Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil (Mario Gembala) 26: Sukma Kala Wrenggi
Kumpulan cerita silat / cersil Roro Centil (Mario Gembala) untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Roro Centil (Mario Gembala) episode 26
1
DUA PERISTIWA menggemparkan
yang melanda Partai Perguruan LERENG MERAPI dan Perguruan KELABANG WUNGU segera
tersiar cepat di kalangan persilatan. Bahkan sampai terdengar beritanya ke
wilayah Kota Raja. Kemunculan sukma KALA WRENGGI telah membuat keresahan setiap
penduduk hingga membuat mereka tak dapat hidup tenang. Bayangan ketakutan
tampak terlihat di setiap wajah para petani penduduk desa Gading Rejo, juga
beberapa desa terdekat lainnya. Desa-desa itu berdekatan dengan wilayah
Perguruan Kelabang Wungu yang baru saja mengalami kehancuran.
Puluhan murid-murid perguruan
itu mengalami kematian di tangan sukma Kala Wrenggi yang masuk ke goa garba
Shinduro, murid Ki Bogota dari partai Lereng Merapi.
Dua hari kemudian sejak
diadakan penguburan massal di lereng bukit itu, RANDU WANGI tertunduk layu
menatap gundukan tanah yang baru. Di bawah tanah merah itu terbaring jasad
SHINDURO yang telah dijadikan alat untuk membantai orang-orang Partai Lereng
Merapi dan perguruan Kelabang Wungu.
"Tuhan. Semoga engkau
memberinya tempat yang lapang di alam kubur dan mengampuni segala dosanya.
berkata Randu Wangi dengan suara terisak. Akan tetapi segera cepat bangkit
berdiri seraya menghapus air matanya, ketika didengar suara di belakang.
"Sudahlah, anak manis.
Orang yang sudah mati janganlah dikenang lagi. Kau harus merelakan kepergiannya
dengan hati ikhlas"
"Ya, paman. Aku memang
telah ikhlas dan merelakan kematiannya. Manusia memang takkan luput dari
kematian. Maafkan aku telah terhanyut dalam kesedihan." sahut Randu Wangi
seraya cepat menjura pada orang tua berjubah ungu itu yang berdiri
dibelakangnya sambil meggendong tangan. Kelabang Wungu tersenyum
manggut-manggut. "Kau benar, anak baik. Nah, sebaiknya kau segera kembali
ke pesanggrahan. Tak baik berada di tempat sesunyi ini seorang diri!" ujar
Kelabang Wungu, ketua dari Perguruan Kelabang Wungu itu dengan lemah lembut.
Segera balikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari tempat itu.
"Baiklah, paman"
sahut Randu Wangi seraya beranjak melangkah mengikuti di belakang si Kelabang
Wungu, yang telah melangkah terlebih dulu. Randu Wangi masih sempat untuk
menoleh lagi pada gundukan tanah merah itu. "Selamat tinggal Shinduro,
semoga kau tenang di alam Baka." bisiknya perlahan. Lalu bergegas menyusul
orang tua itu. Pada saat itu satu bayangan tubuh berkelebat dihadapannya.
"Randu Wangi! kau ada
disini?" Tersentak gadis ini, karena segera melihat siapa orang tua
dihadapannya.
"Ayah..!? ya! aku memang
berada disini. Mau apakah kau menyusulku?" berkata Randu Wangi. Gadis ini
masih mendongkol dengan sang ayah. Bahkan kini rasa mendongkol itu telah
berubah jadi kebencian. Karena gara-gara ayahnyalah, hingga Shinduro harus
kehilangan nyawanya. Bahkan jasadnya dipergunakan sukma KALA WRENGGI untuk
menyebar maut. Wajah Ki Bogota menampilkan kemarahan. Lagi lagi dia membentak
dengan suara parau dan kasar.
"Randu Wangi! kau memang
anak yang tak tahu diuntung! Sudahlah! ayo, kau pulanglah ke Lereng Merapi.
Bukankah kau sudah mengetahui siapa Shinduro kini? Lihatlah! bukan orang-orang
Partai Lereng Merapi saja yang telah kehilangan nyawa, akan tetapi orang-orang
Perguruan Kelabang Wungupun menjadi korban Shinduro. Dia adalah masih keturunan
KALA WRENGGI. Kalau kubiarkan kau menikah dengannya akan cemarlah namaku dimata
orang banyak!" berkata Ki Bogota.
"Harap anda maafkan aku,
Ki Bogota! Sungguh aku tak mengetahui kalau sore ini aku akan kedatangan tetamu
agung!" Diiringi kata-kata demikian, Kelabang Wungu sudah berkelebat dan
berdiri tepat dihadapan Ki Bogota.
Laki-laki tua ketua Partai
Lereng Merapi ini menatapnya dengan wajah sinis. "Hm, sudah lama kita tak
pernah berjumpa, sobat Kelabang Wungu. Akan tetapi aku bukan tetamu agung. Aku
kemari bukan mau bertamu ke tempat tinggalmu. Melainkan aku akan membawa pulang
anak ku!"
"O, begitu? aku mana
berani menghalangi niatmu itu, sobat Bogota. Aku baru saja mengalami musibah
besar. Kudengar kau juga baru mengalami bencana ditempat bercokolmu!"
"Tidak salah!"
potong Ki Bogota. "Tapi itu bukan urusanmu" Sejak kau memisahkan diri
dari Partai Lereng Merapi, kukira sudah tak ada lagi hubungan kita. Nah cukup
bukan?" seraya menyahuti demikian, Ki Bogota menoleh pada Randu Wangi.
"Ayo, Randu Wangi! segera
kita pulang!" ujarnya pada gadis itu. Akan tetapi Randu Wangi melangkah
mundur dua tindak.
"Tidak! aku tak akan
kembali lagi ke Lereng Merapi! Sementara aku memang akan menetap disini. Tapi
tidak untuk selamanya. Selanjutnya aku tak perlu memberitahu kemana aku akan
pergi!" sahut Randu Wangi ketus. Mendengar kata-kata demikian dapat dibayangkan
betapa marahnya Ki Bogota.
"Bocah sialan!"
memaki orang tua ini. "Kau mau memutuskan hubungan antara ayah dan anak?
Kau mau putuskan pertalian darah keluarga kita? Katakan sekarang juga! apakah
kau masih mengakui aku ayahmu?" bentak ketua Partai Lereng Merapi ini
dengan mata mendelik gusar.
"Hubungan darah mana bisa
diputuskan? Aku masih mengakui kau ayahku, walau sebenarnya aku amat
membencimu! Aku dendam padamu! karena kau telah membunuh Shinduro. Aku tahu
bukan kau yang telah menurunkan tangan keji membunuhnya. Akan tetapi kau telah
menganiayanya, dan perintahkan anak buahmu membunuhnya! Shinduro bisa hidup
lagi akan tetapi bukan berisi sukmanya lagi melainkan sukma KALA WRENGGI. Ada
hubungan atau tidaknya Shinduro dengan KALA WRENGGI kukira bukan soal. Tapi
yang menjadi persoalan adalah, kau telah memberikan hukuman yang teramat kejam,
tanpa menaruh belas kasihan sedikitpun! Bahkan kau tega menyuruh orang
membunuhnya! Kelakuan seorang ayah yang sedemikian itu telah membuat aku tak
bersimpati padamu lagi! Oleh sebab itu maaf kan, aku terpaksa tak dapat kembali
lagi ke Lereng Merapi untuk selamanya!" ucap Randu Wangi dengan kata-kata
keras dan pasti. Dia telah nekat untuk menghadapi apapun yang bakal terjadi.
Merah padam seketika wajah Ki
Bogota. Giginya berkrotakan menahan geram.
"Bocah sialan!"
makinya. "Kalau begitu kau mampuslah!" Seraya membentak keras Ki
Bogota arahkan telapak tangannya untuk menghantam Randu Wangi dengan
pukulannya. Akan tetapi satu tolakan tenaga dalam segera menghadangnya.
Terdengar suara beradunya telapak tangan.
Plakk!
Ki Bogota terhuyung ke
belakang dua-tiga tindak. Hantaman barusan terasa oleh laki-laki tua ini
bagaikan dihalang oleh sambaran angin yang berhawa dingin. Bahkan tolakan itu
sekaligus telah membuat dia terhuyung. Segera dia tahu siapa yang melakukannya.
"Sabar, sobat tua bangka!
kukira anda telah berbuat amat keliru kalau mau membunuh anak sendiri!"
terdengar suara halus Kelabang Wungu. Walaupun dia dapat menggagalkan serangan
kakek ketua Partai Lereng Merapi itu, namun diam-diam dia terkejut, karena
merasakan telapak tangannya kesemutan. Tahulah Kelabang Wungu kalau bekas
sahabat dari satu Partai itu telah banyak kemajuannya dalam hal tenaga dalam.
Ternyata si Kelabang Wungupun barusan terhuyung dua-tiga tindak.
"Bagus! kau mau
melindungi bocah sialan ini? Hm, kau memang terlalu sombong, Kelabang Wungu!
kau kira aku akan jeri melihat kehebatan ilmu mu? Heh! Boleh juga aku menjajal,
sampai dimana kemajuan ilmu kedigjayaan mu selama ini!"
"Aku hanya melindungi
seorang gadis yang baru berduka cita karena kematian seorang pemuda yang
dicintainya, walau bagaimanapun aku takkan biarkan kau meminta nyawanya!"
berkata Kelabang Wungu dengan suara datar.
"Kelabang Wungu!
cukuplah! jangan putar lidah di depanku! Aku atau kau yang sampai hari ini
masih bisa bernapas! Mari bertarung denganku sampai 1000 jurus!" membentak
Ki Bogota.
"Atau kau memang mau
mengangkangi Pedang Pusakaku yang dicuri anak bengal ini?" berkata Ki
Bogota dengan wajah geram menatap pada Randu Wangi. Lalu beralih pada Kelabang
Wungu dengan mendelik tajam. "Hm, segala Pedang Pusaka aku tak tahu
menahu,
akan tetapi yang jelas aku
akan menerima tantanganmu untuk berduel denganku! Akupun sudah lama ingin
merasai kehebatan ilmu silat Ketua Partai Lereng Merapi yang kabarnya ilmu
silatnya semakin hebat!" ujar Kelabang Wungu dengan tandas.
Ki Bogota tak banyak bicara
lagi. Sepasang lengannya telah terangkat untuk segera lancarkan serangan
dahsyat mengarah ke dada dan satu lagi berputar untuk selanjutnya menghantam
kepala Kelabang Wungu.
Akan tetapi Kelabang Wungu
sudah maklum dengan kehebatan lawan. Dengan membentak keras sepasang tinjunya
digunakan menangkis serangan barusan, dengan menggunakan tenaga dalam yang
telah diperhitungkan.
Terdengar suara BUK! BAK!
BHESS!
Asap putih membumbung ke udara
akibat benturan kedua tenaga dalam mereka. Ki Bogota terhuyung ke belakang
sejauh satu tombak. Dan Kelabang Wungu terlempar keras. Tubuhnya menghantam
batu besar dibelakangnya. Akibat dari beradunya dua pukulan bertenaga dalam
tinggi telah mengakibatkan Kelabang Wungu harus menanggung resiko cukup besar.
Karena Ki Bogota telah mempergunakan jurus terhebat dari Lereng Merapi. Yaitu
jurus Dewa Kawah Merapi. Jurus ini mengandung hawa panas seperti panasnya kawah
gunung Berapi. Beruntunglah bagi Kelabang Wungu yang telah mengandalkan pukulan
berhawa dingin hingga rasa panas yang bersarang ditubuhnya agak berkurang.
Namun tak urung dia sempat kelojotan, sesaat setelah tubuhnya beradu dengan
batu besar dan merasai kesakitan yang membuat dia menyeringai.
"Jurusku ini bisa
menghantar nyawamu keliang kubur, Kelabang Wungu! Kuharap kau tak sesalkan aku.
Karena kau menghalangi niat serta urusan pribadiku antara ayah dan anak!"
berkata Ki Bogota dengan suara parau.
"Heh! siapa takut dengan
segala jurusmu? Walau yang kau pergunakan adalah ilmu setan sekalipun, aku
tiada gentar secuilpun. Hidup matiku sudah ada yang mengatur! Akan tetapi aku
tak bisa tinggal diam untuk membiarkan kau membunuh anak gadismu!"
***
2
Keparat! kalau begitu akan
kuhantarkan nyawa kalian berdua ke Akhirat!" Menggembor marah Ki Bogota.
Dan selanjutnya sudah mencabut senjatanya. Yaitu sebuah keris bersinar hijau.
Kelabang Wungupun cepat mencabut senjatanya dipinggang. Sementara diamdiam dia
tersentak kaget ketika melihat keris bersinar hijau di tangan Ki Bogota. Keris
itu mengeluarkan hawa dingin berbau amis.
"Hahaha, tampaknya kau
terkejut melihat keris ini ditanganku! bukankah begitu, sobat? heh! ketahuilah!
Senjata ini baru saja selesai pembuatannya yang dikerjakan oleh seorang Empu
ternama di Kadipaten Jombang. Justru baru sekali ini aku mempergunakan. Dan
untuk kedua kalinya korban yang akan dihirup darahnya oleh si Kyai Nogo Ijo ini
adalah darahmu!" berkata Ki Bogota dengan tertawa menyeringai.
"Kyai Nogo Ijo?"
desis Kelabang Wungu, tanpa sadar kakinya melangkah mundur satu tindak.
"Aku seperti pernah mendengar nama itu...? tapi dimanakah?" berkata
Kelabang Wungu dalam hati.
Adapun Randu Wangi dengan hati
kebat-kebit menyaksikan kedua orang yang siap mengadu jiwa itu. Melihat keris
di tangan ayahnya, Wajah Randu Wangi seketika pucat pias. "Pastilah itu
keris pusaka. Ternyata selain memiliki Pedang Pusaka, ayah memiliki juga sebuah
Keris Pusaka yang bernama Kyai Nogo Ijo...!" desis Randu Wangi dengan mata
membelalak.
Tanpa terasa gadis ini meraba
hulu pedangnya. Akan tetapi pada saat itu sinar hijau berkelebat ke arahnya
dengan amat cepat sekali. Hawa dingin berbau amis bersyiur di hidungnya. Belum
lagi dia tersadar apa yang akan terjadi dengan dirinya, tahu-tahu kepalanya
terasa pusing luar biasa. Dan dengan mengeluh pendek, gadis ini terhuyung
roboh.
"Apa yang telah kau
lakukan dengan gadis itu, tua bangka? Aku akan adu jiwa denganmu!"
membentak Kelabang Wungu dengan suara menggeledek. Selanjutnya laki-laki tua
ini telah menerjang hebat dengan senjatanya. Kelabang Wungu cuma melihat
gerakan tak terduga Ki Bogota yang kibaskan keris pusaka di tangannya didepan
hidung Randu Wangi. Selanjutnya gadis itu roboh. Dan tampak Ki Bogota berdiri tegak.
Di tangannya telah tercekal pedang milik gadis itu.
Serangan Kelabang Wungu yang
tiba-tiba jadi kalap karena dia mengira si kakek edan itu telah membunuh Randu
Wangi. Kelabang Wungu menerjang dengan kemarahan meluap.
Tambang baja yang menyerupai
kelabang itu meluncur deras ke arah Ki Bogota. Tapi dengan tangkas Ki Bogota
telah menangkis dengan kedua senjata pusakanya. Kilatan-kilatan sinar hijau dan
jingga berkelebatan diiringi benturan-benturan keras yang memercikkan lelatu
api. Terkesiap kelabang Wungu ketika beberapa kali benturan terjadi, senjatanya
terpotong putus hingga beberapa bagian. Dalam kagetnya dia telah melompat
mundur. "Gila!? pedang dan keris pusaka itu benarbenar luar biasa!"
memaki Kelabang Wungu dalam hati. "Dan... bau amis keris pusaka Kyai Nogo
Ijo itu membuat kepalaku jadi pusing." desis Kelabang Wungu dalam
kagetnya. Tiba-tiba dia segera teringat gurunya pernah menyebut nama Kyai Nogo
Ijo. NOGO IJO adalah nama seorang Empu ternama pada beberapa puluh tahun yang
silam. Dia seorang ahli pembuat keris yang ternama di wilayah Tenggara.
Akan tetapi Kelabang Wungu tak
dapat berpikir lebih banyak, karena saat itu juga tubuhnya terhuyung hampir
jatuh. Rasa berat di kepalanya yang diakibatkan dari terendusnya bau amis dari
keris bernama Kyai Nogo Ijo membuat Kelabang Wungu tak dapat mengkonsentrasikan
panca indranya lagi. Hingga ketika sambaran keris dan pedang Ki Bogota yang
dilancarkan dengan secepat kilat, Kelabang Wungu tak mampu mengelakkan diri.
Jeritan parau mengoyak udara.
Disertai robohnya tubuh Kelabang Wungu menggoser di tanah dengan berkelojotan.
Keris Kyai Nogo Ijo bersarang tepat di jantungnya. Dan pedang Pusaka Ki Bogota
menghunjam amblas menembus perut sampai menembus ke punggung.
Dari luka yang berada
ditubuhnya mengalir darah kental berwarna hitam. Dan sungguh amat mengerikan.
Karena sekujur tubuh Kelabang Wungu telah berubah menjadi kehijauan. Ternyata
keris Kyai Nogo Ijo mengandung racun luar biasa ganasnya. Dalam waktu sekejapan
saja Kelabang Wungu sudah tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang. Cepat
sekali Ki Bogota gunakan kesempatan untuk menyambar tubuh Randu Wangi ketika
didengarnya dikejauhan suara orang berteriak.
"Ki Bogota! kemanapun kau
lari jangan harap lolos dari tanganku!" Dan disaat tubuh ki Bogota berkelebat
lenyap. sesosok tubuh kakek bertubuh kurus bagaikan sebatang galah, telah
berada ditempat itu. Suara injakan kakinya hampir-hampir tak menimbulkan suara.
"Sialan! aku kalah cepat.
Kukira dia baru saja angkat kaki dari tempat ini. Dan... keris Kyai Nogo Ijo
telah meminta korban!" menggumam kakek ini dengan wajah menampakkan
kekecewaan. Saat itu seorang laki-laki berusia 40 tahun lebih tampak
berlari-lari menghampiri tempat itu. Begitu melihat kakek kurus bertubuh bagai
galah ini dia segera menjura hormat, seraya berucap.
"Guru! selamat datang di
pesanggrahan Kelabang Wungu..." Akan tetapi tiba-tiba wajah laki-laki ini
berubah pucat bagai kertas ketika melihat sosok tubuh Kelabang Wungu yang telah
tak berkutik lagi terkapar berlumuran darah, tak jauh dari kakek kurus itu
berdiri.
"Kakang Kelabang
Wungu...! Hah!? apakah yang telah terjadi?" teriaknya seraya melompat
menghampiri mayat ketua perguruan Kelabang Wungu itu.
"Siapakah pembunuhnya?
katakanlah, guru! hutang jiwa harus dibayar jiwa. Kami baru saja mengalami
musibah yang amat luar biasa ditempat kami. Kini telah datang lagi musibah
kedua. Kakang Kelabang Wungu tewas dengan amat mengerikan begini! Oh, apakah
ini awal dari kehancuran perguruan kami?" Wajah laki-laki ini menampilkan
kesedihan dan rasa terkejut yang amat luar biasa. Dia memandang dan menatap
tajam-tajam pada kakek kurus jubah putih yang penuh tambalan itu dengan harapan
dia dapat memberikan penjelasan.
Kakek tua ini cuma menghela
napas sambil mengelus jenggotnya yang cuma sejumput. Tampak sebuah balutan pada
salah satu jari tangannya yang putus.
"Gembong Singo! aku baru
saja menjumpai saudara seperguruanmu ini dalam keadaan tewas ditempat ini. Aku
tak bisa memastikan siapa yang telah membunuhnya. Akan tetapi dugaanku adalah
perbuatan Ki BOGOTA!"
Gembong Singo adalah adik
seperguruan kelabang Wungu. Selesai melakukan tugas segera kembali ke
pesanggrahan untuk memberi laporan. Karena tak dijumpai kakak seperguruannya
berada di pesanggrahan dia segera memastikan kalau Kelabang Wungu berada
ditempat pemakaman Shinduro. Jenazah Shinduro yang murid dari Partai Perguruan
Lereng Merapi itu memang dikuburkan secara terpisah di sebelah utara
pesanggrahan.
Ketika itulah dia melihat
seorang kakek berjubah putih bertambalan berjalan cepat seperti mencari jejak
seseorang. Segera dia mengenali kalau kakek itu adalah gurunya.
Ketika dia berhasil menyusul,
dijumpai sang guru tengah berdiri tegak didepan sesosok tubuh yang terkapar di
tanah. Ternyata sosok tubuh Kelabang Wungu, sang kakak seperguruannya yang
telah menjadi mayat.
GEMBONG SINGO duduk di hadapan
kakek tua kurus berjubah penuh tambalan. Dialah yang berjulukan si Dewa
Pengemis Tangan Seribu. Nama sebenarnya adalah REKSO MANDIRI. Kakek kurus ini
dapat ditaksir usianya sekitar delapan puluh tahun.
"Ketahuilah olehmu,
Gembong Singo. Di Jombang ada seorang Empu, ahli membuat senjata. Dia telah
menyimpan keris Kyai Nogo Ijo sejak lebih dari 10 Tahun lamanya Keris titipan
itu memang milik Kyai Nogo Ijo, gurunya sendiri. Ketika mendengar berita
kemunculan Sukma KALA WRENGGI, aku bergegas kesana. Tujuanku adalah untuk
meminjam keris pusaka itu. Akan tetapi ternyata aku terlambat datang. Empu
Santri Bubulen telah tewas dengan keadaan menyedihkan. Menurut berita yang
kuselidiki, ternyata dua hari belakangan telah datang seorang kakek bertubuh
tinggi besar. Kakek itu mengatakan bahwa dia adalah ketua Partai Perguruan
Lereng Merapi. Segera aku tahu kalau dia itu adalah Ki Bogota.
Manusia itu telah membawa
seorang bocah perempuan bernama Randu Wangi sejak masih berusia 10 tahun. Bocah
perempuan itu saat ini telah menjadi dewasa dan dianggap anaknya sendiri oleh
Ki Bogota. Ternyata Ki Bogota telah menjanjikan akan mengembalikan sang cucu
Empu Santri Bubulen itu kelak, bila sang Empu berhasil membuatkan sebuah keris
yang mirip dengan keris Kyai Nogo Ijo.
Empu itu memang telah berdusta
dengan mengatakan bahwa keris milik KyAi Nogo Ijo gurunya telah hilang. Untuk
membuat keris pusaka senilai dengan keris KYAI NOGO IJO ternyata membutuhkan
waktu lama. Yaitu mencapai waktu tujuh atau delapan tahun.
Empu yang tak memiliki Ilmu
kepandaian dalam persilatan itu tak mau memberikan keris pusaka Kyai Nogo Ijo
pada Ki Bogota, dan menyatakan keris pusaka itu telah hilang. Dengan mengatakan
bahwa dalam membuat keris senilai itu membutuhkan waktu lama, dia menduga Ki
Bogota pasti takkan sabar menunggunya. Akan tetapi Ki Bogota telah menyandera
cucu perempuan Empu Santri Bubulen itu, bernama RANDU WANGI..." tutur
kakek kurus berjulukan si Dewa Pengemis Tangan Seribu. Gembong Singo
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Lalu bagaimana
selanjutnya, guru...?" bertanya Gembong Singo.
"Ya, terpaksa Empu itu
bekerja keras siang malam untuk membuat keris Kyai Nogo Ijo yang baru.
Sebenarnya dalam waktu satu tahun dia telah berhasil membuat keris Kyai Nogo
Ijo tiruan. Akan tetapi berdasarkan perjanjian, sang Empu harus bersabar
menunggu sampai Ki Bogota mengantarkan cucu perempuannya ke tempat kediamannya.
Dapat dibayangkan betapa menderitanya Empu Santri Bubulen. Dengan sabar dia
menanti dan menanti! Delapan tahun sudah dia menanti kembalinya cucu
perempuannya dengan sabar, namun penantian yang memakan waktu lama itu telah
membuat sang Empu menanam bibit dendam pada Ki Bogota. Dia telah merendam keris
tiruan Kyai Nogo Ijo dengan racun yang amat dahsyat. Dia telah siap menanti
kedatangan Ki Bogota, dan menyambut kedatangan cucu perempuannya dengan
membunuh Ki Bogota dengan keris pusaka tiruan itu kelak.
Akan tetapi setelah Ki Bogota
muncul, ternyata Empu tua yang malang itu justru tewas di tangan Ki Bogota oleh
keris pusaka tiruan itu sendiri..."
Demikianlah, Rekso Mandiri
alias si Dewa Pengemis Tangan Seribu mengakhiri penuturannya. Dengan melihat
mayat si Kelabang Wungu muridnya itu, si Dewa Pengemis Tangan seribu yakin kalau
yang membunuhnya adalah Ki Bogota sendiri.
Adapun dia telah mendengar
sebelumnya tentang kejadian di pesanggrahan Kelabang Wungu yang telah membawa
banyak korban dari anak-anak buah muridnya itu. Dari Jombang setelah mendengar
penuturan istri Empu Santri Bubulen, segera bergegas menuju ke tempat kediaman
perguruan Kelabang Wungu.
Diperjalanan Ki Rekso Mandiri
melihat sekelebatan bayangan orang berlari cepat. Dia segera mengejar, karena
ingin tahu siapa adanya orang tersebut. Segera dia mengenali orang itu adalah
Ki Bogota, yang justru tengah dicarinya. Kakek tua tokoh Rimba Persilatan
golongan putih itu amat khawatir keris pusaka tiruan Kyai Nogo Ijo itu akan
banyak membawa malapetaka yang telah diketahui berada di tangan Ki Bogota.
Ternyata dia tak mampu berbuat
banyak dengan keris beracun di tangan ketua Partai Lereng Merapi itu. Upayanya
untuk merebut kembali keris tiruan Kyai Nogo Ijo mengalami kegagalan. Ki Rekso
Mandiri sempat bertarung beberapa jurus dengan Ki Bogota. Dalam pertarungan itu
Ki Rekso Mandiri terluka jari tangannya kena goresan keris pusaka tiruan Kyai
Nogo Ijo. Terpaksa kakek tua ini memapas putus sebuah jari tangannya untuk
menghindari menjalarnya racun. Sedangkan Ki Bogota dalam kesempatan itu segera
melenyapkan diri dengan berkelebat cepat.
Rekso Mandiri alias si Dewa
Pengemis Tangan Seribu akhirnya menjumpai si Kelabang Wungu yang telah tewas
dengan kulit tubuh berubah hijau serta dua luka besar di dada dan perutnya.
Gembong Singo tertunduk
menatap lantai. Air matanya jatuh menetes. Sesaat terbayang lagi wajah si
Kelabang Wungu saat kemarin dia masih bisa bercakap-cakap. Tak nyana kalau hari
ini Kelabang Wungu akan menemui ajal di tangan KI Bogota, dan baru saja selesai
penguburan jenazahnya.
Ketika hari menjelang senja,
Ki Rekso Mandiri baru saja berkelebat pergi meninggalkan pesanggrahan Perguruan
Kelabang Wungu yang semakin sunyi. "Akupun tak dapat berdiam lebih lama di
tempat ini!" gumam Gembong Singo. Selang sesaat. Gembong Singopun segera
meninggalkan tempat yang dirasakan semakin sunyi itu.
Perguruan Kelabang Wungu
memang telah punah tak dapat dipungkiri lagi...
***
3
GINANJAR baru saja duduk
melepaskan lelah setelah selama tiga hari melakukan perjalanan. Pemuda yang
berasal dari lereng Gunung ROGO JEMBANGAN ini terkejut mendengar suara teriakan
seorang wanita tak jauh dari tempat dia beristirahat.
"He? apakah yang telah
terjadi?" pikir pemuda berpakaian sederhana ini. Tubuhnya berkelebat ke
balik rumpun bambu di sisi tebing itu. Dari arah rumpun bambu itulah terdengar
suara teriakan wanita tadi. Membelalak mata pemuda ini ketika melihat seekor
harimau belang akan menerkam seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan.
"Harimau keparat!"
membentak Ginanjar. Tubuhnya melesat, dan siap mengirimkan hantaman kepalan
tangan nya ke tengkuk harimau itu. Akan tetapi pada saat itu si raja hutan ini
telah balikkan tubuhnya. Seperti seekor harimau yang telah terlatih, binatang
ini menyurut mundur, Terpaksa Ginanjar batalkan serangannya. Namun di luar
dugaan justru harimau itu melakukan terjangan hebat. Kuku-kukunya yang runcing
siap menerkam dengan mulut yang menganga menampakkan taringnya. Serangan ganas
ini mungkin tak dapat lolos kalau yang diserangnya adalah seorang manusia biasa
yang tak berkepandaian. Ginanjar mengegos ke samping kiri, sementara lengannya
membarengi menghantam kepala harimau itu dengan pukulannya.
BUK!
Terkejut pemuda ini karena
tangannya seperti menghantam kapas yang amat lunak sekali. Dan harimau itu
seperti tak merasakan apa-apa. Dengan menggeram harimau belang ini balikkan
tubuhnya. Mulutnya menyeringai menyeramkan. Tiba-tiba binatang ini kembali
menerjang Ginanjar. Kali ini Ginanjar tak membuang kesempatan lagi untuk segera
membunuh harimau itu. Segera dia siapkan pukulan mengandung tenaga dalam yang telah
di tambahnya beberapa kali lipat.
BUK! BUK! BUK!
Tiga serangan beruntun
dilancarkan pemuda ini. Akibatnya memang cukup lumayan. Harimau itu terlempar
bergulingan. Ginanjar ternyata tak memberinya peluang sedikitpun Untuk binatang
itu kembali menyerang. Beberapa hantaman telak lagi yang dilancarkan pemuda itu
telah membuat sang harimau belang itu meraung. Akan tetapi terkejut Ginanjar,
karena binatang itu lenyap sirna.
"Aneh!? apakah binatang
itu sebangsa siluman?" gumam Ginanjar dengan suara berdesis dan mata
membelalak. Tak sempat lagi pemuda ini memikirkan kemisteriusan harimau
kejadian itu karena sudah terdengar suara dibelakangnya. "Terimakasih atas
pertolongan anda, sobat pendekar..." Ternyata suara gadis itu, yang dengan
tersenyum segera melangkah menghampiri. Ginanjar mengangguk. "Siapakah
nona? mengapa berada ditempat ini seorang diri?" tanya Ginanjar. Sementara
mata pemuda ini memperhatikan wajah serta pakaian gadis dihadapannya. Wanita
muda ini mengenakan pakaian warna hijau yang menyingkapkan sebagian pahanya.
Rambutnya dikepang dua. Wajahnya boleh dikatakan cantik, dengan kulit yang
putih.
Berdebar juga hati Ginanjar
karena sikap gadis ini amat manja, juga agak genit. Langkahnya seperti
dibuat-buat ketika berjalan menghampirinya. Bahkan langsung memegang tangan si
pemuda yang jadi seperti terkesima memandangnya.
"Namaku RINJANI. Aku
tersesat ditempat ini ketika mencari adikku." berkata sang dara cantik
ini. "Beruntung anda telah datang menolong, kalau tidak ada anda mungkin
aku sudah jadi mangsa di perut harimau tadi."
"Mencari adikmu? berapa
usianya adikmu itu? lakilaki atau perempuan?" tanya Ginanjar semakin
terheran.
"Adikku, laki-laki.
Usianya sekitar dua puluh tahun lebih.." sahut wanita ini dengan menatap
pada Ginanjar serta berikan kerlingan mata yang genit.
"Oooh...?" terkejut
pemuda ini, tapi dengan menatap heran.
"Dia seorang
pemuda?" tanya Ginanjar, seraya menepiskan lengan gadis itu dengan
pura-pura menggaruk kepalanya, tapi juga dengan semakin keheranan. Gadis
bernama Rinjani itu mengangguk,
"Benar! apakah anda
merasa aneh?" tanyanya. "Tentu saja. Kau sendiri kukira baru berusia
sekitar
delapan belas tahun. Tapi kau
mengatakan adikmu yang laki-laki sudah berusia dua puluhan tahun!" sahut
Ginanjar. Rinjani tertawa mengikik geli. "Hihihi....
kau katakan usiaku sekitar delapan belas tahun? Ketahuilah sobat pendekar.
Usiaku saat ini sudah hampir empat puluh tahun!" berkata si gadis baju
hijau itu.
"Dan adikku yang hilang
itu bukanlah adik kandungku! Melainkan adik yang bertemu diperjalanan...!"
"Huh! kata-katamu melantur! Baiklah! Ini kau sudah selamat dari bahaya.
Aku akan meneruskan perjalananku." ujar Ginanjar, seraya balikkan tubuh
dan segera melangkah beberapa tindak. Pemuda ini mulai merasa kalau wanita
dihadapannya itu bukanlah wanita biasa. Juga merasakan sesuatu yang aneh dengan
sikap serta ucapan gadis itu.
"Eh, tunggu dulu! Mengapa
anda harus terburuburu? Kau belum sebutkan siapa namamu" berkata Rinjani.
Dan sekali gerakkan tubuh telah berada di sisi Ginanjar. "Hm, apakah
namaku pun kau perlu mengetahuinya?" balik bertanya Ginanjar.
"Ehm, perlu juga!"
sahut si gadis. Kau telah menanyakan namaku, dan aku tak segan-segan
memberitahu. Mengapa kau tampaknya keberatan sekali memberitahukan
namamu?"
"Oh, eh.. ya, ya!
baiklah! namaku Ginanjar!" nah cukup bukan? Maaf, aku tak dapat
berlama-lama berada ditempat ini!" Selesai berkata, Ginanjar segera
berkelebat dari tempat itu. Akan tetapi baru saja kakinya melayang di udara,
pemuda ini merasai sambaran angin dibelakangnya. Ternyata itulah sambaran angin
yang terbit dari gerakan tangan si wanita cantik yang telah menjulur ke arah
punggung.
Gerakan yang mempunyai
pengaruh tenaga dalam itu membuat Ginanjar terkejut. Karena tubuhnya telah
kembali terbetot ke belakang. Belum lagi dia sempat bertindak menghindar,
tahu-tahu gadis baju hijau itu telah gerakkan dua jari tangannya untuk menotok.
Ginanjar cuma mampu mengeluh,
dan seketika merasa kaki tangannya berubah kaku. Saat selanjutnya dia sudah
terkulai dalam pelukan wanita itu.
"Hihihi... kau telah
datang, mengapa mau pergi begitu saja? Sungguh sayang jika pemuda segagahmu
disia-siakan." Berkata demikian, lengan si wanita telah menyambar sehelai
sapu tangan dari balik pakaiannya Dan Ginanjar cuma bisa melotot ketika hidungnya
dibekap dengan sapu tangan yang berbau harum. Akan tetap selanjutnya dia sudah
tak sadarkan diri.
Dengan tertawa mengikik,
wanita genit berbaju hijau itu berkelebat cepat dari tempat itu, dengan
memondong tubuh Ginanjar di pundaknya. Ternyata gadis yang kelihatannya tak
berkepandaian apa-apa itu mempunyai ilmu yang tinggi. Bahkan sekaligus telah
mempecundangi pemuda yang menolongnya.
***
4
Kakek tua renta bergelar
Siluman Setan belang itu terkekeh-kekeh melihat seorang wanita muda berbaju
hijau yang memondong tubuh laki-laki di pundaknya telah berada dihadapannya.
"Heheheh... Rinjani!
apakah kau masih belum puas dengan dua jejaka yang kemarin menginap di kamar
mu?" berkata kakek tua ini. Wanita ini tersenyum lalu menjawab.
"Mungkin yang ini agak memuaskan hatiku, Datuk!" Selesai menjawab.
Rinjani segera melangkah cepat menuju ruangan dalam dengan melalui pintu di
sisi kiri ruangan Keraton kuno itu. Akan tetapi suara si kakek berjubah hitam
ini terdengar lagi.
"Tunggu! Tak kuizinkan
kau memasuki ruangan itu dengan keadaan tubuhmu seperti itu. Apakah kau memang
sengaja mau melanggar tata-susila di tempatku ini?"
Wanita baju hijau itu berandek
menahan langkah, "Oh, maafkan aku datuk! Sekali aku tak berniat me-
langgarnya. Aku terlalu
tergesa hingga lupa kalau aku tak boleh menggunakan ujud manusia memasuki
ruangan Keraton." Wanita itu cepat turunkan pemuda yang dipondongnya ke
lantai. Selanjutnya dia telah merobah ujudnya menjadi seekor harimau belang.
Tak lama harimau itu dengan cepat segera menyeret korbannya memasuki ruangan
itu.
Kakek tua kurus berjubah hitam
ini tersenyum manggut-manggut. Matanya menatap ke pintu ruangan dimana harimau
belang jelmaan dari Rinjani itu lenyap. Bibir kakek tua-renta bergerak
keluarkan suara desisan perlahan dari mulutnya.
"Hm, kuberi kau kepuasan
hingga sampai saatnya aku memerlukan darah mu, Rinjani!" Kakek jubah hitam
ini bangkit berdiri dari tempat duduknya. Lalu melangkah keluar dari ruang
pendopo Keraton. Di pintu pendopo dia memutar pandangannya ke sekitar halaman
Keraton tua. Tampaknya di sekitar halaman Keraton kuno itu tak kelihatan
apa-apa. Tapi sebenarnya puluhan ekor harimau jejadian simpang siur ditempat
itu yang cuma bisa terlihat oleh pandangan mata batin.
"Heh! hari ini adalah
hari ketiga dimana si Roro Centil menjanjikan akan datang kemari untuk memberi
jawaban atas lamaranku! Sampai sore ini tak kelihatan batang hidungnya, apakah
dia tak menepati janji!" gumam kakek yang disebut Datuk ini.
Baru saja si Datuk Siluman
Setan Belang Selesai menggumam, terdengar suara tertawa dikejauhan. Suara
tertawa seorang wanita yang nyaring merdu. Siapa lagi yang datang kalau bukan
RORO CENTIL Dan sesaat manusianya sudah berdiri tegak tak jauh dari halaman
pendopo Keraton kuno.
"Hihihi... hihi... sobat
siluman tua Setan Belang! aku telah datang. Mengapa kau tak memberi sambutan
atas kedatanganku?" Suara Roro yang berkumandang merdu itu membuat para
harimau jejadian jadi terkejut, dan serentak menampakkan diri.
Roro Centil yang memang telah
mengetahui adanya puluhan harimau jejadian ditempat itu dengan pandangan mata
batinnya, tentu saja tak terkejut melihat puluhan harimau yang telah
menampakkan diri.
"Hahahah... selamat
datang nona Roro Centil. Silahkan masuk. Kau benar-benar seorang pendekar
sejati yang menepat janjinya!" Datuk siluman Setan Belang segera menyambut
dengan tertawa terbahakbahak. Tiba-tiba tubuhnya lenyap sirna. Dan sekejap
kemudian dia telah merubah dirinya menjadi seorang pemuda tampan yang berusia
sekitar dua puluh tahun lebih. Lengannya terangkat memberi isyarat agar para
anak buahnya segera menyingkir pergi. Harimauharimau jejadian itu sekejapan
segera lenyap kembali. Bahkan segera menyingkir dari tempat itu menurutkan
perintah sang Datuk.
Roro melangkah santai tanpa
mengkhawatirkan sesuatu yang bisa mencelakakan dirinya oleh jebakan Datuk.
Sesaat mereka sudah duduk berhadapan di ruangan itu. Di atas meja terbuat dari
marmer terdapat sebuah pedupaan yang masih mengepulkan asap berbau harum.
"Tentu kedatangan nona
Pendekar Roro Centil adalah dengan membawa kabar gembira, bukan?" memulai
berkata si "pemuda" samaran Datuk Siluman Setan Belang. Roro
tersenyum.
"Tentu saja! aku memang
membawa khabar gembira, Datuk Muda. Kau membuat aku kagum dengan ketampanan
wajahmu!"
Roro memuji. Akan tetapi mata
batinnya melihat wajah si Datuk yang tetap tua keriput dan jelek.
"Hahaha, sudah kukatakan,
tak nantinya kalau kau takkan terpikat. Dengan menjadi permaisuri ku di keraton
ku, kau dapat meminta apa saja. Bahkan merubah keraton ini menjadi Keraton
Emaspun aku masih sanggup!" ujar sang Datuk. Wajahnya berseri-seri
menandakan suka hatinya.
"Nah berikanlah
jawabanmu, cah ayu..." Ujar Datuk muda Siluman Setan Belang itu dengan
memandang Roro seperti tak berkedip. Bahkan beberapa kali si Datuk menelan air
liurnya. Roro Centil tersenyum, lalu jawabnya dengan suara datar.
"Baiklah! Nah, dengarlah
baik-baik, Datuk muda yang gagah. Aku bersedia menjadi permaisuri mu, akan
tetapi bisakah kau memenuhi syaratnya?"
"Hm, syarat apakah yang
akan kau berikan padaku?" Datuk siluman Setan Belang kerutkan keningnya.
"Kalau syarat itu tidak terlalu berat, aku pasti sanggup
memenuhinya!" ucapnya tandas.
"Baik! Syarat yang ku
ajukan adalah syarat yang tidak terlalu berat. Kukira bagi manusia sakti
seperti kau, tentu akan dapat mengerjakannya dengan mudah. Nah, syarat itu
adalah..." Roro bangkit berdiri.
"Mampukah kau masuk ke
dalam bumbung bambu ini?" ujar Roro seraya keluarkan sebuah bumbung bambu
sebesar lengan bayi dan meletakkannya di atas meja. Bumbung bambu itu panjangnya
cuma sejengkal tangan orang dewasa. Datuk Siluman Setan Belang menatap bumbung
bambu itu dengan heran. "Apakah kau mau menguji kesaktianku?" berkata
si Datuk.
"Boleh saja kau anggap
demikian. Apakah kau tak sanggup?" ujar Roro dengan tersenyum seperti juga
mengejek.
Tentu saja membuat si Datuk
sakti ini tersenyum dan selanjutnya sudah mengumbar tertawanya berkakakan.
"Kalau cuma itu, bagiku
adalah soal yang kecil. Masuk ke lobang semut pun aku masih sanggup!" ucap
Datuk Siluman Setan Belang. Dan selesai berkata, tubuh Datuk Siluman Setan
Belang berubah ujud menjadi segumpal asap putih tipis. Asap itu mengecil, lalu
meluncur masuk ke dalam bumbung bambu yang berada di atas meja itu.
Sesaat setelah asap itu lenyap
di dalam bumbung bambu, tiba-tiba secepat kilat Roro Centil telah gerakkan
tangannya untuk menyumbatnya dengan sumbat yang memang telah disediakan.
"Hihihi... Datuk muda
yang gagah. Silahkan kau mendekam di dalam bumbung Bambu ini. Ternyata kau
seorang yang sakti, tapi tolol!" Roro Centil tertawa mengikik geli.
Selanjutnya dengan cepat dia sudah memasukkan bumbung bambu itu ke dalam saku
bajunya.
Akan tetapi saat itu terdengar
suara tertawa terkekeh-kekeh di belakang Roro.
"Heheheh... heheh... Kau
memang cerdik, Roro Centil! Akan tetapi ketahuilah! aku lebih cerdik lagi. Kau
kena dikelabuhi oleh ilmuku. Yang masuk ke dalam bumbung bambu itu cuma asap
ciptaanku saja, sedangkan aku yang sesungguhnya masih tetap berada di luar
bumbung bambu mu itu. Hahaha... heheheheheh..." Ketika Roro balikkan tubuh
segera terlihat si kakek berjubah hitam alias Datuk Siluman Setan Belang tengah
berdiri tegak menyandar di tiang pendopo sambil mengakak tertawa.
Tentu saja membuat Roro Centil
melengak, tapi juga kagum akan kehebatan ilmu Datuk itu.
Tiba-tiba sang Datuk acungkan
tongkatnya ke arah Roro. Segumpal asap hitam menyambar bergulunggulung. Roro
kibaskan rambutnya menghalau serbuan asap hitam yang timbulkan hawa dingin
mencekam itu. Sementara bibirnya mendesis. "Ilmu sihir hitam apakah yang
akan digunakannya lagi?" Asap yang bergulung-gulung itu buyar. Akan tetapi
tiba-tiba ratusan kelelawar segera memenuhi ruangan itu. Dengan suara
bercicitan, makhluk-makhluk itu menyerbu Roro.
"Edan!? maki Roro Centil
dengan terperangah. Namun tak ayal dia segera gunakan kibasan-kibasan rambutnya
menghantam makhlukmakhluk itu. Sementara lengannya bergerak menghantam dengan
pukulan Malaikat Gurun Pasir merambah iblis. Hebat akibatnya. Karena segera
kelelawar-kelelawar ciptaan itu lenyap.
Akan tetapi asap lain
tiba-tiba muncul mengelilingi Roro. Asap yang muncul ini berwarna biru, yang
berubah bagaikan menjadi ribuan benang-benang sutera. Kali ini Roro Tak boleh
main-main untuk menghadapi lawannya yang mempunyai ilmu sihir hitam luar biasa.
Lagi-lagi pandangan mata Roro tertipu, karena menampak bayangan-bayangan tubuh
si Datuk Siluman Setan Belang seperti menjadi berpuluh-puluh. Roro tampaknya
agak terpengaruh dengan pandangan mata batinnya. Justru karena si Datuk itu
mengelabuhi pandangan mata batin Roro.
Pandangan mata Roro jadi
berkunang-kurang, karena dimana dia melihat pasti ada bayangan tubuh si Datuk.
Bahkan disekeliling Roro terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh sang Datuk
sakti itu.
***
5
Sementara pertarungan Roro
Centil dengan si Datuk Siluman Setan Belang tengah berlangsung seru, kita
beralih dulu pada pemuda bernama Ginanjar, yang telah menjadi tawanan Rinjani.
Harimau belang penjelmaan dari
Rinjani itu terus menyeret tubuh pemuda lereng gunung rogojembangan memasuki
sebuah kamar yang memang khusus kamar pribadinya. Dalam keadaan setengah sadar
Ginanjar merasakan pakaiannya melorot satu persatu dari tubuhnya. "Oh,
dimanakah aku ini?" berkata hati Ginanjar. Dia merasa tubuhnya bertaring
di atas kasur yang empuk. Diam-diam dia mengintip perlahan dengan membuka
kelopak matanya sedikit. Segera dia tahu kalau dirinya berada disatu ruangan
kamar yang bersih. "Kamar siapakah?" pikirnya dalam benak. Terkejut
dia mengetahui kalau tubuhnya tak mengenakan pakaian lagi. "Celaka, aku
mau diperkosa..." tersentak pemuda itu, seraya gerakkan tubuh untuk
melompat bangun. Akan tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat digerakkan Sadarlah
dia kalau dia dalam keadaan tertotok.
"Kemana perginya
perempuan sialan itu?" berdesis Ginanjar, seraya bentangkan kelopak
matanya lebih lebar. Ternyata memang Rinjani yang menjelma menjadi seekor
harimau belang itu tak berada di ruangan kamar itu. Kemanakah gerangan perginya
Rinjani? Ternyata setelah membuka pakaian pemuda itu dan segera akan
melampiaskan keinginannya, dia mendengar suara orang bertempur di ruangan
depan. Dengan kesal dia tinggalkan kamarnya untuk segera melihat apakah
gerangan yang telah terjadi...
Demikianlah, hingga ketika
tengah terjadi pertarungan Roro Centil dengan sang Datuk, diam-diam Rinjani
telah menyaksikan jalannya pertarungan. Melihat sang Datuk berada di atas angin
dalam pertarungan itu, Rinjani tersenyum. "Hm, agaknya tak berapa lama
lagi tentu Datuk akan menyudahi pertarungan. Entah siapa perempuan yang telah
nekat menyatroni Keraton kuno ini" Rinjani seperti telah menduga akan
kemenangan sang Datuk dalam pertarungan itu. Segera dia beringsut untuk segera
kembali ke kamarnya.
GINANJAR cepat-cepat katupkan
kelopak matanya ketika didengarnya derit pintu, seekor harimau memasuki ruangan
kamar itu.
"Hah...! harimau" tersentak
Ginanjar ketika baru mengatupkan matanya. "Kemana gerangan gadis sialan
itu? Apakah aku disekap di kamar ini untuk dijadikan santapan harimau?"
pikir Ginanjar. Karena dia menyangka yang masuk adalah Rinjani. Ginanjar memang
tak mengetahui kalau Rinjani telah merobah ujud menjadi seekor harimau.
"Celaka aku! kalau begitu
harimau yang mau menerkamnya di hutan tadi adalah kawannya sendiri. Dia cuma
berpura-pura saja. Haiih Ginanjar! kau telah kena tipu mentah-mentah! Oh,
nasib...! Entah bagaimana selanjutnya nasibku...?" berkata Ginanjar dalam
hati dan menyesali kebodohannya. Akan tetapi diamdiam pemuda ini kerahkan
kekuatan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri dari pengaruh totokan. Yaitu
dengan menyalurkan hawa murni ke sekujur persendian tubuhnya.
Sementara sang harimau belang
itu telah mendekati ke tempat pembaringan dimana Ginanjar terlentang tanpa
busana.
Sang harimau menatap Ginanjar
dengan mata jalang dan menyeringai. Hidungnya mengendus-endus tak ubahnya bagai
harimau betulan. Terdengar suara menggeramnya perlahan. Ginanjar yang cuma bisa
pasrah menanti apa yang akan terjadi itu cuma bisa mengintip dari celah pelupuk
matanya. Apakah yang dilihatnya sungguh membuat matanya mau dipentang
lebar-lebar. Sementara keringat dingin telah mengembun di sekujur tubuh,
jantungnya berdetak semakin cepat. Ternyata harimau telah melepaskan kulitnya.
Kulit berbulu belang-belang itu seperti lenyap, dan sebagai gantinya didepan
Ginanjar telah berdiri tegak seorang wanita yang tak lain dari Rinjani. Wanita
ini dalam keadaan telanjang bulat. Kulit tubuhnya yang putih. Payudara yang
membuntal padi serta tatapan matanya yang mengandung berahi memandang Ginanjar
bagaikan mau menelannya bulat-bulat.
Pemuda ini seperti melihat
didalam mimpi saja. Hatinya tersentak kaget. "Jadi... jadi harimau itu
adalah dia. terperangah pemuda ini. Akan tetapi sebelum Rinjani sempat
melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terdengar bentakan keras. Rinjani menjerit.
Tubuhnya tiba-tiba terlempar
dari atas pembaringan. Ternyata sesosok bayangan telah berkelebat masuk ke
ruangan kamar itu dan dengan gerakan cepat sekali telah menyambar rambut
Rinjani. Sekali sentak terlemparlah wanita cabul itu dari atas pembaringan.
Ginanjar cuma bisa
membelalakkan matanya, ketika tahu-tahu siuran angin halus membuat dia terkejut
juga bergirang karena segera merasakan pengaruh totokan ditubuhnya telah sirna.
Tak ayal dia telah melompat bangun. Pertama-tama yang disambarnya adalah
pakaiannya. Tentu saja tergesa-gesa Ginanjar mengenakannya kembali. Sementara Rinjani
terkejut bukan buatan karena ketika akan melompat bangun mendadak dia merasakan
tubuhnya menjadi kaku. Ternyata dia dalam keadaan tertotok.
Ginanjar tak sempat lagi
melihat siapa yang telah menolongnya. Dia cuma menatap sekilas pada wanita
cabul itu yang menggeletak terlentang dilantai kamar. Lalu tubuhnya telah
berkelebat keluar dari ruangan kamar. "He? kemana gerangan dia? Cepat
sekali gerakannya. Aku tak sempat lagi melihat jelas apakah si penolongku itu
laki-laki atau perempuan?" bertanyatanya hati Ginanjar. Akan tetapi begitu
dia tiba di luar pintu kamar, terdengar suara dari balik tiang bangunan.
"Kak NANJAR..! Kuharap
kau sudah rapi berpakaian. Sudah bolehkah kita bertatapan muka?" Ginanjar
menoleh. Sesosok tubuh berdiri membelakangi, menyender ditiang bangunan. Sosok
tubuh berbaju serba putih dengan pakaian persilatan. Walau rambutnya dipotong
pendek, tapi dari bentuk tubuh dan suaranya jelas seorang wanita.
"Ya... yyaa... aku sudah
berpakaian". sahut Ginanjar tergagap. Diam-diam hatinya tersentak karena
seperti mengenali suaranya. Sebutan "Kak NANJAR" itu amat hapal
ditelinganya.
Wanita pendekar yang
membelakanginya itu jelas yang telah memberikan pertolongan barusan. Ketika
wanita itu balikkan tubuh, segera mata Ginanjar terpentang lebar. Seongok
senyum tampak dibibir dara baju putih berambut pendek itu. "KASMINI...?
ka... kau...?"
"Benar kak Nanjar, aku
Kasmini, gadis yang pernah kau tolong dari begundalbegundal pasar. Cucu dari
orang kakek tua renta tanpa daksa yang mati di tangan begundal pasar. Kemudian
aku kau bawa ke rumah paman angkatmu bernama RONGGO ALIT di Kota Raja."
berkata gadis baju putih itu dengan tersenyum.
"Ah, Kasmini..! Kau
selalu mengingat-ingat masa yang telah lalu itu" ujar Ginanjar dengan
garuk-garuk kepala. "Bukan hal itu yang aku tanyakan. Sekali melihatmu,
aku sudah langsung ingat. Suaramu saja aku sudah mengenal tanpa harus melihatmu
lagi. Tapi yang ku anehkan adalah sejak kapan kau belajar ilmu silat? Dan...
dan mengapa kau bisa berada ditempat ini? Bagaimana dengan paman Ronggo
Alit?"
Ginanjar langsung berikan
beberapa pertanyaan.
Sementara matanya menatap tak
berkedip.
Terasa aneh sekali, karena
Ginanjar tahu kalau Kasmini adalah gadis yang tak berkepandaian ilmu silat
sedikitpun.
Kasmini memang pernah ditolongnya
dari para begundal pasar pada beberapa tahun yang silam. Dia berhasil
memulangkan Kasmini pada kakeknya yang telah tua dan dalam keadaan sakit.
Seorang kakek tua renta berkaki buntung yang tinggal direruntuhan gedung tua
disudut pasar.
Akan tetapi Ginanjar harus
berhadapan dengan EMPAT IBLIS PROGO. Dalam pertarungan itu Ginanjar telah
dibantu oleh RORO CENTIL yang berhasil menewaskan keempat penjahat
berkepandaian tinggi itu.
Baca: Empat Iblis Kali Progo.
(Kisah pertama dari serial Roro Centil). Sebagai diceritakan, Kasmini dibawa
oleh Ginanjar ke rumah tempat tinggalnya sementara sejak dia turun gunung dari
lereng Rogojembangan. Kasmini menetap digedung Ronggo Alit, sahabat gurunya
yaitu si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. Sejak beberapa tahun yang lalu,
Ginanjar meninggalkan tempat kediaman paman angkatnya, dan berpetualang mencari
Roro. Sungguh tak dinyana, kalau ditempat itu dia bisa berjumpa Kasmini. Gadis
yang dipekerjakan oleh paman angkatnya sebagai pelayan di toko obat-obatan itu
kini telah berilmu tinggi. Siapa yang telah memberikan ilmu kedigjayaan pada
gadis ini? Apakah Ki Ronggo Alit? Ginanjar jadi terlongong memandang Kasmini
yang telah pula membebaskan dia dari pengaruh totokan, menolongnya dari
perbuatan bejat Rinjani si manusia harimau.
***
6
Ditanya siapa yang telah
mengajarinya ilmu kedigjayaan, Kasmini lagi-lagi tersenyum. "Hm, nantilah
aku ceritakan. Marilah kita tinggalkan tempat ini!" Seraya berkata Kasmini
mendahului berkelebat. Ginanjar tak dapat buang waktu lagi untuk segera
mengikutinya. Menyusuri jalan di sisi tembok Keraton kuno itu, mereka tiba di
belakang bangunan tua itu.
"Nah! tempat ini kurasa
cukup aman!" berkata Kasmini. Tubuhnya melesat ke atas sebuah batu besar,
tepat berada dibawah sebatang pohon rindang. Mereka telah berlari-lari cepat
selama sepenanak nasi, dan telah cukup jauh dari tempat pemukiman si Datuk
Setan Belang. Ginanjar enjot tubuh untuk menyusul. Dengan gerak ringan kakinya
menginjak batu.
"Rasanya aku sudah tak
sabar mendengar ceritamu dik Kasmini. kau kini telah banyak berubah. Di samping
berilmu tinggi, juga tambah cantik". Berkata Ginanjar sekaligus memuji.
Dipuji cantik demikian Kasmini jadi tersipu. Wajahnya memerah. Siapa yang tak
bahagia mendapat pujian dari orang yang selama ini telah merebut hatinya. Dan
yang selama ini tengah dicarinya? Akan tetapi senyumnya yang tersipu itu
mendadak jadi berubah tatkala tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh
parau menyibak kelenganan di hutan itu.
"Heheheh... heheh...
alangkah bahagianya kalian anak-anak muda. Main kejar-kejaran dan bercinta
didalam hutan yang sunyi sungguh membuat aku jadi mengiri, yang bukannya
mengiri lagi, akan tetapi rasanya aku ingin menjadi salah satu dari kalian.
Heheheh... heheheh... hehe...
Terperangah keduanya mendengar
suara tanpa wujud itu. Ginanjar dan Kasmini saling pandang dengan keheranan
karena melihat kesana-kemari tak melihat manusianya. Sementara Ginanjar merasa
bulu tengkuknya mulai berdiri meremang. Kasmini memandang Ginanjar dengan
perasaan khawatir. Hawa dingin terasa mulai mengembara ke sekitar tempat itu.
Kekhawatiran gadis semakin memuncak ketika melihat Ginanjar menatapkan matanya
ke arah dengan seperti terkesima. Apakah yang telah dilihatnya? pikir Kasmini,
karena dia sendiri tak melihat apa-apa. Kasmini yang mengkhawatirkan terjadi
apa apa dengan pemuda yang dicintainya itu dengan gerakan secepat kilat telah
menyambar lengannya. Seraya mengguncangguncangkan beberapa kali.
"Kak Nanjar! kak Nanjar!?
ayo cepat kita pergi dari sini!" teriaknya dengan suara agak gemetar. Akan
tetapi menatap pada wajah Ginanjar, gadis ini jadi terkejut heran. Karena
justru Ginanjar tengah tertawa menyeringai menatap padanya. Sinar matanya
terasa aneh. Sinar mata pemuda itu seperti telah berubah jalang. Begitu seram dan
menakutkan, hingga membuat Kasmini jadi bergidik dan menyurut mundur, seraya
lepaskan pegangan pada tangan pemuda itu.
"Kak Nanjar..!" ke..
kenapakah ka.. kau.. ?" "Heheheheheh.. aku tidak kenapa-kenapa.
Mengapa
kau takut padaku, manis?"
berkata Ginanjar. Akan tetapi suaranya telah berubah serak parau. Bahkan suara
tertawanya mirip tertawa seorang kakek yang terkekeh-kekeh.
Tersentak gadis ini ketika
dengan sebat sekali lengan pemuda itu telah menyambar untuk merangkul pinggang.
Dalam terkejutnya Kasmini gerakkan tubuh dengan reflek untuk menghindar. Tapi
sungguh di luar dugaan, karena tahu-tahu pinggangnya telah kena disambar.
BRREEET! WEEEK! Terdengar
suara kain yang sobek ketika sinar pelangi membersit dari arah sisi hutan, dan
bagaikan selendang sutra tipis telah membelit tubuh Kasmini. Selanjutnya
menariknya, hingga tubuh gadis itu meluncur terbetot dan terlepas dari
rangkulan lengan Ginanjar.
Kasmini rasakan tubuhnya
meluncur cepat sekali akan tetapi segera tertahan berhenti seperti menabrak segumpal
kapas lembut. Ketika kakinya menjejak tanah dihadapannya telah berdiri seorang
gadis cantik berbaju hijau. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil adanya.
Ginanjar belalakkan mata
menatap sobekan baju Kasmini di tangannya. Sementara Kasmini melihat pada
bajunya yang koyak dari sebatas pinggang hingga kedada. Lalu membelalak menatap
pada Ginanjar dan Roro Centil hinggap di atas batu besar dibekas tempat berdiri
Ginanjar. Ternyata seorang kakek berjubah putih yang berkaki buntung sebatas
lutut. Dialah si Pendekar Gentayangan alias Ki Jagur Wedha. Atau lebih jelasnya
lagi adalah guru dari Joko Sangit.
Sedangkan para pendatang
lainnya yang bermunculan, tak lain dari para tokoh persilatan golongan putih.
Diantaranya terdapat Ki Panunjang Jagat, Gembul Sora dan Ki Kutut Praja Setha,
serta beberapa tokoh lain. Roro Centil memandang sekelilingnya. Sungguh dia tak
menyangka kalau dalam waktu sekejapan saja ditempat itu telah bermunculan para
tokoh Rimba Hijau
golongan putih, yang beberapa
orang dikenalnya.
Roro yang memang telah
mengetahui siapa yang berada dalam tubuh Ginanjar, segera melompat tinggi
dengan menyambar tubuh Kasmini. Sesaat dia telah berada dalam kelompok para
pengepung itu.
"Sobat-sobat kaum tua
Rimba Hijau golongan putih, sungguh aku Roro Centil merasa bergirang hati
kalian telah berkumpul disini untuk mencegah perbuatan jahat sukma KALA
WRENGGI! Akan tetapi kuharap anda semua tidak turun tangan. Serahkan urusan ini
padaku. Karena dengan tindakan yang ceroboh, bisa-bisa korban berada dipihak kita"
berkata Roro dengan suara berbisik. Satu persatu para tokoh kaum tua golongan
putih itu menoleh pada Roro. Ternyata Roro telah lakukan keahliannya mengirim
suara yang masingmasing dari para tokoh tua itu berganti-ganti. Tahulah dia
kalau gadis baju hijau ini telah menyelamatkannya dari tangan Ginanjar yang
tiba-tiba berubah aneh. Ya! memang dia merasakan keanehan dari sikap Ginanjar.
Suaranyapun telah berubah parau dan menyeramkan, mirip dengan suara tanpa wujud
yang didengarnya tadi. "Heheheheh... Kasmini! mengapa kau ketakutan
melihatku? Bukankah aku kak Nanjarmu? Dan kau, gadis baju hijau mengapa merebut
kekasihku dari tanganku? Mengapa ikut campur urusan orang yang sedang
bercintaan?" Berkata demikian Ginanjar telah melompat dengan gerakan seperti
terbang, dan sekejap. telah berdiri tegak dihadapan kedua dara cantik ini.
"Hm, siapa kau
nona?" tanya Ginanjar pada Roro Sinar matanya membersit tajam menatap
pendekar wanita itu.
"Heh! KALA WRENGGI!
tinggalkan tubuh pemuda itu! Jangan kau mengacau ditempat ini!" Tiba-tiba
terdengar bentakan keras. Dan beberapa sosok tubuh berkelebatan mengurung
pemuda bernama Ginanjar itu.
"Benar! hentikanlah
kekacauan yang kau lakukan. Kau telah terkepung!" terdengar lagi suara
teriakan keras dari sosok tubuh terakhir yang muncul dengan kelebatkan
tubuhnya. Dengan ringan sekali sosok tubuh itu telah mendengar bisikannya.
Itulah ilmu mengirim suara yang amat luar biasa. Karena Roro telah
mendemonstrasikan pengiriman suara yang dapat diterima oleh si pendengarnya lebih
dari satu orang.
Pengiriman suara jarak jauh
ini telah dibantu dengan saluran tenaga batin yang amat luar biasa, dan boleh
dibilang amat langka. Hingga masing-masing yang mendengar segera menoleh pada
Roro, lalu manggut-manggut. Ki Panunjang Jagat melompat mendekati si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha, lalu berbisik. "Apakah anda mendengar bisikan
gadis pendekar itu?"
"Ya! Dalam waktu
bersamaan kita telah mendengar bisikan jarak jauh gadis pendekar Roro Centil
yang cuma diucapkan satu kali. Bocah yang luar biasa!" bisik Ki Panunjang
Jagat dengan kagum. Karena ketika berpandangan pada para tokoh lainnya, mereka
semua sama menganggukkan kepala.
Saat itu Roro telah berkelebat
lagi melompat ke hadapan Ginanjar.
"Hm, Kala Wrenggi! apa
sih sebenarnya keinginanmu memasuki tubuh pemuda ini? Kau pura-pura tak
mengenalku. Hihihi... apakah kau kira aku tak mengetahui kalau kau adalah si
Kala Wrenggi?" berkata Roro dengan bertolak pinggang. Melihat sikap Roro
yang jumawa itu, Kala Wrenggi tertawa terkekeh-kekeh. "Heheheh... Siapa
yang tak mengenalmu, Roro Centil? Bocah centil macam kau yang berilmu tinggi
memang baru kujumpai sejak aku bangkit lagi dari kematian. Aku telah merasai
kehebatan ilmu pukulan mu yang terasa panas. Akan tetapi kau keliru kalau kau
menganggapku aku telah kalah! Aku memang merencanakan untuk mempersatukan
tokoh-tokoh persilatan untuk menjadi budak-budakku.
"Kulihat kini telah
berkumpul tokoh-tokoh tua kaum golongan putih.
Hahahahaheheheh... bukankah
amat kebetulan sekali?" ujar sukma Kala Wrenggi yang berada ditubuh
Ginanjar. Pemuda yang kemasukan roh Kala Wrenggi itu tertawa menyeringai. Lalu
putar pandangan menatap pada jago-jago tua yang mengelilinginya. Roro tercenung
sesaat. Diam-diam Roro berfikir untuk mengakali sukma Kala Wrenggi.
"Rencana yang
bagus!" berkata Roro dengan suara berdesis yang dibisikkan ke
"telinga" sukma Kala Wrenggi. "Apakah kau tak merencanakan untuk
bekerja sama, sobat Kala Wrenggi? Rencana itu bagus sekali. Dari pada membunuh
mereka, lebih baik memperalatnya. Ketahuilah, aku sebenarnya amat mencintai
pemuda yang kau masuki tubuhnya itu. Akan tetapi ternyata dia malah mencintai
gadis bernama Kasmini itu. Walau sebenarnya kau yang berada didalam tubuh
pemuda ini tapi aku tak penasaran. Pemuda yang kau masuki tubuhnya itu bernama
Ginanjar. Aku akan melupakan permusuhan kita asalkan kau mau bekerja sama. Yang
penting Ginanjar tetap bersamaku walau dalam tubuhnya hakekatnya adalah kau si
Kala Wrenggi..." Bisikan Roro yang hanya ditujukan pada sukma Kala Wrenggi
tak seorangpun diantara jago-jago tua golongan putih itu yang mendengarnya.
Sejenak "Ginanjar"
Tampak termanggu. Akan tetapi tiba-tiba perdengarkan suara tertawa
bergelakterkekeh-kekeh hingga tanah serasa bergetar karenanya.
"Bagus! aku setuju dengan
pendapatmu, nona centil. Agaknya kita sudah dijodohkan untuk bertemu dan
bersahabat." bisik sukma Kala Wrenggi. "Bagaimana rencanamu
selanjutnya?"
"Hihihi.. tentu saja
segera kita tinggalkan tempat ini. Aku ingin sekali mengetahui tempat jasadmu
di pulau yang baru lahir itu di wilayah Tenggara. Apakah tak sebaiknya kita
kesana?" ujar Roro dengan bisikan ajaibnya. Sejenak sukma Kala Wrenggi tak
menyahut seperti tengah berpikir.
Tapi tak lama kemudian
terdengar lagi suaranya tertawa terkekeh. menyibak keheningan yang mencekam.
Sementara para tokoh tua kaum putih itu cuma saling berpandangan satu sama
lain. Tak mengerti mengapa Roro sebentar-sebentar tertawa dan tersenyum,
demikian pula Ginanjar yang dimasuki sukma Kala Wrenggi itu. Memang beberapa
hari kemudian sejak terjadinya peristiwa yang menimpa dua perguruan besar di
wilayah itu, para tokoh tua kaum golongan putih yang telah bersatu ini telah
mencium jejak cahaya merah yang segera diketahui adalah sukma Kala Wrenggi.
Entah apa yang dibisikkan
sukma kala Wrenggi pada Roro para tokoh kaum golongan putih itu tak mengetahui.
Selesai tertawa terkekehkekeh "Ginanjar" berkata keras dengan suara
parau.
"Heh! kalian orang-orang
tua jompo harap bersabarlah untuk segera menjadi budak-budakku!" kemudian
kembali tertawa sekali lagi. Dan selanjutnya sekali gerakkan tubuh,
"Ginanjar" melesat ke udara. Gerakan kilat itu membuat para jago tua
itu terperangah, termasuk Kasmini. Mereka cuma melihat berkelebatnya bayangan
putih yang membersih ke udara. Selanjutnya tubuh Ginanjar telah lenyap bagaikan
terhembus angin.
"Jangan biarkan dia
kabur! Kejaaar!" teriak Ki Jagur Wedha. Tubuhnya sudah melompat tinggi
untuk mengejar. Akan tetapi satu bayangan hijau segera menyusul. Tak lama dua
bayangan putih dan hijau kembali meluncur turun. Ternyata Roro yang
mencegahnya. Dara perkasa Pantai Selatan ini berkata.
"Maafkan aku kakek.
Kukira dalam waktu sementara ini sukma Kala Wrenggi tak akan mengganggu. Aku
akan segera menyusulnya ke Tenggara." Pendekar tua kaki buntung ini yang
pernah ditolong Roro dalam kisah: "Misteri Sepasang Pedang Siluman",
cuma bisa terpaku memandang Roro.
"Jadi kau si bocah centil
diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan sukma si Kala Wrenggi edan
itu?" bertanya Ki Jagur Wedha.
"Benar, kakek..."
sahut Roro dengan tersenyum. Semua jadi membelalak memandang pada Roro Centil.
Akan tetapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan menggeledek.
"Bocah sialan! jangan
harap kau dapat lolos dari tanganku!"
WHUUUK!
Tanah menyemburat tepat
dibawah kaki kedua tokoh persilatan yang usianya berbeda jauh itu. Akan tetapi
kedua tokoh kita dari pihak golongan putih ini telah melesat lebih dulu dari
tempat itu.
Sesaat tampak dengan
bergandengan tangan, Roro dan Ki Jagur Wedha baru saja "hinggap" di
atas batu besar. Tepat di sisi Ki Panunjang Jagat. Si kakek bertubuh jangkung
ini menghela napas lega.
***
7
Semua mata segera menatap pada
sosok tubuh yang telah berdiri tegak di hadapan mereka. Kiranya yang barusan
menyerang adalah si Datuk alias si Siluman Setan Belang. Bagaimana hingga
sampai si kakek Datuk dari para harimau jejadian itu bisa sampai ke tempat ini?
Juga Roro? Marilah kita ikuti kisah di belakang.
Saat pertarungan tengah
berlangsung seru di dalam ruangan Keraton Kuno tempat bercokolnya si Datuk
Siluman Setan Belang, seperti diceritakan Ginanjar nyaris "diperkosa"
oleh Rinjani si manusia harimau jejadian.
Akan tetapi muncul Kasmini
yang menolong Ginanjar. Sementara itu pertarungan Roro dengan sang Datuk
semakin seru. Roro tampaknya terdesak oleh ilmu-ilmu si Datuk yang dapat
merubah tubuhnya menjadi banyak. Sedangkan upaya Roro mengakali si Datuk untuk
memasuki bumbung bambu ternyata menemui kegagalan. Karena si Datuk Siluman
Setan Belang ternyata masih berada di luar bumbung. Yang menjelma menjadi asap
putih tipis dan memasuki bumbung bambu itu cuma ilmu sihirannya belaka. Roro
terjerat dalam benangbenang sutera ciptaan sang Datuk.....
Tampaknya sebentar lagi dapat
dipastikan oleh si Datuk bahwa Roro akan berhasil jadi tawanannya. Saat Roro
tengah sibuk menghalau benang-benang sutera ciptaan itu, si kakek berhidung
melesak ini berkelebat seraya menaburkan serbuk halus berwarna putih yang
berbau harum. Serbuk ini menghalangi pandangan mata Roro. Tampak tubuh dara
perkasa Pantai Selatan ini terhuyung. Belum lagi tubuhnya roboh karena
hidungnya telah mengendus bau harum yang dapat membuat orang tak sadarkan diri,
lengan sang Datuk telah bergerak menyambarnya.|
"Hehehehehe... hahaha.
cah ayu, ternyata tak begi-
tu sukar menawan mu"
berkata Datuk Siluman Setan Belang dengan tertawa terkekeh.
Dipanggulnya tubuh Roro yang
tak berkutik untuk dibawa masuk ke ruangan kamarnya. Tubuhnya yang tampaknya
telah lemah lunglai tanpa tenaga itu dibaringkan di peraduan. Kembali dia
tertawa mengekeh. Sementara sepasang matanya menjalari lekuk-liku tubuh
korbannya. Sepasang matanya membinar-binar menimbulkan hawa birahi. Beberapa
kali lengannya menyibak, maka tubuh sang dara perkasa yang cantik jelita itu
telah dalam keadaan tanpa busana.
Dengus napaspun mulai terdengar
mengembara di sekitar ruangan kamar sang Datuk. Sekejap dia sudah lorotkan
jubahnya. Gemetar lengan tua itu ketika menjamah kulit pipi sang korban yang
bagaikan seorang dewi tengah tertidur pulas. "Ohh... cantiknya kau cah
ayu..." menggeletar suara sang Datuk. Perlahan-lahan direbahkan tubuhnya
menindih tubuh Roro....
Akan tetapi tiba-tiba kakek
tua ini berteriak tertahan. Seketika tubuhnya terlompat dari pembaringannya
bagaikan dipagut ular. Sepasang matanya membelalak menatap sosok tubuh yang
tergolek di pembaringan itu. Datuk tua ini mengucak-ngucak matanya seperti tak
percaya, karena apa yang dilihatnya adalah...
sebongkah batu terbujur di
peraduannya.
"Gila! Setan alas!
Dedemit...! Mengapa bisa begini????" Memaki-maki sang Datuk Siluman Setan
Belang dengan wajah merah padam.
"Aku telah tertipu
mentah-mentah!" mendesis si kakek dengan kesal. Segera disambar jubahnya.
Dan sekali lengannya bergerak, hancurlah batu itu berikut berderak hancur
peraduannya. Selang sesaat dia telah berkelebat keluar dari ruangan kamar.
Ternyata yang ditujunya adalah
kamar Rinjani, setelah berteriak-teriak memanggil anak buahnya agar mencari
jejak Roro Centil yang tak ketahuan kemana lenyapnya. Didapati Rinjani
terlentang di lantai kamar dalam keadaan telanjang bulat. Akibatnya marahnya,
justru Rinjanilah yang jadi korban.
Sekali lengannya bergerak,
tubuh Rinjani yang dalam keadaan tertotok itu terlempar membentur dinding
kamar. Tak terdengar jeritannya lagi. Karena nyawanya langsung melayang seiring
dengan hancurnya tulangtulang tubuh wanita cabul itu dengan suara yang
berkelotakan. Darah menyemburat ke setiap penjuru. Dan sang Datuk telah
melompat keluar dari ruangan kamar dengan, kemarahan yang membludak.....
Melihat di sekeliling tempat itu berkumpul lebih dari lima orang kakek si Datuk
Siluman Setan Belang mendengus.
"Heh! ada apakah kalian
sobat-sobat berada di wilayah ku ini?" berkata demikian kembali dia
memandang pada Roro Centil yang tersenyum-senyum melihat si Datuk yang
mendelikkan mata ke arah dia.
"Kau bocah sialan, jangan
harapkan dirimu bisa berlindung di ketiak kakek-kakek moyangmu! huh! awas kau
bocah centil! Kau telah mengelabuiku mentah-mentah. Tapi suatu saat aku akan
buktikan ucapanku untuk menawanmu hidup-hidup!"
"Persoalan apakah
gerangan antara kau dengan nona Pendekar Roro Centil sahabatku ini, sobat?
Apakah kau dapat memberi penjelasan?" Ki Kutut Praja Setha yang sejak tadi
berdiri saja sambil berpeluk tangan ajukan pertanyaan.
"Maaf, aku tak dapat
menjawab pertanyaan itu. Dan aku tak mau lain orang mencampuri urusanku!"
sahut sang Datuk dengan ketus. Selesai berkata si Datuk ini balikkan tubuh, dan
melompat pergi dari situ.
"Heeei! sobat tua!
sungguh sombong benar kau? sebutkan dulu siapa nama dan gelarmu biar aku tak
penasaran!" teriak Ki Gembul Sona membentak. Tubuhnya berkelebatan
menyusul. Lengan kakek yang berjulukan si Belut Putih ini menjulur jubah si
Datuk. Akan tetapi saat itu berdesir puluhan jarum dari ujung tongkat Siluman
Setan Belang. Kalau saja Ki Gembul Sona tak memiliki kelincahan, sudah dapat
dipastikan bahaya maut mengancam jiwanya. Untunglah dengan gerakan gesit dia
miringkan tubuh. Lengan jubahnya yang lebar menghantam jarum-jarum maut itu
hingga buyar, Namun ketika dia jejakkan kakinya ke tanah, si kakek jubah hitam
itu lenyap. Lapat-lapat terdengar suara tertawanya terkekeh.
"Hehehe... hahaha... nama
gelarku adalah si Datuk Siluman Setan Belang! Harap kau jangan coba-coba urusan
denganku!"
Ketika semua mata memandang ke
arah Gembul Sona dan ke arah tempat berkelebat lenyapnya sosok tubuh Si Datuk
Siluman Setan Belang, saat itu Roro telah berkelebat cepat sekali meninggalkan
tempat itu. Para tokoh tua kaum putih itu cuma bisa gelengkan kepala mengetahui
Roro Centil sudah berlalu meninggalkan mereka tanpa permisi lagi.
***
8
RORO CENTIL telah jejakkan
kakinya di satu kota bernama BOLULAWANG. Dalam perjalanannya ke wilayah
Tenggara ini ternyata Roro tak begitu tergesagesa. Kota Bolulawang tak seberapa
besar. Melangkah lebih jauh memasuki tengah kota, Roro menampak keganjilan di
dalam kota ini. Karena warung-warung, penginapan dan toko-toko tak nampak ada
yang buka. Semuanya tutup. Orang-orang yang lalu-lalangpun terlihat sepi.
"Aneh! ada apakah yang terjadi?" pikir Roro.
Di ujung jalan Roro melihat
seorang laki-laki tua yang baru saja mengangkat papan terakhir untuk menutup
penginapannya. "Heh! Kebetulan. Aku bisa tanyakan pada orang itu!"
desis Roro tersenyum. Lakilaki tua ini adalah pelayan penginapan itu yang
kerjanya agak lambat.
Sementara dari dalam terdengar
suara sang majikan yang memerintahkan si pelayan agar secepatnya masuk dan
mengunci pintu. Ketika tahu-tahu... "Paman...! maaf, aku mengganggu. Boleh
aku num-
pang beristirahat di
sini?" Terkejut laki-laki pelayan mengetahui seorang. gadis entah dari
mana munculnya tahu-tahu telah berada disampingnya.
"Oh, ma... maaf noo...
nona. Hari ini kami tak menerima tamu..." tergagap pelayan itu menyahut.
"Mengapa?" tanya
Roro. Akan tetapi belum lagi sang pelayan itu menyahuti telah terdengar suara
bentakan dari dalam.
"Cepat masuk! tunggu apa
lagi kau Bejo? apa kau mau mampus siang-siang?" Tentu saja membuat pelayan
tua ini tak ayal lagi segera melompat masuk tanpa pedulikan Roro lagi, dan...
Bruk! Dia telah tutup pintu penginapan dan sekaligus menguncinya dengan palang
pintu.
"Aneh!?" menggumam
Roro. Dia jadi terlongong di muka pintu. "Mengapa tampaknya orang begitu
ketakutan?" Roro putar pandangan ke sekeliling tempat.
"Hm, benar-benar tak ada
manusia yang berani unjukan diri. Apakah ada iblis yang mengincar nyawa hingga
semua penduduk kota ketakutan menyembunyikan diri?" pikir Roro dalam
benak.
Sementara itu di balik pintu
penginapan terdengar suara bisik-bisik.
"Sssst! siapa orang yang
mau menginap tadi? seperti kudengar suara perempuan?" Suara yang terdengar
agak berat itu adalah suara si pemilik penginapan.
"Seorang gadis,
Ndoro..." "Cantik?"
"Wah! coantiik sekali
Ndoro. Dia mau menumpang beristirahat, katanya tadi. Tapi Ndoro sudah
memanggilku agar cepat-cepat masuk dan menutup pintu," menyahut sang
pelayan dengan suara berbisik pula. "Hm... apa dia masih ada di
luar?" "Entahlah, Ndoro..."
"Coba kau periksa!"
perintah sang majikan.
"Baik, Ndoro. Apa disuruh
masuk sekalian?" bertanya sang pelayan bernama Bejo itu.
"Pakai tanya, ya maksudku
begitu! kasihan kan gadis secantik gitu kalau mau beristirahat masakan bisa ku
tolak?"
Bisik-bisik itupun berakhir.
Dan terdengar suara palang pintu dibuka dari dalam.
Kepala si pelayan tersembul di
pintu. Matanya jelalatan mencari Roro. Akan tetapi dia tak menampak adanya
gadis tadi berada di depan pintu. Dia melangkah agak lebih jauh dan memandang
ke sekeliling. Tak nampak bayangan seorang manusiapun
"Ada, Jo... ?"
terdengar suara agak keras dari dalam. "Ti... tidak, Ndoro...! dia sudah
pergi" menyahut Bejo.
"Huuuuh! sudahlah, ayo
cepat kau masuk dan kunci pintu lagi!"
Akan tetapi belum lagi Bejo
melangkah, tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak-bahak, diiringi katakata
keras.
"Hahahahha... haha...
perutku lapar begini, semua warung tak ada yang buka. He! aku mau makan di
warung mu, apa kau ada persediaan makanan?" Tentu saja si pelayan tua
bernama Bejo itu jadi gelagapan, karena tahu-tahu pundaknya telah dicengkeram orang. Ketika dia balikkan tubuh,
seorang laki-laki kekar berambut gondrong telah berada di situ. Menatap padanya
dengan sorot mata seram.
Laki-laki ini berwajah penuh
brewok. Bajunya terbuat dari karung goni. Sebelah lengan bajunya yang panjang
dibiarkan menggantung seperti tak berlengan. Ternyata laki-laki brewok ini
memang berlengan satu. Jelas terlihat tangan yang sebuah lagi telah kutung
sebatas pangkal lengan. Di punggungnya terikat sebuah buntalan.
"Oh, hari ini kami tak
punya persediaan makanan.
Harap maafkan..."
menyahut si pelayan.
"Apakah kau berkata
betul? Kalau ku geledah ternyata ada makanan, apakah kau mau bertaruh dengan
kepala mu sebagai taruhannya?" bentak si brewok.
"Ampun, Raden...!
sebenarnya ada, tapi hari ini kami tak bisa menerima tetamu, karena...
karena..." Tergagap si pelayan mendengar gertakan laki-laki brewok itu.
"Bagus! hayo, antar aku
masuk!" berkata si brewok, Belum lagi si pelayan mengangguk, tahu-tahu
tubuhnya serasa terbang. Dan sekejap kemudian telah berada di dalam penginapan.
Nyaris bertubrukan dengan si pemilik penginapan yang mau melongok keluar melihat
apa yang terjadi.
Laki-laki gemuk ini belalakkan
mata memandang pada si laki-laki berewok yang telah masuk ke dalam penginapan.
"Ndoro, tet.. tetamu ini
mau..." berkata si pelayan dengan gugup. Namun kata-katanya segera
dipotong oleh si brewok.
"Ya! perutku lapar. Aku
mau makan. Apa bisa kalian sediakan aku makan?"
"A... ada..! Bejo! segera
kau siapkan makanan untuk tuan ini!" perintah si pemilik penginapan, yang
memang juga membuka restoran.
"Tu... tutup pintu itu
dulu!" perintahnya lagi pada Bejo.
"Baik! baik,
Ndoro..." Bejo cepat bergegas menutup pintu dan memalangnya sekaligus.
"Ada apakah? tampaknya kalian seperti ketakutan. Kulihat semua orang
menutup pintu rumah makan dan tokonya rapat-rapat." berkata si laki-laki
brewok.
Si pemilik penginapan menatap
wajah laki-laki brewok itu.! Sekali melihat sudah dapat menduga kalau laki-laki
itu adalah orang baik-baik. Walaupun berwajah penuh cambang-bauk tetapi jelas
laki-laki itu punya penampilan gagah. Dan di balik brewoknya menampakkan
ketampanan wajahnya.
"Boleh aku mengetahui
siapa nama Anda? Aku Singo Wulung pemilik penginapan dan rumah makan ini."
berkata si pemilik penginapan.
"Hahaha... aku tak punya
nama. Tapi baiklah kau panggil aku si BREWOK LENGAN TUNGGAL". Mendengar
nama itu, Singo Wulung jadi tersenyum manggutmanggut. Segera dia memaklumi
kalau berhadapan dengan seorang tokoh Rimba Hijau.
"Baiklah sobat Brewok,
sebenarnya...." segera Singo Wulung menceritakan secara singkat apa yang
telah terjadi.
"Laki-laki tua jubah
hitam itu memondong seorang gadis yang tak pernah lepas dari pundaknya. Dia
dalam keadaan tidak waras!" Singo Wulung mengakhiri penuturannya.
"Gila! dia telah lakukan
pembunuhan pada beberapa orang penduduk?" tanya si brewok.
"Benar, sobat brewok...!
menyahut Singo Wulung. Sementara itu di luar pintu penginapan sesosok tubuh
baru saja menjelma. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Dara perkasa ini memang
sejak tadi berada di tempat itu. Ternyata Roro telah mempergunakan aji
Halimunan, hingga tubuhnya tak nampak oleh mata biasa. Kemunculan si Brewok
Lengan Tunggal juga telah diketahui Roro, termasuk percakapan dari balik pintu
penginapan. Yang membuat Roro terkejut bukanlah tentang si manusia laki-laki
jubah hitam yang menyebar maut di kota itu. Akan tetapi kemunculan si lakilaki
brewok, yang segera dikenalnya adalah JOKO SANGIT.
Terpanar mata Roro memandang
ke pintu penginapan, seolah mata itu berhasil menembus papan pintu.
"Joko... ah, Joko Sangit! Apa yang terjadi denganmu? Siapakah manusianya
yang telah memutuskan tanganmu itu?" berbisik Roro dalam hati.
Akan tetapi Roro tak dapat
berpikir lebih jauh, karena pada saat itu terdengar suara jeritan orang dari
arah ujung jalan. Tak ayal, Roro segera gerakkan tubuhnya untuk melesat ke
sana.
***
9
APAKAH yang terjadi di ujung
jalan kota sunyi itu? Ternyata seorang laki-laki tua berjubah tengah dikepung
oleh belasan orang. Para mengepung itu tak lain dari para prajurit Kadipaten.
Dua orang telah roboh
terjungkal dengan jerit mengerikan. Sebelas pengeroyoknya melompat mundur.
Sangat mengerikan, karena sekejap kedua tubuh tamtama itu telah berubah hijau.
Keris berluk tujuh di tangan laki-laki tinggi besar jubah hitam itu pancarkan
sinar hijau. itulah keris KYAI NOGO IJO. Ternyata lakilaki tua itu tak lain
dari KI BOGOTA adanya.
"Hoahaha... haha... hayo
majulah kalian semua kutu kutu Kadipaten. Kyai Nogo Ijo akan menghirup darah
kalian semua! hahaha... haha..." tertawa berkakakan Ki Bogota. Wajahnya
memerah bagai kepiting direbus. Sebelah tangannya mencekal keris, dan sebelah
lagi memanggul tubuh seorang gadis di pundaknya. Tersentak Roro ketika
mengenali gadis itu adalah RANDU WANGI. Tiga orang perwira saat itu telah
menerjang dari arah kanan. Pedang dan golok berkelebatan. Mereka adalah tiga
orang perwira kelas satu dari pengawal Adipati Bolulawang. Khawatir mengenal
gadis yang dalam pondongan laki-laki gila itu, mereka menerjang dengan
hati-hati. Dua orang menabas kaki. Sedangkan yang seorang lagi menabas lengan.
Akan tetapi Ki Bogota dengan
tertawa terbahak segera melompat. Kerisnya digunakan menangkis serangan lawan
yang mengarah pangkal lengan.
TRANG..! WHUUT! WHUUT!
Dua jeritan kembali terdengar.
Dua dari perwira Kadipaten itu terlempar dengan perut robek. Ternyata dengan
kecepatan kilat Ki Bogota telah lemparkan tubuh gadis yang dipondongnya ke
udara. Di detik itu dia berkelebat menyarangkan kerisnya di perut kedua lawan.
Sementara tangkisan tadi telah membuat pedang lawan tertabas putus. Luar biasa
memang keris Kyai Nogo Ijo itu. Tapi juga luar biasa gerakan tubuh Ki Bogota.
Karena saat dua tubuh lawannya terlempar, dia telah siap kembali menyangga
tubuh gadis itu untuk dipondongnya.
Akan tetapi belum sempat
lengan Ki Bogota menyentuh tubuh gadis itu satu bayangan telah menerjang. BUK!
Ki Bogota terjungkal
berguling-guling. Terperanjat laki-laki tua ini, ketika melompat berdiri
sesosok tubuh berambut panjang telah berdiri di hadapannya dengan memanggul
tubuh gadis itu.
Roro yang belum mengambil
tindakan apa-apa tersentak kaget, karena segera mengenali siapa dia. tubuh
barusan tak lain dari JOKO SANGIT alias si Brewok Lengan Tunggal.
"Manusia gila! Kau
mampuslah!" membentak si brewok.
WHUUUK! BHLARRR...!
Semua mata membelalak menatap
dengan mulut ternganga. Karena sukar untuk diduga ketika laki-laki brewok itu
gerakan lengannya, tahu-tahu terdengar ledakan dahsyat. Seiring ledakan itu,
mereka melihat tubuh Ki Bogota telah menjadi serpihan-serpihan yang melambung
di udara. Bercampur dengan menyemburatnya tanah dan batu.
Ketika debu menipis, tampak
potongan-potongan tubuh laki-laki tua bekas ketua Partai Lereng Merapi itu yang
sudah tak berbentuk lagi. Ketika mereka memandang pada si brewok, ternyata
orangnya sudah lenyap entah kemana...
Roro cuma melihat
berkelebatnya bayangan ke arah utara. Tak ayal lagi Roro segera mengejar.
Sementara sembilan tamtama Kadipaten itu cuma bisa terperangah dengan mulut
ternganga tanpa ucapkan sepatah kata. Berdiri terpaku memandang tubuh manusia
edan yang telah membunuhi penduduk dan menewaskan beberapa tamtama itu.
Dalam keadaan demikian, tanpa
seorangpun yang melihat. Sepotong lengan yaitu potongan lengan Ki Bogota yang
masih erat mencekal keris Kyai Nogo Ijo yang menggeletak di balik
bongkah-bongkah batu, tiba-tiba bergerak hidup. Potongan lengan yang
menggeletak di balik bongkah-bongkah batu itu melayang ke udara. Fantastis
sekali, karena tiba-tiba potongan lengan itu meluncur ke arah para tamtama itu.
Sinar hijau berkelebat, dan....
Terdengarlah teriakan-teriakan
mengerikan membelah udara.
Kesembilan tamtama Kadipaten
itu roboh satu persatu hampir berbareng. Darah memercik menyiram tanah. Karena
dada dan leher mereka telah terkoyak keris maut Kyai Nogo Ijo. Sekejap saja
sembilan tubuh itu telah roboh dengan nyawa masing-masing lepas dari tubuhnya.
Kejap berikutnya sinar hijau
telah berkelebat membelah udara meluncur pesat menuju ke arah utara.
Seperti menyusul kedua
bayangan yang telah lebih dulu melesat dari tempat itu...
***
RORO CENTIL berkelebat
mengejar bayangan tubuh si Brewok yang sudah dapat dipastikan adalah JOKO
SANGIT. Mana Roro bisa melupakan wajah laki-laki yang telah membuat dia jatuh
hati itu? Roro sendiri tak mengetahui mengapa dia bisa jatuh hati pada bekas
berandal itu. Apakah karena kebaikan hatinya, ataukah karena Joko Sangit memang
berwajah tampan? Akan tetapi Roro mengetahui banyak laki-laki seperti SAMBU
RUCI alias si Bujang Nan Elok, atau Raja Muda tanah Melayu, Ginanjar dan banyak
lagi yang lainnya. Namun justru Roro lebih tertarik pada Joko Sangit. Dia tak
dapat mengelabui isi hatinya untuk mencintai laki-laki itu. Joko Sangit memang
sudah dapat dikatakan seorang laki-laki yang amat mudah jatuh ke tangan wanita.
Tapi Roro yakin kalau kelakuan tidak baik itu bisa dihilangkan. Semua itu
karena Joko Sangit seorang laki-laki yang kurang kuat iman. Apakah rasa cintanya
itu timbul karena rasa kasihan pada laki-laki Itu? Entahlah...
Ketika pada beberapa tahun
yang lalu Ki Jagur Wedha guru Joko Sangit bergurau akan mengambil menantu
padanya, Roro cuma tersipu dengan wajah
berubah merah. Biasanya Roro
tak ambil peduli dengan setiap laki-laki. Karena Roro memang masih mau hidup
menyendiri, bebas dari ikatan suami istri. Yah, memang jiwa kependekaran Roro
lebih tampak menonjol. Roro memang lebih mementingkan urusan kependekaran
ketimbang urusan pribadi. Tapi sebagai manusia Roro tak mampu menolak apa yang
namanya "Cinta". Walau Roro sendiri tak mengetahui apakah dia jatuh
cinta, apakah cuma rasa kasihan pada laki-laki itu.
Yang jelas, Roro tengah
mengejarnya dengan hati trenyuh tak menentu. Karena setelah lama tak pernah berjumpa,
Roro melihat laki-laki brewok itu muncul dengan ilmu yang tinggi. Akan tetapi
Joko Sangit telah kehilangan sebelah lengannya. Dan berjulukan si Brewok Lengan
Tunggal.
Saat itu senja hampir merambah
alam. Cuaca tidak lagi terang benderang. Matahari hampir redup. Beberapa saat
lagi akan lenyap terhalang pegunungan. Gerakan Roro memang agak lambat, karena
Roro di samping memikirkan keadaan Joko Sangit, juga memikirkan Ginanjar yang
gua garbanya kemasukan sukma KALA WRENGGI. Dua orang laki-laki muda yang
samasama mencintai dirinya itu telah muncul. Yang seorang adalah masih saudara
seperguruannya sendiri, yaitu Ginanjar. Sedang Joko Sangit masih ada pertalian
hubungan antara guru Joko Sangit dengan gurunya, yaitu si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Namun Roro telah kehilangan jejak ketika mengejar Joko Sangit.
Mendadak cahaya hijau
membersit di atas kepalanya. "Hahaha... heheh... RORO CENTIL! untuk apa
kau mengejar dia? Bukankah kau mau ke Tenggara?" Terkejut Roro melihat
sepotong lengan yang mencekal sebuah Keris bersinar hijau bisa berkata-kata.
Nada suara tertawa dan kata-kata itu membuat Roro segera mengetahui dengan
cepat. Namun membuat Roro jadi terperanjat, karena dia tahu potongan lengan itu
adalah potongan lengan manusia edan yang tubuhnya mengalami kehancuran akibat
benda peledak yang dilakukan Joko Sangit alias si Brewok.
"Kala Wrenggi...!?"
sentak Roro dengan mata terbelalak. Sekejap dia sudah hentikan langkahnya.
Menengadah menatap pada potongan lengan yang mencekal keris hijau berlumuran
darah.
"Benar, aku sukma Kala
Wrenggi! Segera hentikan pengejaranmu, dan ikut aku ke Tenggara!" menyahut
sukma Kala Wrenggi dengan suara seram.
"Mengapa kau masuk ke
dalam lengan kutung itu? Di mana kau tinggalkan tubuh Ginanjar?" bertanya
Roro dengan heran. Akan tetapi diam-diam dia bergirang, karena sukma Kala
Wrenggi telah keluar dari gua garba Ginanjar. "Bagus!" pikir Roro;
"Aku akan berupaya agar dia tak memasuki lagi tubuh si tolol itu ..! Akan
tetapi aku terpaksa harus tetap ke Tenggara. Walau sampai saat ini aku tak tahu
bagaimana caranya melenyapkan manusia iblis pantang mati ini!"
Roro yang memang telah
bertekad untuk menghancurkan kebatilan, telah menempuh jalan dengan caranya
sendiri. Tanpa memikirkan resiko lagi, gadis berwatak aneh ini memang mempunyai
keberanian yang luar biasa. Entah, apakah dia mampu melenyapkan manusia iblis
pantang mati itu? Kita ikuti saja jalan ceritanya.
"Bocah laki-laki itu
telah kubunuh mampus!" menyahut sukma Kala Wrenggi.
"HAH!?" tersentak
Roro. Keringat dingin mengucur di dahinya. Sejenak dia terhenyak mendengar
katakata itu.
"Mengapa kau lakukan itu?
mengapaaa!?" suara Roro melengking tajam hingga berpantulan di sekitar
tempat itu.
"Kau... kau dasar iblis!
Mengapa tak kau tepati janjimu?" Gemuruh dada Roro karena terkejutnya.
"Hohoho... hehehe... dia
masih hidup. Aku hanya menakut-nakuti mu!" tertawa mengekeh sukma Kala
Wrenggi.
"Benarkah demikian?"
tanya Roro lirih. Sementara matanya menatap lengan kutung yang mencekal keris
bersinar hijau itu tak berkedip.
"Percayalah! aku tak
berdusta. Aku hanya menakutnakuti kau. Dari sikapmu itu aku mengetahui kalau
kau memang benar-benar mencintai dia!" Roro tersenyum. Sementara diam-diam
dia menarik napas lega.
"Ya! aku memang
mencintainya. Tapi pemuda sombong itu lebih memperhatikan gadis bernama Kasmini
ketimbang aku..." sahut Roro berdusta.
Diam-diam Roro mulai mencari
akal untuk membujuk sukma Kala Wrenggi agar tak memasuki lagi gua garba
Ginanjar. Tapi Roro harus melihat bukti dulu bahwa Ginanjar masih hidup.
*** 10
SEMENTARA terjadi percakapan
Roro dengan sukma Kala Wrenggi, telah didengar oleh sesosok tubuh di balik
semak belukar. Sepasang matanya yang bersinar tajam menatap dengan aneh pada
Roro dan sepotong lengan yang mencekal keris bersinar hijau itu. "Sukma
Kala Wrenggi?" berdesis pelahan laki-laki itu yang tak lain dari si brewok
alias Joko Sangit.
Tubuh Randu Sari yang tak
sadarkan diri dibaringkan tak jauh dari tempat dia bersembunyi. Sementara dia
sendiri mendengarkan percakapan itu dengan serius, dengan hati berdebar. Karena
Joko Sangit segera meraba lengan kiri yang telah kutung.
Lengan yang putus itu telah
ditabasnya atas permintaan Roro untuk membuktikan CINTAnya pada dara perkasa
Pantai Selatan itu, Joko Sangit telah nekad memutuskan lengannya sendiri.
Betapa marahnya Joko Sangit
ketika ternyata Roro telah menipunya. Dalam keadaan menderita Joko Sangit
menggelepar kesakitan dengan luka pada lengannya yang putus, hingga dengan
kemarahan menggelegak, dia menerjang Roro. Joko Sangit yang dalam keadaan mabuk
itu akhirnya tergelincir jatuh ke dalam jurang yang dalamnya susah diukur.
Agaknya nasib baik masih
melindungi dia, hingga masih berumur panjang.
Seorang kakek tua renta telah
menolongnya. Dialah seorang tokoh persilatan dari Negeri Sakura, bernama
MATSUI.
Peruntungan Joko Sangit justru
amat baik. Kakek MATSUI memang bertujuan mencari Roro Centil untuk mewariskan
sebuah Kitab Pusaka. Kitab Pusaka itu berisi ilmu-ilmu persilatan yang bernama
NINJA. Kakek Matsui yang pernah berhutang budi pada Ro-
ro Centil telah mengarungi
lautan untuk menyerahkan Kitab Pusaka NINJA itu pada dia.
Joko Sangit mengambil
kesempatan baik itu, untuk membantu Matsui menyampaikan Kitab Pusaka itu pada
Roro. Tokoh Negeri Sakura itu percaya pada Joko Sangit yang memberitahukan
bahwa dia adalah sahabat baik Roro Centil.
Demikianlah. Hingga kemudian
Joko Sangit sendirilah yang mempelajari ilmu NINJA itu.
Joko Sangit memang berniat tak
akan memberikan Kitab Pusaka NINJA itu pada Roro.
Joko Sangit yang bekas si
pemuja Roro Dentil itu telah salah menyangka.
Karena sebenarnya yang
melakukan perbuatan jahat menipunya itu adalah GIRI MAYANG. Wanita yang amat
mendendam pada Roro Centil. Dengan menggunakan Ilmu Malih Rupa, Giri Mayang
telah menyaru Roro Centil. Bahkan dengan perbuatannya itu, Roro pernah dituduh
sebagai seorang wanita Pendekar berakhlak bejat. Dan banyak melakukan
perbuatanperbuatan tercela.
Joko Sangit yang tak
mengetahui kalau Roro tengah mengakali sukma Kala Wrenggi, terkejut mendengar
Roro mengatakan bahwa dia amat mencintai pemuda bernama GINANJAR. Dia memang
mengenal Ginanjar, yang diketahuinya adalah seorang pemuda yang masih saudara
seperguruan Roro. Seperti diketahui Roro pernah menjadi murid Jarot Suradilaga
alias si Maling Sakti. Dan Ginanjar adalah murid Ki Bayu Sheta atau si Pendekar
Bayangan, yang punya hubungan antara mereka adalah menantu dan mertua. (baca:
Kisah pertama RORO CENTIL, berjudul; Empat Iblis Kali Progo). Roro sendiri
masih terhitung murid Ki Bayu Sheta, karena kakek tua bekas pejuang dari kaum
Partai Pengemis yang berjulukan si Pendekar Bayangan itu menurunkan pula
ilmu-ilmu kepandaiannya pada Roro.
Seketika wajah Joko Sangit
berubah merah padam.
Dadanya bergetar.
"Pantas dia menipuku!
ternyata diam-diam dia telah mencintai si bocah ingusan itu...!" berdesis
Joko Sangit dengan geram.
Namun di samping geram karena
cemburunya, juga sakit hati pada Roro yang telah memperdayai dia, Joko Sangit
tak habis pikir melihat kejadian di depan matanya. Jelas lengan yang putus dan
masih memegang keris itu adalah lengan manusia gila yang telah dihabisi
nyawanya dengan ledakan peluru maut.
Di samping heran dia juga
terkejut mengetahui lengan kutung yang bisa bicara itu adalah karena dimasuki
sukma KALA WRENGGI. "Siapakah Kala Wrenggi itu? Sukmanya bisa gentayangan
dan dapat masuk ke tubuh manusia atau kemana saja yang disukainya?"
berpikir Joko Sangit dalam benak dengan 1001 pertanyaan.
Sementara sukma Kala Wrenggi
telah mulai buka suara lagi.
"Heh Bocah Centil, apakah
kau mau aku memasuki lagi tubuh pemuda bernama Ginanjar itu lagi?" Roro
Centil merasa mendapat peluang dengan adanya pertanyaan itu. Segera dia
menjawab.
"Kurasa tidak perlu"
sahut Roro. "Masih banyak pemuda gagah lainnya yang bisa menawan hatiku.
Tapi aku lebih menyukai kau Kala Wrenggi. Selain sakti mandraguna kau juga
seorang manusia yang pantang mati. Aku amat tertarik padamu. Kalau tak
keberatan ingin sekali aku melihat jasadmu di pantai Tenggara..." rayu
Roro dengan tersenyum manis.
Mendengar jawaban Roro Centil
sukma Kala Wrenggi tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha... hehehe...
lucu! sungguh lucu sekali. Kalau gadis secantik dan sehebatmu sampai tak
dicintai oleh pemuda bernama Ginanjar itu saja sudah suatu hal yang tak
mungkin. Kini kau katakan bahwa kau menyenangi aku yang jasadnya saja belum
pernah kau lihat. Bagaimana kalau jasadku itu cuma sesosok tulang
kerangka?" Tersentak Roro mendengar kata-kata sukma Kala Wrenggi.
"Edan! apakah roh manusia setan ini bisa menerka isi hatiku?"
bertanya Roro dalam hati. Namun walaupun demikian Roro tetap mengumbar senyum.
"Aku tak perduli apakah
jasadmu cuma sesosok kerangka atau segumpal daging busuk. Yang jelas aku ingin
sekali melihat jasadmu. Bukankah punya suami manusia aneh yang sakti seperti
kau banyak sekali keuntungannya? Kau bisa berpindah pada jasad siapa saja. Dan
kau tak akan pernah tua. Juga tak kan pernah mati. Nah aku merasa pilihanku
tidak meleset!" ucap Roro dengan tegas.
Karuan saja Joko Sangit yang
mendengarkan pembicaraan Roro jadi belalakkan matanya seperti tak percaya.
"Jadi si Kala Wrenggi ini adalah manusia setan yang pantang mati? Gila
Edan! si Roro juga edan! Dunia Ini memang benar-benar sudah edan!" memaki
Joko Sangit kalang-kabut dalam hati. Sementara sukma Kala Wrenggi mulai bicara
lagi setelah perdengarkan tertawanya yang terkekeh-kekeh.
"Bagus! bagus! baiklah!
aku tak keberatan dengan keinginanmu itu. Sebaiknya kita berangkat sekarang ke
Tenggara!"
"Tunggu!" berkata
Roro. "Bolehkah aku mengetahui mana adanya pemuda bernama Ginanjar itu
kini?" bertanya Roro.
"Hm, segera akan
kutunjukkan! Apakah yang akan kau lakukan? Kalau kau sudah tak menyukainya, aku
akan segera membunuhnya mampus saja sekalian, seperti sembilan nyawa para
tamtama tadi!"
"He? kau telah membunuh
sisa-sisa tamtama Kadipaten itu?" terhenyak Roro dengan terkejut. Matanya
membelalak menatap lengan kutung yang mencekal keris bersinar hijau itu, yang
menggantung di udara.
"Hehehe... siapa berhak
melarang kemauanku?" menyahut sukma Kala Wrenggi.
"Benar! benar, siapa yang
berhak melarang kemauanmu?" timpal Roro. Dia memang tak dapat berbuat
apa-apa selain menelan ludah yang terasa menyangkut di tenggorokan.
"Tidak! kau tak perlu
membunuh pemuda itu. Kalau sudah kuketahui dia masih hidup, kita langsung
berangkat ke Tenggara. Kelak aku punya cara sendiri untuk melakukan apa yang
akan kulakukan pada pemuda sombong yang angkuh itu!" berkata Roro.
"Kalau begitu segera
kutunjukkan di mana dia". "Tunggu! aku tak bisa jalan bersama
sepotong len-
gan yang mengerikan seperti
itu. Apakah..." Roro berpikir sejurus,
"Hehehe... apakah kau
punya usul bagus?"
"Ya, apakah tak sebaiknya
kau masuk saja ke dalam cincinku?" ujar Roro seraya mengangkat lengannya
dan mengembangkan jemari tangannya. Pada jari manis Roro melekat sebentuk
cincin berbatu Merah Delima.
Cincin warisan dari gurunya si
Manusia Banci, yang tak pernah lepas melingkar di jari manis Roro.
"Bagus! aku sepenuju
dengan usulmu!" sahut sukma Kala Wrenggi.
"Dan keris ini kukira aku
tak memerlukannya!" berkata sukma Kala Wrenggi. Selesai berkata, tiba-tiba
lengan kutung itu bergerak mengibas. Jari-jari tangannya mengembang. Dan...
meluncurlah keris bersinar hijau itu menembus semak belukar.
Terperanjat Joko Sangit.
Keringat dingin merembes di tengkuknya. Keris maut itu nyaris menembus lehernya.
Benda itu menancap tepat di dahan kayu semak belukar tempat dia bersembunyi.
Ketika dia memandang ke arah
Roro. Ternyata Roro Centil baru saja berkelebat meninggalkan tempat itu. Dia
cuma bisa melihat punggung dara Pantai Selatan itu sesaat sebelum lenyap.
"Edan! benar-benar
manusia sudah pada edan!" memaki si brewok seraya melompat berdiri. Tak
ada niat Joko Sangit untuk menyusul. Segera dia berpaling memandang pada Randu
Wangi yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Terdengar helaan napas laki-laki
ini. Akan tetapi tersentak dia ketika melihat semak belukar dihadapannya telah
menjadi layu.
Jelas terlihat semak yang layu
itu adalah yang dahannya tertancap keris bersinar hijau itu.
"Keris beracun!?"
sentak Joko Sangit dengan membelalak. Dan lagi-lagi di tengkuknya merembes
keringat dingin. "Edan...!" makinya.
Joko Sangit julurkan lengannya
mencabut keris itu, lalu mengamatinya. Tampak cairan darah yang belum mengering
di badan keris itu. Akan tetapi Joko Sangit bukan memperhatikan bekas-bekas
darah itu, melainkan ukiran berbentuk seekor Naga yang terdapat di badan keris.
Ukiran Naga itu tergambar sama di kedua belah badan keris itu.
"Ini pasti sebuah keris
Pusaka..." gumam laki-laki brewok ini dengan kerutkan keningnya.
"Entah siapa manusia gila yang sudah mampus itu. Aku tak mengenalinya. Dan
aku memang tak perlu mengetahuinya lagi, karena toh orangnya sudah
mampus!" gerutu si brewok.
Tiba-tiba laki-laki ini
balikkan tubuhnya dengan cepat, ketika merasakan ada syiuran angin halus di
belakangnya.
"Berikan benda itu
padaku, sobat muda...! Kukira benda itu tak berguna buat anda!" Joko
Sangit pentang matanya lebih lebar. Seorang kakek berjubah putih, kepalanya
terbungkus lilitan kain yang juga berwarna putih. Seuntai tasbih kuning
tergantung di lehernya. Pada sebelah lengan kakek itu tercekal sebuah pedang
yang masih terbungkus serangkanya. Kakek yang berjenggot dan berkumis tipis ini
memandang pada Joko Sangit dengan tersenyum. Suaranya seperti mengandung
wibawa.
"Siapakah anda...?"
bertanya Joko Sangit yang menatap dengan terpaku.
"Haiiihi namaku sudah
hampir tak diingat orang. Sebenarnya aku enggan menyebutkannya, tapi tak
apalah. Kulihat watakmu baik walau kelihatannya kau seorang kasar. Baiklah aku
akan memberitahukannya padamu..." menyahut si kakek.
"Sebenarnya aku seorang
pertapa dari gunung Sumbing. Namaku Sujiwo. Tapi aku digelari orang dengan
julukan si Pertapa Tasbih Kuning..." ujar si kakek sambil tersenyum. Tapi
belakangan orang menyebutku KYAI SUMBING"
Joko Sangit manggut-manggut
mendengar penjelasan orang tua itu.
“Terima kasih atas
pemberitahuan nama dan gelar anda. Aku sendiri bernama Joko Sangit."
laki-laki brewok itu perkenalkan dirinya seraya menjura hormat pada kakek tua
yang ramah itu.
"Boleh aku tahu, apakah
hubungan anda dengan keris ini?" bertanya Joko Sangit.
"Bukan saja dengan keris
itu, akan tetapi juga dengan gadis yang kau tolong itu aku memang ada
hubungannya." sahut Kyai Sumbing sambil lengannya menunjuk pada Randu
Wangi yang juga masih belum sadarkan diri. "Oh, ya...?" terkejut Joko
Sangit. "Gadis itu bernama Randu Wangi" ujar Kyai Sumbing. "Dia
adalah anak seorang Empu yang bernama Santri Bubulen. Santri Bubulen adalah
masih terhitung keponakanku. Dan gurunya adalah sahabatku sendiri yang bernama
Kyai Nogo Ijo..." Joko Sangit manggutmanggut.
"Lalu hubungan apakah
anda dengan keris ini?" potong Joko Sangit.
"Keris itu menjadi
tanggung jawabku untuk memusnahkannya. Benda bercahaya itu adalah ciptaan
Santri Bubulen keponakanku itu, atas pesanan orang yang bernama Bogota. Manusia
bernama Bogota itu telah menyandra anak gadisnya yang bernama Randu Wangi
selama belasan tahun karena menginginkan keris pusaka yang dimiliki Santri
Bubulen.
Santri Bubulen memang memiliki
sebuah keris pusaka dari gurunya yang bernama Kyai Nogo Ijo. Nama keris itu
memang serupa dengan nama si pemiliknya. Santri Bubulen yang tak mau memberikan
pusaka warisan gurunya pada Bogota, telah mengatakan bahwa keris pusaka itu
telah hilang. Tapi dia sanggup membuat keris yang serupa dengan keris Kyai Nogo
Ijo jika Bogota menginginkan. Santri Bubulen memang seorang ahli membuat keris
dan boleh disebut sebagai seorang Empu. Tapi dikatakan oleh Santri Bubulen
bahwa pembuatannya akan memakan waktu lama hingga mencapai belasan tahun.
Karena Bogota menginginkan mutunya yang sama dengan keris Kyai Nogo Ijo yang
asli. Tujuan Santri Bubulen adalah agar Bogota membatalkan maksudnya memiliki
keris itu.
Tak dinyana manusia itu malah
menyandera anak Santri Bubulen.
Dia akan mengembalikan anak
itu kelak sebatas waktu Santri Bubulen menjanjikan selesainya pembuatan keris
tiruan Kyai Nogo Ijo. Tak terkira sedih dan menyesalnya Santri Bubulen. Dengan
dendam yang tersemat di dada dia membuat keris tiruan Kyai Nogo Ijo dan
menunggu waktu sampai Bogota mengembalikan anak gadisnya sambil menjemput
keris.
Akan tetapi Santri Bubulen
telah merendam keris ciptaannya itu dengan racun yang amat ganas. Tujuannya
adalah bila anaknya sudah kembali, dia akan membunuh Bogota dengan keris
pesanannya sendiri. Tak dinyana ketika Bogota muncul, justru tak membawa anak
gadisnya.
Namun tekad Santri Bubulen
telah bulat untuk membunuh Bogota. Tapi ternyata justru Santri Bubulenlah yang
terbunuh oleh keris tiruan Kyai Nogo Ijo itu di tangan Bogota.." tutur
Kyai Sumbing.
"Sayang aku tak mengetahui
peristiwa penyanderaan itu sejak awal. Karena Santri Bubulen
merahasiakannya!" sejenak orang tua itu termenung dan menghela napas.
***
JOKO SANGIT duduk termenung di
akar pohon. Malam telah merayapi sekitar perbukitan itu. Laki-laki brewok ini
seperti tenggelam dalam lamunannya dalam keheningan yang membisu. Sepotong
bulan tampak mengambang di atas awan menyinari Mayapada dengan cahaya yang tak
begitu terang. Joko Sangit memang tengah tenggelam dalam lamunan mengingat
pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini.
Baru muncul lagi setelah
menyembunyikan diri untuk mempelajari kitab NINJA. Joko Sangit telah membunuh
orang. Dan orang itu adalah seorang Ketua Partai Besar yang bernama Partai
Lereng Merapi, menurut penuturan Kyai Sumbing. Kyai Sumbing memang tengah
mengejar manusia gila bernama Bogota itu, dan berhasil merampas Pedang Pusaka
di tangan bekas Ketua Lereng Merapi itu. Dari penuturan Kyai Sumbing, Bogota
ternyata bukanlah orang yang berhak menduduki jabatan Ketua di partai
Lereng Merapi yang sudah
terpecah belah. Perbuatannya banyak yang menyalahi peraturan-peraturan partai
itu.
Kabar yang mengejutkan Joko
Sangit adalah bahwa kemunculan sukma Kala Wrenggi telah membuat kehancuran
Partai Lereng Merapi dan sebuah perguruan lain dengan membantai habis
orang-orangnya.
RANDU WANGI gadis yang telah
ditolongnya itu ternyata telah ternoda oleh manusia bernama Bogota. Gadis yang
masih dalam keadaan tak sadarkan diri itu akan dibawa oleh Kyai Sumbing untuk
dipertemukan dengan ibunya yang masih hidup. Joko Sangit tak dapat menghalangi.
Setelah memberikan keris
tiruan Kyai Nogo Ijo, Joko Sangit segera mohon diri untuk pergi meninggalkan
tempat itu. Sementara Kyai Sumbing pun segera berangkat pergi dengan membawa
Randu Wangi.....
Terdengar laki-laki brewok itu
menghela napas. Dia belum punya tujuan untuk ke mana dia langkahkan kakinya.
Namun kemunculan RORO dan sukma Kala Wrenggi membuat dia seperti tak dapat
tenangkan hati. Entah mengapa tampaknya dia seperti mengkhawatirkan keselamatan
Roro, ataukah memang ingin tahu apa yang terjadi di Tenggara, karena Roro dan
sukma Kala Wrenggi tengah menuju kesana.
"Kukira sebaiknya aku
menyusul ke Tenggara..." gumam laki-laki kekar ini, seperti mengambil
keputusan. "Aku tak dapat mengetahui apakah aku bisa menjumpai dia atau
tidak, karena aku tak tahu ke mana mereka pergi. Tapi dengan perjalanan ini
kukira mungkin akan menambah pengalamanku di wilayah Tenggara...!"
demikian keputusan Joko Sangit.
Sesaat dia sudah bangkit
berdiri. Kepalanya menengadah menatap bulan sepotong di atas kepala.
"Bagus! sekalian aku mencari penginapan di kota. Sudah lama aku tak
mencicipi arak. hahaha..." Joko Sangit tertawa kecil lalu tubuhnya
berkelebat dari atas bukit itu. Sekejap kemudian sudah tak nampak lagi bayangan
tubuhnya.
***
11
Malam semakin melarut, ketika
sesosok tubuh berindap-indap mendekati sebuah rumah panggung di sisi kota.
Di luar cahaya bulan masih
cukup menerangi sekitar tempat itu walaupun cahayanya remang-remang. Tetapi
berbeda dengan keadaan di dalam rumah panggung itu, karena dari luar tak
menampak ada cahaya pelita. Terhuyung sosok tubuh itu yang semakin mendekati
rumah panggung.
"Rumah siapakah
gerangan?" terdengar suara sosok tubuh itu bergumam. "Perutku
lapar... Apakah yang punya rumah bisa memberikan sedikit nasi untuk menangsal
perutku?" gumamnya lirih. Tampaknya lakilaki itu amat menderita sekali
seperti sudah beberapa hari tak bertemu makanan. Siapakah gerangan dia?
Ternyata tak lain dari GINANJAR adanya.
Pemuda ini memang dalam
keadaan bingung karena ketika sukma Kala Wrenggi meninggalkan gua garbanya,
Ginanjar tak mengetahui dia berada di mana.
Apalagi cuaca telah berubah
gelap dengan pergantian siang menjadi malam.
Dalam keadaan bingung karena
tahu-tahu di hadapannya tak ada lagi gadis bernama Kasmini yang dikagumi
kehebatannya dan telah menyelamatkan dirinya dari perbuatan mesum Rinjani.
Seingatnya dia mendengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh dan bersuara parau
yang tanpa kelihatan ujudnya. Selanjutnya sudah tak tahu apa-apa lagi.
Tentu saja Ginanjar tak
menyadari kalau sukma Kala Wrenggi telah memasuki gua garbanya dan tubuhnya ke
mana saja tanpa dia tahu ke arah mana dia pergi. Bahkan perbuatan apa yang
telah dilakukannya dia tak mengetahui. Baru saja dia mau melangkah masuk, dari
dalam rumah yang gelap itu terdengar suara tertawa mengikik. Tersentak Ginanjar
bukan kepalang. Sebuah bayangan putih tahu-tahu tersembul di pintu rumah dengan
rambut putih yang beriapan menakutkan. Dan yang membuat Ginanjar seperti copot
nyalinya adalah muka sosok tubuh itu amat mengerikan. Sepasang mata yang besar
dengan mulut yang menampakkan taring di kedua sisi bibir. Hidungnya melesak
serta mempunyai kerut-kerut wajah bagaikan kera.
"Huah!? sse... set...
setaaaan!" sentaknya kaget. Suara tertawa makhluk itu semakin menjadi-jadi
ketika Ginanjar lari pontang panting dengan terhuyunghuyung jatuh bangun seraya
berteriak-teriak.
"Tolooong! tolooong...!
Kun... kun... kuntilanaaaak!" Sesaat sosok tubuh Ginanjar telah lenyap di
kegelapan malam.
"Hahahaha... haha...
dasar bocah ingusan yang masih bau kencur! Bocah macam kau baiknya tinggal saja
di dapur, atau menyusu pada ibumu!" berkata "makhluk" itu.
Tiba-tiba lengannya bergerak. Rambut kepala dijambret terlepas. Kulit mukanya
juga terkelupas. Ternyata hanya sebuah topeng serta rambut palsu belaka. Cahaya
rembulan cukup menerangi wajahnya. Ternyata si brewok, alias Joko Sangit.
Entah bagaimana sampai
laki-laki brewok itu bisa sampai di tempat itu. Sembunyi di dalam pondok dan
menakut-nakuti Ginanjar hingga lari pontang-panting ketakutan. Joko Sangit
tarik buntalannya di punggung. Lalu dengan cepat telah benahi alat-alatnya
untuk kembali dibuntal. Dan sekejap kemudian buntalan itu telah disangkutkan
kembali di punggungnya.
"Hm, perutku sudah
kenyang menyikat makanan dalam rumah ini. Aku akan teruskan perjalanan ke
kota..." berkata sendiri Joko Sangit. Selanjutnya dengan beberapa kali
lompatan, beberapa kejap kemudian sosok tubuh lak-laki brewok itu telah lenyap
di kegelapan malam.
***
PULAU terpencil di tengah laut
itu masih terhalang kabut. Tak ada sebuah perahupun yang nampak di dekat situ.
Akan tetapi dalam keremangan pagi yang masih dinihari, tampak sebuah bayangan
berkelebatan di atas ombak.
Bila diamati orang tak akan
percaya kalau sosok tubuh itu adalah manusia biasa. Karena satu hal yang tak
mungkin bagi pemikiran orang biasa, kalau ada manusia bisa berlari-lari di atas
air seperti menginjak tanah saja.
Sosok tubuh semampai itu
memang manusia biasa, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Dialah RORO CENTIL, alias si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tampak senjata
Roro si Rantai Genit yang mirip mainan itu tergantung terayun-ayun di
pinggangnya.
"Di arah sebelah manakah
pulau tempat jasadmu itu, sobat Kala Wrenggi?" terdengar suara Roro
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Hehehehe... teruslah ke
arah depan, sesaat lagi kau akan
melihatnya." terdengar suara sahutan tanpa terlihat ujudnya.
"Aiiiiih, aku sudah tak
sabar untuk melihat jasadmu!" ujar Roro seraya menatap pada cincin di jari
manisnya. Dari dalam cincin itulah terdengarnya suara menyahut tadi.
"Hehehehe... sabarlah!
Tak lama lagi kau akan melihatnya!" menyahut sukma Kala Wrenggi.
Ketika Kabut mulai melenyap
Roro Centil sudah jejakkan kaki di pulau yang baru lahir itu. Itulah pulau yang
menyembul dari dasar laut. Pulau baru yang menjadi tempat tenggelamnya jasad
Kala Wrenggi dari atas permukaan laut, ketika tubuhnya dilemparkan dalam
keadaan terbelenggu oleh musuh-musuhnya.
Roro memandang berkeliling
dengan takjub. Karang-karang yang bertonjolan di sekitar pulau itu seperti
mempunyai keindahan tersendiri. Akan tetapi juga seperti menimbulkan kesan
menyeramkan. Pulau yang terlihat seperti mati tanpa penghuni. Bahkan tak nampak
seekor burung camarpun yang mendekati pulau itu. Bau amis mengembara di
mana-mana. Bangkai-bangkai ikan yang membusuk seperti menyesakkan pernapasan.
Hal itu di sadari Roro ketika kakinya mulai melangkah lebih jauh memasuki pulau
itu.
"Di mana dapat kutemukan
jasadmu, Kala Wrenggi?" Roro bertanya lagi. Akan tetapi dengan hati
kebatkebit. Sementara benaknya terus memikir, akan menggunakan cara
bagaimanakah dia untuk melenyapkan manusia Iblis yang pantang mati itu? Roro
tak mendengar sahutan suara sukma Kala Wrenggi.
"He? Kala Wrenggi apakah
kau masih berada di dalam cincin ku?" sentak Roro terheran. Ditatapnya
cincin berbatu Merah Delima yang melingkar di jari manis. Tetap tak ada
sahutan.
Tiba-tiba terdengar suara
gemuruh di hadapannya. Batu karang yang menonjol setinggi tiga kali tubuh
manusia depannya telah runtuh. Karang-karang berlumut meluruk bergelundungan.
Roro belalakkan matanya.
Sementara dia sudah pasang panca indranya untuk menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi.
Matanya semakin membelalak
lebar, ketika sesosok tubuh muncul di antara celah-celah batu karang yang
bertimbunan. Sosok tubuh yang mengerikan. Karena persis mayat hidup. Sosok
tubuh yang sekujur tubuhnya penuh dengan lumut, dalam keadaan telanjang bulat.
Lumut-lumut itu menutupi aurat dan sekujur tubuhnya. Wajahnya menampilkan wajah
seorang kakek tua yang berusia 70 tahun lebih. Tulang-tulang rusuknya tampak
menonjol. Rambutnya hampir menyerupai lumut yang hijau. Sepasang matanya cekung
ke dalam, dengan sorot mata memerah bagaikan api. Tangan dan kakinya
terbelenggu oleh rantai yang baru saja putus. Inilah jasad Kala Wrenggi. Jasad
yang telah terkubur di dasar laut selama dua puluh tahun.
Roro terperangah memandang.
Tak terasa kakinya melangkah mundur. "Owh? betapa mengerikan..."
berdesis suara dara Pantai Selatan ini, "Inikah jasad Kala Wrenggi?"
sentaknya dengan mata membelalak.
"Hehehehe... hoho... RORO
CENTIL! Jangan terkejut! Akulah Kala Wrenggi yang telah menyatu lagi dengan
sukmanya! Kau telah datang di pulau gersang ini
untuk mengantar
KEMATIAN!" Makhluk berlumut itu tertawa seram, mengumbar kata-kata. Roro
kembali mundur dua tindak. Jantungnya berdetak keras. "Inilah agaknya yang
bakal terjadi...?" desisnya tersentak. Roro memang tak menduga kalau
justru Kala Wrenggi akan bersikap demikian mendadak. Namun lambat atau cepat
toh dia memang harus mengalami pertarungan maut. Karena dia telah bertekad
untuk menumpas manusia iblis yang bakal membawa bencana dan sudah menyebar maut
itu!
Sampai saat ini Roro belum
tahu akan mempergunakan cara bagaimana untuk memusnahkan manusia yang pantang
mati itu. Agaknya waktu untuk berpikir sudah tak ada lagi. Karena tiba-tiba di
sekeliling Roro telah bersembulan kobaran api. Terperanjat Roro melihat dalam
sekejap saja dia telah terkurung oleh kobaran api yang menghalangi pandangan
matanya ke sekitar pulau.
"Hah!? Edan! dia memang
benar-benar mau membuat aku terkubur di pulau ini tanpa jasad" gumam Roro
dengan mata membelalak. "Hoahaha... hahahaha... RORO CENTIL! Hari ini akan
kau rasakan kematian! Kau takkan dapat menipuku, atau mengakali aku. Juga
membunuhku! Tak ada lagi jalan keluar bagimu, karena api neraka ini akan
membakar tubuhmu sampai luluh!" Kala Wrenggi gerakkan tubuhnya seperti
terbang. Dan...
WHUUUK! lengannya bergerak
menghantam Roro. Dari telapak tangan Kala Wrenggi keluar cahaya merah yang
mengeluarkan hawa panas seperti lahar.
BHLARRR! Gemuruh terdengar
suara ledakan. Batu karang itu seperti luluh mencair terkena sinar merah. Akan
tetapi Roro telah melambung ke atas sejarak 10 tombak. Kakinya hinggap di atas
batu karang lainnya. Wajah Roro tampak berubah tegang. Tiada lagi rasanya
pertarungan dahsyat yang dialaminya selain melawan manusia iblis pantang mati
ini.
Akan mampukah Roro membunuh
Kala Wrenggi si manusia iblis ini? Ikuti saja pertarungannya.
Roro telah gunakan tenaga dalam
Inti Es untuk melindungi tubuhnya dari hawa panas luar biasa. Hingga tampak
keringat membasahi sekujur tubuhnya. Inilah saat penentuan mati dan hidup Roro.
Sementara itu api berkobar-kobar mengitari seluruh pulau. Kala Wrenggi
keluarkan suara menggeram menyeramkan. Kembali manusia setan itu menerjang
Roro. Sepasang lengannya terpentang menyambar dibarengi meluncurnya tubuh Kala
Wrenggi bagaikan terbang. Roro telah waspada dan bertekad akan menempur manusia
iblis itu mati-matian.
Dengan membentak nyaring Roro
telah gunakan jurus pukulannya.
BHLARRR! BHLARRR!
Cahaya perak dan pelangi
berkelebatan menyambar. Roro yang sudah bertekad menghancurkan manusia iblis
itu telah menghantamnya dengan pukulanpukulan saktinya, yaitu jurus pukulan
warisan Muri Asih. Tubuh Kala Wrenggi lenyap terbungkus sinar pelangi yang
berkelebatan di udara. Roro segera gunakan mata batinnya untuk mengetahui ke
mana lenyapnya tubuh Kala Wrenggi. Sementara api semakin berkobar dan kian
menyempit mengurung Roro.
Tenaga Inti Esnya mulai
mengendur. Dan Roro mulai rasakan hawa panas yang menyengat kulit.
"Celaka...!"
tersentak Roro. Segera dia gunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk menambah
tenaga Inti Esnya. Cepat-cepat dia silangkan tangan dl depan dada seperti sikap
orang yang bersemadi. Sepasang matanya terpejam. Sekejap tubuh dara perkasa
Pantai Selatan itu seperti dipenuhi butir-butir salju. Mengembun dan keluarkan
hawa dingin luar biasa.
WHUUUUUS... BUK! Menjerit Roro
Centil ketika merasai tubuhnya terlempar. Satu hantaman pukulan serasa membuat
isi tubuhnya serasa remuk. Tapi Roro belum hilang kesadarannya. Sebelum
tubuhnya terbanting ke batu karang dan tertambus api, dia gunakan hantaman ke
bumi. itulah jurus "Kosongkan Perut Menahan Lapar". Tubuh Roro
melambung ke udara setinggi dua puluh tombak. Dan mengambang di udara. Tampak
Kala Wrenggi tengah menengadah ke atas. Sepasang matanya memancarkan sinar
merah yang menyala.
BHLARRRR!
Terdengar ledakan dahsyat.
Apakah yang terjadi? Cahaya merah itu membalik menghantam ke arah penyerangnya.
Ledakan dahsyat itu telah membuat kejadian mengerikan. Karena tampak batok
kepala Kala Wrenggi hancur lumat terhantam sinar merah.
Melihat keberhasilan
pukulannya, Roro bersorak girang dalam hati. Dan... dengan dibarengi melesatnya
tubuh Roro bagaikan anak panah, Roro segera gunakan pukulan-pukulan
"Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis" dengan bertubi-tubi.
Ledakan-ledakan dahsyat terdengar beberapa kali.
Tak menampak lagi adanya tubuh
Kala Wrenggi, karena telah hancur lumat menjadi abu.
Saat itu langit tampak berubah
kehitaman. Angin bersyiur keras. Cahaya petir menyambar-nyambar di angkasa.
Mendadak api yang mengelilingi pulau itu padam. Bayangan hitam dan cahaya merah
itu sirna. Cuaca segera berangsur-angsur berubah menjadi terang benderang.
Dan terjadilah pemandangan
yang aneh. Pulau misterius itu mendadak berguncang hebat. Ombak laut berdeburan
keras. Menggelombang dan menyemburat setinggi beberapa kaki. Apakah yang
terjadi? Ternyata pulau yang baru lahir itu telah tenggelam lagi ke dasar laut.
Hanya beberapa saat saja di hamparan air itu sudah tak menampak lagi adanya
sebuah pulau. Pulau itu telah kembali ke asalnya.
Sesosok tubuh manusia
tertelungkup di atas permukaan air. Saat mana sebuah perahu meluncur pesat
membelah ombak. Dikemudikan oleh si Brewok Lengan Tunggal. Matanya jelalatan
memandang ke sekelilingnya. Perahu itu berputar-putar mengelilingi perairan
itu.
"Hah? RORO...? tersentak
Joko Sangit mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu. Pucat seketika wajah Joko
Sangit bagaikan kertas. Tak lama Roro keluarkan keluhan lirih..
Wajah Joko Sangit berubah
cerah. Tampak dia amat girang sekali.
"Roro...! RORO...!"
teriaknya lirih, seraya mengguncang-guncang tubuh dara itu.
Akan tetapi Roro Centil tak
menyahut. Namun tampak bibirnya tersenyum. Dan perlahan kelopak matanya
terbuka. Menatap wajah di dekatnya dengan tatapan redup.
"Roro...! aku masih
mencintaimu, Roro...! Aku tak akan mendendam padamu walau aku telah kehilangan
sebelah lenganku! Aku akan memaafkan kelakuanmu tempo hari!" ucap Joko
Sangit dengan suara menggetar. Tapi suara itu tersekat di kerongkongannya. Dia
cuma ucapkan dalam hati.
"Joko... siapakah
manusianya yang telah memutuskan lenganmu? Katakanlah. Demi langit dan bumi aku
akan melumatkan manusia jahanam itu!" ucap Roro dengan suara lirih.
"Roro, nanti akan
kuceritakan siapa orangnya. Apakah yang terjadi denganmu, Roro? Bagaimana
dengan sukma Kala Wrenggi?"
"Dia telah kembali ke
asalnya, Joko...! Iblis boleh tidak mati, dan tak akan pernah mati sampai hari
kiamat. Tapi sukma yang gentayangan akan tetap kembali pada Tuhan, bila telah
tiba waktunya. Kesaktian apapun akan punah. Dan keangkara-murkaan tetap tak
akan bisa bertahan lama di atas dunia ini...!" ucap Roro Centil dengan
tersenyum. Roro Centil katupkan lagi kelopak matanya. Bibirnya masih tersenyum.
Tapi tampak seperti mengharap. "Joko...! ah, Joko...! kau tak tahu betapa
aku mencintai mu..." bisikan itu teramat lirih. Hampir-hampir Joko Sangit
tak mendengarnya.
Camar-camar semakin banyak
beterbangan di atas permukaan laut.
Joko Sangit semakin
mendekatkan wajahnya. Bibirnya mendesah. "Roro...! Roro... aku cinta
padamu...!
T A M A T
No comments for "Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil (Mario Gembala) 26: Sukma Kala Wrenggi"
Post a Comment