Serial Pendekar Bayangan Sukma: 21 Tiga Ksatria Bertopeng
21 Tiga Ksatria Bertopeng
1
Udara malam begitu dingin.
Bulan di atas sana semakin renta. Bukit Alas Waru tetap menyeramkan. Pepohonan
yang tumbuh di sana bagai pasukan yang siap membunuh siapa saja yang datang.
Namun tiga sosok tubuh itu
tetap tegar menerima hembusan angin di ngin. Dan salah satu sosok tubuh nampak
tengah berlutut memperhatikan sosok tubuh berpakaian biru yang tergeletak di
tanah. Sosok berpakaian biru itu telah menjadi mayat. Wajah orang itu begitu
buruk sekali. Mengerikan.
Di Bukit Alas Waru memang baru
saja terjadi pertempuran yang amat hebat. Di sana seorang tokoh jahat yang amar
kejam, si Pamungkas telah tewas di tangan Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma.
Di samping mayat si Pamungkas,
juga bergeletak beberapa mayat para penduduk yang juga turut mengejar si
Pamungkas ke Bukit Alas Waru. Mereka tewas akibat ajian Sambar Nyawa yang
dilancarkan si Pamungkas.
Sedangkan si Pamungkas sendiri
tewas akibat hantaman Pukulan Bayangan Sukma milik dari Madewa Gumilang yang
memapaki ajian Sambar Nyawa yang digabungkan dengan ajian Seribu Bobot Besi
milik si Pamungkas. Hasilnya sungguh luar biasa. Si Pamungkas tewas mengerikan,
sedangkan Madewa Gumilang harus terluka dalam di bagian dadanya. Sosok tubuh
yang berdiri di samping Madewa Gumilang, adalah Kyai Paksi Brahma. Dia seorang
kakek yang berusia 65 tahun. Mengenakan pakaian putih dan berangkin merah.
Kedatangannya adalah untuk mencari Cincin Naga Sastra, cincin sakti milik
mendiang kakak seperguruannya Kyai Tapa Suci yang telah tewas. Sebelum tewas
karena bertanding dengan Dewa Nyawa Maut, Kyai Tapa Suci memberikan Cincin Naga
Sastra ke tangan Juragan Wilada Tista yang tewas di tangan si Pamungkas. Namun
sayang, sampai saat ini tak seorang pun yang tahu di mana cincin sakti itu berada.
Sedangkan sosok tubuh yang
tengah berlutut di hadapan si Pamungkas adalah Ki Lurah Sentot Prawira, Lurah
dari desa Glagah Jajar. Hatinya seakan remuk redam ketika melihat siapa wajah
di balik topeng biru itu. Wajah Mandali Sewu!!
Ki Lurah Sentot Prawira tidak
menyangka sama sekali, kalau Mandali Sewu lah yang berada di balik topeng biru dan menamakan diri si Pamungkas.
Dia telah mendendam pada keluarga Juragan Wilada Tista disamping tugas yang
diberikan gurunya Dewa Nyawa Maut untuk mencari Cincin Naga Sastra (Baca :
Munculnya si Pamungkas).
Terdengar sendat Ki Lurah yang
sudah agak tua itu. “Mengapa ini semua terjadi, Mandali? Mengapa?”
desis orang tua itu terisak.
Dia amat tidak menyangka kalau Mandali Sewu yang berbuat kejam seperti itu.
Madewa yang tengah menahan
luka dalam di dadanya, memegang bahu orang tua itu.
“Ki Lurah…tidak perlu
disesali… Dia telah tewas akibat kekejamannya sendiri…”
“Bukan dia yang kejam,
Pendekar!” kata Ki Lurah sambil tetap menatap wajah buruk Mandali Sewu akibat perlakuan
putra Juragan Wilada Tista dua belas tahun yang lalu, saat dia masih bocah.
“Tetapi putra Juragan Wilada Tista yang membuat wajahnya jadi begini. Itulah
yang menyebabkannya begitu mendendam sekali…”
“Dan dendamnya telah membakar
seluruh tubuhnya menjadi kecongkakan. Bahkan gurunya sendiri, Dewa Nyawa Maut
telah dibunuhnya.”
Ki Lurah Sentot Prawira
mendesah panjang. Mandali Sewu memang bukan anaknya. Bukan siapa‐siapa. Dia
hanyalah anak yatim piatu yang diangkat sebagai anak oleh Juragan Wilada Tista.
Namun melihat kenyataan ini, hatinya begitu amat terpukul sekali.
“Aku sedih sekali
menyaksikannya tewas sebagai orang jahat, Madewa…”
“Takdir telah menentukan
seperti itu, Ki Lurah. Hanya sayang, Mandali Sewu tak pernah bisa untuk merubah
dirinya menjadi orang baik‐baik. Bila saja dia tidak terbakar oleh dendamnya,
tak mungkin semua ini akan terjadi…” kata Madewa Gumilang dengan suara arif.
“Benar, Ki Lurah…” kata Kyai
Paksi Brahma yang sejak tadi hanya terdiam saja. “Dia telah dibakar oleh dendam
yang telah menyksanya. Dan dendam itu telah membuatnya menjadi kejam hingga
menurunkan tangan telengasnya pada siapa saja. Apakah Ki Lurah melupakan hal
itu? Betapa banyaknya anak‐anak perawan yang diperkosanya lalu dibunuhnya
dengan wajah disayat‐sayat?” “Dan betapa banyaknya para pendekar yang tewas di
tangannya untuk menghentikan sepak terjangnya yang telengas.”
“Ki Lurah….bagi seroang
Mandali Sewu atau si Pamungkas, memang dia lebih baik mati saja daripada
keonaran yang akan terus menerus dibuatnya di muka bumi ini.”
“Dan kau harus melakukannya Ki
Lurah.”
Ki Lurah Sentot Prawira cuma
mendesah panjang. Lalu tanpa bersuara, diangkatnya tubuh Mandali Sewu alias si
Pamungkas.
Lalu dibopongnya.
Dan langkahnya pun
perlahan‐lahan menuruni Bukit Alas Waru dengan hati remuk redam.
Madewa Gumilang dan Kyai Paksi
Brahma tidak bisa berbuat apa‐apa. Karena mereka sadar, betapa besar rasa
kecewa dan sedih yang dialami oleh Ki Lurah Sentot Prawira.
Lalu terdengar suara Madewa
bertanya, “Kyai… tadi kau dan si Pamungkas menyebut‐nyebut Cincin Naga Sastra.
Aku sampai sekarang belum tahu tentang cincin itu. Bisakah kau menceritakannya
padaku?”
Kyai Paksi Brahma mendesah.
Baru teringat kalau tugasnya untuk mencari cincin itu belum selesai.
“Madewa… Cincin itu adalah
milik mendiang kakak seperguruanku, Kyai Tapak Suci dan telah diberikannya pada
murid tunggalnya, Wilada Tista yang dibunuh secara licik oleh si Pamungkas.”
“Aku turun dari bukit Hantu
karena menyadari kalai cincin itu amat berbahaya bila
berada di tangan orang jahat. Karena bila cincin direndam di
dalam air dan airnya diminum, dia dapat menyembuhkan segala macam penyakit…”
“Bukankah itu bagus, Kyai…”
“Memang. Tetapi….bila cincin
itu direndam dalam air dan airnya diminum di setiap malam Jum’at, maka yang
meminum airnya akan menjadi kebal terhadap segala macam penyakit dan segala
jenis senjata sakti apapun. Juga terhadap pukulan sakti macam mana pun. Bila
cincin itu jatuh ke tangan orang jahat, yang menguatirkan, kesaktian cincin itu
akan dipergunakan dengan jalan yang salah.”
“Aku begitu cemas memikirkan
hal itu, Madewa.” “Lalu di mana cincin itu sekarang?”
“Aku pun tidak tahu. Siapa pun
tidak tahu. Hanya Juragan Wilada Tistalah yang tahu. Dan dia membawa rahasia
terpendam itu sampai mati.”
“Sayang sekali.”
“Benar, Madewa. Aku kuatir
sekali bila cincin itu ditemukan oleh orang jahat.”
“Bagaimana dengan bentuk
cincin itu sendiri, Kyai?” “Cincin itu berkilat, meskipun dalam tempat gelap
sekalipun. Dan di atas cincin
itu ada batu permata yang berwarna biru. Sebenarnya batu permata itulah yang
membuat cincin itu menjadi amat sakti dan ampuh.”
“Berarti cincin itu sendiri
tidak berguna bila permata itu hilang?”
“Ya.”
“Berarti, batu permata itulah
yang lebih berbahaya.” “Memang benar. Cuma, senjata apa pun dan pukulan sakti
macam apa pun, tak akan pernah bisa memisahkan cincin itu dengan batu
permatanya. Demikian pula sebaliknya. Keduanya begitu kuat menempel.”
“Sungguh hebat cincin itu.”
“Khasiatnya lebih hebat lagi,
Madewa. Aku tidak tahu ada khasiat apa lagi yang terdapat dalam cincin itu.”
“Kalau begitu dugaanmu, masih
ada lagi khasiat dari cincin itu.”
“Ya.”
“Kau tahu, Kyai?”
“Menurut kabar yang pernah
kudengar dari kakak seperguruanku…bila cincin itu dikenakan, maka orang yang memakainya
akan berubah menjadi menyeramkan dan kejam sekali.”
“Luar biasa…luar biasa sekali
cincin itu…”
“Benar, Madewa…yang amat
menguatirkanku, bila cincin itu jatuh di tangan orang jahat. Kau pun sependapat
denganku bukan?”
Madewa Gumilang menatap Kyai
Paksi Brahma. Dari wajah dan tatapannya, jelas‐jelas kalau Kyai Paksi Brahma
menguatirkan sekali bila hal itu terjadi, menguatirkan segala kejadian yang
mungkin bisa amat mengerikan.
Madewa pun merasakan hal itu.
dia pun sulit membayangkan, teror apa yang akan dilakukan oleh orang jahat yang
menemukan cincin itu.
“Aku pun tak mau hal itu
terjadi, Kyai. Tetapi kupikir, mudah‐mudahan cincin itu ditemukan oleh orang
baikbaik.”
“Kau salah, Pendekar.” “Apa
maksudmu, Kyai?”
“Bila cincin itu ditemukan
oleh orang baik‐baik dan dia tidak tahu
itu cincin apa dan langsung memakainya, maka tak dapat dicegah lagi, orang itu
akan berubah menyeramkan dan menjadi amat kejam. Tetapi bila dia melepaskan
cincin itu, maka dia akan kembali ke semula. Dengan resiko, dia akan terus
memakainya bila dia ingin berbuat jahat. Madewa… tidak sedikit orang baik‐baik
bisa berubah menjadi jahat karena menuruti hawa nafsunya.”
Kembali Madewa tercenung.
Keadaan ini memang amat menyulitkan sekali. Dan resiko yang dihadapi oleh si
penemu Cincin Naga Sastra begitu besar.
“Kyai…kita hanya bisa
berharap, mudah‐mudahan cincin itu akan hilang selamanya.”
“Benar, Madewa… hanya itu yang
bisa kita harapkan. Semoga teror di muka bumi ini tidak akan berlanjut terus
menerus…” kata Kyai Paksi Brahma. Lalu katanya lagi, “Malam ini… aku hendak
kembali ke Bukit Hantu. Semoga kita semua beruntung, Madewa…”
“Aku harap demikian. Tidakkah
kau ingin singgah dulu di tempatku, Kyai?”
“Bila Tuhan mengizinkan, aku
akan datang ke tempatmu. Namamu dan nama Perguruan Topeng Hitam yang kau
pimpin, sudah terdengar sampai ke Bukit Hantu, Madewa. Nah, kita berpisah di
sini!”
Lalu tubuh itu pun melesat
dengan cepat menuruni Bukit Alas Waru.
Setelah itu, Madewa pun
meninggalkan pua tempat itu, menuju tempat
kediamannya, Perguruan Topeng
Hitam.
Angin malam terus berhembus
dingin.
Menemani Bukit Alas Waru yang
amat menyeramkan.
2
Kematian Mandali Sewu alias si
Pamungkas, ternyata begitu membekas di hati Ki Lurah Sentot Prawira. Dia amat
sedih sekali. Apalagi setelah dia memberitahukan istrinya yang langsung
menangis tersedu‐sedu melihat kenyataan itu.
Kedua suami istri yang telah
lama tidak dikarunia anak itu, menjadi amat sedih. Padahal ketika beberapa hari
yang lalu, Mandali Sewu tiba‐tiba muncul di hadapan mereka, mereka menyatakan
hendak mengangkat pemuda beerwajah buruk mengerikan itu sebagai anak. Tetapi
keinginan itu ditolak Mandali Sewu.
Dan kini pemuda yang
diharapkan untuk menjadi anak oleh keduanya, telah tewas menjadi mayat. Dan
telah dikuburkan dibelakang halaman rumah Ki Lurah dan istrinya.
Sepanjang malam istrinya
menangis.
Kesedihan yang melanda hati Ki
Lurah pun tak kalah besarnya, namun dia tak mau bila istrinya dirundung
kesedihan terus menerus.
“Sudahlah, Nyai… relakanlah
kematiannya…” katanya berulang kali membujuk istrinya.
“Iya. Ki… tapi… ah, aku amat
menyesali kematiannya sebagai orang jahat…”
“Kita memang tidak tahu siapa
di balik topeng berwarna biru, Nyai. Yang ternyata Mandali Sewu. Dan aku pun
tak pernah menyangka,
dia telah tumbuh menjadi pemuda pendendam yang kejam
dan ganas sekali. Bahkan dia telah membunuh gurunya sendiri, Dewa Nyawa Maut
dengan telengas.”
Tiba‐tiba Nyai Lurah terisak.
“Ini bukan kesalahannya, Ki…
ini kesalahan putra Juragan Wilada Tista. Bila dia tidak berbuat jahat padanya,
tentunya Mandali Sewu tidak akan pernah menjadi manusia yang kejam. Bila
melihat tindak tanduk bocah itu dulu,
aku yakin dia akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan bijaksana… Oh, mengapa
dia harus hidup seperti itu, hidup penuh dendam dan amarah…”
“Sudahlah, Nyai… kita relakan
saja Mandali Sewu tenang di kuburnya…”
Nyai Lurah hanya mengangguk.
Pada wajahnya lambat laun dia memang seperti bisa melupakan kematian Mandali
Sewu. Tetapi di hatinya, begitu teriris sekali mengingat hal itu.
Apalagi setelah dia mendatangi
lagi makan yang berada di belakang halaman rumahnya. Hatinya semakin pedih dan
sedih mengingat kematian Mandali Sewu.
Dan karena hal itu terus
menerus di pendal dalam hatinya, perlahan‐lahan tubuh yang masih segar dan
montok itu menjadi kurus. Dan perlahan‐lahan pula Nyai Lurah akhirnya jatuh
sakit.
Suaminya menjadi kebingungan
menghadapi persoalan ini. lebih membingungkan lagi karena tak seorang tabib pun
yang dapat menyembuhkan penyakitnya. “Ki Lurah… hanya satu dugaanku yang dapat
menyembuhkan penyakit istrimu itu,” kata seorang tabib yang baru saja memeriksa
tubuh Nyai Lurah.
“Katakan, katakan hal itum Ki
Tabib… saya ingin istri saya sembuh…”
“Cincin Naga Sastra.” “Apa?”
“Hanya Cincin Naga Sastra yang
dapat menyembuhkan penyakitnya, dengan air yang telah direndam oleh cincin
sakti itu.”
“Tetapi di mana cincin itu
dapat kutemukan, Ki Tabib?” tanya Ki Lurah bingung.
“Entah… aku sendiri tidak
tahu…”
“Apakah tidak ada cara lain
selain dengan Cincin Naga Sastra, Ki Tabib?”
“Kurasa tidak ada, Ki…
penyakit istrimu ini karena kesedihan yang terus menerus melandanya. Dan
agaknya dia pun amat menyesali seseorang. Menurut ceritamu, ada seorang pemuda
berwajah buruk mengerikan yang bernama Mandali Sewu yang telah tewas dan
dikenal sebagai si Pamungkas. Menurut dugaanku, dia sedih karena kematian
Mandali Sewu. Cara lain untuk menyembuhkan istrimu itu kecuali dengan Cincin
Naga Sastra, harus bisa menghidupkan Mandali Sewu kembali.”
“Okh!”
“Maafkan aku Ki Lurah… selain
itu, aku tak bisa lagi memberi petunjuk…” kata tabib yang berusia 50 tahun itu.
hampir 25 tahun dia menjadi seorang tabib hingga namanya terkenal,
namun baru kali ini
dia kewalahan untuk menyembuhkan penyakit istri Ki Lurah. Tabib itu
bernama Ki Lamtoro. Dia seorang laki‐laki yang berwajah tirus dengan jenggot
dan rambut yang sudah agak memutih.
“Tolonglah aku, Ki Tabib…
apakah tidak ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit istriku?”
“Dalam hal ini aku menyerah,
Ki Lurah. Aku sudah tidak tahu lagi dengan cara apa untuk menyembuhkan penyakit
istrimu. Selain dari Cincin Naga Sastra, cincin yang maha sakti dalam
menyembuhkan segala macam penyakit, aku tidak tahu lagi dengan cara apa.”
“Agaknya memang tidak ada, Ki
Lurah.” “Maafkan aku…”
Wajah dan suara Ki Lamtoro
amat bersungguhsungguh memberikan penjelasannya. Dia memang tidak sanggup lagi
untuk menyembuhkan penyakit istri dari Ki Lurah Sentot Prawira. Dan dia menjadi
teringat akan sebuah benda yang amat sakti, yang dapat menyembuhkan segala macam
penyakit. Baik yang ringan mau pun yang berat.
Ki Lamtoro mendengar desahan
panjang Ki Lurah yang terdengar masygul.
“Ke mana akan kucari cincin
itu, Ki Tabib?”
“Maafkan aku, Ki Lurah… aku
tak dapat memberikan petunjuk yang berarti padamu. Setahuku cincin sakti itu
dimiliki oleh Kyai Tapa Suci. Tapi sekarang entah di mana dia berada.”
“Dia sudah meninggal, Ki
Tabib…” “Okh! Benarkan ucapanmu itu?!”
“Ya… beberapa
minggu yang lalu,
aku bertemu dengan adik
seperguruannya, Kyai Paksi Brahma, yang datang untuk mencari Cincin Naga Sastra
pula…”
“Apakah dia menemukannya?”
“Tidak, Ki Tabib… Dia kembali
ke tempat kediamannya di Bukit Hantu dengan tangan hampa…”
“Berarti cincin itu
benar‐benar ada. Ah, sayang sekali… bila cinicn sakti itu hilang begitu saja…”
“Memang benar, Ki Tabib… dalam
hal ini aku pun amat menyesali andaikata aku benar‐benar tidak bisa menemukan
cincin sakti itu… Tetapi ketahuilah, demi nyawa istriku tercinta, aku akan
berusaha untuk mencarinya meskipun kukorbankan nyawaku sendiri…”
Ki Tabib Lamtoro hanya
mendesah panjang mendengar kata‐kata yang diucapkan dengan sungguhsungguh oleh
Ki Lurah.
Lalu dia membereskan segala
alat‐alatnya. Dan berkata, “Kudoakan… semoga kau berhasil mendapatkan cincin
itu, Ki Lurah…”
Ki Lurah pun bangkit.
“Terima kasih, Ki Tabib. Dan
terima kasih pula kau mau meluangkan waktumu untuk memeriksa penyakit istriku…”
katanya sembari mengantarkan Ki Lamtoro keluar.
Setelah tabib itu lenyap dari
pandangan mata, kembali Ki Lurah Sentot Prawira menemui istrinya yang tengah
terbaring lesu di ranjang berselimutkan kain cukup tebal.
Wajah yang segar dan montok
itu dalam beberapa hari saja sudah menjadi layu dan kurus. Ki Lurah sedih
melihat keadaan istrinya. Lalu dia duduk di tepi ranjang. Dan membelai wajah
istrinya yang penuh kasih, penuh kasih sayang.
Wajah itu begitu tabah
menghadapi segala cobaan hidup yang telah mereka jalani. Tabah pula menerima
kenyataan kalau mereka sampai saat ini belum dikarunia seorang anak pun yang
dapat menghidupkan suasana keluarga.
Ki Lurah tak pernah
menyalahkan istrinya dalam hal ini karena dia tahu, semua ini memang belum
diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
Tiba‐tiba terdengar suara
sepasang bibir kering itu, “Mandali… Mandali… kembalilah, Nak… kembalilah di
sisiku…”
Hati Ki Lurah galau dan
teriris mendengar kata‐kata itu. Memang benar dugaan tabib Ki Lamtoro, istrinya
sakit karena menyesali kematian Mandali Sewu dan memendam rindu yang teramat
sangat padanya.
Kembali tangan Ki Lurah
membelai pipi yang menjadi kurus itu.
“Tenanglah, Nyai.. tenanglah..
Kau pasti sembuh…”
Entah bagaimana caranya,
tiba‐tiba sepasang mata yang terpejam itu terbuka. Tatapannya tak bercahaya dan
bergairah.
Fokus mata itu pun semakin
jelas.
Di hadapannya nampak suaminya
yang dengan setia menunggui dan merawatnya.
“Ki…”
“Ya, Nyai… ini aku?”
“Kenapa Mandali Sewu mati,
Ki?”
Hati Ki Lurah semakin teriris
mendengar pertanyaan itu. bukankah istrinya sudah tahu mengapa Mandali Sewu
alias si Pamungkas meninggal?
Tetapi Ki Lurah tidak ingin mendiamkan
istrinya, lalu katanya, “Dia meninggal karena perbuatan jahatnya sendiri,
Nyai…”
“Tidak, Ki… katamu… dia mati
di tangan Madewa Gumilang… Oh, sungguh kejam sekali dia membunuh Mandali Sewuku
tersayang…”
“Tenanglah, Nyai… kau masih
sakit…” “Dia jahat, Ki… dia jahat…”
”Siapa, Nyai?”
“Madewa Gumilang. Mengapa dia
membunuh Mandali Sewu? Mengapa? Karena dia memang jahat, Ki… dia memang sengaja
ingin membunuh Mandali Sewu…”
“Tidak, Nyai… Madewa Gumilang
tidak jahat. Dia memang harus membunuh Mandali Sewu alias si Pamungkas. Kau
sudah tahu bukan kekejaman si Pamungkas?”
“Tidak, dia memang sengaja
ingin membunuhnya! Kejam! Pendekar Budiman itu ternyata seroang yang kejam!!”
Nyai Lurah menjerit‐jerit. Sepasang matanya tiba‐tiba terbuka, terbelalak. Ki Lurah
melihat tatapan yang amat mengerikan dari sepasang mata itu.
“Tenanglah, Nyai… tenanglah…”
Tetapi istrinya terus
menjerit‐jerit. Meneriaki Madewa
Gumilang sebagai orang jahat. Dan karena terlalu keras dan letih, dia pun
tiba‐tiba kembali jatuh pingsan.
Ki Lurah
cuma mendesah panjang.
Betapa besarnya derita yang dialami istrinya. Hatinya begitu galau.
Ki Lurah pun memutuskan untuk
menemui Madewa Gumilang di Perguruan Topeng Hitam, perguruan yang dipimpin oleh
manusia sakti itu.
Dia hendak bermaksud untuk
meminta pertolongan dan bantuan Madewa untuk mencari Cincin Naga Sastra.
3
Wanita itu terus melangkah
dengan tertatih‐tatih. Berulang kali dia terjatuh karena tersandung. Jelas
sekali kalau kondisi wanita itu amat lemah.
Tetapi dia terus berjalan.
Terus melangkahkan kakinya.
Tiba‐tiba kembali dia
terjatuh, karena kakinya tersandung akar pohon yang menonjol keluar.
Tubuhnya bergulingan beberapa kali,
lalu tertelungkup. Dia mengerang.
Mengaduh.
Terasa sekali kalai dia amat
tersiksa dengan kondisi tubuhnya.
Diusahakannya untuk bangkit
dari tertelungkupnya. Entah kenapa dia ingin meninggalkan tempat itu
selama‐lamanya dan pergi sejauh‐jauhnya.
Tetapi karena kondisinya yang
lemah, dia tak kuasa lagi untuk bangkit. Dia merasakan amat tersiksa dan
menyesali kondisinya yang tak memungkinkan.
Dan perlahan‐lahan kepala
wanita itu terkulai.
Pagi terus menemaninya, hingga
menjelang petang. Berulah terlihat kalau kepala yang terkulai itu perlahanlahan
bergerak. Sepasang matanya yang lemah nampak mengerjap‐ngerjap.
Tangannya mengais‐ngais
sebatang akar pohon yang melintang. Untuk dijadikan pegangan dan tumpuannya
untuk berdiri. Namun
karena kondisinya yang
amat lemah, sulit baginya untuk memegang akar pohon itu dengan kuat.
Malah kini tangannya yang mengais‐ngais tanah.
“Oh… Tuhan, mengapa aku harus
jadi begini?” desis wanita itu dengan suara yang amat lemah.
Dan tiba‐tiba sepasang mata
yang mengerjap‐ngerjap lemah itu mendadak terbuka. Bercahaya. Secara tak
sengaja tangannya yang mengais‐ngais tanah, membuat tanah itu semakin berlobang
dan cukup dalam.
Kini matanya melihat sebentuk
cincin yang sudah agak kotor. Namun
permata yang menghiasi cincin itu begitu bersinar.
Hati wanita itu tergetar.
“Oh… cincin siapakah ini?”
desisnya dengan suara yang tetap lemah. Lalu hati‐hati digapainya cincin itu.
diperhatikannya dengan seksama. Permata yang ada di atas cincin itu berkilauan.
Begitu indah dan memikat.
Hati wanita itu kembali
bertanya, “Oh… indah sekali cincin ini…”
Wanita yang nampak sakit itu,
mendadak saja menjadi segar melihat
cincin itu. dan tanpa berpikir panjang lagi, dia pun mengenakan cincin itu di
jari manisnya.
“Oh, indah sekali cincin ini…”
Diamat‐amatinya lagi cincin
itu. Bukan main, apakah ini cincin pemberian Tuhan kepadaku, ataukah cincin
orang lain yang hilang? Desisnya dalam hati.
Tiba‐tiba terdengar suara di
belakangnya, “Hei, mengapa ada di sini?” Wanita itu berpaling. Dan tiba‐tiba
saja sepasang matanya terbuka melebar. Tatapannya begitu mengerikan. Wajahnya
memerah dengan napas mendengusdengus.
Mata yang memancarkan sinar
berbahaya itu, melihat dua sosok laki‐laki di hadapannya. Entah mengapa
mendadak saja hati wanita itu menjadi murka dan panas.
“Ayo kita bantu dia!” seru
yang seorang.
Lalu kedua laki‐laki yang
agaknya mengenali wanita itu, bergegas menghampirinya. Namun mereka terkejut
bukan main. Wanita yang mereka pikir lemah dan seperti sedang sakit itu,
tiba‐tiba mengibaskan tangannya dan mengerang dengan marah.
“Hei!” seru salah seorang kaget.
“Mengapa dia menjadi pemarah
sekali? Dan wajahnya itu… oh, begitu mengerikan sekali… Dia bukan bukan seperti
yang biasanya kita kenal. Begitu ramah dan baik hati…”
“Betul katamu itu. Lihat… oh,
dia bangkit. Dan sepertinya dia marah pada kita…”
Wanita itu memang
perlahan‐lahan bangkit. Tatapannya mengerikan. Dan yang membuat keduanya heran,
karena suara wanita itu tidak seperti suara yang mereka kenal. Begitu
menakutkan dan menakutkan.
Membuat bulu roma berdiri.
“Mau apa kalian kesini?!”
suara wanita itu mendadak menjadi berat. Dan kini dia nampak tidak seperti
sedang sakit. Kondisinya begitu sehat. Behkan terkesan kekar dan beringas. “Bukankah…”
Kata‐kata itu terpotong karena
dengan tiba‐tiba saja wanita itu berontak dan bergerak menyerbu ke arahnya.
Suaranya seperti mengaum, seperti srigala yang marah.
“Akkkkh! Grrrrhhh!”
Laki‐laki itu nampak terkejut.
Dan dia segera membanting dirinya ke samping. Tetapi wanita yang menjadi
beringas itu terus mengejar dengan terjangan‐terjangan yang tak ubahnya seperti
seekor serigala yang kelaparan.
“Hati‐hati Manto!!” berseru
yang seorang ketika melihat temannya siap‐siap dijadikan mangsa oleh wanita
itu. “Dia seperti kemasukan setan!!”
Manto pun terus bergulingan
untuk menyelamatkan diri. Tetapi wanita itu jelas‐jelas tidak memberinya
kesempatan untuk menyelamatkan diri. Wanita itu terus menerjang dengan buas dan
dalam bentukan serangan‐serangan yang amat kejam.
Melihat hal itu, temannya pun
bergerak untuk membantu. Dia mengambil sebatang dahan pohon kering yang cukup
besar. Dia berpikir, lebih baik melumpuhkan wanita yang telah kemasukan setan
ini. Daripada dia membuat onar dan menimbulkan korban.
Lalu diterjangnya wanita itu
dan dihantamnya dengan dahan kayu yang cukup besar itu.
“Des!!”
Pukulan itu begitu keras
sekali. Mampu merobohkan seorang laki‐laki bertubuh kekar. Tetapi wanitu itu,
jangankan untuk roboh, bergeming saja tidak terhantam pukulan yang cukup keras
itu. Malah tiba‐tiba dia berbalik.
Matanya melotot meradang
marah.
Suaranya mengerikan,
“Grrrrhhh! Kubuat mampus kau, Manusia!!” geramnya dan menerjang yang memukul
tadi.
Laki‐laki itu terkejut
bercampur takut yang amat sangat. Dia pun menyongsong wanita itu dengan pukulan
dahan kayunya. Namun seperti kejadian tadi, wanita itu pun tidak bergeming
dihantam dahan kayu yang cukup besar.
Malah dia terus menerjang
dengan kalap. Laki‐laki itu kaget amat luar biasa. Tangan wanita itu yang
mendadak menjadi kuat dan kekar, mencengkeram lehernya. Begitu kukuh dan kuat.
Tak ubahnya seperti tang yang
tengah menjepit paku. Laki‐laki itu berusaha untuk meronta. Namun jepitan kedua
tangan itu begitu kuat sekali, membuatnya
menjadi sukar bernapas. Sesak.
Sepasang matanya terbeliak. Lidahnya terjulur.
Kawannya yang melihat hal itu
mencoba untuk membantu. Ditariknya wanita itu dari belakang. Namun wanita itu
tetap pada posisi semula. Tetap mencengkeram leher laki‐laki itu dengan kedua
tangannya yang mendadak menjadi kuat.
Sementara kawannya terus
terbeliak‐beliak dengan mengerikan. Dan perlahan‐lahan gerakannya melemah dan
semakin lama semakin melemah.
Kepalanya pun perlahan‐lahan
terkulai. Dia pun mati di tangan wanita itu yang mendadak menjadi kejam. Mati
karena jalan napasnya terhambat.
Lalu dengan kasar wanita itu
membanting tubuhnya ke tanah. Kemudian dia berpaling pada laki‐laki yang berada
di belakangnya. Yang menjadi amat ketakutan.
Laki‐laki itu mundur
perlahan‐lahan ke belakang.
Mulutnya meratap‐ratap,
“Ampun… ampunkan aku… oh… apakah kau tidak mengenaliku? Ampun… ampun…”
Kepalanya mencari‐cari sekelilingnya dengan ketakutan. Dia ingin segera
melarikan diri. Namun hatinya menjadi kecut, ketika menyadari amat tipis
baginya
untuk melarikan diri.
Didengarnya suara wanita itu
yang menggeram mengerikan.
“Grrrhh! Kau tak akan bisa
melarikan diri dariku. Manusia… kau telah berbuat lancang berani menegurku…”
“Ampun… ampunkan aku… apakah
kau tidak mengenaliku? Apakah kau tidak tahu siapa aku?”
“Hihihi… peduli setan! Grrrhh…
kau harus mampus di tanganku!!” wanita itu mendesis dengan geram.
“Jangan… jangan…” seru
laki‐laki itu ketakutan dan tiba‐tiba membalikkan dirinya lalu berlari
sejadi‐jadinya dengan kencang.
Namun wanita itu mendadak saja
melompat menerjangnya. Lalu menghantamnya dengan buas. Kedua tubuh itu terjatuh
bergulingan di tanah.
Laki‐laki itu berusaha untuk
berontak. Namun kembali tangan wanita itu terayun dan menghantam kepalanya. “Krak!!”
Bunyi tanda epala itu pecah
begitu keras terdengar. Darah pun bersimbah dari kepalanya bercampur cairan
putih. Wanita itu mendengus‐dengus hebat. Lalu dengarkan suara mengaumnya yang
cukup keras.
“Grrrrhhh! Mampuslah kau
manusia‐manusia iseng!! Hihihi… manusia‐manusia seperti kalian lebih baik mati
dari pada hidup henya menyusahkan saja!!! Hahaha… akulah Dewi Kematian yang
akan membuat semua manusia lebih baik mari saja daripada hidup hanya menambah
dan membuat dosa… Hahaha… ya, ya… akulah Dewi Kematian yang akan membuat semua
manusia menjadi sempurna sebelum mereka berbuat dosa…”
Wanita yang mendadak menjadi
buas dan beringas itu terbahak keras. Dia kini menjelma menjadi wanita yang
amat kejam.
Tiba‐tiba saja sepasang
matanya yang liar menatap cincin yang ditemukannya yang kini melingkar di
jarinya. Cincin bermata indah itu seperti menyala di matanya.
Memukau dan memikat.
Dan entah kesadaran dari mana
tiba‐tiba dia mencopot cincin di tangannya itu.
Mendadak perlahan‐lahan
tubuhnya dirasakannya melemah. Sepasang matanya pun mulai meredup. Sikapnya
tidak beringas lagi. Dan perlahan‐lahan dia merasakan kondisinya begitu lemah.
Kepalanya dirasakannya amat pusing sekali.
Dan dia terhuyung. Wanita itu
seakan menyadari kalau dia dalam
keadaan sakit. Lalu
tubuh itu pun ambruk.
“Oh… kenapa jadi begini?”
desisnya mengeluh. Dan kala dia membuka matanya yang terpejam untuk menahan rasa
sakit tadi, wanita itu terkejut bukan kepalang melihat dua sosok tubuh telah
menjadi mayat yang tergeletak di depannya.
“O! Bukaankah itu… Japra dan
Kuro?” desisnya bertanya‐tanya. “Mengapa mereka mati seperti ini? Mengerikan
sekali…”
Wanita itu perlahan‐lahan
merayap mendekati dua sosok mayat laki‐laki yang ternyata dikenalinya.
“Mengerikan sekali…”
Dan secara tiba‐tiba dia pun
teringat akan perubahan dirinya tadi. Semula dia merasakan tubuhnya amat lemah
dan sakit sekali. Kemudian dia terjatuh. Dan begitu dia sadar dari pingsannya,
dia melihat sebuah cincin bermata indah yang memukau ada di hadapannya.
Dia mengambil cincin itu. Dan
memakainya.
Lalu perlahan‐lahan dia
mersakan keanehan pada tubuhnya. Dia merasa beringas. Dia merasa haus darah. Dan
dia merasa seperti orang yang kalap.
Dia pun ingat ketika kedua
orang itu mendekatinya. Namun dia merasa tidak mengenalinya. Entah perasaan apa
yang mendorongnya untuk membunuh kedua orang itu, tiba‐tiba saja dia merasakan
kalau dirinyalah Dewi Kematian yang selalu membunuh orang daripada orang itu
berbuat dosa.
“Oh! Apa yang kulakukan?” desisnya
setelah menyadari semuanya. “Apakah kedua orang ini benar‐benar mati di
tanganku?” desisnya pula dengan hati pilu.
Diperhatikannya lagi kedua
mayat itu yang tewas sangat mengerikan. Benarkah keduanya mati olehku? Desis
wanita itu di hati lagi. Dan dia merasa cukup sedih mengingar hal itu.
Tiba‐tiba sepasang matanya
bersinar. “Tidak salah lagi… tidak salah lagi… ya, ya… aku tahu… ini pasti
Cincin Naga Sastra… cincin akti yang tengah diperbincangkan oleh orang‐orang
rimba persilatan… Ya, ya… pasti.. aku yakin sekali…” wanita itu bergumam dengan
hati berdebar.
Tiba‐tiba dia menyeringai.
Wajahnya menjadi mengerikan sekali.
Dan mendadak saja dia tertawa
keras.
“Hahaha… aku bisa menyembuhkan
diriku sendiri dengan air yang kurendam pada cincin ini. Ya, ya… aku akan
sembuh…”
Tiba‐tiba sepasang matanya
beringas. Bersinar berbahaya!
“Hhh! Akan kubalas perbuatan
roang‐orang yang amat kejam padaku! Yang membuatku menderita begini! Yang
membuatku sakit hati! Hhh! Orang‐orang itu harus mampus di tanganku!!”
Tiba‐tiba sosok tubuh itu pun
perlahan‐lahan bangkit. Dan dipaksakannya kakinya untuk meninggalkan tempat
itu.
Senja pun semakin turun.
4
“Hahaha… Ki Lurah Sentot Prawira! Selamat
datang di tempatku!!” desis Madewa Gumilang tertawa lebar ketika melihat siapa
tamu yang diberitahukan muridnya datang untuk mencarinya.
Ki Lurah Sentot Prawira
menjura hormat.
“Maafkan aku… bila
kedatanganku mengganggu Ketua yag sedang beristirahat…”
“Mengapa kau berkata begitu?
Ayo duduklah! Jangan sungkan‐sungkan.” Kata Madewa Gumilang seraya duduk lebih
dulu. Ratih Ningrum, istrinya pun duduk di sebelahnya. Wanita itu pun tak
mengira kalau dia bisa berkenalan dengan Ki Lurah Sentot Prawira.
Ratih Ningrum memang belum
mengenal Ki Lurah Sentot Prawira. Dia hanya mendengar dari cerita suaminya,
kalau si Pamungkas yang menebarkan teror telah mati di tangannya.
Ratih Ningrum cukup cemas
ketika suaminya kembali pulang dengan membawa luka dalam di dadanya yang cukup
hebat. Dan selama seminggu Madewa Gumilang bersemedi untuk memulihkan tenaganya
dan mengembalikan kondisi tubuhnya akibat benturan yang dialaminya dengan si
Pamungkas.
Kini dirasakannya kondisinya
telah pulih kembali. “Ada apa, Ki Lurah? Tentunya kedatanganmu dengan
suatu maksud yang menurutku
cukup penting, bukan?” tanyanya kemudian. Ki Lurah Sentot Prawira mendesar
panjang.
“Memang benar, Ketua?!
Kedatanganku membawa maksud yang menurutku cukup penting.”
“Apakah itu, Ki Lurah?”
“Masalah istriku, Ketua.” “Ada apa dengan istrimu?”
“Istriku sedang sakit, Madewa”
“Sakit apa?”
“Aku juga tidak tahu dia
menderita sakit apa! Tetapi kondisi tubuhnya semakin hari semakin menurun. Dan
semakin hari dia seperti bunga yang semakin layu.”
“Kasihan sekali.”
“Menurut Tabib yang telah
menolongnya, dia hanya bisa disembuhkan oleh sebuah benda.”
“Benda apakah itu, Ki Lurah?”
“Benda itu Cincin Naga Sastra,
Ketua.” “Oh!”
“Ya, hanya Cincin Naga Sastra
yang dapat menyembuhkannya.”
“Kalau begitu, sudah amat
berbahayakah penyakit yang diderita istrimu?”
“Menurut Ki Tabib Lamtoro,
penyakitnya akibat kesedihannya yang terus menerus melandanya mengingat
kematian si Pamungkas yang ternyata Mandali Sewu. Istriku amat menyayangi pemuda
buruk rupa itu, Ketua…”
Madewa Gumilang terdiam. Dia
dapat merasakan kepedihan hati Ki Lurah bila teringat keadaan istrinya. Dia pun
dapat merasakan pula kesedihan yang tengah dialami istrinya akibat kematian
orang yang disayanginya.
“Ki Lurah… dalam hal ini,
akulah yang bersalah…” “Tidak, Ketua… bukan ketua yang bersalah. Keadaan
yang memaksa ketua berbuat
demikian. Aku pun akan berbuat yang sama bila aku mampu mengalahkan si
Pamungkas yang ternyata Mandali Sewu.”
“Tetapi akibat perbuatanku, istrimu
menjadi menderita, Ki Lurah…”
“Aku mengerti, Ketua. Tetapi
bila kau tidak membunuh si Pamungkas, tentunya kejahatannya akan terus menerus
dia lakukan. Dan akan terus berlanjut menyebarkan teror di muka bumi ini. Aku
tidak menyalahkanmu, Ketua… tetapi aku amat sedih bila teringat akan keadaan
istriku…”
“Begitu pula aku, Ki Lurah…”
Ratih Ningrum yang sejak tadi
hanya berdiam diri saja, berkata perlahan, “Aku pun turut bersedih atas
sakitnya istrimu, Ki Lurah…”
“Terima kasih, Nyonya Ketua…”
kata Ki Lurah pelan. Lalu dia berkata pada Madewa, “Ketua… selain itu,
kedatanganku pun hendak minta bantuanmu…”
“Katakanlah, Ki Lurah… apa pun
akan kulakukan untukmu. Juga untuk kesembuhan istrimu…”
“Bantuan yang kuharapkan,
hanyalah kerelaanmu untuk membantuku mendapatkan Cincin Naga Sastra.
Satu‐satunya benda yang dapat menyembuhkan penyakit istriku…”
“Cincin Naga Sastra…” gumam
Madewa tercenung. Lagi‐lagi cincin itu. sampai sekarang Madewa sendiri
tidak pernah tahu
di mana cincin
itu berada. Tetapi untuk mengenakkan hati Ki Lurah
Sentot Prawira, dia pun mengiyakan.
“Terima kasih sebelumnya atas
bantuanmu, Ketua. Kalau begitu… aku pamit sekarang…”
“Ki Lurah… apakah kau tidak
ingin bermalam di sini dulu?” tanya Ratih Ningrum.
“Terima kasih, Nyonya Ketua…
aku menguatirkan keadaan istriku yang dalam keadaan sakit di rumah. Sudha
seminggu lamanya aku meninggalkannya sendiri di rumah, untuk Madewa Gumilang.
sebenarnya aku teramat letih menunggang kuda selama itu. tetapi aku lebih cemas
lagi bila teringat akan istriku.”
“Kalau itu mau mu, kami tidak
bisa berbuat apa‐apa. Sampaikan salam kami kepada istrimu,” kata Ratih Ningrum.
Ki Lurah Sentot Prawira pun
menjura dan mohon diri. Dia menunggangi lagi kudanya. Dan dipacunya dengan
cepat. Membawa harapan kalau Pendekar Bayangan Sukma itu akan menolongnya untuk
menemukan Cincin Naga Sastra.
Madewa Gumilang sendiri
kmudian masuk lagi ke dalam dan disusul istrinya. Istrinya langsung bertanya
ketika melihat suaminya murung.
“Ada apa, Kanda?”
Madewa mendesah. “Aku merasa
kasihan sekali kepada Nyai Lurah. Dan yang tak pernah kusangka, si Pamungkas
yang tewas di tanganku adalah pemuda yang amat disayang oleh Nyai Lurah. Bahkan
dianggap sebagai anak.”
“Tetapi bukankah kau mendengar
sendiri kata‐kata Ki Lurah tadi, Kanda.
Bila kau tidak membunuh si Pamungkas, maka kejahatan yang dilakukannya akan
semakin merajalela dan menjadi‐jadi. Kau membunuhnya karena dia orang jahat
yang kerjanya menebarkan teror di mana‐mana.”
“Aku mengerti. Tetapi sulit
bagiku membayangkan bila Nyai Lurah dalam keadaan sakit seperti ini.”
“Tapi ini semua bukan salahmu,
Kanda.”
“Aku pun mengerti, Dinda.
Tetapi karena perbuatankulah maka Nyai Lurah menjadi sakit. Bukankah ini
merupakan satu beban di benakku?”
Ratih Ningrum merangkul suaminya
yang sedang berdiri di tepi jendela. Pandangannya menatap ke luar jendela.
Menatap bunga‐bunga yang tumbuh di halaman samping Perguruan Topeng Hitam.
Sebuah perguruan warisan Paksi Uludara yang kini dipimpin oleh suaminya.
Perguruan yang telah hampir dua puluh tahun mereka tinggali.
“Suamiku… aku tahu perasaanmu.
Lalu bagaimana tindakanmu sekarang?”
“Aku akan mencari Cincin Naga
Sastra untuk menyembuhkan penyakit Nyai Lurah, Dinda…”
Ratih Ningrum mendesah. Dia
pun dapat merasakan beban perasaan yang tengah di alami suaminya. Dan dia ingin
dapat merasakan pula sebesar‐besarnya. Dia ingin suaminya membagi perasaan itu
padanya.
“Kanda… ajaklah aku untuk
menemanimu mencari Cincin Naga Sastra. Aku tidak bisa membiarkan kau pergi
dengan perasaan seperti itu…”
Madewa membalikkan tubuhnya.
Matanya lekat menatap sepasang
mata istrinya. Istri yang telah menemaninya hampir dua puluh lima tahun. Istri
yang setia dan bijaksana. Dalam keadaan seperti ini Madewa teringat akan
putranya yang tengah pergi bertualang dengan anak menantunya. Entah di mana
kabar Pranata Kumala dan istrinya, Ambarwati sekarang.
“Dinda…” anggilnya dengan
suara mesra. “Ya, Kanda…”
“Kau memang seorang wanita
yang agung dan mulia yang diberikan Gusti Allah kepadaku…”
“Kanda… aku hanyalah seorang
wanita yang merasa harus mengabdi dan setia pada suami…” kata Ratih Ningrum
sambil merabehkan kepalanya di dada bidang suaminya.
Madewa mendesah pelan.
dirangkulnya kepala yang ada di dadanya.
Erat.
Makin erat.
5
Kuda yang ditunggangi oleh Ki
Lurah Sentot Prawira berhenti di dekat sebuah sungai. Lalu laki‐laki setengah
baya itu mengambil air minum sementara kduanya sendiri ditambatkan di sebatang
pohon yang dekat dengan air sungai itu.
Kudanya pun tengah asyik
munum.
Sudah dua hari dua malam
dengan sekali‐sekali beristirahat Ki Lurah Sentot Prawira memacu kudanya dari
Perguruan Topeng Hitam. Di sepanjang jalan dia amat mencemaskan keadaan
istrinya.
Hatinya tidak tenang. Dan dia
ingin cepat‐cepat tiba di rumahnya. Dia sudah tidak sabar ingin melihat
istrinya.
Setelah dirasakan dahaganya
hilang dan penat tubuhnya mulai berkurang, dia pun bermaksud hendak memacu
kudanya lagi. Namun baru saja dua langkah dia bergerak, tiba‐tiba dirasakannya
angin berdesir deras ke arahnya.
Dengan satu gerak reflek yang
cukup terlatih, Ki Lurah Sentot Prawira besalto ke muka. Dan begitu hinggap dia
dapat melihat benda apa yang berdesir ke arahnya tadi. Sebatang paku dan kini
menancap di sebuah batu hingga pangkalnya. Ini menandakan betapa hebatnya tenaga
dalam orang yang melemparkan senjata rahasia berbentuk paku itu.
Ki Lurah Sentot Prawira
mendengus, dia menjadi bersiaga karena merasa ada orang yang hendak berbuat jahat
padanya. Matanya waspada. Berkeliling.
Dia berseru, “Hhh! Siapa
adanya pembokong gelap yang pengecut seperti ini?!”
Tidak ada suara sahutan. Yang
terdengar hanya desir air sungai yang bergemuruh.
Ki Lurah membentak lagi.
“Tongolkan batang hidungmu manusia pengecut!!”
Tetap tidak ada sahutan. Dan
mendadak saja Ki Lurah Sentot Prawira merasakan ada desiran angin kembali yang
mengarah kepadanya.
“Bangsat!!” makinya sambil
bersalto menghindari sambaran angin yang ditimbulkan oleh senjata rahasia. Dan
kembali dia melihat paku‐paku itu menancap di batu. “Manusia keparat! Cepat tongolkan
batang hidungmu!!”
Kali ini Ki Lurah Sentot
Prawira tidak perlu menunggu lama‐lama dari hasil seruannya. Karena mendadak
saja melompat satu sosok tubuh entah dari mana dan kini berdiri di hadapannya
setelah hinggap di tanah dengan ringannya.
Ki Lurah memperhatikan dengan
seksama. Sosok tubuh itu berpakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam pula.
Setahu Ki Lurah Sentot Prawira, hanya muridmurid Perguruan Topeng Hitamlah yang
berpakaian seperti itu.
Mengingat hal itu, Ki Lurah
menjadi marah karena merasa murid Perguruan Topeng Hitam telah mengganggunya. “Hhh!
Mau apa kau murid Perguruan Topeng Hitam menghadang perjalananku?!” dengusnya
gusar.
“Jangan banyak bacot, Ki
Lurah! Yang kuminta hanya Cincin Naga Sastra darimu! Tidak lebih!!” bentak
orang berpakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam itu dengan suara berwibawa dan
angker.
“Cincin Naga Sastra? Apa
maksudmu meminta Cincin Naga Sastra padaku?!”
“Karena kau menginginkan
cincin itu!”
“Kepara! Kupikir semua murid
Perguruan Topeng Hitam bertingkah laku arif seperti ketua kalian Madewa
Gumilang. tapi nyatanya ada pula yang durjana seperti kau!!”
“Aku tidak suka banyak bacot
seperti ini! Serahkan cincin itu padaku cepat!!”
“Hhh! Sampai saat ini aku
belum pernah melihat cincin itu. dan sampai saat ini pula cincin itu tidak
berada di tanganku!”
“Jangan berlagak lagi, Ki
Lurah! Aku sudah bosan melihat tampangmu yang pengecut seperti itu!”
“Kau yang pengecut, murid
laknat! Buka topengmu dan kita bertarung sampai mati!”
Orang bertopeng hitam itu
terbahak. “Hahaha… membunuhmu tak sulit, Ki Lurah. Tapi bila kau tidak
memberikan cincin itu apdaku, maafkan aku bila kuturunkan tangan telengas
padamu!”
“Meskipun cincin itu ada
padaku, tak pernah akan kuberikan pada murid laknat seperti kau!!”
Wajah di balik topeng hitam
itu memerah. Matanya berkilat waspada. Ki Lurah Sentot Prawira pun menjadi siaga
melihat manusia itu terdiam dan mendengar nafasnya yang mendengus‐dengus.
“Kalau begitu… jangan salahkan
aku bila kucabut nyawamu, Ki Lurah!!”
“Berbuatlah sesukamu! Tapi aku
tak akan pernah mundur selangkah pun dari hadapanmu!!”
“Aku amat menyukai jiwa
kwatria seperti yang kau miliki, Ki Lurah!!” seru orang itu dan tiba‐tiba saja
dia ebrgerak dengan cepat menyerbu ke arah Ki Lurah Sentot Prawira.
Ki Lurah Sentot Prawira yang
sejak tadi sudah bersiaga, menghindari serangan itu dengan cepat dan bergerak
membalas. Sebentar saja keduanya sudah saling tempur dengan hebat. Gerakan dan
gebrakan yang dilakukan manusia bertopeng hitam itu demikian cepat dan ganas.
Ki Lurah Sentot Prawira sendiri agak kewalahan sebenarnya menghadapinya.
Namun Ki Lurah yang menganggap
manusia bertopeng itu adalah murid Perguruan Topeng Hitam yang durhaka, tidak
mau kalah begitu saja. Malah dia berambisi untuk mengalahkannya dan membawa kembali
orang itu ke Perguruan Topeng Hitam untuk diadili oleh Madewa Gumilang.
Namun sungguh di luar
dugaannya, karena orang bertopeng hitam itu dapat bergerak sedemikian cepat dan
hebat. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja, dia mampu membuat Ki Lurah menjadi
kewalahan menghadapi serangan‐serangan yang dilancarkannya.
“Lebih baik kau memberikan
cincin itu kepadaku, Ki Lurah!!” “Persetan dengan semua permintaanmu! Biarpun
cincin itu di tanganku sekarang tak akan pernah kuberikan pada manusia laknat
macam kau!!”
“Kalau begitu, kau harus
mampus di tanganku, Ki Lurah!!” seru orang bertopeng itu dengan suara yang
geram dan penuh kemarahan.
“Lakukanlah bila kau mampu!”
seru Ki Lurah dengan suara yang gagah. Dia telah siap untuk menghadapi resiko
apa pun. Dan dia tidak takut bila mati di tangan manusia bertopeng ini yang
tetap dipikirnya murid dari Perguruan Topeng Hitam. Tetapi yang dikuatirkannya
bila dia tidak sempat lagi melihat keadaan istrinya.
Dan hal inilah yang mendorong
Ki Lurah untuk bertahan mati‐matian. Bahkan kalau bisa dia bermaksud untuk
menangkap manusia bertopeng ini dan akan dihadapkannya kepada Madewa Gumilang.
Namun sungguh di luar
dugaannya. Manusia bertopeng hitam itu ternyata begitu tangguh dan hebat dalam
menyerang. Gerakan‐gerakannya demikian cepat. Mengandung tenaga yang begitu
berbahaya.
Sebentar saja Ki Lurah Sentot
Prawira terdesak hebat. Berkali‐kali tangan dan kaki manusia bertopeng hitam
itu mengenai sasarannya.
Meskipun Ki Lurah sudah
bertahan sekuat tenaga, namun dia merasa tidak mampu untuk bertahan lebih lama.
Tiba‐tiba saja dia menjerit keras, mencoba menyerang dan menerobos
serangan‐serangan dari manusia bertopeng hitam itu.
“Mampuslah kau, Manusia
keparat!!” geramnya.
Dan Ki Lurah pun
menyerang dengan membabi buta. Dengan
penuh tenaga dan menyongsong resiko. Manusia bertopeng hitam itu sungguh tidak
menyangka kalau Ki Lurah Sentot Prawira yang dilihatnya sudah terdesak dengan
tiba‐tiba saja menyerangnya dengan hebat.
“Sialan!!” makinay seraya
bersalto ke sana kemari menghindari serangan Ki Lurah.
Namun lagi‐lagi sungguh di
luar dugaannya, dengan tiba‐tiba saja Ki Lurah Sentot Prawira menghentikan
sesrangannya selagi manusia bertopeng hitam itu kocar kacir. Ki Lurah langsung
melompat ke kudanya melihat adanya jalan untuk meloloskan diri.
Lalu digebraknya kudanya
hingga melesar lari dengan cepat.
Manusia bertopeng hitam itu
menggeram dengan hebat.
***
“Kemana kita akan mencari
Cincin Naga Sastra itu, Kanda?” tanya Ratna Ningrum pada suaminya yang
menunggang kuda di sisinya. Jalan kuda‐kuda mereka pelan sekali. Seakan hendak
menikmati panorama kehidupan yang tengah mereka lihat.
Madewa tersenyum.
“Aku pun tidak tahu, Dinda.”
“Kalau begitu… bagaimana
kemungkinannya kita dapat menemukan cincin itu?”
“Mudah‐mudahan gusti Allah
membimbing kita untuk menemukannya cincin itu.” “Apakah tidak sebaiknya kita
tengok dulu keadaan Nyai Lurah, Kanda?”
“Keinginan untuk menengok
wanita itu memang ada di hatiku, Dinda.”
“Lalu megnapa tidak sebaiknya
kita segera mengarah ke sana?”
“Aku bermaksud untuk
mendatangi Bukit Hantu.” “Bukit Hantu?” ulang Ratih Ningrum.
“Ya.”
“Di manakah letak Bukit Hantu
itu, Kanda?” “Cukup jauh dari sini.”
“Untuk apa kau ke sana dan
hendak menjumpai siapa, Kanda?”
“Bukankah aku sudah
menceritakannya padamu, Dinda?”
“Tentang apa?”
“Tentang peristiwa yang
terjadi di Bukit Alas Waru.” “Lantas?”
“Saat itu, ada pula seorang
kakek yang ikut bertempur untuk membunuh si Pamungkas.”
“Maksudmu… Kyai Paksi Brahma?”
“Ya, Dinda.”
“Ah… kau belum cerita kalau
dia tinggal di Bukit Hantu, Kanda?”
Madewa tersenyum. “Ya, aku
hendak menjumpai Kyai Paksi Brahma. Dan untuk apa… untuk meminta petunjuknya di
mana kira‐kira bisa kudapatkan Cincin Naga Sastra?”
“Apakah dia tahu di mana,
Kanda?”
”Setahuku, dia
juga tidak tahu.
Tetapi aku akan menyelidikinya
dari awal.” “Maksudmu?”
“Aku hendak meminta
petunjuknya tentang asal usul cincin itu.”
“Bukankah cincin itu milik
kakak seperguruannya, Kyai Tapa Suci yang kemudian diberikannya kepada murid
tunggalnya Wilada Tista yang telah tewas di tangan si Pamungkas? Bukankah itu
yang kau ceritakan padaku, Kanda?”
“Benar, Dinda.”
“Lalu untuk apa lagi?”
“Aku ingin tahu di mana tempat
pertarungan maut yang terjadi antara Kyai Tapa Suci dengan Dewa Nyawa Maut
beberapa tahun silam.”
“Setelah itu?”
“Aku pun ingin tahu ke mana
larinya Wilada Tista setelah Cincin Naga Sastra diberikan padanya oleh Kyai
Tapa suci.”
“Bukankah kita tahu dia adalah
orang terkaya di desa Glagah Jajar?”
“Ya.”
“Lalu?”
“Sebelum dia menjadi kaya
itulah aku ingin tahu di mana dia sebelumnya tinggal. Mungkin ada petunjuk yang
bisa membawa kita untuk menemukan Cincin
Naga Sastra. Menurut persaanku, cincin itu tidak lagi dipegang oleh
almarhum Wilada Tista. Mungkin disimpan di suatu tempat atau hilang begitu
saja. Sebenarnya keberadaan cincin itu adalah rahasia almarhum Wilada
Tista sampai akhir
hayatnya. Sama seperti pengakuan
si Pamungkas yang mengatakan dia tidak menemukan cincin sakti itu untuk
mengobati sakit dan luka yang diderita gurunya Dewa Nyawa Maut setelah
menderita sakit tahunan luka karena bertarung dengan Kyai Tapa Suci.”
“Benar juga pendapatmu itu,
Kanda.”
“Jadi kau setuju, Dinda… bila
kita pergi ke Bukit Hantu sekarang?”
“Mengapa tidak?” sahut Ratih
Ningrum tersenyum. “Kau memang istriku yang setia, Dinda…” desis
Madewa Gumilang.
Lalu keduanya pun menjalankan
kuda mereka menuju Bukit Hantu.
6
Selain menyeramkan, Bukit
Hantu juga seperti menyimpan misteri yang tak pernah terpecahkan. Di belakang
bukit itu terdapat sebuah gunung tak bernama yang nampak makin menambah
keseraman Bukit Hantu.
Suasana selalu sepi baik siang
maupun malam. Mungkin hanya binatang‐binata saja yang suka tinggal di tempat
semacam itu.
Tetapi bagi Kyai Paksi Brahma,
bukit itu adalah suatau tempat yang amat menyenangkan. Tempat yang hampir
sepuluh tahun didiaminya. Tempat yang telah memberikan segala ketenangan dan
kesenangan baginya.
Namun pagi ini, nampak di
gubuknya yang tidak begitu besar Kyai Paksi Brahma sedang berdiam. Dia memang
hidup sendiri di tempat itu.
Laki‐laki yang berjanggut
putih itu terdengar mendesah perlahan. Dia nampaknya memang tengah memikirkan
sesuatu. Dan yang tengah dipikirkannya saat ini tak lain adalah Cincin Naga
Sastra milik kakak seperguruannya Kyai Tapa Suci.
Sampai saat ini Kyai Paksi
Brahma amat menyesali karena dia belum mendapatkan kabar yang baik mengenai di
mana Cincin Naga Sastra itu berada.
“Ah… aku kuatir sekali bila
cincin sakti itu ditemukan oleh orang jahat…” desahnya. Dan tiba‐tiba dia
seperti teringat sesuatu.
Dia ingat sekali ketika suatu
saat kakak seperguruannya mengajak ke satu tempat. Saat itu Kyai Paksi Brahma
elum tahu tempat apa. Namun setelah dia mendatangi tempat itu bersama almarhum
kakak seperguruannya dia menjadi tahu.
Suasana tempat itu sepi.
Seperti hutan kecil yang tak berpenghuni.
“Ini adalah tempat yang indah
dan nyaman untukku merenungi kembali apa yang telah kulakukan dan semua
kehidupan yang telah kujalani…” kata Kyai Tapa Suci kala itu.
“Jadi Kakak selama itu ke
sini?”
“Benar, Adi Paksi. Tempat ini
hanya aku dan muridku yang tahu.”
“Wilada Tista pun tahu tempat
ini, Kakang?”
“Benar, Adi Paksi. Dia adalah
satu‐satunya pemuda yang kuangkat sebagai muridku. Karena aku begitu suka
padanya. Dan menyukai segala tindak tanduknya.”
“Aku pun menyukai Wilada
Tista, Kakang…”
“Kau benar, Adi… pada Wilada
Tistalah aku akan menurunkan semua ilmu yang kumiliki ini. juga padanyalah aku
menceritakan segala rahasia yang ada pada diriku.”
“Juga tentang Cincin Naga
Sastra, Kakang?”
“Ya, Adi. Aku pun menceritakan
cincin itu padanya.” “Kau begitu mempercayainya, Kakang?”
“Benar, Adi. Dan aku pun
memberitahukan di mana aku bila hendak menyimpan sesuatu. Apa saja.”
“Misalnya, Kakang?” “Ya…
misalnya Kitab Angin Puyuh. Sebelum kuberikan dan kuturunkan pada Wilada Tista
aku telah menyembunyikannya di satu tempat.”
“Di manakah tempat itu,
Kakang?” “Ayo kutunjukkan padamu, Adi Paksi…”
Saat itu, Kyai Paksi Brahma
pun melihat apa yang ditunjukkan oleh kakak seperguruannya. Mereka mendatangi
sebuah pohon yang besar yang akarnya melintang ke sana kemari.
“Pohon inilah yang menyimpan
semua rahasiaku, Adi Paksi.”
“Apa itu, Kakang?”
“Pohon dan akar‐akar ini
sebagai tanda bagiku dengan mudah untuk menemukannya kembali.”
“Lalu rahasia apa yang kau
maksudkan, Kakang?”
“Kau akan segera melihatnya,
Adi Paksi. Nah, kau lihatlah ini. Ini adalah akar yang paling kecil dari
beberapa akar melintang dari pohon ini. Di sinilah rahasianya.”
“Aku belum mengeti, Kakang…”
“Kau akan melihatnya, Adi
Paksi…” kata Kyai Tapa Suci kala itu sambil berlutut. Lalu Kyai Paksi Brahma
melihat kalau kakak seperguruannya mengorek tanah tepat di bagian tengah akar
itu. Lalu lama kelamaan terlihatlah sebuah lubang empat persegi. “Inilah
rahasianya, Adi Paksi…” katanya.
Ternyata lobang itu berbentuk
lingkaran, sepertu lobang biasa. Tetapi di dalam lobang itu terdapat sebuah
benda seperti kotak hingga nampak berbentuk empat persegi panjang. Kotak itu
diangkatnya. “Di sinilah aku menaruh dan menyimpan semua barang‐barang milikku,
Adi Paksi…”
Tiba‐tiba Kyai Paksi Brahma
tersentak dari lamunannya. Semua kejadian yang tadi dikenangnya kembali
menghilang. Dia bergumam sendiri. “Oh, Tuhan! Ya, ya… aku tahu, aku tahu di
mana Cincin Naga Sastra itu berada! Tidak salah lagi… ya, ya… aku akan
menggambarkan dulu perhitungan yang ada di kepalaku ini…”
Kyai Paksi Brahma terdiam
sejenak. Nampaknya dia tengah berpikir. Tiba‐tiba dia mengangguk‐angguk.
“Tidak salah lagi. Aku tahu di
mana Cincin Naga Sastra itu berada. Selain Kyai Tapa Suci dan aku, Wilada Tista
pun tahu tempat persembunyian milik Kakang Kyai Tapa Suci. Dan aku yakin
sekali, kalau di tempat itulah Cincin Naga Sastra disembunyikan oleh Wilada
Tista. Hmm… sebaiknya aku tak perlu membuang waktu lagi. Senja ini pula aku
akan ke sana…”
Lalu Kyai Paksi Brahma pun
segera memeprsiapkan diri. Dia tak mau berlama‐lama lagi. Dia kuatir kalau
Cincin Naga Sastra ditemukan orang.
Namun baru saja dia melangkah
dua tindak dari gubuknya, langkahnya terhenti. Di hadapannya berdiri satu sosok
tubuh berpakaian hitam‐hitam dan dia mengenakan topeng hitam!
Kyai Paksi Brahma teringat
akan murid‐murid dari Madewa Gumilang yang bernaung di bawah panji Perguruan
Topeng Hitam. Lalu mau apa seorang murid Perguruan Topeng Hitam datang ke sini?
Apakah hendak membawa kabar dari ketua mereka? Kyai Paksi Brahma pun tersenyum,
karena menyangka orang berpakaian dan bertopeng hitam itu adalah murid dari
Perguruan Topeng Hitam sebagai utusan dari Madewa Gumilang.
Namun bukan main terkejutnya
dia karena secara tiba‐tiba manusia bertopeng hitam itu menyerangnya dengan
serangan yang berbahaya dan ganas.
“Hei!!” seru Kyai Paksi Brahma
terkejut. Lalu dia pun menhindari serangan itu dengan tangkas. “Hei… mengapa
begini?!”
“Hihihi… jangan terkejut, Kyai
Paksi Brahma! Aku datang untuk mencabut nyawa tuamu!!”
Setahu Kyai Paksi Brahma,
semua murid Perguruan Topeng Hitamadalah laki‐laki. Tetapi mengapa manusia
bertopeng hitam ini bersuara mirip seorang wanita. Hmm… kalau begitu, tentunya
dia bukanlah murid dari Perguruan Topeng Hitam!
Menyadari hal itu, Kyai Paksi
Brahma pun segera membalas menyerang karena dia menduga orang bertopeng hitam
ini bermaksud jahat padanya.
“Siapa kau, wanita bertopeng
hitam?!” bentak Kyai Paksi Brahma sambil membalas menyerang.
“Aku datang hanya untuk
mencabut nyawamu, Kyai Paksi Brahma! Dan jangan banyak bacot lagi!!” seru
wanita itu terus menyerang dengan ganas.
Kyai Paksi Brahma pun
diam‐diam terkejut melihat serangan‐serangan yang begitu cepat dan hebat
dilakuakn wanita bertopeng hitam itu.
Senja semakin turun. Matahari
pun semakin condong ke Barat. Dan keduanya bertarung demikian hebatnya. Gempuran
yang saling mereka lancarkan begitu kejam dan buas. Terutama serangan‐serangan
yang dilancarkan oleh wanita bertopeng hitam itu.
Jurus demi jurus pun telah
berlalu demikian cepat. Namun dari gebrakan keduanya belum terlihat adanya yang
tedesak atau pun kalah.
“Hihihi…. Tak kusangka kau
hebat juga, Kakek tua!” terkekeh wanita bertopeng hitam itu.
“Ku pun hebat sekali, wanita
busuk! Lebih baik kau buka topengmu itu dan biarkan aku tahu siapa wajah di
balik topeng hitammu itu?!” balas Kyai Paksi Brahma dan terus menyerang.
Tetapi wanita bertopeng itu
benar‐benar begitu tangguh. Dua kali tangannya menghantam dada Kyai Paksi
Brahma. Dan yang mengherankan Kyai Paksi Brahma, pukulannya yang mengandung
tenaga dalam yang cukup besar seakan tidak dirasakan oleh wanita itu.
Malah wanita bertopeng itu
seakan membiarkan saja bagian‐bagian tubuhnya dihantam oleh Kyai Paksi Brahma.
“Hihihi…. Ayo keluarkan semua
ilmu yang kau miliki, Paksi!!”
“Bangsat bertopeng! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!!” geram Kyai Paksi Brahma murka. Lalu dia pun
mengeluarkan ajian Pukulan Penebas Nyawa‐nya.
Diserangnya wanita bertopeng
itu dengan ajiannya itu. namun lagi‐lagi hasilnya di luar dugaannya. Tidak
membawa hasil yang memuaskan.
Wanita bertopeng itu terbahak.
“Hihihi… sia‐sia belaka kau membuang‐buang tenagamu saja, paksi!”
“Persetan dengan ucapanmu
itu!!” geram Kyai Paksi Brahma yang cukup terkejut melihat serangannya tidak
membawa hasil apa‐apa.
Dan dia pun kini yang harus
menghindarkandiri menghadapi serangan‐serangan yang dilancarkan wanita
bertopeng itu. Biarpun sekali‐sekali dia membalas, namun tidak membawa hasil
yang memuaskan.
Bahkan secara tiba‐tiba wanita
bertopeng itu melenting ke atas, dan mendadak pula dia menukik dengan satu
pukulan lurus ke wajah Kyai Paksi Brahma. Sebisanya dia mencoba memapaki.
Karena memang sulit baginya untuk menghindar.
“Des!!”
Meskipun Kyai Paksi Brahma
memapaki dengan ajian Pukulan Penebas Nyawa, namun tubuhnya terhuyung beberapa
langkah ke belakang. Bahkan belum lagi dia bisa menguasai keseimbangannya,
tiba‐tiba saja tubuh wanita bertopeng itu yang masih melenting di atas berputar
dua kali. Dan kedua kakinya menghantam dada Kyai Paksi Brahma. Kali ini tanpa
ampun lagi tubuhnya pun terhempas ke tanah.
Debu‐debu beterbangan kala
tubuhnya terhempas.
Lalu tubuh wanita bertopeng
itu hinggap dengan ringan di tanah. Dia terkikik.
“Hihihi… agaknya kematian
memang jalan yang paling baik untukmu, Paksi!!”
“Wanita laknat! Siapakah kau
sebenarnya?!!” bentak Kyai Paksi Brahma kalap. Tangan kanannya memegangi dadanya
yang terasa amat sakit.
Wanita itu hanya terkikik
menyahuti seruan Kyai Paksi Brahma.
“Hihihi… sebaiknya kau tak
perlu tahu siapa aku, Paksi! Tetapi yang kau perlu tahu adalah… ini!!” wanita
bertopeng itu membuka sarung tangannya yang berwarna hitam pula.
Sepasang mata Kyai Paksi
Brahma terbuka lebar. “Okh!!”
“Hihihi… kau terkejut bukan, Paksi?!”
wanita bertopeng itu terkikik.
“Dari… dari mana kau dapatkan
Cincin Naga Sastra itu, wanita busuk?!”
“Hihihi…. Bukankan cincin ini
yang kau cari, Paksi? Dan sekarang breada di tanganku… hihihi!!”
“Berikan cincin itu padaku
cepat!!”
“Hihihi… mengapa kau tidak
bangkit untuk mengambilnya sendiri dari tanganku, Paksi?!”
“Wanita busuk! Berikan cincin
itu padaku, cepat!!” geram Kyai Paksi Brahma gusar. Pantaslah bila wanita
bertopeng itu tidak mengalami apa‐apa ketika dihantamnya dengan ajian Pukulan
Penebas Nyawa.
“Hihihi… ambillah sendiri,
paksi! Tentunya kau heran bukan, di mana cincin ini kutemukan?!”
“Bangsat! Kau pasti
menemukannya secara tidak sengaja! Kau pasti menemukannya di sebuah pohon besar
dan berada di lobang dekat akarnya!!”
“Hihihi… tidak salah lagi,
Paksi… aku memang menemukannya di tempa itu!”
“Berikan cincin itu padaku,
cepat!!” “Hihihi… mengapa kau tidak bangun saja dan merebutnya dari tanganku,
paksi?!” wanita bertopeng itu terkikik.
Menyadari keadaan yang terasa
menyulitkan, Kyai Paksi Brahma beranggapan kalau dia tak akan bisa memenangkan
pertarungan melawan wanita bertopeng yang memiliki Cincin Naga Sastra. Tetepi
dia pun tak mau bila kalah begitu saja. Pantang bagi Kyai Paksi Brahma untuk
menyerah sebelum berani bertempur.
Dengan manahan rasa sakitnya dia
pun perlahanlahan bangkit. Lalu diusahakannya keseimbangannya untuk ebrdiri.
Tatapannya geram.
“Hihihi… kau memang seroang
laki‐laki tua yang gagah perkasa, Paksi… tetapi ketahuilah… bahwa ajalmu tidak
akan lama lagi!!”
“Jangan banyak bacot lagi kau,
Paksi! Terimalah ajalmu ini!!” geram wanita itu seraya menyerbu dengan garang.
Kyai Paksi Brahma pun segera
memapakinya dengan ajian Pemunah Rasa. Seprti tadi kembali benturan terjadi.
Dan kali ini terlihat Kyai Paksi Brahma tidak bisa bertahan lebih lama.
Karena dengan satu sentakan
yang kuat akibat benturan itu tubuhnya langsung terhempas ke tanah dan mati
dengan luka di dada yang amat besar.
Wanita bertopeng itu terkikik
keras. “Hihihi… tak ada seorang pun yang dapat mengalahkanku. Akulah Dewi
Kematian…!!”
7
“Itukah yang dinamakan Bukit Hantu, kanda?”
tanya Ratih Ningrum pada suaminya sambil menunjuk ke perbukitan yang nampak
sepi dan menyeramkan.
Kabut masih menyelimuti Bukit
Hantu. Matahari baru saaj sepenggalah. Dan suasana di bawah Bukit Hantu cukup
dingin.
“Iya, Dinda… mungkin memang
inilah yang dinamakan Bukit Hantu…” kata Madewa Gumilang.
“Apakah kira‐kira Kyai Paksi
Brahma ada di tempat kediamannya, Kanda?”
“Kira berharap dia ada di
sana, Dinda. Marilah kita mmulai menaiki Bukit Hantu ini…”
Lalu Madewa menjalankan
kudanya menuju ke atas. Istrinya menyusul di belakangnya. Suasana Bukit Hantu
memang cukup menyeramkan. Kabut tebal seakan bayangan hantu yang menutupi jalan
bagi siapa saja yang ingin ke atas bukit itu.
Namun bagi keduanya itu
bukanlah suatu penghalang. Mereka pun tidak merasa terburu‐buru untuk sampai di
atas. Karena menurut perkiraan mereka, Kyai Paksi Brahma ada di tempat
kediamannya.
“Itukah rumah Kyai Paksi
Brahma, Kanda?” tanya Ratih Ningrum ketika melihat suaminya menghentikan laju
kudanya. Sehingga Ratih Ningrum pun menjadi ikutikutan. Dia melihat suaminya
nampak terdiam. Gubuk kecil yang dilihatnya nampak kecil karena jarak mereka
berada sekarang dengan gubuk itu cukup jauh.
“Aku melihat ada sesuatu yang
tidak beres di sana, Dinda.” Terdengar Madewa Gumilang bersuara.
Bagi Ratih Ningrum hal itu
bukanlah suatu keanehan. Karena dia tahu suaminya memiliki ilmu Pandangan
Menembus Sukma. Bila ilmu itu sudah dikeluarkan, maka pandangan suaminya akan
dapat melihat sesuatu dari jarak yang amat jauh sekali pun. Bahkan pandangannya
itu dapat menembus gunung!
Dan Ratih Ningrum tahu kalau
suaminya sekarang ini tengah mengeluarkan ilmu Pandangan Sukma‐nya, karena dia
tadi mengatakan sesuatu yang tidak beres di atas sana.
“Ada apakah, Kanda?”
“Aku melihat Kyai Paksi Brahma
sudah tewas menjadi mayat dengan luka besar di dadanya.”
“Oh, Tuhan… apa yang telah
terjadi, Kanda?!” tanya Ratih Ningrum terkejut.
“Entahlah, Dinda. Lebih baik
kita segera melihat ke sana!” kata Madewa Gumilang dan kali ini dia memacu laju
kudanya.
Ratih Ningrum pun segera
menggebrak kudanya, menyusul laju kuda suaminya.
Dan apa yang tadi dikatakan
suaminya memang benar terjadi. Mereka menemukan sosok tubuh Kyai Paksi Brahma
yang telah menjadi mayat.
“Oh, Tuhan! Mengerikan sekali
luka yang diderita Kyai Paksi Brahma!” desis Ratih Ningrum sambil melompat dari
kudanya dan berlutut di sisi suaminya.
Madewa Gumilang terdiam. Dia
memegang pergelangan tangan mayat Kyai Paksi Brahma. Dingin. Lalu tanpa menatap
istrinya da berkata, “Kyai Paksi Brahma dibunuh kemarin sore…”
“Tentunya oleh seorang yang
amat sakti, kanda…” “Ya! Melihat luka yang dideritanya sudah menanda‐
kan kalau Kyai Paksi Brahma
tewas oleh orang yang tinggi ilmu kesaktiannya.”
“Kira‐kira dengan benda apa
dia meninggal, Kanda?” tanya Ratih Ningrum.
“Tidak dengan benda apa‐apa,
Dinda…” “Maksudmu?”
“Kyai Paksi Brahma tewas
akibat sebuah pukulan!” “Oh! Kalau begitu lawan yang dihadapinya memang
benar‐benar memiliki ilmu yang
amat tinggi!”
“Benar, Dinda… Ah, sayang
sekali kita terlambat datang ke sini. Bila kita tidak terlambat, tentunya kita
masih dapat bertemu dengan Kyai Paksi Brahma yang masih dalam keadaan hidup…”
“Berarti… kau kehilangan jejak
Cincin Naga Sastra, Kanda…”
Madewa bangkit dari
berlututnya. Menatap istrinya. “Benar apa yang kau katakan, Dinda… satu‐satunya
harapan untuk mengetahui di
mana cincin itu berada hanyalah Kyai Paksi Brahma. Dan menurut dugaanku, dia
sepertinya tahu di mana cincin itu berada.”
“Maksudmu, Kanda?”
“Kau lihatlah sepasang mata
Kyai Paksi Brahma yang terbuka
lebar. Dia sepertinya
penasaran akan sesuatu hal.”
“Lalu dugaanmu, dia penasaran
karena dia sudah mengetahui di mana Cincin Naga Sastra berada dan gagal
mendapatkannya. Bukankah begitu, Kanda?”
“Benar, Dinda. Tapi sayang…
sayang sekali… Kyai Paksi Brahma telah tewas. Aku amat menyesali kejadian ini,
Dinda…”
“Begitu pula aku, Kanda. Lalu
apa yng hendak kau lakukan sekarang?”
“Ya… lebih baik kita menjenguk
Nyai Lurah di desa Glagah Jajar. Sebelumnya aku hendak memakamkan dulu mayat
Kyai Paksi Brahma ini…”
Setelah memakamkan mayat Kyai
Paksi Brahma, Madewa Gumilang segera mengajak istrinya untuk segera pergi
menuju desa Glagah Jajar.
***
Kuda itu melesat dengan
cepatnya. Meninggalkan debu‐debu yang beterbangan. Namun penunggang kudanya tak
mau tahu soal itu. Baginya dia harus tiba di tujuan.
Penunggang kuda itu tak lau Ki
Lurah Sentot Prawira. Setelaa bertarung dengan manusia bertopeng hitam dia pun
segera memacu kudanya untuk tiba di desa Glagah Jajar. Dia sudah amat
mencemaskan keadaan istrinya yang ditinggalnya hampir dua minggu.
Dan Ki Lurah Sentot Prawira
pun merasa jengkel bukan kepalang terhadap manusia bertopeng hitam yang
disangkanya murid Perguruan Topeng Hitam. Hhh, bila saja dia bisa membekuknya,
akan dihadapkannya murid durhaka itu kepada Madewa Gumilang.
Kuda yang ditungganginya kini
memasuki desa Glagah Jajar. Ki Lurah langsung memacu kudanya ke rumahnya tanpa
menyahuti salam dari orang‐orang yang menjaga di perbatasan desa.
Di benaknya hanya satu yang
dipikirkannya, dia sudah tidak sabar ingin melihat keadaan istrinya.
Ki Lurah langsung melompat
dari kudanya begitu tiba di depan rumahnya. Dia langsung menerobos pintu
rumahnya.
“Nyai!!” serunya.
Langkahnya mendadak terhenti.
Tatapannya tak percaya. Keningnya berkerut. Salahkan apa yang dilihatnya?
Istrinya sedang melipat pakaian di ruang depan!
Dari rasa terkejutnya berubah
perlahan‐lahan menjadi kegembiraan.
“Nyai!!” serunya mendekati.
“Kau sudah sembuh?!” Nyai Lurah yang nampak segar bugar tersenyum.
Membalas memegang tangan
suaminya. “Aku sudah sembuh, Ki…”
“Bagaimana kau bisa sembuh?
Bukankah menurut Ki Tabib Lamtoro kau hanya bisa disembuhkan dengan Cincin Naga
Sastra, Nyai?”
“Mungkin yang dikatakan dia benar,
Ki… tetapi aku pun bisa sembuh bila aku berusaha ingin sembuh, bukan?”
Bukan main bahagianya Ki Lurah
melihat kenyataan ini. Dirangkulnya istrinya dengan penuh kasih sayang. “Oh,
Gusti Allah… terima kasih kuucapkan pada‐Mu…” desahnya bahagia. Lalu ditatapnya
istrinya, “Tahukah kau, Nyai… betapa aku amat mencemaskanmu?”
“Benarkah kau amat
mencemaskanku, Ki?”
“Demi langit dan bumi. Aku
begitu mencemaskanmu, Nyai…”
“Aku bahagia mendengarnya,
Ki…”
“Ya, ya… Nyai… di perjalanan
aku dihadang oleh seorang manusia bertopeng hitam, yang memaksaku untuk
memberikan Cincin Naga Sastra. Padahal cincin itu sama sekali tidak ada di
tanganku…”
“Manusia bertopeng hitam?
Siapakah dia, Ki?” “Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya.”
“Kalau tidak salah… sekarang
pun sedang ramai dibicarakan orang tentang Ksatria Bertopeng.”
“Ksatria Bertopeng? Mungkin
dia orangnya, Nyai!” “Bisa saja, Ki… ksatria Bertopeng itu amat kejam
sekali. Dia selalu membunuh
siapa saja yang ditemuinya. Dahkan dia selalu mengaku dirinya adalah Dewi
Kematian yang selalu mencabut nyawa manusia…”
“Dewi Kematian?” “Ya.”
“Kalau begitu… apakah Ksatria
Bertopeng itu seorang wanita?”
“Menurut kabar yang kudengar,
katanya iya, dia memang seorang wanita yang amat kejam.”
“Oh!” Ki Lurah Sentot Prawira
terkejut. “Kenapa, Ki?”
“Kalau begitu ada dua Ksatria
Bertopeng.” “Maksudmu?!” “Manusia bertopeng hitam yang menghadangku seorang
laki‐laki! Jelas sekali laki‐laki karena suaranya!”
“Kalau soal itu aku tidak
tahu.”
“Kau agaknya lebih tahu banyak
tentang ksatria bertopeng yang wanita, Nyai…”
“Bagaimana aku tidak tahu,
kalau seisi desa Glagah Jajar ramai membicarakan dan seisi desa pun bersiapsiap
untuk menyambut kedatangannya.”
“Ya… memang tidak salah lagi.
Ada dua orang yang mengaku sebagai ksatria bertopeng. Tetapi keduaduanya amat
kejam sekali. Dan begitu ringan menurunkan tangan!”
“Ki… bagaimana dengan Pendekar
Bayangan Sukma?” tanya Nyai Lurah kemudian.
“Bagaimana maksudmu, Nyai?”
“Apakah Madewa Gumilang
bermaksud membantu kita untuk mencari Cincin Naga Sastra?”
“Ya, dia memang bermaksud
membantu kita. Tetapi agaknya sekarang aku tidak lagi memerlukan cincin itu.
Bukankah kau sudah sembuh dari penyakitmu, Nyai?”
Nyai Lurah tersenyum.
“Benar, Ki… aku memang tidak
membutuhkan cincin itu lagi…”
“Dan Madewa Gumilang belum
mengetahui kalau kau sudah sembuh, Nyai. Kau tahu betapa sedih dan cemasnya dia
ketika kukatakan kau sedang sakit. Dia pun langsung menyatakan kesediaannya
untuk membantuku mencari Cincin Naga Sastra. Ah… dia memang seorang pendekar
yang arif dan bijaksana, Nyai… aku amat mengaguminya…” “Begitu pula aku, Ki…
Aku kini sudah menyadari kalau tewasnya Mandali Sewu bukan karena semata‐mata
oleh tangan Pendekar Budiman itu. Tetapi karena perbuatan kejam dan jahat yang
dilakukan Mandali Sewu alias si Pamungkas…”
“Kau sudah menyadari hal itu,
Nyai?” kata Ki Lurah gembira.
“Ya.”
“Kau tidak menyalahi dia
lagi?” “Tidak.”
“Oh, Nyai…” Ki Lurah Sentot
Prawira merangkul bahu istrinya dengan senyum bahagia.
8
Matahari sudah condong ke
Barat. Bias‐biasnya masih tertera di langit Barat. Begitu indah dan bersahaja.
Madewa menjalankan kudanya
perlahan‐lahan di sisi istrinya. Dia masih amat menyesali mengapa dia datang
terlambat.
Tiba‐tiba dari jalan setapak
bermunculan orang lakilaki berwajah beringas dan tak bersahabat. Di tangan
masing‐masing terpegang sebuah golok besar.
Madewa menghentikan jalan
kudanya. Begitu pula dengan Ratih Ningrum. Keduanya memperhatikan keenam
laki‐laki itu yang nampak begitu bengis.
“Hmm… ada apa Ki Sanak
sekalian menghadang perjalanan kami?” tanya Madewa dengan suara yang
bersahabat.
“Hhh! Kaukah Madewa Gumilang,
ketua Perguruan Topeng Hitam?” bertanya salah seorang.
“Tidak salah lagi, akulah
orangnya. Ada apa Ki Sanak?!” kata Madewa tetap dengan suara bersahabat.
Senyumnya begitu arif dan bijaksana.
“Jangan berlagak lagi, Madewa!
Kami menghadangmu karena ingin meminta pertanggung jawabanmu selaku ketua
Perguruan Topeng Hitam!”
“Ada apa, Ki Sanak? Aku
benar‐benar tidak mengerti.” “Jangan berpura‐pura, Madewa.”
“Tenanglah, dan katakanlah
dengan segala ketenangan yang ada di hatimu.” “Hhh! Ternyata kau memang manis
di mulut saja, Madewa? Nah, apa yang bisa kau jawab kalau aku mengatakan salah
seorang murid Perguruan Topeng Hitam telah membuat teror di desa kami?!” bentak
orang itu melotot gusar.
Madewa sedikit terkejut
mendegnarnya. Salah seorang muridnya membuat teror?
“Kau bicara apa, Ki Sanak?”
“Jangan berlagak lagi, Madewa!
Kami tahu… saat ini kau sedang mencari Cincin Naga Sastra, bukan? Sama seperti
yang tengah dilakukan muridmu itu. dia berulang kali memaksa kami untuk
memberikan jawaban di mana Cincin Naga Sastra berada. Sudah tentu ini tugas
yang kau berikan padanya! Kau memang suka ditanya seperti itu, dan kami akan
memberikan jawaban yang memuaskan. Namun kami tidak tahu di mana cincin itu
berada. Kalau pun kami tahuu pasti kami akan berikan padanya, karena kami tidak
membutuhkan cincin itu! kau mengerti?!”
“Tunggu dulu, Ki Sanak.
Maksudmu ada orang yang berpakaian hitam‐hitam dan mengenakan topeng hitam pula
yang bertanya pada kalian tentang Cincin Naga Sastra?”
“Dia bukan hanya bertanya pada
kami, tetapi juga membunuh orang‐orang kami yang tidak memberikan jawaban
memuaskan yang seperti diinginkannya!”
sahut orang itu berang.
Perlahan‐lahan Madewa pun
mengerti akan duduk persoalannya. Rupanya ada seorang yang mengenakan
pakaian hitam‐hitam dan
bertopeng hitam yang menurunkan tangan telengas pada
orang‐orang yang tak bersalah.
“Apakah orang itu mengaku dari
Perguruan Topeng Hitam?” tanya Madewa.
“Hhh! Biarpun orangnya tidak
mengaku, tetapi di dunia persilatan ini hanya satu perguruan yang menganakan
ciri khas seprti itu. Perguruan Topeng Hitam yang diketuai olehmu sendiri,
Madewa!”
“Jadi kalian tetap beranggapan
orang itu adalah murid Perguruan Topeng Hitam?”
“Kau memang pandai bersilat
lidah, Madewa! Persetan dengan semua ucapanmu! Yang kami minta, adalah
pertanggungjawabanmu atas semua perbuatannya!”
“Apa yang kalian inginkan?”
“Kau harus menyerahkan dirimu
pada pemimpin kami untuk diadili.”
“Bagaimana kalau aku tidak
mau?”
“Tidak ada jalan lain selain
mengadu nyawa denganmu. Biarpun kau pendekar nomor satu di rimba persilatan
ini, tapi kami tidak takut dengan nama besarmu. Kami rela mati untuk
kebenaran!” sahut orang itu gagah.
Madewa terdiam. Mengapa jadi
runyam begini masalahnya? Desisnya dalam hati. Lalu dia kembali menatap
orang‐orang itu.
“Baiklah… aku akan menyerahkan
diri pada kalian…” katanya kemudian.
“Kanda!” desis Ratih Ningrum
kaget.
Madewa berpaling pada istrinya.
“Tenanglah, Dinda… ini hanya salah paham
saja. Lebih baik, kau kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Dan cari siapa yang
mencobacoba berbuat murtad pada kita…”
“Tapi, Kanda…” kata Ratih
Ningrum ingin membantah, namun segera dipotong oleh suaminya.
“Tenanglah, segala sesuatunya
akan berjalan dengan baik. Nah, lebih baik kau kembali ke Perguruan Topeng
Hitam, Dinda… Penuhi permintaanku ini…” kata Madewa pelan namun tegas. Dan
berarti itu merupakan suatu perintah yang tak boleh dibantah Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum pun hanya
menurut walaupun hatinya tidak ingin menuruti perintah itu. Lalu dia pun
membalikkan kudanya dan meninggalkan tempat itu dengan hati galau.
Sementara keenam prang itu
tersenyum, mendesah lega karena mereka tidak perlu bertarung dengan pendekar
sakti itu. Semula ketika desa mereka didatangi oleh ksatria bertopeng yang
menanyakan tentang Cincin Naga Sastra, sebagai orang yang berbudi tentu saja
mereka menjawa dengan sopan. Dan mengatakan tidak tahu karena mereka memang
tidak tahu.
Namun mendadak saja orang
bertopeng itu menjadi murka. Lalu dia pun menyerang dengan membabi buta dan
membunuhi beberapa teman‐teman mereka.
Setelah kejadian itu, kepala
desa Bojong Sawo Ki Lurah Wijayatikta yang mengetahui kalau di dunia persilatan
ada satu perguruan yang selalu mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam,
segera menugaskan beberapa orang pilihannya untuk meminta pertanggung jawaban
Madewa Gumilang selaku Ketua Perguruan Topeng Hitam.
Semula keenam orang itu merasa
jeri untuk menemui Madewa Gumilang. karena yang mereka kuatirkan bila mereka
harus bertarung dengan manusia sakti itu. Namun sekarang Madewa Gumilang
menyerahkan diri begitu saja.
Ini sebenarnya membuat mereka
bisa bernafas lega. Namun diam‐diam dalam hati kecil mereka mengakui, kalau
orang bertopeng itu bukanlah murid Perguruan Topeng Hitam yang ditugaskan oleh
Madewa Gumilang. Memang Madewa tidak banyak membantah. Namun melihat sikapnya
yang begitu arif dan bijaksana, mereka
diam‐diam menjadi amat
mengaguminya.
“Ki Sanak sekalian… maafkan
aku bila kusuruh istriku kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Karena dia tidak
ikut campur dalam masalah ini. Apakah Ki Sanak memberi izin? Bila tidak, aku
dapat memanggilnya kembali untuk menyerahkan diri kepada kepala desa kalian.”
Kata‐kata itu membuat
orang‐orang bergolok itu semakin mengagumi Madewa Gumilang.
Salah seorang berkata, “Tidak
perlu, Madewa…” kali ini suaranya terdengar lebih sopan dan pelan.
“Kalau begitu, silahkan ikat
kedua tanganku ini…”
Dan mereka makin tidak enak mendengar
kata‐kata Madewa itu. Itu saja jelas‐jelas menandakan Madewa tidak bersalah.
“Madewa… maafkan kelancangan
kami ini,” kata salah seorang dari
mereka lagi. “Tidak, kau bukanlah tawanan kami. Dan kami tidak berhak untuk
mengikat tanganmu.”
“Baiklah kalau begitu. Bawalah
aku ke kepala desamu.”
“Desa kami desa Bojong Sawo.
Dan kepala desa kami bernama Wijayatikta.”
“Ya, bawalah aku kesana…”
Lalu keenam orang itu pun
membawa Madewa Gumilang ke desa Bojong Sawo. Tetapi karena Madewa berada di
depan dengan jubah putihnya yang terkibar tertiup angin sore sementara keenam
laki‐laki itu mengikutinya dari belakang sepertinya, mereka adalah satu
rombongan yang diketuai oleh Madewa Gumilang.
***
Rembulan makin renta di
langit. Semakin hari rembulan semakin tua umurnya. Tidak ada yang tahu pasti
berapa tahun umurnya. Hanya Yang Maha Kuasalah yang tahu berapa umur rembulan
di langit sana.
Sosok tubuh berpakaian
hitam‐hitam dan bertopeng hitam itu memperhatikan rumah yang ada di hadapannya.
Rumah Ki Lurah Sentot Prawira. Lalu sosok tubuh itu melenting ke atap ketika
melihat beberapa penjaga desa sedang meronda.
“Sialan! Hampir saja aku
lengah,” desis sosok berpakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam. Di punggungnya
terdapat dua buah pedang bersilangan.
Lalu tanpa mengeluarkan suara,
sisik berpakaian hitam dan bertopeng
hitam itu membuka
sebuah genting. Dan melihat dalam rumah.
Sosok itu melihat Ki Lurah
Sentot Prawira sedang menghisap rokok kawungnya sendiri di ruang depan. Nampak
sekali kalau wajah Ki Lurah penuh dengan segala persoalan yang dipikirkan. Dan
sosok itu juga membuka genting di kamar Nyai Lurah. Sosok itu pun melihat Nyai
Lurah sedang tidur pulas.
Namun tiba‐tiba terdengar
suara berseru. “Hei! Itu dia ksatria bertopeng!!”
“Iya, iya! Tangkap! Bunuh!!”
“Ayo, kita cincang dia!!”
Sosok berpakaian hitam itu
terkejut. Dan menyesali karena kecerobohannya hingga gerak geriknya yang berada
tepat di bawah sinar rembulan ketahuan.
Sosok itu memaki jengkel.
“Sialan!!”
Dan di bawah rumah Ki Lurah
Sentot Prawira, sudah berkumpul sepuluh orang laki‐laki dengan bermacam senjata
yang mereka bawa di tangan.
Ki Lurah sendiri berada di
antara mereka.
“Di mana manusia itu?”
tanyanya. Namun dia tak perlu lagi menunggu jawaban, karena dia sudah melihat
sosok berpakaian dan bertopeng hitam itu sudah melenting turun.
Sosok bertopeng itu memang
merasa tak ada jalan lain lagi kecuali menghadapi orang‐orang ini.
Ki Lurah Sentot Prawira
menggeram marah.
“Hmm… rupanya kau berani
muncul lagi di hadapanku, manusia laknat?!”
“Maafkan kemalncanganku, Ki
Lurah… yang menyatroni rumahmu malam‐malam begini…” kata ksatria bertopeng
dengan suara yang terdengar sopan.
Dan Ki Lurah terkejut
mendengar suara itu. Bukan, bukan dia berarti yang pernah menyerangnya beberapa
hari yang lalu. Suara ini suara perempuan. Yang menyerangnya waktu itu suara
laki‐laki. Bahkan kalau ridak salah ingat, sosok bertopeng yang pernah
menyerangnya tidak memiliki dua buah pedang bersilangan di punggung. Sedangkan
sosok bertopeng yang ada di hadapannya memiliki dua buah pedang!
Apakah dia yang disebut
sebagai wanita bertopeng yang amat kejam? “Berapa banyak nyawa manusia yang tak
berdosa telah kau renggut?! Dan kau menamakan dirimu sebagai Dewi Kematian!”
“Tahan!!” seru ksatria
bertopeng ketika beberapa orang pemuda desa sudah bergerak mendekatinya. Dan
mereka mengurungnya dengan senjata terhunus. “Siapa pula yang kamu maksudkan
dengan Dewi Kematian, Ki Lruah?”
“Mengapa kau harus bertanya
pula padaku? Bukankah kau sendiri yang menamakan dirimu sebagai Dewi
Kematian?!”
“Hhh! Aku tidak tahu siapa
dia. Dan bukan aku orangnya. Aku datang hanya ingin melihat keadaanmu dan
keadaan istrimu, Ki Lurah. Tidak lebih.”
“Manusia keparat! Kau memang
pandai bersilat lidah! Tangkap dia!!” seru Ki Lurah Sentot Prawira berang.
Serentak orang‐orang yang
mengepung ksatri bertopeng itu menyerang dengan senjata di tangan. Ksatria
bertopeng itu pun nampak mempunyai kelebihan pula. Dia menghindari
serangan‐serangan itu dengan cepat dan lincah.
Berulang kali itu terjadi.
Senjata‐senjata yang para
penduduk hujamkan gaagl mengenai sasarannya. Hal ini membuat mereka menjadi
jengkel.
Ki Lurah sendiri sudah
mencabut goloknya dan memekik memasuki pertempuran. Dia merasa yakin kalau
ksatria bertopeng ini adalah kawan dari ksatria bertopeng yang menyerangnya
dulu.
Yang dulu itu laki‐laki dan
yang sekarang wanita. Ataukah dia ini yang dinamakan Dewi Kematian? Tetapi
mengapa sikapnya tidak telengas dan kejam seperti kata‐kata orang.
Ataukah dia berpura‐pura?
Hei, mungkinkan ada tiga orang
ksatria bertopeng?
Ki Lurah terkejut sendiri
dengan kesimpulannya. Pertama ksatria bertopeng laki‐laki yang pernah
menyerangnya dengan senjata rahasia berbentuk paku. Kedua ksatria bertopeng
yang dikatakan banyak orang sebagai wanita yang amat kejam dan menyebutkan
dirinya sebagai Dewi Kematian. Ketiga, ksatria bertopeng yang ternyata seroang
wanita pula yang kini sedang berhadapan dengannya.
Benarkan ada tiga ksatria
bertopeng?
Sementara itu ksatria
bertopeng yang tengah menghadapi gempuran‐gempuran dari penduduk desa berseru
pada Ki Lurah, “Ki Lurah pikirkan dulu baik‐baik… sebelum terjadi pertumpahan
darah! Aku tidak dengan maksud jahat!” Ki Lurah mendesah pelan. Dia
menghentikan serangannya. Apa yang bisa diperbuat kalau begini? Para penduduk
desa tentu mengira kalau sosok bertopeng ini adalah wantia yang kejam yang
menamakan dirinya Dewi Kematian.
“Ki Lurah…. Jangan dengarkan
kata‐katanya!” seru salah seorang.
“Dia mencoba mengelabui, Ki
Lurah!” sambung salah seorang.
“Jangan sampai kita
diperdayainya! Desa Bojong Sawo sudah berantakan akibat ulah ksatria bertopeng!
Beberapa manusa tewas mengerikan akibat tangan telengas manusia bertopeng! Dan
tentunya dialah wanita bertopeng yang kejam itu!”
“Ayo, Ki Lurah! Kita tangkap
manusia ini dan kita adili karena perbuatan kejamnya!!”
Ki Lurah pun menjaid bungun.
Lalu dia kembali menerjunkan diri pada pertempuran. Dibantu Ki Lurah, membuat
keberanian para penduduk desa semakin bertambah. Memang sejak tadi ksatria
bertopeng yang mereka hadapi tidak pernah membalas sekali pun. Hanya
menghindari saja serangan‐serangan mereka saja.
Sebenanya dalam hati mereka
cukup heran, mengapa wanita bertopeng yang menyebut dirinya Dewi Kematian
berubah menjadi baik dan tidak kejam menurunkan tangan? Tetapi mereka tidak mau
tahu! Karena mereka tidak ingin ketentraman desa ini menjadi porak poranda lagi
setelah perbuatan si Pamungkas dulu (baca : Munculnya si Pamungkas). Mereka pun
terus menyerang.
Dan lama kelamaan wanita
bertopeng itu menjadi kewalahan juga. Tiba‐tiba dia mendengus geram.
“Kalian benar‐benar manusia
yang tak punya rasa bermusyawarah! Jangan salahkan aku bila aku bertindak kejam!!” geramnya sambil bersalto.
Dan saat hingga di tanah di tangannya telah terpegang dua buah pedang!
“Hhh! Ketahuan juga bukan
sifat aslimu?!” mendengus salah seorang penyerangnya. “Tetapi kami tidak takut
dengan tangan telengasmu, manusia kejam!!”
Lalu orang itu menyerang
kembali. Disusul dengan yang lainnya di antaranya Ki Lurah Sentot Prawira
sendiri.
Dengan pedang di tangan,
ksatria bertopeng itu nampak lebih hebat lagi. Tadi dia sudah menunjukkan
kelincahannya. Kini dia menunjukkan permainan pedangnya.
“Trang!”
“Trang!”
“Trang!”
Suara senjata yang beradu
dengan sepasang pedangnya terdengar begitu nyaring sekali. Seakan merobek
malam.
Namun sampai sejauh itu pula
ksatria bertopeng itu tidak menurunkan tangan kejamnya, padahal banyak sekali
kesempatan bila dia mau. Dia hanya menangkis dan menghindar saja.
Tiba‐tiba dia bergerak cepat,
menerobos kepungan para penduduk.
“Trang!”
“Trang!”
Kedua pedangnya dikibaskan ke
sana ke mari, hingga membuat para penduduk yang mengepungnya menyingkir bila
tidak mau terkena sambaran pedang itu.
Lalu jalan pun terbuka.
Ksatria bertopeng itu pun bergerak cepat meloloskan diri.
“Kejar!!”
“Tangkap!!”
“Jangan sampai lolos!!”
Seruan‐seruan itu terdengar.
Dan mereka pun mengejar ksatria bertopeng yang demikian cepatnya telah
menghilang di keremangan malam.
Lalu kembali dengan perasaan
jengkel, mereka berkumpul di depan rumah Ki Lurah.
“Anjing buduk! Aku belum puas
bila belum membunuh manusia kejam itu!!” geram salah seorang.
“Ya, akan kucincang tubuhnya
sesuai dengan kekejamannya!” sahut salah seorang.
“Tetapi anehnya, dia tidak
menyerang kita sekali pun kecuali hanya menangkis dan menghindar!” kata salah
seorang. Dan kata‐katanya itu membuat yang lainnya menoleh menatapnya. Lalu
terdengar beberapa orang membenarkan.
“Ya, benar.”
“Dia memang hanya menghindar
dan menangkis.” “Kalian jangan mudah dikelabui, dia hanya menutup‐
nutupi sifatnya yang
sebenarnya!”
“Tetapi bila dia bermaksud jahat, tentunya
dia dapat dengan mudah membunuh Ki Lurah dan Nyai Lurah sebelum kita
pergoki!”
“Dia hanya berpura‐pura saja!”
“Tapi tadi pun dia tidak
berbuat kejam kepada kita!” “Benar, padahal yang kita dengar wanita bertopeng
yang menyebut dirinya sebagai
Dewi Kematian amat kejam sekali! Tetapi mengapa dia tidak ringan tangan?”
“Kalian benar,” terdengar
suara Ki Lurah Sentot Prawira berkata.
Para penduduk yang hadir di
sana yang saling mempertahankan pendapatnya tentang ksatria bertopeng tadi,
berpaling padanya.
“Apa maksudmu, Ki Lurah?”
tanya salah seorang. “Aku pun merasa
heran sebenarnya, mengapa wanita
bertopeng itu tidak bertindak
kejam? Padahal seperti yang kudengar selama ini ksatria bertopeng yang
menamakan dirinya Dewi Kematian itu amat kejam.”
“Dia berpura‐pura, Ki Lurah!”
“Tidak. Ketahuilah… aku pun
dulu pernah diserang oleh seorang ksatria bertopeng…”
“Nah!”
“Dengar dulu… ksatria bertopeng
itu seorang laki‐laki yang bersenjata rahasia berbentuk paku. Dia memang kejam
sekali dan bermaksud datang mencari Cincin Naga Sastra. Tetapi ksatria
bertopeng yang baru saja bertarung dengan kita, seorang wanita. Tetapi dia
tidak kejam menurunkan tangan. Dan sekali pun dia tidak menyebutkan dirinya
sebagai Dewi Kematian.”
“Jadi maksudmu… ada dua orang
ksatria bertopeng, Ki Lurah?” “Bukan hanya dua. Bahkan tiga. Ada tiga ksatria
bertopeng. Satu, wanita yang selalu menyebut dirinya Dewi Kematian yang
bertindak amat kejam dan telengas. Dua, laki‐laki bertopeng yang memiliki
senjata rahasia berbentuk paku. Tiga, wanita yang baru saja bertempur dengan
kita yang bersenjatakan sepasang pedang.”
“Lalu maksudmu, Ki Lurah?”
“Ya, berarti ada tiga ksatria bertopeng.”
“Apakah mereka sekutu masing‐masing?” “Bila melihat dari misi mereka, tidak.”
“Maksudmu?”
“Wanita bertopeng yang
menyebut dirinya sebagai Dewi Kematian, menghendaki siapa saja yang ditemuinya
harus mati. Laki‐laki bertopeng yang menyerangku dengan senjata rahasia
berbentuk paku, menghendaki Cincin Naga Sastra. Sedangkah wanita bertopeng yang
bersenjata sepasang pedang tadi, bermaksud ingin melihat keadaanku.
“Bila dilihat dari tujuan
mereka masing‐masing, sudah tentu mereka tidak bersekutu. Karena maksud
kemunculan mereka berlainan!”
Orang‐orang terdiam. Mereka
begitu perhatian mendengar kata‐kata Ki Lurah.
“Dan aku tidak tahu yang mana
di antara mereka bertiga yang mempunyai maksud baik…”
“Mendengar penjelasanmu tadi,
sudah tentu yang barusan bertempur dengan kita, Ki Lurah…”
“Yang bermaksud baik?” “Ya.” “Yang
bermaksud jahat?”
“Dua ksatria bertopeng
lainnya. Karena yang seorang menghendaki kematian siapa saja yang dijumpainya.
Sedangkan yang seorang lagi menghendaki Cincin Naga Sastra. Aku pun sudah
mendengar tentang kesaktian cincin itu. Berarti dia menginginkannya untuk
maksud jahat.”
“Tepat kata‐katamu itu. Memang
itu sebenarnya yang kumaksud! Berarti, wanita bertopeng tadilah yang bermaksud
baik terhadap kita. Cuma sayang… kita tidak mengindahkan kata‐katanya tadi…”
Orang‐orang pun menggumamkan
kata‐kata itu. mereka begitu panas karena mendengar sepak terjang ksatria
bertopeng yang amat kejam. Dan mereka tak seorang jau pun yang mengetahui siapa
di balik wajah ketiga ksatria bertopeng itu.
Yang pasti mereka menjadi
sedikit menyesal karena tidak berpikir panjang lagi. Langsung menyerang saja
ksatria bertopeng tadi.
Tiba‐tiba terdengar jeritan
salah seorang di antara mereka.
“Akkkkhhhhh!!”
Orang‐orang itu kaget. Lebih
kaget lagi ketika melihat salah seorang teman mereka yang berada di sana ambruk
dengan luka besar di dadanya!
“Budro!!”
“Oh, Tuhan! Kenapa dia?!” “Apa
yang terjadi?” “Mengapa bisa begini?!”
“Siapa yang telah membunuhnya
secara pengecut?!” seru Ki Lurah Sentot Prawira.
Mereka mengerubungi mayat
orang itu yang terluka lebar di dada. Dan mereka pun tak perlu mencari tahu
siapa orang yang telah membunuhnya.
Karena dari samping kiri
mereka terdengar suara mengikik keras. Dan yang mengikik itu mengenakan pakaian
hitam dan bertopeng warna hitam!!
9
Orang‐orang itu terkejut.
Lebih terkejut lagi karena suara mengikik itu suara wanita! Yang manakah yang
ada di hadapan mereka sekarang ini? Wanita bertopeng yan gtadi ebrtempu dengan
mereka ataukah wanita bertopeng yang menyebutkan dirinya sebagai Dewi
Kematian?!
Ki Lurah segera berdiri.
Tatapannya geram penuh dendam. Begitu pula orang‐orang yang ada di sana.
“Hhh! Mengapa kau begitu
telengas menurunkan tangan, hah?!” bentak Ki Lurah Sentot Prawira.
“Hihihi… karena akulah Dewi
Kematian yang akan mencabut nyawa kalian semua!”
Kini sadarlah orang‐orang yang
berada di sana. Berarti saat ini mereka tengah berhadapan dengan wanita
bertopeng yan amat kejam yang menamakan dirinya sebagai Dewi Kematian.
“Hhh! Rupanya kami tengah
berhadapan dengan wanita kejam yang telengas menurunkan tangan?!”
“Hihihi… benar, benar…
sebentar lagi kalian pun akan mampus di tanganku! Karena kalian tidak perlu
terlalu lama hidup karena hanya menambah dosa‐dosa kalian saja! Lebih baik
kalian mati, bukan? Karena kalian tidak akan pernah tersengsara oleh semua dosa
kalian!”
Orang‐orang itu pun bersiap.
“Hihihi…. Mampuslah kalian
semua!!” seru ksatria bertopeng yang menamakan dirinya sebagai Dewi Kematian,
dengan sigap dia menyerbu ke arah orangorang.
Serentak mereka pun menyambut
dengan senjata yang ada di tangan. Dan mereka pun membalas.
Tetapi bukan main terkejutnya
mereka ketika Dewi Kematian seakan membiarkan saja lowongan terbuka ke arah
tubuhnya. Mereka pun menggunakan kesempatan itu sebaik‐baiknya.
Namun mereka pun terkejut
ketika menyadari senjata‐senjata yang ada di tangan mereka tidak membawa arti
apa‐apa bagi ksatria bertopeng yang menamakan dirinya Dewi Kematian.
Mereka Pun menjadi penasaran.
Dan berulangkali mereka menghujamkan senjata‐senjata itu. namun lagilagi
hasilnya seperti tadi. Senjata‐senjata itu tidak membawa hasil yang
menggembirakan.
“Hihihi… ayo, ayo kalian bunuh
aku! Tangkap aku! Hihihi!” ksatria bertopeng yang menyebut dirinya Dewi
Kematian itu terkikik.
Dan mereka pun sadar kalau tak
ada gunanya melawan wanita bertopeng yang amat sakti ini. Begitu pula halnya
dengan Ki Lurah Sentot Prawira. Dia pun amat terkejut ketika goloknya yang
menyambar tubuh wanita itu seperti tidak membawa hasil apa‐apa yang
menggembirakan.
“Siapakah kau sebenarnya,
wanita bertopeng?!” bentaknya untuk menutupi keterkejutannya.
“Hihihi… akulah Dewi Kematian
yang akan mencabut nyawa kalian semua! Nah, bersiaplah untuk mampus di
tanganku!” bentak wanita bertopeng itu dan tubuhnya pun kembali melesat. Terdengar
dua jeritan kematian membelah malam. Dan dua sosok tubuh luka besar di dada
setelah ambruk ke bumi. Telah menjadi mayat seketika.
Ki Lurah terkejut. Dan dia pun
dapat merasakan kengerian yang terpancar dari mata para warganya.
“Jangan takut! Kita tangkap
manusia ini!!” serunya memberi semangar dan langsung menyerang.
Namun Dewi Kematian hanya
menepiskan tangannya dan “Des!” golok di tangan Ki Lurah Sentot Prawira yang
hendak mengenai tubuhnya terlepas.
Sedangkan tangannya yang satu lagi
menyodok dada Ki Lurah hingga sempoyongan.
“Hihihi… lebih baik kau diam
saja, Ki Lurah!!”
“Wanita kejam! Aku akan
mengadu jiwa denganmu! Seraaangg!!” seru Ki Lurah menerjang kembali.
Keberanian yang diperlihatkan
Ki Lurah Sentot Prawira membangkitkan kembali semanat dari para warganya.
Mereka pun kembali menyerang dengan senjata di tangan.
Namun wanita bertopeng yang
amat kejam itu hanya terkikik dan mengibaskan tangannua ke sana ke mari. Dia
tidak memperdulikan senjata‐senjata itu mengenai tubuhnya, karena memang tidak
membawa hasil apaapa.
Kembali terdengar beberapa
jeritan di susul dengan tubuh ambruk penuh luka di bagian dada.
Berulang kali itu terjadi.
Hingga kini tinggal Ki Lurah Sentot Prawira sendiri.
“Hihihi… lebih baik kau
membunuh diri saja, Ki Lurah! Karena
dosamu akan semakin
besar bila kau
masih hidup di muka bumi ini!”
“Keparat! Sejengkal pun aku
tak akan mundur dari hadapanmu!!”
Tiba‐tiba terdengar seruan
dari beberapa penjuru. Warga desa yang terbangun karena seruan ribut‐ribut itu
menyerbu ke arah wanita bertopeng dengan senjata di tangan. Bukan main
banyaknya. Karena hampir sebagian besar penduduk desa Glagah Jajar keluar untuk
membasmi wanita bertopeng yang amat kejam itu.
Mereka pun berseru‐seru ramai.
“Tangkap!!”
“Ganyang!!”
“Bunuh!!”
Dan berbondong‐bondong mereka
menyerbu. Sedikitnya Ki Lurah Sentot Prawira mendesah lega. Namun
sekonyong‐konyong wanita bertopeng yang menyebut dirinya sebagai Dewi Kematian
melesat ke belakang rumah Ki Lurah.
Ki Lurah seperti tersadar
begitu teringat istrinya berada di dalam.
“Nyai!!” serunya sambil
berlari disusul oleh beberapa warga yang mengikutinya. Sementara beberapa warga
yang lain mengejar ke arah larinya wanita bertopeng itu.
Tetapi bayangan wanita itu
telah lenyap begitu saja. Bagai ditelan bumi.
Orang‐orang itu berkumpul lagi
di halaman depan rumah Ki Lurah. Sementara Ki Lurah sendiri langsung menggebrak
pintu kamar istrinya. “Nyai!!”
Dia melihat istrinya tengah
terbangun karena kaget mendengar suara pintu digebrak.
“Oh, ada apa, Ki? Ada apa?!”
seru wanita yang baru bangun tidur itu kebingungan.
Ki Lurah Sentot Prawira
mendesah lega. Didekapnya istrinya yang nampak terkejut.
“Tidak, tidak apa‐apa, Nyai…”
desisnya.
Orang‐orang yan gengikuti Ki
Lurah mendesah lega. Lalu mereka pun keluar lagi dari kamar itu.
Ki Lurah dan istrinya pun
menyusul ke luar.
Di luar Nyai Lurah melihat
betapa banyaknya para penduduk desa yang berkumpul. Dan terdapat beberapa mayat
yang bergeletakan.
Kebingungan semakin
menjadi‐jadi. “Ada apa, Ki… ada apa?” tanyanya. “Tenanglah, Nyai… tenanglah…”
“Tapi… mengapa mereka
berkumpul di sini? Dan… oh, betapa banyaknya mayat‐mayat yang bergelimpangan
dengan luka yang mengerikan…”
“Tenang, Nyai… bahaya sudah
berlalu…”
“Bahaya?” Nyai Lurah semakin
tidak mengerti. “Ada bahaya apa, Ki? Ada bahaya apa?”
“Kita baru saja kedatangan dua
orang ksatria bertopeng…”
“Oh!”
“Ya, dua‐duanya wanita… Yang
seorang bertindak sopan dan baik hati. Tidak menurunkan tangan telengasnya dan
tidak menyebutkan dirinya sebagai Dewi Kematian. Namun yang seorang lagi begitu
kejam dan menurunkan tangan kejamnya. Dia pun menyebutkan sebagai Dewi
Kematian…”
“Oh! Apakah keduanya datang
secara bersamaan?” “Tidak, yang tidak menurunkan tangan telengasnya
datang lebih dahulu. Kemudian
muncul yang menyebutkan dirinya sebagai Dewi Kematian…”
“Ke mana mereka sekarang, Ki?”
“Yang datang pertama sudah
pergi entah ke mana. Dan Dewi Kematian pun telah menghilang begitu saja setelah
membunuh mereka ini. Aku tadi sudah kawatir, Nyai… karena Dewi Kematian
menghilang di samping rumah kita…”
“Apa yang kau kuatirkan?
Bukankah lebih baik wanita kejam itu menghilang?”
“Dirimu, Nyai… Dirimu yang
kukuatirkan menjadi korban kekejaman Dewi Kematian…”
Nyai Lurah mendesah panjang.
Masygul.
Para penduduk yang masih
berada di sana memandang Ki Lurah yang sedang mendekap istrinya.
Salah seorang setengah baya
berkata, “Ki Lurah… rupanya kedatangan ksatria bertopeng sudah sampai di desa
kita dalam menebar terornya. Dan yang kudengar mereka pun sudah mengacau di
desa Bojong Sawo.”
“Benar, Aki Broto. Kita pun
harus bersiap siaga untuk menyambut kedatangannya lagi bila suatu saat dia
muncul lagi di sini…”
“Ki Lurah… apakah tidak
sebaiknya kita meminta bantuan beberapa pendekar untuk membantu kita menghadapi
Dewi Kematian?”
Ki Lurah
mendesah. Dia jadi
teringat akan Madewa Gumilang dan
istrinya. Mengapa mereka belum muncul juga?
“Aku sudah meminta bantuan
Pendekar Bayangan Sukma, Aki Broto. Hanya mereka belum sampai di sini…”
“Mereka?”
“Ya, Madewa dan istrinya,
Ratih Ningrum…”
“Keadaan desa kita tidak aman,
Ki Lurah. Masih terbayang lekat kejadian yang menimpa desa kita saat munculnya
si Pamungkas. Dan kini ksatria bertopeng yang membuat teror di sini.”
“Benar, Aki Broto… berarti kita
harus memperkuat pertahanan keamanan di desa kita ini…”
Dan sejak malam itu,
pertahanan pun di perkuat dan dipertambah. Di perbatasan desa Glagah Jajar kini
menunggu sepuluh orang penjaga. Sedangkan yang memutar di empat penjuru desa
Glagah Jajar menjadi lima‐lima.
Mereka dalam keadaan siaga
penuh.
Namun yang menjadi pikiran Ki
Lurah Sentot Prawira, mengapa Madewa Gumilang dan istrinya belum juga hadir di
sini? Apakah sebaiknya dia mendatangi kembali Perguruan Topeng Hitam? Namun itu
tak mungkin bisa dilakukannya, karena para warganya akan mencapnya sebagai
pengecut. Dengan alasan untuk mendatangi Perguruan Topeng Hitam, padahal
bermaksud untuk menyingkir dari desa Glagah Jajar karena adanya teror dari
ksatria bertopeng.
Dan Ki Lurah tak pernah mau
berbuat seperti itu! karena dia adalah seorang yang berjiwa ksatria! 10
Ki Lurah Wijayatikta
memperhatikan dan mendengarkan kata‐kata Madewa Gumilang dengan seksama. Saat
ini mereka berada di balai Desa Bojong Sawo. Di sana pun hadir beberapa sesepuh
dari desa Bojong Sawo.
Semula saat melihat enam orang
yang ditugasinya membawa Madewa Gumilang untuk dimintai pertanggungjawabannya,
Ki Lurah Wijayatikta amat bersyukur dan berterima kasih. Lalu dia pun
menghadapkan Madewa Gumilang kepada sesepuh desa.
Namun setelah dua hari Madewa
Gumilang berada di sana, sekali pun Madewa tidak menunjukkan sikap yang ingin
memberontak, jengkel ataupun marah. Dia malah bersikap arif dan bijaksana.
Dan lambat laun Ki Lurah
Wijayatikta menjadi bersimpati dan tidak menuduh Madewa Gumilang sengaja
mengirimkan muridnya untuk mencari Cincin Naga Sastra, atau juga manusia
bertopeng hitam itu bukanlah murid dari Perguruan Topeng Hitam.
Apalagi setelah mendengar
kata‐kata Madewa tadi. “Jadi benar Perguruan Topeng Hitamtidak bersenjata‐
kan sebuah paku?” tanya Ki
Lurah Wijayatikta.
“Benar Ki Lurah. Perguruan
Topeng Hitam hanya bersenjatakan pedang. Dan bersenjata rahasia yang berbentuk
topeng hitam. Seperti ini,” kata Madewa Gumilang sambil
mengeluarkan senjata rahasia
milik Perguruan Topeng Hitam yang dibawanya. Orang‐orang yang hadir di
sana memperhatikannya.
“Kalau begitu… siapakah orang
yang mengenakan topeng hitam yang bersenjata rahasia paku itu, Madewa?”
“Aku pun belum tahu, Ki Lurah.
Hanya dugaanku, ada orang yang ingin memfitnah Perguruan Topeng Hitam untuk
mencari Cincin Naga Sastra. Atau ada pula orang yang secara tidak sengaja
memang bermaksud jahat dan dia selalu mengenakan pakaian hitam‐hitam dan
bertopeng hitam.”
“Berarti… ada orang lain dalam
hal ini maksudmu?” “Benar, Ki Lurah… Ini yang amat merisaukan…”
Belum Ki Lurah Wijayatikta
menyahuti kata‐kata Madewa, tiba‐tiba masuk dua orang laki‐laki dengan nafas
tersengal‐sengal. Dia tangan kanan mereka nampak luka yang cukup besar. Baju
mereka berbercakbercak darah.
“Ki Lurah…” seru salah seorang
terputus‐putus sementara yang seorang lagi sudah ambruk ke lantai. Dan nyawanya
putus karena luka yang dideritanya.
Orang‐orang pun terkejut dan
segera menghampiri mereka. Ki Lurah Wijayatikta memapah salah seorang yang masih
bertahan dan membaringkannya.
Madewa segera bertindak cepat.
Dia menotok beberapa jalan darah orang itu untuk menghentikan aliran darahnya
yang banyak keluar. Kemudian menempelkan telapak tangannya pada dada orang itu
untuk mengalirkan tenaga dalamnya dan mengembalikan hawa murni orang itu. Setelah
beberapa saat, nampak orang itu kelihatan lebih segar dari sebelumnya.
Ki Lurah Wijayatikta berkata,
“Saburo… katakanlah… ada apa…”
Sabura Manda mendesah dan
nafasnya kini mulai berjalan lancar.
“Dia… dia datang Ki Lurah…”
“Siapa maksudmu…” “Orang… orang kejam itu…” “Siapa?”
“Ksatria bertopeng…”
“Ksatria bertopeng?!” seruan
itu terdengar hampir serempak.
Madewa bertindak cepat. “Di
mana dia berada?” “Di…di perbatasan desa Bojong Sawo…”
Tanpa ada yang sempat
memperhatikan, tiba‐tiba sosok Madewa sudah menghilang dari pandangan. Dan
beberapa orang pun segera menyusulnya.
Sementara itu Saburo Manda
dibaringkan dan dibiarkan beristirahat. Sementara mayat yang seorang segera
diurus.
“Aku tahu kalian orang‐orang
Bojong Sawo mengetahui di mana Cincin Naga Sastra berada?!”
“Jangan banyak omong kau,
manusia kejam! Kami akan membunuhmu!!”
Ksatria bertopeng yang sedang
menghadapi tiga orang lawannya nampak menghindari seranganserangan itu dengan
lincahnya. Di dekat mereka bergelimpangan beberapa mayat.
Lawan‐lawannya itu
pun sebenarnya sudah teramat letih. Dan baju mereka terpecik
darah mereka sendiri. Namun mereka begitu gigih menghadapi seranganserangan
dari ksatria bertopeng. Mereka hanya berharap agar Saburo Manda dan Wayan sudah
tiba mencari bantuan.
“Hhh! Kalian yang
berpura‐pura! Aku tahu desa Bojong Sawo dulu diporakporandakan oleh si
Pamungkas! Dan si Pamungkaslah yang memiliki Cincin Naga Sastra yang telah
direbut oleh warga Bojong Sawo!”
“Fitnah! Tak seorang pun di
antara warga Bojong Sawo yang memiliki Cincin Naga Sastra!”
“Kalian memang pandai
berbicara!!” bentak ksatria bertopeng itu dengan geram. Dan dia kembali terus
menggebrak.
Kembali pula pukulan dan
tendangannya mengenai sasaran. Membuat ketiga lawannya dibuat kocar kacir. Dan
salah seorang pun ambruk setelah sekali lagi tendangan ksatria bertopeng
mengenai dadanya.
Melihat teman mereka mati,
keduanya pun menjadi geram. Mereka menyerang sebisanya, namun mereka malah
menjadi bulan‐bulanan ksatria bertopeng.
“Mampuslah kalian!!” geram
ksatria bertopeng dan siap menurunkan tangan telengas pada kedua orang itu yang
sudah terdesak.
Tubuhnya pun melayang ke arah
keduanya. Namun mendadak dia berbalik bersalto ketika dirasakannya satu pukulan
lain memapaki serangannya.
“Des!!”
“Bangsat!! Siapa kau?!”
bentaknya begitu hinggap di bumi. Dan memandang pada satu sosok tubuh berjubah
putih yang tersenyum arif bijaksana.
Sosok yang ternyata Madewa itu
tersenyum.
“Hmm… rupanya kaulah ksatria
bertopeng yang membuat teror di desa ini! Hmm… mau apa kau sebenarnya?!”
“Kalau aku tidak salah tebak,
kaukah Pendekar Bayangan Sukma?”
“Ya, akulah adanya Pendekar
Bayangan Sukma.” “Sombong! Akulah Ksatria Bertopeng yang akan
mencabut nyawamu!”
“Kau belum mengatakan maksudmu
yang sebenarnya membuat teror di sini?”
“Sudah tentu aku hendak
mencari Cincin Naga Sastra! Hhh! Mampuslah kau, Madewa!!”
Lalu sosok itu melesar
menerjang ke arah Madewa. Madewa melompat ke sampng dan mengirimkan satu balasan.
Ksatria bertopeng menangkisnya.
“Des!”
Dia merasakan ngilu di
tangannya akibat benturan itu. sementara Madewa sendiri merasakan tangannya
bergetar.
Menandakan tenaga dalamnya
cukup besar.
“Tidak sia‐sia kau bergelar
Pendekar Bayangan Sukma, Madewa! Gerakanmu seperti bayangan saja!!”
“Lebih baik bukalah topeng
yang menutupi wajahmu!”
Tiba‐tiba terdengar suara
ramai‐ramai. “Tangkap!”
“Bunuh!!”
Madewa menoleh ke kiri, dan
melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng hitam sedang berlari ke arahnya. Di
belakangnya berlarian mengejar beberapa orang dengan senjata di tangan.
Dan Madewa melihat Ki Lurah
Sentot Prawira berada di antara para pengejarnya.
Ksatria bertopeng yang baru
datang itu berhenti begitu melihat Madewa Gumilang. Dan mendegus.
“Hhh! Rupanya kau berada di
sini, Madewa!!”
Sementara ksatria bertopeng
yang tengah berhadapan dengan Madewa tadi terkejut melihat ada orang yang
berpakaian sama dengannya.
“Hmm… rupanya ada dua ksatria
bertopeng sekarang,” kata Madewa.
Ksatria bertopeng yang baru
datang mendengus. “Akulah Dewi Kematian yang hendak mencabut nyawamu, Madewa!”
Sementara itu warga desa
Glagah Jajar pun terkejut karena tidak menyangka akan menemukan dua ksatria
bertopeng. Begitu pula halnya dengan Ki Lurah Sentot Prawira.
Lalu terdengar pula suara
ramai riuh dari arah Selatan. Ki Lurah
Wijayatikta telah datang dengan beberapa orang. Mereka pun terkejut melihat ada
dua ksatria bertopeng.
Bahkan bukan hanya sampai di
sana saja. Tiba‐tiba muncul satu sosok tubuh lagi mengenakan pakaian hitam dan
bertopeng hitam pula.
“Oh!”
“Ada tiga ksatria bertopeng?!”
Seruan‐seruan itu terdengar. Kaget dan takjub.
Karena kini ada tiga ksatria
bertopeng di hadapan mereka.
Ksatria bertopeng yang baru
datang tertawa, “Hahaha… kalian kaget bukan, kini ada tiga ksatria bertopeng di
sini? Nah, siapakah di antara kami ini yang bermaksud baik dan jahat?!”
Yang mereka tahu, ksatria
bertopeng yang mengaku sebagai Dewi Kematian yang berniat jahat. Begitu pula
dengan ksatria bertopeng yang bermaksud hendak mencari Cincin Naga Sastra!
Madewa hanya tersenyum
mendengar sura ksatria bertopeng yang baru datang itu.
Lalu dia berkata, “Dewi
Kematian…agaknya kaulah yang menyebar teror maut di setiap desa. Dan pada
setiap orang yang bertemu denganmu. Hmm… tentunya semua akan terkejut bila
kukatakan siapa kau adanya…” “Hhh! Madewa… kau harus mampus di tanganku! Selama
ini begitu mendendam padaku! Kaulah yang membuatku sakit hati dan sekarat
karena satu dendam. Kaulah yang telah membunuh Mandali Sewu alias si
Pamungkas!”
Orang‐orang terkejut. Dan yang
hadir lebih terkejut lagi ketika Dewi Kematian membuka sarung tangannya di
sebelah kanan. Dan terlihatlah sebentuk cincin yang amat indah berpermata yang
menyala.
“Cincin Naga Sastra!!” seru Ki
Lurah Sentot Prawira dan Ki Lurah Wijayatikta bersamaan.
“Memang benar. Inilah Cincin
Naga Sastra yang secara tidak
sengaja kutemui di
sebuah pohon besar
yang berakar melintang! Dengan cincin ini pula aku akan menuntut balas
padamu, Madewa Gumilang!!”
Sementara diam‐diam ksatria
bertopeng itu menerjang ke arah ksatria bertopeng yang menyebut dirinya Dewi
Kematian.
“Berikan cincin itu padaku!!”
serunya seraya melancarkan pukulan lurus ke wajah. Namun sungguh di luar dugaan, karena Dewi Kematian hanya
terdiam saja, membiarkan pukulan itu mengenai dadanya. Dan tiba‐tiba dia
menggerakkan tangan kanannya tepat mengenai dada ksatria bertopeng yang
menyerang.
“Des!”
“Akkkhhh!!”
Lalu ambruklah ksatria
bertopeng yang menyerang itu dengan luka dada yang amat hebat. Semua memikik
ngeri karena pukulan itu begitu kejam.
Ki Lurah Sentot Prawira
menggeram. “Keji!!”
“Dan kau akan melihat saru
pertunjukkan yang lebih keji lagi daripada itu, Ki Lurah!” geram Dewi Kematian.
Dan tiba‐tiba dia bergerak ke kiri,d an tiga sosok tubuh pun melayang cukup
jauh dan ambruk dengan luka parah di dadanya.
“Hihihi… akulah Dewi Kematian
yang akan mencabut nyawa siapa saja! Termasuk kau, Madewa Gumilang!!” geramnya
lalu melesat ke arah Madewa Gumilang. Madewa yang sejak tadi bersiap pun segera
menghindar dan mengirimkan balasan.
Namun seperti yang sudah‐sudah
Pukulan Tembok Menghalau yang dikeluarkan Madewa tidak membawa hasil apa‐apa.
Begitu pula dengan
Pukulan Angin Saljunya. Dewi
Kematian bahkan tidak terlihat kedinginan atau menggigil, apalagi beku oleh
angin salju itu.
Madewa mendengus geram. Belum
lagi dia bisa memikirkan bagaimana caranya melumpuhkan Dewi Kematian, Dewi
Kematian sudah menyerangnya dengan hebat. Membuat Madewa harus berusaha untuk
menghindarkan diri.
Tiba‐tiba terdengar seruan Ki
Lurah Sentot Prawira. “Tangkap manusia kejam itu!!”
Lalu disusul Ki Lurah
Wijayatikta yang menyerukan hal yang sama. Lalu berbondong‐bondong mereka
mengeroyok ksatria bertopeng yang menamakan dirinya Dewi Kematian. Tetapi
mereka hanya membuang nyawa dengan percuma, karena dengan sekali mengibaskan
tangannya Dewi Kematian telah emncabut nyawa beberapa orang.
Melihat keadaan
itu, Madewa berseru, Minggir kalian semua!” Lalu dia
berseru pada ksatria bertopeng yang masih berdiri bersiaga, “Kau juga, Dinda…”
Dan kini dia pun berhadapan
dengan Dewi Kematian. “Sadarlah, kau dalam keadaan sesat…”
“Persetan! Kau harus membayar
kematian Mandali Sewu, Madewa…”
“Kau tengah dipengaruhi oleh
Cincin Naga Sastra. Cabutlah cincin itu, niscaya kau akan kembali seperti
semula, Nyai Lurah…”
Orang‐orang terkejut. Nyai
Lurah? Dewi Kematian itu Nyai Lurah? Dan mereka pun tak perlu menunggu terlalu
lama untuk mengetahui siapa Dewi Kematian itu, karena tibatiba saja dia
merengut topengnya sendiri.
Dan terlihatlah wajah Nyai
Lurah! Ki Lurah Sentot Prawira terkejut bukan main.
“Nyai!!”
Nyai Lurah menoleh ke arahnya.
Tatapannya beringas memerah. Nafasnya mendengus‐dengus. Dia tak ubahnya iblis
belaka.
“Jangan mendekat padaku, Ki!
Saat ini aku bermaksud untuk mencabut nyawa manusia kejam itu! manusia yang
telah merengut Mandali Sewu dari sisiku…”
“Sadarlah, Nyai… sadarlah…”
seru Ki Lurah mengibaiba. Dan hatinya pilu sekali melihat kenyataan bahwa
istrinya amat mendendam pada Madewa Gumilang. Dan secara tidak sengaja istrinya
menemukan Cincin Naga Sastra yang digunakannya untuk membalaskan dendamnya pada
Madewa Gumilang.
“Diam kau, Aki‐aki peot!!”
geram Nyai Lurah dengan tatapan gusar. Lalu dia mendengus pada Madewa,
“Mampuslah kau, Madewa!!” serunya seraya menerjang.
Madewa pun segera
menghadapinya. Kini terjadi pertarungan yang amat hebat antara keduanya. Saling
serang dan saling hindar. Namun semua serangan yang dilakukan Madewa hanyalah
sia‐sia belaka karena tak satu pun pukulan saktinya yang membawa hasil.
Tiba‐tiba ksatria bertopeng
yang masih ada di sana, menyerbu ke arah Dewi Kematian alias Nyai Lurah yang
terkena pengaruh Cincin
Naga Sastra. Namun malang baginya, karena serangan
pedangnya tak membawa hasil, malah dirinya sendiri yang ditepak dengan
ringannya oleh Dewi Kematian.
“Dinda!!” seru Madewa terkejut
dan bergegas menghampiri ksatria bertopeng yang jatuh ke tanah. Lalu dibukanya
topeng itu. dan terlihatlah seraut wajah Ratih Ningrum!
Madewa pun bergerak cepat. Dia
mengalirkan tenaga dalamnya dan hawa murninya pada istrinya. Dan perlahan
keadaan Ratih Ningrum pun membaik.
Madewa lalu berdiri. Menatap
Dewi Kematian dengan geram. Memang tak ada jalan lain lagi selain untuk
memusnahkan Dewi Kematian yang telah merasuk pada tubuh Nyai Lurah.
“Copotlah cincin dari tanganmu
itu, Nyai Lurah!” seru Madewa memperingatkan.
“Hhh! Sebelum kubuat mampus
kau, tak akan pernah kucopot cincin ini!!” balas Dewi Kematian.
Madewa mendengus. Tiba‐tiba
dia merangkul kedua tangannya di dada. Dan perlahan‐lahan terlihat asap putih
mengepul dari kedua tangan itu. Lalu dibentangkannya kedua tangannya ke kiri
dan ke kanan.
Bagi Madewa memang tidak ada
jalan lain lagi selain mengeluarkan pukulan saktinya, Pukulan Bayangan Sukma.
Pukulan yang mampu menghancurkan
apa saja! “Maafkan aku, Nyai Lurah!!” serunya lalu diserangnya
Dewi Kematian.
Dewi Kematian yang tengah
merasuk pada tubuh Nyai Lurah terkekeh. “Hihihi… memang tak ada jalan lain
selain mampus bagimu, Madewa!” serunya.
Dan tubuh Madewa pun terus
meluncur ke arah Dewi Kematian yang tengah berdiri tegar.
“Des!!”
Pukulan sakti itu pun mengenai
tubuhnya. Asap megnepul di dekat mereka. dan mendadak tubuh Madewa terpental ke
belakang kala asap itu menghilang terlihatlah tubuh Dewi Kematian yang masih
tegak tanpa kurang suatu apa.
Pukulan Bayangan Sukma yang
maha sakti pun tak mampu mengalahkannya!!
“Hihihi… tak satu pun yan
gbisa mengalahkan aku, Madewa!” kikiknya. “Kini bersiaplah kau untuk mampus!”
Lalu Dewi Kematian menengadah. “Mandali Sewu… lihatlah orang yang telah
membunuhmu ini akan menemanimu selama‐lamanya!!”
Lalu tubuh itu pun melesat
maju menyerbu ke arah Madewa yang masih jatuh terduduk di tanah. Madewa hanya
bisa memejamkan matanya saja.
Namun belum lagi pukulan itu
mengenai tubuhnya, tiba‐tiba terdengar jeritan keras dari Nyai Lurah alias Dewi
Kematian, tubuhnya terpental ke belakang.
Orang‐orang terkejut
menyaksikannya. Apa yang terjadi? Mengapa bisa begitu?
Dan terlihatlah pemandangan
yang menerikan. Tubuh Dewi Kematian menggeliat kesakitan di tanah. Dia
terpental kembali dan termakan serangannya sendiri. Itu terjadi karena sari
Rumput Kelangkamaksa yang pernah dihisap Madewa secara tidak sengaja dulu. Bila
yang menghisapnya dalam keadaan tenang, maka akan menghadirkan tenaga yang
hebat. Dapat memukul balik lawannya dengan serangan lawannya sendiri.
Tiba‐tiba tubuh yang
menggeliat itu terdiam. Meregang. Dan mendadak terdengar ledakan. Tubuh itu
hancur meledak!!
Orang‐orang terkejut. Ki Lurah
Sentot Prawira memburu kepingan tubuh istrinya. Madewa mendesah panjang.
Dan kala orang‐orang itu
mencari Cincin Naga Sastra, tak seorang pun yang menemukannya. Cincin itu telah
lenyap entah ke mana!
Senja semakin turun.
TAMAT
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 21 Tiga Ksatria Bertopeng"
Post a Comment