Tua Gila / Renta Asing Dari Andalas WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : TUA GILA DARI ANDALAS

212
SATU

SEORANG bertubuh tinggi besar berkelebat dalam gelapnya malam menuju lereng timur Gunung Singgalang. Di pundak kiri beliau me­manggul sesosok tubuh kurus bersimbah darah mulai dari kepala hingga ke badan. Di sebelah belakang dua orang berlari cepat mengikuti si tinggi besar.
Di satu pedataran sempit di timer gunung , orang di sebelah depan hentikan larinya. Lalu mirip melemparkan batangan kayu tidak berkhasiat orang ini bantingkan sosok tubuh yang dipanggulnya ke tanah. Dari mulutnya kemudian keluar seruan.
"Sabai! Kami datang!"
Belum habis gema seruan orang bertubuh tinggi ini tiba-tiba dari arah depan di mana terdapat sebuah goa kerikil melesat satu bayangan hitam putih! Yang hitam ialah pakaiannya yang berbentuk jubah dalam , seorang yang putih ialah rambutnya yang sepanjang pinggang. Berdiri di hadapan tiga orang yang bare tiba di tempat itu , ternyata ialah seorang nenek bermuka putih. Walau wajahnya sudah keriput namun masih kentara gejala bahwa di masa mudanya wanita bau tanah ini ialah seorang gadis manis jelita. Karenanya tidak salah orang menyebutnya Sabai Nan Rancak yang berarti Sabai Yang Cantik.
Si nenek pandangi tiga orang lelaki di hadapannya seolah hendak menelan mereka. Tanpa memandang pada sosok tubuh yang melingkar di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri si nenek bertanya.
"Kalian berhasil?"
"Apakah kami masih perlu menerangkan Sabai?" tanya letaki tinggi besar berusia lebih dari setengah abad. "Kau lihat sendiri apa yang barusan saya lemparkan ke tanah!"
"Hemmm…. Begitu…?" Si nenek elus-elus rambutnya yang putih panjang. Dia melirik pada sosok tubuh kurus berpakaian putih bersimbah darah yang tergeletak enam langkah di samping kirinya. Lalu beliau menyeringai.
"Kau tidak mempercayai kami?" Lelaki di sebelah kanan si tinggi besar ikut bicara. Orang ini bertubuh cebol mempunyai cambang bawuk begitu tebat hingga dari wajahnya yang terlihat hanya ujung hidung , sepasang mata dan sedikit serpihan keningnya.
"Dari bau wangi darahnya saja saya tahu kalau mayat yang menggeletak di depan situ memang bukan orangnya!"
"Sabai…" lelaki ketiga , yang paling muda di antara tiga orang yang barusan tiba itu maju dua tangkah ke arah mayat. "Malam begini gelap , muka mayat tertutup darah. Agaknya sulit bagimu untuk mengenalinya…."
Si nenek tertawa. Dia pandangi lagi tiga orang di depannya mirip tadi seolah mau menelan mereka butat-bulat.
"Katian bertiga hendak mendustaiku atau bagaimana?" Si nenek bertanya. Suaranya perlahan saja tapi mengandung ancaman.
"Sabai! Kau tahu kami siapa! Setelah mendapatkan hadiah darimu masakan kami berani menipu? Kau kira siapa yang kami bunuh? Kau sangka mayat siapa yang kami bawa ke hadapanmu?" Berkata si tinggi besar.
"Bagus kalau kalian memang tidak punya maksud begitu!" Si nenek kemudian berpaling pada telaki bertubuh cebol. "Alam Babegah! Coba kau bersihkan muka mayat dari noda darah yang menutupinya!"
Si cebol memandang pada kawannya si tinggi besar. Setelah orang ini mengangguk si cebol mendekati mayat yang tergeletak di tanah. Dengan telapak kaki kirinya dibersihkannya muka mayat yang penuh luka dari selubung darah.
"Sudah saya lakukan Sabai! Nah apa kini kau mengenali dan memastikan bahwa beliau memang orang yang kau suruh bunuh?" ujar si cebol Alam Babegah.
Nenek berambut putih panjang itu pandangi wajah mayat. "Mata cekung dan lebar memang sama dengan matanya. Hidung mirip burung kakak bau tanah juga sama dengan si keparat itu. Muka tak berdaging mirip tengkorak juga sama. Mmmm…."
"Bagaimana Sabai?" bertanya lelaki tinggi besar. "Sudah terperinci bagimu kini bahwa itu ialah mayat Tua Gila? Tidak sia-sia kami melaksanakan permintaanmu sampai-sampai dua sahabat kami menemui maut dalam melaksanakannya!"
Si nenek rambut putih menyeringai.
"Tampang boleh sama tapi belum tentu beliau orangnya!" Sabai Nan Rancak patahkan sebatang ranting kering kemudian dekati mayat yang terkapar di tanah itu. Dengan ujung ranting ditorehnya punggung pakaian mayat sebelah kiri. Lalu beliau memperhatikan dengan mata tak berkesip! Sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan marah.
"Kalian benar-benar telah menipuku! Bangsat ini bukan orang yang kumaksud! Tua Gila punya tanda sebuah tahi lalat di punggung kirinya. Orang ini tidak punya tanda itu!"
Tiga orang di depan Sabai Nan Rancak jadi terkesiap. Si tinggi besar masih berusaha membela diri. "Setelah puluhan tahun berlalu bisa saja tahi lalat itu lenyap dengan sendirinya…."
"Traakkk!"
Sabai Nak Rancak hantamkan ranting kayu di tangan kanannya ke verbal orang yang bicara hingga ranting patah. Darah mengucur dari luka besar di bibir si tinggi besar.
"Marang Tongga! Aku tak suka pada orang yang banyak verbal pandai berdalih macammu! Aku sudah katakan orang ini bukan Tua Gila! Kau masih mau berbanyak mulut?"
Marang Tongga si tinggi besar dan dua kawannya yaitu si cebol Alam Babegah serta Sidi Kumango sesaat jadi terdiam. Lalu dengan bunyi merendah Marang Tongga berkata.
"Kalau memang kami telah kesalahan tangan , itu hanya satu kebetulan saja Sabai. Kami tidak ada niat jelek untuk menipumu…."
"Lalu?!"
"Kami akan turun gunung kembali dan mencari musuh besarmu itu hingga dapat. Lalu membawa mayatnya ke hadapanmu!"
"Tiga bulan kemudian kau juga berkata begitu. Apa hasilnya?!"
"Sekali ini kami akan bekerja hati-hati , penuh selidik." Sabai Nan Rancak tertawa panjang menciptakan tiga lelaki di hadapannya jadi tidak enak.
"Kepercayaanku pada kalian putus sudah. Kalian boleh turun gunung. Aku tidak akan me­minta kalian untuk mengulangi mencari keparat itu. Marang Tongga , sebelum pergi harap kau kembalikan dulu kantong emas yang saya berikan tempo hari!"
"Tapi Sabai…."
Si nenek pelototkan matanya pada Marang Tongga. Air mukanya menjadi sangat menggidikkan. Kepalanya digelengkan beberapa kali. "Tidak ada tapi-tapian Marang. Lekas kembalikan emas itu!" Si nenek kemudian ulurkan tangannya.
Sambil gigit-gigit bibirnya sebelah bawah tanda kesal Marang Tongga keluarkan satu kantong kecil dari balik pakaiannya. Kantong berisi emas ini dilemparkannya ke arah Sabai Nan Rancak. Si nenek cepat menyambutnya dan cepat pula berkata.
"Aku belum pikun. Seingatku dulu saya memperlihatkan dua kantong emas padamu. Mengapa kau mengembalikan cuma satu?"
Marang Tongga menyeringai. "Sabai harap kau maklum. Tugas yang kau berikan pada kami bukan saja menghabiskan biaya , waktu tapi juga tenaga dan pikiran. Dua orang sahabat kami bahkan menemui ajal. Kaprikornus saya rasa pantas kalau cuma satu kantong yang saya kembalikan padamu!"
Sepasang mata si nenek tampak memancarkan einar aneh. "Kita tidak pernah menciptakan perjanjian mirip itu! Bayaran kalian dua kantong emas kalau berhasil membunuh Tua Gila dan membawa mayatnya ke hadapanku! Yang kau bunuh ternyata bukan Tua Gila! Jelas perjanjian menjadi batal! Ayo , cepat serahkan padaku emas yang satu kantong!"
"Emas itu tidak ada lagi padaku. Aku tinggalkan di satu tempat!"
"Jangan berani dusta!" hardik Sabai Nan Rancak. Wajahnya yang putih merah membesi.
"Kalau tidak percaya silahkan geledah!" jawab Marang Tongga.
"Kalau begitu sekantong emas itu terpaksa kau ganti dengan nyawamu sendiri!" kata Sabai Nan Rancak pula. Lalu masih memegang ranting kayu di tangan kanan beliau melangkah mendekati Marang Tongga.
Lelaki tinggi besar ini segera mencium bahaya. Maka beliau cepat berkata. "Tunggu dulu Sabai! Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Apa kau tuli? Tidak sanggup kau kembalikan sekantong emas itu , berarti kematian bagimu!"
"Jangan begitu Sabai. Bagaimana kalau kita menciptakan perjanjian baru? Kami bertiga bersumpah akan mencari Tua Gila hingga sanggup membunuhnya dan menyerahkan mayatnya padamu!"
"Janji dan sumpah hari ini tidak laris lagi Marang Tongga! Sekali saya bilang kau harus mati tak sanggup ditawar-tawar lagi. Atau mungkin dua kawanmu itu bisa mewakili kematianmu?!"
Berubahlah paras si cebol Alam Babegah dan Sidi Kumango mendengar ucapan si nenek. Se­baliknya Marang Tongga menyeringai la!u berkata.
"Jika kau memang suka nyawa mereka silahkan ambil!"
"Marang Tongga! Kau sudah gila!" teriak Sidi Kumango.
"Dia yang memimpin! Dia yang bertanggung jawab! Dia yang harus kau bunuh!" menimpali
Alam Babegah. Si nenek tertawa panjang. "Daripada susah-susah menentukan siapa yang harus kubunuh ba­gusnya kalian bertiga saya habisi saja!"
Sabai Nan Rancak melesat ke depan. Ranting di tangan kanannya menyambar , bermetamorfosis tebaran bayangan hitam mengeluarkan bunyi menderu. Tiga lelaki berseru kaget. Marang Tongga melihat ujung ranting menyambar ke arah keningnya. Cepat beliau melompat mundur. Alam Babegah membuang diri ke samping begitu ujung ranting di tangan si nenek membabat ke perutnya. Yang terlambat menyelamatkan diri ialah Sidi Kumango. Ranting kayu menancap telak di batang lehernya sebelah kiri , tembus hingga ke kanan. Dari tenggorokannya terdengar bunyi mirip ayam dipotong. Ketika Sabai Nan Rancak menarik ranting , darah pun memancur dari lobang luka di leher Sidi Kumango! Tubuhnya terhuyung beberapa kali sebelum roboh dan meng­geletak di tanah tanpa nyawa lagi!
Si nenek tertawa mengekeh. "Kalian sudah tahu! Sabai Nan Rancak tidak bisa dibentuk main-main! Sekarang rasakan sendiri akibatnya!" La!u sepasang mata wanita bau tanah ini melirik tajam pada Marang Tongga.
"Kalau kulawan tak ada gunanya! Aku masih ingin hidup!" membatin Marang Tongga. Sebelum si nenek kembali menyerbu beliau segera berseru. "Sabai! Kita sudahi urusan hingga di sini! Kantong emas yang satu lagi segera saya kembalikan padamu! Ini ambillah!"
Dari balik bajunya Marang Tongga keluarkan sebuah kantong kain kemudian dilemparkannya ke arah Sabai Nan Rancak. Si nenek gerakkan tangan kanannya yang memegang ranting. Kantong kain serta merta terkait di ujung ranting.
"Kau sudah mendapatkan kantong emasmu! Kaprikornus tak perlu kami berlama-lama di tempat ini!" Marang Tongga memberi isyarat pada Alam Babegah. Tanpa tunggu lebih usang kedua orang ini segera berkelebat pergi.
Sabai Nan Rancak segera ambil kantong kain dari ujung ranting. Begitu diperiksanya keluarlah caci maki dari verbal wanita bau tanah ini.
"Batu! Jahanam betul! Berani menipu!"
Sabai Nan Rancak bantingkan kantong kain berisi kerikil itu ke tanah. Sekali beliau berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu.

***

212
DUA

MARANG Tongga dan si cebol Alam Babegah lari menuruni lereng Gunung Singgalang mirip dikejar setan. Mereka sengaja menempuh serpihan gunung yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar lebat. Jika si nenek mengejar mereka pandangannya akan terhalang oleh semak dan pohon serta kegelapan malam.
"Rasanya sudah aman! Kita berhenti dulu untuk istirahat!" kata si cebol Alam Babegah kemudian berhenti berlari dan megap-megap mirip kehabisan napas.
"Jangan mencari mampus! Kita belum berada di tempat aman! Ayo lari lagi!" hardik Marang Tongga.
Tiba-tiba terdengar bunyi tertawa bergelak. Nyawa Marang Tongga dan Alam Babegah seolah terbang.
"Manusia-manusia tak berguna! Kalian mau lari ke mana?!"
Itu ialah bentakan si nenek Sabai Nan Rancak. Dua lelaki di balik semak belukar serta merta menghambur. Namun gerakan mereka tertahan karena tahu-tahu di depan sudah menghadang nenek berwajah putih itu!
Tak ada jalan lain. Kalau lari tidak bisa terpaksa mengadu nyawa. Maka Marang Tongga dan Alam Babegah sama-sama lepaskan pukulan tangan kotong.
"Kraaaakk!"
"Braaak!"
Sebatang pohon besar tumbang. Semak belukar rambas berhamburan. Si nenek lenyap dari pemandangan. Lalu terdengar bunyi kekehannya di belakang. Lelaki tinggi besar dan kawannya si cebol segera memutar tubuh dan kembali hantamkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun yang diserang telah lenyap. Kembali terdengar bunyi tawanya. Marang Tongga dan Alam Babegah menghantam ke arah datangnya bunyi tawa itu. Tapi lagi-lagi mereka menyerang tempat kosong. Ketika mereka berusaha mencari tahu di mana beradanya si nenek tiba­tiba "Bukk! Bukkk!"
Jeritan kaget dan kesakitan keluar dari verbal Marang Tongga dan Alam Babegah. Tubuh keduanya mencelat hingga satu tombak. Marang Tongga mengurut rusuk kirinya. Dua tulang iganya patah. Rasa sakit seolah menusuk ke seluruh tubuh. Menahan sakit dan berpegangan pada sebatang pohon beliau bangun berdiri. Di samping kirinya dilihatnya Alam Babegah menyangsrang di atas serumpunans semak belukar. Kepalanya berlumuran darah. Sepasang matanya membeliak.
"Alam…" bisik Marang Tongga memanggil. Kepala orang yang dipanggil terkulai ke samping. Tubuhnya kemudian rebah , jatuh sempurna di depan kaki Marang Tongga.
Saat itu pula terdengar bunyi tawa panjang nenek muka putih. Tengkuk Marang Tongga menjadi dingin. Dia memandang berkeliling mencari tempat untuk lari. Namun jangankan lari , menindak satu langkah saja rusuknya yang cidera sakit bukan main.
"Marang Tongga insan penipu! Apa kau sudah siap menyusul teman-temanmu?!" Suara Sabai Nak Rancak menggema dalam rimba belantara. Di lain ketika sosoknya muncul dari dalam kegelapan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan lelaki tinggi besar itu.
"Sreettt!"
Marang Tongga keluarkan sebilah golok bermata dua. Walau suasana gelap , senjata ini menge­luarkan cahaya berkilauan tanda bukan senjata sembarangan.
"Golok Iblis Bermata Dua!" ujar si nenek begitu melihat senjata di tangan Marang Tongga. "Hebat namanya tapi hanya pantas untuk menjagal ayam! Hik… hik… hik!"
"Tua bangka keparat! Kalaupun saya mati di tanganmu , setanku akan gentayangan mencarimu! Kau akan kucekik hingga mampus!"
"Hebat!" seru si nenek mengejek.
"Rasakan golokku!" teriak Marang Tongga.
Dia lancarkan gerakan setengah melompat. Golok di tangannya membabat dari atas ke bawah , menciptakan gerakan membelah.
"Craaasss!"
Yang terbelah bukannya kepala nenek Sabai Nan Rancak melainkan sebatang cabang pohon yang diangsurkan wanita bau tanah itu. Lalu terjadilah hal yang tidak diduga Marang Tongga. Batang kayu yang terbelah dan ujungnya masih berada dalam genggaman Sabai Nan Rancak tiba­tiba berputar menjepit golok iblis Bermata Dua.
Marang Tongga tidak mau kehilangan senjatanya karena itu satu-satunya keinginan untuk menyelamatkan jiwanya. Didahului bentakan keras lelaki itu menciptakan gerakan absurd sambil kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sabai Nan Rancak terhuyung sesaat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Marang Tongga untuk melepaskan senjatanya dari jepitan belahan kayu. Begitu golok terlepas dengan gerakan kilat beliau membabat ke depan. Cahaya golok berkilauan di kegelapan malam.
"Breettt!" Si nenek muka putih terpekik dan cepat melompat mundur. Baju hitamnya di sebelah pundak robek besar. Dia merasa perih mengambarkan ada serpihan tubuhnya yang terluka.
"Jahanam!" rutuk Sabai Nan Rancak. Belahan batang kayu di tangan kanannya dihantamkannya ke tubuh Marang Tongga. Yang diserang cepat mengelak sambil melintangkan golok menangkis serangan lawan. Ujung batang kayu terbabat putus. Tangan Marang Tongga tergetar keras. Goloknya hampir terlepas. Pada ketika itulah si nenek muka putih melesat ke depan. Batang kayu di tangan kanannya menderu dan berubah laksana puluhan banyaknya. Lalu , "braaakkk!"
Marang Tongga hanya sempat keluarkan pekikan pendek. Tubuhnya terpental hingga tiga tombak. Mukanya hancur jawaban hantaman batang kayu. Nyawanya tidak tertolong lagi. Satu bayangan berkelebat di belakang si nenek. Secepat kilat Sabai Nan Rancak membalik dan hantamkan batang kayu yang masih ada dalam genggamannya.
"Guru! Tahan! Ini aku! Puti Andini!" Orang yang hendak diserang berteriak kemudian melompat jauh menghindari serangan maut si nenek. Saat itu si nenek sendiri sudah tarik serangannya. Matanya dibesarkan untuk melihat lebih terperinci di dalam gelap.
"Hemmm…. Benar beliau adanya…. Kembali malarn-malam buta begini. Agaknya anak ini tiba tidak membawa kabar baik bagiku…" kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Lalu beliau berkata. "Ikuti aku!"
Habis berkata begitu , si nenek berkelebat ke atas gunung. Puti Andini , gadis yang tadi hendak diserang si nenek terpaksa lari mengikuti.
Sampai di pedataran di lereng gunung , Sabai Nan Rancak duduk di atas sebuah kerikil di depan mnlut goa.
"Aku menaruh firasat kau kembali dengan tangan hampa! Lekas ceritakan padaku apa yang telah terjadi selama beberapa bulan kau berada di tanah Jawa!" Si nenek eksklusif usikan pertanyaannya begitu gadis berbaju putih itu duduk bersi!a di hndapannya dan memberi hormat berulang kali.
"Dugaan guru tidak meleset! Untuk itu , saya murid yang tolol mohon maaf dan ampunanmu!"
"Sudah! Jangan bicara berbasa-basi pakai peradatan segala! Katakan saja apa kau berhasil men­depatkan Kitab Putih Wasiat Dewa? Apa kau juga berhasil membunuh Tua Gila dan Pendekar 212 Wiro Sableng?!"
Sang murid tidak segera menjawab karena perhatiannya tiba-tiba saja tertuju pada sesosok tubuh kurus berpakaian putih bersimbah darah yang menggeletak di pedataran itu. Ketika beliau melihat wajah orang itu tanpa disadarinya beliau keluarkan seruan tertahan. Mukanya dipalingkan ke arah Sabai Nan Rancak.
"Guru…. Bagaimana Tua Gila berada di sini dan sudah jadi mayat? Padahal aku…."
"Buka matamu lebar-lebar. Keparat yang sudah jadi bangkai itu bukan Tua Gila!" kata si nenek dengan bunyi menyentak. "Dari ucapanmu terperinci sudah kau tidak berhasil membunuh bau tanah bangka berotak miring itu! Benar begitu?"
"Murid mohon maaf dan ampun beribu ampun…."
"Kau juga tidak berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng!"
Si gadis mengangguk.
"Kau juga tidak berhasil mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa!"
Kembali Puti Andini mengangguk.
Saking marahnya tubuh si nenek hingga terlompat. Sambil berkacak pinggang di depan muridnya beliau mendamprat! "Lalu apa saja kerjamu berbulan-bulan di tanah Jawa? Hanya berjalan-jalan mencari kesenangan sendiri?!"
"Maaf guru. Biarkan saya menerangkan apa yang telah kualami…" jawab Puti Andini. "Tanah Jawa terlalu keras bagiku! Terlalu banyak orang berkepandaian tinggi. Bukan saja saya telah menemui kegagalan tapi bahkan hampir menemui maut secara keji kalau tidak diselamatkan oleh Tua Gila musuh besarmu itu…"
Sabai Nan Rancak memandang dengan mata mendelik tak berkesip. Hampir tidak percaya beliau atas apa yang dijelaskan muridnya.
"Otakmu rupanya sudah dicuci orang. Sampai-sampai kau kini merasa menaruh hutang budi dan nyawa pada musuh besarku!"
"Guru , jangan kau bersalah sangka. Aku telah berusaha membunuhnya tapi gagal. Ilmu kepandaiannya jauh dari yang saya miliki. Jika saja guru berada di Teluk Penanjung di Pangandaran menyaksikan sendiri kegegeran besar yang terjadi di sana , mungkin guru akan berpikir lain. Dalam pada itu saya sempat mencuri dengar percakapan antara Tua Gila dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan tidak mungkin orang terlalu banyak salah duga akan tindak tanduknya dimasa lalu. Bukan tidak mungkin tuduhan terhadap dirinya telah bercampur dengan fitnah yang dilancarkan oleh orang-orang yang iri dan sakit hati. Karena kalau murid berpikir-pikir mana mungkin satu orang bisa membunuh hingga tiga ratus orang mirip yang dituduhkan padanya?"
Sabai Nan Rancak mendengus. "Otakmu benar-benar sudah dicuci orang Andini! Lidahmu sudah dibalik! Hingga jalan pikiranmu kini jadi berbeda dan ucapanmu berubah! Aku merasa menyesal telah mengutusmu ke tanah Jawa. Yang kau hasilkan hanya menambah sakit hati dendam kesumatku terhadap Tua Gila!"
"Guru , saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat dan saya dengar…."
"Ketika peristiwa itu terjadi kau lahir pun belum! Bungguh menyakitkan kalau seorang murid lebih mempercayai kenyataan di luar daripada apa yang dlkatakan gurunya…."
Puti Andini tundukkan kepala mendengar ucapan gurunya itu. "Guru , sebenarnya…."
"Diam! Jangan terlalu banyak bicara! Pikiranku sedang kusut! Saat ini saya ingin membunuh siapa saja! Temasuk kau!"
"Guru , saya menyadari kesalahanku. Aku siap mendapatkan hukuman. Dibunuh sekalipun rasanya saya lkhlas. Atau mungkin guru ingin saya bunuh diri saja untuk menebus kesalahanku?"
Walau dirinya diselimuti kemarahan namun mendengar kata-kata sang murid Sabai Nan Rancak jadi terperangah juga. Lama beliau terdiam. Lalu dengan nada sedih beliau bertutur.
"Puluhan tahun kemudian ketika saya seusiamu , saya berkenalan dengan seorang jagoan muda berjulukan Sukat Tandika. Kami sama-sama jatuh cinta dan membina cinta sambil menambah ilmu kepandaian. Suatu ketika cowok itu berangkat meninggalkan pulau Andalas menuju tanah Jawa guna menambah iimu kepandaian. Sebelum pergi beliau telah berjanji akan segera kembali dan kami akan melangsungkan perkawinan. Aku sangat mempercayai dirinya. Ternyata beliau ialah seorang cowok mata keranjang. Aku mendapat kabar selama berguru pada seorang sakti di tanah Jawa beliau menjalin kekerabatan cinta dengan seorang gadis saudara satu gurunya berjulukan Sinto Weni yang kini dikenal dengan nama Sinto Gendeng , guru Pendekar 212. Seperti , saya , Sinto Weni tentu juga mengharapkan kelak dikemudian hari bisa hidup sebagai suami istri dengan Sukat Tandika. Tapi cowok itu kembali berlaku culas. Sinto Weni ditinggalkannya mentah-mentah sehabis terpikat dengan seorang janda kembang , manis jelita , puteri Adipati Plered…. "
Sabai Nan Rancak hentikan penuturannya sesaat. Dia memandang ke arah kejauhan seola mencoba menembus kegelapan malam. Kemudia beliau melanjutkan.
"Akibat hubunganku dengan Sukat , saya mengandung. Lambat laun kandunganku semakin besar. Aku tidak ingin hal memalukan itu diketahu orang-orang dunia persilatan. Aku mengucilkan diri di satu tempat rahasia sambil meminta derma beberapa orang sahabat biar memberitahu keadaan diriku. Dua diantara mereka berhasil menemui Sukat Tandika. Tapi cowok itu tidak mempercayai kalau saya sudah berbadan dua. Malah beliau menuduh saya main gila dengan lelaki lain! Jahanam betul! Bagaimanapun dibujuk dan diberi pengertian namun Sukat Tandika tetap tidak perduli. Apalagi ketika itu beliau sedang mabuk asmara menjalin cinta dengan puteri Adipati Plered itu. Mereka akhirnya kawin. Ternyata rumah tangga mereka kacau balau. Ka­barnya Adipati Plered dan puterinya hanya menginginkan ilmu kepandaian Sukat Tandika. Begitu sanggup maka mereka tidak memerlukan cowok itu lagi. Sukat Tandika diperlakukan secara hina. Bukan itu saja , ada yang menyampaikan bahwa istri Sukat Tandika berbuat serong dengan seorang cowok dari Blambangan. Tiga bulan berselang sang istri jatuh sakit terus meninggal dunia. Ada yang mengira Sukat Tandika telah meracuni istrinya hingga menemui ajal.
Yang terperinci semenjak istrinya meninggal terjadi kelainan dengan diri Sukat. Dia sering melongo , bicara sendiri , adakala tertawa tak tahu juntrungan. Lambat laun sikap menantunya itu menciptakan muak Adipati Plered. Sukat Tandika diusir dari gedung besar kediaman sang Adipati. Terjadi perkelahian hebat. Sang Adipati yang telah mempunyai hampir seluruh ilmu kepandaian Sukat Tandika tidak gampang dikalahkan. Setelah berkelahi puluhan jurus akhirnya Adipati itu tewas! Ini ialah korban pertama dari puluhan bahkan ratusan korban lainnya.
Selama belasan tahun Sukat Tandika menghilang. Tidak diketahui apakah beliau berada di pulau Andalas ini atau masih mengembara di tanah Jawa. Kemudian ada kabar yang menyampaikan bahwa suatu ketika Sukat Tandika muncul di tempat kediaman Sinto Weni di puncak Gunung Gede. Dia mencoba berbaik-baik dan meminta Sinto Weni bersedia dijadikan istrinya. Namun Sinto Weni sudah terlanjur kecewa dan bersumpah tidak akan kawin dengan siapapun termasuk Sukat Tandika yang pernah dicintainya itu. Walau mereka berpisah secara baik-baik tapi Sukat Tandika mengalami goncangan batin yang hebat. Kelainan jiwanya semakin parah. Dalam keadaan mirip itu beliau kembali ke pulau Andalas. Beberapa kali beliau coba menemuiku. Mengajak menjalin kekerabatan kembali. Tapi cintaku telah bermetamorfosis sakit hati dan dendam kesumat yang hanya bisa pupus kalau beliau terbunuh oleh tanganku atau orang suruhanku!
Untuk kedua kalinya Sukat Tandika melenyapkan diri dalam dunia persilatan. Belasan tahun tagii berlalu. Aku dan juga tokoh-tokoh silat yang dulu pernah muda telah menjadi bau tanah bangka lapuk tak berguna. Sementara itu saya menyirap kabar bahwa Sukat Tandika menetap di sebuah pulau di pantai barat Andalas. Aku tidak meminta tapi ada kawan-kawan yang coba menyelidik. Namun sehabis menyelidik ke beberapa pulau Sukat Tandika tidak ditemukan. Di pantai barat pulau Andalas banyak sekali bertebaran pulau-pulau kecil. Untuk mendatangi dan menyelidikinya satu persatu bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun…."
"Guru , harap maafkan kalau saya memotong dengan satu pertanyaan. Kau belum menerangkan kelanjutan dari kandunganmu…."
"Kita akan hingga ke sana ," jawab Sabai Nan Rancak dengan bunyi perlahan. "Ada beberapa peristiwa yang perlu saya beritahu dulu padamu. Hampir bersamaan dengan lenyapnya Sukat Tandika , dalam dunia persilatan muncul seorang tokoh absurd berotak miring. Dia menciptakan kekacauan dimana-mana dan melaksanakan pembunuhan semudah beliau membalik telapak tangan. Selama belasan tahun beliau malang melintang dalam dunia persilatan menebar maut. Orang-orang persilatan golongan putih merasa tidak senang walau kebanyakan korban yang mati di tangan tokoh ganas berotak tidak waras itu ialah mereka dari golongan hitam atau pejabat penjahat sesat. Ketika orang mengetahui siapa dirinya bergotong-royong maka insan itu dijuluki Pendekar Gila Patah Hati. Ada juga yang menyebutnya Iblis Gila Pencabut Jiwa. Aku lebih mengenalnya dengan se­butan Tua Gila!"
Berubahlah paras Puti Andini mendengar ucapan terakhir gurunya itu. Waktu gurunya menyuruhnya berangkat ke tanah Jawa dengan kiprah mencari Kitab Putih Wasiat Dewa , membunuh Pendekar 212 dan mencari serta membunuh Tua Gila , bergotong-royong gadis itu telah menduga-duga adanya silang sengketa antara gurunya dengan Tua Gila. Namun beliau tidak mengira sehebat itu peristiwa di masa lampau. Tidak salah kalau gurunya mendendam luar biasa terhadap Tua Gila.
"Guru harap maafkan kalau saya berlaku kurang ajar. Tapi saya ingin menanyakan sekali lagi mengenai peristiwa dirimu sehabis kau ditinggal Sukat Tandika dalam keadaan hamil."
"Aku melahirkan seorang anak perempuan. Karena tak sanggup memelihara bayi itu saya serahkan pada penduduk di kaki gunung untuk dirawat ba-k-baik. Aku baiklah saja orang memberinya nama Andam Suri. Setelah cukup umur ternyata beliau tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Dia kemudian menikah dengan seorang yang saya tidak pernah mengenal. Namanya juga tidak saya ketahui. Aku hanya tahu gelarnya. Datuk Paduko Intan. Tak usang seteiah kawin anakku melahirkan seorang bayi perempuan. Hanya malang karena sakit-sakitan dan juga mungkin kurang perawatan dan perhatian dari suaminya Andam Suri meninggal dunia sewaktu melahirkan bayinya…."
"Kalau anak itu masih hidup…" ujar Puti Andini.
"Dia memang masih hidup ," kata Sabai Nan Rancak.
"Kira-kira sebesar siapakah beliau sekarang? Siapa pula namanya?" tanya sang murid.
"Kira-kira seusiamu. Namanya Puti Andini…" jawab si nenek muka putih.
Sang murid mirip mendengar halilintar di depan hidungnya. Wajahnya memucat dan dadanya mendadak saja sesak menggemuruh.
"Guru…."
"Kau memang cucuku , Andini ," kata si nenek Sepasang matanya berkaca-kaca.
Dalam hati Puti Andini berkata. "Kalau saya cucu mu berarti juga cucu Tua Gila. Pantas setiap bertemu beliau selalu memanggil saya cucu. Tak tahunya…."
Melihat mata si nenek berkaca-kaca , Puti Andini ikut berair kedua matanya. Entah sadar entah tidak meluncur saja ucapan dari verbal si gadis. "Kalau antara kita memang ada pertalian darah mengapa semua hal di masa lampau itu tidak dilupakan saja…?"
Sabai Nan Rancak usap kedua matanya. Lalu beliau memandang melotot pada muridnya. "Kalau kau bisa mengeluarkan bunyi hatimu mirip itu kurasa kau tidak layak jadi muridku! Kau sudah tahu dan mendengar dariku bagaimana derita sengsara diriku jawaban perbuatan Tua Gila! Kesengsaraan itu jatuh pula menimpa dirimu. Kau tak pernah melihat ibumu! Juga tidak pernah mengenal ayahmu! Semua gara-gara Tua Gila keparat! Pantaskah saya berbaik-baik dengan jahanam itu? Jika kau merasa bersahabat dengan beliau pergilah menemuinya. Tinggal bersamanya , Bu­kankah beliau kakekmu juga? Jika itu hingga kau lakukan maka mulai kini putus kekerabatan kita sebagai guru dan murid!"
"Mohon dimaafkan guru. Maksudku bukan begitu. Aku melihat sendiri antara Tua Gila dan Sinto Gendeng telah berbaik-baik…."
"Kau lihat dimana?" tanya si nenek muka putih dengan mimik dan nada bunyi terperinci memperlihatkan kecemburuan.
"Waktu di Pangandaran. Mereka bahkan meninggalkan tempat itu berdua-duaan…."
Paras si nenek mengelam. Tiba-tiba beliau bangun berdiri. Di kejauhan langit sebelah timur tampak terang kekuningan tanda sebentar lagi sang surya akan segera terbit. "Guru , kau mau ke mana?!" tanya Puti Andini. "Tampaknya saya terpaksa turun tangan sendiri. Mungkin perlu derma dari beberapa orang. Entah mitra entah lawan saya tidak perduli. Tujuanku hanya satu! Tua Gila harus mampus!"
"Kalau begitu saya ikut denganmu ," kata Puti Andini pula.
"Tidak , kau tetap di gunung Singgalang ini. Kulihat kau kembali tanpa satu payung pun dalam buntalanmu! Berarti kau memang belum layak berada dalam rimba persilatan!"
Puti Andini sedih sekali mendengar kata-kata gurunya itu. Dalam hati gadis ini berkata. "Dia bisa saja berkata mirip itu. Sejak lima tahun terakhir beliau tidak pernah meninggalkan gunung Singgalang. Dia tidak tahu perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam rimba persilatan. Kalau saja beliau sempat menjejakkan kaki di tanah Jawa gres beliau tahu tingkat ilmu silat dan kesaktian orang! Pikirannya sempit hanya terbatas seputar gunung ini saja. Kalaupun ada yang hebat dalam dirinya , itu ialah dendam kesumatnya terhadap Tua Gila!Langit di sebelah timur semakin terang. Sabai Nan Rancak telah usang meninggalkan tempat itu. Perlahan-lahan Puti Andini ayunkan kaki , melangkah gontai mendaki lereng gunung. Tubuhnya serasa bayang-bayang. Pikirannya kosong. Namun anehnyaa di pelupuk matanya tiba-tiba saja muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.
***

212
TIGA

PENDEKAR 212 Wiro Sableng melangkah sepanjang lorong mengikuti Ratu Duyung hingga akhirnya hingga di sebuah ruangan berbentuk bundar. Di dalam ruangan itu ada sebuah benda setinggi insan ditutup dengan sehelai kain berwarna biru gelap. Ratu Duyung memandang sesaat pada Wiro kemudian melangkah mendekati benda itu. Dengan tangan kanannya ditariknya kain selubung. Begitu kain biru tersingkap dan jatuh ke lantai Wiro melihat sosok tubuhnya sendiri tegak di hadapannya. Walau sosok itu hanya merupakan patung namun buatannya begitu halus dan rapi hingga hampir tidak berbeda dengan keadaan dirinya sebenarnya.
Ratu Duyung berpaling pada Wiro. "Kau kulihat mengagumi patung dirimu ini. Tapi sama sekali tidak ada gejala terkejut. Berarti kau sudah mengetahui atau melihat patung ini sebelumnya?"
Wiro mpngangguk. "Melalui ilmu menembus pandang yang kau berikan padaku dulu. Bedanya kini saya melihat lebih jelas. Benar-benar hebat sekali buatannya. Aku sangat kagum. Tapi…. Kalau saya boleh bertanya Ratu , mengapa patung diriku hingga ada di sini. Lalu semenjak kapan…?"
Gadis bermata biru itu tersenyum. Ada bayangan rasa keperihan dibalik senyuman itu. "Dirimu muncul pertama kali ketika saya mengetahui dari seseorang tokoh bahwa hanya kau satu­satunya orang yang sanggup menolongku dan anak buahku dari kutukan yang telah dijatuhkan oleh penguasa bahari di daerah ini. Sejak itu setiap ada kesempatan dan jaraknya memungkinkan yaitu bila kau berada di sekitar daerah ini , saya pergunakan ilmu menembus pandang untuk melihat dirimu , memperhatikan gerak gerikmu. Itu kulakukan selama hampir dua tahun. Hingga saya tahu betul setiap sudut dan liku tubuhmu sebelah luar. Aku kemudian memanggil spesialis pemahat kerikil untuk menciptakan patungmu. Kemudian spesialis lainnya melapisi patung itu dengan sejenis mata hingga kulit muka dan tubuhmu benar-benar hidup , ibarat dirimu. Seorang hebat lainnya menambahkan alis dan rambut buatan serta pakaian. Kau lihat sendiri hasilnya…."
Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar keterangan Ratu Duyung itu.
"Lambat laun saya menyadari bahwa saya telah jatuh cinta dengan patungmu. Lebih jauh dari itu ada perasaan yang setiap ketika mendorongku untuk sanggup bertemu dengan dirimu. Bukan saja karena saya tela jatuh cinta tapi karena hanya engkau seorang yang bisa membebaskan diriku dan anak buah dari kutukan. Hingga kami semua terlepas dari wujud kehidupan aneh. Tubuh setengah ikan setengah manusia…. (Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Sang Ratu).
Lama sang Ratu terdiam sebelum beliau kembal berkata. "Sekarang dengan kemauanmu sendiri kau tiba ke sini. Aku sangat berterima kasih. Mungkinkah tak usang lagi kutukan atas diriku dan anak buahku benar-benar akan musnah?"
Wiro tak menjawab. Tengkuknya tiba-tiba saja terasa hambar dan degup jantungnya mengeras.
Dia kemudian ingat pada pertemuannya dengan Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu waktu berada di Pangandaran tempo hari.
Saat itu beliau mengajukan pertanyaan. "Eyang , menurutmu apakah saya harus memenuhi permintaannya. Tidur dengan beliau biar beliau bisa bebas dari kutukan itu…? Aku berhutang budi dan nyawa padanya. Tapi saya juga takut berdosa…!"
Sinto Gendeng menjawab. "Urusan dosa ialah urusan insan dengan Tuhannya. Urusanmu ialah antara insan dengan manusia. Aku tidak akan menyampaikan ya atau tidak. Semua terserah padamu."
Karena belum puas Wiro lantas bertanya lagi pada Kakek Segala Tahu. Tokoh absurd ini belum dItanya malah sudah membuka mulut. "Kau tak usah bertanya. Aku siap memperlihatkan jawaban. Terkadang seseorang harus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang sudah didapatnya." (Baca serial Wiro Sableng berjudul Kiamat di Pangandaran).
"Apa yang ada di benakmu , Wiro?"
Pendekar 212 tersentak dari alam pikirannya oleh teguran Ratu Duyung itu. Dalam hatinya sang Ratu sangat khawatir kalau cowok itu akan berubah pikiran. Dia tidak berani menatap ke wajah sang pendekar. Sebagai gantinya beliau hanya memandang ke wajah patung. Wiro maklum apa yang ada di lubuk hati gadis manis bermata biru itu. Maka sambil memegang tangan sang ratu beliau berkata. "Mungkin semua ini sudah suratan takdir kita sebagai makhluk lemah. Saling membutuhkan satu sama lain sesuai kodrat-Nya…."
"Aku besar hati mendengar kata-katamu itu. Aku juga bersyukur pada Tuhan." Ratu Duyung membalas pegangan Pendekar 212. Lalu diambilnya kain biru d1 lantai dan diselubungkannya kembali ke patung Pendekar 212.
"Ratu Duyung…" kata Wiro. "Kalau saya boleh bertanya , siapa gerangan yang memberi tahu padamu bahwa hanya diriku yang bisa membebaskan dirimu dari kutukan itu?" "Aku tidak pantas memberi tahu. Tapi juga tak ada larangan mengatakannya. Orangnya sahabat yang kau anggap mirip kakek sendiri. Si Raja Penidur!" "Ah!" Wiro keluarkan seruan tertahan. Sambil garuk-garuk kepala beliau berkata , "Si gendut itu! Kerjanya sepanjang tahun tidur melulu. Bagaimana beliau bisa tahu saya orangnya?!"
Ratu Duyung tersenyum. "Kau lupa akan kesaktian tokoh nomor satu dunia persilatan itu? Matanya memang tidur. Namun pendengaran dan pikirannya bekerja mirip biasa…." Habis berkata begitu Ratu Duyung bertepuk dua kali. Dua orang gadis manis anak buah sang Ratu muncul.
"Antarkan tamu kita ke tempat bersiram. Berikan pakaian yang baik. Hidangkan segelas minuman. Setelah itu antarkan beliau ke Puri Pelebur Kutuk."
Dua orang anak buah Ratu Duyung membungkuk. Lalu dengan sikap hormat memberi tanda pada Pendekar 212 untuk mengikuti mereka.
Yang dinamakan Puri Pelebur Kutuk ialah sebuah bangunan putih beratap merah terletak di puncak sebuah bukit kecil berumput hijau. Di sekeliling puri bertumbuhan banyak sekali pohon bunga. Karena bunga-bunga sedang berkembang maka pemandangan di tempat itu sungguh sangat indah.
"Kami hanya mengantarmu hingga di sini. Kami dihentikan keras masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk ," Berkata salah seorang dari dua gadis manis yang mengawal Wiro hingga di pintu bangunan.
"Dilarang keras? Memangnya ada apa di dalam sana?" tanya Pendekar 212 heran. Saat itu beliau telah mengenakan seperangkat pakaian bagus berwarna biru dan menggunakan ikat kepala kain merah. Tubuhnya terasa segar sehabis mandi. Apalagi anak buah Ratu Duyung memperlihatkan sejenis wewangian pengharum tubuhnya. Dia merasa mirip seorang Pangeran saja ketika itu.
"Kami tidak tahu. Kami tidak pernah masuk ke dalam. Kami tidak diperbolehkan masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk ini. Kami harus pergi sekarang. Kami berdoa semoga kau berhasil…."
"Berhasil apa?" tanya Wiro pula.
"Membebaskan kami dari kutukan yang menyiksa itu ," jawab si gadis di sebelah kiri. Lalu bersama kawannya cepat-cepat beliau meninggalkan lempat itu. Wiro perhatikan dua gadis itu hingga lenyap di kejauhan. Dia membalikkan badan. Di depannya ada arbuah pintu kayu berwarna merah dalam keadaan lertutup.
"Warna merah biasanya menyembunyikan bahaya…" kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dengan hati-hati daun pintu didorongnya. Perlahan-lahan pintu merah itu bergerak membuka ke arah dalam. Pada ketika yang sama terdengar bunyi berdesir. Telinga Wiro yang tajam dan pendengarannya yang sudah terlatih mendengar banyak sekali macam bunyi menciptakan beliau segera mengetahui ada senjata rahasia melesat dari dalam bangunan. Secepat kilat beliau jatuhkan diri kemudian berguling menjauhi amban pintu.
DugaanWiro tidak meleset. Dari dalam bangunan melesat dua buah benda. Yang pertama lenyap dan jatuh di kejauhan. Satunya lagi menancap di batang pohon sejauh tiga tombak dari pintu. Benda itu ternyata ialah sebilah pisau besar , hampir ibarat golok kecil. Badan dan gagang golok terbuat dari besi merah.
"Ratu Duyung rupanya menjebakku!" kata Wiro dalam hati kemudian dengan cepat bangun berdiri. Sepasang matanya memandang berkeliling , khawatir kalau tempat itu dipasangi peralatan rahasia lainnya. "Tapi kalau beliau ingin membunuhku bukankah sama saja beliau mencari celaka sendiri? Kutukan yang menguasai dirinya tidak akan pernah lenyap! Urusan gila macam apa yang saya hadapi ketika ini!"
Wiro memandang ke arah pintu yang terbuka. Dari tempatnya berdiri beliau bisa melihat terperinci serpihan dalam bangunan. Berlantai merah kemudian ada perm dani panjang berwarna biru di sebelah tengah. Ujung permadani ini berakhir pada sebuah tempat tidu tembaga berlapis emas yang bagus sekali. Di kanan tempat tidur terletak sebuah dingklik juga terbuat dari tembaga berlapis emas. Bau harum semerbak menghambur keluar dari dalam ruangan. Murid Si Gendeng jadi tercekat. "Jadi ini tempatnya? Dan Ranjang Pelebur Kutuk…?! Apakah saya harus masuk ke dalam ruangan itu atau lebih baik tetap di sini dulu? Jangan-jangan tempat tidur itu dipasangi alat rahasia. Begitu saya nangkring di atasnya putus anuku!" Wiro garuk-garuk kepala. Saat itulah tiba-tiba dinding sebelah kiri ruangan mirip bergeser. Lalu tampak Rutu Duyung melangkah anggun mengenakan jubah merah darah. Mahkota kerang warna biru yang biasanya bertengger di kepalanya kini berganti dengan sebuah mahkota besar terbuat dari emas bertabur intan berlian.
Di tangan kanannya Ratu Duyung memegang sebuah piala terbuat dari perak. Wiro tak tahu apa isinya. Dari dalam piala ini keluar kepulan asap merah kekuningan.
"Pendekar 212 Wiro Sableng , saya mengundangmu masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk…." Ratu Duyung berkata. Suaranya menggema di dalam ruangan itu.
Wiro tak bergerak. Belum pernah beliau melihat sang Ratu seanggun dan secantik mirip ketika ini.
"Tidak usah ragu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Silahkan masuk Wiro."
"Ratu , barusan dua golok yang digerakkan oleh senjata rahasia hampir saja menembus tubuhku! Aku tidak mengerti…."
"Itu hanya satu ujian kecil Wiro. Dan kau berhasil lolos."
"Kalau saya gagal berarti apa yang kau inginkan tak akan pernah terkabul!" ujar Wiro.
Ratu Duyung tersenyum. "Apakah kau telah menemui kegagalan?"
Wiro tertawa lebar. "Memang tidak ," katanya sambil garuk-garuk kepala. "Kalau saya bertanya apa maksud ujian itu?"
"Untuk membuktikan bahwa kau betul-betul masih perjaka."
"Apa?!" seru Wiro kaget dan mukanya menjad merah.
"Seorang yang tidak perjaka lagi tidak akan bisa menyelamatkan diri dari due golok terbang tadi. Kau berhasil menyelamatkan diri. Berarti apa yang pernah kau katakan dulu padaku bukan kedustaan."
Wiro hanya bisa menarik napas dalam da garuk-garuk kepala lagi.
"Kalau tidak ada yang kau khawatirkan lagi silahkan masuk ke dalam sini. Duduklah di dingklik sebelah kiri. Aku menentukan dingklik sebelah kanan."
Wiro langkahkan kaki melewati ambang pintu. Dia merasa lega begitu masuk ke dalam ruangan tanpa terjadi apa-apa. Seperti yang dikatakan Ratu Duyung beliau duduk di dingklik sebelah kiri tempat tidu Ratu Duyung menyusul duduk di dingklik sebelah kanan. Pada ketika itu pintu merah yang tadi terbuka perlahan-lahan menutup.
"Sebelum tiba ke tempat ini saya telah mengumpulkan semua anak buahku. Kukatakan pada mereka apa yang akan segera terjadi. Mereka menyambut penjelasanku dengan mata berkaca­kaca. Banyak yang menangis. Begitu saya meninggalkan mereka , semuanya mulai berdoa memohon pada Yang Kuasa biar kita berhsil…."
"Gila! Urusan begitu masakan harus diberitahu pada anak buahnya segala!" kata Wiro dalam hati.
"Wiro , di dalam piala perak ini ada cairan beras dari tetesan embun murni yang dikumpulkan selama tiga tahun. Selama tiga tahun pula piala dan isinya diletakkan di satu tempat dan dikeluarkan pada setiap kali sang surya keluar dari ufuk terbitnya. Sentuhan sinar merah kekuningan sang mentari telah menciptakan tetesan embun di dalam piala secara wneh bergejolak lembut mirip mendidih dan mengepulkan asap merah kekuningan. Air dalam piala sendiri terasa sejuk dalam peganganku dan akan lebih sejuk begitu masuk ke dalam tubuh kita…."
Setelah berkata begitu Ratu Duyung kemudian meminum air tetesan embun dalam piala hingga se­tengahnya. Lalu tangan yang memegang piala diengkatnya ke atas. Ketika jari-jari tangannya dilepas piala perak itu tampak mirip menggantung di udara. Ratu Duyung dorongkan dua jari tangannya. Perlahan-lahan piala perak bergerak di udara , melewati sebelah atas tempat tidur dan hingga di hadapan Wiro.
"Aku telah menghabiskan setengah air sejuk itu. Silahkan kau menghabiskan setengah sisanya…."
"Ratu , mengapa kita harus minum air embun ini segala?" tanya Pendekar 212.
"Air embun murni itu akan menyejukan hati , darah dan tubuh kite , sehingga segala nafas kotor dan keji akan lenyap , yang ada hanyalah hasrat untuk saling menolong , rasa cinta kasih murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu kotor. Sehingga kita berbuat sesuai dengan yang dikehendaki , bukan sekedar pemuas nafsu belaka."
"Aneh… aneh… aneh!" kata Pendekar 212 berulang kali dalam hati. Dia memandang ke dalam piala perak. Dilihatnya air embun bening putih bergejolak perlahan seolah mendidih. Dia berpaling pada sang Ratu. Ratu Duyung anggukkan kepala dan tersenyum. Wiro dekatkan piaia perak ke mulutnya kemudian meneguk habis isi piala itu. Dia mencicipi satu kesegaran luar biasa dalam tubuhnya. Ruangan itu dilihatnya lebih terang. Tubuhnya terasa ringan. Dia berpaling pada Ratu Duyung.
"Angkat ke atas piala perak itu. Lepaskan peganganmu. Biarkan piala melayang ke udara…." Terdengar Ratu Duyung berkata.
Wiro ikuti apa yang dikatakan orang. Begitu piala perak dilepaskannya , benda itu melayang sendiri ke atas. Tepat ketika piala berada di pertengahan ruangan yaitu di atas tempat tidur , Ratu Duyung jentikkan jari tangan kanannya. Terdengar satu letupan halus. Piala perak bermetamorfosis asap dan lenyap dari pemandangan.
Wiro berpaling kembali ke arah sang Ratu. Gadis manis bermata biru itu balas menatap ke arahnya. "Mulai ketika ini diriku ialah milikmu , Wiro…" kata Ratu Duyung perlahan hampir berbisik.
Ruangan harum semerbak itu tiba-tiba menjadi suram. Suasana di tempat itu laksana di bawah langit cerah malam hari diterangi sinar rembulan empat belas hari dan taburan bintang gumintang. Ketika Wiro menoleh lagi ke arah Ratu Duyung , gadis itu , ternyata telah membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Sepasang matanya terpejam. Dadanya tampak berdegup turun naik.
Wiro garuk-garuk kepala. "Apakah ini saatnya saya harus melakukan…?" pikir Wiro. Semakin dipandangnya wajah sang Ratu semakin manis paras itu kelihatannya. Wiro bangun dari kursi. Lututnya bergetar ketika beliau melangkah mendekati tempat tidur. Dia menjadi semakin tegang ketika duduk di tepi tempat tidur dan berada demikian bersahabat dengan Ratu Duyung.
"Ratu… apakah…."
"Wiro! Jangan memikirkan apa-apa selain diri kita berdua. Jangan pikiran menguasai hatimu! Kita sudah masuk di dalam takdir. Tak satu pun diantara kita boleh mundur."
Ratu Duyung memegang pundak Wiro. Sang jagoan mencicipi satu getaran hangat menjalari tubuhnya. Perlahan-lahan beliau membungkuk merangkul tubuh gadis itu. Sang Ratu balas memeluk erat. Demikian eratnya dua insan ini berangkulan hingga mereka sanggup mencicipi kerasnya denyutan jantung masing-masing.
Pada ketika itulah di luar Puri Pelebur Kutuk tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar mirip bunyi halilintar. Bersamaan dengan itu pintu merah terpentang lebar. Lalu satu cahaya kuning melesat masuk ke dalam ruangan.
***

212
EMPAT

DUA INSAN yang tengah berpelukan mesra tersentak kaget dan lepaskan rangkulan masing­masing. Wiro melompat ke tepi tempat tidur. Ratu Duyung dalam keadaan masih terbaring cepat menutupi auratnya dengan pakaian kemudian bersurut ke kepala tempat tidur. Satu bau absurd menggidikkan memenuhi ruangan , seolah menelan bau harum semerbak yang ada di situ sebelumnya.
"Bau kembang kenanga!" desis Wiro. Lalu dilihatnya wajah Ratu Duyung pucat mirip ketakutan. Sepasang matanya yang biru membelalak besar ke arah pintu. Dari mulutnya keluar hardik keras.
"Siapa kau?"
Wiro memandang ke arah pintu. Dia tidak melihat siapa di situ. Tetapi mengapa Ratu Duyung seolah melihat seseorang di sana?
"Ratu…. Ada apa! Apa yang terjadi? Siapa yang barusan kau bentak…?"
Ratu Duyung menunjuk ke arah pintu. "Gadis berbaju kebaya putih panjang itu!" teriaknya.
Wiro kembali berpaling ke arah pintu.
"Aku tidak melihat siapa-siapa!"
"Wiro! Awas! Dia bergerak mendekatimu!" jerit Ratu Duyung. Lalu beliau pukulkan tangan kanan ke arah pintu. Selarik sinar biru berkiblat. Sebalik dari arah pintu melesat sebuah benda kuning kehijauan , berbentuk bintang , menebar bau mengidikkan. Sinar pukulan sakti yang dilepaskara Ratu Duyung menghantam benda kuning kehijauan tadi. Terdengar letusan keras menggeledek di tempat itu. Pintu Pui Pelebur Kutuk hancur berantakan. Beberapa serpihan dinding ruangan bobol.
Di atas ranjang Ratu Duyung duduk tersandar dengan mata melotot. Dari sela bibirnya mengucur darah kental. Wiro sendiri ketika itu tergeletak di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri. Benda kuning hijau yang hancur jawaban pukulan sakti Ratu Duyung tadi bertabur ke arah mukanya. Begitu tersedot jalan pernapasannya tak ampun lagi Wiro oboh pingsan.
"Jangan!" tiba-tiba Ratu Duyung berteriak. Darah menyembur dari mulutnya. "Jangan bawa dia! Demi Tuhan jangan bawa dia!"
Sang Ratu tak bisa berbuat lebih dari itu. Sekujur badannya seolah terikat ke tempat tidur sehingga beliau tak bisa bangun ataupun bergerak. Di depannya sosok makhluk berwajah gadis manis tapi bermuka pucat dan mengenakan kebaya panjang putih berkelebat lenyap sehabis sebelumnya meyambar tubuh Pendekar 212.
"Kembalikan dia! Jangan! Kembalikan dia!" teak Ratu Duyung lagi. Napasnya sesak. Darah makin banyak keluar dari mulutnya. Matanya yang membeliak perlahan-lahan mengecil.
Enam anak buah Ratu Duyung menghambur masuk ke dalam ruangan. Mereka terpekik ketika melihat keadaan pemimpin mereka.
"Kejar!" teriak Ratu Duyung. Lalu kepalanya terkulai ke samping.
Tiga orang anak buahnya segera keluar dari Puri Pelebur Kutuk itu. Yang tiga lagi cepat menutupi tubuh Ratu Duyung , melaksanakan beberapa kali totokan kemudian cepat-cepat membawa sang Ratu kelua , dari tempat itu.
***
Pendekar 212 Wiro Sableng membuka kedua matanya. Memandang berkeliling beliau dapatkan dirinya berada dalam sebuah goa. Udara dalam goa it g sejuk mengambarkan berada di satu tempat ketinggian. Mungkin gunung atau bukit. Di kejauhan terdenga bunyi kicau burung.
"Apa yang terjadi dengan diriku? Di mana saya berada ketika ini?" pikir Wiro. Dia bangun dan duduk sambil memandang berkeliling. Penglihatannya tak kurang suatu apa , begitu juga pendengarannya. Namun sosok tubuhnya terasa lemas. Mulutnya terasa kering. Tenggorokannya sakit. Dirabanya bibirnya. Kering. Dengan beringsut Wiro bergerak menuju cahaya terang yaitu dimana verbal goa terletak.
Begitu hingga di ambang verbal goa Wiro menyaksikan satu pemandangan yang sangat indah. Saat itu masih pagi. Sang surya gres saja menyingsing. Titik-titik embun masih menempel di dedaunan. Seperti diduganya goa itu memang berada di satu tempat ketinggian , menghadap ke sebuah lembah subur di bawah mana terbentang sebuah sungai. Jauh di sebelah barat kelihatan menjulang sebuah gunung hijau kebiruan.
Melihat titik-titik embun yang menempel di dedaunan Wiro ingat pada piala perak berisi air embun murni.
"Ratu Duyung…" desis Wiro. "Sebelumnya saya berada di tempat Ratu Duyung. Bagaimana tahu-tahu saya berada di sini? Apakah saya telah berhasil menolongnya? Apakah beliau telah terbebas dari kutukan Itu?" Wiro memandangi dirinya. Tak ada luka atau cidera. Pakaian yang dikenakannya ialah pakaian bagus pemberian Ratu Duyung. "Aku ingat betul…. Waktu saya jatuh pingsan saya sama sekali tidak berpakaian. Siapa yang telah mengenakan pakaian ini ke tubuhku?"
Wiro berusaha mengingat lebih jauh tapi mendadak perutnya terasa perih.
"Lapar…. Perutku keroncongan. Mungkin sudah berhari-hari saya tidak makan. Berarti saya pingsan usang sekali. Siapa yang membawaku ke sini…? Waktu itu saya ingat…. Ya , saya ingat." Ratu Duyung berteriak memperingatkan ada seseorang mendekatinya. Lalu ada bunyi letusan dan beliau tak ingat apa-apa lagi.
"Gila! Aku tak bisa mengingat cepat. Perutku lapar sekali!" Sambil berpegangan pada batang pohon di sampingnya Wiro bangun berdiri. Dia coba menarik napas dalam-dalam , menghirup udara pagi yang segar. Tiba-tiba beliau memegang tubuhnya di serpihan pinggang kiri kanan. Hatinya lega. Kapak Maut Naga Geni 212 dan kerikil hitam pasangannya ternyata masih ada padanya.
"Seseorang telah menolongku. Mungkin bukan menolong. Yang terperinci orang itu yang telah membawaku ke tempat ini. Aku dibawanya ke sini. Untuk apa? Jika beliau berniat jahat pasti saya ketika ini suda jadi mayat. Kalau beliau berniat baik mengapa saya ditinggalkan sendirian di tempat ini? Di mana orang nya sekarang? Sakit kepalaku memikirkan semua ini! Usus dalam perutku mungkin sudah lengket tak pernah disentuh kuliner atau air." Memandang ke arah sungai di bawah sana rasa haus menciptakan Wiro mirip mau gila. Dengan langkah tertatih-tatih beliau tinggalkan goa , berjalan menuruni lembah. Namun gres bergerak sekitar sepuluh tombak , telinganya mendengar sesuatu berkelebat di belakangnya. Bau harum kembang kenanga memenuhi tempat sekitar situ. Dengan cepat murid Sinto Gendeng ini menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Dari balik semak belukar beliau memperhatikan ke arah verbal goa. Dia yakin barusan ada seseorang menyelinap masuk ke dalam goa itu.
Dugaan Wiro benar. Dia tidak menunggu lama. Satu sosok putih keluar dari dalam goa.
"Astaga!" ujar Wiro. "Aku cuma melihat baying-bayang. Belum sempat memperhatikan dengan baik tahu-tahu sudah lenyap! Atau mungkin pandanga , mata menipuku? Karena lemah dan lapar?" Wiro menghirup dalam-dalam. "Bau itu bau kembang kenanga. Mengingatkan saya pada seseorang…." Wajah Pendekar 212 mendadak sontak berubah. Dia memandang berkeliling. Lalu berseru. "Bunga! Kau ada di sini…?"
"Wuuttt..!"
Satu bayangan berkelebat. Harumnya kemba kenanga semakin menjadi-jadi. Wiro tersurut beberapa langkah ketika bayangan itu tahu-tahu muncul di hadapannya. Mula-mula sangat samar­samar.
Kemudian perlahan-lahan berubah membentuk sosok seorang gadis manis berpakaian kebaya putih panjang berenda-renda. Celananya juga putih. Rambutnya yang panjang setengah digulung dan dibentang di depan dada. Sesaat wajah itu masih tampak pucat. Perlahan-lahan gres berubah kemerahan.
"Bunga , benar kau rupanya…!" ujar Wiro mirip mau menghambur ke depan. Tapi kekuatannya tidak menunjang. Tak ampun tubuhnya jatuh terperosok ke depan. Sebelum beliau jatuh tersungkur di tanah , dua tangan halus memegang bahunya.
"Bunga…."
"Wiro…."
Pendekar 212 peluk erat-erat gadis di hadapanya. Ketika hendak diciumnya gadis itu jauhkan wajahnya kemudian melepas pelukannya.
"Mungkin beliau malu karena usang sekali tidak bertemu tapi mungkin ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya ," pikir Wiro. Lalu dengan tunjukkan wajah ceria Pendekar 212 bertanya.
"Lama sekali kita tidak bertemu , Bunga. Bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau yang membawa saya ke sini?"
"Memang usang sekali kita tidak pernah bertemu Wiro. Kau di alam duniamu yang serba mudah. Aku di alam gaibku yang serba kelam. Kau tak pernah mengingat diriku lagi…. Waktu dan pikiranmu tersita oleh segala macam urusan dunia. Agaknya kau merupakan orang paling senang dalam duniamu. Disukai dan dicintai banyak gadis…."
"Jangan-jangan gadis ini cemburu pada Ratu Duyung ," pikir Wiro. Untuk menggembirakan hatinya , Wiro kemudian berkata.
"Ah , memang saya merasa bersalah. Tapi saya selalu dan sering ingat padamu…."
"Hanya sekedar ingat apa artinya. Kau ingat terakhir kali kita bertemu? Lebih dari setahun lalu. Agaknya kau tidak pernah menginginkan pertemuan lagi denganku…."
"Bunga , saya mungkin bersalah. Tapi dengan jujur saya katakan jangan kau bersalah duga. Setiap saya ingin bertemu denganmu saya merasa saya hanya akan menyusahkanmu saja. Karenanya kalau tidak perlu benar saya tidak ingin mengganggumu."
"Apakah ketika ini kehadiranku mengganggumu Wiro?"
"Ah! Ada apa bergotong-royong dengan gadis manis dari alam mistik ini ," membatin Pendekar 212. "Dia mirip tidak suka padaku. Tapi mengapa membawaku ke sini? Dia seperti…."
"Aku senang bertemu denganmu Bunga. Benar-benar senang. Lebih dari itu saya berterima kasih kau telah membawaku ke sini. Kau telah menolongku…."
Bunga gelengkan kepalanya. "Aku tidak menolongmu Wiro. Aku hanya menolong diriku sendiri… ,
"Aku tidak mengerti maksudmu ," kata Wiro pula.
"Aku menolong diriku sendiri dari himpitan perasaan yang membuatku mirip mau gila. Setiap saya mengingat dirimu saya ingin keluar dari alam gaibku menemuimu. Tapi saya khawatir kau tidak mendapatkan kehadiranku dengan senang. Kalaupun kau memperlihatkan sikap suka mungkin hanya karena terpaksa…."
"Semua dugaanmu itu salah belaka Bunga…."
"Mungkin Wiro , tapi saya melihat dengan mata kenyataan. Seorang makhluk mistik sepertiku ini yang oleh orang banyak disebut makhluk jejadian apa menguntungkannya bagimu dibanding dengan seorang gadis dalam sosok orisinil insan sejati?"
Wiro mendekati Bunga , memeluk gadis itu dan berbisik. "Kau tahu perasaanku terhadapmu Bunga. Sejak dulu saya ingin selalu bersahabat denganmu. Banyak jasa dan budi yang telah kau tanam dan tak mungkin saya balas. Kalau saya boleh bertanya , perasaan apa yang selama ini menghimpitmu?"
"Kau sudah tahu jawabannya Wiro. Kau tahu isi hatiku terhadapmu…" jawab Bunga alias Suci yang dalam dunia persilatan dijuluki Dewi Bunga Mayat. (baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewi Bunga Mayat).
Wiro pejamkan kedua matanya. "Aku tahu kau mengasihi diriku Bunga…."
"Kau juga tahu selama dunia terkembang , selama alam mistik dan duniawi tidak bisa bersatu , saya tak akan pernah bisa mempunyai dirimu…."
"Kau telah mempunyai diriku semenjak pertama kali kita bertemu…" bisik Wiro sambil membelai rambut panjang hitam si gadis.
"Berlakulah jujur Wiro. Hal itu tidak akan pernah terjadi ," kata Bunga pula. "Aku hanya bisa berusaha ke arah itu walau saya sadar tak akan pernah menjadi kenyataan. Itu sebabnya saya menyerbu masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk. Di alam mistik saya tidak tahan melihat dirimu berdua-dua dengan Ratu Duung. Aku tak ingin ada seseorang memilikimu. Aku…"
"Ratu Duyung tidak memilikiku. Kalau kau arif , kau tentu tahu apa sesungguhnya yang ada di balik hubunganku dengan Ratu Duyung. Aku memang galau menghadapi peristiwa itu. Itu sebabnya saya bertanya pada beberapa tokoh dunia persilatan , Termasuk guruku sendiri…."
"Aku tahu hal itu. Dan mereka membenarkan apa yang hendak kau lakukan. Itulah duniamu Wiro. Jauh berbeda dengan duniaku.." kata Bunga pula. Wiro menarik napas dalam. "Apapun yang telah terjadi kau telah menciptakan saya tidak sanggup menolong gadis itu. Aku tidak sempat membebaskannya dari sumpah kutukan…."
"Kau telah melakukannya. Kau telah menolong dirinya bebas dari alam kutukan."
Wiro memandang lekat-lekat pada gadis manis berwajah pucat di hadapannya. "Tidak , saya belum sempat melaksanakan apa-apa!" kata Pendekar 212.
Bunga tersenyum.
"Kau tidak percaya? Aku berani bersumpah!"
"Baiklah kalau kau berkata begitu. Tapi satu waktu kau akan melihat kenyataan bahwa kau benar-benar telah menolong gadis yang malang itu…."
"Maksudmu kelak… kelak kalau beliau nanti hamil?"
***

212
LIMA

BUNGA tersenyum. "Hal yang satu itu sulit saya jawab."
Wiro jadi garuk-garuk kepala. Dalam hati beliau bertanya-tanya. "Apa betul yang dikatakan Bunga barusan? Aku yakin saya belum sempat memenuhi seruan Ratu Duyung. Aku belum melaksanakan esuatu untuk menolongnya. Tetapi mengapa Bunga begitu yakin…."
"Kau masih memikirkan hal itu Wiro?" Teguran Bunga menyadarkan Wiro.
Ketika Pendekar 212 membisu saja Bunga kemudian mengngsurkan sebuah bungkusan.
"Apa ini…?" tanya Wiro.
"Buah-buahan hutan untuk makanmu. Juga ada beberapa potong tebu untuk kau minum airnya. Kau telah pingsan selama enam hari. Kau tentu lapar dan haus sekali…."
"Pingsan enam hari? Aku pingsan selama enam hari?" ujar Wiro dengan mata mendelik. "Pantas perutku perih keroncongan , tenggorokan dan mulutku kering. Sekujur tubuhku lemah."
Wiro segera melahap beberapa jenis buah-buahan yang dibawakan Bunga. Sebentar saja semua buah itu termasuk potongan tebu amblas masuk ke dalam perut Wiro.
"Masih lapar?" tanya Bunga.
"Kalau belum ketemu nasi rasanya belum kenyang!" jawab Wiro kemudian tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba ia hentikan tawanya.
"Ada apa?" tanya gadis dari alam mistik itu.
"Kau bilang enam hari saya pingsan. Berarti enam hari saya tidak pernah mandi! Celaka! Pantas bau badanku sedap amat! Aku terpaksa meninggalkanmu Bunga. Di lembah sana saya lihat ada sungai. Aku mau mandi dulu , kau tunggu di sini. Jangan kemana mana. Jangan mencoba mengintip!"
Bunga tertawa. "Mana ada ceritanya wanita mengintip lelaki. Justru lelaki yang suka mengintai perempuan!"
"Aku pergi!" ujar Wiro.
"Pergilah. Selesai mandi segera kembali ke sini. Ada hal penting yang akan kubicarakan denganmu." kata Bunga.
"Eh , hal apa?" tanya Wiro.
"Nanti saja. Sekarang mandilah sepuasmu. Kalau kau sudah higienis dan segar cepat kembali sini…."
Wiro hendak melangkah pergi tapi mendadak beliau hentikan langkah dan memandang pada si gadis."
"’Ada apa?"
"Sepertinya percuma saja saya mandi. Sudah higienis dan segar mirip katamu , saya tetap saja ­memakai baju bagus tapi sudah bau ini!"
"Ah! Aku lupa!" ujar bunga. Dia masuk ke data goa kemudian keluar lagi membawa seperangkat pakaian putih. "Selesai mandi kau boleh mengenakan baju dan celana ini."
Wiro menyambuti pakaian yang diserahkan Bunga dengan perasaan haru. "Lama sekali saya tidak pernah mengenakan pakaian serba putih. Terima kasih Bunga."
Cukup usang menunggu akhirnya. Wiro muncul di depan goa. Pakaian putih yang dikenakan , tampak berair oleh keringat. Dadanya turun naik tanda napasnya sesak sehabis menaiki lembah.
"Kau sudah higienis dan segar sekarang!" sambut Bunga.
Wiro menarik napas panjang.
"Ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku!" kata Wiro sambil duduk bersila di tanah mengambil sikap siap untuk mengatur jalan napas dan peredaran darah.
Bunga pandangi cowok itu dengan perasaan tedih. "Dia mulai mengetahui perubahan yang terjadi atas dirinya. Kasihan dia. Rasanya tidak tega untuk memberitahu ," kata gadis ini dalam hati.
"Apa maksudmu Wiro. Apa yang tidak beres?" bertanya Bunga kemudian.
"Waktu mendaki bukit ini saya tak bisa berlari. Berjalan cepat saja menciptakan napasku sesak. Aku cepat berkeringat. Sekujur tubuhku letih begitu hingga di atas sini. Tubuhku seolah tidak bertulang lagi…."
"Wiro , itu sebabnya saya tadi memintamu biar lekas tiba ke sini begitu selesai mandi."
"Aku sudah duduk di sini. Kau menyampaikan ada sesuatu hal penting yang ingin kau bicarakan dengan diriku." "Atur dulu jalan napasmu. Kalau kau sudah agak hening gres nanti kita bicara." Wiro melaksanakan apa yang dikatakan Bunga. Besaat kemudian beliau berkata , "Aku sudah siap Bunga. Ayo bicaralah…."
"Kau menyadari ada suatu kelainan dalam dirimu pat ini Wiro?"
"Hemmm…. Kalau perasaan lemah saya rasa wajar-wajar saja karena enam hari saya pingsan. Begitu sadar cuma makan buah dan tebu ," jawab Wiro sambil tersenyum. "Tubuhmu terasa lemah , napasmu sesak. Kau telah mengatur peredaran darah serta jalan per­napasanmu. Apakah kau merasa kekuatanmu sudah kembali?" "Aku tidak mengerti apa maksud semua ucapanmu itu Bunga. Kalau malam nanti saya bisa tidur nyenyak besok pagi pasti saya sudah pulih mirip semula." "Wiro , saya segan menyampaikan hal ini padamu. Tapi kalau tidak saya jelaskan saya khawatir kau bisa mengalami malapetaka yang bisa merenggut jiwamu." "Bunga , apa bergotong-royong yang kau bicarakan ini?!" tanya Wiro. Tambah tidak mengerti tambah terbayang rasa jengkelnya. "Wiro , ketahuilah. Akibat apa yang kau lakukan dengan Ratu Duyung kau telah kehilangan kekuatan luar dan dalam , juga semua kesaktian yang kau miliki. Itu akan berlangsung selama seratus hari."
Wiro tidak tampak terkejut malah tertawa lebar. "Kau ini ada-ada saja! Memangnya saya telah berbuat apa dengan Ratu Duyung? Tadi sudah kujelaskan bahkan hingga bersumpah! Aku belum memenuhi apa yang dimintanya! Aku memang senang kau bergurau. Tapi jangan yang aneh­aneh…."
"Aku tidak bergurau Wiro. Jika kau tidak percaya coba kau pukul dan patahkan cabang pohon ini."
Sosok gadis dari alam mistik itu berkelebat ke atas. Terdengar bunyi "Kraakk!" Begitu turun ada sebatang cabang pohon sebesar betis sepanjang lima jengkal. Bunga pegang patahan cabang pohon itu pada ujung-ujungnya.
"Kerahkan tenaga luarmu. Hantam cabang ini dengan tangan kosong."
"Ini namanya permainan belum dewasa ," kata Wiro pula. Dengan sikap hirau tak hirau beliau pukulkan pinggiran telapak tangan kanannya. "Kraaakk!" Cabang pohon itu patah. "Kau lihat sendiri!" ujar Wiro sambil mengusap dengan kanannya. "Cabang pohon itu dengan gampang sanggup kupatahkan!"
"Kenyataannya begitu. Tapi saya melihat kerenyit kesakitan pada wajahmu. Lihat tangan kananmu. Merah! Sebentar lagi pasti membengkak! Hal itu tidak akan terjadi kalau kau masih mempunyai ilmu kesakItlan…."
Pendekar 212 jadi terdiam. "Jangan-jangan apa yang dikatakan gadis ini benar…" pikir Wiro sambil perhatikan tangan kanannya yang kemerahan dan berdenyut sakit.
"Sekarang kerahkan tenaga dalammu , pukul batlang pohon itu! Kau boleh mengeluarkan ilmu pukulan apa saja! Jika kau memang masih mempunyai kesaktian dan tenaga dalam tinggi , batang pohon yang tak seberapa besar itu pasti sanggup kau hancurkan hingga tumbang!"
Merasa diperlakukan mirip orang kurang pandai atau seolah seorang yang gres mencar ilmu ilmu silat Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Dia siap untuk menghantam batang kayu itu dengan pukulan segulung ombak menerpa karang! Saat itulah beliau menyadari bahwa beliau tidak bisa menghimpun tenaga dalamnya di serpihan pusar , apalagi mengalirkannya ke tangan yang hendak melepas pukulan sakti itu.
"Gila! Aku tidak percaya!" kertak Wiro dalam hati. Dia melompat sambil hantamkan tangan kanannyal ke batang pohon.
Pukulannya menghantam telak. Batang kayu itu , tidak bergeming sedikit pun. Hanya kulit kayunya yang sudah lapuk pecah berjatuhan. Wiro berteriak kaget dan kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa langkah. Untung tidak hingga terbanting jatuh punggung. Terbungkuk­bungkuk menahan sakit beliau pegangi tangan kanannya. Dalam keadaan mirip itu beliau memandang tak percaya pada tangan kanannya. Tangannya pecah dan mengucurkan darah. Wiro berpaling pada Bunga , hendak bertanya tapi tak kuasa membuka mulut. Dengan kain pengikat kepalanya Wiro membalut luka di tangan kanannya.
"Sulit kupercaya…" kata Pendekar 212 perlahan. Diam-diam beliau coba mengerahkan tenaga dalamnya ke perut. Seperti tadi tidak terjadi apa-apa. Dia ticlak bisa melakukan.
"Coba kau kerahkan aji kesaktian menyiapkan pukulan sinar matahari ," kata Bunga.
Wiro segera melaksanakan apa yang dikatakan si gadis. Beberapa ketika berlalu. Tangan kanannya bergetar. Namun tidak terjadi apa-apa. Biasanya kalau beliau siap mengeluarkan pukulan sinar matahari maka tangannya sebatas siku hingga ke ujung jari akan bermetamorfosis seputih perak. "Aku tidak bisa melakukannya!" kata Wwo setengah berteriak. Mukanya tampak sangat pucat Bunga masih belum puas menguji dan membuktikan apa yang terjadi dengan Pendekar 212. Maka beliau pun berkata. "Cabut kapak saktimu. Tebas batang pohon di depan sana!"
Kembali Wiro melaksanakan apa yang dikatakan Bunga.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 dicabutnya dari balik pinggang beliau merasa heran dan berkata , Aneh , kenapa senjata ini yang biasanya ringan kini terasa begitu berat…
Wiro mulai kerahkan tenaga dalamnya. Biasanya begitu tenaga dalam mengalir ke tangan sepasang mata kapak akan mengeluarkan sinar terang menyilaukan disertai membersitnya hawa panas. Tapi kini hal itu sama sekali tidak terjadi. Wiro memaksakan dengan segala daya. Tetap sia-sia malah tubuh dan mukanya jadi mandi keringat sedang senjata yang dipegang terasa bertambah berat.
Dalam keadaan mirip itu Wiro masih belum sanggup mendapatkan kenyataan yang terjadi atas dirinya. Didahului teriakan keras yang kini tidak mempunyai gema hebat karena tidak disertai fatwa tenaga dalam beliau melompat dan hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke batang pohon di hadapannya.
"Kraaakk!"
Kepingan kayu berpelantingan. Kapak amblas ke batang pohon sedalam seperempat jengkal tapi tidak terduga senjata itu terlepas dari pegangan Wiro dan mental kemudian membalik dan menghantam ke arah kepalanya.
"Gila!" maki Pendekar 212. Dia cepat jatuhkan diri untuk menghindari senjata makan tuan yang bisa membunuhnya. Tapi astaga! Gerakannya begitu lamban. Kapak Maut Naga Geni 212 menyambar lebih cepat daripada gerakannya mengelak. "Aku tak bisa mengelak! Kepalaku…!"
Sesaat lagi salah satu mata kapak akan menancap di keningnya tiba-tiba dari samping bea ke­lebat satu bayangan putih. Wiro mencicipi sambaran angin yang sangat keras. Sebenarnya sambaran angin itu biasa-biasa saja dan tidak ditujukan ke arahnya. Namun karena beliau kini tidak mempunyai kekuatan dan kesaktian apa-apa maka sambaran angin tadi sempat membuatnya terpelanting da jatuh duduk di tanah. Ketika beliau memandang ke depan dilihatnya Bunga tegak sambil memegang senjata mustikanya. Gadis ini kemudian melangkah mendekati Wiro dan mengembalikan kapak itu. Wiro meletakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pangkuannya. Untuk beberapa lamanya kedua matanya memandangi senjata mustika itu tanpa berkedip.
"Apa yang terjadi dengan diriku…" desisnya perlahan. Matanya dipejamkan. Tubuhnya bergetar mnahan goncangan perasaan. "Eyang guru! Tuhan! Apa yang terjadi dengan diriku!" teriak Wiro sambil mengangkat kedua tangannya. Lalu kedua tangan itu terkulai lemah ke bawah. "Apa semua ini karena dosaku menggauli Ratu Duyung?! Tuhan , Kau tahu apa yang saya lakukan hanya dengan niat menolong semata. Tidak ada nafsu keji dan kotor! Lagipula bukankah saya belum melaksanakan apa-apa…."
"Wiro." Satu bunyi menegurnya dan satu tanga yang lembut membelai rambut di belakang kepalnya.
"Bunga…. Aku tidak mengerti semua ini! Mengapa saya jadi begini? Tenaga luarku lenyap. Tenaga dalam musnah! Kesaktian hilang! Aku merasa seolah mirip mati saja!"
"Wiro , dengar ucapanku. Aku akan memberitahu apa yang saya ketahui ," kata Bunga pula. "Kau tahu , saya tahu dan Tuhan pun tahu maksud baikmu menolong Ratu Duyung yang telah menanam budi dan jasa serta menyelamatkanmu dari maut. Namun dalam dunia Ratu Duyung berada , bersentuhan tubuh tanpa terhalang oleh pakaian akan menciptakan orang luar mengalami malapetaka. Jika beliau seorang biasa saja yaitu tidak mempunyai tenaga luar yang berpengaruh , tidak mempunyai tenaga dalam serta kesaktian maka malapetaka itu bisa menciptakan dirinya menemui ajal. Jika beliau tidak tewas maka beliau akan menjadi lumpuh seumur hidupnya. Sebaliknya kalau orang luar itu keadaan mirip dirimu yakni mempunyai tenaga dalam dan tenaga luar yang tinggi serta banyak sekali kesaktian maka semua apa yang dimilikinya itu akan lenyap…."
"Ya Tuhan!" seru Wiro. Pemandangannya menjadi kelam. Tubuhnya menghuyung. Bunga cepat enahan pundak Pendekar 212. "Tenang Wiro , keteranganku belum selesai."
"Aku ketika ini tak lebih dari seorang insan tidak berguna. Apa gunanya hidup…?"
"Dengar Wiro , semua yang kau miliki itu akan lenyap. Tapi tidak untuk selama-lamanya…."
Wiro mirip tidak mau mendengarkan lagi. Kealanya digeleng-gelengkan.
"Tenaga luar dan dafam serta kesaktianmu haya lenyap selama seratus hari Wiro. Setelah itu pn1ua itu akan kemba!i dengan sendirinya. Hanya saja mungkin kau perlu untuk melatihnya kembali barang sebulan dua bulan…."
"Apakah Ratu Duyung mengetahui jawaban yang bakal terjadi atas diriku?"
"Tentu saja beliau mengetahui ," jawab Bunga.
"Gadis setan! Dia tidak memberitahu padaku!"
Bunga terdiam sesaat kemudian berkata dengan bunyi perlahan. "Terus terang saya cemburu terhadapnya.Cemburu terhadap hubunganmu dengan dia. Tapi dalam hal ini jangan kau salahkan dirinya. Dia tidak mungkin menyampaikan hal itu padamu. Karena kalau dikatakannya kau pasti tidak akan mau menolongnya…."
"Tapi…." Wiro menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya dikepalkan. "Aku merasa ditipu!"
"Tidak ada yang menipumu Wiro. Apa yang terjadi memang pahit. Mungkin sudah begitu jalan nasibmu…."
"Ini bukan jalan nasib! Ini gila!" kata Pendekar 212 pula.
"Wiro , dalam keadaanmu mirip ini kau harus segera menghilang dari dunia persilatan. Paling tidak selama seratus hari sebelum kekuatan luar dalam serta kesaktianmu kembali pulih…."
"Aku harus menghilang dari dunia persilatan? Apa maksudmu Bunga?"
"Apa kau tidak menyadari? Tanpa kemampuan apa-apa kau berada dalam ancaman besar. Jika satu saja dari sekian banyak musuhmu mengetahui apa yang terjadi dengan dirimu maka kau pasti akan dicarinya dan dibunuh dengan mudah! Kau tak mungkin menyelamatkan diri!"
Berubahlah paras murid Sinto Gendeng. Lama beliau terdiam , sebelum bertanya dengan nada putus asa. "Bunga , apakah tidak ada satu cara untuk sanggup mengembalikan kekuatan dan kesaktianku tanpa harus menunggu hingga seratus hari?"
Bunga menggeleng. "Aku ikut sedih atas apa yang kau alami. Tidak seorang pun bisa menolongmu Wiro. Juga aku…."
Apa yang harus saya lakukan sekarang? Otakku tampaknya tak bisa berpikir lagi.’
"Aku sarankan kau pergi ke tempat kediaman gurumu di Gunung Gede. Itu tempat paling kondusif bagimu…."
"Kau benar. Tapi dalam keadaanku mirip ini tidak gampang bagiku mengadakan perjalanan sejauh itu…." Wiro memandang berkeliling. "Kita berada dimana ketika ini? Apa nama tempat ini."
"Kita berada di Bukit Jatianom. Jauh di sebelah tenggara Gunung Merapi. Jika kau mengira tempat ini kondusif bagimu , saya tidak bisa menjamin…."
"Apapun yang akan terjadi dengan diriku di tempat ini , rasanya saya tidak akan mau pergi ke mana-mana. Kalaupun saya harus mati biar saja saya menemui maut di sini…."
Jika itu keputusanmu dan tak bisa dirubah saya tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini saya harus kembali ke duniaku…."
Wiro terdiam. Dia merasa lebih kondusif kalau Bunga berada bersamanya di tempat itu.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Sayang saya tidak bisa melakukan. Aku sudah terlalu usang berada dalam duniamu. Aku harus pergi Wiro…. Jaga dirimu baik-baik."
Wiro mengangguk.
"Apakah kau masih menyimpan kembang kenanga yang pernah saya berikan dulu?" tanya Bunga. Wiro mirip tersentak. Dia meraba pakaian putihnya.
"Kau tak bakal menemui bunga itu di sana. Aku juga telah menilik pakaian yang kau kenakan sebelumnya. Bunga itu pasti tertinggal di tempat Ratu Duyung…."
"Berarti kalau saya memerlukanmu saya tidak bisa memanggilmu. Apakah kau bisa memperlihatkan satu lagi padaku?"
"Bunga sakti yang bisa memanggilku itu hanya muncul sekuntum dalam tujuh tahun…."
Wiro mirip dihenyakkan. Jelas kalau terjadi apa-apa dengan dirinya beliau tidak mungkin memanggil gadis dari alam mistik itu untuk menolongnya.
"Aku akan berusaha memperhatikan dirimu dari alamku. Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa selama seratus had mendatang. Aku harus pergi kini Wiro…."
Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri. Dia melangkah mendekati si gadis dan ulurkan tangannya untuk merangkul. Namun beliau mirip lenyap dari pemandangan.
Untuk beberapa lamanya Wiro tegak tertegun. Lalu beliau ingat sesuatu dan sekaligus mengorrael meratapi diri.
"Mengapa tadi saya tidak meminta tolong pada Bunga biar menemui Eyang Sinto Gendeng. Memberitahu keadaanku ketika ini. Ah , otakku seolah tidak bisa bekerja lagi! Untung Pangeran Matahari sudah tewas di Pangandaran. Kalau beliau masih hidup dan mengetahui apa yang terjadi dengan diriku , pasti saya akan menemui maut secara gampang di tangannya!"
Wiro menghela napas dalam berkali-kali. Dia balikkan tubuhnya dan memandang ke arah goa. Apa saya harus mendekam bersembunyi selama seratus hari di goa itu? Belum apa-apa rasanya sudah mirip mau mati! Daripada mati di dalam goa ini lebih mati di tempat lain!" Wiro alihkan pandangannya ke lembah. "Astaga!" Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini ingat akan ilmu "Pukulan Harimau Dewa". "Bukankah ilmu kesaktian itu bisa dikeluarkan tanpa mengandalkan tenaga dalam?" pikir Wiro. Tanpa tunggu lebih usang beliau segera tiup tangan karannya.
Lalu telapak tangan dikembangkan lebar-lebar. Matanya membeliak dan tengkuknya menjadi hambar ketika pada telapak tangan kanannya sama sekali tidak muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. "Datuk Rao Bamato Hijau ,… Datuk Rao Basaluang Ameh. Apakah kalian juga telah meninggalkan diriku?" ujar Wiro dengan bunyi bergetar. Dia tidak ingat kapan terakhir sekali mengeluarkan air mata. Yang terperinci ketika itu dirasakannya kedua matanya berkaca-kaca. "Se­besar apakatt dosa yang telah saya perbuat hingga jatuh kutuk begini hebat terhadapku?" Perlahan­lahan Wiro duduk di tanah. Sekujur tubuhnya terasa lemah. Terbayang olehnya wajah Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Setengah mengumpat beliau berkata. ‘Kalian berdua memberi dorongan biar saya menolong Ratu Duyung. Kalian seharusnya tahu apa akibatnya! Kalian menipuku! Menipuku!" Kata terakhir diucapkan Niro dengan berteriak dan tubuh bergetar!
***

212
ENAM

LANGIT biru disaput awan kelabu di sana-sini. Walau purnama memancarkan sinarnya yang putih terang namun tiupan angin menciptakan sebentar-sebentar awan kelabu menutupinya. Walau sesekali angin bertiup kencang namun air bahari tampak setenang air danau. Sebuah bahtera kayu yang layarnya gres saja digulung kelihatan meluncur perlahan memasuki Teluk Siburu. Penumpangnya seorang kakek berambut putih duduk melunjur , enak-enakan menyandarkan punggung dan kepalanya ke serpihan haluan. Sulit untuk diketahui apakah orang bau tanah ini tengah terlelap tidur atau bagaimana. Sepasang matanya membentuk lobang dalam di atas pipinya yang cekung. Wajahnya yang tidak berdaging seolah sebuah tengkorak hidup.
Sayup-sayup di kejauhan terdengar bunyi ombak memecah. Suaranya agak absurd karena bukan memecah di pasir pantai tetapi memecah setelahmenghantam formasi batu-batu karang tinggi runcing laksana barisan raksasa penjaga pulau.
"Terima kasih Tuhan! Akhirnya kau selamatkan saya hingga ke pulauku kembali!" Orang bau tanah muka tengkorak usap wajahnya yang ditumbuhi kumis dan janggut putih. Perlahan-lahan beliau bangun dan duduk di lantai perahu. Dia menyeringai ketika melihat deretan batu-batu karang tinggi itu. Apa yang dilihatnya itu menciptakan beliau teringat pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang kini jauh berada di tanah.
Beberapa tahun yang kemudian beliau telah menggembleng Wiro di salah satu puncak kerikil karang itu hingga si cowok mempunyai daya tahan yang hebat pada kedua kakinya , bertambah tinggi ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalamnya.
"Anak setan itu rejekinya besar sekali. Setelah mempunyai Kitab Putih Wasiat Dewa sulit dicari insan yang bisa menandinginya. Siapa menyangka semudah itu beliau bakal menjadi dedengkot nomor satu menguasai dunia persilatan… Tapi lain sang murid lain sang guru. Sinto Gendeng bau tanah bangka konyol. Tak kuikuti kemauannya pergi ke Gunung Gede beliau merajuk marah! Tua bangka masih mirip anak-anak! Jangan harap saya akan menjejakkan kaki lagi di tanah Jawa. Jangan harap saya mau ketemu beliau lagi!"
Sepasang mata si orang bau tanah yang cekung lebar tampak tambah lebar dan menggidikkan ketika beliau memandang jauh-jauh ke arah deretan batu-batu karang di pantai. Sementara angin kembali meniup awan kelabu menutupi bulan. Keadaan di sekitar pantai menjadi redup gelap.
"Air bahari pasang besar. Tak sedap rasanya mendarat di tempat itu. Kalau dulu mungkin saya masih suka berbuat gila. Bermain-main dengan ombak dan kerikil karang! Sekarang saya harus tahu diri. Tenaga sudah banyak terkuras oleh usia. Hik… hik! Biar saya mencari tempat mendarat yang empuk. Di serpihan pantai sebelah timur. Di antara pohon-pohon bakau…."
Seperti tak hirau kakek ini dorongkan tangan kanannya ke samping perahu. Air bahari tampak bergelombang. Perahu kayu itu bergerak ke kiri kemudian meluncur menuju serpihan pantai di sebelah kiri barisan batu-batu karang.
Semakin bersahabat ke pantai yang ditumbuhi pohon-pohon bakau semakin besar hati orang bau tanah itu. Dari mulutnya melengking tinggi bunyi nyanyian.
Jauh berjalan ke tanah Jawa
Kembalinya ke Andalas juga
Bertemu kekasih di masa muda
Sudah bau tanah tapi masih mau bermanja
Ha… ha… ha! Hik… hik… hik!
Di tepi pantai , di antara kerimbunan pohon bakau dan kegelapan malam seorang wanita bau tanah bermuka putih keluarkan ucapan merutuk dalam hati.
"Tidak meleset dugaanku! Lelaki bedebah itu pergi ke tanah Jawa untuk menemui gendaknya si Sinto Gendeng!"
Baru saja wanita ini menggerendeng begitu rupa tiba-tiba ada seseorang mendatanginya dan berbisik. "Sabai , kau lebih mengenali bunyi musuh! besar kita. Aku yakin yang tiba naik bahtera itu memang orang yang kita tunggu-tunggu!"
"Keyakinanmu tidak keliru. Siapkan teman-teman. Tunggu hingga saya memperlihatkan tanda gres menyerbu!"
"Agaknya beliau tiba hanya sendirian. Tidak membawa muridnya yang jadi musuh besar kami?!"
Sabai Nan Rancak , si nenek muka putih berjubah hitam yang ialah guru Puti Andini si Dewi Payung Tujuh menjawab. "Itu lebih memudahkan bagi kita untuk membantainya. Setelah beliau mampus gres kita cari muridnya. Sekarang lekas pergi. Atur siasat dengan teman-teman mirip yang sudah kita bicarakan! Jangan hingga setan bau tanah itu lolos!"
Orang yang berdiri di samping si nenek anggukkan kepala. Tanpa banyak bicara lagi beliau segera meninggalkan tempat itu dan lenyap di kegelapan malam.
Di atas bahtera , kakek berpakaian dan berambut putih kembali menyanyi.
Bagus manis negeri orang
Buruk kusut negeri sendiri
Lebih baik negeri orang…. Eh! Salah! Hik… hik… hik!
Lebih baik negeri sendiri!
Berlayar kepalang jauh
Tubuh dan tulang yang akan mengumpat
Bercinta dengan orang jauh
Walau sakit terasa nikmat Ha… ha… ha…!
Air pasang di keliling pulau
Air terjun di tengah rimba
Senang sungguh pulang ke pulau
Walau rindu menanggung cinta Siapuh! Ha… ha… ha!
Perahu kecil itu meluncur perpahan , berkelok mencari jalan di antara akar-akar pohon bakau yang bertumbuhan sepanjang pantai.
"Tek… tek… trek… tek… tek."
Tiba-tiba ada sesuatu menyentuh tubuh bahtera , mengeluarkan bunyi aneh. Semakin jauh bahtera kayu itu masuk mendekati tepi pasir semakin sering bunyi itu terdengar. Orang bau tanah di atas bahtera buka matanya lebar-lebar , perhatikan air bahari di sekitarnya. Tampangnya yang seram tampak tercekat ketika melihat benda apa yang telah menyentuh tubuh perahunya hingga mengeluarkan bunyi berkepanjangan.
"Tengkarak manusia…! Begini banyak! Darimana asalnya kata orang bau tanah tadi. Dia memandang berkeliling. Perasaan heran bermetamorfosis galau tidak enak. Puluhan tengkorak kepala insan mengambang di permukaan air laut. Bergerak kian kemari kemudian membentur tubuh perahu. Ada juga yang terapung-apung di sela-sela akar pohon bakau.
"Tampaknya ini satu penyambutan yang direncanakan. Siapa yang punya pekerjaan…." Orang bau tanah di atas bahtera kemudian ingat peristiwa hampir setahun silam. Dadanya berdebar keras. "Jangan­jangan ini ulah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Tapi bukankah beliau sudah dipendam dalam makam tanpa nisan itu? Mana mungkin beliau bisa lolos dan masih hidup…!" (Siapa adanya Datuk Tinggi Raja Di Langit harap baca serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan).
"Tua Gila! Selamat kembali ke pulaumu! Malam ini pulau ini akan menjadi pulau kematianmu!" Satu teriakan menggema di tempat itu.
Orang bau tanah di atas bahtera terkesiap. "Itu bukan bunyi Datuk Tinggi Raja Di Langit…" katanya dalam hati.
"Jahanam! Siapa berani berbuat gila di pulau kediamanku!" hardik orang bau tanah di atas bahtera yang ternyata ialah tokoh silat si Tua Gila yang paling ditakuti di seantero pulau Andalas , menyandang beberapa julukan. Diantaranya Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Bentakan Tua Gila begitu kerasnya hingga air bahari tampak beriak dan daun-daun pohon bakau terdengar berdesir.
Sebagai jawaban dari sepanjang tepi pasir yang gelap terdengar bunyi tertawa.
"Kami malaikat maut utusan dari neraka yang ngin mencabut nyawamu!"
"Mengorek jantungmu!"
"Membedol isi perutmu!"
"Cacing-cacing malam! Tanganku jadi gatal! Jangan bertindak pengecut! Perlihatkan diri kalian! Atau saya si Tua Gila akan memecahkan kepala kalian satu persatu!"
Kembali dari arah daratan terdengar bunyi tertawa. Lalu ada seseorang berseru. "Kami belum merasa perlu memperlihatkan diri. Kehadiran kami audah diwakili oleh puluhan tengkorak yang mengapung di permukaan air laut! Itu ialah tengkorak orang-orang yang kau bunuh dimasa lalu!"
Tua Gila sempat terkesiap tapi segera pula beliau tertawa gelak-gelak. "Kalau yang menyambutku sudah jadi tengkorak , kalian rupanya ialah setan-setan kesasar yang gentayangan minta mati dua kali! Ha… ha… ha!"
"Sudah mau jadi bangkai masih saja bicara sombong!"
Suara orang kali ini tiba dari sebelah atas. Tua Gila cepat mendongak ke atas pohon bakau. Sesosok tubuh berpakaian hitam yang mendekam di atas pohon itu secepat kilat melompat ke pohon bakau lainnya. Tua Glla angkat tangan kanannya , siap untuk melepas satu pukulan sakti. Tapi niatnya dibatalkan. Malah mirip orang tidak beres ingatan beliau kembali bernyanyi.
Malam gelap malam gulita
Pulang ke pulau disambut bala
Boleh saja main gila bersama
Asal siap serahkan nyawa
Ha… ha… ha…!
Tiba-tiba terdengar satu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu laksana ketelawar-kelelawar ga­nas dari atas pohon-pohon bakau melayang turun enam sosok tubuh. Tiga senjata berkiblat dalam kegelapan malam. Tiga pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi menderu melepas hawa panas. Dari arah tepi pasir tiga macam senjata rahasia berbentuk paku , pisau terbang dan jarum hitam menggebubu.
Tua Gila berteriak kaget dan marah.
"Pengecut-pengecut jahanam!"
Tubuh berpakaian putih itu melesat ke udara kemudian jungkir balik , mencelat ke arah rumpunan pohon bakau lebat di sebelah kiri. Dua pekikkan menggelegar. Dua orang yang barusan menyerang dari atas pohon bakau terpental satu tombak kemudian tercebur ke dalam laut. Tak muncul lagi karena amblas dengan kepala pecah!
***

212
TUJUH

KESUNYIAN mirip menghantu di tempat itu walau di kejauhan bunyi ombak yang menghantam kerikil karang terdengar tidak putus-putusnya. Kematian dua mitra mereka dalam gebrakan pertama mau tak mau menciptakan para penyerang yang berada di tempat itu jadi terkesiap walau hanya seketika.
Di atas pohon bakau yang gelap Tua Gila bergelantungan tak bergerak. Sebilah pisau terbang menancap di lengan kirinya. Darah mengucur. Beberapa buah jarum hitam berhasil menyusup di pakaian putihnya. Walau tak sempat melukai tubuhnya tapi cukup menciptakan dedengkot rimba persilatan Andalas ini jadi hambar kuduknya karena beliau tahu betul jarumjarum itu pasti beracun.
Dengan mendengus sambil menahan sakit Tua Gila cabut pisau terbang yang menancap di lengan kirinya. Matanya yang cekung lebar memandang beringas memandang liar ke arah kegelapan. Dia tidak sanggup melihat penyerang gelap yang berada di tepi pasir namun beliau ingat betul kalau tadi ada enam orang yang menyerang dari atas pohon bakau. Dua berhasil dibunuhnya. Empat lagi lenyap selamatkan diri.
"Yang empat itu tidak terjun ke dalam laut. Mereka pasti mendekam di pepohonan bakau sekitar sini!" Tua Gila memperhatikan terus kegelapan di sekelilingnya kemudian verbal kakek bermuka tengkorak ini kelihatan menyeringai. Dia berhasil melihat salah seorang penyerangnya. Bergelantung di balik rerumpunan pohon bakau. Tangan kanan Tua Gila yang memegang pisau bergerak.
Orang yang diserang gres sadar kalau maut mengancamnya ketika pisau terbang itu hanya tinggal sejengkal di depan matanya. Dia berteriak keras. Coba menghindar sambil memukul ke depan. Namun pisau terbang lebih dulu menancap di tenggorokannya.
"Hekkk!"
Dua tangan yang bergelantungan di pohon bakau terlepas. Tubuh orang ini jatuh ke dalamila menggelepar-gelepar beberapa kali kemudian lenyap da permukaan air.
Saat itu pula kembali terdengar bunyi suita keras. Dari arah pantai menderu tiga gelomba pukulan sakti. Di bawah kakinya Tua Gila melihat tiga senjata tajam berkilauan membabat ke ata mengarah kaki , paha dan pinggangnya. pisau terbang dan jarum-jarum hitam tak ketinggalan mencari sasaran di tubuh kakek muka tengkorak inil
"Jahanam! Dendam apa yang menciptakan mereka benar-benar hendak membantaiku?!" kertak Tua Gila.
Batang-batang pohon bakau tiba-tiba berputa berserabutan. Secara absurd melindungi sosok Tua Gila dari serangan yang tiba dari arah pantai. Batang pepohonan itu hancur awut-awutan begitu terkena gesekan angin pukulan sakti. Tua Gila sendiri tergontai-gontai. Mungkin beliau sanggup bertahan dan tetap bergelantungan namun bahayanya terlalu besar. Dia harus menyelamatkan diri dari serangan senjata rahasia berupa pisau terbang dan jarum hitam. Belum lagi tiga senjata yang membabat sebelah bawahi.
"Benar-benar Jahanam." maki Tua Gila. Dia kerahkan tenaga dalam dan terpaksa biarkan tubuhnya tersapu salah satu angin pukulan lawan. Meski bisa selamatkan nyawa namun orang bau tanah ini tidak sanggup menghindari cidera jawaban pukulan jarak jauh itu. Tubuhnya terpental dua tombak ke kiri. Pinggul kirinya serasa memar. Sekujur kaki kiri laksana lumpuh. Pisau terbang dan jarum hitam berkesiuran di atas kepala dan kiri kanannya. Dua tebasan senjata tajam di sebelah bawah berhasil dielakkannya. Sen-iata ketiga membabat ke kaki kanan. Tua Gila cepat angkat kakinya yang diserang namun , "Breet!" Ujung lubah putihnya masih sempat dimakan ujung senjata lawan hingga robek besar.
"Edan! Kalian main gila! Apa kalian kira saya tidak bisa main gila?"
Tubuh Tua Gila melesat ke kiri. Bergelantungan di serumpunan pohon bakau kemudian melesat ke kanan , sehabis itu melesat lagi ke jurusan lain. Setiap tubuhnya berkelebat terdengar jeritan-jeritan mengerikan. Dua dari tiga penyerang bersenjata menemui maut dimakan tendangan kaki kanannya. Yang ketiga disergapnya dari atas. Selagi beliau memuntir kepala orang ini dari arah pantai melesat enam buah pisau terbang. Tua Gila cepat balikkan tubuh dan pergunakan tubuh orang yang dipuntir kepalanya sebagai tameng. Empat pisau menancap telak di kepala , dada dan perut orang. Dua lainnya melesat menghantam udara kosong!
Tua Gila cepat kerahkan tenaga dalamnya ke lubuh sebelah kiri yang terasa lumpuh. Baru saja rasa sakit hendak sirna tiba-tiba dari arah tepi pasir menyambar satu sinar merah.
"Wuuuss!"
Mula-mula sinar itu membentuk garis lurus. Setengah jalan melebar mirip kipas , terus menggebu ke arah mana Tua Gila berada.
"Brakkk!"
Dua kerikil besar yang ada di tepi pasir hancur berentakan dan mengepulkan asap dihantam sinar merah.
"Kraaaakkk…. Wuuusss…."
Pohon bakau di balik mana Tua Gila berusaha selamatkan diri hancur lebur , eksklusif dikobari api. Kalau Tua Gila tidak cepat jatuhkan diri ke bahari pasti beliau ikut lumat dimakan sinar merah yang luar biasa panasnya itu. Terbakarnya daun dan pohon bakau menciptakan bahari di mana Tua Gila berada menjadi terang benderang hingga para penyerang gelap lebih gampang melihatnya. Kembali dari arah tepi pasir sinar merah menderu.
Pukulan Kipas Neraka!" seru Tua Gila yang semenjak hantaman pertama sudah mengenali. "Tak bisa kupercaya! Apa benar beliau ikut hendak menjarah nyawaku? Oooo benar-benar gila! Dendamnya di masa kemudian tak kunjung habis! Tebaran sinar merah menderu. Di bahari dangkal sedada Tua Gila terpaksa menyusup menyelam ke dalam air , berlindung di balik bahtera kayu. "Hancurkan bahtera itu!" Seseorang berteriak. Lalu , "Wuuuut!" Satu gelombang angin melesat di atas permukaan air laut. "Braaakkk!" Perahu kayu milik Tua Gila hancur berkeping-keping. Air bahari muncrat setinggi dua tombak. Tua Gila lenyap dari pemandangan. "Lenyap! Dia lenyap!" Ada orang berteriak. "Dia belum tentu mati! Lekas ke muara!" Seseorang berseru berikan perintah.
Baru saja seruan itu lenyap dari arah bahari tampak melesat benda-benda bulat. Dalam kegelapan terdengar bunyi mengekeh.
"Dajal-dajal tolol! Aku kembalikan hadiah penyambutan pada kalian!"
"Awas serangan tengkorak! Saat itu di udara yang gelap berlesatan benda-benda bulat putih yang bukan lain ialah tengkorak-tengkorak yang sebelumnya bertebaran di permukaan bahari , sengaja disebar oleh orang-orang yang hendak membunuh Tua Gila. Kini si kakek pergunakan tengkorak itu sebagai alat penyerang yang berbahaya hingga orang-orang yang ada di tepi pantai sesaat jadi kalang kabut. Satu orang roboh muntah darah begitu dadanya dihantam sebuah tengkorak.
"Brakk.. brakkk… braakkk."
Beberapa rangkum angin pukulan menderu ke udara. Belasan tengkorak hancur bermentalan.
"Lepaskan buaya di muara! Seseorang berteriak dalam kegelapan malam.
Dua sosok berkelebat ke arah timur dimana terdapat sebuah sungai kecil. Dengan cepat mereka menarik sebuah jaring lebar terbuat dari bambu yang sengaja dipasang di verbal muara. Di belakang jaring bambu ini mendekam lebih dari selusin buaya bahari yang lebih dari sepuluh hari tak pernah mendapat makan. Begitu jaring penghalang dibuka binatang-binatang yang kelaparan dan telah mencium bau bangkai segera meluncur ke laut.
Tua Gila melengak kaget ketika melihat munculnya begitu banyak buaya di permukaan laut. Binatang-binatang ini dengan ganas melahap mayat-mayat para penyerang yang telah dibunuh Tua Gila sebelumnya. Namun beberapa ekor di antara mereka segera melesat ke arah si kakek.
"Aku pemilik pulaul Aku penguasa pulau’ Kembali ke tempat kalian!" teriak Tua Gila.
Dua ekor buaya tampak mirip menahan gerakan mereka mendengar bentakan Tua Gila. Namun yang tiga ekor lagi tidak mau perduli. Mereka terus saja menyerbu ke arah orang bau tanah itu.
"Makhluk tolol!" teriak Tua Gila. Tangan kanannya ditepukkan ke atas permukaan air laut. Air bahari menggelombang muncrat. Tiga ekor buaya terhempas ke belakang. Tapi segera pula menyerbu kembali dengan lebih ganas. Dua menyusup ke dalam air. Yang ketiga melesat di permukaan. Tua Gila kerahkan tenaga dalam dan melesat ke udara setinggi satu tombak. Dia selamat dari serangan dua buaya yang hendak membantainya di bawah permukaan air. Namun buaya ketiga tiba menyerbu dengan verbal terbuka dan hantaman ekor. Disaat yang sama dari arah tepi pasir melesat sinar merah. Pukulan Kipas Neraka!
"Oo ladalah! Celaka diri bau tanah keropos ini!" keluh Tua Gila. Salah satu dari dua serangan yaitu serangan buaya atau Kipas Neraka tak sanggup tidak akan melabrak tubuh kurus si kakek.
"Bukkk!"
Tua Gila tetapkan lebih baik beliau mendapatkan hantaman ekor buaya. Kakek ini terpental hingga enam tombak. Dari keningnya mengucur darah. Tulang pipinya sebelah kiri retak dan terluka dalam jawaban hantaman ekor buaya. Sesaat tubuhnya terkapar di atas pasir.
"Lekas ringkus insan jahanam itu!” Seseorang berseru berikan perintah.
Empat sosok tubuh tinggi besar melompat menyergap ke arah Tua Gila yang ketika itu tengah mengusap darah yang menutupi pemandangan mata kirinya. Tiba-tiba Tua Gila dorongkan kedua tangannya ke depan.
Empat lelaki yang hendak meringkusnya menjerit keras. Tubuh mereka terpental dan berguling-guling di atas pasir pantai. Dua orang eksklusif tak berkutik lagi , putus nyawa. Dua lainnya dengan megap-megap mencoba bangun berdiri. Namun muntahkan darah segar kemudian terjungkal roboh.
Tua Gila dengan cepat meneliti wajah keempat orang itu. "Tak satu pun saya kenal. Pasti mereka hanya cecere-cecere yang dijadikan umpan dan korban!" membatin Tua Gila. "Siapa yang jadi dedengkot mereka? Satu saya sudah bisa mengira , tapi di ujung sana kulihat lebih dari sepuluh keparat mendekam dalam kegelapan. Menginginkan kematian diriku! Gila betul! Hik… hik… hik!
"Tua Gila! Jalan lolos tidak ada bagimu! Jika kau mau serahkan diri , kami berjanji akan mengurus mayatmu secara baik-baik!" Ada seseorang yang berteriak dari arah pantai. Tua Gila tidak mengenali siapakah yang barusan bicara. Sambil mengusap darah di mukanya yang cekung beliau tertawa mengekeh. "Bagaimana mungkin kalian akan mengurusi mayatku! Kalian akan mampus lebih dulu darikul Ha…h a… ha! Hik… hik… hik!" Beberapa orang terdengar menyumpah dalam kegelapan. Lalu , "Wuuut!" Sinar merah melesat dari arah pantai. Bersamaan dengan itu Tua Gila melihat beberapa orang berkelebat ke arahnya.
Masing-masing lepaskan pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam tinggi. Pantai laksana disapu topan , pasir beterbangan. Air bahari bergelombang dan batu-batu yang ada di tepi pantai bergetar keras. Beberapa diantaranya terbongkar dan menggelinding jauh.
Tua Gila jatuhkan diri sama rata dengan pasir pantai. Sambil menelentang di pasir beliau balas menghantam ke depan. Tenaga dalamnya yang tinggi bentrokan dengan adonan beberapa tenaga dalam yang serempak menggempurnya. Terjadilah hal yang hebat. Tubuh Tua Gila laksana sehelai daun dihantam angin puting beliung melesat ke udara. Pakaian putihnya robek hampir di setiap sudut. Dari mata , pendengaran , hidung dan mulutnya mengucur darah , dalam keadaan mirip itu tubuhnya jatuh terhantar di balik lamping kerikil karang.
Di arah pantai delapan orang terjengkang di pasir. Dua tak bangun lagi , dua bangun terhuyung-huyung. Yang empat cepat melompat berdiri seperti tidak menderita atau cidera apa-apa.
Di balik kerikil karang Tua Gila cepat mengatur jalan darah , pernapasan dan tenaga dalam. Dia hanya sanggup menghentikan kucuran darah. Namun rasa sakit mirip menguliti sekujur badannya. Terbungkuk-bungkuk beliau melangkah tertatih-tatih , masuk lebih dalam ke balik kerikil karang. Denyutan luka jawaban hantaman ekor buaya di kepalanya seolah palu godam yang hendak menghancurkan batok kepalanya. Di satu tempat yang dirasakannya kondusif , di antara celah dua kerikil karang orang bau tanah ini jatuhkan diri. Dia cepat duduk bersila. Kembali mengatur jalan napas , peredaran darah dan tenaga dalam.
"Ada yang tak beres dengan diriku. Tenaga dalamku sulit dialirkan. Seolah urat-urat besarku terbendung di beberapa bagian. Pukulan Pembendung Tenaga! Kalau bukan karena itu tak mungkin saya begini! Celaka! Apa benar ada pukulan sehebat itu? Siapa diantara mereka yang memiliki? Perempuan celaka itu pasti bukan! Sialan gila! Kalau tahu bakalan begini lebih baik saya mengikuti kata-kata Sinto Gendeng. Jangan buru-buru kembali ke Andalas ini."
"Tua Gila! Kami tahu kau mengalami cidera berat! Apa masih belum mau serahkan diri?" Dari arah pantai terdengar teriakan orang.
"Jahanam!" Tua Gila merutuk. Perlahan-lahan beliau bangun berdiri dan mengintai dari balik kerikil karang. Baru saja kepalanya muncul sedikit dari arah pantai menyembur sinar merah Pukulan Kipas Neraka!
"Wuusss!"
Sinar itu dengan dahsyatnya menyebar laksana kipas satu tombak di depan kerikil karang.
"Braakkk! Byuumr!"
Batu karang setinggi empat tombak itu laksana ditebas petir. Bagian atasnya yang terkutung mencelat masuk ke dalam laut! Tua Gila mencicipi kakinya bergetar dan cepat menjauh dari kerikil karang yang kini menyerap panas sinar Pukulan Kipas Neraka hingga tak ubahnya mirip bara api.
Tua Gila cepat menyingkir ke balik formasi kerikil karang lainnya. Dalam kegelapan beliau keluarkan senjata yang paling diandalkana yakni segulung benang yang disebut Benang Kayangan.
"Tua Gila! Kami memberi kesempatan hingga tiga hitungan! Jika kau tidak keluar dari balik kerikil karang menyerahkan diri! Kami akan menyerbu dan membunuhmu!"
"Masuki Silahkan masuk! Pintu neraka sudah kubuka lebar-lebar untuk kalian!" teriak Tua Gila kemudian masih bisa tertawa gelak-gelak.
Di tepi pandai dalam kegelapan beberapa orang segera berunding. Kebanyakan mereka tidak baiklah untuk menyerbu ke balik balu karang dimana musuh bersembunyi. Walau lawan diketahui sudah terluka tetapi terlalu besar bahayanya untuk menyerbu.
"Saatnya kita menjalankan siasat yang sudah diatur!" berkata seseorang di antara mereka.
"Aku setuju!" jawab orang di sebelahnya. Mereka yang ada di situ sama memandang pada nenek bermuka putih mengenakan jubah hitam seolah menunggu putusan.
"Kurasa memang sudah saatnya kita menjalankan siasat." nenek muka putih Sabai Nan Rancak akhirnya angkat bicara. Matanya melirik ke arah formasi kerikil karang. Tiba-tiba beliau melihat sesuatu. Serta merta wanita bau tanah ini berteriak , "Awas serangan Benang Kayangan!"
***

212
DELAPAN

SATU benda halus berkilat melesat dalam kegelapan malam. Sabai Nan Rancak cepat berkelebat menyingkir. Tiga orang di sebelahnya melaksanakan hal yang sama , berpencar mencari selamat. Dua orang lagi yang tadi cidera jawaban bentrokan tenaga dalam dengan Tua Gila bernasib sial. Cidera yang mereka alami menciptakan mereka bertindak agak lamban. Ujung Benang Kayangan laksana kawat baja menusuk ke tenggorokan orang di sebelah kanan. Lehernya kemudian terpuntir melintir dan robek besar. Dari mulutnya terdengar bunyi mirip ayam dipotong. Sebelum tubuhnya roboh ke tanah Benang Kayangan berkelebat ke kanan. Korban ke dua menyusul. Benang sakti itu menusuk kepalanya. Masuk dari pelipis kiri tembus hingga ke pelipis kanan! Tua Gila sentakkan gulungan benang kayangan. Sentakan ini seolah tebasan senjata tajam yang menciptakan kepala orang hampir terbelah.
Empat orang yang ada di tempat itu termasuk Sabai Nan Rancak berteriak marah. Tua Gila tertawa mengekeh. Gulungan Benang Kayangan kembali disentakkannya. Benang sakti ini menderu ke arah nenek muka putih.
"Tua Gila! Jangan berani menjajal diriku!" teriak Sabai Nan Rancak , Sambil dorongkan tangan kanannya wanita bau tanah ini melesat setinggi dua tombak. Dua sinar merah menderu. Tua Gila cepal tarik benang saktinya. Ujung senjata ini kemudian meluncur ke arah kedua pergelangan kaki Sabai Nan Rancak. Tapi si nenek tak kalah cepat. Berlaku cerdik , sambil melipat kakinya ke atas beliau kirimkan serangan Kipas Neraka ke arah kerikil karang dibalik mana lawan berada.
Tua Gila terpaksa sentakkan benang saktinya dan cepat-cepat menyingkir beliau gerakkan senjatanya demikian rupa hingga benang sakti itu melibat ke arah pinggang si nenek muka putih. "Wusss! Braakkk!"
Batu karang di depan sana hancur awut-awutan dihantam Pukulan Kipas Neraka. Tua Gila jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Tangannya digerakkan. Ujung benang sakti yang tadi menyambar ke arah pinggang si nenek kini membeset ke dadanya. "Siapa takutkan benang keparat ini!" teriak Sabal Nan Rancak. Aji pukulan sakti di tangannya menyambar ke ujung Benang Kayangan. "Wuss… wussss!" Benang Kayangan yang putih berkilat bermetamorfosis merah kemudian bermetamorfosis jalur apit Tua Gila tersentak kaget ketika melihat senjata saktinya terbakar. Cepat beliau menarik gulungan benang kemudian memutusnya sebelum api menjalar lebih jauh. Di sebelah sana si nenek muka putih keluarkan pekikan keras ketika dapatkan lengan jubah hitamnya robek dan putus sedang tangannya sendiri tersayat mengucurkan darah. Saking geramnya wanita ini keluarkan bentakan keras kemudian hantamkan Pukulan Kipas Neraka dengan tangan kiri kanan sekaligus! Pantai itu laksana dilanda angin kencang dan gempa. Tiga ujung kerikil karang hancur lebur. Pasir dan air bahari muncrat ke udara. Di balik kerikil karang Tua Gila gulingkan diri cari selamat. Darah kembali mengucur dari hidung dan telinganya sedang kedua matanya mendenyut sakit. Dalam keadaan tubuh kuyup oleh air bahari dan kotor oleh pasir Tua Gila bangun berdiri. Saat itulah di atas hancuran tiga kerikil karang tampak berdiri tiga sosok tubuh manusia. Sosok pertama
yang sangat dikenali oleh Tua Gila ialah sosok si nenek muka putih Sabai Nan Rancak yang tegak dengan kedua telapak tangan terkembang dan memancarkan sinar merah mengambarkan beliau kembali siap melepaskan dua Pukulan Kipas Neraka sekaligus!
"Jadi memang kau rupanya yang punya pekerjaan Sabai!" ujar Tua Gila seraya tegak dan bersandar ke dinding karang. Si nenek tertawa panjang. "Untung kedua matamu tidak kuhancurkan hingga kau masih bisa mengenali diriku , mengetahui siapa yang membunuhmu sebelum nyawamu kukirim ke neraka!"
Tua Gila ganda tertawa. "Mati di usia setua ini bukan lagi satu hal yang menakutkan bagi diriku!" jawab orang bau tanah itu sambil meludahkan darah yang memenuhi mulutnya. "Kau sendiri apa yang membuatmu masih betah hidup di dunia ini berlama-lama?!’
"Saat penantian memang saya butuhkan. Aku akan tenteram berada di liang kubur kalau kau sudah mampus di tanganku dengan jantung terbongkar , otak berceceran dan isi perut berbusaian!"
Tua Gila tertawa gelak-gelak. "Kukira kau sengaja hidup menanti berlama-lama menunggu ke­hadiranku untuk melamarmu! Ha… ha… ha…!
Paras putih Sabai Nan Rancak bermetamorfosis merah. Lelaki tinggi besar yang tegak di atas hancuran kerikil karang sebelah kanan keluarkan bunyi menggembor kemudian berkata.
"Sabai Nan Rancak , jangan terlalu serakah. Kalau kau membongkar jantungnya , menjebol isi perut dan menciptakan awut-awutan otaknya kemudian saya sanggup apa?! Hanya kebagian tahinya? Ha… ha… hal Sabai Nan Rancak sahabatku , kau bahkan belum memberi kesempatan padaku untuk mengeluarkan Ilmu Hawa Neraka?
"Perlu apa kau bersusah payah kalau Pukulan Kipas Nerakaku sudah cukup membuatnya terkencing darah!" jawab Sabai Nan Rancak , menciptakan dua lelaki yang tegak di dua formasi kerikil karang tertawa gelak-gelak. Tua Gila melirik ke arah orang yang barusan bicara. "Hemmm…. Tubuh bau tanah bangka tinggi besar , berkulit hitam mirip arang. Berdestar tinggi merah. Mengenakan pakaian gombrong serba hitam. Janggut dan kumis selebat hutan. Aku tidak kenal siapa adanya keparat ini!" "Anjing hitam kau siapa?!" Tua Gila membentak. Orang bau tanah di atas runtuhan kerikil karang menggereng keras. Kedua tangannya segera digosokkan. Sabai Nan Rancak cepat mengangkat tangan sambil; berseru. "Sobatku , jangan terpancing oleh ucapani bau tanah bangka keparat ini! Bukankah kita sudah berjanji] untuk tidak membunuhnya secepat membalikkan telapak tangan? Nyawanya akan kita korek sedikit demi sedikit! Sebelum beliau mampus ada baiknya kau terangkan siapa dirimu dan mengapa kau juga menginginkan kematiannya!" Walau hatinya panas dan geram bukan main , si tinggi besar berdestar tinggi merah ini ikuti juga kata-kata Sabai Nan Rancak. "Tua bangka calon bangkai tak berguna! Kau dengar baik-baik penuturanku! Beberapa tahun kemudian kau dan muridmu berjulukan Wiro Sableng Pendekar 212 menyerbu Istana Sipatoka di Tambun Tulang. Kalian membunuh Datuk Sipatoka dan mencuri harta kekayaan yang ada di tempat itu termasuk empat puluh gadis muda dan cantik! Kabarnya kau juga telah mengubur hidup-hidup di satu tempat Datuk Tinggi Raja Di Langit. Mereka berdua ialah adik-adikku yang malang. Berdasarkan apa yang telah kau lakukan itu apakah saya Datuk Angek Garang tidak punya cukup alasan untuk membunuhmu? Sayang muridmu jagoan sableng itu tidak ada di sini! Tapi beliau tak bakal lolos. Cepat atau lambat saya akan memburu nyawanya!"
Tua Gila tertawa lebar. "Ceritamu hebat amat. Sebelum saya bicara lebih banyak saya ingin bertanya. Siapa yang menyebarkan pakaian hitam itu untukmu? Orangnya pasti tolol membuatnya kegombrongan mirip itu hingga kau juga tampak tolol mirip pohon hangus diberi pakaian! Ha… ha… ha!"
"Tua bangka sinting! Kalau kau masih hendak terus bicara keluarkan isi perutmu cepat! Kema­tianmu tidak mungkin ditunda-tunda lebih lama!" hardik Datuk Angek Garang dengan darah mendidih.
"Soal kematian Datuk Sipatoka dan Datuk Tinggi Raja Di Langit memang saya yang punya pekerjaan. Manusia-manusia bejat mirip mereka pantas cepat-cepat disingkirkan dari muka bumi…." Si kakek ulurkan tangannya. Lalu memandang ke kuku ibu jari. Setelah itu beliau mendongak pada Datuk Angek Garang. "Dari gambar yang kulihat dalam kukuku , rasanya kaupun bakal tak usang lagi menyusul kedua orang itu! Ha… ha… ha! (Mengenal Datuk Sipatoka harap baca serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang sedang mengenal Datuk Tinggi Raja Di Langit baca Makam Tanpa Nisan)
"Sabai! Aku akan melumat bau tanah bangka keparat ini kini juga!" teriak Datuk Angek Garang tak sanggup lagi menahan amarahnya.
"Sabar sedikit lagi sobatku!" kata Sabai Nan Rancak dengan cepat. "Kawan kita yang satunya ini belum diberi kesempatan untuk bicara!" Nenek muka putih berpaling ke arah lelaki yang tegak di atas runtuhan kerikil karang di samping kirinya.
Di sini tegak seorang lelaki berusia enam puluh tahun mengenakan pakaian sangat bagus terbuat dari beludru merah campur hitam diberi umbai-umbai benang emas. Di pinggangnya melingkar sebuah ikat pinggang dari rantai berwarna kuning. Pada ikat pinggang ini terselip sepasang rencong terbuat dari besi berwarna biru mengambarkan mengandung racun amat jahat. Di atas kepala orang ini bertengger sebuah topi kuning. Satu kerikil permata hitam yang memancarkan sinar seram menempel di pertengahan topi sebelah depan. Orang ini mempunyai kumis panjang menjulai. Pada keningnya ada dua benjolan besar berwarna coklat.
Tua Gila tiba-tiba keluarkan tawa bergelak begitu beliau melihat orang berpakaian glamor Ini.
"Sabai Nan Rancak , sobatmu yang satu ini memang hebat. Siapa yang kerbau atau sapi diantara kedua orang tuanya? Bapaknya atau ibunya?! Ha… ha… ha?!"
"Jahanam Tua Bangkai Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?" hardik si nenek muka putih.
Tua Gila tertawa mengekeh. Lelaki yang keningnya ada dua benjolan tampak mendelik. Pelipisnya bergerak-gerak. Kumisnya yang panjang menjulai berjingkrak ke atas. Tua Gila hentikan tawanya. Sambil menunjuk pada orang di samping si nenek beliau berkata. "Kulihat ada dua benjolan mirip tanduk tumpul di keningnya. Orang yang ibu bapaknya insan biasa mana mungkin bertanduk mirip dia. Pasti kalau tidak ibunya ya bapaknya yang sapi atau kerbau!"
"Tua bangka bermulut keji! Terima kematianmu ketika ini juga!" teriak lelaki bertopi kuning.
"Magek Bagak Baculo Duo!" teriak Sabai Nan Rancak. "Tahan!" Si nenek berusaha mencegah tapi orang itu tidak perduli lagi. Dari atas formasi kerikil karang beliau melompat ke bawah. Dua sinar biru membersit seram dalam kegelapan malam mengambarkan beliau telah mencabut sepasang keris sakti beracunnya.
Melihat hal ini , takut bakal keduluan maka Sabai Nan Rancak lak mau tinggal diam. Dia jejakkan kedua kakinya ke atas kerikil karang. Tubuhnya melesat ke bawah laksana tombak melesat di kegelapan malam. Dari tangan kanannya menderu cahaya merah.
Orang berjulukan Datuk Angek Garang tersentak kaget. "Hai! Bangsat bau tanah itu jangan kalian libas berdua!" teriaknya kemudian diapun melesat turun ke bawah sambil gosokkan kedua tangannya. Sinar hitam menderu ke arah Tua Gila. Serta merta di tempat itu menghampar bau busuknya mayat menciptakan Tua Gila menjadi sesak bernafas. Inilah yang disebut Hawa Neraka.
Tua Gila berteriak keras kemudian jatuhkan diri berguling ke batik kerikil karang terdekat. Tangan kanannya cepat membedal gulungan Benang Kayangan sementara sementara tangan kiri dihantamkan menahan serangan tiga lawan.
Ketika ujung benang sakti melibat puncak runcing salah satu kerikil karang di tempat itu , Tua Gila menyentakkan tangannya , tiga serangan lawan hingga dengan dahsyatnya. Hanya terpisah oleh kejapan mata saja tubuh Tua Gila melesat membal ke udara. Untuk kesekian kalinya hancuran kerikil pasir dan kerikil karang serta air bahari muncrat ke udara. Lalu terdengar bunyi "brettt!"
Walau beliau selamat dari serangan Hawa Neraka Datuk Angek Garang dan hanya terkena sambaran tipis pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak , namun pakaian putih Tua Gila yang sudah penuh dengan robekan-robekan kini kembali robek ditoreh salah satu keris biru di tangan Magek Bagak Baculo Duo.
"Jangan biarkan beliau lolos!" teriak Sabai Nan Rancak begitu sosok Tua Gila lenyap laksana ter­bang dan raib di langit malam. Namun orang bau tanah itu benar-benar lenyap sehabis menyelamatkan diri dengan melentingkan diri mengandalkan benang saktinya.
"Jahanam kurang ajar! Dia tak bakal bisa hidup tamat Kerisku telah melukai tubuhnya!" kata Magek Bagak Baculo Duo sambil perhatikan ujung keris di tangan kirinya yang bernoda darah.
Di pantai sebetah timur teluk Siburu , Tua Gila melayang turun. Dengan cepat beliau menggulung benang saktinya. Saat itulah beliau mencicipi perih di perutnya sebelah kanan. Ketika baju putihnya yang robek disibakkan terkejutlah kakek Ini. Di situ ada luka memanjang. Walau luka itu tampaknya tipis saja seolah hanya luka di permukaan kulit namun Tua Gila maklum ancaman apa yang akan dihadapinya. Dengan cepat beliau meremas serpihan perut yang luka hingga darah merah kehitaman mengucur keluar. Lalu beliau menotok badannya di beberapa bagian. Setelah itu dengan cepat beliau menelan sebutir obat.
Dengan dada turun naik dan nafas memburu Tua Gila memandang berkeliling.
"Jahanam! Tiga insan keparat itu mempunyai kepandaian bukan main-main! Sulit bagiku untuk menghadapi mereka bertiga sekaligus. Aku harus mencari akal! Atau mungkin untuk sementara saya menyelinap kabur saja…. Mencari kesempatan hingga saya sanggup menghajar mereka satu persatu!" Lama Tua Gila termenung. "Sabai Nan Rancak…. Kau benar-benar gila! Otakmu lebih miring dari aku! Kalau mau membunuhku mengapa tidak dari dulu-dulu? Apa kau lupa saya ini bapak dari anak yang pernah kau lahirkan?!"
Tiba-tiba di udara terdengar bunyi teriakan di kejauhan.
"Tua Gila! Kau boleh kabur atau sembunyikan diri! Tapi harap lihat dulu apa yang akan terjadi dengan muridmu!"
Tua Gila tersentak kaget.
"Itu bunyi si Sabait Setan , apa yang hendak dilakukannya! Muridku…. Muridku yang mana?! Astaga! Jangan-jangan! Otakku benar-benar sudah sinting! Bagaimana saya bisa lupa dengan anak itu!" Serta merta Tua Gila keluar dari tempat persembunyiannya.
Ketika beliau kembali ke serpihan pantai dimana Sabai Nan Rancak beserta Datuk Angek Garang dan Magek Bagak Baculo Duo berada terkejutlah Tua Gila menyaksikan pemandangan di hadapannya.
***

212
SEMBILAN

DATUK Angek Garang tegak dengan kaki terkembang , tangan kanan terkepal sedang tangan kiri menjambak rambut seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Anak ini merintih kesakitan. Kedua matanya terpejam dan mukanya lebam babak belur tanda telah dianiaya sebelumnya.
"Jahanaml Apa yang telah kalian lakukan pada muridku!" teriak Tua Gila dan melompat ke hadapan ketiga orang itu.
Mendengar bunyi Tua Gila si anak paksakan membuka kedua matanya yang bengkak. "Guru…" hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan si anak.
"Malin Sati! Aku bersumpah akan membunuh ketiga jahanam ini!" teriak Tua Gila. Dia maju beberapa langkah tapi Magek Bagak Baculo Duo bergerak lebih cepat.
"Silahkan maju satu langkah lagi bau tanah bangka keparat! Kutembus leher muridmu!" kertak Magek Bagak dan keris beracun di tangan kanannya ditempelkan ke leher Malin Sati murid Tua Gila.
"Apa salah anak itu! Jangan kaitkan urusan kalian dengan dirinya!" teriak Tua Gila. "Lepaskan dia! Hadapi diriku! Bangsat pengecut! Beraninya menganiaya anak kecil!"
"Tua Gila! Kau tidak berada dalam kedudukan mengatur! Kami yang menentukan semuanya!" kata Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek bermain di bibirnya.
"Sabai! Aku mungkin insan paling jahat di dunia Inlt Tapi saya tidak menyangka kalau begini busuk perilakumu!" Mendamprat Tua Gila.
Si nenek muka putih dongakkan kepala dan tertawa panjang. "Aneh , gres hari ini kau menyadari bahwa dirimu insan paling jahat di dunia. Hari ini pula kau menuduhku berperilaku busuk. Hik… hik…hik! Pernahkah kau menyadari bahwa kebusukan yang telah kau lakukan terhadapku , terhadap puluhan wanita lainnya , terhadap orang-orang yang kau bunuh tanpa pasal , tanpa karena ialah sejuta lebih busuk daripada apa yang saya lakukan ketika ini!"
"Aku memang berbuat jahil terhadap beberapa perempuan. Termasuk dirimu. Aku memang membunuh manusia-manusia seenakku. Tapi itu semua bukan tanpa alasan. Musuh-musuhku menciptakan fitnah , menuduh saya membunuh ratusan manusia] tidak berdosa! Mereka semua gila!"
"Kau yang gila bau tanah bangka keparat!" teriak Datuk Angek Garang sambil hentakkan Jambakannya di rambut Malin Satl hingga anak ini kembali merintih kesakitan.
Tua Gila hendak merangsek menghantam orang ini tapi terpaksa membatalkan niatnya ketika dilihatnya Magek Bagak Baculo Duo menggerakkan tangan kanannya yang menempelkan keris beracun ke leher si anak.
Saat itu sesosok bayangan merah berkelebat muncul di tempat itu. Melihat siapa yang tiba Sabai Nan Rancak membentak marah.
"Puti Andini! Aku sudah bilang jangan tiba ke sini!"
Puti Andini , murid Sabai Nan Rancak yang bergelar Dewi Payung Tujuh melangkah mundur. "Kalau guru memang tidak suka saya kemari , harap maafkan. Saya akan menunggu di tempat yang guru katakan…."
"Cucuku , jangan pergi dulu!" Tua Gila berseru.
Puti Andini hentikan langkahnya dan berpaling ke arah Tua Gila. Sabai Nan Rancak kembali membentak. "Kau berani mendengarkan ucapannya Puti? Lekas pergi dari sini!" Lalu pada Tua Gila beliau menghardik. "Jangan kau berani bicara dengan muridku. Dia bukan cucumu!"
Tua Gila menyeringai. "Siapapun adanya diriku , kau tak bisa mengingkari kenyataan. Gadis itu ialah cucuku. Cucumu juga. Di tubuhnya mengalir darah kita berdua…."
"Bangsat! Jangan bicara yang bukan-bukan!" hardik Sabai Nan Rancak dengan muka kelam membesi.
"Cucuku , saya tidak meminta balas jasa karena lelah menyelamatkan dirimu waktu di Pangandaran dulu. Tapi tolong kau beri pengertian pada gurumu biar membebaskan anak tidak berdosa itu. Setelah itu beliau boleh membunuhku!"
Puti Andini pandangi wajah Tua Gila sesaat. Tiba-tiba dari mulutnya beliau keluarkan ludah kemudian cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh. Tua Gila , betul tadi itu cucu darah dagingmu? Hik… hik… hik! Mengapa beliau malah meludahimu , bukan menolongmu?! Hi… hik… hik!" "Sabai. sebaiknya kita mulai saja. Tak usang lagi matahari akan terbit. Aku ingin menuntaskan urusan ini kemudian istirahat , kemudian pergi dari sini!" Sabai Nan Rancak memandang pada Magek Bagak Baculo Duo kemudian anggukkan kepala. "Tua Gila , pertama sekali lekas kau serahkan Benang Kayangan itu padaku!"
"Apa maksudmu?" tanya Tua Gila dengan mata mendelik.
"Apa kau tuli tidak mendengar apa yang diucapkan Sabai?" hardik Datuk Angek Garang. Tangannya berputar memperkeras jambakannya. Kembali Malin Sati merintih kesakitan. "Aku akan berikan apa yang kau minta. Bahkan nyawaku! Asal anak itu kau lepaskan!" teriak Tua Gila.
Si nenek tertawa. Magek Bagak dan Datuk Angek Garang mendengus.
"Berikan benang sakti itu lebih dulu. Soal nyawamu bisa diatur kemudian!" kata si nenek muka putih pula. Tua Gila menggeram dalam hati. Dia terpaksa mengeluarkan gulungan Benang Kayangan dari balik pakaiannya yang robek. Sabai Nan Rancak cepat menyambar benda itu.
"Sekarang kalian harus lepaskan muridku!"
"Sabar Tua Gila. Tenang saja. Permainan belum selesai!" jawab Sabai Nan Rancak sambil buka gulungan Benang Kayangan , "Ingat baik-baik , kalau kau berani bergerak nyawa muridmu tak akan tertolong!"
"Jahanam! Apa yang ada di otak kotormu?!" teriak Tua Gila.
Sabai Nan Rancak tertawa panjang. Tiba-tiba beliau gerakkan tangan kanannya. "Settt… settt… sett…!" Tua Gila memandang ke depan. Magek Bagak Baculo Duo tekankan mata keris ke leher Malin Sati.
Mau tak mau terpaksa beliau tak berani bergerak. Sabai Nan Rancak melibat sekujur tubuhnya dengan Benang Kayangan miliknya sendiri hingga beliau berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali!
Magek Bagak Baculo Duo tertawa gelak-gelak. Dengan tumit kirinya didorongnya tubuh bungkuk Tua Gila hingga kakek ini jatuh terguling di tanah. Datuk Angek Garang bantingkan tubuh Malin Sati ke tanah.
"Sesuai planning kita menunggu hingga matahari terbit ," kata Sabai Nan Rancak.
"Bagaimana kalau orang yang kita tunggu tidak muncul?" bertanya Datuk Angek Garang.
"Apa susahnya? Bangkai bau tanah itu eksklusif kita pesiangi. Hukum picis akan dimulai terhadap dirinya! Hik… hik… hik!"
"Kalau begitu kita bertiga bisa mencari tempat yang baik untuk istirahat sekedar melunjurkan kaki." kata Magek Bagak pula.
"Hemmm…. Terserah kalian saja ," jawab Sabai Nan Rancak. Sebelumnya mereka telah menunggu delapan hari delapan malam hingga Tua Gila muncul. Tidak heran kalau bergotong-royong ketika itu mereka merasa sangat letih.
***
LANGIT di teluk Siburu mendadak gelap berat padahal kedatangan pagi masih lama. Hujan lebat mengguyur teluk. Angin dari tengah bahari menderu kencang. Gelapnya malam dan lebatnya hujan menutup pemandangan. Ketika terakhir sekali Sabai Nan Rancak memandang ke tepi pasir sosok Tua Gila yang terikat dalam keadaan tidak berdaya masih terlihat menggeletak di kejauhan. Muridnya juga tampak terkapar tak jauh dari situ. Namun ketika hujan mulai reda dan pemandangan mulai terang dua sosok tubuh guru dan murid itu tidak kelihatan lagi di tempat itu.
Sabai Nan Rancak berteriak keras menciptakan Datuk Angek Garang dan Magek Bagak Baculo Duo tersentak dari tidur-tidur ayam mereka.
"Ada apa Sabai?" tanya Magek Bagak sambil keluar dari tempat keteduhan dan mengusap mukahnya yang segera berair oleh air hujan.
"Bangsat bau tanah itu melarikan diri! Muridnya juga lenyap!" teriak Sabai Nan Rancak. Mana mungkin Tua Gila bisa kabur! Kita telah mengikatnya dengan Benang Kayangan!" kata Datuk Angek Garang.
Keparat itu punya seribu akal! Kita bertiga telah berlaku ayal!" ujar si nenek muka putih. Lekat lakukan penyelidikan. Kita berpencar. Beri tanda dengan suitan kalau salah satu dari kita melihat mereka! Kalaupun keduanya lari pasti belum jauh! Jika kita bergerak kini pasti keduanya bisa terkejar!"
Tiga orang itu segera berkelebat di bawah hujan dan gelapnya malam menjelang pagi.
Apakah yang terjadi?
***

212
SEPULUH

KETIKA hujan mulai turun , dari arah pantai yang gelap tampak sesosok tubuh bertiarap bering­sut-ingsut mendekati Tua Gila yang terguling di atas pasir dalam keadaan terikat tidak berdaya. Orang bau tanah ini tengah menggigil menahan sakit dan hambar serta deraan air hujan ketika tiba-tiba di sampingnya ada satu bunyi perlahan.
"Kek… kau pingsan atau bagaimana…?"
"Setan dari mana yang bertanya!" desis Tua Gila sambil buka matanya lebar-lebar. Hanya terpisah satu jengkal di depannya beliau melihat wajah manis bercelemong pasir dan berair oleh air hujan. "Hemmm. cucu kualat. Kau rupanya…." kata Tua Gila begitu beliau mengenali yang ada di dekatnya ialah Puti Andini murid Sabai Nan Rancak. "Ada apa kau kemari?!"
"Jangan bicara keliwat keras. Aku tiba untuk menolongmu…."
"Aku tidak butuh pertolongan. Aku sudah siap untuk mati. Kalau hatimu memang baik tolong saja muridku…."
"Kalau saya menolong beliau apa yang kemudian beliau bisa lakukan? Jangan tolol Kek!”
"Sialan! Tadi kau meludahiku! Sekarang memakiku tolol!"
"Itu namanya nalar Kek! Agar apapun yang terjadi guruku tidak curiga padaku!" jawab si gadis.
"Bagus. Kalau begitu lekas kau buka ikatanku!"
"Aku tidak tahu bagaimana caranya. Ini bukan benang biasa dan ikatannya juga bukan sembarang ikatan!" kata Puti Andini pula.
"Kau telusuri salah satu ujungnya. Begitu bertemu kedut tiga kali. Setelah itu kau tarik perlahan-lahan. Benang akan meluncur lepas dari tubuhku!"
Puli Andini membuka matanya lebar-lebar memperhatikan ikatan benang sakti di tubuh si kakek.
"Kau tak bakal menemukan ujung benang kalau hanya mempergunakan mata. Urut dengan tanganmu. Ayo lekas sebelum setan-setan itu ada yang melihat ke sini!"
Andini lakukan apa yang dikatakan si kakek.
"Lama betul kau mencari! Sudah ketemu belum…?"
"Su… sudah Kek…."
"Kalau begitu kenapa tidak kau betot?"
"Aku tak bisa Kek!"
"Ujung benang yang kau maksud berada bawah pusarmu. Masuk ke balik celanamu…." Menerangkan Puti Andini.
Tua Gila terkesiap kemudian hampir saja beliau hendak tertawa bergolak. "Bilang saja kau takut tanganmu menyentuh anuku hah?"
"Bu… bukan begitu Kek." jawab Puti Andini galau sendiri.
"Sudah , mengapa kau jadi tolol. Tarik serpihan yang menyembul di atas bajuku. Ujung benang pasti akan keluar! Kalau sudah sanggup gres kau sentakkan tiga kali. Mengerti?"
"Mengerti Kek." Lalu Puti Andini lakukan apa yang dikatakan Tua Gila. Perlahan-lahan benang putih ditariknya ke atas hingga beliau berhasil menyentuh ujung benang sakti itu. Seperti dikatakan si kakek , Puti Andini segera menyentakkan ujung benang tiga kali berturut-turut. Benar saja , sehabis ditarik begitu benang sakti itu meluncur lepas secara mudah.
"Cucu pandai , kau lekas pergi dari sini! Aku akan menarik muridku ke tempat yang aman…."
"Aku sudah menyiapkan sebuah bahtera untuk kalian di pantai sebelah barat. Aku menunggumu di sana. Ini saya kembalikan benang sakti bekas ikatanmu…."
Tua Gila cepat menggulung Benang Kayangan itu. Setelah Puti Andini meninggalkan tempat itu dengan cepat beliau menarik tubuh Malin Sati. Anak sepuluh tahun yang jadi muridnya itu.
Ketika hingga di pantai sebelah barat Puti Andini telah menunggu sambil memegangi sebuah bahtera yang siap diluncurkan ke laut.
"Aku sangat berterima kasih dan berhutang nyawa padamu. Andini!’ kata Tua Gila sambil me­letakkan tubuh Malin Sati ke atas lantai perahu.
"Jangan sebut hal itu. Kau pernah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku! Apa kau kira saya tidak memikirkan untuk membalasnya?"
"Tapi kalau gurumu tahu kau akan dibunuhnya!" kata Tua Gila mengingatkan.
"Akal Kek. Kita harus pakai akal!" jawab si gadis pula.
"Apa maksudmu?"
Lekas kau pukuli beberapa serpihan mukaku. Lalu totok hingga saya tak bisa bersuara , tak bisa bergerak Setelah itu lekas naik ke atas bahtera dan pergi dari sini.’
"Siapa tega memukuli mukamu. Aku tahu akalmu. Biar kucubit saja! Kau hanya akan merasa sakit sedikit. Tapi bengkaknya mirip bekas digebuki! Hi… hik… hik…!’ Tua Gila lantas mencubit wajah Puti Andini di serpihan pipi , kening serta dagu. Sesaat kemudian bagian-bagian wajah yang dicubit itu kelihatan biru membengkak. "Hik… hik… hik! Wajahmu jadi tambah cantik! Aku pergi sekarang! Kalau kelak terjadi bentrokan lagi antara saya dan gurumu kuharap kau jangan memihak siapapun!"
"Itu urusan nanti saja Kek. Tapi satu hal saya peringatkan padamu. Kau tak bakal sanggup menghadapi ilmu Pukulan Kipas Neraka yang dimiliki guruku Sabai Nan Rancak…." "Aku tahu hal itu. Itu sebabnya kini lebih baik saya mengalah saja. Aku pergi sekarang. Terima kasihku untukmu… "
"Hati-hati Kek!"
Tua Gila acungkan dua jari tangannya untuk menotok si gadis. Namun tiba-tiba beliau ingat sesuatu. "Cucuku , apakah kau tidak berkirim salam pada seseorang?"
"Seseorang siapa maksudmu?" tanya Puti Andini agak heran.
"Muridku si geblek Wiro Sableng itu!" jawab Tua Gila.
"Kau ini ada-ada saja!"
"Hai , kau mau berkirim salam atau tidak?"
"Apa beliau mau mendapatkan salamku?’ ujar Andini.
"Kalau kau yang berkirim tentu beliau akan mendapatkan dan gembira! Kaprikornus kusampaikan salammu padanya?"
"Baiklah kalau kau mau menyampaikan…."
"Akan kusampaikan. Salamnya salam apa cucuku?"
Maksudmu?” tanya Puti Andini tidak mengerti.
"Salam itu banyak macamnya. Salam rindu , salam kangen , salam mesra , salam…."
"Kek. pantas kau disebut orang Tua Gila. Dalam keadaan mirip ini kau masih bisa bersenda gurau!"
Tua Gila tertawa mengekeh. "Hidup musti begitu cucuku. Gembira setiap ketika di kala murung , kesusahan apa lagi di waktu senang! Hik… hik… hik!"
Tua Gila menotok tubuh Puti Andini dua kali berturut-turut. Gadis ini roboh ke atas pasir tanpa bisa bersuara maupun bergerak. Sepasang matanya yang bening memperhatikan Tua Gila mengayuh bahtera menjauhi pantai di bawah hujan yang mulai mereda.
Ketika bahtera yang ditumpangi Tua Gila hampir lenyap di kejauhan tiba-tiba terdengar bunyi menegur kerat.
"Anak gadis murid Sabai Nan Rancak! Apa yang terjadi dengan dirimu?!"
"Hemmm…. Salah seorang dari mereka berhasil menemuiku. Untung Tua Gila sudah berada jauh di lengah lautan."
Sesosok tubuh membungkuk di samping tubuh Puti Andini yang terbujur di atas pasir dalam keadaan lertotok tak bisa bersuara tak bisa bergerak.
"Anak cantik…. Apa yang terjadi dengan dirimu?"
"Itu bunyi si Magek Bagak Baculo Duo…" pikir Puti Andini yang mengenali bunyi orang. Tubuh si gadis bergeletar ketika tiba-tiba betisnya yang tersingkap diusap orang. Usapan itu naik hingga ke paha.
"Bangsat jahanam! Apa yang kau lakukan ini." teriak si gadis. Namun teriakan itu hanya menggema di tenggorokannya.
***

212
SEBELAS

RANGSANGAN nafsu bejat menciptakan Magek Bagak Baculo Duo semakin berani. Dia memang sudah usang mendendam selera terhadap murid Sabai Nan Rancak ini. Tangannya menjalar ke balik pakaian Puti Andini. Ciuman bertubi-tubi mendarat di wajah si gadis.
Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. "Manusia jahanam! Apa yang kau lakukan terhadap muridku?!"
"Bukkk!"
"Krakkk!"
Tulang pundak sebelah kanan Magek Bagak Baculo Duo remuk. Tubuhnya mencelat masuk ke dalam air laut. Termiring-miring beliau keluar dari dalam air dan memandang mendelik pada Sabai Nan Rancak , Pakaian bagusnya berair kuyup.
"Kau sudah gila menyerang sahabat sendiri?" sentak lelaki yang keningnya ada dua benjolan itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku insan culasi Apa yang kau lakukan terhadap muridku?" hardik si nenek muka putih.
"Apa yang saya lakukan? Memangnya saya melaksanakan apa?"
"Jahanam! Jangan berani dusta!"
"Aku menemukannya dalam keadaan mirip itu. Aku berusaha menelitinya…."
"Menelitinya dengan jalan menciumi? Setan!"
"Aku tidak menciuminya. Aku mendekatkan kepala karena Ingin melihat mengapa wajahnya bengkak. Hari masih gelap! Kalau kepalaku tidak saya dekatkan mana mungkin saya bisa me­nyelidik!"
"Begitu?! Bukankah sudah ada kata sepakat? Siapa saja yang menemukan sesuatu harus memberi tanda dengan bunyi suitan!"
"Itu betul! Tapi saya mementingkan keselamatan muridmu. Memeriksa keadaannya lebih
dulu. Setelah itu gres saya bermaksud memberi tanda." "Begitu?" Si nenek menyeringai angker. "Baik , kita dengar apa yang bakal dikatakan muridku!" Paras Magek Bagak Baculo Duo jadi berubah. "Tunggu dulu Sabai!" katanya. Tapi si nenek telah melepaskan totokan di tubuh muridnya. Begitu dirinya bebas Puti Andini
langsung melompat dan menyerang Magek Bagak. Dari mulutnya keluar kutuk serapah. "Tua bangka busuk! Kau berserikat dengan guruku! Tapi berbuat keji menggunting dalam lipatan!" Sabai Nan Rancak cepat menyelak diantara kedua orang itu. Mukanya yang putih kelihatan
merah sekail. "Sekarang apakah kau masih bisa berdalih insan sundal?" hardik Sabai Nan Rancak. "Tunggu dulu Sabai!" "Nasibmu menyedihkan sekali Magek. Aku sudah terlanjur bersumpah akan membunuh
semua lelaki yang melaksanakan kekejian terhadap kaum perempuan!" "Sabai! Urusan besar kita belum selesai! Biar saya memberi keterangan lebih dulu!" Sabai Nan
Rancak menyeringai. "Keteranganmu itu bisa kau berikan nanti pada malaikat maut!" jawab si nenek muka putih. "Kalau kau beritikad jahat padaku , terpaksa saya menghabisimu!" mengancam Magek Bagak
Baculo Duo.
"Keluarkan semua ilmumu. Cabut sepasang keris saktimu itu. Aku cuma mengandalkan ini!" kala si nenek pula. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar merah menderu kemudian menebar menjadi dua kipas api mengerikan.
"Pukulan Kipas Neraka!" teriak Magek Bagak. Dia cepat menyingkir. Tapi terlambat. Tubuhnya terkutung putus pada dua bagian. Dua potongan mencelat ke dalam laut. Potongan ketiga yaitu pinggang ke bawah terbanting di atas pasir. Melejang-lejang beberapa usang kemudian membisu tak berkutik lagi. Puti Andini berbalik dan memeluk gurunya kemudian menangis sesenggukan.
"Hentikan tangismu! Ceritakan apa yang terjadi!" kata Sabai Nan Rancak setengah membentak.
Sebelum Puti Andini membuka mulut. Datuk Angek Garang berkelebat muncul di tempat itu.
"Apa yang terjadi? Apa Tua Gila sudah ditemukan…."
Ucapannya terhenti ketika sepasang matanya melihat potongan tubuh Magek Bagak yang terkapar di pasir. Seperti tak percaya beliau mendekati potongan tubuh itu. Lalu tersurut sendiri karena bergidik ngeri. Tubuh Magek Bagak laksana disayat gergaji raksasa namun serpihan yang terpotong gosong hitam mirip dipanggangl
"Sobat kita telah berlaku culas! Dia berusaha menggerayangi muridku!" Menerangkan Sabai Nan Rancak.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Datuk Angek Garang.
"Puti , ceritakan apa yang terjadi!" perintah si nenek muka putih pada muridnya.
"Seperti yang diperintahkan , saya menunggu di sini. Tiba-tiba kakek keparat itu muncul sambil menggendong muridnya. Aku tidak tahu bagaimana beliau bisa lolos. Lantas saja saya menyerangnya. Tapi beliau terlalu berpengaruh bagiku…." Puti Andini memperlihatkan mukanya yang babak belur mirip kena hantaman.
"Aku tidak mengira! Walau sudah diketahuinya kau ialah cucunya mengapa beliau setega itu memukulimu! Apa yang terjadi selanjutnya Puti?" ujar Sabai Nan Rancak.
"Mungkin takut hari keburu siang atau kawatir guru dan kawan-kawan muncul di sini maka beliau menotok tubuhku. Kakek keparat itu kemudian melarikan diri dengan bahtera bersama muridnya…"
"Jahanam betul!" rutuk Datuk Angek Garang. "Lalu bagaimana hingga Magek Bagak mengalami nasib mirip ini?" tanyanya. "Dia pertama sekali muncul di tempat ini! Menemui diriku dalam keadaan tidak berdaya , bukannya menolong tapi malah pergunakan kesempatan menggerayangi tubuhku!" "Kalau saya tidak keburu tiba mungkin muridku ini sudah dirusaknya!" kata Sabai Nan Rancak pula.
"Jika memang begitu ceritanya pantas orang gila satu ini dihabisi dengan pukulan Kipas Neraka!" kata Datuk Angek Garang pula. Hanya satu hal yang saya tidak mengerti , bagaimana Tua Gila bisa meloloskan diri dari ikatan Benang Kayangan…?"
"Itu juga yang saya rasa absurd ," menyahuti Sabai Nan Rancak. "Tapi jangan lupa , bedebah bau tanah itu punya seribu satu pengalaman dan seribu satu akal. Dia akal-akalan tak berdaya. Begitu kita lengah beliau melarikan diri. Membawa serta muridnya!"
"Tua bangka itu tidak tahu. Ketika muridnya kubantingkan ke tanah , anak itu bergotong-royong sudah tidak bernafas lagi!"
Sabai Nan Rancak hening saja mendengar ucapan orang itu seolah nyawa si anak tidak lebih berharga dari nyawa binatang. Sebaliknya Puti Andini terpaksa palingkan kepalanya ke jurusan lain untuk menyembunyikan perubahan pada wajahnya.
"Apa yang harus kita lakukan kini Sabai?" tanya Datuk Angek Garang.
"Aku sanggup mengira ke mana kaburnya bau tanah bangka keparat itu. Pasti beliau kembali ke tanah Jawa. Datuk Angek Garang , harap kau segera melaksanakan pengejaran! Aku dan muridku akan melaksanakan suatu di pulau ini!"
"Hemmm , apakah yang hendak kalian laris kalau saya boleh bertanya!"
"Kau ingat kisah setahun silam ketika Datuk Tinggi Raja Langit saudaramu itu berusaha menjebak Tua , Gila dan Pendekar 212 Wiro Sableng di pulau ini?’
"Tentu saja saya ingat. Terlebih karena adikku tak pernah kembali ke utara. Aku yakin beliau memang sudah menemui k e matian di tangan bau tanah bangka jahanam itu!"
"Itulah yang akan kuselidiki Datuk. Biar ada kejelasan. Aku tak tahu berapa usang akan berada di pulau ini. Itu sebabnya kuminta bantuanmu untuk mengejar Tua Gila. Aku dan Andini akan menyusul kemudian…."
"Kalau cuma hendak menyelidik apa perlunya? Datuk Tinggi jelas-jelas sudah jadi mayat. Setelah setahun tak pernah muncul sehabis berhadapan dengan seorang sakti mirip Tua Gila , apakah seseorang masih bisa dikatakan hidup? Aku menaruh curiga , jangan-jangan ada sesuatu yang lain yang ingin dicari wanita bermuka putih ini!"
"Apa jawabanmu Datuk Angek Garang? Kau mirip memikirkan sesuatu!"
Datuk Angek Garang anggukkan kepala. "Aku akan menuruti apa kemauanmu. Apapun yang terjadi saya akan menunggumu hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo di timur Candi Mendut. Jika hingga hari ke lima belas kau tidak muncul saya tak akan menunggu. Berarti kita mencari jalan sendiri-sendiri."
"Setuju!" kata Sabai Nan Rancak. Kedua orang itu saling menjura. Datuk Angek Garang melangkah cepat ke balik kerumpunan semak belukar di mana tersembunyi dua bahtera layar cukup besar. Dibantu oleh si nenek dan muridnya sang Datuk menarik satu dari dua bahtera itu menuju ke laut.
***

212
DUA BELAS

TUA GILA bersimpuh di depan gundukan tanah merah makam Malin Sati. Dia berada di sebuah pulau yang tidak diketahuinya pulau apa. Ketika beliau menyadari muridnya itu ternyata tidak ber­nafas lagi Tua Gila meraung keras. Setengah harian beliau meratap mirip anak kecil. Kemudian beliau sadar sekalipun beliau menangis hingga keluar air mata darah , sang murid tidak akan bisa hidup lagi. Di ketika matahari bersinar terik di puncak kepalanya Tua Gila putar perahunya ke arah timur dimana dilihatnya sebuah pulau di kejauhan. Di pulau inilah kemudian mayat Malin Sati dikuburnya.
"Muridku , saya bersumpah akan membunuh manusia-manusia celaka penyebab kcmatianmu! kata Tua Gila. Perjalananku masih jauh. Aku terpaksa meninggalkanmu Malin. Aku harus pergi sekarang…."
Dengan mata berkaca-kaca si kakek bangun berdiri. Pada ketika itulah gres diketahuinya kalau tempatnya berada itu telah dikurung oleh dua lusin orang bersenjata tombak , berpakaian dari kulit kayu. Di kepala masing-masing mereka mengenakan topi berbentuk mahkota terbuat dari daun nangka hutan. Mata mereka rata-rata berwarna merah dan selalu bergerak liar kian kemari. Hak… huk… hak… huk!
Salah seorang dari penduduk pulau maju mendekati Tua Gila. Mengeluarkan ucapan hak-huk hak-huk yang tidak dimengerti Tua Gila sambil menunjuk-nunjuk ke arah puncak sebuah bukit di kejauhan.
"Aku tidak mengerti apa yang kalian ucapkan!" -Hak… huk… hak… huk!" Orang tadi kembali berhak-huk hak-huk sambil menunjuk ke arah bukit. Lalu beliau ulurkan tangan memegang lengan Tua Gila dan menarik si kakek.
Saat itu Tua Gila sedang kalut pikiran. Ditambah dengan bara dendam kesumat yang memperabukan dirinya. Kalau saja beliau tdak menyadari tengah berhadapan dengan penduduk pulau yang bahasa dan watak sikapnya berlainan mungkin orang yang menarik lengannya itu sudah ditendang atau dipukulnya hingga terjengkang.
Tiba-tiba ada derap kaki kuda mendatangi. Tak usang kemudian seorang cowok berkulit sawo matang bertampang gagah muncul di tempat itu. Dia juga mengenakan pakaian dari kulit kayu. Memakai topi daun berbentuk mahkota. Bedanya cowok ini bertubuh higienis penuh otot , tidak dicoreng moreng. Dia segera melompat turun dari tunggangannya dan menyampaikan sesuatu dalam bahasa yang tidak diketahui Tua Gila. Mendengar ucapan anak muda itu orang yang memegang tangan Tua Gila segera melepaskan pegangannya kemudian melangkah mundur. Si anak muda cepat menemui Tua Gila. Orang bau tanah harap maafkan sikap para perajurit Kerajaan. Mereka selalu bersikap mirip itu terhadap orang luar yang tidak dikenal…
Tua Gila mengangguk. "Untung beliau bisa bicara yang saya mengerti. Kalau tidak apa jadinya." Dalam hati beliau merasa heran. "Perajurit Kerajaan…? Memangnya di sini ada Kerajaan? Kerajaan apa? Namaku Datuk Pangeran Rajo Mudo. Aku Putera Mahkota di pulau ini dan pulau sekitarnya. Kedua orang tuaku Raja dan Permaisuri Kerajaan sedang sakit keras. Dukun Kerajaan telah coba mengobati tapi tidak berhasil. Apakah kau tahu ilmu pengobatan , orang tua?" Tua Gila menggeleng.
"Maukah kau melihat dan menilik Raja serta Permaisurinya?"
Tua Gila berpikir sejenak gres menjawab. "Aku akan penuhi permintaanmu. Tapi kalau saya tidak bisa menyembuhkan penyakit mereka apakah saya diperbolehkan pergi dengan bebas dari pulau ini?”
"Tentu saja orang tua…. Kaprikornus kau mau ikut bersama kami ke Istana?"
"Ya… ya…. Aku mau!"
"Istana kami sangat besar. Kau pasti akan mengaguminya."
"Apa Istanamu punya nama?"
‘Tentu. Raja memberinya nama Istana Sipatoka…."
Terkejutlah Tua Gila mendengar nama yang disebutkan itu. Si cowok sendiri tampak heran melihat perubahan wajah si kakek. "Apakah Raja ayahandamu itu punya kekerabatan dengan Datuk Sipatoka yang pernah menjadi Raja di Raja di Tambun Tulang beberapa tahun silam?" "Nama mungkin bisa sama. Tapi Kerajaan kami tidak ada sangkut pautnya dengan Datuk Sipatoka yang kau sebutkan itu."
Tua Gila menjadi lega. "Aku siap mengikutimu."
"Sebelum kita menuju ke Istana Sipatoka saya harus tahu lebih dulu , siapa yang kau kuburkan di tempat ini?" "Muridku. Dia meninggal dunia di tengah laut. Aku terpaksa membawa dan menguburnya di sini. Ini ialah pulau terdekat dalam perjalananku…." "Sebetulnya ada larangan keras bagi seseorang untuk menginjakkan kaki di pulau ini. Apalagi menggali tanah menanam bangkai…." "Jangan kau sebut muridku bangkai. Dia manusia! Namanya mayat bukan bangkai!" kata Tua Gila setengah berteriak.
Si cowok yang mengaku Putera Mahkota berjulukan Datuk Pangeran Rajo Mudo tersenyum. "Bagi kami insan atau hewan kalau sudah mati sama saja. Kami sebut bangkai. Itu sebabnya semasa hidupnya insan harus berperilaku benar-benar mirip insan , karena kalau sudah mati beliau bukan insan lagi! Orang bau tanah , kau telah berbuat dua kali pelanggaran. Memasuki pulau kami secara diam-diam. Menggali tanah menguburkan muridmu secara diam-diam…."
Tua Gila tertawa mengekeh. Yang disebut para perajurit Kerajaan di sekelilingnya berseru hak-huk hak-huk. "Rupanya begitu menginjakkan kaki di pulau ini saya harus berteriak-teriak. Ketika menggali kubur juga harus berteriak-teriak! Edan! Bumi dan langit serta bahari ialah milik Tuhan! Siapa saja boleh pergi kemana beliau suka! Anak muda , kau mulai bicara dengan pengecap berkait. Tadi kau bilang kalau saya tidak bisa menyembuhkan Raja dan Permaisuri saya boleh pergi dengan bebas. Tapi saya punya firasat kau dan orang-orangmu akan melaksanakan sesuatu padaku! Dengar baik-baik anak muda. Jika hal itu kau lakukan terhadapku kau dan semua yang ada di pulau ini akan kujadikan bangkai! Lalu saya akan berteriak-teriak menguburkan bangkai kalian!"
Habis berkata begitu Tua Gila dekati sebatang pohon kelapa. Dengan tangan kirinya batang pohon itu dihantamnya.
"Kraaak!"
Perajurit-perajurit Kerajaan berteriak kaget dan lari menjauh berserabutan , takut tertimpa tumbangan pohon kelapa yang jatuh bergemuruh. Datuk Pangeran Rajo Mudo sendiri tetap tak bergerak dari tempatnya. Padahal tumbangan pohon kelapa itu jatuh sempurna ke atas kepalanya. Dua jengkal lagi batang kelapa akan menghantam kepalanya , Datuk Pangeran Rajo Mudo melompat ke atas sambil angkat tangan kirinya. Dengan tangan kirinya itu beliau menahan batang kelapa kemudian perlahan-lahan beliau melayang turun dan lemparkan batang kelapa itu ke tanah.
"Hak… huk… hak… huk!" Para prajurit Kerajaan Sipatoka berseru dan bertepuk tangan melihat kehebatan Putera Mahkota mereka.
Tua Gila belakang layar merasa kagum melihat kekuatan tenaga si cowok walau beliau tahu yang diperlihatkannya tadi ialah kekuatan tenaga luar atau kekuatan otot , bukan kekuatan tenaga dalam.
"Orang bau tanah , kau berada di tempat kami. Kaprikornus harap kau mengikuti segala aturan di sini. Kalau kau macam-macam saya akan buat lehermu mirip ini!" Datuk Pangeran Rajo Mudo kemudian hantamkan tumit kirinya ke batang kelapa yang tergeletak di tanah.
"Kraakk!"
Batang kelapa itu hancur putus berkeping-keping.
Tua Gila tersenyum-senyum. "Katamu Raja dan Permaisuri sedang sakit keras. Apakah kau akan terus pamer kekuatan di tempat ini dan membiarkan mereka lebih cepat menemui kematian?"
"Orang bau tanah , kau boleh naik kudaku. Aku akan berlari di depanmu! Kha segera berangkat menuju Istana Sipatoka!"
"Bagaimana kalau kau yang naik kuda di sebelah depan dan saya yang mengikuti di sebelah belakang?" ujar Tua Gila pula.
"Orang bau tanah sombong , kalau kau menantang jangan-jangan kau yang harus diobati sesampainya di istana. Bukan Raja dan Permaisuri!"
Tua Gila tertawa mengekeh. Begitu Datuk Pangeran Rajo Mudo naik ke atas punggung kuda , digebraknya pinggul hewan itu keras-keras. Kuda melompat dan menghambur lari laksana dikejar setan.
"Hak… huk… hak… huk!" Para perajurit berteriak-teriak.
Datuk Pangeran memandang ke belakang karena menyangka si kakek sudah jauh tertinggal. Tapi alangkah terkejutnya beliau ketika dapatkan Tua Gila berada persis di ekor kudanya. Berlari enak-enakan sambil bernyanyi-nyanyi kecil!
***

212
TIGA BELAS

YANG disebut Istana itu ternyata ialah satu bangunan kayu besar sepanjang puluhan tombak dan dibangun bertopang pada pohon-pohon besar yang tumbuh di sekelilingnya.
"Ini Istana kami. Semua rakyat tinggal jadi satu di sini. Di paling ujung sana ruang kediaman Raja dan Permaisuri , menerangkan Datuk Pangeran Rajo Mudo. Lalu beliau mempersllahkan Tua Gila menaiki tangga absurd , terbuat dari kayu elastis semacam rotan setinggi belasan tombak tanpa pegangan. Di bangunan Istana Sipatoka terdapat sepuluh tangga mirip itu.
Tua Gila kernyitkan kening melihat bentuk tangga Hu. Dia lebih terperangah ketika melihat para penghuni Istana Sipatoka lezat saja turun naik tangga mirip beruk memanjat dengan lincah dan cepat
Melihat si kakek ragu mau menaiki tangga , Datuk Pangeran Rajo Mudo tertawa lebar.
"Orang bau tanah , biar saya membantumu naik ke atas sana!" kemudian cowok itu menangkap pinggang Tua Gila dan siap hendak mendukungnya. Ketika beliau hendak dilarikan menaiki tangga , Tua Gila cepat meronta dan melompat ke tanah.
"Datuk Pangeran , kau saja duluan naik ke alat. Aku akan memperhatikan dan nanti menyusul ," kata si kakek pula. "Kalau kau naik sendiri setengah jalan mungkin kau sudah terkencing-kencing! Tapi kalau kau keras kepala saya tidak memaksa!" Pemuda itu melompat ke arah tangga. Cekatan sekail beliau menaiki tangga hingga dalam waktu singkat sudah berada di ambang pintu bangunan rumah kayu di atas tana. "Orang bau tanah , ayo lekat naik ke atas!" berseru Datuk Pangeran Rajo Mudo karena menyangka Tua Gila masih berada di bawah.
"Aku sudah berada di sini , Pangeran…" Satu bunyi terdengar di belakang Datuk Pangeran Rajo Mudo. Dia cepat berpaling dan jadi ternganga ketika melihat Tua Gila sudah tegak di depannya.
"Orang bau tanah , bagaimana kau tahu-tahu sudah ada di sini?"
"Tadi saya mengikutimu dari belakang. Cuma waktu hendak melewatimu saya jadi bingung. Lantas saya melompat saja di sebelah atasmu…." Tua Gila tertawa mengekeh.
Si cowok jadi galau sendiri. "Orang bau tanah ini seorang saktikah atau beliau tengah mempermain­kanku?" pikir Datuk Pangeran ,
"Waktuku tidak lama. Lekas antarkan saya ke tempat Raja dan Permaisuri…"
Datuk Pangeran mengangguk. Dia memberi isyarat pada si kakek untuk mengikuti. Berjalan di bangunan tinggi dan sangat panjang itu Tua Gila melihat kamar berderet-deret di kiri kanan. Akhirnya beliau hingga di ujung bangunan. Ruangan di sini jauh lebih besar dan bertingkat dua. Menaiki sebuah tangga kayu Tua Gila hingga di tingkat atas. Di sini terletak dua buah pembaringan besar. Di sebelah kanan terbaring seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun. Keseluruhan rambutnya sudah putih dan mukanya pucat cekung. Bibirnya kelihatan kebiruan. Begitu juga cekungan yang melingkari sepasang matanya yang lerpejam. Tubuhnya tertutup sehelai kain berwarna hijau. Hanya kepalanya saja yang tersembul. Inilah Raja Kerajaan Sipatoka yang sedang menderita sakit.
Di pembaringan sebelah kiri terbaring sang Permaisuri. Seperti raja tubuhnya juga tertutup kain hijau. Kepalanya tersembul tampak pucat walau telah diberi hiasan mencolok. Bibirnya tampak biru. Warna biru juga kelihatan selingkar ke dua matanya.
"Lekas kau periksa kedua orang tuaku. Jika kau sudah tahu penyakitnya lekas kau carikan obati." berbisik sang Putera Mahkota.
Tua Gila masih tetap berdiri di tempatnya. Hidungnya mencium banyak sekali macam bau. Yang pertama ialah bau absurd yang keluar dari kepulan asap pendupaan yang terletak di sudut ruangan. Dekat pendupaan itu duduk sesosok tubuh berjubah hitam. Rambutnya putih panjang menjulai hingga ke dada dan menutupi sebagian wajahnya yang penuh corengan-corengan hitam. Kedua matanya terpejam , sedang dari mulutnya tiada henti keluar bunyi meracau mirip orang membaca mantera.
Tua Gila tidak sanggup mengira apakah orang berjubah hitam ini lelaki atau perempuan. Dia mendekati Datuk Pangeran dan berbisik. "Siapa orang yang duduk bersahabat pendupaan itu?"
"Dukun Sakti Langit Takambangl Dia ialah wakil raja dalam segala perkara merangkap tabib atau dukun Kerajaan…"
"Kalau kalian sudah punya dukun mengapa masih meminta derma orang lain?" ujar Tua Gila.
"Sekali ini Dukun Sakti Langit Takambang tidak bisa mengobati Raja dan Permaisuri. Itu sebabnya kami mencari siapa saja yang sanggup menyembuhkan."
Tua Gila melirik ke sudut ruangan sebelah kiri. Dia melihat sebuah gentong besar berwarna coklat. Dari dalam gentong ini mengepul keluar asap tipis dan bau yang tidak sedap.
"Apa isi gentong tanah itu Pangeran?" tanya Tua Gila.
"Ramuan obat yang dibentuk Dukun Sakti untuk diminumkan pada Raja dan Permaisuri , jawab Datuk Pangeran Rajo Mudo.
Tua Gila usap-usap janggut putihnya.
"Kau masih belum hendak menilik ke dua orang tuaku?" Si cowok bertanya dengan bunyi agak keras.
"Apakah Dukun Sakti tidak akan tersinggung kalau saya melangkahinya?"
"Lakukan apa yang saya suruh! Jangan perdulikan siapapun!"
Tua Gila kemudian melangkah ke pembaringan sebelah kanan. Tangannya ditempelkan di atas kening Raja. Terasa hawa panas sekali. Lalu beliau membungkuk memperhatikan wajah Raja.
Suara meracau si Dukun Sakti Langit Takambang mendadak berhenti. Tua Gila melirik. Orang bau tanah itu mendongak ke atas. Matanya masih terpejam dan rambutnya riap-riapan menutupi wajahnya. "Ada yang tidak beres dengan makhluk satu ini! Aku akan segera mengetahuinya!" kata Tua Gila dalam hati. Dia kembali menilik keadaan wajah Raja.
"Aku bukan tabib bukan dukun , bukan hebat pengobatan. Tapi saya hampir yakin orang ini menderita sakit jawaban racun ular!"
Tua Gila berpaling pada Datuk Pangeran dan bertanya dengan sangat perlahan. "Apakah Raja pernah dipatuk ular berbisa?"
"Dipatuk ular?" Si cowok gelengkan kepala.
"Kau pasti?"
"Tentu saja saya pasti karena saya tahu betul."
"Kalau begitu izinkan saya menilik sekujur tubuhnya. Harap kau membantu meneliti. Maklum mata bau tanah ini tidak setajam mata orang seusiamu…" Maka Tua Gila kemudian menilik setiap sudut tubuh , tangan dan kaki Raja. Dia sama sekali tidak menemukan luka sekecil apapun bekas gigitan atau patukan ular.
"Kau tidak akan menilik Permaisuri?" tanya Datuk Pangeran sang Putera Mahkota.
"Tidak perlu. Aku sudah tahu penyakitnya. Sama-sama terkena racun ular…. Antar saya menilik isi gentong tanah itu."
Kedua orang itu melangkah mendekati gentong tanah di sudut ruangan. Tiba-tiba dari verbal Dukun Sakti Langit Takambang kembali terdengar bunyi meracau mirip membaca jampal-jampal. Ketika Tua Gila hanya tinggal beberapa langkah saja lagi dari gentong besar , sang dukun mendadak melompat dan tegak menghadang. Kepalanya ditundukkan. Wajahnya tidak kelihatan. Lalu terdengar suaranya melengking tinggi.
"Pelanggaran telah terjadi di Kerajaan dan Istana Sipatoka! Orang luar menginjakkan kaki di pulau , masuk ke dalam Istana tanpa izin saya penguasa Kerajaan sehabis Raja. Orang luar telah diminta untuk mengobati Raja dan Permaisuri tanpa persetujuan saya Dukun Sakti Langit Takambang! Pantangan telah dilanggar. Hukuman akan segera jatuh! Mati bagi orang luar!"
"Dukun Sakti Langit Takambang!" Datuk Pangeran membuka mulut. "Angkat kepalamu dan lihat padaku!"
Perlahan-lahan Dukun Sakti itu angkat kepalanya. Wajahnya tetap saja tidak terlihat terperinci karena penuh corengan hitam dan tertutup rambut putih. Hanya sepasang matanya kelihatan memandang menyorot ke depan.
"Aku Putera Mahkota Kerajaan Sipatoka. Yang sakit ialah ayah dan ibukul Aku punya tanggung jawab dan kekuasaan untuk mencari jalan penyembuhan bagi mereka. Orang luar ini saya yang membawanya ke sini…."
"Orang luar tidak berhak mengobati Raja! Itu sudah jadi ketentuan!"
"Persetan dengan ketentuan! Kau sendiri selama dua bulan tidak bisa mengobati Raja dan Permaisuri. Penyakit mereka semakin parah hari demi hari!"
Dukun Sakti berpaling pada Tua Gila kemudian berkata. "Orang luar , lekas tinggalkan pulau ini sebelum kutuk jatuh atas dirimu!"
"Jangan perdulikan orang ini!’ kata Datuk Pangeran pada Tua Gila. Lalu dengan tangan kirinya cowok itu mendorong Dukun Sakti hingga terjajar ke samping.
Tua Gila melangkah cepat mendekati gentong. Di dinding tergantung sebuah gayung. Dengan gayung ini beliau menciduk cairan dalam gentong kemudian diperhatikan dan diciumnya berulang kali. Cairan itu berwarna coklat butak kehitaman. Baunya wangi sekali. Ketika beliau berpaling ke kanan Dukun Sakti itu tak ada lagi di tempat itu.
Kemana perginya orang tadi?" tanya Tua Gila. "Jangan perdutikan dia. Yang penting apakah kau sudah tahu apa adanya cairan dalam gentong itu."
"Sebelum saya katakan apa adanya cairan ini , lebih baik kau memberi perintah pada perajurit Kerajaan untuk mengawasi Dukun Sakti itu. Jangan hingga beliau melarikan diri…"
"Eh. apa maksudmu orang tua?"
"Cairan obat ini mengandung racun ular mematikan. Takarannya sengaja dibentuk encer hingga orang yang meminumnya akan menemui maut dalam jangka waktu usang secara perlahan-lahan!"
Berubahlah paras Datuk Pangeran. Dari saku celananya dikeluarkannya sepotong bambu. Lalu ditiupnya kuat-kuat berulang kali. Belasan perajurit Kerajaan menghambur masuk ke atas bangunan. Datuk Pangeran menyampaikan sesuatu. Mereka cepat tinggalkan tempat itu sambil berteriak hak …huk…hak ..huk dan acung-acungkan tombak di tangan masing-masing.
"Orang bau tanah , kau harus membuktikan bahwa cairan dalam gentong ini benar-benar mengandung racun mematikan. Kalau tidak terbukti dan ternyata kau menebar fitnah , kau akan kupancung sebelum matahari tenggelam!"
"Dalam perjalanan ke sini saya banyak melihat tikus hutan berkeliaran di tengah jalan. Harap perintahkan orang-orangmu menangkapnya barang seekor dan bawa ke sini!" Datuk Pangeran kembali meniup peluit bambunya. Belasan perajurit berdatangan dengan cepat. Setelah mendengar ucapan sang Putera Mahkota mereka segera pergi. Tak berapa usang kemudian lima orang muncul membawa masing-masing seekor tikus hutan.
"Dasar manusia-manusia geblek! Diminta seekor dibawa hingga lima tikus!" kata Tua Gila mengomel dalam hati.
Tua Gila mengambil seekor tikus yang paling besar. Dia memegang hewan ini pada serpihan lehernya kemudian dipencetnya kuat-kuat. Begitu tikus mencicil dan membuka mulutnya lebar-lebar Tua Gila segera guyurkan cairan dalam gayung ke dalam verbal hewan itu. Tikus hutan menggelepar-gelepar beberapa kali. Tua Gila meletakkan hewan ini di lantai. Tikus ini berlari kencang. Tapi cuma setengah jalan. Dekat tangga menuju ke tingkat bawah tikus hutan ini menggelepar dan terkapar tak berkutik lagi! Tua Gila berpaling pada Datuk Pangeran.
"Dukun Sakti Langit Takambang! Manusia jahanam! Dia meracuni Raja dan Permaisuri!" teriak Datuk Pangeran marah. Dia kembali tiup peluit bambunya. Ketika sembilan perajurit muncul beliau segara memberi perintah biar mencari Dukun Sakti itu dan menangkapnya hidup­hidup.
"Orang bau tanah , kau sudah tahu obat yang diberikan Dukun Sakti itu ternyata ialah racun untuk digunakan membunuh kedua orang tuaku! Yang saya perlukan kini ialah ramuan obat untuk menyembuhkan mereka!"
Dari balik pakaian putihnya yang robek Tua Gila keluarkan sebuah kantong kecil kemudian menyerahkannya pada si pemuda.
"Di dalam kantong kain Ini ada enam butir obat penangkal segala macam racun. Minumkan pada Raja dan Permaisuri masing-masing satu butir selama tiga hari."
"Aku berterima kasih. Tapi kalau kau berhasrat hendak meninggalkan pulau ketika ini saya terpaksa menahanmu hingga tiga hari. Sampai hari terakhir obat ini diberikan pada kedua orang tuaku!"
"Kau sengaja menahanku karena tidak percaya saya benar-benar memperlihatkan obat penyembuh?" Tua Gila melotot. "Kalau begitu berikan enam butir obat itu. Biar saya tenggak semua sekaligus!"
"Orang tua. Jangan kau salah sangka. Aku menahanmu karena begitu Raja dan Permaisuri sembuh kami akan mengadakan pesta besar tanda bersyukur!" "Memanjatkan syukur dan terima kasih pada Tuhan tidak perlu pakai segala macam pesta. Cukup bersujud padanya dan mengucapkan terima kasih dengan hati yang suci!"
"Aku sangat terkesan pada ucapanmu itu orang tua! Tapi saya tetap tidak mengizinkanmu pergi. Aku ingin biar Raja dan Permaisuri mengucapkan terima kasih mereka eksklusif padamu begitu mereka sembuh."
"Ah , Aku mau cepat ternyata malah jadi berlama-lama di tempat ini!" gerutu Tua Gila dalam hati.
***

212
EMPAT BELAS

DATUK Pangeran Rajo Mudo melangkah di samping Tua Gila. "Pesta besar akan dilangsungkan besok. Apa salahnya kau menunggu satu hari lagi. Sulit diduga kapan kau akan kembali ke pulau ini."
Tua Gila tersenyum. "Bukan saya , tapi kau yang harus keluar dari pulau ini Pangeran. Kau masih muda. Sebelum menjadi raja kau harus melihat dunia dan mencari pengalaman hidup…."
Sang Putera Mahkota terdiam mendengar kata-kata Tua Gila itu. Sebelum beliau sempat menyahuti mereka sudah hingga di hadapan Raja dan Permaisuri yang duduk di sebuah dingklik panjang besar. Di hadapan mereka ada sebuah meja kecil. Di atas meja ini terletak satu kotak kayu dalam keadaan tertutup.
Raja Kerajaan Sipatoka memeluk Tua Gila erat-erat. Kami ingin kau tinggal lebih usang di tempat ini. Permaisuri bahkan mengusulkan semenjak Dukun Sakti Langit Takambang tidak diketahui ke mana raibnya , kau diperlukan akan jadi penggantinya…."
Tuga Gila tertawa mengekeh. "Kalian Raja dan Permaisuri serta Putra Mahkota sama baiknya. Aku mengucapkan terima kasih…."
"Tidak… Tidak , bukan kau yang menyampaikan hal itu. Kami yang telah ditolong yang harus menghaturkan ribuan terima kasih. Sebagai tanda terima kasih yang harap jangan dilihat dari pemberiannya , kami ingin memberikan satu bingkisan kecil untukmu. Ini bingkisan tanda persaudaraan dari saya , Raja dan rakyat Kerajaan pulau Sipatoka. Aku Rajo Tuo Datuk Paduko Intan menyerahkan dengan takzim , harap kau sudi menerima…." Lalu Raja yang gres sembuh dari sakit jawaban obat yang diberikan Tua Gila Ku mengambil kotak kayu yang terletak di atas meja , membuka tutupnya dan menyodorkannya pada Tua Gila.
Si Kakek bungkuk berpakaian putih itu tampak terkesiap. Semua orang menyangka beliau terkesiap melihat isi kotak yaitu dua potong besar emas dan sebutir berlian sebesar Ibu jari kaki. Padahal Tua gila terkesiap mendengar nama yang disebutkan sang Raja.
"Raja Tuo Datuk Paduko Intan…. Datuk Paduko Intan. Aku pernah mendengar nama itu. Tapi lupa dimana dan kapan…."
"Raja Tuo Datuk Paduko Intan , saya tidak berani mendapatkan hadiahmu. Aku menolong tanpa pamrih. Bahkan sebelumnya saya telah berbuat kesalahan karena menginjakkan kaki ke pulau ini tanpa izin…."
Raja Sipatoka tertawa gelak-gelak. "Kejadian itu menciptakan saya lebih membuka mata bahwa kehidupan insan ini saling berkaitan satu sama lain. Segala aturan dan larangan yang keliru akan ku-pupus habis dari Kerajaan Sipatoka. Kau tahu. Putra Mahkota malam tadi tiba menghadapku meminta ijin untuk mengembara barang setahun dua tahun di luar pulau. Nah , terimalah bingkisan ini…"
"Terima kasih Rajo Tuo. Tapi saya tak sanggup menerimanya. Aku hanya bisa memberikan rasa terima kasih besar atas kebaikanmu…."
Raja Sipatoka geleng-gelengkan kepala. Semua orang yang ada di situ tentu saja tak sanggup mempercayai kalau si kakek menolak hadiah yang begitu besar.
"Orang bau tanah , saya jadi ingat pada dongeng yang pernah kudengar dari istri pertamaku dulu sebelum beliau meninggal dunia waktu melahirkan. Dia sering menceritakan kehebatan seorang jago bau tanah berkepandaian tinggi yang ialah ayahnya sendiri. Orang bau tanah itu punya sifat absurd yaitu sering menolong tapi selalu menolak apa saja yang diberikan orang padanya. Dia begitu mengagumi sang ayah tapi sekaligus juga sangat membencinya. Menurut istriku karena ayahnya itulah maka ibunya menderita seumur hidup. Dan kau percaya atau tidak , istriku itu seumur hidupnya tidak pernah melihat atau mengenal ayahnya!"
Tua Gila mendadak mencicipi lututnya bergetar. Dia punya firasat aneh. Maka beliau membe­ranikan diri bertanya. "Kalau saya boleh tahu siapakah nama mendiang istrimu itu Rajo Tuo?"
"Andam Suri."
Getaran di lutut Tua Gila menjalar naik ke dada. Tengkuknya terasa dingin. Dia kembali bertanya. "Apa kau tahu siapa nama ayah istrimu itu Rajo Tuo?" "Kalau saya tidak salah istriku pernah menyebut namanya. Aku hanya ingat nama depannya , lupa nama belakangnya. Namanya Sukat…." Dada Tua Gila berguncang keras. Parasnya yang pucat mirip mayat itu tampak bertambah pucat.
"Sukat apa saya lupa…" menyambung Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. "Tapi saya ingat benar beberapa gelar yang diberikan orang padanya. Ada yang menyebutnya Pendekar Gila Patah Hati. Ada yang menggelarinya Iblis Gila Pencabut Jiwa. Tapi beliau lebih dikenal dengan Julukan Tua Gila."
Keringat memercik di kening Tua Gila. "Ya Tuhan apa betul ketika ini saya berhadapan dengan menantuku sendiri?! Suami dari anak yang tidak pernah saya lihat seumur hidupku?" Menggemuruh bunyi hati Tua Gila.
"Agaknya kau kurang senang mendengar kisah hidupku di masa lalu." kata Rajo Tuo. "Biar kita lupakan si Tua Gila itu. Sekarang saya mohon kau mendapatkan hadiah ini." "Maafkan saya Rajo Tuo. Aku benar-benar tidak bisa mendapatkan pemberianmu ini. Biarlah kebaikanmu tetap menjadi pahala yang besar di hari kemudian."
Rajo Tuo menghela napas dalam. Kotak kayu itu ditutupnya kembali dan diletakkannya di atas meja. Dia memandang pada Tua Gila usang sekali hingga si kakek menjadi kecut kalau-kalau sang raja tahu bahwa dialah Tua Gila yang disebut-sebutnya tadi.
"Orang tua. Jika kau tidak mau mendapatkan hadiah itu , kuharap kau jangan menampik pemberianku yang satu ini ," Rajo Tuo berkata sambil berpaling pada istrinya. Permaisuri Kerajaan Sipatoka menanggalkan sebuah kantong kecil yang tergantung di pinggangnya kemudian diserahkannya pada suaminya. Rajo Tuo membuka kantong itu. Dari dalam kantong dikeluarkannya sebuah kotak kecil terbuat dari perak. Dia membuka kotak sambil melangkah mendekati Tua Gila.
Dari dalam kotak diambilnya seuntai kalung perak bermata sebuah kerikil hijau yang redup dan jelek bentuknya.
Barang ini berjulukan Kalung Permata Kejora. Bentuknya jelek tapi mengandung kekuatan dan khasiat kesaktian luar biasa. Kalung ini diberikan oleh ibu Andam Suri kepada puterinya itu melalui seseorang disertai pesan bahwa beliau harus mencari Tua Gila dan membunuhnya dengan kalung ini. Hanya kalung ini yang bisa menewaskan orang bau tanah penyebab segala derita dan penimbul segala bala itu!"
Tua Gila ternganga. Sepasang matanya yang tebar memandang tak berkesip. Dalam hati beliau berkata , "Aku pernah mendengar riwayat kalung ini. Kukira hanya dongeng kosong belaka tetapi kini saya berhadapan dengan kenyataan…."
"Orang bau tanah , kulihat kau membisu saja. Apa kau juga menolak mendapatkan barang pusaka sakti ini?"
Tua Gila mendehem beberapa kali. "Aku orang tolol. Bagaimana membuktikan kalung ini mempunyai kekuatan dan khasiat serta kesaktian mirip yang kau katakan itu Rajo Tuo?"
"Aku memang tidak pernah membuktikannya. Tapi saya percaya pada kesaktian yang dimilikinya. Jika kau tidak percaya silahkan kaupegang kalung Ini!" Rajo Tuo kemudian menyerahkan kalung perak bermata kerikil hijau itu kepada Tua Gila. Si orang bau tanah segara mengambilnya. Tapi beliau berseru kaget. Begitu kalung dan matanya berada dalam genggamannya beliau merasa seolah memegang sebuah kerikil raksasa. Tak ampun lagi tubuhnya tertarik daya berat luar biasa dan terbanting ke lantai. Kalung Permata Kejora jatuh di depan kakinya.
Tua Gila mengerenyit menahan sakit. Telapak tangannya terasa pedas mirip terbakar. Kedua lututnya seolah remuk.
"Sekarang apakah kau percaya pada kesaktian yang terkandung dalam kalung itu?" Tua Gila meringis dan mengangguk.
"Kalau begitu harap kau ambil kalung itu kembali!"
Dengan tangan gemetar Tua Gila mengambil kalung yang tercampak di lantai. Astaga! Kalung itu kini ternyata ringan sekali dan dengan gampang diangkatnya. Lalu beliau berdiri. Rajo Tuo mengambil kalung itu dari tangan Tua Gila , memasukkannya ke dalam kotak perak. Setelah itu kotak perak dimasukkannya lagi ke dalam kantong kain dan akhirnya kantong kain diserahkannya pada Tua Gila.
"Orang bau tanah , dengar baik-baik. Aku meminta bantuanmu untuk mengembalikan Kalung Permata Kejora itu pada ibu mendiang istriku…." Tua Gila jadi terbelalak. Tapi karena matanya memang sudah lebar maka tidak ada yang mem­perhatikan kelainan wajahnya. "Perempuan itu kini sudah menjadi seorang nenek-nenek kira-kira seusiamu. Namanya Sabai Nan Rancak. Aku menylrap kabar selama bertahun-tahun mertuaku itu berusaha mencari dan membunuh Tua Gila , ayah dari anaknya sendiri yang kini jadi musuh besarnya. Setahuku beliau punya satu hambatan besar. Tua Gila demikian saktinya hingga tidak bisa dibunuh kalau tidak dengan kalung sakti Ini. Walau kemudian saya menylrap kabar bahwa Sabai Nan Rancak telah mempunyai satu ilmu kesaktian yang disebut pukulan Kipas Neraka yang akan sanggup menghabisi Tua Gila , namun saya merasa mempunyai kewajiban untuk mengembalikan Kalung Permata Kejora kepadanya. Nah , maukah kau menolong saya mencari wanita itu dan menyerahkan kalung ini padanya?"
Tua Gila tak bisa menjawab. Bernapaspun rasanya beliau jadi merasa kecut! Sabai Nan Rancak telah menjadi musuh besarnya yang kini tengah mengejarnya dan ingin membunuhnya dengan segala cara! Sekarang Rajo Tuo meminta beliau menemui si nenek untuk menyerahkan Kalung Permata Kejora itu!
"Urusan gila! Apa saya jelaskan saja terus terang padanya bahwa saya ialah si Tua Gila itu?"
"Sobatku orang bau tanah , kau belum menjawab permintaanku. Bersediakah kau menolongku mencari Sabai Nan Rancak kemudian menyerahkan benda pusaka sakti ini padanya?’
"Rajo Tuo. Kau ialah menantu Sabai Nan Rancak. Mengapa tidak kau saja yang pergi mencari dan menyerahkan benda ini?" ujar Tua Gila berusaha mencari jalan untuk melepas diri dari kiprah gila itu.
"Di Kerajaan pulau Sipatoka ini kami punya aturan yang tak boleh dilanggar. Siapapun yang jadi Raja tidak boleh meninggalkan pulau dengan alasan apapun."
"Kalau begitu mengapa tidak puteramu yang gagah ini yang melakukan?"
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan tersenyum dan gelengkan kepala. Dia masih terlalu muda. Dunia luar apalagi yang disebut rimba persilatan penuh dengan seribu satu macam budi bulus yang bisa menjadikan bencana. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan Putera Mahkota Kerajaan Sipatoka…. Lain dengan kau. Kau tentu insan penuh pengalaman dan sanggup menghadapi segala macam tangkal."
Tua Gila menarik napas dalam. "Bagaimana lagi caraku menolak?" pikirnya. Tiba-tiba Datuk Pangeran Rajo Mudo mengambil kantong kain berisi kotak perak dari tangan Raja kemudian memasukkannya ke dalam genggaman tangan kanan Tua Gila. Lalu pada ayahnya cowok ini berkata. "Raja , sahabat kita telah bersedia membawa kalung itu. Tak ada yang perlu kita risaukan lagi…."
"Terima kasihku orang tua…" kata Rajo Tuo pula.
"Mampus akui" keluh Tua Gila dalam hati. "Rajo Tuo. Bagaimana kalau saya tidak berhasil menemukan Sabai Nan Rancak atau siapa tahu beliau sudah meninggal?"
"Jika dalam tiga ratus hari kau tidak berhasil menemui wanita bau tanah itu , Kalung Permata Kejora menjadi milikmu ," jawab Rajo Tuo yang disambut Tua Gila tanpa rasa besar hati sama sekali.
Setelah menghela napas panjang sekali lagi , Tua Gila kemudian meminta diri.
"Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan Permaisuri , kalau diizinkan selagi hari masih pagi saya ingin minta diri untuk meneruskan perjalanan."
"Kami melepas kepergianmu dengan rasa sedih tapi juga suka cita. Selamat jalan sahabatku. Setiap ketika kausuka kau boleh tiba ke pulau kami ini…. Putera Mahkota dengan segala kebesaran akan mengantarkanmu hingga naik perahu. Kami telah menyediakan satu bahtera yang lebih besar untukmu. Lengkap dengan pakaian untuk bersalin dan makanan."
‘Terima kasih , terima kasih…" kata Tua Gila dengan tersenyum walau hatinya sangat galau dan pikirannya sangat kacau. Setelah menjura dua kali beliau memutar tubuh. Baru tiga langkah berjalan tiba-tiba terdengar Rajo Tuo berseru.
"Orang bau tanah sahabatku , kau belum mem berilahu kami siapa namamu!"
Tua Gila tercekat hentikan langkah. "Celaka , bagaimana saya harus menjawab?" Dia batuk­batuk beberapa kali.
"Sahabatku…?"
"Ah…. Ooooh harap maafkan hingga saya lupa memberitahu nama. Namaku Wiro Sableng…" jawab Tua Gila seenaknya. Entah pikiran apa maka meluncur saja lidahnya menyebutkan nama murid Sinto Gendeng itu.
"Wiro Sableng…" mengulang Rajo Tuo. "Kami akan mengenang namamu selama hayat dikandung badan…."
Tua Gila menjura sekali lagi kemudian cepat-cepat meninggalkan tempat itu diiringi oleh Datuk Pa­ngeran Rajo Mudo.
***
HAMPIR seluruh penghuni pulau itu memenuhi pantai melepas kepergian Tua Gila yang mereka kini kenal dengan nama Wiro Sableng. Semua mereka membawa ranting-ranting berdaun dan melambai-lambaikan daun itu begitu bahtera yang ditumpangi Tua Gila bergerak menjauhi pantai.
"Hak… huk… hak… huh!"
"Wiro! Wiro! Wiro Sableng!" Seruan itu menggema di tepi pantai tiada henti-hentinya hingga akhirnya bahtera lenyap. Beberapa kali ditepuknya keningnya. Bekas luka hantaman ekor buaya di pelipis dan pipinya terasa mendenyut kembali.
"Bagaimana saya harus menghadapi urusan gila ini?" pikirnya. Lalu menarik napas panjang berulang-ulang. Angin bertiup menghembus layar perahu. Perahu meluncur lancar di permukaan bahari berombak tenang.
Tanpa setahu Tua Gila , di dalam bahari , sesosok tubuh yang semenjak tadi bergelantungan di dasar bahtera perlahan-lahan bergerak ke arah haluan.
***
TAMAT
Baca Episode TUA GILA Selanjutnya …..
ASMARA DARAH TUA GILA

No comments for "Tua Gila / Renta Asing Dari Andalas WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"