Serial Pendekar Bayangan Sukma: 06 Kakek Sakti dari Gunung Muria
06 Kakek Sakti dari Gunung Muria
1
Sesudah berkata begitu, dia melesat dengan pedangnya. Menyambar ke arah Ratih Ningrum, tetapi serangan itu kandas karena beberapa orang murid telah memapaki serangan itu.
"Boleh, boleh! Kalian semua boleh menghadapiku! Bersiaplah kalian!"
Ratih Ningrum mencabut sepasang pedang kembarnya. Ia menyuruh Pranata Kumala masuk. Ratih Ningrum menyadari, betapa tingginya ilmu orang itu. Dulu dia pernah mendengar nama Dewa Pedang dan baru kali ini dia bertemu langsung dengan orangnya.
Tidasewu melancarkan serangannya lagi. Pedangnya itu bergerak dengan cepat dan tepat. Bergulung-gulung tanpa kelihatan ke mana arahnya dan menyambar dengan cepat. Beberapa orang murid memapaki dengan gerakan cepat pula. Sebisa mereka menghalau serangan yang datang. Tetapi mereka bukanlah tandingan orang yang berjuluk Dewa Pedang itu, sebentar saja lima orang tergeletak tanpa nyawa.
Tetapi semakin banyak murid-murid yang datang dan mengurung. Seorang murid utama yang bernama Jayalaksa, nekat menyerang sendiri. Tidasewu menyambut, benturan dan suara nyaring pedang-pedang itu amat memekakan telinga. Mula-mula kelihatan mereka seimbang, namun lama kelamaan jelas Jayalaksa tidak mampu mengimbangi kecepatan, kelihaian, dan ketangkasan permainan pedang Tidasewu.
Tahu-tahu dia menjerit. Ujung pedang Tidasewu sudah mampir di bahunya. Bahu itu tergores dan darah merembas. Jayalaksa buru-buru mundur.
Begitu dia mundur, yang lain segera menyerang maju. Lagi-lagi terdengar jeritan dan suara nyaring benturan pedang. Kembali Pedang Tidasewu dengan kecepatan yang luar biasa berkelebat dan tahu-tahu tinggal dia sendiri, lawanlawannya ambruk bersimbah darah.
Ratih Ningrum menggeram marah. Melihat kenyataan itu, dia cepat maju. Lama kelamaan bisa habis seluruh murid perguruan Topeng Hitam. Sambil memekik keras, dia maju menyerang. Kedua pedangnya menyambar dengan cepat pula. Jurus sepasang pedang kembarnya dia perlihatkan dengan trampil dan cekatan.
Kalau bukan Dewa Pedang yang menghadapi, pasti dengan mudah Ratih Ningrum mengalahkannya. Tetapi Tidasewu adalah jago pedang nomor satu saat ini. Dengan mudah dia mengelakkan setiap serangan Ratih Ningrum. Bahkan membalas dengan dahsyatnya.
Ratih Ningrum menjadi kewalahan. Tidasewu mendesaknya dengan hebat. Tusukan dan sabetan pedangnya mengancam jiwa Ratih Ningrum. Melihat itu, Jayalaksa, nekat maju menyerang lagi, kali ini dibantu oleh Nurtita, yang lumayan pula permainan ilmu pedangnya. Dikeroyok bertiga, Tidasewu masih tidak kewalahan. Dia malah semakin memperlihatkan kepandaiannya dalam ilmu pedang.
Tiba-tiba dia memekik keras. Tubuhnya melenting ke atas, bersalto tiga kali dan pedangnya dengan cepat menyambar Nurtita. Dengan gesit Nurtita bergulingan, Tidasewu mengejar, tetapi mendadak dia terjatuh.
Pada saat yang genting itu, Jayalaksa telah melemparkan beberapa senjata rahasianya dan tepat mengenai kedua tangan Tidasewu. Satu senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam itu, nancap di pahanya.
Tidasewu ambruk bergulingan. Nurtita selamat dari ancaman pedangnya. Dia marah karena dirinya menjadi bulan-bulan tadi, dengan geram dia menerjang.
Mendadak dia bersalto ke belakang, sebuah pisau hampir menyambarnya. Wajah Nurtita agak pias, hampir saja pisau itu mencabut nyawanya.
Tiba-tiba terdengar tawa yang menyeramkan dan terkikik di atas tembok, semua menoleh ke sana. Seorang laki-laki muda berwajah tampan dan seperti bocah berdiri dengan mengayunngayunkan sebuah pisau. Di sampingnya berdiri seorang wanita yang sangat buruk rupanya. Betapa jeleknya wajah wanita itu, Ratih Ningrum sampai ngeri melihatnya. Tetapi ditahannya. Dia sudah bisa menduga siapa orang-orang ini, pasti teman dari orang kurus tinggi itu. Keduanya melompat ke bawah dengan ringan. Laki-laki bertampang bocah itu tertawa mengejek pada Tidasewu,
"Ha... ha... kau tidak mampu menghadapi mereka rupanya.... Sudah kubilang, kita gempur mereka sama-sama. Tetapi yah... itulah akibatnya "
"Jangan banyak bacot kau, Angkasena!" bentak Tidasewu gusar. "Mereka terlalu banyak, tenagaku habis diperas mereka!"
"Salahmu sendiri. Untung pisauku cekatan menghalangi kematianmu."
Tidasewu gusar. Sementara Ratih Ningrum sudah menyuruh murid-muridnya berkumpul, menghalangi jalan masuk ke ruangan dalam. Ratih Ningrum sendiri segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jayalaksa menahan sedikit rasa sakitnya. Nurtita sudah agak tenang. Dia geram dengan laki-laki bertampang bocah itu.
"Rupanya kalian teman-teman orang kurus itu!" bentak Nurtita geram. "Kalian mau apa semuanya ke mari?"
"He... he..." Angkasena tertawa. Lagi tertawa itu, wajahnya mirip dengan Pranata Kumala. "Sudah tentu ingin menghangus bumikan perguruan Topeng Hitam. "
"Kenapa kalian ingin berbuat demikian?!" "Tentu saja agar semua takluk di tangan
kami!" Angkasena memain-mainkan pisaunya. Tiba-tiba ia mengibaskan tangannya dan pisau terbang menyambar ke arah Nurtita. Nurtita berkelit dan menangkis pisau itu. "Trang!"
Nurtita membentak, "Kau! Cepat layani aku!" Lalu ia menyerang dengan cepat. Kemarahannya sudah sampai di kepala. Angkasena tertawa. Ia menghindar dengan cepat pula. Nurtita menjadi penasaran. Tetapi pedangnya tidak menemui sasaran yang tepat.
Mendadak Angkasena berguling dan sambil berguling itu dia mengambil sesuatu dari balik bajunya dan melempar dengan cepat.
"Wuttt!"
Nurtita tergagap, menghentikan serangannya untuk menghindari pisau itu. Angkasena terbahak, dia melempar tiga buah pisau secara beruntun. Nurtita hanya mampu mengelakkan sebuah pisau dan menangkis sebuah. Yang sebuah lagi melayang dengan enaknya dan menemukan sasaran yang empuk. Jantung Nurtita.
Nurtita menjerit. Darah bersimbah keluar, ia ambruk setelah terhuyung lebih dulu. Jayalaksa kaget melihatnya. Kawan seperguruannya sejak kecil, kini menemui ajalnya. Demi membela nama baik perguruan Topeng Hitam. Dia menjadi beringas. Ketika hendak menyerang, Ratih Ningrum melarang.
"Sabar, Jaya. Kita dengarkan dulu apa sebenarnya kemauan mereka!"
Rupanya wanita yang berwajah buruk itu, mendengar bisikan Ratih Ningrum. Ia Sumpila dan tertawa ngikik. "Sudah jelas, untuk menduduki perguruan Topeng Hitam dan menurut kepada perintah kami!"
Akhirnya Ratih Ningrum sendiri yang tidak bisa menahan dirinya. Ia menyarungkan kedua pedangnya karena lawannya yang bermuka buruk itu tidak memegang senjata. Dia maju menyerang dengan pukulan tangan seribunya. Tangannya bergerak menjadi banyak. Sumpila tidak mau kalah, jurus-jurus bangaunya bergerak dengan hebat pula. Kadang mematuk, menyodok, memukul bahkan menotok. Membuat Ratih Ningrum agak kewalahan juga. Tetapi dia bisa mengimbangi dengan kecepatan tangannya yang seakan berubah menjadi banyak.
Sumpila menggerakkan tangannya ke atas dan mematuk ke arah kepala, Ratih Ningrum berkelit, tangan Sumpila sudah mengancam ke leher! Ratih Ningrum menggerakkan tangannya menangkis.
"Plak!" Kedua tangan itu bertemu dan keduanya terdorong ke belakang lalu cepat menyerang kembali. "Des!" Kembali kedua tangan itu bertemu, kali ini keduanya agak jauh terdorong.
Ratih Ningrum terhuyung lima langkah, sedangkan Sumpila hanya dua langkah. Itu menandakan tenaga dalam Sumpila lebih tinggi dari Ratih Ningrum. Tetapi Ratih Ningrum tidak gentar, dia malah maju kembali dengan erangan keras. Sumpila menyambut. Kembali pukulan demi pukulan beradu dan ditangkis. Ketrampilan dan kecepatan keduanya perlihatkan.
Sumpila kelihatan lebih gesit. Dia bersalto ke belakang dan mendadak tubuhnya berguling ke bawah. Dia sudah menggunakan jurus Bangau Mencari Cacing. Tubuh itu bergulingan dan mematuk kaki Ratih Ningrum. Cepat Ratih Ningrum melompat tetapi tiba-tiba Sumpila bangkit dan bagaikan terbang menotok ke arah iga Ratih Ningrum. Sebisanya Ratih Ningrum mengelak.
"Des!" Kaki Sumpila menyambar tubuh Ratih Ningrum hingga jatuh bergulingan.
Melihat Ratih Ningrum dalam keadaan bahaya, beberapa orang murid perguruan Topeng Hitam bergerak mengurung. Tetapi semua langsung berdiri kaku karena Sumpila sudah berkelebat dan menotok mereka dan meneruskan serangannya kepada Ratih Ningrum yang sedang berusaha untuk bangkit. Dia merasa payah, tidak sanggup untuk menghadapi Sumpila, wanita berwajah buruk yang sakti itu.
Dan melihat Sumpila sudah menyerang begitu, sulit baginya untuk menghindar. Tetapi mendadak Sumpila bersalto. Jayalaksa sudah melempar beberapa senjata rahasia topeng hitam untuk menyelamatkan istri ketuanya. Padahal dia hanya untung-untungan. Kalah cepat sedikit, tamatlah riwayat istri ketuanya.
Jayalaksa lalu memburu Sumpila yang dalam posisi bersalto, kedua pedangnya siap menyambar nyawa Sumpila. Tapi kini dia berbalik bersalto. Dua buah pisau sudah menyambar ke arahnya
"Trang! Trang!"
Susah payah Jayalaksa menangkisnya.
Terdengar tawa Angkasena.
"Seorang kesatria tidak boleh main bokong! Mari kau kulayani! Aku ingin lihat, sampai di mana kehebatan ilmu pedang murid-murid perguruan Topeng Hitam!" seru Angkasena dan maju menyerang. Tangannya lurus memukul, Jayalaksa menyambarkan pedangnya. Angkasena cepat melompat dan kembali menyambarkan tangannya. Gerakannya benar-benar cepat. Jayalaksa kembali menyambarkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan menotok.
"Hebat!" seru Angkasena kagum. Ia balas menyerang. Kali ini kelincahan dan kecepatannya bergerak ia perlihatkan sampai Jayalaksa kewalahan sendiri. Benar-benar luar biasa. Apalagi ketika Angkasena melontarkan pisaunya sekalisekali, membuatnya semakin repot untuk bergerak dan menghindar.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah kembali berhadapan dengan Sumpila. Ratih Ningrum akan bertahan mati-matian demi membela perguruan itu juga nama baik suaminya. Sayang saat ini suaminya belum kembali, kalau sudah, dia tentu tak akan serepot ini menghadapi penyerang-penyerang itu.
Jurus bangau Sumpila benar-benar tangguh dan sulit untuk diimbangi. Hanya sekalisekali saja Ratih Ningrum bisa mengimbangi dengan pukulan tangan seribunya dan kini dia mengimbangi dengan kedua pedangnya. Tetapi biarpun demikian, Sumpila masih bisa menghindar dan tetap berada di atas angin, padahal dia bertangan kosong!
Tetapi suatu ketika Sumpila lengah, karena terdengar erangan Tidasewu yang terluka. Kesempatan itu digunakan Ratih Ningrum untuk menyabet leher Sumpila. Sumpila masih sempat mengelak, namun tak urung rambut yang dibanggakannya terbabat pendek.
Sumpila menggeram marah. Dengan beringas dia menerjang Ratih Ningrum yang menjadi sangat kewalahan dan terdesak. Apalagi kaki kanan Sumpila menjatuhkan sepasang pedang yang dipegangnya. Dan patuk bangaunya menotok urat di bawah tulang iga Ratih Ningrum.
Wanita itu merasakan sakit sekali dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Sumpila mencecar dengan buas. Rambut itu mahkotanya. Dia akan membunuh siapa saja yang merusaknya. Dan Ratih Ningrum telah merusaknya!
Keadaan Ratih Ningrum benar-benar terdesak. Ratih Ningrum sendiri sudah tidak mampu untuk bertahan, bahkan mengelak.
Sumpila memekik keras. Tangannya membentuk patuk bangau dan melayang, Ratih Ningrum merasa ajalnya sekarang tiba. Dia belum sempat bertemu dengan suaminya, juga belum mencium putranya.
Ia memejamkan mata menanti ajalnya datang! Tetapi mendadak terdengar jeritan Sumpila, dan tubuh itu ambruk sementara di dekatnya sebuah tongkat bambu kuning menancap dengan tegar!
2
Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang menghalangi perbuatan Sumpila itu? Semua mata mencari dan menemukan seorang laki-laki kirakira berusia enam puluh lima tahun duduk di sudut halaman.
Tak ada seorang pun yang tahu kapan dan bagaimana dia sudah duduk di situ. Pasti dia yang melemparkan tongkat bambu kuning itu. Gerakannya cepat. Itu menandakan laki-laki tua itu bukan orang sembarangan.
Sumpila yang sudah bangkit berbalik dengan geram. Ia membentak, "Kakek! Kau mau cari gara-gara rupanya! Kau belum tahu siapa aku?!" Sumpila mencabut tongkat bambu kuning dan melemparkannya sepenuh tenaga kepada laki-laki tua itu. Tetapi sungguh diluar dugaan. Laki-laki tua itu hanya mengangkat tangan kirinya dan tongkat jatuh secara mendadak
"Punya kehebatan juga kau, Kakek!" bentak Sumpila berang, padahal ia tengah menutupi kekagetannya. Siapa kakek berjenggot putih yang hebat ini?
Angkasena pun kagum dan bergetar melihat kehebatan tenaga dalam yang diperlihatkan kakek itu. Agaknya dia tahu kakek ini orang yang sakti, dia mengambil sikap menghormat. Dengan sopan menjura.
"Luar biasa siapa gerangan kakek ini adanya?" tanyanya dengan suara yang sopan pula.
Kakek itu tahu-tahu sudah berdiri, entah bagaimana dia bergerak tadi dan memungut tongkat bambu kuningnya. Ia terkekeh.
"He... he... aku adalah orang desa yang tak senang dengan orang-orang jahat," katanya parau.
"Kalau boleh kami tahu, siapa kakek sebenarnya?" tanya Angkasena tetap dengan sopan.
"Ah, aku yang sudah renta ini tak punya nama yang bagus. Kalau kalian mau tahu, akulah majikan gunung Muria yang baru saja turun gunung "
Sampai di situ kakek itu bicara, orangorang itu terkejut. Angkasena dan Sumpila sudah mendengar kehebatan majikan gunung Muria. Mereka pun mengenalnya, Ki Ageng Jayasih!
Orang itu memang Ki Ageng Jayasih. Setelah menderita luka dalam yang tidak begitu parah dari Madurka, Ki Ageng Jayasih menemukan sebuah goa. Di sana dia mengobati dan beristirahat untuk menyembuhkan lukanya. Setelah dirasakannya lukanya sudah agak sembuh, dia berangkat lagi hendak mencari muridnya yang murtad. Ketika itu, sampailah dia ke daerah sekitar perguruan Topeng Hitam berada dan secara tak sengaja telinganya menangkap suara benturan dan pekikan, yang menandakan sedang terjadi perkelahian di dalam.
Dengan hati-hati Ki Ageng Jayasih melompat dan saat itu keadaan Ratih Ningrum dalam bahaya, dia akan menolong tetapi Jayalaksa sudah menolongnya. Ki Ageng Jayasih melompat duduk, tak seorang pun ada yang memperhatikannya. Ketika Ratih Ningrum terancam untuk kedua kalinya, setelah dia berhasil membuat rambut Sumpila, barulah Ki Ageng Jayasih melemparkan tongkat bambu kuningnya.
Sekarang dia tersenyum.
"Maaf, aku yang tua ini lancang mengganggu urusan kalian yang muda-muda. Kalau boleh aku tahu, ada apa gerangan?"
Belum lagi Sumpila menyahut, Jayalaksa lebih dulu berkata, "Maaf, kakek yang sakti! Semua kejadian ini bermula dari orang tinggi kurus yang terluka itu. Maksud kedatangannya ingin mengacau perguruan ini. Setelah kami berhasil melukainya, datang dua orang itu yang ternyata temannya dan bermaksud membantunya serta menghancurkan perguruan Topeng Hitam ini, jika kami tidak mau menyerahkannya kepada mereka. Tentu saja kami mempertahankan dengan sekuat tenaga "
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut. Ternyata masih banyak orang-orang jahat yang ingin mempergunakan kesaktiannya untuk kepentingan pribadi.
Ki Ageng Jayasih bertanya, "Ketenaran perguruan Topeng Hitam sudah sampai pula ke gunung Muria. Kalau tidak salah, ketua kalian bernama Paksi Uludara, bukan?"
Jayalaksa menjura.
"Maafkan kami, Kakek sakti. Ketua kami yang dahulu telah wafat "
Ki Ageng Jayasih terkejut. Ketenaran nama Paksi Uludara sampai pula ke telinga, tetapi sampai saat ini dia belum pernah berjumpa dan selagi datang, orang itu sudah pergi selama-lamanya.
"Lalu siapa ketua kalian sekarang?" tanyanya pelan.
"Ketua kami bernama... Madewa Gumi-
lang."
"Madewa Gumilang?" Ki Ageng Jayasih me-
lotot. Ia pun pernah mendengar nama itu. Nama yang mendadak menjulang, menembus langit ketenarannya. Dan tak disangkanya kalau Madewa Gumilang yang menggantikan kedudukan Paksi Uludara. Tapi walaupun begitu, Ki Ageng Jayasih meyakinkan, "Benarkah dia yang bergelar Pendekar Pukulan Bayangan Sukma? Pendekar budiman yang gagah perkasa?"
"Kiranya begitulah adanya ketua kami," sahut Jayalaksa merendah.
"Tak kusangka... di akhir sisa hidupku ini, aku akan bertemu dengan orang itu. Lalu yang manakah orangnya?"
"Sekali lagi maaf, Kakek sakti. Ketua kami saat ini tidak berada di sini. Beliau sedang mengurus sesuatu. Kalau kakek ingin berkenalan dengan istrinya, beliau ada di sini.
Kakek itu mengangguk sambil terkekeh.
Ratih Ningrum langsung menjura, sekalian mengucapkan terima kasih atas pertolongan kakek tadi menyelamatkan nyawanya.
"Sayalah yang bernama Ratih Ningrum." Ki Ageng Jayasih manggut-manggut.
"Pantas, orang-orang itu berani mengganggu perguruan kalian. Kiranya ketua kalian yang sakti itu sedang tidak ada di sini." Ki Ageng Jayasih berpaling pada Angkasena dan Sumpila yang bersiap waspada, karena kakek tua itu agaknya Ki Ageng Jayasih, majikan gunung Muria yang beberapa tahun yang lalu mengasingkan diri di gunung Muria. Ki Ageng Jayasih menyambung, "Aku kenal kalian, juga teman kalian yang terluka itu. Kalau tidak salah, kau adalah Iblis Berwajah Bocah dan kau Dewi Buruk Rupa. Serta teman kalian yang luka adalah si Dewa Pedang. Orangorang golongan hitam yang memulai aksinya untuk mengacau!"
"Ki Ageng Jayasih, kami memandang nama besarmu!" bentak Sumpila. "Tapi agaknya kau telah mengganggu perbuatan kami. Kami tidak akan memaafkan!!"
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku tidak mengganggu kesenangan kalian. Cuma kali ini, kalian salah mencari sasaran. Biarpun aku tidak mengenal mangsa kalian, tapi jika aku melihat, aku akan menentang!"
"Sombong kau kakek tua!" bentak Sumpila gusar. Dia tidak takut dengan majikan gunung Muria itu. Bahkan Sumpila ingin menjajaki sampai di mana tingkat kesaktian Ki Ageng Jayasih yang kesohor.
"Aku ini sudah tua, Suminten...." kata Ki Ageng Jayasih. Sumpila terkejut, karena kakek itu tahu nama sebenarnya. Nama jelek yang sangat dibencinya, buat apa aku harus sombong. Selama aku masih sanggup membela kebenaran, aku akan membela."
Sumpila atau Suminten mendengus gusar. Ia membentak, "Ki Ageng Jayasih, telah lama aku mendengar namamu yang hebat itu, tetapi sampai sekarang aku belum merasakan kehebatanmu. Nah, sambutlah seranganku. Aku ingin tahu sampai di mana kesaktian Ki Ageng Jayasih yang digembar-gemborkan orang "
Ki Ageng Jayasih hanya tertawa.
"Aku tidak pandai apa-apa, Suminten! Orang hanya membesar-besarkan saja namaku. Kita semua sama, tak punya daya dan upaya!"
"Aku tidak suka mendengar khotbahmu! Terimalah serangan jurus bangauku, Ki Ageng Jayasih!" bentak Sumpila sambil menyerang dengan ganas. Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Ia tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri, hanya mengayunkan tongkatnya. Sumpila memekik, ia merubah jurusnya. Kali ini menyerang dari atas dengan cepat. Ki Ageng Jayasih masih tenang. Dia pun merubah gerakan tongkatnya ke depan melenceng ke samping dan menyambar kaki Sumpila.
Sumpila bersalto ke belakang. Kagum akan jurus tongkat yang cepat itu.
"Bukan main! Nama Ki Ageng Jayasih bukan hanya omong kosong belaka! Tapi bersiaplah lagi!" Sumpila membuka jurusnya lagi. Kali ini dia menggunakan Bangau Terbang ke Atas. Yang gerakannya selalu menyambar ke muka.
Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Tetapi tiba-tiba dia bersalto. Dua buah pisau melayang ke arahnya. Dan dua buah lagi mengejar, dengan manisnya Ki Ageng Jayasih mengibaskan tongkatnya.
"Trok! Trok!" kedua pisau itu jatuh ke tanah. Angkasena penasaran, serangan pisaunya gagal. Sumpila sudah menjerit menyerang. Benarbenar hebat jurusnya yang satu ini. Menyambar bagaikan burung bangau mencari mangsa. Dengan kelincahannya Ki Ageng Jayasih menghindar. Bahkan sekali-sekali menangkis, juga memukul dengan tongkatnya.
Dengan jurus itu, Sumpila bisa mengimbangi kecepatan Ki Ageng Jayasih, tetapi karena dia bertangan kosong sedangkan Ki Ageng Jayasih memegang tongkat, dia menjadi agak kewalahan menghindari pukulan dan totokan tongkat itu. Melihat kawannya terdesak, Angkasena maju membantu. Dikeroyok berdua begitu, Ki Ageng Jayasih tidak nampak terdesak, malah dia semakin mantap memainkan tongkatnya. Sampai suatu ketika Angkasena melenting ke atas dan melempar dua buah pisaunya ke arah punggung Ki Ageng Jayasih.
Ratih Ningrum terkejut, Dia berseru memperingatkan, "Awas, Kakek!"
Tetapi Ki Ageng Jayasih tidak berkelit, tidak bersalto. Dia hanya berbalik sambil mengibaskan tangannya. Dua larik sinar merah berkelebat menahan lajunya serangan pisau itu. Kedua pisau itu jatuh dan hangus!
Angkasena terkejut, pisau yang terbuat dari baja itu hangus. Tetapi dia tak sempat berpikir lama lagi, karena sinar merah itu sudah menerjang ke arahnya. Dengan cepat dia berkelit. Berguling menghindari sinar merah itu.
Ki Ageng Jayasih masih tenang menghadapi Sumpila. Jurus-jurus bangau Sumpila sekarang tak banyak gunanya. Sudah dua kali dia digedor tongkat bambu kuning itu dan Angkasena tidak berani membantu dari jarak dekat karena kuatir sinar merah itu dilemparkan lagi oleh Ki Ageng Jayasih. Dia hanya berani membokong sekali-sekali, tapi itu pun tak banyak gunanya.
Tiba-tiba terdengar jeritan Sumpila. Kembali dadanya digedor tongkat bambu kuning itu. Dia terhuyung ke belakang, kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk. Beberapa orang murid perguruan topeng hitam bertepuk tangan. Ratih Ningrum pun bersyukur akan kedatangan Ki Ageng Jayasih itu, kalau tidak perguruan Topeng Hitam berhasil direbut oleh tiga orang sakti itu.
Melihat tak ada gunanya menghadapi kakek sakti itu, Sumpila melompat ke tembok dan berseru, "Kakek, lain waktu kita bertemu lagi!"
Lalu menghilang di balik tembok berkelebat dengan cepatnya. Sementara itu, Angkasena pun bergegas dengan memapah Tidasewu meloncati pagar, mereka pun menghilang dengan ketakutan.
Beberapa orang murid perguruan Topeng Hitam mentertawai kepergian mereka yang seperti tikus diuber kucing. Terbirit-birit.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah berjalan mendekati Ki Ageng Jayasih yang sedang menggeleng-geleng. Heran, kenapa orang-orang itu tidak mau insyafnya, padahal sebentar lagi maut pasti mengajak mereka pergi.
"Ki Ageng Jayasih," panggil Ratih Ningrum sambil menjura hormat.
Ki Ageng Jayasih menoleh dan tersenyum. "Bukan kau yang seharusnya menghormat,
Nyonya Madewa. Tetapi aku, sebagai orang desa yang harus menghormat istri ketua perguruan yang besar ini."
Ratih Ningrum tersipu, wajahnya memerah. "Jangan bersikap demikian, Kakek Sakti. Mari silahkan mampir di tempat kami yang jelek ini."
Ki Ageng Jayasih tertawa.
"Jangan terlalu menyanjung dan menghormatiku, Nyonya ketua. Maafkan aku, aku tadi hanya kebetulan saja lewat tempat ini dan membantumu. Aku masih ada urusan yang harus kuselesaikan, jadi maaf, aku tidak bisa menerima undanganmu,"
"Kalau boleh saya tahu... hendak ke manakah, Kakek yang kuhormati?"
Wajah kakek itu mendadak menjadi suram.
Lesu. Ia mengusap-ngusap janggut putihnya, "Aku hendak mencari muridku yang lari
dari gunung Muria. Dia membawa senjata mustika yang ampuh sekali."
"Senjata apakah itu?"
"Aku tidak bisa menerangkannya, Nyonya!" tubuh renta itu mendadak berkelebat dan menghilang. Mereka terkejut, hanya terdengar suara kakek sakti itu, "Selamat tinggal semua! Kalau ada waktu, aku akan mampir lagi! Sampaikan salamku kepada suamimu!"
Ratih Ningrum hanya manggut-manggut. Betapa besar terima kasihnya kepada kakek itu. Kalau tidak ada kakek sakti, apa jadinya perguruan Topeng Hitam ini? Bahkan nyawanya pun bisa melayang.
Mengingat itu, dia berbalik dan melihat beberapa murid perguruan itu tergeletak tanpa nyawa. Juga Nurtita yang setia. Ratih Ningrum memerintahkan untuk mengangkut mayat-mayat itu dan menguburkannya.
Malam sudah datang, Ratih Ningrum masuk ke kamarnya. Merebahkan tubuh. Dia merenung, berapa banyak kejadian yang mendebarkan dan mengancam jiwanya. Tetapi semua itu diterimanya dengan tabah. Selintas ingatannya kembali kepada rumahnya yang dulu. Di mana dia dibesarkan dalam keluarga berada yang kaya raya. Masa kecil yang indah dan kenangan di mana dia jatuh cinta kepada seorang pemuda yang kemudian menjadi pengawal pribadinya. Pemuda itu adalah suaminya sekarang, Madewa Gumilang (baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Berbagai peristiwa terjadi antara suka dan duka semua itu diterimanya dengan tabah, tanpa mengingat akan kekayaannya dulu, yang dia serahkan kepada tiga orang gurunya. Ratih Ningrum sadar, mengikuti suaminya adalah cobaan dan petualangan hidup. Suaminya adalah orang budiman, pembela kebenaran, sudah barang tentu banyak orang yang iri dan mendendam kepadanya.
Sampai mereka mempunyai seorang anak pun, masih banyak peristiwa-peristiwa yang mendebarkan.
Mengingat anak, Ratih Ningrum tersentak. Dari tadi, dia belum mendengar suara Pranata Kumala. Ke mana anak itu? Sudah hampir jam sembilan malam sekarang, tetapi bocah itu belum dilihatnya.
Ratih Ningrum segera mencari dan bertanya di mana anaknya. Tetapi tak seorang pun yang melihatnya. Kata Bayuseta, dia tadi melihat anak itu masuk ke kamarnya, lalu tidak diketahui di mana lagi dia sekarang.
Ratih Ningrum menjadi panik. Ke mana anak tersayangnya itu.
"Pranata! Pranata!" panggilnya terisak. Beberapa orang murid membantu mencari. Tetapi hampir semua ruang perguruan itu diperiksa tidak ditemukan Pranata, juga di luar perguruan Topeng Hitam.
Tetapi bocah itu tetap tidak nampak. Ratih Ningrum menangis. Ke mana anaknya itu. Ia tersedu-sedu masuk ke kamarnya. Jayalaksa segera bertindak, mengambil pimpinan untuk segera mencari Pranata Kumala.
"Apa tidak mungkin Pranata dibawa oleh orang-orang tadi, Jaya?" tanya Bayuseta dengan muka pucat. Dia pun kuatir ke mana perginya Pranata Kumala.
"Aku tidak tahu, Bayu. Tapi ada baiknya kita segera mencari."
"Malam ini juga, Kakang?" tanya salah seo-
rang.
"Malam ini juga! Kalau belum ketemu, jan-
gan kembali! Kita terapkan kembali peraturan ketua kita yang dulu, Paksi Uludara. Kalian mengerti semua? Kita tidak ingin melihat Nyonya ketua dalam kesedihan, bukan? Ayo mencari! Yang tidak kuperintahkan jangan ikut! Jaga perguruan dan Nyonya ketua!"
Jayalaksa menyuruh delapan orang segera berangkat untuk mencari Pranata, termasuk Bayuseta. Malam itu juga mereka berangkat, karena tak ingin Nyonya ketua bersedih, apalagi saat ini ketua sedang tidak berada di sisinya. 3
Sebelum kita melihat ke mana perginya Pranata Kumala, kita lihat kembali perjalanan Madewa Gumilang yang akan mengunjungi makam Paksi Uludara yang masih membuatnya bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan makam orang yang dihormatinya itu.
Ketika matahari sudah sepenggalah, dia meninggalkan penginapannya. Dari tempatnya menginap, jarak ke makam Paksi Uludara tidak begitu jauh lagi. Di ujung hutan sana di dalam goa, makam itu berada. Makam yang dibuatnya bersama istrinya. Di dalam goa itu, juga ada makam Nindia atau Dewi Cantik Penyebar Maut, Melati Merah dan lima orang murid perguruan Topeng Hitam (baca : Petaka Cinta Berdarah).
Mengingat itu, Madewa mengenang kembali kejadian beberapa tahun yang lalu. Peristiwa yang mengerikan dan penuh darah.
Tiba-tiba pendengarannya menangkap bunyi sesuatu yang mencurigakan di belakang, tetapi Madewa tetap menjalankan kudanya dengan santai. Dia sudah tahu siapa gerangan orang yang mengikuti di belakang. Bahkan sejak dia sehabis keluar dari rumah makan kemarin, sudah mengetahui kalau dia dibuntuti seseorang.
Orang itu adalah wanita yang memakai kerudung. Entah mau apa dia mengikutinya sejak kemarin dan hal itu membuat Madewa curiga. Dia agak waspada sekarang, kemarin wanita itu tidak kelihatan dan kali ini muncul lagi.
Mendadak Madewa menghentikan jalan kudanya. Ia turun dan berlagak membuka perbekalannya, tetapi mendadak dia mengibaskan tangannya ke salah satu pohon besar yang ada di sana.
"Sreeet!" Pukulan jarak jauhnya berkelebat dan menghantam pohon besar itu hingga tumbang dan bersamaan dengan itu terdengar jeritan,
"Keji!"
Dan melayang sesosok tubuh dari tumbangan pohon itu. Sosok tubuh itu seorang wanita dan memakai kerudung putih! Orang itu tak lain adalah Nimas Sertani atau Dewi Mulia Berhati Busuk yang mengikuti Madewa sejak dari rumah makan itu.
Disangkanya laki-laki itu tidak mengetahui kalau dia diikuti, Nimas Sertani lupa, kalau yang dibuntutinya bukan orang sembarangan. Malam kemarin, setelah mengetahui di mana Madewa Gumilang menginap, Nimas Sertani melapor kepada Resi Sendaring lalu kembali ke penginapan itu. Beberapa detik Nimas Sertani pergi, Bayuseta datang!
Dan sekarang, laki-laki itu ternyata memergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Sertani untuk menampakkan diri.
Madewa tertawa melihat Nimas Sertani muncul.
"Ha... ha... rupanya Dewi Mulia Berhati Busuk yang mengikutiku. "
Wajah Nimas Sertani memerah, benarbenar dia yang bodoh, penguntitannya rupanya sejak semula diketahui Madewa Gumilang. Tetapi dia hanya mendengus, menganggap remeh Madewa.
Madewa berkata lagi, "Dewi yang gagah perkasa, ternyata masih suka bermain sembunyisembunyian. Ada apa Dewi sampai mengikutiku? Ketahuilah Dewi... aku bukan orang kaya yang banyak membawa uang!"
Semakin memerah wajah Nimas Sertani. Matanya melotot gusar, tetapi Madewa hanya tertawa. Dia harus tahu kenapa Dewi Mulia Berhati Busuk mengikutinya. Namun sebelum dia berkata, Nimas Setani sudah membentak keras, "Aku memang sengaja membuntutimu... Madewa. Kau tahu kenapa?"
Madewa tersenyum. "Katakanlah," suaranya tenang.
"Aku ingin membunuhmu!" suara Nimas Sertani kejam dan menusuk. Matanya memancarkan nafsu membunuh. Apalagi sejak tadi katakata Madewa begitu menghinanya, begitu membakar kupingnya.
Madewa melengak sebentar tapi kemudian tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak berbuat demikian? Padahal aku tahu, kita tak pernah berselisih!"
"Pernah atau tidak, aku tak perduli! Sekarang bersiaplah kau, Madewa! Sudah lama aku ingin menjajal kesaktian pendekar Pukulan Bayangan Sukma! Tahan serangan!" membentak Nimas Sertani dan melesat dengan pukulan lurus ke wajah Madewa. Tak ada jalan lain buat Madewa kecuali melawan. Dia pun merunduk dan menangkis lalu balas menyerang lebih cepat. Nimas Sertani berkelit dengan cekatan dan kakinya menyambar. Madewa memperlihatkan ilmu meringankan tubuhnya dengan melompat ke sana kemari menghindari serangan Nimas Sertani. Nimas Sertani pun meningkatkan seranganserangannya. Terjadilah di tempat itu pertempuran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah memperlihatkan kelincahannya dan kesaktiannya.
Dan keduanya sama-sama masih bertahan. Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang. Nimas Sertani maju menyerbu dengan dorongan kedua tangannya. Madewa tidak mengelak, dia malah menyambut dengan dorongan yang sama.
"Dess...!" kedua tenaga besar itu saling bertemu dengan hebatnya. Tubuh Nimas Sertani mental ke belakang dengan deras, sedangkan Madewa hanya terhuyung lima langkah. Itu saja sudah menandakan, kalau tingkat tenaga dalam Nimas Sertani masih jauh berada di bawah Madewa Gumilang.
Nimas Sertani mengusap darah yang keluar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan menyadari kalau lawannya bukanlah orang sembarangan dan tidak boleh dianggap ringan. Nama besar Madewa Gumilang memang suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
Namun biar begitu Nimas Sertani tidak gentar, dia malah penasaran. Tiba-tiba dia membuka kerudung putihnya. Kerudung itu diuraikan dan menjadi sebuah selendang. Dia mengebutngebutkan selendangnya, rupanya akan dijadikan senjata.
Madewa hanya tersenyum saja.
"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya sebelum Nimas Sertani menyerang. Namun Nimas Sertani tidak mau menjawab. Dia malah terkikik. Dan mengibaskan kerudungnya dengan cepat
Selendang itu bagaikan digerakkan oleh tenaga magnit, bisa bergerak dan menangkis dengan cepat. Rupanya itu memang senjata andalan Nimas Sertani.
Madewa pun bergerak dengan cepat menghindarkan serangan selendang itu yang kadang melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang seperti tombak. Namun dengan jurus Ular Meloloskan Diri kembali Madewa bisa menghindarkan serangan-serangan itu dan membuat Nimas Sertani semakin penasaran.
Suatu ketika Madewa membentak keras dan tubuhnya melenting ke atas, bersamaan dengan itu Nimas Sertani mengibaskan kerudungnya yang mendadak menjadi tombak dan siap menembus leher Madewa.
Masih di udara Madewa bersalto dan berbalik menyambar ujung kerudung itu. Terjadilah adu tenaga yang kuat, masing-masing hendak mempertahankan ujung kerudung yang dipegangnya.
Nimas Sertani yakin dia akan kalah dalam hal adu tenaga dalam. Makanya dia membiarkan kerudungnya dibetot oleh Madewa dan bersamaan dengan itu dia mengenjot tubuhnya ke depan dengan tangan dan kaki menyerang.
Madewa sedikit terkejut dengan serangan demikian. Dia melempar tubuhnya ke samping, tetapi Nimas Sertani mengejar dengan pukulan saktinya:
Tak ada jalan lain selain memapaki, Madewa menyambut dengan jurus Tembok Menghalau Badai.
"Desss!!"
Kembali dua tangan bertemu, tetapi kali ini lebih besar dan mengakibatkan keduanya terhuyung ke belakang, Nimas Sertani muntah darah begitu jatuh. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak menyangka laki-laki itu berani memapaki serangannya dan tenaga laki-laki itu betapa kuatnya. Nimas Sertani tidak tahu, kalau saja Madewa melepaskan pukulan bayangan sukmanya, nyawa Nimas Sertani bisa melayang saat itu juga!
Merasa tidak sanggup melawan Madewa Gumilang, dengan susah payah Nimas Sertani bangkit sambil menahan rasa sakitnya.
"Kau... hari ini... aku mengakui kekalahanku. Namun ingat Madewa... suatu saat nanti aku akan membalas kekalahan ini....." Lalu dia menyambar kerudung putihnya dan melesat dengan cepat.
Madewa menggeleng-geleng bingung. Tak mengerti akan kemauan Nimas Sertani. Sebenarnya dia mau apa menghadang perjalanannya dan disuruh siapa dia melakukan itu?
Tetapi mendadak Madewa teringat akan makam Paksi Uludara yang akan dikunjunginya. Apa tidak mungkin, Nimas Sertani membuntutinya sehubungan dengan makam itu. Tetapi mau apa? Lagi-lagi dia mengkhawatirkan pedang mestika Naga Emas. Apakah bukan soal itu yang menjadi masalah sekarang? Orang-orang rimba persilatan memang masih gila akan pusakapusaka macam demikian.
Mengingat itu, Madewa melompat ke kudanya dan melarikannya kencang-kencang. Setiap kali memasuki hutan itu, hatinya selalu bergidik. Bayangan empat tahun yang silam selalu terbayang. Di mana seorang gadis baik-baik, berubah menjadi kejam dan jahat hanya gara-gara cinta. Gadis itu bernama Nindia. Kini menjadi pendamping Paksi Uludara di dalam goa itu.
Nindia, gadis murni yang lembut dan penakut menjadi seorang dewi penyebar maut dengan gelar yang menyeramkan pula.
Di ujung dari hutan itu, terdapat sebuah goa. Di dalam goa itulah makam Paksi Uludara berada. Madewa melompat turun dan menjura ke arah goa itu. Memberi hormat sebelum masuk ke dalam.
Mulut goa merupakan lorong yang agak sempit namun begitu ke dalam agak membesar dan Madewa tiba di sebuah ruangan yang besar. Ruangan itu terang, karena dia setiap tahun selalu mengganti obor yang bisa mencapai lebih dari dua tahun terangnya.
Di tengah rongga itu, terdapat sebuah singgasana dari batu. Di singgasana itu terdapat emas, intan dan permata. Berkilauan dengan indah. Dulu singgasana itu milik Dewi Cantik Penyebar Maut!
Madewa berdebar setiap kali melihat singgasana itu. Seolah dia masih melihat bayangan Nindia duduk sambil tersenyum antara benci dan cinta kepadanya.
Madewa tidak mau memikirkan soal itu lagi. Dia langsung beranjak ke makam Paksi Uludara, dan bukan main terkejutnya ketika melihat makam itu telah dibongkar! Tanah-tanah berserakan dengan berantakan.
"Tuhan!" desis Madewa terkejut. Siapa yang telah melakukan semua ini? Ia melongokkan kepala. Kerangka Paksi Uludara tidak ada, begitu pula dengan pedang sakti naga emas!
Madewa terhenyak lesu. Marah. Benci dan gusar. Buat apa makam Paksi Uludara digangguganggu. Betapa berdosanya orang yang melakukan semua ini. Dia menggigit bibirnya sedih. Bagaimana tidak sedih, orang yang telah tenang di alamnya sana, diganggu dan dibangkitkan dari kuburnya!
Ia berlutut di hadapan makam yang telah acak-acakan itu. Menyatukan kedua tangannya di dada dan merunduk.
"Paksi... maafkan semua kelalaianku. Kau telah tenang, tapi masih ada orang yang mau mengganggumu.... Aku akan mencari orang itu, Paksi. Dan meletakkan kembali kerangkamu ke dalam makam ini "
Setelah menganggukkan kepala tiga kali, tanda minta maaf, Madewa berbalik dari berlari keluar goa. Dia melompat ke kudanya. Wajahnya menampakkan kemarahan, kesedihan dan kegusaran yang luar biasa. Dia akan mencari dan membunuh orang yang telah merusak makam itu. Salah satunya adalah Aryo Gembala!
Namun tiba-tiba kudanya meringkik keras sampai membuat Madewa terlepas dari tali kendali. Dengan sigap dia melompat dan bersamaan dengan itu, kudanya ambruk meregang nyawa dan nyawanya lepas dari tubuhnya.
Madewa segera waspada. Ia menggeram, "Bangsat!"
Tiba-tiba dari balik pohon dan semak, berkeluaran sepuluh orang berpakaian pendekar dengan memakai angkin berwarna kuning. Madewa sulit mengenali dari perguruan mana orangorang itu. Rupanya mereka hendak menyembunyikan identitas asli mereka.
Mereka langsung mengambil sikap mengurung. Salah satu dari mereka memegang sebuah golok besar. Orang-orang itu adalah utusan dari Resi Sendaring atau anggota perguruan Cakar Naga dan yang memegang golok besar itu sudah tentu Joko Mandra yang bertugas memimpin sembilan anak buahnya untuk membunuh Madewa.
Begitu diberi perintah, mereka langsung menjalankannya, yaitu menuju makam Paksi Uludara dan menghancurkan makam itu. Kerangka dan pedang mestika yang didapat oleh mereka secara tidak sengaja harus dibawa pulang. Dan kalau berjumpa dengan Madewa Gumilang, mereka ditugaskan untuk membunuh!
Sekarang orang-orang itu sudah mengurung Madewa. Madewa yang merasa perjalanannya untuk mencari Aryo Gembala terhambat, dia menggeram marah.
"Ada apa kalian mengurungku dan menghalangi perjalananku?" bentaknya gusar. Matanya melihat dengan waspada.
Pemuda yang memegang golok besar membentak, "Kami ingin membunuhmu!"
"Apa sebab kalian ingin membunuhku?" "Terus terang, kami membenci orang-orang
Topeng Hitam! Apalagi ketuanya! Hari ini... kami berniat ingin membunuh ketua perguruan Topeng Hitam itu!"
"Baik, kalian dari perkumpulan mana?" "Persetan dengan perkumpulan!" bentak
orang itu yang tak lain Joko Mandra. Lalu berseru menyerang, "Habisi orang itu dan ganyang mayatnya!!"
Serentak lima orang bergerak secara bersamaan dengan cepat. Madewa menghindar ke belakang belum mengerti mengapa orang-orang itu menyerangnya. Makanya dia belum mau membalas menyerang, masih menghindari serangan-serangan mereka. Agaknya murid-murid perguruan Cakar Naga itu tidak mau mengeluarkan ilmu cakar naga mereka. Mungkin kuatir ketahuan oleh Madewa dan bisa menebak dari partai mana mereka datang.
Namun lama kelamaan Madewa merubah gerakannya. Dia tidak hanya menghindar, bahkan mulai balas menyerang. Menghadapi orang-orang itu dia tidak perlu lembut-lembut. Apalagi orang yang memegang golok besar itu sudah maju menyerang.
Sambaran-sambaran goloknya begitu dahsyat. Sabetannya saja menimbulkan desiran angin yang amat kuat. Kini sepuluh orang itu sudah turun tangan semua mengeroyok Madewa. Madewa kembali memperlihatkan jurus Ular Meloloskan Diri, yang dipakai untuk menghindari serangan-serangan itu.
Dia juga menangkis, menghindar dan balas menyerang. Dua orang dari mereka termakan pukulan dan tendangannya. Kedua orang itu terhuyung menahan rasa sakit.
Melihat teman mereka kena, orang-orang itu semakin beringas. Serangan mereka semakin beruntun. Belum lagi yang memegang golok besar itu. Joko Mandra menyambarkan goloknya dengan hebat. Dia jengkel dua orang temannya terkena pukulan.
Gerakannya bagaikan kilat. Golok besarnya bergulung-gulung dan menyambar dengan dahsyat. Madewa merasa, lama-kelamaan dia bisa kehabisan tenaga. Tiba-tiba dia bersalto ke udara dan mengibaskan tangan kanannya.
Sebuah dorongan angin yang besar menghantam orang-orang itu hingga jatuh berantakan. Kesempatan itu dipakai oleh Madewa untuk bertanya, "Katakan, kalian dari partai mana?!"
Joko Mandra sudah berdiri dan menyerang, "Kau tak perlu tahu kami dari partai mana! Makan golokku!!"
Kembali golok itu menyambar, Madewa berkelit ke kiri dan menyodokan tangannya. Jurus Ular Mematuk Katak. Gerakan tangannya bagai bergelombang, tahu-tahu Joko Mandra merasakan tulang iganya digedor oleh tangan yang keras. Joko Mandra terhuyung. Tulang iganya serasa patah.
Tetapi belum lagi Madewa berkata-kata, sembilan orang yang lain sudah menyerang. Mengingat lawan yang mereka hadapi demikian tangguh, mereka lupa untuk menyembunyikan identitas mereka. Dengan gerakan serempak mereka menyerang dengan cakar naga! Kelima jari mereka membentuk sebuah cakar dan menyerang dengan ganas.
Mula-mula Madewa tidak menyadari hal itu, tetapi ketika dia menyerang dan ditangkis dengan gerakan menekuk dan mencakar, dia buru-buru menarik tangannya pulang dan berseru, "Cakar Naga!"
Seruannya itu mengejutkan orang-orang itu. Dengan serentak mereka merubah jurus mereka, tetapi Madewa sudah mengetahui dari partai mana mereka datang. Jurus cakar naga hanya dipunyai oleh orang-orang Perguruan Cakar Naga. Tetapi mereka mau apa ingin membunuhnya?
Joko Mandra menyesali anak buahnya yang sudah mengeluarkan jurus perguruan mereka. Namun tak bisa disembunyikan lagi. Madewa sudah mengetahui hal itu.
Joko Mandra membentak, "Kami memang orang-orang dari perguruan Cakar Naga! Kau tahu... kami semua membenci orang-orang perguruan Topeng Hitam!"
"Kenapa?" Madewa bertanya, berusaha mengorek keterangan lebih lanjut.
"Karena perguruan Topeng Hitam, mengalahkan ketenaran nama perguruan Cakar Naga!"
Madewa geleng-geleng kepala. "Hanya karena itu kalian ingin membunuhku? Kalian semua salah, sebaiknya kita bersaing secara sehat. Bukan saling membunuh demikian!"
"Tidak, kami tetap menginginkan nyawamu! Bersiaplah!" Joko Mandra membuang golok besarnya. Ia membuka jurus cakar naganya, melihat itu, kesembilan anak buahnya berbuat yang sama. Inilah jurus-jurus cakar naga yang hebat dan kejam!
Madewa pun bersiap. Jurus-jurus ular saktinya akan dia perlihatkan. Joko Mandra sudah berseru menyerang dan serentak sepuluh orang itu menerjang. Sambaran-sambaran tangan mereka kali ini lebih dahsyat. Jurus cakar naga sungguh keji. Selalu mengarah kepada tiga titik kematian. Urat leher, jantung dan kemaluan. Menerima serangan yang serentak dan beruntun itu, membuat Madewa agak kewalahan. Namun kemudian dia berhasil menembus formasi itu dan mulai balas menyerang.
Madewa sudah mengeluarkan jurus Ular Mematuk Katak dan pukulan Tembok Menghalau Badai. Dengan kedua jurus yang diperpadukan itu, dia berhasil menotok kaku tiga orang dari mereka. Dan menggedor dada dua orang dari mereka dengan Tembok Menghalau Badai. Kedua orang itu muntah darah dan roboh.
Joko Mandra Semakin menggeram dengan marah. Bersama empat orang temannya, mereka menyerang lagi. Namun biarpun berlima, mereka bukanlah tandingan Madewa Gumilang, pendekar yang namanya menggegerkan dunia persilatan sejak menumpas perkumpulan Telapak Naga!
Dengan mudah saja kelima orang itu dirobohkan dan dibuat tunggang langgang.
Joko Mandra mengeluh karena dadanya dirasakan amat sakit. Dia merasa tidak mampu untuk menghadapi Madewa. Sekarang baru dia yakin, akan kehebatan dan kesaktian Madewa Gumilang!
Melihat lawan-lawannya ambruk, Madewa tidak menyerang lagi. Dia mengambil sebuah kerikil kecil dan menyambitkan ke arah Joko Mandra yang sedang mengeluh.
"Tuk!"
Joko Mandra tersentak dan mendadak tubuhnya kaku. Rupanya Madewa menotoknya dari jauh dengan batu kerikil itu. Lalu dia menghampiri Joko Mandra.
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian berbuat begini padaku?" serunya dengan geram.
Joko Mandra malah mendengus. Tatapannya penuh kemarahan, tak ada rasa ketakutan sedikit pun.
"Sampai kapan pun aku tak mau bicara!" dengusnya seraya meludah ke tanah.
Madewa merasa diejek dengan ludah itu. Dia menggeram jengkel. Dan mendadak dia melangkah ke sebuah pohon jati yang ada di sana. Di pohon itu terdapat banyak semut-semut yang bisa menggigit. Diambilnya lima ekor dan diletakkannya di leher Joko Mandra
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian? Kalau tidak, semut-semut itu akan mengerayangi seluruh tubuhmu!"
Joko Mandra terdiam, tetapi begitu semutsemut itu melangkah menelusuri tubuhnya, dia agak menggigil. Geli dirasakannya dan salah seekor dari semut itu sudah menggigit pipinya.
"Auuu!" Joko Mandra menjerit, panas sekali dirasakannya gigitan itu. Tetapi semut-semut itu seakan tak mau perduli, mereka terus berjalan dan menggigit dengan seenaknya, sampai Joko Mandra menjerit-jerit kesakitan. "Baik, baik! Aku katakan!" serunya terengah-engah.
Madewa tersenyum. "Katakan "
"Ambil, ambil semut-semut itu!" suara Joko Mandra memohon dan agak kesakitan.
Madewa mengambil ke lima ekor semut itu yang masih bergerak di sekitar kepala Joko Mandra.
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian? Aku yakin, kalian adalah orang-orang perguruan Cakar Naga yang membenci Perguruan Topeng Hitam. Aku tidak tahu... semua itu kemauan kalian atau ketua kalian yang menyuruh "
"Baik, baik.... Kami memang membenci kalian dan kami... aughhh!" Joko Mandra menjerit kesakitan dan kepalanya terkulai lemah. Lalu roboh ke tanah.
Madewa terkejut ia segera memeriksa tubuh Joko Mandra. Tubuh itu telah menjadi mayat dan di lehernya terdapat sebuah pisau kecil tajam. Rupanya disambitkan oleh seorang yang sangat ahli. Madewa melesat ke depan, mencari jejak orang itu, tetapi tak nampak sedikit pun jejaknya. Ia kembali lagi hendak bertanya pada yang lain. Namun dia kembali terkejut. Orangorang itu sudah menjadi mayat semua dengan sembilan buah pisau di leher mereka masingmasing.
Madewa menggeram marah. Ia cepat melompat ke kudanya dan memacu dengan cepat. Ia mencurigai ketua perguruan Cakar Naga di balik semua ini.
Teringat akan makam Paksi Uludara, kegeraman Madewa semakin menjadi-jadi!
4
Matahari muncul di ufuk timur. Cahayanya mulai menyelimuti seluruh dunia. Matahari tak pernah mengeluh akan tugas rutinnya itu. Dia selalu menyinari dengan penuh kelembutannya setiap hari.
Di perguruan Topeng Hitam sedang terselimut duka. Maka Ratih Ningrum memerah. Ia menangis sejak semalam. Apalagi orang-orang yang diutus Jayalaksa kembali dengan tangan hampa. Mereka tidak menemui jejak Pranata Kumala. Ratih Ningrum semakin sedih dan kuatir. Karena repotnya menghadapi orang-orang jahat kemarin, dia sampai lupa akan anaknya.
Akhirnya Ratih Ningrum memutuskan untuk berangkat mencari Pranata Kumala. Dia berpesan kepada Jayalaksa untuk memimpin perguruan sampai dia atau suaminya kembali.
Mendengar rencana itu, Bayuseta segera manggut-manggut dalam hati. Dia harus melaporkan semua ini kepada Resi Sendaring. Sebenarnya, kehilangan Pranata Kumala adalah olehnya. Ketika Pranata masuk ke dalam kemarin, dia langsung menyergapnya dan membawa bocah itu ke perguruan Cakar Naga. Setelah itu buru-buru kembali dan berlagak kehilangan dan mencari ketika Pranata dinyatakan hilang.
Sekarang Ratih Ningrum akan pergi mencari Pranata Kumala, itu kesempatan yang baik untuk Bayuseta membuntuti Ratih Ningrum.
Sebelum matahari sepenggalah, Ratih Ningrum sudah pergi dengan menaiki seekor kuda. Tak berapa lama, Bayuseta pun menyusul dengan kuda yang disembunyikannya tak jauh dari perguruan.
Ia berusaha menjaga jarak agar tidak diketahui oleh Ratih Ningrum. Melihat wanita itu pergi sendiri, di benak Bayuseta melintas sebuah pikiran jelek. Kesempatan yang paling bagus adalah saat ini, kapan lagi dia bisa memiliki wanita itu secara utuh.
Berpikiran demikian, dia menunggu sampai Ratih Ningrum tiba di tempat yang sepi. Begitu keduanya memasuki sebuah hutan kecil, Bayuseta mempercepat laju kudanya dan memanggil-manggil, "Nyonya ketua! Nyonya ketua!"
Merasa dirinya dipanggil, Ratih Ningrum menghentikan laju kudanya. Ia menoleh, Bayuseta yang memanggilnya dan menjajari kudanya. Hmm, pemuda ini sudah melanggar aturan yang telah ditetapkan. Keluar tanpa seizinnya atau suaminya.
"Ada apa, Bayuseta?" tanya Ratih Ningrum agak tidak senang.
Bayuseta menunduk, menghindari tatapan ketuanya yang memancarkan sinar agak marah. Tetapi dalam hati, dia tertawa. Sebentar lagi wanita yang sangat dicintainya itu berada dalam. kekuasaannya.
"Maafkan aku, Nyonya ketua. Aku keluar tanpa seizin siapa pun," suara Bayuseta sopan.
"Kau mau apa menyusulku?" Melihat pemuda itu agak menyesali kesalahannya, suara Ratih Ningrum sudah agak mereda. Lembut seperti biasa.
"Aku ingin menemanimu, Nyonya ketua. Aku kuatir, saat ini banyak sekali orang-orang jahat yang ingin merebut perguruan Topeng Hitam dan tidak mustahil perjalanan Nyonya ketua dijegal oleh mereka."
Ratih Ningrum tersenyum. Agak senang karena dikuatirkan.
"Kau tak perlu mengkuatirkan aku, Bayuseta. Aku sanggup menjaga diri."
"Bukan maksudku untuk merendahkanmu, Nyonya ketua. Tapi aku kuatir, orang-orang jahat itu beramai-ramai mengeroyokmu dan kau ditawan oleh mereka. Nyonya ketua... izinkan aku untuk menemanimu "
Ratih Ningrum tersenyum, Bayuseta semakin naik nafsu birahinya melihat senyum yang menggetarkan jiwanya itu. Ratih Ningrum mengangguk, tak ada salahnya kalau Bayuseta menemaninya. Lagipula, lebih baik ada teman daripada sendiri. Ia pun menjalankan kudanya dan Bayuseta menjajarinya. Tak sedikit pun pikiran jelek mampir di benaknya.
Hutan kecil itu sunyi. Angin bertiup menggesek dedaunan. Suasana agak dingin, matahari hanya bisa menembuskan sinarnya sedikit. Hawa yang agak dingin itu, membuat Bayuseta tak mampu menahan diri lama-lama. Dengan cepat ia menubruk Ratih Ningrum hingga jatuh bergulingan dan disergapnya dengan cepat.
Ratih Ningrum terkejut karena tak menyangka Bayuseta akan berbuat demikian, dia meronta. Tetapi Bayuseta yang sudah berada di atas tubuhnya tidak mau melepaskan kesempatan yang susah payah dicari dan ditunggunya. Dengan beringas dia menciumi seluruh tubuh Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum meronta dengan memukul wajah Bayuseta. Bayuseta meringis sakit. Dia melotot dengan marah. Ditotoknya Ratih Ningrum hingga tak dapat bergerak.
Bayuseta terbahak melihat Ratih Ningrum mendelik gusar.
"Ha...ha... akhirnya aku memiliki juga wanita yang kucintai selama ini. Aku mencintaimu, Nyonya ketua atau... lebih mesra kupanggil... Ratih Ningrum.... Oh, nama yang indah sekali "
Ratih Ningrum menggigil melihat wajah Bayuseta yang berubah. Wajah itu bukan milik Bayuseta, tetapi milik iblis yang telah merasukinya.
Ia meratap. "Bayu... kau... hendak berbuat apa padaku?"
Bayuseta terbahak.
"Sudah jelas ingin memiliki dirimu, Ratih ku sayang.... Lama aku mencari kesempatan ini. Dan hari ini aku memiliki dirimu...".
"Lepaskan aku, Bayu! Lepaskan!" bentak Ratih Ningrum ketakutan. "Kubunuh kau, Bayu! Kubunuh kau!"
Tetapi mana mau Bayuseta melepaskan mangsa yang sudah tersedia di hadapannya. Dia menciumi tubuh Ratih Ningrum dengan buas dan tentu saja Ratih Ningrum memaki-maki, kalau saja tubuhnya bisa digerakkan dia akan hajar Bayuseta ini sampai minta ampun-ampun.
Bayuseta hanya tertawa-tawa saja mendengar makian Ratih Ningrum.
"Ha... ha... makilah, Ratih! Sebenarnya aku enggan memperkosamu... tetapi kini aku minta dengan baik-baik. Ingat Ratih Ningrum... kau berhutang budi kepadaku dan bermaksud membalasnya. Hari ini aku minta balasan ini "
"Tidak, tidak dengan cara begini, Bayu! Lepaskan aku, Bayu!"
"Ha... ha... ternyata kau orang yang melupakan budi, Ratih. Kalau tidak ada diriku, kau sudah mampus waktu itu. Iya atau tidak, aku meminta balasan budiku itu sekarang Dan
kuminta kau menyerahkannya secara suka rela...!"
Ratih Ningrum memaki, "Tidak, bangsat
kau, Bayuseta! Kau setan! Kau iblis! Kubunuh kau... kubunuh!!"
Tiba-tiba suara Bayuseta. terdengar bengis, "Diam, Ratih! Sudah kuminta baik-baik, kau masih berontak! Baik, jika kau tak mau diam, aku akan membunuh anakmu, Pranata Kumala!"
Ratih Ningrum terbelalak. Kaget. Rontaannya berhenti. Anaknya, mana, mana? Tetapi kemudian Ratih Ningrum sadar, kalau anaknya berada dalam kekuasaan Bayuseta.
"Kau... kau benar-benar iblis, Bayu!" bentak Ratih Ningrum dengan kebencian yang luar biasa. "Kau benar-benar... aahh... jangan, jangan!"
Bayuseta sudah menciumi lagi dengan beringas. Tak diperdulikannya makian Ratih Ningrum, dengan buas dia menyobek baju di bagian dada Ratih Ningrum. Terdengar suara robek dan nampak payudaranya yang telanjang. Bayuseta semakin menjadi ganas. Nafsu birahi sudah membuatnya buta dan lupa segalanya. Lupa siapa orang yang hendak diperkosanya itu. Lupa akan kebaikan orang yang hendak diperkosa itu.
Ratih Ningrum sendiri sudah memejamkan matanya. Sudah letih dia memaki. Dia pun tak berhasil membebaskan dirinya dari totokan Bayuseta.
Dia pasrah. Kini dia tahu, kalau Bayuseta adalah musuh dalam selimut. Dia yang menculik anaknya. Dia yang hendak merusak kehormatannya.
Pada saat yang gawat akan kehormatan Ratih Ningrum, terdengar suara kekehan dari samping. Bayuseta yang sudah diamuk birahi tidak memperdulikan tawa itu. Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dihantam benda keras dan terguling dengan rasa sakit di pinggangnya.
Orang yang menendang itu memetik sebuah daun dan melemparkan ke arah Ratih Ningrum. Tiba-tiba Ratih Ningrum merasakan tubuhnya sudah terlepas dari totokan. Buru-buru dia merapikan pakaiannya yang acak-acakan. Dan melihat siapa yang telah menolongnya.
Majikan gunung Muria, Ki Ageng Jayasih! Buru-buru dia menjura hormat.
"Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih yang menyelamatkan aku," kata Ratih Ningrum penuh terima kasih.
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Hanya kebetulan saja, Nyonya ketua."
Sementara itu, Bayuseta melihat siapa yang telah menendangnya. Dia terkejut ketika mengenali orang itu. Majikan gunung Muria. Buru-buru dia melompat ke kudanya, tetapi mendadak kuda itu tak mau melangkah. Digembraknya berkali-kali tetap diam saja.
Ki Ageng Jayasih terbahak. Barulah Bayuseta sadar, kalau kakek sakti itu telah menotok kudanya. Melihat kenyataan itu, dia turun dan berlari, namun sebuah bambu kuning menancap tepat di depannya dan menghalanginya lari.
Pucat wajah Bayuseta, tubuhnya menggigil. Apalagi ketika Ki Ageng Jayasih menghampirinya. Tubuhnya terasa lemah, tak kuat untuk berlari lagi. Ia jatuh bersimpuh dengan tubuh penuh keringat.
Ki Ageng Jayasih terbahak.
"Ha... ha... hanya begini nyali orang yang hendak berbuat jahat," suaranya pelan tetapi terdengar amat menyeramkan.
Bayuseta benar-benar kehilangan tenaganya. Mendengar nama Ki Ageng Jayasih disebutkan saja, dia sudah bergetar. Kelihaian Ki Ageng Jayasih sudah tidak disangsikannya lagi.
Ia hanya tersimpuh dengan wajah tertunduk. Ki Ageng Jayasih mencabut tongkat bambu kuningnya dan tertawa penuh ejekan.
"Berbuat zina saja sudah dihukum berat, apalagi hendak memperkosa," katanya pelan namun jelas didengar oleh telinga Bayuseta sementara Ratih Ningrum hanya diam saja. Dia setuju Bayuseta dihukum berat. Tetapi bagaimana dengan putranya yang diculik Bayuseta. Didengarnya lagi suara Ki Ageng Jayasih,
"Aku sebenarnya bukan orang kejam. Tetapi aku paling tak suka melihat perbuatan hina dan amat menjijikkan itu! Kau tahu apa hukumannya?"
Bayuseta mengangkat wajahnya, menatap Ki Ageng Jayasih. Dia buru-buru menunduk, tatapan itu memancarkan sorot mata yang menakutkan.
"Hukuman yang pantas buatmu, diseret oleh kuda yang lari dengan kencang!" kata Ki Ageng Jayasih tegas.
Bayuseta terbelalak, tubuhnya semakin lemah saja rasanya. Namun dia tidak mau mati secara demikian. Lebih baik dilawannya saja kakek sakti itu. Mendadak dia memekik dan menyambar kaki Ki Ageng Jayasih. Kakek sakti itu hanya melompat sambil tertawa.
"Ternyata masih ada keberanian pula. Aku pun tak segan untuk membunuh orang macam kau!"
Ki Ageng mengibaskan tongkat. "Wuutt!" Hampir saja kepala Bayuseta tersambar kalau saja Bayuseta tidak cepat menunduk.
Ratih Ningrum maju ke depan. "Ki Ageng Jayasih, jangan kau bunuh dia! Dia masih punya rahasia di mana putraku berada!"
Tetapi Ki Ageng Jayasih tak perduli. Dia mengibaskan lagi tongkatnya, gerakannya cepat. : "Plak!"
Tongkat itu menampar pinggang Bayuseta yang menjerit kesakitan dan ambruk dengan pinggang serasa mau patah. Ki Ageng bukanlah orang yang kejam tetapi dia sangat marah melihat perbuatan jijik Bayuseta. Menurut Ki Ageng, hanya hukuman mati yang pantas untuk orang macam itu. Dia berkelebat dan mengayunkan tongkatnya.
Mendadak terdengar bunyi, "Trak!" Ayunan tongkat itu melenceng. Rupanya Ratih Ningrum menahan ayunan tongkat Ki Ageng Jayasih dengan pedangnya.
Ki Ageng agak heran. Ia menatap Ratih Ningrum penuh tanda tanya, buru-buru Ratih Ningrum menjura.
"Maafkan aku, Ki Ageng. Bukan maksudku untuk menahan serangan tadi. Tetapi pemuda itu masih mempunyai rahasia di mana putraku berada."
Mendengar itu, Bayuseta tertawa penuh kemenangan. Dia sudah sangat tidak mampu untuk bangkit dan hanya itu satu-satunya yang mungkin bisa menyelamatkan dirinya.
"Ha... ha... kau bunuhlah aku Putramu
tak akan tertemukan selama hidupmu dan dia akan mati kelaparan."
Tetapi lain halnya dengan Ki Ageng Jayasih. Dia adalah orang yang adil, yang salah harus dihukum. Tanpa ampun lagi, mendadak dia mengayunkan tongkatnya.
"Craasss !"
Tongkatnya itu tepat mengenai batok kepala Bayuseta yang langsung terkulai mati. Ratih Ningrum menjerit kaget.
"Kakek!"
"Orang macam dia harus dibunuh, itu hukuman yang paling tepat untuknya "
"Tapi putraku?"
"Aku tahu di mana dia berada?"
"Kau kau tahu, Kakek? Di mana, di mana putraku?" tanya Ratih Ningrum gembira.
Ki Ageng Jayasih tersenyum. Ia memang mengetahui di mana Pranata Kumala berada. Sebelum membela Ratih Ningrum dari ancaman Angkasena dan Sumpila, Ki Ageng Jayasih melihat sosok tubuh berkelebat dengan seorang anak yang terkulai di bahunya. Tetapi saat itu, keingintahuan Ki Ageng Jayasih dengan apa yang tengah terjadi di perguruan Topeng Hitam mengurungkan niatnya untuk mencari tahu siapa bayangan yang berkelebat tadi.
Setelah keadaan mereka, baru Ki Ageng Jayasih mencari bayangan yang berkelebat itu. Itulah sebabnya dia menolak diajak mampir oleh Ratih Ningrum. Ketika Ki Ageng Jayasih tiba di suatu tempat, dia melihat sosok bayangan keluar dari sebuah bangunan besar dan Ki Ageng Jayasih yakin kalau bayangan itu adalah sosok tubuh yang keluar dari perguruan Topeng Hitam.
Mengingat itu dia segera memeriksa bangunan tempat orang itu keluar tadi, bangunan itu adalah perguruan Cakar Naga! Di sebuah kamar, Ki Ageng Jayasih melihat seorang bocah yang sedang menangis. Mungkin bocah ini yang dipanggul orang itu tadi. Tahu-tahu Ki Ageng Jayasih melihat beberapa orang masuk ke kamar itu. Salah satu orang itu adalah adik seperguruannya, Madurka!
Setelah itu, Ki Ageng Jayasih berkelebat dan menghilang. Keesokan harinya, dia bermaksud datang ke perguruan Topeng Hitam dan hendak bertanya tentang bocah yang dilihatnya tadi. Tetapi ketika dia tiba di sana, dia melihat nyonya ketua perguruan Topeng Hitam hendak bepergian dengan seekor kuda. Mulanya Ki Ageng Jayasih hendak pergi saja tetapi tiba-tiba dia melihat sosok tubuh dengan seekor kuda menyusul.
Entah kenapa Ki Ageng Jayasih hendak melihatnya. Dia yakin sekali, bentuk badan orang itu sama dengan yang dilihatnya semalam. Ki Ageng Jayasih pun menyusul.
Dan dugaannya benar, orang itu hendak berbuat jahat. Orang itu Bayuseta. Ki Ageng Jayasih gusar melihat perbuatan yang sangat hina itu. Karena dia sudah tahu di mana Pranata Kumala berada, maka dia tak ambil perduli dengan membunuh Bayuseta.
Menurut Ki Ageng Jayasih, orang macam ini tak ada gunanya hidup. Selain mengkhianati perguruan, menculik anak ketuanya, juga hendak berbuat tidak senonoh dengan istri ketuanya sendiri. Sungguh keterlaluan!
Ki Ageng Jayasih menatap wajah Ratih Ningrum yang kelihatan agak gembira.
"Putramu dalam tawanan orang-orang perguruan Cakar Naga."
"Perguruan Cakar Naga?" Ratih Ningrum terbelalak. "Kenapa, kenapa bisa sampai ke sana?"
"Orang yang bernama Bayuseta itu, seorang pengkhianat. Dia bersekutu dengan orang Cakar Naga untuk menghancurkan perguruan Topeng Hitam. Orang-orang sakti yang menyerang ke perguruan Topeng Hitam kemarin itu, adalah sekutu Cakar Naga. Termasuk adik seperguruanku yang bernama Madurka, atau Orang Cacat Sakti. Rupanya ketua perguruan Cakar Naga iri pada kejayaan perguruan Topeng Hitam. Mereka bermaksud menghancurkan perguruan Topeng Hitam dengan bantuan orang-orang golongan hitam!"
"Jadi ketua Cakar Naga yang telah mengatur semua rencana itu?"
"Begitulah kira-kira, Nyonya ketua." Mendadak wajah Ratih Ningrum kemera-
han. Ia tersipu. "Kakek sakti... jangan panggil aku nyonya ketua. Panggil namaku kenapa?"
"Karena kau memang nyonya ketua. Tak ada panggilan yang pantas selain itu."
"Lalu Ki Ageng Jayasih, hendak ke mana sekarang?"
"Sebenarnya, aku tengah mencari muridku. Tetapi, karena ada tugas yang kulihat di depan mataku, aku harus melaksanakan tugas itu."
"Tugas apa gerangan?"
"Menumpas orang-orang sesat itu yang hendak membuat onar."
Ratih Ningrum tersenyum. Kalau begitu, Ki Ageng Jayasih mau membantunya. Ia mengangguk.
"Kebaikan dan bantuan kakek sakti, sangat saya harapkan."
Ki Ageng Jayasih terbahak. "Baik, baik! Mari kita pergi ke perguruan Cakar Naga untuk menyelamatkan putramu!"
Ratih Ningrum menaiki kudanya. Ki Ageng Jayasih membebaskan totokannya pada kuda Bayuseta. Tetapi ia tidak menaiki, malah digebuknya kuda itu hingga lari terbirit-birit. Sedangkan dia hanya berlari mengikuti kuda Ratih Ningrum.
Padahal Ratih Ningrum sudah sedemikian cepat melarikan kudanya, tetapi Ki Ageng Jayasih masih tetap berada di depan!
5
Di perguruan Cakar Naga sedang terjadi rapat. Resi Sendaring dengan kelima bawahannya, tengah merundingkan dan merencanakan penyerangan langsung ke perguruan Topeng Hitam.
Saat ini ketua yang bernama Madewa Gumilang, sedang tidak ada di tempat. Suatu kesempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk bertindak. Jadi tidak perlu susah-susah menaklukkan perguruan Topeng Hitam. Apalagi Pranata Kumala ada dalam tawanan mereka, bisa dijadikan sebagai sandera agar perguruan Topeng Hitam menyerah.
Setelah diobrak-abrik oleh Ki Ageng Jayasih, mereka melaporkan kegagalan itu pada Resi Sendaring. Madurka yang mendengarnya menggeram marah, rupanya kakak seperguruannya ikut campur dalam urusan ini. Dia berkata, nanti biar dia yang menghadapi kakek sakti itu.
Resi Sendaring lalu memerintahkan kepada Angkasena untuk melihat sepuluh orang murid Cakar Naga yang ditugaskan untuk membongkar makam Paksi Uludara.
Sesampai di sana, Angkasena melihat mereka baru melakukan hal itu dan sungguh di luar dugaannya, di dalam makam itu terdapat sebuah pedang mestika yang berkilat. Itulah pedang Sakti Naga Emas.
Setelah itu Angkasena memerintahkan untuk segera meninggalkan tempat itu dan bersamaan dengan munculnya Madewa Gumilang. Dia pun memerintahkan untuk sembunyi dan menyerang Madewa jika laki-laki itu keluar. Dan terjadilah pertempuran. Di saat sepuluh murid perguruan Cakar Naga kalah dan dipaksa mengaku siapa yang menyuruh mereka, Angkasena menyambitkan pisaunya membunuh semuanya.
Lalu pergi dengan membawa kerangka dan pedang Sakti Naga Emas. Semua itu dilaporkannya kepada Resi Sendaring. Tetapi Resi Sendaring malah merencanakan untuk menyerbu bukan untuk menyambut kedatangan Madewa Gumilang. Tak ada yang membantah, karena alasan Resi Sendaring tepat.
Dia akan menempatkan dua orang di sini dan yang lain membantunya menyerbu perguruan Topeng Hitam. Diputuskan, yang tinggal Aryo Gembala, Sumpila dan Madurka. Sisanya menyerang dengan beberapa anak buah.
Yang menyerang pun segera berangkat dengan lima puluh anak buah perguruan Cakar Naga. Sisanya membentuk barisan untuk menyambut kedatangan Madewa Gumilang.
Hanya selang lima menit dari yang berangkat, Madewa datang dan langsung menerobos masuk pintu gerbang. Dia tidak mau bertindak setengah-setengah lagi. Kerangka Paksi Uludara semakin membuatnya marah.
Begitu dia masuk, puluhan murid perguruan Cakar Naga mengurungnya. Madewa memutar-mutar kudanya yang sekali-sekali meringkik.
"Di mana Resi Sendaring! Panggil!" bentaknya garang. "Aku ada perlu dengannya!"
"Kalau ingin bertemu dia, langkahi dulu mayat kami!" membentak salah seorang.
Ini membuat Madewa semakin geram. Dia mengibaskan tangannya ke arah orang itu yang langsung jumpalitan terhantam dorongan angin yang sangat kuat. Orang itu roboh dengan bermuntah darah.
Yang lain terkejut dan bergerak menyerang. Dengan sigap Madewa bersalto dan hing-
gap di wuwungan atap. Kudanya menjadi sasaran tangan-tangan yang membentuk cakar. Kuda itu ambruk bermandikan darah.
"Kejam!" desis Madewa.
Tiba-tiba dia merasakan dorongan angin panas menyambarnya. Dengan cepat Madewa bersalto ke samping dan "Duar!" dorongan angin itu menghantam genting hingga berantakan.
Madewa melihat ke bawah. Tiga orang berdiri dengan gagah di hadapan murid-murid Cakar Naga.
"Ha... ha... selamat datang di tempat kami, Madewa Gumilang!" seru Madurka terbahak. Tubuhnya yang pendek gemuk terguncang. Tangan kirinya yang terbuat dari besi mengkilat ditimpa matahari.
"Ini bukan tempatmu, orang cacat!" balas Madewa. "Aku kemari bukan ingin bertemu denganmu, tetapi dengan Resi Sendaring! Ke mana Resi sesat itu? Dia telah berani-beraninya membongkar makam Paksi Uludara dan mengambil kerangkanya serta pedang saktinya!"
"Ha... ha... kau terlambat, Orang gagah! Resi Sendaring baru saja pergi. Tapi jika ada urusan, kami sanggup menangani! Turunlah!"
Madewa menggeram. Jumlah mereka sangat banyak dan ada tiga orang yang kepandaiannya tak boleh disangsikan. Tetapi dia melompat juga ke bawah dan berdiri berhadapan dengan tiga orang gagah itu. Sumpila terkikik.
"Rupanya Pendekar Pukulan Bayangan Sukma bukan orang yang pengecut!"
"Baik, kini kita yang punya urusan!" seru Madewa gusar namun tenang. "Katakan, di mana kerangka Paksi Uludara dan pedang Sakti Naga Emas disembunyikan! Cepat, kalau tidak, kuhancurkan kalian semua!" Tetapi ancamannya hanya disambut tawa oleh ketiga orang itu.
"Kami ingin bukti dari ucapanmu, Madewa," ejek Aryo Gembala.
Madewa tidak dapat menahan marahnya. Ia pun bersiap. Ketiga orang itu masih tertawa. Mendadak Madewa mendorong kedua tangannya ke depan.
Ketiga orang itu tersentak kaget. Mereka langsung mengerahkan tenaga dalam untuk menahan dorongan angin itu. Tetapi tak urung mereka terdorong beberapa langkah. Dorongan tenaga yang hebat.
Lalu ketiganya pun bersiap dan secara serentak menyerang dengan dahsyat, membuat Madewa sejenak kebingungan. Serangan itu sedemikian cepatnya. Madurka menyambarkan besi bulatnya yang runcing. Sumpila sudah menggerakkan jurus-jurus patuk bangaunya yang hebat. Aryo Gembala sudah memperlihatkan kelincahannya sambil melepaskan pukulan-pukulan saktinya.
Namun Madewa bukanlah jago sembarangan, dia adalah murid tunggal Ki Rengsersari, Pendekar Ular Sakti yang tangguh. Dengan lincah dia menghindari serangan-serangan itu dan mulai balas memukul dan menendang. Agak membuat mereka bertahan, tidak meneruskan serangan. Madewa sudah mengeluarkan pukulan Tembok Menghalau Badai yang sangat ampuh.
Sambaran tangan kiri Madurka juga membuatnya agak repot. Tapi tidak sampai terdesak. Mendadak dia melenting ke atas dan bergulingan ke bawah, menyusup sambil melancarkan jurus ularnya dengan cepat, mengancam kedua kaki Madurka. Madurka terkejut tidak menyangka Madewa akan berbuat demikian, dia buru-buru menghindar dengan jalan bersalto.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Madewa mengganti arah sasarannya. Ia berbalik ke arah Aryo Gembala dan menggerakkan patukan ularnya dengan cepat. Aryo Gembala berkelit dan balas memukul, tetapi Madewa lebih cepat, tangannya sudah menghantam bahu Aryo Gembala hingga terhuyung. Betapa besarnya sambaran tenaga Madewa.
Melihat kedua kawannya dibuat kalang kabut, Sumpila menerjang. Wanita berwajah buruk itu menyambar dengan jurus-patuk bangaunya. Dan bisa ditebak, dua jurus yang hampir punya gaya bersamaan, saling serang dan memukul. Keduanya benar-benar bagaikan bangau dan ular yang sedang bertarung sungguh hebat dan serunya. Saling bergerak dengan cepat dan tangkas. Tiba-tiba Madewa mengubah jurusnya ketika Sumpila maju menyerang, Madewa tidak mengelak dia malah menyambut.
Dua tangan penuh tenaga saling bertemu dan membuat keduanya reflek menarik tangan namun kemudian saling menyerang lagi. Tetapi kali ini Madewa sudah memakai pukulan Tembok Menghalau Badainya. Begitu Sumpila memukul dia memapaki dengan pukulan itu. Akibatnya sungguh berbeda dengan tadi. Sumpila terhuyung ke belakang lima tombak, sedangkan Madewa hanya tiga langkah.
Tetapi biarpun begitu, dia harus segera menghindari serangan Aryo Gembala yang sudah mengerahkan jurus andalannya Naga Hitam Menembus Bumi. Sungguh luar biasa jurus itu, menggempur dengan kecepatan hebat dan selalu mengincar kedua mata kaki. Madewa berkali-kali menghindar dengan jalan bergulingan dan sekalisekali kakinya menendang. Tiba-tiba pula dia bangkit dengan tubuh memutar bagaikan ular dan tangannya bergerak dengan cepat. Kembali tubuh Aryo Gembala tergedor telapak tangannya.
Aryo Gembala terhuyung. Lawannya itu begitu sakti. Madurka sendiri sudah membuka jurus andalannya warisan gurunya yang amat tangguh. Jurus Rajawali Sakti. Jurus yang hanya bisa disaingi oleh jurus tangan Bayangan milik Ki Ageng Jayasih. Dia menyerang dengan ganasnya. Madewa bertahan dengan sekuat tenaga. Peluh sudah bermain di wajahnya. Tenaganya pun terperas. Ketiga lawannya amat tangguh.
Tetapi jurus Rajawali Sakti bergerak dengan dahsyat. Dua kali dia berhasil menggedor dada Madewa dengan keras. Madewa tak mau bertindak ayal lagi. Ketika ada kesempatan dia bersalto ke belakang dan terdiam sejenak.
Mendadak kedua tangannya mengepal dan dari kepalan itu mengeluarkan asap putih. Rupanya Madewa sudah mengeluarkan pukulan andalannya, pukulan bayangan sukma yang amat ditakuti.
Madurka tahu ilmu itu dan tahu bagaimana akibatnya jika mengenai tubuh. Bisa hancur tanpa bentuk. Angkasena dan Sumpila pun bersiap. Lawan sudah mengeluarkan pukulan mautnya. Mereka pun segera mengeluarkan jurusjurus andalannya untuk memapaki.
Dengan memperpadukan dengan jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa maju menerjang dan kali ini tak ada yang berani memapaki atau menangkis, mereka kebanyakan menghindar sambil sekali-sekali membalas. Rupanya pukulan maut itu telah mereka dengar kesaktiannya.
Aryo Gembala berpikir, kalau mereka tidak membalas, akhirnya mereka akan kewalahan sendiri karena tidak rutin membalas.
Akhirnya dia nekat menyerang dengan pukulan Naga Hitam Menembus Bumi dan Madewa menyambut dengan pukulan bayangan sukmanya.
Dua pukulan sakti itu beradu dengan hebatnya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Dari kedua tangan itu keluar kepulan asap dan dari asap itu sesosok tubuh terpental ke belakang dan roboh dengan tubuh tanpa nyawa.
"Aryo Gembala!" jeritan kaget terdengar dari mulut Sumpila dan dia memburu tubuh yang hancur itu dan mendadak dia bangkit dengan beringas, menatap Madewa penuh nafsu membunuh. "Kau harus membayar nyawa sahabatku ini, Madewa!" Lalu berkelebat menyerang dengan pukulan patuk bangaunya yang hebat.
Tetapi Madewa tidak mengelak. Tidak pula menangkis. Pukulan Sumpila siap bersarang di tubuhnya, tetapi mendadak tubuh Sumpila berbalik bergulingan ke belakang. Dia merasakan tubuhnya dihantam sesuatu yang kuat. Sumpila roboh termakan pukulannya sendiri. Tetapi masih bisa bernafas, tidak langsung mampus.
Itulah keajaiban yang keluar dari tubuh Madewa, sejak dia menghisap sari rumput kelangkamksa. Keajaiban yang hanya bisa digunakan dengan kesabaran dan yang memilikinya tidak dikuasai oleh marahnya.
Madurka menjadi jeri melihat kedua temannya roboh. Tetapi dia bukanlah orang yang pengecut. Sebenarnya pukulan Rajawali Saktinya mampu menahan pukulan bayangan sukma Madewa tetapi dia kuatir tenaganya kalah kuat oleh Madewa. Karena Madewa bisa menghantam melalui dua tangannya, sedangkan dia hanya satu tangan. Tangan kirinya tak berfungsi dalam jurus Rajawali Sakti itu.
Madewa membentak, "Cepat tunjukkan kepadaku, di mana kerangka Paksi Uludara disimpan! Dan di mana pedang Sakti Naga Emas! Cepat, sebelum aku berniat untuk mencabut nyawamu pula, Madurka!"
Madurka mendengus. Dia tidak takut dengan ancaman itu. Kalau perlu dia akan mengadu nyawa dengan Madewa.
"Sampai kapan pun kau tak akan tahu di mana orang dan benda yang kau cari itu berada!" Tiba-tiba Madurka bersalto ke belakang dan mengibaskan tangannya ke depan. Tanda menyerang. Beberapa murid perguruan Cakar Naga menyerang dengan serentak. Dengan cakar-cakar yang bersambaran. Madewa berkelit ke sana-kemari, menghindari serangan itu. Dia hendak mengejar Madurka, tetapi sulit, karena serangan itu begitu banyak.
Tiba-tiba dia memekik panjang dan bersalto ke atas wuwungan rumah. Murid-murid perguruan Cakar Naga berseru penasaran, malah ada beberapa orang yang sudah naik ke atas. Madewa menyepak turun mereka satu per satu. Tidak sampai melukai, hanya menjatuhkan mereka saja. Mereka adalah orang-orang tak bersalah, hanya menuruti perintah.
Memang, sebenarnya mereka jerih untuk menghadapi Madewa, tetapi karena kuatir Resi Sendaring marah, mau tak mau mereka menahan kejerihannya itu.
Madewa berseru, "Madurka, keluar kau!!" Madurka belum keluar juga. Madewa kem-
bali dibuat sibuk oleh serangan-serangan ringan itu. Tetapi mendadak terdengar tawa Madurka.
"Ha... ha... lihat kau kemari, Madewa!" serunya seraya mengangkat sesuatu tinggi-tinggi. Madewa melengak. Ia melihat seorang bocah yang siap dibanting dan Madewa lebih terkejut lagi ketika melihat siapa bocah itu, Pranata Kumala. "Pranata!" jeritnya hampir saja cakar salah
seorang mampir ke tubuhnya. Ditendangnya orang itu hingga jatuh dengan deras dan ambruk.
Ia membentak Madurka lagi, "Madurka! Lepaskan anakku! Ingat, kalau dia terluka, kau akan kubunuh!"
"Ha... ha... ancaman kosong kau berikan kepadaku! Turunlah, Madewa! Buktikan ucapanmu itu. Kalau tidak, anakmu ini kubanting hingga lumat."
Madewa bersalto turun dan beranjak mendekati Madurka sambil waspada. Madurka tertawa. Dia mengayun-ngayunkan tubuh Pranata Kumala yang menjerit-jerit ketakutan. Ia menangis dan memanggil ayahnya begitu dia melihat Madewa berdiri tak jauh darinya.
"Ayah!"
Hati Madewa teriris mendengar jeritan ketakutan itu. Kasihan bocah itu, tangisnya semakin mengeras. Madewa menggeram. Kedua tangannya mengepal.
"Akan kulumat dirimu kalau tidak melepaskan anakku!" bentaknya keras.
Madurka tertawa.
"Ha... ha... silahkan, silahkan, Orang gagah. Aku ingin lihat sampai di mana keberanianmu membuktikan ucapanmu tadi! Majulah, kalau tidak... ha... ha... anak ini akan mampus kulempar!!"
Madewa menjadi serba salah. Di satu sisi dia ingin membunuh Madurka, tetapi di sisi lain dia ingin menyelamatkan Pranata. Sebelum dia berhasil mengambil keputusan, Madurka sudah membentak keras, "Berlutut kau, Madewa kalau tidak mau anak ini kulempar! Cepat!"
Mata Madewa geram melotot, tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Dengan terpaksa dia berlutut. Madurka terbahak keras, kemenangan sudah di tangannya. Ia memerintahkan beberapa orang murid untuk mengikat erat-erat tubuh Madewa. Madewa hanya mandah saja, tidak berontak sedikit pun. Nasib Pranata Kumala lebih penting daripada nyawanya!
Madurka terbahak lagi.
"Nyawamu kini ada di tanganku, Madewa!
Masukkan dia ke ruangan khusus!"
Madewa kembali mandah saja ketika digiring ke ruang khusus itu. Beberapa orang murid perguruan Cakar Naga bersorak gembira. Madurka menurunkan Pranata dan menotok tubuhnya hingga kaku. Lalu ia sendiri menghampiri Sumpila yang masih dalam keadaan terluka dalam. Ia memberinya dua butir pil warna merah. Dan membantu Sumpila berdiri untuk beristirahat ke dalam.
Sementara mayat Aryo Gembala di makamkan di halaman depan perguruan itu. Pranata dimasukkan kembali ke kamar dan totokannya dilepas.
Ruangan khusus yang dipakai untuk memenjara Madewa berada di ruang bawah yang amat pengap dan sempit. Matahari tak masuk ke sana. Madewa didorong masuk dengan kasar. Mereka bangga karena pendekar kenamaan berhasil mereka tangkap.
Padahal kalau tidak ingat nyawa Pranata Kumala, Madewa akan mengamuk hebat dan mengobrak-abrik semua. Tetapi untuk sementara dia mengalah. Membiarkan dirinya ditangkap. Nanti kalau ada kesempatan untuk meloloskan diri akan dia hancurkan semuanya!
"Selamat mendekam, Pendekar gagah!" ejek orang itu sambil mengonci kuat-kuat penjara itu.
6
Sementara itu begitu keluar dari perguruan Cakar Naga, Resi Sendaring, Nimas Sertani dan Tidasewu langsung bergerak menuju sasaran. Luka di kedua bahu dan paha Tidasewu sudah agak sembuh. Sudah bisa dipakai untuk memainkan pedangnya. Resi Sendaring ternyata juga ahli dalam hal mengobati.
Di tangan Tidasewu terpegang sebuah pedang berkilau. Pedang itu adalah mestika perguruan Topeng Hitam. Pedang Sakti Naga Emas. Karena yang pandai memainkan pedang adalah Tidasewu, maka Resi Sendaring memberikan pedang itu kepadanya.
Mereka bergegas dengan menggunakan ilmu lari mereka agar cepat sampai di perguruan Topeng Hitam.
Tetapi mendadak mereka menghentikan larinya. Di hadapan mereka berdiri dua sosok tubuh dengan gagah. Seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh limaan. Gagah dengan sepasang pedang di punggungnya. Dan di sampingnya berdiri seorang laki-laki tua dengan tongkat bambu kuning. Keduanya adalah Ratih Ningrum dan Ki Ageng Jayasih.
Merasa mereka menghadang perjalanannya, Resi Sendaring membentak, "Kenapa kalian menghadang kami?"
Terdengar tawa Ki Ageng Jayasih. Agak menakutkan dan memekakkan telinga.
"Ha... ha... kalian adalah orang-orang yang berpikiran sesat!"
Resi Sendaring maju selangkah dan terbelalak begitu kelihatan jelas wajah wanita yang berdiri di samping laki-laki tua itu. Ratih Ningrum!
Ia terbahak. "Ha... ha... rupanya andika Ratih Ningrum yang datang menjemput. Bukan main, andika rupanya sudah rindu kepadaku, bukan?"
Mendengar suara yang jelek itu, Ratih Ningrum meludah. "Ciiih! Tak kau pandang wajahmu sendiri dalam cermin, Resi tua! Tak kusangka, selama ini kau mendendam kepada perguruan Topeng Hitam, dan secara licik memanfaatkan salah seorang murid Topeng Hitam!" "Ha... ha... Bayuseta? Dia datang sendiri kepadaku, Ratih Ningrum.... Dia pun membenci kepada suamimu. Dia ingin membunuhnya dengan bantuanku! Dan kau pun, sebentar lagi akan datang ke pelukanku, bukan? Ayolah, Ratih... Andika pasti berbahagia dalam rangkulanku"
Wajah Ratih Ningrum memerah karena marah. Perkataan itu sangat menjijikkannya dan membuatnya ingin muntah!
"Resi Sendaring...! Di mana anakku kau sembunyikan? Cepat kau tunjukkan kepadaku!"
"Tak jauh dari sini, Ratihku sayang Dia
dalam keadaan baik-baik "
"Cepat tunjukkan, sebelum aku marah!!" Padahal Ratih Ningrum sudah marah. Kalau dia langsung menyerang, belum tentu dia berhasil mengorek keterangan di mana putranya berada.
"Kau pemarah, Manis. Tak jauh dari sini. Kalau kau mau menjadi kekasihku, akan kutunjukkan di mana dia berada!" seru Resi Sendaring sambil menyeringai lebar.
Kali ini Ratih Ningrum tidak dapat menahan marahnya. Dengan cepat dia menyambar sepasang pedangnya dan bergerak dengan pedang terhunus ke arah leher dan jantung Resi Sendaring.
Sigap Resi Sendaring melompat ke kiri, ringan sekali gerakannya. Tetapi masih menerjang Ratih Ningrum mengibaskan tangan kirinya ke belakang.
"Wuttt...!" Resi Sendaring bersalto dengan ringannya. Serangan itu pun luput. Mendadak Ratih Ningrum memekik keras dengan pedang yang berubah menjadi gulungan-gulungan putih. Menyambar dengan cepatnya. Resi Sendaring menghindar ke sana-kemari dengan sigap dan mendadak menyongsong serangan kedua pedang itu.
Ketika salah satu pedang menyambar lehernya, dia merunduk dan menangkap tangan kanan Ratih Ningrum tetapi langsung dilepaskan karena Ratih Ningrum menotok dengan hulu pedang di tangan kirinya.
Resi Sendaring menghindar ke belakang dan tertawa-tawa.
"Bukan main, calon istriku. Sungguh hebat permainan ilmu pedangmu, Manis!" serunya ceriwis.
Ratih Ningrum semakin marah, tetapi ketika dia akan menyerang lagi, terdengar suara di telinganya, "Tahan emosimu. Dalam keadaan marah, seranganmu akan kacau!"
Ratih Ningrum tak jadi bergerak, langsung menoleh pada Ki Ageng Jayasih yang masih menatap ke depan. Kakek sakti itu seolah tak bicara, tetapi Ratih Ningrum yakin, kalau kakek itu yang mengirimkan suara tadi.
Ia pun hanya mengikuti sarannya. Ratih Ningrum berusaha meredakan kemarahannya.
Resi Sendaring tertawa.
"Tidak jadi menyerang kami, Ratihku ma-
nis?" Mendengar kata-kata itu, telinga Ratih Ningrum panas sekali. Ia menoleh gusar.
"Kurobek mulutmu, Resi!"
"Lakukanlah, aku pun tak puas hanya memegang tanganmu!"
Ratih Ningrum menahan emosinya. Tetapi dia langsung menyerang, kali ini rasa marahnya agak berkurang namun belum sampai pedangnya menyentuh tubuh Resi Sendaring, tangannya sudah ditangkis dengan kuat.
Kalau pegangan pada pedangnya tak kuat, tentu akan terlepas. Ratih Ningrum bersalto ke belakang. Nimas Sertani sudah berdiri di hadapannya. Mendongakkan kepala penuh tantangan.
"Kau hadapi aku, Nyonya ketua! Waktu itu, aku dikalahkan oleh suamimu! Dan hari ini, akan kutebus dengan membunuhmu!"
Ratih Ningrum bersiap. Dia sudah mendengar kesaktian Dewi Mulia Berhati Busuk. Begitu Nimas Sertani menyerang, dia mengayunkan sepasang pedangnya secara berlawanan.
"Wuuutt...! Wuuutt,..!"
Nimas Sertani berkelit dengan lincah. Ratih Ningrum terus mengejar dengan gencar. Suatu ketika pedangnya mendadak dilemparkan ke atas membuat Nimas Sertani agak bingung. Tak mengerti maksudnya. Tetapi dia harus menghindari serangan pedang Ratih Ningrum yang satu lagi. Bertepatan dia menghindar, pedang yang dilempar tadi menukik tepat di atas ubun-ubunnya. Sebuah gerakan ilmu pedang yang luar biasa. Tadi Ratih Ningrum sengaja menggiring Nimas Sertani untuk berdiri tepat di atas jatuhnya pedang yang dia lemparkan.
"Awasss, Nimas!" terdengar seruan itu dan berkelebat bayangan itu dengan cepat, menjambret pedang yang siap memakan kepala Nimas Sertani.
"Luar biasa!" seru orang itu yang ternyata Tidasewu. "Baru kali ini kulihat permainan pedang yang sangat luar biasa. Aku pun ingin menjajal kehebatan ilmu pedangmu. Waktu itu aku kalah karena dibokong. Nah, terimalah kembali pedangmu ini!" Tidasewu melemparkan pedang itu dengan tenaga dalam yang kuat. Andaikata Ratih Ningrum tidak cepat berkelit, pasti akan ambruk termakan pedang itu. Pedang itu menancap ke pohon sampai pangkalnya! Bisa dibayangkan jika menusuk tubuh Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih menghampiri pedang itu. Dan dengan sekali tepuk pada pohon itu, pedang tercabut begitu saja.
Semua terbelalak kaget. Pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa!
"Kau hadapi dia, Ratih," kata Ki Ageng Jayasih sambil memberikan pedang itu kepada Ratih Ningrum. "Hati-hati, kulihat dia memegang pedang pusaka. Ingat, dia adalah Dewa Pedang saat ini!"
Ratih Ningrum mengangguk. Biarpun Tidasewu orang sakti macam apa, dia akan bertempur dengannya. Dia pun mulai menyerang dengan hebat. Tidasewu berkelit sambil meloloskan pedang Sakti Naga Emas. Pedang itu indah dan berkilauan.
Sementara itu, Ki Ageng Jayasih sudah melangkah maju, berhadapan dengan Resi Sendaring dan Nimas Sertani yang sudah menguraikan kerudung putihnya menjadi sebuah senjata.
"Maafkan aku yang tua ini turut campur dalam urusan kalian.... Tetapi, aku paling tak suka dengan kejahatan! Apalagi kulihat, adik seperguruanku bersekutu dengan kalian. Ingat, aku tak segan membunuh kalian!"
Resi Sendaring tertawa dibentak begitu. Disangkanya dia takut menghadapi orang macam ini? Bah, sedikit pun dia tak akan lari.
"Aku mengenalmu, Kakek. Kau adalah Ki Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria "
"Nah, kenapa tidak lekas sujud kepadaku," sahut Ki Ageng Jayasih tenang.
"Bangsat!" geram Resi Sendaring. "Kau sangka aku takut denganmu. Baik, Kakek kita
buktikan sekarang! Aku pun tak suka dengan orang yang menghalangi perbuatanku!"
Sesudah berkata begitu, Resi Sendaring menerjang dengan cakar naganya yang amat hebat. Dimainkan oleh muridnya saja sudah sedemikian hebat, apalagi dengan sang ketua. Kecepatan gerak tangannya sungguh mengagumkan.
Ki Ageng Jayasih melompat ke belakang dan menotok dengan tongkatnya.
"Hiiaa...!" Resi Sendaring menggempos tubuhnya ke atas dan menyambar kepala Ki Ageng. Lagi Ki Ageng hanya merunduk sambil menyodokkan tongkatnya. Tangan Resi Sendaring menangkis tongkat itu.
"Des!"
Walaupun tidak berbenturan langsung dengan tangan Ki Ageng Jayasih, tangan Resi Sendaring agak ngilu juga. Rupanya tongkat bambu kuning itu sudah dialiri tenaga dalam yang lumayan.
Resi Sendaring mendengus. Nimas Sertani pun bersiap. Ia mengebut-ngebutkan kerudung putihnya. Dan di setiap kebutan itu terdengar bunyi "pletar!" yang keras.
Ki Ageng Jayasih hanya tertawa. Dia menyambut kedua serangan itu dengan sikap tenang, tidak menggeser dari tempatnya berdiri. Kedua ujung tongkatnya dengan lincah menangkis serangan mereka dan membuat keduanya semakin penasaran. Serangan mereka tingkatkan lagi. Resi Sendaring rupanya hanya menjajagi tadi dengan cakar naganya, karena sekarang dia mengeluarkan inti-inti jurusnya.
Dan barulah Ki Ageng Jayasih menggeser dari tempatnya karena desakan-desakan Resi Sendaring. Selain kecepatan tangannya luar biasa, tenaganya pun besar. Selain itu, juga kebutan-kebutan kerudung putih Nimas Sertani, yang mengincar setiap kali dia bergerak.
Kali ini Ki Ageng mulai membalas. Sodokan tongkat dan pukulan kakinya bergerak dengan cepat pula. Bahkan dia mulai mengeluarkan pukulan jarak jauhnya berupa sinar merah.
"Sreeet...!"
Sinar itu berkelebat ke arah Nimas Sertani yang menghindar dengan jalan berguling dan mengebutkan kerudung putihnya hingga membuat Ki Ageng Jayasih berkelit. Namun kembali sebuah sambaran cakar membuatnya melompat bersalto. Serangan-serangan kedua orang itu sungguh hebat dan cepat, agak membuat kewalahan majikan gunung Muria itu. Bisa dibayangkan, menghadapi adik seperguruannya saja dia harus bersusah payah, apalagi mengalahkan Resi Sendaring yang dengan mudah mengalahkan adik seperguruannya. Belum lagi dengan dibantu oleh Nimas Sertani yang tak kalah hebatnya.
Resi Sendaring tertawa, mengejek. "Ternyata majikan Gunung Muria hanya
segitu saja kehebatannya! Nama kosong yang dibesar-besarkan orang! Dasar bodoh!"
Ki Ageng Jayasih hanya balas dengan tawanya. Ia berkata dengan sikap merendah, "Ketua perguruan Cakar Naga, sudah menjulang namanya. Apalah dayaku untuk menghadapinya yang amat sakti!"
Tetapi perkataan itu dirasakan sebagai ejekan oleh Resi Sendaring. Orang itu memang bertemperamen panasan. Dia menyerang lagi dengan kedua tangan yang siap menyambar dengan dahsyat. Ki Ageng Jayasih menekan tongkatnya sampai setengah ke dalam tanah. Lalu dia sendiri bersalto ke depan menyambut serangan itu. "Des...! Plak!"
Dua tangan itu saling memukul dan menangkis lalu sama-sama bersalto. Nimas Sertani menyerang dengan kerudung putihnya. Ki Ageng Jayasih menangkis ujung kerudung itu dan berkelit ke kiri menyerang Resi Sendaring dengan jurus andalannya. Tangan Bayangan.
Keduanya saling serang dan tangkis dengan kecepatan yang sama-sama mengagumkan. Benar-benar sebuah pertempuran yang mengagumkan sekaligus mengerikan. Keduanya sudah memperlihatkan ketangkasan, kelihaian dan kesaktian yang luar biasa. Bahkan kalau dilihat keduanya berimbang. Namun di satu sisi, usia Ki Ageng Jayasih sudah agak lanjut. Tenaganya sudah agak berkurang dan kesempatan ini tak disia-siakan oleh Resi Sendaring yang tahu akan hal itu.
Dia terus mendesak dengan hebat sampai suatu ketika Resi Sendaring menjerit dan menerjang dengan cakar naganya ke arah leher!
Tetapi belum lagi dia menyerangkan cakarnya, tiba-tiba dia sudah bersalto ke belakang dan bergulingan dengan cepat. Ki Ageng Jayasih sudah melepaskan pukulan sinar merahnya hingga mengurungkan niat Resi Sendaring.
Resi Sendaring bangkit dengan gusar. "Sungguh hebat kau, Ki Ageng! Tetapi jan-
gan berbangga dulu, tahan serangan!" bentak Resi Sendaring dan menyerang dengan lebih dahsyat. Tetapi lagi-lagi Ki Ageng Jayasih melepaskan pukulan sinar merahnya, yang membuat Resi Sendaring kerepotan menghindar.
Tiba-tiba kerudung putih Nimas Sertani melibat kedua tangan Ki Ageng hingga sukar digerakkan.
Nimas Sertani berseru, "Resi, hantam kakek gila ini!"
Resi Sendaring berbalik dan memekik dengan keras. Ki Ageng Jayasih tidak mau mati konyol. Mendadak dia menghentakkan kakinya dan mengerahkan tenaganya untuk menarik tubuh Nimas Sertani. Nimas Sertani terkejut karena sentakan itu. Tubuhnya melayang ke atas dan Ki Ageng membetotnya ke arah Resi Sendaring yang siap dengan cakarnya.
Resi Sendaring pun terkejut ketika tubuh Nimas Sertani melayang ke arahnya. Dia berusaha untuk menghindar dan menghentikan pukulannya. Namun sukar sekali, karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya dan dorongan tenaga itu sukar untuk dihentikan. Tanpa ampun lagi kedua cakarnya menyambar ke arah dada Nimas Sertani.
"Auggh...!" Nimas Sertani menjerit keras. Dia merasakan dadanya dimasuki sebuah pisau. Setelah itu roboh tanpa ingat apa-apa lagi, karena nyawanya sudah melayang.
Resi Sendaring terkejut, memandang tak percaya kepada dua tangannya yang berlumuran darah. Ia memandang tubuh Nimas Sertani yang mengeluarkan darah di bagian dada. Dia telah membunuh sekutunya sendiri.
Tidak, ini gara-gara kakek tua itu. Ki Ageng Jayasih hanya tertawa, merasa bersyukur karena terhindar dari serangan.
"Kau lupa, Resi.... Akulah musuhmu, bukan wanita cantik itu...!"
Resi Sendaring menggeram marah. Karena dalam keadaan marah, gerakannya menjadi kacau. Dia menyerang tanpa arah yang pasti dan kesempatan itu tidak mau disia-siakan Ki Ageng Jayasih. Dia mencabut tongkatnya kembali dan mengayunkan tongkatnya dengan keras ke arah perut Resi Sendaring.
"Heeekgh...!"
Resi Sendaring mendengus kesakitan tubuhnya ambruk ke tanah. Sebelum dia bangkit, Ki Ageng Jayasih sudah mengirimkan dua buah pukulan sinar merahnya yang menghantam buntung kedua tangan Resi Sendaring!
Resi itu menjerit kesakitan.
Sementara itu, pertempuran antara Ratih Ningrum dengan Tidasewu juga sudah mencapai titik akhirnya. Rupanya Ratih Ningrum tidak sanggup menahan serangan-serangan pedang Tidasewu. Apalagi yang dipegangnya pedang mestika yang ampuh. Kini Ratih Ningrum hanya memegang sebuah pedang, pedangnya yang satu sudah jatuh.
Dia terdesak hebat. Ilmu pedangnya masih berada jauh di bawah Tidasewu. Mendadak Tidasewu menjerit dengan keras dan menyodokkan pedangnya ke ulu hati Ratih Ningrum. Sebisanya Ratih Ningrum menangkis dan berhasil, lalu dia bersalto ke belakang, tetapi Tidasewu tidak mau melepaskan mangsanya begitu saja, dia mengejar dengan tusukkan pedangnya kembali. Kali ini sulit bagi Ratih Ningrum untuk menghindar. Dia benar-benar terdesak. Tidasewu siap mencabut nyawa Ratih Ningrum, tetapi muncul sinar merah menghalangi gerakan tangannya dan membuatnya bersalto.
Ki Ageng Jayasih tertawa melihat wajah pias Tidasewu. Apalagi setelah melihat kedua temannya sudah dalam keadaan tak mampu bertempur. Tetapi dia bukanlah orang yang penakut, dia tidak gentar oleh Ki Ageng Jayasih. Kakek itu sungguh luar biasa, ketua perguruan Cakar Naga mampu dibuatnya tak berdaya, tetapi hal itu malah membangkitkan kemarahan di hati Tidasewu.
Dengan teriakan keras Tidasewu menyerang tapi kali ini arahnya kepada Ki Ageng Jayasih. Sambaran pedangnya sangat cepat. Ki Ageng memapakinya dengan tongkat bambu kuningnya itu. Tetapi tongkat itu buntung terkena sabetan pedang mestika di tangan Tidasewu.
Betapa hebat tekanan tenaga yang dipamerkan Tidasewu dan betapa tajamnya pedang pusaka itu. Ki Ageng Jayasih surut ke belakang menghindari serangan beruntun Tidasewu.
"Ha... ha... kau jerih melihat kelihaianku, Kakek?" tawa Tidasewu penuh ejekan. Ki Ageng Jayasih hanya tersenyum. Pedang mestika itu hanya bisa dilayani dengan senjata pusaka juga. Tetapi saat ini dia tidak membawa senjata pusaka selain tongkat bambu kuningnya itu. Kalau saja dia bertemu dengan muridnya yang membawa lari keris Naga Merah, pasti orang ini akan bisa diimbanginya.
Entah pikiran apa yang melintas di benak Ratih Ningrum, karena tahu-tahu dia ingat, kalau dia membawa keris pusaka yang diberikan suaminya. Kata suaminya itu keris Naga Merah. Mungkin dengan keris ini, pedang mestika itu bisa dihadapi.
Tiba-tiba Ratih Ningrum menyerang, kali ini dengan keris itu. Sejak dulu, yang tidak pernah digunakan adalah jurus-jurus yang diajarkan oleh gurunya yang bernama Patidina atau si keris tunggal. Jurus keris yang tangguh dan cakap. Dan dengan keris itu sekarang Ratih Ningrum menggunakan ajaran Patidina.
Tidasewu mengibaskan pedangnya, menahan.
"Trang!"
Dari pertemuan dua senjata pusaka itu menimbulkan pijaran api yang agak terang. Ratih Ningrum surut ke belakang sambil memperhatikan keris yang dipegangnya. Sedikit pun keris itu tak tergores apalagi gompal. Pedang pusaka yang di tangan Tidasewu pun demikian. Tidasewu akhirnya sadar, kalau senjata yang dipegang Ratih Ningrum sebuah senjata pusaka pula. Tetapi yang terkejut adalah Ki Ageng Jayasih. Dia mengenali keris yang dipegang Ratih Ningrum itu, keris yang selalu memancarkan sinar merah. Keris pusakanya yang dibawa kabur oleh murid murtadnya.
"Nyonya ketua!" panggilnya seraya bersalto mendekati Ratih Ningrum. Dia langsung menyambar keris yang dipegang Ratih Ningrum. "Tepat dugaanku," desahnya kemudian. "Keris Naga Merah. Nyonya ketua, dari mana kau dapatkan keris ini?"
Ratih Ningrum agak kebingungan karena tahu-tahu Ki Ageng Jayasih bertanya demikian, tetapi belum dia menjelaskan, terasa ada dorongan angin dari depan yang menyambar ke arah mereka. Tidasewu sudah menyerang dengan ganasnya. Tetapi kali ini Ki Ageng Jayasih lebih cepat, sambil bersalto ke depan dia melempar keris pusaka itu.
"Creeep...! Auugh...!"
Kulit setebal apa pun dan sekebal bagaimanapun, akan tembus dimasuki keris itu. Tubuh Tidasewu kelojotan dan roboh dengan meregang nyawa. Ki Ageng Jayasih buru-buru mencabut keris itu dan bersamaan dengan itu, hilanglah nyawa Tidasewu. Dewa pedang dari golongan sesat!
Ki Ageng Jayasih memperhatikan keris Naga Merah itu lagi. Keris pusakanya yang selalu dicarinya. Entah bagaimana bisa sampai ke tangan Ratih Ningrum. "Akhirnya aku menjumpai juga keris ini," desis Ki Ageng Jayasih gembira.
Ratih Ningrum yang keheranan bertanya, "Memangnya itu milik kau, Kakek Sakti?" Suara Ratih Ningrum walau bernada keheranan juga mengandung kelegaan, karena lawan-lawannya sudah ambruk semua.
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut cepat. "Ya, ini milikku. Milikku, yang dicuri oleh
muridku yang murtad." "Murid?"
"Yah...." Tatapan Ki Ageng Jayasih berubah menjadi sendu. "Seorang murid wanita yang ku didik ilmu kepandaian dan kesaktian selama lima tahun di gunung Muria. Tetapi dia mengkhianatiku dan melarikan keris pusakaku ini. Entah di mana dia sekarang... padahal kalau dia kembali, aku akan mengampuninya "
Ratih Ningrum akan bertanya lagi, tetapi Ki Ageng Jayasih sudah memotong, "Kita harus segera ke perguruan Cakar Naga, sebelum anakmu dibuat sandera!"
Ratih Ningrum tidak membantah lagi. Tadi dadanya bergetar mendengar murid wanita Ki Ageng Jayasih. Tetapi Ratih Ningrum tidak bisa meneruskan pikirannya, karena Ki Ageng Jayasih sudah menyambar tangannya dan membawanya lari dengan cepat sekali. 7
Setelah berhasil menaklukan Madewa Gumilang, Madurka terbahak-bahak kemenangan. Ternyata siasatnya dengan menjadikan Pranata Kumala sebagai sandera berhasil bahkan bisa menangkap pendekar sakti itu. Nanti kalau Resi Sendaring tiba, akan dilaporkannya semua itu dengan bangga. Pasti Resi Sendaring akan memuji hasil kerjanya.
Pranata Kumala saat ini benar-benar menjadi barang yang sangat berharga. Namun Madurka tidak tahu, kalau anak itu sedang berusaha membongkar jendela. Rupanya akal cerdik bocah itu berjalan setelah melihat ayahnya datang dan ditangkap. Ia mencari bambu kecil dan itu didapatinya dari gagang sapu yang ada di sana. Dengan bantuan gagang itu, dia berhasil membuka jendela.
Pranata cerdik, tidak mau langsung melompat melarikan diri, tetapi melihat-lihat dulu. Setelah dirasakannya aman, barulah dia melompat dan berguling menyelinap di balik rimbunnya semak. Dia mengintip, ada dua orang yang menjaga di bagian samping rumah itu. Sulit untuk terus menerobos mereka. Namun di samping cerdik, Pranata juga punya keberanian yang luar biasa. Nalurinya mengatakan dia harus segera melarikan diri. Dan dengan nekat dia bersalto melompati kedua penjaga itu yang langsung kaget dan berlari hendak menangkap. "Hei... kau...!"
Pranata cepat menghindar dengan cepat. Kedua orang itu memburu dan suatu ketika berhasil mengurungnya. Salah seorang dari mereka menggeram.
"Bocah sialan! Rupanya kau berhasil keluar juga!" bentaknya sambil menubruk. Pranata berkelit ke samping, anak itu sudah mempergunakan kepandaiannya bersalto. Orang itu nyusruk mencium tanah. Tetapi yang seorang lagi segera mengejar, Pranata gesit bersalto ke depan dan ketika orang itu berbalik, dia melancarkan tendangannya.
"Buk...!"
Memang tidak sakit tendangan itu, tetapi membuat penjaga itu terkejut, karena tak menyangka bocah itu mampu menendangnya.
"Bocah sialan!" geramnya seraya menubruk, lagi-lagi Pranata menggunakan kepandaiannya bersalto untuk menghindari tangkapan itu. Penjaga itu kembali tersuruk dan kesempatan itu digunakan Pranata untuk bersalto ke arah penjaga itu dan jatuh terduduk di atasnya.
"Heeikk...!"
Pranata tertawa kegirangan. Dasar bocah, disangkanya orang-orang itu bisa diajaknya bermain, dia sudah tidak memikirkan lagi akan bahaya yang mengancamnya. Salah seorang yang tadi terjatuh, bangkit dengan perlahan. Mengendap-ngendap dari belakang. Pranata masih melompat-lompat kegirangan. Orang itu dengan cepat menyergap Pranata, namun sungguh di luar dugaan, bocah itu masih mampu bersalto karena dirasakannya dorongan angin yang kuat datang kepadanya. Hingga orang itu menubruk temannya sendiri.
"Aduuhh...!"
Pranata tertawa-tawa, lalu berlari meninggalkan mereka. Kali ini dia semakin berhati-hati, begitu ada yang lewat dia menyelinap di samping tembok.
Mendadak dia melihat orang pendek gemuk itu keluar dari dalam. Dada Pranata berdebar, orang itu sangat kejam dan galak. Dia harus berhati-hati. Tetapi mendadak orang itu sudah berdiri di hadapannya dan terkekeh dengan tatapan ingin membunuh.
Pranata menjadi amat ketakutan. Dia tahu orang itu lihai, dia sempat melihat ayahnya bertempur tadi. Dan ayahnya kalah.
"Bocah, bocah! Rupanya kau pandai juga meloloskan diri!"
Pranata mundur sedikit demi sedikit dan mendadak dia berlari. Melihat itu, Madurka menjadi geram dia berputar bagai baling-baling dan menghalangi jalan Pranata. Lalu tertawa.
"He... he... mau lari ke mana, kau?" Pranata sigap melompat ke kiri dan bersal-
to dua kali lalu berlari lagi. Madurka menjadi geram, bocah itu sengaja mempermainkannya.
Tiba-tiba dia berguling dan melompat menerkam. Ketika dia bergulingan, Pranata menghindar dengan berkelit ke samping, tetapi Madurka sudah menerkamnya. Tipis bagi Pranata untuk mengelak. Dia hanya mundur sambil menutup matanya.
"Blarr...!"
Terdengar letusan keras. Pranata heran, dia belum ditangkap dan terdengar letusan itu. Perlahan dia membuka matanya. Madurka sedang berbalik menghadapi seorang kakek yang memegang tongkat dan seorang wanita cantik. Ibunya!
Pranata memekik gembira, "Ibu...!"
Ratih Ningrum pun gembira, dia berlari dengan mengembangkan kedua tangannya. Tetapi Madurka bergerak dengan cepat menghalangi Ratih Ningrum dengan mengibaskan tangan kirinya.
"Wuutt...!"
Ratih Ningrum cepat bersalto ke samping, kalau tidak mau tubuhnya yang mulus termakan besi bulat yang tajam itu. Melihat serangannya gagal, Madurka mencecar namun segera mundur ketika selarik sinar merah hampir menerjangnya. Kesempatan itu dipakai Ratih Ningrum untuk menyambar putranya dan memeluknya dengan penuh kerinduan.
"He... he...!" Ki Ageng Jayasih tertawa melihat adik seperguruannya melotot marah. "Adi Madurka... sudah selayaknya kau insyafi semua perbuatanmu. Marilah tinggal bersamaku di puncak gunung Muria.... Kita yang sudah tua-tua, sudah sepatutnya untuk meninggalkan segala urusan dunia...!"
"Kembalilah kau ke sana, Kakang Jayasih!
Jangan ganggu urusanku!"
"Adi, Adi.... Kalau saja kau mau menuruti kata-kataku, tak akan terjadi perang saudara macam begini...!"
"Kau saja yang usil mengganggu urusan-
ku!"
"Karena aku tak suka kau bertindak jahat
dan semberono! Aku ingin kita berdua ada pada pihak yang benar, orang-orang golongan putih yang menentang kejahatan!"
"Tutup bacotmu, Kakang Jayasih...! Aku tak suka kau mencampuri urusanku! Tinggalkan tempat ini... atau segera terjadi pertumpahan darah di antara kita!"
"Sampai kapan pun aku tetap tak beranjak dari sini...." Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku ingin... kita sama-sama kembali ke gunung Muria "
"Kau membuatku bosan, Kakang Jayasih! Sebelum mereka kukirim ke akhirat, sebaiknya kau dulu!" sambil membentak Madurka melayang maju dengan ganas. Tangan kanannya memukul dengan cepat dan tangan kirinya menyambar dengan buas. Tetapi Ki Ageng Jayasih hanya mundur lima tombak dengan sekali lompatan dan membalas dengan tongkat bambu kuningnya.
Gerakan tongkat itu ditangkis oleh tangan kin Madurka yang terbuat dari besi bulat yang tajam dan menyodok perut Ki Ageng Jayasih dengan cepat. Ki Ageng berkelit dan menyepak kaki Madurka. Madurka hengkang ke atas dan bersalto ke depan ketika hinggap di tanah, dia berbalik dan menggerakkan tangan kirinya.
"Wuuutt...!" gerakannya cepat dan ganas. Ki Ageng Jayasih menangkis dengan tong-
kat bambu kuningnya. Kedua saudara seperguruan itu sama-sama luar biasa dan tangguh. Mereka sudah memperlihatkan kesaktian dan kepandaiannya.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah menghadapi beberapa orang pengawal yang datang. Mereka semua memasang jurus cakar naga. Ratih Ningrum mengkuatirkan putranya. Tetapi dia tersenyum melihat putranya sudah membuka jurus. Mendadak Ratih Ningrum mencabut sepasang pedangnya dan sebuah diberikan kepada Pranata Kumala.
"Gunakan ini, sabet jika yang mendekatimu!" setelah berkata begitu dia menghindar ke samping karena tiga orang sudah menyerangnya dengan cepat. Rupanya Ratih Ningrum tidak mau membuang tenaga percuma, dia langsung mengeluarkan jurus andalannya dan tiga orang itu ambruk dengan berlumur darah.
Pranata Kumala benar-benar bocah tangguh, apalagi kini dekat dengan ibunya. Dia mengibaskan pedangnya. ke sana-kemari dengan menggunakan kepandaiannya bersalto. Dan seorang termakan bahunya oleh pedang itu. Melihat serangannya berhasil, Pranata semakin mantap menggerakan pedangnya.
Ratih Ningrum pun bergerak cepat. Tibatiba dia mendengar suara putranya berseru, "Ibu... ayah ada di dalam! Tadi aku lihat diikat!"
Mendengar itu, Ratih Ningrum segera menghabisi lawan-lawannya dan menarik Pranata yang masih sempat menghadiahkan luka di paha kiri lawannya. Ratih Ningrum tidak mau meninggalkan Pranata di luar. Begitu dia masuk, tiga orang menyambutnya. Sigap Ratih Ningrum mengibaskan pedangnya dan ketiganya roboh bermandikan darah.
Tetapi tiba-tiba muncul puluhan orang yang mengepungnya. Melihat itu, Ratih Ningrum agak gugup juga. Tenaganya bisa dikuras habis dan lama kelamaan dia akan melemah. Dengan cepat dia mendorong Pranata ke samping, "Minggir kau dari sini! Cepat ke luar!"
Tetapi bocah itu malah menyusup ke dalam sambil berseru, "Aku akan mencari Ayah!"
Ratih Ningrum menjadi gugup, dia hendak mengejar tetapi sambaran, tamparan cakaran, dan tendangan orang-orang itu harus dihindarinya. Sulit untuknya meloloskan diri dan menyusul Pranata. Hatinya semakin galau melihat beberapa orang mengejar putranya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain melayani serangan orangorang itu. Ratih Ningrum menjerit keras dan menyeruak ke depan. Empat orang ambruk termakan pedangnya tetapi yang lain segera mengurung, tak memberinya sedikit jalan pun padanya. Sementara itu, Pranata semakin masuk ke dalam. Dia belum tahu lorong-lorong perguruan Cakar Naga itu dengan asal saja dia berlari. Tibatiba di telinganya terdengar suara, "Belok kiri, Anakku.... Lalu berjalan dan lihat pintu yang kedua dari sana... kau masuklah "
Pranata kebingungan, siapa yang berkata itu. Namun dia segera mematuhinya, bukan karena yakin tetapi karena beberapa orang pengejarnya sudah nongol. Rupanya itu suara Madewa Gumilang yang telah melihat apa yang telah terjadi dengan ilmu pandangan menembus sukmanya. Dan dia melihat putranya sedang dikejar! Langsung dia mengirimkan suara agar putranya bisa meloloskan diri. Sebenarnya dia bisa mendobrak pintu penjara itu. Tetapi dia sedang berkonsentrasi dengan ilmu pandangan menembus sukma itu, hanya dengan ilmu itu dia bisa melihat putranya. Madewa kuatir, kalau dia menghentikan konsentrasinya tidak dapat memberi petunjuk kepada putranya dan orang itu bisa menangkap putranya.
"Ya... terus, Pranata...." suara itu terus didengar Pranata. "Sekarang kamu berjalan lurus dan turuni tangga itu, lalu belok ke kanan dan terus ke depan di pintu pertama kamu harus bisa
masuk ?"
Pranata mematuhi semua itu tetapi dia sesampai di pintu yang disebutkan suara tadi, dia kebingungan karena pintu itu tidak bisa dibuka. Madewa sendiri terkejut, apalagi beberapa orang pengejar anaknya sudah dekat. Dengan mendadak dia menghentikan konsentrasinya dan mendobrak pintu itu dengan pukulan bayangan sukmanya.
Dengan suara keras. Pintu itu roboh dengan dinding rumah berjatuhan. Madewa berkelebat dengan cepat dan sampai di pintu di mana anaknya sedang kebingungan mencari jalan menghindar. Dia mendobrak pintu itu pula dan langsung menyambar putranya yang akan diserang. Dia bersalto ke depan, melompati orangorang itu. Pranata Kumala kegirangan mengetahui siapa yang menyelamatkannya. Ayahnya sendiri dan ayahnya amat hebat bisa mendobrak pintu itu.
Madewa segera bergerak. Masih menggendong Pranata dia menangkis dan mengelakkan cakar-cakar yang dilancarkan secara beruntun. Tetapi dia pun enggan untuk berbuat lama. Masih menggendong Pranata Kumala, dia mengibaskan tangannya dan menimbulkan dorongan angin yang amat kuat hingga orang-orang itu bergulingan menabrak tembok.
Tetapi orang-orang itu memang tak mengenal takut, mereka lebih takut kepada Resi Sendaring. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kali ini, dengan pukulan Tembok Menghalau Badai, Madewa memukul roboh mereka hingga tak kuat bangkit kembali.
Sesudah itu dia melesat cepat dan menemui istrinya yang sedang terdesak hebat. Istrinya sudah tidak memegang pedangnya dan sebisanya menangkis tamparan, pukulan, sepakan, tendangan orang-orang itu.
Madewa menjadi geram. Dia menurunkan Pranata dan melesat ke depan, mengobrak-abrik kurungan orang-orang itu dan menarik tangan istrinya ke samping lalu mengibaskan tangan hingga orang-orang itu terpelanting.
"Kau istirahat saja, Rayi. Biar ini menjadi urusanku," kata Madewa sambil menggiring orang-orang itu menjauhi istri dan anaknya. Madewa tidak bermaksud membunuh mereka, hanya membuat mereka kapok saja. Berkali-kali dia mengibaskan tangannya hingga orang-orang itu jatuh tunggang langgang. Tetapi orang-orang itu tidak kapok. Madewa berkelebat dengan sangat cepatnya dan tahu-tahu lima orang sudah berdiri kaku, terkena totokannya. Dia pun berkelebat lagi. Begitu seterusnya sampai orang-orang itu berdiri semua dengan kaku. Sungguh ilmu totokan yang sangat hebat.
Ratih Ningrum sendiri kagum melihat kehebatan yang dipamerkan suaminya. Pranata Kumala bertepuk tangan.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari depan. Mereka segera ke halaman depan. Di sana, Madurka terhuyung karena terhantam tongkat Ki Ageng Jayasih. Dia mengerang marah. Jurus andalannya Rajawali Sakti dia keluarkan. Ki Ageng Jayasih pun tak mau kalah, jurus Tangan Bayangan diperlihatkan. Keduanya sama-sama menjajaki dan serentak menyerang dengan tenaga dorongan yang amat kuat.
"Plak... duaar...!" benturan kedua tenaga sakti itu menimbulkan suara dan masing-masing terdorong beberapa langkah. Menandakan tenaga keduanya sama-sama hebat. Tetapi kemudian terlihat, kalau lengan Ki Ageng Jayasih berdarah. Rupanya ketika benturan itu terjadi, Madurka sempat menggores lengan Ki Ageng Jayasih dengan besi bulatnya yang lancip.
Melihat itu, Madurka terbahak kegirangan. "Maafkan aku, Kakang. Aku tak sengaja...!
Tetapi syukurlah, karena kalau tidak, lengan kirimu akan sama dengan lengan kiriku! Sekarang kau terimalah semua ini!"
Madurka melesat kembali dengan jurus Rajawali Saktinya. Cepat dan hebat. Ki Ageng Jayasih mengibaskan tangan kanannya dengan kelima jari mengembang dan melesat lima buah sinar merah ke arah Madurka. Madurka memekik kaget namun dia segera bergulingan dan menyodokkan tangan kirinya ke arah kemaluan Ki Ageng Jayasih.
Ki Ageng dengan ringan berkelit sambil menahan nyeri di bahu kirinya tetapi Madurka kembali mencecar dengan ganas. Sebisanya Ki Ageng Jayasih berkelit. Melihat posisi Ki Ageng Jayasih agak terdesak, Madewa segera bersalto ke depan dan menghantam punggung Madurka.
Madurka menjerit dan terhuyung ke depan. Tetapi dia segera berbalik dengan marah. Dilihatnya seorang laki-laki muda berdiri dengan sikap gagah dan menantang. Mendidih darah Madurka.
"Hmm... rupanya ketua perguruan Topeng Hitam turun tangan juga! Baik, rasakan pukulan Rajawali Saktiku!" geram Madurka seraya melesat. Madewa merangkum pukulan saktinya di tangan hingga mengeluarkan asap putih. Ketika Madurka mendekat, dia menyambut pukulan itu dengan hebat.
"Des...!"
Tubuh keduanya terhuyung ke belakang, benturan tadi amat sangat hebatnya. Tetapi Madurka roboh dengan muntah darah. Sejenak dia meregang nyawa tetapi nyawanya pun segera pergi.
Madewa mendesah. Pukulan Bayangan Sukmanya, masih nomor satu. Dia menghampiri dan memapah Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng tersenyum. Nama Madewa Gumilang bukan omong kosong. Pukulan sakti adiknya mampu ditahan, bahkan membunuh adiknya!
"Aku beruntung... yang sudah tua ini... masih sempat berkenalan dengan kau, Pendekar gagah. " desisnya.
Madewa tersenyum. "Jangan kau panggil demikian, Kakek Sakti. Apalah artinya kepandaian, kalau hati kita jahat, penuh nafsu untuk merusak "
"Kau bukan saja sakti sebagai orang gagah, kau juga sakti dalam ucapan " Madewa tersenyum, melangkah membebaskan totokannya kepada murid-murid Cakar Naga lalu berkata, "Kalian semua kubebaskan....
Hilangkanlah perasaan silang sengketa dengan perguruan Topeng Hitam. Semua ini terjadi karena ambisi Resi Sendaring untuk menguasai semua perguruan silat! Rencana yang kotor hingga terjadilah pertumpahan darah. Kalian semua, dirikanlah kembali nama perguruan Cakar Naga. Lanjutkan semua cita-cita dan perjuangannya....
Kalian jangan mendendam, karena dendam hanya membawa kita kepada kejahatan !"
Semua menunduk mendengar kata-kata itu. Memang, sebenarnya mereka ingin hidup dengan tentram, tetapi karena tekanan dari ketua mereka, semua menurut daripada dijatuhi hukuman yang berat. Tetapi di mana Resi Sendaring sekarang? Salah seorang mencetuskan hal itu.
Madewa yang sudah mengetahui dari istrinya menjawab, "Resi Sendaring... telah menemui ajalnya Dia tetap sebagai orang gagah yang
sakti.... Tetapi telah dikuasai oleh hawa nafsunya Untuk itu, kalian semua harus bersabar,
harus bisa menahan hawa nafsu "
Setelah itu, Madewa kembali kepada Ki Ageng Jayasih dan Ratih Ningrum serta Pranata Kumala. Saat itu, Ki Ageng Jayasih hendak kembali ke gunung Muria.
"Aku sudah tua... biarlah aku mendiam di sana sampai akhir hayatku.... Yah... aku tak berhasil menjumpai murid kesayanganku, yang juga mengecewakan hatiku "
Mendengar itu, Ratih Ningrum yang selama ini memendam keheranan segera berkata, "Ki Ageng Jayasih... muridmu... yang bernama Nindiakah?"
Mata Ki Ageng Jayasih membelalak kaget. "Ya, ya... dia muridku! Kau tahu dia berada di mana, Nyonya ketua?"
Ratih Ningrum menunduk. Sedih dia melihat wajah tua itu yang begitu kegirangan. Perlahan dia mengangkat wajahnya. Ki Ageng Jayasih mendesak. Dengan hati-hati Ratih Ningrum menjawab, "Muridmu... telah mati sebagai orang sesat "
Ki Ageng Jayasih terkejut, tetapi kemudian menunduk sedih. Ratih Ningrum menceritakan semuanya, kalau yang membunuh muridnya adalah suaminya sendiri. Juga tentang keris Naga Merah (baca : Petaka Cinta Berdarah).
Ki Ageng Jayasih mendesah. Ia sedih karena muridnya pun mati sebagai orang sesat. Baru beberapa detik tadi adik seperguruannya menyusul. Menyusul dalam kesesatan. Kini tak ada lagi yang diharapkannya, yang diharapkan dapat meneruskan cita-citanya dan mewarisi ilmunya.
Tetapi mendadak matanya bersinar ketika melihat Pranata Kumala. Semua itu bisa dilakukan kepadanya? Dengan segera Ki Ageng Jayasih menyampaikan maksudnya, "Maafkan aku Ketua dan Nyonya... kini tak ada lagi orang yang bisa meneruskan cita-citaku untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.... Untuk itu... kepada kalian berdua kuminta... bolehkah bocah cilik ini untuk ikut denganku dan ku didik sebagai orang gagah?"
Mendengar itu semua, istri itu saling berpandangan. Perasaan berat melepaskan Pranata Kumala terpancar dari sinar mata Ratih Ningrum. Dia baru saja bertemu dengan anaknya, kini anak itu hendak pergi. Entah untuk berapa lama. Tetapi dia kasihan melihat Ki Ageng Jayasih yang begitu mengharap.
"Dia pun mengangguk. Melihat istrinya mengangguk, Madewa pun mengangguk.
"Kalau itu permintaan, Kakek Sakti... kami perkenankan putra kami dibawa serta "
Ki Ageng Jayasih mengangguk gembira. Dia bertanya langsung kepada Pranata dan sungguh di luar dugaan, bocah itu menjawab, "Aku ingin seperti Ayah. Kalau kakek bisa menjadikan aku demikian, aku akan ikut."
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku akan buat kau melebihi ayahmu. Kami mohon diri."
"Sebentar!" Madewa mengeluarkan sesuatu dari angkinnya. Seruling Naga dan diberikannya kepada putranya. "Ini untukmu, Anakku. Jaga baik-baik."
Pranata hanya mengangguk dan mendadak tubuhnya sudah berkelebat dengan Ki Ageng Jayasih. Ratih Ningrum melambai sambil menahan air matanya. Dia rela putranya dididik oleh kakek sakti itu. Madewa menghibur istrinya. Lalu segera mencari kerangka Paksi Uludara dengan bantuan salah seorang murid Cakar Naga.
Kerangka itu masih utuh. Madewa menguburkan kembali bersama pedang Sakti Naga Emas ke makamnya Paksi Uludara semula.
Bersama istrinya, mereka kembali ke perguruan Topeng Hitam.
8
Rombongan itu bergerak beriring-iringan, mengawal sebuah kereta kuda yang terdapat tiga orang pengawal di atasnya dan delapan ekor kuda yang mengiringi, lengkap dengan penunggang dan senjatanya.
Mereka adalah para pengawal yang bertugas menjaga barang yang ada di dalam kereta kuda itu yang hendak diantarkan kepada pemesan. Mereka pengawal-pengawal pilihan Sandirwo, tuan tanah yang kaya-raya. Juga bergerak di bidang penjualan emas. Hari ini dia menugaskan pengawal-pengawalnya itu untuk mengantarkan emas pesanan seseorang di desa Pacitan, daerah Laut Pantai Selatan. Emas yang dipesan berjumlah beribu kilogram, dengan bayaran ribuan hektar tanah. Sudah tentu Sandirwo mengerahkan sepuluh orang pengawal dan seorang kusir kuda untuk menjaga pesanan itu.
Akhir-akhir ini daerah menuju ke desa Pacitan, banyak orang-orang jahat. Mereka bermunculan bagaikan jamur, pesat dan berkembang. Perampok-perampok itu sangat kejam, mereka tak segan-segan untuk melukai para mangsanya, bahkan membunuh dan memperkosa jika di sana terdapat wanita!
Daerah itu sudah merupakan daerah neraka bagi mereka yang hendak ke desa Pacitan. Sekali ini apa yang akan terjadi dengan rombongan yang mengawal emas itu? Pemimpin rombongan bernama Sangadi, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang amat kuat dan hebat. Dengan kepastian yang kuat, dia menyerukan agar semua tenang dan bersiaga, karena sebentar lagi mereka akan memasuki daerah neraka itu.
Semua pun bersiap. Rombongan berjalan perlahan-lahan. Mata Sangadi melihat ke sanakemari dengan waspada. Tak ada tanda-tanda orang-orang jahat yang kelihatan. Namun demikian, Sangadi tetap memerintahkan rombongannya agar waspada, jangan termakan suasana yang tenang ini.
Benar saja, mendadak lima tombak dari mereka berjatuhan batu-batu dari atas. Bergelinding dengan cepat. Suasana jadi agak kacau, karena kuda-kuda mereka meringkik dengan hebat. Sangadi segera menguasai rombongan.
Dia berseru, "Jangan panik! Kalian semua bersiap...!"
Rombongan itu menenangkan kuda mereka masing-masing. Tiga orang sudah melompat turun dan berdiri di sekeliling kereta kuda. Sangadi berseru lagi, "Perampok-perampok itu sudah pasang kasi! Jaga kereta kuda dan berwaspada!"
Belum habis Sangadi bicara, tiba-tiba dari atas dan belakang mereka bermunculan kudakuda dengan penunggangnya yang bengis. Mereka berjumlah dua puluh orang dengan senjata di tangan. Dan langsung mengurung mereka.
Sangadi segera berbalik dan membentak "Hhh, kalian rupanya orang-orang jahat
yang ditakuti di daerah ini! Benar-benar menakutkan... tetapi hanya berani dengan cara membokong dan bergerak dengan jumlah banyak...!"
Perampok-perampok itu hanya tertawa saja menyambuti perkataan Sangadi. Salah seorang yang bertubuh tinggi besar, dengan wajah seram penuh berewok menyahut dengan keras, "Ha...
,ha... kalianlah yang terlalu berani melalui daerah ini...! Tetapi tak apa... kami akan membebaskan kalian untuk meneruskan perjalanan... hanya, serahkan bawaan kalian di dalam kereta kuda itu kepada kami...!"
Digertak begitu, Sangadi malah menyahut galak, "Kau sudah mimpi barangkali! Tak semudah itu mengambil barang yang kami bawa!"
Orang itu terbahak lagi. "Hoa... ha... ha...! Aku, Jedangmoro, ketua perampok Golok Iblis tak akan mengganggu kalau kalian menyerah secara damai.... Tetapi, kalau kalian nekat dan menentang, Jedangmoro, tak akan tanggung-tanggung lagi menurunkan tangan!" "Kau kira kami takut, Jedangmoro! Kawankawan, separuh jaga kereta kuda dan separuh bantu aku menghadapi orang-orang busuk ini!"
Jedangmoro terbahak. Ia marah karena orang itu berani membentaknya. Dengan cepat tangannya terangkat dan sepuluh orang berkuda dengan senjata golok besar maju menerjang dengan serentak.
Sangadi pun menyambut mereka dengan gebrakan kudanya dan sebentar saja di tempat itu sudah terjadi hiruk-pikuk yang sangat ramai. Debu berkepulan karena pijakan kuda-kuda mereka. Terdengar suara ramai dan gemercing senjata yang beradu.
Sangadi mengamuk dengan dahsyat. Pedangnya berkelebat ke sana-kemari dengan buas. Dua orang anggota perampok itu terjatuh bermandikan darah, tetapi anak buah Sangadi pun mulai berjatuhan. Jedangmoro sudah menyuruh anak buahnya yang separuh lagi terjun membantu.
Keadaan semakin kacau dan rombongan Sangadi terdesak hebat. Beberapa orang Jedangmoro sudah menyelusup ke kereta kuda. Tiga orang yang menjaga berusaha bertahan matimatian. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak, mereka tak mampu bertahan lagi, menangkis atau menghindari sambaran, bacokan golok-golok itu.
Dengan jeritan yang mengerikan mereka tumbang dan jatuh dari atas kereta kuda. Dengan leluasa orang-orang itu masuk dan mengambil peti berisikan emas.
Melihat itu, Sangadi menjadi sangat marah. Dia mengibaskan pedangnya dengan ganas. Tiga orang yang mengurungnya ambruk bermandikan darah. Dia cepat melesat ke arah orang-orang yang sedang menggotong peti dan mengibaskan pedangnya dengan cepat dan ganas.
Orang-orang itu berkelit sambil membuang peti dan membalas serangan itu dengan serentak. Sangadi agak kewalahan, karena mereka terlalu banyak. Peluh sudah bermandi di wajah dan seluruh tubuhnya. Luka juga sudah mampir di seluruh tubuhnya. Anak buahnya sudah tak ada yang mampu bertahan, mereka sudah menemui ajal di golok orang-orang itu.
Dengan sisa tenaganya Sangadi berusaha bertahan, namun itu tak bisa berlangsung lama karena dia pun terkulai dengan bermandikan darah dan nyawanya melayang menyusul temantemannya.
Melihat itu, perampok-perampok itu bersorak, Jedangmoro tersenyum sambil mengusap berewoknya.
"Cepat bawa peti itu, rampas kudakudanya! Dan bakar kereta kuda itu!" serunya memerintah, lalu dia sendiri berbalik dan memacu kudanya.
Anak buahnya segera menjalankan perintahnya. Bagi mereka, merampok, membunuh dan membakar kereta kuda itu, membuat suatu kesenangan sendiri, dengan tertawa-tawa mereka melakukan semua itu.
Api segera berkobar, memakan kereta kuda dan mayat-mayat yang bergeletakan di situ. Lalu mereka segera naik ke kuda masing-masing dan membawa kuda-kuda rampasan itu dengan tawa kemenangan.
Kembali gerombolan Golok Iblis itu membuat onar yang mengerikan dan seenaknya membunuh dan membakar mayat-mayat itu. Suatu perbuatan yang mengerikan. Mereka segera menyusul pemimpin mereka si Jedangmoro ke markas mereka yang berdiam di ujung Laut Selatan.
Tawa mereka begitu gembira, tetapi mengundang maut bagi setiap mangsa mereka.
Mengerikan!
Orang-orang yang tak berdosa mereka bunuh dan rampok. Mereka benar-benar orang yang tak berperikemanusiaan. Mencari kesenangan, kekayaan, kenikmatan dengan jalan yang salah.
***
Matahari telah melenceng dari tempatnya yang tepat di atas kepala. Bergeser ke barat. Udara mulai sejuk, tidak serasa sepanas tadi. Senja mulai merambat perlahan-lahan.
Pemuda itu melangkah dengan ringan, riang sambil meniup serulingnya. Langkahnya mencerminkan kegembiraannya dengan nada serulingnya. Kadang-kadang kakinya bergerak mengikuti nada serulingnya. Dia adalah seorang pemuda tampan. Tubuhnya tegap dan ganteng. Rambutnya gondrong tetapi tak mengurangi ketampanan pemuda itu. Di keningnya terdapat sebuah ikat kepala biru. Pemuda itu kira-kira baru berusia delapan belas tahun. Masih riang memainkan serulingnya.
Tiba-tiba saja dia menghentikan meniup serulingnya. Langkahnya terhenti dan tertegun, menatap ke depan. Sesuatu yang hangus dan masih mengeluarkan asap. Juga tercium bau busuk yang sengit.
Pemuda itu melangkah mendekati sambil menutup hidungnya. Bau sangit itu seperti bau kulit dibakar. Ia meneliti benda yang hangus terbakar itu. Hmm, sebuah kereta kuda. Tetapi begitu dia menyentuhnya, benda itu luruh menjadi debu. Pemuda itu berjungkat ke belakang, menghindari debu itu.
Tetapi mendadak dia terpekik, kakinya menginjak sesuatu yang lunak, ketika dia menoleh kembali dia terkejut. Sebuah tangan yang belum terbakar. Entah tangan kanan atau kiri. Pemuda itu kini tahu, apa yang menyebabkan bau sangit. Rupanya bau tubuh manusia yang dibakar.
"Hmm, apa yang telah terjadi di tempat ini tadi?" gumam pemuda itu. "Begitu mengerikan sekali "
Pemuda itu terdiam sambil berpikir-pikir memikirkan apa yang menyebabkan semua ini. Tetapi tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari belakangnya. Dia cepat menoleh dan melihat sepuluh ekor kuda datang mendekati dengan tunggangannya masing-masing.
Pemuda itu tidak mengenali mereka, tetapi dia tidak berusaha menghindari mereka. Orangorang itu sudah mendekat dan turun. Memperhatikan benda yang hangus itu.
"Tak salah lagi," gumam orang itu yakin "Dugaanku tepat, mereka sudah mampus
semua dan peti berisi emas itu hilang entah ke mana..."
Pemuda tampan itu hanya mendengarkan, tidak mengerti maksud gumaman orang itu. Tetapi orang itu mendadak menoleh. Dia adalah putra tunggal Sandirwo yang diutus untuk melihat apakah kiriman emas itu sampai kepada pemesannya.
Pemuda itu bernama Kadir, saat pengiriman emas itu dilakukan dia sedang pergi, jadi tidak bisa ikut mengawal. Namun Sandirwo menjadi bingung, karena utusan pengiriman emas itu sampai sore begini belum kembali, dia kuatir kalau terjadi apa-apa pada mereka. Itulah sebabnya, dia menyuruh putranya untuk menyelidiki.
Kadir menatap pemuda yang memegang seruling itu dengan tajam. Matanya memancarkan sorot curiga yang amat dalam. Pemuda itu tenang-tenang saja, tak merasa dicurigai. Kadir mencurigainya, karena hanya pemuda itu yang berada di sekitar sini.
"Apa yang telah kau lakukan kepada mereka, Kisanak?" Karena merasa yakin pemuda itu yang melakukannya, Kadir langsung bertanya.
Pemuda itu jelas keheranan. Keningnya berkerut.
"Apa yang kulakukan?" tanyanya bingung. "Aku tidak melakukan apa-apa sejak tadi, hanya meniup serulingku ini."
"Kau jangan mungkir, Kisanak. Semua ini pasti kau yang melakukan..."
Pemuda itu baru mengerti kalau dia dituduh. Tentu saja dia marah dan membantah.
"Aku yang melakukan? Mimpi apa kau semalam menuduhku begini? Saudara... aku baru saja tiba di tempat ini... dan melihat semua kejadian ini.... Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan siapa yang melakukannya. "
"Kau jangan mempermainkan aku, Kisanak. Emas seribu kilogram tentu membuat semua orang menjadi silau ingin memiliki. Kau pasti ingin memiliki pula.... Serahkan emas itu kepadaku sekarang, karena kau yang memilikinya sedangkan engkau hanya merampas secara kotor!"
Pemuda itu kini benar-benar marah. Dia dituduh sembarangan! Emas itu dia yang merampasnya? Tuduhan keji untuknya. Dia tidak terima.
"Saudara... kau menuduhku sembarangan.
Aku membantah semua tuduhanmu "
"Hhh, baik! Aku akan merebut kembali emas itu dari tanganmu!" Kadir mengangkat tangannya dan serentak sembilan orang yang bertugas mengawalnya mengurung pemuda itu.
Namun pemuda itu nampak tenang-tenang saja. Dia hanya memperhatikan mereka dengan tatapan waspada.
"Kau tak percaya bukan aku yang melakukan semua ini, Saudara "
"Siapa lagi kalau bukan kau! Hanya kau yang ada di sini! Pasti emas itu sudah kau sembunyikan! Serang pemuda itu dan tangkap"
Serentak sembilan orang itu menyerang dengan pedang mereka. Pemuda itu menghindari semuanya dengan mudah. Bahkan dia memutar serulingnya dan berkelebatan dengan cepat yang merupakan gulungan-gulungan hitam. Tiga orang roboh terkena sambaran seruling itu. Mendadak pemuda itu bersalto menghindari kurungan itu.
Lalu katanya kepada Kadir, "Saudara! Aku tidak suka dituduh begini! Aku bukanlah perampok dan pembunuh yang kejam. Tetapi karena tuduhanmu ini Aku bisa berbuat demikian!"
Kadir mendengus. Dia pun menghunus pedangnya.
"Orang jahat seperti kau, harus dilenyapkan dari muka bumi ini! Tak ada gunanya kau hidup, karena hanya menyengsarakan orang lain dan membuat keonaran. Lihat seranganku, Kisanak!" bentak Kadir seraya berkelebat ke depan dan pedangnya sudah menyambar dengan dahsyat. Sabetan dan tusukannya begitu cepat dan kuat.
Tetapi pemuda itu hanya menghindari semuanya dengan tenang. Dia bukanlah orang yang kejam, tetapi dia bisa menjadi kejam, apalagi tuduhan itu begitu membuat sakit hatinya. Walaupun demikian, dia belum menjatuhkan tangannya. Semua ini karena salah paham.
Dia hanya menghindar sambil memutarmutar serulingnya. Kadir menjadi penasaran, dia menyerang semakin ganas bahkan berseru kepada anak buahnya untuk membantu.
Menerima serangan yang banyak itu, pemuda itu segera balas menyerang. Totokan dan kelebatan serulingnya kembali membuat tiga orang penyerangnya roboh. Melihat hal itu, Kadir semakin yakin, kalau pemuda ini yang telah merampok dan membunuhi mereka.
Pemuda ini amat sakti dan tangguh, tidak mustahil dia mampu menghadapi pengawalpengawal yang mengawal kereta kuda itu tadi.
Mengingat hal itu, Kadir semakin kalap, pedangnya menyambar dengan cepat, tetapi lagilagi pemuda itu hanya menghindar dengan ringan dan lincah. Tetapi lama kelamaan dia berpikir, pemuda sombong itu harus segera ditaklukkannya, lalu diberi penjelasan.
Mendadak pemuda itu berjumpalitan, membuat Kadir kebingungan dengan arah serangan pemuda itu. Dia menyabetkan pedangnya asal saja, tetapi pemuda itu dengan lincah berkelit dan menotoknya hingga berdiri kaku.
Anak buah Kadir segera maju hendak menyerang lagi, tetapi pemuda itu membentak seraya berdiri di belakang Kadir, serulingnya siap mencoblos leher Kadir. "Kalian semua mundur, kalau tidak ingin melihat pemuda ini mampus! Cepat!"
Orang-orang itu mundur, mereka pun sudah jerih melihat kelihaian pemuda itu. Mereka pasti tak mampu untuk menangkapnya. Tapi sepuluh orang saja mereka gagal, apalagi kini tinggal bertiga.
Pemuda itu berseru lagi, "Kalian semua salah paham, kalian salah menuduhku demikian! Aku tidak melakukan apa-apa terhadap kereta kuda itu. Aku membantah semua tuduhan kalian. Sungguhan, aku tidak melakukan apa-apa. Aku baru saja melihat semua itu ketika kalian datang dan menuduhku sebagai pelakunya!"
"Tetapi hanya kau yang ada di sana!" bentak Kadir seraya berusaha bergerak, tetapi totokan pemuda itu sungguh hebat. Sukar untuk dilepaskan dan Kadir hanya bisa memaki dalam hati.
"Kebetulan aku belum pergi dari tempat itu ketika kalian datang. Aku masih heran, ada apa dan siapa yang telah melakukan pembakaran dengan keji itu!"
"Aku tak percaya!"
"Kau memang keras kepala... Sudara. Kalau saja orang-orang itu masih hidup dan bisa bicara, pasti mereka akan mengaku, siapa yang menyerang mereka!"
Mendengar suara yang mantap itu, hati Kadir agak meluluh tetapi masih waspada.
Mendadak pemuda itu melepaskan totokannya dan berkelebat. Suaranya terdengar, "Aku bosan berhadapan dengan orang macam kau! Orang yang sembarangan menuduh! Biar semua itu terjadi, akan kucari orang-orang yang telah melakukan perampokan dan pembakaran itu!"
Suaranya menghilang dan tubuhnya pun tak nampak. Kadir menghela napas. Pemuda tadi sangat lihai sekali dan dia yakin kalau bukan pemuda itu yang melakukan semuanya. Dia memerintahkan anak buahnya untuk kembali dan mengangkut tubuh kawan mereka yang terluka.
9
Sebenarnya, siapakah pemuda yang lihai dan perkasa itu? Yang suka meniup serulingnya dan melagukan tembang-tembang yang mengasyikkan?
Pemuda itu adalah Pranata Kumala, bocah yang sembilan tahun lalu dibawa oleh Ki Ageng Jayasin ke puncak gunung Muria untuk digembleng dan dilatih ilmu kejayaan dan kesaktian.
Kini bocah itu sudah tumbuh menjadi pemuda yang gagah perkasa dan tampan. Setelah dirasakan cukup berguru selama sembilan tahun, Pranata Kumala memohon izin kepada gurunya, Ki Ageng Jayasin untuk menjenguk orang tuanya. Selama sembilan tahun itu dia tidak pernahbertemu dengan orang tuanya, orang tua yang ditinggalkan sejak dia berumur sembilan tahun. Dan membuatnya rindu.
Ki Ageng Jayasin sebenarnya enggan untuk melepas kepergian pemuda itu. Selama sembilan tahun bocah itu menunjukkan bakti dan kecintaannya kepada Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng Jayasih sendiri sangat menyayangi pemuda itu. Pemuda yang welas asih dan sopan. Tetapi dia tidak bisa menahan karena pemuda itu bukanlah miliknya, dia milik kedua orang tuanya dan sudah bebas menentukan pilihan.
Setelah memberi wanti-wanti panjang lebar dan agar Pranata bisa menggunakan kepandaiannya untuk membela yang lemah dan kebenaran, Ki Ageng Jayasih, melepaskan pemuda itu. Pranata menjura hormat sebelum dia melangkah pergi. Lalu mulai beranjak, meninggalkan puncak gunung yang dia diami sejak sembilan tahun.
Kini semua itu ditinggalkannya. Pegunungan yang indah. Hawa yang dingin. Pemandangan yang elok dan indah. Bunga-bunga yang bagus. Semua ditinggalkannya demi rasa rindu kepada orang tuanya.
Mulailah perjalanan Pranata Kumala dalam kembali ke pelukan ayah bundanya, Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum. Sudah lama dia tidak melihat dunia ramai dan betapa senangnya dia melihat semua itu. Sebelum menuju ke tempat ayah bundanya berada yaitu di perguruan Topeng Hitam, Pranata menggunakan kesempatan itu untuk singgah dari dusun ke dusun.
Sejak kecil dia telah mendengar akan nama Laut Pantai Selatan. Laut yang indah dan sunyi. Itulah sebabnya, dia segera menuju ke sana. Ingin membukti cerita ayah bundanya tentang keindahan laut pantai selatan.
Belum lagi dia tiba di sana, kesulitan sudah datang kepadanya. Dia dituduh sebagai perampok dan pembunuh oleh pemuda gagah tadi dan anak buahnya. Tentu saja Pranata menjadi marah dan kesal, namun dia ingat akan nasehat Ki Ageng Jayasih, agar mempergunakan akal sehat untuk menghadapi sesuatu, jangan main marah saja, apalagi memukul!
Tetapi dia pun harus mempertahankan diri dan berlari kalau tidak ingin urusan itu semakin panjang.
Sekarang pemuda itu duduk di sebuah batu, matanya menatap deburan ombak yang menabrak tebing. Burung camar berterbangan di atas laut yang tak mau berhenti bergelombang. Juga tak melepas lelah sedikit pun. Dia terus bergulung dan berdeburan.
Pranata merenung, hampir sebulan dia meninggalkan gunung Muria dan baru kali ini dia mendapat kesulitan. Kalau tahu begini lebih baik dia langsung ke perguruan Topeng Hitam. Entah bagaimana sekarang rupa perguruan itu, juga murid-muridnya, apakah mereka masih seperti dulu ataukah sudah banyak yang menikah lalu keluar.
Mengingat itu, Pranata bangkit, hendak mencari tempat bermalam. Matahari sudah hampir tenggelam di barat sana. Cahaya merahnya membias menerangi langit, membuat warna langit agak memerah dan nampak bagus sekali. Pranata memperhatikan itu sebentar. Betapa besar dan agungnya kekuasaan Tuhan, yang membuat segala sesuatunya begitu bagus dan sempurna.
Pranata mulai melangkah. Dia mengambil serulingnya dan meniup menembangkan sebuah lagu merdu. Mengalunkan suara seruling itu.
Betapa merdu dan enaknya alunan seruling itu didengar, tak membosankan. Seruling itu buatannya sendiri ketika dia masih di gunung Muria sana, untuk melepaskan kesendiriannya kalau sudah selesai berlatih.
Pranata pun ingat, kalau ayahnya dulu memberinya sebuah seruling. Kata ayahnya, itu seruling naga. Di tubuh seruling itu terdapat dua ekor naga yang sedang bertempur. Selama sembilan tahun, Pranata baru sekali meniupnya, itu pun sudah dilarang oleh Ki Ageng Jayasih yang mendengar alunan nadanya.
"Boleh kulihat seruling yang kau tiup itu, Pranata?" tanya Ki Ageng Jayasih waktu itu.
Pranata memberikannya. Ki Ageng Jayasih mengamati. Dia juga tahu, seruling itu pemberian ayahnya Pranata Kumala. Tadi ketika nada seruling itu terdengar, Ki Ageng Jayasih merasakan telinganya sakit sekali, suara seruling itu seakan menusuk telinganya dan itu yang membuatnya heran. Makanya dia ingin melihat seruling itu.
"Pranata... waktu tadi kau meniup seruling ini, apakah kau merasakan sakit di telingamu?" tanya Ki Ageng Jayasih.
Pranata menggeleng keheranan, tak mengerti maksud gurunya.
"Tidak Kakek."
"Hmm." Ki Ageng Jayasih mengamati seruling itu dan mendadak dia meniup seruling itu. Pranata tersentak, dia bergulingan, karena telinganya terasa disengat oleh suara yang keluar dari seruling itu. Keras dan menusuk. Sakit sekali. Cepat Pranata duduk bersila. Dia sudah digembleng dalam hal tenaga dalam dan hawa murni, dia pun menggunakan kepandaiannya untuk membendung suara seruling itu.
Ki Ageng Jayasih melihat muridnya bergetar. Hmm, pasti ini semua gara-gara seruling itu. Ia menghentikan tiupannya.
"Pranata "
Pranata membuka matanya perlahan. Dia menghentikan aliran tenaga dalam dan hawa murninya ke telinga.
"Ya, Kakek "
"Kau merasakan sakit di telingamu?"
"Ya, Kakek. Sangat pedih sekali. Suara seruling itu sangat menusuk telingaku. "
Ki Ageng Jayasih tersenyum. "Itulah yang ku maksud tadi, suara seruling itu tadi pun menusuk telingaku. Pranata, rupanya ayahmu memberikan sebuah seruling, bukan sebuah seruling biasa. Ini seruling sakti dan dinamakan seruling naga. Baru aku tahu apa kesaktian seruling ini... dia bisa menusuk dengan suaranya dan mengalahkan lawan-lawannya tanpa membuang tenaga Sungguh beruntung kau memiliki serul-
ing ini..., Namun Pranata, jangan kau gunakan seruling ini sembarangan.... Ini seruling sakti "
Sampai disini berakhir sudah kisah ini selanjutnya nantikan episode berikutnya dalam kisah Pendekar Kedok Putih.
SELESAI
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 06 Kakek Sakti dari Gunung Muria"
Post a Comment