Guci Setan WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIR0 SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tit0

EP : GUCI SETAN
SATU

Lereng gunung Merbabu di stu malam buta tanpa bulan tanpa bintang.

Udara hirau taacuh bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa tempat behkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar bunyi l0l0ngan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya laksana membeku dalam hirau taacuh yang luar biasa.

Sekali terdengar l0l0ngan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi menderu tak berkeputusan menyerupai ada sesuatu yang menggerus menjalar perut gunung.
Dalam kegelapan yang kini mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata ada empat s0s0k tinggi besar bergerak menuju ke timur. S0s0k pertama ialah se0rang pria berpakaian serba hitam. Baujnya tidak berkancing. Dadanya kelihatan penuh ditumbuhi bulu lebat. Bulu ini juga tampak di sepanjang kedua lengan dan kakinya. Tampangnya yang sangar dan buas hampir tertutup 0leh rambut g0ndr0ng berantakan , kumis lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brew0k cambang bawuk yang meranggas liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan berkilat-kilat 0leh nyala api. Sebenarnya 0rang ini belum mencapai usia empat puluhan namun keadaan dirinya yang menyerupai itu menciptakan dia menyerupai sudah berumur hampir setengah abad.
Ada beberapa abn0rmalitas yang menciptakan 0rang bergidik pada insan satu ini , yang berlari di sebelah depan. Di pundak kirinya dia memanggul ses0s0k tubuh wanita yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat semenjak dua ahad lalu. Mayat ini tidak hingga rusak atau membusuk lantaran sebelumnya telah disiram dengan sejsnis 0bat pengawet. Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu ialah mayat se0rang wanita muda berwajah cantik. Namun sepasang matanya yang membeliak menghapus kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga rambut panjang riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka dalam melintang.
Lelaki tinggi besar ini ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu disambung dengan sebatang besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah r0da bergerigi. Dengan r0da gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung dalam kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga 0rang di belakangnya sering-sering tertinggal jauh.
Dalam pelukan tangan kanannya 0rang berpakaian serba hitam ini membawa sebuah guci yang cuilan luarnya berukir wajah-wajah setan menyeramkan , berselang seling dengan gambar tengk0rak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta pengecap api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan , menerangi tempat-tempat yang dilalui dan terutama sekali menerangi tampang menyeramkan 0rang itu.
Di sebelah belakang lelaki yang memanggul mayat wanita dan membawa guci berapi berlari cepat tiga 0rang berpakaian serba merah. Tampang masing-masing tak kalah menyeramkan dan buas. Yang satu mempunyai wajah berwarna hitam. Satunya lagi bertampang hijau sedang yang ketiga bermuka biru gelap. Masing-masing mereka memanggul sebuah pikulan di pundak kanan. Pada ujung pikulan di atas pundak tergantung sebuah keranjang yang terbuat dari r0tan.
“Ramada!” seru salah satu dari ketiga lelaki yang berlari di belakang dan berwajah hitam pada 0rang yang membawa mayat dan guci. “Kita sudah berlari serasa seabad. Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!”
“Betul sekali Ramada!” ikut membuka verbal lelkai bermuka hijau. “Kalau hingga tersesat di gunung ini celakalah kita!”
“Tengg0r0kanku sudah kering! Nafasku menyerupai mau keluar dari ubun-ubun.
Apakah kita tidak bisa berhenti barang sebentar?!” berkata lelaki berpakain merah ketiga yaitu yang mukanya berwana biru gelap.
Sepertinya 0rang yang di sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan menciptakan tiga 0rang di belakangnya menjadi beng0ng kecut.
“Kalian bertiga kurcaci-kurcaci t0l0l! Dengar baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku Ramada tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut gunung merbabu ini menyerupai saya mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara kalian yang merasa haus atau lapar , minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan k0t0ranmu sambil berlari!”
Tiga lelaki berpakai merah jadi terbungkam kecut.
“Aku ingin mendengar jawaban kalian!” 0rang berjulukan Ramada berteriak.
“Maafkan kami Ramada!” kata ketiga 0rang itu berbarengan.
Ramada meludah ke tanah. Dia terus meluncur di atas r0da besinya. Tiga 0rang anak buahnya itu mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.
Berlari sekitar sepenanakan nasi di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala api kecil. Ramada segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga 0rang di belakangnya.
Mereka berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata ialah nyala sebuah 0b0r kecil yang berkalp kelip menunjukan minyaknya hampir habis. 0b0r ini tergantung pada sebuah tiang besi sebuah bangunan beratap seng yang sekelilingnya dibatasi dengan pagar besi setinggi tubuh insan dan pintunya digemb0k hingga tiga buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak sekali sarang labah-labah. Ada enam ek0r labah-labah besar kelihtan mendekam dalam dinginya udara malam.
Sebuah makam terbuat dari kerikil tampak menghitam angker dalam bangunan beratap seng itu. Di atas makam ada taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri makam di atas sebuah kerikil rendah panjang tampak duduk bersila se0rang lelaki berjanggut dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu terperinci terlihat.
Blangk0n dan pakaian hitam yang dikenakannya sudah renta dan lusuh. 0rang ini duduk bersila memejamkan mata. Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau dia tengah bersemedi maka ini ialah cara bersemedi yang aneh.
Ramada menggerakkan kepalanya hingga keringat yang membasahi tambutnya berlesatan ke udara. Dia berpaling pada tiga 0rang di belakangnya.
“Kita tidak salah tiba ke tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran Ban0w0 dan 0rang yang bersemedi itu niscaya kuncen penjaga makam. Namanya Ki Ageng Lentut.”
Tiga 0rang lelaki berpakaian merah hanya menganggukkan kepala. Sejak dibentak tadi meraka belum berani membuka verbal lagi. Takur salah berucap.
Ramada maju mendekati pintu besi yang digemb0k tiga. Dia mendehem keras keras kemudian berkata dengan bunyi keras.
“Ki Ageng Lentut , salam bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai petunjuk saya tiba untuk meminta klarifikasi atas beberapa hal yang tidak saya ketahui!”
0rang yang duduk di samping makam tidak bergerak. Kepalanya masih tertunduk dan tangannya masih terletak di atas bahu.
Ramada menunggu sebentar. Ketika tak kunjung ada gerakan atau jawaban dari 0rang di samping makam maka diapun berteriak lebih keras , mengulang ucapannya tadi.
Tapi 0rang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak menawarkan jawaban.
Ramada mulai jengkel. “Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!”
Dia berpaling pada salah se0rang anak buahnya dan berkata “Jalak Item. Amil kerikil itu dan lemparkan pada si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!”
0rang yang berjulukan Jalak Item yang mukanya memang berwarna hitam sesaat tampak bimbang. “Ramada….” Katanya setengah berbisik , “aku kawatir kita berlaku kurang latih dan menyalahi aturan. Kuncen itu….”
“Setan! Kataku ambil kerikil di erat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga kuburan itu!” hardik Ramada.
Jalak Item terpaksa membungkuk. Begitu menggenggam kerikil dia tidak segera melempar. Hatinya berdebar. Dia memandang pada kedua temannya Jalak Ij0 dan Jalak Biru. Kedua 0rang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat ataupun mengeluarkan ucapan.
“Jalak Item! Kau tunggu apa lagi!” hardik Ramada.
Jalak Item akhirnya garakkan tangannya yang memegang batu. Batu sebesar kepalan itu dilemparkannya kea rah kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping makam. Jalak Ij0 dan Jalak Biru menahan nafas sementara Ramada tampak menyeringai.
Sejengkal lagi kerikil besar itu akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara gila kerikil itu berbalik mencelat kencang kea rah Jalak Item.
“Jalak Item! Awas kepalamu!” teriak Jalak ij0.
Jalak Item cepat mel0mpat mundur sambil menundukkan kepalanya. Tapi terlambat. Batu itu datangnya secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri Jalak Item dengan telak.
Crr0000tttt!
Batu besar menghancurkan mata kiri Jalak Item. Darah dan hancuran mata muncrat keluar. Jeritan Jalak Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan berguling-guling beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia men0t0k salah satu cuilan leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih terus mengucur dari matanya yang hancur , menutupi sebagian muka Jalak Item hingga tampak mengerikan.
Dari arah makam tiba-tiba terdengar bunyi tertawa mengekeh.. Disusul bunyi 0rang menegur.
“Tamu-tamuku yang terh0rmat , apakah kalian mendapatkan kesulitan?
Mungkin saya isa membantu?!”
Jalak Ij0 dan Jalak Biru melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap mata kirinya sementara tangan kanannya menjangkau pikulannya.
Ramada memalingkan kep[ala kea rah makam. Kuncen berkumis dan berjanggut putih itu dilihatnya masih menyerupai tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala tertunduk.
“Hemmm…. Kalau bukan dia tadi yang bicara siapa lagi?” kata Ramada dalam hati. “Jika saja saya tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur tubuhnya anjing keparat ini dikala ini juga!” Setelah memaki begitu Ramada keluarkan tawa panjang kemudian berkata.
“Ki Ageng Lentut , ternyata nama besarmu bukan hisapan jemp0l belaka!”
“Tamu-tamu yang tiba dari jauh , mengapa tidak masuk ke sini!” Kuncen erat makam berkata. Kepalanya terangkat sedikit. “Cepatlah masuk. Aku tidak akan mendapatkan tamu pada dikala 0b0r di tiang timur habis minyaknya dan padam!”
“Terima kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu pagar makam terkunci. Ada tiga gemb0k besar menghalangi. Apakah harus kuremukkan dulu dengan tangan k0s0ng?!” ujar Ramada.
DUA

Dari arah makam terdengar bunyi mengekeh sang kuncen yang berjulukan Ki Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya tengakat sedikit.
“Aku tahu kehebatan tangan dan kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal Ramada Sur0 Jelantik , raja di raja t0k0h persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa menghancurkan tiga buah gemb0k besar itu dengan tangan k0s0ng. Tapi apakah ada gunanya? Merusak itu tidak ada manfaatnya! Lagi pula tiga buah gemb0k itu ialah benda-benda pusaka yang usianya hampir dua kali usiamu!”
Dalam hatinya Ramada jadi tercekat. “Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi dia hanya menundukkan kepala , tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas. Tapi bagaimana dia tahu nama dan diriku? Benar-benar insan berkepandaian tinggi!”
“Kuncen makam Pangeran Ban0w0 berjulukan Ki Ageng Lentut. Bagaimana kau bisa tahu bahwa yang tiba ini saya Ramada Sur0 Jelantik?” Ramada tak sanggup menahan rasa ingin tahunya.
Sang kuncen di samping makam tertawa perlahan.
“Di dunia ini siapa manusianya yang berjalan laksana angin di atas r0da besi yang hebat kalau bukannya Ramda Sur0 Jelantik? Dari jauh kudenar bunyi alat yang bisa membuatmu berlari dengan kecepatan setan! Lalu kuc0c0kkan dengan amis badanmu! Tidak salah lagi. Kau memang Ramada Sur0 Jelantik!”
Ramada memaki lagi dalam hati kemudian menarik nafas dalam dan akhirnya menyeringai.
“Ki Ageng Lentut , kuncen makam Pangeran Ban0w0. Kami ingin masuk , harap kau suka membuka tiga buah gemb0k!” Akhirnya Ramada berkata.
“Baiklah , saya akan bukakan pintu pagar!” Kuncen di samping makam angkat tangan kanannya kemudian digerakkan tiga kali.
Trekk….terkk…..treekkkk!
Terdengar bunyi berkereketan tiga kali berturut-turut. Tiga buah gemb0k besar di pintu pagar makam tampak tersentak-sentak kemudian terbuka secara aneh. Bersamaan dengan itu pintu besi yang berat bergeser membuka dengan mengeluarkan bunyi berkereketan.
“Para tamu dari jauh silakan masuk….” Terdengar kuncen makam berkata.
Tanpa ragu-ragu Ramada melangkah melewati pintu. Jalak Ij0 dan Jalak Biru mengikuti dari belakang. Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata “Aku tidak ikut masuk. Kuncen keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata kiriku!”
Dari arah makam sang kuncen menyahuti. “Setiap amal perbuatan ada ganjarannya. Kalau baik akan mendapatkan ganjaran yang baik. Kalau jahat akan mendapatkan tanggapan yang jahat. Tinggal insan mau menentukan yang mana. Kalau sampeyan tidak mau diajak masuk , siapa mau memaksa…?”
“Sudah! Kau tinggal saja di luar sana Jalak Item!” kata Ramada pada anak buahnya itu kemudian meneruskan langkah masuk ke dalam makam.
Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Kini kelihatan wajahnya lebih jelas. Satu wajah renta kelimis dengan janggut dan kumis putih yang terpelihara rapi. Keningnya tinggi dan rahangnya tampak k0k0h.
“Ramada , saya tak mengira banyak sekali bawaanmu ,” kata Ki Ageng Lentut.
Pandangannya menyambar ke arah guci kerikil yang ada dalam dekapan tangan kanan Ramada. “Dan bukan Ramada namanya kalau tidak membawa benda-benda aneh.
Kau b0leh meletakkan mayat yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci itu erat kerikil tempat dudukku!”
“Maafkan saya Ki Ageng Lentut. Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam.
Tapi guci ini biar tetap kupegang di tangan kanan….!” Kata Ramada Sur0 Jelantik.
Sang kuncen tersenyum.
“Ah , rupanya guci itu jauh lebih berharga dari mayat wanita muda dan manis yang kau bawa.”
“Kira-kira begitu Ki Ageng Lentut ,” jawab Ramada.
Sang kuncen usap janggut putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada dalam dekapan tangan kanan Ramada. Pandangannya beralih ke arah mayat yang terbujur di atas makam. Lalu dia bertanya “Ramada , mayat siapakah yang kau bawa ini?”
“Mayat istriku Ki Ageng….”
Ki Ageng Lentut keluarkan seruan tertahan disertai pandangan mata menyerupai tidak percaya. Lalu digeleng-gelengkannya kepalanya.
“Ah , rupanya t0k0h besar dunia persilatan dating membawa nasib malang.
Aku turut berduka Ramada. Namun apakah bekerjsama yang telah terjadi? Aku melihat istrimu mati dengan sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di erat lehernya. Setahuku istrimu menguasai ilmu silat dan kesaktian yang tidak rendah.
Bagaimana mungkin dia bisa menemui kematian menyerupai ini? Bebanmu berat amat Ramada.
Membawa mayat istrimu kemana-mana…..”
“Aku akan membawanya hingga ke neraka sekalipun. Aku tidak akan menguburnya sebelum menemukan pembunuhnya!”
“Jadi istrimu mati dibunuh 0rang!”
“Betul sekali Ki Ageng. Aku berusaha mencari tahu siapa 0rangnya. Tapi hingga dikala ini masih gelap. Itu sebabnya saya tiba dari jauh untuk menemuimu guna mendapat petunjuk! Itu pula sebebnya saya membawa guc keramat yang berjulukan Guci Setan ini. Menurut banyak 0rang hanya kau yang bisa melihat kealam ghaib lewat guci ini.”
Kuncen makam Pangeran Ban0w0 itu memandangi guci di tangan Ramada dengan sepasang mata berkilat-kilat.
“Guci Setan…..” desisnya. “Sudah lama saya mendengar nama benda ini. Guci misterius yang bisa mendatangkan sejuta kebajikan tapi juga bisa menyebabkan sejuta angkara murka! Guci yang selama ratusan tahun gentayangan dari satu tangan 0rang
pandai ke tangan 0rang pandai lainnya. Menjadi rebutan dalam dunia persilatan.
Bagaimana benda keramat ini hingga berada di tanganu Ramada?”
“Panjang ceritanya Ki Ageng. Harap dimaafkan , saya tiba kemari bukan untuk menuturkan riwayat Guci Setan ini , tapi untuk minta bantuanmu , t0l0ng melihat lewat guci , siapa kiranya insan keparat yang telah membunuh istriku.”
“Jika itu maksud tujuanmu , saya akan membantu. Praktis saja melakukannya.
Memang hanya saya yang bisa untuk melihat dan menembus kea lam mistik lewat guci sakti itu. Letakkan guci itu di hadapanku Ramada.”
“Tidak Ki Ageng. Apapun yang akan kau lakukan guci ini tetap harus berada dalam dekapanku ,” jawa Ramada Sur0 Jelantik.
Kuncen renta itu tersenyum. “Kau tidak percaya padaku rupanya Ramada?”
“Kepercayaan di atas dunia ini kini hanya setipis embun pagi Ki Ageng.
Terserah , kau mau men0l0ngku dengan cara begini ataau saya akan pergi saja.”
“Baiklah , kalau kau memang lebih suka begitu saya tidak akan membantah.
Sekarang katakana berapa banyak harta dan uang yang akan kau berikan padaku sebagai upah melaksanakan permintaanmu?”
Ramada Sur0 Jelantik menyeringai. Dirabanya janggut dan cambang bawuknya yang meranggas kasar.
“Kau lupa Ki Ageng. Aku sudah membayarnya tadi!”
“Eh , apa maksudmu Ramada?” tanya kuncen makam terheran-heran.
“Aku sudah membayar dengan mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur hingga kini dia menjadi cacat buta seumur hidup! Apa itu belum cukup?!”
Berubahlah paras Ki Ageng Lentut. Mulutnya terbuka hendak menyampaikan sesuatu tapi cepat dip0t0ng 0leh Ramada. “Aku tahu , kau akan berkata tragedi itu tanggapan salah anak buahku sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara mengingatkan sahabat dalam dunia persilatan! Batu yang dilemparkannya bisa saja kau buat mental ke jurusan lain! Bukan utnuk menghantam matanya hingga cidera menyerupai itu!”
Ki Ageng Lentut terdiam. Lalu dia berkata “Kurasa aku….”
Ramada Sur0 Jelantik menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ij0. “Jalak Ij0 , kurasa hewan peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk di atas atap makam. Mengapa kau tidak menyuruhnya menyantap tiga dari enam labah-labah itu?”
Jalak Ij0 menyeringai. Pikulan di atas bahunya diturunkan. Keranjang yang ada di ujung pikulan diletakkannya di atas pangkuannya. Perlahan-lahan epil0g keranjang r0tan itu dibukanya. Begitu epil0g keranjang terbuka tiba-tiba melesat sebuah benda panjang berkepala lebar pipih , berwarna hijau disertai bunyi mendesis.
“Ular K0bra!” seru Ki Ageng Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di atas kerikil yang didudukinya. “Ramada , jangan main-main. Binatang itu sangat beracun.
Sekali patuk saja jangankan manusia. Gajah saja niscaya mati! Jauhkan hewan celaka itu dariku! Aku sangat bendi pada segala macam ular!”
Ramada tersenyum lebar. Dia melirik pada Jalak Ij0.
“Ay0 tunggu apa lagi. Beri makan ular k0bramu. Walau cuma tiga ek0r labahlabah.
Lebih baik dari pada harus mematuk kepala kuncen makam ini!”
Jalak Ij0 yang memegang keranjang r0tan berisi ular k0bra betina mengetuk keranjang itu tiga kali seraya berkata “Ratu hijau. Lihat tiga ek0r labah-labah gemuk di atas atap sana. Itu rejekimu dikala ini. Santaplah!”
K0bra hijau di dalam keranjang menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba hewan ini melesat ke atas. Ketika kemudian dia kembali masuk ke dalam keranjang , di bawah atap seng tiga ek0r labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya semula!
Jalak Ij0 Menyeringai. Perlahan-lahan epil0g keranjang r0tan ditutupkannya kembali.
Kuncen makam Pangeran Ban0w0 tak berani bergerak. Berkesippun hampir tidak dilakukannya. “Ular beracun itu kecepatannya menyerupai setan. Aku harus berhatihati.
Mungkin belum saatnya saya menjalankan rencana….”
Selagi kuncen berpikir begitu terdengar Ramada Sur0 Jelantik berkata pada anak buahnya yang se0rang lagi. “Jalak Biru , kukira hewan peliharaanmu juga sudah lapar. Sayang hanya tingal tiga ek0r labah-labah di atas sana. Bagaimana pendapatmu?”
“Biar mereka berebut rejeki sendiri-dendiri. Siapa yang lebih cepat akan mendapat santapan lezat ,” jawab Jalak Biru. Lalu dengan hati-hati diturunkannya pikulannya dari bahu. Keranjang r0tan yang tesangkut di ujung pikulan itu diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan dibukanya epil0g keranjang. Begitu epil0g terbuka menjalar keluar tujuh ek0r kelabang berwarna biru. Kepala , kakikaki dan ek0rnya bergerak kian kemari.
Kembali Ki Ageng Lentut bergidik dan bersurut mundur di atas kerikil yang didudukinya. Ramada tersenyum dan berkata “Ki Ageng , kebuasan dan jahatnya racun tujuh Kelabang Biru itu tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan hingga kau menciptakan erakan yang keliru. Salah-salah kau bisa mereka serang!”
“Kalian membawa binatang-binatang celaka!” kaata Ki Ageng Lentut tak berani keras-keras.
“Jalak Biru. Beri makan hewan peliharaanmu!” kata Ramada pula.
Jalak Biru mengetuk epil0g keranjang r0tan tiga kali kemudian berkata “Sarapan malam cuma ada tiga. Terserah bagaimana kalian mau merebutkannya!” Lalu Jalak BIru meniup kea rah keranjang. Tujuh ek0r kelabang biru itu mengeluarkan bunyi gila kemudian ketujuhnya melesat ke atas. Tiga yang melesat lebih cepat berhasil menyambar tiga ek0r labah-labah. Yang keempet jatuhkan diri kembali ke dalam keranjang r0tan. Selesai menelan mangsanya , tiga kelabang biru tadi gres turun pula ke dalam keranjang. Jalak Biru cepat menutup keranjang r0tan itu kembali.
Ki Ageg Lentut menarik nafas lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini menyerupai kembali lagi.
“Ki Ageng Lentut , apakah kau masih ingin meminta bayaran?” bertanya Ramada pada sang kuncen. 0rang renta berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan kepalanya berulang kali dengan wajah pucat.
“Nah kini pergunakan kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa yang telah membunuh istriku.” Kata Ramada pula.
“Baik , baik. Akan kulakukan ,” kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari kerikil tempatnya duduk kemudian berdiri di hadapan Ramada yang mendekap guci berapi itu dalam gelungan tangan kanannya.
Mula-mula Ki Ageng Lentut meletakkan kedua telapak tangannya di atas verbal guci yang mengepulkan asap putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya dipejamkan. Multunya berk0mat kamit. Beberaa dikala kemudian kelihatan sekujur tubuh kuncen itu bergetar keras. Kedua telapak tangannya yang ada di atas verbal guci ikut bergetar. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan-ucapan “Guci Setan guci keramat.
Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat.
Ada 0rang ingin minta pert0l0ngan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memberi petunjuk.”
Beberapa dikala berlalu. Tiba-tiba Ramada , Jalak Ij0 dan Jalak Biru melihat begaimana sekujur tubuh Ki Ageng Lentut bermetam0rf0sis sangat hitam. Kulitnya tampak mengeriput dan wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua matanya membesar. Telinganya mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya menyembul panjang besar. Lalu dari multunya keluar bunyi aneh. Bukan suaranya. Tapi bunyi lain , halus menggeletar.
“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Anak insan apa yang ingin kau tanyakan? Tapi katakan dulu siapa namamu.”
Sesaat Ramada memandang tercekat pada perubahan yang terdiri atas wajah dan keadaan tubuh kuncen penjaga makam itu. Demikian juga dengan dua anak buahnya yaitu Jalak Ij0 dan Jalak Biru.
“Penghuni dan penguasa Guci Seetan. Namaku Ramada Sur0 Jelantik….”
“Apa keperluanmu Ramada?” tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan bunyi lain.
“Aku ingin mengetahui siapa pembunuh istriku ,” jawab Ramada.
Terdengar bunyi mengekeh.
“Setahuku kau punya empat istri Ramada. Istrimu yang mana yang dibunuh 0rang?”
Sesaat paras Ramada nampak berubah. Dia berdehem beberapa kali kemudian menjawab. “Istri renta dan istri keduaku minggat entah kemana. Istri ketiga sudah kucerai karan main gila dengan 0rang lain…”
“Ah , jadi istri mudamu rupanya yang dibunuh 0rang!” kata si penghuni Guci Setan. “Siapa nama istrimu yang malang itu?”
“Namanya Dardini….”
“Hemm….jadi kau ingin tahu siapa embunuhnya?”
“Betul. Siapa 0rangnya dan dimana saya bisa mencarinya!” jawab Ramada.
Kuncen itu melangkah lebih erat pada Ramada. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas verbal guci dimana kepulan asap dan jilatan pengecap api. Kalau Ramada telah membuktikan kehebatannya sanggup memegang dan mendekap guci yang panas tanpa cidera , maka kuncen makam memperlihatkan kesaktiannya dimana kedua tangannya sama sekali tidak apa-apa walaupun dijilati api.
“Api di dalam guci , penghuni dan penguasa guci meminta kau untuk pergi.
Air di alam gaib. Masuk dan isilhah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam gaib…… Ada anak insan membutuhkan pert0l0ngan.”
Baru saja kuncen itu berkata begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil.
Bersamaan dengan itu kepulan asap putih menghilang.
Lalu dari dalam guci terdengar bunyi menyerupai ada air dicurahkan. Ramada merasa guci yang dipegangnya itu menjadi lebih berat. Dia membuka matanya lebarlebar dn memandang ke dalam guci. Astaga! Di dalam guci itu kini kelihatan ada air yang tingginya hingga setengah tubuh guci. Air ini secara anh berputar-putar dena bersamaan dengan itu terdengar bunyi gila menyerupai tiupan angin halus di dalam guci.
TIGA
Ki Ageng Lentut mend0r0ng kepala Ramada yang menghalangi pemandangannya. Lalu memandang ke dalam guci.
“Air keramat dan angin sakti telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan mendengar. Sekarang perlihatkan mukjizatmu. Ada se0rang anak insan berjulukan Ramada Sur0 Jelantik kematian iatri berjulukan Dardini. Perempuan muda itu mati dibunuh 0rang. Perlihatakan kesaktianmu padaku. Tunjukkan padaku siapa sang pembunuh!”
Putaran air gila di dalam guci semakin keras begitu juga tiupan angin halus.
Guci berg0ncnag keras. Ramada terpaksa memegang Guci Setan itu erat-erat supaya tidak terlepas dari dekapannya.
Perlahan-lahan putaran air dalam guci mulai surut. Bersamaan dengan itu bunyi tiuapan angin halus mulai lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua matanya. Ketika mata itu dibuka kembali dan menatap ke dalam guci , kelihatan air dalam guci tak bergereak lagi. Bibir sang kuncen kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah melafatkan sesuatu agaknya. Lalu terdengar dia berucap.
“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Aku mulai melihat bayangan sese0rang di permukaan air dalam guci. Jauh samar-samar. Mendekat mulai jelas.
Makin jelas….tambah jelas. Ah…..ternyata se0rang pemuda…..”
“Kuncen , kau mengenali siapa c0w0k itu?!” tanya Ramada Sur0 Jelantik yang rupanya sudah tidak sabar utnuk mengetahui siapa adanya 0rang yang membunuh istrinya.
Sang kuncen yang wajahnya dan kulitnya telah berubah hitam mengerikan menggeram pendek. “Manusia anjing!” meluncur makina dari mulutnya. “Sekali lagi kau berani menyelak bicara , kupevahkan kepalamu!”
“Bangsat sialan!” maki Ramada Sur0 Jelantik , tapi hanya dalam hati. Ingin dia mer0bek verbal kuncen renta itu.
“Maafkan aku….” Ujar Ramada dengan bunyi bergetar menahan murka kemudian mengusap mukanya yang keringatan.
Ki Ageng Lentut menurunkan kepalanya , memandang kembali ke dalam guci.
“Betul…..memang se0rang pemuda. Berambut g0ndr0ng sebahu….. Keningnya diikat setangan warna putih. Dia juga mengenakan pakaian putih…. Hemmmm…..lagaknya s0mb0ng sekali. Cengar-cengir menyerupai 0rang kurang waras….”
Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya. “Ramada , itu yang saya lihat di permukaan air dalam guci. Pembunuh istrimu ialah se0rang c0w0k berambut g0ndr0ng , mengenakan pakaian putih….”
“Jauh-jauh saya tiba menempuh hujan dan teriknya matahari. Kau hanya bisa memberi tahu menyerupai itu! Sama sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada ratusan 0rang berpakaian putih! Ada ratusan 0rang berambut g0ndr0ng! Kuncen makam Pangeran Ban0w0 , kau benar-benar mengeewakan aku. Ilmu kesaktianmu yang pandai mengetahui seribu satu macam tragedi yang sudah kemudian maupun yang akan tiba ternyata 0m0ng k0s0ng belaka!”
Kuncen renta itu tertawa. “Manusia Anjing! Ucapanku belum selesai. Kau sudah mem0t0ng! Katakn saya yang salah atau kau yang t0l0l tidak tahu peradatan?!”
“Lalu apa lagi yang hendak kau katakana? Apakah kau tidak bisa mengenali siapa adanya c0w0k itu?!”
Ki Ageng Lentut usap-usap janggutnya kemudian rapikan blangk0n hitamnya.
Sesaat sehabis dia menatap lekat-lekat pada Ramada , kuncen ini kembali melihat ke dalam guci.
“Hemmm….angin meniup baju c0w0k yang tak terkancing. Dada penuh 0t0t , tanda kekuatan yang hebat. Eh , apa itu….. Aku melihat sesutau di pertengahan dadanya. Ada rajah tiga buah angka di dada itu. Angka 2….1….2….! 212!” Paras Ki Ageng Lentut berubah keras membesi. Dia mengangkat kepala , menatap insan berjulukan Ramada Sur0 Jelantik. “Anak insan berjulukan Ramada. Aku sudah tahu siapa pembunuh istrimu…. Tak pelak lagi. Rajah tiga angka itu! Dia ialah Wir0 Sableng. T0k0h silat muda yang dikenal dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Benar-benar tidak disangka! Pendekar yang begitu diagung-agungkan ternyata ialah se0rang pemerk0sa dan pembunuh keji biadab!”
Tampang angker Ramada Sur0 Jelantik tampak seganas harimau lapar yang terluka. Sekujur tubuhnya bergeletar.
“Pendekar 212 keparat!Akan kutebas batang lehermu! Kuminum darahmu!
Kulumat sekujur tubuh dan tulang-tulangmu!” teriak Ramada. Dalam amarah yang mendidih tidak terkendali lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping.
Tiang besi penyanggah atap seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada. Atap di atasnya eksklusif jatuh miring. Kuncen makam hendak memaki murka tapi Ramada lebih dahulu membentak bernafsu hingga verbal sang kuncen menyerupai terkancing.
“Jadi dia pembunuhnya! Kuncen! Lihat lagi k edalam guci! Pergunakan kepandaianmu untuk melihat dimana c0w0k keparat itu dikala ini berada!”
Perlahan-lahan Ki Ageng Lentut kembali melihat ke dalam guci. “Aku lihat pemandangan menyerupai ada laut. Pantai…. Pemuda pembunuh itu berada di pantai. Tapi tak dapa kupastikan apakah dia berada di pantai Utara atau di pantai Selatan…..”
“Kuncen!”
“Tunggu dulu! Dalam guci saya melihat citra apa yang telah terjadi dengan istrimu. Aku melihat satu bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau kecil di depannya….”
“Itu tempat kediamanku!!” kata Ramada pula.
“Gelap….. PErtanda dikala itu malam hari. Ada bayangan putih berkelebat.
0rang ini mener0b0s masuk ke dalam sebuah kamar lewat jendela. Ada se0rang wanita berbaring tidur di atas ranjang…”
“Itu niscaya istriku Dardini!” kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan.
Ki Ageng Lentut memandang kembali ke dalam guci. “Istrimu terbangun…..
Terjadi perkelahian tapi singkat sekali. 0rang yang masuk berhasil men0t0k wanita itu. Dalam keadaan tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang. Seluruh pakaiannya dibuka dengan paksa. Lalu….. Ya ampun….. 0rang itu memperk0sa istrimu Ramada…..”
“Jahanam!” teriak Ramada sambil tegak berdiri. Dia menyerupai hendak mengamuk. Tapi Ki Ageng Lentut cepat berkata.
“Duduk kembali Ramada. Apa yang kulihat di dalam guci ini belum selesai….”
Untuk beberapa dikala lamanya Ramada masih tetap berdiri dengan sekujur tubuh bergetar dan keringatan. Kemudian akhirnya dia duduk kembali di hadapan kuncen itu. Sang kuncen melihat lagi ke dalam guci. “Betul Ramada dia memperk0sa istrimu. Tapi lihat! Istrimu tiba-tiba bisa melepaskan t0t0kannya. Hebat sekali!
Kembali terjadi perkelahian. Istrimu berhasil mendesak c0w0k itu. Eh , apa itu? Aku melihat ada cahaya menyilaukan berkiblat. Hemmm , si c0w0k ternyata mengeluarkan sebuah senjata. Sebuah kapak bermata dua! Jelas ini ialah Kapak Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya menghadapi senjata sakti itu Ramada.
Satu tusukan mendarat erat pangkal lehernya….. Istrimu r0b0h. Pemuda itu melarikan diri….”
Geraham Ramada terdengar bergemeletukan. “Bangsat itu tak akan bisa lari terus. Aku akan segera menemukannya. C0ba kau lihat ke dalam guci Ki Ageng!
Bantu saya menemukan pahlawan jahanam itu!”
“Sudah kubilang tadi Ramada. Dia dikala ini berada di daerah pantai. Mungkin di Selatan , mungkin juga di Utara. Ad satu cara untuk memancing kemunculannya.
Pergi ke puncak gunung Gede kediaman gurunya. Se0rang nenek sakti berjulukan Sint0 Gendeng. Bunuh renta bangka itu. Masakan Pendekar 212 tidak akan keluar dari sarangnya mengunjukkan diri untuk mencarimu?! Aku sudah letih Ramada. Aku penghuni dan penguasa Guci Setan segera akan kembali ke alam gaib. Kapan saja kau ingin petunjukku lebih lanjut kau b0leh menghubungiku…”
“Tunggu dulu!” kata Ramada setengah berteriak.
Ki Ageng Lentut yang kemasukan r0h gila itu tidak perdulikan teriakan 0rang.
Kedua tangannya diletakkan di atas verbal guci. Mulutnya k0mat kamit. Kulitnya yang tadi hitam pekat dan berkeriput kini berubah kembali ke warna asalnya.
Wajahnya yang mengerikan juga kembali ke rupa aslinya. Hidung dan kedua matanya yang tadi membesar kini mengecil lagi. Begitu juga telingnya yang mencuat dan gigi giginya
yang menyembul besar , kembali ke bentuk semula.
Dari dalam guci kelihatan asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak pengecap api menjilat keluar. Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur , kemudian duduk di atas batu. Sekujur tubuhnya lembap 0leh keringat. Suaranya yang tadi halus menggeletar kini terdengar menyerupai semula.
“Ramada…. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih , saya ingin bersemedi dan tidur dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat kaki dari tempat ini.”
“Ki Ageng Lentut , aku…..”
Ramada Sur0 Jelantik hentikan ucapannya. Dilihatnya sang kuncen dikala itu pejamkan kedua mata , kaki disilangkan di atas kerikil dan kedua tangannya diletakkan di atas bahu.
“Sialan!” maki Ramada. Dia meludah ke lantai makam kemudian berdiri. Dengan bentuan Jalak Ij0 dan Jalak Biru mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas pundak kirinya. Di tangan kanannya Ramada memegang guci erat-erat. “Sialan!” makinya lagi. “Kita harus segera pergi dari sini. Kalian harus mencari kuda tunggangan.
Gunung Gede jauh di sebelah Barat.”
“Kita niscaya akan mendapatkan kuda begitu hingga di kaki Gunung Merbabu ,”
kata Jalak Ij0.
Di depan makam Jalak Item masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi mengucur dari mata kirinya yag hancur namun rasa sakit menciptakan dia mengerang terus-terusan.
“Kau mau ikut atau tinggal di sini?!” betnak Jalak Biru pada temannya itu.
Perlahan-lahan Jalak Item berdiri. Dia tidak segera mengikuti Ramada dan kawan-kawannya melainkan melangkah dulu kea rah bangunan makam.
“Kuncen keparat! Matamu b0elh kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli.
Kau dengar baik-baik. Satu hari saya niscaya tiba mencarimu untuk membalas apa yang kau lakukan padaku. Aku akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan meng0rek kedua matamu sekaligus!”
Di atas kerikil kuncen Ki Ageng Lentut teidak bergerak. “Kuncen bangsat!”
rutuk Jalak Item. Dia meludah makam kerikil di depannya kemudian berpaling dan tingalkan tempat itu sambil tangan kirinya menekap matanya yang pecah dan buta.
EMPAT
Meski di langit matahari bersinar terik namun di puncak Gunung Merbabu itu udara tetap saja terasa dingin. Satu bayangan putih berkelebat cepat.
Mula-mula gerakannya terlihat di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu muncul lagi di ketinggian yang hampir mencapai puncak. 0rang yang berlari dengan gerakan sebat ini ternyata ialah Pendekar 212 Wir0 Sableng , murid Eyang Sint0 Gendeng dari Gunung Gede. Di puncak gunung , dia membutuhkan waktu cukup lama sebelum akhirnya menemui makam Pangeran Ban0w0.
Makam Itu k0s0ng , diselimuti kesunyian dan udara dingin.
“Aku tiba terlambat! Sebelumnya dia niscaya berada di sini ,” kata Pendekar 212 dalam hati kemudian memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bunga bunga yang sudah layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah 0b0r yang telah lama padam. Satu tiang lainnya tampak bengk0k dan patah hingga atap makam yang terbuat dari seng kelihatan miring. Murid Sint0 Gendeng ini kernyitkan kening ketika di lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kai. “Agaknya dia tidak sendirian di sini. Siapa bersama dia? Kemana mereka sekarang?”
Wir0 memperrhatikan halaman liar sekitar makam. Lalu matanya membentur bercak-bercak hitam di tanah. Lalu meng0rek cuilan tanah yang ada bercak-bercak kehitaman itu. “Bekas-bekas darah yang sudah m0ngering….” Katanya dalam hati.
“Sesuatu telah terjadi di tempat ini.” Perlahan-lahan Wir0 berdiri kemudian melangkah kembali kea rah makam. Baru saja hingga di depan pintu pagar makam yang bergemb0k tiga tiba-tiba dia mendengar bunyi derap kaki kuda. Murid Eyang Sint0 Gendeng berpaling ke jurusan datangnya bunyi itu. Tapi derap kaki kuda tadi serta merta lenyap. Wir0 garuk-garuk kepala. “Mungkin saya salah dengar ,” katanya sambil garuk-garuk kepala. Di puncak gunung menyerupai ini siapa 0rangnya yang bisa menunggang kuda begitu cepat!” Karena tak mau merusak pintu pagar makam , Wir0 memanjat pintu itu kemudian masuk ke dalam. Selagi dia memperhatikan keadaan makam , beberapa t0mbak dari sana , terlindung di balik semak belukar liar yang lebat , se0rang dara berpakaian ringkas warna biru dan berikat kepala kain merah berkata pada 0rang di sebelahnya sambil mengepalkan tangan.
“Paman ,lihat! Pemuda tak dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang ajar…..!” Tangannya bergerak menurunkan sebuah busur dari bahunya.
“Jangan-jangan dia pula yang telah merusak salah satu tiang atap makam….!”
Menyahuti lelaki berambut putih di sebelah sang dara.
“Kurang ajar! Lihat! Dia kini bahkan berani membaringkan diri , tidur menelentang di atas makam ayahanda! Saya tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya akan tambus tubhnya dengan lima anak panah sekaligus!” Lali si gadis berpakaian biru itu menarik lima anak panah dari tabung bambu di punggungnya. Begitu disusupkan ke tali busur dia segera membidik ke arah Pendekar 212 Wir0 Sableng yang lantaran keletihan lezat saja merebahkan diri di atas makam kerikil Pangeran Ban0w0.
“Tunggu dulu Dewi…. Aku punya firasat c0w0k itu bukan 0rang sembarangan…..”
“Paman! Bagaiman kau ini! 0arng telah meng0t0ri bahkan merusak makam ayahanda kau masih bilang tunggu! Siapapun adanya c0w0k itu dia harus kita hajar!
Lagi pula ini saatnya kau menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!”
“Dengar Dewi. Aku akan kelur dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan 0rang itu. Kau tetap berada di sini. Bukan tidak mungkin dia tiba tidak sendirian….”
Dewi Santiastri si gadis tak menjawab. Namun begitu pamannya melangkah ke arah makam dia segera mel0mpat dari semak belukar. Lima anak panah yang terpentang di busurnya dibidikkan ke arah Pendekar 212 yag masih asyik-asyikan berbaring-baring di atas kerikil makam bahkan sambil bersiul-siul perlahan! Murid Sint0 Gendeng ini gres mel0mpa tebangun ketika sepasang telinganya menangkap bunyi langkah-langkah kaki.
“Astaga! Ada 0rang mendatangi. Sudah erat gres saya dengar langkahnya.
Pasti dia mempunyai ilmu kepandaian tinggi!” kata Wir0 dalam hati dan memperhatikan ke depan. Dia melihaat se0rang lelaki berpakaian putih bagus , berusia sekitar enam puluh tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan berhenti di pagar makam.
Yang membuatnya tercekat ialah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih itu ada se0rang dara berpakaian serba biru. Parasnya manis tampak beringas menunjukan bahwa setiap dikala dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang dibidikkan ke arahnya. Wir0 menc0ba tersenyum dan garuk-garuk kepala! Sang dara membentak dengan keras.
“Pemuda kurang ajar! Jangan senyum-senyum cengengesan! Berani kau bergerak kutambus sekujur tubuhmu dengan panah-panah ini!”
“Astaga….! Eh , apa-apaan ini! Enak saja kau menyampaikan saya c0w0k kurang ajar? Di mana? Kapan? Kenalpun tidak. Melihatmupun gres sekali ini!” Wir0 berpaling pada lelaki berambut putih yang tegak di pagar makam. Dengan mimik keheranan dia bertanya “Bapak , dapatkah kau menjelaskan apa masalahnya? Dan siapa kalian bedua? Gadis manis itu puterimu?”
“Anak muda , menyerupai yang dikatakan kep0nakanku. Kau telah berlaku kurang ajar!”
“Aku telah berlaku kurang ajar?!”
“Kau telah memasuki makam salah se0rang leluhur Kerajaan secara kurang ajar! Dengan cara memanjat”
“Ah….!” Wir0 memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu kembali menatap lelaki di hadapannya. “Mungkin benar saya telah berlaku kurang ajar.
Tapi kau lihat sendiri. Pintu pagar digemb0k. Kaprik0rnus terpaksa saya memanjat….”
“Memanjat menyerupai m0nyet!” mendamprat gadis berbaju biru. “Kau bukan saja mel0mpati pagar. Malah berani tidur di atas makam ayahku!”
“Ah , bagaimana ini! Harap maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu kalau ini ialah makam ayahmu. Apalagi tadi pamanmu bilang ini ialah makam salah se0rang leluhur Kerajaan. Aku mana bisa menduga begitu? Setahuku 0rang0rang penting Kerajaan dimakamkan di satu tempat khusus di pinggiran k0ta….”
“Bcaramu banyak amaat! Paman , menyingkir kekiri edikit. Biar kuhantam insan kurang latih ini!”
Sang paman mengangkat tangannya memberi tanda supaya kep0nakannya jangan melepas belum dewasa panahnya.
“Anak muda , sekalipun kau tidak tahu itu makam atau kubur siapa , tapi yang namanya insan beradab dan berbudi serta beradat tidak akan pernah memasuki makam sese0rang tanpa izi keluarganya , apalagi dengan cara mel0mpati pagar kemudian tidur-tiduran!”
“Aku memang salah besar!” Wir0 berkata sejujurnya. “Aku ke sini mencari sese0rang. Tapi yang kucari sudah lenyap. Karena keletiha kemudian membaringkan diri di atas kerikil makam yang hirau taacuh sejuk itu…. Aku memang salah besar. M0h0n saya diberi maaf…”
“Karena ketahuan kau kemudian berdalih tengah mencari sese0rang dan keletihan! Enak saja becaramu! Paman , menyingkirlah….”
“Tunggu Dewi. Biar saya bicara dulu dengan c0w0k ini ,” kata sang paman.
“0rang muda , tahukah kau dikala ini berada di makam siapa?”
“Aku tidak tahu ,” jawab Wir0 Sableng.
Makam yang barusan kau panjat pagarnya dan kau tiduri ialah makam Pangeran Ban0w0. Aku ialah adiknya dan gadis ini ialah puteri Pangeran Ban0w0.
Aku sendiri ialah Pangean Banuart0.”
Sepasang mata Pendekar 212 jadi terbelalak. Lalu dia cepat-cepat menjura.
“M0h0n maafmu. Aku tidak tahu tengah berhadapan dengan se0rang Pangeran. Aku juga tidak tahu kalau ini ialah makam pangeran Ban0w0 yan dalam hidupnya pernah men0l0ng diriku.”
“Paman! Jangan dengarkan ucapannya. Siapa percaya dirinya. Setelah sadar berbuat salah kini malah bilang ayahanda pernah men0l0ngnya! Kadal ini pandai bicara paman. Hati-hatilah! Jangan hingga kita dikelabi.”
“Anak muda , katakan siapa namamu dan siapa 0rang yang kau cari di tempat ini. Aneh rasanya kalau ada sese0rang di puncak Gunung Merbabu.”
“Namaku Wir0…. Aku memang benar mencari sese0rang di tempat ini.
Hanya saja m0h0n dimaafkan saya tidak sanggup memberi tahu siapa 0rangnya ataupun namanya.”
“Paman! Kau lihat bagaimana dia melaksanakan keb0h0ngan!” kata Dewi Santiastri.
Pangeran Banuart0 tidak begitu memperdulikan kata-kata kep0nakannya. Dia menc0ba mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama Wir0 itu sebelumnya.
Akhirnya dia berkata.
“Anak muda , melihat ada 0b0r yang sudah padam di salah satu tiang makam , berarti kau semenjak malam tadi telah berada di tempat ini.”
Wir0 menggeleng. “Aku barusan saja datang. Waktu tiba 0b0r itu sudah ada di sini dalam keadaan padam.”
“Lalu mengapa kau merusak salah satu tiang atap makam?!” tanya Pangeran Banuart0 pula.
“Bukan saya yang merusaknya. Tiang itu sudah berada dalam keadaan menyerupai itu ketika saya datang.”
“B0h0ng! Pendusta besar!” teriak Dewi Santiastri. Gadis ini tidak sanggup lagi menahan kesabaran dan kemarahannya. Dia mel0mpat ke kanan sambil merentangkan busur lebih dalam. Ketika tangan kanannya bergerak melepas , lima anak panah melesat dengan mengeluarkan bunyi berdesing. Lima senjata itu laksana kilat terbang ke arah lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Ban0w0 berseru kaget tapi tak bisa berbuat apa.
Murid nenek sakti dari Gunung Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia bisa mel0mpat secepat kilat tak mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima anak panah yang menyerang lima cuilan tubuhnya yang berbeda.
“Celaka!” keluh Wir0. “Seumur hidup belum pernah saya melihat kepandaian memanah menyerupai ini! Setan sekalipun takakan bisa l0l0s dari bidikkannya!”
Sadar kalau dia tidak akan sanggup menyelamatkan diri dengan cara mel0mpat maka Pendekar 212 segera lepaskan pukulan sakti “benteng angin kencang melanda samudra”
Serangkum angin deras menderu. Pangeran Banuart0 berseru kaget dan cepat menyingkir. Tapi badannya sebelah kanan masih sempat disambar angin pukulan sakti itu hingga melintir dan terhempas keras. Kalau saja dia tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh niscaya dia akan jatuh terhenyak ke tanah. Sementara itu Dewi Santiastri juga berteriak kaget. Karena dia tegak dengan kaki terkembang tepat di tengah jalur hantaman pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi tubuhnyapun terpental jauh , mencelat ke udara.
Di udara gadis puteri mendiang Pangeran Ban0w0 ini menciptakan ggerakan aneh.
Tubuhnya yang kena hantaman angin serangan berjungkir balik duakali berturut-turut kemudian tubuh itu tampak melayang dan menyerupai seek0r burung kedua kakinya hinggap di cabang sebuah p0h0n besar. Meskipun gadis ini mempunyai kepandaian tinggi dan bisa meredam pukulan sakti yang dilepaskan Wir0 , tapi terperinci wajahnya kelihatan pucat tanda ada cuilan dalam tubuhnya yang cidera. Ketika dia mel0mpat turun , si gadis mencicipi dadanya berdenyut sakit. Kedua kakinya tertekuk. Sebelum dia jatuh berlutut pamannya ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya.
“Dewi… Kau tak apa-apa…?”
“Saya tidak apa-apa paman. Hanya ada sedikit rasa ngilu di cuilan dada…..”
Pangeran Banuar0 memapah kep0nakannya itu ke erat sebuah p0h0n kemudian mendudukkannya di akar p0h0n itu. Sementara itu dari arah makam terdengar bunyi 0rang mengeluh. Ketika Pangeran Banuart0 dan Dewi Santiastri memandang ke arah makam mereka melihat c0w0k berambut g0ndr0ng itu tersandar ke paga makam sebelah dalam sambil memegangi paha kanannya. Sebatang panah tampak menancap di paha itu. Celana putihnya berlumuran darah. Rupanya waktu lima anak panah menyerbunya dihantam dengan pukulan “benteng angin kencang melanda samudra” hanya empat panah yang sanggup dibentuk mental. Satu anak panah masih sempat menyusup menghantam pahanya.
Rahang Pendekar 212 tampak menggembung menahan sakit. Wajah dan tubuhnya lembap 0leh keringat. Dia berteriak keras ketika secara nekad mencabut anak panah yang mennancap di pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya kemudian dibatingkannya ke lantai makam. Lalu dengan satu geakan dia mel0mpati pagar makam dan berdiri di hadapan Pangeran Banuart0 serta kep0nakannya.
Sepasang mata Pendekar 212 memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri.
“Dengan melukaiku menyerupai ini , apakah kini kau dan pamanmu sudah puas?!”
Si gadis hanya bisa membisu dan terbelalak. Mukanya masih sangat pucat.
Sementara Pangeran Banuart0 terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak berkata apa-apa.
Dari balik pakaiannya Wir0 mengeluarkan sebuah bungkusan kecil kemudian melemparkannya erat kaki Dewi Santiastri.
“Apa ini?” tanya Pangeran Banuart0.
“Gadis kep0nakanmu itu mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau tidak segera minum 0bat itu ,” Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya dan melangkah pergi.
Pangeran Banuart0 memandang pada Dewi Santiastri. “Kalau dia insan jahat , dia tidak akan menawarkan 0bat ini untukmu….” Si gadis hanya bisa mengangguk. Melihat 0rang begitu baik dan p0l0s terhadapnya ada bayangan rasa menyesal di wajahnya yang pucat. Pangeran Banuart0 cepat berdiri dan berseru.
“Anak muda! Tunggu! Jangan pergi dulu!”
Wir0 hentikan langkahnya dan berpaling. Pangeran Banuart0 berlari mendatanginya. “Aku menyesalkan ada kesalah pahaman antara kita bertiga.
Tujuanku dan Dewi ke puncak gunung ini ialah untuk menziarahi makam Pangeran Ban0w0….”
“Ada yang saya tidak mengerti. Sebagai se0rang Pangeran seharusnya dia dimakamkan di pekuburan keluarga stana. Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini.
Jauh dari K0taraja. Jauh dari keluarga Istana.”
“Apa yang kau katakan betul. Namun sebelum meninggal Pangeran Ban0w0 pernah berpesan pada istrinya. Aku mendengar sendiri. Jika ajalnya hingga dia ingin dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan tidak berani menyalahi pesan itu. Sultan sendiri juga tidak mau melarang. Pangeran Ban0w0 akhirnya dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang lalu.
Pemakamannya dengan upacara kebesaran Kerajaan….”
Saat itu Dewi Santiastri telah tiba pula ke tampat itu. Pamannya cepat memegang bahunya. Wajah si gadis tampak kemerahan dan dia berkata “Paman tak usah kawatirkan saya. 0bat yang tadi diberikannya sudah saya telan walaupun tanpa air. Saya merasa lebih sehat sekarang.” Lalu gadis ini berpaling pada Pandekar 212.
Dia hendak menyampaikan sesuatu namun Wir0 mendahului.
“Aku kagum dengan kepandaianmu memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar…?”
“Namaku Dewi Santiastri. Panggil saya dengan nama itu. Tidak usah dengan sebutan den ayu segala….” Lalu pandangan matanya tertuju pada paha Wir0 yang
berlumuran darah. “Aku tidak tahu harus meminta maaf bagaimana…. Aku benarbenar menyesal….”
Wir0 tertawa. Dia berkata pada Pangeran Banuart0. “Pangeran ,” katanya , “Kep0nakanmu menawarkan sau pelajaran baik padaku. Aku harus lebih banyak berguru dan berlatih silat supaya gerakanku lebih cepa hingga kelak akan sanggup berkelit dari serangan panahnya. Aku harap saja panah itu tidak beracun….”
“Tidak , panah itu tidak beracun ,” kata Dewi Santiastri. “Aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Menyangkut hal apa?” tanya Wir0.
“Ketika masih hidup ayah memang pernah bercerita perihal se0rang pahlawan besar muda usia. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah kau 0rangnya?”
Wir0 tertawa. “Nama kami bisa saja sama. Tapi gelar sehebat itu mana 0rang set0l0ku ini bisa menyandangnya?”
Si gadis jadi beng0ng beberapa dikala lamanya. Sebelum dia sempat menyampaikan sesuatu pamannya sudah bicara duluan.
“Anak muda , terus terang selain berziarah ke makam Pangeran Ban0w0 , perjalanan kami ke sini bekerjsama juga tengah menyirap kabar.”
“Menyirap kabar? Kabar apakah?” tanya Wir0.
“Sebuah benda keramat milik Kerajaan yang selama ini disimpan secara rahaia , lenyap dari tempat penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu kalau disalah gunakan bisa mendatangkan malapetaka.” Menerangkan Pangeran Banuart0. “Kebetulan saya yang bertanggung jawab atas benda itu. Sebenarnya beberapa tahun kemudian saya sudah mengusulkan pada Sultan supaya benda itu dimusnahkan saja lantaran lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.”
“Kalau saya b0leh tahu , benda apakah itu gerangan , Pangeran?” bertanya Pendekar 212.
“Sebuah guci keramat. Bernama Guci Setan. 0rang bisa meminta sesuatu yang baik tetapi juga sesuatu yang jahat pada Guci Setan itu. Sekarang lantaran saya tahu bahwa kau se0rang dari dunia persilatan maka saya minta bantuanmu untuk mencari tahu dan menyirap kabar di mana adanya Guci Setan itu dan siapa pencurinya.
Kami mendengar selentingan yaitu sehabis empat tahun tidak diketahui jejaknya tibatiba satu bulan yang kemudian Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan dan tengah dibawa e daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang saya sanggup sengat sedikit sehingga tidak bisa digunakan untuk materi pengusutan.”
“Pangeran Banuart0 , saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi saya akan berusaha membantumu. Kita berpisah di sini….”
“Saudara ,” Dewi Santiastri berkata “Dalam keadaan terluka menyerupai itu tentu sulit bagimu berjalan kaki , apalagi berlari. Kau bisa menggunakan kudaku….”
Pendekar 212 tersenyum lebar. “Terima kasih. Kebaikan hatimu telah menciptakan lukaku sembuh! Lihat!” kemudian Wir0 angkat paha kanannya yang tadi tertancap panah. Dengan tangan kanannya dia memukul-mukul paha yang luka itu. “Sama sekali tidak sakit. Sudah sembuh!” Padahal bekerjsama waktu memukul tad Pendekar 212 manahan sakit yang amat sangat. Hal ini diketahui 0leh Dewi Santiastri dan pamannya.
“Kau harus mamakai kudanya ,” kata Pangeran Banuart0.
“Saya masih sanggup berjalan. Bahkan berlari!” kata Wir0. Lalu dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Tapi larinya terpincang-pincang. Padahal ini disengaja. Pangeran Banuart0 dan Dewi Santiastri sama-sama tersenyum.
“Entah mengapa saya justru punya firasat , c0w0k itu tadi memang ialah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”
“Saya justru sudah tahu kalau dia memang Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Waktu tadi dia mengeluarkan bungkusan 0bat dari balik pakaiannya , cuilan depan bajunya yang tidak dikancing tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212 di dadanya yang bidang dan ber0t0t….”
“Kep0nakanku!” kata Pangeran Banuart0 sambil memegang kedua pundak Dewi Satniastri. “Mengapa tidak dari tadi-tadi kau katakan?”
Si gadis tidak menjawab. Hanya di dalam hatinya tiba-tiba saja dia sangat ingin bertemu lagi dengan c0w0k berambut g0ndr0ng itu. Paman dan kep0nakan itu kemudian melangkah ke arah bangunan makam. Tiba-tiba si gadis berseru seraya menunjuk ke arah makam.
“Paman! Lihat! Tiang atap yang patah sudah tersambung kembali!”
Pangeran Banuart0 berlari mendekati makam. Apa yang dikatakan kep0nakannya memang betul. Tiang yang patah kini kelihatan dalam ke adaa lurus.
Bagian patahan sebelah atas bertumpu pada cuilan bawah. Atap makam kini tidak miring lagi.
“Siapa yang telah memperbaikinya? Sungguh aneh!” kata Pangeran Banuart0.
“Hanya kita bertiga tadi di tempat ini. Dia , saya paman. Saya terperinci tidak melakukannya. Paman juga. Berarti….”
“Berarti dia yang melakukannya!” kata Pangeran Banuart0 pula. 0rang renta ini mengusap rambutnya yang putih berulang kali. “Bagaimana dia melakukannya?
Dlamkeadaan terluka pula!”
Diam-diam Dewi Santiastri semakin mencicipi penyesalan yang mendalam di lubuk hatinya. “Kalau saja saya sanggup segera menemuinya akan kuminta maaf beribu maaf padanya. Bisakah saya menemuinya lagi?”
LIMA
Di cabang paling atas p0h0n setinggi empat puluh kaki itu tampak se0rang kakek duduk berjuntai sambil uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar bunyi gila , entah dia sedang meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut putihnya yang sepanjang dada melambai-lambai tertiup angin. Suara dari mulutnya gres berhenti bilamana dia meneguk dengan lahap tuak murni yang ada dalam tabung bambu dan diletakkannya di pangkuan. Sebuah tabung bambu lagi tergantung di belakang punggungnya. Kedua mata 0rang renta ini tampak kemerahan tanggapan imbas minuman keras itu.
Untuk kesekian kalinya dia meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia memandang ke arah pep0h0nan di sekelilingnya.
“Panas terik menggila! Tak ada burung tak ad angin!” si kakek menyerupai menggerutu pada dirinya sendiri. “Aneh , mengapa saya berada di puncak p0h0n ini?
Astaga , jangan-jangan saya sudah mabuk. Betul mabuk? Tidak! Aku masih bisa menghitung jari-jari tanganku sebelah kiri ini. Satu , dua , tiga , empat , lima , enam….Eh! Apa ada jari tangan insan enam buah? Jangan-jangan benar saya sudah mabuk!”
Walau jalan pikirannya menyerupai itu tapi lezat saja dia kembali mendekatkan bibir tabung bambu ke mulutnya. Lalu gluk…. Gluk….gluk tuak dalam bambu ditenggaknya dengan lahap. Puas meneguk tuak murni yang menebar amis harum itu si kakek seka mulutnya dengan kain biru yang terselempang di dadanya. Setelah itu sambil kembali uncang-uncang kaki menyerupai anak kecil yang kesenangan dia menyanyi lagi. Tapi tiba-tiba 0rang renta ini hentikan nyanyiannya. Kepalanya ditinggikan.
Telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar bunyi menderu gila di kejauhan disertai suara-suara kaki berlari.
0rang renta itu mend0ngak ke langit. “Aku tak melihat apa-apa!” katanya. Lalu dia memaki sendiri. “gila! Kalau 0rang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi di bawah situ!” Lalu si kakke memandang ke bawah p0h0n. “nah , apa kataku! Ada empat bayangan berkelebat. Aduh , cepat sekali. Terutama yang di depan itu.
Heh…..aneh. Dia menyerupai mempunyai sebuah r0da di ujung kaki kirinya. Dia lari di atas r0da yang berputar menggelinding! Apa yang dibawanya di tangan kanan? Eh , di pundak kirinya dia memanggul s0s0k tubuh perempuan. Siapa 0rang ini?
Hemmm….ada tiga 0rang berlari di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh.
Apa isi keranjang r0tan yang mereka pikul itu heh? Jelas mereka bukan pedagang sayuran. Hik…hik…hik! Mereka berlari cepat di siang b0l0ng di lereng Gunung Gede! Sepertinya mereka punya satu keperluan penting! Ah , perduli setan dengan mereka. Selama mereka tidak mengganggu diriku , saya tak perlu mengurusi mereka.
Eh , kenapa yang di depan itu tiba-tiba berhenti? Tiga tannya juga berhenti berlari.
Hemmmm tampang-tampang mereka kumal dekil dan angker. Bau tubuh mereka tercium hingga kemari!”
Di bawah p0h0n keempat 0rang itu bukan lain ialah Ramada Sur0 Jelantik dan tiga 0rang anak buahnya yaitu Jalak Item yang kini mata picak sebelah. Lalu Jalak Ij0 dan Jalak Biru.
“Ada apa kau berhenti Ramada?” tanya Jalak Ij0.
“Aku mencium amis sesuatu. Sesuatu yang harum! Aneh di tengah hutan belantara di lereng gunung begini ada amis menyerupai ini!”
Tiga 0rang anak buah Ramada sama meninggikan kepala kemudian mengendus dalam-dalam. “Kau betul Ramada ,” kata Jalak Ij0. “Aku juga sanggup mencium amis gila itu. Pasti ada sese0rang di sekitar sini. Jangan-jangan renta bangka berjulukan Sint0 Gendeng itu tempat kediamannya di sekitar sini.”
“Bagus! Kalau begitu c0ba kalian periksa pada tiga jurusan hingga sejarak seratus t0mbak! Aku menunggu di sini!”
Jalak Ij0 dan kawan-kawannya segera melaksanakan apa yang diperintah 0leh Ramada. Tak lama kemudian ketiganya muncul satu persatu.
“Aku tidak menemukan apa-apa , Ramada ,” kata Jalak Item.
“Aku juga. Tak ada bangunan atau tempat kediaman di sekitar sini ,” menerangkan Jalak Ij0
“Sama , tak ada 0rang tak ada rumah ,” kata Jalak Biru pula.
Di atas p0h0n kakek berjanggut putih menyeringai lebar. “Empat ek0r m0nyet itu mancari kian kemari. Tidak tahunya yang mereka cari ada di atas p0h0n ini. Bau yang mereka cium sudah niscaya amis arak kayanganku ini!”
“Ramada ,” di bawah p0h0n Jalak Ij0 berkata “apakah kita akan meneruskan perjalanan atau kau tetap menginginkan mencari sumber amis harum itu hingga dapat?”
“Sudah , kita teruskan saja perjalanan! Puncak gunung tak seberapa jauh lagi.”
Jawab Ramada Sur0 Jelantik. “Tua bangka guru Pendekar 212 itu harus kita temui dan bereskan secepatnya!” Ramada kemudian memutar tubuhnya. Kaki kirinya yang disambung dengan sebuah r0da besi bergerigi menderu kemudian meluncur deras menebar pasir dan tanah di sebelah belakang. Tiga 0rang anak buahnya segera menyusul.
Ketika sang surya mulai c0nd0ng ke Barat , keempat 0rang itu akhirnya hingga di puncak Gunung Gede. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan kediaman Sint0 Gendeng , nenek sakti guru Pendekar 212 Wir0 Sableng.
Ramada dan tiga anak buahnya berdiri di hadapan gubuk renta tapi masih tampak k0k0h. Pintu gubuk tertutup , begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung itu benar-benar diselimuti kesunyian.
‘”Sint0 Gendeng! Kami tiba dari jauh untuk menemuimu! Mengapa bersembunyi di dalam gubuk?!” Ramada berteriak.
Tak ada jawaban atau bunyi apapun dari dalam gubuk.
Ramada berteriak sekali lagi.
Tetap saja tak ada jawaban.
“Mungkin renta bangka itu tak ada di sini , Ramada ,” kata Jalak Ij0.
“Untuk memastikan c0ba kau dan kawan-kawanmu memeriksa!” kata Ramada Sur0 Jelantik pula.
Jalak Ij0 dan dua temannya meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu lewat pintu depan yang ternyata tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk.
Di depan rumah Ramada menunggu dengan rasa tidak sabar. Dia menc0ba menghibur diri dengan mengelus-elus tubuh istri mudanya yang telah jadi mayat seraya berkata perlahan “Tenang Dardini , tenang. Lewat kematiian renta bangka keparat itu kita niscaya bisa memancing kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan diri akan kutabas batang lehernya. Kuminum darahnya kemudian kulumat daging dan tulang belulangnya! Setelah itu kau akan kusemayamkan di satu tempat yang indah.
Kau akan tidur dengan tenang. Sabar istriku. Sabar….. Aku akan menyebarkan makam yang sangat bagus untukmu. Aku akan….”
Ucapan Ramada Sur0 Jelantik terputus. Dari dalam rumah terdengar bunyi jeritan tiga kali berturut-turut. Ramada kenal benar. Itu ialah bunyi teriakan ketiga anak bauhnya.
“Jalak Ij0! Jalak Item! Jalak Biru!” teriak Ramada “Apa yang terjadi dengan kalian?!”
Baru saja Ramada Sur0 Jelantik berteriak begitu tiba-tiba tiga buah benda melesat keluar dari dinding-dinding gubuk yang jeb0l. Satu dari sebelah depan , dua dari samping kiri.
Ramada mendelik besar ketika menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat dinding gubuk kemudian bergulingan di tanah ternyata ialah Jalak Ij0 , Jalak Item dan Jalak Biru!
“Anjing kurap! Apa yang terjadi?!” teriak Ramada murka sekali.
Tiga anak buahnya berusaha bangun dengan terhuyung-huyung. Pada kening Jalak Ij0 dan Jalak Biru kelihatan benjut sebesar telur ayam. Sedang Jalak Item megap-megap sambil pegangi perutnya. Ketiganya kemudian berusaha secepat mungkin mengambil pikulan masing-masing yang tadi ditinggal dan diletakkan di tanah. Begitu mereka memegang keranjang r0tan tampang mereka tampak beringas.
“Kalau saya tidak bisa membunuh renta bangka keparat itu lebih baik saya bunuh diri!” teriak Jalak Item.
“Aku juga!” menyahuti Jalak Ij0.
“Sama dengan aku!” kata Jalak Biru sambil pegangi keningnya yang benjut.
Tiba-tiba pintu gubuk yang tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari dalam gubuk muncul satu s0s0k tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa tinggi serta panjang. Suara tawa ini bukan saja menciptakan pendengaran Ramada dan anak buahnya mengiang sakit tetapi juga menciptakan keempatnya tercekat. Mamandang ke arah pintu mereka malah tambah terkesiap lantaran tidak pernah menyangka kalau wanita renta penghuni gubuk di puncak Gunung Gede itu begini angkernya!
ENAM
0rang yang keluar dari dalam gubuk ialah se0rang nenk berkulit sangat hitam.
Kulitnya ini tidak lebih dari selaput tipis pembalut tulang. Kalau saja dia tidak bungkuk niscaya terlihat bagaimana s0s0k tubuhnya yang jangkung sekali. Mukanya cekung di cuilan mata dan kedua pipi. Alisnya berwarna putih , begitu juga rambutnya yang hanya tinggal elasan lembar saja. Di kepalanya yang nyaris sulah itu menancap lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai tidak mungkin disisipkan pada rambutnya yang jarang. Lima suplemen dari perak itu justru eksklusif menancap di kulit dan bat0k kepalanya! Sepasang matanya yang hitam gelap memandang berputar ke arah empat 0rang yang ada di halaman gubuk. Lalu dari mulutnya meledak lagi bunyi keras dan tinggi. Dari mulunya yang 0mp0ng mengucur keluar air liur. Ketika dia menyemburkan air liur itu melesat ke arah p0h0n di seberang halaman.
Terdengar bunyi berderik sewaktu kulit batang p0h0n menjadi remuk kemudian jatuh ke tanah. Hal itu menciptakan Ramada dan tiga anak buahnya mau tak mau menjadi terkesima. Namun 0rang-0rang ini mana mengenal rasa takut.
“Ramada , biar kubunuh nenek keparat itu kini juga!” kata Jalak Ij0 seraya tangannya bergerak hendak membuka epil0g keranjang r0tannya di mana tersimpan ular k0bra beracun yang diberi nama Ratu Hijau. “Sabar sedikit Jalak Ij0. Maut tak bakal lepas dari dirinya. Biar saya bicara dulu padanya….”
Di ambang pintu si nenek masih tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan dair mulutnya terdengar bunyi membentak.
“Puluhan tahun hidup di puncak Gunung Gede , gres hari ini saya kedatangan tamu gila dan kurang ajar. Berani masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau mencuri atau memang munta mati?!”
“Tua bangka edan! Kami tiba memang untuk mencuri. Bukan mencuri harta bendamu lantaran niscaya dalam gubukmu hanya ada barang-barang r0mbengan yang tidak ada harganya!”
Si nenek tertawa cekikikan. “Manusia bermuka setan ganjal dan bertuuh sebusuk c0mberan! Mulutmu pandai bicara. C0ba jelaskan apa yang hendak kau curi dari tempat ini!”
“Aku kemari untuk mencuri nyawa anjingmu!” jawab Ramada lantang.
Sepasang mata cekung dan hitam si nenek tampak menyerupai mengeluarkan kilatan aneh. Lalu mulutnya kembali tertawa panjang.
“Kalau kau hendak mencuri nyawaku , apa kau kira saya tak bisa mencuri jantungmu?!” Hik…hik…hik…!”
“Nenek iblis!” teriak Ramada. Agar saya tidak kesalahan tangan lekas katakan apakah kau manusianya yang berjulukan Sint0 Gendeng guru Pendekar 212 Wir0 Sableng?!”
“Kalau saya memang Sint0 Gendeng kemudian kenapa? Kalau saya bukan Sint0 Gendeng lantas bagaimana?!” si nenek bertanya.
“Iblis ngac0k!” hardik Ramada mulai marah. Perlahan-lahan nayat kaku Dardini diturunkannya kemudian dibaringkannya dengan sangat hati-hati erat akar sebatang p0h0n. “Muridmu si Wir0 Sableng itu telah memperk0sa istriku! Lalu membunuhnya! Apa kau kira bakal ada pengampunan bagi dirinya dan juga bagi kau?!”
Si nenek hentikan tawanya. Dia d0ngakkan kepala beberapa dikala kemudian memandang dengan mata berkilat-kilat pada Ramada Sur0 Jelantik. “ini ialah fitnah paling keji yang pernah didengar pendengaran renta ini!”
“Ini bukan fitnah!” teriak Jalak Ij0. “Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid celakamu itu!”
“Betul!” menyahuti Jalak Biru. “Muridmu membunuh wanita itu dengan Kapak Naga Geni 212-nya. Lihat sendiri luka besar di pangkal leher jenazah!” Si nenek terdiam.
“Tua bangka jahanam. Kau beng0ng tak bisa bicara. Berarti memang benar kau Sint0 Gendeng guru Pendekar 212. Sekarang bersiaplah untuk mati!”
Si nenek menyeringai menyerupai setan. Lalu gelengkan kepalanya. “Murid Sint0 Gendeng tidak akan melaksanakan kekejian menyerupai itu. Kalian pergi saja sebelum saya menjadi muak melihat tampang-tampang kalian. Angkat mayat itu dari halaman gubukku! Kalian semua ialah 0rang-0rang gila kesasar pembawa mayat dan guci!
Bermuka berwarna-warna! Lekas minggat dari sini!”
Ramada mendengus keras. Didahului dengan bunyi teriakan keras dia menerkam ke arah si nenek yang memang ialah Sint0 Gendeng. Kaki kirinya yang ada r0da besi bergerigi mencelat ke depan.
Rrrrrrrr!
Gigi-gigi r0da besi yang berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek.
Seumur hidupnya Sint0 Gendeng belum pernah melihat senjata menyerupai ini. Dia berteriak nyaring. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke samping. R0da besi menderu menghantam tangga kerikil di depan gubuk. Tangga kerikil itu teb0ngkar berkepingkeping!
Ramada menyeringai. “Sebentar lagi tubuhmu akan kubuat menyerupai itu!”
“Betul begitu? Aku malah ingin sekali mencicipi bagaimana enaknya!” kata Sint0 Gendeng. Lalu dia tertawa cekikikan.
Seperti terbakar Ramada Sur0 Jelantik kembali menyerbu dengan r0da besinya.
Tangan kirinya ikut melepaskan pukulan tangan k0s0ng sementara tangan kanan tetap tidak melepaskan Guci Setan.
Tubuh bungkuk Sint0 Gendeng berkelebat kian kemari. Selama enam jurus diserang terus-terusan dia hanya menciptakan gerakan menghindar. Baru pada jurus ketujuh si nenek mulai balas melancarkan serangan-serangan. Gerakannya menyerupai main-main saja tetapi Ramada merasa seakan-akan ada satu gel0mbang raksasa yang menghantamnya. Sadar kalau lawan mempunyai kepandaian tinggi maka Ramada Sur0 Jelantik segera keluarkan jurus-jurus simpanannya. Tubuhnya berputar kencang sementara r0da besinya mencuat kian kemari , menyerang si nenek dari segala jurusan.
Eyang Sint0 Gendeng walaupun kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja dia berlaku tenang. Malah dia tiba-tiba mendapat satu nalar guna melumpuhkan serangan lawan. Jika Ramada berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan kanannya pastilah benda iu sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan mayat istrinya yang diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir hingga di situ , si nenek kemudian mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan tangan kanan lawan.
“Bangsat sialan!” maki Ramada Sur0 Jelantik. Kini dia terpaksa bertahan habis-habisan untuk menyelamatkan Guci Setan dari hantaman si nenek. Merasa tidak sanggup , pada jurus ke 28 lelaki ini berteriak keras kemudian lemparkan Guci Setan ke atas. Guci ini melesat ke udara , melayang tinggi kemudian jatuh dan menyangsang di antara kelebatan daun-daun sebatang p0h0n. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada menghadapi Sint0 Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek kelihatan terdesak.
“Manusia bau! Ilmu silatmu b0leh juga!” memuji si nenek. “Tapi c0ba kau hadapi jurus seranganku ini!” Dua tangan si nenek berkelebat ke kiri dan ke kanan se0lah hndak memukul sisi tubuh lawannya. Bersamaan dengan itu ujung-ujung jarinya disatukan ke depan. Tiba-tiba kedua tangan itu melesat ke atas.
“Sepasang naga menyusup awan!” teriak Sint0 Gendeng menyebutkan jurus serangannya. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Kedua tangannya dengan sepuluh jari kuncup lurus ke depan dan se0lah ber0bah keras menyerupai besi menusuk ke arah jantung dan tengg0r0kan Ramada Sur0 Jelantik.
Kejut insan berkaki buntung ini bukan alang kepalang. Dia cepat menyingkir dengan membuang diri ke samping kiri. Tusukan pada tengg0r0kannya
lewat tapi yang mengarah jantung terus melesat.
“Haram jadah! Aku terpaksa berjibaku!” rutuk Ramada. Kaki kirinya ditendangkan ke depan , mengarah perut Sint0 Gendeng. R0da besi bergerigi menggerus ganas. Si nenek tidak mau ambil celaka . Tapi dia juga tidak mau melepaskan musuhnya dari sasaran. Dengan menggeser kakinya dua langkah ke kanan , Sint0 Gendeng teruskan hantamannya walaupun kini dia tidak bisa menghantam secara telak.
Bukkk!
Lima jari tangan si nenek mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan lebih tinggi.
Rrrrrrr
Sint0 Gendeng terpekik sewaktu r0da besi Ramada Sur0 Jelantik mer0bek pakaiannya di cuilan perut!
Tampang si nenek menkjadi kelam membesi.
“Kurang ajar!” si nenek geram sekali. Dia mel0mpat ke hadaan Ramada yang masih tertelentang di tanah dengan verbal mengucurkan darah tanggapan luka dalam di erat jantungnya sehabis terkena hantaman si nenek tadi.
“Manusia setan! Apakah kau pernah melihat pukulan sinar matahari?!” kata si nenek sambil angkat tangan kanannya yang dikala itu tampak berkilat-kilat menyerupai perak.
Ramada Sur0 Jelantik memang pernah mendengar kehebatan dan keganasan pukulan sakti itu. Dia tak mau berlaku ayal. Dia segera melafatkan satu mantera kesaktian. R0da besi di ujung kaki kirinya tiba-tiba mengeluarkan sinar hitam menggidikkan. Ketika Sint0 Gendeng lepaskan pukulan “sinar matahari” dengan tangan kanannya. Ramada tendangkan kaki kirinya ke atas menyambuti serangan kemudian dengan akil menggulingkan diri di tanah.
Bummmm!
Bummm!
Terdengar dua letusan keras.
Cahaya putih berkiblat disambut 0leh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar dari r0da besi Ramada berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan “sinar matahari” yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih dahsyat dari dua dentuman sebelumnya.
Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa. Iga 0rang anak buah Ramada hampir terduduk di tanah. Sint0 Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh berg0yang-g0yang. Mukanya yang hitam tampak semakin hitam. Jantungnya berdegup keras. Di seberangnya tubuh Ramada Sur0 Jelantik nampak menggeliat geliat erat tangga batu. Bahu kanannya tampak hangus dihantam pukulan “sinar matahari”. Tapi rupanya 0rang ini mempunyai kekautan luar biasa. Dalam keadaan terluka parah begitu dia mel0mpat tegak. Darah semakin banyak mengucur dari mulutnya tapi dia tidak perduli. Sepasang matanya yang merah memandang laksana bara api pada Sint0 Gendeng. Tiba-tiba dari mulunya terdengar teriakan keras.
“Anak-anak! Keluarkan hewan peliharaan kalian!” Bunuh renta bangka keparat ini!”
“Eh , apa yang hendak dilakukan manusia-manuisa jahanam ini?!” pikir Sint0 Gendeng. Dia berputar , menghadap ke arah Jalak Item , Jalak Ij0 dan Jalak Biru yang berada di halaman , terpisah di tiga tempat. Begitu berputar dia masih sempat melihat tiga 0rang bermuka hijau , hitam dan biru itu embuka epil0g keranjang r0tan masingmasing.
Lalu terdengar bunyi berdesir aneh. Dilain kejap lima belas hewan berbisa melesat ke arah si nenek!
“Edan!” teriak Sint0 Gendeng.
Dia cepat mengangkat kedua tangannya. Satu melepaskan pukulan “sinar matahari” satu lagi menghantamkan pukulan “segulung 0mbak menerpa karang”!
TUJUH
Dari keranjang r0tan Jalak Biru melesat keluar tujuh ek0r kelabang biru , menyerbu ke arah Sint0 Gendeng dari jurusan kiri. Dari arah depannya seek0r ular k0bra hijau melesat keluar dari dalam keranjang r0tan yang dibuka Jalak Ij0. Lalu dari sebelah kanan Jalak Item melepaskan keluar tujuh ek0r kalajengking berwarna hitam.
Lima belas hewan beracun ganas ini serentak menyerbu si nenek!
Seumur hidupnya Sint0 Gendeng belum pernah mendapat serangan begini banyak dan ganas. Dalam pada itu telinganya menangkap bunyi menderu dari arah belakang. Berarti Ramada Sur0 Jelantik dalam waktu bersamaan telah menyerang pula dengan r0da bergerigiinya dari belakang!
“Edan! Gila! Teriak si nenek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Bersamaan dengan itu dia jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan Ramada.
Putaran r0da besi bergerigi membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sint0 Gendeng.
Trang…..trang!
Terdengar bunyi beradunya benda-benda keras disertai percikan bunga api.
R0da besi Ramada ternyata telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala Sint0 Gendeng hingga hancur dan kepingannya bertaburanjatuh kian kemari. Tiga buah gerigi r0da besi di kaki kiri Ramada s0mplak. Ramada sendiri menjerit keras kesakitan. Kakinya laksana dihantam pentungan besi. Tubuhnya terpental hingga dua t0mbak!
Walau selamat dari r0da maut Ramada , namun Sint0 Gendeng belum lepas dari bahaya. Pukulan sinar matahari yang dilepaskannya ke depan berhasil menghantam ular k0bra besar yang dilepaskan Jalak Ij0. Tapi hebatnya sebelum terkena hantaman pukulan sakti yang mematikan itu , ular k0bra ini se0lah tahu ancaman yang mengancamnya. Melesat tinggi ke udara. Yang celaka ialah pemiliknya yaitu Jalak Ij0. Manusia bermuka hijau ini yang sama sekali tidak menyangka bahwa serangannya bakal gagal , terlambat menghindar. Pukulan “sinar matahari”
menghantamnya dengan telak. Jalak Ij0 menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar jauh. Hangus leleh laksana dipanggang. Nyawanya putus!
Pukulan “segulung 0mbak menerpa karang” yang dilepas Sint0 Gendeng dengan tenaga dalam penuh menciptakan hancur luluh tiga ek0r kalajengking hitam dan enam ek0r kelabang biru yang dilepaskan Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seek0r kala hitam dan kelabang biru masih sempat l0l0s. Dua hewan beracun ini menancap di tubuh si nenek. Kalajengking hitam menancap di leher erat pendengaran kirinya sedang kelabang biru menenmbus pundak kanannya! Si nenek menjerit keras. Tubuhnya rubuh ke tanah.
Ramada Sur0 Jelantik cepat mendekati tubuh si nenek sambil meny0r0ngkan r0da besinya ke arah leher Sint0 Gendeng. Sekali r0da besi itu menggerus leher si nenek niscaya lehernya akan putus dan nyawanya tidak tert0l0ng lagi.
Pada dikala yang genting itu tiba-tiba ada bunyi berseru “Sahabatku Sint0 Gendeng! Siapa yang berani mencelakaimu akan kuhancurkan bat0k kepalanya!”
Bersamaan dengan bunyi seruan itu tampak satu bayangan biru berkelebat dari arah kanan. Lalu ada cairan harum menyembur keras. Ramada Sur0 Jelantik tahu daangnya ancaman cepat tari kakinya kemudian jatuhkan diri bergulingan.
Brettt! Breetttt!
Baju hitam Ramada r0bek besar di cuilan punggung. Kulit punggungnya mengepulkan asap laksana ditempel besi panas.
“Anak-anak! Ada 0rang datang! Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ramada kemudian dia melesat ke atas p0h0n di mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan kilat disambarnya benda itu. Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil mayat istrinya. Sekali lagi dia berkelebat tubuhnyapun lenyap. Hanya bunyi deru r0da besinya yang menggerus tanah terdengar di kejauhan. Jalak Item dan Jalak Biru segera berlari mengejar pimpinan mereka sambil memikul keranjang r0tan masing masing.
Mayat Jalak Ij0 mereka tinggalkan begitu saja.
Sebelum Ramadad dan tiga anak buahnya hingga de tempat kediaman Sint0 Gendeng , 0rang renta berjanggut putih dan berpakaian selempang kain biru di atas p0h0n kembali meracau se0rang diri.
“Empat insan gila tadi. Yang satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya memikul keranjang. Masing-masing mempunyai muka berwarna warni. Eh , ada keperluan apa mereka berada di gunung ini? Apa yang mereka cari….? Ah , sulit saya menerkaya.” Di kakek kemudian teguk tuaknya beberapa kali. “Hemmm….enaknya tuak ini” kata si kakek. “Eh , pikir-pikir saya sendiri mengapa hingga berada di sini?
Astaga! Aku hingga lupa. Aku tiba kemari untuk menyambangi se0rang sahabat.
Jangan-jangan empat 0rang tadi juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka terperinci keempatnya bukan 0rang baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sint0 Gendeng. Jangan-jangan keempat 0rang tadi punya maksud jahat terhadap si nenek.
Baiknya saya segera berangkat ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan tuak kayangan ini!” Si kakek teguk lagi tuak dalam tabung bambu hingga minuman ini meler berjatuhan di bibirnya. Setelah puas , dengan gerakan gila dan sangat enteng , dia mel0mpat dari cabang p0h0n tempat dia duduk berjuntai. Tubuhnya laksana kapas melayang turun ke tanah tanpa bunyi sama sekali. Begitu menginjak tanah dia segera hendak berkelebat pergi namun langkahnya tertahan.
“Eh , saya ke sini seharusnya tidak sendirian. Anak itu belum juga muncul!
Kalau dia hingga tidak tiba akan kupecat dia sebagai murid. Apa ini dikiranya urusan ain-main?!” Si kakek memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia tidak melihat se0rangpun di sekitar situ. Dia memasang telinganya baik-baik. Tak terdengar bunyi apapun. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu. , menghambur menuju puncak Gunung Gede.
Dia tiba tepat pada dikala Sint0 Gendeng r0b0h ke tanah dan Ramada siap untuk menjagal lehernya dengan r0da bergerigi di ujung kaki kirinya.
Si kakek segera teguk tuaknya kemudian minuman ini disemburkannya ke arah Ramada Sur0 Jelantik. Tuak kayangan bukan saja merupakan minuman sedap tetapi di tangan si kakek bisa bermetam0rf0sis senjata yang sangat berbahaya. Dengan minuman itu dia telah menjadi se0rang t0k0h silat tingakt atas yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Dialah tadi yang menyembur Ramada dengan tuak saktinya hingga Sint0 Gendeng selamat dari r0da maut yang siap memutus lehernya.
Sebetulnya si kakek ingin mengejar Ramada namun lebih penting baginya menyelamatkan Sint0 Gendeng. Karenanya begitu Ramada dan dua anak buahnya kabur 0rang renta ini cepat mendatangi Sint0 Gendeng. Menyangka si kakek ialah salah se0rang musuhnya Sint0 Gendeng yang tengah breusaha bangun berdiri angkat tangan kanannya , siap untuk menghantam.
“Sint0! Kau mau membunuhku degan pukulan saktimu?!” sikakek cepat berseru.
“Eh!” sint0 Gendeng jadi terkesiap. “Aku rasa-rasa mengenal suaramu.
Bukankah kau….?”
“Sudah! Jangan banyak bicara dulu. Ada dua hewan beracun menancap di tubuhmu! Biar saya singkirkan lebh dulu!”
Kakek berjanggut putih yang membekal dua buah tabung bambu berisi tuak itu mencabut kalajengking hitam yang menancap di leher Sint0 Gendeng kemudian dengan jari-jari tangannya diremasnya hewan itu hingga hancur luluh. Kedua mata si kakek kelihatan membesar sewaktu dia melihat bahwa leher Sitn0 Gendeng yang bekas ditancapi kala hitam tadi tampak menggembung.
“Racun jahat ,” kata si kakek dalam hati. “Pasti sudah menjalar ke dalam aliran darahnya. Tubuhnya terasa panas. Kalau tidak segera dit0l0ng sahabatku ini niscaya akan celaka. Ah , agaknya saya tak akan bisa mengajaknya membicarakan hal itu.
Muridku celaka itu mana dia! Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!”
Sint0 Gendeng yang sedang dit0l0ng menangkap ucapan-ucapan perlahan si kakek. “Eh apakah kau sedang meng0meli diriku?!” tanyanya.
“Jangan bicara Sint0! Keadaanmu berbahaya. Masih ada satu hewan beracun di tubuhmu!” kata si kakek. Lalu kelabang biru yang melekat di pundak kanan Sint0 Gendeng dicabutnya dan menyerupai kala hitam tadi hewan ini diremasnya hingga lumat.Ketika diperhatikan pundak kanan Sint0 Gendeng ternyata juga abses besar tanda racun sudah memasuki tubuhnya.
“Sint0 , keadaanmu berbahaya. Ubuhmu panas…..”
“Panas? Aku malah merasa kedinginan. Bawa saya masuk ke dalam gubukku!” kata Sint0 Gendeng.
“Tunggu , saya mau melaksanakan apa yang bisa membendung racun yang ada dalam tubuhmu ,” kata si kakek. Lalu degnan sebuah pisau kecil dit0rehnya luka abses pada leher dan pundak kanan Sint0 Gendeng. Darah mengucur berwarna hitam.
Si kakek pergunakan mulutnya untuk menyed0t darah lewat kedua luka. Lalu dia meneguk tuaknya. Dengan tuak itu dia kemudian menyembur luka di leher dan pundak Sint0 Gendeng. Tidak hingga di situ diapun menciptakan beberapa t0t0kan d tubuh si nenek.
“S0batku Dewa Tuak ,” Sint0 Gendeng menyebut nama si kakek. “Aku bersyukur dan berterima kasih kau men0l0ngku. Kemunculanmu tidak terduga….”
“sudah , jangan bicara banyak dulu. Biar saya dukung kau ke dalam rumah ,”
ujar si kakek yang ternyata ialah t0k0h silat berusia lebih dari 80 tahun yang semenjak beberapa tahun ini jarang memunculkan diri dalam rimba persilatan.
“Kedatanganku tadinya untuk membicarakan satu kasus penting denganmu.
Tapi melihat keadaanmu menyerupai ini kurasa sebaiknya saya menunda dulu pembicaraan itu.” Dewa Tuak kemudian mendukung tubuh Sint0 Gendeng.
“Gila! Tubuhmu kurus kering begini tapi berat bukan main!” Dewa Tuak menyerupai mengeluh. Sint0 Gendeng didukungnya masuk ke dalam rumah kemudian dibaringkannya pada sebuah tempat tidur kayu. “Sint0 , racun dalam tubuhmu jahat sekali. Aku tidak bisa menjamin kau bisa bertahan lebih dari dua minggu. Aku harus mencari se0rang tabib ulung dan membawamu turun gunung.”
Sint0 Gendeng batuk-batuk beberapa kali. “Buat apa kau menyusahkan diri.
Kalau nyawaku mau minggat dari tubuh ker0p0s ini ya biar saja! Hik…hik…hik!”
Sint0 Gendeng masih bisa tertawa cekikikan.
Dewa Tuak geleng-gelengkan kepala.
“Tubuhku terasa dingin. Mana tuak keparatmu itu? Aku minta barang beberapa teguk biar tubuhku dan darahku jadi hangat!”
Dewa Tuak menurunkan tabung tuaknya dari punggung kemudian mendekatkan verbal tabung ke verbal Sint0 Gendeng. Gluk…gluk…gluk! Si nenek meneguk tuak itu dengan lahap.
“Sint0 , kau dengar baik-baik. Aku harus meninggalkanmu dikala ini juga untuk
menemui tabib yang kukatakan itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung , biar tabib itu saja yang saya bawa ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa muridku Anggini mungkin sekali akan muncul di sini. Kami berjanji akan bertemu di puncak Gunung Gede ini….”
Sint0 Gendeng tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan pertemuan di sini. Pasti urusan yang itu juga….”
“Keadaanmu menciptakan saya terpaksa membatalkan pembicaraan itu Sint0. Lain kali saja kita bicarakan lagi….”
“Kalau umurku masih panjang ,” kata Sint0 Gendeng.
“Jangan bicara bagitu Sint0….”
“Kalau saja Kapak Naga Geni 212 ada di sini segala macam racun yang mendekam dalam tubuhku niscaya bisa dised0t….” Kata Sint0 Gendeng pula.
“Kalau begitu , bagaimana kalau saya mencari muridmu dan membawanya ke sini?” minta pendapat Dewa Tuak.
“Dalam waktu seribu hari belum tentu kau bakal sanggup menemuinya.”
Dewa Tuak maklum apa yang dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak simpel mencari Wir0 Sableng.
“Sint0 , bekerjsama siapa 0rang-0rang yang mencelakaimu itu?” bertanya Dewa Tuak.
“Aku tak kenal mereka. Sebelumnya juga tak pernah melihat. Yang jadi pimpinan dipanggil 0leh anak buahnya dengan nama Ramada….” Menerangkan Sint0 Gendeng.
“Ramada….Ramada…..” Dewa Tuak mengulang-ulang nama itu. “Rasanya saya pernah tahu insan keparat satu itu. Dia berasal dari Timur. Kalau tak salah nama lengkapnya Ramada…..Ramada Sur0 Jelantik. Sebetulnya dia bukan insan jahat tapi juga bukan 0rang baik-baik. Dia tidak diterima dalam g0l0ngan hitam dan tidak diperdulikan dalam g0l0ngan putih. Cuma memang belakangan ini , semenjak dia punya beberapa 0rang anak buah , kelakuannya berubah. Dia banyak berbuat kejahatan. Kau yakin tidak punya silang sengketa denga 0rang-0rang itu?”
Sint0 Gendeng menggeleng. “Ramada tiba membawa tuduhan bahwa muridku Wir0 Sableng telah memperk0sa dan membunuh istrinya….”
“Jadi yang dibawa-bawanya itu ialah mayat istriya?! Gila betul! Cuma ada hal yang kurasa aneh. Sekalipun muridku berbuat jahat menyerupai yang dituduhkan , mengapa dia dan anak buahnya nekad hendak membunuhku?!”
“Ada sesuatu yang tidak beres Sint0 ,” kata Dewa Tuak pula. “Bagaimana kalau saya menghubungi sahabat kita Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk.”
“Terserah padamu Dewa Tuak. Tapi kau juga tahu mencari 0rang menyerupai dia tidak mudah.” Jawab Sint0 Gendeng. Dia menarik nafas dalam kemudian melanjtukan ucapannya.
“Aku melihat Ramada membawa sebuah benda. Sebuah guci. Aku yakin pernah melihat benda itu di masa mudaku. Sebuah guci keramat milik Kerajaan berasal dari zaman Sing0sari. Guci itu sangat berbahaya kalau hingga jatuh dalam tangan 0rang-0rang jahat….”
Dewa Tuak beng0ng sesaat. Akhirnya 0rang renta ini berkata “Sint0 , saya harus pergi sekarang. Kalau muridmu tiba dia tentu akan merawatmu hingga saya kembali.”
Sint0 Gendeng menarik nafas dalam. Tubuhnya semakin panas tapi dia sendiri merasa dingin. Dewa Tuak memegang lengan sahabatnya itu. Didengarnya sint0 berbisik “Tinggalkan satu tabung tuak untukku.”
“Tentu Sint0. Kau b0leh minum tuka ini sepuas hatimu.” Dewa Tuak turunkan tabung tuaknya yang masih penuh kemudian menyandarkan tabung bambu itu di tepi tempat tidur , erat kepala Sint0 Gendeng.
DELAPAN
Menjelang petang dua penunggang kuda nampak menuruni puncak Gunung Merbabu. Keduanya bukan lain ialah Pangeran Banuart0 dan kep0nakannya Dewi Saniastri yang gres saja menziarahi makam Pangeran Ban0w0 , ayahanda si gadis yang juga merupakan kakak Pangeran Banuart0.
Setelah berdiam diri beberapa lamanya , Dewi Santiastri membuka pembicaraan di antara mereka. “Paman , bekerjsama kalau tidak ada pesan dari almarhum ayahanda ingin saya memindahkan makam dia ke pinggiran K0taraja…”
“Maksudmu memang baik. Tapi pesan 0rang yang meninggal harus dih0rmati.
Aku takut kalau-kalau nanti ada balasannya yang tidak baik bagi kita….”
Si gadis terdiam. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. “Pemuda yang berjulukan Wir0 itu , apakah benar dia se0rang pahlawan sakti mandraguna yang punya nama besar di delapan penjuru angin?”
“Begitu kabar yang saya dengar….”
“Tapi mengapa salah satu anak panah saya mempu melukainya?”
Pangeran Banuart0 tersenyum. “Mungkin kehebatannya telah menurun atau bisa saja ilmu panahmu sudah meningkat jauh!”
Dewi Santiastri tersenyum. Belum pupus senyum dari wajahnya yang jelita itu tiba-tiba di lereng gunung yang menurun itu muncul se0rang renta berpakaian dan berblangk0n hitam. Janggut dan kumisnya putih tak terurus. Pandangan matanya hirau taacuh angker. Dari caranya berdiri di jalan terperinci dia sengaja menghadang perjalanan kedua 0rang yang berkuda itu.
“0rang renta , siapa kau?” bertanya Pngeran Banuart0 dengan rasa heran. Tentu saja dia tak akan menyangka kalau akan bertemu dengan sese0rang tak dikenal di tempat itu.
0rang yang ditegur menyeringai. “Kau tak kenal saya sungguh keterlaluan Pangeran Banuart0 ,” 0rang itu berkata.
“Eh , kau tahu siapa aku!” Pangeran Banuart0 semakin heran.
0rang berblangk0n hitam kembali menyeringai. “Namaku Ki Ageng Lentut.
Bertahun-tahun saya menjadi kuncen penjaga makam Pangeran Ban0w0 tanpa dibayar barang sepeserpun! Apa salah kalau hari ini saya muncul untuk menagih segala hutang piutang?!”
Pangeran Banuart0 dan kep0nakannya jadi saling pandang mendengar kata kata 0rang yang tidak mereka kenal itu. Si gadis membuka mulut.
“Kami tidak pernah merasa mempunyai kuncen untuk mengurus makam ayahanda….”
“Ah kalau begitu kau se0rang anak yang sangat tidak berbakti!”
“Jaga mulutmu!” hardik Pangeran Banuart0.
Dibentak begitu 0rang yang mengaku kuncen makam Pangeran Ban0w0 itu hanya menyeringai. “Aku sudah menghitung-hitung berapa bayaran yang harus kuterima. Semuanya sekitar sepuluh tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku m0h0n kalian jangan segera membayarnya dikala ini!”
“0rang gila! Kami tidak membawa apa yang kau minta itu. Sekalipun ada tidak akan kami berikan! Antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa!”
“Pangeran , jangan berkata begitu. Aku telah merawat….”
“Tunggu dulu!” sentak Dewi Santiastri. “Kalau kau benar merawat makam ayahandaku , mengapa makam begitu k0t0r dan ada tiangnya yang patah?!”
“S0al tiang patah itu lantaran ada se0rang gila tiba mengamuk. Tapi saya telah mengusirnya hingga makam tidak lebih rusak….”
“Kau dusta! Aku tahu kau dusta!” kata Dewi Santiastri pula.
“Jadi kalian tidak mau membayar?” bertanya kuncen Ki Ageng Lentut.
“Siapa sudi!” teriak Dewi Santiastri.
“Baiklah , kalau kalian tidak mau membayar tidak jadi apa. Kalian yang
merugi , bukan aku. Namun kalau kalian mau berunding rasanya itu lebih baik…”
“Apa maksudmu?!” tanya Pangeran Banuart0.
“Usiaku memang sudah agak lanjut. Tapi kejantananku tidak kalah dengan se0rang c0w0k dua puluh tahun. Kulihat kep0nakanmu itu berparas cantik.
Bagaimana kalau dirinya saja yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!”
“Manusia rendah bermulut kurang ajar!” teriak Pangeran Banuart0 marah.
Dewi Santiastri tidak kalah marahnya. Gadis ini menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu tunggangannya mel0mpat ke hadapan 0rang berpakaian hitam , kaki kanannya eksklusif ditendangkan ke kepala 0rang itu.
“Ah , tidak dikira putrid almarhum Pangeran Ban0w0 mempunyai ilmu silat ,”
kata si kuncen sambil tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil menangkap pergelangan kaki kanan si gadis. Lalu sekali putar saja tubuh Dewi Santiastri dibuatnya mencelat ke atas.
Sambil memekik murka puteri mendiang Pangeran Ban0w0 itu jungkir balik di udara. Kedua tangannya bergerak menyambar busur dan tiga anak panah. Masih dalam keadaan melayang di udara si gadis lepaskan tiga anak panah kea rah si kuncen. Yang diserang berseru kaget. Untung dia bisa berlaku cepat mel0mpat menghindari tiga serangan anak panah itu walau satu anak panah masih sempat menyerempet blangk0nnya hingga blangk0n itu r0bek besar.
“Hem , gadis ini berbahaya. Dia harus ditangani lebuh dulu ,” membatin Ki Ageng Lentut yangwajahnya sempat pucat tanggapan keganasan ilmu panah Dewi Santiastri tadi. Pada dikala itu Pangeran Banuart0 telah mel0mpat turun dari kudanya.
Dengan tangan k0s0ng dia menyerang Ki Ageng Lentut. Sang kuncen menangkis dengan melintangkan lengan kiri di depan kepalanya. Bukkk! Dua tangan saling baradu. Pangeran Banuart0 mengernyit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan si kuncen untuk menyergap kearah Dewi Santiastri yang dikala itu sudah berdiri di tanah dan siap melepaskan lima anak panah. Namun sebelum dia bisa melaksanakan hal itu , 0rang berpakaian hitam ini telah menyergap si gadis. Dewi c0ba menghantam kepala lawan dengan busurnya.
Dia berhasil.
Trakkk!
Busur patah dua begitu menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya yang terluka mengucur darah. Tapi se0lah tidak mencicipi sakit 0rang ini kembali menyergap cuilan pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku tidak bisa bergerak lagi.
“Keparat jahanam! Apa yang kau lakukan pada kep0nakanku?!” teriak Pangeran Banuart0.Tangan kanannya yang masih sakit tanggapan bentr0kan tadi dipukulkannya ke perut sang kuncen.
Bukkk!
J0t0san itu tepat mengenai ulu hati Ki Ageng Lentut!
“Mampus!” teriak Pangeran Banuart0 lantaran dia sudah memastikan perut 0rang renta itu akan jeb0l dan hancur di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya tadi bukan pukulan sembarangan. Selain mengandung tenaga dalam tinggi juga disertai aji “wesi kuning” yang sanggup mematahkan p0h0n menjeb0l dinding. Tapi sang pangeran jadi terbelalak ketika melihat , jangankan jeb0l atau muntah darah bergeming sedikitpun tubuh sang kuncen tidak! Malah dia tampak menyeringai dan berkata mengejek.
“Aji wesi kuning tidak ada gunanya di hadapanku , pangeran! Sekarang gilirankmu mendapatkan pukulanku!” Habis berkata begitu Ki Ageng Lentut angkat tangan kanannya ke atas. Telapak tangan membuka. Mulutnya berk0mat kamit. Lalu telapak tangan yang diarahkan pada Pangeran Banuart0 itu did0r0ngkannya. Perlahan saja. Apa yang terjadi menciptakan Dewi Santiastri terpekik.
Dari telapak tangan Ki Ageng Lentut menyembur keluar bunyi mendesis keras disertai hawa panas luar biasa. Pangeran Banuart0 cepat menyingkir sambil menghantam degnan kedua tangan.
Bummmm!
Lereng Gunung Merbabu itu terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak dengan lutut menekuk sedang tubuh sebelah atas berg0yang-g0yang. Wajah tuanya kelihatan sedikit pucat. Tapi dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya melurus dan tampangnya tampak berdarah lagi.
Lain halnya dengan Pangeran Banuart0. Begitu pukulan tangan k0s0ngnya saling bentr0kan dengan hawa panas yang keluar dari telapak tanagn si kuncen , tubuhnya eksklusif mencelat mental. Ambruk di tanah berguling-guling hingga beberapa t0mbak. Ketika gulingannya tertahan 0leh akar semak belukar , kelihatan pakaian dan sebagian kulit tubuhnya laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik lagi dan Dewi Santiastri tahu kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya gadis ini berteriak.
Ki Ageng Lentut menyeringai sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar dia tertawa mengekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati mayat Pangeran Banuart0. Di satu tempat dia mematahkan sebatang ranting kayu yang keras. Dengan ranting yang ujungnya tajam ini dia kemudian men0reh angka 212 di kening Pangeran Banuart0. Ranting dicampakkan dan Ki Ageng Lentut kembali tertawa mengekeh.
Tubuh Pangeran Banuart0 didukungnya kemudian dinaikkan ke atas kuda. “Bawa kembali tuanmu ke K0taraja!” Lalu Ki Ageng Lentut menepuk pinggul kuda itu kuat-kuat hingga hewan ini menaikkan kedua kakinya kemudian lari menghambur.
Ki Ageng Lentut menyeringai dan berpaling kea rah Dewi Santiastri.
“Manusia durjana! Pergi! Pergi!” teriak si gadis ketika si kuncen melangkah ke arahnya.
“Tenang kekasihku , tenang. Kau akan kubawa bersenang-senang. Kau akan mencicipi satu kenikmatan dunia yang belum pernah kau ketahui salama ini!”
“Manusia iblis! Setan! Pergi!” teriak Dewi Santiastri.
Ki Ageng Lentut hingga di hadapan si gadis. Tanpa pedulikan teriakan di Dewi , tangan kanannya lezat saja secara kurang latih mengusap permukaan dada gadis itu. Jeritan dan makian si gadis terdengar berkepanjangan.
“Kekasihku , apakah kau pernah ditiduri laki-laki?” Ki Ageng Lentut usikan pertanyaan seraya menyusupkan tangan kanannya ke balik dada pakaian Dewi Santiastri.
“Manusia jahanam! Kau bunuh saja saya daripada men0dai begini tupa!” teriak Dewi Santiastri.
“Jangan bilang begitu kekasihku. Mari ikut saya ke makam ayahmu. Di situ kita akan bersenang-senang biar r0h ayahmu menyaksikannya sendiri. Setelah itu kalau kau memang mau mati b0leh-b0leh saja….”
“Jahanam! Lepaskan!” teriak Dewi. “Lepaskan!”
Ki Ageng Lentut tertawa mengekeh. Tubuh gadis dipanggulnya di pundak kiri kemudian dilarikannya kea rah puncak Gunung Merbabu. Tapi gres berlari beberapa belas langkah tiba-tiba terdengar bunyi suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada semburan angin di samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika mencicipi tubuh gadis yang ada di bahunya terlepas dari panggulannya. Secepat kilat dia hentikan larina dan berpaling.
“Keparat….. Dia rupanya!” Ki Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat siapa yang ada di depannya. “Rasanya mau saya nekad-nekadan menghadapinya dikala ini juga. Tapi tak ada gunanya. Biar 0rang lain saja yang membereskannya. Perlu apa menyusahkan diri!” Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah benda dari saku pakaian hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea rah c0w0k g0ndr0ng yang kini mendukung Dewi Santiastri.
Blusssss!
Benda yang dilemparkan meletus di udara. Asap pekat kelabu membumbung membungkus tempat itu. Pemuda yang mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu pukulan tangan k0s0ng yang sangat dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut telah lebih dulu menghambur pergi diblik kepulan asap kelabu. Di sebelah sana p0h0n-p0h0n dan semak belukar patah tumbang dan mencelat kian kemari dihantam pukulan “dewa angin kencang menggusur gunung.”
Pendekar 212 Wir0 Sableng baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah yang rata kemudian melepaskan t0t0kannya. Gadis ini menangis keras dan tanpa sadar memeluki tubuh si pemuda.
“Wir0 , syukur kau datang. Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi 0rang jahat itu telah membunuh paman Pangeran Banuart0….”
Wir0 terkejut sekali. Dia memandang berkeliling.
“Mayat paman dinaikkannya ke atas kuda , kemudian kuda digebraknya. Binatang itu kini telah dalam perjalanan ke K0taraja. Sebelum mayat paman dinaikkan ke atas kuda dia telah men0reh angka 212 pada kening mayat…..”
“Apa!” sepasang mata Pendekar 212 hingga mel0t0t ketika mendengar ucapan di gadis. Dewi Santiastri kemudian menerangkan lebih rinci.
“Kurang ajar! Apa maksud 0rang itu….?!” Pendekar 212 berpikir-pikir.
“Hemmmmm…. Jelas dia berusaha memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa mayat pamanmu hingga di K0taraja semua 0rang akan segera tahu bahwa akulah pembunuh Pangeran Banuart0.”
“Tapi saya bisa menjadi saksi bahwa bukan kau yang melaksanakan hal itu ,” kata Dewi pula.
“Memang bisa , tapi namaku sempat terk0t0ri lebih dulu. Kita tak mungkin mengejar kuda yang membawa mayat pamanmu. Begitu saya muncul di K0taraja niscaya saya akan segera ditangkap. Kurang latih betul! Kau tahu siapa 0rang renta berkumis dan berjanggut putih tadi itu?”
“Dia mengaku kuncen makam ayahandaku. Padahal kami tidak pernah membayar se0rang kuncenpun….”
“Kau pernah melihat 0rang itu sebelumnya? Atau mungkin tahu nama serta asalnya?” tanya Wir0.
“Baru sekali ini saya melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia mengaku berjulukan Ki Ageng Lentut.”
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Ki Ageng Lentut….Ki Ageng Lentut….Aku pernah dengar nama itu. Aku ingat! Dia se0rang pengukir patung kayu di Pangadegan. Rasanya tak mungkin dia yang melakukan. Tapi saya pernah mendengar bahwa dia menguasai semacam ilm hitam….. Bagaimana cirri-cirinya?”
“Tua , kumis dan janggutnya sudah putih. Blangk0n dan pakaiannya serba hitam….”
“Tepat sama dengan cirri-ciri juru ukir itu! Kurang ajar! Jika memang dia akan kupecahkan kepalanya!” Wir0 kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya masih agak meragu.
“Kita harus pergi dari sini. Aku akan antarkan kau hingga di pintu gerbang luar K0taraja. Begitu hingga di K0taraja kau harus segera menemui pejabat Istana yang kau kenal baik dan menceritakan apa yang bekerjsama terjadi atas diri pamanmu.”
“Aku akan melaksanakan itu Wir0. Jangan kawatir. Namun bagaiman kalau kita bahu-membahu menemui pejabat itu? Aku kenal se0rang Tumenggung yang punya kekerabatan baik dengan Sultan”
“Terlalu besar bahayanya. Sebelum pers0alannya terperinci bagi kalangan Kerat0n , saya tak mungkin masuk ke dalam K0taraja.”
“Aku mengerti. Kaprik0rnus kau antarkan saja saya hingga di pintu gerbang K0taraja ,” kata Dewi Santiastri.
Pendekar 212 memapah gadis itu kemudian menaikkannya ke atas punggung kuda.
“Kuda kita cuma satu? Bagaimana dengan kau?”
Wir0 tersenyum. “Asal kau tidak memacunya terlalu cepat saya bisa mengikuti dari belakang.”
“Kalau begitu….” Si gadis meragu sesaat. “Kau naik saja di belakangku Wir0.”
Tanpa disuruh dua kali Wir0 Sableng eksklusif naik punggung kuda besar itu.
Apa yang diperkirakan Pendekar 212 Wir0 Sableng memang benar. Begitu mayat Pangeran Banuart0 hingga di K0taraj , suasana menjadi geger. Pendekar 212 Wir0 Sableng segera dicap sebagai pembunuh. Walaupun keumudian Dewi Santiastri menemui pejabat yang dikenalnya kemudian menerangkan apa yang terjadi namun pihak Istana tidak begitu saja mempercayainya. Malah tersebar desas desus bahwa gadis itu mungkin saja berk0mpl0t dengan Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuart0 lantaran kini hanya dialah pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan sang paman.
SEMBILAN
Malam yang gelap di pinggiran timur K0taraja. Di desa pengadegan terasa hirau taacuh sehabis hujan turun cukup lebat. Di mana-mana terdengar bunyi jangkrik yang sesekali ditimpali bunyi k0d0k.
Di dalam rumah kayu , 0rang renta berjanggut dan berkumis putih itu duduk di atas tikar tengah asyik memperhalus gesekan kepala seek0r burung garuda besar.
Sebenarnya matanya sudah sangat mengantuk , tapi gesekan itu harus selesai malam itu juga lantaran es0k pagi pemesanna , se0rang hartawan dari Kudus akan mengambilnya.
Sesekali 0rang renta ini menghentikan pekerjaannya sekedar untuk mengipas-ngipaskan blangk0n hitamnya. Walaupun di luar udara hirau taacuh namun dalam rumahnya Ki Ageng Lentut merasa panas dan sekujur pakaian hitamnya lembap 0leh keringat.
Tengah dia asyik menekuni pekerjaannya tiba-tiba telinganya menangkap bunyi kaki di depan rumah. Sesaat kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga ditendang 0rang dari luar.
“Hai! Setan dari mana yang tiba mengamuk malam-malam buta di rumahku?!” teriak Ki Ageng Lentut murka sekali.
Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba di hadapannya tegak bert0lak pinggang se0rang c0w0k berambut g0ndr0ng dengan tampang beringas se0lah siap untuk melumat juru ukir itu.
“0rang gila! Siapa kau?! Kau merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?”
Ki Ageng Lentut letakkan gesekan burung garuda ke atas tikar kemudian berdiri dengan cepat.
Pahat kecil yang tajam luar biasa tepentang di tanagnnya.
“Benar kau 0rangnya yang berjulukan Ki Ageng Lentut?!” bertanya si pemuda.
“Eh setan sialan! Ditanya malah kembali menanya! Kau sendiri siapa 0rang gila?”
“Namku Wir0. Aku ingin jawabanmu benar kau 0rangnya yang berjulukan Ki Ageng Lentut?!”
“Kalau kau sudah tahu siapa saya lekas minggat dari sini. Tapi bertulkan dulu pintu rumahku. Kalau tidak wajahmu akan kuukir seburuk setan dengan pahat ini!”
“0rang renta , kau telah membunuh Pangeran Banuart0. Kini saya jadi bur0nan lantaran perbuatanmu men0reh angka 212 di kening mayat pangeran itu!”
“Eh…..eh…! Tunggu dulu! Kau benar-benar 0rang gila kesasar. Kalau kaupun saya tidak! Enak saja menuduh….”
“Di mana kau sekitar empat hari lalu?!”
“0rang gila seharusnya saya tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Tapi biar saya menciptakan pengecualian. Sejak satu ahad terakhir ini saya tidak pernah meninggalkan rumah ini !”
“Dusta!”
“Anjing edan! Lihat pahat!” teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di tangannya berkelebat.
Pendekar 212 Wir0 Sableng cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan gerakan 0rang renta itu. Pipinya terasa hirau taacuh sewaktu ujung pahat menyambar erat sekali ke wajahnya.
Jengkel melihat serangannya hanya mengenai tempat k0s0ng , si 0rang renta menciptakan gerakan berputar. Ketika tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat ke udara.
Bukkkk!
Murid Eyang Sint0 Gendeng terpelanting begitu tendangan kaki kanan Ki Ageng Lentut mendarat di rahang kirinya. Untuk beberapa dikala lamanya kepalanya terasa pening. Kehebatan ilmu silat si kakek menciptakan Wir0 semakin yakin bahwa memang dialah yang telah membunuh Pangeran Banuart0 dan hendak menculik Dewi Santiastri.
“Tua bangka berked0k pengukir suci! Perbuatan bejatmu sudah saya ketahui!
Jangan harap kau bisa l0l0s dari tanganku!” teriak Wir0. Lalu dia lancarkan serangan bertubi-tubi. Mula-mula Ki Ageng Lentut memang bisa menciptakan gerakan menghindar bahkan balas menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan gerakannya menjadi lamban maka tubuh dan mukanya menjadi bulan-bulanan j0t0san Pendekar 212. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang pecah. Sewaktu 0rang renta ini berusaha berlindung di belakang gesekan patung garuda besar tanpa ampun Wir0 melabrak patung itu dengan tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping.
Ki Ageng Lentut meraung keras. Dia lebih baik kehilangan nyawanya dari pada melihat gesekan burung garuda itu hancur begitu rupa. Seperti 0rang kemasukan setan dia bergulingan di lantai sambil memegangi beberapa cuilan gesekan yang hancur. Wir0 tidak menunggu lebih lama. Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki Aggeng Lentut. Si 0rang renta malah tidak perdulikan kepalanya bakal pecah dan nyawanya melayang. Dia menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda.
Sesaat lagi kaki kanan Pendekar 212 akan menghantam kepala Ki Ageng Lentut tiba-tiba atap rumah yang terbuat dari rumbia itu jeb0l di dua bagian.
Bersamaan dengan itu terdengar dua bunyi keras. Yang pertama bunyi lelaki berseru “Pendekar 212! Tarik pulang seranganmu! Jangan hingga kesalahan turun tangan!”
Suara kedua ialah bunyi perempuan. “Kalau 0tak ditelan perasaan begini jadinya. Tarik pulang tendangan atau kuhancurkan kakimu!”
Lalu dari atas atap sebelah kanan menyembur cairan berbau harum sedang dari atap sebelah kiri menyambar satu cahaya biru laksana tebasan pedang panjang yang mengeluarkan hawa sangat hirau taacuh hingga murid Eyang Sint0 Gendeng merasa tengkuknya jadi merinding! Bagaimanapun nekadnya dia hendak membunuh Ki Ageng Lentut yang dicapnya sebagai pembunuh Pangeran Banuart0 dan yang hendak menculik dan memperk0sa Dewi Santiastri tapi daypikir menciptakan sang pahlawan menarik tendangannya dengan cepat.
Byuuuuurrrrr!
Craaaaatttt!
Lantai papan berl0bang di enam tempat tanggapan semburan cairan gila berbau harum. Lalu di cuilan lain lantai yang sama r0bek menyerupai ditembus benda tajam yaitu tanggapan hantaman sinar biru tadi!
Pendekar 212 leletkan pengecap dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa terbang. Kalau tadi dia tidak segera menarik tendangannya terperinci kakinya akan hancur dan terbabat putus! Wir0 angkat kepala memandang ke dapan. Dia melihat dua pemandangan yang k0ntras sementara Ki Ageng Lentut masih menelungkup di lantai menangisi patungnya yang hancur.
Di sebelah depan kanan Wir0 dikala itu berdiri se0rang kakek berpakaian selempang kain biru. Di punggungnya tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya yang putih menjela hingga ke bahu. Di bawah penerangan lampu minyak yang tergantung di dinding kanan rumah dia segera mengenali sapa adanya kakek-kakek itu.
Dia hendak berseru memanggil nama “Dewa Tuak” namun mulutnya tersekat ketika dia melihat s0s0k kedua yang berdiri di samping kiri ruangan.
Di situ tegak se0rang dara berpakain biru. Begitu tipisnya pakaian yang dikenakannya sehingga walaupun nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa terang namun Wir0 masih sanggup melihat menembus ke balik pakaian itu bentuk tubuh yang luar biasa bagusnya. Murid Sint0 Gendeng mencicipi nafasnya menyerupai berhenti.
Wajah dara itu ternyata manis bukan kepalang. Rambutnya yang panjang tergerai hingga di dada berwarna c0klat kepirangan.
“Gila , mengapa di dikala menyerupai ini ada bidadari yang turun ke bumi!” kata Pendekar 212 dalam hati. Untuk beberapa dikala lamanya dia tak bisa berkata apa-apa selan tegak tertegun.
Kakek berjanggut putih yang memang ialah Dewa Tuak betuk-betuk
beberapa kali. Pendeka 212 segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan menjura dalam-dalam menawarkan penghh0rmatan.
“Dewa Tuak , harap maafkan kalau saya tidak cepat menyalamimu. Semuanya terjadi begitu mendadak dan membuatku agak bingung.”
Dewa Tuak tertawa lebar. “Hidup ini sesekali memang harus dibentuk galau , anak muda. Bagaimana saya bisa muncul di sini dan bagaimana saya sanggup menemuimu di sini satu mukjizat yang membingungkan. Aku mendengar kabar perihal se0rang kuncen berjulukan Ki Ageng Lentut. Beberapa hari kemudian saya berada di puncak Gunung Gede. Gurumu dalam ancaman besar. Ada empat t0k0h silat dari Timur berjulukan Ramada Sur0 Jelantik. 0rang ini memberi tahu bahea kau telah memperk0sa istrinya kemudian membunuh wanita itu. Kemana dia pergi dia membawa mayat istrinya yang sudah diawet. Agaknya dia tidak akan menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil membunuhmu! Apa yang hendak kau katakan Pendekar 212?”
Untuk beberapa dikala lamanya Wir0 tampak ternganga mendengar kata-kata Dewa Tuak itu. “Dewa Tuak , kau kenal diriku semenjak saya masih kecil. Tidak meungkin saya melaksanakan kejahatan keji menyerupai itu….”
“Tiga 0rang anak buah Ramada memberi kesaksian bahwa kau yang memperk0sa dan membunuh istri pimpinan mereka!”
Wir0 geleng-geleng kepala. “Aku harus mencari mereka. Urusan gila ini harus dijernihkan!”
“Bagus kalau kau mau bertindak begitu. Jangan harap saya akan membantumu.
Aku punya urusan yang lebih penting. Menyelamatkan nyawa gurumu. Sint0 Gendeng diker0y0k dan diserang dengan binatang-binatang berbisa. Tubuhnya digerayangi racun yang mematikan. Hanya Kapak Naga Geni 212 yang bisa menyes0t racun ganas itu dari tubuhnya. Ddia hanya punya waktu dua minggu.
Berikan senjata mustika itu padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede….”
“Dewa Tuak , sebagai muridnya bihar saya sendiri yang akan membawa Kapak Maut Naga Geni 212 ke sana….”
“Tidak Wir0!” jawab Dewa Tuak sambil menggelengkan kepala. Dia mengambil tabung bambu berisi tak. Setelah meneguk minuman itu beberapa kali dan menyeka bibirnya dengan belakang telapak tangan 0rang renta ini melanjutkan katakatanya.
“Urusanmu menyelamatkan gurumu serahkan padaku. Kau bereskan urusanmu dengan Ramada dan anak buahnya…..”
“Dewa Tuak kau tadi menyampaikan saya salah turun tangan. Maksudmu….?’
Dewa Tuak belum sempat menjawab. Dara berpakaian tipis di sebelah kiri membuka mulut. “Juru ukir berjulukan Ki Ageng Lentut itu bukan 0rang yang kau cari….”
“Lalu….?” Wir0 bertanya heran.
“Kau harus memecahkan sendiri teka teki ini? Hidup sebagai pahlawan banyak tantangannya. Kau harus memecahkan setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang akan dipecahkan 0rang!” jawab sang dara.
Wir0 hanya bisa tegak ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara.
Tiba-tiba Dewa Tuak menciptakan gerakan. Cepat sekali gerakannya itu hingga Wir0 mencicipi menyerupai dia dihembus angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naa Geni 12 yang terselip di pinggangnya lenyap.
“Dewa Tuak! Tunggu dulu!” seru Wir0. Saat itu si kakek berjanggut putih sudah mel0mpat ke atas. Dia mener0b0s lenyap lewa atap yang jeb0l. Wir0 hendak mengejar tapi langkahnya tertahan lantaran dara berbaju biru tipis cepat sekali menghadangnya. Berdiri begitu erat Wir0 sanggup melihat wajah manis yang benar benar sempurna. Hidungnya mencium amis harum yang keluar dari tubuh dan rambut si gadis.
“0rang hendak menyelamatkan gurumu , mengapa kau masih banyak cerewe?!” sang dara tiba-tiba menegur.
“Aku tidak cerewet!” jawab Wir0 sambil garuk-garuk kepala. “Eh , kau ini siapa sebenarnya?”
“Aku 0rang yang tadi hendak menciptakan buntung kaki kananmu dengan “pedang kilat biru”. Untung kau tidak berlaku nekad. Kalau tidak dikala ini kau sudah jadi se0rang pahlawan buntung menyerupai Ramada itu!”
“Eh ,kau kenal Ramada yang memfitnah saya memperk0sa dan membunuh istrinya?”
“Kenal atau tidak itu bukan urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang memperk0sa kemudian membunuh istrinya….”
“Kau!” Wir0 hendak mendamprat murka tapi kemarahannya leleh melihat kecantikan gadis di depannya.
Si gadis kemudian berkata lagi. “C0ba kau lihat juru ukir itu! Kau telah menghancurkan barang yang sangat berharga dalam hidupnya. Apakah kau bisa memperbaiki gesekan burung garuda itu kembali?”
“Aku tak bisa melakukannya ,” kata Wir0 perlahan sambil memandangi si pengukir yang menelungkup di lantai menagnisi pecahan gesekan burung garudanya.
“Aku harus mengakui saya menyesal melakukannya. Semua gara-gara….”
“Jangan salahkan 0rang lain. Kau yang punya perbuatan kau yang harus bertanggung jawab.”
Ucapan itu menciptakan verbal Wir0 Sableng terkancing. “Kau , kau menyerupai sedang menghakimiku. Apakah kau juga akan menjatuhi eksekusi padaku?”
Wajah manis itu menyeringai sinis. “Kau sendiri yang harus menghakimi dan menghukum dirimu!”
“Aku sudah bilang menyesal!” kata Wir0 hampir berteriak dan memperlihatkan tangan kanannya ke dalam telapak tangan kirinya.
Wir0 mengeruk saku bajunya. Semua uang dan beberapa tail perak yang dimilikinya diletakkan di atas tikar. “Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng Lentut ku harap kau bersedia menerimanya sebagai ganti rugi….”
Dara di depan Pendekar 212 tertawa panjang. “Uang dan perak itu tidak akan mengembalikan gesekan burung garudanya yang telah kau hancurkan!”
“Lalu….lalu saya harus berbuat apa?!”
Sang dara tak menjawab. Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Tubuh si gadis lenyap. Dia melihat gerakan-gerakan laksana kilat serta cahaya biru berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan kayu gesekan burung garuda yang bertebaran di lantai satu persatu lenyap dari tempatnya. Begitu juga yang sedang dipegang 0leh si pengukir. Di lain kejap tahu-tahu di atas tikar pecahan gesekan kayu itu telah menyatu kembali membentuk burung garuda , utuh menyerupai semula.
Wir0 bersurut mundur. Ki Ageng Lentut ternganga dan matanya mendelik tak percaya.
“Itu yang diinginkan 0rang renta ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta benda!”
Wir0 palingkan kepalanya memandang pada gadis di hadapannya. Untuk beberapa lamanya sepasang mata mereka saling beradu. Wir0 kalah. Dia menunduk lebih dulu. Ini yang membuatnya sangat jengkel. Ketika si baju biru itu melesat ke atas mener0b0s atap yang jrb0l tanpa meunggu lebih lama murid Eyang Sint0 Gendeng segera mengejarnya. Berlari sejauh beberapa puluh langkah , di satu tempat gadis itu hentikan langkahnya dan berbalik. Begitu Wir0 hingga di hadapannya dia membentak.
“Perlu apa kau mengikutiku?!”
“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau kau punya nama harap memberi tahu.”
“Untuk apa?!”
“Bukan untuk apa-apa. Kau tadi telah menawarkan satu pelajaran sangat baik padaku….”
Si gadis tertawa. Wir0 menyerupai terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul di pipi kiri kanan si gadis.
“Bagi se0rang pahlawan , pelajaran paling baik bukan tiba dari 0rang lain.
Tapi dari dalam dirinya sendiri. Sanggup dan maukah dia belajar? Hanya itu saja pers0alannya. Sederhana bukan?”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Pendekar 212 merasa se0lah menyerupai seek0r k0d0k dalam tempurung.
“Kau tak mau memberi nama tak jadi apa. Kepandaianmu luar biasa.
Gerakanmu cepat tak terlihat mata laksana angin. Bihar saya panggil kau Bidadari Angin Timur. Terma kasih. Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam diriku.
Yan tidak akan saya lupakan seumur hidupku. Terima kasih….” Perlahan-lahan Pendekar 212 memutar tubuhnya. Dua langkah dia berjalan tiba-tiba dilihatnya si gadis sudah ada sejarak dua t0mbak di depannya. Wir0 berpaling ke belakang. Gadis itu tak ada di tempatnya semula. Wir0 memandang lagi ke depan. Di situ tak terlihat lagi si baju biru itu.
Saat itu bekerjsama Wir0 ingin sekali kencing. Namun lantaran diselimuti rasa jengkel , malu dan rasa bersalah bahkan bercampur pula dengan amarah akhirnya menyerupai tidak perduli diri lagi Wir0 kencing begitu saja tanpa membuka celana dan sambil melangkah.
“Sialan!” katanya memaki entah memaki dirinya sendiri entah memaki gadis manis berpakaian biru tipis tadi.
Saat itu tiba-tiba terdengar bunyi 0rang tertawa di sebelah atas. Wir0 mend0gak ke atas p0h0n di depannya. Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah satu cabang p0h0n.
“Hanya 0rang t0l0l yang mau ng0mp0l di celana!” kata si gadis sambil melambaikan tangannya.
“Astaga! Bagaimana dia tahu saya kencing di celana?!” kata Wir0 sambil memegangi cuilan bawah perutnya yang basah. Ketika dia men0leh ke atas p0h0n sang dara tak ada lagi di tempat itu. Hanya bunyi tawanya saja yang terdengar di kejauhan.
“Mungkin dia benar-benar bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana kalau dia hantu jejadian? Sayang tadi saya tidak melihat cuilan belakang tubuhnya.
Jangan-jangan dia kuntilanak!” Memikir hingga di situ Wir0 jadi merinding sendiri.
SEPULUH
0rang renta berjanggut putih panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang pada Ramada dan dua 0rang anak buahnya.
“Hari ini saya bukan lagi kuncen penjaga makam Pangeran Ban0w0.
Namakupun bukan lagi Ki Ageng Lentut.”
Rahang Ramada Sur0 Jelantik menggembung tanda ada hawa amarah di r0ngga dadanya. “Tunggu dulu!” katanya mem0t0ng. “Aku merasa curiga! Mengapa kau kini berubah rupa dan pakaian?!”
0rang renta itu tertawa perlahan. “Hidup harus punya ragam. Bagaimana tampangku dan bagaimana caraku berpakaian itu urusanku. Yang terperinci saya ialah satu-satunya insan yang bisa menguasai dan memanfaatkan kekuatan mistik yang ada dalam Guci Setan itu. Jika kau masih perlu saya kira b0leh bicara. Kalau tidak silahkan angkat kaki dari hadapanku!”
Ramada mencekal leher jubah 0rang renta berambut putih panjang itu. “Dengar baik-baik! Salah se0rang anak buahku yang berjulukan Jalak Ij0 mati k0ny0l di tangan Sint0 Gendeng. Petunjukmu ternyata membawa celaka!”
“Dan kau telah menciptakan sebelah mataku buta!” berteriak Jalak Item tak kalah marahnya.
“Kalian bicara menyerupai 0rang t0l0l!” sentak si 0rang tua. “Kau hendak mencari pembunuh istrimu. Apa kau kira begitu simpel tanpa peng0rbanan? Ingat! Aku hanya memberi petunjuk. Apa kau mau melakukannya atau tidak saya tidak perduli!
Apa balasannya pada kalian saya tidak mau tahu!”
Kalau diperuntukkan kemarahannya dikala itu mau rasanya Ramada mencekik 0rang renta itu hingga mati. Dengan bunyi bergetar dia bertanya “Lalu kami harus memanggilmu apa sekarang?!”
“Diriku kini ialah se0rang juru ramal. Panggil saya juru ramal Sangk0l0 Bumi ,” jawab 0rang renta berambut putih panjang. “Dekatkan Guci Setan itu padaku!”
Ramada Sur0 Jelantik memandang pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item dan Jalak Biru. “Binatang-binatang peliharaan kalian sudah lengkap semua?”
Jalak Biru dan Jalak Item sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang dan kalajengking mereka terbunuh di tangan Sint0 Gendeng beberapa waktu kemudian , keduanya telah mendapatkan kala dan kelabag baru.
“Kalau dia menipu kita , saya tak akan memberi ampun lagi padanya!” kata Jalak Item yang menaruh dendam kesumat pada si kakek. Dia membuka epil0g keranjang r0tannya yang berisi tujuh ek0r kala hitam beracun. Hal yang sama dilakukan 0leh Jalak Biru yang keranjang r0tannya berisi tujuh ek0r kelabang biru.
“Tak ada yang menipu kalian. Hanya kalian saja yang bertindak b0d0h!”
jawab 0rang renta yang minta dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangk0l0 Bumi itu.
“Kalau kalian memang tidak perlu diriku dan ingin membunuhku mengapa tidak dilakukan dari tadi?”
Ramada dan dua anak buahnya terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang semenjak tadi dipanggul diturunkan kemudian dibaringkan di atas rumput liar di dalam hutan kecil yang terletak di satu daerah sunyi di Selatan K0taraja. Dalam hati dia berkata “Kalau pembunuh istriku sudah kuhabisi saya bersumpah akan membunuh renta bangka keparat ini!”
Tiba-tiba 0rang renta yang duduk bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan menatap Ramada lekat-lekat hingga Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah 0rang renta itu mengetahui apa yang berusan diucapkannya dalam hati. “Turunkan Guci Setan itu ke tanah dan dekatkan padaku!” si 0rang renta berkata.
Ramada berj0ngk0k di hadapan 0rang tau yang dulu dikenal engan nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Ban0w0 itu kemudian mendekatkan Guci Setan ke hadapannya tanpa melepaskan benda itu dari pegangan kedua tangannya.
Seperti dulu , sewaktu masih menggunakan nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Ban0w0 , 0rang renta ini letakkan kedua tangannya di atas verbal guci yang mengeluarkan kepulan asap dan pengecap api. Mulutnya berk0mati kamit. Perlahan-lahan matanya dipejamkan. Beberapa dikala kemudian kelihatan sekujur tubuh Sangk0l0 Bumi bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan “Guci Setan guci keramat. Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamkan api. Munculkan air keramat. Ada 0rang meminta t0l0ng. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memeberi petunjuk!”
Bersamaan dengan tamat ucapan itu tubuh Sangk0l0 Bumi bermetam0rf0sis sangat hitam dan berkeriput. Tampangnya menyeramkan sekali. Hidung dan kedua matanya membesar , begitu juga gigi-giginya. Kedua telinganya mencuat panjang.
Dari mulutnya keluar pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh.
“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Apa yang ingin kau tanyakan?”
Matanya memandang tak berkedip pada Ramada Sur0 Jelantik.
“Aku Ramada. Aku ingin mengetahui dimana Pendekar 212 Wir0 Sableng dikala ini berada…. Dimana saya bisa membunuhnya!”
“Api di dalam guci , penghuni dna penguasa guci minta kau pergi. Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam gaib….”
Perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. Kepulan asap iktu sirna. Di dalam guci terdengar menyerupai ada air mencurah disertai hembusan angin. Guci itu kini berg0yang keras hingga Ramada harus menggenggamnya erat-erat. Sangk0l0 Bumi mendekatkan kepalanya ke verbal guci.
“Penguasa guci telah elihat air dan mendengar tiupan angin. Ada se0rang berjulukan Ramada ingin mengetahui dimana pembunuh istrinya berada. Namanya Wir0 Sableng , bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Guci yang dipegang Ramada kembali berguncang keras. Sangk0l0 Bumi melafatkan sesuatu kemudian terdengar suaranya berkata. “0rang berjulukan Wir0 Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu berada erat sekali. Pergilah ke Timur. Masuk ke Girimuly0 pada dikala hari pasar. Kau akan menemui c0w0k yang kau cari tepat pada dikala sang surya berada di titik tertingginya.”
Mendengar kata-kata dari alam mistik itu Ramada segera mengangkat Guci Setan dari hadapan Sangk0l0 Bumi. Dia cepat mendukung mayat istrinya kembali kemudian memberi isyarat pada kadua anak buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga 0rang itu tinggalkan si juru ramal begitu saja.
“Manusia-manusia tidak tahu peradatan ,” kata si 0rang renta perlahan. “Kalian lihat sendiri apa yang bakal terjadi.”
Hari pasar di Girimuly0 jatuh pada hari Sabtu. Dejak pagi k0ta kecil itu ramai 0leh para pedagang dan para pembeli yang berdatangan dari aneka macam penjuru. Di pagi
yang sama se0rang anak lelaki berusia sepuluh tahun mendatangi pengawal di pintu gerbang gedung Kepatihan. Pada pengawal itu si anak menyerahkan satu lipatan kertas “Apa ini?” bertanya pengawal.
“Ada se0rang meminta saya menyerahkannya kemari ,” jawab si anak kemudian cepat-cepat pergi dari situ.
Pengawal tadi membuka lipatan kertas. Di situ tertera g0resan pena berbunyi : Wir0 Sableng alias Pendekar 212 pembunuh Pangeran Banuart0 akan berada di pasar Girimuly0 siang ini. Saat yang baik untuk menangkapnya.
Menjelang tengah hari pasar sedang ramai-ramainya. 0rang bukan hanya berjual beli tapi banyak juga yang asyik melihat-melihat keramaian berupa t0nt0nan. Antara lain langgar ayam , permainan judi dadu , ada pula semacam t0nt0nan akr0bat. Di salah satu sentra keramaian tampak se0rang renta berambtu putih panjang yang mengaku sebagai hebat meramal tegal di tangah-tengah bundar 0rang banyak. Lalu dia melangkah mundar mandir. Di tangannya 0rang renta ini memegang sebuah g0ng kecil. Setiap kali sehabis dia memukul g0ng kecil itu , dia berseru.
“Aku Sangk0l0 Bumi , juru ramal yang bisa meramal di delapan penjuru angin. Siapa yang ingin diramal nasibnya silahkan maju dan masuk ke dalam kalangan. Ulurkan telapak tangan kanan kalian. Jangan malu-malu. Di tempat lain saya memungut bayaran. Tapi di Girimuly0 ini semua saya berikan cuma-cuma. Aku tidak memungut bayaran! Kepandaianku merupakan sedekah bagi siapa yang suka kut0l0ng!”
Sekalipun dipungut bayaran akan banyak 0rang yang minta diramal nasibnya.
Apalagi tidak perlu mer0g0h k0cek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian langka. Jarang ada peramal yang memanfaatkan kepandaiannya secara terbuka di tempat umum menyerupai yang dilakukan 0rang renta berambut dan berjubah putih itu.
0rang banyak berdesak-desakan minta diramal nasibnya. Si 0rang renta melayani mereka satu persatu hingga akhirnya sepasang matanya melihat ada tiga 0rang penunggang kuda di kejauhan. Yang di depan sekali memanggul ses0s0k mayat dan memegang sebuah guci. Di belakangnya menyusul lelaki angker berwajah hitam dan biru. Ketiganya tentu saja ialah Ramada Sur0 Jelantik bersama Jalak Item dan Jalak Biru.
Juru ramal Sangk0l0 Bumi menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain.
Di antara 0rang banyak yang membentuk bundar dia melihat s0ran gpemuda berambut g0ndr0ng. Dengan gerakan cepat dia mendekati c0w0k ini. Sambil tersenyum dan berkata.
“Anak muda , wajahmu ganteng , tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin saya ramalkan?”
“Terima kasih juru ramal. Lain kali saja ,” jawab si pemuda.
“Ah jangan malu apalagi takut. Aku tiba ke Girimuly0 ini hanya sekali dalam sepuluh tahun. Mari ulurkan tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu di masa depan. Aiapa tahu kau bernasib baik…”
Walaupun tidak mau namun lantaran si 0rang renta tiba-tiba saja menarik tangan kanannya dan membawanya ke tengah lingakaran 0rang banyak , c0w0k tadi terpaksa mengikuti saja. Padahal tadi belakang layar dia telah mengerahkan tenaga. Tetapi juru ramal itu ternyata mempunyai kekuatan aneh. Semula si c0w0k hendak lipat gandakan tenaganya namun dari pada bersitegang dia menentukan mengalah dan membiarkan saja dirinya ditarik ke tengah kalangan.
Sampai di tengah bundar 0rang banyak sang juru ramal menarik tangan kanan si c0w0k kemudian membalikkan telapak tangannya. Sepasang matanya menatap tak berkesip pada telapak tangan c0w0k itu. Keningnya kemudian tampak mengernyit. Tiba-tiba kelihatan wajah sang juru ramal Sangk0l0 Bumi berubah menyerupai 0rang terkejut besar. Kedua matanya memandang mendelik pada si pemuda.
“anak muda , tidak kusangka kau rupanya!” kata Sangk0l0 Bumi keras-keras hingga semua 0rang memandang ke arah mereka. “Kau! Garis tanganmu berbau darah! Kau se0rang pembunuh! Astaga! Aku kenal tampangmu! Kau ialah Pendekar 212 Wir0 Sableng. Kau pembunuh dan pemerk0sa istri Ramada Sur0 Jelantik! Kau juga yang membunuh Pangeran Banuart0! Demi Tuhan! 0rang banyak! Tangkap c0w0k ini!”
0rang banyak yang ada di tempat itu tentu saja terkejut dan heran mendengar teriakan si juru ramal. Tidak heran kalau tidak satupun di antara mereka yang bergerak atau melaksanakan sesuatu.
Saat itu dari arah Timur tiga 0rang penunggang kuda yaitu Ramada Sur0 Jelantik , Jalak Item dan Jalak Biru mendatangi dengan cepat. Di dikala yang hampir bersamaan dari jurusan Selatan muncul ser0mb0ngan pasuan di pimpin 0leh se0rang Perwira Tinggi yang ada parut di bawah mata kirinya hingga tampangnya tampak angker.
“sialan! Apa-apaan ini?!” teriakpemuda yang tangannya masih di cekal 0leh juru ramal Sangk0l0 Bumi.
“Pendekar 212! Kali ini kau tak akan l0l0s dari kematian!” kata Sangk0l0 Bumi.
Si c0w0k berusaha menarik tangannya yang dicekal. Tapi pegangan si 0rang renta laksana jepitan besi.
“Kurang ajar! 0rang ini niscaya bermaksud jahat. Agaknya dia sengaja menjebakku.” Begitu si c0w0k berkata dalam hati. Lalu dengan murka dia membentak.
“Juru ramal keparat! Siapa kau sebenarnya!” Sambil membentak tangan kiri c0w0k ini berkelebat mengirimkan hantaman ke muka Sangk0l0 Bumi.
Sambil tertawa mengekeh juru ramal berambut putih panjang itu gerakkan tangan kanannya menangkis.
Bukkk!
Dua lengan beradu keras.
Baik si c0w0k maupun si 0rang renta sama-sama terlempar satu t0mbak ke belakang dan terjengkang di tanah. Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. 0rang banyak berlarian menjauh. Tapi yang ingin melihat perkelahian dari erat hanya beranjak beberapa langkah.
SEBELAS
Pendekar 212 Wir0 Sableng sudah terperinci melihat adanya gelagat yang tidak baik.
Sepasang matanya menatap tajam pada 0rang renta yang terhantar di tanah di hadapannya. Dia tidak kenal siapa adanya 0rang yang mengaku juru ramal itu. Tidak pernah melihatnya sebelumnya. Namun sepasang mata yang meny0r0t hirau taacuh rasarasanya dia pernah melihatnya tapi kapan dan entah dimana.
“Astaga! Sepasang mata 0rang ini bukan mata 0rang tua!” kata Wir0 dalam hati begitu dia manyadari adanya kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat itu lengan kirinya berdenyut sakit. Bentr0kan pukulan dengan si 0rang renta telah menciptakan lengannya tampak abses kebiruan. Ternyata lengan juru ramal renta itupun tampak menggembung kemerahan. “Aku mencium ancaman besar!” kata Wir0 dalam hati. Dia cepat mel0mpat tegak. Saat yang bersamaan juru ramal berjanggut putih itu juga menciptakan gerakan kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya. Keduanya saling berpandangan. Kalau Pendekar 212 memandang dengan murka bercampur heran maka sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh geram. Keduanya matanya meny0r0tkan sinar pembunuhan!
“Juru ramal! Katakan siapa kau sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri se0rang berjulukan Ramada! Malah saya memang sedang mencarinya lantaran dia telah mencelakai guruku! Juga bukan saya yang membunuh Pengeran Banuart0!”
Juru ramal berjubah putih d0ngakkan kepalanya kemudian tertawa panjang.
“Caranya mend0ngakkan kepala! Aku yakin pernah melihat 0rang ini sebelumnya! Lalu bunyi tawanya! Rasa-rasanya pernah kudengar. Dan sepasang mata itu! Dia menagku berjulukan Sangk0l0 Bumi. Mungkin nama palsu!” Selagi Wir0 berpikir dan mengingat-ingat menyerupai itu sang juru ramal berkata “Katamu kau tidak pernah membunuh istri 0rang berjulukan Ramada! Malah kau menyampaikan 0rang itu mencelakai gurumu! Bagus! C0ba kau katakan hal itu langusng pada 0rangnya sendiri! Dia sengaja tiba ke tempat ini untuk menabas batang lehermu dan meneguk darahmu! Lihat ke sana!” Habis berkata begitu si juru ramal mengangkat tangan kanannya ke arah kanan. Saat itu terdengar ringkikan kuda keras sekali. 0rang banyak berl0mpatan menjauh. Tiga penunggang kuda berhenti di tempat itu. Ramada , Jalak Item an Jalak Biru.
“Ada 0rang membawa mayat!” beberapa 0rang berteriak. Lalu cepat menjauh.
Yang lain-lain mengikuti dengan air muka membayangkan rasa ngeri.
Murid Eyang Sint0 Gendeng kerenyitkan kening. Dia sama sekali tidak mengenal tiga penunggang kuda yang aneh-aneh dan angker itu. “Satu membawa mayat wanita yang sudah kaku tapi tidak busuk dan ada sebuah guci mengepulkan asap serta menjulurkan pengecap api di tangan kanannya. Apakah dia yang berjulukan Ramada Sur0 Jelantik? T0k0h silat dari Timur? Dua kawannya memikul keranjang r0tan , bertampang hitam legam dan biru gelap….” Selagi Wir0 berkata dalam hati begitu rupa kembali terdengar bunyi si juru ramal. “Pendekar 212! Katamu bukan kau yang membunuh Pangeran Banuart0! C0ba kau jelaskan sendiri pada r0mb0ngan pasukan dari K0taraja itu!” Sangk0l0 Bumi menunjuk ke arah kiri. Wir0 mengikuti arah yang ditunjuk si juru ramal. Dari arah Timur tampak ser0mb0ngan penunggang kuda berseragam pasukan Kerajaan berjumlah sekitar dua puluh 0rang.
Di depan sekali memimpin se0rang Perwira Tinggi bermuka garang.
Ramada yang memanggul mayat istrinya di pundak kiri dan memegang Guci Setan di tangan kanan , dengan gerakan enteng dan cepat mel0mpat turun dari kudanya. Malihat cara 0rang bergerak Pendekar 212 segera maklum kalau insan bertampang menyeramkan ini mempunyai kepandaian tinggi. “Gerakannya sangat cepat dan enteng. Kaki kiri buntung , dipasangi r0da besi bergerigi. Jangan-jangan benda ini menjadi senjatanya ,” pikir Wir0.
Begitu berdiri di tanah Ramada segera meluncur di atas r0da besi kaki kirinya mengelilingi Pendekar 212. Lalu dia berhenti empat langkah di hadapan sang pendekar.
Saat itu terdengar juru ramal Sangk0l0 Bumi berkata “Ramada! Tak perlu ragu! Pemuda itu ialah Pendekar 212 Wir0 Sableng yang kau cari salama ini! Dia yang memperk0sa istrimu kemudian membunuhnya! Guci Setan tidak berdusta!”
“Setan ganjal juru ramal keparat! Jangan kau berani menuduh sembarangan kalau tak mau kus0bek mulutmu!” teriak Wir0 murka sekali.
Di hadapannya Ramada mendengus keras.
“Jadi ini jahanamnya yang berjulukan Wir0 Sableng. Pemuda keji berjuluk Pendekar 212!” Ramada meludah ke tanah. “Hari ini kau akan mendapatkan pembalasanku! Pembunuh terkutuk! Aku telah bersumpah untuk meneguk darahmu!”
Habis berkata begitu Ramada turunkan mayat istrinya dari pundak kirinya. Lalu mayat yang kaku menyeramkan ini disandarkannya pada sebuah ger0bak hingga merupakan satu pemandangan yang mengerikan di mata semua 0rang yang ada di tempat itu.
Perlahan-lahan Ramada putar tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri.
Lalu dia memberi isyarat pada Jalak Item dan Jalak Biru. Kedua 0rang ini segera mel0mpat turun dari kuda masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang ujungnya tergantung keranjang r0tan berisi tujuh ek0r kalajengkinghitam dan tujuh ek0r kelabang biru. Kedua 0rang ini sengaja mengambil tempat di kiri kanan Ramada agak ke belakang. Mereka sama-sama j0ngk0k di tanah dan tangan masing-masing siap membuka epil0g keranjang r0tan!
Ketika Ramada hendak bergerak meluncur di atas r0da besinya ke arah Wir0 , murid Sint0 Gendeng ini cepat berseru. “Tunggu! Kalau kau tidak keliru niscaya 0takmu tidak waras! Aku bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana saya pernah kenal dengan tukang akr0bat sepertimu! Aku mendapat keterangan bahwa kau dan anak buahmu telah mencelakai guruku! Jangan harap hari ini kau dan m0nyet-m0nyetmu itu bisa bebas dari hukumanku!”
Ramada Sur0 Jelantik menyeringai dan mendengus berulang kali.
“Ramada! Jangan percaya 0m0ngannya!” tiba-tiba si juru ramal berseru. “Dia bisa berdusta begitu lantaran istrimu sudah jadi mayat dan tak mungkin memberi kesaksian!”
Murid Sint0 Gendeng memandang ke arah 0rang renta berjubah putih itu. “Aneh , kenalpun tidak. Mengapa 0rang renta keparat itu sangat membenci diriku?”
“Kau b0leh bersumpah mati di depan pintu neraka!” membentak Ramada.
Rahangnya menggembung. Marah sekali dia dikatakan sebagai tukang akr0bat 0leh Pendekar 212 tadi. Lalu dari balik baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah g0l0k besar berbentuk empat persegi dengan cuilan tajam pada kedua sisinya G0l0k ini berwarna putih berkilat tetapi anwhnya memancarkan cahaya berwarna hitam! Pada ujung gagangnya ada seuntai rantai yang digantungi besi pipih berbentuk pisau tajam luar biasa.
Pendekar 212 belum pernah melihat senjata menyerupai yang di tangan Ramada itu.
Ketika Ramad memutar senjata ini di udara , cahaya g0l0k yang putih bertabur dengan sinar hitam. Lalu pisau di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan bunyi bersuit.
Murid Eyang Sint0 Gendeng mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur maju tiga langkah. G0l0k besar membabat ke leher sedang pisau di ujung gagang g0l0k menusuk ke arah dada! Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua serangan sangat berbahaya itu sambil hantamkan tangan kanannya , lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah” yang kehebatannya tidak beda dengan sebuah kerikil besar yang menggelundung dahsyat ke arah Ramada.
Dia terperinci melihat bagaimana tubuh Ramada terangkat ke atas tanggapan hantaman pukulan saktinya. Tapi bukan alang kepalang terkejutnya murid Sint0 Gendeng ini ketika tiba-tiba saja kaki kiri Ramada menendang ke depan. R0da besi bergerigi yang berputar hebat menyambar ke arah perut. Wir0 cepat menghindar dengan mel0mpat ke samping kiri. Tapi tidak terduga tiba-tiba g0l0k empat persegi bermata dua di tangan kanan Ramada memapas cuilan atas kepalanya hingga sejumput rambutnya terbabat putus! Murid Sint0 gendeng menyerupai hendak terkencing saking kagetnya.
Ramada keluarkan bunyi menggereng dari tengg0r0kannya. “Sebentar lagi lehermu akan ku tebang putus!” kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya.
Lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang tahu arti isyarat ini segera membuka tutup keranjang r0tan masing-masing. Didahului teriakan Ramada Sur0 Jelantik mel0mpat ke arah Wir0.
G0l0knya kembali berkelebat. Kaki kirinya diangkat dan sewkatu-waktu bisa melancarkan serangan r0da bergigi yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya.
DI sat yang bersamaan dua anak buahnya menggerakkan tangan ke arah keranjang r0tan.
Dalam keadaan menyerupai itu murid Sint0 Gendeng masih sanggup berpikir bahwa guci di tangan kiri Ramada pastilah satu benda yang sangat berharga baginya. Kalau tidak benda itu tak akan didepaknya terus sambil melancarkan serangan. Maka Pendekar 212 mulai mengincar guci dalam dekapan tangan kiri lawannya.namun matanya yang tajam juga sempat melihat isyarat Ramada yang tadi diberikan pada dua anak buahnya. Dia juga melihat bagaimana dua insan bermuka hitam dan biru itu menggerakkan tanan ke arah keranjang r0tan masing-masing. Karenanya tanpa menunggu lebih lama Wir0 siapkan dua puklan sakti. Yang pertama pukulan “sinar matahari” di tangan kanan yang siap dihantamkan ke arah Ramada Sur0 Jelantik.
Sedang tangan kiri aji pukulan “benteng angin kencang melanda samudra” ditujukan kepada Jalak Biru. Karena Jalak Biru terpisah cukup jauh dari Jalak Item , Penekar 212 tak mungkin menghantam sekaligus. Berarti ancaman bisa tiba dari lawan yang bermuka hitam ini. Untuk menghindarkan serangan Jalak Item maka Wir0 terpaksa harus merubah kedudukannya. Dia mel0mpat ke kiri hingga berada di satu garis lurus di depan Ramada dan Jalak Item. Begitu Ramda melancarkan serangan , tanan kanan Wir0 yang sudah bermetam0rf0sis putih menyilaukan itu menghantam ke depan.
Wuuuuussss!
Sinar putih menyilaukan dan sangat panas berkiblat. “Ramada , awas! Itu pukulan “sinar matahari!” Yang berteriak memberi ingat ialah si juru ramal Sangk0l0 Bumi. Selagi Wir0 merasa heran mengapa 0rang renta itu bisa tahu nama pukulan saktinya yang dilepaskannya , 0rang yang diserang malah berteriak lantang.
“Siapa takut?!” teriak Ramada. R0da besi di ujung kaki kirinya menderu semakin deras. G0l0k empat persegi di tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga sinar hitamnya tampak berbuntal-buntal angker. Wir0 sudah siap melepas pukulan “benteng angin kencang melanda samudra” dengan tangan kiri ketika dia menyadari bahwa hal itu tidak bisa diakukannya kecuali dia mau celaka dihantam serangan tanggapan Ramada Sur0 Jelantik.
Serangan Ramada memang bukan alang kepalang hebatnya. Begitu cahaya putih pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki kanannya. Bersamaan dengan itu kaki kirinya disapukan ke depan. R0da besi bergerigi yang ada di ujung kaki kirinya menderu keras memancarkan sinar aneh. Begitu sinar r0da besi beradu dengan sinar cahaya putih pukulan “sinar matahari” terdengar bunyi keras berkereketan enam kali berturut-turut. Ramada Sur0 Jelantik berteriak keras. Di ujung kakinya cahaya putih menyilaukan dan panas ini sanggup disapunya hingga mencuat ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit 0rang banyak yang berada jauh di ujung kalangan perkelahian. Sembilan 0rang tak berd0sa berkaparan di tanah.
Tubuh mereka hangus hitam mengepulkan asap tanggapan terpanggang pukulan “sinar matahari” yang berhasil dilencengkan ke jurusan lain 0leh Ramada!
Tubuh Ramada sendiri tampak melesat hingga dua t0mbak ke udara kemudian dengan dua kali jungkir balik dia mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam legam dan tertutup kumis serta cambang bawuk liar tampak menyerupai tidak berdarah.
Dua matanya mendelik besar ketika melihat bagaimana enam dari empat puluh gigi gigi r0da besinya s0mplak! Wir0 sendiri juga melengak ketika melihat pukulan “sinar Matahari” yang mengadung hawa panas luar biasa tak sanggup menciptakan cidera lawan bahkan tidak bisa menciptakan leleh r0da besi itu!
Apa yang terjadi menciptakan Pendekar 212 terlambat menggerakkan tangan kirinya untuk melepaskan pukulan “benteng angin kencang melanda samudra” ke arah Jalak Biru. DI dikala itu Jalak Biru telah membuka epil0g keranjang r0tannya. Lima ek0r kelabang beracun berwarna biru melesat membeset udara , menyerbu ke arah Wir0.
Celakanya pula di dikala yang sama dengan penuh amarah Ramada Sur0 Jelantik kembali menyerbu dengan r0da bergeriginya sedang g0l0k di tangan kanannya diputar dengan sebat , membuntal dalam serangan ganas mengarah cuilan dada ke atas!
Murid Eyang Sint0 Gendeng berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke balik pinggang , maksudnya hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi mendadak mukanya jadi pucat. Astaga! Dia gres sadar. Senjata mustika itu telah dibawa 0leh Dewa Tuak ke Gunung Gede untuk meng0bati Eyang Sint0 Gendeng yang keracunan tanggapan serangan binatang-binatang berbisa anak buah Ramada Sur0 Jelantik!
“Celaka!” keluh Wir0. Pendekar ini cepat mel0mpat mundur. Tapi lima kelabang berwarna biru beracun dan sambaran r0da besi bergerigi seta g0l0k di tangan kanan Ramada tiba lebih cepat.
Di dikala yang sangat genting itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di udara. Bersamaan dengan itu ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa cepatnya dan tahu-tahu kaki kiri Ramada terangkat ke atas. Di lain kejap insan tinggi besar ini jatuh ke tanah!
Ramada Sur0 Jelantik menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain cuilan sang juru ramal renta Sangk0l0 Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi.
Dalam hati 0rang renta ini berkata “Ada 0rang-0rang gres muncul! Keadaan bisa jadi kisruh tak karuan. Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah tangan!”
DUA BELAS
Di udara lima buah anak panah melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan berseru tegang ketika melihat bagaimana lima ek0r kelabang birunya yang tadi siap untuk menancapi tubuh Pendekar 212 Wir0 Sableng kini runtuh cerai berai dihantam lima buah panah itu!
Wir0 Sableng berpaling ke belakang. Di atas punggung seek0r kuda c0klat dilihatnya Dewi Santiastri , puteri mendiang Pangeran Ban0w0 duduk merentang lima buah anak panah lagi siap dilepaskan ke arah Jalak Biru yang dikala itu terduduk di tanah dengan verbal ternganga dan muka pucat tanpa darah.
“Terima kasih Dewi……” kata Wir0.
Si gadis lemparkan senyum kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah Jalak Item ketika dilihatnya anak buah Ramada itu belakang layar hendak melepaskan binatang-binatang beracun peliharaannya dari dalam keranjang r0tan yaitu tujuh ek0r kelajengking hitam.
Dewi lepaskan sartu dari lima buah anak panah yang direntang. Jalak Item terpekik. Telapak tangan kanannya tembus ditancapi panah. Darah mengucur.
Penutup keranjang dijatuhkannya. Katika dilihatnya Dewi hendak melepas anak panah kedua , Jalak Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang sementara darah mengucur deras ke pangkuannya.
Ramada Sur0 Jelantik begitu berdiri gres menyadari kalau g0l0k besar empat persegi bermata dua yang tadi dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi dalam gengamannya. Memandang ke depan dia jadi beringas ketika melihat bagaimana senjata yang sangat diandalkannya itu kini berada dalam tangan se0rang gadis berpakaian ringkas serba merah dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak bisa mengerti bagaimana gadis itu mempunyai gerakan laksana angin dan bukan saja dia bisa mend0r0ng tubuhnya hingga jatuh terjengkang , tapi bahkan sanggup merampas g0l0knya tanpa dia sempat merasakannya.
Meski gadis itu tidak mengenakan pakaian warna biru menyerupai pertama kali Wir0 melihatnya , namun murid Eyang Sint0 Gendeng ini masih bisa mengenalinya dengan cepat.
“Bidadari Angin Timur….” desis Wir0 perlahan. “Dua 0rang gadis manis telah menyelamatkan nyawaku hari ini!” katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Sang dara memang ialah gadis manis berambut pirang dan dulu berpakaian serba biru yang pada pertemuan pertamanya dengan Wir0 telah diberikan nama Bidadari Angin Timur 0leh sang pendekar.
“Perempuan-perempuan dajal! Siapa kalian yang berani mencampuri urusanku?!” teriak Ramada Sur0 Jelantik.
Dara berpakaian serba merah tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang memandang tak berkesip ke arah t0k0h silat dari Timur itu. Merasa menyerupai dipandang rendah Ramada berkata “Gadis baju merah berambut pirang! Kau jangan kemana-mana! Tetap di tempatmu hingga saya menuntaskan urusan dengan pemerk0sa dan pembunuh istriku itu!” Dengan tangan kanannya Ramada menuding ke arah Wir0.
“Setan! Apa kau punya bukti menuduhku sembarangan!”
“Aku tidak perlu bukti! Guci Setan ini yang memberi tahu!”
“Dan Guci Setan tak pernah berdusta!” berkata si peramal renta Sangk0l0 Bumi.
“Bangsat setan alas!” maki Wir0 dalam hati sambil memandang berang pada 0rang renta itu yang sebaliknya melempar seringai buruk padanya.
Tiba-tiba terdengar bunyi menderu keras. Saat itu Ramada Sur0 Jelantik telah mel0mpat dan menyerbu ke arah Wir0.
Di dikala yang sama terdengar deru bunyi kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak lama kemudian ada 0rang membentak.
“Atas nama Kerajaan hentikan perkelahian!”
Semua 0rang berpaling. Se0rang bermuka bernafsu dengan seragam dan tanda pangkat Perwira Tinggi Kerajaan muncul diiringi sekitar dua puluh 0rang perajurit.
“Bagus! 0rang-0rang yang dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!” kata si Perwir Tinggi sambil memandang ganti berganti pada Ramada Sur0 Jelantik dan Pendekar 212.
“Kau!” hardik sang perwira sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat pada Ramada. “Kau niscaya manusianya yang berjulukan Ramada Sur0 Jelantik.
Kerajaan telah mencarimu selama dua tahun. Kau mencuri Guci Setan yang ada dalam dekapan tangan kirimu itu! Jangan berdalih. Serahkan guci itu padaku kemudian serahkan dirimu untuk mendapatkan hukuman!”
Ramada menyeringai. “Perwira ,” katanya sehabis lebih dulu meludah ke tanah.
“Aku muak mendengar segala ucapan kentut busukmu! Lekas minggat dari sini!
Jangan lupa membawa anak –anak buahmu!”
Perwira Tinggi Kerajaan itu tertawa bergelak.
“Bagus! Aku suka pada 0rang yang punya nyalin besar sepertimu! Kita akan lihat nanti apakah kau masih punya nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di ruang penyiksaan!”
Sang Perwira berpaling pada Wir0. “Kau!” bentaknya. “Kau niscaya c0w0k g0ndr0ng berjulukan Wir0 Sableng , berjuluk {endekar 212 yang telah membunuh Pangeran Banuart0!”
“Aku tidak pernah membunuh Pangeran itu!” jawab Wir0.
Perwira Tinggi tadi mendengus. “para penjahat memang pandai berdalih! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara banak sehabis lidahmu kusuruh p0t0ng!”
Tia-tiba ada satu bunyi berkata. “Perwira , saya bersaksi c0w0k itu bukan 0rang yang membunuh paman saya Pangeran Banuart0….”
Perwira Tinggi dan semua 0rang yang ada di tempat itu sama memalingkan kepala.
“Ah , den Ayu Dewi Santiastri , putri mendiang Pangeran Ban0w0 , kep0nakan mendiang Pangeran Banuart0 rupanya! Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di sini. Apa kepentinganmu membela c0w0k asing yang telah membunuh pamanmu itu?”
‘Sudah saya katakan! Bukan dia pembunuh paman Pangean Banuart0. Tapi se0rang yang mengaku kuncen makam ayahanda. Kuncen palsu berjulukan Ki Ageng Lentut!”
Sementara juru ramal Sangk0l0 Bumi yang sudah memperkirakan keadaan akan sangat buruk bagi Ramada segera berkata “Ramada , keadaan tidak menguntungkan bagimu. Lekas serahkan guci itu padaku. Biar saya selamatkan dulu.
Kau bisa mengambilnya di tempat terakhir kita bertemu dulu. Aku hanya ingin men0l0ngmu. Lekas…..!”
Ramada sesaat beng0ng dan berpikir cepat. Apa yang dikatakan juru ramal itu mungkin sangat benar. Saat itu dia bukan saja menghadapi Pendekar 212 , tetapi juga Perwirra Tinggi Kerajaan dan duapuluh 0rang perajuritnya. Lalu gadis berpakaian merah itu terperinci bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan kep0nakan Pangeran Banuart0 yang niscaya telah menjadi lawannya semenjak dia muncul dengan memperlihatkan ilmu panahnya yang meakjubkan , menghancurkan bintang beracun milik Jalak Biru serta meluai Jalak Item.
Tanpa pikir panjang Ramada Sur0 Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke arah si juru ramal.
“Tangkap! Lekas pergi dari sini!” kata Ramada pula. Guci Setan yang semenjak tadi dikepitnya di lengan kiri dilemparkannya pada Sangk0l0 Bumi. Saat itu jarak antara Ramada dan si 0rang renta terpisah sekitar delapan langkah. Selagi Guci Setan itu melayang di udara dan siap ditangkap 0leh Sangk0l0 Bumi tiba-tiba empat anak panah melesat ke udara. Dua berjajar di sisi kiri , dua lagi di sebelah kanan. Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu mem0t0ng jalannya Guci yang melayang di udara. Dalam keadaan terjepit , Guci Setan kemudian dibawa melesat ke kiri hingga Sangk0l0 Bumi menangkap angin. Empat anak panah kemudian menancap di sebatang p0h0n. Guci Setan yang besar dan berat itu terjepit tak bergerak di antara empat batang panah itu. Dengan kertakkan rahang si juru ramal renta itu cepat mel0mpat ke udara guna mengambil guci. Namun dikala yang bersamaan , satu s0s0k berpakaian hitam mel0mpat pula ke udara. 0rang ini bukannya menyambar Guci Setan melainkan menelikung pinggang sang juru ramal kemudian menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di tanah.
“Keparat!” maki Sangk0l0 Bumi murka sekali ketika mengetathui yang merangkul tubuhnya ternyata ialah Jalak Item , anak buah Ramada Sur0 Jelantik. Dia menc0ba melepaskan diri sambil menghantamkan siku kanannya ke belakang.
Bukkkk!
Traaaakkkk!
Jalak Item menjerit keras. Dua tulang iga di sisi kanannya melesak patah.
Sementara Ramada Sur0 Jelantik dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat guci yang tadi dilemparkan kini terselip di antara empat buah anak panah yang menancap di batang p0h0n segera memburu untuk mengambilnya , kawatir benda itu jatuh ke tanah dan pecah berantakan. Namun sebelum keduanya bisa menyentuh benda itu tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat laksana angin , luar biasa cepatnya.
Ramada dan si perwira tinggi jadi kecele tetapi juga murka ketika menyadri mereka telah keduluan 0leh gadis berambut pirang yang tidak dikenal itu.
Sang perwira hendak menyerang si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di sebelah sana Jalak Item yang berada dalam keadaan cidera telapak tangan dan tulang iganya berteriak sambil masih memegangi pinggang sang juru ramal.
“Perwira! Yang membunuh Pangeran Banuart0 ialah 0rang renta ini!”
Sangk0l0 Bumi berteriak marah. Sekali dia menggerakkan tubuhnya Jalak Item terhempas ke tanah.
“Keparat! Kau mencari kematia berani memfitnahku!” hardik Sangk0l0 Bumi.
“Ki Ageng Lentut! Sangk0l0 Bumi! Siapapun namamu! Apakah kau benar kuncen makam Pangeran Ban0w0 atau juru ramal saya tidak perduli! Tapi kaulah yang membunuh Pangeran Banuart0!” Rupanya dendam kesumat Jalak Item tanggapan perbuatan Ki Ageng Lentut yang kini menyamar menjadid juru ramal renta berjulukan Sangk0l0 Bumi itu tidak bisa dipendam lagi. Meledak dikala itu juga.
“Keparat! Tutup mulutmu!” teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak.
Praaaaakk!
Jalak Item tergelimpang r0b0h di tanah. Kepalanya pecah! Ramada Sur0
Jelantik sesaat terkesiap melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia menghajar juru ramal renta itu dikala itu juga. Namun Guci Setan lebih penting. Dia berkelebat ke arah gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang 0leh Pendekar 212.
Sementara itu Perwira Tinggi Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada dua puluh anak buah supaya mereka segera mengurung dan menangkap juru ramal berjubah putih itu yang 0leh Jalak Item dibuka ked0knya sebagai pembunuh Pangeran banuart0. Namun begitu mereka bergerak , Sangk0l0 Bumi meny0ngs0ng dengan serangan-serangan ganas.
“Bidadari Angin Timur…….” Kata Wir0 sambil mendekati gadis berbaju merah itu. “Kau mau men0l0ngku? Biar kunyuk berew0kan ini saya yang menghadapinya. Aku menaruh curiga pada juru ramal tu. Rambut putih dan jubah panjangnya saya yakin hanya samaran belaka. Lakukan sesuatu hingga kau bisa membuka ked0k siapa dia sebenarnya.
“Kau takut menghadapi 0rang renta buruk itu?” tanya gadis berambut pirang yang menciptakan wajah Pendekar 212 jadi bersemu merah.
“Aku tidak pernah takut pada siapapu ,” jawab Wir0. “Dengan 0rang renta itu saya tidak punya perselisihan langsung. Tapi dengan setan satu ini saya punya alasan untuk menghajarnya. Kau sendiri tahu dia dan anak buahnya telh melukai guruku!”
Gadis yang 0leh Wir0 diberi julukan Bidadari Angin Timur itu tersenyum kecil. “Tampangmu t0l0l , tapi 0takmu akil juga. Ambil senjata ini untuk menghadapi Ramada!” Lalu si gadis menyerahkan g0l0k besar empat persegi panjang itu ke tanan Pendekar 212. Baru saja Wir0 memegang senjata , si gadis telah lenyap dari hadapannya. Sebelum masuk ke kalangan perkelahian Bidadari Angin Timur melayang ke atas p0h0n. Guci Setan yang telah dipegangnya diletakkannya di antara ranting-ranting p0h0n berdaun lebat. Begitu melayang turun dia cepat mendekati Perwira Tinggi Kerajaan dan berkata “Naik ke atas p0h0n. Jaga guci itu!”
Meskipun merasa tersinggung diperintah begitu rupa namun si perwira sadar bahwa menyelamatkan guci di atas p0h0n ialah jauh lebih penting dari pada melaksanakan hal-hal lain. Terlebih ketika gadis di hadapannya berkata “Serahkan pembunuh Pangeran Banuart0 itu padaku. Kita akan segera tahu siapa dia sebenarnya!”
Tanpa banyak bicara lagi Perwira Tinggi Kerajaan itu mel0mpat naik ke atas p0h0n. Dari atas p0h0n dia sanggup menyaksikan seluruh tragedi di bawahnya walau tangannya sudah gatal untuk turun tangan sendiri.
Ternyata juru ramal itu mempunyai kepandaian sangat tinggi. Dengan simpel dia menghajar perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya higga mereka menemui kematian sekel0mp0k demi sekel0mp0k.
Melihat anak buahnya menemui kematian mengenaskan begitu rupa , Perwira Tinggi di atas p0h0n jadi mendidih amarahnya. Lupa bahwa dia harus menjaga keselamatan Guci Setan milik Kerajaan , perwira itu mel0mpat turun. Selagi tubuhnya melayang dia lepaskan beberapa senjata rahasia berbebuk paku ke arah Sangk0l0 Bumi.
Sang juru ramal ganda tertawa. Sekali tangannya dihantamkan ke udara belasan paku yang menyerangnya mental cerai berai.
“Manusia keparat! Kaprik0rnus kau yang membunuh Pangeran Banuart0!” teriak sang perwra marah. Masih di udara kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala 0rang renta itu.
Praaaakkkkk!
Kepala itu pecah tapi bukan kepala si juru ramal yang rengkah. Malainkan kepala salah se0rang anak buahnya sendiri. Apa yang terjadi? Ketika sesaat lagi kaki kanan Perwira Tinggi itu akan menghantam kepalanya , si juru ramal mel0mpat ke samping kemudian menarik tubuh se0rang perajurit yang menyerangnya. Kepala perajurit ini disentakkannya ke atas melindungi kepalanya sendiri. Ketika tendangan tiba , kepala perajurit itulah yang kena hantam tendangan sang perwira!
“Keparat!” maki Perwira Tinggi sambil mengejar juru ramal. Tapi 0rang renta ini melemparkan tubuh perajurit yang kepalanya pecah itu kepadanya hingga sang perwira jatuh terduduk di tanah. Kesempatan ini dipergunakan 0leh si 0rang renta untuk keluar dari ker0y0kan sisa-sisa perajurit Kerajaan kemudian mel0mpat ke atas p0h0n.
“Sangk0l0 Bumi , juru ramal keparat! Sekali ini jangan katakan kau tidak menipuku! Aku tahu semenjak lama bekerjsama kau mengincar Guci Setan itu!” teriak Ramada Sur0 Jelantik ketika melihat si juru ramal berada di atas p0h0n sambil memegang Guci Setan.
Di atas p0h0n Sangk0l0 Bumi tertawa gelak-gelak. “Dasar 0rang t0l0l tetap saja t0l0l!” katanya.
“Lekas turun dan serahkan guci itu padaku! Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau tidak menyerahkannya padaku!” teriak Ramada.
“Dulu kau pernah bersumpah hendak membunuh Pendekar 212. Pemerk0sa dan pembunuh istrimu itu sudah ada di hadapanmu , mengapa kini justru kau hendak mencari urusan denganku? Apa kau takut menghadapi Pendekar 212?
Ha….ha…ha….!”
“Setan alas!” teriak Ramada. Dia mel0mapt sambil meny0r0ngkan r0da besinya. R0da ini menderu keras menggerus cuilan bawah batang p0h0n besar hingga akhirnya putus. P0h0n itu tumbang dengan bunyi bergemuruh tetapi Sangk0l0 Bumi alias Ki Ageng Lentut itu sudah lebih dahulu melayang turun.
Wuuuuttttt…..wuuuuutt…..wuuuuuutttttt……wuuuuutttt……wuuuuuuttttt.
Lima anak panah melayang pesat ke udara. Si 0rang renta berseru kaget ketika mengetahui lima anak panah itu menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan tangan kirinya ke bawah. Lima anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke tanah. Lalu tubuhnya tampak melesat ke kiri. Di lain kejap laksana seek0r burung alap-alap 0rang renta ini menukik ke arah Dewi Santiatri. Kaki kanannya berkelebat.
Praaaakkkk!
Dewi Santiastri menjerit keras.
Kepala kuda tunggangannya pecah. Suara ringkikan hewan ini mer0bek langit. Si gadis sendiri cepat mel0mpat ke tanah. Sambil mel0mpat secara luar biasa dia masih sempat mencabut tiga buah anak panah kemudian merentangnya di tali busur untuk kemudain melepasnya ke arah sang juru ramal. Salah satu anak panah sempat menyerempet jubah putih 0rang renta itu di cuilan bahu. Walau cuma mengiris kulit bahunya namun ini sudah cukup menciptakan sang juru ramal ini menjadi sangat marah.
Tangan kanannya diangkat untuk melepaskan satu 0ukulan tangan k0s0ng. Namun dari samping Ramada Sur0 Jelantik tiba menyerangnya. Satu j0t0san yang dilepaskan 0rang ini menghantam dagu si 0rang renta dengan keras dan telak hingga juru ramal ini terpuntir keras. Selagi tubuhnya semp0y0ngan begitu rupa Ramada tendangkan kaki kirinya ke arah bawah perut. R0da besi bergerigi itu menggerus ke arah selangkangan si 0rang tua.
“Ki Ageng Lentut! Sangk0l0 Bumi! Saatmu untuk mampus!” teriak Ramada Sur0 Jelantik.Tapi dugaannya bahwa dia bakal sanggup menematkan riwayat 0rang renta itu tidak menjadi kenyataan. Dengan satu gerakan yang gila dan cepat sekali , juru ramal renta itu berhasil menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu ditariknya kuat-kuat dan dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam dan menancap hingga dua jengkal. Tanah dan pasir bermuncratan ke udara. Selagi Ramada berusaha menarik kakinya keluar dari tanah tangan kanan juru ramal itu menderu ke depan.
Bukkkk!
Ramada mencicipi dadanya menyerupai mau meledak.
Selagi tubuhnya terlempar ke belakang dan ada darah menyembur dari mulutnya , Sangk0l0 Bumi kirimkan tendangan ke bawah perut Ramada. Teriakan laksana ledakan keras keluar dari verbal Ramada. Tubuhnya mencelat jauh dan tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Dendam kesumatnya untuk membalaskan kematian istrinya tidak pernah kesampaian. Lebih dari itu Ramada tidak penah mengtahui siapa pemerk0sa dan pembunuh Dardini sebenarnya.
Sangk0l0 Bumi tegak menyeringai. Dia melirik pada Pendekar 212 Wir0 Sableng. Lalu pada Dewi Santiastri. Di dikala yang sama dia melihat gerakan yang dibentuk 0elh jalak Biru. Anak buah Ramada Sur0 Jelantik ini dengan cepat melemparkannya keranjang r0tanyang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ek0r kelabang biru yang masih ada dalam keranjang itu melesat menyerangnya. Dua ek0r ditangkisnya dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng. Tiga ek0r lainnya dihantamnya dengan kebutan lengan kanan jubah putihnya. Sambil tertawa mengekeh dia menangkap kelabang yang keenam kemudian melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak buah Ramada yang tidak menyangka akan mendapat serangan hewan berbisa miliknya sendiri itu dalam kejutnya telambat menghindarkan diri cari selamat.
Kelabang Biru itu menancap tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak Biru terdengar mengerikan. Sambil menekap mukanya dia menghambur meninggalkan tempat itu.
Ki Ageng Lentut alias Sangk0l0 Bumi tertawa mengekeh kemudian memutar tubuh.
Sebelum berkelebat pergi dia memandang kepada Pendekar 212 Wir0 Sableng kemudian berkata “Pendekar 212 , kau masih terbelakang menyerupai dulu juga! Tidak bisa melihat langit di atas langit! Tidak mengerti tingginya puncak gunung dan dalmnya dasar laut!”
“Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?!” hardik Wir0. Tanpa terlihat 0leh si 0rang renta dia memberi isyarat pada gadis berbaju merah.
“Kau akan menemukan jawaban pertanyaanmu dalam ket0l0lanmu sendiri!”
kata si 0rang renta pula. Dia menggeser kakinya.
Dari samping kiri tiba-tiba Dewi Santiastri mendatangi sambil merentang busur dengan lima anak panah terpasang. “Kalau kau memang kuncen palsu berjulukan Ki Ageng Lentut itu , berarti kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuart0! Tetap di tempatmu! Sedikit saja kau berani bererak lima anak panah ini akan amblas ke dalam tubuhmu!”
“Kau dengar ucapan gadis itu! Apakah kau tidak mau menyerahkan diri?!
Serahkan Guci Setan itu padaku!” kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di samping Dewi Santiastri.
Si 0rang renta ganda tertawa.
“Puteri Pangeran Ban0wa , kalau saya mengajakmu ikut bersamaku untuk mencari kesenangan , apakah kau masih hendak memanahku?!”
“Tua bangka bermulut k0t0r!” hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali busurnya lebih dalam.
“Perwira , kau inginkan guci ini? Apa kau punya kemampuan untuk mengambil sendiri?!”
“Keparat! Saatnya saya mematahkan batang lehermu!” berntak Perwira Tinggi Kerajaan.
Si 0rang renta kembali tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan merah berkelebat. Dengan tangan kirinya dia menghantam ke samping. Tapi terlambat. Tubuhnya menyerupai digulung 0mbak. Lalu terdengar bunyi breeeetttt…..breeeettttt beberapa kali berturut-turut. Jubah putihnya bukan saja r0bek tapi tanggal lepas dari tubuhnya. Bagitu juga rambutna yang putih panjang tampak tercampak ke tanah. Selembar t0peng tipis yang selama ini menutupi wajah dan sebagian kepalanya jatuh di depan kakinya.
Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah se0ran gpemuda berambut tebal hitam dengan kening men0nj0l. Rahang dan dagunya tampak k0k0h. Keseluruhan
wajahnya membayangkan rasa angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah anggal itu kini terlihat pakaian hitam. Di cuilan dada pakaiannya terpampang gambar puncak gunung berwarna biru , berlatar belakang sang surya berwarna merah dan sinar-sinar mentari berupa garis-garis merah.
Apa yang telah dilakukan Bidadari Angin Timur terhadap dirinya sangguh tidak diduga0leh 0rang itu. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia merasa menyerupai diusap bebrapa kali. Ketika Sangk0l0 Bumi hendak menyergap gadis itu , Pendekar 212 cepat mem0t0ng gerakannya.
Pendekar 212 menggeram “Aku sudah duga , ternyata memang dia!” katanya dalam hati. Lalu murid Sint0 Gendeng ini berteriak keras.
“Pangean Matahari! Kelicikanmu dengan memperalat Ramada tidak kesampaian! Aku yakin kau iblisnya yang memperk0sa istri Ramada kemudian membunuhnya! Keparat! Apa lagi kini yang ada dalam 0tak busukmu?!”
Pangeran Matahari menyeringai. “Tak ada alasan bagiku untuk menyampaikan tidak. Tuduhanmu benar! Sayang maksudku tidak kesampaian. Nyawamu masih betah berada dalam tubuhmu! Pendekar 212! Duia ini terlalu sempit untuk kita berdua! Kali ini kau l0l0s lagi dari l0bang jarum kematian! Tapi Ingat! Aku Pangeran Matahari tidak akan berhenti hingga akhirnya kau berlutut di hadapanku dan menggali liang kuburmu sendiri!”
Habis berkata begitu insan yang sebe ,umnya menyamar menjadi kuncen makam Pangeran Ban0w0 dengan nama Ki Ageng Lentut dan juga akal-akalan manjadi juru ramal renta berjulukan Sangk0l0 Bumi ini memutar tubuhnya siap berkelebat pergi.
Pendekar 212 , Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak.
Lima anak panah melesat mendahului serangan. Selagi Pangeran Matahari s0buk menyelamakan diri Perwira Tinggi Kerajaan c0ba marampas Guci Setan dari tangannya namun lagi-lagi dia gagal lantaran tendangan Pangeran Matahari menghantam perutnya lebih dulu hingga dia terpental dan pingsan.
J0t0san Pendekar 212 berhasil menyusup le sisi kiri Pangeran Matahari.
Walaupun tidak telak tapi cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wir0 menghantam.
Namun kali ini Pangeran Matahari berhasil menangkis pukulannya dan membalas menghantam. Pukul memukul jarak erat itu tidak menguntungkan Pangeran Matahari lantaran dikala itu dia memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal ini disadari 0leh Pangeran Matahari maka dengan segala kelicikannya dia berkata “Pendekar 212! Lain kali kita bertemu lagi! Kau inginkan guci ini ambillah!”
lalu Pangean Matahari menciptakan geakan menyerupai hendak melemparkan Guci Setan itu.
namun apa yang dilakukannya ialah tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam.
“Awas! Asap menutup pandangan!” teriak Wir0.
Ketika terdengar letusan dan asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur telah lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah kanan , satunya lagi ke arah kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari melarikan diri ke arah selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis berpakain merah yang punya kecepatan laksana kilat itu sanggup mengejar Pangeran Matahari lebih dahulu. Dengan satu geakan cepat dia berhasil merampas Guci Setan dari tangan Pangeran Matahari.
“Betina keparat! Aku lebih suka kau hancur lebur bersama guci itu!” teriak Pangeran Matahari marah. Dia angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu mendadak s0ntak manjadi redup. Dari telapak tangan kanan 0rang yang dijuluki pengean segala akil , segala nalar , segala ilmu , segala licik dan segala c0ngkak ini melesat keluar sinar kuning , hitam dan merah.
“Pukulan Gerhana Matahari!” teriak Wir0. “Bidadari Angin Timur lekas menyingkir!” Murid Eyang Sint0 Gendeng dengan cepat hantamkan tangan kanannya , melepaskan pukulan “sinar matahari” Terdengar saru dentuman keras. Si gadis berbaju merah cepat menyingkir ketika sinar putih berkilau dan sinar hitam , merah dan kuning mencuat ke udara laksana hendak menyapu langit. Tubuhnya terg0ncang keras. Guci Setan terlepas dari pegangannya. Dia c0ba untuk menjangkaunya tapi satu letusan lagi menciptakan tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada satu tubuh yang jatuh tepat di sampingnya!
Ketika sinar putih , hitam , merah dan kuning lenyap dan pasir serta tanah yang bermentalan ke udara luruh kembali ke tanah Pangean Matahri telah lenyap dan Pendekar 212 dapatkan dirinya jatuh terelungkup di tanah , hampir berdempetan dengan gadis berpakain merah itu. Wajah mereka bertempelan dan hidung mereka saling beradu satu sama lain.
“Kau tak apa-apa……?” tanya Pendekar 212.
Si gadis hanya menjawab dengan kedipkan mata kemudian cepat-cepat hendak berdiri. Tapi Wir0 lekas menahan punggungnya seraya berkata. “Kalau saya bisa mati berdempetan menyerupai ini alangkah bahagianya.”
“Mudah-mudahan malaikat maut mendengar permintaanmu itu ,” kata si gadis seraya menarik tangan Wir0 dan berdiri. Wir0 segera pula berdiri. Keduanya tertegun ketika melihat beberapa langkah di hadapan mereka Guci Setan hanya tinggal merupakan kepingan-kepingan belaka.
Dua 0rang terdengar mendatangi. Mereka ialah Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya puteri mendiang Pangeran Ban0w0 itu.
“Berkat pinjaman sahabatku berpakaian merah ini , saya tak kurang suatu apa.
Hanya sayang insan jahat berjuluk Pangeran Matahari itu l0l0s!” jawab Wir0.
Deai Santiastri memandang pada Guci Sean yang pecah berserakan di tanah.
“Sayang guci pusaka itu kini hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna…..”
“Mungkin itu lebih baik! Hancurnya Guci Setan berarti lenyapna segala kasus yang sering mendatangkan malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan ,”
menyahuti Perwira Tinggi Kerajaan. “Den Ayu , sebaiknya kita tinggalkan tempat ini.
Aku harus segera melap0r pada Patih.”
Dewi Santiastri mengangguk. Dia memandang pada Pendekar 212. “Wir0 , kau ikut bersama kami?’
“Aku ingin sekali. Tapi ada hal penting yang harus kulakukan. Aku harus segera pergi ke puncak Gunung ede untuk menjenguk guruku yang sedang sakit keras….. Aku berjanji akan menemuimu sepulang dari sana….”
Dewi Santiastri mengangguk. “Kau kecewa lantaran dulu saya pernah mencideriamu?’
“Aku sudah melupakan hal itu ,” jawab Wir0.
Dewi Santiastri memandang pada gadis berpakaian merah di samping Wir0.
Diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia sempat mendengar Wir0 menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. “Dia benar-benar bidadari. Aku hanya gadis biasa…..” kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia memberi isyarat pada Perwira Tinggi di sebelahnya.
Setelah kedua 0rang itu pergi Wir0 berpaling pada si baju merah dan bertanya.
“Aku ingat pertama kali saya melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau mengenakan pakaian biru yang sangat tipis….”
“Saatku untuk pergi….” Kata gadis berpakaian merah se0lah tidak hirau dengan ucapan si pemuda.
“tunggu dulu , ada satu hal yan hendak kutanyakan….” Kata Wir0. Namun sekali berkelebat gadis itu telah lenyap dari hadapannya.
Pendekar 212 hanya bisa tertegun. “Kecepatannya benar-benar laksana angin.
Tidak salah kalau kuberi nama Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu saja , padahal banyak yang ingin saya tanyakan padanya. Ilmunya luar biasa. Ilmu apa namanya?!”
Dengan langkah berat Pendekar 212 tinggalkan tempat itu. Namun satu bayangan biru yang berkelebat beberapa langkah di hadapannya menciptakan murid Eyang Sint0 Gendeng ini menjadi terkesiap kaget dan cepat-cepat menyelinap ke balik sebatang p0h0n besar untuk menjaga segala kemungkinan. Di depan dan di sekitarnya tidak terdengar bunyi apa , juga tidak kelihatan satu gerakanpun.
Ketika Wir0 berpaling ke balakang nyawanya laksana terbang. Di belakangnya di balik p0h0n itu tahu-tahu telah tegak gadis manis jelita yang disebutnya dengan panggilan Bidadari angin Timur itu. Dan kali ini si gadis ternyata tidak lagi mengenakan pakaian merah , melainkan sudah berganti dengan pakaian biru tipis menyerupai yang dikenakan pada pertama kali Wir0 melihatnya! Pendekar 212 leletkan lidah. Kedua matanya membesar. “Bukan main…..” kata Wir0 pula.
“Apanya yang bukan main?” tanya si gadis.
“Aku tak habis pikir , bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?”
Si gadis tersenyum. “Aku juga tak habis pikir ,” katanya.
“Tentang apa?”
“Tentang dirimu! Bagaimana kau bisa membuka pakaian secepat ini?”
Wir0 memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa menyerupai disapu angin. Tubuhnya berputar tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi menyerupai biasa , murid Sint0 Gendeng ini berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan baju dan celana panjang putihnya. Dia berdiri hanya mengenakan celana cuilan dalam!
Pakaiannya kelihatan bertebaran di depan kakinya.
“Gila! Bagaimana bisa jadi begini? Ilmu gila apa yang dimiliki gadis ini?
Untung saya tidak ditelanjanginya hingga bugil!” teriak Wir0. Dia memandang berkeliling. Di depannya terdengar bunyi tawa cekikikan. Memandang ke depan dilihatnya gadis berbaju biru tipis itu tegak di samping semak belukar sambil melambaikan tangannya se0lah memberi isyarat supaya Wir0 mengejarnya.
“Gadis nakal! Kau berani mempermainkanku! Jangan kira saya tidak bisa menjahilimu!” teriak Wir0. Lalu lezat saja dia menciptakan gerakan menyerupai hendak menanggalkan celana dalamnya.
Di depan sana Bidadari Angin Timur keluarkan bunyi terpekik kemudian memutar tubuh melarikan diri. Wir0 cepat tarik kembali celana dlamnya ke atas kemudian mengambil baju dan celana panjangnya yang ercampakan di tanah , sekali l0mpat saja dia segera mengejar gadis itu.
Beberapa hari kemudian ketika Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul di puncak Gunung Gede , sepasang kakek nenek tampak duduk di tangga kerikil sambil tertawa-tawa dan masing-masing memegang sebuah tabung bambu berisi tuak.
Kakek nenek ini bukan lain ialah Dewa Tuak dan Sint0 Gendeng yang berhasil diselamatkan dari racun hewan berbisa 0leh kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212.

TAMAT

No comments for "Guci Setan WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"