Serial Pendekar Bayangan Sukma: 09 Racun Kelabang Putih
09 Racun Kelabang Putih
1
Di sepanjang pesisir Laut Selatan, tepatnya di sebelah Selatan Pulau Jawa terdapat pegunungan yang disebut Gunung Kidul. Pegunungan itu memanjang dari Barat ke Timur, sangat banyak sekali. Boleh dikatakan tak terhitung.
Di salah satu pegunungan itu, hiduplah seorang wanita setengah baya dengan seorang anak gadisnya yang cantik jelita. Seperti kebanyakan gadis-gadis gunung, gadis yang bernama Sekar Juwita, tak pernah mengenal kehidupan lain selain kehidupan yang telah dijalaninya selama tujuh belas tahun di Gunung Kidul.
Alam telah menempanya sedemikian rupa. Kesejukan hawa gunung membuat kulitnya kuning langsat. Sepasang matanya jernih. Hidungnya bangir dan mulutnya yang indah dan sepasang bibir yang bagus.
Nyai Diah amat menyayangi putri semata wayangnya itu. Dia adalah seorang janda yang masih cantik dengan tubuh yang masih padat dan montok. Suaminya meninggal saat Sekar Juwita berusia dua tahun. Dalam kehidupannya sendiri, Nyai Diah membesarkan anaknya penuh kasih sayang yang tulus.
Pada masa itu, kerajaan Majapahit sedang berada dalam ketenaran. Dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Prabu Rajasanegara dan patih Gajah Mada, Majapahit menjadi kerajaan yang amat berjaya (1350-1386). Nyai Diah amat mengagumi raja Majapahit yang gagah perkasa itu. Lalu dia mengasuhi anaknya sedemikian rupa, dengan aturan mirip seorang putri raja. Diam-diam Nyai Diah bermaksud untuk menjodohkan anaknya dengan Adipati di Tritis.
Baginya, anaknya tidak perlu menjadi seorang permaisuri tetapi menjadi istri adipati itu sudah cukup.
Sementara Adipati Wisnuwisesa sendiri sebenarnya telah mempunyai seorang istri dan beberapa orang selir. Tetapi Nyai Diah tidak perduli Dia tetap berkeinginan anaknya menjadi istri Adipati Wisnuwisesa.
Nanti bila saatnya tiba, dia akan mengajak putrinya ke Tritis. Dan diam-diam dia akan memakai cara apa pun agar rencananya berhasil.
Pagi itu matahari bersinar dengan cerah. Semalam baru saja turun hujan. Kini sisa-sisanya bersatu dengan embun pagi.
Sekar Juwita baru saja selesai mandi. Dan seperti biasanya ketika dia hendak bersalin, sudah terdapat baju salinannya di ranjangnya yang dihiasi oleh ibunya bak peraduan putri.
Sekar Juwita kadang tidak mengerti, mengapa ibunya begitu memanjakannya dan menganggapnya sebagai seorang putri raja. Tetapi dia tak pernah bertanya.
Dan dari didikan ibunya, sikap, tutur kata dan tingkah laku Sekar Juwita memang bagai seorang putri raja belaka. Selesai bersalin, seperti biasa ibunya datang dengan membawa sepiring buah-buahan.
Dan dia menjura di depan putrinya yang telah menyisir.
"Selamat pagi, Putri "
"Oh, Ibu... Silahkan, Bu "
Nyai Diah menghidangkan buah-buahan itu di sebuah meja yang dihias sangat indah.
"Kalau Putri berkenan silahkan Putri men-
cicipi buah-buahan ini".
"Baik, Bu... nanti saya akan melakukannya..." kata Sekar Juwita dan merapikan sisirannya.
Para penduduk yang tinggal di sekitar sana, tidak ada yang tahu kalau di pondok yang jelek itu ada sebuah kamar yang mirip dengan kamar putri raja. Nyai Diah telah mengaturnya sedemikian rupa. Baginya, keinginannya itu harus tercapai.
Dan bagi Sekar Juwita, sebenarnya dia ingin sekali bisa berlama-lama keluar rumah. Tetapi belum lagi dia satu jam berada di luar rumah, ibunya sudah memanggilnya dan menyuruhnya masuk ke rumah.
Kadang kehidupan seperti itu membuatnya jenuh dan ingin memberontak dari ibunya. Tetapi Sekar Juwita yang sudah dididik bagaikan seorang putri, tak berani berucap keras atau banyak membantah.
Hingga dia menjadi mengikuti apa saja kemauan ibunya.
Namun pada suatu malam, ada satu kejadian yang membuatnya bingung dan heran. Ketika malam telah larut, namun sepasang matanya yang jernih belum juga mau terpejam, samar-samar dia mendengar suara derap kaki kuda mendekati kediaman mereka.
Hatinya bertanya-tanya.
Siapakah penunggang kuda itu? Tak pernah ada penunggang kuda yang datang pada malam hari. Kalau ada itu pun pada siang hari.
Keheranan Sekar Juwita semakin menjadijadi ketika dia mendengar ibunya membuka pintu depan dan bercakap-cakap dengan penunggang kuda itu.
Ada hubungan apa ibu dengan orang itu?
Tetapi kemudian Sekar Juwita tidak lagi mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan terdengar perlahan pintu depan ditutup kembali.
"Siapakah orang itu?" tanya dalam hati sambil merebahkan tubuhnya kembali.
Lalu dia merenung di tempat tidurnya.
Pikirnya, pintu ditutup itu Ibunya sudah masuk ke dalam rumah. Namun dugaannya salah, justru ibunya keluar dari rumah dan naik ke kuda di belakang penunggang kuda itu.
Lalu kuda itu bergerak cepat meninggalkan pondok. Mengarah ke Timur.
Setengah jam kemudian, kuda itu berhenti di sebuah hutan yang banyak terdapat di sana. Lalu kuda itu ditambatkan.
Dan penunggang kuda yang bernama Broto langsung memeluk Nyai Diah dan menciuminya dengan buas. Nyai Diah mencoba meronta, "Broto... nanti dulu... kau belum memberikan laporanmu tentang adipati Wisnuwisesa. "
"Nanti saja, Nyai... Nanti saja... aku sudah tidak tahan...." terdengar desisan Broto sambil tetap menciumi sekujur wajah Nyai Diah.
"Broto "
"Nanti, Nyai... Nanti... penuhi dulu permintaanku.... Sudah seminggu aku tidak mendapatkan jatah, Nyai " gumam Broto meracau.
Dia sebenarnya mata-mata dari Nyai Diah untuk memata-matai keadaan Adipati Wisnuwisesa. Dan agaknya malam ini dia telah menunaikan satu tugas yang diberikan Nyai Diah padanya.
Bagi Broto yang cabul dan mata keranjang itu, sudah tentu dia mau melakukannya dengan imbalan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Bahkan dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, karena selain dapat menikmati kehangatan tubuh Nyai Diah, dia pun dijanjikan hendak diberikan jabatan sebagai Kepala pengawal adipati.
Nyai Diah tidak bisa bertahan lama untuk menahan nafsu Broto yang sudah amat sangat. Dia pun mandah saja ketika Broto merebahkannya di atas rerumputan.
Lalu terdengarlah desahan mesum yang cepat dan turun naik.
Setelah itu terdengar desahan yang menyatu dari keduanya yang mencapai puncak kenikmatan. Lalu rebah di tanah dengan nafas kembang kempis. Sementara bagi Broto dia seakan terlepas dari satu kekangan dan sekarang habis melakukan perjalan yang sangat jauh sekali.
"Broto... mana laporanmu?" Broto membuka matanya yang terpejam. "Beres, Nyai.,.."
"Semua sudah kau lakukan?" "Beres, Nyai " "Bagaimana hasilnya?"
"Berhasil. Saat ini istri adipati dan beberapa selirnya sedang menderita sakit yang mengerikan. Sekujur tubuhnya bengkak-bengkak dan mengeluarkan nanah. Kalau pun bisa disembuhkan mereka akan cacat seumur hidup"
Nyai Diah tersenyum.
"Kau memang patut diandalkan, Broto "
"Semua untukmu, Nyai. Aku sangat puas dengan imbalan yang kudapatkan.... Juga dengan jabatan yang kau janjikan, bila anakmu menjadi istri adipati "
"Aku tak pernah memungkiri janji sendiri, Broto "
"Itulah aku setuju saja diajak bekerja sama denganmu, Nyai "
"Lalu bagaimana keadaan di sana sekarang ini, Broto?"
"Adipati telah memanggil beberapa orang tabib, namun semuanya angkat tangan. Tak ada seorang pun yang dapat menyembuhkan penyakit aneh yang diderita istri dan para selirnya "
"Memang tak ada seorang pun yang bisa. Kecuali aku hahahah."
"Racun Kelabang Putihmu memang ampuh sekali, Nyai Diah " "Jelas, karena hanya akulah yang bisa membuatnya dan menyembuhkannya" Nyai Diah tersenyum puas. Lalu dia bangkit merapikan pakaian dan rambutnya. Dan berkata pada Broto yang masih merebahkan diri. "Sebaiknya kita kembali saja sekarang. Aku kuatir anakku akan terbangun dan mencari-cari aku "
"Hahaha... baik, Nyai "
Broto pun bangkit merapikan pakaiannya. Baginya ini adalah jalan yang termudah untuk mendapatkan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Dulu saat Nyai Diah masih perawan, sebenarnya Broto sudah jatuh hati padanya. Namun sayang dia kalah cepat dengan Ajiseta, yang kemudian menjadi suami Nyai Diah.
Siang dan malam Broto selalu memikir-kan Nyai Diah. Dan dia selalu membayangkan mencumbu Nyai Diah meskipun dalam angan.
Dan ketika terdengar kabar Ajiseta mati saat berburu di hutan, Broto menjadi girang bukan main. Masih Nyai Diah dalam keadaan berkabung, dia pun mendatangi Nyai Diah dan merayurayunya.
Namun Nyai Diah tidak bergeming. Sampai saat Sekar Juwita berusia sebelas tahun, barulah terpikir olehnya untuk menjadikan anaknya istri dari seorang Adipati. Dan pilihannya jatuh pada adipati di Tritis.
Dan dia pun mulai bekerja sama dengan Broto untuk menyelidiki keadaan adipati. Broto pulalah yang menyediakan segala sesuatunya untuk keperluan Sekar Juwita. Dari mulai perhiasan sampai buah-buahan.
Lalu kedua orang yang mempunyai niat jahat itu pun kembali ke rumah Nyai Diah. Saat hendak pergi meninggalkan rumah itu, Broto memberikan buah-buahan yang dia bawa.
Lalu dia pun menggebrak kudanya. Dan perlahan-lahan Nyai Diah membuka pintu depan dan masuk ke kamarnya.
***
2
Tritis adalah sebuah wilayah yang subur dan makmur, yang berada dalam kekuasaan Majapahit. Wilayah itu dibangun dengan segala sesuatunya yang adil. Adipati Wisnuwisesa yang berkuasa di sana, adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Yang selalu memikirkan nasib para penduduknya.
Rakyat pun sangat menyukai dan menyayanginya.
Dan begitu terdengar kabar kalau istrinya dan beberapa orang selirnya terkena penyakit aneh, rakyat pun berbondong-bondong datang untuk menengok.
Kemudian keesokan harinya, tersiar kabar kalau tiga orang selirnya mati karena membunuh diri. Mereka pun sudah tahu kalau penyakit yang mereka derita itu tidak akan bisa disembuhkan. Dan bila hidup, mereka akan menjadi cacat. Akan menanggung malu seumur hidup. Akhirnya mereka pun mengambil jalan singkat dengan membunuh diri.
Sudah tentu sang adipati menjadi sangat bersedih dan bermuram durja. Kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari. Dia pun tak kuasa untuk menengok istrinya. Sedikitnya dia merasa jijik dan ngeri melihat sekujur tubuh istrinya bengkak-bengkak dan mengeluarkan darah.
Tabib yang terhebat yang ada di wilayahnya, tak satu pun yang bisa menyembuhkannya. Bahkan dia pun mengundang dan memohon tabib dari kerajaan Majapahit untuk menolong istrinya. Tetapi tabib itu pun angkat tangan, menyerah tak bisa menyembuhkan penyakit istrinya.
Dua hari kemudian, istrinya pun meninggal dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Selama dua hari dua malam, seluruh rakyat berkabung. Semua memberikan salam belasungkawa kepada adipati yang adil dan bijaksana itu.
"Adipati... sabarlah, tawakallah kepada Yang Maha Kuasa," kata penasehatnya yang bernama Ki Ageng Tapa. Dia adalah seorang laki-laki yang berusia 60 tahun. Amat bijaksana dan selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik buat sang adipati.
Konon Ki Ageng Tapa juga seorang yang sakti mandraguna. Dan dia bergelar si Tasbih Perak. Karena dia selalu menghitung biji tasbih yang selalu dipegangnya. Tasbih itu pun berwarna keperakan. Adipati Wisnuwisesa mendesah panjang. Masih nampak di wajah kesedihan dan kepedihan. "Ki Ageng... bagaimana aku tidak sedih, se-
mua wanita yang teramat dekat dengan hatiku harus meninggalkan ku dengan cara yang mengerikan" suara sang
Adipati terdengar penuh kepiluan yang makin mendalam.
Saat ini, mereka berada di ruang pertemuan. Di sana juga hadir, Kertapati, kepala pengawal. Roro Kenanga, kepala emban yang juga pandai ilmu silat. Dan Broto... yang menjabat sebagai kepala rumah tangga.
Saat itu Broto hanya terdiam. Padahal dalam hatinya dia tertawa-tawa penuh kemenangan.
Lalu mereka mendengar lagi Adipati Wisnuwisesa berkata lagi, "Aku sungguh tidak mengerti... bagaimana mulanya para selir dan istriku menderita penyakit yang mengenaskan itu Yang
membuatku heran, andaikata itu merupakan suatu wabah penyakit, mengapa hanya mereka saja yang terkena. mengapa yang lain tidak? Oh, Gus-
ti Batara Agung... kesalahan apa yang telah kuperbuat dan kiranya kau menjatuhkan tanganmu padaku "
Ki Ageng Tapa berkata pelan. "Adipati...Sebaiknya beristirahatlah...Jangan sampai kau berlarut-larut dalam kesedihan ini"
Adipati hanya terdiam. Dia teringat kalau minggu depan ada acara di kerajaan Majapahit. Dan yang hadir diharuskan membawa pasangannya atau istrinya. Namun baginya kini, tak ada lagi istri dan para selirnya. Siapa yang akan menemaninya serta?
Hal itu jelas diketahui Broto. Ini merupakan kesempatan baginya untuk mengemukakan hal yang telah lama ditunggu-tunggu.
"Maafkan hamba, Sang Adipati yang mulia. Bukankah ada undangan yang datang dari kerajaan Majapahit?" katanya. "Adipati... setelah istri dan para selir Yang Mulia meninggal... bukankah sebaiknya Adipati memikirkan lagi untuk mengambil seorang istri?"
Adipati mendesah.
"Benar, Broto.... itu pun memang menjadi pikiranku sekarang "
Terdengar suara Ki Ageng Tapa lagi, "Adipati. kupikir, sebaiknya tenangkanlah dulu diri dan
pikiran adipati, sebelum melanjutkan ke suatu pemikiran yang lain... Kau harus punya ketenangan dulu sebelum memikirkan masalah undangan raja dan mencari seorang istri "
"Tetapi aku memang sudah harus memikirkannya, Ki Ageng."
"Aku mengerti. Tapi aku rasa... Raja juga mau mengerti bila Adipati tidak datang membawa pasangan. Bukankah Raja Hayam Wuruk pun sudah mengetahui kalau Adipati sedang mengalami musibah?"
Adipati Wisnuwisesa terdiam. Kelihatan sekali di samping sedang sedih juga dibebani oleh suatu pemikiran yang amat berat.
Broto yang tidak mau usahanya gagal, segera berkata, "Tetapi sebaiknya... segeralah diumumkan dulu, kalau Adipati ingin mencari seorang istri.... Ingat, mencari istri yang baik tidak mudah. Apalagi dalam waktu yang hanya beberapa hari saja."
Kertapati yang sejak tadi terdiam terdengar menghela nafas lega. Dia adalah seorang laki-laki gagah perkasa. Ilmu kesaktian yang dimilikinya setingkat dengan yang dimiliki Ki Ageng Tapa.
Kertapati berpakaian sangat sederhana, meskipun dia seorang panglima. Dia hanya mengenakan baju hitam dengan lengan baju panjang, tak berleher. Juga mengenakan celana panjang yang berwarna sama. Di pinggangnya terselip senjatanya yang berupa sebilah keris.
Terdengar dia berkata, "Agaknya... benar kata-kata yang dituturkan oleh Ki Ageng Tapa. Sebaiknya Adipati beristirahat saja. Jangan dulu dibebani oleh pikiran yang mungkin malah membuat Adipati bingung "
Broto mendengus dalam hati. Dia sudah lama membenci dan menaruh dendam pada Kertapati. Karena saat diadu kesaktian untuk menentukan siapa yang patut dan berhak menjadi kepala pengawal, Broto kalah oleh Kertapati. Maka Kertapatilah yang diangkat menjadi kepala pengawal.
Hal itu sudah tentu membuat Broto menjadi sangat mendendam. Tetapi dia sangat pandai membawa diri, hingga tak seorang pun tahu kalau dia membenci Kertapati.
Dan bencinya itu makin memuncak mendengar kata-kata Kertapati tadi. Lalu dia pun berkata, "Memang benar adanya. Tetapi menurut perasaanku, Raja tetap akan murka bila Adipati tidak datang memenuhi undangannya dengan membawa seorang istri....
Jadi, sebaiknya tetaplah Adipati mencari istri dulu. Masalah lain, bisa dipikirkan kembali saat sudah mendapatkan seorang istri "
Broto melirik Kertapati yang tampak santai saja mendengar kata-katanya. Broto memaki dalam hati, sebentar lagi kau, Kertapati! Nanti akulah yang menjadi kepala pengawal di wilayah Tritis ini!
Terdengar suara yang keluar dari mulut Roro Kenanga. Dia adalah seorang wanita setengah baya. Wajahnya masih cantik dan dua buah tusuk konde di kepalanya. Tusuk konde itu terbuat dari emas murni. Dan merupakan senjata andalannya. Bila tusuk konde dilempar olehnya ke suatu tempat, maka tusuk konde itu bisa berbalik lagi ketangannya. Mirip bumerang.
Roro Kenanga pun berkata, "Saya pikir... usul dari Adi Broto benar adanya. Karena ini merupakan suatu kehormatan bagi Adipati sendiri. Bila tidak datang bersama istri, sudah tentu akan banyak yang meliriknya dengan tatapan mengejek. Dan mencari seorang istri yang baik itu memang tidak mudah. Tentunya kita tidak mau bukan, bila melihat sang Adipati dipandang rendah oleh Adipati-adipati lain karena datang tidak membawa istri? Bukankah seorang Adipati membutuhkan seorang pendamping merupakan suatu kebanggaan dan kekhususan sendiri?"
Orang-orang yang berada di sana mengangguk-angguk. Kata-kata Roro Kenanga memang benar adanya. Bagi seorang adipati, bila tidak mempunyai seorang istri dan beberapa selir merupakan suatu kejelekan. Karena berarti, adipati tadi tidak memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk menaklukkan cinta seorang wanita.
Adipati Wisnuwisesa pun tak mau hal itu menimpa dirinya. Ini memang merupakan suatu dilema baginya. Dia ditentukan oleh pemilihan yang sangat membingungkan.
Belum lagi hilang dalam ingatan istri dan para selirnya meninggal akibat penyakit yang sangat mengerikan, diharuskan untuk segera mencari seorang istri karena undangan Raja.
Tetapi akhirnya dengan suara berat dan enggan, dia berkata sambil meninggalkan ruangan, "Besok... umumkan kepada rakyat... aku akan mencari seorang istri. Dengan syarat... dia memiliki lima buah tahi lalat di paha kirinya!"
Sehabis berkata begitu, Adipati Wisnuwisesa pun melangkah ke peraduannya.
Ki Ageng Tapa mendesah. Kertapati terdiam
Roro Kenanga tersenyum.
Dan Broto pun berbinar-binar matanya. Berseri-seri. Dia pun tidak takut dengan syarat yang diajukan oleh sang adipati. Bukankah Sekar Juwita pun memiliki lima buah tahi lalat di kaki kirinya?
Setelah pertemuan itu selesai, Broto kembali ke tempatnya di belakang tumenggungan. Tetapi begitu tak ada yang melihatnya, dia keluar melalui pintu belakang. Lalu melompati sebuah pagar tinggi.
Dan berlari ke arah Barat.
Dipacunya kudanya menuju ke Gunung Kidul. Ini adalah suatu laporan yang sangat berharga untuk Nyai Diah. Tidak boleh membuangbuang waktu lagi. Hanya lima hari waktu yang ditentukan sebelum sang Adipati memenuhi undangan raja Hayam Wuruk.
Sudah tentu Nyai Diah girang bukan main. Dia pun melayani permintaan Broto saat Broto menagih. Lalu keduanya pun pulang ke pondok Nyai Diah.
"Nyai... semuanya seperti yang telah Nyai atur. Dan ingat, jangan sampai meleset "
"Itu beres, Broto!"
"Setelah Sekar Juwita menjadi istri adipati, kaulah yang harus menyetir segala sepak terjang Adipati Wisnuwisesa. Ingat, kau harus berhati-hati dengan Ki Ageng Tapa "
"Beres soal itu."
"Dan singkirkan Kertapati "
Nyai Diah tersenyum.
Broto pun me rasa senang. Lalu naikinya kudanya dan digebraknya hingga melaju kencang.
*** 3
Keesokan paginya, penduduk Tritis dikejutkan oleh suara gong yang dipukulkan oleh pengawal adipati di alun-alun. Berbondong-bondong mereka datang ke sana. Ada apa gerangan.
Di tengah alun-alun, nampaklah dua pengawal adipati Wisnuwisesa yang berdiri gagah dengan menunggang kuda hitam.
Yang seorang memegang gong dan memukulmukulkannya. Yang seorang lagi menunggu dengan gagah sampai rakyat semua berkumpul. Setelah itu, dia membuka gulungan selembar kain dan membentangkannya.
"Pengumuman!" serunya lantang.
"Adipati Tritis, Wisnuwisesa. hendak mencari seorang istri! Dengan syarat, perempuan yang akan menjadi istrinya, mempunyai tahi lalat lima buah di pahanya!
Pengumuman selesai!"
Namun sampai tiga hari kemudian, tak seorang perempuan pun yang datang ke Kadipaten. Agaknya syarat yang diajukan adipati Wisnuwisesa terlalu susah. Walaupun saat itu banyak yang bisa membuat tahi lalat palsu dengan tato, tetapi rakyat amat mencintai adipati yang adil di samping menjunjung tinggi Prabu Hayam Wuruk. Hingga mereka tak punya sedikit niat pun untuk membohongi sang adipati. Tetapi hal ini malah membingungkan adipati Wisnuwisesa, mengingat undangan Prabu Hayam Wuruk tinggal sebentar lagi,
Namun keesokan paginya, datang ke kadipaten, seorang wanita berusia tiga puluhan dengan paras yang masih cantik, dengan seorang gadis yang cantik jelita. Melihat caranya berdandan dan sikapnya yang anggun, menandakan gadis itu seorang yang terpelajar. Namun tingkah lakunya bak seorang putri belaka.
Orang itu adalah Nyai Diah dan putrinya, Sekar Juwita. Sesuai dengan rencana yang diatur Broto, mereka pun datang kadipaten.
Tentu saja kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh sang adipati. Keduanya langsung disambut dengan senang hati dan suka cita.
Adipati Wisnuwisesa lebih gembira lagi setelah mendengar pemberitahuan dari Roro Kenanga yang memeriksa tahi lalat di paha Sekar Juwita. Sesuai dengan syarat yang diajukan sang adipati.
Malam hari itu pula di adakan pesta yang cukup meriah menyambut kedatangan istri baru Wisnuwisesa.
Saat undangan Prabu Hayam Wuruk pun, Wisnuwisesa hadir dengan sikap gagah. Banyak adipati lain atau para tumenggung yang tersenyum dan memberi salam kebahagiaan padanya. Seakan mereka melupakan kematian istri dan para selir adipati.
Namun ada seorang yang masih merasakan aneh dengan kematian istri dan para selir adipati. Dia adalah Kertapati kepala para pengawal adipati.
Apalagi ketika diumumkan, kalau kedudukannya akan tergeser bila dia tidak bisa mengalahkan Broto dalam tanding ulang memperebutkan kedudukan sebagai kepala pengawal.
Kertapati tidak banyak membantah, karena perintah itu datangnya dari adipati sendiri. Dia tidak tahu, kalau adipati didesak oleh istrinya untuk mengadakan tanding ulang itu.
Sedangkan istrinya diperintah oleh ibunya sendiri, Nyai Diah yang merasa sudah waktunya untuk segera menyingkirkan Kertapati. Sudah satu bulan mereka hidup di kadipaten yang serba kecukupan.
Semula Wisnuwisesa sendiri pun menolak, karena menurutnya Kertapatilah yang patut menjadi kepala para pengawalnya. Namun setelah didesak, dibujuk, direngek oleh istrinya, akhirnya dia pun meluluskan permintaan itu.
Kejadian itu pun mengundang rasa heran dari Ki Ageng Tapa. Dia bertanya tanya dalam hati, mengapa adipati bertindak dan memerintahkan seperti itu?
Dia pun memanggil Kertapati yang agak uring-uringan untuk menerima perintah adipati.
"Aku pun heran, Ki Ageng," kata Kertapati. "Mengapa adipati seperti mencabut kata-katanya kembali?"
"Apakah Broto yang mendesaknya?"
"Tidak mungkin," kata Kertapati. "Biar bagaimana pun dia adanya, Broto adalah seorang laki-laki yang kesatria. Kau lihat saja tingkah lakunya setelah dulu kalah dariku dalam perang tanding. Dia tetap menerimanya dan menerima pula kedudukan sebagai kepala rumah tangga."
Ki Ageng Tapa tahu akan si fat Kertapati yang polos dan jujur. Dia pun berkata,
"Kertapati... tingginya langit dan dalamnya samudra mudah ditebak. Jumlah bintang yang ada di langit pun diketahui jumlahnya. Namun hati orang siapa yang tahu. Meskipun jaraknya dekat, tapi terasa jauh sekali".
"Aku menjunjung tinggi sifat kesatria Broto, Ki Ageng."
"Lalu bagaimana? Kau akan menerima perintah ini?" tanya Ki Ageng Tapa.
"Ya."
"Kertapati... apakah kau tidak tahu, bila kau dalam keadaan terdesak Broto akan membunuhmu?"
"Ah, bukankah dulu aku tidak membunuhnya? Karena ini hanya saling uji kesaktian. Itu pun tak luput dari perhatian adipati, bukan?"
Ki Ageng Tapa mendesah. Kertapati memang orang yang jujur dan polos. Dia sangat menghargai sekali sebuah kejujuran.
Namun Ki Ageng Tapa seakan mencium ada sesuatu yang tidak beres dalam perintah adipati ini. Dia bertekad akan melihat sampai sejauh mana pertandingan uji kesaktian itu.
Dua hari kemudian, terlihatlah di depan kadipaten sebuah panggung besar dan cukup tinggi. Di setiap sudutnya ada umbul-umbul yang indah. Dan di tengah-tengahnya ada lukisan pedang dan golok saling bertempelan yang menandakan akan diadakannya pertandingan uji kesaktian itu.
Ketika hari yang ditentukan tiba, rakyat pun berbondong-bondong memenuhi kadipaten. Bagi mereka, ini adalah tontonan yang sangat menarik sekali.
Adipati Wisnuwisesa sendiri hadir di tengahtengah mereka didampingi oleh istrinya yang seperti putri raja. Rakyat pun mengagumi kecantikannya. Dan di samping istrinya duduk ibu mertuanya, Nyai Diah.
Sementara di belakang mereka, Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga duduk dengan sikap yang gagah.
Adipati Wisnuwisesa pun berdiri.
Rakyat yang tadi ribut bergemuruh, terdiam. Menunggu apa yang hendak diucapkan oleh sang Adipati.
"Di pagi yang cerah dan suasana yang gembira ini? kita semua berkumpul di kadipaten. Bukan lain untuk menyaksikan tanding ulang antara Kertapati dengan Broto! Ini kulakukan, untuk melihat siapakah sesungguhnya yang digjaya!
Juga... untuk menghibur hati kita semua!!"
Hadirin bertepuk tangan dengan sorak-sorai yang gegap gempita.
Adipati Wisnuwisesa menenangkan para ha-
dirin.
"Semua tenang! Nah, sebagai penantang,
Broto dipersilahkan maju ke panggung!" Dari tempat duduknya, Broto bersalto. Memamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Tiga kali dia bersalto dan hinggap di alas panggung dengan ringannya.
Begitu dia hinggap, kembali terdengar tepukan dan sorak-sorai yang ramai. Broto menundukkan tubuhnya ke arah Adipati Wisnuwisesa. Lalu membunguk ke pada para hadirin yang kembali disambut dengan bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam-hitam. Di keningnya ada ikat kepala berwarna putih. Dan di punggungnya tersampir sebilah pedang.
Terdengar kembali suara Adipati Wisnuwise-
sa.
"Kepada Kertapati, dipersilahkan naik ke
panggung!!"
Kalau Broto tadi memamerkan tenaga dalam dan ilmu peringan tubuhnya dengan bersalto dari tempat duduknya, Kertapati hanya melangkah dengan ringan. Tidak menunjukkan seorang yang digjaya.
Dia pun sampai di panggung.
Ketika dia membungkukkan tubuhnya pada adipati Wisnuwisesa, kembali terdengar tepukan dan sorakan yang bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian yang ringkas pula. Hanya berwarna putih. Kerisnya terselip di pinggangnya.
"Nah, ini dia jago yang hendak bertanding sudah berada di atas panggung! Pertandingan dimulai!" seru Adipati yang kembali disahuti dengan tepukan bergemuruh.
Terdengar bunyi gong tiga kali, tanda pertandingan itu dimulai.
Lalu kedua jago itu pun bersiap.
Dari sorot matanya dan sikapnya, jelas sekali kalau Broto begitu meremehkan Kertapati. Dia segera membuka jurusnya dan mulai menggebrak dengan satu pukulan lurus ke depan yang hendak dilanjutkan dengan sapuan kaki kanannya.
Kertapati pun segera menyambutnya dengan menarik ke belakang kepalanya dan melompat. Saat dia melompat, dia mengirimkan satu jotosan ke arah muka.
Cepat Broto memiringkan kepalanya. Dan membalas. Terjadilah serang menyerang yang cepat dan hebat. Tangguh dan berisi.
Pada jurus-jurus dan gebrakan pertama, nampak keduanya masih saling memapaki. Namun beralih pada jurus kesepuluh, seranganserangan mereka pun tambah cepat.
Broto begitu beringas sekali.
"Hari ini kau harus kalah di tanganku, Kertapati!" pekiknya sambil menendang.
"Berbuatlah semampu mu, Broto!" sahut Kertapati sambil menghindar melompat.
"Kau tak pantas menjadi kepala pengawal!" "Mungkin. Tetapi bukankah kau sendiri su-
dah melihat caraku memimpin? Dan aku pun dapat mengalahkan kau, Broto!" Kata-kata Kertapati itu semakin membuat Broto menjadi panas. Dia semakin buas. Dan jurus-jurusnya sangat kejam.
Namun sampai sejauh itu, belum satu pun serangannya yang mengenai sasaran. Hal ini membuat Broto semakin ganas.
Apalagi ketika pukulan Kertapati menggedor dadanya, disusul dengan satu tendangan yang mengenai leher Broto. Hingga laki-laki itu terhuyung ke belakang.
"Bangsat geram Broto sambil menyeka darah yang keluar di mulutnya.
Kertapati hanya tersenyum dengan sikap bersahabat.
Sementara sorakan ramai terdengar kembali. "Kau harus mampus, Kertapati!" geram Broto
sambil bangkit menyerang kembali.
"Hati-hati, Broto! Kadang pukulan dan tendangan bisa mematikan?" sahut Kertapati tetap dengan suara bersahabat.
"Anjing buduk! Aku memang berniat hendak membunuhmu!" bentak Broto sengit. Seranganserangannya semakin berbahaya.
Terdengar sorakan yang ramai. Ada sorak kegembiraan.
Ada sorak ketakutan.
Di antara penonton itu nampak seorang lakilaki berusia setengah baya dengan serius memperhatikan pertandingan itu. Wajah laki-laki itu begitu arif dan bijaksana. Dia mengenakan jubah berwarna putih. "Kejam!" desisnya ketika Broton mengamuk dengan cakaran-cakaran yang mematikan. Sasarannya wajah, jantung dan kemaluan.
Sementara Kertapati harus dengan susah payah menghindar dan membalas.
"Sebenarnya laki-laki yang berpakaian putihputih itu bisa menang," desis orang yang mengenakan jubah putih itu lagi. "Hanya sayang... dia terlalu welas asih dan menganggap ini memang sebuah pertandingan biasa. Tapi... ah, yang mengenakan pakaian hitam-hitam itu begitu kejam. Bahkan wajahnya berkesan ingin membunuh! Hmmm... ini tidak adil!"
Laki-laki berjubah putih itu menggelenggelengkan kepala.
Di atas panggung, Kertapati memang menganggap ini sebuah pertandingan biasa. Bukan untuk saling membunuh. Gerakannya pun tak sebuas gerakan Broto. Malah dia seakan selalu memberi angin untuk Broto menyerang.
Tetapi sampai sejauh itu, serangan-serangan kejam Broto tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Kau memang hebat, Kertapati!" desisnya sambil bersalto ke belakang. Dan ketika hinggap, tangan kanannya sudah memegang sebilah pedang.
"Haruskah kita bermain dengan senjata, Broto?" tanya Kertapati dengan sikap sebagai sahabat.
"Hhh! Kau takut rupanya!"
"Ini hanya pertandingan biasa, Broto. Kau ingat?" "Perduli setan!" "Broto "
"Bila kau takut, menggelindinglah dari arena ini, Kertapati!"
Wajah Kertapati memerah. Tetapi nampak dia masih berusaha bersabar.
"Kita tak perlu bermain-main dengan senjata! Antara kau dan aku bukan lawan! Kita sahabat, Broto Kau ingat?"
"Pengecut busuk! Turunlah dari arena ini bila kau takut! Dan larilah seperti anak perempuan!"
"Broto "
"Cabut kerismu, Kertapati "
"Ingatlah, Broto... sangat berbahaya sekali bila bermain-main dengan senjata!"
"Baik, kalau begitu. Aku terima. Tapi dengan syarat, kau harus menyerah "
Di samping memiliki sifat yang polos dan jujur, Kertapati juga memiliki sifat seorang kesatria sejati. Dia pantang mengalah bila diejek seperti itu. Sebenarnya Kertapati ingin mundur saja dan menyerahkan jabatan sebagai kepala pengawal kepada Broto.
Tetapi dia tidak suka melihat sikap Broto yang pongah dan congkak. Lalu dengan berat hati, dia pun mencabut kerisnya.
"Kalau itu maumu... baiklah...." kata Kertapati tetap berusaha menahan marahnya.
Sementara para penonton menjadi tegang ketika keduanya mencabut senjata. Begitu pula dengan Ki Ageng Tapa. "Oh, mengapa harus mencabut senjata?" gumamnya. "Bukankah senjata yang mereka bawa itu hanya untuk menambah kegagahan mereka saja di atas arena?"
Laki-laki yang berjubah putih pun menyayangkan hal itu. Dia memuji Kertapati dan memaki kesombongan Broto.
"Hmm... yang berpakaian putih begitu bijaksana. Dia masih menganggap lawannya itu sebagai seorang sahabat. Tetapi yang berbaju hitam, dia begitu congkak. Tapi mudah ditebak mengapa dia mencabut senjatanya. Karena dia kalah bila berhadapan dengan tangan kosong. Itu adalah jiwa yang pengecut!"
Sementara di atas arena, keduanya sudah mencari posisi. Dan bergerak bagaikan ayam aduan
Tiba-tiba Broto memekik. Dan menerjang dengan pedang mengarah pada tenggorokan. Kertapati pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pedang itu dengan mudah. Dia menggerakkan tangannya dan menangkis pedang itu dengan kerisnya.
"Traaangg"
Benturan kedua senjata itu menimbulkan cahaya yang cukup terang. Para penonton menahan nafas dengan tegang.
Serangan-serangan yang di lancarkan Broto demikian ganas. Pedangnya berkelebat ke sana ke mari dengan cepat. Penuh tenaga dan nafsu ingin membunuh. Namun Kertapati memang tangguh dalam memainkan kerisnya. Dia dapat menghindar dan menangkis setiap serangan Broto. Membuat Broto semakin panas.
"Jangan hanya seperti tikus dikejar kucing, Kertapati! Bisa mu hanya menghindar saja!" serunya sambil terus menggebrak.
Lama kelamaan karena diejek dan didesak terus menerus, Kertapati pun menjadi panas. Lalu dia pun mulai membalas.
Kertapati bersalto dua kali ke belakang. Dan begitu kakinya hinggap, dia langsung melenting ke atas. Kerisnya siap menyambar kepala Broto.
"Anjing kurap!!" bentak Broto seraya menggelinding. Namun begitu dia berdiri tegak, keris Kertapati sudah menyerang nya lagi.
Sebisanya Broto menangkis. "Traaannggg!!"
Karena posisi berdirinya belum begitu kuat dan tenaga sambaran Kertapati yang cukup kuat, membuat pedang di tangan Broto terlepas.
Para penonton bertepuk tangan. Broto menggeram dengan marah. Kertapati menghentikan serangannya. Dia tersenyum.
"Bangunlah, Kawan. "
"Bangsat! Aku belum kalah!" geram Broto marah dan panas. Wajahnya memerah karena malu.
"Lalu bagaimana maumu, Broto "
"Aku akan membunuhmu, Kertapati!" geram Broto murka. Ki Ageng Tapa yang melihat Broto sudah jatuh, yakin sekali kalau Adipati Wisnuwisesa akan menghentikan pertandingan itu dan menyatakan Kertapati sebagai pemenang.
Namun dia melihat Adipati Wisnuwisesa hanya terdiam saja. Wajahnya tidak menampakkan ingin menghentikan pertandingan itu. Malah dia seperti robot belaka.
Para penonton yang menyaksikan hal itu pun menjadi heran. Mengapa Adipati Wisnuwisesa tidak menghentikan pertandingan itu. Jelas-jelas kalau Broto sudah kalah.
Merasa adipati tidak menghentikan pertandingan itu, Broto berguling kembali sembari menyambar pedangnya dan langsung menyerang.
Masih dengan keheranan mengapa sikap adipati hanya diam saja, Kertapati menyambut serangan Broto.
Sementara laki-laki berjubah putih menggumamkan sesuatu,
"Hmm... ada yang tidak beres di sini"
Di atas panggung, Broto lebih gencar menyerang. Kejam. Dan mematikan. Kertapati sendiri kali ini dengan susah payah menghindar, melompat dan membalas.
Broto seakan mendapat tenaga baru. Serangan-serangannya makin cepat dan hebat Penuh tenaga dalam dan teknik-teknik yang mematikan.
"Tahan seranganku, Kertapati!!" "Kau sudah kalah, Broto. "
"Aku belum kalah!" "Kau sudah terjatuh! Dan pedangmu sudah terlepas dari tanganmu!"
"Bodoh! Mengapa kau tidak segera membunuhku!!"
"Karena ini hanya pertandingan biasa, Broto!
Bukan pertarungan!"
"Goblok! Ini pertarungan, Kertapati! Pertarungan antara hidup dan mati! Tahan seranganku! Aku siap untuk mencabut nyawamu!"
Sadarlah Kertapati kalau Broto kini telah menjadi lawannya. Dia pun membalas dengan gigih. Serangan Broto hebat dan cepat.
Sampai suatu ketika, terdengar jeritan Broto. Laki-laki itu bersalto. Dan kakinya menyambar dada Kertapati hingga jatuh.
Lalu menyusul pedang Broto siap menikam jantungnya!
Orang-orang menahan nafas tegang.
***
4
Kertapati sendiri merasa tak ada lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Dia hanya pasrah saja ketika melihat jalannya pedang yang siap mencabut nyawanya.
Tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras. "Traaangg"
Pedang Broto melenceng dari sasarannya. Kertapati membuka matanya. Nampak di hadapannya Ki Ageng Tapa berdiri dengan memegang tasbih peraknya. Dia yang melihat nasib Kertapati sangat mengerikan dan aja! siap menjemputnya, langsung bersalto dan menyambarkan tasbih peraknya ke pedang Broto.
"Kau?!" geram Broto begitu melihat siapa yang menghalanginya.
Ki Ageng Tapa tersenyum dingin. "Kau kenapa Broto "
"Jangan ikat campur urusan ini, Ki Ageng!" seru Broto keras. Tidak sedikit pun dia menghormati Ki Ageng Tapa. Di luar kebiasaannya yang selalu menghormati Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri terkejut melihat perubahan sikap Broto yang tidak menghormat padanya.
"Kau bukan seorang kesatria, Broto...." katanya dengan suara dingin.
"Persetan dengan ucapanmu! Minggir kau, Ki Ageng! Aku harus membunuh Kertapati!"
"Broto!" seru Ki Ageng Tapa keras. Kemarahannya mulai naik.
"Jangan ikut campur urusanku! Kau tak berhak melarangku, Ki Ageng! Yang berhak hanyalah Adipati Wisnuwisesa! Kau lihat sendiri bukan, Adipati saja tidak menghentikan pertarungan ini "
"Pertandingan, Broto " potong Ki Ageng Ta-
pa.
"Apalah katamu, Ki Ageng! Tapi aku mena-
makan ini pertarungan antara hidup dan mati! Dan kau tak berhak menghentikan semua ini tanpa perintah dari Adipati Wisnuwisesa"
"Tapi kau kulihat ingin membunuh Kertapa-
ti!"
"Niatku memang begitu." "Kau keji, Broto!"
"Persetan dengan kau, Ki Ageng! Minggirlah
kau dari sini!"
"Broto... tadi kau sudah terjatuh dan kalah. Tetapi sebagai seorang yang kesatria, Kertapati tidak menyudahi mu. Padahal dia bisa membuatmu mampus saat itu juga!"
"Itu salahnya sendiri! Minggir kau, Ki Ageng!" "Kau sudah kalah, Broto!"
"Persetan! Minggir kataku, kalau tidak, terpaksa aku harus menyingkirkan mu dari sini, Ki Ageng Tapa!" seru Broto.
Ki Ageng Tapa tetap tersenyum dingin. Sebenarnya dia semakin keheranan pada sikap Adipati Wisnuwisesa. Mengapa Adipati tidak menghentikan pertandingan ini? Ah, dia bagaikan robot belaka di tempat duduknya.
Ki Ageng makin merasakan ada sesuatu yang ganjil pada diri Adipati Wisnuwisesa.
"Apa boleh buat... aku terpaksa melayani, Broto.... Bila tidak, kekejamanmu akan terus berlanjut. Bila pun kau menang, kau tak patut menjadi kepala pengawal kadipaten "
"Bangsat tua! Baik, bersiaplah!" geram Broto seraya menghunuskan pedangnya. Diiringi dengan pekikan yang cukup keras, dia menerjang ke arah Ki Ageng Tapa. Para penonton terpekik terkejut melihat Broto menyerang Ki Ageng Tapa.
Laki-laki yang mengenakan jubah putih itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak tahu berterima kasih kalau nyawanya sudah diselamatkan tadi. Tapi biarlah, aku ingin melihat sampai di mana kehebatan laki-laki berpedang itu "
Di panggung, kini Ki Ageng Tapa harus menghadapi serangan-serangan kejam dan ganas dari Broto. Berkali-kali dia hanya menghindar atau menangkis dengan tasbih peraknya.
Namun lama kelamaan dia bermaksud hendak memberi pelajaran pada Broto. Maka dia pun mulai melancarkan serangan balasannya.
Tasbih peraknya berkelebat dengan hebat. Setiap kali dihentakkan atau digerakkan, menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Broto kelihatan cukup terdesak. "Menyerahlah, Broto! Sebelum kuturunkan
tangan telengas!" geram Ki Ageng Tapa.
"Jangan bermimpi kau, Ki Ageng!" sambut Broto dengan garang.
Keduanya saling menyerang dengan cepat dan hebat. Ganas dan kejam.
Para penonton menahan nafas.
Di bibir Nyai Diah tersinggung sebuah senyuman.
Sekar Juwita berkali-kali bertepuk tangan. Adipati Wisnuwisesa hanya terdiam mem-
perhatikan bagai sebuah robot. Laki-laki yang berdiri di antara penonton yang mengenakan jubah putih bergumam, "Hmm... agaknya yang menggunakan tasbih berwarna perak itu sudah di atas angin.... Tapi... hei, apa yang dilakukan laki-laki berpedang itu? Dia berdiam diri dengan kedua tangan bersatu. Pedangnya pun dilepaskan! Dan... ah, kedua telapak tangannya berwarna putih "
Memang benar apa yang dikatakan laki-laki berjubah putih itu. Broto sambil bersalto membuang pedangnya dan menyatukan telapak tangannya. Lalu dibukanya kembali. Dan saat terbuka telapak tangannya berwarna putih.
"Mampuslah kau saat ini juga, Ki Ageng Tapa!" geram Broto seraya menyerang. Kedua telapak tangannya seakan berusaha ingin menyentuh bagian tubuh dari Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri merasakan hawa panas yang keluar dari kedua telapak tangan itu. Dia yakin kedua telapak tangan itu mengandung racun. Namun dia tidak tahu jenis racun apa. Lagipula yang membuatnya heran, mengapa Broto mendadak mempunyai ilmu pukulan beracun?
"Hahaha... jangan lari seperti anak perempuan, Ki Ageng!" bentak Broto sambil terus menekan dan mendesak Ki Ageng Tapa.
"Pukulan beracun apa yang kau gunakan itu, Broto?!" seru Ki Ageng Tapa sambil menghindar.
"Kau akan tahu setelah kau merasakannya!" "Ilmu hitam yang keji!" "Dan kau akan merasakan kekejian ini, Ki Ageng Tapa!"
"Broto... di mana rasa hormatmu padaku, hah?!"
"Sekarang aku tak perlu menghormatimu, Ki Ageng Tapa! Meskipun kau seorang penasehat Adipati! Tapi kau tak patut dihormati!"
"Budak setan!"
"Memakilah sepuasmu, Ki Ageng! Karena tak lama lagi kau tak akan bisa memaki!"
"Hhh! Kau begitu yakin dengan ucapanmu, Broto!"
"Karena kau lari seperti anak perempuan! Kau tak berani menyerangku, hah? Kau tak ubahnya seperti kucing yang dikejar anjing!"
"Baik, kini aku tak sungkan-sungkan lagi!
Sambutlah seranganku!"
"Sejak tadi aku yang menyerangmu! Baik, aku akan sambut!"
Ki Ageng pun mulai membalas. Namun sampai sejauh itu tak satu pun serangannya yang mengenai sasaran. Dia pun berusaha agar tubuhnya tidak bersentuhan dengan kedua telapak tangan Broto.
"Ayo, Ki Ageng! Ayo cepat'" ejek Broto sambil terus menyerang. Dia tidak menghindar. Namun setiap kali Ki Ageng menyerang, dia pun menggerakkan tangannya untuk menyentuh tangan atau bagian lain dari Ki Ageng Tapa.
Ini malah membuat Ki Ageng bingung, bahkan setiap kali dia menyambarkan tasbih peraknya, dengan licin dan lincahnya Broto segera menyerang bagian yang kosong. Ini membuat Ki Ageng Tapa menjadi sulit untuk menyerang secara pasti.
Sampai suatu ketika, kaki kanan Broto menyambar dadanya.
"Dess"
Laki-laki setengah umur itu pun terhuyung ke belakang dengan dada yang sakit. Sedangkan Broto tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dia langsung memekik menerjang. Kedua telapak tangannya yang kini berwarna putih mengarah ke bagian dada Ki Ageng Tapa.
Sulit bagi Ki Ageng Tapa untuk menghindar. Para penonton menahan nafas tegang. Tiba-
tiba Kertapati yang dalam keadaan terluka, bangkit memekik dan memapaki serangan ganas dari Broto.
"Des!"
"Des!"
Kedua pukulan itu beradu. Tubuh Kertapati terpental ke belakang beberapa tindak lalu ambruk dengan tubuh yang amat kesakitan.
Di dadanya tertanda dua buah telapak tangan Broto.
Sedangkan Broto hanya terhuyung dua tindak lalu berdiri dengan tegap.
"Kertapatiiiiii!!" seru Ki Ageng Tapa yang tidak menyangka Kertapati akan berbuat nekad untuk menyelamatkannya.
Dia pun bangkit memburu untuk melihat keadaan Kertapati. Dua buah telapak tangan Broto yang bercap didada Kertapati mendadak berubah menjadi hitam. Lalu menjalar warna hitam itu ke seluruh tubuh Kertapati.
Satu keanehan terjadi. Tiba-tiba dari mulut Kertapati mengeluarkan darah berwarna kehitaman pula. Dan sekujur tubuh nya mendadak membengkak besar. Lalu bengkakan itu pun meletus. Mengeluarkan nanah berwarna putih. Mengerikan.
Menandakan pukulan yang dilepaskan Broto mengandung racun yang sangat kejam.
Terdengar jeritan Kertapati menahan rasa
sakit.
"Aaaakkkhhh!!"
Lalu kepalanya terkulai. Ambruk. Matilah
Kertapati dengan keadaan tubuh yang memilukan, sekaligus sangat mengerikan.
Para penonton memekik ngeri.
Ki Ageng Tapa menoleh pada Broto yang sedang tersenyum sinis. Tatapan Ki Ageng Tapa membara membahayakan. Menandakan dia sangat marah sekali.
"Kau harus membalas nyawa Kertapati, Broto!" ujarnya sambil berdiri dengan tegap. Siap menyerang Broto yang kini tertawa-tawa.
Namun belum lagi Ki Ageng Tapa bergerak menyerang, terdengar bentakan keras.
"Hentikan semuanya! Broto dinyatakan keluar sebagai pemenang!!"
*** 5
Semua kepala yang ada menoleh ke arah suara itu. Mereka melihat Adipati Wisnuwisesa berdiri gagah dengan mengangkat tangan kanannya.
"Pertandingan ini ku nyatakan selesai!" terdengar suaranya lagi.
"Dan mulai sekarang Broto kuangkat sebagai kepala pengawal di Kadipaten!"
Ki Ageng Tapa menjadi keheranan melihat sikap dan kata-kata Adipati. Adipati Wisnuwisesa yang selama ini disanjung dan dipujanya, ternyata hanya luarnya saja yang bijaksana.
Kalau dia adil dan bijaksana, dia pun sudah dapat melihat kalau Kertapati keluar sebagai pemenang. Tetapi tadi pun sang Adipati tidak menyatakan pertandingan selesai.
Malah dia membiarkan saja Broto bangkit kembali menyerang. Bahkan ketika Ki Ageng Tapa melesat ke panggung untuk menyelamatkan Kertapati, Adipati Wisnuwisesa tetap diam saja tak banyak mulut.
Tetapi kala Kertapati sudah terbunuh oleh tangan telengas Broto, dan Ki Ageng Tapa siap membalas kematian Kertapati yang telah menyelamatkannya, barulah terdengar suara Adipati Wisnuwisesa menghentikan pertandingan.
Diam-diam dari rasa keheranan melihat sikap aneh Adipati Wisuwisesa dalam diri Ki Ageng Tapa telah berubah menjadi kebencian. Dia muak melihat sikap Adipati sekarang. Bahkan boleh dikatakan, rasa hormatnya telah lenyap sama sekali.
Namun Ki Ageng Tapa seorang laki-laki yang kesatria dan amat menghormati tuannya. Meskipun dia kini benci dan muak, namun dia masih tetap menghargai perintah Adipati, yang menyerukan pertandingan telah selesai.
Ki Ageng Tapa melirik pada Broto yang tersenyum kemenangan. Lalu dia kembali memperlihatkan mayat Kertapati yang sangat mengerikan.
Benar-benar kejam pukulan dari Broto itu.
Sementara laki-laki yang mengenakan jubah putih sangat terkejut melihat pukulan yang dilepaskan Broto tadi.
Bersamaan kedua pukulan antara Broto dan Kertapati beradu, laki-laki berjubah putih itu menahan nafas cukup tegang. Dan dia melihat Kertapati terpental jauh beberapa tombak. di dadanya tercap kedua telapak tangan dari Broto.
Saat itulah dia berseru, "Racun Kelabang Pu-
tih!"
Suaranya bergetar. Menandakan keterkeju-
tan yang cukup beralasan. Laki-laki berjubah putih itu tahu betapa keji dan ganasnya racun itu.
Di atas panggung, Ki Ageng Tapa tak kuasa menahan air matanya. Jago tua itu pun menangis terharu melihat mayat Kertapati yang mengerikan. Juga mengingat Kertapati menjadi begini karena telah menyelamatkannya.
Terdengar lagi seruan dari Adipati Wisnuwisesa "Perhatian! Mulai saat ini, Broto ku nyatakan sebagai kepala pengawal di Kadipaten! Menggantikan Kertapati yang ternyata dapat dikalahkannya! Bahkan dibunuhnya!"
Suara tepukan yang bergemuruh menyambut kata-kata Adipati Wisnuwisesa.
Lalu sang Adipati bersama istrinya, Sekar Juwita dan ibu mertuanya, Nyai Diah yang tersenyum melihat Kertapati mati di tangan Broto bangkit meninggalkan tempat itu.
Broto sendiri tersenyum penuh kemenangan. Sore harinya, mayat Kertapati pun dikubur-
kan. Ki Ageng Tapa begitu nampak amat sedih sekali. Dalam hatinya diam-diam dia berniat hendak menyelidiki keadaan Adipati Wisnuwisesa. Meskipun rasa hormatnya berubah menjadi benci dan muak, tetapi dia masih merasakan adanya keanehan dari diri Adipati.
Sementara laki-laki berjubah putih itu mendesah panjang. Yang dibingungkannya bukanlah sikap dari Adipati Wisnuwisesa. Tetapi racun kelabang putih yang ternyata muncul lagi.
Puluhan tahun yang lalu, laki-laki berjubah putih itu pernah mendengar akan sebuah pukulan beracun yang teramat ganas. Sekali bersentuhan, maka yang disentuh akan mati secara mengerikan. Pukulan itu milik dari seorang nenek dari golongan hitam yang bernama Eyang Arumtari. Tetapi nenek itu telah mati setelah bertempur dengan beberapa tokoh dari golongan putih. Tokohtokoh dari golongan putih itu pun kemudian mati
dengan keadaan tubuh yang mengerikan.
Rupanya secara diam-diam Eyang Arumtari memiliki seorang murid yang mungkin telah mewarisi ilmu-ilmunya. Sekarang yang menjadi pertanyaan laki-laki berjubah putih itu adalah siapakah murid dari Eyang Arumtari? Apakah Broto yang melepaskan pukulan yang mengandung racun Kelabang Putih itu?
Laki-laki berjubah putih itu mendesah. Lalu meninggalkan tempat itu.
Sebenarnya siapakah laki-laki yang mengenakan jubah putih dan berwajah arif dan bijaksana itu? Dia tak lain adalah Madewa Gumilang alis Pendekar Bayangan Sukma.
Sudah seminggu lamanya Madewa Gumilang meninggalkan Perguruan Topeng Hitam. Sebuah perguruan silat yang dipimpinnya, warisan dari si Dewa Pedang Paksi Uludara (baca: Dewi Cantik Penyebar Maut).
Madewa Gumilang meninggalkan perguruan Topeng Hitam untuk mencari putranya Pranata Kumala dan anak menantunya Ambarwati yang telah lama pergi mengembara. Dia merasa rindu sekali dengan kedua anak manusia itu.
Lalu dia memutuskan untuk pergi mencari keduanya. Tampuk pimpinan Perguruan Topeng Hitam untuk sementara diserahkannya pada istrinya yang bernama Ratih Ningrum. Seorang wanita berparas cantik yang digjaya akan ilmu kesaktian.
Dalam pencariannya, Madewa tiba di daerah Tritis. Dia heran ketika melihat rakyat berbondong-bondong pergi menuju suatu tempat. Lalu Madewa pun mengikutinya karena ingin tahu ada kejadian apa di tempat yang dituju para penduduk.
Dia melihat ada sebuah panggung besar di halaman depan kadipaten. Dan meloncatlah dua orang laki-laki gagah ke atas panggung. Rupanya di tempat itu sedang diadakan uji kesaktian untuk memperebutkan siapa yang berhak bertindak sebagai kepala pengawal kadipaten.
Dari kedua orang yang berlaga itu, Madewa dapat melihat sepak terjang laki-laki yang mengenakan pakaian berwarna hitam dan berpedang begitu kejam dan telengas. Sedangkan yang mengenakan pakaian berwarna putih dan berkeris, begitu arif dan bersahabat.
Nampak pertandingan tidak seimbang karena yang mengenakan pakaian berwarna putih bertindak dengan sikap sebagai sahabat.
Tetapi laki-laki yang mengenakan pakaian berwarna putih berada di atas angin. Namun karena sikapnya yang nampak bersahabat, menjadikannya terdesak.
Dan dia pun tersambar satu tendangan yang cukup kuat. Lalu orang berpakaian hitam-hitam itu siap menghabisi nyawa yang berpakaian putih. Tetapi naik ke panggung seorang laki-laki setengah baya yang membawa tasbih berwarna keperakan.
Dan di luar dugaannya, laki-laki yang berpakaian hitam-hitam mengeluarkan suatu pukulan yang amat hebat tangguh dan cepat. Dan mengandung racun. Semula Madewa Gumilang tidak yakin dan belum pasti kalau pukulan itu mengandung racun Kelabang Putih. Namun ketika pukulan itu mendarat pada sasarannya, barulah dia yakin bahwa pukulan itu memang mengandung racun kelabang putih. Yang sangat kejam dan ganas.
Bagi yang terkena tanpa ampun saat itu pula bisa mampus seketika dengan tubuh yang mengerikan.
Namun bila tenaga yang dikerahkan oleh pemilik racun kelabang putih tidak begitu tinggi, dia bisa mati beberapa hari dengan rasa yang amat tersiksa.
Bahkan racun itu bisa dikerjakan melalui makanan atau minuman. Dengan menyentuhkan tangannya ke air atau minuman, maka secara otomatis benda yang disentuhnya akan mengandung racun.
Sebuah pukulan yang berbahaya karena mengandung racun yang teramat keji.
Dan Madewa jadi bertanya-tanya, siapakah yang telah mewarisi racun Kelabang Putih dari Eyang Arumtari? Kalau orang itu tidak diketemukan, maka akan gawat lah keadaan. Bila orang itu marah, maka, dengan mudahnya dia akan membunuh orang yang telah membuatnya marah.
Madewa mendesah panjang. Dia menatap langit yang mendadak berubah menjadi kelam. Dia bertekad untuk menemukan siapakah murid dari Eyang Arumsari sesungguhnya.
*** 6
Setelah Kertapati dikalahkan oleh Broto sekaligus tewas di tangannya, diadakanlah pengangkatan besar-besaran dengan upacara meriah mengangkat Broto menjadi kepala pengawal kadipaten. Sebenarnya penduduk banyak pula yang he-
ran. Karena baru kali ini Adipati Wisnuwisesa mengadakan pesta yang besar-besaran untuk mengangkat seorang kepala pengawal.
Tetapi mereka tak mau banyak bicara. Karena bagi mereka yang penting bisa ikut menikmati pesta yang amat gembira itu.
Ki Ageng Tapa pun hadir dalam pesta besar itu. Dia pun merasa keanehan akan sikap dari Adipati. Sama halnya dengan sebagian penduduk yang keheranan, dia pun diam saja.
Namun yang membuatnya merasa aneh sekaligus sedih, ketika melihat Adipati Wisnuwisesa sendiri ikut minum-minum arak hingga mabuk.
Broto terbahak dalam hati melihat Adipati Wisnuwisesa sudah meracau dalam keadaan mabuk. Diam-diam dia meninggalkan pesta itu.
Dia berjalan masuk ke ruang utama Kadipaten. Lalu membelok ke kiri. Dan setelah memperhatikan sekelilingnya sepi, Broto mengetuk sebuah pintu kamar yang terletak di ujung.
"Tok! Tok! Tok!"
Setelah agak lama menunggu barulah terdengar suara, "Siapa?"
"Aku, Nyai." Pintu kamar itu terbuka. Nampaklah Nyai Diah muncul dengan tersenyum genit. Dia mengenakan pakaian yang menerawang. Yang mampu membuat setiap laki-laki menahan nafas.
Tubuh itu begitu masih mempesona.
Menampilkan lekuk tubuh yang teramat sempurna.
Broto sendiri menahan nafasnya. Lalu buruburu dia masuk dan mengunci pintu.
"Aku rindu padamu, Nyai...." desisnya dengan suara di tenggorokan.
Lalu dia memburu memeluk Nyai Diah yang terkikik genit.
Dia menggelinjang kegelian kala bibir Broto yang cukup tebal menciumi bagian tengkuknya.
"Hihihi... geli, Broto... geli...." ringkiknya manja.
Broto makin menjadi buas.
"Aku sudah tidak tahan, Nyai Sudah
hampir seminggu aku tidak menggeluti tubuhmu, Nyai.... Aku sudah tidak tahan "
"Hihihi "
"Kau makin menggairahkan saja, Nyai "
suara Broto makin berat terdengar. Lalu dia mendorong tubuh Nyai Diah ke peraduan.
Suasana di kamar itu berubah, bagaikan terdapat sebuah irama yang membangkitkan birahi.
Beberapa menit kemudian, terdengarlah desahan panjang dari keduanya. Hampir bersamaan. Lalu kedua tubuh itu terlentang di ranjang dengan nafas hampir terdengar putus-putus. Broto membuka matanya. "Nyai "
"Hmm "
"Sesuai dengan rencana kita... apakah semuanya sudah kau laksanakan?"
"Hihihi, Broto.... Broto Omongan mu seka-
rang berbalik. Bukankah dalam hal ini aku yang memegang peranan?"
Broto tertawa.
"Hahaha... tentu saja, Nyai.... Aku hanya bercanda saja. Apakah ucapanku tadi sudah pantas sebagai seorang kepala pengawal?"
"Pantas. Tapi jangan kau ulangi lagi katakatamu tadi. Bagaimana, Broto? Semua sudah kau jalankan?" tanya Nyai Diah sambil merapikan pakaiannya yang agak acak-acakan.
"Beres, Nyai.... Sasaran kita pertama adalah menyingkirkan Ki Ageng Tapa. Dia bisa menjadi duri bagi kita untuk merebut Kadipaten dan menyusun gerakan pemberontakan. Nyai setelah
berhasil menyingkirkan Ki Ageng Tapa kita akan
membuat Adipati Wisnuwisesa menjadi boneka kita untuk berhubungan dengan Prabu Hayam Wuruk. Kita pun harus menyusupkan mata-mata ke Majapahit untuk mengadakan pemberontakan dan penyerbuan.
Dengan cara begitu, kita bisa menyerang dari dalam. Dan ini sangat memudahkan kita untuk menguasai kerajaan "
"Broto sebagai kepala pengawal yang baru,
kau harus bertindak dengan tegas. Usahakan agar semua anak buahmu mengikuti. Kasih mereka pelajaran bila ada yang membantah.
Dan kalau perlu, bunuh yang berani membantah mu!"
"Beres, Nyai...." kata Broto tersenyum. Lalu melirik Nyai Diah.
"Nyai...kau harus mengajarkan aku lagi ilmu Racun Kelabang Putih dalam tahap yang sempurna "
"Tenang, Broto aku tak akan pernah melu-
pakanmu, yang banyak membantuku mewujudkan cita-cita dan keinginanku, Aku akan mengajarimu lagi "
"Ya "
"Cara kerjamu rapi sekali, Broto. Kau pun bisa menyelinap untuk memegang makanan yang hendak dihidangkan kepada istri Adipati Wisnuwisesa dan para selirnya. Bagus, aku suka sekali bekerjasama denganmu"
"Aku tak pernah mengecewakan mu bukan, Nyai?" sahut Broto sambil mengecup kening Nyai Diah yang terkikik.
Tetapi kemudian dia terdiam, seperti teringat akan sesuatu.
Broto menatapnya. "Ada apa, Nyai?"
"Aku merasa ada yang mencium kerja kita ini, Broto "
"Maksudmu?"
"Ada yang ingin menyelidiki kerja kita ini.
Kau tidak merasakan itu?" "Aku makin tidak mengerti dengan omongan mu, Nyai. Tak mungkin bila kau dan aku terlepas omong. Putri mu sendiri Sekar Juwita pun tidak tahu semua rencana kita.
Lalu bagaimana kau menduganya ada yang mengetahui semua rencana kita ini, Nyai?"
Nyai Diah mendesah.
"Masalahnya cuma satu, ada yang mengenali pukulan Racun Kelabang Putih."
"Siapa, Nyai? Bukankah kau sendiri yakin, bila pukulan itu dikeluarkan, orang tidak menduga mengandung racun yang mengerikan?"
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa, aku semakin tidak mengerti dengan kata-katamu, Nyai."
"Baiklah... ketika kau sedang bertanding dengan Kertapati dan Ki Ageng Tapa, aku melihat seorang laki-laki yang mengenakan jubah putih yang berada di antara penonton "
"Apa anehnya itu, Nyai? Kita kan tidak bisa melarang penonton yang hadir dengan mengenakan pakaian macam apapun?"
"Bukan itu maksudku. Menurut perasaanku, hanya dialah yang merasakan dan tahu tentang pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih itu "
"Siapa dia, Nyai?"
"Aku tidak tahu siapa dia. Tapi aku akan menyelidikinya. Menurut perasaanku, dia adalah seorang yang sakti mandraguna. Tapi... hihihi...
tak satu orang pun yang dapat mengalahkan aku, Nyai Diah pemilik pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih. Warisan dari guruku, si Kelabang Putih Nyai Arumtari "
Broto terdiam. Bila begitu dugaan Nyai Diah, ini berarti amat berbahaya sekali.
"Nyai... ajarkan aku lagi ilmu pukulan itu. Biar semakin sempurna. Bukankah lebih baik kita bersama dan sama-sama memiliki ilmu pukulan Racun Kelabang Putih? Ini akan menambah kekuatan kita untuk melawan manusia berjubah putih itu Bukankah begitu, Nyai? Kita tetap satu."
Nyai Diah terdiam. Memikirkan kata-kata Broto. Saat Broto mengeluarkan pukulan Racun Kelabang Putihnya untuk menghadapi si Tasbih Perak atau Ki Ageng Tapa, Nyai Diah dapat melihat wajah seorang laki-laki yang mengenakan jubah putih cukup terkejut.
Nyai Diah juga merasakan kalau laki-laki itu mengenali pukulan yang hendak dilepaskan oleh Broto pada Ki Ageng Tapa. Nyai Diah berusaha untuk menduga-duga siapa laki-laki itu adanya. Tetapi dia tidak bisa menebak.
Hanya dia pernah mendengar tentang seorang laki-laki yang disebut manusia dewa, atau juga sering disebut sebagai Pendekar Budiman. Kalau tidak salah ingat, laki-laki itu bernama Madewa Gumilang atau yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma. Dia adalah seorang laki-laki yang aril dan bijaksana.
Seingat Nyai Diah atau menurut para pendekar, Madewa Gumilang selalu mengenakan jubah berwarna putih. Hal itulah yang membuat hati Nyai Diah cukup menjadi kecut. Karena dia tahu siapa Madewa Gumilang sesungguhnya.
Namun dalam hal ini dia tak pernah mau mundur. Baginya dia memiliki pukulan yang cukup ampuh. Pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih.
Pukulan sakti warisan dari gurunya. Mengingat hal itu, Nyai Diah pun tidak kebe-
ratan untuk mengajari kembali ilmu pukulan itu kepada Broto. Yang sebelumnya juga sudah diajarkan.
Kata-kata Broto tadi benar. Bila mereka berdua sama-sama telah sempurna memiliki pukulan Racun Kelabang Putih, bukankah pertahanan mereka akan semakin kuat bila ada orang sakti yang ingin menentang atau menghalangi keinginan mereka?
Nyai Diah pun bertekad untuk mencari lakilaki berjubah putih itu untuk meyakinkan dugaannya.
Dia melirik Broto yang masih menunggu kata-katanya.
"Bagaimana, Nyai?" tanya Broto.
"Baiklah," kata Nyai Diah sambil mengangguk. "Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi ke Gunung Kidul. Ambillah sebanyak-banyaknya kelabang putih dan bawa ke sini. Cepat, Broto! Bila tidak, aku kuatir ada yang tahu akan rencana kita ini!"
Broto terbahak. "Hahaha... tenang, Nyai... tenanglah.... Semuanya akan berhasil.... Aku sudah tidak sabar ingin melihat kematian Ki Ageng Tapa setelah minum tuak yang telah aku pegang dan secara otomatis tuak itu pun mengandung racun kelabang putih.... Hahahaha "
***
7
Seminggu setelah pesta besar-besaran itu diadakan, Ki Ageng Tapa merasakan ada sesuatu yang ganjil pada tubuhnya. Dia merasakan tubuhnya gatal-gatal sekali. Dan bila digaruk malah akan semakin gatal.
"Ada apa dengan tubuhku ini?" tanyanya heran. Dia membuka bajunya dan terkejut ketika melihat ada tonjolan di beberapa bagian tubuhnya. "Hei, tonjolan apa ini?"
Ki Ageng Tapa memegangnya.
Dan seketika terdengar jeritannya sendiri. "Aduh! Sakit sekali!"
Dia makin terkejut ketika dari tonjolan yang dipegangnya tadi nampak bergerak dan pecah mengeluarkan nanah.
"Oh Tuhan, ada apa denganku ini?" desis-
nya makin bingung. Lalu hati-hati dia mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya untuk mengusir rasa gatal dan sakitnya. Dan sebagian untuk menahan aliran nanah yang keluar dan menimbulkan bau yang agak busuk.
Tetapi aliran nanah itu terus saja keluar.
Membuat Ki Ageng Tapa makin ngeri. "Penyakit apa yang sedang aku derita ini?" desisnya lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Roro Kenanga dari luar kamarnya.
"Ki Ageng Tapa... ada yang perlu kubicarakan denganmu "
Namun dalam keadaan kesakitan dan malu akan dirinya yang terkena penyakit aneh secara tiba-tiba ini membuat Ki Ageng Tapa lebih baik segera menyingkir.
Dia pun membuka jendela kamarnya. Lalu melompat ke luar.
Dari luar kamarnya suara Roro Kenanga masih terdengar. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa karena merasa Ki Ageng Tapa tidak ada di kamarnya.
Sebenarnya kedatangan Roro Kenanga hendak membicarakan satu masalah yang telah membuatnya heran.
Diam-diam Roro Kenanga juga terkejut ketika melihat Broto melepaskan pukulan aneh pada Ki Ageng Tapa. Yang membuatnya heran, kedua telapak tangan Broto berubah menjadi putih.
Di lain itu, dari mana Broto memiliki pukulan yang ampuh itu? Sampai Roro Kenanga teringat tentang pukulan beracun yang dimiliki oleh Broto.
Pukulan Racun Kelabang Putih! Ya, ya. dia
yakin soal itu. Itu sejenis pukulan yang ganas, kejam dan keji. Maksud Roro Kenanga mencari Ki Ageng Tapa untuk membicarakan masalah dan kemungkinan itu. "Hmm... ke mana kiranya Ki Ageng Tapa ini?" desisnya sambil berbalik.
Dan dia terkejut ketika melihat Nyai Diah sudah berdiri di depannya. Wanita itu memang pesolek sekali. Dia memanfaatkan semua fasilitas yang dimiliki putrinya dan anak menantunya.
Bagi Nyai Diah kesempatan seperti ini jelas tak mau dia sia-siakan. Sejak lama dia memimpikan semua ini. Dan di saat cita-citanya terwujud, tak mungkin akan dilepaskan.
Malah dalam benak Nyai Diah, dia berpikir akan menyerang Kadipaten lalu untuk bersatu dengannya sebelum memberontak pada Majapahit. "Selamat sore, Nyonya...." sapa Roro Kenan-
ga hormat.
"Hmm... sedang apa kau di depan kamar Ki Ageng Tapa, Roro?"
"Saya hendak mencari Ki Ageng Tapa, Nyonya."
"Ada apa?"
"Ada yang perlu saya bicarakan dengannya. " "Soal apa?"
Roro Kenanga terdiam. Dia merasa tidak perlu untuk membicarakan keheranannya dengan Nyai Diah. Maka dia hanya tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Nyonya. Sebagai sahabat, saya memang selalu berbicara banyak dengan Ki Ageng Tapa. Tak ada maksud lain"
"Kalau memang demikian adanya, baiklah. Roro Kenanga... kembalilah kau ke tempatmu. Tak pantas kau berada di sini.”
"Baik, Nyonya " Roro Kenanga pun meninggalkan tempat itu. Nyai Diah memperhatikannya dengan tatapan tajam.
Lalu dia pun kembali ke kamarnya.
Setelah meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa dan bertemu dengan Nyai Diah, Roro Kenanga masih tetap penasaran untuk bertemu dengan Ki Ageng Tapa. Menurutnya, dia harus segera memberitahukan pukulan apa yang mengenai Kertapati. Pukulan yang sangat berbahaya sekaligus mematikan.
Roro Kenanga pun keluar melalui pintu belakang. Lalu melesat dengan ilmu meringankan tubuhnya menuju ke hutan kecil yang berada tak jauh dari Kadipaten.
Di hutan kecil itu ada sebuah gubuk yang jelek. Dan di sanalah biasanya dia, Ki Ageng Tapa dan Kertapati saling bercengkrama atau pun bersenda gurau. Broto tak pernah melakukan ini, karena dulu tugasnya sebagai kepala rumah tangga.
Dugaan Roro Kenanga tepat, karena begitu dia mendekati gubuk itu, terdengar suara erangan kesakitan dari dalamnya.
Roro Kenanga heran. Siapakah yang telah mengerang itu? Apakah gubuk ini sudah di tempati orang lain? Namun dia terkejut ketika menengok siapa yang mengerang di dalam gubuk itu.
"Ki Ageng Tapa!" pekiknya seraya memburu mendekat. Dia melihat Ki Ageng Tapa sudah membuka pakaiannya dan sekujur tubuhnya penuh benjolan. Sudah ada yang mengeluarkan nanah. "Apa yang terjadi, Ki Ageng?"
Ki Ageng Tapa yang merasa tidak bisa menghindar lagi berkata perlahan, "Entahlah, Roro... penyakit apa yang sedang menimpa ku ini"
"Bukankah kau selama ini sehat-sehat saja?" "Benar. Baru tadi rasa sakit ini ku rasakan,"
rintih Ki Ageng Tapa.
Melihat sakit yang diderita Ki Ageng Tapa, Roro Kenanga jadi teringat maksudnya mencari Ki Ageng Tapa. Untuk membicarakan masalah pukulan beracun milik Broto.
Dan melihat penyakit yang menimpa Ki Ageng Tapa, Roro Kenanga seperti diingatkan kemungkinan kalau dia juga terkena pukulan racun kelabang putih.
"Ki Ageng... aku yakin, kau terkena Racun Kelabang Putih " kata Roro Kenanga,
"Racun Kelabang Putih?" "Ya."
"Racun apa itu " tanya Ki Ageng Tapa sam-
bil menahan rasa sakitnya.
"Racun yang keluar dari sebuah pukulan. Atau tepatnya sebuah pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih," jelas Roro Kenanga.
"Aku belum mengerti maksudnya"
"Dulu aku pernah mendengar Racun Kelabang Putih itu dari guruku. Pukulan Racun Kelabang Putih itu dimiliki oleh seorang nenek jahat dari golongan hitam yang bernama Eyang Arumtari. Guruku adalah salah seorang dari orang-orang golongan putih yang hendak membasmi dan menghentikan kekejaman dan sepak terjang dari Eyang Arumtari. Dari beliaulah aku pernah mendengar tentang pukulan Racun Kelabang Putih itu "
"Lalu kenapa kau menduga aku terkena Racun Kelabang Putih. Bukankah selama ini aku tak pernah bertarung andaikata racun itu keluar dari sebuah pukulan?"
"Kau tidak mengerti betapa hebatnya Racun Kelabang Putih itu."
"Jelaskan, Roro "
"Racun Kelabang Putih itu hanya keluar dari sebuah pukulan yang muncul dari kedua telapak tangan si pemilik. Bila sekali bersentuhan, racun itu sudah menjalar ke bagian dan seluruh tubuh yang disentuh. Racun itu pun bisa berpindah pada barang atau pun makanan dan minuman bila disentuh oleh pemiliknya. Dan sekaligus membahayakan bagi yang memegang, atau pun memakan dan meminumnya. Kekuatan dan kehebatan Racun Kelabang Putih ini sukar untuk ditandingi."
"Katamu tadi, Roro si pemiliknya bila men-
geluarkan pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih itu kedua telapak tangannya berwarna putih?" tanya Ki Ageng Tapa setelah teringat sesuatu.
"Benar, Ki Ageng."
"Broto!" Pekiknya tiba-tiba.
"Ya, ya... aku ingat, aku ingat... jelas, jelas kedua telapak tangan Broto mengeluarkan warna putih." "Aku pun melihat hal itu Ki Ageng. Dan dugaanku, Broto juga memiliki pukulan Racun Kelabang Putih" desis Roro Kenanga.
"Tapi bukankah kau tadi berkata, yang memiliki pukulan Racun Kelabang Putih hanya Eyang Arumtari. Lalu mengapa bisa berada pada Broto?"
Roro Kenanga terdiam.
Lalu dia berkata, "Mungkinkah bila Broto ternyata murid dari Eyang Arumtari?"
Ki Ageng Tapa hanya mengangguk. Tak berani menduga-duganya.
Lalu dia berkata, "Roro... bila ternyata dugaanmu itu benar aku terkena Racun Kelabang Putih, apakah makanan atau pun minuman yang aku santap sudah dipegang oleh Broto?"
"Ya, Tuhan... aku baru ingat. Pesta itu!" pekik Roro Kenanga. "Tak salah lagi, pasti kau terkena racun itu pada pesta itu, Ki ageng "
"Broto keparat! Kubunuh kau nanti!" geram Ki Ageng Tapa sambil menahan rasa sakit,
"Hihihi... rupanya ada dua makhluk yang sedang asyik bercumbu di dalam gubuk!" terdengar suara genit dari luar.
Kedua orang yang berada di dalam gubuk itu terkejut. Roro Kenanga serentak keluar dari gubuk itu,
"Siapa kau?!" bentaknya keras.
Di hadapannya berdiri satu sosok dengan mengenakan pakaian ringkas berwarna merah muda. Tetapi wajah orang yang baru datang itu tertutup rapat oleh kedok yang berwarna merah muda pula. Mirip dengan yang dikenakan pembunuh-pembunuh bayaran di Jepang, Ninja.
***
8
Sosok berpakaian merah muda itu terkikik. "Hihihi... rupanya aku mengganggu keasyi-
kan kalian berdua. Maaf, maaf... hihihi... tapi bukankah kalian telah selesai?"
Wajah Roro Kenanga merah padam.
"Busuk sekali omongan mu, Perempuan" makinya jengkel.
"Hihihi... aku berbicara tentang fakta yang ada, bukan? Aku tidak mengada-ada."
"Kami tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk yang seperti kau duga!"
"Kalian memang tak pernah melakukannya di depan orang."
"Busuk sekali mulutmu!"
"Hihihi... bilang saja kau marah karena keasyikan mu terganggu, bukan?"
"Busuk!"
"Kau yang busuk malah memakiku busuk! Mana ada pencuri yang mengaku pencuri untuk menutupi belangnya?" balas wanita yang mengenakan pakaian merah muda itu.
"Perempuan busuk! Siapa kau sebenarnya?!" geram Roro Kenanga marah. "Hihihi... kau boleh menyebutku si Bayangan Merah," balas orang itu masih terkikik.
"Dan kau siapa adanya hah?!"
"Namaku Roro Kenanga! Si Tusuk Konde Emas! Nah, cepat kau berlutut di hadapanku sebelum aku marah karena ucapanmu yang busuk itu!"
"Hihihi... berlutut? Kau sedang bermimpi rupanya, Roro... Hihihi... kau masih marah karena keasyikan mu terganggu, bukan?"
"Perempuan busuk!"
"Hihihi... apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki berpengalaman berduaan di gubuk kecil yang sunyi ini, hah?!"
Roro Kenanga tidak bisa lagi membendung marahnya. Dia berseru jengkel, "Tutup mulutmu, Bayangan Merah! Atau... biar aku yang melakukannya, hah?!"
"Hihihi... silahkan, silahkan... aku pun ingin merasakan kehebatan si Tusuk Konde Emas" si Bayangan Merah terkikik.
Kemarahan Roro Kenanga semakin menjadijadi. Tanpa banyak ucap lagi, dia menggebrak maju. Gerakannya cepat dan gesit.
"Awas serangan!"
"Hihihi... rupanya kau pemarah juga, Roro Kenanga!" sahut si Bayangan Merah sambil menghindar dan membalas dengan tendangan kaki ke arah muka.
Roro Kenanga cepat menunduk dan mengirimkan satu jotosan ke arah ulu hati Bayangan Merah. Tetapi sambil tertawa si Bayangan Merah menangkisnya.
"Des!"
Kedua tangan itu beradu.
Roro Kenanga merasakan tenaga dalam yang dimiliki lawannya cukup besar. Tetapi dia pun tak mau kalah. Dia meningkatkan lagi tenaga dalamnya. Lalu mencecar lagi dengan jurus Memetik Sang Surya.
Tiba-tiba saja gerakannya menimbulkan hawa panas yang lumayan. Itu pun dirasakan oleh si Bayangan Merah.
"Hihihi... hebat, hebat! Ilmu Memetik Sang Surya!"
Roro Kenanga kaget karena lawannya mengetahui jurusnya.
Sementara Ki Ageng Tapa yang sudah berpakaian lengkap dan keluar dari gubuk itu hanya menonton saja. Dia tidak bermaksud membantu Roro Kenanga. Di samping dilihatnya Roro Kenanga mampu melayani serangan-serangan si Bayangan Merah, juga karena keduanya adalah wanita. Yang membuatnya jadi enggan untuk membantu.
Tetapi di jurus selanjutnya, terlihat kalau si Bayangan Merah mulai menekan dan mendesak Roro Kenanga. Dengan jurus-jurusnya yang tangguh.
"Hihihi... di mana nama besar si Tusuk Konde Emas!" ejek si Bayangan Merah yang membuat Roro Kenanga semakin geram.
"Perempuan busuk! Kau lihat serangan!" makinya sambil menerjang lagi. "Keluarkan yang kau punyai, Roro!"
"Jangan banyak among! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Dengan senang hati kulayani semua kemauanmu! Yang perlu kau ketahui, aku datang memang ingin membunuhmu! Juga laki-laki yang nampak sedang sakit itu!"
"Banyak mulut!"
"Mana seranganmu lagi, hah?!" sahut si Bayangan Merah sambil menerjang dengan ganas. Dia mengimbangi dan membalas seranganserangan dari Roro Kenanga.
Karena keinginan untuk menyudahi lawannya begitu menggebu-gebu di samping jengkel mendengarkan ejekan-ejekan si Bayangan Merah, serangan-serangan Roro Kenanga menjadi membabi buta dan sukar dikendalikan. Dia bagaikan banteng terluka. Tetapi biarpun begitu serangannya tetap ganas dan membahayakan.
Lagi-lagi si Bayangan Merah hanya tertawa. Dan tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan begitu kakinya hinggap di tanah langsung melenting lagi ke depan diiringi dengan pekikan keras.
"Awas serangan!" serunya,
Kali ini dia yang menekan dan mendesak Roro Kenanga. Sampai suatu ketika sebuah pukulannya dan disusul dengan tendangannya mengenai bagian dada Roro Kenanga.
Hingga wanita itu terhuyung. "Des!"
"Des!" Si Bayangan Merah terbahak. "Ternyata hanya begitu saja nama besar si Tusuk Konde Emas!"
Roro Kenanga mendelik marah seraya mengusap darah yang mengalir melalui mulutnya.
"Bangsat!"
"Hahahaha... ayo seranglah aku lagi! Biar cepat ku sudahi permainan ini!"
Roro Kenanga makin geram. Si Bayan gan Merah menganggap ini sebuah permainan. Bangsat! Dia benar-benar akan mengadu jiwa dengan si Bayangan Merah.
Sambil menggeram marah dan menahan rasa sakitnya, dia kembali menerjang. Tetapi lagilagi serangan-serangannya berhasil dipatahkan.
Bahkan kembali pukulan dan tendangan si Bayangan Merah menggedor dadanya.
Hingga terhuyung ke belakang.
Si Bayangan Merah tak mau membuang kesempatan seperti tadi. Dengan ganasnya dia maju menyerang untuk menghabisi nyawa Roro Kenanga.
"Mampuslah kau, Roro Kenanga!!"
Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan memapaki serangan si Bayangan Merah yang ditujukan kepada Roro Kenanga.
"Des!!"
Dua tubuh itu terpental ke belakang. Si Bayangan Merah berdiri lagi dengan sigap.
Ki Ageng Tapa terhuyung sambil memegang dadanya dan muntah darah. Dia tadi yang memapaki serangan si Bayangan Merah pada Roro Kenanga. Namun karena kondisinya yang sedang lemah dan dalam keadaan sakit, membuat tenaganya tidak seberapa besar.
Bahkan dia makin merasakan sakitnya ketika berbenturan karena memapaki serangan si Bayangan Merah.
"Huak!!"
Ki Ageng Tapa kembali muntah darah.
"Ki Ageng!" seru Roro Kenanga dan berkelebat mendekat.
Terdengar si Bayangan Merah tertawa melihat adegan itu.
"Hihihi... nampaknya adegan kemesraan ini terus berlangsung... Lucu, lucu sekali. Kalian pikir kalian masih muda dan remaja, ya? Sehingga harus bermesraan dengan gaya anak muda berpacaran?"
Roro Kenanga menggeram. "Bangsat! Kau harus mampus di tanganku, Bayangan Merah!.
"Hihihi... majulah, Roro!"
Tiba-tiba kedua tangan Roro Kenanga bergerak cepat ke kepalanya dan menggerakkannya ke arah Bayangan Merah.
"Siiing!"
"Siiing!"
Dua buah Tusuk Konde Emasnya berdesing dan bergerak ke arah si Bayangan merah.
Sejenak si Bayangan Merah terkejut. Tetapi dia cepat bersalto ke samping. Namun kembali dia terkejut, karena dua buah tusuk konde itu bagaikan punya sepasang mata yang dapat melihat dan mengancam sasarannya.
"Hei!" pekik si Bayangan Merah dan kembali menghindar.
Kali ini Roro Kenanga yang terbahak melihat lawannya menjadi panik.
"Hahaha... kau hendak lari ke mana, Bayangan Merah? Sambutlah kedua tusuk konde ku itu!"
"Setan alas! Kubunuh kau!" geram Si Bayangan Merah sambil meluncur ke arah Roro Kenanga.
Namun kembali urung karena tanpa diduganya Tusuk Konde Emas milik Roro Kenanga terus mengejarnya. Kembali dia menghindar sambil memaki jengkel.
"Setan!
"Hahaha... mau ke mana kau lari, Bayangan Merah! Pastikanlah ajalmu sebentar lagi akan tiba!" tertawa Roro Kenanga.
Sementara si Bayangan Merah dengan susah payah menghindari kejaran kedua Tusuk Konde Emas itu.
Namun tiba-tiba saat kedua tusuk konde itu mengejarnya, dia bergulingan berlawanan arah. Dan tangannya dengan cepat menyambar sebatang ranting yang tergeletak di dekatnya.
Ketika Tusuk Konde Emas itu berbalik lagi ke arahnya, dengan cepat pula si Bayangan Merah menggerakkan tangannya mengayunkan sebatang ranting yang diambilnya tadi.
"Cep!" "Ceep!
Kedua Tusuk Konde Emas itu menancap tepat di ranting itu. Dan tak bisa terlepas lagi.
Si Bayangan Merah terbahak.
"Hahaha... kini kalian terimalah ajal kalian!" serunya.
Lalu membuang batang ranting yang telah menancap kedua tusuk konde itu. Kemudian dia menyerang maju. Ganas dan mematikan.
Roro Kenanga dan Ki Ageng Tapa sebisanya menghindari serangan-serangan ganas itu.
Namun karena kondisi keduanya yang terluka, membuat gerakan mereka tidak selincah semula. Malah dengan mudahnya si Bayangan Merah memukul jatuh keduanya.
"hihihi... kini mampuslah kalian!"
Sambil terkikik Bayangan Merah menderu maju untuk menghabisi nyawa keduanya.
Tiba-tiba terdengar bentakan berwibawa, "Tahan!!"
***
9
Seketika si Bayangan Merah menghentikan serangannya. Dia melihat satu sosok berjubah putih dan tersenyum arif berdiri di dekatnya.
Hati si Bayangan Merah tercekat. Dia tak melihat dan tidak tahu kapan munculnya laki-laki berjubah putih yang tersenyum arif dan bijaksana itu.
"Hhh! Siapa kau sebenarnya, Jubah Putih?!" bentaknya sambil menutupi kekagetannya.
"Ah, aku hanyalah orang biasa. Kedatanganku sedang mencari putra dan anak menantuku, Pranata Kumala dan Ambarwati."
"Aku tidak tanya kau sedang apa. Yang kutanya, kau siapa?!"
"Kalau itu maumu... namaku tidak bagus.
Namaku Madewa Gumilang "
"Pendekar Bayangan Sukma!" terdengar suara Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga berbarengan. Mereka sudah lama mendengar akan pendekar budiman yang sepak terjangnya begitu bijaksana. Dan mereka tak menyangka kalau di hari ini, di saat ajal mendekati mereka, bisa bertemu dan berjumpa wajah dengan pendekar yang sakti itu.
"Yah... itulah namaku. Dan julukan seperti yang disebutkan kedua lawanmu itu "
"Hhh! Madewa... kudengar kau seorang pendekar budiman, yang tak pernah. mau ikut campur urusan orang! Tapi di hari ini, ternyata semua omongan itu bohong belaka!" seru si Bayangan Merah. "Kau telah mencampuri urusanku, Madewa!"
"Kata-katamu itu benar. Cuma sayang kau
salah tanggap. Aku tak pernah mencampuri urusan orang yang tidak bermusuhan. Tetapi dalam hal ini, kau bukan hanya bermusuhan dengan keduanya, tetapi kau malah ingin membunuhnya " "Itu urusanku!"
"Aku hanya bertanya ada apa, setelah itu aku akan melanjutkan perjalananku "
"Manusia sombong! Kau pikir kau dengan mudah menggertak ku dengan nama besarmu itu, hah?!"
"Aku hanya menginginkan satu kebenaran" sahut Madewa tetap dengan suara yang terdengar arif dan bijaksana.
"Sombong! Kebenaran itu akan kau dapatkan bila kau sudah mampus di tanganku! Awas serangan!" sehabis berkata begitu, si Bayangan Merah berkelebat menyerang, dengan pukulan lurus ke wajah.
Tetapi dengan mudahnya Madewa menghindari serangan itu. Hal ini membuat si Bayangan Merah semakin jengkel. Dia meningkatkan dan mempercepat lagi serangan-serangannya. Ganas dan berbahaya.
Tetapi lagi-lagi Madewa dapat menghindarinya dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
Karena merasa serangannya berkali-kali gagal, si Bayangan Merah bersalto ke belakang. Dengan membesarkan hati dia berkata mengejek.
"Hhh! Ternyata bisa mu hanya menghindar saja. Cepat perlihatkan seranganmu!"
Madewa tersenyum. "Bila itu maumu, baiklah!" katanya sambil membuka jurusnya Ular Mematuk Katak.
Dia pun bergerak dengan cepat. Si Bayangan Merah terkejut melihat serangan yang cukup cepat itu. Dia pun menghindar dengan sigap dan bergerak mencoba membalas.
Namun balasannya seolah tak menemui tempat yang baik. Karena tertutup oleh seranganserangan Madewa Gumilang.
Tiba-tiba Bayangan Merah bersalto kebelakang. Menurut dugaannya, dia dapat menghindar dari serangan-serangan Madewa. Tetapi dia terpekik kaget ketika Madewa terus memburunya. Kali ini Madewa mengejar dengan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Tangannya bergerak secepat gerakan ular.
Bayangan Merah yang telah membuat Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga menjadi bulanbulanannya, kini harus pontang panting menghindari serangan-serangan Madewa.
"Mengapa kau menjadi kocar-kacir begitu? Bukankah tadi kau meminta aku untuk membalas?!" kata Madewa tetap dengan suara yang arif dan bijaksana. Tidak terdengar sedikit pun kalau dia mengejek.
"Bangsat, Jubah Putih!" geram Bayangan Merah
"Tunggu pembalasanku!"
Tiba-tiba si Bayangan Merah bersalto dua kali ke belakang dan kemudian berkelebat cepat meninggalkan Madewa. Madewa tidak bermaksud mengejar.
Dia hanya terdiam di tempatnya. Tetapi pelan-pelan dia membuka ilmu pandangan Menembus Sukma. Dari jarak yang cukup jauh, Madewa dapat melihat si Bayangan Merah berlalu menuju kadipaten.
Lalu melompati tembok bagian belakang dan masuk ke dalam sebuah kamar. Di sana si Bayangan Merah membuka kedok wajahnya. Dan terlihatlah wajah Nyai Diah!
Madewa mendesah panjang. Wanita itu pernah dilihatnya saat pertandingan di depan Kadipaten. Wanita itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Berarti, dia wanita yang hebat. Apakah mungkin dia kaki tangan dari Broto?
Madewa menghentikan ilmu Pandangan Menembus Sukmanya yang dapat menembus gunung tinggi.
Dia berpaling pada Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga yang tengah menjura.
"Salam hormat dari kami, Pendekar Budiman" kata keduanya berbarengan,
Madewa tersenyum.
"Sudahlah, tak perlu menghormat seperti itu. Ki Ageng Tapa... kulihat kau sedang dalam keadaan sakit. Dan aku mencium bau amis dari kelabang" kata Madewa sambil berjalan mendekati Ki Ageng Tapa.
Dan seperti tersadar, Ki Ageng Tapa mengeluh kesakitan. Dia merasakan ada yang keluar dari tonjolan-tonjolan yang terdapat di sekujur tubuhnya. Mengeluarkan nanah yang bau amis.
"Benar, Saudara Pendekar" desis Ki Ageng Tapa kesakitan.
"Masuklah ke dalam gubuk! Kau nampaknya terkena Racun Kelabang Putih " Ki Ageng Tapa menurut. Lalu Madewa pun mengobatinya.
***
10
Sebenarnya Sekar Juwita sudah cukup lama curiga melihat gerak-gerik ibunya yang kadang begitu akrab dengan Broto. Semula Sekar Juwita memang menikmati menjadi istri dari Adipati. Tetapi lama kelamaan dia merasakan bahwa dia hanya menjadi boneka dari ibunya untuk mendesak adipati jika dia menginginkan sesuatu.
Semula pula Sekar Juwita tidak merasakan apa-apa dari desakan ibunya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi kasihan pada suaminya. Secara diam-diam dia telah jatuh cinta pada Adipati Wisnuwisesa.
Dia sangat menyesal karena mau menuruti perintah ibunya memasukkan obat penurut ke dalam gelas minuman Adipati.
Diliriknya suaminya yang sedang pulas. Malam telah larut.
"Oh, suamiku tercinta, maafkan aku "
desisnya pilu.
Dan tiba-tiba telinganya menangkap satu gerakan yang bergerak di luar kamarnya. Sekar Juwita menajamkan telinganya. Dan terdengar suara pintu belakang dibuka, lalu orang melangkah berjingkat. Sekar Juwita menjadi penasaran. Siapa orang itu? Hati-hati dia mengintip dari lubang kunci kamarnya.
Dia melihat Broto tengah mengetuk pintu kamar ibunya. Dan tak lama kemudian terlihat pintu terbuka dan muncul ibunya yang celingukan setelah Broto masuk. Lalu menutup pintu.
"Kecurigaan ku terbukti...." desah Sekar Juwita. "Aku tidak mau menjadi boneka ibu lagi, aku harus berontak dari semua ini... Harus!"
Dengan tekad yang bulat, Sekar Juwita keluar dari kamarnya. Dan mencuri dengar dari kamar ibunya. Keningnya pertama berkerut mendengar suara desah nafas seolah berlomba yang terdengar, tetapi lama kelamaan dia menggeram. Sedih. Karena ibunya ternyata hanya seorang pelacur belaka!
Menjadi pemuas nafsu Broto. Atau juga mencari kepuasan melalui Broto.
Sekar Juwita masuk lagi ke kamarnya. Setelah beberapa menit dia pun kembali mencuri dengar di kamar ibunya.
Dia menangkap suara ibunya, "Jalan satusatunya kita bunuh dulu Adipati Wisnuwisesa."
"Aku memang ingin mengusulkan begitu, Nyai. Kupikir, rencana kita sudah gagal. Karena Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga sudah mencium semuanya. Belum lagi dia dibantu oleh Pendekar Bayangan Sukma"
"Bagus, tapi aku tidak bisa membunuh Adipati sekarang, karena ada putri ku di sana. Tapi... ah, bukankah itu sesuatu yang mudah. Biar nanti ku peralat putri ku untuk membunuhnya "
Nyai Diah terpekik. Broto terkejut.
Karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka.
Lalu muncul Sekar Juwita dengan tatapan sedih, marah dan kecewa.
"Putri...." seru Nyai Diah berlagak tersenyum. Buru-buru dia merapikan pakaiannya. Ah, mengapa tadi dia lupa mengunci? Karena Broto sudah terlalu bernafsu tadi!
"Aku sudah mendengar semua kata-kata Ibu... Aku tidak mau ibu peralat lagi. Aku tidak mau, Bu... aku tidak mau mengkhianati suamiku lagi "
"Semula Sekar memang tidak mengerti apa maksud ibu semua ini. Tetapi lama kelamaan Sekar mengerti. Sekar dijadikan alat untuk memenuhi ambisi ibu "
"Sekar!" wajah Nyai Diah merah padam. "Sekar tidak mau melakukannya lagi, Bu "
kata Sekar Juwita menangis. "Apa maksudmu Sekar?"
"Ibu jangan berpura-pura lagi. Sekar sudah tahu semuanya. Ibu mau membunuh suami Sekar untuk merebut semua yang ada. Bukankah bila ibu sudah mendapatkan tampuk kekuasaan sebagai adipati di sini, adipati-adipati lain akan tunduk?"
"Kau sudah berani kurang ajar pada ibumu, Sekar!" "Ya, Sekar akan menentang semua perintah ibu sekarang!"
"Kurang ajaaaaar!" geram Nyai Diah sambil menggerakkan tangannya menampar wajah Sekar Juwita. "Kau kurang ajar sekali pada ibumu, Sekar!"
"Karena Sekar tidak suka dengan perbuatan Ibu. Maafkan Sekar, Bu "
"Anak tidak tahu diri!" Kembali tangan Nyai Diah melayang. Kali ini Sekar Juwita langsung pingsan.
Tiba-tiba terdengar suara dari are bang pintu, "Haha... mengapa anakmu sendiri yang kau siksa, Nyai Diah "
Nyai Diah menoleh ke suara itu. Nampaklah Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga sedang berdiri di ambang pintu. Dan saling lemparkan senyum mengejek.
"Kau?!"
"Hahaha... rupanya si Bayangan Merah tiga hari yang lalu telah berganti wujud!" ejek Roro Kenanga. Namun langsung menghindar karena tubuh Nyai Diah sudah berkelebat.
Begitu pula dengan Broto yang sudah menerjang Ki Ageng Tapa.
Karena bagi mereka, untuk menutupi diri sudah sia-sia belaka. Karena kedok mereka sudah diketahui. Maka keduanya langsung mengeluarkan pukulan Racun Kelabang Putih.
Seketika telapak tangan keduanya berubah putih. "Hahaha... mampuslah kalian berdua!!" desis Broto terbahak.
Seketika di ruangan itu terjadi pertempuran yang cukup sengit. Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga tidak berani bersentuhan atau pun berbenturan. Karena mereka tahu akibat apa bila sempat bersentuhan.
Dan itu memudahkan Nyai Diah dan Broto menyerang dengan hebat. Sehingga dalam tiga jurus saja keduanya sudah mampu mendesak Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga.
Beberapa orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut masuk dan melihat pertarungan itu.
"Para pengawal!" seru Broto. "Tangkap Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga! Karena mereka hendak memberontak pada Adipati Wisnuwisesa! Cepat!"
Karena yang memberi perintah atasan mereka, mereka pun langsung mengurung. Namun mendadak saja mereka merasakan ada angin besar yang mendorong mereka hingga semuanya bergulingan.
Dan berdirilah sosok berjubah putih dengan tersenyum arif dan bijaksana.
"Madewa Gumilang!" seru Nyai Diah seraya bersiap.
Begitu pula Broto.
Dan tanpa banyak lagi keduanya segera menyerang Madewa dengan cepat, tangkas dan berbahaya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa berhasil menghindari semua itu. Namun baginya sulit untuk membalas. Karena bila tangannya bersentuhan dengan bagian tubuh dari keduanya, secara otomatis Racun Kelabang Putih itu akan mengalir ke tubuhnya.
Madewa pun bergerak dengan cepat sambil berpikir. Namun sulit baginya untuk melepaskan pukulan atau pun balasan ke arah keduanya.
Sampai akhirnya dia memutuskan untuk melepaskan Pukulan Bayangan Sukma. Pukulan sakti yang hebat itu adalah pukulan andalannya. Tak seorang pun di dunia ini yang mampu menahan pukulan itu.
Pertimbangannya untuk melepaskan pukulan itu, karena kedua pukulan itu dilancarkan Nyai Diah dan Broto sangat mematikan. Dan bisa membahayakannya. Tak ada jalan lain.
Madewa pun bersiap.
Keduanya tangannya terangkum menjadi satu di dada. Lalu nampaklah asap putih mengepul dari sana.
Nyai Diah terkikik. "Hihihi... rupanya kau ingin mengadu tanganmu dengan tangan ku, Madewa! Bagus! Broto, kita sambut pukulan Madewa yang kayak asap tabunan itu!"
Madewa hanya tersenyum.
"Siapakah di antara kalian murid dari Eyang Arumtari?" tanyanya.
"Aku, Madewa! Kaulah yang telah merusak semua rencanaku! Kaulah yang mengetahui tentang pukulan Racun Kelabang Putih! Maka, kau harus mampus di tanganku!" "Tak ada jalan lain! Aku pun tak menyukai kejahatan yang telah kalian lakukan! Bila kalian hentikan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, maka akan aku lepaskan!"
"Bangsat! Kau pikir aku takut! Broto, kita hajar dia! Madewa... sambutlah pukulan Racun Kelabang Putih!" seru Nyai Diah.
Dan secara bersamaan dengan Broto keduanya melesat menerjang Madewa. Yang juga bergerak menyambut dengan Pukulan Bayangan Sukma di tangan.
Ketika kedua pukulan itu bertemu, terdengar suara letusan yang cukup keras, Langit-langit ruangan hancur. Berguguran.
Tembok-tembok pun bergerak. Betapa dahsyatnya. Betapa hebatnya.
Dan dari kepulan asap itu terlihat dua sosok tubuh terpental. Tubuh Nyai Diah dan Broto yang langsung ambruk dengan tubuh hancur.
Sementara Madewa hanya terhuyung beberapa tindak.
Melihat ibunya mati, Sekar Juwita menjerit, "Ibu...! Ibu!!" serunya seraya memburu. Tapi
kemudian dia jatuh pingsan.
Madewa Gumilang mendesah panjang.
Lalu berkata pada Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga.
"Kalian urus semuanya, selamat tinggal!" "Saudara Pendekar!"
"Tunggu"
Tetapi bayangan itu sudah tidak nampak. Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga mendesah panjang.
SELESAI
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 09 Racun Kelabang Putih"
Post a Comment