Serial Pendekar Bayangan Sukma: 21 Tiga Ksatria Bertopeng


21 Tiga Ksatria Bertopeng
1

Udara malam begitu dingin. Bulan di atas sana semakin renta. Bukit Alas Waru tetap menyeramkan. Pepohonan yang tumbuh di sana bagai pasukan yang siap membunuh siapa saja yang datang.

Namun tiga sosok tubuh itu tetap tegar menerima hembusan angin di ngin. Dan salah satu sosok tubuh nampak tengah berlutut memperhatikan sosok tubuh berpakaian biru yang tergeletak di tanah. Sosok berpakaian biru itu telah menjadi mayat. Wajah orang itu begitu buruk sekali. Mengerikan.

Di Bukit Alas Waru memang baru saja terjadi pertempuran yang amat hebat. Di sana seorang tokoh jahat yang amar kejam, si Pamungkas telah tewas di tangan Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma.

Di samping mayat si Pamungkas, juga bergeletak beberapa mayat para penduduk yang juga turut mengejar si Pamungkas ke Bukit Alas Waru. Mereka tewas akibat ajian Sambar Nyawa yang dilancarkan si Pamungkas.

Sedangkan si Pamungkas sendiri tewas akibat hantaman Pukulan Bayangan Sukma milik dari Madewa Gumilang yang memapaki ajian Sambar Nyawa yang digabungkan dengan ajian Seribu Bobot Besi milik si Pamungkas. Hasilnya sungguh luar biasa. Si Pamungkas tewas mengerikan, sedangkan Madewa Gumilang harus terluka dalam di bagian dadanya. Sosok tubuh yang berdiri di samping Madewa Gumilang, adalah Kyai Paksi Brahma. Dia seorang kakek yang berusia 65 tahun. Mengenakan pakaian putih dan berangkin merah. Kedatangannya adalah untuk mencari Cincin Naga Sastra, cincin sakti milik mendiang kakak seperguruannya Kyai Tapa Suci yang telah tewas. Sebelum tewas karena bertanding dengan Dewa Nyawa Maut, Kyai Tapa Suci memberikan Cincin Naga Sastra ke tangan Juragan Wilada Tista yang tewas di tangan si Pamungkas. Namun sayang, sampai saat ini tak seorang pun yang tahu di mana cincin sakti itu berada.

Sedangkan sosok tubuh yang tengah berlutut di hadapan si Pamungkas adalah Ki Lurah Sentot Prawira, Lurah dari desa Glagah Jajar. Hatinya seakan remuk redam ketika melihat siapa wajah di balik topeng biru itu. Wajah Mandali Sewu!!

Ki Lurah Sentot Prawira tidak menyangka sama sekali, kalau Mandali Sewu lah yang berada di balik  topeng biru dan menamakan diri si Pamungkas. Dia telah mendendam pada keluarga Juragan Wilada Tista disamping tugas yang diberikan gurunya Dewa Nyawa Maut untuk mencari Cincin Naga Sastra (Baca : Munculnya si Pamungkas).

Terdengar sendat Ki Lurah yang sudah agak tua itu. “Mengapa ini semua terjadi, Mandali? Mengapa?”

desis orang tua itu terisak. Dia amat tidak menyangka kalau Mandali Sewu yang berbuat kejam seperti itu.

Madewa yang tengah menahan luka dalam di dadanya, memegang bahu orang tua itu.

“Ki Lurah…tidak perlu disesali… Dia telah tewas akibat kekejamannya sendiri…”

“Bukan dia yang kejam, Pendekar!” kata Ki Lurah sambil tetap menatap wajah buruk Mandali Sewu akibat perlakuan putra Juragan Wilada Tista dua belas tahun yang lalu, saat dia masih bocah. “Tetapi putra Juragan Wilada Tista yang membuat wajahnya jadi begini. Itulah yang menyebabkannya begitu mendendam sekali…”

“Dan dendamnya telah membakar seluruh tubuhnya menjadi kecongkakan. Bahkan gurunya sendiri, Dewa Nyawa Maut telah dibunuhnya.”

Ki Lurah Sentot Prawira mendesah panjang. Mandali Sewu memang bukan anaknya. Bukan siapa‐siapa. Dia hanyalah anak yatim piatu yang diangkat sebagai anak oleh Juragan Wilada Tista. Namun melihat kenyataan ini, hatinya begitu amat terpukul sekali.

“Aku sedih sekali menyaksikannya tewas sebagai orang jahat, Madewa…”

“Takdir telah menentukan seperti itu, Ki Lurah. Hanya sayang, Mandali Sewu tak pernah bisa untuk merubah dirinya menjadi orang baik‐baik. Bila saja dia tidak terbakar oleh dendamnya, tak mungkin semua ini akan terjadi…” kata Madewa Gumilang dengan suara arif.

“Benar, Ki Lurah…” kata Kyai Paksi Brahma yang sejak tadi hanya terdiam saja. “Dia telah dibakar oleh dendam yang telah menyksanya. Dan dendam itu telah membuatnya menjadi kejam hingga menurunkan tangan telengasnya pada siapa saja. Apakah Ki Lurah melupakan hal itu? Betapa banyaknya anak‐anak perawan yang diperkosanya lalu dibunuhnya dengan wajah disayat‐sayat?” “Dan betapa banyaknya para pendekar yang tewas di tangannya untuk menghentikan sepak terjangnya yang telengas.”

“Ki Lurah….bagi seroang Mandali Sewu atau si Pamungkas, memang dia lebih baik mati saja daripada keonaran yang akan terus menerus dibuatnya di muka bumi ini.”

“Dan kau harus melakukannya Ki Lurah.”

Ki Lurah Sentot Prawira cuma mendesah panjang. Lalu tanpa bersuara, diangkatnya tubuh Mandali Sewu alias si Pamungkas.

Lalu dibopongnya.

Dan langkahnya pun perlahan‐lahan menuruni Bukit Alas Waru dengan hati remuk redam.

Madewa Gumilang dan Kyai Paksi Brahma tidak bisa berbuat apa‐apa. Karena mereka sadar, betapa besar rasa kecewa dan sedih yang dialami oleh Ki Lurah Sentot Prawira.

Lalu terdengar suara Madewa bertanya, “Kyai… tadi kau dan si Pamungkas menyebut‐nyebut Cincin Naga Sastra. Aku sampai sekarang belum tahu tentang cincin itu. Bisakah kau menceritakannya padaku?”

Kyai Paksi Brahma mendesah. Baru teringat kalau tugasnya untuk mencari cincin itu belum selesai.

“Madewa… Cincin itu adalah milik mendiang kakak seperguruanku, Kyai Tapak Suci dan telah diberikannya pada murid tunggalnya, Wilada Tista yang dibunuh secara licik oleh si Pamungkas.”

“Aku turun dari bukit Hantu karena menyadari kalai cincin itu amat berbahaya  bila  berada  di tangan  orang jahat. Karena bila cincin direndam di dalam air dan airnya diminum, dia dapat menyembuhkan segala macam penyakit…”

“Bukankah itu bagus, Kyai…”

“Memang. Tetapi….bila cincin itu direndam dalam air dan airnya diminum di setiap malam Jum’at, maka yang meminum airnya akan menjadi kebal terhadap segala macam penyakit dan segala jenis senjata sakti apapun. Juga terhadap pukulan sakti macam mana pun. Bila cincin itu jatuh ke tangan orang jahat, yang menguatirkan, kesaktian cincin itu akan dipergunakan dengan jalan yang salah.”

“Aku begitu cemas memikirkan hal itu, Madewa.” “Lalu di mana cincin itu sekarang?”

“Aku pun tidak tahu. Siapa pun tidak tahu. Hanya Juragan Wilada Tistalah yang tahu. Dan dia membawa rahasia terpendam itu sampai mati.”

“Sayang sekali.”

“Benar, Madewa. Aku kuatir sekali bila cincin itu ditemukan oleh orang jahat.”

“Bagaimana dengan bentuk cincin itu sendiri, Kyai?” “Cincin itu berkilat, meskipun dalam tempat gelap

sekalipun. Dan di atas cincin itu ada batu permata yang berwarna biru. Sebenarnya batu permata itulah yang membuat cincin itu menjadi amat sakti dan ampuh.”

“Berarti cincin itu sendiri tidak berguna bila permata itu hilang?”

“Ya.”

“Berarti, batu permata itulah yang lebih berbahaya.” “Memang benar. Cuma, senjata apa pun dan pukulan sakti macam apa pun, tak akan pernah bisa memisahkan cincin itu dengan batu permatanya. Demikian pula sebaliknya. Keduanya begitu kuat menempel.”

“Sungguh hebat cincin itu.”

“Khasiatnya lebih hebat lagi, Madewa. Aku tidak tahu ada khasiat apa lagi yang terdapat dalam cincin itu.”

“Kalau begitu dugaanmu, masih ada lagi khasiat dari cincin itu.”

“Ya.”

“Kau tahu, Kyai?”

“Menurut kabar yang pernah kudengar dari kakak seperguruanku…bila cincin itu dikenakan, maka orang yang memakainya akan berubah menjadi menyeramkan dan kejam sekali.”

“Luar biasa…luar biasa sekali cincin itu…”

“Benar, Madewa…yang amat menguatirkanku, bila cincin itu jatuh di tangan orang jahat. Kau pun sependapat denganku bukan?”

Madewa Gumilang menatap Kyai Paksi Brahma. Dari wajah dan tatapannya, jelas‐jelas kalau Kyai Paksi Brahma menguatirkan sekali bila hal itu terjadi, menguatirkan segala kejadian yang mungkin bisa amat mengerikan.

Madewa pun merasakan hal itu. dia pun sulit membayangkan, teror apa yang akan dilakukan oleh orang jahat yang menemukan cincin itu.

“Aku pun tak mau hal itu terjadi, Kyai. Tetapi kupikir, mudah‐mudahan cincin itu ditemukan oleh orang baikbaik.”

“Kau salah, Pendekar.” “Apa maksudmu, Kyai?”

“Bila cincin itu ditemukan oleh orang baik‐baik dan  dia tidak tahu itu cincin apa dan langsung memakainya, maka tak dapat dicegah lagi, orang itu akan berubah menyeramkan dan menjadi amat kejam. Tetapi bila dia melepaskan cincin itu, maka dia akan kembali ke semula. Dengan resiko, dia akan terus memakainya bila dia ingin berbuat jahat. Madewa… tidak sedikit orang baik‐baik bisa berubah menjadi jahat karena menuruti hawa nafsunya.”

Kembali Madewa tercenung. Keadaan ini memang amat menyulitkan sekali. Dan resiko yang dihadapi oleh si penemu Cincin Naga Sastra begitu besar.

“Kyai…kita hanya bisa berharap, mudah‐mudahan cincin itu akan hilang selamanya.”

“Benar, Madewa… hanya itu yang bisa kita harapkan. Semoga teror di muka bumi ini tidak akan berlanjut terus menerus…” kata Kyai Paksi Brahma. Lalu katanya lagi, “Malam ini… aku hendak kembali ke Bukit Hantu. Semoga kita semua beruntung, Madewa…”

“Aku harap demikian. Tidakkah kau ingin singgah dulu di tempatku, Kyai?”

“Bila Tuhan mengizinkan, aku akan datang ke tempatmu. Namamu dan nama Perguruan Topeng Hitam yang kau pimpin, sudah terdengar sampai ke Bukit Hantu, Madewa. Nah, kita berpisah di sini!”

Lalu tubuh itu pun melesat dengan cepat menuruni Bukit Alas Waru.

Setelah itu, Madewa pun meninggalkan pua tempat itu,  menuju  tempat  kediamannya,  Perguruan  Topeng

Hitam.

Angin malam terus berhembus dingin.

Menemani Bukit Alas Waru yang amat menyeramkan.

2

Kematian Mandali Sewu alias si Pamungkas, ternyata begitu membekas di hati Ki Lurah Sentot Prawira. Dia amat sedih sekali. Apalagi setelah dia memberitahukan istrinya yang langsung menangis tersedu‐sedu melihat kenyataan itu.

Kedua suami istri yang telah lama tidak dikarunia anak itu, menjadi amat sedih. Padahal ketika beberapa hari yang lalu, Mandali Sewu tiba‐tiba muncul di hadapan mereka, mereka menyatakan hendak mengangkat pemuda beerwajah buruk mengerikan itu sebagai anak. Tetapi keinginan itu ditolak Mandali Sewu.

Dan kini pemuda yang diharapkan untuk menjadi anak oleh keduanya, telah tewas menjadi mayat. Dan telah dikuburkan dibelakang halaman rumah Ki Lurah dan istrinya.

Sepanjang malam istrinya menangis.

Kesedihan yang melanda hati Ki Lurah pun tak kalah besarnya, namun dia tak mau bila istrinya dirundung kesedihan terus menerus.

“Sudahlah, Nyai… relakanlah kematiannya…” katanya berulang kali membujuk istrinya.

“Iya. Ki… tapi… ah, aku amat menyesali kematiannya sebagai orang jahat…”

“Kita memang tidak tahu siapa di balik topeng berwarna biru, Nyai. Yang ternyata Mandali Sewu. Dan aku  pun  tak  pernah  menyangka,  dia  telah  tumbuh menjadi pemuda pendendam yang kejam dan ganas sekali. Bahkan dia telah membunuh gurunya sendiri, Dewa Nyawa Maut dengan telengas.”

Tiba‐tiba Nyai Lurah terisak.

“Ini bukan kesalahannya, Ki… ini kesalahan putra Juragan Wilada Tista. Bila dia tidak berbuat jahat padanya, tentunya Mandali Sewu tidak akan pernah menjadi manusia yang kejam. Bila melihat tindak  tanduk bocah itu dulu, aku yakin dia akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan bijaksana… Oh, mengapa dia harus hidup seperti itu, hidup penuh dendam dan amarah…”

“Sudahlah, Nyai… kita relakan saja Mandali Sewu tenang di kuburnya…”

Nyai Lurah hanya mengangguk. Pada wajahnya lambat laun dia memang seperti bisa melupakan kematian Mandali Sewu. Tetapi di hatinya, begitu teriris sekali mengingat hal itu.

Apalagi setelah dia mendatangi lagi makan yang berada di belakang halaman rumahnya. Hatinya semakin pedih dan sedih mengingat kematian Mandali Sewu.

Dan karena hal itu terus menerus di pendal dalam hatinya, perlahan‐lahan tubuh yang masih segar dan montok itu menjadi kurus. Dan perlahan‐lahan pula Nyai Lurah akhirnya jatuh sakit.

Suaminya menjadi kebingungan menghadapi persoalan ini. lebih membingungkan lagi karena tak seorang tabib pun yang dapat menyembuhkan penyakitnya. “Ki Lurah… hanya satu dugaanku yang dapat menyembuhkan penyakit istrimu itu,” kata seorang tabib yang baru saja memeriksa tubuh Nyai Lurah.

“Katakan, katakan hal itum Ki Tabib… saya ingin istri saya sembuh…”

“Cincin Naga Sastra.” “Apa?”

“Hanya Cincin Naga Sastra yang dapat menyembuhkan penyakitnya, dengan air yang telah direndam oleh cincin sakti itu.”

“Tetapi di mana cincin itu dapat kutemukan, Ki Tabib?” tanya Ki Lurah bingung.

“Entah… aku sendiri tidak tahu…”

“Apakah tidak ada cara lain selain dengan Cincin Naga Sastra, Ki Tabib?”

“Kurasa tidak ada, Ki… penyakit istrimu ini karena kesedihan yang terus menerus melandanya. Dan agaknya dia pun amat menyesali seseorang. Menurut ceritamu, ada seorang pemuda berwajah buruk mengerikan yang bernama Mandali Sewu yang telah tewas dan dikenal sebagai si Pamungkas. Menurut dugaanku, dia sedih karena kematian Mandali Sewu. Cara lain untuk menyembuhkan istrimu itu kecuali dengan Cincin Naga Sastra, harus bisa menghidupkan Mandali Sewu kembali.”

“Okh!”

“Maafkan aku Ki Lurah… selain itu, aku tak bisa lagi memberi petunjuk…” kata tabib yang berusia 50 tahun itu. hampir 25 tahun dia menjadi seorang tabib hingga namanya  terkenal,  namun  baru  kali ini  dia kewalahan untuk menyembuhkan penyakit istri Ki Lurah. Tabib itu bernama Ki Lamtoro. Dia seorang laki‐laki yang berwajah tirus dengan jenggot dan rambut yang sudah agak memutih.

“Tolonglah aku, Ki Tabib… apakah tidak ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit istriku?”

“Dalam hal ini aku menyerah, Ki Lurah. Aku sudah tidak tahu lagi dengan cara apa untuk menyembuhkan penyakit istrimu. Selain dari Cincin Naga Sastra, cincin yang maha sakti dalam menyembuhkan segala macam penyakit, aku tidak tahu lagi dengan cara apa.”

“Agaknya memang tidak ada, Ki Lurah.” “Maafkan aku…”

Wajah dan suara Ki Lamtoro amat bersungguhsungguh memberikan penjelasannya. Dia memang tidak sanggup lagi untuk menyembuhkan penyakit istri dari Ki Lurah Sentot Prawira. Dan dia menjadi teringat akan sebuah benda yang amat sakti, yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Baik yang ringan mau pun yang berat.

Ki Lamtoro mendengar desahan panjang Ki Lurah yang terdengar masygul.

“Ke mana akan kucari cincin itu, Ki Tabib?”

“Maafkan aku, Ki Lurah… aku tak dapat memberikan petunjuk yang berarti padamu. Setahuku cincin sakti itu dimiliki oleh Kyai Tapa Suci. Tapi sekarang entah di mana dia berada.”

“Dia sudah meninggal, Ki Tabib…” “Okh! Benarkan ucapanmu itu?!”

“Ya…   beberapa   minggu   yang   lalu,   aku   bertemu dengan adik seperguruannya, Kyai Paksi Brahma, yang datang untuk mencari Cincin Naga Sastra pula…”

“Apakah dia menemukannya?”

“Tidak, Ki Tabib… Dia kembali ke tempat kediamannya di Bukit Hantu dengan tangan hampa…”

“Berarti cincin itu benar‐benar ada. Ah, sayang sekali… bila cinicn sakti itu hilang begitu saja…”

“Memang benar, Ki Tabib… dalam hal ini aku pun amat menyesali andaikata aku benar‐benar tidak bisa menemukan cincin sakti itu… Tetapi ketahuilah, demi nyawa istriku tercinta, aku akan berusaha untuk mencarinya meskipun kukorbankan nyawaku sendiri…”

Ki Tabib Lamtoro hanya mendesah panjang mendengar kata‐kata yang diucapkan dengan sungguhsungguh oleh Ki Lurah.

Lalu dia membereskan segala alat‐alatnya. Dan berkata, “Kudoakan… semoga kau berhasil mendapatkan cincin itu, Ki Lurah…”

Ki Lurah pun bangkit.

“Terima kasih, Ki Tabib. Dan terima kasih pula kau mau meluangkan waktumu untuk memeriksa penyakit istriku…” katanya sembari mengantarkan Ki Lamtoro keluar.

Setelah tabib itu lenyap dari pandangan mata, kembali Ki Lurah Sentot Prawira menemui istrinya yang tengah terbaring lesu di ranjang berselimutkan kain cukup tebal.

Wajah yang segar dan montok itu dalam beberapa hari saja sudah menjadi layu dan kurus. Ki Lurah sedih melihat keadaan istrinya. Lalu dia duduk di tepi ranjang. Dan membelai wajah istrinya yang penuh kasih, penuh kasih sayang.

Wajah itu begitu tabah menghadapi segala cobaan hidup yang telah mereka jalani. Tabah pula menerima kenyataan kalau mereka sampai saat ini belum dikarunia seorang anak pun yang dapat menghidupkan suasana keluarga.

Ki Lurah tak pernah menyalahkan istrinya dalam hal ini karena dia tahu, semua ini memang belum diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Tiba‐tiba terdengar suara sepasang bibir kering itu, “Mandali… Mandali… kembalilah, Nak… kembalilah di sisiku…”

Hati Ki Lurah galau dan teriris mendengar kata‐kata itu. Memang benar dugaan tabib Ki Lamtoro, istrinya sakit karena menyesali kematian Mandali Sewu dan memendam rindu yang teramat sangat padanya.

Kembali tangan Ki Lurah membelai pipi yang menjadi kurus itu.

“Tenanglah, Nyai.. tenanglah.. Kau pasti sembuh…”

Entah bagaimana caranya, tiba‐tiba sepasang mata yang terpejam itu terbuka. Tatapannya tak bercahaya dan bergairah.

Fokus mata itu pun semakin jelas.

Di hadapannya nampak suaminya yang dengan setia menunggui dan merawatnya.

“Ki…”

“Ya, Nyai… ini aku?”

“Kenapa Mandali Sewu mati, Ki?”

Hati Ki Lurah semakin teriris mendengar pertanyaan itu. bukankah istrinya sudah tahu mengapa Mandali Sewu alias si Pamungkas meninggal?

Tetapi Ki Lurah tidak ingin mendiamkan istrinya, lalu katanya, “Dia meninggal karena perbuatan jahatnya sendiri, Nyai…”

“Tidak, Ki… katamu… dia mati di tangan Madewa Gumilang… Oh, sungguh kejam sekali dia membunuh Mandali Sewuku tersayang…”

“Tenanglah, Nyai… kau masih sakit…” “Dia jahat, Ki… dia jahat…”

”Siapa, Nyai?”

“Madewa Gumilang. Mengapa dia membunuh Mandali Sewu? Mengapa? Karena dia memang jahat, Ki… dia memang sengaja ingin membunuh Mandali Sewu…”

“Tidak, Nyai… Madewa Gumilang tidak jahat. Dia memang harus membunuh Mandali Sewu alias si Pamungkas. Kau sudah tahu bukan kekejaman si Pamungkas?”

“Tidak, dia memang sengaja ingin membunuhnya! Kejam! Pendekar Budiman itu ternyata seroang yang kejam!!” Nyai Lurah menjerit‐jerit. Sepasang matanya tiba‐tiba terbuka, terbelalak. Ki Lurah melihat tatapan yang amat mengerikan dari sepasang mata itu.

“Tenanglah, Nyai… tenanglah…”

Tetapi istrinya terus menjerit‐jerit.  Meneriaki Madewa Gumilang sebagai orang jahat. Dan karena terlalu keras dan letih, dia pun tiba‐tiba kembali jatuh pingsan.

Ki  Lurah  cuma  mendesah  panjang.  Betapa besarnya derita yang dialami istrinya. Hatinya begitu galau.

Ki Lurah pun memutuskan untuk menemui Madewa Gumilang di Perguruan Topeng Hitam, perguruan yang dipimpin oleh manusia sakti itu.

Dia hendak bermaksud untuk meminta pertolongan dan bantuan Madewa untuk mencari Cincin Naga Sastra.

3

Wanita itu terus melangkah dengan tertatih‐tatih. Berulang kali dia terjatuh karena tersandung. Jelas sekali kalau kondisi wanita itu amat lemah.

Tetapi dia terus berjalan. Terus melangkahkan kakinya.

Tiba‐tiba kembali dia terjatuh, karena kakinya tersandung akar pohon yang menonjol keluar.

Tubuhnya bergulingan beberapa kali, lalu tertelungkup. Dia mengerang.

Mengaduh.

Terasa sekali kalai dia amat tersiksa dengan kondisi tubuhnya.

Diusahakannya untuk bangkit dari tertelungkupnya. Entah kenapa dia ingin meninggalkan tempat itu selama‐lamanya dan pergi sejauh‐jauhnya.

Tetapi karena kondisinya yang lemah, dia tak kuasa lagi untuk bangkit. Dia merasakan amat tersiksa dan menyesali kondisinya yang tak memungkinkan.

Dan perlahan‐lahan kepala wanita itu terkulai.

Pagi terus menemaninya, hingga menjelang petang. Berulah terlihat kalau kepala yang terkulai itu perlahanlahan bergerak. Sepasang matanya yang lemah nampak mengerjap‐ngerjap.

Tangannya mengais‐ngais sebatang akar pohon yang melintang. Untuk dijadikan pegangan dan tumpuannya untuk   berdiri.   Namun  karena   kondisinya  yang  amat lemah, sulit baginya untuk memegang akar pohon itu dengan kuat. Malah kini tangannya yang mengais‐ngais tanah.

“Oh… Tuhan, mengapa aku harus jadi begini?” desis wanita itu dengan suara yang amat lemah.

Dan tiba‐tiba sepasang mata yang mengerjap‐ngerjap lemah itu mendadak terbuka. Bercahaya. Secara tak sengaja tangannya yang mengais‐ngais tanah, membuat tanah itu semakin berlobang dan cukup dalam.

Kini matanya melihat sebentuk cincin yang  sudah agak kotor. Namun permata yang menghiasi cincin itu begitu bersinar.

Hati wanita itu tergetar.

“Oh… cincin siapakah ini?” desisnya dengan suara yang tetap lemah. Lalu hati‐hati digapainya cincin itu. diperhatikannya dengan seksama. Permata yang ada di atas cincin itu berkilauan.

Begitu indah dan memikat.

Hati wanita itu kembali bertanya, “Oh… indah sekali cincin ini…”

Wanita yang nampak sakit itu, mendadak saja  menjadi segar melihat cincin itu. dan tanpa berpikir panjang lagi, dia pun mengenakan cincin itu di jari manisnya.

“Oh, indah sekali cincin ini…”

Diamat‐amatinya lagi cincin itu. Bukan main, apakah ini cincin pemberian Tuhan kepadaku, ataukah cincin orang lain yang hilang? Desisnya dalam hati.

Tiba‐tiba terdengar suara di belakangnya, “Hei, mengapa ada di sini?” Wanita itu berpaling. Dan tiba‐tiba saja sepasang matanya terbuka melebar. Tatapannya begitu mengerikan. Wajahnya memerah dengan napas mendengusdengus.

Mata yang memancarkan sinar berbahaya itu, melihat dua sosok laki‐laki di hadapannya. Entah mengapa mendadak saja hati wanita itu menjadi murka dan panas.

“Ayo kita bantu dia!” seru yang seorang.

Lalu kedua laki‐laki yang agaknya mengenali wanita itu, bergegas menghampirinya. Namun mereka terkejut bukan main. Wanita yang mereka pikir lemah dan seperti sedang sakit itu, tiba‐tiba mengibaskan tangannya dan mengerang dengan marah.

“Hei!” seru salah seorang kaget.

“Mengapa dia menjadi pemarah sekali? Dan wajahnya itu… oh, begitu mengerikan sekali… Dia bukan bukan seperti yang biasanya kita kenal. Begitu ramah dan baik hati…”

“Betul katamu itu. Lihat… oh, dia bangkit. Dan sepertinya dia marah pada kita…”

Wanita itu memang perlahan‐lahan bangkit. Tatapannya mengerikan. Dan yang membuat keduanya heran, karena suara wanita itu tidak seperti suara yang mereka kenal. Begitu menakutkan dan menakutkan.

Membuat bulu roma berdiri.

“Mau apa kalian kesini?!” suara wanita itu mendadak menjadi berat. Dan kini dia nampak tidak seperti sedang sakit. Kondisinya begitu sehat. Behkan terkesan kekar dan beringas. “Bukankah…”

Kata‐kata itu terpotong karena dengan tiba‐tiba saja wanita itu berontak dan bergerak menyerbu ke arahnya. Suaranya seperti mengaum, seperti srigala yang marah.

“Akkkkh! Grrrrhhh!”

Laki‐laki itu nampak terkejut. Dan dia segera membanting dirinya ke samping. Tetapi wanita yang menjadi beringas itu terus mengejar dengan terjangan‐terjangan yang tak ubahnya seperti seekor serigala yang kelaparan.

“Hati‐hati Manto!!” berseru yang seorang ketika melihat temannya siap‐siap dijadikan mangsa oleh wanita itu. “Dia seperti kemasukan setan!!”

Manto pun terus bergulingan untuk menyelamatkan diri. Tetapi wanita itu jelas‐jelas tidak memberinya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Wanita itu terus menerjang dengan buas dan dalam bentukan serangan‐serangan yang amat kejam.

Melihat hal itu, temannya pun bergerak untuk membantu. Dia mengambil sebatang dahan pohon kering yang cukup besar. Dia berpikir, lebih baik melumpuhkan wanita yang telah kemasukan setan ini. Daripada dia membuat onar dan menimbulkan korban.

Lalu diterjangnya wanita itu dan dihantamnya dengan dahan kayu yang cukup besar itu.

“Des!!”

Pukulan itu begitu keras sekali. Mampu merobohkan seorang laki‐laki bertubuh kekar. Tetapi wanitu itu, jangankan untuk roboh, bergeming saja tidak terhantam pukulan yang cukup keras itu. Malah tiba‐tiba dia berbalik.

Matanya melotot meradang marah.

Suaranya mengerikan, “Grrrrhhh! Kubuat mampus kau, Manusia!!” geramnya dan menerjang yang memukul tadi.

Laki‐laki itu terkejut bercampur takut yang amat sangat. Dia pun menyongsong wanita itu dengan pukulan dahan kayunya. Namun seperti kejadian tadi, wanita itu pun tidak bergeming dihantam dahan kayu yang cukup besar.

Malah dia terus menerjang dengan kalap. Laki‐laki itu kaget amat luar biasa. Tangan wanita itu yang mendadak menjadi kuat dan kekar, mencengkeram lehernya. Begitu kukuh dan kuat.

Tak ubahnya seperti tang yang tengah menjepit paku. Laki‐laki itu berusaha untuk meronta. Namun jepitan kedua tangan itu begitu kuat sekali, membuatnya

menjadi sukar bernapas. Sesak. Sepasang matanya terbeliak. Lidahnya terjulur.

Kawannya yang melihat hal itu mencoba untuk membantu. Ditariknya wanita itu dari belakang. Namun wanita itu tetap pada posisi semula. Tetap mencengkeram leher laki‐laki itu dengan kedua tangannya yang mendadak menjadi kuat.

Sementara kawannya terus terbeliak‐beliak dengan mengerikan. Dan perlahan‐lahan gerakannya melemah dan semakin lama semakin melemah.

Kepalanya pun perlahan‐lahan terkulai. Dia pun mati di tangan wanita itu yang mendadak menjadi kejam. Mati karena jalan napasnya terhambat.

Lalu dengan kasar wanita itu membanting tubuhnya ke tanah. Kemudian dia berpaling pada laki‐laki yang berada di belakangnya. Yang menjadi amat ketakutan.

Laki‐laki itu mundur perlahan‐lahan ke belakang.

Mulutnya meratap‐ratap, “Ampun… ampunkan aku… oh… apakah kau tidak mengenaliku? Ampun… ampun…” Kepalanya mencari‐cari sekelilingnya dengan ketakutan. Dia ingin segera melarikan diri. Namun hatinya menjadi kecut, ketika menyadari amat tipis baginya

untuk melarikan diri.

Didengarnya suara wanita itu yang menggeram mengerikan.

“Grrrhh! Kau tak akan bisa melarikan diri dariku. Manusia… kau telah berbuat lancang berani menegurku…”

“Ampun… ampunkan aku… apakah kau tidak mengenaliku? Apakah kau tidak tahu siapa aku?”

“Hihihi… peduli setan! Grrrhh… kau harus mampus di tanganku!!” wanita itu mendesis dengan geram.

“Jangan… jangan…” seru laki‐laki itu ketakutan dan tiba‐tiba membalikkan dirinya lalu berlari sejadi‐jadinya dengan kencang.

Namun wanita itu mendadak saja melompat menerjangnya. Lalu menghantamnya dengan buas. Kedua tubuh itu terjatuh bergulingan di tanah.

Laki‐laki itu berusaha untuk berontak. Namun kembali tangan wanita itu terayun dan menghantam kepalanya. “Krak!!”

Bunyi tanda epala itu pecah begitu keras terdengar. Darah pun bersimbah dari kepalanya bercampur cairan putih. Wanita itu mendengus‐dengus hebat. Lalu dengarkan suara mengaumnya yang cukup keras.

“Grrrrhhh! Mampuslah kau manusia‐manusia iseng!! Hihihi… manusia‐manusia seperti kalian lebih baik mati dari pada hidup henya menyusahkan saja!!! Hahaha… akulah Dewi Kematian yang akan membuat semua manusia lebih baik mari saja daripada hidup hanya menambah dan membuat dosa… Hahaha… ya, ya… akulah Dewi Kematian yang akan membuat semua manusia menjadi sempurna sebelum mereka berbuat dosa…”

Wanita yang mendadak menjadi buas dan beringas itu terbahak keras. Dia kini menjelma menjadi wanita yang amat kejam.

Tiba‐tiba saja sepasang matanya yang liar menatap cincin yang ditemukannya yang kini melingkar di jarinya. Cincin bermata indah itu seperti menyala di matanya.

Memukau dan memikat.

Dan entah kesadaran dari mana tiba‐tiba dia mencopot cincin di tangannya itu.

Mendadak perlahan‐lahan tubuhnya dirasakannya melemah. Sepasang matanya pun mulai meredup. Sikapnya tidak beringas lagi. Dan perlahan‐lahan dia merasakan kondisinya begitu lemah. Kepalanya dirasakannya amat pusing sekali.

Dan dia terhuyung. Wanita itu seakan menyadari kalau  dia   dalam   keadaan   sakit.   Lalu   tubuh  itu pun ambruk.

“Oh… kenapa jadi begini?” desisnya mengeluh. Dan kala dia membuka matanya yang terpejam untuk menahan rasa sakit tadi, wanita itu terkejut bukan kepalang melihat dua sosok tubuh telah menjadi mayat yang tergeletak di depannya.

“O! Bukaankah itu… Japra dan Kuro?” desisnya bertanya‐tanya. “Mengapa mereka mati seperti ini? Mengerikan sekali…”

Wanita itu perlahan‐lahan merayap mendekati dua sosok mayat laki‐laki yang ternyata dikenalinya.

“Mengerikan sekali…”

Dan secara tiba‐tiba dia pun teringat akan perubahan dirinya tadi. Semula dia merasakan tubuhnya amat lemah dan sakit sekali. Kemudian dia terjatuh. Dan begitu dia sadar dari pingsannya, dia melihat sebuah cincin bermata indah yang memukau ada di hadapannya.

Dia mengambil cincin itu. Dan memakainya.

Lalu perlahan‐lahan dia mersakan keanehan pada tubuhnya. Dia merasa beringas. Dia merasa haus darah. Dan dia merasa seperti orang yang kalap.

Dia pun ingat ketika kedua orang itu mendekatinya. Namun dia merasa tidak mengenalinya. Entah perasaan apa yang mendorongnya untuk membunuh kedua orang itu, tiba‐tiba saja dia merasakan kalau dirinyalah Dewi Kematian yang selalu membunuh orang daripada orang itu berbuat dosa.

“Oh!  Apa yang kulakukan?”  desisnya  setelah menyadari semuanya. “Apakah kedua orang ini benar‐benar mati di tanganku?” desisnya pula dengan hati pilu.

Diperhatikannya lagi kedua mayat itu yang tewas sangat mengerikan. Benarkah keduanya mati olehku? Desis wanita itu di hati lagi. Dan dia merasa cukup sedih mengingar hal itu.

Tiba‐tiba sepasang matanya bersinar. “Tidak salah lagi… tidak salah lagi… ya, ya… aku tahu… ini pasti Cincin Naga Sastra… cincin akti yang tengah diperbincangkan oleh orang‐orang rimba persilatan… Ya, ya… pasti.. aku yakin sekali…” wanita itu bergumam dengan hati berdebar.

Tiba‐tiba dia menyeringai. Wajahnya menjadi mengerikan sekali.

Dan mendadak saja dia tertawa keras.

“Hahaha… aku bisa menyembuhkan diriku sendiri dengan air yang kurendam pada cincin ini. Ya, ya… aku akan sembuh…”

Tiba‐tiba sepasang matanya beringas. Bersinar berbahaya!

“Hhh! Akan kubalas perbuatan roang‐orang yang amat kejam padaku! Yang membuatku menderita begini! Yang membuatku sakit hati! Hhh! Orang‐orang itu harus mampus di tanganku!!”

Tiba‐tiba sosok tubuh itu pun perlahan‐lahan bangkit. Dan dipaksakannya kakinya untuk meninggalkan tempat itu.

Senja pun semakin turun.

4

 “Hahaha… Ki Lurah Sentot Prawira! Selamat datang di tempatku!!” desis Madewa Gumilang tertawa lebar ketika melihat siapa tamu yang diberitahukan muridnya datang untuk mencarinya.

Ki Lurah Sentot Prawira menjura hormat.

“Maafkan aku… bila kedatanganku mengganggu Ketua yag sedang beristirahat…”

“Mengapa kau berkata begitu? Ayo duduklah! Jangan sungkan‐sungkan.” Kata Madewa Gumilang seraya duduk lebih dulu. Ratih Ningrum, istrinya pun duduk di sebelahnya. Wanita itu pun tak mengira kalau dia bisa berkenalan dengan Ki Lurah Sentot Prawira.

Ratih Ningrum memang belum mengenal Ki Lurah Sentot Prawira. Dia hanya mendengar dari cerita suaminya, kalau si Pamungkas yang menebarkan teror telah mati di tangannya.

Ratih Ningrum cukup cemas ketika suaminya kembali pulang dengan membawa luka dalam di dadanya yang cukup hebat. Dan selama seminggu Madewa Gumilang bersemedi untuk memulihkan tenaganya dan mengembalikan kondisi tubuhnya akibat benturan yang dialaminya dengan si Pamungkas.

Kini dirasakannya kondisinya telah pulih kembali. “Ada apa, Ki Lurah? Tentunya kedatanganmu dengan

suatu maksud yang menurutku cukup penting, bukan?” tanyanya kemudian. Ki Lurah Sentot Prawira mendesar panjang.

“Memang benar, Ketua?! Kedatanganku membawa maksud yang menurutku cukup penting.”

“Apakah itu, Ki Lurah?” “Masalah istriku, Ketua.” “Ada apa dengan istrimu?”

“Istriku sedang sakit, Madewa” “Sakit apa?”

“Aku juga tidak tahu dia menderita sakit apa! Tetapi kondisi tubuhnya semakin hari semakin menurun. Dan semakin hari dia seperti bunga yang semakin layu.”

“Kasihan sekali.”

“Menurut Tabib yang telah menolongnya, dia hanya bisa disembuhkan oleh sebuah benda.”

“Benda apakah itu, Ki Lurah?”

“Benda itu Cincin Naga Sastra, Ketua.” “Oh!”

“Ya, hanya Cincin Naga Sastra yang dapat menyembuhkannya.”

“Kalau begitu, sudah amat berbahayakah penyakit yang diderita istrimu?”

“Menurut Ki Tabib Lamtoro, penyakitnya akibat kesedihannya yang terus menerus melandanya mengingat kematian si Pamungkas yang ternyata Mandali Sewu. Istriku amat menyayangi pemuda buruk rupa itu, Ketua…”

Madewa Gumilang terdiam. Dia dapat merasakan kepedihan hati Ki Lurah bila teringat keadaan istrinya. Dia pun dapat merasakan pula kesedihan yang tengah dialami istrinya akibat kematian orang yang disayanginya.

“Ki Lurah… dalam hal ini, akulah yang bersalah…” “Tidak, Ketua… bukan ketua yang bersalah. Keadaan

yang memaksa ketua berbuat demikian. Aku pun akan berbuat yang sama bila aku mampu mengalahkan si Pamungkas yang ternyata Mandali Sewu.”

“Tetapi akibat perbuatanku, istrimu menjadi menderita, Ki Lurah…”

“Aku mengerti, Ketua. Tetapi bila kau tidak membunuh si Pamungkas, tentunya kejahatannya akan terus menerus dia lakukan. Dan akan terus berlanjut menyebarkan teror di muka bumi ini. Aku tidak menyalahkanmu, Ketua… tetapi aku amat sedih bila teringat akan keadaan istriku…”

“Begitu pula aku, Ki Lurah…”

Ratih Ningrum yang sejak tadi hanya berdiam diri saja, berkata perlahan, “Aku pun turut bersedih atas sakitnya istrimu, Ki Lurah…”

“Terima kasih, Nyonya Ketua…” kata Ki Lurah pelan. Lalu dia berkata pada Madewa, “Ketua… selain itu, kedatanganku pun hendak minta bantuanmu…”

“Katakanlah, Ki Lurah… apa pun akan kulakukan untukmu. Juga untuk kesembuhan istrimu…”

“Bantuan yang kuharapkan, hanyalah kerelaanmu untuk membantuku mendapatkan Cincin Naga Sastra. Satu‐satunya benda yang dapat menyembuhkan penyakit istriku…”

“Cincin Naga Sastra…” gumam Madewa tercenung. Lagi‐lagi cincin itu. sampai sekarang Madewa sendiri tidak  pernah  tahu  di  mana  cincin  itu  berada.   Tetapi untuk mengenakkan hati Ki Lurah Sentot Prawira, dia pun mengiyakan.

“Terima kasih sebelumnya atas bantuanmu, Ketua. Kalau begitu… aku pamit sekarang…”

“Ki Lurah… apakah kau tidak ingin bermalam di sini dulu?” tanya Ratih Ningrum.

“Terima kasih, Nyonya Ketua… aku menguatirkan keadaan istriku yang dalam keadaan sakit di rumah. Sudha seminggu lamanya aku meninggalkannya sendiri di rumah, untuk Madewa Gumilang. sebenarnya aku teramat letih menunggang kuda selama itu. tetapi aku lebih cemas lagi bila teringat akan istriku.”

“Kalau itu mau mu, kami tidak bisa berbuat apa‐apa. Sampaikan salam kami kepada istrimu,” kata Ratih Ningrum.

Ki Lurah Sentot Prawira pun menjura dan mohon diri. Dia menunggangi lagi kudanya. Dan dipacunya dengan cepat. Membawa harapan kalau Pendekar Bayangan Sukma itu akan menolongnya untuk menemukan Cincin Naga Sastra.

Madewa Gumilang sendiri kmudian masuk lagi ke dalam dan disusul istrinya. Istrinya langsung bertanya ketika melihat suaminya murung.

“Ada apa, Kanda?”

Madewa mendesah. “Aku merasa kasihan sekali kepada Nyai Lurah. Dan yang tak pernah kusangka, si Pamungkas yang tewas di tanganku adalah pemuda yang amat disayang oleh Nyai Lurah. Bahkan dianggap sebagai anak.”

“Tetapi bukankah kau mendengar sendiri kata‐kata  Ki Lurah tadi, Kanda. Bila kau tidak membunuh si Pamungkas, maka kejahatan yang dilakukannya akan semakin merajalela dan menjadi‐jadi. Kau membunuhnya karena dia orang jahat yang kerjanya menebarkan teror di mana‐mana.”

“Aku mengerti. Tetapi sulit bagiku membayangkan bila Nyai Lurah dalam keadaan sakit seperti ini.”

“Tapi ini semua bukan salahmu, Kanda.”

“Aku pun mengerti, Dinda. Tetapi karena perbuatankulah maka Nyai Lurah menjadi sakit. Bukankah ini merupakan satu beban di benakku?”

Ratih Ningrum merangkul suaminya yang sedang berdiri di tepi jendela. Pandangannya menatap ke luar jendela. Menatap bunga‐bunga yang tumbuh di halaman samping Perguruan Topeng Hitam. Sebuah perguruan warisan Paksi Uludara yang kini dipimpin oleh suaminya. Perguruan yang telah hampir dua puluh tahun mereka tinggali.

“Suamiku… aku tahu perasaanmu. Lalu bagaimana tindakanmu sekarang?”

“Aku akan mencari Cincin Naga Sastra untuk menyembuhkan penyakit Nyai Lurah, Dinda…”

Ratih Ningrum mendesah. Dia pun dapat merasakan beban perasaan yang tengah di alami suaminya. Dan dia ingin dapat merasakan pula sebesar‐besarnya. Dia ingin suaminya membagi perasaan itu padanya.

“Kanda… ajaklah aku untuk menemanimu mencari Cincin Naga Sastra. Aku tidak bisa membiarkan kau pergi dengan perasaan seperti itu…”

Madewa    membalikkan    tubuhnya.    Matanya  lekat menatap sepasang mata istrinya. Istri yang telah menemaninya hampir dua puluh lima tahun. Istri yang setia dan bijaksana. Dalam keadaan seperti ini Madewa teringat akan putranya yang tengah pergi bertualang dengan anak menantunya. Entah di mana kabar Pranata Kumala dan istrinya, Ambarwati sekarang.

“Dinda…” anggilnya dengan suara mesra. “Ya, Kanda…”

“Kau memang seorang wanita yang agung dan mulia yang diberikan Gusti Allah kepadaku…”

“Kanda… aku hanyalah seorang wanita yang merasa harus mengabdi dan setia pada suami…” kata Ratih Ningrum sambil merabehkan kepalanya di dada bidang suaminya.

Madewa mendesah pelan. dirangkulnya kepala yang ada di dadanya.

Erat.

Makin erat.

5

Kuda yang ditunggangi oleh Ki Lurah Sentot Prawira berhenti di dekat sebuah sungai. Lalu laki‐laki setengah baya itu mengambil air minum sementara kduanya sendiri ditambatkan di sebatang pohon yang dekat dengan air sungai itu.

Kudanya pun tengah asyik munum.

Sudah dua hari dua malam dengan sekali‐sekali beristirahat Ki Lurah Sentot Prawira memacu kudanya dari Perguruan Topeng Hitam. Di sepanjang jalan dia amat mencemaskan keadaan istrinya.

Hatinya tidak tenang. Dan dia ingin cepat‐cepat tiba di rumahnya. Dia sudah tidak sabar ingin melihat istrinya.

Setelah dirasakan dahaganya hilang dan penat tubuhnya mulai berkurang, dia pun bermaksud hendak memacu kudanya lagi. Namun baru saja dua langkah dia bergerak, tiba‐tiba dirasakannya angin berdesir deras ke arahnya.

Dengan satu gerak reflek yang cukup terlatih, Ki Lurah Sentot Prawira besalto ke muka. Dan begitu hinggap dia dapat melihat benda apa yang berdesir ke arahnya tadi. Sebatang paku dan kini menancap di sebuah batu hingga pangkalnya. Ini menandakan betapa hebatnya tenaga dalam orang yang melemparkan senjata rahasia berbentuk paku itu.

Ki Lurah Sentot Prawira mendengus, dia menjadi bersiaga karena merasa ada orang yang hendak berbuat jahat padanya. Matanya waspada. Berkeliling.

Dia berseru, “Hhh! Siapa adanya pembokong gelap yang pengecut seperti ini?!”

Tidak ada suara sahutan. Yang terdengar hanya desir air sungai yang bergemuruh.

Ki Lurah membentak lagi. “Tongolkan batang hidungmu manusia pengecut!!”

Tetap tidak ada sahutan. Dan mendadak saja Ki Lurah Sentot Prawira merasakan ada desiran angin kembali yang mengarah kepadanya.

“Bangsat!!” makinya sambil bersalto menghindari sambaran angin yang ditimbulkan oleh senjata rahasia. Dan kembali dia melihat paku‐paku itu menancap di batu. “Manusia keparat! Cepat tongolkan batang hidungmu!!”

Kali ini Ki Lurah Sentot Prawira tidak perlu menunggu lama‐lama dari hasil seruannya. Karena mendadak saja melompat satu sosok tubuh entah dari mana dan kini berdiri di hadapannya setelah hinggap di tanah dengan ringannya.

Ki Lurah memperhatikan dengan seksama. Sosok tubuh itu berpakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam pula. Setahu Ki Lurah Sentot Prawira, hanya muridmurid Perguruan Topeng Hitamlah yang berpakaian seperti itu.

Mengingat hal itu, Ki Lurah menjadi marah karena merasa murid Perguruan Topeng Hitam telah mengganggunya. “Hhh! Mau apa kau murid Perguruan Topeng Hitam menghadang perjalananku?!” dengusnya gusar.

“Jangan banyak bacot, Ki Lurah! Yang kuminta hanya Cincin Naga Sastra darimu! Tidak lebih!!” bentak orang berpakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam itu dengan suara berwibawa dan angker.

“Cincin Naga Sastra? Apa maksudmu meminta Cincin Naga Sastra padaku?!”

“Karena kau menginginkan cincin itu!”

“Kepara! Kupikir semua murid Perguruan Topeng Hitam bertingkah laku arif seperti ketua kalian Madewa Gumilang. tapi nyatanya ada pula yang durjana seperti kau!!”

“Aku tidak suka banyak bacot seperti ini! Serahkan cincin itu padaku cepat!!”

“Hhh! Sampai saat ini aku belum pernah melihat cincin itu. dan sampai saat ini pula cincin itu tidak berada di tanganku!”

“Jangan berlagak lagi, Ki Lurah! Aku sudah bosan melihat tampangmu yang pengecut seperti itu!”

“Kau yang pengecut, murid laknat! Buka topengmu dan kita bertarung sampai mati!”

Orang bertopeng hitam itu terbahak. “Hahaha… membunuhmu tak sulit, Ki Lurah. Tapi bila kau tidak memberikan cincin itu apdaku, maafkan aku bila kuturunkan tangan telengas padamu!”

“Meskipun cincin itu ada padaku, tak pernah akan kuberikan pada murid laknat seperti kau!!”

Wajah di balik topeng hitam itu memerah. Matanya berkilat waspada. Ki Lurah Sentot Prawira pun menjadi siaga melihat manusia itu terdiam dan mendengar nafasnya yang mendengus‐dengus.

“Kalau begitu… jangan salahkan aku bila kucabut nyawamu, Ki Lurah!!”

“Berbuatlah sesukamu! Tapi aku tak akan pernah mundur selangkah pun dari hadapanmu!!”

“Aku amat menyukai jiwa kwatria seperti yang kau miliki, Ki Lurah!!” seru orang itu dan tiba‐tiba saja dia ebrgerak dengan cepat menyerbu ke arah Ki Lurah Sentot Prawira.

Ki Lurah Sentot Prawira yang sejak tadi sudah bersiaga, menghindari serangan itu dengan cepat dan bergerak membalas. Sebentar saja keduanya sudah saling tempur dengan hebat. Gerakan dan gebrakan yang dilakukan manusia bertopeng hitam itu demikian cepat dan ganas. Ki Lurah Sentot Prawira sendiri agak kewalahan sebenarnya menghadapinya.

Namun Ki Lurah yang menganggap manusia bertopeng itu adalah murid Perguruan Topeng Hitam yang durhaka, tidak mau kalah begitu saja. Malah dia berambisi untuk mengalahkannya dan membawa kembali orang itu ke Perguruan Topeng Hitam untuk diadili oleh Madewa Gumilang.

Namun sungguh di luar dugaannya, karena orang bertopeng hitam itu dapat bergerak sedemikian cepat dan hebat. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja, dia mampu membuat Ki Lurah menjadi kewalahan menghadapi serangan‐serangan yang dilancarkannya.

“Lebih baik kau memberikan cincin itu kepadaku, Ki Lurah!!” “Persetan dengan semua permintaanmu! Biarpun cincin itu di tanganku sekarang tak akan pernah kuberikan pada manusia laknat macam kau!!”

“Kalau begitu, kau harus mampus di tanganku, Ki Lurah!!” seru orang bertopeng itu dengan suara yang geram dan penuh kemarahan.

“Lakukanlah bila kau mampu!” seru Ki Lurah dengan suara yang gagah. Dia telah siap untuk menghadapi resiko apa pun. Dan dia tidak takut bila mati di tangan manusia bertopeng ini yang tetap dipikirnya murid dari Perguruan Topeng Hitam. Tetapi yang dikuatirkannya bila dia tidak sempat lagi melihat keadaan istrinya.

Dan hal inilah yang mendorong Ki Lurah untuk bertahan mati‐matian. Bahkan kalau bisa dia bermaksud untuk menangkap manusia bertopeng ini dan akan dihadapkannya kepada Madewa Gumilang.

Namun sungguh di luar dugaannya. Manusia bertopeng hitam itu ternyata begitu tangguh dan hebat dalam menyerang. Gerakan‐gerakannya demikian cepat. Mengandung tenaga yang begitu berbahaya.

Sebentar saja Ki Lurah Sentot Prawira terdesak hebat. Berkali‐kali tangan dan kaki manusia bertopeng hitam itu mengenai sasarannya.

Meskipun Ki Lurah sudah bertahan sekuat tenaga, namun dia merasa tidak mampu untuk bertahan lebih lama. Tiba‐tiba saja dia menjerit keras, mencoba menyerang dan menerobos serangan‐serangan dari manusia bertopeng hitam itu.

“Mampuslah kau, Manusia keparat!!” geramnya.

Dan Ki Lurah  pun  menyerang dengan  membabi buta. Dengan penuh tenaga dan menyongsong resiko. Manusia bertopeng hitam itu sungguh tidak menyangka kalau Ki Lurah Sentot Prawira yang dilihatnya sudah terdesak dengan tiba‐tiba saja menyerangnya dengan hebat.

“Sialan!!” makinay seraya bersalto ke sana kemari menghindari serangan Ki Lurah.

Namun lagi‐lagi sungguh di luar dugaannya, dengan tiba‐tiba saja Ki Lurah Sentot Prawira menghentikan sesrangannya selagi manusia bertopeng hitam itu kocar kacir. Ki Lurah langsung melompat ke kudanya melihat adanya jalan untuk meloloskan diri.

Lalu digebraknya kudanya hingga melesar lari dengan cepat.

Manusia bertopeng hitam itu menggeram dengan hebat.

***

“Kemana kita akan mencari Cincin Naga Sastra itu, Kanda?” tanya Ratna Ningrum pada suaminya yang menunggang kuda di sisinya. Jalan kuda‐kuda mereka pelan sekali. Seakan hendak menikmati panorama kehidupan yang tengah mereka lihat.

Madewa tersenyum.

“Aku pun tidak tahu, Dinda.”

“Kalau begitu… bagaimana kemungkinannya kita dapat menemukan cincin itu?”

“Mudah‐mudahan gusti Allah membimbing kita untuk menemukannya cincin itu.” “Apakah tidak sebaiknya kita tengok dulu keadaan Nyai Lurah, Kanda?”

“Keinginan untuk menengok wanita itu memang ada di hatiku, Dinda.”

“Lalu megnapa tidak sebaiknya kita segera mengarah ke sana?”

“Aku bermaksud untuk mendatangi Bukit Hantu.” “Bukit Hantu?” ulang Ratih Ningrum.

“Ya.”

“Di manakah letak Bukit Hantu itu, Kanda?” “Cukup jauh dari sini.”

“Untuk apa kau ke sana dan hendak menjumpai siapa, Kanda?”

“Bukankah aku sudah menceritakannya padamu, Dinda?”

“Tentang apa?”

“Tentang peristiwa yang terjadi di Bukit Alas Waru.” “Lantas?”

“Saat itu, ada pula seorang kakek yang ikut bertempur untuk membunuh si Pamungkas.”

“Maksudmu… Kyai Paksi Brahma?” “Ya, Dinda.”

“Ah… kau belum cerita kalau dia tinggal di Bukit Hantu, Kanda?”

Madewa tersenyum. “Ya, aku hendak menjumpai Kyai Paksi Brahma. Dan untuk apa… untuk meminta petunjuknya di mana kira‐kira bisa kudapatkan Cincin Naga Sastra?”

“Apakah dia tahu di mana, Kanda?”

”Setahuku,   dia   juga   tidak   tahu.   Tetapi   aku akan menyelidikinya dari awal.” “Maksudmu?”

“Aku hendak meminta petunjuknya tentang asal usul cincin itu.”

“Bukankah cincin itu milik kakak seperguruannya, Kyai Tapa Suci yang kemudian diberikannya kepada murid tunggalnya Wilada Tista yang telah tewas di tangan si Pamungkas? Bukankah itu yang kau ceritakan padaku, Kanda?”

“Benar, Dinda.”

“Lalu untuk apa lagi?”

“Aku ingin tahu di mana tempat pertarungan maut yang terjadi antara Kyai Tapa Suci dengan Dewa Nyawa Maut beberapa tahun silam.”

“Setelah itu?”

“Aku pun ingin tahu ke mana larinya Wilada Tista setelah Cincin Naga Sastra diberikan padanya oleh Kyai Tapa suci.”

“Bukankah kita tahu dia adalah orang terkaya di desa Glagah Jajar?”

“Ya.”

“Lalu?”

“Sebelum dia menjadi kaya itulah aku ingin tahu di mana dia sebelumnya tinggal. Mungkin ada petunjuk yang bisa membawa kita untuk menemukan Cincin  Naga Sastra. Menurut persaanku, cincin itu tidak lagi dipegang oleh almarhum Wilada Tista. Mungkin disimpan di suatu tempat atau hilang begitu saja. Sebenarnya keberadaan cincin itu adalah rahasia almarhum  Wilada  Tista  sampai  akhir  hayatnya.  Sama seperti pengakuan si Pamungkas yang mengatakan dia tidak menemukan cincin sakti itu untuk mengobati sakit dan luka yang diderita gurunya Dewa Nyawa Maut setelah menderita sakit tahunan luka karena bertarung dengan Kyai Tapa Suci.”

“Benar juga pendapatmu itu, Kanda.”

“Jadi kau setuju, Dinda… bila kita pergi ke Bukit Hantu sekarang?”

“Mengapa tidak?” sahut Ratih Ningrum tersenyum. “Kau memang istriku yang setia, Dinda…” desis

Madewa Gumilang.

Lalu keduanya pun menjalankan kuda mereka menuju Bukit Hantu.

6

Selain menyeramkan, Bukit Hantu juga seperti menyimpan misteri yang tak pernah terpecahkan. Di belakang bukit itu terdapat sebuah gunung tak bernama yang nampak makin menambah keseraman Bukit Hantu.

Suasana selalu sepi baik siang maupun malam. Mungkin hanya binatang‐binata saja yang suka tinggal di tempat semacam itu.

Tetapi bagi Kyai Paksi Brahma, bukit itu adalah suatau tempat yang amat menyenangkan. Tempat yang hampir sepuluh tahun didiaminya. Tempat yang telah memberikan segala ketenangan dan kesenangan baginya.

Namun pagi ini, nampak di gubuknya yang tidak begitu besar Kyai Paksi Brahma sedang berdiam. Dia memang hidup sendiri di tempat itu.

Laki‐laki yang berjanggut putih itu terdengar mendesah perlahan. Dia nampaknya memang tengah memikirkan sesuatu. Dan yang tengah dipikirkannya saat ini tak lain adalah Cincin Naga Sastra milik kakak seperguruannya Kyai Tapa Suci.

Sampai saat ini Kyai Paksi Brahma amat menyesali karena dia belum mendapatkan kabar yang baik mengenai di mana Cincin Naga Sastra itu berada.

“Ah… aku kuatir sekali bila cincin sakti itu ditemukan oleh orang jahat…” desahnya. Dan tiba‐tiba dia seperti teringat sesuatu.

Dia ingat sekali ketika suatu saat kakak seperguruannya mengajak ke satu tempat. Saat itu Kyai Paksi Brahma elum tahu tempat apa. Namun setelah dia mendatangi tempat itu bersama almarhum kakak seperguruannya dia menjadi tahu.

Suasana tempat itu sepi. Seperti hutan kecil yang tak berpenghuni.

“Ini adalah tempat yang indah dan nyaman untukku merenungi kembali apa yang telah kulakukan dan semua kehidupan yang telah kujalani…” kata Kyai Tapa Suci kala itu.

“Jadi Kakak selama itu ke sini?”

“Benar, Adi Paksi. Tempat ini hanya aku dan muridku yang tahu.”

“Wilada Tista pun tahu tempat ini, Kakang?”

“Benar, Adi Paksi. Dia adalah satu‐satunya pemuda yang kuangkat sebagai muridku. Karena aku begitu suka padanya. Dan menyukai segala tindak tanduknya.”

“Aku pun menyukai Wilada Tista, Kakang…”

“Kau benar, Adi… pada Wilada Tistalah aku akan menurunkan semua ilmu yang kumiliki ini. juga padanyalah aku menceritakan segala rahasia yang ada pada diriku.”

“Juga tentang Cincin Naga Sastra, Kakang?”

“Ya, Adi. Aku pun menceritakan cincin itu padanya.” “Kau begitu mempercayainya, Kakang?”

“Benar, Adi. Dan aku pun memberitahukan di mana aku bila hendak menyimpan sesuatu. Apa saja.”

“Misalnya, Kakang?” “Ya… misalnya Kitab Angin Puyuh. Sebelum kuberikan dan kuturunkan pada Wilada Tista aku telah menyembunyikannya di satu tempat.”

“Di manakah tempat itu, Kakang?” “Ayo kutunjukkan padamu, Adi Paksi…”

Saat itu, Kyai Paksi Brahma pun melihat apa yang ditunjukkan oleh kakak seperguruannya. Mereka mendatangi sebuah pohon yang besar yang akarnya melintang ke sana kemari.

“Pohon inilah yang menyimpan semua rahasiaku, Adi Paksi.”

“Apa itu, Kakang?”

“Pohon dan akar‐akar ini sebagai tanda bagiku dengan mudah untuk menemukannya kembali.”

“Lalu rahasia apa yang kau maksudkan, Kakang?”

“Kau akan segera melihatnya, Adi Paksi. Nah, kau lihatlah ini. Ini adalah akar yang paling kecil dari beberapa akar melintang dari pohon ini. Di sinilah rahasianya.”

“Aku belum mengeti, Kakang…”

“Kau akan melihatnya, Adi Paksi…” kata Kyai Tapa Suci kala itu sambil berlutut. Lalu Kyai Paksi Brahma melihat kalau kakak seperguruannya mengorek tanah tepat di bagian tengah akar itu. Lalu lama kelamaan terlihatlah sebuah lubang empat persegi. “Inilah rahasianya, Adi Paksi…” katanya.

Ternyata lobang itu berbentuk lingkaran, sepertu lobang biasa. Tetapi di dalam lobang itu terdapat sebuah benda seperti kotak hingga nampak berbentuk empat persegi panjang. Kotak itu diangkatnya. “Di sinilah aku menaruh dan menyimpan semua barang‐barang milikku, Adi Paksi…”

Tiba‐tiba Kyai Paksi Brahma tersentak dari lamunannya. Semua kejadian yang tadi dikenangnya kembali menghilang. Dia bergumam sendiri. “Oh, Tuhan! Ya, ya… aku tahu, aku tahu di mana Cincin Naga Sastra itu berada! Tidak salah lagi… ya, ya… aku akan menggambarkan dulu perhitungan yang ada di kepalaku ini…”

Kyai Paksi Brahma terdiam sejenak. Nampaknya dia tengah berpikir. Tiba‐tiba dia mengangguk‐angguk.

“Tidak salah lagi. Aku tahu di mana Cincin Naga Sastra itu berada. Selain Kyai Tapa Suci dan aku, Wilada Tista pun tahu tempat persembunyian milik Kakang Kyai Tapa Suci. Dan aku yakin sekali, kalau di tempat itulah Cincin Naga Sastra disembunyikan oleh Wilada Tista. Hmm… sebaiknya aku tak perlu membuang waktu lagi. Senja ini pula aku akan ke sana…”

Lalu Kyai Paksi Brahma pun segera memeprsiapkan diri. Dia tak mau berlama‐lama lagi. Dia kuatir kalau Cincin Naga Sastra ditemukan orang.

Namun baru saja dia melangkah dua tindak dari gubuknya, langkahnya terhenti. Di hadapannya berdiri satu sosok tubuh berpakaian hitam‐hitam dan dia mengenakan topeng hitam!

Kyai Paksi Brahma teringat akan murid‐murid dari Madewa Gumilang yang bernaung di bawah panji Perguruan Topeng Hitam. Lalu mau apa seorang murid Perguruan Topeng Hitam datang ke sini? Apakah hendak membawa kabar dari ketua mereka? Kyai Paksi Brahma pun tersenyum, karena menyangka orang berpakaian dan bertopeng hitam itu adalah murid dari Perguruan Topeng Hitam sebagai utusan dari Madewa Gumilang.

Namun bukan main terkejutnya dia karena secara tiba‐tiba manusia bertopeng hitam itu menyerangnya dengan serangan yang berbahaya dan ganas.

“Hei!!” seru Kyai Paksi Brahma terkejut. Lalu dia pun menhindari serangan itu dengan tangkas. “Hei… mengapa begini?!”

“Hihihi… jangan terkejut, Kyai Paksi Brahma! Aku datang untuk mencabut nyawa tuamu!!”

Setahu Kyai Paksi Brahma, semua murid Perguruan Topeng Hitamadalah laki‐laki. Tetapi mengapa manusia bertopeng hitam ini bersuara mirip seorang wanita. Hmm… kalau begitu, tentunya dia bukanlah murid dari Perguruan Topeng Hitam!

Menyadari hal itu, Kyai Paksi Brahma pun segera membalas menyerang karena dia menduga orang bertopeng hitam ini bermaksud jahat padanya.

“Siapa kau, wanita bertopeng hitam?!” bentak Kyai Paksi Brahma sambil membalas menyerang.

“Aku datang hanya untuk mencabut nyawamu, Kyai Paksi Brahma! Dan jangan banyak bacot lagi!!” seru wanita itu terus menyerang dengan ganas.

Kyai Paksi Brahma pun diam‐diam terkejut melihat serangan‐serangan yang begitu cepat dan hebat dilakuakn wanita bertopeng hitam itu.

Senja semakin turun. Matahari pun semakin condong ke Barat. Dan keduanya bertarung demikian hebatnya. Gempuran yang saling mereka lancarkan begitu kejam dan buas. Terutama serangan‐serangan yang dilancarkan oleh wanita bertopeng hitam itu.

Jurus demi jurus pun telah berlalu demikian cepat. Namun dari gebrakan keduanya belum terlihat adanya yang tedesak atau pun kalah.

“Hihihi…. Tak kusangka kau hebat juga, Kakek tua!” terkekeh wanita bertopeng hitam itu.

“Ku pun hebat sekali, wanita busuk! Lebih baik kau buka topengmu itu dan biarkan aku tahu siapa wajah di balik topeng hitammu itu?!” balas Kyai Paksi Brahma dan terus menyerang.

Tetapi wanita bertopeng itu benar‐benar begitu tangguh. Dua kali tangannya menghantam dada Kyai Paksi Brahma. Dan yang mengherankan Kyai Paksi Brahma, pukulannya yang mengandung tenaga dalam yang cukup besar seakan tidak dirasakan oleh wanita itu.

Malah wanita bertopeng itu seakan membiarkan saja bagian‐bagian tubuhnya dihantam oleh Kyai Paksi Brahma.

“Hihihi…. Ayo keluarkan semua ilmu yang kau miliki, Paksi!!”

“Bangsat bertopeng! Aku akan mengadu jiwa denganmu!!” geram Kyai Paksi Brahma murka. Lalu dia pun mengeluarkan ajian Pukulan Penebas Nyawa‐nya.

Diserangnya wanita bertopeng itu dengan ajiannya itu. namun lagi‐lagi hasilnya di luar dugaannya. Tidak membawa hasil yang memuaskan.

Wanita bertopeng itu terbahak. “Hihihi… sia‐sia belaka kau membuang‐buang tenagamu saja, paksi!”

“Persetan dengan ucapanmu itu!!” geram Kyai Paksi Brahma yang cukup terkejut melihat serangannya tidak membawa hasil apa‐apa.

Dan dia pun kini yang harus menghindarkandiri menghadapi serangan‐serangan yang dilancarkan wanita bertopeng itu. Biarpun sekali‐sekali dia membalas, namun tidak membawa hasil yang memuaskan.

Bahkan secara tiba‐tiba wanita bertopeng itu melenting ke atas, dan mendadak pula dia menukik dengan satu pukulan lurus ke wajah Kyai Paksi Brahma. Sebisanya dia mencoba memapaki. Karena memang sulit baginya untuk menghindar.

“Des!!”

Meskipun Kyai Paksi Brahma memapaki dengan ajian Pukulan Penebas Nyawa, namun tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Bahkan belum lagi dia bisa menguasai keseimbangannya, tiba‐tiba saja tubuh wanita bertopeng itu yang masih melenting di atas berputar dua kali. Dan kedua kakinya menghantam dada Kyai Paksi Brahma. Kali ini tanpa ampun lagi tubuhnya pun terhempas ke tanah.

Debu‐debu beterbangan kala tubuhnya terhempas.

Lalu tubuh wanita bertopeng itu hinggap dengan ringan di tanah. Dia terkikik.

“Hihihi… agaknya kematian memang jalan yang paling baik untukmu, Paksi!!”

“Wanita laknat! Siapakah kau sebenarnya?!!” bentak Kyai Paksi Brahma kalap. Tangan kanannya memegangi dadanya yang terasa amat sakit.

Wanita itu hanya terkikik menyahuti seruan Kyai Paksi Brahma.

“Hihihi… sebaiknya kau tak perlu tahu siapa aku, Paksi! Tetapi yang kau perlu tahu adalah… ini!!” wanita bertopeng itu membuka sarung tangannya yang berwarna hitam pula.

Sepasang mata Kyai Paksi Brahma terbuka lebar. “Okh!!”

“Hihihi… kau terkejut bukan, Paksi?!” wanita bertopeng itu terkikik.

“Dari… dari mana kau dapatkan Cincin Naga Sastra itu, wanita busuk?!”

“Hihihi…. Bukankan cincin ini yang kau cari, Paksi? Dan sekarang breada di tanganku… hihihi!!”

“Berikan cincin itu padaku cepat!!”

“Hihihi… mengapa kau tidak bangkit untuk mengambilnya sendiri dari tanganku, Paksi?!”

“Wanita busuk! Berikan cincin itu padaku, cepat!!” geram Kyai Paksi Brahma gusar. Pantaslah bila wanita bertopeng itu tidak mengalami apa‐apa ketika dihantamnya dengan ajian Pukulan Penebas Nyawa.

“Hihihi… ambillah sendiri, paksi! Tentunya kau heran bukan, di mana cincin ini kutemukan?!”

“Bangsat! Kau pasti menemukannya secara tidak sengaja! Kau pasti menemukannya di sebuah pohon besar dan berada di lobang dekat akarnya!!”

“Hihihi… tidak salah lagi, Paksi… aku memang menemukannya di tempa itu!”

“Berikan cincin itu padaku, cepat!!” “Hihihi… mengapa kau tidak bangun saja dan merebutnya dari tanganku, paksi?!” wanita bertopeng itu terkikik.

Menyadari keadaan yang terasa menyulitkan, Kyai Paksi Brahma beranggapan kalau dia tak akan bisa memenangkan pertarungan melawan wanita bertopeng yang memiliki Cincin Naga Sastra. Tetepi dia pun tak mau bila kalah begitu saja. Pantang bagi Kyai Paksi Brahma untuk menyerah sebelum berani bertempur.

Dengan manahan rasa sakitnya dia pun perlahanlahan bangkit. Lalu diusahakannya keseimbangannya untuk ebrdiri. Tatapannya geram.

“Hihihi… kau memang seroang laki‐laki tua yang gagah perkasa, Paksi… tetapi ketahuilah… bahwa ajalmu tidak akan lama lagi!!”

“Jangan banyak bacot lagi kau, Paksi! Terimalah ajalmu ini!!” geram wanita itu seraya menyerbu dengan garang.

Kyai Paksi Brahma pun segera memapakinya dengan ajian Pemunah Rasa. Seprti tadi kembali benturan terjadi. Dan kali ini terlihat Kyai Paksi Brahma tidak bisa bertahan lebih lama.

Karena dengan satu sentakan yang kuat akibat benturan itu tubuhnya langsung terhempas ke tanah dan mati dengan luka di dada yang amat besar.

Wanita bertopeng itu terkikik keras. “Hihihi… tak ada seorang pun yang dapat mengalahkanku. Akulah Dewi Kematian…!!”

7

 “Itukah yang dinamakan Bukit Hantu, kanda?” tanya Ratih Ningrum pada suaminya sambil menunjuk ke perbukitan yang nampak sepi dan menyeramkan.

Kabut masih menyelimuti Bukit Hantu. Matahari baru saaj sepenggalah. Dan suasana di bawah Bukit Hantu cukup dingin.

“Iya, Dinda… mungkin memang inilah yang dinamakan Bukit Hantu…” kata Madewa Gumilang.

“Apakah kira‐kira Kyai Paksi Brahma ada di tempat kediamannya, Kanda?”

“Kira berharap dia ada di sana, Dinda. Marilah kita mmulai menaiki Bukit Hantu ini…”

Lalu Madewa menjalankan kudanya menuju ke atas. Istrinya menyusul di belakangnya. Suasana Bukit Hantu memang cukup menyeramkan. Kabut tebal seakan bayangan hantu yang menutupi jalan bagi siapa saja yang ingin ke atas bukit itu.

Namun bagi keduanya itu bukanlah suatu penghalang. Mereka pun tidak merasa terburu‐buru untuk sampai di atas. Karena menurut perkiraan mereka, Kyai Paksi Brahma ada di tempat kediamannya.

“Itukah rumah Kyai Paksi Brahma, Kanda?” tanya Ratih Ningrum ketika melihat suaminya menghentikan laju kudanya. Sehingga Ratih Ningrum pun menjadi ikutikutan. Dia melihat suaminya nampak terdiam. Gubuk kecil yang dilihatnya nampak kecil karena jarak mereka berada sekarang dengan gubuk itu cukup jauh.

“Aku melihat ada sesuatu yang tidak beres di sana, Dinda.” Terdengar Madewa Gumilang bersuara.

Bagi Ratih Ningrum hal itu bukanlah suatu keanehan. Karena dia tahu suaminya memiliki ilmu Pandangan Menembus Sukma. Bila ilmu itu sudah dikeluarkan, maka pandangan suaminya akan dapat melihat sesuatu dari jarak yang amat jauh sekali pun. Bahkan pandangannya itu dapat menembus gunung!

Dan Ratih Ningrum tahu kalau suaminya sekarang ini tengah mengeluarkan ilmu Pandangan Sukma‐nya, karena dia tadi mengatakan sesuatu yang tidak beres di atas sana.

“Ada apakah, Kanda?”

“Aku melihat Kyai Paksi Brahma sudah tewas menjadi mayat dengan luka besar di dadanya.”

“Oh, Tuhan… apa yang telah terjadi, Kanda?!” tanya Ratih Ningrum terkejut.

“Entahlah, Dinda. Lebih baik kita segera melihat ke sana!” kata Madewa Gumilang dan kali ini dia memacu laju kudanya.

Ratih Ningrum pun segera menggebrak kudanya, menyusul laju kuda suaminya.

Dan apa yang tadi dikatakan suaminya memang benar terjadi. Mereka menemukan sosok tubuh Kyai Paksi Brahma yang telah menjadi mayat.

“Oh, Tuhan! Mengerikan sekali luka yang diderita Kyai Paksi Brahma!” desis Ratih Ningrum sambil melompat dari kudanya dan berlutut di sisi suaminya.

Madewa Gumilang terdiam. Dia memegang pergelangan tangan mayat Kyai Paksi Brahma. Dingin. Lalu tanpa menatap istrinya da berkata, “Kyai Paksi Brahma dibunuh kemarin sore…”

“Tentunya oleh seorang yang amat sakti, kanda…” “Ya! Melihat luka yang dideritanya sudah menanda‐

kan kalau Kyai Paksi Brahma tewas oleh orang yang tinggi ilmu kesaktiannya.”

“Kira‐kira dengan benda apa dia meninggal, Kanda?” tanya Ratih Ningrum.

“Tidak dengan benda apa‐apa, Dinda…” “Maksudmu?”

“Kyai Paksi Brahma tewas akibat sebuah pukulan!” “Oh! Kalau begitu lawan yang dihadapinya memang

benar‐benar memiliki ilmu yang amat tinggi!”

“Benar, Dinda… Ah, sayang sekali kita terlambat datang ke sini. Bila kita tidak terlambat, tentunya kita masih dapat bertemu dengan Kyai Paksi Brahma yang masih dalam keadaan hidup…”

“Berarti… kau kehilangan jejak Cincin Naga Sastra, Kanda…”

Madewa bangkit dari berlututnya. Menatap istrinya. “Benar apa yang kau katakan, Dinda… satu‐satunya

harapan untuk mengetahui di mana cincin itu berada hanyalah Kyai Paksi Brahma. Dan menurut dugaanku, dia sepertinya tahu di mana cincin itu berada.”

“Maksudmu, Kanda?”

“Kau lihatlah sepasang mata Kyai Paksi Brahma yang terbuka  lebar.  Dia  sepertinya  penasaran  akan sesuatu hal.”

“Lalu dugaanmu, dia penasaran karena dia sudah mengetahui di mana Cincin Naga Sastra berada dan gagal mendapatkannya. Bukankah begitu, Kanda?”

“Benar, Dinda. Tapi sayang… sayang sekali… Kyai Paksi Brahma telah tewas. Aku amat menyesali kejadian ini, Dinda…”

“Begitu pula aku, Kanda. Lalu apa yng hendak kau lakukan sekarang?”

“Ya… lebih baik kita menjenguk Nyai Lurah di desa Glagah Jajar. Sebelumnya aku hendak memakamkan dulu mayat Kyai Paksi Brahma ini…”

Setelah memakamkan mayat Kyai Paksi Brahma, Madewa Gumilang segera mengajak istrinya untuk segera pergi menuju desa Glagah Jajar.

***

Kuda itu melesat dengan cepatnya. Meninggalkan debu‐debu yang beterbangan. Namun penunggang kudanya tak mau tahu soal itu. Baginya dia harus tiba di tujuan.

Penunggang kuda itu tak lau Ki Lurah Sentot Prawira. Setelaa bertarung dengan manusia bertopeng hitam dia pun segera memacu kudanya untuk tiba di desa Glagah Jajar. Dia sudah amat mencemaskan keadaan istrinya yang ditinggalnya hampir dua minggu.

Dan Ki Lurah Sentot Prawira pun merasa jengkel bukan kepalang terhadap manusia bertopeng hitam yang disangkanya murid Perguruan Topeng Hitam. Hhh, bila saja dia bisa membekuknya, akan dihadapkannya murid durhaka itu kepada Madewa Gumilang.

Kuda yang ditungganginya kini memasuki desa Glagah Jajar. Ki Lurah langsung memacu kudanya ke rumahnya tanpa menyahuti salam dari orang‐orang yang menjaga di perbatasan desa.

Di benaknya hanya satu yang dipikirkannya, dia sudah tidak sabar ingin melihat keadaan istrinya.

Ki Lurah langsung melompat dari kudanya begitu tiba di depan rumahnya. Dia langsung menerobos pintu rumahnya.

“Nyai!!” serunya.

Langkahnya mendadak terhenti. Tatapannya tak percaya. Keningnya berkerut. Salahkan apa yang dilihatnya? Istrinya sedang melipat pakaian di ruang depan!

Dari rasa terkejutnya berubah perlahan‐lahan menjadi kegembiraan.

“Nyai!!” serunya mendekati. “Kau sudah sembuh?!” Nyai Lurah yang nampak segar bugar tersenyum.

Membalas memegang tangan suaminya. “Aku sudah sembuh, Ki…”

“Bagaimana kau bisa sembuh? Bukankah menurut Ki Tabib Lamtoro kau hanya bisa disembuhkan dengan Cincin Naga Sastra, Nyai?”

“Mungkin yang dikatakan dia benar, Ki… tetapi aku pun bisa sembuh bila aku berusaha ingin sembuh, bukan?”

Bukan main bahagianya Ki Lurah melihat kenyataan ini. Dirangkulnya istrinya dengan penuh kasih sayang. “Oh, Gusti Allah… terima kasih kuucapkan pada‐Mu…” desahnya bahagia. Lalu ditatapnya istrinya, “Tahukah kau, Nyai… betapa aku amat mencemaskanmu?”

“Benarkah kau amat mencemaskanku, Ki?”

“Demi langit dan bumi. Aku begitu mencemaskanmu, Nyai…”

“Aku bahagia mendengarnya, Ki…”

“Ya, ya… Nyai… di perjalanan aku dihadang oleh seorang manusia bertopeng hitam, yang memaksaku untuk memberikan Cincin Naga Sastra. Padahal cincin itu sama sekali tidak ada di tanganku…”

“Manusia bertopeng hitam? Siapakah dia, Ki?” “Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya.”

“Kalau tidak salah… sekarang pun sedang ramai dibicarakan orang tentang Ksatria Bertopeng.”

“Ksatria Bertopeng? Mungkin dia orangnya, Nyai!” “Bisa saja, Ki… ksatria Bertopeng itu amat kejam

sekali. Dia selalu membunuh siapa saja yang ditemuinya. Dahkan dia selalu mengaku dirinya adalah Dewi Kematian yang selalu mencabut nyawa manusia…”

“Dewi Kematian?” “Ya.”

“Kalau begitu… apakah Ksatria Bertopeng itu seorang wanita?”

“Menurut kabar yang kudengar, katanya iya, dia memang seorang wanita yang amat kejam.”

“Oh!” Ki Lurah Sentot Prawira terkejut. “Kenapa, Ki?”

“Kalau begitu ada dua Ksatria Bertopeng.” “Maksudmu?!” “Manusia bertopeng hitam yang menghadangku seorang laki‐laki! Jelas sekali laki‐laki karena suaranya!”

“Kalau soal itu aku tidak tahu.”

“Kau agaknya lebih tahu banyak tentang ksatria bertopeng yang wanita, Nyai…”

“Bagaimana aku tidak tahu, kalau seisi desa Glagah Jajar ramai membicarakan dan seisi desa pun bersiapsiap untuk menyambut kedatangannya.”

“Ya… memang tidak salah lagi. Ada dua orang yang mengaku sebagai ksatria bertopeng. Tetapi keduaduanya amat kejam sekali. Dan begitu ringan menurunkan tangan!”

“Ki… bagaimana dengan Pendekar Bayangan Sukma?” tanya Nyai Lurah kemudian.

“Bagaimana maksudmu, Nyai?”

“Apakah Madewa Gumilang bermaksud membantu kita untuk mencari Cincin Naga Sastra?”

“Ya, dia memang bermaksud membantu kita. Tetapi agaknya sekarang aku tidak lagi memerlukan cincin itu. Bukankah kau sudah sembuh dari penyakitmu, Nyai?”

Nyai Lurah tersenyum.

“Benar, Ki… aku memang tidak membutuhkan cincin itu lagi…”

“Dan Madewa Gumilang belum mengetahui kalau kau sudah sembuh, Nyai. Kau tahu betapa sedih dan cemasnya dia ketika kukatakan kau sedang sakit. Dia pun langsung menyatakan kesediaannya untuk membantuku mencari Cincin Naga Sastra. Ah… dia memang seorang pendekar yang arif dan bijaksana, Nyai… aku amat mengaguminya…” “Begitu pula aku, Ki… Aku kini sudah menyadari kalau tewasnya Mandali Sewu bukan karena semata‐mata oleh tangan Pendekar Budiman itu. Tetapi karena perbuatan kejam dan jahat yang dilakukan Mandali Sewu alias si Pamungkas…”

“Kau sudah menyadari hal itu, Nyai?” kata Ki Lurah gembira.

“Ya.”

“Kau tidak menyalahi dia lagi?” “Tidak.”

“Oh, Nyai…” Ki Lurah Sentot Prawira merangkul bahu istrinya dengan senyum bahagia.

8

Matahari sudah condong ke Barat. Bias‐biasnya masih tertera di langit Barat. Begitu indah dan bersahaja.

Madewa menjalankan kudanya perlahan‐lahan di sisi istrinya. Dia masih amat menyesali mengapa dia datang terlambat.

Tiba‐tiba dari jalan setapak bermunculan orang lakilaki berwajah beringas dan tak bersahabat. Di tangan masing‐masing terpegang sebuah golok besar.

Madewa menghentikan jalan kudanya. Begitu pula dengan Ratih Ningrum. Keduanya memperhatikan keenam laki‐laki itu yang nampak begitu bengis.

“Hmm… ada apa Ki Sanak sekalian menghadang perjalanan kami?” tanya Madewa dengan suara yang bersahabat.

“Hhh! Kaukah Madewa Gumilang, ketua Perguruan Topeng Hitam?” bertanya salah seorang.

“Tidak salah lagi, akulah orangnya. Ada apa Ki Sanak?!” kata Madewa tetap dengan suara bersahabat. Senyumnya begitu arif dan bijaksana.

“Jangan berlagak lagi, Madewa! Kami menghadangmu karena ingin meminta pertanggung jawabanmu selaku ketua Perguruan Topeng Hitam!”

“Ada apa, Ki Sanak? Aku benar‐benar tidak mengerti.” “Jangan berpura‐pura, Madewa.”

“Tenanglah, dan katakanlah dengan segala ketenangan yang ada di hatimu.” “Hhh! Ternyata kau memang manis di mulut saja, Madewa? Nah, apa yang bisa kau jawab kalau aku mengatakan salah seorang murid Perguruan Topeng Hitam telah membuat teror di desa kami?!” bentak orang itu melotot gusar.

Madewa sedikit terkejut mendegnarnya. Salah seorang muridnya membuat teror?

“Kau bicara apa, Ki Sanak?”

“Jangan berlagak lagi, Madewa! Kami tahu… saat ini kau sedang mencari Cincin Naga Sastra, bukan? Sama seperti yang tengah dilakukan muridmu itu. dia berulang kali memaksa kami untuk memberikan jawaban di mana Cincin Naga Sastra berada. Sudah tentu ini tugas yang kau berikan padanya! Kau memang suka ditanya seperti itu, dan kami akan memberikan jawaban yang memuaskan. Namun kami tidak tahu di mana cincin itu berada. Kalau pun kami tahuu pasti kami akan berikan padanya, karena kami tidak membutuhkan cincin itu! kau mengerti?!”

“Tunggu dulu, Ki Sanak. Maksudmu ada orang yang berpakaian hitam‐hitam dan mengenakan topeng hitam pula yang bertanya pada kalian tentang Cincin Naga Sastra?”

“Dia bukan hanya bertanya pada kami, tetapi juga membunuh orang‐orang kami yang tidak memberikan jawaban memuaskan yang seperti diinginkannya!”  sahut orang itu berang.

Perlahan‐lahan Madewa pun mengerti akan duduk persoalannya. Rupanya ada seorang yang mengenakan pakaian    hitam‐hitam    dan    bertopeng    hitam    yang menurunkan tangan telengas pada orang‐orang yang tak bersalah.

“Apakah orang itu mengaku dari Perguruan Topeng Hitam?” tanya Madewa.

“Hhh! Biarpun orangnya tidak mengaku, tetapi di dunia persilatan ini hanya satu perguruan yang menganakan ciri khas seprti itu. Perguruan Topeng Hitam yang diketuai olehmu sendiri, Madewa!”

“Jadi kalian tetap beranggapan orang itu adalah murid Perguruan Topeng Hitam?”

“Kau memang pandai bersilat lidah, Madewa! Persetan dengan semua ucapanmu! Yang kami minta, adalah pertanggungjawabanmu atas semua perbuatannya!”

“Apa yang kalian inginkan?”

“Kau harus menyerahkan dirimu pada pemimpin kami untuk diadili.”

“Bagaimana kalau aku tidak mau?”

“Tidak ada jalan lain selain mengadu nyawa denganmu. Biarpun kau pendekar nomor satu di rimba persilatan ini, tapi kami tidak takut dengan nama besarmu. Kami rela mati untuk kebenaran!” sahut orang itu gagah.

Madewa terdiam. Mengapa jadi runyam begini masalahnya? Desisnya dalam hati. Lalu dia kembali menatap orang‐orang itu.

“Baiklah… aku akan menyerahkan diri pada kalian…” katanya kemudian.

“Kanda!” desis Ratih Ningrum kaget.

Madewa berpaling pada istrinya. “Tenanglah,  Dinda… ini hanya salah paham saja. Lebih baik, kau kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Dan cari siapa yang mencobacoba berbuat murtad pada kita…”

“Tapi, Kanda…” kata Ratih Ningrum ingin membantah, namun segera dipotong oleh suaminya.

“Tenanglah, segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Nah, lebih baik kau kembali ke Perguruan Topeng Hitam, Dinda… Penuhi permintaanku ini…” kata Madewa pelan namun tegas. Dan berarti itu merupakan suatu perintah yang tak boleh dibantah Ratih Ningrum.

Ratih Ningrum pun hanya menurut walaupun hatinya tidak ingin menuruti perintah itu. Lalu dia pun membalikkan kudanya dan meninggalkan tempat itu dengan hati galau.

Sementara keenam prang itu tersenyum, mendesah lega karena mereka tidak perlu bertarung dengan pendekar sakti itu. Semula ketika desa mereka didatangi oleh ksatria bertopeng yang menanyakan tentang Cincin Naga Sastra, sebagai orang yang berbudi tentu saja mereka menjawa dengan sopan. Dan mengatakan tidak tahu karena mereka memang tidak tahu.

Namun mendadak saja orang bertopeng itu menjadi murka. Lalu dia pun menyerang dengan membabi buta dan membunuhi beberapa teman‐teman mereka.

Setelah kejadian itu, kepala desa Bojong Sawo Ki Lurah Wijayatikta yang mengetahui kalau di dunia persilatan ada satu perguruan yang selalu mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam, segera menugaskan beberapa orang pilihannya untuk meminta pertanggung jawaban Madewa Gumilang selaku Ketua Perguruan Topeng Hitam.

Semula keenam orang itu merasa jeri untuk menemui Madewa Gumilang. karena yang mereka kuatirkan bila mereka harus bertarung dengan manusia sakti itu. Namun sekarang Madewa Gumilang menyerahkan diri begitu saja.

Ini sebenarnya membuat mereka bisa bernafas lega. Namun diam‐diam dalam hati kecil mereka mengakui, kalau orang bertopeng itu bukanlah murid Perguruan Topeng Hitam yang ditugaskan oleh Madewa Gumilang. Memang Madewa tidak banyak membantah. Namun melihat sikapnya yang begitu arif dan bijaksana, mereka

diam‐diam menjadi amat mengaguminya.

“Ki Sanak sekalian… maafkan aku bila kusuruh istriku kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Karena dia tidak ikut campur dalam masalah ini. Apakah Ki Sanak memberi izin? Bila tidak, aku dapat memanggilnya kembali untuk menyerahkan diri kepada kepala desa kalian.”

Kata‐kata itu membuat orang‐orang bergolok itu semakin mengagumi Madewa Gumilang.

Salah seorang berkata, “Tidak perlu, Madewa…” kali ini suaranya terdengar lebih sopan dan pelan.

“Kalau begitu, silahkan ikat kedua tanganku ini…”

Dan mereka makin tidak enak mendengar kata‐kata Madewa itu. Itu saja jelas‐jelas menandakan Madewa tidak bersalah.

“Madewa… maafkan kelancangan kami ini,”  kata salah seorang dari mereka lagi. “Tidak, kau bukanlah tawanan kami. Dan kami tidak berhak untuk mengikat tanganmu.”

“Baiklah kalau begitu. Bawalah aku ke kepala desamu.”

“Desa kami desa Bojong Sawo. Dan kepala desa kami bernama Wijayatikta.”

“Ya, bawalah aku kesana…”

Lalu keenam orang itu pun membawa Madewa Gumilang ke desa Bojong Sawo. Tetapi karena Madewa berada di depan dengan jubah putihnya yang terkibar tertiup angin sore sementara keenam laki‐laki itu mengikutinya dari belakang sepertinya, mereka adalah satu rombongan yang diketuai oleh Madewa Gumilang.

***

Rembulan makin renta di langit. Semakin hari rembulan semakin tua umurnya. Tidak ada yang tahu pasti berapa tahun umurnya. Hanya Yang Maha Kuasalah yang tahu berapa umur rembulan di langit sana.

Sosok tubuh berpakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam itu memperhatikan rumah yang ada di hadapannya. Rumah Ki Lurah Sentot Prawira. Lalu sosok tubuh itu melenting ke atap ketika melihat beberapa penjaga desa sedang meronda.

“Sialan! Hampir saja aku lengah,” desis sosok berpakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam. Di punggungnya terdapat dua buah pedang bersilangan.

Lalu tanpa mengeluarkan suara, sisik berpakaian hitam   dan   bertopeng   hitam   itu   membuka   sebuah genting. Dan melihat dalam rumah.

Sosok itu melihat Ki Lurah Sentot Prawira sedang menghisap rokok kawungnya sendiri di ruang depan. Nampak sekali kalau wajah Ki Lurah penuh dengan segala persoalan yang dipikirkan. Dan sosok itu juga membuka genting di kamar Nyai Lurah. Sosok itu pun melihat Nyai Lurah sedang tidur pulas.

Namun tiba‐tiba terdengar suara berseru. “Hei! Itu dia ksatria bertopeng!!”

“Iya, iya! Tangkap! Bunuh!!” “Ayo, kita cincang dia!!”

Sosok berpakaian hitam itu terkejut. Dan menyesali karena kecerobohannya hingga gerak geriknya yang berada tepat di bawah sinar rembulan ketahuan.

Sosok itu memaki jengkel. “Sialan!!”

Dan di bawah rumah Ki Lurah Sentot Prawira, sudah berkumpul sepuluh orang laki‐laki dengan bermacam senjata yang mereka bawa di tangan.

Ki Lurah sendiri berada di antara mereka.

“Di mana manusia itu?” tanyanya. Namun dia tak perlu lagi menunggu jawaban, karena dia sudah melihat sosok berpakaian dan bertopeng hitam itu sudah melenting turun.

Sosok bertopeng itu memang merasa tak ada jalan lain lagi kecuali menghadapi orang‐orang ini.

Ki Lurah Sentot Prawira menggeram marah.

“Hmm… rupanya kau berani muncul lagi di hadapanku, manusia laknat?!”

“Maafkan kemalncanganku, Ki Lurah… yang menyatroni rumahmu malam‐malam begini…” kata ksatria bertopeng dengan suara yang terdengar sopan.

Dan Ki Lurah terkejut mendengar suara itu. Bukan, bukan dia berarti yang pernah menyerangnya beberapa hari yang lalu. Suara ini suara perempuan. Yang menyerangnya waktu itu suara laki‐laki. Bahkan kalau ridak salah ingat, sosok bertopeng yang pernah menyerangnya tidak memiliki dua buah pedang bersilangan di punggung. Sedangkan sosok bertopeng yang ada di hadapannya memiliki dua buah pedang!

Apakah dia yang disebut sebagai wanita bertopeng yang amat kejam? “Berapa banyak nyawa manusia yang tak berdosa telah kau renggut?! Dan kau menamakan dirimu sebagai Dewi Kematian!”

“Tahan!!” seru ksatria bertopeng ketika beberapa orang pemuda desa sudah bergerak mendekatinya. Dan mereka mengurungnya dengan senjata terhunus. “Siapa pula yang kamu maksudkan dengan Dewi Kematian, Ki Lruah?”

“Mengapa kau harus bertanya pula padaku? Bukankah kau sendiri yang menamakan dirimu sebagai Dewi Kematian?!”

“Hhh! Aku tidak tahu siapa dia. Dan bukan aku orangnya. Aku datang hanya ingin melihat keadaanmu dan keadaan istrimu, Ki Lurah. Tidak lebih.”

“Manusia keparat! Kau memang pandai bersilat lidah! Tangkap dia!!” seru Ki Lurah Sentot Prawira berang.

Serentak orang‐orang yang mengepung ksatri bertopeng itu menyerang dengan senjata di tangan. Ksatria bertopeng itu pun nampak mempunyai kelebihan pula. Dia menghindari serangan‐serangan itu dengan cepat dan lincah.

Berulang kali itu terjadi.

Senjata‐senjata yang para penduduk hujamkan gaagl mengenai sasarannya. Hal ini membuat mereka menjadi jengkel.

Ki Lurah sendiri sudah mencabut goloknya dan memekik memasuki pertempuran. Dia merasa yakin kalau ksatria bertopeng ini adalah kawan dari ksatria bertopeng yang menyerangnya dulu.

Yang dulu itu laki‐laki dan yang sekarang wanita. Ataukah dia ini yang dinamakan Dewi Kematian? Tetapi mengapa sikapnya tidak telengas dan kejam seperti kata‐kata orang.

Ataukah dia berpura‐pura?

Hei, mungkinkan ada tiga orang ksatria bertopeng?

Ki Lurah terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Pertama ksatria bertopeng laki‐laki yang pernah menyerangnya dengan senjata rahasia berbentuk paku. Kedua ksatria bertopeng yang dikatakan banyak orang sebagai wanita yang amat kejam dan menyebutkan dirinya sebagai Dewi Kematian. Ketiga, ksatria bertopeng yang ternyata seroang wanita pula yang kini sedang berhadapan dengannya.

Benarkan ada tiga ksatria bertopeng?

Sementara itu ksatria bertopeng yang tengah menghadapi gempuran‐gempuran dari penduduk desa berseru pada Ki Lurah, “Ki Lurah pikirkan dulu baik‐baik… sebelum terjadi pertumpahan darah! Aku tidak dengan maksud jahat!” Ki Lurah mendesah pelan. Dia menghentikan serangannya. Apa yang bisa diperbuat kalau begini? Para penduduk desa tentu mengira kalau sosok bertopeng ini adalah wantia yang kejam yang menamakan dirinya Dewi Kematian.

“Ki Lurah…. Jangan dengarkan kata‐katanya!” seru salah seorang.

“Dia mencoba mengelabui, Ki Lurah!” sambung salah seorang.

“Jangan sampai kita diperdayainya! Desa Bojong Sawo sudah berantakan akibat ulah ksatria bertopeng! Beberapa manusa tewas mengerikan akibat tangan telengas manusia bertopeng! Dan tentunya dialah wanita bertopeng yang kejam itu!”

“Ayo, Ki Lurah! Kita tangkap manusia ini dan kita adili karena perbuatan kejamnya!!”

Ki Lurah pun menjaid bungun. Lalu dia kembali menerjunkan diri pada pertempuran. Dibantu Ki Lurah, membuat keberanian para penduduk desa semakin bertambah. Memang sejak tadi ksatria bertopeng yang mereka hadapi tidak pernah membalas sekali pun. Hanya menghindari saja serangan‐serangan mereka saja.

Sebenanya dalam hati mereka cukup heran, mengapa wanita bertopeng yang menyebut dirinya Dewi Kematian berubah menjadi baik dan tidak kejam menurunkan tangan? Tetapi mereka tidak mau tahu! Karena mereka tidak ingin ketentraman desa ini menjadi porak poranda lagi setelah perbuatan si Pamungkas dulu (baca : Munculnya si Pamungkas). Mereka pun terus menyerang.

Dan lama kelamaan wanita bertopeng itu menjadi kewalahan juga. Tiba‐tiba dia mendengus geram.

“Kalian benar‐benar manusia yang tak punya rasa bermusyawarah! Jangan salahkan aku bila aku  bertindak kejam!!” geramnya sambil bersalto. Dan saat hingga di tanah di tangannya telah terpegang dua buah pedang!

“Hhh! Ketahuan juga bukan sifat aslimu?!” mendengus salah seorang penyerangnya. “Tetapi kami tidak takut dengan tangan telengasmu, manusia kejam!!”

Lalu orang itu menyerang kembali. Disusul dengan yang lainnya di antaranya Ki Lurah Sentot Prawira sendiri.

Dengan pedang di tangan, ksatria bertopeng itu nampak lebih hebat lagi. Tadi dia sudah menunjukkan kelincahannya. Kini dia menunjukkan permainan pedangnya.

“Trang!”

“Trang!”

“Trang!”

Suara senjata yang beradu dengan sepasang pedangnya terdengar begitu nyaring sekali. Seakan merobek malam.

Namun sampai sejauh itu pula ksatria bertopeng itu tidak menurunkan tangan kejamnya, padahal banyak sekali kesempatan bila dia mau. Dia hanya menangkis dan menghindar saja.

Tiba‐tiba dia bergerak cepat, menerobos kepungan para penduduk.

“Trang!”

“Trang!”

Kedua pedangnya dikibaskan ke sana ke mari, hingga membuat para penduduk yang mengepungnya menyingkir bila tidak mau terkena sambaran pedang itu.

Lalu jalan pun terbuka. Ksatria bertopeng itu pun bergerak cepat meloloskan diri.

“Kejar!!”

“Tangkap!!”

“Jangan sampai lolos!!”

Seruan‐seruan itu terdengar. Dan mereka pun mengejar ksatria bertopeng yang demikian cepatnya telah menghilang di keremangan malam.

Lalu kembali dengan perasaan jengkel, mereka berkumpul di depan rumah Ki Lurah.

“Anjing buduk! Aku belum puas bila belum membunuh manusia kejam itu!!” geram salah seorang.

“Ya, akan kucincang tubuhnya sesuai dengan kekejamannya!” sahut salah seorang.

“Tetapi anehnya, dia tidak menyerang kita sekali pun kecuali hanya menangkis dan menghindar!” kata salah seorang. Dan kata‐katanya itu membuat yang lainnya menoleh menatapnya. Lalu terdengar beberapa orang membenarkan.

“Ya, benar.”

“Dia memang hanya menghindar dan menangkis.” “Kalian jangan mudah dikelabui, dia hanya menutup‐

nutupi sifatnya yang sebenarnya!”

“Tetapi  bila dia bermaksud jahat,  tentunya  dia dapat dengan mudah membunuh Ki Lurah dan Nyai Lurah sebelum kita pergoki!”

“Dia hanya berpura‐pura saja!”

“Tapi tadi pun dia tidak berbuat kejam kepada kita!” “Benar, padahal yang kita dengar wanita bertopeng

yang menyebut dirinya sebagai Dewi Kematian amat kejam sekali! Tetapi mengapa dia tidak ringan tangan?”

“Kalian benar,” terdengar suara Ki Lurah Sentot Prawira berkata.

Para penduduk yang hadir di sana yang saling mempertahankan pendapatnya tentang ksatria bertopeng tadi, berpaling padanya.

“Apa maksudmu, Ki Lurah?” tanya salah seorang.  “Aku pun merasa heran sebenarnya, mengapa wanita

bertopeng itu tidak bertindak kejam? Padahal seperti yang kudengar selama ini ksatria bertopeng yang menamakan dirinya Dewi Kematian itu amat kejam.”

“Dia berpura‐pura, Ki Lurah!”

“Tidak. Ketahuilah… aku pun dulu pernah diserang oleh seorang ksatria bertopeng…”

“Nah!”

“Dengar dulu… ksatria bertopeng itu seorang laki‐laki yang bersenjata rahasia berbentuk paku. Dia memang kejam sekali dan bermaksud datang mencari Cincin Naga Sastra. Tetapi ksatria bertopeng yang baru saja bertarung dengan kita, seorang wanita. Tetapi dia tidak kejam menurunkan tangan. Dan sekali pun dia tidak menyebutkan dirinya sebagai Dewi Kematian.”

“Jadi maksudmu… ada dua orang ksatria bertopeng, Ki Lurah?” “Bukan hanya dua. Bahkan tiga. Ada tiga ksatria bertopeng. Satu, wanita yang selalu menyebut dirinya Dewi Kematian yang bertindak amat kejam dan telengas. Dua, laki‐laki bertopeng yang memiliki senjata rahasia berbentuk paku. Tiga, wanita yang baru saja bertempur dengan kita yang bersenjatakan sepasang pedang.”

“Lalu maksudmu, Ki Lurah?”

“Ya, berarti ada tiga ksatria bertopeng.” “Apakah mereka sekutu masing‐masing?” “Bila melihat dari misi mereka, tidak.” “Maksudmu?”

“Wanita bertopeng yang menyebut dirinya sebagai Dewi Kematian, menghendaki siapa saja yang ditemuinya harus mati. Laki‐laki bertopeng yang menyerangku dengan senjata rahasia berbentuk paku, menghendaki Cincin Naga Sastra. Sedangkah wanita bertopeng yang bersenjata sepasang pedang tadi, bermaksud ingin melihat keadaanku.

“Bila dilihat dari tujuan mereka masing‐masing, sudah tentu mereka tidak bersekutu. Karena maksud kemunculan mereka berlainan!”

Orang‐orang terdiam. Mereka begitu perhatian mendengar kata‐kata Ki Lurah.

“Dan aku tidak tahu yang mana di antara mereka bertiga yang mempunyai maksud baik…”

“Mendengar penjelasanmu tadi, sudah tentu yang barusan bertempur dengan kita, Ki Lurah…”

“Yang bermaksud baik?” “Ya.” “Yang bermaksud jahat?”

“Dua ksatria bertopeng lainnya. Karena yang seorang menghendaki kematian siapa saja yang dijumpainya. Sedangkan yang seorang lagi menghendaki Cincin Naga Sastra. Aku pun sudah mendengar tentang kesaktian cincin itu. Berarti dia menginginkannya untuk maksud jahat.”

“Tepat kata‐katamu itu. Memang itu sebenarnya yang kumaksud! Berarti, wanita bertopeng tadilah yang bermaksud baik terhadap kita. Cuma sayang… kita tidak mengindahkan kata‐katanya tadi…”

Orang‐orang pun menggumamkan kata‐kata itu. mereka begitu panas karena mendengar sepak terjang ksatria bertopeng yang amat kejam. Dan mereka tak seorang jau pun yang mengetahui siapa di balik wajah ketiga ksatria bertopeng itu.

Yang pasti mereka menjadi sedikit menyesal karena tidak berpikir panjang lagi. Langsung menyerang saja ksatria bertopeng tadi.

Tiba‐tiba terdengar jeritan salah seorang di antara mereka.

“Akkkkhhhhh!!”

Orang‐orang itu kaget. Lebih kaget lagi ketika melihat salah seorang teman mereka yang berada di sana ambruk dengan luka besar di dadanya!

“Budro!!”

“Oh, Tuhan! Kenapa dia?!” “Apa yang terjadi?” “Mengapa bisa begini?!”

“Siapa yang telah membunuhnya secara pengecut?!” seru Ki Lurah Sentot Prawira.

Mereka mengerubungi mayat orang itu yang terluka lebar di dada. Dan mereka pun tak perlu mencari tahu siapa orang yang telah membunuhnya.

Karena dari samping kiri mereka terdengar suara mengikik keras. Dan yang mengikik itu mengenakan pakaian hitam dan bertopeng warna hitam!!

9

Orang‐orang itu terkejut. Lebih terkejut lagi karena suara mengikik itu suara wanita! Yang manakah yang ada di hadapan mereka sekarang ini? Wanita bertopeng yan gtadi ebrtempu dengan mereka ataukah wanita bertopeng yang menyebutkan dirinya sebagai Dewi Kematian?!

Ki Lurah segera berdiri. Tatapannya geram penuh dendam. Begitu pula orang‐orang yang ada di sana.

“Hhh! Mengapa kau begitu telengas menurunkan tangan, hah?!” bentak Ki Lurah Sentot Prawira.

“Hihihi… karena akulah Dewi Kematian yang akan mencabut nyawa kalian semua!”

Kini sadarlah orang‐orang yang berada di sana. Berarti saat ini mereka tengah berhadapan dengan wanita bertopeng yan amat kejam yang menamakan dirinya sebagai Dewi Kematian.

“Hhh! Rupanya kami tengah berhadapan dengan wanita kejam yang telengas menurunkan tangan?!”

“Hihihi… benar, benar… sebentar lagi kalian pun akan mampus di tanganku! Karena kalian tidak perlu terlalu lama hidup karena hanya menambah dosa‐dosa kalian saja! Lebih baik kalian mati, bukan? Karena kalian tidak akan pernah tersengsara oleh semua dosa kalian!”

Orang‐orang itu pun bersiap.

“Hihihi…. Mampuslah kalian semua!!” seru ksatria bertopeng yang menamakan dirinya sebagai Dewi Kematian, dengan sigap dia menyerbu ke arah orangorang.

Serentak mereka pun menyambut dengan senjata yang ada di tangan. Dan mereka pun membalas.

Tetapi bukan main terkejutnya mereka ketika Dewi Kematian seakan membiarkan saja lowongan terbuka ke arah tubuhnya. Mereka pun menggunakan kesempatan itu sebaik‐baiknya.

Namun mereka pun terkejut ketika menyadari senjata‐senjata yang ada di tangan mereka tidak membawa arti apa‐apa bagi ksatria bertopeng yang menamakan dirinya Dewi Kematian.

Mereka Pun menjadi penasaran. Dan berulangkali mereka menghujamkan senjata‐senjata itu. namun lagilagi hasilnya seperti tadi. Senjata‐senjata itu tidak membawa hasil yang menggembirakan.

“Hihihi… ayo, ayo kalian bunuh aku! Tangkap aku! Hihihi!” ksatria bertopeng yang menyebut dirinya Dewi Kematian itu terkikik.

Dan mereka pun sadar kalau tak ada gunanya melawan wanita bertopeng yang amat sakti ini. Begitu pula halnya dengan Ki Lurah Sentot Prawira. Dia pun amat terkejut ketika goloknya yang menyambar tubuh wanita itu seperti tidak membawa hasil apa‐apa yang menggembirakan.

“Siapakah kau sebenarnya, wanita bertopeng?!” bentaknya untuk menutupi keterkejutannya.

“Hihihi… akulah Dewi Kematian yang akan mencabut nyawa kalian semua! Nah, bersiaplah untuk mampus di tanganku!” bentak wanita bertopeng itu dan tubuhnya pun kembali melesat. Terdengar dua jeritan kematian membelah malam. Dan dua sosok tubuh luka besar di dada setelah ambruk ke bumi. Telah menjadi mayat seketika.

Ki Lurah terkejut. Dan dia pun dapat merasakan kengerian yang terpancar dari mata para warganya.

“Jangan takut! Kita tangkap manusia ini!!” serunya memberi semangar dan langsung menyerang.

Namun Dewi Kematian hanya menepiskan tangannya dan “Des!” golok di tangan Ki Lurah Sentot Prawira yang hendak mengenai tubuhnya terlepas.

Sedangkan tangannya yang satu lagi menyodok dada Ki Lurah hingga sempoyongan.

“Hihihi… lebih baik kau diam saja, Ki Lurah!!”

“Wanita kejam! Aku akan mengadu jiwa denganmu! Seraaangg!!” seru Ki Lurah menerjang kembali.

Keberanian yang diperlihatkan Ki Lurah Sentot Prawira membangkitkan kembali semanat dari para warganya. Mereka pun kembali menyerang dengan senjata di tangan.

Namun wanita bertopeng yang amat kejam itu hanya terkikik dan mengibaskan tangannua ke sana ke mari. Dia tidak memperdulikan senjata‐senjata itu mengenai tubuhnya, karena memang tidak membawa hasil apaapa.

Kembali terdengar beberapa jeritan di susul dengan tubuh ambruk penuh luka di bagian dada.

Berulang kali itu terjadi. Hingga kini tinggal Ki Lurah Sentot Prawira sendiri.

“Hihihi… lebih baik kau membunuh diri saja, Ki Lurah! Karena  dosamu  akan  semakin  besar  bila  kau  masih hidup di muka bumi ini!”

“Keparat! Sejengkal pun aku tak akan mundur dari hadapanmu!!”

Tiba‐tiba terdengar seruan dari beberapa penjuru. Warga desa yang terbangun karena seruan ribut‐ribut itu menyerbu ke arah wanita bertopeng dengan senjata di tangan. Bukan main banyaknya. Karena hampir sebagian besar penduduk desa Glagah Jajar keluar untuk membasmi wanita bertopeng yang amat kejam itu.

Mereka pun berseru‐seru ramai. “Tangkap!!”

“Ganyang!!”

“Bunuh!!”

Dan berbondong‐bondong mereka menyerbu. Sedikitnya Ki Lurah Sentot Prawira mendesah lega. Namun sekonyong‐konyong wanita bertopeng yang menyebut dirinya sebagai Dewi Kematian melesat ke belakang rumah Ki Lurah.

Ki Lurah seperti tersadar begitu teringat istrinya berada di dalam.

“Nyai!!” serunya sambil berlari disusul oleh beberapa warga yang mengikutinya. Sementara beberapa warga yang lain mengejar ke arah larinya wanita bertopeng itu.

Tetapi bayangan wanita itu telah lenyap begitu saja. Bagai ditelan bumi.

Orang‐orang itu berkumpul lagi di halaman depan rumah Ki Lurah. Sementara Ki Lurah sendiri langsung menggebrak pintu kamar istrinya. “Nyai!!”

Dia melihat istrinya tengah terbangun karena kaget mendengar suara pintu digebrak.

“Oh, ada apa, Ki? Ada apa?!” seru wanita yang baru bangun tidur itu kebingungan.

Ki Lurah Sentot Prawira mendesah lega. Didekapnya istrinya yang nampak terkejut.

“Tidak, tidak apa‐apa, Nyai…” desisnya.

Orang‐orang yan gengikuti Ki Lurah mendesah lega. Lalu mereka pun keluar lagi dari kamar itu.

Ki Lurah dan istrinya pun menyusul ke luar.

Di luar Nyai Lurah melihat betapa banyaknya para penduduk desa yang berkumpul. Dan terdapat beberapa mayat yang bergeletakan.

Kebingungan semakin menjadi‐jadi. “Ada apa, Ki… ada apa?” tanyanya. “Tenanglah, Nyai… tenanglah…”

“Tapi… mengapa mereka berkumpul di sini? Dan… oh, betapa banyaknya mayat‐mayat yang bergelimpangan dengan luka yang mengerikan…”

“Tenang, Nyai… bahaya sudah berlalu…”

“Bahaya?” Nyai Lurah semakin tidak mengerti. “Ada bahaya apa, Ki? Ada bahaya apa?”

“Kita baru saja kedatangan dua orang ksatria bertopeng…”

“Oh!”

“Ya, dua‐duanya wanita… Yang seorang bertindak sopan dan baik hati. Tidak menurunkan tangan telengasnya dan tidak menyebutkan dirinya sebagai Dewi Kematian. Namun yang seorang lagi begitu kejam dan menurunkan tangan kejamnya. Dia pun menyebutkan sebagai Dewi Kematian…”

“Oh! Apakah keduanya datang secara bersamaan?” “Tidak, yang tidak menurunkan tangan telengasnya

datang lebih dahulu. Kemudian muncul yang menyebutkan dirinya sebagai Dewi Kematian…”

“Ke mana mereka sekarang, Ki?”

“Yang datang pertama sudah pergi entah ke mana. Dan Dewi Kematian pun telah menghilang begitu saja setelah membunuh mereka ini. Aku tadi sudah kawatir, Nyai… karena Dewi Kematian menghilang di samping rumah kita…”

“Apa yang kau kuatirkan? Bukankah lebih baik wanita kejam itu menghilang?”

“Dirimu, Nyai… Dirimu yang kukuatirkan menjadi korban kekejaman Dewi Kematian…”

Nyai Lurah mendesah panjang. Masygul.

Para penduduk yang masih berada di sana memandang Ki Lurah yang sedang mendekap istrinya.

Salah seorang setengah baya berkata, “Ki Lurah… rupanya kedatangan ksatria bertopeng sudah sampai di desa kita dalam menebar terornya. Dan yang kudengar mereka pun sudah mengacau di desa Bojong Sawo.”

“Benar, Aki Broto. Kita pun harus bersiap siaga untuk menyambut kedatangannya lagi bila suatu saat dia muncul lagi di sini…”

“Ki Lurah… apakah tidak sebaiknya kita meminta bantuan beberapa pendekar untuk membantu kita menghadapi Dewi Kematian?”

Ki  Lurah  mendesah.  Dia  jadi  teringat  akan Madewa Gumilang dan istrinya. Mengapa mereka belum muncul juga?

“Aku sudah meminta bantuan Pendekar Bayangan Sukma, Aki Broto. Hanya mereka belum sampai di  sini…”

“Mereka?”

“Ya, Madewa dan istrinya, Ratih Ningrum…”

“Keadaan desa kita tidak aman, Ki Lurah. Masih terbayang lekat kejadian yang menimpa desa kita saat munculnya si Pamungkas. Dan kini ksatria bertopeng yang membuat teror di sini.”

“Benar, Aki Broto… berarti kita harus memperkuat pertahanan keamanan di desa kita ini…”

Dan sejak malam itu, pertahanan pun di perkuat dan dipertambah. Di perbatasan desa Glagah Jajar kini menunggu sepuluh orang penjaga. Sedangkan yang memutar di empat penjuru desa Glagah Jajar menjadi lima‐lima.

Mereka dalam keadaan siaga penuh.

Namun yang menjadi pikiran Ki Lurah Sentot Prawira, mengapa Madewa Gumilang dan istrinya belum juga hadir di sini? Apakah sebaiknya dia mendatangi kembali Perguruan Topeng Hitam? Namun itu tak mungkin bisa dilakukannya, karena para warganya akan mencapnya sebagai pengecut. Dengan alasan untuk mendatangi Perguruan Topeng Hitam, padahal bermaksud untuk menyingkir dari desa Glagah Jajar karena adanya teror dari ksatria bertopeng.

Dan Ki Lurah tak pernah mau berbuat seperti itu! karena dia adalah seorang yang berjiwa ksatria! 10

Ki Lurah Wijayatikta memperhatikan dan mendengarkan kata‐kata Madewa Gumilang dengan seksama. Saat ini mereka berada di balai Desa Bojong Sawo. Di sana pun hadir beberapa sesepuh dari desa Bojong Sawo.

Semula saat melihat enam orang yang ditugasinya membawa Madewa Gumilang untuk dimintai pertanggungjawabannya, Ki Lurah Wijayatikta amat bersyukur dan berterima kasih. Lalu dia pun menghadapkan Madewa Gumilang kepada sesepuh desa.

Namun setelah dua hari Madewa Gumilang berada di sana, sekali pun Madewa tidak menunjukkan sikap yang ingin memberontak, jengkel ataupun marah. Dia malah bersikap arif dan bijaksana.

Dan lambat laun Ki Lurah Wijayatikta menjadi bersimpati dan tidak menuduh Madewa Gumilang sengaja mengirimkan muridnya untuk mencari Cincin Naga Sastra, atau juga manusia bertopeng hitam itu bukanlah murid dari Perguruan Topeng Hitam.

Apalagi setelah mendengar kata‐kata Madewa tadi. “Jadi benar Perguruan Topeng Hitamtidak bersenjata‐

kan sebuah paku?” tanya Ki Lurah Wijayatikta.

“Benar Ki Lurah. Perguruan Topeng Hitam hanya bersenjatakan pedang. Dan bersenjata rahasia yang berbentuk topeng hitam. Seperti ini,” kata Madewa Gumilang  sambil  mengeluarkan  senjata  rahasia  milik Perguruan Topeng Hitam yang dibawanya. Orang‐orang yang hadir di sana memperhatikannya.

“Kalau begitu… siapakah orang yang mengenakan topeng hitam yang bersenjata rahasia paku itu, Madewa?”

“Aku pun belum tahu, Ki Lurah. Hanya dugaanku, ada orang yang ingin memfitnah Perguruan Topeng Hitam untuk mencari Cincin Naga Sastra. Atau ada pula orang yang secara tidak sengaja memang bermaksud jahat dan dia selalu mengenakan pakaian hitam‐hitam dan bertopeng hitam.”

“Berarti… ada orang lain dalam hal ini maksudmu?” “Benar, Ki Lurah… Ini yang amat merisaukan…”

Belum Ki Lurah Wijayatikta menyahuti kata‐kata Madewa, tiba‐tiba masuk dua orang laki‐laki dengan nafas tersengal‐sengal. Dia tangan kanan mereka nampak luka yang cukup besar. Baju mereka berbercakbercak darah.

“Ki Lurah…” seru salah seorang terputus‐putus sementara yang seorang lagi sudah ambruk ke lantai. Dan nyawanya putus karena luka yang dideritanya.

Orang‐orang pun terkejut dan segera menghampiri mereka. Ki Lurah Wijayatikta memapah salah seorang yang masih bertahan dan membaringkannya.

Madewa segera bertindak cepat. Dia menotok beberapa jalan darah orang itu untuk menghentikan aliran darahnya yang banyak keluar. Kemudian menempelkan telapak tangannya pada dada orang itu untuk mengalirkan tenaga dalamnya dan mengembalikan hawa murni orang itu. Setelah beberapa saat, nampak orang itu kelihatan lebih segar dari sebelumnya.

Ki Lurah Wijayatikta berkata, “Saburo… katakanlah… ada apa…”

Sabura Manda mendesah dan nafasnya kini mulai berjalan lancar.

“Dia… dia datang Ki Lurah…” “Siapa maksudmu…” “Orang… orang kejam itu…” “Siapa?”

“Ksatria bertopeng…”

“Ksatria bertopeng?!” seruan itu terdengar hampir serempak.

Madewa bertindak cepat. “Di mana dia berada?” “Di…di perbatasan desa Bojong Sawo…”

Tanpa ada yang sempat memperhatikan, tiba‐tiba sosok Madewa sudah menghilang dari pandangan. Dan beberapa orang pun segera menyusulnya.

Sementara itu Saburo Manda dibaringkan dan dibiarkan beristirahat. Sementara mayat yang seorang segera diurus.

“Aku tahu kalian orang‐orang Bojong Sawo mengetahui di mana Cincin Naga Sastra berada?!”

“Jangan banyak omong kau, manusia kejam! Kami akan membunuhmu!!”

Ksatria bertopeng yang sedang menghadapi tiga orang lawannya nampak menghindari seranganserangan itu dengan lincahnya. Di dekat mereka bergelimpangan beberapa mayat.

Lawan‐lawannya  itu  pun  sebenarnya  sudah teramat letih. Dan baju mereka terpecik darah mereka sendiri. Namun mereka begitu gigih menghadapi seranganserangan dari ksatria bertopeng. Mereka hanya berharap agar Saburo Manda dan Wayan sudah tiba mencari bantuan.

“Hhh! Kalian yang berpura‐pura! Aku tahu desa Bojong Sawo dulu diporakporandakan oleh si Pamungkas! Dan si Pamungkaslah yang memiliki Cincin Naga Sastra yang telah direbut oleh warga Bojong Sawo!”

“Fitnah! Tak seorang pun di antara warga Bojong Sawo yang memiliki Cincin Naga Sastra!”

“Kalian memang pandai berbicara!!” bentak ksatria bertopeng itu dengan geram. Dan dia kembali terus menggebrak.

Kembali pula pukulan dan tendangannya mengenai sasaran. Membuat ketiga lawannya dibuat kocar kacir. Dan salah seorang pun ambruk setelah sekali lagi tendangan ksatria bertopeng mengenai dadanya.

Melihat teman mereka mati, keduanya pun menjadi geram. Mereka menyerang sebisanya, namun mereka malah menjadi bulan‐bulanan ksatria bertopeng.

“Mampuslah kalian!!” geram ksatria bertopeng dan siap menurunkan tangan telengas pada kedua orang itu yang sudah terdesak.

Tubuhnya pun melayang ke arah keduanya. Namun mendadak dia berbalik bersalto ketika dirasakannya satu pukulan lain memapaki serangannya.

“Des!!”

“Bangsat!! Siapa kau?!” bentaknya begitu hinggap di bumi. Dan memandang pada satu sosok tubuh berjubah putih yang tersenyum arif bijaksana.

Sosok yang ternyata Madewa itu tersenyum.

“Hmm… rupanya kaulah ksatria bertopeng yang membuat teror di desa ini! Hmm… mau apa kau sebenarnya?!”

“Kalau aku tidak salah tebak, kaukah Pendekar Bayangan Sukma?”

“Ya, akulah adanya Pendekar Bayangan Sukma.” “Sombong! Akulah Ksatria Bertopeng yang akan

mencabut nyawamu!”

“Kau belum mengatakan maksudmu yang sebenarnya membuat teror di sini?”

“Sudah tentu aku hendak mencari Cincin Naga Sastra! Hhh! Mampuslah kau, Madewa!!”

Lalu sosok itu melesar menerjang ke arah Madewa. Madewa melompat ke sampng dan mengirimkan satu balasan. Ksatria bertopeng menangkisnya.

“Des!”

Dia merasakan ngilu di tangannya akibat benturan itu. sementara Madewa sendiri merasakan tangannya bergetar.

Menandakan tenaga dalamnya cukup besar.

“Tidak sia‐sia kau bergelar Pendekar Bayangan Sukma, Madewa! Gerakanmu seperti bayangan saja!!”

“Lebih baik bukalah topeng yang menutupi wajahmu!”

Tiba‐tiba terdengar suara ramai‐ramai. “Tangkap!”

“Bunuh!!”

Madewa menoleh ke kiri, dan melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng hitam sedang berlari ke arahnya. Di belakangnya berlarian mengejar beberapa orang dengan senjata di tangan.

Dan Madewa melihat Ki Lurah Sentot Prawira berada di antara para pengejarnya.

Ksatria bertopeng yang baru datang itu berhenti begitu melihat Madewa Gumilang. Dan mendegus.

“Hhh! Rupanya kau berada di sini, Madewa!!”

Sementara ksatria bertopeng yang tengah berhadapan dengan Madewa tadi terkejut melihat ada orang yang berpakaian sama dengannya.

“Hmm… rupanya ada dua ksatria bertopeng sekarang,” kata Madewa.

Ksatria bertopeng yang baru datang mendengus. “Akulah Dewi Kematian yang hendak mencabut nyawamu, Madewa!”

Sementara itu warga desa Glagah Jajar pun terkejut karena tidak menyangka akan menemukan dua ksatria bertopeng. Begitu pula halnya dengan Ki Lurah Sentot Prawira.

Lalu terdengar pula suara ramai riuh dari arah  Selatan. Ki Lurah Wijayatikta telah datang dengan beberapa orang. Mereka pun terkejut melihat ada dua ksatria bertopeng.

Bahkan bukan hanya sampai di sana saja. Tiba‐tiba muncul satu sosok tubuh lagi mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam pula.

“Oh!”

“Ada tiga ksatria bertopeng?!” Seruan‐seruan itu terdengar. Kaget dan takjub.

Karena kini ada tiga ksatria bertopeng di hadapan mereka.

Ksatria bertopeng yang baru datang tertawa, “Hahaha… kalian kaget bukan, kini ada tiga ksatria bertopeng di sini? Nah, siapakah di antara kami ini yang bermaksud baik dan jahat?!”

Yang mereka tahu, ksatria bertopeng yang mengaku sebagai Dewi Kematian yang berniat jahat. Begitu pula dengan ksatria bertopeng yang bermaksud hendak mencari Cincin Naga Sastra!

Madewa hanya tersenyum mendengar sura ksatria bertopeng yang baru datang itu.

Lalu dia berkata, “Dewi Kematian…agaknya kaulah yang menyebar teror maut di setiap desa. Dan pada setiap orang yang bertemu denganmu. Hmm… tentunya semua akan terkejut bila kukatakan siapa kau adanya…” “Hhh! Madewa… kau harus mampus di tanganku! Selama ini begitu mendendam padaku! Kaulah yang membuatku sakit hati dan sekarat karena satu dendam. Kaulah yang telah membunuh Mandali Sewu alias si

Pamungkas!”

Orang‐orang terkejut. Dan yang hadir lebih terkejut lagi ketika Dewi Kematian membuka sarung tangannya di sebelah kanan. Dan terlihatlah sebentuk cincin yang amat indah berpermata yang menyala.

“Cincin Naga Sastra!!” seru Ki Lurah Sentot Prawira dan Ki Lurah Wijayatikta bersamaan.

“Memang benar. Inilah Cincin Naga Sastra yang secara tidak  sengaja  kutemui  di  sebuah  pohon  besar  yang berakar melintang! Dengan cincin ini pula aku akan menuntut balas padamu, Madewa Gumilang!!”

Sementara diam‐diam ksatria bertopeng itu menerjang ke arah ksatria bertopeng yang menyebut dirinya Dewi Kematian.

“Berikan cincin itu padaku!!” serunya seraya melancarkan pukulan lurus ke wajah. Namun sungguh  di luar dugaan, karena Dewi Kematian hanya terdiam saja, membiarkan pukulan itu mengenai dadanya. Dan tiba‐tiba dia menggerakkan tangan kanannya tepat mengenai dada ksatria bertopeng yang menyerang.

“Des!”

“Akkkhhh!!”

Lalu ambruklah ksatria bertopeng yang menyerang itu dengan luka dada yang amat hebat. Semua memikik ngeri karena pukulan itu begitu kejam.

Ki Lurah Sentot Prawira menggeram. “Keji!!”

“Dan kau akan melihat saru pertunjukkan yang lebih keji lagi daripada itu, Ki Lurah!” geram Dewi Kematian. Dan tiba‐tiba dia bergerak ke kiri,d an tiga sosok tubuh pun melayang cukup jauh dan ambruk dengan luka parah di dadanya.

“Hihihi… akulah Dewi Kematian yang akan mencabut nyawa siapa saja! Termasuk kau, Madewa Gumilang!!” geramnya lalu melesat ke arah Madewa Gumilang. Madewa yang sejak tadi bersiap pun segera menghindar dan mengirimkan balasan.

Namun seperti yang sudah‐sudah Pukulan Tembok Menghalau yang dikeluarkan Madewa tidak membawa hasil   apa‐apa.   Begitu   pula   dengan   Pukulan   Angin Saljunya. Dewi Kematian bahkan tidak terlihat kedinginan atau menggigil, apalagi beku oleh angin salju itu.

Madewa mendengus geram. Belum lagi dia bisa memikirkan bagaimana caranya melumpuhkan Dewi Kematian, Dewi Kematian sudah menyerangnya dengan hebat. Membuat Madewa harus berusaha untuk menghindarkan diri.

Tiba‐tiba terdengar seruan Ki Lurah Sentot Prawira. “Tangkap manusia kejam itu!!”

Lalu disusul Ki Lurah Wijayatikta yang menyerukan hal yang sama. Lalu berbondong‐bondong mereka mengeroyok ksatria bertopeng yang menamakan dirinya Dewi Kematian. Tetapi mereka hanya membuang nyawa dengan percuma, karena dengan sekali mengibaskan tangannya Dewi Kematian telah emncabut nyawa beberapa orang.

Melihat    keadaan    itu,     Madewa     berseru, Minggir kalian semua!” Lalu dia berseru pada ksatria bertopeng yang masih berdiri bersiaga, “Kau juga, Dinda…”

Dan kini dia pun berhadapan dengan Dewi Kematian. “Sadarlah, kau dalam keadaan sesat…”

“Persetan! Kau harus membayar kematian Mandali Sewu, Madewa…”

“Kau tengah dipengaruhi oleh Cincin Naga Sastra. Cabutlah cincin itu, niscaya kau akan kembali seperti semula, Nyai Lurah…”

Orang‐orang terkejut. Nyai Lurah? Dewi Kematian itu Nyai Lurah? Dan mereka pun tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui siapa Dewi Kematian itu, karena tibatiba saja dia merengut topengnya sendiri.

Dan terlihatlah wajah Nyai Lurah! Ki Lurah Sentot Prawira terkejut bukan main.

“Nyai!!”

Nyai Lurah menoleh ke arahnya. Tatapannya beringas memerah. Nafasnya mendengus‐dengus. Dia tak ubahnya iblis belaka.

“Jangan mendekat padaku, Ki! Saat ini aku bermaksud untuk mencabut nyawa manusia kejam itu! manusia yang telah merengut Mandali Sewu dari sisiku…”

“Sadarlah, Nyai… sadarlah…” seru Ki Lurah mengibaiba. Dan hatinya pilu sekali melihat kenyataan bahwa istrinya amat mendendam pada Madewa Gumilang. Dan secara tidak sengaja istrinya menemukan Cincin Naga Sastra yang digunakannya untuk membalaskan dendamnya pada Madewa Gumilang.

“Diam kau, Aki‐aki peot!!” geram Nyai Lurah dengan tatapan gusar. Lalu dia mendengus pada Madewa, “Mampuslah kau, Madewa!!” serunya seraya menerjang.

Madewa pun segera menghadapinya. Kini terjadi pertarungan yang amat hebat antara keduanya. Saling serang dan saling hindar. Namun semua serangan yang dilakukan Madewa hanyalah sia‐sia belaka karena tak satu pun pukulan saktinya yang membawa hasil.

Tiba‐tiba ksatria bertopeng yang masih ada di sana, menyerbu ke arah Dewi Kematian alias Nyai Lurah yang terkena  pengaruh  Cincin  Naga  Sastra.  Namun malang baginya, karena serangan pedangnya tak membawa hasil, malah dirinya sendiri yang ditepak dengan ringannya oleh Dewi Kematian.

“Dinda!!” seru Madewa terkejut dan bergegas menghampiri ksatria bertopeng yang jatuh ke tanah. Lalu dibukanya topeng itu. dan terlihatlah seraut wajah Ratih Ningrum!

Madewa pun bergerak cepat. Dia mengalirkan tenaga dalamnya dan hawa murninya pada istrinya. Dan perlahan keadaan Ratih Ningrum pun membaik.

Madewa lalu berdiri. Menatap Dewi Kematian dengan geram. Memang tak ada jalan lain lagi selain untuk memusnahkan Dewi Kematian yang telah merasuk pada tubuh Nyai Lurah.

“Copotlah cincin dari tanganmu itu, Nyai Lurah!” seru Madewa memperingatkan.

“Hhh! Sebelum kubuat mampus kau, tak akan pernah kucopot cincin ini!!” balas Dewi Kematian.

Madewa mendengus. Tiba‐tiba dia merangkul kedua tangannya di dada. Dan perlahan‐lahan terlihat asap putih mengepul dari kedua tangan itu. Lalu dibentangkannya kedua tangannya ke kiri dan ke kanan.

Bagi Madewa memang tidak ada jalan lain lagi selain mengeluarkan pukulan saktinya, Pukulan Bayangan Sukma.

Pukulan yang mampu menghancurkan apa saja! “Maafkan aku, Nyai Lurah!!” serunya lalu diserangnya

Dewi Kematian.

Dewi Kematian yang tengah merasuk pada tubuh Nyai Lurah terkekeh. “Hihihi… memang tak ada jalan lain selain mampus bagimu, Madewa!” serunya.

Dan tubuh Madewa pun terus meluncur ke arah Dewi Kematian yang tengah berdiri tegar.

“Des!!”

Pukulan sakti itu pun mengenai tubuhnya. Asap megnepul di dekat mereka. dan mendadak tubuh Madewa terpental ke belakang kala asap itu menghilang terlihatlah tubuh Dewi Kematian yang masih tegak tanpa kurang suatu apa.

Pukulan Bayangan Sukma yang maha sakti pun tak mampu mengalahkannya!!

“Hihihi… tak satu pun yan gbisa mengalahkan aku, Madewa!” kikiknya. “Kini bersiaplah kau untuk mampus!” Lalu Dewi Kematian menengadah. “Mandali Sewu… lihatlah orang yang telah membunuhmu ini akan menemanimu selama‐lamanya!!”

Lalu tubuh itu pun melesat maju menyerbu ke arah Madewa yang masih jatuh terduduk di tanah. Madewa hanya bisa memejamkan matanya saja.

Namun belum lagi pukulan itu mengenai tubuhnya, tiba‐tiba terdengar jeritan keras dari Nyai Lurah alias Dewi Kematian, tubuhnya terpental ke belakang.

Orang‐orang terkejut menyaksikannya. Apa yang terjadi? Mengapa bisa begitu?

Dan terlihatlah pemandangan yang menerikan. Tubuh Dewi Kematian menggeliat kesakitan di tanah. Dia terpental kembali dan termakan serangannya sendiri. Itu terjadi karena sari Rumput Kelangkamaksa yang pernah dihisap Madewa secara tidak sengaja dulu. Bila yang menghisapnya dalam keadaan tenang, maka akan menghadirkan tenaga yang hebat. Dapat memukul balik lawannya dengan serangan lawannya sendiri.

Tiba‐tiba tubuh yang menggeliat itu terdiam. Meregang. Dan mendadak terdengar ledakan. Tubuh itu hancur meledak!!

Orang‐orang terkejut. Ki Lurah Sentot Prawira memburu kepingan tubuh istrinya. Madewa mendesah panjang.

Dan kala orang‐orang itu mencari Cincin Naga Sastra, tak seorang pun yang menemukannya. Cincin itu telah lenyap entah ke mana!

Senja semakin turun.

TAMAT




No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 21 Tiga Ksatria Bertopeng"