Cerita SIlat Indonesia Serial Roro Centil (Mario Gembala) 25: Tragedi Pulau Berhala
Kumpulan cerita silat / cersil Roro Centil (Mario Gembala) untuk di baca online gratis di indonesia:
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
-cerita silat jadul indonesia
-cerita silat indonesia
-cerita silat indonesia online
-cerita silat jawa online
-cerita silat jaman dulu
-cersil indonesia online gratis
-pengarang cerita silat indonesia
-cersil indonesia tamat
-cerita silat mandarin online
-cerita silat jawa
-baca cerita silat gratis
-baca online cerita silat mandarin
-cerita silat pendekar matahari
Cerita Silat Indonesia Roro Centil (Mario Gembala) episode 25
SATU
RAKIT yang terbuat dari
batang-batang kayu itu terapung-apung di tengah laut. Didayung oleh seorang
laki-laki berpakaian compang-camping. Lakilaki ini masih muda. Berusia sekitar
30 tahun.
Kabut masih agak tebal
melingkupi sekitar perairan. Sementara samar-samar di belakang rakit tampak
sebuah pulau. Tampaknya, laki-laki ini seperti ingin cepat-cepat menjauhi pulau
itu. Jelas terlihat kecemasan pada wajahnya ketika kabut mulai menipis, dan
cahaya fajar mulai membersit dari arah cakrawala.
Laki-laki ini mempercepat
mengayuh rakitnya dengan mengerahkan hampir semua kekuatan tenaganya. Berbeda
dengan mengayuh perahu yang dengan mudah bisa membelah gelombang. Akan tetapi
mengayuh rakit amatlah sulit untuk meluncur maju. Apalagi semakin ke tengah,
ombak semakin besar.
Namun semangat laki-laki itu
untuk melarikan diri dari pulau itu semakin menggebu. Jangankan ombak semacam
saat itu. Bahkan gelombang setinggi gunung pun akan diterjangnya untuk segera
lolos dari neraka Pulau Berhala.
Apa yang dikhawatirkan
laki-laki Itu memang menjadi kenyataan. Karena jauh di belakangnya di antara
gelombang, tampak timbul tenggelam beberapa buah kepala-kepala manusia. Semakin
lama semakin mendekati rakit yang bergerak lambat. Kepala-kepala yang botak
tanpa rambut itu sebentarsebentar lenyap dan sebentar kemudian timbul untuk
mengejar rakit. Pertanda si pengejar-pengejar itu adalah manusia-manusia yang
ahli bermain di air.
Jarak antara para pengejar dan
rakit itu cuma tinggal sepertiga lemparan tombak lagi. Sementara si pengayuh
rakit masih tidak mengetahui dirinya terancam bahaya maut.
Empat kepala botak ini tampak
saling memberi isyarat. Sesaat kemudian tampak di tangan masingmasing telah
tergenggam sebuah belati.
Dengan satu isyarat pada
hitungan ketiga dari jari tangan salah seorang yang diacungkan. Maka melesatlah
empat buah belati Itu menuju sasarannya....
Trang! Trang! Trang!
Sukar diduga kalau di saat
bahaya maut siap menjemput nyawa laki-laki itu, tiba-tiba berkelebat sebuah
bayangan kuning. Disusul dengan terdengarnya jeritan-jeritan parau menyayat
hati. Apakah yang terjadi?
Keempat bilah belati itu
masing-masing telah menancap di empat kepala gundul yang berada di atas
permukaan air itu.
Tampak keempatnya berkelojotan
di dalam air dengan kepala timbul tenggelam. Darah pun menyatu dengan air yang
menyibak, membuat air laut yang bergelombang Itu menjadi kemerahan.
Tak lama keempat kepala gundul
itupun tenggelam untuk tidak timbul lagi.
Bukan buatan terkejutnya
laki-laki Itu. Mata-nya membelalak melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas
rakitnya.
Dia menyaksikan sendiri ketika
melihat empat buah kepala manusia digenangi darah, sesaat sebelum keempat
kepala itu tenggelam. Segera tahulah dia apa yang telah terjadi.
"No...nona..! Sssi..siapakah anda..?" bertanya la-
ki-laki itu dengan tergagap.
Betapa tidak terkejut dia karena di hadapannya berdiri seorang gadis cantik
berambut terurai mengenakan pakaian dari kulit macan tutul.
Sementara di tangannya
tergerai seutas rantai berbandulan yang mirip dengan bentuk payudara.
Siapakah adanya dia ini,
tentunya sudah dapat diterka kalau dia adalah RORO CENTIL si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
"Hihihi..." Roro
cuma tertawa renyah tanpa menyahuti. Akan tetapi laki-laki Itu mendadak
terkejut dan hampir saja dia jatuh terguling kalau tak cepatcepat berpegang
pada batang kayu rakit. Karena mendadak rakit seperti terbang meloncat dari
atas air.
Selanjutnya rakit itu telah
membelah gelombang dengan meluncur pesat bagai anak panah melesat dari
busurnya. Laki-laki itu ternganga, dan hampirhampir tak percaya karena wanita
muda dan cantik itu cuma gunakan lengannya sesekali mengayuh, namun rakit telah
meluncur pesat bagaikan terbang. "Hebat! Luar biasa..! apakah aku
berhadapan dengan seorang Dewi Laut ataukah seorang manusia?" berdesis
laki-laki Itu dengan menatap kagum pada Roro. Yang ditatap unjukkan senyuman
manis
membuat jantung laki-laki Ini
berdebar.
"No..nona..."
Laki-laki Ini kembali ngangakan mulutnya untuk bertanya. Akan tetapi belum
habis pertanyaannya, rakit seperti terhempas keras membuat dia terlonjak kaget.
Bukan main terkejutnya dia karena rakit telah berada di atas daratan.
"Nah! kau telah selamat. Pergilah ke mana kau akan menuju. Akan tetapi aku
perlu keteranganmu mengenai pulau itu, dan siapa gerangan pengejarpengejar dan
pembokongmu yang berkepala botak itu?" berkata Roro seraya melompat ke
atas pasir.
"Terimakasih atas
pertolongan anda, nona..." lakilaki itu menjura. “Namaku Bergola. Hampir
setahun aku disekap di pulau neraka itu. Pulau itu dinamakan Pulau Berhala oleh
sang Pemimpin atau Ketua yang menamakan dirinya Paderi Mata Seribu. Orang-orang
berkepala botak yang mengejar ku adalah anak-anak buah si paderi gila
itu..." sahut Bergola.
"Paderi Mata Seribu?
gumam Roro terkejut. "Apa yang telah dilakukannya di pulau itu?"
tanya Roro dengan menatap tajam wajah Bergola.
Laki-laki ini menghela napas
sejenak. Pandangan matanya dialihkan ke tengah lautan.
Akan tetapi belum lagi Bergola
memberikan keterangan, tiba-tiba cuaca berubah gelap. Angin keras bersiutan.
Roro tersentak kaget. Terlebih lagi adalah laki-laki bernama Bergola itu.
Seketika wajahnya berubah pucat pias. Itulah pertanda pelariannya telah
diketahui oleh si Paderi Mata Seribu. Saat itu di udara tiba-tiba terlihat dua
titik cahaya merah meluncur pesat dari arah laut.
"Benda apakah itu?"
desis Roro. Sementara dia telah waspada untuk menghadapi apa yang bakal
terjadi.
Roro segera gunakan kekuatan
mata batin untuk melihat sinar merah itu. "Ah, sepasang mata yang merah
menyala?" Sentak Roro terkejut. "Apakah Ini ilmu yang digunakan si
Paderi Mata Seribu??" pikir Roro.
Belum lagi Roro melakukan
tindakan, mendadak terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan gendang
telinga. Suara itu berkumandang keras menembus anak telinga. Getaran suara itu
mempengaruhi syarap Roro. Namun cepat Roro gunakan kekuatan batinnya untuk
segera menutup pendengarannya. Sementara sepasang lengannya siap melakukan
hantaman pada cahaya merah Itu. Detik itu pula tiba-tiba Roro tersadar bahwa di
samping dia ada seorang lagi, yaitu laki-laki bernama Bergola.
"Cepat tutup
telingamu!" Teriak Roro. Akan tetapi terlambat. Bergola telah perdengarkan
suara jeritan menyayat hati. Tubuhnya terjungkal ke tanah. Berkelojotan tubuh
laki-laki itu seperti terkena stroom. Tak lama Bergola sudah tak berkutik lagi.
Diam untuk selama-lamanya.
"Keparat! memaki Roro.
Sepasang lengannya bergerak menghantam cahaya merah itu. BHLARRRR!
Dua larik sinar perak dan
pelangi meluncur menghantam cahaya itu. Sesaat setelah terjadi ledakan, cuaca
mendadak berubah terang kembali. Suara tertawa itu lenyap.
Roro Centil kerutkan alis
seraya putar tubuh untuk mengawasi sekitarnya. Tapi tak ada tanda-tanda adanya
sepasang cahaya merah itu.
Tersentak Roro seketika itu
juga untuk segera memburu ke arah Bergola.
Akan tetapi dia cuma menjumpai
tubuh yang sudah tak bernyawa lagi.
Laki-laki buronan itu telah
tewas dengan keadaan mengerikan. Dari sekujur liang di tubuhnya mengalirkan
darah kental berwarna hitam. "Setan Alas!" memaki Roro.
"Heeeiii! Paderi Iblis
Mata Seribu! keluarlah kau! Unjukkan dirimu, pengecut!" berteriak-teriak
Roro menantang. Dia yakin kalau yang telah mengeluarkan ilmu tertawa mengandung
maut itu adalah si Paderi Mata Seribu!
DUA
Tak ada sahutan. Juga tak ada
tanda-tanda lain. Semua kembali tenang. Ombak mengalun pelahan memecah di
pantai. Mata Roro membersitkan cahaya kemarahan. Tiba-tiba dia telah
perdengarkan suara lengkingan panjang. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke
arah laut lepas. Diiringi suara teriakan yang berkumandang.
"Paderi Mata Seribu!
Tunggulah kedatangan ku!"
Selanjutnya yang terlihat
adalah pemandangan yang menakjubkan. Tubuh gadis pendekar perkasa Itu
berkelebatan dan berlari-lari di atas air.
Ke manakah tujuan Roro Centil?
Ya! Ke mana lagi kalau bukan ke Pulau Berhala! Sementara kita menengok dulu
keadaan di Pulau Berhala.
Pulau Berhala adalah gugusan
dari Pulau Karimata. Terletak di antara dua buah pulau besar di sebelah Utara
laut Jawa.
Di tengah pulau itu telah
dibangun sebuah istana dikelilingi pagar tembok. Istana yang tampak megah akan
sudah terlihat dari kejauhan. Megah, juga penuh keangkeran. Karena seluruh
tembok istana bercat hitam. Tampaknya nama Pulau Berhala bukanlah nama yang tak
mempunyai arti. Karena di sekeliling pulau terlihat ratusan area dari batu.
Arca-arca alias berhala itu berbentuk paderi berkepala botak.
Arca-arca itu belumlah selesai
seluruhnya, karena tampak di sana-sini puluhan orang tengah bekerja keras
memahat batu untuk pembuatan berhala tersebut.
Siapakah adanya laki-laki yang
melarikan diri bernama Bergola Itu? Dialah salah seorang pekerja pemahat batu
dan pembuat area yang menjalani kerja paksa di bawah kekuasaan si Paderi Mata
Seribu!
Saat itu tiba-tiba di antara
kelengangan yang sesekali terdengar suara-suara dentingan pahat pemecah batu,
tiba-tiba terdengar suara seperti gong dipalu. Itulah tanda isyarat adanya
bahaya.
Belasan paderi berjubah merah
bermunculan. Sementara pekerja segera hentikan pekerjaannya. Mereka berkumpul.
Lalu digiring untuk masuk ke barak-barak yang berada di sebelah kiri Istana.
Paderi-Paderi berjubah merah
itu kemudian menebar ke sekitar pulau.
Tak lama puluhan paderi
berjubah kuning kembali bermunculan. Juga menebar ke sekitar tembok Istana. Dan
terakhir adalah puluhan paderi berjubah hitam yang berkelebatan menebar.
Sukar untuk bisa diikuti
gerakan tiga gelombang paderi yang berjubah dengan warna berlainan itu. Karena
sekejapan saja mereka telah lenyap di antara berhala-berhala yang bertebaran di
sekeliling istana. Kita beralih pada Roro Centil yang sedang menuju ke arah Pulau Berhala. Pendekar Wanita yang
kini mulai dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu telah
berniat menyatroni Pulau Berhala.
Roro memang telah mendengar
tentang adanya lenyapnya orang-orang desa di wilayah Utara yang hilang secara
misterius.
Kedatangannya ke wilayah Utara
Itu adalah untuk menyelidiki berkenaan dengan peristiwa itu.
Roro berpendapat keanehan itu
tak bisa tidak adalah karena adanya penculikan. Motif apakah kiranya dengan
penculikan-penculikan yang membuat keresahan penduduk wilayah pantai Utara
Pulau Jawa itu dia belum bisa mengetahui. Untuk itulah Roro bertekad
menyelidiki. Ketika dia tengah berkeliaran di sekitar pantai Utara dengan
mempergunakan ilmunya yaitu berjalan dan berkelebatan di atas air, Roro melihat
sebuah rakit terapung-apung berpenumpang seorang laki-laki berpakaian
compangcamping.
Orang itu adalah Bergola, yang
kemudian ditolongnya. Sayang Bergola tewas ketika munculnya dua cahaya merah
yang disusui dengan cuaca yang berubah gelap dengan mendadak. Kemudian
terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan anak telinga, yang
kemudian akibat dari suara tertawa aneh itu mengakibatkan tewasnya Bergola.
Demikianlah! Melalui sedikit keterangan dari Bergola, Roro mengambil keputusan
untuk melabrak si Paderi Mata Seribu yang menjadi pemimpin para paderi di Pulau
Berhala.
Keyakinannya begitu pasti
kalau otak dari penculikan orang-orang desa itu adalah si Paderi Mata Seribu!
Dua titik cahaya merah
tiba-tiba melesat ke luar dari dalam pintu istana Hitam diiringi oleh suara
tertawa berkakakan yang menyeramkan.
"Hoahaha... hahah...
hahaha… bersiap-siaplah kalian untuk menyambut kedatangan tetamu
"istimewa". Dialah si Macan Tutul Betina Pantai Selatan! RORO CENTIL!
Bila kita berhasil menawannya, maka kita akan segera mengadakan pesta besar.
Pesta kemenangan! Karena dialah orang yang bakal membuat kehancuran partai
kita!"
Suara tertawa itu disusui oleh
kata-kata yang berkumandang ke seantero pulau. Dan begitu selesai kata-kata
itu, tiba-tiba cahaya merah itupun lenyap. Suasanapun kembali hening. Pulau itu
seperti lengang tiada berpenghuni seorang pun.'
Dalam keadaan hening yang
mencekam itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dari arah lautan. Suara
tertawa seorang wanita yang semakin mendekat ke arah Pulau Berhala.
Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara angin bersiutan. Ombak menyemburat seperti diterjang angin
puting beliung.
Terdengar suara teriakan
terkejut bernada suara wanita. Namun selang sesaat lenyap. namun apa yang terlihat
kemudian? Sesosok tubuh terlempar ke udara. Siapa lagi kalau bukan tubuh Roro
Centil. Apakah gerangan yang terjadi dengan sang Pendekar Pantai Selatan itu?
Kiranya ketika Roro hampir
mendekati Pulau Berhala, tiba-tiba dari arah depan bersiut angin keras menerpa
tubuhnya. Gelombang besar pun menghantam tubuhnya. Gadis Ini terpekik kaget.
Tak ampun tubuhnya terlempar ke udara terbawa hempasan gelombang yang dahsyat.
Dalam keadaan yang serba aneh dan mendadak itu, Roro sesaat seperti kehilangan
kekuatannya. Karena untuk pertama kalinya inilah dia menghadapi hal semacam
ini. Namun sebagai seorang Pendekar yang sudah banyak makan asam-garam dalam
menghadapi berbagai bencana, Roro masih sempat mengkonsentrasikan daya pikirnya
untuk segera imbangi lemparan tubuhnya dengan melayang di udara mengikuti daya
kekuatan hempasan gelombang tersebut.
Tak hanya itu, Roro segera
menghimpun tenaga dalam di sekujur tubuh.
Akan tetapi pada saat itu
lapat-lapat telinganya mendengar suara bentakan. "Bocah tolol! belum saatnya
kau menyatroni Pulau Berhala!"
Di lain kejap, Roro rasakan
hempasan keras kembali menerpa tubuhnya. Kail ini Roro benar-benar lenyap
seluruh daya kekuatan panca inderanya. Pandangannya mendadak menjadi gelap. Dan
dia cuma merasakan tubuhnya seperti melayang dengan amat pesat. Namun
selanjutnya dia sudah tidak tahu apa-apa lagi.....
TIGA
Sebuah perahu sampan didayung
seorang pemuda berwajah tampan meluncur membelah selat. Gemericik bunyi air
yang tersibak. Dia seorang laki-laki yang berusia kira-kira 25 tahun lebih.
Berkulit putih. Berpakaian warna abu-abu. Menyandang pedang di punggung-nya.
Siapakah laik-laki muda yang tampan ini? Dialah SAMBU RUCI. Seorang tokoh muda
dari golongan putih yang digelari si Pendekar Selat Karimata. Akan tetapi juga
mendapat julukan si Bujang Nan Elok.
Sepasang mata pemuda ini
memandang ke sekitar selat. Tampaknya arah yang ditujunya telah semakin dekat,
karena tak lepas-lepas dia memandang ke arah sebuah bukit yang tegak menjulang
di sebelah Barat.
Bukit itu seperti membangkitkan
kenangannya pada beberapa tahun yang silam.
Di atas bukit Itulah dia
dipelihara oleh seorang tua perempuan yang berilmu tinggi.
Orang tua kosen itu bernama
Mamak Metangat. Sejak dia berusia sebelas tahun hingga sampai dua puluh tahun,
menggemblengnya dengan bermacam ilmu kedigjayaan. Hingga kemudian dia turun
gunung dengan bekal Itu dan menjadi seorang pendekar bergelar si Pendekar Selat
Karimata.
Semakin dekat ke arah bukit di
sisi selat, semakin resahlah tampaknya pemuda itu. Sementara bibirnya mulai
perdengarkan suara menggumam...
"Ah, Mak Metangat. Masih
hidupkah beliau setelah sekian tahun aku tak pernah menjenguknya?"
Dikayuhnya perahu kecil itu
untuk mempercepat perjalanan yang ditujunya. Kini bukit itu makin dekat. Makin
jelas.
Tak lama berselang setelah
kira-kira lewat sepenanak nasi, pemuda tampan itu mengayuh perahunya ke tepi.
Ujung perahu segera menyentuh tanah. Pemuda ini merapatkan badan perahu, lalu
berdiri, dan melompat ke darat.
Tak lama kemudian pemuda itu
telah bergegas untuk segera mendaki bukit. Sementara perasaannya merasa tak
enak. Hatinya waswas.
"Apakah gerangan yang
terjadi?" gumamnya. Gerakan-gerakan pemuda itu gesit sekali hingga dalam
waktu yang tak berapa lama dia telah tiba di ujung tangga undakan batu. Pada
puncak bukit itu segera terlihat sebuah pondok kayu beratap rumbia. Akan tetapi
mata Sambu Ruci terpana melihat keadaan pondok yang sudah roboh. Ketika melihat
keadaan sekeliling tempat Itu tampak porak poranda seperti baru dilanda angin
ribut.
Jantung Sambu Ruci berdetak
keras. Tak menunggu lama dia telah melompat mendekati pondok. Bibirnya
menggetar meneriakkan nama gurunya.
"Mak Guru Metangat..! Di
manakah kau..?" Beberapa kali dia memanggil. Namun tak ada sa-
hutan. Cuma suaranya saja yang
berpantulan lagi terdengar di telinganya.
Tersentak kaget pemuda ini
melihat sesosok tubuh tertelungkup di batang pohon yang roboh. Membelalaklah
mata Sambu Ruci mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu.
"GURUUU..!?"
teriaknya seraya memburu. Akan tetapi dia cuma bisa tertegun menatap dengan
mata mendelong ketika melihat sosok tubuh itu sudah menjadi kerangka yang
membusuk. Kakinya tersurut mundur.
"Guru...." Desisnya
terperangah. Jelas sekali mayat itu adalah mayat nenek tua kosen yang menjadi
gurunya. Akan tetapi dia cuma bisa menjumpai dalam keadaan telah menjadi
bangkai!
Yakinlah dia bahwa di tempat
itu telah terjadi pertarungan hebat, yang mengakibatkan tewasnya Mak Metangat.
Akan tetapi siapakah orang yang telah menewaskan gurunya Itu? Ada perselisihan apakah
hingga terjadi pertarungan di atas bukit tempat kediaman Mak Metangat?
Sambu Ruci termangu-mangu
menatap jenazah sang guru. Tak terasa air matanya menggenang di pelupuk mata.
Bau menyengat hidung membuat
Sambu Ruci tersadar dari terpakunya. Segera dia mendekati jenazah itu untuk
mengangkatnya.
Akan tetapi lagi-lagi mata
Sambu Ruci membelalak. Dilihatnya pada batang kayu terdapat guratan dalam
berbentuk tulisan.
Cepat Sambu Ruci membacanya.
Tulisan yang agaknya ditulis oleh nenek tua kosen ini di saat akhir hidupnya
bertuliskan: PADERI MATA SERIBU.
"Paderi Mata
Seribu?" sentak Sambu Ruci terkejut.
"Apakah si pembunuh guru
adalah si Paderi Mata Seribu?" desis Sambu Ruci terperangah.
Lama dia terpaku memandangi
tulisan yang tak karuan bentuknya, tapi masih dapat terbaca. Jelas Itu sebuah
tulisan yang mempunyai maksud. Dan Sambu Ruci yakin kalau si pembunuh yang
menewaskan gurunya adalah si Paderi Mata Seribu. Dia berpendapat sebelum nyawa
sang guru direnggut maut, masih sempat menuliskannya pada batang pohon dengan
guratan kuku. Masih tampak adanya tanda-tanda bekas darah.
Sepasang lengan pemuda ini
mengepal keras. Dadanya bergerak naik-turun, pertanda dia sangat gusar. Giginya
gemeretuk beradu.
Dari mulut pemuda ini
terdengar suara menggeram. "Hhh ... Paderi Mata Seribu! Tunggulah
pembalasan dendam patiku! Aku yakin kaulah yang telah membunuh guru!"
Dua tetes air mata bening pun
mengalir turun membasahi pipi si Bujang Nan Elok. Wajah pemuda ini menunduk
menahan gejolak kemarahan, kesedihan bercampur penyesalan. Dia seperti mengutuk
pada dirinya sendiri karena tak mengetahui terjadinya pertarungan itu....
Lama ... lama ... dia terunduk
dengan menahan perasaan, mengumbar kesedihan. Ketika lapat-lapat telinganya
mendengar suara orang di belakangnya. "Sudahlah! Kematian memang sudah
menjadi bagian dari setiap manusia yang hidup. Mengapa harus terlalu bersedih?
Bukankah semua manusia pada suatu saat pun akan menemui kematian? Bukankah
setiap saat manusia diancam maut? Kuburkanlah jenazah gurumu. Tak baik
membiarkannya berlamalama.
Masih untung di sekitar
wilayah ini tak ada binatang buas. Jenazah itu masih utuh dalam keadaan
sebagaimana wajarnya "
Sambu Ruci menoleh.
Terlihatlah seorang lakilaki tua berpakaian serba putih. Bahkan alis kumis dan jenggotnyapun
memutih.
Di lengan kakek tua Itu
tercekal sebuah tasbih.
Wajahnya nampak berwibawa.
"Siapakah kau orang
tua?" bertanya Sambu Ruci tertegun, sesaat setelah dia balikkan tubuh
menatap orang.
Kakek jubah putih mengelus
jenggotnya. Bibirnya sunggingkan senyuman.
"Namaku Ki Balung Putih,
anak muda. Secara kebetulan aku melewati tempat ini dan melihatmu mendaki
bukit. Aku segera mengikutimu, karena mungkin kau bisa membantuku"
menyahut si kakek.
Sambu Ruci kerutkan keningnya.
Diam-diam hatinya membatin. "Hm, kakek ini tanpa setahu-ku telah berada di
belakangku. Gerakannya tak menimbulkan suara. Tentunya seorang tua yang
berkepandaian tinggi. Pertolongan apakah yang diinginkannya?". Sejurus
antaranya Sambu Ruci termangu, Lalu ujarnya.
"Namaku Sambu Ruci"
berkata pemuda ini memperkenalkan diri. "Apakah anda tersesat jalan?"
sambungnya menduga.
Laki-laki itu gelengkan
kepala. 'Tidak! bukan hal Itu yang kuinginkan kau membantuku. Tapi hal
lain!" ujar si kakek.
"Sudahlah, nanti akan
kuceritakan. Mari kubantu dulu kau mengubur jenazah gurumu!" sergah si
kakek.
Sambu Ruci mengangguk.
"Terima kasih atas bantuanmu, kakek!" berkata Sambu Ruci. Cepat dia
pondong mayat Mamak Metangat untuk dibaringkan di tanah.
Sementara si kakek jubah putih
Itu gulung lengan jubahnya, dan rentangkan tangan.
Bles! Sepasang lengan itu
membenam sebatas siku di tanah.
Cepat sekali bekerjanya si
kakek jubah putih itu. Dalam beberapa saat saja dia telah menggali lubang yang
cukup dalam. Sambu Ruci terpaku melihat kehebatan sepasang lengan si kakek yang
seolah sepasang besi lempengan saja yang digunakan untuk menggali tanah. Dalam
waktu singkat lubang yang cukup dalam telah selesai dibuat.
"Hayo, cepat kau pendam
jenazah gurumu, sobat muda Sambu Ruci!"
Suara perintah si kakek
membuat Sambu Ruci tersadar dari keterpakuannya menatap kerja si kakek yang
membuat dia kagum.
"Oh, ya! ... baik, kek!
Ah, terima kasih! aku telah menyusahkan anda Ki Balung Putih!" sahut Sambu
Ruci.
Tak ayal dia segera pondong
tubuh jenazah untuk diterima oleh sepasang lengan Ki Balung Putih yang
merentang. Kakek ini masih berada di dalam lubang yang baru selesai dibuatnya.
Tak lama jenazah Mamak
Metangat telah dibaringkan. Ki Balung Putih segera melompat ke luar lubang.
EMPAT
Selanjutnya si kakek segera
menimbun lubang kuburan Itu dengan tanah. Sambu Ruci membantu dengan cekatan.
Hingga tak berapa lama lubang pun sudah selesai ditimbun.
Sambu Ruci menancapkan
sebongkah batu runcing di atas gundukan tanah itu. Lalu bersihkan tangannya
disertai helaan napas lega.
Akan tetapi terkejut Sambu
Ruci melihat si kakek jubah putih itu tak ada lagi di tempat itu.
"Hai? ke mana orang tua
itu?" sentaknya terkejut. "Gila! gerakannya sungguh luar biasa!
Datang dan perginya bagaikan siluman saja!" berkata Sambu Ruci dalam hati.
Selagi dia termangu itu
terdengar suara di kejauhan, di lereng bukit.
"Hoooiii! anak muda Sambu
Ruci! Segera turunlah! aku baru saja selesai mencuci tangan!"
"Haiiih! kakek yang aneh
dan hebat!" sentak Sambu Ruci.
Tak ayal dia telah melompat
dari tempat itu, setelah menjura di hadapan kuburan jenazah gurunya. Saat
berikutnya Sambu Ruci sudah bergegas turun dari atas bukit dengan
melompat-lompat.
Dilihatnya si kakek bernama Ki
Balung Putih tengah duduk ongkang-ongkang kaki di atas batu ketinggian di sisi
sungai.
Wajah dan tangannya basah.
Rupanya dia memang baru saja selesai mencuci muka dan membersihkan tangannya
yang kotor.
"Aku telah membantumu
menggali kubur mengebumikan jenazah gurumu. Kini giliran kau yang membantu
aku!" berkata si kakek.
"Ah katakan saja apa yang
perlu kubantu. Aku selalu bersedia dan siapkan tenaga untuk menolongmu
kakek!" sahut Sambu Ruci, seraya mendekati sisi sungai. Lalu membasuh
tangannya yang kotor sekaligus-mencuci muka yang penuh berkeringat dan debu.
"Haha... hehe... bagus!
Marilah kau ikut aku!" berkata si kakek sambil tertawa terkekeh. Tahutahu
dia sudah berada di belakang Sambu Ruci. Lengannya bergerak menyambar lengan
pemuda itu. Dan belum lagi Sambu Ruci tersadar, dia sudah rasa tubuhnya melayang
ke tengah air.
"Aaaah..!?"
tersentak kaget Sambu Ruci. Hatinya membatin. "Gila! apa-apaan ini? Apakah
kakek ini orang yang tidak waras?" pemuda ini gelagapan karena sekejap
lagi tubuhnya akan tercebur di air.
Akan tetapi baru saja kakinya
menyentuh permukaan air, tiba-tiba tubuhnya kembali terangkat, dan melambung
lagi. Ternyata si kakek jubah putih itu cuma menotol permukaan air dengan ujung
kaki, dan selanjutnya telah melompat lagi. Tentu saja Sambu Ruci yang engannya
dicekal kuat oleh si kakek kembali terbawa melayang.
Hal tersebut terjadi berulang
kali. Sambu Ruci terkejutnya sampai-sampai mulutnya ternganga dan tak bisa
bicara apa-apa. Sementara itu kecepatan gerakan si kakek yang melompat-lompat
di atas air begitu cepatnya, hingga dia cuma rasakan angin keras menerpa tubuh
dan wajahnya.
Dalam beberapa saat saja
tahu-tahu kakinya telah menjejak daratan.
Kakek itu segera lepaskan
cekalannya. Sambu Ruci agak terhuyung. Hampir saja ia jatuh. Kepalanya terasa
pusing. Namun segera dia pejamkan mata untuk segera menenangkan hati yang
benarbenar kaget bercampur takjub. Baru pertama kalinya dia dibawa
melompat-lompat di atas air.
"Kakek ..! ah, kau ...
kau hebat sekali!" tak terasa dia memuji dengan menatap kagum pada si
kakek.
"Hahaha... Itu cuma ilmu
meringankan tubuh yang mudah untuk dilatih. Kau sendiri pun akan mampu kelak
kalau kau mau mempelajari!" berkata si kakek.
"Oh, ajarkanlah aku ilmu
itu, kek ..!" teriak Sambu Ruci. Dan tanpa terduga oleh si kakek Ki Balung
Putih, tahu-tahu Sambu Ruci telah jatuhkan dirinya berlutut di hadapannya
seraya mengucap.
"GURU! Hari ini aku
bersumpah akan menjadi muridmu, dan mengangkatmu sebagai guru!"
"Weeelii! lho! Iho? baru
bertemu sudah mau mengangkat ku sebagai guru! Aiiii! bocah muda! Kau
bangunlah!" teriak kaget Ki Balung Putih, Namun dia cuma bisa garuk-garuk
kepala melihat anak muda itu tetap berlutut tak mau berdiri.
"Aku tak akan bangun
kalau kau orang tua belum menyatakan bersedia mengangkat ku sebagai
muridmu!" ujar Sambu Ruci. Sementara diam-diam dalam berlutut itu Sambu
Ruci tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya kebat-kebit. Dia memang telah
dengan nekat melakukan hal seperti ini, Karena dia tahu kalau saat ini adalah
saat yang amat tepat.
Musuh besarnya si Paderi Mata
Seribu dapat diduga adalah seorang tokoh yang ilmunya luar biasa tingginya.
Terbukti telah menewaskan gurunya. Kalau dia tak mengangkat guru pada kakek
aneh ini, bagaimana mungkin dia bisa membalas dendam? Sedangkan ilmunya yang
masih rendah ini bila digunakan untuk membalas dendam samalah dengan tiada
artinya.
"Wah! wah! kau memang
bocah yang keterlaluan! Baik! Baiklah! kau kuterima menjadi murid-ku! Hayo kau
bangunlah, anak muda!" Akhirnya setelah berkali-kali menggaruk kepala si
kakek jubah putih segera mengabulkan permintaan Sambu Ruci. Tentu saja bukan
kepalang girangnya hati pemuda ini. Seraya melompat dengan berjingkrak girang
dia telah memeluk Ki Balung Putih. "Oh, terimakasih, guru! Terimakasih,
guru ..!"
Barulah Sambu Ruci kemudian
melepaskan pelukannya, dengan tersipu dia menatap pada kakek itu. "Maafkan
aku, guru ..! Tentunya kau amat maklum dengan keadaanku saat ini ..!"
berkata Sambu
Ruci. Ki Balung Putih
manggut-manggut.
"Ya! ya! aku mengerti.
Untuk mencari si Paderi Mata Seribu guna menuntut balas kematian gurumu itu
memang kau harus memerlukan bekal, ilmuilmu kedigjayaan!" potong Ki Balung
Putih. Dia memang telah melihat goresan di batang pohon yang dibaca pemuda itu
yang ditulis oleh Mamak Metangat sebelum mati. Hingga dia dapat menerka apa
yang tersirat di hati pemuda itu.
"Ah, sukurlah, kau telah
mengetahuinya, guru!" berseri girang wajah Sambu Ruci.
"Sudahlah! ayo, kau
ikutilah aku!" berkata kakek itu seraya berkelebat melompati masuk hutan.
"Baik, guru! ke lubang
semut pun aku akan mengikutimu!" teriak Sambu Ruci seraya melompat
mengejar. Tak lama kedua sosok tubuh itu pun lenyap ditelan rimbunnya
hutan......
***
Gadis ini duduk di atas batu
tak bergeming menatap ke hadapannya dengan mata mendelong. Di belakangnya
sebuah pondok bambu beratap rumbia. Satu-satu pondok yang terpencil di tengah
hutan itu. Keadaan di tempat itu sunyi mencekam. Sesekali terdengar suara
burung-burung hutan menyanyikan lagi. Tapi dia seperti tak peduli dengan semua
itu,
Yang membuat aneh adalah dari
pelupuk mata si gadis mengalir air bening dan sepasang mata yang bulat itu
berkaca-kaca.
Ketika itulah terdengar suara
memanggil namanya.
"Cinderani …!"
Gadis ini menoleh dan agak
terkejut. Karena segera melihat siapa yang telah berada di belakangnya.
Cepat-cepat dia bangkit untuk segera berlutut, seraya mengucap dengan suara
gemetar.
"Kakek ... Segeralah
berikan keputusan hukuman ku! Kalau kau perintahkan aku untuk membunuh diri
sekalipun akan kulaksanakan saat ini juga!" Ki Balung Putih menatap tajam
pada muridnya. Lalu mendengus dan berkata ketus penuh wibawa.
"Cinderani! Kesalahan
yang kau perbuat tak dapat ditebus dengan membunuh diri! Apakah kau kira
perbuatan bunuh diri itu dapat memupus dosamu?
Heh! Bahkan justru akan
memperberat dosamu.
Dan kau akan mati dengan
keadaan terkutuk!" Cinderani tak menjawab, kecuali terisak-isak. Se-
juta kesedihan dan penyesalan
seperti menyesakkan dadanya. Namun sebisa-bisa dia menggigit bibir untuk
menahannya.
"Bahkan dosamu akan
bertambah berlipat ganda karena telah membunuh pula benih yang telah berada
dalam rahim mu! Tidak! aku takkan menyuruhmu membunuh diri. Akan tetapi telah
ku bawakan seorang pemuda yang akan mengawinimu agar tak membuat malu!"
lanjutkan berkata si kakek.
Tentu saja kata-kata itu
membuat si gadis menengadah menatap wajah sang kakek.
Lalu sepasang mata itu
dialihkan ke sekeliling tempat itu, mencari-cari pemuda yang dikatakan sang
guru.
Ki Balung Putih tersenyum.
Tiba-tiba lengannya bergerak untuk masukkan dua jari ke dalam mulutnya. Dan
terdengarlah suara suitan nyaring.
LIMA
Sambu Ruci yang sedang menatap
dari tempat persembunyiannya pada kedua orang itu dengan tak mengerti,
mendengar suara suitan si kakek segera melompat ke luar. Sementara hatinya jadi
berdebaran. Dia telah mendengar sendiri secara lapat-lapat pembicaraan Ki
Balung Putih dan gadis itu. Hatinya membatin. "Wah, celaka! Apakah yang
akan dimintai pertolongan si kakek adalah untuk hal ini? Celaka dua belas! Aku
telah terlanjur bersedia menolongnya, bahkan aku telah mengangkat guru padanya.
Kalau aku disuruh menikah dengan gadis itu bagaimana aku harus menolak?"
Walau demikian Sambu Ruci tak
dapat tidak memuji akan kecantikan si gadis bernama Cinderani itu.
"Muridku! perkenalkanlah!
Ini cucuku yang juga muridku bernama CINDERANI!" berkata Ki Balung Putih
pada Sambu Ruci. Gadis itu tersipu dengan mata berkejap-kejap, lalu menunduk.
Tak sepatahpun kata ke luar dari mulutnya. Sementara hatinya serasa tak
menentu. Apakah dia bergirang hati ataukah bersedih. Pemuda itu memang tampan
dan gagah. Akan tetapi apakah mungkin pemuda itu mau menikahinya, sedang dia
dalam keadaan hamil? Kalau dibandingkan dengan SOMARA mungkin Somara kalah jauh
perihal ketampanannya. Akan tetapi dia telah terlanjur mencintainya berpikir
Cinderani.
"Mulai saat ini kau tak
perlu mengingat-ingat SOMARA! Bocah edan itu mana mungkin berani tunjukkan diri
di hadapanku? Bahkan aku telah tak mengakuinya sebagai muridku lagi!" ujar
Ki Balung Putih dengan suara ketus, seperti telah mengetahui apa yang tersirat
di hati Cinderani.
"Guru ..!? Apakah
pertolonganmu itu untuk…” Sela Sambu Ruci dengan wajah memerah. Akan tetapi
telah dipotong oleh Ki Balung Putih.
"Sambu Ruci! kau telah
menjadi muridku. Dan kau telah mengatakan bahwa kau bersedia menolongku.
Setelah kau menikahi gadis muridku Ini, kau harus cari si Somara itu untuk
membunuhnya. Dan kau tak dapat menolak keputusanku. Ingat! kau adalah muridku
yang harus menuruti apa yang diinginkan gurunya!"
"Ba... baik..! Guru! akan
tetapi Kalau cuma untuk menutupi malumu, kukira tidaklah akan membuat
pernikahan bahagia. Menurutku cinta tak dapat dipaksakan!" dengan tergagap
Sambu terpaksa menyahuti.
"Hm, kata-katamu mungkin
benar! Akan tetapi betapa aku amat membenci pada si SOMARA itu. Enam tahun aku
mendidiknya agar menjadi seorang murid yang berjiwa pendekar. Setelah turun
gunung ternyata membuat namaku jadi tercemar. Dia telah melakukan perbuatan
kotor di mana-mana. Dan yang sungguh membuatku menyesal mengangkat murid pada
si jahanam itu adalah, justru dia telah pula melakukan perbuatan kotor pula
pada adik seperguruannya sendiri! Sungguh amat memalukan! Kalau saja tidak
memandang benih yang telah tumbuh di rahim muridku ini, tentu siang-siang aku
telah membunuhnya!" berkata Ki Balung Putih dengan menunjuk pada
Cinderani.
Sepasang matanya berbinar-binar
karena kemarahannya.
"Hm, katakan Cinderani!
apakah kamu masih tetap mencintai si Somara murid durhaka itu?" Tibatiba
Ki Balung Putih membentak muridnya.
Tergetar tubuh si gadis. Akan
tetapi dia tak menjawab apa-apa, kecuali kembali terisak-isak. Sambu Ruci jadi
terpaku dengan tenggorokan serasa tersumbat. Mau tak mau hatinya menjadi
trenyuh dan kasihan pada si gadis.
"Kalau kau tak mau
menjawab, biarlah aku saja yang membunuh diri!" teriak Ki Balung Putih.
Tibatiba dia gerakkan lengannya menghantam kepalanya sendiri.
"Guruuuu!" teriak
Cinderani tersentak kaget. Sambu Ruci jadi terperangah kaget. Sungguh dia tak
menduga Kalau si kakek itu akan mengemplangkan lengannya sendiri ke batok
kepalanya. Untuk menggagalkan niat itu sangatlah sukar karena kata-kata dan
gerakan lengan si kakek begitu cepat.
Akan tetapi ternyata gerakan
lengan si kakek tertahan cuma seinci di kulit batok kepala. Telapak tangan si
kakek miring ke sisi kepala. Dan ....
Bhaarrrr! Krrrraaaak!'
Batang pohon di belakang si kakek
hancur. Dan dengan suara bergrotakan batang pohon itu rebah ke tanah. Tampak
telapak tangan Ki Balung Putih kepulkan asap putih tipis yang timbulkan hawa
panas.
Membelalak mata Sambu Ruci.
Kakek itu ternyata bukan berkata main-main.
Kalau pukulan itu tak
dibelokkan ke sisi tentu batok kepala si kakek sudah hancur.
"Guru...! baiklah, guru!
Aku berjanji takkan mengingat Somara lagi. Maafkan aku, guru..." teriak
histeris Cinderani seraya memburu dan memeluk kaki orang tua itu dengan
terisak-isak.
Ki Balung Putih berdiri kaku
tak bergeming. "Bersediakah kau menikah dengan anak muda
ini?" berkata Ki Balung
Putih datar.
"Aku... aku bersedia,
guru. Aku takkan menolak apa yang telah menjadi kemauanmu..! sahut si gadis
tegas, seraya melepaskan pelukan dan mengusap air matanya. Kemudian bangkit
berdiri. Ditatapnya wajah sang kakek yang telah merawatnya sejak dia berusia
sepuluh tahun.
"Guru, kini aku harus
tanyakan pada pemuda itu, apakah dia bersedia menikahi ku?" berkata
Cinderani.
Akan tetapi Ki Balung Putih
justru tertawa berkakakan hingga terkekeh-kekeh.
"hiehehe ... heheh ....
Pemuda ini takkan menolak. Kau tak perlu khawatir!" ujarnya.
"Nah! kau telah dengar
semuanya, Sambu Ruci. Apakah yang akan kau katakan?" bertanya Ki Balung
Putih dengan menatap tajam pada Sambu Ruci. Sambu Ruci menatap pada Ki Balung
Putih dan Cinderani berganti-ganti. Lalu menghela napas.
"Yah, apa yang bisa
kutolong, tentu akan kulakukan. Asalkan semua itu demi kebaikan kalian!"
berkata Sambu Ruci. "Haha .. heheh ... bagus! bagus! Sudah kuduga, kau
tentu takkan menolak. Nah, kalian berkenalanlah lebih dekat. Dua hari lagi kau
segera menikah!" Selesai berkata dengan girang, si kakek berkelebat
melompat masuk ke dalam pondok. Akan tetapi kembali merandek.
"Sambu Ruci! muridku yang
baik! aku akan wariskan ilmu silatku yang belum pernah kuturunkan pada semua
muridku padamu. Akan tetapi nanti, setelah kalian resmi menikah!"
Selesai mengucap kakek Ini
lenyap di balik pintu pondok yang kemudian menutup rapat.
Sambu Ruci tersenyum
menggumam. "Aiiih, kakek yang aneh!". Kedua pasang mata itu pun
saling beradu dan tampak mereka sama-sama tersenyum.
Namun kemudian Cinderani
tertunduk dan tersipu.
Dua hari kemudian, tampak
seorang pemuda gagah tengah berlatih dengan tekun menerima petunjuk KI Balung
Putih mempelajari ilmu-ilmu kedigjayaan. Dialah Sambu Ruci alias si Bujang Nan
Elok. Sementara si gadis bernama Cinderani duduk di atas tangga pondok
memperhatikan dari kejauhan.
Pernikahan Sambu Ruci
dengannya telah resmi. Semuanya berjalan tanpa ada halangan apa-apa. Akan
tetapi Cinderani di malam pernikahan itu tak merasa disentuh sedikitpun oleh
Sambu Ruci suaminya.
"Pernikahan aneh!"
gumamnya. Masih terbayang ketika mereka sama-sama membisu dalam bilik satu
kamar. Sementara Cinderani gelisah, namun Sambu Ruci malahan tidur pulas dengan
mendengkur.
"Sambu Ruci juga aneh.
Apakah dia cuma bermaksud menolongku saja untuk menghapus malu guru?"
desisnya pelahan. Sementara matanya menatap pada laki-laki muda itu yang masih
tekun berlatih. Sebentar-sebentar terdengar suara teriakannya menggema di
sekitar hutan lengang Itu.
Gerakan-gerakan Sambu Ruci
dalam mempelajari setiap jurus baru yang diperolehnya tak pernah mengalami
kesukaran. Karena di samping Itu dia seorang yang berotak cerdas juga telah
memiliki dasar-dasar ilmu silat. Bahkan memang tak dapat dikatakan rendah ilmu
yang dimilikinya.
"Bagus! tiga jurus
barusan adalah jurus-jurus yang kunamakan Tiga Kera Sakti Berebut
Makanan!" berkata Ki Balung Putih.
"Masih ada waktu untukmu
melatih ilmu-ilmu itu dengan lebih sempurna. Kukira cukup satu bulan kau
menerima dan mempelajari kesembilan jurus Ilmu ciptaanku! Bulan depan barulah
kau mulai mempelajari ilmu berjalan dan berlari di atas air!"
"Ah, terimakasih atas
semua itu, guru!" sahut Sambu Ruci seraya menghapus keringat di dahi.
"Hm, setelah satu bulan
lagi, kau harus meninggalkan tempat ini. Tugasmu yang utama adalah mencari di
mana adanya si SOMARA murid durhaka itu untuk kau kirim nyawanya ke Akhirat.
Selesai dengan tugasmu kau boleh pergi ke mana kau suka. Atau mungkin kau akan
mencari si PADERI MATA SERIBU?" bertanya Ki Balung Putih.
"Benar, guru! Tiada lain
itulah yang kunantikan!" sahut Sambu Ruci. "Tapi apakah aku harus
turun gunung berdua dengan Cinderani?" tanyanya dengan menatap pada Ki
Balung Putih.
"Tentu saja, Dia telah
menjadi istrimu yang syah! Kau harus menjaganya dan menyayanginya dengan
sepenuh hati!" bentak Ki Balung Putih dengan mata mendelik.
"Oh, ya! ya! akan kuingat
selalu pesan itu guru..!" berkata Sambu Ruci dengan tergagap.
"Bagus! Nah, kau
teruskanlah latihanmu!" ujar Ki Balung Putih dengan tersenyum. Lalu
balikkan tubuh dan melangkah ke arah pondok.
Sambu Ruci mengangguk. Sejenak
melirik pada Cinderani yang masih duduk di tangga pondok, yang kemudian beranjak
masuk ketika kakek itu mendatangi.
Namun Sambu Ruci tak
memperhatikan lagi. Karena segera dia mulai menghapal jurus-jurus Tiga Kera
Sakti Berebut Makanan.
Jurus-jurus baru yang
dipelajarinya itu memang hebat luar biasa.
Semangat Sambu Ruci untuk
cepat memiliki jurus tersebut demikian menggebu.
Semua itu demi tujuannya yang
satu. Yaitu mencari si Paderi Mata Seribu untuk kelak membalas dendam kematian
gurunya Mamak Metangat.
ENAM
Kita tinggalkan dulu keadaan
ketiga orang di hutan sunyi itu. Kita beralih pada nasib Roro Centil yang
dibawa terbang angin puting-beliung dengan cepat. Sampai-sampai Roro tak
sadarkan diri, tak Ingat apa-apa lagi pada dirinya.
Entah beberapa saat lamanya
Roro tak mengetahui. Ketika lapat-lapat kembali dia mendengar suara untuk kedua
kalinya. "Bukalah matamu, bocah Centil!"
Roro seperti tersentak kaget
dan sekejap membuka matanya. Suara itu adalah suara yang amat dikenalnya. Yaitu
suara gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan atau si Manusia Band.
Ketika memandang ke sekeliling
dia seperti bermimpi karena melihat dirinya berada di sebuah tempat yang amat
asing baginya.
"Ah!? Di manakah aku?
Tempat apakah ini?" bergumam Roro dengan menatap takjub pada
sekelilingnya. Sekitar tempat itu terhampar pasir putih berkilauan laksana
perak. Tumbuh-tumbuhan di tempat itu seperti dalam khayalan saja. Aneh! baru
pertama kail dia melihatnya. Terdiri dari pohonpohon tanpa daun. Akan tetapi
penuh dengan cabang yang berjuluran seperti ular.
Cendawan warna-warni
berserakan di tanah berpasir putih itu. Sementara dia termangu, kembali
terdengar suara itu lagi.
"Bocah Centil!" Kau
tak usah terkejut. Kau berada di negeri Siluman. inilah tempat kakek gurumu
Begawan Bhama Kosala!"
Tersentak Roro Centil. Dan
serta merta dia berteriak girang.
"Guru ..! Di manakah kau?
Mengapa kau tak menampakkan dirimu?"
Mata Roro jelalatan memandang
ke arah datangnya suara.
"Hihihi ... aku telah
berada di alam halus. Pertemuan Ini adalah pertemuan yang terakhir. Karena
sudah masanya aku meninggalkan dunia fana!" menyahut suara gaib itu. Roro
tertegun. Mendadak sepasang mata gadis ini berkaca-kaca.
"Guru ..! benarkah kau
sudah mati?" tanya Roro tersendat.
"Aiii! bocah Centil!
bukankah si Joko Sangit telah menceritakan padamu tentang apa yang terjadi?
Bahkan tombak pusaka Ratu Syima milik si Dewa Tengkorak kekasihku itupun telah
dipulangkan ke istana Kerajaan Mataram, sudah tak berada di Pantai Selatan
lagi!" sahut suara gaib itu.
"Akan tetapi guru sering
muncul dan sering membisikkan ke telingaku untuk memberi petunjuk. Bahkan
menolongku hingga kail terakhir ini!" tukas Roro penasaran. Suara gaib itu
terdengar tertawa.
"Hihihi ... memang. Tapi
kali ini adalah kali yang terakhir sekali. Karena setelah ini habislah masa
hidupku di alam halus. Di tempat ini kau akan dibimbing oleh guruku. Beliau
termasuk kakek gurumu. Segeralah kau temui dia untuk kau menerima petunjuk dari
beliau!" berkata suara gaib itu.
"Aku akan menurut apa
petunjukmu, guru ... Akan tetapi berilah aku kesempatan melihat wajahmu. Untuk
yang terakhir, guru .." berkata Roro dengan terisak.
"Aiiihh! bocah tolol! kau
masih saja cengeng! Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjang mu. Ternyata
kau seorang yang berbakti pada gurumu. Kau telah membalaskan dendam membunuh
musuh-musuh gurumu, yaitu istri-istri si Dewa Tengkorak. Baiklah! untuk yang
terakhir kali ini akan kabulkan permintaan mu. Cuma satu hal yang harus kau
penuhi dari permintaanku." ujar suara gaib si Manusia Banci.
"Apakah itu, guru?"
tanya Roro mendesak. "Sudahkah kau mendengar pesanku melalui JOKO
SANGIT?"
"Selain mengatakan
tentang kematianmu, dia tak mengatakan apa-apa lagi. Tapi dia ada berkata bahwa
belum waktunya dia menyampaikan satu pesan darimu, guru. Aku sendiri tak pernah
menanyakannya!" sahut Roro.
"Yah! aku tahu apa yang
menjadikan halangan Joko Sangit, murid Ki Jagur Wedha si Pendekar Gentayangan
itu. Dia akan tetap berusaha mengungguli kesaktianmu. Dan tak akan
mengatakannya sebelum dia berhasil!" Roro ternganga. Lalu manggut-manggut.
"Guru ..! Apakah
sebenarnya yang kau pesankan itu? katakanlah, guru!" sela Roro dengan
perasaan tak menentu.
"Baiklah! Pesanku itu
akan ku utarakan padamu! Yang kuinginkan adalah cuma satu hal. Yaitu kau
menikahlah dengan JOKO SANGIT!" berkata suara gaib si Manusia Banci. Roro
laksana mendengar guntur di slang hari. Suara itu terngiang-ngiang di
telinganya. Bergetarlah suara Roro.
"Guru...! aku tak
berdaya. Hal itu terserah dia sendiri. Karena sebagai seorang perempuan, aku
cuma menunggu pernyataan darinya. Sayang aku baru mengetahui sekarang. Kalau
saja aku mendengarnya sejak dulu, mana mungkin aku mengabaikan perintah guru?
Aku ... aku tak dapat berdusta, guru. Akupun mencintainya. Tapi semua itu tak
mungkin bila dia belum mampu mengungguli Ilmu kedigjayaan yang kumiliki! Tampaknya
dia patah hati dan tak pernah mau berjumpa denganku!" berkata Roro dengan
suara datar agar trenyuh. "Hihihi... semuanya dapat kau atur! Bukankah kau
seorang muridku yang tolol, tapi cerdik?" Nah, pergunakanlah ilmu mata
batinmu. Aku akan memperlihatkan diri untuk saat terakhir ini ..!" berkata
suara gaib itu.
Roro Centil tak ayal segera
turutkan perintah, untuk gunakan ilmu pandangan mata batin. Namun tetap dia tak
melihat apa-apa.
"Segera kau akan melihat
wajah gurumu, bocah Centil!" berkata suara gaib si Manusia Banci. Dan
tiba-tiba di hadapan Roro terlihat segumpal asap putih yang semakin lama
semakin tebal. Lalu membentuk sesosok tubuh. Semakin lama semakin sempurna.
Hingga kejap berikutnya di hadapan Roro terlihat sesosok tubuh wanita cantik
berpakaian sutera putih. Itulah sosok tubuh si Manusia Aneh Pantai Selatan
alias si Manusia Banci.
"Guru ...!" teriak
Roro girang. "Ah, kau amat cantik sekali, guru...!" terperangah Roro
melihatnya. Arwah si Manusia Banci tersenyum menatap Roro dengan mata
bercahaya. Akan tetapi cuma sekejap. Ya! teramat cepat sekali. Roro belum puas
menatap, sosok tubuh jelmaan itu telah lenyap sirna.
"GURUUUU!" teriakan
Roro membarengi lenyapnya sosok tubuh sang guru yang telah mewarisi ilmu-ilmu
kedigjayaan yang membuat dia bergelar dengan gelar si Pendekar Wanita Pantai
Selatan.
Suara teriakannya terdengar
lagi berpantulan. Dan Roro tertegun bagai arca. Menatap ke hadapannya dengan
terlongong. Alam serasa hening seperti dalam mimpi.
Dua titik air mata dara ini
meleleh ke pipi. Terdengar suara Roro pelahan bercampur isak. "Selamat
jalan guru ..! Semoga arwahmu mendapat ketenangan di alam Baka ..!"
Di saat Roro tengah
termangu-mangu itulah tibatiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Roro
tersentak kaget seraya menghapus air matanya. Membelalak mata Roro melihat
batang-batang pohon tanpa daun itu tiba-tiba berjuluran bagaikan ular ke
arahnya.
Tentu saja Roro segera sadar
bahaya apa yang mengancam pada dirinya.
Dengan perdengarkan teriakan
keras dia melompat menghindar. Secara reflek lengannya bergerak menghantam.
Bhlarrr! Bhlarrrl.
Dua hantaman itu membuat
batang-batang pohon yang berjuluran bagai ular itu hancur bertebaran. Akan
tetapi sejenak Roro ternganga karena melihat dirinya telah terkurung oleh
ratusan potongan batang pohon yang bergerak menghambur bagaikan lintah-lintah
raksasa ke arahnya.
"Edan! Gila! makhluk
apakah ini?" sentak Roro terperanjat.
Di samping ngeri juga merasa
aneh, Roro bertindak cepat untuk menghalau "lintah-lintah raksasa itu
dengan hantaman pukulan-pukulan-nya. Berlompatanlah Roro di antara
serpihan-serpihan hidup yang menakutkan itu.
Gerakan Roro yang cekatan itu
memang membuat "lintah-lintah raksasa" itu hancur bertebaran jadi
bubuk. Dan dia berhasil menjauhi dengan berlompat sejauh dua puluh tombak. Akan
tetapi sejenak Roro terpana melihat seekor makhluk raksasa mirip ulat bulu
menghadang di depan. Makhluk yang beruasruas itu mendesis. Dari mulutnya yang
bertaring tajam menyembur uap putih. Uap itu menimbulkan hawa yang membuat
kepalanya menjadi pening. Namun Roro tak segera berdiam diri. Dengan keberanian
luar biasa dia menerjang makhluk itu.
Pukulan dengan jurus-jurus
Sinar Perak Pelangi berkilatan menghantam. Akan tetapi luar biasa. Makhluk itu
amat kebal. Bahkan secara cepat Roro sudah terdesak. Kali ini Roro terpaksa
harus menghindari diri dari serangan uap-uap beracun yang membuat kepalanya
semakin pening.
Roro terhuyung mundur dengan
melompat lompat. Namun Lagi-lagi uap yang menyembur dari mulut makhluk itu
kembali menerjangnya.
Roro kehilangan konsentrasi.
Dia mulai kena cengkeraman kaki-kaki sang ulat raksasa. Tubuhnya telah berada
di depan moncong makhluk itu.
Dalam saat demikianlah Roro
gunakan ilmu dari si Manusia Gurun Pasir.
T U J U H
Jurus Malaikat Gurun Pasir
Merambah Iblis segera digunakan. Sepasang lengan Roro bergerak menghantam.
BHLARRR!
Dentuman keras terdengar. Akan
tetapi berbareng dengan Itu, tubuh Roro pun terlempar ke udara. Roro telah
kehilangan kesadarannya karena telah menghisap uap beracun yang membuat dia tak
sadarkan diri. Namun detik tadi dia telah mampu gunakan jurus si Manusia Gurun
Pasir yang ampuh.
Makhluk raksasa mengerikan itu
mendadak lenyap. Dan ... sebuah cahaya kuning tiba-tiba membersit ke arah tubuh
Roro. Kejadian aneh segera berlangsung.
Tubuh Roro lenyap terbungkus
dalam kemilau cahaya kuning itu. Sementara cahaya itu sendiri meluncur ke arah
puncak bukit di pulau aneh itu.....
Lalu lenyap.
Ketika Roro sadarkan diri
lagi, dia terkejut melihat dirinya telah berada disatu ruangan berlantai
marmar. Dinding ruangan Ku putih berkilat-kilat. Sebuah ruangan yang amat luas.
Yang membuat Roro lebih terpana adalah di hadapannya tampak sebuah arca seorang
kakek. Area batu yang sudah berlumut.
Dalam keadaan tertegun
kebingungan Kulah Roro mendengar suara gaib dari arah arca.
"Cucuku ...! Jangan
terkejut. Kau telah berada di tempatku. Akulah kakek gurumu yang bergelar
Bagawan BHAMA KOSALA! Heheheh ... selamat datang cucuku yang cantik!"
Terperangah Roro karena jelas
dia mendengar suara Ku dari arah arca. Akan tetapi apakah patung manusia itu
yang bicara? pikir Roro.
Namun mendengar nama Bagawan
Bhama Kosala, Roro cepat-cepat bangkit dan jatuhkan dirinya berlutut di hadapan
patung.
"Kakek guru, terimalah
sembah sungkem ku. Aku Roro Centil telah membuat huru-hara di tempat
kediamanmu!" berkata Roro. Dia tak peduli apakah area itu yang bicara atau
bukan. Tapi yakin kalau suara gaib itu datangnya dari arah arca.
Suatu keanehan tiba-tiba
terjadi. Area batu yang mirip seorang kakek tua yang sudah berlumut itu
mendadak lenyap. Dan asap putih tipis membumbung. Mata Roro terbelalak melihat
dibekas arca telah menjelma sesosok tubuh yang amat mirip dengan patung kakek
tua itu.
"Ah? apakah ini kakek
guru Bagawan BHAMA KOSALA?" berdesis Roro.
"Hehehe ... bocah cucuku.
Apakah kau bersedia menjadi muridku?" bertanya kakek jubah putih yang
mirip dengan sosok arca itu. Sepasang mata dari seseorang tua yang berusia
lanjut sekali. Berjenggot kelabu. Berhidung mancung. Sepasang matanya bersinar.
"Atas perintah guruku aku
memang dibawa ke tempat ini adalah untuk itu, kakek! Tentu saja aku amat
berterima kasih Kalau kau mau mengangkat ku sebagai murid!" ucap Roro
dengan menunduk hormat. Sementara hatinya berdebar-debar. Semua kejadian ini
amat misterius dan dia seperti berada di alam gaib yang amat menakjubkan.
Bagawan Bhama Kosala tertawa
mengekeh. Suaranya membuat bulu roma Roro meremang.
"Sebenarnya ilmu
kedigjayaan mu sudah tinggi. Akan tetapi sudah menjadi kodrat bahwa di atas
langit masih ada langit lagi. Aku akan berikan tiga macam Ilmu padamu. Ya, tiga
macam ilmu kedigjayaan yang mungkin bisa membuat kau lebih perkasa, cucuku.
ilmu ini adalah ilmu yang cuma berada di negeri siluman. Yang bisa dipergunakan
untuk bekalmu menghadapi musuh-musuhmu yang juga berilmu siluman. Setelah itu
kau boleh kembali ke dunia manusia!
Akan tetapi ingatlah. Jangan
kau pergunakan ilmu ini untuk perbuatan yang tidak baik!" tutur Bagawan
Bhama Kosala.
"Murid akan selalu ingat
akan wejangan mu, kakek guru!" sahut Roro dengan girang.
"Aku percaya akan
pribadimu!" tersenyum sang Begawan. "Nah, hari ini juga kau mulailah
mempelajari!"
"Terimakasih, kakek guru!
ujar Roro dengan mengangguk girang.
Si kakek menunjuk ke arah
sebuah batu putih bagai pualam di sudut ruangan. Nah! kau bertapalah di atas
batu itu selama empat puluh hari empat puluh malam.
Bila kau sanggup melewati
ujian ini maka kau berhak menerima ketiga macam ilmu dariku." berkata
Bagawan Bhama Kosala. Roro menatap ke arah tempat itu lalu mengangguk.
"Kalau persyaratan untuk
menerima ketiga macam ilmu itu adalah demikian, tentu aku akan mencobanya,
kakek guru!" tandas Roro.
"Sukurlah! Semoga kau
lulus dalam ujian itu!" Bagawan Bhama Kosala manggut-manggut sambil
mengelus jenggotnya. Akan tetapi sekejap kemudian tubuhnya lenyap sirna.
Roro ternganga. Walaupun dia
mempergunakan mata batin namun tetap tak mampu melihat ke mana lenyapnya tubuh
kakek bagawan itu.
Namun tak lama kemudian Roro
sudah melompat ke sudut ruangan. Kemudian segera mulai mengatur kaki untuk
duduk bersila. Segeralah dia memulai tapanya....
*** Pulau Berhala mulai
menunjukkan kekuasaannya. Kecemasan mengembara ke setiap daerah. Karena sang
ketua para paderi itu mulai haus pada wanita-wanita cantik. Pulau Berhala
memang amat sukar untuk didatangi golongan lain yang berniat menyelidiki pulau
itu. Karena penjagaan yang ketat. Di samping ratusan paderi dari Istana Hitam
siap mencabut nyawa!
Belasan manusia berkepala
gundul tampak bersembulan di permukaan air menyeberangi pulau. Tak sebuahpun perahu
nelayan berani mendekati pulau itu. Dalam beberapa saat saja mereka telah
mendarat di pantai pasir.
Mereka saling memberi isyarat.
Lalu segera menyebar.
Gerakan mereka cepat sekali
karena dalam beberapa kejap saja sosok-sosok tubuh itu langsung lenyap.
Pantaipun kembali sunyi
mencekam....
Akan tetapi ternyata sepasang
mata telah memperhatikan pendaratan itu dengan mata bersinar. Itulah sepasang
mata dari sesosok tubuh.
Sosok tubuh seorang laki-laki
yang juga berkepala botak.
Laki-laki yang berpakaian
jubah hijau dan sudah agak butut itu memang mirip dengan Paderi-Paderi itu.
Akan tetapi jelaslah kalau paderi ini bukan segolongan dengan para paderi Pulau
Berhala .
"Keparat! mereka mulai
mencari korban lagi! aku harus segera melaporkan!" berbisik mulut paderi
ini. Sepasang matanya menyorotkan kegemasan menatap para paderi Pulau Berhala
yang berkelebatan lenyap. Dia bangkit berdiri. Menyibak semak. Dan! berkelebat
ke arah yang berlawanan dengan paderi itu.
Kita beralih kesatu tempat
tersembunyi tak jauh dari pantai.
Beberapa buah kemah tampak
berada di sekitar itu. Dan tampak para penjaga yang rata-rata berpakaian serupa
dengan paderi itu.
Ketika paderi berjubah hijau
itu muncul, dua orang segera melompat untuk menyambut kedatangannya.
"Bagaimana? Apakah mereka
mulai bergerak hari ini?" tanya salah seorang.
"Benar! Belasan paderi
keparat Pulau Berhala itu sudah menyebar di wilayah ini. Agaknya mereka mulai
mengadakan penculikan lagi!" menyahut dia.
"Segera laporkan pada
guru!" berkata kawannya yang menjaga.
Paderi muda yang rupanya
menjadi mata-mata untuk mengintai di sekitar pantai itu mengangguk. Segera dia
bergegas menghampiri sebuah kemah yang paling besar.
Pintu kemah agak terbuka. Dia
segera melongok ke dalam. Akan tetapi melongo mulut paderi ini karena tak
menjumpai gurunya di situ.
Beberapa orang segera ke luar
dari dalam kemah. "Guru tidak ada!
apakah kalian mengetahui ke
mana perginya beliau?"
bertanya paderi muda ini. "Kami juga tak mengetahui! Ah, tentu kau mem-
bawa berita pengintaian dari
pantai!" bertanya kawannya.
"Ya! belasan orang paderi
Pulau Berhala mendarat. Tentu akan memulai lagi penculikan terhadap
wanita-wanita. Hal ini harus diketahui guru! Kita tak dapat membiarkan mereka
membuat kejahatan lagi!"
Semua murid-murid yang berada
di tempat itu cuma saling pandang karena tak mengetahui ke mana perginya sang
guru.
Sementara itu belasan orang
paderi itu telah menebar ke pelosok, memasuki desa. Terdengar suara jeritan
perempuan dari kejauhan. Akan tetapi cuma sekejap. Suara itu lenyap. Dua orang
penduduk saling pandang.
"He? Seperti suara orang
menjerit. Coba kau periksa. Jangan-jangan ada kejadian penculikan lagi!"
"Ya! mari kita
periksa!" sahut kawannya. Kedua laki-laki itu menghunus golok dan bergegas
untuk berlari menghampiri sebuah pondok. Itulah pondok yang menjadi arah sumber
suara jeritan tadi.
Tiga sosok tubuh tampak
berloncatan dari dalam pondok itu menerjang pintu. Benar dugaan kedua laki-laki
penduduk itu. Karena mereka melihat salah seorang memondong tubuh wanita.
"Keparat! bangsat tengik!
lepaskan gadis itu! Kiranya kalianlah penculik-penculik yang selama ini
merajalela!" membentak salah satu dari kedua lelaki desa itu. Segera dia
tahu gadis itu adalah Mariamah, yang menjadi giliran korban penculikan.
Dua laki-laki ini melompat
menghadang ketiga paderi itu. Akan tetapi salah seorang gerakkan tangannya. Dua
benda berkilat menyambar ke arah tenggorokan kedua laki-laki itu. Dan kejap
berikutnya, terdengar suara teriakan parau. Tubuh dua lelaki desa itu
terjungkal roboh. Dua benda belati kecil itu telah membenam di tenggorokan
mereka masingmasing. Berkelojotan tubuh pemuda desa itu. Namun sejenak terkapar
lepaskan nyawa.
D E L A P A N
Sementara itu di Pulau
Berhala..... Istana Hitam yang angker misterius itu seperti lengang tak
berpenghuni. Namun sesungguhnya di dalam satu ruangan besar di dalam istana
tengah menjalankan upacara.
Upacara yang dihadiri oleh
ratusan paderi berkumpul berbaris dengan rapi. Di depan mereka pada sebuah
altar tempat paderi-paderi berpakaian serba hitam dengan cadar penutup muka,
berdiri seperti menanti kedatangan ketua mereka. Sementara sebuah pedupaan yang
besar kepulkan asap berbau harum. Dua orang algojo memegang kapak besar siap
menjalankan tugas. Upacara apakah ini? inilah upacara keagamaan mereka yang
mereka anut. Tentu saja upacara yang sesat karena paderi-paderi itu bukanlah
paderi yang menjalankan sebagaimana lazimnya paderi.
Dalam sebuah ruangan di
belakang tembok ruang depan Istana tampak seorang laki-laki bertubuh tegap.
Berusia sekitar lima puluh tahun. Berkepala separoh botak. Akan tetapi pada
bagian belakang tampak sedikit rambut yang di kepang menjuntai ke belakang
punggung. Pada bagian dada orang Ini tampak bertato seekor kelelawar berkepala
ular. inilah sang ketua mereka yang mempunyai gelar si PADERI MATA SERIBU.
Paderi tua bertubuh tegap Ini bermuka kasar dengan kulit muka hitam. Kumis dan
jenggotnya berwarna kelabu. Sepasang matanya biru. Dia dalam keadaan berdiri
separuh telanjang di ruangan itu yang menjadi tempat peristirahatannya.
Di hadapannya adalah tujuh
orang gadis yang dalam keadaan terikat di tujuh dipan kayu dengan keadaan tanpa
busana.
Ketujuhnya dalam keadaan pucat
ketakutan. Mereka tahu apa yang bakal terjadi pada mereka. Karena sang ketua ini
telah mulai melepaskan jubah bagian bawah. Sepasang kaki manusia ini yang
bertelapak besar mulai menghampiri dipan bagian ujung. Gadis itu meronta di
atas dipan dengan ketakutan. Sepasang matanya membelalak menatap si Paderi Mata
Seribu yang menyeringai menatap sang gadis dengan mala membinar.
"Hahahhehe .. heheh ...
giliran pertama adalah kau, gadis manis!"
"Tidak! tidak! lepaskan
aku... jangaaan!" teriakan si gadis memecah keheningan dalam ruangan
kamar. Akan tetapi mana dia mampu menghindar dari nasib yang bakal menimpanya?
Dengan derai tawa iblis dan
dengus yang menyembur-nyembur lengannya menerkam mangsanya. Menggeliat gadis
itu tak berdaya.
Sementara gadis-gadis korban
lainnya cuma bisa palingkan muka dengan air mata berderai. Bahkan salah satu gadis
itu telah menangis terisak-isak.
Gadis dipan pertama itu tak
dapat menghindari lagi. Namun dia keburu pingsan sebelum dia mengetahui
kelanjutannya ....
"Keparat!" ternyata
paderi Mata Seribu justru gusar. Lengannya bergerak mencengkeram leher; wanita
itu ... Kraaak! Tak ampun lagi gadis itu berkelojotan dan tewas seketika dengan
tulang leher remuk. Dengan segera dia bangkit menghampiri dipan kedua. Selesai
dengan hajatnya giliran pada dipan ketiga. Demikianlah seterusnya hingga pada
dipan ketujuh. Manusia ini memang punya tenaga hebat luar biasa.
Sementara itu di luar para
paderi anak buah-nya menanti dengan sabar.
Ketika tak lama berselang
pintu ruangan di belakang altar terbuka. Dua orang algojo segera masuk. Tak
lama keluar lagi dengan menyeret sesosok tubuh wanita yang berlumuran darah.
Tubuh itu adalah tubuh wanita yang tewas di dipan pertama dalam ruangan kamar
tadi. Setelah dipertontonkan pada para paderi dua algojo menyeretnya ke dalam
satu ruangan. Pada ruangan ini terdapat sebuah ruangan dalam tanah. Ternyata di
ruangan bawah tanah itu penuh dengan ratusan ular. Mayat wanita itu dilemparkan
ke dalam ruang tersebut. Segera saja ratusan ular itu memburunya.
Ruangan itu ditutup lagi. Dua
algojo kembali masuk ke dalam ruang di belakang altar. Kini menyeret sesosok
tubuh wanita lagi.
Pemandangan yang tragis segera
dipertontonkan. Kepala gadis itu dipenggal putus. Kepalanya dilemparkan ke arah
ratusan paderi yang menonton upacara itu. Segera saja terjadi kegaduhan. Mereka
berebut untuk merebut kepala Itu untuk menghirup darahnya.
Demikianlah berturut-turut
kepala gadis korban lainnya dipenggal untuk kemudian dilemparkan ... Dan
menjadi rebutan para paderi.
Perebutan itu ternyata terus
berlangsung. Keadaan yang tadinya tenang telah berubah panas. Karena akibat
perebutan itu nyawa-nyawa para paderi yang berhasil merebut kepala takkan
terhindar dari maut.
Tempat itu bagaikan tempat
pertarungan saja layaknya. Mereka saling baku hantam sesama kawan demi
memperebutkan kepala. Tujuan utama adalah menghirup darah kepala gadis Itu.
itulah yang mereka namakan upacara "suci".
Karena yang berhasil menghirup
darah itu akan bertambah kesaktiannya berlipat ganda. Namun tentu saja mereka
harus dapat selamat dari maut. Karena kawan-kawan mereka takkan membiarkannya
menghirup darah "suci" itu.
Sementara kejadian itu
berlangsung, sang ketua alias si Paderi Mata Seribu menyaksikan dengan
tersenyum. Puluhan mayat bergelimpangan di ruang Istana hitam. Manusia-manusia
terdiri dari paderipaderi itu bagaikan iblis-iblis yang haus darah. Jerit dan
teriakan terdengar di sana-sini.
Tak lama keadaanpun usai.
Tanda berhenti mirip sirine terdengar. Mereka pun bubar meninggalkan ruangan.
Tentu saja dalam keadaan bersimbah darah. Yang luka-luka tertatih-tatih
meninggalkan tempat itu. Yang segar bugar berlarian terlebih dulu ke luar
berdesakan.
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Perbuatan terkutuk!
Iblis Paderi Mata Seribu! Kau memang bukan manusia!" bentakan itu diiringi
dengan berkelebatnya sesosok bayangan tubuh.
Dan di lantai altar telah
berdiri tegak sesosok tubuh bulat. Ternyata seorang paderi berjubah putih.
Bertubuh pendek, gemuk hingga tampaknya bundar seperti sebuah bola besar.
WHUUUUUKK! BHLARRR!
Si paderi bulat ini langsung
hantamkan telapak tangannya ke arah si paderi Mata Seribu. Terdengar ledakan
keras. Dan seketika tembok di belakang altar istana Hitam itu ambrol!
Akan tetapi si paderi Mata
Seribu telah melesat menghindari pukulan maut itu. Terdengar suara tertawa
mengekeh.
"Heheheh... hahaha...
kiranya kau si DEWA ANGIN PUYUH! Bagus! kau berani menyatroni Pulau Berhala
tentu sudah siap menghadapi maut!"
Orangnya tak kelihatan ke mana
berkelebatnya. Tetapi paderi bulat ini berteriak kaget ketika sebuah hantaman
menyerang ke dada. Untuk menghindari hantaman keras bertenaga hebat Itu dia
bersalto ke udara. Lengannya terangkat untuk menghantam ke depan memapaki
serangan.
BHLAARRR!
Akibat benturan kedua pukulan
yang mengandung tenaga dalam hebat itu tubuh si paderi bulat yang tak lain dari
si Dewa Angin Puyuh terlempar ke luar dari dalam pintu Istana Hitam. Namun
lagi-lagi dia gunakan salto untuk mengimbangi jatuh tubuhnya hingga dia dapat
jejakkan kaki di tanah.
Setetes darah tampak mengalir
dari sudut bibirnya. Pukulan Itu telah membuat dia terluka dalam.
Belasan paderi Pulau Berhala
segera mengurung. Dan sekaligus menerjang dengan senjata siap merencah tubuh
bulat paderi tua ini.
Kakek botak ini menggeram
gusar. Sepasang tangannya merentang dengan mendadak. WHUUUUTT!
Terdengarlah teriakan silih
berganti. Tubuhtubuh paderi Pulau Berhala berhamburan berpelantingan ke delapan
penjuru. Karena mendadak angin puyuh yang dahsyat telah menerjang mereka.
Itulah jurus sakti si Dewa Angin Puyuh yang bernama Jurus Pusaran Angin Puyuh.
(Jurus Ini pernah diwariskan oleh kakek Ini pada Roro Centil).
Belasan paderi Itu tanpa
berkelojotan lagi tewas seketika, karena kemarahannya si paderi bulat Ini
keluarkan tenaga lebih dari separuh kekuatan tenaga dalam.
"Jurus yang hebat!"
terdengar bentakan. Dan berkelebatlah sesosok tubuh berjubah warna-warni. Sosok
tubuh seorang paderi yang berkepala botak, namun di belakang kepala mempunyai
rambut dikepang. inilah si Paderi Mata Seribu. Ketua dari istana Hitam di Pulau
Berhala.
Paderi ini tak terlihat ada
pengaruh akibat benturan pukulan tadi menandakan betapa tingginya ilmu orang
ini.
"Dewa Angin Puyuh! Ada
apakah kau menyatroni pulauku dan ikut campur urusanku?" bentak Paderi
Mata Seribu.
"Manusia edan! Kau telah
mencemarkan nama baik para paderi dengan perbuatanmu yang terkutuk Itu. Rupanya
kaulah biang keladi penculikanpenculikan selama ini!" bentak pula si kakek
bulat.
"Hahaha... memang! semua
itu tak salah dugaanmu! Bukankah kau lihat sendiri, orang-orang yang kuculik
itu telah menjadi anak buahku yang amat patuh pada perintahku. Bahkan menuruti
ajaran-ajaran yang ku anut!"
Mendelik mata si paderi Dewa
Angin Puyuh "Bedebah! Aku telah ketelepasan tangan membunuh!"
pikirnya dengan tersentak.
S E M B I L A N
KENCARUPA! Lupakah kau akan
ajaran guru kita? Kau telah menempuh jalan sesat Jalan yang kau buat seenak
perutmu sendiri! Perbuatanmu melampaui batas kemanusiaan Kau akan mengundang
banyak musuh karena perbuatanmu sendiri!" berkata paderi bulat ini yang
memanggil si Paderi Mata Seribu dengan nama aslinya.' Ternyata dari pembicaraan
si paderi bulat itu, mereka adalah dua orang saudara seperguruan.
Peringatan itu ternyata
membuat si paderi Mata Seribu justru tertawa terbahak-bahak lebih keras.
"Hahahaa... haha... Semua
itu sudah kuperhitungkan! Aku memang telah siap untuk menghadapi. Bukankah
dengan demikian akan membuat aku mudah menghancurkan mereka? Dan namaku di
dunia persilatan akan menjulang tinggi. Partai serta anutan ku semakin menyebar
ke seluruh pelosok. Aku akan jadi orang yang paling berkuasa kelak, sesuai
dengan cita-citaku!" sumbar si paderi Pulau Berhala dengan suara lantang.
"Manusia takabur!
Cita-cita gilamu takkan pernah berhasil. Karena kau saat ini harus mampus di
tanganku!" bentak paderi Dewa Angin Puyuh dengan mata melotot gusar.
Dadanya bergemuruh mendengar apa yang menjadi cita-cita si saudara seperguruan
itu.
Dewa Angin Puyuh telah
keluarkan senjata Kipas Bututnya. Sementara sepasang matanya menatap tak
berkedip pada manusia di hadapan dia.
Urat-urat tubuhnya tampak
menggembung pertanda dia telah menyalurkan segenap kekuatan tenaga dalam untuk
melabrak si Paderi Mata Seribu.
"Hahaha ... aku amat
menyayangkan kau ka-kak KUMBARA! Walau bagaimana kau adalah bekas kakak
seperguruankuBerpuluh tahun tak berjumpa aku masih merasa kau saudara sendiri.
Oleh sebab itulah aku urungkan niatku untuk membunuhmu. Tinggallah kau di pulau
ini membantuku!" berkata paderi Mata Seribu menyebut nama asli si paderi
Dewa Angin Puyuh dengan sebutan nama KUMBARA.
"Edan! Lebih baik aku
mati berkalang tanah daripada menjadi manusia sesat sepertimu!" bentak
Kumbara dengan suara menggelegar karena kemarahannya.
Menerjanglah kakek bulat ini
dengan serangan senjatanya. Angin puyuh bergulung-gulung menggebu menghantam si
Paderi Mata Seribu. akan tetapi dengan tertawa berkakakan KENCARUPA berkelebat
lenyap. Angin Itu terus lewat bergulung menerjang para paderi yang masih
berkerumun di belakang Istana.
Namun mendadak angin itu
lenyap ketika seberkas cahaya merah menghalangi.
"Menyingkirlah kalian semua!"
terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh melompat di hadapan mereka sesaat
setelah lenyapnya cahaya merah barusan. Tiga paderi jubah merah segera telah
berdiri di hadapan Kumbara.
"Hehehhaha... babi bulat!
hadapilah kami. Ketua kami enggan turun tangan untuk membunuhmu!" berkata
salah seorang sambil tertawa mengejek.
Dan ketiga sosok tubuh paderi
jubah merah itu berkelebatan berpencar mengurung si paderi bulat Dewa Angin
Puyuh dari tiga penjuru.
"Hmmm, apakah kalian yang
menamakan diri si Tiga Naga Merah?" bentak Kumbara. Diam-diam dia terkejut
juga karena ketiga manusia yang berasal dari Tibet ini bisa berada di wilayah
Pulau Jawa bahkan menjadi pengikut si Paderi Mata Seribu!
"Benar!" sahut si
kurus muka pucat berkumis ceriwis di hadapannya.
"Kami telah bergabung
dengan sobat kami Kencarupa demi tujuan yang besar dan mulia!"
"Bah!? tujuan mulia?
Dengan cara-cara sesat yang di luar perikemanusiaan itu kalian katakan tujuan
mulia? Hahaha ... hahaha "
Dewa Angin Puyuh tertawa
berkakakan hingga tubuhnya terguncang-guncang dan air matanya mengalir ke luar.
Tertawanya si Dewa Angin Puyuh bukanlah tertawa girang melainkan tertawa yang
mengandung kepedihan dan kemarahan yang amat luar biasa mendengar kata-kata si
paderi kurus Tiga Naga Merah.
Ternyata tertawa si Dewa Angin
Puyuh juga mengandung ilmu tenaga dalam dan serangan yang amat dahsyat. Ketiga
paderi jubah merah itu mendadak wajahnya berubah pucat. Masing-masing rasakan
dadanya menjadi sesak.
Telinga mereka seperti
dimasuki ribuan semut.
Akan tetapi dengan berbareng
mereka keluarkan bentakan. Masing-masing satukan lengannya.
Tubuh mereka bergetaran. Dan
tampak uap merah mengepul dari ubun-ubun kepala. Uap itu membentuk asap yang
bergulung-gulung berwarna merah. Yang sekejap kemudian berubah menjadi tiga
ekor ular naga. Inilah ilmu Setan Naga Merah yang dikeluarkan dengan terpadu.
Ketiga naga ciptaan itu serentak menerjang si Dewa Angin Puyuh.
Sambaran dahsyat dari Tiga
Naga Merah ciptaan itu membuat si paderi bulat keluarkan keringat dingin dan
hentikan tertawanya. WHUSSSS! WHUSSSSS! WHUSSSSS! Kipas bututnya digunakan
untuk menerjang. Sementara tubuhnya mendadak memutar seperti gasing.
Tiga naga ciptaan terdorong
mundur kena hembusan angin kipas yang dahsyat. Akan tetapi serentak mereka menerjang
lagi dari berbagai jurusan.
Terjadilah pertarungan seru
yang amat luar biasa dan menakutkan.
Naga-naga ciptaan itu
keluarkan suara dahsyat yang menggetarkan jantung.
Paderi bulat seperti sebuah
boneka lucu yang jadi permainan tiga ekor ular naga.
Dalam saat itu si tiga Paderi
Jubah Merah cuma diam tak bergeming dengan membaca manteramantera. Sepasang
lengannya mengatup di depan dada. Dewa Angin Puyuh agaknya mulai kewalahan
menghadapi ketiga naga. Kipasnya yang menerjang selalu dapat dipukul oleh hempasan
ekor-ekor Naga. Namun dengan semangat besar dan kemarahan semakin menjadi,
namun dengan perhitungan yang cukup masak dia segera robah jurus-jurus
serangannya. Kali ini dia bertarung sambil menjauh. Ketiga naga ciptaan terus
mengejar. Sementara itu pada paderi Pulau Berhala mulai menyebar ke setiap tem-
pat. Mereka mengurung arena
pertarungan, atau siap menjaga jangan sampai si paderi bulat itu melarikan
diri.
"Setan alas! kalau begini
terus menerus aku akan kehabisan tenaga! Paderi-paderi anak buah si Kencarupa
telah mengetahui maksudku! Oh, celakalah aku. Daripada tertawan lebih baik
mati!" desis si Dewa Angin Puyuh.
Dia melompat menjauh mendekati
patung-patung yang bertebaran di pulau itu, akan tetapi sungguh dia tak mengira
kalau patung-patung itu mendadak keluarkan asap yang menyemprot ke arah
mukanya. "Asap beracun!?" teriak si kakek bulat tertahan
dengan terperanjat.
Akan tetapi terlambat.
Mendadak dia rasakan kepalanya berat. Matanya berkunang-kunang.
Dia cuma mendengar suara
tertawa berkakakan si Paderi Mata Seribu. Akan tetapi selanjutnya dia sudah
tidak Ingat apa-apa lagi, karena dia segera terkulai roboh tak sadarkan diri.
Ternyata pada berhala-berhala itu telah dipasangi alat-alat rahasia.
Kalau di Pulau Berhala tengah
terjadi peristiwaperistiwa tadi, adalah di pantai di sekitar pulau terjadi juga
pertarungan seru antara para paderi Pulau Berhala yang berhasil membawa lari
wanita yang diculik mereka dengan para paderi pesisir pulau.
Mereka adalah para paderi yang
telah kehilangan gurunya, yang tak diketahui ke mana perginya. Keberanian luar
biasa dari para paderi itu tak membuat mereka patah semangat untuk menggagalkan
penculikan para gadis, walau tanpa beradanya guru mereka.
Mereka menjaga di pesisir
pantai di tempat persembunyian dengan senjata-senjata terhunus. Ketika belasan
paderi Pulau Berhala kembali dari menculik untuk menyeberangi ke Pulau Berhala,
serentak mereka berlompatan ke luar untuk menerjang paderi-paderi palsu
itu.....
SEPULUH
Pertarungan yang menimbulkan
pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Si paderi muda yang menjadi
pemimpin penyerbuan itu mengamuk dengan senjata tongkatnya. Lawannya seorang
paderi bertubuh kasar dan kekar.
Tiga serangan berantai dari
serangan tongkat menyambar ke leher lawan, dengan tiga sodokan yang mematikan
mengarah nyawa lawan. Pemuda ini tampak gusar karena enam kawannya tewas
terbunuh, sedangkan di pihak paderi Pulau Berhala cuma satu yang terluka.
Diakui ilmu kepandaian paderi Pulau Berhala memang hebat dan berada dua tingkat
di atas kepandaian kawan-kawannya.
Trang! Tang! Tang! terdengar
suara dentingan tiga kali lawannya menangkis seraya mengegos dengan senjata
tipis seperti dua buah piring tipis terbuat dari baja.
"Bocah bau kencur! Kau
belajarlah sepuluh tahun lagi untuk melawanku!" teriak si paderi Pulau
Berhala. Seraya menangkis, sebuah piring baja tipis itu dilepas ke arah bawah
pusar. Suaranya berdesing. Terkejut paderi muda melihat senjata itu. Beberapa
inci lagi maka putuslah pinggangnya terkena piring tipis yang berputar bagai
gasing itu mengancam nyawanya.
Dengan berteriak tertahan dia
membanting dirinya ke tanah. Tongkatnya dipakai untuk menangkis .... Trak!
Tongkat pemuda paderi putus terbabat.
Dalam keadaan terperangah
itulah seorang paderi Pulau Berhala lancarkan serangan membacok ke punggung.
Detik maut itu tak bisa dielakkan lagi.
Namun pada saat itu terdengar
bentakan hebat disertai satu kilatan mencercah di udara. Paderi pembokong itu
menjerit pendek. Darah segar memuncrat. Dan dua potong tubuh yang terbelah
menjadi dua menggabruk di tanah.
Membelalak mata si paderi muda
melihat kejadian Itu. Dilihatnya tubuh si paderi benar-benar telah terbelah
menjadi dua bagian.
Dan di tempat itu telah tegak
berdiri seorang lakilaki muda memegang pedang yang berlumuran darah berpakaian
serba putih. Siapa lagi Kalau bukan si Bujang Nan Elok alias Pendekar Selat
Karimata, SAMBU RUCI.
"Paderi-paderi Pulau
Berhala keparat! Hari Ini kau tak dapat
berbuat sewenang-wenang lagi!" membentak Sambu Ruci. Tubuhnya
berkelebat....
Dan selanjutnya terdengarlah
teriakan-teriakan ngeri saling susul. Dalam waktu sekejapan saja tiga belas
paderi itu roboh tanpa dapat berkelojotan lagi.
Karena tubuh-tubuh mereka
telah terpotong menjadi dua bagian.
Membelalak mata para paderi
penyerang itu yang merasa mendapat pertolongan mendadak di saat mereka hampir
putus asa, ketiga melihat si Dewa penolong yang masih berusia muda. Seorang
lakilaki gagah dan berwajah tampan.
Serta-merta mereka berlompatan
menghampiri dan menjura hormat.
"Terimakasih atas
bantuanmu, sobat. Sudikah anda memperkenalkan diri?" bertanya seorang
paderi yang berusia cukup tua.
"Namaku SAMBU Ruci! Aku
datang kemari karena petunjuk seorang paderi tua bernama Wiku Duta Prayoga. Dia
dalam keadaan sekarat ketika kujumpai.
Sebelum tewas dia mengatakan
siapa manusia yang telah mengeroyoknya. Yaitu paderi-paderi dari Pulau Berhala.
Lalu menceritakan tentang adanya paderi-paderi anak buahnya yang berada di
pesisir pantai ini. Yang telah disiapkan untuk menggagalkan penculikan para
wanita dan menumpas mereka. Apakah kalian adalah murid-murid Ki Duta
Prayoga?"
Membelalak seketika mata para
paderi itu mendengar penuturan Sambu Ruci.
"Benar! Beliau guru kami!
Ah ...!? beliau ... te ... tewas?!" teriak kaget si paderi muda.
"Benar! Aku datang
terlambat. Agaknya Ki Duta Prayoga menyerbu sendiri paderi-paderi Pulau Berhala
yang melakukan penculikan. Atas petunjuk itu aku cepat mengejar kemari. Sayang
aku agak terlambat. Sehingga kawan-kawanmu banyak yang menjadi korban!"
berkata Sambu Ruci agak menyesal.
"Wah bagaimana anda telah
berjasa menyelamatkan nyawa kami. Kami amat berhutang budi pada anda sobat
pendekar Sambu Ruci ..." menyahut si paderi tua bernama Lomambha itu
dengan menatap girang bercampur sedih. Sudikah anda mengantarkan kami ke tempat
jenazah guru kami, agar kami dapat menguburkannya?" ujar Lomambha dengan
mata berkaca-kaca.
"Tentu saja. Marilah ikut
aku!" sahut Sambu Ruci tanpa menolak ....
Kemunculan Sambu Ruci di
pesisir pantai tenggara telah membuat para paderi murid-murid Wiku Duta Prayoga
menjadi kagum. Dalam beberapa hari mereka berkabung setelah kematian guru
mereka.
Ternyata Sambu Ruci memang
telah menyelesaikan pelajaran ilmu silatnya dari gurunya yang baru yaitu KI
BALUNG PUTIH.
Tentu saja Sambu Ruci pergi bersama
istrinya CINDERANI yang terpaksa dinikahi karena telah berjanji dengan si kakek
Ki Balung Putih untuk menolong kakek itu. Cinderani ditinggalkan di desa
terdekat tapi cukup jauh dari pantai. Karena Sambu Ruci tak mau mengajak dia.
Walaupun sebenarnya Cinderani bersikeras ikut.
Oleh sebab itu setelah selesai
urusannya membantu para paderi murid Ki Duta Prayoga dia minta diri. Sementara
itu paderi-paderi itu pun segera bubar untuk kembali ke markas. Karena atas
pertimbangan Sambu Ruci mereka tak akan kuat menghadapi paderi-paderi Pulau
Berhala. Walaupun sebenarnya mereka bersedia korbankan nyawa untuk menyerang ke
Pulau Berhala.
Sambu Ruci berlari-lari cepat
menuju ke desa di mana dia meninggalkan Cinderani ....
Sementara itu kita beralih
pada Roro Centil yang berada di alam gaib. Yaitu di alam negeri Siluman.
Dara pendekar Pantai Selatan
itu tengah duduk di atas batu besar. Sementara di hadapannya tampak seberkas
cahaya biru membentuk sesosok tubuh manusia. Dialah Bagawan Bhama Kosala, kakek
guru Roro. Yaitu guru si Manusia Banci Pantai Selatan.
"Kau telah mewarisi tiga
macam ilmu kedigjayaan dariku, bocah cucuku!” berkata Bagawan Bhama Kosala.
"Aku yakin kau akan mempergunakan untuk kebenaran. Akan tetapi kau baru
boleh mempergunakan Kalau bertemu lawan Jahat yang amat tangguh! Hanya itulah
pesanku!" ujar sang Bagawan.
"Terima kasih, kakek
guru. Wejanganmu akan selalu kuingat dalam lubuk hati. Apakah aku sudah
diizinkan dan boleh ke luar dari alam mu ini kakek guru?" sahut Roro
diiringi pertanyaan. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera kembali ke alam
manusia.
"Satu syarat lagi untukmu
cucuku, sebelum kau berangkat pulang!"
"Apakah itu, kakek
guru?" tanya Roro kebat-kebit. "Tinggalkan sepasang senjatamu Itu di
sini!" sa-
hut sang Bagawan.
"He? mengapa? Apakah aku
harus gunakan tangan kosong tanpa senjata lagi? Padahal senjata itu adalah
warisan guruku!" tanya Roro terheran.
Cahaya biru itu menjawab
dengan tertawa. "Jangan khawatir, aku hanya meminjamnya saja.
Nanti bila kau telah ke luar
dari alam siluman ini, segera aku kembalikan!" berkata Bagawan Bhama
Kosala.
"Hihihi.... Kalau begitu
aku menurut saja!" sahut Roro seraya loloskan senjata Rantai genit-nya.
Lalu diletakkan di atas batu.
"Nah! pejamkan matamu.
Jangan kau buka sebelum ada suara kicau burung di telingamu!" berkata sang
Bagawan.
Tak menunggu diperintah dua
kail, Roro segera turuti perintah itu. Diam-diam dia amat bergirang hati.
Karena serasa dia sudah tak betah berdiam di tempat yang asing dan aneh itu.
Roro merasa tubuhnya melayang
menembus ke awan. Padahal dia tetap berada di atas batu itu. Ketika dia
mendengar suara kicau burung, serentak dia buka kelopak matanya.
Terkejutlah Roro Centil ketika
melihat dia telah berada di alam yang sewajarnya yaitu alam manusia. Tempat itu
adalah di sisi hutan rimba di mana telinganya bisa mendengar suara kicau
burungburung dari dalam hutan. Akan tetapi anehnya dia masih tetap duduk di
atas batu besar. Cuma saja batu itu telah berubah warna.
Kalau tadinya dia duduk di
atas batu putih bagai pualam, kini Roro duduk di atas batu gunung yang
berlumut.
Yang amat membuat lebih aneh
lagi adalah, sepasang senjata Rantai genitnya itu tak berada di atas batu.
Dia jadi garuk-garuk kepala
tidak gatal. Namun segera melompat turun untuk menghirup napas lega. "Oh,
senang sekali aku telah berada di alam manusia lagi!" berkata Roro
sendiri.
"Eh, katanya kakek guru
akan mengembalikan sepasang senjataku, kapankah akan dikembalikannya?"
gumam Roro yang merasa tak betah tanpa membawa senjata. Walaupun-jarang
dipergunakan namun Roro merasa telah senyawa dengan senjata Rantai genit itu.
Dalam keadaan itu lapat-lapat terdengarlah suara gaib Bagawan Bhama Kosala.
"Roro Centil, cucuku!
Pergunakanlah mata batinmu. Kau periksa lagi ke atas batu yang kau duduki. Aku
telah mengembalikan sepasang senjatamu. Akan tetapi dengan bentuk lain yang
lebih sempurna, dan lebih hebat. Sesuai dengan keinginan gurumu..!"
Tentu saja Roro terkejut.
Segera dia gunakan mata batinnya untuk melihat dan memeriksa di atas batu tadi.
Benar saja! segera terlihat sepasang senjata Rantai Genit dengan bentuk lain.
Benda itu mempunyai rantai lebih halus.
Pada bagian ujung gagangnya
bertatahkan mutiara. Sedangkan bandulannya tetap merupakan sepasang payudara.
Akan tetapi bentuknya lebih kecil.
Ketika Roro mau menjamah,
mendadak sepasang senjata itu lenyap.
"Bocah muridku! Kau telah
memiliki aji memindahkan benda tanpa menyentuh. Mengapa tak kau gunakan ajian
milikmu itu? Benda itu adalah benda alam gaib. Dia cuma dapat kau simpan di
alam gaib pula. Dan bila kau akan mempergunakannya cukuplah dengan membaca
mantera, benda senjatamu itu akan sudah berada di tanganmu!" suara gaib
itu tiba-tiba kembali terdengar.
Roro terkejut, juga kesima.
"Ah, sungguh menakjubkan!" seru Roro pelahan tanpa disadari.
Petunjuk itu dipatuhi. Dan
Roro segera gunakan cara membaca mantera untuk memindahkan benda itu. Ternyata
benda itu berubah menjadi sinar kuning emas yang melesat dan membelit ke
pinggangnya.
Dalam pandang mata gaib, Roro
melihat senjata Rantai Genit yang lebih indah dan mungil membelit dengan
seksama di pinggangnya. Akan tetapi ketika Roro lepaskan pandangan mata
gaibnya, Roro tak menampak apa-apa. Bahkan ketika Roro menjamah untuk menyentuh
benda itu, Roro merasa tak menyentuh apa-apa.
Sadarlah Roro kalau sepasang
senjata Rantai Genit yang baru ini adalah sebentuk senjata gaib. Dia cuma bisa
gunakan kalau memang dalam keperluan mendadak.
Saking girangnya Roro sampai
berjingkrakan dan berteriak-teriak girang. "Oh, terima kasih, kakek guru!
Terima kasih, kakek guru yang baik!" teriak Roro berulang-ulang.
SEBELAS
CINDERANI duduk di luar pondok
dengan hati gelisah. Sebentar-sebentar dia berdiri dan beranjak bangun. Matanya
liar menatap ke ujung jalan desa. Sementara yang empunya pondok itu cuma
memperhatikan dari tadi pada gadis yang hamil muda itu. Namun tak lama dia
segera ke luar dari dalam.
"Sabarlah, den ayu...
Mungkin tak lama lagi suamimu akan segera tiba. Kalau sudah waktunya datang toh
akan datang juga ..!" ujarnya sambil tersenyum.
"Ah, mbok! Aku khawatir
ada terjadi sesuatu. Hatiku tak enak ..!" sahut Cinderani menyahut.
"Berdoalah, semoga suamimu pulang dengan selamat. Wilayah ini memang
kurang aman. Sebaiknya kau masuk. Di dalam kau bisa berbaring dengan tak usah
cemas. Tak baik bagi kandungan mu." berkata halus wanita tua itu.
"Tidak, mbok. Biarlah aku
di sini saja!" sahut Cinderani menolak.
Matanya masih saja menatap ke
ujung jalan desa. Serasa dia tak sabar menanti kedatangan Sambu Ruci. Dan entah
mengapa hatinya kini jadi luluh, dan dia mulai merasakan Kalau dia amat
mencintai suaminya. Betapa sulit mencari orang seperti Sambu Ruci yang rela
menikahinya demi menutup malu gurunya yang sudah dianggap ayah sendiri.
Cinderani memang yatim piatu ketika dibawa oleh Ki Balung Putih. Dan lebih dari
sepuluh tahun dia bersama si kakek itu. Tiba-tiba matanya membinar melihat
sesosok tubuh muncul di ujung jalan desa. Hatinya melonjak girang.
"Akhirnya datang juga!" berkata dia dalam hati.
Namun dia jadi terheran,
karena yang datang; bukanlah Sambu Ruci. Perawakannya dari jauh memang agak
mirip. Dia serasa mengenai laki-laki itu yang kian dekat menghampiri pondok.
Mendadak darahnya tersirap.
Laki-laki itu tak lain dari SOMARA!
"Aha! Selamat berjumpa
Cinderani! Apakah kau sudah melupakan aku?" bertanya Somara. Entah
bagaimana Cinderani tak tahu, mengapa Somara bisa menjumpainya dan muncul di
sini?
"Kau ... kau mau apa
datang kemari? Dari mana kau tahu aku berada di sini? sahut Cinderani gelagapan.
"Hehehaha... Sejak kepergian kalian dari tempat guru, aku sudah
mengetahui. Dan siapa adanya laki-laki yang menjadi pendamping mu aku pun sudah
mengetahui. Aku ke mari mau membawamu, Cinderani!" berkata Somara.
"Tidak! Aku telah
bersuami. Kau tak berhak membawaku!" sahut Cinderani terkejut. Sementara
si mbok melihat kedatangan Somara, buru-buru angkat kaki masuk ke dalam pondok.
Wajahnya berubah pucat. Dia merasa tak dapat berbuat apa-apa. Dia merasa bakal
terjadi keributan. Entah siapa orang laki-laki ini? pikirnya diam benak.
"Siapa bilang? aku yang
lebih berhak! Anak dalam perutmu yang kau kandung itu adalah anakku!"
berkata ketus Somara. Dia nampak gusar.
"Kau... kau... memang
ayah anak dalam perutku ini, tapi... tapi..." pucat wajah Cinderani.
Mulutnya mendadak serasa terkunci tak bisa bicara. Sementara air matanya telah
mulai menitik.
"Sudahlah! tak ada tapi
tapi. Sekarang segera kau ikut aku!" berkata Somara dengan suara berubah
lembut. "Demi cintaku padamu dan demi anak kita!" ujarnya lirih.
Menggetar tubuh dara cantik
ini. Apakah yang harus dia lakukan? Dia benar-benar tak tahu apa yang harus
diperbuat! Namun terluncur juga katakata dari bibirnya dengan suara
menggeletar.
"Somara! pergilah!
tinggalkan aku. Kalau suamiku pulang, kau akan dibunuh! Karena itulah perintah
guru!"
Mendengar kata-kata Cinderani
Somara tertawa terbahak. "Hahaha... Somara bukan anak kecil kemarin yang
dapat diperbuat semaunya! Bukan aku takut menghadapi. Tapi saat ini aku
perlukan kau, Cinderani! Maka mau tak mau terpaksa aku harus memaksamu!"
berkata laki-laki ini.
Mendadak wajahnya berubah
menjadi keras dan kaku. Sepasang matanya menatap mata Cinderani tak berkedip.
Tatapan mata yang menimbulkan hawa dingin mencekam. Cinderani tersurut mundur.
Wajah itu menyeringai. Cinderani merasa tubuhnya keluarkan keringat dingin.
Tatapan mata Somara, begitu menakutkan. Seperti menembus ke dalam jantung!
Dalam keadaan terkesima
itulah, lengan Somara berkelebat cepat.
Tahu-tahu sudah menotok tubuh
Cinderani. Gadis ini merdengarkan keluhan dan terkulai roboh. Namun dengan
gerakan cepat, Somara segera merengkuhnya dalam pondongan. Sekejap kemudian
dengan gerakan sebat telah berkelebat lenyap dari muka pondok itu.
Mbok tua penghuni pondok
melototkan mata dengan mulut ternganga.
Mulutnya serasa terkunci
walaupun dia sudah keluarkan suara untuk berteriak.
Namun yang ke luar adalah
suara... "ah,uh,ah,uh..!.
Apakah yang dilihat si mbok
tua itu? Dalam pandangannya dia melihat sosok tubuh Somara berujud sesosok
tubuh menyeramkan mirip seekor lutung besar yang menyeringai menampakkan
taringtaringnya, merangkul dan memondong tubuh gadis itu kemudian melarikannya
dengan berkelebat cepat sekali. Seketika pandangannya menjadi berkunangkunang.
Rasa takut yang luar biasa menggerayangi benaknya. Jantungnya serasa copot.
Detik itu juga dia roboh pingsan tak ingat apa-apa lagi.
DUA BELAS
SOMARA membawa tubuh Cinderani
dalam pondongan dengan gerakan cepat. Gerakan larinya seperti hembusan angin!
Yang dituju adalah arah ke pantai. Akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat menghadang, disertai bentakan keras.
"Somara! murid durhaka!
Berhentilah kau!" Melihat sosok bayangan tubuh manusia berkelebat
menghadang, Somara cepat berhenti dengan mendadak. Dan di hadapannya segera terlihat
siapa manusianya. Ternyata tiada lain dari KI BALUNG PUTIH.
"Hm, menyingkirlah kau
kakek tua bangka! Kau sudah tak ada urusan lagi denganku!" bentak Somara
dengan wajah kaku.
"Heh? menyingkir?"
bentak orang tua ini. "Justru kaulah yang harus segera kusingkirkan ke
Akhirat. Manusia murtad sepertimu sudah selayaknya mati! Lepaskan dia! Kau tak
berhak apa-apa atasnya. Dia telah menikah dengan seorang laki-laki yang juga
telah menjadi muridku!"
Akan tetapi Somara malah
mendengus.
"Tua bangka! Siapa bilang
demikian? Apakah matamu buta kalau calon bayi yang berada dalam perut Cinderani
adalah anakku?"
"Persetan!" maki
Balung Putih. Kau menzinahinya tanpa menikah! Apakah patut dikatakan syah? Anak
itu memang anakmu! tapi kau tak berhak membawanya pergi karena dia telah
menikah dengan orang lain. Dan satu hal lagi adalah aku telah bersumpah untuk
membunuhmu!" teriak Ki Balung Putih geram.
Betapa dia amat membenci
laki-laki bekas muridnya itu yang telah diketahui perbuatan bejatnya di luaran,
serta telah mencemarkan nama baiknya.
"Baiklah Kalau begitu!
Kau kira semudah itu kau dapat melakukannya?" berkata jumawa Somara.
Dilemparkannya tubuh Cinderani ke tanah tanpa belas kasihan lagi. Gadis yang
sudah tak sadarkan diri itu mengeluh siuman.
Akan tetapi kembali pingsan.
Kini dia berdiri tegak menatapkan matanya dengan sorot tajam pada kakek tua di
hadapannya. Bibirnya tampak komatkamit.
Uap hitampun mengepul di
sekujur tubuhnya. Matanya berubah merah. Dan... kakek itu menyurut mundur
ketika tiba-tiba dia melihat perubahan bentuk tubuh Somara.
Karena sekejap kemudian tubuh
laki-laki itu telah berubah ujud menjadi gorila yang menyeramkan. Dalam keadaan
terperangah Itu tahu-tahu Somara telah menyerangnya dengan hantaman kilat ke
arah dada Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Sejak melihat kejadian
barusan dia sudah merasa kena pengaruh sorotan mata yang menimbulkan hawa aneh.
Hingga menggetarkan jantung. Dia seperti kena tenung!
Memanglah demikian, karena
Somara telah gunakan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi lawan dengan sorot mata
yang membersitkan sinar; mencengkeram. Dan menyerang di saat yang baik itu.
BUK! Terdengar benturan keras.
Ki Balung Putih terlempar bergulingan.
Dia tak mampu mengelak. Namun
sempat membentengi dadanya dengan tenaga dalam.
Akan tetapi di luar dugaan,
tenaga pukulan Somara amat luar biasa. Kakek Itu rasakan dadanya mau pecah. Dan
tubuhnya terlempar bergulingan.
Namun sebagai jago tua
kawakan, dia masih berjumpalitan untuk segera bangkit berdiri lagi. Terperanjat
kakek ini ketika melihat jubahnya pada bagian dada telah hangus. Dan sebuah
tanda telapak tangan berwarna hitam. Sadarlah dia kalau pukulan itu mengandung
racun.
"Hahaha ... kakek tua
bangka! segeralah kau berangkat ke Akhirat!
Diiringi geraman dahsyat,
makhluk menyeramkan itu telah menerjang Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua
ini. Tapi dia segera telah dapat mengkonsentrasikan panca indranya, walau telah
terluka akibat pukulan beracun.
Terjangan yang mengandung maut
itu dapat dihindari. Segera terjadilah pertarungan maut. Suara geraman dan
bentakan terdengar membauri sekitar tempat itu. Pada saat itulah sesosok tubuh
berkelebat muncul di tempat itu.
Ternyata Sambu Ruci.
Membelalak mata laki-laki ini melihat Ki Balung Putih sedang bertarung maut
dengan seekor makhluk menyeramkan. Akan tetapi segera dia berteriak tertahan
melihat sosok tubuh wanita yang tergolek di dekat semak belukar.
"Cinderani!?" desisnya terkejut. Dan serta-merta dia telah
memburunya. Gadis cantik yang tengah mengandung Itu segera diperiksa.
Akan tetapi pucat wajahnya
seketika karena Cinderani sudah diam membeku.
Nyawa gadis itu telah melayang
bersamaan dengan pingsannya ketika dibantingkan ke tanah oleh Somara.
Tampak dari sudut bibir gadis
itu yang agak terbuka mengalirkan darah kental berwarna hitam.
"Pasti pembunuhnya
makhluk itu!" geram Sambu Ruci. Mendadak dia telah bangkit berdiri. Dan,
sekali sentak pedang pusakanya telah berada dalam genggaman tangannya.
"Iblis keparat! kau harus
tebus kematian istriku dengan darahmu!" teriak Sambu Ruci. Tubuhnya
berkelebat melompat. Dan serta-merta dia telah lancarkan serangan ganas
bertubi-tubi dengan jurus Pedang Aksara.
"Bagus! Sukurlah kau
datang membantuku!" teriak Ki Balung Putih yang mulai merasa tenaganya
telah mengendur. Di samping usia tuanya, juga dia telah terluka dalam akibat
pukulan beracun Somara yang ganas.
Menghadapi serbuan dua lawan,
tampaknya makhluk itu agak kewalahan.
Namun Somara memang bukanlah
orang yang berilmu kepalang tanggung.
Lagi-lagi dia membaca mantera.
Mendadak sepasang matanya menyorotkan cahaya merah membara. Sepasang mata yang
menyilaukan itu menghambat serangan kedua guru dan murid itu.
Akan tetapi cepat Ki Balung
Putih berbisik untuk mengatur siasat. Sambu Ruci mengangguk Segera mereka
berputar-putar mengelilingi makhluk itu dengan sekali-sekali melancarkan
serangan. Ki Balung Putih telah memperingati agar jangan menatap pada matanya.
Hal demikian berlangsung telah
lebih dari empat puluh jurus. Di saat yang baik tiba-tiba Sambu Ruci berteriak
keras. Tujuh kilatan pedang berkelebat.
Dan... terdengarlah suara
menggeram yang dahsyat, ketika kilatan-kilatan pedang mengandung maut itu
mengenai sasarannya.
Tubuh si makhluk itu terbelah
menjadi beberapa potong. Serpihan-serpihan tubuhnya berhamburan disertai bermuncratannya
darah segar. Dan usus serta isi perut yang terburai ....
Keduanya menatap dengan
tertegun. Keampuhan jurus Pedang Aksara yang telah dipermatang melalui petunjuk
Ki Balung Putih, lagi-lagi membuktikan keampuhannya!
Baru saja kedua orang itu menghela
napas lega. Sebersit cahaya melesat ke udara dari tubuh makhluk itu yang
berangsur-angsur berubah menjadi tubuh Somara lagi. Terperangah keduanya
melihat kejadian aneh itu. Karena cahaya merah itu adalah sepasang mata
manusia! Itulah sepasang mata mayat Somara! Saat mereka terperangah itulah
terdengar suara tertawa berkakakan. "Hahahaha. he-
hehehahaha... kalian takkan
dapat membunuhku! Ragaku boleh hancur dan musnah. Tapi ketahuilah! Aku dapat
masuk ke raga manusia lain tanpa kesukaran."
"Siapa kau sebenarnya
manusia Iblis?" teriak Sambu Ruci seraya tersentak dan menyurut mundur.
"Akulah si pemilik PULAU
BERHALA. Alias si PADERI MATA SERIBU!"
Selesai berkata, sepasang
cahaya merah dari sepasang mata Somara segera meluncur ke udara. Meluruk cepat ke
arah laut. Menyeberangi perairan di wilayah tenggara itu untuk segera lenyap.
Ke mana lagi tujuannya kalau bukan ke Pulau Berhala!
***
RORO CENTIL baru saja jejakkan
kakinya di pantai wilayah tenggara.
Bersitan cahaya merah itu
lewat di atas kepalanya!
Segera tahulah Roro siapa
adanya cahaya itu, karena Roro pernah berjumpa dengan si Paderi Mata Seribu.
Dara perkasa kita perlihatkan senyuman di bibirnya yang ranum. "Hm, Paderi
Mata Seribu! Kini saatnya kau harus lenyap dari muka bumi!" mendesis
Pendekar wanita Pantai Selatan atau yang kini dijuluki orang si Macan Tutul
Betina Pantai Selatan itu. Mendadak tubuh wanita pendekar ini telah merubah
bentuk menjadi seekor macan tutul yang luar biasa besarnya.
Dengan perdengarkan suara
menggeram, makhluk itu melompat ke udara membersit bagaikan angin, mengejar
cahaya merah yang menukik lenyap di Pulau Berhala.
Saat itu di Pulau Berhala
telah terjadi kegaduhan. Kakek bulat alias Paderi gemuk yang bergelar si Dewa
Angin Puyuh yang tertawan, ternyata dapat meloloskan diri. Pintu penjara masih
terkunci. Tapi orangnya lenyap.
Pada lantai batu itu terlihat
lubang besar. Ternyata si Dewa Angin Puyuh baru saja sembulkan kepalanya dari
sebuah lubang di belakang Istana Hitam.
Baru saja dia membersihkan
tubuhnya yang kotor penuh berlepotan tanah. Mendadak terdengar suara bentakan
keras.
"He! babi bulat! kau
takkan dapat meloloskan diri!" Betapa terkejutnya dia melihat si Tiga Naga
Merah telah berada di depannya.
Menggeram kakek bulat int.
Serta merta dia langsung menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat. Terjadilah
pertarungan hebat. Tapi kali ini Tiga Naga Merah tak diberi kesempatan lagi
untuk gunakan ilmu sihirnya.
Jeritan maut terdengar ketika
dua dari si Tiga Naga Merah melurukkan serangan ganas, tubuh paderi bulat
menggelinding bagai bola. Serangan itu lewat bahkan saat sekejap itu dia sudah
berada di belakang tubuh kedua lawannya.
Tiba-tiba terangkatlah
sepasang lengan kakek bundar ini. Angin pukulan SELAKSA PETIR dilontarkan.
ZEOOOOOSSS! PRRAKKK!
Hancurlah batok kepala si dua
manusia jahat itu. Tubuh mereka menghantam tembok istana hingga ambrol! Tanpa
bisa pentang suara lagi, kedua manusia itu tewas seketika. Kepalanya hancur
jadi bubur!
Melihat demikian, sisa seorang
lagi dari si Tiga Naga Merah jadi pucat pias. Tak ayal dia segera balikkan
tubuh untuk kabur melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa
nyaring merdu. Dan di tempat itu berkelebat muncul sesosok tubuh. Siapa lagi
Kalau bukan si Macan Tutul Betina Pantai Selatan RORO CENTIL!
"Hihihi.... hebat! hebat
sekali kau paman bulat! manusia ini serahkan padaku!" berkata Roro.
Mendadak Roro rentangkan
tangannya. Dari ujung lengannya tiba-tiba membersit cahaya kuning emas ke arah
paderi Tibet itu.
Bukan main terkejutnya paderi ini
karena tahutahu seutas rantai telah membelit lehernya. Itulah senjata Rantai
Genit Roro Centil, yang telah dipergunakan untuk pertama kalinya.
Tanpa bisa berbuat apa-apa
lagi manusia itu menjerit parau.
Jeratan rantai itu membuat dia
tak bisa bernapas, hingga lidahnya menjulur ke luar. Lengannya meronta-ronta
untuk melepaskan diri.
Tapi tak berdaya. Tubuhnya
berkelojotan meregang nyawa. Sesaat antaranya manusia asal Tibet itu pun tewas
dengan lidah terjulur, dan mata mendelik ke luar mengerikan.
"Hoooii! Kau Roro
Centil!? ah! Sungguh girang sekali kau muncul di sini, keponakanku! Hayo mari
kita tumpas si Paderi Edan Mata Seribu itu! Ketahuilah dia adalah bekas adik
seperguruanku yang murtad dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat!" teriak
si paderi bulat dengan berjingkrak kegirangan melihat kemunculan Roro.
"Hahaha ... kalian cuma
mengantar kematian mendatangi Pulau Berhala!
Selamat datang pendekar wanita
yang hebat!" tiba-tiba terdengar suara si Paderi Mata Seribu membuat
suasana seketika berubah tegang!
Segera Roro telah melihat
sesosok tubuh berjubah hitam. Sosok tubuh kurus berkepala botak yang mempunyai
sedikit rambut berkepang di belakang kepala. Memang dialah si Paderi Mata
Seribu alias KENCARUPA.
"Iblis jahanam! hari Ini
kau bertobatlah sebelum kau mampus!" teriak Dewa Angin Puyuh dengan geram.
Kemarahannya telah membludak bagaikan air bah. Dia melompat menerjang dengan
pukulan Selaksa Petir.
Akan tetapi sekali laki-laki
kurus itu gerakkan tongkat hitamnya yang berkepala berbentuk ular itu. Mendadak
pukulan dahsyat si Dewa Angin Puyuh lenyap bagai disedot masuk ke dalam
tongkat.
"Hehehe ... hahaha ...
kakang KUMBARA! Tak guna ilmu kehebatan yang kau miliki. Dewa pun takkan
sanggup menghadapiku!" berkata jumawa si Paderi Mata Seribu. "Manusia
sombong! Tidakkah kau mengetahui bahwa kesombonganlah yang akan membawa
kejatuhan bagi dirimu sendiri!" berkata Roro dengan ketus.
Lengannya terangkat.
Meluncurlah dua sinar kuning emas ke arah laki-laki Itu.
Satu sinar mengarah ke
tongkat, sedangkan satu lagi meluncur ke arah leher.
Itulah senjata gaib Rantai
Genit Roro Centil.
Tersentak Kencarupa melihat
sepasang rantai berkilauan kuning emas siap membelit tongkat dan lehernya.
Serangan ke arah leher dapat dia egoskan.
Tapi serangan ke arah tongkat
tak dapat dielakkan lagi. Tongkat pusakanya secepat Itu telah terbelit oleh
senjata gaib Roro Centil. Ketika itu paderi ini berteriak kaget ketika
tahu-tahu tubuhnya terhuyung karena satu tarikan kuat telah membuat tongkatnya
terlepas seketika. Belum lagi hilang terkejutnya, sudah terdengar suara ...
Krrraaaak!
Tongkat pusaka yang mengandung
kekuatan hebat itu telah hancur diremukkan Roro.
Lagi-lagi dia harus melompat
menghindar, ketika rantai gaib meluncur lagi untuk membelit lehernya.
"Gila! Senjata apakah
ini!?" desisnya terperanjat, bibirnya segera membaca mantra-mantra. Akan
tetapi Roro pun segera membaca mantera-mantera ajiannya.
Terjadilah pertarungan
kekuatan batin. Tubuh Kencarupa berubah hitam mengerikan. Sepasang matanya
merah menyala bagai bara api. Sementara Roro sendiri telah berganti ujud yang
membuat paderi bulat jadi ternganga.
Roro Centil tidak menampak
sebagai manusia lagi, akan tetapi lebih mirip bagaikan area. Ya! memang
terlihat Roro berubah menjadi sebongkah area batu yang sudah berlumut!
Sementara Rantai Genit telah lenyap di saat terjadi pertarungan adu kekuatan
batin ini.
Roro merapal ajian Tujuh
Aksara Suci. Tubuhnya memang telah berubah menjadi area batu dalam penglihatan
mata biasa. Akan tetapi itulah saatnya Roro gunakan ilmu barunya yang didapat
dari kakek guru Roro, yaitu Bagawan Bhama Kosala.
Hal itu membuat Kencarupa kena
dikelabui. Karena dia menyangka Roro telah terkena ilmu tenungnya. Akan tetapi
terperangah dia ketika mendadak membersit cahaya putih kemilau dari sepasang
area. Dia tersentak untuk menghindar. Namun terlambat ...
BHLARRRR! terdengar suara
dentuman dahsyat. Seketika tubuh si Paderi Mata Seribu hancur jadi arang yang
bertebaran. Ilmu Tujuh Aksara Suci bukanlah ilmu hitam. Akan tetapi ilmu yang
murni, yang tak mau dikotori.
Cahaya putih berkilauan itu
adalah cahaya yang menolak datangnya serangan. Hingga tak ampun serangan tenaga
batin Kencarupa telah berbalik menghantam pada dirinya sendiri ..!
Sesaat setelah kejadian itu
terdengar suara bergemuruh. Apakah yang terjadi? Istana Hitam di saat hancurnya
tubuh Paderi Mata Seribu ternyata runtuh! Suara berderak ditembok yang rengat
dan roboh terdengar di sana-sini.
Hingga dalam keadaan beberapa
saat saja Istana Hitam itu ambruk rusak binasa.
Bahkan berhala-berhala yang
banyak bertebaran di sekitar pulau itu pun turut hancur. Ternganga si paderi
bulat Dewa Angin Puyuh melihat kejadian itu. Dilihatnya puluhan paderi
menghindari diri bencana mengerikan itu. Sementara dia sendiri telah melompat
menjauh kalau tubuhnya tak mau teruruk reruntuhan!
Ketika keadaan sudah pulih dan
suasana berubah lengang. Matanya jelalatan ke sekitarnya mencari Roro. Akan
tetapi tak dilihatnya lagi gadis pendekar itu. "Aiiiih! ke mana
keponakanku itu?" gumamnya dengan garuk-garuk kepala.
Lapat-lapat telinganya
mendengar suara tertawa yang lebih mirip dengan suara lengkingan bernada
tangisan. Suara itu semakin menjauh, dan akhirnya lenyap. Tertegun Dewa Angin
Puyuh mendengarnya, itulah suara Roro Centil.
"Ah, ah ... dasar pendekar
wanita aneh! ilmunya sungguh luar biasa hebatnya.
Sayang... Dia begitu cepat
muncul dan begitu cepat menghilang! Dasar pendekar wanita yang aneh!"
gerutu si kakek bulat.
Namun tak lama dia segera
berkelebat ke arah pantai. Menuju ke arah perahunya yang disembunyikan di
sebelah batu karang.....
T A M A T
No comments for "Cerita SIlat Indonesia Serial Roro Centil (Mario Gembala) 25: Tragedi Pulau Berhala"
Post a Comment