Serial Pendekar Bayangan Sukma: 08 Iblis Berbaju Hijau
08 Iblis Berbaju Hijau
Angin bertiup dingin. Udara agak mendung. Awanawan hitam berarak ke timur dihembus angin. Suasana tempat itu hening. Rumputrumput tinggi tak pernah dipotong, Menandakan tempat itu tak pernah didatangi crang.
Suasananya pun mencekam dan menakutkankan.
Tibatiba dari kejauhan samar terlihat sosok tubuh berlari dengan ringannya menuju tempat itu. Sosok itu mengenakan baju berwarna hijau yang berkibarkibar dimainkan angin.
Bila dipandang dari dekat, betapa tipisnya pakaian itu. Sehingga menampakkan lekuk tubuhnya bagian dalam. Sosok tubuh itu ramping. Dengan bentuk tubuh yang bagus. Wajahnya jelita.
Dengan sepasang mata yang bersinar cemerlang. Alis hitam bagai semut beriring. Dan hidung kecil yang bangir. Juga dihiasi oleh sepasang bibir kecil yang memerah bak buah delima.
Sosok itu berhenti berlari.
Diedarkannya pandangannya ke seluruh tempat itu. Keningnya berkerut melihat daerah yang begitu sunyi dan menyeramkan.
"Hmm... tempat apakah ini?" gumamnya dan membiarkan rambutnya yang terurai panjang dimainkan oleh angin nakal. Dan dari rambut itu menguar bau merang yang harum.
Sebenarnya siapakah sosok tubuh berbaju hijau itu? Dia bernama Puji Wening, seorang gadis dari desa Glagah Arum. Dia sampai di sini secara tidak sengaja. Karena menjelang senja, Puji Wening sering bermainmain mengisi waktu. Dia adalah seorang gadis manis yang manja dan lincah.
Tetapi di desanya dia dikenal sebagai gadis yang genit karena sering memamerkan bentuk lekuk tubuhnya dengan sengaja, selalu memakai pakaian tipis yang menerawang. Yang membuat setiap lakilaki yang memandangnya harus menelan ludahnya. Sedangkan bila yang melihat kaum wanita akan terlontar desisan karena iri melihat bentuk tubuh yang begitu sempurna.
Tibatiba pandangan Puji Wening terbentur pada sebuah batu nisan yang menyembul keluar. Hanya batu nisannya saja. Tanpt ada bentuk makamnya. "Hei, kuburan siapakah ini?" desisnya dalam hati. Lalu perlahanlahan dia mendekati batu nisan itu. "Hmm... siapakah yang dikuburkan di sini? Kalau begitu, dulu tempat ini berpenghuni dan penghuninya sudah meninggal."
Lalu dengan hatihati dibersihkannya batu nisan itu dari debu yang melekat dan cukup tebal. Samarsamar ada beberapa baris tulisan yang masih terbaca.
Puji Wening pun membaca tulisan itu.
“Barang siapa yang berjodoh dengan batu nisan ini, maka galilah!. Dan teruskanlah perjuanganku!
Malaikat Pedang Sakti”
"Hm... Malaikat Pedang Sakti? Siapakah dia?" gumam Puji Wening kembali. "Ataukah dia hidup pads ribuan tahun yang lampau? Dan merupakan salah seorang tokoh silat yang sangat sakti?" Dasar Fuji Wening gadis yang pemberani Dia menjadi penasaran. Maka digalilah batu nisan itu perlahanlahan. Cukup melelahkan pekerjaan Itu. Namun rasa penasarannya malah semakin besar dan cukup membuatnya bersemangat untuk menemukan jawaban yang ada dibaliknya. Setelah hampir dua meter dia menggali nampaklah sosok tubuh yang tergeletak di dasarnya seperti tertidur. Puji Wening sedikit menjadi takut. Dia tak menghiraukan keringatnya yang bercucuran keluar.
Dari rasa takutnya ini berubah menjadi kekaguman. Karena mayat itu masih utuh! Sangat luar biasa. Jasadnya hanya dikotori oleh tanah yang menutupinya. Rambutnya pun terurai panjang, kukukukunya pun memanjang. Bertanda sudah puluhan bahkan ratusan tahun dia terkubur di sini dengan jasad yang masih utuh.
"Tentunya dia orang yang sakti," gumam Puji Wening. "Lalu apa maksudnya dia menyuruh menggali makam ini?"
Puji Wening menjadi makin penasaran. Hatihati disentuhnya mayat itu. Dan hei... dagingnya pun tidak hancur. Malah masih kencang. dan hatihati pula dia membalikkan jasad itu. Dan nampaklah sebuah pedang yang bersarung emas tertindih jasad itu.
"Hei, ada sebuah pedang!". Lalu hatihati diambilnya pedang itu. Dan ditariknya keluar dari sarungnya. Seketika nampaklah cahaya keemasan memancar dari pedang itu. "Luar biasa! Bagus sekali pedang ini!" gumamnya.
Puji Wening lalu mencaricari lagi, barangkali saja masih ada benda atau apalah yang tidak terlihat olehnya. Maka dia pun mulai mencaricari lagi.
Tibatiba pandangannya tertuju pada sebuah benda yang mirip sebuah buku yang terletak agak terkubur oleh tanah. Lalu digalinya dan diambilnya. Setelah dibersihkan dari debu yan menempel, dia mulai membukanya. Ternyata buku itu berisi pelajaranpelajaran ilmu silat dan ilmu pedang. Rupanya itu kitab Pusaka Malaikat Pedang Sakti.
"Apakah ini sebuah kitab pusaka?" gumam Puji Wening tidak mengerti.
Dan tibatiba dia menggeram. Tatapannya menjadi liar. Perasaannya mendadak dihausi oleh sebuah kejahatan. Wajahnya menjadi sungguh menyeramkan.
Puji Wening sendiri heran, mengapa dia mendadak ingin membunuh. Dia tidak tahu kalau semua itu disebabkan oleh pengaruh pedang yang dipegangnya.
Konon ratusan tahun yang lalu, Malaikat Pedang Sakti adalah seorang tokoh hitam yan maha sakti. Dia telah malang melintang di dunia persilatan dengan membuat onar dan kejahatan. Dengan ilmu pedangnya yang tangguh, dia menjadi disegani oleh golongan hitam maupun putih. Oleh kawan maupun lawan. Tak seorangpun yang mampu mengalahkannya. Dan tak seorang pun yang dapat menahan serangannya. Hingga
merajalelalah dia membuat kejahatan.
Hingga suatu ketika datanglah seorang kakek yang berjuluk Dewa Pembawa Maut. Dialah yang menghentikan sepak terjang Malaikat Pedang Sakti hingga terluka parah dalam pertempuran sengit selama tujuh hari tujuh malam.
Akhirnya Malaikat Pedang Sakti tidak bisa bertahan lama, karena gempurangempuran Dewa Pembawa Maut sedemikian hebatnya. Lalu dia pun melarikan diri dalam keadaan terluka parah.
Di tempat persembunyiannya Malaikat Pedang Sakti merasa ajalnya sudah semakin dekat, karena lukanya demikian parahnya. Sebelum mampus, dia sempat menuliskan sebuah pesan dan menggali kuburan untuknya sendiri.
Pesan yang disampaikannya tertulis pada kitab sakti ciptaannya sendiri, agar yang berjodoh dengan kitab dan pedang sakti miliknya, harus meneruskan perjuangan kejahatannya sebagai tokoh hitam yang ditakuti oleh orangorang rimba persilatan.
Dan tanpa disengaja, senja ini, jodoh itu pun jatuh ke tangan Puji Wening. Seorang gadis yang manja, periang dan genit. Gadis yang tidak tahu akan buas, bahayanya ilmu silat jika dipakai untuk jalan kejahatan.
Tibatiba saja gadis itu mendadak terbahakhahak. Tawanya keras, Membedah seantero tempat. Dia benarbenar berada di luar sadarnya karena pengaruh aneh yang terpancar dari pedang sakti yang dipegangnya.
Dan perasaannya pun mendadak ingin membunuh orang!!
Masih terpengaruh oleh pedang itu, Puji Wening kembali menguburkan mayat yang masih utuh itu. Lalu mengambil Pedang Pusaka Malaikat Pedang Sakti berikut kitabnya, Puji Wening pun segera keluar dari tempat itu.
Dia mendadak ingin segera mempelajari dan menatapkan ilmu silat yang ada pada kitab itu.
Tanpa disadarinya kakinya terus melangkah memasuki tempat yang mirip lembah. Lembah itu hanya ditumbuhi oleh bungabunga berwarna merah. Dan seluruh lembah itu terdiri dari lautan pasir putih. Konon orangorang menyebutnya itu dengan nama Lembah Pasir Putih.
"Inilah tempat yang cocok untukku mempelajari kitab sakti ini dan meneruskan citacita Malaikat Pedang Sakti! Hei, Malaikat Pedang Sakti, saksikanlah, aku, Puji Wening akan segera meneruskan citacitamu sebagai tokoh kejahatan dari golongan hitam!!" Dan tersiarlah kabar hilangnya Puji
Wening gadis desa Glagah Arum.
Siang dan malam pencarian terus dilakukan oleh para penduduk. Namun bayangan gadis itu pun tidak nampak.
Sampai satu tahun hal itu berlangsung, namun Puji Wening tidak ditemukan pula.
Akhirnya kedua orang tuanya menyatakan gadis itu telah hilang entah ke mana. Bagai lenyap ditelan bumi.
Ayahnya Puji Wening, Baguspuro, berulangkali menenangkan istrinya yang semakin hari nampak semakin kurus, tua dan layu. Karena siang dan malam dia terus menangis hingga matanya membengkak memerah.
"Tenanglah, Bu... mungkin ini sudah nasib anak kita. Hilang entah ke mana..." "Puji...oh, Puji... sampai hati kau pergi meninggalkan ibu, Nak..." rintih istrinya yang terus menangis.
"Bu….Dewata tentunya tidak sembarangan memanggil umatNya untuk kembali padaNya..."
"Tapi Puji Wening anakku, Pak... anakku..Huhuhu..Puji Wening.." dan menangislah wanita yang sangat sedih karena kehilangan putrinya tercinta.
***
2
Malam mulai menjelang.
Di hutan menuju ke desa Glagah Arum nampak dua ekor kuda berjalan perlahan. Penunggangnya seorang pemuda berwajah tampan. Dan seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang berwajah cantik. Mereka adalah Pranata Kumala dan Ambarwati yang sedang meneruskan petualangan mereka. Keduanya adalah sepasang suami istri yang mempunyai kepandaian bersilat cukup tinggi.
Pranata Kumala adalah Putera Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya Ratih Ningrum. Sedangkan Ambarwati adalah menantu keduanya, putri dari Jedangmoro, tokoh perampok di desa Pacitan yang tewas di tangan Pranata Kumala atau suaminya sendiri (Baca: Pendekar Kedok Putih).
"Kakang..." terdengar suara Ambarwati. "Aku sudah cukup lelah, Kakang..."
"Rayi Ambar.... bertahanlah sejenak. Kita sedang menuju desa Glagah Arum. Barangkali saja di sana ada penginapan yang cukup layak..." kata Pranata Kumala sambil menghentikan jalan kudanya.
Ditatapnya istrinya yang nampak letih dan mengantuk.
"Aku sudah tidak kuat lagi, Kakang... Biarlah kita tidur dan menginap di sini.. Menurut perkiraanku, desa Glagah Arum masih jauh dari sini.." Pranata Kumala pun mengiyakan saja usul istrinya. Karena dia pun sebenarnya
sudah cukup letih dan mengantuk. "Baiklah Rayi Ambar... kita
bermalam di sini...'
Namun baru saja keduanya turun dari kuda mereka, mendadak sebatang tombak melesat ke arah keduanya. Serentak keduanya bersalto.
"Heiit!!" Lalu keduanya bersiaga dengan mata waspada.
Mendadak di hadapan mereka muncul seorang wanita yang berparas cukup cantik. Dia mengenakan baju berwarna kuning yang tembus pandang.
"Hihihi... rupanya sepasang mudamudi sedang asyik berpacaran di tempat yang gelap ini..." sosok itu terkikik dengan senyum yang cukup mengundang.
Ambarwati yang tadinya mengantuk membentak jengkel karena diserang secara gelap, "Hei, siapakah kau? Mengapa membokong kami secara pengecut?!"
Sosok berbaju kuning itu terkikik kembali.
"Hihihi... rupanya kau galak juga, ya? Kalian di malam ini tengah berkenalan dengan Roro Dewi. Bagus bukan namaku? Kalian tentu senang mendengarnya."
"Roro Dewi, dengan maksud apa kau menyerang kami, hah?!" seru Ambarwati lagi.
"Tentunya sengaja itu kulakukan. Aku ingin tahu, siapakah kalian? Bila kulihat pedang yang tersampir di punggungmu, agaknya kalian bukan orang sembarangan. Nah, katakan siapa kalian sebelum kucabut nyawa kalian!!" "Sombong!" seru Ambarwati makin jengkel. "Namaku Ambarwati. Dan ini suamiku, Pranata Kumala!"
"Hihihi... suamimu rupanya. Kau beruntung sekali mendapatkan suami yang tampan, Ambar..." kata Roro Dewi sambil mengerling pada Pranata Kumala.
Pranata mendesah.
Sementara mendadak saja Ambarwati diserang rasa cemburu. Dia membentak lagi.
"Perempuan cabul! Cepat kau pergi dari sini, sebelum aku marah!"
"Marah? Hihihi... aku memang sengaja ingin melihat kau marah! Kau bisa apa hingga berani membentakku seperti itu... hihihi..."
"Perempuan celaka! Awas serangan!!" mendesis Ambarwati dengan marah dan meloncat menyerang dengan hebat.
Sebuah pukulan terarah ke wajah Roro Dewi. Tetapi wanita berbaju kuning itu cuma terkikik dan menarik kepalanya seraya menggeser kakinya ke kiri.
Lalu tangan kanannya bergerak memukul perut Ambarwati. Ambarwati cepat menarik sikunya, untuk menangkis pukulan itu. Lalu menyusul sebuah tendangan kaki kanannya. Jarak yang begitu dekat tidak memungkinkan bagi Roro Dewi untuk menangkis, lalu dengan satu sentakan manis dia bersalto ke belakang.
"Hebat. Tangkas. Dan cepat!" pujinya.
"Nah, bila kau sudah tahu itu, mengapa kau mengapa menyembah dan meminta maaf padaku, hah?!"
"Tidak semudah itu, Ambar. Kita pun baru bergebrak sekali. Mari kita lanjutkan!"
"Perempuan sombong! Jangan salahkan aku bila kau celaka nanti!"
"Kita lihat saja, kau atau aku yang akan celaka! Bahkan akan mampus berkalang tanah!!"
Lalu Roro Dewi pun segera memapaki seranganserangan Ambarwati. Kedua wanita itu pun segera mengeluarkan segenap kemampuan mereka. Bahkan pada jurus kesebelas, Ambarwati sudah meloloskan pedangnya.
"Tahan pedangku ini!!"
"Hihihi... rupanya kau jeri untuk menghadapiku dengan tangan kosong, sehingga harus mengeluarkan pedang segala!" seru Roro Dewi masih tetap terkikik. "Tapi tidak apa, aku pun sudah ingin menuntaskan pertempuran ini! Ayo, bersiaplah! Keluarkanlah semua kemampuanmu, Ambar!"
Ambarwati pun menyerang dengan tebasantebasan pedangnya yang hebat. Keras. Tangguh dan cepat. Begitu pula dengan Roro Dewi yang berkelit bagaikan seekor walet menghindari sergapan burung elang.
"Hihihi... cuma begitu saja kemampuanmu, Ambar... Sudah hampir sepuluh jurus kau menggerakkan pedangmu, namun tak satu pun yang mengenaiku..." Tibatiba Pranata Kumala menggebrak maju. Menerobos pertempuran antara kedua
wanita itu.
"Plak!"
"Plak!"
Tangan kanan dan kirinya bergerak cepat, memisahkan keduanya.
"Tahan!!" serunya.
Kedua wanita itu bergulingan.
Ambarwati menjadi jengkel karena suaminya memisahkannya.
Sedangkan Roro Dewi terkikik. Pranata menatapnya, "Roro Dewi...
sebenarnya mengapa kau menyerang kami. Kita tidak saling kenal, pun tidak punya silang sengketa."
"Apakah perlu kujelaskan lagi, bila yang kuinginkan adalah nyawa kalian?" "Tentunya tidak sembarangan kau hendak mencabut nyawa kami."
"Tentu."
"Lalu kenapa?"
"Karena kalian hendak memasuki desa Glagah Arum. Di mana desa itu sudah kami kuasai."
"Apa maksudmu dengan kami kuasai?" "Sudahlah! Yang pasti keinginanku cuma satu, kalian harus mampus di
tanganku!"
Lalu Roro Dewi bersiap. Kali ini sasarannya adalah Pranata Kumala. Pranata Kumala sendiri menjadi siaga, demi dilihatnya tangan Roro Dewi yang terangkum menjadi satu di tangannya mengeluarkan asap berwarna hitam.
"Nah, kalian lihat! Ini adalah pukulan Kembang Beracun milikku yang sangat hebat! Kalian bisa menemui ajal bila terkena pukulan ini dan racun yang terdapat di pukulan ini akan menggerogoti tubuh kalian, hingga kalian menderita kesakitan yang teramat sangat sebelum maut menjelang. Nah, bersiaplah untuk menyambut seranganku!"
Pranata Kumala pun segera menyiapkan jurus Tangan Bayangannya. Begitu Roro Dewi maju menyerang, dia pun mencoba memapakinya. Namun sampai sejauh itu dia tidak berani untuk bersentuhan dengan tangan Roro Dewi yang tentunya mengandung racun yang teramat laknat.
Dengan memadukan jurusnya dengan jurus menghindarnya, jurus Kijang Kumala, Pranata berusaha mendesak Roro Dewi. Namun karena dia kuatir untuk bersentuhan sulit baginya untuk terus mendesak.
Hal itu membuat Roro Dewi tertawa. "Mengapa kau takut untuk bersentuhan denganku, Pranata? Bukankah kulitku sungguh halus?"
Pranata masih berusaha untuk mencari tempat yang kosong untuk masuk menyerang. Namun pertahanan Roro Dewi begitu rapat, sulit untuk ditembus.
"Hihihi... mengapa kau hanya bisa menghindar saja, Pranata? Mana seranganmu? Ah, lebih baik kau menjadi teman tidurku saja, Pranata... bukankah tubuhku masih seksi dan montok. Kau tak akan pernah melupakan aku bila sudah tidur denganku dalam suatu kehangatan yang panjang, Pranata..."
Mendengar katakata yang cabul yang dikeluarkan oleh Roro Dewi, membuat wajah Ambarwati memerah mendengarnya. Cemburunya mendadak muncul.
Dan dia menjadi marah. Kembali dia bergerak menyerang. "Heit! Kau rupanya! Hihihi...
betapa setianya kau pada suamimu, Ambar..." kikik Roro Dewi sambil menghindari sabetan pedang Ambarwati. Lalu masuk menyerang dengan pukulan Kembang Beracunnya.
Ambarwati buruburu bersalto menghindar.
Namun Roro Dewi terus mencecarnya. Sebisanya Ambarwati menghindari serangan itu, hingga nampak baginya tak mungkin lagi untuk bisa mengelak.
"Mampuslah kau!!" bentak Roro Dewi sambil mengirimkan satu pukulannya.
Tibatiba dia urung dan menarik kembali tangannya, ketika selarik sinar merah melesat ke arahnya.
Cepat dia bersalto.
"Heit! Rupanya kau hanya pandai membokong saja, Pranata!" makinya.
"Tak ada pilihan lain untuk menyelamatkan istriku, Roro Dewi!"
"Kau telah berbuat kesalahan! Berani membokong Roro Dewi! Itu berarti maut untukmu!" wajah yang cantik dap suara yang tadi terdengar merdu, berubah menjadi tajam dan bengis. Tatapan matanya sekarang memancarkan sinar pembunuhan. Dan itu akan dilakukan oleh Roro Dewi.
Sebenarnya siapakah Roro Dewi itu? Dia tak lain anak buah dari Puji Wening. Setelah mempelajari dan menamatkan kitab sakti ilmu pedang itu, Puji Wening kini menjadi sosok yang tangguh dan hebat.
Kini dia benarbenar sudah berada di bawah pengaruh aneh yang terpancar dari pedang Malaikat Sakti itu. Dan tanpa disadarinya, naluri membunuhnya pun berjalan.
Dan dia pun mulai memasuki desadesa.
Membuat onar di sana. Dan membunuhi siapa saja tanpa sebab.
Sepak terjangnya sangat sadis dan tak berperikemanusiaan. Lalu dia berjumpa dengan Roro Dewi, perempuan cabul dari golongan hitam pula.
Keduanya pun terlibat dalam suatu perkelahian yang seru. Namun Roro Dewi terdesak dan berhasil dikalahkan oleh Puji Wening.
Puji Wening yang merasa sudah sepatutnya memiliki anak buah, menyuruh Roro Dewi menjadi anak buahnya. Bila tidak mau, maka dia akan dibunuh. Tentu saja Roro Dewi mau, karena diapun merupakan tokoh dari golongan hitam.
Setelah itu, Puji Wening pun terus membuat teror dan menaklukkan tokohtokoh golongan hitam lainnya. Sampai saat ini, dia memiliki tujuh orang anak buah termasuk Roro Dewi.
Sepak terjangnya yang ganas dan mematikan, membuat namanya cepat terkenal. lalu diapun dijuluki orang dengan nama Iblis Berbaju hijau! Karena sepak terjangnya yang tak mengenal ampun, mirip iblis. Sedangkan dia tetap mengenakan baju berwarna hijau!
Sementara Roro Dewi tengah bersiap kembali untuk menyerang Pranata Kumala. Pranata pun bersiap, begitu pula dengan istrinya.
Tibatiba terdengar suara bentakan Roro Dewi, "Tahan serangan!!"
Serangan itu ditujukan kepada Pranata Kumala yang dengan sigap bersiap untuk menyambut. Namun mendadak saja tubuh Roro Dewi berbalik, bersalto dan menyerang Ambarwati.
Ambarwati menjadi kaget. Sebisanya dia menangkis. Namun kalah cepat, karena serangan Roro Dewi sudah masuk mengenai sasarannya.
"Des!"
Pukulan Kembang Beracun itu mengenai dada Ambarwati hingga dia terhuyung ke belakang dan muntah darah. "Rayi Ambar!!" pekik Pranata Kumala
sambil memburu.
Dilihatnya tubuh istrinya menggigil dan membiru.
"Hihihi... dalam waktu sepuluh hari... tubuh istrimu akan mati dengan cara yang mengerikan..."
Tibatiba Pranata Kumala berbalik. Menatap Roro Dewi dengan tatapan membara.
"Bangsat! Kau harus menerima balasan dari semua yang kau lakukan ini!" bentaknya seraya menyerang.
Namun Pranata pun tidak mau untuk bersentuhan dengan tangan Roro Dewi. Makanya dia bergerak dengan hatihati. Lalu dengan satu gerakan menipu, dengan cara berpurapura menyerang, sambil bersalto Pranata melepaskan
pukulan sinar merahnya.
Yang tanpa ampun lagi menghantam rubuh Roro Dewi. Terdengarlah jeritannya yang keras. Lalu tubuh itu pun ambruk dengan tubuh yang separuh hangus dan nyawanya lepas dari jasadnya.
Pranata Kumala menghampiri istrinya yang dalam keadaan kesakitan.
"Tenang Rayi... tenang..." Lalu dia menotok jalan darah menuju ke jantung, agar racun yang memasuki tubuh istrinya tidak cepat mengalir. "Besok... aku akan segera mencari tabib di desa Glagah Arum... Tenang, Rayi... tenang. "
Ketika keesokan paginya Pranata hendak meninggalkan istrinya, istrinya menahan. Memintanya agar pergi saat senjakala.
Wajah Ambarwati sangat pucat. Dan membiru. Bibirnya nampak mengigil.
Racun yang berasal dari pukulan Roro Dewi itu perlahanlahan mulai menjalar. Kerja racun itu demikian cepatnya sehingga Ambarwati nampak sangat kesakitan.
Pranata menjadi pilu.
"Kakang..." terdengar desisan istrinya sambil memegang lenganpya.
Pranata balas memegang lengan yang halus kini nampak lemah.
"Iya, Rayi. "
"Sakit sekali, Kakang. " "Tenanglah, Rayi... sebentar lagi senja datang. Biar aku pergi ke desa Glagah Arum untuk mencari seorang tabib."
"Aku takut sendiri di sini, Kakang...'
"Aku hanya sebentar, Rayi. Nanti juga kembali dengan seorang tabib..." kata Pranata membujuk istrinya yang nampak berusaha tersenyum.
"Aku takut, Kakang..." desis Ambar wati. Biasanya dalam keadaan tidak sakit begini, Ambarwati adalah seorang wanita yang gagah berani. Namun dalam keadaan tubuh terkena racun, nampaklah kodrat aslinya sebagai seorang wanita, yang lemah dan gemulai.
"Tenanglah, Rayi... tenanglah... Kau adalah seorang wanita yang tegar, Rayi... Tampakkanlah ketegaranmu meskipun kau sedang dalam keadaan sakit sekali pun..." kata Pranata Kumala sambil menghibur istrinya.
Saat ini dia membawa ke sebuah tempat yang cukup terlindung dan aman dari penglihatan mata manusia. Begitu pula dengan hewanhewan yang berada di sekitar hutan ini.
Ambarwati mencoba tersenyum. "Iya, Kakang..." "Nah, ayo, tunjukkanlah Ambarwati yang tegar, berani dan gagah..."
Lagi Ambarwati tersenyum. "Kau sungguh baik, Kakang..." Pranata balas tersenyum.
"Karena aku mencintaimu, Rayi Ambar..."
"Begitu pula dengan aku, Kakang..” "Nah, sekarang tenanglah kau di sini. Senja sudah datang. Aku harus segera pergi ke desa Glagah Arum untuk mencari seorang tabib,.. Kau berani sendiri di sini, bukan?" tersenyum
Pranata Kumala.
Dan perlahanlahan kepala istrinya mengangguk.
Lalu Pranata mengecup kening istrinya. Dan keluar untuk segera menuju ke desa Glagah Arum.
Ketika dia memasuki desa itu, keheranannya mulai nampak. Matanya memandang berkeliling. Memandangi rumahrumah penduduk yang nampak terkunci rapat. Dan tak seorang pun yang kelihatan masih berkeliaran.
Juga anakanak yang biasanya bermain dengan riang di bawah matahari senja. Aneh, padahal hari baru memasuki senja. Belum lagi malam. Penuh keheranan Pranata berkata dalam hati.
"Aneh, mengapa tak nampak seorang penduduk pun yang berkeliaran di luar rumah. Hmm... menurut kabar, desa Glagah Arum adalah desa yang subur dan makmur yang terletak di sebelah Utara pegunungan Dieng. Namun rupanya hanya kabar bohong belaka. Desa ini begitu sunyi dan mati..."
Pranata melangkah lagi. Untuk sejenak dia melupakan istrinya yang dalam keadaan sakit. Keheranannya semakin bertambah besar ketika dia bertemu dengan seorang kakek, ketika dia hendak menyapa, kakek itu malah berbalik melarikan diri. Di wajahnya tersirat ketakutan.
"Aneh! Apa gerangan yang telah terjadi di sini?" gumam Pranata semakin bertambah heran.
Tetapi begitu ingat keadaan istrinya yang sedang sakit, Pranata mengetuk pintu sebuah rumah. Dia harus mencari tabib, untuk mengobati istrinya.
"Tok! Tok! Tok!"
Tak ada sahutan. Pranata mengetuk lagi. Setelah cukup lama menunggu, barulah terdengar suara bernada ragu dan geram dari dalam,
"Siapa?"
"Saya, Paman." "Saya siapa?"
"Nama saya Pranata Kumala, Paman. saya butuh pertolongan."
"Pertolongan apa?"
"Istri saya sakit keras. Saya membutuhkan obat dan tabib."
Tibatiba suara tadi berubah menggeram. "Hhhh! Manusia laknat! Janganlah kau mencoba menipu aku, hah?!" "Saya tidak mengerti maksud,
Paman."
"Manusia dajal! Apalagi yang hendak kau peras dan kau ambil dari kami, penduduk desa Glagah Arum?"
"Paman salah paham rupanya. Bukalah pintu terlebih dahulu, baru kita bicara."
"Dan kau akan segera membunuhku dan menculik anak gadisku, bukan?!"
"Jangan salah sangka, Paman, saya datang membutuhkan pertolongan. Bila terlambat sedikit saja, nyawa istri saya tak akan bisa diselamatkan, Paman..."
Lama tak terdengar sahutan. Baru kemudian, "Hmm... baiklah. Hanya pada Gusti Allah kami minta pertolongan, meskipun hari ini nyawa kami sekeluarga harus mampus di tanganmu!!"
Perlahanlahan pintu rumah itu terbuka. Dan muncul sosok tubuh sambil membawa parang besar. Pranata mencoba tersenyum pada lakilaki yang bernama Danusewu itu.
"Maafkan saya, Paman... kalau saya sudah mengganggu Paman dan mengejutkan Paman..."
"Hmmm... Anak muda, katakan cepat apa maksud kedatanganmu?"
"Saya butuh pertolongan Paman. Istri saya sedang sakit. Dimanakah kiranya saya bisa mencari soerang tabib?"
"Sakit apa temanmu?"
"Dia terkena pukulan beracun, Paman."
"Di mana dia berada sekarang?" "Cukup jauh dari desa ini. Paman
bisa memberitahu di mana saya bisa mencari seorang tabib?"
Danusewu terdiam. Matanya nyalang memperhatikan Pranata Kumala. Parang besarnya siap untuk mengayun bila dia melihat sedikit saja gerakan mencurigakan.
Tapi lambat laun dia nampak yakin dengan pemuda ini. Walaupun baru pertama bertemu, perlahanlahan kecurigaannya mencair. Dia pun tak punya alasan lagi untuk mencurigai pemuda itu.
"Hmm... Anak muda, aku adalah seorang tabib," ujarnya kemudian.
Wajah Pranata Kumala menjadi gembira. "Benarkah, Paman? Maukah Paman menolong istriku dari maut?"
Danusewu terdiam lagi sesaat. Lalu katanya, "Baiklah... mari kita segera berangkat."
Dari dalam muncul seorang gadis yang berparas cantik. Dia segera memeluk lengan Danusewu. Rupanya dia sudah mendengar percakapan antara ayahnya dengan tamu ayahnya.
"Bapa... mau ke mana?" tanya gadis
itu.
"Oh, kau Wiranti, anakku," desis
Danusewu. “Ada sebuah urusan yang harus Bapa selesaikan..."
Wajah Wirantai seketika kelihatan ketakutan. "Ranti ikut Bapa... Ranti takut di rumah sendiri... Bolehkan Bapa?"
Danusewu berpaling lagi pada Pranata Kumala. "Bagaimana, anak muda?" "O, tidak apaapa, Paman," kata Pranata Kumala sambil melirik Wiranti. Yang dilirik tersipu. Ah, sayang.... pemuda itu sudah beristri. Kalau belum, betapa senangnya mendapat lirikan yang penuh pandangan kagum padanya.
"Baiklah, Ranti. Mari kita bersiap."
Lima belas menit kemudian, dua ekor kuda meninggalkan rumah Danusewu. Yang seekor ditunggangi oleh Danusewu dan putrinya. Yang seekor lagi ditunggangi oleh Pranata Kumala.
Jalan desa sepi.
Suasana masih nampak henign dan mencekam.
Pranata masih bertanyatanya, ada ke jadian apa yang telah menimpa desa Glagah Arum bingga jadi bagaikan mati belaka.
Tibatiba Pranata teringat akan ucapan Roro Dewi, yang mengatakan desa itu telah menjadi kekuasaannnya. Tapi kekuasaan siapa kini karena Roro Dewi sudah mati di tangannya?
Karena menunggang kudanya tidak seperti saat Pranata menuju desa Glagah Arum, mereka baru tiba di tempat persembunyian Ambarwati setelah memakan waktu hampir dua jam lamanya.
Mereka langsung menemui Ambarwati yang terbaring dengan wajah pucat. Begitu meelihat suaminya muncul bersama dua orang itu, wajah Ambarwati yang tadinya tersirat ketakutan dan kesunyian berubah menjadi sedikit berseri. Namun kepucatannya tak berkurang sedikit pun.
"Kakang..."
"Rayi Ambar... aku datang dengan seorang tabib," kata Pranata Kumala sambil membelai lembut rambut istrinya yang merasa aman sekali.
"Kakang... sakit sekali, Kakang...' "Tahan sebentar, Rayi," kata Pranata Kumala. Lalu berpaling pada Danusewu yang tengah memperhatikan Ambarwati. "Paman Danusewu... silahkan Paman mengobati istri saya... Tolonglah Paman, tolonglah ringankan rasa
sakitnya..."
Danusewu pun segera memeriksa keadaan Ambarwati. Berkalikali Keningnya kadang berkerut. Kadang dia terdiam. Lalu dirabanya pergelangan tangan kanan Ambarwati. Terasa denyut nadinya yang lemah. Setelah cukup lama memeriksa, terdengar desahan nafasnya panjang.
"Hm... apakah kalian pernah terlibat dalam suatu perkelahian?"
"Benar, Paman." "Istrimu terkena pukulan Kembang Beracun, Pranata."
"Entahlah, Paman... jenis pukulan apa yang mengenainya. Tetapi dalam perkelahian itu, dia memang kena pukul oleh tangan Roro Dewi..."
"Roro Dewi?"
"Benar, Paman. Dan sekarang wanita itu telah tewas di tangan saya."
Mata Danusewu sedikit bersinar. "Dari hasil pemeriksaanku, dia terkena pukulan Kembang Beracun. Konon pukulan itu sangat mematikan sekali, Untung belum terlalu parah dan mengenai jantungnya. Untung pula kau telah menotok beberapa jalan darahnya untuk menghambat aliran racun ke jantungnya." "Apakah dia bisa diobati, Paman?" "Pranata... luka semacam ini hanya bisa
diobati oleh Kembang Pasir Putih..." "Oh! Di manakah kembang itu bisa
kudapatkan, Paman?"
"Tempatnya cukup jauh dari sini. Mama tempat itu Lembah Pasir Putih. Hanya di tempat itulah kembang Pasir Putih didapatkan."
"Di mana tempat itu, Paman?" "Lembah Pasir Putih sangat jauh dari
sini. Tempatnya pun amat menyeramkan." "Katakan Paman, biar bagaimana pun seram dan susahnya lembah itu, aku akan tetap ke sana demi nyawa istriku..."
Pranata melihat Danusewu memberi isyarat padanya agar dia mengikutinya keluar. Pranata pun bangkit mengikuti Danusewu yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Sementara Wiranti bersimpuh menjaga dan mengelapi keringat yang mengalir di sekujur dan wajah Ambarwati. Wiranti menjadi tersentuh hatinya melihat rasa sakit yang diderita Ambarwati.
Dia sedikitnya dapat merasakan rasa sakit itu. Hatinya menjadi iba.
Sedangkan Ambarwati merasakan ada teman yang mau dibagi rasa sakitnya selain suaminya. Suaminya begitu baik merawat dan menjaganya.
"Siapa namamu, Dik?" tanyanya. "Saya Wiranti, Mbakyu," sahut
Wiranti sambil tersenyum. Lalu melanjutkan, "Saya putri tunggal dari Danusewu..."
Sementara di luar, Danusewu sedang berkata pada Pranata Kumala, "Anak muda... nyalimu sungguh besar dan kau begitu tabah hingga rela berbuat apa saja untukistrimu, Istrimu sangat beruntung mempunyai seorang suami seperti kau..." "Apa maksudmu, Paman? Aku tidak mengerti.."
"Ketahuilah anak muda... Lembah Pa sir Putih kini diduduki oleh orangorang jahat dari golongan hitam. Kau takkan mudah mendapatkan kembang itu begitu saja..."
"Saya akan tetap ke sana, Paman”.
Danusewu mendesah. Menatap Pranata.
Lalu katanya, "Anak muda... tentunya kau heran, mengapa desa kami, desa Glagah Arum yang subur dan permai, kini bagai desa mati belaka?"
"Benar, Paman..."
"Juga mengapa sambutanku seperti tadi dan tidak bersahabat, bukan?"
"Benar, Paman... sebenarnya apakah yang telah terjadi?" tanya Pranata.
"Ini semua akibat teror dari orangorang golongan hitam yang mendiami Lembah Pasir Putih. Semula selama beberapa bulan terakhir ini desa kami akur, aman dan tentram. Tak ada serangan dari mana pun juga. Hanya ada satu kejadian yang menimpa keluarga Baguspuro..."
"Kenapa, Paman?"
"Putri tunggalnya yang bernama Puji Wening hampir dua tahun ini hilang entah kemana. Tidak diketahui rimbanya. Andaikata dia sudah mati mayatnya pasti ditemukan. Namun mayatnya pun tidak ditemukan..."
"Lalu, Paman?"
"Hingga kami pun melupakan tentang gadis itu dan menganggapnya telah mati. Dan mengenai desa kami, mendadak saja datang serombongan orangorang ganas menyerbu desa kami. Mereka sangat kejam. Mereka membunuhi siapa saja yang membangkang dan mencoba melawan mereka. Mereka pun menculik anakanak gadis kami. Itulah sebabnya desa kami bagaikan mati karena tak ada satu orang penduduk pun yang berani keluar bila senja mulai datang... Itu disebabkan oleh teror orangorang Lembah Pasir Putih.
Mengenai wanita yang tewas di tanganmu, yang bernama Roro Dewi... adalah salah satu darii gerombolan orang jahat itu. Saya bersyukur karena kau berhasil menumpas salah seorang dari mereka..."
"Berapakah jumlah mereka, Paman?" "Enam orang. Terdiri dari lakilaki
berwajah kasar dan menyeramkan..." "Tahukah Paman siapa pemimpin
mereka?"
"Sejauh itu aku belum pernah melihat dan mengenalnya. Hanya saja mereka mengatakan... pimpinan mereka bergelar Iblis Berbaju Hijau..."
"Ya, dialah yang menyuruh dan menaklukkan orangorang jahat itu sehingga menurut padanya.'
Pranata terdiam.
"Ada apa, Anak muda?"
"Paman... saya pernah mendengar teror yang dilancarkan oleh Iblis Berbaju Hijau. Dia seorang wanita yang teramat sadis. Tetapi sampai sejauh itu saya pun belum pernah mengenalnya.
Agaknya dia adalah golongan orangorang jahat yang sangat sadis dan kejam".
"Nah, merekalah yang mendiami Lembah Pasir Putih, anak muda..."
Kali Pranata tercenung. Kembang Pasir Putih adalah satusatunya obat yang bisa menyembuhkan istrinya dari racun pukulan Kembang Beracun. Dan orangorang jahat itu berdiam di sana. Sudah tentu mereka tak akan membiarkan saja ada orang lain memasuki daerah kekuasaan mereka. Apalagi untuk mengambil Kembang Pasir Putih.
Danusewu dapat menduga kekuatiran yang dialami Pranata. Lalu hatihati dia berkata," Kau menghadapi satu persoalan yang teramat besar. Pesanku, berhatihatilah menghadapi orangorang Lembah Pasar Putih. Aku menjadi kuatir dalam hal ini..."
"Tenanglah, Paman... terima kasih atas kekuatiranmu padaku. Tapi biar bagaimana pun susahnya, kau akan segera ke sana untuk mengambil Kembang Pasir Putih. Demi istriku tercinta. Dan sebaiknya, kau tinggalnya bersama istriku di sini. Ajak pula putrimu serta. Sepertinya tempat ini cukup aman dari gangguan orangorang ganas itu..."
Danusewu cuma mengangguk. Angin berhembus dingin.
Malam telah menjelang.
"Kapan kau akan berangkat, Anak mu da?"
"Besok, pagipagi sekali, Paman..."
***
4
Desa Glagah Arum malam hari. Suasana sunyi senyap. Desa itu benarbenar seakan mati. Seakan tak ada tandatanda kehidupan. Teror yang dilancarkan orang Lembah Pasir Putih begitu mencekam. Rasanya siap mengantar mereka ke akhirat.
Malam kini pula kepala desa itu, Kenconowari, tengah berdiam diri di rumahnya. Dia tak bisa berbuat banyak untuk menghadapi orangorang Lembah Pasir Putih. Rasarasanya, Kenconowari pernah mendengar nama seorang pendekar agung yang baik budi, yang bernama Madewa Gumilang. Ingin rasanya Kenconowari mencari manusia sakti itu menolong desanya dari gangguan orangorang Lembah Pasir Putih.
Namun di mana dia harus mencari ma nusia sakti itu, sedang kan tempatnya saja dia tidak tahu. Kenconowari hanya bisa berdoa memohon pertolongan Gusti Allah.
Belum lagi dia menuntaskan keinginannya, tibatiba di luar rumah terdengar derap langkah kuda memasuki desa Glagah Arum.
"Orangorang itu datang lagi, Gusti Allah. Oh tolonglah kami dari cengkraman yang menakutkan ini..."
Dari luar terdengar bentakan, "Hei, orangorang Glagah Arum! Cepat ke luar! Atau... kami bakar desar ini?!"
Tak ada yang keluar. Tak ada yang berani keluar. Di rumah masingmasing, para penduduk dicekam ketakutan yang sangat luar biasa.
"Bangsat!Cepat kalian keluar!!" Tetap tak ada yang beranjak.
Kenconowari yang hendak keluar ditahan oleh istrinya.
"Jangan, Kakang... jangan.." "Tidak apaapa istriku. Sebagai
kepala desa... aku harus berani menghadapi semuanya... kau mengerti istriku?"
"Tidak, jangan , Kakang..
Jangan..."
Kepala desa Kenconowari menjadi serba salah. Terdengar lagi bentakan di luas dengan keras. Dan ancaman yang mengerikan.
"Cepat keluar! Kalian lihat ke sini, api telah berkobar di obor yang kami pegang! Cepat!!"
Kenconowari menatap kembali istrinya. "Rayi Sidah... izinkanlah aku keluar... aku harus bicara dengan mereka. Bila tidak, habislah riwayat desa kita ini..."
"Kakang..." suara istrinya cemas, matanya memohon. Membuat Kenconowari menjadi tidak tega. Tetapi dia mau tak mau harus keluar. Harus menemui orangorang itu, sebelum teror yang dilancarkan mereka terjadi lagi seperti beberapa hari yang lalu.
Itu sungguh mengerikan.
Orangorang itu tak segansegan membunuh. Bahkan mencincang orang yang berani membangkangnya. Atau juga memperkosa beberapa anak gadis sekaligus di hadapan orangorang desa yang hanya bisa menyaksikan dengan hati pilu tanpa bisa berbuat apaapa sementara anak gadis yang diperkosa merintihrintih kesakitan.
Dan Kenconowari tak mau hal ini berulang kembali.
Lalu dia berkata lagi pada istrinya, "Kumohon, Rayi... kumohon sekali..."
Akhirnya dengan perasaan yang berat istrinya pun mengizinkan suaminya ke luar menemui orangorang berkuda itu.
Setelah berdoa sekali lagi, Kenconowari pun bersiap.. Setelah melihat wajah istrinya yang makin cemas, Kenconowari tersenyum.
"Tenanglah, Rayi Sidah. Tak akan terjadi apaapa atas diriku.." kata Kenconowari sambil tetap tersenyum. Terlihat istrinya pun tersenyum walau sangat dipaksakan.
"Hatihati, Kakang..." "Baik, Rayi..."
Dari luar dengar bentakan lagi,"Cepat kalian keluar! Hei Kepala Desa! Cepat keluar! Bila tidak, kubakar desa ini!"
"Aku pergi dulu, Rayi..."
Bagai menghadapi malaikat maut, Kenconowari hatihati membuka pintu. Dan melihat enam sosok menunggang kuda tegap berdiri di tengahtengah desa Glagah Arum.
Rayi Sidah memperhatikan dari balik Jendela dengan hati yang luar biasa cemasnya.
"Hahaha... akhirnya kau keluar juga, Kepala Desa!" seru salah seorang dari penunggang kuda itu sambil terbahak begitu melihat sosok Kenconowari. Dia adalah Martungga, datuk yang berjuluk Manusia Bengis dari Timur. Sedangkan kelima temannya masingmasing, Baruna si Tombak Maut, Kumpala si Iblis Tangan Delapan. Sirat Alis si Macan Hitam, Sulawaya si Cambuk Api. Dan Wiro Manik si Tongkat Seribu.
Keenam manusia itu berasal dari tempat yang berlainan. Namun nasib mereka sama. Masingmasing telah dikalahkan oleh Puji Wening alias Iblis Berbaju Hijau yang memang sengaja mencari anak buah dan menebarkan teror kematian sesuai dengan janjinya pada Malaikat Pedang Sakti.
Keenam orang itu tak bisa menanggulangi kehebatan Puji Wening yang datang dengan sejuta kemurkaan dan mengalahkan mereka.
Di bawah kekuasaan Iblis Berbaju Hijau, keenamnya disuruh membuat teror dengan menebar kematian di setiap desa. Bagi mereka orangorang golongan hitam, tanpa disuruh untuk kedua kalinya mereka langsung mengiyakan saja.
"Kisanak..." terdengar suara Kenconowari dengan sikap yang luar biasa tenangnya. "Sudah beberapa kali Kisanak sekalian membuat teror di desa ini. Apakah Kisanak tak punya belas kasihan dan tenggang rasa yang tinggi terhadap kami, penduduk Glagah Arum yang lemah?" "Hahaha... pintar nian kau bicara, Kenconowari! Tapi ketahuilah, kami datang kembali karena ingin meminta beberapa orang perawan cantik untuk menemani kami berpesta! bukan begitu,
temanteman?!"
Yang lain tertawa. Suara tawa mereka seakan menebar jarum tajam berbisa yang bisa membunuh siapa saja yang tertusuk. "Benar, saudara Martungga!" kata Kumpala. "Kita memang membutuhkan kehangatan malam ini!"
"Dan perlu diingat Martungga, kata Baruna. "Kita pun akan meminta setoran dari hasil bumi desa ini, bukan?"
"Ya, ya! Nah, kau dengar itu, Kenconowari? Gepat sediakan enam orang perawan malam ini juga! Kalau tidak, akan kami obrakabrik desa ini!!"
Kenconowari mencoba bersabar dan menahan diri. "Kisanak, bukankah perbuatan kalian itu sungguh kejam dan tak berbudi?"
"Persetan dengan semua ucapanmu itu! cepat carikan untuk kami! Kami tak bisa menunggu terlalu lama!"
"Bila itu keinginan kalian, kalian harus langkahi dulu mayatku selaku kepala desa di sini!"
"Apa? Melangkahi mayatmu?" seru Martungga geli. "Kami bahkan akan meludahi dan mencincang mayatmu, Kenconowari!"
"Lakukanlah daripada kebiadaban ka lian terus menerus meraja di muka bumi ini"
Sulawaya atau si Cambuk Api yang terkenal berangasan dan tidak sabaran mengayunkan cambuknya ke arah Kenconowari. Sungguh di luar dugaannya, dikiranya dengan sekali mengayunkan cambuknya tubuh Kenconowari akan hancur. Namun tubuh itu tibatiba melenting ke atas dan bersalto ke belakang lalu hinggap di bumi dengan ringannya.
"Hei, pantas kau berani berlagak? Rupanya kau punya mainan juga!" seru Martungga yang tadi pun yakin tubuh itu akan hancur terkena sabetan cambuk api milik Sulawaya.
"Kalau begitu baik, kami tidak akan sungkansungkan lagi dan punya belas kasihan padamu! Tahan serangan!!"
Habis berkata begitu, Martungga mengempos tubuhnya bersalto menyerang kearah Kenconowari yang berguling menghindar. Kesal karena serangannya gagal, Martungga semakin membabi buta. Dan kecepatan gerakannya kini sukar ditandingi oleh Kenconowari . Lepas dari sepuluh jurus, sasaran pukulan dan tendangan Martungga pun mengenai sasarannya.
"Des! Des!!"
Tubuh tua Kenconowari itu pun terhuyung ke belakang. Dadanya bagai dihantam godam yang sangat keras.
"Huak!!" Dia pun muntah darah. "Hahaha... tak bisa lagi kau berlagak sekarang, Orang tua! Bah!" Martungga meludah.
Kenconowari mendengus. Tatapan matanya marah dan garang. Dan ada tersirat kepedihan karena tak mampu membalas. Apalagi kini yang dicemaskannya mulai terjadi.
Orangorang bengis itu melempar obor yang mereka bawa ke atas rum ah penduduk. Hingga para penduduk pun berlarian keluar dengan ketakutan. Mereka pontangpanting dan menjeritjerit. Sementara orangorang itu tertawa terbahakbahak melihat penderitaan penduduk.
"Kau lihat atas ulahmu, Kenconowari!" geram Martungga sambil tertawa. "Nah, camkanlah ucapanku sebelum desa ini kubuat menjadi neraka!!"
"Hhh!" Orang tua itu mendengus melihat penderitaan warganya. Berasa sekali irisan pisau di hatinya. Memilukan. "Tak akan pernah aku penuhi permintaan kau, Setan!!"
"Anjing buduk! Di kasih ampun, minta mati! Baik! Rasakan ini!! Mampuslah kau!!" geram Martungga sambil menurunkan tangannya ke batok kepala Kenconowari.
"Brakk!! Kepala itu hancur hingga mengeluarkan cairan putih bening.
Di dalam rumahnya, Nyai Sidah hanya bisa menangis pilu tanpa berani berbuat apaapa.
Sementara api terus berkobar dan rakyat menjeritjerit ketakutan. Melihat beberapa gadis cantik keluar dari rumah mereka untuk menyelamatkan diri dari sambaran api yang menyengat, tertawalah orangorang bengis dan kejam itu.
"Lihat, lihat!" seru Sulawaya. "Mereka berlarian mirip anjing dan ini memudahkan kita untuk memangsanya!"
"Ayo kita segera menjemput Nonanona kita!" seru Baruna sambil menghentakkan kudanya yang menggebrak langsung. Dan hanya sekali gaet, tersambarlah seorang perawan manis yang menjeritjerit ketakutan dan merontaronta hendak turun.
Namun semua itu hanya disambut tawa oleh orangorang liar tadi. Yang langsung menggebrak kudakuda mereka menuju lembah Pasir Putih.
Meninggalkan kobaran api yang terus mengganas membakar desa Glagah Arum. Meninggalkan hasil kejahatan mereka.
***
5
Seperti diceritakan sebelumnya, lembah Pasir Putih merupakan lembah yang terdiri dari lautan pasir berwarna putih yang banyak memenuhi seluruh permukaan lembah. Tak ubahnya bagai sebuah lautan. Di tengahtengah lembah itu, terdapat sebuah bangunan yang cukup besar dan mirip istana. Di sanalah Puji Wening atau yang sekarang bergelar Iblis Berbaju Hijau berdiam. Bangunan itu dibuat oleh tangantangan penduduk yang mereka culik secara paksa dan mereka paksa untuk bekerja. Sistem kerja paksa itu hanya berlangsung dalam waktu enam bulan, lalu berdirilah sebuah bangunan yang megah di tengahtengah Lembah Pasir
Putih.
Penduduk yang mereka culik untuk tenaga secara paksa tidak bisa berbuat apaapa. Karena bila mereka berani membangkang, maka hukuman dan siksaan yang pedih mereka terima. Atau pun dibunuh. Dan mayat mereka digantung di tengahtengah keramaian agar yang melihat tidak berani membuat membangkang, atau pun melarikan diri.
Saat mereka dipaksa untuk mengabdi pada Iblis Berbaju Hijau pun mereka hanya mandah saja.
Sedangkan yang kaum perempuan, dijadikan pemuas nafsu anak buah Iblis Berbaju Hijau. Puji Wening hanya tertawa melihat kenyataan ini. Gadis yang manja, periang dan sedikit genit itu, kini menjadi buas, liar, jahat dan sadis. Tanpa disadarinya pengaruh aneh yang terpancar dari pedangnya yang selalu tersamping di punggungnya, semakin mengikatnya.
Semakin membuatnya haUs kejahatan dan membunuh.
Dia tak perdulikan lagi mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan anak buahnya diperintahkannya untuk menyerbu desa Glagah Arum. Desa yang permai di mana dia dilahirkan di sana dari rahim seorang ibu dua puluh tahun yang lalu. Dia kini bak ratu belaka yang memimpin sebuah negara. Dan ini semakin
membuatnya merajalela.
Telinganya yang peka menangkap derap kuda memasuki Lembah Pasir Putih. Dengan sekali lompat Puji Wening sudah berada di luar dan melihat kedatangan enam anak buahnya.
"Hahaha... ada apa gerangan, Sang Ratu keluar dari istana?" sapa Martungga begitu melihat sosok berbaju hijau yang tipis merangsang berdiri di hadapannya.
Puji Wening tersenyum tipis. Namun di balik senyum itu, dia bisa berubah menjadi iblis yang jahat.
"Martungga... bagaimana dengan kerjamu?"
"Beres, Ratu. Semua sudah kami laksanakan sesuai dengan perintah Ratu...”
"Bagus! Dan untuk teror pertama, kalian buatlah desadesa yang ada di sekitar sini menjadi lautan api. Sebarkan hawa maut yang mengundang kematian. Aku yakin, akan banyak tokohtokoh dari golongan putih dan golongan hitam yang berdatangan.Untuk golongan putih, bunuh mereka semua! Sedangkan untuk golongan hitam, ajak mereka untuk bergabung dengan kita! paham?!"
"Kami paham sekali, Ratu. Usul dan perintah Ratu, akan kami laksanakan dengan senang hati." "Hmm... sejak semalam aku belum me lihat Roro Dewi melapor ke sini. Apakah kalian melihatnya?"
"Belum, Ratu."
"Atau dia lupa untuk melapor?" "Tidak mungkin, Ratu."
"Atau dia lupa dengan sanksi yang kuturunkan bila berani mencoba membantah dan membangkang perintahku?"
"Tidak mungkin, Ratu. Roro Dewi tentu ingat akan sanksi yang ratu berikan?"
"Kau masih ingat sanksinya, Martungga ?" kali ini sepasang mata Iblis Berbaju Hijau bersinar berbahaya.
"Kami akan selalu ingat terus, Sang Ratu."
"Apa sangsinya, Martungga?"
"Yang berani membantah dan membangkang perintah ratu, dia akan mati secara mengerikan. Dan dikubur hiduphidup di pasir putih sesudah disiksa."
Puji Wening terbahak. Tawanya mengandung tenaga dalam yang tinggi, membuat keenam anak buahnya mengalirkan tenaga dalamnya ke telinga mereka.
"Bagus! Nah, kalian nikmatilah ayamayam tangkapan kalian!" seru Puji Wening. Dan "wuuuuut!!" Tubuhnya pun lenyap dari pandangan anak buahnya.
Keenam orang itu maklum akan kehebatan dan kesaktian Iblis Berbaju Hijau yang akan membantu mereka!
Tak lama kemudian dari beberapa tempat atau kamar yang ada di dalam istana, terdegar tawa kenikmatan orangorang itu diiringi dengan rintih dan jerit kesakitan para perawan yang mereka culik.
***
6
Pagi sudah menjelang dan matahari sudah memayungi seluruh isi dunia dengan sinarnya yang berpijar keemasan. Suara kicau dan nyanyian burungburung yang terdapat di hutan itu, menambah keindahan panorama pagi.
Pagi yang cerah dan indah, begitulah menurut Pranata Kumala yang tengah bersiapsiap untuk berangkat menuju Lembah Pasir Putih. Sepanjang malam isterinya selalu mengigau. Dan keringatnya mengucur dengan deras. Hal ini semakin membingungkan Pranata. Yang dia sesali, mengapa dia harus bentrok dengan Roro Dewi. Lagipula, mengapa dia tidak bisa menolong istrinya dari pukulan maut Roro Dewi.
Dan sepanjang malam pula dia menye sali diri. Sedetik pun dia tidak tertidur. Padahal Danusewu sudah menyuruhnya untuk tidur dan menyuruhnya jangan terlalu menyesali diri, karena mungkin sudah suratan Ambarwati.
"Hatihati, Kakang..." pesan istrinya ketika Pranata Kumala berpamitan.
"Iya, Rayi..."
"Kakang... aku sudah mendengar cerita dari Wiranti, kalau Lembah Pasir Putih didiami oleh gerombolan orang jahat yang dipimpin oleh seorang wanita muda yang bergelar Iblis Berbaju Hijau. Aku cemas memikirkanmu, Kakang..."
"Tenanglah, Rayi... yang penting, aku harus bisa mendapatkan Kembang Pasir Putih..." tersenyum Pranata.
"Sebentar lagi kau akan pulih kembali..."
"Jaga baikbaik dirimu, Kakang... bila kau tidak sanggup mendapatkan kembang itu, janganlah kau memaksakan diri. Ingat kakang, gerombolan iblis itu tengah melancarkan terornya..." kata Ambarwati yang dalam keadaan sakit masih memikirkan akan keselamatan suaminya.
"Doakan saja, Rayi... semoga aku berhasil..."
Setelah menyiapkan segala sesuatunya, Pranata pun segera meninggalkan tempat itu. Danusewu pun berpesan agar berhatihati. sementara Wiranti nampak cemas melihat kepergiannya. Dan lebih cemas lagi memikirkan nasib Mbakyunya, Ambarwati. Lalu berangkatlah Pranata Kumala menembus pagi menuju ke Lembah Pasir Putih. Dia harus melalui desa Glagah Arum untuk tiba di sana. Karena kudanya dipacu dengan cepat, hanya dalam tempo satu setengah jam dia tiba di desa Glagah
Arum.
Betapa terkejutnya Pranata Kumala melihat desa yang porak poranda. Yang sangat berlainan sekali dengan apa yan telah dilihatnya semalam. Terlalu mengerikan. Sisasisa api yang membakar rumah masih mengepulkan asap, meninggalkan bara yang botasal dari rumahrumah yang terbakar. "Oh, teror apakah yang telah melanda desa ini," gumamnya sambil melangkah kudanya perlahanlahan.
Dia menekap hidungnya ketika tercium bau anyir dari mayat yang terbakar.
"Ya, Tuhan... setan mana yang tega berbuat kejam dan maut seperti ini?"
Pranata melihat seorang ibu yang tengah meratapi mayat suaminya yang mati terbakar. Dan sekali sekali dia menyebut nama seorang gadis yang sudah tentu anaknya.
"Mengapa kau harus mati dengan mengenaskan begini, Pakne... mengapa? Oh, Tuhan... mengapa ini harus terjadi... huhuhu... betapa kejamnya... huhuhu... dan kau, Wulan... mengapa nasibmu demikian buruk, Nak... mengapa kau harus dijadikan sebagai pemuas nafsu manusiamanusia liar itu... huhuhu mengapa?"
Pranata menjadi trenyuh mendengar ratapan dari ibu itu, hatihati dia turun dari kudanya. Lalu berjalan mendekatinya.
"Bu..." panggilnya pelan. Kepala wanita setengah baya itu berputar, menatap Pranata. Yang ditatap dapat melihat penderitaan dari pancaran kedua mata wanita itu. Begitu menyedihkan dan memprihatinkan. Betapa beratnya! Sarat dengan duka yang sangat dalam. Bahkan tak ada sinar gembira sedikit pun di mata itu. Baik dalam arti sesungguhnya mau pun berpurapura.
Pranata Kumala mendesah.
"Apa yang telah terjadi di desa ini, Bu? Mengapa desa ini jadi hancur terbakar bagai lautan api?" tanyanya dengan suara hatihati.
"Huhuhu... orangorang bengis itu yang berbuat begini, Nak... Mereka datang bagai iblis yang tengah menebarkan hawa maut... lihat, kau lihatlah keadaan desa kami ini... yang terbakar dengan mayatmayat yang bergelimpangan... kejam, kejam sekali... huhuhu..."
"Siapa yang telah melakukan semua ini, Bu?"
"Iblisiblis kejam!" "Siapa, Bu?"
"Manusiamanusia tak punya belas kasihan! Mereka membuat kekejaman di sini! Mereka membunuh, menculik, bahkan membakar desa kami! Oh... sungguh kejam mereka, sangat kejam!!"
Pranata Kumala maklum mengapa omongan ibu ini terdengar sangat kacau. Tentunya karena dia tengah mengalami tekanan mental yang sangat dalam akibat kematian suaminya yang mengenaskan. Dan sedih memikirkan nasib putrinya yang dilarikan orangorang liar itu ke Lembah Pasir Putih.
Yang sudah dapat diduga, tentunya putrinya dijadikan pemuas nafsu orangorang dajal itu!
Pranata menunggu sampai ibu ini bisa kembali pada pola berpikir semula.
Setelah nampak ibu itu puas melampiaskan emosinya, barulah dengan hatihati Pranata kembali bertanya, "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bu?"
"Mereka adalah orangorang Lembah Pasir Putih, Nak Mereka kejam! Mereka sadis! Mereka bagaikan iblis belaka!" suara wanita itu terdengar keras. Dan sepasang matanya bersinar menyeramkan. Penuh dendam dan amarah yang sangat tinggi. "Mereka kejam, Nak! Mereka sangat kejam!" serunya lagi. Dan tibatiba dia kembali menatap mayat suaminya yang hangus terbakar. Tanpa sungkan dan canggung lagi, dia kembali memeluk mayat suaminya dan menangis tersedusedu. "Pakne... hu... hu... hu... Pakne... kejam, kejam sekali orangorang itu... mengapa mereka membakarmu, Pakne... huhuhu... mereka tega berbuat seperti ini padamu, Pakne. "
Pranata Kumala sekali lagi mendesah. Dia jadi makin teringat akan katakata Roro Dewi. Mungkinkah perbuatan ini dilakukan oleh gerombolannya?
Lalu dengan hatihati dibimbingnya wanita itu untuk masuk ke rumahnya. Lalu dia pun mengumpulkan beberapa orang penduduk untuk menguburkan mayatmayat yang bergeletakan itu.
Pranata pun menambah niatnya menuju Lembah Pasir Putih. Pertama untuk mencari Kembang Pasir Putih guna mengobati penyakit istrinya.
Kedua untuk menumpas gerombolan orangorang jahat itu yang dia yakin dipimpin oleh Iblis Berbaju Hijau seperti cerita Danusewu.
Sementara orangorang yang melepas kepergiannya bertanyatanya dalam hati. Siapakah pemuda yang baik hati itu?
Apakah dia sang penolong yang dikirim oleh Dewata?
*** 7
Kala itu di rimba persilatan, berdiri sebuah perguruan silat yang sangat terkenal, perguruan itu bernama Perguruan Topeng Hitam.
Dulu Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh seorang jago pedang nomor satu yang bernama Paksi Uludara atau bergelar Pedang Mestika Naga emas.
Namun setelah Paksi Uludara tewas di tangan Nindia atau Dewi Cantik Penyebar Maut, tampuk kekuasaan atau pimpinan itu diserahkannya kepada Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma (baca : Dewi Cantik Penyebar Maut).
Selama dipimpin oleh Madewa Gumilang, banyak perguruan silat lain yang secara keji membuat onar karena didorong oleh rasa iri. Salah satunya adalah Perguruan Cakar Naga yang dipimpin oleh Resi Sendaring, yang mengumpulkan jagojago dari golongan hitam untuk bersatu menghancurkan Perguruan Topeng Hitam (baca : Keris Naga Merah).
Namun semua itu berhasil digagalkan. Juga dengan bantuan Ki Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria yang juga guru dari Pranata Kumala (baca: Kakek Sakti dari Gunung Muria).
Madewa memimpin perguruan itu de ngan arif dan bijaksana. Di samping itu sikap dan contoh perbuatannya menjadi teladan para muridmudridnya.
"Dalam hidup, kita jangan selalu memandang ke atas, juga jangan terlalu memandang ke bawah. Pandanglah kehidupan dengan cara yang wajarwajar saja. Jangan terlalu ke atas dan jangan terlalu ke bawah," begitu setiap kali dia memberi wejangan di hadapan muridmuridnya. "Dan kita janganlah dibangunkan matahari, tapi kita yang harus membangunkan matahari. Camkanlah katakataku ini, niscaya kalian akan mengetahui jawabannya."
Nasehat dan pandangan yang diberikan Madewa Gumilang, semakin membuat para muridnya menghormati dan menyeganinya.
Namun sampai sejauh itu memimpin Perguruan Topeng Hitam, Madewa tak sekali pun mengajarkan ilmuilmu kebisaannya. Dia hanya mengajarkan jurusjurus bermain pedang seperti ciri khas Perguruan Topeng Hitam. Karena Madewa tak mau merubah ajar an yang telah dibawa oleh Paksi Uludara.
Dipegang oleh Madewa Gumilang atau sering disebut juga menusia dewa, Perguruan Topeng Hitam dapat menyebarkan sayapnya ke pelosok rimba persilatan.
"Kemegahan dan ketenaran Perguruan Topeng Hitam itu pun didengar oleh Puji Wening alias Iblis Berbaju Hijau. Lalu dia pun memerintahkan empat orang anak buahnya untuk mengacau dan menghancurkan perguruan itu. Bahkan membunuh Madewa Gumilang!
Pagi ini, di Perguruan Topeng Hitam seperti biasa tengah sibuk. Sebagian besar muridnya tengah berlatih ilmu silat dan ilmu pedang.
Ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam adalah, muridmuridnya selalu mengenakan pakaian berwarna hitam dan topeng yang menutupi kepala. Juga sepasang pedang kembar mereka yang selalu ada di punggung. Juga dengan senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam.
Di hadapan para murid yang tengah berlatih, berdiri sosok tubuh gagah berpakaian jubah putih yang selalu tersenyum arif Memperhatikan jalannya latihan. Dialah Madewa Gumilang alias Pende kar Bayangan Sukma yang terkenal. Namanya sudah melesat ke langit ketujuh dan ke dasar samudra.
Selain itu, Madewa Gumilang pun ditakuti oleh seluru jagojago rimba persilatan, karena dia memiliki ilmu Pukulan Bayangan Sukma yang belum ada tandingannya.
Di samping itu, dia memiliki seorang istri yang bernama Ratih Ningrum. Yang kesaktiannya pun tak kalah hebatnya dengan suaminya.
Namun tibatiba pendengaran Madewa Gumilang yang tajam, menangkap ada gerakangerakan yang mencurigakan di luar tembok perguruan. Diamdiam dia tetap memantau telinganya. Dan dia dapat menduga, ada empat sosok yang tengah mendekati tempat itu.
"Hmm... siapakah gerangan empat keroco ini yang sepertinya tidak bersahabat," gumamnya dalam hati.
Lalu dia pun menepuk tangannya sekali. Dan menyuruh pada muridmuridnya untuk menyudahi latihan mereka.
"Aku rasa, cukup untuk saat ini! Nah, kalian masuklah ke dalam!" katanya dengan suara yang berwibawa. Muridmuridnya segera mematuhi perintahnya. Mereka lalu membentuk barisan merapat. Dan menjura dengan hormat.
"Salam buat ketua!!" kata mereka serempak. Dan dengan teratur rapi satu persatu pun berlarilari kecil memasuki Perguruan Topeng Hitam.
Sementara Madewa Gumilang sendiri masih berada di halaman Perguruan Topeng Hitam.
Lalu secara diamdiam, dia mengerahkan ilmu saktinya, ilmu Pandangan Menembus Sukma. Dan terlihatlah empat sosok bertubuh besar dan berwajah seram makin mendekati batas Perguruan Topeng Hitam.
"Siapa mereka sebenarnya?. Baiknya kutungggu saja," desis Madewa yang melihat ada berbagai senjata di tangan keempat orang itu.
Empat orang yang dilihat Madewa de ngan ilmu Pandangan Menembus Sukmanya, adalah orangorang suruhan dari Iblis Berbaju Hijau untuk mengacau di Pergu ruan Topeng Hitam. Mereka tidak tahu kalau kedatangan mereka sudah diketahui oleh Madewa Gumilang.
Mereka terdiri dari, Baruna si Tombak Maut. Suwalaya si Cambuk A pi. Wiro Manik si Tongkat Seribu. Dan Sirat Alis si Macan Hitam. Sedangkan Martungga dan Kumpala menyerbu ke desa seberang.
Dan tibatiba keempatnya dikejutkan oleh suara yang menyelinap ke telinga mereka secara serempak, "Orangorang yang berada di luar dan mengendapendap, silahkan masuk ke dalam dengan cara bersahabat!"
Keempatnya kaget. Suatu pameran tenaga dalam yang cukup hebat tengah di tunjukkan. Dan hal itu menyadari mereka, kalau kedatangan mereka sudah diketahui oleh orang Perguruan Topeng Hitam. Dugaan mereka, Madewa Gumilanglah yang berbuat seperti itu.
Dengan rasa jengkel, malu dan marah, keempatnya serentak melompat. Melewati tembok Perguruan Topeng Hitam yang cukup tinggi dan hinggap dengan ringannya di halaman perguruan itu.
Di hadapan mereka, telah berdiri sosok tubuh berjubah putih. Wajahnya arif dan bijaksana.
Madewa berkata dalam hati, "Hmm... rupanya manusiamanusia ini yang datang bertamu," desisnya setelah mengetahui siapa keempat orang itu. Mereka adalah orangorang yang sering membuat onar dan dikenal dari golongan hitam. "Selamat datang di tempat kediamanku yang buruk ini," kata Madewa tetap dengan nada suara yang bersahabat. "Huhh! Ternyata Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma pandai berhangathangat dengan para tamunya". berkata Baruna yang berdiri gagah dengan tombaknya. Dia seorang lakilaki berwajah tirus. Dengan bibir yang tipis, Rambutnya tergerai panjang dan diikat.
Tubuhnya cukup tinggi.
"Sudah selayaknya sebagai seorang tuan rumah menyambut kedatangan tamunya dengan senang hati," kata Madewa Gumi lang lagi.
Dia berdiri gagah dengan kedua tangan bersedekap di dada. Jubah putihnya berkibar dipermainkan angin pagi.
"Madewa... ketahuilah, pagi ini kami datang ke sini, untuk mengambil alih Perguruan Topeng Hitam dari tanganmu! Mengerti?!" seru Baruna pula.
"Tentu saja saya mengerti. Siapa pun boleh mengambil Perguruan Topeg Hitam ini dari tanganku. Tapi bukankah lebih baik dijelaskan dulu titik permasalahannya?"
"Kami ke sini atas nama Iblis Berbaju Hijau!" yang berkata Sulawaya. Dia seorang lakilaki berambut agak botak. Pakaiannya mirip para biksu dari Budha. Di kalungnya ada sebuah tasbih yang cukup besar. Dan di pinggangnya melilit Cambuk Apinya yang berwarna kemerahan.
"Sampaikan salam kenalku untuk beliau!" kata Madewa sambil menjura.
Tibatiba terdengar seruan dari Sirat Alis. Dia adalah seorang lakilaki pemarah dan tak sabaran.
"Madewa! Cepat kau berlutut di hadapan kami! Dan nyawamu akan kami ampuni!"
Madewa cuma tersenyum.
"Agaknya tidak patut bagiku untuk berlutut di kaki orangorang yang sering berbuat onar seperti kalian!"
"Bangsat! Telah lama sebenarnya aku ingin mencoba kesaktian Madewa Gumilang!" setelah berkata begitu, Si rat Alis alias si Macan Hitam melompat menerjang dengan gaya seekor macan. Kedua tangannya menyerang membentuk cakar macan. Suaranya mendesis yang keluar dari mulutnya.
Melihat serangan yang sangat cepat dan berbahaya itu, Madewa melompat ke kiri. Dan serangan itu pun luput. Namun membuat Sirat Alis menjadi murka. Usai kakinya hinggap di tanah, dia melenting bersalto ke arah Madewa dengan kedua tangan tetap terbuka membentuk cakar.
Madewa pun kali ini menghindar dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Membuat tubuhnya selicin dan selincah ular. Membuat Sirat Alis makin penasaran.
Dia pun menerjang lagi. Kali ini jurusjurus macan hitamnya memperlihatkan kelincahannya sebagai seorang jago. Cakarancakarannya menerkam membabi buta. Siap mencabut nyawa Madewa.
Dan kali ini Madewa pun membuat jurus menyerangnya, Ular Mematuk Katak. Yang membuat tangannya secepat ular dalam menyergap mangsanya.
Berkalikali terjadi benturan, Sirat Alis tertawa dalam hati. "Ternyata hanya begitu saja tenaga dalam milik Pendekar Bayangan Sukma."
Namun Sirat Alis tidak tahu, kalau Madewa hanya menggunakan seperempat dari tenaga dalam yang dimilikinya.
Suara ributribut di luar memancing perhatian muridmurid Perguruan Topeng Hitam. Dan melihat ketua mereka sedang bertarung, serentak mereka pun hendak bergerak membantu.
Namun begitu mendengar suara Madewa berteriak, mereka pun hanya berdiri di tempat masingmasing.
"Mundur kalian! Jangan ikut campur dalam urusan ini! Mundur!!"
Ratih Ningrum pun keluar dari dalam. Dan begitu melihat suaminya tengah bertempur, dia pun hendak maju.
Namun lagilagi urung karena mendengar seruan suaminya menyuruhnya untuk diam di tempat.
Kedatangan Ratih seakan membuka mata Baruna. Walau pun wanita itu sudah hampir berusia 35 tahun, tetapi wajah dan bentuk tubuhnya masih cantik dan montok. Seakanakan wanita itu berusia bak gadis
24 tahunan.
"Hahaha... rupanya ini wanita yang mendampingi Madewa Gumilang! Betapa cantiknya!!" seru Baruna yang diikuti tawa Wiro Manik dan Sulawaya.
Ratih Ningrum hanya bisa menahan geramnya di hati. Karena dia tak berani membantah atau pun membangkang perintah suaminya.
Dia tetap berdiri di tempatnya. Dengan menahan kemarahannya. "Ayo. Ratih Ningrum... majulah hadapi aku!" seru Baruna sambil melompat ke kalangan.
Madewa yang tengah melayani seranganserangan dari Sirat Alis yang makin penasaran karena dari sekian jurus tak satu pun pukulan, cakaran atau pun tendangannya yang mengenai sasaran, berseru lagi, "Tahan emosimu, Dinda Ratih! Biarkan aku yang menghadapi manusiamanusia ini!" "
Baruna tertawa.
"Hahaha... menghadapi Sirat Alis saja kau sudah tak banyak bergerak, Madewa! Masih berlagak pula untuk menghadapi kami!"
"Baruna... bila itu maumu, aku akan melaksanakannya! Lihatlah!"
Madewa yang sejak tadi berusaha untuk tidak menjatuhkan tangannya pada Sirat Alis, kini menjadi jengkel.
Lalu dia melompat dan menyerang de ngan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.
Tangannya seakan berubah menjadi banyak. Dan satu patukan menggedor dada Sirat Alis. Disusul dengan pukulan Tembok Menghalau Badai.
"Des!"
"Akkhhh!!" Tubuh Sirat Alis terhuyung ke belakang dan muntah darah. Lalu ambruk dan pingsan.
Madewa bersalto dan berdiri dengan gagah.
"Itu maumu bukan, Baruna?" serunya dengan suara yang tetap arif.
Baruna menjadi murka. Lalu dia memutarmutar tombaknya hingga menimbulkan suara bergemuruh. Begitu pula dengan Wiro, Manik yang sudah menggerakkan tongkatnya hingga bagaikan seribu. Tak ketinggalan Sulawaya yang sudah meloloskan Cambuk Apinya dari pinggangnya.
Saat dia memecutmecut, dari ujung cambuknya bagaikan menyala mengeluarkan api.
"Hmm... majulah kalian bertiga! Biar cepat selesai persoalan ini! Dan yang perlu kalian ketahui, selama ini aku tak punya masalah dengan kalian! Juga dengan Iblis Berbaju Hijau! Nah majulah!"
Madewa pun bersiap dengan segala kebisaanya. Tibatiba saja Baruna menerjang sambil memutarmutar tombaknya yang menimbulkar suara berdesirdesir dan kadang mendengung.. "Awas serangan!" serunya seraya me nerjang.
Yang disusul dengan Wiro Manik dan tongkatnya.
Begitu pula dengan Sulawaya yang menceletarceletarkan cambuknya.
Madewa pun menyambut tiga serangan yang berbahaya itu yang datang dari tiga penjuru. Dia pun menggunakan jurus menghindarnya, Ular Meloloskan Diri yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat maha sempurna.
Suasana di alam Perguruan Topeng Hitam menjadi ramai. Debudebu beterbangan setiap kali ada tubuh yang bergerak. Bahkan daundaun jati dari pohon jati yang tumbuh di sudut Perguruan itu berguguran karena tak kuat menahan getaran yang ditimbulkan dari keempat orang yang sedang bertarung itu.
Namun setelah sekian jurus berlangsung, tak satu pun senjata dari lawannya yang berhasil melukai Madewa. Bahkan menyentuh saja pun tidak pernah. Madewa pun kini mulai menyerang de ngan memadukan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga dengan jurus pukulan
Tembok Menghalau Badai. Desiran angin yang timbul dari setiap kali tangannya bergerak cukup membuat ketiga lawannya menjadi pucat. Karena mereka dapat menduga, bahwa Madewa sudah meningkatkan tenaga dalamnya.
Hal ini semakin membuat ketiganya berhatihati.
Dan tibatiba Madewa bersalto lalu bergerak mencecer Wiro Manik yang menjadi kaget dan berusaha untuk menahan dengan putaran tongkatnya.
Namun karena desakan yang hebat, satu pukulan pun masuk menggedor dadanya.
"Des!"
Disusul dengan satu kibasan pada tangan kanannya, hingga tongkat yang merupakan senjata andalannya jatuh.
"Aaakkhhhh"
Dia pun terhuyung ke belakang.
Dan "Huak!!" Wiro Manik muntah darah. Dia merasakan dadanya sangat sakit. Kepalanya pun menjadi pusing karena aliran darahnya tidak beraturan. Juga dadanya yang terasa mau pecah.
Lalu ambruk setelah sekali lagi muntah darah. Dan mereganglah nyawanya meninggalkan tubuhnya yang masih merasakan kesakitan.
"Wiro Manik!" seru Baruna kaget.
Dan makin murkalah dia melihat kenyataan itu. Tombaknya pun diputarputar dengan hebat. Dan bergeraklah dia dengan ayunan tombaknya yang berputar, memukul, mengibas, menangkis dan menusuk.
Begitu pula dengan Sulawaya dengan cambuk apinya. Yang kadang mencoba menjerat, mengikat atau kadang berubah menjadi tombak. Sugguh suatu pemandangan yang hebat dari tenaga dalam yang dipamerkan oleh Sulawaya.
Tetapi yang dihadapinya adalah manusia dewa Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma, yang tetap dengan sikapnya yang arif dan bijaksana melayani seranganserangan itu.
Seranganserangan yang hebat dan beruntun itu tak mampu membuatnya keder atau mundur. Malah dia yang berada di atas angin terus mendesak keduanya de ngan hebat.
Madewa berniat untuk tidak membunuh keduanya, cukup hanya melukai mereka saja. Karena dia berpikir untuk mengetahui siapakah sebenarnya Iblis Berbaju Hijau itu yang sepak terjangnya akhirakhir ini menimbulkan suasana mengerikan di rimba persilatan, dengan jalan mencari tahu dari kedua orang ini. Tetapi dia tetap tidak mengubah seranganserangannya. Begitu pula dengan Baruna dan Sulawaya. Cambuk api Sulawaya membakar apa saja begitu benda yang terkena oleh ujung cambuk apinya, segera berubah menjadi api dan terbakar. Dan melihat seranganserangan mereka selalu gagal, diiringi dengan dendam melihat Wiro Manik tewas dan Sirat Alis pingsan, keduanya mempergencar
seranganserangan mereka.
Namun sampai sejauh itu, Madewa te tap dapat menghindar dan meloloskan diri.
Setelah lewat tiga puluh jurus, barulah Madewa kini berniat hendak menjatuhkan tangan.
"Awas serangan!" serunya tibatiba. Dan tibatiba pula tubuhnya menggeliat bagaikan ular. Dan bergerak cepat.
"Des!"
"Des!"
Dua buah pukulannya masuk pada sasaran.
Dengan diiringi tubuh Baruna dan Sulawaya yang terhuyung ke belakang. Sadarlah kini keduanya kalau manusia dewa itu bukan tandingan mereka.
Keduanyapun berniat hendak melarikan diri.
Namun Madewa telah mengunci semua langkah mereka dari delapan penjuru, hingga sulit rasanya bagi mereka untuk melarikan diri.
"Kalian telah masuk ke Perguruan To peng Hitam dan kalian tak akan begitu mudah untuk meninggalkannya!!" seru Madewa seraya mencecar lagi.
Hal ini membuat Baruna dan Sulawaya menjadi nekat. Sebisanya mereka mencoba menyerang kembali.
Namun satu gedoran masuk menghantam dada Sulawaya yang terhuyung ke belakang dengan kepala pusing dan dada seakan mau pecah.
"Aaaaakkkhhh!!"
Karena terlalu menguras tenaganya, dia pun semakin lemah. Pertahanannya lemah pula. Tenaga dalamnya pun terkuras.
Maka tanpa ampun lagi di pun ambruk dengan nyawa yang telah lepas.
Melihat kenyataan itu, lemaslah Ba runa. Dia merasa tak mungkin dapat melolosan diri. Menghadapi Madewa bertiga saja seakan tak banyak membawa arti. Apalagi dia sendiri. Ini membuatnya kecut.
Namun tibatiba dia mendapat sebuah rencana yang keji. Dia akan menyandera Ratih Ningrum yang sejak tadi tersenyum melihat suaminya berhasil memporakporandakan pertahanan lawanlawannya.
Baruna pun menjerit menyerang Ma dewa kembali. Namun mendadak saja dia bersalto ke arah Ratih Nigrum.
Dan "Tep!" tangannya dengan sigap membekap leher wanita itu dengan tubuh yang berada di belakangnya.
Ratih Ningrum yang tidak menyangka dirinya akan dijadikan sandera, hanya bisa terpaku saja. Dan ujung tombak Baruna sudah menekan di ulu hatinya.
Baruna terbahak karena merasa berhasil untuk menyandera dan mengalahkan Madewa Gumilang.
"Hahaha... majulah, Madewa... majulah... bila ingin istrimu mampus di tanganku..."
Madewa hanya terdiam.
"Hhh! Nyawa istrimu sekarang berada di tanganku!" seru Baruna sambil mehrik sekelilingnya. Sepuluh muridmurid Perguruan Topeng hitam sudah mengurungnya. Tetapi dia hanya tertawa. "Madewa... perintahkan para muridmu untuk menjauhiku... bila tidak ingin nyawa istrimu lepas hari ini juga..."
Madewa pun memerintahkan para muridnya untuk mundur, sementara otaknya berputar memikirkan cara untuk menyelamatkan istrinya.
"Kalian mundur semua!"
"Bagus, Madewa... kau seorang ksatria yang gagah berani. Nah, sekarang tunjukkanlah padaku Pukulan Bayangan Sukmamu yang sangat hebat dan kesohor itu!"
Madewa terdiam. Mengirangira maksud dari Baruna si Tombak Maut. "Cepat kataku!" Madewa masih terdiam. Baruna menekan sedikit ujung tombaknya, membuat Ratih Ningrum menjerit.
Dia terbahak, "Madewa... kau tak ingin istrimu mati di ujung tombakku, bukan?"
"Baruna... lepaskan istriku. Dan mari bertarung bagai seorang lakilaki..."
"Hahaha... kau memang pandai bersilat lidah, Madewa! Bangsat! Cepat kau keluarkan Pukulan Bayangan Sukmamu! Cepat!"
"Kau hendak berbuat apa, Baruna?" kata Madewa sambil mengulur waktu dan memikirkan bagaimana cara membebaskan istrinya.
"Cepat kataku! Cepat!!"
Madewa melihat gerakan yang dilakukan Baruna dengan menekankan ujung tombaknya pada ulu hati istrinya.
Dia juga melihat betapa kesakitannya Ratih Ningrum. Namun wanita itu adalah wanita yang tabah, dia tidak mcnampakkan rasa sakitnya meskipun dia sangat menderita dan kesakitan.
Madewa pun mendesah.Terdiam. Dan merapal pukulan Bayangan Sukmanya.
Lalu dirangkumnya kedua tangannya di dada. Dan terlihatlah asap berwarna putih mengepul dari kedua tangannya.
"Sekarang kau mau apa, Baruna?" "Hahaha... Pendekar Bayangan Sukma
yang gagah perkasa hari ini harus takluk di tanganku. Dan harus mampus termakan pukulan saktinya sendiri.. Nah, Madewa... pukulkan Pukulan Bayangan Sukma itu ke kepalamu sendiri... Cepat!!" Suasana menjadi tegang.
Madewa terdiam.
Muridmurid Perguruan Topeng Hitam menelan ludahnya melihat bahaya yang mengancam ketua mereka. Yang lebih mengenaskan, bila harus mati, ketuanya mati oleh pukulan saktinya sendiri. Ratih Ningrum berseru, "Kanda....
jangan... jangan kau pukulkan Pukulan Bayangan Sukma ke kepalamu... Biarkan...
biarkan aku mati, Kanda..." Baruna terbahak.
"Cepat, Madewa! Kau tidak mau melihat istrimu mati secara mengenaskan di depan matamu, bukan? Cepat! Waktumu hanya satu menit untuk melakukannya!!" Madewa terdiam. Pukulan saktinya siap untuk membunuhnya sendiri. Melihat Madewa raguragu, Baruna menjadi
jengkel.
Tangannya menekan lagi tombak yang ujungnya mengenai tepat ulu hati Ratih Ningrum.
Kali ini Ratih Ningrum tidak bisa menahan rasa sakitnya meskipun dia berusaha untuk menahan.
"Aaaakhh?"
Baruna terbahak. "Hahaha...
cobacobalah kau membangkang dan mengulur waktu, Madewa. lakukanlah
dengan sesuka hatimu dan istrimu ini akan mati secara perlahanlahan...
hahaha. "
Melihat keadaan istrinya yang nampak kesakitan, tak ada pilihan lain buat Madewa. "Baruna... lepaskan istriku dulu...
Semua perintahmu akan kulakukan..." "Hahaha... kau mau bermain siasat
apa ini, Madewa? Setelah aku melepaskan istrimu... kau akan segera menyerangku... Hahaha... kau layaknya bermain dengan anakanak kecil, Madewa..."
"Kau tidak mempercayaiku, Baruna?" "Hmm... biar orangorang memujamu setinggi langit, sedikit pun aku tak pernah mempercayaimu. Nah... lakukanlah perintahku cepat, Madewa! Wktu satu menit yang kuberikan sudah habis untuk bercakapcakap yang tak penting ini!
Cepat!!"
Madewa merasa tidak ada pilihan Iain baginya. Yang penting istrinya selamat. Sementara istrinya berseruseru agar dia jangan melakukan hal yang membahayakan itu.
Namun sungguh diluar dugaan semuanya. Disaksikan oleh istrinya sendiri dan para muridmurid Perguruan Topeng Hitam, Madewa Gumilang menghantam tubuhnya sendiri dengan pukulan saktinya, Pukulan Bayangan Sukma!!
"Ketuaaaa!!" seru beberapa muridnya. "Kandaaaaaa!!" jerit Ratih Ningrum yang sangat terkejut. Ketika dia hendak mendapatkan suaminya, tombak di tangan Baruna semakin menekan ulu hatinya membuat nya tak banyak bergerak.
Dan di hadapan berpuluh pasang mata, tubuh gagah berjubah putih itu pun perlahanlahan ambruk ke tanah.
Baruna terbahak. Manusia dewa yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan, hari ini harus mampus oleh pukulan saktinya sendiri.
Dan dialah yang telah menyuruh manusia dewa itu melakukannya.
Baruna terbahak sendiri mengingat keberhasilannya. Beberapa murid Perguruan Topeng Hitam yang hendak mendapati ketua mereka, di bentak mundur.
"Hei, kalian mundur semua! Tak seorang pun yang boleh mendekati dan menjamah mayat itu! Mundur!! Bila kalian membangkang perintahku ini, Ratih Ningrum akan mampus di ujung tombakku!!" Muridmurid Perguruan Topeng Hitam yang hendak mendekati mayat Madewa pun mundur perlahanlahan. Mereka tidak ingin kehilangan seorang pimpinan lagi.
Bagi mereka, Ratih Ningrum tak ada bedanya dengan Madewa Gumilang. Samasama mereka sanjung. Samasama mereka hormati.
Dan melihat kenyataan ini, mereka pun tak berani bertindak. Karena Baruna bukanlah manusia yang mempunyai balas kasihan.
Dia adalah binatang yang sangat kejam!
Sementara Baruna terbahak lagi melihat kenyataan kemenangan yang sudah berada ditangannya.
Lalu dia berkata sambil mencolek dagu Ratih Ningrum. Yang merontaronta dengan kasar, namun tak bisa berbuat banyak. Di samping lehernya yang tercekik hingga membuatnya sukar bernafas, juga ujung tombak yang tajam yang siap untuk menghunjam ulu hatinya. "Maafkan aku, Nyonya ketua...
Maafkan aku... hahaha... tetapi suamimu memang pantas mati dengan cara demikian. Bukankah hanya itu yang bisa membuatnya mati? Hahaha... Madewa Gumilang yang gagah perkasa harus mampus di tangannya sendiri..."
Namun tibatiba, di saat Baruna sedang terbahak mengingat kemenangannya, tibatiba dirasakannya sebuah pukulan menghantam lehernya.
"Heik!!" Dia menjerit bagai tercekik. Cengkeraman tangannya di leher
Ratih Ningrum terlepas, dia pun terkulai ke tanah.
Namun buruburu bangkit setelah dirasakannya sakitnya tidak begitu terasa lagi. Dia mencaricari siapa yang telah memukulinya.
Matanya melihat sosok berwajah arif dan bljaksana. Sosok yang mengenakan jubah berwarna putih. Sosok Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma!! "Kau?!" Mata Baruna seakan mau meloncat tak percaya melihat siapa yang
memukulnya.
Begitu pula Ratih Ningrum.
Begitu pula dengan para muridmurid Perguruan Topeng Hitam.
Bukankah ketua sudah mati akibat pukulannya sendiri? Lalu... siapakah yang berdiri itu. Ketika mereka mencari mayat Madewa, mayat itu tidak ada di tempatnya semula.
Kini sadarlah mereka, bahwa yang mengenakan jubah putih itu tak lain dari ketua mereka sendiri, Madewa Gumilang! Lalu bukankah dia sudah mati akibat
Pukulan Bayangan Sukmanya sendiri?
*** 8
Meskipun istrinya dalam bahaya, Madewa tentu saja tidak ingin mati konyol, apalagi oleh pukulan andalannya sendiri. Makanya tadi dia sengaja mengulur waktu berbicara dengan Baruna sambil berpikir dan mencari kesempatan untuk menyelamatkan istrinya.
Dan dia pun mendapat sebuah ide yang bagus. Perlahanlahan dia mengeluarkan pukulan Angin Saljunya. Dan bukan Pukulan Bayangan Sukma.
Asap yang mengepul putih yang keluar dari kedua tangannya tadi, merupakan angin dingin yang keluar dari pukulan Angin Saljunya. Sepintas memang mirip asap. Dan yang melihatnya pun yakin kalau itu adalah Pukulan Bayangan Sukma.
Ketika dia menghantamkan pukulan itu ke perutnya, diturunkannya tenaganya yang terangkum di kedua tangannya. Sementara tubuhnya sudah dialiri tenaga dalam dan hawa murni.
Madewa berharap, Baruna dapat dikelabui. Dan ternyata manusia itu memang dapat dikelabuinya.
Dia pun berlagak terkulai dan mati akibat pukulannya itu. Sementara saat Baruna terbahak dan merasa menang, Baruna menjadi lengah. Saat itulah secepat gerakan kilat, Madewa bergerak mendekati Baruna dan menghantamkan pukulannya ke leher Baruna yang melihat kaget.
Mereka tidak melihat Madewa sudah bergerak cepat dan tahutahu sudah berada di belakang Baruna.
Baruna sendiri saat itu kaget luar biasa. Dia hendak kembali menyandera Ratih Ningrum. Tetapi wanita itu telah melompat bersalto ke depan begitu dirasakannya cengkeraman Baruna mengendor.
"Kau?" sekali lagi dia hanya bisa melontarkan kata itu pada Madewa.
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana.
"Ya... inilah aku..."
"Bu... bukankah kau sudah mati akibat pukulanmu sendiri?" tanya Baruna terbata, hingga hilang semua keangkuhan dan kesombongannya.
"Kau gelap mata rupanya, Baruna! Kau hanya memandang sebelah mata padaku! Kau tak menyadari betapa tingginya langit dan dalamnya lautan?" Madewa tersenyum. "Hmm... katakanlah, siapakah sebenarnya Iblis Berbaju Hijau itu, Baruna?" Baruna yang masih tidak percaya kalau Madewa Gumilang masih hidup, tergagap. Dan tanpa disadarinya mulutnya terbuka, "Dia ... dia adalah seorang wanita muda yang sangat cantik... Dan memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi... Dia ... dia juga memiliki sebuah pedang mestika yang hebat dan ampuh. "
"Pedang mestika apa itu?" "Pedang Malaikat Pedang Sakti." "Malaikat Pedang Sakti?"
Baruna mengangguk. Kedua sorot matanya kosong, seakan masih tidak yakin kalau yang berdiri di hadapannya Madewa Gumilang.
Ratih Ningrum sendiri sebenarnya pun terkejut. Namun dia tidak mempersoalkan lagi, yang penting suaminya masih hidup
Tibatiba sepasang mata Baruna bersinar, berkilat menyeramkan. Dan lakilaki berwajah seram itu lambat laun sadar kalau dia dibobongi oleh Madewa Gumilang.
Tentu saja Madewa tidak sebodoh itu membunuh dirinya sendiri dengan pukulan saktinya. Tentunya dia melepaskan sebuah pukulan yang ringan dan pukulan itu bukanlah pukulan andalannya. "Bukan Pukulan Bayangan Sukma!”. Mulut Baruna membentak, "Bangsat!
Kau menipu aku, Madewa!"
"Baruna... untuk orang seperti kau, agaknya segala kelicikan yang telah kau lakukan, hanya patut dibalas dengan kelicikan pula!
Kau tak ubahnya bagaikan seekor srigala berbulu domba, Baruna..."
Baruna menggeram. Kesadarannya makin pulih dan menyadari kalau dia jelasjelas telah dibohongi.
"Setttaaaan!! Kau harus membayar semua perlakuan bohongmu itu, Madewa!" geramnya sambil menyiapkan tombaknya. Dia pun memutar—mutar hingga menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
"Baruna... sadarlah kau. Insyaflah, Baruna... karena kau berada di jalan yang salah..."
"Jangan berkhotbah, Madewa!" geram Baruna yang merasa sangat jengkel sekali.
Sementara matahari sudah tepat berada di kepala. Sinarnya cukup menyengat.
Sedangkan Ratih Ningrum yang cukup jengkel karena tadi dijadikan sandera, menggeram marah. Dia pun menggebrak maju sambil meloloskan sepasang pedang kembarnya.
Pedang kembar warisan gurunya yang bernama Mukti (baca : Dendam OrangOrang Gagah).
"Baruna! Kau hadapi aku!!" serunya sambil menyerang.
Baruna pun dengan cepat menangkis serangan sepasang pedang Ratih Ningrum dengan tombak mautnya. Gerakannya pun tak kalah cepat dan hebatnya. Penuh tenaga.
"Trok! Trok!"
Berkalikali kedua senjata itu beradu. Baruna pun meningkatkan permainan tombak mautnya, yang kadang menangkis, memukul, menusuk dan menotok dengan pangkalnya.
Ratih Ningrum pun mempergencar serangannya pula, Kali ini dia memadukan jurus pedangnya dengan jurus Pukulan Tangan Seribunya, yang membuat sepasang pedang itu bergerak bagaikan menjadi seribu.
Baruna sendiri kaget melihat hal
itu.
"Tak siasia kau menjadi istri
Madewa Gumilang!" seru Baruna. dan menangkis tusukan pedang yang mengarah pada lehernya. "Trok!!"
Kembali senjata itu berbenturan.
Tetapi sampai sejauh itu belum ada yang kelihatan terdesak. Keduanya masih samasama tangguh dan hebat. Seranganserangan yang mereka lancarkan cepat dan penuh tenaga.
Namun memasuki jurus ke delapan belas, sebuah pedang yang berada di tangan kiri Ratih Ningrum menggores bahu kanan Baruna hingga mengeluarkan darah.
Baruna meaggeram. Dengan beringas dia kembali menyerang Ratih Ningrum. Sambaransambaran tombaknya begitu sa dis dan berbahaya.
Tetapi Ratih Ningrum adalah wanita tegar yang sudah makan asam garam. Dia sudah puluhan bahkan ratusan kali bertarung dengan cara matimatian.
Seranganserangan dan desakan Baruna tetap dilayaninya dengan balasanbalasan yang samasama hebat dan tangguh.
""Bangsat!" geram Baruna yang sekian lama belum maupun mendesak Ratih Ningrum.
Bahkan dengan satu gebrakan dan seruan yang kcras, Ratih Ningrum berhasil menyambarkan kembali pedangnya kepangkal lengan Baruna. "Crass!!"
Lengan kanan itu pun buntung menge luarkan darah. Dan pemiliknya menjeritjerit kesakitan.
Ketika Ratih Ningrum hendak menusukkan pedangnya untuk menghabisi Baruna, melesat sosok tubuh yang dengan cepatnya menotok Baruna hingga kaku. Lalu menotok pangkal lengan Baruna yang mengeluarkan darah hingga darahnya berhenti.
"Tenanglah, Dinda..." seru sosok itu yang ternyata Madewa Gumilang. "Kita tidak boleh telengas pada lawan yang telah kalah..."
Ratih Ningrum terdiam.Mendesah. Merasa malu karena dia nampak begitu buas dan kejam.
“Maafkan Dinda, Kanda..."
Baruna yang merasa kekalahan sudah di ambang pintu tak berani berbuat banyak. Sedikitnya dia merasa ditolong oleh Madewa dengan jalan menghentikan pendarahannya.
Namun begitu teringat tugas yang diberikan oteh Iblis Berbaju Hijau gagal dilaksanakan, juga ingat akan sanksi yang diberikan, membuatnya menjadi bingung. Maka ketika Madewa bertanya di mana gerangan Iblis Berbaju Hijau berada, Baruna langsung menjawab.
"Dia mendiami Lembah Pasir Putih..."
"Siapakah dia sebenarnya, Baruna?" "Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tahutahu dia datang menaklukkanku saat aku tengah memperkosa seorang gadis. Dan dia mengalahkan aku." "Hmm.... berapa lagi pengawal yang
menemaninya?"
"Tinggal dua. Martungga dan Kumpala. Sedangkan Roro Dewi entah di mana."
Madewa mendesah. Memperhatikan Baruna yang sedang menahan sakit.
"Madewa..." desis Baruna kemudian. "Secara jujur kuakui... bahwa aku kagum dari salut padamu... Sebagai seorang pendekar yang budiman, sikap, tutur kata dan tingkah lakumu... memang pantas membuatmu menyandang gelar pendekar budiman. Sedangkan kesaktian dan kehebatan ilmu yang kau miliki, memang patut kau menyandang sebutan sebagai manusia dewa...Dan di hari ini, aku Baruna atau si Tombak Maut... menyatakan kekaguman yang sekagumkagumnya padamu, Madewa Gumilang..." "Baruna... aku tetaplah manusia seperti kau. Juga seperti manusia lainnya. Kita tidak beda. Mungkin... yang membedakan kita hanyalah nafsu yang ada dalam diri kita. Nafsu yang kadang membelenggu dan sukar dikendalikan. Sebagai manusia... kita janganlah terlalu dikekang oleh nafsu, jangan terlalu membesarkan nafsu...jangan diperbudak nafsu... Malah”.
"Madewa... aku sangat beruntung dapat berjumpa dengan manusia sakti seperti kau... Pendekar Budiman yang gagah perkasa..." kata Baruna sambil menahan rasa sakit di tangannya. Dan tibatiba Baruna berdiri dengan susah payah. Lalu mengambil tombaknya... "Madewa... aku salut padamu..."
Sehabis berkata begitu, dia bergerak dengan cepat. Tombak di tangannya berputar. Ujungnya yang runcing pun bergerak dengan cepat. Menusuk jantungnya sendiri.
Madewa tersentak. Ratih Ningrum memekik.
Para murid Perguruan Topeng Hitam berseruseru kaget.
Tetapi darah sudah menyembur dari jantung Baruna. Lalu perlahanlahan tubuh itu ambruk. Matanya masih membuka, membayangkan satu kepedihan yang amat sangat.
"Selamat tinggal... Orang gagah..." desisnya, lalu kepalanya pun terkulai. Dan ambruk dengan darah yang membasahi sekujur tubuhnya.
Orangorang tak ada yang menyangka Baruna akan berbuat seperti itu.
Madewa mendesah panjang.
Menatap langit yang tibatiba berubah menjadi mendung.
"Kejahatan ternyata masih terus berlangsung... Oh, Tuhan... sampai kapankah kejahatan itu akan berhenti?" Lalu dia memerintahkan beberapa mu
ridmuridnya untuk menguburkan mayatmayat yang bergeletakan.
Madewa sendiri mempunyai rencana untuk segera pergi ke Lembah Pasir Putih.
***
9
Lembah Pasir Putih malam hati.
Nampak sosok berbaju hijau keluar dari bangunan megah yang terdapat di tengahtengah Lembah Pasir Putih. Sosok itu tak lain adalah Puji Wening yang tengah heran mengapa empat orang anak buahnya belum kembali pula malam hari begini.
"Hmm... rupanya mereka sudah berani membangkang perintahku..." desisnya dengan sepasang rahang terkatup rapat, menandakan dia sedang geram. "Rupanya mereka ingin bertingkah seperti Roro Dewi... Anjinganjing buduk, kalian akan mampus di tanganku secara mengerikan!!"
Angin malam berdesir. Dingin menusuk.
Puji Wening tegar berdiri dengan baju hijaunya yang berkibar ditiup angin.
Tibatiba beberapa pengawalnya yang terdiri dari orangorang yang diculiknya berbisikbisik begitu melihat wajah Iblis Berbaju Hijau.
"Coba kau perhatikan sekali lagi, bukankah wajahnya sangat mirip dengan Puji Wening? Anaknya Baguspuro?"
"Hei, kau benar. Memang mirip sekali. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Rasanya tidak mungkin."
"Aku juga tidak menduga dia. Wanita itu bagai iblis belaka. Sedangkan Puji Wening sangat ramah meskipun dia agak genit..."
"Tapi wajahnya memang mirip dia!" "Baiknya kita tanya Baguspuro saja.
Bukankah dia menjadi pengawal bagian Timur?"
"Ayo, kita ke sana!"
Dua orang desa Glagah Arum yang diculik Puji Wening itu pun mengendapendap ke bagian penjagaan sebelah timur.
Mereka menemui Baguspuro yang sudah tentu sangat heran mendengarkan penuturan keduanya.
"Mana mungkin di dunia ini ada wajah yang sama. Kalau mirip masih mungkin." "Bagus... ini bukan saja mirip, tapi
memang serupa!"
"Bila kau masih menyangsikan, lebih baik kau melihat saja. Ayo ikut kami! Mumpung wanita iblis itu masih berdiri di luar istananya!"
Lalu kedua orang itu bersama Baguspuro pun berjalan kembali ke tempat semula.
Dan memperhatikan sosok berbaju hi jau yang masih berdiri dengan sikap gagah menantang angin malam.
Baguspuro sedikit terperanjat. Dia menelan ludahnya berkalikali. Tidak salah lagi, itu memang anaknya! Puji Wening yang hilang lima tahun yang lalu! Oh, Tuhan... akhirnya dipertemukan juga dia dengan anaknya.
Tetapi mengapa anaknya menjadi sedemikian kejam? Dan bagaimana tibatiba dia memiliki ilmu kesaktian yang amat tinggi?
Sejenak Baguspuro menyangsikan pandangannya. Tetapi akhirnya dia menjadi nekat, perlahanlahan dia beranjak mendekati Puji Wening.
"Ratu..."desisnya sambil menunduk. Puji Wening melirik. "Apa?"
Oh, kasar sekali.suara itu! Berarti bukan anaknya! Dan nampaknya dia tidak mengenali sedikit pun.
Tetapi sosok di hadapannya memang sama dengan putrinya. Hatihati Baguspuro mengangkat kepalanya. Dadanya berdetak lebih cepat dari tadi.
Benar, dia anaknya! Benar... wanita ini anaknya! Oh mengapa dia menjadi sedemikian kejam? ,
"Puji Wening..." panggilnya hatihati.
Puji Wening atau yang lebih dikenal dengan Iblis Berbaju Hijau menatap lakilaki setengah baya yang sedang menatapnya. “Hmm, berani sekali dia menatap wa jah ku? Apakah lakilaki itu sudah bosan hidup”.
"Kau... kau tidak mengenaliku, Nak?" desis Baguspuro pilu.
Tetapi wajah di hadapannya tetap dingin. Sepasang matanya memancarkan si nar kesal dan marah.
"Mau apa kau orang tua?!"
Baguspuro makin merasakan pilu di dadanya. "Puji...kau tidak mengenali aku, Nak?"
"Puji Wening? Hei, Bapak tua! Kau bicara apa?!" bentak Puji Wening yang tengah dipengaruhi oleh sinar aneh dari pedang mestika Malaikat Sakti. Dia sedikit pun tak menyadari lagi siapakah dia sebenarnya. Dia benarbenar telah melupakan segalanya.
Lagi Baguspuro menelan ludahnya. Anakku kenapa? Kenapa dia? Mengapa dia tidak mengenalku? Siapa yang telah mempengaruhinya?
Tibatiba muncul Martungga dan Kumpala.
Keduanya sedikit heran melihat lakilaki setengah baya yang membungkukbungkuk itu mengakuaku sebagai ayahnya Iblis Berbaju Hijau. Tetapi mereka kemudian tidak perduli. Mereka punya berita yang sangat penting.
"Salam hormat buat Ratu..." kata keduanya sambil menjura.
"Hmm... Martungga dan Kumpala... ada apa?"
"Kami menemukan Roro Dewi sudah menjadi mayat di tepi hutan menuju desa Glagah Arum, Ratu..." kata Martungga masih tetap menjura.
"Apa?!"
"Sungguh, Ratu... yang kami lihat benar adanya..." sambung Kumpala.
"Bangsat!!" Iblis Berbaju Hijau menggeram. "Siapa yang beraniberaninya membunuh Roro Dewi, hah?!"
Martungga dan Kumpala hanya ter diam.
Tibatiba terdengar suara lakilaki setengah baya yang masih berdiri di dekat mereka.
"Puji... sadarlah, Nak.. Tingkah dan perbuatanmu sudah melampaui batas..."
"Hei, Orang tua! Omong apa kau di sini, hah?!" bentak Martungga.
"Orang gagah.. .sadarkanlah anakku itu.. bahwa dia telah jauh berada dalam kesesatan.." kata Baguspuro masih menghormat.
"Anakmu? Siapa anakmu?! Kau jangan mengigau orang tua!"
Baguspuro menelan ludahnya. Dia te tap meratapratap dan mengakuaku kalau Iblis Berbaju Hijau adalah anaknya.
Sementara Puji Wening menggeram marah.
Dia hendak mengibaskan tangannya, untuk membunuh lakilaki ini. tetapi mendadak dari sebelah barat terdengar ributribut.
"Awas! Jangan sampai lolos!" "Kepuuung!!"
"Sikat!" "Hajaaaaar!"
Dari bagian istana sebelah barat, muncul sosok tubuh yang berkelebat cepat. Lalu menyusul beberapa pengawal istana Iblis Berbaju Hijau yang bergerak mengejar.
Iblis Berbju Hijau menjadi siaga. Dia tidak menghiraukan lagi lakilaki yang mengakuaku sebagai ayahnya. Sudah tentu semua keinginan Baguspuro siasia belaka. Karena Puji benarbenar telah di kuasai oleh pengaruh pedang mestika itu. Martungga dan Kumpala sendiri segera bersalto menghadang larinya lakilaki tadi.
Lakilaki yang ternyata Pranata Kumala . pun menghentikan larinya. Dia pun menjadi siaga. Dalam hati dia menggeram. Belum dia mendapatkan Kembang Pasir Putih , sudah terpergok oleh para penjaga istana Iblis Berbaju Hijau.
Pranata tahu mereka adalah para penduduk desa yang diculik dan secara paksa dijadikan pengawal. Itulah sebabnya dia memilih menghindar daripada menjatuhkan tangan telengas pada mereka. Namun sekarang, tak ada jalan lain karena barisan itu sudah mengepungnya. Lalu dilihatnya dua sosok tubuh besar dan wajah menyeramkan
menghadangnya.
Juga sosok tubuh tinggi langsing dengan mengenakan baju berwarna hijau. Inikah Iblis Berbaju Hijau? Sungguh cantik sekali.
"Hei, orang muda!" bentak Martungga. "Kau mencari mati berani datang ke sini!"
"Maaf.. namaku Pranata Kumala. Aku datang ingin meminta Kembang Pasir Putih pada kalian..." Martungga tahu, khasiat apa yang terdapat pada Kembang Pasir Putih. Kembang satusatunya yang bisa dijadikan sebagai obat penangkal racun dari Pukulan Kembang beracun. Dan satusatunya yang memiliki pukulan itu hanyalah Roro Dewi! Ada apa pemuda ini sampai mencari Kembang Pasir Putih?
Martungga mencetuskan dugaannya. "Hmm... kaukah yang telah membunuh Roro Dewi?"
Pranata Kumala pun segera tanggap. Mungkir pun tak ada gunanya, karena dia yakin orang ini tahu sebab apa dia mencari Kembang Pasir Putih.
"Maafkan eku, Kisanak... Memang... akulah yang telah membunuh manusia jahat itu.."
"Bunuhlah dia, Martungga, Kumpala!!" terdengar seruan dingin yang dilontarkan oleh Iblis Berbaju Hijau.
Serentak Martungga dan Kumpala menyerang. Pranata Kumala pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pukulan, sodokan dan tendangan mereka.
Maka dia pun membalas dengan cepat dan tangguh.
Martungga terus menyerang dengan tak kalah hebatnya. Kumpala yang bergelar Iblis Tangan Delapan pun Segera mengeluarkan ilmunya jurus Tangan Delapan, yang bergerak dengan cepat.
Pranata Kumala sendiri sudah mengimbanginya dengan jurus Tangan Bayangannya. Dan sekalisekali melontarkan pukulan sinar merahnya.
"Siiiing!" "Siiiing!"
Pukulan itu mampu membuat Martungga dan Kumpala kalang kabut untuk menghindar.
Pada jurus ke sepuluh, terdengar jeritan Kumpala. Tubuhnya kena terhantam pukulan sinar merah Pranata Kumala. Tubuh itu pun ambruk ke tanah dan hangus masih mengeluarkan asap. Lalu dia pun meregang nyawa.
Melihat hal itu, Martungga menjadi sangat geram. Dia meningkatkan lagi seranganserangannya. Yang dilakukan dengan secara cepat dan hebat.
Sejenak kehilangan keseimbangan ka rena seranganserangan itu datang dari delapan penjuru. Yang membuatnya kalang kabut menghindar dia pun sudah menggunakan jurus menghindarnya, jurus Kijang Kumala. Yang mampu membuatnya bergerak selincah dan secepat seekor kijang.
Tibatiba Pranata bersalto ke depan sambil memekik. Dia melompati tubuh Martungga Dan begitu kakinya hinggap di bumi, tubuhnya indenting kembali dan kedua telapak tangannya menghantam bagian punggung Martungga yang tersuruk kedepan.
"Aaaaaakkkh!!"
Pranata pun tak mau menyianyaiakan kesempatan yang ada padanya. Dia taerputar bersalto sambil melepaskan pukulan, sinar merahnya.
"Siiing!" "Aaaaakhhhhh!!"
Terdengar pekikan Martungga untuk kedua kalinya. Kali ini dia yang termakan pukulan sinar merah Pranata Kumala. Dan ambruk untuk selamalamanya.
Pranata yang masih berada di udara, tibatiba merasakan sebuah angin besar berdesir ke arahnya.
Sosok berbaju hijau sudah menyerangnya dengan hebat.
"Hei!!" jerit Pranata terkejut.
Iblis Berbaju Hijau sudah bergerak secara hebat dan tangguh. Kedua tangannya seperti mempunyai mata, mencecar ke mana perginya Pranata Kumala Sebisanya Pranata Kumala menghindar, namun sebuah gedoran berhasil menghantam dadanya hingga dia terhuyung.
Lalu sosok berbaju hijau itu melenting ke belakang.
"Hhhh! Hanya begitu saja kemampuanmu!" desisnya dengan senyum dingin dan sepasang mata bersinar membunuh.
"Iblis betina! Meskipun kau dapat membunuhku, sejengkal pun aku tak akan lari untuk melawanmu!" balas Pranata yang merasakan dadanya bagai dihantam godam besar.
"Baik! Aku memang sudah ingin membunuhmu!!" seru Iblis Berbaju Hijau dan melenting menyerang.
Seranganserangannya ganas dan berbahaya. Cepat dan mematikan. Meskipun Pranata sudah menggunakan jurus Kijang Kumala, namun kelebatan Iblis Berbaju Hijau sangat luar biasa sekali. Sulit diikuti oleh mata.
Sekali lagi satu gedoran menghantam Pranata.
Disusul dengan satu tebasan pada kaki kirinya. Membuat Pranata ambruk. Kakinya bagai mau patah dia rasakan. "Terimalah ajalmu, Orang sombong!!" sambil menggeram Iblis Berbaju Hijau menderu maju.
Pranata hanya bisa memejamkan matanya menanti ajal. Namun satu keanehan terjadi. Bukan Pranata yang terdengar memekik tetapi malah Iblis Berbaju Hijau. Dan tubuhnya melayang deras ke belakang.
Dan berdirilah sosok berjubah putih yang tersenyum arif dan bijaksana.
"Ayaaaah!!" seru Pranata Kumala be gitu membuka matanya.
Sosok itu memang Madewa Gumilang yang telah tiba untuk mencari Iblis Berbaju Hijau. Sementara wanita iblis itu membelalakkan matanya, karena terkejut tak menyangka dia akan menghantam suatu tembok.
"Hhh! Siapa kau adanya, hah?!" "Namaku Madewa Gumilang..." * "Rupanya kau yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma! Bagus, kau akan menerima kematianmu di Lembah Pasir Putih ini!" bentak Iblis Berbju Hijau sambil menyerang.
Madewa pun segera menyambut dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu menggebrak maju dengan Pukulan Tembok Menghalau Badai. Karena dia berpikir, kesaktian wanita ini begitu tinggi. Jadi dia tidak sungkansungkan untuk membalas.
"Des!"
Pukulannya masuk mengenai sasarannya membuat wanita itu makin murka. Dia kembali menyerang dengan ganas, cepat, berbahaya dan mematikan. Jurusjurusnya penuh tenaga dalam yang kuat.
Madewa pun mengimbanginya dengan tak kalah hebatnya. Kini dia mengeluarkan pukulan Angin Salju, karena dirasakannya hawa aneh yang panas terpancar dari tubuh wanita iblis itu.
"Des!" *
"Des!"
Namun keanehan terjadi. Tubuh Ma dewa yang terpental. Madewa jelas merasakan kalau wanita itu dipengaruhi oleh sesuatu.
Lalu dia terdiam. Berkonsentrasi membuka ilmu Pandangan Menembus Sukmanya sementara Iblis Berbaju Hijau terbahak. "Hahaha... hanya begitu kemampuan
Madewa Gumilang!"
Sementara Madewa menemukan kalau pengaruh aneh itu terpancar dari pedang yang tersampir di punggung wanita itu. Dan dia pun lebih yakin setelah mendengar suara Baguspuro,
"Saudara Pendekar... jangan bunuh anakku. Dia gadis baikbaik... entah mengapa dia menjadi begitu sadis dan ke,jam...".
Yakin wanita itu dipengaruhi oleh sinar yang keluar dari pedang yang tersampir dipunggungnya, Madewa bermaksud untuk memusnahkan pedang itu, Lalu nampak dia terdiam. Dan kedua tangannya perlahan terangkum di dada. Nampaklah asap berwarna putih keluar. Itulah Pukulan Bayangan Sukma.
Dia pun menderu maju tanpa bermaksud untuk melukai wanita itu.
Iblis Berbaju Hijau yang dipengaruhi sinar aneh dari pedang itu pun meloloskan pedangnya. Pedang itu memancarkan sinar keemasan. Madewa melihat wanita itu jadi makin bernafsu untuk membunuh.
Seranganserangannya makin ganas. Setiap kali pedang itu berkelebat menimbulkan hawa dingin yang menusuk. Madewa pun bekalikali memapaki.
Dan... "Des!" ujung pedang yang siap menyambar jantungnya dihantamnya dengan Pukulan Bayangan Sukma. Iblis Berbaju Hijau terpekik dan terpental.
Sementara pedang itu hangus dan hancur menjadi debu. Madewa bersalto sambil menunggu apakah pengaruh aneh itu masih membelenggu.
Baguspuro pun memekik saat anaknya terpental dan pingsan. Tapi beberapa menit kemudian, gadis itu pun siuman. Wajahnya pias, tidak ada sinar dari pancaran matanya nafsu membunuh.
Malah dia terkesan bingung.
"Oh! Bapa? Apa yang telah terjadi?" Menyadari anaknya telah pulih kembali, Baguspuro mendekap anaknya
eraterat.
"Puji... anakku..."
"Bapa... apa yang telah terjadi, Pak?" tanya Puji Wening yang bagaikan baru, bangun dari tidurnya.
"Tidak apaapa Nak... Semua sudah berakhir.."
Madewa tersenyum. "Cepat kau cari Kembang Pasir Putih... Dan sembuhkan istrimu..." Lalu bayangan berjubah putih itu berkelebat dan menghilang.
Pranata mendesah. Ayahnya sudah tahu soal itu. Lalu dia pun segera mencari Kembang Pasir Putih, untuk mengobati. istrinya tercinta.
SELESAI
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 08 Iblis Berbaju Hijau"
Post a Comment