Cerita SIlat Indonesia Serial Roro Centil (Mario Gembala) 28: Ular Betina Selat Madura
Kumpulan cerita silat / cersil Roro Centil (Mario Gembala) untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Roro Centil (Mario Gembala) episode 28
SATU
PERAHU PESIAR itu melaju
pelahan membelah ombak, me ninggalkan anjungan di depan pesanggrahan mewah
ditepi pantai itu. Udara malam itu agak dingin. Langit cerah tak berawan.
Rembulan tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai yang
indah itu. Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke tengah laut itu
terdengar suara tertawa perempuan cekikikan. Di pe rahu pesiar itu duduk
diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah. Dialah si pendayung perahu.
Laki-laki gendut yang belum
begitu tua tampak tengah ber cengkrama dengan seorang wanita muda berbaju
sutera warna hijau. Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona. Pakaiannya
dari sutra yang tipis. Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya yang
jenjang.
Sebentar-sebentar terdengar
tawanya yang mengikik, ketika dengan binal lengan si laki-laki gendut itu
menggerayang kecelah da danya, atau menggelitik ke pinggang dara cantik itu.
Sementara si pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu. Dia tetap
menjalankan tugas mengayuh perahu. Wanita pendayung perahu itu adalah pegawai
dari pesanggrahan "MELATI" yang berdiri tegar dengan memewahannya di
pesisir pantai utara itu. Dia tahu kalau wa nita muda dan cantik itu adalah
orang baru. Dan bahkan baru malam ini dia menerima tetamu dari majikannya. Dan
dia disamping sebagai pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang
telah diberi tugas untuk "menjaga" sang tamu. Karena banyak kejadian
sang te tamu sehabis melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak keta huan
kemana perginya. Juga pernah ada yang membawa kabur pera hu pesiar.
Kalau si pendayung perahu yang
juga pengawal pesanggrahan itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan
diduga si wanita itu seorang yang punya ilmu kedigjayaan. Menilai dari
pakaiannya serta potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu
seorang saudagar kaya. Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak
mungkin. Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap, yang sering
berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya si gadis pendayung
perahu tampak tenang tenang saja bahkan dari mulutnya terdengar suara siulannya
yang terdengar pelahan melagu kan nada-nada dalam satu nyanyian.
Sreeek! Sreeek...! Tirai
jendela di perahu pesiar itu telah ditu tupkan. Si wanita pendayung perahu
telah hentikan gerakan tangan nya mendayung. Kini perahu pesiar itu
terombang-ambing perlahan diatas ombak yang tenang. Sementara didalam ruangan
perahu pesiar itu.
"Hihihi... mengapa tuan
terlalu terburu-buru ... ah, masih sore begini. Apakah tak sebaiknya kita
melihat pemandangan indah dima lam hari ini lebih dulu?" berkata si
wanita.
"Pemandangan diluar sudah
terlalu sering kunikmati, sayang...! Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini
lebih indah!" menya hut si bangsawan. Sementara lengannya telah bergerak
membuka kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang buncit.
Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan itu tampak
ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.
"Oh, ya...! Kau bernama
Andini, bukan...? Tampaknya kau se perti malu-malu atau takut menghadapiku?
Hehehe... jangan begitu, sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku
seperti melaya ni suamimu sendiri..." berkata si bangsawan. Seraya
rebahkan tubuh nya disisi wanita itu. Lengannya bergerak untuk memeluk. Akan te
tapi wanita itu segera menangkap tangannya dengan lembut.
"Ih, siapa yang tidak
takut? Aku baru sekali ini melayani teta mu. Kalau aku takut adalah wajar
menyahut si wanita.
"Kau masih perawan?"
bertanya laki-laki bangsawan itu. Pan dangannya semakin nanar melihat kebalik
pakaian tembus yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu. Jelas
terpandang kemontokan tubuh wanita. Sementara napasnya semakin menggebu menahan
hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.
"Aku sudah pernah
bersuami, walaupun suamiku belum sempat menjamah tubuhku!"
Terhenyak laki-laki gendut itu
mendengar jawaban si wanita. "Mengapa dengan suamimu?" tanyanya.
"Dia mati
mendadak..." "Ooooh ...! Serangan penyakit?"
"Tidak! Dia mati dibunuh
orang!" sahut si wanita. Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu.
"Kasihan..." ucapnya
lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini karena kesepian ...?"
pancing laki-laki itu.
"Apakah tuan-pun datang
kemari karena kesepian...?" balik ber tanya wanita itu.
Laki-laki bangsawan itu
tertawa hambar.
"Hahaha... benar! Benar
sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau teramat cantik. Kaulah pengobat
kesepianku malam ini..."
Sekonyong-konyong laki-laki
itu bangkit. Dan tak sabar lagi lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus
napasnya sema kin nyata. Matanya semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan ma
ta membelalak. Hatinya memaki. "Ooo, laki-laki jalang, pengumbar nafsu
terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"
Perahu pesiar itu yang
terombang-ambing pelahan, kini jadi bergoyang keras terguncang-guncang. Gadis
pendayung perahu itu tersenyum.
Matanya cuma melirik ketirai
jendela kamar perahu. Lalu di alihkan menatap ke laut lepas. Lengannya meraih
kendi berisi arak. Diteguknya beberapa tegukan. Dia perdengarkan tertawa kecil.
Sisa arak dituangkannya kelaut...
***
Semilir angin malam yang
berhembus membuat mata menjadi mengantuk. Wanita pendayung perahu itu sandarkan
punggungnya kesisi perahu diburitan itu. Sepasang matanya seperti malas untuk
di pentang. Dan kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup. Goyangan perahu
telah kembali tenang. Agak lama dia pejamkan ma ta. Dan tak terasa dia telah
tertidur sejenak. Akan tetapi sepasang ma ta gadis pendayung perahu itu jadi
membelalak terbuka. Dan dia ter lonjak kaget seperti dipagut ular. Apakah
gerangan yang membuat dia terkejut? Kiranya air laut yang dingin itu telah
meresap dari dasar perahu membasahi kakinya. Tersentak dia karena melihat
perahu sudah terendam air hingga sepertiga bagian.
"Celaka...!? Perahu tenggelam!"
terdengar teriakannya tertahan. Wanita pendayung perahu ini sudah melompat
untuk membuka tirai pintu perahu.
Apakah yang dilihatnya didalam
ruangan itu? Si bangsawan se tengah tua itu tertelungkup dipembaringan yang
sudah tergenang air tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat. Sekitar
tubuh nya tampak ada bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur dengan air
laut yang menggenangi pembaringan. Membasahi kasur dan bantal. Dan yang membuat
dia terkejut adalah, wanita muda yang menjadi "gula-gula" dari
Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak ke lihatan batang hidungnya.
"Hah!? Apakah yang telah
terjadi?" sentaknya kaget. Sekali bergerak dia telah melompat
kepembaringan. Ketika membalikan tu buh laki-laki gendut itu, ternyata si bangsawan
setengah tua telah tak bernyawa lagi. Karena tulang lehernya telah patah. Tentu
saja mem buat si wanita pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan
terkejut. Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar perahu
pesiar itu. Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang pa pannya telah
ambrol.
"Celaka...!? Perahu
sebentar lagi akan karam. Aku harus me nyelamatkan diri...!" berdesis
wanita pendayung perahu itu. Segera dia melompat lagi keluar. Tak ada jalan
lain selain harus berenang. Maka... BYUUURRR! Wanita itu telah terjun ke air.
Selanjutnya dia harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi. Jarak dari perahu
yang mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh. Namun ter paksa
ditempuhnya dengan berenang. Karena tak ada jalan lain lagi..
Terengah-engah dia sampai
ketepi, dengan lemah lunglai. Te naganya serasa hilang terkuras seluruhnya.
Ketika dia palingkan mu ka untuk melihat ke tengah, perahu pesiar itu telah
lenyap tenggelam.
"Edan! Apakah yang telah
terjadi? Apakah perbuatan perem puan bernama Andini itu ataukah ada orang lain
yang telah melaku kannya dari bawah air?" menggumam wanita pendayung ini.
Sukar untuk menerka pelaku kejadian itu. Bisa saja Andini telah ditolong orang
berilmu tinggi dan melarikannya. Bisa juga Andini yang telah melakukan semua
itu. Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian itu pada sang Ketua,
majikannya. Dan yang jelas pula dia pasti akan kena dampratan. Mungkin juga
hukuman. Karena dia tahu persis adat sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak
kejam.
"Apa boleh buat! Aku tak
bisa berbuat apa-apa..." bisiknya ber desis. Dan dia segera merayap ke
darat. Cahaya rembulan agak re mang-remang ketika segumpal awan hitam melintas.
Gadis pen dayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi. Karena hatinya ten gah
dilanda kemelut.
Akan tetapi baru dua tiga
tindak dia melangkah. Sesosok tubuh tahu-tahu berkelebat dihadapannya.
Tersentak kaget wanita pen dayung perahu ini. Namun dia mengeluh. tubuhnya
terkulai serasa lumpuh. Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah meno
toknya. Untuk berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena den gan gerakan
cepat sosok tubuh itu telah memondongnya. Dan melari kannya dengan cepat.
Ternyata sosok tubuh berbaju serba hitam yang tak kelihatan wajahnya karena
mengenakan topeng. Apalagi cuaca sedang gelap. Si wanita pendayung perahu
dibawa berkelebat, dengan meletakkan tubuhnya pada pundaknya. Sekejap antaranya
sosok tu buh itu telah lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak
belukar.
***
DUA
"HAH!? KAU... KUNTALI...?"
tersentak si wanita pendayung perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng
penutup wajahnya. Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh
wanita pendayung perahu itu.
"Benar, aku sengaja
menolongmu, Windarti, karena aku tak mau melihat kau mendapat hukuman dari
Ketua!" menyahut wanita berbaju hitam itu, yang ternyata orang
Pesanggrahan Melati juga.
"Oh, mengapa kau lakukan
ini? Kau akan mendapat kesulitan bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau,
akupun akan susah ja dinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu
saja!" Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.
"Hm, tak perlu khawatir!
Aku memang sudah tidak betah ting gal ditempat maksiat itu. Kita cuma dijadikan
alat saja untuk kepen tingan Ketua! Aku memang telah merencanakan untuk
melarikan di ri!" berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi hatinya.
"Sebenarnya akupun
demikian Kuntali, tapi aku tak berani me lakukannya. Kau tahu sendiri betapa
bengisnya Ketua bila anak buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu
jalan bagi si pe laku, yaitu kematian!" menyahut Windarti.
Seraya bangkit untuk duduk,
ketika Kuntali membebaskannya dari totokan.
"Apa rencanamu kini
Kuntali? Dan kita berada diwilayah ma na? Pondok siapakah ini?" tanya
gadis pendayung perahu itu mem perhatikan isi ruangan kamar persegi yang tak
seberapa lebar, itu.
"Tenanglah sobatku.
Tempat ini aman. Tak mudah orang men getahuinya. Sekarang gantilah pakaianmu
yang basah itu!" ujar Kun tali seraya buka buntalan yang diambilnya dari
sudut ruangan, dan berikan satu setel pakaian untuknya.
"Kau membawa serta
pakaianmu?" "Ya! Telah lama kupersiapkan...!"
Bergegas gadis pendayung
perahu itu membuka pakaiannya. Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan
bersih dari sang ka wan. Seraya mengenakan baju, Windarti bertanya.
"Apakah kau telah
mengetahui kejadian tenggelamnya perahu pesiar dalam kawalanku itu?"
"Bukan saja mengetahui,
bahkan rencana penenggelaman pera hu itu aku mengetahui...!" menyahut
Kuntali.
"Hah!? Kau yang telah
membolongi perahu itu dari bawah air?" tanya Windarti dengan terkejut.
Akan tetapi Kuntali hanya tertawa kecil.
"Hihihi... bukan aku yang
melakukan, tapi kawanku!" "Kawanmu? Siapakah...? Apakah dia yang
telah melarikan orang baru
yang diumpankan Den Bei Simo Kromo itu?" tersentak Windarti si wanita
pendayung.
"Bukannya orang baru itu
yang dilarikan kawanku. Tapi ka wanku itulah si orang baru yang menjadi umpan
laki-laki tua hidung belang itu!" menyahut Kuntali dengan tersenyum.
"Dia bernama Pu kat Inten yang bergelar si ULAR BETINA SELAT MADURA
!"
Membelalak sepasang mata
Windarti. Tentu saja penjelasan kawannya itu membuat dia terperangah.
"Ular Betina Selat Madura
?" desisnya tersentak. "Jadi si pe-
rempuan anggota baru dari
Pesanggrahan Melati yang kukawal itu adalah dia?" berkata dalam hati
wanita bernama Windarti ini. Win darti memang telah mendengar nama gelar yang
pernah membuat he boh dikalangan para saudagar di Selat Madura. Wanita
berkepandaian tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga. Berita
ten tang munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa bulan yang
lalu. Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak terdengar lagi
beritanya.
"Kau... kau bisa
bersahabat dengan dia...? Sejak kapan kalian menjalin persahabatan
dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Se mentara diam-diam hatinya
bergidik melihat kekejaman si Ular Beti na itu yang telah membunuh bangsawan
tua itu dengan mematahkan lehernya. Namun diam-diam dia bersyukur karena
terhindar dari ben cana. Karena secara akal sehat dia adalah anggota komplotan
dari Pe sanggrahan Melati yang diketuai oleh sepasang suami-istri yang be rada
di jalur sesat! Komplotan itu secara sembunyi-sembunyi mela kukan kejahatan
menculik wanita-wanita cantik. Untuk diumpankan atau dijual pada para bangsawan
kaya, atau orang-orang asing. Pe sanggrahan itu bahkan merupakan tempat
berkumpulnya para penja hat yang memperjual-belikan wanita cantik, untuk
dikirim keperbagai wilayah.
Bahkan pesanggrahan itu
merupakan satu tempat yang tersem bunyi yang melayani pesanan dari perbagai
kalangan. Adapun gadis pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang
bernama Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pe
sanggrahan Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah menjadi
murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua perguruan. Kisahnya adalah
sebagai berikut:
Windarti dan Kuntali serta
beberapa rekan wanita lainnya ada lah murid wanita dari Perguruan CEMPAKA BIRU,
sebelum adanya Pesanggrahan Melati. Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu
tinggi bernama Nini CANDRA GUMINTANG. Wanita tua itu me nyembunyikan gelarnya
pada murid-murid mereka. Hingga tak seo rangpun dari para muridnya mengetahui
gelarnya dalam dunia Rimba Hijau.
Windarti dan Kuntali adalah
dua sahabat yang paling akrab se jak mereka sama-sama berguru pada wanita kosen
itu. Diantara enam murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki)
salah seo rang adalah murid yang paling tua, bernama NAGASARI. Wanita itulah
murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling di andalkan oleh sang
guru. Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk memberi pelajaran pada
mereka-mereka yang tingkatannya dibawa hannya.
Selama dua tahun mereka
berguru, suatu ketika sang guru jatuh sakit. Tentu saja membuat murid-murid menjadi
gelisah. Secara tak langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada
Nagasa ri. Penyakit sang Guru semakin parah tampaknya. Hal mana mem buat
Nagasari mengusulkan untuk membawa gurunya kesuatu tempat dimana terdapat
seorang tabib. Konon khabarnya tabib itu seorang yang ahli yang dapat
menyembuhkan perbagai penyakit yang berat sekalipun. Berita adanya tabib itu
datangnya dari seorang laki-laki muda bertampang gagah yang telah menjalin
hubungan intim dengan Nagasari. Dia bernama BEGUK REKSASANA. Seorang laki-laki
bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundur kan diri dari
jabatannya.
Laki-laki gagah itu diketahui
sering datang dan banyak mem bantu penyembuhan penyakit sang guru dengan
memberikan berma cam obat-obatan. Akan tetapi penyakit guru mereka semakin hari
se makin parah. Bermacam obat dan jamu telah diminum. Namun hasil nya tiada
kelihatan. Hal mana membuat Nagasari juga para murid lainnya menjadi cemas.
Demikianlah, Beguk Reksasana memberi sa ran untuk membawa sang guru keseorang
tabib yang cuma dia yang mengetahui tempatnya. Bahkan dia akan berusaha sekuat
tenaga un tuk membantu penyembuhan penyakit sang guru mereka.
Wanita tua bernama Candra
Gumintang itu cuma pasrah akan apa yang diperbuat muridnya. Karena dia sudah
tak berdaya apa-apa. Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup. Keadaannya
sung guh amat mengkhawatirkan. Dengan sebuah tandu sang guru di usung. Cuma dua
orang murid laki-laki saja yang turut serta untuk bantu menggotong tandu,
karena selebihnya harus tinggal menjaga pesanggrahan. Juga perintah dari
Nagasari tak bisa dibantah, karena tak menginginkan terlalu banyak orang yang
turut serta.
Sebulan kemudian Nagasari
kembali lagi bersama Beguk Rek sasana juga kedua murid laki-laki saudara
Seperguruan mereka. Na gasari berkata dengan air mata menitik, mengatakan bahwa
sang guru telah meninggal dunia. Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar dioba
ti lagi. Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah gelisah karena
tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang datang memberi khabar
mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa ke tempat tabib itu.
Tentu saja membuat mereka jadi
berdesih, juga terkejut. "Kita tak bisa menentang takdir,
saudara-saudaraku...! Kematian adalah di tangan Yang Maha Kuasa. Walau kami
telah berdaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata
kalau ki ranya umur sang guru kita yang amat kita cintai itu cuma sampai dis
itu! Tiga pekan sejak beliau dirawat oleh tabib sakti itu, sang guru berpulang
dengan tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.
Windarti dan sesama saudara
seperguruannya tertunduk dengan hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka.
Wajah-wajah duka tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gu
runya itu.
"Apakah beliau tak
meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya Kuntali, gadis yang amat akrab
sekali dengan Windarti itu.
"Ada...! Beliau
menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula
menulis dalam surat wasiat, yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya
belum parah. Nah, kalian dapat membacanya bergantian...!" sahut Nagasari.
Seraya beri kan sehelai kertas kulit pada Kuntali.
Pada surat itu benar tertera
tulisan tangan sang guru sendiri yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka
Biru diserah kan pada Nagasari. Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada
pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah kakak tertua
seperguruan mereka. Dibagian bawah tulisan surat wa siat itu tertera
tanda-tangan guru mereka.
Berganti-ganti mereka membaca
hingga semua kebagian. De mikianlah! Mau tak mau mereka harus mempercayai surat
wasiat itu. Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari. Na mun
dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang turut serta me nyaksikan pemberian
surat wasiat itu melenyapkan kecurigaan Kun tali, yang selalu dibisikkan pada
Windarti. Bahkan kedua laki-laki saudara seperguruan itu berani bersumpah akan
kebenaran yang telah dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.
Begitulah...! Pesanggrahan
Cempaka Biru tak lama segera ditu tup oleh Nagasari. Dan diganti dengan nama
Pesanggrahan MELATI. Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir
pantai laut di wilayah utara Pulau Jawa. Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan
kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Rek sasana yang
telah menjadi suami Nagasari. Pernikahan mereka di langsungkan didepan jenazah
Nini Candra Gumintang yang tanpa disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya.
Kecuali dua laki-laki sau dara seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi
nyata...
***
TIGA
"KATAKANLAH Kuntali,
sejak kapan kau bersahabat dengan dia... ?" Rasa penasaran karena ingin
tahu, juga seperti mau menye lami hati sang kawan Windarti kembali ajukan
pertanyaan. Seper tinya ada nada "kecemburuan" dari kata-kata yang
diucapkan gadis ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung
ini.?" Dan "persahabatan" macam apakah antara kedua saudara se
perguruan ini...?
"Windarti...!"
terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya menjalari tubuh gadis dihadapannya
yang tengah bersalin pakaian. "Jangan khawatir! kita tetap bersahabat.
Persahabatanku dengannya tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah!
kulakukan semua ini karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!"
Seraya berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengan nya
meraih dagu gadis pendayung itu.
"Sungguhkah
ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara ha tinya tergetar. Dan terasa
begitu bahagianya mendengar kata-kata itu. Kuntali mengangguk. Bibirnya
tersenyum.
"Ah, Kuntali...! Serasa
aku tak sanggup berpisah denganmu...!" suara Windarti mendesah. Pakaian
yang baru mau dikenakan itu me rosot kembali. Dan... tiba-tiba saja Windarti
telah mendekap Kuntali erat-erat. Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang
sejoli. Tapi ini lain. Karena mereka sama-sama satu jenis. Yaitu wanita...
Sungguh sukar diduga kalau kiranya "persahabatan" Windarti dan
Kuntali se perti layaknya sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai
dijalari hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering menga
dakan pertemuan, segera meloloskan pakaiannya. Kelanjutannya me reka bagaikan
"bayi-bayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai benang melekat
ditubuh. Dan... sukar untuk diceritakan. Karena me reka tak ubahnya bagaikan
dua ekor ular yang saling menggeliat den gan memperdengarkan
desahan-desahannya...
Pintu pondok itu tiba-tiba
berderit terbuka. Dan..., satu suara dingin terdengar mencengkam.
"Bagus! kiranya kalian
bersembunyi disini...?" Tersentak kedua gadis itu bagaikan dipagut ular
berbisa. Seketika melompat untuk masing-masing menyambar pakaiannya. Dan
tertegun menatap keha dapannya, karena sang Ketua alias NAGASARI telah berdiri
bertolak pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir. Akan tetapi saat itu
juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali. "Cepat kita melarikan
diri...!" desis gadis itu.
BRRAAK! lengannya menghantam
jendela. Dan detik berikut nya, Kuntali telah mendahului melompat. Tak ayal
Windarti segera menyusul. Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan
"saha bat"nya itu untuk diajak berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi
pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Berhenti! kalian telah
terkepung! lebih baik menyerah. Mung kin hukuman bagi kalian tidak terlalu
berat!" Bersamaan dengan sua ra itu, dua sosok tubuh telah melompat
menghadang didepan mereka. Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam
sorotan cahaya rembu lan segera diketahui siapa mereka yang menghadang.
"Tapak Doro,
Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi ka mi!" membentak Kuntali
dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya dia karena dicegat kedua orang saudara
seperguruannya itu.
"Hahaha ... kami hanya
menjalankan perintah Ketua!" menya hut salah seorang dari dua laki-laki
itu. Sementara kedua pasang mata mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis
dihadapannya yang tak berpakaian. Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka
sebatas dada kebawah.
Tapak Doro dan Binangun saling
pandang sejenak, lalu tertawa. "Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri,
masih sempat sempatnya kalian mengadakan
hubungan. Kalian memang gadis-
gadis aneh! mengapa tak
menyenangi laki-laki?" berkata Tapak Doro "Benar! kami bisa memberi
kepuasan lebih penuh terhadap ka-
lian. Sayang kalian tak pernah
memberi kesempatan...!" timpal Bi nangun dengan tertawa menyeringai. Panas
rasanya muka Kuntali. Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret
cepat, melesat pergi dari situ. Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu
mulut. Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu. Melihat ke dua
gadis itu melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini segera
mengejar.
Bahkan salah seorang telah
lemparkan tali laso yang telah di persiapkan.
WHUUT!... Krep! Luncuran tali
laso yang memang sudah di kuasai secara matang oleh Tapak Doro berhasil
menjerat tubuh Win darti. Tentu saja cekalan tangan Kuntali pada lengan
Windarti terle pas seketika. Karena dia berada dibagian belakang. Apalagi
Windarti dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hing ga
dia sukar untuk membuat gerakan. Itulah sebabnya dia dengan mudah terkena
jeratan tali laso. Padahal dalam keadaan biasa Win darti tentu dapat
menghindari serangan tali laso itu. Seperti diketahui Kuntali bukanlah seorang
wanita berkepandaian rendah.
"Bedebah...!" memaki
Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat kilat melompat untuk meraih lagi tubuh
Windarti. Tapi sekali sentak tubuh Windarti jatuh bergulingan. "Keparat
kalian...!" membentak gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh.
Betapa tidak. Dia gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki
saudara se perguruannya itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang dan
jatuh terjerembab bergulingan.
"Lepaskan dia...! aku
akan adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali dengan kalap. Lalu kembali melompat
dengan menggerung bagai singa. Tapi... BUK! menjerit wanita muda ini karena
satu pukulan te lak telah lebih dulu menghantam punggungnya. Terguling guling
dia ditanah. Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan men giris
jantung.
"Bocah tak tahu adat!
kuberi kebebasan padamu di Pesanggra han Melati malah mau melarikan diri...!
kau akan menyesal dengan ulahmu itu Kuntali!" Itulah suara Nagasari yang
telah berada ditem pat itu. Sejak bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid
tertua dari Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Ka
rena Beguk Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu ke digjayaan
tinggi. Apalagi sang suami punya banyak kenalan tokoh tokoh golongan hitam yang
menjadi langganan di Pesanggrahan Me lati, yang juga terdapat disana tiga orang
gurunya. Yaitu yang berge lar si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Pucat seketika wajah Kuntali.
Belum lagi dia berusaha untuk bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun
telah melompat ke hadapannya untuk segera menotoknya dan meringkusnya dengan ce
pat. Sementara Windarti dengan mudah sudah lantas kenal diringkus oleh Tapak
Doro.
"Bagus! kalian bekerja
cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri kalian kesempatan baik...!" berkata
Nagasari dengan tersenyum. Bi nangun dan Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat,
seraya ucap mereka hampir berbareng. "Terima kasih, Ketua...!"
"Terima kasih Ketua.
Dengan segala senang hati tentu kami akan menerimanya..."
"Hihihi... tampaknya
kalian sangat penasaran pada gadis-gadis manis ini. Kuhadiahkan satu untuk
kalian berdua. Akan tetapi jangan Windarti!" ujar Nagasari dengan tertawa.
"Mengapa, Ketua...?"
tanya Tapak Doro. "Dia sudah ada yang memesan!" sahut Nagasari
pendek. "Nah! kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk
menga turnya, siapa yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan
urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan Kuntali terlalu
besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu dengan si Ular Betina Selat
Madura! Dan aku telah rugi besar akibat nya. Seorang langgananku tewas dan
perahu pesiarku yang berharga mahal telah dibuatnya tenggelam...!"
Diam-diam tersentak kaget Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui
pengkhianatannya. Wajah wanita ini jadi berubah semakin pias. Tak ada lagi baginya
kesempa tan selain menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Se lat
Madura yang menjadi sahabatnya itu.
Menyeringai tertawa kedua
laki-laki itu. Akan tetapi mereka ja di serba salah karena sang Ketua masih
tetap berdiri ditempatnya. Ju ga mereka belum mengambil keputusan siapa yang
akan memulai ter lebih dulu.
"Hm, lakukanlah
dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah ragu ragu. Bukankah hal seperti ini
sudah bukan hal yang aneh lagi di Pesanggrahan Melati?" berkata Nagasari,
seraya mengambil tem pat duduk diatas sebatang kayu.
"Cepatlah! karena aku
takkan berlama-lama untuk segera men jatuhkan hukuman mati pada si Kuntali
ini!" ujar Nagasari.
"Baik! baik...!
Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun seren tak. Segera mereka mengambil
keputusan. Ternyata Tapak Doro yang akan melakukan terlebih dulu, Setelah
mereka adakan undian dengan permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang
menang. Maka, tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu
lagi. Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos. Air
matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang membe rikan hukuman mati
pada Kuntali. Dan seperti kata Nagasari, dia juga akan diumpankan pada seorang
langganan pesanggrahan Melati yang telah memesannya.
Kuntali terbaring terlentang
dengan tubuh yang sudah tak bertu tupkan apa-apa. Ikatan pada lengannya segera
dibuka oleh Tapak Do ro. Tak perlu lagi. Karena gadis itu sudah dalam keadaan
tertotok. Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam, namun
jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca. Sementara Win darti telah
menggigit bibirnya sampai berdarah. Betapa perih hatinya menyaksikan apa yang
sebentar lagi terpampang dihadapannya. Na mun dia tak berdaya. Dan setitik air
bening kembali merayap turun membasahi pipinya. Angin malam yang dingin seperti
meresap ketu lang. Dan... batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin.
Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai. Nagasari
tersenyum memandang dengan mata membinar. Tontonan yang menyenangkan hati itu
seperti melenyapkan kemendongkolan hatinya atas tewasnya si bangsawan tua
langganannya. Dan lenyap nya salah satu perahu pesiarnya, yang tenggelam
dilautan lokasi Pe sanggrahan Melati...
***
EMPAT
Sementara itu penjagaan disekeliling
Pesanggrahan Melati te lah diperketat. Tak sedikit kiranya orang-orang yang
menjadi kaki tangan Ketua Pesanggrahan Melati. Terlihat orang-orang yang berke
pandaian tinggi simpang-siur membagi tugas. Karena mereka telah mendengar
adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ke tempat itu. Didepan
Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia lebih dari 35 tahun, berdiri
dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau. Dialah Beguk Reksasana. Sedangkan
ketiga laki-laki tua yang rata rata bertampang seram itu adalah si Tiga Dedemit
Gunung Siung. Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.
"Pergilah cari istrimu!
Jangan khawatir. Kami bertiga akan menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu
menangkap hidup-hidup si Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!" ujar
salah satu gurunya yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan
cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa
kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.
"Sebenarnya istriku bisa
menjaga diri sendiri, aku tak perlu khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya,
karena siapa tahu si Ular Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing
keluarnya is triku...!" berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata
segera men jura pada ketiga gurunya. Seraya berkata. "Syukurlah, kebetulan
guru semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu me mang
perlu diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diam diam telah berkomplot
dengan dia!" Tiga Dedemit Gunung Siung manggut-manggut mendengar penuturan
muridnya.
"Apakah diantara para
anak buahmu ada yang perlu dicurigai?" tanya laki-laki yang berwajah kaku
dengan sepasang mata yang sipit. Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.
"Kukira tidak. Cuma satu
orang yang berkhianat. Tapi telah di ketahui tempat persembunyiannya. Saat ini
istriku tentu telah berhasil meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu,
guru...!" ujar Beguk Reksasana. Ketiga orang gurunya mengangguk. Dan Beguk
Reksasa na segera beranjak keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat. Lalu
berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggra han di pesisir
pantai itu.
Sementara itu ditempat
persembunyian, dibalik perahu-perahu pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak
mata dari sesosok tubuh wanita tampak mengintai. Seorang wanita dari anak buah
Nagasari datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu. Wa nita
ini beringsut mundur. Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan cepat sekali
dia telah menyergapnya. Mulutnya dibekap hingga tak mengeluarkan suara. Dan
sekali totok, tubuh gadis itu terkulai meng gelosoh. Bahkan langsung merokok
urat suaranya. Kemudian apakah yang dilakukan wanita ini? Dia membukai seluruh
pakaian penjaga wanita ini. Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia
mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.
Sebentar saja dia sudah
seperti seorang penjaga wanita itu. Lalu tanpa ragu-ragu dia segera
"tongolkan diri. Rambutnya yang basah diuraikan. Persislah kini dengan si
penjaga wanita tadi. Tentu saja dengan "bebas" dia bisa bergerak
masuk. Sementara matanya menca ri-cari seseorang diantara para penjaga yang
dilihatnya. Lalu mema suki gedung Pesanggrahan melalui jalan samping. Sebuah
pintu ka mar dibukanya. Tapi kamar itu kosong. "Heh!? kemanakah Kuntali?
Juga aku tak menemui Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah berangkat
duluan kepondok tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini pelahan.
Segera dia tutupkan lagi pintu
kamar. Lalu dengan gerakan gesit segera melompat berindap-indap mencari kamar
si saudagar tua. Tak lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar. Itulah
memang kamar si saudagar tua. Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari
dalam... Apakah yang dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini menguras uang
si saudagar tua dari dalam laci mejanya. Memasuk kannya ke dalam pakaiannya.
Hingga tampak perutnya agak meng gembung.
Tak lama dia telah keluar
lagi. Beruntung tak ada seorangpun didalam Memang Pesanggrahan Melati belum
lama ini telah menjual wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan
terlebih dulu. Hampir semua pintu kamar dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar
khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya. Pintu kamar itu terkunci.
Namun baginya hal itu bukan halangan. dengan kunci palsu dimilikinya pintu bisa
dibuka. Sekejap dia sudah melompat ke dalam. Lalu tutupkan pintu dari dalam.
Habislah uang dan perhiasan Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih. Saat itu
terdengar suara suara diluar kamar. Langkah-langkah kaki terdengar memasuki
ruan gan Pesanggrahan. Tersentak dara ini. Onggokan terakhir dari perhia san
mahal milik Nagasari cepat diraupnya. Lalu dimasukkan dalam baju. Terlihat
semakin menggembung bagian pinggang dan perut da ra ini karena penuh dengan
perhiasan dan uang.
"Aku harus cepat minggat
dari sini. Dan menyusul Kuntali! Ku kira dia sudah disana..." desis wanita
ini. Dengan gerak cepat jendela segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar
terbuka menjeblak. "Haiii!? siapa kau...?" satu bentakan menggema
diruangan itu. Akan tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari
jendela. Yang membentak tak lain dari Nagasari.
Terbelalak matanya melihat ada
orang didalam kamarnya. Bah kan bukan main terkejutnya ketika dia membuka pintu
kamar dengan mudah. Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jen
dela tak ayal dia sudah mengejar. Akan tetapi.
WHUUUK!... CRIIING! Hampir
saja dia kena sambaran "senjata rahasia" wanita ini yang meluruk
kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan di ri. Ternyata senjata
rahasia itu adalah segenggam uang logam milik nya yang dihamburkan untuk menyerangnya.
"Bedebah!" memaki
Nagasari. Namun kembali dia melompat untuk mengejar seraya berteriak.
"Pencuriii! tangkap dia! tang kaaap...!" Tentu saja teriakan itu
membuat seisi Pesanggrahan Melati menjadi gaduh. Saling terjang mereka
bermunculan dengan senjata senjata ditangan. "Dimana pencurinya!?"
"Pencurinya
dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Seba gian lagi menghambur keluar
melalui jalan samping, karena teriakan itu terdengar disana. Akan tetapi yang
"kepergok" adalah Nagasari sang Ketua.
"Apa yang terjadi
Ketua...?"
"Goblok semua! Cepat
kejar! dia berlari kearah sana! Nagasari sambil menunjuk. Sementara dia sendiri
berkelebat lebih dulu. Tak ayal para anak buah wanita itu segera menghambur
berloncatan untuk mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.
"Kejaaar! tangkap pencuri
itu...!" "Kepuuung! Bunuuuh...!" ber teriak-teriak mereka.
Tiga Dedemit Gunung Siung
segera muncul. Melihat banyak anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur
kearah depan, se jenak mereka saling pandang. Namun cuma sesaat. Karena dengan
gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk men dahului para
anak buah itu. Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini sepuluh kali lipat dari
gerakan mereka. Sekejap mereka telah tersusul. Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba
Hijau itu berpencar ketiga arah.
Sementara itu Nagasari yang
mengejar terlebih dulu ternyata te lah kehilangan jejak. "Bedebah! kemana
larinya bangsat perempuan itu? memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran.
"Celaka...! Oh, ludaslah sudah harta bendaku!
Dari mana dia bisa masuk
kekamarku? Bukan pintu kamarku terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu
ketat?" berdesis wani ta ini dengan tersentak kaget karena segera teringat
akan kejadian waktu memergoki sosok tubuh yang, luput dari kejarannya itu.
Berpi kir demikian, Nagasari segera balikkan tubuh. Semangatnya serasa lenyap
untuk mengejar lebih jauh.
Apalagi dia telah kehilangan
jejak. Tak tahu lagi kemana larinya orang yang dikejarnya. Namun hatinya telah
meyakinkan siapa adanya orang itu. Ya! siapa lagi kalau bukan si Ular Betina
Selat
Madura? Pikirnya. Sekejap
kemudian, Nagasari telah kembali lagi menuju kearah Pesanggrahan. Benaknya
berkecamuk memikir kan uang dan harta bendanya yang amat perlu sekali untuk
dilihatnya. Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi le
mari perhiasannya...? Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati. Karena susah
payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai mema kan waktu lebih dari dua tahun.
Baru beberapa belas kali
kakinya melangkah tiba-tiba... "Itu dia...! tangkap! kejaar!"
"Bunuuuh!"
Teriakan-teriakan terdengar
ramai. Tersentak Nagasari. Tentu saja sekejap dia telah hentikan tindakannya.
Sementara orang orangnya sendiri telah berkelebatan menghadang.
"GOBLOK! mata kalian
sudah buta semua...? Apakah tak men genali aku?" membentak Nagasari dengan
suara mengeledek.
"Hah!? KET... KETTT...
KETUA...?" hampir berbareng mereka melompat mundur dengan suara tertahan.
"Oh, maafkan kami
Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami tak mengenali orang..." menyahut
salah seorang dari anak buahnya.
"Huh! dasar kalian bakul
nasi semua!" maki Nagasari dengan mendongkol. Hampir menangis Nagasari
karena jengkelnya. Dan tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk
kembali pulang. Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya.
Baru saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang me
nyongsongnya. Langsung lakukan pertanyaan.
"Ada apa Nagasari...?
Apakah yang telah terjadi istriku?" Men delik sepasang mata wanita ini.
"Kau...?! apa saja
kerjamu, kakang...? sampai tak tahu kejadian ini...?" membentak Nagasari
dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"
"Aku baru saja tiba
setelah menyusulmu kepantai sebelah barat itu. Bukankah kau mengatakan disana
ada sebuah pondok tersem bunyi yang telah di jadikan tempat persembunyian
Kuntali untuk me laksanakan niatnya melarikan diri? Tapi aku tak menjumpaimu,
ke cuali mayat Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!"
menyahut Beguk Reksasana.
"Aku memang telah
mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar Nagasari dengan mendengus.
"Tak tahukah bahwa kamar kita telah kemasukan maling? Oooo... ludaslah
semua harta bendaku..." teriak Nagasari, seraya melompat cepat memasuki
Pesanggrahan untuk me nuju ke arah kamarnya. Beguk Reksasana naikkan alisnya,
terkejut. Lalu bergerak melompat menyusul istrinya. Didapati Nagasari tengah
tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka. Laci tempat menyimpan
uang dan perhiasannya.
"Keparrat! dia telah
menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si Ular Betina itu. Apa yang telah aku
kumpulkan ludas dalam sekejap mata!" Maki Nagasari dengan keluhnya
setengah menangis.
"Ini semua gara-gara
kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari se raya putarkan tubuh. Tampak
sepasang mata wanita ini berkaca-kaca menatap pada Beguk Reksasana yang
tertegun bagai arca.
"Gara-gara aku...? He?
aku tak tahu menahu dengan semua ini! Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan
dijaga ketat. Bahkan dis ini ada pula tiga orang guru kita...!" bela Beguk
Reksasana sang sua mi.
"Cih! kalau. tidak
gara-gara kau menerima wanita muda berna ma Andini itu untuk bekerja disini tak
mungkin hal ini terjadi!" ber kata Nagasari dengan ketus seraya bantingkan
pantatnya dipembarin gan.
"Tahukah kau siapa adanya
si Andini itu? Dialah si Ular Betina Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan
menyamar dan pura pura mau bekerja ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau
kau tak mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya. Tapi
aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri wanita sialan itu.
Makanya kau menerimanya!" semakin ketus kata kata Nagasari yang tetap
mempersalahkan suaminya.
"Aku... aku..."
Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah. "Sudah. sudah! SUDAH!!! tak
usah kau mencari-cari alasan!
Lebih baik kau bantu ketiga
gurumu dan anak-anak buah kita mem bekuk si Ular Betina keparat itu!"
potong Nagasari dengan bentakan ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup
dipembaringan. Dan... terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal.
Terhenyak Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata. "Baiklah, istriku! Kelak
akan ku seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!"
Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan kamar itu...
***
LIMA
Di dalam kamar dengan lengan
dan kaki terikat, Windari ter golek dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi
gadis ini membela lakkan matanya.
"Ada apakah yang telah
terjadi di Pesanggrahan?" tersentak Windarti berkata dalam hati. Lama dia
termangu dengan benak me mutar. Selain berfikir tentang kejadian di
Pesanggrahan Melati yang tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam
keadaan se bagai tawanan. Kali ini berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu dia se
perti tawanan, tapi dalam keadaan bebas bergerak. Bahkan ditu gaskan mengawal
perahu pesiar bila ada tetamu yang mau melancong untuk berkencan ditengah laut.
Tapi kali ini dia tak bisa bebas berge rak. Karena tangan dan kakinya terikat
erat oleh tali laso. Bahkan ma sih dalam keadaan membugil.
Pesanggrahan Melati itu
kembali lengang. Karena suara-suara gaduh itu lenyap lagi. Windarti cuma
mendengar teriakan-teriakan yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas.
Tapi lapat-lapat dia ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!.
Bunuuh...!" Cuma itu yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara
orang. Sementara ha tinya mulai menduga-duga. "Apakah si manusia misterius
yang me namakan dirinya Ular Betina Selat Madura itu yang tengah dike
jar...?"
Namun pertanyaan dalam hati
itu segera lenyap lagi. Yang ter bayang justru kejadian tadi. Kejadian yang
telah membuat bulu ro manya berdiri dan tubuhnya bergidik seram. Hatinya terasa
disayat sayat manakala menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pe
lampiasan nafsu berahi Tapak Doro dan Binangun. Dua orang sauda ra
seperguruannya sendiri, yang telah menjadi anak buah dari Naga sari alias sang
Ketua Pesangrahan Melati.
Walaupun sebenarnya Nagasari
juga saudara seperguruan me reka ketika masih menjadi anak didik Nini Candra
Gumintang, na mun apa mau dikata kalau kini persoalan sudah lain. Nagasari
telah menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi. Dan bagi
setiap pengkhianatan, akan membawa kematian.
Seperti juga dengan nasib
tragis Kuntali, yang harus menemui kematian ditangan Nagasari. Sebagai tebusan
atas antara pengkhiana tannya.
Tak terasa air mata dara ini
kembali mengalir membasahi pi pinya. Tak tega dia membayangkan bagaimana
Nagasari menghabisi nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya. Cuma
jeritan pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.
Windarti memang tak mau
melihat. Dan tak akan melihat, kare na segera dia telah diboyong pergi berlari
untuk diantarkan lagi ke pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan
selanjut nya menempati kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki
terbelenggu...
Kini keheningan merayapi
ruangan itu. Cuma desah napasnya dan suara detak-detak jantungnya yang
terdengar ditelinga. Sunyi! Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati Dia telah
kehilangan orang yang paling dikasihi. Seorang sahabat yang lebih menyerupai
jiwanya sendiri. Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia te lah
menempuh jalan salah. Ya! tak semustinya dia mencintai sesama jenis.
Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak wajaran jiwa
mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya. Namun segalanya terputus
sudah. Kuntali telah mati! Dan takkan hi dup lagi...
Namun dihati gadis ini timbul
benih-benih dendam yang amat luar biasa pada Nagasari. Dendam yang tak pupus
tersiram hujan dan tak lekang terkena panas!
"Nagasari...! tunggulah
saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan puas belum terbalaskan...!"
berdesis Windarti dengan sepasang len gan mengepal dalam belenggu.
Tiba-tiba tersentak dara ini
ketika terdengar suara berdetik anak kunci. Dan pintu kamar tahanan itu
terbuka. Sesosok tubuh muncul di hadapannya.
"Ssssst!" Sosok
tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut memberi isyarat. Terkejut
Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya dalam hati, karena orang itu
mengenakan topeng menutupi wajahnya. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat,
menatapnya dengan ta jam.
Dan... tanpa ayal laki-laki
itu keluarkan pisau belati dari balik bajunya. Lalu dengan cepat segera
memutuskan tali-tali pengikat yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini.
Bahkan segera membuka
totokannya. Selesai itu, si orang ber topeng segera balikkan tubuhnya
membelakangi. Tampak lengannya merogoh lagi kebalik baju. Dan melemparkan
"sesuatu" kearahnya.
Windarti rasakan benda lunak
dari bahan pakaian. Tentu saja membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira.
Tak ayal segera dia beringsut, untuk segera melompat bangun. Ternyata satu stel
pakaian dari sutera warna hitam. Dan... cepat dikenakannya. Sepasang mata si
orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai berpakaian?
Windarti ternyata cukup
mengerti untuk mengenakannya den gan cepat. Sebentar saja sudah rapih
berpakaian. Cepat si orang ber topeng putar tubuh. Lalu beri isyarat untuk
mengikutinya. Dengan be rindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu.
Melompat gesit dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Tiba dibagian
belakang Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tan gan
Windarti. Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang. Se lanjutnya...
WHUT! si orang bertopeng telah melesat ke arah timur. Dan sekejap sudah tak
terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.
"GURUUU...!? Oh,
guruuu...!" berteriak Windarti dengan ter sentak antara terkejut dan
girang. Dan menghambur dia untuk kemu dian berlutut dan bersimpuh memeluk kaki
seorang wanita tua yang berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu.
Wanita tua itu tak lain dari Nini CANDRA GUMINTANG. Sang guru yang dikhabar kan
Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan seorang tabib
karena penyakit yang dideritanya.
Sebelumnya Windarti tak
percaya kalau yang dihadapannya itu adalah gurunya tercinta. Yaitu Ketua
Perguruan CEMPAKA BIRU. Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi.
Bahkan Matahari telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur. Juga melihat jelas
sepa sang kaki sang guru telapaknya menginjak tanah. Yakinlah dia kalau yang
dihadapannya itu bukan hantu. Ya! dia memang Nini Candra Gumintang Pendiri
Perguruan Cempaka Biru, gurunya. Juga guru Nagasari, yang selama ini
menggantikan jabatan sang guru menjadi Ketua. Tapi bukan lagi Ketua Perguruan
Cempaka Biru, melainkan sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan MELATI. Yang
ber fungsi pada penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penam pungan
wanita-wanita cantik. Merupakan bisnis besar yang dikelola secara tersembunyi
oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang dan harta benda.
Air mata dara ini bersimbahan
membasahi jubah dan kaki wani ta tua itu. Wanita ini cepat-cepat mengangkat
pundak Windarti, se raya berkata.
"Sudahlah muridku...! mari
kita berbincang-bincang dida lam...!" Lalu paling pada si laki-laki
bertopeng itu.
"Shidarta! kau belum juga
membuka topeng mu?"
Tersentak laki-laki bertopeng
itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa, guru...!" Cepat-cepat si
laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penu tup wajahnya. Karena memandangi
pertemuan yang mengharukan antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai
tertegun lama. Menatap dengan mata mendelong. Adapun Windarti jadi terlongong
mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng. Apalagi se telah
melihat jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka topengnya.
"Kau..., kau
SHIDARTA...?" sentak Windarti terkejut.
Laki-laki itu mengangguk
sambil tersenyum, "Marilah kita du duk didalam, Windarti...! Tampaknya
banyak yang akan kami cerita kan padamu mengenai guru kita. Juga riwayatku!
Tentunya kau me nyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup lagi,
bukan...?"
"Benar, Shidarta..."
menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku serasa
mimpi."
"Marilah kita bicara
didalam...!" ujar Shidarta seraya mengga mit lengan Windarti. Sementara
Nini Candra Gumintang telah duduk diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah
ruangan. Cukup besar pondok sederhana itu. Shidarta beranjak melangkah kearah
meja. La lu bawa sekendi air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar
dihadapan sang guru.
Windarti segera duduk
bersimpuh dihadapan gurunya. Tak sa bar rasanya untuk lakukan pertanyaan,
segera Windarti berkata.
"Guru...!
ceritakanlah...! apa sebenarnya yang telah terjadi? Kami selama ini merasa
hidup tertekan setelah Nagasari mengambil alih jabatan Ketua yang perintahnya
harus dituruti. apakah memang Nagasari telah berdusta dengan penu-turannya yang
mengatakan guru telah tiada...? Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda
tangani oleh guru sendiri itu? Juga apakah artinya semua ini...? Pertanyaan
Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu.
Namun dengan tersenyum Nini
Candra Gumintang segera men jawab satu persatu pertanyaan muridnya. Diceritakannya
bahwa, ke tika pada lebih dua tahun yang lalu disaat dia sakit parah, adalah
aki bat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh semacam racun pada makanan yang
di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses lambat, yang memang sudah
direncanakan Nagasari untuk membu nuhnya. Nagasari adalah seorang murid terlama
dan paling dulu men jadi murid pada Nini Candra Gumintang. Perbuatan jahatnya
itu baru diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menu rut apa
yang didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan di bawa keseorang
tabib yang pandai mengobati bermacam penyakit.
Perbuatan jahat itu ternyata
telah direncanakan oleh Nagasari berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana
adalah seorang buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau mem
bunuh Adipati Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendi ri. Tentu
saja tujuannya mau menggantikan kedudukan Adipati itu, karena dia telah
diangkat saudara oleh Adipati Donggala. Ternyata kebaikan Adipati Donggala
dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan serta tutur kata yang manis, juga dengan
modal ketampanan wajah nya dia telah pula berniat jahat mau menodai istri sang
Adipati. Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu adik istri Adipati
Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari SHIDARTA. Yaitu yang menjadi
murid termuda (murid terakhir) Nini Candra Gumintang.
***
ENAM
SHIDARTA memang
"menghilang" ketika Beguk Reksasana muncul di pesanggrahan Perguruan
Cempaka Biru. Karena dia telah segera mengenali laki-laki itu. Laporan Shidarta
pada Adipati Dong gala mengenai kejahatan yang telah direncanakan. Serta niat
perbua tan jahatnya pada kakak perempuannya telah pula dilaporkan. Shidar ta
memang telah mulai mencurigai kasak-kusuk ditempat-tempat ra hasia mengenai adanya
rencana busuk Beguk Reksasana, yang nama sebenarnya adalah, TALI WANGSA.
Begundal-begundalnya berhasil
dibekuk, yang juga terdiri dari para prajurit Kadipaten yang telah kena
dihasut. Tentu saja dengan janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan
yang lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati. Bukan sa ja
untuk merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.
Sayang Tali Wangsa berhasil
melarikan diri. Hal kejadian itu segera dilaporkan pada Raja. Hingga kemudian
pihak Kerajaan me netapkan Tali Wngsa menjadi buronan Kerajaan. Pelacakan dalam
mencari jejak Tali membawa hasil. Namun ada berita ditemui seso sok mayat oleh
para prajurit kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali Wangsa dalam
perawakannya. Sayangnya mayat itu sudah dalam keadaan hancur mukanya. Juga
serpihan daging yang sudah hampir hancur membusuk. Hingga sukar dipastikan
apakah benar dia Tali Wangsa adanya. Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari
pa kaian yang dikenakannya. Sosok mayat itu ditemukan mengambang disungai yang
mengalir disebelah barat gedung Kedipatian. Agak le ga hati Shidarta mendengar
berita itu. Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di
Pesanggrahan Cempaka Biru. Bahkan bersahabat baik dengan Naga sari. Namun
dengan nama Beguk Reksasana. Hal mana membuat Shidarta berpikir kalau Tali
Wangsa telah melakukan penipuan mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya
bergerak. Walau pun Tali Wangsa mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasa na
tentu tak mudah menipu mata Shidarta saat itu.
Rencana Beguk Reksasana dan
Nagasari untuk membawa sang guru keseorang tabib agak membuatnya curiga.
Seperti dibisikkan Kuntali padanya Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat
apa-apa, karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua. Mereka merasa tak
punya hak untuk melarang niat baik Nagasari. Apalagi dua orang saudara
seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana, diam-diam menguntit
kepergian mereka. Tentu saja dengan alasan minta izin pulang ke Kadipatian,
disaat kira-kira sepenanak nasi rom bongan mereka berangkat. Sebagai murid
termuda. Apalagi masih adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang
mengatur wi layah tempat itu. Mereka tak dapat melarang. Cuma Kuntali yang
berpesan agar tidak terlalu lama. Shidarta mengangguk, dan menga takan akan
cepat kembali bila urusannya sudah selesai. Lalu cepat be rangkat pergi. tapi
diam-diam membelok untuk berlari cepat menyu sul pengangkut tandu yang membawa
sang guru.
Demikianlah, Shidarta berhasil
mengetahui kemana Nagasari dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang.
Yaitu ke sebuah tempat dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu
memakan waktu satu hari penuh. Tempat itu tersembunyi. Dan disana ada sebuah
goa yang menghadap kearah sisi laut.
Apa mau dikata dia kepergok oleh
Nagasari. Tentu saja saudara seperguruan tertua itu mendapratnya. Karena
Shidarta melanggar pe sannya untuk ikut serta. Nagasari hanya membolehkan dua
orang saja yang turut serta. Yaitu Tapak Doro dan Binangun. Saat itu Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula. Tersentak kaget buronan Kerajaan ini
melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah sau dara seperguruan
Nagasari. Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah tak mengenai Shidarta. Begitu
pula Shidarta seolah telah lupa dengan wajah Tali Wangsa, yang memang agak
banyak perubahan sejak hampir setahun tak menampakkan diri. Bahkan orang-orang
Kadipa ten telah menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya mayat
laki-laki itu disungai.
"Aku tetap tak
mengizinkan kau disini, Shidarta..." ujar Nagasa ri. Walau kau adik dari
istri Adipati Donggala, namun kau telah men jadi murid dari Perguruan Cempaka
Biru. Kau harus tunduk dan pa tuh pada perintah kakak tertua seperguruanmu.
Sebabnya kau kula rang disini adalah karena di Pesanggrahan Cempaka Biru tak
ada sa tupun laki-laki. Kau adalah murid termuda. Tapi kalau kau merasa sungkan
untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu ke sembuhan guru kita,
baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian. Tapi cuma kuberi waktu satu bulan.
Tepat tiga puluh hari kau harus sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru
lagi...!"
"Baiklah kakang mbok. Aku
turut perintahmu...!" menyahut Shidarta dengan tundukkan wajahnya.
"Tapi ingat pesanku.
Jangan kau kembali ke pesanggrahan. Apalagi menceritakan pada saudara-saudara
seperguruanmu letak tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu
kuingatkan kau akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pa
da setiap murid yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah di beri wewenang
untuk itu...!" lanjut ucapan Nagasari memberi perin gatan. Shidarta tak
bisa berkata apa-apa selain mengangguk.
"Aku akan ingat pesan
itu, kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu setelah berpamitan dan tanpa
melirik lagi pada Beguk Reksasana, Shidarta segera beranjak bangkit berdiri
Setelah putar tubuh lalu se gera angkat kaki bergegas meninggalkan tempat itu.
Shidarta langkahkan kaki
dengan cepat menuruni lereng bukit. Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman
teh dia memperlambat larinya. Hatinya membatin. "Hm, tak nantinya si Tali
Wangsa akan membiarkan aku pergi begitu saja...!" Dugaannya benar. Ketika
membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok tubuh. Siapa
lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Laki-laki ini menatap Shidarta
dengan tatapan tajam seperti mau me nembus jantung. Bibirnya tampakkan senyum
sinis.
Adapun Shidarta tampak
tenang-tenang saja. Seperti tak merasa terkejut. Karena justru hal inilah yang
diinginkannya. Tetap melang kah dengan tegar. Kira-kira jarak 10 langkah dia
berhenti. Sementara Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan.
"Ada apakah, kau
menghadangku, sobat Beguk Reksasana...? Apakah ada lagi pesan yang lain dari
kakak seperguruanku...?" Shi darta pura-pura bertanya. Laki-laki itu
perdengarkan suara dengusan dihidung. Lalu menjawab.
"Benar! Kakak
seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu saat ini juga. Dan sebagai seorang
murid dari Perguruan Cempaka Bi ru yang patuh, kau tentu tak keberatan untuk
segera memasrahkan nyawamu...!" Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia
tertawa ham bar.
"Hahaha... sudah kuduga
sejak semula kau akan ucapkan kata kata itu. Karena aku tahu siapa sebenarnya
dirimu TALI WANGSA! Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku
Adipati Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau
bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan penipuan mayat
telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik" mu untuk mengobati
guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam. Kalau kau mau membunuhku itu
adalah wajar, karena kau tak mau ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari.
Juga kau khawatir aku melaporkan pada Adipati. Heh! kau kira aku takut pada
seorang buronan macam kau? Justru aku amat penasaran untuk membekuk mu. Kalau perlu
mengirim nyawamu ke Akhirat!" berkata Shidarta dengan lantang. Dia memang
amat mendendam pada laki-laki ini yang pernah mau memperkosa kakak
perempuannya. Bahkan mau merebut kedudukan Adipati kakak iparnya. Laki-laki
yang pernah di angkat saudara oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak men
genai budi. Sudah sepatutnya diberi hukuman setimpal dengan perbu atannya.
"Bagus! kalau kau sudah
tahu! Kekhawatiran mu memang cu kup beralasan, Shidarta! Baiklah aku ungkapkan
padamu, karena toh kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena
kau murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apa apa! Apakah
kau kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun dia tahu siapa aku? Hahaha... kau
salah duga! Perencanaan kami ber dua telah cukup matang. Karena sudah sejak
lama kami mencari saat seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah
meracuninya se cara diam-diam. Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah
memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta pusaka yang
disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukata kan itu adalah saudara
seperguruannya sendiri. Dia bernama LODAYA SETA...!"
"Keparat! jadi kalian
lakukan ini karena harta Pusaka itu?" membentak Shidarta dengan wajah
merah padam.
"Benar! Shidarta...!
Sebenarnya aku adalah anak paman guru mu, alias Lodaya Seta itu! Hihihi...
wajar bukan kalau aku berkhia nat? Karena harta Pusaka itu bisa jatuh
ketanganku bila ayahku me maksa guru membuka mulut!" Satu suara terdengar
dibelakang Shi darta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri
te gak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman ib lis!
"Edan! kalian memang
benar-benar bukan manusia!" memaki Shidarta dengan wajah berubah bringas.
Dan... Srreek! Dia telah mencabut senjatanya. Sepasang tombak pendek bergagang
perak. Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa agar
membinasakan pemuda itu secepatnya. Laki-laki buronan kera jaan ini tarik
keluar sebuah pedang bersinar ungu. Dan sehelai selen dang sutera warna merah dari
balik pakaiannya...
***
TUJUH
Nyaris kulit leher Shidarta
terkoyak, kalau dia tak sempat mi ringkan kepalanya. Karena hawa dingin
membersit cepat sekali me nebas batang leher dari belakang disaat Shidarta
membelakangi. Be guk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan dengan pedang
sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah diper siapkan sejak
semula. Disamping nalurinya yang cukup peka. Akan tetapi sungguh tak terduga
serangan berikutnya dari Beguk Reksasa na membuat dia harus cepat gulingkan
tubuh dengan cepat. Selen dang sutera merah laki-laki itu menyambar-nyambar
bagaikan bayangan merah. Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang tombak.
Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit len gan atau kaki Shidarta.
Diam-diam pemuda murid Nini
Candra Gumiantang ini terke siap. Karena tak menyangka lawan mempunyai ilmu dan
senjata yang demikian hebat.
"Hahaha. . . Shidarta!
lebih baik kau buang senjata kapakmu yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu
dengan sukarela!" mengejek Tali Wangsa. Menggerung gusar Shidarta.
Tiba-tiba den gan gerakan tak terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos
diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana. Kali inilah ke sempatan dia
mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas dan menangkis serangan lawan.
Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksa sana jejakkan kaki! pemuda itu telah
menghantam dadanya dengan telak. BUK!
Terhuyung laki-laki. Sementara
Shidarta telah melompat berdi-
ri.
"Jahanam keparat! kubunuh
kau...!" membentak dahsyat Shidar-
ta seraya diiringi dengan
sambaran ganas sepasang kapaknya. Suara berdesin membelah udara... Trang!
Trang...! Sebat sekal Beguk Rek sasana menangkis dengan pedangnya. Ternyata
dalam keadaan ter huyung demikian, tidak membuat laki-laki ini kehilangan
nalurinya^ untuk menangkis dengan cepat.
"Bedebah! kali ini aku
tak segan-segan mengirim nyawamu ke Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!"
memaki Beguk Reksasana. Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar. Terlihat cahaya
yang bergu lung-gulung membersitkan hawa dingin mencekam. Inilah jurus ber
bahaya yang bakal dilancarkan oleh Beguk Reksasana. Terperangah oleh gulungan
sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya. Karena sedetik dia lengah untuk
pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk Reksasana lenyap tak ketahuan.
TRRRAAANGNG...!
Satu benturan keras terdengar.
Shidarta terkejut karena rasakan kedua lengannya kesemutan. Dan dia tahu-tahu
sepasang kapaknya telah terlepas dari genggamannya. Saat mana berdesis suara
dibela kang leher yang menimbulkan hawa dingin.
"Ah.!?" tersentak
kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu membuang tubuhnya untuk menghindari
tabasan maut pedang Sinar Ungu Beguk Reksasana. Akan tetapi terdengar suara
tertawa mengi kik dibelakangnya. Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan.
Ternyata Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda ini.
Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit. Dan jatuh tersung kur dua-tiga
tombak ke depan.
"Bagus!
Nagasari...!" berkata Beguk Reksasana dengan menye ringai tertawa.
"Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari. "Sekarang?"
tanya Beguk Reksasana setengah bergurau. Sekarang...!" sahut Nagasari.
Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha un tuk bangkit. Akan tetapi
pukulan pada punggung pemuda itu telah membuat dia terluka dalam. Tampak darah
menggelogok berkali-kali dari mulutnya. Untuk bangkitpun rasanya sudah tak
sanggup. Saat mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah laku
kan serangan kilat. Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit un tuk membelah
batok kepala Shidarta. Sedangkan selendang sutera merahnya menyambar membaringi
sambaran pedang...
Akan tetapi pada saat itu
segelombang angin keras menggebu. Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan
luar biasa. Dan... Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya.
Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat, mendadak lenyap
tak berbekas. Terhenyak Beguk Reksasana Semen tara Nagasari belalakkan mata
terperangah. "Angin apakah yang le wat barusan?" desis Nagasari.
"Kemana
dia...?"tanya Beguk Reksasana.
"Dia lenyap! Ah, sungguh
aneh!" gumam Nagasari. "Yaa...!"
keduanya sama-sama tercenung
saling pandang, setelah putar tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya.
Akan tetapi Shidarta lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat
Menya darkan. "Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pu
saka itu lebih penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu kita
pikirkan...!" "Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang
angin itu melintas!" berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.
"Sudahlah! Ayo! Cepat
kita kembali...!" ujar Nagasari alihkan pembicaraan Walau sebenarnya
diam-diam tengkuknya terasa dingin meremang. Ternyata kemudian diketahui,
Shidarta telah ditolong oleh seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat
Madura. Akan teta pi tentu saja Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana
tak mengetahui.
Mereka kembali ke Goa untuk
menjalan rencananya semula. Sementara didalam goa yang menjadi tempat
persembunyian Lodaya Seta. LODAYA SETA adalah seorang laki-laki betampang
gagah. Juga berilmu tinggi. Disamping ahli dengan segala macam jenis ra cun,
dia juga pandai ilmu obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak bu ruk. Dimasa muda
Lodaya Seta pernah diusir oleh mendiang gurunya karena kelakuannya yang buruk
dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh
sang guru. Dan tidak di perkenankan mempergunakan lagi selama hidupnya. Hal
kejadian itu sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.
Itulah sebabnya Nini Candra
Gumintang tak pernah mencerita kan tentang bekas saudara seperguruannya yang
bernama Lodaya Se ta itu. Bahkan tak menyangka kalau Lodaya Seta masih hidup.
Lodaya Seta ternyata secara
diam-diam sejak lima tahun yang lalu telah mengetahui dimana menetapkan kakak
perempuan saudara seperguruannya itu.
Bahkan dengan diam-diam
dikirimnya NAGASARI (anak ga disnya) untuk berguru pada Nini Candra Gumintang.
Yang baru saja mendirikan pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Dia tahu betul
kalau Candra Gumintang telah menerima warisan Harta Pusaka dari mendiang guru.
Disaat dia diusir keluar oleh gurunya, Lodanya Seta tak pergi jauh. Dia selalu
mengintai keadaan dibekas tempat pergu runya itu. Di saat sang guru turun
gunung, Lodaya Seta menyatroni lagi pondok perguruannya.
Terkejut Candra Gumintang
melihat kedatangan Lodaya Seta. Lodaya Seta pura-pura menangis menyesali
perbuatannya Tentu saja membuat hati Candra Gumintang jadi trenyuh. Sebenarnya
diapun amat menyayangi Lodaya Seta yang sudah dianggap adik kandung nya
sendiri. Tapi Candra Gumintang tak menyangka kalau secara di am-diam Lodaya
seta berbuat keonaran diluar perguruan. Bahkan guru Lodaya Setapun tak
mengetahui. Suatu hari telah berdatangan beberapa tokoh persilatan golongan
putih ke pesanggrahan mereka. Tentu saja membuat sang guru jadi tercengang
karena mereka datang mencari Lodaya Seta. Kelakuan Lodaya Seta diluaran ketika
diberi izin turun gunung beberapa bulan, telah melakukan berbagai perbua tan
jahat. Seperti merampas hak orang lain, menipu, menganiaya, bahkan juga
memperkosa wanita-wanita dengan mempergunakan ak al licik. Yaitu mengkambing
hitamkan orang lain dengan perbuatan nya yang telah dilakukan.
Namun akhirnya dia harus
mengalami resiko, ketika suatu saat perbuatannya ketahuan. Lodaya Seta
melarikan diri. Dengan ilmunya yang tinggi dia memang telah membuat si pengejar
kehilangan jejak. Tapi sekecil-kecilnya yang namanya kejahatan, pasti akan
terbong kar. Karena secara tak sengaja Candra Gumintang
justru turun gunung. Tujuannya
adalah mencari Lodaya Seta un tuk memanggilnya pulang berkenaan dengan urusan
penting atas tita han gurunya. Secara kebetulan pula justru Lodaya Seta muncul,
yang sedianya akan kembali keperguruan. Demikianlah, akhirnya diketahui tempat
tinggal Lodaya Seta. Dan mengetahui pula kalau dia salah seorang murid Pendekar
tua yang bercokol dipuncak Gunung Karang Setan pada waktu itu. Tentu saja
dengan menyatroninya belasan pen dekar itu membuat terkejut RESI GENTAYU guru
kedua murid itu. Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Dan hari itu juga Resi
Gen tayu menyatakan tak mengakui lagi Lodaya Seta sebagai murid. Bah kan
mencabut semua ilmu-ilmu yang telah diberikan pada Lodaya Seta. Lalu
mengusirnya keluar dari puncak Gunung Karang Setan.
Melihat kemunculan Lodaya Seta
ke pesanggrahan di puncak gunung Karang Setan itu, Candra Gumintang jadi serba
salah. Apabi la adik seperguruannya itu menangis didepannya menyatakan penye
salannya.
"Aku tak bisa berbuat
apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesala hanmu. Dan guru telah mengambil keputusan.
Mengapa kau tidak pergi dari sini?
Segala tindak-tandukmu kini
diluar tanggung jawab guru kita. Kukira penyesalan mu sudah terlambat...!"
berkata Candra Gumin tang dengan suara lirih.
"Kakang mbok...! aku
mengerti kau tak bisa berbuat apa apa. Akan tetapi kita telah seperti saudara
kandung. Apakah kau tega membiarkan aku sengsara? Guru pernah bercerita bahwa
beliau mempunyai harta pusaka yang kelak akan dibagikan kita berdua un tuk
masing-masing kita mendirikan pesanggrahan meneruskan cita cita guru untuk
mengembangkan ilmu silat aliran guru. Akan tetapi dengan keluarnya aku dari
perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa. Ooo... alangkah menyesalnya
aku..." berkata Lodaya Seta. Dan kem bali air matanya mengalir bercucuran.
"Sesal itu sudah terlambat,
adik Lodaya...! Dan janganlah kau mengungkit-ungkit tentang harta pusaka itu...
Aku sendiri tak menge tahui dan tak mengharapkannya. Bahkan guru rasanya tak
pernah menyebut-nyebut lagi tentang hal yang pernah dibicarakan itu. Semua
keputusan ditangan guru. Akan diberikan atau tidaknya harta pusaka itu, ataukah
masih ada atau tidak harta pusaka itu bukanlah urusan ki ta. Walaupun
seandainya kau masih tetap menjadi murid beliau. Ka rena itu urusan beliau.
Kita tak berhak apa-apa. Apalagi menuntut nya...!" ujar Candra Gumintang.
Candra Gumintang seperti telah menduga maksud tujuan Lodaya Seta. Yang
sebenarnya mengingin kan belas kasihannya untuk membagi sedikit warisan untuk
bekalnya. Benar saja...!
"Jadi kau belum menerima
apa-apa dari guru..?" tanya Lodaya Seta. Candra Gumintang menggeleng.
"Baiklah...!"ujar
Lodaya Seta. "Aku akan segera meninggalkan wilayah ini. Tapi kelak suatu
saat aku pasti akan mencarimu, kakang mbok!" Setelah berkata demikian,
Lodaya Seta segera putar tubuh. Lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan
cepat. Namun sejak itu Lodaya Seta tak pernah muncul. Bahkan sampai wafatnya
Resi Gentayu, dan sampai Candra Gumintang mendirikan pesanggrahan perguruan
Cempaka Biru. Padahal murid pertamanya adalah anak kandung Lodaya Seta. Candra
Gumintang memang selama hidupnya tak menikah. Tadinya dia cuma mau menerima
murid-murid wanita saja. Tapi akhirnya menerima juga murid laki-laki. Yaitu
Tapak Do ro, Binangun dan Shidarta.
***
DELAPAN
Selanjutnya Nini Candra
Gumintang berikan penuturannya, bahwa ketika itu dia terkejut melihat
kemunculan Lodaya Seta diha dapannya.
"Lodaya... jadi kau...
kaukah tabib yang akan mengobati penya kitku?" bertanya Nini Candra
Gumintang dengan suara lemah. Dalam pandangan samar-samar itu ternyata wanita tua
itu masih bisa men genali orang dihadapannya.
"Hehehe... benar! Aku
Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bi lang bahwa aku kelak pasti akan datang
untuk menemuimu lagi? Kini sudah saatnya aku menagih padamu. Aku tahu kau pasti
telah mene rima warisan Harta Pusaka itu seluruhnya dari guru. Dan aku yakin
kau akan berbaik hati untuk memberikannya padaku sebagian...!" ujar Lodaya
Seta dengan menyeringai. Lodaya Seta telah berubah jadi seorang kakek bertubuh
tegap dengan kumis dan jenggot yang putih lebat. Dikala muda memang Lodaya Seta
sudah berewok. Keadaan nya memang tak berubah banyak. Cuma berbeda dari kumis
dan jenggot yang sudah memutih, serta kerut merut diwajah. Kulit tubuh nya
walaupun sudah mengendur, tapi tampak masih tampak kekar.
"Lodaya...! apakah selama
ini kau telah merobah jalan hidupmu menjadi manusia baik-baik?" tanya Nini
Candra Gumintang.
"Hehehe... tentu saja...!
bukankah aku menjadi seorang tabib? aku curahkan seluruh hidupku untuk
kemanusiaan. Ku tolong orang lemah tak berdaya tanpa pamrih Aku tak
mengharapkan imbalan apa apa. Aku memang sengaja tak munculkan diri sebelum aku
membu tuhkan. Kini aku sangat membutuhkannya Candra Gumintang...! Se mua ini
untuk kemanusiaan...!" sahut Lodaya Seta. Nini Candra Gu mintang
mengangguk-angguk. Dia tersenyum. Dan, dari sepasang mata yang sudah memudar
sinarnya itu menetes air bening.
"Ah... aku bahagia sekali
mendengarnya Lodaya... Sudah kudu ga, manusia pasti bisa merobah wataknya kalau
dia mau. Haiiih! ka lau guru masih hidup tentu beliau akan senang
mendengarnya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan terharu.
"Kau sudah menikah.
Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...? atau, cucumu...?" tanya Ketua
Perguruan Cempaka Biru itu.
"Kau sendiri
bagaimana?" balas bertanya. apakah kau sudah bersuami?" Wanita tua
itu menggeleng. "Aku masih tetap sendiri se jak dulu. Mungkin aku takkan
menikah sampai saat habisnya usia ku...!" Tabib tua itu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Haiih! kakang mbok!
mengapa kau menyia-nyiakan masa mu damu?
Kau dulu cantik, ayu... bahkan
hatiku pernah "Kepincut" pada mu. Sayang usiamu lebih tua dan kau
telah menganggap aku adikmu sendiri..." berkata Lodaya Seta, seraya
menghela napas. Pernyataan Lodaya Seta itu membuat Nini Candra Gumintang
terperangah. Akan tetapi tak ditampakkan diwajahnya. Andaikata sejak dulu
sebelum Lodaya diusir dari perguruan mengucapkan isi hatinya pada dia, nis caya
dia bahagia mendengarnya. Dan takkan ditolak cintanya karena memang diam-diam
dihati Candra Gumintang pada saat itu memang telah menanam benih "cinta"
pada Lodaya Seta. Akan tetapi dia tak berani mengutarakannya, disamping telah
menganggap Lodaya Seta adiknya sendiri.
Akan tetapi begitu mengetahui
pebuatan dan tingkah laku Lo daya Seta, dapat dibayangkan betapa hancurnya
perasaannya. Hingga kemudian gurunya mengusir pergi Lodaya Seta dari rumah
pergu ruan. Sejak saat itu hati Candra Gumintang tertutup. Cintanya seolah
karam didasar laut. Demikianlah, hingga sampai saat ini dia tetap tak pernah
bersua ini.
Saat itu mendengar pengakuan
Lodaya Seta, telah membuat dia terlongong dan tak terasa air matanya semakin
membanjir membasahi pipinya yang telah keriput. "Kau belum menjawab
pertanyaanku. Lo daya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan suara serak,
Lalu cepat cepat menghapus air matanya.
"Oh... ya...! baiklah
akan kukatakan. Aku memang telah meni kah. Tapi istriku mati muda disaat
melahirkan. Aku cuma dikaruniai seorang anak perempuan. Dialah yang bernama
Nagasari. Dan bu kankah selama lima tahun ini telah menjadi muridmu?"
Membelalak mata Candra Gumintang.
"Hah!? jadi... jadi NAGASARI itu anakmu...?"
"Benar!" sahut
Lodaya Seta pendek. Lama... dan lama wanita tua itu tercenung hingga akhirnya
dia berkata.
"Sungguh kau ini manusia
aneh, Lodaya...!" mengapa kau baru mengatakannya sekarang?"
"Justru itulah, kakang
mbok, aku ingin kau mengerti tentang aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka warisan
guru itu kau berikan pa daku. Aku akan memberikannya pada anakku Nagasari. Anak
pe rempuanku satu-satunya yang amat ku sayangi...!" Sampai disini tiba
tiba meledaklah tawa gembira Nini Candra Gumintang. Hingga sam pai air matanya
bercucuran.
"Hihihihi... kau memang
pintar, Lodaya...! tapi aku gembira. Baiklah! akan kuberikan sisa harta pusaka
warisan guru itu pada mu..." Melonjak girang NAGASARI yang diam-diam
sembunyi mendengarkan pembicaraan ayah dan gurunya berdua dengan Tali Wangsa.
"Terima kasih atas
kebaikan hatimu kakang mbok...!" menyahut Lodaya Seta dengan wajah girang.
"Nah, minumlah ini untuk keseha tanmu.
Kau harus dirawat disini
sekurang-kurangnya satu bulan...!" Lodaya Seta berikan obat ramuan yang
telah diramunya tadi dalam mangkuk.
"Terima kasih, adik
Lodaya... ujar Candra Gumintang. Lodaya Seta membantunya untuk duduk. Lalu
dekatkan mangkuk berisi obat itu yang masih mengepul hangat. Dan Wanita tua itu
segera memi numnya. Setelah merebahkan lagi tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta
bertanya.
"Dimana kau simpan harta
pusaka itu, kakang mbok...?"
"Oh ya ...!"* ujar
Candra Gumintang yang terbatuk-batuk se saat. Lalu singkapkan ikat pinggangnya.
Setelah loloskan stagen itu, lalu diberikan pada Lodaya Seta.
"Didalam stagen ini
terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bu kalah jahitan itu. Didalamnya ada
sebuah kertas kulit yang berisi peta dimana harta pusaka itu disimpan!"
Ujar wanita tua itu. Lodaya Seta manggut-manggut gembira. "Ah, sungguh
kakang mbok seorang yang berbudi luhur. Juga berhati bersih! membuat aku jadi
malu ha ti...!"
"Aku telah menganggap kau
adik kandungku sendiri. Dan bu kankah kau akan mempergunakan untuk kepentingan
umat manusia? Kalau aku tak memberikannya,oo... alangkah naifnya aku...!"
"Benar! benar, kakang
mbok. Sungguh aku menghargai keluhu ran budimu. " Lodaya Seta cepat
membuka jahitan pada kain stagen
itu. Dan mendapatkan secarik
kertas kulit berisi sebuah peta.
Sampai disini Candra Gumintang
menghela napas.
"Apakah guru tidak
mencurigai sama sekali pada Naga Sari? Juga pada paman Lodaya Seta?"
bertanya Windarti. Nini Candra Gumintang menggeleng. "Sejak jauh-jauh hari
aku memang telah membagi dua harta pusaka warisan dari mendiang kakek gurumu
itu. Sebagian telah kupakai untuk membangun pesanggrahan Cempaka Biru.
Sedangkan sebagian lagi memang telah kuperuntukkan buat Lodaya Seta !"
sahut Wanita tua itu.
"Lalu bagaimanakah
kelanjutannya, guru. ?" tanya Windarti.
"Baiklah, aku akan
teruskan ceritanya..." Demikianlah! Nini Candra Gumintang segera tuturkan
kelanjutan kisahnya. Ternyata kemudian setelah Lodaya Seta dapatkan peta
rahasia tempat Harta Pusaka itu, dia lalu meninggalkan kamar. Sementara Candra
Gumin tang semakin redup matanya. Obat ramuan yang diminumnya ternya ta tak
lain dari obat bius. Dan sesaat antaranya wanita tua itu telah ti dur pulas.
Tentu saja membuat Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk Reksasana tersenyum.
Mereka berembuk untuk memulai rencana se lanjutnya. Dan bisikan-bisikan itu
ternyata tak luput dari pendengaran Nini Candra Gumintang, yang sebenarnya cuma
pura-pura pulas. Padahal wanita tua itu telah kerahkan ilmu kekuatan tenaga
dalamnya untuk melawan pengaruh obat bius. Kecurigaannya mulai timbul, ka rena
mendengar kasak-kusuk Nagasari dan Beguk Reksasana yang bersembunyi
mendengarkan pembicaraan mereka. Mengapa Nagasari tak mau munculkan diri
terang-terangan. Dan ada apakah dibalik ke janggalan ini ? Ya, Nagasari memang
sering terlihat janggal dalam
perbuatan dan
tindak-tanduknya. Semua sikap itu melalui menjadi perhatiannya. "Bagus...!
dia sudah terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?" tanya Nagasari pada
Lodaya Seta, Seusai menceritakan kejadian aneh tentang Shidarta.
"Hm, menurutmu baiknya
bagaimana...! balas bertanya Lodaya
Seta.
"Dia telah berikan peta
harta pusaka itu padaku tanpa bersusah
payah! Apakah kebaikannya akan
kita balas dengan kejahatan...?" "Ayah benar! Akan tetapi racun yang setiap
hari diminumnya
setiap kali aku membawakan
minuman untuknya, telah membuat pe nyakit dalam ditubuh Nini Candra Gumintang
sukar untuk di sem buhkan. Bukankah demikian kata ayah? Juga seandainya ayah
mam pu mengobatinya lagi, sudah terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu saat
pasti perbuatan kita bisa ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi seandainya
semua saudara-saudara seperguruan mengetahui. Teruta ma Shidarta...! Walau dia
masih hidup, tentu akan membocorkan ra hasia ini!" ujar Nagasari.
"Jadi sebaik-baiknya
langkah yang harus kita tempuh adalah melenyapkannya...!" lanjut ucapan
Nagasari.
"Yah! tak ada jalan lain
...!" akhirnya Lodaya Seta manggut manggut menyetujui usul Nagasari
padahal hati laki-laki tua itu amat menyesali tindakannya. Karena tak menduga
akan semudah itu Can dra Gumintang memberikan peta Harta Pusaka padanya. Nasi
telah menjadi bubur. Apa mau dikata. Kini tak ada jalan lain selain mele
nyapkan nyawa wanita tua yang berbudi luhur itu.
Akhirnya diambil keputusan,
Tapak Doro dan Binangun yang diperintahkan untuk membunuh Nini Candra
Gumintang.
Kedua orang itu segera datang
menghadap ketika mendapat panggilan dari Nagasari yang menemuinya.
"Bawalah wanita tua yang
pernah menjadi guru kita ini ketem pat yang jauh. Lalu bunuhlah. Mayatnya
lemparkan saja ke jurang.
"Baik kakang mbok
perintah akan hamba laksanakan, asalkan kakang mbok tak lupa untuk membagi
harta pusaka itu...!" menyahut Tapak Doro.
"Hm, jangan khawatir! aku
tak pernah mendustai apa yang telah kujanjikan itu. Buat apa aku mempercayai
kalian berdua kalau aku akan berlaku tamak? Aku membutuhkan tenagamu bukan saat
ini sa ja. Tapi untuk seterusnya kalian akan menjadi orang-orang yang pal ing
aku percaya...!"
Sahut Nagasari dengan
tersenyum. "Nah! Kerjakanlah!"
"Baik kakang
mbok...!" hampir berbareng mereka menyahut. Selanjutnya Tapak Doro dan
Binangun segera membawa tubuh Nini Candra Gumintang keluar goa. Bergantian
mereka memanggul wani ta tua yang dalam keadaan terbius itu. Hingga mereka tiba
ditepi ju rang yang dalam. Disana mereka berhenti.
"Kukira kita tak perlu
turun tangan membunuhnya terlebih dulu, Binangun!" ujar Tapak Doro.
"Toh bila kita lemparkan saja kejurang, tentu dia akan mati!"
"Hm, benar juga
pendapatmu, kakang Tapak Doro! Ayolah! le bih cepat lebih baik. Sebenarnya aku
tak tega melakukannya. Akan tetapi bila tak dijalankan perintah ini, resikonya
amat besar bagi ki ta!" sahut Binangun. Disaksikan elang dan burung-burung
gagak yang bertengger dibatu-batu cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binan gun
siap melemparkan tubuh Nini Candra Gumintang sang guru me reka dari atas tebing
kemulut jurang, yang sukar diukur dalamnya...
Akan tetapi pada saat itu juga
muncul sesosok tubuh berjubah serba hitam berwajah mengerikan, mirip mayat
hidup. Berambut pu tih beriapan.
"Tahan!" sosok tubuh
itu keluarkan suara bentakan.
"Heh! Siapa
Kau...!?" tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja dia lantas urungkan
niatnya.
Kedua saudara seperguruan ini
saling pandang.
"Bagaimana adik Binangun?
apakah sebaiknya kita bikin mam pus dulu penghalang ini?" bisik Tapak
Doro. Binangun mengangguk. Dan... Sreet! Criing...!
Keduanya telah cabut
masing-masing senjatanya dari pinggang. "Manusia ataukah hantukah kau?
mengapa menghalangi niat kami?" bentak Tapak Doro. "Hmm...!"
orang itu perdengarkan suara dihidung. Dan, tanpa berkata apa-apa lagi langsung
menerjang kearah kedua murid perguruan Cempaka Biru itu. Sepasang lengan si
Manu sia muka mayat itu merentang. Jari-jari tangannya mengembang, siap
mencengkeram batok kepala
keduanya.
"Awas, adik
Binangun...!" Tapak Doro memperingati. Sementa ra dia sendiri segera
melompat menghindar. Bahkan senjata golok be sarnya membabat kearah pergelangan
tangan lawan. Binangun mi ringkan tubuhnya dengan sigap, Rantai besi
berbandulan tiga mata tombak, segera digunakan untuk menyerang lawan. Suara
rantainya bergemerincing. Dan tiga mata tombak meluncur kearah tubuh si ma
nusia muka mayat.
Kembali orang misterius itu
perdengarkan dengusnya. Tiba-tiba tubuhnya meletik ke udara dengan lakukan
salto indah. Dari gerakan menukik dia telah lancarkan serangan berikutnya.
Sepasang lengan nya dengan jari-jari mengembang itu bagaikan cakar elang yang
kembali menyambar untuk mencengkeram batok kepala Tapak Doro dan Binangun.
"Edan...!" maki
Binangun. Serangan senjata rantai berbandulan tiga mata tombak itu lolos.
Bahkan dia kini harus hindarkan serangan mendadak yang di luar dugaan.
***
SEMBILAN
Tapi sebagai murid yang sudah
terlatih, tentu saja Binangun masih bisa hindari serangan ganas itu. Bahkan
lemparkan tubuhnya kebelakang, dia telah sebarkan jarum-jarum senjata rahasia
kearah si manusia muka mayat. Sementara Tapak Doro dengan gerakan sebat dapat
menghindari diri cengkeraman cakar maut itu. Walau tak urung baju dibagian
pundak kena tercengkeram sobek.
Terpaksa si manusia muka mayat
gagalkan serangan susulannya karena harus menyampok mental senjata rahasia itu
dengan jubahnya. Dan dengan lakukan salto dia injakkan kakinya ketanah. Tampak
gu sar Tampak Doro. Manusia penghalang itu harus cepat dirobohkan. Kalau sampai
terlambat dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal untuk membunuh guru mereka.
Lompatan dengan jurus Macan putih Menerkam kijang segera dilakukan. Bahkan
golok besarnya sudah melayang ganas untuk menabas pinggang lawan. Gerakan cepat
ini seperti membuat si manusia muka mayat agak terkejut. Kembali dia menghindar
dengan Lompatan salto. Tapi kali ini Tampak Doro terus mengejar dan mencecar
dengan tabasan-tabasan golok besarnya.
Binangun segera datang
membantu dengan sambaran tiga mata tombak dari bandulan rantainya. Terlihat si
manusia muka mayat se pertinya terdesak. Dia terus mundur dengan
lompatan-lompatan sal tonya. Hingga makin jauh dari sisi tebing dibibir jurang
itu. Suatu ke tika si manusia muka mayat menghindar dari serangan tiga mata
tombak Binangun. Dia berhasil menyelinap kebalik batu tebing.
"Keparat! kau harus
mampus! karena telah memperlambat uru san kami!" bentak Tapak Doro dengan
gusar. Semakin menggebu niatnya untuk segera membinasakan lawan yang dilihatnya
telah ter desak. Namun kedua saudara seperguruan ini ternyata telah kehilan gan
jejak. Si manusia muka mayat lenyap entah menyelinap kemana. Berlompatan Tapak
Doro dan Binangun mencari. Akhirnya mereka memutuskan untuk cepat kembali.
Pekerjaan mereka harus segera diselesaikan.
Demikianlah. Dengan gerakan
cepat mereka segera kembali ke tepi tebing. Dibibir jurang itu masih tampak
tergolek tubuh Nini can dra Gumintang.
Sesaat kemudian...
"Satu.... dua.... ti...ga !"
Dan dilemparkannya tubuh
wanita pendekar tua yang malang itu ke mulut jurang. Tubuhnya melayang ke bawah
untuk kemudian lenyap tak kelihatan lagi. Karena dalamnya dasar jurang sukar
diukur dan tertutup kabut.
Tapi tak seorangpun dari dua
saudara seperguruan itu yang mengetahui kalau yang di lemparkan mereka tak lain
dari sebatang kayu. Ya, sebatang kayu..! Karena sebenarnya tubuh Nini Candra
Gumintang telah dibawa berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh berjubah hitam,
yaitu siapa lagi kalau bukan tubuh si manusia Muka Mayat yang tadi lenyap dari
kejaran Tampak Doro dan Binangun.
Akhirnya kedua laki-laki yang
telah menunaikan tugasnya itu, tampak segera bergegas kembali pulang untuk
melaporkan hasil pe kerjaannya...
Sampai di sini Nini Candra
Gumintang mengakhiri kisahnya, yang ditutup dengan kata-kata... "Nah!
Itulah sebabnya aku masih hi dup sampai saat ini. Karena di tolong
seseorang...!"
Windarti termangu-mangu
mendengarkan kisah yang dituturkan
itu.
"Siapakah orang yang
telah menolongmu itu, guru...?" "Entahlah...! Orang itu tak mau
memperkenalkan diri. Wajah-
nya mirip mayat hidup. Kami
cuma mengenal dia dengan julukan si Manusia Muka Mayat!"
"Ooooh...!?"
Ternganga Windarti.
"Akan tetapi si penolong
misterius itu kenal baik dengan adik seperguruanku, si Lodaya Seta.!" ujar
nini Candra Gumintang lebih lanjut.
Dan agar kau ketahui lebih
jelas... si Ular Betina Selat Madura itu sebenarnya adalah murid paman Lodaya
Seta. Yang telah menye lamatkan
nyawaku... !" berkata
Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada Windarti.
Lagi-lagi gadis ini tersentak
kaget. "Aiiih! jadi demikiankah adanya...?" ucapnya dengan terbelalak
matanya.
"Kini dimanakah paman
Lodaya Seta?" tanya Windarti seraya palingkan wajahnya menatap pada sang
guru dan Shidarta.
"Beliau ada ditempat
ini...!" ujar Shidarta.
"Guru...! bolehkan aku
mengajaknya untuk menemui paman guru...?"
"Silahkan Shidarta...!
Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular Betina Selat Madura...!"
"Baik, guru...!"
menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera bangkit berdiri. Windarti
mengikuti. Shidarta ulurkan lengannya un tuk meraih tangan dara itu. "Mari
kita ketempat mereka...!"
Windarti mengangguk. Menoleh
sejenak memandang pada Nini Candra Gumintang.
"Guru...! aku pergi
dulu..."
Wanita tua itu mengangguk
sambil tersenyum. "Pergilah Windarti!" ucapnya.
Tak lama dengan bergandengan
tangan kedua remaja itu segera keluar dari ruangan pondok sederhana berlantai
dan berdinding papan kayu jati itu.
Ternyata Shidarta membawanya
ke seberang sungai berair dangkal.
Diseberang sungai pada tempat
ketinggian, tampak berdiri se buah rumah panggung yang cukup besar.
"Itulah tempat tinggal
paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia sudah tak memakai nama Lodaya Seta
lagi..."
Windarti manggut-manggut.
"Siapakah nama atau gelarnya ki-
ni?"
"Beliau memakai nama Ki
DONDOMAN dengan gelar Malai-
kat Tangan Sebelas...!" sahut
Shidarta.
"Ah!?" nama yang
aneh dan gelar yang hebat!" puji Windarti. Ditepi sungai berair dangkal
dan jernih itu mereka berhenti se-
jenak. Shidarta menatap
Windarti dalam-dalam seperti mau menelu suri relung hati dara itu. Sementara
lengannya masih mencekal jemari tangan Windarti. Darah pemuda ini berdesir,
dengan detak jantung yang berdegupan. Terasa dihati laki-laki ini ada rasa
bahagia. Semen tara yang ditatap jadi serba salah. Dia tak mengerti ada apa
dengan sikap pemuda itu yang menatapnya lekat-lekat...?
"Windarti...!"
terdengar suara Shidarta. "Bolehkan aku mengu tarakan isi hatiku...?"
"Hm, mengapa tidak? kita
kan saudara seperguruan. Kalau kau punya uneg-uneg dihatimu, katakan
saja...!" sahut Windarti dengan termenung heran.
"Aneh!" pikir
Shidarta. "Windarti seperti biasa-biasa saja ber hadapan denganku. Apakah
tak ada "rasa" dihatinya secuilpun terha dapku?"
"Terima kasih,
Windarti..." Hanya itu yang terlontar dari mulut nya. Selebihnya diam
dengan menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa yang akan dikatakannya.
"Katanya kau mau
mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Menga pa tak kau paparkan padaku?"
Pertanyaan Windarti membuat Shidar ta tersentak.
"Oh, ya! ya...! aku...
aku sedang berpikir, apakah yang akan ku katakan?" ujar Shidarta tergagap.
"Lho? kok malah berpikir
dulu? langsung saja bicara! Kau tam paknya seperti takut mengatakannya,
Shidarta. Tak baik begitu. Aku lebih suka orang yang terang-terangan. Nah,
katakanlah uneg-uneg dihatimu...!"
Akhirnya Shidarta bicara juga
setelah menelan ludah berkali-
kali.
"Windarti...! apakah
selama ini tak ada kau simpan nama seo-
rang laki-laki dihatimu?"
"Nama seorang
laki-laki?" Hm, maksudmu...?" tanya Windarti tak mengerti.
"Ya! nama seorang
laki-laki yang... yang kau cintai...?" ulang pemuda itu dengan memandang
nanar. Sementara hatinya berdegu pan tak keruan.
"Tak ada kusimpan nama
seorang laki-laki pun dihatiku, Shidar ta! Walau... ya, walau di pesanggrahan
Melati terlalu banyak laki la ki!" sahut Windarti yang mulai menebak
maksud pertanyaan Shidarta Tampak Shidarta menghela napas, seperti merasa lega.
"Kalau
tak ada nama laki-laki yang
terukir dihatinya, berarti Windarti belum terjamah tangan laki-laki..."
pikir Shidarta.
"Windarti...! tahukah kau
bahwa aku... aku telah sejak lama me naruh hati padamu. Waktu kita masih
sama-sama di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru hingga saat ini pun perasaan
sayang pada mu itu masih ada.
Kalau kau kurang mengerti,
baiklah kujelaskan. Ya, aku sebe narnya amat mencintaimu, Windarti...!"
Serasa terbebas uneg-uneg dihati Shidarta setelah mengucapkan kata-kata
barusan.
Tercenung sesaat Windarti.
Walau dihatinya mengadakan per tentangan dengan pernyataan itu, namun naluri
kewanitaannya ter nyata masih berfungsi.
Dia menyadari bahwa satu jalan
lurus terbentang dihadapannya. Seperti mendapat tempat direlung hati. Selama
ini dia memang me nyadari bahwa apa yang terjadi antara dia dengan Kuntali
adalah ke tidak wajaran. Kini dia harus dapat membedakan antara kelurusan dan
kesalahan fatal dalam mengikuti aluran naluri kewanitaannya. Dan, dia merasa
genggaman lengan Shidarta begitu mesra meremas jemari tangannya.
Sesaat hatinya berdegupan.
Entah perasaan apa yang berkeca muk di dadanya. bahagiakah? atau dia harus
bersedih. Karena segera teringat Windarti pada Kuntali, yang telah tiada.
Tiba-tiba dadanya bergemuruh ketika mengingat akan kematian Kuntali yang tragis
di tangan Nagasari.
"Terima kasih atas
ucapanmu itu Shidarta. Aku amat menghar gai. Dan... aku tak menolak cintamu !" ujar Windarti dengan mata
berkaca-kaca.
"Kau kau terima cintaku, Windarti?" tanya
Shidarta penasa-
ran. Dia seperti mau mendengar
pengakuan Windarti lebih jelas.
Dara cantik itu mengangguk.
Tanpa ucapan kata-kata. Cuma sepasang mata sayu itu yang menatapnya dengan
pandangan nanar.
"Ah, terima kasih,
Windarti. Terima kasih...! Ooo bahagianya
hatiku !" teriak Shidarta dengan suara berbisik menggeletar. Dikepa-
lanya erat-erat lengan
Windarti dan didekapnya ke dada.
"Ehmm...!" satu
deheman membuat Shidarta terkejut. Ketika memandang kedepan, diseberang sungai
tampak berdiri sesosok tu buh wanita berparas cantik. Memakai pakaian dari
sutera tipis warna hitam, "Dialah si Ular Betina Selat Madura, murid paman
Lodaya Se ta" Ujar Shidarta. Windarti manggut-manggut...
***
SEPULUH
Andaikan wanita bernama
Andini, orang baru dari pesanggra han Melati yang membunuh bangsawan tua
itu?" tanya Windarti sete lah menjabat tangan si Ular Betina Selat Madura.
"Tidak salah ! aku juga
yang bergelar si Ular Betina Selat Ma-
dura. Julukan itu sebenarnya
bukan aku yang menggelari. Tapi orang orang sekitar selat Madura yang
menggunakan nama itu untuk meng gelariku!" sahut Wanita bersuara merdu
itu.
"PERAMPOK TENGIK...!
kiranya kau bersembunyi disini?" tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek.
Dan tiga sosok tubuh ber loncatan mengurung. Mereka rata-rata berjubah hitam.
Tak pelak lagi mereka itu tak lain dari si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu
tiga orang guru Beguk Reksasana dari kaum Rimba Hijau golongan Hitam.
"Hihihi... bagus!
bagus...! tanganku memang sudah gatal untuk mengemplang kepala kalian. Sukurlah
kalau kalian tahu diri menyu sul kemari!" berkata si Ular Betina Selat
Madura dengan mengikik tertawa. Sikapnya amat tenang seperti tak mengenal
bahaya maut di depan mata. Bahkan dengan lagak yang jumawa dia umbar kata
katanya seolah telah mengetahui kedatangan ketiga Dedemit Gunung Siung itu.
Tentu saja membuat Windarti
melegak heran. Ingin sekali dia menyaksikan kehebatan wanita muda yang
menghebohkan selat Ma dura itu. Dari sikapnya dapat diketahui kalau si Ular
Betina bernama Andini itu seperti tak memandang sebelah mata.
Saat mana terdengar suara
tertawa terkekeh. Dan muncul pula sesosok tubuh. Dialah si manusia muka mayat.
"Heheheheh... Tiga Dedemit Gunung Siung! akulah lawanmu !"
Serentak tiga laki-laki tua
berjubah hitam itu balikkan tubuh.
Langsung salah seorang
membentak. "Huh! Siapakah kau. ?"
"Heheheh. aku si Manusia
Muka Mayat!"
"Apakah urusanmu dengan
persoalan kami? Bocah perempuan edan itu telah merampok harta benda muridku di
Pesanggrahan Mela ti! Apakah kau mau membela maling?" bentak Dedemit
Gunung Siung.
"Huuu!? begitukah?
Kudengar muridmu itu adalah pendiri pe sanggrahan edan yang menjadi komplotan
jual-beli perempuan? Ka lau dirampok orang kukira itu wajar! Bukankah harta muridmu
itu harta tak halal?" tukas si manusia Muka Mayat.
"Dan perlu kalian
ketahui, murid perempuan mu si pendiri pe sanggrahan Melati itu adalah anak
kandunganku sendiri. Akan tetapi karena perbuatannya membuat malu aku. Juga
menyalahi tata tertib serta membuat kekisruhan di wilayah Kerajaan dengan
mendirikan komplotan edan itu, maka aku tak mengakui dia anakku lagi!"
Terhenyak seketika si Tiga
Dedemit Gunung Siung. Ketiganya saling pandang dengan kawannya sendiri.
"Heh! siapakah kau ini
sebenarnya?" bertanya salah seorang da ri mereka. Si manusia Muka Mayat
tak menjawab. Akan tetapi ge rakkan tangannya "membuka" kulit
wajahnya. Ternyata dia menge nakan semacam topeng kulit manusia. "Nah!
apakah kalian masih mengenali wajahku...?" bertanya si manusia Muka Mayat,
yang kini wajahnya sudah tak seperti mayat hidup lagi.
"LODAYA SETA...!?"
tersentak kaget ketiga manusia ini. Memandang laki-laki tua itu yang tak lain
memang Lodaya Seta adanya.
Sementara ditempat
persembunyian dua pasang mata menatap dengan membelalak pada laki-laki yang
barusan berganti wajah itu.
Sekonyong-konyong angin keras
menyambar semak belukar dimana dua manusia itu bersembunyi, ketika Lodaya Seta
alias Ki Dondoman atau si Malaikat Tangan Sebelas itu kibaskan lengannya.
"Heheheh... keluarlah
kalian dari tempat sembunyimu, Nagasa ri! apakah kau tak mau tanggung jawab
dengan perbuatan terkutuk mu?" berkata Ki Dondoman dengan suara dingin
mencekam.
Tentu saja membuat dua manusia
itu melompat ke luar dengan serempak. Ternyata benarlah Nagasari adanya, yang
sembunyi ber sama Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Ternyata disaat Beguk
Reksasana pergi mencari jejak si Ular Betina Selat Madura yang telah kabur
dengan hasil rampokannya itu, Nagasari berkelebat menyusul. Dalam pelacakan
mencari jejak si Ular Betina Selat Madura, mereka telah sampai ketempat itu.
"A... a... ayah...!?
benarkah kau tak mengakui aku anak kan dungmu lagi?" teriak Nagasari
dengan suara menggetar hebat.
Laki-laki tua ini menatap tak
berkedip dengan sinar mata tajam seperti anak panah yang mau menembus jantung
perempuan muda itu.
"Aku telah bilang hitam,
ya hitam. Dan bila aku bilang putih, ya putih! apakah aku perlu mengulangi
kata-kataku?" membentak Ki Dondoman.
Nagasari mundur dua langkah.
Wajahnya tak sedap dipandang.
Dadanya tampak turun naik
karena menahan gemuruh didadanya.
Dari menatap wajah ayahnya,
sepasang mata Nagasari beralih pada dara cantik bergelar di Ular Betina Selat
Madura itu.
"Heh! kalau begitu
keputusan ayah, aku tak dapat menolak. Ayah ternyata telah punya seorang murid
perempuan yang menggan tikan aku. Hingga ayah tega tak mengakui aku lagi
sebagai anakmu! Pantas kalau aku disisihkan. Karena murid perempuan ayah itu
pan dai memfiitnah. Mungkin juga dia telah mengguna-gunai ayah, agar ayah membenciku...!"
berkata Nagasari bercampur isak.
Sementara itu Windarti sejak
tadi menatap pada Nagasari den gan tak berkedip. Dengan pancaran mata
berapi-api. Sekilas ter bayang lagi saat kematian KUNTALI, yang sebelum
dihabisi nya wanya oleh Nagasari telah diperkosa dulu secara bergantian oleh Ta
pak Doro dan Binangun.
Dendam kesumat di dalam dada
dara ini tampaknya sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba dia membentak keras
seraya melompat kehadapan Nagasari.
"Perempuan bejat! hari
ini aku akan adu jiwa denganmu...!" Dan tanpa ayal lagi langsung menerjang
ganas. Yang diiringi peki kan-pekikan histeris.
Whuuk! Zeb! Zeb...! Whuk!
Whuk!... BRRET!
Tersentak Nagasari yang sedang
dalam keadaan berduka den gan keputusan sang ayah. Hatinya terasa nyeri karena
tak diakui lagi sebagai anak kandung laki-laki bernama Lodaya Seta itu.
Ketika serangan mendadak
Windari dia agak terperanjat. Na mun Nagasari bukanlah wanita yang mudah
dijatuhkan. Karena di samping dia digembleng lebih dari lima tahun oleh nini
Candra Gu mintang, tapi juga telah mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit
Gunung Siung.
Namun serangan Windarti yang
kalap itu justru membuat Naga sari sukar untuk menduga jurus-jurusnya. Hingga
dia berlaku kurang gesit.
Sambaran deras dari terjangan
Windarti membuat baju lengan nya tersobek. Bahkan kuku dara itu menggores
kulitnya hingga ber darah.
"Keparat!" memaki
Nagasari. Kau mau mampus...!" bentaknya menggledek. Dan... Menerjanglah
Nagasari dengan pukulan-pukulan dahsyatnya untuk merobohkan dara yang masih
adik seperguruannya itu.
Buk! Satu hantaman telak
mengenai dada Windarti, membuat gadis ini terhuyung ke belakang.
"Kau...kau manusia kejam!
penipu...! kau telah mengelabuiku! mengelabui semua saudara-saudara
seperguruan. Bahkan kau telah membunuh KUNTALI! Kau racuni guru kita hanya
karena ketama kanmu pada harta pusaka milik guru! apakah kau masih layak untuk
hidup didunia? Kau telah pula mendirikan komplotan penculik dan penjual wanita!
Kau... kau harus tebus jiwa Kuntali dengan nyawa ib lismu, keparat...!"
Berteriak-teriak dengan suara
lantang dara ini. Bahkan air ma tanya tampak mengalir turun! Dan, disertai
bentakan keras melengk ing panjang, Windarti kembali menerjang dengan
pukulan-pukulan ganasnya.
Saat mana Nagasari secepat
kilat sambil mengelak telah laku kan serangan menghamburkan senjata rahasia
jarum-jarum berbisa.
Akan tetapi disaat yang gawat
itu, terdengar bentakan keras. Se sosok bayangan berkelebat.
"Awas, Windarti...!"
teriakan itu dibarengi dengan mendorong tubuh dara itu. Akan tetapi justru
sosok tubuh itu sendiri yang terkena lurukan jarum-jarum beracun Nagasari.
Terdengar jeritan parau dari
si Ular Betina Selat Madura, alias ANDINI. Seketika tubuhnya roboh. Dan
berkelojotan ditanah. Tapi sesaat antaranya tubuh wanita itupun terkulai...
Windarti melompat memburu
diiringi Shidarta. Sementara Na gasari telah berkelebat cepat melompat dari
situ setelah mencekal lengan Beguk Reksasana.
"Cepat! kita pergi dari
sini...!" bisik Nagasari.
Akan tetapi... "Bocah
murtad! hentikan langkahmu...!" satu ben takan keras dari nada yang dingin
mencekam membuat mereka henti kan langkahnya. Dan sesosok tubuh melayang turun
dihadapan mere ka. Membelalak sepasang mata Nagasari seperti mau melejit
keluar. Karena melihat siapa yang berdiri menghadang.
"Hihihi... Nagasari. Dan
kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian se rahkan diri untuk jadi tawananku. Aku
akan serahkan kalian pada hamba hukum Kerajaan yang lebih patut menjatuhkan
hukuman un tuk kalian, di Kota Raja!"
Ternganga mulut Nagasari.
Pakaian wanita ini amat mirip den gan si Ular Betina Selat Madura yang telah
dipastikan tewas terkena serangan senjata rahasia. Akan tetapi jelas dia bukan
si Ular
Betina itu? Karena wanita yang
terkena luruskan senjata raha sianya masih tergeletak disana! Lalu siapakah
wanita ini? pikir Naga sari.
Saat mana si manusia Muka
Mayat telah melompat kehadapan wanita berpakaian sutera tipis warna hitam ini.
"He? siapakah kau, nona?
mengapa kau menyamar jadi murid ku...!" berkata.
"Hihihi... akulah si Ular
Betina Selat Madura yang asli! bukan aku yang menyamar jadi murid mu, tapi
muridmu itulah yang me nyamar menjadi aku! Bukankah dia bernama
KUNTALI...?" bertanya wanita ini.
Kata-kata wanita yang lantang
ini membuat Windarti dan Shi darta jadi melengak heran. Terlebih lagi Windarti.
Karena jelas dia telah mendengar jeritan kematian Kuntali yang dibunuh Nagasari
di depan matanya. Walaupun dia tak melihat tapi suara jerit kematian itu
terdengar jelas. Bahkan dia tahu Nagasari telah berikan hukuman ma ti buat
saudara seperguruannya itu, yang telah dianggapnya berkhia nat.
Saat mana tiba-tiba berkelebat
tubuh nini Candra Gumintang ketempat itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah
sentakkan kulit muka dara yang terkapar itu. Dan... segera terpampang wajah
KUNTALI.
Terpekik seketika Windarti
Langsung merangkul sosok tubuh yang sudah lepas nyawanya itu dengan menangis
meratap pedih...
"Kuntali...! Kun..
tali... oh!? kiranya kau... kau..." Tak kuat me nahan perasaannya,
Windarti terguling layu. Dia pingsan tak sadar kan diri. Shidarta jadi
kebingungan mengurusi dara itu...
***
SEBELAS
"MURID MURTAD! segera kau
akan merasakan kematian mu...!" bentak nini Candra Gumintang dengan suara
lengkingan pa rau yang memekakkan telinga. Tubuhnya meluncur bagaikan alap
alap. Sepasang lengannya menukik berbentuk lingkaran dengan jari jari
mengembang. Inilah Jurus Rajawali Mencengkeram Naga. Akan tetapi pada saat itu
berkelebat sinar ungu menyambar ke arah lengan wanita tua ini. Diiringi
sambaran kilat dari selendang sutera warna merah, bagaikan sebatang tombak yang
meluncur ke dadanya. WHHUUK! DHESS...!
Nini Candra Gumintang lakukan
salto dengan lengan bersida kep. Ternyata dengan gesit dia telah tarik
serangannya. Tahu-tahu se belah kakinya telah meluncur ke arah dada si
penyerang. Terdengar jerit kesakitan. Tubuh Tali Wangsa alias Beguk Reksasana
terjeng kang roboh bergulingan. Bahkan pedang sinar ungu laki-laki itu telah
tercekal ditangannya. Baru saja kaki wanita tua itu menjejek tanah. Langsung
melesat lagi memburu ke arah Tali Wangsa.
DHESS...!
Darah segar menyemburat
keudara. Memercik ke bumi. Dan... menggelindinglah kepala Tali Wangsa, diiringi
jatuh berdebuk tu buhnya yang telah tanpa kepala lagi.
Terperangah Nagasari. Wajahnya
seketika berulah menjadi pu cat pias. Belum lagi hilang terkejutnya, tahu-tahu
sinar ungu melun cur pesat mengancam tenggorokannya. Begitu cepatnya. Tahu-tahu
sudah didepan mata!
Akan tetapi pada detik itu...
TRANG!
Pedang sinar ungu terpental
keudara dan menancap tinggi diatas dahan pohon. Ternyata sebutir batu kerikil
telah menghantamnya, te pat disaat beberapa inci lagi pedang sinar ungu milik
Tali Wangsa itu menembus tenggorokan Nagasari.
Ternyata si manusia Muka Mayat
alias Lodaya setelah yang me lemparkan batu, menangkis serangan. Sekejap si manusia
Muka Mayat telah melompat kehadapan nini Candra Gumintang. "Sabar, kakang
mbok! Biarkan aku menghukum anakku sendiri...!"
Selesai berkata tiba-tiba
tubuh laki-laki tua itu berbalik. Lengan jubahnya mengibas. Di lain kejap.
Nagasari sudah berdiri tak bergem ing dengan keadaan tubuh kaku karena urat
darahnya telah tertotok.
Selanjutnya dengan sekali
bergerak ulurkan lengan, tubuh Na gasari telah berpindah ke atas pundaknya. Dan
saat berikutnya Ki Dondoman alias Lodaya Seta telah berkelebat pergi melesat
cepat da ri tempat itu.
Melihat kematian Beguk
Reksasana, tersentak kaget si Tiga De demit Gunung Siung.
Serentak mereka mencabut
senjata masing-masing. Agaknya mereka sudah tak memperdulikan Nagasari yang
dibawa pergi oleh Lodaya Seta. Sepasang mata mereka sebentar tertuju pada Nini
Can dra Gumintang, lalu beralih pada si Ular Betina Selat Madura. Agak nya
mereka bingung mengambil keputusan. Jelas tujuan mereka ada lah mengejar si
Ular Betina untuk merebut kembali harta dan uang milik Nagasari yang dirampok
wanita itu. Akan tetapi melihat kema tian Beguk Reksasana (sang murid) membuat
mereka jadi amat gusar.
Salah seorang rupanya sudah
mengambil keputusan.
Tanpa perdengarkan suara, satu
dari Tiga Dedemit Gunung Siung telah melejit dari tempatnya berdiri. Senjata
ditangannya yang berupa sebuah Garpu besar bermata lima dengan ujung runcing
ber warna kehijauan karena sudah direndam racun, tiba-tiba ditusukkan ke
punggung Nini Candra Gumintang. Dua orang lagi masih berdiri ditempat. Seperti
belum niat bergerak.
BUK...!
Serangan hebat laki-laki jubah
hitam yang berewokan ini luar biasa. Jurus serangan yang dipergunakan seperti
jurus aneh, karena bisa menyimpan suara. Berdesirpun tidak sambaran tombak
garpu mata lima itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu
Samber Nyawa. Entail tenaga darimana yang telah membentur tu buhnya hingga
terlempar keudara setinggi lima-enam tombak. Sam baran angin itupun seperti tak
menimbulkan suara pula.
Tubuh si Garpu Samber Nyawa
melayang turun dengan kaki terlebih dulu. Akan tetapi dengan tubuh terhuyung
limbung. Dan... tampak darah menetes dari mulutnya. Untung kedua kawan dengan
sigap cepat melompat untuk menyangganya.
Tampak wajah si laki-laki
brewok ini pucat pias. Sebelah len gannya memegangi dadanya. "Oh.! sudah
kuduga...!" ujarnya, Selesai berkata tiba-tiba dia semburkan darah segar
dari mulutnya.
Kedua pasang mata dua kawan si
Brewok ini jadi mengarah na nar pada Si Ular Betina Selat Madura.
Sementara Nini Candra
Gumintang sendiri seperti terbelalak he ran. Pertanda dia tak mengetahui kalau
dibokong orang. Sedangkan si wanita yang mengaku bergelar Ular Betina Selat
Madura itu tampak tersenyum-senyum.
Melihat demikian kuatlah
dugaan dua dari si Tiga Dedemit Gu nung Siung, kalau si Ular Betina itulah yang
telah melakukan seran gan menolak tubuh si Brewok dengan pukulan tenaga dalam
tanpa suara...
"Bedebah tengil! tolakan
tenaga pukulanmu hebat juga!" mem bentak Gantol Mumet yang berwajah kaku
berkulit hitam legam.
Serentak kedua tubuh kakek itu
telah berkelebat melompat. Se kejap sudah injakkan kaki di depan dan dibelakang
sang Ular Betina.
"Baik! kalau kau
menghendaki mampus duluan. Kebetulan ka mi juga perlu tahu. Kalau kau mengaku
si Ular Betina Selat Madura yang asli, berarti kaulah yang telah merampok harta
dan uang di pe sanggrahan Melati!" Membentak Gantol Mumet.
"Hihihi... kalau sudah
tahu mengapa bertanya...?" dara ini me nyahut seenaknya. Tubuhnya bergerak
memutar kesana-kemari den gan melangkah pelahan. Bahkan dengan menggendong tangan
ke be lakang. Sikap yang jumawa itu membuat kedua kakek jubah hitam itu jadi
mendongkol. Bukan main terhinanya kalau harus "keok" oleh bocah
perempuan yang dinilai usianya masih remaja ini. Akan tetapi melihat pukulan
tenaga dalam tanpa ujud dara ini membuat mereka tampak harus hati-hati.
"Bagus! kalau begitu
urusan akan mudah dibereskan! Segera tunjukkan dimanakah kau simpan harta dan
uang rampokanmu itu, nona! Mungkin kau bisa berfikir lebih jauh. Bukankah harta
itu tak halal? Kalau kau kangkangi akan per-cuma saja. Lebih baik kau se rahkan
pada kami...!" bujuk Kulo Takon yang bertubuh agak jang kung berkumis
mirip kumis tikus yang bisa dihitung banyaknya.
"Hihihi... hihihi...
cecurut tua bau apek macam kau mana mem pan membujuk aku. Harta tak halal itu
bukan mau aku kangkangi sendiri. Tapi akan kuserahkan pada penguasa Kerajaan!
Hitung hitung uang pajak gelap, yang diambil cuma sekali Karena setelah
"pajak" itu lunas, aku jamin perusahaan kalian akan langsung gulung
tikar! Hihihi... hihihi..."
"Kalau begitu kau perlu
diringkus...!" bentak Gantol Mumet. Dan setelah memberi isyarat, kedua
tokoh golongan hitam itu seren tak menerjang si Ular Betina Selat Madura.
Sambaran-sambaran senjata
kedua laki-laki tua itu meluruk menghunjam ke arah dara ini. Bahkan dibarengi
pula dengan puku lan-pukulan dengan jurus-jurus berbahaya. Akan tetapi tampak
den gan mudah wanita itu berhasil mengelakkan diri, cuma dengan me
lenggang-lenggok genit. Tubuhnya meliuk kesana-kemari bagaikan tengah
menyuguhkan satu tarian yang mempesonakan.
Melengak seketika dua kakek
jubah hitam itu. Dalam serangan empat jurus barusan dengan mudah si wanita
bergelar Ular Betina Se lat Madura itu berhasil mengelakkan diri dengan tarian
istimewanya. Saat mana tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Itulah tanda
isya rat yang diperuntukkan bagi Tiga Dedemit Gunung Siung.
Serentak keduanya tiba-tiba
melompat mundur. Sementara se sosok tubuh berkelebat kearah pertarungan yang
terhenti itu. Ternyata si Garpu Samber Nyawa. Mereka langsung berlompatan untuk
berga bung, dengan berdiri berjajar seraya masing-masing menyimpan sen jatanya.
Tentu saja hal itu membuat si
Ular Betina Selat Madura jadi melengak heran. Saat mana terdengar suara tertawa
berkakakan. Di iringi dengan berkelebatnya sesosok tubuh.
"Hebat! hebat...! sungguh
aku si tua bangka ini tak menyangka kalau anda adalah Nona Pendekar RORO
CENTIL...! Mohon maaf atas kekeliruan kami!" Berkata sosok tubuh berjubah
hitam itu yang tak lain dari LODAYA SETA alias Ki Dondoman, yang bergelar si
Malaikat Tangan Sebelas.
"He? kau muncul lagi?
apakah maumu...?" bertanya Ular Betina Selat Madura. Akan tetapi Lodaya
Seta tak menjawab. Dia menoleh pada ketiga kakek tiga berjubah hitam.
"Hai?! mengapa kalian masih berdiri terpaku? hayo lekas beri penghormatan
pada nona Pendekar kita...!" membentak Lodaya Seta. Tak ayal ketiganya
segera menjura pada si Ular Betina Selat Madura. Dan cepat sekali mereka
membuka jubah masing-masing. Mengkelet juga kulit muka mereka. Tak lama tiga
Dedemit Gunung Siung itu telah berubah menjadi tiga orang Perwira Kerajaan.
Sementara Lodaya Setapun segera tanggalkan ju bahnya. Selapis kulit muka
kembali dibuka dari wajahnya. Siapakah sebenarnya laki-laki ini? Dia tak lain
dari Mahapatih CAKRA BHUANA dari Kerajaan Mataram.
Tersentak si Ular Betina
melihat dan mengenali orang-orang Kerajaan itu. Terutama pada Mahapatih Cakra
Bhuana yang pernah menjamunya ditempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram itu
pa da beberapa bulan yang lalu.
"Aiiiih! kalau begitu
percuma sudah aku menutupi rahasiaku...! Selesai sudah petualanganku sebagai si
Ular Betina Selat Madura.!" Berkata demikian, wanita baju sutera hitam itu
mengkelet kulit wa jahnya. Dan... segera terpampang seraut wajah cantik. Siapa
lagi ka lau bukan memang RORO CENTIL adanya.
"Kanjeng Gusti
Patih...!" ujar Roro sambil menjura hormat. "Segala sepak terjangku
di wilayah perairan Selat Madura telah ter cium oleh anda. Kini aku serahkan
diri padamu. Silahkan memberi hukuman. Dengan rela dan senang hati aku akan menerimanya...!"
ujar Roro sambil tersenyum.
"Hahahaha... segala sepak
terjang anda memang sudah lama di lacak oleh anak-anak buahku dari pihak
Kerajaan Mataram. Walau harta-harta haram serta barang selundupan yang kau
rampok dari para saudagar di kawasan Selat Madura itu belum kau berikan pada
yang berwenang, namun aku tak mencurigaimu mau mengangkanginya. Hehehe... suatu
ketika kau pasti mengantarkannya ke Kota Raja!" berkata Mahapatih Cakra
Bhuana.
"Bagaimana kalau aku
melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak pikirkan kalau tiba-tiba niatku
berubah...?" ujar Roro berseloroh.
"Hahaha... kalau begitu
sekarang anda ku tangkap. Selama se pekan anda harus tinggal di tempat
kediamanku untuk menerima su guhan kehormatan!" Mendengar kata-kata itu
mau tak mau Roro jadi mengikik tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun nini Candra Gumitang
sejak tadi terlongong menden garkan percakapan. Melihat siapa adanya si Tiga
Dedemit Gunung Siung serta "Lodaya Seta", dia jadi terpaku dengan
1001 pertanyaan dibenaknya.
Sekali bergerak dia telah melompat
kehadapan Mahapatih Ca kra Bhuana.
"Maafkan hamba Kanjeng
Gusti Mahapatih...! aku si nenek tua renta ini tak mengetahui semua ini. Mohon
penjelasan...!" berkata wanita tua ini dengan menjura dihadapan Pembesar
Kerajaan itu.
"Segalanya akan anda ketahui,
sobat Nini Candra Gumitang...! Kita mengebumikan dua jenazah dulu. Dua jenazah
yang berbeda ja lan hidup yang satu dengan yang lainnya. Seorang adalah pencari
ke benaran, seorang lagi adalah pencari kerusuhan!" ujar Mahapatih Ca kra
Bhuana. Akan tetapi mereka kini sudah sama-sama menjadi mayat, yang perlu kita
hormati. Mari kita memakamkannya...!"
***
DUA BELAS
Lima hari kemudian... di
Kadipaten LAMONGAN. Terperan gah Nini Candra Gumintang melihat sosok tubuh
Lodaya Seta yang terkapar bermandi darah dirumah tahanan Kedipatian itu.
Setelah se lesai mengebumikan jenazah Beguk Reksasana alias Tali Wangsa,
Mahapatih Cakra Bhuana. mengajak mereka semua ke Kadipaten. Kecuali Roro Centil
yang mohon diri untuk menyelesaikan urusan nya.
Bukan saja nini Candra
Gumintang yang terkejut, akan tetapi juga Adipati Donggala, serta semua yang
berada ditempat itu. Karena tampak dinding kamar tahanan berlubang besar. Dan
Nagasari yang dijebloskan satu ruangan dengan Lodaya Seta asli, telah lenyap...
"Celaka...!? Nagasari
telah meloloskan diri...! Apakah yang te lah terjadi dengan Lodaya
Seta...?" teriak Adipati Donggala dengan wajah pucat. "Hai! pengawal!
apakah kalian tak mengetahui tawanan wanita yang baru masuk itu meloloskan
diri?" membentak Adipati Donggala pada dua prajurit Kadipaten yang
bertugas menjaga di seki tar rumah tahanan itu.
"Ampun Gusti, hamba hanya
mendengar suara gaduh serta run tuhnya tembok kamar tahanan.
Dan, hamba dapati laki-laki
tua tahanan kita ini telah terkapar berlumuran darah. Tahanan wanita itu
sendiri lenyap!" menyahut sa lah seorang prajurit seraya menyembah.
"Apakah kalian tak lihat
ada orang masuk kemari?"
"Rasaya tidak,
Gusti...!" sahut keduanya serempak. Sementara nini Candra Gumintang telah
melompat untuk memeriksa keadaan Lodaya Seta. Laki-laki tua ini masih belum
mati. Luka parah berasal dari lambungnya yang robek mengeluarkan darah tiada
henti.
"Adikku, Lodaya...
katakanlah! apa yang terjadi? siapa yang melakukan perbuatan ini?"
bertanya wanita tua ini dengan air mata berkaca-kaca.
"Kau... kakang...
mbok...! oh, bahagia sekali kau datang...! aku memang merahasiakan tentang
diriku...! Sebenarnya Mahapatih Ca kra Bhuana adalah saudara kembarku...! Aku
memilih mendekam da lam tahanan ini atas permintaan ku sendiri. Karena aku
merasa berdo sa. Aku telah salah memungut anak! ya, salah yang teramat
besar...!" ucap Lodaya Seta terputus-putus. Tapi bibirnya menyunggingkan
se nyum. Walau cuma senyum kekecewaan.
"Ah...!? jadi Nagasari
bukan anak kandungmu sendiri?" tanya nini Candra Gumintang. Laki-laki tua
itu menggeleng. "Benar, ka kang mbok...! Ketika Nagasari mengambil
keputusan untuk membu nuhmu, aku tak berdaya. Karena Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa
telah menotokku. Kemudian laki laki yang sudah kucurigai itu mengikat sekujur
tubuhku dan mena wanku di dalam goa! Untuklah kakang Mahapatih Cakra Bhuana me
nolongku...!"
Lodaya Seta berikan
penjelasan. Tampak dia kelihatan berse mangat. Bahkan merasa agak kuat untuk
bicara. Karena diam-diam Nini Candra Gumintang kerahkan tenaga dalamnya yang
dialirkan ketubuh laki-laki itu melalui telapak tangan untuk membantu kekua tan
tubuh Lodaya Seta.
Sementara Mahapatih Cakra
Bhuana berjongkok disisi laki-laki tua itu. Menatap saudara kembarnya dengan
tatapan sedih. Lodaya Seta tampak tersenyum dan manggut-manggut pada wanita tua
sauda ra seperguruannya itu. Lalu lanjutkan kata-katanya.
Tahukah kau bahwa sebenarnya
aku telah menjadi seorang tan pa daksa, kakang mbok...?" berkata Lodaya
Seta. "Sejak ilmuku dile nyapkan oleh mendiang guru, aku cuma mempunyai
ilmu dasar saja. Aneh! semakin lama tenaga dalamku semakin berkurang. Dan
lenyap sama sekali. Tahulah aku kalau guru telah menggunakan ilmu puku lan
tanpa wujud dari jurus Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!" ujar Lodaya
Seta.
Nini Candra Gumintang
tersentak kaget. "Jadi selama ini kau tak punya ilmu apa-apa, adik
Lodaya...?" bertanya wanita tua ini. Lo daya Seta mengangguk.
"Jadi... jadi apakah yang
menolongku waktu itu adalah Gusti Kanjeng Mahapatih sendiri...?" tersentak
lagi nini Candra Gumintang, seraya menatap pada laki-laki Pembesar Kerajaan
itu.
Mahapatih Cakra Bhuana
manggut-manggut, tanpa mengu capkan sepatah kata. Bahkan tampak dikedua sudut
kelopak mata Pembesar Kerajaan ini tersembul dua titik air bening. Tampak dia
sangat berduka sekali dengan musibah itu. "Adik Lodaya Seta... se baiknya
kau segera kurawat. Aku akan panggil pengawal untuk menggotongmu dengan
tandu..." berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Tidak usah, kakang
Patih...! ucap Lodaya Seta dengan lirih. Akhirnya laki-laki Pembesar Kerajaan
itu cuma bisa diam membisu dengan menundukkan wajah. Sementara Adipati Donggola
segera pe rintahkan para pengawal untuk melacak kesekitar tempat itu. Shidarta
yang tiba-tiba muncul di Kedipatian bersama Windarti, langsung di perintahkan
mengejar tawanan yang meloloskan diri. Tak ayal dan tanpa bertanya lagi, segera
tarik lengan Windarti dan dibawanya ber lari bagaikan terbang, keluar dari
halaman gedung Kedipatian.
Gedung tempat kediaman
Mahapatih Cakra Bhuana tampak di padati oleh rakyat, yang ingin menyaksikan
upacara pembakaran mayat saudara kembar Mahapatih Kerajaan Mataram itu...
RORO CENTIL tampak berdiri
diantara deretan para undangan. Mereka yang nampak hadir dalam upacara itu
rata-rata menundukkan kepala.
Mereka turut bersedih atas
tewasnya adik kembar sang Mahapa tih. Ya, Lodaya Seta tak dapat mempertahankan
lagi hidupnya. Dia tewas dengan tersenyum, setelah mengguar kisah hidupnya
dihada pan wanita tua bernama Candra Gumintang itu. Perempuan yang di kala
mudanya pernah dicintainya. Namun tak sempat terutarakan isi hatinya. Karena
dia keburu diusir dari perguruan.
Pelaku dari kejadian itu
ternyata, masih misterius. Karena Lo daya Seta tak sempat menerangkan siapa
pelaku perbuatan terhadap dirinya yang kemudian merenggut nyawanya itu. Lodaya
Seta yang memilih hidup di kamar tahanan itu telah keburu melepaskan nyawa,
diiringi titik air mata Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun membasahi
pipinya...
Asap semakin tebal membumbung
keangkasa. Api berkobar menebarkan hawa panas. Raga Lodaya Seta musnah menjadi
abu. Akan tetapi jiwanya tetap hidup. Dia memang bukan seorang pahla wan yang
mati dimedan perang. Akan tetapi keinsyafannya dari me nempuh jalan sesat untuk
kembali menjadi manusia yang berguna pa tut dihargai. Sayang cita-citanya untuk
meluaskan usaha pertabiban demi kesejahteraan umat manusia, gagal ditengah
jalan. Karena ulah dari perbuatan Nagasari anak angkatnya. Yang justru menempuh
ja lan sesat. Dan saat itu juga... Nagasari diputuskan menjadi orang BURONAN Kerajaan
Mataram!
Ketika satu demi satu para
tamu undangan telah mengundurkan diri. Juga rakyat yang berjejalan itu sudah
sepi. Karena pembakaran jenazah telah usai. Dua buah kereta kuda memasuki
halaman gedung Kepatihan. Aneh, memang! Kedua kereta kuda itu tak bersais. Bah
kan langsung menerobos pintu gerbang. Tentu saja membuat para prajurit pengawal
penjaga pintu jadi mengejar sambil berteriak-teriak. Adipati Donggala yang
hadir dan belum pulang dalam upacara itu te lah memburunya dengan melompat
keluar. Disusul oleh Shidarta dan Windarti. Juga Mahapatih Cakra Bhuana, serta
nini Candra Gumin tang, serta beberapa orang sisa dari tetamu undangan.
Langsung Adipati Donggala dan
Shidarta beserta prajurit pen gawal memeriksa kedua kereta kuda itu. Yang
berhenti tepat di depan pintu pendopo Kepatihan. Membelalak mata Adipati
Donggala juga Shidarta melihat isi kereta kuda itu. Dua buah kotak di dalam
kedua pedati itu setelah dibuka ternyata satu berisi mayat NAGASARI. Dan satu
lagi berisi ribuan keping mas dan perak, juga bermacam perhia san yang tak
ternilai harganya.
Diatas tumpukan uang dalam
peti emas itu terdapat secarik ker tas bertulisan besar-besar.
"GUSTI KANJENG MAHAPATIH
CAKRA BHUANA...! TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN INI. SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA RAJA
KERAJAAN
MATARAM...! BAHWA SATU PETI
UNTUK DITANAM. DAN... SATU PETI UNTUK PEMBANGUNAN DEMI
KESEJAHTERAAN RAKYAT!"
Pengirim: RORO CENTIL
GELAR SEMENTARA (ULAR BETINA
SELAT MADURA) TELAH DICABUT !
Saat para pengawal gaduh
menurunkan mayat Nagasari dan peti berisi uang dan harta "pajak"
paksaan kiriman dari Roro Centil, justru sang pengirimnya sendiri tengah
melangkah melenggang meninggal kan wilayah Kota Raja. Dialah si Ular Betina
Selat Madura. Yang te lah membuat heboh dan resah para saudagar kaya yang
memper mainkan hamba hukum dari Kerajaan Mataram, tanpa mau mem bayar pajak.
Justru mereka memelihara tukang-tukang pukul, atau pembunuh bayaran demi
keamanan uang dan hartanya.
Kemunculan si Ular Betina
Selat Madura yang mengincar orang-orang berduit. Telah menjadi momok yang
menakutkan diwi layah perairan Selat Madura. Terutama dari usaha-usaha tak
halal. Tak terbilang dari orang yang kelebihan harta, tapi menggaji peker jaan
semuanya saja. Perbuatan yang memeras rakyat itu telah tercium oleh si Ular
Betina, yang banyak dilakukan dikalangan para saudagar. Akibatnya mereka harus
menanggung resiko ditarik "pajak" paksaan oleh si Ular Betina Selat
Madura yang ternyata tak lain dari RORO CENTIL adanya. Yaitu sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan, yang
beradat aneh!
"Nona Pendekar Roro...!
tunggu...!" satu teriakan terdengar. Dan sesosok tubuh berkelebat
mengejar.
"Hm, Shidarta...? ada
apakah kau menahan langkahku?" ber tanya Roro begitu pemuda tampan ini
telah berada dihadapannya.
"Anu... ng..."
"Mau tanya apa?"
"Eh ya, ya...!
itu..." menyahut Shidarta dengan tergagap. "Anu... nona... Pendekar
Roro...! Aku... aku cuma mau mengucapkan terima kasih pada anda, atas
pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"
Roro tersenyum
manggut-manggut. "Hanya itu?"
"Ma... masih ada, nona
Pendekar Roro... tapi yang ini bukan pertanyaan saya..." sahut Shidarta,
seraya menoleh kebelakang. "Ah, kemanakah anak itu?" terdengar suara
Shidarta menggumam.
"Aiiih! siapakah yang kau
maksudkan itu Shidarta? Wah, wah...! kau membawa teman mengapa tak aku
perkenalkan pada ku...?"
"Dia... dia malu, nona
Pendekar..."
"Hmm... mengapa
malu?" "Entahlah, dia enggan berhadapan dengan anda..."
"Oh, ya? He... kau belum
sebutkan siapa si "dia" yang kau mak sudkan itu?"
"Eh, maaf, nona Pendekar.
Dia maksudku adalah...
WINDARTI..."
"Windarti...? apakah yang
mau ditanyakannya?" tanya Roro dengan kerutkan keningnya. Sementara
diam-diam Roro sudah dapat menerka apa maksud pertanyaan Windarti, karena
segera dia teringat ketika "nguping" pembicaraan kasak-kusuk Windarti
dengan Shidar ta. Yang mempertanyakan soal kematian Kuntali. Ternyata Kuntali
yang telah diketahuinya dua kali mati. Ternyata dua kali hidup lagi. Bahkan
sebelum diadakan upacara pembakaran mayat, tak sengaja Windarti melihat
sekelebatan sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapan nya.
Kejadian itu membuat Windarti
tak bisa tidur. Dia memikir ka lau-kalau arwah Kuntali menjadi hantu. Ketika
kasak-kusuk dengan Shidarta, kedua muda-mudi itu pernah merencanakan untuk mem
bongkar kuburan Kuntali...
Benar saja dugaan Roro.
Ternyata Shidarta memang memperta nyakan peristiwa kematian Kuntali yang
misterius.
"Begitulah perihal yang
ditanyakan Windarti, nona Pendekar." "Hm, panggil saja aku dengan
panggilan kakak Roro, Shidarta.” "Ah, eh... ya... ya, kakak Roro...!"
ucap Shidarta agak kaku. "Nah! aku akan berikan penjelasan. Tapi khusus
untukmu. Pen-
jelasan ini cuma pada kau aku
katakan. Asalkan kau mau berjanji takkan menceritakan pada Windarti,
tentunya... berkata Roro. Semua ini adalah demi perbaikan jiwanya! Seperti kau
ketahui, atau mung kin belum kau ketahui. Bahwa Windarti mempunyai
"kelainan" pada jiwanya. Dia menyenangi kaum sejenisnya sendiri. Dan
pada Kuntali itulah dia boleh di katakan telah "jatuh Cinta". Hal ini
amat berba haya. Karena dia telah menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang
salah. Bahkan hal seperti itu tak bisa dibenarkan dikalangan orang orang
dijalan lurus...!" ujar Roro lebih lanjut. Ternyata Shidarta agaknya sudah
mengerti. Dia tampak manggut-manggut mendengar kan dengan serius.
"Aku berjanji, takkan
menceritakan padanya. Asalkan demi ke baikan dia tentunya..." tukas
Shidarta.
"Bagus! Nah dengarkanlah!
Sebenarnya... Kuntali telah tewas mutlak oleh jarum-jarum beracun Nagasari,
ketika dia memperingati Windarti dengan mendorong tubuhnya. Mengapa kukatakan
tewas mutlak? Karena kematian yang pertama ditangan Nagasari seperti yang
kudengar dari pembicaraan Windarti denganmu, adalah kema tian yang aku perbuat
untuk mengelabuhi mata Nagasari dengan il muku. Yang dibunuhnya serta diperkosa
oleh kedua saudara sepergu ruanmu Tapak Doro dan Binangun adalah seekor kambing
yang telah kutotok hingga tak mampu mengembik, sedangkan suara jeritannya
adalah suaraku sendiri!" jelaskan Roro Centil. "Ilmu itu namanya il
mu MALIH RAGA! Sedangkan kemunculan arwah KUNTALI diha dapan Windarti adalah
aku sendiri yang menyaru sebagai mendiang Kuntali. Bukankah aku mempunyai kedok
kulit muka yang serupa dengan dia?"
"Benar! benar...!"
timpal Shidarta yang telah semakin jelas den gan duduk persoalannya. Penjelasan
itu selain membuat Shidarta ter perangah, juga membuat dia kagum luar biasa
pada Roro.
"Ah, sungguh mataku buta.
Tak melihat gunung Mahameru di depan mata. Pantas kakak Roro menjadi sanjungan
orang disetiap tempat. Karena kakak Roro berilmu teramat tinggi...!"
berkata Shi darta dengan menatap kagum.
"Hihihi... jangan suka
memuji berlebihan! Di atas langit masih ada langit lagi!" ujar Roro.
"Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan sudah teramat tinggi, wah,
wah...! bisa-bisa aku dianggap dewa oleh orang! hihihi..."
Shidarta manggut-manggut
sambil tersenyum "Benar, kakak Roro...! Kini akan kemanakah anda? mengapa
begitu tergesa? Aku makin kagum
pada kakak Pendekar Roro.
Kalau boleh... aku... aku..." pemuda ini tak teruskan lagi kata-katanya.
"Sudahlah! tugasmu kini
adalah membimbing Windarti menjadi seorang wanita tulen. Kasihan dia, bukan?
Tampaknya kau jatuh hati pada gadis itu. Aku percaya kau bukan laki-laki
berwatak bejat seper ti Tali Wangsa.
Nah! aku akan segera
berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu, Shidarta. Yaitu... sebelum
kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau dahulukan kepentingan orang lain. Bila
ternyata orang lain itu me mang perlu didahulukan kepentingannya! Nah! kau
paham, bukan?"
Selesai bicara, tiba-tiba
tubuh Roro melenyap sirna. Hilang tan pa krana seolah tubuhnya telah menyatu
dengan angin.
Shidarta jadi terperangah
dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Ketika memandang ke atas. Terlihat
dahan-dahan pohon bergoyangan, seperti baru melintas angin keras. Dan
samar-samar hi dung Shidarta mencium bau harum semerbak.
"Ah...! sungguh seorang
Pendekar Wanita yang hebat. Gumam nya lirih. Segera dia balikkan tubuh untuk
beranjak pergi dari tempat itu. Kembali pulang ke kepatihan. Dikejauhan tampak
sesosok tubuh mendatangi.
Dialah Windarti...! Pemuda
tampan ini tersenyum. Hatinya ber kata "Windarti...! cuma aku yang tahu,
bahwa aku tak boleh mence ritakan rahasia ini padamu. Juga aku tak boleh
mementingkan diriku lebih dulu. Kau amat membutuhkan bimbinganku..."
Ternyata memang hanya Shidarta
yang mengetahui. Bahkan Mahapatih Mataram itupun tak mengetahui. Karena rahasia
ilmu MALIH RAGA telah pula dipergunakan oleh Roro ketika menolong Nini Candra
Gumintang. Yaitu disaat dilemparkan tubuh wanita tua itu oleh Tapak Doro dan
Binangun ke dalam jurang. Roro telah menggantikan tubuh Nini Candra Gumintang
dengan sebatang kayu.
Bagaimanakah nasib Tapak Doro
dan Binangun, diakhir kisah ini? Sepekan kemudian penduduk desa di wilayah
Kadipaten Lamon gan telah menjumpai dua sosok mayat laki-laki. Tak diketahui
siapa pembunuhnya. Tapi yang jelas kedua mayat itu adalah mayat Tapak Doro dan
Binangun.
TAMAT
No comments for "Cerita SIlat Indonesia Serial Roro Centil (Mario Gembala) 28: Ular Betina Selat Madura"
Post a Comment