selama kita sama-sama memegang rahasia rasanya tak ada yang perlu ditakutkan. Manusia hidup bercinta ialah hal yang lumrah saja. Mengapa kita harus dikecualikan?”
“Aku masih punya satu kekhawatiran lain Suto ,” kata Sabai Nan Rancak pula.
“Hemm…. Katakan saja padaku….” ujar Sutan Alam sambil membelai wajah si nenek dengan jari-jari tangannya.
“Aku khawatir kalau-kalau Sinto Weni….”
“Jangan kau sebut nama itu! Dalam sisa hidupku ini saya tidak ingin lagi mendengar nama Sinto Weni atau Sinto Gendeng!”
“Tapi bagaimanapun dulu dia….”
“Dia wanita pengkhianat. Ketika Sukat Tandika meninggalkannya mentah-mentah ia melarikan cintanya padaku. Namun kemudian ia tergila-gila dengan kakakku sendiri! Hingga saya akhirnya disingkirkan secara halus , dilempar ke pulau Andalas ini!”
“Kau salah Suto. Tidak ada yang menyingkirkan atau melemparkanmu ke sini. Aku sering mendengar tuduhanmu terhadap Sinto Gendeng….”
“Aku bilang jangan sebut nama itu!” teriak Sutan Alam dengan bunyi menggeledek dan dua tangan terkepal kencang. Tampangnya membesi mengerikan. Saking tak dapatnya ia menahan luapan amarah. Kakek ini tiba-tiba balikkan tubuh dan hantamkan tangan kanannya ke dinding goa.
Tanpa bunyi , tanpa bunyi , tanpa siuran angin tangan kanannya hingga sebatas pergelangan amblas masuk ke dalam kerikil goa yang keras. Ketika perlahan-lahan tangan itu ditarik kerikil di sekitarnya ikut terbongkar dan di dinding goa kini kelihatan satu lobang besar!
“Pukulan Malaikat Maui Mendera Bumi itu membuat saya ngeri Suto…” kata Sabai Nan Rancak. “Maafkan kalau saya telah membuatmu marah. Aku tidak bermaksud….” Sabai terdiam sesaat. “Namun kalau saya masih boleh bicara , saya tidak yakin ia bergila-gila dengan kakakmu Suto. Aku dengar wanita itu keras hati. Mungkin kau hanya korban fitnah. Mungkin juga wanita yang kau benci itu mengarang kemudian menyebar dongeng dusta. Yang terang ada sesuatu yang hingga dikala ini belum sanggup kau singkapkan. Lain dari itu kau tidak pernah menceritakan siapa dan dimana adanya kakakmu itu. Kau seolah satu insan terdiri dari dua sisi saling berbeda. Sisi pertama kau begitu terus terang padaku. Namun pada sisi kedua tampaknya kau menyembunyikan sesuatu padaku….”
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa lebar. “Kau pandai bicara , itu yang membuat salah satu alasanku menyayangi dirimu. Namun dengar Sabai. Aku tidak ingin membicarakan masa silam. Lebih baik kau yang menceritakan pengalamanmu di tanah Jawa ,” kata Sutan Alam mengalihkan pembicaraan.
Lama Sabai Nan Rancak terdiam. Lalu dengan bunyi perlahan sambil memegang jari-jari tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi nenek berjubah hitam itu berkata. “Kabar buruk pertama yang bisa kuceritakan ialah tewasnya sahabat kita Datuk Angek Garang….”
“Kabar itu memang sempat kudengar dari seorang nelayan jasus kita belum usang berselang. Hanya saja belum diketahui siapa si pembunuh adanya…” ujar Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Aku menduga keras pelakunya ialah seorang kakek absurd yang dijuluki Kakek Segala Tahu….”
“Hemmm….” Sutan Alam usap-usap muka tuanya yang masih klimis. “Manusia satu itu memang bukan orang sembarangan. Kehebatannya bisa disejajarkan dengan para tokoh langka mirip Dewa Tuak , si keparat Sinto Gendeng dan Tua Gila sendiri. Malah boleh dikata kakek Segala Tahu mempunyai kehebatan tertentu yang tidak dimiliki tokoh lainnya. Jika memang ia yang membunuh Datuk Angek Garang , kita harus melaksanakan sesuatu biar diantara sesama golongan putih tidak merebak silang sengketa berkepanjangan. Berita apa lagi yang kau bawa dari tanah Jawa?”
“Sementara itu orang-orang Lembah Akhirat semakin sering meninggalkan markas mereka untuk melaksanakan hal-hal yang mereka katakan sebagai menyelamatkan golongan putih dari peristiwa bentrokan satu sama lain….”
“Apakah kau juga menyirap kabar mengenai Kitab Wasiat Malaikat?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Kitab itu memang telah menjadi pembicaraan para tokoh rimba persilatan. Banyak di antara mereka yang mendatangi Lembah Akhirat. Namun kabar lebih lanjut tidak diketahui. Mereka yang masuk ke Lembah Akhirat tak pernah keluar lagi. Kalaupun kembali muncul di luaran tampaknya mereka membekal satu tugas.”
“Orang-orang Lembah Akhirat memang aneh. Mereka bukan orang jahat , tapi juga sukar dikatakan orang-orang baik. Kau harus berhati-hati terhadap mereka Sabai. Kabarnya sudah ada satu dua kaki tangan Datuk Lembah Akhirat berkeliaran di pulau Andalas ini. Aku ingin melaksanakan penyelidikan apa bekerjsama yang ada di Lembah Akhirat yang kabarnya begitu menggegerkan. Namun kau tahu waktuku sangat terbatas. Usiaku sudah begini lanjut. Lagi pula saya merasa sudah saatnya mulai menjauhi segala macam urusan dunia.”
“Kalau kau mempercayai , saya sanggup mewakili. Namun tanpa komplemen ilmu pengetahuan atau kesaktian agaknya sulit sekali bagiku untuk kembali ke Tanah Jawa.”
“Jangan terlalu berputus asa Sabai. Adakah satu kejadian yang membuatmu kini merasa takut kembali ke Jawa?”
“Bukan rasa takut Suto. Tapi rasa was-was…” Jawab Sabai Nan Rancak.
Sutan Alam Rajo Di Bumi tersenyum. Kepalanya didekatkan ke muka si nenek untuk mencium pipi , leher dan kuduknya hingga Sabai Nan Rancak menggeliat dan keluarkan bunyi mendesah.
“Rasa was-was ialah permulaan dari rasa takut. Ceritakan terus terang apa yang kau alami dan menimbulkan kau mempunyai perasaan mirip . itu…” kata Sutan Alam setengah berbisik ke pendengaran Sabai Nan Rancak.
Si nenek yang terangsang oleh ciuman Sutan Alam lebih dulu berusaha menindih gejolak darahnya gres berikan keterangan.
“Dua kali saya hampir sanggup menghabisi Tua Gila. Namun dua kali ia diselamatkan oleh seorang wanita absurd berkepandaian tinggi mengenakan pakaian dan epilog wajah warna kuning. Yang membuat saya benar-benar merasa terpukul , ia sanggup menahan pukulan Kipas Neraka dan mendorong hawa sakti yang kumiliki masuk kembali ke dalam ke dua tanganku. Aku tidak malu menyampaikan bahwa bila orang itu mau ia bisa membuatku celaka waktu menghantam balik seranganku!”
“Jadi kau tidak mengalami cidera ketika orang itu menghantam balik pukulan saktimu?” tanya Sutan Alam dengan kening berkerut.
“Untungnya tidak ,” jawab Sabai Nan Rancak.
“Lalu apa yang terjadi dengan tangan kananmu. Kulihat ada gejala kulit dan daging tangan kananmu mengelupas!”
“Cidera ini terjadi dalam bentrokan ke dua. Aku berusaha menghantam kepalanya. Agar bisa membunuhnya dengan cepat. Orang bercadar menangkis dan inilah akibatnya!”
“Hemmmm….” Sutan Alam bergumam. “Kita harus mencari tahu siapa adanya orang itu. Kalau tidak pasti ancaman yang lebih besar akan menimpa dunia persilatan. Orang-orang golongan putih agaknya sudah terpecah-pecah oleh hasut dan fitnah. Kau tak usah khawatir. Aku akan mengobati lukamu itu.” Sekarang apakah masih ada hal lain yang hendak kau sampaikan?”
“Ada satu tokoh gres muncul yang mempunyai kepandaian setara Tua Gila. Orang ini memperkenalkan diri dengan julukan Iblis Pemalu! Walau ia kelihatan berpihak pada kelompok Tua Gila namun sulit diduga apakah ia benar-benar seorang tokoh golongan putih….”
“Tanah Jawa semakin dipenuhi tokoh-tokoh absurd berkepandaian tinggi. Kita harus melaksanakan sesuatu Sabai. Kau memang perlu mendapat komplemen ilmu baru. Di samping itu kita harus bertindak menggunakan siasat. Hanya sayang saya tidak sanggup memperlihatkan ilmu kepandaian apa-apa padamu. Seperti kau ketahui saya disumpah untuk tidak menurunkan ilmu kepandaian apapun pada siapapun….”
“Termasuk ilmu Pukulan Malaikat Mendera Bumi tadi?”
Si kakek maklum kalau semenjak usang Sabai Nan Rancak sangat menginginkan mempunyai ilmu pukulan sakti itu. Perlahan-lahan ia anggukkan kepalanya kemudian bertanya mengalihkan pembicaraan.
, “Apakah kau pernah mendengar dongeng perihal sebuah makam yang disebut Makam Setan? Terletak di sebuah pulau sunyi dan angker serta rahasia di pesisir barat Andalas?”
“Dulu kau juga pernah menerangkan. Aku hanya tahu sedikit dan memang pernah berencana untuk menyelidik. Namun karena hasrat ingin mengejar Tua Gila planning menyelidik Makam Setan itu jadi tertunda….”
“Aku akan mengobati cidera di tanganmu itu. Lalu memberi tahu apa yang saya tahu mengenai Makam Setan. Mungkin itu satu keinginan besar bagimu sebelum kembali ke tanah Jawa. Aku sangat yakin makam itu menyimpan sesuatu yang hebat. Jika kita bisa menguasai makam berarti kita akan menguasai rimba persilatan pulau Andalas. Dan lebih dari itu tanah Jawa akan berada dalam genggaman kita. Semua urusan itu kupercayakan padamu Sabai.”
“Aku berterima kasih atas petunjuk dan kepercayaanmu Suto. Apa benar kabar yang saya sirap bahwa makam itu ada sangkut pautnya dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Seorang tokoh paling hebat di pulau Andalas ini yang lenyap begitu saja semenjak beberapa waktu lalu?”
“Justru itulah yang harus kau selidiki. Namun saya memang menduga keras makam itu ada hubungannya dengan diri Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku beritahukan padamu bahwa tokoh tersebut mempunyai dua senjata sakti yang sulit dicari tandingannya. Pertama sebuah Mantel Sakti. Mantel ini mengandung satu kekuatan dahsyat yang bila dihantamkan bisa menumbangkan pohon besar , menghancurkan batu. Jika seseorang hingga kena angin pukulan mantel tubuhnya akan mental dalam keadaan hancur. Kalaupun ia bisa bertahan hidup maka jalan darahnya akan tertutup , urat-urat dalam tubuhnya akan hancur!”
“Luar biasa! Belum pernah saya mendengar senjata sehebat itu!” kata Sabai Nan Rancak.”
“Senjatanya yang ke dua. Berupa butir-butir Mutiara Setan. Senjata ini sanggup menembus tembok atau batu. Dapat kau bayangkan bagaimana kalau digunakan menghantam manusia! Nah Sabai , bila kau bisa menyidik hal ihwal Datuk Tinggi dan mencari jalan mendapatkan dua senjata itu apapun urusanmu di tanah Jawa , siapa pun musuhmu kau tak usah was-was lagi. Semua akan beres! Namun ada satu hal perlu kukatakan padamu. Jika kau mendapatkan dua senjata itu atau salah satu dari keduanya , kau harus menemuiku terlebih dahulu. Kita perlu mengatur siasat…. Bagaimana menurutmu. Ada yang hendak kau katakan Sabai?”
Sabai Nan Rancak gelengkan kepala. “Semua keteranganmu sudah terang bagiku Suto.”
“Bagus! Sekarang lupakan semua urusan dunia. Kau butuh istirahat. Aku akan menemanimu. Kau suka Sabai…?”
“Sebentar Suto. Tadi kau bilang selanjutnya kita harus bertindak menggunakan siasat. Apa yang ada dalam otakmu yang penuh nalar itu Suto?”
“Aku mendengar Pendekar 212 Wiro Sableng anak murid si keparat Sinto Gendeng dan juga murid Tua Gila berada dalam malapetaka besar , kehilangan ilmu kepandaian dan kesaktian. Kalau kau nanti kembali ke Jawa yang harus kau cari lebih dulu bukannya Tua Gila tapi Pendekar 212. Bunuh cowok itu , maka Tua Gila ataupun Sinto Gendeng pasti akan keluar dari sarang mereka. Saat itulah kau bisa menghabisi mereka!”
“Tujuanku semula hanya membunuh Tua Gila. Mengapa kini kau tambahkan dengan membunuh Sinto Gendeng?” bertanya Sabai Nan Rancak.
“Keadaan bisa berubah. Setiap perubahan bisa mendatangkan laba bagi kita bila kita mau memutar otak!”
Sabai Nan Rancak anggukkan kepala. “Kau memang pandai Suto…. Dan licik!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa bergelak. “Jika kita ingin menghadapi kehidupan , pergunakan otak , pergunakan kelicikan. Kalau tidak orang lain akan mengotaki dan melicikkan diri kita. Kita harus kokoh tegar mirip banteng ketaton tapi juga harus licik mirip seekor ular!”
Sutan Alam melangkah ke arah dinding goa. Tiga langkah di depan dinding tiba-tiba terdengar bunyi berkereketan. Dinding kerikil menggeser aneh. Sutan Alam tersenyum dan anggukkan kepala memberi isyarat pada Sabai Nan Rancak kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan batu.
Sabai Nan Rancak mengikuti dengan cepat. Sebelum kerikil kembali bergeser menutup masih kelihatan sepasang , kakek dan nenek itu saling berpeluk berpagut-pagutan.
*
* *
* *
SEMBILAN
DALAM gelapnya malam dan dinginnya udara menjelang pagi serta gencarnya deru angin yang bergabung dengan deru ombak , lelaki muda pemilik pukat merapatkan perahunya itu ke lamping gundukan kerikil karang. “Nek , saya hanya bisa mengantarkanmu hingga di sini.” Si pemilik bahtera berucap.
Sabai Nan Rancak pelototkan mata kemudian memandang ke depan , ke arah formasi kerikil karang yang berbaris seolah membentengi pulau kecil di kejauhan sana.
“Tujuanku ialah pulau di balik kerikil karang itu. Kurang asuh sekali kau berani menurunkan saya masih di tengah maritim begini rupa!”
“Nek , pulau yang kau tuju hanya tinggal dekat. Air maritim di tempat ini tidak dalam , hanya sebatas pinggul. Kau bisa turun dari bahtera dan menuju ke pulau dengan mudah. Jika kau tak mau pakaian mu berair , kau bisa melompat dari satu kerikil karang ke kerikil karang rendah yang membujur hingga ke pulau sana….”
“Kau benar-benar kurang ajar! Berani mengajariku! Aku tidak akan membayar sewa perahumu!”
“Jangan Nek! Jangan lakukan itu! Aku sudah menyabung nyawa mau mengantarmu ke sini!” kata pemilik bahtera setengah meratap.
“Katakan mengapa kau tidak mau membawa saya hingga ke pulau sana?”
“Sudah kubilang berulang kali. Itu pulau setan.
Ada seribu keangkeran di sana. Berani ke sana jangan mengharap bisa kembali hidup-hidup….”
“Memangnya di pulau itu ada apa?!” tanya Sabai Nan Rancak lagi.
“Jawabnya hanya satu kata Nek. Maut!”
Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh.
Mendadak di kejauhan dari arah pulau lapat-lapat terdengar bunyi aneh.
“Seperti bunyi lolongan anjing…” desis Sabai Nan Rancak.
“Kurasa itu gres satu saja dari kecacatan yang menyeramkan. Aku minta bayaranku kini juga Nek….”
“Hemmm….” Sabai Nan Rancak bergumam. Dari batik jubah hitamnya dikeluarkannya sesuatu kemudian diberikannya pada pemilik perahu.
Yang diberikan bukan uang tapi sepotong kecil perak. Semula lelaki itu hendak mengembalikan perak ini pada Sabai. Tapi sesudah menilai akhirnya ia berkata. “Masih kurang Nek. Paling tidak kau harus memperlihatkan tiga keping perak sebesar ini….”
“Kalau kau mau menunggu hingga saya kembali , saya akan berikan kau sepuluh keping perak sebesar itu! Apa jawabmu?!”
“Menunggu di sini , tidak mendarat ke pulau sana?”
Sabai mengukur jarak antara bahtera di mana ia berada , memperhatikan letak batu-batu karang rendah yang bersusun ke arah pulau kemudian anggukkan kepala.
“Berapa usang saya harus menunggu Nek? Aku khawatir….”
“Apa yang kau khawatirkan?!” sentak Sabai Nan Rancak.
“Aku menunggu ternyata kau tidak pernah kembali…”
“Maksudmu saya menemui kematian di pulau setan itu?!”
“Ki… kira… kira begitu Nek.”
Sabai Nah Rancak tertawa bergelak. “Aku memang tidak punya nyawa rangkap. Tapi saya pasti kembali! Tunggu di sini dan jangan berani menipu!” Dari balik jubahnya si nenek keluarkan segulung tali. Dia membuat semacam buhul besar. Buhul ini dilemparkannya hingga masuk dan menjirat di ujung lancip kerikil karang di samping perahu. Ujung satunya lagi diikatkan ke tiang besar perahu. Lalu ia berpaling pada pemilik bahtera dan sambil menyeringai berkata. “Tali ini bukan tali biasa. Buhul dan ikatannya bukan ikatan biasa. Tak ada yang bisa melepaskah. Jangan harap kau bisa memutus tali dengan senjata tajam atau aben dengan api! Berarti kau tetap di sini hingga saya kembali! Hik… hik… hik!”
Masih tertawa panjang Sabai Nah Rancak lesatkan tubuhnya ke kerikil karang datar yang tersembul di depan perahu. Dari sini ia melompat lagi ke kerikil karang di depannya. Demikian beberapa kali hingga akhirnya ia mencapai pasir pantai pulau di balik barisan batu-batu karang meruncing tinggi.
“Hebat!” kata pemilik bahtera dalam hati yang memperhatikan kepergian si nenek. “Nenek itu pasti sebangsa setan juga. Kalau tidak mengapa ia berani pergi ke Pulau Setan itu!”
Di pasir pantai pulau sesaat Sabai Nan Rancak tegak tak bergerak. Empat rongsokan bahtera yang hanya tinggal kepingan-kepingan papan lapuk bergeletakan di atas pasir pantai pulau. Sabai pasang telinganya baik-baik. Sepasang matanya memandang menembus kegelapan. Dia tidak melihat sesuatu yang bergerak namun ia sanggup mendengar bunyi absurd dari arah timur pulau. Suara itu ialah bunyi orang mendesah panjang yang sesekali berkembang menjadi teriakan-teriakan mirip orang mencaci-maki. Lalu terdengar pula bunyi lolongan anjing. Semua bunyi itu ditimpali oleh deru angin dan debur ombak serta gemerisik daun-daun pohon kelapa. Jika bukan Sabai Nan Rancak yang berada di tempat itu pasti orang sudah merasa ngeri dan cuek kuduknya. Dan kalau bukan Sabai yang berkepandaian tinggi mustahil akan menangkap bunyi desah berkepanjangan yang bersumber dari satu tempat cukup jauh di sebelah timur pulau.
Selain dari itu bagi si nenek menginjakkan kaki di pulau itu membawa kenangan tersendiri walaupun merupakan satu kenangan pahit memerihkan yang hingga dikala itu membekas sangat dalam di lubuk hatinya. Pulau itu dulu ialah salah satu tempat kediaman Tua Gila alias Sukat Tandika , cowok yang pernah menjadi kekasihnya Di pulau itu mereka memadu cinta berkasih sayang hingga akhirnya Sabai Nan Rancak berbadan dua. Sebelum bayi yang dikandungnya lahir Tua Gila meninggalkannya begitu saja. Si nenek menarik nafas panjang beberapa kali.
Setelah memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi gres Sabai Nan Rancak berkelebat cepat ke arah timur. Karena pulau itu tidak seberapa besar maka cepat sekali ia hingga di tempat itu yang ternyata formasi kerikil karangnya lebih besar dan tinggi. Sabai menyeruak di antara lamping-lamping kerikil karang dan hentikan langkahnya di satu tempat gelap di bawah bayang-bayang kerikil karang tinggi.
Di antara kerapatan pohon-pohon besar dan batu-batu cadas membentuk setengah bundar terlihat satu lapangan datar. Di salah satu ujung lapangan tampak dua buah kerikil nisan hitam berlumut tersembul dari permukaan tanah. Bagian tubuh dari makam hanya merupakan satu timbunan tanah datar yang ditumbuhi rerumputan dan alang-alang liar.
“Dua Makam Setan! Keanehan yang menggidikkan…” kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Pandangannya kemudian membentur pada dua onggok jerangkong tengkorak insan yang tulang-tulangnya tidak lagi memutih tetapi telah terselubung tanah dan lumut. Lalu di kiri kanan dua makam terpancang beberapa buah tiang kayu. Pada dua tiang tergantung dua jerangkong insan dalam keadaan terkulai. Keadaan di tempat itu benar-benar menggidikkan. “Ada empat orang korban pembunuhan keji. Pasti terjadi beberapa usang lalu. Siapa kira-kira pelakunya?”
Sabai Nan Rancak melangkah mendekati dua makam bernisan kerikil hitam itu. Langkahnya tertahan ketika di kejauhan tiba-tiba terdengar bunyi raungan anjing. Lalu keadaan kembali sunyi. Si nenek membisu sesaat kemudian palingkan kepalanya ke arah makam di sebelah kiri. Dari arah makam itu sekonyong-konyong terdengar suara-suara aneh.
“Duk… duk… duk… duk!”
“Suara apa itu ,” pikir Sabai Nan Rancak. Tanah yang dipijaknya terasa bergetar. “Seperti bunyi sesuatu dipukul berulang-ulang. Inikah yang dimaksud Suto Abang dengan Makam Setan itu?” Sabai meneruskan langkahnya. Gerakannya kembali tertahan begitu dari liang makam sebelah kiri terdengar mirip bunyi orang meraung. “Dalam makam di sebelah kiri terang ada makhluk hidup! Aneh! Mana mungkin? Orang yang sudah dikubur masih hidup…?”
Langit masih kelam , malam masih gelap dan tiupan angin serta deru ombak di maritim terdengar lebih keras.
Sabai tenangkan gejolak hatinya. Kalau tadi ia hanya melangkah maka kini ia membuat satu kali lompatan dan gerakannya ini membawa ia serta merta berada di samping kiri makam. Di sini ia tegak berdiam diri , tak berani membuat suara. Telinganya dipasang dan matanya menatap makam tak berkesip. Lalu ada bunyi orang mendesah. Sunyi sesaat. Menyusul bunyi teriakan memaki. Tak terang apa yang diteriakkan atau dimaki. Tapi bunyi yang seolah terpendam itu terang berasal dari dalam liang makam di hadapannya.
Sabai perhatikan nisan makam yang terbuat dari kerikil hitam. Lalu kepalanya didekatkan biar bisa melihat apa yang tertulis di kerikil itu. Selain gelap , kerikil nisan itu juga kotor berselimut tanah. Dengan tangan kirinya Sabai mengusap permukaan kerikil nisan.
“Astaga!” si nenek keluarkan bunyi tercekat ketika yang tertulis di kerikil nisan hitam itu ialah nama “Tua Gila”. “Bagaimana mungkin? Orangnya masih hidup tapi kubur lengkap dengan namanya sudah ada di tempat ini…?!” Si nenek beranjak ke makam satunya. Seperti tadi ia menggosok penggalan datar kerikil nisan. Kembali ia tersentak. Di kerikil nisan satunya ini tertera nama “Wiro Sableng”!
“Rahasia apa bekerjsama yang ada dibalik kecacatan angker dua makam ini?” pikir Sabai Nan Rancak.
Baru saja ia membatin begitu tiba-tiba dari makam di sebelah kiri kembali terdengar bunyi “Duk… duk… duk… duk!” Menyusul bunyi orang berteriak-teriak tak karuan. Karena tidak terang Sabai Nan Rancak tempelkan pendengaran kirinya pada kerikil nisan hitam di makam sebelah kiri.
“Duk… duk… duk ,..!”
Sabai kerahkan tenaga dalam kemudian ketuk-ketuk kerikil nisan hitam.
“Duk… duk… duk… duk!”
Suara pukulan dari dalam liang kubur terdengar makin keras dan terus-terusan.
“Hai! Siapa di dalam makam?!” Tidak sabaran Sabai Nan Rancak berteriak. Tentu saja dengan pengerahan tenaga dalam hingga suaranya bergema keras di malam yang kelam menjelang pagi itu.
“Duk… duk… dukkk! Siapa yang berteriak di luar sana?! Setan atau insan harap sudi membebaskan diriku dari makam jahanam ini!”
Terdengar lagi bunyi pukulan yang menggetarkan kerikil nisan disusul lapat-lapat bunyi seseorang minta tolong.
“Kau sendiri insan atau setan?!” balik berteriak Sabai Nan Rancak.
“Aku insan tapi mungkin sudah dua pertiga jadi setan!” jawab orang di dalam makam. “Lekas bebaskan diriku dari liang keparat ini!”
“Aku tidak membawa peralatan! Bagaimana mungkin bisa menggali makammu?!” seru si nenek.
“Aku akan tunjukkan rahasianya. Makam ini terbuat dari batu! Melangkah ke belakang kerikil nisan. Periksa tanah sekitarnya. Kau akan menemukan sebuah tonjolan kerikil hitam. Tekan kerikil itu kuat-kuat. Batu epilog makam akan terbuka!”
*
* *
* *
SEPULUH
SABAI Nan Rancak melangkah ke penggalan belakang kerikil nisan hitam makam sebelah kiri itu. Kakinya digeser-geserkan ke tanah hingga akhirnya ia menyentuh sesuatu. Si nenek membungkuk , pergunakan tangannya untuk menggali. “Aku sudah menemukan kerikil hitam di belakang nisan!” berteriak Sabai Nan Rancak.
“Bagus! Demi setan saya berharap peralatan rahasianya tidak macet!” Orang di dalam makam berseru.
“Peralatan rahasia apa?!” tanya Sabai tidak mengerti.
. “Tak perlu bertanya! Tekan kerikil itu dengan tanganmu. Kalau tidak ada gerakan pergunakan kakimu! Lakukan cepat! Ratusan hari mendekam di liang neraka ini nyawaku rasanya sudah hingga di tenggorokan!”
Sabai Nan Rancak tidak melaksanakan apa-apa. Dia membisu saja tapi otaknya bekerja.
“Hai! Apakah sudah kau lakukan?!” Makhluk di dalam liang makam berteriak. … “Sebelum saya menolongmu kita perlu membuat perjanjian lebih dulu!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Jahanam! Perjanjian apa?!”
“Pertama terangkan dulu siapa dirimu?!”
Orang di dalam liang makam tak segera menjawab. Lalu ia malah terdengar bertanya. “Mengapa kau ingin tahu siapa diriku?!”
“Kalau ternyata saya hanya menolong seorang bangsa kecoak , apa untungnya?! Mungkin juga kau benar-benar setan yang hendak mengganggu mempermainkan diriku! Bukankah makammu ini yang disebut orang sebagai Makam Setan?!”
“Setan! Dari suaramu saya tahu kau seorang perempuan! Kau insan licik!”
“Terserah kau mau bilang apa! Kau mau menyampaikan siapa dirimu atau saya segera pergi saja dari tempat celaka ini!”
“Tunggu! Aku akan terangkan siapa diriku! Sialan! Kau benar-benar menambah siksaanku!” jawab orang di dalam makam. “Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Nah kau sudah tahu! Apa kau puas sekarang?! Ayo tepati janjimu! Tekan kerikil hitam itu!”
“Jangan kau berani mengaku-aku! Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan insan sembarangan! Bagaimana mungkin ia bisa berada dalam makam ini dan masih hidup?!
“Kau benar-benar wanita sialan! Kalau kau ingin bertanya jawab nanti saja sesudah saya keluar dari tempat celaka ini!”
“Mana bisa begitu. Aku yang akan menolongmu , saya yang harus mengatur: Aku tidak percaya kau ialah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Bagaimana kau bisa membuktikannya?!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Perempuan setan! Aku tidak perlu memperlihatkan segala macam bukti! Jika kau tidak percaya pergi saja ke neraka! Ratusan hari dikubur di sini saya bekerjsama sudah pasrah mampus semenjak dulu-dulu…!”
“Hemm…. Siapa yang menguburmu hidup-hidup di Makam Setan ini?!” Sabai ejekan pertanyaan sekaligus memancing biar orang mau memberi keterangan.
“Dua jahanam! Satu renta bangka sedeng satunya cowok edan keblinger! Mereka berjulukan Tua Gila dan Wiro Sableng! Dua makam kerikil di pulau ini bekerjsama saya sediakan untuk mereka!”
Tentu saja Sabai Nan Rancak jadi terkejut karena tidak menyangka akan mendengar klarifikasi mirip itu. Dia lantas teruskan pancingannya. “Setahuku Datuk Tinggi Raja Di Langit mempunyai kepandaian dan kesaktian tidak lebih rendah dari dua orang itu! Bagaimana mungkin kau bisa mereka pendam di tempat ini?!”
“Aku kena tipu licik mereka!”
“Begitu? Hemm…. Lalu jenazah siapa yang ada di makam satunya?!”
“Makam itu kosong! Wiro Sableng berhasil meloloskan diri!”
“Katamu kau sudah terpendam selama ratusan hari di makam ini! Bagaimana mungkin kau masih bisa hidup?” tanya Sabai selanjutnya.
“Setan menolongku! Makam kerikil ini lembab berlumut! Aku tidak kekeringan dan tidak kelaparan! Hanya dua anggota tangannya menjadi lemah , sulit digerakkan!”
“Kalau kau benar Datuk Tinggi Raja Di Langit apakah kau masih membekal Mantel Sakti dan Mutiara Setan , dua senjata andalanmu?!”
Orang di dalam liang kubur tak segera menjawab.
“Kau tidak menjawab berarti kau tidak tahu menahu perihal dua senjata itu. Makara kau bekerjsama bukan Datuk Tinggi Raja Di Langit!”
“Kurang ajar! Omonganmu banyak amat! Pergi saja sana! Aku menentukan mampus dari pada melayani dirimu! Setan betul!” Orang di dalam liang kubur memaki panjang pendek.
“Aku akan menolongmu keluar dari Makam Setan ini. Tapi kita harus membuat perjanjian.”
“Perjanjian apa?!”
“Kalau kau berhasil kubebaskan , saya minta kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setanmu padaku!”
“Kau benar-benar insan licik!”
“Terserah padamu! Memilih mati atau masih ingin hidup untuk membalaskan sakit hatimu pada Tua Gila dan Wiro Sableng?!”
“Setan betul! Aku mengalah! Dua benda yang kau sebutkan itu akan kuberikan padamu kalau saya bebas!”
“Bagus!” seru Sabai Nan Rancak. Si nenek kerahkan tenaga dalam. Lalu dengan tangan kanan ditekannya kerikil hitam di tanah. Batu itu tidak bergerak sedikitpun.
“Batu hitam tidak bergerak!” Sabai memberi tahu.
“Celaka! Mungkin peralatan rahasianya sudah karatan. Macet! Kerahkan tenaga dalammu! Atau injak kerikil dengan kakimu kuat-kuat!” teriak orang di dalam makam.
Sabai Nan Rancak bangun berdiri. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan. Lalu dengan kaki itu diinjaknya kuat-kuat kerikil hitam yang menonjol di tanah. ,
Terdengar bunyi berderak. Tanah makam bergetar. Rumput dan alang-alang liar yang tumbuh di atasnya tampak bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan tampak tanah dan tetumbuhan liar itu terangkat ke atas. Hawa busuk menebar keluar dari dalam liang makam membuat Sabai Nan Rancak tersurut beberapa langkah , mau muntah dan terpaksa menutup hidungnya!
Pada dikala kerikil epilog makam membuka setengah dari dalam liang dengan susah payah tampak merayap keluar sesosok tubuh yang membuat Sabai Nan Rancak merinding saking bergidiknya.
Sosok tubuh itu ialah sosok seorang kakek berambut panjang riap-riapan. Kumis , janggut , dan cambang bawuknya jadi satu menjulai lebat. Sepasang matanya yang besar seolah terpuruk ke dalam rongga yang dalam. Ke dua pipinya kempot tak bertulang. Tubuhnya kurus kering terbungkus pakaian yang hancur tak karuan rupa hingga nyaris telanjang. Dia menyeringai mengeluarkan bunyi desau mirip gerengan harimau dari mulutnya yang bergigi dan mempunyai taring seolah binatang. Sekujur tubuhnya menebar anyir sangat busuk!
Yang membuat si nenek jadi merinding ialah menyaksikan kecacatan pada sepasang kaki orang ini. Mulai dari bawah lutut hingga ke ujung jari , dua kaki orang ini tidak berdaging sama sekali. Hanya merupakan tulang putih pipih laksana tubuh pedang bermata dua! Apa yang telah menimbulkan ke dua kakinya tidak berdaging lagi?
Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan untuk melumpuhkan tenaga dalam Tua Gila dan Wiro yang hendak disekapnya di dalam dua makam kerikil itu , Datuk Tinggi Raja Di Langit telah menebar sejenis bubuk. Begitu ia dilempar masuk ke dalam liang kerikil itu maka ia sendiri menjadi korban bubuk beracunnya. Walaupun begitu karena ilmunya yang tinggi ia tidak hingga menderita lemah atau lumpuh keseluruhan. Hanya ke dua tangannya saja yang tidak bisa digerakkan. Ke dua kakinya yang masih bisa digerakkan dipergunakannya untuk menendangi kerikil epilog makam. Suara tendangannya itu disamping bunyi teriakannya dibutuhkan akan terdengar oleh siapa saja yang berada di pulau dan sanggup memberi pertolongan. Selama ratusan hari tersekap dalam liang kerikil Datuk Tinggi hidup dari lumut lembab yang bertumbuhan di Seantero liang batu. Dia bernasib untung karena antara liang penyanggah dan lapisan kerikil epilog makam terdapat celah yang walaupun sangat tipis masih bisa memasukkan hawa segar dari luar.
Selama ratusan hari disekap selama itu pula ia menendangi kerikil epilog makam dengan ke dua kakinya. Tidak terasa ke dua kakinya menjadi kebal. Dia tidak mengalami rasa sakit sama sekali ketika dua kaki yang digunakan untuk menendang , lama-lama kulit dan dagingnya terkelupas hingga terkikis habis hanya tinggal tulang-tulang yang memutih dan kebal rasa. Ternyata kelak sepasang kaki yang tinggal tulang ini sanggup dipercaya sebagai senjata dahsyat yang akan menggegerkan rimba persilatan.
“Astaga , inikah Datuk Tinggi Raja Di Langit itu?!” pikir Sabai Nan Rancak dalam hati.
Tiga langkah dari hadapan si nenek sosok tubuh kurus dan anyir itu tersungkur menelentang di tanah. Berulang kali ia menarik nafas panjang berusaha menghirup udara segar , Lalu matanya yang besar berputar memandang ke arah Sabai.
“Betul kau Datuk Tinggi Raja Di Langit?” tanya Sabai agak meragu.
Yang ditanya tidak menjawab.
“Setelah kutolong harap kau tidak lupa perjanjian kita! Mana Mantel Sakti dan Mutiara Setan yang harus kau berikan padaku?!”
Orang yang diajak bicara masih membisu hanya desau nafasnya terdengar mirip gerengan harimau.
“Kau tidak tuli , jangan berpura-pura tidak mendengar!” Sabai Nan Rancak jadi jengkel karena ucapan-ucapannya tidak dijawab.
“Perempuan tua! Beri kesempatan padaku untuk bernafas menghirup udara segar. Beri kesempatan padaku untuk mengatur jalan darah dan hawa dalam tubuhku! Aku bukan orang yang suka ingkar janji! Makara jangan bicara macam-macam! Tunggu hingga saya siap….”
“Boleh saja , tapi jangan coba menipuku! Aku sama sekali tidak melihat Mantel Sakti dan Mutiara Setan yang jadi senjata andalanmu itu.”
“Aku akan beri tahu di mana dua benda itu beradanya. Sebentar lagi! Harap kau suka bersabar. Dua tanganku terasa lumpuh! Aku harus mengatur jalan darah dan mengerahkan tenaga dalam untuk memberi kekuatan!”
“Kau tak bakal bisa melakukannya dengan cepat! Ratusan hari kau tersekap di liang setan itu , mana mungkin kau mengharap kesembuhan dalam sekejapan mata!” kata Sabai Nan Rancak.
“Kalau kau tidak sabaran silahkan pergi! Aku tidak mau berurusan dengan nenek-nenek ceriwis , bicara melulu dan tidak sabaran!”
Sabai Nan Rancak menjadi sangat jengkel. Kalau tidak mengharapkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan itu , mungkin semenjak tadi ia sudah tinggalkan insan itu , tentu saja sesudah memperlihatkan satu gebukan padanya.
Beberapa dikala berlalu. Perlahan-lahan Datuk Tinggi Raja Di Langit bergerak duduk. Ke dua bahunya digoyang-goyangkan. Walau dua tangannya belum bisa digerakkan , namun jari-jarinya tampak bergeletar.
“Aku tidak akan memperlihatkan Mantel dan Mutiara Setan itu pada orang yang saya tidak tahu nama atau gelarannya…. Katakan siapa dirimu adanya!” Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Di Langit membuka mulut.
“Namaku Sabai Nan Rancak. Aku berasal dari puncak Gunung Singgalang!”
Kening sang datuk nampak mengerenyit. Mata besarnya tak berkesip memandangi Sabai Nan Rancak.
“Aku pernah mendengar namamu. Bukankah kau seorang yang punya kekerabatan dengan bedebah laknat berjulukan Tua Gila yang berhasil lolos dari pendaman Makam Setan?!”
“Dulu , puluhan tahun silam memang saya punya kekerabatan dengan dirinya. Saat ini ia ialah musuh besar yang harus kuhabisi nyawanya!” jawab Sabai Nan Rancak.
Datuk Tinggi menyeringai. “Kalau kau membuat perjanjian , saya juga ingin membuat perjanjian!”
“Apa maksudmu?” tanya si nenek.
“Aku berikan Mantel dan Mutiara Setan padamu. Tapi kau harus berjanji tidak akan membunuh Tua Gila. Bangsat renta itu harus saya yang membunuhnya!”
Sabai Nan Rancak tertawa pendek. “Perjanjian mirip itu tidak ada gunanya. Yang ingin membunuh Tua Gila bukan cuma kita berdua. Siapa cepat ia yang dapat!”
“Kenapa kau inginkan nyawa bedebah renta itu?!” tanya Datuk Tinggi Raja Di Langit.
“Itu bukan urusanmu! Kau sendiri mengapa mau membunuhnya?!”
“Dia membunuh adikku Datuk Sipatoka….”
Sabai Nan Rancak terkesiap mendengar jawaban itu. Dia tahu betul riwayat Datuk Sipatoka yang pernah ingin menguasai dunia persilatan pulau Andalas. Dalam hati ia berkata. “Manusia jahat dan biadab mirip Datuk Sipatoka memang pantas dilenyapkan dari muka bumi. Datuk yang satu ini pun saya tidak percaya padanya!” Lalu ia berkata: “Aku sudah memberi tahu siapa namaku. Sekarang mana Mantel dan Mutiara Setan itu? Lekas berikan padaku!” .
Datuk Tinggi tertawa lebar. “Rupanya kau tidak percaya padaku! Dua benda sakti itu ada dalam makam kerikil di sebelah kanan. Kau tahu bagaimana membuka kerikil epilog makam- Ada tombol di belakang nisan kerikil hitam!”
Tanpa menunggu lebih usang si nenek segera melompat ke belakang makam di sebelah kanan yang kerikil nisannya bertuliskan nama Wiro Sableng.
Dengan cepat ia menemukan kerikil hitam menonjol di tanah. Sekali kerahkan tenaga dalam dan injakkan kakinya di kerikil itu maka terdengar bunyi berderak. Lalu ada bunyi siuran dan perlahan-lahan kerikil epilog makam yang tertutup tanah dan ditumbuhi rerumputan serta alang-alang liar bergerak ke atas hingga akhirnya berhenti. Walau berdiri erat kepala makam namun Sabai tidak sanggup melihat isi makam itu karena sangat gelap.
“Mantel dan Mutiara Setan itu ada di dalam liang batu. Tunggu apa lagi? Mengapa kau tak segera mengambilnya?” berseru Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Sabai Nan Rancak tidak bergerak dari tempatnya. Hatinya bimbang. Dia menaruh curiga. Selain tidak sanggup menduga berapa dalamnya lobang makam kerikil itu serta tidak bisa melihat karena gelap , ia juga menaruh curiga kalau-kalau begitu masuk Datuk Tinggi menurunkan kerikil epilog makam hingga ia tersekap di Makam Setan itu!
“Kau saja yang turun ke dalam makam mengambil dua benda sakti Itu kemudian menyerahkannya padaku!” Berkata Sabai Nan Rancak.
“Nenek , kau benar-benar rewel dan banyak pinta! Aku sudah memberi malah kau memerintah seolah saya ini kacungmu!”
“Kau memang bukan kacungku!” tukas Sabai. “Tapi jangan lupa! Jika saya tidak menolongmu kau akan jadi jerangkong busuk dalam Makam Setan itu!”
Sambil mengomel Datuk Tinggi melangkah ke tepi makam.
“Gelap! Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sebaiknya kita menunggu hingga hari terang. Sebentar
lagi pagi datang. Aku sudah melihat ada saputan sinar kekuningan di sebelah timur.”
“Jangan-jangan kau hendak memperdayaiku!” Kata Sabai Nan Rancak.
“Perempuan setan!” carut Datuk Tinggi.
Sabai Nan Rancak tersenyum dan melangkah mendekati si kakek. Ketika nenek itu hanya tinggal satu langkah dari hadapannya tiba-tiba dalam keadaan masih duduk di tanah Datuk Tinggi Raja Di Langit hantamkan kaki kirinya. Maksudnya hendak menjegal kaki Sabai kemudian mendorongnya ke dalam makam kerikil sebelah kiri.
Tapi Sabai Nan Rancak yang semenjak tadi memang telah berlaku waspada dengan cepat melompat. Serimpungan kaki Datuk Raja Di Langit mengenai tempat kosong kemudian menghantam pinggiran kerikil epilog makam.
“Traakkk!”
Sabai Nan Rancak mengira kaki yang hanya tinggal tulang itu hancur berpatahan. Tapi alangkah kagetnya ia ketika menyaksikan bukan kaki si kakek yang patah sebaliknya kerikil tebal epilog makam yang terbelah seolah papan dibabat sebilah pedang sakti! Sang Datuk sendiri melengak kaget melihat apa yang terjadi. Dia sanggup memutus kerikil tebal epilog makam sedang kaki atau tulang kakinya sama sekali tidak merasa sakit sedikitpun!
Dalam kagetnya Sang Datuk menjadi lengah. Sebaliknya Sabai Nan Rancak tidak mau berlaku ayal. Dengan cepat ia menyergap si kakek dengan satu totokan dahsyat. Sang Datuk sekilas masih sempat melihat gerakan orang. Dia angkat tangan kanannya untuk menangkis. Namun dikala itu baik tangan kanan maupun tangan kirinya masih berada dalam keadaan lemas tidak berdaya hingga ia tidak bisa mengangkatnya. Totokan si nenek bersarang telak di dada kanannya.
“Perempuan jahanam! Aku memang curiga padamu semenjak tadi-tadi!” Ternyata totokan yang dilancarkan Sabai hanya membuat tubuh Datuk Tinggi kaku tetapi jalan suaranya masih terbuka.
“Tua bangka tidak tahu diri. Aku telah menolongmu! Janjimu belum lagi kau tepati. Barusan kau yang lebih dulu menyerangku! Masih untung saya tidak segera membunuhmu Saat ini juga!”
“Perempuan jahanam! Kau akan menyesal kalau tidak membunuhku!”
Sabai tertawa panjang. Dia pergi duduk bersandar pada sebuah kerikil besar di pinggir lapangan. Kedua matanya dipejamkan. Dia sengaja tidur-tidur ayam sambil menunggu datangnya pagi.
*
* *
* *
SEBELAS
SEBENARNYA Datuk Tinggi Raja Di Langit mempunyai kemampuan membuyarkan totokan. Namun dikala itu keadaannya masih sangat lemah. Bagaimanapun ia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ia hanya , bisa menggerakkan sedikit ke dua tangan dan menggetarkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya.“Perempuan jahanam!” maki Datuk Tinggi. “Aku harus bisa mengembalikan kekuatanku! Aku harus bisa mengerahkan tenaga dalam sebelum matahari terbit. Aku tidak akan memberikah Mantel Sakti dan senjata rahasia Mutiara Setan itu padanya!”
Mantel dan Mutiara Setan itu memang menjadi andaian Datuk Tinggi karena intinya ia tidak mempunyai kesaktian lain atau ilmu silat tinggi. Sepanjang hidupnya ia mencurahkan perhatian pada dua hal. Pertama mempelajari pengembangan tenaga dalam untuk dijadikan dasar penggunaan ilmu bertahan dan menyerang yang mengandalkan Mantel Sakti. Hal kedua ialah ilmu melempar untuk penggunaan senjata rahasia Mutiara Setan. Selama ini Datuk Tinggi telah banyak berhasil hingga namanya mencuat dalam rimba persilatan sebagai salah satu momok yang ditakuti. Itulah sebabnya dikala itu ia berusaha mati-matian memulihkan tenaga dalam dan kekuatannya. Kalau Mantel Sakti dan Mutiara Setan hingga jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak berarti ia tidak punya apa-apa lagi untuk diandalkan. Namun di dikala itu ada satu hal yang membuatnya heran , besar hati , tetapi juga jadi galau sendiri.
“Tadi sewaktu terabasan kakiku gagal menghantam kaki wanita setan itu , kerikil atos epilog makam yang jadi sasaran. Batu itu terbelah putus. Tulang kakiku sama sekali tidak terasa sakit! Kakiku yang hanya tinggal tulang pipih memutih telah berkembang menjadi satu senjata hebat yang benar-benar tidak bisa kupercaya! Aku harus memanfaatkan kehebatan ini! Gila , dipendam orang selama ratusan tahun saya kini mempunyai satu kehebatan yang tidak terduga! Hemmm… Aku yakin akan membuat nama: besar dalam rimba persilatan. Tua Gila! Wiro Sableng! Tunggu pembalasanku! Hemmm…. Sekarang biar saya mengurus wanita renta bangka dajal ini lebih dulu!”
Di bawah pohon perlahan-lahan Sabai Nan Rancak buka ke dua matanya yang meram-meram ayam. Di arah timur sinar terang tampak semakin terang tanda sang surya segera akan terbit. Di erat makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terbujur tak bergerak , menghadap ke arah makam. Ke dua tangan terkulai di tanah. Sepasang mata tertutup tapi si nenek tahu kalau mata: itu tidak terpejam dan terus-terusan mengawasi gerak-geriknya.
“Setan itu tengah berusaha keras memulihkan dirinya. Aku melihat ada getaran-getaran halus di beberapa penggalan tubuhnya. Aku harus bertindak cepat!” Sabai Nan Rancak bangun berdiri kemudian melangkah cepat mendekati makam yang kerikil nisan hitamnya bertuliskan nama Wiro Sableng. Sinar terang di kejauhan yang jatuh di atas makam membuat si nenek kini sanggup melihat apa yang ada di dalam makam. Lumut melekat di mana-mana. Lalu tetumbuhan liar , rumput dan alang-alang. Cacing-cacing besar menggeliat-geliat di satu sudut makam. Juga ada beberapa ekor kalajengking hitam pekat. Kemudian sepasang mata si nenek membentur sebuah benda lebar berwarna hitam yang tampak kotor diselimuti tanah bercampur lumut. Tak jauh dari. benda hitam ini ada sebuah kantong kain tebal yang juga terbungkus tanah dan lumut.
“Mantel Sakti , Mutiara Setan!” desis Sabai Nan Rancak dengan dada berdebar keras. Dia melirik ke kiri. Datuk Tinggi Raja Di Langit masih tetap duduk bersila mirip tadi di tempatnya. Sabai mengukur kedalaman makam batu. Dia yakin dengan satu kali melompat kemudian menggenjot ia bakal bisa menyambar mantel dan kantong kemudian melesat kembali keluar dari dalam makam. Setelah memperhitungkan segala sesuatunya maka tanpa menunggu lebih usang Sabai Nan Rancak melompat terjun ke dalam makam batu. Tangan kirinya menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan. Tangan kanan menarik Mantel Sakti. Lalu ke dua kakinya dihentakkan ke lantai makam. Saat itu juga tubuhnya berkelebat melesat ke atas.
“Wuuuttt!”
Sabai Nan Rancak terpekik kaget. Begitu sebagian tubuhnya keluar dari dalam makam ada satu benda putih menyambar. Kalau ia tidak cepat membuang diri ke samping kemudian pergunakan sanding kerikil makam untuk menjejakkan kaki melontar diri ke samping pasti benda putih itu akan menghantam pinggangnya. Sabai tidak terang benar benda apa yang barusan menyerangnya. Dia cepat berpaling. Kagetlah si nenek.
Di hadapannya , di tepi makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terduduk setengah berlutut. Muka dan matanya yang seangker iblis menatap tajam ke arahnya.
“Tak bisa kupercaya! Dalam keadaan mirip ini ia ternyata bisa melepaskan diri dari totokanku! Barusan ia menyerangku dengan kaki tulangnya! Tapi agaknya kekuatannya masih belum pulih keseluruhan. Dari pada mencari kasus lebih baik saya segera saja angkat kaki dari sini!”
Si nenek segera memutar tubuh siap tinggalkan tempat itu.
“Perempuan jahanam) Kembalikan Mantel Sakti dan Mutiara Setanku!” teriak Datuk Tinggi dengan mata berapi-api. Setengah beringsut ia bergerak mendekati Sabai.
Si nenek menyeringai buruk. “Ini kesempatanku untuk mencoba kehebatan Mantel Sakti ini!” pikir Sabai. Lalu ia berseru. “Kau inginkan mantel dan senjata rahasiamu! Culas curang! Kau sudah berjanji menyerahkannya padaku! Tapi tak jadi apa! Kau menginginkannya silahkan ambil sendiri!” Sabai acung-acungkan mantel dan kantong kain , membuat sang Datuk meluap amarahnya. Dia jatuhkan diri ke tanah kemudian berguling. Kaki kirinya menyambar , membabat ke arah kaki Sabai. Si nenek tidak tinggal diam. Dia melompat menjauh seraya kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan mengebutkan Mantel Sakti yang dipegangnya.
“Wussss!”
Satu gelombang angin laksana topan dan deburan air bah menyambar ke arah Datuk Tinggi. Lumut dan tanah yang melekat di mantel itu ikut berlesatan.
Datuk Tinggi berteriak keras. Dia cepat jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun tak urung tubuhnya masih kena tersapu hingga mental hingga tiga tombak. Di sebelah sana dua buah kerikil epilog makam tanah kubur dan batu-batu nisan hitam amblas awut-awutan dihantam sambaran Mantel Sakti!
Datuk Tinggi mencicipi tubuhnya mirip hancur. Dia meneliti dengan cepat. Tak ada penggalan tubuhnya yang cidera. Hanya dadanya terasa berdebar dan jalan darahnya agak kacau. Ini membuatnya jadi heran. “Ada kekuatan absurd melindungi diriku. Orang lain pasti sudah remuk dihantam angin Mantel Sakti tadi!”
Di depan sana Sabai Nan Rancak masih tegak sambil menyeringai. “Kau masih inginkan mantel dan senjata rahasiamu ini Datuk? Ayo , saya memberi kesempatan padamu untuk mengambilnya!”
“Perempuan jahanam! Kucincang tubuhmu!” teriak Datuk Tinggi kemudian gulingkan diri ke arah si nenek. Tapi dikala itu Sabai tak mau melayani lagi. Dia berkelebat tinggalkan tempat itu , cepat-cepat menuju ke pantai pulau tempat bahtera sewaan menunggunya. Dengan cekatan si nenek melompat dari kerikil karang datar ke kerikil karang lainnya hingga akhirnya ia hingga di atas bahtera besar.
Satu kejutan membuat si nenek melengak. Ada orang bersuara parau tiba-tiba menegurnya.
“Rejekimu besar sekali hari ini Nek. Mantel Sakti di tangan kanan. Kantong Mutiara Setan di tangan kiri! Apakah kau mau menyebarkan rejeki denganku?!”
Sabai Nan Rancak palingkan kepalanya ke arah kanan dari jurusan mana datangnya bunyi orang menegur.
“Siapa kau!” sentak Sabai Nan Rancak.
Orang yang dibentak dongakkan kepala kemudian tertawa keras.
“Lain yang dicari lain yang kutemui! Tapi apa salahnya berkenalan berbasa-basi!”
“Jahanam! Kalau tidak lekas menjawab kulempar kau ke dalam laut!” Sabai Nan Rancak angkat tangan kanannya yang memegang mantel. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Lalu berteriak. “Pemilik perahu! Di mana kau?!”
“Aku di sini Nek….” Ada jawaban dari sebelah kanan.
*
* *
* *
DUA BELAS
SAAT itu matahari telah terbit. Keadaan di maritim cerah dan terang. Di sebelah kanan , di lantai bahtera Sabai Nan Rancak melihat lelaki pemilik bahtera duduk tersandar. Mulutnya pecah dan hidungnya hancur. Darah menutupi sebagian wajahnya. Sabai berpaling ke arah lambung perahu. Orang bersuara parau yang tadi menegurnya tegak sambil berkacak pinggang. Orang ini ternyata kakek berpakaian kembang-kembang. Mukanya tertutup bedak tebal. Pipinya diberi merah-merah. Alisnya melintang tebal dan rambutnya dikepang enam. Pada setiap kepangan digantungi kertas dan kain-kain warna-warni. Dia mempunyai bibir dower tebal dan dilapisi cat merah mencorong.
“Pasti orang gila ini yang telah mencelakai pemilik bahtera ,” membatin Sabai Nan Rancak. “Aku tidak kenal padamu! Mengapa berani berada di atas bahtera sewaanku? Lekas menyingkir!” Hardik si nenek.”
“Aha! Aku tidak tahu kalau ini bahtera sewaanmu. Pantas waktu tadi saya naik ke sini , monyet anyir ini marah. Karena , mulutnya keiewat kurang asuh terpaksa saya menggebuknya sedikit! Ha… ha… ha…!”
“Keparat! Dalam keadaan mirip ini bagaimana tahu-tahu ada orang gila tiba mengganggu!” Sabai bercarut sendiri dalam hatinya.
“Orang gila! Jika kau tidak lekas menyingkir saya benar-benar akan membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke laut!” Mengancam Sabai.
“Jangan terlalu galak sobat! Aku tiba ke sini tidak bermaksud mencari karena denganmu! Aku tiba dari jauh mencari bedebah renta berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit! Satu tahun yang silam ia telah membunuh adikku Kiyai Surah Ungu , bergelar Pangeran Tanpa Mahkota , berasal dari Banten.”
“Aku tidak percaya orang gila sepertimu punya adik seorang Pangeran!” tukas Sabai.
“Terserah mau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku hanya ingin menuntut balas. Tahu-tahu saya ketemu kau! Ha… ha… ha! Kalau dulu ketemu di waktu masih muda-muda pasti sedap juga ya?! Tapi tak jadi apa! Aku tahu betul Mantel Sakti dan kantong berisi senjata rahasia itu ialah milik Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bagaimana bisa berada di tanganmu? Apakah kau mencurinya?!”
“Enak saja menuduh saya pencuri! Aku mendapatkan dua senjata sakti ini sesudah membunuh Datuk Tinggi! Sebentar lagi kau akan jadi korbanku berikutnya!”
“Ah , kau pasti seorang nenek Sakti hebat luar biasa! Tapi mengapa saya harus takut ancamanmu? Kalau belum melihat jenazah sang Datuk bagaimana saya percaya kau sungguhan telah membunuhnya? Itu sebabnya saya mengusulkan biar kita menyebarkan rejeki. Berikan salah satu senjata sakti itu padaku. Aku akan mendapatkan yang mana saja!”
“Baik! Aku akan berikan Mantel Sakti padamu! Harap kau suka menerima!”
Habis berkata begitu si nenek kebutkan Mantel Sakti di tangan kanannya.
“Wuttt!”
Perahu kayu itu bergetar keras ketika angin laksana topan menyambar. Tiang layar berderak-derak. Semua benda yang ada di lantai bahtera termasuk sosok lelaki pemilik bahtera hancur dan mental masuk ke dalam laut. Air maritim bergelombang muncrat.
Kakek absurd bermuka mirip dirias tersentak kaget. Dia keluarkan bentakan parau kemudian melompat tinggi dan tahu-tahu mirip seekor burung elang ia sudah hinggap di puncak tiang bahtera layar!
“Srettt! Sett… settt! Wuttt!”
Sabai Nan Rancak berseru kaget ketika tiba-tiba kain layar bahtera bergerak kencang dan dengan ganas menggulung ke arahnya. Mantel Sakti di tangan kanannya hampir-hampir terlepas mental kalau ia tidak cepat jatuhkan diri dan bergulingan di lantai perahu. Dalam keadaan mirip itu si nenek tak memperhatikan lagi keadaan jubah hitamnya yang tersibak awut-awutan kian kemari. Pada dikala itu tiba-tiba terdengar bunyi tawa cekikikan. Menyusul bunyi orang berucap.
“Nek , kau ini malu-maluin saja! Auratmu tersingkap ke mana-mana! Untung kau pakai celana dalam! Kalau tidak! Walah! Pasti saya akan menyaksikan sepotong serabi bulukan! Ha… ha… ha! Benar-benar memalukan!”
Saat itu jubah hitam Sabai Nan Rancak memang tersingkap lebar dari pinggang ke bawah.
Sabai Nah Rancak terkesiap kaget. Cepat si nenek rapikan jubah hitamnya dan melompat bangkit. Dia palingkan kepalanya ke kiri.
“Dari cara bicaranya , rasa-rasanya memang dia! ujar Sabai dalam hati ketika pandangannya membentur sesosok tubuh berpakaian ringkas hitam yang duduk berjongkok di pinggir bahtera sambil menutupi wajahnya dengan ke dua tangan. “Anehi bagaimana ia tahu-tahu bisa berada di tempat ini. Jangan-jangan semenjak di tanah Jawa dulu ia telah menguntit diriku!” Sabai Nan Rancak mirip mau mengeluh melihat kehadiran orang itu yang akan menambah buruknya suasana. Tapi sesudah memutar nalar maka ia cepat berseru.
“Sobatku , bukankah kau Iblis Pemalu! Aku besar hati bertemu dengan kau!”
“Sobatku? Aku sobatmu? Aha rasanya tidak pernah begitu! Sungguh memalukan!”
“Hai! Jangan malu-malu mengakui! Kau tiba sempurna pada waktunya. Sebagai sobat usang saya akan memperlihatkan salah satu dari benda sakti ini!”
“Ah , itu bagus juga! Tapi saya malu menerimanya!” jawab orang berpakaian hitam yang mencangkung di pinggiran perahu.
“Tak usah malu! Aku memang sudah merencanakan untuk memberi sesuatu padamu karena kau orang baik! Tapi di tempat ini….”
Ucapan Sabai Nan Rancak terputus. Sudut matanya melihat satu gerakan di arah pantai. Ketika ia berpaling dan memperhatikan ternyata di tepi pasir tampak tegak berdiri terbungkuk-bungkuk Datuk Tinggi Raja Di Langit. Orang ini tengah berkemas-kemas terjun ke laut. Sesaat ia mirip menggapai-gapai kemudian meracau masuk ke dalam air maritim sedalam sepinggang. Perlahan-lahan tapi pasti ia akan segera hingga ke bahtera di mana Sabai berada.
“Celaka! Bangsat renta itu agaknya sudah pulih kekuatannya. Bagaimana ini…?” Sabai memandang ke atas tiang layar. Saat itu kakek berbaju kembang-kembang tengah meluncur turun sambil tertawa parau. Si nenek berpaling pada Iblis Pemalu. Lalu berteriak. “Sobatku! Kau tolong hadapi dulu orang renta gila itu! Aku akan mengayuh perahu. Kau harus menolong! Jangan membuat saya malu!”
“Ya… ya! Aku akan menolong! Tapi awas! Rapikan dulu pakaianmu! Jangan hingga saya melihat dua kali! Bisa sialan aku! Memalukan sekali! Hik… hik… hik!”
Sabai Nan Rancak cepat berkelebat ke kiri untuk menarik lepas tali pengikat bahtera yang dibuhulkan pada satu tonjolan runcing kerikil karang. Dia berhasil. Selagi kebingungan mencari kayu pendayung kakek bermuka dirias sudah injakkan kaki di atas lantai perahu. Tapi Iblis Pemalu dengan menutupi wajah cepat menghadangnya.
“Orang renta bermuka cemongan! Jangan berbuat hal yang memalukan! Kau bilang tiba ke sini mencari Datuk Tinggi! Mengapa membuat keonaran dengan orang lain! Memalukan!”
“Orang gila! Kasihan mengapa kau bisa kesasar ke tempat ini?! Kalau mencari mati apa tidak bisa mencari tempat yang lebih enakan?!” Kakek baju kembang-kembang tertawa bergelak.
“Memalukan!” teriak Iblis Pemalu. “Mengatakan saya gila! Padahal kau sendiri yang gila mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki! Hik… hik… hik! Sungguh memalukan menemui kematian sebagai orang gila!”
“Jahanam! Berani kau menghina diriku!” Kakek bermuka dirias jadi murka mendengar ejekan orang. Dua tangannya yang semenjak tadi terlindung di balik lengan bajunya yang panjang tiba-tiba diangkat ke atas dan menyambar ke muka Iblis Pemalu yang ditutupi ke dua tangannya. Ternyata kakek itu hanya mempunyai tiga jari dan tiga kuku panjang pada masing-masing tangannya.
“Aha! Aku mengenali siapa dirimu! Momok Berdandan Jari Tiga! Memalukan! Tangan buruk begitu saja diperlihatkan!”
Habis mengejek begitu Iblis Pemalu cepat melompat mundur. Tapi seolah bisa diulur , tangan kanan si kakek memanjang dan “Wuttt!” Tiga kuku jarinya yang panjang mencakar ke arah kepala Iblis Pemalu. Untuk melompat mundur lagi sudah mustahil bagi Iblis Pemalu karena dikala itu punggungnya telah menyentuh pinggiran perahu. Mau tak mau ia angkat tangan kirinya menangkis sementara tangan kanan masih tetap menutupi wajahnya.
“Bukkk!”
Beradunya dua tangan membuat dua orang itu sama-sama berseru kesakitan. Kakek baju kembang-kembang berjuluk Momok Berdandan Jari Tiga terpental hingga dua tombak. Ketika lengan tangannya disingkapkan ia terkejut melihat daging tangannya telah menggembung merah. Dia cepat berdiri dan pandangi Iblis Pemalu dengan mata melotot. Saat itu Iblis Pemalu sendiri terbungkuk-bungkuk menahan sakit namun dari mulutnya keluar bunyi tawa cekikikan. Nyali si kakek baju kembang mau tak mau menjadi goncang. Dia mendengar kabar Datuk Tinggi orang yang dicarinya mempunyai kepandaian tinggi. Kini , belum lagi berjumpa dengan pembunuh adiknya itu , ia berhadapan dengan seorang lelaki muda tidak dikenal yang ternyata mempunyai ilmu kepandaian tidak sembarangan.
*
* *
* *
TIGA BELAS
MANUSIA gila! Katakah siapa kau adanya! Mengapa mau saja disuruh nenek buruk itu?! “Kakek gila! Siapa diriku tak usah kau tahu! Jangan membuat saya malu! Nenek itu tak suka padamu! Mengapa masih nangkring di atas bahtera ini! Ayo lekas pergi! Kalau tidak saya akan membuatmu benar-benar menjadi malu besar!” Momok Berdandan Jari Tiga tertawa parau. “Masih muda sudah gila! Sungguh saya kasihan dan merasa malu padamu monyet berpakaian hitami Jika kau memang tahu malu mendekatlah padaku! Akan kuajari kau bagaimana caranya biar tidak tahu malu! Ha… ha…ha…!”Ditertawai orang Iblis Pemalu ikut-ikutan tertawa. “Banci gila! Lelaki berdandan mirip perempuan! Apa tidak malu?!”
Mendidihlah amarah Momok Berdandan Jari Tiga mendengar ejekan itu. Didahului bentakan parau ia menyergap ke depan. Dari jari tengah tangan kiri mencuat selarik sinar hitam pekat sedang dari jari tengah tangan kanan melesat sinar biru kelam. Inilah ilmu yang sangat diandalkan si kakek , yang disebut Dua Larik Sinar Kematian. Selama ini tidak pernah ada lawan yang bisa menghindar dari maut bila ia sudah mengeluarkan ilmu kesaktian itu. Iblis Pemalu sendiri tampak tersirap kaget. Walau masih tertawa namun ia cepat menghindar dengan melompat dua tombak ke kiri. Si kakek memburu dengan ikut melompat. Sinar hitam memang luput tapi sinar biru menghajar ke arah kepala Iblis Pemalu.
Sabai Nan Rancak tercekat menyaksikan hal itu. Dia gerakkan tangan kanannya yang memegang Mantel Sakti. Maksudnya hendak menangkis serangan maut itu dan sekaligus menghantam Momok Berdandan Jari Tiga. Tapi mendadak sinar hitam yang mencuat dari tangan kirinya membalik dan menyambar ke arah Sabai. Nenek ini berteriak keras. Mau tak mau ia terpaksa tarik tangan kanannya. Pada dikala itu sinar biru yang menghantam ke dada Iblis Pemalu hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari sasarannya.
Iblis Pemalu masih juga tertawa. Namun mukanya di balik dua tangannya tampak berubah. Pada dikala yang menegangkan itu , tiba-tiba sesosok tubuh entah dari mana datangnya melesat ke atas perahu. Kepalanya menumbuk pinggul Iblis Pemalu dengan keras , membuat Iblis Pemalu terlempar jauh dan roboh di lantai perahu. Namun tumbukan ini menyelamatkan nyawa Iblis Pemalu , Karena sinar biru mematikan yang akan membunuhnya menjadi lewat setengah jengkal dari tubuhnya!
Orang , yang menumbuk Iblis Pemalu dikala itu tampak mencoba bangun terhuyung-huyung. Keadaannya berair kuyup dan nyaris telanjang. Rambut , janggut , kumis maupun berewoknya riap-riapan. Ketika rambutnya yang menutupi muka disibakkan , kelihatanlah tampangnya yang angker menyeringai. Gigi-gigi besar berbentuk taring hewan mencuat dari mulutnya.
“Hampir putus nyawaku! Memalukan!”
Sementara Iblis Pemalu berteriak begitu dua orang di atas bahtera yakni Sabai Nan Rancak dan Momok Berdandan Jari Tiga sama-sama terkesiap.
“Manusia satu ini benar-benar luar biasa! Dia sanggup menyeberangi pantai dan naik ke atas perahu!” membatin Sabai Nan Rancak. Nenek ini segera memutar otak. Dia sudah dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan. Mengapa menghabiskan waktu dan merepotkan diri berlama-lama di atas bahtera itu. Tapi ia mau kemana kalau tidak kabur menggunakan perahu!
Momok Berdandan Jari Tiga yang tadinya begitu bergairah hendak membunuh Iblis Pemalu alihkan perhatiannya pada orang yang berair kuyup riap-riapan. Dari tenggorokannya keluar bunyi menggembor ketika akhirnya ia bisa mengenali siapa adanya kakek kurus kering bermuka setan ini.
“Datuk Tinggi Raja Di Langit! Setahun saya mencarimu! Kau muncul dengan sosok begini rupa! Aku berpikir apakah malaikat maut masih mau dan tidak jijik membetot lepas nyawamu dari tubuhmu?!” Yang berucap dengari bunyi keras itu ialah Momok Berdandan Jari Tiga.
“Kakek aneh! Laki-laki tapi berdandan macam wanita , berpakaian berbunga-bunga mirip perempuan! Apa di bawah perutmu juga ada perkakas mirip perempuan?!” Datuk Tinggi menjawab tak kalah lantang kemudian tertawa bekakakan. Tiba-tiba ia palingkan kepala pada Sabai Nah Rancak. Dia keluarkan bunyi menggeretak. “Urusan kita belut lesai! Jangan berani beranjak dari tempat ini!”
Sabai Nan Rancak menjawab dengan bunyi mendengus.
“Datuk Tinggi pembunuh adik kandungku! Mungkin kau tidak bakal sanggup menuntaskan urusan dengan nenek itu! Aku lebih dulu tiba menagih nyawamu!”
“Anjing renta berdandan slebor! Siapa adikmu yang pernah saya bunuh!”
“Kiyai Surah Ungu , Pangeran Tanpa Mahkota berasal dari Banten!” jawab Momok Berdandan Jari Tiga.
“Oh , ia rupanya!” ujar Datuk Tinggi kemudian tertawa gelak-gelak. “Kiyai itu memang pantas disingkirkan!”
“Apa kesalahannya hingga kau membunuhnya!”
“Kesalahannya sepele saja! Dia tiba menyambangi makam Tua Gila sahabatnya! Padahal saya sudah menyebar niat! Siapa saja sahabat Tua Gila yang tiba ke makam harus menemui ajal!”
“Aneh!” kata Momok Berdandan sambil cibirkan bibirnya yang dower.
“Apa yang aneh?!” sentak Datuk Tinggi.
“Aku dengar Tua Gila masih hidup! Kau menyampaikan ia sudah mati dan dimakamkan! Jangan-jangan otakmu sudah tidak karuan!”
Mendengar ucapan orang Datuk Tinggi tertawa mengekeh. “Apa Tua Gila masih hidup atau sudah mati , saya tidak begitu perduli. Dan kau tiba sangat terlambat!”
“Apa maksudmu?!”
“Mayat kakakmu sudah berubah jadi jerangkong! Di pulau sana ada beberapa jerangkong! Kalau kau suka saya bersedia memperlihatkan yang mana jerangkong < kakakmu. Tapi syaratnya kau harus mampus dan jadi setan lebih dulu! Ha… ha… ha!”
“Orang gila calon mayat! Orang yang mau mampus bicaranya memang tidak karuan! Mari kutunjukkan jalan biar kau bisa menghadap Penguasa Neraka lebih cepat!”
Habis berkata begitu Momok Berdandan Jari Tiga angkat ke dua tangannya. Tangannya yang berjari dan berkuku tiga menyembul dari balik lengan jubah yang dalam. Langsung selarik sinar hitam pekat dan biru kelam menderu menghantam ke arah Datuk Tinggi Raja Langit.
“Pasti mampus!” kata Sabai Nan Rancak begitu melihat Momok Berdandan lancarkan serangan ke arah Datuk Tinggi. Iblis Pemalu pelototkan mata di sela-sela jari-jari tangannya yang menutupi wajah. Seperti Sabai ia juga yakin kalau kakek bermuka setan itu akan menemui ajalnya dilanda dua larik sinar maut serangan kakek yang mukanya dirias.
Namun ke dua orang ini terkesiap dan jadi merinding ketika melihat apa yang kemudian terjadi. Sebelum dua larik sinar menembus tubuhnya Datuk Tinggi yang masih tegak terhuyung-huyung tiba-tiba membuat gerakan jungkir balik. Kepalanya yang berambut berair riap-riapan kini menjejak lantai perahu. Dua tangannya yang masih agak lemah menopang berusaha mengimbangi dan menunjang tubuhnya. Sinar hitam menyambar di samping kaki kanan sedang sinar biru lewat di antara ke dua kakinya.
Dari lisan Datuk Tinggi tiba-tiba melesat keluar bunyi mirip lolongan anjing. Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke atas setinggi satu tombak. Di udara tubuh ini bergerak berputar aneh. Dua kaki terkembang. Lalu secepat kilat tubuh itu melesat ke depan. Dua kaki yang kini hanya berupa tulang putih pipih setajam pedang membuat gerakan mirip menggunting.
Momok Berdandan Jari Tiga keluarkah usul tertahan. Suara seruannya lenyap berganti dengan bunyi menggidikkan.
“Crassss!”
Kepala Momok Berdandan putus laksana ditabas pedang maha tajam kemudian melesat mental dan jatuh ke atas gundukan kerikil karang rata yang menyembul di permukaan air untuk kemudian mental dan akhirnya masuk ke dalam lauti
Tubuhnya yang tanpa kepala terhuyung-huyung. Sepasang tangannya menggapai-gapai kian kemari. Dua larik sinar biru dan hitam sesaat masih mencuat. Darah bergejolak menyembur dari kutungan lehernya tanda masih ada tenaga dalam yang menguasai tubuhnya. Sesaat kemudian tubuh itu terjengkang di lantai bahtera , menggeliat dan melejang-lejang beberapa kali kemudian membisu tak berkutik lagi.
Pada dikala putusnya leher si kakek , Iblis Pemalu melompat ke samping Sabai Nan Rancak. Tangan kanan menutupi wajahnya dan tangan kiri memegang lengan si nenek. Orang ini berbisik.
“Ini satu tindakan memalukan! Tapi kau sudah dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan! Buat apa berlama-lama di sini! Ayo ikut saya kabur!”
“Kita mau kabur kemana. Sekeliling kita hanya laut!” jawab Sabai Nan Rancak. Setelah tadi ia melepaskan ikatan tali yang mengikat bahtera ke kerikil karang , gelombang telah membawa bahtera itu ke tengah laut.
“Aku menyembunyikan sebuah bahtera di balik formasi kerikil karang sebelah sana! Sekali ini kita benar-benar membuat malu besar! Ayo lompat! Lekas!”
Belum sempat Sabai Nan Rancak menjawab Iblis Pemalu sudah menarik lengannya. Ke dua orang itu melompati pagar bahtera di sebelah buritan.
“Kalian mau lari kemana!” satu teriakan menggeledek di belakang. Lalu “Wuttt!”
Dua benda putih bergerak memotong!
“Craaasss!”
Sabai Nan Rancak terpekik. Salah satu ujung mantel yang dipegangnya di tangan kanan terbabat putus oleh tulang kaki kiri Datuk Tinggi yang coba mengejar. Lalu sang Datuk sendiri terpelanting ke belakang ketika Sabai masih sempat menggebrakkan Mantel Sakti yang dipegangnya. Ketika Datuk Tinggi coba mengejar kembali Sabai dan Iblis Pemalu telah lenyap di bawah permukaan laut!
Datuk Tinggi Raja Di Langit berteriak marah! Suara teriakannya mirip lolongan anjing. Lalu mirip kerasukan setan ia berkelebat kian kemari. Sepasang kakinya menghantam apa saja yang ada di depannya. Tiang bahtera besar patah ditabasnya , dinding dan lantai bahtera robek-robek. Sekali lagi bunyi lolongan melesat dari tenggorokannya kemudian sang Datuk terkulai lemah. Tubuhnya terkapar di lantai perahu. Matanya mendelik. Dari mulutnya keluar kutuk serapah tiada henti!
*
* *
* *
EMPAT BELAS
DUA bahtera besar tiba-tiba muncul di balik formasi kerikil karang tinggi , eksklusif , mengapit pukat yang porak-poranda. Di bahtera sebelah kiri seorang berpakaian kebesaran perang menatap tajam ke arah bahtera pukat di atas mana Datuk Tinggi Raja Di Langit masih terkapar bercarut-marut.“Panglima , saya yakin orang yang kita minta menyelidik telah mendarat di pulau ini.” Seorang lelaki berpakaian perwira muda yang tegak di sebelah lelaki berpakaian perang berkata.
“Tiga hari kita menunggu , ia tidak muncul. Di tempat ini ada sebuah pukat dalam keadaan porak-poranda. Aku merasa was-was. Coba kau dan beberapa anak buahmu menyeberang ke pukat itu. Lakukan pemeriksaan!”
Perwira muda itu memberi isyarat pada empat orang anak buahnya. Kelima orang ini kemudian melompat ke atas bahtera yang diapit. Hanya sesaat berlalu , dari arah bahtera itu mendadak terdengar bentakan-bentakan. Lalu salah seorang prajurit berlari menemui sang Panglima. Mukanya pucat dan mulutnya sulit mau bicara.
“Prajurit! Jaga sikapmu! Ada apa?!” Panglima membentak.
Si prajurit menunjuk ke arah perahu. “Kami menemui jenazah kakek sakti itu di geladak pukat! Hanya sosok tubuhnya! Kepalanya putus entah ke mana!”
“Apa?!” Sang Panglima tersentak kaget. Tanpa tunggu lebih usang ia segera turun dari anjungan dan melompat ke atas perahu. Selusin prajurit mengikuti. Dari bahtera besar satunya seorang perwira muda juga ikut melompat ke atas bahtera pukat bersama sepuluh prajurit.
Di atas bahtera pukat perwira muda tadi dan tiga prajurit tampak tengah mengelilingi seorang kakek bermuka setari yang pakaiannya penuh robekan dan nyaris telanjang. Sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah hanya merupakan tulang pipih memutih. Ada noda-noda darah pada kaki tulang itu. Ketika sang panglima mengalihkan pandangannya ke samping kiri , berubahlah parasnya. Di situ , di lantai bahtera tergeletak sosok tubuh tanpa kepala. Dari pakaian nya yang berkembang-kembang Panglima dan semua orang yang ada di sana sudah terang tahu siapa adanya jenazah tanpa kepala itu.
“Perwira! Siapa yang membunuh Momok Berdandan Jari Tiga utusan Penyelidik itu?!” bertanya Panglima.
Dua orang Perwira Muda yang ada di tempat itu tak bisa menjawab karena memang tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba kakek kurus tinggi berwajah setan keluarkan tawa mengekeh.
“Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit yang membunuh renta bangka tak berkhasiat itu. Rupanya ia ialah orang yang kalian suruh menyidik diriku? Ha… ha… ha! Mengirim orang tolol lihat saja akibatnya!”
Mendengar insan berwajah setan itu menyebut dirinya , semua orang yang ada di situ menjadi gentar. Beberapa di antaranya hingga tersurut mundur.
“Jadi kau makhluknya yang bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!” berkata sang Panglima.
“Setan alas! Aku sudah sebutkan siapa diriku! Kalian sendiri siapa?!”
“Kami orang-orang Kerajaan! Setahun kemudian kami punya bukti-bukti kau telah membunuh Kiyai Surah Ungu , putera Sri Baginda yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota!”
“Orang sudah menjadi setan setahun silam! Kalian tiba untuk mengambil mayatnya atau apa?! Dia sudah jadi jerangkong di pulau sana!”
“Kau mengakui perbuatanmu! Kau juga mengakui sebagai pembunuh utusan kami! Berarti tidak ada pengampunan bagi dirimu! Serahkan dirimu! Tiang gantungan sudah semenjak usang menunggumu!”
Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa bergelak.
“Kalian tiba jauh-jauh bukan saja mencari perkara. Tapi juga mencari mati!”
Datuk Tinggi tiba-tiba melompat setinggi satu tombak. Di udara ia membuat gerakan jungkir balik. Sesaat kemudian ia tegak di lantai bahtera , kepala dan tangan di sebelah bawah sedang dua kaki mengembang ke atas.
“Tua bangka gila! Akrobat apa yang hendak kau perlihatkan pada kami!” hardik sang Panglima sementara dua Perwira Muda dan belasan prajurit yang ada di sana menyaksikan perbuatan Datuk Tinggi Raja Di Langit terheran-heran.
“Makhluk-makhluk pengantar nyawa! Dulu saya bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Mulai dikala ini gelar itu akan saya kubur ke pusar bumi di dasar laut! Gelarku kini ialah Jagal Iblis Dari Makam Setan! Siapa yang mau mati duluan silahkan mendekat!”
Perwira Muda yang berada di sebelah kiri memberi isyarat pada lima anak buahnya.
“Tangkap orang gila ini!” perintahnya.
“Bunuh bila melawan! “kata sang panglima yang menyetujui tindakan bawahannya itu.
Lima prajurit menghunus senjata kemudian menyergap.
Tubuh Datuk Tinggi yang kini menyebut dirinya sebagai Jagal Iblis Dari Makam Setan melesat ke udara , berputar tiga kali berturut-turut kemudian dua kakinya yang mengembang menghantam dalam gerakan setengah lingkaran. Tiga prajurit yang mengurungnya menjerit. Dua tergelimpang di lantai bahtera dengan leher hampir putus. Yang ke tiga terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya yang bobol!
Dua prajurit lainnya terkesima. Muka mereka sepucat kain kafan menyaksikan apa yang terjadi.
“Perwira! prajurit!” teriak Panglima. “Cincang makhluk iblis itu!”
Dua Perwira Muda dan hampir dua puluh prajurit segera menghambur dengan senjata di tangan.
“Trang… trang… trang…!”
Suara berdentrangan terdengar tidak berkeputusan ketika Datuk Tinggi alias Jagal Iblis Dari Makam Setan gerakkan dua kakinya menangkis dan balas menyerang. Sepasang kaki yang hanya merupakan tulang putih itu seolah dua bilah pedang tajam yang mengamuk di udara. Pekik jerit memenuhi perahu. Enam prajurit dan seorang Perwira Muda terkapar berlumuran darah. Lima di antaranya tidak bernafas lagi. Satu-satunya yang masih hidup ialah si Perwira Muda. Tangannya yang tadi memegang pedang kini telah buntung sebatas pergelangan. Dia menjerit tiada henti.
Jagal Iblis Dari Makani Setan tertawa panjang kemudian keluarkan bunyi mirip lolongan anjing membuat semua orang jadi tercekat.
“Ambil Jaring Neraka!” teriak Panglima.
Perwira Muda satunya yang masih hidup melompat tinggalkan kalangan pertempuran. Tak usang kemudian ia muncul bersama dua orang prajurit bertubuh tinggi besar. Dua prajurit ini membawa sebuah jaring besar terbuat dari kawat baja. Jaring ini mengeluarkan bunyi bergemerisik menakutkah. Tapi Jagal Iblis Dari Makam Setan hanya ganda tertawa melihat benda itu.
“Libas!” teriak Perwira Muda memberi perintah. Dua prajurit bertubuh besar gerakkan sepasang tangan , mereka.
“Sreeettt!”
Jaring kawat baja itu menebar di udara , menyapu ke arah sosok Jagal Iblis yang masih tegak dengan kepala ke bawah kaki ke atas. Tiba-tiba dua kaki tulang putih itu berkelebat dan berputar laksana titiran. Terdengar bunyi putus robeknya jaring kawat baja. Disertai jeritan susui menyusul. Dua prajurit bertubuh besar menemui kematian lebih dulu. Keduanya mati dengan pinggang hampir putus. Menyusul si Perwira Muda. Semua orang hanya melihat sosok tubuhnya terkapar di lantai perahu. Kepalanya tak ada lagi!
Semua orang yang masih hidup menjadi gempar. Serempak mereka melompat menjauhi lantai bahtera kalangan perkelahian yang kini berair tergenang darah!
Jagal Iblis Dari makam Setan tertawa panjang.
Panglima yang melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri merasa cuek tengkuknya. Meski nyalinya tergetar hebat namun sebagai pimpinan ia tidak mau memperlihatkan. Dia segera mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggangnya. – Senjata ini bukan senjata sembarangan. Merupakan sebuah mustika hadiah Sri Baginda karena jasa-jasanya. Karena dilapisi sejenis perak maka pedang ini memancarkan cahaya putih menyilaukan.
“Panglima! Kau mau maju sendiri atau mengajak belasan anak buahmu?!” Jagal Iblis Dari Makam Setan ejekan pertanyaan yang jelas-jelas sengaja mengejek.
Sang Panglima menjawab dengan mengirimkan satu tebasan. Yang di arahnya ialah penggalan leher lawan yang berada di sebelah bawah.
“Wuuuuuttt!”
Kaki kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan menyambar ke arah leher lawan. Sang Panglima cepat merunduk sambil teruskan membabat dengan pedangnya. Demikian derasnya sambaran senjata ini hingga mengeluarkan bunyi bersiuran dan ada hawa cuek menyambar keluar dari tubuh pedang.
“Wuuuuuttt!”
Tiba-tiba kaki kiri Jagal Iblis ganti berkiblat. Yang di arah ialah penggalan perut. Mau tak mau sang Perwira terpaksa tarik pulang serangannya dan pergunakan senjata untuk menghantam kaki kiri lawan. “Trangg!”
Pedang dan kaki beradu mengeluarkan bunyi berdentrangan seolah kaki tulang putih itu sebilah senjata tajam yang atos.
“Traaaak!”
Panglima Kerajaan berseru tegang ketika bentrokan senjata dengan kaki membuat pedangnya patah dua! Dia melompat coba selamatkan diri. Tapi malang salah satu kakinya terpeleset oleh licinnya darah yang menggenangi lantai perahu. Tak ampun lagi tubuhnya terhuyung jatuh. Di dikala yang bersamaan laksana sebuah gunting raksasa kaki kiri dan kaki kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan tiba menyambar. Sang Panglima mengalami nasib sama dengan Momok Berdandan Jari Tiga serta Perwira Muda dan beberapa prajuritnya. Mati dengan kepala teria bas putus!
Sisa-sisa prajurit yang masih hidup runtuh dan leleh nyali mereka. Semua berserabutan menghambur lari ke bahtera besar masing-masing.
Datuk Tinggi Raja Di Langit alis Jagal Iblis Dari Makam Setan tertawa panjang kemudian berjungkir balik. Kembali tegak dengan kaki ke bawah kepala di atas.
*
* *
DI ATAS bahtera kecil Iblis Pemalu duduk melipat kaki. Wajahnya disembunyikan di belakang sepasang telapak tangannya yang diletakkan di atas paha.* *
Sabai Nan Rancak yang duduk di ujung bahtera menghadapi Iblis Pemalu pandangi orang itu dengan banyak sekali perasaan. Ada rasa absurd , heran tetapi juga ada rasa penuh curiga. Setelah pulau kecil itu lenyap di kejauhan Sabai Nan Rancak membuka lisan berusaha mengorek keterangan.
“Waktu di tanah Jawa tempo hari kau memperlihatkan perilaku bermusuhan denganku. Sekarang kau kelihatannya sengaja menolongku! Iblis Pemalu kau menyembunyikan maksud busuk apa dalam hatimu terhadapku?!”
“Uhhhh….” Iblis Pemalu menggeliatkan tubuhnya mirip orang bangun tidur namun wajahnya tetap saja disembunyikan di balik ke dua paha dan ke dua tangannya. “Pada dasarnya saya tidak pernah merasa punya musuh! Buat apa! Memalukan saja! Sudah renta bangka mencari musuh! Hanya belum dewasa tolol yang suka bermusuhan hanya gara-gara urusan sepele! Hidup paling lezat ialah menjadi sahabat semua orang! Tidak memalukan! Aku juga tidak merasa menolongmu!. Apa untungnya? Buktinya kau malah meragukan diriku mengandung dan menyembunyikan maksud busuki Sungguh saya merasa malu!
Ucapan polos itu membuat wajah si nenek menjadi merah karena jengah terasa diejek. Maka ia coba bicara berbaik-baik. “Waktu di atas bahtera saya berjanji memperlihatkan salah satu dari dua senjata sakti milik Datuk Tinggi. Aku tidak akan mengingkari janji!”
Kau boleh menentukan salah satu dari dua senjata ini. Mantel Sakti atau Mutiara Setan di dalam kantongi”
Iblis Pemalu geleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu siapa diriku! Aku sangat malu mendapatkan sumbangan apa saja. Apalagi kalau disangkutpautkan dengan pertolongan. Seolah saya ini orang yang suka mencari pamrih! Aku malu mendapatkan tawaranmu. Tapi saya tidak malu mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu….”
Aku bukan orang baik!” kata Sabai Nan Rancak.
Iblis Pemalu tertawa panjang di balik paha dan telapak tangannya.
“Mengapa kau tertawa. Ada sesuatu yang kau anggap lucu?!” tanya Sabai Nan Rancak heran.
“Manusia tidak bisa menilai dirinya sendiri. Orang lain yang menilai orang lain. Jangan sebaliknya karena itu hanya akan memalukan saja! Aku bilang kau orang baik! Karena begitu saya melihatnya. Aku tidak malu menyampaikan begitu….”
Sabai Nan Rancak menarik nafas dalam.
“Mengapa kau menarik nafas? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?! Coba katakan kalau kau tidak malu! Aku juga tidak malu mendengarkannya!”
“Terlalu banyak yang mengganjal di hatiku!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Ya… ya! Aku tahu kau punya silang sengketa dengan Tua Gila. Lalu dengan muridnya berjulukan Wiro Sableng itu. Entah dengan siapa lagi. Mungkin dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit itu…. Mungkin kau masih punya banyak problem lain yang saya tidak tahu. Aku malu menanyakan. Kau juga pasti malu menceritakan. Itu namanya hidup. Semua sudah tersurat sebelum kita dilahirkan! Apa kau anggap takdir itu memalukan?”
“Takdir…. Kau anggap jalan hidup seseorang itu ialah satu takdir?!”
“Aku tidak malu menyampaikan iya! Karena insan hanya bisa berbuat tapi takdir yang menentukan! Mengapa harus malu mengakuinya? Mengapa harus malu menghadapi hidup! Biar segala yang memalukan menjadi penggalan diriku si buruk ini!”
Sabai Nan Rancak tertawa.
“Nah , nah! Tawamu sekali ini polos. Benar-benar keluar dari lubuk hati yang putih. Aku suka , saya tidak malu mendengarnya. Nek , bekerjsama kalau insan mau kembali kepada hati nurani , kembali ke lubuk sanubarinya segala urusan di dunia ini mudah-mudah saja. Tak bakal ada silang sengketa. Tak akan ada dendam kesumat. Tak akan ada permusuhan , apa lagi pembunuhan! Tak hingga membuat kita jadi malu besar! Tapi apa mau dikata. Begitu yang namanya hidup di dunia. Memalukan!”
Lama Sabai Nan Rancak pandangi orang yang duduk di hadapannya itu yang terus-terusan selalu menutupi wajahnya. “Manusia satu ini tampaknya serba aneh. Sikap dan bicaranya. Tapi saya merasa bekerjsama ia seorang pandai berhati polos.”
“Iblis Pemalu , kalau saya boleh bertanya siapakah kau ini sebenarnya?” tanya si nenek sambil mendayung membelokkan bahtera kemudian mengatur arah layar.
Perlahan-lahan Iblis Pemalu angkat kepalanya dari atas paha. Namun dua tangannya tetap menutupi hingga Sabai Nan Rancak tetap tak bisa melihat terang raut wajah orang yang duduk erat di hadapannya itu.
Dari sela-sela jarinya sepasang mata Iblis Pemalu pandangi wajah Sabai Nan Rancak. Dipandang mirip itu si nenek jadi gelisah dan rahasia tergetar hatinya. Jantungnya berdebar. Seolah pandangan mata orang di depannya itu menimbulkan satu kontak yang terasa absurd dalam dirinya.
Tiba-tiba terdengar bunyi tawa Iblis Pemalu.
“Nenek , kau ini bagaimana. Kau sudah tahu siapa namaku. Bagaimana sifatku. Bagaimana tindak tandukku. Mengapa kau masih bertanya siapa saya sebenarnya?! Ah! Aku jadi malu! Malu sekali!”
Sabai Nan Rancak ulurkan tangannya memegang lengan kanan Iblis Pemalu. Si nenek terkejut ketika jari-jarinya menyentuh lengan orang itu , kulit lengan itu terasa lembut dan sangat halus. Debaran di dada Sabai kembali muncul. Dengan bunyi perlahan ia berkata. “Siapapun kau adanya saya tahu ada sesuatu yang membuatmu sengaja memperlihatkan perilaku absurd , mirip orang pemalu. Itu bukan sikapmu yang sesungguhnya. Kau mungkin murka atau mungkin malu sekali mendengar kata-kataku ini. Namun….”
Sapai Nan Rancak tidak meneruskan ucapannya karena dikala itu Iblis Pemalu telah berdiri. Dua tangannya masih terus menutupi Wajahnya. “Siapapun adanya diriku , saya tetap aku! Memalukan!” Terdengar bunyi Iblis Pemalu. Tapi suaranya kali ini terasa ada getaran anehnya.
“Ada bahtera mendatangi!” Tiba-tiba iblis Pemalu berkata seraya berpaling ke arah kiri.
Sabai Nan Rancak memandang ke jurusan yang diperhatikan Iblis Pemalu. Apa yang dikatakan memang benar. Sebuah bahtera kecil meluncur pesat dari arah daratan pulau Andalas. Setelah erat penumpangnya hanya satu orang renta dan bertampang luar biasa absurd yang membuat baik Sabai Nan Rancak maupun Iblis Pemalu jadi agak bergeming.
Orang itu tegak di atas bahtera yang diapungkan sekitar dua tombak dari bahtera dimana Sabai dan iblis Pemalu berada. Di tangan kanannya ia memegang sebuah kayu pendayung. Tubuhnya tinggi besar sehingga bahtera yang ditumpanginya tampak kecil. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Sepasang alisnya bergabung menjadi satu membentuk satu alis absurd yang tebal. Pada wajahnya yang hitam legam terdapat dua belas lubang hitam. Rambutnya jabrik kasar mirip ijuk. Yang membuatnya lebih mengerikan , ialah sebuah lubang luka yang belum kering dan masih bernanah menggeroak di bawah pundak kanannya!
Orang bermuka angker ini menyeringai kemudian berseru. “Sabai Nan Rancak! Dicari di daratan sulit sekali , di tengah maritim gres bertemu!”
“Kalau saya tidak keliru , apakah kau yang di atas bahtera ialah orang gagah yang dijuluki Hantu Balak Anam?!” Sabai Nan Rancak balas berseru.
Si tinggi besar di atas bahtera kecil tertawa bergelak.
“Kalau tidak ada urusan penting , tak bakal kau mencariku hingga ke tengah maritim begini!”
“Kau pandai menerka!” jawab Hantu Balak Anam. “Memang pertemuan ini kurang mengenakkan.” Hantu Balak Anam melirik pada Iblis Pemalu kemudian bertanya. “Siapa orang absurd yang selalu menutupi wajahnya dengan dua tangan itu?!”
“Dia seorang sahabat baikku , tak perlu dirisaukan!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Aku percaya saja padamu. Walau biasanya setahuku orang-orang absurd selalu membawa urusan pelik!”
“Hantu Balak Anam. Ada apa kau mencariku?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku tiba membawa satu pertanyaan!”
Si nenek tersenyum. “Hanya untuk satu pertanyaan kau sampai-sampai bersusah payah mencegatku di tengah laut! Apa pertanyaan yang hendak kau ejekan itu? Ingin sekali saya mendengarnya!”
“Apakah kau punya kekerabatan tertentu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?”
Pertanyaan itu membuat si nenek terkejut tapi ia pandai menjaga biar air mukanya tidak berubah.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi yang di puncak Singgalang itu! Siapa tidak kenal dirinya! Semua tokoh silat di pulau Andalas kurasa pernah berafiliasi dengannya! Ada sesuatu yang luar biasa agaknya?”
“Aku punya firasat ia ialah biang racun segala kerusuhan di pulau Andalas!”
Sabai Nan Rancak tertawa panjang. “Kau ini ada-ada saja Hantu Balak Anam….”
“Kau mau buktinya!” ujar Hantu Balak Anam. Baju hitamnya dirobeknya di penggalan pundak dan dada kanan hingga luka berlubang yang tembus dari dada hingga ke punggung terpentang terang mengerikan. “Ini buktinya Sabai Dia hendak membunuhku dengan ilmu kesaktian Sepasang Api Neraka!”
“Ah , kalau ada silang sengketa di antara kalian hanya kalian berdua yang sanggup menyelesaikan….”
“Silang sengketa sudah terjadi. Lantai sudah terjungkat! Urusan antara saya dengan ia hanya selesai bila salah satu dari kami menemui ajali” Hantu Balak Anam kelihatan bergairah sekali. “Sabai , kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau punya kekerabatan tertentu dengan Sutan Alam?”
“Hemm…. Bagaimana saya harus menjawab. Hubunganku dengan ia biasa-biasa saja….”
“Biasa-biasa bagaimana?! Aku ingin tahu!”
“Seperti kekerabatan para tokoh golongan putih lainnya!”
“Kau perempuan. Sutan Alam laki-laki! Jangan berusaha menyembunyikan sesuatu Sabai!”
“Hantu Balak Anam. Selama ini kita memang kurang erat tapi ada pertalian persahabatan antara kita. Jika kau bicara yang bukan-bukan apa lagi berani kurang asuh , saya akan menambahkan sepuluh lubang di sekujur tubuhmu!”
Hantu Balak Anam tertawa bergelak.
Iblis Pemalu semenjak tadi sudah gatal lisan hendak bicara. Tapi Sabai Nan Rancak memberi isyarat biar ia membisu saja hingga tidak membuat suasana bertambah keruh.
“Kalau kau tidak ada pertanyaan lain , kami akan meneruskan perjalanan!”
Hantu Balak Anam lambaikan tangannya. “Satu ha! harus kau ingat baik-baik Sabai. Jika di kemudian hari tertangkap tangan kau memang punya kekerabatan tertentu dengan Sutan Alam , saya akan kembali menemuimu. Pada dikala itulah saya terpaksa membunuhmu!”
“Ajal datangnya memang tidak terduga Hantu Balak Anam. Akan kita lihat siapa yang duluan mati di antara kita!” jawab Sabai Nan Rancak seraya lontarkan seringai dingin.
Hantu Balak Anam celupkan dayungnya ke dalam air. Perahu kecilnya berputar kemudian melesat ke arah timur.
“Manusia memalukan! Siapa ia Nek?” bertanya Iblis Pemalu.
“Seorang tokoh di daratan Andalas. Dulu sikapnya baik-baik saja. Kini mirip ada yang menyengatnya.”
“Lalu siapa pula Sutan Alam Rajo Di Bumi yang disebutnya tadi? Manusia memalukan juga?”
Sabai tersenyum. “Sutan Alam seorang tokoh sahabat segala tokoh golongan putih rimba persilatan pulau Andalas. Ada lagi yang hendak kau tanyakan Iblis Pemalu?”
iblis Pemalu menatap si nenek dari celah-celah jari tangannya. “Nek , kini kau sudah mempunyai dua senjata dahsyat. Kau akan jadi seorang tokoh besar. Kau tidak akan pernah merasa malu lagi. Tidak sembarang orang sanggup menghadapimu. Tentunya kini kau bersemangat mencari Tua Gila , musuh besarmu itu.”
“Aku memang telah mempunyai dua senjata hebat. Tapi tugasku jadi tambah berat…” jawab Sabai Nan Rancak.
“Eh , mengapa kau bicara memalukan mirip itu? Bukankah berarti kau akan lebih praktis menghabisi kakek itu? Memalukan) Kau berkata tugasmu jadi berat. Memangnya ada yang menugaskanmu melaksanakan semua itu?! Jangan mau jadi orang suruhan Nek. Jangan hingga dirimu dibentuk malu!”
Sabai Nan Rancak terdiam. Kemudian ia tampak tersenyum.
“Kalau tugasmu memang berat biar tidak memalukan apakah menurutmu saya bisa menolong?!”
“Apa yang jadi tugasku ialah urusanku sendiri. Terima kasih kau mau membantu. Tapi kurasa saya bisa melakukannya sendiri.”
“Ah , bagaimana ini Nek. Aku jadi malu mendengarnya. Tadi kau bilang tugasmu jadi berat. Mau ditolong kau menolak malu. Apa bekerjsama kiprah beratmu itu Nek?”
“Aku harus membunuh Tua Gila….”
“Itu saya sudah tahu. Kau tidak malu menyampaikan saya tidak malu mendengarkan! Apa kiprah lainnya yang kau katakan sebagai tambah berat itu?”
Sabai Nan Rancak tak segera menjawab. Dia merasa bimbang memberi tahu. Namun sesudah berpikir tak ada salahnya memberi tahu maka ia pun berkata. “Selain Tua Gila saya juga harus membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sinto Gendeng.”
Sepasang mata Iblis Pemalu memancarkan kilatan absurd mendengar keterangan si nenek. Tapi kemudian ia tertawa cekikikan. “Benar kataku tadi Nek. Hidup dan kehidupan insan tidak lebih dari sebuah , takdir! Kebanyakan merupakah takdir memalukan. Hik… hik… hik. Aku sendiri merasa malu karena tidak tahu bagaimana cara matiku kelak! Mati karena sakit atau mati dibunuh orang! Aku malu! Hik… hik… hik! Tapi Nek , bagaimana kalau Datuk Tinggi mengejarmu?”
“Dia akan mati dengan senjata miliknya sendiri yang diberikan padaku!” jawab Sabai.
“Ah , memalukan! Senjata makan tuan!”
“Aku ingin bertanya , apakah Wiro Sableng dan Sinto Gendeng itu sahabatmu?” Sabai ejekan pertanyaan sambi! menatap tajam pada Iblis Pemalu.
“Uhhhh! Memalukan! Aku sudah bilang saya tidak punya musuh di dunia ini. Malah yang namanya Sinto gendeng saya belum pernah melihat ujudnya! Memalukan sekali!”
“Apa yang saya katakan padamu ini ialah rahasia kita berdua. Jika hingga bocor , terpaksa saya membuat kepalamu menjadi bocor!”
“Kepala bocor! Aduh malunya!” kata Iblis Pemalu. Lalu ia kembali duduk mencangkung di lantai perahu. Seperti tadi kepalanya yang ditutup tangan kini ditempelkannya di atas ke dua pahanya.
“Kita harus segera melanjutkan perjalanan menuju daratan besar pulau Andalas ,” kata Sabai Nan Rancak.
“Ya… ya! Memalukan kalau kita hingga kemalaman di tengah laut!” jawab Iblis Pemalu.
Sabai Nan Rancak ambil dua buah kayu pendayung. Begitu ia mengayuh bahtera itu seolah melesat , meluncur pesat di atas permukaan air laut.
*
* *
* *
TAMAT
Episode berikutnya :
UTUSAN DARI AKHIRAT
Episode berikutnya :
UTUSAN DARI AKHIRAT
No comments for "Jagal Iblis Makam Setan WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"
Post a Comment