Serial Pendekar Bayangan Sukma: 05 Keris Naga Merah


05 Keris Naga Merah
 1

Pengawal yang bernama Surya itu segera menjalankan perintah. Pengawal yang satu lagi masih berdiri di dekat pintu. Raja memanggilnya.

"Bagaimana dengan penjagaan di luar?" Pengawal itu menunduk. Juga tidak mengangkat wajahnya ketika menjawab,

"Sebagaimana yang hamba ketahui, penjagaan diperkuat dengan beberapa orang bayaran, Paduka."

Raja merasa tidak enak pengawal itu menyahut tanpa mengangkat kepalanya.

"Kau tidak perlihatkan wajahmu padaku, kenapa?" tanya Raja agak marah.

Tetapi pengawal itu masih menunduk. "Hamba malu memperlihatkan wajah hamba..."

"Hei, memang kau siapa?" "Hamba pengawal baru, Paduka."

Raja manggut-manggut. Mungkin pengawal baru itu masih agak canggung menghadapinya. Maklum, Raja adalah orang yang sangat dihormati. Raja terdiam. Menunggu kedatangan orang-orang yang dipanggilnya.

Mendadak pengawal itu maju selangkah. Dia mengangkat wajahnya, menatap Raja. Raja terkejut, karena pengawal itu ternyata seorang wanita.

Apa-apaan ini, mengapa wanita yang dipilih menjadi pengawal? Siapa yang mengambilnya?

Belum lagi Raja menemukan jawabannya, wanita itu sudah menodongkan tombaknya. Tatapannya bengis. Raja terperangah.

"Apa-apaan ini?" tanyanya tenang dan berwibawa.

"Aku menginginkan kematianmu, Raja!" desis wanita itu dengan suara menyeramkan.

"Kau siapa?"

"Kalau kau mau tahu, aku anak buah Madewa Gumilang, yang mendapat tugas untuk membunuhmu. Terimalah ajalmu, Raja!" sahut wanita itu bengis.

Wanita itu  menggerakan tombaknya dengan cepat. Dan secepat itu pula, Raja berkelit ke samping. Tusukan itu luput. Melihat serangannya gagal, wanita itu memekik. Sambil bergulingan dia menusukkan kembali tombaknya. Raja berusaha menghindar dengan jalan bersalto. Dan  menyambar  pedang  yang tergantung di dinding. Raja berdiri dengan siaga.

Menanti serangan wanita itu lagi.

Wanita itu berbalik, Dan terkekeh.

"Tak ada gunanya kau melawan anak buah Madewa Gumilang, Raja! Karena perlawananmu akan sia-sia!"

Wanita itu membuang tombaknya. Ia menyilangkan kedua tangannya. Tahu-tahu dia melesat dengan cepat. Gerakannya seakan tak terlihat. Raja buru-buru menyabetkan pedangnya ke depan. Tubuh wanita itu melentik ke atas. Dan tangannya membentuk cakar siap mengancam ubun-ubun Raja.

Raja cepat berguling. Cakar wanita itu menembus lantai. Betapa dahsyat. Agaknya wanita itu memang ingin cepat-cepat mengambil nyawa Raja. Tentu saja Raja berusaha mempertahankan selembar nyawanya. Ini rupanya yang menggelisahkan nya sejak tadi.

Ketika wanita itu akan menyerang lagi Raja sudah melempar tombak yang dipegang  wanita itu tadi. Wanita itu tidak berkelit. Dengan tangkas dia menangkap mata tombak itu. Dan dengan sekali sentak tombak itu patah.

Raja terbelalak. Dan 'siiinng!" patahan tombak itu melesat ke arahnya. Raja bergerak ke samping menghindar. Patahan tombak itu terus bergerak. Pada saat itu pintu ruangan terbuka. Pengawal yang bernama Surya datang bersama orang-orang yang dipanggil Raja. Baru saja dia mempersilahkan mereka masuk, tubuhnya langsung kelojotan. "Aaah...!"

Patahan tombak itu menembus tubuhnya!

Orang-orang itu terkejut. Serentak mereka masuk dan sebagian mencari tahu penyebab kematian Surya. Mereka melihat seorang wanita sedang terkekeh.

Raja Tianawarman agak lega karena orangorangnya datang. Juga tiga jago bayaran itu. Yang tak lain dari Datuk Sakti Berjubah Putih, Pendekar Kipas Sakti dan Dewi Maut yang menyamar sebagai jago bayaran.

Tiga jago bayaran itu sudah berdiri membelakangi Raja. Berhadapan dengan wanita itu yang masih terkekeh.

"Siapa kau, Wanita cantik?" tanya Datuk sakti dengan suara angker.

"Hi... hi... kita pernah berjumpa bukan?

Kau sudah lupa rupanya denganku, Datuk!"

Datuk sakti memperhatikan dengan seksama. Tetapi dia tetap tak mengenali wanita itu. Mendadak wanita itu membuka pakaian pengawalnya. Dan sekarang terlihat sebuah pakaian ringkas berwarna merah menyala!

"Kau?!"

"Ya... akulah Mawar merah. Yang saat ini siap untuk mencabut nyawa kalian semua. Dulu sudah pernah kuperingatkan kepadamu, Datuk. Jika mengganggu tugasku lagi, kubunuh kau! Sekarang bersiaplah! Juga kau pendekar tampan dan dewi cerewet! Mari kita ramaikan permainan ini sebelum kubunuh Raja!"

"Kau mimpi, Mawar merah! Hari ini kau akan menemui ajalmu di tanganku!" bentak Datuk Sakti tak kalah seramnya.

"Hi... hi... kau yang mimpi, Datuk! Murid Dewi Cantik Penyebar Maut tak akan mundur setapak pun!"

Raja Tianawarman terkejut mendengarnya. Murid Dewi Cantik Penyebar Maut? Kalau begitu wanita itu dusta mengatakan anak buah Madewa Gumilang. Yang menuduh pendekar budiman itu sebagai pemberontak raja!

Di hadapannya, wanita cantik itu terkekeh

lagi.

"Ayo tunggu apa lagi, cepat kalian serang

aku! Ku ingin semakin cepat, akan semakin mudah membinasakan kalian!"

"Bangsat!" Datuk Sakti membentak jengkel. Dia membuka jurusnya, tanpa membuang waktu lagi dia menerjang dengan dua buah pukulan lurus ke arah wajah dan dada Mawar merah.

Merasakan dorongan angin yang kuat, Mawar merah malah menerjang pula. Memapaki dengan kedua tangannya. Gerakannya pun tak kalah cepat dan kuatnya.

Dua benturan tenaga sakti membuat keduanya terhuyung. Tapi cepat kembali keduanya saling melancarkan serangan.

"Des...! Des...!"

Kembali berbenturan tangan keduanya. Ketika Datuk sakti terhuyung, Mawar merah sudah bersalto ke depan. Dan melancarkan tendangannya. Cepat Datuk sakti menangkis dengan lututnya. Tetapi gempuran tenaga tendangan Mawar merah lebih besar. Lagipula posisi Datuk sakti tidak menguntungkan. Keseimbangannya berada hanya di kaki kiri.

"Des...!"

Dia pun jatuh bergulingan.

Tanpa membuang waktu lagi, Mawar merah memekik hebat. Menerjang dengan tumit siap mengancam kepala Datuk sakti. Tetapi belum sampai maksudnya, dia telah bersalto sambil membentak jengkel, "Bangsat!"

Dan bagai sehelai bulu tubuhnya hinggap di tanah. Berhadapan dengan Dewi maut yang melempar tombak ke arahnya tadi. Sementara Datuk sakti beringsut berdiri. Kakinya terasa remuk.

"Kau rupanya ingin cari mati juga, Dewi!" seru Mawar Merah marah. Tak ayal lagi, ia mengeluarkan jurus andalannya. Menggempur sejuta batu karang!

Melihat gelagat itu, Dewi maut pun mengeluarkan pukulan saktinya. Tangannya terlihat berwarna hijau. Begitu pula dengan Mawar Merah. Kepalannya berubah menjadi merah.

Dan tahu-tahu selarik sinar merah berkelebat dari jari-jarinya. Dewi maut berkelit dan menyerang dengan pukulan saktinya.

Tetapi Mawar merah sudah bersiap sejak tadi. Dia menyongsong dengan pukulan menggempur sejuta batu karang. Pekikan keduanya begitu dahsyat, merobek keheningan malam. Dan membangunkan Sekarjingga yang langsung berlari ke dalam pelukan suaminya.

Dan kini dua tokoh sakti itu saling menghantam. Dua buah pukulan sakti berbenturan dengan dahsyat. Sedikit membuat ruangan itu bergoyang.

Dari keduanya muncul asap berwarna putih dan agak menyakitkan mata. Tahu-tahu terdengar pekikan keras, "Aaaaah!"

Dua buah tubuh terlempar dari kepulan asap itu. Jatuh bergulingan dan ambruk dalam keadaan muntah darah!

"Dewi Maut!" seru Pendekar Kipas Sakti sambil memburu wanita itu yang dalam keadaan sekarat. Dari mulutnya mengalir darah kental. Dadanya turun naik. Nafasnya sesak. Benturan tadi seakan mematahkan semua tulangtulangnya.

Dewi Maut meringis kesakitan. Ia menolak ketika diberikan dua buah pil pemunah racun.

"Aku... ah... hidupku tak akan lama lagi... untuk apa... ditahan... tahan... aku bangga... sebelum a... ajalku... bisa mem...  persembahkan... hidupku... untuk negara....

Aaaah!"

"Dewi!" panggil Datuk Sakti Berjubah Putih sambil menahan pula sakit kakinya.

Dewi Maut tersenyum.

"Benar katamu dulu, Datuk.... Dewi Cantik Penyebar  Maut...  wanita  iblis  yang  hebat  se...

sekali.... Muridnya saja... belum mampu aku mengalahkan... ah... aku tak kuat  lagi     Selamat

tinggal semua "

Dewi Maut itu menarik nafas panjang. Lalu meregang. Dan hilanglah nyawanya. Tamat sudah Dewi sakti itu.

Sementara itu, keadaan Mawar merah pun tak lebih dari Dewi Maut. Tetapi dia masih mampu bertahan. Dengan susah payah dia bangkit. Tetapi sebelum dia berdiri tegak, Pendekar Kipas Sakti sudah mengibaskan tangannya. Dari kipas itu melesat lima buah jarum beracun.

Dan menancap di lima bagian Mawar merah, yang terguling lagi dengan muntah darah. Meringis menahan sakit. Lalu tamat pula riwayat gadis yang kejam itu!

Mereka sangka, dengan kematian Mawar merah sudah berakhir petaka itu....

Ternyata tidak. Karena dengan tiba-tiba saja muncul dua orang gadis berpakaian merah pula. Mereka adalah Pinus merah dan Melati merah, yang langsung terpekik melihat kawannya tergeletak tanpa nyawa.

Keduanya berbalik. Tatapan mereka nyalang. Seolah tatapan itu mampu menembus jantung yang ditatap. Raja tidak mau membuang waktu lagi, dia mengibaskan tangannya ke atas. Dan serentak para pengawal mengurung dua wanita itu. Yang hanya menatap mereka dengan bengis.

Para pengawal segera maju menyerang dengan beruntun. Bagaikan air bah yang siap menghantam jembatan. Tetapi dua wanita itu bukan jembatan. Mereka adalah tembok raksasa, yang tidak mampu dijebol oleh apa pun.

Begitu serangan datang, kedua wanita itu hanya mengibaskan tangan mereka. Dan berkelebatan sinar merah dari tangan keduanya. Yang menghantam barisan penyerang itu hingga berantakan dan hangus lalu menemui ajalnya.

Yang tidak terkena masih nekat menyerang. Tetapi mereka jelas-jelas bukan tandingan kedua wanita itu. Yang hanya sekali mengibaskan tangan sudah membuat mereka mampus kelojotan.

Terdengar bentakan Datuk Sakti, "Mundur!"

Sisa-sisa pengawal itu mundur dengan cepat. Mereka juga enggan mengantarkan nyawa kepada dua gadis itu. Datuk sakti dan Pendekar Kipas Sakti sudah maju ke depan. Kedua wanita itu pun maju selangkah. Sikap mereka angker. Penuh nafsu ingin membunuh, membalas kematian Mawar merah. Pada siapa saja yang berada di sana!

"Jadi kalian lagi yang menghalangi perbuatan kami!" desis Pinus Merah. "Hari ini kau Pendekar Kipas Sakti, kulenyapkan kau dari muka bumi!."

Pendekar tampan itu hanya tersenyum.

Mengipas-ngipas dengan tenang.

"Pinus merah... ajal di tangan Yang Kuasa. Kalau kau mampu, lakukanlah! Aku juga ingin segera membunuhmu!"

"Bangsat!" Pinus merah. Siap menyerang.

Pendekar tampan itu tertawa. "Ruangan ini terlalu kecil untuk kita. Kami tunggu kalian di luar!"

Lalu dia melesat keluar. Disusul oleh Datuk Sakti Berjubah Putih. Pinus merah dan Melati merah melesat menyusul. Di saat melesat itu, Pinus merah melancarkan pukulan jarak jauhnya pada raja dan istrinya.

Untung raja sejak tadi waspada. Sambil mendorong tubuh Sekarjingga, dia bergulingan menghindari sinar merah itu.

Pendekar Kipas Sakti dan Datuk Sakti Berjubah Putih sudah menunggu di halaman istana. Dua tubuh bersalto ke depan mereka. Dan langsung melancarkan tendangan ke kepala mereka.

Serentak keduanya menangkis. "Duk...!"

Dua serangan tadi tertahan. Kedua gadis itu bersalto ke belakang. Dan kembali bersalto ke depan. Kali ini cakar mereka mengancam jantung!

Suatu pertunjukan meringankan tubuh yang hebat.

Kali ini kedua orang yang diserang itu berkelit ke samping dan berbalik melancarkan pukulan ke punggung lawan.

Kembali pertunjukan ilmu meringankan tubuh diperlihatkan kedua wanita itu. Tahu-tahu tubuh keduanya melentik ke atas. Dan mereka memutar dengan tendangan lurus.

Lagi keduanya menangkis serangan itu. Tapi kali ini kedua wanita itu membarengi dengan sinar merah yang mengancam dari jarak dekat.

"Heiit!" Datuk sakti memekik dan bergulingan. Menyadarkan pendekar tampan itu untuk berbuat serupa.

Dan keduanya berdiri agak jauh dari kedua wanita sakti itu. Sengaja mengatur jarak dan nafas. Keduanya kini masing-masing menghadapi satu lawan.

Pendekar Kipas Sakti dengan Pinus merah, lawan yang pernah dihadapinya sebulan yang lalu.

Datuk Sakti Berjubah Putih berhadapan dengan Melati merah yang sudah tidak sabar ingin merenggut nyawanya.

Di atas rembulan sudah menghilang. Malam telah berganti. Mentari sudah muncul di ufuk sana. Cahayanya memancarkan sinar keemasan.

Dua pasang manusia yang siap bertarung itu masih mencari kesempatan dan kelengahan lawan. Matanya menatap waspada.

Tetapi rupanya Melati merah tidak mau membuang waktu lagi, apalagi terbayang kembali wajah Mawar merah yang sudah menjadi mayat itu.

Pukulan lurusnya menerjang Datuk sakti. Kali ini pun Datuk sakti tak mau ayal lagi. Dia hanya menyentakkan kedua tangannya ke depan. Sebuah dorongan angin menghantam Melati merah hingga bergulingan.

Rupanya Datuk sakti itu masih mempunyai sebuah ilmu simpanan yang hebat. Melati merah bangkit, menatap penuh kemarahan. Tiba-tiba dia menyentakkan kedua tangannya pula. Sepuluh sinar merah keluar dari jari-jarinya. Dan mengejar Datuk sakti.

Dengan susah payah Datuk sakti menghindar. Dan dia pun tak mau kalah, dikeluarkannya pukulan jarak jauhnya. Selarik sinar putih pun berkelebat. Kali ini Melati merah yang bergulingan menghindar.

Sementara itu, Pinus merah sudah menendang. Pendekar Kipas Sakti menangkis dengan keras. Tetapi tendangan Pinus merah bukanlah tendangan sembarangan. Itu tendangan berantai. Yang ditangkis masih bisa menendang lagi. Malah sampai lima kali.

Pendekar tampan itu pun berusaha menangkis, terakhir menghindar.

Keduanya sudah saling menyerang. Berbagai kesaktian dan ketrampilan dipamerkan dalam adu kesaktian itu. Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan sekaligus menakjubkan.

Pasir yang berada di kalangan itu berterbangan. Yang melihat pertarungan itu diam-diam menjadi kecut sendiri.

Sekarjingga pun menyembunyikan, wajahnya di dada suaminya. Ngeri.

Empat orang yang bertarung itu, bagaikan seribu kerbau gila yang mengamuk. Bahkan lebih dahsyat. Berbagai gerakan disajikan dengan tangguh dan cepat.

Tetapi sampai sejauh itu, belum ada kelihatan yang terdesak. Mereka masih berimbang. Tetapi setelah Pinus merah mengeluarkan ilmu kebalnya menahan gelombang batu karang, baru kelihatan Pendekar Kipas Sakti agak terdesak. Pukulan dan tendangannya diterima begitu saja oleh Pinus merah tanpa merasakan sakit sedikit pun. Bahkan pukulan sakti pendekar tampan itu tak mampu menembus ilmu kebal Pinus merah!

Dengan mengandalkan ilmu kebalnya itu, dia terus mendesak Pendekar Kipas Sakti. Dua buah pukulannya mendarat tepat di dada pendekar tampan itu.

Dan tahu-tahu Pinus merah berbalik. Tendangannya memutar dengan cepat. Sedetik pendekar tampan itu tidak merunduk, copot kepala dari lehernya. Lalu ia menangkis dan melancarkan pukulannya ke perut Pinus merah. "Buk..,!"

Pukulan itu diterima Pinus merah seperti tak ada masalah. Kembali dia mendesak. Pendekar tampan itu buru-buru berguling.

Dan "Siiing!" dia melontarkan senjata rahasia dari kipasnya. Kali ini Pinus merah melompat menghindar. Mengetahui lawannya menghindar, pendekar tampan ini mengetahui kalau ilmu kebal Pinus merah hanya bisa menahan pukulan dan tendangan, sekalipun pukulan atau tendangan itu amat saktinya.

Buru-buru dia bersalto dan bergulingan, menyambar sebuah tombak dari salah seorang pengawal. Dan menerjang Pinus merah.

Benar dugaannya, Pinus merah

menghindar! Rupanya ilmu kebal itu amat

pantang bersentuhan dengan besi. Ujung tombak itu terbuat dari besi!

Kali ini pendekar tampan itu berada di atas angin. Dia mendesak dengan hebat. Sampai suatu ketika ujung tombaknya menggores bahu Pinus merah yang langsung mengaduh.

"Ha... ha... ajalmu sebentar lagi, Pinus merah!"

Pinus merah mengusap darah yang merembes keluar. Ia menatap pendekar tampan itu dengan marah. Dan dengan gerakan cepat di melancarkan pukulan jarak jauhnya. Pendekar Kipas Sakti bergulingan. Tapi serangan jarak jauh itu terus mencecarnya. Sebisanya dia menghindar.

Sementara itu keadaan Melati merah terdesak oleh Datuk Sakti, dua kali dia kena pukul di dada dan wajahnya.

Rupanya ilmu dorongan tenaga angin Datuk sakti itu, tidak mampu ditandingi Melati merah. Dia hanya bisa membalas melalui pukulan jarak jauhnya. Tetapi datuk tua itu pun membalas dengan sinar putihnya. Membuat Melati merah menjadi kelabakan.

Tahu-tahu dia bersalto mendekati Raja dan Sekarjingga. Dan tahu-tahu kedua tangannya sudah berada di leher dua orang pemimpin itu. Raja dan istrinya tersedak. Tak menyangka Melati merah akan berbuat curang. Para pengawal serentak berbalik dan mengurung Melati merah.

Datuk sakti pun tak menyangka Melati merah akan berbuat curang. Dia melesat ke depan. Dan membentak, "Hhh! Kau hendak berbuat apa, Melati merah?!"

Melati merah terkekeh. Cengkeraman di leher Raja dan Sekarjingga menguat. Membuat keduanya kesakitan. Dan tidak bisa berbuat apaapa.

Sebenarnya Raja bisa melepaskan cengkraman itu, tetapi dia kuatir dengan istrinya. Istrinya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa mungkin dia bisa melepaskan diri begitu dia menerjang nanti? Raja tidak berani mengambil resiko dengan mengorbankan istrinya.

"Kau jangan mendekat, Datuk!" bentak Melati Merah. "Selangkah lagi kau maju, nyawa keduanya akan melayang! Aku tidak main-main, Datuk!"

Datuk sakti pun yakin Melati Merah tidak main-main. Itu bukan gertakan sambal belaka. Melati Merah gadis yang kejam, yang mungkin digembleng oleh Dewi Cantik Penyebar Maut untuk menjadi seorang pembunuh.

"Lepaskan mereka, Melati Merah!" seru Datuk sakti pula. "Kita teruskan pertarungan itu!" "Bah! Mudah saja melepaskan daging yang  sudah di tangan! Datuk... ambil pedang itu!" seru Melati Merah sambil melirik salah seorang

pengawal yang membawa pedang.

Datuk sakti belum beranjak. Tak mengerti maksud Melati Merah. Melati merah membentak, "Ambil! Kalau tidak, kubunuh dua orang ini!!"

Datuk sakti ragu-ragu. Akhirnya dia mengambil pedang itu.

"Ini pedang itu "

"Sekarang kau penggal lehermu sendiri, Datuk!" bentak Melati merah yang membuat semua kaget.

Sementara itu Pinus merah pun sudah bersalto, berdiri di samping Melati Merah. Pendekar Kipas Sakti tidak jadi memburu.

Ia pun tegang melihat Raja dan istrinya dalam cengkeraman mereka dan melihat Datuk sakti ragu-ragu. Pedang itu masih dipegangnya.

"Cepat Datuk, kau penggal dirimu! Atau...

kau ingin kedua orang ini mati sebelum ajalmu?" geram Melati Merah sambil memperkuat cengkraman di leher raja dan istrinya.  Sekarjingga mengeluarkan suara tercekik. Membuat Raja menjadi gelagapan. Padahal dia sendiri merasakan susah bernafas, Melati Merah menyambung, "Kalau kau belum melaksanakan perintahku Datuk, kubunuh kedua orang ini! Cepat!"

Datuk sakti menjadi kebingungan. Di lain pihak dia ingin mempertahankan dirinya, di lain pihak dia ingin raja dan istrinya selamat. Tetapi bagaimana caranya menyelamatkan mereka yang sudah di ujung tanduk itu?

Tak ada pilihan lain, demi keselamatan Baginda dan istrinya Datuk sakti rela berkorban. "Baik, Melati Merah! Semua akan kulakukan. Satu pintaku, setelah kematianku, kau tinggalkan tempat ini!"

Melati Merah mendengus mengejek. "Cepat kerjakan! Penggal lehermu!"

Datuk sakti menatap pedang yang digenggamnya erat-erat. Perlahan-lahan matanya terpejam. Dan perlahan-lahan pula pedangnya terayun. Semua memperhatikan dengan tegang.

Dan....

"tak!" pedang yang dipegangnya jatuh sebelum sampai ke leher. Datuk sakti itu terhuyung ke belakang. Melati merah terkejut. Siapa yang telah melepaskan pedang itu. Belum lagi dia sempat tahu orangnya, tahu-tahu kedua tangannya terasa kesemutan. Dan genggamannya terlepas. Raja cepat mendorong istrinya dan berguling menjauhi Melati merah.

"Bangsat!" Melati merah menggeram. Pinus merah bersiap pula. Dia juga tidak tahu siapa yang melakukan itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras di tembok istana. Seorang tua bertubuh pendek gemuk tergelak-gelak sambil memegangi perutnya. Tetapi matanya kelihatan agak terpejam dan seperti orang tidur.

Datuk sakti yang sudah berdiri berseru, "Dewa Tua Pengantuk!"

Orang bertubuh pendek itu terbahak. Datuk sakti bersyukur, di saat kritis itu sahabatnya datang. Melati merah menggeram marah mengetahui siapa yang telah melepaskan tawanannya. Tangannya mengibas. Sinar merah yang merupakan andalan orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut berkelebat.

Orang tua bertubuh pendek itu bersalto ke depan, menghindari sinar merah itu. Walaupun gemuk tubuhnya terasa ringan sekali. Ia berdiri di samping Datuk Sakti Berjubah Putih.

"Ha... ha... hanya orang-orang begini saja kau tak mampu mengalahkannya, Datuk;..."

Memerah wajah Datuk sakti itu. Tetapi dia menyahut, "Mereka orang-orang pilihan, Dewa gemuk! Kau pun belum tentu mampu menghadapinya!"

Kembali dewa tua itu tertawa. Lalu berguling ke depan, tubuhnya bagaikan sebuah tong yang berjalan. Ia berdiri tepat di depan kedua anak buah dewi sesat atau Nindia.

"Kalian, rupanya yang membuat onar lagi," kata dewa tua itu. "Cepat kalian bersujud dan meminta maaf, sebelum nyawa kalian ku cabut!"

Dewa Tua Pengantuk terbahak. Matanya masih tetap terpejam tubuhnya yang gemuk terguncang-guncang.

"Ha... ha.,. kau masih banyak omong pula!" Sehabis berkata begitu, dia menerjang. Sungguh di luar dugaan, tubuhnya yang gemuk itu bukan merupakan penghalang baginya untuk bergerak.  Gerakannya  cepat dan gesit.

Pukulannya pun penuh tenaga. Kedua wanita itu terkejut. Pinus merah berkelit. Melati merah menangkis dengan tangan kanannya. Dan seketika dia terhuyung. Betapa besarnya tenaga kakek gemuk itu.

"Hayo kalian keluarkan ilmu kalian! Biar kuremas kepala kalian nanti!" seru Dewa tua.

Dan serentak Melati merah dan Pinus merah menyerang. Dua serangan yang datangnya dari arah berlawanan hanya membuat Dewa tua bingung sejenak. Tiba-tiba ia bersalto ke belakang dan bersalto lagi ke depan. Saat kedua gadis itu berkelebat dia menjejakkan kedua kakinya di punggung mereka. Kembali keduanya terhuyung. Pendekar Kipas Sakti mengibas kipasnya. Berterbangan jarum-jarum beracunnya ke arah kedua wanita itu. Sebisanya mereka berkelit. Tetapi jarum-jarum itu telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Menembus kulit putih keduanya.

Tiba-tiba keduanya mengerang. Dan ambruk ke tanah dengan mulut mengeluarkan darah. Beberapa detik kemudian, nyawa keduanya lepas dari tubuh masing-masing. Hampir bersamaan. Dan terkulai tanpa bersuara lagi. Semua menghela nafas lega, Walaupun telat, kedatangan Dewa Tua Pengantuk itu sangat diperlukan sekali. Tanpa kedatangannya tadi, tamatlah semua riwayat yang ada di sana. Dan istana berhasil digulingkan.

Dewa Tua Pengantuk terbahak. Dia baru saja menyelesaikan satu tugas yang luar biasa, di mana dia menerangkan kepada rakyat yang terpengaruh ingin memberontak. Rakyat sebagian sudah dihasut oleh orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut. Dan mereka akan siap memberontak. Rencananya hari ini di saat Mawar merah berhasil membunuh raja.

Tetapi semua sudah berakhir. Dewa Tua Pengantuk juga masih harus menghindari bentrokan dengan lima murid dari perguruan Topeng Hitam, yang dia tahu karena salah paham.

Matahari menyengat panas. Mayat-mayat yang bergeletakan diangkat dan dikuburkan. Raja Tianawarman mengundang mereka masuk.

Dari omong-omong itu, Datuk Sakti Berjubah Putih, Pendekar Kipas Sakti dan Dewa Tua Pengantuk, akan segera berangkat mencari persembunyian Dewi Cantik Penyebar Maut.

Raja mengangguk mengerti. Juga mengerti kalau rencana memberontak itu bukan dari Madewa Gumilang.

Ketika senja mulai turun, orang-orang itu berangkat.

2

Begitu meninggalkan perguruan Topeng Hitam, Madewa Gumilang beserta Paksi Uludara segera mencari jejak di mana Dewi Cantik Penyebar Maut berada. Dalam kesempatan itu, dia juga mampir ke rumah Abindamanyu, yang saat ini masih dalam keadaan bergembira, karena telah kembalinya putri Nindia.

Mulanya  pun Madewa  menyangka  itu Nindia  yang asli, tetapi lama  kelamaan dia menemukan kejanggalan. Di mana dia melihat gerakan Nindia begitu ringan seolah memiliki ilmu meringankan tubuh dan selalu berpakaian merah. Kita sudah  tahu  siapa  gadis itu sebenarnya, yang tak lain adalah Dahlia merah. Yang diperintahkan gurunya untuk menyamar sebagai  Nindia. Hanya  menyamar, tidak ditugaskan merampok atau membunuh. Saat itu Dahlia merah heran, kenapa mendadak gurunya

memerintahkan tidak seperti biasanya.

Dia lalu menganalisa setiap kejadian yang ada. Dan kesimpulannya membuatnya terkejut sendiri. Di kelima murid gurunya, hanya dia yang mirip dengan gurunya. Dan saat ini, Tuan Abindamanyu juga orang-orang yang ada menyangkanya Nindia. Berarti dia mirip dengan putri Abindamanyu.

Lalu kembali kepada perintah gurunya, tidak boleh membunuh atau menyakiti siapa pun di rumah Abindamanyu. Apa sebabnya?

Dan kesimpulan itu, gurunya adalah putri Abindamanyu alias Nindia. Walau mulanya Dahlia merah ragu-ragu dengan kesimpulannya sendiri.

Sementara itu Madewa masih memperhatikan gerak-gerik Dahlia merah secara diam-diam. Dalam waktu satu jam saja dia sudah bisa menebak, kalau ini bukan putri Nindia.

Untuk membuktikan kebenarannya, dia bertanya langsung pada Abindamanyu dan dijawab, Ya. Itu memang bukan Nindia yang asli. Itu dilakukan agar istrinya sembuh. Memang benar, kesehatan istrinya sudah hampir pulih.

Tetapi yang membuat Madewa curiga, gadis itu selalu berpakaian merah. Tidak pernah mau memakai pakaian warna lain, biarpun Abindamanyu menyediakannya.

Yang ditakutkan Madewa hanya satu, gadis itu adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut. Paksi Uludara pun menyadari hal itu. Tetapi dia lebih banyak diam. Namun dia waspada menjaga kalau terjadi apa-apa.

Selesai membicarakan urusan Nindia, keesokan harinya Madewa berpamitan. Abindamanyu melepas kepergian keduanya dengan harapan Madewa segera menemukan putrinya. Sementara istrinya berada di samping Nindia palsu, dengan senyum ceria.

Di tengah jalan, Madewa berkata pada Paksi Uludara tentang kecurigaannya pada gadis berbaju merah itu. Paksi Uludara pun menyatakan kecurigaannya. Akhirnya mereka sepakat untuk kembali ke rumah Abindamanyu nanti malam.

Dan ketika malam mulai menyelimuti seisi dunia, di atas genting rumah Abindamanyu menyelinap dua sosok tubuh dengan hati-hati. Gerakan keduanya ringan dan mantap. Salah seorang dari mereka bersalto turun. Juga tanpa menimbulkan suara. Berlari mengendap dengan cepat. Di depan jendela yang masih menyala lampunya, orang itu terdiam. Nampak berkonsentrasi. Matanya terpejam. Dan pandangannya bisa menembus ke dalam kamar itu. Melihat seisi kamar itu. Itulah ilmu pandangan menembus sukma, yang hanya dimiliki oleh seorang saja. Dan orang itu Madewa Gumilang.

Dia melihat gadis yang dicurigainya sedang duduk bersemadi. Dan telapak tangannya nampak memancar sinar merah. Dan perlahanlahan sinar itu melesat menghantam dua buah bata di hadapannya hingga hancur berantakan.

Madewa sadar, kalau ternyata dugaannya benar. Dan gadis itu sangat membahayakan keluarga Abindamanyu. Dia mengalihkan tatapannya ke arah Paksi Uludara yang menjaga di atas. Paksi Uludara masih bersiaga. Madewa segera mengirimkan suara jarak jauhnya yang tepat terdengar di telinga Paksi Uludara.

"Dugaan kita tepat, ternyata gadis itu murid Dewi Cantik Penyebar Maut. Tapi tak usah kuatir, biar aku selesaikan!"

Madewa menghentikan konsentrasinya. Dia mengetuk jendela itu. Nindia palsu alias Dahlia merah yang sedang bersemadi tersentak. Dia buru-buru merapikan sikapnya. Dia tidak boleh ketahuan sebagai murid Dewi Cantik Penyebar Maut. Buru-buru dia membuka jendela itu. "Siapa?"

Tuk! Tuk!

Dia tak sempat bertanya lagi, karena dua buah totokan telah hinggap di bawah iganya dan di lehernya. Membuat tubuhnya kaku dan suaranya menghilang.

Madewa cepat melompat dan menutup jendela. Dia memperhatikan gadis itu. Ternyata orang yang berbahaya yang berada di rumah Tuan Abindamanyu,

"Kau tak perlu takut, Nona. Aku tidak akan berbuat apa-apa," kata Madewa pelan. "Dan maafkan aku, kalau aku mencurigaimu. Untuk kerja sama kita Nona, ada baiknya kau mengakui terus terang, siapa sebenarnya dirimu?"

Tangan Madewa bergerak cepat. Membebaskan totokannya di urat leher gadis itu. Yang langsung membentak marah, "Kurang ajar! Kau laki-laki ceriwis, berani-beraninya masuk ke kamarku?!"

"Ini demi kepentingan kita semua, Nona." "Kurang ajar!" gadis itu mendelik marah.

"Nanti kulaporkan ayah akan ulahmu ini!"

"Di sini tak ada ayahmu, Nona. Kau bukanlah putri Nindia. Dan aku hanya ingin tahu, siapa kau sebenarnya? Cepat jawab pertanyaanku, Nona "

Gadis itu terbelalak gusar. Apa-apaan orang ini, dia menyangka dirinya siapa.

"Kau bicara apa?" serunya jengkel. Kalau saja tubuhnya bisa digerakkan, sudah ditempeleng nya orang ini.

"Aku mencurigaimu, Nona. Aku tahu kau bukanlah putri Nindia. Karena Nindia tidak punya keahlian ilmu silat dan kesaktian. Aku sudah mengintip kamar ini tadi, Nona. Dari tanganmu memancar sinar merah. Dan kau selalu berbaju merah. Aku curiga padamu... sebagai anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!"

Sekarang gadis itu terdiam. Tidak berkatakata lagi. Memang dia anak buah dewi sesat itu. Dan dia bernama Dahlia merah. Dalam hati Dahlia merah menggeram. Rupanya orang ini mengetahui siapa dirinya. Orang yang selama ini selalu membuat keresahan. Dan secara tidak langsung menjadi buronan orang golongan putih!

Gadis itu memicingkan matanya. Menatap tajam Madewa yang tahu gadis itu sudah mengaku. Suaranya mendesis, "Aku tidak memungkiri, kalau aku anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut."

"Apa maksudmu dikirim ke mari oleh dewi sesat itu?"

Dahlia merah terdiam. Lebih baik diam, karena dia sendiri tidak tahu.

"Aku bisa marah besar padamu, Nona!" geram Madewa.

Kalau saja tubuhnya tidak dalam keadaan tertotok, akan dilabraknya laki-laki ini. Tapi tangan laki-laki itu sudah melayang di pipinya.

"Aku tidak tahu apa maksudmu dikirim ke mari oleh dewi sesat itu. Dan sekarang Nona... katakan, di mana tempat dia berada? Cepat Nona... aku membutuhkan bantuanmu. Anak istriku berada di tangan mereka!"

Dahlia merah mendengus mengejek. Biar kau tahu rasa! Tawanan di tangan gurunya, tidak ikan bisa hidup lama. Dia akan mati disiksa atau dibunuh sekaligus.

"Sampai kapan pun aku tidak akan bicara di mana guruku berada."

"Kau?!" geram Madewa.

"Ya, aku anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut. Dan tidak akan semudah itu membocorkan rahasia."

Madewa kehabisan akal menghadapi wanita bandel itu. Tahu-tahu dia menotok urat lehernya kembali. Lalu membopong tubuh gadis itu dan melesat ke luar. Dia ingin melihat, sampai di mana kekeras kepalaan gadis itu.

Melihat bayangan berkelebat, Paksi Uludara cepat bersalto dan menyusul.

Madewa membawa Dahlia merah ke sebuah hutan yang jauh dari rumah Abindamanyu. Dia mencari serat-serat akar pohon yang banyak terdapat di sana dan menyambungnya menjadi tali. Lalu melempar tali itu ke sebuah dahan dan mengikat kedua kaki Dahlia merah. Lalu ditariknya tali itu hingga tubuh Dahlia merah tergantung dengan kepala di bawah.

Paksi Uludara hanya memperhatikan saja. Madewa melepaskan totokan di urat leher Dahlia merah. Totokan pada bagian bawah tulang iganya, dibiarkan saja. Tubuh itu tergantung kaku dan kepala di bawah.

"Kalau kau belum menunjukkan di mana ketuamu berada, aku akan melepaskan. Biar dirimu di makan harimau! Mari Paksi, kita lihat saja kehebatan gadis ini!"

Madewa mengajak Paksi Uludara meninggalkan tempat itu. Tetapi kemudian mereka bersembunyi. Dahlia merah mengetahui hal itu. Dia bertekad akan bertahan semampu mungkin. Baru harimau. Apa sih yang ditakutkannya?

Tetapi begitu muncul seekor harimau belang yang besar, dia bergidik. Apalagi harimau itu mengendus-ngendus dirinya. Dahlia merah lupa, dia dalam keadaan tertotok, tidak bisa berbuat apa-apa. Harimau itu sudah mengitari tubuhnya. Melihat ada mangsa empuk yang enak buat disantap.

Meremang bulu kuduk Dahlia merah. Biar bagaimana pun dia seorang wanita, yang jijik dengan binatang macam begituan. Tetapi walaupun begitu dia tidak mau menjerit. Ditahannya kengeriannya ketika harimau itu mengaum keras, seakan merontokkan jantung!

Namun ketika harimau itu mengindapindap dan mengambil ancang-ancang untuk menerkam, secara tak sadar Dahlia merah menjerit. "Lepaskan...! Lepaskan aku!" jeritnya ketakutan dan jeritan itu mengejutkan harimau akan tetapi tidak membuatnya takut hanya agaknya menunda terkamannya. Kelihatan harimau itu menunggu. Karena tidak terjadi apaapa, dia mengambil ancang-ancang lagi untuk menerkam. Kengerian semakin membesar di hati Dahlia merah. Tubuhnya sukar sekali digerakkan. Kalau bisa bergerak, dia tidak akan sekuatir ini.

Harimau itu mengaum dulu sebelum menerkam, Dahlia merah menjerit-jerit.

"Lepaskan... lepaskan aku! Ya, ya... aku akan mengatakan di mana Dewi Cantik Penyebar Maut berada Tolooong! Lepaskan!"

Harimau itu sudah melompat dan menerkam. Dahlia merah memejamkan matanya, menanti dirinya diterkam. Tetapi tiba-tiba terdengar suara erangan harimau itu keras dan gedebuk. Perlahan-lahan Dahlian merah membuka matanya. Harimau itu bergulingan sambil mengeluarkan erangan kesakitan. Di leher dan perutnya tertancap dua batang kayu.

Tak jauh dari harimau yang kesakitan itu berdiri dua orang yang menawannya tadi.

Harimau itu bergulingan hebat dan mengeluarkan auman panjang yang mengakhiri hidupnya. Sejenak Dahlia merah merasa gembira terlepas dari ancaman maut itu.

Madewa Gumilang merasa dia menang. Dengan diiringi Paksi Uludara dia mendekati Dahlia merah. "Katakan, di mana berada dewi sesat itu?" "Baik, baik. Tapi turunkan dulu aku dan

lepaskan semua yang mengekang gerakanku.".

Madewa langsung menurunkan dan membebaskan diri gadis itu. Dia sudah tak sabar ingin bertemu anak istrinya. Dia yakin, keduanya berada dalam kekuasaan dewi sesat yang cantik itu.

"Cepat katakan," kata Madewa ketika Dahlia merah sudah terbebas. Gadis itu sedang mengusap-usap pergelangan tangannya. Ia melirik Madewa.

"Tak jauh dari sini."

"Ayo antar kami ke sana." Dahlia merah melangkah duluan. Madewa Gumilang dan Paksi Uludara mengikuti dari belakang. Baru mereka berjalan sepuluh langkah, tiba-tiba Dahlia merah memekik dan bersalto ke belakang, melewati kedua pendekar itu.

Dan saat bersalto itu dia mengibaskan tangannya. Berkelebat senjata andalannya yang berupa pukulan jarak jauh sinar merah.

Namun keduanya bukan jago-jago kemarin, yang mudah tertipu. Mereka tak percaya begitu saja dengan Dahlia merah. Keduanya sudah siaga sejak tadi. Dengan gesit masing-masing berkelit secara berlawanan. Begitu mereka berdiri tegak, Dahlia merah terbahak sambil berkacak  pinggang.

"Tidak semudah itu memaksaku, Sahabat.... Aku bukanlah seorang pengkhianat,..."

"Kau berkhianat kepada kami!" geram Madewa marah.

"Aku lebih taat pad ketuaku dari pada kalian!" balas Dahlia merah tak kalah galaknya.

"Bangsat!" Madewa langsung melesat ke depan. Menyerang dengan pukulan lurus. Dahlia merah memapaki dengan cepat pula.

"Des...! Plak...!"

Keduanya bersalto ke udara. Dan saling menyerang kembali begitu hinggap di tanah. Beberapa kali Dahlia merah mengirimkan sinar merahnya, tetapi dengan menggunakan  jurus Ular Meloloskan Diri, semua itu luput. Bahkan Madewa melesat dengan cepat dan mengirimkan sebuah pukulan Tembok Menghalau Badai.

Saat itu pun Dahlia merah sudah mengeluarkan ilmu berkelitnya yang bernama menghindar hujan menghalau badai. Kelincahannya dipakai untuk mengimbangi pukulan sakti Madewa. Keduanya sama-sama pandai menghindar dan berkelit. Kelincahan keduanya seimbang.

Beberapa kali serangan Madewa luput. Tiba-tiba Madewa mengubah jurusnya. Ular mematuk katak kali ini dipergunakan. Dan tangannya bergerak dengan sangat cepatnya. Mencecar dengan gencar.

Dada Dahlia merah tergedor serangan tadi. Saat dia terhuyung Madewa menghantam dengan pukulan tembok menghalau badai. "Des! Krak!"

Tubuh itu ambruk dengan beberapa tulang yang patah. Madewa memburu tetapi ajal telah mengundang Delima merah untuk pergi.

Terdengar desisan kagum Paksi Uludara yang dari tadi hanya nonton saja.

"Serangan yang berbahaya namun kejam," kata Paksi Uludara sambil bertepuk.

Madewa bangkit dan menghampiri Paksi Uludara.

"Dia sudah mati. Tak ada jalan lain, kita harus menembus hutan ini. Kurasa disekitar sini dewi sesat itu berada!" Lalu dia melesat dengan disusul Paksi Uludara. Kelebatan lari kudanya sangat cepat. Masing-masing memamerkan ilmu lari dan meringankan tubuh mereka.

Sampai keduanya berhenti karena tiba-tiba saja terdengar derap langkah bergegas di belakang mereka. Tanpa dikomando lagi keduanya melompat ke atas pohon. Dan mengintai.

Di bawah lima orang berpakaian hitamhitam dan bertopeng hitam tiba. Mereka celingukan, seolah kebingungan ke mana perginya dua orang yang dibuntuti tadi.

Tiba-tiba Paksi Uludara melompat turun dan berdiri di hadapan mereka. Serentak lima orang itu mencabut sepasang pedang yang menggantung di punggung mereka masingmasing.

Tetapi mendadak kelimanya menjatuhkan diri di hadapan Paksi Uludara.

"Oh, guru kiranya yang berada di sini," kata salah seorang dengan nada menyesal.

Paksi Uludara tertawa pelan. Menyuruh Madewa turun, Dan menyuruh kelima orang itu bangkit. Sebelum dia berkata, salah seorang sudah maju dan menjura, "Maafkan kami, guru. Kami tidak menyangka guru yang kami kejar tadi. Kami kira Dewa Tua Pengantuk. Karena sampai saat ini, kami belum berhasil menangkap Dewa Tua Pengantuk untuk dihadapkan kepada guru-"

Lagi-lagi Paksi Uludara tertawa. Lalu menerangkan kepada lima orang itu yang ternyata murid-muridnya siapa adanya Dewa Tua Pengantuk.

"Begitulah, semua hanya salah paham. Dan siasat adu domba yang dijalankan Dewi Cantik Penyebar Maut." Paksi Uludara berpaling pada Madewa. "Bagaimana saudara, kita lanjutkan pencarian kita?"

"Sebentar. Aku yakin, dewi iblis itu berada di sekitar hutan ini!" Tahu-tahu Madewa merangkum kedua tangannya di dada. Dan perlahan-lahan tubuhnya turun dan duduk bersila.

Kembali dia menggunakan ilmu andalannya, pandangan menembus sukma dan tatapannya kembali beredar dengan seksama. Meneliti setiap tempat,  bahkan menerobos dinding-dinding gua yang ada di sekitar hutan itu. Sampai suatu ketika dia melihat sebuah gua yang kelihatan terang di dalamnya. Madewa semakin mempertajam pandangannya. Dan menembus ke dalam.

Di sebuah sudut gua itu terlihat sebuah batu yang bernyala indah. Bersinar karena berhiaskan permata, intan dan emas. Dan dia melihat seorang wanita cantik berbaju merah sedang duduk menghadap ke singgasana itu.

Pikiran berputar di kepala Madewa. Dialah Dewi Cantik Penyebar Maut. Dan di sampingnya berdiri seorang gadis berbaju merah pula seolah menjaga dewi itu.

Pandangan Madewa berputar lagi. Dan bukan main terkejutnya dia, ketika melihat Ratih Ningrum terkulai dalam keadaan terikat. Begitu pula dengan Pranata Kumala yang terkulai dalam keadaan terikat pula.

Betapa kejam!

Kemarahan Madewa bangkit.

Dia menghentikan konsentrasinya dan bangkit seraya menjerit keras.

Suaranya bergetar menusuk kalbu.

Paksi Uludara dan murid-muridnya bingung. Malah mereka bersiap, mungkin saja Madewa mendengar sesuatu yang mencurigakan.

Madewa merasa kemarahannya agak menurun. Dia berbalik dan berkata, "Aku sudah mengetahui di mana dewi iblis itu berada! Istri dan anakku menjadi tawanan mereka. Aku akan segera ke sana!"

Tanpa menunggu jawaban Paksi Uludara lagi, Madewa melesat.

"Saudara! Tunggu!" seru Paksi Uludara seraya menyusul, kelima muridnya pun bergerak dengan cepat.

Madewa sudah ingin membunuh dewi iblis itu cepat-cepat. Kalau dia tahu anak dan istrinya terluka, akan dibumiratakan gua itu.

Dia langsung melesat memasuki gua yang dilihat oleh pandangan menembus sukmanya. Tetapi tiba-tiba dia bersalto. Sebuah sinar merah menyongsong larinya. Sinar merah itu terus berkelebat. Paksi Uludara yang baru memasuki pintu gua bergulingan menghindari. Begitu pula dengan murid-muridnya. Tetapi naas, murid yang paling belakang, tak sempat berguling.

Sinar merah itu menghantam tepat di jantungnya!

Tubuh itu meregang dengan jantung hangus.

"Pandu!" seru Paksi Uludara terkejut. Tetapi nyawa muridnya sudah tak tertolong. Dia berbalik geram. "Dewi iblis, kuminta nyawamu penebus nyawa muridku!" serunya dan melesat kembali.

Di tempat yang agak luas, dia melihat Madewa sudah berhadapan dengan dewi cantik dan seorang muridnya. Dewi iblis itu terkekeh melihat Madewa Gumilang berdiri dengan mata marah.

Tetapi tiba-tiba dewi iblis itu terdiam. Matanya mendadak redup. Pemuda yang dicintai dan dirinduinya kini berdiri di hadapannya. Ingin dia berlari ke pelukannya, merebahkan kepala di dadanya. Betapa indahnya. Betapa bahagianya. Tetapi semua itu tidak bisa dia lakukan. Saat ini orang yang dicintainya merupakan musuh utama yang harus dimusnahkan!

Dewi iblis atau Nindia, terkekeh kembali. Perasaan wanitanya memanggilnya untuk tidak menyerang lebih dulu. Dan bergetar kembali melihat pemuda yang dirinduinya.

"Selamat datang di tempatku ini, Madewa," suaranya bergetar pula. Sampai-sampai Puspa merah melirik. Kenapa suara guru bergetar? Tidak seperti biasanya yang seram dan mencekam.

"Aku tak perlu berbasa-basi! Hari ini, kau dan muridmu, akan kumusnahkan dari muka bumi!" seru Madewa.

"Hi... hi... kau bermimpi, Madewa. Baiklah, sebelum kita laksanakan pertempuran itu, ada baiknya kau mengenalku "

"Aku sudah tahu siapa kau, Dewi! Kau wanita iblis kejam yang tak kenal dosa! Dosamu tak berampun lagi!"

"Baik. Baik. Kau jahat menuduhku seperti itu, Madewa. Ingatkah kau lima tahun yang lalu, saat kau menolong seorang gadis bernama Nindia?" Madewa terdiam. Jelas dia ingat. Tadi pun dia telah membunuh Nindia palsu. Tapi mau apa dewi sesat itu bertanya-tanya?

"Aku tahu soal itu!" "Kau tahu di mana gadis itu berada?" "Sampai saat ini, aku tidak tahu dia berada

di mana "

Belum lagi selesai bicara Madewa, Paksi Uludara sudah memotong, "Untuk apa kita teruskan percakapan ini! Lebih baik kita segera musnahkan wanita itu, Madewa!"

Nindia terkekeh.

"Kau pemarah sekali, Kakek Tua!"

"Kau telah membunuh muridku, Dewi!

Sinar merahmu sungguh berbahaya dan kejam!"

Nindia terkekeh lagi. "Salah muridmu sendiri,   kenapa   tidak   menghindar?   Hi...  hi...

Madewa,    kita    teruskan    pembicaraan  tadi....

Memang tak ada seorang pun yang tahu di mana gadis itu berada. Tetapi hari ini kau akan mengetahuinya "

Dada Madewa berdebar lebih cepat. Kalau begitu putri Nindia berada dalam cengkraman Dewi penyebar maut itu. Pantas dicari ke mana pun tidak ketemu.

"Di mana dia? Cepat kau keluarkan! Dan lepaskan anak istriku, Dewi "

"Hi...hi..., aku takut kau tidak mengenalinya, Madewa. Kau masih ingat suara gadis itu?"

Kembali Madewa terdiam. Mengingat-ingat. Yah... suara Nindia halus dan mendayu-

dayu. Lembut, sedap didengar telinga. "Aku masih ingat suaranya."

Tiba-tiba tatapan dewi sesat itu meredup. Ia menghela nafas panjang. Semua menunggu dengan tegang. Begitu pula dengan Puspa merah. Bukankah guru tidak menawan orang selain Ratih Ningrum dan Pranata Kumala?

Ah, mungkin gurunya punya siasat yang jitu lagi.

Dan semua terkejut. Puspa merah pun terkejut. Tiba-tiba gurunya berkata, suranya bukan suara yang seperti didengar. Kali ini suara itu lembut. Mendayu-dayu. Dan agak terisak!

"Madewa... akulah Nindia, putri Abindamanyu yang menghilang lima tahun yang lalu "

Madewa tersentak. Ia menatap tak percaya. Benarkah Dewi Cantik Penyebar Maut yang kejam itu putri Nindia? Dari mana gadis itu mendapatkan ilmu kesaktian. Dan bagaimana cepatnya gadis lembut berubah menjadi beringas.

Kenapa? Kenapa?

Dan dewi itu sudah melanjutkan, "Ini semua gara-gara kau sendiri, Madewa! Kau telah menyebabkan aku berubah! Kau telah membuatku sengsara. Sejak lama aku mencintai, Madewa.... Tapi rupanya kau hancurkan cinta itu karena kau sudah mempunyai seorang kekasih! Saat itu hatiku gundah. Terluka. Siang malam aku membayangkan kau yang berkasih-kasihan dengan Ratih Ningrum, dan membuatku menangis selalu dan tidak rela kau berkasihkasihan dengannya. Saat itu aku bersumpah, akan membunuh salah seorang dari kalian, atau kedua-duanya! Untungnya seorang kakek sakti membawaku ke gunung Muria. Empat tahun aku digemblengnya sampai menjadi gadis yang sakti. Dan dendamku semakin membara walau cintaku padamu tak pernah hilang.

Akhirnya aku berhasil keluar dari gunung itu setelah kubunuh guruku sendiri. Itu semua gara-garamu pula, Madewa! Dosaku sudah bertumpuk. Tak mungkin terampuni. Aku juga telah berdosa pada ayah dan ibu.

Semua sudah kepalang basah. Aku akan menambah dosa itu dengan beberapa nyawa lagi hari ini! Bersiaplah, Madewa! Ajal telah mengundangmu di sini!"

Madewa masih terdiam, memperhatikan wanita itu. Benarkah dia Nindia? Gadis yang lima tahun lalu pernah ditolongnya? Tetapi semua figur dari gadis itu memang mirip dengan putri Nindia. Wajahnya pun tak berubah. Hanya menampakkan kebengisan dan seperti memendam rindu yang amat dalam.

Dia tidak boleh memakai kekerasan. Gadis ini yang bisa menyembuhkan penyakit Nadia, istri Abindamanyu. Apalagi Nindia palsu telah dibunuh oleh Madewa. Dia harus bisa membujuk agar gadis ini kembali ke jalan yang benar. Dan kembali ke pangkuan ayah dan ibunya.

"Putri Nindia... mengapa semua jadi begini?" kata Madewa lirih. Dulu pun dia tahu gadis itu mencintainya. "Kau seorang gadis yang lembut tapi telah berubah menjadi seorang wanita yang kejam. Putri Nindia... kembalilah ke jalan yang benar... Ayah dan bundamu merindukan mu..."

"Aku  pun  rindu  pada  mereka, Madewa....

Tetapi aku harus membunuhmu hari ini " suara

Nindia agak terisak.

"Putri... semua yang lalu biarlah berlalu. Perbuatanmu telah melampaui batas. Kau telah membuat semua menjadi kacau... Nindia kau

adalah seorang yang terpelajar... Ayah bundamu pasti kecewa melihat putri yang disayanginya menjadi seorang gadis yang kejam. "

"Ini semua gara-gara kau, Madewa! Kau telah menghancurkan hatiku!" suara Nindia berubah. Kejam. Bengis. Ia menuding Madewa penuh kebencian. "Aku tak akan tenang hidup di dunia ini, sebelum membunuhmu! Membunuh orang yang membiarkan hatiku sengsara "

"Nindia... kini aku telah beristri. Dulu pun aku tak mungkin bisa menerimamu. Kembalilah

Nindia... bundamu sakit keras karena rindu padamu "

Kembali wajah Nindia meredup. Ibunya sakit keras? Bunda yang dirinduinya? Oh. dia

menutup kedua wajahnya dengan kedua tangannya. Menangis terisak. Dan mendadak dia mengangkat wajahnya. Kembali kebengisan itu nampak. Kebenciannya semakin menjadi-jadi pada Madewa.

"Kau harus kubunuh, pemuda kejam!" serunya seraya mengibaskan tangannya. Dan sinar merah melesat dengan cepatnya!

Madewa berkelit ke samping. Tetapi jarumjarum berbisa yang dilontarkan lagi oleh Nindia kembali membuatnya kelabakan. Dia bersalto dan hingga di hadapan Nindia,

"Tahan putri.... Semua ini tak ada gunanya kita lakukan "

"Aku tak ingin mendengar suaramu lagi, Madewa! Aku telah bersumpah akan mencabut nyawamu! Madewa... jika kau bisa membunuhku, sampaikan salamku kepada ayah dan ibu. Ratih Ningrum dan putramu kukembalikan secara utuh! Tetapi jika kau yang terbunuh, akan ku siksa kedua orang yang kau kasihi itu sampai mampus!"

"Jaga seranganku, Madewa! Kau Puspa merah, hadapi kakek jelek itu!"

Sesudah berkata demikian, Nindia melesat ke depan. Tangannya membentuk cakar yang siap mencabut jantung Madewa.

Melihat serangan itu, Madewa merunduk dari menangkis. Dan kakinya bergerak ingin mengibas kaki Nindia. Tetapi begitu kaki Madewa bergerak gadis itu sudah bersalto. Dan menjejakkan sebelah kakinya di punggung Madewa. Sungguh cepat gerakannya.

"Des!"

Madewa terguling menerima tendangan penuh tenaga itu. Ia kembali berdiri tegak. Berkata sebelum Nindia menyerang lagi, "Kita tak perlu bertempur, Putri. Kembalilah ke jalan yang benar...,"

"Kau tak perlu berkhotbah!" Nindia mengibaskan kedua tangannya sekaligus. Dan sinar merah berkelebat dari sepuluh jarinya.

Madewa pun bergerak cepat. Mau tak mau dia harus membalas kalau tidak ingin mati konyol. Dia bergulingan menghindari sinar merah itu. Tetapi sinar merah itu terus mengejarnya. Madewa mulai mengeluarkan jurus berkelitnya yang ampuh, jurus Ular Meloloskan Diri.

Serangan sinar merah itu tak ada yang menemui sasarannya. Tiba-tiba Madewa memekik dan tubuhnya seakan terbang melesat ke depan.

Nindia merasakan dorongan angin yang sangat hebat. Dia adalah didikan seorang kakek sakti di gunung Muria. Serangan itu dengan mudah saja dielakkan. Bahkan dia membalas dengan pukulan menggempur sejuta batu karang.

"Des! Plak!"

Dua buah tenaga penuh berbenturan. Madewa terhuyung lima langkah, sedangkan Nindia hanya satu langkah. Berarti pukulan Nindia lebih sakti dari pukulan yang dikeluarkan Madewa. Tembok Menghalau Badai.

Sementara itu, Puspa merah sudah menyerang Paksi Uludara. Serangan gadis itu pun tak kalah hebatnya Seperti gurunya. Paksi Uludara sejenak agak kewalahan. Tetapi ketika dia mencabut pedang mustikanya, dia langsung berada di atas angin.

Dia adalah jago pedang nomor satu saat itu. Ilmu pedangnya belum ada yang menandingi. Empat orang muridnya hanya menonton saja tanpa berbuat apa-apa. Mereka kuatir, kalau dibantu Paksi Uludara malah marah. Lagipula, gadis itu pasti tak akan berumur panjang.

Kibasan dan tusukan permainan pedang Paksi Uludara benar-benar hebat dan cepat. Pedangnya menderu-deru dan bergulung-gulung. Selain itu ilmu meringankan tubuhnya pun tinggi. Semakin sempurnalah serangan-serangannya pada Puspa merah yang berusaha menghindar sekuat tenaga.

Sekali waktu Paksi Uludara berguling dan pedangnya menusuk ke atas. Puspa merah menjerit kaget. Karena barang rahasianya yang diancam oleh Paksi Uludara.

"Bangsat cabul!" bentaknya seraya menghindar dan mengirimkan serangan dengan kaki. Tetapi dia cepat menarik kakinya, karena Paksi Uludara sudah mengibaskan pedangnya.

Puspa merah kembali menjerit kaget. Dia bergulingan dan mengambil jarak agak jauh dari Paksi Uludara berdiri.

"Baik, Kakek cabul. Aku akan mengadu jiwa denganmu!" geramnya seraya membuka jurus baru.

Paksi Uludara hanya menunggu dengan bersiaga. Tiba-tiba Puspa merah menerjang dengan teriakan keras. Kelebatan tubuhnya menimbulkan desiran angin yang keras. Paksi Uludara menyambut serangan itu dengan pedangnya.

Tetapi Puspa merah sudah bertekad untuk mengadu nyawa. Dia tidak menghindar. Malah memasuki gulungan pedang itu. Paksi Uludara semakin cepat memainkan pedangnya. Tetapi sungguh di luar dugaan. Ketika pedang itu akan menyambar tubuh Puspa merah, Puspa merah melenting ke samping. Menghantam salah seorang murid perguruan Topeng Hitam, Dan menyambar sepasang pedangnya.

Murid perguruan Topeng Hitam itu ambruk dengan tubuh berdarah.

Kini Puspa merah sudah memegang sepasang pedang. Dia pun memainkannya dengan hebat. Jurus pedang Empat Penjuru dan sedikitsedikit dia mampu mengimbangi permainan pedang Paksi Uludara. Namun Paksi Uludara adalah orang sakti berilmu pedang yang sampai saat ini belum terkalahkan. Dan pedang mustikanya itu menyabet dengan deras. Menghantam kedua tangan Puspa merah hingga buntung.

Paksi Uludara bukanlah orang yang kejam. Tetapi hari ini dia bertindak kejam. Seorang muridnya telah mampus lagi. Maka dia menjerit keras dan pedangnya menusuk Puspa Merah hingga ambruk dan mati seketika itu juga. Pekikannya membuat Nindia menoleh. Ia marah melihat muridnya mati. Mendadak dia merubah serangannya. Kali ini melesat ke arah Paksi Uludara dengan hebat. Cakarnya mengancam dengan deras. Paksi Uludara berkelit, Dan menusukkan pedangnya.

Tetapi Nindia melenting ke atas. Dan selarik sinar merah berkelebat, menghantam tangan kiri Paksi Uludara.

"Aaaah!" Paksi Uludara menjerit kesakitan. Panas sekali dirasakannya. Ia terhuyung. Melihat guru mereka kalah, tiga orang murid perguruan Topeng Hitam serentak menyerang. Tetapi mereka bukanlah tandingan Nindia.

Dengan sekali kibas saja, mereka tunggang langgang dan tewas seketika dengan muntah darah.

Nindia menggeram. Menghadapi Paksi Uludara yang sedang menahan rasa sakit.

"Hutang nyawa dibayar nyawa! Kau harus membayar nyawa Puspa merah, Kakek!"

Dan Nindia mengibaskan tangannya. Dorongan angin yang keras mengarah kepada Paksi Uludara. Melihat bahaya yang mengancam, Madewa Gumilang cepat bersalto dan mendorong tubuh Paksi Uludara.

Serangan itu luput, menabrak dinding gua yang hancur berantakan. Nindia menggeram marah.

"Bangsat kau, Madewa! Kubunuh kau!" "Putri... sadarlah, semua ini tak ada

gunanya," kata Madewa mencoba membujuk. "Mari kita kembali ke rumah "

"Tidak! Aku harus membunuhmu dulu!" bentak Nindia dan dia pun memekik keras dan menyerang Madewa dengan dahsyatnya.

Madewa menunduk sedikit ketika pukulan Nindia mengarah ke wajahnya. Dan Madewa cepat menyodokkan sikunya hingga Nindia surut ke belakang. Madewa meneruskan serangan itu dengan tendangan dan membuat Nindia kali ini bersalto menghindar.

"Bangsat! Terima kematianmu, Madewa!" Nindia membentak. Tahu-tahu kedua tangannya mengepal dan mengeluarkan asap merah. Itulah jurus simpanannya yang ampuh.

Madewa pun beriap. Ia merangkum tenaga di tangannya. Dia pun sudah mengeluarkan jurus andalannya, pukulan bayangan sukma. Dari kedua tangannya mengeluarkan asap putih,

Keduanya saling berhadapan. Di mata Nindia penuh nafsu membunuh, sedangkan Madewa masih berharap, agar gadis ini mau kembali ke jalan yang benar.

Cinta memang mengalahkan segalagalanya, membutakan semuanya. Jika cinta tak kesampaian, dia akan berubah menjadi dendam yang mengalahkan segala-galanya! Tetapi bagi yang bersabar, semua itu bisa ditahannya.

Tiba-tiba terdengar lengkingan Nindia. Dia sudah bergerak menyerang. Madewa pun berbuat yang sama. Tak ada jalan lain, dia harus mempertahankan selembar nyawanya. Dua tubuh itu melesat ke depan saling memapaki.

"Des! Des!"

Dua buah pukulan sakti itu beradu dengan kerasnya. Menimbulkan kepulan asap dan suara yang menggetarkan. Dari kumpulan asap itu terlihat dua tubuh terpental ke belakang. Dari mulut kedua-duanya mengeluarkan darah. Rupanya  kedua pukulan  sakti  itu seimbang. Mendadak di saat tubuh Nindia masih tergeletak, Paksi Uludara menyerang, dengan sisa tenaganya. Tetapi dia lupa, kesaktian dewi saat itu sangat  tinggi.  Nindia berguling  seraya mengibaskan tangannya. Dua larik sinar merah melayang  dan menghantam hangus  Paksi

Uludara.

"Ketua!" seru Madewa Gumilang terkejut, susah payah dia bangkit dan memburu. Tubuh Paksi Uludara hangus. Nafasnya masih terdengar walau putus-putus.

Ia menahan nyeri yang amat sakit. Perlahan matanya terbuka, menatap Madewa dengan tatapan yang redup.

"Madewa... ajal menantiku... di sini... Hanya satu pesanku... kau... pim... pinlah... perguruan Topeng Hi... tam... salam untuk....

murid... ah "

Tubuh gagah itu terkulai dan hilang nyawanya. Madewa memandang sedih tubuh Paksi Uludara. Tetapi begitu mendengar kekehan Nindia, dia bangkit dengan marahnya. Tak ada jalan lain, dia harus membunuh wanita sesat ini!

Tetapi kesaktian gadis itu benar-benar luar biasa. Madewa hendak menggunakan senjatanya, seruling naga warisan Ki Rengsersari, mendiang gurunya. Tetapi dia ingat, anak dan istrinya berada di sini. Keduanya bisa mati kelojotan mendengar suara seruling itu.

Tahu-tahu Madewa berkelebat. Pukulan bayangan sukma menerjang Nindia yang berkelit dan menghantamkan pukulan saktinya. Saat serangannya luput, Madewa menenangkan jiwanya. Menurunkan rasa marahnya.

Mendadak keajaiban itu terjadi, Ketika Nindia hendak menyerangkan pukulannya, tubuhnya mendadak terjengkang ke belakang dan bergulingan muntah darah.

Pukulannya menerjang dia sendiri! Itulah keajaiban yang terjadi pada Madewa setelah dia menghisap sari rumput kelangkamaksa. Rumput sakti yang hanya dimiliki oleh para dewa.

Tubuh yang muntah darah itu berusaha bangkit, tetapi ambruk kembali. Madewa berbalik, hendak melontarkan pukulan jarak jauhnya. Dia ingin menghabisi saja Nindia yang sudah menjadi gadis setan.

Tetapi dia menurunkan tangannya. Kasihan melihat gadis itu merintih. Lagipula, dulu gadis itu amat dikasihinya. Dan gadis itu bisa menjadikan obat penyembuh bagi Nadia.

Perlahan Madewa menghampiri Nindia yang tengah menahan sakit. Serangannya tadi sangat luar biasa. Dan tanpa disangka serangan itu berbalik memakannya sendiri. ."Putri "

Mata Nindia meredup.

"Madewa... maaf... maafkan aku... Ah... aku telah banyak dosa. Dan benar katamu... perbuatanku tak terampuni "

"Sabar putri… bertahanlah "

"Kurasa...   ajalku   sudah tiba,  Madewa....

Sampaikan salam maafku kepada ayah dan ibu....

Katakan saja, bahwa putrinya telah mati di tengah jurang.... Madewa... berbahagialah engkau dengan  Ratih  Ningrum...  juga  putramu    Terus

terang, aku iri pada mereka, yang telah merebut hatimu... Sampai mati pun kubawa cintaku padamu... Cintaku tak akan hilang... dan... aku...

ingin kau mati bersamaku hari ini!"

Nindia tiba-tiba melayangkan pukulannya. Tetapi dia salah perhitungan. Pada saat tenang begitu, keajaiban rumput kelangkamaksa berfungsi. Tak ayal lagi, kembali pukulan itu menghantamnya sendiri dan meninggal dengan muntah darah.

"Putri Nindia!" seru Madewa terkejut.  Tetapi gadis itu telah pergi untuk selamalamanya. Heran, bibirnya tersenyum. Seolah berbahagia bisa mati dekat orang yang dicintainya.

Madewa tersendat. Entah kenapa dia terisak. Baru kali ini dia terisak selama petualangannya. Dibelainya pipi Nindia dengan lembut. Dulu pipi itu milik seorang gadis yang manis dan manja, tetapi kini milik seorang gadis yang mati dalam kesesatan.

Madewa menengadah, menatap atap gua dan pancarannya sampai ke langit. "Maafkanlah   segala    perbuatannya, Gusti "

Sesudah itu dia mencari Ratih Ningrum dan Pranata Kumala. Mereka berpelukan dengan gembira. Madewa menguburkan mayat-mayat itu di dalam gua. Gua yang menjadikan tempat terakhir bagi mereka, juga Paksi Uludara!

Ketika menguburkan tubuh Nindia, sesuatu jatuh dari angkinnya. Sebuah keris berwarna merah. Itulah keris Naga Merah yang dicurinya dari gurunya di gunung Muria.

Ratih Ningrum terharu melihat kesetiaan cinta Nindia pada suaminya. Kalau tahu semua akan jadi begini, dulu lebih baik dia tidak mencari kekasihnya. Biarlah Nindia berbahagia dengan kekasihnya.

Nindia merupakan contoh orang baik yang menjadi jahat. Banyak manusia yang seperti itu, yang selalu menurutkan hawa nafsunya dengan jalan apa pun, asal semuanya terpuaskan!

Selesai menguburkan semuanya, Madewa, istrinya dan anaknya pergi ke rumah Abindamanyu, hendak memberitahukan semua kejadian itu.

Sesampai di sana, ada ramai-ramai di rumah itu. Rupanya, Nadia sudah meninggal dunia tadi malam. Begitu mendadak. Tanpa sempat berpesan apa-apa. Dia sudah gembira di akhir ajalnya dapat bertemu dengan putri tersayangnya.

Nadia tidak tahu, putrinya yang selama ini menemaninya adalah Nindia palsu alias Dahlia Merah.

Semua itu merupakan teka-teki yang tak terjawabkan bagi Nadia sampai ke liang kuburnya.

Setelah semua urusan itu diselesaikan, Madewa berpamitan. Mereka langsung menuju ke perguruan Topeng Hitam. Madewa Gumilang hendak menjalankan semua amanat Paksi Ulu dara walau sebenarnya dia enggan.

Murid-murid Paksi Uludara menerima semuanya dengan tabah. Dan di bawah pimpinan Madewa Gumilang, perguruan Topeng Hitam men julang namanya.

Tetapi diam-diam ada beberapa orang yang iri, apalagi Madewa diketahui memiliki keris Naga Merah, keris sakti punya kakek sakti di gunung Muria

3

Di bawah lereng pegunungan sebelah timur sana, merupakan daerah yang terindah. Banyak lembah dan hutan rimba yang liar tak jauh dari sana. Hanya di bawah pegunungan itu saja banyak terdapat dusun-dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa kepala keluarga yang sederhana. Hidup mereka sangat sederhana. Hidup hanya dari bertani dan berburu.

Hari itu udara sangat cerah. Matahari baru muncul dari peraduan. Para penduduk bekerja dengan giat, demi mencari penghidupan keluarga mereka.

Dusun-dusun itu merupakan sebuah daerah yang tentram. Apalagi telah lama di sana bercokol sebuah perguruan silat yang sudah menjulang namanya. Perguruan Topeng Hitam.

Dulu perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh seorang ketua yang bernama Paksi Uludara, seorang jago pedang yang amat tangguh. Tetapi sejak empat tahun terakhir, perguruan itu tidak lagi dipimpin oleh Paksi Uludara, karena beliau telah menemui ajalnya di tangan Nindia atau Dewi Cantik Penyebar Maut.

Dan sebelum ajalnya Paksi Uludara memberi amanat kepada Madewa Gumilang, seorang tokoh yang amat sakti, untuk memimpin perguruan Topeng Hitam (baca: Petaka Cinta Berdarah).

Di bawah pemimpin baru itu, keadaan perguruan Topeng Hitam semakin tangguh. Bahkan diakui sebagai perguruan terbesar saat itu. Selain, ketua mereka yang baru amat disegani kawan maupun lawan, istrinya pun seorang pendekar wanita yang hebat. Dia bernama Ratih Ningrum. Wanita yang pandai pula memainkan pedang.

Semakin tinggilah nama perguruan Topeng Hitam. Tetapi biar begitu, ada pula beberapa perguruan silat yang iri pada nama besar mereka. Salah satu perguruan yang amat membenci mereka adalah perguruan Cakar Naga. Mereka dulu adalah perguruan yang amat tinggi, tetapi sekarang berada di bawah kedudukan perguruan Topeng Hitam.

Ketua perguruan Cakar Naga bernama Resi Sendaring, seorang laki-laki berusia empat puluh tujuh tahun yang tinggi ilmunya. Jurus-jurus cakar naganya amatlah tangguh. Dia didampingi oleh enam bawahannya yang tangguh pula.

Pagi ini Resi Sendaring sedang awutawutan pikirannya. Sejak dikalahkan oleh perguruan Topeng Hitam; hadiah dan salam perguruan yang di bawahnya beralih ke perguruan Topeng Hitam yang berarti hilanglah pemasukan yang amat penting.

Resi Sendaring benar-benar geram. Dia tidak menginginkan hal itu berlanjut terus menerus. Akhirnya dia memanggil enam bawahannya untuk berunding. Mencari jalan untuk mengambil alih kembali kejayaan nama perguruan Cakar Naga.

Enam bawahannya itu terdiri dari dua wanita tangguh dan enam laki-laki yang tangguh pula. Kesaktian dan nama mereka sudah menjulang, merupakan tokoh-tokoh hitam golongan sesat. Mereka dulu membuat nama mereka menjulang dengan sendiri-sendiri. Tetapi karena telah takluk oleh Resi Sendaring mereka mengabdikan diri.

Mereka terdiri dari Madurka, seorang lakilaki yang bertubuh gemuk. Tangan kiri orang buntung, diganti dengan sebuah besi yang ujungnya lancip. Dia bergelar, Orang Cacat Sakti.

Di samping orang itu duduk seorang wanita setengah baya. Wanita itu memakai kerudung putih. Sikapnya manis dan sopan. Dia bergelar Dewi Mulia Berhati Busuk. Wajah dan pakaiannya saja yang kelihatan baik, tetapi semua itu palsu. Karena dia adalah wanita yang sangat kejam.

Di samping wanita itu duduk pemuda tampan yang selalu tersenyum. Dia masih sangat muda. Tabiatnya aneh. Kadang seperti orang sinting. Dia sangat ahli dalam melempar senjata. Pemuda itu bernama Angkasena dan dia berjuluk Iblis Berwajah Bocah.

Di hadapan ketiga orang itu duduk pula tiga orang yang lain wajah dan tingkahnya. Yang berhadapan dengan Madurka, seorang pria setengah baya yang sangat kurus. Saking kurusnya tulang-tulang pria itu bertonjolan keluar. Di pinggangnya menyantel sebuah pedang tipis yang tajam. Pria itu bernama Tidasewu. Pria diberi julukan Dewa Pedang, karena permainan pedangnya amat hebat.

Di samping Tidasewu duduk seorang wanita yang berwajah buruk. Sebelah matanya picek. Bibirnya tebal. Di bagian kulit wajahnya bertonjolan luka yang menjijikkan. Tetapi mengherankan, karena anggota tubuhnya yang lain sangat halus, dan mulusnya. Tidak ada luka yang mengerikan macam di wajahnya. Wanita itu bernama Sumpila. Wanita itu sangat hebat kesaktian dan kepandaiannya. Jurus-jurusnya amat tangguh, yang merupakan gerakan dari burung bangau. Dia berjuluk Dewi Buruk Rupa. Dan yang terakhir adalah seorang pria yang kelihatan genit. Beberapa kali lidahnya menjilat bibirnya. Dan dia mengikik selalu. Pria itu bernama Aryo Gembala. Seorang pria dari lereng gunung pengging yang bergelar Banci Murah Senyum.

Itulah orang-orang yang dikumpulkan oleh Resi Sendaring. Rata-rata orang itu semua pernah dikalahkannya, yang menandakan betapa tingginya ilmu kesaktian Resi Sendaring.

Resi Sendaring mengemukakan masalah yang menjadi ganjalan hatinya terhadap perguruan Topeng Hitam dan kebenciannya kepada ketua perguruan itu yang bernama Madewa Gumilang.

Orang-orang yang dipanggilnya itu mengangguk setuju ketika Resi Sendaring berkata akan menyerbu ke perguruan itu.

"Jalan itu adalah jalan yang baik di rimba persilatan, Resi," kata Madurka sambil mengusap-usap tangan kirinya yang berbentuk besi lancip.

"Ya, aku pun setuju dengan usul itu," dukung Tidasewu yang juga amat membenci pada Madewa Gumilang. Dia adalah sahabat erat Krampelaksa, ketua perkumpulan Telapak Naga yang tewas di tangan Madewa (baca: Dendam Orang-orang Gagah). Telah lama Tidasewu mencari kesempatan yang baik untuk membalaskan dendam itu.

Dan saat ini rencananya itu akan segera terlaksana.

"Kalau begitu, bagaimana cara kita mengatur strategi yang baik?" tanya Sumpila, Dewi Buruk Rupa. Dia pun iri terhadap kecantikan istri Madewa yang bernama Ratih Ningrum.

Resi Sendaring tertawa karena usulnya disambut dengan baik. Dia telah menyusun semua rencana itu dengan matang. Tinggal menunggu kesempatan untuk menjalankan semua itu. Tetapi itu pun tidak akan lama. Karena kesempatan sebentar lagi datang.

"Rencanaku itu sudah ada di benakku, Sumpila. Kita menunggu waktu yang tepat untuk menyerbu ke sana," jawabnya dengan gembira.

Nimas Sertani alias Dewi Mulia Berhati Busuk, angkat suara, "Resi Sendaring yang kuhormati, aku pernah mendengar nama Madewa Gumilang. Kalau tidak salah, dia adalah murid seorang tokoh legenda yang sakti, Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti, benarkah itu?"

Resi Sendaring mengangguk mengiyakan. "Ya, dia merupakan murid tunggal tokoh

legendaris itu, yang kesaktiannya pun tak kalah dengan Ki Rengsersari. Bahkan dia memiliki ilmu simpanan gurunya "

"Kesaktian macam apa itu, Resi?" tanya Nimas Setani lagi.

"Sebuah pukulan yang amat hebat.

Pukulan Bayangan Sukma."

Sampai di situ Resi Sendaring berkata, terdengar  seruan  kaget. Pukulan Bayangan Sukma, pukulan yang amat saktinya. Tak ada satu pun yang bisa menandingi pukulan sakti itu. Tetapi mereka bukanlah  tokoh-tokoh golongan sesat yang baru mencuat namanya. Pukulan macam itu tidak membuat mereka jeri. Mereka  sudah tertawa-tawa lagi.  Bahkan keinginan untuk menjatuhkan perguruan Topeng

Hitam semakin menggebu-gebu.

Sebuah rencana telah disusun oleh Resi Sendaring adalah rencana yang hebat dan mantap. Membuat Resi Sendaring sendiri amat yakin akan rencananya. Pasti rencana itu akan berhasil dan membawa kembali nama perguruan Cakar Naga menguak di atas bumi ini.

Setelah terjadi tanya dan jawab di sanasini, akhirnya Resi Sendaring mengemukakan rencananya. Rencana itu hebat namun keji.

Suatu rencana yang berada di luar dugaan enam orang bawahannya. Bahkan mereka merasa jeri untuk melakukannya. Namun mereka adalah abdi-abdi Resi Sendaring yang setia. Walaupun dari golongan sesat, tetapi kesetiaan mereka jaga sebagai seorang pendekar. Sebagai tokoh kelas utama!

Resi Sendaring telah mengatur rencana itu sedemikian rupa sehingga nampak merupakan sebagai bantuan, padahal di balik semua itu terselip rencana terselubung yang amat keji.

Resi Sendaring tertawa ketika mendengar jawaban dari bawahannya. Mereka setuju untuk membantu. Bahkan rela mengorban nyawa sekali pun.

"Kalian tak perlu kuatir...." kata Resi Sendaring sambil tetap tertawa. "Nyawa kalian tak akan hilang dalam rencana ini. Aku tahu, kalian adalah pendekar-pendekar yang tangguh, bisa melindungi nyawa dari serangan apa pun. Lagipula, aku menjamin... keselamatan kalian akan terjaga. Kalian tahu, apa yang kuinginkan dari keruntuhan perguruan Topeng Hitam?"

Resi Sendaring mengedarkan pandangan. Tetapi tak ada jawaban. Dan jawaban Resi Sendaring sungguh di luar dugaan mereka. Rupanya kali ini Resi Sendaring selalu membuat kejutan-kejutan.

"Aku menginginkan istri Madewa yang bernama Ratih Ningrum itu menjadi istriku "

Semua terdiam. Resi Sendaring tertawa terbahak-bahak. Tawanya sedemikian kerasnya. Seakan membawa suara dan rencananya itu ke pelosok negeri.

Rencana yang keji!

*** 4

Di perguruan Topeng Hitam, seperti biasa pagi itu murid-muridnya tengah berlatih. Mereka masih berlatih ilmu pedang warisan Paksi Uludara. Raja pedang yang amat tangguh. Jurusjurus pedangnya sangat hebat dan berbahaya.

Tak jauh dari mereka berlatih ada seorang anak laki-laki kecil yang mengikuti gerakan mereka. Dengan susah payah bocah itu mengikuti setiap gerakan. Di tangannya terpegang sebuah pedang yang terbuat dari kayu. Anak itu sepertinya berminat sekali dengan ilmu silat.

Anak itu baru berusia sembilan tahun. Kelihatan sekali kalau dia berbakat dalam ilmu silat. Setiap gerakannya walau agak kaku tetapi mantap.

Dia adalah Pranata Kumala, putra Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum. Empat tahun tinggal di perguruan Topeng Hitam, membuatnya terbiasa dengan latihan-latihan seperti itu. Biar pun masih dilarang oleh orang tuanya, Pranata Kumala tetap berkeras ingin pandai silat. Apalagi ketika dia berumur lima tahun, dia telah diajarkan oleh ibunya beberapa gerakan silat.  Dan anak itu telah pandai bersalto!

Beberapa menit kemudian, muncul seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu kira-kira berusia dua puluh sembilan tahun, tetapi sepertinya baru berusia dua puluh empat tahun. Tubuhnya indah dan menggairahkan. Membuat setiap yang menatapnya tidak mau lepas dari pandangan.

Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa Gumilang. Ratih Ningrum juga mengajarkan ilmu pedang kembarnya. Dan secara tak langsung, Ratih Ningrum juga mempelajari jurus-jurus ilmu pedang perguruan Topeng Hitam.

Di perguruan besar itu, hanya Ratih Ningrumlah seorang wanita. Yang lain terdiri dari laki-laki. Tetapi walaupun begitu, Ratih Ningrum tidak minder. Bahkan sikapnya yang wibawa membuat murid-murid perguruan Topeng Hitam segan terhadapnya.

Ratih Ningrum adalah seorang pendekar wanita yang hebat. Dia pernah belajar kepandaian dari tiga orang gurunya yang tadinya merupakan pengawal pribadi ayahnya.

Namun diam-diam, ada salah seorang murid perguruan Topeng Hitam yang menaruh hati kepada Ratih Ningrum. Setiap kali melihat wajah Ratih Ningrum hatinya selalu bergetar. Dia bernama Bayuseta, orang yang berada di bawah pimpinan.

Tetapi tentu saja Bayuseta tidak berani bertindak secara terus terang. Dia hanya memendam rasa cintanya itu dalam hati. Dan menahan rasa cemburunya setiap kali Ratih Ningrum bicara dengan suaminya.

Saat ini Ratih Ningrum menghampiri putranya yang masih tengah berlatih dengan sekali-sekali melirik ke samping, mengikuti gerakan yang lain.

"Pranata..." panggil Ratih Ningrum

Pranata Kumala menoleh, tidak menghentikan gerakanya. "Eh, Ibu! Selamat pagi, Bu!"

"Selamat pagi Kau berlatih lagi?" Pranata

mengangguk. Tetap tidak menghentikan gerakannya.

"Lihat, Bu. Bagaimana dengan gerakanku?

Sudah mantap, bukan?"

Ratih Ningrum tersenyum. Gerakannya memang mantap tetapi kuda-kuda anak  itu begitu lemah.

"Coba kau perbaiki kuda-kudamu, Pranata! Kelihatan sekali betapa goyahnya kuda-kudamu."

Pranata memajukan kaki kanannya, menekuk sembilan puluh derajat dan kaki. kirinya terjulur ke belakang. Agak mantap. Ratih Ningrum tersenyum.

"Saat kau dalam posisi demikian, kekuatan tubuhmu sepenuhnya kau letakkan pada kaki kanan. Ingat, jangan kaki kiri."

"Baik, Bu." Pranata mengangguk, masih tak menghentikan gerakannya.

"Pranata... kalau kau ingin berlatih ilmu pedang, sebaiknya kau berada di deretan belakang mereka. Karena dengan begitu, kau tidak perlu melirik-lirik lagi. Karena banyak melirik kau lupa pada kuda-kuda dan gerakanmu. Mulai besok, kau harus berada di belakang mereka. Dengan begitu kau mudah mengikutinya."

"Baik, Bu. Tetapi mana janji Ibu? Katanya Ibu ingin mengajarkan aku pukulan tangan seribu. Mana, Bu?"

Ratih Ningrum tersenyum.

"Mulai besok kau Ibu latih. Sekarang hentikan gerakanmu. Coba perlihatkan saltomu pada Ibu. Kau pasti jarang melatihnya, ya?"

Anak laki-laki itu menghentikan gerakannya.

Berkata dengan bersungut-sungut.

"Kata siapa aku tidak melatihnya? Ibu boleh lihat, betapa lihainya aku sekarang."

Sesudah berkata begitu, anak laki-laki itu tiba-tiba bersalto ke belakang. Hentakan tenaganya lumayan, karena itu jarak saltonya lumayan jauh pula.

Dia bergerak ke samping. Dua kali bersalto dengan cepat. Dan tiba-tiba bergerak ke depan. Tubuhnya melenting ke udara dan masih di udara tubuhnya berputar tiga kali! Sungguh gerakan hebat diperlihatkan Pranata Kumala.

Ia hinggap dan berdiri tepat di depan ibunya. "Bagaimana, Bu? Hebat, bukan?"

"Lumayan," sahut Ratih Ningrum tersenyum lalu mengambil pedang kayu yang diletakkan Pranata di lantai tadi. "Sekarang jaga serangan ibu. Gunakan saltomu dengan baik. Ingat, pedang kayu ini bisa membuat tubuhmu merah..." "Ibu tidak boleh memukulku," protes Pranata tetapi dia sudah bergerak menghindar dengan cepat, karena pedang kayu itu sudah menyambar tubuhnya.

"Aaaah, ibu!" jerit Pranata kalang kabut. Serangan ibunya demikian cepat, membuat Pranata harus berkelit lebih cepat lagi.

"Kau boleh membalas, Pranata!" seru Ratih Ningrum seraya mengirimkan satu tusukan ke perut Pranata. Pranata melenting ke atas. Hebat, masih di atas dia berbalik dan kakinya lurus ke arah wajah ibunya.

Ratih Ningrum sendiri agak terkejut, tetapi serangan itu tak ada manfaatnya baginya. Dengan satu tangkisan tangannya dia membuat serangan itu luput dan tubuh Pranata jatuh bergulingan.

Ratih Ningrum mengejar dengan sabetan pedang kayunya. Pranata berguling tetapi tibatiba dia mengaduh. Ibunya sudah memutar tubuhnya dan pedang kayu itu menimpa kaki Pranata.

"Aduh, Ibu!" jerit Pranata kesakitan.

Ratih Ningrum tertawa. Tidak melanjutkan serangannya.

"Bagus, ilmu saltomu sudah hebat. Berarti ilmu meringankan tubuhmu sudah lumayan. Kau harus berlatih pukulan tangan kosong, Pranata. Ibu janji, mulai besok semua itu akan kau terima". Cuma ingat...." Ratih Ningrum menghentikan suaranya.

"Ingat apa, Bu?" "Sebagai seorang pendekar, mengaduh itu pantang dilakukan. Kau telah melakukannya tadi. Ingat, kau tak boleh mengucapkannya lagi."

"Aku tadi kaget, Bu. Ibu menyerangku benar-benar, aku bingung!"

"Kalau ibu main-main, kau akan mudah menghindar. Itu namanya bukan berlatih! Dalam berlatih segala sesuatunya harus keras, karena dengan tak langsung menggembleng fisik dan mental!"

Pranata mengangguk mengerti. Dia tidak bersungut-sungut lagi. Ratih Ningrum lalu menyuruh putranya mengikuti kembali gerakan ilmu pedang yang masih dimainkan oleh muridmurid yang sedang berlatih.

Dia sendiri hendak kembali ke dalam, tadi dia hanya menengok kemajuan Pranata Kumala. Diam-diam, di balik sebuah topeng salah seorang dari yang berlatih itu, terlihat tatapan penuh gairah cinta yang meledak-ledak. Tatapan milik Bayuseta yang hampir tak tahan memendung rasa cintanya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menakutkan. Terkikik macam iblis. Serentak Ratih Ningrum membalikkan tubuhnya dan melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas tembok yang mengelilingi perguruan Topeng Hitam itu.

Murid-murid yang sedang berlatih pun menghentikan latihannya. Mereka memperhatikan sosok tubuh yang selalu mengikik itu. Suaranya mirip wanita, tetapi postur tubuhnya seperti orang laki-laki. Hanya wajahnya saja yang kelihatan manis.

Dia adalah Aryo Gembala alias Banci Murah Senyum, yang datang sesuai dengan rencana Resi Sendaring.

"Hi... hi... hik... kalian semua belum mengenal aku, kan?" tanyanya dengan suaranya yang merdu.

Ratih Ningrum membentak, "Sebenarnya kami tidak ingin mengenalmu, tetapi karena kau telah datang tanpa diundang, kami harus tahu siapa dirimu! Dan ada keperluan apa datang kemari?"

Aryo Gembala mengikik lagi.

"Kau pasti yang bernama Ratih Ningrum. Dan bocah cilik itu adalah putramu yang bernama Pranata Kumala. Sungguh bukan suatu omong kosong tentang kecantikan dirimu, Ratih. Istri ketua perguruan Topeng Hitam yang mashyur. "

"Tak perlu panjang lebar, Kisanak!

Terangkan siapa dirimu sebenarnya!"

"Kau rupanya pemarah sekali, Nyonya Madewa Gumilang. Baik, baik.... Aku Aryo Gembala yang berjuluk Banci Murah Senyum....

Hi... hik... maksudku kemari, ingin menantang ketua Perguruan Topeng Hitam yang bergelar Pendekar Pukulan Bayangan Sukma "

Ratih Ningrum menahan rasa marahnya. Melihat orang itu datang dengan meloncati tembok saja dia tidak senang. Apalagi menantang suaminya. Ia menyuruh Pranata untuk berdiri berjajaran dengan murid-murid yang lain. Ratih Ningrum baru mengenal nama yang disebutkan tadi. Dia tidak merasa takut sedikit pun terhadap orang itu. Rasa geramnya semakin menjadi-jadi ketika Aryo Gembala ingin menantang suaminya!

Sudah berani dia! Punya modal apa? Tetapi Ratih Ningrum sadar, orang yang berani datang untuk menantang, pasti punya kesaktian dan kepandaian yang berarti.

Ratih Ningrum membentak, "Kau ingin cari mati rupanya! Tanpa alasan sedikit pun tahutahu menantang suamiku!"

"Hik... hik... alasanku sudah jelas. Ingin mencoba kesaktian suamimu!"

"Suamiku sedang bersemadi di dalam.

Tidak bisa diganggu!"

Aryo Gembala terkikik dan menyahut mengejek.

"Suamimu bukan orang yang pengecut, bukan? Katakan kepadanya, aku, Aryo Gembala datang untuk menantang atau... sekaligus mencabut nyawanya!"

"Bangsat!" Ratih Ningrum tak dapat menahan gejolak marahnya. "Kau tak perlu berhadapan dengan suamiku dulu, kau hadapilah aku!"

Aryo Gembala mengikik.

"Kau? Hi... hik..." tawanya mengejek.

"Ya, aku Ratih Ningrum, yang akan membela nama baik suamiku "

Aryo Gembala mengikik lagi. Dia melompat turun dengan ringannya. Kikikannya masih terdengar, bernada mengejek.

Rupanya beberapa orang murid perguruan Topeng Hitam, tidak bisa menahan diri melihat istri ketua mereka diejek demikian. Lima orang melesat ke depan. Siap dengan sepasang pedang mereka.

"Nyonya ketua, minggirlah!" seru salah seorang. "Biar orang sombong ini kami ajar adat!"

Ratih Ningrum mundur dua langkah. Aryo Gembala tertawa mengikik. Lucu menurutnya, ada orang yang berani nekat melawannya.

"Kalian hanya mengantarkan nyawa untukku "

"Manusia sombong, kami peringatkan kepadamu untuk segera minggat dari sini, kalau tidak pedang kami akan mengantarkanmu ke liang kubur!" bentak salah seorang dengan pedang siap di tangannya.

Tetapi Aryo Gembala alias Banci Murah Senyum tidak gentar dengan gertakan itu. Karena orang itu belum juga mau pergi, kelima murid perguruan Topeng Hitam segera  maju mengurung, mengambil siap tempur.

Aryo Gembala mengikik. Sikapnya tenang. Tiba-tiba kelima orang itu sudah bergerak dengan jeritan melengking. Aryo Gembala mengikik dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas dan bersalto ke belakang. Kelima orang itu segera berbalik dan menyerang kembali:

Aryo Gembala mengibaskan tangannya dan menimbulkan dorongan angin yang amat kuat. Kelima orang itu jatuh tunggang langgang.

Sungguh hebat dorongan tenaga dalam Aryo Gembala. Ratih Ningrum sendiri terkejut. Kelima murid perguruan Topeng Hitam yang terkena serangan tadi muntah darah. Dada mereka teras sesak dan menyakitkan.

Ketika yang lain hendak maju membantu Ratih Ningrum merentangkan kedua tangannya! Menghalangi mereka untuk menyerang.

"Biar aku yang menghadapi orang ini!" desisnya seraya melangkah dan berhadapan dengan Aryo Gembala dalam jarak empat meter.

Aryo Gembala tersenyum mengejek menyambutnya.

"Kuminta Madewa Gumilang yang menghadapiku. Tapi baiklah, kalau kau ingin mencobanya! Tapi kurasa sia-sia, Nyonya cantik! Lebih baik kau ikut denganku untuk kujadikan selir!"

Merah pada wajah Ratih Ningrum. Ucapan Banci Murah Senyum itu sangat menjijikkan nya.

Dia membentak, "Kau menjijikkan sekali, Banci! Mulutmu harus dirobek!" Lalu melesat dan kirimkan sebuah pukulan ke arah Aryo Gembala.

Aryo Gembala mengikik dan masih mengikik dia mengelak dengan ringannya. Tubuhnya melesat dengan cepat dan balas menyerang. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, Ratih Ningrum menghindari setiap setangan itu dan balas menyerang pula.

Dengan ditonton oleh puluhan murid perguruan Topeng Hitam dan Pranata Kumala yang bersorak berseru "Pukul, Ibu! Hajar orang itu!" Ratih Ningrum dan Aryo Gembala berlaga dengan gigih. Saling serang dan membalas.

Tetapi sampai sejauh itu, belum ada kelihatan yang terdesak. Keduanya masih sama tangguh dan hebat. Serangan mereka lancarkan dengan cepat dan penuh tenaga.

Tetapi ketika memasuki jurus ke tiga puluh, kelihatan Ratih Ningrum terdesak. Kalah tenaga, dan nafas. Berkali-kali serangan berbahaya Aryo Gembala mengancam dirinya. Sebisanya Ratih Ningrum menghindar.

"Buk!" sebuah pukulan menghantam punggungnya. Ratih Ningrum terhuyung. Aryo Gembala tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia langsung menerjang. Merasakan dorongan angin yang kuat, Ratih Ningrum berusaha menghindar dengan jalan bergulingan.

Serangan itu luput dan saat berguling Ratih Ningrum mengayunkan kakinya ke bawah.

"Des!"

Kakinya menghantam kedua kaki Aryo Gembala hingga banci itu jatuh tersungkur. Ratih Ningrum cepat berdiri sementara Aryo Gembala sudah berdiri pula.

"Tidak kusangka, permainan ilmu silatmu lumayan juga, Nyonya Cantik! Pukulan tangan seribu mengingatkan aku pada seorang tokoh keturunan Cina bernama Tek Jien!"

Mendengar nama itu disebutkan, Ratih Ningrum tertawa.

"Mungkin kau jeri mendengar nama tokoh itu disebutkan, Banci! Nah, ketahuilah, tokoh yang kau sebutkan tadi adalah guruku. Tek Jien Si Pukulan Tangan Seribu!"

Aryo Gembala berseru kaget. Jadi Ratih Ningrum murid Tek Jien itu. Mendadak kemarahannya naik. Ia menjadi semakin beringas.

Dia memendam sebuah dendam pada Tek

Jien.

Dulu dia memiliki seorang istri yang amat

cantik. Hidupnya tentram dan aman. Waktu itu Aryo Gembala belum menjadi seorang tokoh sesat yang disegani. Dia masih seorang petani yang bodoh dan sederhana.

Sampai suatu ketika istrinya jatuh cinta pada Tek Jien. Orang keturunan Cina yang datang hendak mencari pekerjaan. Istrinya nekat meninggalkannya untuk menikah dengan Tek Jien. Tetapi Tek Jien menolak karena wanita itu masih bersuami. Rupanya istri Aryo Gembala itu tidak mau mengerti. Dia tetap berkeras untuk menjadi istri Tek Jien, kalau tidak dia akan membunuh diri.

Tek Jien tetap dengan putusannya. Dia tidak akan menerima cinta wanita itu. Dan wanita itu benar-benar menjalankan perkataannya, dia membunuh diri dengan jalan membuang diri ke laut.

Keadaan itu semakin membuat Aryo Gembala dalam kesedihan yang amat sangat. Dia tidak bisa melupakan istrinya, dan ke semua itu terjadi karena laki-laki bernama Tek Jien. Aryo Gembala bersumpah akan membunuh laki-laki itu.

Mulailah dia mengembara mencari seorang tokoh sakti yang mampu mendidiknya ilmu kepandaian dan kesaktian. Kebetulan sekali saat itu, seorang tokoh sesat sedang mencari murid untuk meneruskan perbuatannya. Dan Aryo Gembala diangkat menjadi murid.

Dia dididik kesaktian dan kepandaian yang hebat. Dalam selama hidupnya, Aryo Gembala telah bersumpah, tidak akan menikah lagi selain dengan istrinya. Dia sangat mencintai istrinya. Itulah sebabnya lambat-laun dia merubah tabiatnya menjadi seorang wanita, agar dia tidak bernafsu dengan wanita.

Tingkah lakunya pun kejam. Kadang membunuh dan merampok.

Jadilah dia seorang tokoh sesat berjuluk Banci Murah Senyum. Kepada siapa saja dia selalu tersenyum. Namun kepada siapa saja dia ringan tangan.

Dan sekarang ini, baru dia dengar di mana orang yang dibencinya berada. Sekarang pun dia tengah berhadapan dengan murid orang itu. Kebencian dan dendamnya semakin menjadi-jadi. Mendadak dia membuka jurus simpanan warisan dari gurunya itu. Jurus Naga Hitam Menembus Bumi.

"Ratih Ningrum," suaranya menggeram. "Gurumu adalah orang yang sangat kubenci. Dan hari ini, aku harus menumpahkan semua kebencianku itu kepadamu! Terimalah kematianmu, Ratih Ningrum!"

Ratih Ningrum pun bersiap. Rupanya Arya Gembala benar-benar menginginkan nyawanya. Serangannya kali ini sangat berbahaya dan ganas. Dia memekik panjang ketika melesat menyerang. Tangannya berubah menjadi hitam dan gerakannya benar-benar ganas. Dorongan anginnya saja sudah menggetarkan, belum lagi pukulannya!

Ratih Ningrum tidak berani menangkis atau memapaki. Dia berkelit ke samping dan balas menyerang dengan tendangannya.

Aryo Gembala tiba-tiba memutar dan berbalik menangkis tendangan Ratih Ningrum.

"Des!"

Tubuh Ratih Ningrum jatuh terjengkang menerima tangkisan itu. Tenaga tangkisan Aryo Gembala kuat sekali dan membuat kaki Ratih Ningrum kesemutan.

Terdengar pekikan keras, Aryo Gembala sudah menerjang maju. Ratih Ningrum tidak mungkin bisa menghindar lagi.

Tiba-tiba terdengar pekikan pula yang keras, sesosok tubuh meloncat menghalangi serangan itu. Tetapi tak kuasa menahan, karena tubuh itu langsung dihantam oleh pukulan naga hitam Aryo Gembala:

"Des! Des!"

Tubuh itu terhuyung dan ambruk. Ratih Ningrum yang merasa diselamatkan, bangkit dan menghampiri tubuh yang ambruk itu. Membuka topeng hitamnya. Dia adalah Bayuseta, pemuda yang memendam cinta pada Ratih Ningrum.

Banci Murah Senyum terkikik.

"Untung masih ada orang yang rela mengorbankan nyawanya untukmu, Ratih. Kalau tidak, kau sudah mampus di tanganku!"

Ratih Ningrum bangkit dan memandang marah.

"Kau pun harus mati di tanganku. Banci jelek!" serunya seraya mencabut sesuatu dari angkinnya. Sebuah keris yang indah dan  berkilau. Dari keris itu mengeluarkan cahaya bening. Itu adalah senjata warisan dari gurunya yang bernama Patidina, si keris tunggal.

Dengan senjata itu Ratih Ningrum meneruskan perkelahiannya, sementara tubuh Bayuseta diangkat ke dalam oleh yang lain dan diobati.

Dengan keris di tangan, Ratih Ningrum kelihatan berada di atas angin. Tusukan-tusukan kerisnya sungguh hebat. Sangat cepat dan penuh tenaga. Berkelebatan ke sana-kemari. Namun suatu ketika, Aryo Gembala tepat memukul di pergelangan tangan kanan Ratih Ningrum. Membuatnya kaget dan kerisnya terlepas.

Aryo Gembala tak membuang kesempatan lagi. Dia melesat dengan cepat, ingin menghabisi nyawa Ratih Ningrum sekarang juga.

Tetapi mendadak tubuhnya terhuyung ke belakang dengan deras dan menabrak tembok!

"Des!!"

Ratih Ningrum menoleh heran. Tapi dia langsung bangkit ketika melihat suaminya sudah berdiri. Rupanya suaminya yang menghalangi serangan tadi. Dia mengibaskan tangannya dan mendorong tubuh Aryo Gembala dengan pukulan jarak jauh yang hebat.

"Kakang," panggil Ratih Ningrum gembira. "Kau sudah menghentikan tapamu?"

"Semua sudah selesai, Rayi! Waktu yang kuperlukan hanya satu minggu. Rayi... siapa orang itu, mengapa dia kelihatan ingin membunuhmu?" tanya Madewa Gumilang. Dia kelihatan sudah agak tua. Usianya sekarang sudah tiga puluh empat tahun. Tetapi tubuh dan wajahnya masih kelihatan tampan dan gagah.

Ratih Ningrum menceritakan dari mana laki-laki banci itu datang. Juga tentang dendam pada gurunya yang menjadikan laki-laki itu semakin bernafsu ingin membunuhnya.

Sementara itu Aryo Gembala sudah bangkit dan membentak jengkel, "Hhh! Seorang pendekar besar ternyata berjiwa pengecut, beraninya hanya main bokong!" Madewa tersenyum bijaksana. Usia yang bertambah semakin menambah kewibawaannya.

"Aku hanya mengibaskan tangan saja, tidak membokongmu."

Wajah Aryo Gembala memerah. Hanya dengan kibasan tangan saja dia sampai terpelanting ke tembok.

Dia membentak lagi, "Madewa Gumilang, hari ini aku datang untuk menantangmu! Sebagai seorang yang berjiwa kesatria, kau pasti menerima tantanganku! Larilah kalau kau seorang pengecut!"

"Untuk apa kau menantangku?  Perkelahian itu tak ada gunanya. Akan menimbulkan sengketa bagi yang kalah, dan akan semakin sombonglah orang yang menang. Lebih baik, kau cabut tantanganmu itu. Bertamulah dengan sopan, jangan membuat tuan rumah marah."

"Kau bukan seorang pengecut, bukan?

Nah, terimalah tantanganku!"

Selesai membentak begitu, tanpa banyak cakap lagi, Aryo Gembala sudah menyerang. Mau tak mau Madewa menyambut serangan itu. Selain ingin mempertahankan nyawanya, dia juga tidak ingin dibilang pengecut, apalagi hadapan muridmuridnya.

Dia menangkis serang itu dan balas memukul.

"Des!"

Belum satu gebrakan, Aryo Gembala sudah terkena pukulannya. Madewa telah mengeluarkan jurus Ular Mematuk Katak, jurus yang cepat dan hebat.

Aryo Gembala terhuyung. Wajahnya memerah menahan marah. Dia menyerang lagi karena masih penasaran.

Tetapi lagi-lagi Madewa menghantamnya. Bahkan dua kali mendaratkan pukulannya. Kali ini Aryo Gembala ambruk dan merasakan matanya berkunang-kunang. Tenaganya sudah terkuras tadi ketika menghadapi Ratih Ningrum, jelas saja dia kewalahan menghadapi Madewa.

Susah payah Aryo Gembala bangkit. Dia merasakan dadanya sesak kembali. Tetapi dia tidak menyerang lagi.

"Madewa... kau benar hebat, tapi aku akan datang lagi untuk menantangmu.... Dan satu soal lagi yang tak kalah pentingnya yang kubawa "

"Apa itu?" tanya Madewa Gumilang. Dia pun tidak menyerang lagi. Lawan sudah kalah.

"Kau datanglah ke goa sebelah barat sana, di mana kuburan Paksi Uludara berada. Kau lihatlah apa yang telah terjadi  dengan  makam itu "

Tubuh Aryo Gembala berkelebat dan menghilang. Madewa memburu, "Hei, kau belum menjelaskan semuanya!" Tetapi Aryo Gembala sudah menghilang dari pandangan

Madewa kembali lagi, apa yang telah terjadi dengan makam Paksi Uludara. Dan siapa sebenarnya orang itu, dari golongan mana dia datang?

Makam yang setiap tahun dikunjungi dan sembayangi, kini apa yang telah terjadi.

Madewa merasa, ada persoalan yang gawat dalam hal itu. Dan dia teringat, ketika dia menguburkan mayat Paksi Uludara dia juga menguburkan sebuah pedang mustika yang bernama Pedang Sakti Naga Emas.

Apakah pedang itu yang menjadi masalah. Kemungkinan besar orang-orang jago akan mengambilnya. Dia harus segera ke sana untuk menyelidikinya.

Tiba-tiba dari dalam muncul seorang murid dengan wajah pucat, dan berkata setelah menjura, "Ketua dan Nyonya ketua, keadaan Bayuseta gawat! Harap ketua berdua sudi menengok!"

Serentak mereka berlari ke dalam. Pranata Kumala yang masih asyik mengkhayalkan andai kata dia seperti ayahnya, turut pula masuk.

Beberapa orang murid menjaga di depan. Mereka tidak memakai topeng lagi. Topeng hitam itu hanya digunakan jika ada hal yang penting dan latihan. Menjaga-jaga kalau serangan itu datang lagi.

*** 5

Keadaan Bayuseta memang agak parah. Ia terluka dalam. Pukulan Aryo Gembala benarbenar hebat.

Madewa Gumilang memeriksa keadaan Bayuseta. Ia meletakkan kedua  telapak tangannya di dada Bayuseta. Bayuseta menjerit pelan, menahan sakit. Madewa menahan nafas dan mengeluarkan nafasnya perlahan-lahan dari hidung, sementara dari kedua tangannya mengalir dorongan tenaga panas dan meresap ke dada Bayuseta.

Bayuseta merasakan dadanya sudah tidak begitu sesak. Dan tubuhnya sudah agak enakan. Madewa memberikan dua buah pil penguat tubuh. Setelah itu Bayuseta membuka kedua matanya.

Madewa tersenyum. "Bagaimana, Bayu?"

Bayuseta tersenyum, agak meringis. "Sudah enakan, Ketua," desisnya pelan dari

selintas melintas di benaknya akan keadaan Ratih Ningrum. Bagaimana keadaan wanita yang dicintainya dengan diam-diam itu?

Ketika mendengar suaranya, dada Bayuseta menjadi ringan. Wanita yang dicintainya masih dalam keadaan segar bugar

"Kau telah menyelamatkan nyawaku, Bayuseta " Bayuseta melirik. Duh, betapa cantiknya wanita itu. Sayang, dia istri ketua yang harus dihormatinya.

"Sudah sepatutnya hal itu kulakukan, Nyonya ketua " desisnya dengan suara pelan.

"Walau bagaimana pun, nyawaku telah kau selamatkan. Aku berhutang budi padamu, Bayuseta," kata Ratih Ningrum lagi.

"Soal itu, tidak usah dipikirkan, Nyonya.

Tak ada hutang budi dalam hidupku."

"Tidak, biar bagaimanapun aku berhutang budi padamu, Bayuseta. Suatu saat nanti aku akan membayar lunas hutangku itu "

Bayuseta memejamkan matanya. Melihat wajah dan mendengar suara wanita yang dicintainya itu, dia sudah bahagia apalagi kalau wanita itu membalas budinya.

Suatu pikiran jelek mendadak melintas di benak Bayuseta. Sekaranglah jalan satu-satunya untuk memiliki Ratih Ningrum!

Rencana itu akan dijalankannya nanti. Madewa Gumilang beranjak meninggalkan tempat itu. Ratih Ningrum dan Pranata Kumala mengikutinya. Beberapa orang murid menjagai Bayuseta, karena keadaan pemuda itu masih lemah.

Madewa Gumilang duduk di kursi yang biasa diduduki oleh Paksi Uludara. Istrinya duduk di hadapannya dan Pranata Kumala sudah kembali bermain dengan pedang kayunya.

Tidak menghiraukan pikiran yang menghantui di benak ayahnya.

Ratih Ningrum pun tidak tahu. Tetapi melihat suaminya duduk termenung, dia mulai menduga, pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh suaminya.

Entah apa itu.

Ratih Ningrum mencetuskan keingintahuan nya, "Kakang... apa lagi yang kau pikirkan? Persoalan Aryo Gembalakah yang menyusahkanmu?"

Madewa menghela napas.

"Iya, Rayi. Tetapi bukan Aryo Gembalanya yang menjadi masalah... tetapi perkataannya tentang makam Paksi Uludara."

"Ada apa sebenarnya dengan makam beliau?"

"Aku pun tidak tahu, Rayi."

"Lalu bagaimana dengan tindakanmu?"

Aku akan pergi untuk menyelidikinya sekalian menyembahyanginya Sudah tiga bulan

sejak tahun ini kita belum pernah ke sana."

"Apa tidak perlu kau utus salah seorang untuk menengok, Kakang?"

"Biarlah aku sendiri yang ke sana. Aku kuatir, di sana akan terjadi apa-apa "

Rupanya masalah itu memang menjadi pikiran yang berat bagi Madewa. Makam Paksi Uludara sangat dihormatinya. Makam yang dianggapnya keramat!

Madewa berkata lagi, "Rayi... besok aku akan berangkat. Kuminta kau menjaga perguruan dan Pranata Kumala. Jika ada apa-apa, mintalah bantuan dari murid utama. Tapi kurasa... kau mampu menangani semua persoalan yang datang."

Ratih Ningrum terdiam. Selama mengunjungi dan menyembahyangi makam Paksi Uludara mereka selalu bersama-sama dan kali ini suaminya akan pergi sendiri. Tentu saja hati Ratih Ningrum agak kecewa. Di samping tidak yakin akan mampu memimpin perguruan selama suaminya pergi.

Ratih Ningrum takut kalau dia pergi nanti, Aryo Gembala datang kembali membalas kekalahannya. Mungkin kalau dia sendiri masih bisa ditanganinya. Tetapi bagaimana jika Aryo Gembala datang bersama teman-temannya. Tentu dia akan kelabakan.

Tetapi semua itu tidak bisa dibantah lagi. Suaminya akan, pergi sendiri. Karena menurut dugaan Madewa, pasti ada sesuatu yang gawat pada makam Paksi Uludara!

Entah apa, dia pun tak tahu.

Dan untuk tahu, dia harus datang dan melihat sendiri apa gangguan itu.

***

Keesokan paginya, Madewa sudah siapsiap hendak berangkat. Dia mengendarai seekor kuda jantan yang gagah. Seperti biasa, Madewa tidak membawa senjata apa-apa, kecuali senjata warisan mendiang gurunya Ki Rengsersari. Yaitu sebuah seruling yang dinamakan Seruling Naga.

Seruling itu hampir sama bentuknya dengan seruling biasa, hanya di seruling itu terdapat gambar dua ekor naga sedang bertarung.

Dan keampuhan seruling itu lain dengan yang lain. Dengan sekali tiup seruling itu mampu membinasakan orang apalagi jika orang itu dalam keadaan marah. Semakin marah dia akan semakin termakan oleh suara seruling itu.

Dan bisa dikuasainya!

Ratih Ningrum melepaskan kepergian suaminya dengan sedih dan enggan. Entah kenapa dia merasakan sekali kalau kepergian suaminya akan membawa sebuah malapetaka bagi suami dan dirinya. Tetapi dia tidak tahu, apa malapetaka itu.

Setelah berpesan pada istrinya agar berhati-hati, juga kepada beberapa orang murid utamanya agar menjaga perguruan dan istrinya dengan baik, Madewa menaiki kudanya.

Di saat itu terdengar suara, "Ayah! Ayah mau ke mana?!"

Madewa tidak jadi menggebrak kudanya. Dari dalam Pranata Kumala yang baru bangun tidur, berlari menghambur keluar. Di dekat kuda ayahnya dia berkata lagi, "Ayah mau ke mana? Aku dan ibu tidak diajak?"

Madewa tersenyum. Turun lagi mengecup pipi putranya.

"Ayah mau pergi dulu. Kamu jaga ibu ya?" "Ke mana, Yah?"

"Pokoknya tidak jauh dan ayah akan cepat kembali. Kamu mampu kan menjaga Ibu?"

"Beres!" anak itu mengacungkan jempolnya. Madewa melompat lagi ke punggung kudanya. Setelah berpesan sekali lagi terhadap istrinya, dia menggebrak kudanya. Kuda berlari dengan menyentak, meninggalkan debu yang mengepul akibat lompatan kakinya.

Kudanya lari demikian cepat, karena Madewa memang ingin cepat-cepat tiba di sana. Dia langsung mengarahkan lari kudanya ke tempat peristirahatan terakhir Paksi Uludara, yang jaraknya sangat jauh dari sana.

Hampir setengah hari Madewa melarikan kudanya. Ketika tiba di sebuah kota kecil, ia turun hendak makan. Sejak tadi perutnya lapar sekali. Aroma yang keluar dari rumah makan itu semakin membuatnya lapar.

Di dalam rumah itu hanya ada tiga orang yang sedang makan. Mereka terpisah-pisah. Dua orang laki-laki dan satu wanita. Wanita itu berwajah cantik. Ia memakai kerudung putih.

Madewa langsung mengambil tempat duduk dan memesan makanan serta lauknya. Lalu mulailah dia makan dengan nikmatnya, tak memperdulikan keadaan di sekitarnya.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari luar, "Kalian cepat semua minggat! Tuan besar kalian ingin makan di sini!"

Beberapa orang berwajah seram dan bertubuh besar, masuk dengan sikap yang sombong. Mereka menggebrak-gebrak meja dan tertawa-tawa. Dua orang laki-laki yang sedang makan langsung keluar dengan ketakutan. Keduanya sudah mengenal siapa orang-orang itu. Perampok kejam yang bergelar Lima Iblis Pencabut Nyawa!

Mereka tertawa mengejek melihat kedua orang tadi terbirit-birit. Tetapi langsung melotot marah karena dua orang lagi belum juga meninggalkan tempat itu.

"Bangsat!" menggeram salah seorang yang bernama Danuwending. Wajah orang itu penuh ditumbuhi kumis dan janggut yang lebat, membuat wajah orang itu nampak tak karuan. Ia menghampiri meja yang diduduki wanita berkerudung putih, sementara empat orang temannya tertawa-tawa sambil duduk memperhatikan.

Madewa pun diam-diam memperhatikan. Tetapi dia tetap tenang, tidak beranjak pula. Karena menurut Madewa, dia harus melindungi wanita berkerudung putih itu. Kalau wanita itu pergi, dia akan pergi juga. Lagipula, dia belum diusir oleh orang-orang itu.

Sekarang wanita itu sedang digoda oleh Danuwending yang kesenangan karena wanita itu diam saja. Tetapi tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun.

"He... he... kau masih manis, Nona. Kulitmu halus sekali," dengan ceriwis Danuwending mencolek dagu wanita itu. Wanita itu hanya melengos, menepis tangan Danuwending dengan halus. Lalu tersenyum.

"Aku sedang makan, Kangmas. Jangan ganggu aku!" suaranya pelan dan mendayu-dayu membuat Danuwending kesenangan.

"Manis, bagaimana kalau kau tinggal di rumahku? Kau pasti akan senang."

"Saya sudah bersuami, Kangmas. Tidak bisa mengikuti, Kangmas."

Tiba-tiba Danuwending  menggeram. Wanita itu sudah bersuami? Siapa suaminya. Akan dia rebut wanita manis ini dari tangan suaminya.

"Katakan, siapa suamimu? Dan di mana dia berada sekarang?"

Wanita itu tersenyum, tersipu.

"Dia... dia sudah meninggal, Kangmas. Dan tentu saja dia sekarang berada di pemakaman umum. Aku sendiri baru mengunjungi dan menyembahyanginya."

Sekarang Danuwending terbahak. Suaranya keras. Mulutnya bau. Wanita itu sampai menekap hidungnya. Lalu ia berdiri, hendak beranjak.

Danuwending menahan tangannya. "Kamu mau ke mana?"

"Aku harus pulang. Anakku menunggu di rumah," sahut wanita itu dan secara tidak diduga dia menepis tangan Danuwending dengan halus, tetapi dirasakan Danuwending agak menyentak. Danuwending sendiri kaget. Tenaga wanita itu lumayan juga. Merasa tangannya terlepas, wanita itu membayar makanannya dan hendak pergi.

"Tunggu, Nona!" seru Danuwending penasaran apalagi teman-temannya tertawa karena dia tidak berhasil menaklukkan wanita itu.

Wanita itu berbalik dan wajahnya menampakkan kejengkelan yang luar biasa. Tidak ada tanda malu-malu dan kemanisan wajahnya. Yang ada sorot mata yang mengerikan dan tibatiba wanita, itu terkikik dengan suara yang menyeramkan.

"Hik... hik... kau mau apa, Danuwending?" Danuwending terkejut, wanita itu mengenal namanya. Juga teman-temannya, mereka serentak bangkit. Wanita itu mencurigakan.

Mereka serentak bangkit mengurung.

Wanita itu hanya tertawa.

"Jadi ini yang bergelar Lima Iblis Pencabut Nyawa? Hik... hik... kalian tidak pantas menyandang gelar itu! Gelar kalian pantasnya Lima Monyet Nangkring di Pohon!" Wanita itu tertawa lagi.

Seketika wajah orang-orang itu menjadi geram. Wanita ini berani-beraninya mengejek mereka. Rupanya dia belum tahu siapa mereka.

Pemilik warung yang bertubuh gendut ketakutan menghampiri Madewa. Ia berkata dengan suara terburu-buru, "Raden, cepatlah pergi dari sini. Cepat, sebelum mereka menimpakan kesalahan kepadamu. Cepatlah, Raden "

Madewa tersenyum, menenangkan pemilik warung yang ketakutan itu.

"Tenanglah, Paman. Aku ingin menonton mereka. Lagipula, aku belum selesai makan, Paman."

Pemilik warung itu masuk lagi ke dalam, memanggil semua pelayannya dan mengunci pintu ruang yang berhubungan dengan rumah makan itu.

Terdengar bentakan keras, "Kau siapa, Nona? Sikapmu menantang kami terlalu berani!"

Wanita itu tertawa. "Baik, baik. Dan kuminta setelah mendengar namaku, kalian pergi dari sini. Dengarkan... namaku Nimas Sertani atau kalian mungkin lebih mengenal dengan sebutan Dewi Mulia Berhati Busuk...." wanita itu menghentikan suaranya karena wajah kelima orang itu terkejut dan pias. Dia mengikik.

"Cepat kalian bersujud untuk minta ampun!"

Tetapi mereka, adalah orang-orang yang kejam dan tak mengenal takut. Gelar wanita itu pun tidak membuat mereka takut. Malah kelimanya sudah mengambil senjata mereka yang berbentuk cambuk.

Dan menyabetnya hingga menimbulkan suara bergeletar.

Bukan hanya mereka saja yang terkejut, Madewa pun demikian. Jadi ini orangnya yang telah lama dia dengar namanya

Terdengar tawa ngikik dari bibir Nimas Sertani yang mungil itu.

"Kalian mau apa?"

"Kami ingin mencoba kesaktian Dewi Muka Berhati Busuk!" seru Danuwending dan sudah melancarkan serangannya. Cambuknya menyambar dengan cepat.

Nimas Sertani menghindar dengan jalan meloncat, tetapi cambuk-cambuk yang lain sudah menyambar, seolah takut tidak kebagian jatah.

Namun semua serangan itu dielakkan dengan baik oleh Nimas Sertani, wanita golongan sesat yang amat tinggi ilmunya. Kelima orang itu menjadi penasaran, mereka menyerang lagi dengan membabi buta. Namun lagi-lagi serangan itu tak menemui sasarannya dan agaknya Nimas Sertani sudah bosan dari tadi mengelak terus, kini dia balas menyerang.

Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, dia berkelebat ke samakemari dengan cepat dan melancarkan pukulan dan tendangannya. Kelincahan dan ketangkasannya membuat kelima orang itu menjadi kalang kabut. Padahal Nimas Sertani tidak memakai senjata. Tetapi karena nama besarnya sudah mengejutkan kelima orang itu, kini serangan mereka menjadi kacau dan dengan mudahnya Nimas Sertani menjatuhkan mereka satu per satu. Ia tertawa setelah menendang Danuwending hingga tersungkur di bawah kursi.

"Inilah upahnya bagi orang-orang ceriwis macam kalian! Kalian beruntung, hari ini aku lagi tak bernafsu untuk membunuh. Tapi lain kali, nyawa kalian tak ada ampunnya! Cepat kalian menggelinding dari sini!"

Nimas Sertani menendangi mereka satu per satu keluar. Kelima orang itu lari terbirit-birit. Lupa dengan nama besar mereka yang terkenal di dusun Kampil.

Nimas Sertani terbahak-bahak. Senang dengan permainan yang lucu tadi. Dia menggebrak meja dan berseru, "Pelayan! Di mana kau? Cepat ambilkan aku nasi lagi dengan lauk pauknya!"

Pelayan-pelayan yang mengintip itu, segera keluar dengan tergopoh-gopoh. Dua orang melayani Nimas Sertani makan dan beberapa orang lagi merapikan tempat yang agak berantakan.

Selesai makan, Nimas Sertani beranjak meninggalkan tempat itu. Sikapnya tenang, seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.

Madewa pun meninggalkan tempat itu. Benar-benar diluar dugaannya, kalau wanita itu ternyata Dewi Mulia Berhati Busuk. Seorang tokoh sesat yang amat lihai.

Madewa menaiki kudanya dan melanjutkan perjalanan. Matahari sudah beranjak dari tempatnya di atas kepala. Sudah agak condong ke barat, menandakan sebentar lagi hari sore dan malam akan datang.

Ketika Madewa melarikan kudanya, sesosok bayangan tubuh berkerudung putih berkelebat. Dia itu Dewi Mulia Berhati Busuk, yang tengah ditugasi oleh Resi Sendaring untuk memata-matai Madewa Gumilang!

Setelah Aryo Gembala gagal membunuhnya di perguruan Topeng Hitam, Resi Sendaring segera bertindak sesuai dengan rencananya.

6

Laki-laki itu berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, tinggi kurus, namun langkahnya tegap dan gagah. Ia memegang sebuah tongkat yang terbuat dari bambu kuning. Dengan tongkat itu seakan menambah kegagahannya dan tidak menampakkan ketuaannya. Kumis, janggut dan rambutnya sudah putih semua.

Kakek itu bernama Ki Ageng Jayasih. Dia baru lima hari turun dari tempat kediamannya, di puncak gunung Muria. Luar biasa, kakek renta itu mampu menuruni gunung yang demikian tinggi dan landai itu, menandakan kakek itu bukan orang sembarangan.

Memang, Ki Ageng Jayasih adalah seorang pendekar yang bergelar Pendekar Sinar Merah, karena dari kedua tangannya bisa memancarkan pukulan jarak jauh yang berupa sinar merah.

Keperluan turun gunungnya kali ini, adalah mencari murid murtad yang bernama Nindia yang telah mencuri keris ampuhnya keris Naga Merah dan mencoba membunuhnya.

Ki Ageng Jayasih luput dari pembunuhan itu ketika dia sedang bersamadhi. Saat itu, pikirannya kosong dan jiwanya pun kosong. Muridnya yang Bernama Nindia diam-diam mengambil keris Naga Merah dan menikamnya dengan keris pusaka itu.

Ki Ageng Jayasih rubuh dengan berlumur darah dan secepat itu Nindia melarikan diri. Tetapi Ki Ageng Jayasih bukanlah pendekar tua yang sembarangan. Saat jiwanya kosong demikian, darahnya cepat berhenti dan dengan susah payah dia bangkit. Untung yang ditikam bagian punggungnya. Dengan menelan hati ular merah, lukanya dapat disembuhkan.

Dia menyangka muridnya itu akan kembali untuk minta maaf, tetapi ditunggu sampai delapan tahun, muridnya itu tidak pernah kembali. Ki Ageng Jayasih kuatir, kalau muridnya mempergunakan keris Naga Merah untuk kejahatan. Keris itu ampuh sekali, dapat menembus ilmu kebal macam apa pun.

Setelah delapan tahun itu, mulailah dia turun gunung. Ki Ageng Jayasih tidak tahu sama sekali, kalau murid murtadnya itu telah menemui ajalnya di tangan Madewa Gumilang dan keris Naga Merah sekarang berada pada pendekar itu (baca : Petaka Cinta Berdarah).

Dia akan mencari muridnya dan menghukumnya seberat-beratnya, padahal kalau muridnya datang untuk minta maaf dia akan mengampuni. Ki Ageng Jayasih terkenal sebagai orang yang welas asih. Sama siapa pun juga, baik lawan maupun kawan. Apalagi ini seorang muridnya, yang diambilnya karena muridnya itu kecewa cintanya bertepuk sebelah tangan.

Ki Ageng Jayasih melangkahkan kakinya dengan tenang, santai dan ringan. Dia tidak ingin bertemu dengan muridnya buru-buru, dia masih mengharapkan muridnya itu akan datang kepadanya untuk minta maaf.

Karena selama lima hari dia berjalan terus menerus tanpa berhenti, akhirnya dia beristirahat di sebuah hutan kecil dan mulai membuka perbekalannya. Mulailah dia menikmati isi perbekalannya dengan lahap.

Tetapi belum lagi dia menyelesaikan santapannya, terdengar bentakan keras, "Siapa adanya yang berani beristirahat di daerah kekuasaanku!"

Sesosok tubuh gemuk pendek telah berdiri tak jauh dari Ki Ageng Jayasih yang sedang makan. Orang bertubuh pendek itu mendengus congkak jengkel karena hutan kecil ini adalah daerah kekuasaannya dan orang itu makan dengan seenaknya tanpa izinnya.

Orang pendek itu melangkah mendekati Ki Ageng Jayasih yang sudah memasukkan kembali perbekalannya. Tangan kiri orang itu berkilatkilat tertimpa cahaya matahari, tetapi setelah dekat barulah Ki Ageng Jayasih melihat kalau tangan kiri itu terbuat dari sebatang besi bulat yang ujungnya lancip.

Diam-diam Ki Ageng Jayasih mengenal orang ini. Tangan kiri orang itu buntung akibat pukulannya beberapa tahun yang lalu. Orang itu adalah Madurka, adik seperguruannya yang melarikan putri gurunya dulu dan dialah yang menyelamatkan gadis itu dengan memberi kenang-kenangan di tangan kiri Madurka dan rupanya sudah diganti dengan besi bulat itu.

Ki Ageng Jayasih mengangkat wajahnya dan tertawa.

"He... he... kita bertemu lagi, Madurka," katanya sambil berdiri dan bertumpu di tongkatnya. "Hampir tiga puluh tahun kita berpisah, kini keadaanmu semakin hebat saja nampaknya."

Orang yang ternyata adalah Madurka itu terkejut. Ia memperhatikan orang tua itu dengan seksama dan terlintaslah di benaknya sebuah wajah yang tak mungkin terlupakan. Wajah yang bertahun-tahun dia pendam di hatinya, yang telah memberi kenangan pada tangan kirinya. Madurka terbahak.

"Ha... ha... rupanya Kakang Jayasih yang datang berkunjung ke tempatku ini. Apa kabar, Kakang? Keadaanmu tak banyak berubah seperti dulu. Sikapmu masih sopan dan baik " "Kabarku baik, Adi Madurka. Kau pun kelihatan baik, bukan? Kau nampak semakin gagah dan hebat. Ilmu kesaktianmu pasti tinggi."

"Jangan merendah Kakang Jayasih. Aku tahu kau pun pasti lebih hebat sekarang. Dari dulu pun aku tak bisa mengalahkanmu. Kakang Jayasih... masih ingatkah kau kejadian tiga puluh tahun yang lalu, ketika kau mengalahkan aku?"

"Aku tak pernah melupakannya, Adi Madurka."

"Aku pun demikian, Kakang. Bertahuntahun kupendam sakit hatiku kepadamu dengan banyak mempelajari ilmu kepandaian dan kesaktian. Aku kini menuntut padamu Kakang Jayasih."

"Tuntut apa, Adi Madurka?" tanya Ki Ageng Jayasih pura-pura tidak tahu.

"Aku menginginkan tangan kirimu pula atau kalau bisa... nyawamu!"

Ki Ageng Jayasih tertawa pelan. "Rupanya kau belum melupakan perselisihan kita dulu. Sikapmu tak berubah, selalu berangasan dan penuh dendam. Aku sebenarnya datang bukan untuk mencarimu, tetapi untuk mencari murid yang telah membawa lari keris Naga Merah."

Madurka mendengus. Dendam telah membakarnya. Dulu dia kalah karena Ki Ageng Jayasih adalah kakak seperguruannya. Kini tak ada tanda itu, yang ada hanya dua orang yang berselisih. Dan Madurka yakin, dengan kesaktiannya yang dipelajarinya selama ini mampu mengalahkan kakangnya."

"Kakang Jayasih, bersiaplah.... Aku akan menuntut balas atas buntungnya tanganku!"

Ki Ageng Jayasih tertawa. Belum bersiap pula. Madurka tak ambil perduli. Dia membuka jurusnya dan berseru, "Awas serangan, Kakang Jayasih!" Lalu dia melesat dan menyerang dengan ganas. Pukulannya penuh tenaga.

Ki Ageng Jayasih masih tertawa dan mengelak sedikit dengan jalan memiringkan tubuhnya. Pukulan itu luput, tetapi tangan kiri Madurka yang berbentuk besi itu menyambar ke arah leher. Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Ia merunduk sedikit dan menyodok tongkatnya menotok. Madurka menjerit kaget, tangan kirinya cepat menangkis gerakan itu.

"Tok! Tok!"

Tongkat itu berbenturan dengan tangan Ki Madurka yang terbuat dari besi. Benturan itu membuat keduanya agak terhuyung ke belakang!

Rupanya benturan tadi sudah menggunakan tenaga dalam yang disalurkan melalui senjata mereka masing-masing, Madurka mendengus.

"Dari  dulu  kau  hebat,  Kakang  Jayasih.

Tetapi sambutlah kembali seranganku!" "Keluarkan  semua  ilmumu,  Adi Madurka.

Aku pun ingin tahu sampai di mana kehebatanmu!"

Kali ini Madurka menyerang dengan lebih cepat dan ganas. Tangan kirinya menyambar dengan cepat dan sekali-sekali membuat tusukan, Ki Ageng Jayasih juga berbuat hal yang sama. Dia mengimbangi kecepatan dan ketangkasan bekas adik seperguruannya.

Dua orang tokoh sakti bertempur sudah pasti sangat hebatnya. Kecepatan keduanya sukar diikuti oleh mata. Sambaran tongkat dan tangan besi keduanya seperti gulungan-gulungan hitam saja yang bergerak dengan sangat cepatnya.

Kadang kedua senjata masing-masing itu berbenturan dan menimbulkan suara yang nyaring. Keduanya semakin meningkatkan permainan mereka.

Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih membentak keras dan mengibaskan tangan kirinya. "Sreeet!" Selarik sinar merah melesat ke arah Madurka.

Madurka terkejut, dengan sigap dia melompat ke samping, sinar merah itu melesat menghantam pohon hingga hancur berantakan. Madurka pias melihatnya. Dulu pun dia dikalahkan dengan pukulan sinar merah itu. Tetapi sekarang dia tidak gentar. Masih dalam keadaan melompat dia menerjang ke depan. Tangan kirinya lurus mengancam jantung. Ki Ageng Jayasih mengerakkan tongkat dan

"Wuutt!"

Tongkatnya setelah menangkis menyambar ke paha Madurka Madurka mengangkat kakinya dan bersalto sambil menendang.

"Des!"

Tendangan itu sungguh cepat dan tepat. Mengenai punggung Ki Ageng Jayasih yang langsung terhuyung ke depan. Lumayan sakitnya. Ki Ageng Jayasih berbalik dan tertawa.

"Luar biasa, gerakanmu semakin cepat saja, Adi Madurka. Tak sia-sia kau kabur dari perguruan."

"Kau pun  luar biasa, Kakang Jayasih. Sinar merahmu masih merupakan  momok bagiku. Tetapi hari ini, aku akan membalas lunas semua kekalahanku beberapa tahun yang lalu. Bersiaplah,  Kakang  Jayasih. Aku   akan mematahkan tangan kirimu! Bersiaplah, Kakang!" Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Madurka  sudah membuka sebuah jurus, yang kelihatan ringan namun berbahaya. Walaupun tubuhnya gemuk, agaknya dia mampu memainkan jurus

itu. Ki Ageng Jayasih mengenali jurus itu.

Dia berkata dengan nada menegur, "Adi Madurka! Kau tidak boleh memainkan jurus warisan guru. Jurus itu tidak boleh dimainkan sembarangan!"

"Kau jeri melihat jurus itu, Kakang Jayasih? Tak ada jalan lain, aku harus mematahkan lengan kirimu. Jurus Rajawali Sakti hanya aku yang diwariskan guru. Tapi kau juga mendapat sebuah ilmu sakti yang lain. Keluarkan Kakang Jurus Tangan Bayangan! Kita buktikan sekarang, siapa yang mampu bertahan dengan ilmu warisan guru!"

Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku tidak ingin menggunakan ilmu warisan guru terhadap saudara seperguruan! Kau pun seharusnya demikian, Adi Madurka!"

"Masa bodoh!" Madurka keras kepala. Dia yakin, selain ilmu Rajawali Sakti dia tidak akan mampu menandingi kakak seperguruannya. "Bersiaplah, Kakang! Kau akan berkenalan lagi dengan Rajawali Sakti!"

Tiba-tiba Madurka mengangkat kedua tangannya ke atas, membentuk sebuah cakar. Kakinya terangkat satu. Sebenarnya lucu gerakannya, tetapi dalam gerakan itu tersimpan sebuah jurus maut yang hebat dan gerakannya pun menyentak, dengan tiba-tiba saja dia bersalto ke depan dan menyambar dengan cakarnya.

Ki Ageng Jayasih merunduk, tetapi tubuh gemuk itu memutar, kali ini tangan kirinya menyambar ke kaki. Ki Ageng Jayasih melompat dan lagi Madurka melancarkan serangannya. Menerkam dengan tangan kanannya. Beruntun dengan sangat cepat.

Susah payah Ki Ageng Jayasih menangkis dan "Des!" sebuah pukulan bersarang di dadanya, yang langsung terasa sesak. Rupanya Mandurka benar-benar menginginkan lengan kirinya, dia bergerak lagi dengan cakar menyambar dan tangan kiri menusuk.

Ki Angeng Jayasih bersalto ke belakang da begitu hinggap di tanah, dia membuka sebuah jurus dan melempar tongkatnya ke samping.

Madurka terbahak melihatnya.

"Akhirnya kau mainkan juga jurus Tangan Bayangan!" serunya mengejek.

"Tak ada jalan lain, Adi Madurka. Ilmu warisan guru harus dilawan dengan ilmu warisan guru pula. Kini aku siap menandingimu."

"Baik! Tahan seranganku, Kakang Jayasih!" Kembali dua tenaga dan ilmu sakti saling beradu. Saling serang dan membalas. Keduanya benar-benar hebat dan mengandalkan kekuatan dan kelincahan, ketangkasan, serta ilmu warisan

guru mereka, mendiang Sunan Bonang.

Gempuran-gempuran itu membuat suasana di hutan kecil itu seperti kedatangan puluhan banteng liar. Beberapa pohon tumbang terkena pukulan dan tendangan. Juga sekalisekali Ki Ageng Jayasih melepaskan pukulan sinar merahnya yang menghantam pohon hingga kering dan hangus.

Tiba-tiba Madurka memekik, tubuhnya melompat di udara. Tangan kanannya menyambar ke kepala Ki Ageng Jayasih. Dia rupanya sudah sampai pada titik tinggi ilmu Rajawali Saktinya. Ki Ageng pun berbuat yang sama. Dia pun melompat dan memapaki serangan itu dengan jurus Tangan Bayangannya, yang membuat tangan itu bergerak seperti bayangan. Tak kelihatan gerakannya, hanya dorongan anginnya yang masih bisa membuat Madurka menangkis.

Dua tenaga itu saling berbenturan dengan keras dan tubuh keduanya ambruk ke tanah dalam keadaan muntah darah. Sama-sama menderita luka dalam.

Ki Ageng Jayasih bangkit lebih dulu, rupanya dia tidak begitu parah lukanya. Kemudian menyusul Madurka yang agak terhuyung. Dadanya sakit sekali. Tangannya pun terasa mau patah.

Ia menatap kakak seperguruannya dengan geram.

"Rupanya Yang Kuasa belum menghendaki aku menang.... Tunggulah aku lagi, Kakang Jayasih! Aku akan tetap mencarimu dan tak akan melupakan semua yang telah terjadi di antara kita...!"

Lalu dengan menahan sakit dadanya dan sakit hatinya, Madurka meninggalkan tempat itu dengan terhuyung. Ki Ageng Jayasih pun menahan rasa sakitnya. Dia menelan pil yang disimpan di kantung perbekalannya. Lalu mengambil tongkatnya dan meninggalkan tempat itu

Dia tidak menyangka, akan berjumpa dengan adik seperguruannya, yang ternyata masih mendendam dan tidak melupakan kekalahannya dulu.

Lebih baik dia mencari tempat untuk menetap selama beberapa hari, memulihkan luka dalamnya. Nanti setelah sembuh, dia akan mencari muridnya dan keris Naga Merah pusaka kebanggaannya. 7

Malam pekat. Bulan bersinar dengan terang, memang saat itu bulan purnama. Keheningan malam terasa amat mencekam.

Dari perguruan Topeng Hitam, menyelinap sesosok tubuh dengan ringannya. Gerakan orang itu cepat dan agaknya dia menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk berlari.

Setelah agak jauh dari perguruan itu, orang itu berhenti. Membuka topeng hitamnya, dan menyelipkan di balik pakaiannya. Wajah orang itu tertimpa cahaya bulan dan terlihat seraut wajah persegi namun tampan, dia adalah Bayuseta.

Bayuseta yang mempunyai pikiran jelek setelah Ratih Ningrum berkata telah berhutang budi padanya, dia akan mencari jalan agar Ratih Ningrum mau tak mau akan mengabulkan permintaannya, sebagai balas budi yang telah dia lakukan.

Dan itu akan dilakukannya agar Ratih Ningrum mau menerima cintanya.

Menurut aturan yang dimiliki perguruan Topeng Hitam, dilarang murid-murid untuk keluar tanpa izin, apalagi jika sang ketua tidak ada. Namun Bayuseta sudah beberapa kali melakukan hal itu. Dia adalah seorang pemuda mata keranjang yang tak tahan menahan nafsu birahinya jika melihat wanita cantik. Dia selalu menyelinap keluar untuk melampiaskan nafsu setannya di tempat-tempat pelacuran.

Tetapi kali ini, keperluannya lain. Persaingan antara perguruan Topeng Hitam dengan perguruan Cakar Naga, bukan berita baru di telinga Bayuseta. Dia akan mempergunakan kesempatan itu untuk bisa merebut Ratih Ningrum dari tangan ketuanya sendiri!

Bayuseta kembali mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dengan cara itu, dia hanya sebentar saja tiba diperguruan Cakar Naga yang jauh jaraknya. Ia menenangkan nafasnya sebentar. Lalu bersalto ke tembok perguruan itu. Tak ada seorang pun penjaga di sana.

Tetapi begitu dia menjejakkan kakinya, bermunculan belasan penjaga siap dengan senjata masing-masing. Bayuseta jerih juga melihatnya. Tetapi dia mengambil sikap tenang, memang harus menempuh bahaya kalau ingin berhasil, begitu hiburnya dalam hati.

"Maaf Saudara-saudara, namaku Bayuseta. Kedatanganku ada perlu dengan Resi Sendaring!" serunya keras.

"Ketua sedang sibuk!" bentak salah seorang. "Tidak bisa diganggu!"

"Masalahnya penting, Saudara!

Perkenankan saya menemui Resi Sendaring!" "Tidak  bisa'"  orang  itu  membentak  lagi.

Dan serentak tiga orang maju dengan sikap siap tempur. Bayuseta pun bersiap, menghadapi kemungkinan yang terjadi. "Tahan!" terdengar bentakan keras dan sosok tubuh bersalto memasuki tempat di mana Bayuseta dikepung. Orang itu adalah Resi Sendaring. Kini melipat tangannya dan berdiri dengan gagah. Bajunya yang panjang berkibar ditiup angin malam. "Siapa kau, Orang muda?" tanyanya dengan suara yang angkuh. "Dan perlu apa mencariku?"

"Bayuseta menjura hormat, merasa beruntung karena Resi Sendaring sendiri yang muncul.

"Namaku Bayuseta, Resi. Kedatanganku ke mari adalah membawa suatu masalah yang amat penting."

"Hmm, apa itu?"

"Sekali lagi maaf, Resi. Ada baiknya kalau kita membicarakan masalah ini di dalam." Bayuseta menjura sekali lagi.

"Resi Sendaring terdiam. Mengusap-ngusap janggutnya yang putih. Tetapi kemudian dia mengangguk.

"Baiklah, silahkan masuk, Bayuseta." "Terima kasih, Resi."

Resi Sendaring mendahului masuk. Bayuseta menyusul. Orang-orang yang mengurung tadi menjaga ke tempat semula. Sebenarnya kedatangan Bayuseta tadi sudah diketahui oleh salah seorang penjaga dan mereka bersembunyi dengan maksud menjebak. Sebelum terjadi pertumpahan darah, ketua mereka muncul. Resi Sendaring mengajak Bayuseta ke tempat pribadinya. Sebuah ruangan yang agak besar. Ia menyuruh Bayuseta duduk.

"Nah, katakan apa maksud kedatanganmu, Orang muda?"

"Maafkan aku, Resi yang kuhormati. Sebenarnya, aku murid perguruan Topeng Hitam..." Bayuseta menghentikan kata-katanya karena kelihatan Resi Sendaring sedikit kaget, tetapi setelah tidak menampakkan rasa kemarahan, Bayuseta meneruskan, "Saat ini ketua perguruan Topeng Hitam sedang tidak berada di tempat. Perguruan hanya dijaga oleh istrinya yang bernama Ratih Ningrum dan beberapa orang pilihan "

Resi Sendaring memotong, "Lalu maksudmu apa, Bayuseta?"

"Resi... biarpun aku salah seorang murid dari perguruan Topeng Hitam, tetapi aku sangat membenci sang ketua, Madewa Gumilang. Beliau sangat sombong sekali tidak seperti Paksi Uludara. Dan aku kemari, mohon petunjuk dan bantuanmu, bagaimana caranya agar aku dapat mengalahkan Madewa Gumilang."

Tiba-tiba Resi Sendaring terbahak keras, sampai Bayuseta sendiri kaget mendengarnya.

"Jadi kau menginginkan kematian ketuamu, hah?" tanya Resi Sendaring gembira.

Bayuseta mengangguk mantap. Dengan dibunuh Madewa Gumilang, dia akan leluasa memiliki Ratih Ningrum. Soal itu gampang, sebagai balas budi!

Resi Sendaring menepuk-nepuk bahu Bayuseta.

"Soal itu mudah, Orang muda. Mulai hari ini, kau menjadi sekutu perguruan Cakar Naga! Bayuseta, sejak lama aku pun, menginginkan kematian ketuamu itu dan  kehancuran perguruan Topeng Hitam! Dan sekarang kau datang menyampaikan hal itu, baik, baik, aku akan menjalankan semuanya dengan baik! Kuminta padamu, Bayuseta... laporkan kalau ada hal-hal yang berkenaan dengan rencana kita."

"Baik, Resi."

"Sekarang kau kembalilah keperguruanmu, hati-hati jangan sampai ketahuan siapa pun kau menyelinap kemari."

"Baik, Resi. Ada satu lagi yang hendak ku beritahu kepadamu."

"Soal apa?"

"Beberapa hari yang lalu, seorang laki-laki seperti banci mengacau di perguruan Topeng Hitam, tetapi berhasil dikalahkan oleh ketua Madewa Gumilang. Sebelum pergi laki-laki yang bernama Aryo Gembala berkata tentang makam Paksi Uludara yang "

Resi Sendaring memotong, "Tak perlu kau teruskan. Aku sudah mengetahui semua itu."

Bayuseta terkejut. "Resi sudah mengetahui semua itu?"

"Ya. karena Aryo Gembala adalah orangku

juga,  termasuk  kau!  Dan  aku  tahu  ke  mana Madewa pergi, dia mengunjungi makam Paksi Uludara "

Bayuseta belum mengetahui ada apa sebenarnya dengan makam ketuanya yang terdahulu itu. Dia mencetuskan keingintahuan nya. Resi Sendaring tertawa.

"Kau boleh lihat sendiri nanti! Kita menunggu laporan Dewi Mulia Berhati Busuk, yang ku tugaskan untuk memata-matai Madewa Gumilang."

Bayuseta terdiam. Biar bagaimana pun, Paksi Uludara dulu yang mendidik dan melatihnya dalam ilmu pedang dan kepandaian yang lain. Dalam hatinya dia tidak rela kalau makam ketuanya itu diganggu oleh orang perguruan Cakar Naga. Tetapi mau apa, menentang mereka akan percuma. Lagipula, dia sudah masuk ke perkumpulan itu.

"Bayuseta, kau kembalilah. Laporkan kepadaku jika ada sesuatu yang penting."

Bayuseta bangkit dan menjura. "Baik, Resi. Aku mohon diri!" Bayuseta mundur ke belakang, lalu melompat tembok dan menghilang di kegelapan malam. Di tempat tadi dia membuka topengnya, dia mengenakan topeng itu kembali. Lalu menyelinap lewat belakang. Melewati istal kuda, dia melompat ke genting dan membuka beberapa buah genting lalu meloncat ke bawah.

Lega hatinya sudah kembali ke perguruan. Sementara itu Resi Sendaring gembira, karena tanpa disangkanya, orang perguruan Topeng Hitam sendiri yang menginginkan kematian Madewa Gumilang.

Ini suatu keuntungan baginya, dengan begitu, dia bisa memata-matai kegiatan yang berlangsung di perguruan Topeng Hitam.

Sebelum matahari terbit, besok dia akan mengirimkan sepuluh orang muridnya untuk membongkar makam Paksi Uludara dan membawa kerangkanya kemari! Itulah rencana Resi Sendaring terhadap makam Paksi Uludara.

Resi Sendaring tertawa sendiri karena yakin rencananya akan berhasil. Besoknya pula, dia akan mengirimkan beberapa orang tokoh sakti seperti Sumpila, Tidasewu dan Angkasena untuk mengacau di perguruan Topeng Hitam. Malah kalau bisa, menangkap hidup-hidup Ratih Ningrum.

Ketiga orang itu, pasti bisa menjalankan tugas mereka dengan baik. Resi Sendaring pun sudah berpesan, agar jangan membawa namanya dan nama perguruan Cakar Naga!

Tunggulah aku, Topeng Hitam, keruntuhanmu tak akan lama lagi!

Dan yang paling membuat Resi Sendaring gembira, adalah membayangkan Ratih Ningrum bakal menjadi pendampingnya.

*** 8

Keesokkan harinya, sesuai dengan rencananya, Resi Sendaring mengirimkan sepuluh orang murid perguruan Cakar Naga ke makam Paksi Uludara. Sepuluh orang murid itu adalah murid-murid utama perguruan Cakar Naga. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang bernama Joko Mandra, yang dibekali sebuah golok besar oleh Resi Sendaring.

Mereka berangkat sebelum matahari terbit. Sesudah itu, Resi Sendaring juga menugaskan tiga orang tangan kanannya untuk mengunjungi perguruan Topeng Hitam, kalau bisa menguasai perguruan itu. Ia sendiri akan pergi ke rumah Madurka atau si Orang Cacat Sakti, yang

diberitakan terluka parah.

Lalu ketiga orang yang ditugaskan itu segera berangkat. Mereka akan merebut perguruan Topeng Hitam itu.

Saat itu di perguruan Topeng Hitam seperti biasa kalau pagi murid-muridnya berlatih. Kali ini di bawah pimpinan Ratih Ningrum. Ia mengajarkan jurus pedang kembarnya. Dan seperti biasa Pranata Kumala mengikuti setiap gerakan itu, seperti kali ini berada di barisan belakang, tidak di samping seperti biasanya.

Tujuh barisan bergerak mengikuti gerakan Ratih Ningrum. Setiap barisan berisi sepuluh orang. Jadi semuanya tujuh puluh orang. Masih ada beberapa murid perguruan Topeng Hitam yang tidak ikut latihan. Mereka bertugas memasak dan merapikan ruangan, juga merawat kuda-kuda.

Semua gerakan itu diikuti dengan sungguh-sungguh. Hanya ada seorang yang gerakannya kelihatan kaku, padahal dia murid utama. Orang itu adalah Bayuseta, yang sedang cemas menanti kedatangan orang utusan Resi Sendaring. Karena berlatih sambil berpikir, gerakannya jadi kacau. Ia tidak bisa konsentrasi. Agaknya Ratih Ningrum melihat hal itu.

Dia berseru memanggil, "Bayuseta! Kulihat gerakanmu kacau, lebih baik beristirahat dulu kalau kau lelah!"

Hari ini, murid-murid perguruan Topeng Hitam tidak memakai topeng hitamnya, karena Ratih Ningrum sulit untuk mengenali mereka. Lain dengan suaminya yang padangannya bisa menembus jarak yang jauh, bahkan menembus gunung sekalipun. Suaminya memiliki ilmu pandangan menembus sukma.

Karena saat ini murid-murid itu tidak memakai topeng hitam, Ratih Ningrum mudah mengenali Bayuseta.

Bayuseta segera membetulkan gerakannya. Ia agak malu ditegur demikian, apalagi sama wanita yang dicintainya. Tetapi ia tidak mau berhenti.

Ratih Ningrum berkata lagi, "Istirahatlah dulu, Bayuseta. Mungkin kau lelah." Bayuseta menjura antara malu dan hormat.

"Tidak, Nyonya ketua."

"Kalau begitu, kau perbaiki gerakanmu dan perhatikan yang lain."

Ratih Ningrum memperhatikan lagi muridmurid perguruan Topeng Hitam yang berlatih dengan sungguh-sungguh. Bayuseta pun berbuat yang sama, walau pikirannya sekali-kali melayang kepada rencana Resi Sendaring. Kenapa orangorang yang diutusnya belum datang juga?

Beberapa jam kemudian, latihan itu selesai. Murid-murid perguruan Topeng Hitam berhamburan masuk dan sebagian beristirahat. Pranata Kumala masih berlatih di tempat tadi. Bocah itu tidak puas-puasnya berlatih. Sejak melihat ayahnya mengalahkan Aryo Gembala, Pranata Kumala ingin bisa seperti ayahnya. Makanya dia giat berlatih.

Mendadak telinganya mendengar panggilan dari kiri, "Hei, kau bocah! Kemari!"

Pranata Kumala menghentikan berlatihnya. Ia menoleh, seorang laki-laki kurus tinggi melambaikan tangannya. Pranata belum beranjak mendekati, dia masih heran, dari mana orang itu masuk. Tetapi kemudian dia ingat akan Aryo Gembala, yang datang dengan melompati pagar.

Orang yang datang tanpa lewat pintu depan, adalah orang yang tak sopan. Seperti Aryo Gembala yang hendak mengacau. Berpikiran demikian, bocah kecil yang pintar itu, menatap orang tinggi kurus itu dengan curiga.

"Kamu siapa, Bapa?" tanyanya tanpa mendekati.

Orang  yang  tak lain adalah Tidasewu, melambaikan tangan lagi.

"Cepat kau kemari, aku punya hadiah untukmu."

"Tidak mau. Kau pasti hendak berbuat

jahat."

Tidasewu menjadi gemas. Anak ini ternyata

cerdas. Dia berlari menubruk, tapi sungguh di luar dugaannya, anak itu mampu mengelak. Dia menjadi penasaran.  Ditubruknya lagi dengan lebih cepat, tetapi lagi-lagi anak itu mampu menghindar. Kali ini dengan bersalto ke belakang. Gerakan  anak itu bagus dan mantap.

Merasa tangkapan orang itu selalu menemui kegagalan, Pranata Kumala menjadi keenakan dan geli sendiri.

"Ayo tangkap aku, Bapak!" ejeknya yang membuat wajah Tidasewu merah padam.

Dia terdiam, akan dikejutinya anak itu. Pranata masih tertawa-tawa. Tiba-tiba Tidasewu menerjang, Pranata berkelit ke kiri. Kesempatan itu dipakai oleh Tidasewu dengan menggerakkan kakinya untuk menyambar kaki anak itu. Tetapi sungguh di luar dugaannya. Bocah itu masih mampu menghindar.

Kesabaran Tidasewu habis. Dia mempercepat tangkapan dan terjangannya. Biar bagaimanapun Pranata Kumala hanya seorang bocah, biar pun kelihaiannya bersalto lumayan, tetapi tenaganya jauh dibandingkan dengan Tidasewu. Juga kelihaiannya.

Ia agak kewalahan sekarang menghindari serangan yang gencar itu. Suatu ketika Tidasewu berhasil menangkap tangan kirinya. Tetapi serentak dia lepaskan, karena bocah itu sudah memukulkan pedang kayunya.

Memang pukulan itu tidak sakit, tetapi sungguh mengejutkan. Rupanya bocah itu pandai pula bersilat.

Merasa dia menang lagi, Pranata Kumala tertawa mengejek.

"Ayo tangkap, aku! Tangkap!" serunya sambil bersalto ke sana-kemari, menunjukkan kelincahannya.

Tidasewu semakin marah. Mendadak dia meloloskan pedang dari punggungnya.

Pedang itu diacungkan di wajah Pranata. "Lihat pedang ini, Bocah! Akan kusembelih kau!"

Pranata tidak takut melihat pedang itu. Dia sudah sering melihat kakak-kakak perguruan Topeng Hitam berlatih dengan menggunakan pedang. Dua pedang saja dia tidak takut, apalagi hanya satu pedang yang dipegang laki-laki tinggi kurus itu.

Melihat bocah itu tenang-tenang saja, Tidasewu geram bukan main. Dia berkelebat cepat. Pedangnya menyabet tanpa ampun.

Pranata masih mempergunakan kelihaiannya berkelit. Tetapi hanya sekali dia bisa melakukan itu. Dia hanya seorang bocah yang belum tahu tingginya langit dalamnya lautan. Yang dihadapinya adalah seorang dewa pedang yang tangguh dan perkasa.

Hanya seorang yang mampu mengimbangi permainan pedangnya, orang itu Paksi Uludara dan secara otomatis Tidasewu merajai permainan pedang di rimba persilatan kala itu karena Paksi Uludara sudah empat tahun wafat.

Dan bocah cilik itu tidak tahu siapa yang sedang dihadapinya. Tidasewu adalah orang yang kejam. Begitu dia menyodokkan pedangnya, Pranata bersalto. Tetapi pedangnya langsung menyambar, membuat anak itu memekik ketakutan. Ia terjatuh.

Tidasewu sudah berdiri di hadapannya. Pedangnya siap mengayun. Wajah Pranata Kumala pucat. Ketakutan mulai menjalar. Dadanya bergemuruh. Sekarang dia melihat lakilaki kurus tinggi itu bukan laki-laki yang bisa diajak bermain tetapi laki-laki yang ingin membunuhnya!

Tidasewu tidak mau menunggu lama lagi, anak ini sudah menjengkelkannya. Ia mengayunkan pedangnya. Pranata memejamkan matanya, ngeri. Ia menjerit ketakutan.

"Trang!"

Pedang yang dipegang Tidasewu berpijar, Tidasewu sendiri terhuyung ke belakang. Sebuah senjata rahasia berbentuk topeng hitam menabrak pedangnya. Sepuluh orang murid perguruan Topeng Hitam sudah mengepungnya. Ratih Ningrum pun sudah berlari dan menghampiri putranya.

Ia memperhatikan laki-laki kurus tinggi ini. "Siapa Anda kenapa hendak membunuh

anak ku?" bentaknya marah.

Tidasewu tertawa. Tawanya nyaring.

"Aku datang, memang untuk membunuh semua orang di sini!" nada suaranya menjadi kejam. "Termasuk kau, Ratih Ningrum!"

Mendengar istri ketuanya dibentak, salah seorang murid perguruan Topeng Hitam balas membentak, "Kau bicara sembarangan, orang jelek! Kau sudah memasuki daerah macan, dan sulit untukmu untuk melepaskan diri!"

Tidasewu tertawa lagi.

"Akan kuratakan semua orang di sini dengan tanah! Ketahuilah, aku Tidasewu, Dewa Pedang yang akan menghancurkan perguruan Topeng Hitam!"

Nah, bagaimana nasib Perguruan Topeng Hitam. Silahkan anda ikuti dalam Kakek Sakti dari Gunung Muria.

SELESAI



No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 05 Keris Naga Merah"