Serial Pendekar Bayangan Sukma: 17 Warisan Berdarah


17 Warisan Berdarah

Satu

Semalaman hujan turun dengan lebat. Membasahi segenap bumi. Hingga membuat becek yang cukup menyiksa di jalan setapak itu. Namun pagi ini hanya tinggal biasnya saja yang bercampur dengan embun pagi. Mengeluarkan bau tanah yang enak untuk dicium.

Tetapi bagi tiga orang kakek yang melangkah dengan masing-masing membawa sebuah peti di pundaknya, tanah becek yang tebal itu bukanlah suatu halangan bagi ketiganya untuk melangkah. Malah mereka seakan tak pernah menyadari kalau tanah yang becek itu bisa menjadi penghalang bagi siapa pun yang melangkah.

Salah seorang kakek itu berkata, "Masih jauhkah Perguruan Topeng Hitam berada?"

Yang seorang menyahut, dia bertelanjang dada. Dan wajahnya mirip orang Cina. Meskipun tubuhnya kelihatan kerempeng namun berisi, dia kuat bertelanjang dada menahan hembusan angin yang cukup dingin.

"Kata orang yang kita tanya semalam, kita harus mengarah ke timur dari Gunung Slamet."

Yang satu lagi menggerutu. Dia mengenakan pakaian mirip orang-orang keraton.

"Gara-gara hujan sialan ini yang mengharuskan kita berteduh. Bila tidak hujan dan kita tidak berteduh, mungkin pagi ini kita tiba di Perguruan Topeng Hitam. "

"Ya, ya...." kata yang pertama berkata tadi. "Aku sudah tidak sabar ingin melihat Den Putri Ratih Ningrum dan suaminya Madewa Gumi lang !"

"Benar, Mukti...." kata yang bertelanjang dada. "Kabarnya, mereka pun telah mempunyai seorang anak yang telah menikah. Ah, betapa bahagianya mereka "

"Patidina    " kata yang dipanggil Mukti.

"Apakah kau yakin kalau memang Madewa Gumilang yang memimpin Perguruan Topeng Hitam? Setahuku dulu, Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara?"

Yang dipanggil Patidina itu adalah kakek yang mengenakan pakaian mirip orang-orang keraton. Dia menatap Mukti yang mengenakan pakaian hitam-hitam.

"Aku pun tidak yakin. Malah ketika kubertanya apakah ada yang mengenal dan tahu di mana Madewa Gumilang berada, mereka malah bertanya, apakah Madewa Gumilang yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma? Semula aku bingung. Lalu kukatakan saja iya."

"Benar katamu, Patidina," kata kakek yang bertelanjang dada, yang bernama Tek Jien. "Malah ada pula yang bilang, nama Madewa Gumilang pun kadang dijuluki manusia setengah dewa. Ada juga yang bilang Pendekar Budiman. Dan seperti katamu tadi, dia pun bergelar Pendekar Bayangan Sukma. Ah, andaikata pemuda yang pernah mengalahkan kita beberapa puluh tahun yang lalu itu memang benar dia adanya, aku bangga sekali mendengarnya. Hahaha.... aku masih ingat bagaimana dulu di rumah majikan kita Biparsena ayahanda dari Den Putri Ratih Ningrum kita dipecundangi dengan mudah olehnya....

hahaha.... lucu, lucu sekali bila kita mengingatnya "

"Masih untung kita tidak dibunuhnya oleh Pukulan Bayangan Sukmanya yang hebat itu," kata Mukti.

"Tetapi aku yakin, dia tak akan melakukan kekejaman itu," kata Patidina. "Semula ketika majikan kita Biparsena mengangkatnya sebagai penjaga kuda, aku sudah yakin sekali kalau pemuda itu adalah pemuda baik-baik "

"Dan yang tak pernah kita sangka, dia adalah murid tunggal dari Eyang Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti yang mewariskan Pukulan Bayangan Sukma padanya. Juga ajian Pandangan Menembus Sukma " kata Tek Jien.

"Hai, apa kau lupa.... kalau dia pun mewarisi seruling sakti milik gurunya," kata Patidina.

"Benar, Seruling Naga! Seruling yang maha sakti!" kata Mukti.

Sebenarnya siapakah ketiga orang kakek yang masing-masing membawa peti dan sedang menuju ke Perguruan Topeng Hitam? Mereka sepertinya begitu banyak mengenal Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya Ratih Ningrum.

Ketiga kakek itu tak lain adalah bekas para pengawal setia ayah dari Ratih Ningrum, Biparsena. Dulu, ketiganya pun pernah mencoba ilmu dari Madewa Gumilang sebelum Madewa diangkat menjadi penjaga kuda dan penjaga Ratih Ningrum.

Mereka adalah Mukti, si Pedang Kembar. Patidina, si Keris Tunggal dan Tek Jien, si Pukulan Tangan Seribu. Merekalah tiga orang guru dari Ratih Ningrum. Mukti dan Patidina telah memberikan senjata-senjata milik mereka pada murid mereka, Ratih Ningrum dan ketiganya telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat kepada Ratih Ningrum, saat Ratih Ningrum hendak mencari Madewa Gumilang.

Setelah ayahnya meninggal di tangan Madewa Gumilang, Ratih Ningrum yang mencintai Madewa Gumilang pun bermaksud mengikutinya. Karena dia yakin dan pasti kalau hidupnya akan bahagia bersama pemuda yang dicintainya. Ratih Ningrum pun tahu kalau ayahnya sebenarnya adalah orang golongan hitam. Yang menyebarkan kabar palsu tentang adanya Pedang Pusaka Dewa Matahari yang dimiliki Ki Rengsersari alias Pendekar Ular Sakti yang menjadi guru dari Madewa Gumilang.

Sehingga banyaklah para pendekar baik dari golongan hitam maupun golongan putih datang dengan maksud untuk merebut Pedang Pusaka Dewa Matahari. Tetapi kenyataannya, hanyalah sebuah kabar bohong belaka.

Sebelum Ratih Ningrum meninggalkan rumahnya bersama Madewa Gumilang, dia menyerahkan seluruh harta warisnya kepada ketiga pengawal ayahnya yang setia atau pun yang menjadi gurunya. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari dan Dendam Orang-orang Gagah).

Ketiga gurunya itupun tak bisa menahannya untuk mengikuti Madewa Gumilang. Dan mereka dengan setia menjaga seluruh harta kekayaan milik dari Ratih Ningrum, atau warisan dari ayahnya Biparsena.

Mereka pun dengan setia menjaga seluruh kekayaan itu. Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun berganti tahun. Tak terasa berpuluh tahun telah lewat.

Dalam hati ketiganya selalu mengharapkan kalau-kalau Ratih Ningrum dan suaminya datang menjenguk. Karena mereka merasa sudah tua dan tak mungkin lagi dapat menjaga seluruh kekayaan yang dimiliki oleh Ratih Ningrum.

Pada suatu malam, ketiganya pun berembuk untuk segera mencari Ratih Ningrum dan Madewa Gumilang berada.

"Benar kata-katamu, Mukti," kata Patidina. "Kita sudah tua. Umur kita semakin lanjut. Dan aku pun kuatir, seluruh warisan ini tak akan bisa kita jaga lagi."

"Memang, dan aku berpikir... lebih baik kita serahkan kembali semua kekayaan harta waris ini pada yang mempunyai. Pada murid kita, Ratih Ningrum. " kata Mukti.

Tek Jien berkata, "Tetapi... setelah berpuluh tahun kita menunggu kedatangan murid kita dan suaminya, agaknya penantian kita sia-sia belaka. Bukankah menurutku akan lebih baik bila kita segera meninggalkan desa ini, desa Bojongronggo untuk mencari dan menyerahkan seluruh harta waris ini kepada Ratih Ningrum?"

"Aha!" Mukti berseru. "Benar kata-katamu, Tek Jien. Yah, lebih baik kita mencari di mana gerangan Ratih Ningrum dan suaminya berada. Lagipula, bukankah kita selama ini tidak lagi pernah melihat keadaan dunia luar?"

"Aku pun setuju dengan usulmu, Tek Jien. Yah... kita bisa pergi besok pagi untuk mencari di mana gerangan murid kita dan suaminya berada," kata Patidina.

"Lalu bagaimana dengan seluruh kekayaan ini?" tanya Mukti. "Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menjaga. Nah, siapa yang ingin menjaga dan tinggal di sini sementara yang lain mencari ke dunia luar di mana Ratih Ningrum dan suaminya berada?"

Mukti menatap kedua sahabatnya yang telah sama-sama menjadi kakek-kakek seperti dirinya pula. Namun kedua sahabatnya tidak ada yang menyediakan diri untuk menetap di sini dan menjaga seluruh kekayaan.

Mukti tertawa.

"Hahaha... aku pun tak mau menetap di sini," katanya masih tetap menatap kedua sahabatnya.

"Lalu siapa yang akan menjaga?" tanya Tek Jien dan Patidina bersamaan.

Ketiganya terdiam. Siapa yang menjaga kekayaan itu? Sementara mereka semuanya mau pergi mencari Ratih Ningrum.

Tiba-tiba Mukti menepuk keningnya. Kedua sahabatnya memperhatikan. "Bodohnya aku!" "Kenapa?" tanya Patidina.

"Kau punya usul?" tanya Tek Jien.

"Ya, ya... bagaimana bila kita bawa saja kekayaan ini?" tanya Mukti sambil menatap kembali kedua sahabatnya.

"Ah, apakah kita bisa membawa rumah yang besar ini berikut perlengkapannya yang serba mewah?" tanya Patidina.

"Bukan, bukan itu maksudku!" kata Mukti. "Lalu apa?" tanya Tek Jien.

"Kita hanya membawa emas, berlian dan permata yang berlimpah. Yang lainnya kita biarkan saja di sini. Kita titipkan pada kepala desa. Nah, bagaimana?"

Kali ini kedua kepala sahabatnya mengangguk setuju.

Lalu malam itu juga, mereka segera mempersiapkan diri.

Setelah emas, permata dan berlian itu dikumpulkan, ternyata mencapai tiga peti banyaknya.

"Bukan main!" desah Mukti. "Aku tak pernah menyadari selama ini kalau begitu banyaknya perhiasan yang ada di rumah ini."

"Benar," kata Patidina. "Ini tak akan habis dipakai oleh lima belas turunan."

"Sudahlah," kata Tek Jien yang selalu bertelanjang dada dari masa mudanya. "Kita tak perlu memikirkan jumlah kekayaan ini. Yang pasti kita harus bersiap dan berangkat besok pagi."

Keesokan paginya setelah matahari sepenggalah, ketiganya pun keluar dari rumah itu dengan membawa masing-masing sebuah peti yang berisi emas yang jumlahnya amat banyak. Dan sebelumnya ketiganya telah mendatangi rumah kepala desa Bojongronggo untuk menitipkan rumah dan perlengkapannya yang masih ada.

Setelah itu, ketiganya pun memulai perjalanan mereka untuk mencari Ratih Ningrum dan suaminya, untuk menyerahkan warisan yang telah berpuluh tahun mereka jaga.

Karena mereka menyadari usia yang mulai uzur dan mereka kuatir akan meninggal sebelum menyerahkan seluruh warisan ini pada yang berhak.

Di samping itu, mereka pun tak mau meninggal sebelum berjumpa dengan murid mereka yang bernama Ratih Ningrum. Yang dulunya seorang gadis jelita yang sopan, baik dan tulus. Itulah sebabnya ketiganya bersedia pula menurunkan ilmu-ilmu mereka padanya.

Dua

Dalam setiap saat rasanya mereka selalu bertanya tentang Madewa Gumilang. Dan jawaban-jawaban yang didapat, sebenarnya membuat mereka bingung.

"Oh! Madewa Gumilang? Laki-laki yang dijuluki Pendekar Budiman?"

"Pendekar Bayangan Sukma! Ya, ya... aku tahu... dia kini memimpin satu perguruan yang terletak di sebelah timur Gunung Slamet!" "Manusia setengah dewa? Ya... istrinya

bernama Ratih Ningrum?"

"Madewa Gumilang... oh, katakan di mana saya bisa menemuinya. Dia adalah seorang lakilaki berjubah putih yang arif dan bijaksana."

Jawaban-jawaban itu memang membingungkan ketiga kakek itu. Dari rasa bingung berubah menjadi rasa penasaran. Mereka pun sepakat untuk segera menuju Perguruan Topeng Hitam yang terletak di sebelah timur Gunung Slamet.

Apakah Madewa Gumilang telah menjadi tokoh yang teramat sakti dan disegani? Dan bagaimana dengan Ratih Ningrum? Oh, kalau tidak salah dari jawaban-jawaban yang diberikan orang yang mereka tanyai, Ratih Ningrum masih mendampingi laki-laki yang kabarnya gagah perkasa.

Ketiganya menjadi tidak sabar untuk membuktikan semua itu.

"Patidina dan Tek Jien," panggil Mukti. "Aku sebenarnya menjadi heran namun penasaran tentang siapa adanya pemuda itu. Benarkah dia telah menjadi tokoh yang amat sakti dan selalu membela kebenaran?"

Ketiganya masih terus melangkah dengan ringan tanpa merasa ada sedikit halangan pun pada tanah becek yang mereka pijak. Malah seolah-olah ketiganya tidak menginjak tanah. Ini menandakan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki telah amat sempurna. "Sebenarnya aku pun demikian adanya," kata Patidina. "Namun bila pemuda yang dulu mengalahkan kita telah menjadi seorang tokoh budiman pembela kebenaran, aku amat bangga padanya."

"Begitu pula aku," kata Tek Jien. "Dan aku tak pernah menyesali kepergian murid kita bersamanya. Karena aku yakin, tentunya murid kita telah dibimbingnya dan diberinya hidup yang membahagiakan."

"Ya. ya... ternyata perasaan kalian sama dengan perasaan yang ada padaku sekarang," kata Mukti. "Ini membuatku pun merasa senang mengingat pemuda itu telah menjadi tokoh perkasa yang sakti dan pembela kebenaran."

Kini ketiganya berada di tempat yang agak lapang. Dan tidak begitu becek karena rumput yang tumbuh di sana begitu lebat.

Belum ada lagi yang menyahuti kata-kata Mukti, tiba-tiba dari balik rumput yang tebal itu berlompatan sepuluh orang berpakaian merahmerah dengan memegang tombak. Mereka langsung mengurung ketiganya.

Tatapan mereka tidak bersahabat. Garang. Dan tombak yang ada di tangan mereka,

agaknya telah siap terhunus.

Ketiga kakek itu berpandangan.

"Rupanya ada orang-orang yang tengah iseng pada kita," kata Mukti.

"Ya, dan mereka tak begitu suka pada kita," sambung Patidina.

"Benar," kata Tek Jien. "Mereka memang tidak bersahabat. Tetapi apa yang telah menyebabkan semua itu, aku tidak tahu."

"Benar, begitu pula dengan aku." kata

Mukti.

"Apakah kita akan meneruskan perjalanan

lagi?" kata Patidina.

"Hei, mengapa kita tidak lihat dulu apa sebenarnya yang mereka maui," kata Tek Jien.

Mendengar kata-kata ketiga kakek itu yang seolah tak merasa ada orang-orang itu di sana, yang mengurungnya, telah membuat memerah wajah salah seorang yang mengurung mereka.

Orang itu berperawakan tegap. Wajahnya kukuh dengan sepasang mata yang nyalang garang. Seluruh wajahnya ditumbuhi rambut yang lebat.

Orang itu menggeram.

Dan membentak dengan suara yang sangar, "Kakek-kakek peot... bila kalian ingin tahu apa maksud kami sebenarnya dan siapa kami bertanyalah!"

Ketiga kakek itu berpandangan kembali. Lalu seolah tak menyadari bahaya yang mengancam mereka kembali bercakap-cakap tanpa merasa orang-orang yang mengurung mereka siap menghujamkan tombak-tombak mereka.

"Dia menyuruh kita bertanya mereka mau apa," kata Mukti.

"Ya, dia juga menyuruh kita untuk bertanya siapa mereka," kata Patidina.

"Apakah kita akan bertanya?" tanya Tek

Jien. "Untuk apa?" Mukti balik bertanya.

"Benar, toh mereka tidak bersahabat dengan kita," sambung Patidina.

"Kalau begitu, kita terus saja?" kata Tek

Jien.

"Ya, untuk apa berlama-lama di sini," kata

Mukti seraya hendak melangkah.

"Toh kita tidak mengenal mereka dan tidak punya urusan dengan mereka," kata Patidina yang juga hendak melangkah.

"Ayolah kalau begitu," lanjut Tek Jien dan berbuat yang sama pula.

Mendengar kata-kata yang mereka ucapkan itu, membuat laki-laki yang membentak tadi semakin memerah wajahnya.

Dia geram dan merasa dipermainkan. "Kakek-kakek anjing! Jangan jual lagak di

depanku?!"

Ketiga kakek itu tidak jadi untuk melangkah. Kembali mereka berpandangan.

"Dia marah!" kata Mukti.

"Ya, dia membentak kita," kata Patidina. "Bukan hanya membentak, tetapi dia juga

memaki kita seperti anjing," kata Tek Jien. "Apakah kita harus marah?" tanya Mukti. "Dia  sudah  membentak  kita  dan memaki

kita seperti anjing," kata Patidina.

"Kalau begitu, kita beri pelajaran pada mereka!" sambung Tek Jien.

Dan kepala ketiga kakek itu pun berpaling pada laki-laki yang membentak itu.

Mukti berkata, "Hhh! kau telah lancang berkata, Ki Sanak! Kau seenaknya saja memaki kami seperti anjing! Apakah kau mempunyai nyawa dua, hah?!"

Merah padam wajah laki-laki itu. Kegeramannya sudah sampai ke ubun-ubun dan siapa untuk meledak.

"Kakek peot! Banyak omong pula kau, hah?! Apakah kau tidak tahu berhadapan dengan siapa?!" membentak marah laki-laki itu.

Kali ini Mukti berpaling pada kedua sahabatnya. Kakek itu terkekeh.

"Hehehe... untuk apa kita bertanya siapa mereka. Dia sendiri saja tidak tahu siapa dirinya." "Benar," Patidina pun terkekeh. "Dia ber-

tanya pada kita siapa dirinya."

"Hei, apakah dia sebenarnya cuma seorang badut yang tengah melucu di depan kita?" kata Tek Jien dan terkekeh panjang.

Orang itu bukan main geramnya. Marahnya bukan alang kepalang lagi. Begitu memuncak.

Lalu dia membentak lagi dengan suara orang seperti mau muntah.

"Anjing-anjing buduk! Kalian rupanya belum tahu siapa kami, hah?! Kami adalah gerombolan perampok Tombak Seribu. Namaku sendiri Barong Projo, pemimpin dari gerombolan ini! Barang siapa yang berani lancang dan menentang kemauan kami, maka dia harus mampus di tangan kami!"

"Lho, kami telah berbuat lancang apa?" kata Mukti. Lalu berpaling pada kedua sahabatnya. "Agaknya pagi ini kita bertemu dengan orang sakit jiwa."

"Benar, dia bilang kita anjing buduk! Eh, bukannya mereka yang seperti anjing-anjing buduk?" kata Patidina dan kakek itu terkekeh.

"Betul, betul... mereka bukan hanya anjing-anjing buduk! Tapi anjing-anjing kudisan... hehehe...!" terkekeh Tek Jien yang merasa lucu dengan ucapannya sendiri.

Dan murkalah Barong Projo. "Kakek-kakek peot, cepat kalian serahkan peti-peti yang kalian bawa itu! Atau... kalian ingin mampus hari ini juga!"

Mukti berkata lagi pada kedua sahabatnya, "O... rupanya peti-peti yang kita bawa ini yang mereka incar."

"Betul! Rupanya mereka ini memang perampok-perampok di siang hari... hehehe... perampok-perampok yang ternyata mau mati!" terkekeh Patidina.

"Apakah kita akan serahkan peti-peti ini pada mereka?" tanya Tek Jien.

"Bagaimana kalau murid kita marah?" tanya Mukti seolah kebingungan, padahal dia memang bermaksud untuk memancing kemarahan Barong Projo. Sejak mereka dikepung pun dia sebenarnya sudah tahu maksud sesungguhnya dari orang-orang ini. Sasaran mereka pasti petipeti yang mereka bawa!

"Betul. Aku lebih sayang pada murid kita daripada orang-orang ini," kata Patidina.

"Berarti mereka tidak kita berikan peti-peti ini," kata Tek Jien yang berpura-pura baru tahu akan kesimpulan kata-kata itu.

"Betul! Tapi kalau mereka bisa mengambilnya dan berhasil, ya lebih baik berikan saja!" kata Mukti.

dina.

Jien. "Jadi kita berikan kalau begitu?" kata  Pati-

"Kalau mereka mampu," kata Mukti. "Berarti  kita  harus  berkelahi?"  tanya Tek

"Hei, bukankah kita sudah lama tidak  pernah berkelahi," kata Mukti. "Jadi ini lebih baik untuk menyegarkan ingatan kita pada ilmu-ilmu yang kita miliki. Rasanya... ah, aku masih sanggup untuk menjatuhkan orang, hei!"

Mukti tak bisa meneruskan lagi katakatanya, karena dengan penuh murka dan kemarahan yang teramat sangat, Barong Projo sudah menyerbunya dengan tombak di tangannya.

Barong Projo tidak bisa menahan marahnya lagi karena ejekan-ejekan yang dilontarkan ketiga kakek itu. Maka dia pun segera menyerbu.

Tombak yang mengarah lurus ke arah Mukti, dengan mudah saja dihindarkannya dengan memiringkan tubuh.

"Wah, wah... rupanya orang ini pemarah betul!" kekehnya sambil melompat lagi ketika tombak itu mengarah ke kakinya.

Melihat ketua mereka sudah menyerang, tanpa dikomando lagi, anak buahnya segera menyerbu Patidina dan Tek Jien.

Dan kedua kakek itu pun segera melayaninya.

Meskipun masing-masing di pundak kakek

itu membawa peti yang cukup berat, namun gerakan mereka cukup gesit. Bahkan dengan terkekeh-kekeh mereka menghindari seranganserangan yang datang silih berganti dengan cepat. "Wah, wah... ini tidak main-main lagi!" kata

Mukti sambil menghindari beberapa tombak yang berdatangan ke arahnya. Kini dia dikerubuti tiga orang termasuk Barong Projo.

"Betul, kita harus beri pelajaran agar mereka kapok dan tahu siapa kita!" sahut Patidina.

"Jadi kita harus melawan?" tanya Tek Jien yang juga menghindari serangan-serangan itu.

"Mengapa tidak?!" seru Mukti sambil bersalto ke belakang. Begitu pula yang dilakukan dua kakek sahabatnya. Mereka pun berbuat yang sama.

Lalu sama-sama pula ketiganya meletakkan peti yang mereka bawa di tanah. Setelah itu ketiganya pun bersiap.

"Mampuslah kau, kakek-kakek peot!" geram Barong Projo sambil menyerbu yang diikuti oleh beberapa anak buahnya.

Dan ketiga kakek itu pun bergerak memapaki. Gerakan mereka amat gesit sekali.

Dengan tanpa beban di pundak, ketiganya bergerak bagaikan seekor burung. Tek Jien pun sudah mengeluarkan jurus andalannya Pukulan Tangan Seribu.

Gerakan kakek itu masih amat lincah. Tak ubahnya beberapa puluh tahun yang lalu. Kedua tangannya menderu-deru bagaikan berubah menjadi seribu.

Dan dengan tangan yang telah dialiri tenaga dalam dia bergerak bagaikan macan ngamuk. Dia menangkis. Memapaki dan membalas.

Membuat para penyerangnya menjadi jeri.

Apalagi ketika dua orang pingsan terkena pukulannya. Membuat dua lagi pengeroyoknya harus berhati-hati dengan segala serangan yang dilancarkan Tek Jien.

"Hehehe... rupanya kalian hanya besar mulut saja!" terkekeh kakek yang keturunan Cina itu.

Kembali dia melancarkan serangan. Dua penyerangnya menjadi kalang kabut. Dan sebisanya mereka untuk menangkis dan membalas.

Namun tangan Tek Jien yang berubah menjadi seribu itu, lebih dulu mendarat di beberapa bagian tubuh kedua lawannya.

"Des!"

"Des!"

Dua buah pukulan mendarat di masingmasing tubuh lawannya, yang langsung terjengkang pingsan.

Kakek itu terkekeh sambil menepuk-nepuk kedua tangannya.

"Dua sahabatku... untuk apa kalian bermain-main lagi? Cepat bereskan! Aku sudah bosan! Juga sudah lapar!" Tiga

Mendengar seruan Tek Jien yang seakan mengejek keduanya, Mukti dan Patidina pun segera menyerang dengan hebat.

Apalagi ketika dengan riangnya Mukti mematahkan dua buah ranting pohon sebesar pedang. Barong Projo dan dua anak buahnya yang membantu menjadi kewalahan.

Kakek itu telah menggunakan kedua ranting tadi sebagai pedang. Lalu dia pun memainkannya dengan jurus pedang kembarnya yang hebat.

"Hehehe... mengapa kalian mundur, hah?!" terkekeh kakek itu yang melihat ketiga lawannya menjadi ngeri dengan permainan kedua ranting yang dipegang oleh Mukti.

Meskipun hanya berupa ranting kecil, namun bila terkena rasa sakitnya bukan alang kepalang. Karena kedua ranting itu sudah dialiri tenaga dalam.

Mendengar kata-kata yang mengejek itu, membuat telinga Barong Projo menjadi memerah. Dia menggeram murka.

Dan kembali laki-laki berwajah menyeramkan itu menyerbu dengan buas. Disusul dengan dua orang anak buahnya. Tombak-tombak yang ada di tangan ketiganya benar-benar mampu untuk mencabut nyawa.

Namun yang dihadapinya adalah pendekar tua yang masih hebat memainkan ilmu pedang kembarnya.

Sebentar saja dua buah tombak yang dipegang anak buah Barong Projo sudah terlepas dari tangan mereka. Dan sambil memekik bersalto, kedua ranting yang ada di kedua tangan Mukti dengan cepat menotok hingga kedua orang itu terdiam kaku.

Mukti berdiri kembali dengan tegap di tanah. Menatap Barong Projo dengan tatapan mengejek.

"Hei, Muka Barong! Bukankah ini sudah sebagai bukti, bahwa kau dan para anak buahmu itu tak bisa merebut peti-peti yang kami bawa?! Nah, mengapa tidak kau bersujud saja untuk meminta ampun dariku! Hehehe... percayalah, aku adalah seorang kakek yang baik hati! Pasti kau kumaafkan... hehehe...!"

Wajah Barong Projo semakin memerah saja. Matanya membeliak-beliak penuh emosi. Nafasnya mendengus-dengus mirip kerbau jantan yang tengah mengamuk.

"Kubunuh kau, Kakek peot!" bentaknya seraya menyerbu. Kali ini dia menggunakan jurus andalannya, Tombak Menggapai Rembulan Menyapu Badai.

Jurus tombak yang dimainkannya demikian hebat. Menyambar-nyambar dengan ganas. Mengancam leher dan pergelangan kaki.

Mukti sejenak kebingungan menghadapi serangan-serangan itu. Namun dia pun memapakinya dengan ranting yang ada di tangannya.

Berkali-kali kedua senjata itu berbentrokan.

Hebat. Cepat.

Dan berbahaya.

Tek Jien cuma menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sedikitnya dia kagum dengan permainan tombak yang diperlihatkan oleh Barong Projo.

Sementara Patidina sudah menjatuhkan salah seorang pengeroyoknya. Dengan gerakan berguling yang cepat, kakek itu mengambil tombak yang jatuh di tanah.

Dan mematahkannya pada ujungnya. Membentuknya sebuah keris. Dengan patahan ujung tombak yang dianggapnya sebagai keris, mulailah dia memperlihatkan kehebatan permainan keris tunggalnya.

Para pengeroyoknya menjadi kewalahan. Dan sebentar saja mereka sudah terdesak. "Hei, apakah mereka ini harus kubunuh?!"

seru Patidina pada Tek Jien.

"Terserah padamu. Bila kau biarkan hidup pun, mereka akan semakin sombong saja! Mati pun mereka tak ada gunanya! Yah, terserah pada pilihanmu!" kata Tek Jien sambil melipat tangannya di dada.

"Kalau begitu, mereka akan kubuat pingsan saja!" kata Patidina. Dan kakek itu memperlihatkan kelincahannya bermain keris tunggal dari patahan ujung tombak.

Para pengeroyoknya menjadi kebingungan. Dan mereka pun sebisanya saja untuk menghindar dan melayani, tanpa bisa berbuat lebih banyak lagi.

Dan sebentar saja ujung tombak yang telah dipatahkan itu, mengenai sasarannya.

"Sret!"

"Sret!"

Gerakan yang diperlihatkan Patidina bukan main cepatnya. Ujung patahan tombak itu mengenai tangan yang seorang dan paha yang lainnya. Keduanya mengaduh.

Dan segera menekap darah yang mengalir.

Namun melihat kenyataan ini, keduanya bukannya malah jeri, malah semakin nekat menyerang.

"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Kakek busuk!" bentak salah seorang yang segera menyerbu disusul dengan temannya.

Ganas.

Dan berbahaya.

Tetapi Patidina hanya menyambutnya dengan terkekeh saja. Dia pun mengimbanginya dengan hebat. Namun baginya sekarang, sulit untuk melumpuhkan keduanya tanpa melukai mereka dengan luka yang cukup berbahaya.

"Maafkan aku, bila aku terpaksa membunuh kalian!" kata Patidina sambil melompat menghindari sambaran tombak yang mengarah pada kakinya.

Lalu dia melenting ke depan bersalto. Saat bersalto itu dia melakukan satu gerakan yang amat aneh. Dengan tiba-tiba saja dia sudah berada di belakang orang itu dan berguling. Dengan gerakan yang membingungkan, dia melewati kedua kaki orang itu yang terbuka.

Dan tangan kirinya pun menghantam bagian paha orang itu.

"Aaaaaahhhh!" terdengar jeritan yang keras disusul dengan suara 'krak'.

Paha orang itu patah. Dan tubuhnya menjadi limbung. Dia tak dapat menahan keseimbangan tubuhnya, juga merasakan sakit yang amat menyengat.

Dan tubuh itu pun ambruk.

Melihat temannya telah berhasil dilumpuhkan oleh kakek itu, yang seorang pun menjadi murka.

Dia menjerit hebat.

Dan menyerang dengan kalap serta membabi buta. Meskipun demikian, serangannya malah jadi berbahaya.

Namun Patidina bukanlah kakek yang baru saja turun gunung. Tidak mengetahui tipuan gerakan dari seorang jago silat. Dia sudah menguasai ilmu silat dan permainan senjata keris sejak muda.

Hal itu bukanlah sebuah kebetulan saja.

Maka dengan mudahnya dia pun berhasil mematahkan serangan orang itu. Kembali dengan gerakan yang sama seperti yang dilakukannya pada orang pertama, kali ini dia menghantam kedua paha orang itu hingga patah dan langsung ambruk, pingsan.

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya setelah berdiri kembali. "Dasar geblek! Bukannya minta maaf, malah cari penyakit!" gerutunya.

Tek Jien terkekeh.

"Hehehe... biarkan saja mereka. Toh, bukan salah kita. Ah, tapi agaknya kita sudah tidak pantas untuk berkelahi, kita sudah terlalu tua untuk itu," katanya yang menyadari keadaannya.

Begitu pula dengan Patidina. "Benar katamu, Tek Jien... kita memang sudah tidak pantas untuk menjadi seorang jagoan lagi. Tapi... hahaha... kita ini adalah pendekar-pendekar tua yang masih kok nekat berkelahi dengan orang-orang muda... hahahah!"

Tek Jien pun terbahak mendengar katakata sahabatnya.

Lalu keduanya memperhatikan Mukti yang masih bertarung dengan Barong Projo.

Dia memang bisa mengimbangi permainan tombak andalan yang diperlihatkan Barong Projo. Dan hal itupun berhasil diakhirinya dengan satu gerakan aneh yang diperlihatkannya.

Tiba-tiba saja tubuhnya meliuk-meliuk dengan gerakan yang membingungkan. Dan secara tiba-tiba pula kedua tangannya yang memegang dua buah ranting pun bergerak dengan gerakan seperti mengacau.

Ini membuat Barong Projo menjadi bingung. Dan lebih bingung lagi ketika mendadak saja salah sebuah ranting yang dipegang Mukti memukul pergelangan tangannya.

Dia menjerit. "Aaaaakh!" Dan makin menjerit ketika ranting yang sebuah lagi menyodok pangkal tangannya.

Tombaknya terlepas.

Mukti menghentikan serangannya. Dia terkekeh.

"Hehehe... lebih baik kau pergi dari sini, Barong Projo. Sebelum aku menjadi semakin jengkel dan menurunkan tangan telengas padamu..."

Barong Projo menggeram marah. Jengkel dan kesal.

Namun bila dia melawan pun dia merasa tidak mampu untuk mengatasinya. Kakek ini menurutnya begitu tangguh.

Maka dia pun bermaksud mundur.

"Kakek peot... hari ini kau menang. Tetapi ingat, aku akan datang kembali untuk mengambil nyawamu!" ancamnya dengan suara menggeram.

"Hehehe... kembalilah... aku pun masih ingin melihat sampai di mana kehebatanmu. Tapi kau pun perlu mengingatnya, lain kali bila kita bertemu lagi, aku tak akan pernah memberi ampun padamu, Barong!"

"Hhh! Kita buktikan nanti, siapa tak akan pernah memberi ampun!" seru Barong Projo. Lalu dia pun berkelebat meninggalkan tempat itu dengan membawa sejuta amarah dan dendam yang siap meledak suatu saat nanti.

Patidina berkata, "Rupanya kita sudah kembali ke zaman di mana kita masih segar dan muda dulu..."

Tek Jien pun menyahuti, "Benar, dan kita tak bisa lagi menghindar dari semua ini. Tadi adalah sebuah permulaan yang akan terjadi pada kita "

Mendengar kata-kata kedua sahabatnya, Mukti pun mendekat.

"Yah... aku pun sebenarnya merasa malu karena di usia kita yang sudah senja ini masih suka sok-sok berbuat seperti tadi. Tapi... bukankah ini menandakan kalau kita masih memiliki kehebatan yang sama seperti dulu?" kata Mukti sambil memperhatikan kedua sahabatnya.

Patidina terkekeh. "Hehehe... kalau mau jujur, aku pun harus mengakuinya, bahwa gerakanku sudah begitu lamban dan tak bertenaga "

Tek Jien pun berkata, "Sama seperti aku., gerakanku pun sudah tidak selincah dulu lagi. Aku mendadak saja merasa cepat lelah. Dan yang pasti, aku sudah tahu, kalau aku sebenarnya tak bisa berbuat banyak seperti dulu lagi... ah, ketuaan ini ternyata mendera kita, bukan?"

"Benar kata-katamu itu, Tek Jien...," kata Mukti. "Kita memang tidak bisa seperti dulu lagi. Aku pun tadi merasa sudah sedikit kewalahan menghadapi permainan tombak yang hebat dari Barong Projo. Cuma saja, aku menang pengalaman dalam hal bertarung "

Ketiga kakek itu terdiam. Dan mereka baru menyadari, kalau ketuaan mereka yang datang perlahan-lahan ini ternyata begitu menyiksa sekali. Mereka sebenarnya kecewa melihat gerakangerakan yang mereka perlihatkan. Karena masing-masing merasakan kalau gerakan mereka sudah lambat dan tidak lincah seperti dulu lagi.

Sebelum mereka bertemu dengan gerombolan perampok dan berkelahi, mereka tidak menyadari kalau gerakan mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkin hanya naluri mereka saja yang bisa diandalkan dalam hal berkelahi.

"Sahabat-sahabatku," kata Mukti. "Kita memang sudah semakin tua saja. Dan aku ingin sekali di masa tuaku ini bisa tenang dalam mengakhiri masa hidup. Dan aku tak ingin lagi terlibat dengan segala urusan keduniaan."

"Begitu pula denganku, Mukti," kata Patidina. "Aku berharap, dapat hidup yang sempurna dan berhasil di masa hayatku ini."

"Keinginan kalian tidak jauh berbeda dengan apa yang kuinginkan," kata Tek Jien. "Ya, ya... di samping itu, sebelum ajal menjemputku, aku masih ingin melihat murid kita, Ratih Ningrum dan suaminya, Madewa Gumilang "

Mendengar kata-kata Tek Jien, Mukti dan Patidina seperti diingatkan akan rencana semula mereka.

Lalu Mukti berkata, "Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat menuju Perguruan Topeng Hitam. "

Dan ketiganya pun kembali mengambil peti-peti yang mereka bawa tadi. Dan ketiganya mulai melangkah lagi, meninggalkan beberapa orang yang pingsan dan terluka.

Meninggalkan tempat yang baru saja terjadi perkelahian.

Dan menyongsong senja tak terasa mulai datang menjelang.

Empat

Malam semakin larut. Pekat. Udara berhembus amat dingin. Membuat tubuh menggigil dan sampai ke tulang sumsum rasanya. Bunyi binatang malam bersahut-sahutan. Dan samarsamar terdengar lolong anjing malam yang menyayat dan menggetarkan hati.

Di sebuah hutan kecil itu, satu sosok tubuh berkelebat dengan hebat. Langkahnya cepat. Bagai sebuah bayangan belaka.

Sinar rembulan yang terhalang oleh pohonpohon yang tumbuh di sana, tak bisa mencapai ke tanah. Membuat suasana hutan itu bertambah menyeramkan.

Namun sosok tubuh yang berlari itu, tak menghiraukan suasana yang menyeramkan. Dia terus saja berlari.

Bila rembulan bisa menembus sedikit saja pekatnya hutan, maka akan terlihat wajah itu betapa geram. Sinar matanya seakan memancarkan amarah yang teramat sangat.

Sosok itu adalah Barong Projo.

Setelah dikalahkan oleh Mukti, dan melihat beberapa anak buahnya pingsan dibuat oleh Patidina dan Tek Jien, Patidina Barong Projo menjadi amat murka. Dan dia tidak terima perlakuan seperti ini.

Barong Projo bermaksud meminta bantuan pada teman-temannya yang berada di hutan itu. "Mudah-mudahan Tiga Setan Pemetik

Bunga berada di tempat kediaman mereka malam ini," katanya sambil terus berlari.

Di hutan itu, terdapat sebuah telaga. Dan di belakang telaga itu terdapat sebuah gubuk jelek yang amat menyeramkan.

Di pintu gubuk itu terdapat dua buah kepala berbentuk tengkorak, dan dua buah dupa yang mengepulkan asap.

Barong Projo berhenti di depan gubuk itu. "Hmm... agaknya ketiganya ada di tempat,"

gumamnya yang melihat dupa mengepulkan asap. Bertanda Tiga Setan Pemetik Bunga tidak ke mana-mana. Bila mereka pergi. Dupa itu tak akan mengepulkan asap.

Barong Projo bermaksud hendak mengetuk pintu gubuk itu. Namun urung ketika mendengar suara kekehan dan tangisan dari dalam.

Dia menjadi mendengus sendiri.

"Sialan! Rupanya tiga kakek itu sedang asyik berpesta. Ayam-ayam bulat mana lagi yang sedang mereka siangi ini!"

Dari dalam gubuk itu terdengar suara kekehan disusul dengan suara berkata, "Hehehe... mengapa tidak sejak tadi kau diam saja, hah? Mengapa harus berontak? Toh berontak atau pun tidak sama saja. Aku akan tetap menikmati hangatnya tubuhmu, Manis..."

Dan terdengar suara rintihan mirip tangisan. Begitu mengibakan.

Terdengar lagi suara yang lain, "Hehehe... rupanya kau sudah selesai, Polodomo!"

"Kau juga demikian bukan, Pala Tunggal?" terkekeh Polodomo.

"Aku pun sudah selesai, kawan-kawan," terdengar suara yang lain. "Bukan main, di malam yang dingin ini suasana menjadi teramat hangat dengan adanya ayam-ayam bulat yang telah membangkitkan birahi kita "

"Hahaha.... ini semua karena nafsumu yang sulit untuk kau kekang, Sakung Bukit!" tertawa Polodomo.

Dan di sela tawa Tiga Setan Pemetik Bunga, terdengar isak pilu dari tiga orang gadis yang baru saja mereka perkosa. Ketiga gadis itu diculik orang-orang itu saat mandi sore di sungai. Mereka berasal dari desa seberang.

Tiba-tiba terdengar jeritan gadis yang berambut panjang. Lalu disusul dengan kepala terkulai. Rupanya dia tidak kuat menahan penderitaan yang telah dialami dan akan dialaminya nanti. Dia tak mau dirinya diejek orang, ditertawakan orang karena sudah tidak perawan lagi. Bahkan yang amat memalukan, perawannya digasak orang dengan buas.

Makanya dia lebih baik memilih mati daripada hidup harus menanggung malu.

Melihat teman mereka telah menjadi mayat dengan jalan membunuh diri dengan menggigit lidahnya sampai putus, kedua temannya pun berbuat yang sama.

Mendengar jeritan itu, Tiga Setan Pemetik Bunga menoleh seketika. Polodomo mendengus, "Gadis-gadis bodoh! Dipikirnya enak mati, apalagi dengan jalan membunuh diri?! Dasar bodoh! Bukankah melayani kita-kita lebih enak, Kawan-kawan?"

Pala Tunggal dan Sakung Bukit terbahak. "Betul, betul, itu!" kata Sakung Bukit di se-

la tawanya.

"Mereka rupanya tak pernah merasakan secara pasti, betapa nikmatnya sorga dunia yang kita ciptakan "

"Dan membuat kita terlena, bukan?!" sambung Pala Tunggal.

Ketiganya terbahak lagi.

Di luar gubuk itu, Barong Projo yang mendengarkan semua percakapan itu dan telah mengetahui apa yang telah terjadi di dalam, mendengus.

"Dasar, kakek-kakek cabul! Sudah pada uzur saja masih menghambur-hamburkan nafsu!" gerutunya. Tetapi kemudian dia terkekeh. "Hehehe... bukankah bila mereka menjadi orang baik-baik sekarang, aku tak akan bisa meminta bantuan mereka untuk membalaskan dendamku dan merebut tiga buah peti yang dibawa para kakek brengsek itu!"

Tiba-tiba suara terbahak di dalam terhenti. Disusul dengan suara, "Barong Projo! Sejak tadi kami menantimu untuk masuk! Mengapa kau masih berdiam di luar, hah?! Ataukah kau senang bila tubuh dan wajahmu yang jelek itu digigiti nyamuk-nyamuk liar, hah!"

Barong Projo mendengus. Lebih mendengus lagi ketika dia membuka pintu, tiga orang kakek yang berada di dalam terkekeh.

"Hahahah... bukankah lebih baik sejak tadi kau masuk ke sini, Barong?!" kata Polodomo. Dia adalah seorang kakek bertubuh kurus. Di pergelangan tangannya terdapat banyak gelang bergerigi. Wajahnya ditumbuhi janggut putih.

Kembali Barong Projo mendengus.

"Hhh! Apakah kalian mau bila kuganggu keasyikan kalian, hah?!"

Pala Tunggal terbahak. "Hahaha... jangan marah seperti itu sahabat. Kau adalah sahabat kami yang paling baik. Nah, ada kabar apa kau malam-malam datang ke sini, hah! Dan kulihat wajahmu begitu kusut! Sepertinya kau tengah menyimpan suatu perasaan yang menjengkelkan!" Barong Projo menatap Pala Tunggal. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh gemuk. Kepalanya sedikit botak. Sepasang alisnya hitam le-

gam di wajahnya yang tembam.

"Benar katamu, Pala Tunggal," berkata Barong Projo. Dan sepasang matanya mendadak saja memancarkan sinar dendam. Sinar mata itu tak luput dari perhatian ketiga kakek sahabatnya itu.

"He, ada apakah gerangan?!" tanya Sakung Bukit. Dia seorang kakek yang tinggi langsing. Dengan rambut yang terikat ekor kuda.

"Panjang bila kuceritakan seluruhnya." "Lebih baik demikian, biar kami jelas apa

yang telah menyebabkan kau menjadi begitu," kata Sakung Bukit lagi.

"Dan yang perlu kalian ingat, warisan itu pasti amat banyak jumlahnya!" kata Barong Projo.

Ketiga kakek pemetik bunga itu terbahak.

Pala Tunggal lalu membuang mayat tiga gadis yang membunuh diri dengan jalan menggigit lidah masing-masing. Setelah itu dia kembali lagi ke gubuk itu.

Polodomo mengambil tuak merah yang mereka simpan. Lalu sampai pagi mereka meminum sampai mabuk.

Barong Projo sudah tidak sabar lagi menunggu matahari sepenggalah. Dia sudah teramat marah, dendam dan sakit hati pada tiga kakek yang membawa peti yang melabrak dia dan anak buahnya.

"Tak lama lagi, kalian kakek-kakek sialan, akan mampus berkalang tanah!" desisnya dengan suara menggeram.

"Dan kau perlu ingat, kau adalah sahabat kami yang paling baik dan setia, Barong. Barangsiapa yang berani mengusikmu, berarti dia juga mengusik kami. Barang siapa dia menjadi temanmu, maka dia juga menjadi teman kami."

Mendengar kata-kata salah seorang dari Tiga Setan Pemetik Bunga, wajah Barong Projo berseri-seri. Lalu dia pun menceritakan semua yang telah menimpa diri dan anak buahnya.

"Hhh....siapa tiga orang kakek itu?!" mendengus Polodomo dengan gusar.

"Aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya. Mereka bernama Mukti, Patidina dan Tek Jien " sahut Barong Projo.

"Hhh! Apa sebenarnya yang mereka bawa?!" tanya Sakung Bukit. Dia sudah tidak sabar ingin mencari tiga kakek itu dan membalaskan dendam sahabatnya.

"Sebenarnya sejak semula kami telah mengikuti ketiganya yang masing-masing membawa sebuah peti. Dari percakapan yang mereka lakukan, aku yakin sekali kalau tiga buah peti itu berisi emas permata dan berlian. Dan dari percakapan mereka pula aku mendengar, kalau semua itu adalah harta warisan "

"Ah, sayang sekali kau tidak bisa merebut peti-peti itu dari tangan mereka," kata Pala Tunggal. "Bila kau berhasil merebut satu saja, maka kita akan kaya raya!"

"Hahaha... benar, benar itu!" terkekeh Polodomo. "Barong.... ya... ya... kami akan membantumu untuk membalaskan sakit hatimu pada tiga kakek itu. Dan juga merebut warisan itu dari tangan mereka. Hmmm... kau tahu kira-kira mereka ke mana?"

"Secara pasti aku tidak tahu! Tapi yang kutahu, mereka tengah menuju ke arah timur Gunung Slamet!"

"Mau apa mereka ke sana?"

"Aku tidak tahu. Barangkali, si ahli waris berada di sana."

"Bagus kalau begitu. Yang penting kita sudah tahu kemana orang-orang itu pergi," kata Pala Tunggal.

"Ya, kita akan hajar ketiga kakek itu!" sahut Polodomo.

"Kalau begitu, malam ini kita bersiap. Sehingga besok kita bisa langsung keluar mencari ketiga kakek itu," kata Sakung Bukit. "Aku sudah tidak sabar ingin menghajar karena ketiganya berani-beraninya menghajar dan menghancurkan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Barong Projo, sahabat kita!"

Wajah dan hati Barong Projo menjadi gembira mendengar ucapan dari Tiga Setan Pemetik Bunga yang bersedia membantunya.

Lima

Tiga kakek yang membawa peti di bahu masing-masing berhenti melangkah. Dan pandangan mereka lekat pada tembok-tembok tinggi yang mengelilingi sebuah halaman besar dan bangunan besar di dalamnya.

"Patidina... apakah kau yakin ini Perguruan Topeng Hitam?" tanya salah seorang kakek.

"Aku yakin sekali, Mukti. Bukankah kau tadi mendengarnya sendiri ketika orang yang kutanya itu menjawab?"

"Kalau memang benar ini adanya Perguruan Topeng Hitam dan dipimpin oleh Madewa Gumilang serta murid kita Ratih Ningrum, alangkah berbahagianya aku "

"Ya, berarti kita tidak sia-sia menurunkan ilmu dan melepas Ratih Ningrum pergi bersama Madewa Gumilang," kata Tek Jien. Ketiga kakek itu tak lain Mukti, Patidina dan Tek Jien. Setelah menempuh hampir seminggu lamanya sejak perkelahian mereka dengan Barong Projo pimpinan gerombolan perampok Tombak Seribu, kini ketiga kakek itu telah tiba di depan Perguruan Topeng Hitam.

Senja sudah mulai datang.

Dan angin berhembus dengan sejuk.

Ketiga kakek itu memandangi lagi bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi.

"Apakah kita masuk sekarang?" tanya

Mukti.

"Mengapa tidak?" sambung Patidina. "Benar,  tunggu  apa  lagi?"  kata  Tek Jien.

"Bukankah kita butuh istirahat dan makan?" "Bagaimana bila bangunan yang  dikelilingi

tembok tinggi ini bukan Perguruan Topeng Hitam?" tanya Mukti.

"Benar. Bagaimana pula bila bukan dipimpin oleh pemuda yang pernah mengalahkan kita dulu, Madewa Gumilang?" kata Patidina.

"Ya, ya...." Tek Jien mengangguk-angguk. "Bila kini bukan Perguruan Topeng Hitam, kedatangan kita bisa dikatakan dengan menantang. Dan bila ini Perguruan Topeng Hitam namun bukan dipimpin oleh Madewa Gumilang, keadaan kita pun tak banyak bedanya."

"Lalu bagaimana?" kata Mukti.

"Apa yang harus kita perbuat?" kata Pati-

dina.

"Betul! Perut ku pun sudah lapar!" kata

Tek Jien. "Tapi kita harus meyakinkannya terlebih dulu!" kata Mukti.

"Kita tak bisa berdiam diri di sini saja."

"Ya, kalau kita bengong saja kayak kambing congek, kita tidak akan pernah tahu bangunan apa yang ada di balik tembok tinggi ini," kata Patidina.

"Berarti kita masuk bukan?" kata Tek Jien seolah-olah bertanya.

Ketiga kakek ini rupanya suka sekali percakapan yang seolah-olah satu sama lain masih ragu. Padahal maksud mereka untuk masuk ke bangunan itu.

Setelah itu ketiganya pun mulai melangkah dengan membawa peti di pundak masing-masing.

Di pintu gerbang bangunan itu terdapat dua orang penjaga yang mengenakan pakaian hitam-hitam dengan bertopeng hitam pula yang menutupi wajahnya. Di punggung masing-masing tersampir dua buah pedang bersilangan.

Melihat ketiga kakek itu datang, kedua penjaga tadi segera mendekat dan bersikap menghadang.

"Hmm... ada apa, Kakek?" tanya salah seorang.

Mukti memandang kedua sahabatnya. "Lihat pakaiannya. Hitam-hitam. Dan dia pun mengenakan topeng berwarna hitam pula," katanya.

"Berarti memang ini Perguruan Topeng Hitam," kata Patidina.

"Jangan bergembira dulu, kita tanyai siapa pemimpin mereka," kata Tek Jien.

Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga

itu.

"Ki Sanak... kedatangan kami hanya untuk

sekedar bertanya "

"Bertanya apa, Kakek?"

"Benarkah ini Perguruan Topeng Hitam?" "Ya."

"Benarkah perguruan ini dipimpin oleh Madewa Gumilang?"

"Ya."

"Benarkah dia yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma?"

"Ya... hei, Kakek... untuk apa kau bertanya-tanya seperti itu?"

Tetapi Mukti tidak perduli dengan keheranan penjaga itu. Dia terus bertanya.

"Benarkah istrinya yang bernama Ratih Ningrum?"

Walau keheranan penjaga itu mengiyakan pula

"Ya."

"Apakah istrinya memiliki ilmu Sepasang Pedang Kembar, Keris Tunggal dan Pukulan Tangan Seribu?"

"Ya."

Mendengar jawaban terakhir itu diucapkan, gembira Mukti berpaling pada kedua sahabatnya.

"Tidak salah lagi. Perguruan ini dipimpin oleh penjaga kuda majikan kita dulu. Dan istrinya murid kita!" "Benar, aku sudah tidak sabar untuk melihatnya!" kata Patidina.

"Cepat kau minta pada kedua penjaga ini, bahwa kita ingin masuk!" kata Tek Jien.

Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga

itu.

"Tolong sampaikan kepada ketua kalian

dan istri beliau, bahwa tiga pengawal Biparsena datang kepada mereka " katanya.

Tetapi kedua penjaga itu malah terdiam. Dari balik topeng yang mereka kenakan, sepasang mata itu menatap menyelidik.

"Hei, mengapa kalian diam saja?!" tanya Mukti sedikit heran dan kesal.

Salah seorang berkata dengan nada merandek, "Hmm. tidak semudah itu datang untuk

menemui ketua dan istrinya "

"Kenapa?"

"Kami tidak mengenal kalian bertiga, Kakek. Dan sepertinya kalian tidak pernah datang kemari sebelumnya."

"Memang betul! Tapi kami guru dari Ratih Ningrum!"

"Hmm... kakek banyak orang-orang jahat yang datang berpura-pura dengan maksud baik kepada Ketua dan Nyonya Ketua, tapi kenyataannya "

"Jadi kau menyangka kami orang jahat?!" potong Mukti jengkel. "Dasar penjaga, Tolol! Cepat kalian masuk dan katakan kami datang!"

Tetapi kedua penjaga itu tetap berdiam di tempat. Malah tanpa diduga, keduanya telah meloloskan sepasang pedang mereka.

"Tidak mudah untuk menemui Ketua dan Nyonya Ketua. Dan pergilah kalian dari sini Kakek, sebelum kemarahan kami menjadi-jadi "

Mukti mendengus. "Dasar penjaga tolol! Rupanya kau terlalu banyak berprasangka buruk pada tamu "

"Karena terlalu banyak pula tamu yang berpura-pura baik dan mengenal Ketua dan Nyonya Ketua tetapi sebenarnya dia bermaksud jahat!" balas penjaga itu tak mau kalah. Suaranya pun menggeram.

"Hhh! Dan kau pun menyangka kami adalah orang-orang yang bermaksud jahat?!" potong Tek Jien yang tidak sabaran. Dia jengkel karena kedua penjaga ini terlalu lamban bergerak.

"Ya! Dan kami minta, kalian sebaiknya pergi dari sini!" seru penjaga itu lagi.

"Sialan!" maki ketiga kakek itu berbaren-

gan.

"Bila kalian tidak mau pergi juga dari sini,

jangan salahkan kami bila kami bertindak kejam!" "Hei, jadi  kau benar-benar menyangka  ka-

mi orang jahat dan mengusir kami?!" seru Patidina.

"Kupikir, meskipun kalian sudah kakekkakek, tetapi telinga kalian masih berfungsi!"

Memerah wajah ketiga kakek itu. Bila dikatakan tidak berfungsi, berarti mereka budek. Dan dibilang masih berfungsi, ini pun sudah merupakan satu ejekan.

Mukti berkata sambil menahan geramnya, "Hmm... kami masih ada tenggang rasa sebenarnya. Kami kagum dengan kesiagaan kalian berdua menjaga. Yang amat berhati-hati. Namun kami tidak suka melihat gerak kalian yang lamban seperti ini... Bila kami bermaksud jahat, kalian sudah kami lumpuhkan, tahu! Mengerti kalian?!"

Bila saja ketiga kakek itu melihat wajah keduanya yang berada di balik topeng hitam yang keduanya kenakan, dapat melihat wajah keduanya merah padam.

Gerakan mereka lamban? Hhhh! Keduanya mendengus.

Keduanya menatap tidak percaya pada ketiga kakek yang nampak tidak sabar menunggu.

Tetapi keduanya pun tak mau membiarkan ketiganya masuk begitu saja. Karena mereka tahu, betapa banyaknya orang-orang jahat yang iri dan mempunyai dendam kepada Ketua dan Nyonya Ketua mereka. Ini menyebabkan mereka menjadi lebih hati-hati untuk menerima tamu yang datang.

Apalagi sebagian besar orang-orang jahat yang datang, selalu berpura-pura baik. Mengenal ketua dan Nyonya Ketua. Sahabat akrab mereka. Dan masih banyak lagi cara berpura-pura yang digunakan oleh orang-orang jahat untuk membunuh Ketua dan Nyonya Ketua mereka.

Itulah sebabnya, keduanya tidak mau membuat kesalahan dengan resiko yang cukup tinggi.

Bagi keduanya, lebih baik nyawa mereka yang lepas dari jasad daripada nyawa Ketua dan Nyonya yang mereka amat hormati itu.

Pandangan keduanya lekat pada ketiga kakek itu yang nampak sudah jengkel menunggu.

"Cepat kalian katakan pada Ketua kalian, bahwa kami, Mukti, Patidina dan Tek Jien datang untuk bertemu," kata Tek Jien yang sudah bosan untuk berlama-lama di sini.

Begitu pula dengan kedua sahabatnya.

Mereka sudah tidak sabar untuk berjumpa dengan murid mereka Ratih Ningrum.

Namun kedua penjaga itu tetap pada keputusannya.

"Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum kami menjadi marah!"

"Penjaga tolol!" membentak Mukti karena jengkelnya. "Apakah kau tidak bisa membedakan orang yang bermaksud jahat dan  bermaksud  baik "

"Pergi dari sini kataku "

"Setan!"

"Pergi dari sini, atau kalian akan melihat betapa gerakan kami begitu cepat. Tidak seperti sangka kalian!" seru penjaga itu dan tiba-tiba saja dia menyerbu dengan dua buah pedang terhunus, ke arah Mukti!

Enam

Menerima serangan yang dilancarkan secara tiba-tiba itu bagi Mukti bukanlah suatu hal yang menyusahkan. Namun dia terkejut karena penjaga itu benar-benar membuktikan ucapanucapannya untuk menyerang.

"Dasar tolol! kau hanya membuang waktu dan tenaga saja?" geramnya seraya memiringkan tubuhnya. Namun dia pun harus melompat ketika kedua pedang itu bergerak menyabet ke arah kakinya.

"Tahan seranganku ini, Kakek!" seru penjaga itu dengan geram dan terus melancarkan serangannya.

Melihat kawannya sudah menyerang, penjaga yang satunya lagi pun dengan ganas menyerbu ke arah Tek Jien.

"Hei!" seru Tek Jien terkejut dan menghindari dengan jalan bersalto.

Diam-diam penjaga itu kagum melihat kakek itu bergerak demikian cepat dengan membawa beban di pundaknya.

"Mampuslah kau, Kakek!" geramnya yang juga punya keyakinan yang sama seperti temannya kalau ketiga kakek ini bermaksud jahat.

"Hhh! Kau tak banyak beda dengan temanmu itu! Sama-sama tolol!"

Namun bagi kedua penjaga atau murid Perguruan Topeng Hitam itu, hanya sia-sia saja serangan yang mereka lakukan terhadap Mukti dan Tek Jien.

Karena kedua kakek itu bukanlah tandingan mereka.

Sebentar saja keduanya berhasil dilumpuhkan. Namun suara ribut-ribut itu memancing beberapa murid yang lain dan segera mengurung mereka.

"Runyam! Runyam sudah semuanya!" menggerutu Patidina sambil menghentakhentakkan kakinya ke tanah. Apa yang dilakukannya sebenarnya bisa mengundang tawa. Namun tak ada seorang pun yang tertawa.

Apalagi beberapa murid Perguruan Topeng Hitam yang baru datang dan terkejut melihat kedua kawan mereka terjatuh di tanah.

"Hhh!" salah seorang mendengus. "Siapa kalian kakek? Dan maksud apa kalian membuat onar di sini, hah.!"

Mukti pun mendengus.

"Kami adalah tiga kakek dari desa Bojongronggo. Namaku Mukti, ini kawanku Patidina dan Tek Jien. Kami datang ingin bertemu dengan Ketua dan Nyonya Ketua kalian."

"Tidak mudah untuk bertemu dengan mereka, Kakek "

"Katakan, kami adalah guru dari Ratih Ningrum. "

"Tidak, Kakek... tidak semudah itu "

"Ada apa ini?!" terdengar suara di belakang mereka. Nampak seorang laki-laki muda tengah berjalan mendekat.

Melihat kemunculan orang itu, para murid Perguruan Topeng Hitam segera menjura.

Lalu salah seorang berkata, "Maafkan kami Putra Guru    ada tiga orang kakek yang mengaku

sebagai  guru  dari  Nyonya  Ketua...  mereka  memaksa ingin masuk dan bertemu dengan Ketua dan Nyonya Ketua."

Laki-laki muda yang tak lain Pranata Kumala, putra dari Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum, memandang ketiga kakek itu dengan seksama.

Pranata Kumala dan istrinya. Ambarwati memang berada di Perguruan Topeng Hitam. Sebelumnya mereka selalu bertualang. Namun ketika rindu datang mendera pada keduanya untuk kembali ke rumah, malapetaka pun terjadi.

Pranata dan istrinya tinggal di Laut Selatan. Rumah milik istrinya. Namun di Laut Selatan terjadi prahara yang amat ganas.

Gerombolan orang-orang jahat pimpinan Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah datang memporak-porandakan seisi desa dan pantai laut Selatan. Dalam satu pertarungan yang sengit, Pranata bisa dikalahkan oleh Nyai Prodo.

Dia ditangkap dan disiksa.

Bila Madewa Gumilang dan istrinya tidak datang, mungkin ajal sudah menjemput Pranata Kumala dan istrinya. Lalu Pranata pun dibawa ke Perguruan Topeng Hitam untuk diobati (Baca: Prahara di Laut Selatan).

Kini luka-lukanya telah sembuh.

Pranata tersenyum pada ketiga kakek itu. "Maafkan para sahabatku, Kakek...." ka-

tanya dengan suara yang sopan.

Mendapat sambutan yang hangat dan sopan itu, membuat ketiga kakek itu tersenyum.

"Anak muda... kami datang untuk berjumpa dengan Ketua dan Nyonya Ketua dari Perguruan ini. Hmm... siapakah Anak muda sebenarnya?"

"Namaku Pranata Kumala. Aku adalah putra dari ayah dan ibuku yang bernama Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum."

Wajah ketiga kakek itu berseri. "Benarkah?" tanya ketiganya serempak. Pranata mengangguk.

"Benar, kakek... Lalu siapakah kakek sekalian ini? Dan mengapa kakek ingin menjumpai ayah dan ibu?"

"Pranata... pernahkah ibumu menceritakan kalau dia memiliki tiga orang guru yang bernama Mukti si Pedang Kembar, Patidina di Keris Tunggal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu?"

"Pernah, Kek."

"Kau sudah pernah berjumpa dengan ketiga guru ibumu itu?"

"Belum, Kek."

"Nah, kamilah tiga guru dari ibumu itu. "

Wajah Pranata Kumala berseri. "Benar-

kah?"

"Maafkan kami, Pranata... tolong panggil

ibumu kemari. Biar semuanya menjadi jelas dan salah paham yang terjadi antara kami dengan para murid di sini tidak berlarut-larut...." kata Mukti.

Pranata Kumala menyuruh salah seorang murid untuk memanggil ayah dan ibunya.

Tak lama kemudian, muncul dua sosok tubuh dari bangunan besar itu. Satu sosok tubuh mengenakan pakaian berjubah putih dengan senyum arif dan bijaksana. Usianya kira-kira 45 tahun. Yang satu lagi seorang wanita yang nampaknya telah matang dalam pengalaman hidup. Wajahnya masih cantik jelita.

Hati ketiga kakek itu berdebar keras. Masing-masing menggumamkan kata, "Ratih! Madewa!"

Ratih Ningrum dan Madewa sendiri terkejut melihat ketiga kakek yang datang itu.

Ratih Ningrum berlari dan menjatuhkan diri di hadapan ketiga kakek itu yang menjadi terharu.

"Guru!"

Masing-masing menurunkan peti yang mereka bawa.

"Guru... sembah dari muridmu yang telah lama tidak mengunjungimu...." terdengar suara Ratih Ningrum yang terdengar terharu.

Mukti berkata, "Bangunlah, Ratih... Kau tak pantas berbuat seperti ini di hadapan para muridmu "

"Tidak Guru... bila Guru belum menerima sembah saya, saya akan terus berlutut di sini "

"Sembahmu kami terima, Ratih "

Perlahan-lahan tubuh Ratih Ningrum bangkit berdiri. Terlihat kalau matanya berkacakaca. Mereka merasa amat terharu melihat murid mereka telah menjadi istri dari seorang pendekar budiman.

Madewa pun mendekat dan menjura, "Selamat datang di Perguruan Topeng Hitam ini, Guru "

Ketiga kakek itu semakin terharu. Mereka masih ingat kalau dulu mereka pernah dikalahkan oleh Madewa Gumilang yang masih perjaka dalam uji tanding di hadapan majikan mereka. Dan kini pemuda yang telah tumbuh menjadi seorang gagah perkasa memanggil mereka dengan sebutan Guru, betapa makin terharu dan besarnya hati mereka.

"Madewa... tidak kusangka kau telah menjadi seorang tokoh yang disegani kawan maupun lawan " kata Mukti.

"Aku pun kagum denganmu, Madewa "

kata Patidina. "Kau telah merawat dan melindungi murid kami terkasih. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami ucapkan "

"Kami tetap merestui kalian sampai kapan pun...." kata Tek Jien sambil menghapus air matanya.

"Janganlah Guru berkata demikian," kata Madewa tersenyum. "Aku tetap Madewa Gumilang yang dulu..."

"Ah, sifatmu itulah yang sejak dulu kagum secara diam-diam, Madewa...." kata Mukti. "Kau selalu merendah dan selalu tidak tinggi hati. Padahal hampir semua yang kami tanyai selalu mengenal kau. Namamu agaknya sudah lekat pada mereka sebagai pendekar budiman "

Madewa tersenyum. "Jangan terlalu banyak memuji, Guru..." Lalu dia berkata pada para muridnya, "Kalian berlutut di hadapan Kakek Guru kalian ini, dan minta maaf apa yang telah kalian lakukan tadi "

Serentak semua murid yang ada disana menjatuhkan diri dan berkata, "Maafkan kami, Kakek Guru "

Semakin terharulah hati ketiga kakek itu menerima semua perlakuan ini.

"Bangunlah kalian semua... bukan aku yang seharusnya kalian hormati, bukan pula dengan kedua sahabatku ini. Tetapi Ketua dan Nyonya Ketua kalianlah yang harus kalian hormati," kata Tek Jien.

"Mengapa Guru berkata demikian?" tanya Ratih Ningrum. "Kalian adalah tiga orang Guruku yang baik hati, dan dengan penuh keikhlasan dan kerelaan menurunkan ilmu kalian kepada seorang gadis manja dan nakal dulu "

Ketiga Gurunya tersenyum.

"Agaknya.... kini tak pantas lagi kami yang dihormatimu Ratih. Tetapi kami yang harus menghormatimu. Bukankah begitu, Dua sahabatku?" tanya Mukti sambil berpaling pada Patidina dan Tek Jien.

"Benar, Mukti. Kita yang harus menghormatinya. " kata Patidina.

"Dan bukan dia yang menghormati kita," kata Tek Jien.

Hari Ratih Ningrum menjadi tercekat mendengar kata-kata tiga gurunya.

"Guru... janganlah Guru berkata demikian. Aku tetaplah murid kalian yang amat setia dan menghormati kalian... Yang selalu menjunjung tinggi nama kalian sebagai tiga orang guruku yang telah susah payah menurunkan ilmu kalian kepadaku," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Tiga kakek itu kembali menjadi terharu.

Ratih Ningrum tetap seperti dulu, Hanya bedanya kini tak lagi nampak kemanjaan pada wajah dan matanya. Kita yang ada hanyalah seorang wanita yang telah banyak memakan pahit getirnya kehidupan ini.

Kaya akan pengalaman hidup.

Dan kini dia telah menjadi seorang wanita yang amat dihormati dan disanjung oleh muridmuridnya. Juga menjadi istri dari seorang pendekar kenamaan.

Madewa memanggil Pranata Kumala untuk mendekat. Lalu katanya. "Guru... kalian kini telah mempunyai seorang cucu yang telah tumbuh dewasa dan menjadi seorang suami..."

Ketiga kakek itu tertawa. Cucu sebesar ini? Dan sudah beristri pula? Hahaha tetapi mereka

gembira melihatnya.

"Di mana istrimu, Pranata?"

"Ada, Kek. Mungkin sedang mandi "

"Aku sudah selesai mandi, Kakang...." terdengar suara dari belakang mereka. Ambarwati muncul dengan pakaian yang bagus. Wajahnya begitu cantik berseri.

Pranata berpaling.

"Ah, ini dia istriku, Kek. Namanya Ambarwati.... Rayi.... beri sembah pada tiga Kakek Guru ini "

Ambarwati pun menjura.

Kembali keharuan menyelimuti kakek itu. Mereka tak pernah membayangkan akan mendapatkan sambutan yang hangat dan penuh kekeluargaan ini.

"Sebaliknya... kita masuk saja ke dalam," kata Madewa Gumilang. "Karena hari sudah malam. "

Lalu mereka pun masuk ke bangunan besar itu. Peti-peti yang dibawa ketiga kakek itu tadi, kini dibawa oleh beberapa murid Perguruan Topeng Hitam.

Setelah mandi dan makan malam, mereka kembali bercakap-cakap di ruangan tengah.

"Guru.... sebenarnya, apa yang membawa Guru hingga datang kemari?" tanya Ratih Ningrum.

Ketiga gurunya berpandangan. Dan seperti sudah disepakati Mukti berkata. "Muridku Ratih dan Madewa... kedatangan kami dari desa Bojongronggo memang bukan sekedar untuk melepas rindu pada kalian. Tetapi kami memang datang dengan maksud tertentu "

"Apakah gerangan itu, Guru?" tanya Ratih Ningrum.

"Ratih... apakah kalian tidak melihat, bahwa kami sudah tua?"

"Maksud, Guru?"

"Sebelum kau pergi meninggalkan rumah bersama suamimu ini, kau telah meninggalkan harta yang berlimpah banyaknya. Harta dari mendiang ayahmu. Dan karena kau putri tunggalnya, maka otomatis semuanya menjadi milikmu. Harta warisan itu tak bisa dihitung banyaknya. Dan karena warisan itu pula yang membawa kami untuk mencarinya..."

"Aku tidak mengerti, Guru."

"Ratih.... semua itu milikmu. Kami sudah terlalu tua untuk menjaganya. Kami takut tak bisa lagi berjumpa denganmu dan menjaga warisan itu "

"Jadi "

"Ya, tiga buah peti yang kami bawa berisi emas, permata dan berlian. Masih banyak harta yang tersisa di rumahmu. Seperti rumahmu sendiri. Kami tak berani menjualnya sebelum mendapat perintah darimu "

"Guru... mengapa Guru menjadi bersikap seperti ini? Mengapa harus menunggu perintahku? Apa-apaan guru ini? Kalian bertiga adalah guruku, orang tuaku, orang-orang yang aku hormati. Janganlah guru berkata seperti tadi " kata

Ratih Ningrum dengan nada kecewa.

"Ratih...." kata Mukti. "Kami bertiga tidak bermaksud untuk mengecewakanmu. Tetapi perlu kau ingat, kami adalah tiga pengawal setia ayahmu, pembantu ayahmu. Yang secara tidak langsung juga menjadi pengawalmu, pembantumu. Ingat itu, Ratih "

"Guru! Apa kalian menduga seperti itu? Tidak, aku tidak pernah menganggap kalian bertiga sebagai pengawalku, pembantuku. Kalian adalah Guruku, guru yang amat kuhormati!" suara Ratih Ningrum terdengar semakin kecewa. Wajahnya memerah dan sepasang matanya berkaca-kaca.

Wajah ketiga gurunya menjadi terharu mendengar kata-kata muridnya itu.

Lalu berkata Patidina, "Muridku... maafkan kalau kata-kata Mukti yang juga mewakili perasaan kami mengecewakanmu. Tapi sudahlah. Kini kita kembali ke masalah warisan itu "

"Maaf...." Potong Ratih Ningrum. "Maafkan aku Guru, kalau menyela kata-katamu. Tidak, aku tidak akan pernah menerima warisan itu. Warisan itu sudah tidak kupikirkan lagi. Dan aku dengan penuh kerelaan telah menyerahkan semua warisan itu kepada Guru bertiga... jadi, janganlah mengungkit-ungkit soal warisan itu. "

"Ratih... sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih padamu. Tapi maafkan kami, kami tidak bisa menerima warisan itu. Sebab, pertama kami sudah terlalu tua, hingga kami bermaksud menyerahkannya padamu, karena kami kuatir umur kami tidak lama lagi. Kedua, kami memang tidak butuh warisan itu. Kami tidak butuh harta lagi. Ketiga, kami tidak bermaksud untuk memintanya dan tidak merasa berhak untuk memilikinya. Jadi, kami tidak bisa menerima warisan itu. Dan sekarang, warisan itu telah kami kembalikan kepadamu "

"Tidak Guru... aku pun tidak akan menerimanya...." kata Ratih Ningrum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Ratih... kaulah yang berhak. Kaulah satusatunya yang mewarisi dan menjadi ahli warisan dari mendiang ayahmu. Hanya kaulah," kata Tek Jien.

"Ratih..." kata Mukti. "Terimalah semua warisan ini. Berbuatlah untuk mengenakan kami bila kau menganggap kami ini sebagai gurumu. Kami tak punya niatan sedikit pun untuk mendapatkan imbalan darimu. Kami datang untuk menyerahkan warisan ini, karena kami merasa sudah tua, sudah tidak sanggup lagi untuk menjaganya. Kami pun kuatir ajal akan menjemput kami. Padahal masih ada tugas yang belum kami selesaikan. Kini tugas itu telah tuntas, Ratih... Dan aku juga kedua gurumu ini amat rindu padamu. Rindu yang amat mendalam, Ratih Ningrum... Kini rindu kami telah hilang. Kami bahagia melihat kau telah tumbuh dan menjadi pendamping seorang pendekar besar, Muridku "

Suasana kembali menjadi terharu.

Mata Ratih Ningrum semakin berkacakaca. Dia tak bisa melukiskan semua kebahagiaan, keharuan dan rasa hormatnya pada tiga gurunya ini.

Dan rasa cintanya semakin mendalam. Tiba-tiba dia bersujud di hadapan keti-

ganya.

"Guru!"

Ketiga gurunya tersenyum menahan haru. Mukti berkata, "Ratih... janganlah kau lagi

berbuat seperti ini kepada kami... Kau telah menjadi seorang wanita yang terhormat dan dihormati... Apa nanti kata murid-muridmu bila melihat kau bersujud kembali kepada kami?"

"Guru... aku tidak suka mendengar katakata Guru ini... kalian adalah tetap guruku yang amat kuhormati. Aku tidak perduli dengan omongan apa yang terjadi di antara murid-muridku. Tidak Guru, karena aku amat mencintai Guru sekalian.... Kalianlah yang telah berbaik hati, yang telah membentukku hingga aku menjadi sekarang ini "

Tek Jien berkata, "Ratih... muridku... memang, kami adalah gurumu, orang tuamu, tetapi kini kau telah tumbuh menjadi wanita yang terhormat. Dan yang perlu kau ingat lagi, kami hanya sebatas seorang guru saja. Bila dikatakan orang tua, itu karena kami menganggapmu sebagai anak kami. Dan kami adalah tetap pembantumu, Ratih "

"Tidak, tidak... Guru jangan berkata demikian!" kata Ratih Ningrum yang masih bersujud di hadapan ketiganya. "Aku tidak suka mendengar kata-kata itu. Bila kalian masih mengatakannya lagi, berarti kalian tidak menganggapku sebagai murid kalian!"

Kembali keharuan menyelimuti tiga kakek itu. tidina. Lalu terdengar desahan nafas panjang Pa"Ratih kau tetaplah murid kami... ya, kami terima sembahmu ini... Kami amat bahagia dan bangga memiliki seorang murid sepertimu, Muridku... Bangunlah "

Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari bersujudnya.

Matanya sembab karena berkaca-kaca.

"Ya,   kami   bertiga adalah  gurumu dan

kau adalah murid kami," kata Patidina. Ratih Ningrum tersenyum.

Madewa Gumilang yang sejak tadi terdiam karena menahan haru berkata, "Sebaiknya, Guru sekalian beristirahatlah.... Tentunya kalian lelah setelah lama berhari-hari berjalan "

"Benar, Madewa... ya, kami hendak beristirahat," kata Mukti. "Selamat malam. "

Dia pun bangkit, disusul oleh Patidina dan Tek Jien.

Sepeninggal tiga kakek itu, Madewa merangkul istrinya.

"Aku bangga padamu, Ratih...." desisnya seraya mengecup kening istrinya.

Istrinya hanya tersenyum saja.

Tujuh

Empat sosok tubuh yang menunggang kuda itu menggebrak lari kuda mereka kencangkencang. Mereka adalah Barong Projo dan Tiga Setan Pemetik Bunga.

"Kau yakin, Barong... kalau tiga orang itu pergi ke arah timur?" bertanya Polodomo.

"Ya! Aku yakin sekali, karena aku mendengar percakapan mereka!" sahut Barong Projo.

Mereka sudah dua hari dua malam berkuda dengan cepat. Hanya dua kali beristirahat untuk makan. Bagi mereka lebih cepat lebih baik, karena bila tidak sudah keduluan oleh orangorang yang lain. Melewati sebuah hutan, keempatnya terus saja memacu.

Tiba-tiba terdengar kekehan yang panjang yang menggema ke seluruh hutan.

Keempatnya menghentikan lari kuda mereka.

Polodomo mendesis, "Roro Kunti!"

Barong Projo menoleh ke arahnya. "Siapa dia, Polodomo?" tanyanya.

"Roro Kunti adalah setan betina sahabatku!" sahut Polodomo tanpa menoleh pada Barong Projo. Lalu dia berteriak, suaranya menggema ke seluruh hutan, "Roro Kunti... keluarlah kau! Mengapa menyambut sahabatmu ini dengan jalan bersembunyi, hah?!"

"Hihihi... Polodomo... aku tahu kau tidak sedang datang untuk menyambangiku! Nah, katakan dulu ada perlu apa kau dengan temantemanmu itu seperti tergesa-gesa, hah?"

"Keluarlah dulu!"

"Kau tahu sifatku, bukan?!"

"Baik! Roro Kunti... ketahuilah... aku dengan tiga temanku ini sedang memburu warisan yang besar!"

"Hihihi... warisan dari mana, Polodomo?!

Yang kutahu... kau tak punya apa-apa, Kakek!"

Dipanggil dengan sebutan kakek membuat wajah Polodomo memerah.

"Baik! Kami tengah memburu harta waris yang dibawa oleh tiga orang kakek!"

"Banyakkah jumlahnya?!" "Luar biasa banyaknya!" "Apakah aku akan kebagian juga?!" "Bila kau mau ikut serta!"

"Bagaimana bila aku menyatakan diri untuk ikut?!" terkikik Roro Kunti.

"Itu lebih baik!"

"Bagaimana dengan teman-temanmu?!" "Semua ini urusanku!"

"Tetapi kulihat wajah mereka begitu tampak dan tak bersahabat!"

Mendengar kata-kata Roro Kunti itu, wajah Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo memerah.

Tetapi mereka diam saja. Karena Roro Kunti sahabat dari teman mereka, Polodomo.

"Mereka adalah sahabat yang baik, Roro!" "Bisakah kupegang ucapanmu?!" "Jangan kuatir!"

"Aku kuatir mereka akan bernafsu melihatku!"

"Hahaha... siapa pun akan nafsu melihatmu, Roro!"

"Apakah aku harus keluar sekarang?!" "Ya, keluarlah kau!"

Tiba-tiba sebuah sosok berbaju putih tipis menerawang melompat entah dari mana dan telah hinggap di hadapan orang-orang itu.

Roro Kunti terkekeh sambil mengipasngipas wajahnya dengan kipas yang berwarna putih dengan bunga mawar merah di tengahnya.

Mata Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo seakan mau melompat keluar melihat sosok tubuh yang berdiri di hadapan mereka. Sosok itu mengenakan pakaian tipis yang menerawang. Yang memperlihatkan dua buah carik kain berwarna merah yang menutupi bagian dadanya dan pangkal pahanya. Wajah sosok itu demikian cantik jelita, bagai dewi yang baru turun dari kahyangan.

Ketiganya sampai lupa menutup kembali mulut mereka yang terbuka.

Polodomo terkekeh melihat ketiga kawannya menjadi terbengong demikian.

"Selamat bertemu lagi, Roro "

"Hihihi.... selamat bertemu pula, Polodomo...." terkikik Roro Kunti. Bau wangi yang menguar dari tubuhnya begitu semerbak.

"Kau semakin cantik dan mengundang birahi saja, Roro...." kata Polodomo yang tak bisa menyembunyikan gairahnya.

"Hihihi... memang, aku pun merasakan hal itu. Dan mengapa tiga temanmu itu terbengong, hah? Apakah mulut mereka keram hingga tak bisa menutup kembali.... hihihi..." Roro Kunti mengikik genit.

Polodomo pun terbahak.

Membuat ketiga kawan mereka menjadi sadar kalau mereka lupa menutup mulut.

Dan mau tak mau wajah mereka pun memerah.

Polodomo memperkenalkan Roro Kunti kepada tiga temannya.

"Hmm... sebenarnya kau hendak ke mana,

hah?!"

"Kami sedang menuju ke arah timur Gunung Slamet."

"Mengapa ke sana?"

"Karena tiga kakek yang membawa warisan itu sedang mengarah ke sana "

"Jadi sekarang aku boleh ikut?"

"Dengan senang hati. Kau pilih hendak menunggang kuda yang mana?"

"Hihihi... sudah tentu bukan kudamu, Kakek. Juga bukan kuda-kuda di kedua temanmu yang  juga  seorang  kakek-kakek.  Tetapi      hihi-

hi   " Roro Kunti mengerling ke arah Barong Projo.

Barong Projo menjadi kembang-kempis dadanya. Dan debar jantungnya semakin kuat.

Polodomo terbahak melihat siapa yang diincar oleh Roro Kunti.

"Silahkan bila kuda itu yang kau pilih?" "Kau tahu saja keinginanku, Polodomo. "

terkikik kembali Roro Kunti.

Dan dengan sekali melompat dia sudah hingga di belakang Barong Projo. Yang menjadi kikuk dan deg-degan. Bau wangi yang menguar dari tubuh itu begitu memabukkan.

Belum lagi ketiga sepasang buah dada milik Roro Kunti menempel di punggungnya. Semakin membuatnya ‘Senin-Kamis’.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Polodo-

mo.

Barong Projo menyahut dengan nafas se-

tengah mendesah.

"Ya! Lebih cepat lebih baik!"

Lalu keempat kuda itu menggebrak berlari. Barong Projo menjadi setengah grogi. Namun lebih cepat dia melarikan kudanya,  lebih erat pegangan tangan Roro Kunti di pinggangnya.

Dan semakin membuatnya keenakan.

Di wajah Pala Tunggal dan Sakung Bukit terpancar sinar iri yang luar biasa.

Ketika senja datang, keempat penunggang kuda itu tiba di sebuah desa. Mereka turun di depan sebuah kedai untuk mengisi perut.

Kehadiran mereka sudah tentu menarik perhatian para pengunjung kedai itu. Terutama Roro Kunti yang berpakaian amat merangsang.

Di kedai itu, ada enam orang laki-laki berwajah seram yang sedang makan. Mereka adalah orang-orang yang suka mengacau seisi desa.

Melihat kehadiran orang-orang itu terutama Roro Kunti, mereka menjadi terbahak-bahak.

"Bukan main... betapa cantiknya wanita

itu "

"Ya, aku pun ingin sekali melewati malam

nanti bersamanya."

"Sudah tentu aku pun demikian."

"Hei, mengapa kalian hanya berbicara saja?

Mengapa tidak kita datangi saja mereka?"

"Betul! Aku pun sudah tidak sabar untuk melihat bagian tubuhnya lebih dekat."

"Ini merupakan anugerah dari Tuhan untuk kita."

Keenam orang itu terbahak-bahak.

Dan serentak keenamnya bangkit menghampiri orang-orang yang baru datang itu.

Mereka terkekeh-kekeh di hadapan kelima orang yang sedang menikmati hidangan itu. "Kau lihat, bukan main. bagian tubuhnya

begitu indah sekali!"

"Betul! Aku ingin sekali menyelusup ke dada yang montok itu!"

"Hahahah.. mengapa tidak kau lakukan saja, Sima?"

Yang dipanggil dengan Sima tadi terbahak. Lalu tanpa merasa malu atau pun risih dia mengulurkan tangannya ke arah dada Roro Kunti.

Roro Kunti diam saja ketika dadanya diraba.

"Bukan main, kenyal sekali!" tertawa Sima. "Hahaha... beruntung nasibmu, Sima "

"Apakah kau ingin merasakannya, Ireng Guruh?"

"Bukan hanya merasakannya, tetapi meremasnya!"

"Silahkan, silahkan!" Sima terbahak dan melepas rabaannya.

Ireng Guruh mendekat.

Ganti dia yang memegang dada itu. Roro Kunti tetap diam saja.

Tetapi ketika Ireng Guruh meremas dadanya, dengan satu gerakan yang amat cepat, tahu-tahu sumpit yang dipegangnya telah masuk ke salah satu lobang hidung Ireng Guruh. Yang langsung menjerit kesakitan.

Hidungnya berdarah.

Roro Kunti tetap tak acuh menikmati makannya, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

Begitu pula dengan Tiga Setan Pemetik Bunga. Barong Projo sendiri dengan nikmatnya meneguk araknya.

Namun lain halnya dengan teman-teman Ireng Guruh. Melihat kawan mereka dihantam seperti itu, dengan satu gerakan yang amat cepat, membuat mereka menjadi murka.

Sima menggebrak meja yang sedang dipakai sebagai alas mereka untuk makan.

"Manusia-manusia anjing! Jangan jual lagak di sini?!" geramnya.

Para pengunjung yang sudah melihat gelagat yang tidak baik, satu per satu beranjak meninggalkan tempat itu. Mereka tak mau jadi sasaran orang-orang ganas itu.

Mereka juga tahu siapa Ireng Guruh dan teman-temannya. Orang-orang yang suka membuat onar.

Pemilik kedai itu sudah tegang, sekali. Namun dia tak berani berbuat apa-apa.

Hanya memperhatikan saja dari tempat-

nya.

Dibentak seperti itu, Barong Projo berdiri.

Seolah tidak melihat adanya orang, dia menggerakkan kedua tangannya ke arah kiri dan kanan.

"Duk!"

Kepalan tangan kanannya mengenai dada yang membentak tadi. Membuat Sima terhuyung ke belakang.

"Oh, maaf!" kata Barong Projo. "Maafkan aku, Ki Sanak... aku tidak melihat Kisanak berdiri di sini "

Sima yang sudah menguasai keseimbangannya menggeram murka. Lalu tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Barong Projo. Sudah tentu Barong Projo tak mau dirinya dijadikan sasaran serangan dari Sima.

Dia tadi memang sengaja melakukannya. Menghadapi satu pukulan yang dilancar-

kan oleh Sima, Barong Projo keluar dari duduknya dan menendang kursi ke arah Sima.

"Setan alas!" Sima melompati sambil memberikan satu tendangan ke arah dada Barong Projo.

nya. Barong  Projo  menangkis  dengan  tangan-

Sima merasakan  kakinya membentur tembok yang keras. Dan dia pun bersalto ke belakang untuk menjaga keseimbangannya.

Ireng Guruh yang masih berdarah hidungnya pun langsung menyerang ke arah Roro Kunti. "Perempuan setan, kubunuh kau atas per-

lakuanmu ini padaku!"

Roro Kunti pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pukulan Ireng Guruh. Masih dengan tubuh terduduk, dia menarik kepalanya ke belakang.

Pukulan itu lewat beberapa senti di wajahnya. Dan tangannya segera bergerak ke kanan, ke arah perut Ireng Guruh.

"Des!"

Pukulan itu dengan telak mengenai perut Ireng Guruh yang langsung mengaduh.

Teman-temannya yang lain pun menjadi murka. Mereka langsung menyerang orang-orang itu.

Tiga Setan Pemetik Bunga pun menjadi sa-

saran serangan-serangan mereka.

Serentak di kedai itu terjadi perkelahian yang seru. Polodomo menghadapi dua orang. Yang lain berkelahi satu lawan satu.

Namun kali ini gerombolan Ireng Guruh harus kena batunya. Selama ini di desa itu memang belum ada yang berani menentang mereka dan mengalahkan mereka.

Lalu dengan gerakan yang tak banyak membuang tenaga, satu per satu menjatuhkan lawannya hingga mampus.

Tinggal Ireng Guruh kini sendiri yang langsung menjadi pias wajahnya.

Roro Kunti terkikik.

Dia mengipas-ngipas wajahnya.

"Sekarang, apa lagi yang hendak kau perbuat hah. Orang gagah?!" Meskipun menyadari dirinya tak akan lolos dan tak akan mungkin menang untuk melawan, Ireng Guruh mendengus dengan berani.

"Bila kalian memang jantan, lawan aku satu per satu!" serunya.

"Hihihi.... melawanmu? Tak sulit, Orang Gagah? Malah lebih sulit membalikkan telapak tangan!" terkikik kembali Roro Kunti.

Mendengar kata-kata itu wajah Ireng Guruh semakin pias. Dia yakin memang tak akan menang melawan mereka, meskipun satu persatu.

Namun dia tidak mau orang-orang itu tahu dirinya ketakutan.

Maka dia membentak lagi, "Sombong, kau perempuan iblis! Majulah bila kau benar-benar berani melawanku, hah?!"

"Hihihi... sudah kukatakan tadi, melawanmu lebih sulit membalikkan telapak tangan."

"Maju! Bila kau ingin membuktikannya!" "Mengapa tidak kau sendiri yang menye-

rangku, hah?!" tersenyum menebar rangsangan Roro Kunti.

"Setan alas! Tahan serangan!" sambil menggeram Ireng Guruh menyerang dengan ganas.

Namun Roro Kunti dengan masing mengipas-ngipas menghindari setiap serangan itu.

"Hihihi... mana bukti omonganmu itu, Orang Gagah?!"

Semakin jengkel dan marah Ireng Guruh. Dia kembali menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Namun sia-sia saja perlawanannya.

Roro Kunti terkikik sambil mengipas dan bersalto ke belakang, hinggap pada tempatnya semula.

"Hihihi.... inikah bukti yang kau ingin perlihatkan?" kikiknya.

Ireng Guruh yang megap-megap mendengus.

"Kubunuh kau nanti!" "Mengapa pakai nanti?"

Merasa dirinya benar-benar tak bisa lolos lagi, Ireng Guruh mencoba menggertak, "Perempuan iblis... mengapa tidak kau yang menyerangku, hah?! Aku pun ingin melihat apakah kau bisa menjatuhkan aku? Atau... kau hanya besar mulut saja, sama besarnya dengan buah dadamu itu!"

Wajah Roro Kunti memerah.

"Anjing kurap! Kau lihat seranganku ini!" geramnya seraya menyerbu.

Kipasnya tertutup. Dan dijadikannya senjata untuk menotok. Tubuhnya berkelebat dengan cepat. Setiap kali berkelebat, menguar bau harum dari tubuhnya.

Sebisanya Ireng Guruh menghindari serangan-serangan yang dilancarkan dengan cepat itu.

Namun pertahanannya sia-sia belaka.

Satu gedoran telapak tangan kiri Roro Kunti menghantam dadanya.

"Dees!"

Membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Sempoyongan.

Belum lagi Ireng Gurah dapat menguasai keseimbangannya, Roro Kunti sudah maju dengan deras dengan satu pukulan yang siap dihantamkan kembali.

"Tahan!" terdengar seruan itu.

Membuat Roro Kunti menghentikan serangannya. Dan berpaling pada Polodomo dengan jengkel.

"Mengapa kau menyuruhku menahan?!" serunya.

Polodomo tersenyum. "Sabar, Roro..."

"Tetapi dia telah menghinaku, Polo. "

bat."

kita." "Sabar, Roro... dia bisa kita jadikan saha-

"Apa maksudmu?"

"Orang seperti dialah yang menjadi sahabat

"Aku tidak mengerti."

"Orang ini begitu gagah berani. Meskipun maut sudah diambang pintu. Aku membutuhkan orang-orang seperti itu."

"Aku "

"Biar kuurus semuanya, Roro...." kata Polodomo tersenyum dan berusaha menenangkan Roro Kunti yang menggeram marah.

Roro Kunti menoleh pada Ireng Guruh yang nampak kesakitan. Dia mendengus.

"Hhh! Bila bukan karena perintah sahabatku ini, sudah kucabut nyawamu, manusia anjing!" makinya.

Ireng Guruh hanya terdiam. Rasa ngilu masih menjalar di seluruh tubuhnya akibat hantaman telapak tangan kiri dari Roro Kunti tadi.

Polodomo menghampirinya.

"Ulurkan kedua tanganmu," katanya pada Ireng Guruh.

Laki-laki berwajah seram yang merasa sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi mengulurkan tangannya, begitu menurut sekali.

Polodomo menindih telapak tangan itu dengan telapak tangannya.

Lalu dialirkannya tenaga dalamnya melalui telapak tangannya ke telapak tangan Ireng Guruh. Ireng Guruh merasakan hawa panas masuk ke dalam tubuhnya. Dan perlahan-lahan dirasakannya rasa ngilu yang masuk hingga ke tulang sumsumnya, perlahan-lahan menghilang.

Setelah itu Polodomo tersenyum. "Nah siapa namamu?" tanyanya.

"Namaku Ireng Guruh "

"Ireng.... nyawamu sudah kuselamatkan.

Dan kau harus berterima kasih padaku." "Terima kasih, Ki Sanak."

"Namaku Polodomo. Itu Roro Kunti, Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo. Kini sekarang kita teman."

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah menyelamatkan nyawamu, dan kau harus menurut pada semua kata-kataku."

"Aku belum mengerti."

"Baik, akan kujelaskan. Kini kau adalah salah seorang anggota kami. Sahabat kami. Dan kau harus menurut semua perintah kami. Mengikuti semua yang kami lakukan."

"Berarti, mulai hari ini aku adalah bagian dari kalian?" tanya Ireng Guruh.

"Benar! Kau adalah bagian dari kami." "Baik, kalau begitu adanya... aku akan

menurut pada kalian dan bergabung dengan kalian."

gi!" "Bagus! Mari  kita lanjutkan perjalanan  la-

Lalu  orang-orang  itu  pun  segera meninggalkan kedai yang porak poranda tanpa membayar sepeser pun. Pemilik kedai itu hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada. Tetapi dia tak berani untuk berbuat apa-apa. Karena dia masih sayang terhadap nyawanya.

Delapan

Tiga kakek guru dari Ratih Ningrum sedang memperhatikan para murid-murid Perguruan Topeng Hitam yang pagi itu sedang berlatih.

Mereka kagum melihat kedisiplinan dan ketaatan para murid-murid Perguruan Topeng Hitam. Dan mereka yakin ini berkat peraturan dan rasa kekeluargaan yang diterapkan oleh Madewa Gumilang.

Dalam kesempatan itu, Mukti pun mengajarkan beberapa jurus pedang yang dimilikinya. Begitu pula dengan Patidina. Dia merubah sebuah pedang menjadi jurus keris. Setelah hampir seminggu berada di Perguruan Topeng Hitam, suatu malam ketiganya pun bertemu kembali dengan Madewa Gumilang dan istrinya di ruangan tengah.

Di sana hadir pula Pranata Kumala dan istrinya, Ambarwati.

"Ada apa gerangan Guru, hingga Guru meminta kami untuk bertemu?" tanya Ratih Ningrum.

jang. Ketiga gurunya nampak mendesah panLalu terdengar suara Mukti berkata, "Muridku... tugas kami telah selesai... warisan itu telah kami serahkan kepadamu. Maka rasanya

kami sungkan selaku tamu untuk berlama-lama di sini "

"Apa maksud, Guru?"

"Kami ingin segera pamit, Muridku...." kata Patidina.

"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut. "Muridku...." kata Tek Jien. "Kami di sini

hanyalah seorang tamu. Dan kami menjadi malu bila terlalu lama berada di sini. Kau mengerti, Muridku?"

"Guru... mengapa kalian menduga seperti itu. Di sini adalah rumah kalian juga. Tempat tinggal kalian juga. Di sini tidak ada kata-kata sebagai tamu dan tuan rumah. Tidak ada sama sekali"

"Kami mengerti, Ratih...." kata Mukti. "Tetapi kami harus segera pamit."

"Mengapa, Guru?"

"Kami ingin kembali ke asal kami masingmasing. Kami merasa masing-masing di antara kami sudah seharusnya kembali ke kampung halaman sendiri-sendiri "

"Tidak bisakah Guru menahan keinginan

itu?"

"Sudah hampir seminggu kami berada di

sini, Ratih " kata Patidina.

"Seminggu, sebulan atau pun seumur hidup. Aku tak pernah menganggap kalian sebagai tamu di sini. Demi Tuhan, aku tak pernah menganggap kalian seperti itu " "Benar, Guru..." kata Madewa Gumilang yang sejak tadi dia saja. Dan merasa tidak enak bila tidak berkata. "Apa yang dikatakan oleh istriku memang benar. Kami semua tak pernah menganggap kalian sebagai tamu. Malah kami mengharapkan kalian untuk selamanya menetap di sini "

"Iya, Kakek...." kata Pranata Kumala. "Sejak kedatangan kakek guru bertiga sekalian di sini, banyak sekali ilmu yang kudapatkan. Bukankah begitu, Rayi?" tanyanya pada isterinya.

Ambarwati mengangguk.

"Benar kakek guru, apa yang dikatakan Kakang Pranata memang benar adanya "

Ketiga kakek itu menjadi terharu mendengar semua kata-kata itu. Namun mereka tetap berkeinginan untuk kembali ke kampung halaman masing-masing.

Ingin menghabiskan masa tua mereka di sana. Dan mati di tanah kelahiran.

"Kalian semua memang orang-orang bijaksana dan baik," kata Mukti. "Aku pribadi merasa bersyukur sekali atas semua ini. Ternyata aku dan kedua sahabatku ini memiliki anak dan cucu yang begitu baik sekali "

"Kami pun bangga dengan sikap kalian semua," kata Patidina.

"Namun... kami tetap berkeinginan untuk kembali ke kampung halaman... karena kami serasa usia kami sudah diambang pintu maut "

kata Tek Jien.

Orang-orang yang hadir di situ menjadi terharu pula. Diam-diam mereka pun menjadi rindu dengan tanah kelahiran mereka.

Dan mereka tak bisa lagi untuk mencegah ketiga kakek itu untuk meninggalkan Perguruan Topeng Hitam dan kembali ke tanah kelahiran mereka.

"Kapan Guru akan meninggalkan kami?" tanya Ratih Ningrum dengan mata berkaca-kaca. Dia memang tak perduli menangis di hadapan suami, putra dan anak menantunya. Dia teramat mencintai ketiga kakek ini. Teramat menyayangi mereka.

"Besok pagi, setelah matahari sepenggalah kami sudah harus meninggalkan tempat ini," kata Mukti.

"Tidak bisakah ditunda barang sehari lagi?" pinta Ratih Ningrum penuh harap.

"Maafkan kami, Muridku... kami merasa sudah cukup untuk melepas rindu padamu "

Ratih Ningrum hanya terdiam mendengar kata-kata itu.

***

Keesokan paginya, di halaman Perguruan Topeng Hitam nampak seluruh murid perguruan itu berbaris di halaman. Mereka tidak sedang bersiap untuk berlatih. Tetapi mereka tengah berdiri tegap untuk melepas kepergian tiga kakek guru itu.

Mata Ratih Ningrum berkaca-kaca. Dia tak bisa menahan tangisnya. Madewa mendekapnya dengan penuh kasih sayang.

Pranata Kumala juga mendekap istrinya yang hanya terisak pelan.

Tiga kakek itu telah bersiap untuk segera meninggalkan tempat itu.

Mukti berkata, "Janganlah kalian sekalikali menganggap kepergian kami ini karena kami tidak mencintai kalian. Tidak sama sekali. Kami teramat sangat mencintai kalian. Kami amat menyayangi kalian. Namun kami memang harus pergi meninggalkan kalian. "

"Dan kenanglah kami yang tua ini," kata Patidina.

"Mungkin bila ada satu kesempatan yang entah kapan akan datang, kami akan kembali untuk berjumpa dengan kalian," kata Tek Jien.

Ketiga kakek itu pun tak bisa menahan rasa harunya. Mata mereka pun berkaca-kaca.

"Guru...." desis Ratih Ningrum seraya melepaskan diri dari rangkulan suaminya. Dia berlari dan menjatuhkan diri di hadapan ketiga gurunya. "Maafkan aku, bila aku mempunyai salah pada kalian "

Kembali terlihat keharuan menyelimuti ketiganya.

Mukti mengusap kepala Ratih Ningrum. "Muridku...  kau  harus  tegar.  Kau  telah

menjadi orang terhormat dan dihormati. Janganlah kau bersikap cengeng. Kau bisa menjaga dirimu. Dan kami pun yakin, suamimu akan menjaga dirimu  pula. Begitu  pula dengan putra  dan anak menantumu. Banyak orang-orang yang mencintaimu di sini. Muridku.... Jadi, janganlah kau bersikap cengeng seperti ini "

"Benar, Muridku... kami semua mencintaimu... Kami tak ingin kau terbelenggu oleh rasa hormatmu kepada kami... Tidak, Muridku kami

hanya ingin kau hidup berbahagia dan damai selamanya " kata Patidina.

"Ya.... Ratih Ningrum, Muridku melihat

keadaan kau yang sudah berbahagia seperti ini kami sudah merasa teramat gembira sekali. Dan ini merupakan pengobatan hati kami yang rindu padamu " kata Tek Jien.

"Yah... pagi ini, kami akan segera berangkat meninggalkan perguruan ini. Meninggalkan kalian semua...." kata Mukti. "Selamat tinggal semua!"

Sesudah berkata begitu, dia pun membalikkan tubuhnya dengan segera karena tak mau melihat Ratih Ningrum menangis. Mukti merasakan muridnya itu masih seperti yang dulu. Selalu manja dan bila keinginannya tidak dipenuhi maka dia akan ngambek dan menangis.

Mukti tak mau melihat hal itu lagi. Melihat kawannya sudah melangkah, Patidina dan Tek Jien pun menyusul.

Angin pagi mengantar kepergian mereka.

Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari berlututnya. Lalu diucapnya pelan pada angin, "Guru... selamat jalan " Sembilan

Setelah melangkah setengah hari, ketiga kakek itu beristirahat di sebuah hutan kecil. Mereka pun sebenarnya merasa berat untuk meninggalkan murid mereka. Namun mau tak mau mereka harus pergi meninggalkannya.

"Mau rasanya aku kembali kepada mereka," kata Mukti.

"Begitu pula aku," kata Patidina. "Ingin pula rasanya aku mati di antara mereka. "

"Yah... agar ada makam kita di tanah Perguruan Topeng Hitam. " kata Tek Jien.

Tiba-tiba, amat tiba-tiba, di hadapan mereka telah berdiri enam sosok tubuh. Mereka terdiri dari tiga orang kakek, dua laki-laki setengah baya dan seorang wanita yang berwajah rupawan.

Ketiga kakek itu segera bangkit berdiri. Dan kening mereka berkerut ketika men-

genali salah seorang dari yang berdiri di hadapan mereka itu.

Dari rasa kaget itu berubah menjadi terta-

wa.

Mukti berkata, "Hahaha... rupanya kau Ba-

rong Projo, bukan?"

Yang berdiri dengan sikap tak bersahabat itu memang Barong Projo, Tiga Setan Pemetik Bunga, Roro Dewi dan Ireng Guruh yang menjadi salah seorang sahabat mereka sekarang.

Barong Projo mendengus.

"Hhhh! Kakek peot, kini kita bertemu kembali, bukan? Aku datang untuk membalas sakit hatiku dan mengambil peti-peti yang kalian bawa!"

"Peti-peti? Hahaha... peti-peti yang mana, Barong? Kau mengigau barangkali!"

"Kakek kurapan! Di mana peti-peti itu kau sembunyikan, hah?!" bentak Barong Projo yang melihat peti-peti itu sudah tidak ada pada mereka.

"Sudah tentu peti-peti itu telah kami serahkan pada yang berhak? Dan kau... tentunya bukanlah orang yang berhak, bukan?" kata Mukti dengan suara mengejek dan menyebarkan senyum yang menyakitkan.

Merah padam wajah Barong Projo. "Kakek-kakek keparat!" geramnya.

Tetapi makian itu hanya disambut tawa saja oleh ketiga kakek itu.

Roro Kunti mengipas-ngipas tubuhnya. Lalu sambil menggerakkan tubuh secara erotis tersembunyi, dia melangkah ke muka.

"Hihihi.... kalian berikan kepada siapa, Kakek-kakek yang manis?" suaranya mendesah, dia mencoba memikat dengan menggunakan keharuman tubuhnya.

Namun ketiga kakek itu cuma tak acuh saja. Seolah mereka tidak melihat pemandangan indah yang terpampang di hadapannya.

"Kepada yang berhak, Nona. Itu sudah pasti, bukan?" kata Patidina.

"Siapa dia?"

"Dia adalah seorang wanita yang arif, bijaksana, terhormat dan dihormati "

"Oh, siapakah wanita yang beruntung itu?" kata Roro Kunti yang masih mencoba memikat.

"Dia tinggal cukup jauh dari sini, Nona "

"Siapakah dia?"

"Dia lebih baik daripada kau yang cabul seperti itu, Nona!"

Mendengar kata-kata yang dilontarkan dengan cukup kasar itu membuat wajah Roro Kunti menjadi memerah.

Dia menggeram marah.

"Kakek-kakek tak tahu diuntung! Kalian rupanya mau mampus, hah?!"

"Hahaha... aku berbicara apa adanya, Nona... Tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangkannya... Bukankah demikian adanya?"

Semakin memerah wajah Roro Kunti. Dia bermaksud untuk menyerang. Namun terdengar suara Polodomo berkata.

"Ki Sanak sekalian... bila kalian masih ingin melihat matahari besok pagi, beritahu kepada kami, kepada siapa  kalian  serahkan  peti-peti  itu "

"Hahaha... agaknya juga tidak kepada kau?" terkekeh Tek Jien.

Hal ini membuat wajah Polodomo tak ubahnya seperti wajah Roro Kunti.

"Kalian rupanya mau mampus?" geramnya. "Hahaha...  siapa  bilang  kami  mau  mam-

pus? Kami masih ingin hidup lebih lama. Dan warisan itu telah kami serahkan kepada yang berhak. Bukan orang-orang seperti kalian!" terkekeh Patidina.

Dan sehabis dia berkata demikian, Polodomo langsung menyerangnya. Yang disusul oleh yang lainnya.

Seketika di tempat itu terjadi pertarungan tak seimbang. Tiga guru Ratih Ningrum masingmasing dikeroyok oleh dua orang.

Jurus demi jurus pun telah mereka lewati.

Bagi keenam orang yang bermaksud jahat itu, mereka secepatnya ingin membunuh ketiga kakek ini. Namun bagi ketiga guru Ratih Ningrum, mereka ingin secepatnya menyelesaikan masalah tanpa bermaksud membunuh.

Sebenarnya, mereka pun sudah menduga sejak lama. Kalau Barong Projo akan datang untuk menuntut balas dan merebut peti-peti yang mereka bawa.

Itulah sebab sebenarnya mengapa ketiganya ingin meninggalkan Perguruan Topeng Hitam. Karena mereka tak mau kejadian ini terjadi dan menimpa perguruan itu.

Serangan demi serangan pun mereka lancarkan.

Saling serang. Saling balas. Cepat.

Hebat.

Dan berbahaya.

Pada jurus kedua puluh, terlihat Patidina yang dikeroyok oleh Roro Kunti dan Polodomo terdesak hebat. Namun dia berusaha sekuat tenang untuk menahan dan membalas.

Tetapi kedua penyerangnya adalah lawanlawan yang cukup tangguh. Dia kali ini benarbenar terdesak hebat.

Berkali-kali pukulan keduanya masuk pada bagian-bagian tertentu tubuhnya.

"Des!"

Sebuah tendangan yang dilancarkan oleh Polodomo membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan ambruk.

"Hhh! katakan, kepada siapa warisan itu kalian serahkan, hah?!" bentak Polodomo.

Patidina mengusap darah yang keluar dari mulutnya.

"Biarpun kau membunuhku, tak akan pernah kukatakan kepada siapa warisan itu kuserahkan!"

"Anjing kurap! Kau ingin mampus rupanya!"

"Lebih baik aku mati secara terhormat daripada hidup secara pengecut!"

"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana keberanian omonganmu itu?!" seru Polodomo seraya menyerang lagi.

Pikirnya dengan sekali serang dia akan bisa segera menghabisi Patidina. Tetapi kakek itu dengan tiba-tiba saja berguling menyongsong serangan Polodomo.

Menerima serangan seperti itu Polodomo menjadi terkejut. Maka diapun bersalto. Namun mendadak saja tubuh Patidina yang sedang berguling tiba-tiba melompat seperti menerkam. Dan satu pukulannya bersarang telak di dada Polodomo hingga kakek itu tersentak ke belakang dan ambruk ke tanah.

Melihat hal itu, Roro Kunti yang tak menyangka Patidina dapat berbuat seperti itu menjadi menggeram.

Dia pun menyerang kembali.

Sementara itu Mukti tengah bersusah payah menghindari dan mengimbangi seranganserangan dari Pala Tunggal dan Ireng Guruh.

"Lebih baik kau menyerah saja, hah?!" bentak Pala Tunggal. "Dan beritahu kepada kami kepada siapa kau serahkan warisan itu?!"

"Aku bukanlah orang yang pengecut, Ki Sanak! Kau akan kecewa karena aku tak akan pernah memberikan atau memberitahukan kepada siapa warisan itu kami serahkan!" seru Mukti dan mencoba terus menyerang dan bertahan.

"Sombong! Kau mengatakannya atau tidak, aku akan tetap membunuhmu!"

Sedangkan saat ini, Tek Jien pun tengah kewalahan menghadapi serangan-serangan dari Barong Projo dan Sakung Bukit. Kedua lawannya itu seakan mematikan gerakannya. Membuatnya sukar untuk meloloskan diri.

Belum ketika Sakung Bukit mengeluarkan ilmu Pemunah Mataharinya yang begitu hebat. Kedua tangannya seperti bercahaya.

Dan angin yang ditimbulkan setiap kali dia menggerakkan tangannya menebarkan hawa yang cukup panas.

Hal ini membuat Tek Jien menjadi semakin kewalahan.

Dia pun tak berani untuk berbentrokan.

Tiba-tiba terdengar tiga buah jeritan secara bersamaan.

Disusul dengan tiga sosok tubuh yang terpental ke belakang. Mukti, Patidina dan Tek Jien yang terpental itu.

Masing-masing mengusap darah yang keluar dari mulut mereka. Dan mereka pun menyadari tak akan bisa meloloskan diri dari kepungan tiga orang ini.

Namun mereka tak mau menyerah begitu

saja.

Maka dengan serentak ketiganya bangkit

meskipun rasa sakit di dada mereka begitu menyengat.

"Hahaha..." Polodomo terbahak. "Bukankah lebih baik kalian mengatakan saja kepada siapa warisan itu kalian serahkan. Kami tak akan lagi menurunkan tangan telengas pada kalian bila kalian berlaku seperti seorang sahabat kepada kami! Dan ini merupakan jalan yang terbaik, bukan?"

Mukti mendengus. Lalu berkata seperti orang mau muntah.

"Tak sekali pun kami mundur dari hadapan kalian! Dan tak sekali pun kami akan mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan dan memenuhi permintaan kalian!"

"Berarti, kalian tidak bertindak seperti seorang sahabat kepada kami?!"

"Kami memang tak pernah punya sahabat seperti kalian, Orang-orang busuk!" "Anjing buduk! Kubunuh kau.!"

Sehabis berkata begitu, tubuh Polodomo menyerbu ke arah Mukti. Mukti pun segera memapaki.

Dan kembali perkelahian tak seimbang itu terjadi.

Meskipun demikian, tiga kakek dari guru Ratih Ningrum itu sekuat tenaga berusaha untuk melawan dan menghadapi setiap serangan.

Mereka pantang penyerah.

Mereka bukanlah orang-orang pengecut.

Dan mereka tak akan pernah membuka mulut untuk memberitahukan pada siapa warisan itu mereka serahkan. Karena mereka tak mau Ratih Ningrum dan keluarganya mendapat kesulitan.

Mereka merasa biarlah hanya mereka saja yang mengalami hal seperti ini.

Karena mereka amat mencintai Ratih Nin-

grum.

Amat mencintainya. Juga mencintai ke-

luarganya.

Namun kekeras-kepalaan mereka itu, membuat para penyerangnya semakin ganas dan kejam.

Semakin buas menyerang untuk membu-

nuh.

Sebisanya mereka bertahan.

Namun setelah berkali-kali mereka terkena

hantaman, pukulan, tendangan dan sapuan yang keras, membuat mereka menjadi kehabisan tenaga.

sakit. Juga  merasakan  rasa  sakit  yang teramat

Kembali ketiganya terkapar di tanah, menahan rasa sakit dan amarah di hati.

Polodomo mendengus lagi.

"Kami masih memberi kesempatan pada kalian untuk hidup! katakan, kepada siapa kalian menyerahkan warisan itu?!"

"Sudah kukatakan sejak tadi, sekali pun kalian akan menyiksa kami, tak akan pernah kami memberitahukan kepada siapa kami menyerahkan warisan itu. Orang-orang busuk!" kata Mukti sambil menahan rasa sakit yang menyengat.

"Kalian benar-benar ingin mampus rupanya!" geram Polodomo.

"Kami lebih baik mati daripada harus menjilat ludah kami sendiri!"

Polodomo berpaling pada teman-temannya yang nampak tidak sabar.

"Kalian dengar apa yang diucapkannya itu?

Dia bilang, mereka ingin mati!"

"Kita bunuh saja!" seru Roro Kunti.

"Ya, manusia-manusia seperti ini tak ada gunanya untuk hidup lebih lama!" kata Barong Projo. "Dan ini membuat kepala kita menjadi pusing."

"Bagus, kalau begitu siapa di antara kalian yang ingin membunuhnya!"

Roro Kunti, Barong Projo dan Ireng Guruh menyediakan diri.

"Bagus! Kalian masing-masing membunuh satu orang!"

Dan yang tengah menjadi algojo itu pun bersiap. Lalu dengan satu pekikan keras, ketiganya menerjang ke arah ketiga kakek yang terkapar tak berdaya itu.

Sepuluh

Memang tipis harapan bagi ketiga  kakek itu untuk dapat hidup lebih lama lagi. Namun mereka pun bukanlah orang-orang pengecut. Dan mereka pun merasa lebih baik mati daripada menimbulkan kesulitan pada murid mereka, Ratih Ningrum.

Yang tak pernah mereka sangka adalah, warisan itu telah menjadi incaran dari orangorang jahat ini.

Kini ketiganya hanya bisa memejamkan mata ketika tiga sosok tubuh itu berkelebat menyerbu ke arah mereka masing-masing. Tak bisa lagi mereka untuk meloloskan diri.

Namun tiba-tiba satu sosok putih berkelebat ke arah tiga penyerang itu. Dan terdengar suara jeritan berbarengan dari tiga penyerang itu.

Tubuh Roro Kunti terpental beberapa tombak. darah. Tubuh Barong Projo bergulingan muntah Sedangkan tubuh Ireng Guruh langsung terpental dan mampus seketika.

Tiga Setan Pemetik Bunga pun terkejut melihat hal itu. Begitu pula dengan tiga kakek yang tengah memejamkan matanya. Serentak ketiganya membuka mata mereka.

Dan semua mata yang ada di sana melihat satu sosok berjubah putih yang tersenyum arif bijaksana.

Belum lagi hilang kekagetan tiga kakek itu, satu sosok tubuh berkelebat mendekatinya.

"Guru!"

Ketiganya menoleh.

"Ratih!" seru mereka bersamaan. Ada nada gembira dari ucapan mereka.

"Apa yang telah terjadi, Guru?" tanya Ratih Ningrum pilu melihat keadaan tiga gurunya yang terluka.

"Ada kejadian kecil sedikit yang tak perlu dirisaukan," sahut Mukti padahal betapa sakit dirasakannya di sekujur tubuhnya. Namun dia berusaha untuk menyembunyikannya.

Ratih Ningrum berpaling pada orang-orang yang ada di hadapannya. Tatapannya beringas dan berbahaya.

"Apa yang kalian perbuat pada guruku  ini?" bentaknya marah.

Polodomo terkekeh. Roro Kunti dan Barong Projo susah payah bangkit mendekat. Mereka merasakan sakit yang luar biasa sekali.

Hantaman satu sosok berjubah putih itu membuat keduanya menjadi kaget karena dengan sekali berkelebat sosok berjubah putih itu mampu membuat mereka luka parah di bagian dalam seperti ini. "Hehehe... rupanya kau adalah murid dari tiga kakek sialan ini!" terdengar suara Polodomo.

"Apa maksud kalian melukainya, hah?!" "Kami hanya meminta diberitahukan, ke-

pada siapa harta warisan itu mereka serahkan!" "Warisan?!"

"Hehehe.. ya, ya... aku tahu... tentunya kepadamulah harta warisan itu mereka serahkan, bukan?"

Madewa memberi tanda agar istrinya ter-

diam.

Sambil menatap orang-orang itu dia berka-

ta, "Hmm... Ki Sanak sekalian, bila aku boleh tahu... siapakah kalian semuanya?"

"Aku Polodomo. Salah seorang dari Tiga Setan Pemetik Bunga. Ini kawanku, Pala Tunggal, Sakung Bukit, Barong Projo dan yang wanita itu Roro Kunti. Sedangkan yang mampus itu, Ireng Guruh, Nah, katakanlah... siapakah kau sendiri sebenarnya?!" sahut Polodomo angkuh.

"Rasanya... kita memang belum saling kenal. Tetapi karena kalian telah memperkenalkan diri, maka aku pun layak memperkenalkan diri pula. Namaku Madewa Gumilang... dan dia istriku, Ratih Ningrum. "

"Siapa nama kau tadi, Ki Sanak?!" seru Polodomo seperti teringat sesuatu.

"Kenapa?"

"Katakan lagi siapa namamu?!" "Namaku Madewa Gumilang!"

"Apa? Madewa Gumilang?! Pendekar Bayangan Sukma!" seru Polodomo terkejut dan membuat teman-temannya pun ikut terkejut. "Mengapa? Ada yang aneh dengan nama-

ku? Dan yang kau sebutkan barusan adalah nama julukanku? Rasanya... tidak ada yang aneh!"

Dari rasa terkejut Polodomo mendengus. "Hhh! Rupanya hari ini kami tengah berhadapan dengan pendekar nomor wahid di rimba persilatan ini! Tetapi kami tak pernah takut dengan siapa pun!"

"Maaf, Polodomo... siapa yang memerintahkan padamu untuk takut kepadaku, hah? Nah, katakan... mengapa kau menyerang tiga kakek guru istriku ini?" kata Madewa Gumilang atau Perguruan Topeng Hitam sambil tetap tersenyum arif dan bijaksana.

Polodomo mendengus. "Madewa... tentunya kau tak akan pernah ikut campur dalam urusan orang lain, bukan?"

"Sayang sekali dugaanmu salah, Polodomo.... bila kau melihat satu kezaliman, siapa pun orangnya akan aku bantu. Yah.... siapa pun orangnya!"

"Sombong! Rupanya pendekar nomor wahid di rimba persilatan ini adalah seorang yang sombong!"

"Polodomo.... kita tak punya silang sengketa, sebaiknya kau tinggalkan tempat ini dan jangan lagi mengganggu ketiga kakek ini "

"Kau benar-benar sombong, Madewa! Nah, bila kau mengetahui di mana warisan itu berada, maka kami akan melepaskan dirimu dan orangorang itu!" "Warisan itu ada pada istriku. Nah, kau mau apa setelah mengetahuinya?"

"Kami akan merebutnya!"

"Kuminta... lebih baik kalian tinggalkan tempat ini!" seru Madewa.

"Manusia sombong! Tahan serangan! Kami akan tetap merebutnya!" seru Polodomo seraya maju menyerang.

Serangannya amat ganas. Karena dia menyadari siapa yang tengah dihadapinya. Maka dia pun langsung menggunakan jurus andalannya. Pemanah Mata Api!

Madewa pun segera memapakinya. Dengan menggunakan Jurus Ular Meloloskan Diri dia berhasil menghindari setiap serangan yang dilancarkan oleh Polodomo.

Lalu diapun lalu mengimbanginya panasnya jurus itu dengan jurus Pukulan Angin Salju.

Melihat kawan mereka sudah bertempur, yang lain pun segera datang membantu. Mereka mengeroyok Madewa Gumilang.

Ratih Ningrum pun tak mau kalah. Melihat suaminya dikeroyok, dia pun maju membantu.

Roro Kunti pun segera melayaninya.

Kembali di tempat itu terjadi pertarungan yang amat hebat.

Tiga kakek yang dalam keadaan luka parah itu hanya bisa memperhatikan saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka sebenarnya ingin membantu, namun tubuh mereka dirasakan teramat lemah.

Dan diam-diam masing-masing menyesali kejadian ini. Bila mereka tidak datang membawa warisan, tentunya murid mereka dan suami muridnya tidak akan mengalami hal seperti ini.

Kebetulan sekali tadi Ratih Ningrum bermaksud mencari ketiga gurunya karena hendak memberikan pada mereka sedikit harta warisan. Dan ditemani suaminya, diapun mulai mencari.

Betapa terkejutnya dia dan suaminya melihat guru-gurunya tengah menanti ajal dengan mata terpejam. Dan suaminya pun segera bertindak cepat memapaki serangan tiga orang itu pada guru-gurunya.

Kini mereka tengah terlibat dalam perkelahian yang teramat seru. Madewa sendiri menjadi terdesak ketika Tiga Setan Pemetik Bunga bersatu padu memainkan jurus andalan mereka bertiga bila bersama-sama.

Belum lagi dari serangan yang dilancarkan Barong Projo.

Namun Madewa masih berusaha sekuat tenaga untuk mengimbangi serangan-serangan itu. Kini dia menggunakan pukulan Tembok Menghalau Badai.

Suatu ketika pukulan itu mengenai Barong Projo yang tengah terluka parah. Dan orang itu pun mampus seketika.

Hal itu membuat Tiga Setan Pemetik Bunga menjadi murka. Mereka menyerang lagi dengan ganas.

"Hari ini, nama besar Perguruan Topeng Hitam akan tenggelam selama-lamanya!" terkekeh Polodomo. Sementara itu Ratih Ningrum pun dengan sepasang pedangnya tengah mengimbangi permainan kipas dari Roro Kunti. Kedua wanita itu nampak berimbang. Namun ketika Ratih Ningrum memadukan jurus sepasang Pedang kembarnya dengan pukulan Tangan Seribu, membuat Roro Kunti menjadi kewalahan.

Dan dengan satu gerak tipu yang hebat. Dia mengakhiri perlawanan Roro Kunti dengan menghujamkan pedangnya ke dada wanita itu.

Matilah Roro Kunti yang cabul itu. Sedangkan Madewa tengah berusaha me-

nahan setiap serangan yang dilancarkan Tiga Setan Pemetik Bunga.

Tiba-tiba saja Tiga Setan Pemetik Bunga bersalto ke belakang. Dan kemudian ketiga terdiam dengan sikap menjura. Mendadak ketiganya membuka tangan ke depan. Terlihatlah kalau masing-masing tangan mereka telah berubah menjadi hitam.

"Madewa... kini mampuslah kau! Tahan jurus kami ini, Bara Menghantam Gunung!" seru Polodomo.

Lalu dengan diiringi teriakan yang keras ketiganya menyerang. Madewa menghindarkannya dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Dia dapat merasakan betapa ganasnya jurus yang dimainkan secara kompak dan cepat itu.

Namun lama kelamaan dia menjadi kewalahan juga. Mendadak Madewa bersalto ke belakang dan ketika hinggap di tanah dia tengah merangkapkan kedua tangannya. Lalu membentangkannya. Rupanya Madewa tengah melancarkan Pukulan pamungkasnya, Pukulan Bayangan Sukma.

Ketika orang itu pun tahu pukulan apa yang siap dilancarkan Madewa Gumilang. Namun mereka tidak takut.

Serentak pula mereka menyerbu. Madewa pun bersiap.

Namun sungguh di luar dugaan Madewa, tiba-tiba ketiga kakek itu bersalto ke arah tiga kakek yang terkapar tak berdaya di tanah. Tangan mereka siap meluncur.

Dan tanpa ampun lagi ketika kakek yang terkapar itu menjerit terkena hantaman ajian Bara Menghantam Gunung.

"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut. Namun ketiga gurunya telah menemui ajal mereka dengan tubuh hangus.

Melihat hal itu, Madewa menjadi murka. Lalu dia pun menyerbu ketiga kakek itu yang langsung memapakinya.

Dua pukulan sakti berbenturan.

Terdengar suara bagaikan sebuah ledakan.

Daun-daun berguguran. Dan tempat itu seketika mengepulkan debu tebal.

Dari debu yang menyelimuti itu terlempar empat sosok tubuh ke belakang. Madewa terhuyung beberapa langkah. Sedangkan Tiga Setan Pemetik Bunga langsung kelojotan mampus dengan tubuh hancur. Rupanya Madewa mengeluarkan Pukulan Bayangan Sukma tingkat tinggi.

Lalu dengan menahan sakit di dada, dia menghampiri istrinya yang tengah menangisi mayat ketiga gurunya.

"Guru... guru... huhuhu... mengapa harus terjadi hal seperti ini... Huhuhu... mengapa Guru?"

Madewa cuma mendesah panjang. Tak berani mengusik istrinya yang sedang bersedih.

Malam pun mulai turun.

Tangis Ratih Ningrum masih berkepanjangan.

SELESAI



No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 17 Warisan Berdarah"