Episode Hari Hari Terkutuk WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : HARI HARI TERKUTUK

SATU

Bangunan besar itu dari luar tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan hanya sebuah lampu minyak yang berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu masuk yang berada dalam keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar bunyi derap kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman depan yang gelap.
Lelaki pertama bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kumis tebal melingtang. Pakaiannya serba hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain hitam dan di pinggang kirinya tergantung sebilah pedang. Orang ini berjulukan Kebo Panaran. Dari gerak geriknya kelihatannya beliau yang menjadi pemimpin dari rombongan yang gres tiba ini.
Orang kedua berjulukan Bargas Pati , bertubuh gemuk berkepala botak plontos.
Mukanya selalu berminyak. Baju dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju merahnya beliau membekal sebuah clurit besar.
Lelaki ketiga berbadan kurus kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat pucat tidak beda mayat. Dia mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di pinggangnya melingkar sebuah rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya. Manusia satu ini dikenal dengan nama Tunggul Anaprang.
Orang terakhir berjulukan Legok Ambengan , mengenakan baju dan celana serta ikat kepala warna hijau. Tubuhnya bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip sepasang golok pendek.
Belum sempat keempat orang ini turun dari kuda masing-masing , dari samping kiri kanan bangunan besar yang kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima orang berpakaian seragam hitam dan bertubuh rata-rata tinggi besar. Kelimanya membekal golok besar di pinggangnya masing-masing.
Walau empat penunggang kuda yang dating mempunyai tampang sangar namun lima orang berseragam hitam itu kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah salah seorang dari mereka sambil bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.
“Kalian berempat kami lihat gres sekali ini tiba kemari. Betul…….?”
Empat penunggang kuda saling pandang satu sama lain kemudian sama-sama menyeringai. Yang di ujung sebelah kanan yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada mitra di sampingnya.
“Tunggul kau jawab saja pertanyaan monyet itu!”
Tunggul Anaprang kemudian membuka mulut. “Kami berempat memang gres sekali ini kemari. Kenapa kau bertanya? Apa kau yang punya tempat ini?”
“ Aku dan kawan-kawan bertanggung jawab atas keamanan di tempat ini.
Bagi orang-orang gres ada aturannya sendiri!” jawab orang berbaju hitam yang masih tegak sambil bertolak pinggang. “Pertama turun dari kuda masing-masing. Orangorangku akan membawa hewan itu ke halaman belakang.”
“Hemm begitu? Bagus juga pelayanan di tempat ini ,” kata Kebo Panaran. Dia memberi isyarat pada kawan-kawannya. Keempat orang ini kemudian turun dari atas kuda.
Dua orang anak buah si baju hitam memegang tali-tali kekang kuda kemudian menuntun bintang itu ke halaman belakang.
“Sekarang kalian harus menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja.
Lain kali kalian tiba tidak perlu.”
Legok Ambengan berpaling pada Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan matanya. “Berapa besarnya uang keamanan itu?” bertanya Legok Ambengan kemudian.
“Seperlima dari jumlah uang yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong kalian!” jawab Ranggas.
“Kami sama sekali tidak membawa uang!” kata Kebo Panaran kemudian tertawa gelak-gelak. Tiga kawannya ikut-ikutan tertawa.
Merasa dipermainkan Ranggas jadi marah.
“Jika kalian tidak punya uang , lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian kami tahan!”
“Begitu?” Ujar Kebo Panaran sambil usap-usap berewoknya. “Mulai ketika ini kau dan teman-temanmu dipecat sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas minggat dari hadapanku!”
Terkejutlah Ranggas mendengar ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini disertai juga dengan gejolak amarah. Karenanya Ranggas pribadi melompati Kebo Panaran sambil melayangkan tamparan. Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka Kebo Panaran dengan keras tiba-tiba dari samping satu tangan mencekal lengan Ranggas. Sekali sentak saja tubuh Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya meringis kesakitan. Dua orang anak buah kepala keamanan itu berteriak murka melihat atasan mereka diperlakukan ibarat itu. Tanpa banyak bicara lagi keduanya mencabut golok di pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak Bargas Pati yang tengan memelintir lengan Ranggas.
Golok pertama membacok ke arah batok kepala yang botak sedang golok kedua membabat ke arah pinggang. Bargas Pati hanya ganda tertawa melihat serangan maut itu. Dari kiri kanan dua orang kawannya berkelebat.
“Bukk……..Bukkk!”
Terdengar dua kali bunyi bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak buah Ranggas. Keduanya terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang mengucurkan darah , satunya lagi menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan darah. Golok mereka berjatuhan ke tanah pada ketika jotosan-jotosan Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan menghantam muka meraka. Selagi keduanya terhuyung-huyung begitu , kaki-kaki kedua anak buah Kebo Panaran tadi ganti beraksi.
Kembali dua orang yang berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan kemudian tergelimpang roboh di tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan remuk tulang dadanya!
Dua orang anak buah Ranggas yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman belakang berseru kaget ketika mereka kembali dan melihat apa yang terjadi.
Keduanya serta merta mencabut golok masing-masing kemudian menyerang Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan dua kawannya terdahulu. Begitu keduanya menyerang , Legok dan Tunggul menyambutnya dengan tendangan yang menciptakan keduanya terpental hampir satu tombak. Yang satu jatuh terduduk sambil memegangi perutnya yang kena tendang.
Satunya lagi terkapar dengan lisan hancur dan gigi-gigi rontok.
Ranggas yang sedang menderita kesakitan lantaran tangannya masih dipuntir di belakang punggung terbeliak kaget melihat kejadian itu. Dia sadar kini kalau berhadapan dengan serombongan orang-orang berkepandaian tinggi. Namun satu hal yang masih belum diketahuinya apakah mereka ini orang baik-baik atau bukan.
Melihat kepada keadaan pakaian dan tampang-tampang mereka yang beringas bengis Ranggas sulit mempercayai keempat orang itu ialah orang baik-baik.
“Kebo Panaran mau diapakan monyet satu ini?” Tanya Bargas Pati yang menelikung tangan Ranggas.
Kebo Panaran berpaling pada Legok Ambengan kemudian pada Tunggul Anaprang “Kalian tahu apa yang harus dilakukan?”
Mendengar ucapan Kebo Panaran itu kedua anak buahnya segera memndekati Ranggas. Dalam keadaan tak berdaya Ranggas mereka jejali dengan jotosan-jotosan dan tendangan-tendangan. Sekujur muka Ranggas babak belur berlumuran darah tak karuan lagi. Ketika Bargas Pati melepas cekalannya Ranggas pribadi roboh tapi beliau cukup besar lengan berkuasa untuk tidak jatuh pingsan.
Pada ketika itu tiba-tiba pintu bangunan terbuka. Seorang lelaki berpakaian glamor keluar sambil berkipas-kipas. Dia memperhatikan apa yang terjadi di halaman depan itu sesaat kemudian berkata. “Sahabat-sahabat jauh dari mana yang telah sudi memberi pelajaran pada belum dewasa buahku?”
Kebo Panaran dan tiga temannya sama-sama berpaling ke pintu. Mereka perhatikan orang yang tegak berkipas-kipas itu sesaat kemudian tertawa gelak-gelak.
“Gandul Wirjo! Tidak sangka kowe rupanya yang jadi mucikari rumah cabul ini!” berseru Kebo Panaran kemudian melangkah besar-besar menghampiri orang di depan pintu diikuti oleh ketiga anak buahnya. Kebo Panaran memegang pundak orang itu kemudian berpaling pada ketiga anak buahnya dan berkata “Kalian lihat beliau sudah jadi orang kaya sekarang! Tapi tidak lupa dengan teman-teman seperjuangan! Ha…. Ha… ha….
Ayo kita beri salam pada sahabat lama ini!” Kebo Panaran dan tiga orang lainnya segera menyalami lelaki berjulukan Gandul Wirjo yang memang ialah pemilik bangunan besar itu.
“Kalian ke mari tentu punya maksud. Tidak bagus kalau maksud itu tidak kesampaian. Jangan di luar saja. Mari masuk!”
Gandul Wirjo membuka pintu lebar-lebar. Kebo Panaran dan ketiga kawannya masuk ke dalam diikuti si pemilik bangunan. Sebelum ikut masuk Gandul Wirjo berpaling pada Ranggas yang masih terkapar kesakian di tanah.
“Kerjamu sebagai kepala keamanan bagus. Tapi lihat-lihat dulu siapa orang yang hendak kau kerjakan. Sekarang kau kena watu sendiri Ranggas!”
Ranggas membisu saja. Tapi dalam hati beliau memaki habis-habisan.
Di dalam bangunan. Kelima orang itu duduk di sebuah ruangan yang berbau harum kayu cendana. Mereka bercakap-cakap beberapa lama. Kemudian Kebo Panaran berkata. “Bagaimana kalau dialog ini kita sambung nanti. Sekarang saya dan teman-teman ingin bersenang-senang kemudian istirahat hingga menjelang pagi.”
Gandul Wirjo tersenyum. “Jangan kawatir. Kalian akan mendapatkan kesenangan. Memang semenjak perang berakhir tidak terlalu gampang mencari wanita cantik-cantik.” Pemilik bangunan besar itu mengambil sebuah lonceng kecil dari atas meja kemudian digoyang-goyangkan dua kali. Tak berapa lama kemudian lima orang wanita muda muncul. Tiga diantaranya berparas lumayan. Mereka pribadi mengelilingi Kebo Panaran dan kawan-kawannya. Ada yang membelai rambut atau memijit-mijit pundak , ada juga yang mengusap-usap lengan orang-orang itu.
“Para sahabat , kalian silahkan menentukan sendiri. Jangan pikirkan soal bayaran.
Semua saya berikan denga cuma-cuma. Demi persahabatab kita di masa kemudian dan dimasa mendatang!”
Kebo Panaran menentukan wanita yang bertubuh ramping dan ada tahi lalat di dagu kirinya. Bargas Pati menarik lengan wanita berkebaya biru yang dadanya semok luar biasa. Satu demi satu perempuan-perempuan itu membawa tamu mereka ke kamar masing-masing. Tinggal kini Tunggul Anaprang. Dia masih duduk memandangi dua orang wanita yang tegak di hadapannya.Tak satupun dari kedua wanita ini cocok dengan seleranya.
“Tunggul , kau tunggu apa lagi? Pilih salah satu atau otak kotormu mungkin mau berbuat macam-macam. Membawa keduanya sekaligus ke dalam kamar?”
bertanya Gandul Wirjo.
Tunggul Anaprang menggeleng “Tak satupun yang ku suka……..”
“Matamu terbalik sahabatku! Kedua permpuan ini tidak buruk dan masih muda-muda!” kata Gandul Wirjo pula.
“Terserah kau mau bilang apa , tapi saya tidak naksir satupun dari mereka.
Buatkan saja saya kopi , biar saya istirahat di sini dan tidur barang seketika. Atau mungkin kau masih ada persediaan wanita yang lain?”
Gandul Wirjo menyuruh masuk kedua wanita pelacur yang masih berdiri di tempat itu. Setelah keduanya masuk ke dalam. Pemilik rumah pelacuran yang sekaligus menjadi mucikari itu berkata pada Tunggul Anaprang.
“Dulu di masa sebelum dan di waktu peperangan kau ialah sahabatku paling dekat. Aku tidak akan melupakan hal itu terus terang memang ada satu simpananku.
Baru datan sore tadi. Aku bermaksud hendak menggarapnya ketika kau dan kawankawan datang. Tapi demi persahabatan wanita itu akan saya berikan padamu.
Hanya untuk yang satu ini tak mungkin saya berikan secara cuma-cuma sahabat…..”
“Ah , jangan begitu Gandul ,” kata Tunggul Anaprang pula.
“Kau lihat saja dulu orangnya Tunggul. Masih sangat muda. Kulit putih mulus.
Wajah cantikluar biasa. Dia niscaya orang baik-baik.”
Kedua orang itu hingga di hadapan sebuah pintu. Selain ada ukirannya pintu satu ini lebih besar dari pintu-pintu lain yang ada dalam bangunan besar rumah pelacuran itu.
Gandul Wirjo mengeluarkan sebuah anak kunci. Dengan kunci ini dibukanya pintu. Sebuah lampu minyak besar di atas meja menerangi kamar yang ternyata sangat bagus. Sebuah ranjang berkasur tebal empuk terletak di tengah kamar. Lalu disebuah dingklik rendah , dekat meja kecil tampak duduk seorang wanita yang wajahnya memang menciptakan jantung Tunggul Anaprang ibarat berhenti berdetak. Rambutnya hitam panjang tergerai menutupi dada kebayanya yang agak terbuka di sebelah atas sehingga Tunggul dan Gandul sanggup melihat payudaranya yang menggelembung mulus. Betisnya yang putih tersembul dari balik kain panjang. Dia tampak agak ketakutan.
“Bagaimana?” bisik Gandul Wirjo.
“Benar-benar luar biasa. Dari mana kau sanggup yang satu ini? Aku percaya pada ucapanmu kalau beliau sebelumnya wanita baik-baik. Buktinya beliau tampak takut-takut. Wajahnya betul-betul mempesona. Bagaimana kalau beliau kuambil jadi istri…?”
“Itu bisa urus kemudian sahabatku. Sekarang untuk malam ini berapa kau mau membayar?”
Mendengar pertanyaan Gandul Wirjo itu Tunggul Anaprang merogoh saku pakaian birunya kiri kanan. Dua tumpuk uang dimasukkannya ke dalam genggaman pemilik rumah pelacuran itu. Malah kemudian beliau mengambil lagi sebuah kantong kecil berisi sejumlah uang dan dimasukkannya ke dalam saku pakaian Gandul Wirjo.
“Keluarlah cepat. Aku sudah tidak tahan!” kata Tunggul Anaprang pula.
Dibukanya pintu kamar lebar-lebar kemudian didorngnya sahabatnya itu keluar. Begitu Gandul Wirjo lenyap Tunggul Anaprang segera menutupkan pintu dan menguncinya sekali. Sambil menyeringai beliau melangkah mendekati dingklik dimana duduk si dara jelita. Sesaat Tunggul Anaprang tegak ibarat tertegun memandangi wajah yang sangat manis itu. Dia rasa-rasa ibarat pernah melihat gadis itu sebelumnya tapi lupa entah dimana. Sebuah tahi lalat di pipi kiri menambah kecantikan parasnya.
“Siapa namamu anak manis?” Tanya Tunggul Anaprang sambil meraba dagu wanita yang duduk di kursi. Tiba-tiba wanita muda itu memegang lengan Tunggul Anaprang kuat-kuat kemudian menggigitnya. Tidak keras tapi malah menciptakan lelaki itu jadi tambah terangsang.
Tunggul Anaprang tertawa lebar. Hidungnya menghembuskan nafas memburu dan darahnya menjadi panas. Sekujur tubuhnya bergetar. Tak tahan lagi lelaki ini segera hendak membuka pakaian pelacur muda itu.
“Tunggu dulu….” Perempuan itu berkata. “Kita masih banyak waktu. Tiduran saja. Raden Mas tentu letih. Biar saya pijiti dulu….”
Tunggul Anaprang tertawa mendengar dirinya dipanggil sebutan Raden Mas.
“Jangan panggil saya dengan sebutan Raden Mas , sayangku. Namaku Tunggul Anaprang. Gelarku si Rantai Maut. Kau boleh panggil namaku atau gelaranku.
Terserah mana yang kau suka!” Lalu kedua tangan lelaki ini menjalar di pundak wanita itu.
Terangsang oleh nafsu yang sulit ditahan-tahan Tunggul Anaprang sama sekali tidak melihat adanya sambaran cahaya ajaib pada kedua mata pelacur itu ketika beliau mendengar nama dan gelar yang dikatakannya.
“Berbaringlah dulu. Biar saya pijit. Setelah itu gres kita bersenang-senang.
Sampai pagi kalau mau….”
Meskipun sudah sangat ingin memeluki dan menciumi pelacur muda itu namun Tunggul Anaprang mengalah juga. Tanpa banyak dongeng beliau berbaring menelentang.
“Tengkurap dulu. Biar punggungnya saya pijiti dulu.”
Tunggul Anaprang tersenyum dan mengikuti apa yang dikatakan si pelacur.
Dia membalikkan diri kemudian menelungkup. Tangan kiri wanita itu mulai memijiti punggungnya. Tapi tanpa diketahui Tunggul Anaprang tangan kanannya bergerak ke balik kebayanya.

DUA

Matahari memang belum terbit. Diluar udara masih gelap dan dingin. Namun di dalam bangunan ketika itu Kebo Panaran , Legok Ambengan dan Bargas Pati ditemani oleh Gandul Wirjo sudah duduk-duduk mengobrol sambil menikmati kopi manis dan pisang goreng hangat.
Karena ditunggu-tunggu Tunggul Anaprang masih belum muncul Kebo Panaran mulai jengkel.
“Semua sudah tahu kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Sontoloyo si Tunggul Anaprang itu masih belum muncul! Tadi malam beliau segan-seganan menentukan pasangan. Kini malah beliau yang paling lama! Sialan!”
“Dia selalu begitu! Seenaknya sendiri!” Ikut mengomel Legok Ambengan.
Lalu berdiri sambil membetulkan ikat kepalanya. “Biar akan kugedor kamarnya!” Dia berpaling pada Gandul Wirjo. Tunjukkan padaku kamarnya!”
Gandul Wirjo melangkah lebih dulu. Legok Ambengan mengikuti dari belakang. Sampai di hadapan pintu besar berukir pemilik rumah Pelacuran ini mengetuk pintu. Satu kali. Tak ada sahutan. Dua kali dan hingga tiga kali tak ada sahutan. Legok Ambengan hilang sabarnya. Pintu itu ditinjunya keraskeras seraya berteriak.
“Tunggul! Keparat kau! Lekas bangun! Kita harus segera berangkat!”
Meski sudah digedor dan teriaki ibarat itu tetap saja dari dalam kamar tidak ada jawaban.
“Gila! Masakan beliau tidur begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” maki Legok Ambenga.
“Memang ajaib ,” kata Gandul Wirjo pula. “Kalau Tunggul tidak terbangun , kuliner wanita yang ada bersamanyajuaga tidak terbangun?”
“Akan kugedor dan kupanggil sekali lagi. Kalau tidak ada jawaban pintu ini akan kudobrak!” kata Legok Ambengan pula.
“Jangan didobrak! Rusak pintuku! Pintu ini mahal dan ini kamar tidurku yang daipakainya!”
“Perduli setan!” jawab Legok Ambengan. Dia kembali menggedor dan berteriak lebih keras. Tapi ibarat tadi , tak ada bunyi jawaban.
“Setan betul si Tunggul itu!” Serapah Legaok Ambengan. Dia melangkah menjauhi pintu. Sebelum Gandul Wirjo sempat mencegah Legak Ambengan sudah meloncat dan menerjang pintu dengan kaki kanannya. Pintu yang cukup tebal itu berderak jebol kemudian terpentang lebar. Legok Ambengan masuk ke dalam. Gandul Wirjo mengikuti. Tiba-tiba terdengar seruan keras dari kedua orang ini. Seperti melihat setan kepala tujuh keduanya menghambur keluar kamar , kembali ke ruangan dimana Kebo Panaran dan dua lainnya duduk menunggu.
“Kalian mengejutkan saya saja!” Teriak Kebo Panaran marah. “Ada apa?
Tampang kalian pucat ibarat kain kafan!”
“Kebo…..Tunggul Anaprang…” Suara Legok Ambengan ibarat tercekik.
Tangannya gemetar menunjuk ke arah kamar. “Di…di…dia dibunuh!”
Serta merta Kebo Panaran dan kedua kawannya melompat dari dingklik dan lari memasuki kamar yang pintunya jebol terpentang. Begitu masuk Kebo Panaran pribadi tertegun. Mukanya mengelam!
“Keparat! Siapa yang melaksanakan ini?!” teriaknya.
Di atas tempat tidur terbujur tubuh Tunggul Anaprang dalam keadaan menelungkup , masih berpakaian lengkap. Lehernya hampir putus akhir tebasan sebilah golok besar yang masih menancap di leher itu. Darah yang mulai megering membasahi tempat tidur dan ada yang mengalir jatuh ke lantai. Bargas Pati tutup kedua mukanya dengan kedua tangan. Kebo Panaran pejamkan kedua mata. Legok Ambengan berdiri di luar pagar , tersandar lemas ke dinding sedang Gandul Wirjo tertegun dengan muka pucat!
Tiba-tiba Kebo Panaran membalik. Dia melompat ke hadapan Gandul Wirjo dan mencekal leher pakaian lelaki pemilik tempat pelacuran itu.
“Siapa yang tidur dangan kawanku adi malam? Pasti pelacur itu pembunuhnya!”
Pucat ketakutan , dengan terbata-bata Gandul Wirjo menjawab. “Tunggul tidur dengan seorang pelacur muda. Namanya kalau saya tidak salah ingat Wardianing. Dia pelacur baru. Baru tiba sore kemarin….Tidak mungkin. Tidak mungkin beliau yang membunuh Tunggul….”
Kebo Panaran menarik leher pakaian andul Wirjo kuat-kuat kemudian membanting lelaki itu ke dinding kamar hingga Gandul merintih kesakitan.
“Kalau bukan pelacur yang tidur bersamanya yang membunuh , kemudian siapa?
Setan?! Hanya mereka berdua dalam kamar ini. Kau lihat sana! Jendela kamar terbuka! Berarti sehabis membunuh Tunggul pelacur keparat itu melarikan diri lewat jendela. Dan tak satupun anak buahmu yang melihat keparat itu kabur!”
“Sulit kupercaya Kebo ,” kata Gandul Wirjo sambil usap-usap keningnya yang benjut sewaktu terbanting ke dinding tadi. “ apa alasan pelacur itu membunuh Tunggul?”
Kebo Panaran sesaat jadi termangu mendengar kata-kata pemilik rumah pelacuran itu. Sementara itu dari beberapa kamar sebelah menyebelah penghuninya ikut bangun dan keluar mendengar ribut-ribut itu. Mereka semua mundur menjauh ketika menyaksikan mayat Tunggul Anaprang yang masih ditancapi golok itu.
“Apapun alasannya yang terperinci kawanku itu sudah mampus dibunuhnya!”
“Kebo Panaran ,” Membuka lisan Bargas Pati. Jangan-jangan Gandul Wirjo berkomplot dengan orang-orang kerajaan!”
Pucatlah wajah Gandul Wirjo mendengar kata-kata si botak Bargas Pati itu.
“Demi Tuhan! Aku bersumpah tidak punya relasi apa-apa dengan orangorang kerajaan!”
“Siapa peraya ucapanmua Gandul!” kata Kebo Panaran seraya satu tangannya mengusap-usap wajah lelaki yang dicekalnya itu. “Kau dulu termasuk orang-orang yang berperang melawan penguasa kini ini. Sementara kami diburu-buru kau
enak-enak saja membuka usaha di tempat ini tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada orang-orang kerajaan yang mengambil tindakan! Aneh bukan? Lalu kau punya seorang pelacur yang gres kemarin sore tiba ke tempat ini katamu! Dan pelacur itu yang membunuh kawanku Tunggul. Mengapa semua serba kebetulan Gandul? Kau merencanakan semua ini. Kau menjebak kami. Mungkin tolong-menolong saya yang kau tuju.
“Demi Tuhan Kebo! Aku bersumpah tidak merencanakan apapun! Siapa adanya pelacur itu belum sempat kuselidiki. Bahkan saya belum menidurinya……”
“Sialan! Aku tidak menanyakan kau sudah menidurinya atau belum!” hardik Kebo Panaran. “Katakan cirri-ciri pelacur yang tidur bersama Tunggul malam tadi!”
“Orangnya masih muda. Wajahnya bujur telur. Cantik. Kulitnya putih. Dia mengenakan kain panjang dan kebaya berkembang-kembang. Di….. di pipi kirinya ada tahi lalat.”
“Bagus!” desis Kebo Panaran. “Keteranganmu itu memberi keampunan padamu untuk tidak mati dengan leher ditabas!”
Tangan kanannya bergerak ke pinggang.
Gandul Wirjo melihat golok keluar dari sarungnya. Dia berteriak.
“Kebo! Jangan! Aku benar-benar tidak ada sangku paut dengan kematian Tunggul….. Akh…..”
Ucapan pemilik rumah pelacuran itu terputus begitu golok di tangan kanan Kebo Panaran amblas masuk ke dalam perutnya. Sepasang mata Gandul Wirjo membeliak ibarat hendak melompat dari sarangnya. Mukanya sesaat merah kemudian bermetamorfosis pucat. Dia mencicipi panas darahnya sendiri keluar mengucur dari perutnya yang robek besar!.
Kebo Panaran dorong sosok tubuh Gandul Wirjo hingga terlempar ke kaki tempat tidur. Lalu beliau berpaling pada Legok Ambengan. “Kau hebat mencari jejak.
Bangsat pembunuh itu harus sanggup kita kejar!”
Legok Ambengan mengangguk. “Kita harus berangkat kini juga! Pelacur itu niscaya sudah lari jauh!”
Kebo Panaran , Legaok Ambengan dan Bargas Pati segera keluar dari rumah besar itu. Di luar udara masih gelap. Legaok Ambengan yang memang mempunyai keahlian mengusut segala macam jejak memperhatikan keadaan halaman samping dekat jendela kamar di mana Tunggul Anaprang dibunuh. Di bawah penerangan lampu minyak matanya yang tajam melihat adanya bekas-bekas jejak kaki walaupun hampir tidak kentara. Jejak-jejak kaki ini menuju ke sangkar kuda.
“Orang itu melarikan diri dengan kuda. Kelihatannya ke arah Timur…” kata Legok Ambengan.
“Kalau begitu segera kita kejar ke arah Timur!” kata Kebo Panaran pula.
Ketiga orang ini lari ke sangkar kuda. “Lihat , kuda kita hanya tinggal tiga. Berarti yang seekor lagi dissambar pembunuh itu! Sialan! Kudaku yang dicurinya!” Saking marahnya Kebo Panaran memukul tiang sangkar kuda hingga patah!

TIGA

Perlahan-lahan udara mulai terang walau dinginnya malam masih menusuk menjelang pagi itu. Ketika sang surya muncul menerangi jagat dan keadaan jadi terang benderang , untuk pertama kalinya Kebo Panaran melihat segulung kertas tergantung dekat buntalan barang di leher kudanya. Kertas itu berwarna putih tetapi penuh dengan noda-noda darah.
“Heh , kertas apa ini?” bertanya Kebo Panaran dalam hati. Merasa tidak enak kemudian beliau berseru. “Kawan-kawan! Berhenti dulu!”
“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas Pati seraya menghentikan lari kudanya.
Legok Ambengan ikut menghentikan kuda tunggangannya. Kedua orang ini sama memandang pada orang yang jadi pemimpin mereka itu.
KeboPenaan menunjuk pada gulunga kertas yang tergantung di leher kuda.
“Aku tidak tahu benda apa ini. Tapi sebelumnya gulungan kertas ini tidak ada di sini!”
Bargas Pati usap kepala botaknya. “Coba kau ambil saja dan buka gulungannya. Jangan-jangan sehelai surat…”
“Surat berdarah….” Desisi Legok Ambengan.
Dengan perasaan tidak enak Kebo Panaran betot gulungan kertas berdarah itu hingga ikatannya , sehelai benang halus terlepas putus. Betul kata Bargas Pati.
Gulungan kertas itu ternyata sehelai surat yang ditulis dengan darah. Walau goresan pena di atas kertas begitu buruk mungkin terburu-buru waktu ditulisnya namun Kebo Panaran masih bisa membacanya dengan jelas.
Surat ini kutulis dengan darah salah seorang dari kalian. Aku tidak akan berhenti hingga kalian berlima kuhabisi! Roh suamiku dan akan mengejar kemanapun kalian pergi. Kalian tidak ada tempat untuk lari!
Paras Kebo Panaran sesaat tampak pucat.
“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas Pati.
“Berikan padaku surat itu!” kata Legok Ambengan pula. Kebo Panaran menyerahkan kertas yang dipegangnya pada kawannya itu. Bargas Pati mendekatkan dirinya pada Legok Ambengan. Kedua orang ini kemudian sama-sama membaca isi surat yang ditulis dengan darah itu. Keduanya ibarat Kebo Panaran tadi pribadi pucat.
“Membaca isi surat itu….” kata Kebo Panaran sesudah coba menenangkan diri.
“Yang menulisnya tidak bisa tidak ialah Antini istri Lor Kameswara. Tapi bagaimana saya bisa mempercayainya. Perempuan itu tidak mempunyai kepandaian silat apalagi nyali untuk melaksanakan hal ini. Membunuh Tunggul Anaprang kemudian melenyapkan diri dangan meninggalkan surat berdarah ini!”
“Dalam waktu tiga bulan segala sesuatunya bisa terjadi…. Mungkin wanita itu belajar pada seorang pandai. Setelah mempunyai bekal ilmu yang cukup beliau kemudian turun tangan melaksanakan balas dendam terhadap kita. Korban pertamanya telah jatuh! Kawan kita Tunggul Anaparang!”
“Omonganmu menciptakan saya lebih sulit percaya Bargas Pati ,” menyhut Kebo Panaran.
“Nyatanya beliau bisa mwmbunuh Tunggul. Dia bukan saja punya nyali dan ilmu Kebo. Tapi bekerja dengan menggunakan otak! Dia bisa menyamar jadi pelacur. Mungkin dibantu oleh Gandul Wirjo , mungkin juga tidak.”
“Kurasa kita telah berbuat satu kesalahan ,” kata Legok Ambengan.
“Apa maksudmu?” Tanya Kebo Panaran sambil memandang ajam pada kawannya itu.
“Pada kejadian tiga bulan kemudian itu , seharusnya wanita itu kita habisi sekalian. Tak ada saksi atas perbuatan kita! Tak akan ada yang balas dendam!” jawab Legok Ambengan pula.
Bargas Pati usap-usap lagi kepala botaknya. “Kalau ingat kejadian itu justru tolong-menolong kita dihentikan berlaku sekeji itu. Lor Kameswara ialah bekas pimpinan yang kita hormati…”
“Tutup mulutmu Bargas Pati!” hardik Kebo Panaran. “Aku tidak suka mendengar kau bicara begitu! Semua sudah terjadi! Kita bersama yang melakukannya! Kenapa kini harus disesali? Kau sendiri meniduri wanita itu hingga beberapa kali! Ingat?”
Bargas Pati terdiam. Kebo Panaran lanas kembali membuka mulut. “Sampai ketika ini ada satu teka-teki yang belum terjawab. Lenyapnya sahabat kita Ambar Parangkuning. Perempuan itu menghilang beberapa ketika sesudah kejadian di rumah Lor Kameswara. Di mana beliau kini tidak satupun dari kita yang tahu. Apakah beliau berkomplot dengan istri Lor Kameswara?”
“Kalau hal itu sulit kupercaya. Ambar terlibat bersama kita. Bagaimana mungkin beliau berkomplot dengan Antini?!” ujar Bargas Pati.
“Betul sekali Kebo. Hal itu tidak masuk akal!” berkata Legok Ambengan.
“Tapi sudahlah. Kita tak perlu berdebat. Orang yang kita kejar tentu sudah tambah jauh. Sebaiknya kita teruskan pengejaran. Menurut penglihatanku Antini atau siapapun beliau melarikan diri menuju ke Timur. Jika kita mengambil jalan lurus kita akan hingga di sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu ada sebuah kali besar. Antara tempat ini ke kali besar itu ada jalan liar. Bukan tidak mungkin si pembunuh menempuh jalan itu. Sebab bila beliau memang istri Lor Kameswara , wanita itu tidak tahu betul seluk beluk kawasan ini. Di niscaya mengikuti jalan yang sudah sering dilalui orang sebelumnya.
Kurasa kita bisa mengambil jalan memintas dan memotong arah larinya.”
“Aku dan Bargas Pati mengikuti apa katamu saja Legok Ambengan ,” kata Kebo Panaran. Makin cepat kita menempuh jalan memintas yang kau katakan itu makin bagus. Kita berangkat kini saja! Kau jalan di depan! Tapi…… ucapan Kebo Panaran terhenti. “Aku khawatir , jangan-jangan Ambaar Parangkuning sudah jadi koban pula. Dibunuh istri Lor Kameswara!”
“Tidak , beliau memang lenyap entah kemana. Tapi bila kau teliti surat tadi terperinci si pembunuh masih menyebut kita berlima. Bukan berempat. Berarti sahabat kita wanita itu masih hidup.”
Kebi Panaran mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Legok Ambengan itu.
Ketika rombongan tiga pengunggang kuda itu hingga di kaki bukit kecil yang dikatakn Legok Ambengan udara tiba-tiba berubah. Siang yang tadinya terang benderang mendadak menjadi gelap ibarat senja. Gumpalan awan hitam kelabu bertebaran menutupi langit. Dikejauhan mulai terdengar bunyi geledek ditimpali cahaya sambaran kilat. Sesaat kemudian hujan yang bukan alang kepalang lebatnya turun membasahi bumi.
“Kita mau mencari tempat berteduh atau meneruskan pengejaran?” Tanya Legok Ambengan.
Bargas Pati maunya berhenti dulu mencari perlindaungan sambil beristirahat.
Tapi Kebo Panaran punya jalan pikiran lain.
“Hanya orang-orang tolol yang takut pada hujan! Teruskan pengejaran.
Bukankah kita harus cepat-cepat hingga di balik bukit sana?”
“Aku baiklah kita meneruskan pengejaran” kata Legok Ambengan. Aku kawatir hujan menciptakan mataku kurang awas dan saya bisa kehilangan jejak-jejak orang yang kita kejar. Ayo kita teruskan perjalanan.”
Hujan yang sangat lebat dan lama menciptakan arus kali besar itu menjadi deras dan ganas. Di beberapa tempat air kali meluap melewati tebing kali dan membanjiri daratan sekitarnya sementara itu hujan masih terus turun ibarat tidak akan berhenti.
Kebo Panaran dan kawan-kawannya tidak bisa bergerak cepat dalam cuaca buruk ibarat ini. Namun demikian karenanya mereka hingga juga ke balik bukit dan berhenti di tepi kali yang sedang banjir.
“Celaka!” kata Legok Ambengan. “Air hujan dan banjir menciptakan saya tidak sanggup mengenali jejak yang ditinggalkan orang yang kita kejar!”
“Keparat!” maki Kebo Panaan sambil mengusap mukanya yang basah.
“Kerahkan seluruh kepandaianm Legok! Orang itu harus kita kejar! Ingat! Dia telah membunuh mitra kita Tunggu Anaprang!”
Legok Ambengan menggigit bibir. Dia menyentakkan tali kekang kudanya , bergerak menyusuri tepi kali ke arah hulu. Kebo Panaran dan Bargas Pati mengikuti.
Di satu tempat Legok Ambengan hentikan kudanya dan menunjuk ke arah benda kehijau-hijauan yang terapung-apung di atas genangan air di tepi kali.
“Bendad apa itu?” Tanya Bargas Pati.
“Kotoran kuda….” Sahut Legok Ambengan. “Kita mengejar ke arah yang beanar kawan-kawan!” Lelaki itu tampak gembira. “Kotoran kuda itu niscaya kotoran kuda orang yang kita kejar!”
Mendengar itu Kebo Panaran serta merta menyentakkan tali kekang kudanya dan mendahului bergerak ke hulu kali yang arusnya tampak tambah deras.
Saat itu udara masih gelap lantaran langit yang masih mendung tebal dan hujan yang terus mendera turun. Di kejauhan kila menyambar dua kali berturut-turut. Sesaat udara menjadi terang benderang. Kebo Panaran yang berkuda di sebelah depan kebetulan memnadang ke arah kejauhan. Lalu terdengar beliau berteriak.
“Aku melihat seorang penunggang kuda di depan sana!”
“Pasti dia!” teriak Legok Ambengan.
Ketiga orang itu kemudian sama memacu kuda masing-masing di bawah hujan lebat.
Tak lama kemudian meraka berhasil menyusul penunggang kuda itu. Orang ini kelihatannya ibarat dalam bingung. Hendak terus ke arah hulu jalan terhalang oleh banjir besar. Hendak menyeberang kali yang berarus besar itu tentu saja tidak mungkin.
Kebo Panaan dan kawan-kawannya hingga di tempat itu. Melihat ada tiga orang berkuda muncul , penunggang kuda tadi cepat membalikkan tunggangannya ke arah kanan dan siap untuk melarikan diri.
“Jangan lari!” teriak Kebo Panaran.
Baru saja Kebo Panaran membentak begitu , dari arah kali muncul sebuah bahtera disusul terdengarnya bunyi orang menyanyi. Suara nyanyiannya tidak begitu jelas. Ditelan oleh deru hujan , desau angin serta arus sungai yang menggila.

EMPAT

Ini merupakan satu pemandangan ajaib kalau tidak mau dikatakan gila. Di atas kali yang arusnya ganas mengerikan sementara hujan lebat masih terus menderu turun , dalam cuaca yang masih gelap tiba-tiba kelihatan meluncur sebuah perahu. Perahu ini terombang-ambing tidak menentu. Sesekali dilontarkan arus ke atas hingga tinggi setengah tombak kemudian dihenyakkan ibarat hendak dibenam ke dasar kali. Namun bahtera itu kemudian muncul kembali. Beberapa kali bahtera ini kelihatan oleng dan hampir terbalik , tetapi kembali meluncur mantap! Apapun yang dibentuk arus , bahtera itu tampaknya tidak bisa untuk dilempar diterbalikkan , apalagi dibenamkan ke dasar kali.
Yang lebih gilanya , di aas bahtera itu tampak duduk seorang cowok berpakaian serba putih. Rambutnya yang gondrong serta pakaiannya telah berair kuyup oleh air hujan dan terpaan air kali. Namun beliau enak saja duduk di atas
perahunya yang penuh air itu sambil bernyanyi-nyanyi ibarat anak kecil yang sedang kegirangan tanpa menyadari betapa ancaman maut mengancamnya!
Hujan turunlah terus…..asyik!
Air kali mengamuklah terus….asyik!
Perahuku buruk tak mungkin tenggelam….asyik!
Aku dekat dengan hujan……asyik!
Aku dekat dengan air kali…..asyik!
Tapi demi Tuhan jangan ada buaya di kali ini!

Suara nyanyian itu disusul denag gelak tawa si pemuda. Setelah mengusap mukanya yang berair beliau kembali melantunkan nyanyian tadi berulang-ulang. Sampai pada suatu ketika beliau melihat ada seorang penunggang kuda di tepi kali yang sedang banjir itu. Penunggang kuda itu ternyata seorang cowok berwajah cakap halus.
Tampaknya beliau tengah galau karana idak sanggup meneruskan perjalanan. Banjir di depannya menghadang mengerikan.Membelok kiri berarti masuk ke dalam kali.
Membelok kanan jalan terhalang oleh lereng watu yang cukup tinggi. Satu-satunya jalan ialah kembali ke arah datangnya semula. Dalam keadaan ibarat itu , sebelum cowok berkuda ini sempat mengambil keputusan tiba-tiba dari arah belakang muncul tiga penunggang kuda. Ketiganya dalam keadaan berair kuyup dan tampang-tampang mereka tampak bernafsu sekali.
Tiga penunggang kuda itu bukan lain ialah Kebo Panaran , Bargas Pati dan Legok Ambengan.
“Jangan lari!” teriak Kebo Panaran ketika dilihatnya penunggang kuda di depan sana hendak memutar tunggangannya dan siap kabur!
Karena memang sudah terkurung cowok di atas kuda terpaksa duduk tak bergerak sehingga Kebo Panaran dan kawan-kawannya sanggup melihat terperinci wajahnya.
Bargas Pati menggerendeng “Bukan wanita yang kita kejar!”
Kebo Panaran juga hendak ikut-ikutan menggerendeng namun kemudian beliau segera mengenali kuda yang ditunggangi cowok itu. Kuda miliknya yang hilang dicuri di penginapan milik Gandul Wirjo!
“Itu kudaku yang ditungganginya!” kata Kebo Panaran. Lalu segera mencabut golok besarnya.
“Anak muda! Lekas kaakan siapa dirimu dan dari mana kau sanggup kuda itu?!” menghardik Legok Ambengan.
Pemuda di depan ketiga orang itu memperhatikan dengan pandangan mata tak berkesip.
“Aku tidak kenal kalian. Kuda ini milikku. Apa kalian hendak merampok?!”
“Pemuda kurang ajar! Kutabas batang lehermu!” teriak Kebo Panaran seraya memajukan kudanya. “Jawab pertanyaan tadi atau kupisahkan kepalamu dari tubuh ketika ini juga!”
“Namaku Jaliteng. Kuda ini milikku. Kubeli dari seorang tak kukenal beberapa waktu lalu.”
“Siapa orang yang menjual kuda itu?” tanya Bargas Pati.
“Seorang wanita muda. Cantik…..”
“Hemmm….” Kebo Panaran usap-usap janggutnya yang basah.
“Aku mau pergi. Menyingkirlah. Jangan menghadang jalan!” cowok tadi berkata.
Kebo Panaran melirik pada kedua temannya. Lalu berbisik “Aku curiga padanya. Bagaimana pendapat kalian?”
“Pemuda itu harus kita geledah! jawab Legok Ambengan. Lalu beliau berseru.
“Lemparkan buntalan yang kau bawa. Kami ingin memeriksa!”
Pemuda di atas kuda memegang buntalan yang tergantung di leher kudanya kemudian menjawab. “Ada hak apa kau mengusut aku? Lekas menyingkir sebelum saya jadi marah!”
Kebo Panaran dan kedua kawannya tertawa bergelak mendengar ucapan cowok cakap itu.
“Turun daru kudamu! Berlutut di hadapan kami dan serahkan buntalan!” menghardik Kebo Panaran.
“Perampok-perampok picisan! Rasakan dulu senjataku ini!” Pemuda di atas kuda berteriak. Tangan kanannya bergerak Lalu tiga buah pisau terbang meluncur ke arah Kebo Panaran , Bargas Pati dan Legok Ambengan.
Bagi orang biasa , serangan tiga pisau terbang itu kelihatannya hebat sekali dan membahayakan keselamatan bahkan nyawa Kebo Panaran dan dua kawannya. Tetapi bagi cowok yang duduk cengar-cengir di atas bahtera yang dipermainkan arus kali , lemparan tiga pisau terbang tadi sama sekali tidak mantap dan tidak disertai cukup aliran tenaga dalam. Ternyata memang benar. Dengan gampang Kebo Panaran , Baras Pati dan Legok Ambengan memukul mental tiga serangan pisau tersebut. Begitu berhasil mementahkan serangan lawan Kebo Panaran berteriak “Legok! Lekas kau cincang cowok itu!”
“Srett! Srett!”
Di bawah hujan lebat Legok Ambengan cabut sepasang goloknya dari pinggang. Sambil memutar-mutar senjatanya di tangan kiri kanan Legok Ambengan menyerbu. Pemuda yang diserang tidak tinggal diam. Dari balik punggungnya beliau mencabut sebilah pedang. Begitu Legok Ambengan mendekat beliau sabatkan senjatanya.
“Trang…! Trang….!”
Pedang dan dua golok saling beradu.
Pemuda di atas kuda belakang layar mengeluh. Bentrokan senjata tadi menciptakan tangannya yang memegang pedang bergetar. Senjatanya hampir terlepas. Segera beliau mundurkan kudanya kemudian coba menebas tubuh Legok Ambengan dari samping kiri.
Legok Ambengan menangkis. Kali ini si cowok berlaku cerdik. Dia tidak mau melaksanakan bentrokan senjata. Lagi-lagi beliau memundurkan kudanya. Dengan tangan kiri beliau melepas dua pisau terbang. Tapi dengan gampang kedua senjaa itu dihantam mental oleh Legok Ambengan dengan kedua goloknya.
Kebo Panaran yang sudah tidak sabaran melihat jalannya perkelahian segera menyerbu dangan golok di tangan. Kini tak ampun lagi cowok berwajah cakap itu terdesak hebat.
Dalam satu bentrokan hebat golok di tangan si cowok kena dipukul lepas.
Pemuda ini berseru kaget. Kudnya dilarikan menjauhi ketiga orang itu. Tapi dai salah mengambil arah. Kudanya mundur ke arah pinggiran kali yang arusnya tengah menggila! Tak ada kesempatan ataupun jalan untuk lari. Di depannya Kebo Panaran , Bargas Pati dan Legok Ambengan bergerak mendekat. Kebo Panaran mencekal golok besar. Bargas Pati memegang senjatanya berupa sebuah clurit besar sedang Legok Ambengan memegang sepasang golok.
Pemuda berambut gondrong di atas bahtera hentikan nyanyiannya. Dia menggaruk-garuk kepala beberapa kali kemudian berteriak.
“Sahabat! Naik ke atas kudamu! Melompat ke mari!” Lalu cowok di atas bahtera mendayung perahunya menuju tepian kali.
Sesaat cowok cakap di atas kuda jadi tercekat. Memang satu-satunya jalan untuk lari ialah melompat ke atas bahtera itu. Tapi dai tidak punya kemampuan melakukannya. Baginya bahtera itu masih terlalu jauh untuk dilompati!
“Sahabat! Cepat! Melompat ke atas perahuku!” Teriak si gondrong di atas perahu. Dia tambah mendekatkan perahunya ke pinggir kali.
“Melompatlah kalau kau mampu!” kata Kebo Panaran sambil menyeringai.
Goloknya berkelebat.
“Craassss!”
Kuda tunggangan si cowok meringkik keras ketika golok Kebo Panaran membabat lehernya. Binatang ini mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pemuda di atas kuda itu terlempar ke arah kali. Jarak jatuhnya masuih jauh dari bahtera di atas kali. Melihat hal ini cowok di atas bahtera cepat memutar perahunya untuk mneyambut jatuhnya cowok tadi.
“Bangsat kurang ajar!” maki Kebo Panaran. Lelaki itu mengangkat goloknya tinggi-tingg. Lalu senjata ini dilemparkannya ke arah cowok yang ketika itu tubuhnya masih melayang di atas kali.
Terdengar pekik si cowok ketika mata golok sempat mengiris daging bahunya. Bajunya kelihatan merah oleh darah. Kakinya melejang dan kedua tangannya menggapai-gapai akhir rasa takut dan sakit yang jadi satu. Sakit lantaran luka di pundak kirinya cukup besar. Takut lantaran sebentar lagi dirinya akan amblas masuk ke dalam air kali yang menggila sedang beliau sama sekali tidak bisa berenang.
Pada ketika yang menegangkan itu cowok gondrong di atas bahtera ternyata sanggup menyorongkan perahunya dalam waktu yang tepat. Tubuh cowok yag terluka jatuh ke dalam perahu. Pemuda yang jatuh kembali menjerit sedang bahtera itu terlonjak ke atas kemudian miring ke kiri. Pemuda berambut gondrong cepat mengimbangi dengan menciptakan gerakan-gerakan lucu. Dalam keadaan ibarat itu tiba-tiba dari pinggiran kali tampak melesat dua buah senjata. Ternyata Legok Ambengan telah melemparkan sepasang goloknya kearah cowok gondrong di atas perahu.
“Walah!” Si gondrong sesaat tampak bingung. Saat itu beliau tengah berusaha semoga bahtera jangan hingga terbalik. Di lantai bahtera orang yang jatuh kembali menjerit kemudian mengerang kesakitaan sambil memegang bahunya. Celakanya orang ini malah memegangi kaki cowok gondrong hingga tak ampun lagi keseimbangannya benar-benar hilang dan tubuhnya terjatuh ke kali. Dalam keadaan ibarat ini dua golok terbang daang menyambar! Satu mengarah dada satunya lagi mengincar perut.
Selagi tubuhnya melayang jatuh ke dalam kali yang berarus deras , cowok gondrong itu gerakkan tangan kanannya ke pinggang.
“Kunyuk yang berlagak jadi jagoan , rasakan sepasang golokku!” teriak Legok Ambengan dari atas kudanya sambil bertolak pinggang sementara Kebo Panarandan Bargas Pati menyeringai. Kelihaian Bagas Pati dalam memainkan dan melemparkan sepasang golok selama ini sudah tersohor. Karenanya ketiga orang ini sudah sama memastikan bahwa cowok yang melayang jatuh ke kali akan ditambus golok pada dada dan perutnya.
Namun apa yang terjadi kemudian menciptakan ketiga orang itu berseru kaget.

LIMA

Di atas kali kelihatan warna terang menyilaukan mata. Bersamaan sengan itu terdengar bunyi sperti gaung ribuan lebah. Hawa di tempat itu yang tadinya lembab hirau taacuh mendadak menjadi panas. Lalu terdengar bunyi berdentrangan dua kali berturut-turut. Dua golok yang tadi dilemparkan Legok Ambengan mental ke udara.
Yang satunya patah dua kemudian jatuh ke dalam kali. Saunya lagi mental utuh ke Pinggir kali , sempurna di depan Legok Ambengan dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang ini memperhatikan golok yang tercampak di tanah becek itu , ternyata golok itu berada dalam keadaan bengkok dan hitam hangus serta mengeluarkan kepulan asap!
Kebo Panaran , Bargas Pati dan Legok Ambengan sama-sama ternganga dan sama-sama memandang ke tengah kali. Saat itu mereka lihat bahtera di tengah kali meluncur ke seberang padahal tidak ada yang mendayung sedang cowok yang tadi terjatuh di dalamnya masih terbujur dan merintih pegangi bahunya “Aneh , ke mana lenyyapnya cowok gondrong di atas bahtera tadi!” kata Kebo Panaran.
Selagi Kebo Panaran dan dua temannya masih berada dalam keadaan tercekat heran tiba-tiba dari dalam air kali mencuat sebuah pendayung. Benda ini melayang ke pinggir kali , menyambar kepala kuda yang ditunggangi Legok Ambengan.
“Praakkk!”
Pendayung itu patahdua. Kening kuda remuk. Binatang ini meringkik keras kemudian berputar kencang dan kabur hingga Legok Ambengan terpelanting dan jatuh duduk pada potongan tanah yang becek!
“Bangsat kurang ajar!” kutuk Legok Ambengan seraya berdiri dan pegangi pantat celananya yang berair dan ditempeli Lumpur. Matanya memandang bernafsu ke tengah kali. Saat itu cowok gondrong yang tadi lenyap kini tahu-tahu kelihatan lagi di atas bahtera sambil menjulur-julurkan lidah. Kedua ibu jari tangannya ditekankan ke pelipis kemudian jari-jarinya yang lain digerak-gerakkan.
“Keparat! Berani beliau mengejek kita! Teriak Legok Ambengan sambil kepalkan kedua tinju. “Kalau bertemu akan kupaahkan batang lehernya!”
“Kurasa beliau bukan seorang cowok sembarangan Legok ,” kata Kebo Panaran.
“Pasti tadi beliau menciptakan mental sepasang golokmu. Pasti beliau mempunyai semacam senjata yang hebat! Dan niscaya beliau pula yang melemparkan pendayung itu selagi menyelam di dalam air!”
“Aku tidak perdulikan bedebah gondrong itu!” kata Bargas Pati. “Yang membuatku jengkel ialah lolosnya orang yang kita kejar….”
“Tolol! Yang kita kejar tolong-menolong Antini , istri Lor Kameswara , bukan cowok ibarat bencong itu!” hardik Legok Ambengan.
“Kau yang tolol! Belum tentu beliau benar-benar seorang pemuda! Buktinya beliau ketakutan ketika hendak kita geledah!” balas mendamprat Bargas Pati.
“Kudanya masih ada di situ. Bargas , coba kau periksa buntalannya!” kata Kebo Panaran.
Bargas Pati turun dari kudanya. Seluruh isi buntalan dikeluarkannya. Salah satu benda yang keluar ialah sehelai kebaya dan kain panjang perempuan.
“Kebo lihat! Apa kataku!” teriak Bargas Pati. “Pemuda tadi niscaya Antini istri Lor Kameswara. Buktinya dalam buntalan ini ada pakaian perempuan!”
“Kurang ajar! Kaprikornus beliau rupanya yang tadi malam menyamar menjadi pelacur!
Jelas memang beliau yang membunuh Tunggul Anaprang! Kita harus cari bahtera atau menciptakan rakit dangan segera! Bangsat itu dihentikan lolos!” Memandang ke depan Kebo Panaran melihat bahtera yang ditumpangi cowok berambut gondrong serta cowok yang terluka telah mencapai pinggiran kali dan berhenti.
Di atas bahtera si gondrong membungkuk seraya berkata. “Sahabat , mari kugotong kau ke daratan….”
Pemuda ini tersentak kaget ketika orang yang hendak ditolongnya membuka lisan dan berkata dengan bunyi keras. “Jangan sentuh!”
“Eh , bagaimana ini?” Si gondrong garuk-garuk kepalanya. “Kau sanggup berdiri sendiri dan berjalan dalam banjir? Arus banjir di daratan sana cukup keras….”
“Aku sanggup berdiri dan bejalan sendiri. Aku berterima kasih kau tadi menolongku.” Pemuda yang terbujur di atas lantai bahtera yang berair itu berusaha bangun dangan berpegangan pada pinggiran perahu. Ukanya tampak mengernyit tanda beliau menahan sakit. Dengan terhuyung-huyung beliau melangkah di dalam air yang tingginya hingga sepaha.
“Saudara , kau terluka cukup parah…”
“Aku bisa mengobatinya nanti. Sudah jangan perdulikan diriku…” Pemuda itu melangkah terus melawan arus air yang cukup keras meskipun sudah cukup jauh dari kali.
Si gondrong geleng-geleng kepala. “Pemuda aneh….” Katanya dalam hati kemudian turun dari bahtera dn melangkah mengikuti cowok di depannya.
“Kuharap kau jangan mengikutiku!” Tiba-tiba cowok di depan sana berkata.
“Agaknya ada sesuatu yang kau takutkan , sahabat. Pasti ada suatu lantaran mengapa orang-orang di seberang kali sana hendak mencelakaimu.”
“Benar atau tidaknya itu bukan urusanmu!” jawab si cowok sambil perbaiki kait ikat kepalanya.
“Namamu siapa dan kau tolong-menolong tangah menuju kemana?”
Yang ditanya balas bertanya. “ Kau sendiri siapa dan mengapa mengikutiku?
Mengapa ingin tahu? Bukankah saya sudah mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu?”
“Aku tidak butuh terima kasih….”
“Kalau begitu sebutkan saja siapa dirimu!”
“Namaku Wiro Sableng. Tujuan perjalananmu sama dengan tujuan perjalananku ,” jawab si gondrong.
“Hemmm….. Dari namamu saja saya sudah pantas berhati-hati….”
“Kau keliwat menghina , sahabat….”
“Tidak , siapa bilang saya menghina….”
Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. “Kau tidak hendak menyampaikan namamu?” Tanya Wiro.
“Tidak perlu. Dan sekali lagi saya bilang! Jangan mengikutiku!”
“Sudahlah kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku tidak akan mengintil. Tapi saya sudah tahu namamu!” kata Wiro pula.
“Heh?!” Pemuda di depan Wiro hentikan langkah dan berpaling padanya.
“Kau tahu namaku? Dari mana? Dari siapa?! Jangan menipu. Coba kau katakana siapa namaku kalau kau memang tahu!”
“Kalau tidak Sumini ya Suminah , kalau tidak Amini ya Aminah!” jawab Wiro kemudian tertawa gelak-gelak.
Paras si cowok yang cakap tampak menjadi merah. Dalam hati beliau membatin
“Apa beliau tahu siapa diriku?” Sesaat cowok ini memandang tak berkesip pada Wiro.
Tanpa diketahuinya sebuah batang pohon yang dihanyutkan arus meluncur ke arahnya.
Wiro berteriak memberi tahu tapi bang pohon itu telah menghantam pinggangnya hingga cowok itu terdorong keras dan terjerambab masuk ke dalam air. Sakit yang bukan kepalang akhir hantaman batangan pohon tadi menciptakan beliau tidak bisa untuk bangkit. Tubuhnya segera karam ke dalam air setinggi paha itu kemudian terseret oleh arus.
“Tol…tolong…!” teriak cowok itu. Tapi air kali jdai masuk ke dalam mulutnya. Membuat megap-megap kelagapan dan semakin tak berdaya diseret arus banjir.
“Tolong…… teriakan cowok itu kembali terdengar.
Wiro melangkah bergerak meotong arah hanyutnya si pemuda.
“Tolong…..!”
Tubuh si pemud hanyut di belakang Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini gerakkan tangan kanannya ke belakang dan berhasil mencekal punggung pakaian cowok itu kemudian diseretnya sambil terus melangkah.
Hujan mulai mereda.
Di satu tempat yang hanya sedikit digenangi air kali Wiro berhenti. Dia terkejut ketika didapatinya orang yang diseret itu ternyata telah jatuh pingsan. Acuh tak hirau Wiro bujurkan tubuh cowok itu menelungkup dai tanah yang becek. Lalu dengan kakinya ditekannya potongan pinggang si pemuda. Kelihatan air kaliyang sempat terminum keluar mengucur dari mulutnya.
Wiro membungkuk mengusut luka di pundak kiri si pemuda. Luka itu cukup besar. Kalau tidak segera dibersihkan dan diobati niscaya akan membusuk. Wiro balikkan tubuh si pemuda. Matanya menatap ke arah dada.
“Dadanya kelihatan ibarat rata. Tapi saya yakin…..” Wiro garuk-garuk kepalanya. Akhirnya tangannya bergerak ke arah dada orang yang pingsan itu.
Meraba dan memijat kemudian cepat ditaiknya kembali ketika jari-jari tangannya terasa menyentuh potongan tubuh yang membusung. “Tidak salah ,” katanya. Dalam hati.
“Untung tidak kupijat kuat-kuat….. Mengapa beliau menyamar niscaya ada satu rahasia.
Biar lukanya kuobati lebih dulu.”
Baru saja Wiro berkata dalam hati ibarat itu tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Satu bentakan keras terdengar.
“Pemuda kurang ajar! Berani kau mengerayangi tubuh muridku!”
“Bukkk!”
Satu tendangan menghantam punggung Pendekar 212 hingga murid Eyang Sinto Gendeng ini terpelanting!

ENAM

Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar terelungkup di tanah yang becek. Pakaian putihnya di sebelah depan serta mukanya berkelukuran Lumpur tanah liat merah.
Sambil mengernyit kesakitan Wiro memandang ke samping untuk melihat siapa yang bausan telah menghantamnya.
Orang itu ternyata seorang nenek berwajah pucat yang rambutnya kasar jabrik berwarna kelabu. Dia mengenakan jubah hitam besar gombrong menjela tanah hingga kedua kakinya tidak kelihatan. Sepasang lengan jubah juga gombrong menutupi kedua tangannya. Tpai mata Wiro yang tajam sanggup melihat bahwa pada kedua lengan nenek tak dikenal ini tersisip sesuatu. Mungkin golok pendek mungkin juga sebentuk pisau.
Sambil garuk-garuk kepala dan masih mengernyit sakit Wiro bangun kemudian duduk di tanah.
“Nenek muka pucat , saya tidak kenal kau. Mengapa membokong saya dengan tendangan?” bertanya Wiro.
“Kau tidak perlu kenal siapa aku! Masih untung saya cuma menendangmu!
Seharusnya sudah kupecahkan kepalamu!” Si nenek menjawab dengan mata melotot dan membentak. Suaranya halus ajaib tapi melengking.
“Kenapa kau hendak membunuhku?!”Tanya Wiro lagi seraya berdiri.
“Kenapa? Monyet! Kau masih bisa bertanya? Apa kau masih tidak tahu kesalahanmu?!”
“Aku tidak merasa berbuat salah. Malah saya barusan habis menolong cowok itu!” jawab Wiro.
“Setan alas! Kau berdalih menolong! Aku tidak buta! Aku lihat terperinci tadi kau meraba memegang-megang dada muridku!”
“Ah” Wiro menyeringai. “Kalau kau cemburu saya memegangi dada cowok itu , jangan-jangan beliau bukan muridmu! Lelaki meraba lelaki apa salahnya? Janganjangan kau punya relasi asamara gila dengan cowok ini!”
Si nenek keluarkan bunyi melengking keras. Tangan kanannya digerakkan.
Dari ujung lengan jubahnya keluar angin bersiuran. Menghantam deras ke arah Wiro yang ketika itu masih setengah berdiri. Yang keluar dari lengan jubah itu ternyata bukan hanya pukaulan angin kosong ganas , tetapi tiba-tiba ikut melesat sebilah pisau belati.
Pisau terbang ini bersiuran deras di udara , melesat ke arah dada Pendekar 212!
“Tua bangka edan!” maki Wiro. Dia terpaksa jatuhkan diri kea nah kembali.
Pukulan tangan kosong dan pisau terbang lewat di atasnya kemudian menancap di sebatang pohon. Begitu lolos dari serangan orang Wiro cepat melompat bangun kemudian menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka si nenek.
“Dengar nenek muak pucat! Siapapun cowok itu berada dalam keadaanterluka. Kau lihat pundak kirinya….”
“Aku tidak buta! Aku melihat! Tapi kau cuma mengarang cerita!”
‘Sialan!” maki Wiro. Sudahlah! Jika cowok itu memang muridmu kau uruslah sendiri!” Wiro jadi jengkel kemudian balikkan diri hendak tinggalkan tempat itu sementara paemuda yang tadi ditolongnya masih tergeletak tidak sadarkan diri.
Si nenek berteriak marah. “Setelah kau berbuat mesum terhadap muridku apa kau kira saya akan biarkan kau pergi begitu saja?! Ulurkan dulu tangan kananmu yang tadi menggerayangi tubuh muridku biar kupatahkan!”
“Eh bau tanah bangka ini benar-benar sial dangkalan!” kata Wiro dalam hati. Dia alirkan separuh dari tenaga dalamnya ke tangan kanan kemudian melangkah ke hadapan si nenek seraya ulurkan tangan itu.
“Kau mau mematahkan tanganku? Lakukanlah!” kata Wiro seraya membelintangkan tangan kanannya di depan hidung si nenek.
“Manusia sombong! Lihat! Tanganmu akan kujadikan tiga potongan!
Nenek muka pucat melompat sambil gerakkan kedua tangannya. Dengan pinggiran telapak tangannya beliau menghantam lengan Wiro.
“Krakkk! Krakkk!”
Terdengar bunyi berderak patah dua kali berturut-turut.
“Rasakan!” teriak si nenek sambil menyeringai puas dan melompat mundur.
Namun ketika beliau memandang ke depan si nennek jadi melengak. Yang barusan dipukulnya patah bukannya lengan cowok berambut gondrong itu melainkan sebuah ranting pohon!
Pendekar 212 tertawa mengakak.
“Nenek muka pucat rambut jabrik!” kata Wiro pula sambil senyum-senyum.
“Kau bilang matamu tidak buta tetapi kau lihat sendiri apa yang berusan kau paahkan? Bukan tanganku tapi ranting kayu butut!”
Si nenek sendiri memang sudah terkejut dan heran semenjak tadi-tadi. Tak sanggup beliau mengira apa yang telah terjadi. Jelas tadi beliau memukul lengan si pemuda. Lalu bagaimana kemudian beliau jadi memukul ranting kayu sedang tangan Wiro terperinci dilihatnya masih utuh tidak cidera barang sedikitpun , apalagi patah tiga!
Sebenarnya apakah yang telah dilakukan Pendekar 212?
Ketika melangkah ke hadapan si nenek Wiro sempat menyambar sepotong ranting kayu yang ada di dekat situ. Si nenek tidak melihatnya lantaran perhatiannya tertuju pada tangan kanan yang dipentangkan Wiro tepat-tepat di depan hidungnya.
Sewaktu si nenek memukulkan kedua tangannya dengan murka secepat kilat Wiro turunkan tangan kanannya. Lalu sebagai gantinya beliau palangkan ranting kayu itu.
Tentu saja yang kemudian dipukul si nenek buakan tangannya melainkan ranting tadi!
Kalau saja nenek muka pucat itu sadar akan keahlian orang mempermainkannya niscaya selanjutnya beliau tidaka akan gegabah lagi. Namun dalam marahnya beliau tidak sanggup berpikir banyak. Didahului bunyi menggembor wanita bau tanah ini berkelebat. Sebilah belati melesat keluar dari lengan jubahnya kiri kanan , masuk ke dalam genggamannya. Lalu dengan sepasang senjata ini beliau melompat menyerang Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang masih tertwa-tawa gak terlambat menciptakan gerakan mengelak.
“Brett!”
Pisau di tangan kiri si nenek sempat membabat dada kirinya. Maisih untung hanya baju putihnya saja yang kena disambar hingga robek besar. Wiro melompat ke samping. Lawan memburu dengan ganas. Dua pisau belati berkelebat di udara.
Pendekar 212 sambutt serangan si nenek dengan keluarkan jurus ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya meliuk-liuk sempoyongan ibarat orang mabuk yang mau roboh. Nenek muka pucat jadi terkejut ketika sesudah tiga jurus menggempur bertubi-tubi tak satu serangannyapun sanggup mencapai sasaran. Penasaran beliau lipat gandakan kecepatan dan tenaga serangannya.
Tubuhnya berubah jadi baying-bayang hitam yang melesat kian kemari. Pisaunya menderu-deru menikam dan membabat.
Jurus-jurus ganas si nenek menciptakan Pendekar 212 terdesak hingga tiga jurus.
Wiro kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengannya. Getaran tanga dalam yang memancar dari kedua tangannya emmbuat serangan sepasang pisau si nenek ibarat tertahan oleh satu kekuatan yang tidak terlihat.
“Hemmm….Pemuda ini ternyata memilii tenaga dalam tinggi ,” meyadari si nenek. Mak diapun berlaku cerdik. Dia mulai keluarkan serangan-serangan tipuan dangan tangan kanan sedanga angan kirir melancarkan serangan sungguhan.
“Tua bangka ini licik juga!” kata Wiro dalam hati. Dia menciptakan gerakan mundur sebagai pancingan. Ketika lawan mengejar Wiro membungkukkan tubuhnya kemudian tangannya bergerak melancarkan jurus pukulan Kepala Naga Menyusup Awan.
Tangan kanannya mencuat ke atas , laksana seekor naga mematuk ke arah tangan kanan si nenek. Perempuan bau tanah ini berseru kaget dan cepat tarik tangan kananya. Tapi terlambat. Lima ujung jari Pendekar 212 yang disusun rapat dan dikeraskan telah lebih dulu menghujam di pergelangan tangannya.
Si nenek terpekik. Pisau yang dipegangnya terlepas dan cepat disambar oleh Wiro. Sambil melompat mundur kesakitan , dengan mata melotot nenek itu memandang tak berkesip pada Pendekar 212. Wiro sendiri kini tegak dangan tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang belati milik si nenek.
“Pemuda mesum! Siapa kau sebenarnya?” bertanya si nenek.
“Kau yang lebih bau tanah coba katakana siapa dirimu sesungguhnya!” membalas Wiro.
Ucapan ini menciptakan si nenek jadi tidak enak. Dia berkata. “Saat ini saya bersedia mengalah. Biar urusan kita anggap selesai. Kau boleh pergi. Biar saya mengurus muridku itu.” Wiro tertawa.
‘Maaf saja Nek. Aku terpaksa jual mahal sekarang! Kalau kau tidak mau menerangkan siapa dirimu , juga menyampaikan sengan jujur apa hubunganmu dengan cowok ini , terpaksa saya yang memintamu semoga lekas-lekas minggat dari sini! Kau harus pergi mencari tukang gunting untuk mencukur rambutmu yang jabrik itu!”
Si nenek tmapak murka sekali dan menjadi mengkelap.
“Siapa saya tidak bisa kukatakan. Tapi cowok itu memang muridku!” jawab si nenek hambpir berteriak.
Wiro menyeringai. “Kau boleh pergi dengan kondusif Nek!” katanya.
“Aku akan membawa serta muridku!”
“Tidak bisa!”
“Keparat! Kenapa tidak bisa?!”
“Aku tahu siapa muridmu sebenarnya!”
Si nenek melengak. “Maksudmu apa?!” hardik orang bau tanah ini.
“Muridmu bukan seorang lelaki! Tapi seorang permpuan!”
Si nenek terpekik. Lalu ibarat orang gila beliau menyerbu ke arah Wiro. Di tangan kanannya ada sebuah benda bulat. Benda ini dilemparkannya ke arah Pendekar 212. Menyangka benda itu ialah senjata rahasia , Wiro cepat menghantam dengan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam tinggi. Terdengar bunyi letupan keras yang disertai menebarnya asap hitam tebal. Wiro cepat melompat menjauhi. Tetapi tempat sekitar situ sudah keburu tertutup asap tebal yang menghalangi pemandangan.
Tangan di depan matapun sulit untuk dilihat.
Ketika karenanya asap hitam itu perlahan-lahan pupus dan keadaan di tempat itu menjdai terang ibarat semula , Wiro dan si nenek yang tegak saling berhadaphadapan menjadi terkejut. Pemuda yang pingsan di atas tanah tak ada lagi di tempat itu!
“Muridku lenyap! Kau yang punya gara-gara!” teriak si nenek murka sekali.
“Tua bangka goblok! Kalau kau tidak berlaku tolol melepas bola asap tadi tidak akan terjadi urusan gila begini! Muridmu dilarikan orang salahmu sendiri!”
balik mendamprat Wiro. Saat itu matanya melihat ujung ranting di salah satu semak belukar bergoyang-goyang. Lalu di ujung ranting ada secarik robekan kain. Ketika ditelitinya beliau merasa yakin itu ialah robekan pakaian cowok yang pingsan tadi.
Berarti siapapun yang melarikan cowok itu , orangnya lari ke jurusan sini. Tanpa pikir panjang Wiro segera berkelebat mengejar. Si nenek tak tinggal diam. Dia ikut berkelebat ke jurusan larinya Wiro. Jengkel merasa diikuti Pendekar 212 balikkan tubuh dan tegak menghadang.
“Aku tak suka kau ikuti! Uusan bisa jdai salah kaprah kalau kau muncul di mana saya muncul!”
“Pemuda sombong! Kemana saya pergi setanpun tidak bisa melarang! Apalagi insan sontoloyo macam kau!”
“Kalau begitu kau tetaplah di sini! Tua bangka jelek!” tukas Wiro. Dia dorongkan kedua tangannya ke arah si nenek.
Perempuan bau tanah itu berseru keras ketika dari arah Wiro menderu keluar angin deras laksana tornado prahara. Dia coba menerjang. Tapi tubuhnya terdorong keras. Dia kerahkan seluruh kekuatannya luar dalam. Di depan sana Wiro sentakkan kedua tangannya. Tak ampun lagi tubuh si nenek terpental jauh dan punggungnya terbanting ke sabatang pohon. Dia coba lagi bergerak. Tapi badannya ibarat menempel ke batang poon itu. Sambil menggapai-gapai beliau memaki panjang pendek. Namun Wiro yang barusan melepaskan pukulan sakti berjulukan Benteng Topan Melanda Samudera telah lenyap dari tempat itu. Sesaat kemudian dengan susah payah gres si nenek berhasil melepaskan diri dari tekanan hawa sakti yang tadi dilepaskan Pendekar 212.
Dia berkelebat ke arah lenyapnya Wiro. Namun nenek ini kembali terdengar memaki ketika menyadari bahwa beliau telah kehilangan jejak cowok itu!

TUJUH

Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya di satu kaki bukit lantaran kehilangan jejak orang yang dikejarnya. Sambil memandang berkeliling Wiro berkata dalam hati.
“Aneh , jejak orang itu sama sekali tidak terlihat di tanah yang becek. Tidak mungkin orang itu lari tanpa menginjak tanah! Atau beliau mempunyai kesaktian sehebat Dewa?”
Wiro memandang lagi berkelilig kemudian menengadah ke atas memperhatikan pepohonan.
“Heh….?!” Mudrid Sinto Gendeng keluarkan bunyi keheranan. Beberapa akar gantung pohon-pohon besar yang ada di tempat itu kelihatn bergoyang-goyang. Tak ada angin yang bertiup , tidak kelihatan burung terbang juga tidak tampak tupai atau hewan pohon lainnya. “Mustahil akar itu bergoyang kalau tidak ada yang menyentuhnya…..”
Wiro tetapkan masuk ke dalam rimba belantara di kaki bukit itu. Belum lama beliau bergerak di antara kerapatan pepohonan dan semak belukar tiba-tiba didengarnya bunyi orang menarik nafas panjang berulang kali. Lalu ada bunyi berkata.
“Gila! Panas sekali hari ini!”
Murid Sinto Gendeng jadi melengak. “Siapa yang bicara?!” tanyanya dalam hati seraya memandang kekiri dan kekanan.Tidak kelihatan orang yang berbicara itu.
“Hujan gres saja reda. Udara masih terasa dingin. Enak saja ada yang berkata panas sekali hari ini! Dia yang gila agaknya!”
“Uhhh….Uhhh…. Panas betul!”
Terdengar lagi bunyi orang tadi. Kali ini daangnya dari arah serumpun semak belukar di sebelah kanan. Wiro cepat bergerak ke arah semak belukar itu kemudian menyibaknya.
“Sialan! Tak ada siapa-siapa di sini!” maki Pendekar 212 ketika beliau tidak menemui orang yang tadi bicara. Padahal terperinci suaranya tiba dari arah belik semak belukar itu!
“Uhh…Uhhh… Panasnya benar-benar gila! Tubuhku sudah mandi keringat!
Untung hujan tidak turun. Kalau turun niscaya udara lebih panas lagi!”
“Benar-benar gila!” maki Wiro lagi. “Siapa yang bicara ibarat itu?!” Dia melangkah cepa ke arah kiri. Karena bunyi yang barusan didengarnya tiba dari balik sebatang pohon besar. Namun begitu hingga di balik pohon tetap saja beliau tidak menemukan siapapun! Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir keras. “Orang yang barusan bicara terperinci mempergunakan ilmu memindahkan suara.
Hingga suaranya terdengar tiba dari satu jurusan tetapi beliau sendiri tidak ada di tempat itu. Tapi otaknya miring. Aku hendak dipermainkannya! Hemmm…. Orang gila harus dilayani secara gila!” Wiro garuk-garuk lagi kepalanya. Lalu beliau mulai menceloteh.
“Gila! Memang gila udara hari ini! Panas luar biasa. Matahari ibarat di atas batok kepala! Ah , ingin rasanya mandi di kali. Tapi air kalipun niscaya panas! Sialan!”
Wiro diam. Suasana sunyi. Tapi tidak lama. Sesaat kemudian terdengar bunyi orang tadi. “Nah apa kataku! Udara hari ini memang panas! Buktinya ada orang gila yang barusan berucap begitu!”
“Sial dangkalan! Aku dikatakan gila!” Wiro bantingkan kaki. Tangan kanannya diangkat kemudian dipukulkan ke arah rerumputan semak belukar. Dari balik semak belukar itu tadi datangnya bunyi yang mengatakannya orang gila.
“Braakkk!”
Semak belukar mental berantakan terkena pukulan tangan kosong mengandung tanaga dalam yang dilepaskan Pendekar 212. Tak ada bunyi keluhan kesakitan , apalagi jeritan. Untuk beberapa lamanya murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi tegak termangu di tempatnya. “Setan , saya benar-benar dipermainkan!”
Baru saja Wiro membatin serperti itu tiba-tiba orang tadi kembali terdengar berucap. “Kekasihku , ada orang gila dalam hutan ini. Sebaiknya kita menyingkir saja!”
Suara terdengar sempurna di atas kepala Pendekar 212. Wiro mendongak ke atas.
Astaga! Sekali ini rupanya orang yang bicara tidak menggunakan ilmu memindahkan bunyi lagi. Karena suaranya yang dating dari atas dan ketika dilihat dan ternyata beliau memang ada di atas pohon. Yang mengejutkan Wiro ialah ketika menyaksikan bahwa orang yang bicara dilihatnya duduk di ujung cabang sebatang pohon. Di tangan kanannya ada sehelai kipas lipat yang tiada hentinya digoyang-goyangkannya ke wajah yang penuh keringat!
Orang ajaib ini mengenakan pakaian lucu. Celananya terperinci terbalik. Bajunya juga sengaja digunakan terbalik. Bagian belakang ditempatkan sebelah depan sedang potongan depan yang ada kancingnya diletakkan di sebelah punggung! Mukanya bulat merah dan tubuhnya gemuk bulat. Kedua matanya besar dan kepalanya menggunakan sehelai peci hitam yang kupluk kebesaran.
Yang lebih menciptakan Wiro terkejut adalaj ketika menyaksikan , cowok yang tengah dicarinya ternyata ada di samping si orang ajaib , masih dalam keadaan pingsan dan punggung bajunya terkait pada ujung sebuah ranting. Tubuh ini tergantung terkatung-katung dan bergoyang-goyang ke atas ke bawah! Kalau ranting yang mangait bajunya patah , tak ampun lagi cowok tersebut akan jatuh ke tanah.
“Manusia aneh. Kepandaiannya niscaya luar biasa!” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala. Lalu dai berseru. “Sobat di atas pohon! Hati-hati! Harap kau turunkan sahabatku yang terkait di ujung ranting itu!”
Orang di atas pohon memandang ke bawah ke arah Wiro. Mulutnya menyeringai. “Di atas dunia , orang gila tidak punya sobat tidak punya sahabat!” katanya membalas seruan Wiro tadi.
“Edan!” maki Wiro dalam hati. “Orang di atas pohon! Kau melarikan sahabatku masih bisa kumaafkan. Tapi kalau kau mempermainkan jiwanya di ujung ranting itu dan samapai jatuh , saya akan menggebukmu hingga setengah mati!”
“Digebuk setengah mati itu justru enak! Yang tidak enak kan kalau digebuk mati betulan!” jawab orang gemuk di atas pohon.
“Gemuk konyol!” teriak Wiro. “Kalau sudah mampus kau mana bisa mencicipi enak atau tidak enak!”
“Eh! Makianmu menciptakan udara tambah panas!” kata orang di aas pohon kemudian kembali berkipas-kipas. “Jangan berani memaki lagi! Nanti saya kipas!”
“Kalau kau tidak segera menurunkan sahabatku itu dari atas pohon saya akan mengambilnya dan jangan menyesal kalau kau kebagian bogem mentah atau tendangan dariku.” Mengancam Wiro.
“Hidup delapan puluh tahun sekalipun saya tidak pernah menyesal. Lagi pula siapa percaya kalau orang ini ialah sahabatmu. Bisa kau membuktikan?!” bertanya si gemuk bulat di atas pohon.
“Persetan dangan urusan bukti membukti. Yang terperinci kau telah melarikan sahabatku itu. Kini kau mempermainkan jiwanya dan menggantungnya di ujung ranting!” Dalam pada itu Wiro jadi terheran-heran. Orang gemuk di aas pohon mengaku usianya delapan puluh tahun. Padahal melihat wajah dan keadaan kulit badannya paling bantar beliau berusia dua puluh lima tahun!”
“Ternyata kau bukan saja gila , tetapi juga tolol! Aku tidak merasa melarikan orang ini!”
“Lalu bagaimana beliau bisa tergantung di atas pohon sana. Dan kau juga ada di pohon itu!”
“Soal sama-sama di satu pohon bisa saja merupakan kebetulan!” jawab orang itu seenaknya kemudian tertawa gelak-gelak yang menciptakan Wiro tambah jengkel.
“Bagaimana beliau bisa tergantung di ujung ranting nanti kau bisa Tanya sendiri padanya kalau beliau sudah siuman! Sekarang kau lebih baik pergi! Ada lebih dari dua orang di tempat ini embuat udara jadi tambah panas!” Lalu si gemuk di atas pohon kembali berkipas-kipas.
“Kalau kau tidak mau menurunkan cowok sahabatku itu , terpaksa saya naik ke atas pohon!”
“Sudahlah , jangan banyak omong. Aku tahu kau ingin menolong orang ini lantaran tolong-menolong beliau ialah kekasihmu. Paling tidak kau sudah tergila-gila padanya!
Jangan kira saya tidak tahu siapa adanya orang yang kau katakan cowok ini!”
“Kunyuk berkopiah kupluk di atas pohon itu rupanya sudah tahu siapa adanya cowok itu. Jangan-jangan beliau sudah menggerayangi tubuh wanita itu!” Lalu Wiro bertanya. “Hai! Bagaimana kau tahu kalau cowok itu tolong-menolong ialah perempuan?”
Yang ditanya tersenyum-senyum kemudian menjawab. “Ada dua buah bisul besar di dadanyakiri kanan! Ha… ha… ha…!
Meskipun jengkel tapi Wiro tidak sanggup menahan ledakan tertawanya mendengar kata-kata orang di atas pohon. Selagi beliau tertawa bergelak , orang itupun ikut-ikutan tertawa. Tubuhnya bergoyang-goyang. Akibatnya ranting di mana cowok itu terkait ikut bergoyang-goyang. Wiro menahan nafas kawatir si cowok akan jatuh ke tanah. Karena tidak sabar lagi murin Eyang Sinto Gendeng segera melompat ke atas. Tangan kirinya didorongkan ke arah si gemuk. Satu gelombang angin menyambar. Dengan sigap Wiro pergunakan tangan kanannya untuk menyambar sosok tubuh cowok yang tergantung dalam keadaan pingsan di ujung ranting.
Orang gemuk berpakaian terbalik di atas pohon goyangan kaki kanannya.
Gerakannya hirau tak acuh. Tapi gerakan kaki itu tidak lain ialah satu serangan berbahaya yang mengeluarkan dan mengarah rusuk kiri Pendekar 212. Mau tak mau beliau terpaksa mengelak. Akibatnya sambaran tangan kanannya ke tubuh cowok tergantung di ujung ranting menjadi gagal.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya Wiro kembali melompat.
Tangan kiri lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tubuh si gemuk tampak bergoyang-goyang tapi hanya sesaat. Tiba-tiba dengan gerakan yang juga kelihatan hirau tak hirau beliau babatkan kipas di tangan kanannya ke bawah.
Murid Eyang Sinto Gendeng merassakan tubuhnya disambar angin sejuk. Lalu satu gelombang angin yang dasyat luar biasa menghantamnya dari atas. Dia coba bertahan. Kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya terbanting jatuh dan terjengkang di tanah!
Untuk beberapa ketika lamanya Wiro terhenyak nanar. Ketika beliau sadar cepatcepat beliau jatuhkan diri dan berguling menjauh , kalau dalam keadaan ibarat itu orang di atas pohon menghantamnya kembali niscaya beliau celaka. Tapi si gemuk itu tidak melancarkan serangan susulan malah kelihatan duduk bergoyang-goyang kaki sambil berkipas-kipas dan malah kini sambil bersiul-siul.
Wiro memutar otak. “Kalau kulawan orang gila itu dengan kekrasan mungkin saya akan menemui kesulitan. Jangan-jangan cowok di ujung ranting itu juga bakal celaka!” Wiro garuk-garuk kepala. Lalu beliau mendongak dan berseru. “Pangeran! Hari sudah hampir malam. Kalau malam dating hawa di sini tentu tambah panas.
Bagaimana kalau Pangeran segera kuantar pulang ke Istana dan cowok itu biar saya yang mendukungnya?!”
“Eh! Siapa yang memanggil saya dengan sebutan Pangeran!” Si gendut muka bulat di atas pohon memandang kian ke mari celingak celinguk dengan perilaku lucu dan tentunya tidak lupa berkipas-kipas.
“Saya yang memanggil Pangeran. Hamba sahaya Pengeran!” jawab Wiro dari bawah pohon.
Si gemuk tertawa gelak-gelak. “Manusia kampret tolol! Aku bukan Pangeran.
Tapi seorang Raja Di Raja!”
“Ah! Maafkan hamba sahayamu ini Pangeran. Hamba hingga lupa kalau gres kemarin saja kau telah diobatkan jadi Raja Di Raja ,” kata Wiro sambil menahan geli.
“Bagaimana Sri Baginda? Kita pulang sekarang? Permaisuri tentu sudah tak sabar menunggu Sri Baginda di atas tilam….”
“Lagi-lagi kau kampret tolol! Kau tahu saya Raja bujangan! Belum kawin!
Belu punya permaisuri! Mungkin…. Mungkin beliau akan kujadikan permaisuri!” kata si gemuk sambil menunjuk dengan ujung kipas pada cowok yang masih pingsan dan dikaitkannya di ujung ranting.
“Ah , lagi-lagi hamba berlaku tolol! Orang itu memang pantas menjadi permaisuri Sri Baginda. Tapi beliau dalam keadaan terluka. Apakah Sri Baginda tidak akan membawanya turun kemudian mengobatinya lebih dulu?!”
Si gemuk tampak terkejut. Dia mengusut sekujur tubuh cowok di ujung ranting. “Astaga! Kampret kau betul! Calon permaisuriku ini terluka pundak kirinya.
Harus diobati dengan cepat………”
“Izinkan hamba membawa turun sang permaisuri itu Sri Baginda ,” kata Wiro.
“Kampret! Aku tidak percaya padamu! Aku tidak mau permaisuriku disentuh makhluk macammu!” jawab si gemuk. Lalu beliau berkipas-kipas tiga kali berturut-turut.
Setelah itu beliau ulurkan tangan kirinya untuk mencekal leher pakaian si pemuda.
Dengan satu gerakan yang enteng mengagumkan orang gemuk ini melayang turun sambil membimbing tubuh si pemuda!
Begitu ampai di bawah si gemuk membaringkan tubuh si cowok di tanah.
Dia berpaling pada Wiro. “Hamba sahayaku!” katanya.
“Saya Sri Baginda…”
“Dari atas kulihat tampangmu jelek! Sudah dekat begini justru malah tambah jelek!
Wiro melengak jengkel tapi geli juga ada. Sambil garu-garuk kepala beliau berkata. “Sri Baginda , kita harus segera kembali ke Istana. Sebagai hamba sahaya , saya bersedia memanggul tubuh permaisuri. Tapi bila Sri Baginda belum percaya , silahkan pergi , apakah Sri Baginda tidak akan bersantap sekedar mengisi perut lebih dulu? Istana kita cukup jauh dari sini.”
“Istana kita cukup jauh dari sini katamu? Hemm….. Betul. Sekali ini kau betul kampret! Lalu santapan apa yang hendak kau berikan padaku?”
Di dekat sini ada sebatang pohon yang menghasilkan sejenis buah yang sangat manis. Dengan izin Sri Baginda saya akan pergi mengambilnya barang sua tiga buah…”
“bagus , pergilah cepat!” kata si gemuk yang menganggap dirinya sebagai aja Di Raja.
Wiro cepat menyelinap di antara semak belukar. Di satu tempat sebelumnya beliau telah melihat sebuah pohon yang berbuah merah. Dia tidak tahu nama buah itu namun beliau tahu kalau buah yang rasanya enak dan sangat manis itu kalau dimakan maka dalam waktu beberapa ketika saja orang yang memakannya akan mulas perutnya kemudian akan bocor terus-terusan hingga isi perutnya kosong!
Tapi gres saja Wiro bergerak dua langkah si gendut tiba-tiba terdengar memanggil. “Tunggu!”
“Sial! Apa lagi maunya si gendut ini. Atau mungkin beliau tahu kalau hendak ditipu?!”

DELAPAN

Wiro hentikan langkah dan berbalik. “Ada apa Sri Baginda memanggil saya?” tanaya Wiro.
“Permaisuriku…..”
“Kenapa dengan permaisuri Sri Baginda?” Tanya Wiro “Kampret! Tadi kau bilang permaisuriku terluka dan harus segera diobati!”
“Ah , maafkan hamba Sri Baginda. Apakah Sri Baginda segera hendak mengusut lukanya?”
“Coba kau telungkupkan tubuhnya! Tapia was kalau kau coba meraba-raba tempat-tempat yang terlarang!
Wiro menyeringai. “Masakan hamba berani berlaku kurang didik terhadap seorang calon permaisuri!” kata Wiro pula. Lalu dengan hati-hati tubuh si cowok dibalikannya hingga kini terbujur menelungkup. Si gendut jongkok di samping kiri.
Dengan ujung kipasnya dikuakkannya pakaian yang robek di pundak kiri. Kelihatan luka yang cukup dalam di pundak itu.
“Hemm…… Kalau saya tahu siapa orang yang melukai pundak calon permaisuriku ini , akan kupatahkan batang lehernya!” kata si gendut. Lalu beliau berlutut dan angkat tangan kanan yang memegang kipas. Perutnya yang gendut tampak mengempis. Wiro maklum kalau orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Srettt!”
Kipas di tangan si gendut membuka kemudian kipas ini diusapkannya kesekujur tubuh si cowok yang tertelungkup , mulai dari kepala hingga ke ujung kaki. Selesai mengusap si gendut lipat kembali kipasnya dan selipkan benda ini di pinggang celananya yang terbalik.
Masih dalam keadaan berlutut si gendut kemudian usap-usapkan tangannya satu sama lain. Ketika telapak tangan itu diangkat Wiro melihat warna kulit telapak kanan telah bermetamorfosis sangat merah dan mengeluarkan asap. Ada hawa hirau taacuh keluar dari telapak tangan kanan itu yang terasa hingga tempat Wiro berdiri.
Perlahan-lahan si gendut menurunkan tangan kanannya. Telapak tangan kanan ditempelkan di luka pada pundak kiri si pemuda. Kemudian perlahan-lahan tangan itu diangkat. Ketika tangan kanan diangkat , Wiro jadi melengak. Luka di pundak kiri si cowok sembuh sama sekali. Bahkan bekasnyapun tak kelihatan. Meski sudah sembuh tapi si cowok masih tetap tertelungkup pingsan.
“Si gendut gila ini benar-benar mempunyai kesaktian ibarat Dewa!” kata Wiro dalam hati penuh kagum. “Siapa beliau sebenarnya. Eyang rasa-rasanya tak pernah menceritakan perihal insan satu ini….” Lalu Wiro bertanya. “Sri Baginda , apakah kini hamba boleh pergi mengambil buah untuk santapan Sri Baginda itu?”
“Ya , kau boleh pergi sekarang….” Jawab si gendut tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok tubuh si cowok yang tergeletak di tanah.
Wiro segera berlalu. Tak lama kemudian beliau muncul membawa tiga buah berkulit merah dan keras. Wiro pecahkan buah pertama. Kelihatan isinya yang putih dan menebar anyir harum. Tenggorokan si gendut kelihatan turun naik. Begitu Wiro menyerahkan buah itu serta merta dimakannya sengan rakus hingga mulutnya mengeluarkan bunyi menyiplak.
“Enak sekali. Manis sakali! Buah apa ini namanya? Tanya si gendut. Sebentar saja buah pertama itu sudah lenyap ke dalam perutnya. Dia mengulurkan tangan minta buah kedua. Wiro segera menawarkan buah kedua. “Ah luar biasa sedapnya!” kata si gendut dengan mata hingga terbalik-balik.
“Satu lagi Sri Baginda……”
Si gendut mengangguk tapi kepalanya kelihatan miring ke kiri dan matanya kini terbalik-balik lain , tidak ibarat tadi lagi. Tiba-tiba beliau letakkan kedua tangan di atas perut. “Mulas! Perutku mulas!” Kampret! Buah apa yang kau berikan padaku?”
Si gendut hendak marah. Tapi perutnya yang mulas tidak tertahankan menciptakan beliau salah tingkah. “Sialan!” teriaknya.
“Ikuti hamba Sri Baginda. Ada tempat yang kondusif untuk buang hajat…” kata Wiro kemudian ditariknya tangan si gendut dan dibawanya menyusup ke balik beberapa semak belukar. Di balik serumpunan semak belukar lebat beliau berhenti. “Nah di sini tempat yang baik Sri Baginda. Tak ada yang melihat Raja buang hajat besar di sini….”
“Eh , kau mau kemana?” Tanya si gendut sambil melorotkan celananya.
“Hamba akan mencari air untuk pembersih Sri Baginda!” jawab Wiro.
“Tak usah air. Daun saja!” kata si gendut pula. Lalu mulai jongkok.
“Daun di hutan ini kebanyakan ada bulunya Sri Baginda. Hamba takut nanti selangkangan Sri Baginda jadi lecet dan Sri Baginda punya perabotan menjadi bisul dan gatal!”
“Ah sudah ! Pergi sana! Jangan lama-lama….”
Si gendut mengerenyit. Perutnya mulas sekali tapi yang mau dikeluarkan ibarat macet.
Begitu lenyap dari pemandangan si gendut Pendekar 212 Wiro Sableng segera lari ke tempat di mana cowok tadi masih tergeletak pingsan. Dengan cepat dipanggulnya tubuh cowok itu kemudian berkelebat lenyap di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar.
Di sebelah timur di potongan hutan yang sunyi Wiro henikan larinya. Saat itu sudah memasuki rembang petang. Dia melihat cowok itu mengerakkan kepalanya sedikit ketika dibaringkan di tanah.
“Aku harus benar-benar memastikan beliau memang permpuan…” kata Wiro dalam hati. Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menganggalkan kain epilog kepala si pemuda. Begitu kepalanya tersingkap kelihatanlah rambutnya yang hitam panjang. Wiro membelai rambut itu dan menariknya dengan hati-hati.
Ternyata rambut itu panjangnya hingga ke pinggang. Dan wajah si cowok kini kelihatan aslinya. Wajah seorang permepuan muda berparas manis sekali.
“Hemmm….” Wiro garuk-garuk kepala. Selagi beliau berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya tiba-tiba wanita itu membuka kedua matanya. Pandangannya membentur Wiro. Mulutnya terbuka hendak menjeri. Wiro cepat menekap mulutnya seraya berkata. “Saudara jangan takut. Aku bukan orang jahat. Aku seorang sahabat….
Tekapanku akan kulepaskan. Tapi ingat , jangan menjerit….” Wiro kawatir kalau ssampai wanita itu mengeluarkan jeritan akansempat terdengar si gendut gila berkepandaian tinggi itu. Wiro belum lepaskan tekapannya lantaran dirasakannya lisan wanita itu bergerak-gerak entah hendak menyampaikan sesuatu entah hendak berteriak.
“Dengar namaku Wiro Sableng. Aku menemukanmu di kali sewaktu kau diserang oleh tiga orang yang saya tidak kenal…..”
Sepasang mat aperempuan itu terpejam sesaat. Perlahan-lahan Wiro melepaskan tekapannya. Perempuan itu coba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Lalu tangan kanannya meraba ke pundak kiri. Wiro cepat berkata. “Waktu kau melompat ke dalam perahuku , salah seorang penyerang berhasil melukai pundak kirimu. Tapi kini luka itu sudah sembuh. Ada seorang sakti yang mengobatimu!”
“Orang sakti? Bukan kau…?” Tanya wanita itu dengan bunyi halus perlahan.
“Bukan , saya idak mempunyai ilmu sehebat dia….”
“Sekarang dimana orang sakti itu…?”
“Jauh di dalam hutan sana. Aku sengaja membawamu lari daridia lantaran beliau hendak mengambilmu jadi permaisuri….”
Perlahan-lahan wanita itu bangun dan duduk di tanah. “Kau jangan bicara ngacok!”
“Aku tidak ngacok Saudari ,” jawab Wiro. “Aku akan ceritakan padamu apa yang telah terjadi sesudah kau jatuh pingsan dihantam batangan pohon. Tapi saya ingin kau memberi tahu namamu lebih dulu….”
“Saudari….?!” Tiba-tiba wanita itu saperti ingat sesuatu. Diraba kepalanya. Baru disadarinya rambutnya yang hitam panjang telah tersingkap dan tergerai lepas. Sesaat wajahnya tampak berubah. Dia juga ragu-ragu untuk
menyampaikan namanya. “Jangan-jangan kau ialah kaki tangan Kebo Panaran dan kawan-kawannya….”
“Siapa Kebo Panaran?” Tanya Wiro.
Yang ditanya tidak menjawab. Dia memandang jauh ke depan. Lalu tampak kedua matanya berkaca-kaca. Tidak sanggup membendung tangisnya karenanya wanita muda ini menangis. Mula-mula perlahan , tapi lama-lama tangisnya jadi keras.
Wiro melangkah galau mundar mandir sambil garuk-garuk kepala. “Saudari hentikan tangismu. Kalau terdengar oleh orang itu urusan bisa jadi berabe. Aku tak akan sanggup lagi menolongmu!”
Perempuan muda yang duduk di tanah mengusap pipi dan kedua matanya.
Suara tangisnya perlahan-lahan menyurut. “Aku tak bisa mengingat lagi… Ceritakan apa yang terjadi selama saya pingsan.”
Wiro kemudian menuturkan apa yang terjadi yatiu semenjak beliau melihat permpuan itu diserang oleh tiga penunggang kuda samapi beliau diculik oleh si gendut gila dan karenanya berhasil dilarikan oleh Wiro hingga ke tampat itu.
“Kau telah menolongku. Aku tak athu harus berterima kasih begaiman. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini…”
“Kita bisa pergi sebentar lagi. Kau tak ingin menceritakan mengapa sebelumnya kau menyamar sebagai seorang pemuda?”
Perempuan itu meraba rambutnya kembali. “Orang-orang yang menyerangku di pinggir kali , salah satu diantaranya ialah insan terkutuk Kebo Panaran itu. Dua lainnya Bargas Pati dan Legok Ambengan. Manusia-manusia jahanam! Aku bersumpah untuk membunuh mereka…”
“Rupanya ada satu masalah besar antara kau dangan orang-orang itu?”
Perempuan itu mengangguk. “Perkara besar. Amat besar ,” katanya perlahan.
“Jika kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa. Tapi saya punya firasat kau berada dalam ancaman besar…”
Perempuan itu termangu sesaat. “Sejak dilahirkan saya sudah hidup dalam bahaya. Kedua orang tuaku tewas dalam perang saudara. Selama masa peperangan saya dibawa ke mana-mana. Setelah saya kawin ternyata hidupku tidak terlepas dari bahaya…”
‘Maafkan saya , saya kira kau masih gadis…” kata Wiro sambil tersenyum dan menggaruk kepala. Ucapan ini menciptakan wanita di hadapannya menjadi merah parasnya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan. “Kau ingin kita segera pergi dari sini kini juga?”
“Tunggu , ada hal penting yang ingin kutanyakan. Tentang nenek berjubah hitam dan berambut kasar itu. Ketika kau berkelahi dengan beliau apakah kau menciderainya?”
“Tidak. Ada keraguan pada diriku ketika itu. Kawatir kalau beliau memang gurumu…”
“Dia memang guruku walau hanya sempat mengajarku lima silat selama tiga bulan…” kata wanita muda itu pula. “Aku harus segera mencarinya. Aku butuh bantuannya menghadapi tiga insan terkutuk itu.”
Wiro hanya berdiam diri. Perempuan di depannya menatap wajahnya beberapa lama kemudian bertanya. “Kau kecewa kalau saya tidak mau menceritakan siapa diriku dan apa yang telah terjadi padaku?”
Wiro hanya tersenyum dan gelengkan kepala.
“Kurasa kau orang baik dan mungkin bisa kupercaya. Baiklah , akan kukaakan siapa diriku. Namaku Antini. Suamiku Lor Kameswara. Tapi beliau sudah tewas.
Dibunuh secara keji oleh Kebo Panaran dan tiga kawannya….”

SEMBILAN

Bukit kecil subur itu terletak di sebelah barat Kali Bogowonto , tak berapa jauh dari Banyuurip. Di sebuah rumah seorang lelaki berusia sekitar setengah periode tengah membersihkan biji-biji kopi dalam tiga buah keranjang besar. Dia telah melaksanakan pekerjaan itu semenjak pagi. Kelihatannya pekerjaan ringan saja tetapi cukup melelahkan dan menciptakan tubuhnya pegal serta keringatan.
Karena tenggorokannya terasa kering lelaki ini mengambil kendi tanah berisi air putih kemudian meneguknya. Selagi beliau meneguk air inilah kedua matanya melihat lima orang penunggang kuda muncul di kaki bukit sebelah barat dan bergerak ke arah rumahnya.
Tak berapa lama kemudian muncul lima penunggang kuda itu sudah memasuki halaman. Ternyata mereka empat orang lelaki berpakaian kumal berambut panjang riap-riapan dan bertampang sangar. Yang satu lagi seorang wanita berpakaian dan berikat kepala kuning. Wajahnya tak kalah menakutkan dengan empat lelaki itu.
Kelima penunggang kuda berhenti di depan rumah kemudian turun dari kuda masing-masing. Yang sebelah depan yaitu yang berubuh tinggi hitam , berewok dan berkumis tebal berdiri berkacak pinggang sementara tiga lainnya tegak sambil menyeringai.
“Lor Kameswara! Kau tidak mengenali kami lagi?!” Tanya si berewok dengan bunyi lantang.
“Astaga! Kalau tidak mendengar suaramu saya hampir lupa! Kebo Panaran!”
menyahut lelaki di dalam rumah kemudian melompat berdiri , menubruk dan merangkul si tinggi hitam berewok. Dia juga memeluk empat orang lainnya sambil menyebut nama mereka satu persatu. “Bargas Pati , Tunggul Anaprang , Legok Ambengan dan Ambar Parangkuning!”
Orang yang terakhir yakni wanita berbaju kuning yang pada pinggangnya bergelantungan selusin pisau belati tertawa tinggi kemudian berkata. “Tidak salah kalau beliau tidak mengenal kita lagi. Habis , tampang dan pakaian kita dekil lecak ibarat ini! Hik…hik…hikkk!
Empat kawannya menyeringai sedang si pemilik rumah yang berjulukan Lor Kameswara tertawa lebar. Dia mempersilahkan kelima orang itu masuk dan duduk di atas sehelai tikar lebar.
“Kau kelihatan hidup tentram di sini Lor Kameswara ,” kata lelaki berjulukan Bargas Pati. Kepalanya botak. Tubuhnya gemuk. Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala serba merah.
Yang berjulukan Legok Ambengan ulurkan kepalanya ke dekat keranjang kopi.
“Kau sudah jadi petani kopi rupanya. Dan sedang panen! Wah , kami tiba sempurna pada waktunya untuk sanggup menikmati kopi hasil kebunmu!”
“Jangan kawatir. Akan ku buatkan kopi untuk kalian berlima ,” kata Lor Kameswara. Lalu di bertanya “Selama ini kemana saja kalian menghilang?”
“Siapa bilang kami menghilang!” kata Kebo Panaran sambil mengusap berewoknya. Dia berpaling pada mitra yang duduk di sebelahnya. “Legok , coba kau katakana pada bekas pimpinan kita ini apa saja yang kita lakukan selama ini!”
Legok Ambengan yang berpakaian serba hijau dengan dua golok tersisip di pinggangnya kiri kanan bersandar ke dinding rumah. Sambil melunjurkan kedua kakinya beliau berkata “Satu bulan sesudah pertemuan kita terakhir , kami berhasil menjebak serombangan pasukan kerajaan. Mereka berjumlah dua belas orang dan membawa barang-barang cukup berharga. Setelah itu kami berhasil menyusup masuk ke dalam rumah kediaman Pangeran Blorong. Sejumlah harta dan uang kami rampas.
Bahkan dua orang selir sang Pangeran sempat kami ajak berkeliling selama dua bulan.
Kami juga sempat bergabung dengan para penjahat di hutan sebelah utara. Kami berhasil mengumpulkan sejumlah harta kekayaan. Digabung dengan yang kita dapatkan di masa perang tempo hari , kita berlima , berenam dengan kau boleh dibilang sudah jadi orang-orang kaya baru…”
“Kalau begitu kalian semua bisa menjalani hidup senang , tak perlu bekeliaran lagi” kata Lor Kameswara.
“Maunya memang begitu” menyahuti Kebo Panaran. “Tapi kami merasa peperangan belum selesai. Itu pula sebabnya kami dating menemuimu. Kau bekas pimpinan kami di masa perang. Sampai ketika ini kami tetap menganggapmu sebagai pemimpin. Kami tiba untuk minta kau pimpin kembali guan melanjutkan perjuangan”
Sesaat Lor Kameswara ibarat tercengang mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu. “Kawan-kawan , sakit hai kita terhadap Raja yang kini memang tak bisa lenyap samapi kapanpun. Tetapi ialah sanagat berbahaya kalau kalian menjalani hidup sebagai penjahat dan perampok malah berani memasuki tempat kediaman Pangeran Blorong menculik dua selirnya dan membunuh pasukan kerajaan. Kalian akan jadi target pengejaran seumur hidup. Kalian bisa celaka. Kita semua bisa celaka!”
“Kau kedengarannya ibarat takut pada kerajaan , Lor Kameswara. Mana keberanian yang pernah kau tunjukkan di masa perang dahulu?”
“Kebo Panaran , kini keadaan sudah berubah ,” kata Lor Kameswara pula.
“Maksudmu berubah bagaimana?” Tanya Legok Ambengan. “Apanya yang berobah. Kau bilang perang sudah berakhir. Kami menyampaikan tidak!”
“Kau keliru Legok. Perang nyata-nyata telah berakhir semenjak jatuhnya Sri Baginda yang lama tewas di tangan Raja yang kini memerintah. Ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri sahabat-sahabatku!”
Kebo Panaran tertawa. “Kau keliru Lor Kameswara. Apa kau tidak tahu bagaimana sisa-sisa perajurit kerajaan yang masih setia dengan Raja lama kini menyusun kekuatan. Di mana-mana mereka melaksanakan perang susup atau perang gerilya. Walau bertahap tetapi secara niscaya mereka menggerogoti kekuatan Kerajaan hingga satu ketika akan lumpuh dan hancur!”
“Kekuatan pasukan yang setia pada Sri Baginda lama terlalu kecil. Terpencarpencar.
Mereka gampang dihancurkan oleh pasukan Kerajaan.”
Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. “Buktinya hingga ketika ini pasukan Kerajaan tidak bisa menghancurkan kami berlima!”
“Mungkin kini tidak sahabatku! Ta pi percayalah. Kerajaan kini benar-benar kuat. Mereka mempunyai perajurit yang terlatih , perwira yang tangguh serta dibantu oleh belasan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi…”
“Itu betul ,” memotong Bargas Pati. “Tetapi apakah kita akan jadi patah semangat hanya lantaran kelemahan yang tidak berarti itu? Kita bisa mengumpulkan harta dan uang untuk membeli atau menciptakan senjata. Untuk menggembleng semua perajurit kita bahkan kalau perlu membeli perwira dan okoh silat Kerajaan!”
“Aku yakin tidak semudah itu melakukannya sahabat-sahabat ,” kata Lor Kameswara pula.
“Sudahlah , tak usah kita ributkan lagi soal apakah perang sudah selesai atau belum. Yang terperinci kami minta kau jadi pemimpin kami kembali. Kita akan kumpulkan kawan-kawan. Bentuk pasukan baru. Kita niscaya menang Kameswara.”
Yang bicara ialah Ambar Parangkuning.
Di masa perang saudara antara Ambar Parangkuning dan Lor Kameswara terjalin relasi mesra. Tapi relasi itu keburu diketahui oleh istri Lor Kameswara sehingga wanita ini dalam marahnya melarikan diri. Malang baginya di tengah jalan beliau diserang penyakit menular dan karenanya menemui ajal. Lor Kameswara merasa sangat bersalah dan berdosa besar. Setelah perang selesai beliau sama sekali tidak mau melanjutkan relasi dengan Ambar Parangkuning walau wanita ini tolong-menolong sangat mengharapkan untuk diambilnya jadi istrinya. Lor Kameswara sendiri kemudian mengucilkan diri di tempat sepi.
“Maafkan saya Ambar ,” menjawab Lor Kameswara. “Aku sudah terlalu bau tanah memimpin satu usaha yang sia-sia. Kebo Panaran bisa kalian jadikan pemimpin baru. Aku ingin di sisa usiaku menikmati hidup yang tenteram….. Aku akan hidangkan kopi untuk kalian.” Lalu Lor Kameswara berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian beliau keluar lagi membawa sebuah nampan kayu. Di atas nampan terdapat enam buah cangkir tanah dan sebuah teko besar berisi kopi panas. Di atas nampan itu masih ada sebuah piring kaleng besar berisi pisang goreng.
Kepulan asap kopi yang harum serta sedapnya anyir pisang goreng menciptakan air liur kelima orang itu jadi berdecak.
Hidung mereka kembang kempis. Dan mata mereka tiba-tiba saja menjadi membesar. Seorang wanita sanga muda , mungkin masih gadis , berkulit kuning langsa dan berwajah manis sekali serta mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan melangkah di belakang Lor Kameswara. Orang-orang itu bertanya-tanya siapa adanya si jelita yang berdasarkan dugaan mereka berusia sekitar dua puluh tahunan itu.
Kebo Panaran mengusap berewoknya. Kedua matanya tak berkesip. Tunggul Anaprang membasahi bibir dangan ujung pengecap berulang kali sedang Legok Ambengan dan Bargas Pati seperi orang tersirap sihir , memandang tak bergerak dan tak berkedip. Ambar Parangkuning tampak hening saja. Namun belakang layar dalam dadanya muncul satu getaran rasa cemburu.
“Tidak kusangka kau menyimpan seorang dara jelita di rumah ini , Lor Kameswara!” kata Kebo Panaran pada Lor Kameswara tetapi matanya memandang pada wanita itu dengan pandangan mata ibarat hendak menelanjangi.
“Kami tahu dari istrimu dulu kau tidak mempunyai anak. Siapa gerangan bidadari ini Kameswara?” Tanya Tunggul Anaprang pula sambil mengusap muka yang pucat berulang kali.
Lor Kameswara tersenyum. “Ini Antini , istriku….” Menerangkan Lor Kameswara.
Karena tidak mengira sama sekali , karuan saja keempat lelaki itu jadi terkejut dan ada yang keluarkan seruan tertahan. Sementara itu paras Ambar Parangkuning kelihatan berubah.
“Istrimu katamu Kames?” Tanya Bargas Pati.
“Betul…?” Lor Kameswara meletakkan nampan di lantai yang beralaskan tikar. Kelima kawannya jadi saling pandang.
“Kini saya tahu. Rupanya ini sebabnya. Kau tak mau lagi meneruskan usaha , tak mau lagi ikut perang lantaran kini kau sudah punya istri manis jelita!” kata Kebo Panaran.
“Boleh saja kau bilang begitu. Tapi alasanku tadi sudah kukatakan. Aku ingin hidup tenteram….”
Tunggul Anaprang menyeringai. “Usia kalian niscaya terpaut jauh. Istrimu ini tolong-menolong pantas jadi anakmu! Ha… ha… ha!”
Paras istri Lor Kameswara jadi merah mendengat kata-kata itu. Lor Kameswara sendiri merasa tidak enak dengan ucapan Tunggul Anaprang tadi. Namun beliau hening saja. “Antini masih keponakan mendiang istriku. Dia anak baik. Kami tahu perbedaan umur kami yang menyolok. Tetapi beliau merasa berjodoh denganku. Kalau tidak ada beliau , siapa yang akan merawat tubuh keropok ini!”
“Kau benar-benar bau tanah bangka yang beruntung…” kata Legok Ambengan sementara Lor Kameswara menyuruh istrinya menuangkan kopi hangat ke dalam enam cangkir tanah.
“Selagi masih hangat silahkan kalian minum kopinya. Juga pisang gorengnya semoga dicicipi ,” mempersilahkan tuan rumah.
Namun tidak ada satu orangpun yang bergerak. Kecuali Ambar Parangkuning , leleaki yang lima itu sama memperhatikan Antini melangkah masuk ke dalam rumah.
Betisnya yang putih bagus dan tersingkap ketika melangkah menciptakan para lelaki yang selama ini hanya berada dalam rimba belantara menjadi terangsang dan berangan-angan kotor. Beberapa lama kemudian gres mereka meneuk minuman masing-masing.
“Sedap sekali kopi buatan istrimu ,” memuji Legok Ambengan. “Kapan saya bisa mendapatkan istri ibarat istrimu itu!” Ucapan lelaki ini menciptakan kawankawannya yang lain tertawa bergelak. Tetapi mereka tolong-menolong tengah karam dalam jalan pikiran masing-masing. Ketika Kebo Panaran memandang padanya , Legok Ambengan kedipkan mata kirinya. Kebo Panaran yang maklum akan arti kedipan mata itu membalas dengan seringai. Tiba-tiba Kebo Panaran berdiri. “Aku ingin mencuci muka. Wajahku terasa lengket oleh debu jalanan. Di mana letak sumur?”
“Di halaman belakang. Mari kuantar ,” kata Lor Kameswara pula.
“Tak usah , saya bisa pergi sendiri!” Lalu Kebo Panaran bergegas masuk ke dalam rumah , terus menuju halaman belakang. Tetapi tolong-menolong bukan mencari sumur itu yang hendak dilakukannya. Melainkan beliau ingin melihat Antini yang manis jelita tadi , yang telah memperabukan aliran darahnya.
Istri Lor Kameswara itu ternyata berada tidak jauh dari sumur di halaman belakang , tengah menampi beras membelakanginya. Begitu samapi di dekat Antini , pribadi saja wanita ini disergap dirangkulnya. Tentu saja wanita ini terkejut dan terpekik keras. Tampian beras yang dpegangnya terlepas jatuh dan beras berserakan di tanah.
Di serambi depan Lor Kameswara melompat dari duduknya begitu mendengar bunyi jeritan istrinya dari belakang rumah. Namun gres saja beliau hendak berdiri , Bargas Pati , Legok Ambengan dan Tunggu Anaprang telah mendahului dan tegak mengurungnya. Hanya Ambar Parangkuning yang masih tetap duduk di atas tikar.
Perempuan ini tolong-menolong sudah maklum apa yang terjadi di belakang sana dan apa yang hendak dilakukan tiga kawannya itu. Hatinya tolong-menolong tidak suka namun kebencian lantaran merasa dilupakan begitu saja oleh Lor Kameswara menciptakan beliau tidak melaksanakan apa-apa.
Di belakang sana kembali terdengar jeritan Antini.
“Minggir!” hardik Lor Kameswara sambil berdiri. Tapi Legok Ambengan cepat menekan kedua bahunya dari belakang.
“Kau hendak kemana Kameswara? Tenang-tenang saja di sini. Obrolan kita belum selesai…’ kata Legok Ambengan. Lor Kameswara merasa kedua bahunya ibarat ditekan oleh dua watu besar yang beratnya puluhan kati. Jelas Legok Ambengan telah mengerahkan tenaga dalamnya.
“Singkirkan kedua tanganmu Legok!” hardik Lor Kameswara.
“Tidak , kecuali kalau kau menyampaikan akan bersedia menjadi pimpinan kami lagi dan berperang melawan Kerajaan!”
Di halaman belakang lagi-lagi terdengar jeritan Antini.
“Keparat! Aku tahu ada maksud kotor dan busuk dalam diri kalian berlima!
Awas! Jika terjadi sesuatu dengan istriku kalian semua akan kubunuh!” Habis berkata begitu Lor Kameswara tarik kedua tangan Legok Ambengan yang masih menekan bahunya kemudian sambil menjatuhkan diri beliau membetot orang yang di belakangnya itu.
Gerakan Lor Kameswara secepat kilat dan daya tariknya luar biasa. Orang lain niscaya akan terbetot dan terbanting ke lantai. Tapi tidak demikian dengan Legok Ambengan.
Tubuhnya memang terbanting ke depan tapi tidak hingga terhampar di lantai serambi.
Kedua kakinya menciptakan gerakan cepat dan beliau berhasil tegak , bersamaan dengan bangkitnya Lor Kameswara.
Karena Legok Ambengan perlu ketika untuk mengimbangi dirinya , maka kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Kameswara untuk menghantam lelaki ini dengan satu jotosan keras kea rah dadanya.
“Bukkk!”
Legok Ambengan terlempar. Dari mulutnya keluar seruan kesakitan disusul dengan mengucurnya darah dari mulut. Jelas beliau mengalami luka di dalam yang parah.
Tetapi insan ini ibarat mempunyai kekuatan aneh. Secara luar biasa beliau menerjang ke depan sambil menyemburkan darah yang ada dalam mulutnya ke muka Lor Kameswara. Ludah campur darah menodai wajah Lor Kameswara.
Mendidih darah bekas perwira Kerajaan ini. Didahului bentakan keras Lor Kameswara kembali hendak menggasak orang di depannya itu. Namun dari kiri kanan ketika itu Tunggul Anaprang dan Bargas Pati bergerak cepat dan lancarkan serangan tangan kosong yang dahsyat.
Sebagai seorang bekas perwira Kerajaan Lor Kameswara memang mempunyai kepandaian tinggi disbanding dengan kawan-kawannya seperjuangan dulu. Namun dikeroyok tiga menciptakan beliau serta merta terdesak.
“Aku tidak harus melayani masing-masing keparat ini. Aku harus menolong Antini. Sesuatu terjadi di belakang sana!” kata Lor Kameswara dalam hati. Kaki kanannya menendang mencari target di perut Legok Ambengan. Serentak dengan itu tangan kirinya menderu ke arah kepala Bargas Pati. Selagi kedua orang ini menciptakan gerakan menghindar Lor Kameswara lepaskan pukulan tangan kosong ke arah Tunggul Anaprang. Serangkum anagin menderu keras. Tunggul anaprang sudah tahu kalau bekas pimpinannya itu mempunyai tenaga dalam lebih tinggi darinya. Dia tak berani menangkis karenanya cepat mengelak dangan melompat ke samping. Selagi dua orang lainnya belum sempat berbuat sesuatu Lor Kameswara cepat menerjang dan lari ke dlaam rumah , terus berkelebat ke halaman belakang.
“Kebo Panaran keparat! Kubunuh kau!” teriak Lor Kameswara ketika menyaksikan apa yang terjadi di halaman belakang dekat sumur.

SEPULUH

Kebo Panaran ibarat orang kemasukan setan merobek pakaian Antini. Nafsu mesum semakin memperabukan tubuh lelaki ini begitu dada istri Lor Kameswara itu tersingkap lebar. Saat itu Legok Ambengan , Bargas Pati , Tunggul Anaprang serta Ambar Parangkuning sudah berada pula di halaman belakang itu. Tiga lelaki ini menahan nafas menyaksikan keindahan dada Antini.
“Kebo! Jangan kau makan sendiri daun muda berwajah bidadari itu!” seru Tunggul Anaprang. Lalu beliau melompat dan mendekap Antini dari samping dan menciumi oeremouan ini. Di ketika yang sama Lor Kameswara telah menyerbu Kebo Panaran dengan kemarahan yang tidak sanggup dilukiskan. Tinjunya menderu ke arah muka Kebo Panaran. Perkelahian seru segera terjadi tanpa Lor Kameswara menyadari bahwakeadaan istrinya yang sedang dibelanya itu justru ketika itu makin berbahaya.
Tunggul Anaprang , Bargas Pati dan Legok Ambengan berebut cepat menggerayangi tubuh Antini yang benjerit-jerit tiada henti hingga suaranya serak.
“Manusia-manusia iblis!” kertak Lor Kameswara. Dia memutar tubuh meninggalkan Kebo Panaran , berkelebat ke arah Legok Ambengan. Tangannya bergerak cepat menyambar satu dari dua golok yang tergantung di pinggang Legok.
Dengan senjata itu kemudian beliau mengamuk. Melihat hal ini Kebo Panaran dan kawankawannya segera pula menghunus senjata masing-masing. Kebo Panaran mencabut golok besarnya. Tunggul Anaparang loloskan rantai besi yang menggelung pinggangnya. Bargas PAti cepat keluarkan celurit besarnya sedang Legok Ambengan juga sudah mencabut goloknya yang kini hanya tinggal satu.
Kini perkelahian baralih dari hanya mempergunakan tangan kosong menjadi perkelahian dengan senjata tajam. Saat itu hanya Ambar Parangkuning yang tidak ikut mengeroyok dan tetap tegak di tempatnya.
“Antini! Lari….. Selamatkan dirimu!” teriak Lor Kameswara ketika beliau menyadari dirinya mulai terdessak. Tapi sang istri malah belas berteriak “Kangmas Kames. Saya menentukan mati bersamamu……” Lalu wanita muda ini menyambar sebilah bendo yang tersisip di dinding belakang rumah. Namun belum sempat beliau menyentuh senjata ini Tunggul Anaprang melompat dai kalangan perkelahian dan menyambar pinggangnya. Kedua orang itu jatuh beulingan di tanah. Celakanya , ketika berada di sebelah atas! Langsung saja beliau menciumi dan menggerayangi tubuh Antini.
“Kangmas Kames! Tolong…. Tolong!”
“Tunggul! Setan kau!” teriak Lor Kameswara. Dia tidak perdulikan lagi para pengeroyoknya , pribadi saja beliau berkelebat ke kanan untuk menolong istrinya yang tengah dinodai oaring. Namun ketika itu pula clurit di tangan Bargas Pati menyambar.
Lor Kameswara masih sempat melihat datangnya senjata lawan. Dia mengelak tapi terlambat. Ujung clurit membabat pipi kirinya. Darah mengucur deras dari luka yang terbuka. Antini menjerit keras.
Selagi Lor Kameswara tertegun sempoyongan sambil pegangi wajahnya yang koyak. Golok yang tadi dipegangnya sudah terlepas jatuh. Saat itulah Kebo Panaran dating dari samping menusukkan goloknya ke perut Lor Kameswara.
“Jangan bunuh dia!” Satu bunyi membentak.
“Heh?!” gerakan tangan kanan Kebo Panaran sesaat terhenti. Dia berpaling ke samping , “Heh?! Betul kau yang barusan bicara Ambar?!”
Ambar Parangkuning memandang tajam dan tak berkesip pada Kebo Panaran menciptakan sesaat lelaki ini jadi tertegun.
“Rupanya kau masih mengasihi beliau , Ambar?!”
“Saat ini kita bukan bicara soal cinta Kebo! Tapi soal persahabatan dan kehormatan! Betapa keji pribadimu hendak membunuh mitra dan bekas pimpinan sendiri! Lebih busuk lagi lantaran kau belakang layar mengatur untuk menodai istrinya!
Aku tidak suka hal ini!”
“Jika kau tidak suka , kau boleh pergi dari sini! Tunggu saja di halaman depan hingga kami seleai!” Yang bicara ialah si botak Bargas Pati.
“Kalian biadab semua! Rutuk Ambar Parangkuning kemudian putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lor Kameswara mencicipi tubuhnya lemas akhir banyaknya darah yang keluar dari luka di pipinya. Walau amarahnya masih mendidih namun beliau ibarat lumpuh dan tak bisa melawan ketika tendangan Legok Ambengan menghanam pinggangnya sebelah belakang. Tubuhnya terhantar di tanah. Lalu satu tendangan pada kepalanya menciptakan pemandangannya serta merta gelap. Megap-megap dan boleh dikatakan sudah setengah pingsan Lor Kameswara coba bangun. Namun bacokan golok Kebo Panaran ke lehernya mengakhiri semuanya. Darah menyembur muncrat dari batang leher Lor Kameswara. Bekas perwira yang malang ini terguling di tanah tanpa berkutik lagi.
Melihat suaminya menemui kematian ibarat itu ditambah beliau tidak bisa melepaskan diri dari cengekraman Tunggul Anaprang , Antini ibarat gila hanya bisa menjerit serak.
“Bunuh! Bunuh saja aku!” teriak wanita muda berusia dua puluh tahun ini.
Kebo Panaran tertawa mengekeh. Sambil menyeka golok berdarahnya ke celana hitamnya orang ini melangkah mendekati Tunggul Anaprang yang masih bersama Antini.
“Jangan rakus! Jangan dimakan sendiri Tunggul!” kata Kebo Panaran sambil mencekal baju biru Tunggul Anaprang kemudian menariknya ke atas kemudian dibanting lagi ke tanah! Dan berkata “Kau dan yang lain-lainnya gotong mayat Kameswara dan cemplungkan ke dalam sumur!”
“Jang… jangan….” Kata Antini perlahan yang sudah lemas tak punya kekuatan lagi.
Sesuai perintah Kebo Panaran tiga orang kawannya segera menggotong mayat Lor Kameswara. Lalu mayat itu dilemparkan ke dalam sumur!
Kebo Panaran menyeringai. Dia berjongkok di samping Antini yang masih terbaring tak berdaya di tanah. “Tak ada yang harus kau takutkan. Aku lebih muda dan lebih gagah dari suamimu si bau tanah bangka tak tahu diri itu. Jika kalau mau selamat ikuti saja apa mauku dan mau kawan-kawanku. Mari kita bersenang-senang sebentar!”
“Iblis! Manusia durjana! Pergi!
Kebo Panaran hanya ganda tertawa. Perlahan lahan beliau buka ikat pinggang besarnya. Lalu berlutut di samping tubuh Antini. Saat itu wanita ini sudah tak punya daya apa-apa lagi. Hanya air mata saja yang masih sanggup dikeluarkannya.
Dadanya bergoncang keras ketika Kebo Panaran menarik kain panjangnya….Lalu dilihatnya wajah lain di atas tubhnya. Lalu wajah lain lagi dan lain lagi….. Ini ialah hari paling terkutuk bagi wanita muda yang malang itu.
Menjelang rembang petang keempat orang itu berkumpul di halaman depan rumah Lor Kameswara.
“Eh , kuda Ambar Kuning tidak kelihatan!” kata Bargas Pati sambil mengusap mukanya yang penuh keringat.
“Dia benar-benar sudah kabur rupanya!” menyahuti Legok Ambengan.
“Kabur atau kemanapun beliau tak usah dipikirkan. Cepat atau lambat beliau niscaya akan bergabung lagi dengan kita. Tolol kalau beliau pergi mentah-mentah begitu saja.
Apa beliau tidak ingin potongan dari segala harta kekayaan dan uang yang kita simpan di tempat rahasia itu?!” Kebo Panaran meludah ke tanah. “Sudah jangan banyak bicara lagi. Cepat tinggalkan tempat terkutuk ini!”
Besamaan dengan tenggelamnya sang surya dan keadaan mulai gelap lantaran malam segera tiba , di halaman depan rumah kediaman Lor Kameswara kelihatan satu bayangan. Dengan cepat bayangan ini bergerak menuju halaman belakang. Begitu hingga di halaman belakang orang yang muncul ini terdengar menghela nafas panjang.
Lalu beliau melangkah mendekati sosok tubuh Antini yang tergeletak di tanah. Orang ini ternyata seorang nenek muka pucat berambut jabrik berjubah hitam gombrong menjela tanah.
Beberapa lama beliau hanya tegak memandangi sosok tubuh tak bergerak itu dengan muka membesi dan kedua tangan terkepal. Lalu orang ini membungkuk.
Dipegangnya pergelangan tangan kiri Antini. Tak terasa denyutan nadi. “Mati…?”
pikirnya. Lalu diturunkannya kepalanya , diletakkan di atas dada Antini. Perlahan sekali , antara terdengar dan tidak , si nenek masih sanggup menangkap bunyi detak jantung. “Ah , beliau masih hidup. Tapi keadaannya gawat sekali. Aku harus cepat-cepat membawanya dari sini dan mengobatinya. Kasihan , kalaupun beliau bisa kutolong apakah batin dan perasaannya bisa diselamatkan?”
Nenek berjubah hitam itu cepat memanggul Antini di pundak kirinya. Sebelum pergi beliau berpaling kea rah sumur di mana sebelumnya Kebo Panaran dan kawankawannya telah mencemplungkan Lor Kameswara ke dalam sumur itu.
“Ah , beliau tak mungkin bisa kutolong. Semoga rohnya tenteram di tempat itu….” Si nenek menghela nafas sekali lagi kemudian sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama Antini. Tempat itu kini hanya diselimuti kepekatan malam dan kesunyian.
Antini tidak tahu berapa lama beliau jatuh pingsan. Sewaktu sadar didapatinya dirinya tergolek dalam sebuah goa watu yang dinding-dindingnya terasa dingin.
Perempuan malang ini sesaat menatap langit-langit goa. Dia coba berpikir dan mengingat-ingat. Tiba-tiba satu goncangan dahsyat melanda benak dan hatinya.
Langsung dari mulutnya terdengar bunyi jeritan. Dia akan terus menjerit kalau saja tidak ada yang muncul. Seorang nenk bermuka pucat dan berambut kaku tegak muncul di tempat itu. Wajahnya menakutkan tapi suaranya lembut.
“Anakkua , tabahkan hatimu. Aku tahu penderitaanmu lebih berat dari seisi jagat ini , lebih dalam dari maritim dan lebih tinggi dari langit. Aku mohon kau ingat pada Tuhan. Dialah yang telah menekdirkan segala sesuatu dalam hidup kita ini. Kau harus sabar anak. Aku akan menolongmu….”
Antini bangun dan duduk bersasndar ke dinding goa. Kejadian hebat yang menimpanya telah menciptakan satu perubahan besar dalam diri wanita yang masih sangat muda ini. Kalau dulu beliau merupakan seorang wanita yang lenbut dengan segala kehati-hatian , kini beliau tampak begitu kasar dan berani walau sinar matanya tidak sanggup menyembunyikan rasa takut akhir kejadian terkutuk yang dialaminya.
“Kau boleh panggil saya Nenek Tidar ,” jawab si nenek muka pucat. “Kau tak usah takut padaku. Aku tahu semua yang telah kau alami…..”
Mendengar ucapan itu Antini pribadi menjerit.
“Tenang…..Tenang anakku ,” kata Nenek Tidar. “Kau tidak usah takut. Saat ini kau berada di tempat yang aman. Dengar , saya akan berusaha menolongmu…”
“Menolongku Nek? Bagaimana mungkin kau bisa mengembalikan kehormaan dan kesucianku yang telah dirusak manusia-manusia cecunguk itu….”
“Kalau itu memang saya tidak sanggup mengembalikannya. Tuhanpun tidak bisa.
Tetapi kesucian dan kehormatan dalam arti kejiwaan , niscaya kau bisa mendapatkannya kembali.”
“Aku tidak mengenal kau. Mengapa kau hendak menolongku. Aku curiga….”
Si nenek menyeringai. “Dalam soal tolong menolong tidak harus kenal satu sama lain lebih dahulu. Juga tak perlu rasa curiga padaku…..”
“Nek , kau tahu apa yang ingin kulakukan ketika ini?” tanya Antini.
Si nenek menggeleng. “Coba kau katakan , anakku.”
“Aku ingin bunuh diri! Menyusul suamiku!” Habis berkata begitu Antini kembali menjerit kemudian menangis keras.
Nenek Tidar menghela nafas dalam kemudian gelengkan kepala sambil membelai rambut wanita muda di hadapannya itu.
“Anakku , bila kau bunuh diri dan mati , berarti selesailah kejahatan yang dilakukan oleh keempat insan cecunguk itu. Kejadian pada hari terkutuk itu akan dilupakan orang. Berarti mereka tidak akan pernah mendapatkan pembalasan. Kau ibarat gila menghadapi kenyataan keji yang menimpa dirimu. Tapi apakah kau tidak merasa gila untuk bertekad menuntut balas aas perbuatan terkutuk yang mereka lakukan terhadapmu? Apakah kau tidak punya niat untuk membalas kematian suaamimu?! Mereka telah menciptakan satu hari terkutuk bagimu. Apakah kau tidak bertekad untuk balas menawarkan hari-hari terkutuk pada mereka?”
Si nenek memmandang tak berkesip dan Antini hanya bisa tersandar membisu dengan meulut terkancing. Tetapi kedua metanya yang indah tibaa-tiba memancarkan satu sinar menyeramkan. Sinar itu perlahan-lahan redup dan hilang. Kedua mata itu kini tampak berkaca-kaca lagi.
Kemudain terdengar bunyi Antini berkata “Tentu saja Nek , siaa orangnya yang tidak punya niat membalaskan sakit hati dendam kesumat. Api saya yang lemah ini punya kemampuan apa? Jangankan saya , pasukan Kerajaan saja tidak bisa menindak kelima insan terkutuk itu.”
“Asal kau mau , kau niscaya sanggup melakukannya. Untuk itu pertama sekali kau harus mempunyai kepandaian silat serta dasar-dasar ilmu tenaga dalam….”
“Aku sama sekali tidak mempunyai kepandaian apapun!” jawab Antini.
“Anak , kau tak usah khawatir. Aku akan mengajarkan padamu dalam waktu singkat. Tiga kali purnama kurasa sudh cukup bagimu untuk menguasainya. Aku maklum kalau tiga bulan tidak mungkin bagimu untuk berbuat banyak dalam menghadapi manusia-manusia terkutuk itu. Untuk itu kau akan kuajarkan ilmu kedua yaitu ilmu penyamaran dan mempergunakan logika serta pikiran. Kecerdikan selalu sanggup mengalahkan kekuatan atau musuh yang bagaimanapun hebatnya….Nah yang jadi pertanyaan kau mau mendekam selama tiga bulan di tempat ini bersamaku?”
Antini tak segera menjawab. Dia ibarat berpikir-pikir. Kemudaian perlahanlahan kepalanya dianggukkan.
Si nenek terawa lebar. Antini memperhatikan ada satu ketaknormalan pada wajah orang bau tanah ini tapi beliau belum sanggup mengira ketaknormalan apa yang tersembunyi di balik wajah tersebut. Hanya ada satu pertanyaan yang tidak terjawab yaitu siapa tolong-menolong wanita bau tanah ini dan mengapa beliau mau menawarkan pertolongan….
Antini memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Pemuda ini telah menyelamatkannya. Lalu apakah beliau sanggup dipercaya? Dari nama dan gerak geriknya Antini merasa bimbang. Sejak malapetaka besar yang menimpa suaminya dan dirinya sendiri kepercayaan terhadap lelaki boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Setiap beliau melihat lelaki pribadi timbul rasa curiga dan jijik. Dan ada kobaran rasa ingin membunuh semua lelaki yang ada di dunia ini!
Wiro sendiri sesudah mendengar penuturan Antini menjadi sangat kasihan pada wanita malang ini. Dalam hatinya timbul rasa ingin menolong.
“Jadi selama tiga bulan kau digembleng oleh Nenek Tidar itu?” Antini mengangguk.
“Tiga bulan waktu yang sangat singkat. Apapun ilmu yang kau miliki kini ini rasanya belum cukup untuk sanggup membalaskan dendam kesumat sementara dirimu sendiri akan jadi bulan-bulanan maa bahaya.”
“Aku tahu. Nenek Tidar juga berkata begitu. Itu sebebnya beliau berpesan semoga saya mempergunakan logika dan kecerdikan dalam melawan kekuatan dan kedurjanaan.
Dengan kepandaian menyamar yang diajarkan terbukti saya berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Aku berpura-pura jadi pelacur. Dengan cara itu saya sanggup membunuh Tunggul Anaprang. Sekarang tinggal empat orang lagi. Aku yakin akan sanggup menghabisi mereka semua. Yang paling saya incar ialah Kebo Panaran….”
“Masalahnya yang kau hadapi bukan saja sulit dan berat. Tapi juga berbahaya.
Kalau kau percaya padaku , saya bersedia membantumu.”
Antini memandang lagi pada Pendekar 212. “Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Tapi apakah saya percaya padamu , itu hal lain. Biar saya melaksanakan pembalasan sendiri. Kalaupun saya mati , saya pasrah. Mungkin itu lebih baik bagiku!” Murid Eyang Sinto Gendeng hanya bisa garuk-garuk kepala.

SEBELAS

Rumah makan Simpang Tiga yang memang terletak di simpang tiga Jati Gombol milik Among Kuntoro sangat populer akan kelezatan masakannya. Selain itu harganya tidak mahal , cukup terjangkau oleh mereka dari golongan bawah sekalipun.
Siang itu Wiro duduk di satu sudut rumah makan sambil menunggu nasi yang dipesannya. Dia tak lama menunggu , seorang pelayan lelaki muda bertampang lugu menggunakan pakaian serta kopiah merah kebesaran dan wajah berswlomotan arang dapur dating membawakan pesanannya. Sikapnya agak kikuk. Wiro tersenyum.
Begitu pelayan hendak pergi Wiro cepat pegang lengannya seraya berkata “Dulu kau menyamar sebagai pelacur. Sekarang sebagai pelayan rumah makan. Apayang akan terjadi hari ini , Antini?”
Wajah pelayan yang celemongan tampak menjadi pucat. Dalam hati beliau berkata “Matanya tajam sekali.” Lalu pelayan ini bertanya “Bagaimana beliau bisa mengenali diriku?”
“Kau mengajarkan semoga berlaku cerdik. Nah saya hanya mengikuti ajaranmu.
Kau bisa merubah pakaian dan wajahmu serta sikapmu seratus kali dalam satu hari.
Tapi kau tidak bisa merobah kedua matamu. Aku mengenali mata dan caramu memandang.”
“Kalau kau sudah tahu jangan macam-macam. Aku tak mau segala planning yang sudah kususun akan menjadi berantakan gara-gara keusilanmu!” Si pelayan yang memang Antini adanya merengutkan tangannya. Baru saja beliau melangkah masuk ke potongan dalam rumah makan , di halaman depan dua pengunggang kuda yang gres dating menambatkan kuda masing-masing kemudian masuk ke dalam rumah makan dengan perilaku seperti tempat itu milik mereka. Orang pertama berkepala botak gemuk dengan wajah berminyak. Dia menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Sebuah celurit besar tergantung di pinggang kanannya. Orang ini bukan lain ialah Bargas Pati.
Teman Bargas Pati yang mengenakan pakaian dan ikat kepala hijau serta membekal dua buah golok tentu saja ialah Legok Ambengan. Kedua orang ini duduk terpisah satu meja dari tempat Wiro asyik menyantap makanannya sambil angkat kaki.
Seorang pelayan bukan Antini mendatangi. Bargas Pati menggebrak meja.
“Kami sudah lapar. Kau melayani ibarat siput! Siapkan ikan bakar dan ayam goreng.
Jangan lupa sayuran. Cepat! Jangan lupa letakkan satu kendi tuak dan satu kendi air putih di meja ini!” Kembali Bargas Pati menggebrak meja hingga pelayan di depannya terlonjak kaget.
Si pelayan membungkuk kemudian cepat-cepat berlalu dari situ. Di balik pintu ruangan dalam Antini memperhatikan. “Mereka hanya dating berdua. Kebo Panaran dan wanita berjulukan Ambar Parangkuning tidak kelihatan. Biar yang dua ini saja dulu saya kerjakan….” Lalu Antini masuk ke dalam menemui pelayan yang satu tadi.
“Agar kau tidak kena semprot dua monyet itu , biar saya yang menyiapkan dan menghidangkan kuliner mereka.”
Di tempat duduknya Wiro memperhatikan dengan sudut mata. “Dari dongeng Antini , jangan-jangan dua orang ini ialah manusia-manusia terkutuk itu. Agaknya sesuatu akan terjadi di tempat ini….”
Tak selang berapa lama , pelayan muda itu muncul membawa kuliner yang dipesan Bargas Pati dan Legok Ambengan , lengkap dengan minuman.
“Pelayan muka banci! Untung kau yang datang. Kalau pelayan tadi niscaya sudah kutampar lantaran lama sekali!”
Si pelayan membungkuk dan meletakkan semua kuliner dan minuman di atas meja dengan sigap. “Mungkin ada pesanan lain?” Tanya si pelayan dengan hormat sekali. Bargas Pati mengusap kepalanya yang botak kemudian tertawa. “Suaramu halus ibarat tikus cerurut! Sudah pergi sana!” Setelah membungkuk si pelayan memutar tubuh dan kedua orang itu segera saja menyantap kuliner mereka. Sambil makan mereka bicara dengan bunyi perlahan.
“Kalau nanti Kebo Panaran tiba , sebaiknya kita bicarakan soal harta dan uang yang kita sembunyikan itu ,” sertifikat Bargas Pati.
“Maksudmu?” Tanya Legok Ambengan sambil menggeragot paha ayam goreng.
“Aku kawatir. Tempat kita menyembunyikan uang dan harta itu sewaktuwaktu bisa bocor….”
“Kalau Ambar Parangkuning yang kau takutkan , bukankah kita sudah memindahkan barang dan uang itu ke tempat lain?” ujar Legok Ambengan.
“Sebaiknya harta kekayaan itu segera kita bagi tiga saja. Lupakan si Ambar yang minggat itu.” kata Bargas Pati pula.
“Kalau sudah dibagi lantas apa?”
Belum sempat Bargas Pati menjawab pertanyaan Legok Ambengan itu tibatiba beliau mencicipi perutnya ibarat dibalik-balik. “Sialan! Perutku mulas!”
“Gila! Aku juga!” kata Legok Ambengan. Lalu cepat-cepat beliau meneguk tuak dalam kendi maksudnya semoga mulasnya hilang. Justru rasa mulas itu makin menggila.
“Tunggu saya di sini. Aku akan mencari kakus dulu!”
“Aku juga! Kita sama-sama ke belakang! Sialan!” maki Bargas Pati seraya bangun dari kursinya. Sambil bergegas ke potongan belakang rumah makan Bargas Pati kembali mengomel. “Keparat! Ada yang tidak beres dengan kuliner dan minuman di sini! Selesai buang hajat kita harus selidiki , Legok!”
“Aku setuju. Akan kupatahkan batang lehernya kalau nanti ternyata makanannya ada yang bau atau mengandung racun!”
Sampai di belakang ternyata hanya ada satu kakus. Dan ketika itu sedang diisi seorang tamu. “Kurang ajar. Siapa di dalam. Lekas keluar!” teriak Bargas Pati kemudian digedornya pintu kakus. Terdengar bunyi orang di dalam. Lalu pintu terbuka sedikit.
Satu kepala bermuka bopeng muncul “Ada apa…” Orang ini bertanya. Bargas Pati cekal kerah pakaian orang itu kemudian menariknya dengan kasar keluar kakus. Si bopeng yang hanya mengenakan baju tanpa celana itu tentu saja berteriak-teriak.
“Hai! Apa-apaan ini! Aku belum selessai! Apa kau sudah gila?!”
Bargas Pati bantingkan orang itu ke lantai kemudian masuk ke dalam kakus sambil membantingkan pintu. Sementara itu Legok Ambengan yang sudah tidak tahan , dalam keadaan kalang kabut enak saja menongkrong dekat cucian piring. Seorang wanita bau tanah yang banyak cincong yang sedangmembasuh sayuran dekat tempat itu mengomel.
“Tua bangka edan! Jangan di situ!”
“Perempuan celaka! Apa katamu!” teriak Legok Ambengan. Lalu “Plaakk!”
Tangan kanannya menampar hingga wanita itu terbanting ke dekat sumur.
Dari dalam rumah makan bergegas keluar seorang lelaki separuh baya. Dia ialah Among Kuntoro pemilik rumah makan itu. Dia suah tahu apa yang terjadi maka beliau cepat berkata.
“Saudara tamu , seratus langkah di belakang sana ada sebuah parit. Airnya cukup bersih. Pergilah kesana…”
“Setan! Kenapa kau tidak bilang dari tadi!”
Legok Ambengan kemudian lari ke arah yang ditunjuk pemilik rumah makan.
Seperti yang dikatakn memang tidak jauh dari situ ada sebuah parit berair jernih.
Disitu ditemuinya juga sebuah dinding gedek yang rupanya memang dibentuk untuk orang yang hendak buang hajat. Maka Legok Ambengan segera nongkrong di balik dinding gedek itu.
Kembali ke dalam kakus rumah makan. Sekujur tubuh dan wajah Bargas Pati mandi keringat. Tapi kini beliau benar-benar merasa lega sesudah buang hajat. “Gila!
Baru sekali ini saya mengalami begini! Pasti ada yang tidak beres dengan kuliner di sini. Ada orang yang bermaksud jahat! Masakan hanya saya dan Legok saja yang jadi begini?! Keparat betul!”
Selagi si botak gemuk ini mengomel dalam hati ibarat itu tanpa diketahuinya sebuah benda meluncur dari atas atap bangunan kakus. Benda ini ternyata ialah seutas ambang hitam yang ujungnya melingkar berbentuk buhul besar. Tanpa bunyi tali itu meluncur terus melewati kepala botak Bargas Pati. Ketika Bargas Pati mencicipi ada sesuatu yang menyentuh potongan belakang kepalanya kemudian melihat ada benda yang lewat di depan mata dan hidungnya , beliau pergunakan tangan untuk menangkapnya.
“Seran! Apa pula ini….?!” Bentaknya. Itulah ucapan terakhir dalam hidupnya.
Baru Bargas Pati sadar apa yang terjadi. Namun sudah terlambat. Dicobanya menarik ali itu. Namun jiratan semakin kencang. Semakin dicobanya melepaskan diri semakin kencang gelungan tambang di batang lehernya. Dia coba berdiri. Tambang di atas kepalanya ibarat ditarik dengan cepat dan lehernya kembali terjirat kencang. Kedua mata si botak ini mulai memdelik. Mulutnya terbuka dan lidahnya mulai terjulur.
Ketika di sebelah atas kembali tambang ditarik dan kedua kaki Bargas Pati tidak lagi berpijak ke lantai kakus , terdengar bunyi berderak patah dan tanggalnya atulang leher lelaki ini. Kedua kakinya melejang-lejang bebeapa kali. Setelah itu tubuhnya tak berkutik lagi. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang mendekam di atas atap bangunan kakus cepat menyelinap turun tanpa satu orangpun melihatnya!
Tak lama kemudian Legok Ambengan muncul di belakang rumah makan.
Celana hijaunya berair kuyup. Selesai membuang hajat beliau berusaha mencuci celana itu. Bagaimanapun dicucinya anyir busuk yang menempel di situ masih tercium santar.
Begitu hingga di pintu belakang rumah makan , beliau berteriak. “Mana pemilik rumah makan ini!”
Among Kuntoro bergegas mendatangi dengan wajah ketakutan. “Ada yang tidak beres dengan masakanmu! Aku dan kawanku kau beri kuliner bau pasti!”
“Tidak bisa jadi , semua kuliner gres dimasak pagi tadi ,” jawab Among Kuntoro. “Kalau kuliner di sini terkotori mengapa hanya saudarar tamu berdua saja yang diserang mules?”
“Kalau begitu niscaya ada yang menaruh sesuatu di kuliner kami! Kau harus bertanggung jawab!”
“Maafkan saya saudara tamu. Semua kebersihan dan pelayanan kami selalu terjamin…”
“Diam!” sentak Legok ambengan. ‘Aku dan kawanku minta ganti kerugian.
Kau harus bayar sepuluh ringgit perak pada kami berdua!”
“Saudara tamu. Bagaimana bisa begitu. Saya…”
“Kalau tidak kau berikan , akan kaim bakar rumah makan ini dan kupatahkan batang lehermu!”
Pucatlah wajah Among Kuntoro. Saat itu Legok Ambengan ingat pada Bargas Pati. “Mana kawanku?!” tanyanya berteriak.
“Di….dia masih di dalam kakus….” jawab Among Kuntoro.
“Dalam kakus…. Mengapa lama sekali?!” Legok Ambengan tiba-tiba saja merasa tidak enak. Untuk pergi ke parit , buang hajat kemudian mencuci celana dan kembali ke rumah makan itu terperinci beliau membutuhkan waktu cukup lama. Dalam waktu yang sebegitu tidak mungkin Bargas Pati juga mendekam dalam kakus. Maka beliau melangkah menuju kakus dan menggedor pintunya.
“Bargas! Jangan kau ngeram dalam kakus ini. Cepat! Ada sepuluh ringgit perak menunggu kita!”
Tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan hendak berlalu tapi beliau berbalik lagi dan kembali menggedor.
“Bargas! Kau tuli apa bisu?! Ayo cepat keluar!”
Tetapi tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan dari tidak enak jadi curiga. “Kalau kau masih tak menjawab akan kudobrak pintu kakus ini!”
mengancam Legok Ambengan. Sementara itu beberapa orang tamu yang mendengar bunyi ribut-ribut dan ingin tahu apa yang terjadi berdatangan ke belakang rumah makan. Seorang diantaranya ialah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setetlah beberapa kali menggedor dan berteriak memanggil-manggil kawannya itu dan tetap tak ada jawaban , Legok Ambengan pergunakan kaki kanannya untuk menendang pintu kakus. Pintu yang terbuat dari kayu tipis dan ringkih itu pecah berantakan. Legok Ambengan menanggalkan sisa-sisa daun pintu yang masih menempel. Namun kemudian , ketika beliau memandang ke dalam kakus , satu teriakan keras keluar dari mulutnya. MUkanya pucat dan kedua kakinya yang gemetar bersurut ke belakang!
Rumah makan yang ramai itu menjadi geger ketika mayat si botak Bargas Pati karenanya ditemukan dalam kakus dalam keadaan tergantung. Mata mencelet , pengecap terjulur. Ada darah keluar dari hidung dan telinganya. Yang menusuk mata Bargas Pati tergantung hanya mengenakan baju saja. Celana merahnya terongok di lantai kakus.
“Seseorang telah membunuh temanku!” teriak Legok Ambengan marah.
Dalam marahnya beliau melompat ke hadapan Among Kuntoro dan mencekik leher orang ini. “Kau bertanggung jawab atas kematian temanku! Katakan siapa yang menggantungnya!”
Tentu saja pemilik rumah makan itu tidak bisa menjawab. Legok Ambengan jadi kalap. Tinjunya menderu menghantam muka si pemilik rumah makan hingga hidungnya patah dan darah mengucur. Tubuh Among Kuntoro kemudian
dibantingnya ke lantai. Ketika hendak diinjaknya satu bunyi terdenagr berkata.
“Kawanmu itu mungkin saja bunuh diri! Coba kau periksa dulu….!”
“Bangsat! Siapa yang barusan berani bicara?!” hardik Legok Ambengan. Dia memandang berkeliling. Dengan geram dipalingkannya kepalanya ke arah kakus yang pintunya terpentang lebar. Saat itulah gres Legok Ambengan melihat kalau di kerah baju merah yang dikenakan Bargas Pati teselip secarik kertas. Legok Ambengan masuk ke dalam kakus dan berjingkat untuk sanggup mengambil kertas itu. Begitu gulungan kertas dibuka berubahlah paras Legok Ambengan. Dia segera mengenali bentuk goresan pena itu. Sama dengan goresan pena yang ditinggalkan pembunuh Tunggul Anaprang yang dibunuh di rumah pelacuran tempo hari. Bedanya kalau dulu ditulis dengan darah , yang ini ditulis dengan kayu arang.
Di situ tertulis dengan terperinci :
Orang kedua dari kalian tamat riwayatnya. Kalian bertiga tinggal menunggu giliran untuk menghadap roh suamiku di pintu akhirat!
“Jadi….. jadi dia….” Desis Legok Ambengan dengan bibir bergetar. “Janganjangan beliau masih ada di tempat ini….” Legok Ambengan memandang berkeliling.
Pandangannya membentur wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku rasa-rasa pernah melihat tampang ini sebelumnya. Tapi di mana…” Selagi Legok Ambengan mengingat-ingat kedua matanya jatuh pada sosok tubuh pelayan yang tadi membawakan kuliner dan minuman pesanannya. “Eh….Tampangnya memang lain.
Tapi sosok tubuhnya sama besar dengan cowok di kali tempo hari. Dan…” Legok Ambengan kembali berpaling pada Wiro. Dia ingat! “Pemuda gondrong ini ialah orang yang menolong cowok di kali itu….”
Sekali lompat saja Legok Ambengan sudah mencekal leher pakaian Wiro.
“Mana temanmu itu…. Lekas katakan di mana dia!”
“Temanku banyak. Satu diantaranya yang mampus gantung diri itu! jawab Wiro seenaknya. “Teman yang mana maksudmu?!”
Amarah Legok Ambengan jadi mendidih. Surat yang dipegangnya ditempelkannya ke kening Wiro. “Temanmu di kali dulu. Dia yang menulis surat ini.
Pasti!”
“Ah , temanku semua buta huruf. Tak pintar menulis tak tahu baca…”
“Setan kau berani mempermainkanku!” teriak Legok Ambengan marah. Lalu tinjunya melayang ke muka Pendekar 212.
Namun jotosan murid Eyang Sinto Gendeng mendarat di ulu hati Legok Ambengan lebih dulu. Orang ini terpekik dan terpental dampai tiga langkah.
“Manusia haram jadah!” rutuk Legok Ambengan. Kedua tangannya bergerak ke pinggang. Sepasang golok andalannya kini tergenggam di tangan kiri kanan. “Setan gondrong! Kucincang tubuhmu!” teriak Legok ambegan. Dua bilah golok berkiblat.
Wiro cepat menyingkir. Orang serumah makan itu kembali gempar. Legok Ambengan memburu Wiro dengan kedua goloknya. Namun setengah jalan langkahnya tertahan.
Dia mendengar bunyi berdesing di belakangnya. Goloknya diputar di belakang punggung.
“Trang!”
Sebuah pisau belati terbang terpental kena sambaran golok. Namun itu hanya satu dari empat serangan pisau terbang yang sanggup dimentahkannya. Satu berhasil dielakkan. Yang ketiga dan keempat menancap di punggung kiri dan pinggang kanannya!
Legok Ambengan menjerit keras. Dalam keadaan terhuyung-huyung beliau coba memutar tubuh untuk melihat siapa yang membokongnya. Dia melihat cowok pelayan berkopiah merah tegak bertolak pinggang memandang tak berkesip dengan padangan angker ke arahnya.
“Kau… Kau Antini….” Desis Legok Ambengan.
Sambil menyeringai si pelayan buka kopiah merahnya. Semua orang yang ada di situ kecuali Wiro melengak ketika melihat di atas kepala si cowok tergelung rambut hitam panjang. Pemuda itu goyangkan kepalanya. Rambut yang tergelung tanggal dan jatuh ke bahu.
“Astaga! Pelayan ini wanita rupanya!” seseorang berseru.
“Tidak disangka wajahnya manis sekali.” Seorang lain ikut berkata sementara si pemilik rumah makan yaitu Among Kuntoro tercengang-cengang. Diapun tidak pernah menyangka kalau pelayan yang gres bekerja beberapa hari itu ternyata ialah seorang wanita muda berparas sungguh jelita.
Dalam keadaan ibarat itu si pelayan yang tentu saja Antini adanya melangkah mendekati Legok Ambengan. Setengah jalan beliau membungkuk dan dengan cepat mengambil golok milik Legok Ambengan yang tadi jatuh. Legok Ambengan yang lemas lantaran banyak mengeluarkan darah dari dua luka di tubuhnya coba menangkis dengan goloknya sewaktu Antini membacokkan senjatanya ke arah kepalanya.
“Trang!” Golok di tangan Legok Ambengan mental.
“Jangan! Jang….” Teriakan Legok Ambengan putus bermetamorfosis jeritan dahsyat ketika Antini menyorongkan goloknya ke potongan bawah perut lelaki itu.
Darah muncrat mengerikan. Saat itu Antini sendiri mencicipi tubuhnya menjadi limbung. Selagi beliau terhuyung dan tersandar ke dinding bangunan rumah makan , Pendekar 212 cepat mendatanginya. “Aku sudah menyiapkan dua ekor kuda di halaman samping. Lekas tinggalkan tempat ini!” Tanpa banyak bicara Antini mengikuti saja ketika dengan cepat Wiro menarik dirinya meninggalkan tempat itu.
Sementara rumah makan dalam keadaan kacau balau keduanya berlalu dari situ.

DUA BELAS

Wiro dan Antini memacu kuda masing-masing menuju Selatan sementara sinar sang surya yang tadinya putih silau dan terik kini berangsur menjadi lembut kekuningan tanda hari mulai memasuki rembang petang.
“Ke mana tujuanmu sekarang?” Tanya Wiro.
“Masih ada dua orang insan terkutuk yang harus kucari. Kebo Panaran dan wanita berjulukan ambar Parangkuning itu”
“Terus terang saya memuji ketabahan dan keberanianmu. Kau telah berhasil membunuh tiga dari lima insan terkutuk itu. Itu bukan pekerjaan mudah. Setahuku di dekat sini ada sebuah telaga kecil. Kuda-kuda tunggangan ini perlu istirahat dan diberi minum. Dekat telaga ada pedataran rumput kecil. Keduanya bisa melepaskan lelah sambil merumput…”
Antini tidak menyahut. Tapi ketika Wiro membelokkan kudanya mengambil jalan menuju telaga yang dikataknannya itu , Antini iktu membelok.
Telaga itu terletak di sebuah lembah kecil yang subur. Dikelilingi oleh pohonpohon rimbun serta bebatuan. Airnya jernih dan hawa di situ sejuk sekali. Wiro dan Antini turun dari kudanya masing-masing dan melepas kedua kuda itu di pedataran rumput segar. Wiro membasuh mukanya dengan air telaga sementara Antini duduk di atas sebuah watu merendam kedua kakinya yang bagus ke dalam telaga.
“Perutku lapar. Sayang kita tak membekal makanan…” kata Wiro sambil merebahkan diri di atas rerumputan dan memandang ke langit lepas. Dari balik
pakaiannya Antini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Ketika dibuka isinya ternyata beberapa potong kue. Makanan itu diberikannya kepada Wiro. “Kalau lapar makanlah…”
Wiro mengambil sepotong kue. Sambil mengunyah beliau berkata. “Kue itu niscaya kau curi di rumah makan itu.” Antini tersenyum.
“Ah! Ini kali pertama saya melihatmu tersenyum!” kata Wiro.
“Aku memang mencuri keu-kue ini di rumah makan. Tapi kau tidak lebih baik dariku. Kau makan dan minum di rumah makan itu , kemudian enak saja ngeloyor tidak membayar!”
“Astaga! Kau betul!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala hingga rambutnya berselomotan minyak camilan manis yang dimakannya. “Tapi tak usah khawatir. Sudah ada yang membayar.”
“Siapa?” tanya Antini heran.
“Kau!” jawab Wiro.
“Aku?” Antini jadi heran.
“Betul. Kau sudah bekerja di rumah makan itu beberapa hari. Berapapun kecilnya niscaya kau harus mendapatkan upah. Nah upah yang belum kau ambil itulah pembayar kuliner dan minuman yang kusantap siang tadi!”
Mau tak mau Antini tidak sanggup menahan tawanya. Suara tawanya lepas dan merdu. Namun bunyi tawa ini terhenti sewaktu salah seekor kuda yang masih merumput tiba-tiba mengeluarkan bunyi meringkik. Wiro cepat bangun sedang Antini sudah melompat dari atas batu.
“Aku melihat bayangan seseorang di balik pepohonan sana!” kata Wiro kemudian berkelebat mengejar. Tapi begitu hingga di dekat gugusan pohon-pohon , bayangan yang dimaksudnya sudah lenyap tanpa bekas. Dia kembali ke tempat Antini.
Dilihatnya wanita muda itu tengah mengambil sesuatu yang tersisip di kelebatan bulu-bulu leher kudanya. Benda itu ialah segulung kertas.
“Kertas ini sebelumnya tak ada di sini….” kata Antini.
“Ada orang yang melemparkannya. Pasti beliau berkepandaian tinggi kerana bukan perkerjaan gampang menyusupkan gulungan kertas di antara bulu-bulu di leher kuda. Coba kau buka. Kurasa sepucuk surat…”
Antini membuka gulungan kertas itu. Di sebelah dalam gulungan kertas ini ternyata diberati dengan sepotong kayu pangjang kecil. Dengan adanya kayu itu , seseorang akan lebih gampang untuk melemparkan gulungan kertas. Dengan dada berdegub Antini membuka gulungan kertas. Seperti yang dikatakan Wiro , kertas itu ternyata memang sepucuk surat.
Kebo Panaran berada di Goa Srindil di kaki timur bukit Batu Merah. Dia akan ada di tempat itu pada purnama hari ketiga belas.
“Purnama hari ketiga belas….” desis Pendekar 212. “Berarti besok malam…”
“Aku akan segea menuju ke sana. Bukit Batu Merah satu hari satu malam perjalanan dari sini!” kata Antini.
“Tunggu dulu!” kata Wiro sambil cepat memegang tangn wanita itu.
Sebelumnya jangankan dipegang , diajak bicarapu Antini selalu ketus. Tapi kali ini beliau membisu saja. Malah olok-olokan pertanyaan tanpa menarik tangannya yang dipegang hingga Wiro sendiri yang lepaskan pegangannya.
“Kau tahu siapa kira-kira yang menciptakan dan mengirimkan surat ini?” tanya Wiro. “Bukan tidak mungkin ada seseorang yang hendak menjebakmu”
“Siapa?” tanya Antini. “Kebo Panaran?”
“Memang sulit diduga. Tapi menusia terkutuk itu tidak akan melakukannya.
Dia niscaya akan membunuhmu begitu melihatmu berada di sini…”
“Kita patut curiga. Tapi bukan tidak mungkin ada seorang sahabat yang tak mau diketahui menawarkan kisikan ini…”
“Misalnya si gemuk yang menculik dan tergila-gila padamu itu ,” kata Wiro pula yang menciptakan paras Antini jadi bersemu merah.
“Seperti dulu-dulu , saya tak ingin kau mengikuti perjalananku…” Pendekar 212 tampak kecewa.
Antini tersenyum. “Tapi sekali ini kau akan kuajak. Mungki saya perlu bantuanmu…”
Wiro tertawa lebar. “Aku ada usul ,” katanya. Kita harus menyamar.
Pergunakan kepandaianmu untuk merubah dirimu dan juga diriku…”
“Tidak terlalu sulit untuk merubah dirimu jadi seekor kambing contohnya ,” kata Antini. Keduanya kemudian sama tertawa mengekeh.
Penyamaran yang dibentuk Antini cukup meyakinkan. Wiro telah bermetamorfosis seorang kakek berjanggut putih sedang Antini sendiri menjadi seorang nenek berambut awut-awutan. Mereka memacu kuda masing-masing dan sama-sama tertawa bila melihat keadaan diri satu sama lain.
Kedua orang itu hingga di kaki bukit sebelah Timur menjelang sore keesokan harinya. Sesuai dengan namanya bukit ini merupakan satu bukit yang selain ditumbuhi pepohonan merah yang berusia ratusan tahun. Berbagai hewan hutan terdengar memecahkan kesunyian.
“Menurut bunyi surat , Kebo Panaran akan berada di tempat ini malam nanti.
Bagaimna kalau kita mencari goa itu lebih dulu kemudian menyelidikinya. Jika kita memang dijebak , siang-siang begini akan lebih gampang mengetahuinya daripada menunggu hingga malam tiba”
Wiro berpikir sejenak. “Aku baiklah pendapatmu , mari…” Lalu keduanya bergerak menyusuri kaki timur bukit itu hingga karenanya menemukan yang disebut Goa Srindil itu. Goa itu terlihat terperinci lantaran terletak dilamping bukit yang terbuka.
Sebuah tangga watu kelihatan menuju ke lisan goa.
“Itu niscaya goanya.” kata Wiro. Antini mengangguk dan hendak melompat.
Tapi Wiro memberi isyarat. “Kita harus berhati-hati. Aku akan melaksanakan sesuatu untuk menunjukan tidak ada yang menjebak kita di tempat ini.” Pendekar 212 kemudian kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu ampak bermetamorfosis putih menyilaukan disertai keluarnya hawa panas. Perlahan-lahan Wiro angkat tangan kanan itu dan diarahkan ke bukit watu merah di lamping kanan lisan goa.
Ketika tangan kanan itu dipukulkan maka berkiblatlah selatik sinar putih menyilaukan menciptakan Antini bergidik. Pukulan Sinar Matahari! Begitu pukulan sakti itu menghantam dinding bukit terdengar bunyi menggelegar. Bukit watu merah itu ibarat meledak. Hancuran watu berbongkah-bongkah beterbangan di udara.Antini yang tidak menyangka kalau si cowok itu mempunyai kesaktian luar biasa ibarat itu jadi tercengang-cengang kagum. “Kalau ada orang di dalam goa atau di sekitar sini , niscaya beliau akan muncul untuk menyelidiki. Kita tunggu dan lihat saja!” kata Wiro.
Setelah menunggu sekian lama tak ada gerakan dan tidak ada yang muncul murid Sinto Gendeng turun dari kudanya. Dia memberi isyarat pada Anitini. “Kau tunggu di sini , biar saya yang mengusut ke dalam goa.”
“Aku ikut bersamamu!” kata Antini.
“Aku khawatir masih ada ancaman yang tersembunyi ,” jawab Pendekar 212.
Tapi sekali ini Antini memaksa hingga Wiro karenanya mengalah. Keduanya menyelinap di balik pepohonan , menaiki angga watu yang licin berlumut dengan hatihati dan karenanya hingga di lisan goa. Wiro mengintai ke dalam. Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat. Setelah matanya jadi biasa , beliau dan juga Antini mulai sanggup melihat terperinci isi goa. Goa Srindil ternyata hanya merupakan legukan dalam pada bukit Batu Merah itu. Tak terdapat apa-apa di dalamnya kecuali tumpukan dedaunan yang telah mongering. Wiro masuk. Antini mengikuti.
“Tak ada apa-apanya dalam goa ini , “ kata Wiro. Lalu beliau melangkah mendekati tumpukan daun-daun kering. Tumpukan dedaunan itu ditendangtendangnya dengan kakinya. Tiba-tiba beliau melihat sesuatu tersembunyi dibalik tumpukan daun-daun kering. Kini Wiro pergunakan kedua tangannya untuk mengusut dan mengangkat daun-daun kering itu.
“Antini lihat!” seru Wiro. Antini segera mendatangi.
Di balik daun-daun kering yang disingkapkan Wiro kelihatan sebuah peti kayu berlapiskan emas. “Apa isi peti itu?” tanya Antini berbisik. “Bisa harta pusaka atau uang. Bisa juga kosong. Tapi bisa juga berisi mayat!”
Antini tersurut selangkah mendengar ucapan Wiro itu. Peti kayu berlapis seng itu ternyata hanya diikat dengan sehelai tali sehingga Wiro tidak kesulitan untuk membukanya.
Di dalam peti itu kelihatan tumpukan banyak sekali macam perhiasan-perhiasan , uang perak dan uang emas. Lalu ada cangkir dan piring terbuat dari porselen serta perunggu berrlapis emas.
“Bagaimana barang dan uang ini bisa berada di tempat ini?” tanya Antini heran.
“Aneh memang.Orang yang mengirim surat itu niscaya tahu peti ini berada di sini. Anehnya mengapa beliau tidak mengambil harta benda dan uang yang ada dalam peti ini?!” ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. Dimasukkanya kedua tangannya ke dalam tumpukan uang dan barang-barang berharga di dalam peti. Di dasar peti tangan kanannya memegang sebuah benda berbentuk bulat tapi kosong di sebelah tengahnya. Perlahan-lahan dengan hati-hati Wiro memegang benda itu dan mengangkatnya ke atas.
“Astaga! Ini mahkota Kerajaan!” seru Wiro ketika melihat benda apa yang barusan ditariknya dari dasar peti.. Sebuah mahkota emas bertabur berlian dan batubatu permata warna warni.
“Aku ingat……” kata Antini. “Ketika lima insan terkutuk itu tiba ke rumahku , salah seorang dari merreka pernah menyebut harta pusaka yang mereka miliki. Yang bisa dijual atau ditukar untuk dibelikan senjata guna melawan Kerajaan.
Pasti ini harta yang dimaksudkan itu!”
“Kerajaan memang pernah mengumumkan perihal lenyapnya mahkota ini.
Kepada siapa yang menemukan dan mengembalikannya akan diberikan hadiah besar.
Hemm…. Pasti ini barang-barang hasil rampokan kelima orang cecunguk itu. Karena kini hanya dua orang yang masih hidup berarti meraka akan membagi dua. Berarti benar juga isi surat itu bahwa Kebo Panaran akan muncul di sini malam ini. Mungkin beliau muncul untuk mengambil peti ini.”
“Apa yang harus kita lakukan kini Wiro?” tanya Antini.
Pendekar 212 memasukkan mahkota emas itu ke dalam peti kembali. Lalu peti ditutupnya. “Sebentar lagi malam segera tiba. Mudah-mudahan isi surat itu betul.
Kebo panaran akan muncul di sini. Kita bersembunyi di sekitar sini , menunggu kemunculannya!”
“Aku sudah sangat ingin mencincang tubuhnya ketika ini juga!” kata Antini.
Lalu melangkah meninggalkan goa mengikuti Pendekar 212.

TIGA BELAS

Datangnya malam terasa lama ibarat merayap. Ketika karenanya sang surya tenggela dan rimba belantara di kaki bikit Batu Merah itu menjadi gelap gulita , diamdiam Antini jadi merinding juga. Di kejauhan terdengar bunyi auman hewan hutan.
Suara jengkerik dan kodok terdengar di mana-mana.
“Kau takut…?” bisik Wiro ketika dirasakannya Antini merapatkan diri ke dekatnya. Ketika Atini hendak menjawab cepat Wiro memberi isyarat semoga wanita itu jangan bicara. Laludia berbisik. “Aku mendengar bunyi derak rodaroda gerobak di kejauhan…” Dia memandang ke arah selatan yaitu ujung kaki bukit dari arah mana sebelumnya mereka datang. “Lihat , ada nyala api di kejauhan sana…”
Saat itu selain terdengar bunyi gemeletak roda-roda gerobak , dari arah selatan memang juga kelihatancahay aterang. Makin dekat makin kentara bahwa nyala terang itu ialah nyala sebuah obor yang diikatkn pada potongan depan sebuah gerobak kecil yang ditarik seekor kuda besar.
Di atas gerobak hanya ada satu orang yakni yang bertindak sebagai sais. Nyala obor yang terang menciptakan terperinci keadaan sosok insan satu ini. Tampangnya yang bernafsu dan sangar hampir tertutup oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Dia mengenakan ikat kepala dan pakaian hitam. Sebilah golok besar tergantung di pinggangnya.
“Memang beliau binatangnya!” bisik Antini.
“Maksudmu Kebo Panaran?”
Antini mengangguk. “Dia cuma tiba sendirian. Iblis wanita berjulukan Ambar Parangkuning itu tidak ikut bersamanya. Aneh , ke mana menghilangnya iblis wanita itu?”
Gerobak mencapai potongan bukit di mana terdapat tangga watu yang menuju ke lisan Goa Srindil.
“Aku akan membunuhnya ketika ini juga!” kata Antini kemudian bergerak dari tempatnya. Wiro cepat menangkap pinggang wanita ini.
“Jangan kesusu ,” bisik Wiro. “Kita tunggu dulu apa yang dilakukannya. Dia niscaya akan mengambil peti itu. Tapi bukan tidak mungkin beliau tidak tiba sendirian.
Mungkin beliau membawa mitra yang sengaja mengawal dari kejauhan…”
“Perduli ama apa beliau membawa pengawal insan atau setan sekalipun. Aku akan mencincang tubhnya hingga lumat!”
“Antini , sabar kataku. Kebo Panaran niscaya berkepandaian jauh lebih tinggi dari yang lain-lainnya yang telah kau bunuh. Kaprikornus harus berhati-hati….. Tunggu samapi kita menerima kesempatan paling baik.”
“Menungu hingga kapan?”
“Aku akan beri tahu kapan saatnya kita harus bergerak ,” jawab Wiro pula.
Lalu dari balik pinggangnya beliau mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itu berkilauan dalam gelapnya malam. “Pegang ini. Kau bisa pergunakan senjata ini untuk menghadapi Kebo Panaran. Aku khawatir bila kau hanya menghadapinya
dengan tangan kosong….”
“Aku masih membekal setengah lusin pisau belati pemberian guruk…”
“Jika terjadi perkelahian di dalam goa , pisau terbang itu tak akan banyak gunanya ,” kata Wiro pula.
Antini memperhatikan Kapak Maut Naga Geni 212 yang diulurkan Wiro.
“Senjata apa ini? Kapak? Bermata dua dan beratnya niscaya luar biasa….”
“Coba kau pegang dulu.”
Antini mengambil senjata itu. “Astaga. Enteng sekali!” kata Antini agak keras hingga Wiro terpaksa cepat-cepat menutup mulutnya.
Saat itu Kebo Panaran tampak sudah turun dari atas gerobak. Dia mengambil obor yang terikat di potongan depan gerobak kemudian mulai menaiki tangga watu menuju lisan Goa Srindil di lamping bukit Batu Merah. Di lisan goa lelaki itu tampak berhenti sesaat. Dia memandang ke dlaalm goa dengan pandangan tajam. Dan beliau melihat ada sesuatu perobahan pada bentuk tumpukan daun-daun kering yang ada di tempat itu. Dia menghirup udara dalam goa dalam-dalam. “Hemmm… ada orang masuk ke sini sebelumnya ,” katanya. Obor di masukkannya ke dalam sebuah lobang pendek di dinding goa. Lalu dengan cepat disibakkannya tumpukan daun-daun kering.
Hatinya lega sedikit melihat peti berlapis seng itu masih ada di situ. Dengan cepat dibukanya tali pengikat peti kemudian tutup peti. Dia benar-benar lega ketika melihat isi peti itu tidak berkurang sepotongpun. Segera peti diikatnya dengan tali kembali. Kebo Panaran siap mengeluarkan peti itu dari dalam goa. Ketika tangan kirinya hendak menjangkau obor tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Seorang nenek-nenek berpakaian serba putih denga rambut berantakan tegak di depannya. Di tangan kanannya beliau memegang senjata ajaib yaitu sebatang kapak bermata dua yang masingmasing matanya mengeluarkan cahaya terang. Kejut Kebo Panaran bukan alang kepalang.
“Tua bangka! Siapa kau! Setan atau manusia?!”
Si nenek yang bukan lain ialah Antini keluarkan bunyi tawa mengekeh.
“Orang yang mau mampus memang layak bertanya. Aku bau tanah bangka malaikat maut yang akan mencabut nyawamu Kebo Panaran!”
“Eh! Kau kenal namaku?!” kejut Kebo Panaran.
Si nenek kembali mengekeh. “Malaikat maut selalu tahu niscaya nama dan siapa orang yang bakal diajaknya minggat ke akhirat. Hik… hik… hik… Aku sudah menyediakan tempat yang baik untukmu di liang neraka!”
“Keparat gila!” hardik Kebo Panaran. Sudut matanya melihat seseorang tegak di pintu goa. Dia cepat berpaling. Di lisan goa dilihatnya tegak seorang kakek berjanggut putih. Si kakek tertawa mengekeh dan berkata “Aku malaikat emannya malaikat yang hendk emncabut nyawamu itu! Ha… ha… ha… Aku sengaja berdiri di sini semoga kau tidak bisa kabur!”
“Keparat! Siapa mau kabur! Kalian berdua kalau tidak lekas angkat kaki dari sini akan kupecahkan kepala kalian!”
“Mau memecahkan kepalaku? Silahkan!” kata si kakek berjanggut yang tentunya ialah Pendekar 212. Lalu beliau ulurkan kepalanya ke arah Kebo Panaran.
Saking marahnya Kebo Panaranlantas saja menghantam kepala itu dengan tinju kanan.
Gerakannya cepat serta mengeluarkan bunyi menderu.
“Bukk!”
Kebo Panaran mengeluh tinggi. Yang dihantamnya bukan kepala Pendekar 212 , melainkan sebuah watu besar yang dengan cepat disorongkan Wiro melindungi kepalanya. Batu itu hancur lebur tapi tangan Kebo Panaran sendiri tampak lecet!
Sadarlah Kebo Panaran kalau ketika itu beliau tidak berhadapan dengan orang-orang sinting. Si kakek berjanggut terperinci mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak mana beliau bisa berbuat seperi itu. Dia berpaling pada si nenek yang ketika itu tegak menyeringai.
“Kebo Panaran! Kau sudah siap untuk dicincang?” Kapak di tangan si nenek berputar-putar hingga cahayanya yang menggidikkan berpijar-pijar menyilaukan mata Kebo Panaran.
“Tua bangka buruk sepertimu hendak mencincang Kebo Panaran? Huh!”
Kebo Panaran mendengus dan segera mencabut golok besar di pinggangnya. Sekali beliau mengayunkan tangn golok besar itu berkelebat ke arah leher si nenek. Antini cepat angkat Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya untuk melindungi diri dan menangkis. Di antara gaungan Kapak Naga Geni 212 terdengar bunyi berdentrangan.
“Trang!”
Mata golok dan mata kapak saling bentrokan. Kebo Panaran berseru kaget seraya melompat mundur. Golok di tangannya gompal besar dan senjata itu hampir terlepas. Tangannya sendiri terasa panas kesemutan.
“Tua bangka edan. Siapa kau sebenarnya?!” tanya Kebo Panaan membentak sambil melirik ke arah kakek yang menghadang di pintu. Diam-diam hatinya mulai tidak enak. Si nenek mempunyai senjata ajaib yang luar biasa. Sedang si kakek samapi ketika itu hanya bertangan kosong. Maka Kebo Panaran melompat ke arah lisan goa.
Ujung goloknya secepat kilat ditudingkan ke leher Pendekar 212. Sebelum beliau sempat menusukkan senjata itu Pendekar 212 yang dalam samaran kakek berjanggut putih menghantam dengan tangan kanan. Segulung angin dahsyat menerpa Kebo Panaran sehingga lelaki ini terdorong ke dalam goa kembali. Sebelum beliau sempat berbuat sesuatu si nenek yang memegang kapak telah menyergapnya. Kebo Panaran cepat babatkan goloknya ke pinggang. Si nenek tak kalah cepat. Segera pula menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar bunyi bergaung laksana tawon ngamuk yang disertai berkiblatnya cahaya menyilaukan dan hawa panas menghampar.
Untuk kedua kalinya kapak dan golok saling bentrokan. Kali ini Kebo Panaran tak sanggup bertahan. Goloknya bukan saja patah dua tetapi juga terlepas mental.
Sebelum beliau bisa bergerak salah satu mata kapak yang dipegang si nenek telah menempel di tenggorokannya.
“Nenek…aku tidak kenal siapa kau. Aku tidak ada permusuhan apapun denganmu. Jika kau dan kawanmu inginkan harta itu , kita bisa berunding. Aku tidak keberata membagi tiga isi peti itu!”
Si nenek terawa tinggi. Lalu gerakkan tangan kirinya ke atas kepala.
Rambutnya yang berantakan tanggal dan kini kelihatan rambutnya yang orisinil , panjang hitam terjela ke pinggang. Sepasang mata Kebo Panaran terbeliak tapi beliau masih belum sanggup memastikan siapa adanya si rambut hitam bermuka nenek keriput itu.
“Kau belum mengenali diriku Kebo Panaran?” Si nenek menyeringai. Lalu beliau usap wajahnya yang buruk. Selapis topeng tipis tersingkap lepas dan kini kelihatanlah wajahnya yang asli.
“Kau… kau istri Lor Kameswara….! Kau…. Kau Antini….!” Kata Kebo Panaran penuh kejut dan wajah berubah pucat.
“Bagus! Akhirnya kau mengenali diriku insan terkutuk. Saat kematianmu sudah datang!” Antini angkat tangannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
Tiba-tiba Kebo Panaran jatuhkan diri ke lantai goa dan berlutut. “Antini dosaku memang besar. Tai saya yakin kau mau mengampuni diriku. Aku mengaku bersalah besar dan bertobat….”
“Penyesalan selalu tiba terlambat insan iblis!”
Dengar Antini. Dalam peti itu ada harta kekayaan yang tidak terniali harganya.
Jika ka mengampuni diriku separuh harta itu akan jadi milikmua. Kau akan hidup kaya raya. Kau bisa mencari suami lain pengganti Lor Kameswara. Kau masih muda….”
“Manusia keparat! Makan dulu kakiku ini! teriak Antini. Kaki kanannya melesat ke dada Kebo Panaran hingga terdengar bunyi bergedebuk dan lelaki itu terkapar di lantai. Tapi beliau cepat bangun dan berlutut kembali.
“Ampuni selembar nyawaku Antini. Semua harta dalam peti itu boleh kau ambil. Asal kau memprbolehkan saya pergi dari sini. Aku akan kembali ke jalan benar.
Aku tidak akan melaksanakan kejahatan lagi. Juga tidak akan meneruskan pemberontakan….”
“Hemm…. Bagaimana dengan kawanmu yang satu lagi. Perempuan berjulukan Ambar Parangkuning itu?!”
“Aku tidak tahu beliau berada di mana. Dia menghilang semenjak kejadian itu…”
jawab Kebo Panaran. “Tapi saya tahu satu tempat di mana beliau berada. Aku punya petanya…” Lalu Kebo Panaran memasukkan tangannya ke balik pakaian hitamnya.
Ketika tangan itu keluar yang dipegangnya bukan sehelai kertas atau peta melainkan sebuah benda bulat hitam. Dengan cepat benda itu dipencetnya. “Tesss!” terdengar satu letusan kecil. Bersamaan dengan itu asap hitam mengebubu memenuhi goa.
Antini dan Wiro mencicipi mata mereka menjadi perih , nafas sesak. Lutut mereka tertekuk kemudian keduanya terjatuh ke lantai goa. Antini mencicipi ada tangan yang menarik Kapak Naga geni yang dipegangnya. Dia berusaha mempertahankan tapi daya dan kekuatannya ibarat lenyap.
Begitu berhasil merampas Kapak Maut Naga Geni 212 Kebo Panaran berkelebat ke pintu goa. Namun gres saja beliau hingga di luar satu tangan berkelebat ke dadanya dan satu totokan bersarang di tubuhnya menciptakan Kebo Panaran tidak bisa bergerak lagi , apalagi melarikan dri.
“Perempuan laknat! Siapa kau?!” teriak Kebo Panaran ketika melihat orang yang menotoknya ialah seorang nenek berambut kelabu kasar dan berjubah hitam.
Nenek itu tertawa mengekeh.
“Anak insan , kejahatanmu sudah lewat takaran. Lebih dalam dari lautan dan lebih tinggi dari langit. Jangan harap kau bisa melarikan diri. Malam ini kau sudah ditakdirkan untuk menemui kematian di tangan wanita yang telah kau rusak kehormatannya dan keu bunhu suaminya!”
Saat itu asap hitam yang ada di dalam goa berangsur-aangsur mulai pupus.
Udara segar bertiup masuk sehingga Wiro dan Antini merasa dadanya yang sesak pulih kembali. Kedua matanya tidak lagi perih dan rasa lemas di tubuh masingmasing berangsur lenyap. Perlahan-lahan kedua orang ini berdiri. Melangkah ke lisan goa mereka apatkan Kebo Panaran berada dalam keadaan tertotok dan memakimaki seorang wanita bau tanah berjubah hitam.
Begitu melihat si nenek berambut kelabu kasar ini , Antini langsun berteriak “Guru!”
“Ah , jadi inilah insan yang dipanggil dengan sebutan Nenek Tidar itu….” kata Wiro dalam hati.
“Nek , syukur kau muncul. Kalau tidak insan terkutuk ini niscaya sempat melarikan diri!” Antini melompat ke hadapan Kebo Panaran dan cepat merampas kembali Kapak Maut Naga Geni 212 yang dipegang Kebo Panaran di tangan kanannya.
Nenek Tidar melirik sesaat pada muridnya kemudian memperhatikan Pendekar 212.
Dengan tangan kanannya beliau menarik lengan Kebo Panaran ke dalam goa kemudian melpaskan totokan di tubuh lelaki itu. “Muridku Antini , saatmu melaksanakan pembalasan!” Lalu dengan cepat dilepaskannya totokan di dada Kebo Panaran.
Mendengar ucapan gurunya Antini yang memang sudah tidak sabaran segera melompat ke hadapan Kebo Panaran. Kapak Naga Geni 212 berkelebat ke arah dada Kebo Panaran. Lelaki ini cepat mengelak. Tapi begitu lolos dari serangan Antini kembali memburu dengan senjata mustika di tangannya. Kebo Panaran yang tolong-menolong sudah frustasi berkelabat kian kemari menghindari sambaran kapak maut.itu. Namun di satu sudut goa beliau tidak bisa lagi mengelak. Salah satu mata kapak membabat pundak kanannya. Lelakiinimenjerit setingi langit. Darah muncrat dari bahunya yang hampir putus! Tubuhnya terhuyung-huyung hilang keseimbangan. Dari mulutnya terdengar bunyi aneh. Suara ibarat gerungan dan teriakan kesakitan serta bunyi ibarat orang merta.
“Antini ampuni di…..”
Ucapan Kebo Panaran terputus. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat.
Kali ini mencari target di pangkal leher sebelah kiri. Kebo Panaran meraung keras menggidikkan. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kapak di tangan Antini berkelebat kembali. Kali ini menghantam ke potongan bawah perut Kebo Panaran. Ketika senjata itu membelah selangkangannya , tak ada lagi jeritan yang keluar dari lisan Kebo Panaran. Mungkin nyawanya sudah lepas sewaktu pangkal lehernya kena dibacok tadi.
Tubuh Kebo Panaran terjatuh ke lantai goa. Seperti orang kemasukan setan Antini membacokkan kapak itu berulang kali ke kepala dan sekujur tubuh Kebo Panaran.
Mengerikan sekali. Kapala dan tubuh Kebo Panaran tak berbentuk lagi. Terpotongpotong dalam kepingan-kepingan menggidikkan.
Ketika Nenek Tidar memegang bahunya dan berkata “Antini muridku , cukup.
Jangan ikuti kemauan setan. Musuh besarmu sudah kau tamatkan riwayatnya…”
Pendekar 212 cepat mengambil Kapak Maut Naa Geni dari tangan Antini.
Antini sendiri menutupi mukanya dengan kedua tangan kemudian menangis keras. Di antara tangisnya terdengar suaranya berkata “Masih ada , masih ada satu lagi yang harus kucari dan kubumuh. Perempuan berjulukan Ambar Parangkuning itu…!”
“kau akan menemukannya , antini. Kau niscaya akan menemuinya.” Bekata Nenek Tidar.
“Guru….Kau…kau tahu di mna orang satu itu berada?”
“Dia ada di dekat sini Antini. Dia tidak jauh darimu. Dia ada di depanmu!” jawab Nenek Tidar.
“Guru , apa maksudmu….? Tanya Antini seraya menurunkan kedua tangannya dan memandang tepat-tepat pada wanita bau tanah di depannya.Wiro sendiri juga tampak heran dan berusaha menduga-duga. “Jangan-jangan…”kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Belum sempat beliau menuntaskan ucapannya Nenek Tidar menggerakkan tangan kanannya ke muka. Dia ibarat menarik sesuatu dari wajahnya.
Kagetlah Antini ketika melihat wajah orisinil si nenek. Tapi beliau masih belum yakin. Si nenek yang kini berwajah jauh lebih muda membuka jubah hitamnya. Di balik jubah itu ternyata beliau mengenakan sehelai pakaian serba kuning. Ingatan Antini kembali penuh.
“Kau……..Orang kelima itu! Kau Ambar Parangkuning!” teriak Antini.
Perempuan di hadapan Antini mengangguk dan tersenyum kecut. “Tidak salah.
Aku memang Ambar Parangkuning. Salah satu dari lima insan cecunguk yang melaksanakan perbuatan terkutuk itu….Aku yang mnegirimkan surat bahwa Kebo Panaran akan berada di sini. Lalu saya ikut muncul ke tempat ini semoga kau sanggup menuntaskan segala dendam kesumatmu secara tuntas. Aku sudah siap untuk mendapatkan kematian. Hukuman atas diriku tidak berbeda dengan empat kawanku lainnya….”
Antini menjerit keras. Dia melompat berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro. Tapi sang pendekar berkelebat dan memegan lengan Antini seraya berkata. “Jangan kau turutkan permintaan setan Antini. Saat ini kau harus berpikir panjang sebelum mengambil keputusan…”
“Aku haru membunuh dia! Dia salah seorang dari manusia-manusia terkutuk itu! Mereka membunuh suamiku! Mereka merusak kehormatanku secara keji….”
“Antini…” kata Ambar Parangkuning dengan bunyi tersendat. “Aku menyesal telah bergabung dengan orang-orang itu. Aku tidak pernah menyangka mereka akan sebiadab itu. Apa yang kami setujui bersama ialah meneruskan usaha meruntuhkan kekuasaan Sri Baginda yang baru. Namun mereka kemudian menyimpang dari impian perjuangan. Mereka mulai merampok , membunuh dan merusak kehormatan anak istri orang. Puncak kebengisan mereka terjadi ketika mereka membunuh suamimu Lor Kameswara kemudian memperkosamu bergantian. Aku berusaha melarang mereka tapi tak berhasil. Itulah sebabnya semenjak kejadian itu saya menghilang. Aku ikut merasa berdosa. Aku harus mencari jalan untuk sanggup lepas dari beban dosa yang begitu besar dan berat. Itu sebabnya saya membawamu dan mengambil dirimu menjadi murid. Dengan kepandaian yang tidak seberapa itu saya ingin semoga kau bisa melkaukan pembalasan membunuh semua musuh suamimu dan musuhmu sendiri. Termasuk diriku! Antini , saya yang berdosa ini siap mendapatkan kematian…”
Kedua mata Antini tidak berkedip. Dia melihat Wiro tegak di hadapannya.
Sang pendekar menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Ingat Antini , beliau tidak sama dengan empat lelaki terkutuk itu. Walaupun beliau termasuk dalam kelompok mereka tapi terperinci beliau tidak ikut membunuh suamimu , juga tidak ikut merusak dirimu. Inga juga jasanya yang telah mengusahakan semoga kau sanggup membalaskan sakit hati dendam kesumatmu….”
“Anak muda ,” kata Ambar Parangkuning. “Segala jasa dan apa yang saya perbuat tidak ada artinya. Aku tak ingin berlindung di balik semua itu untuk dikasihani. Antini , lakukanlah Nak….”
Antini menangis sesenggukan. “Tidak….Aku tidak akan membunuhmu.
Kau…kau boleh pergi. Kalau kau pergi bawa serta peti berisi harta itu…”
Ambar Parangkuning tampak tercengang. “Tidak salahkah pendengaanku?” ungkapnya perlahan.
“Pergilah. Aku tahu kau orang baik. Bahkan saya harus berterima kasih pada hari itu kau menyelamatkanku dan mengambilku jadi murid. Pergilah , biar kita berpisah dengan hati sama tenteram dan tanpa rasa dendam…”
Sepasang mata Ambar Parangkuning berkaca-kaca. Dia tegak dan melangkah mendekati peti kayu berlapis seng. Dibukanya ikaan tali pada peti. Dia berpaling sesaat pada Antini dan Pendekar 212.
“Aku hanya akan mengambil benda dalam peti ini.” Lalu Ambar Parangkuning mengeluarkan mahkota emas bertahta berlian dari dalam peti.
“Mahkota ini ialah milik Kerajaan , siapapun yang memerintah ketika ini. Aku merasa brkewajiban untuk mengembalikannya ke Keraton.” Ambar Parangkuning menutup peti kembali kemudian beliau melangkah mendekati Antini. “Aku berterima kasih atas pengampunan yang kau berikan. Aku berdo’a untuk keselamatan dan kebahagiaanmu di masa depan.” Ketika Ambar Parangkuning memeluknya , Antini merangkul tubuh wanita itu erat-erat.
“Selamat tinggal Antini….” kata Ambar Parangkuning.
“Selamat jalan guru….” Balas Antini yang menciptakan hati Ambar Parangkuning jadi sangat terenyuh. Lalu beliau cepat-cepat melangkah ke lisan goa. Di lain ketika wanita lenyap dalam kegelapan malam.
Lama Antini tertegun did lama goa. Khirnya beliau berpaling pada Wiro. “Kau juga ingin pergi…?” tanya Antini.
Pendekar 212 menggeleng. “Kau kulihat sangat letih. Sebaiknya kau beristirahat saja di sini sambil menunggu pagi. Biar goa ini kubersihkan dulu….”
Dengan kakinya Wiro tending mayat Kebo Panaran hingga menelat mental ke luar goa. Lalu dengan daun-daun kering dibersihkannya lantai goa itu.
Antini duduk di salah satu goa. Dia masih menatap Wiro. Lalu terdengar beliau berucap “Peti itu Wiro…. Barang-barang di dalamnya bukan milik kita. Semua hasil rampokan….Harus kita kembalikan…”
“Kembalikan pada siapa?” tanya Wiro. Ketika Antini tidak menyahut Wiro berkata. “Kurasa tidak ada salahnya kau menyimpan isi peti itu untuk bekal masa depanmu…. Kau telah kehilangan segal-galanya….”
Antini menggeleng. “Aku akan menjual rumah dan lading mendiang suamiku.
Itu akan kujadikan modal hidup di kemudian hari. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Peti itu kuserahkan padamu….”
Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Terus terang saya memang tertarik dangan isi peti itu. Tapi lebih terus terang saya tak mau memilikinya….”
“Lalu akan kita apakan harta kekayaan itu….” tanya Antini.
“Sebaiknya malam ini hal itu tak usah kita pikirkan dulu. Kau perlu istirahat.
Tidurlah sepuasmu. Aku akan menjagamu di lisan goa sana…”
“Di lisan goa? Kenapa mesti di lisan goa? Kenapa tidak sama-sama di dalam sini?”
Wiro tertawa. “Kau tidak lagi membenci atau takut pada laki-laki?”
Antini tertawa lebar. “Perlu apa takut pada seorang kakek bau tanah renta yang tidak punya daya apa-apap sepertimu ini!”
Astaga! Wiro gres sadar. Saat itu beliau masih mengenakan topeng tipis dengan wajah seorang kakek lengkap dengan janggut putihnya. Cepat-cepat Wiro menanggalkan topeng samaran itu.
“Nah , kalau keadaanmu ibarat ini kini , saya harus berhati-hati…” kata Antini pula.
Wiro tertawa bergelak. “Harus kau buktikan dulu , apa memang kau harus berhati-hati terhadapku ,” kata Wiro seraya menggeser duduknya. Lalu tangannya dilambaikan ke arah obor. Obor padam. Goa serta merta diselimuti kegelapan. Antini terpekik. Dalam takutnya tanpa disadarinya beliau menggeser duduknya mendekati Wiro.
Dalam gelap Wiro tertawa bergelak. Kemudian dirasakan jari-jari tangan wanita itu memegang jari-jari tangannya.
TAMAT

No comments for "Episode Hari Hari Terkutuk WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"