Dewi Ular WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : DEWI ULAR

Bagian 1

PEREMPUAN berambut merah berserakan bertubuh gemuk yang duduk terkantuk-kantuk di depan goa watu perlahan-lahan buka kedua matanya.
Bagaimanapun beliau membesarkan , tetap saja kedua mata itu sipit hampir merupakan dua garis melintang di wajahnya yang gembrot. Pakaian yang menempel di tubuhnya terang aneh lantaran terbuat dari susunan daun lontar berbentuk jubah. Dia sibakkan rambut yang menutupi pendengaran kirinya.
Ternyata pendengaran ini diganduli sebuah anting besar. Sesaat tampak daun pendengaran itu bergerak-gerak dan anting yang mencantel di situ ikut bergoyang-goyang.
Kalau tadi si gemuk ini hanya duduk menjelepok di dekat pintu goa , kini beliau bangun mencangkung. Tangan kiri dimelintangkan di atas kening. Sepasang matanya yang sipit memandang tajam ke depan. “Ujudnya belum kelihatan tapi suaranya sudah masuk ke telingaku. Untung saya belum tuli. Hik…hik…hik! Suara apa itu?!” wanita gemuk itu menduga-duga.
Dia menghirup udara di jurang dalam-dalam. “Hemmm…. busuk itu…! Aku kenal betul busuk itu! Rupanya si keparat itu sudah berhasil! Dia hendak menggasakku dengan binatang-binatang peliharaannya itu!
Dikiranya saya tidak siap! Percuma selama tiga bulan ini saya memata-matainya. Sipatoka! Kau boleh menyerangku.
Kau boleh mengeluarkan semua kepandaianmu. Aku akan menyambut dengan segala bahagia hati! Hik … hik… hik…!”
Dari balik jubah daunnya wanita ini keluarkan satu benda berwarna coklat gelap kemerahan.
Ternyata buah manggis hutan. Sekali remas saja manggis itu hancur. Isinya yang putih eksklusif digeragot. Kulit buah manggis yang sudah lumat itu kemudian digosokkannya ke muka hingga wajahnya jadi berselemotan merah coklat tak karuan.
“Sipatoka! Sebentar lagi kamu akan tahu siapa diriku! Ini kali kesembilan kamu menyerangku! Sebelumnya kamu empat kali kalah empat kali menang. Tapi sekali ini kamu boleh menggigit jari lantaran saya yang bakal keluar sebagai pemenang! Hik… hik…! Aku sudah tahu dengan apa kamu hendak menyerang! Aku sudah siap dengan senjata penangkal! Hik… hik… hik…!”
Sementara itu dari arah barat jurang semakin terang terdengar bunyi aneh tadi. Suara ini mirip bunyi sayap yang mengepak disertai bunyi menggembor terus menerus. Perempuan gemuk masih memandang tajam ke depan. Pada ketika itulah tiba-tiba ada bunyi menggema dari sebelah barat.
“Kunti Rao! Apakah kamu sudah siap mendapatkan seranganku?!”
Perempuan di depan goa yang terletak di dinding jurang sebelah timur mendengus kemudian menjawab dengan berteriak. “Aku sudah siap semenjak tiga bulan kemudian datuk celaka!”
“Ha … ha… ha…! Kalau begitu saat-saat kematianmu sudah di depan mata! Daging tubuhmu sebentar lagi akan dicongkel hingga hanya tinggal tulang belulang alias tengkorak hidup!”
Perempuan gemuk di depan jurang watu sebelah timur kembali mendengus. Di sebelah barat beliau mulai bisa melihat sosok-sosok hitam melesat di udara , bergerak ke arah dinding jurang di mana beliau berada.
Jumlahnya banyak sekali , tak kurang dari seratus ekor.
“Datuk keparat! Kau akan lihat bagaimana saya mengerjai hewan peliharaanmu itu!” wanita gemuk yang dipanggil dengan nama Kunti Rao itu memutar tubuhnya. Walau berbobot hampir 150 kati , tapi gerakannya kelihatan cepat dan tak bersuara. Sosoknya lenyap dalam goa. Sesaat kemudian kelihatan beliau keluar membawa dua buah kayu besar. Puluhan , mungkin ratusan ekor lebah coklat berkepala hitam mengerumun bergelantung di dua kayu besar itu. Setiap lebah mengeluarkan bunyi menggeru.
Bayangkan kalau ratusan ekor mengeluarkan bunyi itu secara berbarengan. Bisingnya mirip mau merobek gendanggendang telinga!
Di depan lisan goa si gemuk Kunti Rao angkat dua kayu besar tinggi-tinggi kemudian berteriak. “Datuk Sipatoka!
Aku sudah siap! Mana kecoak-kecoak peliharaanmu itu!”
Dari arah barat terdengar bunyi tawa bergelak. “Mereka sudah di depan hidungmu Kunti Rao! Apa matamu buta?”
Baru saja gema bunyi lelaki itu menghilang , di jurusan barat sosok-sosok hitam yang melesat di udara semakin dekat dan terang wujudnya. Ternyata benda-benda ini yakni kelelawar berbentuk aneh. Bagian tubuhnya berwarna hitam legam , namun kepalanya berwarna putih. Sepasang mata berwarna merah.
Binatang ini mempunyai kuku-kuku panjang sangat runcing. Ujung sayapnya pipih tajam tak ubah mirip mata pisau , sementara moncongnya lancip mirip ujung tombak.
“Kau sudah melihat Kunti? Atau matamu yang sipit itu memang sudah buta?!” orang lelaki di dinding jurang sebelah barat berteriak.
“Aku sudah melihat! Tadinya kukira kecoak busuk! Tak tahunya hanya kutu-kutu busuk yang kamu kirimkan padaku!” jawab Kunti Rao.
“Bagus kamu sudah melihat! Sebentar lagi kamu rasakan bagaimana kutu-kutu busuk itu akan menggerogoti dagingmu yang empuk!”
Dari arah barat ada satu gelombang angin menderu. Tiupan angin ini menciptakan kelelawar-kelelawar hitam berkepala putih mirip didorong keras hingga dalam waktu sesaat saja hewan itu sudah mencapai dinding sebelah timur jurang , eksklusif menyerang Kunti Rao. Perempuan gemuk berambut merah berserakan ini keluarkan jeritan keras kemudian meniup kuat-kuat pada dua batang kayu yang dipegangnya.
“Piup…! Piup…!”
“Werrrr! Werrrr!”
Ratusan lebah yang mendekap pada dua batang kayu menghambur terbang terus menyerbu ke arah puluhan kelelawar yang tiba menyerang dengan mengeluarkan bunyi menggidikkan serta menebar busuk busuk , menyesakkan jalan pernafasan!
Sesaat kemudian berlangsunglah satu hal hebat yang tidak pernah tragedi sebelumnya. Puluhan kelelawar kepala putih berkelahi melawan ratusan lebah berkepala hitam! Jurang watu menjadi bising oleh bunyi kepak sayap dua jenis hewan itu. Ditambah pula dengan bunyi cicit menggidikkan yang keluar dari lisan puluhan kelelawar serta bunyi menggeru tak berkeputusan yang dibentuk oleh ratusan lebah menciptakan suasana di jurang watu benar-benar mengerikan.
Meskipun kelelawar-kelelawar itu mempunyai tubuh lebih besar , hantaman sayap yang deras dan berbahaya , serta kuku-kuku runcing ditambah moncong yang bisa menciptakan gerakan mamtuk cepat sekali , namun menghadapi ratusan lebah milik Kunti Rao boleh dikatakan mereka tidak berdaya. Bukan saja jumlah lebah lebih banyak , tapi hewan bertubuh kecil ini bisa bergerak lebih gesit hingga sanggup mengelak serangan lawan sekaligus balas menyerang dengan ganas.
Suara cicit kelelawar terdengar riuh. Satu demi satu binatang-binatang itu menggelepar kemudian melayang jatuh ke dasar jurang. Perempuan gemuk berjulukan Kunti Rao tertawa panjang. Seperti anak kecil beliau berjingkrakjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan!
“Datuk celaka! Sekarang gres tahu rasa! Kau tentunya tidak tuli mendengar binatang-binatang yang kamu andalkan menjerit meregang nyawa. Kau tentunya juga tidak buta menyaksikan bagaimana mereka jatuh mampus ke dasar jurang! Hik … hik… hik…!”
“Perempuan gendut sialan! Jangan cepat-cepat bersuka hati! Lihat ke udara!” terdengar teriakan jawaban dari arah barat. Lalu di udara muncul dua kelelawar besar , satu jantan satu betina. Kunti Rao sebentar terkesiap. “Ini pasti dua biangnya. Lebih besar lebih seram! Tapi siapa takut!”
Dua kelelawar menukik menyerang. Satu dari kiri yang lainnya dari kanan. Kunti Rao tamengi diri dengan dua batang kayu besar. patukan kelelawar jantan menancap di bantang kayu di tangan kiri Kunti Rao , sedang sambaran kepak kelelawar satunya yang tak ubahnya mirip sambaran pisau tajam lewat di atas kepala wanita gemuk itu , tapi masih sempat memapas sedikit rambut perahnya. Si gemuk ini sempat terpekik kecil.
Disebelah barat terdengar bunyi tawa orang berjulukan Sipatoka.”Sekarang rasakan olehmu!”
“Kelelawar jahanam! Sebentar lagi kupecahkan kepalamu!” teriak Kunti Rao marah.
Saat itu kelelawar jantan kembali tiba menyerbu. Kunti Rao merunduk. Tangan kirinya bergerak. Kayu besar dilemparkan. “Praakkk!” Kayu menghantam telak kepala kelelawar jantan itu. Cicitan hewan ini terputus. Tubuhnya melayang jatuh ke bawah jurang dengan kepala hancur.
Di udara , kelelawar betina melengking keras. Rupanya murka sekali melihat kematian jantannya. Dia tadi yang berhasil memapas rambut Kunti Rao. Binatang ini berputar tiga kali di udara kemudian menukik.
Kelihatannya dii mirip hendak menyerang dengan mematuk ke atas batok kepala musuh. Tapi sewaktu Kunti Rao mengelak sambil hantamkan kayu di tangan kanannya , kelelawar ini menciptakan gerakan membalik. Di lain kejab tubuhnya berputar mirip baling-baling , dua sayapnya laksana golok pendek membabat ke arah leher Kunti Rao.
Kunti Rao keluarkan bunyi garang. Dia menciptakan gerakan jatuhkan diri. Dalam keadaan setengah berlutut beliau pergunakan kayu besar di ajun untuk menangkis lindungi diri. “Blaakkk! Craasss!” Kayu besar di tangan wanita gemuk itu terbabat putus!
“Binatang sialan!” maki Kunti Rao. Sisa potongan kayu dilemparkannya ke arah kelelawar betina.
Binatang ini melayang turun. Bukan saja beliau berhasil mengelakkan hantaman kayu , tapi secepat kilat beliau kembali menyambar ke arah Kunti Rao.
“Binatang celaka! Kau menciptakan saya kehabisan sabar!” kertak Kunti Rao. Dua tangannya bergerak mencabut dua buah daun yang merupakan pakaiannya. Kelelawar betina datang. Dua lembar daun melesat ke udara.
“Craasss! Craasss!”
Daun pertama menancap di dada kelelawar betina. Daun kedua memapas lehernya. Darah menyembur.
Binatang ini keluarkan jeritan aneh yang keras. Hebatnya , dalam keadaan sekarat beliau masih berusaha mengejar ke arah Kunti Rao. Namun sekali menghantamkan tangan kirinya , kelelawar betina itu terlempar jauh ke arah dinding barat jurang dan jatuh di depan kaki seorang kakek yang ketika itu tengah melangkah mondar-mandir di depan sebuah goa.
“Jahanam! Kelelawarku mati semua!” orang ini kepalkan kedua tangannya dan hentakkan kaki kanan hingga bebatuan di jurang itu bergetar.
“Datuk Sipatoka! Apa kini kamu malu mengakui kekalahan?!”
“Perempuan keparat!” maki sang datuk begitu didengarnya bunyi Kunti Rao dari arah timur. “Jangan buruburu merasa menang dajal gendut!”
“Hik…hik…! Kenyataannya memang begitu Datuk! Kau menang empat kali , saya lima kali dengan ini Apa otakmu sudah tumpul hingga tidak bisa berhitung lagi?! Hik… hik… hik…!”
“Kau akan terima pembalasan dariku Kunti Rao! Sekalipun hingga seratus tahun saya akan mendekam di sini hingga kesannya kamu mampus di tanganku!”
“Huh takaburnya!” ejek wanita gemuk. Dia mendongak ke atas memandang ke arah puluhan lebah yang masih terbang berputar-putar di dalam jurang , kemudian bertepuk beberapa kali. “Lebah-lebahku! Kalian menjalankan kiprah dengan baik! Aku berterima kasih! Tugas sudah selesai. Mulai ketika ini kalian bukan peliharaanku lagi! Sekarang kalian bebas mau pergi ke mana saja! Tapi ingat , setiap saya memerlukan kalian , jangan terlambat datang!” habis berkata begitu si gemuk bertepuk terus menerus.
“Werrr… werrr…. werrr….!” ratusan lebah berputar-putar di atas kepala si gemuk kemudian melesat ke atas jurang.
Kunti Rao gres berhenti bertepuk begitu semua lebah lenyap dari pandangannya.
Kunti Rao menyeringai. Dia memandang ke arah barat. Di kejauhan , kurang jelas di balik kabut yang kini mulai mengambang di jurang dilihatnya sosok Datuk Sipatoka melangkah mondar-mandir di depan lisan goa. Kunti Rao tertawa. Mulutnya berucap. “Rasakan olehmu! Sekarang gres tahu rasa! Dikiranya bakalan bisa menguasai jurang watu pualam ini! Huh! Tua bangka tak tahu diuntung! Selama saya masih bercokol di sini jangan harap jurang ini akan jadi wilayah kekuasaanmu! Apalagi mau menguasai dunia persilatan!
Hik… hik… hik…!”
Sementara itu di lereng jurang sebelah barat , seorang kakek melangkah mondar-mandir sabil tiada hentinya memukuli sendiri kepalanya yang botak dan berwarna biru. “Lima bulan saya menyusun rencana!
Mengajar binatang-binatang itu! Ternyata semua mati percuma! Apalagi yang bisa kulakukan semoga bisa menyingkirkan wanita itu dari jurang sebelah timur! Bukan! Bukan cuma menyingkirkan! Tapi membunuhnya! Kalau beliau masih hidup berarti ancaman besar bagiku!”
“Datuk Sipatoka!” tiba-tiba menggema seruan Kunti Rao dari arah barat.
“Kuda nil rambut merah! Apa lagi maumu?!” maki Datuk Sipatoka menyebut Kunti Rao yang memang gemuk dan berambut merah.
“Sesudah kalah , apa kamu masih terlalu kikir dan sombong untuk menyebarkan rezeki denganku?!”
“Sampai matipun saya tidak mau banyak sekali rezeki dengan kau!”
“Aha! Bintang Kalimukus akan muncul tak usang lagi! Petunjuk di mana letak sepasang senjata pusaka itu akan segera muncul! Jika kamu tak mau membagi rezeki , berarti dua senjata akan jadi milikku sendiri!”
“Kau tak akan bisa mempunyai semua! Kau tahu itu!”
“Siapa bilang tidak mampu! Yang terang kamu pasti akan menyesal! Hik … hik… hik…!”
“Manusia sialan! Pergilah ke neraka!” teriak Datuk Sipatoka marah.
“Kalau saya ke neraka , pasti saya tidak lupa membawamu datuk! Dan kamu akan jalan duluan di depanku!
Hik … hik… hik…!” ejek Kunti Rao.
“Perempuan setan! Makan tanganku ini!” teriak Datuk Sipatoka , kemudian tangan kanannya menyembul di balik lengan jubah kuning.
“Wuttt!” serangkum angin menderu. Di sebelah timur , Kunti Rao melihat ada kilatan cahaya kuning menyambar dan tiba ke arahnya cepat sekali. “Wow! Ilmu yang sudah tidak laris masih diperlihatkan!”
ejek wanita itu. Lalu beliau angkat tangan kanannya ke atas. Telapak diputarsentakkan.
“Bettt! Bettt!” dua larik pukulan sakti tanpa warna menggemuruh , menyambut sambaran sinar kuning dari kiri kanan.
“Bessss! Dessss!”
Sinar kuning mental dan buyar hanya satu tombak di depan Kunti Rao. Perempuan gemuk ini mencicipi tubuhnya bergetar keras kemudian tersandar ke dinding batu. Sesaat wajahnya yang celemongan dengan kulit manggis tampak berubah.
Di dinding jurang sebelah barat Datuk Sipatoka kelihatan tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada.
Dia jatuh berlutut dan cepat kerahkan tenaga dalamnya guna mengatur jalan darah. Dari kepalanya yang botak biru mengepul asap tipis.
“Setan wanita benar-benar tinggi kepandaiannya!” diam-dia si kakek harus mengakui walaupun dengan memaki. “Tapi bagaimanapun beliau tak bisa mengalahkanku bulat-bulat! Sepasang senjata sakti di dasar jurang tak bakal jadi miliknya! Untuk sementara biar kulupakan dirinya. Lebih baik saya meneruskan pekerjaan menciptakan tali itu. Kalau sudah tiba saatnya , saya bisa dengan simpel dan cepat turun ke dasar jurang!”
Kunti Rao perlahan-lahan luruskan badannya yang gemuk. Dia rapikan susunan daun-daun yang jadi pakaiannya lantaran dua lembar daun tadi terpaksa dicabutnya untuk menghadapi sepasang kelelawar besar.
“Tua bangka satu itu memang dihentikan dikasih hati. Lihat saja! Akan saya berikan satu pelajaran telak dan mematikan padanya!”
Si gemuk memutar tubuhnya hendak masuk ke dalam jurang. Tiba-tiba beliau mendengar ada bunyi berdesir di atasnya. “Hah! Apa jahanam itu sudah menyerangku lagi?! Ilmu apa pula yang dikeluarkannya!” ujar Kunti Rao seraya hentikan langkah dan mendongak ke atas. Lalu keluarkan satu seruan keras dari lisan si gendut ini ketika melihat benda apa yang melayang jatuh dari atas jurang tepat ke arahnya disertai satu jeritan perempuan!
Dalam keadaan tercekat Kunti Rao masih sempat berteriak. “Oladalah! Tubuh wanita bersimbah darah!
Jatuh dari atas jurang! Bagaimana ini? Akan kutangkap atau kubiarkan saja amblas ke dasar jurang batu?”
Perempuan gemuk itu hanya bimbang sesat. Di lain kejab beliau melompat ke kiri mencari kedudukan yang tepat untuk menyambut tubuh wanita berpakaian tipis hijau penuh noda darah mulai dari rambut hingga kaki.
“Hup!” Kunti Rao berhasil menangkap sosok tubuh yang jatuh. “Gila! Darahya berbau anyir busuk!” berucap Kunti Rao. Tubuh yang berhasil ditangkapnya itu dibaringkan di atas batu. Dia memperhatikan dengan mengeryitkan dahi penuh ngeri.
“Perempuan malang. Aku yakin kamu masih muda dan berwajah cantik! Tapi mengapa ada yang tega mencelakaimu mirip ini? Di dada dan bahumu ada luka yang begitu besar mengepulkan asap. Lalu heh .. benda apa itu? Paku?” Kunti Rao jongkok di samping tubuhnya. Mukanya yang gembrot celemongan kulit manggis didekatkan ke potongan perut dan memperhatikan tanpa berkesip. “Paku! Benar paku ,” desis Kunti Rao.
“Paku aneh. Terbuat dari emas. Menancap tepat di pusarnya. Eh , rasa-rasanya saya pernah mendengar perihal paku emas ini. Kabarnya berasal dari daratan Tiongkok. Memiliki kekuatan maha sakti. Mulai dari kekuatan mengobati hingga membunuh!”
Kunti Rao sibakkan rambut panjangnya yang menutupi sebagian wajahnya. “Hemm… Benar nyatanya.
Dia memang mempunyai wajah cantik. Meski berlumuran darah mirip ini. Aku tak kenal padanya. Siapa gerangan dirinya? Mengapa bisa jatuh ke dalam jurang mirip ini. Lalu luka-luka mengerikan di tubuhya?” Kunti Rao berpikir sejenak.
Setelah meraba urat besar di leher dan mencicipi masih ada hembusan nafas dari lubang hidungnya , Kunti Rao mendukung wanita itu dan membawanya masuk ke dalam goa. “Orang biasa pasti sudah meregang nyawa akhir luka begini hebat. Di antara busuk bacin dan busuk darah di tubuhnya saya mencium sekilas busuk harum. Perempuan muda ini agaknya bukan wanita sembarangan.”
Sampai di dalam goa Kunti Rao meletakkan wanita itu di atas sebuah pembaringan terbuat dari batu.
Lalu sibuk meramu beberapa jenis obat. Sebelum itu beliau terlebih dahulu menotok tubuh di beberapa tempat.
Sejenis bubuk hitam ditaburkannya ke atas luka pada pundak dan dada. Dia mengalihkan pandangan pada paku yang menancap di pusar. Sesaat Kunti Rao merasa bimbang. Agaknya beliau tak punya pilihan lain.
“Rupanya kelemahan wanita ini ada pada pusarnya. Aku harus mencabut paku di pusarnya itu!”
Kunti Rao ulurkan tangan kanan. Ibu jari dan telunjuk bergerak cepat mencabut paku yang menancap di pusar. Pada ketika paku tercabut , dari pusar yang berlobang itu mengucur darah hitam sangat busuk disertai asap. Perlahan-lahan kepulan asap hilang. Tapi begitu lenyap tiba-tiba sebuah benda melesat ke luar dari perut lewat pusar yang bolong itu.

Bagian 2

Kunti Rao terpekik keras dan berubah parasnya saking kagetnya. Dari pusar yang berlobang di perut wanita muda tidak dikenal itu melesat keluar seekor ular hitam berkepala putih. Semula beliau menyangka dirinya akan diserang. Cepat Kunti Rao angkat tangan untuk menghantam. Tapi ditariknya tangan ketika melihat ular itu melesat ke atas. Laksana terbang ular itu ke udara kemudian lenyap menjadi asap.
“Ular jejadian..!” desis Kunti Rao. “Siapa insan ini sebenarnya?!” tanyanya dalam hati penuh rasa ingin tahu , kemudian cepat-cepat bubuk hitam ditaburkan dalam lobang pusar. Sedikit demi sedikit darah busuk berhenti mengucur dan lobang bertaut kembali. Kepulan asap serta merta lenyap.
“Lobang di pusar itu tidak akan menjadikan cacat. Tapi luka dada dan pundak walau bisa kusembuhkan rasanya akan meninggalkan bekas sangat buruk. Kasihan wanita muda manis ini.. tubuhnya akan cacat seumur hidup. Tak bakal ada lelaki mau dengannya…”
Kunti Rao duduk di samping pembaringan batu. “Eh , apa urusanku memikirkan wanita ini? Anak bukan , saudara bukan , sobat juga bukan? Mati sekalipun apa peduliku? Tapi mungkin beliau bisa kumanfaatkan?
Hemm… baiknya kutunggu hingga beliau siuman. Harus kuketahui siapa beliau adanya. Mungkin , ah! Siapa tahu beliau bisa kumanfaatkan untuk menghadapi kakek keparat itu!”
Setelah menunggu sehari semalam , pada pagi kedua selagi Kunti Rao berada di luar goa beliau mendengar bunyi orang batuk-batuk. “Perempuan itu..!” kata Kunti Rao seraya memutar tubuhnya masuk ke dalam goa.
Sesampainya di dalam , dilihatnya wanita itu sudah duduk di pembaringan watu , bersandar ke dinding dan batuk beberapa kali. Ketika melihat kemunculan Kunti Rao beliau cepat-cepat beringsut. Wajahnya memancarkan perilaku terkejut , takut dan mengancam.
“Kau sudah siuman rupanya. Syukurlah!” kata Kunti Rao. Perempuan di atas watu pandangi rambut Kunti Rao yang merah berserakan itu , mukanya celemongan oleh kulit manggis , tubuhnya yang gemuk gembrot dan tentunya pada abnormalitas jubahnya yang terbuat dari susunan daun-daun.
“Perempuan gemuk , siapa kau? Apakah kamu orang yang menolongku? Berada di mana ketika ini aku?!”
“Wah , pertanyaanmu belum-belum sudah banyak betul!” sahut Kunti Rao. “Bagaimana kalau saya yang ganti bertanya. Siapa dirimu? Mengapa ada dua luka besar di tubuhmu. Lalu mengapa ada paku emas di pusarmu? Apa kamu jatuh sendiri ke dalam jurang ini , apa ada yang mencelakaimu? Mengapa bisa ada ular hitam kepala putih keluar dari dalam perutmu lewat pusar yang kemudian lenyap menjadi asap! Apa kamu insan atau makhluk jadian?”
Perempuan berpakaian hijau tipis yang duduk di pembaringan watu mula-mula hendak menyemprot marah.
Namun kesadaran masuk dalam benaknya. Agak samar dan masih sulit beliau mengingat. Dipandanginya tubuhnya. Di dada dan pundak ada luka mengering tertutup bubuk hitam. Lalu disingkapkannya potongan perut pakaiannya. Di situ juga ada taburan bubuk hitam yang sudah mengering , tepat di potongan pusar.
Tangannya bergerak ke kepala meraba potongan atas kening. Dia ingat biasanya di situ ada mahkota kecil.
“Paku emas…?” desisnya.
“Ya , paku emas!” kata Kunti Rao sambil memperlihatkan sebuah benda tepat di depan wajah wanita itu.
“Katamu paku emas. Aku melihat benda itu paku biasa. Terbuat dari besi buruk dan hitam!”
“Heh , kamu betul! Tadinya paku ini terbut dari emas. Sewaktu masih menancap di pusarmu paku ini masih berwarna kuning emas asli. Tapi begitu kecabut bentuknya menjelma hitam. Pertanda paku ini penuh dengan kekuatan hitam yang tersedot dari dalam tubuhmu!”
Lama wanita di atas pembaringan itu terpana mendengar keterangan Kunti Rao. “Kau telah menolongku , saya musti berterima kasih kepadamu ,” beliau cepat membungkuk tapi Kunti Rao mencegah.
“Saudari aku…”
Kunti Rao tertawa tergelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gemuk tergoncang-goncang.
”Ada apa? kenapa kamu tertawa? Apakah ada sesuatu yang lucu dari diriku?”
“Perempuan muda kamu dengar baik-baik. Kau tak pantas memanggilku dengan sebutan saudari. Karena kamu pantas jadi cucuku. Panggil saya nenek!”
“Aku pantas jadi cucumu dan saya harus memanggil nenek?”
“Betul lantaran usiaku sudah lebih dari enam puluh tahun!”
Tentu saja wanita di atas watu terkejut mendengar kata-kata itu. “Walau tubuhmu luar biasa gemuk dan berpakaian aneh mirip itu , tapi menurutku kamu berusia dua puluh tahunan…”
Kunti Rao tertawa “Yang kuasa memberiku abadi muda dan ganjarannya saya punya bobot mirip kerbau mirip ini. Kalau saya boleh menentukan , biar wajahku buruk keriput tapi tubuhku langsing! Hik.. hik… hik…!”
Kunti Rao tertawa panjang. Lalu berkata , “Perempuan muda saya ingin tahu siapa dirimu. Apa yang telah terjadi… ingat! Aku tidak orang berdusta padaku!”
“Aku berjulukan Kunti Arimbi ,” kata wanita di atas pembaringan batu.
“Eh , nama depannya kenapa sama denganku?” ujar Kunti Rao dalam hati.
“Aku dikenal dengan julukan Dewi Ular.”
Kunti Rao sempat tersurut satu langkah mendengar julukan yang disebutkan. Walau beliau sudah usang mendekam di goa watu pualam itu namun beliau pernah mendengar nama angker Dewi Ular. Maka beliau pun berkata. “Tidak sangka Dewi Ular ternyata masih muda tapi mempunyai kesaktian tinggi yang menggegerkan…”
“Semua kehebatan itu sudah berlalu ,” kata Kunti Arimbi alias Dewi Ular. Dia memandang sayu pada paku hitam di tangan Kunti Rao. “Benda itu yang menyebabkannya. Seseorang mengkhianati dan menipuku.
Dia merayuku dan merangsangku. Memperlihatkan kejantanannya. Ketika kami berdua di suatu tempat dan beliau mirip hendak meniduriku tiba-tiba beliau mengeluarkan paku emas itu dan menusukkannya ke pusarku…”
“Siapa orangnya?” tanya Kunti Rao.
“Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede..”
“Astaga! Pendekar besar itu…!” seru Kunti Rao.
“Aku bersumpah untuk membalas dendam. Apalagi kusadari diriku ketika ini selamat dari kematian. Hanya saja tubuhku agaknya akan cacat seumur hidup. Jangankan pria , hewan pun akan jijik melihatku!”
Diam sesaat. “Eh nek , betul saya harus memanggilmu nenek?” Kunti Arimbi meragu.
“Tentu saja , memang seharusnya begitu!”
“Aku berterima kasih kepadamu. Kau telah menyelamatkan diriku. Saat ini tidak mungkin saya membalas segala utang piutang ini! Tapi percayalah walau dulu saya pernah jadi insan jahat , mengingat budi orang saya masih mampu. Nek , saya harus pergi dari tempat ini. Mohon tunjukkan jalan keluar…”
Perempuan gemuk yang mengaku sudah nenek itu menghela nafas panjang. “Jangan terkejut Kunti Arimbi.
Di sini sama sekali tidak ada jalan keluar. Sekali berada di sini akan mendekam seumur hidup , kecuali…”
“Kecuali apa nek?” Tanya Kunti yang kini walau masih mempunyai ilmu silat dan menguasai tenaga dalam tingkat tinggi namun banyak kesaktian luar biasa yang sudah lenyap.
“Kecuali kita bisa mendapatkan sepasang senjata mustika yang terpendam di dasar jurang watu pualam ini!”
“Senjata mustika apa itu?” tanya Kunti Arimbi.
“Sepasang keris sakti. Katanya tiba dari kahyangan. Satu keris pria , satu keris perempuan. Jika sudah bisa menguasai kedua keris itu , dunia persilatan sudah di tangan. Dan cacat di tubuhmu bisa hilang dengan menggosokan keris yang wanita ke bekas luka ,” ujar Kunti Rao.
Perlahan-lahan Kunti Arimbi turun dari pembaringan batu. “Kau harus mendapatkan itu Nek! Aku akan membantumu!”
“Tidak simpel mendapatkannya Kunti Arimbi. Pertama kita harus menerima tanda dari langit di mana keris itu terpendam. Di jurang ini ada musuh tangguh yang juga menginginkan keris itu!”
“Siapa?” tanya Kunti Arimbi.
“Namanya Datuk Sipatoka. Dia mendekam di dinding sebelah barat…”
“Kita harus mengalahkannya Nek!” bisiknya. “Kalau saja saya mempunyai kesaktian mirip masih jadi Dewi Ular dulu…”
“Nasib peruntungan di tangan Tuhan. Kita insan mana ada yang tahu. Bukan tidak mungkin suatu ketika kamu bisa menyandang gelar Dewi Ular kembali. Bahkan mungkin lebih hebat!”
Kunti Arimbi tersenyum. Sepasang matanya yang dahulu hijau kini kecoklatan menerawang ke depan.
“Sepasang keris sakti itu. Jika saya bisa menguasainya bukan tidak mungkin ucapan nenek gendut ini akan menjadi kenyataan…”
Ketika wanita muda ini memandang ke seputar ruangan beliau melihat sebuah benda berbentuk kerucut dan ada gagangnya tertegak di sudut ruangan batu. “Benda apa itu Nek?”
“Payung raksasa ,” jawab Kunti Rao. “Dengan payung itu kelak saya akan turun ke dasar jurang…”
“Sebegitu sulitnyakah mencapai dasar jurang?”
“Jurang watu pualam seputar dindingnya berbentuk tegak lurus dan licin. Di sebelah bawah , kabarnya ada kawah mendidih. Tempat berpijak hanya formasi batu-batu runcing….”
Kunti Arimbi kembali hanya menerawang. Apa yang ada dalam benaknya sulit diduga. “Kalau nasibku harus mendekam di sini , saya rela hidup dan mati bersamamu Nek…”
“Kau wanita baik. Aku ada planning bagus untukmu. Kita berdua bisa menghadapi Datuk Sipatoka…”
“Aku rela mati untuk menolongmu. Tapi rasanya ilmu kesaktianku sudah tidak sehebat dulu lagi…”
“Jangan bersedih saya akan menggemblengmu menguasai beberapa ilmu kesaktian. Mungkin tidak sehebat kesaktianmu ketika jadi Dewi Ular dulu. Tapi yakinlah tidak akan mengecewakan. Dengar wanita muda , mulai ketika ini saya akan memanggilmu Dewi Ular saja. Perkenalkan namaku Kunti Rao. Digelari orang Iblis Daun Setan…”
Mendengar nama dan julukan itu Kunti Arimbi segera jatuhkan diri.
“Eh , ada apa ini?” kata Kunti Rao.
“Nek , saya mendengar dari guruku bahwa kamu yakni saudara sepupunya. Aku menghaturkan perhormatan…”
Kunti Rao tertawa panjang. “Gurumu si Hantu Tangan Geledek itu memang tidak bisa memegang rahasia.
Sayang beliau mati muda. Apakah kamu sudah mewarisi ilmu tangan geledek darinya?”
Dewi Ular menarik nafas panjang. Lalu menggelangkan kepala. “Rencananya mengajarkan ilmu itu memang sudah ada. Tapi beliau keburu meninggal dan saya jatuh ke tangan jahat ratu ular…”
“Kabarnya beliau menyimpan kitab pelajaran lengkap pukulan tangan geledek…”
“Aku pernah mencari tapi tidak ketemu. Aku curiga jangan-jangan kitab itu ada pada Ratu Ular. Ratu Ular sendiri tidak diketahui keberadaannya. Entah sudah mati pula….”
“Semua apa yang tidak diketahui kini menjadi terang kalau kelak saya mendapatkan sepasang keris sakti di dasar jurang itu… Aku bahagia kalau kamu mau membantu.”
“Aku akan membantumu Nek. Tak usah kamu ragukan….” kata Dewi Ular pula. Lalu wajah Sandaka muncul di pelupuk matanya. “Kau juga akan kucari Sandaka. Nyawamu sama tidak bergunanya dengan jagoan 212…!”
“Eh , kamu mirip bicara sendirian. Siapa orang berjulukan Sandaka itu…?” tanya Kunti Rao.
“Sandaka… beliau orang kedua yang akan kubunuh sesudah Pendekar 212 Wiro Sableng!” jawab Kunti Arimbi.
Di dinding di jurang sebelah barat kakek berkepala botak warna biru mengenakan jubah kuning , yang dikenal dengan nama Datuk Sipatoka , rangkapkan dua tangan didepan dada. Muka dan pandangan matanya diarahkan ke dinding sebelah timur. Dadanya terasa panas akhir efek hawa murka dan penasaran.
“Perempuan setan! Kalau kamu merasa sudah menang , nanti lihat saja! Akan kubuat kamu minta-minta ampun hingga terkencing-kencing!” beliau memandang tak berkesip ke arah kejauhan. Namun pandangannya tertutup oleh kabut yang semakin menebal di seantero jurang. “Kabut sialan! Aku tak sanggup melihat apa yang dilakukan wanita sialan itu!” maki si kakek.
Selagi beliau memaki-maki mirip itu tiba-tiba di arah timur di dengarnya ada bunyi jeritan keras dan panjang.
“Eh , siapa yang menjerit itu! Suaranya bunyi perempuan!” Datuk Sipatoka miringkan kepalanya sedang kedua matanya coba menembus kabut yang menghalangi , tapi sia-sia. “Rasa-rasanya mirip ada sesuatu melayang jatuh. Apa mungkin wanita itu tiba-tiba menjadi gila dan jatuhkan diri ke dasar jurang?!” sang datuk berpikir keras.
Lalu beliau menjawab sendiri pertanyaannya dalam hati. “Tidak mungkin , bukan dia. Suara jeritan tadi tiba dari atas jurang. Berarti yang jatuh berasal dari atas sana. Si kuda nil merah itu bertapa di duapertiga jurang… atau mungkin beliau tengah menciptakan tipuan untukku?! Nah… nah… bunyi jeritan lenyap…” Datuk Sipatoka arahkan pandangannya ke dasar jurang. “Tak ada benda jatuh di bawah sana. Tapi mana mungkin menyangsang di dinding batu…!” Sesaat sang datuk terdiam merenung. Akhirnya beliau kembali memaki sendirian. “Persetan siapa yang menjerit tadi. Peduli apa saya kalau ada sesuatu yang jatuh dari atas jurang!”
Setelah menunggu sesaat , kesannya Datuk Sipatoka memutar tubuh melangkah ke lisan goa tempat kediamannya. Di dekat pintu tergantung segulung tali. Belum lagi kakek ini mencapai pintu goa tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu melayang jatuh dari potongan atas jurang sebelah timur. Dia cepat putar kembali badannya. Belum sempat beliau mendongak , benda yang jatuh kelihatan jungkir balik di udara kemudian lenyap sesaat di ketebalan kabut. Ketika benda itu kelihatan lagi , tiba-tiba sudah ada di dinding jurang sebelah barat di mana beliau berada , melayang jatuh dengan deras! “Benda aneh , sosoknya mirip insan tapi hanya mengenakan cawat. Dan , heh , apa yang menempal di kepala , muka dan sekujur tubuhnya?!”
Benda yang jatuh melayang satu tombak di depan Datuk Sipatoka. Mengira sosok itu yakni sesuatu yang dikirim Kunti Rao untuk mencelakainya , Datuk Sipatoka angkat tangan kirinya siap menghantam dengan satu pukulan sakti. Tapi entah mengapa beliau batalkan maksudnya. Dengan cepat beliau menyambar gulungan tali dekat pintu goa. Sesosok tubuh yang jatuh lewat didepannya. Datuk Sipatoka putar gulungan tali yang dipegangnya. Tali ini berputar deras kemudian melesat menyusul ke arah jatuhnya makhluk tadi.
Datuk Sipatoka sentakkan tangannya dua kali berturut-turut. “Bettt! Bettt!” Ujung tali melibat potongan pinggang orang yang jatuh pada ketinggian hanya duapuluh kaki dari dasar jurang di mana menunggu batu-batu runcing. Dua tangan Datuk Sipatoka yang memegang tali tersentak ke depan. Tubuhnya terbungkuk.
“Gila! Manusia atau kerbau yang saya jerat ini! Berat amat!” kata sang datuk. Lalu beliau cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Dua kaki di balik jubah kuning itu laksana dipantek ke watu yang dipijaknya.
Tubuhnya yang bungkuk perlahan-lahan melurus kembali. Lalu beliau mulai menarik sosok tubuh yang dijerat mirip orang menimba. Setiap beliau menarik , dari mulutnya keluar ucapan “Hup… hup… hup…!”
Sosok yang dilibat tali dan ditarik Datuk Sipatoka kesannya hingga ke sisi dinding jurang di mana beliau berada , terus digeletakkan di atas watu di depan goa. Begitu melihat bentuk dan sosok tubuh itu sang datuk kaget bukan main. “Makhluk apa ini!? Manusia atau hantu yang menampakkan diri sebagai manusia?
Tubuhnya bergelimang darah kering , penuh paku! Masih hidup atau sudah jadi bangkai?!”
Tidak heran kalau Datuk Sipatoka begitu terkejut. Orang yang tergeletak di depannya yakni seorang cowok hanya mengenakan cawat. Tubuhnya yang kokoh dan nyaris telanjang itu penuh ditancapi paku.
Bukan saja di potongan tubuh , tapi juga di potongan kepala dan mukanya.“Setan sekalipun tidak ada yang mirip ini!” membatin Datuk Sipatoka.
Dia membungkuk semoga bisa memperhatikan lebih jelas. “Masih hidup…” katanya perlahan. Lalu dengan kaki kanan disentuhnya pinggul cowok itu seraya berseru. “Makhluk aneh! Kalau kamu memang insan , jadilah manusia! Kalau kamu pingsan , lekas siuman! Kalau kamu akal-akalan tidur , ketahuilah saya tak suka orang yang pintar menipu!”
Datuk Sipatoka pergunakan kakinya bukan hanya sekedar menyentuh untuk membangunkan orang tetapi sekaligus menggunakan tenaga dalamnya hingga tersalur ke dalam tubuh cowok yang ditancapi paku itu.
Saat itulah pandangan si kakek membentur potongan depan cawat yang agak kedodoran. “Gila!” serunya.
“Sampai-sampai di kepala anggota rahasianya juga ada paku yang menancap! Tapi paku yang satu ini bentuk dan warnanya agak aneh…”
Sewaktu sang datuk hendak menyingkapkan cawat itu semoga beliau bisa melihat lebih terang , tiba-tiba sosok tubuh si cowok bergerak. Kedua kakinya naik ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya sebelah kanan ikut bergerak dan sepasang matanya membuka. Ketika matanya membentur wajah Datuk Sipatoka cowok ini berusaha bangun dengan cepat.
“Kau siuman! Bagus! Pertama sekali yang saya ingin tahu lekas kamu terangkan apakah kamu ini insan sungguhan atau makhluk jejadian sebangsa setan dedemit atau hantu jurang!”
Karena gres saja sadar , cowok yang ditanya tak bisa segera menjawab. Malah terheran-heran mendapatkan dirinya berada di lereng jurang itu berhadap-hadapan dengan seorang kakek berkepala botak biru yang tidak dikenalnya. Ketika beliau memandang ke bawah , dilihatnya ada tali aneh menjerat pinggangnya.
Otaknya berpikir , coba mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Dari mulutnya meluncur perlahan ucapan yang bisa didengar Datuk Sipatoka.
“Aku jatuh dari atas jurang sana… Seharusnya saya sudah mati. Ada seseorang menyelamatkanku.
Menjerat pinggangku dengan tali dan membawaku ke sini…”
Si cowok menatap wajah renta di depannya. “Orang renta , pasti kamu orang yang telah menolongku…” Datuk Sipatoka tidak mengangguk juga tidak menjawab. Pemuda itu lepaskan tali yang menggelung pinggangnya
lalu bangun dan duduk bersandar di dinding jurang. “Aku menyesal kamu menolongku ,” katanya.

Bagian 3

Datuk Sipatoka melengak. Kening mengernyit dan mata memandang tak berkesip pada insan paku di depannya. Jelas kakek ini berusaha menekan amarah mendengar kata-kata cowok itu.
“Seharusnya saya sudah bebas di alam kematian. Karenanya saya tidak perlu mengucapkan terima kasih padamu. Aku benci lantaran kamu telah menyelamatkanku!”
Datuk Sipatoka keluarkan bunyi menggereng di tenggorokannya. Semula beliau hendak membentak marah.
Bagaimana ada insan begini aneh?! Tidak tahu diri telah ditolong diselamatkan dari kematian malah membencinya dan tak mau berterima kasih! Tidak jadi murka , Datuk Sipatoka malah tertawa gelak-gelak hingga bunyi tawanya terdengar hingga ke sisi jurang sebelah timur dan menciptakan Kunti Rao yang ada di dalam goa dongakkan kepala seraya bertanya-tanya. “Ada apa di sebelah sana hingga si renta bangka sialan itu tertawa begitu rupa?! Jangan-jangan beliau sudah gila!”
Datuk Sipatoka delikkan mata kemudian berkata. “Tidak ada yang minta kamu harus berterima kasih. Kalau kamu merasa menyesal masih hidup , silakan kamu lihat ke bawah. Jurang masih dalam. Kawah mendidih dan batubatu runcing siap menunggu. Kalau kamu memang mau mampus , jatuhkan saja dirimu kembali!”
Kini si cowok yang jadi terkesiap. Datuk Sipatoka angkat kakinya ke arah tubuh si cowok dan menciptakan gerakan siap untuk mendorong. “Kalau kamu kini jadi takut bunuh diri biar saya bantu mendorong tubuhmu semoga jatuh ke dasar jurang!” kaki kanan sang datuk bergerak.
“Tunggu!” si cowok cepat berseru. Tangan kanannya diangkat. Datuk Sipatoka terkejut. Tangan yang menahan telapak kakinya itu laksana watu karang kokoh yang tidak bisa digoyangkan.
“Hemmm…. , insan aneh ini agaknya bukan orang sembarangan. Dia mempunyai tenaga dalam tingkat tinggi.
Buktinya , sanggup menahan tekanan kakiku!”
Datuk sipatoka batuk-batuk beberapa kali kemudian turunkan kakinya. “Anak muda aneh. Coba terangkan siapa dirimu. Mengapa menentukan mati daripada hidup. Lalu saya juga kepingin tahu mengapa keadaanmu mirip ini.
Kurasa setan di neraka pun tidak seseram dan seburuk dirimu ini!”
Orang yang ditanya memandang ke dasar jurang kemudian pandangannya ditujukan pada dirinya sendiri.
Setelah itu diangkatnya kepalanya berpaling pada Datuk Sipatoka. “Namaku Sandaka. Aku insan sesat yang jatuh ke tangan Dewi Ular. Menjadi budak nafsu dan budak kekuasaannya. Dia ingin menguasai dunia persilatan dengan memperalat diriku…”
Datuk Sipatoka manggut-manggut beberapa kali. Lalu beliau tertawa. “Kalau kamu dijadikan budak nafsu itu pasti lezat ya?! Ha… ha… ha…!”
Meski diejek , Sandaka diam saja.
“Kalau kamu diperalat untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi di rimba persialatan berarti kamu mempunyai kepandaian luar biasa. Aku memang pernah mendengar nama Dewi Ular. Makara kamu orangnya yang diperalat untuk membunuh beberapa tokoh persilatan…”
“Lebih jahat dan keji dari itu. Dia juga menyuruhku membunuh kekasih , calon istriku. Dia juga yang memerintahkan saya membunuh guruku Eyang Gusti Kelud Agung…”
“Astaga! Kau rupanya tak kepalang sesat! Tapi mengapa semua itu mau saja kamu lakukan?!” tanya Datuk Sipatoka.
“Aku terjebak! Masuk dalam perangkapnya sesudah darahku terkontaminasi oleh racun jahat yang ada dalam cairan tubuhnya…”
“Gila! Baru sekali ini kudengar yang mirip ini!” seru Datuk Sipatoka. “Mengapa kamu jatuhkan diri ke dalam jurang? Mengapa sengaja mencari mati? Siapa yang memantek tubuhmu dengan paku mirip ini? Lalu kulihat ada paku aneh berwarna kuning pada kepala kemaluanmu!”
“Panjang ceritanya… Biar kujelaskan singkat-singkat saja ,” jawab Sandaka. “Aku menentukan mati lantaran merasa tak ada guna lagi hidup. Dosaku sedalam lautan setinggi puncak Merapi. Aku menganggap kalaupun saya mati , saya bisa mati dengan puas. Karena sebelumnya saya berhasil membunuh Dewi Ular dan menendangnya masuk ke dalam jurang…”
“Ah! Tadi saya mendengar jeritan perempuan. Aku juga melihat ada sosok tubuh jatuh. Makara Dewi Ular sudah tamat riwayatnya…” Sandaka mengangguk.
“Kau belum menceritakan mengapa kepala , muka dan sekujur tubuhmu hingga ke kaki dipantek dengan paku mirip ini…”
“Seorang sakti berjulukan Datuk Bululawang yang melakukannya. Paku-paku ini bukan paku sembarangan.
Berjumlah tigapuluh dan terbuat dari baja putih murni! Datuk Bululawang melakukannya lantaran dengan paku-paku ini beliau sanggup melumpuhkan sekaligus menguasai diriku! Maksudnya sama kejinya dengan tujuan Dewi Ular. Ingin memperalat diriku untuk menguasai dunia persilatan. Tapi tidak kesampaian.
Beberapa tokoh silat menghajarnya hingga babak belur. Keadaannya entah mati entah masih hidup.
Kusumpahi semoga beliau memang sudah jadi bangkai ketika ini!”
Datuk Sipatoka geleng-geleng kepala. “Makin renta umur dunia ini makin macam-macam abnormalitas terjadi!”
Dia memandang ke bawah perut Sandaka. “Paku berwarna kuning itu…” katanya seraya menunjuk pada potongan tubuh Sandaka sebelah bawah yang tersingkap. “Kelihatannya buka paku biasa… Sinarnya sinar logam murni…”
“Ini paku emas. Paku yang menciptakan diriku higienis dari racun jahat cairan Dewi Ular. Sekaligus menciptakan musnahnya ilmu kesaktian yang kudapat darinya…”
“Apakah Datuk Bululawang juga yang menancapkan paku emas itu di alatmu?”
Sandaka menggeleng. “Seorang cowok sakti bergelar Pendekar 212 yang melakukan…”
“Dia bukan cowok sembarangan…”
Sandaka mengangguk. “Dia mempunyai senjata mustika berupa kapak bermata dua. Dengan senjata itu saya mencabik-cabik tubuh Dewi Ular. Aku merasa mirip berhutang budi padanya… Hanya sayang saya tidak mempunyai ilmu kesaktian lagi.”
“Kau masih mempunyai dasar tenaga dalam yang hebat Sandaka. Aku… Hemmm…” Datuk Sipatoka usapusap kepala botaknya yang berwarna biru.
Sebelumnya , Sandaka mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di benak seseorang.
Namun sesudah tubuhnya ditancapi paku emas , kemampuan itu ikut lenyap bersama musnahnya kesaktian yang didapatnya dari Dewi Ular.
“Kau masih muda. Memiliki dasar ilmu silat yang jarang dimiliki orang lain. Dengar Sandaka , saya akan menggemblengmu di tempat ini. Kelak kamu akan jadi jagoan hebat kembali , walau tidak sehebat ketika kamu berada di bawah efek Dewi Ular. Kalau itu kejadian. saya butuh bantuanmu untuk menghadapai seseorang…”
“Kau punya musuh besar rupanya. Siapa dirimu kalau saya boleh tahu? Siapa pula yang jadi musuhmu?” tanya Sandaka.
“Aku dipanggil orang dengan sebutan Datuk Sipatoka. Nama yang hampir tidak dikenal dalam dunia persilatan. Tapi ketahuilah. Sebagian rimba persilatan ketika ini sudah ada dalam tanganku… Aku hanya menunggu waktu dan menyingkirkan seorang nenek gendut sialan yang mendekam di sisi jurang sebelah barat. Namanya Kunti Rao , bergelar Iblis Daun Setan. Nah kini apakah kamu masih ingin bunuh diri?”
“Kau telah tolong menyelamatkan diriku dari kematian. Walau saya masih merasa tidak ada gunanya hidup , namun mengingat budi baikmu saya bersedia membantumu menghadapi Iblis Daun Setan. Tapi… apa saya bisa menjadi jagoan hebat mirip yang kamu bilang?”
“Jangan khawatir Sandaka. Aku akan buktikan dan nanti kamu akan lihat sendiri hasilnya!” jawab Datuk Siptoka seraya tepuk-tepuk pundak cowok itu. Sambil menepuk beliau kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh Sandaka mirip diguncang tapi tetap duduk tersandar. Orang lain mungkin sudah terjerembab roboh.
Datuk Sipatoka menyeringai. Diam-diam beliau merasa gembira mendapatkan cowok ini. “Satu hal yang harus segera kamu lakukan Sandaka , cepat cabut paku emas yang menancap di kemaluanmu itu!”
Sandaka ulurkan tangan kanannya. Jari-jarinya mencengekeram kepala paku emas. Terasa sangat panas.
Pemuda ini kerahkan tenaga. Sekali tarik saja paku emas itu tercabut dari tempatnya menancap.
Bersamaan dengan itu secara aneh paku yang tadinya berwarna kuning menjelma hitam.
“Racun jahat benar-benar telah terkuras habis dari tubuhmu. Buktinya paku emas telah berubah hitam.
Tidak beda mirip paku besi biasa…” kata Datuk Sipatoka pula. Sandaka tarik nafas panjang kemudian berkata , “Satu paku berhasil dicabut. Tigapuluh lagi masih menancap di kepala , muka dan tubuhku. Apakah bisa kusingkirkan dengan jalan mencabutnya datuk?”
“Jangan terlalu berani bertindak anak muda. Paku-paku itu bukan benda sembarangan. Lagipula kulihat menancap hingga jauh di dalam tubuhmu. Ada saatnya benda-benda itu bisa kita singkirkan. Kelak kalau sepasang keris sakti di dasar jurang itu sudah kumiliki , mencabut paku-paku celaka itu hanya satu urusan simpel mirip membalik telapak tangan…”
“Sepasang keris sakti di dalam jurang? Datuk , apa maksudmu?”
“Pertanyaanmu tidak akan kujawab sekarang. Harap kamu bersabar hingga saya merasa tiba saatnya untuk menerangkan padamu…” jawab Datuk Sipatoka.
Bagaimana kisah Dewi Ular dan Sandaka jatuh kemudian masuk jurang watu pualam , kita kembali dulu pada apa yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Seperti dituturkan dalam episode I (Dendam Manusia Paku)

Dewi Ular mengajak Pendekar 212 Wiro Sableng ke tempat kediamannya , yakni sebuah bangunan terbuat dari watu pualam terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan terhampar sebuah jurang yang berdasarkan pandangan mata dalamnya sekitar enampuluh kaki. Tetapi bergotong-royong jurang ini mempunyai kedalamannya lebih dari seratus duapuluh kaki.
Di bangunan watu pualam , Dewi Ular sengaja memancing murid Eyang Sinto Gendeng untuk membuktikan kejantanannya. Sebaliknya , kesempatan ini dipakai oleh Wiro untuk menancapkan paku emas ke pusar wanita itu. Begitu paku menghujam dalam ke pusar Dewi Ular , serta merta ilmu kesaktian wanita yang dianggap setengah insan setengah iblis ini menjadi punah.
Walaupun demikian ketika Wiro bertindak lengah Dewi Ular berhasil menendang perut sang pendekar.
Selagi beliau terkapar , Dewi Ular berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang terjatuh di lantai bangunan. Saat itulah Sandaka si insan paku tiba-tiba muncul di tempat itu. Dia berhasil menguasai senjata mustika. Dengan kapak sakti ini beliau kemudian membabat tubuh Dewi Ular dua kali berturut-turut hingga luka besar mengerikan terkuak di pundak kiri dan dada wanita itu.
Dalam keadaan luka parah bersimbah darah , di tepi jurang Dewi Ular berusaha minta pertolongan Wiro.
Namun Sandaka bertindak lebih cepat. Sekali tendang saja tubuh wanita itu terpental dan jatuh ke dalam jurang. Setelah jeritan Dewi Ular lenyap di dalam jurang , kesunyian mengerikan menggantung di tempat itu. Sandaka mengembalikan kapak sakti ke Wiro , kemudian memutar tubuh melangkah ke tepi jurang.
Wiro cepat menangkap apa yang ada di kepala cowok itu. Dia mengejar tapi terlambat. Sandaka lebih dulu menjatuhkan dirinya ke dalam jurang watu pualam.
Selagi Wiro tegak termangu-mangu di tepi jurang , tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang berpakaian serba ungu yang ternyata yakni Anggini , murid Dewa Tuak. Setelah tahu apa yang terjadi , Anggini yang merasa keadaannya seakan-akan terkatung-katung lantaran baik Wiro maupun Eyang Sinto Gendeng sebegitu jauh tidak memberikan gejala kepastian mengenai perjodohan mereka memandang ke langit. Udara kelihatan mendung berat.
“Satu malapetaka besar telah lewat…” berucap Anggini. Dia masih memandang ke langit di atasnya.
“Sebentar lagi agaknya akan turun hujan lebat. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro…”
“Kau pergilah duluan. Di kaki bukit watu tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau. Tunggu saya di sana …”
“Kuda ini cukup kuat untuk kita tunggangi berdua…” ujar sang dara pula.
Wiro tersenyum. “Agaknya rasa jengkelnya terhadapku sudah lenyap. Hemmm… kalau begini tanpa disadarinya beliau memperlihatkan perilaku baik dan mesra…” membatin murid Sinto Gendeng. Lalu pada Anggini beliau berkata. “Kau lihat sendiri , tubuh dan pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan , nanti saya menyusul…”
Anggini mengangguk. “Kulihat tubuh dan pakaianmu memang kotor. Dari mana kamu sanggup pakaian aneh itu? Mau-mauan menggunakan pakaian perempuan…”
“Hanya pakaian ini yang kutemui ketika berhasil keluar dari sarang Dewi Ular , sesudah guruku Eyang Sinto Gendeng menghancurkan tempat itu…”
“Pakaianmu boleh aneh dan kotor. Namun satu hal saya tahu… hatimu bersih…”
Wiro tertawa lebar. “Untuk kebanggaan itu saya akan pergi bersamamu hingga di mana pun juga!” kemudian Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke atas kuda , duduk di belakang Anggini.
Hanya beberapa ketika saja sesudah sepasang muda-mudi itu meninggalkan tepi jurang dan mulai menuruni lereng bukit , dari balik sebuah watu besar seorang lelaki separuh baya , berpakaian ringkas warna hijau dengan sebilah pedang pendek tersisip di pinggangnya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Agaknya ia tidak sempat melihat tragedi jatuhnya Dewi Ular dan Sandaka ke dalam jurang. Bilamana beliau bisa menyelinap di balik watu besar tanpa Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini mengetahui , terang lelaki berpakaian hijau ini mempunyai kepandaian tinggi.
Orang ini menyelinap di antara batu-batu besar di bebukitan hingga kesannya hingga di satu tempat yang agak rata. Di tempat ini kelihatan sembilan orang tegak mengelilingi sebuah tandu. Delapan di antaranya mengenakan pakaian prajurit kerajaan. Mereka bertugas sebagai pengusung tandu secara bergantaian.
Orang kesembilan yakni seorang renta berjanggut dan berambut kelabu. Tidak mirip yang lainnya , orang renta ini kelihatan asyik membaca sebuah kitab bertuliskan huruf-huruf kuno. Melihat bentuk dan warna kitab tersebut agaknya berusia puluhan tahun.
Di atas tandu beratap ijuk , duduk seorang lelaki bermuka pucat mengenakan jubah glamor berwarna merah pekat. Pada dada kirinya tersemat sebentuk hiasan emas berupa lambang agung keraton. Delapan orang prajurit dan dan orang yang duduk di atas tandu segera berpaling begitu lelaki berpedang muncul.
Sebaliknya , orang renta berambut kelabu terus saja membaca kitab sambil berdiri seolah tidak memperdulikan keadaan dan orang-orang sekitarnya.
Lelaki berpedang dan berpakaian ringkas hijau menjura di hadapan orang yang duduk di atas tandu.
“Pangeran Ipong Nalakudra , saya tiba memberi laporan.”
Ternyata lelaki bermuka pucat berpakaian merah pekat itu yakni seorang pangeran. Dia anggukkan kepala kemudian berkata. “Beritahu hasil pengintaianmu…”
Lodaya Surakali , lelaki separuh baya segera menjawab. “Murid nenek sakti Sinto Gendeng dan murid kakek berjuluk Dewa Tuak itu memang benar saya lihat berada di dekat jurang watu pualam. Tak usang saya hingga di sana mereka segera berlalu. Saya menaruh syak wasangka penuh keduanya memang mengetahui kalau sepasang keris Nagasona terpendam di dasar jurang. Mereka pergi begitu saja mengambarkan belum saatnya mereka turun ke dalam jurang guna mengambil kedua keris sakti tersebut…”
“Atau mungkin mereka pergi lantaran belakang layar sudah mengetahui kahadiranmu di tempat itu. Mereka pergi hanya sekadar berpura-pura…” kata Pangeran Ipong Nalakudra.
Lelaki berpedang gelengkan kepala. “Saya dengar mereka bicara hendak pergi ke satu tempat.”
“Jadi kamu tahu ke mana mereka pergi?” tanya sang pengeran.
“Mereka pergi ke sebuah dangau di kaki bukit. Saya yakin keduanya hendak bermesraan di tempat itu…”
Pangeran Ipong Nalakudra tersenyum. Sesaat mukanya yang pucat tampak kemerahan. “Bagaimana kamu bisa yakin mereka hendak bermesraan?”
“Saya tahu , antara keduanya terjalin kekerabatan khusus semenjak lama. Dangau di kaki bukit satu tempat sepi.
Perlu apa sepasang muda-mudi pergi ke sana kalau bukan hendak bercumbu?”
“Lalu apa yang hendak kamu lakukan kini Lodaya? Kita sudah melaksanakan perjalanan hampir lima hari.
Tubuhku sangat letih. Kurasa semua orang yang ada di sini juga sudah kecapaian!”
“Saya mengerti pangeran. Kalau pangeran suka , harap kembali saja ke kotaraja. Saya akan melanjutkan pengintaian seorang diri hingga kesannya mengetahui kapan mereka akan turun ke jurang watu pualam mengambil dua keris sakti itu.”
“Ingat Lodaya , mereka dihentikan lepas. Tidak boleh lolos! Kalau mereka berhasil mendapatkan sepasang senjata mustika itu dan kamu tidak berhasil merampasnya , berarti saya akan cacat seumur hidup! Dan kegagalanmu itu harus kamu bayar mahal Lodaya!”
“Saya tahu betul Pangeran Ipong ,” jawab Lodaya Surakali. “Percayalah , mereka tak akan lolos dari tangan saya…”
Orang renta berjanggut dan berambut kelabu di samping tandu yang masih asyik membaca kitab renta batukbatuk
beberapa kali. Pangeran muka pucat berpaling pada si orang tua. Begitu juga yang lainnya , termasuk Lodaya.
“Ki Sepuh Dulantara ,” menegur Pangeran Ipong. “Dari tadi kamu berdiam diri saja. Apa kini ada yang hendak kamu katakan?”
Orang renta itu membungkukkan badannya sedikit pada Pangeran Ipong Nalakudra. “Pangeran , saya mana berani bicara kalau tidak diminta. Saat ini saya hanya akan membaca apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Petunjuk Kuna ini.” si orang renta arahkan pandangannya pada kitab yang dipegangnya. Lalu beliau mulai membaca.
“Bilamana Bintang Kelimukus muncul di langit malam , itulah satu mengambarkan terbukanya satu rahasia besar mengenai sepasang keris sakti berusia lebih dari dua kurun terpendam di dasar jurang watu pualam , di satu tempat di mana tidak sembarang orang bisa mengetahui. Air mendidih di dasar jurang akan surut dan kering secara ajaib. Di antara dua celah watu runcing akan kelihatan dua sinar mencuat ke atas menembus tanah dan bebatuan. Sinar merah kehitaman berasal dari keris jantan. Sinar kuning kehitaman itulah dari keris betina. Barang siapa menguasai kedua keris itu , maka beliau akan menjadi raja diraja ilmu pengobatan , akan menjadi raja diraja dunia persilatan. Pertanyaan kini kapan dan siapa yang tahu ketika munculnya Bintang Kelimukus yang konon hanya memperlihatkan diri di langit sebelah tenggara sekali dalam tujuhpuluh tahun.
Petunjuk dalam buku ini tidak akan ada artinya kalau insan tidak mempergunakan akal. Karena itu…”

Bagian 4

Bacaan Ki Sepuh Dulantara belum selesai , tiba-tiba di langit yang ketika itu gelap oleh awan mendung berkiblat cahaya kilat , disusul menggelegarnya guntur. Bukit watu itu bergetar keras. Selagi semua orang yang ada di situ terbalut oleh kejut dan rasa ngeri , tiba-tiba di ketika yang bersamaan berkelebat satu bayangan disertai bunyi mendesis keras. Selarik asap kuning menyambar kearah orang renta berambut dan berjanggut kelabu itu.
Sebagai orang berkepandaian tinggi dan mempunyai segudang pengalaman , Ki Sepuh Dulantara maklum kalau asap kuning yang menyambar ke arahnya mengandung racun jahat. Cepat orang renta ini menyingkir ke kiri.
Tangan kanannya menghantam ke depan. Selarik angin dahsyat menderu. Asap kuning eksklusif buyar berantakan. Namun ketika itu pula terdengar seruan Ki Sepuh Dulantara. Kitab Seribu Petunjuk Kuna terlepas dari tangannya. Salah satu halamannya robek. Seseorang telah merampas kitab yang sangat berharga itu!
Dalam kejut yang amat sangat Ki Sepuh Dulantara , Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong Nalakudra serta semua yang ada di situ melihat seorang wanita tegak di tempat agak ketinggian. Dialah yang telah merampas kitab berharga itu lantaran kini kitab itu tampak berada dalam kepitan tangan kirinya.
Perempuan ini tidak bisa disebut muda lagi. Namun walau masih berusia agak lanjut , wajahnya menyatakan bahwa di masa muda , paling tidak hingga beberapa tahun sebelumnya , beliau mempunyai paras yang sangat cantik. Dia tegak dengan menyeringai. Barisan giginya tampak rata dan bercahaya. Dia mengenakan pakaian berbentuk kemben terbuat dari kain halus. Dadanya yang besar menggembung , seharusnya tampak putih menggairahkan. Tetapi tidak bagi semua mata pria yang ada di tempat itu.
Penyebabnya lantaran di lehernya yang jenjang bergelung seekor ular berwarna hitam belang kuning. Di kepalanya beliau mengenakan sebentuk mahkota terbuat dari sosok ular hijau yang telah dikeringkan.
“Ratu Ular!” seru Ki Sepuh Dulantara dengan bunyi bergetar begitu mengenali siapa adanya wanita di hadapannya. Mendengar nama yang disebutkan itu , yang lain-lain jadi tercekat. Lodaya Surakali melirik pada Pangeran Ipong kemudian memberi tanda bahwa kemunculan Ratu Ular di tempat itu membawa satu ancaman besar. Yang terang , beliau sudah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna.
Perempaun di hadapan Ki Sepuh Dulantara tersenyum. “Bertemu cuma satu kali , itu pun sepuluh tahun silam. Ternyata kamu masih mengenali diriku!”
“Orang hebat berkepandaian tinggi , menggetarkan tujuh penjuru angin , siapa yang tak kenal padamu Ratu Ular?” sahut Ki Sepuh Dulantara.
Ratu Ular tertawa tinggi. Dia melirik pada Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong Nalakudra kemudian berkata.
“Seorang pangeran hingga jauh-jauh berada di tempat ini , tentu ada sesuatu yang luar biasa dan sangat penting. Ki Sepuh Dulantara , bisakah kamu menerangkan mengapa kalian berada di sini?”
“Ah , Ratu Ular bicara jumawa. Sebagai orang berkepandaian tinggi , tentu kamu sudah menyerap kabar dan tahu apa lantaran kami berada di sini. Nyatanya kamu sendiri berada di sini…”
“Orang renta , saya suka perilaku bicaramu. Tapi saya tidak suka menyembunyikan sesuatu. Aku kemari untuk mencari jejak muridku Dewi Ular. Dia tidak kutemukan. Tapi saya merasa bersyukur lantaran sekali pun tidak bertemu muridku namun bisa mendapatkan kitab hebat ini…” sahut Ratu Ular pula.
Pangeran Ipong melihat gelagat yang kurang baik ini cepat memasuki pembicaraan. “Kami di sini dalam rangka mencari sejenis obat yang kabarnya bisa menyembuhkan kedua kakiku yang lumpuh…”
“Oh , begitu…?” Ratu Ular memperhatikan sepasang kaki Pangeran Ipong yang tertutup jubah merah.
“Sayang sekali saya tak bisa membantu menemukan obat itu. Sayang juga saya tidak punya banyak waktu.
Aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk buku yang kamu berikan ini!”
“Ratu Ular , tunggu!” berseru Ki Sepuh Dulantara.
Perempuan berkemben kain halus itu berpaling. “Orang renta , ada sesuatu yang hendak kamu sampaikan?”
“Kitab itu , saya tidak merasa pernah memberikannya padamu!”
“Ah , begitu? Mungkin kamu lupa?”
“Ki Sepuh Dulantara benar!” berkata Pangeran Ipong dari atas tandu. “Kami semua di sini tahu dan melihat.
Dia tidak pernah memberikan kitab itu padamu. Kau merampasnya!”
“Oh , begitu?! Aku merampasnya?!” ujar Ratu Ular , kemudian tertawa panjang. “Bukan main! Kalau begitu betapa jahatnya diriku! Padahal saya bergotong-royong sudah sangat berbaik hati pada renta bangka buruk rambut kelabu ini!”
Paras Ki Sepuh Dulantara tampak berubah. Kalau orang lain bicara begitu padanya pasti sudah dilabraknya.
Tapi maklum kalau beliau berhadapan dengan orang berkepandaian sangat tinggi dan populer ganas , maka beliau berusaha bersikap sabar. “Berbaik hati bagaimana maksudmu Ratu Ular?”
“Berbaik hati lantaran saya hanya merampas kitabmu , tidak ikut merampas nyawamu!”
Ki Sepuh Dulantara hingga tersurut satu langkah mendengar ucapan Ratu Ular. Di atas tandu , PAngeran Ipong memberi tanda pada Lodaya Surakali. Lelaki separuh baya berpedang pendek ini segera maju ke hadapan Ratu Ular. “Ratu Ular , Pangeran meminta padamu semoga segera mengembalikan kitab itu…”
“Hemmm… siapa kau?” tanya Ratu ULar dengan perilaku memandang rendah walau hatinya tertarik juga melihat kegagahan wajah lelaki ini.
“Aku Lodaya Surakali. Biasa dipanggil dengan gelar Pendekar Pedang Pendek. Aku bekerja untuk Pangeran Ipong.”
“Jadi kamu orang keraton. Bagus , katakan pada pengeranmu mengapa beliau tidak bisa bicara sendiri padaku meminta kitab ini?”
“Sudahlah , mengapa hal itu menjadi urusan. Aku mohon kitab itu diserahkan padaku. Itu merupakan salah satu benda pusaka keraton.”
“Kalau ini merupakan benda pusaka keraton , mengapa bisa berkeliaran di luar. Jangan-jangan pangeranmu telah mencurinya untuk kepentingan sendiri!”
“Ratu Ular!” teriak Pangeran Ipong dari atas tandu. “Kau tak layak tahu perihal segala hal menyangkut kitab itu. Yang penting lekas serahkan pada orangku kemudian angkat kaki dari sini…”
“Pangeran lumpuh! Kalau saya tidak mengembalikan kitab ini kamu mau berbuat apa?!” tanya Ratu Ular dengan wajah mengejek.
“Jangan terlalu sombong Ratu Ular. Aku bisa memerintahkan penangkapan atas dirimu. Jangan hingga kamu menyesal seumur-umur!” jawab Pangeran Ipong sementara Ki Sepuh Dulantara yang telah banyak siapa adanya Ratu Ular tampak berdiri gelisah.
Ratu Ular tertawa panjang mendengar kata-kata sang pangeran. Pangeran Ipong jadi habis kesabarannya.
“Lodaya! Ambil kitab itu , kalau beliau melawan , bunuh!”
Dalam hati Ki Sepuh Dulantara mengeluh cemas. “Pangeran belum tahu tingginya tingkat kepandaian wanita itu. Juga belum tahu keganasannya. Aku harus cepat mencegah sambil mengatur siasat…”
Orang renta berambut kelabu cepat bergerak mendekati LOdaya Surakali. Tapi orang yang berjuluk Pendekar Pedang Pendek sudah keburu berkelebat. Tubuhnya menjelma bayangan hijau warna pakaiannya.
Tangan kirinya mendorong ke arah pundak Ratu Ular sedang ajun menyambar ke arah kitab dalam kepitan tangan kiri.
Ratu Ular keluarkan tawa melengking. Dia hanya tegak bertolak pinggang. Sedikit pun tidak bergerak.
Yang menciptakan gerakan justru ular besar belang hitam kuning yang bergelung di lehernya. Binatang ini mendesis keras kemudian gelungannya terlepas dan tubuhnya menyambar ke arah Lodaya Surakali. Kepalanya mematuk cepat ke arah muka lelaki berjuluk Pendekar Pedang Pendek ini.
Semua orang yang menyaksikan melengak tegang. Mereka melihat bagaimana patukan ular tiba lebih cepat dari gerakan dua tangan Lodaya Surakali yang berusaha memukul pundak lawan dan merampas kitab.
“Binatang jahanam!” maki Lodaya. Dia terpaksa mencari selamat. Sambil merunduk , tangan kanannya bergerak cepat mencabut pedang pendek di pinggang. Lalu “Wuuuuttt!” sinar putih pedang yang terbuat dari besi bercampur perak murni menyambar disertai deru angker. Sekejap lagi putuslah leher ular hitam belang kuning itu.
Tapi apa lacur. Yang terjadi malah kebalikannya. Bukan ular itu yang celaka , namun Lodaya Surakali yang terdengar menjerit keras. Pedang perak terlepas dari genggamannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk menekap mata kiri yang kini telah jebol mengucurkan darah akhir patukan ular besar. Sekali lagi orang ini menjerit kemudian lututnya menekuk. Sesaat kemudian tubuhnya roboh tergelimpang. Kulit di sekujur tubuhnya , mulai dari muka hingga ke ujung kaki kelihatan menghitam akhir racun ular!
Ratu Ular menyeringai , memandang pada Pengeran Ipong kemudian pada Ki Sepuh Dulantara. Kitab masih berada dalam kepitan tangan kiri , sedang ajun dipergunakan untuk mengusap-usap kepala ular besar yang ketika itu kembali bergelung di lehernya. “Ada lagi yang kepingin cepat-cepat menghadap Raja Akhirat?!” tanyanya. Tak ada yang berani menjawab. Juga tak ada yang berani bergerak.
Hujan turun rintik-rintik tak usang sesudah Wiro Sableng dan Anggini tiba di dangau di kaki bukit batu.
“Kurasa ada abnormalitas ketika Dewi Ular jatuh ke dalam jurang batu…” Wiro membuka pembicaraan sambil memperhatikan pakaian yang dikenakannya , yaitu pakaian wanita yang didapatnya sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kediaman Dewi Ular.
“Keanehan apa maksudmu?” tanya Anggini.
“Jurang watu itu dari atas kelihatannya cuma sedalam enampuluh kaki. Tapi pandangan mata bisa salah lantaran bergotong-royong dasar jurang lebih seratus kaki…”
“Itu abnormalitas yang kamu maksudkan?”
Wiro menggeleng. “Waktu wanita itu jatuh beliau menjerit keras. Namun bunyi jeritannya mendadak lenyap pada kedalaman yang saya yakin belum mencapai dasar jurang. Sesuatu terjadi dengan dirinya…”
“Bisa saja beliau jatuh pingsan selagi melayang jatuh. Atau kepalanya membentur watu jurang…” kata murid Dewa Tuak pula.
“Dugaanmu yang pertama mungkin saja. Dugaan kedua kurasa tidak , lantaran dinding jurang lurus hingga ke dasar. Aku khawatir kalau sesuatu terjadi dengan dirinya…”
“Hemmm , kamu mengkhawatirkan dirinya. Justru itu yang aneh!”
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Bukan khawatir apa. Yang saya khawatir kalau-kalau beliau tidak mati.
Ada yang menolong…”
“Hantu atau setan jurang?”
Wiro tak bisa menjawab. Dalam hati beliau tetap saja mencicipi ada sesuatu.
“Daripada membicarakan wanita itu , lebih bagus kamu menceritakan padaku bagaimana kamu bisa mengenakan pakaian wanita mirip ini?”
“Ah! Ini…” Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala. Dia merasa tidak ada perlunya menyembunyikan apa yang terjadi antara beliau dan Dewi Ular di bangunan watu pualam. Anggini
mendengarkan dengan wajah bersemu merah.
“Gila! Itu pekerjaan yang paling berat dalam hidupku! Kalau saya tidak dibebani kiprah mahabesar , mungkin bukan paku emas itu yang saya tancapkan pada tubuhnya!”
Anggini memalingkan wajahnya mendengar kata-kata Pendekar 212. Dalam hati beliau berkata. “Tabiatnya masih tidak berubah semenjak dulu. Bicara seenaknya…”
“Eh , mengapa kamu memalingkan muka dan tiba-tiba jadi diam saja?” tanya Wiro sambil mengulum senyum.
“Kau masih untung…” sahut Anggini.
“Untung bagaimana?”
“Waktu gurumu meledakkan sarang Dewi Ular , kamu masih bisa menemukan pakaian walau pakaian perempuan. Kalau di sana tak ada pakaian kamu bisa memperkirakan bagaimana keadaanmu ketika ini…”
Wiro terdiam kemudian tertawa tergelak. “Kau betul! Aku masih untung walau jadi mirip bencong begini! Tapi sudahlah , mengapa kita harus membicarakan wanita ular itu. Kukira ada baiknya kita membicarakan kekerabatan kita…”
Anggini menatap paras si cowok dengan hati bergetar.
“Selama ini kamu mendesakku semoga kita membicarakan soal perjodohan itu. Aku berpikir-pikir sebaiknya kita mempertemukan saja guru-guru kita , biar mereka bicara langsung…”
“Mempertemukan mereka bukan soal gampang. Kalaupun bisa dipertemukan , dua kakek nenek itu bisa saja melantur bicara yang lain-lain…”
“Mereka semakin renta , tentu ada perubahan dalam hati dan jalan pikiran. Kurasa ada baiknya kamu pergi menemui Dewa Tuak , saya menemui Eyang Sinto Gendeng kemudian kita atur waktu dan tempat pertemuan bagi mereka. Kita ikut hadir di sana…”
“Aku berdasarkan saja ,” jawab Anggini.
Wiro tatap paras gadis itu lekat-lekat. Seolah gres menyadari betapa paras Anggini begitu cantik. dihias sepasang mata yang bagus dan bening. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan untuk membelai rambut si gadis. “Mungkin selama ini saya begitu saja melupakannya. Menyia-nyiakannya… Mungkin sudah saatnya saya harus lebih dekat dengannya. Aku tahu betul beliau sangat mencintaiku dan gurunya Dewa Tuak menginginkan diriku jadi suaminya…”
“Apa yang kamu pikirkan…?” bisik Anggini bertanya sambil pegang dan mengusap lengan cowok itu.
“Ada serombongan orang yang mendatangi…”
“Hah! Apa?!” kejut Anggini lantaran lain yang ditanya lain yang dijawab. Dia mengikuti pandangan cowok itu kemudian berpaling ke jurusan yang dilihat Wiro.
Dari arah kaki bukit watu pualam sebelah timur , di bawah hujan rintik-rintik Anggini melihat empat orang prajurit berlari menggotong sebuah tandu. Di atas tandu duduk seorang lelaki berjubah merah. Empat prajurit lagi berlari di samping tandu. Lalu di sebelah belakang mengikuti seorang renta berambut dan berjanggut serba kelabu.
Dalam waktu singkat rombongan itu hingga di depan dangau. Empat prajurit turunkan tandu kemudian bersama empat kawannya yang lain mereka segera mengurung dangau sementara orang renta rambut kelabu tegak rangkapkan tangan di depan dada sambil menatap tajam pada Anggini dan Wiro. Sepasang muda-mudi di atas dangau lepaskan rangkulan masing-masing.
“Siapa mereka?” tanya Anggini.
“Belum bisa kuduga. Kau tetap di sini.” Lalu Wiro melompat turun dari atas dangau.
“Rombongan dari mana tiba ke sini? Apa hendak menyebarkan tempat berteduh? Silakan naik ke atas dangau.
Tapi lantaran dangau kecil , tidak semua kalian bisa naik…” Wiro menegur sambil matanya ditujukan pada orang bermuka pucat berjubah merah di atas tandu. Dia telah melihat aksesori emas yang tersemat di dada kiri orang ini yang menandakan bahwa dirinya seorang pejabat tinggi atau penguasa kerajaan.
Orang renta berambut kelabu angkat tangan kanannya. “Kami rombongan Pangeran Ipong Nalakudra dari Kotaraja ,” katanya. “Kami tiba untuk mendapatkan keterangan kapan Bintang Kelimukus muncul!”
“Eh?! Apa-apaan ini?!” ujar Wiro heran kemudian berpaling pada Anggini. “Sejak kapan saya jadi jago perbintangan?!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng dan kamu juga murid Dewa Tuak Anggini , jangan coba menyembunyikan apa yang kamu ketahui!” kata orang renta berambut kelabu yang bukan lain yakni Ki Sepuh Dulantara.
“Astaga Anggini! Mereka tahu siapa kita!” ujar Wiro lagi-lagi sambil berpaling pada Anggini dan kini malah sambil garuk-garuk kepala.
“Pendekar 212…” Pangeran Ipong yang duduk di atas tandu ikut bicara. “Karena menguntit kalian , kami telah kehilangan seorang anggota! Mati dibunuh Ratu Ular! Makara kuharap kamu segera saja memberi keterangan! Aku memerlukan klarifikasi mengenai Bintang Kelimukus itu!”
“Siapa suruh kalian menguntit kami?! Kalau ada anggota kalian yang menemui maut , itu tanggung jawab kalian sendiri!” Dari atas dangau Anggini mendamprat.
“Murid Dewa Tuak!” membentak Ki Sepuh Dulantara. “Jaga mulutmu! Kau bicara dengan Pangeran Ipong Nalakudra dari keraton!”
Anggini jadi sewot. Dia hendak mendamprat kembali tapi Wiro memberi isyarat. Dia berpaling pada orang yang duduk di atas tandu. “Harap maafkan sahabatku itu. Kalian muncul secara tiba-tiba , menyampaikan telah menguntit kami! Bicara perihal anggota yang mati di tangan Ratu Ular. Lalu menanyakan Bintang kelimukus. Terus terang saja , bisa dikatakan kalian muncul tidak tahu juntrungannya. Tentu saja kami jadi heran. Coba bicara baik-baik biar tidak terjadi salah paham…”
Melihat Wiro bicara lunak , kejengkelan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara jadi mengendur. Orang renta ini lantas berikan keterangan. “Kami menerima petunjuk dan berhasil menyerap kabar bahwa di dasar jurang watu pualam tersembunyi sepasang keris sakti berjulukan Nagasona. Satu betina satunya jantan. Menurut catatan kuna dan silsilah yang ada di keraton , sepasang senjata itu berasal dari tua-tua kerajaan beberapa puluh tahun kemudian yakni dari Kerajaan Singosari.. Selain kedua keris itu yakni milik sah kerajaan , juga mempunyai daya pengobatan luar biasa. Pangeran Ipong Nalakudra menderita lumpuh semenjak usia limabelas tahun. Hanya sepasang keris itu yang bisa mengobati kelumpuhannya…”
“Lalu apa kekerabatan sepasang keris Nagasoma dengan kami?” tanya Wiro.
“Kami yakin kalian mengetahui kapan munculnya Bintang Kelimukus. Karena pada ketika bintang itu muncul di langit , pada ketika itu pula ada petunjuk di mana letak tepatnya dua bilah keris mustika itu…”
“Walah!” Wiro berusaha menahan tawa dan garuk-garuk kepala , sementara Anggini sambil senyumsenyum geleng-gelengkan kepala.

Bagian 5

“Pangeran Ipong , keyakinan kalian tidak berdasar. Kami berdua tidak tahu menahu soal keris Nagasona itu.
Kami…”
“Tapi!” memotong Pangeran Ipong dengan cepat. “Kalian berdua kami ketahui berada di tepi jurang watu pualam. Kalau tidak ada sangkut pautnya dengan senjata-senjata sakti itu , apa perlunya kalian jauh-jauh tersesat ke sana…?!”
“Pangeran , apakah kamu pernah mendengar nama Dewi Ular?” bertanya Wiro.
“Apa sangkut paut wanita jahat itu dengan urusan ini?!” hardik Ki Sepuh Dulantara.
“Justru Ratu Ular , guru Dewi Ular yang telah membunuh salah satu anggota kami!” tukas Pangeran Ipong pula.
“Sudahlah , sekalipun kita bertengkar hingga pagi dan pagi lagi tak ada gunanya. Dengan jujur saya katakan saya tidak tahu menahu perihal sepasang keris Nagasona. Juga tidak tahu kapan munculnya Bintang Kelimukus!”
“Dia berdusta Pangeran!” kata Ki Sepuh Dulantara.
Pangeran Ipong mengangguk. “Siapa percaya pada cowok sableng yang mengenakan pakaian wanita ini! Paksa beliau bicara! Kalau tidak mau memberi keterangan , hajar! Kalau perlu hingga mampus!”
Mendengar ucapan Pangeran Ipong , Anggini eksklusif melompat dari atas dangau. Ki Sepuh Dulantara maju selangkah kemudian berkata. “Kalian membangkang terhadap seruan pangeran! Berarti kalian membangkang terhadap kerajaan! Dengar dua anak muda. Aku akan menangkap kalian secara baikbaik.
Tapi kalau tidak mungkin , jangan menyesal kalau kami menjatuhkan tangan kasar!”
Orang renta ini lantas berikan aba-aba pada delapan orang prajurit. Serta merta mereka yang semenjak tadi memang telah mengurung maju mendekat kemudian menyergap.
“Kasihan! Kalian hanya jadi korban perintah pangeran tolol!” teriak Anggini. Murid Dewa Tuak berkelebat.
Tangan dan kakinya bergerak. Pendekar 212 tidak ketinggalan. Dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Tapi dua tangannya lepaskan dua pukulan kosong.
Enam jeritan mengumandang. Enam orang prajurit berpelantingan dan bergelimpangan di tanah. Tiga kelihatan pegangi perut , dua menutupi mata yang infeksi sedang satunya lagi melompat-lompat kesakitan sambil pegangi tulang keringnya yang kena tendang Anggini dan serasa mau patah!
Dua prajurit yang tidak sempat kena hantaman serta merta mencabut pedang masing-masing. Yang diserang cepat merunduk kemudian menyusup di bawah sambaran pedang sambil menghantam. Kembali terdengar jeritan keras. Dua prajurit mencelat mental. Yang satu muntah darah , satunya lagi menjerit berguling-guling lantaran sambungan siku tangan kanannya hancur dikepruk Wiro Sableng.
Di atas tandu Pangeran Ipong kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke samping. Ternyata di atas dingklik tandu ada sebuah busur kecil serta selusin anak panah. Dengan gerakan cepat Pangeran Ipong mengambil busur itu dan merentang dua anak panah sekaligus! Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dua anak panah melesat di udara. Hebatnya walau lepas dari satu busur yang sama namun dua anak panah itu bisa melesat pada dua sasaran yakni Wiro dan Anggini!
“Anggini awas panah!” teriak Wiro memberitahu. Murid Dewa Tuak tanggalkan selendang sutera ungu yang melilit di lehernya. Sekali selendang ini dikebutkan , kekuatannya berubah mirip sepotong besi.
“Traakk!”
Anak panah yang menyerang Anggini hancur berkeping-keping. Anak panah kedua yang melesat ke arah Pendekar 212 tiba-tiba berbalik dan menghantam ke arah Pangeran Ipong begitu murid Eyang Sinto Gendeng lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Pangeran ini terkejut bukan main. Dengan cepat beliau gerakkan tangan kanannya yang masih memegang busur.
“Traakk! Traakk!”
Busur dan anak panah sama-sama patah tapi sang pangeran sendiri selamat dari senjata makan tuan!
“Pendekar 212 bukan nama kosong!” ujar Pangeran Ipong. “Aku mau lihat apa kamu juga bisa mendapatkan serangan ini!” kemudian dari atas dingklik tandu diambilnya sekaligus delapan buah anak panah. Dengan gerakan luar biasa cepat ke delapan anak panah itu dilemparkannya ke arah Wiro. Delapan anak panah menyerang di delapan potongan tubuh Pendekar 212. Dua di antaranya di potongan kepala dan satu mengarah leher.
“Ganas sekali!” kertak Wiro. Dia melompat ke samping kiri seraya menghantamkan dua tangan sekaligus.
Meski enam anak panah sanggup dibentuk mental namun anak panah ke tujuh menyusup di pundak kiri pakaiannya. Terasa perih tanda ujung panah sempat mengiris daging bahunya. Anak panah ke delapan yang mengarah pinggang tak sempat dielakkan sang pendekar. Sebelum senjata itu menancap telak di tubuhnya dari samping Anggini kebutkan selendang ungunya. Ujung selendang menghantam panah hingga patah bermentalan.
Pangeran Ipong berteriak marah. Dua anak panah yang masih ada di dingklik segera dilemparkan ke arah Anggini. Si gadis tak kalah marahnya Dia keluarkan jurus “selendang ilahi memagut naga menghancurkan matahari.”
Selendang ungu di tangan Anggini memukul lurus ke depan. Bukan saja senjata andalannya ini bisa menciptakan mental dan hancur dua buah anak panah yang tiba menyerang namun di lain kejap hampir tidak terlihat oleh Pangeran Ipong tahu-tahu selendang ungu itu telah menggelung lehernya!
“Kau boleh menciptakan gerakkan konyol apa saja Pangeran! sekali saya menyentakkan tangan tulang lehermu akan remuk!”
Murid Dewa Tuak memang tidak punya maksud membunuh pangeran berkaku lumpuh itu. Maklum kalau si gadis tidak akan mencelakainya maka Pangeran Ipong berteriak pada Ki Sepuh Dulantara. “Kau tunggu apa lagi?! Kau harus dapatkan keterangan dari meeka Bagaimana caranya terserah!”
Ki Sepuh Dulantara memandang tak berkesip pada Anggini , melirik ke arah Wiro. Dia sudah usang mendengar kehebatan cowok ini dan juga tindakan-tindakannya yang menjurus pada kekurangajaran.
Walau beliau menganggap tingkat kepandaian Wiro masih di bawah Ratu Ular namun untuk mencari perkara dengan cowok ini beliau harus pikir dua kali. Apalagi disaksikannya sendiri bagaimana tadi Wiro dan Anggini menghajar delapan prajurit hingga babak belur. Namun sebagai orang yang tunduk pada perintah Pangeran Ipong kalau beliau tidak berbuat apa-apa pasti sang pangeran akan murka besar terhadapnya.
“Pendekar 212 , kami telah meminta secara baik-baik padamu semoga memberi tahu apa yang kamu ketahui perihal kemunculan bintang Kalimukus….”
“Meminta baik-baik dengan menyuruh delapan prajurit itu menyerang kami?!” tukas Wiro.
Anggini menimpali. “Pangeranmu malah menyerang kami dengan selusin panah!”
“Kami masih mau menuntaskan urusan ini secara kekeluargaan. Jika kamu menciptakan jasa pada Pangeran Ipong kuliner kerajaan tidak akan mengingat dan membalas kebajikanmu itu…” ujar Ki sepuh Dulantara pula.
“Kalian telah menjatuhkan tangan jahat! Mana kami mau percaya! Jika mau menganggap urusan selesai sebaiknya kamu gotong pangeramu itu cepat-cepat meninggalkan tempat ini!”
“Ki Sepuh! Lekas kamu beri pelajaran pada cowok kurang didik itu!” teriak Pangeran Ipong. Tak perduli walaupun lehernya masih dijerat selendang beliau gerakkan tangan kanannya ke balik jubah merah. Begitu tangan keluar Anggini melihat sang pangeran menggenggam beberapa buah benda berbentuk bintang kepala enam , terbuat dari besi tipis hitam. Senjata rahasia! Dari warnanya yang hitam terang bintang besi itu mengandung racun.
“Pangeran apa yang hendak kamu lakukan….?” tanya Anggini
“Kau bertanya! Kau boleh mendapatnya lebih dulu!” jawab Pangeran Ipong. Lalu tangan kanannya bergerak ke arah kepala Anggini. Maksudnya tentu saja hendak melemparkan senjata rahasianya itu pada si gadis.
Tapi Anggini yang dari tadi sudah bersikap waspada , apalagi selendangnya masih melilit di leher sang pangeran tentu saja bisa bergerak lebih cepat. Begitu ujung dua jari tangan kirinya menusuk punggung lelaki lumpuh itu , tubuh Pangeran Ipong serta merta kaku. Dia seolah berubah jadi patung dengan tampang mengerenyit sedang ajun terangkat ke atas.
“Anak gadis! Kau melaksanakan kesalahan besar!” teriak Ki Sepuh Dulantara. Orang renta ini melompat ke arah Anggini. Selagi tubuhnya melayang di udara tangan kanannya sudah bergerak mengirimkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Yang diserang tak tinggal diam. Apa yang dilakukan murud Dewa Tuak menciptakan Ki Sepuh Dulantara berteriak kaget. Dia cepat tarik serangannya tapi terlambat.
Pukulan tangan kosong yang dilepaskan orang renta berambut kelabu itu menghantam dada Pangeran Ipong yang tubuh kakunya diangkat oleh Anggini dan dijadikan tameng untuk melindungi dirinya!
Meski dalam keadaan kaku akhir totokan Anggini namun begitu hebatnya hantaman pukulan yang dilepaskan Ki Sepuh Dulantara tubuh Pangeran Ipong tampak menggeliat. Mulutnya menganga mengeluarkan darah!
“Jahanam! Kau membunuh pangeran kami!” teriak Ki Sepuh Dulantara murka sekali. Padahal sang pangeran hanya pingsan. Tidak tunggu lebih usang beliau segera menyerbu Anggini. Murid Dewa Tuak siap menyambut serangan si orang renta namun dari samping ketika itu tiba-tiba saja Pendekar 212 memotong gerakannya. Melihat ada yang berusaha menghalangi serangannya Ki Sepuh Dulantara berbalik dan memukul.
Wiro angkat tangan dan menangkis.
“Bukkk!”
Dua lengan saling beradu. Orang renta rambut kelabu mengeluh tinggi dan terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya yang sakit laksana dihantam pentungan besi. Sebaliknya Wiro sendiri terjajar dua langkah. Ketika diperiksa ternyata lengan kanannya tampak infeksi membiru. Sambil mengurut-urut lengannya yang infeksi Wiro perhatikan Ki Sepuh Dulantara yang masih terbungkuk-bungkuk kesakitan.
Pada ketika itulah selintas pikiran muncul dibenakknya. Meskipun sudah lanjut usia namun orang renta ini masih mempunyai tubuh kokoh dengan perawakan sama besar mirip Wiro.
“Tinggi sama. Besar dadanya juga sama denganku. Pasti ukuran pakaiannya … Hemmm…Mengapa tidak kulakukan?” Memikir hingga di situ murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu segera dekati Ki Sepuh Dulantara sambil tersenyum-senyum.
“Orang renta , apakah kamu akan meneruskan perkelahian?!” Wiro bertanya.
Merasa diejek dengan pertanyaan itu , apalagi Wiro bicara sambil mengulum senyum Ki sepuh Dulantara jadi murka sekali. Anggini sendiri terheran-heran melihat perilaku cowok itu. “Apa yang ada dibenak si konyol itu ,” pikirnya.
“Jahanam! Makan tanganku!” teriak si orang renta kemudian hantamkan satu jotosan ke kepala Wiro.
Yang diserang cepat menghindar. Begitu tangan si orang renta lewat didepannya Wiro segera susupkan satu totokan ke ketiak lawan. Tapi Ki Sepuh ternyata cukup gesit. Begitu berhasil menghindari totokan yang bisa melumpuhkan sekujur tubuhnya itu , si orang renta lancarkan serangan kilat berupa pukulan tangan kiri kanan.
Demikian cepatnya serangan ini hingga yang terdengar hanya bunyi bak-buk-bak-buk. Tubuh jagoan 212 terguncang keras beberapa kali kemudian terpelanting dan jatuh duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit.
Selagi beliau mencoba bangun kaki kanan Ki Sepuh Dulantara tiba menyambar.
“Orang renta , kini giliranku!” teriak Wiro. Dengan salah satu kaki beliau menghantam tulang kering kaki kiri Ki Sepuh Dulantara yang berpijak di tanah.
“Patah!” teriak murid Sinto Gendeng.
“Bukkk!”
Tendangan Wiro mendarat tepat di tulang kering kaki Ki Sepuh Dulantara. Tapi kaki itu tidak patah. Dia hanya terhuyung-huyung sedikit. Malah yang menciptakan Wiro jadi geram ialah sewaktu dilihatnya Ki Sepuh Dulantara memandang padanya dengan seringai penuh ejek.
“Gila! Ilmu apa yang dimiliki renta bangka ini?” ujar Wiro dalam hati. “Tadi waktu bentrokkan lengan terang beliau kesakitan. Rupanya kini beliau mengeluarkan ilmu kebal aneh!” Selagi lawan masih terhuyung-huyung beliau cepat menyergap dan hantamkan empat jotosan di dada orang. Lagi-lagi Wiro jadi terperangah ketika beliau merasa bagaimana empat kali beliau menjotos dada empat kali beliau mirip menghantam tumpukan kapas empuk! Penasaran Wiro lancarkan lagi pukulan keras berulang kali. Kini yang dihantamnya yakni perut orang renta itu. Lama-lama tangannya mirip kesemutan. Dengan muka keringatan dan nafas mengengah Wiro hentikan serangannya ,menatap si orang renta dengan pandangan heran.
“Nama besar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata hanya nama kosong belaka! Aku mau lihat hingga dimana kekuatan tulang belulangmu!” Ki Sepuh Dulantara tutup ucapannya dengan satu gerakan kilat. Tangan kiri mencekal tengkuk sang jagoan sedang ajun mencengkeram pinggang pakaiannya. Tubuh Wiro diangkatnya ke atas diputarnya beberapa kali kemudian dilemparkannya ke arah danau.
“Brakkk!”
Dua buah tiang dangau yang terbuat dari bambu patah lantaran hantaman tubuh Wiro hingga bangunan yang memang sudah agak lapuk itu roboh berantakan.
Wiro tentu saja menderita kesakitan sekujur badannya terutama pada pinggang. Namun yang berteriak justru orang renta berambut kelabu itu. Apa yang terjadi? Ketika tubuhnya diangkat ke atas dan diputarputar beberapa kali , sebelum dilemparkan ke danau Wiro susupkan dua tangannya mencengkeram pundak baju yang dikenakan Ki Sepuh Dulantara. Begitu tubuhnya dilempar beliau cepat merenggut. Akibatnya baju tak berkancing yang menempel ditubuh orang renta terlepas tanggal! Kini Ki Sepuh Dulantara tegak dalam keadaan setengah telanjang dan memaki panjang pendek.
Tenang saja malah sambil senyum-senyum Wiro bangun berdiri kemudian cepat kenakan baju yang berhasil dirampasnya itu.
“Bangsat kamu benar-benar mencari mati berani menghinaku! Lekas kembalikan bajuku!” teriak Ki Sepuh Dulantara marah.
“Kalau kamu punya kemampuan silahkan ambil sendiri!” sahut Wiro. Lalu beliau melompat dan lancarkan tendangan ke arah kaki lawan. Dalam marahnya Ki Sepuh Dulantara bukannya menghindar tapi malah angkat kaki kanannya menyongsong tendangan dengan tendangan!
“Pasti beliau akan mengandalkan ilmu empuk-empuk itu!” pikir Wiro. “Silahkan saja! Kali ini beliau akan kutipu!”
Begitu kaki kanan Ki Sepuh Dulantara melesat ke atas Wiro berkelebat ke samping. Dari samping beliau gunakan ajun untuk mengangkat tumit lawan tinggi-tinggi sambil tangan kirinya mendorong ke arah yang berlawanan.
Akibatnya tak ampun lagi Ki Sepuh Dulantara jatuh tertelentang di tanah. Selagi orang renta itu terhenyak nanar , Wiro pergunakan kesempatan untuk mencengkeram kaki celana panjang yang dikenakan orang renta ini kemudian membetotnya dengan sekuat tenaga.
“Kurang ajar! Hai!”
Apa yang terjadi sanggup dibayangkan. Kalau tadi Ki Sepuh Dulantara hanya setengah telanjang kini orang renta itu benar-benar bugil lantaran ternyata dibawah celananya itu beliau sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Wiro lambaikan celana milik Ki Sepuh Dulantara pada Anggini yang masih tegak dekat tandu kemudian berkelebat ke balik runtuhan dangau. Anggini yang mengerti aba-aba Wiro segera pula berkelebat mengikuti.
“Bangsat , jahanam!” teriak Ki Sepuh Dukantara. “Kembalikan pakaianku! Hei! Kembalikan pakaianku!”
“Aku akan perintahkan pasukan mencari kalian! sekali tertangkap kalian akan tahu rasa” berteriak Pangeran Ipong.
Wiro tidak perdulikan teriakan kedua orang itu. Sambil memegang lengan Anggini beliau terus berlari.
“Lumayan sanggup pakaian. Sekarang saya tidak mirip bencong lagi. Mengenakan pakaian perempuan…”
“Bagusnya pakaian itu kamu basuh dulu. Siapa tahu beliau mengidap penyakit kulit. Kau bisa budukan!” kata Anggini pula kemudian tertawa cekikikan.
Seratus lima puluh hari sesudah jatuhnya Dewi Ular dan insan paku Sandaka ke dalam jurang watu pualam….
Saat itu menjelang sang surya akan karam ke ufuk barat. Di dinding timur jurang yang mulai redup temaram kelihatan satu cahaya kuning bergerak sebat kian kemari seolah seekor kunang-kunang yang terbang melayang. Namun sesekali cahaya itu tampak melesat panjang disertai bunyi bersiur dan membersitnya hawa dingin.
“Bagus sekali! Hebat! Dasar tenaga dalammu jauh lebih kuat dari pertama kali dulu kamu menginjakkan kaki di tempat ini! Tidak percuma saya menggemblengmu. Walau kurang dari setengah tahun tapi saya sudah bisa yakin kamu bakal sanggup menggusur kakek keparat di jurang barat sana! kini saya perlu menjajalmu untuk terakhir kali! Kau sudah siap Dewi Ular?!” Yang bicara yakni si nenek gendut Kunti Rao berjuluk Iblis Daun Setan.
“Nenek guru , tentu saja saya sudah siap! Siapa nyangka berkat ketekunanmu paku emas yang tadinya sudah butut menghitam kamu asah ujungnya hingga kembali ke bentuknya yang asli. Kuning emas berkilat!”
Terdengar bunyi menjawab. Ini yakni bunyi kunti Ambiri alias Dewi Ular. Saat itu kedua wanita tersebut berada di depan goa watu , di lereng barat jurang watu pualam. Demikian terjalnya dinding jurang jangankan bergerak dan menciptakan gerakan-gerakan silat , berdiri saja sangat berbahaya. Sekali seseorang tergelincir pasti akan disambut maut di dasar jurang yang ada kawah mendidih serta puluhan batu-batu lancip. Tapi luar biasanya Dewi Ular justru bergerak kian kemari , memainkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya semenjak seratus lima puluh hari kemudian dari Kunti Rao. Gerak dan jurus-jurus yang dimainkan Dewi Ular memang merupakan ilmu silat langka. Namun yang lebih luar biasa yakni paku hitam yang berada dalam genggaman tangan kanannya.
Paku hitam itu dulu yakni paku emas yang ditancapkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke pusar Dewi Ular hingga wanita setengah insan setengah iblis ini musnah ilmu kesaktiannya yang ganas. Selama puluhan hari Kunti Rao mengasah paku itu ke dinding watu di sekitarnya , berusaha mengembalikan ke bentuk asalnya kuning emas. Namun beliau hanya bisa mengikis lapisan hitam pada ujung runcing paku.
Itupun hanya setengah panjang kuku jari kelingking. Tetapi kesaktian yang keluar dari ujung yang secuil itu sungguh luar biasa!
Dewi ular memegang paku pada potongan kepalanya. Seutas tali diikatkan pada potongan bawah kepala paku.
Selanjutnya ujung lain diikatkan ke lengan wanita itu hingga dalam keadaan bagaimanapun paku itu sulit terlepas dari tangannya.

Bagian 6

“Dewi Ular! harap kamu simpan dulu paku hitam berujung emas itu. Aku akan menjajal tenaga luarmu , gabung dengan tenaga dalam. Keluarkan ilmu gres yang kuajarkan.”
“Saya siap guru!” kata Dewi Ular. Dia cepat menyimpan paku hitamnya kemudian tegak memasang kuda-kuda.
“Lihat serangan!” teriak Kunti Rao. Tubuhnya yang gemuk menyergap ke depan. Rambutnya yang acakacakan berakibat sebat. Dua tangannya menghantam berbarengan.
Dewi Ular geser sedikit ke dua kakinya ke samping. Lalu dengan gerakan tak kalah cepat beliau songsong serangan dua tinju si nenek dengan balas menyerang , mempergunakan ke dua tinjunya pula. Terjadilah hal yang hebat. Empat jotosan saling berada menjadikan bunyi keras. Bukan cuma satu kali. Tapi berulang kali dan dalam gerakan sangat cepat. Dalam waktu singkat saja terjadi saling tabrak jotos sebanyak seratus kali!
“Bagus!” seru Kunti Rao seraya mundur. Dia perhatikan jari-jari tangannya yang kelihatan merah. Hal yang sama juga terjadi dengan jari-jari Dewi Ular. Meskipun merah namun sama sekali tidak cedera. Lecet sajapun tidak.
“Kau boleh ikatkan paku hitam itu kembali ke pergelangan tanganmu ,” kata Kunti Rao. “Dan siap dengan ujian berikutnya!”
Dewi Ular keluarkan paku hitam dari balik pakaiannya kemudian mengikatkan tali paku ke pergelangan tangannya sebelah kanan.
“Lihat serangan!” Kunti Rao kembali berteriak keras.
Tangan kanannya dipukulkan ke arah dada Dewi Ular. Serangan yang dilancarkan wanita gemuk berambut merah berserakan dan mengaku berusia lebih enam puluh tahun itu bukan serangan mainmain.
Jangankan tubuh insan , dinding watu sekalipun sanggup dihantamnya hingga hancur.
Dewi Ular selaku orang yang diserang bukan tidak tahu kalau ancaman maut mengancam jiwanya. Tapi penuh percaya diri beliau bersikap diam. Dia sengaja menunggu. Begitu jotosan Kunti Rao hanya tinggal satu jengkal dari dadanya gres beliau gerakkan ajun yang memegang paku hitam yang ujung lancipnya berwarna kuning keemasan.
Satu sinar kuning menyilaukan menyambar disertai deru dan menghamparkan hawa cuek menggidikkan.
Kunti Rao merasa tangan kanannya mulai dari pundak hingga ke ujung-ujung jari laksana kesemutan.
Tangannya tak bisa maju lagi. Berarti serangannya tak bisa mencapai sasaran yaitu dada Dewi Ular.
Kunti Rao coba memaksa. Sekujur tubuhnya bergetar. Mukanya yang gembrot lembap oleh keringat dan kelihatan sangat merah. Rasa kesemutan lenyap tapi bagaimanapun ia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja beliau tidak bisa menghantam Dewi Ular.
Di hadapannya Dewi Ular walaupun di luar tampak hening namun sebelah dalam tubuhnya terasa mirip diremas-remas. Rahangnya dikatupkan kencang-kencang menahan rasa sakit aneh yang mirip hendak meluluhlantakkan sekujur auratnya. Keringat membasahi badannya.
“Luar biasa! Aku tak sanggup bertahan!” keluh Dewi Ular dalam hati. Dia segera pegang kepala paku hitam.
Ujungnya ia arahkan pada Kunti Rao. Ketika tenaga dalamnya disalurkan ke paku hitam itu , ujungnya yang berwarna kuning emas mengeluarkan sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi mirip angin menderu dibarengi menebarnya hawa cuek menggidikkan.
Kunti Rao menjerit keras ketika sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku menyambar tangannya yang masih terpentang dalam perilaku memukul. Hawa cuek menyerang sekujur badannya. Bersamaan dengan itu tubuh gemuk berbobot puluhan kati itu terpental , terbanting keras ke dinding goa batu. Kunti Rao mengeryit menahan sakit. Dadanya yang besar berguncang turun naik. Dia cepat duduk bersila di lantai watu , atur jalan nafas dan peredaran darah. Sepasang matanya yang sipit terpejam.
“Kau berhasil menguasai ilmu itu Dewi Ular! Kau hebat! Aku puas…. Tapi jangan lengah! lihat serangan!”
Tiba-tiba si gendut berteriak. Tubuhnya yang tadi duduk mirip membal ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya bergerak mencabut empat helai daun besar yang menutupi auratnya.
“Wuttt! Wuuuttt! Wuttt! Wutttt!”
Empat lembar daun lontar mengarah ke arah Dewi Ular. Suaranya laksana elang menyambar. “Bettt! Bettt! Betttt! Bettt!” Dewi Ular acungkan tangan kanannya yang memegang paku. Paku hitam itu kemudian digoyangkan dalam gerakan berputar. Empat lembar daun lontar yang menyerang tampak ikut berputar di udara kemudian berpelanting ke empat penjuru.
“Clep! Clep! Clep! Clep!”
Empat lembar daun itu menancap hingga setengahnya pada dinding watu goa!
Dewi Ular rasakan tengkuknya menjadi dingin. “Dia tidak main-main mengujiku! Terlambat saya menangkis pasti ketika itu saya sudah menjadi mayat!”
“Bagus! Aku senang! tidak sia-sia saya menggemblengmu. Walau dalam waktu singkat tapi kamu sanggup menguasai semua ilmu! Dengan kepandaian itu kamu bisa membantuku menamatkan riwayat Datuk Sipatoka.
Dia akan tahu rasa nanti!”
Dewi Ular ikut duduk dihadapan si gemuk Kunti Rao.
“Guru saya sangat berterimakasih padamu. Bukan saja lantaran kamu telah mengajarkan ilmu kepandaian yang hebat.Tapi lebih dari itu kamu telah mengembalikan hasrat untuk hidup dalam diriku….”
Kunti Rao tertawa lebar. “Kau harus hidup , kamu harus percaya diri. Bukan saja lantaran saya perlu bantuanmu tapi bukankah kamu juga ingin membalaskan dendam kesumatmu pada dua orang cowok itu…?”
Dewi Ular mengangguk. “Saya tidak akan lupakan dua insan jahanam itu. Sandaka…. Pendekar 212.
Tunggu pembalasanku. Kalian akan kubikin lumat! Kalian akan mati hancur , luluh dan tanpa kubur!”
“Satu hal lagi jangan dilupakan. Justru ini yang paling penting! Kita harus mendapatkan sepasang keris sakti Nagasona itu! Itu lambang kekuasaan dunia yang tidak ada duanya!”
Dewi Ular mengangguk. “Jangan khawatir guru. Bila tiba ketika datangnya petunjuk itu , saya rela mengorbankan nyawa turun ke dasar jurang. Menyelam ke dalam kawah mendidih….”
Kunti Rao tertawa panjang. Dia pegang pundak Dewi Ular dan menepuknya beberapa kali. “Kau murid baik!
Baik dan hebat!”
Dewi Ular menggeser duduknya lebih dekat kehadapan sang guru. Kepalanya ditundukkan seakan-akan hendak memberikan penghormatan sebagai ucapan terima kasih. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak ke atas. Perutnya mengempis. Nafasnya sesaat ditahan. Inilah satu mengambarkan bahwa beliau tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Ujung paku yang berada dalam pegangan Dewi Ular memancarkan sinar kuning terang menyilaukan.
Kunti Rao tidak tahu apa yang hendak dilakukan muridnya itu. Mendadak sontak paku hitam telah menancap ditenggorokannya!
“Dew…. Dewi Ular… Apa yang kamu lakukan ini?! Perempuan Jahanam! Dasar insan berhati ular…!”
tampak meringis ganas. Tangannya yang memegang paku ditekannya hingga paku itu menancap semakin dalam ke batang leher Kunti Rao. Darah mengucur membasahi leher dan tubuh sebelah atas si nenek gendut itu , juga membasahi tangan Dewi Ular hingga ke siku.
“Jahanam penghianat!” teriak Kunti Rao. Tangan kanannya diangkat tapi beliau tak bisa melaksanakan pukulan. Sepasang matanya yang sipit kelihatan membesar sedikit dan berwarna kemerahan. Mulutnya dibuka. Lidahnya terjulur. Nafasnya mulai sesak.
Dewi Ular terus mengumbar tawa. “Kunti Rao…” katanya eksklusif menyebut nama orang yang biasanya dipanggilnya dengan sebutan nenek atau guru itu. “Kau insan sakti paling kolot di dunia. Setelah tahu apa yang terpendam di dasar jurang ini , apa kamu kira cuma kamu seorang yang ingin memilikinya? Apa cuma kamu seorang yang ingin jadi raja di raja dunia persilatan? Semua orang menginginkan kedudukan itu.
Termasuk aku! Hik…hik…hik!”
“Jahanam! Perempuan jahanam!” maki Kunti Rao. Tapi suaranya mendadak jadi perlahan bahkan menghilang. Matanya yang sipit semakin merah , bergerak liar. Lidahnya ikut bergerak. Lalu semuanya itu berhenti bergerak. Dadanya yang tadi turun naik kini diam. Sesaat kemudian kepalanya terkulai ke kiri.
Dewi Ular tersenyum. Perlahan-lahan paku hitam dicabutnya dari tenggorokan wanita gemuk itu.
Asap biru keluar mengepul dari luka bekas tusukan. Dewi Ular mengumbar tawa kemudian bangun berdiri , keluar dari dalam goa.
Di depan goa Dewi Ular menghirup udara segar dalam-dalam. Saat itu senja telah memasuki malam.
Udara di dalam jurang watu terasa sangat sejuk. Dewi Ular timang-timang paku yang tergantung di pergelangan tangan kanannya. Dalam hati beliau berkata. “Aku hanya tinggal menunggu munculnya bintang Kalimukus itu.
Kunti Rao bicara banyak perihal bintang dan sepasang keris di dasar jurang. Aku pasti bisa mendapatkan dua senjata mustika itu. Hemm… begitu saya mendapatkannya pertama sekali akan kucari dua insan terkutuk itu. Pendekar 212 Wiro Sableng , Sandaka… kalian tak bakal bisa lolos dari tanganku!”
Dewi Ular goyangkan paku hitam di tangan kanannya. Selarik sinar kuning melesat menyilaukan kemudian lenyap dalam kegelapan malam.
Lalu beliau ingat pada jenazah Kunti Rao yang ada dalam goa. “Mayat itu harus disingkirkan dulu sebelum busuk!” Dewi Ular cepat masuk ke dalam goa. Dia membungkuk untuk mencekal kaki wanita gemuk itu kemudian menyeretnya ke luar goa. Tapi gres saja ia memegang kaki sebelah kiri tiba-tiba kaki kanan Kunti Rao melesat.
“Bukkk!”
Dewi Ular terpekik tubuhnya terpelanting ke pintu goa. “Keparat! Belum mati beliau rupanya!”
Sambil menahan sakit di dada kirinya yang kena tendangan , Dewi Ular masuk kembali ke dalam goa.
Saat itu dilihatnya Kunti Rao berusaha bangun berdiri.
“Kau boleh punya tujuh nyawa! Tapi ini akan menamatkan riwayatmu!” Dewi Ular putar paku hitam di tangannya. Ujungnya yang lancip ditusukkan ke kening Kunti Rao. Perempuan gemuk ini menjerit keras.
Darah mengucur deras membasahi mukanya yang gembrot hingga wajahnya menyeramkan mirip muka setan. Sebelum tubuhnya jatuh terkapar tangan kanannya masih bisa bergerak mencabut dua lembar daun lontar. Lalu “bet…bet!” Dua lembar daun itu laksana lempengan besi menyambar ke perut dan kaki Dewi Ular.
“Benar-benar jahanam!” maki Dewi Ular. Paku hitam ditusukkan ke depan. Satu larik cahaya kuning terang menyambar. Dua daun lontar yang menyerang ke arahnya mental dan hancur berantakan. Hancuran daun itu laksana kepingan besi menancap di dinding goa.
Sosok Kunti Rao kembali kelihatan berusaha bangkit. Kali ini Dewi Ular tak mau memberi kesempatan.
Sambil melompat beliau kembali hujamkan paku hitam di tangannya. Sinar kuning kembali berkiblat. Paku hitam kembali menancap di dada kiri Kunti Rao , tepat di detak jantungnya! Kali ini bagaimanapun sakit dan kuatnya wanita bergelar Iblis Daun Setan itu , ketika jantungnya pecah tak ampun lagi nyawanya lepas meninggalkan tubuh!
Di dinding barat jurang watu pualam Datuk Sipatoka sedang berada di depan goa ketika tiba-tiba di arah timur beliau melihat ada cahaya kuning menyambar ke sebelah atas jurang kemudian lenyap dalam kegelapan.
Orang renta berkepala botak biru ini berpaling ke samping.
“Sandaka kamu lihat sinar kuning tadi?!”
Di sebelah si kakek tegak seorang cowok berpakaian kotor. Pakaian ini pemberian Datuk Sipatoka hingga beliau kini tidak lagi mengenakan cawat. Tubuhnya yang penuh tancapan paku kini tertutup namun kepala dan mukanya tidak bisa disembunyikan dari paku-paku yang dipantekkan Datuk Bululawang beberapa waktu lalu. Pemuda ini yakni Sandaka yang semenjak seratus lima puluh hari kemudian berada bersama si kakek di tempat itu.
“Aku melihat. Sinarnya terang sekali kemudian lenyap ,” jawab Sandaka.
“Aneh selama puluhan hari jurang sebelah timur itu sunyi senyap. Tak terdengar bunyi apapun. Lalu malam ini tiba-tiba ada sambaran sinar kuning. Aku yakin sinar itu muncul dari arah depan goa kediaman si kuda nil Kunti Rao. Jangan-jangan beliau telah menemukan satu ilmu baru.”
“Kalau memang begitu berarti kesempatan bagiku untuk menjajal ilmu kesaktian yang telah kamu ajarkan selama ini ,” ujar Sandaka pula.
Datuk Sipatoka terdiam. Beberapa usang beliau melangkah mondar-mandir di dalam goa.
”Datuk , lupakan apa yang kita lihat tadi. Bukankah kamu sudah berjanji malam ini kita akan mengadakan latihan hingga pagi?”
“Mungkin tak jadi. Hatiku tiba-tiba saja kacau balau…. Hai! Kau dengan bunyi sesuatu Sandaka?” tanya Datuk Sipatoka seraya memandang ke arah timur jurang.
“Seperti bunyi jeritan…”
Datuk Sipatoka mengangguk. “Jeritan perempuan. Malam celaka! Aku tak bisa melihat apa yang terjadi di sana!”
“Kalaupun siang sama saja. Sejak beberapa minggu ini jurang tertutup kabut tebal. Kita tidak bisa melihat apa-apa ,” kata Sandaka.
Selagi dua orang itu terdiam dan kesunyian mencekam mendadak lapat-lapat di kejauhan terdengar bunyi sesuatu.
“Sandaka! Dengar! Ada sesuatu yang jatuh ke dasar jurang!”
“Tubuh manusia! Aku yakin tubuh manusia!” kata Sandaka seraya mementang mata berusaha menembus kegelapan malam.
Sesaat kemudian jauh di bawah sana , dalam kegelapan terdengar bunyi sebuah benda mencebur ke dalam air jurang yang mendidih laksana air kawah gunung berapi.
“Bagaimana kamu bisa yakin itu tubuh manusia…?” Datuk Sipatoka usikan pertanyaan.
“Kalau watu pasti akan menjadikan bunyi berdentang dan gaung keras serta panjang di dasar jurang.
Jadi tak bisa tidak yang barusan jatuh itu yakni tubuh manusia….”
“Otakmu cerdas! Aku sependapat denganmu. Tapi…” Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya.
“Menurutmu siapa yang jatuh ke dasar jurang itu? Si kuda nil Kunti Rao?”
“Di jurang sebelah timur sana cuma ada satu manusia. Kunti Rao. Lantas apa mungkin ada orang lain?”
Datuk Sipatoka usang termenung. Akhirnya beliau berkata. “Sebentar lagi kita akan tahu siapa yang barusan kecebur ke dasar jurang!”
Lalu kakek botak ini melangkah ke dekat tubir jurang. Memandang tepat-tepat ke arah dinding jurang sebelah timur dan berteriak sambil kerahkan tenaga dalamnya.
“Kunti Rao! Puluhan hari kamu mendekam membisu! Apa kamu masih hidup?!” Teriakan Datuk Sipatoka bergaung melantun beberapa kali di dinding jurang. Lalu sunyi.
“Tak ada jawaban…” katanya perlahan pada Sandaka. “Jangan-jangan wanita itu memang sudah jadi bangkai di dasar jurang!”
“Biar saya yang memanggil” berucap Sandaka. Pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam dan berteriak.
Suara teriakannya menggelegar dalam kegelapan malam di jurang angker itu , menciptakan Datuk Sipatoka sendiri terkesima kagum.
“Kunti Rao! Orang memanggil mengapa tidak menjawab? Apa tiba-tiba kamu menjadi tuli atau bisu? Atau rohmu sudah gentayangan ketika ini di alam akhirat?! Atau kamu ikut menghadapi kenyataan bahwa Datuk Sipatoka musuh bebuyutanmu masih ada di tempat ini?!”
“Bagus teriakanmu pasti akan membuatnya marah. Kalau insan bertubuh kuda nil itu masih hidup pasti beliau akan menjawab garang!” kata Datuk Sipatoka sambil senyum-senyum.
Di dinding jurang watu pualam sebelah timur Dewi Ular yang gres saja melemparkan jenazah Kunti Rao ke dalam jurang pasang pendengaran , kerenyitkan kening.
“Menurut Kunti Rao di sebelah barat sana memang ada seorang kakek musuh bebuyutannya berjulukan Datuk Sipatoka. Tapi barusan saya terang mendengar teriakan dari dua bunyi yang berbeda. Berarti ada dua orang di tempat itu.”
Di dinding barat Datuk Sipatoka memandang pada Sandaka. “Tak ada jawaban…” katanya. “Berarti memang wanita itu sudah menemui ajal! Mati di dasar jurang…”
“Perlu kita uji dulu Datuk…” jawab Sandaka. Lalu cowok itu melangkah lebih dekat ke pinggir jurang.
Kedua kakinya dikembangkan. Aneh , sesaat kemudian potongan perutnya mirip ada cahaya.
“Goa di dinding timur itu terlalu jauh Sandaka. Bagaimanapun hebatnya kesaktian paku dan tingginya tenaga dalammu , kamu tak bakal mampu….”
“Kita coba dulu Datuk. Paling tidak untuk menciptakan wanita itu kaget!” sahut Sandaka pula. Habis berkata begitu beliau hentakkan kaki kanannya. Batu di sepanjang pinggiran sungai bergetar keras.
Bersamaan dengan itu dari selangkangan Sandaka melesat sinar kuning menyilaukan , berkelebat ke arah jurang sebelah timur di mana Dewi Ular berada. Perempuan ini terkejut sewaktu belum usang beliau melihat sinar di kejauhan tiba-tiba sinar itu sudah menyambar di samping kiri goa , membuatnya cepat menyingkir ke kiri.
Dinding watu yang barusan kena sambaran cahaya kuning kelihatan biasa-biasa saja. Tidak berubah warna ataupun bentuknya. Tapi ketika beliau mengulurkan tangan meraba potongan yang terkena sambaran cahaya tadi , Dewi Ular jadi berdebar. Lapisan luar dinding watu itu ternyata telah gugus , hancur menjadi pasir.
“Kunti Rao! Sayang kamu sudah mampus rupanya!”
Dewi Ular melengak ketika kembali dari arah dinding jurang sebelah barat terdengar bunyi teriakan.
Perempuan ini tak bisa lagi menahan hatinya. Maka diapun kerahkan tenaga dalam dan berteriak.
“Datuk keparat! Makara kamu masih hidup! Kukira sudah dimakan cacing batu! Hik… hik… hik….!”
“Ada bunyi teriakan!” ujar Sandaka.
“Betul! Tapi itu bukan bunyi Kunti Rao!” kata Datuk Sipatoka terheran-heran.
“Berarti disana juga ada dua orang…” kata Sandaka.
“Kau bukan Kunti Rao! Mana wanita itu! Aku hanya mau bicara dengannya!” teriak Datuk Sipatoka.
“Manusia sepertimu tidak layak bicara dengan dia! Segala urusanmu cukup sampaikan padaku!”

Bagian 7

“Sialan!” maki Datuk Sipatoka sambil memandang pada Sandaka. Lalu beliau berteriak. “Aku tidak kenal wanita kecoak macammu! Memangnya kamu siapa?!”
“Aku Dewi Ular bekas murid Kunti Rao alias Iblis Daun Setan!”
Datuk Sipatoka dan Sandaka eksklusif melengak kaget. Keduanya hingga tersurut satu langkah dan saling pandang dengan mata melotot.
“Dewi Ular…” desis Sandaka.
“Dewi Ular…” ujar Datuk Sipatoka.
“Tidak mungkin! Mustahil! Benar-benar tidak masuk akal!” kata Sandaka sambil kepalanya dipalingkan ke arah dinding timur jurang watu pualam. “Aku membacok tubuhnya dua kali dengan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Aku juga yang menendangnya masuk ke dalam jurang! Aneh kalau kini beliau masih hidup dan ada di dinding jurang di sebelah sana!”
“Jangan-jangan ini budi busuk Kunti Rao! Mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular. Sengaja hendak menyiasati kita…” Kata Datuk Sipatoka pula.
Sandaka menggeleng. “Aku kenal benar bunyi tadi. Itu memang bunyi Kunti Arimbi alias Dewi Ular….
Manusia jahanam itu kalau memang beliau masih hidup saya bersumpah akan membunuhnya untuk yang kedua kali!”
Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya yang berwarna biru. Tampaknya beliau tengah berpikir keras.
“Kita harus bisa menyingkap abnormalitas ini. Apa yang terjadi dengan Kunti Rao? Bagaimana Dewi Ular tahutahu ada di sana….”
“Memang sulit dipercaya. Jangan-jangan waktu beliau kutendang jatuh ke dalam jurang ada yang menolongnya….”
“Kunti Rao…?” Datuk Sipatoka kembali usap-usap kepala botaknya.
“Biar saya bicara padanya! Biar beliau tahu kalau saya musuh besarnya berada di tempat ini!” kata Sandaka.
“Jangan! Kurasa ada baiknya kamu merahasiakan keberadaanmu di tempat ini ,” kata Datuk Sipatoka cepat.
“Biar saya saja yang bicara!” Lalu Datuk Sipatoka berteriak. Teriakannya diarahkan ke dinding jurang sebelah timur. “Kunti Rao jangan kamu mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular! Apa kamu kira saya takut padamu? Atau kamu sengaja menyiasatiku lantaran sadar tak bakal lolos dari tangaku?!”
Di dinding timur jurang watu pualam terdengar bunyi tertawa melengking.
“Dewi Ular tidak pernah memalsu diri! Kalau kamu punya kemampuan silahkan tiba ke sini!”
“Sialan!” maki Datuk Sipatoka . Tentu saja beliau tidak mungkin tiba ke tempat Dewi Ular berada.
Di samping Sandaka berkata. “Tadi beliau menyebut dirinya sebagai bekas murid Kunti Rao. Tanyakan apa maksudnya…”
Datuk Sipatoka lantas berteriak menanyakan. “Aku Datuk Sipatoka tidak percaya kalau kamu yakni Dewi Ular! Goa di dinding timur itu hanya dihuni oleh Kunti Rao! Lagi pula apa maksudmu menyebut diri sebagai bekas murid Kunti Rao?!”
“Itu bagus! Orang tolol semacammu musti banyak bertanya semoga tidak buta keadaan!” sahut Dewi Ular yang menciptakan Datuk Sipatoka jadi bergerak-gerak pelipisnya dan menggembung rahangnya saking marah.
“Kunti Rao sudah tidak ada lagi di dunia ini! Tubuh kasarnya mendekam di dasar jurang! Kalau kamu untung rohnya mungkin akan menemuimu! Hik…hik…hik…!”
“Apa yang terjadi dengan wanita itu?!” Tanya Datuk Sipatoka berteriak.
“Aku telah membunuhnya!” jawab Dewi Ular yang menciptakan sangat terkejut sang Datuk dan Sandaka.
“Ilmumu memang tinggi. Tapi untuk bisa membunuh Kunti Rao saya tidak percaya!” teriak Datuk Sipatoka.
Bagaimanapun juga kalau Kunti Rao hingga mati maka beliau ingin musuh bebuyutannya itu mati di tangannya.
Di jurang sebelah timur kembali terdengar tawa panjang Dewi Ular. “Tidak percaya itu urusanmu sendiri!
Aku tahu banyak perihal permusuhanmu dengan Kunti Rao. Aku juga tahu banyak perihal sepasang keris sakti Nagasona yang terpendam di dasar jurang ini! Selama saya masih hidup jangan harap kamu sanggup bakal menguasai dua senjata bertuah itu!”
“Kau boleh mimpi Dewi Ular! Kalau tiba saatnya kamu akan berhadapan denganku! Bersiap-siaplah untuk mencari nyawa cadangan!”
“Tua bangka takabur! Kau menyusul akan kupendam di dasar jurang semoga rohmu bias menyusul roh Kunti Rao! Hik…hik…hik…!”
Awal bulan ke tujuh menjelang perayaan besar Sekaten , di daerah bebukitan watu pualam terlihat kesibukan-kesibukan tidak mirip biasanya. Hari pertama satu rombongan besar berkuda dari Kotaraja kelihatan bergerak ke arah selatan dimana terletak jurang watu pualam. Rombongan ini terdiri dari duapuluh prajurit , dua orang perwira muda , seorang perwira tinggi yang mengawal sebuah kereta di dalam mana kelihatan duduk Pangeran Ipong Nalakudra. Lalu disitu jua ada seorang renta berambut dan berjanggut kelabu yang bukan lain yakni Ki Sepuh Dulantara. Di sebelah orang renta ini menunggang kuda seorang nenek berpipi dan bermata sangat cekung. Dia mengenakan jubah hitam yang permukaannya berbulu kasar.
Jubah ini berbentuk aneh lantaran pada potongan ketiak bergelembung. Pada dua ujung lengan mengembang dan pada potongan bawah mekar. Di potongan punggung jubah hitam berbulu ini kelihatan lembaran kain tebal juga berwarna hitam dan berbulu , tidak beda mirip sehelai mantel.
Sepanjang perjalanan beliau tidak pernah bicara. Kedua matanya seolah nyalang terus jarang kelihatan berkedip. Perempuan renta ini yakni sahabat dekat Ki Sepuh Dulantara , dikenal dengan julukan Kelelawar Berjubah Hitam. Pangeran Ipong bergotong-royong tidak suka dengan nenek satu ini. Namun lantaran beliau mempunyai kepandaian khusus maka mau tak mau sang pangeran harus mendapatkan kehadiran si nenek untuk membantu.
Rombongan besar dari Kotaraja ini berhenti kemudian menciptakan kemah tak berapa jauh dari tepi selatan jurang watu pualam.
Hanya beberapa ketika saja sesudah Pangeran Ipong hingga di tempat itu , dibagian lain dari jurang , terhalang oleh batu-batu besar berkelebat cepat satu bayangan hijau. Demikian cepatnya beliau berkelebat , bukan saja tidak mengeluarkan bunyi tapi kedua kakinya pun seolah tidak menjejak bebatuan di bukit-bukit yang mengelilingi jurang watu pualam itu. Di satu tempat beliau berhenti dan memandang berkeliling. Karena tempat ini agak ketinggian maka beliau bisa melihat keadaan sekitarnya dengan terang , termasuk pinggiran jurang watu pualam yang hanya tinggal belasan tombak saja di bawahnya.
“Tempat ini cukup baik untuk mengawasi keadaan…” kata orang itu dalam hati. Ternyata beliau yakni si Ratu Ular yang kini mengenakan sehelai jubah hijau berkilat diatas pakaiannya berbentuk kemben. Sesaat beliau memandang ke langit pagi yang cerah. “Bintang Kalimukus…” desisnya. “Aku ingin melihatmu lebih dulu dari yang lain-lainnya. Hmmmm… gres rombongan pangeran lumpuh itu yang terlihat di sekitar sini.
Pangeran kurasa nasibmu bakalan jelek. Kau akan lumpuh seumur-umur. Jangan mengharap sepasang keris mustika itu akan kamu dapatkan!” Ratu Ular memandang ke arah selatan dimana Pangeran Ipong dan rombongannya berkemah. “Apa benar banyak yang sudah tahu kalau bintang Kalimukus akan muncul pada malam Sekaten? Aneh , hingga ketika ini saya masih belum menemui jejak Dewi Ular. Dimana anak itu sekarang…?”
Hari ke tiga awal bulan ke tujuh.
Pagi terasa sejuk dan cerah. Di atas sebatang pohon berdaun lebat , tak berapa jauh dari lisan jurang sebelah tenggara , dua orang kelihatan duduk di atas cabang pohon sambil bercakap-cakap dengan bunyi rendah.
“Mungkin kita terlalu cepat tiba ke tempat ini Wiro ,” dara berpakaian serba ungu berkata. Dia bukan lain yakni Anggini , murid Dewa Tuak.
Pemuda yang duduk di sebelahnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng menjawab. “Mungkin benar , mungkin tidak….”
“Maksudmu?”
“Hari Sekaten hanya tinggal satu hari dari sekarang. Kita melihat bagaimana rombongan Pangeran Ipong sudah lebih dulu datang. Lalu tadi kamu bilang mirip melihat ada bayangan hijau berkelebat di sebelah sana.
Aku yakin itu sosok Ratu Ular. Setelah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna rupanya pengetahuannya perihal sepasang keris pusaka itu jadi bertambah. Kalau tidak ingin menguasainya apa juntrungannya beliau muncul di sini…?”
“Kau sendiri mengapa begitu yakin kalau bintang Kalimukus yang jadi petunjuk itu akan muncul pada malam Sekaten?” tanya Anggini.
“Seorang abdi dalem di Keraton yang pernah kuselamatkan jiwanya memberitahu. Katanya satu malam beliau mendengar pembicaraan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara. Mereka yang lebih dulu tahu petunjuk itu dari seorang pertapa di lereng Merapi. Tapi sesudah memberi tahu si pertapa itu juga menyampaikan bahwa beliau akan turun dari pertapaan untuk mengadu nasib mendapatkan sepasang keris jantan betina Nagasona.
Pangeran Ipong yang khawatir keduluan kemudian memerintahkan Ki Sepuh Dulantara untuk menciptakan si pertapa tidak berdaya…”
“Pangeran itu menyuruh bunuh si pertapa?” tanya Anggini.
“Membunuh secara pelan-pelan…” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Membunuh pelan-pelan bagaimana?” Anggini tidak mengerti.
“Pertapa malang itu dirantai tangan dan kakinya kemudian besi diikatkan pada sebatang pohon besar. Sepuluh duapuluh hari beliau bisa bertahan. Tapi kalau hingga berbulan-bulan apa beliau tidak akan mati kelaparan…?”
Sepuluh tombak dari pinggiran jurang watu pualam dua ekor kuda hentikan lari mereka kemudian meringkik keras.
Orang gemuk yang tidur mengorok di atas susunan batang-batang pinang menggeliat. Kepalanya diangkat sedikit. Memandang ke kiri dan ke kanan. Lalu sesudah menatap ke langit beliau bangun dan duduk.
“Ah , sudah hingga kita rupanya…” kata si gendut ini yang bukan lain yakni Si Raja Penidur , dedengkot dunia persilatan yang telah berusia lebih dari seratus delapan puluh tahun. Dia cabut pipanya dengan tangan kiri sementara ajun mengucak-ucak sepasang matanya. “Sialan! Kenapa cepat-cepat sampai! Padahal saya masih ingin tidur! Mimpi-mimpi bagusku tadi jadi terputus! Huahhhhh!” Si gemuk menguak lebar-lebar kemudian hisap pipanya dalam-dalam. “Dua ekor kuda. Kalian tentu keletihan. Kalian boleh pergi kemana saja. Tapi ingat pada ketika saya mau pulang kalian harus ada di sini!” Si Raja Penidur melompat turun dari atas susunan batang pinang. Tali-tali yang mengikatkan batang-batang pinang ke punggung dua ekor kuda dibukanya. Lalu susunan batang pinang itu diturunkan , diletakan di kaki sebuah watu besar.
Sekali lagi si gendut ini hisap pipanya dalam-dalam kemudian rebahkan tubuh di atas batang-batang pinang. Sesaat ketika beliau hendak mengorok tiba-tiba terdengar bunyi orang menegur.
“Kek! Tidak sangka akan bertemu dirimu di tempat ini!”
Si Raja penidur menguap dulu gres buka sepasang matanya. Belum melihat siapa orang yang bicara beliau sudah memaki.
“Mengganggu orang yang sedang tidur bagiku sama dengan memutus daun telingaku! Siapa kadalnya yang berani mencari mati? Sialan! Siapa memanggilku kakek? Aku merasa tidak pernah jadi kakek di dunia ini!”
Si raja Penidur bantingkan kaki kanannya ke batu.
“Braaaaakkk.”
Batu yang terkena bantingan kaki remuk amblas. Kawasan bukit watu sesaat terasa bergetar.
“Kek , maafkan kalau saya mengganggu tidurmu! Aku Wiro Sableng , murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede….”
Si Raja Penidur menggeliat , menguap lebar-lebar kemudian cantelkan pipa panjangnya di sela bibir. Setelah itu perlahan-lahan beliau bangun dan duduk diatas susunan batang pinang. Dua matanya yang kuyu dan selalu tampak mengantuk itu menatap ke depan.
“Ah! Kau rupanya! Pantas! Memang hanya orang sableng yang berani menggangguku! Murid sableng , gurunya gendeng! Cocok! Sudah pergi sana! Aku mau tidur lagi! Sebentar malam ada pekerjaan dan urusan besar di tempat ini! Aku tak mau diganggu…!” Raja Penidur rebahkan kembali tubuhnya yang gemuk luar biasa.
“Harap maafkan Kek. Aku bahagia melihat kamu berada di sini. Kalau saya bisa membantu apa saja saya akan melakukan. Apakah kedatanganmu kemari ada sangkut pautnya dengan sepasang keris sakti yang terpendam di dasar jurang…?”
Raja penidur menguap lebar. “Itu urusan gila! Aku memang tiba kemari untuk melihat orang-orang gila berebutan keris jantan betina itu! Aku tidak mau ikut campur. Hanya ingin menonton….”
“Jauh-jauh kamu kemari hanya untuk menonton?! Aku tidak percaya Kek! Pasti ada penyebab lain… Kalau saja kamu mau menceritakannya padaku…?”
“Dasar sableng! Kau keliwat mendesak. Baik! Aku bilang padamu. Aku kemari lantaran mencium Dewi Ular ada di sekitar tempat ini. Di atas sini beliau tidak kelihatan , baunya tidak tercium. Aku punya dugaan keras beliau ada di dalam jurang! Beberapa waktu kemudian beliau membunuh teman-temanku. Kabarnya beliau juga mencariku untuk menamatkan riwayatku. Kutunggu-tunggu tak pernah muncul. Aku jadi gatal kaki. Lebih baik saya saja yang keluar sarang mencarinya. Perempuan iblis itu perlu diberi pelajaran apa artinya nyawa bagi seseorang. Aku juga mau memperlihatkan bagaimana cara mati yang layak baginya!”
“Hemm… Kalau beliau yang berkata begitu itu agaknya memang Dewi Ular berada di sekitar sini.
Janganjangan masih hidup di dalam jurang sana…” Wiro hendak menceritakan tragedi jatuhnya Dewi Ular ke dalam jurang. “Kek….”
“Sudahlah! Dari tadi kamu ribut saja. Kak kek kak kek! Aku bosan mendengar suaramu. Lagipula saya sangat ngantuk. Kau boleh pergi. Aku mau tidur dulu….”
“Sebentar Kek. Aku…”
Tapi Si Raja Tidur telah picingkan dua matanya. Sesaat kemudian terdengar bunyi dengkurnya panjang pendek tidak berkeputusan. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa garuk-garuk kepala. Akhirnya beliau tinggalkan tempat itu. Kembali menemui Anggini di cabang pohon.
Langit di sebelah barat tampak kemerahan oleh cahaya sang surya yang perlahan-lahan menggelincir ke ufuk tenggelamnya. Suasana di dalam jurang sunyi senyap. Begitu juga di luar jurang seakan-akan tak ada gejala kehidupan di tempat itu. Padahal di beberapa penjuru ada beberapa orang sama menunggu datangnya malam dengan rasa tegang.
Ketika cahaya kuning merah sang surya perlahan-lahan lenyap , orang-orang yang ada di tempat itu merasa datangnya malam mirip merayap. Ketegangan jadi berlipat ganda.
Bola penerang jagad itu kesannya lenyap di sebelah barat. Bersamaan dengan itu suasana berubah mulai menjadi gelap.
Di sebelah selatan lisan jurang semua anggota rombongan Pangeran Ipong tampak semenjak tadi sudah dongakkan kepala memandang ke langit sebelah tenggara.
“Pangeran! Lihat!” tiba-tiba Ki Sepuh Dulantara berteriak menciptakan semua orang kaget dan berpaling padanya. Orang renta rambut kelabu ini menunjuk lurus-lurus ke langit. “Bintang yang kita tunggu-tunggu sudah muncul! Itu! Lihat!”
Semua mata kemudian diarahkan pada jurusan yang ditunjuk si orang tua. Mula-mula mereka belum bisa melihat apa-apa. Namun sesudah memperhatikan dengan pandangan tak berkesiap satu persatu semuanya melihat kemunculan sebuah bintang di langit sebelah tenggara. Bintang ini ketika demi ketika tampak semakin terang. Kilauannya lain dari yang lain yaitu merah di sebelah tengah dan biru pada kelilingnya.
“Kelelawar Berjubah Hitam …” Pangeran Ipong berkata pada nenek yang mengenakan jubah hitam berbulu di sampingnya. “Bintang Kalimukus sudah muncul. Apakah kamu sudah siap…?”
Nenek bermuka dan bermata sangat cekung itu mengangguk. “Saat yang kita tunggu kesannya tiba juga.
Pangeran akan mendapatkan apa yang pangeran inginkan. Kelak kalau pangeran sembuh dari kelumpuhan dan dinobatkan menjadi Raja pengganti Sultan yang ketika ini sudah uzur , harap jangan lupakan diriku…”
Pangeran Ipong mengangguk. “Janji sudah kita buat! Aku Pangeran Ipong Nalakudra tidak akan mengingkari janji. Satu jabatan tinggi akan menjadi hakmu ditambah satu rumah kediaman bagus…”
“Bagaimana dengan pemuda-pemuda gagah kesukaanku?” Tanya si nenek yang rupanya masih doyan daun-daun muda.
“Tak usah khawatir. Kau bakal mendapatkannya!” Jawab Pangeran Ipong Nalakudra dengan menekan rasa jengkelnya. Sebenarnya beliau tidak suka pada nenek satu ini. Kalau tidak terpaksa dan butuh bantuannya beliau tak akan pernah mau bekerjasama dengan orang ini.
Ki Sepuh Dulantara sendiri yang yakni kenalan dekat si nenek kini belakang layar jadi merasa iri. Dia telah mengabdi belasan tahun pada Pangeran Ipong , apa yang didapatnya biasa-biasa saja. Tapi si nenek bergelar kelelawar berjubah hitam itu belum apa-apa sudah dijanjikan jabatan tinggi , rumah serta pemudapemuda gagah.
“Tua bangka cabul!” rutuk Ki Sepuh Dulantara dalam hati.
Nenek muka cekung periksa jubahnya dengan teliti. Mantel hitam di belakang punggungnya dikembangkan beberapa kali hingga mengeluarkan bunyi menderu keras. Lalu dengan langkah tetap beliau berjalan menuju jurang watu pualam. Saat itu keadaan belum gelap betul. Matanya yang cekung masih sanggup melihat dasar jurang. Pada potongan kawah yang ada air mendidihnya terlihat gejolak aneh. Air di dekat jurang itu bercipratan ke atas hingga setinggi tiga tombak. Lalu berhenti dan perlahan-lahan tampak air kawah menyurut seolah ada yang menyedot. Batu-batu runcing bermunculan dimana-mana.
“Keadaan mirip yang diterangkan dalam kitab itu…” kata nenek kelelawar berjubah hitam. “Tapi petunjuk simpulan belum muncul. Aku harus menunggu… Harus menunggu….”
Tiba-tiba mata si nenek kelihatan berkilauan. Di dasar jurang kelihatan dua larik sinar aneh. Mula-mula sinarsinar ini redup saja. Namun perlahan-lahan tambah terang. Sinar di sebelah kiri berwarna merah kehitaman.
Di sebelahnya ada sinar kuning kehitaman.
Nenek Kelelawar Berjubah Hitam menyeringai. Dia kembangkan kedua tangannya. Jubah yang menempel di tubuhnya menggembung lebar. Pada samping kiri dan kanan hingga beliau seakan-akan mempunyai dua sayap sangat lebar. Jubah ikut mekar , begitu juga ujung jubah di potongan kakinya. Di ketika bersamaan mantel di punggungnya ikut menggembung ke atas seakan-akan ada rongga di sebelah dalamnya berisi angin.
Di atas pohon di dalam gelap Pendekar 212 Wiro Sableng tampak gelisah.

Bagian 8

“Kau memikirkan sesuatu?” Tanya Anggini.
“Aku harus mengambil keputusan ,” jawab murid Sinto Gendeng itu.
“Keputusan apa?” Tanya Anggini heran.
Wiro tak menjawab melainkan tiba-tiba saja beliau melompat turun dari cabang pohon “Hai! Kau mau kemana?!” teriak Anggini bertanya.
“Cari tumpangan turun ke dasar jurang!” sahut Wiro. Lalu beliau lari secepatnya menuju tepi jurang dimana nenek berjuluk Kelelawar Berjubah Hitam siap untuk melompat turun.
Saat itu si nenek telah menghambur ke dalam jurang. Jubah dan mantel yang dikenakannya menciptakan tubuhnya laksana seekor burung besar melayang turun menuju dasar jurang. Di ketika ini pulalah Wiro hingga di tepi jurang. Tanpa tunggu lebih usang tanpa ragu-ragu beliau segera melompat.
“Ada orang lari ke arah jurang!” Pangeran Ipong berteriak. “Apa yang hendak dilakukannya! Lekas cegah!”
Lima orang prajurit dan seorang perwira muda segera menghambur. Tak ketinggalan Ki Sepuh Dulantara.
Tapi terlambat ketika itu Wiro sudah terjun. Tubuhnya tampak melayang sebelum kesannya jatuh tepat dipunggung nenek kelelawar Berjubah Hitam Dua orang prajurit di tepi jurang angkat tangan mereka yang memegang tombak. Tapi si perwira muda cepat mencegah. Dia khawatir serangan tombak akan mencelakai si nenek. Ki Sepuh Dulantara sendiri dengan alasan yang sama tidak bisa berbuat apa-apa pula.
“Pemuda kurang didik itu! Dia! Jahanam betul!” si kakek hanya bisa memaki.
“Ki Sepuh! Apa yang terjadi?!” berteriak Pangeran Ipong.
“Celaka Pangeran! Pemuda bergelar jagoan 212 itu! Dia melompati tubuh si nenek , merangkulnya dan ikut terjun ke bawah jurang….”
“Lekas kamu berteriak pada wanita renta itu semoga segera membunuhnya!”
“Saya rasa memang itu yang akan dilakukan Kelelawar Berjubah Hitam. Jurang gelap gulita. Saya hanya melihat sebentar sebelum mereka lenyap ke bawah…”
“Kalau sepasang keris Nagasona itu hingga jatuh ke tangan Pendekar 212 , saya bersumpah untuk membawanya ke tiang gantungan dengan tuduhan perampok besar!” Habis berkata begitu sang pangeran mirip terhenyak di atas dingklik kereta yang didudukinya.
Nenek Kelelawar Berjubah Hitam tentu saja kaget bukan kepalang ketika tahu-tahu ada dua tangan merangkul dadanya yang peot datar.
“Kurang ajar! Siapa kau?!” teriaknya marah.
“Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menumpang terjun hingga ke dasar jurang!” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Keparat kurang ajar!” Si nenek menendang. Tendangannya hanya mengenai tempat kosong. Kini beliau pergunakan ajun untuk hantam kepala orang. Tapi ketika Wiro menangkis dan dua lengan saling beradu si nenek meringis kesakitan.
“Nek , kalau kita terus berkelahi kita bisa celaka sendiri!” teriak Wiro.
“Kau yang celaka! Bukan aku!” teriak si nenek. “Sekarang mampuslah!” Nenek Kelelawar kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Untuk kedua kalinya beliau menghantam kepala Wiro.
“Rupanya kamu tak bisa diajak bersahabat!” kata Wiro pula. Lalu jari-jari tangannya dipergunakan untuk menggelitik dada dan tulang rusuk si nenek. Karuan saja wanita renta yang tubuhnya tidak berdaging lagi itu jadi kegelian setengah mati. Dia berteriak-teriak panjang pendek.
“Jahanam! Hentikan perbuatanmu!” teriak si nenek.
Wiro tidak perduli. Dia terus menggelitik. Kemudian dirasakannya ada cairan panas mengucur membasahi kakinya.
“Gila! Nek , kamu kencing ya?!” teriak Wiro.
“Jahanam! Tutup mulutmu!” balas si nenek sambil tubuhnya bergoyang-goyang menahan geli. Kitikan Wiro rupanya menciptakan si nenek hingga hilang daya tahan dan tak sanggup menahan kencing.
Sementara itu di goa pada dinding jurang sebelah timur Dewi Ular yang berjaga-jaga semenjak sore hari telah pula melihat munculnya bintang Kalimukus di langit sebelah tenggara lebih dulu dari si nenek Kelelawar.
Waktu beliau memperhatikan ke arah dasar jurang yang mulai gelap terang kelihatan dua larik sinar kuning dan merah kehitaman mencuat ke atas.
“Sepasang keris sakti! Di sana rupanya letaknya!” Kata Dewi Ular. Segera beliau mengambil payung raksasa yang dibentuk Kunti Rao. Di luar goa payung serta merta dikembangkan lebar-lebar. Sesaat beliau memandang ke bawah kemudian tanpa tunggu lebih usang wanita ini jatuhkan diri ke dalam jurang. Payung besar yang mengembang kukuh menciptakan tubuhnya melayang turun dengan mantap. Sambil melayang beliau berpaling ke arah dinding jurang sebelah barat. Melihat kalau-kalau Datuk Sipatoka sudah muncul dan melaksanakan sesuatu untuk terjun ke dasar jurang. Namun ketika itu keadaan sudah tambah gelap. Dewi Ular tak bisa melihat dengan jelas.
Selagi beliau melayang turun dengan perasaan lega lantaran merasa yakin beliau bakal dapatkan sepasang keris mustika itu tiba-tiba di sebelah atasnya beliau mendengar bunyi orang murka dan memaki panjang pendek.
Lalu dalam gelap di sampingnya terlihat satu benda melayang jatuh cepat sekali. Ketika benda itu lewat di sebelahnya beliau cepat memperhatikan.
“Ada dua orang terjun ke bawah! Yang satu bergelantungan kepada yang lain…” Dewi Ular jadi tak bahagia hati. Kalau orang lain bisa terjun lebih cepat berarti beliau bisa keduluan dalam mendapatkan dua senjata sakti itu. Perempuan ini jentikkan tangan kanannya dua kali berturut-tirut ke atas.
“Breett! Breettt!”
Payung yang terbuat dari kertas tebal itu robek dan berlubang besar di dua bagian. Robekan ini menciptakan daya tahannya terhadap angin berkurang. Akibatnya daya luncur payung yang digelantungi Dewi Ular itu menjadi lebih cepat. Dia berhasil menyusul jatuhnya dua orang tadi. Begitu saling bersisian Dewi Ular hantamkan tangan kanannya. Lancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
“Nek! Jangan memaki saja! Kita diserang orang!” teriak Wiro.
Suara makian berhenti.
Dua orang yang jatuh deras sadar kalau diri mereka diserang. Yang sebelah depan yaitu si Nenek Kelelawar kebutkan lengan jubah kirinya yang lebar laksana sayap burung raksasa. Satu gelombang angin menderu ke arah Dewi Ular. Orang yang bergelantungan di sebelah belakang yang bukan lain yakni Pendekar 212 Wiro Sableng tak tinggal diam. Tangan kirinya memukul lepaskan pukulan “segulung ombak menerpa karang.” Terdengar bunyi bergemuruh ketika selarik angin laksana angin ribut menghantam ke arah Dewi Ular.
Diserang dua pukulan dahsyat sepeti itu tubuh Dewi Ular bergoncang. Dia menciptakan gerakan jungkir balik dan putar payung besarnya demikian rupa hingga dirinya terlindung dari dua serangan lawan.
“Breettt! Breettt!”
Payung kertas robek besar. Kayu-kayu penahan kertas patah berantakan. Dewi Ular berteriak. Entah kesakitan entah marah. Yang terang beliau cepat pegang paku hitam yang terikat di lengan tangannya. Begitu tenaga dalamnya disalurkan beliau segera gerakkan paku hitam itu. Ujung lancip paku yang kini berwarna kuning emas itu kiblatkan sinar kuning angker.
“Wussss!”
Pendekar 212 Wiro Sableng tercekat melihat cahaya aneh menyambar ke arahnya. Secepat kilat beliau memutar tubuh seraya menarik tubuh si nenek Kelelawar. Sadar apa yang hendak diperbuat orang terhadap dirinya si nenek membentak marah. Sikut kanannya dihantamkan ke kepala Wiro sedang tangan kirinya lepaskan tangkisan berupa satu pukulan mengandung tenaga dalam penuh!
Pendekar 212 merasa kepalanya mirip meledak pecah. Siku kanan si nenek mendarat tepat di pelipis kirinya yang eksklusif menggembung bengkak. Pinggiran matanya robek. Darah serta merta mengucur.
Si nenek Kelelawar Berjubah Hitam mendapatkan nasib lebih jelek. Tangkisannya tak sanggup menahan sambaran sinar cuek kuning yang keluar dari ujung lancip paku hitam di tangan Dewi Ular.
Perempuan renta itu memekik panjang. Sinar kuning paku sakti membelah tubuhnya mulai dari kening hingga ke dada. Sayatan luka mengerikan itu mula-mula kelihatan putih. Lalu perlahan-lahan berubah merah ketika darah membersit dan mengucur keluar. Tubuh si nenek tak ampun melayang jatuh ke bawah tanpa daya penahan lagi. Pendekar 212 ikut amblas. Untungnya ketika itu dasar jurang hanya tinggal dua tombak.
Sebelum tubuh si nenek terhempas dan menancap disebuah lancipan watu murid Sinto Gendeng cepat melompat. Ketika beliau berhasil menjejakkan tanah di dasar jurang yang tanahnya berpasir , orang berpayung hancur yang barusan membunuh nenek Kelelawar hingga pula di dasar jurang. Dua orang ini saling berhadap-hadapan dalam jarak hanya terpisah lima langkah. Dua lari cahaya yang mencuat dari dalam tanah jurang menciptakan tempat itu cukup terang hingga satu sama lain saling melihat dan mengenali “Dewi Ular! Kau…!” seru Pendekar 212 kaget. “Jadi kamu belum mati rupanya!”
Dalam keadaan mirip itu Dewi Ular masih bisa keluarkan bunyi tawa melngking. “Kalau kamu anggap saya sudah mati , maka yang berdiri di hadapanmu ketika ini yakni setan Dewi Ular! Mengapa kamu terjun ke jurang ini?!”
“Kau sendiri ada urusan apa berpayung-payung turun ke sini?” balik bertanya Wiro.
“Bicara denganmu memang menjengkelkan. Aku sudah bersumpah untuk membunuhmu! Tidak sangka saatnya ternyata tiba begini cepat!”
Dewi Ular putar paku hitam yang terikat di pergelangan tangannya. “Pendekar 212!” katanya sambil acungkan paku yang ujungnya kuning. “Dulu dengan paku ini kamu celakai diriku! Kini paku ini pula yang akan merenggut nyawamu! Kau sudah saksikan kematian renta bangka itu! Nasibmu tak bakal beda!”
“Tunggu dulu!” teriak Wiro seraya cepat siapkan pukulan sinar matahari di tangan kanan.
“Orang gagah tapi culas! Sayang sekali maut datangnya tak bisa ditunda!” Dewi Ular tertawa panjang.
Tangan kanannya yang memegang paku bergerak. Larikan sinar kuning berkiblat. Wiro angkat tangannya.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba beliau merasa mirip ada yang mendorong dirinya ke samping kemudian satu sinar yang juga berwarna kuning menyambar ke arah sinar paku yang tengah menyerangnya.
Satu letusan dahsyat menggelegar di dasar jurang. Air dan pasir bermuncratan. Tanah dan batu-batu di jurang bergetar keras. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Dewi Ular jatuh terbanting ke tanah jurang. Di samping mereka kemudian bergedebukan dua sosok tubuh. Yang satu seorang kakek berkepala botak biru.
Satunya lagi seorang cowok berpakaian hitam yang kepala dan mukanya ditancapi paku. Wiro segera kenali cowok ini dan tahu betul si pemudalah yang barusan menolongnya. Si kakek dan cowok rupanya meluncur turun dari atas jurang dengan mempergunakan tali aneh yang panjang dan kuat.
“Sandaka!” seru Wiro.
Pemuda itu tidak menjawab. Sandaka melompat kehadapan Dewi Ular. Kakek kepala botak yang tentunya yakni Datuk Sipatoka memperhatikan Dewi Ular sebentar kemudian balikkan tubuh , melompat ke dasar jurang di mana terlihat mencuat cahaya kuning dan merah kehitaman. Secepat kilat orang renta ini pergunakan kedua tangannya untuk menggali tanah jurang yang gembur itu. Baru setengah jengkal menggali dua larik cahaya terlihat semakin terang. Sang Datuk menggali terus. Pada kedalaman satu jengkal tangannya kiri kanan menyentuh sesuatu. Dadanya berdebar keras. Dia pegang erat-erat dua benda itu kemudian menariknya ke atas.
Mata si kakek menjadi silau ketika dua benda yang dikeluarkannya dari dalam tanah jurang itu ternyata yakni sepasang keris tanpa sarung terbuat dari emas. Satu memancarkan warna merah kehitaman.
Satunya lagi berwarna kuning kehitaman. Itulah sepasang keris mustika sakti Nagasona , satu jantan satu betina!
“Keris Nagasona…! Aku berhasil mendapatkannya!” teriak Datuk Sipatoka. “Sandaka! Lihat!”
Sandaka tidak perhatikan teriakan kakek botak itu. Sepasang matanya tidak berkedip memandang pada Dewi Ular yang ketika itu mencoba bangun sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit. Sandaka sendiri mencicipi aliran darah dan pernafasannya mirip tidak keruan akhir bentrokkan dua kekuatan sakti yang keluar dari paku.
“Kunti Arimbi…” kata Sandaka menyebut nama orisinil Dewi Ular. “Jadi kamu belum mati!”
“Kau sendiri juga belum mampus!” sahut Dewi Ular sambil menyeringai. Hasratnya untuk membunuh Sandaka tidak bisa ditahan. Tapi ketika itu perhatiannya terbagi pada Datuk Sipatoka yang telah berhasil mendapatkan sepasang keris Nagasona. Akalnya bekerja. Di bibirnya yang merah merekah senyum.
Lalu terdengar suaranya lembut.
“Sandaka , dalam keadaan mirip ini apa ada perlunya kita melampiaskan dendam masa lampau? Kau dan saya , masih terbuka jalan bagi kita untuk menguasai dunia persilatan. Jangan khawatirkan keadaanmu.
Dua keris ini sanggup memulihkan tubuhmu semula. Makara ketika ini yang harus kamu lakukan ialah mengambil sepasang senjata itu dari tangan kakek botak itu! Lekas lakukan Sandaka! Ambil dua bilah keris itu…!”
Sandaka Arto Gampito menyeringai. “Masamu menguasai dan memerintah diriku sudah usang berlalu Dewi Ular. Perlakuanmu terhadapku selama ini sangat keji! Kau menciptakan saya buta hingga menumpuk dosa yang tak sanggup saya pikul! Jalan terbaik untukmu yakni menebus semua itu dengan nyawamu!”
Sandaka rentangkan kedua kakinya. Bagian bawah perutnya kelihatan mirip menyala oleh satu cahaya berwarna kuning. Dewi Ular terkejut. Dia cepat pegang paku hitam yang terikat di pergelangan tangan kanannya. Sambil memegang paku beliau melangkah mundur. Tiba-tiba wanita ini membentak keras.
Tubuhnya melesat ke samping.
“Datuk awas!” teriak Sandaka.
Tapi terlambat. Serangan Dewi Ular tiba sangat cepat. Satu tendangan menghantam punggung orang renta berkepala botak itu demikian dahsyatnya hingga tulang punggungnya remuk. Tubuhnya mencelat.
Keris Nagasona di tangan kanannya yakni yang jantan terlepas mental. Dengan cepat Dewi Ular berusaha menyambarnya. Tapi dari samping Pendekar 212 bertindak lebih cepat. Didahului dengan menghentakkan pukulan “sinar matahari” ke arah Dewi Ular beliau melompat menyambar keris Nagasona jantan.
Melihat cahaya putih panas menyambar ke arahnya dengan bunyi menggemuruh dahsyat Dewi Ular terpaksa tarik tangannya yang hendak mengambil keris Nagasona jantan. Penuh murka beliau menciptakan gerakan menusuk dengan paku hitamnya.
Sinar maut berwarna kuning menyambar ke arah Pendekar 212 pada ketika belum lagi murid Sinto Gendeng ini sempat memegang keris Nagasona jantan yang masih melayang di udara.
Pada ketika itulah tiba-tiba menggelegar bunyi wanita dari potongan atas jurang.
“Manusia-manusia tolol! Apa yang kalian buat di tempat ini?!” Suara keras dari atas itu sangat berpengaruh.
Membuat semua orang mendongak dan sama-sama terkesiap. Dalam gelapnya malam , hanya diterangi oleh cahaya keris Nagasona jantan yang masih melayang di udara dan keris Nagasona betina yang masih ada di tangan kiri Datuk Sipatoka kelihatan satu sosok tubuh wanita mengenakan kemben dilapisi jubah hijau berkilat turun ke bawah. Yang menciptakan semua orang hampir tak bisa percaya ialah wanita ini melayang turun dengan berpijak pada tubuh bergelung seekor ular besar warna hitam kuning. Binatang ini keluarkan bunyi berdesis tiada henti. Begitu hingga di tanah jurang tiba-tiba beliau membuka gelungnya.
Kepalanya melesat dua kali. Semua orang keluarkan seruan tertahan. Sesaat kemudian keris Nagasona jantan yang tadi melayang di udara dan keris Nagasona betina yang sebelumnya masih berada dalam genggaman tangan kiri Datuk sipatoka kini tahu-tahu telah berada dalam gigitan ular besar itu!
Ular besar naikkan kepalanya ke atas. Perempuan berpakaian hijau berkilat cepat ambil sepasang keris Nagasona , menciptakan semua orang yang ada di situ jadi terdiam sekaligus geram. Hanya Dewi Ular yang tampak hening sekali bahkan ada senyum tersembul dari bibirnya. Sementara itu ular hitam kuning menjalar di atas tubuh wanita itu.
“Ratu…” panggil Dewi Ular.
Perempuan berbaju hijau yang di kepalanya ada mahkota yang terbuat dari ular yang telah dikeringkan menyapu wajah semua orang yang ada di jurang itu dengan pandangan mata dingin. Lalu tanpa menoleh pada Dewi Ular beliau berkata. “Dewi Ular , lekas melangkah ke sampingku!”
Dewi Ular cepat melaksanakan apa yang dikatakan orang. Begitu berada di sampingnya beliau berkata. “Terima kasih Ratu Ular , kamu bersedia tiba untuk menolongku…”
“Aku tiba bukan untuk menolongmu! Selama ini kamu banyak berbuat lalai. Kalau bukan lantaran perbuatanmu saya tidak bakal kesasar ke tempat ini!”
“Maafkan saya Ratu Ular. Saya mohon ampunmu!”
Dari balik jubahnya Ratu Ular keluarkan sebuah benda berwarna kuning yang ternyata yakni sebuah mahkota kecil dan berbentuk kepala ular. Dewi Ular terkejut melihat benda itu.
“Ini milikmu…?” tanya Ratu Ular.
“Betul Ratu. Mahkota itu jatuh waktu saya…”
“Sudah! Tutup mulutmu! Aku sudah tahu semua yang terjadi. Mendekat padaku!” perintah Ratu Ular.
“Ratu kamu hendak menghukumku…?” tanya Dewi Ular ketakutan. Tapi beliau bergerak juga mendekati sang ratu.
Begitu Dewi Ular berada di sampingnya , Ratu Ular usapkan sepasang keris Nagasona ke pundak dan dada wanita itu.
“Wusss!”
“Wusss!”
Dua kali asap cuek kelabu mengepul dari tubuh Dewi Ular. Ketika asap lenyap Dewi Ular terpekik.
Bukan pekik sakit atau ketakutan. Tapi pekik gembira. Sapuan sepasang senjata sakti itu telah menyembuhkan cacat luka hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 di pundak dan dadanya. Tubuhnya kembali utuh dan mulus mirip semula. Bahkan wajahnya tampak segar berdarah kembali dan tambah cantik.
“Terima kasih Ratu… Terima kasih…” kata Dewi Ular manggut-manggut kemudian jatuhkan diri di hadapan Ratu Ular.
“Lekas berdiri! Saatnya kita tinggalkan tempat ini!” kata Ratu Ular pula.

Bagian 9

Dewi Ular bangun berdiri. Dia memandang pada Datuk Sipatoka , Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sandaka.
“Bagaimana dengan orang-orang ini?” tanyanya pada sang ratu.
Ratu Ular berpikir sejenak kemudian berkata. “Jika beliau mau menjadi hamba sahaya kita , dua cowok itu boleh kamu ajak serta. Yang berkepala botak biru itu hanya merusak pemandangan saja! Aku jijik melihat renta bangka ini.
Harap kamu lekas membunuhnya!”
“Perintah akan saya lakukan Ratu ,” kata Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya yang memegang paku hitam. Paku kemudian ditusukkan pada Datuk Sipatoka. Selarik sinar cuek kuning menyambar. Mendapat serangan maut ini sang datuk tentu saja tidak berlaku ayal. Sambil melompat ke samping beliau dorongkan kedua tangannya. Dua larik cahaya yang juga berwarna kuning menggemuruh menangkis serangan selarik sinar kuning yang keluar dari paku.
“Bummm!”
Tubuh Datuk Sipatoka bergoncang keras. Dari mulutnya keluar darah segar. Dewi Ular belum puas beliau cepat melompat sambil tusukkan paku hitam berujung kuning ke kening orang renta itu. Kini sang datuk tidak bisa lagi selamat dari kematian!
Pada ketika itu dari samping terdengar bentakkan Sandaka. Tubuhnya melesat dan dari selangkangannya di mana tertancap paku hitam yang potongan kepalanya sudah diasah itu menyambar larikan sinar kuning yang lebih besar dari yang sanggup dikeluarkan oleh paku milik Dewi Ular. Karena tidak menyangka akan menerima serangan Dewi Ular hanya sempat berkelit sedikit. Larikan sinar kuning memapas potongan belakang kepalanya.
Dari tempatnya berdiri Ratu Ular yang melihat tragedi itu segera angkat dua keris Nagasona ke atas.
Dia kerahkan tenaga dalam kemudian lepaskan pukulan jarak jauh melewati dua senjata sakti ini. Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Dari tubuh sepasang keris tanpa sarung itu melesat keluar cahaya kuning sangat terang. Dua cahaya ini eksklusif menghantam musnah larikan sinar kuning yang keluar dari bawah perut Sandaka.
Si cowok mencicipi tubuhnya tergontai-gontai. Kalau tak lekas di tolong tubuhnya akan segera digulung serangan lawan!
“Ratu Ular! Aku ingin menjajal kehebatan sepasang keris itu!” Satu bunyi menggeledek disusul dengan berkoblatnya sinar putih menyilaukan serta menghamparnya hawa panas kemudian menggemuruhnya bunyi aneh laksana seribu tawon mengamuk! Itulah sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 yang dihantamkan Wiro ke arah Ratu Ular.
Kalau semua orang merunduk kaget melihat serangan kapak itu Ratu Ular tetap tegak bahkan ganda tertawa. Dia angkat tangan kanannya yang memegang dua bilah keris sakti. Kembali dua larik sinar kuning menggebu.
Pendekar 212 Wiro Sableng menjerit keras. Kapak Naga Geni 212 mencelat mental dari pegangannya.
Dia sendiri kalau tidak lekas jatuhkan diri berlindung di balik satu watu besar yang runcing pasti akan celaka berat! Batu tempatnya berlindung hancur berantakkan tapi Wiro selamat dari serangan maut walau sekujur tubuhnya kotor oleh hancuran watu dan tanah becek di dasar jurang.
“Dewi Ular kamu lihat sendiri! Aku sudah memberi kesempatan pada dua cowok itu untuk ikut kita! Tapi mereka yakni manusia-manusia culas yang tidak bisa dipercaya! Biar keduanya meregang nyawa di tanganku!”
Habis berkata begitu Ratu Ular angkat tangan kanannya kembali. Justru pada ketika itu ada sesiur angin menyambar dari atas. Bersamaan dengan itu ada bunyi sesuatu meluncur di tali yang masih tergantung di dinding jurang. Lalu “buk!” Satu sosok tubuh luar biasa besarnya jatuh berdebam di atas tanah jurang.
Kaki ke atas kepala ke bawah sedang pinggangnya melintang di atas sebuah watu jurang. Luar biasanya walau orang ini jatuh kepala duluan tapi lehernya tidak patah dan kepalanya tidak remuk. Begitu juga punggungnya yang menghantam watu runcing sama sekali tidak cedera. Malah terdengar suaranya mirip menguap.
Lalu ada asap berbau tembakau memenuhi jurang itu. Tak usang kemudian terdengar bunyi orang mengorok keras!
“Raja Penidur!” seru Wiro ketika beliau mengenali siapa yang tergelimpang kaki ke atas kepala ke bawah itu.
“Celaka! Jangan-jangan kepalanya sudah pecah!” Wiro melompat dan cepat memeriksa. “Gila!
Bagaimana beliau masih bisa tidur dalam keadaan mirip ini! Hai! Kek! Bangun!” Wiro guncang tubuh itu. Tapi tubuh gemuk ratusan kati itu tidak bergerak sedikitpun. Tidak kehilangan logika Wiro cabut pipa dari lisan Raja Penidur. Ujung pipa ditusukkannya ke salah satu lobang hidung si gendut ini kemudian dikocok-kocok hingga kesannya Raja Penidur terbangun sambil berbangkis. Wiro cepat selipkan kembali pipa panjang itu ke lisan si Raja Penidur.
“Aku enak-enak tidur mengapa dibangunkan? Sialan betul! Siapa kalian ini orang-orang buruk semua!
Hah?!”
Raja Penidur menggeliat. Lalu dengan gerakkan malas-malasan beliau berdiri sambil bersandar ke sebuah watu lancip berbentuk tiang.
Pada ketika si Raja Penidur menggeliat tadi , Ratu Ular yang tampak ada perubahan besar pada raut wajahnya memberi aba-aba pada Dewi Ular seraya berbisik. “Lekas ikuti aku!”
Dewi Ular hendak bertanya tapi tetapkan untuk diam dan mengikuti saja apa perintah sang ratu.
Namun gres saja keduanya bergerak tiba-tiba sekali sosok si Raja Penidur sudah berada di depan mereka.
“Untari… Kau masih saja berkelakuan macam-macam. Apa kekecewaan masa muda masih menghantui dirimu.”
Semua orang yang ada di tempat itu terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk. Siapa yang berjulukan Untari itu? Lalu mereka melihat bagaimana berubahnya wajah Ratu Ular. Sikapnya memperlihatkan rasa gelisah kalau tidak mau dikatakan takut. Takut pada siapa?
“Raja Penidur , urusan masa kemudian tak perlu diungkit-ungkit…” terdengar Ratu Ular bersuara. Makara dialah yang berjulukan Untari.
“Kalau begitu baiklah. Kau boleh pergi. Tapi ada dua hal harus kamu tinggalkan…”kata Si Raja Penidur pula.
“Hemmm…Apakah itu?” tanya Ratu Ular.
Si Raja Penidur menyedot pipanya dalam-dalam kemudian menghembuskan asapnya ke udara hingga tempat itu disamaki oleh tembakau. Setelah menguap dan mengucak kedua matanya gres beliau menjawab.
“Pertama , serahkan padaku sepasang keris Nagasona itu. Dua senjata mustika itu bukan milikmu.”
“Lalu apakah keduanya milikmu?” tukas Ratu Ular.
“Jelas bukan milikmu. Aku hanya menjadi mediator untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Sebentar lagi utusan si pemilik akan tiba untuk mengambil…”
Ratu Ular tertawa panjang. “Ceritamu lezat sekali didengarnya…”
“Aku tidak bicara dusta. Tidak pernah…”
“Kecuali terhadapku…?”
“Ah , kamu sendiri tadi menyampaikan urusan masa kemudian tak perlu diungkit-ungkit!”
Si Raja Penidur berubah parasnya. Tapi hanya sebentar. “Menurutku ini yakni penyelesaian yang paling baik…”
“Kau belum menyampaikan hal kedua…” Ratu Ular alihkan pembicaraan.
“Hal kedua yang harus kamu tinggalkan di sini yakni wanita muda berjuluk Dewi Ular itu…” jawab Si Raja Penidur.
“Apa keperluanmu dengan dirinya?!” hardik Ratu Ular. “Apa kamu hendak memperlakukannya mirip yang kamu perbuat padaku puluhan tahun silam?!”
“Eh , bagaimana ini…” pikir Pendekar 212 Wiro Sableng sambil garuk-garuk kepala. “Perempuan itu menyebut-nyebut masa puluhan tahun lalu. Memangnya usianya berapa?”
Si Raja Penidur batuk-batuk beberapa kali. Setelah menguap lebar-lebar diapun berkata. “Itu dua permintaanku. Terserah padamu mau memenuhinya atau tidak…”
“Aku ingin tahu apa yang hendak kamu lakukan terhadap muridku Dewi Ular? Jawab dulu itu!”
“Kau tahu apa yang sudah diperbuatnya? Dosanya membunuhi tokoh-tokoh silat tidak bersalah sedalam lautan setinggi langit! Kau kira beliau bisa lolos begitu saja dari hukuman? Mengingat hubunganmu denganku saya bersedia melindunginya dari balas dendam yang mengerikan. Biar saya yang mengatur eksekusi terbaik bagi dirinya….”
“Hemmm begitu? Hukuman terbaik baginya yakni ikut bersamaku. Saat ini kemana saya pergi beliau harus ikut!” kata Ratu Ular pula.
“Terserah padamu. Aku sudah memperlihatkan yang terbaik! Mataku sudah mengantuk. Aku ingin menuntaskan urusan ini sebelum saya tidur lagi….”
“Aku tidak akan memenuhi apa-apa Raja Penidur. Seperti kamu tidak memenuhi apa-apa terhadap diriku!”
“Sayang sekali kalau begitu…” kata Raja Penidur mirip tak acuh. Dia kembali menguap lebar-lebar.
Ratu Ular memberi aba-aba pada Dewi Ular. Kedua orang itu cepat melangkah pergi. Namun gres berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada satu sinar terang melayang turun. Ketika sinar itu mencapai pertengahan jurang semua orang yang ada di tempat itu terkesiap. Yang melayang turun yakni seorang gadis sangat cantik. Sosok tubuhnya menebar busuk harum kembang melati. Dan tubuh ini hanya terbalut segulung kain putih yang sangat halus tembus pandang.
Tenggorokan Pendekar 212 Wiro Sableng tampak turun naik. Matanya memandang tak berkedip. Hal yang sama terjadi juga dengan Sandaka sementara Datuk Sipatoka yang berada dalam keadaan luka jadi lupa diri dan ikut-ikutan menyaksikan pemandangan indah itu tanpa berkesip.
Si Raja Penidur menguap dan tarik pipa dari sela bibirnya. “Utusan yang dinantikan sudah datang. Aku tidak bisa membantumu lagi Untari…”
Untari alias Ratu Ular dan sang murid Dewi Ular sama-sama terkesiap. Gadis manis jelita yang melayang turun tegak di hadapan Ratu Ular. Wiro melihat terang kalau dua kakinya yang bagus dan putih mulus sama sekali tidak menginjak dasar jurang. Kalau tadi beliau begitu terpesona melihat kecantikan dan sosok tubuh si jelita yang hampir polos itu maka kini tengkuknya terasa dingin. Gadis berbalut kain putih halus itu memberi aba-aba pada Ratu Ular kemudian mengulurkan tangannya meminta semoga sepasang keris Nagasona diserahkan padanya.
Ratu Ular melangkah mundur. Tangan kirinya mengusap kepala ular besar yang bergelung di lehernya.
Dia melirik pada murid di sebelahnya kemudian memberi isyarat. Dewi Ular yang tahu aba-aba itu segera siapkan paku hitamnya. Lalu berlangsunglah tiga serangan yang mematikan.
Serangan pertama , ular besar di leher Ratu Ular mematuk ke arah muka gadis jelita. Serangan kedua sambaran sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku yang dilancarkan Dewi Ular. Serangan ketiga ini yang terhebat yakni cahaya kuning besar yang menghampar keluar dari sepasang keris sakti. Manusia biasa , betapapun tinggi ilmunya diserang begitu rupa pasti tak bisa loloskan diri dari kematian. Namun gadis jelita yang tidak berpijak ke bumi itu hening saja. Gerakannya lemah gemulai mirip penari ketika tangan kanannya diangkat dengan telapak terkembang. Tiga serangan yang tiba ke arahnya laksana tersedot masuk ke dalam telapak tangan itu. Binatang itu menggeliat-geliat sesaat kemudian jatuh terkapar di tanah jurang dengan kepala hancur.
Ketika tangan kiri gadis jelita itu ikut bergerak , tahu-tahu sepasang keris sakti Nagasona telah berpindah dari tangan Ratu Ular ke dalam genggamannya!
Seperti orang gila Ratu Ular berteriak keras. Kedua tangannya dipukulkan ke arah lawan yang hanya berjarak dua langkah dari hadapannya. Dari dua tangan itu secara tidak terduga melesat dua senjata berbentuk tombak dengan kepala tombak ibarat kepala ular sendok. Yang diserang kembali angkat tangan kirinya. Kali ini gerakannya cepat sekali. Lalu , “Trak… trak… trak…!”
Bukan cuma dua tombak kepala ular itu saja yang hancur berpatahan , tapi dua tangan Ratu Ular ikut hancur mulai dari ujung jari hingga ke pergelangan tangan. Ratu Ular meraung keras. Dewi Ular , meski bergidik melihat apa yang terjadi mendadak menjadi nekat dan kembali pergunakan dua paku saktinya untuk menyerang. Sebelum larikan dua sinar kuning keluar dari paku itu , si jelita berbalut kain putih ulurkan tangannya.
“Kraaakkk!”
Paku hitam dan tangan kiri Dewi Ular hancur luluh. Seperti sang ratu , dari lisan Dewi Ular terdengar pula raungan menggidikkan. Murid dan guru terhuyung-huyung nanar menahan sakit.
Begitu keduanya saling berbenturan , Ratu Ular berkata , “Dewi , saya rasa tidak ada gunanya lagi hidup dengan derita cacat mirip ini. Ikuti apa yang saya lakukan…”
“Saya mengerti Ratu , Saya siap…” sahut Dewi Ular.
Tidak terduga dan tidak bisa dicegah , Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras sama-sama berlari kemudian hujamkan kepala masing-masing ke dinding watu jurang. Suara kepala mereka yang pecah remuk terdengar mengerikan!
Si Raja Penidur geleng-geleng kepala. Matanya semakin kuyu dan beliau menguap berulang kali. Di sebelah sana , gadis jelita berbalut kain putih tembus pandang palingkan tubuhnya ke arah Si Raja Penidur.
“Terima kasih kamu sudah tiba menjemput sendiri dua senjata sakti. Kau boleh pergi dan membawanya kepada pemiliknya di Pantai Selatan. Hanya saja kalau saya boleh meminta , ketika ini ada dua orang yang menderita sakit di jurang ini. Lalu ada satu lagi di atas jurang sana. Aku mohon kamu mau pergunakan sepasang senjata sakti itu untuk mengobati mereka…”
Si manis yang diajak bicara hanya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu melangkah mirip melayang.
Pertama sekali beliau mendekati Datuk Sipatoka yang menderita luka parah di sebelah dalam akhir bentrokan pukulan sakti dengan Dewi Ular tadi. Sekali saja sepasang keris Nagasona diusapkan ke wajah dan dadanya , maka asap kelabu cuek mengepul. Begitu asap lenyap , kelihatan sang datuk tersenyum. Luka dalam yang dideritanya serta merta sembuh. Dia sanggup berdiri dan cepat menjura pada si jelita sebagai ucapan terima kasih.
Selesai menyembuhkan Datuk Sipatoka , gadis berbalut kain putih mendekati Sandaka. Kembali beliau pergunakan sepasang keris Nagasona untuk mengusap kepala , muka dan tubuh cowok yang penuh ditancapi paku itu.
“Wusss… wusss… wusss!”
Asap kelabu mengepul berbuntal-buntal. Terdengar bunyi benda-benda keras bermentalan , kemudian jatuh ke dasar jurang. Ketika asap kelabu lenyap , kelihatan kepala , muka dan tubuh Sandaka mulus. Puluhan paku yang menancap di kepala , muka dan tubuhnya lenyap dan kini kelihatan bergeletakan di tanah jurang.
Semua orang yang menyaksikan tragedi ini leletkan pengecap saking kagumnya.
Sandaka berbungkuk hampir bersujud untuk memberikan rasa terima kasihnya. “Terima kasih kamu telah mengobati dua orang itu ,” Si Raja Penidur berucap. “Seperti permintaanku tadi , di atas sana ada seorang pangeran menderita lumpuh selama belasan tahun. Mohon kamu mau mengobatinya…”
Gadis yang diajak bicara anggukkan kepala. Dia memandang berkeliling seolah minta diri. Sebelum tubuhnya melayang ke atas , Pendekar 212 Wiro Sableng berseru. “Tunggu , saya juga sakit , tolong sembuhkan!”
Si Raja Penidur cabut pipanya dari sela bibir kemudian membentak. “Anak sableng! Jangan kamu berani macammacam!”
Wiro jadi tersurut garuk-garuk kepala. Si gadis di sebelah sana tersenyum kemudian kedipkan matanya pada sang pendekar. Sesaat sesudah gadis itu melayang ke atas dan cahaya benderangnya lenyap dalam kegelapan malam , Wiro membungkuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi tercampak di tanah.
Lalu beliau berpaling pada Si Raja Penidur.
“Kek , kenapa beliau tak boleh menolongku? Bentrokan dalam perkelahian tadi mengakibatkan sakit di sekujur badanku!”
Si Raja Penidur tertawa mengekeh. “Aku sudah tua. Usiaku lebih dari seratus delapan puluh tahun.
Masakan bocah sepertimu bisa membohongiku. Kau akal-akalan minta diobati padahal bergotong-royong hanya ingin diusap jari-jari bagus gadis itu! Ayo! Jangan kamu berani berkilah!”
Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala.
Datuk Sipatoka melangkah ke hadapan Si Raja Penidur. “Sahabat , kalau tidak ada kamu kami semua di sini tentu sudah menjadi mayat. Aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih.”
Si Raja Penidur hanya mengangguk perlahan kemudian menguap.
“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan. Menyangkut Ratu Ular. Berapa usia wanita itu sebenarnya?” tanya Datuk Sipatoka pula.
Si Raja Penidur geleng-gelengkan kepala. “Aku sudah seratus delapan puluh tahun lebih Perempuan itu hanya terpaut duapuluh tahun di bawahku…”
“Astaga!” ujar Wiro. “Kalau usianya memang seratus enampuluh tahun , mengapa kelihatan beliau masih begitu muda? Seperti hanya berumur empat puluhan…?”
Si Raja Penidur tertawa bergelak. “Perempuan itu punya kepandaian untuk mengubah wajah dan keadaan tubuhnya. Masih untung beliau jadi wanita empat puluh tahunan. Kalau dua puluhan kamu pasti sudah naksir! Ha… ha… ha…!”
“Kek , bagaimana kita keluar dari dasar jurang ini?” tanya Wiro.
“Nah , nah! Kau mulai cemas ingin buru-buru keluar dari sini. Tak usah khawatir. Aku tahu ada lorong rahasia yang membawa kita ke bebukitan di atas sana. Rupanya kamu barusan ingat pada gadis berbaju ungu yang menunggumu di atas sana ya?”
Wiro tertawa lebar. “Kau rupanya sudah tahu segalanya Kek!”
Empat orang itu berjalan beriringan. Si Raja Penidur di sebelah depan , Menyusul Datuk Sipatoka , kemudian Sandaka danh di belakang sekali Pendekar 212 Wiro Sableng. Sambil berjalan , di suatu tempat murid Sinto Gendeng yang suka usil ini ingat sesuatu.
“Sandaka ,” bisiknya memanggil. “Semua paku-paku baja murni yang sebelumnya menancap di kepala dan tubuhmu tercabut mental secara aneh berkat sepasang keris Nagasona itu.”
“Ya , saya sangat berterima kasih pada gadis asing itu. Mungkinkah beliau seorang bidadari…?”
“Anggap saja begitu. Tapi ada hal lain yang ingin saya tanyakan padamu…”
“Apa?”
“Setahuku ada sebuah paku lagi yang menancap di anu-mu! Ingat apa yang saya lakukan padamu dulu?”
“Lalu…?” tanya Sandaka masih tidak mengerti.
“Apakah tadi paku yang satu itu juga sanggup dicabut mental oleh sepasang keris sakti itu?”
Sandaka terdiam. Sesaat kemudian beliau menjawab. “Tentu saja , kurasa begitu…”
“Kau rasa katamu. Agaknya kamu sendiri merasa ragu.”
“Tidak , saya tidak ragu. Aku merasa pasti!”
“Kau bicara begitu tapi nada suaramu terdengar ada kebimbangan… Coba kamu periksa. Pegang anu-mu itu untuk membuktikan bahwa paku itu benar-benar tidak menancap lagi di ‘burung’-mu.”
“Sialan kau!” mengomel Sandaka. “Perlu apa saya memegangnya segala?!”
“Tidak apa-apa , hanya sekadar untuk meyakinkan…”
Diam-diam Sandaka menjadi bimbang juga. Dia memandang ke belakang ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng dilihatnya menyeringai. Akhirnya Sandaka susupkan tangan kirinya ke balik celana panjangnya.
Dia meraba ke bawah perut , kemudian terdengar beliau menarik nafas lega.
“Bagaimana?” tanya Wiro.
“Tidak ada! Paku satu itu tak ada lagi di anu-ku!” jawab Sandaka.
“Syukurlah. Kau kini benar-benar telah jadi insan tepat kembali. Kalau paku itu masih menancap di sana , apa kamu pernah membayangkan gadis mana yang mau kawin denganmu…”
“Sialan! Jalan pikiranmu kotor amat!” ujar Sandaka.
Dalam gelapnya lorong yang mereka lalui Pendekar 212 tak sanggup lagi menahan tawanya. “Anak sableng!”
Si Raja Penidur terdengar mengomel di sebelah depan. “Kalau kamu tak bisa diam , saya lebih baik tidur saja di lorong ini. Kalian boleh menunggu saya bangun hingga berbulan-bulan…”
“Kek , maafkan diriku…” ujar Wiro.
“Apa yang lucu hingga kamu tertawa begitu rupa?!” tanya Si Raja Penidur pula.
“Anu Kek… Maksudku si Anu anu-nya sudah tidak ada anunya lagi. Makara benar-benar sudah anu…” jawab Wiro.
“Dasar anak gila!” maki Si Raja Penidur.
Di sebelah belakang , Wiro dan juga Sandaka setengah mati menahan tawa.
TAMAT

No comments for "Dewi Ular WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"