Asmara Darah Renta Gila WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : ASMARA DARAH TUA GILA

212
SATU

Angin barat bertiup kencang. Perahu layar itu meluncur laju di permukaan laut. Di atas bahtera Tua Gila duduk termangu di haluan. Di kepalanya bertengger sebuah caping lebar terbuat dari bambu yang melindunginya dari terik matahari. Orang renta ini senyum-senyum sendiri bila ia ingat pengalamannya di pulau kediaman Rajo Tuo Datuk Paduko intan.
“Dunia memang penuh keanehan. Mana saya pernah menyangka bakalan bertemu dengan menantuku sendiri. Hik… hik… hik! Untung ia tidak tahu saya si renta bangka buruk ini mertuanya. Ha… ha… ha!”
Kekeh Tua Gila mendadak terhenti ketika tiba-tiba dirasakannya bahtera layar itu bergerak di potongan depan. Gerakan itu demikian perlahannya hingga jikalau bukan orang berkepandaian tinggi mirip Tua Gila tidak akan merasa atau mengetahui. Tua Gila memandang berkeliling. “Tak ada ombak besar tak ada tiupan angin kencang. Mengapa barusan ada gerakan gila di buritan depan perahu?”
Tiba-tiba indera pendengaran si kakek yang tajam mendengar riak air maritim di arah depan. Ketika ia memandang ke arah buritan Tua Gila kaget setengah mati. Dia melihat dua tangan berkuku panjang berwarna hitam muncul memegang pinggiran perahu. Lalu , “Wuuttt!” Dari dalam air maritim melesat ke atas sesosok tubuh berjubah hitam berambut riap-riapan. Air mengucur dari pakaian , tubuh dan rambutnya yang lembap kuyup.
“Setan maritim berani muncul siang hari bolong begini! Benar-benar gila!” kata Tua Gila dan cepat berdiri dari duduknya.
“Hik… hik! Orang yang mau mampus matanya memang suka lamur!” Orang lembap kuyup di depan bahtera itu tertawa kemudian bicara dengan mata besar melotot.
“Hebat! Setan maritim bisa bicara!” kata Tua Gila kemudian tertawa mengekeh.
“Hik… hik! Kau rupanya tidak mengenali siapa diriku! Lupa?! Hik… hik!”
Orang di depan Tua Gila tiba-tiba gerakkan pundak dan goyangkan kepalanya.
“Wuuutt!”
Rambut putih yang lembap kuyup itu melesat ke depan dan , “Breeet!” Layar bahtera robek besar terkena sambaran ujung rambut.
Berubahlah paras Tua Gila.
“Makhluk jahanam! Kalau kau mau menumpang perahuku mengapa merusak?!” Bentak Tua Gila.
Orang di hadapan Tua Gila tertawa gelak-gelak. Lalu sambil dongakkan kepala ia berkata. “Siapa bilang saya mau menumpang perahumu! Apa kau belum sadar kalau bahtera ini akan meluncur menuju neraka?! Hik… hik… hik!”
“Bedebah setan alas! Kau sengaja tiba mencari mati!”
“Aku tanya sekali lagi , apa kau benar-benar tidak mengenaliku? Padahal belum lama kita saling bertemu!” Orang berjubah hitam itu letakkan kedua tangan di pinggang.
“Eh….” Kening Tua Gila berkerut. Dia buka caping bambunya biar bisa melihat lebih jelas. “Astaga! Bukankah kau Dukun Sakti Langit Takambang , wakil Rajo Tuo Datuk Paduko Intan di Kerajaan pulau Sipatoka?!”
“Bagus! Berarti matamu hanya sedikit lamur , belum buta beneran! Hik… Hik!”
“Manusia satu ini tadi kulihat keluar dari dalam laut. Berarti sebelumnya ia telah mendekam di bawah perahu! Ilmu pernafasannya di dalam air patut saya kagumi! Tapi dari caranya muncul agaknya ia sengaja mengikutiku dengan maksud tidak baik!” Habis membatin begitu Tua Gila kemudian membentak. “Dukun geblek! Kalau kau mau menumpang mengapa pakai bersembunyi segala! Kau pasti melarikan diri setelah tertangkap lembap kau yang punya pekerjaan meracuni Rajo Tuo Datuk Paduko intan dan permaisurinya!”
“Rajo Tuo dan permaisuri serta semua orang di pulau itu biar kita lupakan saja! Bertahun-tahun saya mendekam di pulau itu menunggumu. Sekarang saatnya kita membicarakan urusan kita!”
“Eh , saya merasa tidak punya urusan dengan dukun laknat sepertimu! Kalau kuseret kau kembali ke pulau itu pasti kau akan digantung kaki ke atas kepala ke bawah!”
Orang di hadapan Tua Gila kembali mendongak dan tertawa panjang. “Kau melihat saya sebagai dukun , mengenal saya sebagai dukun. Apa kau juga masih mengenali wajah asliku ini Sukat Tandika?!”
Tua Gila terkejut. “Bagaimana dukun keparat ini tahu namaku?!” pikir Tua Gila.
Tiba-tiba Dukun Sakti Lang it Takambang menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya.
“Breeettt! Sreettt!” Selapis topeng tipis yang membungkus wajah orang itu pribadi tanggal.
Sepasang mata Tua Gila yang lebar jadi mendelik bertambah besar. “Aku tidak percaya…!” kata Tua Gila dengan bunyi bergetar. Kalau saja ia tidak berada di ujung haluan bahtera pasti kakinya sudah melangkah surut. “Apakah betul kau yang berdiri di hadapanku ini Sika Sure Jelantik?!”
“Hik… Hik! Ternyata kau masih mengenali diriku! Lebih dari itu kau juga masih ingat nama lengkapku! Hik… hik… hik!”
Tua Gila ternganga sesaat. Tekanan batin yang hebat menciptakan ia merasa seolah dihimpit gunung. Untuk beberapa lamanya ia hanya tegak tak bergerak dan memandang tak berkesip pada orang yang berdiri di depannya. Orang ini ternyata yaitu seorang nenek berwajah lingkaran , mempunyai tahi lalat kecil di atas dagu kirinya. Namun sesaat kemudian pe-nyakit lamanya muncul. Dia mulai tertawa. Mula-mula perlahan kemudian semakin keras hingga bahtera kayu itu bergetar keras. Air maritim di sekitar bahtera tampak bergelombang. –
“Tertawa sepuasmu Tua Gila! Kalau nasibmu baik mungkin nanti kau masih bisa tertawa di akhirat!”
Mendengar ucapan orang , Tua Gila hentikan tawanya. Lalu seolah meratapi diri sendiri ia mengeluh dalam hati. “Sekian puluh tahun tidak pernah bertemu , tahu-tahu muncul. Tak sanggup tidak ia tiba membawa dendam lama! Celaka! Luka-luka bekas gebukan musuh di tubuh dan kepalaku masih belum sembuh! Sekarang tiba lagi penyakit baru!”
Tua Gila usap wajahnya beberapa kali kemudian berkata. “Sika , saya maklum perbuatanku di masa silam telah membuatmu sengsara….”
Belum habis ucapan Tua Gila si nenek bermuka lingkaran memotong dengan bunyi keras. “Bagus! Kau bisa menyampaikan begitu! Sayang dikala ini sudah terlambat kau berbual-bual di hadapanku! Aku mencium amisnya busuk darahmu Sukat Tandika!”
“Setelah puluhan tahun berlalu apakah kau tidak bisa melupakan hal itu? Sekarang kita sudah jadi kakek nenek. Masih perlukan darah ditumpahkan?”
Nenek-berjubah hitam di atas bahtera di hadapan Tua Gila tertawa panjang. “Puluhan tahun boleh saja berlalu! Tapi sengsara dan luka hati ini tak mungkin dilupakan! Dendam kesumatku sudah karatan Sukat Tandika! Kau merampas kehormatanku , mempermainkan diriku! Memberiku malu sepanjang hidupku!”
“Sika , apapun yang terjadi di masa kemudian semua kita lakukan atas dasar suka sama suka. Kita sama-sama mencicipi hangatnya cinta! Harap kau ingat itu!”
Sika Sure jelantik sudah meludah ke lantai perahu. “Suka sama suka lantaran kau berjanji akan menikahiku! Ternyata kau menipu! Setelah puas dengan diriku kau kabur melarikan diri! Bermain gila dengan gadis lain! Cinta hangatmu yaitu api yang mengkremasi dan tak bisa dipupus kecuali dengan darahmu sendiri! Jangan kau kira saya tidak tahu siapa saja yang sudah kau cabuli kemudian kau tinggal! Jangan kau kira saya tidak tahu siapa saja yang menginginkan kematianmu! Aku beruntung bahwa saya punya kesempatan membunuh lebih dulu dari yang lain!”
Sukat Tandika yang berjuluk Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Pendekar Gila Pencabut Jiwa menarik nafas dalam. Dalam hati ia membatin. “Aku sengaja mencari selamat dari Sabai Nan Rancak dan musuh-musuhku yang lain. Belum lagi menjejakkan kaki di tanah Jawa , di tengah maritim sudah ada orang lain menginginkan nyawaku!”
Tua Gila menghela nafas berulang kali. Sambil menatap wajah si nenek ia berkata.
“Sika , apakah kau bisa menunda urusan ini hingga saya menuntaskan urusanku di tanah Jawa?”
Sika Sure Jelantik menyeringai buruk. “Apa kau kira saya tidak tahu apa urusanmu di Jawa? Apa kau kira saya tidak tahu kau dikala ini tengah melarikan diri dari kejaran Sabai Nan Rancak serta orang-orang lain yang menginginkan kematianmu? Belasan tahun saya malang melintang mencarimu. Setelah kutemukan jangan harap kau bisa lolos dari tanganku Sukat! Soal tunda menunda urusan harap kau bicarakan saja dengan malaikat maut!”
Tua Gila terdiam. Lalu sesungging senyum muncul di wajahnya yang cekung mirip tengkorak. Kegilaannya kembali muncul. Perlahan-lahan terdengar bunyi tawanya mengekeh. Makin lama makin keras hingga menciptakan Sika Sure Jelantik murka dan membentak.
“Jahanam gila! Sudan mau mampus masih saja memperlihatkan kesintingan!”
“Sika , jikalau kematianku memang tidak sanggup ditunda , beri saya kesempatan untuk menyanyi….”
Si nenek kerenyitkan kening hingga wajahnya diselimuti kerut-kerut buruk. Dia segera hendak menghardik namun Tua Gila sudah membuka verbal melantunkan nyanyian.

Menanam ulah di masa muda
Memetik dendam di usia tua
Menanam angin di masa jaya
Menuai angin ribut di usia tak berdaya
“Tua bangka gila! Hentikan nyanyianmu atau…!” Sika Sure jelantik membentak sambil tangan kanannya diangkat. Lima kuku jarinya yang panjang hitam memancarkan sinar redup angker.
Tapi si kakek tidak perduli. Tanpa acuhkan ancaman orang ia teruskan nyanyiannya.

Bercinta di usia muda
Seharusnya senang di usia tua
Bermain asmara di masa remaja
Seharusnya menjalin suka di usia tua
Cinta khianat Asmara laknat
Darah mencuat Nyawa pun minggat
Kepada siapa mau minta tolong
Kekasih sendiri ingin menggolong
Kepada siapa hendak bertobat
Yang Kuasa sudah melaknat
Dendam cinta di utara
Dendam asmara di selatan
Membersit darah di barat
Meregang nyawa di timur

“Cukup! Nyanyianmu hanya mempercepat kematianmu!” teriak Sika Sure Jelantik. Lalu nenek ini menghantamkan tangan kanannya ke arah Tua Gila yang hanya terpisah tiga tombak di haluan perahu!
*
* *

212
DUA

Lima larik sinar hitam mencuat dari lima kuku tangan Sika Sure Jelantik. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Jalur Hitam Bam. Dendam. Sejak tiga puluh tahun yang kemudian si nenek telah menguasai ilmu kesaktian itu. Pada waktu itu ia mewarisinya dari seorang sakti di Gunung Siguntang. Mulanya ilmu kesaktian itu dinamakan Kilat Kuku Akhirat dan kehebatannya telah menggoncang ujung selatan daratan Andalas serta ujung barat tanah Jawa. Selama tiga puluh tahun berikutnya Sika Sure jelantik memperdalam kesaktiannya , ilmu Kilat Kuku Akhirat dibuatnya demikian rupa hingga jauh lebih hebat dari aslinya yang kemudian diberinya nama Jalur Hitam Bara Dendam. Selama sekian puluh tahun Jalur Hitam Bara Dendam tidak pernah dikeluarkannya. Disimpan lantaran hanya akan diperuntukkan pada seseorang yaitu kekasih dimasa muda yang kini menjadi musuh besarnya. Orang itu tidak lain yaitu Sukat Tandika alias Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati yang juga dikenal dengan julukan iblis Gila Pencabut Jiwa.
Tua Gila keluarkan seruan tertahan. Dia memang pernah mendengar kalau si nenek mempunyai ilmu kesaktian yang disebut Kilat Kuku Akhirat. Namun tidak diduganya bahwa ilmu tersebut demikian hebatnya. Orang renta ini segera sambar caping bam-bunya kemudian dilemparkan ke depan. Dia tahu caping bambu itu tidak akan sanggup menahan serangan ganas si nenek walau dialiri dengan tenaga dalamnya yang sangat tinggi. Namun paling tidak benda itu untuk sesaat akan sanggup menahan laju cahaya hitam yang menyambar laksana kilat!
“Wussss!”
Caping bambu berlubang di lima tempat kemudian hancur berkeping-keping dan bertaburan di udara sebelum jatuh ke laut.
“jahanam! Ke mana dia?! Hancur mampus karam ke dalam laut?!” ujar Sika Sure jelantik ketika melihat sosok Tua Gila tidak ada lagi di haluan perahu.
Sekonyong-konyong di belakangnya si nenek mendengar bunyi orang melantunkan nyanyian. Dia cepat balikkan tubuh.
Kalau dendam mengkremasi hati
Kalau dendam mengkremasi pikiran
Kasih indah dimasa muda seolah api
Membakar asmara menjadi ajang kematian.
Kalau hati berselimut dendam
Kalau darah dibakar amarah
Lautan cinta menjadi padang maut
Padang asmara menjadi neraka kematian
Tidakkah ada lagi kasih sayang di hati manusia
Tidakkah ada lagi seberkas kenangan indahnya
Asmara di hati insan
Apakah hidup kini hanya , dibatasi garis bara api
Yang benar dan yang salah
Yang sengsara dan yang sesat
Kalau kematian memang sudah di depan mata
Kalau malaikat maut memang sudah unjukkan diri
Lalu insan bertindak sebagai wakil pencabut nyawa
Alangkah sedihnya nasib dunia
Alangkah sengsaranya nasib umat
Tangis dan air mata bukan lagi penyejuk hati
Ratap minta pengampunan bukan lagi pelebur amarah
Datanglah maut Datanglah kematian
Dekap tubuh renta penuh dosa ini erat-erat dalam pelukanmu yang paling ganas
Kematian datangnya hanya sekejap Sengsara tetap berbekas hingga final zaman
Sika Sure jelantik tercekat mendengar nyanyian itu. Tangan kanannya yang sudah diangkat tinggi-tinggi siap melancarkan pukulan maut Jalur Hitam Bara Dendam bergetar keras. Hatinya berdegup kencang. Tenggorokannya turun naik menahan gelora di dada. Betapapun buasnya wanita renta ini namun ia terkesiap juga melihat ada butiran-butiran air mata menggelinding di pipi Tua Gila yang kini tegak tak bergerak di buritan bahtera , hanya terpisah kurang dari dua tombak. Namun kesiap yang menyelimuti si nenek hanya seketika.
“Air mata buaya! Bangsat penipu!” hati si nenek berteriak. Begitu amarah dan dendam kesumat kembali mengkremasi dirinya maka didahului oleh bentakan berangasan Sika Sure Jelantik hantamkan tangan kanannya. Lima larik sinar hitam seram menderu laksana kilat.
Si nenek berseru kaget dan tegang sendiri ketika di depan sana dilihatnya Tua Gila sama sekali tidak bergerak coba menangkis atau selamatkan diri dari pukulan mautnya. Kakek itu tegak laksana patung. Hanya wajahnya yang cekung tampak tersenyum. Mungkin senyum senang siap menyambut datangnya maut. Mungkin juga senyum penuh kesedihan derita hidup dan penyesalan.
“Sukat!” Entah sadar entah tidak pada dikala di-sadarinya bahwa orang di hadapannya itu tak akan luput dari , kematian Sika Sure Jelantik berteriak memberi ingat. Tapi terlambat.
“Wussss!!”
Lima sinar hitam menderu menggidikkan. Dua larik menyambar ke muka Tua Gila , dua membeset ke arah dadanya dan satu lagi melesat mencari sasaran di perut si kakek!
Sesaat lagi tubuh Tua Gila akan hancur berkeping-keping tiba-tiba dari dalam maritim membersit satu sinar biru. Demikian menyilaukannya sinar gila itu hingga si nenek terpaksa pergunakan tangan kiri untuk melindungi kedua matanya. Dia sama sekali tak sempat melihat bagaimana satu tangan laksana kilat menyambar kaki kanan Tua Gila. Lalu dilain kejap tubuh si kakek tertarik amblas ke dalam laut. Lima larik pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam melesat menyambar. Empat menghantam udara kosong. Yang kelima sempat menyambar pinggang Tua Gila.
Ketika Sika Sure Jelantik turunkan tangannya , gres ia melihat apa yang terjadi. Dia berteriak keras. Walau terlambat ia masih berusaha melompat. Tangan kirinya menyambar ke dada Tua Gila sebelum tubuh kakek ini lenyap masuk ke dalam laut.
“Breettt!”
Pakaian Tua Gila robek besar di potongan dada. Sika Sure Jelantik mencicipi sesuatu dalam genggaman tangannya. Di dikala yang sama ia juga melihat sebuah benda terlempar ke udara kemudian jatuh ke dalam laut.
“Apa yang terjadi? Apa ia menemui kematian oleh pukulan saktiku? Mati dan karam masuk ke dalam laut?!” Sika Sure Jelantik bertanya-tanya sambil memandang berkeliling. “Kalau ia mati , tubuhnya pasti hancur lebur. Taps tidak semua potongan tubuhnya akan amblas ke dalam laut. Pasti ada yang mengapung. Aku tidak melihat potongan-potongan tubuhnya. Aku tidak melihat darah…. Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?! Sukat! Sukat Tandika!”
Suara teriakan si nenek lenyap ditelan luasnya maritim dan tiupan angin di udara kosong. Tenggorokan wanita renta ini nampak turun naik. Mungkinkah penyesalan mendadak muncul di dalam hati wanita renta yang pernah menjalin asmara dengan Tua Gila ini? Sekonyong-konyong Sika Sure Jelantik menghambur masuk ke dalam laut. Sebagai seorang tokoh silat nenek ini mempunyai satu kepandaian yang tidak dimiliki tokoh lain. Dia bisa berada di dalam air untuk waktu lama. Namun hingga kesannya dadanya menjadi sesak , setelah sekian lama berada di bawah permukaan maritim untuk menyelidik apa yang terjadi dengan Tua Gila ia tidak menemukan sosok si kakek , juga tidak potongan tubuhnya kalau memang sudah cerai berai tadi dihantam pukulan saktinya. Hanya di salah satu tempat ia sempat melihat alur panjang berwarna merah. Darah!
Dengan penuh rasa frustasi dan tanda tanya besar dalam hatinya Sika Sure Jelantik naik ke permukaan maritim , berenang menuju bahtera layar yang terapung-apung tanpa penumpang.
Di atas bahtera lama sekali , si nenek duduk termenung dengan rambut pakaian dan tubuh lembap kuyup.
“Aneh , tubuhnya lenyap begitu saja. Tapi ada segelintir darah. Mungkinkah ia ditelan ikan besar yang tiba-tiba muncul?” Sika Sure Jelantik memandang! maritim di sekitarnya seolah berusaha melihat menembus hingga ke dasarnya. Berulangkali wanita renta ini menarik nafas panjang. Dia kemudian ingat pada benda yang masih tergenggam di tangan kiri-nya. Ketika diperiksanya kagetlah wanita renta ini. Dia pernah melihat benda itu sebelumnya jadi sudah mengenali apa adanya.
“Kotak perak penyimpan Kalung Permata Kejora! Permata handal penghancur segala kekuatan putih dan hitam!”
Dengan tangan gemetar si nenek segera membuka kotak perak itu. Matanya mendelik ketika melihat kotak itu tidak berisi apa-apa.
“Kosong!” ujar si nenek. Dia berpikir keras. “Mungkin belum terlambat!” katanya dalam hati. Lalu untuk kedua kalinya ia terjun ke dalam laut. Kali ini lama sekali dari pertama tadi. Karena sambil berusaha mencari kalung mustika itu ia juga mencoba menjajagi kalau-kalau bisa menemukan sosok tubuh Tua Gila. Setelah nafasnya terasa sesak dan ia tidak berhasil menemukan apa-apa si nenek kesannya kembali berenang ke permukaan maritim dan naik ke atas perahu.
“Apapun kecacatan yang terjadi , saya yakin ada sesuatu yang telah mengambil tubuh Sukat. Mungkin benar ikan besar , mungkin juga makhluk yang tak sanggup kubayangkan apa adanya! Tapi kalung itu? Aku tak mungkin menyelam hingga ke dasar laut. Tekanan air bisa memecahkan kepalaku! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kembali ke Gunung Siguntang atau menyeberang ke tanah Jawa…? Kalau ia tidak mati mungkin sekali kakek jahanam itu akan muncul di sana. Bukankah di sana banyak bekas gendaknya tempat ia bisa minta tolong?”
Sika Sure Jelantik tegak di atas bahtera , memandang berkeliling. Di sebelah depan yang tampak hanya lautan membentang luas. Di sebelah belakang kurang jelas tampak pulau di mana sebelumnya ia menetap menyamar menjadi Dukun Sakti Lang it Takambang. Tujuannya sesuai firasatnya yang tajam bukan lain yaitu untuk menunggu kemunculan Tua Gila. Ternyata firasatnya yang disembunyikannya selama bertahun-tahun itu tidak meleset. Sukat Tandika alias Tua Gila muncul di pulau! Namun setelah saling berhadapan ia gagal melaksanakan balas dendam. Si nenek kepalkan tangan kanannya.
“Bangsat renta itu lenyap secara aneh. Tak sanggup kupastikan apa masih hidup atau sudah mati. Lalu bagaimana pula saya harus mencari Pangeran Mata-hari yang telah membunuh adikku Ramada Suro Jelantik? Aku menyirap kabar Pangeran itu sudah amblas tamat riwayatnya di tangan murid Tua Gila si orang Jawa berjulukan Wiro Sableng. Apa benar…? Kalau murid renta bangka itu sanggup membunuh Pangeran Matahari berarti ia mempunyai kepandaian tidak dibawah si Tua Gila. Kalau ia ikut campur membela gurunya hemmm…. Urusan bisa jadi kapiran!” (Mengenai Ramada Suro Jelantik harap baca serial Wiro Sableng berjudul Guci Setan)
*
* *

212
TIGA

Kita kembali dulu ke tempat kediaman Ratu Duyung pada dikala Pendekar 212 Wiro Sableng berada di sana. Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Tua Gila Dari Andalas) dengan maksud menolong Ratu Duyung lepas dari kutukan yang telah menyengsarakan diri dan anak buahnya selama bertahun- tahun maka dari Pangandaran Pendekar 212 Wiro Sableng ikut bersama Ratu bermata biru itu ke tempat kediamannya di tempat maritim selatan.
Di sebuah tempat yang disebut Puri Pelebur Kutuk ketika Wiro dan Ratu Duyung saling berpelukan mendadak menyeruak busuk kembang kenanga yang amat santar. Bersamaan dengan itu Ratu Duyung yang memandang ke arah pintu melihat kemunculan seorang wanita muda manis berwajah pucat mengenakan kebaya panjang dan kain berwarna putih. Wiro sendiri sama sekali tidak melihat dan tidak mengetahui siapa adanya orang itu. Jelas yang tiba ini yaitu satu makhluk dari alam mistik yang memperlihatkan diri sebagai seorang gadis manis yang sama sekali tidak dikenal oleh Ratu Duyung sebaliknya tidak terlihat oleh mata Pendekar 212.
Selagi Ratu Duyung memberitahu apa yang dilihatnya kemudian berteriak memperingatkan Wiro lantaran gadis bermuka pucat itu mendekatinya , dalam kamar berkiblat sinar biru pukulan yang dilepaskan Ratu Duyung ke arah pintu di mana sosok gadis gila itu berada. Sebaliknya dari arah pintu Wiro sempat melihat melesatnya sebuah benda kuning kehijauan. Lalu. satu letusan dahsyat memporak-porandakan ruangan.
Di atas tempat tidur Ratu Duyung tersandar ke dinding. Mukanya sepucat kain kafan dan dari sela bibirnya ada darah kental mengucur menandakan telah terjadi satu bentrokan tenaga dalam sangat hebat. Seperti diketahui Ratu Duyung mempunyai kesaktian tinggi. Jika dirinya menderita luka dalam begitu parah berarti lawannya mempunyai tingkat kesaktian yang sulit dijajagi.
Dalam gelegar dahsyat yang memporak-porandakan Puri Pelebur Kutuk Pendekar 212 sendiri terpental kemudian terbanting ke lantai dan jatuh pingsan ketika hancuran benda kuning kehijauan merambas masuk ke jalan pernafasannya.
Ratu Duyung berusaha menyelamatkan Wiro yang hendak dilarikan oleh makhluk gila berwujud gadis manis bermuka pucat itu. Namun ia tidak berdaya dan hanya bisa berteriak-teriak. Enam orang anak buahnya menghambur masuk ke dalam ruangan dan terpekik melihat keadaan pimpinan mereka.
“Kejar!” teriak Ratu Duyung , Maksudnya biar anak buahnya mengejar gadis berkebaya panjang putih yang telah melarikan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun tiga orang anak buah sang Ratu yang kemudian melaksanakan pengejaran salah menduga. Mereka mengira Pendekar 212-lah yang telah mencelakai pimpinan mereka.
“Sebelumnya saya melihat dua pengawal mengantarkan perjaka itu ke Puri Pelebur Kutuk! Dia lenyap! Berarti ia yang telah mencelakai Ratu!” kata salah seorang anak buah Ratu Duyung yang melaksanakan pengejaran.
“Kurasa lebih jahat dari itu! Dia bermaksud keji! Hendak membunuh pimpinan kita!” kata gadis kedua. “Tapi ke mana lenyapnya perjaka keji itu?!”
Gadis ketiga berucap. “Pergunakan ilmu menyirap detak jantung. Dia pasti belum jauh. Kita musti sanggup mengejarnya!”
“Aku ingin sekali membunuhnya dan membantingkan mayatnya di depan Ratu!”
Gadis pertama berpikiran lebih panjang. “Ratu tidak sempat memberi petunjuk. Apa kita harus membunuh perjaka itu atau bagaimana. Menurutku kita menangkapnya dulu hidup-hidup kemudian membawanya ke hadapan Ratu. Biar Ratu yang tetapkan mau diapakan perjaka keparat itu. Heran , dasar manusia! Setahuku ia telah banyak mendapatkan kebajikan dari pimpinan kita? Mengapa ia tega-teganya berlaku jahat dan keji terhadap Ratu?!”
“Kalau sudah tahu perjaka itu licik mengapa kita harus membiarkan dan membawanya hidup-hidup ke hadapan Ratu? Di tengah jalan ia bisa memuslihati kita atau merayu kita dengan ketampanannya. Kita bisa celaka semua!”
“Sudahlah , mengapa kita menghabiskan waktu dengan berdebat. Lekas kerahkan aji Kesaktian Menyirap Detak jantung.”
Tiga gadis anak buah Ratu Duyung tegak tak bergerak kemudian dongakkan kepala. Yang pertama mendongak ke arah timur , yang kedua ke arah utara dan satunya lagi ke jurusan barat.
Setelah beberapa jurus berlalu gadis yang mendongak ke arah utara dan timur hentikan perbuatannya memusatkan pikiran. Kepalanya yang mendongak diturunkan. Keduanya saling pandang sesaat.
“Aku tidak mencicipi getaran apa-apa…” kata yang satu.
Kawannya menyahuti. “Aku juga….”
Lalu mereka berpaling pada mitra yang menghadap ke barat. Saat itu gadis ketiga anak buah Ratu Duyung ini tampak tegak dengan mata terpejam sedang sekujur tubuh bergetar. Perlahan-lahan ia turunkan kepalanya kemudian membuka mata dan menatap tajam tak berkesip jauh ke arah barat. Dengan dua jari tangan kanannya ia menekan pergelangan tangan kiri sempurna pada dua urat besar. Dua jari tangan tampak tersentak-sentak.
“Aku berhasil menyirap detak jantung Pendekar 212. Dia berada di jurusan barat. Kita mengejar ke sana…!” kata si gadis. Baru saja ia berkata begitu tiba-tiba tubuhnya jatuh terjengkang. Mukanya pucat seolah kehilangan darah.
“Nandiri!” dua sahabat terpekik menyebut namanya. Lalu mereka cepat menolong mitra yang roboh itu. Salah seorang usikan pertanyaan. “Apa yang terjadi Nandiri? Apa yang kau rasakan?!”
“Detak jantung dan darah dalam nadiku keras sekali. Jelas perjaka itu berada di arah barat. Aku sanggup menyirap detak jantung orang itu. Ada sesuatu yang aneh. Dia bisa berada jauh dari tempat ini. Jarak kita dan ia terpisah hampir tiga hari perjalanan. Padahal pada waktu kita menerobos masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk ia belum lama berlalu. Selagi saya menyirap tiba-tiba ada satu kekuatan dahsyat tak kelihatan menghantam diriku….” Nandiri melamun sebentar. Dia mencicipi mulutnya hangat dan asin. Ketika ia meludah ke tanah yang diludahkannya ternyata darah.
“Kau terluka di dalam Nandiri!”
Si gadis mengangguk membenarkan.
“Kalau begitu biar saya dan Manumi yang melaksanakan pengejaran. Kau lekas kembali dan minta obat pada Ratu….”
“Sebetulnya saya tetap ingin melaksanakan pengejaran…” kata Nandiri.
“Jangan bodoh! Kau terluka di dalam. Kita tak tahu apa obatnya. Lekas kembali ke Ratu!”
Dengan rasa terpaksa gadis berjulukan Nandiri itu kesannya mengikuti pesan yang tersirat teman-temannya. Setelah tinggal berdua Manumi berkata pada kawannya. “Kiani , kita harus bertindak cepat. Biar saya menjajagi arah sempurna di mana perjaka itu berada.”
“Sesuai keterangan Nandiri kita sudah tahu ke arah mana larinya perjaka jahat itu. Kita pribadi saja menuju ke sana. Aku khawatir kau akan mengalami nasib sama mirip Nandiri. Ada kekuatan tak terlihat menghantam dirinya….”
Mendengar itu Manumi anggukkan kepala. Dua gadis manis anak buah Ratu Duyung segera berkelebat ke arah barat. Kembali ke tempat kediaman Satu Duyung.
Empat orang gadis manis , membawa Ratu Duyung keluar dari Puri Pelebur Kutuk yang telah porak poranda itu. Tubuh Ratu Duyung ditutup dengan kain beludru bantalan tempat tidur. Lalu sang Ratu diamankan ke sebuah bangunan dimana terletak satu ruang ketiduran yang bagus. Dengan cepat beberapa gadis yang mempunyai kepandaian pengobatan melaksanakan pemeriksaan.
“Aneh , tak pernah saya melihat luka dalam mirip ini!” kata salah seorang gadis memeriksa. Teman-temannya membenarkan. “Jelas Ratu terkena satu pukulan jahat. Tapi di potongan mana?”
“Agaknya kita terpaksa harus menanggalkan kain epilog aurat Ratu dan menyidik setiap sudut tubuhnya.”
“Itu menyalahi akhlak , aturan dan pantangan. Kau tahu apa hukumannya jikalau kelak Ratu mengetahui kita telah menyidik tubuhnya dalam keadaan tanpa pakaian….”
Sesaat semua anak buah Ratu Duyung yang ada di tempat itu jadi terdiam. Namun salah seorang dari mereka kemudian berkata. “Yang kita lakukan yaitu menyelamatkan nyawa Ratu. Kalaupun kelak Ratu mengetahui kurasa ia bisa memaklumi….”
Setelah terjadi negosiasi singkat kesannya para gadis membuka gulungan kain beludru yang menutupi tubuh pimpinan mereka. Sosok yang bagus mulus dan berada dalam keadaan tanpa pakaian itu mereka periksa dengan teliti.
“Aneh , kita sama sekali tidak melihat bekas pukulan sedikit pun. Tak ada cidera di potongan luar tubuh Ratu…” kata gadis yang tegak di kepala tempat tidur. Semua anak buah Ratu Duyung yang ada di situ melamun saling pandang.
“Ratu terkena pukulan sakti yang menembus jaringan tubuh tanpa merusak potongan luar. Kita tidak sanggup menduga apa yang terjadi di sebelah dalam. Bahkan kita tidak tahu potongan mana yang terluka ,” menyahuti gadis lainnya.
“Kalau begitu kita harus mengusahakan biar Ratu siuman dulu. Lalu menanyakan potongan mana yang dirasakannya sakit. Setelah itu gres kita melanjutkan dengan pengobatan.”
Enam orang gadis yang berada di sekitar tempat tidur kemudian acungkan jari telunjuk masing-masing. Satu jari ditekankan ke atas kening Ratu Duyung. Jari kedua ditusukkan di permukaan leher. Dua jari ditekankan ke potongan dada , satu lagi sempurna di atas pusar dan yang terakhir pada telapak kaki kiri. Salah seorang dari enam gadis memberi tanda. Lalu tampak jari-jari tangan mereka bergetar halus. Bersamaan dengan itu satu cahaya biru terang menyilaukan keluar dari enam jari telunjuk , masuk ke dalam tubuh Ratu Duyung hingga tubuh yang telanjang itu kini tampak terbungkus oleh sinar terang benderang berwarna biru.
Enam gadis perlihatkan perubahan pada wajah masing-masing ketika mereka merasa ada satu kekuatan gila keluar dari tubuh Ratu Duyung. Dan itu bukan kekuatan atau hawa sakti yang dimiliki sang Ratu! Mereka coba bertahan. Tiba-tiba tubuh mereka terpental. Masing-masing keluarkan seruan kaget dan kesakitan. Dengan muka pucat dan mata mendelik mereka menyaksikan luka gila pada ujung jari. Dari luka itu mengucur darah segar.
“Cepat totok urat besar di lekuk siku!” salah seorang gadis berteriak memberi ingat. Lalu menotok urat besar di pertengahan lengannya. Lima kawannya segera melaksanakan hal yang sama. Kucuran darah segera terhenti. Dari warna darah yang keluar mereka maklum kalau tidak ada racun masuk ke dalam tubuh mereka. Ini menciptakan keenam gadis tersebut merasa agak lega.
Sementara itu di atas tempat tidur sekujur tubuh Ratu Duyung masih tampak diselimuti sinar biru. Perlahan-lahan sinar terang itu meredup dan kesannya sirna sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya sinar biru sepasang mata Ratu Duyung yang terpejam tampak bergerak-gerak. Lalu perlahan-lahan mata itu mulai membuka. Sesaat sang Ratu menatap ke langit-langit ruangan. Otaknya segera bekerja dan menyadari bahwa dirinya tidak lagi berada di Puri Pelebur Kutuk tetapi di ruang ketidurannya sendiri. Lalu ia teringat pada perjaka itu.
“Wiro…” katanya menyebut nama setengah berbisik. “Apakah kau ada di sini…?”
Pandangan mata sang Ratu mendadak membentur sosok tubuhnya sendiri yang terbaring tanpa mengenakan apa-apa. Sang Ratu keluarkan seruan tertahan melihat keadaan dirinya. Serta merta ia menyambar kain beludru dan menutupi tubuhnya. Lalu dengan cepat ia bergerak duduk.
Melihat hal ini enam orang anak buahnya segera jatuhkan diri. Masing-masing dilanda rasa takut dikarenakan telah melanggar pantangan besar yaitu melihat tubuh Ratu dalam keadaan tidak tertutup selembar benang pun. Ratu Duyung menatap paras anak buahnya satu persatu dengan sepasang matanya yang biru. Ketika- ia hendak membuka verbal menegur tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi belasan orang berlarian sambil berseru tiada hentinya.
“Ratu… Ratu… Ratu…!”
*
* *

212
EMPAT

Di dalam goa yang terletak di bukit Jatianom di tenggara Gunung Merapi Pendekar 212 Wire Sableng duduk bersila dengan mata terpejam. Sejak beberapa hari ini ia berusaha mengheningkan cipta , mengatur jalan nafas serta peredaran darah. Walau ia bisa melaksanakan hal itu namun tenaga dalam yang diharapkannya bisa muncul kembali tidak kunjung menjadi kenyataan.
“Agaknya kutukan seratus hari kehilangan kesaktian itu bukan main-main ,” membatin Wiro. Pikirannya yang tadi bening kini kembali dihantui oleh banyak sekali pertanyaan.
Pertama sekali ia teringat pada Ratu Duyung , orang yang kini sangat dibencinya. “Kalau bukan lantaran ia , saya tidak akan kehilangan tenaga dalam dan kesaktian. Walau cuma seratus hari tapi dalam waktu sekian lama sesuatu bisa terjadi mencelakai diriku. Atau mungkin memang sudah ditakdirkan saya punya jalan nasib mirip ini…?”
Lalu Wiro ingat pula pada gurunya sendiri yakni Sinto Gendeng serta orang renta sakti berjuluk Kakek Segala Tahu. “Mereka mendorongku untuk melaksanakan hal itu. Tidur dengan Ratu Duyung! Padahal celaka yang saya hadang!” Wiro mengumpat panjang pendek dalam hati. Tadinya ada terpikir di hati Pendekar 212 untuk pergi ke Gunung Gede menemui gurunya sesuai dengan ajuan Bunga. Namun setelah dipertimbangkannya lebih jauh ia menentukan untuk tetap mendekam saja di goa di bukit Jatianom itu.
Wiro memandang ke dinding goa sebelah kiri. Di situ ia menciptakan guratan-guratan pendek untuk menghitung hari. Ada tujuh guratan berarti sudah tujuh hari ia berada di tempat itu semenjak Bunga meninggalkannya.
“Bunga…” desis Wiro. “Kau mencemburui Ratu Duyung. Satu bukti kau mengasihi diriku. Aku berdusta kalau kukatakan saya tidak mencintaimu. Namun selain kita berada dalam dua dunia yang berbeda , dasar cinta dalam diriku agaknya tidak memungkinkan kita untuk bersatu. Aku… ah!” Wiro menghela nafas berulangkali. Ingatannya melayang pada Bidadari Angin Timur. “Aku begitu mencintai-nya sepenuh hati. Aku tidak dapat-menerka bagaimana hatinya sendiri terhadapku. Terakhir sekali waktu berpisah di Pangandaran ia menggunakan dalih mengurus mayat saudara kembarnya untuk menghindar bersamaku. Padahal dulu saya sudah membawa dan mempertemukannya dengan Eyang Sinto Gendeng. Tega sekali dirinya. Namanya pun tak mau diberi tahu padaku. Kalau saya hanya bertepuk sebelah tangan apakah saya harus meneruskan cinta gila ini? Aku bisa mampus sendiri!” Wiro kemudian garuk-garuk kepala berulangkali.
Dari balik baju putih tunjangan Bunga , Pendekar 212 keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Walau ia telah berulangkali membaca isi kitab itu dan boleh dibilang hafal setiap kalimat di dalamnya namun dikala itu Pendekar 212 kembali menekuni apa yang tersurat dan tersirat. di dalamnya.
Bilamana tiba kebenaran
maka meraunglah para iblis pembawa kejahatan
Kejahatan mungkin bisa berjaya
Tapi pada dikala kebenaran dan keadilan muncul
tak ada satu kekuatan lain bisa membendungnya
Wiro berhenti membaca. Dia merenung. “Apakah dikala ini ada kebenaran dan keadilan untuk diriku…?” Lalu gres meneruskan membaca.
Kejahatan mengkremasi dan merusak laksana api
Tetapi api itu sendiri sebenarnya
adalah kekuatan dahsyat
Yang diarahkan para Dewa untuk mengkremasi mereka
Bilamana api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berkhasiat
“Gila! Ini cocok dengan keadaan diriku! Api telah memusnahkan diriku. Penyesalan tiada berguna! Aku harus merasa sengsara selama sembilan puluh tiga hari lagi!”
Wiro hingga ke halaman ketiga. Dia membaca dengan tekun. Walau kadang kala ia tampak cengar-cengir , merutuk dan mengomel namun membaca Kitab Putih Wasiat Dewa itu sanggup menentramkan hatinya.
Delapan Sabda Dewa yaitu delapan jalur keselamatan.
Tanah Sabda Dewa Pertama.
Manusia berasal dan dijadikan dari tanah
Kepada tanahlah insan akan kembali
Karenanya insan dihentikan congkak dan takabur
dan harus ingat bahwa dirinya berasal dari gumpalan debu yang hina
Yang kuasa kemudian memperlihatkan kehormatan ,
menjadikannya makhluk pilihan lantaran mempunyai pikiran
yang membedakannya dengan binatang
Tanah potongan dari bumi ciptaan Yang Kuasa
diberikan kepada insan untuk tempatnya berlindung diri , berkaum-kaum dan mencari rezeki
Karenanya tidaklah layak kalau insan me-rusak tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta berbuat kejahatan di atasnya
Tanah dan bumi diberikan Yang Kuasa untuk kebahagiaan ummat manusia.
Karenanya insan wajib berterima kasih dengan jalan memeliharanya.
Tanah tempat kaki berpijak. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung
Ketika tanah dijadikan ajang pertumpahan para Dewa pun gelisah dalam murung dan kecewa
Mengapa insan tidak berpikir dan berterima kasih?
Lama Wiro termenung. Kalimat terakhir yang barusan dibacanya berkesan mendalam di lubuk hatinya. “Mengapa insan tidak berpikir dan berterima kasih…?” Wiro garuk-garuk kepala. Dia menatap jauh ke luar goa. Ke arah tetumbuhan menghijau serta sungai kecil yang mengalir di bawah sana. “Mungkinkah saya yang tidak berpikir dan tidak berterima kasih dalam hidup ini? Hingga mengalami celaka mirip kini ini?! Di dalam kitab ini tertulis para Dewa pun gelisah dalam murung dan kecewa. Hemmm…. Dewa saja bisa gelisah , murung dan kecewa. Apalagi saya si sableng ini! Hik… hik… hik!” Wiro tertawa sendiri dan kembali garuk-garuk kepala.
Kemudian Wiro meneruskan membaca Sabda Dewa Kedua , terus Sabda Dewa Ketiga.
Api Sabda Dewa ketiga
Ketika kecil menjadi kawan
Sewaktu besar menjadi lawan
Mengapamanusiatidak mau berpikir dalam mencari manfaat dari pada kualat?
Api mengkremasi seganas iblis
Di dalam tubuh insan ada api yang bisa merubah insan menjadi iblis
Barang siapa tidak bisa melawan api , bumi dan tanah akan meratap , air akan menangis , insan akan menjadi api untung neraka
Para Dewa terhempas dalam perkabungan
Wiro meneruskan bacaannya.
Bulan Sabda Dewa Kelima
Sumber kesegaran dunia ini muncul di kala malam
Tiada keindahan melebihi malam dengan rembulan penuh memancarkan cahayanya yang lembut
Mengapa insan tidak bisa selembut sinar rembulan?
Padahal insan mempunyai pikiran , bulan tidak
Padahal insan mempunyai hati , rembulan tidak
Bukankah kelembutan sinar rembulan mencerminkan perasaan kasih?
Kasih dari orang renta terhadap anaknya
Kasih seorang perjaka pada gadis curahan hatinya
Kasih sesama insan
Bahkan hewan pun mempunyai rasa kasih
Lalu mengapa insan terkadang melupakan-nya?
Mengapa kasih sanggup berubah menjadi kebencian yang mendatangkan azab dan sengsara?
Dari siapa para Dewa akan mendapatkan jawaban?
Sampai di situ kembali Wiro merenung. Terbayang lagi di pelupuk matanya wajah Ratu Duyung , Bunga , Bidadari Angin Timur kemudian muncul paras jelita Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh.
“Ada rembulan di hatiku , ada rembulan di hati mereka. Tapi rembulanku dan rembulan mereka tidak sama. Apa yang saya dambakan tak pernah terkabul.” Lalu kembali kekonyolan muncul dalam dirinya. Sambil menggaruk kepala ia berkata. “Kalau Dewa tak kunjung mendapatkan tanggapan , bagaimana saya si sontoloyo ini! Ha… ha… ha!”
Tersentuh oleh kalimat-kalimat dalam Sabda Dewa Ke-lima itu Pendekar 212 kemudian ambil Kapak Naga Geni 212. Beberapa lamanya dipandanginya senjata mustika sakti yang kini tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan apa-apa lagi bagi dirinya. Senjata warisan Eyang Sinto Gendeng ini kemudian diusap-usapnya di potongan mata dan gagangnya yang terbuat dari gading putih. Matanya memperhatikan enam buah lobang di gagang kapak serta ujung gagang yang berbentuk kepala naga. Selama ini jarang sekali ia memperhatikan senjata itu dengan seksama lantaran selalu disimpan dan disembunyikan di balik pakaian. Baru di-keluarkan kalau menghadapi bahaya. Kini memandangi senjata itu seolah gres menyadari , Wiro ingat bahwa gagang Kapak Naga Geni 212 bisa berubah menjadi sebuah seruling yang jikalau ditiup dengan mempergunakan tenaga dalam sanggup merusak indera pendengaran dan mengacaukan jalan darah musuh!
Perlahan-lahan Wiro angkat senjata itu yang kini terasa begitu berat. Mulut kepala naga didekatkannya ke bibirnya. Dia mulai meniup. Walau tidak lagi mempunyai tenaga dalam namun tiupan yang dilakukan Wiro cukup menggetarkan , penuh gelora perasaan. Nyanyian yang mencuat dari seruling gagang kapak sakti itu melantun lembut berhiba-hiba. Wiro tidak tahu entah berapa lama ia meniup. Lebih dari itu juga tidak mengetahui kalau tak jauh dari goa seorang gadis berpakaian biru yang duduk , di atas sebuah kerikil , mendekam bersembunyi di balik serumpun semak belukar termenung sendu mendengar bunyi tiupan serulingnya. Sepasang matanya yang bagus tampak berkaca-kaca. Beberapa kali hatinya berontak mendorong biar segera keluar dari persembunyiannya dan menemui Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun setiap dirinya terbujuk seolah ada kekuatan yang melarangnya untuk tidak melaksanakan hal itu.
Seolah ada bisikan di telinganya. “Menemui perjaka itu akan mendatangkan seribu kebahagiaan dalam dirimu. Namun dibalik kebahagiaan itu mungkin akan muncul banyak sekali malapetaka yang akan menimbulkan murung derita bagi masa depanmu….”
Bisikan tadi menciptakan gadis berbaju biru itu tidak beranjak dari kerikil yang didudukinya. Namun mendadak terdengar bunyi bisikan lain.
“Jangan mendustai diri sendiri. Kau sadar se-penuh hati bahwa kau mengasihi perjaka itu. Selama ini kau berlari dalam lingkaran menipu diri sendiri. . Apakah tujuan dan final perjalanan hidup seorang gadis kalau bukan dicintai dan mencintai? Kau tahu ia mencintaimu. Kau mengasihi dirinya. Apalagi yang kau tunggu? Apa kau gres akan menyatakan cintamu setelah kau menjadi seorang nenek atau setelah terlambat lantaran orang yang kau cintai itu jatuh ke tangan gadis lain? Jangan bersikap buta. Bukan hanya kau seorang yang mencintainya. Kau tahu bahkan kenal sederetan gadis-gadis manis yang mencintainya setulus hati….”
Bisikan terakhir ini sangat mensugesti gadis berbaju biru yang bukan lain yaitu Bidadari Angin Timur. Sejak berpisah di Pangandaran dulu perasaan cinta kasihnya terhadap Pendekar 212 sulit ditekan dan disembunyikannya. itulah sebabnya setelah mengurus mayat saudara kembarnya yang menemui kematian di tangan Pangeran Matahari , Bidadari k Angin Timur berusaha mencari perjaka itu , Kini setelah melalui perjalanan panjang kesannya ia berhasil mengetahui kalau Pendekar 212 Wiro Sableng berada di sebuah goa di bukit Jatianom. Walau ada perasaan heran mengapa hingga Wiro tersesat ke bukit itu dan apa yang tengah dilakukannya namun perasaan ingin bertemu menciptakan Bidadari Angin Timur melupakan segala-galanya. Kini setelah ia berada begitu bersahabat dengan perjaka tersebut kembali kebimbangan melanda dirinya.
Dengan ujung pakaian birunya Bidadari Angin Timur mengusut pinggiran matanya yang basah. Ditebarkannya hatinya kemudian bangun berdiri. Namun gerakannya hendak meneruskan langkah tertahan ketika ada dua bayangan berkelebat. Dua gadis manis mengenakan pakaian ketat dengan belahan dada sangat lebar muncul tak jauh dari tempatnya berada.
Dalam kejutnya Bidadari Angin Timur segera mengenali siapa adanya dua gadis itu. “Anak-anak buah Ratu Duyung. Ada apa mereka tiba ke sini? Jangan-jangan untuk menjemput Wiro. Ah….” Dada Bidadari Angin Timur berdebar keras. Mukanya menjadi merah oleh rasa cemburu yang amat sangat. “Mungkin kekerabatan Wiro dengan Ratu Duyung sudah sangat jauh daripada yang saya bayangkan. Belum lama berselang kuketahui ia berada di tempat kediaman gadis bermata biru itu. Mungkin ia telah menjadi milik sang Ratu. Mungkin saya sudah terlambat mirip yang dikatakan bunyi bisikan tadi….”
Tak bisa berpikir lebih jauh kesannya Bidadari Angin Timur menuruni bukit ke arah selatan , matanya lembap berurai tangis.
*
* *

212
LIMA

Belum hilang kejut Ratu Duyung dan para gadis yang ada dalam ruangan ketiduran itu belasan anak buah Ratu Duyung telah menghambur masuk ke tempat itu. “Kalian berani masuk ke tempat ini tanpa izinku?!” hardik Ratu Duyung.
“Ratu! Kami…”
“Diam!” hardik sang Ratu dengan mata membeliak. Kemudian ia melihat ada kelainan pada pakaian dan keadaan diri semua anak buahnya yang barusan masuk ke tempat itu. Dia melihat gadis-gadis ini mengenakan pakaian dalam keadaan setengah basah. Rambut mereka juga kuyup dan air dari tubuh mereka jatuh menetes membasahi lantai. Namun di balik semua itu sang Ratu melihat satu kecacatan yang selama ini tidak mungkin terjadi. Mendadak jantungnya berdebar keras dan tengkuknya terasa dingin.
“Ratu dalam keadaan tidak sehat! Kalian semua harap segera meninggalkan ruangan ini!” Salah seorang dari enam gadis yang ada di sisi tempat tidur membentak.
Ratu Duyung angkat tangan kanannya. Dengan bunyi bergetar ia berkata. “Salah seorang dari kalian yang gres masuk lekas menerangkan apa yang terjadi!”
Seorang gadis yang rambutnya lembap riap-riapan di depan dada maju dua langkah dan menjura. Sebelum sempat bicara ia sudah sesenggukan duluan. Teman-temannya yang lain juga tampak berusaha menahan isak. Enam gadis di samping tempat tidur menjadi heran. Ratu Duyung sendiri mirip tidak sanggup menahan gemuruh di dadanya.
“Lekas jelaskan! Jangan pikiranmu mensugesti hatimu!” ujar Ratu Duyung dengan bunyi masih keras padahal ia sendiri dikala itu bergotong-royong sudah tidak sanggup menahan hati.
“Ratu , kami mengalami peristiwa aneh. Seperti biasa pagi ini kami semua pergi ke telaga untuk mandi dan mencuci. Begitu kami menyentuh air sepasang kaki kami tidak berubah menjadi ekor ikan. Kami…” Ucapan si gadis tersendat. Ada air mata meluncur di kedua pipinya.
“Teruskan keteranganmu!” hardik Ratu Duyung ,
“Kami… kami tidak percaya melihat hal itu. Ramai-ramai kami kemudian masuk ke dalam telaga. Terus kebagian yang paling dalam. Sampai tubuh kami karam sebatas leher , sosok kaki kami tetap tidak berubah menjadi ekor ikan….” Sampai di situ si gadis tak sanggup lagi menahan tangisnya. Kawan-kawannya yang lain juga mulai tersedu sedan.
“Ratu…. Apakah kami telah bebas dari kutukan selama bertahun-tahun itu?” Salah seorang dari para gadis yang berpakaian lembap bertanya.
Ratu Duyung tidak bisa segera menjawab. Pikirannya melayang pada saat-saat ketika ia berada berdua-duaan dengan Wiro Sableng di atas tempat tidur di Puri Pelebur Kutuk. Saat itu walau mereka berdua tidak lagi mengenakan pakaian dan tak ada selembar benang pun yang membatasi tubuh mereka , namun Wiro sama sekali belum melaksanakan apa-apa. Pemuda itu belum hingga pada keadaan untuk membuatnya lepas bebas dari kutukan. Namun dikala ini mengapa belasan anak buahnya muncul memberitahu bahwa tubuh mereka sama sekali tidak mengalami perubahan kendati tersentuh air? Apakah mereka telah bebas dari kutukan termasuk dirinya dan enam gadis yang sebelumnya ada bersamanya?
Untuk beberapa lamanya keadaan dalam ruangan besar itu menjadi sunyi. Hanya sedu-sedan tertahan yang terdengar di sana sini. Enam gadis di bersahabat Ratu Duyung memandang pada pimpinan mereka seolah hendak bertanya apa yang akan dilakukan.
Ratu Duyung tutupkan kain beludru biru di tubuhnya kemudian ia turun dari atas tempat tidur.
“Ratu , harap jangan turun dulu. Kau masih dalam keadaan terluka…” seorang gadis mengingatkan.
“Aku sudah sembuh. Bukankah kalian telah menolongku mengusir kekuatan gila yang coba .mendekam dalam diriku? Kalian berhasil walau terpaksa harus mengalami luka di jari masing-masing…. Anak-anak , saya dan enam temanmu belum membuktikan sendiri. Namun saya percaya. Kebesaran pertolongan Tuhan telah tiba menolong kita. Aku yakin dikala ini kini semua telah bebas dari kutukan yang selama ini jatuh atas diri kita….”
Ruangan itu jadi ramai oleh banyak sekali suara. Ada gadis yang bersorak bangga , ada yang mengangkat-angkat tangan tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada juga yang kembali sesenggukan.
“Anak-anak dikala ini kita pantas bersyukur. Kalian semua ikut saya menghadap ke timur. Kita sama-sama bersujud menyatakan syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa!”
Lalu Ratu Duyung memutar tubuh menghadap ke timur dan bersujud. Apa yang dilakukannya diikuti oleh semua anak buahnya. Sambil bersujud banyak di antara mereka yang tak sanggup lagi menahan tangis.
Ratu Duyung berdiri. Dia memandang pada enam gadis di hadapannya. “Aku tahu , mirip saya kalian tentu sudah tidak sabar untuk membuktikan apakah kita benar-benar telah bebas. Ambilkan pakaian pesalin untukku. Lalu kita semua menuju telaga….”
Semua gadis yang ada di situ serta merta memberi jalan pada sang Ratu dan enam temannya. Mereka beramai-ramai menuju ke telaga yang terletak di satu jalan menurun menuju pedataran rendah berbentuk lembah kecil dikelilingi bebatuan.
Ratu Duyung sesaat tegak di pinggiran telaga. Enam anak buahnya berjajar di belakangnya. Seperti tidak sabaran sang Ratu kemudian melompat menerjunkan diri ke dalam telaga , pribadi menyelam di potongan paling dalam. Enam anak buahnya mengikuti. Tak lama kemudian kepala Ratu Duyung muncul di permukaan air. Senyum suka cita kelihatan di wajahnya yang jelita. Sepasang matanya bersinar indah. Dia mengangkat kedua kakinya ke permukaan air. Ternyata sepasang kakinya yang bagus tidak berubah menjadi ekor ikan. Para gadis di sekelilingnya bersorak sorai. Ratu Duyung angkat tangan kanannya kemudian berteriak keras.
“Terima kasih Tuhan! Kau telah menolong kami! Saat ini kami semua bebas dari kutukan. Terima kasih… terima kasih Tuhan!”
Ucapan sang Ratu serta merta diikuti oleh belasan anak buahnya. Suara para gadis itu menggemuruh di seantero telaga. Di tepian telaga Ratu Duyung kemudian mengumpulkan anak buahnya.
“Kita telah berterima kasih pada Tuhan , namun kita juga harus berterima kasih pada seseorang. Tuhan menjadi Yang Maha Besar dan Ma ha Kuasa menolong kita. Tapi orang itu yaitu seolah kunci wasiat yang diberikan Tuhan untuk membuka pintu menolong kita keluar dari kutukan….”
Walau banyak yang sudah sanggup menduga namun salah seorang dari anak buah Ratu Duyung usikan pertanyaan.
“Kalau kami boleh tahu Ratu , siapakah adanya orang itu?”
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Pemuda gondrong yang tempo hari pernah kita jatuhi eksekusi bersama si Dewa Ketawa. Yang hari ini kembali berkunjung ke sini dan ikut bersamaku masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk.”
“Kalau memang ia orangnya kita pantas mencarinya untuk mengucapkan terima kasih. Dimanakah ia kini Ratu…?”
“Dia tidak ada di sini lagi. Justru hal inilah yang membuatku gelisah. Ketika kami berdua berada di Purl Pelebur Kutuk tiba-tiba ada makhluk berwujud wanita mengenakan pakaian serba putih , manis tapi bermuka pucat muncul dan melarikan perjaka tuan penolong kita itu….”
“Jika ada orang berniat jahat padanya , lantaran ia mempunyai ilmu silat tinggi dan kesaktian pasti ia bisa menghajar prang itu!” kata salah seorang gadis dalam ruangan.
Ratu Duyung terdiam. Di wajahnya terperinci tampak bayangan rasa gelisah.
“Ratu , apakah kau menghadapi kesulitan? Katakan pada kami biar kami bisa membantu memecahkan masalahnya ,” ujar gadis yang tegak sempurna di samping kanan Ratu Duyung.
Sang Ratu menggigit-gigit bibirnya. “Sebenarnya hal ini tidak perlu saya beritahukan pada kalian. Namun pengorbannya begitu besar. Aku tak ingin menutupi kebesaran jiwa dan hatinya. Biarlah saya berterus terang ,…” Setelah memandang berkeliling maka berkatalah sang Ratu bermata biru itu. “Seolah sudah ditakdirkan , kutukan yang menimpa diri kita selama bertahun-tahun hanya bisa dimusnahkan jikalau ada seorang perjaka yang saya cintai dan juga mengasihi diriku , melaksanakan kekerabatan tubuh denganku bukan berdasarkan nafsu. Pemuda itu ternyata yaitu seorang Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan saja lantaran ia seorang ganteng atau sakti , tetapi lantaran ia seorang bujangan. Maksudku masih perjaka….” Paras sang ratu sesaat tampak merah. Lalu ia melanjutkan. “Kali pertama ia tiba ke sini saya tak berhasil meyakinkan dirinya untuk menolong diriku dan diri kalian. Kemudian entah apa yang merubah hatinya , pada pertemuan di Pangandaran di mana Pang masa n Matahari berhasil dibunuhnya ia bersedia ikut ke sini. Kami masuk ke dalam Puri Pelebur Dosa. Pada dikala ia melaksanakan pertolongan tiba-tiba ada makhluk berwujud wanita muda manis tapi berwajah pucat , berpakaian kebaya panjang dan kain putih masuk ke dalam Puri. Anehnya Pendekar 212 tidak sanggup melihatnya sedang saya bisa melihat jelas. Aku maklum kalau orang ini bukan insan sembarangan , sebangsa makhluk halus yang bisa memperlihatkan diri dalam wujudnya yang asli. Ketika saya sadar ia hendak melarikan Pendekar ,212 saya segera menyerangnya dengan pukulan sakti. Perempuan berkebaya putih balas menyerang dengan sebuah benda berwarna kuning kehijauan dan menebar busuk bunga kenanga. Aku berhasil menghantam hancur senjatanya yang ternyata sekuntum kembang kenanga itu. Namun ternyata ia mempunyai kepandaian dan kesaktian jauh melebihi diriku. Kembang kenanga hancur , saya sendiri terbanting ke atas tempat tidur. Menderita luka dalam yang cukup parah. Sebaliknya Pendekar 212 Wire- Sableng kulihat roboh pingsan. Dalam keadaan tak berdaya saya hanya bisa berteriak sewaktu wanita itu melarikan Wiro. Aku sendiri kemudian tak sadarkan diri. Baru siuman setelah kalian menolongku. Aku berterima kasih pada kalian…. Dan saya begitu senang serta bersyukur pada Tuna n bahwa ternyata kita semua kini telah terbebas dari kutukan yang selama ini menciptakan kita hidup setengah insan setengah ikan. Namun kebebasan itu dibayar mahal oleh Pendekar 212. Selama seratus hari ia akan kehilangan semua ilmu kepandaian yang dimilikinya. Termasuk ilmu silat , kesaktian dan tenaga dalam , itulah yang saya gelisahkan… Aku tidak sanggup memastikan apakah wanita muda yang menculik Pendekar 212 bermaksud jahat atau baik.”
Untuk beberapa lamanya ruangan itu menjadi sunyi. Lalu terdengar bunyi beberapa orang berbisik-bisik. Ratu Duyung memandang berkeliling. Sesaat kemudian ia berkata. “Ada di antara kalian yang ingin menyampaikan sesuatu? Jangan kasak kusuk berbisik-bisik. Aku tidak melihat Manumi dan Kiani. Di mana mereka?”
Beberapa orang gadis memandang pada Nandiri. Anak buah Ratu Duyung yang satu ini melangkah ke hadapan sang Ratu kemudian menjura. “Ratu , pasti kau tidak berkenan dengan keterangan ini. Manumi dan Kiani tengah melaksanakan pengejaran terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Melakukan pengejaran?” ujar Ratu Duyung dengan sepasang mata biru membesar. Dadanya berdebar. Dia yakin telah terjadi satu kekeliruan. “Mengejar dengan maksud apa?!”
“Ratu , setelah mendengar keterangan Ratu tadi terperinci di antara kami termasuk saya telah melaksanakan kesalahan. Waktu saya dan lima sahabat mendengar jeritan Ratu menyusul runtuhnya sebagian bangunan Puri Pelebur Kutuk , kami pribadi menerobos masuk. Kami temui Ratu dalam keadaan luka parah , setengah pingsan dan berteriak kejar! Sebelumnya kami mengetahui bahwa Ratu masuk ke dalam Puri bersama perjaka itu. Kami dan kawan-kawan mengira tidak sanggup tidak perjaka itulah yang telah berlaku jahat mencelakai Ratu….”
“Ya Tuhan!” Ratu Duyung tutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Teruskan keteranganmu Nandiri!”
“Kami segera membagi tugas. Beberapa orang tetap tinggal untuk menolong Ratu. Kami mengejar dengan mengandalkan ilmu menyirap detak jantung. Saya berhasil mengetahui kalau perjaka itu lari ke jurusan barat. Namun lantaran mengalami luka dalam akhir hantaman balik hawa gila , saya terpaksa kembali. Manumi dan Kiani melanjutkan pengejaran…. Saya benar-benar khawatir Ratu. Karena mengira perjaka itu telah berbuat jahat , jangan-jangan mereka berniat membunuhnya!”
Ruangan itu sunyi senyap mirip di pekuburan.
Ratu Duyung tegak tak bergerak. Kedua matanya dipejamkan. Hatinya dilanda kecemasan luar biasa. “Wiro… perjaka itu kini tidak mempunyai secuil ilmu pun! Manumi dan Kiani dengan gampang bisa membunuhnya! Ya Tuhan! Aku harus bertindak cepat!”
Dari bawah bantal Ratu Duyung mengeluarkan cermin sakti berbentuk bulat. Dia menatap tak berkesip ke dalam cermin itu sambil membayangkan paras Pendekar 212 Wiro Sableng. Mula-mula ia melihat maritim biru. Lalu formasi pulau-pulau. Ada sinar terang di sebelah kanan cermin kemudian gelap dan perlahan-lahan muncul satu daratan. Lalu kurang jelas tampak puncak sebuah gunung. Menyusul bayangan mirip sungai kemudian muncul kilatan-kilatan aneh. Bersamaan dengan itu satu hawa hirau taacuh me-rambas masuk ke dalam tubuh sang Ratu lewat jari-jari tangannya yang memegang cermin.
Pada puncak rasa hirau taacuh yang menciptakan ia tidak tahan Ratu Duyung terpekik. Cermin lingkaran dilemparkannya ke atas tempat tidur. Dia cepat kerahkan tenaga dalam , mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya.
Sebenarnya Ratu Duyung mempunyai kesaktian yang disebut “Menembus Pandang”. Seperti telah dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Sang Ratu” ilmu kepandaian itu telah diberikannya kepada Pendekar 212 Wiro Sableng dengan akhir ia sendiri kehilangan kemampuan untuk mempergunakan ilmu itu selama 777 hari. Karenanya ia terpaksa menggunakan cermin lingkaran sakti untuk menjajagi di mana kira-kira beradanya Pendekar 212. Ternyata ada satu kekuatan gila yang tidak sanggup ditembus Ratu Duyung yang melindungi diri Pendekar 212.
“Ratu! Kau tak apa-apa?!” seru Nandiri sementara semua anak buah Ratu Duyung juga tampak dicekam rasa khawatir.
“Ada hawa aneh…” kata Ratu Duyung perlahan. “Ada satu kekuatan yang melindungi Pendekar 212 , menciptakan cermin sakti ini tidak bisa mengadakan sambung rasa dengan perjaka itu. Aku yakin wanita bermuka pucat itu yang jadi penangkalnya…. Namun ilmu gila mirip itu hanya bertahan beberapa hari. Setelah itu tak ada satu kekuatan pun yang akan melindungi Pangeran 212! Aku harus pergi kini juga!”
Nandiri maju selangkah.
“Ratu , kalau kau mau memberi izin , biarkan saya dan beberapa sahabat mengejar Kiani dan Manumi serta mencari Pendekar 212. Saya sudah tahu kira-kira di arah mana perjaka itu berada. Dengan melaksanakan hal ini saya berharap bisa menebus kesalahan.”
Ratu Duyung menggeleng.
“Kalian tetap di sini hingga saya kembali. Se-belum pergi ada satu keputusan besar yang harus saya beritahukan pada kalian semua. Sekembalinya dari perjalanan saya akan tetap tinggal di tempat ini. Kalian boleh menentukan , ingin tetap tinggal di sini bersamaku atau dengan segala kebebasan yang ada kembali ke dunia darimana dulu kita semua berasal. Urusan dengan sesepuh kita yang telah menjatuhi eksekusi kutukan biar saya sendiri yang menyelesaikan….”
Semua yang ada di tempat itu berdiam diri. Tak ada yang berani memperlihatkan jawaban. Anak buah Ratu Duyung tundukkan kepala dengan wajah sedih.
“Ratu ,” kata Nandiri lagi-lagi mewakili teman-temannya. “Kami mohon petunjuk. Apa yang akan kami lakukan terhadap orang renta yang dikala ini berada di Ruang Penyembuhan?”
“Jaga ia baik-baik. Jangan berbuat sesuatu apa hingga ia siuman sendiri. Dia boleh menetap di sini hingga kesembuhannya. Jika ia minta pergi antarkan ia hingga ke Pintu Gerbang Perbatasan.”
“Perintah Ratu akan kami laksanakan. Sementara Ratu pergi , kami akan menunggu di sini. Ke-putusan apapun yang akan diambil oleh kami nanti saja kita bicarakan. Kami berdoa untuk keselamatan Ratu.:..”
Ratu Duyung memegang pundak anak buahnya itu. Lalu diambilnya cermin lingkaran dari atas tempat tidur. Dia memberi arahan pada beberapa orang gadis. Lalu mereka melangkah menuju ke sebuah ruangan di mana Ratu Duyung berganti pakaian.
*
* *

212
ENAM

Sosok tua lembap kuyup itu tergantung kaki ke atas kepala ke bawah. Tali penggantungnya berbentuk aneh. Bukan merupakan tali biasa tetapi ibarat selarik sinar berwarna biru. Air menetes dari sekujur tubuh , pakaian dan rambut orang renta itu. Juga tampak air keluar dari lobang indera pendengaran , hidung dan yang paling banyak dari mulutnya.
Ketika ia siuman dan dapatkan dirinya dalam keadaan mirip itu – si orang renta terheran-heran namun juga memaki sambil matanya memandang jelalatan berkeliling.
“Setan alas! Siapa yang menggantung saya begini rupa…?!”
Suara makiannya terhenti dan lidahnya mirip mau ditelannya sendiri ketika ia melihat apa yang ada di sekitarnya.
Si kakek pejamkan matanya.
“Aku harus mengingat. ,.. Apa yang telah terjadi dengan diriku sebelumnya. Apa dikala ini saya sudah mati dan berada di neraka atau di sorga? Hik… hik! Otak tumpul renta bangka ini tak mau segera diajak bekerja!”
Si prang renta gerakkan tangan kanannya yang terkulai ke bawah. Dengan tangannya ini dipukul-pukulnya batok kepalanya.
“Duk… duk… duk!”
Air mengucur makin banyak dari indera pendengaran , hidung dan mulutnya. “Otak tua! Ayo lekas mengingat! Apa yang terjadi sebelumnya? Hemmmm…. Bagus! Oia mulai bekerja…. Aku mulai bisa mengingat. Aku meninggalkan pulau itu. Naik perahu. Di tengah maritim tahu-tahu muncul dukun keparat itu. Ah… ternyata ia yaitu Sika Sure jelantik! Membawa dendam asmara berdarah , ingin membunuhku dengan ilmu kilat kuku akhirat! Ilmu kesaktian renta bangka itu ternyata memang hebat. Aku tak bisa menghadapi pukulan saktinya. Aku terlempar dari atas bahtera layar. Mungkin… mungkin saya mencicipi ada sesuatu menarik kakiku. Lalu air maritim menyerbu semua lobang di tubuhku. Lobang indera pendengaran , mata , hidung , mulut… lobang dubur. Ah yang satu ini tidak! Lalu saya tak ingat apa-apa lagi. Sekarang begitu sadar berada di mana saya ini? Kalau di neraka mengapa saya melihat begini banyak gadis berwajah manis seolah bidadari mengelilingiku! Kalau saya di sorga mengapa orang menggantungku kaki ke atas kepala ke bawah? Aku harus meloloskan diri!”
Si orang renta perhatikan tali yang mengikat kedua pergelangan kakinya. “Tali aneh…” desisnya. “Tak lebih dari pada sebentuk sinar berwarna biru. Aku mau lihat hingga di mana kehebatannya!” Segera orang renta ini kerahkan tenaga dalamnya. Tangannya kiri kanan diputar demikian rupa hingga tubuhnya melayang naik ke atas dan , “Wuuttt!”
“Gila!” seru orang renta itu. “Jelas tanganku tadi memapas tali itu. Tapi mirip saya menggebuk udara kosong!” Sepasang mata si orang renta yang lebar jadi bertambah besar. Kembali ia melayangkan tubuhnya ke atas dan memukul dengan pinggiran telapak tangan. Sampai berulangkali dilakukannya tetap saja ia seolah memukul udara kosong. Tali bersinar biru itu tak sanggup ditebas putus.
“Hemmmm… ada orang jahil hendak bercanda denganku. Dikiranya saya tolol! Tali tak bisa kuputus tapi langit-langit ruangan ini kuliner tak bisa kujebol! Sekali kuhantam runtuh , tubuhku pasti terjatuh lepas!” Orang renta ini tertawa mengekeh. Kembali ia salurkan tenaga dalamnya ke ajun , Sesaat lagi ia hendak menghantam ke atas tiba-tiba terdengar bunyi suitan keras. Disusul oleh bunyi angin mendesir.
Secara gila tali yang mengikat pergelangan kaki si orang renta bergerak melenting. “Sret… sret… sret!” ikatan tali biru lepas. Lalu lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan itu tubuh si orang renta jatuh deras ke bawah. Orang lain yang tidak mempunyai kepandaian pasti akan pribadi amblas ke lantai ruangan. Tapi orang renta ini dengan cekatan menciptakan gerakan gila dan tahu-tahu ia sudah berdiri di atas sepasang kakinya , memandang jelalatan pada belasan gadis manis berpakaian ketat , terbelah tinggi dari kaki hingga ke pinggang dan terbuka lebar di potongan dada.
“Ha… ha… ha! Kini kaki ke bawah kepala ke atas saya lebih terperinci bisa melihat kalian! Tidak mirip tadi kaki ke atas kepala ke bawah! Ha… ha… hai. Gadis-gadis manis siapakah kalian? Apa saya renta bangka buruk ini telah berada di sorga? Hemmm….” Si orang renta dongakkan kepalanya dan menghirup dalam-dalam. “Udara di sini harum semerbak. Kalau bukan sorga alam abadi pasti saya berada di sorga dunia! Ha… ha… ha!”
“Orang tua! Jangan tertawa saja! Lihat keadaan pakaianmu! Celanamu merosot hampir lepas ke bawah. Tanaman rumputmu yang gersang hampir berserabutan….” Ada gadis manis usil di formasi belakang berkata dengan bunyi keras.
“Husss!” seorang gadis cepat membentak memotong ucapan temannya itu.
Ruangan itu riuh oleh hiruk pikuk bunyi tertawa para gadis. Si orang renta bermuka teramat cekung nyaris ibarat tengkorak delikkan matanya dan memandang ke bawah. Mula-mula dilihatnya baju putihnya yang robek besar di potongan dada dan pinggang. Lalu tampang buruk orang renta ini berubah merah padam ketika dilihatnya keadaan celananya yang memang telah merosot hingga ke bawah pinggul. Cepat-cepat ia menarik celana putihnya yang lembap itu tinggi-tinggi dan mengikatnya kuat-kuat!
Setelah usap wajahnya beberapa kali orang renta ini kembali memandang ke arah gadis-gadis manis di depannya. Lalu dipukulnya keningnya sendiri dan berkata. “Tololnya renta bangka ini! Aku ingat siapa kalian adanya. Dua orang di antara kalian pernah muncul di Teluk Penanjung Pangandaran. Kalian yang cantik-cantik ini pasti anak buah Ratu Duyung!”
“Orang tua! Tidak salah dugaanmu. Kami memang anak buah Ratu Duyung. Wakil penguasa maritim selatan.” Salah seorang gadis yaitu Nandiri menjawab.
“Antara saya dan Ratumu tidak ada silang sengketa , bahkan belum lama berselang kami bertemu di Pangandaran , sempat berbincang-bincang sebelum dan setelah tewasnya Pangeran Matahari.
Kenapa tadi saya digantung kaki ke atas kepala ke bawah? Pasti ia yang memberi perintah!”
“Orang renta , harap kau jangan salah sangka. Ratu kami sama sekali tidak berniat jahat terhadapmu. Ma lah ia melaksanakan hal paling sempurna untuk menolongmu! Dengan cara menggantung kaki ke atas kepala ke bawah , air maritim yang telah membusuk dan masuk ke dalam perut , indera pendengaran dan hidungmu sanggup dikeluarkan….”
“Hemmm , begitu…?” Si orang renta remas-remas rambut putihnya yang lembap sehingga air yang masih melekat mengucur jatuh ke lantai. “Hebat juga cara Ratumu menolong. Aku pantas berterima kasih padanya. Juga pada kalian.”
Si orang renta yang masih dalam keadaan lembap kuyup itu berpaling pada Nandiri kemudian tertawa mengekeh. “Kalian mengenakan baju bagus-bagus , tubuh menebar busuk harum. Aku lembap kuyup kedinginan dan busuk air laut! Ha… ha… ha! Ayo lekas ceritakan bagaimana saya bisa hingga di tempat ini?”
“Ratu kami yang menolongmu orang tua. Dia menemukanmu di tengah maritim pada dikala terlempar dari atas perahu.”
“Di mana Ratu kalian sekarang? Aku ingin bertemu dan mengucapkan terima kasih.”
“Ratu tidak ada di sini. Dia punya satu urusan penting. Dia pergi tanpa memberitahukan siapa namamu atau siapa kau adanya. Dia berpesan biar kami melayanimu dan mengizinkan kau berada di sini hingga sembuh.” Berkata Nandiri.
“Eh , memangnya saya sakit apa?” tanya si orang renta sambil memandang berkeliling.
“Ratu kami menemukanmu hampir mati dihantam orang di tengah laut. Kau tak sanggup melihat luka dan benjut di mukamu tapi kau bisa menyaksikan luka di dada dan pinggangmu. Dari hidung , verbal dan telingamu mengucur air maritim campur darah. Kau terluka di dalam Kek!”
Orang renta berpakaian putih kuyup itu raba dadanya kemudian menyeringai. “Kau mungkin benar. Tapi rasanya sakitku tidak parah benar. Aku berterima kasih kalian turut menolong. Tapi saya tak bisa tinggal lama-lama di sini….”
“Kami hanya mengikuti perintah Ratu….”
“Bisa berbahaya!”
“Bahaya? Maksudmu Kek?”
“Kalian semua cantik-cantik. Mataku belum lamur. Walau sudah renta bangka begini menyaksikan kalian lama-lama saya jadi salah tingkah. Kalau saya jatuh cinta pada salah satu dari kalian bagaimana? Kalau cintaku diterima? Kalau tidak? Ha… ha… ha…!”
Ruangan itu menjadi riuh oleh gelak tawa anak buah Ratu Duyung. Nandiri beranikan diri berkata. “Kek , dalam keadaan mirip ini kau masih bisa bersenda gurau. Ini kuanggap aneh….”
“Aku memang orang aneh!”
“Sebenarnya kau ini siapa Kek? Mengapa hingga hampir menemui kematian diserang orang di tengah lautan?”
“Panggil saja saya Tua Gila. Soal mengapa saya diserang orang di tengah maritim saya juga tidak mengerti. Kaprikornus tak bisa saya ceritakan padamu. Biar nanti kalau saya bertemu dengan si pembunuh itu akan saya tanyakan padanya! Dan kalau panjang umur jawabannya akan saya sampaikan pada kalian! Ha… ha… ha!”
Nandiri geleng-gelengkan kepala. Teman-temannya senyum-senyum.
“Kalian tahu ke mana perginya Ratu kalian? tadi ada yang menyampaikan Ratu punya urusan penting. Sebenarnya kurasa mungkin ia tidak suka melihat saya si renta buruk ini! Hik… hik! Apakah saya bisa menerima jawaban?”
Nandiri membuka mulut. “Melihat sikap Ratu , aktual ia sangat menghormatimu. Soal kemana ia pergi dan apa urusannya kami tidak sanggup memberi tahu…”
Tua Gila terdiam. “Kalau begitu saya terpaksa minta diri sekarang. Aku punya urusan penting. Mencari dan menemui seorang perjaka berjulukan Wiro Sableng.”
“Pendekar 212?” ujar Nandiri.
“Itu gelarnya!”
Nandiri memandang pada teman-temannya kemudian bertanya pada Tua Gila. “Kek , apa hubunganmu dengan perjaka itu?”
“Eh , di antara kalian rupanya ada yang naksir. Kalian mau meminta saya menjadi utusan untuk saling menjodohkan? Aku tidak keberatan!”
Kembali tempat itu riuh oleh bunyi belasan anak buah Ratu Duyung.
“Kek , kau belum menjawab pertanyaan kami ,” ujar Nandiri pula.
“Hemmm…. Pemuda itu yaitu muridku!” jawab Tua Gila.
“Kalau begitu….”
“Kalau begitu apa?”
“Ratu kami justru pergi mencarinya. Muridmu itu berada dalam ancaman besar….”
Sepasang mata Tua Gila membeliak besar.
Nandiri kemudian menceritakan apa yang diketahuinya. Mendengar keterangan gadis itu wajah cekung Tua Gila jadi berubah.
“Aku harus pergi kini juga! Ratumu. menyampaikan di mana ia akan mencari Pendekar 212?”
Nandiri dan kawan-kawannya gelengkan kepala.
Tua Gila putar tubuhnya , memandang berkeliling. Dia jadi gundah sendiri. Ruangan itu tak ada pintunya. Tertutup oleh tirai-tirai biru.
“Tunjukkan saya jalan ke luar!” katanya. Lalu menyeruak di antara gadis-gadis manis itu.
“Tua Gila kami akan antarkan kau ke Pintu Gerbang Perbatasan. Tapi sebaiknya kau berganti pakaian dulu ,” kata Nandiri.
“Aku harus bertindak cepat. Serahkan saja pakaiannya. Biar saya pakai di tengah jalan!” jawab Tua Gila. Lalu yummy saja ia mulai membuka baju putihnya yang lembap dan penuh robek. Sebelum orang renta ini berlaku lebih gila para gadis segera lari berhamburan. Seseorang kemudian melemparkan seperangkat baju dan celana hitam ke arah orang renta itu.
“Hik… hik…!” Tua Gila tertawa. “Apa kalian mengira saya ini benar-benar gila kemudian mau-mauan membuka celana?! Dulu dimasa mudaku mungkin saya bisa berbuat gila mirip itu. Tapi kini sudah peot begini rupa , kambing pun tak suka melihatku! Ha… ha… ha!”
Tua Gila menyambut pakaian yang dilemparkan kepadanya. Sambil melangkah ia cepat mengenakan baju hitam. Lalu tanpa membuka celana putihnya yang lembap kuyup ia pribadi saja menggunakan celana hitam. Pada dikala berpakaian itulah ia ingat sesuatu. Dia meraba-raba kian ke mari. “Astaga!”
“Ada apa orang tua?” tanya salah seorang gadis pengawal.
Kawannya menimpali. “Ada barangmu yang hilang? Tadi kulihat semuanya melekat lengkap di tubuhmu!”
Nandiri dan yang lain-lainnya tak sanggup menahan tawa mendengar ucapan gadis pengawal itu.
“Anak-anak keparat! Jangan bergurau! Ini bukan urusan main-main! Benda itu hilang!”
“Benda apa , Kek?” bertanya Nandiri.
“Sebuah kotak terbuat dari perak , dibungkus kantong kain! Siapa yang berani mencuri?!” Tua Gila memandang pada keenam gadis itu dengan sorot melotot hingga mereka menjadi kecut.
“Kami tidak pernah melihat benda itu. Kalaupun ada kami tidak akan mencurinya. Mungkin jatuh di tempat lain….”
“Atau mungkin Ratu kalian yang telah mengambilnya!” hardik Tua Gila marah. Yang dicarinya yaitu kotak perak berisi Kalung Permata Kejora titipan Rajo Tuo penguasa Kerajaan pulau Sipatoka.
“Ratu kami tidak akan sekeji itu! jangankan cuma sebuah kotak perak. Kotak emas pun tidak akan diambilnya!”
Tua Gila komat kamit. Dari mulutnya terdengar bunyi menggerendeng.
“Sudahlah! Lekas antarkan saya ke Pintu Gerbang Perbatasan!” kata orang renta itu kemudian.
Enam orang gadis dibawah pimpinan Nandiri kemudian membawa Tua Gila melewati beberapa lorong bangunan hingga kesannya mereka hingga di sebuah bukit. Di bawah bukit terbentang sebuah pedataran dan di ujung sana tampak sebuah bangunan gila berbentuk gapura terbuat dari tumpukan batu-batu hitam.
*
* *

212
TUJUH

Makin dekat ke Pintu Gerbang Perbatasan makin terasa mencekam bagi enam orang anak buah Ratu Duyung. Mereka tahu , di seberang pintu gerbang itu terdapat dunia di mana mereka dulu pernah tinggal. Betapapun senangnya hidup di alam yang kini namun tetap saja mereka merindukan dunia mereka yang lama.
Tua Gila melangkah cepat meninggalkan keenam orang pengiringnya. Di satu tempat ia hentikan langkah. Sambil memandang ke depan ia berkata:
“Jadi ini yang disebut Pintu Gerbang Perbatasan?” Tua Gila perhatikan tumpukan batu-batu hitam yang disusun secara gila membentuk satu bangunan gapura yang tampak angker. Angin bertiup kencang. Setiap mengikis permukaan gapura kerikil terdengar bunyi berdesir gila hampir ibarat tiupan seruling.
Enam gadis mengangguk mengiyakan pertanyaan Tua Gila tadi.
“Di belakang gapura saya melihat tempat kosong diselimuti awan putih bertebaran rendah. Apa yang ada di seberang sana?” tanya si kakek kembali.
“Kami tidak tahu apa yang ada di seberang sana Kek ,” jawab Nandiri. “Kami tidak pernah melihat , apa lagi berada di belakang gapura. Tapi kami yakin itu yaitu dunia luar. Duniamu….”
“Kalian manusia-manusia aneh. Cantik-cantik tapi menentukan tinggal di alam mirip ini…”
“Kalau Tuhan menghendaki dan Ratu memberi izin , tak lama lagi kami akan berada di alam sana Kek. Di duniamu walau mungkin tetap agak berbeda….”
Tua Gila menarik napas dalam kemudian tertawa mengekeh.
“Aku berterima kasih pada kalian. Kalian gadis-gadis baik semua. Tapi terus terang saya masih ingin tau mengenai kotak perak itu!”
Lalu sambil meneruskan tawanya Tua Gila melangkah ke arah tangga kerikil di bawah Pintu Gerbang Perbatasan.
“Selamat jalan Kek!”
Tua Gila masih sempat mendengar enam gadis mengucapkan selamat jalan padanya. Sepasang kakinya melangkah menaiki undak-undak kerikil pintu gerbang. Sesaat kemudian ia telah berada di belakang pintu kerikil itu dan kini mulai melangkah menuruni anak tangga. Satu… dua… tiga…. Pada langkah ketiga Tua Gila keluarkan seruan tertahan. Memandang ke bawah ia dapatkan dirinya tidak melangkah di atas kerikil tapi seolah melayang di antara tebaran awan putih. Perlahan-lahan awan putih bersibak menjauh. Tua Gila sekali lagi memandang ke bawah.
“Astaga!” Si kakek terkejut begitu melihat kini ia melangkah di atas pasir basah. Ketika ia memandang ke depan ia lebih terkejut. Di depannya terbentang maritim luas. Pulau-pulau bertebaran di mana-mana. Ombak berdebur dan memecah di atas pasir.
“Aneh , bagaimana tahu-tahu saya berada di tepi pantai mirip ini? Apa saya masih di daratan Andalas atau sudah di tanah Jawa? Setahuku tempat kediaman Ratu Duyung yaitu di pantai selatan tanah Jawa. Bagaimana mungkin saya yang tadinya berada di daratan Andalas kini bisa berada sejauh itu? Tapi Ratu Duyung memang punya kekuasaan dan kesaktian yang tak bisa dijajagi. Aku harus mencari tahu berada di mana dikala ini?” Tua Gila memandang berkeliling. Laut lepas membiru. Tak kelihatan apa-apa selain pulau-pulau di kejauhan. Dia berpaling ke belakang. Astaga! Pintu Gerbang Perbatasan tak ada lagi di tempatnya. Enam gadis anak buah Ratu Duyung pun lenyap dari pemandangan. Perlahan-lahan Tua Gila memandang ke arah maritim kembali. Saat itulah di kejauhan dilihatnya sebuah bahtera layar meluncur di permukaan laut.
Tua Gila angkat tangannya tinggi-tinggi kemudian dilambai-lambaikan berulangkali. Dia tertawa mengekeh ketika dilihatnya bahtera itu membelok kemudian meluncur ke arah pantai di mana ia berada.
Orang di atas bahtera ternyata yaitu seorang nelayan renta bercaping , mengenakan pakaian lusuh penuh tambalan. Di lantai bahtera bergeletakan ikan-ikan besar segar. Sebagian masih hidup menggelepar-gelepar. Sebuah jala terhampar di haluan.
“Orang renta berpakaian hitam , kau melambaikan tangan memanggilku. Agaknya kau tersesat. Pulau ini jarang di datangi orang. Kami para nelayan tak pernah singgah di sini. Adalah gila kalau dikala ini saya melihat kau berada di sini. Apa yang kau kerjakan di pulau ini?”
Mendengar logat bicara dan nada bunyi orang di dalam bahtera Tua Gila segera maklum bahwa ia berada di salah satu pantai pulau Jawa.
“Nelayan renta , pertanyaanmu banyak amat! Aku mau menumpang ke satu tempat Tapi lebih dulu saya ingin tahu saya berada di mana dikala ini?!”
“Betul-betul aneh! Kau berada di situ dan kau tidak tahu berada di mana!”
Tua Gila tertawa mengekeh. “Maklum saja. Orang renta mirip kita sudah pada pikun. Kaprikornus kau juga tidak tahu kita berada di mana dikala ini?”
“Pulau ini tidak bernama! Terletak di pantai selatan pulau Jawa….”
“Ah….” Tua Gila menarik napas lega.
“Kau sendiri perlu apa sebenarnya?!” Nelayan renta di atas bahtera bertanya.
“Aku ingin menumpang ke daratan sana. Aku dalam perjalanan menuju Gunung Gede….”
“Gunung Gede jauh di sebelah barat! Paling tidak kau membutuhkan waktu belasan hari untuk hingga ke sana….”
“Boleh saya menumpang?”
“Naiklah. Aku akan membawamu ke daratan. Tapi tidak ke Gunung Gede!”
Tua Gila tertawa bergelak kemudian melompat naik ke atas perahu. “Hemmmm Rejekimu cukup besar hari ini. Banyak ikan hasil tangkapanmu kulihat dalam perahu.”
“Lumayan….”
“Seusia renta begini kau masih melaut. Mengapa tidak menyuruh anakmu saja?”
“Aku tidak punya anak…. Tidak punya istri! Aku hidup sendiri selama dunia terkembang.” Kata si nelayan pula.
“Hemmm…. Mengapa kau menentukan hidup bujangan terus?”
“Perempuan hanya akan menimbulkan derita sengsara bagi laki-laki!”
“Ah , kau tentu punya riwayat hidup yang hebat dimasa mudamu ,” kata Tua Gila.
“Betul , tapi saya tidak akan menceritakannya padamu.”
Tua Gila tertawa lebar , ingat dirinya sendiri ia kemudian berkata. “Aku juga punya sejuta pengalaman bagus dimasa muda dengan perempuan-perempuan cantik. Tapi semua kini tinggal kenangan. Ma lah menimbulkan tragedi di hari tua….”
“Bencana bagaimana?” tanya nelayan renta pula. Sepertimu saya pun kini hidup sendirian.”
“Jadi kau tak pernah kawin?”
“Pernah dan sempat punya anak. Namun kini ibu anakku mencari diriku….”
“ingin biar kau rujuk kembali atau bagaimana?” tanya si nelayan.
“ingin membunuhku!” jawab Tua Gila dengan muka masam.
“Nan , apa kataku! Perempuan hanya menimbulkan tragedi bagi kaum laki-laki. Untung saya tidak kawin!”
Setelah membisu sesaat nelayan itu bertanya. “Ada keperluan apa kau ke Gunung Gede?”
“Menyambangi seorang sahabat. , ,.”
“Lelaki atau perempuan? Ah , saya kira saya tak perlu bertanya. Pasti yang akan kau temui itu seorang perempuan….”
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Tua Gila.
“Aku cuma menduga. Tapi dugaanku tidak meleset bukan?”
Tua Gila tertawa lebar. Lalu dengan polos ia bercerita. “Yang akan kukunjungi itu memang perempuan. Salah seorang kekasihku dimasa muda….”
“Ah , kau pasti hendak bersenang-senang dengan dirinya? Tap] menurutku mengapa kau tidak mencari yang lebih muda untuk bersuka-suka?”
“Nelayan renta gila!” maki Tua Gila. “Aku ke sana untuk urusan penting. Perempuan renta itu punya seorang murid yang berada dalam keadaan ancaman besar. Lumpuh segala kesaktian yang dimilikinya….”
“Ah , kasihan sekali murid sahabatmu itu. Apakah kau tidak tahu di mana ia berada dan berusaha menolongnya?”
“inilah sulitnya. Aku hanya menerima keterangan bahwa perjaka itu berada di satu tempat di barat. Tapi dunia seluas ini bagaimana mungkin mencarinya. Itu sebabnya saya merasa lebih baik menemui gurunya dulu sambil menyirap kabar mengenai perjaka muridnya itu….”
“Nah , apa kataku. Kalau kau tidak pernah kenal dengan wanita renta itu. Kalau kau tidak pernah jadi kekasihnya , terperinci dikala ini kau tidak usah susah-susah melaksanakan perjalanan jauh menemuinya. Kaprikornus benar kataku! Perempuan hanya mendatangkan tragedi pada laki-laki. Ha… ha… ha!”
Tua Gila ikut tertawa mengekeh. Tapi kemudian berucap. “Tidak semua wanita menimbulkan bencana. Terkadang tergantung pada kita orang laki-laki. Kalau mereka merasa dikecewakan atau direndahkan , mereka bisa berubah jadi seekor harimau ganas!”
“Sobatku renta , agaknya kau tengah mengalami dilema besar. Gara-gara ulahmu di usia muda. Untung saya tidak kawin. Amit-amit…!”
“Nasib insan ada guratannya masing-masing ,” kata Tua Gila pula.
“Aku tidak percaya hal itu. Manusia bukan diatur oleh nasib. Kelakuan manusialah yang menentukan nasibnya!” jawab si nelayan tua.
Tua Gila menjadi kesal lantaran tersinggung mendengar ucapan itu. Kalau saja ia tidak menumpang di bahtera orang , nelayan renta itu sudah dihajarnya. Saking kesalnya ia berkata. “Perutku lapar! Aku minta ikanmu!” Lalu diambilnya seekor ikan dan dilahapnya mentah-mentah!
Menjelang petang bahtera memasuki sebuah teluk sempit. Begitu hingga di pantai Tua Gila mengucapkan terima kasih dan melompat ke daratan.
“Sobatku renta , apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya si nelayan.
“Aku tidak tahu. Kalaupun bisa saya akan menghindari pertemuan denganmu!”
“Eh , memangnya kenapa?”
“Aku tidak suka dengan cara bicaramu. Kau mirip seorang juru dakwah saja! Membenci wanita padahal kau keluar dari perut perempuan!” Habis berkata begitu Tua Gila lantas berkelebat pergi.
Nelayan renta di atas bahtera tertawa panjang. Dalam hati ia berkata. Tua Gila , kalau saja Kalung Permata Kejora itu ada d: tanganmu sudah semenjak di tengah maritim kuhabisi nyawamu! Aku masih bisa bersabar. Aku sudah tahu ke mana kau pergi! Hemmm… mungkin saya akan membunuh bekas kekasihmu yang di Gunung Gede itu. Hik… hik! Sinto Gendeng kau ikut mengerecoki hidup masa mudaku! Tidak salah kalau kalian kubunuh berdua sekaligus!.” Perlahan-lahan nelayan itu buka caping lebar-nya. Lalu ia menarik sehelai topeng tipis yang menutupi wajah dan rambutnya. Sesaat kemudian kelihatanlah wajahnya yang asli. Ternyata ia bukan lain yaitu si nenek berjulukan Sika Sure Jelantik! Dengan cepat wanita renta ini melompat turun dari atas bahtera kemudian berkelebat ke arah perginya Tua Gila.
*
* *

212
DELAPAN

Dari balik dedaunan keladi hutan yang lebar , sepasang mata memperhatikan gadis berpakaian biru yang duduk termenung , bersandar ke batang pohon di belakangnya. Walaupun dikala itu udara mending dan keadaan sekitar tempat itu agak gelap namun orang yang memperhatikan sanggup melihat butiran-butiran air mata jatuh menetes membasahi pipi si gadis yang halus.
“Gadis gila berwajah manis ,” kata orang yang mengintai dalam hati. “Melihat kepada wajah serta kulitnya yang putih mulus sulit diduga apakah ia seorang dari dunia persilatan. Tapi kalau bukan orang persilatan mengapa berada , di tempat sunyi begini. Jangan-jangan dibalik kecantikan wajah dan kebagusan tubuh itu tersembunyi sesuatu yang hebat. Hemmm…. Dia menangis. Pertanda ada satu tekanan batin tengah melanda dirinya. Diusia se-muda ia saya berani bertaruh yang jadi materi pikirannya dikala ini pastilah sesuatu menyangkut cinta! Laki-laki! Lagi-lagi pria yang menjadi biang malapetaka! Aku tertarik ingin mengetahui nasib apa tengah dihadapinya. Hanya sayang saya ada urusan lain yang lebih penting…”
Orang di balik pohon keladi hutan hendak bergerak pergi namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba gadis di bawah pohon , tanpa mengalihkan pandangannya terdengar berucap.
“Orang yang mengintai mengapa tidak tiba saja menemuiku? Mungkin kita bisa bertukar pikiran menyebarkan pengalaman.”
“Hemmm…. Kalau ia bukan seorang gadis mempunyai kepandaian tinggi , tidak mungkin bisa mengetahui saya di sini. Agaknya sudah semenjak tadi ia tahu. Mungkin ada baiknya saya membuang waktu barang sebentar berbincang-bincang dengan dirinya.” Orang itu segera keluar dari balik pohon keladi besar , melangkah ke hadapan gadis berpakaian biru.
Gadis di bawah pohon menatap orang berjubah hitam berambut putih digulung di atas kepala yang tegak di depannya beberapa lama tanpa berkata apa-apa.
“Anak gadis berwajah manis , siapakah namamu?” Si jubah hitam mendahului bertanya.
“Logat bicaranya menandakan ia orang seberang ,” kata gadis baju biru dalam hati yang bukan lain yaitu Bidadari Angin Timur.
“Nenek berwajah lingkaran , di waktu muda tentu kau seorang dara manis jelita….”
Nenek berjubah hitam mau tak mau jadi melengak mendengar ucapan si gadis. Sambil mengusap-usap pipinya yang keriput ia berkata. “Kecantikan itu hanya tinggal kenangan yang memilukan. Lagi pula dibanding dengan raut wajahmu , kecantikanku dimasa muda tidak ada arti apa-apa….”
Bidadari Angin Timur tersenyum. “Gerangan apa yang membawamu jauh-jauh dari seberang tiba ke sini?”
Kembali si nenek terkesiap mendengar ucapan orang. “Gadis ini terperinci seorang berotak cerdas , cerdik dan mempunyai kepandaian tinggi!” katanya dalam hati. “Anakku , bagaimana kau tahu bahwa saya tiba dari seberang?”
“Logat bicaramu , Nek ,” jawab Bidadari Angin Timur.
“Ah….” si nenek menarik nafas dalam. “Dugaanmu tidak meleset. Aku memang tiba dari pulau Andalas….”
“Jauh berjalan pasti ada urusan besar!”
Perempuan renta itu tertawa lebar. “Kau pintar menduga. Tapi biarlah dugaanmu itu tinggal dugaan. Aku tidak akan menceritakan apa-apa padamu….”
“Kalau begitu saya pun tidak akan menceritakan apa-apa padamu!” sahut Bidadari Angin Timur pula.
Si nenek menatap sejurus kemudian tertawa mengekeh.
“Seumur hidup gres kali ini saya bertemu dengan gadis manis yang yummy diajak bicara. Aku suka padamu! Kau bukan saja manis tapi juga cerdik. Kecerdikan menyelamatkan seseorang dari banyak hal. Namun sayang sekali , dikala ini saya tidak melihat kau berlaku cerdik. Karena seorang cerdik tidak akan mengeluarkan air mata. Seorang cerdik tidak akan berada di tempat terpencil begini , jauh di kaki gunung…”
“Kau pintar memuji. Aku berterima kasih. Tapi kau juga pintar menjatuhkan. Aku juga berterima kasih. Soal saya menangis itu yaitu urusanku sendiri. Air mata yaitu senjata wanita paling akhir…”
Si nenek tertawa panjang. “Dulu saya juga pernah punya pikiran sepertimu. Ternyata itu salah! Air mata justru yaitu awal kelemahan kaum kita. Yang sanggup dan sering disalahgunakan oleh lawan jenis kita!
Jawablah terus terang. Bukankah dilema cinta yang membuatmu barusan berurai air mata?”
Paras Bidadari Angin Timur berubah merah.
Si nenek tersenyum. “Rona wajahmu berubah. Berarti apa yang saya katakan betul!” Setelah tertawa panjang si nenek kemudian berkata. “Namaku Sika Sure -jelantik. Selama hidup saya telah banyak makan asam garam , madu dan racun dunia. Yang paling dahsyat yaitu racun cinta. Bisa membutakan mata menulikan indera pendengaran dan menciptakan beku pikiran , merubah hati seolah menjadi batu! Pada puncaknya , cinta itu bisa berubah menjadi dendam kesumat kebencian yang hanya bisa terobat oleh kematian….”
Bidadari Angin Timur pandang wajah renta lingkaran itu beberapa lamanya sambil hatinya berkata. “Jangan-jangan wanita renta ini tengah menuturkan riwayat sedih dirinya sendiri. Lebih baik coba kupancing.”
“Nenek Sika , saya masih hijau. Sebaliknya kau sudah mempunyai segudang pengalaman hidup. Dugaanmu betul. Aku memang ada ganjalan cinta dengan seseorang. Maukah kau menceritakan sedikit saja dari riwayat c in tamu biar bisa kujadikan pegangan di hari kemudian?”
Sika Sure Jelantik melamun sesaat. Akhirnya ia berkata. “Jauh-jauh saya tiba dari pulau Andalas yaitu untuk mengejar seorang renta renta yang ingin kubunuh dengan kedua tanganku sendiri!” Lalu si nenek tuturkan secara singkat riwayat percintaannya.
“Kisahmu sungguh menyedihkan , Nek. Dalam penuturanmu kau sama sekali tidak menyebutkan siapa perjaka yang pernah jadi kekasihmu kemudian meninggalkan dirimu begitu saja.”
“Soal namanya tidak akan kuberitahu padamu ,” jawab Sika Sure Jelantik. “Sekarang apakah kau mau menuturkan riwayatmu sendiri?”
Bidadari Angin Timur merenung beberapa lamanya.
“Jika kau tak mau memberitahu tak jadi apa ,” ujar si nenek. “Tapi ingat ucapanmu pertama kali menegurku? Kau ingin bertukar pikiran menyebarkan pengalaman.”
Si gadis tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul indah mempesona di pipinya kiri kanan. “Sulit bagiku dari mana memulai. Sejak pertama saya bertemu dengan ia , tidak ada perasaan apa-apa. Ma lah saya murka besar lantaran ia telah melaksanakan seseorang secara sewenang-wenang. Namun lambat laun setelah beberapa kali bertemu hatiku terasa begitu sejuk jikalau berada di dekatnya. Aku pernah ikut bersamanya menemui gurunya. Saat itu walau ia tidak menyampaikan apa-apa namun saya maklum bahwa ia memperkenalkan diriku pada gurunya untuk satu maksud tertentu. Dia pernah menyampaikan cintanya padaku. Sebaliknya saya tidak pernah memberikan isi hatiku. Baik secara terus terang maupun secara tersirat. Mungkin itu yang membuatnya gundah kalau tidak sanggup dikatakan kecewa. Kadang-kadang saya merasa gila terhadap diriku sendiri. Aku mencintainya namun me-ngapa terlalu pongah untuk berterus terang mengatakannya….”
Sika Sure Jelantik yang semenjak tadi tegak berdiri kini duduk di bawah pohon berdampingan dengan Bidadari Angin Timur. “Apakah ada saru ganjalan yang membuatmu tidak mau berterus terang memberikan cinta kasihmu padanya?”
Perlahan-lahan si gadis mengangguk.
“Apa?” tanya si nenek pula.
“Aku mengetahui…. Ada banyak gadis mencintainya….”
Mendengar ucapan Bidadari Angin Timur , si nenek palingkan kepalanya , menatap si gadis beberapa lamanya. Lalu ia menarik nafas panjang dan berkata. “Itu yang terjadi dengan diriku dimasa muda. Kekasihku berlaku gila. Dia melayani semua gadis-gadis yang menyukainya. Menidurinya bahkan lebih gila dari itu ia sempat punya anak! Bagaimana dengan perjaka yang kau cintai itu? Apa ia juga mirip itu?!”
“Mungkin…. Aku tidak tahu pasti. Tapi ada satu peristiwa yang menciptakan hatiku perih. Dia kuketahui pernah pergi ke tempat salah seorang gadis yang mencintainya. Tinggal di sana…. Aku mirip mau gila membayangkan kemungkinan apa saja yang bisa mereka lakukan berdua-dua….”
“Apa gadis itu mencintainya?”
“Aku yakin gadis itu mencintainya. Kasarnya ia yang mengejar perjaka itu!”
“Lalu apakah si perjaka sendiri mengasihi gadis itu?”
Bidadari Angin Timur tak menyahut.
“Hemmm…. Kau tak bisa segera menjawab. Berarti kau tidak pasti perjaka yang kau kasihi itu menyukai si gadis. Kalau ia mau berdua-duaan berarti ia hanya mengumbar nafsu. Sifatnya sama dengan kekasihku dimasa muda. Manusia mirip itu sangat berbahaya anakku. Dia bisa menjadi racun selama kau hidup di dunia….”
“Aku tidak tahu Nek….” kata Bidadari Angin Timur perlahan.
“Hidup tanpa kepastian sama dengan kau mulai menanam pohon racun dalam tubuhmu. Selagi pohon itu tumbuh dari luar tiba siraman racun lain yang menyuburkannya. Aku menaruh firasat kau akan mengalami nasib malang jikalau kau meneruskan hubunganmu dengan dia.” Seperti terhadap anak atau cucunya sendiri Sika Sure Jelantik kemudian membelai kepala Bidadari Angin Timur. “Sekarang katakan padaku mengapa kau hingga tersesat ke sini? Apakah sang kekasih jalang itu berada di sekitar sini?”
Bidadari Angin Timur tak menjawab. Namun si nenek sudah maklum kalau kehadiran Bidadari Angin Timur pasti ada sangkut pautnya dengan perjaka yang rahasia dicintainya.
“Anakku…. Bolehkah saya memberi satu pesan yang tersirat padamu?” ^
Bidadari Angin Timur menatap wajah si nenek kemudian mengangguk.
“Jika kau benar-benar mencintainya kau harus menemuinya dan menyampaikan terus terang. Jika kau yakin ia pun mencintaimu , kuasai dirinya sebelum ia dikuasai orang lain. Bagi seorang wanita lebih baik kawin dengan lelaki yang mencintainya daripada lelaki yang dicintainya. Jika ada keraguan dalam hatimu tinggalkan dirinya selama-lamanya….”
“Nek , saya yakin ia mengasihi diriku. Walau ia belum tahu saya mencintainya namun ada satu peristiwa yang menimbulkan keraguan di hatiku….”
“Hemmm…. Rupanya ada hal yang belum kau ceritakan padaku!” kata si nenek. “Aku ingin mendengarkannya.” Sika Sure jelantik rangkapkan sepasang tangan di depan dada.
“Beberapa dikala yang kemudian saya melihat ada dua orang utusan sang kekasih tiba menjemput perjaka itu. Apa lagi kalau bukan diminta tiba ke tempat kediamannya…?”
“Ah! Pemuda itu mungkin benar berhati culas. Tapi kau perlu menyelidik….”
“Aku…. Kalau ku selidiki rasanya saya mirip mau membunuh diri sendiri….”
“itulah cinta anakku! Cinta laksana pisau teramat tajam menyayat ke leher. Perih tetapi nikmat. Hik… hik… hik….”
Bidadari Angin Timur pergunakan ujung baju birunya untuk mengusap matanya yang basah.
“Sebenarnya saya ingin bicara lebih banyak dan mengenalmu lebih lama. Namun ada urusan penting yang tidak bisa saya tunda. Siapa tahu kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan. Sebelum pergi apakah kau bisa menjawab dua pertanyaanku? Pertama di mana arah menuju Kutogede?”
Bidadari Angin Timur menunjuk ke arah tenggara kemudian bertanya. “Kalau kau memang hendak menuju ke sana , kita bisa sama-sama. Aku pun ingin pergi ke Kutogede.”
“Hemmm…. Itu satu usul yang baik. Tapi kali ini saya tengah menghadapi satu urusan besar. Aku lebih suka pergi sendirian..-..”
“Aku sudah menganggapmu sebagai ibu atau nenek sendiri. Tapi kau menyembunyikan sesuatu padaku….”
Sika Sure Jelantik tertawa lebar. “Satu pertanyaan anakku. Aku menyirap kabar bahwa Pangeran Matahari tewas belum lama berselang. Apakah hal itu benar? Jika benar siapa gerangan yang telah membunuhnya?”
Hampir terlepas dari verbal Bidadari Angin Timur kalau ia ikut menyaksikan sendiri kematian Pangeran Matahari di Pangandaran dulu.
“Pangeran bandit itu memang benar telah menemui kematian , Nek. Dunia persilatan boleh dikatakan kini bebas dari malapetaka besar yang hendak ditimbulkannya. Mengenai pembunuhnya , sesuai yang saya dengar yaitu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng….” Habis berucap begitu dalam hatinya si gadis berkata. “Nek , kau tidak tahu perjaka inilah yang saya cintai dan tadi saya ceritakan padamu….”
“Kalau begitu benar apa yang saya dengar. Pendekar 212 Wiro Sableng…. Hemmmm…. Dia memutus kekerabatan dendamku dengan Pangeran Matahari….”
“Nek , apa maksudmu dengan ucapan itu? Kau punya silang sengketa dengan Pendekar 212?” tanya Bidadari Angin Timur agak cemas.
Si nenek menatap lurus. Diam-diam ia mencicipi nada pertanyaan yang mengandung rasa cemas. Sika Sure Jelantik gelengkan kepala. “Aku pernah mendengar nama besarnya namun tak pernah bertemu dengan orangnya. Aku punya dendam kesumat besar dengan Pangeran Matahari. Tapi sebelum dendam terbalas saya sudah keduluan oleh Pendekar 212.”
“Bukankah itu lebih baik bagimu hingga kau tidak perlu susah payah turun tangan sendiri?” ujar Bidadari Angin Timur pula.
Si nenek tertawa kecut. “Aku sudah bersumpah ingin mematahkan batang leher Pangeran Matahari dengan tanganku sendiri. Dia telah membunuh kakakku Ramada Suro Jelantik. Tapi takdir menentukan lain….”
“Apakah kau menaruh rasa sakit hati terhadap Pendekar 212?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Untuk urusan balas dendam itu saya hanya merasa kecewa setinggi langit sedalam lautan. Namun ada satu urusan lain yang mungkin…. Ah sudahlah! Aku harus cepat-cepat pergi! Kuharap kita bisa bertemu lagi. Jaga dirimu baik-baik!”
Terima kasih , Nek. Aku doakan segala urusanmu bisa kau hadapi dan selesaikan dengan baik.”
Sika Sure Jelantik membelai kepala Bidadari Angin Timur. Meskipun ada sentuhan rasa kasih sayang namun si gadis merasa merinding juga mengingat jari-jari tangan si nenek yang berkuku panjang dan hitam angker. Sekali berkelebat Sika Sure Jelantik pun lenyap dari samping si gadis. Berada sendirian Bidadari Angin Timur mengingat-ingat kembali semua pembicaraannya dengan si nenek tadi. “Aneh , mengapa hatiku mendadak merasa tidak enak? Urusan apa bergotong-royong yang tengah dihadapi oleh nenek dari tanah seberang tadi?”
*
* *

212
SEMBILAN

Dua gadis manis anak buah Ratu Duyung hentikan lari masing-masing. Mereka sama memandang ke langit.
“Mendung…” kata gadis di sebelah kanan yaitu Kiani. “Sebentar lagi agaknya akan turun hujan. Orang yang kita cari masih belum bertemu. Bagaimana kalau kita pergunakan lagi ilmu menyirap detak jantung?”
“Jangan cari celaka Kiani! Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Nandiri. Sebelum hujan turun lebih baik kita mencari tempat berlindung. Kalau hingga tubuh kita tersiram air hujan kau tahu sendiri apa yang bakal terjadi!”
Karena meninggalkan tempat kediaman mereka di pantai selatan sebelum Ratu Duyung siuman , dua gadis ini tidak mengetahui apa yang terjadi. Yaitu bergotong-royong mereka telah terbebas dari kutukan yang mengakibatkan setengah tubuh mereka sebelah bawah berubah menjadi ekor ikan kalau tersentuh air. Selagi keduanya mencari-cari tempat yang baik untuk berteduh mendadak mereka mendengar bunyi sesuatu di kejauhan.
“Kau mendengar bunyi itu Kiani?”
Kiani mengangguk , “tak sanggup kupastikan bunyi apa. Terlalu jauh di sebelah sana. Mungkin bunyi seruling….”
Manumi memandang ke arah kejauhan. “Suara seruling itu datangnya dari bukit di sebelah sana. Bagaimana kalau kita pergi ke sana. Mencari tahu siapa yang meniupnya. Lagu yang dilantunkannya tidak pernah kudengar sebelumnya. Tapi begitu menyayat hati. Berhiba-hiba. Agaknya perasaan si peniup ikut larut dalam tiupan serulingnya.”
Mula-mula Kiani hendak menolak seruan temannya itu. Namun memandang ke arah bukit tiba-tiba saja ia ingat sesuatu. “Manumi , bukankah bukit itu terletak di arah barat?”
Manumi memandang ke arah bukit. “Kau benar. Aku tahu apa maksudmu! Ayo lekas kita naik ke sana dan menyelidik!”
Dua gadis manis itu serta merta berlari kencang menuju bukit dari arah mana terdengar bunyi tiupan seruling. Di satu lereng mereka berhenti. Kiani menunjuk ke arah lamping bukit yang terjal di atas mana terlihat verbal sebuah goa.
“Suara seruling itu tiba dari arah sana. Yang meniup , pasti ada dalam goa!” bisik Kiani.
“Aku akan naik ke atas. Di sebelah sana tampaknya ada jalan setapak. Kau tunggu di sini…” kata Manumi.
“Tidak , saya ikut bersamamu!” sahut Kiani kemudian segera melekat di belakang si teman. Dua gadis ini dengan hati-hati tetapi cepat sekali bergerak mengikuti jalan kecil mendaki menuju goa. Pada dikala inilah tiba Bidadari Angin Timur yang semenjak lama bersembunyi di satu tempat dan tengah berada dalam kebimbangan apakah akan menemui Wiro atau tidak. Dia begitu terkejut ketika melihat dua gadis manis tiba-tiba muncul dan melangkah cepat menuju goa. Dari pakaian yang mereka kenakan Bidadari Angin Timur segera mengenali dua gadis itu yaitu belum dewasa buah Ratu Duyung.
“Sebelumnya saya ketahui Pendekar 212 mengunjungi Ratu Duyung di tempat kediamannya. Kini dua anak buah Ratu Duyung muncul. Tak sanggup tidak pasti untuk menjemput Wiro. Ah…!” Memikir hingga di situ merahlah paras Bidadari Angin Timur. Pemandangannya seolah kelam dan pikirannya jadi kacau balau. Dia pribadi menjatuhkan anggapan salah. “Hatiku tak bisa mendapatkan seorang kekasih berperilaku seculas itu. Mengatakan cinta padaku. Tapi bermain cinta dengan gadis lain. Jangan-jangan dua gadis yang barusan tiba ini yaitu juga kekasih-kekasih gelapnya! Daripada tersiksa mata , indera pendengaran dan perasaan lebih baik saya pergi saja dari sini! Wiro lupakan cintamu padaku!” Habis membatin mirip itu Bidadari Angin Timur kemudian putar tubuh dan berkelebat pergi. Matanya berkaca-kaca. Butiran-butiran air mata jatuh ke pipinya.
Kiani dan Manumi hingga di tepi kiri verbal goa.
“Orang itu tidak menghentikan tiupannya , berarti ia belum tahu kedatangan kita…” kata Kiani. “Aku akan melompat masuk ke dalam goa. Kau berjaga-jaga di luar sini!”
Sebelum temannya sempat membantah Kiani segera melompat masuk ke dalam goa. Sesaat kemudian terdengar teriakan gadis itu. “Manumi lekas masuk! Kita telah menemukan pembunuh Ratu!”
Mendengar teriakan temannya itu Manumi segera menghambur masuk ke dalam goa sambil tangannya diangkat ke atas dan ujung jari diluruskan. Dari jari gadis ini mencuat sinar biru yang merupakan satu ilmu kesaktian hebat dan rata-rata dimiliki oleh semua anak buah Ratu Duyung. Kiani yang masuk duluan juga telah menyiapkan ilmu kesaktian itu malah sekaligus di telunjuk ajun dan kiri!
Di dalam goa di hadapan kedua gadis itu duduk bersila Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua tangan memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Enam jari tangannya berg masa k-g masa k di permukaan lubang-lubang di gagang kapak yang terbuat dari gading putih kekuningan. Bibirnya melekat ke ujung gagang senjata yang berbentuk kepala ular naga itu. -Sepasang matanya terpejam dan rambutnya yang gondrong melambai-lambai oleh tiupan angin ken-cang yang tiba dari verbal goa.
Meskipun tadi teriakan Kiani keras sekali namun seolah tidak mendengar dan tidak terusik murid Eyang Sinto Gendeng itu terus saja meniup seruling mustikanya. Malah dari pinggiran matanya tampak ada kucuran air mata.
“Bangsat cengeng! Jangan berpura tidak tahu kedatangan kami!” hardik Kiani.
“Manumi! Kita bunuh insan jahat tak berbudi ini kini juga! Kau rampas dulu senjatanya!”
Mendengar ucapan temannya itu Manumi segera betot Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro. Sekali membetot senjata mustika itu lepas dari pegangan si pemuda. Suara merdu tiupan seruling serta merta lenyap. Sepasang mata Pendekar 212 bergerak membuka. Tadi bergotong-royong ia telah tahu kalau ada orang yang masuk ke dalam goa. Namun dikala itu ia lebih suka karam dalam sejuta rasa dukanya. Hingga kalaupun ada seekor ular besar menelan kepala dan tubuhnya bulat-bulat ia akan membisu seribu bahasa , akan terus meniup serulingnya , tidak perduli! Tetapi ketika senjata warisan Eyang Sinto Gendeng itu tertarik lepas dari tangannya dan ia tidak bisa mempertahankan maka ia segera membuka kedua matanya.
“Kalian berdua bukankah anak buah Ratu Duyung? Mengapa masuk sambil berteriak-teriak? Mengapa merampas senjataku? Mengapa hendak membunuhku?”
Dua gadis keluarkan bunyi mendengus.
“Kau , telah membunuh Ratu kami!” teriak Kiani.
“Aku? Aku membunuh Ratu kalian? Kenapa?”
“Kurang ajar! Jangan berpura-pura! Kami melihat kau masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk! Kau kemudian keluar dari puri sementara Ratu Duyung kami dapatkan berada dalam keadaan luka parah! Mungkin kini telah menemui ajal! Puri runtuh. Kau melenyapkan diri! Kabur!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya dan memandang berganti-ganti pada dua gadis manis di hadapannya.
“Aku tidak mengerti!” kata Wiro pula.
“Biar kau mengerti biar kepalamu belah dikala ini juga dengan senjatamu sendiri!” hardik Kiani sambil angkat Kapak Maut Naga Geni 212 tinggi-tinggi , siap untuk dibacokkan ke kepala Wiro. Sementara itu Manumi juga angkat tangan kanannya ke atas. Sinar biru ujung jari telunjuk Manumi mencuat terang menyilaukan dan menggidikkan.
“Tunggu! Kalau kalian mau membunuhku saya tidak perduli!” teriak Wiro. “Aku memang sudah semenjak lama ingin mati! Tapi jelaskan dulu apa yang terjadi!
Aku tidak mencelakai apalagi membunuh Ratu kalian. Kami sama-sama tiba dari Pangandaran lantaran Ratu dan saya punya satu urusan.”
“Kami tahu semua kehadiranmu bersama Ratu yang kedua kali. Yang kami tidak tahu mengapa kau berbudi jahat dan membunuh Ratu kami!”
“Dengar , saya tidak membunuh Ratu kalian. Aku malah berniat baik untuk menolongnya….”
“Lalu kalau kau merasa tidak bersalah , mengapa melarikan diri hingga ke sini?!” hardik Kiani.
“Aku tidak melarikan diri! Ada seseorang yang membawaku ke sini….”
Kiani dan Manumi kembali mendengus. Manumi memberi arahan pada kawannya. Melihat arahan ini Kiani segera bersiap untuk membacokkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke batok kepala Wiro.
“Tunggu! Aku bersumpah tidak mencelakai Ratu kalian! Aku….”
“Jangan dengarkan ia Kiani. Hantam kepalanya dengan kapak itu! Aku akan menusuk jantungnya biar ambrol!”
“Kalau kalian hingga membunuhku , Ratu kalian dan juga kalian sendiri tidak akan terbebas dari kutukan! Silahkan bunuh aku! Ayo cepat!” Wiro sama sekali tidak mengetahui bahwa kehadirannya di Puri Pelebur Kutuk telah menyelamatkan dan membebaskan Ratu Duyung serta seluruh anak buahnya dari kutukan. Hal ini juga belum diketahui oleh Kiani dan Manumi.
Kiani sesaat jadi bimbang mendengar kata-kata Wiro tadi. Tapi Manumi cepat mendamprat.
“Kiani! Jangan dengarkan ucapan perjaka keji ini! Lekas kau belah kepalanya dengan kapak! Aku akan menghancurkan jantungnya!”
“Kalau kalian memang hendak membunuhku , saya pasrah!” kata Pendekar 212 yang memang sudah frustasi semenjak ia mengetahui telah kehilangan segala kesaktian dan ilmu yang dimilikinya.
Tangan kanan Kiani bergerak. Kapak Naga Gent 212 menderu. Karena Kiani mempunyai tenaga dalam walaupun tidak tinggi , begitu senjata mustika itu dibacokkannya maka sinar putih menyilaukan dan panas berkiblat. Suara menderu laksana ratusan tawon mengamuk membuncah goa kerikil itu. Mata kapak mustika siap membelah batok kepala murid Sinto Gendeng. Di dikala yang sama Manumi tusukkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah dada Pendekar 212. Selarik sinar biru menggidikkan melesat siap menjebol dada dan jantung Wiro!
Di dikala Wiro tidak berdaya , bahkan beringsut pun tidak bisa dan benar-benar siap mendapatkan kematian tiba-tiba satu bentakan nyaring menggelegar di dalam goa disertai menyambarnya satu sinar hitam menggidikkan. Bersamaan dengan itu seantero goa kerikil dilanda busuknya busuk mayat.
“Nyawa perjaka itu tidak akan kubagi sekalipun dengan malaikat maut!”
Kiani dan Manumi terpekik. Secepat kilat keduanya jatuhkan diri ke lantai goa. Terbanting tumpang tindih dengan sosok Pendekar 212. Tiga orang yang bergelimpangan di lantai goa itu mencicipi nafas mereka mendadak menjadi sesak. Leher laksana dicekik oleh tangan besar kokoh yang tak terlihat.
“Kalian bilang hendak membunuhku! Mengapa kini sengaja tempelkan tubuh menindihku!” terdengar teriakan Pendekar 212. Mukanya tertindih oleh potongan bawah tubuh Kiani sedang sosok Manumi membelintang sempurna di atas badannya sebelah bawah!
“Pemuda edan! Dalam keadaan begini masih coba bergurau!” damprat Kiani. Lalu. “Bukk!” Lutut kanannya dihunjamkan ke perut Wiro. Namun ia terbatuk-batuk dan tersandar ke dinding goa. Hawa gila busuk yang memenuhi tempat itu menciptakan nafasnya seolah putus. Megap-megap ia cepat menarik tangan Manumi kemudian beringsut menuju verbal goa sambil menarik tubuh kawannya.
*
* *

212
SEPULUH

Sementara tiga orang itu berkaparan di lantai , di depan verbal goa tegak seorang lelaki renta bertubuh tinggi besar berkulit hitam laksana jelaga. Di kepalanya melilit sebuah destar tinggi warna merah. Orang ini mempunyai janggut dan kumis lebat meranggas , mengenakan pakaian hitam serba gombrong.
Gerakan Kiani dan Manumi yang merangkak di lantai terhenti di verbal goa , terhalang oleh si tinggi besar.
“Orang hutan! Siapa kau?! Mengapa menyerang kami?!” hardik Manumi sambil berusaha berdiri. Di sebelahnya Kiani juga telah berdiri duluan walau terhuyung-huyung. Tangan kanannya masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
Si tinggi besar tertawa bergelak. Gigi-giginya kelihatan besar dan ada beberapa yang tampak berkilat lantaran dilapisi perak.
“Kalau orang lain yang memaki sudah kubunuh dikala ini juga! Untung kalian gadis muda berwajah cantik! Tuan besarmu ini masih mau memberi sedikit pengampunan! Pergi sana! Tunggu saya di luar!”
Kaki si tinggi besar bergerak dua kali.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Tubuh Kiani dan Manumi mencelat keluar goa. Terbanting di tanah.
Hampir pingsan menahan sakit dua gadis anak buah Ratu Duyung bangun berdiri. Kiani menyerbu dengan kapak di tangan. Manumi tetap di tempatnya berdiri tapi dari tangan kanannya menyambar sinar biru ke arah orang renta tinggi besar di depan goa.
Semula orang yang diserang menganggap remeh serbuan dua gadis manis itu. Tapi ketika melihat cahaya putih serta deru angin dahsyat yang keluar dari kapak ia cepat melompat ke samping goa. Manumi gerakkan jari telunjuknya. Sinar biru bergeser ke samping mengikuti gerakan orang renta berkulit hitam. Orang ini berseru kaget. Dia kembali menciptakan lompatan ke samping. Kali ini disertai tangannya memukul ke depan. Cahaya hitam bertabur. Bau busuk menghampar. Dinding luar goa di belakang si tinggi besar hancur berantakan dihantam sinar biru yang keluar dari jari Manumi. Membuat tergetar tetapi juga beringas orang renta berkumis dan bercambang bawuk lebat itu. Sambil keluarkan bunyi menggertak ia hantamkan tangan kanannya ke arah Manumi. Cahaya hitam busuk untuk kesekian kalinya menggebu. Kali ini Manumi tidak bisa menyingkir. Gadis ini menjerit sambil pegangi lehernya yang laksana dicekik oleh tangan yang tidak kelihatan. Tubuhnya roboh ke tanah , menggeliat beberapa kali kemudian tak berkutik lagi. Dari sela bibirnya kelihatan darah mengucur berwarna merah pekat.
“Tua bangka jahanam! Kau bunuh kawanku! Sekarang mampuslah!” Terdengar teriakan Kiani kemudian gadis ini melompat sambil menghantamkan Kapak Naga Geni 212 yang tergenggam di tangan kanan. Dari ujung jari tangan kirinya sinar biru melesat ke arah kiri hingga lawan yang diserang tak mungkin bergerak ke kiri atau pun ke kanan. Untuk menghindar dengan melompat ke belakang juga tidak bisa lantaran terhalang oleh dinding kerikil sekitar verbal goal!
“Gadis iblis! Aku mengadu nyawa denganmu!” teriak orang renta tinggi besar berdestar merah. Kedua tangannya diangkat ke atas. Mulutnya mengeluarkan teriakan. “Pukulan Hawa Neraka!”
Dua buntal asap hitam melesat dari telapak tangannya kiri kanan. Bukit itu laksana karam dalam busuk busuk luar biasa. Dua langkah di hadapan si tinggi besar Kiani rasakan tubuhnya laksana kaku. Kapak Naga Geni 212 terlepas jatuh dari genggamannya. Tangan kirinya terkulai ke samping. Lehernya laksana dijirat. Dadanya sesak. Nafasnya sengal. Dari hidung dan mulutnya keluar darah kehitaman. Sesaat kemudian setelah terhuyung beberapa kali gadis ini jatuh terkapar di tanah.
Orang renta tinggi besar tampak komat kamit beberapa kali. Sepasang matanya yang semula membeliak kini mengecil kembali. Tapi kembali mendelik ketika ia dapatkan baju gombrong nya di potongan pundak kiri hangus. Ketika dirabanya baju itu pribadi gugur menjadi debu.
“Senjata dahsyat…” kata orang renta ini sambil memandang ke arah Kapak Maut Naga Geni 212 yang tergeletak di tanah. “Mungkin dengan senjata ini dulu adik-adikku menemui ajal. Sekarang akan kubalaskan kematian mereka!” Dengan cepat orang ini mengambil Kapak Maut Naga Geni 212. Di dalam goa terdengar bunyi orang batuk berulangkali. Sesaat kemudian , di antara kepulan asap hitam busuk yang mulai menipis dari dalam goa tampak merangkak keluar sesosok tubuh berpakaian putih.
Orang ini bukan lain yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Satu telapak kaki ditekankan ke kening Wiro menciptakan murid Sinto Gendeng ini tak bisa bergerak lebih jauh.
“Jahanam kurang ajar! Turunkan kakimu!” teriak Wiro. Dia angkat tangan kanannya memukul tulang kering orang. Yang dipukul tertawa bergelak kemudian dorongkan kaki kanannya menciptakan Wiro tergelepak jatuh. “Setan alas! Siapa kau?!”
“Buka matamu lebar-lebar! Lihat siapa yang berdiri di hadapanmu anak muda!”
Dengan susah payah dan sambil batuk-batuk Wiro bangun berdiri dan bersandar ke dinding goa.
“Aku tidak kenal padamu! Mengapa bermaksud jahat padaku! Mengapa kau membunuh dua gadis itu? Kembalikan kapak padaku!”
“Bicaramu terlalu banyak Pendekar 212. Coba kau ingat baik-baik! Beberapa tahun kemudian kau dan gurumu si Tua Gila pernah membunuh Datuk Sipatoka di Tambun tulang. Kalian juga punya peranan dalam lenyapnya adikku Datuk Raja Di Langit! Hari ini saya Datuk Angek Garang tiba menuntut balas Tapi sebelum kau kubunuh mari kita bicara sedikit!”
Orang renta tinggi besar yang mengaku Datuk Angek Garang selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pinggang pakaian hitamnya yang gombrong.
“Aku ingin kau memberi keterangan apa yang terjadi dengan adikku Datuk Raja Di Langit. Dia lenyap di pulau kediaman Tua Gila! Jika kau mau memberi keterangan , kematianmu akan kupercepat hingga kau tidak perlu tersiksa menderita….”
Wiro menyeringai. Dia meludah ke tanah. Ludahnya tampak bercampur darah tanda ia telah mengalami luka dalam akhir asap busuk pukulan Hawa Neraka yang dilepaskan Datuk Angek Garang di dalam goa. Darah bercampur ludah itu kelihatan merah segar yang berarti walaupun terluka di dalam namun belum ada racun yang sempat mendekam merusak tubuhnya.
“Soal Datuk Raja Di Langit kejadiannya sudah lama. Aku tidak ingat lagi! Nanti bisa saja kau tanyakan pada setan pulau atau jin laut! Huk… huk… huk!” Wiro terbatuk-batuk kemudian meludah berulangkali.
Datuk Angek Garang menyeringai. “Kau tidak mau memberi tahu tak jadi apa. Akibatnya akan kau rasakan sebentar lagi! Sekarang satu lagi pertanyaanku. Jika kau mau menjawab kuhapus semua dosamu dan kau akan kubebaskan!”
Wiro tertawa. “Seumur hidup tak ada insan yang percaya pada segala insan setan sepertimu! Kau ingin membunuhku saya tak takut! Kalau saya mati , di alam abadi saya akan menemui dua adikmu itu. Akan kusampaikan pesan bahwa tak lama lagi kau akan bergabung dengan mereka! Ha… ha… ha…! Huk… huk… huk!”
Tangan kanan Datuk Angek Garang bergerak ke atas. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung menandakan amarahnya sudah hingga di puncak teratas.
Pendekar 212 mirip tak perduli , seolah tidak hirau akan maut yang merenggut nyawanya dikala itu juga. Sambil menyeringai ia teruskan ucapannya. .
“Jangan harap saya akan memberikan pesan untuk bidadari di sorga! Tampangmu jelek! Badanmu bau! jangankan bidadari , kambing pun jijik padamu! Ha… ha… ha! Huk… huk… huk!”
Tangan kanan Datuk Angek Garang bergetar tanda ia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Ketika tangan kanannya dipukulkan ke arah Wiro , cahaya hitam seolah keluar dari seluruh tubuhnya. Laksana kilat menyambar ke arah murid Sinto Gendeng. Gilanya menghadapi pukulan maut itu Wiro sama sekali tidak berusaha selamatkan diri! Bahkan kedua matanya tidak berkesip barang sedikit pun! Dia benar-benar siap mendapatkan kematian!.
Diantara busuk busuk pukulan sakti yang dilepaskan Datuk Angek Garang tiba-tiba menyeruak busuk wangi gila kembang kenanga. Lalu , “Bumm!”
Satu ledakan dahsyat menggelegar di lereng bukit Jatianom itu ketika sebuah sinar kuning laksana petir menyambar turun dari langit menghantam cahaya hitam pukulan Hawa Neraka yang dilepaskan Datuk Angek Garang untuk membunuh Wiro.
Tubuh Pendekar 212 tampak mencelat hingga dua tombak kemudian jatuh menyangsrang di antara semak belukar. Datuk Angek Garang sendiri tegak tergontai-gontai. Matanya mendelik dan dari mulutnya mengucur darah membasahi janggutnya yang lebat meranggas.
“jahanam dari mana yang berani menghalangi urusanku!” kertak Datuk Angek Garang sambil meringis pegangi dadanya menahan sakit. Dia memandang berkeliling. Hatinya kecut ketika melihat ke belakang sebagian lereng mirip dilanda longsor.
Mulut goa tak tampak lagi , tertimbun runtuhan tanah.
Pandangan orang renta bertubuh tinggi besar ini membentur sosok tubuh Wiro Sableng yang terkapar menyangsrang dalam keadaan tak sadarkan diri di antara semak-semak.
“Kalau tidak kuhabisi kini , di kemudian hari bisa menimbulkan bencana!” Datuk Angek Garang kemudian cabut Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang diselipkannya di pinggang. Sekali lompat saja ia hingga di hadapan semak belukar itu. Dua mata kapak berpijar menyilaukan begitu sang Datuk kerahkan tenaga dalam.
“Wuuttt!”
Senjata mustika itu menderu dengan segala kedahsyatannya. Datuk Angek Garang sengaja mengarahkan mata kapak ke batang leher Wiro. Dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi. Leher itu akan tertebas putus. Kepala Pendekar 212 akan menggelinding jatuh ke dalam lembah di bawah sana!
Namun lagi-lagi terjadi hal gila yang menciptakan Datuk Angek Garang menjadi kecut setengah mati. Selagi tangannya mengayun kapak tiba-tiba senjata itu terlepas dari genggamannya seolah ada satu kekuatan menariknya dengan keras. Bersamaan dengan itu tubuh orang renta ini terlempar akhir satu tendangan yang tak kelihatan yang mendarat telak di dadanya. Datuk Angek Garang berteriak keras kemudian muntahkan darah. Tubuhnya terjengkang di tanah. Meski hantaman yang melanda dadanya begitu dahsyat namun ia masih sanggup bertahan untuk tjdak pingsan. Beberapa lama ia terjengkang di tanah dengan mata mendelik dan sepasang kaki melejang-lejang. Mukanya yang hitam tampak kaku tak berdarah.
“Makhluk jahanam! Setan atau manusia! Mengapa tidak berani unjukkan diri! Menyerang secara pengecut!” teriak Datuk Angek Garang. Lalu ia bergerak bangun , memandang berkeliling , mencari-cari. Dia sama sekali tidak melihat siapapun. Tiba-tiba orang ini melangkah tersurut. Kapak Maut Naga Geni 212 dilihatnya melayang di udara. Cahaya terang panas dan menyilaukan membersit dari senjata itu. Seolah dipegang oleh seseorang yang tidak terlihat oleh mata , senjata mustika itu bergerak ke arah sang Datuk. Bersamaan dengan itu busuk wangi gila kembang kenanga tercium semakin santar! Kali ini putuslah nyali Datuk Angek Garang. Tanpa menunggu lebih lama ia segera memutar tubuh pontang panting melarikan diri menuruni lereng bukit.
Begitu Datuk Angek Garang lenyap di kejauhan , kurang jelas di bawah pohon besar menyeruak satu bayangan yang makin lama makin aktual dan berubah menjadi menjadi sosok seorang gadis berpakaian kebaya panjang serta kain putih. Rambutnya yang panjang hitam digerai ke arah sosok Wiro yang berada diatas semak belukar dalam keadaan pingsan. Sambil memegang Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya , gadis melangkah mendekati Wiro. Dua kali ia mengusap wajah perjaka itu maka perlahan-lahan Wiro sadar dari pingsannya.
“Bunga…” desis Pendekar 212 begitu matanya terbuka dan yang dilihatnya pertama kali yaitu Bunga alias Suci alias Dewi Bunga Mayat tegak di hadapannya. Wiro hendak bergerak tapi tubuhnya anjlok ke bawah dan ia jadi terkejut ketika menyadari dirinya tersangkut di semak belukar.
“Apa yang terjadi?” ujar Wiro begitu Bunga mengeluarkan dirinya dari dalam semak belukar.
“Nanti saja kita bicara. Aku punya firasat tidak baik. Aku akan membawamu dari tempat ini. Rasanya di sini tidak kondusif lagi bagimu… ,”
Wiro tegak terhuyung-huyung. Dia memandang berkeliling. “Orang tinggi besar berbaju gombrong itu…” ujar Wiro.
“Dia melarikan diri ,” jawab Bunga , gadis dari alam mistik itu. Lalu diserahkannya Kapak Naga Geni 212. Wiro mendapatkan senjata mustika itu dan memegangnya keberatan akhir tidak lagi mempunyai kesaktian dan tenaga dalam. Dengan cepat kapak disimpannya di balik pakaian.
“Wiro kita harus pergi dari sini. Aku akan memanggulmu biar kita bisa bergerak lebih cepat. Aku mencium ancaman mengelilingimu. Ini yaitu kali terakhir saya bisa muncul dan menolongmu. Setelah ini saya membutuhkan waktu seratus tujuh puluh hari untuk sanggup lagi keluar dari alamku….”
“Bunga , saya tidak tahu harus bagaimana mengucapkan terima kasih. Aku yakin pasti kau gres saja menyelamatkan nyawaku. Aku akan mengikuti ke mana saja kau bawa. Tapi tak perlu digendong mirip anak kecil. Aku bisa berjalan sendiri.”
“Begitu?” ujar Bunga. “Coba kau melangkah ke arah pohon besar sana:…”
“Kau kira saya anak kecil yang gres pintar berjalan? Lihat!” Wiro kemudian melangkah besar-besar ke arah pohon yang berjarak sekitar sembilan langkah dari tempatnya berdiri.
Satu langkah , dua langkah. Pada langkah ketiga ia mulai terhuyung. Memasuki langkah keempat ia batuk dan keluarkan darah dari mulut. Setelah itu ia jatuh terduduk. Parasnya pucat.
“Walau tidak berbahaya tapi ada racun yang masuk ke dalam tubuhmu. Orang yang kabur itu telah menghantammu dengan ilmu pukulan mengandung hawa busuk. Sebaiknya kau telan ini biar peredaran darahmu lancar dan bersih….”
Dari balik pakaian putihnya Bunga keluarkan sehelai daun kemudian menyerahkannya pada Wiro. “Ini daun pohon kenanga. Kunyah dan telan. Mudah-mudahan kau tertolong. Lekas kau kunyah hingga lumat….”
Wiro memegang daun yang diserahkan Bunga itu sesaat. Bibirnya digigit-gigit. Akhirnya daun itu dimasukkannya juga ke dalam mulutnya. Selagi ia mengunyah daun Bunga berkata.
“Agar peredaran darahmu bisa bekerja dengan baik dan kau tidak banyak omong di jalan saya terpaksa menotok dirimu!”
“Eh Bunga ,… Jangan!” seru Wiro. Tapi si gadis bergerak lebih cepat. “Hekkk!”
Satu totokan yang disarangkannya di pangkal leher Wiro menciptakan murid Sinto Gendeng itu tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Kedua matanya ikut tertutup ,
Tanpa menunggu lebih lama Bunga pribadi saja memanggul Wiro di pundak kirinya kemudian berkelebat ke arah lembah. Namun gres saja bergerak , busuk sangat harum tiba-tiba tercium di tempat itu. Langkah Bunga tertahan. Kedua kakinya laksana dipantek ke tanah.
“Kau…!” desis Bunga dengan sekujur tubuh bergetar. Wajahnya yang pucat serta merta menjadi merah. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke depan , ke arah seseorang yang dari caranya tegak di jalan terperinci sengaja menghadang.
*
* *

212
SEBELAS

Orang yang tegak di jalan seta pa k empat langkah di hadapan Bunga yang sedang memanggul sosok Wiro yaitu seorang gadis luar biasa cantiknya. Dia mengenakan pakaian ringkas baju biru muda di sebelah atas dan celana biru kehitaman di sebelah bawah. Rambutnya yang hitam disanggul di atas kepala dan di sebelah depan kepalanya terdapat sebuah mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna biru. Dari tubuh dan pakaiannya menebar busuk harum semerbak. Untuk beberapa lamanya Bunga menatap tak berkesip ke dalam sepasang mata berwarna biru gadis di hadapannya itu. Sebagai seorang yang berasal dari alam mistik di mana segala kekuatan gila berada , pandangan Bunga menusuk ke dalam mata orang di hadapannya. Namun ia sendiri merasa getaran-getaran gila menandakan yang dipandang juga mempunyai satu kekuatan luar biasa , yang tidak dimiliki oleh orang biasa.
“Ratu Duyung…” desis Bunga dengan bunyi dan air muka dingin.
“Syukur kau telah mengenali hingga saya tak perlu menerangkan siapa diriku….” Orang di depan Bunga menyahuti tak kalah dinginnya bahkan ketus. Orang ini memang yaitu Ratu Duyung.
“Ada keperluan apa kau tegak menghadang jalanku? Kalau maksud jahat katakan jahat! Kalau maksud baik katakan baik!”
Ratu Duyung tersenyum. “Alamku dan alammu banyak persamaannya. Namun dalam alamku kami tidak mengenal segala sesuatu yang berbentuk jahat!”
“Beg itu?” ujar Bunga kemudian dongakkan kepala dan keluarkan bunyi tertawa perlahan. “Kalau bukan lantaran perbuatan jahat , perjaka yang berada di atas panggulanku ini tidak akan mengalami nasib mirip ini! Kesengsaraan yang dialaminya lebih pahit dan lebih mengerikan dari kematian!”
“Gadis alam hitam , jangan kau berani bermulut lancang menuduhku. Kejahatan apa yang telah saya lakukan terhadapnya?!”
“Dari pertanyaanmu yang penuh kepura-puraan itu , saya kini mengerti bahwa alam kita memang benar punya perbedaan. Di alammu mencelakai orang bukan satu kejahatan!” Bunga tertawa panjang. Tiba-tiba mirip direnggut setan tawanya lenyap dan air mukanya segarang harimau lapar. “Kau telah memperdayai Pendekar 212 semata-mata untuk membebaskan dirimu dan anak buahmu dari kutukan! Apakah itu bukan perbuatan jahat? Kau rampas kehormatannya yang menimbulkan kini dirinya seakan-akan mati dalam hidup!”
Paras Ratu Duyung tampak merah mirip terpanggang sinar matahari. “Karena hidupmu di alam gila , kau tidak tahu apa artinya meminta tolong , apa artinya menyebarkan rasa dalam penderitaan , apa artinya menghormati sesama insan aktual , bukan insan mistik sepertimu!”
“Sungguh hebat ucapanmu! Pertolongan apa yang kau maksudkan Ratu Duyung? Memeras kehormatannya dan menjadikannya budak nafsumu kemudian menjadikannya budak kebodohan? Perasaan apa yang begitu kau muliakan hingga kau tega mencelakainya? Kehormatan apa yang kau berikan padanya hingga ia menjadi sengsara mirip kini ini?”
“Aku memang melaksanakan satu kealpaan. Tidak menyampaikan apa akhir dari pertolongan yang diberikannya. Tapi lain daripada itu tidak ada pikiran apalagi perbuatan jahat. Dia menolongku penuh kesadaran. Atas sepengetahuan beberapa orang tokoh termasuk gurunya sendiri. Apakah kau lebih berkuasa dari para tokoh dan gurunya? Bukankah segala tuduhan dan ucapan lantangmu hanya dipengaruhi oleh rasa cemburu terhadapku? Aku mendapatkan perhatian lebih dari ia sebaliknya kau tidak! Seharusnya kau tahu diri. Paling tidak sedikit menyadari. Mania mungkin insan alam aktual bisa membagi kasih dengan insan alam mistik sepertimu?!”
Paras pucat Bunga alias Suci tampak menjadi merah mendengar ucapan Ratu Duyung. Dengan cepat gadis ini menyahuti kata-kata sang Ratu itu.
“Dalam alamku yang kau anggap rendah pertolongan yaitu pertolongan. Tidak ada komplemen lain atau akhir yang bisa mencelakai orang!”
“Siapa yang mencelakai dirinya? Justru saya tiba mencarinya untuk memperlihatkan keterangan dan meminta maaf….”
“Pendekar 212 tidak memerlukan dirimu , tidak memerlukan keteranganmu , juga tidak memerlukan maafmu!”
“Yang kudengar yaitu ucapanmu , bukan ucapan Pendekar 212!” tukas Ratu Duyung.
Untuk beberapa lamanya kedua orang gadis jelita itu saling berperang pandang. Lalu Ratu Duyung membuka pembicaraan lagi.
“Aku melihat dua orang anak buahku menemui kematian di lereng bukit di atas sana…. Apakah kau yang telah membunuh mereka?!”
“Tuduhan keji! Bukankah kau orang sakti yang bisa menembus dunia hitam dan melihat ke dalam kejauhan?! Jangan kau sekali lagi berani lancang menuduh yang bukan-bukan! Lekas menyingkir berikan jalan!”
“Aku perlu bicara dengan Pendekar 212. Biar ada kejelasan dan menghindarkan salah sangka di antara kami. Harap kau lepaskan totokannya , turunkan ia dari panggulanmu!”
“Permintaanmu tidak bisa kupenuhi!” jawab Bungs tandas.
“Kalau begitu kuanggap kau sengaja hendak menimbulkan jurang perpecahan antara saya dengan Pendekar 212. Itu memang ciri-ciri khas insan alam mistik dan hitam sepertimu!”
“Terserah kau mau berkata dan menuduh apa! Yang terperinci kau tak bakal mendapatkan perjaka ini. Baik tubuh maupun hatinya!”
Ratu Duyung tertawa panjang. “Jelas kecemburuan menguasai dirimu! Kau lupa bahwa perjaka itu telah merelakan tubuhnya untukku? Pendekar 212 telah menyebarkan kasih dengan aku?!”
“Lekas menyingkir atau kau akan menyesal seumur hidupmu! Kau pernah menderita dalam alam kutukan! Jangan hingga saya menciptakan kau menderita dalam bentuk lain!”
“Serahkan Pendekar 212 padaku!” hardik Ratu Duyung. Sepasang matanya yang biru mengeluarkan kilatan aneh.
“Sekali saya bilang tidak , hingga final zaman pun tidak!”
“Kau mencari final zaman sendiri!” Ratu Duyung tegak renggangkan kaki. Tangan kirinya diletakkan di atas dada. Tangan kanan perlahan-lahan diangkat ke atas.
Bunga tak tinggal diam. Pandangan matanya menyorot garang.
“Kau masih keras kepala? Atau kau mencari penyesalan lantaran saya akan segera menjatuhkan tangan keras terhadapmu!”
Ratu Duyung mengancam.
“Silahkan coba! Aku ingin tahu hingga di mana kehebatan insan yang pernah dimakan kutukan!” sahut Bunga mendapatkan tantangan dan ancaman orang.
Baru saja Bunga berucap begitu dari ujung jari telunjuk ajun Ratu Duyung melesat serangkum sinar biru. Sinar ini melesat demikian cepatnya hingga sebelum bisa mengelak sekujur tubuh Bunga termasuk Wiro yang ada dalam panggulannya telah terikat kuat. Makin lama ikatan itu terasa semakin mengencang.
Ratu Duyung dongakkan kepala kemudian tertawa panjang.
Bunga menyeringai. Kepalanya digoyangkan. Rambutnya yang hitam panjang melesat ke udara menciptakan gerakan berbentuk lingkaran.
“Wuuttt!”
Angin keras laksana puting beliung keluar dari putaran rambut menciptakan pakaian Ratu Duyung berkibar-kibar. Rambutnya yang tergulung di atas kepala terlepas dan tergerai riap-riapan. Mahkota biru yang ada di kepalanya terpental ke atas namun secara gila perlahan-lahan turun kembali dan melekat di tempat semula. Sepasang kaki Ratu Du-yung bergetar keras. Ada satu kekuatan laksana topan mencoba membongkar kuda-kuda sepasang kakinya yang seolah pohon besar ditancapkan ke tanah. Sepasang mata Ratu Duyung memancarkan kilatan aneh. .
Dari verbal Bunga keluar pekik keras menusuk menyakitkan indera pendengaran dan menggetarkan dada Ratu Duyung. Lalu terdengar bunyi “Dess… dess!” Be-berapa kali berturut-turut , ikatan tali biru gila yang melibat sekujur tubuh Bunga dan Wiro putus be-rantakan.
Ratu Duyung terkesiap tak percaya melihat apa yang terjadi. Di depannya Bunga tertawa panjang kemudian berseru.
“Ratu Duyung! Terima hadiah kecil dariku sekedar untuk kenang-kenangan!”
Baru saja ucapan gadis alam mistik itu berakhir satu sinar kuning menderu ke arah Ratu Duyung disertai menghamparnya busuk santar kembang kenanga. Di udara tampak berkelebat sebuah benda kuning ibarat bintang.
Ratu Duyung ingat betul pukulan inilah yang dulu menghantamnya sewaktu berada di Puri Pelebur Kutuk bersama Pendekar 212. Didahului teriakan keras sang Ratu melesat dua tombak ke atas dan sambil melayang di udara ia dorongkan dua tangannya ke arah Bunga. Dua gelombang cahaya biru sebesar batangan bambu menderu menyapu ke arah Bunga. Gadis dari alam mistik itu ganda tertawa. Tiba-tiba ia turunkan sosok Pendekar 212 dari bahunya. Tubuh murid Sinto Gendeng ini kemudian digendongnya di depan tubuhnya.
“Kau hendak membunuh kami berdua , silahkan!” seru Bunga seraya angsurkan tubuh Wiro ke depan , menciptakan Ratu buyung terkesiap dan terpaksa batalkan serangan ganasnya.
“Pengecut!” maki Ratu Duyung. “Turunkan perjaka itu! Hadapi diriku secara langsung!” Sambil berteriak Ratu Duyung cepat melompat ke samping menghindarkan serangan cahaya dan benda kuning yang menghantam ke arahnya.
Bunga tertawa panjang.
“Sekarang terbukti bahwa insan alam mistik sepertimu memang berhati culas dan jahat! Buktinya kau tega mempergunakan orang sebagai tameng. Jika kau menyukai dirinya mengapa mempergunakan ia sebagai tameng?! Pengecut keji!”
Mendengar caci maki Ratu Duyung , Bunga menjadi marah. Tangan kirinya digerakkan ke samping. Secara gila tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terangkat dan melayang ke kiri kemudian tegak tersandar ke sebatang pohon. Masih dalam keadaan tertotok , tak bisa bicara tak bisa bergerak. Bahkan sepasang matanya pun masih tampak tertutup hingga Wiro sama sekali tidak mengetahui apa yang tengah terjadi!
“Kita saling berhadapan sekarang! Apa maumu akan kulayani!” kata Bunga.
“Bagus! Aku akan membuatmu mati hingga sepuluh kali!” ujar Ratu Duyung. Untuk kedua kalinya sang Ratu lepaskan dua pukulan sinar sakti berwarna biru.
“Wusss! Wusss!”
Bunga angkat tangan kirinya. Dari tangan ini keluar sinar kuning berputar laksana tameng memagari dirinya. Bersamaan dengan itu Bunga gerakkan ajun ke pinggang mengeluarkan sekuntum kembang kenanga. Kembang ini kemudian dilemparkannya ke arah lawan.
Begitu dua jalur sinar biru pukulan sakti yang dilepaskan Ratu Duyung hanya tinggal beberapa jengkal lagi dari sasarannya tiba-tiba putaran sinar kuning yang keluar dari tangan kiri Bunga berubah membesar dan membentuk kerucut. Dua sinar biru pukulan sakti yang dilepaskan Ratu Duyung amblas tersedot ke dalam putaran sinar kuning laksana benda tersedot putaran air yang ganas. Dua dentuman menggelegar di tempat itu.
Ratu Duyung terjajar lima langkah ke belakang. Mukanya yang manis tampak memucat. Untuk sesaat tubuhnya bergetar tak karuan. Peredaran darahnya kacau. Tenaga dalamnya menyentak-nyentak. Mulutnya terasa asin tanda ada darah akhir luka dalam.
Dilain pihak Bunga tegak terhuyung-huyung. Wajahnya yang pucat semakin putih. Kebaya putihnya robek hangus di potongan dada dan pinggang hingga auratnya tersingkap lebar. Ketika ia meneliti , gadis aiam ini jadi melengak. Tiga kuntum kembang kenanga yang tersimpan di pinggang pakaiannya telah berubah menjadi hitam hangus!
“Gadis iblis! Kalau tidak kubunuh dirimu belum puas hatiku!” teriak Bunga dengan sepasang mata bernyala-nyala. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke tanah. Dari tanah mencuat cahaya merah yang menjalar memasuki tubuhnya terus ke kepala kemudian melesat keluar dari kedua matanya!
ilmu iblis apa yang dimiliki gadis alam mistik ini!” pikir Ratu Duyung. “Aku terluka dalam. Tak mungkin mengerahkan tenaga dalam secara penuh! Aku tak bisa balas menghantam dengan kilatan cahaya biru-ku! Benar-benar berbahaya!”
Secepat kilat Ratu Duyung mengambil cermin lingkaran sakti dari balik pakaian birunya. Begitu benda ini digoyangkannya maka berkiblatlah kilauan cahaya putih disertai bunyi laksana dentuman , petir menggelegar berulang kali.
Bukit Jatianom mirip diamuk gempa. Tanah bergetar dan longsor besar terjadi di beberapa tempat. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar rambas dan bertaburan di udara. Batu dan pasir menggebubu menutupi pemandangan menciptakan udara yang memang sudah gelap lantaran mendung tebal menjadi tambah kelam.
Ratu Duyung terkapar di tanah. Sekujur tubuhnya tertutup oleh tanah. Dengan cepat ia melompat tegak walau tubuhnya terasa limbung.
Bunga masih tampak berdiri tapi keadaannya tak karuan rupa. Rambut acak-acakan. Pakaian dan celana putihnya hangus. Kapak Naga Geni 212 tergeletak di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri. “Seumur hidup belum pernah saya mengalami yang mirip ini ,” membathin gadis dari alam mistik ini. Entah hidup di alam mana yang dimaksudkannya dalam ucapan batinnya tadi.
Bagaimana dengan Pendekar 212 sendiri?
Ketika segala kedahsyatan itu melanda bukit Jatianom tubuh murid Sinto Gendeng laksana dilemparkan ke udara. Selagi tubuh itu melayang jatuh tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat laksana hantu gentayangan.
Baik Ratu Duyung maupun Bunga sama-sama berteriak ketika melihat bagaimana bayangan hitam itu melesat ke udara menyambar tubuh Pendekar 212 kemudian berkelebat lenyap. Ratu Duyung dan Bunga cepat bertindak hendak mengejar. Tapi bayangan hitam telah lenyap.
“Wiro!” teriak Ratu Duyung memanggil.
“Celaka!” keluh Bunga.
“Gadis iblis! Kalau bukan karenamu hal ini tidak akan terjadi!” Ratu Duyung memaki.
“Ratu jahanam! Jangan kau membalikkan tuduhan! Kau yang jadi biang racun gara-gara semua ini!” hardik Bunga.
Selagi kedua gadis manis perang verbal saling memaki tiba-tiba dari jurusan lain muncul satu bayangan biru. Sebelum Ratu Duyung dan Bunga sempat melihat terperinci siapa adanya bayangan itu , sesosok tersebut telah lenyap dan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang tadi tergeletak di tanah kini lenyap tak tampak lagi!
Bunga hantamkan tangan kanannya. Ratu Duyung kiblatkan cermin saktinya. Tapi bayangan biru itu luar biasa sekali cepat gerakannya. Sebelum dua serangan ganas sempat menyentuhnya , sosoknya telah lenyap dalam kegelapan.
Ratu Duyung tertegun. Dalam hati ia berkata. “Hanya ada satu orang yang mempunyai kecepatan mirip kilat begitu. Kalau memang dia…. Ah , bagaimana jadinya urusan ini? Persoalanku dengan Pendekar 212 belum sanggup dijernihkan. Sekarang muncul lagi gadis itu. Nasib diriku semakin tidak karuan….”
Ratu Duyung berpaling ke arah di mana sebelumnya Bunga tegak berdiri. Namun dikala itu didapatinya gadis dari alam mistik itu tak ada lagi di tempat itu. Ratu Duyung semakin bingung. Dia memandang berkeliling.
“Wiro…?! Wiro…?!” panggilnya dengan bunyi bergetar. “Kemana saya harus mencari? Siapa yang telah menculik dirinya? Oh Tuhan apakah belum berakhir derita sengsara ini” Tak terasa sepasang matanya yang biru tampak berkaca-kaca. Udara tambah gelap. Di langit tampak kilat menyambar beberapa kali. Lalu bertiup angin kencang. Bersamaan dengan itu hujan mulai turun rintik-rintik Ratu Duyung menarik nafas dalam berulang kali. Akhirnya dengan banyak sekali perasaan kacau balau ia tinggalkan lereng bukit Jatianom yang porak poranda itu.
*
* *

212
DUA BELAS

Setelah memastikan pemuda itu berada dalam keadaan tertotok bukannya pingsan apa lagi mati , Sika Sure Jelantik segera memeriksa. Samar-samar ia melihat ada tanda kemerahan di urat besar pangkal leher Wiro. Dengan segera ia lipat jari telunjuknya kemudian ujung lipatan jari ditekankannya ke potongan leher perjaka itu.
Sejurus tubuh Wiro masih belum bergerak. Matanya juga masih tertutup. Lalu terdengar ia batuk-batuk beberapa kali. Ketika kesannya matanya dibuka murid Sinto Gendeng melengak laju bersurut mundur. Matanya membesar menatap wajah wanita renta di hadapannya. Terus ke sepuluh jari-jari tangan yang berwarna hitam dan panjang-panjang.
“Nek , siapa kau? Apa yang terjadi dengan diriku? Berada di mana saya dikala ini?” Wiro pribadi usikan rentetan pertanyaan. Terhuyung-huyung ia coba bangun dan duduk. Memandang berkeliling ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah dangau di tengah pesawahan kering.
Si nenek menatap sesaat pada perjaka di hadapannya itu kemudian berpaling memandang ke arah kejauhan. Dalam hati si nenek berkata. “Gila! Sikap dan cara bicara anak ini hampir sama dengan jahanam itu di masa muda!”
“Nek….”
“Nek , Nek… Nek! Kau mengapa ceriwis amat! Apa yang hendak kau katakan?!”
“Tadi saya sudah bertanya. Tapi kau tak menjawab. Malah marah…. Sebelumnya saya berada di satu bukit berjulukan Jatianom. Mengapa tahu-tahu berada di sini?!”
“Memang saya yang menculikmu dan membawamu ke tempat ini!”
“Kau…. Kau menculikku? Mengapa? Apa kesalahanku , apa untungnya menculik orang buruk dan sengsara mirip aku?!”
“Jelek atau sengsara bukan urusanku! Kalau kau memang sudah dilahirkan buruk dan nasibmu sengsara itu namanya takdir! Aku tidak perduli dan tidak mau tahu!”
“Lalu apa alasanmu menculik diriku? Jangan-jangan kau bangsanya nenek genit yang masih doyan daun muda….”
“Plaaaakk!”
Satu tamparan mendarat di pipi kiri Pendekar 212. Membuat perjaka ini menjadi pening dan kesakitan.
Wiro angkat tangan kanannya dan balas menampar.
“Plaaakkk!”
Si nenek melengak kaget setengah mati. Rasa terkejutnya lebih hebat dari pada rasa sakit.
“Anak muda kurang ajar! Kau ingin mati cepat rupanya!” si nenek mengancam dengan mata melotot.
“Uh… huk… huk… huk!” Wiro batuk-batuk. “Sejak beberapa hari kemudian sudah beberapa orang inginkan kematianku. Hari ini tambah lagi satu orang! Tapi Nek , saya tidak bodoh! Kau pasti punya alasan tertentu menculik dan membawa saya ke tempat sepi ini. Sebelum kau mendapatkan apa yang kau mau kau tak bakal membunuhku! Uh… huk… huk… huk! Umurku rupanya masih bisa diperpanjang. Padahal saya sudah ingin buru-buru mati!”
“Kematian akan segera menjadi bagianmu anak gila. Kau ternyata cerdik mirip bedebah renta yang satu itu!”
“Eh , bedebah renta yang mana maksudmu Nek?”
“Dengar!” si nenek jambak rambut Wiro. Lalu ia berkata. “Aku tahu kau yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng dan juga murid seorang kakek dajal bergelar Tua Gila!”
“Wan ilmu pengetahuanmu luas juga rupanya Nek. Kau tahu banyak wacana diriku. Apa kau tahu berapa pusar-pusar rambut di kepalaku? Juga tahu berapa saya punya pusar di perut! Lalu berapa saya punya pusar di bawah perut? Ha… ha… ha…! Huk… huk… huk!”
Si nenek berjubah hitam keluarkan bunyi menggembor saking marahnya. Tangannya diangkat kembali hendak menampar tapi kemudian perlahan-lahan diturunkan.
“Kenapa tak jadi menampar?” tanya Wiro sambil mencibir.
“Anak jahanam! Guru dan murid sama saja!” Si nenek bantingkan kepala Wiro ke samping. Lalu dengan kakinya ditendangnya perut perjaka itu hingga Wiro menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental dua tombak. Perutnya serasa pecah , pemandangannya berkunang-kunang. Untuk beberapa lama ia hanya bisa mengerang menahan sakit. Dalam pada itu si nenek sudah melompat ke hadapannya dan kembali menjambak rambutnya.
“Aku ingin tahu di mana gurumu berjuluk Tua Gila itu berada?!” Sambil bertanya si nenek sentakkan jambakannya.
Walau sakit tapi murid Sinto Gendeng malah senyum-senyum. Membuat si nenek jengkel setengah mati.
“Ada kekerabatan apa kau dengan Tua Gila? Kau pasti bukan orang sini! Mengadakan perjalanan jauh. Sampai-sampai menculik diriku! Hanya untuk tahu di mana beradanya Tua Gila! Hik… hik! Aku punya firasat di masa muda kau dengan dia….”
“Plaaakkk!”
Tak sanggup menahan hatinya lagi si nenek lantas saja tampar Wiro untuk kedua kalinya! Kali ini demikian kerasnya hingga verbal Wiro pecah dan mengucurkan darah.
“Aduh sakitnya….” ujar Wiro. Dia hingga keluar air mata.
“Kalau kau masih berani mempermainkan jangan kira saya tidak tega mengorek kau punya mata!” kata si nenek dengan rahang menggembung. “Lekas katakan di mana Tua Gila berada!”
“Aku… saya tidak tahu Nek. Terakhir sekali saya bertemu dengan ia di Pangandaran. Aku pergi ke selatan ia pergi ke utara….”
“Jangan dusta! Masakan di mana guru sendiri berada kau tidak tahu!”
“Memangnya saya murid apa yang mengikuti guru kemana-mana dan harus tahu di mana ia berada!”
“Aku tidak percaya padamu! Kau sama gila dan kurang ajarnya dengan si Tua Gila itu!”
“Hemmm…. Kalau kau memaksa baiklah. Aku akan katakan di mana guruku itu berada. Tak jauh dari sini!”
Se pa sang mata si nenek membuka lebar. Dia menyeringai. “Katakan di mana…!”
“Tak jauh dari sini. Di sebelah tenggara ada sebuah kali kecil. Guruku si Tua Gila itu ada di sana. Lagi berak! Ha… ha… ha…!”
“Jahanam setan alas!” Kini bukan tamparan lagi yang diterima Pendekar 212 melainkan satu jotosan menghajar pipinya , menciptakan perjaka tak berdaya ini jatuh terguling di tanah dengan pipi memar! Belum puas si nenek kemudian melompat dan injakkan kaki kanannya ke leher Wiro. “Aku Sika Sure Jelantik tidak punya ganjalan apa-apa membunuhmu! Tidak sanggup gurunya , muridnya lebih dulu tak jadi apa!”
Si nenek yang ternyata yaitu Sika Sure Jelantik kekasih Tua Gila di masa muda kemudian perkeras injakannya hingga verbal Pendekar 212 terbuka dan lidahnya tampak terjulur. Tiba-tiba nenek berteriak keras. “Jahanam kurang ajar!”
Apa yang terjadi?
Ketika lehernya dipijak semakin keras , Wiro susupkan tangannya ke dalam jubah hitam si nenek kemudian dengan cepat menggelitik potongan bawah perut Sika Sure Jelantik. Tentu saja wanita renta ini menggelinjang kaget dan geli.
“Kupecahkan kepalamu!” teriaknya kemudian berkelebat dan hantamkan tangan kanannya ke batok kepala Pendekar 212. Seperti yang sudah-sudah murid Sinto Gendeng ini hanya berdiam diri saja seolah pasrah mendapatkan kematian.
Sesaat lagi pukulan Sika Sure Jelantik benar-benar akan memecahkan batok kepala murid Eyang Sinto Gendeng itu tiba-tiba terdengar satu seruan. Bersamaan dengan itu busuk sangat wangi menyeruak di tempat itu.
“Nenek Sika! Jangan kau bunuh! Dia perjaka yang saya ceritakan padamu! Aku mohon pengampunan baginya!”
Sika Sure Jelantik terkejut. Satu bayangan biru berkelebat dan tegak di hadapannya. Di tangan kanannya orang yang barusan muncul itu memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
“Anakku , kau rupanya!” ujar Sika Sure Jelantik sambil menatap tajam pada orang yang berdiri di depannya kemudian berpaling pada Wiro. Si nenek tarik nafas dalam kemudian perlahan-lahan tarik kaki kanannya yang menginjak leher Wiro. Pendekar 212 cepat bangun berdiri dan batuk-batuk berulang kali. Dia memandang ke depan dan lambaikan tangannya.
“Bidadari Angin Timur….” seru Wiro. “Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawa insan buruk ini dari nenek yang kesasar tak tahu juntrungan ingin membunuhku!”
Si nenek kembali meledak marahnya. Tapi gadis berpakaian biru yang memang Bidadari Angin Timur adanya cepat menghalangi dan berdiri di hadapan si nenek.
“Aku mohon Nek….” kata Bidadari Angin Timur setengah memelas , menciptakan gelegak murka si nenek menjadi kendur.
“Jadi ini ia perjaka yang menurutmu mencintaimu setengah mati?!”
Bidadari Angin timur tidak menyahut. Dia hanya tundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang kemerahan.
Sika Sure Jelantik tertawa mengekeh kemudian geleng-gelengkan kepala. “Tidak kusangka kalau murid musuh besarku ini yaitu perjaka yang menjadi kekasihmu! Anakku , kita sudah bicara panjang lebar. Aku sudah memberi pesan yang tersirat banyak padamu. Kalau begini potongan orangnya a la mat kau bakalan susah! Aku kenal gurunya! Menipuku di masa muda. Murid tentu tak bakal jauh dari sang guru! Terserah padamu! Kalau saya jadi gadis secantikmu perjaka buruk dan busuk ini tidak akan laku! Hik… hik… hik!”
Wiro ikut-ikutan ketawa.
“Anak jahanam! Kenapa kau ketawa?!” sentak Sika Sure Jelantik penuh gusar.
“Guruku si Tua Gila jauh lebih buruk dan lebih busuk dariku. Tapi mengapa kau dulu bisa naksir padanya?! Hik… hik… hik!”
“Wiro , harap kau bicara lebih sopan pada nenek Sika!” kata Bidadari Angin Timur.
“Baiklah , memandang dirimu saya akan bicara bersopan-sopan padanya. Tapi saya melihat keanehan. Kau memanggilnya nenek , tapi ia memanggilmu anak. Sebenarnya orang ini nenekmu atau ibumu?!”
“Wiro jangan bergurau terus-terusan!” hardik Bidadari Angin Timur.
Pendekar 212 angkat pundak kemudian garuk-garuk kepala. “Aku memang kurang ajar. Mungkin sudah dari sananya!” kata Wiro mirip meratapi diri. Dia berpaling pada si nenek dan tersenyum.
“Masih bisa tersenyum! Huh! Aku muak melihat senyummu!” damprat Sika Sure Jelantik.
“Aku mohon maafmu Nek. Aku tidak maksud bersikap kurang didik padamu. Jika kau sahabat gadis ini berarti sahabatku juga!”
“Sialan! Siapa sudi jadi sahabatmu!” tukas Sika Sure Jelantik. Lalu ia berpaling pada si gadis. “Jadi namamu Bidadari Angin Timur. Nama bagus. Kau dengar baik-baik anakku. Kalau saya tidak suka padamu , sudah kubuat buyar otak monyet gondrong ini! Tapi memberi ampun muridnya bukan berarti memberi ampun gurunya! Tua Gila akan terus kucari hingga dapat! Sebelum ia mati di tanganku tak akan tenteram hidupku dan matiku! Dan kau! Jika kau berani membantu gurumu saya tak akan memberi ampunan lagi padamu!” Sika Sure Jelantik pelototkan matanya pada Wiro. Lalu berpaling pada Bidadari Angin Timur. “Aku pergi sekarang!”
“Baik Nek. Aku harap sanggup bertemu lagi denganmu. Terima kasih atas kebaikanmu!” kata Bidadari Angin Timur pula.
Wiro Sableng melangkah ke hadapan si nenek kemudian menjura dalam-dalam seraya berkata “Nek , saya monyet gondrong buruk ini juga mengucapkan terima kasih seri pertama atas pengampunanmu dan kebaikanmu!”
“Eh , apa maksudmu terima kasih seri pertama…?!” sentak si nenek.
“Maksudku…. Kalau… siapa tahu kemudian hari saya bersikap alpa dan menciptakan kesalahan lagi padamu , jauh-jauh saya minta dimaafkan dan sekalian memberikan terima kasih seri kedua!”
“Pemuda geblek!” teriak Sika Sure Jelantik kemudian tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian di kejauhan terdengar bunyi tawanya gelak-gelak.
Wiro berpaling pada Bidadari Angin Timur. Sesaat pandangan mata mereka saling beradu. Tanpa ucapan sepatah katapun pandangan mata itu telah merupakan seribu kata yang tak tercetuskan.
“Aku menemukan senjata mustika ini di bukit Jatianom. Bagaimana senjata begini berharga dan tak ada tandingan di dunia persilatan kau terlantarkan begitu saja?” Si gadis menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Wiro.
“Panjang ceritanya. Aku bersyukur kau menemukan kapak ini. Aku sangat berterima kasih….” Wiro ulurkan tangannya mendapatkan kapak. Namun ia bukan hanya memegang gagang senjata itu. Jari-jari tangannya ikut menyentuh jari-jari tangan Bidadari Angin Timur. Matanya memandang berbinar-binar ke dalam mata si gadis. Tidak tahan dipandangi mirip itu Bidadari Angin Timur tundukkan kepalanya.
“Sejak perpisahan di Pangandaran dulu , saya begitu merindukanmu. Aku….”
Wiro tak sanggup meneruskan kata-katanya. Kapak Naga Geni 212 disisipkan ke pinggangnya. Dia memandang ke arah kejauhan. Mulutnya terkancing ketika ia menyadari bahwa selama ini bergotong-royong ia hanya bertepuk sebelah tangan.
“Bidadari , maafkan kalau ucapanku barusan tidak pada tempatnya. Aku kurang sehat. Aku harus pergi dan memencilkan diri untuk beristirahat. Sekali lagi saya berterima kasih kau telah menolongku. Banyak budi yang telah kau tanam padaku. Rasanya belum satupun yang bisa saya balas.”
“Wiro saya tahu kau dalam keadaan sakit. Lahir dan batin. Kalau kau suka saya bersedia….”
“Wiro!” Tiba-tiba ada seseorang berseru menyebut nama Pendekar 212. Di lain kejap seorang gadis manis berpakaian biru bermata biru muncul di tempat itu.
“Ratu Duyung!” balas berseru Wiro ketika melihat siapa yang datang. “Kebetulan kau datang! Ada urusan kusut yang ingin saya selesaikan denganmu!”
Ratu Duyung hendak melangkah mendekati si perjaka namun langkahnya tertahan ketika disadarinya tak jauh dari situ tegak seorang gadis manis berambut pirang. Pandangan dua gadis ini saling beradu. Ratu Duyung ingat akan pertemuannya dengan Bunga yang berakhir dengan keonaran besar. “Jangan-jangan gadis manis yang satu ini….”
Memikir mirip itu Ratu Duyung cepat berkata.
“Ah , harap maafkan. Aku hingga tidak melihat kalau ada orang lain bersamamu! Aku tidak ingin mengganggu. Lain kali saya menemuimu lagi….”
“Ratu , tunggu!” panggil Wiro seraya melangkah hendak mengejar. Namun Ratu Duyung sudah berkelebat pergi. Perlahan-lahan Wiro putar kepalanya dan tersenyum pada Bidadari Angin Timur.
“Orang tiba menjemputmu , mengapa tak kau cegah kepergiannya? Mengapa tidak kau kejar dirinya?”
. Wiro hanya bisa berdiam diri beberapa lamanya. Dia memandang ke jurusan lain seolah tak sanggup lagi menatap paras manis di depannya itu. “Aku memang ada hal penting yang perlu dijernihkan dengan Ratu Duyung. Tapi betapapun pentingnya bagiku kau jauh lebih penting….”
Tak ada bunyi jawaban. Tak ada gerakan. Wiro berpaling. Astaga! Dia jadi tersentak. Bidadari Angin Timur tak ada lagi di tempatnya tadi berdiri!
*
* *

212
TIGA BELAS

Hari tujuh bulan ke tujuh. Waktu itu hampir menjelang tengah malam. Lang it di atas candi Mendut tampak higienis ditebari bintang gumintang. Bulan sabit ikut menghias angkasa dan bersinar dengan lembut.
Sesosok tubuh tampak duduk setengah mendekam bersahabat sebatang pohon di bukit Tegalrejo , terletak tak jauh dari bangunan candi.
“Jahanam Datuk Angek Garang! Ini yaitu hari ke delapan ia terlambat muncul! Apa yang terjadi dengan dirinya?!. Orang di bersahabat pohon terdengar keluarkan bunyi makian. Dari suaranya ternyata ia “adalah seorang wanita renta , berwajah putih. Mengenakan jubah hitam dan mempunyai rambut putih dilepas sepunggung.
Selagi mengomel-ngomel sendirian mirip itu tiba-tiba ia disentakkan oleh bunyi benda berkerontang. Makin lama bunyi kerontangan itu terdengar semakin keras tanda tambah dekat.
“Orang gila darimana malam-malam buta begini menciptakan bunyi berisik?!” maki wanita renta berwajah putih yang bukan lain yaitu Sabai Nan Rancak dari Gunung Singgalang pulau Andalas. Sesuai perjanjian dengan Datuk Angek Garang , mereka bersepakat untuk bertemu di bukit Tegalrejo itu pada hari tujuh bulan ke tujuh. Namun setelah delapan hari berlalu dari dikala yang ditentukan , sang Datuk belum juga muncul. Kini selagi ia menunggu dengan hati kesal , muncul hal yang membuatnya tambah jengkel. Suara berisik tadi!
Tak selang berapa lama dari arah selatan kelihatan satu sosok tubuh melangkah terbungkuk-bungkuk. Orang ini mengenakan caping lebar. Pakaian penuh tambalan. Di tangan kanannya ia memegang sebuah kaleng rombeng yang tak henti-hentinya digoyang-goyang hingga mengeluarkan bunyi keras berisik. Di tangan kirinya orang ini memegang sebuah tongkat kayu butut. Benda ini dipergunakannya untuk menuntun jalannya di malam buta itu.
“Pengemis sialan! Malam-malam buta menciptakan berisik saja! Ah…. Setan betul! Dia menuju ke arahku ini!” Me maki Sabai Nan Rancak. Baru saja bunyi makiannya sirap tahu-tahu orang yang dianggapnya pengemis itu telah berada beberapa langkah di lereng bukit di bawahnya.
“Aneh…” ujar si nenek dalam hati. “Barusan saja saya bicara memakinya bagaimana tahu-tahu ia sudah berada di bawah sana dan duduk se-enaknya?!”
Pengemis yang duduk terpisah sekitar enam langkah di bawah si nenek kerontangkan lagi kaleng rombeng nya hingga indera pendengaran Sabai Nan Rancak hampir budek kepengangan.
”Gembel sinting! Hentikan pekerjaanmu menggoyang-goyang kaleng jahanam itu! Atau kurampas dan kuhancurkan?!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Astaga…! Ada seorang sahabat rupanya di tempat sesunyi ini. Eh , kira-kira di mana saya berada dikala ini ya?!” Pengemis di bawah sana keluarkan ucapan.
“Sialan! Aku bukan sahabatmu! Aku setan yang akan mencekikmu jikalau kau tidak berhenti mengguncang kaleng rombeng itu!”
“Walah! Aku pernah dengar setan yang pintar mencekik. Tapi gres sekali ini saya menemui setan pintar bicara! Sayang mataku buta! Kalau tidak ingin sekali saya melihat wajahnya! Apalagi setan wanita sepertimu!” Habis berkata begitu orang bercaping tertawa gelak-gelak.
Sabai Nan Rancak hilang kesabarannya. Dia melompat ke lereng bukit di bawahnya dan mengetuk caping di kepala orang dua kali.
“Pengemis sinting , kalau kuberi kau sesuatu apakah kau mau pergi dari sini dan tidak mengganggu ketentramanku?!”
“Ah , untuk ucapanmu itu saya jadi ingin menyampaikan beberapa hal….”
“Kau boleh bicara! Setelah itu lekas pergi dari sini! Jangan membuatku benar-benar marah!”
Orang yang duduk menjelepok di tanah itu membuka capingnya dan meletakkan benda itu di pangkuan. Si nenek memperhatikan. Ternyata orang yang dianggap sebagai pengemis ini yaitu seorang kakek berambut putih , mempunyai sepasang mata putih alias buta.
“Pertama , dari logat bicaramu terperinci kau bukan orang sini. Kalau orang dari seberang mengadakan perjalanan jauh pasti ada urusan besar yang tengah dihadang….”
“Hemmm…. Apa yang kau katakan memang betul. Tapi jangan berani bertanya apa urusanku!”
“Aku bukan kakek usil yang ingin tahu urusan orang. Justru orang banyak yang mencari tahu 122 urusan orang lain dan menanyakannya padaku. Aku hingga pada hal kedua. Aku bukan pengemis , bukan gembel juga bukan tukang minta-minta!”
“Bagus , jadi saya tak perlu memberimu sedekah apa-apa!” kata Sabai Nan Rancak.
“Aku memang tidak meminta ,” sahut si kakek kemudian tertawa mengekeh dan kembali goyangkan kaleng nya keras-keras hingga si nenek memaki panjang pendek. “Hal ketiga saya menduga. Biasanya dugaanku tidak meleset. Jika kau berada sendirian di tempat ini terperinci kau tengah menunggu seseorang. Karena kau di sini bukan untuk bertapa atau bersepi-sepi tanpa maksud tertentu….”
“Dugaanmu kali ini juga betul!” kata Sabai Nan Rancak. “Aku memang tengah menunggu seseorang. Karena itulah kini juga saya harap kau segera angkat kaki dari sini!”
“Jangan khawatir , saya tidak akan lama berada di sini. Namun saya merasa kasihan terhadap dirimu!”
“Kasihan? Memangnya saya minta dikasihani apa?!”
“Oo… tidak. Tentu tidak. Aku tidak menyampaikan kau minta dikasihani. Hik… hik… hik! Tapi jikalau saya memandang ke langit , saya melihat bintang-bintang bertaburan dan ada bulan sabit di sebelah sana. Semua itu memberi petunjuk bahwa orang yang kau tunggu tidak akan pernah datang!”
Sabai Nan Rancak mencibir. “Matamu saja buta! Bagaimana bisa melihat bintang dan bulan sabit di langit? Huh!”
Si kakek tertawa perlahan kemudian menjawab. “Orang melek memang melihat dengan mata. Orang buta melihat dengan hati! Apa yang saya katakan akan menjadi kenyataan. Kalaupun sahabat yang kau tunggu itu muncul juga maka ia tiba tanpa nafas lagi di tubuhnya!”
Sabai Nan Rancak melamun mendengar ucapan si kakek. “Pembual besar , siapa kau sebenarnya? Orang dari dunia persilatan? Punya nama dan bergelar apa?!”
“Seumur-umur saya hanya seorang anak insan biasa yang hidup malang melintang di kolong langit hingga jadi renta bangka begini rupa. Sana bat ku hanya caping bambu ini , buntalan butut , tongkat kayu butut dan kaleng rombeng ini?!”
“Lalu apa saja yang kau kerjakan seumur-umur? Mengemis tidak , hanya membual dan hilir pulang kampung ke mana-mana tanpa tujuan?”
“Justru itulah nikmatnya hidup. Nikmatnya hidup para pejabat di Kerajaan termasuk Sri Baginda sendiri lain dengan nikmatnya hidup yang dirasakan rakyat jelata , renta renta dan buta sepertiku. Nikmatnya hidup orang kaya lain dengan nikmatnya hidup renta bangka gelandangan sepertiku ini. Aku memang tidak punya pekerjaan apa-apa kecuali meramal!”
“Hemm , jadi kau ini juru ramai rupanya. Atau tukang tenung?” ujar Sabai Nan Rancak.
“Berbuat tenung yaitu pekerjaan orang sesat. Meramal yaitu perbuatan orang setengah sesat tapi kerap kali dipercaya! Ha… ha… ha…! Apa dirimu mau kuramal?!”
Sabai Nan Rancak terdiam. Entah mengapa hatinya jadi kecut dan gelisah. Maka ia berkata. Tidak , tidak usah. Bagaimana kalau saya mengajukan beberapa pertanyaan saja….”
“Silahkan. Aku yang dipanggil orang dengan sebutan Kakek Segala Tahu akan menjawab pertanyaanmu sebisa mungkin!” Si kakek kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
“Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa ini saya menyirap kabar wacana sebuah Kitab Malaikat yang kabarnya merupakan satu kitab maha sakti. Mampu mengalahkan segala macam kitab yang pernah ada di dunia. Misalnya Kitab Wasiat iblis , Kitab Putih Wasiat Dewa , Kitab Seribu Pengobatan dan sebagainya. Apa kau pernah men-dengar riwayat Kitab Malaikat. itu yang kabarnya dimiliki oleh seorang tokoh silat yang berdiam di satu tempat disebut Lembah Akhirat!”
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya dua kali. Dia mendongak ke langit. Sesaat kemudian gres ia membuka verbal memperlihatkan jawaban.
“Kitab Wasiat iblis saya tahu memang ada. Begitu juga Kitab Putih Wasiat Dewa dan Kitab Seribu Pengobatan. Namun walau sudah tersiar kabar wacana adanya Kitab Malaikat yang dianggap raja diraja segala kitab sakti , terus terang saya menganggap gosip itu isapan jempol belaka!”
“Lalu apakah tempat yang disebut Lembah Akhirat itu juga tidak ada?”
“Lembah Akhirat ada tapi kitabnya belum tentu ada!” jawab Kakek Segala Tahu. “Tapi saya tahu kehadiranmu di tanah Jawa ini bukan lantaran urusan kitab tersebut. Benar?”
“Aku tak mau menjawab!”
Si kakek tertawa. “Kalau seorang wanita ditanya tak mau menjawab , biasanya apa yang di-tanyakan itu jawabnya benar! Hik… hik… hik!”
“Kakek Sega la Tahu , saya merasa senang bertemu denganmu. Tapi cukup hingga di sini. Harap kau suka meninggalkan tempat ini. Aku tak ingin kau masih berada di sini jikalau orang yang saya tunggu muncul.”
“Ah… ah… ah! Orang tidak menginginkan saya di tempat ini walau ini bukan rumah bukan tanah ladangnya. Tapi apa susah nya melangkah pergi?! Ha… ha… ha!” Kakek Segala Tahu bangun dari duduknya. Ditepuk-tepuknya pantat celananya yang penuh tambalan kemudian dikenakannya caping lebarnya. Dia memandang ke langit. Kaleng rombengnya di-goyang keras-keras kemudian sambil melangkah ia berkata.
“Bulan sabit tertutup awan hitam. Orang yang kau tunggu sebentar lagi akan datang. Tapi mirip ramalanku tadi ia tiba tidak membawa nafas lagi di tubuhnya!”
Kakek Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya. Ketika Sabai Nan Rancak memandang ke depan dilihatnya prang renta itu sudah berada jauh di kaki bukit , melangkah ke arah bangunan candi Mendut.
“Jangan-jangan orang renta itu salah seorang tokoh persilatan di tanah Jawa ini ,” katanya dalam hati , Lalu telinganya menangkap bunyi bergemeratakan. Ketika ia memandang ke kaki bukit di sebelah timur tampak sebuah gerobak ditarik seekor kuda tanpa kusir bergerak menuju kaki bukit. Di salah satu sisi depan gerobak ada sebuah obor yang apinya bergoyang-goyang ditiup angin. Mendadak saja ada rasa tidak yummy di hati sabai nan rancak.
Cepat-cepat nenek berwajah putih ini menuruni bukit , berlari menghampiri gerobak. Tangannya diangkat memegang leher kuda penarik gerobak. Binatang ini hentikan jalannya. Ketika si nenek memandang ke dalam gerobak yang diterangi obor , berubahlah parasnya. “Datuk Angek Garang…” desis si nenek dengan tenggorokan tercekik dan mata mendelik.
TAMAT
Episode berikutnya :
LEMBAH AKHIRAT

No comments for "Asmara Darah Renta Gila WIRO SABLENG Cerita Silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito"