Dendam Insan Paku WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIR0 SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tit0

EP : DENDAM MANUSIA PAKU

212

GER0BAK yang ditarik kuda c0kelat tinggi besar itu meluncur kencang di jalan kecil menurun berbatu-batu. Lelaki berew0k bertelanjang dada berbadan k0k0h penuh 0t0t dan mempunyai cuma satu mata , menarik tali kekang kuda kuat-kuat. Tapi kuda itu tidak bisa dikendalikan lagi. Semakin ditahan tali kekang , semakin kencang kuda menggerakkan kakinya. Di sebuah tikungan , ger0bak hampir terbalik , pengemudinya nyaris terlempar.

“Kuda jahanam! Aku memang ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!” teriak lelaki bermata satu. Kembali beliau tarik tali kekang. Kepala kuda penarik ger0bak tersentak ke belakang. Dari hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini meringkik keras.
Tapi sama sekali tidak berhenti.
Di balik tikungan , jalan semakin menurun , tambah sempit dan batu-batu besar bergelimpangan menyembul ke permukaan tanah. Beberapa puluh t0mbak di bawah tampak Waduk Sel0rej0. Dalam ekspresi d0minan kemarau panjang. Dalam ekspresi d0minan kemarau panjang waduk itu tak lebih dari sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan pep0h0nan liar serta tebing batu.
“Binatang jahannam ini benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi ger0bak pasti meluncur ke lembah. Aku tidak mau celaka , edan!”
Lelaki di atas ger0bak pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah peti besi ke tiang ger0bak. Hanya sesaat lagi ger0bak itu akan mencebur ke dalam waduk , beliau menyambar peti besi kemudian mel0mpat dari atas ger0bak. Peti besi yang dipegang dengan tangan kirinya cukup berat. Tapi hebatnya , begitu mel0mpat ke udara beliau bisa menciptakan gerakan jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat menjejak sebuah kerikil besar di bibir waduk.
Dari atas kerikil itu beliau melihat kuda dan ger0bak menghambur masuk ke waduk. Salah satu r0danya mental , mel0ncat ke udara di hantam kerikil besar. Kuda besar itu meringkik keras beberapa kali kemudian amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya tersembul melejang-lejang , sebelum kesannya lenyap dari pandangan!
Lelaki brew0kan yang mata kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah menarik nafas panjang peti besi diletakannya di kerikil kemudian beliau duduk di atas peti itu.
“Pemandangan hebat!” tiba-tiba ada 0rang berucap di belakang si brew0k. Lalu terdengar tawa mengekeh. Dia cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia mempunyai kepandaian luar biasa tinggi , bagaimana mungkin beliau tidak mengetahui kemunculan 0rang ini? Jawabnya hanya satu. 0rang itu pasti mempunyai kepandaian lebih tinggi! Lelaki bertelanjang dada ini segera berdiri.
“Aku sudah menunggu lama! Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku tidak suka berbicara mend0ngak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat nanti!” 0rang
yang bicara kembali tertawa mengekeh. Dia yaitu kakek bermata juling yang selalu berputar liar kian kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung erat leher ada sebuah punuk. Kakek ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya beliau memegang sebuah kant0ng kain tebal yang isinya cukup berat lantaran kant0ng itu tampak membuyut ke bawah.
Lelaki di atas kerikil mel0mpat turun , tapi beliau tidak mau terlalu jauh dari peti besi yang diletakkan di atas kerikil itu. “Apakah saya berhadapan dengan kakek sakti penguasa tunggal daerah timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang dari Gunung Welirang?”
Si kekek mata juling menyeringai. “Kalau sudah tahu kenapa tidak segera menawarkan pengh0rmatan pada Yang Mulia?” ujarnya.
“Ah!” lelaki bertelanjang dada menyeringai. Dia usap berew0knya kemudian menawarkan pengh0rmatan.
Kakek yang dipanggil Yang Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata julingnya berputar-putar. “Aku sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja ramp0k besar daerah utara selatan bergelar War0k Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara Selatan?!”
Lelaki mata picak menyerangai. “Nama yang barusan kau sebut itu memang saya 0rangnya yang Mulia!”
“Ah! Akhirnya kita bertemu juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya kesaktian yang tiada tandingan. Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa mempertunjukkan kehebatanmu di hadapanku?!”
“Yang Mulia Datuk Bululawang , waktu kita sempit sekali , Mengapa membuang percuma dengan segala pertunjukan yang tidak-tidak?!”
“Kau betul War0k Patiraja! Tapi bagaimana saya bisa tahu bahwa yang dihadapanku ini benar-benar yaitu War0k Patiraja , 0rang yang menciptakan perjanjian denganku akan menyerahkan sejumlah batang emas untuk sesuatu yang saya miliki dan tengah menjadi incaran puluhan t0k0h dunia persilatan!?” Pada tamat ucapannya , si kakek gerakkan sedikit tangan kirinya yang memegang kant0ng tebal.
Si mata picak menggerendeng dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka diapun berkata. “Kalau itu maumu , harap lihat kerikil di seberang sana…” katanya sambil menunjuk ke arah sebuah kerikil besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak sekitar tiga t0mbak dari tempat mereka berdiri.
Kakek bermata juling putar kepalanya ke arah kerikil besar. Perlahan-lahan lelaki bertelanjang dada arahkan pandangan mata kanannya pada kerikil besar itu. Bibirnya tampak bergetar. Mata kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar bunyi “Wusss” disertai membersitnya sebuah sinar berwarna hitam. “Kraaakk! Byaaarr!”
Batu besar di sebelah sana retak di sembilan tempat kemudian hancur berkeping-keping. “Luar biasa! Benar-benar luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja ramp0k utara selatan!” si kakek memuji sambil geleng-geleng kepala.
“Sekarang giliranku. Buktikan bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang. Manusia sakti yang bisa menjeb0l temb0k kerikil dengan tangan k0s0ng!”
Si kakek tertawa panjang mendengar kata-kata War0k Patiraja itu. “Rupanya kau masih kurang percaya kalau saya memang Yang Mulia Datuk Bululawang!” katanya. Lalu terbungkuk-bungkuk
tubuh pendek berpunuk itu melangkah mendekati sebuah kerikil besar yang tingginya hampir sama dengan tinggi kepalanya.
“Perhatikan baik-baik apa yang akan saya lakukan!” kata si kakek. “aku tidak akan mengulang kedua kali. Apapun yang akan saya lakukan ini jarang kuperbuat dan berlangsung hanya sekejapan mata!” Habis berkata begitu hingga di depan kerikil tinggi , si kakek gerakkan tangan kanannya. Terdengar bunyi “rrrrtttt.” Tangan kanan kanan si kakek amblas masuk ke dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada kerikil tinggi kelihatan l0bang besar yang tembus dari satu sisi ke sisi lainnya!
“Hebat sekali!” memuji War0k Patiraja. Dia kemudian menunjuk pada peti besi di atas kerikil di sampingnya. “Sesuai perjanjian , saya sudah membawa barang untukmu. Apakah isi kant0ng itu barang untukku?!”
Datuk Bululawang telan ludahnya kemudian mengangguk. “B0leh saya melihat isi peti ini?” tanya si kakek.
War0k Patiraja cepat membuka dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu besi dibuka , membersitlah sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di dalam peti.
“Semua berjumlah duapuluh batang…” berkata War0k Patiraja. Datuk Bululawang menyeringai. Mata julingnya memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir.
War0k Patiraja tutup peti dan memasang grendelnya kembali. “B0leh saya melihat isi kant0ng itu?” tanyanya.
“Silahkan lihat sendiri!” ujar si kakek. Kant0ng kain tebal di tangan kirinya dilemparkannya pada War0k. Lelaki itu cepat menyambuti kemudian membuka ikatan tali yang melilit kant0ng.
Begitu kant0ng dibuka , beliau melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari setengah sejengkal. Paku-paku ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih benderang. “ada tiga puluh paku didalam kant0ng itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya dan puas ?!” tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati.
War0k Patiraja mengangguk. “Aku ambil paku-paku ini , kau b0leh ambil emas dalam peti!” katanya.
Si kakek mengangguk. “Sekarang kau gres jadi raja diraja ramp0k utara selatan. Kelak kalau kau sudah menjadi raja diraja rimba persilatan , kuharap saja kau tidak lupa padaku!”
katanya sambil menyeringai dan mata julingnya berputar-putar. “Sekarang bantu saya menurunkan peti itu. Kau meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!”
War0k Patiraja ikat tali epil0g kant0ng berisi paku kemudian mengikatkan benda itu ke sabuk besar di pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh , ditariknya peti besi berisi duapuluh batangan emas. Untuk menarik peti , War0k terpaksa membelakangi si kakek. Pada dikala itulah tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke pinggangnya.
War0k Patiraja menjerit dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang menghancurkan tulang pinggangnya terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik , sebagian usus besar War0k ikut terbet0t dan menyembul di kepingan belakang tubuhnya bersamaan dengan kucuran darah!
Si kakek tertawa tinggi. “Manusia tidak tahu diuntung! Manusia buruk sepertimu bercita-cita gila hendak jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!” Dia meludah ke tanah , kemudian sekali renggut saja beliau rampas kant0ng berisi paku yang tergantung di sabuk War0k. Benda ini cepat disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat beliau sudah berada di atas batu. Peti besi yang berat itu , menyerupai menjinjing keranjang k0s0ng dengan praktis ditentengnya. Sebelum mel0mpat turun , beliau berpaling pada War0k dan mengumbar tawa mengekeh.
“Dasar t0l0l! Mana ada ramp0k yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan! Ha… ha… ha…! Selamat tinggal Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di situ kau
bisa jadi raja diraja akhirat! Ha… ha… ha…!”
Saat itu War0k berada dalam keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi perutnya semakin banyak membusai lewat l0bang besar di pinggang dan di perutnya. Tersandar pada sebuah kerikil di belakangnya , beliau masih bisa keluarkan ucapan. “Datuk keparat… Kau kira kau bisa kabur begitu saja…”
Mata kanan War0k Patiraja keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus ke arah s0s0k Datuk Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk rupanya tidak b0d0h. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis lurus dengan batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya terhalang dari pandangan mata War0k yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu tempat War0k masih sempat melihat s0s0k kiri si kakek keluar dari garis lurus yang menghalangi dirinya dari batu-batu besar.
Bibirnya bergetar. “Wusss!” sinar hitam melesat.
Di depan sana terdengar jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar sinar sakti yang keluar dari mata kanan War0k. Tangan kirinya putus dan hancur awut-awutan di udara.
Kakek ini jatuhkan diri ke tanah , mengerang kesakitan , sementara darah mulai membasahi jubah merahnya. Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua jari tangan kanannya , Datuk Bululawang cepat men0t0k dada kirinya. Lalu terse0k-se0k beliau tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan. Nafasnya tak karuan.
Di tepi waduk , War0k Patiraja berusaha mencari s0s0k si kakek dengan pandangan mata kanannya. Dia maju beberapa langkah , namun tak bisa berbuat banyak. Di satu tempat lututnya menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah kemudian tergelimpang di tebing waduk Sel0rej0.
Gadis berpakaian ringkas warna ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan kemudian membel0k tajam memasuki daerah luas ditumbuhi p0h0n kelapa. Pita ungu di atas kepala dan selendang ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh didepannya membujur gugusan bukit-bukit. Tujuannya yaitu salah satu dari puncak bukit itu.
Agaknya beliau tidak akan hingga ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya sudah terkuras seluruh tenaganya lantaran dipacu semenjak pagi buta tadi.
Semakin jauh beliau masuk ke pedalaman semakin tak terdengar deru 0mbak yang memecah di pantai. Udara pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk lantaran hembusan angin dari bebukitan. Semakin erat ke arah bukit-bukit itu , udara terasa lebih sejuk.
Menjelang rembang petang , kuda dan penunggangnya kesannya hingga juga di kaki bebukitan. Namun justru di situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang terakhir. Dia tak sanggup lagi berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum hewan itu tersungkur , gadis berbaju ungu mel0mpat. Dia cepat pegang leher kuda biar tidak terjerembab keras.
“Binatang hebat! Aku tak akan memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku terpaksa meninggalkanmu di tempat ini. Aku dikejar waktu…” si gadis memandang berkeliling.
Hatinya merasa lega ketika beliau melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga. Walau airnya tidak terlalu bening , namun cukup men0l0ng kuda yang sudah setengah mati kepayahan itu.
Dipetiknya beberapa helai daun , dengan cepat dibentuknya menyerupai panci kecil. Lalu dengan benda itu diciduknya air telaga dan disiramkannya ke verbal serta kepala kuda yang terbujur di tanah. Sampai delapan kali memberi minum gres si gadis berhenti.
“Aku harus pergi sekarang… Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu malaman…”
setelah mengusap leher dan kepala hewan itu beberapa kali , gadis berpakaian serba ungu ini segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tepat pada dikala matahari karam , gadis ini hingga di puncak bukit. Dalam keremangan , beliau berlari menuju kepingan timur hingga kesannya tiba di sebuah bangunan kerikil yang pintunya tertutup 0leh sejenis p0h0n merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun pep0h0nan itu , apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang , beliau berseru. “Guru , saya datang! ”
Tak ada sahutan. “Guru , saya Anggini muridmu tiba sesuai pesan!” ia berseru lebih keras.
Dari dalam bangunan kerikil terdengar bunyi batuk-batuk beberapa kali. “Jangan-jangan 0rang bau tanah itu sedang sakit ,” pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati pintu bangunan.
Tiba-tiba ada bunyi menyerupai 0rang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan dengan itu menebar busuk tuak harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya.
“Ah , beliau ada di dalam rupanya ,” kata si gadis lega , dan kini tampak tersenyum. Kembali beliau melangkah maju. Mendadak , “Wusss!” Ada kilatan api. Lalu daun-daun p0h0n jalar yang
bergelantungan menutupi pintu bangunan kerikil karam dalam k0baran api. “Muridku , masuklah! Aku memang sudah usang dan penat menunggumu! ”
Anggini sang murid tentu saja jadi terkesiap. Bagaimana beliau bisa masuk dalam bangunan sementara satu-satunya susukan tertutup 0leh k0baran api? “Hai! Apakah kau sudah tuli anggini?! Tak kau dengar saya menyuruhmu masuk?!” terdengar bunyi 0rang di dalam bangunan agak gusar.
“Guru…”
“Jangan bicara saja , masuklah!” 0rang di dalam bangunan kerikil kesannya membentak hilang kesabaran. Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap beliau gerakkan tangan ke leher membuka gelungan selendang ungu kemudian mel0mpat ke arah pintu seraya mengibaskan selendang tiga kali berturut-turut.
Tiga gel0mbang angin menderu dahsyat , menerbangkan pasir dan batu-batu kecil. Melabrak daun-daun p0h0n jalar yang dik0bari api. Api yang memperabukan p0h0n serta merta padam
sementara p0h0nnya sendiri tidak patah atau remuk dihantam tiga gel0mbang angin tadi.
Ketika sang dara mel0mpat masuk ke dalam , selendang ungunya sudah melingkar kembali di lehernya.
Di dalam bangunan kini terdengar bunyi tawa bergelak. Lalu , “gluk-gluk-gluk” menyusul bunyi menyerupai sese0rang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan , Anggini sempat terkesiap. “Ah , belum berubah juga beliau rupanya…” kemudian gadis ini cepat-cepat menjura kemudian duduk bersimpuh di lantai.
“Hebat…! Jurus Selendang Dewa Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau mainkan tadi sungguh sempurna! Kalau tidak kubegitukan tadi , mana kau mau memperlihatkan kepandaianmu! Ha…ha…ha…!”
“Guru , harap maafkan murid. Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal kepandaian saya yang rendah!”
0rang di hadapan si gadis tertawa mengekeh. Lalu , “gluk-gluk-gluk” lezat saja beliau meneguk sejenis minuman keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. 0rang ini yaitu se0rang bau tanah berambut putih yang janggutnya menjulai hingga ke dada. Pakaiannya selempang kain biru. Saat itu beliau duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di lantai sambil uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu lagi. Bumbung ini berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan Tuak Kayangan. Dan si 0rang bau tanah ini tak lain yaitu Dewa Tuak , salah se0rang dedengk0t rimba persilatan di masa itu!
“Guru , apakah kau selama ini sehat-sehat dan baik-baik saja?” Anggini bertanya.
“Ya.. ya Aku selalu sehat dan baik-baik saja. Berkat ini!” jawab Dewa Tuak sambil menepuk bumbung-bumbung bambu di pangkuannya.
“Saya gembira mendengar hal itu….” kata sang murid. Dia diam sesaat kemudian gres meneruskan ucapannya. “Sesuai pesan yang saya terima , saya sudah tiba dan berada di hadapan guru.
Gerangan apakah guru memanggil saya?”
“Ah , kau rupanya tak mau berbasa-basi. Ingin eksklusif pada tujuan.” Dewa Tuak tersenyum lebar. Dia usap-usap janggut putihnya beberapa kali gres teruskan ucapan.
“Baiklah , saya memang perlu bicara padamu. Anggini muridku , ketahuilah dunia persilatan dalam waktu erat ini akan dilanda malapetaka besar kalau 0rang-0rang bau tanah buruk sepertiku ini tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan… ”
“Rupanya ada t0k0h-t0k0h sesat g0l0ngan hitam hendak berbuat ulah?” tanya Anggini.
“Bisa dikatakan begitu. Tapi pangkal bahayanya yaitu menyerupai yang akan saya tuturkan padamu… ”
Puncak Gunung Kelud. Langit tampak mendung semenjak pagi. Sang surya sama sekali tidak kelihatan menyembul. Keadaan dikala itu se0lah menjelang malam hari. Sementara hujan turun
rintik-rintik dan udara terasa sangat dingin.
Di tempat persemadiannya Eyang Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai , hanya beralaskan sehelai kulit kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata terpejam , tubuh tak bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang mengakibatkan asap tipis akhir dinginnya udara , 0rang bau tanah berusia hampir seratus tahun ini tidak beda menyerupai sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu rupa , tapi beliau masih mempunyai tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akhir latihan jasmani dan kekuatan r0hani serta hawa sakti yang sudah mencapai tingkat tinggi dan jarang 0rang menguasainya.
Di hadapan Eyang Gusti Kelud dikala itu duduk se0rang lelaki berusia 30 tahun. Dia hanya mengenakan sehelai cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh 0t0t. Pada leher dan dadanya terdapat banyak gejala kemerahan se0lah bekas gigitan. Lelaki muda ini tidak hitam ataupun c0klat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar aneh kalau tak dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada di hadapannya. Dia sudah berada di tempat itu semenjak malam tadi. Dan Eyang Gusti Kelud masih saja bersemadi. Sampai kapan beliau harus menunggu? Kalau dengan 0rang lain mungkin beliau berani mengganggu semadi itu atau meninggalkan si kakek begitu saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja beliau tak berani berbuat begitu.
Waktu berjalan terus. Siang pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya masih belum kelihatan. Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di leher Eyang Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu membuktikan bahwa si kakek akan mengakhiri semadinya. Benar saja. Tak usang kemudian terlihat getaran-getaran teratur pada kepingan dada 0rang bau tanah itu. Setelah itu kepalanya bergerak sedikit. Menyusul dengan terbukanya kedua matanya sedikit demi sedikit.
Begitu melihat mata sang guru membuka , perjaka tadi segera membungkuk dalam-dalam.
Kepalanya hampir menyentuh kaki si kakek. Dan beliau tetap dalam keadaan menyerupai itu hingga beliau mendengar bunyi Eyang Gusti Kelud Agung berkata. “Sandaka Art0 Gampit0 , kau b0leh mengangkat tubuhmu.”
Lelaki muda itu cepat angkat tubuhnya , duduk dengan sikap tegak dan memandang pada 0rang bau tanah di hadapannya. Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta melihat perubahan besar telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih.
“Dua puluh tahun lebih saya mendidiknya untuk menjadi insan berbudi satria sejati.
Ternyata semua itu sia-sia belaka. Ya Tuhan , apa d0saku pada-Mu hingga kau turunkan malapetaka ini pada muridku? Jika beliau yang berd0sa biar saya yang menampung semua d0sanya. Jangan dia. Diriku akan segera tiba menghadap-Mu , tapi beliau masih muda , jalan hidupnya masih panjang. Ya Tuhan , saya m0h0n petunjuk-Mu…”
“Eyang , saya tiba menghadap Eyang. Sem0ga kedatangan saya berkenan di hati Eyang…”
“Sandaka , saya senang melihat kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat keadaanmu menyerupai ini…” berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan bunyi tersendat.
“Saya tahu bagaimana perasaan Eyang , namun mungkin semua ini sudah jalan nasib saya.
Semua yang terjadi yaitu kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang menanggung eksekusi atas segala d0sa…”
“Sandaka , apa yang sudah terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Mungkin suatu ketika ada suatu kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu menyerupai dulu lagi.
Namun yang sangat saya sesalkan yaitu lantaran kau tidak mendengarkan nasihatku. Ketika kau kulepas tahun kemudian saya sudah berpesan , jangan sekali-sekali kau dekati apalagi bekerjasama dengan Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak kau berada di sini , saya tahu secara rahasia beliau tiba mengintai dan memperhatikan dirimu.
Dia terpikat pada dirimu. Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi juga jatuh cinta padanya…!”
“Eyang , saya tahu d0sa dan kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun kemudian walau mempunyai kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba asing bagi saya. Sampai kesannya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular… Saya tidak bisa mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya , tak bisa keluar dari genggamannya…”
0rang bau tanah di hadapan Sandaka menarik nafas panjang. “Jangankan kau , 0rang yang berkepandaian tinggi seratus kali darimu pun sekali melaksanakan kekerabatan tubuh dengan Dewi Ular , seumur hidup tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya. Seumur hidup akan jadi budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir dalam darahmu. Tak mungkin dibersihkan lagi…!”
Lama Sandaka termenung mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan 0rang bau tanah itu memang benar adanya. Sejak beliau terpikat dengan Dewi Ular dan melaksanakan kekerabatan tubuh hingga beberapa kali , semenjak itu pula beliau tak bisa membebaskan diri dari kekuasaan perempuan itu. Dia melaksanakan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah hal itu baik atau buruk.
“Eyang , kalau memang begini keadaan saya , saya bersedia mendapatkan eksekusi apa pun. ”
“Hukuman bisa saja dilakukan atas dirimu. Tidak 0lehku , mungkin 0leh 0rang lain. Mungkin juga 0leh dirimu sendiri… ”
“Maksud Eyang , saya sebaiknya bunuh diri saja?” tanya Sandaka.
0rang bau tanah itu tersenyum pahit. Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata muridnya.
“Aku tidak menganjurkan kau melaksanakan bunuh diri. Ketahuilah , tidak suatu kekuatan pun di dunia ini yang sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk dari-Nya.
Cuma , saya melihat masih ada satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk meng0batinya , harus melenyapkan sumbernya… ”
“Maksud Eyang? ”
“Sanggupkah kau membunuh Dewi Ular? ”
Paras Sandaka Art0 Gampit0 tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada kilatan cahaya menggidikkan di kedua mata muridnya. “Sandaka , c0ba kau perhatikan dirimu.
Pakaianmu hanya selembar cawat se0lah kau hidup di zaman insan tidak beradab.
Pengaruh cairan tubuh beracun Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun sekali.
Itu pun tidak bisa usang dan tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua b0la matamu hijau juga akhir efek cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau dijadikan hamba sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melaksanakan apa saja yang dimintanya. C0ba kau ingat , sudah berapa banyak 0rang-0rang persilatan yang menjadi k0rbanmu atas perintah Dewi Ular… ”
Eyang Gusti Kelud Agung hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar kemudian kulit tubuh hingga ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-hijauan. Di dalam diri Sandaka , tiba-tiba saja ada bunyi iblis menggelegar. “0rang bau tanah ini harus kubunuh!
Harus kubunuh! Tapi beliau guruku! Dia guruku! Persetan siapapun beliau adanya! Harus kubunuh kini juga! ”
Sandaka berdiri. “Kau mau ke mana muridku?” Tanya Eyang Gusti Kelud Agung.
“Saya terpaksa harus mem…” Sandaka tidak teruskan ucapannya , agaknya beliau masih bisa menguasai diri. “Saya harus pergi kini juga Eyang” Dia putar tubuhnya cepat-cepat.
“Tunggu dulu Sandaka. Masih ada satu hal yang mau saya bicarakan. Ini sangat penting lantaran masih menyangkut kehidupan masa depanmu… ”
“Saya sudah tidak punya masa depan Eyang….” Sandaka segera hendak beranjak pergi.
“Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan , gres kau b0leh pergi… ”
“Jika Eyang memaksa , saya terpaksa… ”
“Membunuhku?” ujar si 0rang bau tanah dengan senyum kecut. “Kau b0leh membunuhku sehabis mendengar penuturanku… ”
Warna kulit dan b0la mata Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda beliau berusaha keras menahan gej0lak keinginan untuk membunuh yang memperabukan dirinya. “Kalau begitu katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang…!”
“Sembilan puluh tahun yang kemudian ketika saya masih kecil , guruku pernah bercerita perihal tigapuluh buah paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat 0leh se0rang syekh sakti yang bermukim di daratan Ti0ngk0k selatan. K0n0n paku ini punya kekuatan daya penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya , tigapuluh buah paku itu harus dipantekkan ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun hingga ke kaki. Namun ada satu akhir yang tidak sanggup dielakkan. Walau efek Dewi Ular akan pupus dari dirimu , tetapi kau kelak akan berada di bawah kekuasaan gres yang mungkin lebih dahsyat…”
Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu bergetar 0leh berkelebatnya suatu bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh. Lalu terdengar bunyi 0rang berkata. “Sandaka! Lama saya mencarimu! Tak tahunya kau berada di sini , bicara segala isapan jemp0l pepesan k0s0ng!”
Se0rang perempuan muda berwajah anggun luar biasa , mengenakan pakaian panjang terbuat dari sutera halus berwarna hijau , tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud Agung. Bau tubuhnya yang harum , menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di k0nde besar di sebelah belakang ada sebuah mahk0ta kecil berbentuk kepala ular terbuat dari emas , mempunyai sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau.
“Dewi…!” seru Sandaka kemudian cepat berdiri mendatangi perempuan itu.
“Kekasihku…!” jawab Dewi Ular seraya menyebarkan kedua tangannya. Begitu Sandaka hingga di hadapannya , eksklusif dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi Ular julurkan lidahnya. Sandaka hisap pengecap itu hingga mengeluarkan bunyi keras. Tidak hanya hingga di situ. Se0lah mereka hanya berdua saja yang ada di situ , keduanya baringkan diri di lantai , berguling-guling sambil terus berpelukan dan berciuman.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung tampak merah mengelam. Dia membentak marah.
“Manusia-manusia k0t0r! Keluar kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi menginjak puncak Gunung Kelud ini! ”
Dewi Ular tertawa tinggi. Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga meninggalkan tanda merah. Lalu beliau mel0mpat berdiri , Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan lelaki itu , Dewi Ular berkata. “Sandaka kekasihku , kau tadi mendengar segala macam ucapannya! Betul…? ”
“Aku memang mendengar Dewi , tapi saya tidak peduli! ”
Dewi Ular kembali tertawa panjang. “Kurasa bau tanah bangka ini hanya satu r0ngs0kan tak berguna. Apa pendapatmu Sandaka? ”
“Memang saya juga merasa begitu…” jawab Sandaka.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung kaku membesi. “Sandaka! Sebut nama Tuhanmu!
Bebaskan dirimu dari efek jahat perempuan iblis ini! ”
Dewi Ular cuma ganda tertawa mendengar ucapan 0rang bau tanah itu. “Apa tindakan kita terhadap manusia-manusia tidak berkhasiat di atas dunia ini Sandaka?” Dewi Ular kembali berucap.
“Harus dibasmi. Harus disingkirkan lantaran Bumi tidak layak dihuni 0leh 0rang-0rang semacam dia! ”
“Sandaka!” seru Eyang Gusti Kelud Agung.
“Kekasihku , saya senang mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau lakukan! Bunuh bau tanah bangka tak berkhasiat itu! ”
Eyang Gusti Kelud Agung cepat berdiri ketika dilihatnya Sandaka Art0 Gampit0 maju dua langkah mendekatinya. Dua b0la matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini mengedipkan kedua matanya itu , dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah kepala dan dada sang guru.
0rang bau tanah itu membentak keras. Sambil menyingkir ke samping , beliau cepat membentengi diri dengan dua buah pukulan tangan k0s0ng mengandung hawa sakti. Angin yang keluar dari dua telapak tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru badai dan mengeluarkan sinar kelabu. “Bummmmmm!Bummmmm!”
Dua ledakan menggelegar. Asap kelabu dan hijau menutupi pemandangan. Atap dan dinding ruangan runtuh. Lantai mencuat hancur berantakan. Sandaka dan Dewi Ular terlempar jauh , kemudian jatuh di tanah saling menindih. Ketika asap hijau dan kelabu pupus , kelihatanlah tubuh Eyang Gusti Kelud Agung terkapar di antara reruntuhan bangunan. Kepalanya hancur dan sekujur badannya remuk. Seluruh s0s0knya kelihatan hijau gelap.
Sandaka mencicipi dadanya mendenyut sakit. Nafasnya memburu. “Kau tak apa-apa…? ” bisik Dewi Ular.
“Hanya merasa sesak sedikit…” jawab Sandaka. Dia memandang ke arah mayit gurunya , kemudian berkata , “Guruku… beliau tewas… ”
“0rang bau tanah itu bukan gurumu!” tukas Dewi Ular. “Dia tak lebih dari se0rang bau tanah bangka t0l0l! Tak ada gunanya! Kau telah melaksanakan sesuatu yang betul. Membunuhnya! Aku gembira punya kekasih sepertimu!” Dewi Ular kemudian merangkul dan menciumi Sandaka.
Keduanya berguling-guling di tanah. “Tempat ini terlalu dingin…” bisik Dewi Ular. “Dalam perjalanan ke sini saya melihat ada sebuah p0nd0k kayu… ”
“Kalau begitu , kita segera menuju ke sana…” jawab Sandaka.
“Ya… memang itu mauku. Tapi apakah kau tidak mau menggeluti dadaku terlebih dulu? ”
Habis berkata begitu , Dewi Ular buka lebar-lebar baju suteranya hingga payudaranya yang besar dan putih menyembul menantang , menciptakan Sandaka menyerupai mau gila dan eksklusif saja mendekapkan kepalanya ke dada perempuan itu.
Selagi Anggini masih termangu mendengarkan penuturan gurunya , Dewa Tuak kembali teguk dengan lahap tuak dalam bumbung bambu hingga verbal dan dagunya bersel0m0tan. “Apa yang ada dalam benakmu Anggini? ”
“Penuturanmu mengerikan sekali guru ,” jawab Anggini. “Kalau Sandaka bisa membunuh gurunya sendiri semudah membalik telapak tangan , apa lagi membunuh 0rang lain! ”
“Justru itulah yang ditakutkan 0rang rimba persilatan. Belasan t0k0h tingkat tinggi dalam dunia persilatan telah dihabisinya. Pada saatnya mungkin saya juga akan menjadi k0rbannya… Aku dan kawan-kawan sudah siap menjaga segala kemungkinan. Di luar terdengar kabar bahwa paku baja putih dikuasai se0rang kakek sakti yang p0puler dengan nama Yang Mulia Datuk Bululawang. 0rang ini kabarnya diam di Gunung Welirang.
Celakanya kakek Bululawang mencari kesempatan dalam kesulitan. Dia gunakan paku-paku itu untuk kepentingannya sendiri. Kenyataannya beliau telah berhasil mengumpulkan sebagian besar harta kekayaan dan membunuh t0k0h yang menginginkan paku itu. Di luaran tersiar kabar bahwa siapa pun yang berhasil menguasai Sandaka Art0 Gampit0 maka ia akan menguasai rimba persilatan… ”
“Berarti kejahatan akan berlangsung terus… ”
“Mungkin begitu muridku. Namun siapa pun yang menguasai Sandaka akan lebih baik dari pada dikala ini beliau dikuasai Dewi Ular. Lagi pula 0rang lain itu mungkin lebih bisa ditumpas dari pada Dewi Ular. ”
“Saya teringat pada senjata rahasia yang dulu guru berikan ,” kata Anggini sambil meraba pinggang pakaiannya di mana tergantung sebuah kant0ng berisi senjata rahasia berbetuk paku terbuat dari perak. “Justru benda itu yang menjadi salah satu alasan saya memanggilmu ke mari. Ada selentingan bahwa beberapa t0k0h silat menganggap paku itu yaitu paku sakti keramat yang bisa melumpuhkan Sandaka kemudian menguasainya. Berarti kau harus hati-hati Anggini. Salah duga bisa menjadi malapetaka bagimu. ”
Ucapan Dewa Tuak menciptakan Anggini merasa tidak enak. “Lalu apa yang harus diperbuat guru?” tanya gadis itu.
“Aku minta kau segera mencari satria 212 Wir0 Sableng…” Dewa Tuak menghentikan katra-katanya ketika dilihatnya wajah sang murid tiba-tiba memerah.
“Eh , ada sesuatu dalam benakmu? ”
“Dewa Tuak , saya lebih suka kau menyuruh saya lakukan sesuatu yang lain dari pada mencari perjaka itu…”
“Hem… saya tahu mengapa kau bicara begitu ,” kata Dewa Tuak sambil tertawa-tawa gelakgelak. “Kau kecewa padanya lantaran baik beliau maupun gurunya belum selesai membahas s0al perj0d0han kalian.”
“Saya tidak pernah kecewa!” jawab Anggini tegas walau rahasia hati sanubarinya memelas. “Saya hanya ingin menyampaikan ini kepadamu guru. Jika 0rang tidak suka , mengapa harus memaksa?”
“Hemm…” Dewa Tuak bergumam sambil mengelus-elus bumbung di pangkuannya. “Tidak ada yang tidak suka. Tidak ada yang memaksa. Tapi… sudahlah. Urusan perj0d0hanmu sudah kubicarakan lagi dengan Sint0 Gendeng beberapa waktu kemudian sewaktu saya menyambanginya di puncak Gunung Gede. Urusan kini yang lebih penting yaitu s0al Sandaka. Sudah diketahui bahwa hanya paku baja putih itu yang sanggup melumpuhkannya.
Di tangan siapa paku itu kini juga sudah diketahui. Yang belum diketahui yaitu kapan Sandaka tidur. Dia hanya bisa ditundukkan pada dikala tidur. Dalam setahun tidurnya hanya sekali. Itupun tidak lama. Makara kau harus mencari tahu kapan dan di mana tidurnya.
Kau juga harus mendapatkan paku sakti itu biar tidak ke jatuh ke tangan 0rang yang sama brengseknya menyerupai Dewi Ular…”
“Saya menyerupai mencari sebutir kelapa di tengah samudera luas…” Dewa Tuak tertawa mendengar balasan muridnya. “Itu sebabnya saya minta kau segera mencari Pendekar 212.
Kalau sudah ketemu , segera hubungi Kakek Segala Tahu , pasti 0rang bau tanah itu bisa menjelaskan yang kau perlukan.”
“Kalau begitu pesan guru segera saya lakukan. B0lehkah saya minta diri sekarang?”
“Tentu saja , tapi tidak perlu buru-buru. Kita masih ada sedikit waktu untuk berbincangbincang. Apa kau tidak ingin menikmati tuak kayangan ini beberapa teguk?”
Si kakek tutup ucapannya dengan melemparkan bumbung bambu ke arah muridnya.
Lemparan itu bukan sembarang lemparan lantaran ujung bumbung bambu melesat menyambar ke arah dada Anggini. Maklum sang guru lagi-lagi sedang menjajaki kemampuan Anggini.
Anggini cepat menggeser kaki , dan tubuhnya dimiringkan ke kanan , tangan kirinya diangkat sedikit. Dan di lain kejap , bumbung yang dilempar Dewa Mabuk sudah di tangan kirinya!

***
212

S0s0k dalam gelap itu menyelinap mendekati pintu bangunan di puncak bukit. Tanpa bunyi menyerupai setan bergerak. Sesaat beliau berhenti. Ada keraguan dalam hatinya. “Jangan-jangan beliau tidak berada di sini. Bagaimana saya harus memberikan pesan? Di tengah jalan ada seek0r kuda hampir mati kecapaian. Pasti ada 0rang yang gres tiba berkunjung sebelum saya ke tempat ini. Berarti ada satu atau dua 0rang dalam bangunan kerikil itu. Tapi mengapa keadaan sunyi? Tak ada lampu menyala. Aku tahu betul kebiasaan 0rang bau tanah itu. Tidak bisa tidur kalau tidak ada lampu…”

Baru saja 0rang di depan pintu bangunan kerikil membatin menyerupai itu , tiba-tiba ada bunyi menegur. “Hanya insan jahat biasanya menyelinap ke tempat 0rang!” Lalu , “Wutt!!”
0rang di depan pintu mencicipi sambaran angin di kepingan belakang kepalanya.
“Hemm… hanya insan licik yang menyerang dari belakang!” 0rang ini membalik dengan cepat seraya angkat tangannya melidungi kepala. “Bukk” Dua lengan beradu keras dalam kegelapan. Si penyerang terpental hingga tiga langkah dan keluarkan pekikan keras. Yang menangkis terjajar satu langkah.
“Aku menyerupai mengenali bunyi itu!” kata penangkis sambil menahan pundak kanannya yang terasa mendenyut. Dia besarkan kedua matanya. Tapi malam begitu gelap. Dia tidak bisa mengenali wajah itu. Yang terang suaranya yaitu bunyi perempuan. Dia tidak bisa berpikir panjang-panjang lantaran s0s0k di depannya kembali menyerang dengan cepat.
“Gila! jurus-jurus serangannya ganas dan menyerang kepingan yang mematikan!” membatin yang diserang. Karena mengalah dan hanya mengambil sikap bertahan , beberapa serangan lawan berhasil mendarat di tubuh dan lengannya. Dari pada lebih celaka 0rang ini berseru.
“Hentikan serangan. Antara kita mungkin sudah saling kenal! ”
“Se0rang kenalan tidak akan menyusup menyerupai se0rang pencuri! ”
“Hai saya bukan pencuri! ”
“Kalau begitu maling! ”
“Juga bukan. Aku ke mari mencari sese0rang! ”
“Lalu kau siapa? ”
“Katakan dulu siapa kau? ”
“Kurang ajar!” si perempuan memaki kemudian kembali hendak menyerbu. Kali ini beliau melepaskan benda di leher yang semenjak tadi melilitnya. Hal ini dilihat 0rang di hadapannya.
Sehelai selendang!
“Astaga! Benar dugaanku! Kau pasti Anggini! Murid t0k0h silat Dewa Tuak yang saya segani!” Si penyerang terkesiap. Bukan saja menghentikan serangan tapi malah mundur beberapa langkah sambil memandang dengan mata dibesarkan , berusaha mengenal 0rang di depannya.
“Wir0…! ”
“Anggini..! ”
Dari dalam bangunan terdengar bunyi tawa mengekeh disusul… “gluk… gluk…gluk” bunyi 0rang minum dengan lahap. Tidak usang kemudian keluarlah s0s0k tubuh 0rang bau tanah berjanggut putih. “Dewa Tuak…” 0rang di depan Anggini memanggil kemudian memberi h0rmat.
Dewa Tuak tertwa tergelak-gelak sambil b0lang-balingkan bumbung bambu berisi tuak di depan dadanya , sementara Anggini tegak tidak bergerak dengan hati diliputi banyak sekali rasa.
“Pendekar 212 sableng! Kau tiba pada dikala yang tepat! Hingga muridku tidak susah mencarimu!” kata Dewa Tuak sambil berpaling kepada muridnya kemudian berkata. “Aneh , kenapa kau menyerupai patung dan gagu? Apakah kau tidak gembira ketemu dengan kakakmu ini , Anggini? ”
Kalau saja tidak gelap , Wir0 dan kakek Dewa Tuak pasti melihat pipi Anggini yang bersemu merah lantaran jengah.
“Tentu… tentu saja kami bergembira guru. Lama sekali kami tidak bertemu….” ujar Anggini.
“Betul… ,”sahut murid Eyang Sint0 Gendeng. “Kalau tidak salah hampir tiga tahunan…. ”
“Rejeki… , pertemuan , maut dan langkah , memang bukan maunya manusia. Itu semua kekuasaan Gusti Allah. Tapi kalau saya b0leh nanya , gerangan apa yang membawamu ke mari Wir0?” habis bertanya , kakek mendekatkan bibir ke bumbung dan mend0ngak.
“Gluk… Gluk… Gluk…!” Lahap sekali beliau meneguk tuak kayangan yang berar0ma harum itu.
“Saya diminta Eyang Sint0 menemuimu. ”
“Hemmm , pesan apa yang kau bawa anak muda? ”
“Menyangkut kasus besar yang kini tengah berlangsung di rimba persilatan di tanah Jawa ini… Munculnya perjaka berkesaktian luar biasa berjulukan Sandaka Art0 Gampit0 , hamba
sahaya dan budak nafsu Dewi Ular. ”
“Apa saja yang diketahui gurumu perihal 0rang itu? ”
“Dewi Ular akan mempergunakan Sandaka untuk menguasai rimba persilatan. Beberapa t0k0h silat tingkat tinggi telah dihabisinya secara keji. Di puncak Merapi beberapa waktu kemudian satria silat dari timur bergabung dengan jag0 dari selatan. Mereka berjumlah empat belas 0rang. Mereka berhasil menjebak dan mengurung Sandaka di sebuah lereng. Namun semua disapu habis! Sulit dipercaya ada 0rang mempunyai kepandaian menyerupai itu…. ”
“Sandaka bukanlah insan lagi ,” kata Dewa Tuak. “Dia berubah menjadi mahluk setengah iblis setengah dewa! Sulit mengalahkannya. Pengaruh cairan Dewi Ular yang mengalir dalam tubuhnya begitu hebat hingga tidak mempan pukulan maupun senjata tajam. Selama tidak bisa dibersihkan dari efek cairan itu , selama itu pula beliau akan merajalela menuruti perintah Dewi Ular….”
“Saya dengar beliau bahkan sudah membunuh gurunya sendiri Eyang Gusti Kelud Agung…”
Dewa Tuak mengangguk membenarkan ucapan Pendekar 212 itu. “Siang tadi saya gres menceritakannya kepada Anggini. Rimba persilatan benar-benar dalam cengkeraman mengerikan. Kau tahu apa yang dilakukan perjaka sesat itu di puncak Gunung Kelud sehabis membunuh gurunya sendiri? Dia berzina dengan Dewi Ular di hadapan mayit gurunya!”
Sesaat tempat erat bangunan itu dalam kesunyian itu kemudian terdengar bunyi Wir0 bertanya.
“Menurutmu kek , apakah ada satu cara menghentikan malapetaka besar ini? ”
“Saat ini saya hanya mengetahui satu cara. Sandaka bisa dilumpuhkan dengan jalan memantek tubuhnya dengan 30 paku sakti terbuat dari baja putih murni. Benda itu kini justru menjadi rebutan di kalangan persilatan. Yang bisa memaku Sandaka akan menguasai dirinya. Kalau beliau dari g0l0ngan hitam , insiden buruk akan terulang. Seperti Dewi Ular , 0rang itu akan menguasai Sandaka untuk berbuat apa saja. Hanya saja Sandaka tidak akan sehebat berada dibawah efek cairan Dewi Ular… ”
“Berabe juga urusannya ,” ujar Wir0 sambil garuk-garuk kepala. “Kek apakah sudah diketahui siapa pemilik paku sakti itu atau di mana beradanya? ”
“Tiga puluh paku baja putih murni itu berada di tangan se0rang satria yang berjuluk Yang Mulia Datuk Bululawang dari gunung Welirang… ”
“Datuk Bululawang?” mengulang Wir0.
“Ya , kau kenal dia? ”
“Siapa tidak kenal dia. Datuk cabul yang suka melaksanakan kekerabatan tidak sen0n0h dengan sesama jenisnya!” sahut Wir0.
Dewa Tuak tertawa terkekeh. “Sulit saya bayangkan apa yang bahwasanya terjadi dalam rimba persilatan ini ,” kata kakek bau tanah sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu , sang Datuk harus dikuasai lebih dahulu , dirampas paku sakti itu dari tangannya…” berkata Anggini.
Dewa Tuak mengangguk-angguk. “Itu benar. Caranya memang musti ke situ. Tapi tentu saja tidak praktis menyiasati Datuk Bululawang. Di samping puluhan 0rang lain juga menghendaki paku itu , sudah belasan 0rang mati sebelum maksud mereka kesampaian.
Kalaupun paku bisa dikuasai , tidak praktis memantek tubuh Sandaka. Ada kabar perjaka itu tidur hanya sekali dalam setahun. Pada dikala itulah pemantekan bisa dilakukan. Tapi gilanya , siapa yang tahu kapan dan di mana beliau tidur? ”
“Memang banyak sekali sulit dan bahayanya. Itu sebabnya Eyang Sint0 berpesan , sehabis dari sini harus mencari Kakek Segala Tahu… ”
“Ah , bau tanah bangka sahabatku itu! Lama saya tidak mendengar ihwalnya , apakah beliau masih hidup atau bagaimana? Kalian harus mencarinya. ”
Wir0 melirik ke Anggini. “Apakah yang dimaksud kakek dengan kalian yaitu saya dan Anggini? ”
“Ya betul , kau dan Anggini harus segera pergi mencari bau tanah bangka satu itu. Harus cepat biar tidak terlambat! ”
“Aku sih mau-mau saja… ,” kata Wir0 dalam hati. “Tapi saya lihat gadis itu biasa-biasa saja dan sikapnya hirau tak acuh. Tadi beliau bilang senang bertemu denganku. Mulutnya bilang begitu , hatinya beliau mendekam satu ganjalan. Dia menyerupai benci kepadaku…. ”
“Hai ,” seru Dewa Tuak. “Kalian berdua mengapa berdiam saja? Tidak dengar saya bilang apa? ”
“Saya dengar kek , dan saya akan lakukan pesanmu itu ,” kata Wir0.
“Anggini?!” ujar si kakek tanpa berpaling pada muridnya.
“Saya juga dengar guru , saya juga akan lakukan pesanmu! ”
“aku gembira mendengar ucapan kalian berdua. Nah kini kalian tunggu apa lagi? ”
“Maksud kakek?” tanya Wir0 dan Anggini.
“Kalian berdua sama t0l0lnya! Cepat tinggalkan tempat ini dan cari si bau tanah bangka Segala Tahu itu! ”
Anggini melengak tapi tidak berani buka mulut. Sebaliknya Wir0 eksklusif berkata. “Pergi malam-malam begini kek? ”
“Lalu apa menunggu pagi gres berangkat?” sentak Dewa Tuak.
“Maksud saya mungkin kau masih kangen dengan muridmu dan ingin ng0br0l… ”
“0br0lanku sudah habis. Sekarang kalian saja yang ng0br0l satu sama lain dalam perjalanan. Lagian kalian kan sudah usang tidak bertemu. Tentu banyak yang harus kalian bicarakan. Aku mau tidur…” Dewa Tuak teguk lagi minuman dalam bumbung bambu itu kemudian tanpa peduli lagi beliau berpaling kemudian melangkah menuju pintu bangunan batu.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Wir0 pada Anggini.
“Kalau guruku sudah bilang begitu , tidak satu pun yang bisa berubah! Dia suka kita segera pergi! ”
Wir0 garuk kepala. “Mungkin ucapan gurumu benar. Dia menyuruh kita segera pergi dan ng0br0l dalam perjalanan… ”
Maksud Dewa Tuak meminta kedua muda mudi itu lekas pergi dan melaksanakan perjalanan bersama , selain memang untuk mencari kakek Segala Tahu , bahwasanya ada tujuan tersembunyi dari si 0rang tua. Seperti diketahui , semenjak usang Dewa Tuak ingin menj0d0hkan Anggini dengan Pendekar 212 Wir0 Sableng. Malah sudah beberapa kali seruan itu sudah disampaikan kepada Eyang Sint0 Gendeng.
Namun baik guru sang satria maupun Wir0 sendiri tidak terlalu tertarik. Sint0 Gendeng pernah bilang biar urusan j0d0h itu belum dewasa sendiri yang mengatur. Jika mereka suka sama suka tentu ikatan j0d0h itu akan terjalin dengan sendirinya.
Di pihak Anggini memang rahasia menyayangi Wir0 , namun sebaliknya si Wir0 lebih menganggap si gadis sebagai adiknya sendiri , walau terus terang beliau sangat mengagumi kebaikan sikap dan hati si gadis , di samping wajahnya yang cantik.
Tidak menyerupai yang diinginkan Dewa Tuak ataupun dua muda mudi itu , ternyata dalam perjalanan menuruni bukit mereka lebih suka diam membisu. Wir0 yang lama-lama salah tingkah kesannya membuka pembicaraan. “Lama kita tidak bertemu. Apakah kau selama ini baik-baik saja Anggini?”
“Yah , mau dibilang baik kenyataannya semua kesulitan kuhadapi , walau semua bisa kulalui.
Yang terang saya bisa melihat dunia ini apa adanya dan tambah pengalaman. Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya sang dara.
“Tidak beda dengan kau. Kesulitan dan ancaman menghadang di mana-mana. Buktinya kini ini kita menghadapi kesulitan besar. Selain kita mencari Kakek Segala Tahu , menurutmu apa yang harus kita lakukan?”
“Kau lebih berpengalaman dan pandai. Ilmumu lebih tinggi dariku. Seharusnya kau yang mencari jalan ,” jawab Anggini.
“Aku rasa kita perlu membagi pekerjaan… waktu kita sempit sekali.”
“Hemm… membagi pekerjaan bagaimana?” tanya Anggini.
“Kau mencari tahu di mana sarangnya Dewi Ular. Jika kau merasa sanggup menghadapi sendiri lakukanlah , kalau tidak , minta dukungan sahabat dari g0l0ngan putih. Apapun yang kau lakukan , paling tidak sudah diketahui keberadaan perempuan itu…”
“Lalu kau sendiri melaksanakan apa?”
“Aku akan mencari Datuk Bululawang , berusaha merampas paku sakti itu dari tangannya.
Aku juga mencari Kakek Segala Tahu…”
Anggini yang berjalan cepat di samping Wir0 berpikir sejenak. Kemudian beliau berkata.
“Bagaimana kalau diatur begini. Aku yang mencari kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang , kau yang mencari Dewi Ular…”
“Heh!” Wir0 agak tercekat mendengar ucapan Anggini. Dia berjalan lebih cepat hingga selangkah di depan Anggini. Dia berpaling dan perhatikan wajah gadis itu. Dilihatnya sang dara tersenyum. Senyum yang sulit diartikan Wir0.
“Setahuku Datuk Bululawang mempunyai kemampuan tinggi dan berhati sejahat iblis. Aku tidak merendahkan kepandaianmu sendiri , namun rasanya lebih baik… ”
“Rupanya kau takut bertemu dan menghadapi Dewi Ular?” mem0t0ng Anggini kemudian tertawa lebar. “Dia hanya se0rang perempuan anggun , apa yang ditakutkan? Lagi pula , siapapun beliau , saya yakin tidak akan bisa mengalahkanmu. ”
“Ah , beliau mem0j0kkanku..” ujar Wir0 dalam hati. “Atau sengaja menjebakku. Tapi kenapa?
Karena saya tidak pernah menawarkan balasan atas perj0d0han itu?” beliau melangkah terus.
“Bagaimana?” Anggini bertanya. “Jadi betul kau mau mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang lantaran takut menghindari pertemuan dengan si anggun Dewi Ular itu? ”
“Siapa takut padanya!” Wir0 jengkel dan menjawab agak keras.
“Bagus! Pekerjaan sudah dibagi , di kaki bukit kita berpisah. Kau mencari Dewi Ular , saya mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang… ”
“Hemmm..” Wir0 garuk-garuk kepala. “Kalau begitu maumu saya terpaksa mengikut saja… ”
“Jangan bilang terpaksa. Katakan iya atau tidak. Itu saja! ”
Dalam gelap , sambil berjalan cepat , Pendekar 212 palingkan kepala menatap wajah Anggini.
Gadis itu balas memandang. “Ucapannya tegas dan air mukanya keras. Ada apa bahwasanya dengan gadis ini?” dalam hati Wir0 bertanya. “Anggini kau tidak suka padaku…” Wir0 kesannya bertanya.
Si gadis tertawa kecil. “Kenapa kau bertanya begitu?” Wir0 lagi-lagi terp0j0k. Tapi lantaran hatinya mulai panas , maka beliau bicara apa adanya saja. “Mungkin s0al perj0d0han itu…?”
Anggini mend0ngak ke atas. Rambutnya tergerai panjang ke bahu. Dalam bayangan kegelapan malam , wajahnya tampak anggun sekali. “Apa perlunya menyebut dan menghubung-hubungkan hal itu. Kalau tidak suka , siapa yang bisa memaksa!”
Mendengar kata-kata itu Wir0 hentikan langkahnya sementara sang dara berjalan terus.
“Anggini tunggu! Mungkin kau salah menduga….” Gadis itu berjalan terus. Wir0 cepat menyusul dan memegang lengannya. “Anggini kita perlu bicara biar tidak ada lagi ganjalan di hati kita masing-masing… ”
Tapi gadis itu menarik tangannya kuat-kuat hingga terlepas dari pegangan Wir0. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Para guru kita juga sama tahu. Ada ganjalan atau tidak , bagiku tidak ada masalah. ”
“Dengar Anggini , kita harus bicara dulu dengan hening ,” Wir0 berusaha membujuk sambil memegang pundak setengah memeluk.
Anggini mend0r0ng tubuhnya dengan halus. “Ingat kita sedang menghadapi urusan besar!
Jangan habiskan waktu dengan pembicaraan yang tidak ada artinya…. ”
“Katamu tidak ada artinya. Bagiku sangat berarti!”jawab Wir0.
“Kalau bagimu sangat berarti , apa saja yang sudah kau lakukan pada diriku? Adakah kau memberi sedikit saja kejelasan pada guru ataupun padaku? ”
“Ah , kau memang mempers0alkan kasus j0d0h itu. Aku minta maaf. Mungkin saya dan guruku Eyang Sint0 Gendeng berlaku alpa dan buta… ”
“Kalian 0rang-0rang pintar yang tidak pernah alpa dan buta. Bukankah begitu? Sebaliknya saya dan guruku yaitu insan biasa yang alpa dan buta! Tidak tahu diri! Tidak tahu malu!” tukas Anggini.
Wir0 merasa dadanya mendenyut menyerupai tertusuk mendengar ucapan murid Dewa Tuak.
“Anggini.. kasus ini bisa kita selesaikan secara baik… ”
“Jadi benar kataku tidak perlu dibicarakan dikala ini! ”
Langkah Wir0 kembali terhenti. Anggini berjalan terus. Pendekar 212 menarik nafas panjang.
Dadanya teras berg0lak. Dia mel0mpat mengejar , hingga di hadapan gadis itu beliau berkata.
“Kau kubebaskan dari segala urusan. Biar saya sendiri yang mencari Kakek Segala Tahu , Datuk dan Dewi Ular!” kata Wir0 dengan bunyi keras.
Tak kalah lantangnya Anggini menyahut. “Baik , lakukan semua itu 0lehmu lantaran kau se0rang satria hebat! Aku akan mencari Art0 Gempit0!” habis berkata begitu Anggini memutar tubuhnya dan berkelebat pergi.
Wir0 jadi terkesima. “Gila! Kenapa urusan jadi kapiran begini?!” ujarnya. Dia bantingkan kaki kanannya ke tanah , kemudian berkelabat ke jurusan lain. Tapi sehabis beberapa usang berlalu beliau hentikan langkahnya , berputar ke arah tadi beliau datang. “Gadis itu , ah , bagaimana ini?
Biar kubujuk beliau sekali lagi. Kalau tidak mau , ya sudah!” Wir0 segera mengejar ke jurusan perginya Anggini.
Setelah lari dalam gelap menuruni lereng bukit beberapa waktu lamanya , selintas pikiran muncul dalam benak gadis itu. Hatinya ikut berkata-kata. “Hampir tiga tahun saya tidak melihatnya. Setelah bertemu , mengapa saya bersikap begitu kasar padanya? Aku telah berlaku b0d0h. Mem0j0kkannya s0al perj0d0han itu. Mungkin semua itu bukan salahnya! Kini beliau memikul beban berat mencari Datuk Bululawang , Kakek Segala Tahu dan Dewi Ular.
Bagaimana kalau beliau juga hingga jatuh ke tangan perempuan iblis itu?”
Karena pikirannya kacau balau , Anggini hentikan larinya. Sesaat beliau tegak mel0ng0 termangumangu. Di depannya ada sebuah p0h0n besar dengan beberapa cabang menjulur k0k0h.
“Sebaiknya saya duduk saja dulu di atas p0h0n sana , menunggu hingga hari pagi. Tiba-tiba saja tubuhku terasa letih , saya perlu istirahat. Mungkin tidur beberapa saat.”
Berpikir hingga di situ , murid Dewa Tuak itu segera melesat ke atas p0h0n. Dia merebahkan tubuhnya di atas salah satu cabang besar. Tapi sulit baginya untuk segera memicingkan mata.
Ingatannya masih tertuju pada Pendekar 212. Lalu beliau sadar akan apa yang dikatakannya pada perjaka itu , bahwa beliau akan mencari Sandaka Art0 Gampit0. “sungguh saya telah berlaku t0l0l!” katanya dalam hati. “Kalau guru tahu apa yang terjadi ini , pasti beliau akan murka besar , Uh…!”
Selagi gadis ini berpikir dan berkata-kata dalam hati menyerupai itu , telingan tiba-tiba menangkap bunyi sesuatu di bawah p0h0n. Suara langkah-langkah kaki yang sangat perlahan. “Wir0…?”
ujar Anggini kemudian memandang ke bawah.
Pada dikala yang sama , dua bayangan berkelebat dalam kegelapan. Di lain kejap dua s0s0k tubuh melayang ke atas p0h0n. Yang pertama eksklusif tegak di atas cabang tempat beliau berbaring. Satunya berdiri di cabang sebelah atas. Meski di atas p0h0n begitu gelap , tapi lantaran sangat erat , Anggini masih sanggup melihat siapa adanya dua 0rang itu.
Yang berdiri di atas cabang p0h0n tempatnya berbaring yaitu se0rang kakek berpakaian r0mbeng bermuka aneh celem0ngan belang belent0ng. Entah dibedaki entah dicat. Wajah keriputan itu tertutup 0leh warna merah , hitam , putih dan kuning. Di ketiak kirinya , si kakek mengepit sebuah t0ngkat aneh yang ketika diperhatikan ternyata yaitu seek0r ular kuning hitam yang telah dikeringkan. Kakek aneh ini memandang kepadanya sambil tiada hentinya tersenyum-senyum.
Anggini melirik ke atas. Pada cabang di atas kepalanya duduk berjuntai se0rang pemuda.
Seperti si kakek , beliau juga mengenakan pakaian r0mbeng penuh tambalan. Wajahnya bundar dan mulutnya tiada henti menyunggingkan tawa. Murid Dewa Tuak mencium bahaya. Dengan cepat beliau berdiri dan tegak di atas cabang p0h0n.
“Kalian siapa?!” Anggini bertanya. Sepasang alis si kakek naik ke atas. Alis ini sebelah kiri dicat putih sedang sebelah kanan berwarna kuning. “Mangar!” si kakek membuka verbal sambil melambaikan tangannya pada perjaka ynag duduk menjuntai di cabang p0h0n sebelah atas. “Dia bisa bicara! Kau dengar tidak?!”
Pemuda di atas p0h0n tertawa lebar kemudian menjawab. “Tentu saja saya dengar kek! Suaranya merdu! Ha… ha… ha!”
“Suara merdu , paras cantik! Apa lagi?!” si perjaka kemudian uncang-uncangkan kedua kakinya.
“Dua 0rang gila rupanya! Kakek dan cucunya!” ujar Anggini dalam hati.
“Kau tak salah memilihkan j0d0h untukku , Kek!” kata si perjaka lagi. Si 0rang bau tanah tertawa mengekeh , sementara Anggini menyerupai disentakkan mendengar ucapan perjaka itu.
“Kalian ini siapa dan bicara apa?!” hardik Anggini. “Jangan menciptakan saya jadi marah! ”
“Aih! Gadis anggun rupanya bisa juga marah! C0ba marah! Aku mau lihat!” berkata si kakek.
“Pasti tambah anggun ,” ujar si anak muda pula.
Anggini hilang sabarnya. “Manusia-manusia edan! Lekas turun dari atas p0h0n ini! Kalau tidak jangan salahkan kau saya gebuk! ”
“Aduh , tidak sangka cal0n istrimu ini galak juga rupanya Mangar!” kata si kakek sanbil geleng-geleng kepala dan tertawa-tawa.
“Kurang ajar!” teriak Anggini marah. Dia l0l0skan selendang sutera ungu yang melilit di lehernya.
Melihat ini , kakek bermuka celem0ngan cepat angkat kedua tangannya seraya berkata.
“Tunggu , sabar dulu anak gadis. Aku kenal kau semenjak lama. Namamu Anggini dan kau yaitu muridnya kakek sakti bergelar Dewa Tuak , betul kan…?”
Diam-diam Anggini jadi heran bagaimana 0rang bau tanah tidak dikenal ini tahu akan dirinya.
“0rang bau tanah muka belang! Kalau kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu dan menyampaikan apa keperluanmu , saya benar-benar akan menghajarmu!”
“Kau mengancam! Baiklah saya jelaskan. Namaku tidak perlu kau tahu. Aku bergelar Pemgemis Sinting Muka Belang. Pemuda itu berjulukan Mangar , beliau muridku dan belum punya gelar. Ha… ha …ha..! Ketahuilah , saya mencarimu dan sengaja membawa serta muridku lantaran saya ingin menj0d0hkan kau dengan dia…!”
“Gila! Kalian berdua benar-benar sinting!”
“B0leh-b0leh saja kau berkata begitu adikku cantik!” perjaka berjulukan Mangar menyeletuk.
“Sikap dan tutur bicaramu menciptakan saya ingin segera menikahimu! Kek , bagaimana ini? Aku sudah tidak tahan mau cepat-cepat kawin dan tidur dengan cal0n istriku ini!”
“Kurang ajar!” teriak Anggini marah. Selendang ungu di tangan kanannya berkelebat ke atas. “Wuttt!” “Kraak!”
Cabang p0h0n tempat perjaka berpakaian r0mbeng tambalan itu patah. Tubuhnya tak ampun lagi melayang jatuh ke bawah. Tapi setengah jalan beliau berjungkir balik kemudian melesat dan tahutahu beliau sudah duduk di atas pundak kakek bergelar Pengemis Sinting Muka Belang yang dikala itu masih berdiri di atas cabang p0h0n di hadapan Anggini. Dua 0rang gila ini kemudian tertawa tergelak-gelak.
“Gadis anggun , jangan kesusu marah. Dengar dulu lanjutan ucapanku. Aku sudah berniat dan tetapkan kau harus jadi suami muridku!”
“Gila! Siapa sudi!” teriak Anggini.
“Sudi atau tidak itu urusan nanti! Yang terang saya dikala ini juga akan melamarmu biar suka jadi istri Mangar. Dan untuk mas kawinnya bukan kami yang bayar , tapi kau! Ha… ha…ha!”
“Benar-benar edan!” teriak murid Dewa Tuak. Selendang ungu yang memang menjadi senjata andalannya kembali dihantamkan ke depan. Ujung selendang menyambar ke arah muka belang si kakek. Walau cupa selendang terbuat dari sutera halus , namun di tangan Anggini benda itu telah berubah menjadi sekeras pentungan besi. Sesaat lagi ujung selendang siap menghancurkan muka Pengemis Sinting Muka Belang , tiba-tiba perjaka yang duduk di atas pundak si kakek gerakkan kaki kanannya.
“Wuttt!” Satu gel0mbang angin dengan deras menerpa ke arah Anggini. Murid Dewa Tuak ini terkejut ketika beliau mencicipi laksana did0r0ng sebuah temb0k yang tidak kelihatan.
Bukan saja ujung selendangnya terhempas ke samping , tapi tubuhnya ikut berg0yang keras hingga kedua kakinya bergetar.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya , gadis ini cepat mengimbangi diri dan balas menghantam dengan tangan kanan.
Serangkum angin panas menderu ke arah dada Pengemis Sinting Muka Belang. Setengah jalan , Anggini jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Angin serangannya secara aneh mendadak s0ntak memecah dua. Satu menyambar ke perut si kakek muka belang , dan satunya lagi menghantam ke arah tengg0r0kan perjaka berjulukan Mangar! Inilah jurus serangan sakti yang disebut Memecah Angin Meruntuh Mentari Menghancurkan Bulan.
Kini dua lawan ganti terkejut. Anggini menyeringai. “Rasakan 0leh kalian. Masakan salah satu seranganku tak akan mengena!” kata gadis ini dalam hati. Namun apa yang dilihatnya kemudian menciptakan beliau tercekat. Sesaat lagi serangannya akan menghantam dada si kakek , 0rang bau tanah ini tiba-tiba jatuhkan dirinya ke kiri. Tubuh sang cucu yang ada di atas bahunya ikut miring ke kiri. Dua s0s0k tubuh mendadak kaku se0lah berubah jadi kayu. Kakek muka
belang gelungkan kedua kakinya pada cabang p0h0n tempat beliau berdiri. Sesaat kemudian se0lah berubah menjadi titiran , dua s0s0k tubuh kaku itu berputar dengan deras hingga mengeluarkan deru angin yang keras.
Selagi Anggini terkesiap melihat apa yang dilakukan 0rang , tiba-tiba tubuh-tubuh yang berputar kencang berpisah. Satu melesat ke kiri , satu lagi ke kanan. Sebelum tahu apa yang terjadi Anggini mencicipi tangan kiri dan kanannya dicekal 0rang. Dia berusaha mer0nta lepaskan diri tapi lengannya se0lah dibelenggu dua japitan besi.
“Kena Kek!” terdengar bunyi perjaka bermuka bundar berseru.
“Betul!” si kakek menjawab. “Ay0 kita bawa beliau ke bawah!” Anggini mencicipi tubuhnya dibawa melayang ke tanah tanpa beliau sanggup berbuat sesuatu apa. Dua tangannya yang dicekal kini terasa kaku tak bisa digerakkan. Selendangnya jatuh entah ke mana!
Satu s0s0k bayangan berkelebat cepat di bawah p0h0n. Tanpa melihat , indera pendengaran dan nalurinya mengetahui kalau di atas p0h0n ada tiga 0rang berkelahi. Bayangan ini berlari terus namun mendadak berhenti ketika menyadari ada sebuah benda bergelung di lehernya. Di ambilnya benda itu. “Sehelai selendang ungu…” 0rang ini berucap perlahan sambil memainkan selendang sutera yang lembut itu dalam genggamannya. “Ada busuk harumnya , membuktikan milik se0rang perempuan… Mungkin salah satu dari mereka yang tengah bergulat di atas p0h0n?!”
Diperhatikannya lagi selendang itu. Pada salah satu ujungnya tertera tiga buah angka , 212.
Lalu beliau berpaling ke jurusan dari mana tadi beliau datang. Di kejauhan beliau mendengar bunyi dua 0rang tertawa tergelak-gelak , kemudian bunyi ketiga bunyi perempuan memaki marah. “Kek , saya ingin menelanjanginya dikala ini juga! Aku sudah tidak tahan! Persetan dengan segala upacara perkawinan! ”
“B0leh saja! Kau mau melaksanakan apa padanya saya mana mau peduli Mangar! Tapi yang penting cari dulu benda sakti itu. Aku yakin beliau selalu membawa ke mana beliau pergi! ”
“Bangsat kurang ajar! Angkat tanganmu dari tubuhku! ”
“Waw! Waw! Tubuh begini mulus! Bukan main! ”
“Bedebah jahanam! Aku bersumpah akan mematahkan lehermu! ”
“0h0i! Aku rela mati di tanganmu asal sudah bisa melihat kebagusan tubuhmu dan menikmatinya! Ha… ha… ha…! ”
Diam sejenak. Lalu , “Kek! Aku menemukan benda itu! ”
“Bagus! Lekas serahkan padaku dan tinggalkan tempat ini! ”
“Apa!? Bukankah… ”
“Ya… ya! Terserah padamu kau mau berbuat apa! Aku sudah sanggup paku sakti ini! Aku pergi duluan! ”
“Aku tak bakal usang Kek! Apa kau tak mau menunggu dulu! Mungkin juga mau melihat bagaimana saya bersenang-senang dengan gadis anggun jelita ini?! ”
“Aku sudah lebih dari puas mendapatkan benda ini! Kau b0leh mengurusi gadis itu sesukamu. Tapi ingat , dua malam di muka , kau menemuiku di tempat yang sudah ditentukan!” Yang bicara ini , Pengemis Sinting Muka Belang , balikkan tubuhnya dan berkelebat pergi membawa kant0ng kain milik Anggini yang di dalamnya tersimpan lebih dari tiga lusin senjata rahasia berupa paku perak.
Mangar putar tubuhnya kemudian melangkah mendekati Anggini yang dikala itu tertegak kaku dengan kedua tangan terentang ke samping. “Pemuda keparat! Apa yang hendak kau lakukan! Berani kau menyentuh tubuhku…!”
“Mengapa saya tidak berani!” jawab Mangar kemudian tangan kanannya bergerak menarik r0bek dada pakaian ungu Anggini. Gadis ini terpekik. Mangar keluarkan bunyi menggeru melihat dada yang tersingkap p0l0s itu. Kedua tangannya meremas penuh nafsu.
Namun beliau tak bisa menikmati apa yang dilakukannya itu lebih lama. Dua larik cahaya hijau menyambar ke arah kepala Mangar. Cucu yang juga murid Pengemis Sinting Muka Belang ini tak terdengar menjerit dan tak sempat mengetahui apa yang membunuhnya. Kepalanya hancur berkeping-keping! Darah dan kepingan tulang serta daging muncrat. Sebagian mengenai wajah dan pakaian Anggini , menciptakan gadis ini menjerit ngeri setengah mati.
Mangar yang kini tanpa kepala mengepulkan asap di bagaian lehernya yang putus. Tubuh yang kini menjadi kehijauan itu jatuh tergelimpang. Dalam keadaan kesakitan dan muka masih pucat menyerupai mayit , tiba-tiba Anggini melihat s0s0k se0rang perjaka hanya mengenakan selembar cawat berdiri di hadapannya. Memandang tepat ke arahnya dengan sepasang matanya yang hijau menggidikkan. Ada kilatan cahaya aneh dalam dua mata itu , yang kemudian perlahan-lahan meredup kemudian lenyap.
“Kau… kau tak apa-apa…?” perjaka bercawat bertanya. Suaranya serak bergetar. Sepertinya beliau tengah menahan gej0lak yang ada dalam tubuhnya.
“Kau…” Anggini merasa lidahnya kelu. “Kau men0l0ngku , terima kasih…” Gadis ini diam sebentar , berpikir. “Ciri-ciri insan ini sepertinya…”
“Apa yang ada dalam benakmu?” tiba-tiba perjaka itu bertanya. “Kau… kau… Bukankah kau perjaka berjulukan Sandaka itu…?” Kilatan sinar aneh kembali membersit di sepasang mata hijau si pemuda. “Kita tidak pernah kenal. Tidak pernah bertemu sebelumnya. Mengapa kau bisa tahu namaku…?”
“0rang-0rang rimba persilatan banyak membicarakan dirimu…”
“Aku sudah tahu hal itu…” kata perjaka bercawat yang memang yaitu Sandaka Art0 Gampit0 , perjaka yang menjadi budak nafsu Dewi Ular itu. “Ini punyamu…?” Sandaka ulurkan selendang ungu yang dipegangnya.
Anggini mengangguk. Dia tak bisa menggerakkan tangan untuk mengambil selendang itu.
Sandaka ulurkan tangannya kemudian lingkarkan selendang ungu itu di leher Anggini. Sepasang mata hijau si perjaka tiba-tiba menatap ke arah dada yang tersingkap. Dua b0la mata meny0r0tkan sinar aneh , menciptakan Anggini jadi bergeming. Tiba-tiba dua tangan Sandaka bergerak ke arah dada gadis itu. Anggini semula hendak berteriak mengancam. Namun ketika dilihatnya Sandaka hanya menarik ujung bajunya dan merapatkannya hingga dadanya tertutup , rahasia gadis ini menjadi lega. “Aneh , beliau tidak sejahat yang dipergunjingkan 0rang…”
“Apa yang ada dalam benakmu?” Sandaka bertanya yang menciptakan Anggini jadi tercekat.
“Tidak… tidak ada apa-apa…”
“Aku tahu kau memikirkan sesuatu…” kata si pemuda. Lalu beliau berpaling pada mayit tanpa kepala yang tergeketak di tanah. “Siapa insan itu? Kenapa beliau hendak berlaku jahat padamu?”
“Namanya Mangar. Dia cucu se0rang kakek muka belang mengaku berjuluk Pengemis Sinting Muka Belang. Dia merampas barang milikku… Kini sudah dilarikan kakeknya.”
“Barang apa?”
“Senjata rahasiaku. Sekantung paku…”
Sandaka bersurut dua langkah. Sepasang matanya kelihatan menyala hijau. Tampangnya jadi sangat angker yang menciptakan Anggini kembali bergidik. “Paku terbuat dari baja murni?!”
Murid Dewa Tuak menggeleng. “Paku itu terbuat dari perak putih… ”
Wajah Sandaka perlahan-lahan tampak berubah tenang. “Mengapa mereka merampas benda itu darimu? ”
“Aku tak tahu… Mungkin ada sangkut pautnya dengan dirimu… ”
“Kau tahu banyak perihal keadaanku! Siapa namamu? ”
“Anggini… ”
“Kurasa saya bisa berteman denganmu. Makara kau harus ikut kau…” Anggini menggeleng dan cepat berkata. “Kau telah men0l0ngku. Aku berterima kasih. Itu sudah cukup. Jangan kau bawa diriku… ”
“Kau takut padaku? ”
“Kau… kau mungkin 0rang baik. Tapi kau berada di bawah suatu kekuatan jahat… ”
Dua b0la mata Sandaka membesar. “Maksudmu Dewi Ular…” tanyanya dengan bunyi bergetar. Anggini tak menjawab “Aku perlu sahabat untuk tukar pikiran. Kurasa kau 0rangnya.
Kau harus ikut saya Anggini! ”
“Tidak , kau pergi sajalah! ”
Sandaka membuka mulutnya lebar-lebar. “Kau menguap!” ujar Anggini.
“Sudah setahun saya tak pernah tidur. Kurasa waktunya sudah hampir tiba. Mungkin satu atau dua hari di muka. Jika saya tidur , harus ada sese0rang menjaga diriku… ”
“Dewi Ularmu bisa melaksanakan itu…” kata Anggini pula.
“Ada sesuatu yang tidak beres dalam diriku. Setiap kali saya menyadari hal ini , timbul dendam besar terhadap perempuan itu… ”
“Di hadapanku kau berkata begitu. Aku mencium maksud jahat tersembunyi terhadap diriku dalam 0takmu… Bukankah kau kekasih Kunti Arimbi alias Dewi Ular? ”
“Dia suka padaku. Aku memang tergila-gila padanya. Tetapi tetap saja saya merasa ada yang tidak beres. Belum selang berapa usang saya bahkan telah membunuh guruku sendiri atas perintahnya… ”
“Berarti kau juga bisa membunuh siapa saja atas kemauan perempuan itu , termasuk diriku! ”
Sandaka menyeringai. “Kalau itu memang terjadi , angap saja itu sudah suratan takdirmu! ”
“Gila!” teriak Anggini. Sandaka kembali menyeringai. Dia rundukkan tubuhnya sedikit. Di lain dikala Anggini sudah berada di atas panggulan pundak kirinya. “Turunkan! Lepaskan diriku! ”
teriak Anggini. Sandaka tertawa lebar. Ketika beliau hendak berkelebat meninggalkan tempat itu , tiba-tiba satu bayangan berkelebat menghadangnya disusul bunyi membentak keras.
“Turunkan gadis itu!”
Anggini kenali bunyi 0rang yang membentak. Dia segera berseru , “Wir0!” Dua b0la mata hijau Sandaka memandang ke depan. Enam langkah di depannya berdiri se0rang perjaka berambut g0ndr0ng berpakaian serba putih. “Lepaskan gadis itu!” murid Sint0 Gendeng kembali membentak.
Sandaka menyeringai. “Kalau kau merasa sanggup mengambilnya , silakan c0ba!” Sepasang mata perjaka ini mengeluarkan kilauan aneh. Dua mata itu mengedip. “Wussss! Wussss!”
Dua sinar hijau menyambar dengan dahsyat ke arah Wir0. Pendekar 212 berseru kaget. Dia cepat menyingkir seraya menangkis dengan menghantamkan tangan kanan ke depan. Sinar putih menyilaukan merambas menghantam dua larik sinar hijau maut yang keluar dari sepasang mata Sandaka. “Bummmmm!”
Wir0 terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya menyerupai kaku dan panas. Terhuyung-huyung beliau berdiri. Dadanya berdenyut sakit. Kepalanya menyerupai ditusuk-tusuk. Sandaka dan Anggini tak kelihatan lagi bayangannya. Tengkuknya merinding ketika melihat bagaimana pakaian putihnya telah berubah menjadi kehijau-hijauan! Dia memandang berkeliling. Dan lebih merinding lagi melihat bagaimana beberapa p0h0n di sekitarnya hancur rambas mengepulkan asap kehijauan!
“Celaka… mengapa jalan nafasku mendadak menjadi sesak…?” Wir0 pegang dadanya. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Dia mengeluh tinggi ketika kepalanya serasa dipalu. Lalu perlahan-lahan pemandangannya menjadi gelap. Bersamaan dengan itu mukanya jadi kehijauan.
Sesaat lagi beliau akan r0b0h tak sadarkan diri ketika tiba-tiba ada bunyi berker0ntang mengiang di dua liang telinganya. Dia mengenali bunyi itu tapi hanya bisa berdesah. “Ah Kek… saya yang muda terpaksa mendahuluimu…”
Murid Sint0 Gendeng keluarkan bunyi mengerang panjang. Sebelum tubuhnya tersungkur ke tanah , tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. bersamaan dengan itu ujung sebuah t0ngkat butut men0t0k dengan telak urat besar di lehernya sebelah kanan. Lalu ada bunyi 0rang menarik nafas panjang. “Sekejapan saja saya terlambat men0t0k jalan darahnya , nyawa anak edan ini pasti tak akan ket0l0ngan!” Lalu di tempat itu kembali menggema bunyi ker0ntang
kaleng.
Sinar terang sang surya yang gres terbit menciptakan kel0pak mata yang tertutup itu bergerakgerak kemudian perlahan membuka. “Anak setan! Kau sudah siuman rupanya!” Itu bunyi pertama yang ditangkap Wir0 sebelum beliau mendengar bunyi ker0ntangan kaleng yang menyerupai hendak mer0bek-r0bek gendang telinganya. Dia t0pangkan kedua sikunya ke tanah. Dengan susah payah beliau menc0ba berdiri sambil buka mata. Di hadapannya terpampang wajah keriputan di bawah caping lebar menyeringai padanya.
“Bersyukur pada Gusti Allah! Kau tak hingga mampus 0leh racun mata Sandaka…” Agak usang murid Sint0 Gendeng memahami ucapan 0rang bau tanah di hadapannya. Lalu beliau ingat apa yang terjadi. Sebelum beliau jatuh pingsan , ada t0t0kan melanda urat besar di lehernya. T0t0kan itulah yang men0l0ngnya.
“Tuhan memang Maha Besar dan Maha Pen0l0ng! Tapi kalau kau tidak muncul tepat pada saatnya dan men0t0k jalan darahku , mana mungkin dikala ini saya masih bisa bernafas! Aku berterima kasih padamu Kek…!”
“Kau berterima kasih padaku puah! Apa kau kira Dewa Tuak akan berterima kasih padamu anak t0l0l?!” ujar 0rang bau tanah bercaping berpakaian r0mbeng penuh tambalan. Dia mengepit t0ngkat butut di ketiak kanan sedang di tangan kiri ada sebuah kaleng butut yang selalu mengeluarkan bunyi berisik setiap diker0ntangkan.
“Eh , apa maksudmu Kek?” tanya Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba ingatannya pulih menyeluruh. “Astaga! Anggini!” katanya setengah berseru dengan wajah berubah. “Pemuda bercawat itu! Sandaka! Dia menculik Anggini!”
Si kakek gelengkan kepalanya dengan wajah rawan. “Bebanmu jadi tambah berat , saya tak tahu kenapa hingga jadi begini. Tapi saya melihat ada satu ganjalan antara kau dan gadis itu…”
Wir0 tarik nafas dalam. “Aku merasa bersalah. Aku minta petunjukmu Kek , apa yang harus saya lakukan?”
“Menurut penglihatanku , untuk beberapa waktu gadis itu cukup aman…”
“Cukup k0ndusif katamu Kek? Apa kau sudah sin…” Wir0 tak teruskan ucapannya. “Kau tahu sendiri siapa Sandaka. Pembunuh edan tak pandang bulu! Aku bukan saja mengkhawatirkan nyawa gadis itu , tapi juga keh0rmatannya…!”
“Menurut apa yang saya tahu , ada hari-hari di mana Sandaka berada di luar efek bejat Dewi Ular. Mudah-mudahan saja dikala ini beliau dalam keadaan menyerupai itu. Ini bukan berarti kita hanya berlepas tangan. Gadis itu biar saya yang mencarinya , kau tetap saja pada apa yang menjadi tugasmu…”
“Aku tahu tugasku. Mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Tetapi sesuatu terjadi sebelum Sandaka melarikan Anggini. Ada 0rang yang melarikan diri dari tempat ini , meninggalkan satu s0s0k mayit tanpa kepala itu…” Wir0 menunjuk pada mayit Mangar.
Kakek Segala Tahu g0yang-g0yangkan kaleng r0mbengnya. “Kau bisa melihat siapa 0rang itu Kek?” tanya Wir0.
Kakek Segala TAhu kembali ker0ntangkan kalengnya beberapa kali kemudian berkata , “Tak sanggup kupastikan siapa 0rangnya. Kawannya yang satu ini tak punya kepala. Mana mungkin saya mengenalinya. Tapi turut penglihatanku , 0rang yang kabur itu telah mencuri sesuatu dari murid Dewa TUak… Mungkin kau bisa menduga-duga? ”
“Maksudmu ada hubungannya dengan insiden besar dalam rimba persilatan dikala ini? ”
“Tentu , ada kaitannya dengan Sandaka dan Dewi Ular… ”
Wir0 termenung. Garuk-garuk kepala. Dia hampir mengalah ketika tiba-tiba beliau ingat pembicaraan di tempat kediaman Dewa Tuak di puncak bukit. “Kuharap saja dugaanku tak meleset. 0rang itu merampas paku perak yang menjadi senjata rahasia Anggini.”
“Kau betul anak edan. Tapi mengapa beliau merampasnya?” tanya Kakek Segala Tahu pula.
“Mudah saja jawabnya Kek. Dia mengira paku itu yaitu paku baja putih murni yang bisa melumpuhkan Sandaka!”
Kakek Segala Tahu ker0ntangkan kalengnya. “Kita tak punya waktu banyak. Aku akan mengejar perjaka itu. Tugasmu mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Sang datuk yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia mempunyai paku baja murni itu. Menurut penglihatanku , beliau memang mempunyai keinginan menguasai rimba persilatan. Tapi lantaran temahak , beliau juga ingin mencari untung sendiri. Berpura-pura menjual atau menukarkan paku sakti itu dengan benda-benda berharga. Pada gilirannya gres beliau akan melumpuhkan dan menguasai Sandaka. Hanya satu yang belum saya tahu , kapan perjaka itu akan tidur. Datuk Bululawang pasti tahu kira-kiranya…”
“Aku tak akan membuang waktu Kek. Aku akan segera mencari sang datuk dan Dewi Ular…”
“Baik , kita berpisah di sini!” kata si kakek , kemudian ker0ntangkan kaleng bututnya. Baru saja beliau hendak putar langkah , tiba-tiba terdengar bunyi tawa melengking tinggi dan panjang di kecerahan pagi. Kakek Segala Tahu tercekat , Pendekar 212 lekas berdiri berdiri.
“Aku mencium ancaman besar!” ujar si kakek. Lalu beliau mengambil sebuah benda di bawah caping bambunya. Secepat kilat benda itu dilemparkannya ke dalam verbal Wir0 seraya berbisik , “Lekas kau telan benda dalam mulutmu itu!”
“Kek…”
“Anak edan t0l0l! Telan saja benda yang dalam mulutmu itu kalau tidak mau celaka!” sentak Kakek Segala Tahu kemudian ker0ntangkan kalengnya.
Meski tidak mengerti , namun Wir0 kesannya cepat menelan benda yang ada dalam mulutnya.
Mulut , pengecap dan tengg0r0kannya terasa pahit. Dia hampir muntah tapi cepat ditahan. Saat itu bunyi tawa terputus dan kini di hadapan Wir0 dan Kakek Segala Tahu berdiri se0rang perempuan muda anggun luar biasa.
Perempuan ini tegak di atas gundukan tanah yang agak ketinggian. Angin pagi meniup pakaian hijau tipis yang membungkus tubuhnya. Dari tempatnya berdiri , Pendekar 212 sanggup melihat s0s0k tubuh perempuan itu dengan jelas. Dadanya berdebar , darahnya terasa mengalir lebih cepat dan wajahnya menjadi hangat. Terlebih lagi ketika angin pagi menghembuskan busuk harum yang keluar dari tubuh perempuan itu. Di atas kepalanya perempuan ini memakau sebuah mahk0ta berbentuk kepala ular. Sepasang mata ular ini terbuat dari sepasang permata berwarna hijau memancarkan sinar berkilauan.
“Anak t0l0l , apa kau sudah tahu dikala ini siapa yang berdiri di hadapan kita…?” Kakek Segala Tahu berbisik. Meski terangsang melihat kecantikan dan aurat di balik pakaian hijau tipis itu , namun ditanya menyerupai itu mau tak mau murid Sint0 Gendeng jadi bergetar juga hatinya. Dia mengangguk dan dengan pengecap agak kelu serta bunyi tersendat beliau menjawab , “Aku sudah tahu Kek , aku…”
Ucapan Wir0 terputus. Perempuan anggun bermahk0ta di hadapan mereka membuka mulut.
“Pemuda gagah berambut g0ndr0ng. Kudengar tadi kau berucap hendak mencariku.
Peruntunganmu lagi mujur rupanya. Kau usah susah-susah mencari. Aku Dewi Ular sudah muncul di hadapanmu…”
Wir0 berdehem beberapa kali sementara Kakek Segala Tahu mend0ngak memandang ke langit. “Ada keperluan apa kau mencariku? Maksud buruk atau baik?! ”
“Hmmm…” Wir0 bergumam. “Bisa buruk bisa baik ,” jawabnya kemudian.
“Katakan dulu yang baiknya…” ujar Dewi Ular sambil tersenyum.
“Aku sudah usang mendengar nama besarmu. Selain sebagai 0rang berkepandaian tinggi dengan julukan angker , kabarnya kau juga anggun jelita. Ternyata kabar itu tidak b0h0ng. Aku merasa untung bisa bertemu denganmu dikala ini.”
Kunti Arimbi alias Dewi Ular tersenyum. “Lalu apa buruknya? ”
“Nama besar dan tindakanmu telah menggegerkan rimba persilatan Tanah Jawa. Kau melaksanakan pembunuhan-pembunuhan keji dengan meminjam tangan se0rang perjaka yang masuk ke dalam perangkapmu… Ini menciptakan rep0t dan murka semua 0rang… ”
“Hmmm… apa kau juga ikut-ikutan rep0t?” tanya Dewi Ular sambil menatap tajam pada Wir0 namun bibirnya tersenyum.
Murid Sint0 Gendeng tertawa. Di sebelahnya Kakek Segala Tahu memaki. “Anak t0l0l!
Mengapa pakai tertawa segala bicara dengan iblis perempuan itu! ”
“Dewi Ular , saya menyirap kabar bahwa kau ingin menguasai rimba persilatan. Tapi cara yang kau lakukan sesat dan keji… Semua 0rang menentang perbuatanmu itu , termasuk aku… ”
“Kalau saya menguasai dunia persilatan secara baik-baik , apakah kau mau membantu? ”
Pertanyaan ini menciptakan verbal Pendekar 212 terkancing sesaat. “Mungkin saja… Hanya sayang kau telah terlanjur masuk ke jalan sesat. Tak mungkin keluar lagi…” Dewi Ular angkat kepalanya. Lehernya tampak jenjang dan putih. Dia tertawa perlahan kemudian memandang pada Wir0 sambil mengedipkan matanya dua kali.
“Anak muda , buruk dan baik , kebajikan dan kekejian di masa kini ini tergantung dari mana 0rang memandang. Kalaupun pandangannya benar maka batas antara keduanya setipis kabut pagi yang akan lenyap begitu sang surya menampakkan diri. Agar kau lebih mengenal diriku dan apa yang akan saya kerjakan , kuanggap kau perlu ikut denganku… ”
“Ikut denganmu? Ke mana?” tanya Wir0 berlagak b0d0h.
Dewi Ular tertawa. “Banyak yang bisa kita kerjakan berdua… Kalau dunia persilatan bisa kukuasai , apa kau tidak merasa senang berada di sampingku , jadi 0rang kepercayaanku? ”
“Ah , tidak sangka kau baik sekali. Tapi saya khawatir di balik kebaikan itu ada maksud terselubung. Lagi pula bukankah kau sudah punya perjaka gagah berjulukan Sandaka Art0 Gampit0 itu? ”
“Hai , tidak sangka ternyata kau merasa cemburu pada perjaka satu itu. Hik… hik… hik! ”
Tampang Wir0 jadi bersemu merah. “Siapa cemburu padanya? Dia siapa , kau siapa dan saya ini siapa?! ”
Dewi Ular kembali tertawa. “Anak muda saya akan tetap membawamu. Suka atau tidak suka.
Kalau kau berlaku baik saya pasti baik padamu. Imbalan yang bakal kau sanggup berlipat ganda… Jangan kau andalkan kepandaian yang kau miliki untuk melawanku… Aku butuh bantuanmu untuk menyingkirkan beberapa t0k0h silat kawakan. ”
“C0ba kau tanyakan siapa saja t0k0h yang dimaksudkannya itu…” bisik kakek Segala Tahu.
“Eh , siapa si bau tanah bangka berbisik-bisik di sampingmu itu…?” tanya Dewi Ular se0lah gres melihat kehadiran Kakek Segala Tahu di tempat itu.
“Tidak usah pedulikan dia. Aku hanya ingin tahu siapa-siapa t0k0h silat yang hendak kau singkirkan itu? ”
“Aku tidak keberatan mengatakannya ,” jawab Dewi Ular sambil tersenyum. “Pertama kita berdua akan mencari Datuk Bululawang. Bukankah kau mengincar insan satu itu? Kau membantuku dan saya membantumu… ”
“Tapi kita punya alasan berbeda!” jawab Wir0.
“Kau cukup cerdik!” puji Dewi Ular sambil kerdipkan mata kirinya. “Jelas alasan kita berbeda tapi tujuan kita sama. Mengapa perlu diributkan? ”
Di sampingnya , Kakek Segala Tahu berbisik. “Jangan berdebat dengan perempuan iblis itu.
Kau punya kesempatan merampas paku baja putih dari Datuk Bululawang… ”
“Siapa k0rbanmu selanjutnya?” Wir0 bertanya.
“Se0rang dedengk0t rimba persilatan. Berb0b0t lebih dari 160 kati. Tukang ng0r0k namanya si Raja Penidur… ”
“Kurang didik , beliau sahabatku dan sudah kuanggap sebagai guru atau kakek sendiri!” teriak Wir0.
Dewi Ular tertawa panjang. “Itu anggapanmu. Tapi berdasarkan anggapanku beliau yaitu penghalang besar untuk mencapai cita-citaku! ”
“Benar-benar perempuan Iblis ,” teriak Wir0 dalam hati. “Siapa lagi k0rbanmu selanjutnya , ” murid Sint0 Gendeng bertanya.
“Se0rang nenek buruk berjulukan Sint0 Gendeng! ”
“Perempuan iblis , Sint0 Gendeng yaitu guruku!” teriak Wir0.
“Kalau gurumu memangnya kenapa? Apa beliau dihentikan mati?” tukas Dewi Ular sambil tertawa cekikikan.
“Jahanam!” Pendekar 212 tidak dapt lagi menahan kesabarannya. Dia hendak mel0mpati perempuan di hadapannya , tapi kakek Segala Tahu mengulurkan t0ngkatnya menahan. “Aku sudah usang tidak bergerak badan!” katanya. “Biar saya meluruskan tulang re0tku dan mengendurkan urat-urat yang sudah kaku! ”
Abis berkata begitu , Kakek Segala Tahu kiblatkan t0ngkat butut di tangan kirinya. Benda ini bergetar keras dan memijarkan cahaya redup. Bersamaan dengan itu tangan kanannya ker0ntangkan kaleng r0mbeng. Suara berisik menggelegar di tempat itu.
“Tua bangka tidak tahu diri! Kau hanya merusak pemandangan dan pendengaranku saja!” hardik Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya. Telapak dibuka dan dihadapkan ke arah ujung t0ngkat yang tiba menusuk ke kepingan kepalanya.
“Crasss!” T0ngkat itu terang menembus telapak tangan Dewi Ular disertai bunyi menggidikkan. Tapi tidak ada darah mengucur. Tapak tangan sama sekali tidak terluka apa lagi berlubang.
“Ilmu Sihir” desis Wir0 dalam hati sementara Kakek Segala Tahu tetap hening saja. Sambil ker0nt0ngkan kaleng di tangan kanannya t0ngkat di tangan kiri kembali berkelebat. Tapi kali ini t0ngkat tidak digunakan untuk menyerang lawan , malah ditusukkan ke perut sendiri.
“Crasss!” T0ngkat menembus perut. Perut jeb0l berlubang. Tapi tidak ada darah. Malah ketika ditarik ususnya muncrat! Wir0 kernyitkan kening sedang Dewi Ular sempat tergagau melihat apa yang terjadi.
“Kek!” seru Wir0.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Ay0 serang lagi! Aku pasti bisa menirukan apa yang kau lakukan!” kata Kakek Segala Tahu.
“Tua bangka s0mb0ng! Lihat seranganku!” teriak Dewi Ular merasa direndahkan. Dua tanganya dis0r0ngkan ke depan.
“Wutt! Wutt!!”
“Sett! Sett!”
Sepasang tangan yang dipukulkan lurus ke depan itu berubah menjadi dua ek0r ular. Yang di kiri berwarna hijau pekat sedang yang kanan berwarna c0klat kemerahan!
“Wuttt! Bettt! Bettt!” T0ngkat kayu di tangan kiri Kakek Segala Tahu membabat di udara.
“Dess! Dess! ”
“Traakkk! ”
Bagian belakang kepala ular jadi-jadian hancur dan putus dihantam t0ngkat. Sebaliknya t0ngkat kayu Kakek Segala Tahu patah dua.
Selagi Kakek Segala Tahu terkejut melihat insiden itu , tiba-tiba dua kepala ular yang buntung dan jatuh ke tanah melesat ke atas , menancap di leher kiri kanan.
Wir0 berteriak kaget. Kakek Segala Tahu pergunakan tangan kiri dan kanan untuk membet0t lepas kepala ular itu dari lehernya kemudian meremasnya hingga hancur! Sadar ancaman besar mengancam jiwa , kakek ini segera ambil dua butir 0bat dari balik capingnya dan cepat menelannya. Tiba-tiba beliau meraung. Dadanya menyerupai ditusuk besi panas. Dari mulutnya keluar busa darah.
“Kek!” teriak Wir0 seraya bergerak hendak merangkul 0rang bau tanah itu. Namun dari samping Dewi Ular kebutkan pakaian hijaunya. Selarik cahaya hijau menyambar menciptakan Pendekar 212 terpaksa menyingkir dan mel0mpat mundur.
“Perempuan iblis! Kau membunuh kakekku ,” teriak Wir0 menggeledek.
“00 , jadi beliau kakekmu! Kenapa tidak bilang dari tadi? Tadi kau bilang tak usah pedulikan.
Kasihan ajalnya sudah di depan mata!”
“Perempuan jahanam! Rasakan ini” dalam marahnya , murid Sint0 Gendeng mengerahkan semua tenaga dalamnya ke tangan kanan. Serta merta lengan sebatas siku ke bawah menjadi putih perak menyilaukan. Tangan itu kemudian dihantamkan ke arah Dewi Ular. Pukulan Sinar Matahari!
Cahaya putih yang sangat panas menyambar ke arah Dewi Ular. Perempuan itu hanya tercekat sesaat. Kedua lututnya menekuk. Di lain kejap tubuhnya melesat ke atas. Gerakan perempuan ini luar biasa cepatnya. Pukulan Sinar Matahari lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua larik sinar hijau yang membawa angin sederas badai prahara menyambar Pendekar 212. Pukulan Sinar Matahari menghantam amblas beberapa p0h0n dan semak belukar yang serta merta kemudian dik0bari api.
Sebaliknya , dua larik pukulan yang dilepaskan Dewi Ular menciptakan Pendekar 212 menyerupai ditindih gunung. Dia berusaha bertahan sambil berusaha membalas pukulan “Tameng Sakti Menerpa Hujan” dan “Benteng T0pan Melanda Samudra.”
Akibat yang terjadi luar biasa. Di udara kelihatan dua sinar hijau mencelat ke atas berbuntalbuntal disertai letusan-letusan keras. Kelihatannya dua pukulan sakti yang dilepaskan Wir0 bisa memusnahkan serangan lawan. Nyatanya tidak , lantaran dikejapan berikutnya ketika tubuhnya masih melayang di udara , Dewi Ular d0r0ngkan dua telapak tangannya ke bawah.
Dua pukulan sakti yang dilepaskan Wir0 berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Celaka! Jahanam ini ternyata luar biasa ilmu dan tenaga dalamnya!” keluh Wir0 sambil menjauh cari selamat.
“Bummmm! Bummm!”
Serangan Dewi Ular menghantam. Tanah , pasir dan batu-batuan muncrat beterbangan. Di tanah kelihatan dua buah l0bang sedalam dua jengkal.
Wir0 merasa kedua lututnya g0yah ketika beliau berusaha bangkit. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah keluar. Baru sempat berdiri lurus tiba-tiba Dewi Ular sudah berada dua langkah di depannya. Wir0 kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Dewi Ular bergerak mendahului. Kedua tangannya dipergunakan untuk menyingkap pakaian hijaunya di kepingan tengah. Perut Dewi Ular tersingkap p0l0s dan putih. Pusarnya menyembul. Wajahnya kelihatan menjadi kaku , pandangan matanya meny0r0t mengidikkan.
Tiba-tiba dari pusar perempuan itu melesat sebuah benda yang ternyata yaitu seek0r ular hitam berkepala putih. Binatang ini melesat ke arah Wir0 eksklusif mematuk kepingan dadanya.
Murid Sint0 Gendeng mengeluh tinggi. Dada pakaiannya yang r0bek tampak berair 0leh darah. Kepalanya pening. Tubunya mendadak terasa sangat hambar hingga beliau menggigil dan kesannya r0b0h tak sadarkan diri.
Letih berteriak minta diturunkan dan dilepaskan , kesannya Anggini hanya bisa berdiam diri.
Dalam kegelapan malam menjelang pagi , Sandaka melarikannya laksana terbang. Anggini sendiri mempunyai ilmu lari cepat dan beliau pernah melihat beberapa 0rang t0k0h silat berlari sangat cepat , namun belum pernah ia melihat ilmu lari sehebat yang dimiliki Sandaka. Lamalama tanpa disadarinya kesannya gadis itu tertidur. Pemuda bercawat itu memanggul dan melarikannya ke arah Barat.
Ketika Anggini terbangun dari tidurnya hari telah siang dan Sandaka masih terus membawanya lari. Dalam hati murid Dewa Tuak ini membatin. “Luar biasa! Sejak malam hingga siang begini beliau masih terus lari. Tidak kelihatan lelah bahkan kecepatannya pun tak berkurang. Apa beliau tidak haus dan lapar? Apa beliau tidak akan berhenti untuk istirahat?
Anehnya lagi , sekujur tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan keringat… ”
“Apa yang ada dalam benakmu?!” tiba-tiba Sandaka bertanya menciptakan Anggini terkejut.
“Dia mempunyai kepandaian membaca pikiran 0rang. Sudah berapa kali insiden setiap saya berpikir dan membatin beliau lantas bertanya.” Lalu gadis itu berkata. “Kau lari secepat setan.
Hendak kau bawa ke mana saya ini? Apa kau tidak mau melepasku? ”
“Sekarang ini apapun yang terjadi saya tidak akan melepaskanmu. Sudah saya katakan saya perlu sahabat untuk bicara , untuk tukar pikiran. Harap kau diam saja. Jangan banyak bicara biar kita lekas sampai. ”
“Sampai ke mana?” tanya Anggini.
“Lihat saja nanti. Perjalanan masih cukup jauh , mungkin malam hari kita gres sampai. ”
Anggini terdiam. Dalam benaknya muncul banyak sekali pikiran. Dari yang dilihatnya perjaka berjulukan Sandaka itu tak sejahat menyerupai kata 0rang. Walau beliau tidak tahu mau dibawa ke mana tapi entah mengapa beliau merasa aman. Lalu tiba-tiba muncul wajah Wir0 di pelupuk matanya.
Bagaimana keadaan perjaka itu sekarang? Terakhir sekali dilihatnya perjaka itu terbanting ke tanah akhir bentr0kan pukulan sakti dengan Sandaka.
“Siapa yang sedang kau pikirkan?” pertanyaan Sandaka mengejutkan Anggini.
“Lagi-lagi beliau tahu saya sedang memikirkan sesuatu ,” kata gadis itu dalam hati.
“Aku tahu kau pasti memikirkan perjaka itu. Aku dengar kau menyebut namanya Wir0… ”
“Kau telah mencelakainya! ”
“Dia mencari penyakit. Memerintahkan melepaskanmu. Apa kau ini miliknya?! ”
“Aku bukan miliknya , Juga bukan milikmu!” jawab Anggini.
Sandaka menyeringai dan terus berlari. “Dia mempunyai pukulan sakti yang hebat. Kalau saya lambat bertindak , bisa celaka… Sudahlah. Aku tak suka membicarakan perjaka itu. Lebih baik kau tidak banyak bicara. Tidurlah kembali.”
Dalam hati Anggini mengumpat. Namun dikala itu beliau memang tidak punya daya. Kedua tangannya masih meregang kaku. Dia c0ba menggerakkan kaki. Tapi Sandaka tahu gelagat cepat mengancam. “Kalau kau berani pergunakan kaki untuk menghantamku , jangan kira saya tidak tega mematahkan tulang keringmu! ”
Dalam kesal dan tak bisa berbuat apa-apa kesannya Anggini menentukan tidur saja. Kedua matanya dipejamkan. Untuk kedua kalinya gadis ini tertidur di atas pundak Sandaka. Sewaktu beliau bangun , didapatinya sekelilingnya dalam keadaan gelap. “Lama sekali saya tertidur. Di mana saya berada dikala ini?” Anggini berpikir-pikir sambil memandang berkeliling. Gelap. Di kejauhan terdengar bunyi jangkrik dan hewan malam lainnya.
“Pemuda itu , di mana dia…?” Anggini bertanya-tanya dalam hati. Dia memandang lagi berkeliling dan didapatinya dirinya terbaring di satu tempat. KemudiaN disadarinya kedua tangannya tidak meregang kaku lagi. Segera beliau berdiri berdiri. Ketika diperhatikan lebih seksama tempat beliau berbaring tadi , ternyata sebuah gundukan tanah ditumbuhi rumput liar.
Dia memperhatikan lebih seksama lagi. Astaga! Gundukan tanah itu yaitu sebuah makam!
Kuburan! Dia keluarkan pekik kecil. Dengan rasa tegang beliau dekati salah satu ujung gundukan di mana terpancang sebuah papan nisan yang sudah lapuk. Di situ tertera sebaris tulisan. Selain keadaan yang gelap , g0resan pena itu juga sudah tidak kentara lagi. Anggini membungkuk menc0ba membaca nama yang tertera di papan nisan itu.
Tiba-tiba satu tangan hambar memegang bahunya. Si gadis terl0mpat dan berseru kaget.
“Namanya Mantili…” terdengar satu bunyi berkata di belakangnya. Anggini putar tubuh dengan cepat.
“Ah , beliau rupanya..” desis murid Dewa Tuak ini sedikit lega. “Si… siapa 0rang yang berjulukan Mantili yang barusan kau sebutkan itu? ”
“Kau ingin tahu nama di papan nisan itu bukan? 0rang yang dikubur di sini se0rang gadis berjulukan Mantili. ”
“Apa maksudmu membawa saya ke tempat ini? Kau sengaja membaringkan saya di atas kuburan! Siapa gadis berjulukan Mantili itu? ”
“Pertanyaanmu banyak sekali. Akan kujawab satu per satu!” sahut Sandaka. “Pertama , maksudku membawamu ke mari lantaran kurasa inilah satu-satunya tempat yang paling k0ndusif di dunia. Kedua , saya sengaja membaringkan kau di atas kubur biar kau menyadari bahwa bahwasanya hidup insan itu erat sekali dengan liar kubur alias kematian! ”
“Jangan-jangan beliau hendak membunuhku…” pikir Anggini.
“Katakan apa yang ada dalam benakmu!” Sandaka bertanya dengan pandangan mata tak berkedip.
“Tidak , saya tidak memikirkan apa-apa. Hanya ingin tahu siapa gadis berjulukan Mantili itu… ”
Sepasang mata Sandaka kelihatan hijau berkilat. Ketika sinar hijau meredup , wajah perjaka ini kelihatan sedih , kemudian terdengar suaranya perlahan. “Gadis itu kekasihku. Kami sudah merencanakan kawin. Tapi beliau keburu menemui ajal. Mati dibunuh 0rang!” wajah Sandaka berubah tegang membesi. Dua b0la matanya memancarkan kilatan sinar hijau.
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Anggini ingin tahu.
“Aku!” jawab Sandaka keras tapi wajahnya biasa saja.
Anggini memandang membeliak pada perjaka bercawat itu. “Katamu gadis berjulukan Mantili ini kekasihmu. Bahkan kau akan kawin dengan dia. Lalu mengapa kau membunuhnya? Apa beliau mengkhianatimu?”
Sandaka menggeleng. “Aku membunuhnya lantaran diperintah Dewi Ular!”
Kini bukan saja dua mata Anggini yang membeliak , tapi mulutnya juga terbuka lebar mendengar ucapan Sandaka. “Gila! Kau membunuh gadis yang kau cintai hanya lantaran diperintah Dewi Ular! Aku tidak mengerti insan macam apa kau ini adanya!”
Sandaka menatap Anggini dengan pandangan angker. Kilatan sinar hijau di kedua mata perjaka ini menggidikkan menciptakan si gadis tersurut dua langkah. “aku tidak gila! Aku hanya tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan Dewi Ular… ”
“Apa kau tidak punya niat untuk membunuh perempuan itu hingga kau terlepas dari kekuasaannya yang keji? ”
“Aku tidak melakukannya. Aku tidak mampu. Hanya hati kecilku menimbun dendam terhadapnya! Dendam tapi juga suka! ”
“Aneh! ”
“Apa yang aneh?!” tanya Sandaka dengan bunyi bergetar.
“Kini 0takmu kelihatannya menyerupai waras. Ucapanmu menyatakan bahwa kau menyadari membunuh kekasihmu itu… ”
“Sejak beberapa waktu kemudian memang ada kelainan dalam diriku. 0takku tampaknya berubah jernih walau sangat perlahan… ”
“Mungkin efek jahat Dewi Ular atas dirimu mulai lenyap… ”
“Itu tidak mungkin. Tidak ada yang bisa membebaskan diriku sepenuhnya dari perempuan itu. Aku menyukainya. Dia menciptakan diriku benar-benar jadi lelaki perkasa… ”
“Tadi kau bilang ada kelainan dalam dirimu. Apa saja yang kau rasakan dikala ini…?” tanya Anggini.
“Hmmmm… Tidak ada hal lain. Kecuali saya mulai mengantuk. Ingin tidur tapi belum bisa.
Kalau saya tidur , kau harus menjagaku… ”
Murid Dewa Tuak terdiam. Dia berpikir. “Kalau beliau benar-benar tidur , berarti ini kesempatan baik bagiku untuk melumpuhkannya… ”
“Apa yang ada di benakmu? Kau merancang sesuatu yang licik?!” tanya Sandaka curiga.
Anggini cepat gelengkan kepala. “Aku tidak keberatan menjagamu. Tapi saya tidak tahu berapa usang kau tidur. Satu hari , satu ahad atau satu bulan? ”
“Sekalipun saya tidur satu tahun , kau tetap harus menjagaku! Awas kalau kau berani membantah! Tanganku sudah agak usang tidak memecahkan bat0k kepala manusia! ”
“Manusia edan!” maki Anggini dalam hati. “Bagaimana ada insan berkeadaan menyerupai beliau di dunia ini?! ”
“Aku tahu kau memaki dalam hatimu!” terdengar Sandak berucap. Mulutnya dibuka lebarlebar. Dia menguap. “Mungkin saatnya saya mulai menc0ba tidur… ”
Lalu beliau melangkah mendekati makam kekasihnya. Sesaat beliau memandang pada Anggini.
Setelah itu direbahkannya tubuhnya di atas kuburan itu. “T0l0ng jaga diriku. Tempat ini paling k0ndusif namun kalau ada 0rang yang muncul dan bermaksud jahat , kau tahu apa kewajibanmu! ”
“Kewajiban apa?! ”
“Membunuh 0rang itu! ”
“Gila! ”
Sandaka menyeringai. Sambil pejamkan kedua matanya , perjaka ini berkata. “Jangan c0ba melarikan diri dari sini. Jangan c0ba berbuat sesuatu terhadapku. Kau akan menyesal! ”
Sandaka menguap lebar-lebar. Matanya tiba-tiba terbuka. Setengah berdiri beliau kemudian memandang pada gadis di dekatnya kemudian berkata. “Kau tahu namaku , saya belum tahu namamu… ”
“Aku sudah mengatakannya padamu. Namaku Anggini…! ”
“Anggini… 0h ya… Anggini …” Sandaka merebahkan dirinya kembali di atas makam kekasihnya itu.
Dalam hati Anggini menduga-duga perjaka ini mulai linglung entah diserang kantuk atau memang 0taknya lagi tidak karuan. Dia palingkan kepala ketika beliau dengar Sandaka mendengkur. “Ng0r0k… berarti beliau sudah mulai pulas…” membatin Anggini. Dia berpikir keras tindakan apa yang harus dilakukannya. “Sebaiknya kulumpuhkan dulu dirinya dengan t0t0kan. Kalau beliau sudah tidak berdaya , gres saya pikirkan apa yang selanjutnya akan kulakukan. Membawanya ke tempat guru bukan pekerjaan mudah. Yang paling praktis menghabisinya di tempat ini juga! Pekerjaan selesai dengan cepat dan dunia persilatan terbebas dari malapetaka besar. ”
Memikir hingga di situ Anggini melangkah dengan hati-hati. Tanpa bunyi mendekati Sandaka. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya diluruskan. dipentang sedemikian rupa hingga mempunyai kekuatan menyerupai dua p0t0ng besi. Sebagai murid Dewa Tuak yang merupakan salah se0rang dedengk0t rimba persialatan , gadis ini membekal ilmu t0t0kan tingkat tinggi yang sulit dicari tandingannya lantaran sanggup melumpuhkan , jangankan insan biasa , seek0r gajah pun bisa kaku tegang dibuatnya.
Sandaka ng0r0k terus. Anggini mendekat cepat tanpa suara. Tangan kanannya berkelebat cepat ke arah dada kiri perjaka yang tidur nyenyak di atas kubur kekasihnya. Anggini sengaja melaksanakan t0t0kan ke urat besar yang berada di erat jantung perjaka itu. Ini memang satu t0t0kan dahsyat dan sangat berbahaya. Sekali sese0rang kena dit0t0k di kepingan ini , pasti sekujur tubuhnya akan lumpuh dan gagu. Namun kalau meleset dari titik kelumpuhan itu , maka 0rang yang dit0t0k bisa meregang nyawa lantaran t0t0kan akan menciptakan jantungnya pecah!
Inilah t0t0kan yang 0leh Dewa Tuak dinamakan “Seribu Lumpuh Seribu Ajal”.
Hanya seujung kuku t0t0kan dahsyat Anggini akan mendarat di dada kiri Sandaka ketika tibatiba satu cahaya hijau pekat menyambar keluar dari dada perjaka itu.
Anggini keluarkan seruan tertahan sewaktu kedua tangan kanannya mulai dari ujung jari hingga ke lengan terus menjalar ke siku terasa menyerupai disengat hawa sangat panas.
Gerakannya men0t0k tertahan se0lah beliau menusuk temb0k baja. Ketika beliau mengerahkan tenaga dalam penuh untuk melawan hawa panas sinar hijau dan halangan yang tidak terlihat , tubuhnya terpental hingga tiga langkah. Kalau beliau tidak cepat mengimbangi diri , gadis ini pasti akan jatuh terbanting ke tanah! Sesaat beliau tertegun pandangi Sandaka yang tampak masih terbaring pulas dan terus meng0r0k , sementara beliau sendiri pergunakan tangan kiri untuk mengusap-usap tangan kanannya yang sakit.
Cahaya hijau di atas dada Sandaka tampak meredup kemudian senyap se0lah amblas masuk ke dalam dada perjaka itu. “Sulit kupercaya dalam keadaan tidur menyerupai itu beliau bisa melindungi diri bahkan menghantamku…” membatin Anggini. Dia berpikir sejenak. Lalu perlahan-lahan beliau tanggalkan selendang sutera ungu di lehernya. Benda ini yaitu senjata andalan murid Dewa Tuak. Pada salah satu ujungnya tertera angka 212. Angka itu dibuat Wir0 dengan ujung jarinya beberapa tahun kemudian , pada suatu malam sehabis mereka memadu cinta. Mau tak mau Anggini sekilas teringat apa yang terjadi di antara beliau dengan Pendekar 212 malam itu.
Mukanya berubah merah dan terasa panas.
“Gila! Mengapa dalam keadaan menyerupai ini saya mengingat dirinya dan insiden malam itu?!”
Anggini memaki sendiri dalam hati. (Untuk membaca kekerabatan apa yang terjadi antara Pendekar 212 Wir0 Sableng dengan gadis murid Dewa Tuak itu , harap baca serial Wir0 Sableng berjudul Maut Bernyanyi di Pajajaran)

“Aku tidak suka melaksanakan ini. Tapi agaknya tak ada jalan lain. Tak mungkin dilumpuhkan.
Terpaksa saya harus membunuhnya!” Anggini segera alirkan tenaga dalamnya ke selendang yang dipegangnya. Walau masih kelihatan lembut , tapi bahwasanya selendang itu telah berubah menjadi satu senjata sekeras dan sekuat besi!
Selangkah demi selangkah gadis itu mendekati s0s0k Sandaka yang mendengkur. Tangan kanannya diangkat ke atas. Dalam jarak yang sangat erat , Anggini kemudian hantamkan selendang suteranya ke arah kepala Sandaka.
“Wutttt!”
Sinar ungu berkelebat. Ujung selendang sekeras besi menderu ke arah kening Sandaka.
Jangankan kepala insan , kerikil pun pasti akan hancur awut-awutan dihantam selendang tersebut. Namun itu tidak terjadi. Dari kepala Sandaka yang menjadi sasaran , keluar cahaya hijau terang sekali , menghantam ke atas.
Anggini terpekik. Tubuhnya mencelat. Selendang di tangannya terlepas. B0b0t berat dan kerasnya lenyap. Selendang ini melayang lembut di udara kemudian jatuh ke tanah , r0bek besar di ujungnya yang tadi digunakan menghantam kepala Sandaka. Anggini sendiri dikala itu tergeletak di tanah. Tangan kanannya tampak berwarna kehijauan , mendenyut sakit bukan kepalang dan hampir tidak bisa digerakkan lagi.
Di hadapannya , di atas kuburan itu s0s0k Sandaka sama sekali tidak bergerak. Suara dengkurannya menggema dalam kegelapan malam. Walau menahan sakit yang amat sangat , dikala itu mau tak mau Anggini merasa kagum akan kesaktian Sandaka meski beliau maklum kehebatan perjaka itu banyak ditentukan 0leh Dewi Ular yang menguasainya. Terhuyunghuyung Anggini bangkit. Pada dikala itulah beliau mendengar bunyi 0rang tertawa mengekeh disusul berkelebatnya satu s0s0k berjubah merah.
Se0rang kakek bermata juling tegak di depan Anggini , di seberang kuburan di mana Sandaka masih enak-enakan tidur mendengkur. 0rang bau tanah ini bertubuh pendek dan di punggungnya ada punuk besar. Di keningnya terikat sehelai kain merah. Tangan kirinya buntung sebatas bahu. Di kepingan ini , jubahnya tampak menyerupai hangus dan ada n0da darah mengering. Yang hebatnya di atas kepalanya insan ini menjunjung sebuah peti besi. Kedua matanya yang juling bergerak-gerak kian ke mari , menatap pulang balik dari Anggini kepada s0s0k Sandaka.
Murid Dewa Tuak yang tadinya hendak memungut selendang ungunya batalkan niat dan perhatikan 0rang bau tanah di depannya dengan penuh waspada , sambil menduga-duga siapa adanya 0rang bau tanah berpunuk , bertubuh pendek dan mengenakan jubah r0bek berwarna merah menyala di seberang kuburan itu.
0rang bau tanah pendek g0yangkan kepalanya sedikit. Peti besi yang ada di kepalanya melayang ke bawah. Peti ini disambutnya dengan kaki kiri kemudian dengan perlahan-lahan peti diletakkannya di atas tanah. “Aku tidak yakin bau tanah bangka itu pemain akr0bat!” kata Anggini dalam hati. Lalu beliau 0l0k-0l0kan pertanyaan. “Kek! siapa kau?”
Mata juling 0rang yang ditanya berputar cepat. Dari mulutnya keluar ledakan tawa. “Gadis anggun tapi t0l0l! Seharusnya saya yang bertanya kepadamu siapa dirimu! Bukan kau yang punya hak menyelidiki diriku! Kau untung bertemu dengan diriku. Kalau dengan bau tanah bangka lain , gadis secantik kau bisa jadi lalapannya! Ay0 bilang , siapa dirimu! Apa sangkut pautmu dengan perjaka yang sedang ng0r0k di atas makam sana?”
Waktu memaki dan berucap , si kakek tidak memandang ke Anggini tapi tetap memandang ke arah Sandaka denga mata berlikat-kilat. Beberapa kali beliau leletkan pengecap basahi bibir. Dalam hati beliau berkata. “Luar biasa! Belum pernah saya melihat tubuh muda sek0k0h ini! Ah , bagaimana ini? Apa saya kerjai atau urusan besar ini saya selesaikan lebih dahulu?” Si kakek buntung melirik ke arah Anggini kemudian berkata. “Aku tidak suka kau berada di sini. Kau
kubebaskan pergi. Lekas sebelum saya berubah pikiran!”
“Kau tidak punya hak mengusirku. Lagi pula saya sudah menciptakan perjanjian dengan perjaka itu untuk menjaganya selama beliau tidur!”
Kakek berpunuk tertawa mengekeh. “Hemmm… benar dugaanku. Makara kau ada kekerabatan apa-apa dengan perjaka di atas makam. Dengar gadis t0l0l! Aku tidak hanya berhak mengusirmu tapi juga membunuhmu pun saya punya seribu hak! Sekarang terserah kepadamu.
Mau mencari selamat dan pergi cepat-cepat atau memang minta mampus dan berkubur di tempat ini!?”
“Manusia buntung!” tiba-tiba ada bunyi membentak. “Gadis anggun itu biar saya yang mengurus! Kau bau tanah bangka buruk kenapa tidak lekas minggat dari sini sebelum beliau murka dan mematahkan batang lehermu?!”
“Kurang ajar!” teriak kakek berpunuk. “Siapa berani menghina cari perkara!” Dia memutar tubuhnya kemudian kebutkan lengan jubah tangan kanannya ke arah datangnya suara.
“Wuttt! Wusss!”
Satu sinar merah menderu. S0s0k yang gres saja muncul bergerak cepat menghindari serangan kakek berpunuk mata juling. Sambaran merah menghantam batang p0h0n kamb0ja besar hingga patah-patah dan r0b0h.
Di hadapan Anggini dan kakek berpunuk , tegak se0rang bau tanah bermuka belang celem0ngan mengempit sebatang t0ngkat terbuat dari seek0r ular kuning hitam dikeringkan. Dia mengenakan pakaian r0mbengan penuh tambalan. Di tanan kirinya beliau memegang sebuah kant0ng ungu. Mulutnya senyum tiada henti. Sikapnya memperlihatkan beliau ber0tak kurang waras. Anggini segera kenali si kakek. Lagi pula kant0ng ungu yaitu miliknya yang berisi senjata rahasia paku perak.
“Pengemis sinting Muka Belang!” teriak Anggini. “Pencuri keparat! Lekas kau kembalikan kant0ng itu padaku!”
Si kekek bau tanah belang tertawa lebar. “Gadis anggun , gara-gara dirimu cucuku menemui maut di tangan perjaka itu! Kau minta kant0ng berisi paku ini? Baik! Aku pasti mengembalikan , malah dengan perhiasan satu paku s0rga yang berada di bawah perutku! Ha.. ha.. ha!”
“Dajal bermulut k0t0r!” teriak Anggini murka sekali. Sekali beliau berkelebat serangannya berupa tendangan mencuat deras ke kepala Pengemis Sinting Muka Belang. Di bau tanah menunggu sesaat kemudian tangannya bergerak mencabut t0ngkat ular dari kepitannya. Ketika t0ngkat itu dikiblatkan sinar kuning hitam mencuat meny0ngs0ng serangan Anggini. Sebelum kedua sinar menghantam kaki gadis itu dari samping selarik angin deras disertai sinar merah menyambar.
Pengemis Sinting Muka Belang , keluarkan seruan tertahan dan cepat mel0mpat mundur ketika dirasakannya kepala t0ngkat ularnya bergetar keras. Dengan wajah berubah dipandangnya kakek berpundak punuk sambil bertanya siapa gerangan adanya 0rang itu.
Selama ini hampir tidak ada 0rang yang bisa menandingi kehebatan t0ngkat ular. Maka beliau pun membentak.
“Tua bangka buntung berpunuk! Siapa kau?” Yang ditanya ganda tertawa , kemudian mend0ngak seraya berkata. “Sejak tangan kiriku buntung , banyak berandal dan segala macam kec0a tidak lagi mengenali diriku. Namun saya tetap aku. Kau pernah mendengar se0rang t0k0h yang dipanggil Yang Mulia?” Kakek buntung turunkan kepalanya , menatap tajam pada Pengemis Sinting Muka Belang. Karuan saja kelihatan wajah Pengemis Sinting Muka Belang jadi berubah. “Kau… jadi kau Datuk Bululawang dari gunung Welirang?!” Si Buntung tertawa panjang.
Pengemis Sinting Muka Belang jadi tegetar hatinya. Lalu didengarlah 0rang di hadapannya berkata. “Kau tiba membawa sebuah kant0ng. Apa isi kant0ng itu?” Pengemis Sinting Muka Belang tidak menjawab.
“Tidak menjawab pun saya sudah tahu isinya. Bukankah dalam kantung ada sejumlah paku?
Yang menurutmu bakal bisa melumpuhkan kemudian bisa menguasai perjaka yang tidur di atas makam itu?”
“Keparat! Bagaimana beliau bisa tahu…!” menyumpah Pengemis Sinting Muka Belang. Yang mulia Datuk Bululwang keluarkan kant0ng dari balik jubah merahnya. Benda ini ditimangtimangnya sebentar kemudian berkta. ”Paku yang kau bawa itu tidak ada apa-apanya , ini paku yang asli!”
“Hah!?” Pengemis Sinting Muka Belang keluarkan seruan tertahan. Dia berpaling pada Anggini. Gadis ini tercekat dalam keadaan tegak. “Kakek sinting , jangan bermimpi kau akan jadi raja di raja rimba persilatan! Aku muak melihat kau berada di tempat ini lebih lama.
Jika paku dalam kant0ng itu memang milik gadis ini , lekas kau kembalikan padanya kemudian cepat minggat dari sini!”
Pengemis Sinting Muka Belang mendengus. Walau hatinya mulai mendua namun beliau tidak mau kalah sebelum bertanding. “Datuk Bululawang , siapa tidak kenal padamu. Tapi jangan terlalu mengagungkan diri. Dalam rimba persilatan kau dikenal sebagai m0m0k yang d0yan menyetubuhi sesama jenis! Apa kehebatan itu yang kau banggakan di hadapanku! Puah!”
Pengemis Sinting Muka Belang kemudian meludah ke tanah.
Paras Datuk Bululawang berubah sangat merah. Kerut-kerut di wajahnya meregang sekeras kerikil karang. “Penghinaan sudah terucap! Kau telah memanggil malaikat maut pemcabut nyawamu sendiri!” Sang Datuk simpan kant0ng kain yang dipegangnya. Di lain kejap tubuhnya melesat ke depan. Anggini hanya sempat melihat bayangan merah berkelebat di depannya.
Sesaat kemudian terjadilah perkelahian tingkat tinggi yang menegangkan. Pengimis Sinting Muka Belang kiblatkan t0ngkat ularnya dalam jurus-jurus serangan mematikan. Sinar hitam kuning berbuntal-buntal mengepung kakek berpunuk. Sesekali terdengar bunyi mendesis dan dari verbal t0ngkat ular keluar asap biru mengandung racun jahat.
Datuk Bululawang cepat tutup jalan pernafasannya untuk mematahkan serangan racun t0ngkat ular di tangan lawan. Dua jurus pertama beliau layani semua gempuran Pengimis Sinting Muka Belang dengan tenang. Gerakannya pelan saja dan hampir tanpa suara. Memasuki jurus ketiga gerakan sang datuk berubah ganas. Jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan deru angin deras. Tangannya yang cuma satu berkelebat ke sana kemari. Setiap gerakan tangan mengeluarkan deru angin dahsyat yang menebar hawa dingin. Jurus kelima beliau mulai membuka serangan. Pengemis Sinting Muka Belang jadi tercekat. Tangan kanan yang menyerangnya mendadak dilihatnya berubah panjang dan membentuk bayang-bayang lebih dari satu.
“Celaka! Aku tidak sanggup mengetahui mana tangan yang asli!” keluh Pengemis Sinting Muka Belang. Di mulai gugup menghadapi lawan. Karenanya beliau mulai mengeluarkan jurusjurus mautnya.
Sambil menghantam dengan t0ngkat ularnya dari mulutnya keluar jerit pekik teriakan aneh yang bukan saja menyakitkan indera pendengaran tepi bisa menciptakan kacau serangan musuh.
Namun Datuk Bululawang yang sudah sarat pengalaman itu cuma ganda tertawa.
“0rang lain bisa kacau balau 0leh pekik gilamu itu! Tapi saya Yang Mulia Datuk Bululawang mana bisa tertipu! Ha… ha… ha…! Lihat serangan!” teriak Datuk Bululawang. Tangan kanannya untuk kesekian kalinya berubah panjang dan kelihatan berjumlah tiga buah. Tangan pertama melesat ke bawah perut menyambar ke arah angg0ta rahasianya. Tangan kedua berkelebat ke leher , laksana sebuah tali besar siap membelit tengg0r0kannya.
“Pesssttt!”
Pengemis Sinting Muka Belang semburkan racun dari verbal t0ngkat ularnya. Bersamaan dengan itu beliau mel0mpat ke kiri sambil tangan kirinya menghantam lepaskan satu pukulan tangan k0s0ng mengandung kesaktian dan tenaga dalam tinggi.
Saat itu mendadak dengkur Sandaka terputus. Lalu terdengar perjaka itu terbatuk-batuk beberapa kali. “Celaka kalau beliau sempat bangun kacau semua urusanku!” kata Datuk Bululawang penuh khawatir. “Aku harus bergerak cepat!”
Tetapi sesaat kemudian beliau jadi lega lantaran dengkur Sandaka terdengar lagi. Namun beliau tidak mau lagi membuang-buang waktu.
“Wuttt! Bettt!”
“Krakkk!”
Pengemis Sinting Muka Belang menjerit keras. Tubuhnya terpental. T0ngkat ularnya terlepas.
Ujung t0ngkat itu masih dalam genggaman tangan tapi tangan itu sudah menjadi kutungan patah akhir hantaman keras Datuk Bululawang. Lalu terjadilah hal mengerikan. Selagi Pengemis Sinting Muka Belang menggigil dan mengerang kesakitan , sang datuk mendatanginya. Tangan kanannya melesat ke depan.
“Crasss! Krakkk!”
Perut Pengemis Sinting Muka Belang jeb0l. Tulang-tulang iganya berpatahan. Ketika tangan itu ditarik , isi perut Pengemis Sinting Muka Belang ikut mer0j0l keluar. Ia menjerit setinggi langit. Datuk tertawa terkekeh. Tangannya yang berlumuran darah diusapkannya ke muka Pengemis Sinting Muka Belang hingga muka belang empat warna itu kini tampak mengerikan.
Anggini hingga mengernyitkan wajahnya , merinding melihat hal itu. Dia memandang ke jurusan lain ketika tubuh Pengemis Sinting Muka Belang jatuh berdebam ke tanah , menggelepar beberapa kali kemudian tidak bergerak lagi. Ketika gadis itu berpaling kembali , Datuk tengah melangkah mengelilingi makam di mana Sandaka berbaring tertidur. Dari mulutnya terdengar bunyi merapal menyerupai tengah membaca mantera.
“Apa yang tengah dilakukan 0rang ini…?” Bertanya Anggini dalam hati. Dia memungut selendangnya yang tercampak di tanah kemudian cepat-cepat mendekati mayit Pengemis Sinting Muka Belang. Dari balik pakaian 0rang ini ditemukan kant0ng berisi paku perak yang merupakan senjata rahasianya. Sambil menimang kant0ng itu beliau memandang ke arah s0s0k Sandaka di atas kuburan. Gadis ini berpikir cepat kemudian beliau bergerak mendekati makam. Dari dalam kant0ng dikeluarkannya tujuh buah paku perak.
Melihat yang dilakukan Anggini , Datuk menghentikan langkahnya. Mulutnya berhenti membaca mantera kemudian berkata. “Kau hendak melumpuhkan perjaka itu dengan pakupakumu? Jangan mimpi. Aku sudah bilang biar cepat kau lekas pergi dari sini! Atau kau akan menyesal sendiri!”
Dihina senjata rahasianya sebagai paku butut dan dicap mimpi , murid Dewa Tuak jadi marah.
Dengan kertakkan rahang beliau kerahkan tenaga dalam pada tangan yang memegang paku kemudian paku itu bergerak. Terdengaar bunyi berdesing di udara malam. Tujuh perak melesat hampir tidak kelihatan. Tujuh kepingan tubuh Sandaka menjadi sasaran mulai dari bat0k kepalanya hingga pergelangan kaki.
Sesaat lagi tujuh buah paku perak itu akan menancap di kepala dan sekujur tubuh Sandaka tiba-tiba dari dalam tubuh perjaka itu memacar cahaya hijau. Begitu ujung paku mencapai ujung cahaya semuanya mencelat mental , ada yang menancap di p0h0n atau menyangkut di semak belukar. Anggini terkejut bukan kepalang. Dia dekati paku yang mental kemudian jatuh ke tanah. Ternyata senjata rahasianya itu telah bengk0k dan leleh mengepulkan asap.
Datuk Bululawang tertawa mengekeh. “Apa kataku! Senjata rahasiamu tidak lebih dari paku butut! Kalau kurang puas , apa kau mau c0ba lagi?” Meski murka tapi Anggini tutup mulut.
Dilihatnya s0s0k Datuk Bululawang melangkah mengelilingi s0s0k Sandaka di atas makam sambil mulutnya meracau entah merapal apa. Dia hentikan langkah ketika kaki kirinya menginjak sebuah benda keras. Mulut insan berpunuk itu menyeringai. Dengan ibu jari kaki kirinya dic0ngkelnya benda itu. Ternyata sebuah kerikil hitam sebesar dua kali kepalan.
“Paku sudah di tangan , palu sudah ditemukan! Tiga puluh titik kematian sudah saya ketahui!
Apa lagi yang saya tunggu?!”
Datuk Bululawang keluarkan kant0ng berisi paku baja putih murni dari balik jubah merahnya.
Lalu diambilnya kerikil hitam yang barusan dic0ngkel dari dalam tanah. Setelah itu beliau bergerak mendekati s0s0k Sandaka di arah kepala.
Anggini maklum apa yang akan terjadi. Datuk Bululawang hendak melumpuhkan Sandaka kemudian menguasai perjaka itu! “Aku harus cegah yang akan dilakukannya! Dunia persilatan tidak akan l0l0s dari malapetaka kalau mahluk berpunuk itu menguasai perjaka itu!” Tanpa berpikir panjang lagi murid Dewa Tuak itu eksklusif berkelebat , menyerang Datuk Bululawang dari arah samping kanan. Dia kerahkan jurus “Bumbung Sakti Membelah Akhirat!”
Karena tangan kanannya masih sakit , beliau pergunakan tangan kiri untuk menyerang. Tangan kiri itu diangkat tinggi ke atas untuk menyerang ke bat0k kepala Datuk Bululawang. Serangan angin dasyat ini segera terasakan 0leh Datuk Bululawang.
“Gadis kurang ajar!” gertak si kakek. Tangan kanannya yang memegang kerikil dan kant0ng kain berisi paku dig0yangkan. Ujung jubahnya mengebut. “Wusss!” Angin dasyat menyambar.
Anggini terpekik. Sesaat tubuhnya menyerupai mengapung di udara.
Ketika Datuk Bululawang putar tangan kanannya , tak ampun lagi gadis ini menelungkup di tanah. Dia mengerang sebentar kemudian tidak bergerak dan tidak bersuara lagi. Entah pingsan atau mati.
Datuk Bululawang menyeringai buruk. Kant0ng paku dibukanya. Sinar terang putih memancar keluar. Ia tuang tiga puluh paku di tanah. Paku-paku itu menyerupai menyala dalam kegelapan malam. Diam-diam tengkuknya terasa hambar dan agak bergeming juga ketika paku pertama ditancapkannya di pertengahan kening Sandaka. Lalu dengan mempergunakan kerikil , dipantekkannya paku hingga masuk setengah di kening perjaka itu.
Kepala dan tubuh Sandaka kelihatan bergerak sedikit. Bahkan matanya menyerupai membuka.
Dengkurannya terhenti. Namun kemudian tubuh itu diam lagi , bunyi mendengkur terdengar kembali dan dua buah mata si perjaka berlahan-lahan terkatup lagi. Sementara darah kelihatan mengucur dari kening yang dipaku itu!
Datuk Bululawang cepat mengambil paku kedua. “Aku pasti berhasil! Pasti!” Paku kedua dipantekkan tepat di ubun-ubun Sandaka. Sepasang kaki Sandaka tersentak kemudian diam. Paku ketiga hingga ketujuh dipantekkan dengan cepat di seluruh kepala perjaka itu. Darah mengucur. Kepala dan wajah Sandaka bergelimang darah kelihatan sangat mengerikan.
Terlebih ketika empat lagi paku dipantekkan di wajah Sandaka. Sisa paku baja putih murni dipantekkan di dada , perut dan kaki sandaka.
Ketika paku terakhir dihujamkan di kaki kanan Sandaka , mendadak dari verbal perjaka itu keluar bunyi mengerang panjang. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan berdiri tepat di depan Datuk Bululawang. 0rang bau tanah berpunuk ini hingga mel0mpat mundur tiga langkah saking kaget dan ngerinya melihat pekerjaannya sendiri. Kepala , wajah dan sekujur tubuh Sandaka hingga ke kaki berair 0leh darah. Sepasang matanya memancarkan cahaya hijau. Memandang berkilat-kilat kepada Datuk Bululawang.
Betapapun hebatnya sang datuk rahasia hatinya bergetar juga. “Tiga puluh paku sudah kupantek! Apakah beliau kini berada dalam kekuasaanku? Pandangan matanya yang hijau sangat buas. Seperti mau menelanku. Aku harus waspada dan segera menguji. Kalau tiga puluh paku itu tidak bisa melumpuhkannya dan tunduk kepadaku , celaka diriku!”
Datuk Bululawang angkat tangan kanannya. “Anak muda! Katakan siapa namamu!” 0rang bau tanah bertangan buntung itu 0l0k-0l0kan pertanyaan untuk menguji. Yang ditanya diam saja. Malah kilatan cahaya yang keluar dari matanya semakin tajam meny0r0t. “Kau punya indera pendengaran tidak mendengar saya bertanya? Kau punya verbal mengapa kau tidak menjawab?! Kau berada dalam kekuasaanku! Kau harus tunduk atas segala perintah dan ucapanku! Tidak ada siapa pun kecuali diriku! Lupakan segala masa lalumu! Aku Yang Mula Datuk Bululawang yang menentukan masa depanmu! Makara kau harus tunduk dan patuh terhadap perintahku! Kau dengar?!”
Mulut Sandaka masih tidak bergerak. Namun pelan-pelan kepalanya bergerak menciptakan gerakan mengangguk. Datuk Bululawang menyeringai. Hatinya seribu lega. “Katakan siapa namamu?”
“Aku Sandaka…”
“Bagus!” ujar Datuk Bululawang penuh girang. “Katakan kepada siapa kau harus tunduk dan patuh!”
“Hanya kepadamu…”
“Siapa diriku? Siapa namaku?”
“Kau… kau yaitu Yang Mulia Datuk Bululawang…!”
Datuk Bululawang tertawa mengekeh. “Ternyata semua berjalan sesuai saya harapkan. Tapi saya harus mengujinya sekali lagi…” kata Datuk Bululawang dalam hati. Lalu beliau menunjuk pada s0s0k Anggini yang menelungkup di atas tanah. “Kau kenal siapa gadis itu?”
“Aku tidak mengenal Datuk…”
“Berarti jalan pikirannya tidak bisa berjalan ke masa lampau ,” kata Datuk dalam hati.
“Kalau saya perintahkan kau membunuh gadis itu apa jawabmu?!”
“Aku akan melaksanakan perintahmu kini juga!” jawab Sandaka.
Dua matanya menyerupai menyala. Lalu kakinya hendak melangkah mendekati s0s0k Anggini.
Datuk Bululawang angkat tangan kananya , “Tak usah sekarang!” katanya. Sandaka berhenti melangkah. Kini sang Datuk yang mendatangi. Kalau tadi s0s0k perjaka itu sangat mengerikan baginya , kini tiba-tiba ada perubahan aneh. Tubuh berlumuran darah itu justru membuatnya merangsang. Nafasnya memburu. Darahnya mengalir cepat dan panas. Sesaat sehabis memandangi s0s0k Sandaka , Datuk Bululawang mengulurkan tangannya meraba dada dan perut Sandaka. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Mata julingya bergerak liar dan tengg0r0kannya turun naik.
“Tanggalkan cawatmu!” perintah Datuk Bululawang. Kali ini suaranya tidak lagi membentak tapi berubah lembut. Sandaka lakukan apa saja yang diperintahkan kakek berpunuk itu. Datuk Bululawang menyerupai terbakar 0leh rangsangan nafsu aneh yang menggelegak dalam tubuhnya melihat s0s0k telanjang Sandaka. “Berbaringlah di tanah…” bisiknya.
Sandaka kembali lakukan apa yang diperintahkan. Dia berbaring menelentang di tanah. Datuk Bululawang menyeringai. Tangan kanannya menyeringai membuka jubah merahnya. Lalu beliau berbaring di samping tubuh Sandaka. “Kita akan bersenang-senang Sandaka. Kau harus melayaniku… kau suka…?” bisik Datuk Bululawang.
“Apa yang Datuk Bululawang suka , saya juga suka…” jawab si pemuda.
Tua bangka perpunuk itu tertawa perlahan. Tangan kanannya mulai meraba sekujur tubuh Sandaka. Keringat menyerupai memperabukan Datuk Bululawang. Nafasnya memburu. “Kau hebat Sandaka. Kau akan menjadi pendamping abadiku! Kita akan segera menguasai dunia persilatan…” bisik Datuk Bululawang sambil membelai tubuh Sandaka.
Baru saja bau tanah bangka yang mempunyai kelainan seksual itu selesai membisikkan sesuatu tibatiba terdengar bunyi pekikan keras perempuan mer0bek kesunyian malam. “Terlambat!
Celaka saya tiba terlambat!” Bersamaan dengan itu satu larik sinar hijau panas menghantam ke arah Datuk Bululawang.
Secepat kilat 0rang bau tanah itu mel0mpat. “Jahanam! Siapa yang berani menyerang diriku!”
teriak Datuk Bululawang murka sekali. “Sandaka! Bersiaplah membunuh k0rban pertamamu!”
Ketika siuman , Wir0 mendapatkan dirinya berbaring di atas sebuah tempat tidur berkasur empuk dilapisi kain epil0g indah berbunga-bunga. Dia mengenakan sehelai jubah terbuat dari kain hijau. “Siapa yang memberi saya pakaian ini…?” pikir Pendekar 212 seraya memandang berkeliling. Dia berada dalam sebuah kamar bagus sekali. Udara sekelilingnya menebar busuk harum semerbak menyegarkan.
“Aneh…” Kata Wir0 dalam hati. “Kamar sebagus ini tetapi mengapa sama sekali tidak ada jendela dan pintunya?” Lalu beliau berpikir lagi. “Berapa usang saya berada di tempat ini?
Mungkin belum lama. Buktinya perutku tidak terasa lapar dan saya tidak kehausan…”
Wir0 bangkit. Sesaat beliau duduk di tepi tempat tidur. 0taknya mulai bekerja. Dia ingat apa yang telah dialaminya. Dia dan Kakek Segala Tahu berkelahi melawan Dewi Ular. Si kakek r0b0h akhir racun dua ek0r ular iblis peliharaan Dewi Ular. Entah bagaimana keadaan 0rang bau tanah itu sekarang. Jangan-jangan sudah menemui ajalnya. Dia sendiri juga jatuh ke tangan Dewi Ular sehabis dipatuk 0leh ular hitam kepala putih yang keluar dari pusar perempuan itu.
Ingat hingga di situ , Wir0 singkap jubahnya di kepingan dada , tempat ular mematuknya.
“Aneh , tak ada tanda apa-apa. Tubuhku malah sehat-sehat saja , malah segar bugar. Siapa yang meng0bati diriku… Siapa yang membawaku ke mari? Tak pelak lagi , pasti perempuan iblis itu!” Wir0 memandang seputar kamar. Pada empat sudut kamar terdapat masing-masing sebuah tiang besar dari kayu jati berukir sangat indah. Kebanyakan dari ukiran-ukiran itu menampilkan s0s0k ular banyak sekali rupa , mulai dari yang kecil hingga besar.
“Dewi Ular membawaku ke tempat ini. Pasti beliau mengandung maksud jahat menyerupai yang dikatakannya padaku. Dia ingin mempergunakan diriku untuk membunuh beberapa t0k0h silat. Si Raja Penidur , bahkan guruku Eyang Sint0 Gendeng! Gila! Aku harus mencari jalan keluar dari sini! Tapi kamar celaka ini sama sekali tak berpintu tak berjendela!” Pendekar 212 memperhatikan lagi seputar kamar sambil garuk-garuk kepala. “Agaknya saya harus menjeb0l dinding ruangan dengan pukulan sakti!” Maka Wir0 segera salurkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Pada dikala itulah tiba-tiba ada bunyi halus merdu menegur. “Kekasihku Pendekar 212 , rupanya kau sudah sadar? Aku gembira melihat kau segar bugar…”
Wir0 melengak. Dia membuka mata lebar-lebar sambil memandang sekeliling ruangan. Sama sekali beliau tidak melihat s0s0k 0rang yang berbicara itu. “Eh , siapa yang barusan bicara menyebutku sebagai kekasih?!” ujar Wir0 dengan bunyi dikeraskan. “Kalau bangsa insan , terus terang saya tidak punya kekasih. Kalau bangsa makhluk halus jejadian apalagi!”
Terdengar bunyi tawa merdu. “Akan kita lihat apakah kau men0lak jadi kekasihku sehabis saya unjukkan diri…” Sepasang indera pendengaran Wir0 menangkap ada bunyi desiran halus , menyerupai sesuatu meluncur. Dia berpaling ke belakang. Astaga! Kejut murid Sint0 Gendeng bukan kepalang.
Tadi beliau tidak melihat hewan itu di sana. Kini mengapa tahu-tahu ada di situ?
Di salah satu tiang kayu besar meluncur turun seek0r ular hijau besar dan panjang luar biasa.
Bersamaan dengan itu busuk harum semerbak semakin santar. Sampai di lantai ruangan hewan ini menggelungkan tubuhnya. Lalu perlahan-lahan ular hijau ini naikkan kepala hingga mencapai ketinggian kepala manusia. Wir0 tegak di sudut kamar dengan dada berdebar dan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 seandainya ular raksasa itu menyerangnya.
Malah tiba-tiba secara anehnya wujudnya yang berbentuk ular perlahan-lahan sirna membentuk bayang-bayang. Bayang-bayang ini kemudian berubah menjadi menjadi s0s0k tubuh se0rang perempuan mengenakan pakaian hijau , tegak membelakangi Wir0. Pakaian hijau yang menempel di tubuhnya demikian tipisnya , hingga auratnya sebelah belakang kelihatan menyerupai bugil. Perlahan-lahan tubuh yang membelakangi itu berputar.
Wir0 mencicipi jantungnya menyerupai mau c0p0t. Perempuan di hadapannya ternyata mempunyai wajah anggun luar biasa. Di kepalanya yang rambutnya dik0nde , ada sebuah mahk0ta kecil berbentuk kepala ular. “Dewi Ular…” desis Wir0 tercekat. Matanya hampir tak berkesip melihat tubuh yang hanya tertutup kain sutera hijau yang sangat tipis.
“Kau mengenaliku , saya senang sekali. Akulah kekasihmu dan kau kekasihku. Apa kau tidak merasa bahagia?”
Wir0 mel0ng0 sesaat. Lalu beliau berkata. “Kau membunuh kakekku , 0rang bau tanah bergelar Kakek Segala Tahu itu…”
“Ah , rupanya pikiranmu masih pada jembel bau tanah itu! Tak perlu kau merisaukannya. Racunracun ularku tidak hingga membuatnya mati…”
“Kau merencanakan menguasai dunia persilatan secara keji! Kau memperbudak insan berjulukan Sandaka itu. Kau hendak memanfaatkan diriku untuk membunuh t0k0h silat Si Raja Penidur dan guruku sendiri Eyang Sint0 Gendeng…!”
Dewi Ular tertawa perlahan Dia g0yangkan kepalanya. Rambutnya yang bergulung dalam bentuk k0nde terbuka jatuh menjulai , tergelai di punggungnya. “Aku tidak membantah bahwa saya memang ingin menguasai dunia persilatan dan merencanakan pembunuhan atas diri beberapa t0k0h silat , termasuk gurumu sendiri! Aku juga tidak menyangkal dan memperbudak dan memperalat perjaka berjulukan Sandaka itu. Aku juga tidak men0lak tuduhanmu bahwa saya akan memanfaatkan dirimu. Sebagai sepasang kekasih , saling bantu yaitu lumrah saja. Bukankah begitu?”
“Siapa bilang saya kekasihmu? Aku justru punya kiprah untuk melenyapkanmu dari muka Bumi ini!”
Dewi Ular tertawa panjang. Bahunya dig0yangkan , menyusul pinggulnya. Murid Sint0 Gendeng merasa lututnya g0yah dan jantungnya berdegup keras ketika melihat bagaimana Dewi Ular kini tak mengenakan apa-apa lagi. Gerakan pundak dan pinggulnya tadi telah menciptakan pakaian sutera tipisnya mer0s0t dan jatuh ke lantai kamar.
Dua kaki melangkah perlahan mendekati Wir0. Dua buah paha mulus bergerak mengg0yang pinggul dan pinggang langsing. Di sebelah atas , dua buah payudara yang kencang berg0yang menantang. Lalu tiba-tiba saja tubuh telanjang Dewi Ular sudah merangkul Wir0 Sableng.
“Wir0 , banyak 0rang lelaki membenci diriku lantaran tidak tahu apa yang saya bisa berikan pada mereka. Kau salah satu di antaranya. Tapi itu tidak akan lama. Sebentar lagi kita akan lihat bahwa kau kekasihku yang lebih hebat dari Sandaka…”
Perlahan-lahan Dewi Ular tanggalkan jubah yang menempel di tubuh Wir0. Pendekar 212 mencicipi tubuhnya laksana terbakar. Darahnya menggelegak. Nafsunya berk0bar. Entah sadar entah tidak , kesannya beliau membalas rangkulan Dewi Ular. Sesaat kemudian keduanya sudah bergulung-gulung di atas tempat tidur. Nafas Dewi Ular panas memburu. Wir0 merasa tubuhnya menyerupai meledak-ledak 0leh guncangan nafsu. Namun ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya , yang menciptakan Dewi Ular jadi sangat kecewa dan murka dalam gej0lak birahinya.
“Manusia tidak berguna! Tubuhmu saja yang tampak kukuh! Tapi kejantananmu mati!”
Murid Sint0 Gendeng menggeram. Dia memandang ke kepingan bawah tubuhnya. Mukanya tampak merah. “aneh… Nafsuku menggelegak tapi mengapa…”
“Manusia tidak berguna! Rupanya kau hanya pantas menjadi santapan ular-ularku di Sumur Seratus Ular!”
Dewi Ular mel0mpat turun dari atas ranjang. Tubuhnya yang harum berair 0leh keringat.
Tiba-tiba di salah satu dinding ruangan kamar muncul cahaya kehijauan yang secara perlahan berubah menjadi kemerahan kemudian membentuk lingkaran yang berkelip-kelip. Paras Dewi Ular tampak berubah ketika melihat lingkaran merah itu. Dia menyambar pakaian hijaunya , mengenakannya dengan cepat. Lalu mendekati salah satu tiang kayu jati dalam kamar.
Sepasang tangan dan kedua kakinya digelungkan pada tiang itu. Perlahan-lahan tubuhnya menjadi samar kemudian berubah menjadi ular besar hijau. Binatang ini menjalar cepat ke atas langit-langit kamar kemudian menghilang dari pemandangan.
Begitu s0s0k ular lenyap , terdengar suara. “Manusia tak berguna! Kau beruntung umurmu masih kuperpanjang beberapa waktu. Kalau tidak ada urusan mendesak pasti dikala ini sudah kucemplungkan kau ke Sumur Seratus Ular.”
Wir0 hantamkan tangan kanannya ke arah tiang di mana tadi s0s0k Dewi Ular berubah jadi ular hijau dan lenyap. Suara angin laksana badai prahara melanda kamar itu. Tempat tidur dan semua benda yang ada dalam kamar hancur berantakan. Tapi tiang kayu dan dinding kamar serta atap ruangan sama sekali tak lecet sedikitpun! Wir0 sendiri jatuh jungkir balik di lantai akhir terpaan angin pukulan yang berbalik menghantamnya. Kepalanya terasa pening dan pemandangannya berkunang-kunang.
“Keparat! Bagaimana saya bisa keluar dari ruangan celaka ini?!” keluh Pendekar 212. “Apa yang terjadi hingga perempuan iblis itu tiba-tiba meninggalkan tempat ini?!” Wir0 duduk terkulai di lantai , tak tahu apa lagi yang akan dikerjakannya. Kalau beliau menghantam lagi ruangan dengan pukulan sakti lainnya , bukan tidak mungkin beliau sendiri bisa celaka bahkan mati k0ny0l di tempat itu.
Selagi beliau berpikir-pikir menyerupai itu , sekilas beliau teringat apa yang barusan dialaminya. “Aneh , saya begitu agresif pada perempuan itu. Tapi kenapa saya jadi tiba-tiba tidak mampu?
Hilang kejantanan? Aneh… Benar-benar aneh!” Wir0 garuk-garuk kepala sambil memandang ke bawah. “Jangan-jangan… Eh , jangan-jangan ini perbuatan Kakek Segala Tahu yang menawarkan 0bat pahit itu padaku. Kejantananku lenyap hingga saya tak sanggup melaksanakan kekerabatan tubuh dengan Dewi Ular. Berarti saya diselamatkan dari cairan tubuh perempuan terkutuk itu! Kalau tidak , nasibku akan sama dengan Sandaka! Tapi… Ya Tuhan!
Gila! Sampai berapa usang saya kehilangan kejantanan menyerupai ini? Seumur hidupku?! Celaka!
Benar-benar celaka! Aku harus mencari Kakek Segala Tahu. Kuharap saja beliau benar-benar belum menemui ajal. Tapi bagaimana mungkin! Keluar dari tempat ini saja saya tidak mampu! ”
Selagi beliau terhenyak duduk tak berdaya menyerupai itu , tiba-tiba terdengar bunyi halus entah tiba dari mana. “Anak setan! Kalau kau ingin keluar dari dalam ruangan terkutuk itu , lekas keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan kerikil hitam pasangannya. Hantam salah satu tiang kamar dengan api sakti! Dinding dan atap ruangan serta kayu-kayu penyanggahnya ringkih terhadap api! Aku akan membantumu dari luar sini! ”
Wir0 berdiri. “Eh , siapa yang barusan bicara?!” beliau berseru.
“Setan! Turut saja apa yang saya bilang! Kalau kau buang waktu , semua urusan bisa jadi kapiran! Dunia persilatan tak bakal bisa diselamatkan!” kembali terdengar bunyi halus.
Wir0 garuk-garuk kepala. “Eh yang bicara ini apakah… Guru!
Eyang! Engkaukah itu?! ”
“Budak t0l0l! Lekas kau lakukan apa yang saya perintah! ”
Pendekar 212 tertawa lega. “Pasti itu Eyang Sint0 Gendeng…” serunya. Lalu segera saja beliau keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan kerikil hitam sakti. Sekali mata kapak dan kerikil hitam diadu satu sama lain , satu pengecap api menyembur ke arah tiang besar di sebelah kiri.
Sesaat kemudian kamar itu sudah dibuncah api. Terdengar bunyi berkereketan. “Celaka! Aku bisa terpanggang hidup-hidup di tempat ini!” teriak Wir0.
Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar bunyi berdentum. Atap ruangan hancur berantakan. Ada angin merambas masuk. Di sebelah atas Wir0 sanggup melihat langit malam. Lalu muncul s0s0k kurus kering bungkuk bermuka re0t menyeramkan. Di kepalanya ada lima buah tusuk k0nde berwarna perak. “Guru! Benar kau rupanya!” seru Wir0 seraya hendak menjura memberi h0rmat.
“Anak t0l0l! Bukan saatnya menggunakan segala peradatan! Lekas mel0mpat keluar dari dalam kamar itu! Atau kau memang sudah kepingin mampus ditembus api?! ”
“Eyang! Terima kasih kau telah men0l0ngku!” seru Pendekar 212 kemudian sekali beliau menggenj0t tubuhnya melayang ke atas.
Begitu beliau menginjakkan kaki di tanah. Eyang Sint0 Gendeng sudah tegak di hadapannya.
“Kita harus segera mengejar ke arah lenyapnya Dewi Ular. Dan ini!” Eyang Sint0 unjukkan dua buah benda yang dipegangnya di ujung-ujung jari tangan kirinya. Benda itu berwarna kuning menyerupai terbuat dari emas.
“Benda apa itu Eyang?” tanya Wir0.
“Dua buah paku emas! ”
“Paku emas?! ”
“Ya , ini satu-satunya benda yang bisa men0l0ng perjaka berjulukan Sandaka itu untuk lepas dari kekuatan jahat yang menguasai dirinya. Paku ini pula yang sanggup membunuh Dewi Ular , makhluk setengah insan setengah ular iblis itu. Paku ini hanya ada dua di dunia. Kalau salah atau meleset memakainya , maka akan celaka umat Tanah Jawa ini.
Memakainya juga tidak bisa sembarangan. Untuk melumpuhkan Sandaka , paku harus menancap di kepala angg0ta rahasianya… ”
“Gila! Bagaimana saya bisa melakukannya?! ”
“Aku tidak mau susah payah memikirkan. Itu tugasmu melakukannya!” hardik Eyang Sint0 Gendeng.
“Lalu bagaimana cara menggunakan paku satunya terhadap Dewi Ular?” tanya Wir0 pula.
“Perempuan itu terang tidak punya kemaluan menyerupai Sandaka! ”
“Anak setan sialan!” maki Eyang Sint0 Gendeng. “Tentu saja mana ada perempuan yang angg0ta rahasianya menyerupai laki-laki! Edan kau! Paku emas harus ditancapkan tepat di pusar perempuan durjana itu! Jangan tanya bagaimana melakukannya! Itu juga tugasmu! ”
Wir0 terdiam. Sebetulnya beliau mau bertanya lagi tapi tak berani. Eyang Sint0 Gendeng hendak susupkan dua paku emas itu ke tubuh Wir0 , tapi se0lah gres melihat kalau sang murid dikala itu tidak berpakaian sama sekali. “Murid jahanam kurang ajar! Lekas kau cari pakaian. Aku tunggu di sini! Kita tak punya waktu banyak! ”
Wir0 segera bergerak. “Tunggu!” seru Eyang Sint0 Gendeng. Dia mengeluarkan sebuah benda bundar hitam seujung kelingking. “Lekas kau telan ini! ”
“Apa itu Nek?” tanya Wir0.
“Sebelumnya saya telah berjumpa dengan Kakek Segala Tahu… ”
“Ah , bagaimana keadaan 0rang bau tanah itu. Dewi Ular telah… ”
“Dia tak kurang suatu apa. Untung keburu kutemui , dan sebelumnya beliau juga telah menjaga diri dengan 0bat pen0lak racun. Dia kutinggal di sebuah p0nd0k di tengah hutan. Saat ini mungkin masih ng0r0k…” menerangkan Sint0 Gendeng. “Aku menerima klarifikasi darinya bahwa kau diberikan 0bat penangkal nafsu hingga burungmu itu hanya bisa manggutmanggut… Kalau tidak , darah di tubuhmu masti sudah dirusak dan diracuni cairan tubuh Dewi Ular… ”
“Astaga!” kejut Wir0 dengan muka berubah. “Jadi itu rupanya kekuatan 0bat yang disuruhnya telan. Pantas burungku tidak bisa mengepakkan sayap…” Wir0 garuk-garuk kepala.
“Nah ini! Lekas telan 0bat ini!” Sint0 Gendeng serahkan 0bat hitam bundar itu pada Wir0.
Tanpa ragu sang murid segera menelannya. Lalu beliau bertanya. “Nek , 0bat yang barusan saya telan ini untuk apa? Mau menciptakan burungku jadi lebih rapuh? ”
Si nenek gelengkan kepala. “0batku ini justru untuk menyembuhkan burungmu biar kau nanti bisa meyakinkan Dewi Ular bahwa kau benar-benar se0rang lelaki jantan! ”
“Jadi… jadi Eyang sengaja hendak menyuruhku tidur dengan perempuan itu kemudian beliau mencelekai diriku? ”
“Kau mau tidur dengan beliau hingga tujuh hari tujuh malam siapa mau yang melarang?! Tapi ingat , kau harus punya kemampuan untuk menahan diri. Bukan mempergunakan burungmu , tapi menusukkan paku emas itu ke pusar Dewi Ular… ”
“Wah berat Nek! Kalau akau tak sanggup menahan diri bagaimana?” tanya Wir0.
“Kalau begitu lebih bagus kau bunuh diri saja sekarang-sekarang ini!” sahut Eyang Sint0 Gendeng. Lalu tanpa banyak bicara lagi beliau berkelebat pergi.
Begitu 0rang yang memekik menampakkan diri , Sandaka segera mel0mpat ke hadapannya.
Ternyata yang muncul yaitu Dewi Ular. “Sandaka! Apa yang terjadi dengan dirimu!
Celaka!” Dewi Ular berteriak keras dan tersurut beberapa langkah ketika melihat keadaan Sandaka yang ditancapi paku baja putih murni mulai dari kepala hingga ke kaki serta penuh gelimangan darah.
“Kekasihku…” ujar Dewi Ular seraya mendekati Sandaka sambil menciptakan gerakan hendak merangkul perjaka itu. “Kau dalam bahaya. Lekas ikuti aku. Tinggalkan tempat ini… ”
“Sandaka!” Datuk Bululawang berteriak. “Lekas bunuh perempuan di hadapanmu! Jangan biarkan beliau memelukmu! ”
“Sandaka!” balas berteriak Dewi Ular. “Jangan dengarkan ucapannya! Kau yaitu kekasihku! Kau harus tunduk dan patuh padaku! Ay0 lekas pergi! ”
Dewi Ular yang hendak memeluk si perjaka tertahan gerakannya ketika melihat bagaimana sepasang mata Sandaka memancarkan sinar hijau berkilat. Wajah dan tubuhnya yang berpaku-paku dan tertutup darah ikut memancarkan sinar kehijauan. Itulah hawa dan tanda pembunuhan!
“Celaka! Paku-paku keparat itu benar-benar telah melumpuhkan 0taknya! Kini beliau hanya mengikut pada perintah dajal bertangan buntung ini! Sebaiknya kuhabisi dulu bau tanah bangka keparat ini!” Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua gel0mbang angin sedahsyat badai prahara menderu ke arah Datuk Bululawang. Sang datuk cepat menyingkir. Namun lawan menyusul pukulan tangan k0s0ng dengan satu hantaman jarak pendek. Baru saja beliau bisa menghindar , tiba-tiba Dewi Ular sudah berada di sampingnya melancarkan j0t0san ke pelipis kirinya.
Datuk Bululawang umbar tawa mengekeh . Berkelahi jarak erat , justru ini maunya. Dia menyerupai membiarkan kepalanya dihantam pukulan lawan. Namun rahasia tangan kanannya melesat ke perut Dewi Ular , siap menjeb0l dan membet0t isi perut perempuan ini.
Dewi Ular yang sudah tahu keganasan ilmu Datuk Bululawang tidak berlaku ayal. Dia tekankan kedua tumitnya ke tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas. Dari r0ngga bawah pakaian hijaunya melesat keluar dua ek0r ular hijau. Dua hewan jejadian ini eksklusif melesat ke arah Datuk Bululawang.
“Desss! Prakkk!”
Kepala ular hijau sebelah kanan hancur dihantam tangan sakti Datuk Bululawang. Namun beliau tidak bisa menghantam ular kedua ataupun menghindar. Binatang ini mematuk ke arah matanya. Sesaat lagi mata kiri 0rang bau tanah bertubuh pendek dan berpunuk ini akan hancur menjadi satu l0bang yang mengerikan , tiba-tiba dari samping ada dua larik sinar hijau menyambar. Ular hijau yang hendak mematuk mata sang datuk hancur berkeping-keping.
Dewi Ular terpekik dan cepat bertindak mundur. Dadanya mendenyut sekali. Dia memandang ke kiri di mana Sandaka tegak dengan pandangan mata angker. Dewi Ular tahu perjaka itulah yang barusan menyelamatkan Datuk Bululawang dengan semburan cahaya hijau sakti dari kedua matanya.
“Sialan! Aku tak mungkin bisa melawannya. Apalagi ada datuk keparat itu di sini. Hari ini saya terpaksa mengalah. AKu terpaksa menyingkir! Jahanam betul! ”
“Sandaka! Lekas kau habisi perempuan itu!” teriak Datuk Bululawang ketika dilihatnya gelagat Dewi Ular hendak melarikan diri.
Manusia paku yang kini berada di bawah efek dan kekuasaan Datuk Bululawang menggereng keras. Dengan satu kali l0mpatan saja beliau sudah berada di hadapan Dewi Ular.
Dia kedipkan kedua matanya. Dua larik sinar hijau menyambar. Dewi Ular mel0mpat ke balik sebatang p0h0n seraya menghantam dengan tangan kanan.
“Wusss!”
“Braaak!”
Batang p0h0n besar hancur berantakan. P0h0n tumbang dengan bunyi bergemuruh. Seluruh kulit hingga ke ranting serta daun-daunnya berubah hijau kehitaman. “Kejar beliau Sandaka!
Jangan hingga lari! Dia harus mati di tanganmu!” teriak Datuk Bululawang.
Di balik p0h0n yang tumbang , Dewi Ular r0bek pakaiannya di kepingan perut. Pusarnya menyembul di antara keputihan perutnya. Ketika Sandaka muncul di depan sana untuk mengejarnya , Dewi Ular gerakkan perutnya. Seek0r ular hitam berkepala putih melesat keluar dari pusar perempuan itu. Binatang jejadian ini kelihatannya mempunyai panjang yang tidak terbatas lantaran tubuhnya terus memanjang hingga kesannya mencapai tempat Sandaka berada , sementara ek0rnya masih berada dalam perut Dewi Ular!
“Wuuuuutttt!”
Kepala ular putih menyambar. Mulutnya mematuk ke muka Sandaka. Pemuda ini cepat merunduk kemudian membalik. Tangan kanannya berhasil menyambar tubuh hitam ular jejadian itu dan eksklusif dicengkeram. Ular hitam kepala putih menggeliat dan membalikkan kepala.
Saat itulah Sandaka kedipkan kedua matanya.
“Wusss! Wussss!” Dua larik sinar hijau berkiblat.
Dewi Ular menjerit panjang ketika melihat ular hitam kepala putihnya hancur lebur. Perutnya terasa panas. Cepat beliau pegang perutnya di kepingan pusar. Sebelum Sandaka tiba mengejar , perempuan ini berkelebat lenyap tinggalkan tempat itu.
“Kejar beliau Sandaka! Cepat! Jangan biarkan l0l0s!” teriak Datuk Bululawang. Sandaka segera berkelebat. Namun dikala itu ada dua bayangan menghadangnya. Satu se0rang nenek bau tanah berbadan b0ngk0k bermuka per0t dan berkulit sangat hitam. Satunya lagi se0rang perjaka gendeng aneh mengenakan pakaian menyerupai pakaian perempuan. Kedua 0rang ini bukan lain yaitu guru dan murid Eyang Sint0 Gendeng si nenek sakti dari Gunung Gede , dan Pendekar 212 Wir0 Sableng.
“Datuk! Ada yang c0ba menghadangku!” kata Sandaka. Datuk Bululawang telah melihat kehadiran kedua 0rang itu. Dia segera mengenali si nenek , tapi tak bisa mengenali Wir0.
Tanpa pikir panjang beliau berteriak beri perintah. “Singkirkan mereka Sandaka! Bunuh! ” Sandaka menggerang.
“Wir0! lekas kau hantam beliau dengan salah satu dari dua paku emas itu!” eyang Sint0 Gendeng berbisik.
“Aku memang sudah siap melakukannya Eyang! Tapi kau lihat sendiri. Dia mengenakan cawat. Mana saya bisa mengira yang mana kepala angg0ta rahasianya!” menyahuti Wir0 sementara paku emas sudah berada dlaam genggamannya.
“Sialan! Yang men0nj0l itu pasti kepalanya!” kata si nenek setengah berteriak.
“Mungkin benar. Tapi kalau bukan bagaimana? Kita bisa celaka semua! Nek , saya minta kau menyerang kakek buntung yang menguasai perjaka itu. Sandaka pasti bertindak men0l0ngnya. Aku akan cari kesempatan untuk menanggalkan atau mer0r0tkan cawatnya…”
“Anak setan! Akalmu kuterima!” jawab Eyang Sint0 Gendeng sambil tertawa cekikikan kemudian dengan t0ngkat butut di tangannya beliau menyerbu Datuk Bululawang.
“Tua bangka t0l0l! Jauh-jauh dari Gunung Gede kau tiba hanya mencari mampus!” teriak Datuk Bululawang seraya kebutkan lengan jubah kanannya. Ujung t0ngkat butut di tangan si nenek bergetar keras ketika dihantam angin tangkisan lawan. Sint0 Gendeng ganda tertawa.
Dia sengaja lepaskan t0ngkatnya. Selagi t0ngkat ini melayang ke atas , beliau cabut dua buah tusuk k0ndenya yang terbuat dari perak dan merupakan senjata ampuh.
“Wutttt! Wuuuuut!”
Dua tusuk k0nde melesat ke arah Datuk Bululawang. Dari samping , Sandaka berkelebat menghadang serangan Sint0 Gendeng. Dengan tangan kirinya , tusuk k0nde yang pertama dihantamnya hingga mental. Tusuk k0nde kedua dengan hening diterimanya dengan tubuhnya. Tusuk k0nde itu menancap dalam di dada kanan Sandaka. Sambil menyeringai , Sandaka cabut tusuk k0nde itu kemudian meremasnya hingga hancur.
Saat itu t0ngkat yang melayang ke atas telah turun dan cepat ditangkap 0leh Sint0 Gendeng.
Begitu t0ngkat berada dalam genggamannya , beliau kembali menyerbu sang datuk. Sekali ini si nenek menyerang bukan hanya dengan t0ngkat. Tangan kirinya ikut bergerak dan menghantam dengan “Pukulan Sinar Matahari” yang dahsyat.
Lima jari tangannya did0r0ngkan sambil menciptakan gerakan mencengkeraman. Biasanya sekali jari-jari tangannya menyentuh kepingan tubuh lawan , pasti eksklusif bisa dibuat jeb0l kemudian disentakkan kembali. Tapi sekali ini bagaimanapun beliau kerahkan tenaga luar dan dalam , jari tangannya tidak bisa menjeb0l. Padahal tubuh nenek kurus kering itu tinggal kulit pembalut tulang. Keringat hambar mengucur dan kedua matanya yang juling berputar-putar.
Sint0 Gendeng tertawa berlagak. “Bagaimana Datuk…? Kau tak sanggup menjeb0l tubuhku?
Mustahil!! Kau insan sakti luar biasa. Tangan saktimu ditakuti rimba persilatan. Masak menjeb0l perut tipis pe0t begini saja kau tidak sanggup?!”
“Jahanam!” maki Datuk Bululawang. Mulutnya k0mat-kamit menyerupai merapal sesuatu. Sint0 yang mempunyai wajah menyerupai tengk0rak tertawa.
“Ilmu siluman apa yang hendak kau keluarkan Datuk busuk?” ejek Sint0. Dia menahan nafas. Tangan Datuk Bululawang lengket dan dised0t. Bagaimanapun sang Datuk Bululawang kerahkan tenaga berkutat untuk melepaskan tangan itu namun sia-sia saja. Malah rasa panas tiba-tiba menjalar dari perut si nenek , terus mengalir ke tangan , lengan dan sekujur tubuhnya.
“Datuk Bululawang! Saat kematianmu sudah dekat. Kau memang sial tidak kesampaian menjadi raja diraja rimba persilatan. Namun di masa kemudian kebejatanmu sudah terkenal. Kau merusak belum dewasa muda dengan nafsu bejatmu! Kau membunuh 0rang-0rang persilatan tanpa sebab! Lihatlah ke atas. Malaikat maut sudah turun mendatangimu!”
“Dajal tua! Aku menentukan mati bersama!” teriak Datuk Bululawang. Mulutnya didekatkan ke leher Sint0 Gendeng. Maksudnya beliau hendak menggigit putus urat leher si nenek. Tapi lebih cepat dari gerakan kakek berpunuk ini , dua tangan Sint0 Gendeng berkelebat ke atas kepalanya mencabut dua buah tusuk k0nde perak. Lalu secepat kilat tusuk k0nde itu ditancapkan ke mata kiri dan kanan Datuk Bululawang.
“Crass!”
“Crass!”
Dua b0la mata Datuk Bululawang pecah. Darah muncrat. Datuk Bululawang menjerit setinggi langit! “Sialan!” maki Sint0 Gendeng ketika muncratan darah membasahi muka tengk0raknya. Tangan kanannya dikemplangkan ke bat0k kepala Datuk Bululawang. Saat itu
Sandaka mel0ncat dan berseru. “Jangan bunuh! Beri saya kesempatan balas dendam kesumat sakit hati!”
Sint0 Gendeng hentikan gerakannya. Dia menatap wajah dan tubuh telanjang berpaku-paku perjaka kemudian menyeringai. “Manusia paku saya luluskan permintaanmu! Silahkan lakukan apa yang kau mau!” kata nenek sambil tetap saja merekatkan tangan Datuk Bululawang ke perutnya. Sandaka mendekat. Semula Sint0 mengira Sandaka akan memukul hancur kepala atau mematahkan batang leher Datuk Bululawang. Ternyata tangan kanannya menyelinap ke bawah jubah Datuk Bululawang. Terdengar sesuatu hancur dalam remasan Sandaka. Datuk Bululawang kembali menjerit setinggi langit ketika angg0ta rahasianya diremas hancur 0leh Sandaka.
Sint0 Gendeng merinding mendengar bunyi berderak hancur angg0ta rahasia Datuk Bululawang. Segera ia lepaskan tangan Datuk Bululawang dari sed0tan perutnya. Dalam keadaan limbung Datuk Bululawang kesannya jatuh terkapar di tanah , menjerit dan melejanglejang tiada henti.
“Kau tidak membunuhnya?” tanya nenek dengan verbal dimenc0ngkan.
“Kematian terlalu lezat bagi dia. Biarkan beliau hidup menyerupai itu. Lebih hina menyerupai hewan ,” jawab Sandaka.
Tempat itu sunyi beberapa ketika. Sint0 Gendeng berdiri dari peti yang didudukinya. Dia berpaling kepada muridnya. “Anak setan , kurasa tugasku sudah selesai. Selanjutnya kuserahkan kepadamu. Dewi Ular masih hidup. Kau tahu apa yang harus dilakukan…”
Dengan ujung t0ngkat , nenek ketuk-ketuk peti besi di dekatnya. “Aku yakin ada sesuatu yang sangat berharga dalam peti ini. Kalau kau tidak berkesempatan mengurusnya , serahkan kepada murid Dewa Tuak untuk membantu!” Lalu Sint0 berpaling kepada Anggini.
“Sampaikan salam h0rmatku kepada gurumu. Katakan saya tidak sanggup menyambanginya. Aku harus cepat-cepat kembali ke puncak Gunung Gede. Dunia luar ini menyesakkan nafas dan dadaku lantaran sudah terlalu k0t0r!”
Anggini hanya menunduk tidak berani menatap wajah nenek dan menjawab dengan anggukan kepala. “Aku pergi sekarang…”
“Eyang! Ada yang hendak saya tanyakan…” Wir0 cepat berkata. Anggini ikut menimpali.
“Benar , saya pun ada sesuatu yang ingin dipertanyakan. Sekalian memberikan pesan guru saya….”
Sint0 Gendeng menyerupai sudah maklum apa yang akan ditanyakan 0leh kedua perjaka pemudi ini , yakni menyangkut perj0d0han mereka yang terkatung-katung semenjak lama. Setelah batuk beberapa kali Sint0 berkata. “Kalian semua dengarlah. Aku sudah maklum dengan apa yang hendak kalian sampaikan. Saat ini sebaiknya merampungkan urusan besar daripada membicarakan kasus ini. Biar saya sendiri yang akan menemui Dewa Tuak untuk merampungkan pers0alan!” Habis berkata begitu nenek berkelebat pergi.
Anggini berpaling pada Wir0 dan berkata. “Kau dengar , beliau akan menemui guruku untuk membicarakan kita? Aku yakin hingga sepuluh tahun ke depan tidak akan melakukannya.
Kalaupun berjumpa guru pasti ada saja alasannya untuk tidak membicarakannya!”
Wir0 tegak garuk-garuk kepala , tidak bisa memberi balasan apa-apa. Kemudian baik Anggini dan Wir0 sama-sama menyadari Sandaka tidak ada lagi di tempat itu.
“Ke mana dia? ”
“Kurasa mengejar Dewi Ular ,” jawab Anggini.
“Bagaimana kau bisa tahu? ”
“Dendam kesumatnya kepada perempuan iblis itu setinggi langit sedalam lautan. Dia membunuh kekasih cal0n istrinya sendiri akhir efek jahat Dewi Ular. Yang di sana itu makamnya…. ”
“Dia pantas membalas dendam , tapi saya rasa ilmu kesaktiannya tidak sehebat dulu lagi. Dia akan dibunuh 0leh Dewi Ular semudah membalik telapak tangan. Aku harus mengejar dan men0l0ngnya , tapi ke mana? ”
“Ke tempat kau pernah disekap dulu ,” ujar Anggini.
“Tempat itu sudah hancur p0rak p0randa…. ”
Anggini berpikir sebentar. “Sandaka pernah bercerita bahwa Dewi Ular punya tempat di sebuah pegunungan Batu Pualam di Laut Selatan. Tempatnya tidak jauh dari Candi L0r Ampenan…. ”
“Candi L0r Ampenan , saya tahu tempatnya. Tempat itu sering digunakan manusia-manusia aneh yang berpesta sambil bekerjasama tubuh di tempat terbuka… ”
“Ah , pengalamanmu sungguh luas rupanya ,” ujar Anggini , menciptakan wajah Wir0 memerah.
“Aku akan mengejar ke sana!” Wir0 mengambil keputusan.
“Tunggu dulu! Bagaimana dengan peti itu?” tanya Anggini.
“Peti itu? Eh , itu menjadi urusanmu!” jawab Wir0.
“Enak saja! Dari pada berat-berat membawanya lebih baik ditinggal saja… ”
Wir0 memandang peti itu sambil garuk-garuk kepala. Dia kemudian melangkah mendekati peti itu.
Dengan sebuah kerikil gerendel pengunci peti dibukanya. Ketika tutup peti terbuka , terlihat tumpukan batangan emas memancarkan sinar kuning benderang. “Setelah tahu isinya , kau masih mau meninggalkan peti besi ini di sini?” tanya Wir0 sambil tertawa , kemudian tanpa menunggu balasan si gadis beliau berkelebat cepat ke arah barat.
Meski berhasil mencapai Candi L0r Ampenan yang terletak tak jauh dari bebukitan mengandung kerikil pualam di pantai selatan , namun hingga pagi muncul dan matahari naik , Pendekar 212 Wir0 Sableng tak juga menemukan tempat kediaman Dewi Ular. Apalagi tidak diketahui terang apa tempat kediaman itu berupa sebuah bangunan atau g0a.
Dengan perasaan jengkel murid Sint0 Gendeng kembali ke Candi L0r Ampenan. “Apa yang harus saya lakukan?” pikir sang satria sambil duduk di tangga kerikil , bersandar pada tubuh sebuah stupa berbentuk naga. Melihat bentuk stupa ini murid Sint0 Gendeng ingat pada senjata saktinya yang juga berbentuk berbentuk kepala dan tubuh naga. Disibakkannya pakaiannya. Baru beliau sadar bahwa hingga dikala itu beliau masih mengenakan pakaian perempuan.
Pakaian ini ditemukannya direruntuhan kediaman Dewi Ular di mana beliau disekap. Daripada telanjang lebih baik beliau kenakan pakaian itu walau kelihatan lucu.
Wir0 keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Sesaat kapak itu hanya diletakkan di pangkuan sambil diusap-usap. Kemudian beliau ingat kalau senjata ini juga merupakan suling keramat. Wir0 angkat kapak sakti dan mendekatkan verbal kapak ke bibirnya kemudian mulai meniup.
Dia tidak tahu lagu apa yang dimainkan dan berapa usang beliau bersuling ketika tiba-tiba hidungnya mencium busuk harum semerbak. “Dia datang…” bunyi hati Wir0 bergetar. “Dari jurusan kiriku….” Se0lah tidak mengetahui murid Sint0 Gendeng terus meniup sulingnya.
Dia tidak menunggu lama. Satu bayangan hijau berkelebat. Di lain kejab Dewi Ular telah berdiri di hadapannya. Wajahnya yang anggun tampak menyerupai tidak berdarah dan tatapannya penuh selidik. “Kau sengaja muncul di sini mencariku! Apa kau kira saya akan mendapatkan menyerupai dulu? Kau tidak sadar kalau dirimu hanya bangkai hidup tidak berguna?”
Wir0 berhenti meniup sulingnya. Dewi Ular jadi mengkelap. Namun sebelum amarahnya meledak beliau 0l0k-0l0kan pertanyaan. “Bagaimana kau bisa l0l0s dari tempat itu? Bagaimana kau dapatkan pakaian itu? Kau tahu itu pakaian perempuan. Apa 0takmu sudah miring? ”
Wir0 turunkan Kapak Naga Geni 212 dan meletakkan di atas pangkuannya. Seperti gres menyadari , Dewi Ular perhatikan senjata itu dengan seksama. “Waktu di kamar saya terlalub0d0h tidak mengamankan senjata itu…. ”
“Dewi , nenek sakti yang jadi guruku men0l0ngku dari sekapanmu di kamarmu yang indah.
Lalu lantaran pakaianku lenyap akhir ledakan dan k0baran api dan hanya mendapatkan pakaian ini , ya saya gunakan seadanya. Lalu mengenai 0takku , kalau kau nanya apakah 0takku sudah miring , kurasa belum… ”
“Kenapa kau tiba ke tempat ini?! Sengaja mencariku dengan maksud jahat?! ”
“Kau betul. Aku kemari memang sengaja mencarimu. Untuk membuktikan saya bahwasanya bukan lelaki banci. Bukan perjaka yang sudah kehilangan kejantanannya… ”
“Eh , apa maksudmu..?! ”
“Kalau Dewi Ular masih bermaksud menjadikanku sebagai pendamping dan kekasih , saya akan buktikan bahwa saya bisa memuaskan Dewi Ular lahir batin… ”
Paras Dewi Ular berubah kemerahan. Kedua matanya memandang kepingan bawah perjaka itu se0lah mau menembusnya. “Pendekar 212 , waktu saya menarik diri dari perkelahian dengan Sandaka dan Datuk Bululawang jangan kira saya kehilangan keberanian dan kesaktian. Aku masih bisa pecahkan kepalamu dengan satu jentikan saja! Makara kalau kau bermaksud menipuku , kini nyawamu sudah dalam genggamanku!”
“Dewi , saya berkata apa adanya. Aku meminta sesuai dengan permintaanmu. Jika kau tidak berkenan lagi melihatku , izinkan saya pergi…” Wir0 menciptakan suaranya menyerupai 0rang sedih , kemudian perlahan-lahan beliau berdiri dan melangkah pergi. Dari belakang Dewi Ular memperhatikan Wir0 yang mengenakan pakaian perempuan itu sambil menahan tawa.
“Wir0! Tunggu!” Dewi Ular berseru. “Bagaimana kalau kau kembali mengecewakan diriku!
Ternyata kau bukan se0rang jantan yang saya idamkan?! ”
“Aku rela kau bunuh berdasarkan sukamu. Dicincang , dibakar , diapakan saja! ”
Dewi Ular tersenyum. Dia melangkah mendekati perjaka itu kemudian merapatkan tubuhnya lekatlekat dan merangkul Wir0 kencang-kencang.
“Dia menguji kelakianku…” membatin murid Sint0 Gendeng. Dia segera simpan Kapak Naga Geni 212 kemudian balas merangkul Dewi Ular , malah sambil tangannya disusupkan ke balik pakaian hijau tipis perempuan anggun itu.
Dewi Ular merasa badannya menggeletar ketika rahasia beliau mencicipi memang ada kelainan pada diri Wir0. Digigitnya dada Wir0 dengan beringas hingga Wir0 kesakitan.
“Tempatku tidak jauh dari sini , ikuti aku…” kata Dewi Ular sambil melihat ke arah kepingan bawah tubuh Wir0.
Tempat yang dikatakan Dewi Ular itu yaitu sebuah bangunan terbuat dari Batu pualam beratap ijuk , terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan ada sebuah jurang sedalam hampir enam puluh kaki. Bagian depan bangunan terbuka sehingga sanggup melihat bebas ke pemandangan yang menawan. Dewi Ular bersandar ke dinding kerikil pualam , menghadap ke kepingan depan bangunan. Dia sengaja duduk dengan dua kaki di buka untuk memancing. Murid Sint0 Gendeng beringsut mendekat. Dalam hati membatin. “Kalau saya tidak berpengaruh menahan mungkin nasibku tidak berbeda dengan Sandaka. Dan mungkin saya sendiri yang akan membunuh Raja Penidur dan Eyang Sint0 Gendeng… ”
“Tempat ini agak panas… saya mulai keringatan. Dewi , apakah saya b0leh membuka pakaian?” Dewi Ular tersenyum kemudian tertawa merdu. “Seharusnya dari tadi kau buka pakaian itu. Setelah itu t0l0ng kau bukakan pakaianku.. ”
Tubuh Wir0 menggel0ra menahan rangsangan yang menciptakan nafasnya memburu dan panas.
Selesai membuka pakaiannya , beliau melaksanakan apa yang dikatakan Dewi Ular , yaitu membuka kain sutera hijau itu.
Selagi Wir0 menanggalkan pakaiannya , sepasang mata perempuan itu tidak lepas-lepasnya menatap ke kepingan bawah tubuh Wir0. Sambil berbisik beliau berkata. “Kau tidak berdusta , kini saya melihat sendiri kau benar-benar se0rang lelaki…. ”
Dewi Ular menggayutkan kedua tangannya ke leher Wir0. Lalu dengan penuh nafsu perempuan itu mend0r0ng tubuh Wir0 ke lantai dan menindihnya. “Aku tidak menyesal kehilangan Sandaka. Kau pengganti yang lebih hebat… ”
“Kita belum melakukannya Dewi. Aku belum membuktikan…” bisik Wir0 yang menciptakan Dewi Ular mengerang lirih kemudian menindih perjaka itu kuat-kuat.
“Kalau begini terus saya tidak punya kesempatan melaksanakan hal itu…” Wir0 membatin.
Lalu akal-akalan menyerupai 0rang yang dirangsang nafsunya memb0lak-balik tubuhnya.
Bersamaan dengan itu tangannya mengambil paku emas yang diikatkan di balik rambutnya yang g0ndr0ng.
“Dewi , saya akan melakukannya.. ”
“Lakukan cepat Wir0! Tubuhku menyerupai kau panggang…”
Tangan Wir0 meluncur ke bawah. Dewi Ular menggelinjang kegelian ketika tangan itu mengusap perutnya. Wir0 memegang paku emas erat-erat. Usapannya hingga ke pusar Dewi Ular. “Wir0 , saya merasa ada sebuah benda di tanganmu. Kau…” Ucapan Dewi Ular hanya hingga di situ. Paku emas di tangan Wir0 menusuk deras dan amblas ke dalam pusarnya.
Dewi Ular menjerit keras. Dia memandang ke bawah ke arah pusarnya. “Paku emas!!” teriak Dewi Ular dengan muka pucat. “Manusia keparat!” sepasang mata Dewi Ular meny0r0ng garang. Sinar hijau berkilauan , tapi serta merta lenyap. Dia kedipkan matanya , tidak ada sinar maut yang keluar. Dia c0ba mencengkeramkan kedua tangannya ke leher perjaka itu untuk mencekik. Tapi dengan praktis Wir0 menepis hingga Dewi Ular terpekik kesakitan.
Darah mengucur dari pusar Dewi Ular yang berlubang. Di antara kucuran darah kelihatan kepulan asap hitam berbau busuk. Wir0 cepat berdiri dan cepat jambak rambut perempuan itu kemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding batu. Mahk0ta kepala ularnya menggelinding jatuh ke lantai batu.
“Bangsat penipu…!” kutuk Dewi Ular. Dia mengumpulkan sisa kekuatannya. Didahului satu jeritan beliau lancarkan tendangan ke arah perut Pendekar 212 dan mendarat cukup telak sehingga murid Sint0 Gendeng itu terlempar dan terkapar di lantai. Dewi Ular cepat bangkit.
Dia menyambar Kapak Naga Geni 212 yang diletakkan Wir0 di kepingan depan bangunan.
Wir0 tak mau berlaku ayal. Dia cepat mel0mpati perempuan itu dan hantamkan tangan kanan memukul lengannya. Dewi Ular menjerit kesakitan. Senjata mustika yang sempat dipegangnya terpaksa dilepaskan dan jatuh berker0ntang di lantai pualam. Sambil menahan sakit Dewi Ular berusaha berdiri. Darah berbau busuk semakin banyak mengucur dari pusarnya yang ditancapi paku emas.
“Pendekar 212…” desis Dewi Ular. Dia bersandar ke dinding sambil bertahap bergeser menuju kepingan depan bangunan. “Aku rela mati di tanganmu. Tapi sebelum mati , penuhi dulu satu permintaanku…” Dia bergerak lagi menuju kepingan depan bangunan.
“Katakan apa permintaanmu!” ujar Wir0.
“Tiduri diriku. Di sana , erat jurang sana. Kalau sudah kau lakukan , kau b0leh membunuhku dan membuang mayatku ke dalam jurang!”
Pendekar 212 kernyitkan kening.
“Jangan takut… Aku tidak akan meracuni tubuhmu menyerupai kulakukan terhadap Sandaka. Saat ini aku…” Ucapan Dewi Ular putus hingga di situ. Dengan satu gerakan kilat , perempuan ini jatuhkan diri meluncur di atas lantai kerikil pualam yang licin menuju kepingan depan bangunan di mana Kapak Maut Naga Geni 212 tergeletak.
“Sial! Mengapa saya tidak cepat mengamankan senjata itu!” rutuk Wir0 meratapi keb0d0hannya sendiri. Dia berusaha mengejar. Namun gagang kapak telah keburu dipegang 0leh Dewi Ular. Begitu beliau hendak mengangkat senjata sakti ini , tiba-tiba sebuah kaki yang ditancapi paku dan bergelimang darah menginjak tubuh kapak.
Dewi Ular terpekik dan mel0mpat menjauhi diri. S0s0k tubuh yang menginjak kapak membungkuk mengambil senjata itu. Sandaka! Wir0 hendak berteriak biar Sandaka segera menyerahkan senjata itu padanya. Namun sesaat beliau jadi bimbang. Kemudian dilihatnya Sandaka melangkah mendekati perempuan itu sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 didepan dada. Mukanya yang bergelimang darah dan dipantek lima buah paku itu kelihatan luar biasa mengerikan.
“Kekasihku…. Jangan….! Apa yang hendak kau lakukan?!” seru Dewi Ular. Sandaka tidak menjawab. Mukanya semakin angker.
“Sandaka kekasihku… Dengar… Kita bisa hidup menyerupai dulu lagi… ”
“Perempuan iblis! Tutup mulutmu!” hardik Sandaka menggeledek. “Kau tipu diriku dengan kecantikan dan tubuhmu. Kau racuni tubuh dan 0takku kemudian kau kuasai.! Di bawah efek jahatmu kau perintahkan saya membunuh 0rang-0rang tak berd0sa. Kekasihku Mantili.
Guruku Eyang Gusti Kelud Agung… ”
“Kau salah sangka Sandaka. Semua itu saya lakukan demi masa depan kita. Bukankah kita ingin sama-sama menguasai dunia persilatan? ”
“Perempuan durjana! Kau tak akan pernah menguasai dunia persilatan. Aku akan mengirimmu ke liang darul abadi lebih dulu! ”
Kapak sakti di tangan Sandaka menderu. Sinar terang memancar dan bunyi menyerupai ratusan taw0n mengamuk memenuhi tempat itu.
“Sandaka! Jangan…!” teriak Dewi Ular.
Mata kapak berkiblat menghantam pundak kiri Dewi Ular. Perempuan ini menjerit keras. Darah berwarna kehitaman mancur dari luka besar di bahunya yang mengepulkan asap.
“Sandaka… jangan bunuh diriku…” Dewi Ular mem0h0n sambil meratap.
Kapak di tangan Sandaka berkelebat lagi. “Crasss! ”
Senjata itu menghujam telak di dada Dewi Ular. Kembali terdengar jeritan mengerikan di tempat itu. Tubuh Dewi Ular bergulingan di lantai , menggelinding ke tanah kemudian berhenti erat pinggiran jurang. Megap-megap dalam tubuh bergelimang darah , Dewi Ular menc0ba berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke arah Sandaka.
“Ampun Sandaka! Jangan bunuh diriku…!”
Sandaka mel0mpat turun dari bangunan batu. Dewi Ular berpaling pada Pendekar 212.
“T0l0ng…!” jeritnya memelas.
Sandaka hingga di hadapannya. Kaki kanan insan paku ini berkelebat. “Bukkk! ”
Tendangan yang keras menghantam tepat kepingan dada Dewi Ular yang r0bek besar. Tak ampun lagi , tubuhnya mencelat mental dan masuk kedalam jurang. Suara jeritannya menggema hingga ke dasar jurang kerikil itu.
Untuk beberapa lamanya Sandaka masih tegak di tepi jurang. Kemudian perlahan-lahan tubuhnya membalik. Kapak Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat. Dia melangkah ke hadapan Wir0 mengulurkan tangan menyerahkan senjata sakti itu. Wir0 cepat mengambilnya. Tanpa berkata apa-apa , Sandaka putar kembali tubuhnya. Dia melangkah lagi ke tepi jurang.
“Apa yang ada di benak insan ini?!” pikir Wir0. Tiba-tiba beliau berteriak keras. “Sandaka!
Jangan!” Wir0 berusaha mengejar. Tapi sia-sia saja. Sandaka keburu menjatuhkan dirinya ke dalam jurang batu.
Murid Sint0 Gendeng gres memalingkan kepalanya dari memandangi jurang sedalam enam puluh kaki itu ketika telinganya menangkap derap kaki kuda mendatangi. Si penunggang kuda ternyata gadis berpakaian ungu yang bukan lain yaitu Anggini.
“Apa yang terjadi di sini…?” tanya Anggini begitu melihat darah berceceran di mana-mana.
Dia bertanya dengan muka dipalingkan ke jurusan lain.
Astaga! Wir0 gres sadar kalau dikala itu beliau sama sekali tidak berpakaian. Dia segera menghambur masuk ke dalam bangunan dan mengenakan kembali pakaian perempuan itu.
Keluar dari bangunan , beliau gres menceritakan apa yang terjadi pada Anggini. Gadis ini hanya bisa menarik nafas dalam.
“Satu malapetaka besar telah lewat. Apalagi yang akan terjadi di hari-hari mendatang…? ” kata Anggini perlahan.
“Peti berisi batangan-batangan emas itu ,” ujar Wir0. “Kau tinggalkan di mana? ”
“Jangan khawatir. Kutanam di makam Mantili , kekasih Sandaka…” jawab Anggini. Gadis ini memandang ke langit yang tiba-tiba saja berubah mendung. “Sebentar lagi akan turun hujan agaknya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wir0… ”
“Kau pergilah duluan. Di kaki bukit kerikil ini tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau. Tunggu saya di sana. ”
“Kuda ini cukup berpengaruh untuk kita tunggangi berdua… ”
Wir0 tersenyum. “Badan dan pakaianku k0t0r. Kau berangkat saja duluan… ”
“Kau betul. Badan dan pakaianmu k0t0r. Apalagi pakaianmu pun kulihat aneh sekali. Namun satu hal saya tahu. Hatimu bersih… ”
Wir0 gigit bibirnya. “Untuk kebanggaan itu saya akan pergi bersamamu hingga di mana pun juga!”

No comments for "Dendam Insan Paku WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"