Dendam Di Puncak Singgalang WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito
WIR0 SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tit0
EP : DENDAM DI PUNCAK SINGGALANG
SATU
DUA gunung tinggi menjulang menyapu awan , terlihat terperinci dari kejauhan di bawah langit yang biru bersih.
Kehadiran gunung Singgalang dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas mirip yang selalu diperumpamakan 0leh penduduk memang benar yaitu se0lah dua raksasa penjaga negeri.
Saat itu menjelang tengah hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung Singgalang tampak se0rang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.
0rang ini berusia sekitar setengah peri0de , berkumis tipis rapi , mengenakan destar tinggi berwarna hitam yang pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat dari kain bludru warna hijau yang juga ada renda benang emasnya. Di pinggangnya , di balik ikat pinggang besar terselip sebilah keris. Baik gagang maupun sarung senjata ini terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari sejenis besi putih yang dilapisi emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang dan sarung senjata itu , kelihatan cahaya kuning memantul menyilaukan.
Pada waktu yang hampir bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat sebuah kereta terbuka ditarik dua ek0r kuda besar. Di sebelah kanan duduk sais kereta , se0rang lelaki , bertampang seram.
Wajahnya tertutup 0leh kumis dan cambang bawuk lebat. Rambutnya yang g0ndr0ng di ikat menjulai ke belakang. Matanya yang sebelah kiri picak sedang telinganya sebelah kanan sumplung. Di lehernya yang mengenakan pakaian serba hitam ini melingkar sebuah kalung terbuat dari akar bahar. Pada kedua lengannya juga kelihatan melingkar dua gelang hitam dari akar bahar.
“Kenapa Datuk tidak membawa senjata?” bertanya sais kereta pada 0rang yang duduk di sampingnya.
0rang ini mengenakan pakaian bagus berwarna merah penuh dengan sulaman-sulaman benang emas.
Destarnya juga merah. Wajahnya klimis pucat dan agak cekung di p0t0ngan pipi. Dagunya nyaris berbentuk empat persegi sedang bibirnya tipis dan selalu terkancing rapat. Sekali lihat saja wajah 0rang yang dipanggil dengan sebutan Datuk ini membayangkan sifat ar0gan hirau taacuh kalau tidak mau dikatakan kejam. 0rang ini mempunyai kebiasaan aneh. Yaitu sebentar-sebentar menyentak-nyentakan lehernya ke kiri atau ke kanan mirip ayam tertelan karet.
“Mengapa kita tidak membawa senjata katamu , Daud?” 0rang berpakaian merah membuka mulutnya yang semenjak tadi tertutup. Lalu terdengar dia mendengus. Menyusul kemudian bunyi tawanya bergelak.
Sais kereta sesaat jadi terdiam. Lalu dia ikut-ikutan tertawa.
“Setan! Kenapa kau tertawa?!” sang Datuk membentak.
Sais kereta berjulukan Daud itu cepat tutup mulutnya. “Maafkan saya Datuk ,” katanya. “Saya cuma ikut-ikutan saja. Bukankah Datuk sering berkata biar saya lebih banyak mengikuti sifat dan kebiasaan Datuk?”
“Aku tidak suka kau tertawa lebar-lebar di hadapanku! Mulutmu bau! Tahu?”
“Maafkan saya Datuk ,” kata Daud sekali lagi. Lalu dengan bunyi perlahan dia menyambung. “Saya masih ingin tahu mengapa Datuk tidak membawa senjata.”
“Kau takut?”
“Tentu saja tidak Datuk ,” jawab Daud.
“Mulutmu berkata tidak tapi suaramu bergetar. Percuma kau dijuluki 0rang Daud si Hantu Mata Picak! M0m0k n0m0r satu di seluruh nagari!”
“Maafkan saya. Kalau begitu saya tidak akan bertanya lagi!” Lelaki bermuka angker yang mata kirinya buta picak itu mencambuk kuda-kuda penarik kereta keras-keras se0lah melampiaskan rasa kesalnya pada kedua hewan itu. Dicambuk bertubi-tubi demikian rupa , kedua kuda berlari kencang mirip kesetanan.
“Bangsat kau Daud!” hardik lelaki bermuka cekung. Kalau bicara sang Datuk biasa memaki dan menyebut 0rang dengan kata-kata kasar mirip setan atau bangsat.
“Apa lagi salah saya Datuk?”
“Kau melarikan kereta mirip dikejar iblis! Kau hendak menciptakan saya celaka huh?!”
Daud menahan tali kekang dua ek0r kuda.
Binatang-binatang itu mengangkat kepalanya ke atas dan serta merta memperlambat larinya.
“Nah sekencang begini saja sudah cukup. Kenapa harus terburu-buru….?”
“Bukankah kita hendak menemui….”
Sang Datuk cepat mem0t0ng kata-kata Daud. “Kita tidak menemui siapapun. Tapi justru dia yang mendatangi kita untuk mengantar nyawa anjingnya!” Untuk pertama kalinya 0rang ini berpaling pada sais kereta. “Aku melihat bayangan rasa takut di wajahmu yang buruk. Kalau betul begitu hentikan kereta. Biar saya melanjutkan perjalanan se0rang diri. Dan kau b0leh kembali ke Silungkang! Jalan kaki!”
“Saya bersumpah saya tidak takut Datuk. Tapi apa yang hendak kita lakukan ini bukan pekerjaan main-main. Datuk Bandar0 Sati sudah dikenal di tujuh penjuru angin nagari sebagai Pandekar kelas wahid!”
“Dia b0leh punya nama besar. Tapi usianya pendek. Lagi pula ilmu kepandaian apa yang dimilikinya?
Apa setinggi gunung Merapi sedalam danau Maninjau? Kau khawatir saya akan kalah 0lehnya? Kalau seandainya saya terdesak , kemudian apakah kau akan berpangku tangan saja? Duduk di atas kereta sambil mencungkil hidungmu?!”
“Tentu saja saya tidak akan tinggal diam Datuk. Saya niscaya akan membantu Datuk. Kalau tidak apa perlunya kita pergi g0t0ng r0y0ng ,” jawab Daud si Hantu Mata Picak. “Cuma saya ada sedikit rasa waswas Datuk. Bukankah Datuk Bandar0 Sati mempunyai Tuanku Ameh Nan Sabatang ,… ?”
0rang di sebelah Daud si Hantu Mata Picak menyeringai. Setelah mengusap dagunya yang licin dan menyentakkan lehernya dua kali ke kiri dia berkata.
“Tuanku Ameh Nan Sabatang memang merupakan sebilah keris langka. Mengandung kesaktian dan tuah luar biasa. Kata 0rang kalau sudah keluar dari sarungnya harus ada nyawa yang melayang! Itu kata 0rang!
Sampai dimana kehebatan keris itu perlu kita saksikan sendiri Daud!”
“Se0rang pandekar sesat di Bukit Siguntang yang kabarnya kebal segala macam senjata , dua bulan kemudian menemui ajalnya di ujung keris itu ketika c0ba menantang Datuk Bandar0 Sati. Kejadiannya di pesisir Pariaman.”
“Aku memang mendengar d0ngeng itu. Lalu apakah saya insan yang bergelar Datuk Gamp0 Alam harus menjadi ciut nyalinya menghadapi se0rang cal0n bangkai bergerak Datuk Bandar0 Sati itu?!” Habis bicara begitu 0rang ini meludah ke tanah. “Setan!”
“Saya yakin bagaimanapun juga Datuk lebih hebat dari Bandar0 Sati…”
“Yakin bukan hanya sekedar yakin , Daud. Tapi yakin yang hakkul yakin!” kata Datuk Gamp0 Alam pula. Lehernya disentakkannya ke kanan.
Kereta itu meluncur terus menempuh daerah sunyi berbukit-bukit. Setelah melewati sebuah desa kecil , dari jalan yang kini menurun , di kejauhan kelihatan sebuah lembah yang keindahan merupakan se0lah satu keajaiban dipandang mata.
“Ngarai Sian0k sudah kelihatan di bawah sana Datuk ,” memberi tahu Daud alias Hantu Mata Picak.
Datuk Gamp0 Alam yang semenjak tadi terkantuk-kantuk membuka kedua matanya lebar-lebar. Sepasang mata 0rang ini kelihatan nyalang besar dan ada kilatan menggidikkan.
“Kita hingga lebih cepat Daud. Berarti apa yang akan kita lakukan akan lebih cepat pula selesainya.”
“Kalau Datuk Bandar0 Sati benar-benar tiba memenuhi janjinya ,” sahut Daud.
“Setan! Sialan kau Daud!” hardik Datuk Gamp0 Alam tiba-tiba.
“Astaga! Apa lagi salah saya kali ini?” tanya Daud. Nada suaranya menyatakan rasa takut namun ketakutan itu tidak terbayang di tampangnya yang angker.
“Pada saat-saat tegang kau selalu mengeluarkan ucapan yang menciptakan saya tidak enak! Keparat itu niscaya tiba Daud! Pasti! Jangan kau berani berucap yang menciptakan saya jadi ikut was-was!”
Hantu Mata Picak tidak menyahut. Dalam hatinya timbul rasa jengkel terhadap Datuk Gamp0 Alam.
“Manusia satu ini begitu bergairah biar cepat bisa melaksanakan niatnya. Tapi segala kemungkinan tidak diperhitungnkannya!”
Ngarai Sian0k terbentang dengan segala keindahannya. Di langit sebelah timur sekawanan burung terbang di langit biru.
Mata kanan Hantu Mata Picak memandang jauh ke depan. Lalu dia berdiri di atas kereta. “Datuk , saya melihat ada penunggang kuda tiba dari arah barat!” katanya kemudian kembali duduk.
Datuk Gamp0 Alam menyeringai. “Cal0n bangkai itu tiba memenuhi janjinya! C0ba perhatikan.
Apa memang betul dia yang datang?!”
Hantu Mata Picak kembali berdiri kemudian duduk lagi dan berpaling pada Datuk Gamp0 Alam. “Kudanya kuda c0klat. Destarnya hitam dan pakaiannya hijau. Siapa lagi kalau bukan Datuk Bandar0 Sati!”
“Hentikan kereta!” perintah Datuk Gamp0 Alam. “Aku berbaik hati memberi kesempatan padanya untuk meregang nyawa di tempat yang indah ini.”
Hantu Mata Picak hentikan kereta.
Sementara itu dari arah barat penunggang kuda c0klat berpakaian hijau tiba semakin dekat. Tak lama kemudian 0rang inipun hingga di hadapan kereta. Dia membawa kudanya ke samping hingga bersisi-sisian dengan p0t0ngan depan dimana Datuk Gamp0 Alam duduk.
“Datuk Gamp0 Alam , kau tiba tepat pada waktunya. Malah lebih dulu dari aku!” 0rang di atas kuda c0klat menyapa.
Datuk Gamp0 Alam menyeringai. “Aku Datuk Gamp0 Alam selalu tepat waktu. Apalagi untuk urusan penting mirip ini!”
“Urusan penting katamu. Apakah tidak bisa kita bicarakan di rumah gadang? Mengapa harus menentukan tempat ini mirip 0rang menagih hutang piutang saja?!”
Mendengar kata-kata Datuk Bandar0 Sati itu , Datuk Gamp0 Alam tertawa mengekeh. Disentakkannya lehernya beberapa kali kemudian dia berkata. “C0ba kau lihat berkeliling. Bukankah tempat ini sangat indah pemandangannya? Kaprik0rnus tak ada buruknya kita bicara di sini!”
Datuk Bandar0 Sati memandang berkeliling kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku baiklah dengan ucapanmu. Ngarai Sian0k memang indah. Lalu urusan penting apakah yang kau maksudkan itu , Datuk Gamp0 Alam?”
“Ah! Setan ini berpura-pura tidak tahu rupanya!” Maki Datuk Gamp0 Alam dalam hati. Lalu dia menjawab. “Ini menyangkut urusan rumah gadang warisan nenek m0yang kita. Jangan kau berpura-pura Datuk Bandar0 Sati!”
Wajah Datuk di atas kuda c0klat itu sesaat tampak berubah. “Kalau itu masalahnya saya tak akan mau membicarakan. Bukankah hal ini sudah saya tegaskan berulang kali padamu? S0al rumah gadang tidak ada tawar-menawar!”
Datuk Gamp0 Alam menyeringai kemudian menyetakkan lehernya. “Kau selalu bersikap mirip ini Datuk.
Keras kepala dan t0l0l!”
“Terserah padamu! Terserah kau mau menyampaikan apa diriku! Banyak urusan penting lain menungguku di Batusangkar! Aku harus pergi sekarang!”
“Tunggu!” seru Datuk Gamp0 Alam kemudian berdiri di atas kereta. Kedua tangannya berkacak pinggang sedang sepasang matanya memandang berapi-api pada 0rang yang duduk di atas kuda di hadapannya.
“Apapun alasanmu saya tidak mau tahu. Urusan rumah gadang harus selesai dikala ini juga , di tempat ini juga!”
“Kau sudah gila Datuk Gamp0 Alam!” hardik Datuk Bandar0 Sati.
“Kau menciptakan saya murka Datuk Bandar0 Sati!” bafas membentak Datuk Gamp0 Alam.
“Kau rupanya sengaja mencari lantai terjungkat!”
“Setan kau!” teriak Datuk Gamp0 Alam.
“Eh , iblis apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau berani berucap sekasar itu pada kakak kandungmu sendiri? Aku ingatkan padamu! Sekali lagi kau bicara k0t0r dihadapanku kupatahkan batang lehermu!”
* * *
DUA
DI ATAS kereta Datuk Gamp0 Alam yang masih tegak bert0lak pinggang tertawa bergelak. “S0al patah mematahkan batang leher bisa nanti kita lakukan!” katanya. “Aku hanya ingin memberi kesempatan padamu sekali lagi. Apakah kau tetap tidak mau menjual rumah gadang berikut isinya pada Tumenggung Raj0 Langit?!”
“Satu kali kubilang tidak , hingga matipun tetap tidak!” jawab Datuk Bandar0 Sati tegas dan dengan mimik wajah menjadi garang.
Datuk Gamp0 Alam menyeringai. Lehernya disentakkan dua kali berturut-turut. Dari balik pakaian merahnya dikeluarkannya segulung kertas. Perlahan-lahan gulungan kertas itu dibukanya kemudian dis0d0rkannya pada kakaknya.
“Aku telah menandatangani persetujuan penjualan rumah gadang itu. Kau juga harus menyetujui dan menandatanganinya.
Tak usah sekarang. Kuberi waktu dua hari. Antarkan sendiri kerumahku! Atau kau kirimkan saja 0rang suruhanmu!”
Datuk Bandar0 Sati jadi mengkelap. Kertas yang dis0d0rkan adiknya diambilnya dengan sebat kemudian tanpa membaca apa yang tertulis di atas kertas itu pribadi saja dir0bek-r0beknya.
“Rumah gadang ialah rumah pusaka nenek m0yang turun-temurun. Tidak b0leh dijual sekalipun dunia ini akan terbalik!” kata Datuk Bandar0 Sati dengan rahang menggembung dan pelipis bergerak-gerak.
“Setan jahanam!” teriak Datuk Gamp0 Alam murka bukan main. Setelah menyentakkan lehernya , didahului 0leh bunyi menggemb0r mirip harimau lapar tubuh Datuk ini melesat ke depan. Kaki kanannya berkelebat menendang ke arah dada kakaknya.
Datuk Bandar0 Sati balas berteriak marah. Dengan satu gerakan cepat luar biasa dia mel0mpat turun dari punggung kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke atas.
Wuuuttt!
Gagal menyerang dada kakaknya , Datuk Gamp0 Alam menyambar tangan kanan yang berusaha memukul ke arah selangkangannya. Tapi luput lantaran Datuk Bandar0 Sati cepat merunduk sambil tarik pulang serangannya.
“Datuk Bandar0 Sati pandekar tujuh nagari! Kau menentukan mati dari pada mendapatkan rejeki. 0takmu yang k0n0n cerdik bijaksana ternyata k0s0ng mel0mp0ng! Kau kemari hanya mencari mati!”
“Hemm , rupanya niat jahat itu sudah ada dalam hati dan darahmu semenjak lama! Aku tahu kau yang memfitnah anakku. Kini kau hendak bersutan di mata beraja di hati terhadapku huh! Dengar , bukan saya yang akan mati tapi kau yang akan berkubur di Ngarai Sian0k ini! Itupun kalau masih ada 0rang yang mau menguburmu. Kalau tidak bangkaimu akan jadi santapan anjing-anjing ngarai!”
“Datuk setan! Bicaramu s0mb0ng sekali. B0leh kau berkata begitu kalau kau punya dua nyawa!” kata Datuk Gamp0 Alam dengan pandangan mata berkilat-kilat. “Nama besarmu bagiku hanya kentut busuk belaka! Atau kau mengandalkan keberanianmu pada keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersepi di pinggangmu itu? Ha… ha… ha…! Keris itu sendiri yang akan kupakai menghabisi dirimu!”
“Datuk keparat insan jahat!” hardik Datuk Bandar0 Sati. “Hari ini putus kekerabatan darah antara kita! Aku tidak akan berd0sa membunuh insan sepertimu!”
“Bagus! Kalau begitu kau makanlah bekas tanganku ini!” kata Datuk Gamp0 Alam. Dia menyergap dengan satu l0mpatan garang. Tinju kirinya menghunjam ke dada sedang dua jari tangan kirinya laksana dua p0t0ng besi menusuk ke arah sepasang mata Datuk Bandar0 Sati.
“Ilmu silat picisan tidak laris di hadapanku Datuk!” ejek Datuk Bandar0 Sati. Tangannya kiri kanan bergerak laksana silangan gunting.
Bukkk!
Dukkk!
Tubuh Datuk Bandar0 Sati terg0ntai-g0ntai sesaat ketika lengan kirinya beradu dengan lengan kanan Datuk Gamp0 Alam. Di dikala yang sama , sambil memiringkan kepalanya untuk menghindari bac0kan dua jari lawan pada kedua matanya sang Datuk susupkan tinju kanannya ke dada Datuk Gamp0 Alam. 0rang ini cepat mengelak namun j0t0san kakaknya masih sempat mampir di pundak kirinya hingga Datuk Gamp0 Alam terpelanting dan niscaya jatuh kalau tubuhnya tidak tertahan ger0bak.
“Setan bantalan setan keparat!” rutuk Datuk Gamp0 Alam menahan sakit dan marah. Kepala dan lehernya dig0yang-g0yangkan beberapa kali. Mukanya yang pucat tampak semakin tidak berdarah. Tapi dia cepat tegak memasang kuda-kuda.
Di atas kereta , Daud alias Hantu Mata Picak berseru. “Datuk Gamp0 Alam , biar saya yang menghajar insan keparat itu!” Habis berseru begitu dengan satu gerakan enteng dia mel0mpat turun dan tahu-tahu sudah berada di samping kiri Datuk Bandar0 Sati.
“Aku masih sanggup mempersiangi setan bantalan ini Daud! Tetap di tempatmu!” hardik Datuk Gamp0 Alam. Lalu dia menerjang. Kini terjadi perkelahian seru antara kakak dan adik sedarah sekandung itu.
Masing-masing bukan saja mengeluarkan kekuatan luar tetapi juga mengandalkan tenaga dalam mengandung hawa sakti yang mengeluarkan siuran angin dan sesekali sinar menggidikkan.
Meskipun Datuk Gamp0 Alam mempunyai kegesitan luar biasa namun lantaran dirinya diselimuti nafsu membunuh yang tidak terkendalikan maka beberapa kali serangan mautnya luput. Sebaliknya dua kali serangan Datuk Bandar0 Sati berhasil menemui sasarannya. Yang pertama berupa satu j0t0san yang mendarat dengan telak di ulu hati lawannya hingga Datuk Gamp0 Alam terlipat ke depan dan mengeluarkan bunyi mirip 0rang mau muntah. Serangan kedua berupa hantaman telapak tangan pada pangkal lengan yang mendarat keras di dagunya.
Inilah ilmu Pukulan Sterlak yang sanggup menciptakan hidung tanggal atau daging muka terkelupas.
Pukulan Sterlak yang menghantam dagunya terasa mirip menanggalkan kepalanya dari leher. Datuk Gamp0 Alam terpelanting keras kemudian terjengkang di tanah. Pemandangannya sesaat berkunang-kunang.
“Datuk Gamp0 Alam , pulanglah! Saat ini dengan tulus saya bersedia mengampuni segala kesalahan dan perbuatanmu!” kata Datuk Bandar0 Sati yang jadi tidak tega dan hiba melihat keadaan adiknya menjepel0k di tanah mirip itu.
Perlahan-lahan Datuk Gamp0 Alam berdiri. Mulutnya dibuka dan dikatupkannya beberapa kali. Rahangnya mirip tanggal akhir Pukulan Sterlak tadi.
“Terima kasih , kau berbaik hati menyuruh saya pulang. Ketahuilah saya akan pulang setelah kau jadi bangkai di tempat ini! Setan!” Datuk Gemp0 Alam menutup kata-katanya dengan makian. Kedua kakinya dikembang. Kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan menekuk mirip hendak meremas. Dari tengg0r0kannya keluar bunyi mencicit halus.
Datuk Bandar0 Sati terkejut , Ilmu Silat Tupai Pesisir. Dari mana dan kapan dia mempelajarinya?
Begitu Datuk Bandar0 Sati membatin dalam hati. Baru saja dia berkemas-kemas menghadapi serangan lawan tubuh Datuk Gamp0 Alam mel0mpat ke depan. Selanjutnya tubuhnya tampak bergerak sebat kian kemari , melenting-lenting mirip b0la. Tangan dan kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga. Inilah ilmu silat “tupai pesisir” yang kabarnya diciptakan se0rang sakti puluhan tahun silam kemudian lenyap tanpa bekas. Kalau kini ilmu itu muncul dan sanggup dikenali 0leh Datuk Bandar0 Sati , tidak heran dia merasa terkejut.
Untuk mengimbangi serangan lawan yang tiba bertubi-tubi , Datuk Bandar0 Sati terpaksa menciptakan gerakan-gerakan cepat. Dengan pengalamannya yang segudang dia bertahan dan sesekali mem0t0ng serangan lawan kemudian melancarkan serangan balasan. Setelah menghadapi lawannya lebih dari sepuluh jurus ternyata ilmu silat bajing pesisir itu tak bisa ditembus. Tekanan-tekanan dahsyat mulai dialami Datuk Bandar0 Sati. 0rang ini mulai kacau pertahanannya ketika destar hitam dikepalanya berhasil disambar tangan lawan. Kalau tidak cepat
dia membungkuk niscaya rambutnya kena dijambak Datuk Gamp0 Alam.
“Agaknya saya terpaksa mengeluarkan pukulan sakti andalanku. Tuhan , ampuni diriku kalau pukulan ini akan membunuh adikku sendiri!” Datuk Bandar0 Sati angkat tangan kanannya lurus-lurus ke atas. Jari telunjuk menunjuk ke atas lagit.
“Telunjuk penembus raga!” teriak Datuk Gamp0 Alam ketika dia mengenali ilmu pukulan sakti yang hendak dikeluarkan kakaknya. Parasnya menjadi tambah pucat. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Hantu Mata Picak yang dikala itu berada tepat di belakang Datuk Bandar0 Sati.
Melihat isyarat ini Hantu Mata Picak segera mel0mpat. Lengan kirinya yang k0k0h memiting leher Datuk Bandar0 Sati dengan keras sedang tangan kanannya mencekal pergelangan tangan sang Datuk.
“Pengecut kurang ajar! Menyerang dari belakang!” teriak Datuk Bandar0 Sati marah. Siku tangan kirinya dihantamkan ke belakang sekuat yang biasa dilakukannya.
Kraaakkk!
Terdengar bunyi tulang iga patah.
Si Hantu Mata Picak menjerit keras. Walau sakit setengah mati tapi 0rang bertubuh tinggi besar dan bertampang angker ini tidak melepaskan cekalannya dari leher Datuk Bandar0 Sati malah mirip dibantu setan kekuatannya jadi berlipat ganda hingga Datuk Bandar0 Sati sulit bernafas sementara tangan kanannya yang hendak melepas pukulan telunjuk penembus raga tak sanggup dibebaskannya. Dengan tersengal-sengal Datuk Bandar0 Sati mengerahkan seluruh kekuatannya. Justru pada dikala itu dari depan tiba Datuk Gamp0 Alam menyergap. Dengan gerakan kilat dia menyambar keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersisip di pinggang Datuk Bandar0 Sati.
Begitu senjata itu berada di tangannya segera dicabut kemudian mirip kesetanan keris bertuah itu dihunjamkannya keperut dan dada Datuk Bandar0 Sati berulang-ulang. Setiap keris itu menusuk tubuh Datuk
Bandar0 Sati kelihatan asap mengepul. Darah membasahi pakaian hijaunya.
Datuk Bandar0 Sati meraung keras. Dengan sisa kekuatan yang ada dia kerahkan tenaga dalam.
Tangan kanannya bergetar keras. Satu sinar biru melesat menjulang ke langit. Hantu Mata Picak berteriak dan lepaskan cekalannya pada lengan kanan sang Datuk. Tangannya terasa panas. Ketika dilihatnya ternyata tangan itu menjadi hitam laksana hangus. Sakitnya bukan kepalang.
Di sebelah depan Datuk Gamp0 Alam masih terus menghujani tubuh kakak kandungnya dengan tusukan-tusukan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Terakhir sekati keris itu ditusukkannya dan dibiarkannya menancap dipertengahan dada Datuk Bandar0 Sati.
Hantu Mata Picak lepaskan pitingannya di leher Datuk Bandar0 Sati. Tak ampun lagi Datuk ini segera jatuh tertelentang di tepi Ngarai Sian0k.
“Biar saya tendang bedebah ini ke dalam ngarai!” kata Hantu Mata Picak , sambil meringis menahan sakit pada tulang iganya.
“Tak usah Daud! Biarkan saja! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum ada 0rang tiba dan melihat kita disini!” kata Datuk Gamp0 Alam sambil membuang sarung keris emas ke tanah.
Mendengar hal itu Daud alias Hantu Mata Picak segera naik ke atas kereta. Datuk Gamp0 Alam mel0mpat pula ke atas kereta dan sesaat kemudian kereta itu berputar kemudian meluncur kencang ke arah kaki gunung Merapi tanpa satupun dari kedua penumpangnya mengetahui kalau dikala itu , di balik sebuah watu besar di antara kerapatan semak belukar sepasang mata menyaksikan apa yang telah terjadi di tempat itu dengan tubuh menggigil. Karena tak sanggup menahan takut , 0rang ini segera hendak melarikan diri namun satu keajaiban yang hampir tak sanggup dipercayanya menciptakan kedua kakinya se0lah dipaku ke tanah. Mulutnya terkancing , wajahnya pucat. Hanya kedua matanya saja membeliak menyaksikan apa yang terjadi.
Dari dasar Ngarai Sian0k tiba-tiba melesat satu bayangan putih ke arah tubuh Datuk Bandar0 Sati yang tergeletak di tanah. Sulit dipastikan apakah s0s0k tubuh ini s0s0k insan atau setan. S0s0k itu lebih merupakan satu bayangan 0rang berjubah tembus pandang. S0s0k ini sesaat tegak di samping tubuh Datuk Bandar0 Sati kemudian membungkuk. Tangannya bergerak mencabut keris yang menancap di dada Datuk Bandar0 Sati. Kemudian bayangan ini memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Sesaat setelah itu bayangan ini melesat ke udara. Se0lah terbang ke arah matahari. Silaunya cahaya matahari menciptakan 0rang di balik watu tak sanggup lagi melihat bagaimana lenyapnya bayangan aneh itu. Rasa takut yang tak sanggup ditahannya lagi menimbulkan 0rang ini segera menghambur lari meninggalkan tempat itu.
* * *
TIGA
HANYA beberapa dikala setelah 0rang yang tadi lari lenyap di kejauhan , se0rang penunggang kuda berpakaian dan berikat kepala putih-putih tampak mendatangi dari arah barat. Rambutnya g0ndr0ng menjela pundak melambai-lambai ditiup angin. Sambil memacu kuda tunggangannya 0rang ini yang ternyata masih muda dan bertubuh kekar memperhatikan pemandangan yang sangat indah di sekitarnya.
“Luar biasa , belum pernah saya melihat lembah seindah ini ,” kata c0w0k ini dalam hati. Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik keras , menaikkan kedua kaki depannya tinggi-tinggi dan tak mau lagi berlari.
“Heh… ada apa s0batku? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Pemuda itu mengusap-usap leher kudanya sambil kedua matanya memandang berkeliling. Di kejauhan , di tepi Ngarai Sian0k sebelah timur di lihatnya ada seek0r kuda melangkah m0ndar-mandir. Tiba-tiba hewan di kejauhan itu meringkik keras se0lah membalas ringkikan kuda yang ditunggangi si pemuda.
“Hemmm… Kau menemukan se0rang sahabat. Baik , larilah ke arah sahabatmu disebelah sana!”
Seperti mengerti kuda tunggangan si c0w0k berlari cepat ke arah kuda c0klat di tepi ngarai.
“Ada kuda tak ada penunggang ialah mustahil!” kata c0w0k g0ndr0ng begitu hingga di samping kuda c0klat. Kepala hewan itu dibelainya beberapa kali. Gerakan tangannya terhenti ketika kedua matanya melihat ses0s0k tubuh bergelimang darah tergeletak di tanah. Pemuda ini serta merta mel0mpat turun dan mendekati s0s0k tubuh itu. Dengan sangat hati-hati tubuh itu dibalikannya. Wajah si c0w0k mengerenyit melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh 0rang berpakaian hijau itu. Kedua mata 0rang ini terpejam. Si c0w0k memegang lengannya. Masih terasa hangat.
“Tubuhnya masih hangat. Berarti kejadiannya belum lama….” Pemuda itu kemudian membungkuk , meletakkan telinganya di dada 0rang “Ada detakan jantung. Perlahan sekali. Sem0ga Tuhan mengizinkan saya men0l0ngnya….” Lalu si c0w0k menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada 0rang yang sekarat itu. Perlahan-lahan dia mengalirkan tenaga dalam yang mengandung hawa sakti dingin. 0rang yang dit0l0ng tidak menawarkan reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terpejam sedang tubuhnya tidak bergerak sedikitpun.
Pemuda itu menc0ba sekali lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Tengg0r0kan 0rang yang sekarat tampak bergerak turun naik. Lalu perlahan-lahan kedua matanya yang semenjak tadi tertutup membuka. Tiba-tiba mirip mendapat satu kekuatan , dalam keadaan mirip itu 0rang ini berusaha bangun namun hal itu tak bisa dilakukannya. Punggungnya terbanting ke tanah. Kedua matanya kembali terpejam namun sebelumnya dia sempat melihat wajah 0rang yang men0l0ngnya itu.
“Andana…. Tuhan Maha Besar. Syukur kau tiba nak. Sebelum kematian tiba menjemput… bawa saya ke puncak Singgalang. Aku… saya ingin mati di sana. Di hadapan kakakku…. Uning Ramalah….”
“Andana , siapa yang dimaksudkannya dengan Andana? Diriku? Kasihan , Pandangan matanya niscaya sudah kabur. Umurnya tak akan lama.” Pemuda berambut g0ndr0ng itu berdiri , memandang ke arah kejauhan dimana tampak berdiri gunung Singgalang.
“Andana… Jangan kau tinggalkan saya di sini. Jangan biarkan saya menemui kematian di tempat ini. Bawa saya ke puncak Singgalang. Andana anakku….” Suara 0rang yang tubuhnya penuh bac0kan dan gelimang darah itu terputus. Si c0w0k cepat memeriksa. Lalu gelengkan kepala. “Nyawanya putus sudah. Kini saya menyandang kewajiban yang tak bisa kut0lak.” Sesaat si c0w0k menatap wajah 0rang yang malang itu kemudian menghela nafas panjang dan garuk-garuk kepala.
SEPERTI biasanya keadaan di setiap gunung , jalan mencapai puncaknya tidak gampang untuk dicapai.
Demikian juga dengan gunung Singgalang. Demikian yang dialami 0leh c0w0k berambut g0ndr0ng itu.
Hanya saja dia merasa beruntung lantaran kuda c0klat yang membawa mayat lelaki berpakaian hijau se0lah sudah mengetahui seluk beluk gunung itu. Binatang ini berjalan di sebelah depan , bergerak dengan cepat menuju puncak gunung. Si c0w0k hanya tinggal mengikuti dari belakang.
Ketika sang surya karam puncak gunung Singgalang masih jauh di atas sana. Waktu malam turun keadaan jadi gelap gulita , tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Pemuda berambut g0ndr0ng memutuskan untuk menghentikan perjalanan. Dia mencari tempat yang haik kemudian bermalam di situ dalam dinginnya udara yang bukan 0lah-0lah.
Tengah malam dalam keadaan susah memicingkan mata c0w0k ini tiba-tiba melihat ada ses0s0k bayangan berkelebat dalam gelap. Dia cepat berdiri dan bertanya. “Siapa di sana?!”
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Dan bayangan yang tadi terlihat mendadak s0ntak lenyap ditelan kegelapan. Pemuda itu mengg0s0k-g0s0k kedua matanya. “Aneh , tangan di depan mata tidak kelihatan tapi mengapa bayangan tadi biasa terlihat? Jangan-jangan saya bermimpi! Tapi tidurpun saya belum kuliner bisa mimpi?!” Diam-diam c0w0k itu merasa merinding. Dengan perasaan tidak yummy dia kembali ke tempatnya semula.
Kicau burung dan sinar matahari pagi yang menembus lewat kerimbunan daun-daun pep0h0nan menciptakan c0w0k yang gres bisa lelap menjelang dini hari itu terbangun. Begitu bangun yang dilakukannya pertama kali ialah memandang berkeliling , Astaga. Terkejutlah c0w0k ini. S0s0k mayat 0rang berpakaian hijau yang sebelumnya berada di atas kuda c0klat kini tak kelihatan lagi. Pemuda itu mengusut kian kemari.
Tetap saja dia tak berhasil menemukan mayat itu.
“Jangan-jangan dilarikan hewan buas.” Berpikir si pemuda. “Tapi tak mungkin saya tidak mengetahuinya. Lagi puia tak ada gejala bekas seretan di tanah. Tak ada semak belukar yang rambas.”
Pemuda ini berpikir keras. Tetap saja dia tidak sanggup menduga apa yang telah terjadi dengan mayat itu. Pemuda ini kesannya duduk di akar p0h0n. Tiba-tiba dia ingat insiden malam tadi. Ada satu bayangan yang muncul secara mendadak dan lenyap secara aneh. “Jangan-jangan tempat ini banyak dedemitnya!” Katanya dalam hati. Memikir hingga di situ dia segera berdiri. Tapi sesaat dia termangu. Apakah akan meneruskan perjalan menuju puncak Singgalang atau berbalik menuju kaki gunung. Setelah menimbang-nimbang dalam hati beberapa lama kesannya c0w0k ini mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanan menuju puncak gunung.
“Aku ketitipan kewajiban untuk membawa mayat itu kepuncak gunung dan menyerahkannya pada se0rang berjulukan Uning Ramalah. Jika ada sese0rang tinggal di puncak gunung pastilah dia bukan 0rang sembarangan. Ada baiknya saya menemui 0rang itu. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk perihal lenyapnya
mayat itu. Juga siapa tahu dia kenal dengan Tua Gila yang tengah kucari-cari dan belum bertemu hingga dikala ini.”
Maka dengan menunggangi kuda c0klat c0w0k g0ndr0ng itu melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Singgalang. Kudanya sendiri mengikuti dari belakang.
* * *
EMPAT
PEMUDA berambut g0ndr0ng itu hentikan kudanya di bawah sebatang p0h0n besar di puncak Singgalang. Di hadapannya ada sebuah gubuk kayu beratap rumbia. Di halaman gubuk terhampar halaman luas yang sebagiannya tertutup 0leh batu-batu merah. Di tengah halaman inilah , di bawah siraman sinar matahari pagi , di atas sehelai tikar kulit berbentuk lingkaran duduk se0rang berjubah putih. Kepalanya yang tertutup selendang kain sutera putih menunduk hingga si c0w0k tidak sanggup melihat wajahnya. Rambutnya yang tersembul keluar tampak putih semua.
Di hadapan 0rang berselendang , di atas sehelai tikar jerami tebal terbujur tubuh insan yang ditutupi dengan kain putih mulai dari kepala hingga ke kaki hingga c0w0k itu tidak sanggup mengetahui siapa adanya insan yang berada di bawah kain itu. Namun hatinya menaruh syak wasangka bahwa itu ialah mayat 0rang berbaju hijau yang dit0l0ngnya yang lenyap secara aneh tadi malam.
Bau kemenyan memenuhi tempat itu yang keluar dari sebuah perasapan tanah dan terletak di samping kiri 0rang berjubah putih.
Perlahan-lahan c0w0k di atas kuda turun ke tanah. Dia tidak segera melangkah mendekati halaman berbatu merah namun tetap berdiri di situ lantaran tidak berani menganggu 0rang berselendang yang diduganya mungkin tengah melaksanakan semedi.
Setelah menunggu cukup lama kesannya perlahan-lahan kelihatan 0rang berjubah dan berselendang putih mengangkat kepalanya. Si c0w0k melihat satu wajah wanita bau tanah berkulit putih keriputan.
Pandangan mata yang hirau taacuh dan mirip menembus dari wanita bau tanah itu menciptakan c0w0k berambut g0ndr0ng tercekat. Dia hendak menegur namun entah mengapa mulutnya se0lah terkancing.
“Wajah c0w0k ini mirip-mirip wajah murid saudaraku.” Perempuan bau tanah itu membatin. Lalu dia menegur.
“Siapa kau? Apa keperluanmu berada di tempat ini?” Tiba-tiba wanita itu bertanya. Suaranya perlahan dan penuh kelembutan tetapi mengandung wibawa yang sangat tinggi.
“Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menganggu….”
“Jawab saja pertanyaanku!” mem0t0ng wanita bau tanah itu.
S0r0tan mata dan ucapan 0rang menciptakan si g0ndr0ng menjawab mirip yang tidak dimintakan.
“Saya… saya kehilangan sesuatu ,” katanya.
“Uang , harta benda….?” tanya wanita yang duduk bersimpuh di atas tikar kulit.
“Bukan , bukan uang atau harta benda. Saya kehilangan ses0s0k mayat. Saya rasa….”
“Itu sebabnya kau tiba kemari lantaran menyangka mayat itu ada di sini?”
“Tidak sepenuhnya mirip itu. Saya punya kewajiban untuk mengantarkan mayat itu ke puncak Singgalang. Untuk diserahkan pada se0rang….”
“Siapa yang meminta kau melaksanakan itu?!”
“Mayat itu….” jawab si g0ndr0ng.
Kedua mata wanita yang duduk di atas tikar kulit tampak mengeluarkan kilatan aneh , menciptakan si g0ndr0ng jadi kembali tercekat!”
“Mayat mana bisa bicara. Apalagi menawarkan perintah!”
Si g0ndr0ng garuk-garuk kepalanya. “Maksud saya , 0rang itu meminta saya men0l0ngnya sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Malam tadi dia lenyap begitu saja. Tanggung jawab saya untuk menemukannya dan menyerahkannya pada 0rang yang disebutnya.”
Kedua mata wanita itu bergerak aneh. Tiba-tiba saja pandangan matanya sanggup menembus pakaian yang dikenakan c0w0k di hadapannya. Dia bisa melihat semua benda yang terlindung di balik pakaian itu. Dia bisa melihat sebuah kapak bermata dua di pinggang kiri. Lalu sebuah watu hitam di pinggang kanan dan sekuntum bunga kering pada saku baju sebelah kiri. “Dia bersenjatakan kapak. Kaprik0rnus bukan dia yang membunuh saudaraku.” Kata wanita bau tanah berwajah putih itu.
“Jadi sebelum mati 0rang itu meminta kau mengantarkan dirinya pada sese0rang di puncak gunung ini?”
“Betul sekali.”
“0rang itu menyebutkan nama?”
“Benar. Dia menyebut nama Uning Ramalah….”
“Aku Uning Ramalah!” kata wanita berselendang putih dengan sepasang mata tak berkesip.
Si g0ndr0ng cepat membungkuk. “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Uning Ramalah ialah se0rang perempuan.”
“Kau bukan 0rang sini?!” wanita bau tanah itu bertanya penuh selidik.
“Saya tiba dari tanah Jawa ,” jawab si g0ndr0ng.
“Siapa namamu?”
“Saya Wir0. Wir0 Sableng….”
“Apa tujuanmu tiba kemari?”
“Saya dalam perjalanan mencari se0rang bau tanah berjulukan Tua Gila….”
“Apa hubunganmu dengan 0rang itu?”
“Dia… dia sudah menganggap diri saya mirip anak sendiri. Saya pernah mendapatkan pelajaran silat sejurus dua jurus dari dia….”
“Kalau kau mencari 0rang berjulukan Tua Gila itu , kemudian bagaimana kemudian kau bilang punya kewajiban untuk mengantarkan ses0s0k mayat ke puncak Singgalang?”
“Saya menemukan 0rang itu di tepi Ngarai Sian0k. Dalam keadaan sekarat dia meminta saya mengantarkannya ke sini. Hanya saja malam tadi mayat itu lenyap. Saya tidak sanggup memastikan apakah dicuri setan atau dilarikan hewan buas.”
Perempuan bau tanah berjulukan Uning Ramatah itu memandang ke arah s0s0k tubuh yang terbujur di bawah kain putih. Lalu dia berpaling pada Wir0. “C0ba kau singkapkan kain putih itu. Apa dia 0rang yang kau maksudkan?”
Wir0 melangkah mendekati s0s0k yang tertutup kain putih. Dia berj0ngk0k kemudian perlahan-lahan menyingkapkan kain putih di p0t0ngan kepala. Wir0 mengenali wajah itu kemudian memandang pada Uning Ramalah seraya berkata. “Memang dia 0rangnya.”
“Dia ialah Datuk Bandar0 Sati. Adik kandungku. Dia mati dibunuh 0rang. Kau tahu siapa pembunuhnya?”
Wir0 menggeleng. “Ketika saya menemukannya dia hanya sendirian dalam keadaan sekarat. Tapi di tanah saya melihat jejak-jejak kaki kuda banyak sekali dan bekas gilasan r0da kereta.”
“Setahuku adikku mempunyai sebilah keris sakti bertuah. Senjata itu tidak ada padanya. Kau melihat keris itu? Terbuat dari emas….”
Wir0 menggeleng.
Mata wanita bau tanah itu mengeluarkan kilatan aneh. Kembali dia bisa melihat menembus ke balik pakaian Wir0. Dia tidak melihat benda yang dimaksudkannya. “Pemuda ini tidak berdusta. Dia tidak
mengambil dan menyembunyikan keris itu.”
“Malam tadi , saya sengaja menjemput mayat adikku. Aku tak ingin dia lama-lama tersiksa….”
“Ah. jadi dia rupanya yang membawa lari mayat 0rang ini ,” kata Wir0 dalam hati.
“Jenazah itu harus dikubur. Saya bersedia men0l0ng menggalikan kuburnya ,” kata Wir0 kemudian.
“Tidak kini anak muda. Paling cepat dua hari lagi. Ada sese0rang yang harus melihatnya sebelum dimakamkan.”
“Tapi kalau menunggu hingga dua hari , mayat ini bisa busuk.”
“Aku sudah mengawetkannya dengan sejenis bubuk.”
Wir0 hanya bisa mengangguk-angguk mendengar ucapan 0rang. “Saya rasa , kewajiban saya sudah saya jalankan walau tidak dengan baik. Saya m0h0n diri meninggalkan tempat ini.”
“Aku belum sepenuhnya yakin kalau kau tidak ada sangkut pautnya dengan kematian adikku. Karena itu kau dilarang meninggalkan tempat ini hingga 0rang yang kutunggu datang.”
Pendekar 212 Wir0 Sableng tentu saja jadi terkejut mendengar kata-kata itu. Tentu saja dia merasa keberatan. Namun pandangan mata wanita di hadapannya menciptakan hatinya tergetar. Maka murid Eyang Sint0 Gendeng dari gunung Gede inipun berkata. “Menunggu dua hari rasanya tidak mungkin bagi saya.
Apalagi kalau 0rang itu ternyata tiba seminggu atau dua ahad kemudian….”
“Aku lebih tahu dirimu anak muda…!”
“Saya menyesalkan mengapa kau mirip meragukan diriku!” kata Wir0. “Semula saya hanya punya maksud men0l0ng semata. Mengapa kini se0lah hendak dijadikan kambing hitam?”
Perempuan bau tanah berjulukan Uning Ramalah itu tidak menyahut apa-apa. Wajahnyapun tampak tidak berubah. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan kembali. Melihat hal ini Wir0 Sableng segera putar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Namun dia hanya bisa bergerak satu langkah.
* * *
LIMA
PENDEKAR 212 Wir0 Sableng merasakan kedua kakinya mirip dipantek ke tanah. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luarnya dia tak bisa menggerakkan kakinya. Wir0 men0leh ke belakang.
Dilihatnya wanita berjulukan Uning Ramalah itu masih tetap duduk di tempatnya dengan mendudukkan kepala.
“Apa bekerjsama maunya 0rang ini? Aku tidak mengharapkan dia berterima kasih. Tapi kalau begini balas budinya kurasa keterlaluan!” Wir0 kemudian salurkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lututnya hingga bergetar lantaran dia sengaja mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang ada. Tanah gunung yang dipijaknya ikut bergetar kemudian tampak tanah di sekitar situ retak merengkah. Bahkan tiba-tiba ada kepulan asap keluar dari celah tanah yang retak itu.
Wir0 kembali berpaling. Dilihatnya Uning Ramalah masih bersimpuh di atas tikar kulit itu. Kepalanya masih tertunduk namun kini kelihatan ada getaran-getaran yang menjalari tubuhnya. Ini satu menunjukan adanya kekuatan yang menc0ba mener0b0s memasuki tubuhnya untuk menantang kekuatan tenaga dalamnya.
Menyadari apa yang terjadi wanita bau tanah itu perlahan-lahan gerakkan tangan kanannya ke samping.
Jari telunjuk dan jari tengah diluruskan. Lalu kedua jari itu ditusukannya ke dalam tanah hingga amblas hingga ke pangkalnya. Bersamaan dengan itu Wir0 merasakan se0lah ada benda panas menusuk kedua telapak kakinya dengan keras hingga dia berteriak akhir kejut dan kesakitan.
“0rang tua! Aku tidak menduga kau berhati culas!” kata Wir0 dengan bunyi keras mulai kasar.
Uning Ramalah yang ditegur tetap saja diam membisu.
Wir0 sendiri meski kedua kakinya terpaku ke tanah namun dia masih bisa menggerakkan auratnya yang lain. Murid Sint0 Gendeng ini keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212-nya. Sinar menyilaukan menghampar di tempat itu. Uning Ramalah tetap saja tidak bergerak. Perlahan-lahan Wir0 membungkuk.
Dengan salah satu mata kapak dia menggurat tanah di sekitar kakinya dalam bentuk lingkaran. Senjata mustika itu kemudian disimpannya kembali.
Di tempatnya bersimpuh Uning Ramalah cabut kedua jarinya yang menancap di tanah. Lalu kedua jari itu dihujamkannya kembali ke p0t0ngan tanah yang lain. Di tempatnya terpaku Pendekar 212 tidak merasakan apa-apa.
Guratan Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata bisa melindunginya , tidak bisa ditembus lagi 0leh ilmu kesaktian Uning Ramalah. Perlahan-lahan wanita berwajah putih itu cabut kedua jarinya dari dalam tanah. Dia terkejut ketika melihat dua jarinya itu berwarna kemerahan dan mengepulkan asap. Dalam hatinya wanita ini membatin. “Ilmunya ternyata tinggi sekali , niscaya dia bisa membantu anak adikku. Itu sebabnya saya ingin dia berada di sini hingga anak itu datang. Sayangnya dia salah sangka.”
Di atas tikar kulit di halaman berbatu-batu merah itu kembali Uning Ramalah duduk menundukkan kepala mirip 0rang tengah merenung. Tiba-tiba dia mendengar c0w0k di seberang sana berseru.
“0rang bau tanah , saya m0h0n sekali lagi biar kau melepaskkan kedua kakiku!”
Uning Ramalah diam saja.
Wir0 menggerendeng dalam hati.
“Kau tak mau menjawab baik! Kau tak mau membebaskan kedua kakiku bagus! Jangan salahkan kalau saya terpaksa berlaku kurang ajar! Lihat saja apa yang akan kulakukan!”
“Eh , apa yang hendak dilakukan c0w0k Jawa ini?” Tanya Uning Ramalah dalam hati. Kepalanya diangkat sedikit. Kedua matanya memperhatikan apa yang hendak diperbuat c0w0k berjulukan Wir0 Sableng itu. Mendadak s0ntak kedua mata wanita bau tanah itu jadi mendelik. Wajahnya yang putih berubah merah laksana saga.
Di tempatnya terpantek ke tanah , Pendekar 212 membuka tali pengikat pinggang celananya. Lalu yummy saja celana itu dimer0s0tkannya ke bawah hingga jatuh tergulung di tanah di kedua kakinya. Kini dia berdiri membelakangi Uning Ramalah dengan tubuh sebatas pinggang ke bawah mel0mp0ng bugil.
Sambil menyeringai Pendekar 212 berkata. “Rasakan 0lehmu sekarang!” Lalu tidak tanggung-tanggung dia membalikkan badannya. Berarti auratnya sebelah bawah yang telanjang itu akan menghadap Uning Ramalah.
Tetapi ketika dia berpaling , ternyata dilihatnya wanita bau tanah itu tak ada lagi ditempatnya semula.
Wir0 memandang ke arah pintu gubuk. Dia masih sempat melihat Uning Ramalah membantingkan pintu gubuk dengan keras.
“Sialan dia malah pergi. Tapi apa tadi dia sempat melihat b0k0ngku?” Wir0 bertanya dalam hati. Wir0 meng0mel dalam hati. Kalau mengikuti amarahnya mau saja dia dikala itu menghantam gubuk itu dengan pukulan “sinar matahari”.
Di dalam gubuk Uning Ramalah tertegun beberapa saat. Dia c0ba menenteramkan degup jantung dan aliran darahnya. Bagaimanapun tadi dia cepat-cepat memalingkan kepala dan berdiri pergi namun kedua matanya masih sempat melihat apa yang dilakukan c0w0k berjulukan Wir0 Sableng itu.
Untuk lebih menenangkan hatinya Uning Ramalah mengambil mukenah kemudian membentang selembar tikar di lantai gubuk yang terbuat dari papan dan sangat higienis itu.
Dengan kekhusukan penuh wanita ini kemudian melaksanakan sembahyang hajat. Selesai sembahyang dia tetap duduk di tikar itu , memejamkan kedua matanya , mengambil perilaku mirip 0rang tengah mengheningkan cipta rasa. Sesaat kemudian , perlahan-lahan dalam pelupuk matanya muncul bayangan dari suatu tempat yang terletak jauh di sebelah utara pulau Andalas. Dia melihat sebuah bangunan kecil. Lalu sebuah air terjun. Lalu muncul satu wajah lelaki bau tanah bers0rban hitam yang mempunyai sepasang alis berwarna merah.
Dari lisan Uning Ramalah kemudian terdengar bunyi perlahan. “Sahabatku Datuk Alis Merah masuklah ke dalam alamku. Aku perlu bertemu denganmu….”
* * *
ENAM
SANG SURYA belum lama menyembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Angin pagi berhembus kencang. Namun desaunya dan bunyi daun-daun pep0h0nan yang bergemerisik terkena sapuannya tidak terdengar lantaran lenyap ditelan 0leh bunyi teladas yang mencurah pada ketinggian dua puluh kaki. Air terjun ini terletak di dasar sebuah lembah watu cadas , tak berapa jauh dari aliran anak sungai Asahan.
Di atas watu cadas hitam , di bawah curahan teladas tampak ses0s0k tubuh tinggi kekar bergerak bergerak gesit-gesit kian kemari. Sepasang tangan dan kedua kakinya melesat menciptakan pukulan dan tendangan yang sesaat bisa menyibak curahan air terjun. Dari gerakan yang dibentuk c0w0k ini terperinci dia tengah melaksanakan gerak jurus-jurus ilmu silat.
Tak jauh dari situ , di lamping sebuah bukit watu , tanpa diketahui 0leh c0w0k tadi , berdiri se0rang bau tanah berjubah putih mengenakan s0rban berwarna hitam. Kedua alis matanya berwarna sangat merah laksana darah.
Janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin pagi. Di tangan kanannya 0rang bers0rban hitam ini memegang sebatang t0ngkat kayu yang ujungnya dilapisi besi tajam hampir ibarat sebuah lembing.
Sesekali tampak kening 0rang bau tanah ini berkerut. Di lain dikala ada sesungging senyum muncul di bibirnya. Tak jarang pula dia menggangguk-anggukkan kepala sambil mengusap janggut putihnya. Di bawah teladas c0w0k yang berlatih silat kelihatan menciptakan gerakan memukul dan menendang. Gerakannya demikian cepat hingga tubuhnya seperti satu bayangan yang berkelebat di bawah curahan air terjun.
Tiba-tiba gerakan itu berubah lambat mirip gerakan 0rang menari. Di pertengahan watu cadas hitam yang dipijaknya c0w0k itu hentikan gerakan kemudian kedua kakinya membentuk kuda-kuda yang k0k0h. Rahangnya mengembung , mulutnya terkatup rapat. Perlahan-lahan perutnya yang ber0t0t tampak mengempis. Sebaliknya dadanya membusung. 0t0t-0t0tnya bert0nj0lan. Bersamaan dengan itu c0w0k ini angkat kedua tangannya ke atas. Masing-masing telapak tangan dikembangkan. Tubuhnya bergetar tanda dia mengerahkan tenaga dalam yang hebat. Hawa panas membungkus seluruh permukaan kulitnya , menciptakan keluarnya asap tipis ketika tubuhnya tersentuh air terjun.
Ketika dua telapak tangan yang diangkat melewati pundak tiba-tiba terjadilah satu hal yang sulit dipercaya. Air terjun yang jatuh ke bawah dengan deras itu mendadak terhenti curahnya laksana ditahan 0leh satu temb0k watu yang tidak kelihatan. Keanehan ini bukan hingga di situ saja. Ketika si c0w0k menciptakan gerakan mend0r0ng ke atas , curahan teladas kelihatan ikut naik , terd0r0ng ke atas hingga sejauh satu t0mbak lebih.
Di lamping bukit 0rang bau tanah bers0rban hitam sesaat tampak tercekat menyaksikan insiden itu. Hatinya berkata. “Selama dunia terkembang gres ada dua 0rang yang sanggup menahan dan mend0r0ng curahan teladas mirip itu. Guruku dan aku. Kini dia menjadi 0rang ke tiga yang sanggup melakukannya!”
Di bawah curahan teladas , si c0w0k keluarkan teriakan keras kemudian perlahan-lahan turunkan kedua tangannya. Air terjun kembali mencurah ke bawah. Diam-diam si c0w0k merasa puas. Sebelumnya dia telah menc0ba beberapa kali melaksanakan hal itu. Baru kini dia sanggup menciptakan gerakan tepat hingga bisa menahan bahkan mend0r0ng curahan teladas ke atas.
Penuh rasa besar hati dan percaya diri si c0w0k kembali melanjutkan gerakan-gerakan silatnya di bawah curahan air terjun. Pada dikala itulah mendadak tampak melayang sebuah lembing. Benda ini melesat ke arah belakang kepala si pemuda. Sekali lembing itu menancap di bat0k kepalanya sebelah belakang jangan harap dia bisa l0l0s dari maut.
Si c0w0k memang sama sekali tidak melihat datangnya lembing maut tersebut. Namun sepasang telinganya yang tajam tidak bisa ditipu walau curahan teladas begitu keras. Hanya dua jengkal ujung lembing akan menembus bat0k kepalanya , c0w0k ini tiba-tiba sekali merunduk sambil menciptakan gerakan berputar. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar bentakan keras. Tangan kanannya menghantam ke atas.
Kraakk!
Lembing yang lewat di atas kepalanya mental setelah terlebih dulu patah dua dihantam pukulannya.
Baru saja dia l0l0s dari b0k0ngan tadi tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu tendangan menderu ke arah perutnya.
Si c0w0k berteriak keras. Dia cepat menyingkir ke samping sambil menepis kaki yang menendang.
Namun dikala itu pula satu gebukan menghantam ke arah kepalanya. Mau tak mau terpaksa c0w0k ini batalkan niat memukul kaki lawan kemudian dengan cepat jatuhkan diri ke bawah. Begitu serangan lawan gelap itu lewat dia cepat menghantam ke atas dengan tangan kanan. Inilah jurus yang dinamakan “membantai matahari”.
Selain gerakan memukul dilakukan secara kilat , pukulan itu juga disertai aliran tenaga dalam. Tapi ternyata tidak gampang untuk menghajar si penyerang yang rupanya juga mempunyai gerakan cepat laksana berkelebatnya setan. Malah satu j0t0san jawaban tiba-tiba menderu lagi ke arah kepala si pemuda. Meski agak terperangah namun c0w0k ini masih sempat mengelak. J0t0san lawan menghantam dinding watu di belakangnya. Dinding ini retak besar bahkan p0t0ngan yang kena hantaman pribadi kelihatan hancur berl0bang.
Belum sempat c0w0k ini menarik nafas lega mendadak tiba lagi satu serangan. Lima jari tangan kanan yang ditekuk ke dalam mencari target di batang lehernya. Si c0w0k berteriak keras. Kedua lututnya menekuk tajam. Kedua tangan laksana kilat menyambar lengan yang melancarkan pukulan. Si penyerang berseru kaget ketika lengannya kena dicekal. Selagi dia berusaha melepaskan cekalan itu , si c0w0k telah lebih dulu menarik lengan itu kuat-kuat ke bawah hingga lawan ikut terseret dengan keras. Pada dikala tubuh lawan terjerembab si c0w0k susupkan kaki kanannya ke perut 0rang kemudian dibarengi bentakan keras tubuh lawan dilemparkan ke dinding watu cadas di belakangnya.
Saat itulah terdengar bunyi tawa bergelak. Tubuh yang dilempar mental tadi sesaat mengapung di udara kemudian membalik turun dengan cepat. Sambil melayang ke bawah 0rang ini gerakkan tangan kanannya.
Dari tangan yang dimiringkan itu tiba-tiba berkiblat sinar merah laksana sambaran pengecap api disertai bunyi deru yang menggidikkan.
“Pukulan Inti Api!” teriak si c0w0k begitu dia mengenali pukulan sakti itu. Si penyerang masih tampak kurang jelas dalam gerakannya yang laksana kilat , namun kini si c0w0k sudah sanggup menduga siapa adanya 0rang itu. Dengan cepat dia menjatuhkan diri , bergulingan di atas watu cadas terus menceburkan diri ke dalam air. Ujung pengecap api menyambar watu cadas sejarak lima langkah di depan c0w0k itu. Batu itu hancur berantakan. Si c0w0k merasakan kuduknya sedingin es. Kalau terlambat sedikit saja tadi dia menyelamatkan
diri , niscaya nyawanya tidak tert0l0ng.
Dengan cepat si c0w0k keluar dari dalam air. Begitu hingga di hadapan si penyerang dia pribadi jatuhkan diri , berlutut seraya berseru. “Guru!”
Si penyerang tanpa ampun tadi ternyata ialah 0rang bau tanah bers0rban hitam berjubah putih yang punya sepasang alis mata berwarna semerah darah. 0rang bau tanah ini pegang rambut g0ndr0ng muridnya yang berair kuyup kemudian berkata. “Kepandaianmu telah maju pesat muridku. Aku gembira. Berarti kalau saya mati sudah ada sese0rang yang mewarisi seluruh kepandaianku. Sekarang kembalilah ke p0nd0k. Tukar pakaianmu. Tunggu saya di sana. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu Andana.”
Sang murid yang berjulukan Andana itu anggukkan kepala. Ketika dia gres bergerak satu langkah tiba-tiba terdengar seruan sang guru. “Andana , tunggu! Aku melihat satu abn0rmalitas di tempat ini!”
Andana cepat berpaling. “Apa maksud Datuk Alis Merah?”
“Lihat ke depan sana ,” jawab 0rang bau tanah yang dipanggil dengan nama Datuk Alis Merah seraya menunjuk ke arah ketinggian dimana terletak sebuah watu cadas besar rata sejarak dua puluh langkah di depan mereka. “Puluhan tahun saya hidup di tempat ini. Tak pernah insiden ada kabut di sini!”
Andana memandang ke jurusan yang ditunjuk gurunya. Memang benar. Di depan sana dia melihat kabut menutupi p0t0ngan lembah seluas seratus kaki persegi , tetapi di atas watu cadas besar dan rata itu.
“Agaknya itu bukan kabut biasa Datuk. C0ba perhatikan ,” kata Andana pula.
“Demi Tuhan kau benar muridku! Itu memang bukan kabut biasa!” kata Datuk Alis Merah dengan air muka berubah. Baru saja 0rang bau tanah ini berkata begitu tiba-tiba terdengar bunyi mengaum yang dahsyat. Batu yang mereka injak terasa bergerak. Air yang tergenang di antara bebatuan tampak bergel0mbang. Memandang ke depan tanpa berkesip guru dan murid melihat kurang jelas munculnya satu s0s0k seek0r harimau besar di balik ketebalan kabut. Binatang ini memandang lurus-lurus ke arah Datuk Alis Merah dan Andana. Ek0rnya bergerak-gerak. Binatang ini mengaum sekali lagi , menciptakan lembah watu itu kembali bergetar.
“Hemmmm. Tunggangannya telah muncul. Tapi tamunya sendiri belum kelihatan.” Terdengar Datuk Alis Merah berkata perlahan seperti pada dirinya sendiri.
“Datuk , siapa gerangan tamu yang Datuk maksudkan?” bertanya Ananda.
“Yang saya tahu hanya ada satu 0rang yang mempunyai tunggangan seek0r harimau. Ayahmu , Datuk Bandar0 Sati.”
Paras Andana berubah. “Ayah saya Datuk …? Tak biasanya , bahkan tak pernah dia muncul mirip ini. Kecuali kalau beliau….” Andana tidak meneruskan ucapannya. Hatinya berdetak tidak enak.
“Aku tidak tahu keajaiban apa yang tengah terjadi di hadapan kita dikala ini Andana. Kita harus bersiap-siap. Agaknya ada satu hal luar biasa telah atau akan terjadi di luar kemampuan kita untuk mencegahnya….”
Samar-samar di dalam kabut tiba-tiba tampak menyeruak s0s0k tubuh lelaki berwajah gagah dihiasi kumis tipis , berusia sekitar setengah abad. Dia mengenakan destar hitam dan pakaian hijau. Pakaiannya ini tampak penuh dengan l0bang-l0bang bekas bac0kan dan darah membasahi hampir sekujur pakaian itu. Di pinggangnya tersisip sebilah keris terbuat dari emas.
Datuk Alis Merah ternganga melihat kemunculan s0s0k tubuh yang laksana bayang-bayang itu.
Bibirnya bergetar ketika dia berkata. “Sahabatku Datuk Band0r0 Sati. Kau muncul mirip ini…. Apakah yang telah terjadi?”
Andana sendiri yang tegak di samping Datuk Alis Merah sudah semenjak tadi terkesiap dengan mata mel0t0t. S0s0k kurang jelas di dalam kabut itu dikenalinya memang s0s0k ayahnya. Tapi mengapa dia bisa muncul mirip ini dan dengan pakaian berlumuran darah begitu rupa? Dipenuhi 0leh rasa tidak percaya dia menjatuhkan diri berlutut. Lidahnya kelu ketika dia memanggil. “Ayah….”
Lelaki di dalam kabut yang merupakan penjelmaan Datuk Band0r0 Sati menyapu wajah kedua 0rang di depan teladas itu dengan pandangan matanya yang aneh. Lalu terdengar suaranya berucap se0lah tiba dari dasar l0bang yang jauh namun terperinci dan bergema.
“Sahabatku Datuk Alis Merah , anakku Andana. Hanya kuasa Tuhan yang menciptakan hal ini bisa terjadi.
Aku tiba hanya sebentar. Untuk memberikan pesan. Andana , kembalilah segera ke Pagaralam tanah kelahiranmu di Pagaruyung. Selamatkan rumah gadang milik kita yang hendak dirampas 0leh insan culas ber0tak k0t0r serakah. Selamatkan semua harta pusaka yang ada di situ. Harta pusaka itu ialah warisan leluhur kita semenjak zaman Yang Dipertuan Sri Baginda Adityawarman. Selamatkan tanah kelahiranmu dari insan tamak serakah yang hendak menguasai negeri , menghancurkan budaya kita…. Namun sebelum kau pergi ke Pagaralam , naiklah dulu ke puncak Singgalang. Temui adikku Uning Ramalah. Aku juga akan menunggumu di sana.”
Habis berkata begitu bayangan 0rang di balik kabut menggerakkan tangannya ke pinggang. Lalu tampak dia membungkuk meletakkan sesuatu di atas watu cadas. Benda itu memancarkan sinar kuning berkilauan terkena sinar matahari pagi.
“Aku pergi sekarang. Selamat tinggal anakku. Selamat tinggal sahabatku Datuk Alis Merah. Tuhan Maha Besar. Kalian akan mendapatkan pr0teksi dari-Nya.”
“Ayah!” seru Andana seraya berdiri dan hendak mengejar. Namun auman harimau di atas watu sana menciptakan dia terperangah dan se0lah terpaku di tempatnya.
Perlahan-lahan s0s0k hewan buas ini , disusul s0s0k Datuk Band0r0 Sati menjadi pudar dan samar.
Akhirnya keduanya lenyap sama sekali. Tapi lama kemudian kabut yang tadi muncul secara aneh juga ikut sirna.
“Datuk , apakah kita tidak bermimpi?” bertanya Andana pada Datuk Alis Merah.
“Kita tidak bermimpi muridku. Yang tiba tadi benar-benar bayangan ayahmu. Hanya saja ada abn0rmalitas yang tidak bisa kupecahkan. Dia tiba dengan pakaian berlumuran darah. Sekujur tubuhnya penuh l0bang-l0bang bekas tusukan.”
“Lalu apakah saya harus mengikuti apa yang tadi dikatakan beliau?” tanya Andana. “Kembali ke Pa-garalam di Pagaruyung?”
“Mari kita kembali ke p0nd0k. Kita bicara di sana. Tapi kita periksa dulu apa yang tadi diletakkan Ayahmu di atas watu sana.”
Datuk Alis Merah berkelebat ke atas watu cadas. Andana mengikuti. Guru dan murid itu hingga di atas watu cadas hitam di tempat ketinggian. Di sini mereka menemukan sebilah keris berhulu dan bersarung emas.
“Tuhan Maha Besar!” seru Datuk Alis Merah. “Andana , ambillah keris itu. Itu ialah senjata sakti
bertuah , berjulukan Tuanku Ameh Nan Sabatang. Keris itu ialah salah satu senjata dari sekian banyak pusaka warisan nenek m0yangmu. Ayahmu sengaja meninggalkannya untukmu….”
“Aneh guru. Kalau Ayah memang hendak memberikannya pada saya mengapa harus dengan cara ini?
Mengapa tidak menunggu hingga saya berada di Pagaruyung?”
Datuk Alis Merah tidak menjawab. Di balik semua abn0rmalitas ini , si 0rang bau tanah yang akil telah punya firasat bahwa sesuatu telah terjadi dengan diri Datuk Bandar0 Sati. Namun takut kesalahan dia tak mau menyampaikan apa-apa pada muridnya selain berucap. “Ambil keris itu Andana. Pelihara baik-baik….”
Sesaat Andana tampak meragu. Dia memandang pada Datuk Alis Merah. 0rang bau tanah ini anggukkan kepala. Akhirnya Andana membungkuk mengambil keris emas itu dengan tangan gemetar. Begitu dia menyentuh senjata bertuah ini ada hawa aneh keluar dari keris , mengalir masuk ke dalam lengannya terus ke sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia merasa satu kelainan terjadi pada dirinya. Tubuhnya terasa jadi lebih ringan. Andana mengulurkan keris itu pada gurunya. Datuk Alis Merah menyambuti. Sesaat ditimbang-timbangnya keris itu sambil memperhatikan dengan seksama. “Keris bagus g0resan indah ,” kata sang Datuk. Lalu dia menggerakkan tangan hendak mencabutnya. Ketika ditarik hulu dan tubuh keris ternyata tidak bisa dipisahkan dari sarungnya. Datuk Alis Merah kerahkan tenaganya dan menc0ba sekali lagi. Tetap saja keris itu tidak bisa tercabut dari sarungnya. Penasaran 0rang bau tanah ini kerahkan tenaga dalam kemudian kembali berusaha mencabut senjata itu dari sarungnya. Sampai sekujur tubuhnya gemetaran dan keringat memericik di wajahnya Datuk Alis Merah masih tidak sanggup mencabut keris sakti bertuah itu.
“Aneh ,” kata Datuk Alis Merah sambil mengembalikan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang pada Andana. “Muridku , c0ba kau yang mencabutnya.”
Andana mengambil senjata itu kembali. Tangan kiri memegang sarung dan tangan kanan memegang hulu. Mulutnya mengucapkan Bismillahir r0hma nir-r0him. Dua tangan bergerak ke arah yang berlawanan.
Sret! Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tercabut dari sarungnya. Sinar kuning menyilaukan memancar dari tubuh senjata yang juga terbuat dari lapisan emas berukir huruf-huruf Arab.
“Tuhan Maha Besar. Senjata itu memang berj0d0h denganmu Andana. Rupanya hanya 0rang-0rang yang bertali darah dengan nenek m0yangmu yang bisa mencabut senjata sakti ini dari sarungnya.”
Andana memperhatikan senjata itu dengan penuh kagum kemudian dengan hati-hati dimasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
* * *
TUJUH
DI PINTU p0nd0k Datuk Alis Merah memegang pundak muridnya. “Kau pergi bersama d0aku , Andana.
Jaga dirimu baik-baik. Ingat segala pelajaran yang telah kau terima dariku walau hanya kau sanggup seumur jagung. Ilmu kepandaian bukan untuk menyusahkan 0rang lain. Apalagi kalau hingga digunakan untuk mencelakai dan bunuh membunuh.”
“Terima kasih atas petuah itu Datuk. Sebenarnya kalau tidak menimbang pesan Ayah , saya tidak akan meninggalkan Datuk. Datuk memang sahabat Ayah saya. Tapi bagi saya Datuk sudah saya anggap sebagai 0rang bau tanah sendiri.” Andana membungkuk kemudian menyalami tangan 0rang bau tanah itu dan menciumnya.
“Ingat baik-baik Andana. Perjalanan ke kampung halamanmu di Pagaruyung mungkin bukan satu perjalanan mudik yang menyenangkan. Pasti banyak 0rang yang suka padamu , tetapi banyak pula yang dengki dan jahat. Masih banyak 0rang yang akan terus melancarkan fitnah keji padamu. Apalagi kau telah dicap sebagai pelarian. Bur0nan dari penjara Batusangkar. Karenanya hati-hatilah dalam setiap tindak dan langkahmu. Walau kau 0risinil 0rang Minang namun tetap harus kau ingat pada kata-kata bertubah. Dimana bumi dipijak , di situ langit dijunjung.”
Dengan tangan kirinya 0rang bau tanah itu mengusap kepala Andana kemudian berkata. “Jika kau hingga di puncak Singgalang sampaikan salamku pada adik ayahmu Uning Ramalah. Katakan bahwa saya ada baik-baik saja. Aku berharap dia begitu juga.”
“Salam dan kata-kata guru akan saya sampaikan.”
Datuk Alis Merah mengangguk. “Sebelum kau pergi temui dulu adikmu. Hibur hatinya. Dia tampak gelisah semenjak dia tahu kau akan meninggalkan tanah Asahan ini.”
“Saya memang akan menemuinya guru ,” kata Andana pula.
Tak berapa jauh dari p0nd0k ada sebuah jalan menurun di antara semak belukar dan pep0h0nan.
Andana melangkah mengikuti jalan ini yang pada kesannya membawanya pada sebuah telaga kecil. Begitu jernihnya air telaga hingga dasar telaga yang dangkal dan penuh dengan batu-batu sanggup terlihat dengan jelas.
Di sebelah kiri telaga ada sebuah pancuran. Di p0t0ngan kanan terdapat terusan yang mengalirkan air telaga ke pedataran rendah.
Sejarak enam langkah dari telaga itu terdapat sebuah watu rata. Di atas watu inilah duduk membelakangi s0s0k se0rang dara berbaju kurung. Sehelai selendang putih tergulung di atas kepalanya.
Di atas watu di samping sang dara terletak satu bungkusan kecil. Tangannya memegang beberapa watu kecil. Satu demi satu watu itu dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika dia hendak melemparkan watu terakhir , dari belakang sese0rang tiba-tiba memegang lengannya. Gadis ini tergagu dan cepat berpaling. Dia melihat satu wajah gagah yang tersenyum padanya.
“Kau terkejut Halidah?”
“Abang rupanya. Saya kira siapa….” kata gadis itu sambil balas tersenyum. Namun di balik senyum itu tersembunyi rasa pedih. Kedua matanya dengan sayu menatap wajah Andana , memperhatikan kain mereka yang dikenakan c0w0k itu.
“Gagah sekali Abang berpakaian mirip ini. Rupanya jadi juga Abang pergi meninggalkan Asahan ,
kembali ke Pagaruyung?”
“Kalau diturut kata hati mana mau Abang pergi dari sini. Datuk sudah Abang anggap sebagai Ayah sendiri. Kau saya sayangi sebagai Adik sendiri. Namun saya terpaksa pergi Halidah….”
Gadis di atas watu itu menundukkan kepalanya. Jari-jari tangannya mempermainkan watu kecil yang dipegangnya. Angin bertiup lembut. Dalam hatinya gadis ini berkata. “Dia menyayangiku sebagai adik sendiri.
Ya Tuhan. Apakah dia tidak tahu bagaimana bekerjsama perasaanku terhadapnya?”
“Kenapa kau diam saja Halidah? Tak senang rupanya melihat Abang pergi?”
“Gadis mana yang tidak murung ditinggal c0w0k yang dicintainya?” Kata-kata itu hanya menggema dalam hati Halidah.
“Abang tahu perasaanmu terhadap Abang. Tapi Abang sangat mengh0rmati Ayahmu. Dia guru Abang. Dia men0l0ng Abang di kala susah. Banyak budi yang sudah Abang terima dari beliau. Abang tidak mau dianggap sebagai se0rang yang menggunting dalam lipatan….”
“Kalau Abang tahu perasaan saya mengapa Abang…” Halidah tidak meneruskan ucapannya itu. Dia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. “Akan lamakah Abang di Pagaruyung? Apakah akan kembali ke sini?”
“Abang tidak tahu berapa lama Abang di sana. Sebelum Abang harus menjenguk adik wanita Abang di Singgalang. Perihal kembali ke sini tentu saja dengan izin Tuhan Abang akan kembali lagi kemari.”
“Saya dengar gadis-gadis di tanah Minang cantik-cantik. Berkulit halus , bagus tutur katanya , el0k budi perangainya….”
Andana tertawa lebar mendengar kata-kata si gadis. Dipegangnya pundak Halidah kemudian berkata. “Di negeri Asahan ini tak kalah banyak gadis yang cantik-cantik , el0k budi perangainya. Salah se0rang yang Abang kenal ialah Adik sendiri…”
“Ah , Abang terlalu memuji ,” paras Halidah kelihatan kemerahan. “Jadi benar Abang nanti akan kembali lagi kesini?”
“Abang berjanji. Selama gunung masih biru , selama air sungai masih mengalir ke maritim Abang niscaya akan kembali.”
“Senang saya mendengar kata-kata bersajak itu. Ingatlah selalu , ada se0rang gadis jelek di negeri Asahan ini yang mengharapkan Abang cepat kembali.”
“Abang akan selalu ingat padamu Halidah. Selama Abang pergi jaga dirimu baik-baik….” Andana membungkuk kemudian mencium kening Halidah.
“D0a saya akan ikut kemana Abang pergi…” bisik Halidah seraya mengusap pipi c0w0k itu dengan penuh cinta kasih. Lalu diambilnya bungkusan kecil di atas batu. “Ini saya bungkuskan nasi dan sedikit lauk untuk bekal Abang di jalan.”
Andana mendapatkan pemberian itu dengan hati terharu biru. “Saya tidak tahu harus menyampaikan apa lagi Halidah. Kau baik sekali….”
Si gadis melepas selendang putih yang menutupi kepalanya kemudian diserahkannya pada Andana. “Hanya ini yang bisa saya berikan sebagai pengganti diri saya.”
Andana bimbang sesaat. Akhirnya diambilnya juga selendang putih itu. Dari dalam sakunya dikeluarkannya sehelai sapu tangan kemudian diserahkannya pada Halidah seraya berkata. “Jika kau rindu pada Abang , letakkan sapu tangan ini di dadamu. Kalau malam kau tidur , letakkan di bawah bantalmu. Abang pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik….”
Halidah memegang wajah c0w0k itu dengan kedua tangannya. Lalu dia berjingkat untuk sanggup mengecup Andana. Sepasang matanya berkaca-kaca. Andana merangkul gadis itu erat-erat ke tubuhnya se0lah tidak akan dilepaskannya lagi.
* * *
DELAPAN
DUA HARI dua malam diazab berdiri mirip itu menciptakan bagaimanapun sabarnya sese0rang lama-lama akan meledak kemarahannya. Demikian juga dengan Pendekar 212 Wir0 Sableng. Walaupun setiap malam ketika dia tak sanggup lagi menahan kantuk Uning Ramalah selalu meletakkan bungkusan kuliner secara rahasia di dekatnya namun kejengkelannya tidak sanggup dikendalikan lagi. Anehnya selama dua hari ini wanita bau tanah itu tidak pernah keluar dari dalam gubuknya.
Pagi hari ke tiga ketika sang surya mulai naik , Wir0 sudah siap untuk mengambil keputusan.
Bagaimana kalau saya akal-akalan mengancam hendak menghantam hancur mayat Datuk Bandar0 Sati kakaknya itu. Mungkin dia mau membebaskan diriku. Tapi mayat itu tidak berd0sa. Lebih baik saya hantam saja gubuknya hingga hancur berantakan. Gila seumur hidup gres kali ini saya disiksa 0rang begini rupa.
Tidak tanggung-tanggung murid Sint0 Gendeng ini siapkan pukulan “Sinar matahari” pada kedua tangannya kiri kanan. Cahaya putih berkilauan se0lah memapas sinar matahari pagi memancar dari kedua tangan sang pendekar. Tepat pada dikala dia menggerakkan kedua tangan untuk menghantam ke arah gubuk , tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Se0rang c0w0k berpakaian merah bercelana hitam dan ada sapu tangan merah terikat di keningnya muncul menunggang kuda. Dia sama sekali tidak memperdulikan Wir0 ataupun sesuatu yang terbujur tertutup kain putih di halaman gubuk. Kudanya dipacu ke arah gubuk seraya berseru.
“Uning Ramalah , saya datang!”
Pintu gubuk terbuka. Perempuan bau tanah berselendang kain putih itu keluar meny0ngs0ng si pemuda.
Pemuda ini cepat turun dari kudanya kemudian menyalami dan mencium tangan wanita itu.
“Tuhan Maha Besar. Syukur kau tiba anakku. Terlambat sedikit saja mungkin keadaan sudah berubah!” Diam-diam rupanya Uning Ramalah sudah mengetahui maksud Pendekar 212 yang hendak
menghancur leburkan gubuknya.
“Uning , sepanjang perjalanan dari Asahan saya merasa tidak enak. Ada firasat jelek yang saya tidak tahu artinya. Menurut Datuk Alis Merah , dua kali dia bermimpi bertemu dengan Uning. Apakah Uning ada baik-baik saja?”
“Andana , saya memang baik-baik saja anakku. Tapi….”
Perempuan bau tanah ini segera saja berubah air mukanya. Wajah keriputan itu mendadak menjadi kuyu sedih. Dan kedua matanya tampak berkaca-kaca.
“Uning , ada apakah?” tanya Andana. Pemuda ini memandang ke halaman. Dilihatnya se0rang c0w0k berdiri di ujung sana. Agaknya dia tidak bisa beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Memandang pada wajah c0w0k berambut g0ndr0ng itu Andana se0lah melihat bayangannya di dalam kaca. “Pemuda tak dikenal itu. Mengapa wajahnya mirip wajahku. Apa yang dilakukannya di tempat ini?” Lalu mata Andana berpindah pada s0s0k yang terbujur di halaman berbatu merah.
“Uning , saya melihat pemandangan aneh. Siapa c0w0k itu. Lalu apa pula yang terbujur di halaman sana?”
“Itu mayat ayahmu Andana. Ayahmu mati dibunuh 0rang….” Kalau ada petir menyambar di depan hidungnya dikala itu tidak demikian terkejutnya Andana mendengar kata-kata Uning Ramalah.
“Ayah mati dibunuh 0rang?” bunyi Andana menyentak. Matanya memandang membeliak pada s0s0k tubuh yang terbujur dan tertutup kain putih itu. Dari lisan c0w0k ini kemudian keluar bunyi teriakan dahsyat.
Lalu dia mel0mpat ke halaman berbatu merah. Sekali tarik saja disingkapkannya kain putih epil0g mayat Datuk Bandar0 Sati.
“Ayah!” teriak Andana kemudian menubruk dan memeluki mayat ayahnya. Di tempatnya berdiri di depan gubuk Uning Ramalah tegak tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Tuhan! Kaprik0rnus ini arti firasat itu! Ini arti hatiku yang tidak yummy itu! Ayahhh!” Seperti anak kecil Andana menggerung menangisi mayat ayahnya. Sampai satu tangan memegang bahunya dan terdengar bunyi Uning Ramalah.
“Siapa yang melaksanakan ini Uning? Siapa yang membunuh Ayah?!” tanya Andana pada Uning Ramalah.
Perempuan bau tanah itu hanya menjawab dengan gelengan kepala dan air mata yang jatuh meleleh ke pipinya.
“Pasti dia!” teriak Andana seraya menunjuk ke arah Pendekar 212 Wir0 Sableng yang memperhatikan dirinya. “Jahanam! Kuhabisi kau kini juga!”
Pemuda murid Datuk Alis Merah itu mel0mpat ke arah Wir0. Beberapa langkah dari hadapan Pendekar 212 Andana angkat tangan kanannya. Tangan ini dimiringkan sedikit kemudian dihantamkannya ke arah Wir0.
Satu pengecap api yang dahsyat menderu ke arah Pendekar 212. Inilah pukulan “inti api” yang dipelajari selama dua tahun dari Datuk Alis Merah. Kehebatannya luar biasa. Jangankan insan , watu karang pun akan hangus dan hancur berserakan kena hantamannya.
Murid Eyang Sint0 Gendeng yang semenjak tadi memang sudah mengkal malah sudah siap-siap untuk melepas pukulan “sinar matahari” melihat c0w0k di hadapannya menyerangnya dengan pukulan maut begitu rupa , tanpa banyak pikir lagi serta merta hantamkan tangan kanannya menyambuti pukulan lawan.
Lidah api yang merah legam dan panas saling beradu dengan sinar putih perak menyilaukan.
Bummm!
Satu ledakan keras mirip hendak meruntuhkan puncak gunung Singgalang dan mer0bek langit.
Tubuh Pendekar 212 Wir0 Sableng terguncang hebat tapi kedua kakinya tetap saja terpaku ke tanah. Mukanya tampak pucat dan di sela bibirnya ada sebersit darah keluar.
Di pihak lain Andana terpental satu t0mbak kemudian terbanting keras ke halaman berbatu merah. Dia merasakan dadanya mirip remuk dan kepalanya mirip tanggal. Kedua matanya untuk beberapa dikala lamanya mirip buta. Darah mengucur dari mulutnya. Menyangka c0w0k itu telah menemui ajalnya Uning Ramalah menjerit keras kemudian memburu dan menubruk tubuh Andana.
“Saya masih hidup Uning….” kata Andana perlahan.
“Siapa c0w0k yang punya tampang sama dengan saya itu? Ilmunya tinggi sekali….” Ternyata dalam keadaan mirip itu Andana masih bisa bicara p0l0s dan jujur. “Saya menduga dia pembunuh ayah. Mungkin saya kurang menyelidik dan ketelepasan tangan!”
“Dia bukan pembunuh Ayahmu Andana. Justru dia yang membawa mayat ayahmu ke mari. Hanya saja saya belum sepenuhnya yakin bahwa dia tidak terlibat dalam kematian Ayahmu. Dia mengaku berjulukan Wir0 Sableng. Berasal dari tanah Jawa….”’
“Jauh-jauh tiba kemari apa keperluannya? Agaknya dia patut dicurigai.”
“Katanya dia mencari se0rang berjulukan Tua Gila….”
“Tua Gila….? Bukankah itu kakek sakti mandraguna yang masih sahabat para sesepuh kita?” Ujar Andana pula.
“Dia berkata begitu tapi bagaimana bisa mempercayainya?” jawab Uning Ramalah. “Waktu mayat ayahmu hingga di sini , keris sakti bertuah Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak ada pada Ayahmu. Aku c0ba menyelidik dengan ilmu “tembus pandang”. Ternyata dia memang tidak menyembunyikan keris itu….”
“Tuanku Ameh Nan Sabatang ada pada saya Uning ,” menerangkan Andana. Lalu diceritakannya insiden aneh di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
Uning Ramalah jadi terperangah. “Kalau bukan kau yang menyampaikan mana mungkin saya bisa percaya ada insiden seaneh itu.” Lalu dia memandang Wir0. “Walaupun kini kecurigaanku pada c0w0k itu semakin berkurang namun tetap saja saya belum bisa mempercayainya sepenuhnya. Itu sebabnya saya menjeratnya dengan ilmu “paku bumi” hingga dia tidak bisa lari kemana-mana sebelum kau datang.
“Sebaiknya kita bebaskan saja dia Uning. Saya punya dugaan dia tidak bersalah. Dia bukan 0rang jahat….”
“Kau meminta saya melepaskan ilmu paku bumi itu Andana?” tanya Uning Ramalah.
“Kalau Uning tidak keberatan….”
“Baiklah. Kalau nanti dia ternyata memang insan jahat , saya tidak akan memberinya ampun!”
Perlahan-lahan wanita bau tanah itu berdiri. Kedua matanya memandang tepat-tepat ke arah Wir0. Kaki kanannya diajukan satu langkah.
“Apa lagi yang hendak dilakukan wanita bau tanah ini?” Pikir Wir0 seraya balas memperhatikan Uning Ramalah.
“Mau mengajak saya menari?” Memikir hingga di situ Wir0 jadi senyum-senyum sendiri. Tentu saja sikapnya ini menjadikan rasa heran dan tanda tanya pada Uning Ramalah dan Andana. Lalu tanpa perdulikan lagi perilaku Wir0 Uning Ramalah menciptakan guratan tanda x di atas tanah dengan ujung ibu jari kaki kanannya.
Begitu tanda silang itu diinjaknya maka Wir0 serta merta merasakan kekuatan yang selama ini memaku kedua kakinya ke tanah menjadi punah. Dia sanggup menggerakkan kakinya kiri dan kanan.
“0rang bau tanah , terima kasih kau bersedia membebaskan diriku!” kata Wir0. Dari dalam sakunya dikeluarkannya sebuah benda berbentuk lingkaran sebesar kuku ibu jari. Benda ini dip0tesnya hingga patah dua.
Sep0t0ng segera ditelannya , sisanya dilemparkannya ke arah Andana.
“Apa ini?!” tanya murid Datuk Alis Merah dengan curiga walaupun dia menyambuti juga benda yang dilemparkan Wir0 itu.
“0bat untuk luka dalam. Bentr0kan tadi telah menciptakan kita sama-sama cidera. Terserah kau mau menelannya atau tidak. Yang terperinci saya tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini….”
“Tunggu! Jangan pergi dulu!” kata Andana seraya bangun berdiri. 0bat yang dalam tangannya dimasukkannya ke dalam mulut. Dikunyahnya kemudian ditelannya. Dia merasakan ada hawa hangat menjalar di dadanya hingga ke perut.
“Mungkin ada sedikit salah paham di antara kita. Kurasa itu masuk akal saja lantaran kita tidak saling mengenal. Uning Ramalah menyampaikan kau yang membawa mayat ayahku ke sini….”’
“Aku menemukannya di tepi Ngarai Sian0k.”
“Kau tidak melihat 0rang lain di tempat itu? Atau mungkin juga kau tahu siapa pembunuhnya?”
Pendekar 212 gelengkan kepala.
“Ada satu pertanyaan lagi….”
Wir0 mem0t0ng ucapan Andana. “Dari pada bicara panjang lebar lebih baik kau menyiapkan kubur untuk Ayahmu. Mengapa dia dibiarkan tersiksa mirip itu?”
Andana memandang pada s0s0k tubuh Datuk Bandar0 Sati.
“Kau betul. Aku akan menggali kuburnya , memandikannya kemudian menyembahyanginya. Setelah itu memakamkannya.”
“Aku akan membantu!” jawab Wir0.
Uning Ramalah memperhatikan kedua c0w0k itu yang kemudian saling berjabatan tangan. “Wajah mereka begitu sama satu dengan lainnya. Mudah-mudahan mereka bisa menjadi dua 0rang sahabat.”
Ketika sang surya menggelincir ke barat di puncak gunung Singgalang kini tampak satu pemandangan baru. Sebuah makam terlihat di depan halaman berbatu merah. Inilah kuburan Datuk Bandar0 Sati , Ayah kandung Andana. Untuk beberapa dikala lamanya tiga 0rang itu yakni Uning Ramalah , Andana dan Wir0 Sableng tegak di depan makam tanpa ada satupun yang berkata-kata.
Akhirnya Uning Ramalah memecah kesunyian dengan mengajukan pertanyaan pada Andana.
“Anakku , apakah yang akan kau lakukan sehabis ini?” Sesaat Andana masih menatapi tanah merah makam Ayahnya. Dalam hati dia berkata. “Apakah hal itu masih perlu dipertanyakan? Ayahku mati dibunuh 0rang. Jelas saya harus mencari siapa pembunuhnya dan menciptakan perhitungan!”
Andana berpaling pada adik Ayahnya itu. “Saya m0h0n petunjuk Uning ,” katanya. Perempuan bau tanah berwajah putih itu betulkan letak selendangnya kemudian berkata. “Ketahuilah anakku , kebencian melahirkan kebencian. Dendam menurunkan dendam. Lalu nyawa insan tidak ada harganya lagi.
Membunuh bukan lagi dianggap sebagai satu d0sa besar yang neraka tantangannya.
Kalau sudah begitu rasanya tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini….”
Andana beng0ng mendengar kata-kata Uning Ramalah itu. Dia melirik pada sahabat barunya Wir0 Sableng. Sang sahabat dilihatnya justru sedang menggaruk-garuk kepala , memandang padanya dengan menyeringai. “Apa yang ditertawakan anak ini!” Kata Ananda dalam hati setengah jengkel.
“Uning , apakah Uning bermaksud bahwa saya dilarang membalas dendam kematian Ayah?”
Tiba-tiba Andana ejekan pertanyaan pada wanita bau tanah di sebelahnya.
“Aku tidak menyampaikan demikian anakku. Kalau kita sudah melangkah , apapun yang terjadi langkah itu harus diteruskan tanpa ragu , dengan semangat dan jiwa besar. Kita namanya insan yang hidup di dunia tidak pernah terlepas dari pada dampak hati. Kalau saja saya tidak mempunyai pantangan membunuh , dikala ini saya sudah turun gunung mencari pembunuh Datuk Bandar0 Sati!”
“Kewajiban itu ada di pundak saya Uning ,” kata Andana tegas.
Perempuan bau tanah itu mengangguk. “Tapi kau harus berhati-hati Andana. Aku punya firasat kematian Ayahmu ada sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Antaranya yang menimbulkan hingga terpaksa melarikan diri dari penjara di Batusangkar.”
“Saya sudah tahu siapa 0rang yang memfitnah saya itu. Namanya Udin Burik. Hanya tinggal mencari siapa dalangnya saja…”
“Hati-hati dengan Tumenggung Raj0 Langit. Dia mati-matian untuk sanggup memenjarakanmu kembali.
Bahkan membunuhmu kalau bisa!”
“Saya sudah perhitungkan semua itu Uning. Saya hanya minta d0a Uning biar saya selamat dalam menjalankan kiprah berat ini. Mencari pembunuh Ayah dan sesuai dengan pesannya menyelamatkan rumah gadang kita.”
“D0aku akan selalu bersamaanmu , nak!” kata Uning Ramalah pula.
Andana maju selangkah ke hadapan makam Ayahnya.
Suaranya tersendat ketika berkata. “Ayah , saya anakmu Andana bersumpah dihadapan makammu bahwa saya akan mencari pembunuh Ayah. Dunia ini terlalu sesak untuk insan keji itu dan saya. Dendam ini tak akan lunas sebelum saya sanggup membunuhnya dengan tangan saya sendiri! Tuhan mendengar sumpah saya ini dan gunung Singgalang menjadi saksi!”
Pendekar 212 yang tegak termangu di samping Andana teringat pula pada insiden belasan tahun lalu.
Ketika Ayahnya menemui kematian di tangan musuh-musuhnya. “Kau masih beruntung Andana. Kau pernah melihat Ayahmu , pernah dibesarkan 0lehnya. Aku bernasib lebih malang. Ayahku dibunuh 0rang ketika saya masih bayi…”
Andana memegang pundak Pendekar 212 dan berkata. “Nasib kita tidak jauh berbeda Wir0. Karena itu kita pantas menjadi dua sahabat….”
Wir0 menganggukkan kepalanya. Matanya memandang sesaat pada kedua kakinya. Lalu melirik pada Uning Ramalah. Perempuan bau tanah ini tahu apa yang ada di benak Pendekar 212. Maka diapun berkata. “Kalau tidak kupaku kakimu ke tanah , kau tak akan pernah bertemu dengan sahabat barumu ini.”
Wir0 garuk-garuk kepalanya. “Uning , mungkin suatu dikala saya perlu mempelajari ilmu memaku kaki 0rang itu….”
“Aku khawatir anak muda. Yang kau paku ke tanah bukan cuma 0rang-0rang jahat tetapi juga gadis-gadis cantik!”
Tanpa sadar bahwa mereka masih menghadapi saat-saat berkabung , ketiga 0rang itu sama-sama tertawa bergelak.
* * *
SEMBILAN
TELAGA dan pancuran berair jernih itu terletak di tanah rendah berbentuk lembah kecil.
P0h0n-p0h0n besar yang mengelilinginya menciptakan udara di situ terasa sejuk jauh dari sengatan sinar matahari trend panas. Selain tempat mandi telaga itu dipergunakan juga sebagai tempat mencuci pakaian sekaligus tempat bertemu dan bersenda gurau di kalangan gadis-gadis remaja di Pagaralam.
Pagi itu mirip biasanya di telaga kelihatan beberapa 0rang anak gadis mencuci pakaian sambil bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa mereka. Yang jahil menyemburkan air kepada kawannya hingga terjadi berbalas sembur. Selain itu , umumnya kalau para gadis sudah berkumpul mirip itu yang masuk dalam materi 0m0ngan mereka antara lain pastilah membicarakan ihwal pemuda.
“Hai , sudahkah kalian mendengar inf0 yang dibawakan angin dari jauh?” berkata salah se0rang di antara para gadis itu.
“Berita apa?” mitra di sebelahnya bertanya.
“Kabarnya c0w0k gagah berjulukan Andana itu akan kembali ke Pagaralam.”
“Dari mana kau dengar kabar burung itu Saleha?”
“Dari mana saya sanggup inf0 tak usah jadi pers0alan. Saya tahu itu bukan kabar burung.” Jawab anak wanita berjulukan Saleha.
“Pemuda itu hebat dan gagah. Ingat d0ngeng waktu dia menjeb0l penjara di Batusangkar kemudian menghajar dua pengawal penjara bahkan menggebuk Kepala Penjara kaki tangan Tumenggung Raj0 Langit?!”
“Dia se0rang c0w0k pemberani , se0rang pandeka!” kata gadis yang lain. “Buktinya dia tidak takut kembali ke Pagaralam. Padahal kalau Tumenggung Raj0 Langit di Pagaruyung hingga tahu niscaya dia akan ditangkap lagi dan dijatuhi eksekusi lebih berat!”
“Waktu Andana pergi tiga tahun kemudian , dia masih bujangan. Apakah kini dia masih juga bujangan?” ujar se0rang gadis berjulukan Sariatun.
“Jangan-jangan , kalau dia kembali membawa anak dan istri , semua gadis di Pagaralam hingga di Pagaruyung akan menggigit jari!” menyahuti gadis lain hingga suasana di telaga itu menjadi ramai.
“Saya berharap dia masih bujangan. Hingga salah se0rang di antara kita kelak bisa beruntung menjadi j0d0hnya!”
Semua gadis itu kembali tertawa riuh.
“Kawan! Hati-hati kalau bicara. Nanti ada yang marah!” kata Saleha setengah berseru. Dia kemudian mengg0yangkan kepalanya ke arah se0rang gadis yang duduk di sebuah watu datar. Kelihatannya dia sibuk mencuci padahal bekerjsama apa yang dibicarakan kawan-kawannya tidak luput dari perhatian dan pendengarannya , gadis yang satu ini berkulit putih bersih. Kecantikan alami yang dimilikinya jauh melebihi kecantikan kawan-kawannya. Melihat Saleha mengg0yangkan kepala pada gadis itu , se0rang anak wanita kemudian bertanya pada gadis tersebut.
“Sahabatku Bunga , apakah kau tidak senang mendengar Andana kembali ke kampung kita ini?”
Gadis manis yang berjulukan Bunga mengangkat kepalanya.
“Saya tidak tahu. Saya rasa tentu banyak yang senang , tapi niscaya ada juga yang tidak senang.”
“Kau di pihak yang mana?” tanya Saleha pula. Ketika Bunga tak bisa menjawab dan wajahnya tampak kemerahan kawan-kawannya kembali tertawa.
BUNGA ingat , terakhir sekali dia bertemu dengan Andana sebelum c0w0k itu dijebl0skan masuk penjara. Waktu itu siang hari sehabis ba’dal Zuhur. Dia gres saja pulang dari telaga mengambil air higienis untuk minum. Di persimpangan jalan dia bertemu dengan Andana yang gres saja pulang sembahyang di surau.
Mereka bertegur sapa bertukar senyuman. Tiada kata terucapkan dan tahu-tahu mereka sudah seiring sejalan.
Bunga merasakan dadanya berdebar 0leh rasa suka cita berjalan berduaan mirip itu. Lalu tiba-tiba saja langit menjadi gelap. Awan hitam menutupi bumi dan hujan turun dengan derasnya. Andana cepat mencarikan daun pisang yang lebar , memayungi Bunga dengan daun itu tanpa memperhatikan dirinya sendiri berair tidak terlindung.
“Kakak memayungi saya tapi pakaian Kakak sendiri berair kuyup ,” kata Bunga dikala itu.
“Tidak mengapa. Adik yang lebih penting. Jangan hingga kebasahan. Kata 0rang hujan adakala membawa penyakit. Saya tidak ingin Adik menjadi sakit….”
Suara c0w0k itu terdengar begitu merdu di pendengaran Bunga. Lalu dilihatnya Andana tersenyum dan bahunya dipegang lembut , menariknya ke bawah daun pisang biar tidak kejatuhan air hujan. Debaran jantung Bunga semakin keras. Hangatnya tangan c0w0k itu ketika memegang bahunya se0lah tak pernah pupus , tak pernah dilupakannya.
Se0rang c0w0k tiba-tiba melintas cepat di hadapan mereka. Dia memperhatikan sepasang muda mudi itu sesaat kemudian bergegas pergi.
Andana mengantarkan Bunga hingga ke depan tangga rumahnya. Kees0kan harinya tersebar kabar di Pagaralam bahwa Andana dan Bunga rahasia rupanya telah menjalin kekerabatan asmara. Mereka berkasih-kasihan. Ada 0rang yang melihat mereka berpayung daun pisang berdua-duaan di bawah hujan lebat.
Dan mirip biasanya yang namanya gunjingan itu dari satu lisan ke lain lisan selalu bertambah dengan hal-hal yang tidak benar. Bunga dan Andana berpayung bersama sambil berdekapan , berpelukan dan berciuman.
“Bunga! Hai Bunga!”
“Bunga!”
Suara yang memanggil-manggil itu menyadarkan Bunga dari lamunannya. Dia memandang berkeliling dan c0ba tersenyum. Dilihatnya semua kawan-kawannya berdiri di tepi telaga. Masing-masing memegang bakul berisi cucian , siap untuk meninggalkan telaga. Mereka masih menunggu kalau-kalau Bunga hendak pulang bersama-sama.
“Kami sudah selesai mencuci dan mandi!” berseru Saleha. “Matahari sudah tinggi. Kami tak bisa menunggumu!”
“Tak apa. Pergilah lebih dahulu. Sebentar lagi cucian saya selesai ,” jawab Bunga.
“Jadi kami pulang saja duluan?”
“Ya , pulang sajalah!”
“Tidak takut awak sendirian?” tanya salah se0rang sahabat Bunga.
“Mengapa musti takut? Tak ada hantu di telaga ini!” jawab Bunga pula.
“Kalau Andana yang jadi hantunya kamipun tidak takut!” teriak Saleha yang menciptakan kembali kawan-kawannya bers0rak riuh.
Bunga meneruskan mencuci. Tiba-tiba dalam kesepian itu dia mendengar bunyi langkah kaki-kaki kuda mendatangi. Bunga mengangkat kepalanya ke arah jalan menurun. Wajah gadis ini menjadi pucat.
“Dia lagi… ,” katanya dengan pengecap kelu lantaran takut. Diambilnya kebayanya dari dalam bakul kemudian cepat-cepat dikenakannya.
Se0rang lelaki bau tanah berpakaian bagus menghentikan kudanya tak jauh dari tepi telaga. Rambutnya yang putih tersembul dari destar kuning emas di kepalanya. Kumis di atas bibirnya juga sudah berwarna putih. Dia berpaling pada se0rang lelaki berkuda di belakangnya yang agaknya jadi pengawalnya.
“Tinggalkan saya di sini. Kalau tidak kupanggil jangan berani datang!”
0rang yang diperintah mengangguk kemudian cepat-cepat berlalu. Sambil tersenyum-senyum lelaki berpakaian bagus tadi turun dari kudanya.
Bunga bergegas mencapai tepian telaga tapi langkahnya segera terhadang 0leh lelaki tadi.
“Bunga… Bunga… Dunia terasa sepi jikalau tidak melihatmu sehari saja. Apakah kau ada baik-baik saja Bunga?” 0rang lelaki itu menegur dengan perilaku ramah dan tak pupus senyum di bibirnya. Namun justru sikapnya ini menciptakan Bunga muak di samping takut.
“Hai , mengapa begitu terburu-buru Bunga? Apakah tidak ada waktu bagi kita untuk bercengkrama barang sebentar?”
“Maafkan saya. Saya harus segera pulang. Hari sudah siang. Matahari sudah tinggi.” Sehabis berkata begitu Bunga cepat-cepat melangkah pergi.
Lelaki tadi mend0ngak ke langit. “Masih pagi begini dikatakan sudah siang. Tak usah terburu-buru Bunga. Urusan rumah tangga di rumah tak ada habisnya. Lagi pula saya merasa kasihan kalau dirimu yang manis , tubuhmu yang bagus terlalu banyak bekerja….”
“Maafkan saya Tumenggung. Saya harus segera pulang.”
“Jangan begitu Bunga. Kau tahu betapa saya menyukai dirimu. Bukan sekedar suka. Tapi cinta!”
Ingin sekali Bunga meludahi muka lelaki gaek yang dianggapnya tidak tahu diri itu. Gadis ini memutar langkahnya. Tapi 0rang yang dipanggilkan dengan sebutan tumenggung itu kembali menghadangnya.
“Dengar Bunga , gadis manis sepertimu.tidak layak tinggal di kampung sunyi dan k0t0r ini. Kau lebih pantas tinggal di Pangaruyung atau di Batusangkar. Aku ada rumah di dua k0ta itu yang bisa kau tempati. Jika kau takut tinggal sendirian , R0biah b0leh kau ajak serta….”
“Maafkan saya Tumenggung. Beri saya jalan….”
“Ah , kalau kau memang hendak pulang , kau b0leh naik kudaku. Akan kuantar kau hingga ke rumah.
Tapi jikalau kau suka ikut saya barang sebentar akan kuberikan hadiah kain cita yang bagus. Kau tentu mau bukan?” Sambil berkata begitu Tumenggung itu ulurkan tangannya hendak memegang lengan si gadis. Bunga cepat menghindar. Sang Tumenggung jadi kalap. Dengan nekad dil0mpatinya gadis itu kemudian dipeluknya kuat-kuat. Bunga menjerit keras berusaha melepaskan diri sambil memukuli dada Tumenggung itu sekuat yang bisa dilakukannya. Tubuh bau tanah itu rupanya kesakitan juga kena dihantam pukulan. Selagi sang Tumenggung terjajar ke belakang Bunga pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Tapi lelaki itu masih sempat menggapai pinggang kebayanya. Ketika dia hendak merangkul Bunga sekali lagi gadis ini mend0r0ng tubuh sang Tumenggung kuat-kuat. Tubuh bau tanah itu terjajar. Kakinya terpeleset di watu licin. Tak ampun lagi tubuhnya jatuh masuk ke dalam telaga. Bunga segera berlari meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan ketika di depannya melintas se0rang c0w0k berpakaian serba putih , berambut menjela bahu.
“Andana…”. kata Bunga begitu dia mengenali wajah c0w0k itu.
0rang yang ditegur berpaling padanya. “Adik memanggil saya?” Bunga merasa terkejut sekali.
“Hanya berpisah tiga tahun dia sudah lupa pada diriku?”
“Kau… kau tidak mengenali saya lagi Andana?”
“Ah , adik salah sangka. Saya bukan Andana. Saya kebetulan cuma sahabatnya. Nama saya Wir0…”
Bunga jadi terperangah. Wajah sama , p0t0ngan tubuh sama. Tapi bunyi dan l0gat bicara c0w0k ini memperlihatkan bahwa dia memang bukan Andana c0w0k Pagaralam yang meninggalkan kampung tiga tahun lalu.
“Tapi… saya mendengar kabar Andana sudah kembali ke sini. Maafkan kalau saya mengira….”
Pendekar 212 Wir0 Sableng tertawa lebar. “Kata 0rang wajah kami memang mirip. Tidak salah kalau adik hingga keliru.”
“Kalau kakak sahabatnya , apa kakak tahu dimana Andana kini berada?”
“Kami berpisah di satu tempat. Katanya dia ada satu keperluan. Tak lama lagi tentu dia akan muncul di sini ,” menjelaskan Wir0.
Tiba-tiba Wir0 melihat ada se0rang lelaki bau tanah berpakaian berair kuyup melangkah cepat ke arah mereka.
“Bunga! Perbuatanmu sudah keterlaluan. Kalau kau tidak suka saya , masih ada seribu cara untuk mendapatkanmu! Tapi mend0r0ng saya hingga masuk ke dalam telaga ialah perbuatan kurang bimbing yang tidak bisa kumaafkan!”
Bunga berpaling. Wajahnya ketakutan. Dia cepat hendak tinggalkan tempat itu.
“Kemana kau hendak lari hah? Perawan tak tahu diuntung!” Tumenggung yang berair kuyup itu cepat mencekal lengan Bunga. Tapi belum kesampaian Wir0 Sableng sudah menahan dadanya seraya menegur.
“Apa-apaan ini Bapak tua?!”
“Kerbau sialan! Jangan campuri urusanku!” hardik Tumenggung itu seraya hendak memukul Wir0.
Tiba-tiba dilihatnya paras c0w0k itu. “Kurang ajar! Kau rupanya Andana!”
“Aku bukan Andana!” jawab Wir0.
“Bangsat! Hendak kau sembunyikan ke mana mukamu insan bur0nan?! Pelarian bur0nan penjara Batusangkar! Nyalimu sungguh besar berani muncul lagi di tempat ini! Lekas serahkan dirimu untuk kutangkap!”
“Eh , kau rupanya habis kecebur 0rang tua? Mungkin 0takmu tiba-tiba menjadi gendeng akhir kecebur itu!”
“Pemuda keparat! Dulu saya yang menjebl0skanmu ke dalam penjara! Kini akan kuulangi lagi! Aku bersumpah sekali ini kau tak bakal keluar lagi! Kau akan meringkuk hingga mampus dalam penjara itu!”
Selagi kedua 0rang itu berperang lisan kesempatan dipergunakan 0leh Bunga untuk melarikan diri.
Lelaki di hadapan Wir0 tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya ke arah leher. Wir0 tidak menduga kalau gerakan 0rang bau tanah ini bisa secepat itu. Lehernya mirip dijapit. Percuma ber0ntak untuk melepaskan diri.
Karena Pendekar 212 hantamkan kedua tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada 0rang yang mencekiknya itu.
Sang Tumenggung berteriak setinggi langit. Cekikannya di leher Wir0 terlepas. Tubuhnya terjengkang di tanah , menggeliat-geliat beberapa kali sebelum dia muntah darah dan jatuh pingsan.
Sementara itu Bunga yang tengah melarikan diri dengan nafas sesak hingga di tangga rumahnya.
Bakul berisi kain cucian dibuangnya begitu saja. Lalu diterjangnya pintu rumah dan menghambur masuk ke dalam seraya berteriak memanggil-manggil.
Se0rang wanita berambut putih berlari dari dapur. “Astagfirullah! Bungat Ada apa nak?! Apa yang terjadi?!”
Bunga tak bisa menjawab. Dadanya turun naik. Perempuan bau tanah itu segera mengambil segelas air putih.
Setelah meneguk air si gadis agak hening sedikit. “Saya diganggu 0rang Mak. Dia lagi… Dia lagi!”
“Kau diganggu 0rang. Dia lagi?! Maksudmu Tumenggung Raj0 Langit?!” tanya Mamak Rabiah , ibu asuh si gadis.
Bunga anggukkan kepalanya berulang kali.
“Manusia jahanam. Tua bangka tak tahu diri itu! Tak habis-habisnya dia mengganggumu! Ya Tuhan , kapan kau akan memberi eksekusi pada bau tanah bangka itu?!” Mamak Rabiah mirip hendak menangis. Sambil membelai kepala anaknya dia berkata. “Kalau begitu mulai hari ini kau tak usah pergi mencuci ke telaga. Biar Mamak yang kesana.”
“Mamak sudah tua. Tubuh Mamak tak tahan dengan air dan udara dingin. Bunga tidak mau melihat Mamak jatuh sakit.”
Kedua mata Mamak Rabiah tampak berkaca-kaca.
“Mak , tadi saya bertemu dengan se0rang anak muda. Wajahnya mirip sekali dengan Andana. Ternyata dia bukan Andana….”
“Dimana dia sekarang?”
“Saya tak tahu lagi Mak. Waktu saya tinggalkan dia tengah bertengkar dengan Tumenggung Raj0 Langit. Lalu sayup-sayup saya dengar jeritan Tumenggung itu….” Sampai di situ Bunga menghentikan kata-katanya. Gadis ini memegang kepalanya. “Sakit kepala saya tiba lagi Mak. Izinkan saya masuk ke dalam. Saya ingin tidur….”
“Masuklah nak , masuklah…” kata Mamak Rabiah pula. Ketika gadis itu masuk ke dalam kamarnya Mamak Rabiah terduduk di sebuah kursi. Sambil menutupi wajahnya dengan sehelai selendang , dalam hati wanita bau tanah ini berkata. “Ya Tuhan , beri saya petunjuk apa yang harus saya lakukan. Saya kasihan pada anak itu. Sembilan belas tahun saya mengasuhnya mirip anak sendiri. Saya tidak tega , tak hingga hati saya melihat penderitaannya. Hati dan jiwa ini tak sanggup lagi menahan rahasia ini. Tapi kau tahu Tuhan , saya harus telah berjanji dengan ibunya. Ya Tuhan , t0l0ng saya. T0l0ng kami 0rang-0rang yang malang ini.”
* * *
SEPULUH
PACUAN kuda di Batusangkar kali ini jauh lebih ramai dari yang sudah-sudah. Hal ini antara lain disebabkan ada beberapa ek0r kuda tiba dari jauh untuk ikut berpacu. Di barisan pen0nt0n sebelah depan tampak duduk 0rang-0rang penting dari Pagaruyung , Batusangkar , K0ta Gadang dan k0ta-k0ta besar lainnya.
Di barisan depan itu juga duduk para t0k0h masyarakat setempat yang terdiri dari pada para Datuk serta Penghulu. Seperti biasanya di tempat-tempat mirip itu mereka yang suka berjudi tidak mau ketinggalan.
Mereka tiba bukan sekedar men0nt0n saja tetapi juga bertaruh , terkadang dalam jumlah yang besar.
Pekik s0rak pen0nt0n terdengar gegap gempita menyambut kemenangan kuda berjulukan Panah Agam yang keluar sebagai juara pertama dalam perl0mbaan kedua.
“Panah Agam menang! Panah Agam menang!” teriak 0rang banyak. Yang menang bertaruh mel0mpat-l0mpat sambil mengacung-acungkan tangannya.
Pada dikala itu se0rang lelaki berpakaian kuning , berdestar hitam melangkah mendekati se0rang pen0nt0n yang duduk di barisan depan. Pen0nt0n ini berusia sekitar setengah peri0de , berpakaian bagus termasuk saluak atau destar yang ada di kepalanya dan kain s0ngket yang terselempang di pinggangnya.
Sebentar-sebentar dia tampak menyentak-nyentakkan lehernya ke kiri atau ke kakan. Mukanya yang cekung serta dagunya yang persegi senantiasa membentuk air muka yang kaku dingin. 0rang ini bukan lain ialah Datuk Gamp0 Alam , t0k0h terkemuka yang disegani 0rang se-Pagaruyung. K0n0n dia mempunyai kekerabatan dekat dengan para pejabat tinggi dan 0rang-0rang penting di Batusangkar serta Pagaruyung.
0rang lelaki berpakaian kuning tadi menyerahkan sebuah kant0ng kain pada Datuk Gamp0 Alam seraya berkata. “Tak salah Datuk memegang Panah Agam. Lihat kini bagaimana dia mendatangkan rejeki kemenangan pada Datuk.” Sang Datuk tidak menjawab. Kant0ng kain berisi uang itu amblas dimasukkannya ke balik kain s0ngket yang melilit pinggangnya.
Dia berpaling pada pesuruhnya lelaki berpakaian kuning tadi ketika dilihatnya 0rang ini masih berdiri di sampingnya.
“Palindih! Ada apa kau masih tegak di sini?! Jangan harapkan upah p0t0ngan dariku , setan!”
“Maafkan saya Datuk , mana berani saya mengharapkan upah ,” jawab 0rang berjulukan Palindih.
Mukanya cekung dan tubuhnya tinggi kurus. Dia memelihara kumis jarang meranggas.
“Kalau kau tidak mengharapkan sesuatu kemudian mengapa tidak segera lindang dari hadapanku?!” hardik Datuk Gamp0 Alam. (lindang = minggat)
Palindih membungkuk sedikit. Mukanya didekatkan ke pendengaran Datuk Gamp0 Alam. Dia hendak menyampaikan sesuatu tetapi sang Datuk sudah menyempr0t.
“Setan! Kalau bicara jangan dekat-dekat ke mukaku! Mulutmu bau jariang tahu!” (jariang = jengk0l).
Terpaksa Palindih menjauhkan mukanya. Setengah berbisik dia berkata. “Kabar angin yang Datuk dengar itu sudah saya selidiki. Ternyata benar.”
“Kabar angin yang mana? Kentut juga angin! Bicara pribadi pada p0k0knya! Jangan menciptakan saya murka di tempat ini!” hardik Datuk Gamp0 Alam. Lalu kembali lehernya disentakkan dua kali berturut-turut.
“Dua hari kemudian , Andana anak Datuk Bandar0 Sati terlihat di sebuah kedai di pesisir.”
Sepasang mata Datuk Gamp0 Alam tampak membesar. Bibirnya membentuk senyum tapi keseluruhan wajahnya tidak memperlihatkan rasa senang walaupun kemudian dia berkata. “Aku gembira! Kemenakanku itu kesannya ingat pulang juga. Katakan siapa yang melihat anak itu?”
“Sati , pedagang keliling itu. Dia ada di belakang sana. Kalau Datuk mau bicara sendiri akan saya suruh dia kemari.”
Datuk Gamp0 Alam berdiri. “Biar saya sendiri yang akan menemuinya ,” kata Datuk Gamp0 Alam kemudian dia melangkah mengikuti Palindih.
0rang berjulukan Sati rupanya memang sudah menunggu di belakang barisan pen0nt0n pacuan kuda itu.
Dia mengenakan baju putih m0del gunting Cina dan mengenakan k0piah hitam. Dia berdiri sambil mengunyah jagung rebus.
“Kau yang berjulukan Sati?!” tanya Datuk Gamp0 Alam.
Yang ditanya angguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah jagung rebus dalam mulutnya.
“Betul kau melihat anak Datuk Bandar0 Sati di pesisir?” tanya Datuk Gamp0 Alam lagi.
Kembali Sati menganggukkan kepalanya. Melihat kelakukan 0rang ini marahlah Datuk Gamp0 Alam.
Dirampasnya jagung yang ada di tangan Sati kemudian di bantingkannya ke tanah.
“Setan! S0pan kalau bicara padaku! Jangan sambil makan!” hardik Datuk Gamp0 Alam murka sekali kemudian menyentakkan lehernya ke kiri. “Jawab pertanyaanku tadi!”
Yang ditanya menyeringai kemudian ulurkan tangannya. “Kalau Datuk mau keterangan , saya minta upah satu ringgit perak!”’
“Kurang ajar!! Berani kau memeras aku! Benar-benar setan kau!”’ hardik Datuk Gamp0 Alam.
“Saya 0rang dagang Datuk. Segala urusan saya ukur dengan uang. Satu ringgit perak tak ada artinya bagi Datuk. Apalagi barusan Datuk menang bertaruh. Tapi keterangan yang saya berikan nilainya jauh lebih tinggi dari satu ringgit perak itu!”
“Mandeang! Sialan kau Sati! Setan!” maki Datuk Gamp0 Alam. Lehernya disentakkan. Dia tampak murka sekali. Tapi tiba-tiba tampak senyum tersungging di mulutnya. Dari dalam sakunya dikeluarkannya uang yang diminta Sati tadi kemudian pribadi dimasukkannya ke kant0ng baju putih Sati. “Sekarang lekas berikan keterangan!” (Mandeang = m0yangmu)
“Andana anak Datuk Bandar0 Sati saya lihat dua hari kemudian di sebuah kedai di pesisir. Dari arah yang ditempuhnya terperinci dia akan tiba ke Pagaralam. Gerak geriknya tidak mirip dulu lagi. Agaknya dia kini membekal ilmu yang lebih tinggi dari dulu.”
“Dia tiba se0rang diri?” tanya Datuk Gamp0 Alam.
“Berdua. Kawannya mempunyai perawakan dan wajah yang sama. Jangan-jangan c0w0k satu itu kembarannya!”
“Setan! Andana ialah anak tunggal! Ceritamu b0h0ng!”
“Keterangan saya sudah cukup. Saya harus pergi sekarang!” kata Sati pula.
“Keteranganmu tidak senilai uang yang kuberikan. Kembalikan uang itu atau akan kukeluarkan larangan bahwa kau dilarang berdagang di Pagaruyung!”
Wajah Sati jadi berubah. Jengkel dan juga takut. “Kalau Datuk tidak tulus dengan uang satu ringgit ini ambillah kembali!” Ringgit perak yang ada di saku bajunya itu dikeluarkannya kemudian dibantingkannya ke tanah. Uang itu jatuh dua langkah di depan kaki sang Datuk. Marahnya Datuk Gamp0 Alam bukan kepalang.
Belum pernah dia dihina 0rang mirip itu. Jangankan menghina , menatap wajahnya saja tak ada 0rang yang berani.
“Setan! Kau akan menyesal seumur hidup!” kata Datuk Gamp0 Alam sambil mengepalkan tinjunya.
Dia berpaling pada Palindih. “Temui anak buahku. Suruh mereka menghajar Sati hingga setengah mati! Biar dia tahu rasa! Setan!”
Palindih cepat berlalu. Empat 0rang anak buah Datuk Gamp0 Alam ditemuinya di sebuah kedai minuman.
Di sebuah tikungan Sati yang merasa dirinya diikuti berpaling ke belakang. Ada empat 0rang berseragam hitam mendekatinya dengan cepat. Dia tahu siapa keempat 0rang itu. Anak buah merangkap tukang pukul Datuk Gamp0 Alam. Tanpa pikir panjang lagi Sati segera melarikan diri. Tapi percuma saja.
Empat 0rang berpakaian hitam itu lebih kencang larinya hingga dalam waktu dekat Sati segera terkejar. Lalu terjadilah penganiayaan itu. Sati terjelapak di tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri , mukanya babak belur.
Beberapa giginya tanggal. Mata kirinya infeksi lebam. Bibirnya pecah dan dua tulang iganya patah kena tendangan.
* * *
SEBELAS
SUASANA di pekuburan itu diselimuti kesunyian. Hal ini mendatangkan rasa tenteram di hati Bunga yang dikala itu tengah duduk bersimpuh di hadapan sebuah makam. Kedua matanya untuk beberapa lama tidak berkesip memandangi makam itu hingga kesannya kedua matanya tampak berkaca-kaca. Diambilnya selendang yang tergelung di atas kepala kemudian ditutupkannya ke wajahnya yang cantik. Di antara isak sesenggukannya terdengar ucapan gadis ini terputus-putus.
“Bunda. Bunga tiba Bunda… Saat-saat mirip ini… Bunga ingin dekat dan satu dengan Bunda.
Bunda… adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini? Adakah Bunda tahu derita sengsara Ananda , anak yang tidak pernah melihat wajah Bunda , anak yang tidak pernah… memperlihatkan bakti pada Bunda. Anak yang tidak tahu siapa dan dimana Ayahnya. Kalau masih hidup dimana dia gerangan , kalau sudah mati dimana kuburnya….”
Sampai di situ tangis si gadis mengeras. Bahunya bergetar. Selendang yang didekapkan ke wajahnya terlepas jatuh ke pangkuannya. Direbahkan tubuhnya ke atas makam. Salah satu pipinya diletakkan di atas tanah kubur.
“Bunda… siapa tempat Bunga bertanya. Siapa tempat Bunga mencari tahu dimana dan siapa Ayah.
Gunung diam membisu. Lembah sepi tak mau bercerita. Sungai berdiam diri. Angin tak mau memberi tahu.
Kincir air mendesau tanpa petunjuk. Kicau burungpun hanya mendatangkan keraguan. Bunda… mengapa malang benar nasib anakmu ini…”
Bunga menyeka air mata yang berderai membasahi pipinya dengan jari-jari tangannya yang halus.
“Bunda… kata 0rang Bunda berpulang ketika melahirkan Bunga. Bunda 0h Bunda… Mengapa tidak Bunda bawa serta Bunga dikala itu… Kalau saja Bunga bisa ikut bersamamu , tak akan ada derita ini. Tak akan ada air mata. Bunda… adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini Bunda…?” Suara tangis si gadis meninggi.
Tiba-tiba ada bunyi langkah kaki-kaki kuda mendatangi.
Tersirap darah Bunga. Suara isak dan rapat tangis gadis malang ini serta meria lenyap. Dia berpaling ke arah datangnya bunyi derap kaki kuda. Wajahnya yang tadi merah lantaran menangis kini tampak pucat.
“Bunga ,” satu bunyi memanggil namanya. “Aneh , kau terkejut melihat saya. Mukamu pucat. Apa saya telah menjadi mahluk yang menakutkanmu Bunga?”
Kedua mata Bunga membesar. Rasa takut pada wajahnya lenyap , perlahan-lahan berganti dengan senyuman secerah mentari pagi.
“Astaga , maafkan saya Kak. Saya kira Kakak ini….”
“Kau kira saya ini siapa Bunga?” tanya Andana kemudian mel0mpat turun dari kudanya.
Ketika Bunga tak menjawab , Andana berkata. “Saya tahu , niscaya yang kau maksudkan ialah Tumenggung mata keranjang itu. Kaprik0rnus dia masih mengganggumu terus rupanya. Disusunnya fitnah untuk sanggup memenjarakanku. Sekaligus mencari peluang bisa mendekatimu…”
“Sudahlah Kak. Tak perlu kita bicarakan 0rang itu. Saya senang melihat Kakak kembali…”
“Saya juga gembira melihatmu lagi Bunga ,” kata Andana. Diluruskannya papan nisan kuburan yang agak miring kemudian berkata. “Kalau Kakak tidak salah , Ibumu meninggal sama lamanya dengan usiamu. Saya lihat kau habis menangis. Apakah masih harus ditangisi juga makam bau tanah ini Bunga?”
Bunga merunduk. “Yang saya tangisi bukan mendiang Ibu. Tapi saya menangis nasib jelek diri ini.
Saya lahir ke dunia tanpa mengenal Ibu. Tidak mengetahui siapa Ayah saya….”
“Hidup tak b0leh dijalani dengan penyesalan Bunga. Nasib diri Kakak jauh lebih menyedihkan. Ibu tak ada , Ayahpun gres saja berpulang…”
“Kak , maksud Kakak Ayah Kakak meninggal dunia?”
“Beliau tewas dibunuh 0rang!” Lalu Andana menceritakan apa yang telah terjadi dengan Ayahnya.
Andana mengakhiri penuturannya dengan menarik nafas dalam. “Nasib peruntungan kita b0leh dikatakan tidak berbeda…”
“Kakak , kemarin saja bertemu dengan se0rang pemuda. Wajahnya mirip benar dengan Kakak. Dia mengakui berjulukan Wir0. Katanya dia sahabat Kakak. Betulkah?”
Andana mengangguk. “Saya tidak tahu dimana dia sekarang…”
“Dia yang men0l0ng saya dari kekurang anutan Tumenggung Raj0 Langit…”
Andana tampak terkejut. “Ada sesuatu yang terjadi rupanya Bunga?”
Bunga kemudian menceritakan insiden kemarin pagi sehabis dia pulang mencuci di telaga.
“Tua bangka hidung belang! Kaprik0rnus insan gaek tak tahu diri itu masih saja mengganggumu. Saya akan menciptakan perhitungan dengannya. Dendam saya terhadap fitnah yang diaturnya hingga saya masuk penjara masih berakar di dada ini. Dia akan mendapatkan p0t0ngan dari saya…”
“0rang berpangkat mirip dia sebaiknya jangan dilawan Kak. Nanti Kakak ditangkapnya lagi…”
Setelah beng0ng sesaat Andana kesannya berkata. “Saya mau menjenguk makam Ibu sebentar. Kalau kau mau menunggu nanti kita pulang sama-sama…”
Bunga tampak bimbang. “Kalau kita jalan berduaan lagi mirip dulu , saya khawatir kita akan jadi pergunjingan 0rang sekampung. Biar saya pulang saja lebih dulu.”
Andana mengangkat bahu. “Saya mengasihi kampung ini. Tapi lisan 0rang-0rang di sini , pergunjingan mereka terkadang melewati batas. Kalau kau ingin pulang lebih dulu terserah. Kakak tidak bisa memaksa…”
Andana memegang tangan Bunga , membantu gadis itu bangun berdiri.
Pada dikala itulah tiba-tiba tiba enam 0rang penunggang kuda. 0rang ke tujuh yang rupanya menjadi pimpinan mereka berada di sebelah depan. Dia bukan lain ialah Tumenggung Raj0 Langit , lelaki gaek yang tergila-gila dan ingin memperistrikan Bunga.
“Ha… ha! Anak Datuk Bandar0 Sati bercinta-cinta dengan se0rang gadis baik-baik di pekuburanl!
Sungguh satu hal yang tidak pantas dan memalukan! Apa kau anggap sudah tak ada lagi budbahasa istiadat di negeri ini?!”
Andana meskipun kaget masih bisa berlaku tenang. Sebaliknya Bunga tampak ketakutan sekali. “Apa yang hendak dilakukannya Kak? Pasti dia hendak menangkap Kakak…”
“Bunga! Menjauh dari pembunuh itu!” berkata Tumenggung Raj0 Langit sementara enam 0rang anak buahnya yang rata-rata bertampang kasar beringas memperhatikan Bunga mirip hendak menelanjangi gadis ini dengan mata mereka. Ketika Bunga tidak beranjak malah sengaja merapatkan tubuhnya kepada Andana , Tumenggung Raj0 Langit jadi mendidih amarahnya. “Manusia bur0nan! Kau kutangkap dikala ini juga! Kau ingin menyerahkan diri secara baik-baik atau hendak melawan. Aku sarankan biar kau melawan saja hingga saya punya alasan untuk menambas batang lehermu!”
“Hebat sekali!” tiba-tiba ada satu bunyi keras menimpali ucapan Tumenggung Raj0 Langit tadi.
Raj0 Langit berpaling. Begitu juga enam anak buahnya. Tak ketinggalan Andana dan Bunga.
Langsung saja Raj0 Langit dan 0rang-0rangnya jadi terperangah. Di sebelah sana di atas sebuah tumbangan batang p0h0n yang sudah mengering dan tercampak di tanah tegak se0rang pemuda. Kecuali pakaian dan ikat kepalanya yang serba putih , wajah , warna kulit dan p0t0ngan tubuhnya mirip sekali dengan Andana.
“Eh , kenapa jadi dua?” Kata Tumenggung Raj0 Langit terheran-heran dalam hati. “Benar rupanya yang dikatakan Sati pedagang keliling itu. Tapi saya tahu betul anak Datuk Bandar0 Sati itu tidak punya adik tidak punya kakak , saudara kembar. Apapun namanya! Tidak bisa tidak dia niscaya c0w0k yang kemarin pagi memukulku tak jauh dari telaga!”
“Kakak…” bisik Bunga. “Ini c0w0k yang men0l0ng saya itu…”
“Siapa kau berani mencampuri urusan 0rang?!” sentak Tumenggung Raj0 Langit. “Aku sahabat anak muda yang hendak kau tabas batang lehernya itu. Kalau saya b0leh meminta , t0l0ng tabas sekalian leherku. Ingin saya merasakan bagaimana rasanya kepala terpisah dengan badan. Ha… ha… ha…!”
“Kakak ,” bisik Bunga. “Dalam keadaan mirip ini bagaimana 0rang itu masih bisa bergurau seenaknya…”
Andana menahan senyumnya. “Tenang saja Bunga. Sifat c0w0k Jawa ini memang begitu. Itu yang menciptakan saya suka dekat dengannya….”
Se0rang anak buah Tumenggung Raj0 Langit menyentakkan tali kekang kudanya , mel0mpat ke hadapan Pendekar 212 Wir0 Sableng yang tegak di atas batang kayu kering.
“Bangsat! Apa tak tahu kau berhadapan dengan Tumenggung Raj0 Langit?! Kau 0rang asing rupanya nah?!” hardik anak buah sang Tumenggung dengan bunyi keras dan tampang ganas.
“Ah… ah! Aku berhadapan dengan se0rang Tumenggung dan enam ek0r pengawalnya rupanya!”
“Keparat busuk!” anak buah Tumenggung yang ada di hadapan Wir0 mencabut g0l0knya. “Biar kubelah bat0k kepalamu! Ingin kulihat apa isi 0takmu!”
Wir0 tertawa gelak-gelak. “Kawan….” katanya pada 0rang di depannya itu. Lalu yummy saja dia mengarang. “Kau tahu , di kampungku Tumenggung itu artinya biji kemaluan yang pe0t! Ha… ha… ha…!”
Wuuuttt!
Anak buah Tumenggung Raj0 Langit mel0mpat dari kudanya seraya membac0kkan g0l0k besarnya ke bat0k kepala Pendekar 212. Gerakannya b0leh juga dan jikalau g0l0knya mencapai target niscaya apa yang dikatakannya yaitu membelah kepala c0w0k itu benar- benar bisa terjadi.
Semua 0rang yang ada di tempat itu , kecuali Andana dan Tumenggung Raj0 Langit tidak melihat terperinci apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh si penyerang berputar di udara , di lain kejap tubuh itu terbanting keras tertelungkup di tanah. Tangannya masih memegang g0l0k tapi tubuhnya tak berkutik lagi. Ketika dagunya menghantam tanah dengan keras , 0rang ini pribadi pingsan dengan mata mendelik. Hebatnya ketika menangkap lengan dan membanting 0rang itu ke tanah Pendekar 212 sedikit pun tidak beranjak dari atas batang p0h0n kering yang diinjaknya.
“Kurang ajar! Anak-anak! Lekas tangkap bedebah itu!” teriak Tumenggung Raj0 Langit memerintah.
Lima anak buahnya serta meria mel0mpat turun dari kuda masing-masing. “Jangan ragu-ragu mencincang tubuhnya!” teriak sang Tumenggung lagi. Mendengar ucapan itu lima 0rang mel0mpat dari punggung kuda masing-masing , begitu menjejakkan kaki di tanah pribadi menghunus senjata. Dua mencekal bend0 berkeluk , tiga membekal g0l0k berkilat.
Melihat hal ini Andana cepat bergerak. Tapi , sambil turun dari atas batang kayu tempatnya berdiri , Pendekar 212 mengangkat tangan seraya berkata. “Sahabat , kalau saya perlu bantuanmu nanti saya bilang! Lagi pula kau harus melindungi gadis itu. Aku lihat ada kucing dapur berhidung belang tapi bisa naik kuda dan berpakaian bagus di sini!” Mau tak mau Andana terpaksa tak beranjak dari tempatnya. “Sahabat aneh! Dalam keadaan mirip ini dia masih juga sempat melawak!” Kata Andana dalam hati.
Saat itu lima anak buah Tumenggung Raj0 Langit sudah menyerbu ke arah Wir0. Dengan hening murid Sint0 Gendeng dari gunung Gede ini meny0r0ngkan kaki kanannya ke bawah lekukan batang p0h0n kering. Begitu lima lawan mel0mpat ke arahnya , dengan cepat Pendekar 212 angkat kakinya. Batang p0h0n kering yang besar itu melesat ke depan. Lima anak buah Tumenggung Raj0 Langit berseru kaget. Hanya dua yang bisa menyelamatkan diri. Tiga mitra mereka menggeletak r0b0h begitu batang kayu menghantam kepala mereka dengan keras.
Amarah Tumenggung Raj0 Langit bukan alang kepalang. Apalagi kemarin diapun sudah lebih dulu kena dihajar 0leh Wir0. Namun 0taknya masih bisa bekerja menyadari bahwa dengan ilmunya yang begitu tinggi , c0w0k berambut g0ndr0ng itu bukan lawan gampang untuk dihadapi. Apalagi dikala itu Andana belum ikut turun tangan. Memikir hingga di situ Tumenggung Raj0 Langit tarik tali kekang kudanya. Matanya memandang garang ke arah Andana. “Aku memberi kesempatan tiga hari padamu. Jika kau tidak tiba ke Pagaruyung untuk menyerahkan diri , saya akan membawa pasukan dari Batusangkar untuk menangkapmu!”
“Tua bangka buruk!” balas Andana. “Jika kau berani lagi muncul di Pagaralam ini , apalagi berani mengganggu gadis ini , saya bersumpah untuk membunuhmu!”
“Ah!” Tumenggung Raj0 langit mengg0yang-g0yangkan tangan kanannya. “S0al gadis itu jangan kau jadikan satu dengan urusan dirimu yang pelarian penjara! Kau dengar baik-baik ucapanku ini anak muda pembunuh! Bunga tak akan pernah kau miliki…. Aku sudah ditakdirkan untuk mendapatkannya , menjadikannya sebagai istriku! Ha… ha… ha…!”
“Siapa sudi jadi istrimu! Tua bangka tak tahu diuntung!” teriak Bunga.
Sang Tumenggung terus mengumbar tawa dan kembali dia g0yang-g0yangkan tangan kanannya.
“Kau belum tahu siapa Tumenggung Raj0 Langit. Aku memang sudah gaek. Tapi sekali kau tidur denganku , seumur hidup kau akan menjadi hamba sahaya minta kulayani siang malam!”
“Manusia mesum bermulut k0t0ri” teriak Andana. Sekali l0mpat saja dia berhasil menarik pinggang pakaian Tumenggung itu kemudian membet0tnya kuat-kuat. Kuda sang Tumenggung meringkik keras. Tumenggung itu sendiri jatuh berdebam ke tanah. Begitu dia menc0ba bangun Andana siap melayangkan j0t0san keras ke mukanya. Tapi tiba-tiba sekali lelaki bau tanah itu meny0r0kan sebilah pisau berkeluk ke perut si pemuda. Bunga berteriak. Andana masih sempat melihat serangan itu. Kaki kirinya bergerak. Sekali tendang saja pisau berbentuk aneh itu mencelat mental dan menancap di batang p0h0n Kemb0ja.
Tumenggung Raj0 Langit berteriak kesakitan sambil pegangi lengan kanannya yang serasa hancur kena tendangan. Lelaki bau tanah ini cepat berdiri ketika dilihatnya Andana mendatangi , siap menghajarnya kembali.
Tanpa pikir panjang lagi dia segera ambil langkah seribu. Dua 0rang anak buahnya segera pula menghambur lari , meninggalkan empat mitra mereka yang pingsan berkaparan.
Wir0 melangkah ke arah p0h0n Kemb0ja. Batang p0h0n yang ditancapi pisau berkeluk milik Tumenggung Raj0 Langit tadi tampak menghitam. Warna hitam ini dalam waktu singkat menjalar ke seluruh cabang dan ranting. Daun-daun p0h0n yang tadinya hijau juga tampak menghitam. Lalu bunga-bunga Kemb0ja yang kuning putih itu kelihatan layu berubah warna menjadi kelabu.
“Racun jahat luar biasa! Tak pernah saya melihat racun senjata sedahsyat ini!” kata Pendekar 212 kemudian dicabutnya pisau berkeluk dari batang p0h0n dan diperlihatkannya pada Andana yang dikala itu melangkah bersama Bunga ke arahnya.
Andana memperhatikan senjata itu sejenak kemudian berkata. “Aku menaruh syak sasangka. Jangan-jangan Tumenggung keparat itu yang telah membunuh Ayahku!”
“Bisa jadi. Cuma saja kita harus mendapatkan bukti-bukti. Hati-hati terhadapnya sahabat.
Ancamannya akan mendatangkan pasukan dari Batusangkar tadi kurasa tidak main-main… Kudengar di sana ada senjata panjang yang bisa meletus. Aku tak tahu namanya…”
“Senapan…” kata Andana.
“Bedil!” ucap Bunga.
Pendekar 212 tersenyum. “Kalian berdua mirip pinang dibelah dua. Yang se0rang kuntum Bunga indah dan harum di seluruh negeri. Yang satunya Harimau Singgalang…”
“Harimau Singgalang…? Kak , dari mana kau sanggup julukan itu?” tanya Bunga seraya berpaling pada Andana.
“Aku sendiri tidak tahu. Itu niscaya bisa-bisanya saja mengarang!” jawab Andana.
Sewaktu dua remaja itu memandang ke samping , Pendekar 212 tak ada lagi di tempat itu. Dia sudah berada jauh di depan sana. Melangkah cepat sambil sekali-sekali men0leh ke belakang dan melambai-lambaikan tangannya.
* * *
DUA BELAS
HARI memasuki senja kita Andana hingga di depan rumah kayu yang terletak di daerah kebun yang tak begitu terpelihara. Dari celah-celah dinding papan menyeruak cahaya lampu minyak tanda penghuninya ada di dalam. Kesunyian yang hanya dibisingi bunyi jengkerik menciptakan Andana merasa kurang enak. Setiap gerakan yang dilakukannya penuh kewaspadaan. Di satu tempat c0w0k ini turun dari kudanya. Dia melangkah cepat namun hati-hati menuju p0t0ngan depan rumah kayu. Tak lama kemudian dia mulai mengetuk.
Pada ketukan ke empat terdengar bunyi 0rang bertanya dari dalam. Suara perempuan. “Siapa di luar?”
“Se0rang sahabat ingin bertemu dengan Udin Burik ,” jawab Andana.
Diam sesaat. Lalu terdengar bunyi wanita tadi bertanya. “Tamu baik-baik tentu mempunyai nama.
Harap memberitahu.”
“Nama saya , Andana. Katakan pada Udin Burik biar keluar menemui saya.”
Tak ada jawaban dari dalam. Malah tiba-tiba lampu minyak di dalam rumah dipadamkan 0rang. Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki di lantai papan. Telinga tajam Andana tahu betul ada dua 0rang yang melangkah di dalam rumah. Yang pertama bergerak ke arah belakang sedang yang kedua menuju pintu depan. Benar saja , tak lama kemudian pintu depan terbuka. Se0rang wanita gemuk yang mukanya berbedak tebal , alis dan gincu bercelem0tan muncul di ambang pintu.
“Ya…?”
“Saya sahabat Udin Burik. Saya ingin bertemu dengannya. Dia tentu ada di dalam.”
“Saya istrinya. Suami saya sedang ke Batusangkar. Mungkin Bes0k gres pulang.”
Andana tahu kalau si gemuk yang mengaku istri Udin Burik ini berdusta padanya. Dusta bahwa lelaki itu tidak ada di rumah dan mungkin juga dusta dia ialah istrinya.
“Maaf , saya tidak percaya pada Uni. B0leh saya masuk memeriksa?” (Uni = sebutan untuk wanita yang lebih tua).
“Saya se0rang perempuan. Se0rang diri di rumah ini. Hari malam pula. Tamu tak saya kenal ingin masuk. Tahu diri dan tahu adatlah sedikit…” kata wanita gemuk itu. Tapi anehnya dia berkata begitu sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.
“Maafkan saya. Kalau begitu biar bes0k siang saja saya kembali ke sini…”
“Tunggu ,” kata si gemuk setengah berbisik. “Hari sudah malam. Uda ini tentu tiba dari jauh. Kalau suka masuklah sebentar. Biar saya buatkan k0pi manis…” Habis berkata begitu wanita itu memandang ke kiri dan ke kanan. “Tak ada 0rang. Kaprik0rnus tak ada yang melihat kita. Asal Uda tidak lama-lama bereslah….”
katanya sambil tersenyum dan lagi-lagi mengedipkan matanya. (Uda = panggilan terhadap lelaki yang lebih tua).
“Terima kasih. Saya masih ada keperluan lain ,” jawab Andana kemudian memutar tubuh dengan cepat.
Perempuan gemuk di ambang pintu nampak kecewa. Ditutupkannya pintu dengan kesal.
Di dalam gelap Andana bergerak cepat menuju p0t0ngan belakang rumah. Disini dia mengendap di balik serumpun belukar.
Dia tidak menunggu lama. Dari balik sebuah sumur keluar satu s0s0k tubuh , melangkah cepat menuju pintu belakang rumah. 0rang ini bukan lain ialah Udin Burik. Lelaki bermuka b0peng yang beberapa tahun kemudian memberi kesaksian di hadapan Tumenggung Raj0 Langit bahwa dia melihat Andana membunuh Sarkam , se0rang c0w0k sekampung di Pagaralam setelah terjadi satu perkelahian. Tentu saja Udin Burik tergagau kaget ketika Andana tiba-tiba muncul menghadang di depannya. Wajahnya yang b0peng berubah sepucat kertas. “An… Andana…”
Andana cepat mencekal leher pakaian Udin Burik. “Perempuan gemuk di dalam rumah menyampaikan kau pergi ke Batusangkar. Baru bes0k pulang. Rupanya kau kembali lebih cepat!” Andana mend0r0ng Udin Burik hingga tersandar ke dinding belakang rumah.
“A… apa maumu Andana?”
“Ingat tiga tahun kemudian waktu kau muncul di hadapan pengadilan nagari di Pagaruyung. Di hadapan Tumenggung Raj0 Langit kau memberi kesaksian bahwa kau menyaksikan saya membunuh Sarkam , c0w0k yang menurutmu sudah semenjak lama punya silang sengketa dengan diriku!”
“Dengar…. aku…. aku…”
“Siapa yang menyuruhmu menawarkan kesaksian palsu? Siapa yang membayarmu?! Tumenggung Raj0 Langit sendiri?!”
“Aku… saya memang melihatmu membunuh….”
Plaakk!
Andana tampar muka Udin Burik sekeras-kerasnya hingga sudut bibir 0rang ini pecah dan mengucurkan darah. “Jangan kira saya tidak tega meremukkan kepalamu , b0peng! Bicara yang benar!” sentak Andana seraya menjambak rambut Udin Burik dengan tangan kirinya kuat-kuat. Tangan kanannya dikepalkan kemudian dihantamkan ke dinding kayu di samping kepala Udin Burik.
Braaakk!
Dinding yang.terbuat dari kayu keras itu hancur berantakan. Di dalam rumah terdengar pekik wanita gemuk sedang Udin Burik sendiri menggigil sekujur tubuhnya. Kedua matanya terbuka lebar tanda dia dilanda rasa takut yang amat sangat.
Andana meletakkan tinju kanannya di depan hidung lelaki bermuka b0peng itu. “Mau bicara atau kuhancurkan kepalamu dikala ini juga!” Mengancam Andana.
Udin Burik putus nyalinya. “Jangan….Jangan pukul amb0. Saya akan bicara. Saya disuruh 0rang. Saya dipaksa. Kalau tidak mau saya….” (amb0 = saya)
“Katakan siapa 0rangnya!” hardik Andana.
“Di… dia…”
Andana mendengar daun bergemerisik di belakangnya , menyusul ada bunyi berdesing. Secepat kilat c0w0k ini merunduk sambil membuang diri ke kiri. Saat itu terdengar Udin Burik mengeluarkan bunyi mirip 0rang tercekik. Ketika Andana memandang ke depan dilihatnya sebilah pisau menancap dalam di leher Udin Burik. Gagang senjata ini berukir tengk0rak manusia. Kedua mata Udin Burik terbeliak besar. Dia mengerang pendek kemudian tubuhnya mel0s0h jatuh. Terduduk sebentar kesannya terguling r0b0h tanpa nyawa lagi.
Ketika mendengar bunyi semak belukar bergemerisik di belakangnya , serta merta Andana berbalik dan lepaskan pukulan “inti api”. Sinar merah menderu menebar hawa panas. Lidah api menggebubu. Semak belukar di depan sana hancur berserakan berubah bentuk menjadi puntungan-puntungan kayu yang terbakar.
Lapat-lapat terdengar bunyi 0rang mengeluh kesakitan. Andana cepat mengejar. Tapi terlambat. Di kejauhan terdengar bunyi derap kaki kuda dipacu meninggalkan tempat itu.
“Hemmm… siapapun 0rang yang kabur itu , pukulanku niscaya sempat menciderai dirinya.” Kata Andana dalam hati. Pemuda ini membalik cepat ketika dari arah rumah didengarnya bunyi jeritan perempuan. Pemuda ini bergegas ke tempat Udin Burik tadi terkapar. Di situ dilihatnya wanita gemuk itu duduk terhantar dekat s0s0k mayat Udin Burik. Begitu melihat Andana pribadi saja dia berteriak.
“Pembunuh! Pembunuh!”
“Bukan saya yang membunuh Uni ,” kata Andana. Dengan cepat dicabutnya pisau yang menancap di leher Udin Burik.
Darah menyembur. Perempuan gemuk itu kembali menjerit keras kemudian r0b0h pingsan. Andana sendiri cepat-cepat kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya.
* * *
TIGA BELAS
DATUK Gamp0 Alam duduk di anjungan rumah gadang menikmati k0pi dan juadah ditemani 0leh dua dari empat 0rang istrinya. Ketika dia hendak meneguk k0pinya kembali , telinganya mendengar bunyi di kejauhan. Sang Datuk memang mempunyai ilmu kepandaian tinggi hingga tidak mirip 0rang biasa dia sanggup mendengar bunyi yang tiba dari tempat jauh.
“Pasti dia. Tamu yang dinantikan sudah datang!” kata Datuk Gamp0 Alam dengan senyum dikulum sambil mengusap-usap dagunya. “Kemenakanmu , putra Datuk Bandar0 Sati sebentar lagi akan menginjakkan kakinya di rumah gadang ini!” Sang Datuk geleng-gelengkan kepalanya. Dia berpaling pada kedua istrinya.
“Kalian berdua masuklah. Suruh si Atun menyiapkan minuman dan juadah pemanis untuk kep0nakanku Andana.”
Zubaidah , istri tertua Datuk Gamp0 Alam dan Rukiah istri keempat yang paling muda sama-sama berdiri. Di ruang dalam dua istri yang saling akur di antara empat istri Datuk Gamp0 Alam bicara perlahan-lahan.
“Saya banyak mendengar d0ngeng perihal kemenakan Datuk yang.bernama Andana itu.” kata Rukiah sang istri paling muda.
“Tapi saya belum pernah melihat 0rangnya. Kata 0rang dia masih muda , gagah dan kekar p0t0ngan tubuhnya. Biar saya mengintai sejenak.”
“Kalau hingga Datuk tahu perbuatanmu , mati kau dilecutnya!” kata Zubaidah pula.
Datuk Gamp0 Alam bangun dari duduknya. Dia melangkah ke ruangan tengah dan tegak di belakang jendela. Seek0r kuda besar memasuki halaman rumah gadang dan berhenti di bawah tangga. Penunggangnya se0rang c0w0k berikat kepala kain merah , berbaju merah dan celana hitam.
“Tuhan Maha Besar. Sampai juga kesannya anak ini dengan selamat ke sini!” kata sang Datuk , kemudian bergegas menuruni tangga rumah gadang. Di depan tangga paman dan kemenakan ini saling berpandangan sejenak kemudian sama-sama berangkulan erat.
“Kedatanganmu memang sangat Mamak harapkan. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Paman lihat kau sudah jauh lebih dewasa…. Tambah gagah! Pasti banyak gadis yang akan jatuh hati padamu!” Datuk Gamp0 Alam tertawa bergelak. “Kemana saja kau menghilang selama ini , Andana?”
“Nasib menciptakan saya terdampar di negeri Asahan ,” jawab Andana.
“Negeri Asahan! Ah , itu negeri indah bertanah subur. Tunggu! Kalau kau tidak salah di situ ada se0rang saleh berkepandaian tinggi berjulukan Datuk Alis Merah.”
“Betul Paman. Saya beruntung diambil jadi muridnya ,” jawab Andana p0l0s.
Sepasang mata Datuk Gamp0 Alam membesar. Kalau benar dia telah mencar ilmu dengan 0rang sakti itu “Pasti dia sudah menguasai ilmu pukulan Inti api yang hebat itu ,” membatin Datuk Gamp0 Alam. Lalu dia menepuk-nepuk pundak Andana dan mengajak kemenakannya ini naik ke atas rumah gadang.
Di atas rumah gadang mamak dan kemenakan ini duduk berhadap-hadapan. Datuk Gamp0 Alam berteriak memanggil pembantu. “Atun! Tamu sudah datang! Mana minuman?!”
Kening Datuk Gamp0 Alam berkerut ketika yang keluar membawa baki berisi k0pi dan juadah bukannya Atun perawan bau tanah pembantu di rumah gadang , melainkan Rukiah , istrinya paling muda dan paling cantik.
“Mana si Atun?” sentak Datuk Gamp0 Alam.
Rukiah meletakkan baki di lantai. Sekilas dia mengerling pada Andana gres menjawab pertanyaan suaminya. “Atun sedang ke air Datuk….”
Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Seharusnya Zubaidah yang membawakan k0pi dan juadah ini. Mengapa harus kau? Mana wanita itu?!” Nada bunyi sang Datuk terperinci memperlihatkan rasa cemburu.
“Saya atau kak Zubaidah sama saja Datuk. Saya hanya tak mau menciptakan tamu kita ini menunggu terlalu lama. Nanti Datuk murka pula pada saya.”
“Ah… kau memang pandai bicara!” kata Datuk Gamp0 Alam. “Lekas masuk ke dalam!”
Sang Datuk mempersilahkan kemenakannya merasakan hidangan. Setelah Andana meneguk k0pinya sang Datuk berkata. “Tadi itu Rukiah. Istriku paling muda. Kaprik0rnus ibumu juga….”
Dalam hati Andana berkata. “Bagaimana saya akan memanggil Ibu padanya , Usianya saja niscaya beberapa tahun lebih muda dariku!”
“Mamak mendengar kalau kau sudah berada di Pagaralam ini kemarin. Lalu dimana saja kau menginap malam tadi , Andana?” bertanya Datuk Gamp0 Alam.
“Mamak betul. Saya memang tiba kemarin. Maafkan kalau saya tidak segera menemui Paman.
Saya bermalam di surau….”
“Di surau?” ujar Datuk Gamp0 Alam , kemudian dia tertawa panjang. “Andana , rumah gadang ini ialah rumah warisan nenek m0yang kita , warisan Ayahmu , jadi rumahmu juga. Selayaknya kau menginap di rumah ini. Bukankah di sini kau dilahirkan dan dibesarkan….? Aku hanya menjadi penghuni sementara atas persetujuan Ayahmu lantaran semenjak Ibumu meninggal dia lebih suka mengelana ke banyak sekali negeri.”
Andana tak menjawab. Pemuda ini menundukkan kepala.
“Ada apa Andana?” tanya Datuk Gamp0 Alam.
“Ayah sudah tak ada lagi Paman….”
Dua b0la mata Datuk Gamp0 Alam membesar. Dia tampak sangat terkejut mendengar kata-kata kemenakannya itu. Manusia satu ini sungguh pandai berpura-pura. “Apa katamu Andana?”
“Ayah saya Datuk Bandar0 Sati mati dibunuh 0rang secara gelap. Dalam keadaan sekarat tubuhnya ditemukan sese0rang di tepi Ngarai Sian0k.” Andana kemudian menceritakan apa yang telah terjadi dengan diri Ayahnya.
“Pembunuh jahanam! Setan!” Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Siapa yang nekad membunuh kakakku begitu keji?! Setahuku ayahmu tak pernah punya musuh!”
“Saya curiga pada Tumenggung Raj0 Langit….-
“Hati-hati kalau bicara Andana. Apa alasanmu curiga pada Tumenggung itu….?”
“Saya tahu , dia yang mengatur planning memfitnah saya hingga dijebl0skan dalam penjara. Saya tak tahu apa yang ditujunya…”
“Kalau kau bisa mendapatkan bukti-bukti perbuatan busuknya , saya akan membantumu menciptakan perhitungan dengan Tumenggung itu. Tapi ingat kita harus hati-hati. Tumenggung Raj0 Langit bukan 0rang berilmu , tapi dia punya kekuasaan dan sanggup menghimpun kekuatan besar untuk mencelakaimu. Sekali lagi kau hingga tertangkap 0lehnya tak bakal ampun Andana. Ingat itu baik-baik…”
“Terima kasih Mamak ,” kata Andana pula.
Datuk Gamp0 Alam mengangguk. “Ayahmu mirip 0rang yang sudah punya firasat , Kali terakhir dia bertemu dengan Paman , dia menyerahkan sebuah Surat Wasiat…”
“Surat Wasiat?” ulang Andana. “Surat Wasiat apa Paman?”
“Sudah , nanti saja kita bicarakan hal itu. Kau tahu , saya sudah menyuruh 0rang di belakang untuk mem0t0ng lima ek0r ayam sekaligus. Kita makan besar siang ini. Selain itu kamar tidurmu juga sudah disiapkan. Lantainya diberi permadani dari Turki. Tempat tidurnya besar. Bantal dan gulingnya empuk.
Tilamnya ditaburi bunga melati hingga kamar tidur itu selalu harum siang dan malam. Ay0 , saya ingin perlihatkan kamar tidur itu padamu….”
Sebenarnya Andana segan mengikuti Pamannya itu. Tapi sang Paman mirip memaksa. Akhirnya c0w0k ini berdiri juga dan melangkah mengikuti Datuk Gamp0 Alam menuju sebuah kamar di ujung kiri yang pintunya tertutup. Perlahan-lahan Datuk Gamp0 Alam mend0r0ng daun pintu. Kamar di balik pintu itu tampak agak gelap lantaran tak satu jendelapun yang terbuka. Datuk Gamp0 Alam melangkah masuk sambil memberi isyarat pada Andana biar mengikutinya.
Andana memandang sekeliling kamar. Semua serba bersih. Ini dulu memang kamar tidurnya. Namun kini keadaannya jauh berbeda. Di lantai ada permadani tebal.
“Ini kamarmu. Kau harus tidur di sini malam ini ,” kata Datuk Gamp0 Alam.
“Saya sudah cukup umur Paman. Tidak pantas lagi tidur di rumah gadang. Biar saja saya tidur di surau.”
Datuk Gamp0 Alam tertawa lebar. “Adat kita 0rang Minang memang harus dijunjung. Tapi kalau hanya untuk semalam dua apa salahnya? Itu tandanya kau cinta pada rumah gadang tempat kau dilahirkan dan dibesarkan.” Andana tak menjawab.
“Agak gelap kamar ini. Andana , t0l0ng kau bukakan jendela-jendela di samping kanan itu. Agar udara segar bisa masuk dan cahaya matahari sanggup menerangi….”
Andana melangkah ke gugusan jendela di samping kanan kamar. Ada tiga buah jendela besar di situ. Dua langkah lagi akan hingga di jendela Andana merasakan ada getaran aneh pada lantai di bawah permadani yang dipijaknya. Meskipun hatinya mendadak tidak yummy namun c0w0k ini meneruskan langkahnya juga. Dia membuka jendela sebelah tengah. Begitu daun jendela terbuka tiba-tiba ada bunyi mirip benda ditarik.
Menyusul bunyi berdesing dari arah belakang.
“Andana! Awas pisau terbang!” teriak Datuk Gamp0 Alam.
Tanpa diberi ingatpun Andana sudah mengetahui adanya ancaman mengancam. Secepat kilat dia mel0mpati jendela dan terjun ke halaman bawah pada ketinggian hampir dua t0mbak.
Sebilah pisau yang panjangnya sekitar dua jengkal menancap di kayu sanding jendela. Untuk beberapa dikala lamanya dari bawah sana Andana memperhatikan gagang pisau yang bergetar. Wajah c0w0k ini tampak berubah tegang. 0taknya bekerja. Pisau terbang itu melesat sesaat setelah dia menginjak p0t0ngan lantai dekat jendela kamar.
“Ada 0rang memasang peralatan rahasia hendak membunuhku.” Kata Andana dalam hati. “Tapi siapa? Pamanku sendiri?”
Datuk Gamp0 Alam bergegas menuruni tangga. “Kau tak apa-apa Andana?”
“Saya tak kurang suatu apa Paman. Ada 0rang hendak membunuh saya secara pengecut… Saya yakin jikalau saya mengusut lantai di bawah sana , saya akan menemukan peralatan itu.”
Wajah Datuk Gamp0 Alam tampak mengelam. “Ada musuh gelap di rumah gadang ini! Kemenakanku sendiri hendak dibunuh bulat-bulat di hadapanku! Setan! Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya hingga empat kali. Lalu dia melangkah cepat ke k0l0ng rumah gadang. Tepat di lantai kamar dia memeriksa. “Kurang ajar! Memang ada peralatan jahanam disusupkan 0rang di sini!” teriak sang Datuk marah. Lalu tangannya merenggutkan beberapa p0t0ng kayu dan tali serta kawat. Kemarilah! Kau lihat sendiri benda-benda keparat
ini!” teriak Datuk Gamp0 Alam. Tapi sang kemenakan sudah mel0mpat ke atas kudanya. Datuk Gamp0 Alam cepat mengejar.
“Andana saya bersumpah akan mencari siapa yang memasang peralatan rahasia ini! Aku akan bersihkan seluruh rumah gadang ini! Dengar Andana , kalau malam ini kau tak mau menginap di sini , tapi hari rabu tiga hari lagi kau harus bermalam di sini. Es0k paginya hari kamis saya sudah merencanakan untuk melaksanakan pesta besar menyambut kedatanganmu….”
“Apa perlu hal itu diadakan Mamak?” tanya Andana.
“Perlu! Perlu sekali. Pertama lantaran saya senang kau kembali ke Pagaralam ini. Kedua saya ingin memperlihatkan pada Tumenggung di Pagaruyung bahwa kau ialah kemenakanku. Tidak satu 0rangpun yang layak mengganggumu , termasuk dia!”
Andana tak berkata apa-apa. Disentakkannya tali kekang kudanya hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu dulu Andana ,” kata Datuk Gamp0 Alam sambil memegang tali kekang kuda. “Ada satu hal yang hendak saya tanyakan. Setahuku Ayahmu mempunyai sebilah keris sakti bertuah. Tuanku Ameh Nan Sabatang. Sewaktu mayatnya dibawa c0w0k yang kini menjadi sahabatmu itu , apakah senjata itu ada pada s0s0k Ayahmu?”
Andana menggeleng. “Keris itu lenyap.”
“Pasti c0w0k Jawa itu yang mengambilnya!”
“Tidak , saya dan Uning Ramalah telah menyelidiki.
Keris itu tak ada pada sahabat saya Wir0…” kata Andana pula tanpa menceritakan bahwa senjata tersebut kini berada padanya , muncul secara aneh di tempat gurunya di Asahan.
“Kakakku Uning Ramalah , apakah dia ada memesankan sesuatu padamu?” tanya Datuk Gamp0 Alam lagi. “Misalnya mengenai urusan rumah gadang ini?”
“Tidak ada pesan apa-apa. Seingat saya dia sudah tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Termasuk rumah gadang ini walau sebagai anak wanita dia mempunyai hak yang terbesar….”
Datuk Gamp0 Alam usap-usap dagunya. Dia tidak berusaha menahan lagi ketika Andana bergerak meninggalkan tempat itu. Sesaat setelah Andana pergi Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya. Kaki kanannya dibantingkan ke tanah. Tinjunya dikepalkan.
“Jahanam! Mengapa bisa gagal! Setan betul! Tapi tunggu saja. Masih ada seribu cara untuk menyingkirkan anak itu!”
* * *
EMPAT BELAS
PINTU depan terdengar diketuk 0rang. Mamak Rabiah dan Bunga sesaat saling berpandangan.
“Siapa?” bertanya Mamak Rabiah. “Amb0 Etek Rabiah ,” terdengar jawaban 0rang laki-laki. (Etek = panggilan untuk wanita yang jauh lebih tua).
“Amb0 siapa?” “Amb0 Palindih!
Bunga memandang pada Mak Rabiah. “Pembantu Datuk Gamp0 Alam ,” kata Mak Rabiah. “Perlu apa dia tiba kemari?” Perempuan ini melangkah ke pintu dan membukanya. Di ambang pintu 0rang berjulukan Palindih membuka destar hitamnya kemudian membungkuk memberi h0rmat.
“Sudah lama kau tidak kelihatan Palindih. Sudah jadi 0rang besar awak kini ya? Masuklah….”
Palindih masuk ke dalam seraya melirik pada Bunga. “Mujur sekali saya hari ini. Kalian berdua ada di rumah….”
“Ceritakan maksud kujunganmu ini Palindih ,” kata Mamak Rabiah.
“Kalau pembantu Datuk Gamp0 Alam tiba niscaya ad0 barit0 gadang yang membawa keberuntungan!” Palindih tertawa mengekeh.
“Keberuntungan bagimu belum tentu keberuntungan bagi kami ,” kata Mamak Rabiah pula. “Lagi siapa 0rangnya di Pagaralam ini yang tidak tahu kalau Datuk itu sangat kikirnya!”
“Ah , jangan begitu. Datuk memang kikir pada 0rang-0rang yang malas. Tidak pada 0rang-0rang mirip kita ini.” Palindih melirik pada Bunga. Setelah membasahi bibirnya dia melanjutkan kata-katanya.
“Begini Etek Rabiah. Etek dan Bunga tentu sudah mendengar kabar bahwa Andana , kemenakan k0ntan Datuk Gamp0 Alam telah pulang dari rantau. Kegembiraan Datuk bukan alang-kepalang. Dia berniat menyelenggarakan pesta besar untuk menyambut kepulangan si anak hilang itu. Saya dipercayai untuk mengatur dan menyusun acara. Lima kambing dan seek0r sapi rebah. Belum terhitung ayam dan itik….
Beberapa juru masak p0puler sengaja didatangkan dari Batusangkar.”
“Wah , tentu besar sekali pukulanmu sekali ini Palindih ,” kata Mamak Rabiah sementara Bunga tetap berdiam diri.
“Urusan macam begini memang Palindih ahlinya ,” kata Palindih sambil tertawa lebar. “Kita tak b0leh mengecewakan Datuk. Di samping itu saya rasa sudah lama Pagaralam tidak disemarak 0leh keramaian.
Karenanya sengaja saya merencanakan pertunjukan yang bagus-bagus. Tari piring di atas kaca. Debus. Lalu yang paling meriah tentunya Tari Gel0mbang tari persembahan. Nah , untuk Tari Gel0mbang itu siapa lagi pembawa sirihnya yang sanggup dan pantas ditampilkan kalau bukan anak Mamak yang manis jelita ini…”
“Mengapa musti saya?” tanya Bunga untuk pertama kalinya bersuara.
Palindih tertawa. “Katakanlah , apa ada gadis lain yang lebih manis dari anak Mamak ini di Pagaralam? Pagaruyung bahkan Batusangkar sekalipun putus tembus 0leh kecantikannya!”
“Palindih , apakah Datuk Gamp0 Alam sendiri yang menyuruh kau menentukan Bunga?”
“Ketahuilah Etek Rabiah. Sudah semenjak lama Datuk tidak banyak tahu perihal keadaan negeri ini. Apa lagi semenjak dia menikahi Rukiah , istri ke empatnya yang patut jadi anak bahkan cucunya. Tapi kecantikan Rukiah tidak sanggup dibandingkan dengan kecantikan Adik saya ini. Bukan Mak , bukan Datuk yang menentukan Bunga , tapi saya Palindih yang cerdik ini yang tahu dan pandai memilih!”
Mamak Rabiah dan Bunga untuk beberapa dikala lamanya saling pandang tak berkata apa-apa.
“Hai! Palindih tak punya waktu lama. 0rang penting mirip saya ini banyak urusannya! Bagaimana jawaban Mamak Rabiah?”
“Lagakmu Palindih , hebat sekali. Kau tanyakan sendirilah pada anak ini.”
Palindih berpaling pada Bunga. Gadis itu justru menunduk. Namun sesaat kemudian terdengar dia berkata. “Terserah pada Mamak Rabiah. Baik kata Mamak baik pula bagi saya.”
Mamak Rabiah menatap paras Bunga sesaat. Dia melihat bayangan harapan pada wajah gadis itu untuk memenuhi permintaan Datuk Gamp0 Alam. Namun sekilas wanita ini juga melihat adanya rasa kekhawatiran. Mamak Rabiah merenung sejenak. Kemudian dia berpaling pada Palindih. “Baiklah. Kami mendapatkan permintaan itu.”
Palindih berseru gembira dan mel0mpat-l0mpat.
“Palindih! Jangan mel0mpat-l0mpat. Lantai rumahku sudah lapuk. Bisa r0b0h rumah ini nanti!”
“Saya gembira Etek. Benar-benar gembira….”
“Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui Palindih…”
“Eh , apa itu Etek? S0al hadiah? Jangan khawatir!”
“Bukan. Bukan s0al itu. Kami tidak mengharap hadiah apa lagi meminta bayaran. Kami hanya ingin kau tahu bahwa kami mendapatkan permintaan itu bukan memandang muka Datuk Gamp0 Alam , apalagi mukamu yang jelek ini!”
Palindih mengusap-usap mukanya yang memang beruntusan kemudian tertawa perlahan. “Lalu apa alasan Etek dan bunga menerimanya? Saya jadi binggung..”
“Semata-mata lantaran memandang c0w0k bernasib malang berjulukan Andana itu. Yang berdasarkan se0rang sahabatnya mempunyai julukan Harimau Singgalang.”
“Harimau Singgalang? Baru sekali ini saya dengar hal itu. Tapi sudahlah… Yang penting saya sudah tahu anak Mamak mau jadi pembawa sirih dalam Tari Gel0mbang nanti. Saya minta diri sekarang…” Dengan perilaku lucu Palindih membungkuk di hadapan kedua wanita itu. Lalu dia melangkah mundur. Sampai di pintu pribadi mel0mpat. Tapi kakinya terpeleset. Akibatnya dia jatuh terduduk dan terbanting punggung di tanah yang agak becek. Bunga dan Mamak Rabiah tertawa gelak-gelak. Setengah merintih Palindih menc0ba bangun dan melangkah pergi terbungkuk-bungkuk sambil memegangi celananya.
* * *
LIMA BELAS
KESUNYIAN malam dir0bek 0leh bunyi derap kaki dua ek0r kuda yang berlari cepat beriringan menuju ke timur. Dua c0w0k yang menunggangi hewan itu tak bisa memacu lebih cepat lantaran jalan yang ditempuh hanya merupakan jalan setapak. Kiri kanan jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan gelapnyamalam bukan kepalang.
Tiba-tiba jauh di ujung jalan terdengar bunyi tiupan saluang yang sesekali ditimpali bunyi nyanyian.
Andana memperlambat lari kudanya. Dia berpaling ke belakang pada Pendekar 212 Wir0 Sableng. Tak lama kemudian dalam gelapnya malam Andana dan Wir0 menyaksikan satu pemandangan aneh. (saluang = sejenis suling berukuran besar)
Di tengah jalan setapak yang hendak mereka lewati tampak se0rang kakek duduk menjelep0k di tanah , asyik meniup saluang. 0rang bau tanah mi mengenakan destar dan pakaian serba putih.
“0rang aneh ,” kata Andana berbisik pada Wir0. Yang diajak bicara anggukkan kepala sambil memandang tak berkesip pada 0rang bau tanah yang duduk di tengah jalan itu. Dia tak sanggup terperinci melihat wajah si 0rang tua. Selain gelap 0rang bau tanah ini selalu menundukkan kepala.
0rang bau tanah hentikan tiupan saluangnya kemudian terdengar dia menyanyi.
0rang Kurai pergi berlayar
Mengarung 0mbak ke tanah Jawa
Jangan percaya insan ular
Mulut manis mengandung bisa
Kalau bau tanah menanam Melur
Gali tanah tancap akarnya
0rang pandai kalau tidur
Mata nyalang pendengaran terbuka
“Nyanyiannya yummy juga ,” kata Wir0. “C0ba kau tanyakan mengapa malam-malam begini dia n0ngkr0ng di sini , bernyanyi dan meniup suling. Sepertinya dia sengaja menghadang jalan kita. Bertanyalah dengan s0pan. Dia bisa saja se0rang musuh , bisa pula se0rang sahabat.”
Andana turun dari kudanya kemudian bertanya. “0rang bau tanah di tengah jalan. Maafkan kami berdua. Kami hendak lewat , m0h0n diberi jalan. Suara nyanyianmu bagus. Kami ingin mendengar lebih lama. Tapi kami ada urusan di tempat lain. Kalau b0leh bertanya mengapa kau justru menyanyi di tengah jalan dan malam-malam mirip ini?”
0rang yang ditegur menyahut tidak , angkat kepalapun tidak. Malah dia yummy saja meniup saluangnya kemudian kembali menyanyi.
Keris emas keris pusaka bertuah
Senjata ampuh sakti mandraguna
Kalau mau selamat hidup di dunia
Pasang mata pasang telinga
Pintu hati harap dibuka
Andana jadi terkesiap mendengar bunyi pantun dalam nyanyian 0rang bau tanah itu yang menyebut-nyebut keris emas keris pusaka bertuah. Bagaimanakah tidak lantaran dikala itu dia membekal keris Tuanku Amen Nan Sabatang. Senjata warisan Ayahnya yang didapatnya secara mistik di Asahan temp0 hari.
“Apakah 0rang bau tanah ini tahu perihal keris emas yang kubawa?” Tanya Andana dalam hati. Lalu untuk kedua kalinya c0w0k ini meminta jalan.
0rang bau tanah itu turunkan tangannya yang memegang saluang. Mulutnya terdengar berucap. “Telinga bau tanah ini sudah tuli hingga tak mendengar 0rang meminta jalan.” Dengan ujung saluangnya dia kemudian menciptakan guratan di tanah , menggaris tanah dari tepi kiri hingga ke tepi kanan. “Dua anak muda. Kalian minta jalan.
Silahkan lewat…” Lalu 0rang bau tanah itu menggeser duduknya ke tepi jalan.
“Terima kasih…” kata Andana. Dituntunnya kudanya kemudian dia melangkah. Tetapi begitu kaki kanannya hendak melewati guratan di tanah tiba-tiba terdengar letusan keras. Dari garis di tanah meletup keluar sambaran api dan kapulan asap. Andana terkejut kemudian cepat-cepat menarik kakinya sementara kuda yang dituntunnya mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan meringkik keras. Kuda yang ditunggangi Wir0 juga ikut meringkik. Pemuda , ini cepat mel0mpat turun menjaga segala kemungkinan.
0rang bau tanah yang duduk di tengah jalan tertawa mengekeh.
Andana yang menjadi jengkel berpaling pada Wir0 se0lah ingin minta pendapat apa yang harus dilakukannya. Murid Eyang Sint0 Gendeng maju mendekat kemudian berucap. “0rang bau tanah , kami kagum dengan kepandaianmu menggurat tanah yang bisa mengeluarkan letusan , api dan asap. Tapi kami lebih kagum lagi dan sangat berterima kasih kalau kau mau memberi jalan biar saya dan kawanku ini bisa lewat. Kami tidak bermaksud mengganggumu , apalagi berlaku kurang ajar…”
“Walalah…! Kalian minta jalan. Sudah kupersilahkan. S0al letusan , api dan asap tak ada sangkut pautnya dengan diriku! Mau lewat , lewat saja…!”
Wir0 jadi kesal juga mendengar kata-kata 0rang bau tanah itu. Dipegangnya tali kekang kudanya kemudian dia menggerakkan kaki kanan melangkahi guratan di tanah. Kaki kanannya lewat. Aman. Tak ada letusan , tak ada semburan api dan asap. Wir0 berpaling pada Andana. “Aman ,” katanya sambil senyum-senyum.
Tapi ketika kaki kirinya menyusul melangkah tiba-tiba terdengar bunyi letusan keras. Api dan asap kembali menyembur. Pendekar 212 terlempar ke atas. Selangkangannya terasa panas. Ketika dia memperhatikan pahlawan ini berseru kaget. Selangkangan celananya r0bek dan hangus besar hingga auratnya tersingkap lebar. Cepat-cepat Wir0 pergunakan kedua tangannya untuk menutupi diri. Dari mulutnya tak tertahankan lagi caci maki.
“Andana , 0rang bau tanah tak dikenal ini punya maksud yang tak baik pada kita…” Tapi ucapannya itu terhenti lantaran dilihatnya Andana setengah mati menahan tawa. Wir0 jadi menggerendeng panjang pendek.
“0rang tua! tindakanmu sungguh keterlaluan. Bagaimana saya akan melanjutkan perjalanan dalam keadaan mirip ini?”
Sebagai jawaban 0rang bau tanah itu tiup saluangnya keras-keras hingga Wir0 dan Andana terpaksa menutup pendengaran masing-masing dengan kedua tangan lantaran bunyi saluang itu se0lah hendak mer0bek gendang-gendang pendengaran mereka. Setelah tertawa panjang 0rang bau tanah itu kembali bernyanyi.
Lancar jalan lantaran ditempuh
Lancar kaji lantaran diulang
Bagaimana tahu tingginya ilmu
Kalau tidak turun ke gelanggang
“Ah , 0rang bau tanah ini hendak menguji kita rupanya ,” kata Andana pada Wir0.
“Kurasa begitu ,” jawab Pendekar 212.
“Kalau begitu kau mintalah sedikit pelajaran padanya!”
“Mengapa aku! Kau saja!” jawab Wir0.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Lalu dia berpaling pada 0rang bau tanah itu dan berkata. “Ilmuku cuma tinggi sejengkal dalam secupak. Mana saya berani meny0mb0ngkan diri di hadapanmu. Tapi lantaran saya dan mitra ini perlu cepat-cepat ke Pagaralam , maka saya tak berani berlaku tidak s0pan selain meminta petunjuk darimu!”
“Ah , ternyata 0rang Jawa pandai juga berbasa-basi mirip 0rang Minang!” tiba-tiba 0rang bau tanah berdestar putih itu menyahuti.
“Sialan! Kaprik0rnus dia tahu kalau saya tiba dari Jawa ,” maki Wir0.
Wir0 tidak menunggu lebih lama. Dia kerahkan tenaga dalam kemudian meniup ke tanah. Guratan di tanah serta merta lenyap. Pada dikala itu tiba-tiga saluang yang tadi dipegang si 0rang bau tanah melayang ke atas , mengemplang ke arah kepala Wir0. Pendekar ini terpaksa selamatkan kepala dengan jalan menghindar lantaran kalau dia pergunakan kedua tangannya berarti dia tak sanggup lagi melindungi auratnya. Lama-lama Wir0 mengalami kesulitan juga lantaran serangan saluang itu semakin cepat dan bertubi-tubi. Akhirnya terpaksa dia pergunakan kedua tangan untuk menangkis dan balas memukul. Aneh. Setiap dia berhasil menangkis atau memukul saluang yang menyerangnya itu , dia bukan merasa membentur sebuah benda keras , melainkan mirip mengelus sebuah benda yang terbuat dari kapas lembut. Padahal dia sudah memperhitungkan sekali hantam saja saluang yang terbuat dari bambu itu niscaya akan hancur berantakan.
Penasaran tak sanggup memukul hancur saluang itu Wir0 kesannya pergunakan kedua tangannya menangkap benda itu. Begitu kedua tangannya memegang saluang tiba-tiba secara aneh suling yang terbuat dari bambu itu bermetam0rf0sis sep0t0ng besi panas membara. Hampir Wir0 berteriak kesakitan. Namun 0taknya cepat bekerja. Ilmu mirip itu hanyalah ilmu tipuan belaka jikalau sese0rang bisa mempercayainya.
Dia kerahkan tenaga dalam kemudian berteriak. “Asal bambu kembali kepada bambu!”
Terdengar letusan kecil. Saluang bambu yang tadi tampak membara kembali berubah ke bentuknya semula. Begitu saluang kembali ke bentuk aslinya , Pendekar 212 segera meniupnya sambil mengerahkan tenaga dalam penuh.
Dua ek0r kuda meringkik keras. Andana mel0mpat jauh sambil menekap kedua telinganya. 0rang bau tanah yang duduk menjelep0k di tanah berseru tegang , sambil menutupkan kedua tangannya ke pendengaran kiri kanan dia c0ba kerahkan tenaga dalam. Wir0 meniup sekali lagi. Tubuh 0rang bau tanah itu melesat ke atas , jungkir balik di udara. Ketika turun tahu-tahu dia melayang dan hinggap di atas serumpun semak belukar sambil tertawa mengekeh. Di tangannya ada sebatang saluang. Ketika Wir0 memperhatikan kedua tangannya astaga. Dia tidak memegang apa-apa lagi.
“Gila! Bagaimana dan kapan dia merampas suling bambu itu dari tanganku. Aku sama sekali tidak merasa apa-apa!” Kata Wir0 terheran-heran dalam hati.
“0rang tua. Ilmumu tinggi. Aku merasa malu untuk melanjutkan main-main ini…”
“Aku juga tak punya kepandaian apa-apa ,” kata Andana. “Sekarang kau mau berbaik hati membiarkan kami pergi…”
“0rang bau tanah , kami tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat yang kabarnya dihuni 0leh peri-peri cantik. Jika sapu tangan ini disapukan ke p0t0ngan tubuh mereka , mereka akan tunduk dan mau menjadi istri kita.
Di samping itu segala ilmu kepandaian mereka yang aneh-aneh akan diberikan pada kita…”
Si 0rang bau tanah tertawa mengekeh. “Tak sanggup kudengar ada tempat yang mirip kau katakan itu…”
“Kalau kau tak percaya silahkan ikut kami berdua. Saat ini biar kutunjukkan saja sapu tangan itu padamu…” Lalu dari saku celananya yang r0bek Wir0 mengeluarkan sehelai sapu tangan. Dia melangkah mendekati 0rang bau tanah di atas semak belukar itu dan memperlihatkan sapu tangan yang dipegangnya.
“Uh! Hanya sehelai sapu tangan butut! Apa hebatnya?” ujar si 0rang tua.
“Butut ya memang butut. Tapi c0ba lihat dulu ini…” kata Wir0 puia sambil mengangsurkan sapu tangan itu lebih dekat. Tiba-tiba dua jari tangannya meluncur cepat ke arah dada si 0rang tua. Saat itu juga 0rang bau tanah itu tak sanggup lagi bergerak. Sekujur tubuhnya telah kaku dit0t0k Pendekar 212. Sadar kalau dirinya sudah kena ditipu 0rang kini hanya carut makinya saja yang terdengar memenuhi malam buta.
Wir0 Sableng tertawa bergelak.
“0rang bau tanah , saya terpaksa melaksanakan hal ini!” katanya. Lalu 0rang bau tanah itu diturunkannya ke tanah.
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak si 0rang bau tanah ketika Wir0 dengan paksa melepaskan celana putih yang dipakainya.
“Tenang saja ,” sahut Wir0 seenaknya. “Aku mana mungkin bisa kemana-mana dengan celana r0bek mel0mp0ng begini. Aku pinjam dulu celanamu!”
Kini 0rang bau tanah itu terbujur di tanah dalam keadaan setengah bugil. Wir0 cepat mengenakan celana putih milik 0rang bau tanah itu. “Ah , pinggangnya pas tapi kakinya agak kependekan. Tak apa dari pada telanjang!”
kata Wir0. Dia melambaikan tangan pada si 0rang tua. “Selamat tinggal s0batku. Kalau ketemu lagi niscaya celanamu akan kukembalikan!”
Wir0 mel0mpat ke atas kudanya. Andana melaksanakan hal yang sama. Kedua c0w0k ini kemudian menghambur meninggalkan tempat itu.
“Pendekar 212! Kau rasakan nanti pembalasanku!” teriak si 0rang tua.
Di atas kuda Wir0 jadi tersentak kaget.
“Dia menyebut saya Pendekar 212. Tidak satu 0rangpun di pulau Andalas ini tahu siapa diriku , apalagi gelarku. Aneh! Jangan-jangan dia se0rang yang kukenal.” Memikir hingga kesitu Wir0 putar kudanya.
“Hai! Kau mau kemana Wir0?” tanya Andana.
“Kau tunggu sebentar di sini. Saya segera kembali!” sahut Wir0 kemudian membedal kudanya ke tempat tadi dia meninggalkan 0rang bau tanah itu di pinggir jalan dalam keadaan setengah telanjang. Tetapi hingga di tempat itu , si 0rang bau tanah tak ada lagi di situ!
“0rang bau tanah aneh. Siapa dia sebenarnya?” Tanya Wir0 dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
ENAM BELAS
MALAM itu sulit bagi Andana untuk memicingkan mata. Wir0 sahabatnya itu tak mau bermalam di rumah gadang. Kalau dia ada di situ paling tidak waktunya bisa dihabiskan dengan bercakap-cakap bertukar pengalaman. Ingatannya sesaat kembali pada pertemuannya dengan 0rang bau tanah aneh yang ditelanjangi Wir0.
Dia tak sanggup menyalahkan sahabatnya itu. Karena tak mungkin bagi Wir0 melanjutkan perjalanan dalam keadaan setengah telanjang. Dia tak sanggup membayangkan keadaan si 0rang bau tanah sendiri yang ditinggalkan kemudian lenyap dalam keadaan bertelanjang mirip itu. Kemudian ingatan c0w0k ini hingga pada Halidah , gadis anak gurunya , Datuk Alis Merah di Asahan. Bayangan wajah Halidah pupus dengan kemunculan bayangan wajah Bunga. Dia mirip c0ba membanding-bandingkan Halidah dengan Bunga. Sukar baginya untuk mencari kelebihan masing-masing. Se0lah-0lah dua gadis itu mirip sepasang rembulan yang sama indahnya atau sepasang berlian yang sama bercahaya.
Dari bawah bantal Andana mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama ialah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang terbuat dari emas. Dielus-elusnya senjata itu. Hal ini menciptakan hatinya tenteram.
Terbayang kembali 0lehnya insiden di dekat teladas di Asahan itu. Ketika Ayahnya secara aneh muncul memperlihatkan diri padahal terperinci sang Ayah telah tewas beberapa dikala sebelumnya.
Benda kedua ialah sebilah pisau tanpa sarung yang gagangnya ada g0resan tengk0rak manusia. Sesaat ditimang-timangnya pisau itu. Senjata inilah yang telah menghabisi nyawa Udin Burik. Satu-satunya 0rang yang hingga dikala itu mengetahui siapa 0rang yang telah memfitnahnya hingga dia dijebl0skan dalam penjara.
Pisau dan keris kemudian dimasukkannya kembali ke bawah bantal. Andana mengeluarkan sehelai selendang putih , selendang pemberian Halidah ketika dia hendak meninggalkan Asahan. Diletakkannya selendang itu di dada. Diciumnya beberapa kali. Dia menelentang dan c0ba memejamkan mata. Entah timbul firasat apa Andana kemudian mengambil keris Tuanku Ameh Nan Sabatang dari bawah bantal kemudian menyisipkannya di balik pinggang celana di atas perutnya. Sebelum tertidur c0w0k ini masih sempat memikirkan apa sebabnya Pamannya Datuk Gamp0 Alam sengaja mengadakan pesta besar bes0k sebagai penyambutan kembalinya dirinya. Dia merasa hal itu tak perlu diada-adakan. Perlahan-lahan c0w0k ini kesannya tertidur juga.
Di luar rumah gadang udara malam terasa dingin. Suasana sunyi senyap sesekali diusik 0leh bunyi hembusan angin serta gemerisik daun-daun pep0h0nan. Rumah gadang tampak berdiri k0k0h dalam kegelapan malam. Satu-satunya cahaya terang ialah cahaya yang tiba dari lampu minyak yang terletak di p0t0ngan pertengahan rumah.
Sekali lagi angin bertiup agak keras. Pada dikala itu dari arah selatan berkelebat cepat dua s0s0k 0rang berpakaian hitam. Salah se0rang dari mereka membawa kurungan kawat. Dengan cepat-cepat mereka mendekati rumah gadang. Lalu dengan gerakan-gerakan luar biasa mereka naik ke sebuah p0h0n besar yang salah satu cabangnya menjuntai di atas g0nj0ng terendah atap rumah gadang. Tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun kedua 0rang itu berjalan di atas cabang p0h0n tadi kemudian turun ke g0nj0ng rumah gadang. Di salah satu p0t0ngan atap 0rang di sebelah depan berhenti sesaat , berpaling pada kawannya kemudian menunjuk pada atap yang dipijaknya. Kawannya yang membawa kurungan kawat mengangguk. Kurungan kawat itu ternyata berisi seek0r ular hijau dari jenis yang sangat berbisa dengan panjang hampir tujuh kaki. Ek0r hewan ini diikat dengan seutas tali sepanjang sepuluh kaki. Dengan hati-hati kurungan diletakkan di atas atap rumah gadang yang terbuat dari ijuk. Lalu 0rang di sebelah depan mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam. Dengan cekatan dan tanpa bunyi dia mulai mer0bek ijuk atap , menciptakan sebuah l0bang.
“Cukup. C0ba kau Intai dulu…” kata 0rang yang membawa kurungan ular. Kawannya menyibakkan ijuk atap yang sudah terp0t0ng dan membentuk sebuah l0bang sebesar lingkaran paha. Dia mengintai ke bawah. Dari l0bang itu dia sanggup melihat tempat tidur serta s0s0k tubuh Andana yang tengah terbaring miring dalam keadaan pulas.
“Tepat benar di atas tempat tidurnya ,” bisik lelaki yang menciptakan l0bang di atap.
“C0ba kulihat” kata kawannya yang membawa ular. Dia mengintip dan tampak puas. “Kita bisa segera mulai.” Lalu dia menggeser kurungan kawat ke atas l0bang. Dia memberi isyarat biar temannya memegang ujung tali pengikat ek0r ular berbisa itu. Lalu dengan hati-hati dia menggeser bantalan kurungan kawat. Dengan sep0t0ng lidi ular di dalam kurungan ditusuk-tusuknya. Binatang ini membuka lisan dan mendesis marah.
Karena ditusuk terus menerus ular ini jadi bergerak , berusaha mencari jalan keluar. Satu-satunya jalan keluar ialah lewat bantalan kurungan yang telah terbuka terus ke dalam l0bang di atap rumah. Setelah meliuk-liukkan badannya beberapa kali hewan ini kesannya mel0l0skan diri ke dalam lubang , meluncur turun ke bawah.
Namun gerakannya tak bisa semaunya lantaran ikatan tali yang kukuh pada ek0rnya mengendalikan dirinya.
Sedikit demi sedikit 0rang di atas atap mengulur tali yang dipegangnya hingga ular hijau itu meluncur turun semakin jauh ke bawah. Binatang ini membuka mulutnya lebar-lebar begitu mencium bau tubuh insan di bawahnya. Taring dan gugusan gigi-giginya kelihatan mengerikan. Lidah dan mulutnya yang penuh bisa bergerak-gerak siap mematuk.
Ketika hewan itu hendak mematuk leher Andana dari ketinggian dua jengkal , kedua mata c0w0k ini terbuka. Sesaat dia menduga bermimpi melihat kepala ular dekat sekali di depannya. Ketika dia mendengar bunyi mendesis secepat kilat Andana menggulingkan diri ke samping. Patukan ular datang. Tapi hanya mengenai bantal. Ular berbisa ini meliukkan badannya. Kepalanya mengejar ke arah Andana. Saat itu pula satu sinar kuning berkelebat dalam kamar.
Craaasss!
Kepala ular berbisa itu terpisah dari badannya. Kepala yang putus tercampak di atas tempat tidur sedang tubuhnya yang menggelantung bergelung-gelung kian kemari , meneteskan darah dengan deras.
Andana berlutut pucat di atas permadani. Dalam hatinya dia mengucap. “Terima kasih Tuhan. Untuk kesekian kalinya Kau masih melindungi Hamba-Mu ini.”
Dua 0rang di atas atap tahu kalau planning keji mereka hendak membunuh Andana dengan ular berbisa itu gagal , yang satu segera melepaskan ujung tali yang dipegangnya. Akibatnya tubuh ular itu jatuh berdebam di atas tempat tidur. Bersama kawannya dia segera berkelebat pergi. Suara langkah-langkah kaki mereka kali ini sempat terdengar 0leh Andana. Dia segera bangun berdiri dan lari ke jendela. Dari sini dia akan mel0mpat ke bawah kemudian menunggu 0rang-0rang itu di bawah. Namun dikala itu pintu kamar terdengar diketuk 0rang keras-keras. Lalu terdengar bunyi Datuk Gamp0 Alam.
“Andana! Lekas buka pintu! Ada apa di dalam sana! Aku mendengar bunyi ribut-ribut!”
Andana cepat menyarungkan keris Tuanku Amen Nan Sabatang kemudian menyembunyikannya di bawah bantal. Begitu pintu dibuka Datuk Gamp0 Alam menghambur masuk membawa sebuah lampu minyak.
Ternyata dia tidak sendirian. Dia diikuti 0leh dua 0rang istrinya , salah satu diantaranya ialah Rukiah. Di belakang mereka menyusul tiga 0rang lelaki pembantu merangkap pengawal di rumah gadang itu.
Cahaya lampu yang dibawa Datuk Gamp0 Alam cukup terang menyinari seluruh kamar. Ketika melihat apa yang menggeletak di atas tempat tidur serta darah yang berpercikan di mana-mana , Datuk Gamp0 Alam berseru kaget. Kedua istrinya menjerit keras. Semua 0rang kecuali Andana mundur ke pintu.
Datuk Gamp0 Alam berpaling. Matanya membeliak dan lehernya disentakkan. “Kalian!” bentaknya pada kedua istrinya. “Mengapa ikut-ikutan masuk ke sini?”
“Kami… kami takut Datuk…” jawab Rukiah.
“Setan! Keluar dari kamar ini! Cepat!”
Kedua 0rang wanita itu segera meninggalkan kamar. Kini Datuk Gamp0 Alam memel0t0ti ke tiga pembantunya. “Kalian setan semua! Apa saja kerja kalian di sini hingga kamar kemenakanku kemasukan ular!”
“Bukan kemasukan ular Mamak ,” kata Andana. “Tapi ada 0rang yang sengaja memasukkan ular lewat atap sana. Sengaja hendak membunuh saya!”
Datuk Gamp0 Alam mend0ngak ke atas ke arah yang ditunjuk Andana.
“Setan kurang ajar! Berani-beraninya! Siapa pula yang punya pekerjaan ini! Akan kupatahkan batang lehernya!” kemudian pada ke tiga pembantunya Datuk Gamp0 Alam membentak murka , menyuruh mereka keluar semua.
Andana menarik nafas dalam. Kamar itu terasa sesak. Dibukanya daun jendela. Di luar serba gelap.
P0h0n-p0h0n tampak mirip hantu berbaris. Diam-diam Andana ingat pada nyanyian 0rang bau tanah aneh yang ditemuinya di tengah jalan.
0rang pandai kalau tidur , Mata nyalang pendengaran terbuka
Andana mengusap wajahnya yang keringatan dua kali. “Rupanya 0rang bau tanah itu sudah tahu apa yang akan terjadi terhadap diriku. Dia berusaha memberi tahu. Tetapi mengapa tidak terus terang. Manusia aneh!”
Ketika dua 0rang di atas atap meniti cabang p0h0n kemudian turun ke tanah dan melarikan diri dalam gelap , salah satu diantara mereka men0leh ke belakang.
“Celaka S0mat , ada 0rang mengejar kita!”
Kawan yang di sebelah depan men0leh. “Kita harus memencar R0jali! Siapkan pisau beracunmu!
Kalau kita hingga tertangkap kau sudah tahu apa yang harus kita lakukan!”
Laki-laki berjulukan S0mat menghambur ke kiri lenyap di balik semak belukar dan gelapnya malam.
Yang berjulukan R0jali mel0mpat ke kanan. Namun 0rang yang mengejarnya ternyata lebih cepat. Sebelum dia lari lebih jauh tahu-tahu lehernya sudah dicekal 0rang dan tubuhnya diangkat tinggi-tinggi. Sambil mer0nta-r0nta R0jali tendangkan kakinya ke arah 0rang yang mebembengnya mirip seek0r kucing. Namun dia tak bisa menendang 0rang itu. Dia mencabut pisau beracun yang ada di pinggangnya. Dengan kalap dia membabatkan pisau itu ke belakang. Tetap saja dia tak berhasil mengenai 0rang itu. Malah tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat lebih tinggi kemudian dilemparkan ke arah sebatang p0h0n besar. Kepala R0jali menghantam batang p0h0n lebih dulu. Tubuhnya jatuh bergedebukan ke tanah. 0rang yang melemparkannya cepat mendatangi dan memeriksa.
0rang ini garuk-garuk kepala. “Sialan! Terlalu keras saya melemparkannya. Kepalanya rengkah!”
Wir0 memandang berkeliling. Di tanah dalam gelap dilihatnya menggeletak pisau yang tadi dipergunakan 0rang itu untuk menyerangnya. Dipungutnya senjata ini. Dari warna pisau terperinci senjata itu dilapisi racun jahat. Pendekar 212 Wir0 Sableng memperhatikan gagang pisau itu. Ada g0resan tengk0raknya.
“Pisau ini sama bentuknya dengan pisau yang diperlihatkan Andana. Berarti pelakunya berasal dari persekutuan yang sama. Dan setiap persekutuan 0rang-0rang jahat niscaya ada dalangnya!”
Tiba-tiba satu banyangan berkelebat. 0rang ini pribadi menghantam ke arah Pendekar 212.
Terlambat saja Wir0 mengelak niscaya lehernya patah dihajar pukulan tepi telapak tangan. Serangan yang l0l0s itu menghantam sebatang p0h0n yang batangnya sebesar paha. Tak ampun lagi p0h0n ini patah dan tumbang.
“Penyerang gelap keparat!” Maki Wir0 0rang ini kembali menyerbunya dari samping dengan cepat Wir0 menangkis. Dua lengan beradu keras. Keduanya sama-sama terpental dan jatuh duduk di tanah. Wir0 mel0mpat lebih dulu. Kaki kanannya melesat mengirimkan tendangan. Hampir tendangannya akan menemui target , 0rang yang terduduk di tanah tiba-tiba berteriak.
“Tahan! Wir0 ini saya Andana!”
Pendekar 212 berseru kaget. “Walah! Apa-apaan ini.”
Dengan cepat dia mel0mpat tinggi ke atas hingga tendangannya lewat di atas kepala 0rang.
“Kukira kau siapa memb0k0ngku secara gelap!” kata Wir0. “Untung pisau beracun ini tak hingga melukai dirimu!”
“Kau sendiri kukira 0rang yang hendak membunuhku dengan ular itu…” kata Andana. Pemuda ini kemudian menuturkan apa yang barusan dialaminya di rumah gadang. “Aku tak senang hati kalau tak sanggup menyingkap tabir perbuatan keji ini. Itu sebabnya setelah Datuk Gamp0 Alam masuk ke kamarnya saya turun ke bawah dan menyelidiki. Kebetulan kulihat kau. Kukira kau salah se0rang dari manusia-manusia keparat itu…”
“Aku sendiri kebetulan lewat lantaran merasa tak yummy se0lah ada firasat sesuatu akan terjadi di rumah gadang. Ketika saya hingga di ujung halaman kulihat ada dua 0rang turun dari atas p0h0n kemudian lari ke arah timur. Aku segera mengejar mereka. Di tengah jalan mereka menyebar. Aku mengikuti yang kabur ke kanan.
Aku berhasil menangkapnya tapi tindakanku terlalu keras. 0rang itu pecah kepalanya ketika kubantingkan ke p0h0n!”
“C0ba kulihat pisau itu ,” kata Andana seraya mengulurkan tangannya meminta pisau yang dipegang Wir0. Ketika melihat gagang yang ada g0resan tengk0raknya Andana berkata. “Pisau ini sama dengan pisau yang membunuh Udin Burik. Berarti persekutuan yang sama juga yang hendak membunuhku!”
“Kelihatannya memang begitu , Andana. Kau harus lebih berhati-hati…”
“Itu sebabnya saya mengajakmu bermalam bersama di rumah gadang. Paling tidak kita bisa saling berjaga-jaga…”
“Aku mau saja. Tapi Mamakmu itu rasa rasanya tidak senang padaku…”
“Jangankan padamu. Padakupun dia tidak suka. Ada sesuatu yang menciptakan dia bersikap manis…”
“Ah , jangan kau terlalu curiga padanya , kalau dia tidak senang padamu kuliner dia mau menciptakan selamatan besar menyambut kepulanganmu…”
“Justru ini yang jadi kecurigaanku Wir0.”
“Sudahlah. Malam ini kukira kau harus tidur nyenyak. Bes0k kau akan jadi bintang perhelatan besar.
Kalau saya jadi kau saya akan minta pada Pamanmu itu sekaligus saja menciptakan pesta pernikahanku dengan Bunga!”
“Kau bisa saja. Kau tak mau menemaniku ke rumah gadang?”
“Terima kasih. Bes0k saja saya hadir di pestamu. Pasti banyak gadis-gadis manis yang hadir. Pasti saya akan puas mencuci mata.”
Ketika Wir0 hendak berlalu Andana bertanya. “Eh , kau menginap di mana sahabat?”
“Di surau ,” jawab Wir0. “Aku hanya mengikuti budbahasa 0rang di sini. Kalau sudah cukup umur dan belum kawin harus tidur di surau…”
Andana tertawa. Ditepuknya pundak sahabatnya itu kemudian keduanya berpisah. Ketika Andana kembali ke kamarnya di rumah gadang , c0w0k ini terkejut. Didapatinya keris Tuanku Ameh Nan Sabatang serta pisau yang gagangnya berukiran tengk0rak lenyap dari bawah bantal. Berarti ada 0rang yang masuk dan mengambil kedua benda itu selagi dia turun ke bawah tadi.
“Kurasa saya sudah mengambil keputusan yang salah menginap di rumah gadang ini!” Kata Andana dalam hati. Tiba-tiba dia mendengar bunyi 0rang berlari menaiki tangga rumah. Andana cepat keluar. Yang muncul ternyata ialah Datuk Gamp0 Alam. 0rang ini kelihatan turun naik dadanya.
“Ada apa Mamak? Dari mana Mamak barusan?” bertanya Andana.
Aku masuk ke kamar dengan perasaan was-was. Lalu saya keluar. Saat itu saya melihat sese0rang menyelinap keluar dari kamarmu. Aku tak bisa melihat wajahnya lantaran ditutup dengan kain hitam. Aku membentak dan mengejarnya. Ternyata 0rang ini mempunyai ilmu lari yang hebat. Aku tak sanggup mengejarnya. Aku kembali dengan sia-sia. Kujenguk ke kamar ternyata kaupun tidak ada. Ada barang-barangmu yang hilang?”
“Tidak ada. Saya memang tidak punya barang yang berharga ,” jawab Andana berdusta.
“Kalau begitu tidurlah kembali. Periksa semua jendela apakah sudah terkunci. Bes0k pagi kau akan jadi raja kecil dalam pesta besar itu.”
Andana mengangguk kemudian masuk ke dalam kamarnya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa tidur di kamar yang tilamnya penuh darah serta bangkai ular berbisa itu? Pemuda ini kesannya keluar dari kamar dan tidur di ruang tengah rumah gadang. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia merasa lantai papan rumah gadang bergerak-gerak dan telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekati. Andana bersiap-siap. Begitu 0rang itu hingga dihadapannya Andana mel0mpat bangun siap untuk menggebuk. Tetapi ketika menyadari siapa yang tegak di depannya c0w0k ini cepat menarik pulang pukulannya.
“Ibu…. saya kira siapa…” kata Andana seraya menurunkan tangannya!
“Walau saya istri Mamakmu , jangan panggil saya Ibu…” kata wanita di hadapan Andana. “Kau tak apa-apa?”
“Tidak Ibu… tidak. Saya baik-baik saja.”
“Banyak abn0rmalitas di rumah gadang ini. Manusianya , suasananya! Terus terang saja saya sudah tidak betah tinggal di sini.”
“Ibu…”
“Panggil saya Rukiah…”
“Malam sudah larut. Kalau Datuk melihat kau berada di sini dia bisa salah sangka. Sebaiknya kau masuk ke dalam kamar kembali.”
Rukiah , istri paling muda Datuk Gamp0 Alam yang gres berusia 19 tahun itu menggeleng. “Saya sengaja keluar untuk memberi tahu bahwa kau tak pantas tidur di ruangan ini. Pakailah kamar saya.”
“Terima kasih. Saya tidak bisa melaksanakan hal itu. Saya lebih suka tidur di sini…”
Rukiah memegang lengan c0w0k itu. Jari-jari tanggannya yang halus terasa hangat. Sesaat Andana merasakan tubuhnya bergetar. Mendadak muncul bayangan Halidah di depannya. Lalu bayangan Bunga.
“Kau sungguh tak mau masuk ke kamar saya?” tanya Rukiah.
“Terima kasih. Biar saya tidur di sini saja…”
“Baik kalau begitu. Bes0k pagi-pagi sekali akan saya suruh 0rang membersihkan kamarmu…”
Andana hanya bisa mengangguk. Perempuan muda itu tersenyum dan masih berharap Andana akan mau mendapatkan ajakannya masuk ke dalam kamar. Namun dari sinar mata si c0w0k Rukiah maklum kalau Andana tak gampang untuk ditundukkan. Perlahan-lahan Rukiah memutar tubuhnya kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya.
Andana menghela nafas dalam. Lalu dibaringkannya kembali tubuhnya di tempat semula. Lama sekali gres dia bisa memicingkan mata. Andana tak tahu berapa lama dia tertidur. Pemuda ini terbangun ketika di kejauhan terdengar bunyi k0k0k ayam bersahut-sahutan. Lalu dari arah selatan terdengar bunyi 0rang azan tanda dikala sembahyang Subuh sudah datang. Andana segera bangun kemudian turun ke bawah. Agak bergegas dia melangkah menuju surau. Bukan saja untuk melaksanakan sh0lat Subuh di sana tetapi juga ingin menemui sahabatnya Wir0 guna menceritakan apa yang telah terjadi.
Selesai sembahyang Subuh kedua c0w0k itu duduk di tangga surau. Kesempatan ini dipergunakan Andana untuk menceritakan hilangnya keris Tuanku Amen Nan Sabatang serta pisau berhulu kepala tengk0rak itu.
“Nasib jelek masih saja mengikutimu sahabatku ,” kata Wir0. “Saya niscaya membantumu untuk mencari dan mendapatkan keris bertuah itu kembali. Mengenai pisau dengan gagang yang ada g0resan kepala tengk0raknya itu kau tak usah khawatir. Kita masih ada satu lagi.” Lalu Wir0 mengeluarkan pisau milik 0rang yang hendak membunuh sahabatnya itu dengan ular berbisa.
“Sebentar lagi pagi akan tiba. Perhelatan besar akan berjalan dengan segala kemeriahannya.” Wir0 kemudian berdiri di hadapan Andana. “Menurutmu apakah pantas saya hadir dengan baju kusut dekil serta celana kekecilan dan cekak kedua kakinya ini? Kau bayangkan bagaimana nanti gadis-gadis manis akan memandangku dengan perasaan geli. Bisa-bisa mereka menduga saya ini c0w0k asing yang kurang waras!”
Andana tertawa lebar “Jangan takut sahabatku. Aku akan menyuruh 0rang mengantarkan seperangkat pakaian bagus lengkap dengan saluaknya untukmu.”
“Terima kasih. Terima kasih sahabatku…” kata Wir0 dengan perasaan gembira.
TAMAT
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tit0
EP : DENDAM DI PUNCAK SINGGALANG
SATU
DUA gunung tinggi menjulang menyapu awan , terlihat terperinci dari kejauhan di bawah langit yang biru bersih.
Kehadiran gunung Singgalang dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas mirip yang selalu diperumpamakan 0leh penduduk memang benar yaitu se0lah dua raksasa penjaga negeri.
Saat itu menjelang tengah hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung Singgalang tampak se0rang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.
0rang ini berusia sekitar setengah peri0de , berkumis tipis rapi , mengenakan destar tinggi berwarna hitam yang pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat dari kain bludru warna hijau yang juga ada renda benang emasnya. Di pinggangnya , di balik ikat pinggang besar terselip sebilah keris. Baik gagang maupun sarung senjata ini terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari sejenis besi putih yang dilapisi emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang dan sarung senjata itu , kelihatan cahaya kuning memantul menyilaukan.
Pada waktu yang hampir bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat sebuah kereta terbuka ditarik dua ek0r kuda besar. Di sebelah kanan duduk sais kereta , se0rang lelaki , bertampang seram.
Wajahnya tertutup 0leh kumis dan cambang bawuk lebat. Rambutnya yang g0ndr0ng di ikat menjulai ke belakang. Matanya yang sebelah kiri picak sedang telinganya sebelah kanan sumplung. Di lehernya yang mengenakan pakaian serba hitam ini melingkar sebuah kalung terbuat dari akar bahar. Pada kedua lengannya juga kelihatan melingkar dua gelang hitam dari akar bahar.
“Kenapa Datuk tidak membawa senjata?” bertanya sais kereta pada 0rang yang duduk di sampingnya.
0rang ini mengenakan pakaian bagus berwarna merah penuh dengan sulaman-sulaman benang emas.
Destarnya juga merah. Wajahnya klimis pucat dan agak cekung di p0t0ngan pipi. Dagunya nyaris berbentuk empat persegi sedang bibirnya tipis dan selalu terkancing rapat. Sekali lihat saja wajah 0rang yang dipanggil dengan sebutan Datuk ini membayangkan sifat ar0gan hirau taacuh kalau tidak mau dikatakan kejam. 0rang ini mempunyai kebiasaan aneh. Yaitu sebentar-sebentar menyentak-nyentakan lehernya ke kiri atau ke kanan mirip ayam tertelan karet.
“Mengapa kita tidak membawa senjata katamu , Daud?” 0rang berpakaian merah membuka mulutnya yang semenjak tadi tertutup. Lalu terdengar dia mendengus. Menyusul kemudian bunyi tawanya bergelak.
Sais kereta sesaat jadi terdiam. Lalu dia ikut-ikutan tertawa.
“Setan! Kenapa kau tertawa?!” sang Datuk membentak.
Sais kereta berjulukan Daud itu cepat tutup mulutnya. “Maafkan saya Datuk ,” katanya. “Saya cuma ikut-ikutan saja. Bukankah Datuk sering berkata biar saya lebih banyak mengikuti sifat dan kebiasaan Datuk?”
“Aku tidak suka kau tertawa lebar-lebar di hadapanku! Mulutmu bau! Tahu?”
“Maafkan saya Datuk ,” kata Daud sekali lagi. Lalu dengan bunyi perlahan dia menyambung. “Saya masih ingin tahu mengapa Datuk tidak membawa senjata.”
“Kau takut?”
“Tentu saja tidak Datuk ,” jawab Daud.
“Mulutmu berkata tidak tapi suaramu bergetar. Percuma kau dijuluki 0rang Daud si Hantu Mata Picak! M0m0k n0m0r satu di seluruh nagari!”
“Maafkan saya. Kalau begitu saya tidak akan bertanya lagi!” Lelaki bermuka angker yang mata kirinya buta picak itu mencambuk kuda-kuda penarik kereta keras-keras se0lah melampiaskan rasa kesalnya pada kedua hewan itu. Dicambuk bertubi-tubi demikian rupa , kedua kuda berlari kencang mirip kesetanan.
“Bangsat kau Daud!” hardik lelaki bermuka cekung. Kalau bicara sang Datuk biasa memaki dan menyebut 0rang dengan kata-kata kasar mirip setan atau bangsat.
“Apa lagi salah saya Datuk?”
“Kau melarikan kereta mirip dikejar iblis! Kau hendak menciptakan saya celaka huh?!”
Daud menahan tali kekang dua ek0r kuda.
Binatang-binatang itu mengangkat kepalanya ke atas dan serta merta memperlambat larinya.
“Nah sekencang begini saja sudah cukup. Kenapa harus terburu-buru….?”
“Bukankah kita hendak menemui….”
Sang Datuk cepat mem0t0ng kata-kata Daud. “Kita tidak menemui siapapun. Tapi justru dia yang mendatangi kita untuk mengantar nyawa anjingnya!” Untuk pertama kalinya 0rang ini berpaling pada sais kereta. “Aku melihat bayangan rasa takut di wajahmu yang buruk. Kalau betul begitu hentikan kereta. Biar saya melanjutkan perjalanan se0rang diri. Dan kau b0leh kembali ke Silungkang! Jalan kaki!”
“Saya bersumpah saya tidak takut Datuk. Tapi apa yang hendak kita lakukan ini bukan pekerjaan main-main. Datuk Bandar0 Sati sudah dikenal di tujuh penjuru angin nagari sebagai Pandekar kelas wahid!”
“Dia b0leh punya nama besar. Tapi usianya pendek. Lagi pula ilmu kepandaian apa yang dimilikinya?
Apa setinggi gunung Merapi sedalam danau Maninjau? Kau khawatir saya akan kalah 0lehnya? Kalau seandainya saya terdesak , kemudian apakah kau akan berpangku tangan saja? Duduk di atas kereta sambil mencungkil hidungmu?!”
“Tentu saja saya tidak akan tinggal diam Datuk. Saya niscaya akan membantu Datuk. Kalau tidak apa perlunya kita pergi g0t0ng r0y0ng ,” jawab Daud si Hantu Mata Picak. “Cuma saya ada sedikit rasa waswas Datuk. Bukankah Datuk Bandar0 Sati mempunyai Tuanku Ameh Nan Sabatang ,… ?”
0rang di sebelah Daud si Hantu Mata Picak menyeringai. Setelah mengusap dagunya yang licin dan menyentakkan lehernya dua kali ke kiri dia berkata.
“Tuanku Ameh Nan Sabatang memang merupakan sebilah keris langka. Mengandung kesaktian dan tuah luar biasa. Kata 0rang kalau sudah keluar dari sarungnya harus ada nyawa yang melayang! Itu kata 0rang!
Sampai dimana kehebatan keris itu perlu kita saksikan sendiri Daud!”
“Se0rang pandekar sesat di Bukit Siguntang yang kabarnya kebal segala macam senjata , dua bulan kemudian menemui ajalnya di ujung keris itu ketika c0ba menantang Datuk Bandar0 Sati. Kejadiannya di pesisir Pariaman.”
“Aku memang mendengar d0ngeng itu. Lalu apakah saya insan yang bergelar Datuk Gamp0 Alam harus menjadi ciut nyalinya menghadapi se0rang cal0n bangkai bergerak Datuk Bandar0 Sati itu?!” Habis bicara begitu 0rang ini meludah ke tanah. “Setan!”
“Saya yakin bagaimanapun juga Datuk lebih hebat dari Bandar0 Sati…”
“Yakin bukan hanya sekedar yakin , Daud. Tapi yakin yang hakkul yakin!” kata Datuk Gamp0 Alam pula. Lehernya disentakkannya ke kanan.
Kereta itu meluncur terus menempuh daerah sunyi berbukit-bukit. Setelah melewati sebuah desa kecil , dari jalan yang kini menurun , di kejauhan kelihatan sebuah lembah yang keindahan merupakan se0lah satu keajaiban dipandang mata.
“Ngarai Sian0k sudah kelihatan di bawah sana Datuk ,” memberi tahu Daud alias Hantu Mata Picak.
Datuk Gamp0 Alam yang semenjak tadi terkantuk-kantuk membuka kedua matanya lebar-lebar. Sepasang mata 0rang ini kelihatan nyalang besar dan ada kilatan menggidikkan.
“Kita hingga lebih cepat Daud. Berarti apa yang akan kita lakukan akan lebih cepat pula selesainya.”
“Kalau Datuk Bandar0 Sati benar-benar tiba memenuhi janjinya ,” sahut Daud.
“Setan! Sialan kau Daud!” hardik Datuk Gamp0 Alam tiba-tiba.
“Astaga! Apa lagi salah saya kali ini?” tanya Daud. Nada suaranya menyatakan rasa takut namun ketakutan itu tidak terbayang di tampangnya yang angker.
“Pada saat-saat tegang kau selalu mengeluarkan ucapan yang menciptakan saya tidak enak! Keparat itu niscaya tiba Daud! Pasti! Jangan kau berani berucap yang menciptakan saya jadi ikut was-was!”
Hantu Mata Picak tidak menyahut. Dalam hatinya timbul rasa jengkel terhadap Datuk Gamp0 Alam.
“Manusia satu ini begitu bergairah biar cepat bisa melaksanakan niatnya. Tapi segala kemungkinan tidak diperhitungnkannya!”
Ngarai Sian0k terbentang dengan segala keindahannya. Di langit sebelah timur sekawanan burung terbang di langit biru.
Mata kanan Hantu Mata Picak memandang jauh ke depan. Lalu dia berdiri di atas kereta. “Datuk , saya melihat ada penunggang kuda tiba dari arah barat!” katanya kemudian kembali duduk.
Datuk Gamp0 Alam menyeringai. “Cal0n bangkai itu tiba memenuhi janjinya! C0ba perhatikan.
Apa memang betul dia yang datang?!”
Hantu Mata Picak kembali berdiri kemudian duduk lagi dan berpaling pada Datuk Gamp0 Alam. “Kudanya kuda c0klat. Destarnya hitam dan pakaiannya hijau. Siapa lagi kalau bukan Datuk Bandar0 Sati!”
“Hentikan kereta!” perintah Datuk Gamp0 Alam. “Aku berbaik hati memberi kesempatan padanya untuk meregang nyawa di tempat yang indah ini.”
Hantu Mata Picak hentikan kereta.
Sementara itu dari arah barat penunggang kuda c0klat berpakaian hijau tiba semakin dekat. Tak lama kemudian 0rang inipun hingga di hadapan kereta. Dia membawa kudanya ke samping hingga bersisi-sisian dengan p0t0ngan depan dimana Datuk Gamp0 Alam duduk.
“Datuk Gamp0 Alam , kau tiba tepat pada waktunya. Malah lebih dulu dari aku!” 0rang di atas kuda c0klat menyapa.
Datuk Gamp0 Alam menyeringai. “Aku Datuk Gamp0 Alam selalu tepat waktu. Apalagi untuk urusan penting mirip ini!”
“Urusan penting katamu. Apakah tidak bisa kita bicarakan di rumah gadang? Mengapa harus menentukan tempat ini mirip 0rang menagih hutang piutang saja?!”
Mendengar kata-kata Datuk Bandar0 Sati itu , Datuk Gamp0 Alam tertawa mengekeh. Disentakkannya lehernya beberapa kali kemudian dia berkata. “C0ba kau lihat berkeliling. Bukankah tempat ini sangat indah pemandangannya? Kaprik0rnus tak ada buruknya kita bicara di sini!”
Datuk Bandar0 Sati memandang berkeliling kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku baiklah dengan ucapanmu. Ngarai Sian0k memang indah. Lalu urusan penting apakah yang kau maksudkan itu , Datuk Gamp0 Alam?”
“Ah! Setan ini berpura-pura tidak tahu rupanya!” Maki Datuk Gamp0 Alam dalam hati. Lalu dia menjawab. “Ini menyangkut urusan rumah gadang warisan nenek m0yang kita. Jangan kau berpura-pura Datuk Bandar0 Sati!”
Wajah Datuk di atas kuda c0klat itu sesaat tampak berubah. “Kalau itu masalahnya saya tak akan mau membicarakan. Bukankah hal ini sudah saya tegaskan berulang kali padamu? S0al rumah gadang tidak ada tawar-menawar!”
Datuk Gamp0 Alam menyeringai kemudian menyetakkan lehernya. “Kau selalu bersikap mirip ini Datuk.
Keras kepala dan t0l0l!”
“Terserah padamu! Terserah kau mau menyampaikan apa diriku! Banyak urusan penting lain menungguku di Batusangkar! Aku harus pergi sekarang!”
“Tunggu!” seru Datuk Gamp0 Alam kemudian berdiri di atas kereta. Kedua tangannya berkacak pinggang sedang sepasang matanya memandang berapi-api pada 0rang yang duduk di atas kuda di hadapannya.
“Apapun alasanmu saya tidak mau tahu. Urusan rumah gadang harus selesai dikala ini juga , di tempat ini juga!”
“Kau sudah gila Datuk Gamp0 Alam!” hardik Datuk Bandar0 Sati.
“Kau menciptakan saya murka Datuk Bandar0 Sati!” bafas membentak Datuk Gamp0 Alam.
“Kau rupanya sengaja mencari lantai terjungkat!”
“Setan kau!” teriak Datuk Gamp0 Alam.
“Eh , iblis apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau berani berucap sekasar itu pada kakak kandungmu sendiri? Aku ingatkan padamu! Sekali lagi kau bicara k0t0r dihadapanku kupatahkan batang lehermu!”
* * *
DUA
DI ATAS kereta Datuk Gamp0 Alam yang masih tegak bert0lak pinggang tertawa bergelak. “S0al patah mematahkan batang leher bisa nanti kita lakukan!” katanya. “Aku hanya ingin memberi kesempatan padamu sekali lagi. Apakah kau tetap tidak mau menjual rumah gadang berikut isinya pada Tumenggung Raj0 Langit?!”
“Satu kali kubilang tidak , hingga matipun tetap tidak!” jawab Datuk Bandar0 Sati tegas dan dengan mimik wajah menjadi garang.
Datuk Gamp0 Alam menyeringai. Lehernya disentakkan dua kali berturut-turut. Dari balik pakaian merahnya dikeluarkannya segulung kertas. Perlahan-lahan gulungan kertas itu dibukanya kemudian dis0d0rkannya pada kakaknya.
“Aku telah menandatangani persetujuan penjualan rumah gadang itu. Kau juga harus menyetujui dan menandatanganinya.
Tak usah sekarang. Kuberi waktu dua hari. Antarkan sendiri kerumahku! Atau kau kirimkan saja 0rang suruhanmu!”
Datuk Bandar0 Sati jadi mengkelap. Kertas yang dis0d0rkan adiknya diambilnya dengan sebat kemudian tanpa membaca apa yang tertulis di atas kertas itu pribadi saja dir0bek-r0beknya.
“Rumah gadang ialah rumah pusaka nenek m0yang turun-temurun. Tidak b0leh dijual sekalipun dunia ini akan terbalik!” kata Datuk Bandar0 Sati dengan rahang menggembung dan pelipis bergerak-gerak.
“Setan jahanam!” teriak Datuk Gamp0 Alam murka bukan main. Setelah menyentakkan lehernya , didahului 0leh bunyi menggemb0r mirip harimau lapar tubuh Datuk ini melesat ke depan. Kaki kanannya berkelebat menendang ke arah dada kakaknya.
Datuk Bandar0 Sati balas berteriak marah. Dengan satu gerakan cepat luar biasa dia mel0mpat turun dari punggung kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke atas.
Wuuuttt!
Gagal menyerang dada kakaknya , Datuk Gamp0 Alam menyambar tangan kanan yang berusaha memukul ke arah selangkangannya. Tapi luput lantaran Datuk Bandar0 Sati cepat merunduk sambil tarik pulang serangannya.
“Datuk Bandar0 Sati pandekar tujuh nagari! Kau menentukan mati dari pada mendapatkan rejeki. 0takmu yang k0n0n cerdik bijaksana ternyata k0s0ng mel0mp0ng! Kau kemari hanya mencari mati!”
“Hemm , rupanya niat jahat itu sudah ada dalam hati dan darahmu semenjak lama! Aku tahu kau yang memfitnah anakku. Kini kau hendak bersutan di mata beraja di hati terhadapku huh! Dengar , bukan saya yang akan mati tapi kau yang akan berkubur di Ngarai Sian0k ini! Itupun kalau masih ada 0rang yang mau menguburmu. Kalau tidak bangkaimu akan jadi santapan anjing-anjing ngarai!”
“Datuk setan! Bicaramu s0mb0ng sekali. B0leh kau berkata begitu kalau kau punya dua nyawa!” kata Datuk Gamp0 Alam dengan pandangan mata berkilat-kilat. “Nama besarmu bagiku hanya kentut busuk belaka! Atau kau mengandalkan keberanianmu pada keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersepi di pinggangmu itu? Ha… ha… ha…! Keris itu sendiri yang akan kupakai menghabisi dirimu!”
“Datuk keparat insan jahat!” hardik Datuk Bandar0 Sati. “Hari ini putus kekerabatan darah antara kita! Aku tidak akan berd0sa membunuh insan sepertimu!”
“Bagus! Kalau begitu kau makanlah bekas tanganku ini!” kata Datuk Gamp0 Alam. Dia menyergap dengan satu l0mpatan garang. Tinju kirinya menghunjam ke dada sedang dua jari tangan kirinya laksana dua p0t0ng besi menusuk ke arah sepasang mata Datuk Bandar0 Sati.
“Ilmu silat picisan tidak laris di hadapanku Datuk!” ejek Datuk Bandar0 Sati. Tangannya kiri kanan bergerak laksana silangan gunting.
Bukkk!
Dukkk!
Tubuh Datuk Bandar0 Sati terg0ntai-g0ntai sesaat ketika lengan kirinya beradu dengan lengan kanan Datuk Gamp0 Alam. Di dikala yang sama , sambil memiringkan kepalanya untuk menghindari bac0kan dua jari lawan pada kedua matanya sang Datuk susupkan tinju kanannya ke dada Datuk Gamp0 Alam. 0rang ini cepat mengelak namun j0t0san kakaknya masih sempat mampir di pundak kirinya hingga Datuk Gamp0 Alam terpelanting dan niscaya jatuh kalau tubuhnya tidak tertahan ger0bak.
“Setan bantalan setan keparat!” rutuk Datuk Gamp0 Alam menahan sakit dan marah. Kepala dan lehernya dig0yang-g0yangkan beberapa kali. Mukanya yang pucat tampak semakin tidak berdarah. Tapi dia cepat tegak memasang kuda-kuda.
Di atas kereta , Daud alias Hantu Mata Picak berseru. “Datuk Gamp0 Alam , biar saya yang menghajar insan keparat itu!” Habis berseru begitu dengan satu gerakan enteng dia mel0mpat turun dan tahu-tahu sudah berada di samping kiri Datuk Bandar0 Sati.
“Aku masih sanggup mempersiangi setan bantalan ini Daud! Tetap di tempatmu!” hardik Datuk Gamp0 Alam. Lalu dia menerjang. Kini terjadi perkelahian seru antara kakak dan adik sedarah sekandung itu.
Masing-masing bukan saja mengeluarkan kekuatan luar tetapi juga mengandalkan tenaga dalam mengandung hawa sakti yang mengeluarkan siuran angin dan sesekali sinar menggidikkan.
Meskipun Datuk Gamp0 Alam mempunyai kegesitan luar biasa namun lantaran dirinya diselimuti nafsu membunuh yang tidak terkendalikan maka beberapa kali serangan mautnya luput. Sebaliknya dua kali serangan Datuk Bandar0 Sati berhasil menemui sasarannya. Yang pertama berupa satu j0t0san yang mendarat dengan telak di ulu hati lawannya hingga Datuk Gamp0 Alam terlipat ke depan dan mengeluarkan bunyi mirip 0rang mau muntah. Serangan kedua berupa hantaman telapak tangan pada pangkal lengan yang mendarat keras di dagunya.
Inilah ilmu Pukulan Sterlak yang sanggup menciptakan hidung tanggal atau daging muka terkelupas.
Pukulan Sterlak yang menghantam dagunya terasa mirip menanggalkan kepalanya dari leher. Datuk Gamp0 Alam terpelanting keras kemudian terjengkang di tanah. Pemandangannya sesaat berkunang-kunang.
“Datuk Gamp0 Alam , pulanglah! Saat ini dengan tulus saya bersedia mengampuni segala kesalahan dan perbuatanmu!” kata Datuk Bandar0 Sati yang jadi tidak tega dan hiba melihat keadaan adiknya menjepel0k di tanah mirip itu.
Perlahan-lahan Datuk Gamp0 Alam berdiri. Mulutnya dibuka dan dikatupkannya beberapa kali. Rahangnya mirip tanggal akhir Pukulan Sterlak tadi.
“Terima kasih , kau berbaik hati menyuruh saya pulang. Ketahuilah saya akan pulang setelah kau jadi bangkai di tempat ini! Setan!” Datuk Gemp0 Alam menutup kata-katanya dengan makian. Kedua kakinya dikembang. Kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan menekuk mirip hendak meremas. Dari tengg0r0kannya keluar bunyi mencicit halus.
Datuk Bandar0 Sati terkejut , Ilmu Silat Tupai Pesisir. Dari mana dan kapan dia mempelajarinya?
Begitu Datuk Bandar0 Sati membatin dalam hati. Baru saja dia berkemas-kemas menghadapi serangan lawan tubuh Datuk Gamp0 Alam mel0mpat ke depan. Selanjutnya tubuhnya tampak bergerak sebat kian kemari , melenting-lenting mirip b0la. Tangan dan kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga. Inilah ilmu silat “tupai pesisir” yang kabarnya diciptakan se0rang sakti puluhan tahun silam kemudian lenyap tanpa bekas. Kalau kini ilmu itu muncul dan sanggup dikenali 0leh Datuk Bandar0 Sati , tidak heran dia merasa terkejut.
Untuk mengimbangi serangan lawan yang tiba bertubi-tubi , Datuk Bandar0 Sati terpaksa menciptakan gerakan-gerakan cepat. Dengan pengalamannya yang segudang dia bertahan dan sesekali mem0t0ng serangan lawan kemudian melancarkan serangan balasan. Setelah menghadapi lawannya lebih dari sepuluh jurus ternyata ilmu silat bajing pesisir itu tak bisa ditembus. Tekanan-tekanan dahsyat mulai dialami Datuk Bandar0 Sati. 0rang ini mulai kacau pertahanannya ketika destar hitam dikepalanya berhasil disambar tangan lawan. Kalau tidak cepat
dia membungkuk niscaya rambutnya kena dijambak Datuk Gamp0 Alam.
“Agaknya saya terpaksa mengeluarkan pukulan sakti andalanku. Tuhan , ampuni diriku kalau pukulan ini akan membunuh adikku sendiri!” Datuk Bandar0 Sati angkat tangan kanannya lurus-lurus ke atas. Jari telunjuk menunjuk ke atas lagit.
“Telunjuk penembus raga!” teriak Datuk Gamp0 Alam ketika dia mengenali ilmu pukulan sakti yang hendak dikeluarkan kakaknya. Parasnya menjadi tambah pucat. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Hantu Mata Picak yang dikala itu berada tepat di belakang Datuk Bandar0 Sati.
Melihat isyarat ini Hantu Mata Picak segera mel0mpat. Lengan kirinya yang k0k0h memiting leher Datuk Bandar0 Sati dengan keras sedang tangan kanannya mencekal pergelangan tangan sang Datuk.
“Pengecut kurang ajar! Menyerang dari belakang!” teriak Datuk Bandar0 Sati marah. Siku tangan kirinya dihantamkan ke belakang sekuat yang biasa dilakukannya.
Kraaakkk!
Terdengar bunyi tulang iga patah.
Si Hantu Mata Picak menjerit keras. Walau sakit setengah mati tapi 0rang bertubuh tinggi besar dan bertampang angker ini tidak melepaskan cekalannya dari leher Datuk Bandar0 Sati malah mirip dibantu setan kekuatannya jadi berlipat ganda hingga Datuk Bandar0 Sati sulit bernafas sementara tangan kanannya yang hendak melepas pukulan telunjuk penembus raga tak sanggup dibebaskannya. Dengan tersengal-sengal Datuk Bandar0 Sati mengerahkan seluruh kekuatannya. Justru pada dikala itu dari depan tiba Datuk Gamp0 Alam menyergap. Dengan gerakan kilat dia menyambar keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersisip di pinggang Datuk Bandar0 Sati.
Begitu senjata itu berada di tangannya segera dicabut kemudian mirip kesetanan keris bertuah itu dihunjamkannya keperut dan dada Datuk Bandar0 Sati berulang-ulang. Setiap keris itu menusuk tubuh Datuk
Bandar0 Sati kelihatan asap mengepul. Darah membasahi pakaian hijaunya.
Datuk Bandar0 Sati meraung keras. Dengan sisa kekuatan yang ada dia kerahkan tenaga dalam.
Tangan kanannya bergetar keras. Satu sinar biru melesat menjulang ke langit. Hantu Mata Picak berteriak dan lepaskan cekalannya pada lengan kanan sang Datuk. Tangannya terasa panas. Ketika dilihatnya ternyata tangan itu menjadi hitam laksana hangus. Sakitnya bukan kepalang.
Di sebelah depan Datuk Gamp0 Alam masih terus menghujani tubuh kakak kandungnya dengan tusukan-tusukan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Terakhir sekati keris itu ditusukkannya dan dibiarkannya menancap dipertengahan dada Datuk Bandar0 Sati.
Hantu Mata Picak lepaskan pitingannya di leher Datuk Bandar0 Sati. Tak ampun lagi Datuk ini segera jatuh tertelentang di tepi Ngarai Sian0k.
“Biar saya tendang bedebah ini ke dalam ngarai!” kata Hantu Mata Picak , sambil meringis menahan sakit pada tulang iganya.
“Tak usah Daud! Biarkan saja! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum ada 0rang tiba dan melihat kita disini!” kata Datuk Gamp0 Alam sambil membuang sarung keris emas ke tanah.
Mendengar hal itu Daud alias Hantu Mata Picak segera naik ke atas kereta. Datuk Gamp0 Alam mel0mpat pula ke atas kereta dan sesaat kemudian kereta itu berputar kemudian meluncur kencang ke arah kaki gunung Merapi tanpa satupun dari kedua penumpangnya mengetahui kalau dikala itu , di balik sebuah watu besar di antara kerapatan semak belukar sepasang mata menyaksikan apa yang telah terjadi di tempat itu dengan tubuh menggigil. Karena tak sanggup menahan takut , 0rang ini segera hendak melarikan diri namun satu keajaiban yang hampir tak sanggup dipercayanya menciptakan kedua kakinya se0lah dipaku ke tanah. Mulutnya terkancing , wajahnya pucat. Hanya kedua matanya saja membeliak menyaksikan apa yang terjadi.
Dari dasar Ngarai Sian0k tiba-tiba melesat satu bayangan putih ke arah tubuh Datuk Bandar0 Sati yang tergeletak di tanah. Sulit dipastikan apakah s0s0k tubuh ini s0s0k insan atau setan. S0s0k itu lebih merupakan satu bayangan 0rang berjubah tembus pandang. S0s0k ini sesaat tegak di samping tubuh Datuk Bandar0 Sati kemudian membungkuk. Tangannya bergerak mencabut keris yang menancap di dada Datuk Bandar0 Sati. Kemudian bayangan ini memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Sesaat setelah itu bayangan ini melesat ke udara. Se0lah terbang ke arah matahari. Silaunya cahaya matahari menciptakan 0rang di balik watu tak sanggup lagi melihat bagaimana lenyapnya bayangan aneh itu. Rasa takut yang tak sanggup ditahannya lagi menimbulkan 0rang ini segera menghambur lari meninggalkan tempat itu.
* * *
TIGA
HANYA beberapa dikala setelah 0rang yang tadi lari lenyap di kejauhan , se0rang penunggang kuda berpakaian dan berikat kepala putih-putih tampak mendatangi dari arah barat. Rambutnya g0ndr0ng menjela pundak melambai-lambai ditiup angin. Sambil memacu kuda tunggangannya 0rang ini yang ternyata masih muda dan bertubuh kekar memperhatikan pemandangan yang sangat indah di sekitarnya.
“Luar biasa , belum pernah saya melihat lembah seindah ini ,” kata c0w0k ini dalam hati. Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik keras , menaikkan kedua kaki depannya tinggi-tinggi dan tak mau lagi berlari.
“Heh… ada apa s0batku? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Pemuda itu mengusap-usap leher kudanya sambil kedua matanya memandang berkeliling. Di kejauhan , di tepi Ngarai Sian0k sebelah timur di lihatnya ada seek0r kuda melangkah m0ndar-mandir. Tiba-tiba hewan di kejauhan itu meringkik keras se0lah membalas ringkikan kuda yang ditunggangi si pemuda.
“Hemmm… Kau menemukan se0rang sahabat. Baik , larilah ke arah sahabatmu disebelah sana!”
Seperti mengerti kuda tunggangan si c0w0k berlari cepat ke arah kuda c0klat di tepi ngarai.
“Ada kuda tak ada penunggang ialah mustahil!” kata c0w0k g0ndr0ng begitu hingga di samping kuda c0klat. Kepala hewan itu dibelainya beberapa kali. Gerakan tangannya terhenti ketika kedua matanya melihat ses0s0k tubuh bergelimang darah tergeletak di tanah. Pemuda ini serta merta mel0mpat turun dan mendekati s0s0k tubuh itu. Dengan sangat hati-hati tubuh itu dibalikannya. Wajah si c0w0k mengerenyit melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh 0rang berpakaian hijau itu. Kedua mata 0rang ini terpejam. Si c0w0k memegang lengannya. Masih terasa hangat.
“Tubuhnya masih hangat. Berarti kejadiannya belum lama….” Pemuda itu kemudian membungkuk , meletakkan telinganya di dada 0rang “Ada detakan jantung. Perlahan sekali. Sem0ga Tuhan mengizinkan saya men0l0ngnya….” Lalu si c0w0k menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada 0rang yang sekarat itu. Perlahan-lahan dia mengalirkan tenaga dalam yang mengandung hawa sakti dingin. 0rang yang dit0l0ng tidak menawarkan reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terpejam sedang tubuhnya tidak bergerak sedikitpun.
Pemuda itu menc0ba sekali lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Tengg0r0kan 0rang yang sekarat tampak bergerak turun naik. Lalu perlahan-lahan kedua matanya yang semenjak tadi tertutup membuka. Tiba-tiba mirip mendapat satu kekuatan , dalam keadaan mirip itu 0rang ini berusaha bangun namun hal itu tak bisa dilakukannya. Punggungnya terbanting ke tanah. Kedua matanya kembali terpejam namun sebelumnya dia sempat melihat wajah 0rang yang men0l0ngnya itu.
“Andana…. Tuhan Maha Besar. Syukur kau tiba nak. Sebelum kematian tiba menjemput… bawa saya ke puncak Singgalang. Aku… saya ingin mati di sana. Di hadapan kakakku…. Uning Ramalah….”
“Andana , siapa yang dimaksudkannya dengan Andana? Diriku? Kasihan , Pandangan matanya niscaya sudah kabur. Umurnya tak akan lama.” Pemuda berambut g0ndr0ng itu berdiri , memandang ke arah kejauhan dimana tampak berdiri gunung Singgalang.
“Andana… Jangan kau tinggalkan saya di sini. Jangan biarkan saya menemui kematian di tempat ini. Bawa saya ke puncak Singgalang. Andana anakku….” Suara 0rang yang tubuhnya penuh bac0kan dan gelimang darah itu terputus. Si c0w0k cepat memeriksa. Lalu gelengkan kepala. “Nyawanya putus sudah. Kini saya menyandang kewajiban yang tak bisa kut0lak.” Sesaat si c0w0k menatap wajah 0rang yang malang itu kemudian menghela nafas panjang dan garuk-garuk kepala.
SEPERTI biasanya keadaan di setiap gunung , jalan mencapai puncaknya tidak gampang untuk dicapai.
Demikian juga dengan gunung Singgalang. Demikian yang dialami 0leh c0w0k berambut g0ndr0ng itu.
Hanya saja dia merasa beruntung lantaran kuda c0klat yang membawa mayat lelaki berpakaian hijau se0lah sudah mengetahui seluk beluk gunung itu. Binatang ini berjalan di sebelah depan , bergerak dengan cepat menuju puncak gunung. Si c0w0k hanya tinggal mengikuti dari belakang.
Ketika sang surya karam puncak gunung Singgalang masih jauh di atas sana. Waktu malam turun keadaan jadi gelap gulita , tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Pemuda berambut g0ndr0ng memutuskan untuk menghentikan perjalanan. Dia mencari tempat yang haik kemudian bermalam di situ dalam dinginnya udara yang bukan 0lah-0lah.
Tengah malam dalam keadaan susah memicingkan mata c0w0k ini tiba-tiba melihat ada ses0s0k bayangan berkelebat dalam gelap. Dia cepat berdiri dan bertanya. “Siapa di sana?!”
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Dan bayangan yang tadi terlihat mendadak s0ntak lenyap ditelan kegelapan. Pemuda itu mengg0s0k-g0s0k kedua matanya. “Aneh , tangan di depan mata tidak kelihatan tapi mengapa bayangan tadi biasa terlihat? Jangan-jangan saya bermimpi! Tapi tidurpun saya belum kuliner bisa mimpi?!” Diam-diam c0w0k itu merasa merinding. Dengan perasaan tidak yummy dia kembali ke tempatnya semula.
Kicau burung dan sinar matahari pagi yang menembus lewat kerimbunan daun-daun pep0h0nan menciptakan c0w0k yang gres bisa lelap menjelang dini hari itu terbangun. Begitu bangun yang dilakukannya pertama kali ialah memandang berkeliling , Astaga. Terkejutlah c0w0k ini. S0s0k mayat 0rang berpakaian hijau yang sebelumnya berada di atas kuda c0klat kini tak kelihatan lagi. Pemuda itu mengusut kian kemari.
Tetap saja dia tak berhasil menemukan mayat itu.
“Jangan-jangan dilarikan hewan buas.” Berpikir si pemuda. “Tapi tak mungkin saya tidak mengetahuinya. Lagi puia tak ada gejala bekas seretan di tanah. Tak ada semak belukar yang rambas.”
Pemuda ini berpikir keras. Tetap saja dia tidak sanggup menduga apa yang telah terjadi dengan mayat itu. Pemuda ini kesannya duduk di akar p0h0n. Tiba-tiba dia ingat insiden malam tadi. Ada satu bayangan yang muncul secara mendadak dan lenyap secara aneh. “Jangan-jangan tempat ini banyak dedemitnya!” Katanya dalam hati. Memikir hingga di situ dia segera berdiri. Tapi sesaat dia termangu. Apakah akan meneruskan perjalan menuju puncak Singgalang atau berbalik menuju kaki gunung. Setelah menimbang-nimbang dalam hati beberapa lama kesannya c0w0k ini mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanan menuju puncak gunung.
“Aku ketitipan kewajiban untuk membawa mayat itu kepuncak gunung dan menyerahkannya pada se0rang berjulukan Uning Ramalah. Jika ada sese0rang tinggal di puncak gunung pastilah dia bukan 0rang sembarangan. Ada baiknya saya menemui 0rang itu. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk perihal lenyapnya
mayat itu. Juga siapa tahu dia kenal dengan Tua Gila yang tengah kucari-cari dan belum bertemu hingga dikala ini.”
Maka dengan menunggangi kuda c0klat c0w0k g0ndr0ng itu melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Singgalang. Kudanya sendiri mengikuti dari belakang.
* * *
EMPAT
PEMUDA berambut g0ndr0ng itu hentikan kudanya di bawah sebatang p0h0n besar di puncak Singgalang. Di hadapannya ada sebuah gubuk kayu beratap rumbia. Di halaman gubuk terhampar halaman luas yang sebagiannya tertutup 0leh batu-batu merah. Di tengah halaman inilah , di bawah siraman sinar matahari pagi , di atas sehelai tikar kulit berbentuk lingkaran duduk se0rang berjubah putih. Kepalanya yang tertutup selendang kain sutera putih menunduk hingga si c0w0k tidak sanggup melihat wajahnya. Rambutnya yang tersembul keluar tampak putih semua.
Di hadapan 0rang berselendang , di atas sehelai tikar jerami tebal terbujur tubuh insan yang ditutupi dengan kain putih mulai dari kepala hingga ke kaki hingga c0w0k itu tidak sanggup mengetahui siapa adanya insan yang berada di bawah kain itu. Namun hatinya menaruh syak wasangka bahwa itu ialah mayat 0rang berbaju hijau yang dit0l0ngnya yang lenyap secara aneh tadi malam.
Bau kemenyan memenuhi tempat itu yang keluar dari sebuah perasapan tanah dan terletak di samping kiri 0rang berjubah putih.
Perlahan-lahan c0w0k di atas kuda turun ke tanah. Dia tidak segera melangkah mendekati halaman berbatu merah namun tetap berdiri di situ lantaran tidak berani menganggu 0rang berselendang yang diduganya mungkin tengah melaksanakan semedi.
Setelah menunggu cukup lama kesannya perlahan-lahan kelihatan 0rang berjubah dan berselendang putih mengangkat kepalanya. Si c0w0k melihat satu wajah wanita bau tanah berkulit putih keriputan.
Pandangan mata yang hirau taacuh dan mirip menembus dari wanita bau tanah itu menciptakan c0w0k berambut g0ndr0ng tercekat. Dia hendak menegur namun entah mengapa mulutnya se0lah terkancing.
“Wajah c0w0k ini mirip-mirip wajah murid saudaraku.” Perempuan bau tanah itu membatin. Lalu dia menegur.
“Siapa kau? Apa keperluanmu berada di tempat ini?” Tiba-tiba wanita itu bertanya. Suaranya perlahan dan penuh kelembutan tetapi mengandung wibawa yang sangat tinggi.
“Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menganggu….”
“Jawab saja pertanyaanku!” mem0t0ng wanita bau tanah itu.
S0r0tan mata dan ucapan 0rang menciptakan si g0ndr0ng menjawab mirip yang tidak dimintakan.
“Saya… saya kehilangan sesuatu ,” katanya.
“Uang , harta benda….?” tanya wanita yang duduk bersimpuh di atas tikar kulit.
“Bukan , bukan uang atau harta benda. Saya kehilangan ses0s0k mayat. Saya rasa….”
“Itu sebabnya kau tiba kemari lantaran menyangka mayat itu ada di sini?”
“Tidak sepenuhnya mirip itu. Saya punya kewajiban untuk mengantarkan mayat itu ke puncak Singgalang. Untuk diserahkan pada se0rang….”
“Siapa yang meminta kau melaksanakan itu?!”
“Mayat itu….” jawab si g0ndr0ng.
Kedua mata wanita yang duduk di atas tikar kulit tampak mengeluarkan kilatan aneh , menciptakan si g0ndr0ng jadi kembali tercekat!”
“Mayat mana bisa bicara. Apalagi menawarkan perintah!”
Si g0ndr0ng garuk-garuk kepalanya. “Maksud saya , 0rang itu meminta saya men0l0ngnya sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Malam tadi dia lenyap begitu saja. Tanggung jawab saya untuk menemukannya dan menyerahkannya pada 0rang yang disebutnya.”
Kedua mata wanita itu bergerak aneh. Tiba-tiba saja pandangan matanya sanggup menembus pakaian yang dikenakan c0w0k di hadapannya. Dia bisa melihat semua benda yang terlindung di balik pakaian itu. Dia bisa melihat sebuah kapak bermata dua di pinggang kiri. Lalu sebuah watu hitam di pinggang kanan dan sekuntum bunga kering pada saku baju sebelah kiri. “Dia bersenjatakan kapak. Kaprik0rnus bukan dia yang membunuh saudaraku.” Kata wanita bau tanah berwajah putih itu.
“Jadi sebelum mati 0rang itu meminta kau mengantarkan dirinya pada sese0rang di puncak gunung ini?”
“Betul sekali.”
“0rang itu menyebutkan nama?”
“Benar. Dia menyebut nama Uning Ramalah….”
“Aku Uning Ramalah!” kata wanita berselendang putih dengan sepasang mata tak berkesip.
Si g0ndr0ng cepat membungkuk. “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Uning Ramalah ialah se0rang perempuan.”
“Kau bukan 0rang sini?!” wanita bau tanah itu bertanya penuh selidik.
“Saya tiba dari tanah Jawa ,” jawab si g0ndr0ng.
“Siapa namamu?”
“Saya Wir0. Wir0 Sableng….”
“Apa tujuanmu tiba kemari?”
“Saya dalam perjalanan mencari se0rang bau tanah berjulukan Tua Gila….”
“Apa hubunganmu dengan 0rang itu?”
“Dia… dia sudah menganggap diri saya mirip anak sendiri. Saya pernah mendapatkan pelajaran silat sejurus dua jurus dari dia….”
“Kalau kau mencari 0rang berjulukan Tua Gila itu , kemudian bagaimana kemudian kau bilang punya kewajiban untuk mengantarkan ses0s0k mayat ke puncak Singgalang?”
“Saya menemukan 0rang itu di tepi Ngarai Sian0k. Dalam keadaan sekarat dia meminta saya mengantarkannya ke sini. Hanya saja malam tadi mayat itu lenyap. Saya tidak sanggup memastikan apakah dicuri setan atau dilarikan hewan buas.”
Perempuan bau tanah berjulukan Uning Ramatah itu memandang ke arah s0s0k tubuh yang terbujur di bawah kain putih. Lalu dia berpaling pada Wir0. “C0ba kau singkapkan kain putih itu. Apa dia 0rang yang kau maksudkan?”
Wir0 melangkah mendekati s0s0k yang tertutup kain putih. Dia berj0ngk0k kemudian perlahan-lahan menyingkapkan kain putih di p0t0ngan kepala. Wir0 mengenali wajah itu kemudian memandang pada Uning Ramalah seraya berkata. “Memang dia 0rangnya.”
“Dia ialah Datuk Bandar0 Sati. Adik kandungku. Dia mati dibunuh 0rang. Kau tahu siapa pembunuhnya?”
Wir0 menggeleng. “Ketika saya menemukannya dia hanya sendirian dalam keadaan sekarat. Tapi di tanah saya melihat jejak-jejak kaki kuda banyak sekali dan bekas gilasan r0da kereta.”
“Setahuku adikku mempunyai sebilah keris sakti bertuah. Senjata itu tidak ada padanya. Kau melihat keris itu? Terbuat dari emas….”
Wir0 menggeleng.
Mata wanita bau tanah itu mengeluarkan kilatan aneh. Kembali dia bisa melihat menembus ke balik pakaian Wir0. Dia tidak melihat benda yang dimaksudkannya. “Pemuda ini tidak berdusta. Dia tidak
mengambil dan menyembunyikan keris itu.”
“Malam tadi , saya sengaja menjemput mayat adikku. Aku tak ingin dia lama-lama tersiksa….”
“Ah. jadi dia rupanya yang membawa lari mayat 0rang ini ,” kata Wir0 dalam hati.
“Jenazah itu harus dikubur. Saya bersedia men0l0ng menggalikan kuburnya ,” kata Wir0 kemudian.
“Tidak kini anak muda. Paling cepat dua hari lagi. Ada sese0rang yang harus melihatnya sebelum dimakamkan.”
“Tapi kalau menunggu hingga dua hari , mayat ini bisa busuk.”
“Aku sudah mengawetkannya dengan sejenis bubuk.”
Wir0 hanya bisa mengangguk-angguk mendengar ucapan 0rang. “Saya rasa , kewajiban saya sudah saya jalankan walau tidak dengan baik. Saya m0h0n diri meninggalkan tempat ini.”
“Aku belum sepenuhnya yakin kalau kau tidak ada sangkut pautnya dengan kematian adikku. Karena itu kau dilarang meninggalkan tempat ini hingga 0rang yang kutunggu datang.”
Pendekar 212 Wir0 Sableng tentu saja jadi terkejut mendengar kata-kata itu. Tentu saja dia merasa keberatan. Namun pandangan mata wanita di hadapannya menciptakan hatinya tergetar. Maka murid Eyang Sint0 Gendeng dari gunung Gede inipun berkata. “Menunggu dua hari rasanya tidak mungkin bagi saya.
Apalagi kalau 0rang itu ternyata tiba seminggu atau dua ahad kemudian….”
“Aku lebih tahu dirimu anak muda…!”
“Saya menyesalkan mengapa kau mirip meragukan diriku!” kata Wir0. “Semula saya hanya punya maksud men0l0ng semata. Mengapa kini se0lah hendak dijadikan kambing hitam?”
Perempuan bau tanah berjulukan Uning Ramalah itu tidak menyahut apa-apa. Wajahnyapun tampak tidak berubah. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan kembali. Melihat hal ini Wir0 Sableng segera putar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Namun dia hanya bisa bergerak satu langkah.
* * *
LIMA
PENDEKAR 212 Wir0 Sableng merasakan kedua kakinya mirip dipantek ke tanah. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luarnya dia tak bisa menggerakkan kakinya. Wir0 men0leh ke belakang.
Dilihatnya wanita berjulukan Uning Ramalah itu masih tetap duduk di tempatnya dengan mendudukkan kepala.
“Apa bekerjsama maunya 0rang ini? Aku tidak mengharapkan dia berterima kasih. Tapi kalau begini balas budinya kurasa keterlaluan!” Wir0 kemudian salurkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lututnya hingga bergetar lantaran dia sengaja mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang ada. Tanah gunung yang dipijaknya ikut bergetar kemudian tampak tanah di sekitar situ retak merengkah. Bahkan tiba-tiba ada kepulan asap keluar dari celah tanah yang retak itu.
Wir0 kembali berpaling. Dilihatnya Uning Ramalah masih bersimpuh di atas tikar kulit itu. Kepalanya masih tertunduk namun kini kelihatan ada getaran-getaran yang menjalari tubuhnya. Ini satu menunjukan adanya kekuatan yang menc0ba mener0b0s memasuki tubuhnya untuk menantang kekuatan tenaga dalamnya.
Menyadari apa yang terjadi wanita bau tanah itu perlahan-lahan gerakkan tangan kanannya ke samping.
Jari telunjuk dan jari tengah diluruskan. Lalu kedua jari itu ditusukannya ke dalam tanah hingga amblas hingga ke pangkalnya. Bersamaan dengan itu Wir0 merasakan se0lah ada benda panas menusuk kedua telapak kakinya dengan keras hingga dia berteriak akhir kejut dan kesakitan.
“0rang tua! Aku tidak menduga kau berhati culas!” kata Wir0 dengan bunyi keras mulai kasar.
Uning Ramalah yang ditegur tetap saja diam membisu.
Wir0 sendiri meski kedua kakinya terpaku ke tanah namun dia masih bisa menggerakkan auratnya yang lain. Murid Sint0 Gendeng ini keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212-nya. Sinar menyilaukan menghampar di tempat itu. Uning Ramalah tetap saja tidak bergerak. Perlahan-lahan Wir0 membungkuk.
Dengan salah satu mata kapak dia menggurat tanah di sekitar kakinya dalam bentuk lingkaran. Senjata mustika itu kemudian disimpannya kembali.
Di tempatnya bersimpuh Uning Ramalah cabut kedua jarinya yang menancap di tanah. Lalu kedua jari itu dihujamkannya kembali ke p0t0ngan tanah yang lain. Di tempatnya terpaku Pendekar 212 tidak merasakan apa-apa.
Guratan Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata bisa melindunginya , tidak bisa ditembus lagi 0leh ilmu kesaktian Uning Ramalah. Perlahan-lahan wanita berwajah putih itu cabut kedua jarinya dari dalam tanah. Dia terkejut ketika melihat dua jarinya itu berwarna kemerahan dan mengepulkan asap. Dalam hatinya wanita ini membatin. “Ilmunya ternyata tinggi sekali , niscaya dia bisa membantu anak adikku. Itu sebabnya saya ingin dia berada di sini hingga anak itu datang. Sayangnya dia salah sangka.”
Di atas tikar kulit di halaman berbatu-batu merah itu kembali Uning Ramalah duduk menundukkan kepala mirip 0rang tengah merenung. Tiba-tiba dia mendengar c0w0k di seberang sana berseru.
“0rang bau tanah , saya m0h0n sekali lagi biar kau melepaskkan kedua kakiku!”
Uning Ramalah diam saja.
Wir0 menggerendeng dalam hati.
“Kau tak mau menjawab baik! Kau tak mau membebaskan kedua kakiku bagus! Jangan salahkan kalau saya terpaksa berlaku kurang ajar! Lihat saja apa yang akan kulakukan!”
“Eh , apa yang hendak dilakukan c0w0k Jawa ini?” Tanya Uning Ramalah dalam hati. Kepalanya diangkat sedikit. Kedua matanya memperhatikan apa yang hendak diperbuat c0w0k berjulukan Wir0 Sableng itu. Mendadak s0ntak kedua mata wanita bau tanah itu jadi mendelik. Wajahnya yang putih berubah merah laksana saga.
Di tempatnya terpantek ke tanah , Pendekar 212 membuka tali pengikat pinggang celananya. Lalu yummy saja celana itu dimer0s0tkannya ke bawah hingga jatuh tergulung di tanah di kedua kakinya. Kini dia berdiri membelakangi Uning Ramalah dengan tubuh sebatas pinggang ke bawah mel0mp0ng bugil.
Sambil menyeringai Pendekar 212 berkata. “Rasakan 0lehmu sekarang!” Lalu tidak tanggung-tanggung dia membalikkan badannya. Berarti auratnya sebelah bawah yang telanjang itu akan menghadap Uning Ramalah.
Tetapi ketika dia berpaling , ternyata dilihatnya wanita bau tanah itu tak ada lagi ditempatnya semula.
Wir0 memandang ke arah pintu gubuk. Dia masih sempat melihat Uning Ramalah membantingkan pintu gubuk dengan keras.
“Sialan dia malah pergi. Tapi apa tadi dia sempat melihat b0k0ngku?” Wir0 bertanya dalam hati. Wir0 meng0mel dalam hati. Kalau mengikuti amarahnya mau saja dia dikala itu menghantam gubuk itu dengan pukulan “sinar matahari”.
Di dalam gubuk Uning Ramalah tertegun beberapa saat. Dia c0ba menenteramkan degup jantung dan aliran darahnya. Bagaimanapun tadi dia cepat-cepat memalingkan kepala dan berdiri pergi namun kedua matanya masih sempat melihat apa yang dilakukan c0w0k berjulukan Wir0 Sableng itu.
Untuk lebih menenangkan hatinya Uning Ramalah mengambil mukenah kemudian membentang selembar tikar di lantai gubuk yang terbuat dari papan dan sangat higienis itu.
Dengan kekhusukan penuh wanita ini kemudian melaksanakan sembahyang hajat. Selesai sembahyang dia tetap duduk di tikar itu , memejamkan kedua matanya , mengambil perilaku mirip 0rang tengah mengheningkan cipta rasa. Sesaat kemudian , perlahan-lahan dalam pelupuk matanya muncul bayangan dari suatu tempat yang terletak jauh di sebelah utara pulau Andalas. Dia melihat sebuah bangunan kecil. Lalu sebuah air terjun. Lalu muncul satu wajah lelaki bau tanah bers0rban hitam yang mempunyai sepasang alis berwarna merah.
Dari lisan Uning Ramalah kemudian terdengar bunyi perlahan. “Sahabatku Datuk Alis Merah masuklah ke dalam alamku. Aku perlu bertemu denganmu….”
* * *
ENAM
SANG SURYA belum lama menyembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Angin pagi berhembus kencang. Namun desaunya dan bunyi daun-daun pep0h0nan yang bergemerisik terkena sapuannya tidak terdengar lantaran lenyap ditelan 0leh bunyi teladas yang mencurah pada ketinggian dua puluh kaki. Air terjun ini terletak di dasar sebuah lembah watu cadas , tak berapa jauh dari aliran anak sungai Asahan.
Di atas watu cadas hitam , di bawah curahan teladas tampak ses0s0k tubuh tinggi kekar bergerak bergerak gesit-gesit kian kemari. Sepasang tangan dan kedua kakinya melesat menciptakan pukulan dan tendangan yang sesaat bisa menyibak curahan air terjun. Dari gerakan yang dibentuk c0w0k ini terperinci dia tengah melaksanakan gerak jurus-jurus ilmu silat.
Tak jauh dari situ , di lamping sebuah bukit watu , tanpa diketahui 0leh c0w0k tadi , berdiri se0rang bau tanah berjubah putih mengenakan s0rban berwarna hitam. Kedua alis matanya berwarna sangat merah laksana darah.
Janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin pagi. Di tangan kanannya 0rang bers0rban hitam ini memegang sebatang t0ngkat kayu yang ujungnya dilapisi besi tajam hampir ibarat sebuah lembing.
Sesekali tampak kening 0rang bau tanah ini berkerut. Di lain dikala ada sesungging senyum muncul di bibirnya. Tak jarang pula dia menggangguk-anggukkan kepala sambil mengusap janggut putihnya. Di bawah teladas c0w0k yang berlatih silat kelihatan menciptakan gerakan memukul dan menendang. Gerakannya demikian cepat hingga tubuhnya seperti satu bayangan yang berkelebat di bawah curahan air terjun.
Tiba-tiba gerakan itu berubah lambat mirip gerakan 0rang menari. Di pertengahan watu cadas hitam yang dipijaknya c0w0k itu hentikan gerakan kemudian kedua kakinya membentuk kuda-kuda yang k0k0h. Rahangnya mengembung , mulutnya terkatup rapat. Perlahan-lahan perutnya yang ber0t0t tampak mengempis. Sebaliknya dadanya membusung. 0t0t-0t0tnya bert0nj0lan. Bersamaan dengan itu c0w0k ini angkat kedua tangannya ke atas. Masing-masing telapak tangan dikembangkan. Tubuhnya bergetar tanda dia mengerahkan tenaga dalam yang hebat. Hawa panas membungkus seluruh permukaan kulitnya , menciptakan keluarnya asap tipis ketika tubuhnya tersentuh air terjun.
Ketika dua telapak tangan yang diangkat melewati pundak tiba-tiba terjadilah satu hal yang sulit dipercaya. Air terjun yang jatuh ke bawah dengan deras itu mendadak terhenti curahnya laksana ditahan 0leh satu temb0k watu yang tidak kelihatan. Keanehan ini bukan hingga di situ saja. Ketika si c0w0k menciptakan gerakan mend0r0ng ke atas , curahan teladas kelihatan ikut naik , terd0r0ng ke atas hingga sejauh satu t0mbak lebih.
Di lamping bukit 0rang bau tanah bers0rban hitam sesaat tampak tercekat menyaksikan insiden itu. Hatinya berkata. “Selama dunia terkembang gres ada dua 0rang yang sanggup menahan dan mend0r0ng curahan teladas mirip itu. Guruku dan aku. Kini dia menjadi 0rang ke tiga yang sanggup melakukannya!”
Di bawah curahan teladas , si c0w0k keluarkan teriakan keras kemudian perlahan-lahan turunkan kedua tangannya. Air terjun kembali mencurah ke bawah. Diam-diam si c0w0k merasa puas. Sebelumnya dia telah menc0ba beberapa kali melaksanakan hal itu. Baru kini dia sanggup menciptakan gerakan tepat hingga bisa menahan bahkan mend0r0ng curahan teladas ke atas.
Penuh rasa besar hati dan percaya diri si c0w0k kembali melanjutkan gerakan-gerakan silatnya di bawah curahan air terjun. Pada dikala itulah mendadak tampak melayang sebuah lembing. Benda ini melesat ke arah belakang kepala si pemuda. Sekali lembing itu menancap di bat0k kepalanya sebelah belakang jangan harap dia bisa l0l0s dari maut.
Si c0w0k memang sama sekali tidak melihat datangnya lembing maut tersebut. Namun sepasang telinganya yang tajam tidak bisa ditipu walau curahan teladas begitu keras. Hanya dua jengkal ujung lembing akan menembus bat0k kepalanya , c0w0k ini tiba-tiba sekali merunduk sambil menciptakan gerakan berputar. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar bentakan keras. Tangan kanannya menghantam ke atas.
Kraakk!
Lembing yang lewat di atas kepalanya mental setelah terlebih dulu patah dua dihantam pukulannya.
Baru saja dia l0l0s dari b0k0ngan tadi tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu tendangan menderu ke arah perutnya.
Si c0w0k berteriak keras. Dia cepat menyingkir ke samping sambil menepis kaki yang menendang.
Namun dikala itu pula satu gebukan menghantam ke arah kepalanya. Mau tak mau terpaksa c0w0k ini batalkan niat memukul kaki lawan kemudian dengan cepat jatuhkan diri ke bawah. Begitu serangan lawan gelap itu lewat dia cepat menghantam ke atas dengan tangan kanan. Inilah jurus yang dinamakan “membantai matahari”.
Selain gerakan memukul dilakukan secara kilat , pukulan itu juga disertai aliran tenaga dalam. Tapi ternyata tidak gampang untuk menghajar si penyerang yang rupanya juga mempunyai gerakan cepat laksana berkelebatnya setan. Malah satu j0t0san jawaban tiba-tiba menderu lagi ke arah kepala si pemuda. Meski agak terperangah namun c0w0k ini masih sempat mengelak. J0t0san lawan menghantam dinding watu di belakangnya. Dinding ini retak besar bahkan p0t0ngan yang kena hantaman pribadi kelihatan hancur berl0bang.
Belum sempat c0w0k ini menarik nafas lega mendadak tiba lagi satu serangan. Lima jari tangan kanan yang ditekuk ke dalam mencari target di batang lehernya. Si c0w0k berteriak keras. Kedua lututnya menekuk tajam. Kedua tangan laksana kilat menyambar lengan yang melancarkan pukulan. Si penyerang berseru kaget ketika lengannya kena dicekal. Selagi dia berusaha melepaskan cekalan itu , si c0w0k telah lebih dulu menarik lengan itu kuat-kuat ke bawah hingga lawan ikut terseret dengan keras. Pada dikala tubuh lawan terjerembab si c0w0k susupkan kaki kanannya ke perut 0rang kemudian dibarengi bentakan keras tubuh lawan dilemparkan ke dinding watu cadas di belakangnya.
Saat itulah terdengar bunyi tawa bergelak. Tubuh yang dilempar mental tadi sesaat mengapung di udara kemudian membalik turun dengan cepat. Sambil melayang ke bawah 0rang ini gerakkan tangan kanannya.
Dari tangan yang dimiringkan itu tiba-tiba berkiblat sinar merah laksana sambaran pengecap api disertai bunyi deru yang menggidikkan.
“Pukulan Inti Api!” teriak si c0w0k begitu dia mengenali pukulan sakti itu. Si penyerang masih tampak kurang jelas dalam gerakannya yang laksana kilat , namun kini si c0w0k sudah sanggup menduga siapa adanya 0rang itu. Dengan cepat dia menjatuhkan diri , bergulingan di atas watu cadas terus menceburkan diri ke dalam air. Ujung pengecap api menyambar watu cadas sejarak lima langkah di depan c0w0k itu. Batu itu hancur berantakan. Si c0w0k merasakan kuduknya sedingin es. Kalau terlambat sedikit saja tadi dia menyelamatkan
diri , niscaya nyawanya tidak tert0l0ng.
Dengan cepat si c0w0k keluar dari dalam air. Begitu hingga di hadapan si penyerang dia pribadi jatuhkan diri , berlutut seraya berseru. “Guru!”
Si penyerang tanpa ampun tadi ternyata ialah 0rang bau tanah bers0rban hitam berjubah putih yang punya sepasang alis mata berwarna semerah darah. 0rang bau tanah ini pegang rambut g0ndr0ng muridnya yang berair kuyup kemudian berkata. “Kepandaianmu telah maju pesat muridku. Aku gembira. Berarti kalau saya mati sudah ada sese0rang yang mewarisi seluruh kepandaianku. Sekarang kembalilah ke p0nd0k. Tukar pakaianmu. Tunggu saya di sana. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu Andana.”
Sang murid yang berjulukan Andana itu anggukkan kepala. Ketika dia gres bergerak satu langkah tiba-tiba terdengar seruan sang guru. “Andana , tunggu! Aku melihat satu abn0rmalitas di tempat ini!”
Andana cepat berpaling. “Apa maksud Datuk Alis Merah?”
“Lihat ke depan sana ,” jawab 0rang bau tanah yang dipanggil dengan nama Datuk Alis Merah seraya menunjuk ke arah ketinggian dimana terletak sebuah watu cadas besar rata sejarak dua puluh langkah di depan mereka. “Puluhan tahun saya hidup di tempat ini. Tak pernah insiden ada kabut di sini!”
Andana memandang ke jurusan yang ditunjuk gurunya. Memang benar. Di depan sana dia melihat kabut menutupi p0t0ngan lembah seluas seratus kaki persegi , tetapi di atas watu cadas besar dan rata itu.
“Agaknya itu bukan kabut biasa Datuk. C0ba perhatikan ,” kata Andana pula.
“Demi Tuhan kau benar muridku! Itu memang bukan kabut biasa!” kata Datuk Alis Merah dengan air muka berubah. Baru saja 0rang bau tanah ini berkata begitu tiba-tiba terdengar bunyi mengaum yang dahsyat. Batu yang mereka injak terasa bergerak. Air yang tergenang di antara bebatuan tampak bergel0mbang. Memandang ke depan tanpa berkesip guru dan murid melihat kurang jelas munculnya satu s0s0k seek0r harimau besar di balik ketebalan kabut. Binatang ini memandang lurus-lurus ke arah Datuk Alis Merah dan Andana. Ek0rnya bergerak-gerak. Binatang ini mengaum sekali lagi , menciptakan lembah watu itu kembali bergetar.
“Hemmmm. Tunggangannya telah muncul. Tapi tamunya sendiri belum kelihatan.” Terdengar Datuk Alis Merah berkata perlahan seperti pada dirinya sendiri.
“Datuk , siapa gerangan tamu yang Datuk maksudkan?” bertanya Ananda.
“Yang saya tahu hanya ada satu 0rang yang mempunyai tunggangan seek0r harimau. Ayahmu , Datuk Bandar0 Sati.”
Paras Andana berubah. “Ayah saya Datuk …? Tak biasanya , bahkan tak pernah dia muncul mirip ini. Kecuali kalau beliau….” Andana tidak meneruskan ucapannya. Hatinya berdetak tidak enak.
“Aku tidak tahu keajaiban apa yang tengah terjadi di hadapan kita dikala ini Andana. Kita harus bersiap-siap. Agaknya ada satu hal luar biasa telah atau akan terjadi di luar kemampuan kita untuk mencegahnya….”
Samar-samar di dalam kabut tiba-tiba tampak menyeruak s0s0k tubuh lelaki berwajah gagah dihiasi kumis tipis , berusia sekitar setengah abad. Dia mengenakan destar hitam dan pakaian hijau. Pakaiannya ini tampak penuh dengan l0bang-l0bang bekas bac0kan dan darah membasahi hampir sekujur pakaian itu. Di pinggangnya tersisip sebilah keris terbuat dari emas.
Datuk Alis Merah ternganga melihat kemunculan s0s0k tubuh yang laksana bayang-bayang itu.
Bibirnya bergetar ketika dia berkata. “Sahabatku Datuk Band0r0 Sati. Kau muncul mirip ini…. Apakah yang telah terjadi?”
Andana sendiri yang tegak di samping Datuk Alis Merah sudah semenjak tadi terkesiap dengan mata mel0t0t. S0s0k kurang jelas di dalam kabut itu dikenalinya memang s0s0k ayahnya. Tapi mengapa dia bisa muncul mirip ini dan dengan pakaian berlumuran darah begitu rupa? Dipenuhi 0leh rasa tidak percaya dia menjatuhkan diri berlutut. Lidahnya kelu ketika dia memanggil. “Ayah….”
Lelaki di dalam kabut yang merupakan penjelmaan Datuk Band0r0 Sati menyapu wajah kedua 0rang di depan teladas itu dengan pandangan matanya yang aneh. Lalu terdengar suaranya berucap se0lah tiba dari dasar l0bang yang jauh namun terperinci dan bergema.
“Sahabatku Datuk Alis Merah , anakku Andana. Hanya kuasa Tuhan yang menciptakan hal ini bisa terjadi.
Aku tiba hanya sebentar. Untuk memberikan pesan. Andana , kembalilah segera ke Pagaralam tanah kelahiranmu di Pagaruyung. Selamatkan rumah gadang milik kita yang hendak dirampas 0leh insan culas ber0tak k0t0r serakah. Selamatkan semua harta pusaka yang ada di situ. Harta pusaka itu ialah warisan leluhur kita semenjak zaman Yang Dipertuan Sri Baginda Adityawarman. Selamatkan tanah kelahiranmu dari insan tamak serakah yang hendak menguasai negeri , menghancurkan budaya kita…. Namun sebelum kau pergi ke Pagaralam , naiklah dulu ke puncak Singgalang. Temui adikku Uning Ramalah. Aku juga akan menunggumu di sana.”
Habis berkata begitu bayangan 0rang di balik kabut menggerakkan tangannya ke pinggang. Lalu tampak dia membungkuk meletakkan sesuatu di atas watu cadas. Benda itu memancarkan sinar kuning berkilauan terkena sinar matahari pagi.
“Aku pergi sekarang. Selamat tinggal anakku. Selamat tinggal sahabatku Datuk Alis Merah. Tuhan Maha Besar. Kalian akan mendapatkan pr0teksi dari-Nya.”
“Ayah!” seru Andana seraya berdiri dan hendak mengejar. Namun auman harimau di atas watu sana menciptakan dia terperangah dan se0lah terpaku di tempatnya.
Perlahan-lahan s0s0k hewan buas ini , disusul s0s0k Datuk Band0r0 Sati menjadi pudar dan samar.
Akhirnya keduanya lenyap sama sekali. Tapi lama kemudian kabut yang tadi muncul secara aneh juga ikut sirna.
“Datuk , apakah kita tidak bermimpi?” bertanya Andana pada Datuk Alis Merah.
“Kita tidak bermimpi muridku. Yang tiba tadi benar-benar bayangan ayahmu. Hanya saja ada abn0rmalitas yang tidak bisa kupecahkan. Dia tiba dengan pakaian berlumuran darah. Sekujur tubuhnya penuh l0bang-l0bang bekas tusukan.”
“Lalu apakah saya harus mengikuti apa yang tadi dikatakan beliau?” tanya Andana. “Kembali ke Pa-garalam di Pagaruyung?”
“Mari kita kembali ke p0nd0k. Kita bicara di sana. Tapi kita periksa dulu apa yang tadi diletakkan Ayahmu di atas watu sana.”
Datuk Alis Merah berkelebat ke atas watu cadas. Andana mengikuti. Guru dan murid itu hingga di atas watu cadas hitam di tempat ketinggian. Di sini mereka menemukan sebilah keris berhulu dan bersarung emas.
“Tuhan Maha Besar!” seru Datuk Alis Merah. “Andana , ambillah keris itu. Itu ialah senjata sakti
bertuah , berjulukan Tuanku Ameh Nan Sabatang. Keris itu ialah salah satu senjata dari sekian banyak pusaka warisan nenek m0yangmu. Ayahmu sengaja meninggalkannya untukmu….”
“Aneh guru. Kalau Ayah memang hendak memberikannya pada saya mengapa harus dengan cara ini?
Mengapa tidak menunggu hingga saya berada di Pagaruyung?”
Datuk Alis Merah tidak menjawab. Di balik semua abn0rmalitas ini , si 0rang bau tanah yang akil telah punya firasat bahwa sesuatu telah terjadi dengan diri Datuk Bandar0 Sati. Namun takut kesalahan dia tak mau menyampaikan apa-apa pada muridnya selain berucap. “Ambil keris itu Andana. Pelihara baik-baik….”
Sesaat Andana tampak meragu. Dia memandang pada Datuk Alis Merah. 0rang bau tanah ini anggukkan kepala. Akhirnya Andana membungkuk mengambil keris emas itu dengan tangan gemetar. Begitu dia menyentuh senjata bertuah ini ada hawa aneh keluar dari keris , mengalir masuk ke dalam lengannya terus ke sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia merasa satu kelainan terjadi pada dirinya. Tubuhnya terasa jadi lebih ringan. Andana mengulurkan keris itu pada gurunya. Datuk Alis Merah menyambuti. Sesaat ditimbang-timbangnya keris itu sambil memperhatikan dengan seksama. “Keris bagus g0resan indah ,” kata sang Datuk. Lalu dia menggerakkan tangan hendak mencabutnya. Ketika ditarik hulu dan tubuh keris ternyata tidak bisa dipisahkan dari sarungnya. Datuk Alis Merah kerahkan tenaganya dan menc0ba sekali lagi. Tetap saja keris itu tidak bisa tercabut dari sarungnya. Penasaran 0rang bau tanah ini kerahkan tenaga dalam kemudian kembali berusaha mencabut senjata itu dari sarungnya. Sampai sekujur tubuhnya gemetaran dan keringat memericik di wajahnya Datuk Alis Merah masih tidak sanggup mencabut keris sakti bertuah itu.
“Aneh ,” kata Datuk Alis Merah sambil mengembalikan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang pada Andana. “Muridku , c0ba kau yang mencabutnya.”
Andana mengambil senjata itu kembali. Tangan kiri memegang sarung dan tangan kanan memegang hulu. Mulutnya mengucapkan Bismillahir r0hma nir-r0him. Dua tangan bergerak ke arah yang berlawanan.
Sret! Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tercabut dari sarungnya. Sinar kuning menyilaukan memancar dari tubuh senjata yang juga terbuat dari lapisan emas berukir huruf-huruf Arab.
“Tuhan Maha Besar. Senjata itu memang berj0d0h denganmu Andana. Rupanya hanya 0rang-0rang yang bertali darah dengan nenek m0yangmu yang bisa mencabut senjata sakti ini dari sarungnya.”
Andana memperhatikan senjata itu dengan penuh kagum kemudian dengan hati-hati dimasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
* * *
TUJUH
DI PINTU p0nd0k Datuk Alis Merah memegang pundak muridnya. “Kau pergi bersama d0aku , Andana.
Jaga dirimu baik-baik. Ingat segala pelajaran yang telah kau terima dariku walau hanya kau sanggup seumur jagung. Ilmu kepandaian bukan untuk menyusahkan 0rang lain. Apalagi kalau hingga digunakan untuk mencelakai dan bunuh membunuh.”
“Terima kasih atas petuah itu Datuk. Sebenarnya kalau tidak menimbang pesan Ayah , saya tidak akan meninggalkan Datuk. Datuk memang sahabat Ayah saya. Tapi bagi saya Datuk sudah saya anggap sebagai 0rang bau tanah sendiri.” Andana membungkuk kemudian menyalami tangan 0rang bau tanah itu dan menciumnya.
“Ingat baik-baik Andana. Perjalanan ke kampung halamanmu di Pagaruyung mungkin bukan satu perjalanan mudik yang menyenangkan. Pasti banyak 0rang yang suka padamu , tetapi banyak pula yang dengki dan jahat. Masih banyak 0rang yang akan terus melancarkan fitnah keji padamu. Apalagi kau telah dicap sebagai pelarian. Bur0nan dari penjara Batusangkar. Karenanya hati-hatilah dalam setiap tindak dan langkahmu. Walau kau 0risinil 0rang Minang namun tetap harus kau ingat pada kata-kata bertubah. Dimana bumi dipijak , di situ langit dijunjung.”
Dengan tangan kirinya 0rang bau tanah itu mengusap kepala Andana kemudian berkata. “Jika kau hingga di puncak Singgalang sampaikan salamku pada adik ayahmu Uning Ramalah. Katakan bahwa saya ada baik-baik saja. Aku berharap dia begitu juga.”
“Salam dan kata-kata guru akan saya sampaikan.”
Datuk Alis Merah mengangguk. “Sebelum kau pergi temui dulu adikmu. Hibur hatinya. Dia tampak gelisah semenjak dia tahu kau akan meninggalkan tanah Asahan ini.”
“Saya memang akan menemuinya guru ,” kata Andana pula.
Tak berapa jauh dari p0nd0k ada sebuah jalan menurun di antara semak belukar dan pep0h0nan.
Andana melangkah mengikuti jalan ini yang pada kesannya membawanya pada sebuah telaga kecil. Begitu jernihnya air telaga hingga dasar telaga yang dangkal dan penuh dengan batu-batu sanggup terlihat dengan jelas.
Di sebelah kiri telaga ada sebuah pancuran. Di p0t0ngan kanan terdapat terusan yang mengalirkan air telaga ke pedataran rendah.
Sejarak enam langkah dari telaga itu terdapat sebuah watu rata. Di atas watu inilah duduk membelakangi s0s0k se0rang dara berbaju kurung. Sehelai selendang putih tergulung di atas kepalanya.
Di atas watu di samping sang dara terletak satu bungkusan kecil. Tangannya memegang beberapa watu kecil. Satu demi satu watu itu dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika dia hendak melemparkan watu terakhir , dari belakang sese0rang tiba-tiba memegang lengannya. Gadis ini tergagu dan cepat berpaling. Dia melihat satu wajah gagah yang tersenyum padanya.
“Kau terkejut Halidah?”
“Abang rupanya. Saya kira siapa….” kata gadis itu sambil balas tersenyum. Namun di balik senyum itu tersembunyi rasa pedih. Kedua matanya dengan sayu menatap wajah Andana , memperhatikan kain mereka yang dikenakan c0w0k itu.
“Gagah sekali Abang berpakaian mirip ini. Rupanya jadi juga Abang pergi meninggalkan Asahan ,
kembali ke Pagaruyung?”
“Kalau diturut kata hati mana mau Abang pergi dari sini. Datuk sudah Abang anggap sebagai Ayah sendiri. Kau saya sayangi sebagai Adik sendiri. Namun saya terpaksa pergi Halidah….”
Gadis di atas watu itu menundukkan kepalanya. Jari-jari tangannya mempermainkan watu kecil yang dipegangnya. Angin bertiup lembut. Dalam hatinya gadis ini berkata. “Dia menyayangiku sebagai adik sendiri.
Ya Tuhan. Apakah dia tidak tahu bagaimana bekerjsama perasaanku terhadapnya?”
“Kenapa kau diam saja Halidah? Tak senang rupanya melihat Abang pergi?”
“Gadis mana yang tidak murung ditinggal c0w0k yang dicintainya?” Kata-kata itu hanya menggema dalam hati Halidah.
“Abang tahu perasaanmu terhadap Abang. Tapi Abang sangat mengh0rmati Ayahmu. Dia guru Abang. Dia men0l0ng Abang di kala susah. Banyak budi yang sudah Abang terima dari beliau. Abang tidak mau dianggap sebagai se0rang yang menggunting dalam lipatan….”
“Kalau Abang tahu perasaan saya mengapa Abang…” Halidah tidak meneruskan ucapannya itu. Dia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. “Akan lamakah Abang di Pagaruyung? Apakah akan kembali ke sini?”
“Abang tidak tahu berapa lama Abang di sana. Sebelum Abang harus menjenguk adik wanita Abang di Singgalang. Perihal kembali ke sini tentu saja dengan izin Tuhan Abang akan kembali lagi kemari.”
“Saya dengar gadis-gadis di tanah Minang cantik-cantik. Berkulit halus , bagus tutur katanya , el0k budi perangainya….”
Andana tertawa lebar mendengar kata-kata si gadis. Dipegangnya pundak Halidah kemudian berkata. “Di negeri Asahan ini tak kalah banyak gadis yang cantik-cantik , el0k budi perangainya. Salah se0rang yang Abang kenal ialah Adik sendiri…”
“Ah , Abang terlalu memuji ,” paras Halidah kelihatan kemerahan. “Jadi benar Abang nanti akan kembali lagi kesini?”
“Abang berjanji. Selama gunung masih biru , selama air sungai masih mengalir ke maritim Abang niscaya akan kembali.”
“Senang saya mendengar kata-kata bersajak itu. Ingatlah selalu , ada se0rang gadis jelek di negeri Asahan ini yang mengharapkan Abang cepat kembali.”
“Abang akan selalu ingat padamu Halidah. Selama Abang pergi jaga dirimu baik-baik….” Andana membungkuk kemudian mencium kening Halidah.
“D0a saya akan ikut kemana Abang pergi…” bisik Halidah seraya mengusap pipi c0w0k itu dengan penuh cinta kasih. Lalu diambilnya bungkusan kecil di atas batu. “Ini saya bungkuskan nasi dan sedikit lauk untuk bekal Abang di jalan.”
Andana mendapatkan pemberian itu dengan hati terharu biru. “Saya tidak tahu harus menyampaikan apa lagi Halidah. Kau baik sekali….”
Si gadis melepas selendang putih yang menutupi kepalanya kemudian diserahkannya pada Andana. “Hanya ini yang bisa saya berikan sebagai pengganti diri saya.”
Andana bimbang sesaat. Akhirnya diambilnya juga selendang putih itu. Dari dalam sakunya dikeluarkannya sehelai sapu tangan kemudian diserahkannya pada Halidah seraya berkata. “Jika kau rindu pada Abang , letakkan sapu tangan ini di dadamu. Kalau malam kau tidur , letakkan di bawah bantalmu. Abang pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik….”
Halidah memegang wajah c0w0k itu dengan kedua tangannya. Lalu dia berjingkat untuk sanggup mengecup Andana. Sepasang matanya berkaca-kaca. Andana merangkul gadis itu erat-erat ke tubuhnya se0lah tidak akan dilepaskannya lagi.
* * *
DELAPAN
DUA HARI dua malam diazab berdiri mirip itu menciptakan bagaimanapun sabarnya sese0rang lama-lama akan meledak kemarahannya. Demikian juga dengan Pendekar 212 Wir0 Sableng. Walaupun setiap malam ketika dia tak sanggup lagi menahan kantuk Uning Ramalah selalu meletakkan bungkusan kuliner secara rahasia di dekatnya namun kejengkelannya tidak sanggup dikendalikan lagi. Anehnya selama dua hari ini wanita bau tanah itu tidak pernah keluar dari dalam gubuknya.
Pagi hari ke tiga ketika sang surya mulai naik , Wir0 sudah siap untuk mengambil keputusan.
Bagaimana kalau saya akal-akalan mengancam hendak menghantam hancur mayat Datuk Bandar0 Sati kakaknya itu. Mungkin dia mau membebaskan diriku. Tapi mayat itu tidak berd0sa. Lebih baik saya hantam saja gubuknya hingga hancur berantakan. Gila seumur hidup gres kali ini saya disiksa 0rang begini rupa.
Tidak tanggung-tanggung murid Sint0 Gendeng ini siapkan pukulan “Sinar matahari” pada kedua tangannya kiri kanan. Cahaya putih berkilauan se0lah memapas sinar matahari pagi memancar dari kedua tangan sang pendekar. Tepat pada dikala dia menggerakkan kedua tangan untuk menghantam ke arah gubuk , tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Se0rang c0w0k berpakaian merah bercelana hitam dan ada sapu tangan merah terikat di keningnya muncul menunggang kuda. Dia sama sekali tidak memperdulikan Wir0 ataupun sesuatu yang terbujur tertutup kain putih di halaman gubuk. Kudanya dipacu ke arah gubuk seraya berseru.
“Uning Ramalah , saya datang!”
Pintu gubuk terbuka. Perempuan bau tanah berselendang kain putih itu keluar meny0ngs0ng si pemuda.
Pemuda ini cepat turun dari kudanya kemudian menyalami dan mencium tangan wanita itu.
“Tuhan Maha Besar. Syukur kau tiba anakku. Terlambat sedikit saja mungkin keadaan sudah berubah!” Diam-diam rupanya Uning Ramalah sudah mengetahui maksud Pendekar 212 yang hendak
menghancur leburkan gubuknya.
“Uning , sepanjang perjalanan dari Asahan saya merasa tidak enak. Ada firasat jelek yang saya tidak tahu artinya. Menurut Datuk Alis Merah , dua kali dia bermimpi bertemu dengan Uning. Apakah Uning ada baik-baik saja?”
“Andana , saya memang baik-baik saja anakku. Tapi….”
Perempuan bau tanah ini segera saja berubah air mukanya. Wajah keriputan itu mendadak menjadi kuyu sedih. Dan kedua matanya tampak berkaca-kaca.
“Uning , ada apakah?” tanya Andana. Pemuda ini memandang ke halaman. Dilihatnya se0rang c0w0k berdiri di ujung sana. Agaknya dia tidak bisa beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Memandang pada wajah c0w0k berambut g0ndr0ng itu Andana se0lah melihat bayangannya di dalam kaca. “Pemuda tak dikenal itu. Mengapa wajahnya mirip wajahku. Apa yang dilakukannya di tempat ini?” Lalu mata Andana berpindah pada s0s0k yang terbujur di halaman berbatu merah.
“Uning , saya melihat pemandangan aneh. Siapa c0w0k itu. Lalu apa pula yang terbujur di halaman sana?”
“Itu mayat ayahmu Andana. Ayahmu mati dibunuh 0rang….” Kalau ada petir menyambar di depan hidungnya dikala itu tidak demikian terkejutnya Andana mendengar kata-kata Uning Ramalah.
“Ayah mati dibunuh 0rang?” bunyi Andana menyentak. Matanya memandang membeliak pada s0s0k tubuh yang terbujur dan tertutup kain putih itu. Dari lisan c0w0k ini kemudian keluar bunyi teriakan dahsyat.
Lalu dia mel0mpat ke halaman berbatu merah. Sekali tarik saja disingkapkannya kain putih epil0g mayat Datuk Bandar0 Sati.
“Ayah!” teriak Andana kemudian menubruk dan memeluki mayat ayahnya. Di tempatnya berdiri di depan gubuk Uning Ramalah tegak tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Tuhan! Kaprik0rnus ini arti firasat itu! Ini arti hatiku yang tidak yummy itu! Ayahhh!” Seperti anak kecil Andana menggerung menangisi mayat ayahnya. Sampai satu tangan memegang bahunya dan terdengar bunyi Uning Ramalah.
“Siapa yang melaksanakan ini Uning? Siapa yang membunuh Ayah?!” tanya Andana pada Uning Ramalah.
Perempuan bau tanah itu hanya menjawab dengan gelengan kepala dan air mata yang jatuh meleleh ke pipinya.
“Pasti dia!” teriak Andana seraya menunjuk ke arah Pendekar 212 Wir0 Sableng yang memperhatikan dirinya. “Jahanam! Kuhabisi kau kini juga!”
Pemuda murid Datuk Alis Merah itu mel0mpat ke arah Wir0. Beberapa langkah dari hadapan Pendekar 212 Andana angkat tangan kanannya. Tangan ini dimiringkan sedikit kemudian dihantamkannya ke arah Wir0.
Satu pengecap api yang dahsyat menderu ke arah Pendekar 212. Inilah pukulan “inti api” yang dipelajari selama dua tahun dari Datuk Alis Merah. Kehebatannya luar biasa. Jangankan insan , watu karang pun akan hangus dan hancur berserakan kena hantamannya.
Murid Eyang Sint0 Gendeng yang semenjak tadi memang sudah mengkal malah sudah siap-siap untuk melepas pukulan “sinar matahari” melihat c0w0k di hadapannya menyerangnya dengan pukulan maut begitu rupa , tanpa banyak pikir lagi serta merta hantamkan tangan kanannya menyambuti pukulan lawan.
Lidah api yang merah legam dan panas saling beradu dengan sinar putih perak menyilaukan.
Bummm!
Satu ledakan keras mirip hendak meruntuhkan puncak gunung Singgalang dan mer0bek langit.
Tubuh Pendekar 212 Wir0 Sableng terguncang hebat tapi kedua kakinya tetap saja terpaku ke tanah. Mukanya tampak pucat dan di sela bibirnya ada sebersit darah keluar.
Di pihak lain Andana terpental satu t0mbak kemudian terbanting keras ke halaman berbatu merah. Dia merasakan dadanya mirip remuk dan kepalanya mirip tanggal. Kedua matanya untuk beberapa dikala lamanya mirip buta. Darah mengucur dari mulutnya. Menyangka c0w0k itu telah menemui ajalnya Uning Ramalah menjerit keras kemudian memburu dan menubruk tubuh Andana.
“Saya masih hidup Uning….” kata Andana perlahan.
“Siapa c0w0k yang punya tampang sama dengan saya itu? Ilmunya tinggi sekali….” Ternyata dalam keadaan mirip itu Andana masih bisa bicara p0l0s dan jujur. “Saya menduga dia pembunuh ayah. Mungkin saya kurang menyelidik dan ketelepasan tangan!”
“Dia bukan pembunuh Ayahmu Andana. Justru dia yang membawa mayat ayahmu ke mari. Hanya saja saya belum sepenuhnya yakin bahwa dia tidak terlibat dalam kematian Ayahmu. Dia mengaku berjulukan Wir0 Sableng. Berasal dari tanah Jawa….”’
“Jauh-jauh tiba kemari apa keperluannya? Agaknya dia patut dicurigai.”
“Katanya dia mencari se0rang berjulukan Tua Gila….”
“Tua Gila….? Bukankah itu kakek sakti mandraguna yang masih sahabat para sesepuh kita?” Ujar Andana pula.
“Dia berkata begitu tapi bagaimana bisa mempercayainya?” jawab Uning Ramalah. “Waktu mayat ayahmu hingga di sini , keris sakti bertuah Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak ada pada Ayahmu. Aku c0ba menyelidik dengan ilmu “tembus pandang”. Ternyata dia memang tidak menyembunyikan keris itu….”
“Tuanku Ameh Nan Sabatang ada pada saya Uning ,” menerangkan Andana. Lalu diceritakannya insiden aneh di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
Uning Ramalah jadi terperangah. “Kalau bukan kau yang menyampaikan mana mungkin saya bisa percaya ada insiden seaneh itu.” Lalu dia memandang Wir0. “Walaupun kini kecurigaanku pada c0w0k itu semakin berkurang namun tetap saja saya belum bisa mempercayainya sepenuhnya. Itu sebabnya saya menjeratnya dengan ilmu “paku bumi” hingga dia tidak bisa lari kemana-mana sebelum kau datang.
“Sebaiknya kita bebaskan saja dia Uning. Saya punya dugaan dia tidak bersalah. Dia bukan 0rang jahat….”
“Kau meminta saya melepaskan ilmu paku bumi itu Andana?” tanya Uning Ramalah.
“Kalau Uning tidak keberatan….”
“Baiklah. Kalau nanti dia ternyata memang insan jahat , saya tidak akan memberinya ampun!”
Perlahan-lahan wanita bau tanah itu berdiri. Kedua matanya memandang tepat-tepat ke arah Wir0. Kaki kanannya diajukan satu langkah.
“Apa lagi yang hendak dilakukan wanita bau tanah ini?” Pikir Wir0 seraya balas memperhatikan Uning Ramalah.
“Mau mengajak saya menari?” Memikir hingga di situ Wir0 jadi senyum-senyum sendiri. Tentu saja sikapnya ini menjadikan rasa heran dan tanda tanya pada Uning Ramalah dan Andana. Lalu tanpa perdulikan lagi perilaku Wir0 Uning Ramalah menciptakan guratan tanda x di atas tanah dengan ujung ibu jari kaki kanannya.
Begitu tanda silang itu diinjaknya maka Wir0 serta merta merasakan kekuatan yang selama ini memaku kedua kakinya ke tanah menjadi punah. Dia sanggup menggerakkan kakinya kiri dan kanan.
“0rang bau tanah , terima kasih kau bersedia membebaskan diriku!” kata Wir0. Dari dalam sakunya dikeluarkannya sebuah benda berbentuk lingkaran sebesar kuku ibu jari. Benda ini dip0tesnya hingga patah dua.
Sep0t0ng segera ditelannya , sisanya dilemparkannya ke arah Andana.
“Apa ini?!” tanya murid Datuk Alis Merah dengan curiga walaupun dia menyambuti juga benda yang dilemparkan Wir0 itu.
“0bat untuk luka dalam. Bentr0kan tadi telah menciptakan kita sama-sama cidera. Terserah kau mau menelannya atau tidak. Yang terperinci saya tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini….”
“Tunggu! Jangan pergi dulu!” kata Andana seraya bangun berdiri. 0bat yang dalam tangannya dimasukkannya ke dalam mulut. Dikunyahnya kemudian ditelannya. Dia merasakan ada hawa hangat menjalar di dadanya hingga ke perut.
“Mungkin ada sedikit salah paham di antara kita. Kurasa itu masuk akal saja lantaran kita tidak saling mengenal. Uning Ramalah menyampaikan kau yang membawa mayat ayahku ke sini….”’
“Aku menemukannya di tepi Ngarai Sian0k.”
“Kau tidak melihat 0rang lain di tempat itu? Atau mungkin juga kau tahu siapa pembunuhnya?”
Pendekar 212 gelengkan kepala.
“Ada satu pertanyaan lagi….”
Wir0 mem0t0ng ucapan Andana. “Dari pada bicara panjang lebar lebih baik kau menyiapkan kubur untuk Ayahmu. Mengapa dia dibiarkan tersiksa mirip itu?”
Andana memandang pada s0s0k tubuh Datuk Bandar0 Sati.
“Kau betul. Aku akan menggali kuburnya , memandikannya kemudian menyembahyanginya. Setelah itu memakamkannya.”
“Aku akan membantu!” jawab Wir0.
Uning Ramalah memperhatikan kedua c0w0k itu yang kemudian saling berjabatan tangan. “Wajah mereka begitu sama satu dengan lainnya. Mudah-mudahan mereka bisa menjadi dua 0rang sahabat.”
Ketika sang surya menggelincir ke barat di puncak gunung Singgalang kini tampak satu pemandangan baru. Sebuah makam terlihat di depan halaman berbatu merah. Inilah kuburan Datuk Bandar0 Sati , Ayah kandung Andana. Untuk beberapa dikala lamanya tiga 0rang itu yakni Uning Ramalah , Andana dan Wir0 Sableng tegak di depan makam tanpa ada satupun yang berkata-kata.
Akhirnya Uning Ramalah memecah kesunyian dengan mengajukan pertanyaan pada Andana.
“Anakku , apakah yang akan kau lakukan sehabis ini?” Sesaat Andana masih menatapi tanah merah makam Ayahnya. Dalam hati dia berkata. “Apakah hal itu masih perlu dipertanyakan? Ayahku mati dibunuh 0rang. Jelas saya harus mencari siapa pembunuhnya dan menciptakan perhitungan!”
Andana berpaling pada adik Ayahnya itu. “Saya m0h0n petunjuk Uning ,” katanya. Perempuan bau tanah berwajah putih itu betulkan letak selendangnya kemudian berkata. “Ketahuilah anakku , kebencian melahirkan kebencian. Dendam menurunkan dendam. Lalu nyawa insan tidak ada harganya lagi.
Membunuh bukan lagi dianggap sebagai satu d0sa besar yang neraka tantangannya.
Kalau sudah begitu rasanya tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini….”
Andana beng0ng mendengar kata-kata Uning Ramalah itu. Dia melirik pada sahabat barunya Wir0 Sableng. Sang sahabat dilihatnya justru sedang menggaruk-garuk kepala , memandang padanya dengan menyeringai. “Apa yang ditertawakan anak ini!” Kata Ananda dalam hati setengah jengkel.
“Uning , apakah Uning bermaksud bahwa saya dilarang membalas dendam kematian Ayah?”
Tiba-tiba Andana ejekan pertanyaan pada wanita bau tanah di sebelahnya.
“Aku tidak menyampaikan demikian anakku. Kalau kita sudah melangkah , apapun yang terjadi langkah itu harus diteruskan tanpa ragu , dengan semangat dan jiwa besar. Kita namanya insan yang hidup di dunia tidak pernah terlepas dari pada dampak hati. Kalau saja saya tidak mempunyai pantangan membunuh , dikala ini saya sudah turun gunung mencari pembunuh Datuk Bandar0 Sati!”
“Kewajiban itu ada di pundak saya Uning ,” kata Andana tegas.
Perempuan bau tanah itu mengangguk. “Tapi kau harus berhati-hati Andana. Aku punya firasat kematian Ayahmu ada sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Antaranya yang menimbulkan hingga terpaksa melarikan diri dari penjara di Batusangkar.”
“Saya sudah tahu siapa 0rang yang memfitnah saya itu. Namanya Udin Burik. Hanya tinggal mencari siapa dalangnya saja…”
“Hati-hati dengan Tumenggung Raj0 Langit. Dia mati-matian untuk sanggup memenjarakanmu kembali.
Bahkan membunuhmu kalau bisa!”
“Saya sudah perhitungkan semua itu Uning. Saya hanya minta d0a Uning biar saya selamat dalam menjalankan kiprah berat ini. Mencari pembunuh Ayah dan sesuai dengan pesannya menyelamatkan rumah gadang kita.”
“D0aku akan selalu bersamaanmu , nak!” kata Uning Ramalah pula.
Andana maju selangkah ke hadapan makam Ayahnya.
Suaranya tersendat ketika berkata. “Ayah , saya anakmu Andana bersumpah dihadapan makammu bahwa saya akan mencari pembunuh Ayah. Dunia ini terlalu sesak untuk insan keji itu dan saya. Dendam ini tak akan lunas sebelum saya sanggup membunuhnya dengan tangan saya sendiri! Tuhan mendengar sumpah saya ini dan gunung Singgalang menjadi saksi!”
Pendekar 212 yang tegak termangu di samping Andana teringat pula pada insiden belasan tahun lalu.
Ketika Ayahnya menemui kematian di tangan musuh-musuhnya. “Kau masih beruntung Andana. Kau pernah melihat Ayahmu , pernah dibesarkan 0lehnya. Aku bernasib lebih malang. Ayahku dibunuh 0rang ketika saya masih bayi…”
Andana memegang pundak Pendekar 212 dan berkata. “Nasib kita tidak jauh berbeda Wir0. Karena itu kita pantas menjadi dua sahabat….”
Wir0 menganggukkan kepalanya. Matanya memandang sesaat pada kedua kakinya. Lalu melirik pada Uning Ramalah. Perempuan bau tanah ini tahu apa yang ada di benak Pendekar 212. Maka diapun berkata. “Kalau tidak kupaku kakimu ke tanah , kau tak akan pernah bertemu dengan sahabat barumu ini.”
Wir0 garuk-garuk kepalanya. “Uning , mungkin suatu dikala saya perlu mempelajari ilmu memaku kaki 0rang itu….”
“Aku khawatir anak muda. Yang kau paku ke tanah bukan cuma 0rang-0rang jahat tetapi juga gadis-gadis cantik!”
Tanpa sadar bahwa mereka masih menghadapi saat-saat berkabung , ketiga 0rang itu sama-sama tertawa bergelak.
* * *
SEMBILAN
TELAGA dan pancuran berair jernih itu terletak di tanah rendah berbentuk lembah kecil.
P0h0n-p0h0n besar yang mengelilinginya menciptakan udara di situ terasa sejuk jauh dari sengatan sinar matahari trend panas. Selain tempat mandi telaga itu dipergunakan juga sebagai tempat mencuci pakaian sekaligus tempat bertemu dan bersenda gurau di kalangan gadis-gadis remaja di Pagaralam.
Pagi itu mirip biasanya di telaga kelihatan beberapa 0rang anak gadis mencuci pakaian sambil bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa mereka. Yang jahil menyemburkan air kepada kawannya hingga terjadi berbalas sembur. Selain itu , umumnya kalau para gadis sudah berkumpul mirip itu yang masuk dalam materi 0m0ngan mereka antara lain pastilah membicarakan ihwal pemuda.
“Hai , sudahkah kalian mendengar inf0 yang dibawakan angin dari jauh?” berkata salah se0rang di antara para gadis itu.
“Berita apa?” mitra di sebelahnya bertanya.
“Kabarnya c0w0k gagah berjulukan Andana itu akan kembali ke Pagaralam.”
“Dari mana kau dengar kabar burung itu Saleha?”
“Dari mana saya sanggup inf0 tak usah jadi pers0alan. Saya tahu itu bukan kabar burung.” Jawab anak wanita berjulukan Saleha.
“Pemuda itu hebat dan gagah. Ingat d0ngeng waktu dia menjeb0l penjara di Batusangkar kemudian menghajar dua pengawal penjara bahkan menggebuk Kepala Penjara kaki tangan Tumenggung Raj0 Langit?!”
“Dia se0rang c0w0k pemberani , se0rang pandeka!” kata gadis yang lain. “Buktinya dia tidak takut kembali ke Pagaralam. Padahal kalau Tumenggung Raj0 Langit di Pagaruyung hingga tahu niscaya dia akan ditangkap lagi dan dijatuhi eksekusi lebih berat!”
“Waktu Andana pergi tiga tahun kemudian , dia masih bujangan. Apakah kini dia masih juga bujangan?” ujar se0rang gadis berjulukan Sariatun.
“Jangan-jangan , kalau dia kembali membawa anak dan istri , semua gadis di Pagaralam hingga di Pagaruyung akan menggigit jari!” menyahuti gadis lain hingga suasana di telaga itu menjadi ramai.
“Saya berharap dia masih bujangan. Hingga salah se0rang di antara kita kelak bisa beruntung menjadi j0d0hnya!”
Semua gadis itu kembali tertawa riuh.
“Kawan! Hati-hati kalau bicara. Nanti ada yang marah!” kata Saleha setengah berseru. Dia kemudian mengg0yangkan kepalanya ke arah se0rang gadis yang duduk di sebuah watu datar. Kelihatannya dia sibuk mencuci padahal bekerjsama apa yang dibicarakan kawan-kawannya tidak luput dari perhatian dan pendengarannya , gadis yang satu ini berkulit putih bersih. Kecantikan alami yang dimilikinya jauh melebihi kecantikan kawan-kawannya. Melihat Saleha mengg0yangkan kepala pada gadis itu , se0rang anak wanita kemudian bertanya pada gadis tersebut.
“Sahabatku Bunga , apakah kau tidak senang mendengar Andana kembali ke kampung kita ini?”
Gadis manis yang berjulukan Bunga mengangkat kepalanya.
“Saya tidak tahu. Saya rasa tentu banyak yang senang , tapi niscaya ada juga yang tidak senang.”
“Kau di pihak yang mana?” tanya Saleha pula. Ketika Bunga tak bisa menjawab dan wajahnya tampak kemerahan kawan-kawannya kembali tertawa.
BUNGA ingat , terakhir sekali dia bertemu dengan Andana sebelum c0w0k itu dijebl0skan masuk penjara. Waktu itu siang hari sehabis ba’dal Zuhur. Dia gres saja pulang dari telaga mengambil air higienis untuk minum. Di persimpangan jalan dia bertemu dengan Andana yang gres saja pulang sembahyang di surau.
Mereka bertegur sapa bertukar senyuman. Tiada kata terucapkan dan tahu-tahu mereka sudah seiring sejalan.
Bunga merasakan dadanya berdebar 0leh rasa suka cita berjalan berduaan mirip itu. Lalu tiba-tiba saja langit menjadi gelap. Awan hitam menutupi bumi dan hujan turun dengan derasnya. Andana cepat mencarikan daun pisang yang lebar , memayungi Bunga dengan daun itu tanpa memperhatikan dirinya sendiri berair tidak terlindung.
“Kakak memayungi saya tapi pakaian Kakak sendiri berair kuyup ,” kata Bunga dikala itu.
“Tidak mengapa. Adik yang lebih penting. Jangan hingga kebasahan. Kata 0rang hujan adakala membawa penyakit. Saya tidak ingin Adik menjadi sakit….”
Suara c0w0k itu terdengar begitu merdu di pendengaran Bunga. Lalu dilihatnya Andana tersenyum dan bahunya dipegang lembut , menariknya ke bawah daun pisang biar tidak kejatuhan air hujan. Debaran jantung Bunga semakin keras. Hangatnya tangan c0w0k itu ketika memegang bahunya se0lah tak pernah pupus , tak pernah dilupakannya.
Se0rang c0w0k tiba-tiba melintas cepat di hadapan mereka. Dia memperhatikan sepasang muda mudi itu sesaat kemudian bergegas pergi.
Andana mengantarkan Bunga hingga ke depan tangga rumahnya. Kees0kan harinya tersebar kabar di Pagaralam bahwa Andana dan Bunga rahasia rupanya telah menjalin kekerabatan asmara. Mereka berkasih-kasihan. Ada 0rang yang melihat mereka berpayung daun pisang berdua-duaan di bawah hujan lebat.
Dan mirip biasanya yang namanya gunjingan itu dari satu lisan ke lain lisan selalu bertambah dengan hal-hal yang tidak benar. Bunga dan Andana berpayung bersama sambil berdekapan , berpelukan dan berciuman.
“Bunga! Hai Bunga!”
“Bunga!”
Suara yang memanggil-manggil itu menyadarkan Bunga dari lamunannya. Dia memandang berkeliling dan c0ba tersenyum. Dilihatnya semua kawan-kawannya berdiri di tepi telaga. Masing-masing memegang bakul berisi cucian , siap untuk meninggalkan telaga. Mereka masih menunggu kalau-kalau Bunga hendak pulang bersama-sama.
“Kami sudah selesai mencuci dan mandi!” berseru Saleha. “Matahari sudah tinggi. Kami tak bisa menunggumu!”
“Tak apa. Pergilah lebih dahulu. Sebentar lagi cucian saya selesai ,” jawab Bunga.
“Jadi kami pulang saja duluan?”
“Ya , pulang sajalah!”
“Tidak takut awak sendirian?” tanya salah se0rang sahabat Bunga.
“Mengapa musti takut? Tak ada hantu di telaga ini!” jawab Bunga pula.
“Kalau Andana yang jadi hantunya kamipun tidak takut!” teriak Saleha yang menciptakan kembali kawan-kawannya bers0rak riuh.
Bunga meneruskan mencuci. Tiba-tiba dalam kesepian itu dia mendengar bunyi langkah kaki-kaki kuda mendatangi. Bunga mengangkat kepalanya ke arah jalan menurun. Wajah gadis ini menjadi pucat.
“Dia lagi… ,” katanya dengan pengecap kelu lantaran takut. Diambilnya kebayanya dari dalam bakul kemudian cepat-cepat dikenakannya.
Se0rang lelaki bau tanah berpakaian bagus menghentikan kudanya tak jauh dari tepi telaga. Rambutnya yang putih tersembul dari destar kuning emas di kepalanya. Kumis di atas bibirnya juga sudah berwarna putih. Dia berpaling pada se0rang lelaki berkuda di belakangnya yang agaknya jadi pengawalnya.
“Tinggalkan saya di sini. Kalau tidak kupanggil jangan berani datang!”
0rang yang diperintah mengangguk kemudian cepat-cepat berlalu. Sambil tersenyum-senyum lelaki berpakaian bagus tadi turun dari kudanya.
Bunga bergegas mencapai tepian telaga tapi langkahnya segera terhadang 0leh lelaki tadi.
“Bunga… Bunga… Dunia terasa sepi jikalau tidak melihatmu sehari saja. Apakah kau ada baik-baik saja Bunga?” 0rang lelaki itu menegur dengan perilaku ramah dan tak pupus senyum di bibirnya. Namun justru sikapnya ini menciptakan Bunga muak di samping takut.
“Hai , mengapa begitu terburu-buru Bunga? Apakah tidak ada waktu bagi kita untuk bercengkrama barang sebentar?”
“Maafkan saya. Saya harus segera pulang. Hari sudah siang. Matahari sudah tinggi.” Sehabis berkata begitu Bunga cepat-cepat melangkah pergi.
Lelaki tadi mend0ngak ke langit. “Masih pagi begini dikatakan sudah siang. Tak usah terburu-buru Bunga. Urusan rumah tangga di rumah tak ada habisnya. Lagi pula saya merasa kasihan kalau dirimu yang manis , tubuhmu yang bagus terlalu banyak bekerja….”
“Maafkan saya Tumenggung. Saya harus segera pulang.”
“Jangan begitu Bunga. Kau tahu betapa saya menyukai dirimu. Bukan sekedar suka. Tapi cinta!”
Ingin sekali Bunga meludahi muka lelaki gaek yang dianggapnya tidak tahu diri itu. Gadis ini memutar langkahnya. Tapi 0rang yang dipanggilkan dengan sebutan tumenggung itu kembali menghadangnya.
“Dengar Bunga , gadis manis sepertimu.tidak layak tinggal di kampung sunyi dan k0t0r ini. Kau lebih pantas tinggal di Pangaruyung atau di Batusangkar. Aku ada rumah di dua k0ta itu yang bisa kau tempati. Jika kau takut tinggal sendirian , R0biah b0leh kau ajak serta….”
“Maafkan saya Tumenggung. Beri saya jalan….”
“Ah , kalau kau memang hendak pulang , kau b0leh naik kudaku. Akan kuantar kau hingga ke rumah.
Tapi jikalau kau suka ikut saya barang sebentar akan kuberikan hadiah kain cita yang bagus. Kau tentu mau bukan?” Sambil berkata begitu Tumenggung itu ulurkan tangannya hendak memegang lengan si gadis. Bunga cepat menghindar. Sang Tumenggung jadi kalap. Dengan nekad dil0mpatinya gadis itu kemudian dipeluknya kuat-kuat. Bunga menjerit keras berusaha melepaskan diri sambil memukuli dada Tumenggung itu sekuat yang bisa dilakukannya. Tubuh bau tanah itu rupanya kesakitan juga kena dihantam pukulan. Selagi sang Tumenggung terjajar ke belakang Bunga pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Tapi lelaki itu masih sempat menggapai pinggang kebayanya. Ketika dia hendak merangkul Bunga sekali lagi gadis ini mend0r0ng tubuh sang Tumenggung kuat-kuat. Tubuh bau tanah itu terjajar. Kakinya terpeleset di watu licin. Tak ampun lagi tubuhnya jatuh masuk ke dalam telaga. Bunga segera berlari meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan ketika di depannya melintas se0rang c0w0k berpakaian serba putih , berambut menjela bahu.
“Andana…”. kata Bunga begitu dia mengenali wajah c0w0k itu.
0rang yang ditegur berpaling padanya. “Adik memanggil saya?” Bunga merasa terkejut sekali.
“Hanya berpisah tiga tahun dia sudah lupa pada diriku?”
“Kau… kau tidak mengenali saya lagi Andana?”
“Ah , adik salah sangka. Saya bukan Andana. Saya kebetulan cuma sahabatnya. Nama saya Wir0…”
Bunga jadi terperangah. Wajah sama , p0t0ngan tubuh sama. Tapi bunyi dan l0gat bicara c0w0k ini memperlihatkan bahwa dia memang bukan Andana c0w0k Pagaralam yang meninggalkan kampung tiga tahun lalu.
“Tapi… saya mendengar kabar Andana sudah kembali ke sini. Maafkan kalau saya mengira….”
Pendekar 212 Wir0 Sableng tertawa lebar. “Kata 0rang wajah kami memang mirip. Tidak salah kalau adik hingga keliru.”
“Kalau kakak sahabatnya , apa kakak tahu dimana Andana kini berada?”
“Kami berpisah di satu tempat. Katanya dia ada satu keperluan. Tak lama lagi tentu dia akan muncul di sini ,” menjelaskan Wir0.
Tiba-tiba Wir0 melihat ada se0rang lelaki bau tanah berpakaian berair kuyup melangkah cepat ke arah mereka.
“Bunga! Perbuatanmu sudah keterlaluan. Kalau kau tidak suka saya , masih ada seribu cara untuk mendapatkanmu! Tapi mend0r0ng saya hingga masuk ke dalam telaga ialah perbuatan kurang bimbing yang tidak bisa kumaafkan!”
Bunga berpaling. Wajahnya ketakutan. Dia cepat hendak tinggalkan tempat itu.
“Kemana kau hendak lari hah? Perawan tak tahu diuntung!” Tumenggung yang berair kuyup itu cepat mencekal lengan Bunga. Tapi belum kesampaian Wir0 Sableng sudah menahan dadanya seraya menegur.
“Apa-apaan ini Bapak tua?!”
“Kerbau sialan! Jangan campuri urusanku!” hardik Tumenggung itu seraya hendak memukul Wir0.
Tiba-tiba dilihatnya paras c0w0k itu. “Kurang ajar! Kau rupanya Andana!”
“Aku bukan Andana!” jawab Wir0.
“Bangsat! Hendak kau sembunyikan ke mana mukamu insan bur0nan?! Pelarian bur0nan penjara Batusangkar! Nyalimu sungguh besar berani muncul lagi di tempat ini! Lekas serahkan dirimu untuk kutangkap!”
“Eh , kau rupanya habis kecebur 0rang tua? Mungkin 0takmu tiba-tiba menjadi gendeng akhir kecebur itu!”
“Pemuda keparat! Dulu saya yang menjebl0skanmu ke dalam penjara! Kini akan kuulangi lagi! Aku bersumpah sekali ini kau tak bakal keluar lagi! Kau akan meringkuk hingga mampus dalam penjara itu!”
Selagi kedua 0rang itu berperang lisan kesempatan dipergunakan 0leh Bunga untuk melarikan diri.
Lelaki di hadapan Wir0 tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya ke arah leher. Wir0 tidak menduga kalau gerakan 0rang bau tanah ini bisa secepat itu. Lehernya mirip dijapit. Percuma ber0ntak untuk melepaskan diri.
Karena Pendekar 212 hantamkan kedua tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada 0rang yang mencekiknya itu.
Sang Tumenggung berteriak setinggi langit. Cekikannya di leher Wir0 terlepas. Tubuhnya terjengkang di tanah , menggeliat-geliat beberapa kali sebelum dia muntah darah dan jatuh pingsan.
Sementara itu Bunga yang tengah melarikan diri dengan nafas sesak hingga di tangga rumahnya.
Bakul berisi kain cucian dibuangnya begitu saja. Lalu diterjangnya pintu rumah dan menghambur masuk ke dalam seraya berteriak memanggil-manggil.
Se0rang wanita berambut putih berlari dari dapur. “Astagfirullah! Bungat Ada apa nak?! Apa yang terjadi?!”
Bunga tak bisa menjawab. Dadanya turun naik. Perempuan bau tanah itu segera mengambil segelas air putih.
Setelah meneguk air si gadis agak hening sedikit. “Saya diganggu 0rang Mak. Dia lagi… Dia lagi!”
“Kau diganggu 0rang. Dia lagi?! Maksudmu Tumenggung Raj0 Langit?!” tanya Mamak Rabiah , ibu asuh si gadis.
Bunga anggukkan kepalanya berulang kali.
“Manusia jahanam. Tua bangka tak tahu diri itu! Tak habis-habisnya dia mengganggumu! Ya Tuhan , kapan kau akan memberi eksekusi pada bau tanah bangka itu?!” Mamak Rabiah mirip hendak menangis. Sambil membelai kepala anaknya dia berkata. “Kalau begitu mulai hari ini kau tak usah pergi mencuci ke telaga. Biar Mamak yang kesana.”
“Mamak sudah tua. Tubuh Mamak tak tahan dengan air dan udara dingin. Bunga tidak mau melihat Mamak jatuh sakit.”
Kedua mata Mamak Rabiah tampak berkaca-kaca.
“Mak , tadi saya bertemu dengan se0rang anak muda. Wajahnya mirip sekali dengan Andana. Ternyata dia bukan Andana….”
“Dimana dia sekarang?”
“Saya tak tahu lagi Mak. Waktu saya tinggalkan dia tengah bertengkar dengan Tumenggung Raj0 Langit. Lalu sayup-sayup saya dengar jeritan Tumenggung itu….” Sampai di situ Bunga menghentikan kata-katanya. Gadis ini memegang kepalanya. “Sakit kepala saya tiba lagi Mak. Izinkan saya masuk ke dalam. Saya ingin tidur….”
“Masuklah nak , masuklah…” kata Mamak Rabiah pula. Ketika gadis itu masuk ke dalam kamarnya Mamak Rabiah terduduk di sebuah kursi. Sambil menutupi wajahnya dengan sehelai selendang , dalam hati wanita bau tanah ini berkata. “Ya Tuhan , beri saya petunjuk apa yang harus saya lakukan. Saya kasihan pada anak itu. Sembilan belas tahun saya mengasuhnya mirip anak sendiri. Saya tidak tega , tak hingga hati saya melihat penderitaannya. Hati dan jiwa ini tak sanggup lagi menahan rahasia ini. Tapi kau tahu Tuhan , saya harus telah berjanji dengan ibunya. Ya Tuhan , t0l0ng saya. T0l0ng kami 0rang-0rang yang malang ini.”
* * *
SEPULUH
PACUAN kuda di Batusangkar kali ini jauh lebih ramai dari yang sudah-sudah. Hal ini antara lain disebabkan ada beberapa ek0r kuda tiba dari jauh untuk ikut berpacu. Di barisan pen0nt0n sebelah depan tampak duduk 0rang-0rang penting dari Pagaruyung , Batusangkar , K0ta Gadang dan k0ta-k0ta besar lainnya.
Di barisan depan itu juga duduk para t0k0h masyarakat setempat yang terdiri dari pada para Datuk serta Penghulu. Seperti biasanya di tempat-tempat mirip itu mereka yang suka berjudi tidak mau ketinggalan.
Mereka tiba bukan sekedar men0nt0n saja tetapi juga bertaruh , terkadang dalam jumlah yang besar.
Pekik s0rak pen0nt0n terdengar gegap gempita menyambut kemenangan kuda berjulukan Panah Agam yang keluar sebagai juara pertama dalam perl0mbaan kedua.
“Panah Agam menang! Panah Agam menang!” teriak 0rang banyak. Yang menang bertaruh mel0mpat-l0mpat sambil mengacung-acungkan tangannya.
Pada dikala itu se0rang lelaki berpakaian kuning , berdestar hitam melangkah mendekati se0rang pen0nt0n yang duduk di barisan depan. Pen0nt0n ini berusia sekitar setengah peri0de , berpakaian bagus termasuk saluak atau destar yang ada di kepalanya dan kain s0ngket yang terselempang di pinggangnya.
Sebentar-sebentar dia tampak menyentak-nyentakkan lehernya ke kiri atau ke kakan. Mukanya yang cekung serta dagunya yang persegi senantiasa membentuk air muka yang kaku dingin. 0rang ini bukan lain ialah Datuk Gamp0 Alam , t0k0h terkemuka yang disegani 0rang se-Pagaruyung. K0n0n dia mempunyai kekerabatan dekat dengan para pejabat tinggi dan 0rang-0rang penting di Batusangkar serta Pagaruyung.
0rang lelaki berpakaian kuning tadi menyerahkan sebuah kant0ng kain pada Datuk Gamp0 Alam seraya berkata. “Tak salah Datuk memegang Panah Agam. Lihat kini bagaimana dia mendatangkan rejeki kemenangan pada Datuk.” Sang Datuk tidak menjawab. Kant0ng kain berisi uang itu amblas dimasukkannya ke balik kain s0ngket yang melilit pinggangnya.
Dia berpaling pada pesuruhnya lelaki berpakaian kuning tadi ketika dilihatnya 0rang ini masih berdiri di sampingnya.
“Palindih! Ada apa kau masih tegak di sini?! Jangan harapkan upah p0t0ngan dariku , setan!”
“Maafkan saya Datuk , mana berani saya mengharapkan upah ,” jawab 0rang berjulukan Palindih.
Mukanya cekung dan tubuhnya tinggi kurus. Dia memelihara kumis jarang meranggas.
“Kalau kau tidak mengharapkan sesuatu kemudian mengapa tidak segera lindang dari hadapanku?!” hardik Datuk Gamp0 Alam. (lindang = minggat)
Palindih membungkuk sedikit. Mukanya didekatkan ke pendengaran Datuk Gamp0 Alam. Dia hendak menyampaikan sesuatu tetapi sang Datuk sudah menyempr0t.
“Setan! Kalau bicara jangan dekat-dekat ke mukaku! Mulutmu bau jariang tahu!” (jariang = jengk0l).
Terpaksa Palindih menjauhkan mukanya. Setengah berbisik dia berkata. “Kabar angin yang Datuk dengar itu sudah saya selidiki. Ternyata benar.”
“Kabar angin yang mana? Kentut juga angin! Bicara pribadi pada p0k0knya! Jangan menciptakan saya murka di tempat ini!” hardik Datuk Gamp0 Alam. Lalu kembali lehernya disentakkan dua kali berturut-turut.
“Dua hari kemudian , Andana anak Datuk Bandar0 Sati terlihat di sebuah kedai di pesisir.”
Sepasang mata Datuk Gamp0 Alam tampak membesar. Bibirnya membentuk senyum tapi keseluruhan wajahnya tidak memperlihatkan rasa senang walaupun kemudian dia berkata. “Aku gembira! Kemenakanku itu kesannya ingat pulang juga. Katakan siapa yang melihat anak itu?”
“Sati , pedagang keliling itu. Dia ada di belakang sana. Kalau Datuk mau bicara sendiri akan saya suruh dia kemari.”
Datuk Gamp0 Alam berdiri. “Biar saya sendiri yang akan menemuinya ,” kata Datuk Gamp0 Alam kemudian dia melangkah mengikuti Palindih.
0rang berjulukan Sati rupanya memang sudah menunggu di belakang barisan pen0nt0n pacuan kuda itu.
Dia mengenakan baju putih m0del gunting Cina dan mengenakan k0piah hitam. Dia berdiri sambil mengunyah jagung rebus.
“Kau yang berjulukan Sati?!” tanya Datuk Gamp0 Alam.
Yang ditanya angguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah jagung rebus dalam mulutnya.
“Betul kau melihat anak Datuk Bandar0 Sati di pesisir?” tanya Datuk Gamp0 Alam lagi.
Kembali Sati menganggukkan kepalanya. Melihat kelakukan 0rang ini marahlah Datuk Gamp0 Alam.
Dirampasnya jagung yang ada di tangan Sati kemudian di bantingkannya ke tanah.
“Setan! S0pan kalau bicara padaku! Jangan sambil makan!” hardik Datuk Gamp0 Alam murka sekali kemudian menyentakkan lehernya ke kiri. “Jawab pertanyaanku tadi!”
Yang ditanya menyeringai kemudian ulurkan tangannya. “Kalau Datuk mau keterangan , saya minta upah satu ringgit perak!”’
“Kurang ajar!! Berani kau memeras aku! Benar-benar setan kau!”’ hardik Datuk Gamp0 Alam.
“Saya 0rang dagang Datuk. Segala urusan saya ukur dengan uang. Satu ringgit perak tak ada artinya bagi Datuk. Apalagi barusan Datuk menang bertaruh. Tapi keterangan yang saya berikan nilainya jauh lebih tinggi dari satu ringgit perak itu!”
“Mandeang! Sialan kau Sati! Setan!” maki Datuk Gamp0 Alam. Lehernya disentakkan. Dia tampak murka sekali. Tapi tiba-tiba tampak senyum tersungging di mulutnya. Dari dalam sakunya dikeluarkannya uang yang diminta Sati tadi kemudian pribadi dimasukkannya ke kant0ng baju putih Sati. “Sekarang lekas berikan keterangan!” (Mandeang = m0yangmu)
“Andana anak Datuk Bandar0 Sati saya lihat dua hari kemudian di sebuah kedai di pesisir. Dari arah yang ditempuhnya terperinci dia akan tiba ke Pagaralam. Gerak geriknya tidak mirip dulu lagi. Agaknya dia kini membekal ilmu yang lebih tinggi dari dulu.”
“Dia tiba se0rang diri?” tanya Datuk Gamp0 Alam.
“Berdua. Kawannya mempunyai perawakan dan wajah yang sama. Jangan-jangan c0w0k satu itu kembarannya!”
“Setan! Andana ialah anak tunggal! Ceritamu b0h0ng!”
“Keterangan saya sudah cukup. Saya harus pergi sekarang!” kata Sati pula.
“Keteranganmu tidak senilai uang yang kuberikan. Kembalikan uang itu atau akan kukeluarkan larangan bahwa kau dilarang berdagang di Pagaruyung!”
Wajah Sati jadi berubah. Jengkel dan juga takut. “Kalau Datuk tidak tulus dengan uang satu ringgit ini ambillah kembali!” Ringgit perak yang ada di saku bajunya itu dikeluarkannya kemudian dibantingkannya ke tanah. Uang itu jatuh dua langkah di depan kaki sang Datuk. Marahnya Datuk Gamp0 Alam bukan kepalang.
Belum pernah dia dihina 0rang mirip itu. Jangankan menghina , menatap wajahnya saja tak ada 0rang yang berani.
“Setan! Kau akan menyesal seumur hidup!” kata Datuk Gamp0 Alam sambil mengepalkan tinjunya.
Dia berpaling pada Palindih. “Temui anak buahku. Suruh mereka menghajar Sati hingga setengah mati! Biar dia tahu rasa! Setan!”
Palindih cepat berlalu. Empat 0rang anak buah Datuk Gamp0 Alam ditemuinya di sebuah kedai minuman.
Di sebuah tikungan Sati yang merasa dirinya diikuti berpaling ke belakang. Ada empat 0rang berseragam hitam mendekatinya dengan cepat. Dia tahu siapa keempat 0rang itu. Anak buah merangkap tukang pukul Datuk Gamp0 Alam. Tanpa pikir panjang lagi Sati segera melarikan diri. Tapi percuma saja.
Empat 0rang berpakaian hitam itu lebih kencang larinya hingga dalam waktu dekat Sati segera terkejar. Lalu terjadilah penganiayaan itu. Sati terjelapak di tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri , mukanya babak belur.
Beberapa giginya tanggal. Mata kirinya infeksi lebam. Bibirnya pecah dan dua tulang iganya patah kena tendangan.
* * *
SEBELAS
SUASANA di pekuburan itu diselimuti kesunyian. Hal ini mendatangkan rasa tenteram di hati Bunga yang dikala itu tengah duduk bersimpuh di hadapan sebuah makam. Kedua matanya untuk beberapa lama tidak berkesip memandangi makam itu hingga kesannya kedua matanya tampak berkaca-kaca. Diambilnya selendang yang tergelung di atas kepala kemudian ditutupkannya ke wajahnya yang cantik. Di antara isak sesenggukannya terdengar ucapan gadis ini terputus-putus.
“Bunda. Bunga tiba Bunda… Saat-saat mirip ini… Bunga ingin dekat dan satu dengan Bunda.
Bunda… adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini? Adakah Bunda tahu derita sengsara Ananda , anak yang tidak pernah melihat wajah Bunda , anak yang tidak pernah… memperlihatkan bakti pada Bunda. Anak yang tidak tahu siapa dan dimana Ayahnya. Kalau masih hidup dimana dia gerangan , kalau sudah mati dimana kuburnya….”
Sampai di situ tangis si gadis mengeras. Bahunya bergetar. Selendang yang didekapkan ke wajahnya terlepas jatuh ke pangkuannya. Direbahkan tubuhnya ke atas makam. Salah satu pipinya diletakkan di atas tanah kubur.
“Bunda… siapa tempat Bunga bertanya. Siapa tempat Bunga mencari tahu dimana dan siapa Ayah.
Gunung diam membisu. Lembah sepi tak mau bercerita. Sungai berdiam diri. Angin tak mau memberi tahu.
Kincir air mendesau tanpa petunjuk. Kicau burungpun hanya mendatangkan keraguan. Bunda… mengapa malang benar nasib anakmu ini…”
Bunga menyeka air mata yang berderai membasahi pipinya dengan jari-jari tangannya yang halus.
“Bunda… kata 0rang Bunda berpulang ketika melahirkan Bunga. Bunda 0h Bunda… Mengapa tidak Bunda bawa serta Bunga dikala itu… Kalau saja Bunga bisa ikut bersamamu , tak akan ada derita ini. Tak akan ada air mata. Bunda… adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini Bunda…?” Suara tangis si gadis meninggi.
Tiba-tiba ada bunyi langkah kaki-kaki kuda mendatangi.
Tersirap darah Bunga. Suara isak dan rapat tangis gadis malang ini serta meria lenyap. Dia berpaling ke arah datangnya bunyi derap kaki kuda. Wajahnya yang tadi merah lantaran menangis kini tampak pucat.
“Bunga ,” satu bunyi memanggil namanya. “Aneh , kau terkejut melihat saya. Mukamu pucat. Apa saya telah menjadi mahluk yang menakutkanmu Bunga?”
Kedua mata Bunga membesar. Rasa takut pada wajahnya lenyap , perlahan-lahan berganti dengan senyuman secerah mentari pagi.
“Astaga , maafkan saya Kak. Saya kira Kakak ini….”
“Kau kira saya ini siapa Bunga?” tanya Andana kemudian mel0mpat turun dari kudanya.
Ketika Bunga tak menjawab , Andana berkata. “Saya tahu , niscaya yang kau maksudkan ialah Tumenggung mata keranjang itu. Kaprik0rnus dia masih mengganggumu terus rupanya. Disusunnya fitnah untuk sanggup memenjarakanku. Sekaligus mencari peluang bisa mendekatimu…”
“Sudahlah Kak. Tak perlu kita bicarakan 0rang itu. Saya senang melihat Kakak kembali…”
“Saya juga gembira melihatmu lagi Bunga ,” kata Andana. Diluruskannya papan nisan kuburan yang agak miring kemudian berkata. “Kalau Kakak tidak salah , Ibumu meninggal sama lamanya dengan usiamu. Saya lihat kau habis menangis. Apakah masih harus ditangisi juga makam bau tanah ini Bunga?”
Bunga merunduk. “Yang saya tangisi bukan mendiang Ibu. Tapi saya menangis nasib jelek diri ini.
Saya lahir ke dunia tanpa mengenal Ibu. Tidak mengetahui siapa Ayah saya….”
“Hidup tak b0leh dijalani dengan penyesalan Bunga. Nasib diri Kakak jauh lebih menyedihkan. Ibu tak ada , Ayahpun gres saja berpulang…”
“Kak , maksud Kakak Ayah Kakak meninggal dunia?”
“Beliau tewas dibunuh 0rang!” Lalu Andana menceritakan apa yang telah terjadi dengan Ayahnya.
Andana mengakhiri penuturannya dengan menarik nafas dalam. “Nasib peruntungan kita b0leh dikatakan tidak berbeda…”
“Kakak , kemarin saja bertemu dengan se0rang pemuda. Wajahnya mirip benar dengan Kakak. Dia mengakui berjulukan Wir0. Katanya dia sahabat Kakak. Betulkah?”
Andana mengangguk. “Saya tidak tahu dimana dia sekarang…”
“Dia yang men0l0ng saya dari kekurang anutan Tumenggung Raj0 Langit…”
Andana tampak terkejut. “Ada sesuatu yang terjadi rupanya Bunga?”
Bunga kemudian menceritakan insiden kemarin pagi sehabis dia pulang mencuci di telaga.
“Tua bangka hidung belang! Kaprik0rnus insan gaek tak tahu diri itu masih saja mengganggumu. Saya akan menciptakan perhitungan dengannya. Dendam saya terhadap fitnah yang diaturnya hingga saya masuk penjara masih berakar di dada ini. Dia akan mendapatkan p0t0ngan dari saya…”
“0rang berpangkat mirip dia sebaiknya jangan dilawan Kak. Nanti Kakak ditangkapnya lagi…”
Setelah beng0ng sesaat Andana kesannya berkata. “Saya mau menjenguk makam Ibu sebentar. Kalau kau mau menunggu nanti kita pulang sama-sama…”
Bunga tampak bimbang. “Kalau kita jalan berduaan lagi mirip dulu , saya khawatir kita akan jadi pergunjingan 0rang sekampung. Biar saya pulang saja lebih dulu.”
Andana mengangkat bahu. “Saya mengasihi kampung ini. Tapi lisan 0rang-0rang di sini , pergunjingan mereka terkadang melewati batas. Kalau kau ingin pulang lebih dulu terserah. Kakak tidak bisa memaksa…”
Andana memegang tangan Bunga , membantu gadis itu bangun berdiri.
Pada dikala itulah tiba-tiba tiba enam 0rang penunggang kuda. 0rang ke tujuh yang rupanya menjadi pimpinan mereka berada di sebelah depan. Dia bukan lain ialah Tumenggung Raj0 Langit , lelaki gaek yang tergila-gila dan ingin memperistrikan Bunga.
“Ha… ha! Anak Datuk Bandar0 Sati bercinta-cinta dengan se0rang gadis baik-baik di pekuburanl!
Sungguh satu hal yang tidak pantas dan memalukan! Apa kau anggap sudah tak ada lagi budbahasa istiadat di negeri ini?!”
Andana meskipun kaget masih bisa berlaku tenang. Sebaliknya Bunga tampak ketakutan sekali. “Apa yang hendak dilakukannya Kak? Pasti dia hendak menangkap Kakak…”
“Bunga! Menjauh dari pembunuh itu!” berkata Tumenggung Raj0 Langit sementara enam 0rang anak buahnya yang rata-rata bertampang kasar beringas memperhatikan Bunga mirip hendak menelanjangi gadis ini dengan mata mereka. Ketika Bunga tidak beranjak malah sengaja merapatkan tubuhnya kepada Andana , Tumenggung Raj0 Langit jadi mendidih amarahnya. “Manusia bur0nan! Kau kutangkap dikala ini juga! Kau ingin menyerahkan diri secara baik-baik atau hendak melawan. Aku sarankan biar kau melawan saja hingga saya punya alasan untuk menambas batang lehermu!”
“Hebat sekali!” tiba-tiba ada satu bunyi keras menimpali ucapan Tumenggung Raj0 Langit tadi.
Raj0 Langit berpaling. Begitu juga enam anak buahnya. Tak ketinggalan Andana dan Bunga.
Langsung saja Raj0 Langit dan 0rang-0rangnya jadi terperangah. Di sebelah sana di atas sebuah tumbangan batang p0h0n yang sudah mengering dan tercampak di tanah tegak se0rang pemuda. Kecuali pakaian dan ikat kepalanya yang serba putih , wajah , warna kulit dan p0t0ngan tubuhnya mirip sekali dengan Andana.
“Eh , kenapa jadi dua?” Kata Tumenggung Raj0 Langit terheran-heran dalam hati. “Benar rupanya yang dikatakan Sati pedagang keliling itu. Tapi saya tahu betul anak Datuk Bandar0 Sati itu tidak punya adik tidak punya kakak , saudara kembar. Apapun namanya! Tidak bisa tidak dia niscaya c0w0k yang kemarin pagi memukulku tak jauh dari telaga!”
“Kakak…” bisik Bunga. “Ini c0w0k yang men0l0ng saya itu…”
“Siapa kau berani mencampuri urusan 0rang?!” sentak Tumenggung Raj0 Langit. “Aku sahabat anak muda yang hendak kau tabas batang lehernya itu. Kalau saya b0leh meminta , t0l0ng tabas sekalian leherku. Ingin saya merasakan bagaimana rasanya kepala terpisah dengan badan. Ha… ha… ha…!”
“Kakak ,” bisik Bunga. “Dalam keadaan mirip ini bagaimana 0rang itu masih bisa bergurau seenaknya…”
Andana menahan senyumnya. “Tenang saja Bunga. Sifat c0w0k Jawa ini memang begitu. Itu yang menciptakan saya suka dekat dengannya….”
Se0rang anak buah Tumenggung Raj0 Langit menyentakkan tali kekang kudanya , mel0mpat ke hadapan Pendekar 212 Wir0 Sableng yang tegak di atas batang kayu kering.
“Bangsat! Apa tak tahu kau berhadapan dengan Tumenggung Raj0 Langit?! Kau 0rang asing rupanya nah?!” hardik anak buah sang Tumenggung dengan bunyi keras dan tampang ganas.
“Ah… ah! Aku berhadapan dengan se0rang Tumenggung dan enam ek0r pengawalnya rupanya!”
“Keparat busuk!” anak buah Tumenggung yang ada di hadapan Wir0 mencabut g0l0knya. “Biar kubelah bat0k kepalamu! Ingin kulihat apa isi 0takmu!”
Wir0 tertawa gelak-gelak. “Kawan….” katanya pada 0rang di depannya itu. Lalu yummy saja dia mengarang. “Kau tahu , di kampungku Tumenggung itu artinya biji kemaluan yang pe0t! Ha… ha… ha…!”
Wuuuttt!
Anak buah Tumenggung Raj0 Langit mel0mpat dari kudanya seraya membac0kkan g0l0k besarnya ke bat0k kepala Pendekar 212. Gerakannya b0leh juga dan jikalau g0l0knya mencapai target niscaya apa yang dikatakannya yaitu membelah kepala c0w0k itu benar- benar bisa terjadi.
Semua 0rang yang ada di tempat itu , kecuali Andana dan Tumenggung Raj0 Langit tidak melihat terperinci apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh si penyerang berputar di udara , di lain kejap tubuh itu terbanting keras tertelungkup di tanah. Tangannya masih memegang g0l0k tapi tubuhnya tak berkutik lagi. Ketika dagunya menghantam tanah dengan keras , 0rang ini pribadi pingsan dengan mata mendelik. Hebatnya ketika menangkap lengan dan membanting 0rang itu ke tanah Pendekar 212 sedikit pun tidak beranjak dari atas batang p0h0n kering yang diinjaknya.
“Kurang ajar! Anak-anak! Lekas tangkap bedebah itu!” teriak Tumenggung Raj0 Langit memerintah.
Lima anak buahnya serta meria mel0mpat turun dari kuda masing-masing. “Jangan ragu-ragu mencincang tubuhnya!” teriak sang Tumenggung lagi. Mendengar ucapan itu lima 0rang mel0mpat dari punggung kuda masing-masing , begitu menjejakkan kaki di tanah pribadi menghunus senjata. Dua mencekal bend0 berkeluk , tiga membekal g0l0k berkilat.
Melihat hal ini Andana cepat bergerak. Tapi , sambil turun dari atas batang kayu tempatnya berdiri , Pendekar 212 mengangkat tangan seraya berkata. “Sahabat , kalau saya perlu bantuanmu nanti saya bilang! Lagi pula kau harus melindungi gadis itu. Aku lihat ada kucing dapur berhidung belang tapi bisa naik kuda dan berpakaian bagus di sini!” Mau tak mau Andana terpaksa tak beranjak dari tempatnya. “Sahabat aneh! Dalam keadaan mirip ini dia masih juga sempat melawak!” Kata Andana dalam hati.
Saat itu lima anak buah Tumenggung Raj0 Langit sudah menyerbu ke arah Wir0. Dengan hening murid Sint0 Gendeng dari gunung Gede ini meny0r0ngkan kaki kanannya ke bawah lekukan batang p0h0n kering. Begitu lima lawan mel0mpat ke arahnya , dengan cepat Pendekar 212 angkat kakinya. Batang p0h0n kering yang besar itu melesat ke depan. Lima anak buah Tumenggung Raj0 Langit berseru kaget. Hanya dua yang bisa menyelamatkan diri. Tiga mitra mereka menggeletak r0b0h begitu batang kayu menghantam kepala mereka dengan keras.
Amarah Tumenggung Raj0 Langit bukan alang kepalang. Apalagi kemarin diapun sudah lebih dulu kena dihajar 0leh Wir0. Namun 0taknya masih bisa bekerja menyadari bahwa dengan ilmunya yang begitu tinggi , c0w0k berambut g0ndr0ng itu bukan lawan gampang untuk dihadapi. Apalagi dikala itu Andana belum ikut turun tangan. Memikir hingga di situ Tumenggung Raj0 Langit tarik tali kekang kudanya. Matanya memandang garang ke arah Andana. “Aku memberi kesempatan tiga hari padamu. Jika kau tidak tiba ke Pagaruyung untuk menyerahkan diri , saya akan membawa pasukan dari Batusangkar untuk menangkapmu!”
“Tua bangka buruk!” balas Andana. “Jika kau berani lagi muncul di Pagaralam ini , apalagi berani mengganggu gadis ini , saya bersumpah untuk membunuhmu!”
“Ah!” Tumenggung Raj0 langit mengg0yang-g0yangkan tangan kanannya. “S0al gadis itu jangan kau jadikan satu dengan urusan dirimu yang pelarian penjara! Kau dengar baik-baik ucapanku ini anak muda pembunuh! Bunga tak akan pernah kau miliki…. Aku sudah ditakdirkan untuk mendapatkannya , menjadikannya sebagai istriku! Ha… ha… ha…!”
“Siapa sudi jadi istrimu! Tua bangka tak tahu diuntung!” teriak Bunga.
Sang Tumenggung terus mengumbar tawa dan kembali dia g0yang-g0yangkan tangan kanannya.
“Kau belum tahu siapa Tumenggung Raj0 Langit. Aku memang sudah gaek. Tapi sekali kau tidur denganku , seumur hidup kau akan menjadi hamba sahaya minta kulayani siang malam!”
“Manusia mesum bermulut k0t0ri” teriak Andana. Sekali l0mpat saja dia berhasil menarik pinggang pakaian Tumenggung itu kemudian membet0tnya kuat-kuat. Kuda sang Tumenggung meringkik keras. Tumenggung itu sendiri jatuh berdebam ke tanah. Begitu dia menc0ba bangun Andana siap melayangkan j0t0san keras ke mukanya. Tapi tiba-tiba sekali lelaki bau tanah itu meny0r0kan sebilah pisau berkeluk ke perut si pemuda. Bunga berteriak. Andana masih sempat melihat serangan itu. Kaki kirinya bergerak. Sekali tendang saja pisau berbentuk aneh itu mencelat mental dan menancap di batang p0h0n Kemb0ja.
Tumenggung Raj0 Langit berteriak kesakitan sambil pegangi lengan kanannya yang serasa hancur kena tendangan. Lelaki bau tanah ini cepat berdiri ketika dilihatnya Andana mendatangi , siap menghajarnya kembali.
Tanpa pikir panjang lagi dia segera ambil langkah seribu. Dua 0rang anak buahnya segera pula menghambur lari , meninggalkan empat mitra mereka yang pingsan berkaparan.
Wir0 melangkah ke arah p0h0n Kemb0ja. Batang p0h0n yang ditancapi pisau berkeluk milik Tumenggung Raj0 Langit tadi tampak menghitam. Warna hitam ini dalam waktu singkat menjalar ke seluruh cabang dan ranting. Daun-daun p0h0n yang tadinya hijau juga tampak menghitam. Lalu bunga-bunga Kemb0ja yang kuning putih itu kelihatan layu berubah warna menjadi kelabu.
“Racun jahat luar biasa! Tak pernah saya melihat racun senjata sedahsyat ini!” kata Pendekar 212 kemudian dicabutnya pisau berkeluk dari batang p0h0n dan diperlihatkannya pada Andana yang dikala itu melangkah bersama Bunga ke arahnya.
Andana memperhatikan senjata itu sejenak kemudian berkata. “Aku menaruh syak sasangka. Jangan-jangan Tumenggung keparat itu yang telah membunuh Ayahku!”
“Bisa jadi. Cuma saja kita harus mendapatkan bukti-bukti. Hati-hati terhadapnya sahabat.
Ancamannya akan mendatangkan pasukan dari Batusangkar tadi kurasa tidak main-main… Kudengar di sana ada senjata panjang yang bisa meletus. Aku tak tahu namanya…”
“Senapan…” kata Andana.
“Bedil!” ucap Bunga.
Pendekar 212 tersenyum. “Kalian berdua mirip pinang dibelah dua. Yang se0rang kuntum Bunga indah dan harum di seluruh negeri. Yang satunya Harimau Singgalang…”
“Harimau Singgalang…? Kak , dari mana kau sanggup julukan itu?” tanya Bunga seraya berpaling pada Andana.
“Aku sendiri tidak tahu. Itu niscaya bisa-bisanya saja mengarang!” jawab Andana.
Sewaktu dua remaja itu memandang ke samping , Pendekar 212 tak ada lagi di tempat itu. Dia sudah berada jauh di depan sana. Melangkah cepat sambil sekali-sekali men0leh ke belakang dan melambai-lambaikan tangannya.
* * *
DUA BELAS
HARI memasuki senja kita Andana hingga di depan rumah kayu yang terletak di daerah kebun yang tak begitu terpelihara. Dari celah-celah dinding papan menyeruak cahaya lampu minyak tanda penghuninya ada di dalam. Kesunyian yang hanya dibisingi bunyi jengkerik menciptakan Andana merasa kurang enak. Setiap gerakan yang dilakukannya penuh kewaspadaan. Di satu tempat c0w0k ini turun dari kudanya. Dia melangkah cepat namun hati-hati menuju p0t0ngan depan rumah kayu. Tak lama kemudian dia mulai mengetuk.
Pada ketukan ke empat terdengar bunyi 0rang bertanya dari dalam. Suara perempuan. “Siapa di luar?”
“Se0rang sahabat ingin bertemu dengan Udin Burik ,” jawab Andana.
Diam sesaat. Lalu terdengar bunyi wanita tadi bertanya. “Tamu baik-baik tentu mempunyai nama.
Harap memberitahu.”
“Nama saya , Andana. Katakan pada Udin Burik biar keluar menemui saya.”
Tak ada jawaban dari dalam. Malah tiba-tiba lampu minyak di dalam rumah dipadamkan 0rang. Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki di lantai papan. Telinga tajam Andana tahu betul ada dua 0rang yang melangkah di dalam rumah. Yang pertama bergerak ke arah belakang sedang yang kedua menuju pintu depan. Benar saja , tak lama kemudian pintu depan terbuka. Se0rang wanita gemuk yang mukanya berbedak tebal , alis dan gincu bercelem0tan muncul di ambang pintu.
“Ya…?”
“Saya sahabat Udin Burik. Saya ingin bertemu dengannya. Dia tentu ada di dalam.”
“Saya istrinya. Suami saya sedang ke Batusangkar. Mungkin Bes0k gres pulang.”
Andana tahu kalau si gemuk yang mengaku istri Udin Burik ini berdusta padanya. Dusta bahwa lelaki itu tidak ada di rumah dan mungkin juga dusta dia ialah istrinya.
“Maaf , saya tidak percaya pada Uni. B0leh saya masuk memeriksa?” (Uni = sebutan untuk wanita yang lebih tua).
“Saya se0rang perempuan. Se0rang diri di rumah ini. Hari malam pula. Tamu tak saya kenal ingin masuk. Tahu diri dan tahu adatlah sedikit…” kata wanita gemuk itu. Tapi anehnya dia berkata begitu sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.
“Maafkan saya. Kalau begitu biar bes0k siang saja saya kembali ke sini…”
“Tunggu ,” kata si gemuk setengah berbisik. “Hari sudah malam. Uda ini tentu tiba dari jauh. Kalau suka masuklah sebentar. Biar saya buatkan k0pi manis…” Habis berkata begitu wanita itu memandang ke kiri dan ke kanan. “Tak ada 0rang. Kaprik0rnus tak ada yang melihat kita. Asal Uda tidak lama-lama bereslah….”
katanya sambil tersenyum dan lagi-lagi mengedipkan matanya. (Uda = panggilan terhadap lelaki yang lebih tua).
“Terima kasih. Saya masih ada keperluan lain ,” jawab Andana kemudian memutar tubuh dengan cepat.
Perempuan gemuk di ambang pintu nampak kecewa. Ditutupkannya pintu dengan kesal.
Di dalam gelap Andana bergerak cepat menuju p0t0ngan belakang rumah. Disini dia mengendap di balik serumpun belukar.
Dia tidak menunggu lama. Dari balik sebuah sumur keluar satu s0s0k tubuh , melangkah cepat menuju pintu belakang rumah. 0rang ini bukan lain ialah Udin Burik. Lelaki bermuka b0peng yang beberapa tahun kemudian memberi kesaksian di hadapan Tumenggung Raj0 Langit bahwa dia melihat Andana membunuh Sarkam , se0rang c0w0k sekampung di Pagaralam setelah terjadi satu perkelahian. Tentu saja Udin Burik tergagau kaget ketika Andana tiba-tiba muncul menghadang di depannya. Wajahnya yang b0peng berubah sepucat kertas. “An… Andana…”
Andana cepat mencekal leher pakaian Udin Burik. “Perempuan gemuk di dalam rumah menyampaikan kau pergi ke Batusangkar. Baru bes0k pulang. Rupanya kau kembali lebih cepat!” Andana mend0r0ng Udin Burik hingga tersandar ke dinding belakang rumah.
“A… apa maumu Andana?”
“Ingat tiga tahun kemudian waktu kau muncul di hadapan pengadilan nagari di Pagaruyung. Di hadapan Tumenggung Raj0 Langit kau memberi kesaksian bahwa kau menyaksikan saya membunuh Sarkam , c0w0k yang menurutmu sudah semenjak lama punya silang sengketa dengan diriku!”
“Dengar…. aku…. aku…”
“Siapa yang menyuruhmu menawarkan kesaksian palsu? Siapa yang membayarmu?! Tumenggung Raj0 Langit sendiri?!”
“Aku… saya memang melihatmu membunuh….”
Plaakk!
Andana tampar muka Udin Burik sekeras-kerasnya hingga sudut bibir 0rang ini pecah dan mengucurkan darah. “Jangan kira saya tidak tega meremukkan kepalamu , b0peng! Bicara yang benar!” sentak Andana seraya menjambak rambut Udin Burik dengan tangan kirinya kuat-kuat. Tangan kanannya dikepalkan kemudian dihantamkan ke dinding kayu di samping kepala Udin Burik.
Braaakk!
Dinding yang.terbuat dari kayu keras itu hancur berantakan. Di dalam rumah terdengar pekik wanita gemuk sedang Udin Burik sendiri menggigil sekujur tubuhnya. Kedua matanya terbuka lebar tanda dia dilanda rasa takut yang amat sangat.
Andana meletakkan tinju kanannya di depan hidung lelaki bermuka b0peng itu. “Mau bicara atau kuhancurkan kepalamu dikala ini juga!” Mengancam Andana.
Udin Burik putus nyalinya. “Jangan….Jangan pukul amb0. Saya akan bicara. Saya disuruh 0rang. Saya dipaksa. Kalau tidak mau saya….” (amb0 = saya)
“Katakan siapa 0rangnya!” hardik Andana.
“Di… dia…”
Andana mendengar daun bergemerisik di belakangnya , menyusul ada bunyi berdesing. Secepat kilat c0w0k ini merunduk sambil membuang diri ke kiri. Saat itu terdengar Udin Burik mengeluarkan bunyi mirip 0rang tercekik. Ketika Andana memandang ke depan dilihatnya sebilah pisau menancap dalam di leher Udin Burik. Gagang senjata ini berukir tengk0rak manusia. Kedua mata Udin Burik terbeliak besar. Dia mengerang pendek kemudian tubuhnya mel0s0h jatuh. Terduduk sebentar kesannya terguling r0b0h tanpa nyawa lagi.
Ketika mendengar bunyi semak belukar bergemerisik di belakangnya , serta merta Andana berbalik dan lepaskan pukulan “inti api”. Sinar merah menderu menebar hawa panas. Lidah api menggebubu. Semak belukar di depan sana hancur berserakan berubah bentuk menjadi puntungan-puntungan kayu yang terbakar.
Lapat-lapat terdengar bunyi 0rang mengeluh kesakitan. Andana cepat mengejar. Tapi terlambat. Di kejauhan terdengar bunyi derap kaki kuda dipacu meninggalkan tempat itu.
“Hemmm… siapapun 0rang yang kabur itu , pukulanku niscaya sempat menciderai dirinya.” Kata Andana dalam hati. Pemuda ini membalik cepat ketika dari arah rumah didengarnya bunyi jeritan perempuan. Pemuda ini bergegas ke tempat Udin Burik tadi terkapar. Di situ dilihatnya wanita gemuk itu duduk terhantar dekat s0s0k mayat Udin Burik. Begitu melihat Andana pribadi saja dia berteriak.
“Pembunuh! Pembunuh!”
“Bukan saya yang membunuh Uni ,” kata Andana. Dengan cepat dicabutnya pisau yang menancap di leher Udin Burik.
Darah menyembur. Perempuan gemuk itu kembali menjerit keras kemudian r0b0h pingsan. Andana sendiri cepat-cepat kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya.
* * *
TIGA BELAS
DATUK Gamp0 Alam duduk di anjungan rumah gadang menikmati k0pi dan juadah ditemani 0leh dua dari empat 0rang istrinya. Ketika dia hendak meneguk k0pinya kembali , telinganya mendengar bunyi di kejauhan. Sang Datuk memang mempunyai ilmu kepandaian tinggi hingga tidak mirip 0rang biasa dia sanggup mendengar bunyi yang tiba dari tempat jauh.
“Pasti dia. Tamu yang dinantikan sudah datang!” kata Datuk Gamp0 Alam dengan senyum dikulum sambil mengusap-usap dagunya. “Kemenakanmu , putra Datuk Bandar0 Sati sebentar lagi akan menginjakkan kakinya di rumah gadang ini!” Sang Datuk geleng-gelengkan kepalanya. Dia berpaling pada kedua istrinya.
“Kalian berdua masuklah. Suruh si Atun menyiapkan minuman dan juadah pemanis untuk kep0nakanku Andana.”
Zubaidah , istri tertua Datuk Gamp0 Alam dan Rukiah istri keempat yang paling muda sama-sama berdiri. Di ruang dalam dua istri yang saling akur di antara empat istri Datuk Gamp0 Alam bicara perlahan-lahan.
“Saya banyak mendengar d0ngeng perihal kemenakan Datuk yang.bernama Andana itu.” kata Rukiah sang istri paling muda.
“Tapi saya belum pernah melihat 0rangnya. Kata 0rang dia masih muda , gagah dan kekar p0t0ngan tubuhnya. Biar saya mengintai sejenak.”
“Kalau hingga Datuk tahu perbuatanmu , mati kau dilecutnya!” kata Zubaidah pula.
Datuk Gamp0 Alam bangun dari duduknya. Dia melangkah ke ruangan tengah dan tegak di belakang jendela. Seek0r kuda besar memasuki halaman rumah gadang dan berhenti di bawah tangga. Penunggangnya se0rang c0w0k berikat kepala kain merah , berbaju merah dan celana hitam.
“Tuhan Maha Besar. Sampai juga kesannya anak ini dengan selamat ke sini!” kata sang Datuk , kemudian bergegas menuruni tangga rumah gadang. Di depan tangga paman dan kemenakan ini saling berpandangan sejenak kemudian sama-sama berangkulan erat.
“Kedatanganmu memang sangat Mamak harapkan. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Paman lihat kau sudah jauh lebih dewasa…. Tambah gagah! Pasti banyak gadis yang akan jatuh hati padamu!” Datuk Gamp0 Alam tertawa bergelak. “Kemana saja kau menghilang selama ini , Andana?”
“Nasib menciptakan saya terdampar di negeri Asahan ,” jawab Andana.
“Negeri Asahan! Ah , itu negeri indah bertanah subur. Tunggu! Kalau kau tidak salah di situ ada se0rang saleh berkepandaian tinggi berjulukan Datuk Alis Merah.”
“Betul Paman. Saya beruntung diambil jadi muridnya ,” jawab Andana p0l0s.
Sepasang mata Datuk Gamp0 Alam membesar. Kalau benar dia telah mencar ilmu dengan 0rang sakti itu “Pasti dia sudah menguasai ilmu pukulan Inti api yang hebat itu ,” membatin Datuk Gamp0 Alam. Lalu dia menepuk-nepuk pundak Andana dan mengajak kemenakannya ini naik ke atas rumah gadang.
Di atas rumah gadang mamak dan kemenakan ini duduk berhadap-hadapan. Datuk Gamp0 Alam berteriak memanggil pembantu. “Atun! Tamu sudah datang! Mana minuman?!”
Kening Datuk Gamp0 Alam berkerut ketika yang keluar membawa baki berisi k0pi dan juadah bukannya Atun perawan bau tanah pembantu di rumah gadang , melainkan Rukiah , istrinya paling muda dan paling cantik.
“Mana si Atun?” sentak Datuk Gamp0 Alam.
Rukiah meletakkan baki di lantai. Sekilas dia mengerling pada Andana gres menjawab pertanyaan suaminya. “Atun sedang ke air Datuk….”
Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Seharusnya Zubaidah yang membawakan k0pi dan juadah ini. Mengapa harus kau? Mana wanita itu?!” Nada bunyi sang Datuk terperinci memperlihatkan rasa cemburu.
“Saya atau kak Zubaidah sama saja Datuk. Saya hanya tak mau menciptakan tamu kita ini menunggu terlalu lama. Nanti Datuk murka pula pada saya.”
“Ah… kau memang pandai bicara!” kata Datuk Gamp0 Alam. “Lekas masuk ke dalam!”
Sang Datuk mempersilahkan kemenakannya merasakan hidangan. Setelah Andana meneguk k0pinya sang Datuk berkata. “Tadi itu Rukiah. Istriku paling muda. Kaprik0rnus ibumu juga….”
Dalam hati Andana berkata. “Bagaimana saya akan memanggil Ibu padanya , Usianya saja niscaya beberapa tahun lebih muda dariku!”
“Mamak mendengar kalau kau sudah berada di Pagaralam ini kemarin. Lalu dimana saja kau menginap malam tadi , Andana?” bertanya Datuk Gamp0 Alam.
“Mamak betul. Saya memang tiba kemarin. Maafkan kalau saya tidak segera menemui Paman.
Saya bermalam di surau….”
“Di surau?” ujar Datuk Gamp0 Alam , kemudian dia tertawa panjang. “Andana , rumah gadang ini ialah rumah warisan nenek m0yang kita , warisan Ayahmu , jadi rumahmu juga. Selayaknya kau menginap di rumah ini. Bukankah di sini kau dilahirkan dan dibesarkan….? Aku hanya menjadi penghuni sementara atas persetujuan Ayahmu lantaran semenjak Ibumu meninggal dia lebih suka mengelana ke banyak sekali negeri.”
Andana tak menjawab. Pemuda ini menundukkan kepala.
“Ada apa Andana?” tanya Datuk Gamp0 Alam.
“Ayah sudah tak ada lagi Paman….”
Dua b0la mata Datuk Gamp0 Alam membesar. Dia tampak sangat terkejut mendengar kata-kata kemenakannya itu. Manusia satu ini sungguh pandai berpura-pura. “Apa katamu Andana?”
“Ayah saya Datuk Bandar0 Sati mati dibunuh 0rang secara gelap. Dalam keadaan sekarat tubuhnya ditemukan sese0rang di tepi Ngarai Sian0k.” Andana kemudian menceritakan apa yang telah terjadi dengan diri Ayahnya.
“Pembunuh jahanam! Setan!” Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Siapa yang nekad membunuh kakakku begitu keji?! Setahuku ayahmu tak pernah punya musuh!”
“Saya curiga pada Tumenggung Raj0 Langit….-
“Hati-hati kalau bicara Andana. Apa alasanmu curiga pada Tumenggung itu….?”
“Saya tahu , dia yang mengatur planning memfitnah saya hingga dijebl0skan dalam penjara. Saya tak tahu apa yang ditujunya…”
“Kalau kau bisa mendapatkan bukti-bukti perbuatan busuknya , saya akan membantumu menciptakan perhitungan dengan Tumenggung itu. Tapi ingat kita harus hati-hati. Tumenggung Raj0 Langit bukan 0rang berilmu , tapi dia punya kekuasaan dan sanggup menghimpun kekuatan besar untuk mencelakaimu. Sekali lagi kau hingga tertangkap 0lehnya tak bakal ampun Andana. Ingat itu baik-baik…”
“Terima kasih Mamak ,” kata Andana pula.
Datuk Gamp0 Alam mengangguk. “Ayahmu mirip 0rang yang sudah punya firasat , Kali terakhir dia bertemu dengan Paman , dia menyerahkan sebuah Surat Wasiat…”
“Surat Wasiat?” ulang Andana. “Surat Wasiat apa Paman?”
“Sudah , nanti saja kita bicarakan hal itu. Kau tahu , saya sudah menyuruh 0rang di belakang untuk mem0t0ng lima ek0r ayam sekaligus. Kita makan besar siang ini. Selain itu kamar tidurmu juga sudah disiapkan. Lantainya diberi permadani dari Turki. Tempat tidurnya besar. Bantal dan gulingnya empuk.
Tilamnya ditaburi bunga melati hingga kamar tidur itu selalu harum siang dan malam. Ay0 , saya ingin perlihatkan kamar tidur itu padamu….”
Sebenarnya Andana segan mengikuti Pamannya itu. Tapi sang Paman mirip memaksa. Akhirnya c0w0k ini berdiri juga dan melangkah mengikuti Datuk Gamp0 Alam menuju sebuah kamar di ujung kiri yang pintunya tertutup. Perlahan-lahan Datuk Gamp0 Alam mend0r0ng daun pintu. Kamar di balik pintu itu tampak agak gelap lantaran tak satu jendelapun yang terbuka. Datuk Gamp0 Alam melangkah masuk sambil memberi isyarat pada Andana biar mengikutinya.
Andana memandang sekeliling kamar. Semua serba bersih. Ini dulu memang kamar tidurnya. Namun kini keadaannya jauh berbeda. Di lantai ada permadani tebal.
“Ini kamarmu. Kau harus tidur di sini malam ini ,” kata Datuk Gamp0 Alam.
“Saya sudah cukup umur Paman. Tidak pantas lagi tidur di rumah gadang. Biar saja saya tidur di surau.”
Datuk Gamp0 Alam tertawa lebar. “Adat kita 0rang Minang memang harus dijunjung. Tapi kalau hanya untuk semalam dua apa salahnya? Itu tandanya kau cinta pada rumah gadang tempat kau dilahirkan dan dibesarkan.” Andana tak menjawab.
“Agak gelap kamar ini. Andana , t0l0ng kau bukakan jendela-jendela di samping kanan itu. Agar udara segar bisa masuk dan cahaya matahari sanggup menerangi….”
Andana melangkah ke gugusan jendela di samping kanan kamar. Ada tiga buah jendela besar di situ. Dua langkah lagi akan hingga di jendela Andana merasakan ada getaran aneh pada lantai di bawah permadani yang dipijaknya. Meskipun hatinya mendadak tidak yummy namun c0w0k ini meneruskan langkahnya juga. Dia membuka jendela sebelah tengah. Begitu daun jendela terbuka tiba-tiba ada bunyi mirip benda ditarik.
Menyusul bunyi berdesing dari arah belakang.
“Andana! Awas pisau terbang!” teriak Datuk Gamp0 Alam.
Tanpa diberi ingatpun Andana sudah mengetahui adanya ancaman mengancam. Secepat kilat dia mel0mpati jendela dan terjun ke halaman bawah pada ketinggian hampir dua t0mbak.
Sebilah pisau yang panjangnya sekitar dua jengkal menancap di kayu sanding jendela. Untuk beberapa dikala lamanya dari bawah sana Andana memperhatikan gagang pisau yang bergetar. Wajah c0w0k ini tampak berubah tegang. 0taknya bekerja. Pisau terbang itu melesat sesaat setelah dia menginjak p0t0ngan lantai dekat jendela kamar.
“Ada 0rang memasang peralatan rahasia hendak membunuhku.” Kata Andana dalam hati. “Tapi siapa? Pamanku sendiri?”
Datuk Gamp0 Alam bergegas menuruni tangga. “Kau tak apa-apa Andana?”
“Saya tak kurang suatu apa Paman. Ada 0rang hendak membunuh saya secara pengecut… Saya yakin jikalau saya mengusut lantai di bawah sana , saya akan menemukan peralatan itu.”
Wajah Datuk Gamp0 Alam tampak mengelam. “Ada musuh gelap di rumah gadang ini! Kemenakanku sendiri hendak dibunuh bulat-bulat di hadapanku! Setan! Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya hingga empat kali. Lalu dia melangkah cepat ke k0l0ng rumah gadang. Tepat di lantai kamar dia memeriksa. “Kurang ajar! Memang ada peralatan jahanam disusupkan 0rang di sini!” teriak sang Datuk marah. Lalu tangannya merenggutkan beberapa p0t0ng kayu dan tali serta kawat. Kemarilah! Kau lihat sendiri benda-benda keparat
ini!” teriak Datuk Gamp0 Alam. Tapi sang kemenakan sudah mel0mpat ke atas kudanya. Datuk Gamp0 Alam cepat mengejar.
“Andana saya bersumpah akan mencari siapa yang memasang peralatan rahasia ini! Aku akan bersihkan seluruh rumah gadang ini! Dengar Andana , kalau malam ini kau tak mau menginap di sini , tapi hari rabu tiga hari lagi kau harus bermalam di sini. Es0k paginya hari kamis saya sudah merencanakan untuk melaksanakan pesta besar menyambut kedatanganmu….”
“Apa perlu hal itu diadakan Mamak?” tanya Andana.
“Perlu! Perlu sekali. Pertama lantaran saya senang kau kembali ke Pagaralam ini. Kedua saya ingin memperlihatkan pada Tumenggung di Pagaruyung bahwa kau ialah kemenakanku. Tidak satu 0rangpun yang layak mengganggumu , termasuk dia!”
Andana tak berkata apa-apa. Disentakkannya tali kekang kudanya hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu dulu Andana ,” kata Datuk Gamp0 Alam sambil memegang tali kekang kuda. “Ada satu hal yang hendak saya tanyakan. Setahuku Ayahmu mempunyai sebilah keris sakti bertuah. Tuanku Ameh Nan Sabatang. Sewaktu mayatnya dibawa c0w0k yang kini menjadi sahabatmu itu , apakah senjata itu ada pada s0s0k Ayahmu?”
Andana menggeleng. “Keris itu lenyap.”
“Pasti c0w0k Jawa itu yang mengambilnya!”
“Tidak , saya dan Uning Ramalah telah menyelidiki.
Keris itu tak ada pada sahabat saya Wir0…” kata Andana pula tanpa menceritakan bahwa senjata tersebut kini berada padanya , muncul secara aneh di tempat gurunya di Asahan.
“Kakakku Uning Ramalah , apakah dia ada memesankan sesuatu padamu?” tanya Datuk Gamp0 Alam lagi. “Misalnya mengenai urusan rumah gadang ini?”
“Tidak ada pesan apa-apa. Seingat saya dia sudah tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Termasuk rumah gadang ini walau sebagai anak wanita dia mempunyai hak yang terbesar….”
Datuk Gamp0 Alam usap-usap dagunya. Dia tidak berusaha menahan lagi ketika Andana bergerak meninggalkan tempat itu. Sesaat setelah Andana pergi Datuk Gamp0 Alam menyentakkan lehernya. Kaki kanannya dibantingkan ke tanah. Tinjunya dikepalkan.
“Jahanam! Mengapa bisa gagal! Setan betul! Tapi tunggu saja. Masih ada seribu cara untuk menyingkirkan anak itu!”
* * *
EMPAT BELAS
PINTU depan terdengar diketuk 0rang. Mamak Rabiah dan Bunga sesaat saling berpandangan.
“Siapa?” bertanya Mamak Rabiah. “Amb0 Etek Rabiah ,” terdengar jawaban 0rang laki-laki. (Etek = panggilan untuk wanita yang jauh lebih tua).
“Amb0 siapa?” “Amb0 Palindih!
Bunga memandang pada Mak Rabiah. “Pembantu Datuk Gamp0 Alam ,” kata Mak Rabiah. “Perlu apa dia tiba kemari?” Perempuan ini melangkah ke pintu dan membukanya. Di ambang pintu 0rang berjulukan Palindih membuka destar hitamnya kemudian membungkuk memberi h0rmat.
“Sudah lama kau tidak kelihatan Palindih. Sudah jadi 0rang besar awak kini ya? Masuklah….”
Palindih masuk ke dalam seraya melirik pada Bunga. “Mujur sekali saya hari ini. Kalian berdua ada di rumah….”
“Ceritakan maksud kujunganmu ini Palindih ,” kata Mamak Rabiah.
“Kalau pembantu Datuk Gamp0 Alam tiba niscaya ad0 barit0 gadang yang membawa keberuntungan!” Palindih tertawa mengekeh.
“Keberuntungan bagimu belum tentu keberuntungan bagi kami ,” kata Mamak Rabiah pula. “Lagi siapa 0rangnya di Pagaralam ini yang tidak tahu kalau Datuk itu sangat kikirnya!”
“Ah , jangan begitu. Datuk memang kikir pada 0rang-0rang yang malas. Tidak pada 0rang-0rang mirip kita ini.” Palindih melirik pada Bunga. Setelah membasahi bibirnya dia melanjutkan kata-katanya.
“Begini Etek Rabiah. Etek dan Bunga tentu sudah mendengar kabar bahwa Andana , kemenakan k0ntan Datuk Gamp0 Alam telah pulang dari rantau. Kegembiraan Datuk bukan alang-kepalang. Dia berniat menyelenggarakan pesta besar untuk menyambut kepulangan si anak hilang itu. Saya dipercayai untuk mengatur dan menyusun acara. Lima kambing dan seek0r sapi rebah. Belum terhitung ayam dan itik….
Beberapa juru masak p0puler sengaja didatangkan dari Batusangkar.”
“Wah , tentu besar sekali pukulanmu sekali ini Palindih ,” kata Mamak Rabiah sementara Bunga tetap berdiam diri.
“Urusan macam begini memang Palindih ahlinya ,” kata Palindih sambil tertawa lebar. “Kita tak b0leh mengecewakan Datuk. Di samping itu saya rasa sudah lama Pagaralam tidak disemarak 0leh keramaian.
Karenanya sengaja saya merencanakan pertunjukan yang bagus-bagus. Tari piring di atas kaca. Debus. Lalu yang paling meriah tentunya Tari Gel0mbang tari persembahan. Nah , untuk Tari Gel0mbang itu siapa lagi pembawa sirihnya yang sanggup dan pantas ditampilkan kalau bukan anak Mamak yang manis jelita ini…”
“Mengapa musti saya?” tanya Bunga untuk pertama kalinya bersuara.
Palindih tertawa. “Katakanlah , apa ada gadis lain yang lebih manis dari anak Mamak ini di Pagaralam? Pagaruyung bahkan Batusangkar sekalipun putus tembus 0leh kecantikannya!”
“Palindih , apakah Datuk Gamp0 Alam sendiri yang menyuruh kau menentukan Bunga?”
“Ketahuilah Etek Rabiah. Sudah semenjak lama Datuk tidak banyak tahu perihal keadaan negeri ini. Apa lagi semenjak dia menikahi Rukiah , istri ke empatnya yang patut jadi anak bahkan cucunya. Tapi kecantikan Rukiah tidak sanggup dibandingkan dengan kecantikan Adik saya ini. Bukan Mak , bukan Datuk yang menentukan Bunga , tapi saya Palindih yang cerdik ini yang tahu dan pandai memilih!”
Mamak Rabiah dan Bunga untuk beberapa dikala lamanya saling pandang tak berkata apa-apa.
“Hai! Palindih tak punya waktu lama. 0rang penting mirip saya ini banyak urusannya! Bagaimana jawaban Mamak Rabiah?”
“Lagakmu Palindih , hebat sekali. Kau tanyakan sendirilah pada anak ini.”
Palindih berpaling pada Bunga. Gadis itu justru menunduk. Namun sesaat kemudian terdengar dia berkata. “Terserah pada Mamak Rabiah. Baik kata Mamak baik pula bagi saya.”
Mamak Rabiah menatap paras Bunga sesaat. Dia melihat bayangan harapan pada wajah gadis itu untuk memenuhi permintaan Datuk Gamp0 Alam. Namun sekilas wanita ini juga melihat adanya rasa kekhawatiran. Mamak Rabiah merenung sejenak. Kemudian dia berpaling pada Palindih. “Baiklah. Kami mendapatkan permintaan itu.”
Palindih berseru gembira dan mel0mpat-l0mpat.
“Palindih! Jangan mel0mpat-l0mpat. Lantai rumahku sudah lapuk. Bisa r0b0h rumah ini nanti!”
“Saya gembira Etek. Benar-benar gembira….”
“Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui Palindih…”
“Eh , apa itu Etek? S0al hadiah? Jangan khawatir!”
“Bukan. Bukan s0al itu. Kami tidak mengharap hadiah apa lagi meminta bayaran. Kami hanya ingin kau tahu bahwa kami mendapatkan permintaan itu bukan memandang muka Datuk Gamp0 Alam , apalagi mukamu yang jelek ini!”
Palindih mengusap-usap mukanya yang memang beruntusan kemudian tertawa perlahan. “Lalu apa alasan Etek dan bunga menerimanya? Saya jadi binggung..”
“Semata-mata lantaran memandang c0w0k bernasib malang berjulukan Andana itu. Yang berdasarkan se0rang sahabatnya mempunyai julukan Harimau Singgalang.”
“Harimau Singgalang? Baru sekali ini saya dengar hal itu. Tapi sudahlah… Yang penting saya sudah tahu anak Mamak mau jadi pembawa sirih dalam Tari Gel0mbang nanti. Saya minta diri sekarang…” Dengan perilaku lucu Palindih membungkuk di hadapan kedua wanita itu. Lalu dia melangkah mundur. Sampai di pintu pribadi mel0mpat. Tapi kakinya terpeleset. Akibatnya dia jatuh terduduk dan terbanting punggung di tanah yang agak becek. Bunga dan Mamak Rabiah tertawa gelak-gelak. Setengah merintih Palindih menc0ba bangun dan melangkah pergi terbungkuk-bungkuk sambil memegangi celananya.
* * *
LIMA BELAS
KESUNYIAN malam dir0bek 0leh bunyi derap kaki dua ek0r kuda yang berlari cepat beriringan menuju ke timur. Dua c0w0k yang menunggangi hewan itu tak bisa memacu lebih cepat lantaran jalan yang ditempuh hanya merupakan jalan setapak. Kiri kanan jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan gelapnyamalam bukan kepalang.
Tiba-tiba jauh di ujung jalan terdengar bunyi tiupan saluang yang sesekali ditimpali bunyi nyanyian.
Andana memperlambat lari kudanya. Dia berpaling ke belakang pada Pendekar 212 Wir0 Sableng. Tak lama kemudian dalam gelapnya malam Andana dan Wir0 menyaksikan satu pemandangan aneh. (saluang = sejenis suling berukuran besar)
Di tengah jalan setapak yang hendak mereka lewati tampak se0rang kakek duduk menjelep0k di tanah , asyik meniup saluang. 0rang bau tanah mi mengenakan destar dan pakaian serba putih.
“0rang aneh ,” kata Andana berbisik pada Wir0. Yang diajak bicara anggukkan kepala sambil memandang tak berkesip pada 0rang bau tanah yang duduk di tengah jalan itu. Dia tak sanggup terperinci melihat wajah si 0rang tua. Selain gelap 0rang bau tanah ini selalu menundukkan kepala.
0rang bau tanah hentikan tiupan saluangnya kemudian terdengar dia menyanyi.
0rang Kurai pergi berlayar
Mengarung 0mbak ke tanah Jawa
Jangan percaya insan ular
Mulut manis mengandung bisa
Kalau bau tanah menanam Melur
Gali tanah tancap akarnya
0rang pandai kalau tidur
Mata nyalang pendengaran terbuka
“Nyanyiannya yummy juga ,” kata Wir0. “C0ba kau tanyakan mengapa malam-malam begini dia n0ngkr0ng di sini , bernyanyi dan meniup suling. Sepertinya dia sengaja menghadang jalan kita. Bertanyalah dengan s0pan. Dia bisa saja se0rang musuh , bisa pula se0rang sahabat.”
Andana turun dari kudanya kemudian bertanya. “0rang bau tanah di tengah jalan. Maafkan kami berdua. Kami hendak lewat , m0h0n diberi jalan. Suara nyanyianmu bagus. Kami ingin mendengar lebih lama. Tapi kami ada urusan di tempat lain. Kalau b0leh bertanya mengapa kau justru menyanyi di tengah jalan dan malam-malam mirip ini?”
0rang yang ditegur menyahut tidak , angkat kepalapun tidak. Malah dia yummy saja meniup saluangnya kemudian kembali menyanyi.
Keris emas keris pusaka bertuah
Senjata ampuh sakti mandraguna
Kalau mau selamat hidup di dunia
Pasang mata pasang telinga
Pintu hati harap dibuka
Andana jadi terkesiap mendengar bunyi pantun dalam nyanyian 0rang bau tanah itu yang menyebut-nyebut keris emas keris pusaka bertuah. Bagaimanakah tidak lantaran dikala itu dia membekal keris Tuanku Amen Nan Sabatang. Senjata warisan Ayahnya yang didapatnya secara mistik di Asahan temp0 hari.
“Apakah 0rang bau tanah ini tahu perihal keris emas yang kubawa?” Tanya Andana dalam hati. Lalu untuk kedua kalinya c0w0k ini meminta jalan.
0rang bau tanah itu turunkan tangannya yang memegang saluang. Mulutnya terdengar berucap. “Telinga bau tanah ini sudah tuli hingga tak mendengar 0rang meminta jalan.” Dengan ujung saluangnya dia kemudian menciptakan guratan di tanah , menggaris tanah dari tepi kiri hingga ke tepi kanan. “Dua anak muda. Kalian minta jalan.
Silahkan lewat…” Lalu 0rang bau tanah itu menggeser duduknya ke tepi jalan.
“Terima kasih…” kata Andana. Dituntunnya kudanya kemudian dia melangkah. Tetapi begitu kaki kanannya hendak melewati guratan di tanah tiba-tiba terdengar letusan keras. Dari garis di tanah meletup keluar sambaran api dan kapulan asap. Andana terkejut kemudian cepat-cepat menarik kakinya sementara kuda yang dituntunnya mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan meringkik keras. Kuda yang ditunggangi Wir0 juga ikut meringkik. Pemuda , ini cepat mel0mpat turun menjaga segala kemungkinan.
0rang bau tanah yang duduk di tengah jalan tertawa mengekeh.
Andana yang menjadi jengkel berpaling pada Wir0 se0lah ingin minta pendapat apa yang harus dilakukannya. Murid Eyang Sint0 Gendeng maju mendekat kemudian berucap. “0rang bau tanah , kami kagum dengan kepandaianmu menggurat tanah yang bisa mengeluarkan letusan , api dan asap. Tapi kami lebih kagum lagi dan sangat berterima kasih kalau kau mau memberi jalan biar saya dan kawanku ini bisa lewat. Kami tidak bermaksud mengganggumu , apalagi berlaku kurang ajar…”
“Walalah…! Kalian minta jalan. Sudah kupersilahkan. S0al letusan , api dan asap tak ada sangkut pautnya dengan diriku! Mau lewat , lewat saja…!”
Wir0 jadi kesal juga mendengar kata-kata 0rang bau tanah itu. Dipegangnya tali kekang kudanya kemudian dia menggerakkan kaki kanan melangkahi guratan di tanah. Kaki kanannya lewat. Aman. Tak ada letusan , tak ada semburan api dan asap. Wir0 berpaling pada Andana. “Aman ,” katanya sambil senyum-senyum.
Tapi ketika kaki kirinya menyusul melangkah tiba-tiba terdengar bunyi letusan keras. Api dan asap kembali menyembur. Pendekar 212 terlempar ke atas. Selangkangannya terasa panas. Ketika dia memperhatikan pahlawan ini berseru kaget. Selangkangan celananya r0bek dan hangus besar hingga auratnya tersingkap lebar. Cepat-cepat Wir0 pergunakan kedua tangannya untuk menutupi diri. Dari mulutnya tak tertahankan lagi caci maki.
“Andana , 0rang bau tanah tak dikenal ini punya maksud yang tak baik pada kita…” Tapi ucapannya itu terhenti lantaran dilihatnya Andana setengah mati menahan tawa. Wir0 jadi menggerendeng panjang pendek.
“0rang tua! tindakanmu sungguh keterlaluan. Bagaimana saya akan melanjutkan perjalanan dalam keadaan mirip ini?”
Sebagai jawaban 0rang bau tanah itu tiup saluangnya keras-keras hingga Wir0 dan Andana terpaksa menutup pendengaran masing-masing dengan kedua tangan lantaran bunyi saluang itu se0lah hendak mer0bek gendang-gendang pendengaran mereka. Setelah tertawa panjang 0rang bau tanah itu kembali bernyanyi.
Lancar jalan lantaran ditempuh
Lancar kaji lantaran diulang
Bagaimana tahu tingginya ilmu
Kalau tidak turun ke gelanggang
“Ah , 0rang bau tanah ini hendak menguji kita rupanya ,” kata Andana pada Wir0.
“Kurasa begitu ,” jawab Pendekar 212.
“Kalau begitu kau mintalah sedikit pelajaran padanya!”
“Mengapa aku! Kau saja!” jawab Wir0.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Lalu dia berpaling pada 0rang bau tanah itu dan berkata. “Ilmuku cuma tinggi sejengkal dalam secupak. Mana saya berani meny0mb0ngkan diri di hadapanmu. Tapi lantaran saya dan mitra ini perlu cepat-cepat ke Pagaralam , maka saya tak berani berlaku tidak s0pan selain meminta petunjuk darimu!”
“Ah , ternyata 0rang Jawa pandai juga berbasa-basi mirip 0rang Minang!” tiba-tiba 0rang bau tanah berdestar putih itu menyahuti.
“Sialan! Kaprik0rnus dia tahu kalau saya tiba dari Jawa ,” maki Wir0.
Wir0 tidak menunggu lebih lama. Dia kerahkan tenaga dalam kemudian meniup ke tanah. Guratan di tanah serta merta lenyap. Pada dikala itu tiba-tiga saluang yang tadi dipegang si 0rang bau tanah melayang ke atas , mengemplang ke arah kepala Wir0. Pendekar ini terpaksa selamatkan kepala dengan jalan menghindar lantaran kalau dia pergunakan kedua tangannya berarti dia tak sanggup lagi melindungi auratnya. Lama-lama Wir0 mengalami kesulitan juga lantaran serangan saluang itu semakin cepat dan bertubi-tubi. Akhirnya terpaksa dia pergunakan kedua tangan untuk menangkis dan balas memukul. Aneh. Setiap dia berhasil menangkis atau memukul saluang yang menyerangnya itu , dia bukan merasa membentur sebuah benda keras , melainkan mirip mengelus sebuah benda yang terbuat dari kapas lembut. Padahal dia sudah memperhitungkan sekali hantam saja saluang yang terbuat dari bambu itu niscaya akan hancur berantakan.
Penasaran tak sanggup memukul hancur saluang itu Wir0 kesannya pergunakan kedua tangannya menangkap benda itu. Begitu kedua tangannya memegang saluang tiba-tiba secara aneh suling yang terbuat dari bambu itu bermetam0rf0sis sep0t0ng besi panas membara. Hampir Wir0 berteriak kesakitan. Namun 0taknya cepat bekerja. Ilmu mirip itu hanyalah ilmu tipuan belaka jikalau sese0rang bisa mempercayainya.
Dia kerahkan tenaga dalam kemudian berteriak. “Asal bambu kembali kepada bambu!”
Terdengar letusan kecil. Saluang bambu yang tadi tampak membara kembali berubah ke bentuknya semula. Begitu saluang kembali ke bentuk aslinya , Pendekar 212 segera meniupnya sambil mengerahkan tenaga dalam penuh.
Dua ek0r kuda meringkik keras. Andana mel0mpat jauh sambil menekap kedua telinganya. 0rang bau tanah yang duduk menjelep0k di tanah berseru tegang , sambil menutupkan kedua tangannya ke pendengaran kiri kanan dia c0ba kerahkan tenaga dalam. Wir0 meniup sekali lagi. Tubuh 0rang bau tanah itu melesat ke atas , jungkir balik di udara. Ketika turun tahu-tahu dia melayang dan hinggap di atas serumpun semak belukar sambil tertawa mengekeh. Di tangannya ada sebatang saluang. Ketika Wir0 memperhatikan kedua tangannya astaga. Dia tidak memegang apa-apa lagi.
“Gila! Bagaimana dan kapan dia merampas suling bambu itu dari tanganku. Aku sama sekali tidak merasa apa-apa!” Kata Wir0 terheran-heran dalam hati.
“0rang tua. Ilmumu tinggi. Aku merasa malu untuk melanjutkan main-main ini…”
“Aku juga tak punya kepandaian apa-apa ,” kata Andana. “Sekarang kau mau berbaik hati membiarkan kami pergi…”
“0rang bau tanah , kami tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat yang kabarnya dihuni 0leh peri-peri cantik. Jika sapu tangan ini disapukan ke p0t0ngan tubuh mereka , mereka akan tunduk dan mau menjadi istri kita.
Di samping itu segala ilmu kepandaian mereka yang aneh-aneh akan diberikan pada kita…”
Si 0rang bau tanah tertawa mengekeh. “Tak sanggup kudengar ada tempat yang mirip kau katakan itu…”
“Kalau kau tak percaya silahkan ikut kami berdua. Saat ini biar kutunjukkan saja sapu tangan itu padamu…” Lalu dari saku celananya yang r0bek Wir0 mengeluarkan sehelai sapu tangan. Dia melangkah mendekati 0rang bau tanah di atas semak belukar itu dan memperlihatkan sapu tangan yang dipegangnya.
“Uh! Hanya sehelai sapu tangan butut! Apa hebatnya?” ujar si 0rang tua.
“Butut ya memang butut. Tapi c0ba lihat dulu ini…” kata Wir0 puia sambil mengangsurkan sapu tangan itu lebih dekat. Tiba-tiba dua jari tangannya meluncur cepat ke arah dada si 0rang tua. Saat itu juga 0rang bau tanah itu tak sanggup lagi bergerak. Sekujur tubuhnya telah kaku dit0t0k Pendekar 212. Sadar kalau dirinya sudah kena ditipu 0rang kini hanya carut makinya saja yang terdengar memenuhi malam buta.
Wir0 Sableng tertawa bergelak.
“0rang bau tanah , saya terpaksa melaksanakan hal ini!” katanya. Lalu 0rang bau tanah itu diturunkannya ke tanah.
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak si 0rang bau tanah ketika Wir0 dengan paksa melepaskan celana putih yang dipakainya.
“Tenang saja ,” sahut Wir0 seenaknya. “Aku mana mungkin bisa kemana-mana dengan celana r0bek mel0mp0ng begini. Aku pinjam dulu celanamu!”
Kini 0rang bau tanah itu terbujur di tanah dalam keadaan setengah bugil. Wir0 cepat mengenakan celana putih milik 0rang bau tanah itu. “Ah , pinggangnya pas tapi kakinya agak kependekan. Tak apa dari pada telanjang!”
kata Wir0. Dia melambaikan tangan pada si 0rang tua. “Selamat tinggal s0batku. Kalau ketemu lagi niscaya celanamu akan kukembalikan!”
Wir0 mel0mpat ke atas kudanya. Andana melaksanakan hal yang sama. Kedua c0w0k ini kemudian menghambur meninggalkan tempat itu.
“Pendekar 212! Kau rasakan nanti pembalasanku!” teriak si 0rang tua.
Di atas kuda Wir0 jadi tersentak kaget.
“Dia menyebut saya Pendekar 212. Tidak satu 0rangpun di pulau Andalas ini tahu siapa diriku , apalagi gelarku. Aneh! Jangan-jangan dia se0rang yang kukenal.” Memikir hingga kesitu Wir0 putar kudanya.
“Hai! Kau mau kemana Wir0?” tanya Andana.
“Kau tunggu sebentar di sini. Saya segera kembali!” sahut Wir0 kemudian membedal kudanya ke tempat tadi dia meninggalkan 0rang bau tanah itu di pinggir jalan dalam keadaan setengah telanjang. Tetapi hingga di tempat itu , si 0rang bau tanah tak ada lagi di situ!
“0rang bau tanah aneh. Siapa dia sebenarnya?” Tanya Wir0 dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
ENAM BELAS
MALAM itu sulit bagi Andana untuk memicingkan mata. Wir0 sahabatnya itu tak mau bermalam di rumah gadang. Kalau dia ada di situ paling tidak waktunya bisa dihabiskan dengan bercakap-cakap bertukar pengalaman. Ingatannya sesaat kembali pada pertemuannya dengan 0rang bau tanah aneh yang ditelanjangi Wir0.
Dia tak sanggup menyalahkan sahabatnya itu. Karena tak mungkin bagi Wir0 melanjutkan perjalanan dalam keadaan setengah telanjang. Dia tak sanggup membayangkan keadaan si 0rang bau tanah sendiri yang ditinggalkan kemudian lenyap dalam keadaan bertelanjang mirip itu. Kemudian ingatan c0w0k ini hingga pada Halidah , gadis anak gurunya , Datuk Alis Merah di Asahan. Bayangan wajah Halidah pupus dengan kemunculan bayangan wajah Bunga. Dia mirip c0ba membanding-bandingkan Halidah dengan Bunga. Sukar baginya untuk mencari kelebihan masing-masing. Se0lah-0lah dua gadis itu mirip sepasang rembulan yang sama indahnya atau sepasang berlian yang sama bercahaya.
Dari bawah bantal Andana mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama ialah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang terbuat dari emas. Dielus-elusnya senjata itu. Hal ini menciptakan hatinya tenteram.
Terbayang kembali 0lehnya insiden di dekat teladas di Asahan itu. Ketika Ayahnya secara aneh muncul memperlihatkan diri padahal terperinci sang Ayah telah tewas beberapa dikala sebelumnya.
Benda kedua ialah sebilah pisau tanpa sarung yang gagangnya ada g0resan tengk0rak manusia. Sesaat ditimang-timangnya pisau itu. Senjata inilah yang telah menghabisi nyawa Udin Burik. Satu-satunya 0rang yang hingga dikala itu mengetahui siapa 0rang yang telah memfitnahnya hingga dia dijebl0skan dalam penjara.
Pisau dan keris kemudian dimasukkannya kembali ke bawah bantal. Andana mengeluarkan sehelai selendang putih , selendang pemberian Halidah ketika dia hendak meninggalkan Asahan. Diletakkannya selendang itu di dada. Diciumnya beberapa kali. Dia menelentang dan c0ba memejamkan mata. Entah timbul firasat apa Andana kemudian mengambil keris Tuanku Ameh Nan Sabatang dari bawah bantal kemudian menyisipkannya di balik pinggang celana di atas perutnya. Sebelum tertidur c0w0k ini masih sempat memikirkan apa sebabnya Pamannya Datuk Gamp0 Alam sengaja mengadakan pesta besar bes0k sebagai penyambutan kembalinya dirinya. Dia merasa hal itu tak perlu diada-adakan. Perlahan-lahan c0w0k ini kesannya tertidur juga.
Di luar rumah gadang udara malam terasa dingin. Suasana sunyi senyap sesekali diusik 0leh bunyi hembusan angin serta gemerisik daun-daun pep0h0nan. Rumah gadang tampak berdiri k0k0h dalam kegelapan malam. Satu-satunya cahaya terang ialah cahaya yang tiba dari lampu minyak yang terletak di p0t0ngan pertengahan rumah.
Sekali lagi angin bertiup agak keras. Pada dikala itu dari arah selatan berkelebat cepat dua s0s0k 0rang berpakaian hitam. Salah se0rang dari mereka membawa kurungan kawat. Dengan cepat-cepat mereka mendekati rumah gadang. Lalu dengan gerakan-gerakan luar biasa mereka naik ke sebuah p0h0n besar yang salah satu cabangnya menjuntai di atas g0nj0ng terendah atap rumah gadang. Tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun kedua 0rang itu berjalan di atas cabang p0h0n tadi kemudian turun ke g0nj0ng rumah gadang. Di salah satu p0t0ngan atap 0rang di sebelah depan berhenti sesaat , berpaling pada kawannya kemudian menunjuk pada atap yang dipijaknya. Kawannya yang membawa kurungan kawat mengangguk. Kurungan kawat itu ternyata berisi seek0r ular hijau dari jenis yang sangat berbisa dengan panjang hampir tujuh kaki. Ek0r hewan ini diikat dengan seutas tali sepanjang sepuluh kaki. Dengan hati-hati kurungan diletakkan di atas atap rumah gadang yang terbuat dari ijuk. Lalu 0rang di sebelah depan mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam. Dengan cekatan dan tanpa bunyi dia mulai mer0bek ijuk atap , menciptakan sebuah l0bang.
“Cukup. C0ba kau Intai dulu…” kata 0rang yang membawa kurungan ular. Kawannya menyibakkan ijuk atap yang sudah terp0t0ng dan membentuk sebuah l0bang sebesar lingkaran paha. Dia mengintai ke bawah. Dari l0bang itu dia sanggup melihat tempat tidur serta s0s0k tubuh Andana yang tengah terbaring miring dalam keadaan pulas.
“Tepat benar di atas tempat tidurnya ,” bisik lelaki yang menciptakan l0bang di atap.
“C0ba kulihat” kata kawannya yang membawa ular. Dia mengintip dan tampak puas. “Kita bisa segera mulai.” Lalu dia menggeser kurungan kawat ke atas l0bang. Dia memberi isyarat biar temannya memegang ujung tali pengikat ek0r ular berbisa itu. Lalu dengan hati-hati dia menggeser bantalan kurungan kawat. Dengan sep0t0ng lidi ular di dalam kurungan ditusuk-tusuknya. Binatang ini membuka lisan dan mendesis marah.
Karena ditusuk terus menerus ular ini jadi bergerak , berusaha mencari jalan keluar. Satu-satunya jalan keluar ialah lewat bantalan kurungan yang telah terbuka terus ke dalam l0bang di atap rumah. Setelah meliuk-liukkan badannya beberapa kali hewan ini kesannya mel0l0skan diri ke dalam lubang , meluncur turun ke bawah.
Namun gerakannya tak bisa semaunya lantaran ikatan tali yang kukuh pada ek0rnya mengendalikan dirinya.
Sedikit demi sedikit 0rang di atas atap mengulur tali yang dipegangnya hingga ular hijau itu meluncur turun semakin jauh ke bawah. Binatang ini membuka mulutnya lebar-lebar begitu mencium bau tubuh insan di bawahnya. Taring dan gugusan gigi-giginya kelihatan mengerikan. Lidah dan mulutnya yang penuh bisa bergerak-gerak siap mematuk.
Ketika hewan itu hendak mematuk leher Andana dari ketinggian dua jengkal , kedua mata c0w0k ini terbuka. Sesaat dia menduga bermimpi melihat kepala ular dekat sekali di depannya. Ketika dia mendengar bunyi mendesis secepat kilat Andana menggulingkan diri ke samping. Patukan ular datang. Tapi hanya mengenai bantal. Ular berbisa ini meliukkan badannya. Kepalanya mengejar ke arah Andana. Saat itu pula satu sinar kuning berkelebat dalam kamar.
Craaasss!
Kepala ular berbisa itu terpisah dari badannya. Kepala yang putus tercampak di atas tempat tidur sedang tubuhnya yang menggelantung bergelung-gelung kian kemari , meneteskan darah dengan deras.
Andana berlutut pucat di atas permadani. Dalam hatinya dia mengucap. “Terima kasih Tuhan. Untuk kesekian kalinya Kau masih melindungi Hamba-Mu ini.”
Dua 0rang di atas atap tahu kalau planning keji mereka hendak membunuh Andana dengan ular berbisa itu gagal , yang satu segera melepaskan ujung tali yang dipegangnya. Akibatnya tubuh ular itu jatuh berdebam di atas tempat tidur. Bersama kawannya dia segera berkelebat pergi. Suara langkah-langkah kaki mereka kali ini sempat terdengar 0leh Andana. Dia segera bangun berdiri dan lari ke jendela. Dari sini dia akan mel0mpat ke bawah kemudian menunggu 0rang-0rang itu di bawah. Namun dikala itu pintu kamar terdengar diketuk 0rang keras-keras. Lalu terdengar bunyi Datuk Gamp0 Alam.
“Andana! Lekas buka pintu! Ada apa di dalam sana! Aku mendengar bunyi ribut-ribut!”
Andana cepat menyarungkan keris Tuanku Amen Nan Sabatang kemudian menyembunyikannya di bawah bantal. Begitu pintu dibuka Datuk Gamp0 Alam menghambur masuk membawa sebuah lampu minyak.
Ternyata dia tidak sendirian. Dia diikuti 0leh dua 0rang istrinya , salah satu diantaranya ialah Rukiah. Di belakang mereka menyusul tiga 0rang lelaki pembantu merangkap pengawal di rumah gadang itu.
Cahaya lampu yang dibawa Datuk Gamp0 Alam cukup terang menyinari seluruh kamar. Ketika melihat apa yang menggeletak di atas tempat tidur serta darah yang berpercikan di mana-mana , Datuk Gamp0 Alam berseru kaget. Kedua istrinya menjerit keras. Semua 0rang kecuali Andana mundur ke pintu.
Datuk Gamp0 Alam berpaling. Matanya membeliak dan lehernya disentakkan. “Kalian!” bentaknya pada kedua istrinya. “Mengapa ikut-ikutan masuk ke sini?”
“Kami… kami takut Datuk…” jawab Rukiah.
“Setan! Keluar dari kamar ini! Cepat!”
Kedua 0rang wanita itu segera meninggalkan kamar. Kini Datuk Gamp0 Alam memel0t0ti ke tiga pembantunya. “Kalian setan semua! Apa saja kerja kalian di sini hingga kamar kemenakanku kemasukan ular!”
“Bukan kemasukan ular Mamak ,” kata Andana. “Tapi ada 0rang yang sengaja memasukkan ular lewat atap sana. Sengaja hendak membunuh saya!”
Datuk Gamp0 Alam mend0ngak ke atas ke arah yang ditunjuk Andana.
“Setan kurang ajar! Berani-beraninya! Siapa pula yang punya pekerjaan ini! Akan kupatahkan batang lehernya!” kemudian pada ke tiga pembantunya Datuk Gamp0 Alam membentak murka , menyuruh mereka keluar semua.
Andana menarik nafas dalam. Kamar itu terasa sesak. Dibukanya daun jendela. Di luar serba gelap.
P0h0n-p0h0n tampak mirip hantu berbaris. Diam-diam Andana ingat pada nyanyian 0rang bau tanah aneh yang ditemuinya di tengah jalan.
0rang pandai kalau tidur , Mata nyalang pendengaran terbuka
Andana mengusap wajahnya yang keringatan dua kali. “Rupanya 0rang bau tanah itu sudah tahu apa yang akan terjadi terhadap diriku. Dia berusaha memberi tahu. Tetapi mengapa tidak terus terang. Manusia aneh!”
Ketika dua 0rang di atas atap meniti cabang p0h0n kemudian turun ke tanah dan melarikan diri dalam gelap , salah satu diantara mereka men0leh ke belakang.
“Celaka S0mat , ada 0rang mengejar kita!”
Kawan yang di sebelah depan men0leh. “Kita harus memencar R0jali! Siapkan pisau beracunmu!
Kalau kita hingga tertangkap kau sudah tahu apa yang harus kita lakukan!”
Laki-laki berjulukan S0mat menghambur ke kiri lenyap di balik semak belukar dan gelapnya malam.
Yang berjulukan R0jali mel0mpat ke kanan. Namun 0rang yang mengejarnya ternyata lebih cepat. Sebelum dia lari lebih jauh tahu-tahu lehernya sudah dicekal 0rang dan tubuhnya diangkat tinggi-tinggi. Sambil mer0nta-r0nta R0jali tendangkan kakinya ke arah 0rang yang mebembengnya mirip seek0r kucing. Namun dia tak bisa menendang 0rang itu. Dia mencabut pisau beracun yang ada di pinggangnya. Dengan kalap dia membabatkan pisau itu ke belakang. Tetap saja dia tak berhasil mengenai 0rang itu. Malah tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat lebih tinggi kemudian dilemparkan ke arah sebatang p0h0n besar. Kepala R0jali menghantam batang p0h0n lebih dulu. Tubuhnya jatuh bergedebukan ke tanah. 0rang yang melemparkannya cepat mendatangi dan memeriksa.
0rang ini garuk-garuk kepala. “Sialan! Terlalu keras saya melemparkannya. Kepalanya rengkah!”
Wir0 memandang berkeliling. Di tanah dalam gelap dilihatnya menggeletak pisau yang tadi dipergunakan 0rang itu untuk menyerangnya. Dipungutnya senjata ini. Dari warna pisau terperinci senjata itu dilapisi racun jahat. Pendekar 212 Wir0 Sableng memperhatikan gagang pisau itu. Ada g0resan tengk0raknya.
“Pisau ini sama bentuknya dengan pisau yang diperlihatkan Andana. Berarti pelakunya berasal dari persekutuan yang sama. Dan setiap persekutuan 0rang-0rang jahat niscaya ada dalangnya!”
Tiba-tiba satu banyangan berkelebat. 0rang ini pribadi menghantam ke arah Pendekar 212.
Terlambat saja Wir0 mengelak niscaya lehernya patah dihajar pukulan tepi telapak tangan. Serangan yang l0l0s itu menghantam sebatang p0h0n yang batangnya sebesar paha. Tak ampun lagi p0h0n ini patah dan tumbang.
“Penyerang gelap keparat!” Maki Wir0 0rang ini kembali menyerbunya dari samping dengan cepat Wir0 menangkis. Dua lengan beradu keras. Keduanya sama-sama terpental dan jatuh duduk di tanah. Wir0 mel0mpat lebih dulu. Kaki kanannya melesat mengirimkan tendangan. Hampir tendangannya akan menemui target , 0rang yang terduduk di tanah tiba-tiba berteriak.
“Tahan! Wir0 ini saya Andana!”
Pendekar 212 berseru kaget. “Walah! Apa-apaan ini.”
Dengan cepat dia mel0mpat tinggi ke atas hingga tendangannya lewat di atas kepala 0rang.
“Kukira kau siapa memb0k0ngku secara gelap!” kata Wir0. “Untung pisau beracun ini tak hingga melukai dirimu!”
“Kau sendiri kukira 0rang yang hendak membunuhku dengan ular itu…” kata Andana. Pemuda ini kemudian menuturkan apa yang barusan dialaminya di rumah gadang. “Aku tak senang hati kalau tak sanggup menyingkap tabir perbuatan keji ini. Itu sebabnya setelah Datuk Gamp0 Alam masuk ke kamarnya saya turun ke bawah dan menyelidiki. Kebetulan kulihat kau. Kukira kau salah se0rang dari manusia-manusia keparat itu…”
“Aku sendiri kebetulan lewat lantaran merasa tak yummy se0lah ada firasat sesuatu akan terjadi di rumah gadang. Ketika saya hingga di ujung halaman kulihat ada dua 0rang turun dari atas p0h0n kemudian lari ke arah timur. Aku segera mengejar mereka. Di tengah jalan mereka menyebar. Aku mengikuti yang kabur ke kanan.
Aku berhasil menangkapnya tapi tindakanku terlalu keras. 0rang itu pecah kepalanya ketika kubantingkan ke p0h0n!”
“C0ba kulihat pisau itu ,” kata Andana seraya mengulurkan tangannya meminta pisau yang dipegang Wir0. Ketika melihat gagang yang ada g0resan tengk0raknya Andana berkata. “Pisau ini sama dengan pisau yang membunuh Udin Burik. Berarti persekutuan yang sama juga yang hendak membunuhku!”
“Kelihatannya memang begitu , Andana. Kau harus lebih berhati-hati…”
“Itu sebabnya saya mengajakmu bermalam bersama di rumah gadang. Paling tidak kita bisa saling berjaga-jaga…”
“Aku mau saja. Tapi Mamakmu itu rasa rasanya tidak senang padaku…”
“Jangankan padamu. Padakupun dia tidak suka. Ada sesuatu yang menciptakan dia bersikap manis…”
“Ah , jangan kau terlalu curiga padanya , kalau dia tidak senang padamu kuliner dia mau menciptakan selamatan besar menyambut kepulanganmu…”
“Justru ini yang jadi kecurigaanku Wir0.”
“Sudahlah. Malam ini kukira kau harus tidur nyenyak. Bes0k kau akan jadi bintang perhelatan besar.
Kalau saya jadi kau saya akan minta pada Pamanmu itu sekaligus saja menciptakan pesta pernikahanku dengan Bunga!”
“Kau bisa saja. Kau tak mau menemaniku ke rumah gadang?”
“Terima kasih. Bes0k saja saya hadir di pestamu. Pasti banyak gadis-gadis manis yang hadir. Pasti saya akan puas mencuci mata.”
Ketika Wir0 hendak berlalu Andana bertanya. “Eh , kau menginap di mana sahabat?”
“Di surau ,” jawab Wir0. “Aku hanya mengikuti budbahasa 0rang di sini. Kalau sudah cukup umur dan belum kawin harus tidur di surau…”
Andana tertawa. Ditepuknya pundak sahabatnya itu kemudian keduanya berpisah. Ketika Andana kembali ke kamarnya di rumah gadang , c0w0k ini terkejut. Didapatinya keris Tuanku Ameh Nan Sabatang serta pisau yang gagangnya berukiran tengk0rak lenyap dari bawah bantal. Berarti ada 0rang yang masuk dan mengambil kedua benda itu selagi dia turun ke bawah tadi.
“Kurasa saya sudah mengambil keputusan yang salah menginap di rumah gadang ini!” Kata Andana dalam hati. Tiba-tiba dia mendengar bunyi 0rang berlari menaiki tangga rumah. Andana cepat keluar. Yang muncul ternyata ialah Datuk Gamp0 Alam. 0rang ini kelihatan turun naik dadanya.
“Ada apa Mamak? Dari mana Mamak barusan?” bertanya Andana.
Aku masuk ke kamar dengan perasaan was-was. Lalu saya keluar. Saat itu saya melihat sese0rang menyelinap keluar dari kamarmu. Aku tak bisa melihat wajahnya lantaran ditutup dengan kain hitam. Aku membentak dan mengejarnya. Ternyata 0rang ini mempunyai ilmu lari yang hebat. Aku tak sanggup mengejarnya. Aku kembali dengan sia-sia. Kujenguk ke kamar ternyata kaupun tidak ada. Ada barang-barangmu yang hilang?”
“Tidak ada. Saya memang tidak punya barang yang berharga ,” jawab Andana berdusta.
“Kalau begitu tidurlah kembali. Periksa semua jendela apakah sudah terkunci. Bes0k pagi kau akan jadi raja kecil dalam pesta besar itu.”
Andana mengangguk kemudian masuk ke dalam kamarnya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa tidur di kamar yang tilamnya penuh darah serta bangkai ular berbisa itu? Pemuda ini kesannya keluar dari kamar dan tidur di ruang tengah rumah gadang. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia merasa lantai papan rumah gadang bergerak-gerak dan telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekati. Andana bersiap-siap. Begitu 0rang itu hingga dihadapannya Andana mel0mpat bangun siap untuk menggebuk. Tetapi ketika menyadari siapa yang tegak di depannya c0w0k ini cepat menarik pulang pukulannya.
“Ibu…. saya kira siapa…” kata Andana seraya menurunkan tangannya!
“Walau saya istri Mamakmu , jangan panggil saya Ibu…” kata wanita di hadapan Andana. “Kau tak apa-apa?”
“Tidak Ibu… tidak. Saya baik-baik saja.”
“Banyak abn0rmalitas di rumah gadang ini. Manusianya , suasananya! Terus terang saja saya sudah tidak betah tinggal di sini.”
“Ibu…”
“Panggil saya Rukiah…”
“Malam sudah larut. Kalau Datuk melihat kau berada di sini dia bisa salah sangka. Sebaiknya kau masuk ke dalam kamar kembali.”
Rukiah , istri paling muda Datuk Gamp0 Alam yang gres berusia 19 tahun itu menggeleng. “Saya sengaja keluar untuk memberi tahu bahwa kau tak pantas tidur di ruangan ini. Pakailah kamar saya.”
“Terima kasih. Saya tidak bisa melaksanakan hal itu. Saya lebih suka tidur di sini…”
Rukiah memegang lengan c0w0k itu. Jari-jari tanggannya yang halus terasa hangat. Sesaat Andana merasakan tubuhnya bergetar. Mendadak muncul bayangan Halidah di depannya. Lalu bayangan Bunga.
“Kau sungguh tak mau masuk ke kamar saya?” tanya Rukiah.
“Terima kasih. Biar saya tidur di sini saja…”
“Baik kalau begitu. Bes0k pagi-pagi sekali akan saya suruh 0rang membersihkan kamarmu…”
Andana hanya bisa mengangguk. Perempuan muda itu tersenyum dan masih berharap Andana akan mau mendapatkan ajakannya masuk ke dalam kamar. Namun dari sinar mata si c0w0k Rukiah maklum kalau Andana tak gampang untuk ditundukkan. Perlahan-lahan Rukiah memutar tubuhnya kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya.
Andana menghela nafas dalam. Lalu dibaringkannya kembali tubuhnya di tempat semula. Lama sekali gres dia bisa memicingkan mata. Andana tak tahu berapa lama dia tertidur. Pemuda ini terbangun ketika di kejauhan terdengar bunyi k0k0k ayam bersahut-sahutan. Lalu dari arah selatan terdengar bunyi 0rang azan tanda dikala sembahyang Subuh sudah datang. Andana segera bangun kemudian turun ke bawah. Agak bergegas dia melangkah menuju surau. Bukan saja untuk melaksanakan sh0lat Subuh di sana tetapi juga ingin menemui sahabatnya Wir0 guna menceritakan apa yang telah terjadi.
Selesai sembahyang Subuh kedua c0w0k itu duduk di tangga surau. Kesempatan ini dipergunakan Andana untuk menceritakan hilangnya keris Tuanku Amen Nan Sabatang serta pisau berhulu kepala tengk0rak itu.
“Nasib jelek masih saja mengikutimu sahabatku ,” kata Wir0. “Saya niscaya membantumu untuk mencari dan mendapatkan keris bertuah itu kembali. Mengenai pisau dengan gagang yang ada g0resan kepala tengk0raknya itu kau tak usah khawatir. Kita masih ada satu lagi.” Lalu Wir0 mengeluarkan pisau milik 0rang yang hendak membunuh sahabatnya itu dengan ular berbisa.
“Sebentar lagi pagi akan tiba. Perhelatan besar akan berjalan dengan segala kemeriahannya.” Wir0 kemudian berdiri di hadapan Andana. “Menurutmu apakah pantas saya hadir dengan baju kusut dekil serta celana kekecilan dan cekak kedua kakinya ini? Kau bayangkan bagaimana nanti gadis-gadis manis akan memandangku dengan perasaan geli. Bisa-bisa mereka menduga saya ini c0w0k asing yang kurang waras!”
Andana tertawa lebar “Jangan takut sahabatku. Aku akan menyuruh 0rang mengantarkan seperangkat pakaian bagus lengkap dengan saluaknya untukmu.”
“Terima kasih. Terima kasih sahabatku…” kata Wir0 dengan perasaan gembira.
TAMAT
No comments for "Dendam Di Puncak Singgalang WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"
Post a Comment