Serial Pendekar Bayangan Sukma: 15 Maut Buat Madewa Gumilang
15 Maut Buat Madewa Gumilang
1
Pagi itu, penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Merbabu seperti biasa pergi bertani dengan gembira. Cuaca hari ini nampak cerah, lain seperti kemarin. Pemandangan bila dilihat dari puncak Gunung Merbabu bukan main indahnya. Hamparan padi menguning bagaikan emas yang bertaburan di bumi. Dan bukitbukit di sebelah Barat sana menghijau. Sungai kecil melintang berkelok bagaikan ular.
Tetapi puncak Gunung Merbabu berdiri angkuh seolah merasa besar. Puncak yang terasa begitu misterius. Bahkan para penduduk di sekitar sana yakin, kalau puncak itu kadang didiami oleh dedemit.
Para penduduk yang bekerja di sawah, bersiul gembira. Bocah-bocah kecil yang sedang mandi di sungai, berenang-berenang dengan tertawa.
Namun kegembiraan itu dikejutkan oleh suara orang berseru-seru, disusul dengan derap langkah kuda yang cepat mendatangi desa yang ada di lereng gunung itu.
"Masuk! Semua masuk ke rumah! Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa datang!"
Seketika suasana yang tenang itu berubah menjadi jerit ketakutan. Para penduduk yang bekerja di sawah segera berlari pulang. Tak menghiraukan lagi alat-alat yang mereka tinggalkan. Bocah-bocah kecil masih dalam keadaan bertelanjang pontang panting masuk ke rumah.
Semua pintu dan jendela terlihat segera tertutup.
Keadaan menjadi tegang. Dan ketakutan.
Gerombolan para penunggang kuda yang berpakaian hitam dengan celana merah itu, berhenti tepat di tengah-tengah desa. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki berwajah bengis dan seram. Di pinggang mereka terselip sebatang golok besar.
Salah seorang yang bercambang dan berjanggut lebat, mendengus. Dia bernama Murko Wiroko, pimpinan dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa.
"Hhh! Orang-orang bodoh! Keluar kalian!" serunya seperti menebar hawa maut. "Keluaaaarrr! Bila tidak, desa ini akan kami bumi hanguskan!"
Namun orang-orang yang sedang ketakutan itu, tak satu pun yang ke luar. Mereka saling dekap dengan anak istri mereka.
Murko Wiroko mendengus marah.
"Kuperingatkan pada kalian semua... bila tak ada yang ke luar, akan kubakar seluruh desa ini!"
Makin ketakutan para penduduk yang berada di dalam rumah. Namun dari gorden yang mereka buka sedikit untuk mengintip, terlihat sebuah pintu rumah terkuak. Satu sosok tubuh berjalan ke luar. Sementara di ambang pintu rumah itu, terlihat seorang perempuan yang berusaha menahan dan berseru-seru, "Jangan, Pak! Jangan! Mereka akan membunuhmu... huhuhu... pakkkk!"
Namun laki-laki yang berusia sekitar 45 tahun itu terus melangkah dengan gagah menghampiri para penunggang kuda yang terbahak-bahak melihatnya muncul.
Laki-laki itu kini berhadapan dengan para penunggang kuda itu. Dia adalah seorang laki-laki yang bertubuh gagah. Tubuhnya tegap. Kumis tipisnya bertengger di atas bibirnya yang mulai keriput.
Dia berkata dengan lantang, "Murko Wiroko... sudah berulangkali kau dan gerombolanmu membuat onar di Desa Kaliwungu ini! Dan sikapmu begitu onar dan mengerikan! Apakah kau tidak pernah merasa kasihan dengan orang-orang yang tak berdosa yang kau tindas ini?!"
Laki-laki yang ternyata Ki Lurah mendengus. Suaranya tetap tegar.
"Mati di tangan Tuhan, Murko Wiroko... dan kezaliman yang kau sebar ini tak bisa kuterima dan berlangsung Lurah?" terbahak-bahak Murko Wiroko.
"Aku mengajak kau bertanding, Murko Wiroko..." "Hei, kau berani menantangku?!"
"Tak ada jalan lain... daripada aku mengorbankan nyawa pendudukku..."
"Bagus, bagus sekali, Ki Lurah... aku menyukai sifat jantanmu itu. Nah, bagaimana peraturannya?"
"Bila kau kalah... kalian tinggalkan tempat ini dan jangan datang lagi..."
"Bagaimana bila kau sendiri yang kalah?"
"Kau boleh menghancurkan keluargaku... tapi jangan penduduk yang lain!" kata Ki Lurah Jalu Prakoso dengan suara seperti desahan. Sebenarnya dia berat melakukan ini. Namun baginya, dia lebih rela mengorbankan diri dan keluarganya daripada nyawa para penduduk.
"Bagus! Aku terima tantanganmu, Ki Lurah! Nah, kau bersiaplah!" kata Murko Wiroko sambil melompat dari kudanya.
Ki Lurah Jalu Prakoso pun bersiap. Terbayang wajah istrinya yang bernama Srinti dan putranya yang baru berusia 12 tahun, Bayu Menggolo. Saat nikah, Ki Lurah Jalu Prakoso memang sudah berumur, saat usianya 30 tahun. Sedangkan istrinya saat itu berusia 19 tahun. Namun cinta dan kesetiaan dari istrinya begitu besar dilimpahkan kepada Ki Lurah Jalu Prakoso.
Dan kini Srinti sedang memperhatikan suaminya yang nampak siap berlaga dengan Murko Wiroko. Hatinya menjadi cemas bukan main. Dia berdoa sebanyak-banyaknya untuk keselamatan suaminya. Begitu pula dengan para penduduk yang lain. Mereka pun tak kalah tegangnya. Kengerian itu terus merambat.
Perlahan.
Dan semakin mencekam.
"Ki Lurah... mengapa kau hanya diam saja? Ayo, seranglah aku sebisamu... hahahaha!" terbahak Murko Wiroko yang menganggap remeh Ki Lurah Jalu Prakoso.
Jalu Prakoso diangkat sebagai Lurah, karena dia memiliki ilmu silat. Dulu desa ini pun pernah diserang oleh gerombolan, saat istrinya sedang mengandung dua bulan. Kala itu Jalu Prakoso belum menjadi Lurah. Dan berkat kegigihannya yang memimpin beberapa pemuda dan orang tua, mereka berhasil mengusir gerombolan itu.
Dari keberaniannya itulah dia diangkat sebagai Lurah.
Penduduk desa Kaliwungu sebenarnya adalah orang-orang yang pemberani dan suka bahu membahu. Namun kira-kira dua bulan yang lalu, saat mereka bahu membahu untuk mengusir Gerombolan Malaikat Penyebar Maut, hanyalah merupakan pekerjaan yang sia-sia belaka. Mereka banyak yang mati. Dan lawan begitu ganas membunuh.
Itulah sebabnya mereka tak berani lagi untuk menentang dan melawan Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa, mengingat anak istri mereka yang banyak dan masih kecil-kecil.
Ki Lurah Jalu Prakoso menyadari pula hal itu. Itu pula sebabnya dia mencoba menantang Murko Wiroko berhadapan satu-satu dengannya!
*** 2
Ki Lurah menatap Murko Wiroko dengan pandangan murka.
"Hhh! Kau tak ubahnya seperti anjing buduk yang mengorek bangkai!"
Wajah Murko Wiroko melegam merah. Pipinya menggelembung karena marah mendengar kata-kata Ki Lurah Jalu Prakoso. Lalu dia pun menyerbu dengan satu jotosan ke arah dada Ki Lurah!
Ki Lurah yang sudah bersiap sejak tadi, menyambut jotosan itu dengan memiringkan tubuhnya. Lalu membalas dengan satu tendangan ke arah kaki Murko Wiroko, yang buru-buru melompat.
Murko Wiroko yang menganggap remeh Ki Lurah Jalu Prakoso tidak bisa main-main lagi, karena dia menyadari kini kemampuan yang dimiliki Ki Lurah.
Kembali dia menyerang dengan jotosannya. Kali ini beruntun disusul dengan satu tendangan. Ki Lurah menghadapi semua itu dengan tenang. Tubuhnya bergerak dengan cepat, mengelakkan serangan itu dengan gesit. Namun dengan tiba-tiba saja tubuh Murko Wiroko sudah berada di atas kepalanya, tinjunya siap dipukulkan ke kepala Ki Lurah.
Dengan sigap Ki Lurah menarik dirinya, namun pukulan itu terus mencercanya. Mau tak mau membuat Ki Lurah bergulingan di tanah. Bajunya seketika dikotori tanah yang sebentar lagi mungkin akan bersimbah darah.
"Hahaha... kau tak akan bisa lari dariku, Ki Lurah!" tertawa Murko Wiroko seraya menyerbu kembali.
Ki Lurah yang masih bergulingan di tanah dengan sigap bangkit dan mencoba memapaki serangan dari Murko Wiroko. "Des!"
Dua tenaga berbenturan. Terlihat tubuh Ki Lurah Jalu Prakoso terhuyung beberapa langkah. Bertanda tenaga dalam Ki Lurah jauh berada di bawah tenaga dalam yang dimiliki Murko Wiroko. Ki Lurah Jalu Prakoso mencoba mengimbangi tubuhnya agar tidak jatuh.
Namun belum lagi dia dapat mengimbangi tubuhnya agar berada dalam posisi seimbang, sebuah tendangan keras telah datang dan tepat mengenai dadanya.
"Des!" "Aaaakkkkhh!"
Tubuh Ki Lurah Jalu Prakoso terpental beberapa tombak ke belakang. Dan jatuh tidak bangun-bangun lagi. Nyawanya telah melayang.
Istrinya yang menyaksikan hal itu mendekap putranya erat-erat sambil menangis pilu. Dia melihat mayat suaminya diinjak-injak oleh Gerombolan Malaikat Penyebar Maut.
"Cih! Mampuslah kau sana, Jalu!" mendengus Murko Wiroko.
"Kakang... apakah dengan begitu kau akan memenuhi janjimu?" tanya salah seorang anak buahnya.
Murko Wiroko mendengus. "Apa maksudmu, hah?!" "Bukankah kau tadi telah berjanji padanya, bila kau
dapat mengalahkannya kau hanya akan mengganggu keluarganya saja?!"
"Hahaha... Garot... Garot... ternyata kau bodoh sekali!" terbahak-bahak Murko Wiroko mendengar penuturan anak buahnya yang paling muda. Sebenarnya Garot bukanlah laki-laki yang kejam. Tetapi karena dia telah lama bergaul dengan Gerombolan Penyebar Maut, maka dia pun menjadi terpengaruh.
"Maksudmu, Kakang?" "Mana mungkin aku akan memenuhi kata-kataku itu! Tidak, desa ini beserta isinya harus menjadi milikku! Dan aku ketua di sini! Siapa saja yang berani menentangku, akan kubuat hancur lumat dengan tanah!" kata Murko Wiroko sambil menepuk dadanya.
Teman-temannya tertawa. Begitu pula dengan Garot. Kehidupan garang telah menempanya menjadi begitu kejam dan telengas.
Tiba-tiba terdengar suara Murko Wiroko, "Hhh! Kalian bakar desa ini menjadi lautan api! Umumkan bahwa akulah yang berkuasa di sini! Bunuh siapa saja yang membangkang! Hahaha... aku sendiri akan mengurus istri dari Ki Lurah Jalu Prakoso. Tadi kulihat wajahnya yang cantik mengintip dari balik gorden... hahaha... masih hangat agaknya bila kupakai!"
Lalu Murko Wiroko menggebrak kudanya mendekat rumah Ki Lurah Jalu Prakoso. Sementara anak buahnya mengamuk sambil tertawa-tawa. Bagi mereka, melihat kesengsaraan penduduk merupakan suatu kegembiraan yang mengasyikan.
Mereka membakar obor dan melemparinya ke atapatap rumah penduduk. Seketika di tempat itu seakan menjadi lautan api. Terdengar jeritan memilukan dan menyayat hati. Karena tak mau dimakan api yang mengganas, akhirnya para penduduk pun berlarian ke luar rumah.
Dan kesempatan itu digunakan oleh Gerombolan Malaikat Penyebar Maut untuk membunuh siapa saja. Dan mengambil anak gadis mereka.
Terdengar jeritan, tangisan dan pekikan. Menderu.
Suasana desa seperti neraka.
Sementara itu, Murko Wiroko tengah mendobrak pintu rumah Ki Lurah Jalu Prakoso yang tertutup. Dengan sekali tendang pintu itu hancur berantakan. Lalu sosok tinggi besar itu masuk ke dalam. Matanya celingukan. Bibirnya tak henti-hentinya menyeringai.
"Hai, Manis... di mana kau bersembunyi?" Kepalanya celingukan mencari Srinti, istri dari Lu-
rah Jalu Prakoso.
"Manis... ayo keluar... Kakangmu datang?" berkata lagi Murko Wiroko sambil mencari ke ruangan-ruangan yang terdapat di rumah itu.
Namun setelah pelosok rumah ditelusuri, bayangan Srinti dan putranya Bayu Menggolo tak nampak. Penasaran Murko Wiroko mencari sekali lagi. Namun hasilnya tetap nihil.
Murkalah dia menyadari wanita itu sudah melarikan diri bersama anaknya.
"Anjing buduk! Berani-beraninya kalian melarikan diri dariku, hah?!" makinya berang sambil menghantamkan tangan kanannya ke sebuah meja.
Meja itu berderak dan hancur seketika.
"Bangsat! Awas bila kalian ketemu! Akan kucincang dan kukuliti kalian!" makinya lagi, lalu beranjak keluar.
Di luar suasana makin kacau balau. Beberapa penduduk yang mencoba melawan, harus tewas dengan kepala pecah atau bagian tubuh yang hilang terkena sabetan golok besar dari orang-orang itu.
Murko Wiroko tersenyum puas menyaksikan semuanya. Baginya, ini merupakan pembalasan atas jengkelnya karena tidak menemukan Srinti dan putranya.
"Bunuh siapa yang mencoba melawan!" serunya sambil mengambil sebuah obor dan melemparkannya ke atap rumah Ki Lurah Jalu Prakoso.
Api pun cepat menyambar atap rumah yang terbuat dari jerami itu. Menjalar dengan cepatnya. Percikan api terbawa angin dan menyambar rumah yang lainnya hingga ikut terbakar.
Dari sebuah rumah terlihat salah seorang anak buah Murko Wiroko keluar sambil tertawa-tawa. Di tangannya terbopong sebuah tubuh molek yang meronta-ronta.
"Lepaskan, lepaskan aku!" rintih gadis itu. "Bapak... tolong aku... tolong, Bapak...!"
Dari dalam rumah berlari seorang laki-laki setengah baya. Keadaan laki-laki itu amat mengerikan. Sekujur tubuhnya berdarah. Namun dia masih berusaha untuk bertahan demi menolong anak gadisnya.
Di tangan laki-laki itu terpegang sebuah tombak. "Lepaskan anakku, Manusia biadab!" makinya sam-
bil menyerbu.
Tetapi anak buah Murko Wiroko itu hanya tertawa. Begitu tubuh laki-laki itu mendekat, masih dalam membopong tubuh gadis itu, anak buah Murko Wiroko yang bernama Menak Supo, mengayunkan kaki kanannya.
"Des!"
Tendangan itu telah mengenai dada laki-laki setengah baya itu. Hingga tubuhnya sempoyongan. Keseimbangannya pun hilang.
Dan tubuh itu pun ambruk.
Darah makin bersimbah di sekujur tubuhnya. "Bapaaaaaa!" terdengar jeritan memilukan antara
kuatir dan ketakutan.
Mendengar suara putrinya yang menyayat, membuat laki-laki itu mencoba untuk bangkit kembali. Dia pun menyerbu lagi dengan sisa-sisa tenaganya.
Namun kali ini Menak Supo mendengus dan tak mau memberi hidup lagi. Masih tetap membopong tubuh gadis itu, Menak Supo mencabut goloknya dan menghantamkan ke leher laki-laki itu hingga putus.
Dan laki-laki itu pun ambruk setelah kelojotan sejenak.
"Bapaaaaaaa!"
Pagi yang cerah, kini telah bersimbah darah.
***
3
Wanita itu terus melangkahkan kakinya, meskipun dia merasa sudah lelah sekali. Sementara bocah kecil yang mengikutinya harus tertatih-tatih dan sekalisekali tersandung batu karena terlalu cepat mengikuti langkah wanita itu.
Wanita itu tak lain istri dari Ki Lurah Jalu Prakoso bersama anaknya, Bayu Menggolo. Setelah melihat suaminya ambruk bersimbah darah dan mati, Srinti hanya bisa menahan pilu di dada. Dia tak pernah menyangka suaminya akan mati dengan cara yang mengerikan. Dan di depan matanya!
Namun dia tersentak kala teringat akan ucapan suaminya sebelum mati. Dan diam-diam di hati wanita itu begitu terharu akan kebesaran jiwa suaminya yang rela berkorban dan mengorbankan keluarganya demi orang banyak.
Namun Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa memang tak bisa dipegang janjinya, karena begitu Jalu Prakoso tewas, anak buah Murko Wiroko segera menyerbu seisi desa.
Srinti sendiri segera menyadari bahaya yang mengancamnya. Dia pun bergerak cepat, mengambil beberapa perhiasan dan sejumlah uang. Kala dia mengintip lagi dari gorden jendela, dilihatnya Murko Wiroko sedang berjalan ke arah rumahnya.
Bergegas Srinti menarik tangan putranya Bayu Menggolo untuk meninggalkan rumah. Mereka melalui pintu belakang. Lalu merambah semak belukar dan rawa. Sementara Bayu Menggolo sendiri hanya mengikutinya saja. Walaupun bocah itu sudah mengerti apa yang terjadi terhadap ayahnya, namun dia tidak tahu sebab apa ayahnya dibunuh orang.
Selama satu hari satu malam, Srinti membawa putranya berjalan kaki. Baginya, saat ini adalah menjauh dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa.
Dendam telah membara di hati wanita itu.
"Bu... istirahat lagi..." keluh Bayu Menggolo yang makin tertatih-tatih mengikuti langkah ibunya.
Semalam mereka memang beristirahat yang hanya beberapa jam itu sangat sedikit sekali. Bocah itu jelas sudah kelelahan sekali.
"Sebentar lagi, Bayu..." sahut Srinti, kali ini memperlambat langkahnya.
"Sejak tadi Ibu bilang sebentar lagi. Tetapi belum pula berhenti..." keluh anak itu lagi.
"Sebentar lagi kita akan tiba di desa Kali Anget, Bayu..."
"Ibu bohong! Sejak tadi ibu pun berucap demikian. Tapi buktinya kita terus berjalan saja. Bayu sudah lelah, Bu..."
"Ibu tahu, Bayu... tetapi kita tetap harus berjalan..." kata Srinti.
"Istirahat dulu, Bu. Perut Bayu pun lapar." "Nanti saja di desa Kali Anget, Bayu..." "Sekarang saja, Bu..." rengek anak itu.
Srinti mendesah. Terbayang lagi kejadian dua hari yang lalu. Ah, mengapa ajal begitu cepat menjemput suaminya? Dan ingat itu, kegeramannya pada Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa semakin menjadi-jadi. Namun saat ini dendam itu dibaluri ketakutan yang amat sangat. Srinti kuatir kalau-kalau orang-orang biadab itu mengejar dan menemukannya. Maka dia berkata pada putranya, "Bayu... bukankah Bayu anak Ibu yang penurut?"
Mendengar suara yang lemah lembut itu membuat anak itu terdiam.
"Iya kan, Bayu?" "Iya, Bu..."
"Nah... turutilah kata-kata Ibu sekarang. Kita harus terus berjalan, Bayu. Tujuan kita desa Kali Anget. Di sana, kita akan mencari tempat penginapan. Juga makanan yang enak-enak."
"Makanan yang enak-enak, Bu?" wajah anak itu menjadi cerah.
Srinti mengangguk. "Ya, kau bisa makan sepuaspuasnya dan sekenyang-kenyangnya."
"Tapi masih lamakah kita sampai di sana, Bu?"
Kali ini Srinti mendesah. Desa Kali Anget masih jauh sekali dari tempat mereka sekarang. Membutuhkan waktu sehari lamanya. Tetapi tentu saja di depan putranya dia mengatakan lain.
"Tidak, Bayu. Desa Kali Anget sudah dekat sekali. Nah, kau mau bukan melanjutkan perjalanan ini lagi?" "Kalau nanti bisa makan sepuas-puasnya, Bayu
mau, Bu. Tapi, Bu..." anak itu mendadak terdiam. "Kenapa, Bayu?"
"Kenapa kita harus meninggalkan rumah, Bu? Dan mengapa ayah dibunuh orang seram itu?"
Pertanyaan itu sebenarnya begitu sederhana. Namun bagi Srinti begitu menyengat sekali.
Dan kembali dia diingatkan bagaimana suaminya tewas. Begitu mengenaskan.
Tiba-tiba Srinti menatap tajam putranya. Satu pikiran membayang di benaknya. Bukankah dia bisa membalas dendam sakit hatinya melalui tangan anaknya? Mengapa dia begitu bodoh tidak berpikir ke sana.
Bayu risih ditatap seperti itu. Sangkanya ibunya marah mendengar pertanyaannya. Buru-buru dia berkata,
"Bu... kenapa Ibu menatap Bayu seperti itu? Ibu marah?"
Srinti buru-buru tersenyum. Merasa bersalah karena tatapannya tentu membuat putranya ketakutan.
Dia tersenyum. "Tidak, Bayu..." "Ibu tidak marah?" Srinti menggeleng.
"Yah... di desa Kali Anget bila kita sudah mendapatkan penginapan, Ibu akan menceritakan semuanya padamu. Dan kita akan mencari guru silat."
"Guru silat, Bu?" "Ya."
"Ibu ingin belajar silat?"
Srinti tersenyum sambil menggeleng. "Untukmu, Bayu "
"Untuk Bayu, Bu?" suara anak itu bercampur dengan nada gembira.
"Ya. Kau harus belajar ilmu silat setinggi-tingginya. Dan kau harus membalaskan dendam ayah dan ibumu ini pada Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa."
"Benar ya, Bu?" tanya anak itu lagi.
"Ya. Ayo, Bayu... kita lanjutkan perjalanan kita lagi," kata Srinti sambil menarik tangan putranya lagi untuk melangkah.
Bayu Menggolo mengikutinya dengan hati riang. Terbayang sudah dia memiliki ilmu silat. Ah, tentunya aku akan seperti ayah nanti, desisnya dalam hati.
Namun baru saja lima tindak keduanya melangkah, di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki berwajah seram dengan tombak di tangan!
*** 4
Srinti tercekat. Wajah ketiga orang itu jelas tidak bersahabat. Tanpa disadarinya, Srinti menghentikan langkahnya. Dipegangnya tangan putranya erat-erat. Bayu Menggolo sendiri heran melihat ketiga orang itu menghadang langkah mereka.
"Si... siapa Ki sanak sekalian?" tanya Srinti mencoba tenang dan membesarkan hati.
Salah seorang dari ketiga orang itu terbahak. "Hahaha... rupanya wanita ini punya nyali juga un-
tuk bertanya "
"Benar, Karto... tidak seperti kebanyakan wanita lain yang langsung terbirit-birit begitu berjumpa dengan kita " sahut temannya yang bernama Kuncoro.
"Hahaha... bukankah itu sesuatu permainan yang mengasyikan. Kita ibarat tiga ekor kucing yang sedang mengejar seekor tikus," sambung yang bernama Cakoro.
Srinti mendesah dalam hati. Dia menyesali mengapa terlalu lama dia berbincang-bincang dengan putranya. Bila tadi mereka langsung melanjutkan perjalanan, sudah tentu tidak akan berjumpa dengan ketiga laki-laki ini.
Bagi Srinti, baru saja dia terlepas dari sarang buaya, kini sudah masuk ke sarang harimau! Malah yang ini nampak lebih buas! Tiga pasang mata itu liar menatapi sekujur tubuhnya.
Srinti merinding ketakutan.
Tanpa sadar dia mundur sambil memegang tangan putranya erat-erat.
"Hahah... rupanya dia pun tak lebih dari seekor tikus betina," kata Karto.
"Dan kita akan mempunyai lagi suatu permainan yang mengasyikan sebelum mengganyang habis tikus itu..." tertawa Kuncoro.
Srinti makin ketakutan.
"Mau... mau apa kalian?" desisnya ketika ketiga orang itu perlahan-lahan mendekat sambil terbahakbahak lebar.
"Mau apa?" tertawa Cakoro. "Sudah tentu ingin mengajakmu bersenang-senang. Bukan begitu, kawankawan?"
Kata-kata Cakoro disambut pula dengan tawa yang lebar.
Pucat wajah Srinti.
Dan tiba-tiba dia berbalik melarikan diri sambil menarik tangan putranya. Bayu Menggolo hanya mengikutinya sambil tertatih-tatih.
"Hahaha... kau tak akan bisa lari dari kami, Ma nis "
Ketiga orang itu mengejar dan sebentar saja mereka sudah mengurung Srinti dan putranya. Ketiganya menyeringai menakutkan.
"Mengapa kau harus takut, Manis?" kata Kuncoro. "Kami hendak mengajakmu bersenang-senang. Kau malah aneh, ketakutan tak beralasan "
"Tolong... tolong jangan ganggu aku " desis Srinti.
"Siapa yang mengganggu?" "Pergi... pergi kalian dari sini "
"Hahaha... kami hanya mengajak kau bersenangsenang. Bila kau tidak mau, tidak apa-apa..." kata Kuncoro pula.
"Tapi... hahaha... kami akan memaksamu, Manis," sambung Karto sambil menyeringai. "Bahkan itu lebih nikmat untuk kami daripada kau pasrah saja. "
Ketiga orang itu perlahan-lahan mendekat.
Srinti mencoba mundur. Namun ketiganya sudah mengurungnya. Dan tiba-tiba saja salah seorang bergerak, menyambar tangan Srinti. Srinti terkejut karena tidak menyangka hal itu.
Pegangan tangannya pada Bayu Menggolo terlepas. "Ibuuuuuu!" pekik anak itu terkejut. Namun Bayu
Menggolo adalah seorang anak yang pemberani. Dia tahu Ibunya dalam bahaya.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia maju memukul Kuncoro yang tengah berusaha untuk mencium ibunya.
"Lepaskan ibu! Kalau tidak kupukul kau?!" maki Bayu Menggolo.
Kuncoro terkejut melihat anak itu membentaknya dengan tangan siap memukul. Tetapi keterkejutannya berubah menjadi tertawa begitu yakin hanya seorang bocah yang membentaknya.
"Hahaha... mau apa kau, Bocah?" "Lepaskan Ibu!"
"Kau bisa apa, Anak Manis?"
"Lepaskan Ibu! Kalau tidak kupukul kau?!" "Hahaha... kau mau memukulku?"
"Ya! Cepat, lepaskan Ibu!"
Kuncoro terbahak lebar. Sementara Srinti ketakutan melihat putranya nampak nekat untuk membelanya. Namun hatinya terharu melihat keberanian bocah itu. Tak ubahnya seperti suaminya. Ah, sayang mengapa maut telah menjemput suaminya?
"Bocah!" membentak Cakoro. "Kau mau apa, heh?!"
Bayu Menggolo berbalik pada Cakoro. Tatapannya nyalang menebarkan marah.
"Lepaskan Ibu!" "Hahaha "
Srinti tahu bahaya yang mengancam putranya. Dia berseru, "Bayu... jangan nekat, Nak... biarkan ibu, biarkan Ibu " "Tidak! Bayu harus menolong Ibu!" seru Bayu Menggolo berani. Dia melangkah perlahan-lahan.
Srinti semakin ketakutan. Kali ini dia tidak memikirkan nasibnya lagi. Nasib putranya lebih berguna daripada nyawanya!
Siapa lagi yang akan membalaskan dendamnya nanti?
"Bayu... larilah... lari dari sini!" serunya. Tetapi bocah itu keras kepala.
"Tidak, Bu! Bayu harus menolong Ibu!"
Dan mendadak saja bocah itu menyerang ke arah Kuncoro yang memegang Srinti atau ibunya erat-erat.
"Bayuuuuu!" seru Srinti ketakutan.
Kuncoro tertawa, ketika kedua kepalan kecil itu memukul-mukul tubuhnya. Memang tidak terasa, namun yang membuatnya kagum keberanian bocah itu begitu besar untuk membela ibunya.
Namun lama kelamaan dia menjadi jengkel juga.
Kakinya pun mengayun. "Des!"
Tubuh bocah itu seketika melayang.
Dan begitu jatuh ke tanah, dia langsung bangkit kembali sambil mengusap darah yang mengalir dari bibirnya. Terasa getir. Dia menyerang kembali.
"Lepaskan Ibu, orang jahat!"
Namun lagi-lagi kaki Kuncoro mengayun. Dan kali ini bocah itu pingsan seketika merasakan sakit yang luar biasa di dadanya.
Srinti menjerit, "Bayuuuu!" serunya sambil meronta-ronta untuk mendapatkan putranya.
Namun cengkeraman kedua tangan Kuncoro sukar untuk dilepaskannya. Dia meronta-ronta sambil menjerit-jerit sampai tenaganya sendiri lemah.
"Hahaha... mengapa harus menjerit-jerit, Manis... ya, ya... benar, benar... sebentar lagi kau akan kubuat menjerit-jerit kenikmatan..." terkekeh Kuncoro sambil menyeret tubuh Srinti ke balik semak.
Srinti masih mencoba meronta dengan sisa-sisa tenaganya. Namun tenaga yang dimilikinya seperti terkuras, apalagi ketika tangan kanan Kuncoro menotok tubuhnya hingga terkulai lemah.
"Hahaha... kawan-kawan, ayo kita berpesta untuk menikmati tubuh yang menggairahkan ini..." kata Kuncoro sambil merebahkan tubuh Srinti di balik semak.
Kedua temannya terbahak.
"Ayo, ayo... kita potong ayam bulat ini bersamasama..." kata Karto.
"Cepat Kuncoro... aku sudah panas dingin menunggu bagianku," kata Cakoro.
"Sabar, sabar... kalian semua pun akan menikmatinya," kata Kuncoro sambil merobek baju bagian dada Srinti yang hanya pasrah tak berdaya. Sepasang matanya bersorot lemah. Dan terlihat cairan bening mengalir.
Betapa memilukannya nasib wanita ini.
"Hahaha... kalian lihat... betapa montoknya buah dada wanita ini..." kata Kuncoro.
Kedua temannya berebut untuk melihat. Dan keduanya terbahak-bahak.
"Hahaha... ayolah, Kuncoro... cepat kau ganyang wanita itu... kami sudah tidak sabar menunggu giliran..." kata Cakoro sambil menelan ludahnya.
"Cepat, Kuncoro!" sambung Karto. "Sabar, sabar. "
"Hihihi... rupanya kalian tengah berpesta, ya?! Tapi... mengapa wanita itu nampak tidak mau, hah?!" terdengar suara bernada cempreng di belakang mereka.
Serentak ketiganya menoleh. Dan di hadapan mereka telah berdiri seorang nenek bongkok dengan pakaian yang bagus.
Pakaian itu berwarna ungu. Dan terbuat dari sutra. Rambut nenek itu disanggul. Dengan dua buah tusuk konde yang terbuat dari emas.
Ketika nenek itu menyeringai, terlihat lapisan giginya yang terbuat dari emas pula.
Dia berkesan genit, namun wajah nenek itu seperti layaknya seorang nenek. Keriput.
Ketiga orang itu segera melompat mendekat. Mereka seakan melupakan mangsa mereka yang sudah tak berdaya.
Kuncoro yang merasa kesenangannya diganggu orang lain membentak, "Siapa kau, Nenek jelek?!"
"Hihihi... apakah kau tidak berkaca sehingga kau mengatakan aku jelek?" balas nenek itu sambil terkikik geli.
Wajah Kuncoro merah padam. Legam. "Katakan siapa kau adanya?!"
"Hihihi... bukankah saat ini aku sedang berhadapan dengan komplotan perampok biadab yang menamakan diri Tiga Tombak Setan?"
Mengetahui nenek ini tahu siapa mereka adanya, ketiganya terbahak-bahak.
"Nah... mengapa kau tidak langsung bersujud di hadapan kami, hah?!" membentak Cakoro.
"Hihihi... apakah kau tidak salah? Seharusnya kalian yang langsung bersujud di depanku sebelum nyawa kalian kucabut!"
"Nenek peot!" membentak Karto. "Siapa kau sebenarnya?!"
"Hihihi... kalian kayaknya begitu penasaran untuk mengetahui namaku. Baiklah... tentang namaku, aku sendiri sudah lupa siapa namaku. Tetapi orang-orang rimba persilatan menjulukiku Nenek Berbaju Sutra!" Wajah ketiga orang itu nampak sedikit pucat mendengar nenek itu menyebutkan julukannya. Mereka sudah seringkali mendengar sepak terjang Nenek Berbaju Sutra. Yang amat kejam dan tak pernah melepaskan lawannya bila belum mampus.
Namun Tiga Tombak Setan tidak takut mendengarnya. Malah mereka bermaksud untuk menjajal kesaktian yang dimiliki Nenek Berbaju Sutra.
"Hhhh! Rupanya hari ini kami sedang berhadapan dengan Nenek Berbaju Sutra?" kata Kuncoro.
"Benar, Orang jelek. Nah... mengapa kalian tidak langsung bersujud di depanku?" Nenek Berbaju Sutra menyeringai, menampakkan deretan giginya yang rata terbuat dari emas.
"Siapa sudi bersujud di depanmu, Nenek peot!" maki Kuncoro.
"Malah kami yang akan membuatmu terpaksa bersujud di depan kami!" sambung Karto.
"Masa iya?"
"Nenek peot! Banyak omong pula kau! Kau tidak menyadari dengan siapa sedang berhadapan?"
"Hihihi... tadi sudah kukatakan siapa kalian. Kalian tak ubahnya seperti perampok-perampok hina dina yang hanya bisa merampok orang-orang tak berdaya! Hihihi... apa kalian sudah berganti nama sehingga kau masih menanyakan pula?" terkikik Nenek Berbaju Sutra. "Bagus, bagus... kalau begitu biar aku yang memberi nama pada kalian. Hm... apa ya? O iya... hihihi Tiga Manusia Berwajah Jelek! Ya, ya... itu pantas untuk kalian! Hihihi... Tiga Manusia Berwajah Jelek... hihihi!" Wajah Tiga Tombak Setan memerah mendengar ejekan itu. Kemarahan pun membakar di dada. Tadi saja mereka sudah jengkel karena kesenangan mereka terganggu. Dan sekarang mereka malah diejek dengan ju-
lukan yang jelek itu. Ketiganya pun segera melompat mengurung Nenek Berbaju Sutra dengan tiga buah tombak yang terhunus, siap untuk menghunjam di tubuh Nenek Berbaju Sutra.
"Mampuslah kau, Nenek peot!" geram Kuncoro dan langsung menyerang dengan satu tusukan tombak lurus ke dada Nenek Berbaju Sutra!
***
5
Nenek Berbaju Sutra hanya terkikik. Masih terkikik pula dia memiringkan tubuhnya ke kiri. Tusukan tombak itu lewat beberapa senti dari tubuhnya.
"Wuuuut!"
Dan telapak tangan Nenek Berbaju Sutra bergerak dengan cepat. Saat tombak itu melewati tubuhnya, telapak tangan kanan Nenek Berbaju Sutra menepiskan tombak itu. Lalu menyusul tangan kirinya, menggedor dada Kuncoro.
Kuncoro terkejut karena serangannya berhasil dengan mudah dielakkan dan dia sendiri terkena hantaman.
Sepertinya ayunan telapak tangan Nenek Berbaju Sutra begitu ringan dan tak bertenaga, namun yang dirasakan Kuncoro lain yang diduga. Dia merasa dadanya bagai dihantam oleh sebuah godam yang cukup besar.
Dan itu membuatnya terhuyung beberapa tindak. Melihat temannya terkena hantaman dari Nenek
Berbaju Sutra, Karto dan Cakoro segera menyerbu dengan tombak di tangan.
Kali ini Nenek Berbaju Sutra bersalto ke belakang, karena tusukan kedua tombak itu datang begitu cepat. Lalu kedua tombak itu pun bergerak susul menyusul.
Cepat. Hebat.
Dan berbahaya.
Nenek Berbaju Sutra sendiri mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan yang datang.
"Hihihi... keluarkan semua kemampuan kalian!" serunya sambil mengelak ke sana ke mari.
Kedua penyerangnya menjadi geram karena tak satu serangan pun yang mengenai sasaran. Kuncoro sendiri yang telah memulihkan dadanya sejenak, langsung turun membantu setelah dirasakannya dadanya sudah tidak begitu sakit.
Kini tiga buah tombak itu bergerak dengan cepat seolah mempunyai mata. Ke mana tubuh Nenek Berbaju Sutra menghindar, ke sana pula tombak-tombak itu menyambar.
Namun suatu ketika, tubuh Nenek Berbaju Sutra melenting ke atas. Dan tangan Kuncoro dapat mengejar dengan melempar tombaknya ke arah tubuh Nenek Berbaju Sutra.
"Wuuuttt!"
Tombak itu meluncur dengan deras ke arah Nenek Berbaju Sutra yang masih berada di udara. Namun suatu pertunjukkan ilmu meringankan tubuh yang hebat diperlihatkan oleh Nenek Berbaju Sutra.
Masih berada di udara, dia bergulingan. Dan tombak itu pun meluncur dengan deras. Namun satu kehebatan lagi diperlihatkan, kala tombak itu meluncur di bawah tubuhnya, Nenek Berbaju Sutra menjejakkan kedua kakinya di atas batang tombak yang masih melayang.
Dia berdiri di atas tombak itu.
"Hihihi... kini mampuslah kau, Kuncoro!" terkikik Nenek Berbaju Sutra sambil membalikkan arah tombak itu. Lalu dengan satu dorongan tenaga dalamnya, masih berdiri di atas tombak itu, Nenek Berbaju Sutra meluncur bersama tombak itu ke arah Kuncoro.
Kuncoro terkejut.
Tidak menyangka hal itu bisa terjadi.
Dia mencoba menghindar, namun tombak itu telah meluncur dengan deras, ke arahnya! Sementara Nenek Berbaju Sutra sendiri telah bersalto dari atas tombak itu.
Terdengar pekikan keras membelah langit. "Aaaaaaakkkhhhh!"
Tubuhnya pun tertancap tombak miliknya sendiri. Dan tubuh itu terhuyung beberapa tombak karena tombak itu meluncur dengan tenaga dalam penuh yang dialirkan Nenek Berbaju Sutra.
Lalu tubuh itu pun ambruk bersimbah darah. Tombak telah menancap di dadanya. Sepasang mata Kuncoro membeliak karena menahan rasa sakit dan amarah yang sangat dalam.
Kedua temannya terkejut melihat kenyataan itu. Berlari mereka mendapatkan tubuh Kuncoro yang telah menjadi mayat!
"Kuncoro!" seru keduanya berbarengan.
"Hihihi..." terkikik Nenek Berbaju Sutra yang memperhatikan. Dia geli sekali. "Hihihi... kalian bodoh, mana mungkin mayat itu akan menjawab. Hei, lihat dia sepertinya mau menjawab! Hihihi... iya, Karto dan Cakoro... aku telah mati... Hihihi... nenek itu begitu hebat, kalian kuminta untuk bersujud dan mencium telapak kakinya... hihihi... penuhilah permintaanku ini... ayo kalian cium telapak kaki nenek itu... hihihi..." Nenek Berbaju Sutra terkikik geli.
Wajah Karto dan Cakoro memerah legam menahan marah karena dipermainkan oleh Nenek Berbaju Sutra. Serentak keduanya berdiri. Dua pasang mata itu menatap nyalang penuh nafsu membunuh dan membalas dendam pada Nenek Berbaju Sutra.
Nenek Berbaju Sutra terkikik lagi, seolah tak memperdulikan tatapan yang marah itu.
"Karto dan Cakoro... mengapa kalian tidak mengikuti dan memenuhi permintaanku... aku teman kalian, cepat bersujudlah pada nenek itu... dia begitu sakti, Karto dan Cakoro... kalian tak akan mampu untuk melawannya... ayo cepat ciumlah telapak kaki nenek itu... Hihihi "
"Nenek peot! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" maki Karto sambil maju menyerbu dengan tombaknya. Begitu pula dengan Cakoro. Dia pun langsung menyerbu. Kata-kata Nenek Berbaju Sutra yang mempermainkannya begitu membuatnya marah dan geram.
Dia pun menghunuskan tombaknya.
"Hihihi... mengapa kalian tidak mengikuti permintaan teman kalian itu? Hihihi... kalian mau mampus rupanya!"
"Jangan banyak bacot, Nenek peot! Ayo, hadapi kami!" maki Karto sambil menggerakkan tombaknya ke arah perut Nenek Berbaju Sutra.
"Wuuuut!"
Angin sambaran yang ditimbulkan tombak itu begitu dingin. Bertanda Karto sudah mengeluarkan permainan tombaknya yang hebat.
Begitu pula dengan Cakoro. Keduanya sudah mengeluarkan jurus simpanan mereka.
Tetapi Nenek Berbaju Sutra dengan mudahnya menghindari serangan keduanya. Namun pada gebrakan kedua, membuat dia harus tunggang langgang menghindar.
"Bagus! Rupanya kalian masih punya ilmu simpanan, hah?!" "Dan bersiaplah untuk mampus, Nenek peot!" geram Cakoro murka.
"Hihihi... tidak mudah kayaknya! Hihihi... kalian belum mengenal siapa aku kalau begitu!" sahut Nenek Berbaju Sutra. Dan dalam satu kesempatan dia berhasil meloloskan diri dari serangan kedua tombak itu. Lalu, dia pun maju menyerang dengan telapak tangan yang terbuka. Itulah jurus Telapak Mengundang Maut yang dimiliki Nenek Berbaju Sutra.
Kali ini keduanya yang kewalahan menghadapi gerakan-gerakan yang dilakukan Nenek Berbaju Sutra.
Cepat dan hebat.
Namun keduanya berusaha untuk menangkis dan membalas. Tetapi semua itu terasa sia-sia belaka, karena gebrakan yang dilakukan Nenek Berbaju Sutra begitu cepat.
Mendadak dia berguling ke arah Cakoro yang menjadi terkejut. Buru-buru Cakoro mengempos tubuhnya ke atas. Namun sungguh di luar dugaan, mendadak saja tubuh Nenek Berbaju Sutra yang bergulingan itu mengempos pula ke atas.
Telapak tangan kanannya bergerak lebih dulu, menyusul tubuh Cakoro.
Dan tanpa ampun lagi tubuh Cakoro terkena telapak tangan yang mengandung tenaga dalam.
Tubuh itu terhempas sebelumnya terpental ke belakang beberapa tindak. Dan tubuh itu pun tak pernah bangun lagi, karena jantungnya seketika copot!
Nenek Berbaju Sutra bersalto dan berdiri berhadapan dengan Karto yang nampak pias ketakutan. Namun dia bukanlah laki-laki pengecut. Apalagi melihat kedua temannya mati di depan matanya.
Ini membuatnya berang.
"Kau harus membayar kedua nyawa temanku, Nenek jelek!" "Hihihi... kau masih nekat pula, Karto... bukankah lebih baik kau bersujud saja di hadapanku, hah?!" terkikik Nenek Berbaju Sutra. "Jangan sangka aku kejam dan telengas menurunkan tangan! Aku masih berbaik hati bila kau sudah mencium telapak kakiku, hah?!"
"Rasanya tak mungkin aku melakukan hal itu, Nenek peot!"
"Mengapa tidak? Nah, cepat lakukan sebelum aku telengas menurunkan maut pada kau!"
"Hhh... aku akan mengadu jiwa denganmu, Nenek peot!"
"Hihihi... Karto, kau begitu keras kepala! Baik bila itu yang kau inginkan! Nah, majulah! Tapi... hihihi... baik, kau akan kusiksa dulu sebelum kubunuh! Ayo, maju!"
Karto menggeram marah.
Dia memutar tombaknya di atas kepalanya. Tombak itu berputar bagai baling-baling belaka. Deru yang ditimbulkannya begitu mendesing seperti angin keras.
Menebarkan hawa maut.
Dan siap mengundang nyawa untuk mati!
Lalu diiringi satu pekikan yang keras, Karto pun menyerbu dengan hebat. Tombaknya yang berubah seperti baling-baling tiba-tiba bergerak menghunus ke depan, tepat mengarah pada dada Nenek Berbaju Sutra!
Nenek Berbaju Sutra sendiri terkejut.
Kali ini dia menyadari serangan Karto begitu berbahaya. Sebisanya dia menghindar. Namun mendadak kembali tombak itu berputar bagaikan baling-baling.
"Mampuslah kau, Nenek Peot!"
Tombak itu terus mencerca tubuh Nenek Berbaju Sutra dengan hebat. Dan kembali sekali-sekali tombak itu terhunus mengancam nyawanya.
Bila Nenek itu mempunyai kesempatan untuk menyerang, mendadak saja tombak yang berubah balingbaling itu berputar di depan tubuh Karto, menjadi tameng dan membuat Nenek Berbaju Sutra menarik kembali serangannya.
"Gila!" makinya
"Dan kau akan dibuat gila benaran setelah terkena ujung tombak ini!" seru Karto sambil menyerang terus. Karena merasa Nenek Berbaju Sutra sukar untuk menembus pertahanan dan serangan tombaknya, kembali dia mengeluarkan jurus Tombak Berputar. Dan menyerang terus.
Nenek Berbaju Sutra sendiri memang sukar untuk mendekati tubuh Karto yang seperti dilindungi oleh putaran tombak itu.
Namun dia terus mencoba memasuki pusaran tombak itu. Tetapi memang sukar sekali untuk bisa menembus.
Dia pun berulang kali menghindari serangan itu. "Hahaha... mau ke mana kau, Nenek peot! Kau tak
akan bisa lari dari tanganku! Hahaha... terimalah kematianmu ini..." seru Karto sambil terus mencecar.
Sebisanya Nenek Berbaju Sutra untuk menghindari serangan itu.
Sementara itu. Srinti yang sejak tadi memperhatikan pertarungan itu berdoa banyak-banyak untuk kemenangan Nenek Berbaju Sutra itu. Dia memang tidak mengenal siapa adanya nenek itu, tetapi melihat nenek itu seperti membelanya, membuatnya berpihak pada nenek itu. Dan hati-hati dia membopong putranya yang masih pingsan.
Kembali dia memperhatikan pertarungan yang sengit, hebat dan berbahaya itu. Kembali dia berdoa untuk kemenangan Nenek Berbaju Sutra itu. Dan satu pikiran telah ada di benaknya.
Kini dia tak perlu lagi mencari guru silat untuk putranya guna membalas dendam pada Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa. Bukankah dia bisa memohon pada nenek itu untuk mengangkat dan mengajari putranya sebagai murid? Ya, dia akan berusaha untuk memintanya.
Makin banyaklah doa yang keluar dari mulut perempuan yang tengah mendendam itu.
Sementara itu, Nenek Berbaju Sutra terus mencoba untuk menghindari setiap serangan dari Karto. Namun sampai sejauh ini dia belum berhasil sekali pun membalas, karena pertahanan Karto begitu rapat.
"Hahaha... kau tak akan bisa meloloskan diri dari tanganku, Nenek peot!" seru Karto yang merasa sudah berada di atas angin.
"Jangan bermimpi, Karto!" seru Nenek Berbaju Sutra sambil menghindari serangan tombak di tangan Karto yang begitu dahsyat.
"Apanya yang bermimpi, hah? Kau yang rupanya tengah bermimpi untuk bisa meloloskan diri! Hahaha... bermimpilah di siang bolong, Nenek peot!"
Memang sulit bagi Nenek Berbaju Sutra untuk meloloskan diri. Putaran tombak itu begitu dahsyat. Namun dalam satu kesempatan, dia berhasil mengempos tubuhnya dan hinggap di sebatang ranting. Bukan cabang, tetapi ranting!
Itu menunjukkan tenaga dalam yang dimiliki dan ilmu peringan tubuh nenek itu begitu sempurna.
"Turun kau, Nenek peot!" maki Karto.
"Hahaha... rupanya kelemahan jurusmu itu bila dilawan dengan bersalto. Baik, Karto! Kita akan mencoba lagi!" seru Nenek Berbaju Sutra sambil meluncur turun, dengan satu jotosan lurus ke dada Karto.
Namun dia harus lagi menarik tangannya karena tombak itu siap mengancamnya. Dan dia pun mencoba untuk bersalto sambil menyerang. Berulang kali.
Benar dugaan Nenek Berbaju Sutra itu, kelemahan putaran tombak yang dimiliki oleh Karto harus dilawan sambil bersalto.
Karena berkali-kali Karto menjadi kelimpungan.
Dan Nenek Berbaju Sutra semakin mempercepat saltonya hingga suatu saat dirinya lolos dari putaran tombak itu.
Lalu telapak tangan kanannya pun terbuka dan menghantam bagian punggung dari Karto.
"Des!"
Tubuh itu tersuruk ke depan. Belum lagi Karto menguasai keseimbangannya, serangan dari Nenek Berbaju Sutra menderu kembali.
"Des!"
Kali ini dia bukan hanya tersuruk, tetapi ambruk.
Wajahnya mencium tanah.
"Hihihi... tak ada gunanya kau menjual lagak di depanku, Karto!"
Karto bangkit perlahan-lahan. Dia merasa sakit di bagian punggung tubuhnya.
Matanya nyalang.
Menebar nafsu membunuh. Wajahnya belepotan tanah.
"Hihihi... kau berkacalah, Karto... pasti kau akan melihat setan!" terkikik Nenek Berbaju Sutra.
"Anjing buduk! Mampuslah kau!" seru Karto sambil menderu menyerbu dengan tombaknya.
Namun kali ini, Nenek Berbaju Sutra yang sudah menemukan kelemahan ilmu tombak Karto dengan mudahnya menghindari serangan itu. Dia bersalto, dan saat berada di atas, tangan kanannya terbuka dan menghantam kepala Karto.
Terdengar bunyi berderak keras, disusul dengan jerit kesakitan. Lalu tubuh itu pun ambruk dengan kepala pecah! Nenek Berbaju Sutra telah hinggap kembali di ta-
nah. Dia meludahi mayat Karto.
"Ciiih! Berlagak di depanku!" makinya
Nenek Berbaju Sutra melihat satu sosok tubuh keluar dari balik semak sambil membopong seorang bocah. Sosok tubuh yang tak lain Srinti itu langsung menjatuhkan diri di hadapan Nenek Berbaju Sutra.
Srinti membungkuk.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Nenek "
Nenek Berbaju Sutra terdiam. Mengulurkan tangannya memegang kedua bahu Srinti.
"Bangunlah, Anakku bahaya telah lewat. Dan kau
bisa meneruskan perjalanan kembali tanpa ada halangan atau pun rintangan "
"Maafkan saya, Nenek... saya tidak akan meneruskan perjalanan ini lagi "
"Hei... bukankah kau sepertinya tengah menuju satu tujuan?" tanya Nenek Berbaju Sutra heran.
"Benar, Nek. Tujuanku adalah desa Kali Anget "
sahut Srinti.
"Hmm desa yang cukup jauh dari sini."
"Benar, Nek."
"Lalu mau apa kau ke sana?"
"Sebenarnya... aku tidak tahu mau ke mana, tapi...
aku tengah mencari seorang guru silat untuk mengajarkan ilmunya pada anakku..." sahut Srinti sambil mengangkat kepalanya, memandang Nenek Berbaju Sutra.
Nenek Berbaju Sutra dapat melihat kalau sorot mata itu sarat dengan duka. Dan kalau tak salah tangkap, dia melihat ada kilatan dendam di sepasang mata yang nampak lelah itu.
Dalam hati Nenek Berbaju Sutra bertanya, ada apa gerangan dengan wanita ini?
"Anakku... untuk apa sebenarnya kau mencari guru silat dan menginginkan putramu memiliki ilmu silat darinya?" tanya Nenek Berbaju Sutra.
Lalu sambil tersendat, Srinti pun bercerita tentang apa yang telah dialaminya. Dan maksud apa dia menginginkan putranya pandai silat.
"Nek... maukah kau mengajarkan putraku ilmu yang kau miliki?" desisnya penuh harap.
Nenek Berbaju Sutra mendesah. Kepedihan wanita ini dapat dia rasakan. Dia pun pernah mendengar akan sepak terjang dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa, namun sampai saat ini belum sekali pun dia berjumpa dengan mereka.
"Anakku... bila itu yang kau inginkan, baiklah... aku akan mengajarkan semua ilmu silat pada anakmu... selama lima tahun, aku yakin semua ilmu yang kumiliki akan terwaris oleh anakmu. Kulihat... tulangtulang anakmu begitu kukuh."
"Oh, terima kasih, Nenek..." desah Srinti gembira.
Dia menyembah berulang kali.
"Bangunlah, anakku... bila kau benar yakin anakmu dapat membalaskan sakit hatimu, ada baiknya setelah mendapat pelajaran dariku, anakmu akan kubawa pada seorang manusia dewa yang bernama Madewa Gumilang dan berjuluk Pendekar Bayangan Sukma. "
"Semua yang Nenek berikan, akan saya terima "
"Bagus, kalau begitu sekarang juga kita berangkat
ke tempat kediamanku, di Gunung Dieng "
Lalu Srinti membopong kembali putranya yang masih pingsan. Dan mengikuti langkah nenek bongkok itu.
*** 6
Lereng Gunung Dieng pagi hari.
Suasana di sekitar gunung itu cerah dan damai. Bunga-bunga bermekaran menyambut pagi. Burungburung berterbangan, berkicau kian ke mari. Suasana cerah. Langit begitu bersih. Di sebelah Timur gunung itu terlihat sebuah pemandangan perbukitan yang indah dan permai. Begitu pula dengan di sebelah Barat.
Alam begitu berseri.
Di puncak Gunung Dieng, kabut tebal menutupi bagian puncaknya. Gunung itu berdiri dengan angkuhnya, bagaikan raksasa yang sedang tidur.
Banyak menyimpan misteri.
Di salah satu bagian dari lereng itu, terdengar suara membentak-bentak keras. Disusul dengan suara yang berseru, "Bagus, Bayu! Coba mainkan lagi jurus Menebar Jala Sutra!"
Dan kembali terdengar bentakan-bentakan keras. Bila diperhatikan lebih dekat, nampaknya seorang pemuda gagah bertelanjang dada sedang memainkan gerakan ilmu silat.
Tak jauh darinya berdiri sosok tubuh bongkok berpakaian terbuat dari sutra.
Mereka tak lain adalah Bayu Menggolo, putra mendiang Ki Lurah Jalu Prakoso. Dan nenek bongkok yang memperhatikan pemuda itu berlatih, tak lain Nenek Berbaju Sutra.
Setelah diangkat menjadi murid oleh Nenek Berbaju Sutra, kini perubahan jelas terlihat pada pemuda itu. Kini tubuhnya tegap dan gagah. Dan tak terasa sudah genap lima tahun Bayu Menggolo berguru pada Nenek Berbaju Sutra.
Hampir setiap malam Bayu Menggolo mendengar cerita dari ibunya tentang kematian ayahnya yang tewas dibunuh Murko Wiroko ketua dari Gerombolan Malaikat Penyebar Maut. Hal itulah yang membuat Bayu Menggolo semakin giat berlatih.
Dia bertekad untuk membalas sakit hati ibunya dan membunuh Murko Wiroko. Nenek Berbaju Sutra sendiri kagum melihat kesungguhan dari Bayu Menggolo berlatih. Dia pun menurunkan semua kepandaiannya kepada Bayu Menggolo.
"Bagus, Bayu! Kau telah begitu sempurna memainkan semua jurus yang kuberikan!"
"Terima kasih, Nenek!" kata pemuda itu yang kini berusia 17 tahun. Lalu dia mengambil nafas dan menghembuskannya. Setelah itu berdiri tegap.
"Ke marilah, Bayu..." panggil Nenek Berbaju Sutra sambil duduk di sebuah batu besar.
Bayu Menggolo mendekat dan duduk di hadapan nenek itu.
"Ada apa, Nek?"
Nenek Berbaju Sutra mendesah. Dia menatap langit sejenak. Langit bersih dan cerah. Lalu tatapannya dialihkan kepada pemuda yang kini duduk di depannya.
"Bayu... sudah lima tahun kau berlatih padaku, dan semua ilmu kepandaian yang kumiliki telah kuturunkan padamu. Nah, bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Aku senang dan bahagia, Nek... dan sepertinya aku telah siap untuk membunuh Murko Wiroko dan menumpas Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa."
"Bagus! Namun kau belum tahu siapa sesungguhnya Murko Wiroko itu "
"Oh, siapakah dia sesungguhnya, Nek? Bukankah dia adalah orang jahat yang telah membunuh ayahku?" tanya pemuda itu.
"Benar, Bayu... namun kau belum mengetahui siapakah Murko Wiroko itu sebenarnya." "Ceritakanlah padaku, Nek "
"Ketahuilah Bayu... Murko Wiroko mempunyai ilmu yang sangat tinggi dan hebat. Konon dia memiliki ajian Tapak Badai yang sukar untuk ditandingi. Aku sendiri merasa, belum tentu sanggup untuk menandingi ajian Tapak Badai milik dari Murko Wiroko "
"Oh, kalau begitu... aku sia-sia belaka berlatih seperti ini, Nek "
"Jangan takut, Cucuku... Ajian Tapak Badai milik Murko Wiroko hanya bisa ditandingi oleh Pukulan Bayangan Sukma. "
"Mengapa Nenek tidak mengajarkan padaku?" "Nenek memang tidak mengajarkannya padamu.
Karena Nenek tidak memiliki pukulan maha hebat itu "
"Lalu siapakah yang memiliki, Nek?"
"Di dunia ini, hanya seorang yang memiliki pukulan maha dahsyat itu. Dia bernama Madewa Gumilang, atau yang berjuluk Pendekar Bayangan Sukma "
"Oh... kalau begitu, percuma saja aku berlatih "
kata pemuda itu seperti mengeluh.
"Jangan takut dulu, Cucuku... Nenek akan mengirimkan pada Pendekar Bayangan Sukma, untuk mengajarimu pukulan yang maha hebat itu "
Wajah pemuda itu berseri. "Benarkah, Nek?" Nenek Berbaju Sutra tersenyum.
"Ya."
"Apakah dia mau mengajariku, Nek?"
"Pendekar Bayangan Sukma adalah sahabatku...
sudah tentu kalau aku yang memintanya, dia pasti mau mengajarimu Pukulan Bayangan Sukma. "
"Kalau begitu kapan kita akan menemuinya, Nek?
Aku sudah tidak sabar untuk mempelajarinya "
"Besok kala matahari sudah sepenggalah, kita akan pergi ke Selatan Gunung Slamet. Di sanalah berdiri sebuah perguruan silat yang bernama Perguruan Topeng Hitam, di mana Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma yang menjadi ketua bersama istrinya yang bernama Ratih Ningrum "
"Apakah aku harus menjadi murid dari Perguruan Topeng Hitam, Nek?"
"Tidak, Bayu Perguruan Topeng Hitam hanya ber-
senjatakan sepasang pedang dan permainan ilmu pedang yang sangat hebat."
"Lho, apakah Pendekar Bayangan Sukma tidak pernah mengajarkan ilmu kepandaian yang dimilikinya?"
"Memang tidak, Bayu. Madewa Gumilang hanya meneruskan perjuangan dan perguruan dari Paksi Uludara yang berjuluk Dewa Pedang. Dia tidak mau mengubah tradisi yang telah dipegang oleh Paksi Uludara. Itulah sebabnya Madewa Gumilang hanya menurunkan jurus-jurus pedang yang dimilikinya dan diciptakannya "
"Oh, kalau begitu... aku siap untuk berangkat, Nek "
"Ya, besok saat matahari sudah sepenggalah, kita semua juga Ibumu, akan pergi ke Perguruan Topeng Hitam "
Bayu Menggolo tersenyum.
Lalu Nenek Berbaju Sutra segera mengajaknya pulang dengan berlari terlebih dahulu. Tubuhnya bagaikan melesat seperti angin. Dia memang sengaja ingin menguji ilmu lari muridnya itu.
Bayu Menggolo pun tak mau kalah. Dia pun segera mengeluarkan ilmu larinya, dan sebentar saja dia sudah bisa menjajari Nenek Berbaju Sutra.
Nenek itu tersenyum. Karena merasa tidak sia-sia menurunkan ilmunya.
*** Dari pondok kecil yang terletak menyendiri di Lereng Gunung Dieng itu, keluar tiga sosok tubuh. Ketiganya masih berdiri menatap rumah kecil itu.
Lalu terdengar suara berkata, "Sebaiknya kita berangkat saja sekarang, Bayu... Srinti "
Bayu Menggolo dan ibunya, Srinti, segera mengangguk. Kini usia Srinti pun bertambah lima tahun. Tetapi wajahnya masih kelihatan segar dan bercahaya. Meskipun sepasang matanya masih belum bisa menyembunyikan sinar dendam atas kematian suaminya. Baginya, semua itu akan sirna bila dia telah melihat
Murko Wiroko mati di tangan putranya. "Baik, Nek " kata Srinti.
Bayu Menggolo sendiri mengambil beberapa buntalan yang mereka bawa. Dan menyampirkannya di bahunya.
Srinti tersenyum bahagia melihat putranya tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Dia berharap, kegagahan pemuda itu tak jauh berbeda dengan mendiang suaminya.
Wanita itu pun penuh berterima kasih pada Nenek Berbaju Sutra yang dengan suka rela membimbing Bayu Menggolo akan ilmu kesaktian.
Bahkan kini dengan suka rela pula dia membawa putranya untuk berguru kepada seorang sahabatnya yang sering disebutnya sebagai manusia dewa.
Hal itu membuat Srinti tidak sabar lagi untuk melihat kematian Murko Wiroko di tangan putranya.
Lalu ketiganya pun mulai melangkah, bersamaan matahari yang telah sepenggalah.
*** 7
Di perguruan Topeng Hitam, pagi itu seperti biasa para muridnya tengah berlatih. Mereka semuanya mengenakan pakaian hitam-hitam dan kain hitam yang menutupi wajah mereka. Boleh dikatakan seluruh tubuh mereka ditutupi oleh bahan berwarna hitam.
Perguruan Topeng Hitam dulunya memang diketuai oleh seorang yang dijuluki Dewa Pedang yang bernama Paksi Uludara. Namun setelah Paksi Uludara tewas di tangan Nindia, dia pun menyerahkan tampuk kekuasaan atau pimpinan kepada Madewa Gumilang (Baca: Dewi Cantik Penyebar Maut).
Saat ini Pendekar Bayangan sukma tengah berada di ruang khususnya, dia tengah bercakap-cakap dengan istrinya, Ratih Ningrum.
"Kanda... aku sudah rindu sekali dengan putra kita Pranata Kumala dan istrinya Ambarwati," terdengar suara Ratih Ningrum berkata pada suaminya.
Madewa Gumilang tersenyum. Senyum selalu berkesan arif dan bijaksana. Dia duduk di depan istrinya. Jubah putihnya tergerai di belakang.
"Aku pun demikian, Dinda... Tetapi mau diapakan lagi? Petualangan yang dilakukan putra kita dan istrinya, sama halnya seperti yang kita lakukan dulu, bukan? Ada kalanya bila mereka sudah lelah, semuanya pun pasti akan kembali ke rumah "
"Hampir satu tahun mereka sekali pun belum kembali ke sini " kata Ratih Ningrum lagi seperti keluhan.
"Dinda Ratih... tidak ingatkah Dinda bahwa putra
kita dan istrinya mempunyai rumah di Laut Selatan? Barangkali saja Pranata Kumala dan istrinya Ambarwati sudah tiba di sana?" Madewa dapat merasakan kerinduan yang dalam dari istrinya terhadap putra mereka. Namun Pranata Kumala bukan lagi seorang bocah kecil. Kini dia telah punya istri yang bernama Ambarwati, putra mendiang Jedangmoro yang tewas di tangan Pranata Kumala sendiri (Baca: Pendekar Kedok Putih).
"Baiklah, Dinda... dua bulan di muka, mudahmudahan kita bisa ke laut Selatan..." kata Madewa Gumilang yang mencoba menghibur istrinya.
Ratih Ningrum tersenyum. Dia begitu sayang dan cinta pada suaminya yang selalu melimpahkan kasih sayang padanya. Sekali pun Ratih Ningrum tidak pernah melihat Madewa Gumilang marah padanya. Sejak dulu Ratih Ningrum yakin siapa sesungguhnya Madewa Gumilang, yang dulu pernah bekerja pada ayahnya sebagai penjaga kuda (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Kala itu Ratih Ningrum masih gadis remaja, dan hidup dalam kekayaan yang berlimpah. Karena ayahnya yang bernama Biparsena seorang yang kaya raya di desa Bojongronggo, di mana Ratih Ningrum dilahirkan. "Kau belum menjawab kata-kataku, Dinda Ratih..." terdengar suara Madewa Gumilang berkata karena is-
trinya hanya tersenyum saja.
"Oh! Iya, Kanda... aku tengah membayangkan bagaimana pertemuan kita dengan Pranata Kumala dan Ambarwati nanti "
"Mudah-mudahan tak akan ada halangan atau pun rintangan "
Tiba-tiba seorang murid Perguruan Topeng Hitam masuk ke ruangan itu. Bagi Madewa Gumilang, memang hal itu tidak mengherankan. Murid-murid Perguruan Topeng Hitam memang dapat masuk dengan mudah dan seenaknya saja ke ruang khususnya. Madewa tak pernah melarang. Namun dengan begitu justru membuat murid-muridnya jadi bersikap berhati-hati. Karena mereka tak mau membuat ketua mereka kecewa. Namun sampai sejauh ini, tak satu murid pun yang berani dengan lancang memasuki ruangan itu. Apalagi bila sang Ketua sedang bersemedi.
"Ada apa, Renggopati?" tanya Madewa pada murid yang tengah menjatuhkan diri di hadapannya.
Meskipun sang murid mengenakan pakaian hitamhitam dan topeng hitam yang menutupi seluruh wajahnya, Madewa dapat melihat siapa yang datang. Madewa memang memiliki ilmu Pandangan Menembus Sukma. Bila ajian atau ilmu dikeluarkan, pandangannya dapat menembus gunung tinggi dan jarak yang cukup jauh!
Lain halnya dengan Ratih Ningrum, dia baru bisa membedakan murid-muridnya dengan suara mereka yang telah cukup dikenalnya.
"Maafkan saya, Ketua..." berkata Renggopati sambil masih berlutut.
"Hmm... ada apakah?"
"Di luar... ada seorang Nenek Berbaju Sutra. Dia datang dengan seorang wanita setengah baya yang bernama Srinti, dan seorang pemuda yang bernama Bayu Menggolo "
Madewa mengangguk-anggukkan kepala. Sudah lama dia tidak bertemu dengan nenek dari gunung Dieng itu. Lalu dia pun bangkit.
Mengajak istrinya keluar.
Di halaman, Nenek Berbaju Sutra tengah menunggu bersama Srinti dan Bayu Menggolo. Bayu Menggolo menjadi berhasrat sekali ketika melihat murid-murid Perguruan Topeng Hitam berlatih.
Dari dalam bangunan besar itu, keluar Madewa Gumilang bersama istrinya.
"Nenek Berbaju Sutra!" serunya. "Hahaha lama kita tidak jumpa, hah?!"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum.
Ratih Ningrum menyuruh murid-muridnya menyudahi latihan dulu sejenak. Dan menyuruh berbaris.
Nenek Berbaju Sutra melangkah mendekat sambil diikuti oleh Srinti dan Bayu Menggolo.
Dan sungguh tiba-tiba sekali tubuh nenek bongkok itu melesat menyerbu Madewa Gumilang dengan pukulan lurus ke depan!
Orang-orang yang berada di sana tidak menyangka akan hal itu. Beberapa murid Perguruan Topeng Hitam serentak hendak maju, namun mereka melihat tangan kanan Madewa Gumilang terangkat, bertanda tak boleh satu pun yang bergerak.
Begitu pula dengan Srinti yang terkejut. Tak ketinggalan Bayu Menggolo yang memekik, "Nenek... mengapa kau menyerangnya?!"
Namun tubuh Nenek bongkok itu sudah melesat ke arah Madewa!
***
8
Madewa sendiri sepertinya sudah menduga Nenek Berbaju Sutra akan menyerangnya. Dilihat dari posisinya berdiri. Kaki kanan di depan, dan badan agak condong ke muka.
Namun serangan seperti itu hanya dilewatkan begitu saja oleh Madewa. Dan begitu pukulan tadi tinggal beberapa senti saja di depan wajahnya, dengan sigap Madewa bergerak ke kiri. Dan tangan kanannya meliuk segera mematuk lambung dari Nenek Berbaju Sutra.
Nenek Berbaju Sutra sendiri tidak menyangka Madewa akan membalas secepat itu. Makanya dia urung memukul, dan menangkis serangan tadi. Sedangkan Madewa kembali melancarkan pukulannya melalui tangan kirinya yang berbentuk kepala ular.
"Wuuutt!"
Nenek Berbaju Sutra membuang tubuh ke kiri, dan bergulingan. Setelah berdiri dia tidak menyerang lagi. Malah terkikik.
"Hihihi... tak kusangka kau semakin hebat saja, Pendekar Bayangan Sukma!"
"Hahaha... Nenek bongkok... sama seperti dulu kau masih suka usil saja bila bertemu denganku?" balas Madewa Gumilang.
"Hihihi... lain kali kau akan kuserang sampai mati, Madewa "
"Terserah kau, Nenek bongkok... itu pun bila kau tidak menganggap lagi hubungan kita ini sebagai persaudaraan... Hahaha mari, mari masuk!"
Orang-orang yang berada di sana mendesah nafas lega. Rupanya begitu cara Nenek Berbaju Sutra menyampaikan salam. Mereka dijamu oleh Madewa di ruang tengah. Nenek Berbaju Sutra pun memperkenalkan Srinti dan putranya, Bayu Menggolo.
Dan dalam satu kesempatan, Nenek Berbaju Sutra pun berkata, "Kedatanganku ini memang ada maksudnya, Sahabat. Dan kuharap kau jangan gusar. "
"Hahaha... katakanlah itu, Nenek "
Lalu Nenek Berbaju Sutra pun menceritakan siapa sesungguhnya Srinti dan putranya. Setelah itu dia pun mengemukakan maksudnya untuk meminta kepada Pendekar Bayangan Sukma untuk rela memungut Bayu Menggolo sebagai muridnya.
"Sahabat " kata Madewa. "Kau tahu bukan, bahwa
selama ini aku tak pernah mengajarkan jurus-jurus Ular Saktiku? Apalagi Pukulan Bayangan Sukma. Aku tidak dapat membayangkan bila pukulan dahsyat itu dimiliki oleh orang jahat. Maksudku... oleh orang lain yang terlalu sombong dan pongah "
"Kau tidak percaya padaku, Sahabat?" tanya Nenek Berbaju Sutra.
"Sejak dulu pun aku percaya padamu, Sahabat. Namun agaknya... aku tidak bisa memenuhi permintaanmu kali ini " kata Madewa Gumilang.
Srinti yang merasa usahanya dan usaha anaknya nanti sia-sia belaka, menangis sesenggukan.
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar... Tolonglah ar-
wah suamiku tak akan tenang bila Murko Wiroko belum terbunuh... Tolonglah "
"Nyonya... bukan maksudku untuk menolak putramu tetapi... aku sepertinya belum bisa mengajarkan pada putramu akan Pukulan Bayangan Sukma Maaf,
bukannya aku tak percaya dengan putramu, tidak sama sekali. Tapi bila putramu ingin mempelajari ilmuilmu pedang dari Perguruan Topeng Hitam, aku sama sekali tidak keberatan. Siapa pun bisa mempelajarinya di sini, asalkan mematuhi semua peraturan yang ada "
Wajah Srinti nampak sedih sekali. Sorot matanya lemah tak berdaya. Sekilas Madewa dapat menangkap kekecewaan yang terpancar dari kedua mata itu. Dan nampak letih, sarat dengan duka.
"Apakah kau benar-benar tidak mau menolong kami, Tuan Pendekar?" katanya sedih.
"Nyonya... bukankah sebaiknya kau jelaskan pada putramu... dendam tak usahlah dibalas. semakin
dendam dipendam, dia akan semakin kuat bertanam di hati. Dan bila belum membalas, bisa terbawa sampai mati. Bukankah ini mengerikan, Nyonya?"
Air mata Srinti berlinang. Dia menatap Madewa Gumilang yang kukuh tengah duduk di hadapannya. Wajah itu begitu bijaksana. Dan senyumannya berkesan arif sekali.
"Bila Tuan Pendekar berjiwa besar, tentulah Tuan Pendekar mau menolong kami... dendam kami harus terbalas. Perbuatan Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa akan semakin menjadi-jadi bila tidak diberantas? Lalu mengapa Tuan Pendekar tidak mau memberikan bekal pada putraku untuk menumpas gerombolan iblis itu? Mengapa? Bukankah dengan begitu berarti Tuan Pendekar membiarkan keangkara-murkaan merajalela di muka bumi ini? Dan di mana harga diri Tuan Pendekar yang sering disebut sebagai Pendekar Budiman? Di mana?" kata Srinti berapi-api. Dia nampak kecewa sekali karena Madewa tidak mau mengajarkan putranya ilmu yang dahsyat itu.
Madewa terdiam. Biar bagaimana pun dia tidak menghendaki putra dari wanita ini menjadi pembunuh karena dendam. Bila dia menumpas Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa tanpa dendam, saat ini pula Madewa akan menerimanya sebagai murid.
Untuk mengenakan hati wanita itu, Madewa berkata, "Baiklah Nyonya... aku akan memikirkannya dulu. Sebaiknya kalian beristirahat saja "
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar... tolonglah " kata
Srinti mengiba.
Madewa tersenyum.
"Sekarang beristirahatlah... tentunya kalian sangat letih sekali karena harus berjalan kaki ke sini "
Bersama putranya Srinti berjalan ke kamar yang telah disediakan. Sementara Nenek Berbaju Sutra menatap Madewa Gumilang.
"Sahabat... mengapa kau menolak permintaan dari wanita yang sengsara itu? Bukankah bila kau menerima putranya menjadi muridmu, berarti ada yang membantumu untuk menumpas kejahatan?" tanyanya. Madewa tersenyum. "Nenek Bongkok kau rupanya belum mengenal aku, hah? Tentu saja aku tak main terima saja. Biarlah satu malam ini aku akan mengecek siapa keduanya dan bagaimana sifat mereka "
"Aku percaya padamu, Madewa "
"Nenek Bongkok beristirahatlah kau sekarang."
Nenek Berbaju Sutra menyeringai. "Hihihi kau
sengaja mengusirku karena kau sudah ingin berdua saja dengan istrimu, bukan?" katanya sambil mengerling pada Ratih Ningrum yang duduk di sebelah Madewa.
Madewa tersenyum.
"Hei, Nenek Bongkok... apa kau pikir kami masih sepasang remaja, hah?"
"Remaja atau bukan, namun cinta kalian tetap bersemi sepanjang masa. Hihihi... baiklah, aku permisi untuk pergi ke kamarku. Maaf kalau aku mengganggu "
Lalu Nenek Berbaju Sutra pun melangkah ke kamar yang disediakan untuknya.
Ratih Ningrum menatap suaminya.
"Kanda... apakah kau akan menurunkan Pukulan Bayangan Sukma-mu pada Bayu Menggolo?" tanyanya. "Dinda aku sudah tahu siapa Murko Wiroko, pim-
pinan dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa. Dia adalah seorang jahat yang sakti mandraguna. Memang tepat bila Nenek Berbaju Sutra membawa Bayu Menggolo padaku. Karena satu-satunya pukulan yang bisa menandingi dan mengalahkan Tapak Badai milik Murko Wiroko, hanyalah Pukulan Bayangan Sukma. "
"Dengan begitu, kau akan menurunkannya pada Bayu Menggolo, Kanda?"
"Antara iya dan tidak." "Mengapa demikian, Kanda?"
"Iya. karena aku setuju Bayu Menggolo menumpas
kejahatan. Tidak, karena dia tengah dilapisi dendam yang amat sangat untuk menuntut kematian ayahnya. Ini yang membuatku bingung, Dinda. Sebab apa? Karena bila dia menerjunkan diri untuk menumpas Murko Wiroko dan teman-temannya dalam keadaan mendendam, niscaya dia akan menjadi sombong dan telengas. Ini sebenarnya yang membuat aku ragu, Dinda "
Ratih Ningrum mengerti apa yang membuat suaminya ragu.
"Jadi keputusanmu bagaimana, Kanda?"
"Malam ini... aku akan memikirkannya. Mungkin besok keputusan itu akan kita lihat," sahut Madewa Gumilang sambil tersenyum pada istrinya.
***
Sehabis sarapan pagi keesokan harinya, Srinti kembali bertanya dengan tidak sabar, "Bagaimana, Tuan Pendekar? Apakah Tuan Pendekar mau menerimanya sebagai murid?"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana.
"Nyonya... apakah kau sudah yakin anakmu akan mampu menjaga dan mengamalkan ilmu yang akan kuajarkan padanya?" tanya Madewa.
"Saya yakin, Tuan Pendekar. "
Madewa berpaling pada Bayu Menggolo yang sejak tadi diam saja. Walaupun pemuda itu nampak kecewa, namun dia bisa menyembunyikan perasaannya.
"Kau sendiri bagaimana, Bayu? Apakah kau dapat menjaga dirimu dari semua kesombongan apabila kau telah menguasai Pukulan Bayangan Sukma "
"Semua kata-kata Ketua akan saya pegang teguh "
kata Bayu Menggolo sambil menunduk.
"Bagus! Kalau kau bisa berjanji dan bertekad untuk mengamalkan ilmu yang kuajarkan ini... mulai besok pagi... kau sudah bisa belajar dariku "
Kata-kata Madewa Gumilang membuat kepala yang ada di sana menegak. Senyum gembira menebar di bibir Srinti, Bayu Menggolo dan Nenek Berbaju Sutra. Sementara Ratih Ningrum hanya tersenyum tipis.
"Sahabat... kau benar hendak mengambil Bayu Menggolo sebagai muridmu juga?" tanya Nenek Berbaju Sutra tak dapat menutupi kegembiraannya dari suaranya.
Madewa tersenyum.
"Sahabat... karena kau telah mengambilnya sebagai murid, tentu aku percaya apa yang telah kau lakukan padanya. Dan aku percaya, bagaimana sesungguhnya Bayu Menggolo, karena kau nampak begitu rela menurunkan semua ilmumu padanya. Bukan begitu?"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum. "Sahabat kau
tak akan merasa sia-sia menurunkan ilmumu pada pemuda ini."
"Baiklah, Sahabat... mulai saat ini, kuterima Bayu Menggolo menjadi muridku "
Semua bibir tersenyum. Bayu Menggolo cepat-cepat menjatuhkan diri di hadapan Madewa. Dari bibirnya terucap pelan namun pasti, "Guru... saya akan mentaati semua perintah Guru "
***
9
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa tiga bulan telah lewat ke muka. Suasana di desa Kaliwungu sangat menyedihkan sekali. Desa itu tak ubahnya seperti neraka, dan Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa yang menjadi penjaganya. Siang dan malam seluruh penduduk semakin dicekam ketakutan. Nasib mereka tak ubahnya bagaikan telur di ujung tanduk. Ke mana pun mereka melangkah, maut taruhannya.
Memang ada beberapa orang yang mencoba untuk melawan, namun perlawanan itu hanyalah sia-sia belaka. Ada pula yang mencoba melarikan diri, namun maut pun yang menghadang mereka.
Nasib kaum wanita lebih menyedihkan lagi. Mereka dipermainkan, dioper sana sini dan diperkosa. Ada yang mencoba melawan, namun gerombolan itu tak segan-segan untuk membunuh. Dan yang menginginkan nyawanya tetap hidup, membiarkan saja dirinya diperkosa dan menanggung malu. Namun yang masih mempertahankan harga dirinya, langsung bunuh diri sebelum diperkosa. Dan ada pula yang sukarela dijadikan gundik mereka.
Gerombolan Pencabut Nyawa pun sudah menyebarkan kekuasaan mereka ke desa Bojongjingga. Mereka pun menghancurkan desa itu dan mendudukinya. Nasib penduduk Bojongjingga tak ubahnya seperti penduduk di desa Kaliwungu.
Semua di bawah kekuasaan orang-orang biadab itu. Hari ini, Gerombolan Pencabut Nyawa tengah bera da di desa Kaliwungu. Murko Wiroko sedang menggumuli seorang wanita muda yang dibawanya dari desa
Bojongjingga.
Wanita muda itu hanya bisa menahan sakit saat dirinya digumuli Murko Wiroko. Bagaikan dicabik-cabik binatang buas.
Murko Wiroko mendesah puas setelah selesai. Lalu dia pun mengenakan pakaiannya kembali.
"Bagus! Kau tak banyak berontak, bila itu kau lakukan, maka matilah sebagai ganjarannya!" katanya pada wanita muda itu yang terkulai lemah di ranjang. Namun dia tidak menjawab. Sepasang matanya tertutup rapat. Terlihat air mata yang mengalir di pipi.
"Hei, jangan hanya menutup mulut! Ayo, jawab!" bentak Murko Wiroko. "Kau mau menjadi gundikku atau mati sekarang juga!"
Tetapi wanita itu tetap tidak menjawab.
Murko Wiroko menjadi geram karena merasa dipermainkan. Dia mengguncang kaki wanita itu.
"Hei, Budak wanita! Jawab pertanyaanku, hah?!" Namun wanita itu masih terdiam.
Murko Wiroko menjadi geram. Dia menekan pergelangan kaki wanita itu. Dipikirnya wanita itu akan menjerit kesakitan, namun tak ada suaranya.
"Hei!" Murko Wiroko menjadi heran. Lalu dihampirinya wanita yang matanya tertutup itu. Dia melihat ada darah yang mengalir dari mulut wanita itu. Seketika dia menggeram. "Anjing buduk!"
Ternyata wanita itu telah membunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri.
Murko Wiroko mendengus. Geram dia melangkah keluar dan menyuruh salah seorang anak buahnya untuk membuang mayat gadis itu.
Setelah anak buahnya itu kembali, mendadak dia melihat tiga sosok tubuh berdiri di ujung desa Kaliwungu. Anak buah Murko Wiroko yang bernama Pati Slomo berhenti melangkah. Dan memperhatikan tiga sosok tubuh itu.
Samar dia seperti mengenal sosok tubuh wanita setengah baya itu. Di samping kiri kanannya berdiri seorang nenek bongkok dan seorang pemuda tegap berbaju putih.
"Hei... bukankah wanita itu istrinya Ki Lurah Jalu Prakoso..." desisnya.
Tiga sosok tubuh yang tak lain dari Nenek Berbaju Sutra, Srinti dan Bayu Menggolo, memperhatikan anak buah dari Murko Wiroko. Srinti jelas mengenali lakilaki itu.
Setelah merasa cukup apa yang telah diajarkan oleh Madewa Gumilang, lalu Nenek Berbaju Sutra segera berpamitan. Kini muridnya, Bayu Menggolo telah menguasai ilmu Pukulan Bayangan Sukma.
Lalu mereka pun segera berangkat menuju desa Kaliwungu.
Sementara itu Pati Slomo mendengus. Hhh, rupanya memang benar dugaannya. Dia istri dari mendiang Ki Lurah Jalu Prakoso. Mau apa mereka ke mari? Hanya mengantarkan nyawa saja!
Pati Slomo pun mendekat dan berdiri di hadapan ketiga orang itu. Wajah Srinti nampak memerah karena menaruh dendam. Dan dia sudah tidak sabar untuk membunuh laki-laki yang berdiri angkuh di hadapannya ini.
Pati Slomo membentak, "Hhh! Rupanya kau Srinti... istri dari mendiang Ki Lurah Jalu Prakoso!"
"Orang biadab! Katakan pada pimpinanmu, aku datang untuk membalas dendam dan menumpas kalian!" seru Srinti lantang.
Mendengar kata-katanya itu Pati Slomo terbahakbahak.
"Hahaha... rupanya kau datang untuk mengantarkan nyawamu, Srinti!"
"Orang biadab... sebutkan namamu!"
"Bagus! Biar kau ingat dan kau bawa ke liang kuburmu! Namaku Pati Slomo... tak ada seorang pun yang dapat menumpas gerombolan kami "
"Jangan sombong!" geram Srinti.
"Hahaha... rupanya dengan dua orang teman yang kau bawa itu kau yakin sekali akan bisa menumpas kami!"
"Pati Slomo..." terdengar suara Bayu Menggolo yang sejak tadi mencoba bersabar. Namun teringat akan kematian ayahnya dan kesombongan laki-laki itu, kemarahannya pun mulai naik ke ubun-ubun. Wajahnya memerah karena marah yang membludak. "Sebaiknya kau lari dari sini dan laporkan pada pemimpinmu, kami datang untuk membunuhnya!"
Pati Slomo memperhatikan Bayu Menggolo dengan seksama. Lalu berkata mengejek, "Hhh! Siapa kau anak muda?!"
"Apakah kau tidak mengenaliku, hah?!" "Siapa kau?! Sebutkan namamu!"
"Baik... akulah putra tunggal dari Ki Lurah Jalu Prakoso... namaku Bayu Menggolo!"
Mendengar siapa adanya pemuda itu, wajah Pati Slomo berubah agak pias. Namun dia hanya mendengus dengan berani.
"Bagus! Sebentar lagi kau akan menyusul ayahmu, Bayu Menggolo!"
"Jangan sombong, orang jelek! Buktikan bahwa kau mampu mengalahkan aku!"
"Anjing kurap! Lihat serangan!" seru Pati Slomo geram, lalu dia pun menyerbu dengan dua pukulan yang siap dilontarkan.
Namun Bayu Menggolo kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Dia memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Maka dengan mudah saja dia menggeser kaki kanannya, dan memiringkan tubuhnya. Pukulan yang dilancarkan Pati Slomo lewat di dekat dadanya.
Namun Pati Slomo pun bukanlah orang sembarangan. Dengan cepat pula tiba-tiba dia memutar dan mengirimkan satu tendangan.
Bayu Menggolo cepat menggerakkan tangannya menangkis.
"Des!" Tubuh Pati Slomo terhuyung. Masih untung dia dapat menguasai keseimbangannya sehingga tidak jatuh. Dan dirasakannya kakinya kesemutan. Ini cukup membuatnya terkejut karena menyadari tenaga dalam yang begitu besar dan kuat dari Bayu Menggolo.
"Hhh! Mengapa kau meringis, Pati Slomo! Ayo, keluarkan semua kemampuanmu!" ejek Bayu Menggolo yang berdiri tegak tanpa kurang suatu apa.
Pati Slomo menggeram. Lalu melancarkan lagi serangannya. Kali ini dengan hebat dan cepat. Bayu Menggolo sendiri mengimbanginya dengan santai saja. Bahkan berkali-kali dia bisa memukul Pati Slomo.
"Anak muda... aku akan mengadu jiwa denganmu!" geram Pati Slomo sambil meloloskan golok besarnya. Golok itu nampak bercahaya diterpa sinar matahari.
"Hahaha... majulah, Pati Slomo... jiwamu memang sudah tidak pantas untuk hidup lagi!"
"Bangsaaaaat!" sambil menggeram Pati Slomo bergerak ke arah Bayu Menggolo. Goloknya berkelebat dengan hebat, mencecar bagian tubuh dari Bayu Menggolo.
Bayu Menggolo pun mencoba ilmu meringankan tubuhnya. Dengan indah tubuh itu melenting, mengeles, menghindar dan bersalto. Membuat Pati Slomo menjadi geram karena merasa dipermainkan. Dia terus menyerang membabi buta dengan hebat.
Bayu Menggolo memang sengaja untuk menguras tenaga dari Pati Slomo. Dia membiarkan saja laki-laki itu menyerangnya dengan ganas.
Dan benar saja, setelah agak lama Pati Slomo menyerang, terlihat serangannya mulai melemah. Bayu Menggolo pun segera merangsek maju. Dengan hebat.
Pati Slomo yang sudah kehabisan tenaga, sebisanya mencoba bertahan. Namun serangan-serangan dari Bayu Menggolo begitu hebat. Bila diperhatikan lebih seksama, agaknya Bayu Menggolo memang sengaja untuk mempermainkan Pati Slomo. Melihat berkali-kali dia melepas ruang kosong untuk menyerang habis.
Semula Pati Slomo tidak menyadari hal itu, dipikirnya memang kemampuan Bayu Menggolo hanya sampai di situ saja. Tetapi perlahan-lahan akhirnya dia sadar kalau dirinya tengah dipermainkan.
Maka dia menjadi sangat geram.
Lalu dia pun kembali menyerang. "Anjing kurap!
Mampus kau!" geramnya.
Namun tenaganya yang sudah terkuras, tidak memungkinkannya untuk menyerang secara terus menerus. Apalagi satu pukulan dari Bayu Menggolo menggedor dadanya.
Membuatnya terhuyung menahan sakit.
Belum lagi dia bisa menguasai keseimbangannya, Bayu Menggolo sudah maju merangsek. Dan dua buah pukulannya pun secara beruntun menghantam kembali dada Pati Slomo yang kali ini ambruk ke tanah.
Dari mulutnya mengeluarkan darah. Sepasang matanya buas berbahaya.
"Bayu... untuk apa lagi kau bermain-main dengan manusia semacam ini, hah?" terdengar Nenek Berbaju Sutra bersuara karena merasa bosan. Bila dia yang menyerang, sudah dipukulnya mampus manusia itu.
"Kalau memang itu maumu... baiklah, Nek! Nah, Pati Slomo... kau masih kuberi kesempatan untuk menyerangku! Bila kau gagal dalam seranganmu kali ini, maka nyawamu akan lepas dari jasadmu! Mengerti?!"
Merasa dirinya tak ada jalan lain lagi untuk menghindar, Pati Slomo pun bergerak maju dengan pekikan keras dan golok siap mengayun.
Bayu Menggolo sendiri hanya tersenyum. Dan begitu Pati Slomo sudah dekat, dengan tiba-tiba dia bersalto ke depan. Dan tangannya menghantam kepala Pati Slomo.
Terdengar suara berderak dan pekikan keras. "Aaaaaakkkhhhh!"
Tubuh Pati Slomo pun ambruk dengan kepala pecah. Darah merah bercampur cairan putih mengalir dari kepala itu.
Srinti merasa puas melihat salah seorang dari Gerombolan Pencabut Nyawa mampus di tangan putranya.
"Bagus, Bayu... kau harus melakukan hal yang sama pada Murko Wiroko "
"Sebentar lagi, Bu... tanganku pun sudah gatal untuk menggepruk habis Murko Wiroko. Biar arwah ayah tenang di sana "
"Baiklah... kita segera saja mencari Murko Wiroko dan anak buahnya yang lain," kata Nenek Berbaju Sutra. "Apakah kalian tidak bisa melihat, betapa sengsaranya penduduk di desa ini "
Bayu Menggolo mendesah panjang. Dia teringat akan masa kecilnya. Di mana dia dilahirkan di desa ini, desa yang permai dengan pemandangan yang indah. Desa di mana para penduduknya menjalin keakraban dan persaudaraan. Suasana yang makmur dan sentosa.
Namun sejak kedatangan orang-orang jahat itu, suasana yang pernah dinikmatinya saat kecil, kini telah berubah bagaikan neraka. Memang pantas orangorang itu menjuluki diri Malaikat Pencabut Nyawa. Kekejaman mereka tak terhingga. Tiada maaf bagi siapa saja. Dan tangan telengas mereka telah mencabut puluhan nyawa manusia yang tak berdosa. Belum lagi berapa banyak yang membunuh diri. Karena tidak tahan disiksa atau pun harus menanggung malu yang tiada terhingga. Mengingat itu, dada Bayu Menggolo seakan mau meledak. Apalagi teringat bagaimana penderitaan ibunya. Bagaimana dengan dendam ibunya. Hal ini, membuat Bayu Menggolo tidak sabar lagi untuk membunuh Murko Wiroko. Dia ingin melihat sinar mata ibunya cerah seperti dulu. Tidak dilapisi kepedihan, kesengsaraan, duka yang dalam dan dendam yang panjang.
Dia tidak ingin melihat hal itu lagi.
Lalu dia menghampiri mayat Pati Slomo. Dengan golok milik Pati Slomo sendiri, dia memenggal kepala itu. Darah menetes dari kepala yang kini berada di tangannya.
"Mari, Nek... Ibu... kita cari Murko Wiroko!" katanya dengan suara geram.
***
10
Murko Wiroko merasa heran kepada Pati Slomo belum kembali juga. Padahal sudah hampir tiga jam dia pergi. Biasanya hal ini tidak pernah terjadi.
Lalu dia memanggil seluruh anak buahnya. Kini mereka menempati sebuah bangunan besar yang dibangun dari uang rakyat dan tenaga rakyat.
"Hari ini aku mencium hawa tidak enak," kata Murko Wiroko di kursinya.
"Maksud, Kakang?" tanya Menak Supo.
"Aku sendiri tidak tahu. Dan lagi yang membuatku heran, mengapa Pati Slomo belum juga kembali dari membuang mayat gadis yang membunuh diri itu."
Menak Supo terkekeh. "Kakaang... sudah tentu dia langsung ke tempat gundiknya."
"Semula dugaanku pun demikian. Tapi hawa tidak enak ini mengganggu perasaanku."
Anak buah Murko Wiroko merasa heran, karena mereka tidak merasakan tanda-tanda bahaya akan datang. Namun akhirnya mereka sadar, kalau ilmu yang dimiliki Murko Wiroko cukup tinggi.
Mereka pun menjadi siaga bila bahaya mendadak muncul.
"Hmm... sebaiknya kau Garot dan Ronggo, cari Pati Slomo cepat. Katakan... aku sudah menunggunya!"
"Baik, Kakang!" sahut Garot. Lalu bersama Ronggo, keduanya bangkit.
Namun belum lagi mereka melangkah, tiba-tiba sebuah benda melayang jatuh tepat di hadapan Murko Wiroko.
Orang-orang itu terkejut. Dan keterkejutan mereka berubah menjadi pekikan ketika melihat benda apa yang jatuh itu.
Kepala Pati Slomo yang pecah terpenggal!
"Anjing kurap! Siapa yang berbuat seperti ini?!" bentak Murko Wiroko murka.
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari luar, "Orangorang yang berada di dalam... bila kalian ingin tahu siapa yang membunuh ulah, cepat kalian keluar!"
Suara itu keras, karena disertai tenaga dalam yang cukup kuat.
Serentak orang-orang itu berlarian keluar. Dan mereka melihat tiga sosok tubuh berdiri di hadapan mereka. Sepasang mata Murko Wiroko seolah tidak percaya melihat Srinti berdiri di antara orang-orang itu.
Tetapi kekagetannya itu hanya sejenak. Karena kemudian terdengar tawanya, "Hahaha... rupanya kau Dinda Srinti... ya, ya... aku yakin kau pun pasti akan rindu padaku "
"Cih!" Srinti meludah. "Murko Wiroko hari ini aku
datang untuk mencabut nyawamu " "Hahaha... mengapa kau begitu garang sekali, Srinti. Wajahmu tetap cantik. Hampir enam tahun kita tidak bertemu... tetapi kau tetap cantik dan bisa membangkitkan birahiku "
Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu terhadap ibunya, Bayu Menggolo menggeram marah.
"Murko Wiroko mau mampus kau masih bisa ber-
suara dan menjual lagak pula?!"
"Anak muda... siapa kau yang besar bacot itu, hah?!" membentak pula Murko Wiroko.
"Hhh! Ketahuilah, Murko aku Bayu Menggolo, pu-
tra mendiang Jalu Prakoso yang kau bunuh secara pengecut!"
Wajah Murko Wiroko memerah. Dia terdiam memperhatikan pemuda itu. Tetapi sedikit pun dia tidak merasa takut.
"Anak muda... sebaiknya kau membunuh diri saja sebelum kubunuh!"
"Besar bacot pula kau, hah?!"
"Hihihi..." terdengar tawa Nenek Berbaju Sutra. "Bukankah kau yang sebaiknya membunuh diri, Murko "
"Hmm... rupanya kali ini pun aku berhadapan dengan nenek bongkok yang bergelar Nenek Berbaju Sutra. Bagus, dengan begitu aku tidak perlu bersusah payah untuk membunuh kalian!"
"Hhh! Mampuslah kau, Murko!" seru Bayu Menggolo sambil maju menyerang. Serangannya begitu dahsyat, disertai tenaga dalam yang kuat.
Namun masih tertawa Murko Wiroko menghindar dan membalas menyerang. Keduanya pun terjadi serang menyerang. Karena didasari dendam yang menyala-nyala Bayu Menggolo tak mau tanggung-tanggung lagi. Dia langsung mengeluarkan jurus yang diajarkan oleh Nenek Berbaju Sutra, Telapak Mengundang Maut! Setiap kali telapak tangan itu berkelebat, menimbulkan angin yang dingin. Dirasakan bagaikan hawa maut yang siap mengundang.
Bagi Murko Wiroko sendiri hal itu bukanlah sesuatu yang menakutkan baginya. Namun lama kelamaan dia merasa terdesak. Karena sambaran anginnya saja sudah membuat bulu romanya berdiri.
Lalu dia pun mengimbanginya dengan ajian, Bayu Mengusir Mega. Dan jurus itu rupanya mampu menandingi dan mengimbangi Telapak Mengundang Maut milik Bayu Menggolo.
Namun karena pengalaman bertarung lebih banyak dimiliki oleh Murko Wiroko dia dapat berkali-kali menipu Bayu Menggolo dengan serangan-serangan tersembunyi.
Melihat hal itu, Nenek Berbaju Sutra serentak menderu maju. Namun lima anak buah Murko Wiroko segera mengurungnya.
"Mau ke mana kau, Nenek peot?!" geram Menak Supo menyeringai.
Nenek Berbaju Sutra mendengus. Dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan Telapak Mengundang Maut. Lima orang itu pun kocar-kacir dibuatnya. Dan serentak mereka mencabut golok masing-masing.
Melihat hal itu bukannya membuat nyali Nenek Berbaju Sutra semakin ciut. Namun malah semakin besar dan tegar.
"Hhh! Kalian mau mampus rupanya!"
"Jangan banyak omong, Nenek peot!" geram Menak Supo. "Bunuh dia!"
Lima golok besar itu bergerak menyambar Nenek Berbaju Sutra. Serangan mereka hebat dan cepat, membuat Nenek Berbaju Sutra harus mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya semaksimal mungkin.
"Mau lari ke mana kau, Nenek peot!" "Hhh... dikasihkan ke anjing pun tak mau mereka memakan dagingmu, Nenek Bongkok!"
Mendengar ejekan-ejekan itu, membuat Nenek Berbaju Sutra menggeram hebat. Dia menyerang dengan dahsyat sambil sekali-sekali menghindari serbuan golok-golok itu.
Pengalaman yang dimilikinya kini membawa hasil yang cukup memuaskan. Dua dari lima penyerangnya harus memekik keras dan mampus terkena sambaran telapak tangannya yang dahsyat.
Dada kedua orang itu jebol seketika, dan memuncratkan darah!
Melihat hal itu, tiga orang penyerangnya menghentikan serangan mereka. Menak Supo menggeram marah.
Dia membentak, "Anjing kurap! Kubunuh kau?!"
Lalu dia menyerang kembali dengan ganas. Begitu pula dengan Garot dan Ronggo. Ketiganya menyerang dengan cepat dan hebat.
Sementara itu, pertarungan antara Bayu Menggolo dan Murko Wiroko berlangsung dengan seru. Keduanya kini saling meningkatkan tenaga dalam mereka.
Saling serang. Saling tangkis.
Murko Wiroko sendiri merasa sudah bosan bertarung lama-lama. Apalagi setelah dia yakin ajian Bayu Mengusir Mega-nya tak akan bisa mengalahkan Telapak Mengundang Maut milik Bayu Menggolo.
Tiba-tiba dia bersalto.
Lalu hinggap dengan tatapan mata sedingin es. "Bayu Menggolo... tak kusangka kau sudah menjadi
sedemikian hebat. Tapi kini kau hadapilah ajianku, Tapak Badai!"
Setelah berkata begitu, kedua tangan Murko Wiroko mengembang ke kanan kiri. Lalu dia membuka kedua tapak tangannya. Dan mengayunkannya ke atas, lalu ke bawah. Dari ayunan tangan itu terdengar suara seperti badai mengamuk. Dan siap untuk menghancurkan siapa saja yang menghalanginya.
"Nah, bersiaplah kau untuk mampus, anak muda!" seru Murko Wiroko seraya menyerang Bayu Menggolo.
Kini ajian Tapak Badai berada di kedua tangannya. Dan siap untuk memusnahkan Bayu Menggolo. Dari jarak tiga meter saja, Bayu Menggolo sudah merasakan desiran angin keras menerpanya. Dia menjadi insyaf, kalau lawan kini telah mengeluarkan ajian pamungkasnya.
Sebisanya Bayu Menggolo menghindar, namun angin besar yang ditimbulkan oleh dorongan kedua tapak tangan itu telah menerpanya, membuatnya terpelanting ke belakang.
"Bayuuuuu!" seru Srinti terkejut dan kuatir melihat keadaan putranya.
Bayu Menggolo sigap berdiri tegak, dan bersalto dua kali melompati tubuh Murko Wiroko yang terus menyerang. Begitu hinggap di bumi, dia segera merangkum kedua tangannya di dada. Dan terlihat asap putih mengepul dari kedua tangan itu.
Murko Wiroko memekik, "Pukulan Bayangan Sukma! Hhh, ada hubungan apa kau dengan Pendekar Bayangan Sukma, Anak Muda?!"
Bayu Menggolo tertawa. "Hahaha... rupanya kau jeri melihat pukulanku ini. Nah, ketahuilah... bahwa Pendekar Bayangan Sukma adalah guruku "
"Anjing kurap!" maki Murko Wiroko dan meningkatkan tenaga dalamnya.
"Bersiaplah untuk mampus kau, Murko Wiroko!" seru Bayu Menggolo. Lalu dia berpaling pada Murko Wiroko. "Hhh, majulah kau!"
Murko Wiroko pun menggeram marah. Lalu dia pun bergerak menderu. Begitu pula dengan Bayu Menggolo, dia pun segera memapaki.
Dua buah tenaga dan ajian dahsyat bertemu. Terdengar ledakan dahsyat bagai sebuah bom yang meledak.
"DUAAARRRR!"
Debu-debu berterbangan. Daun-daun berguguran.
Dari kepulan debu itu, mencelat dua sosok tubuh ke belakang. Dan dua sosok tubuh itu sama-sama terhempas ke tanah.
Dan sama-sama muntah darah.
Namun terlihat perlahan-lahan Bayu Menggolo bangkit dan berdiri tegak. Sementara Murko Wiroko tak sanggup lagi untuk bangkit.
Sepasang mata Bayu Menggolo mengeluarkan sinar berbahaya. Dan siap mencabut nyawa.
Melihat hal itu, Murko Wiroko terkesiap. Sadar kalau nyawanya sudah di ambang pintu. Ternyata ajian Tapak Badainya masih kalah oleh Pukulan Bayangan Sukma.
Dia bergidik ngeri melihat Bayu Menggolo perlahanlahan mendekatinya, siap dengan Pukulan Bayangan Sukma di tangan.
"Ampun... ampun... jangan cabut nyawaku... ampun..." rengek Murko Wiroko seraya beringsut. Dadanya dirasakan sakit luar biasa. Jalan darahnya seakan terhenti.
"Hhh! Murko Wiroko... nyawamu harus kucabut pula hari ini!"
"Ampun... ampunkan aku... maaf, maafkan aku..." rengek Murko Wiroko bagaikan rintihan belaka. "Ampunkan, Anak muda... maafkan aku... aku berjanji... tidak akan berbuat jahat lagi "
Nenek Berbaju Sutra yang telah menghabisi lawanlawannya terkikik melihat Murko Wiroko ketakutan bagai anak kecil.
Srinti sendiri tersenyum puas. "Bunuh dia, Bayu! Bunuh dia... kau tak ingin melihat Ayahmu penasaran, bukan?"
"Baik, Ibu! Aku memang akan membunuhnya!" geram Bayu Menggolo.
"Jangan... jangan... maaf, maafkan aku... jangan... ampun... ampunkan aku, Anak muda..."
"Hhh! Ayahku akan penasaran bila kau tidak kubunuh!"
"Ampun... ampunkan aku "
"Hhh! Mampuslah kau, Murko!" seru Bayu Menggolo siap untuk menurunkan tangannya pada Murko Wiroko.
Namun belum lagi dia menurunkan tangannya, terdengar suara, "Tahan, Bayu!"
Bayu Menggolo berhenti melangkah. Dan entah kapan datangnya, di dekatnya telah berdiri satu sosok berjubah putih yang tersenyum arif dan bijaksana.
"Guru "
Madewa Gumilang tersenyum.
"Kau telah berhasil mengalahkannya, Bayu "
"Ya, Guru saya akan membunuhnya sekarang."
"Bayu..." masih tersenyum Madewa Gumilang melanjutkan kata-katanya, "Apakah kau tidak merasa kasihan melihat lawanmu telah kalah dan mohon ampun?"
"Tidak, Guru. Ayahku pun dulu dibunuhnya secara keji "
"Tetapi lawanmu sudah lemah sekali, Bayu. Sebagai seorang pendekar... kau harus welas asih padanya. "
Bayu Menggolo terdiam. Tiba-tiba kepalanya menegak, menatap Madewa Gumilang.
"Tidak, Guru... aku harus tetap membunuhnya "
"Ingat, Bayu... lawanmu sudah tidak berdaya " "Tapi dia telah membunuh ayahku, Guru!"
"Aku mengerti, Bayu... namun bukankah dia sudah berjanji tidak akan berbuat jahat lagi? Dan telah memohon ampun padamu. Kau seharusnya bisa memaafkannya..."
Tiba-tiba sepasang mata Bayu Menggolo meradang.
Mata itu sudah diliputi dendam yang membara. "Tidak, aku tidak akan membebaskannya, Guru "
"Meskipun aku yang memintanya, Bayu "
"Ya, meskipun Guru yang meminta "
Madewa tersenyum, meskipun terlihat wajahnya tersaput kekecewaan karena Bayu Menggolo tak punya rasa belas kasihan.
"Kau bukan berjiwa seorang pendekar, Bayu "
"Persetan dengan semua omongan Guru!" seru Bayu Menggolo keras. "Bila Guru melarang, aku akan membantah!"
"Aku melarangmu, Bayu!"
Bayu Menggolo mendengus. "Tak seorang pun yang bisa melarangku, Guru "
"Bayu "
"Menyingkirlah dari sini, Guru "
"Bayu... sadarlah "
"Persetan dengan ucapan Guru!" seru Bayu Menggolo. Dan tiba-tiba saja dia menyerbu ke arah Madewa Gumilang dengan Pukulan Bayangan Sukma!
"Sadarlah, Bayu..." kata Madewa masih menenangkan. Namun pemuda itu telah menderu, Madewa pun tak mau dirinya dijadikan sasaran Pukulan Bayangan Sukma. Dia pun menghindar. Namun Bayu Menggolo yang sudah kalap seperti kemasukan setan terus menyerang.
Membuat Madewa menghindar. Lalu bersalto dua kali. Dan dia pun merangkum Pukulan Bayangan Sukma di tangannya. "Sadarlah, Bayu... ini akan berakibat buruk untukmu "
"Perduli setan!" Lalu Bayu Menggolo pun menderu maju. Tak ada jalan lain bagi Madewa, dia pun memapakinya.
Kedua pukulan itu berbenturan. Dahsyat.
Madewa yang masih setengah-setengah mengeluarkan Pukulan Bayangan Sukma harus terpental beberapa tombak ke belakang. Sementara Bayu Menggolo hanya dua tindak.
Madewa muntah darah. Belum lagi dia bisa menguasai keadaan, Bayu Menggolo sudah menerjang kembali.
Hebat.
Madewa tidak bisa lagi untuk menghindar karena serangan itu begitu cepat di samping dia sendiri merasa sakit di dada.
Namun mendadak terdengar jeritan hebat dari Bayu Menggolo. Tubuhnya terpental ke belakang, terhantam oleh Pukulan Bayangan Sukmanya sendiri. Tubuh itu hancur seketika dan mampus.
Ini kesalahan dari Bayu Menggolo. Dia tidak tahu Madewa memiliki tenaga ajaib yang didapatnya secara tidak sengaja dari sari rumput Kelangkamaksa. Bila marahnya mereda, maka tenaga ajaib itu akan muncul begitu saja. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Tiba-tiba terdengar jeritan pula. Murko Wiroko tewas dengan kepala terpenggal. Di tangan Srinti terpegang golok yang berlumuran darah. "Madewa kini
puaslah hatiku menyaksikan manusia itu mati. Dan aku akan segera menyusul putraku!" Lalu golok itu pun dihunjamkannya ke dadanya.
Madewa mendesah. Nenek Berbaju Sutra menunduk pilu. Langit mendadak berubah hitam.
TAMAT
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 15 Maut Buat Madewa Gumilang"
Post a Comment