Serial Pendekar Bayangan Sukma: 04 Dewi Cantik Penyebar Maut


04 Dewi Cantik Penyebar Maut

1

Dewi Maut masih meneruskan ejekannya. Wajah Datuk Sakti memerah. Tetapi dia tetap bersabar, kalau tidak, tidak mungkin terbentuk suatu kesatuan yang kukuh. Percuma dia mengundang orang-orang sakti itu kalau tidak berhasil membentuk suatu

kesatuan yang kuat.

"Dewi Maut, aku pun sadar akan nama besarmu. Tetapi orang yang akan kita hadapi, bukanlah orang sembarangan. Dia seorang tokoh sakti yang masih muda. Dan anak buahnya yang merupakan muridmuridnya juga tokoh-tokoh muda yang tak kalah saktinya dengan gurunya. "

"Ah, sudahlah!" potong Dewi Maut jengkel. "Biar kuhadapi orang-orang itu nanti!"

Tiba-tiba terdengar suara kekehan. Dewa Tua Pengantuk yang terkekeh. Walaupun matanya terpejam dia tetap terkekeh. Entah menertawakan apa. Yang pasti, dia bosan mendengar perdebatan itu.

Suasana hening setelah Dewa tua itu berhenti tertawa. Dan dia sudah kembali tertidur.

Pendekar Kipas Sakti berdiri. "Datuk tua... kita tidak menginginkan perdebatan di antara kita, bukan? Ada baiknya, sekarang kau menuturkan bagaimana rencanamu untuk menghadapi Dewi penyebar maut itu. Kami semua sudah tidak sabar menunggu...." Lalu duduk kembali sambil berkipas.

Datuk tua itu mengangguk. Tidak menghiraukan Dewi Maut yang masih nampak jengkel.

Tetapi belum lagi dia bicara, sebuah pisau berpita merah mendesing ke arahnya, Secepat kilat Datuk tua itu bersalto. Dan pisau menancap ke tembok, sampai pada pangkalnya. Menandakan betapa besarnya tenaga dalam orang yang melempar itu.

"Pembokong busuk, cepat kau menampakkan diri!" geram Datuk tua. Dan yang lain berdiri dengan sikap siaga, Bahkan Tiga Malaikat Berantai Emas, sudah bersiap dengan senjatanya.

Terdengar suara kekehan nyaring seorang perempuan. Lagi-lagi orang itu memamerkan kehebatan tenaga dalamnya. Karena getaran tawanya begitu nyaring.

Entah dari mana munculnya, tahu-tahu di hadapan mereka telah muncul tiga orang wanita muda berpakaian merah semua.

Datuk Sakti tahu siapa mereka, melihat dari pakaian mereka. Mereka adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!

Melihat gelagat itu, Dengan bersikap bersahabat. Ia menjura.

"Oh... kiranya dewi-dewi terhormat. Ada apa gerangan dewi-dewi datang kemari?"

Salah satu wanita muda itu mendengus.

Dia bernama Mawar Merah,

"Kau Jangan berpura-pura, orang tua! Kami telah tahu apa yang akan kau rencanakan terhadap guru kami! Dan hari ini kami akan menggagalkan semua rencana kalian!"

Datuk itu agak kaget juga. Rupanya rencana rahasia mereka telah diketahui oleh orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut.

Tiba-tiba muncul seorang wanita muda berpakaian merah. Wanita muda itu berjalan santai sambil menepuk-nepuk tangannya.

'Tidak sulit membunuh pengawalpengawal itu, Mawar Merah!" serunya sambil tersenyum.

Lagi Datuk tua itu tersentak. Pengawal-pengawalnya yang terdiri dari orang yang berilmu lumayan, dikalahkan oleh satu orang? Perasaan terkejut Itu dirasakan pula oleh yang lain. Kecuali Dewi Maut yang ingin segera menyerang.

"Bagus, Dahlia Merah! Sekarang, kita bunuh orang-orang ini!"

"Tunggu!" seru Pendekar Kipas Sakti. "Katakan, di mana ketua kalian berada?"

Mawar Merah tertawa.

"Tidak semudah itu, Saudara? Kecuali...kau telah menjadi mayat, baru kami memberitahumu!"

Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah. Dia begitu direndahkan. Kegeramannya menjalar ke wajahnya. Apalagi wanita-wanita muda itu tertawa yang sangat menyakitkan telinganya.

Dengan teriakan keras, Pendekar itu menyerang. Kipasnya merapat, membentuk totokan. Keempat wanita muda itu dengan serentak bersalto ke belakang. Dalam bersalto itu Mawar Merah berseru, "Pinus Merah, kau hadapi dia!"

Dan serentak yang diperintah tadi, melenting kembali begitu kakinya memijak lantai. Membalas serangan Pendekar Sakti itu. Gerakan kaki dan tangannya begitu cepat dan beruntun. Pendekar itu agak kebingungan dan bersalto ke belakang. Kembali ke tempatnya semula dengan wajah pias.

Benar-benar tidak boleh dianggap remeh. Pinus Merah pun kembali berjajaran dengan saudara-saudaranya.

Mawar Merah tertawa

"Nah, tunggu apa lagi?" ejeknya. "Ayo lawan kami! Bukankah kalian ingin membunuh kami! Bah, mimpi yang tak tersampaikan! seraaaang!"

Serentak keempat wanita muda itu melesat ke depan. Gerakan mereka benarbenar cepat. Dan tanpa dikomando lagi, mereka segera memilih lawan-lawan mereka. Datuk Sakti Berjubah Putih berhadapan dengan Mawar Merah. Tiga Malaikat Berantai Emas berhadapan dengan Dahlia Merah. Pendekar Kipas Sakti berhadapan dengan Pinus Merah yang menyerangnya dengan buas. Sedangkan Dewi Maut berhadapan dengan Melati Merah.

Hanya Dewa Tua Pengantuk yang tidak mendapat lawan. Orang tua itu hanya terkekeh pelan.

"Ha... buang-buang tenaga saja. Percuma kalian berkelahi. Tak ada gunanya," katanya masih terkekeh.

Dan seperti tidak ada kegiatan apaapa, orang tua itu ngeloyor meninggalkan tempat itu. Tetap dengan matanya yang selalu terpejam.

Pertempuran berjalan dengan serunya. Keadaan Datuk Sakti Berjubah Putih seimbang dengan Mawar Merah. Dewi Cantik Penyebar Maut sungguh luar biasa melatih dan mendidik murid-muridnya. Sampai sekian jurus, Datuk Sakti yang sudah melanglang buana yang membuat namanya menjulang setinggi langit, tidak mampu menjatuhkan Mawar Merah. Bahkan membuat Mawar Merah kewalahan pun dia tidak mampu.

Malah suatu ketika Mawar Merah mampu menjatuhkan tangannya di bahu Datuk tua itu, yang merasakan bagaimana ditimpa godam bahunya.

Dia sedikit terhuyung. Mawar Merah terbahak.

"Ha... ha.... Orang tua! Mimpi apa kau ingin mengalahkan guruku! Nyawamu tak ada gunanya! Dan kau pun tak berguna hidup di dunia ini!"

Sehabis berkata begitu, dia menyerang lagi. Sedetik Datuk tua itu tidak berkelit, tamatlah riwayatnya. Mawar Merah telah menggunakan ilmu sakti yang diberikan gurunya. Menggempur sejuta batu karang.

Di lain itu, Tiga Malaikat Berantai Emas pun belum mampu menjatuhkan Dahlia merah. Senjata sakti mereka menderu-deru dengan dahsyat. Tetapi belum sekali pun mengenai tubuh Dahlia Merah. Dahlia Merah telah menggunakan ilmu berkelit yang diberikan gurunya yang bernama, menghindar hujan menghalau badai.

Yang sambil berkelit masih mampu membalas! Salah seorang dari Tiga Malaikat itu, berhasil digedor dadanya hingga terhuyung dan muntah darah.

"Dik Suta!" jerit salah seorang saudaranya yang kaget. Dan marahnya bangkit ketika diketahui adiknya telah mati dengan jantung yang seketika putus. "Kau?!" geramnya pada Dahlia merah yang tertawa penuh ejekan.

"Sudah kukatakan sejak tadi, kalian akan percuma menghadapi kami! Cepat bersujud dan cium ibu jari kakiku!"

"Bangsat!!" geram kedua orang itu. Keduanya merapat. Dan memainkan rantai berbandul tajam dengan dahsyat. Anginnya menderu hebat. Dan dengan pekikan hebat keduanya menerjang berbarengan.

Lagi-lagi dengan menggunakan ilmu menghindar Hujan menghalau badai, serangan itu luput. Dengan hebat dan ringannya, Dahlia melenting ke atas. Dengan bersalto dia mengirimkan pukulan jarak jauhnya. Dua buah larik sinar merah berkelebat.

"Awaas!!" Dua orang berkepala gundul itu bergulingan menghindar. Tetapi tak urung baju salah seorang dari mereka terkoyak terkena sinar merah itu. Mengepul asap dari pakaian yang koyak itu. Wajah keduanya pias. Tetapi kemarahan semakin membara. Membludak meminta pelampiasan.

Lagi keduanya serentak menyerang.

Di lain itu, keadaan Pendekar Kipas Sakti tidak banyak berbeda dengan kawankawannya.

Pinus Merah berhasil mendesak pendekar tampan Itu. Dua kali dia berhasil mendaratkan pukulan dan tendangannya.

Tetapi pendekar tampan itu bukanlah pendekar yang baru mencuat namanya. Dia juga berhasil membalas. Tenaga dalamnya menghimpun di tangan dan mendarat di dada Pinus Merah.

Namun sedikit pun Pinus Merah tak bergeming. Bahkan dia tetap berdiri tegak dengan bibir tersungging sebuah senyuman manis!

Pendekar itu terkejut. Surut ke belakang dengan keheranan.

Pinus Merah terbahak. "Pukulan apa pun tak akan mampu membuatku terhuyung, Pendekar tampan! Percuma kau buang tenagamu untuk menghadapiku!"

"Kau. "

"Tak perlu terkejut. Itulah ilmu kebal pemberian guruku, yang dinamakan, menahan gelombang batu karang! Hei, Pendekar tampan! Cepat kau bersujud, sebelum kucabut nyawamu!!"

Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah.

Dengan marah dia menyerang lagi.

Di lain itu, hanya Dewi Maut yang mampu mengimbangi serangan Melati merah. Tokoh sakti yang telah banyak makan asam garam itu, mampu berbuat lebih banyak dari Melati merah. Serangan-serangan tangan kosongnya sangat berbahaya. Dia telah menghimpun pukulan saktinya di kepalan tangannya.

Agaknya Melati merah mengetahui serangan Itu. Sejauh itu dia berusaha untuk menghindar. Tidak berani mengadu tangan atau menahan serangan itu secara berbenturan.

Sampai suatu ketika dia mendadak menjatuhkan dirinya. Dan melontarkan pukulan jarak jauhnya. Selarik sinar merah berkelebat dengan cepat.

Dewi maut menjerit kaget. Dia melompat dengan cepat. Belum lagi dia menjejakkan kakinya ke tanah, selarik sinar merah itu telah memburunya lagi. Memburunya terus. Sampai Dewi Maut kewalahan sendiri.

Di saat itulah, Melati Merah menjerit menerjang. Dan...

Des!!

Pukulan menghajar perut Dewi Maut yang langsung terhuyung.

Melihat keadaan itu. Melati Merah mengejar, dengan pukulan lurus yang siap menghancurkan Dewi maut. Tetapi mendadak serangannya urung, sebuah sinar putih menghalau serangannya.

"Setan!" Melati Merah menghindar dengan jalan bergulingan.

Pukulan jarak jauh itu, dilontarkan oleh Datuk Sakti Berjubah Putih, yang melihat keadaan genting akan menimpa Dewi Maut. Sedetik dia terlambat, tamatlah riwayat Dewi Maut.

Melihat borongan itu, Mawar Merah menjadi marah. Hampir saja serangan itu mematikan adik seperguruannya. Dia mengamuk, serangannya membabi buta. Dan. membuat Datuk sakti itu menjadi kewalahan.

Sebisanya dia menangkis serangan itu. Bahkan dengan kibasan tongkat berkepala ularnya. Tapi tak urung sebuah pukulan menghantam pahanya, yang langsung membuatnya jatuh bergulingan.

Bersamaan dengan jatuhnya Datuk sakti itu, terdengar dua jeritan memilukan. Dua pendekar berkepala gundul menemui ajalnya di tangan Dahlia Merah.

Tamatlah riwayat Tiga Malaikat Berantai Emas, yang menemukan ajalnya dengan sangat mengenaskan. Wajah keduanya hancur tak berbentuk.

Dan Pendekar Sakti pun terhuyung termakan tendangan Pinus Merah yang membuatnya muntah darah.

"Tahan!!" Seruan itu terdengar. Mawar Merah mengisyaratkan saudara-saudaranya untuk mendekatinya. Serentak mereka bersalto dan berdiri berjajaran di samping mawar merah dengan sikap gagah.

Mawar merah mendengus. "Hhh, hari ini nyawa kalian kami ampuni. Ingat!!, jangan membuat kami marah lagi! Kalian tidak ada gunanya menentang kehendak kami!

Kalau kalian menentang perbuatan kami, kami segera akan mengirim nyawa kalian ke akhirat! Kau Datuk tua, camkan peringatan kami baik-baik!

Sebelum guru kami yang turun, yang sekali kelebat membuat nyawamu putus, ada baiknya kau urungkan niatmu untuk menentang kami!"

Datuk tua itu mengatur nafasnya. Menahan rasa sakit di dadanya. Matanya nyalang, penuh kemarahan.

"Tidak, sampai kapan pun, aku menentang perbuatan kalian! Demi keadilan dan keberanian!"

"Bangsat!" Mawar merah mengibaskan tangannya. Selarik sinar merah menerjang ke arah Datuk tua.

Dengan sisa tenaganya, datuk tua itu menghindar. Sinar merah itu menghantam dinding rumah hingga bolong.

"Itu peringatan untuk kalian semua Camkan baik-baik! Kami akan datang lagi untuk membunuh kalian!"

Setelah berkata demikian, Mawar merah bersalto. Dan menghilang di kegelapan malam.

Begitu pula dengan yang lain. Dengan sekali kelebat saja, mereka sudah lenyap dari pandangan.

Setelah mereka menghilang, dengan Susah payah Datuk Sakti Berjubah Putih berdiri. Dia sadar, mereka belum tentu mampu menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut. Dengan murid-muridnya saja mereka sudah dibuat jungkir balik tak karuan.

"Saudara-saudara... kita harus mencari tokoh sakti untuk menghadapi mereka...." desisnya pelan.

Malam pun semakin merambat.

***

2

"Pranata! Pranata! Hhh, ke mana lagi anak itu! Sudah sore begini belum kembali?!" gerutu seorang wanita muda. Agaknya dia tengah mencari anaknya. Padahal anaknya bersembunyi tak Jauh dari tempatnya berdiri. Daerah itu sunyi. Matahari mulai turun, kembali keperaduan.

"Hei, Pranata! Ayo kembali! Kamu harus mandi!" wanita muda itu berseru lagi. Di pohon besar itu, anak kecil yang bernama Pranata terkekeh. Geli sendiri karena ibunya kebingungan. Dia tidak tahu, sebenarnya ibunya sudah mengetahui di mana dia berada. Tetapi ibunya pura-pura

tidak tahu.

Anak kecil itu masih terkekeh geli. Tanpa disadarinya, ibunya sudah bersalto mendekati dan langsung menggendong anak itu.

"Hu, ibu curang! Ibu curang!" serunya meronta-ronta minta diturunkan.

"Ha... ha... habis, kau mau mempermainkan Ibu," kata wanita muda itu sambil berjalan ke rumahnya.

"Ibu curang! Ibu pakai kepandaian ibu untuk menangkapku! Ibu curang, ibu curang!"

"Ibu tidak curang, kamu yang curang. Dipanggil kok sembunyi."

"Ibu curang karena ibu tidak mengajarkan aku melompat seperti tadi!"

"Nanti ibu ajarkan. Ayo sekarang man-

di."

"Nggak mau! Ibu harus janji, akan

mengajarkan aku melompat seperti tadi. Aku ingin bisa, aku ingin bisa!"

"Iya, iya! Ayo mandi!" "Janji, ya?"

Ibunya mengangguk sambil tersenyum. Anak itu turun dari gendongannya. Berlari ke kamar mandi. Janji tadi sudah membuatnya gembira.

Wanita itu menggeleng-geleng. Anaknya itu memang bandel. Entah turunan dari siapa. Ayahnya atau dia sendiri? Biarpun begitu, dia sangat menyayangi putranya yang semata wayang itu. Yang diberinya nama Pranata Kumala.

Sebenarnya siapakah wanita yang pandai bersalto itu? Dia memang seorang wanita yang mampu memainkan ilmu silat. Kepandaiannya lumayan tinggi.

Dia adalah Ratih Ningrum, yang mendapatkan pelajaran silat dari tiga pengawalnya dulu. Dan anak itu adalah buah perkawinannya dengan Madewa Gumilang, pemuda yang sangat dicintainya (baca : Dendam Orang-Orang Gagah).

Setelah bertemu dengan pemuda itu dulu, mereka segera menikah. Seorang lakilaki tua telah memberkati pernikahan mereka. Entah di mana laki-laki tua itu sekarang.

Dan selama dua tahun mereka meninggali rumah mungil itu, penuh suka dan duka. Kelahiran Pranata Kumala menambah kecintaan mereka semakin melekat dan membara.

Ratih Ningrum lambat laun bisa memahami arti hidup yang sebenarnya, yang penuh dengan permainan-permainan hidup. Derita dan senang datang silih berganti. Sejak kecil sampai remaja, Ratih Ningrum hidup bergelimang harta. Sampai saat ini pun masih memiliki harta itu. Tetapi Ratih Ningrum sudah tidak mau menerimanya.

Kekayaannya itu telah dipercayai oleh tiga pengawal setianya, Mukti, Patidina dan Tek Jien. Juga karena suaminya yang tidak mau ketika diajak untuk kembali ke rumahnya.

Suaminya memutuskan hidup di desa ini. Desa yang aman dan tentram. Yang penuh kedamaian.

Hari ini Madewa Gumilang, suaminya, tengah pergi ke kota. Ada urusan yang harus diselesaikan di Kotaraja, yang mana tengah menyangkut nama baik suaminya sendiri.

Suaminya dituduh memimpin gerakan yang akan menggulingkan kedudukan raja. Dia dituduh telah menyebarkan empat orang anak buahnya untuk menghimpun dan menjatuhkan kedudukan raja dengan jalan menghasut dan gerilya. Bahkan pernah menyerang istana! .

Dari petunjuk yang didapat, anak buahnya itu berpakaian merah dan semuanya adalah wanita-wanita muda yang cantik dan sakti.

Tentu saja Madewa membantah tuduhan demikian. Dia bersumpah, tidak berniat untuk menggulingkan kedudukan raja sedikit pun. Bahkan dia tidak memiliki anak buah semacam demikian!

Madewa dihadapkan kepada Bupati yang memanggilnya.

"Madewa... kami memandang nama besarmu," kata Bupati. "Sebagai orang yang telah menumpas gerombolan sesat Perkumpulan Telapak Naga. Tetapi kami kecewa, dengan sikap dan keinginan yang sesat, yang tak ubahnya seperti orang-orang Telapak Naga!

Ingin memberontak terhadap raja! Madewa menjura hormat.

"Tuanku Bupati yang terhormat, sedikit pun saya tidak berniat untuk memberontak terhadap raja yang arif dan agung. Malah saya mendukung dan membantu raja menghadapi kesulitan! Saya bersumpah, demi langit dan Bumi, saya tidak memimpin gerakan memberontak itu!

Bupati yang bernama Wrahatnala mengangguk antara percaya dan tidak.

"Lalu apa maksud orang-orang itu menyerang dan berseru, "Pimpinan kami adalah Madewa Gumilang!". Bukankah itu namamu, Madewa? Namamu yang besar, yang diberi gelar Pendekar Pukulan Bayangan Sukma?"

"Sekali lagi, Bupati Wrahatnala! Saya tidak memimpin gerakan demikian!"

"Baiklah Madewa. Kita tidak perlu banyak bicara. Untuk membuktikan kebenaran itu, kau kuperintahkan menangkap dan membawa orang-orang itu kepadaku, untuk dijatuhi hukuman" Madewa mengangguk hormat. "Baik, Bupati Wrahatnala. Semua akan saya lakukan. Jika benar saya yang memimpin gerakan memberontak itu, kepala saya taruhannya. Saya rela mati dipenggal! Kalau pun saya masih hidup, biarlah Yang Kausa membuat saya sakit yang mengerikan

dan mati perlahan-lahan..."

Sumpah dan janji yang mengerikan. Wrahatnala sampai bergidik mendengarnya. Tetapi dia sadar dan yakin, ucapan Madewa benar dan akan terbukti! Wrahatnala sudah lama mendengar nama besar Madewa Gumilang yang selalu menentang dan menghancurkan kejahatan.

Tetapi, apa tidak mungkin dia ingin memberontak?

"Kupegang janjimu, Madewa." Madewa menjura.

"Saya mohon diri, Bupati Wrahatnala. " Wrahatnala mengangguk. Madewa keluar dengan dikawal oleh beberapa orang pengawal, yang siap dengan senjatanya. Madewa tersenyum sedih. Dalam hati dia berkata. Sudah mulai lagi kehidupan ini, yang penuh cobaan. Dia akan membuktikan pada raja bahkan pada dunia, bahwa dia bukanlah pemimpin gerakan pemberontakan itu!

***

Tubuh pendek bulat bundar itu berjalan dengan sempoyongan. Tubuhnya limbung kesana ke mari. Biarpun begitu, pendengarnya masih tajam. Dia adalah Dewa Tua Pengantuk.

Pendengarannya menangkap adanya gerakan-gerakan yang mencurigakan. Karena gerakan-gerakan itu seperti berpindahpindah dari satu tempat ke tempat Jain, menandakan dia sedang dikuntit orang sejak tadi!

Tetapi Dewa Tua Pengantuk itu masih tetap tenang. Dia tetap memejamkan matanya. Seolah tak perduli dengan penguntit-penguntit itu.

Dia menghitung setiap gerakan orangorang itu. Hmm, ada lima orang yang mengikutinya. Mau apa keroco-keroco ini mengikutinya? Hmm, dia akan melihat kerocokeroco itu.

Akan dipermainkannya.

Tahu-tahu Dewa Tua Pengantuk itu berkelebat ke depan. Dan "Wuutt!" gerakannya cepat. Tahu-tahu saja dia sudah menghilang dari pandangan orang-orang itu.

Orang-orang itu panik dan terkejut. Serentak mereka mengejar. Kali ini tidak dengan sembunyi-sembunyi. Benar dugaan Dewa tua pengantuk itu, mereka berjumlah lima orang. Semua berpakaian hitam-hitam. Dan di punggung mereka ada sepasang pedang tipis yang tajam.

Tahu-tahu kelima orang itu berhenti. Terdengar suara tawa dari atas pohon. Dewa Tua Pengantuk sudah duduk di ujung ranting yang kecil dan menggoyanggoyangkan kaki! Betapa tinggi ilmu meringankan tubuh orang tua itu. Dahan ranting yang kecil, mampu menahan berat tubuhnya yang gemuk.

"Kalian cecunguk-cecunguk busuk, mau apa mengikutiku?!" bentaknya masih tetap menggoyang-goyangkan kaki.

"Orang tua pengantuk, hari ini kami akan mencabut nyawamu!" bentak salah seorang sambil mengambil sepasang pedangnya. Dua buah pedang berkilat tertimpa matahari.

Yang lain pun berbuat yang sama. Kini sepuluh pedang tipis dan tajam, siap merenggut nyawa Dewa Tua Pengantuk itu!

Tetapi orang tua itu masih saja tertawa.

"Ada apa gerangan kalian ingin membunuhku?"

"Kau masih banyak bertanya saja, Orang tua pengantuk!"

"Ha... ha... kau pun demikian, orang muda pemarah. Tanpa menyebutkan nama kalian dan apa alasan kalian ingin membunuhku, aku enggan untuk melayani kalian. Selamat tinggal!"

"Tunggu!"

"Ha... ha.apa lagi Orang muda pemarah?'

"Kau orang tua yang keji! Kau telah menculik dan membunuh adik seperguruan kami. Sudah jelas, kami akan menuntut balas atas kematiannya!"

"Hei, hei! Apa-apaan kalian ini? Kok menuduh aku?" Kening orang tua pengantuk itu berkerut. Matanya terbuka lebih lebar. Ia menggeleng-geleng.

"Siapa lagi yang kami tuduh kalau bukan Dewa Tua Pengantuk geleng-geleng kepala lagi.

"Orang Muda pemarah, Kau menuduhku sembarangan! Apa bukti tuduhanmu itu untukku?"

"Kau masih membantah?"

"Jelas kubantah, karena aku tidak merasa membunuh saudara seperguruanmu?"

"Baik! Ada seorang wanita muda yang melihatmu membunuh saudara seperguruan kami! Orang itu mengenal kau! Dewa Tua Pengantuk, yang kabarnya dari golongan putih, tetapi begitu talengas menurunkan tangan untuk saudara seperguruan kami yang tak bersalah!"

"Tuduhan tak benar!"

"Orang tua pengantuk, kami tak perlu banyak sikap lagi. Cepat kau menyerah dan ikut kami Untuk dihadapkan kepada ketua!" "Hhh, betapa enaknya! Tuduhan itu palsu! Aku tidak melakukan apa-apa selama

ini!"

"Tetapi kau melakukan perbuatan keji itu!"

"Kau tetap tidak percaya, Orang muda.

Baik, siapa kalian sebenarnya?"

"Hhh! Kami adalah murid-murid dari lereng bukit sebelah timur sana!"

"Perguruan topeng hitam!" seru Dewa Tua Pengantuk terkejut. Perguruan yang sudah lama mencuat namanya. Dan kali ini dia harus berurusan dengan orang-orang topeng hitam itu. Urusan yang salah paham. Dan dia telah dilemparkan tuduhan palsu!

"Hmm," salah seorang dari anak murid Perguruan topeng hitam tersenyum sinis. "Kau terkejut, bukan? Cepat minta maaf, sebelum ketua kami Paksi Uludara turun tangan merenggut nyawamu!"

Dewa Tua Pengantuk itu bersalto dua kali untuk hinggap di tanah dengan sempurna. Dia menatap lima orang yang telah mengenakan topeng hitam itu. "Sejak muda aku tidak punya masalah dengan perguruan topeng hitam. Tapi hari ini, kita berselisih. Aku tetap menolak tuduhan itu, karena aku tidak melakukannya!"

"Bangsat! Kau banyak bicara!" Orang itu segera menerjang dengan satu tusukan lurus pada tenggorokan Dewa Tua Pengantuk.

Orang tua itu mengelak sedikit ke samping, serangan itu luput. Belum lagi dia menegakkan badannya, pedang-pedang yang lain bersambaran. Dan seketika sepuluh buah pedang itu berkelebat bergantian.

Orang tua itu agak kewalahan. Tetapi bukan Dewa tua pengantuk kalau tidak bisa menghindari serangan-serangan itu.

Tiba-tiba dia melenting ke atas, menyambar sebuah ranting kecil. Dan dengan ranting itu dia menghalau setiap sabetan pedang yang datang.

Sungguh hebat, ranting itu tidak putus atau patah termakan sabetan pedang, karena telah dialiri tenaga dalam Dewa tua itu.

Bahkan dengan ranting itu ia mampu menotok salah seorang dari mereka, yang langsung berdiri tegak, kaku, tanpa bisa menggerakkan tubuhnya sedikit pun.

"Kuminta kita hentikan pertempuran itu," kata orang tua itu sambil melenting ke atas, menghindari tusukan sepasang pedang yang menyambar dengan cepat.

"Kau jangan menghasut, orang tua!

Saat ini kami menginginkan nyawamu!"

Dan sebuah pukulan jarak jauh menyambar ke arah orang tua itu.

Wutt!

Orang tua itu berkelit dengan jalan bersalto. Belum lagi dia hinggap di tanah, puluhan senjata rahasia yang berbentuk topeng-topeng kecil berterbangan cepat, masih di udara orang tua itu mampu bersalto dua kali. Serangan-serangan itu luput.

"Kita sudahi pertempuran ini, Saudara!" kata Dewa tua sambil hinggap di tanah. "Kita semua salah paham. Wanita muda yang menjadi saksi itu, pasti salah melihat! Disangkanya diriku yang dilihatnya! Atau mungkin juga... dia ingin mengadu domba di antara kita!"

"Aku tidak perduli semua itu, yang kami inginkan sekarang! Mempersembahkan nyawamu untuk adik seperguruan kami! Tahan serangan, Orang tua!"

Lagi mereka menyerang. Kali ini lebih hebat dan dahsyat. Sabetan dan kibasan pedang berkelebat dengan cepat. Pukulan jarak jauh dan senjata rahasia berterbangan dengan tersembunyi, siap mencabut nyawa dewa tua itu.

Tetapi sampai sejauh itu, orang tua itu masih mampu bertahan. Dan lagi-lagi dengan rantingnya, dia mampu menotok salah seorang dari mereka.

Kini tinggal tiga yang masih bernafsu untuk menjatuhkan. Yang dua hanya berdiri kaku dan agak menjadi ngeri melihat pertempuran itu.

"Kita pergunakan tiga serangan pedang mencabut nyawa, Saudara!" seru salah seorang. Dan serentak tiga orang itu membuka jurus yang sama.

Orang tua itu sadar, kali ini mereka memainkan jurus simpanan, yang pasti dahsyat dan ampuh. Dia pun bersiap. Kedua tangannya merapat di dada, mengempit ranting itu erat-erat. Matanya terbuka lebih lebar. Ia menghimpun tenaga dalamnya menjadi satu.

Siap menyambut serangan mereka. Tibatiba salah seorang dari mereka menjerit panjang, dan menerjang dengan cepat. Orang tua itu cepat memapaki. Dan tibatiba orang yang menyerang tadi melenting ke atas. Ganti orang kedua yang menyerang. Begitu seterusnya. Rupanya jurus mereka yang satu ini, serangan berantai dengan dimainkan oleh perorangan tetapi rangkaian dari serangannya, dipakai oleh yang lain.

Bergantian. Hebat dan semangat. Merupakan jurus yang ampuh. Paksi Uludara menciptakan jurus itu dengan sangat sempurna.

Kali ini orang tua itu benar-benar kewalahan.

Sebuah pedang sempat menggores bahunya, yang langsung berdarah. Orang tua itu menekap lukanya. Matanya nyalang. Kesabarannya sudah habis.

Ganti dia kini yang menerjang. Serangannya membabi buta. Tetapi sejauh itu, dia pun tak mampu menembus pertahanan dan serangan balasan berangkai yang dipergunakan oleh lawan-lawannya.

Bahkan sekali lagi pedang itu menyambar dadanya.

"Breeet!"

Bajunya sobek. Dan merembes darah se-

gar.

Melihat keadaannya yang agak payah,

tahu-tahu orang tua itu berkelebat. Dengan sekali salto dan menghilang. Orangorang itu serentak mengejar, tetapi serentak mereka bersalto. Ranting kering yang dipergunakan orang tua tadi sebagai senjata, telah dilempar dengan penuh tenaga.

Dan menancap di sebuah batang pohon.

Tidak mungkin untuk mengejar orang tua itu. Dengan perasaan geram dan marah, mereka kembali ke tempat tadi. Membebaskan dua saudara seperguruan mereka dari totokan orang tua tadi.

"Kita gagal menangkap orang tua itu," kata salah seorang antara kecewa dan marah.

"Yah... Guru pasti marah dengan kegagalan Ini," sahut salah seorang.

"Kita harus bagaimana?" tanya salah seorang.

"Kita cari orang tua itu," sahut salah seorang.

"Sampai kapan pun, kalau kita tidak berhasil membunuhnya dan mempersembahkan kepalanya kepada guru, guru pasti akan membunuh kita!"

"Yah... dia sangat menyayangi adik seperguruan kita," kata salah seorang.

"Kalau begitu, kita harus segera mencari jejak orang tua itu!" usul salah seorang.

"Biar bagaimana pun, kita harus berhasil menangkapnya! Semata bukan karena kuatir guru marah, tetapi bakti kita kepada guru dan membalaskan dendam adik seperguruan!"

"Setuju!" "Ya!! Mari!"

Serentak kelima orang berpakaian hitam dan topeng hitam, menyarungkan sepasang pedang mereka masing-masing.

Dan seperti dikomando, mereka berlari. Seolah saling berlomba.

***

3

Bayangan-bayangan itu berkelebat menembus hutan yang lebat, Agaknya mereka memang sering melewati hutan itu, karena begitu enak dan hafal jalan-jalannya.

Bayangan-bayangan itu berpakaian merah semua. Ringan dan cepat gerakan mereka.

Hutan yang penuh pohon-pohon jati itu bukan merupakan halangan bagi mereka untuk melangkah. Mereka seakan berlomba adu pamer kesaktian berlari mereka.

Di sebuah gua yang terletak di tempat yang benar-benar sunyi mereka berhenti. Dan serentak mereka menjura kearah gua itu.

"Masuk!" terdengar suara lembut tapi penuh tenaga dari dalam.

Orang-orang itu segera masuk. Kali ini tidak serentak. Mereka berjajaran ke belakang. Penuh sikap hormat berjalan, satu persatu.

Gua yang kelihatan sempit itu semakin lama semakin melebar. Dan keadaan dalam gua itu terang benderang. Di ujung sana, terdapat sebuah batu yang berhias emas intan dan permata. Begitu indah dan berkilauan. Benar-benar menakjubkan.

Dan yang lebih menakjubkan lagi, orang yang duduk di kursi batu itu. Seorang wanita muda yang sangat luar biasa cantiknya.

Wajahnya seperti memancarkan cahaya Pakaiannya dari sutera yang indah, berwarna merah. Dan sangat kontras dipakai oleh wanita yang berkulit putih itu.

Orang-orang yang baru masuk itu, menjura. "Salam, Ketua!" sahut mereka serempak. Wanita cantik itu tersenyum. Ia menyuruh mereka duduk di hadapannya.

"Laporkan hasil kerja kalian," suara itu lembut dan penuh wibawa.

"Semua telah kami laksanakan dengan baik, Ketua. Perintah ketua kami junjung tinggi," kata salah seorang wanita yang berpakaian merah itu. Dia si Mawar Merah."

"Hmm, bagus. Kau sudah menyiarkan kabar, kalau kalian dipimpin oleh seorang pendekar yang bernama Madewa Gumilang?"

"Semua telah kami laksanakan, ketua." "Bagus, bagus!" wanita cantik yang

tak lain dari Dewi Cantik Penyebar Maut itu tersenyum senang. Betapa cantiknya.

"Kita tunggu kedatangan Puspa Merah, Dia tengah kuperintahkan menyelidiki keadaan keluarga Madewa Gumilang. Semua terdiam.

Hanya memperhatikan sang ketua bicara. Dewi cantik yang kejam. Yang hatinya mendendam pada pemuda yang bernama Madewa Gumilang!

Entah kenapa, mereka tidak ada yang tahu kecuali sang ketua sendiri.

Sebenarnya, siapakah wanita muda yang kejam itu, yang bergelar Dewi Cantik Penyebar Maut?

Dia tidak lain adalah Nindia, wanita muda yang lima tahun yang lalu pergi karena kecewa. Kecewa karena pemuda yang dicintainya mencintai wanita lain.

Pemuda itu Madewa Gumilang, yang dia kenal pernah menolong keluarganya dari perampokan (baca: Dendam Orang-orang Gagah). Dan wanita itu adalah Ratih Ningrum yang dulu disangkanya seorang pria, padahal Ratih Ningrum menyamar sebagai Adi Permana. Dan bersama Madewa Gumilang, dia menyelamatkannya dari tangan Wirapati.

Perasaan Nindia galau. Gundah. Kecewa. Malu. Marah. Dia berlari meninggalkan keduanya. Hatinya benar-benar hancur. Dalam keadaan terluka itu dia bertemu dengan seorang kakek sakti yang berdiam di gunung Muria.

Dia dibawa oleh kakek sakti itu ke gunung Muria. Di sana dia diberi ilmu kesaktian yang amat dahsyat. Entah kenapa Nindia menerima semua pemberian itu. Perasaan kecewa terhadap Madewa Gumilang menjadikannya wanita yang penuh semangat dalam menuntut kesaktian.

Dan dia berubah menjadi dendam pada Madewa. Juga pada pemuda-pemuda yang sebaya Madewa. Tak jarang diam-diam Nindia turun gunung untuk membunuh pemuda-pemuda itu. Walau tidak ada kesalahan sedikit pun! Perbuatannya itu diketahui oleh gurunya, yang sangat marah besar. Gurunya memberi ilmu kesaktian dan kepandaian kepadanya, agar dia bisa menghilangkan kesedihan dan melupakan pemuda yang bernama Madewa Gumilang.

Tetapi kemarahan gurunya itu, malah ditentang oleh Nindia. Dengan beraninya dia menantang gurunya berkelahi. Jelas saja Nindia kalah.

Sebagai seorang guru yang arif, gurunya itu mengampuni semua kesalahannya. Namun Nindia malah semakin mendendam. Dia mencuri keris pusaka Naga merah milik gurunya. Dan dengan keris itu dia menikam gurunya ketika sedang bersemadi.

Dan mulailah Nindia melanglang buana untuk mencari Madewa Gumilang dan istrinya. Dia tidak ingin kedua orang itu hidup. Karena dia masih terbayang oleh kekalahannya dalam memiliki Madewa.

Sikapnya yang telengas dan keji apalagi setiap kali bertemu dengan pemudapemuda yang menggodanya, dia langsung membunuh, membuatnya menjadi wanita yang kejam.

Dan dengan cepatnya tersebar kabar dan julukan orang akan adanya Dewi Cantik Penyebar Maut yang menggetarkan.

Yang begitu kejam! Menjatuhkan tangan tanpa pandang siapa orangnya!

Nindia juga mulai mengambil beberapa orang murid wanita. Lima wanita muda dan cantik diambilnya secara paksa. Tetapi lambat laun orang-orang itu menurut padanya. Tidak ada lagi yang merasa terpaksa.

Mereka pun dididik menjadi orangorang yang kejam. Yang merampok dan membunuh. Juga menyebarkan desas-desus akan memberontak terhadap raja di bawah pimpinan Madewa Gumilang!

Dewi Cantik Penyebar Maut beserta anak buahnya, menjadikan orang bergetar mendengarnya. Apalagi menyebut namanya.

Banyak orang-orang dari golongan putih yang menentang mereka, tetapi mereka tak berumur panjang. Karena menghadapi anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut saja mereka tidak mampu, apalagi menghadapi gurunya! Dewi Cantik Penyebar Maut, menjadi momok nomor satu baik oleh lawan maupun kawan. Baik dari golongan putih ataupun golongan hitam!

Nenek tua itu tertatih-tatih mendekati rumah itu. Ia kelihatan letih. Mungkin habis melakukan perjalanan yang jauh. Langkahnya pelan. Dan kadang terhuyung. Tongkat di tangannya begitu jelek dan pakaiannya pun betapa lusuhnya. Pranata Kumala yang sedang bermainmain di halaman rumahnya, melihat nenek tua itu. Dia kasihan melihatnya. Buruburu dia menghampiri. "Nenek mau kemana?" tanyanya sambil memandang nenek tua itu dengan tatapannya yang bundar.

Nenek tua itu tersenyum. Wajahnya sudah keriput. Rambutnya putih semua. Tubuhnya pun agak bungkuk.

"Nenek tidak tahu mau ke mana, Nak," sahut nenek itu. Suaranya lemah.

"Nenek tidak tahu mau ke mana?" Anak itu bertanya lagi, heran.

Nenek itu menggeleng.

"Memangnya rumah nenek di mana?" Lagi nenek itu menggeleng. "Nenek tidak punya rumah, Nak."

"Kalau begitu mampir ke rumah saya ya, Nek? Mungkin ibu punya sedikit air dan kue untuk nenek. Ayo!" ajak Pranata Kumala sambil menarik lengan nenek itu. Dan membimbingnya dengan hati-hati.

Nenek itu mengikuti. Ia dibawa masuk ke dalam rumah mungil itu. Pranata masuk ke dalam. Berseru memanggil ibunya.

"Bu, bu!" serunya. "Ibu di mana, sih?"

Ratih Ningrum yang tengah menanak nasi keluar dengan tergopoh-gopoh. Pranata Kumala tersenyum melihat ibunya.

"Ada apa, Nak?"

"Ikut aku ke depan, Bu!" Tanpa banyak tanya, Ratih Ningrum mengikuti anaknya ke ruang depan • Nenek tua itu tengah melepaskan lelahnya dengan menyelonjorkan kaki di depan.

Pranata Kumala menunjuk dan berkata. "Nenek itu nggak punya rumah, Bu. Ku-

bawa saja ke mari. Ibu masih punya makanan kan?"

Ratih Ningrum terkejut melihat nenek tua itu. Kelihatan sekali dia keletihan. Mungkin juga kelaparan. Buru-buru dia masuk ke dalam. Untung masih ada sedikit makanan dan minuman. Diberikannya kepada nenek itu yang memakannya dengan lahap.

Setelah  itu mereka  bercakap-cakap. Nenek itu bilang, dia dari perjalanan jauh, tengah mencari anaknya yang hilang. Dia sendiri sudah lupa siap nama anaknya. Ratih Ningrum manggut-manggut  walau agak heran. Ah, mungkin nenek tua itu sudah pikun. Tetapi sedetik kemudian, dia melompat merangkul anaknya. Dan menjauhi

nenek tua itu. Dia membentak,

"Siapa kau sebenarnya?!" Nenek Tua itu terbatuk. Kaget dengan pertanyaan Ratih Ningrum.

"Aku... aku... ingin mencari anakku...." Dia terbatuk lagi.

Tahu-tahu Ratih Ningrum mengibaskan tangannya. Wuuut! Sebuah dorongan angin yang lumayan menyambar ke arah rambut nenek itu. Dan rambut putih itu terlepas! Berganti dengan rambut hitam yang terurai.

"Siapa kau sebenarnya?" bentak Ratih Ningrum lagi. Dia melindungi anaknya di belakang tubuhnya. Sebenarnya Ratih Ningrum tidak curiga, tetapi gagang pedang yang menyembul di punggung nenek itu membuatnya curiga. Gagang pedang itu dipakai untuk membuat pungguk agar nampak bongkok.

Nenek tua itu memang bukan nenek dalam arti sebenarnya. Sekarang dia telah membuka seluruh penyamarannya. Wanita muda berpakaian merah dengan sebilah pedang di punggungnya.

Wanita itu terkekeh. "Ini rupanya istri Madewa Gumilang? Tidak percuma kau menjadi istri pendekar besar itu. Matamu awas. Dan ilmumu lumayan tinggi!"

"Tunggu! Kau siapa?"

"He... he... hari ini aku datang untuk mencabut nyawamu! Demi perintah ketua untukku! Aku harus mempersembahkan kepalamu kepadanya! Bersiaplah, Ratih Ningrum?"

"Sebutkan siapa namamu dan siapa ketuamu?"

Wanita muda itu terkekeh lagi. "Kau akan bergetar mendengar siapa nama guruku yang sekaligus ketuaku. Hmm, dengar baikbaik, Ratih Ningrum... Ketuaku bergelar.. I Dewi Penyebar Maut. " Sampai di situ wanita itu bicara, Ratih Ningrum melengak kaget. Nama yang sudah sering didengarnya. Nama maut yang menggetarkan.

"Aku sendiri bernama Puspa Merah! Kau Bersiaplah, Ratih Ningrum! Ajalmu hanya sampai di sini!"

"Baik, tapi jangan kau ganggu putraku!" Ratih Ningrum menyuruh anaknya tetap di dalam. Ia melesat ke luar setelah menyambar sepasang pedang kembarnya. Puspa Merah mengikuti keluar.

Keduanya berhadapan dengan tatapan siaga dan nyalang. Ratih Ningrum sadar akan kehebatan anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut itu. Dia tidak ingin bertindak gegabah. Sepasang pedang kembarnya dicabut. Pedang warisan gurunya yang bernama Mukti yang bergelar si Pedang Kembar.

Dia mulai memamerkan kehebatan ilmu pedangnya. Puspa merah pun tak mau kalah. Dia pun mencabut pedangnya. Kini keduanya mulai menjajagi.

Sekilas, Ratih Ningrum akan menang, karena senjatanya sepasang. Tetapi Puspa Merah bukanlah murid sembarangan dari Dewi Cantik Penyebar Maut!

Tahu-tahu Puspa Merah menerjang. Serangannya cepat. Tusukan dan sabetan pedangnya mengarah pada tempat yang mematikan. Ratih Ningrum menyambut serangan itu. "Trang! Trang! Trang!"

Benturan kedua senjata itu menimbulkan pijar api yang agak menyilaukan bertanda keduanya memakai tenaga dalam yang lumayan.

Puspa merah meloncat ke depan. Sambil meloncat itu dia menusuk tepat ke kepala Ratih Ningrum. Ratih Ningrum mengelak sigap. Bergulingan ke belakang sambil menyabetkan pedangnya pada Puspa merah yang masih bersalto di atas.

"Trang!"

Puspa merah menangkis dan hinggap dengan sigap.

"Bersiaplah, Ratih!" desisnya tajam. Ia terdiam. Tampaknya tengah merapal ilmu simpanannya Dan gerakan pedangnya menjadi nampak lebih cepat. Itulah yang dinamakan jurus Pedang Empat Penjuru. Yang bisa kelihatan lebih banyak. Dan sukar ditentukan ke mana arah tusukan atau sabetannya. Ratih Ningrum pun bersiap. Ketika Puspa Merah menerjang, dia menyambut dengan lengkingan panjang. Kembali keduanya

saling menyerang dan bertahan.

Agaknya permainan pedang Ratih Ningrum masih berada jauh di bawah ilmu pedang Puspa merah. Dengan sekali sentak saja, sebuah pedang di tangan kirinya terlepas!

Puspa Merah menghindar sambil tertawa. "Sebentar lagi nyawamu, Ratih!" Kembali dia menyerang. Sebisanya Ratih Ningrum bertahan. Dan lagi-lagi pedangnya terlepas. Kini Ratih Ningrum hanya bertangan kosong.

Puspa merah tertawa.

"Tak ada gunanya kau melawanku, Ratih! Hari ini kau harus mampus di tanganku!"

Lagi dia menyerang. Masih tetap dengan jurus yang tadi. Dengan sekuat tenaga Ratih Ningrum menghindar dengan ilmu meringankan tubuhnya. Dan sekali-sekali melepaskan pukulannya.

Kali ini pukulannya nampak banyak dan sukar ditangkap oleh mata. Itulah jurus pukulan tangan seribu, warisan dari gurunya yang bernama Tek Jien.

Rupanya jurus itu bisa mengacaukan permainan pedang Puspa Merah.

Mendadak Ratih Ningrum memekik. Ia menyerang dengan penuh tenaga. Mendadak Puspa merah menghentikan serangannya. Dia menghindar dengan bersalto ke belakang.

Justru itu yang diinginkan Ratih Ningrum. Ketika Puspa merah menghindar. Dengan cepat Ratih Ningrum memungut kembali sepasang pedangnya.

Dia merasa mampu mengimbangi permainan pedang Puspa merah. Dia memakai jurus pukulan tangan seribunya dengan memainkan pedang. Dan dipadukan dengan ilmu pedangnya.

Benar saja, Puspa merah mundur ketika

dia menyerangnya dengan memakai jurus demikian.

Bahkan dengan cepatnya, sebuah pedang Ratih Ningrum menyobek kain di dada Puspa Merah.

"Breeek!"

Puspa merah menjerit sambil mendekap dadanya. Ia tidak bisa memaki, karena lawannya seorang wanita.

Dia menggeram marah. "Kubunuh kau, Ratih! bentaknya seraya menyerang. Kali ini serangannya tak terarah, begitu membabi buta. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ratih Ningrum.

Dengan sebuah gerakan manis, dia membalas. Kembali pedangnya mengenai tubuh Puspa merah. Darah mengalir dari pahanya. Puspa merah terhuyung, matanya berku-

nang-kunang.

Ia tak sanggup melanjutkan pertempuran. Dengan menahan rasa sakitnya, dia berkelebat menghilang.

Ratih Ningrum menghela nafas lega. Rupanya Dewi Cantik Penyebar Maut mulai menyebarkan terornya kepadanya.

Hmm, siapa sebenarnya wanita yang bergelar menyeramkan itu.

Yang setiap detik mampu mencabut nyawa siapa yang diingininya.

Tangisan Pranata, mengalihkan perhatian Ratih Ningrum. Bergegas dia menjumpai putranya, yang menangis ketakutan. Ratih Ningrum menggendongnya.

"Hu... hu... nenek itu jahat. Nenek itu memukul Ibu," tangis Pranata. Ratih Ningrum tersenyum. "Dia tidak memukul Ibu. Ibu yang memukul dia. Dia orang jahat. Kita harus memerangi kejahatan. Ayo Pranata, katanya kau mau belajar ilmu melompat seperti ibu? Ayo kita mulai, mungkin hari ini Ayahmu kembali!"

Anak itu berhenti menangis. Dia senang dengan ilmu silat. Dan keinginan itu begitu besar. Ratih Ningrum pun senang mengajari anaknya yang baru berusia lima tahun itu. Kelihatan kalau anaknya berbakat.

Dan diam-diam dia masih memikirkan, siapa sebenarnya Dewi Cantik Penyebar Maut itu? Teror-terornya sangat mencekamkan! Tak pandang bulu, siapa saja kena terornya!

***

4

Di dalam gua itu, Dewi Cantik Penyebar Maut masih menunggu kedatangan Puspa merah bersama empat murid lainnya. Puspa merah bertugas menyelidiki keadaan Ratih Ningrum, dan kalau bisa membunuhnya! Puspa merah menjanjikan waktu seminggu untuk menyelidik itu. Dan ini adalah hari terakhir untuk Puspa merah.

Kalau Puspa merah gagal menyelidik, nyawa taruhannya. Untung dia dulu tidak berjanji akan bisa membunuhnya!

Sesosok tubuh memasuki gua dalam keadaan terhuyung. Tubuhnya penuh luka. dialah Puspa merah yang menerima kekalahan dari Ratih Ningrum.

Selama tujuh hari dia menyamar sebagai nenek tua untuk mencari Ratih Ningrum dan selagi bertemu, dia menerima kekalahan.

"Puspa merah!" jerit Melati merah yang langsung memburunya. Juga yang lain. Mereka menggotong Puspa merah dan merebahkannya di pembaringan yang terbuat dari batu.

Wajah Puspa merah kuyu dan pucat. Tubuhnya letih. Melati merah memberinya obat kuat dan pemunah racun, kalau-kalau Puspa merah keracunan.

Nindia alias Dewi Cantik Penyebar Maut, bangkit dari 'singgasana'nya. Bajunya yang terbuat dari sutera begitu indah dan berkilauan.

"Kalian minggir!" desisnya pada murid-muridnya. Lalu ia memeriksa keadaan Puspa merah menjadi pulih tenaganya. Ia lalu menotok urat di dada dan paha Puspa merah, menghentikan aliran darahnya.

Beberapa menit kemudian, dia melepaskan kedua totokan itu. Lalu membuka pakaian di dada Nindia. Kembali dia menempelkan kedua tangannya. Kali ini membuat aliran darah Puspa merah normal kembali.

Dan sungguh hebat, nafas Puspa tidak lagi terdengar memburu. Kali ini teratur. Begitu merasa dirinya agak enak dia langsung berdiri tegak. Langsung berlutut di hadapan ketuanya.

"Maaf ketua... saya tidak mampu membunuh Ratih Ningrum," katanya dengan suara takut-takut.

"Hmm," Nindia tersenyum manis, tapi menakutkan bagi Puspa merah.

"Sudah kuduga, melihat kondisimu seperti ini. Tapi kau berhasil menjumpainya, bukan?"

"Iya, Ketua."

"Di mana dia tinggal? Dan bagaimana keadaannya?"

"Dia tinggal sangat jauh dari tempat ini. Di desa Beranggih. Dan dia telah mempunyai seorang anak laki-laki yang kira-kira baru berusia lima tahun."

Sang ketua terdiam. Ratih Ningrum sudah punya anak? Betapa senangnya, dengan suami yang gagah perkasa dan anak yang mungil dan lincah. Nindia membayangkan, kalau saja dirinya yang menjadi Ratih Ningrum, betapa bahagianya.

"Kau menjumpai suaminya?" tanyanya lagi, menghilangkan khayalan yang tak mungkin tersampaikan. Dan perasaan ingin membunuh Ratih Ningrum semakin besar, Kebahagiaan itu harus dimusnahkannya, biar Ratih Ningrum merasakan bagaimana dukanya ditinggal kekasih. Apalagi jika hasratnya tak kesampaian.

Puspa merah menggeleng.

"Tidak, Ketua. Di rumah itu, hanya ada Ratih Ningrum beserta putranya."

Nindia alias Dewi Cantik Penyebar Maut kembali ke tempat duduknya semula. Ia menatap murid-muridnya satu per satu.

"Kali ini, kita akan mengadakan siasat adu domba! Untuk memusnahkan orangorang yang kubenci. Sekaligus, kita akan menggulingkan kedudukan raja. Seharusnya aku yang menjadi raja di negeri ini!

Dan untuk itu, kalian harus pandaipandai menyamar dan menyebarkan teror! Siasat itu sudah mulai kujalankan. Aku telah membunuh salah seorang dari perguruan Topeng Hitam. Dan aku telah menyalahkan Dewa Tua Pengantuk sebagai pelakunya!"

Terdengar empat seruan kaget. Dewa tua pengantuk! Orang sakti yang mereka biarkan lolos ketika menggempur kawan Datuk Sakti Berjubah Putih! Kalau begitu, ketua mengikuti gerak-gerik mereka.

Serentak keempat orang itu berlutut dan menunduk. Puspa Merah yang tidak tahu kenapa mereka berbuat begitu, hanya mengikuti, kembali berlutut.

"Maafkan kami, ketua," kata Mawar merah. "Dewa tua pengantuk itu kami biarkan lolos. Mohon ampun, Ketua."

Dewi Cantik Penyebar Maut mengibaskan tangan.

"Sudahlah, yang pasti, orang-orang perguruan topeng hitam sekarang tengah mencari Dewa Tua Pengantuk itu. Semua itu kulakukan ketika melihat dewa tua pengantuk itu keluar dari rumah Datuk sakti. Dan kebetulan sekali aku melihat seorang pemuda tampan berpakaian hitam berjalan seorang diri.

Dia langsung kubunuh.

Begitu selesai kubunuh, muncul saudara-saudara seperguruan pemuda itu. Rupanya dia pergi bersama-sama saudarasaudaranya. Mereka menanyaiku. Dan kujawab, dewa tua pengantuk yang melakukannya!

Ah, sudahlah. Sekarang, kita jalankan permainan yang baru. Yang akan sampai pada Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.

Kalian berdua, tunggulah kematian kalian!" ***

Madewa manggut-manggut mendengar penuturan istrinya mengenai kedatangan orang dari Dewi Cantik Penyebar Maut.

la bersyukur sekali, karena istrinya mampu menghalau serangan itu. Yang lebih penting lagi, Pranata Kumala tidak kurang suatu apa.

"Sebenarnya siapa Dewi sesat itu, Kakang?" tanya Ratih Ningrum pada suaminya yang masih duduk termenung.

Madewa menggeleng. Menatap istrinya. "Aku tidak tahu. Nama itu baru muncul

dan mendadak menjadi sangat besar. Begitu menakutkan dan menghantui setiap perasaan. Seolah dewi sesat itu berada di setiap urat nadi kita. Dan kedatangan dewi sesat itu akan berurusan dengan raja."

"Apa maksudmu, Kakang?"

"Kota raja diserang oleh beberapa orang wanita muda berpakaian merah. Mendengar ceritamu tadi, anak buah dewi sesat itu berpakaian berwarna merah. Siapa lagi yang memakai pakaian demikian yang menyerang kota raja kalau bukan mereka?

Dan mereka menyebutkan namaku sebagai pemimpin mereka, yang akan menggulingkan raja. Bupati Wrahatnala memanggilku sehubungan dengan peristiwa itu. Dia meminta keterangan dan pertanggung jawabanku, sebelum diajukan kepada Raja. Kini aku tahu, siapa yang membuat onar itu. Anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!" Madewa menyebut nama itu dengan geram.

Ratih Ningrum terdiam. Rupanya masalah itu. Dewi maut itu lebih dulu telah mencemarkan nama baik suaminya dan berniat ingin membunuhnya.

"Lalu apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Ratih Ningrum cemas. Sebagai istri dia patut cemas, karena semua itu demi keselamatan , suaminya.

Bahkan keluarganya!

Diliriknya Pranata yang tertidur pulas. Malas semakin larut. Entah kenapa Ratih Ningrum merasakan itu sebagai detik-detik yang mencemaskan.

Dadanya pun berdebar keras. Tetapi karena dilihatnya suaminya tenang saja, dia pun berusaha tenang.

Madewa menghela nafas panjang. "Entahlah, yang pasti, aku akan me-

nentang perbuatan Dewi Cantik Penyebar Maut itu! Padahal aku masih ada urusan dengan Tuan Abindamanyu."

Ratih Ningrum terdiam. Dia mengenal Tuan Abindamanyu itu, walaupun sampai saat ini rupa orang itu belum pernah dilihatnya,

Ratih Ningrum tahu dari cerita suaminya. Dan Abindamanyu adalah orang tua Nindia, gadis yang dulu diselamatkan suaminya dari tangan Wirapati. Ratih Ningrum pun ikut membantu, ketika dia masih menyamar sebagai Adi Permana yang bergelar Walet Putih dari Utara (baca : Dendam Orang-orang Gagah)

Ratih Ningrum juga tahu, apa urusan suaminya dengan Abindamanyu. Mempertanggung jawabkan keselamatan putrinya yang bernama Nindia.

"Lalu apa yang hendak kau lakukan, Kakang?"

"Tak ada jalan lain, Rayi. Aku harus menjelaskan semua ini padanya. Selama enam tahun ini, aku tidak mendengar kabar di mana putri Nindia berada."

"Dan bagaimana dengan orang-orang dewi sesat itu?"

"Aku pun punya urusan, yang tidak langsung melibatkan dirimu dan Pranata."

"Kenapa, Kakang?"

"Aku yakin, orang-orang itu masih penasaran sebelum membunuhmu. Dan herannya, sampai saat ini aku belum menemukan motif yang sesungguhnya dari dewi sesat itu. Dia benar-benar datang untuk menyebarkan maut. Siapa saja yang melawannya pasti dibunuh. Bahkan, yang tak mengenalnya pun dibunuh tanpa kesalahan sedikit pun!"

"Benar-benar orang yang kejam dia itu. Tetapi Kakang, aku tak akan mundur sedetik pun menghadapinya. Untukmu, untuk keluarga kita, aku rela berkorban, walau sesungguhnya aku pun tidak tahu apa motif dia sebenarnya,

Madewa menatap istrinya lama-lama. Istrinya adalah seorang anak hartawan, anak orang yang berada. Tetapi kini, hidupnya bagai diburu teror yang menakutkan.

Digenggamnya tangan istrinya. "Ratih... maafkan aku, karena hidup

bersamaku kau selalu ditimpa kesusa han. "

Ratih Ningrum balas menatap. Tersenyum.

"Tidak Kakang, aku tidak menyesal hidup bersamamu. Aku malah bangga menjadi istri seorang pendekar yang sanggup membela kaum yang lemah dan menentang kejahatan. Aku bangga, Kakang. Aku. cinta

padamu. "

Madewa tersenyum. Genggamannya semakin erat.

"Kita harus bersiap, Ratih."

"Saya siap, Kakang!" sahut Ratih Ningrum mantap.

"Kau siap kalau aku tinggal beberapa lama?" Ratih Ningrum menatap suaminya penuh selidik-

"Kau hendak kemana, Kakang?"

"Kau sudah lupa, Rayi. Aku masih ada tugas untuk menyelesaikan urusan dengan Abindamanyu. Kurasa saat inilah yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu. " Ratih Ningrum terdiam, lalu menggeleng.

"Kau lupa, Kakang.... Kalau nyawa kami terancam oleh orang-orang dewi sesat itu?"

"Itulah persoalannya sekarang. Aku bingung hendak bagaimana. "

Suasana hening. Kedua suami istri itu terdiam. Tahu-tahu Ratih Ningrum menepuk bahu suaminya. Wajahnya riang.

"Kakang... bagaimana kalau aku ikut bersamamu? Juga anak kita Pranata. Dia pasti senang kita pergi berjalan-jalan. Anggaplah kita sedang bertamasya. Bagaimana, Kakang? Kau setuju dengan usul itu?"

Mata Madewa Gumilang terbuka. Suatu usul yang bagus. Dia jelas setuju.

Madewa mengangguk.

"Usul itu sebenarnya sudah ada di benakku. Tapi aku takut mengemukakannya."

"Kenapa?"

"Kau anak orang kaya, Rayi. Ikut denganku, kesengsaraan akan turut bersamamu. Maksudku tadi, aku hendak mengirimkan kau dan Pranata ke tempat tinggalmu di desa asalmu. Jatiberingin. Di sana kau akan aman bersama tiga pengawal setia ayahmu... yang sekaligus adalah  gurugurumu. "

"Tidak," potong Ratih Ningrum tegas. "Aku akan tetap ikut bersamamu, Kakang. Biar bagaimana nasib yang aku terima, bersamamu aku akan selalu senang. Izinkan aku ikut, Kakang? Juga Pranata. Izinkan aku, Kakang."

Madewa tersenyum. Mengecup dahi istrinya.

"Aku akan membawa kalian serta. Kalian adalah harta dan benda kesayanganku. Orang-orang yang sangat kukasihi hidup dan mati Lahir dan batin". bisik Madewa lembut di telinga istrinya.

Istrinya merebahkan tubuhnya didada suaminya. Ratih Ningrum merasakan detak jantung suaminya yang teratur.

Dia pun mengasihi suaminya. Suaminya yang dulu hanya merupakan seorang pengawal pribadinya (baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari)

Kali ini, selama enam tahun mereka menempati rumah mungil itu, besok atau mungkin lusa, mereka akan meninggalkannya.

***

5

Keesokan harinya, sebelum matahari sepenggalah, Madewa Gumilang, Ratih Ningrum dan anak mereka, Pranata Kumala, sudah meninggalkan rumah mungil itu. Mereka hanya membawa barang-barang yang ringanringan saja.

Ratih Ningrum agak sedih meninggalkan rumah yang sudah enam tahun mereka tempati. Perasaannya amat sayang dengan rumah itu. Tetapi keadaan begitu mendesak, tak ada jalan lain. Mereka memang harus meninggalkan tempat itu!

Meninggalkan rumah mungil itu.

Hanya Pranata Kumala yang nampak gembira. Dia senang ayah dan ibunya mengajaknya jalan-jalan. Dia tidak tahu, padahal setiap saat maut siap menerjang mereka.

Dan mencabut nyawa mereka!

Desa tempat tinggal Abindamanyu begitu jauh dengan desa Renggih. Jaraknya bagaikan ribuan mil.

Ketika tiba di penginapan pertama, Madewa membeli dua ekor kuda. Dan kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini agak lumayan. Ditempuh dengan kuda sepertinya menghemat waktu.

Ketika melewati sebuah hutan kecil tiba-tiba di hadapan mereka, muncul delapan orang berpakaian kerajaan. Mereka menghadang dengan sikap mereka yang buas dan marah. Masing-masing memegang senjata.

Madewa menghentikan laju kudanya. Dan menyuruh istrinya menjajari kudanya. Sementara Pranata Kumala jengkel, karena ibunya menghentikan laju kudanya.

Madewa melompat turun. Menghadapi orang-orang itu.

"Ada apa kiranya orang-orang kerajaan menghadang perjalanan kami?" tanyanya setelah menjura.

"Hhh!" mendengus salah seorang dari mereka, yang nampaknya pemimpin orangorang itu. "Rupanya kau berada di sini, Madewa! Hampir satu hari satu malam kami mencarimu!"

Madewa merasa, ini ada persoalan yang gawat. Sikap pengawal kerajaan itu tidak bersahabat. Nada suaranya menyentak dan menjengkelkan. Menandakan dia sedang dalam puncak kemarahan. Entah apa sebabnya. "Ada persoalan apakah kalian mencariku?" tanya Madewa tetap dengan sikap so-

pan.

"Jangan banyak cakap, Madewa! Kami diperintahkan untuk segera menangkapmu".

"Hei, ada persoalan apa gerangan?!" seru Madewa terkejut. Juga istrinya yang mendadak bersiap. Sepasang pedang di punggung Ratih Ningrum menjadikan wanita itu nampak kehebatan dan kepandaiannya.

"Hhh, kau berpura-pura, Madewa! Rupanya kecurigaan Bupati terhadapmu memang beralasan. "

"Tunggu Saudara... ada apa gerangan?" potong Madewa bingung. "Baik, walau aku tahu tak ada gunanya memberitahumu. Karena kau sendiri yang menjalankan aksi pembunuhan itu!"

"Pembunuhan?!" Madewa terbelalak, Ratih Ningrum pun terkejut. Orang itu tertawa sinis.

"Yah... kau telah menyerang rumah Bupati Wrahatnala karena dendam dipanggil kemarin. Kini Bupati menugaskan kami untuk menangkapmu!" Orang itu mengangkat tangannya ke atas. Mendadak dengan serentak yang lain mempersiapkan senjata mereka masing-masing. Mengambil sikap siap tempur. "Madewa... kami tidak Menginginkan adanya pertumpahan darah. Untuk itu kami minta, kau mengaku dengan sikap kesatria. Siap menerima hukuman sesuai dengan perbuatanmu! Cepat! Ku hitung sampai tiga. Satu...!"

Madewa masih terdiam. Dia mendugaduga siapa yang telah melakukan pembunuhan itu. Pasti orang itu sangat sakti, karena tokoh-tokoh utama kerajaan mati terbunuh.

Dan lagi-lagi namanya yang dipakai sebagai kambing hitam!

"Dua...!"

Apa tidak mungkin orang-orang dewi sesat itu yang memulai terornya? Untuk bertanya pada orang-orang yang sedang marah itu tidak mungkin. Pikiran mereka hanya satu, menjalankan perintah. Dan perintah itu untuk menangkapnya! Atau membunuhnya.

"Tiga... seraaaang!"

Madewa tersentak. Orang-orang itu segera berterjangan ke depan. Cepat dan dahsyat diiringi oleh pekikan.

Tersadar Madewa bersalto menghindar. Ia berseru pada istrinya, "Rayi...

cepat kau menghindar dari tempat ini.' Cepat, Rayi!"

Ratih Ningrum memutar kudanya. Dan dari kejauhan melihat suaminya bertempur. Ada keinginan untuk membantu. Tetapi dia yakin, suaminya mampu menghadapi mereka. Selain itu, Pranata tidak mau ditinggal sendiri.

Ratih Ningrum hanya memperhatikan Bagi Madewa Gumilang, menghadapi

orang-orang ini tidak susah. Dengan mudah dia bisa menjatuhkan mereka. Orang-orang yang tahu hanya pada perintah.

Dan orang-orang yang tak berdosa. Dia tidak ingin menjatuhkan tangannya pada mereka. Sampai sejauh itu dia hanya menghindari serangan-serangan mereka. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, seranganserangan itu mampu dielakkan.

Tetapi kalau begini terus, lama kelamaan tenaganya akan terkuras. Dan pertempuran itu memang percuma.

Tiba-tiba Madewa bersalto, dan dengan sigap cepat dia menyambar pemimpin kelompok itu. Gerakannya cepat dan penuh perhitungan.

Melihat  pimpinan mereka  ditawan, orang-orang itu bergerak kembali. Madewa bersalto. Mendadak orang-orang itu menghentikan serangannya kuatir mengenai teman mereka sendiri. Kesempatan itu digunakan Madewa untuk kembali menyambar pemimpin mereka. Dan menyeretnya agak jauh. Golok yang dipegang orang  itu kini digenggamnya.  Tangannya  menelikung di leher. Dan goloknya mengancam. Siap mene-

bas lehernya.

"Semua berhenti, kalau tidak, orang ini kubunuh!" bentak Madewa. Orang itu meronta.

"Jangan takut, bunuh saja dia! Bunuh saja dia! Aku rela mati untuk kerajaan dan keadilan!"

"Setan!" Madewa menabok pipi orang itu hingga memerah. Lalu membentak pada pengawal kerajaan yang lain, yang ingin maju dengan ragu-ragu, "Cepat kalian pergi dari sini! Katakan kepada raja, kalau bukan aku yang melakukan pembunuhan itu! Cepat pergi!"

Orang yang ditekuk lehernya itu berseru, "Jangan hiraukan perkataannya, serang dia!"

"Jangan mendekat, kubunuh orang ini!" bentak Madewa. Goloknya terangkat. Orangorang yang mau menyerang itu menjadi ragu.

Madewa mempergunakan kesempatan itu.

Tangannya dengan cepat menotok orang itu hingga kaku. Dan dia berkelebat dengan cepat. Menyambut senjata-senjata pengawal yang lain. Gerakannya sukar diikuti oleh mata. Tahu-tahu mereka merasakan senjata tidak ada lagi di tangan.

Dan di hadapan mereka Madewa Gumilang sudah menggenggam senjata-senjata itu.

Orang-orang itu terperangah. Sungguh suatu pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang sempurna.

"Cepat kalian minggat dari sini!"seru Madewa berwibawa. "Katakan kepada Bupati bukan aku yang melakukan aksi pembunuhan itu! Dan katakan pula, aku akan membongkar aksi itu, yang telah mengambing hitamkan namaku! Akan kubongkar sampai ke akar-akarnya!"

"Madewa! seru salah seorang. "Kami memandang nama besarmu. Dan kami kecewa kau telah melakukan perbuatan keji itu. Madewa, kami minta kau secara suka rela menyerahkan diri kepada Bupati untuk diserahkan kepada Raja!"

"Bagaimana mungkin aku menyerahkan diri, kalau bukan aku yang melakukan semua itu! Kalian memang para pengawal Bupati yang setia, tetapi kalian telah salah melihat orang! Di belakang semua ini, pasti ada seorang yang membenciku, yang tega memakai namaku di balik kejahatannya! Untuk itu, secara damai pun kalian kubiarkan bebas. Dan katakan semua perkataanku itu kepada Bupati!"

"Orang itu menggeleng. Katanya keras kepala, "Kami tidak akan kembali sebelum membawamu serta. Kami ingin membaktikan tenaga untuk kerajaan. Biar bagaimana pun kami tetap akan menyerangmu!".

"Tahan! Jika aku mau dengan mudah nyawa kalian kucabut. Tetapi aku bukanlah orang yang telengas, yang ringan menjatuhkan tangan! Kita semua salah paham. Izinkan aku untuk membersihkan nama baikku! Kuminta sekali lagi, kalian tinggalkan tempat ini! Dan sampaikan maafku kepada Bupati Wrahatnala!"

"Tidak!"

"Kau keras kepala, Saudara! Baiklah, aku akan menyerahkan diri secara suka rela, tetapi tolong jelaskan... jalannya aksi pembunuhan itu!"

Merasa Madewa mau menyerahkan diri dengan suka rela, orang itu mulai, bercerita.

Kemarin malam keadaan rumah Bupati Wrahatnala aman dan damai. Bupati tidak merasa sedikit pun akan adanya serangan gelap. Apalagi orang yang dituduh Madewa Gumilang, telah berjanji akan menangkap orang-orang yang membuat keonaran. Dia tidak ingin berita pemberontakan itu sampai kepada Raja. Dia ingin menyelesaikan dulu semua persoalannya.

Walaupun Bupati tidak begitu yakin akan ucapan Madewa, karena Bupati masih mencurigainya!

Dan menjelang tengah malam, terdengar pekikan dari pintu gerbang. Serentak seisi rumah terbangun. Dan menemukan orang yang menjerit tadi. Orang yang telah menemui ajalnya yang sangat mengerikan. Tubuhnya hancur dan wajahnya tak terbentuk lagi. Tetapi Bupati yakin, itu adalah salah seorang dari pengawalnya.

Bupati Wrahatnala marah besar melihat aksi pembunuhan itu. Malam itu juga dia mengadakan rapat, dengan memanggil pembantu-pembantunya yang terdiri dari penasehat dan beberapa orang yang mempunyai kepandaian silat.

Dalam rapat itu salah seorang yang bernama Senomurka, seorang ahli silat berpendapat, "Bupati yang terhormat, jika melihat bentuk tubuh yang hancur itu, hanya ada satu ilmu yang bisa melumatkan demikian. Dan hanya sekali pukul orang itu bisa hancur!"

"Hmm... pukulan apa itu, ya ahliku?" tanya Wrahatnala yang sudah sangat marah sekali.

Senomurka menghela nafas, lalu berkata lambat-lambat.

"Pukulan bayangan sukma." "Pukulan bayangan sukma?" jerit Wrahatnala terkejut. Bukan dia saja yang terkejut, beberapa tokoh lain pun terkejut.

Pukulan bayangan sukma, pukulan yang begitu dahsyat! Dan hanya seorang di dunia ini pemiliknya.

"Apakah Madewa Gumilang yang telah melakukan aksi pembunuhan itu?" gumam Wrahatnala sangsi.

"Kemungkinan itu bisa saja, Bupati Wrahatnala. Kita semua tahu, hanya Madewa Gumilang yang memiliki pukulan sakti itu. Tetapi kita tidak tahu, apa maksudnya membunuh pengawal kita."

Semua terdiam. Suasana hening. Saling berpikir menemukan jawaban. Ada pula yang meragukan kebenaran itu, tetapi ada juga yang mengiyakannya. Termasuk Wrahatnala yang yakin Madewa Gumilang yang melakukan aksi itu.

"Aku tahu wahai segenap pembantuku," kata Wrahatnala kemudian. "Bukankah akhir-akhir ini kita mengetahui, kalau Madewa Gumilang bermaksud menggulingkan tahta kerajaan. Tak salah lagi, pasti dia memulai lagi aksinya! Untuk itu kepada kalian semua... jika bertemu dengan manusia sesat itu, kalian tangkap dan hadapan kepadaku!"

Semua setuju dengan pendapat Bupati Wrahatnala. Memang hanya itu satu-satunya kemungkinan. Dan semua geram dengan Madewa Gumilang, tokoh sakti yang mereka sangka arif dan bijaksana, tahunya mempunyai niat yang keji dibalik kebaikannya itu.

Tiba-tiba selarik sinar merah berkelebat ke ruang rapat itu. Dan menghantam dinding hingga hancur berantakan.

Semua tersentak. Serangan tersembunyi yang berbahaya. Untung tidak diarahkan kepada salah seorang di ruangan itu. Beberapa orang bersalto mendekati Bupati dengan maksud melindunginya. Dan beberapa orang lagi bersiaga. Rupanya Madewa Gumilang sudah kembali menjalankan aksinya.

Kali ini, langsung kepada Bupati sebelum menjalankan aksinya kepada Raja.

Tiba-tiba meloncat sesosok tubuh dengan ringannya di hadapan mereka. Tubuh itu tertutup pakaian putih-putih, juga wajahnya. Dilihat dari posturnya, tubuh seorang laki-laki. Dan matanya memancarkan nafsu membunuh.

Terdengar suara hardikan Senomurka, "Hmm, siapa sebenarnya, Kisanak? Dan mau apa mengirimkan serangan keji tadi?"

Orang itu terbahak. Dan tahu-tahu menuding kepada Bupati Wrahatnala!

"Kau? Hari ini aku bermaksud mengambil nyawamu. Dan kuminta, dengan baikbaik, kau mau menyerahkannya kepadaku, kalau tidak, pukulan bayangan sukmaku akan menghancurkan seisi rumah ini! Kau telah mengganggu kerjaku untuk merebut tahta kerajaan!"

Diam-diam Wrahatnala terkejut. Pukulan bayangan sukma. Kalau begitu dugaannya benar, Madewa Gumilang yang melakukan semua ini. Dan dengan alasan yang tepat pula!

Wrahatnala menggeram. Melangkah ke depan.

"Tidak semudah itu, Saudara? Tahta kerajaan bukanlah kue yang seenaknya dibagi dan berpindah tangan. Dan tak akan pernah ada orang keji macam kau memimpin kerajaan! Kau mimpi, Saudara! Keinginanmu keinginan yang busuk, yang bersumber dalam hati yang busuk. Yang menginginkan malapetaka terjadi bukan untuk kedamaian dan ketentraman. Dan kuminta Saudara, jangan mengganggu ketenangan daerah ini"

Belum lagi Bupati habis bicara, orang itu sudah mengibaskan tangannya.

"Aku segan mendengar khotbahmu, Bupati! Kuminta kerja sama kita untuk menggulingkan kerajaan!" Tahu-tahu selarik sinar merah berkelebat.

Bupati memekik dan bersalto ke samping. Begitu pula dengan yang berdiri di belakangnya. Serentak pula mereka bersalto. Sekali lagi sinar merah itu menghancurkan dinding ruang rapat.

"Bangsat!" membentak tokoh yang berpakaian gombrong berwarna hijau. Berambut panjang sampai sebahu. Dengan masih bersalto dia menyerang orang yang berpakaian putih-putih.

Ganti orang itu berkelit. Sambil berkelit dia mengirimkan serangan jarak jauhnya.

Tokoh yang memakai baju hijau itu berkelit pula. Dan balas menyerang dihadapkan Bupati dan pembantu-pembantunya, keduanya saling menyerang. Seranganserangan yang berbahaya saling dilancarkan. Pukulan jarak jauh yang berkelebat menambah hebatnya pertempuran.

Tetapi sampai sejauh itu keduanya belum ada yang nampak kelihatan kalah. Keduanya masih dalam keadaan seimbang Beberapa jurus telah berjalan.

Memasuki jurus ke-21, kelihatan orang betul pakaian putih-putih itu berada di atas angin. Dial mulai mendesak pembantu Bupati itu dengan1 serangan-serangan yang mematikan.

Dan tiba-tiba dia membentak seraya melesat, "Awas serangan!"

Pembantu Bupati itu terkejut. Serangan orang berbaju putih demikian cepatnya. Dan pukulan tangan kanannya tepat menghantam dadanya hingga muntah darah.

Terdengar jeritan dari seberang, "Pukulan bayangan sukma!"

Tokoh berbaju hijau itu menemui ajalnya dengan tubuh hancur!

Orang berbaju putih-putih itu terba-

hak.

"Cepatlah Bupati, sebelum aku telen-

gas menurunkan tangan kepadamu!"

Bupati yang yakin bahwa itu Madewa Gumilang berseru, "Madewa... tokoh putih seperti kau, ternyata punya pikiran yang amat hina sekali. Biar bagaimana saktinya kau, aku tetap tidak akan membantumu menggulingkan kerajaan.

Bahkan aku akan mempertahankannya sampai titik yang penghabisan."

"Kalau itu permintaanmu, baik. Aku, Madewa Gumilang, telah bersumpah akan merebut tahta kerajaan darimu. Atau dari siapa pun! Bersiaplah Bupati!"

Belum lagi Bupati memerintahkan pengawalnya menyerang, mereka sudah berkelebat ke depan. Dan mengurung orang yang mengaku Madewa itu.

Orang berpakaian putih-putih itu tenang saja. Sedikit pun tidak kelihatan takut. Malah yang mengurung mereka, menjadi agak gentar dengan kehebatan dan kesaktian Madewa Gumilang sudah menembus langit ke tujuh.

Tetapi mereka bukanlah orang-orang yang penakut dan gentar. Demi kebenaran mereka sanggup membela.

Dan serentak pula mereka mengeluarkan jurus masing-masing. Orang berpakaian putih-putih itu terbahak.

"Ha... ha... keluarkan semua jurus kalian. Dengan pukulan bayangan sukmaku kalian akan hancur berantakan. Cepat maju dan perlihatkan serangan kalian!"

Seperti dikomando, mereka serentak menyerang. Dengan tenaga dalam yang hebat. Dan serangan yang serempak. Membuat orang berpakaian putih-putih agak kebingungan sejenak. Tapi kemudian dia membentak. Tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap agak jauh dari orang-orang yang mengurungnya.

Orang-orang itu berbalik dan kembali menyerang. Kali ini serangan mereka disambut dengan sinar merah yang melesat dengan cepat.

Dan orang-orang itu membuyar, masingmasing berusaha menyelamatkan diri. Tetapi sinar merah itu terus melesat ke arah Wrahatnala yang tengah terpaku memperhatikan pertempuran itu.

"Awaaaas!" Senomurka menjerit. Dan menerjang Bupati hingga bergulingan. Sinar merah itu melesat dua senti di atas kepala Wrahatnala.

Wajah Bupati pias. Lawannya itu bukanlah orang sembarangan. Dia yakin, Madewa Gumilang!

Lagi-lagi wajah Bupati pias, di arena pertempuran tinggal seorang pembantu utamanya yang masih mampu bertahan. Sedangkan yang empat orang sudah menemui ajalnya dengan tubuh hancur!

Dan yang seorang pun tak bertahan lama, dia pun mati dengan tubuh hancur pula!

Orang berpakaian putih-putih itu meludah di atas mayat-mayat itu. Dan berpaling kepada Wrahatnala menuding.

"Kuperingatkan kepadamu, Bupati! Kalau kau tetap tidak membantuku, baik, kubunuh kau!"

Tetapi Wrahatnala bukanlah orang yang mudah digertak. Dengan berwibawa dia menyahut, "Sampai kapan pun aku tak akan mau membantumu Madewa! Sayang, tokoh sakti dari golongan putih telah membuat dosa yang tak berampun!"

"Aku tak suka dengan khotbahmu, Bupa-

ti!

Kau menginginkan kekerasan daripada

sukarela. Jangan salahkan aku kalau malam ini kucabut nyawamu!"

Orang itu bersiap. Senomurka cepat bertindak. Berdiri di depan Wrahatnala. Tangannya mengibas ke belakang, memberi tanda agar Bupati segera masuk ke dalam.

Tetapi Wrahatnala tidak beranjak dari tempatnya. Biar bagaimana pun, dia tetap tak akan mundur. Walaupun ajal menjemputnya!

Orang berpakaian putih-putih itu terbahak melihat sikap Senomurka.

"Kau hanya mengantarkan nyawa kepadaku, Orang jelek! Kau lihat lima orang kawanmu saja tak mampu menangkapku, apalagi hanya kau seorang!"

"Aku pun tak suka kau berkhotbah," sahut Senomurka tak kalah seramnya. "Kita buktikan!"

Sesudah berkata begitu dia melompat ke depan. Baru saja dia hinggap di tanah, dirasakannya desiran angin yang kuat menerjang ke arahnya, Dengan cepat dia merunduk dan menangkis.

"Buk!"

Dua buah pukulan yang penuh tenaga itu saling berhantam. Senomurka merasakan tangannya kesemutan. Tak urung orang berpakaian putih-putih merasakan hal yang sama.

Dia bisa menduga, Senomurka tidak bisa dianggap main-main. Tenaga dalamnya seimbang.

Begitu pula dengan Senomurka. Dia tetap tidak berani menganggap enteng Madewa Gumilang.

Orang berpakaian putih-putih itu menyerang kembali. Kali ini dorongan angin yang agak besar siap menyambar. Dia tidak berani menangkis, dia hanya berkelit sedikit. Dan secepat kilat kepalanya menyambar.

Sungguh hebat. Dalam posisi demikian, orang berpakaian putih-putih itu berbalik dan menangkis pukulan Senomurka.

Kembali dua pukulan beradu. Kali ini mereka tidak merasakan lagi. Langsung saling menyerang dengan penuh nafsu ingin menjatuhkan.

Puluhan jurus telah berlangsung, tetapi belum ada tanda-tanda yang kalah. Semuanya masih bertahan dengan sekuat tenaga.

Tiba-tiba Senomurka berguling. Dan melemparkan senjata rahasianya yang berbentuk jarum-jarum berbisa.

Orang berpakaian putih-putih itu terkejut sedang melancarkan serangannya. Dan serentak bersalto ke belakang. Tetapi tak urung sebuah jarum berbisa itu mengenai bahunya. Orang itu mengaduh dan terjatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan Senomurka, dia menjerit dan menerjang. Tetapi orang berpakaian putih masih sempat melepaskan pukulan jarak jauhnya, yang

mengurungkan niat Senomurka.

Kali ini orang itu tak sia-sia melepaskan kesempatan. Selagi Senomurka sibuk menghindar. Dia melesat dan menghilang di kegelapan malam.

Senomurka menggeram marah. Orang itu sudah tidak nampak lagi wujudnya. Senomurka memeriksa tubuh-tubuh kawannya yang sudah menjadi mayat.

Benar-benar terkena pukulan bayangan sukma!

Senomurka berpaling kepada Wrahatnala yang masih berdiri tegak. Kali ini kelihatan jelas, kalau Wrahatnala tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Senomurka menghampiri, menjura hormat, "Maafkan saya, Tuanku. saya tak berhasil menangkap orang itu. "

Bupati tergagap. Dia menatap Senomurka yang menunduk.

"Semua ini terjadi di luar kehendak kita, Senomurka. Dan mulai besok, umumkan kesegala pelosok negeri, kalau Madewa Gumilang menjadi buronan orang istana! Dan laksanakan semua itu, sebutkan berita ini sampai kepada Raja!"

Pengumuman ini besoknya pun terdengar, bertepatan dengan Madewa Gumilang, Ratih Ningrum dan putra mereka, meninggalkan rumah berangkat menuju kediaman Abindamanyu.

Dan orang-orang kerajaan pun sudah berkeliaran mencarinya. Kali ini delapan orang kerajaan berjumpa dengannya. Namun tak dapat berbuat apa-apa karena Madewa telah merebut semua senjata mereka.

Setelah mendengar penuturan salah seorang dari pengawal itu, Madewa manggut-manggut.

Mencoba menganalisa aksi pembunuhan itu. Orang berpakaian putih-putih yang mengaku sebagai dirinya. Dan mempunyai pukulan bayangan sukma. Tiba-tiba Madewa terlonjak.

Dia ingat dari salah satu penuturan itu. Sinar merah!

Hhh, Madewa menggeram. Siapa lagi orangnya yang memakai pukulan jarak jauh berwarna merah. Pasti anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!

Lagi-lagi dirinya yang menjadi kambing hitam! Kenapa?

"Madewa!" bentak pengawal itu. "Cepat kau serahkan dirimu pada kerajaan!"

"Tidak, aku tidak akan menyerahkan diri pada kerajaan. Aku akan mencari orang-orang yang membuat namaku cemar! Dan katakan kepada raja, orang itu adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut. Hanya mereka yang mempunyai pukulan jarak jauh berupa sinar merah! Bisa kalian sampaikan salam ku itu sekarang juga!"

Madewa membebaskan totokannya pada tubuh pengawal yang kaku. Dan melemparkan senjata yang dipegangnya.

Entah kenapa kali ini mereka menurut. Rupanya nama Dewi Cantik Penyebar Maut membuat mereka gentar. Dengan terburuburu mereka mengambil senjatanya masingmasing dan berhamburan meninggalkan tempat itu.

Madewa merenung. Lagi-lagi Dewi Cantik Penyebar Maut. Dan Madewa ingin sekali cepat-cepat bertemu dengan orang itu. Sayang dia tidak tahu di mana kediaman dewi sesat itu!

Ia berbalik hendak menemui anak dan istrinya, Madewa terkejut. Istri dan anaknya tidak ada di tempat tadi. Madewa melesat ke depan. Ke mana mereka pergi? Hanya ada kudanya saja.

"Ratih! Pranata!" serunya kalang ka-

but.

Tetapi tak ada sahutan. Hanya desir

angin yang menggesek dedaunan. Madewa mencari di segenap tempat itu, tetapi tak ditemukannya orang-orang yang dicintainya.

Ia tertunduk. Entah apa yang telah terjadi dengan istri dan anaknya.

Tahu-tahu pandangannya terbentur pada benda hitam di tanah. Dia memungutnya. Sebuah topeng hitam! Madewa mengenal topeng hitam itu. Merupakan senjata rahasia dan sekaligus lambang dari perguruan Topeng Hitam.

Dan Madewa sadar, kalau anak istrinya telah diculik oleh orang-orang topeng hitam!

Dia tidak akan membiarkan semua ini. Lebih baik diurungkan saja niatnya ke rumah Abindamanyu. Dia harus segera mencari anak istrinya.

Entah ada urusan apa anggota topeng hitam menculik anak istrinya. Padahal Madewa yakin, dia tidak pernah punya urusan dengan orang-orang perguruan topeng hitam.

Kembali satu persoalan muncul. Dan persoalan yang amat pelik. Belum terselesaikan persoalan yang satu, muncul yang lain.

Mempertanggungjawabkan putri Nindia pada Abindamanyu, belum dilaksanakan. Mencari orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut. Membersihkan namanya yang mulai cemar.

Satu saja belum berhasil dia bereskan!

Tetapi nyawa anak istrinya lebih berharga dari semua itu! Biar, biar dia meninggalkan kewajiban itu semua.

Anak istrinya harus dicari sampai da-

pat!

Jika anak istrinya terluka atau lecet

sekali pun, dia bersumpah, akan menghancurkan perguruan topeng hitam itu.

Madewa melompat ke kudanya. Menggeprak dan melarikannya dengan cepat.

Sementara itu, delapan pengawal kerajaan sekarang sudah tidak berlari. Mereka berjalan kaki dengan penuh kegeraman dan penyesalan karena tidak berhasil menangkap Madewa Gumilang.

Ketika melewati sebuah hutan, beberapa sinar merah berkelebat. Dan menghantam tubuh mereka hingga hangus.

Lalu berkelebat sesosok tubuh berpakaian merah.

"Hhh!  Manusia-manusia tak  berguna! Bukannya dibunuh saja Madewa Gumilang! Sampaikan pesannya itu di akhirat nanti!"

Lalu sosok tubuh berpakaian merah itu menghilang.

***

6

Sebenarnya bagaimana mulanya Ratih Ningrum dan Pranata Kumala bisa menghilang?

Baiknya kita ikuti dulu asal mulanya. Ketika suaminya sedang bertempur den-

gan para pengawal kerajaan itu, Ratih Ningrum sudah ingin turun tangan membantu. Dia geram mendengar suaminya dituduh membunuh para tokoh-tokoh utama istana.

Ingin dihabisi saja orang-orang itu!

Tetapi agaknya suaminya tidak ingin membunuh mereka, dilihat dia hanya menghindari serangan-serangan itu tanpa membalas. Ratih Ningrum jadi enggan membantu. Walaupun dia bosan menunggu.

Pranata Kumala sudah tidak sabar ingin segera melarikan kudanya. Dia merengek terus. Akhirnya Ratih Ningrum menjalankan kudanya sekadar menghibur Pranata Kumala sekalian menunggu suaminya selesai berurusan dengan orang-orang kerajaan.

Pranata gembira ketika kuda mulai melaju lagi. Dia tertawa-tawa. Begitu pula dengan Ratih Ningrum, yang menjalankan kudanya dengan santai.

Tanpa menyadari kalau beberapa pasang mata berpakaian hitam-hitam mengintai dari balik semak.

Dan berloncatan menghadang! Semuanya memakai topeng hitam.

Ratih Ningrum tersentak. Seketika ia menghentikan kudanya. Saking kerasnya ia menarik kendali, kuda sampai terangkat dan meringkik hebat.

Sebagai wanita yang telah digembleng mental dan fisiknya, Ratih Ningrum tenang menghadapi penghadangannya.

Dia bertanya, "Maaf, kenapa kalian menghadangku?"

Salah seorang menyahut, "Kami dari perguruan Topeng Hitam, menginginkan nyawamu!"

"Ada persoalan apa gerangan?" Ratih Ningrum masih bertanya dengan sikap tenang. Sementara Pranata Kumala terdiam. Heran dengan orang-orang yang berpakaian hitam-hitam itu. Mau apa sih mereka? Mengganggu keasyikan nya naik kuda saja? Hhh! Sebel!

"Kami hanya menginginkan nyawamu! Perguruan Topeng Hitam muak dengan tingkahmu!" suara itu semakin bengis dan angker. Penuh nafsu ingin membunuh.

"Sebentar, Saudara!" Masih tetap tenang sikap Ratih Ningrum. "Kupikir, selama ini tingkah lakuku tidak pernah bertentangan dengan perguruan Topeng Hitam. Lalu mendadak saja kalian menginginkan nyawaku! Apa itu tidak salah?"

"Salah atau tidak salah, kami akan menangkapmu!" Salah seorang mencabut pedangnya-Dan dua orang yang lain berbuat yang sama. Mereka mengambil sikap mengurung Ratih Ningrum.

Ratih Ningrum masih tenang duduk di atas kudanya.  Tetapi sikap orang-orang lama kelamaan membuatnya menjadi jengkel. "Baik, kulayani-kemauan kalian! Asal ingat, jangan ganggu putraku! Kulihat dia terluka, aku bersumpah  demi  langit dan bumi, akan menghancurkan kalian dan per-

guruan Topeng Hitam!"

Sesudah berkata begitu, Ratih Ningrum bersalto sambil mencabut sepasang pedang kembarnya dan berhadapan dengan tiga orang dari perguruan Topeng Hitam itu.

Sikapnya masih tetap tenang. Dia belum mulai serangannya. Menurut Ratih Ningrum, dia tidak punya salah. Lebih baik menunggu orang-orang itu menyerang.

Dan dia tidak menunggu lama, karena salah seorang dari mereka sudah menyerang. Dengan sepasang pedang pula. Jurus-jurus pedang perguruan Topeng Hitam sudah tidak boleh disangsikan lagi kehebatannya. Jurus-jurus pedangnya mematikan. Cepat dan dahsyat.

Tetapi Ratih Ningrum bukan sembarang pendekar wanita. Dia digembleng oleh tiga gurunya yang sakti. Dengan sepasang pedang kembar pemberian gurunya yang bernama Mukti, dia menghadapi seranganserangan itu.

Keduanya lincah memakai jurus masingmasing.

Menjelang jurus ke-8, Ratih Ningrum berhasil menjatuhkan sepasang pedang lawannya dan kesempatan itu digunakan untuk terus menyerang.

Bersamaan dengan itu, dua orang yang lain memapaki. Menyabet pedang Ratih Ningrum hingga menimbulkan pijar dan suara yang nyaring. Selamatlah nyawa teman mereka yang satu itu. Kini Ratih Ningrum dikeroyok dari dua jurusan. Empat buah pedang lawan berkilatan berkelebat di timpa matahari.

Ratih Ningrum masih lincah menghindar. Bahkan meningkatkan permainan pedangnya. Ia memperpadukan dengan jurus pukulan tangan seribunya. Yang membuat pedang di tangannya terlihat berjumlah seribu.

Tiba-tiba terdengar pekikan keras, orang yang terjatuh tadi bangkit menyerang. Ratih Ningrum merasakan dorongan angin yang keras mendekatinya. Dia berkelit dan menangkis. Lalu memberikan satu tusukan melalui pedangnya.

Tetapi orang itu sungguh lincah, dia masih tetap bersalto menghindari tusukan itu.

Sekarang Ratih Ningrum yang kelimpungan menghadapi serangan itu. Tiga orang mengeroyoknya dengan hebat.

Ratih Ningrum bertahan mati-matian, dengan harapan suaminya sudah menyelesaikan persoalannya dengan pengawal-pengawal kerajaan itu. Dan datang membantunya.

Tetapi sampai pedangnya terlepas satu, suaminya masih belum datang juga. Putus sudah harapannya untuk bertahan. Ketika salah seorang dari orang itu berhasil mengirimkan pukulannya ke dada.

Dia merasakan dadanya seakan mau pecah. Nafasnya terasa sesak dan matanya berkunang-kunang. Tahu-tahu dia mencium bau wangi yang harum sekali.

Mendadak tubuhnya melemah. Terhuyung. rupanya bau itu adalah uap bius, yang membuatnya kelimpungan.

Dan mendadak dia terjatuh.

Orang-orang itu tidak menyerang lagi. Salah seorang memerintah, "Kau, cepat beresi bocah itu! Dan kau, bawa kuda itu mendekati pertempuran Madewa Gumilang dengan pengawal kerajaan! Dan jangan lupa, lemparkan beberapa senjata rahasia perguruan Topeng Hitam seperti siasat kita!

Cepat!"

Dua orang yang diperintah itu bergerak dengan cepat. Seorang melompat dan menotok urat di punggung Pranata Kumala, lalu menggendongnya.

Yang seorang lagi membawa kuda itu dengan hati-hati. Mendekati Madewa Gumilang yang masih bertempur dengan orangorang kerajaan. Dan melemparkan beberapa buah senjata rahasia Perguruan Topeng Hitam di sekitar kuda itu sendiri.

Sementara yang memerintah membereskan Ratih Ningrum yang dalam keadaan pingsan. Semua itu dilakukan dan terjadi begi-

tu cepat. Madewa tidak menyadari kalau istri dan anaknya sudah tidak berada lagi di tempat.

Setelah tugas mereka selesai, orangorang bertopeng hitam itu melesat meninggalkan tempat itu.

Dalam hati mereka tertawa, melihat siasat yang mereka jalankan membawa hasil.

Semua siasat yang hebat. Ketua memang telah memperhitungkan semuanya dengan matang.

* * * Ada baiknya kita tengok dulu keadaan Abindamanyu dan istrinya yang bernama Nadia.

Sejak penculikan Nindia lima setengah tahun yang lalu, keadaan istrinya nampak mulai payah. Dan kerinduannya terhadap putri tunggal mereka, semakin menggunung dirasakan oleh istrinya. Begitu pula dengan Abindamanyu, yang setiap hari kerjanya selalu termenung.

Istrinya lebih parah lagi, sejak tiga bulan yang lalu dia jatuh sakit. Keadaannya semakin lama semakin payah. Setiap malam yang diingat hanya putrinya itu. Setiap malam pula dia memanggil-manggil nama Nindia.

Siang itu keadaan di rumah Abindamanyu seperti biasa dalam keadaan sunyi. Tak ada riang tawa Nindia di rumah hartawan itu seperti biasa.

Lima setengah tahun yang lewat, Madewa pernah berjanji akan mencari dan menolong putrinya dari tangan Wirapati. Tetapi sampai saat ini, dia belum juga datang membawa putrinya. Apakah pemuda itu tidak berhasil menyelamatkan putrinya?

Habis sudah bahan untuk membujuk istrinya agar bersabar, tetapi keadaan bukannya menjadi lebih baik, malah bertambah parah. Istrinya jatuh sakit. Dan dia sendiri pun merasakan dirinya menjadi lebih tua. Dan enggan berbuat apa-apa. Tiba-tiba di depan rumah terdengar derap langkah kuda. Serentak Abindamanyu berlari ke depan. Barangkali orang-orang yang diperintahkan untuk mencari putrinya membawa hasil sekarang. Sudah hampir sepuluh kali dia memerintahkan orang-orang bayaran maupun pengawal pribadinya mencari putrinya, tetapi semua berhasil nihil.

Bahkan mereka tidak membawa kabar sedikit pun tentang putrinya.

Dan kali ini, orang-orang itu pun gagal mencari putrinya. Abindamanyu sudah bisa menebak dengan melihat wajah-wajah mereka yang layu. Juga tak ada tandatanda putrinya berada bersama mereka.

Tetapi walaupun begitu, Abindamanyu bertanya, "Bagaimana usaha kalian? Berhasilkah menemui putriku?"

Salah seorang dari mereka maju selangkah, dia bernama Panji. Ia menjura.

"Maafkan kami, Tuanku. Sedikit pun kami tidak mendengar kabar di mana putri Nindia berada. Hampir seluruh pelosok negeri kami jelajahi, tetapi sedikit pun kami tak mendengar di mana dia berada?"

Abindamanyu terdiam. Lagi-lagi jawaban seperti itu yang didengarnya. Hampir setiap kali. Telinganya sudah hafal dengan jawaban-jawaban seperti itu.

Dia hanya menghela nafas.

"Memang sulit menemukan di mana putriku berada," gumamnya lesu. "Malah kuduga, dia sudah menemui ajalnya di tangan Wirapati. Dan juga, pemuda yang bernama Madewa Gumilang itu, mampus pula di tangan Wirapati."

Lagi dia terdiam. Yang lain pun terdiam. Hanya menundukkan kepala. Tak kuasa menatap tuannya yang nampak semakin tua. Dan semakin murung. Suasana hening, Burung pun seperti enggan bernyanyi.

Abindamanyu menghela nafas panjang. Hanya satu yang dipersoalkannya sekarang. Kesehatan istrinya yang nampaknya semakin memburuk.

Menurut tabib yang mengobatinya, dia tidak bisa disembuhkan kecuali bertemu dengan putrinya. Dan mencari Nindia di mana dia berada, adalah sulit sekali. Bagaimana mencari sebuah jarum di tumpukan jerami!

Tak ada jalan penyembuhan lain. Ini yang dikuatirkan Abindamanyu. Lama kelamaan istrinya bisa menemui ajalnya garagara rindu dengan putrinya. Dia harus bisa memecahkan masalah ini.

Malam harinya, ketika semuanya sudah tidur, Abindamanyu memanggil beberapa orang yang dipercayainya. Termasuk Panji. Mereka berkumpul di ruang belakang Sikap Abindamanyu penuh rahasia. Membuat semua yang hadir keheranan.

Tetapi mereka tidak berani bertanya sebelum tuannya berbicara.

Setelah mereka berkumpul, barulah Abindamanyu bicara.

"Mungkin kalian heran, mengapa aku mengumpulkan kalian di ruangan ini. Yah... ini kulakukan demi satu tugas rahasia yang harus kalian rahasiakan. Kalian adalah orang-orang yang mengenal putriku sejak kecil. Kalian sudah hafal pula bagaimana raut wajahnya dan tingkah lakunya.

Untuk itu, aku ingin kalian menyetujui atau memberi pendapat atas keputusanku untuk menyembuhkan istriku.

Dengarkan baik-baik. Kita semua tahu, sudah hampir lima setengah tahun putriku tidak ada dirumah. Dan sudah kita cari ke mana-mana, tetapi tetap tidak diketahui rimbanya. Untuk itu, kepada kalian semua aku minta, agar merahasiakan semua yang hendak aku lakukan. Yah... kalian kuminta membantu dalam melaksanakan hal ini. "

Seorang laki-laki tua yang berjanggut panjang, memotong perkataan Abindamanyu, "Ya, Tuanku. Sampai saat ini, hati saya masih bertanya-tanya. Kiranya tugas apa yang hendak tuanku laksanakan dan berikan kepada kami?"

Abindamanyu menatap kakek yang bernama Tindaruka itu.

"Sebenarnya aku ragu akan semua yang hendak kulakukan. Tetapi demi istriku, aku harus berani mengambil tindakan." "Tindakan apa ya, Tuanku?" Lagi Tin-

daruka bertanya.

Abindamanyu terdiam. Suasana mendadak menjadi tegang. Entah kenapa raut wajah Abindamanyu pun menjadi tegang.

Perlahan-lahan Abindamanyu berkata, "Aku akan mencari seorang gadis yang mirip dengan putriku, untuk dipalsukan dan menemui istriku. ",

Beberapa seruan kaget terdengar. "Maksud tuanku, gadis itu menjadi pu-

tri Nindia?" tanya yang kakek yang bertubuh gemuk. Matanya melotot kaget.

Abindamanyu mengangguk lemah.

"Tak ada jalan Iain. Hanya itu satusatunya cara yang bisa kulakukan, demi kesehatan istriku."

Tindaruka menarik nafas panjang. "Apa tuanku sudah memperhitungkan baik buruknya?"

"Sudah, Tindaru. Aku sudah memperhitungkan sebaik-baiknya. Hanya kepada kalian aku mengatakan semua ini, karena aku takut, jika gadis itu nanti tidak mencerminkan sikap Nindia, kalian akan bertanya-tanya, siapa sebenarnya gadis itu? Untuk itu kuminta kalian merahasiakannya. "Bagaimana dengan suruhan yang lain?"

tanya Tindaruka pula.

"Penjaga atau pesuruh yang lain, rata-rata masih baru. Mereka belum begitu mengenal wajah dan tingkah laku Nindia. Hanya kalian yang mengenalnya secara baik."

Tak ada yang bertanya lagi. Rupanya tuan Abindamanyu memang telah memperhitungkan semuanya. Dan memang tak ada cara lain untuk menyembuhkan istrinya. Hanya itu satu-satunya jalan, walaupun jika terbongkar akan membawa akibat yang fatal bagi Nadia.

Tetapi segala sesuatunya harus dicoba. Dan Abindamanyu akan melaksanakan keputusannya itu.

Besoknya, dia memerintahkan kembali beberapa orang untuk mencari putrinya. Orang-orang itu adalah mereka yang semalam ikut dalam rapat rahasianya. Dan sudah direncanakan, kalau dalam dua hari mendatang mereka harus segera kembali dan membawa kabar tentang putrinya.

Semua berjalan dengan lancar. Dua hari kemudian pencari-pencari itu kembali. Dan membawa kabar yang mengejutkan!

Putri Nindia telah diketahui jejak-

nya.

Seisi rumah besar itu bersorak gembi-

ra. Putri mereka yang amat cantik akan kembali berkumpul. Kabar itu pun terdengar di telinga Nadia yang sedang sakit. Dia langsung bisa duduk di ranjang.

Menoleh pada embannya.

"Benarkah putriku ditemukan, Sukma?" tanyanya dengan suara serak.

Emban yang bernama Sukma itu mengang-

guk.

"Benar, Tuanku. Putri Nindia dalam

waktu singkat ini akan segera kembali." "Oh, putriku... akhirnya kita dapat

berkumpul kembali," desah Nadia gembira. Abindamanyu masuk ke kamar  istrinya.

Ia menemukan istrinya dalam keadaan terduduk. Suatu yang jarang terjadi selama dua bulan terakhir ini.

Hatinya terharu melihat wajah istrinya gembira. Matanya berkaca-kaca.

Dan dalam hati dia berbisik, "Maafkan aku istriku. Ini kulakukan demi kebaikanmu."

Dia tidak kuasa menatap istrinya lama-lama. Istrinya yang tengah gembira karena kabar bohong. Dan mungkin besok atau lusa, kebohongan itu akan semakin lengkap, dengan hadirnya Nindia palsu di rumah ini.

Abindamanyu kembali memerintahkan kepada Panji, untuk menjemput putrinya. Dia sudah mengatakan, "Aku sudah mencari seorang gadis yang mirip dengan putriku. Dia berbaju merah. Raut wajahnya mirip dengan putriku. Dan gadis itu menunggu di tepi hutan yang jauh dari tempat ini."

Panji segera berangkat. Hutan yang dikatakan tuannya itu sangat jauh dari tempat mereka tinggal. Tetapi Panji telah bertekad, dia harus mencapai tempat itu secepat mungkin.

Sebelum matahari terbenam, dia sudah menemukan hutan itu. Dan benar saja. Di dekat sebuah pohon besar, sudah menunggu seorang gadis yang cantiknya luar biasa. Kalau dilihat sekilas, gadis itu memang mirip dengan putri Nindia. Tetapi jelas, kalau gadis itu lebih tinggi sedikit. Panji hafal wajah dan tinggi Nindia.

Gadis itu tersenyum begitu dia turun dari kudanya dan menghampiri. Senyumnya pun mirip dengan putri Nindia. Kulitnya yang putih sangat kontras dengan pakaiannya yang berwarna merah.

Panji menjura hormat.

"Maaf, kalau saya lancang bertanya, Nona. Nonakah yang akan menjalankan tugas rahasia dari tuan Abindamanyu?"

Gadis itu tersenyum. "Ya, Kakang."

Suaranya pun tak beda dengan Nindia! "Kalau memang begitu kiranya, mari kita segera berangkat. Tuanku sudah lama menunggu, Nona."

Gadis itu mengangguk. Panji melompat ke punggung kudanya. Dan menuntun gadis itu untuk naik. Lalu kuda kembali menuju rumah Abindamanyu.

Kedatangan putri Nindia sudah terdengar di seluruh desa. Abindamanyu mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambut putrinya.

Istrinya pun sudah nampak lebih sehat. Dia sudah mampu berjalan walau kelihatan masih lemah.

Begitu Panji datang, mereka berhamburan keluar. Ingin menyambut kedatangan putri yang mereka rindukan. Dan bertanyatanya, bagaimana keadaan dan wajah Nindia sekarang? Apakah masih cantik?

Dan mereka melihat wajah gadis.itu masih tetap cantik seperti dulu. Langkahnya pun masih tetap gemulai. Dan tingkahnya masih tetap sopan.

Masih mau bergaul dengan para penduduk. Ketika datang dia menegur mereka satu persatu.

Mereka berpesta selama sehari semalam. Nadia tidak mau jauh dari putrinya. Setiap saat dia memeluk putrinya yang amat dirinduinya.

Dan gadis yang berperan sebagai Nindia itu, amat mampu memainkan perannya. Benar-benar tepat pilihan Abindamanyu. Walau hatinya sedih karena sudah membohongi istrinya, Abindamanyu tetap gembira karena istrinya sudah agak sembuh.

Dan tidak ada yang tahu. Semua tidak ada yang tahu. Mereka menyangka pilihan tuannya terhadap gadis itu tepat. Abindamanyu pun demikian. Dia menemukan gadis itu ketika sedang berjalan-jalan seorang diri di tepi hutan sebelah sana. Gadis itu bernama Surti dan tinggal bersama ayahnya yang penebang kayu.

Abindamanyu tidak tahu kalau semua itu adalah tipu belaka.

Surti bukan anak penebang kayu dan tidak pernah mengenalkan ayahnya pada Abindamanyu.

Dia adalah gadis kejam berbaju merah. Anak buah Dewi Penyebar Maut yang bernama Dahlia merah!

***

Lereng bukit yang indah dan permai. Di sana-sini ditumbuhi pohon-pohon yang subur. Suasana di depan gunung itu bagaikan sorga firdaus. Betapa indah dan tentramnya. Sungai yang mengalir dan gemericik suaranya, menambah kesyahduan tempat itu berada. Angin bertiup dengan semilir. Membuat yang datang enggan untuk pulang. Dan yang kembali berharap sebisa mungkin datang lagi atau kembali mengenang tempat itu.

Di tempat itulah Paksi Uludara sejak puluhan tahun yang lalu mendirikan sebuah perguruan yang diberi nama Perguruan Topeng Hitam.

Sampai saat ini, belum pernah terdengar kabar, perguruan Topeng Hitam berurusan dengan dunia luar. Mereka hanya turun jika memang keadaan dunia luar memerlukan tenaga mereka. Mereka adalah orang-orang golongan putih yang berjuang demi kebenaran dan keadilan.

Dan Paksi Uludara telah menetapkan peraturan, barang siapa yang meninggalkan perguruan tanpa izin atau perintah, tidak akan diperkenankan kembali untuk datang! dan harap menyerahkan semua ilmu yang didapat dari perguruan dengan jalan memotong buntung kedua lengannya sendiri!

Peraturan yang menyeramkan. Tetapi tak seorang murid pun yang pernah melanggarnya. Mereka telah menemukan sebuah tempat yang indah, mengapa harus ditinggalkan?

Hari ini Paksi Uludara sedang melihat murid-muridnya berlatih. Dalam setiap latihan mereka semua mengenakan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam. Itu merupakan ciri dari perguruan .

Dan juga sepasang pedang tipis yang merupakan kebanggaan perguruan Topeng Hitam. Jurus-jurus pedang yang sangat berbahaya dan mematikan!

Paksi Uludara memang seorang jago pedang yang tak terkalahkan dulunya. Tetapi sejak mendirikan perguruan itu, dia tidak pernah lagi muncul di rimba persilatan. Namun namanya tetap menjadi momok bagi siapa saja.

Tiba-tiba masuk seorang murid yang menjaga di gerbang depan. Murid itu menjura hormat.

"Hmm, ada apa, Murta?" tanya Paksi Uludara dengan sikap wibawa. Karena sikapnya itu murid-muridnya sangat menghormatinya.

"Maafkan saya, Ketua. Di luar ada beberapa orang yang ingin bertemu dengan Ketua." "Siapa mereka?" Paksi Uludara mengusap-usap janggut putihnya. Sementara tangan kirinya berada di belakang.

"Mereka terdiri dari kakek tua yang mengaku bernama Datuk Sakti Berjubah Putih, seorang pemuda yang tampan bernama Pendekar Kipas Sakti dan seorang wanita setengah baya yang cantik bernama Dewi Maut.

Paksi Uludara mengenal nama-nama itu. Tetapi tidak tahu apa yang menjadi urusan hingga mereka datang berkunjung. Walau begitu Paksi Uludara menyuruh mereka masuk.

"Bawa mereka menemuiku di ruang khusus!" katakan seraya melangkah.

Ruang khusus itu adalah ruang di mana Paksi Uludara dan murid-muridnya berkumpul. Hendak membicarakan masalah sesuatu atau memperbincangkan masalah dunia luar. Di ruang khusus itu juga terdapat senjata-senjata rahasia yang disembunyikan. Itu dipakai untuk menjaga kalau-kalau ada serangan dari dunia luar. Paksi Uludara duduk di singgasananya. Ia memakai baju kebesarannya yang berupa jubah bergambar topeng hitam. Dan dia sendiri mengenakan topeng hitam dan pedang mustikanya yang bernama Pedang Sakti Naga Emas.

Beberapa menit kemudian, orang-orang itu datang menghadap. Paksi Uludara berdiri. Tertawa. Dalam tawanya itu mengandung tenaga dalam yang lumayan.

Serentak para tamu itu menaikkan tenaga dalamnya untuk menahan uji coba tersembunyi. Mereka menjura. Paksi Uludara masih tertawa. "Ha.., ha... ha... sikap kalian terlalu kaku rupanya. Tidak perlu menghormat segala. Silahkan, silahkan duduk.'"

Ketiga tamu itu duduk. Paksi Uludara duduk kembali di singgasananya. La menatap tamunya satu persatu.

"Hmm, ada apa kiranya kalian tamutamuku yang terhormat datang? Sungguh suatu penghormatan yang besar bagiku. Orang-orang yang sudah melangit namanya datang menghadap. Silahkan terangkan maksud kedatangan kalian. "

Datuk Sakti Berjubah Putih bangkit. Lagi menjura. Lagi Paksi Uludara tertawa. "Kedatangan kami  kemari,  sehubungan dengan adanya petaka yang disebarkan oleh

Dewi Cantik Penyebar Maut."

Paksi Uludara manggut-manggut. "Ya...

aku pernah mendengar kabar itu. Lalu?" "Kami meralat kata-kata Ketua Paksi Uludara. Nama kami tidak melangit, tidak melanglang buana, karena beberapa minggu yang lalu, kami baru saja dikalahkan oleh anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut.

Sebagai orang dari golongan putih, kami bermaksud menghapus dan memusnahkan orang macam Dewi sesat itu. Tetapi tenaga kami tidak mampu menghadapinya."

"Maafkan kami, Ketua Paksi Uludara. Kami kemari, mengharapkan bantuan ketua untuk membunuh atau menangkap dewi sesat itu. "

Paksi Uludara terdiam. Ia meraba-raba pedangnya. Lalu menatap Datuk Sakti Berjubah Putih.

"Aku pun ingin menentramkan kembali dunia persilatan ini. Aku pun ingin turun tangan menghadapi orang-orang macam dewi sesat itu. Tetapi ada satu ganjalan yang membuatku enggan melakukannya. Bahkan membantu kalian."

Orang-orang itu terkejut. Datuk sakti langsung angkat suara, "Mengapa demikian, ketua? Saya dengar, perguruan Topeng Hitam selalu menggerakkan hati dan kemampuannya untuk membantu memberantas orangorang sesama.

"Mungkin itu akan kulakukan, Datuk sakti. Tetapi bukan atas dasar membantu kalian."

Datuk Sakti merasakan nada suara Paksi Uludara agak berubah tajam dan menikam.

"Apakah ketua sudah melupakan persa-

habatan kita?"

"Sampai kapan pun aku tidak pernah melupakannya. Juga dengan seorang sahabatmu yang bergelar Dewa Tua Pengantuk. Tetapi saat ini, aku menyatakan perang dengan Dewa Tua Pengantuk, dan sekaligus dengan kalian!!"

"Ketua Paksi Uludara!" seru Datuk sakti kaget. "Ada apa sampai ketua berkata demikian?"

"Dewa Tua Pengantuk telah membunuh seorang murid kesayanganku!"

"Tidak mungkin!" bantah Datuk sakti langsung.

"Semua sudah terbukti, Datuk! Aku masih tetap sahabat kalian, jika kalian mau menyerahkan Dewa Tua Pengantuk kepadaku untuk kujatuhi hukuman!"

"Ketua... apa tidak salah ketua menuduhnya?"

"Ada saksi yang melihat perbuatannya, Datuk!"

"Siapa saksinya?" kejar datuk sakti penasaran.

"Seorang dara berbaju merah!"

Semakin terkejut Datuk sakti. Juga dengan Pendekar Kipas Sakti dan Dewi Maut. Dara berbaju merah? Siapa lagi kalau bukan orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut! Apakah bisa diterangkan pada Paksi Uludara semua itu? Sedangkan saat ini sang ketua sedang geramnya terhadap Dewa Tua Pengantuk!

Datuk Sakti menjura.

"Kalau memang ketua percaya bahwa yang melakukan pembunuhan itu Dewa Tua Pengantuk, kami akan mencarinya dan menyerahkannya kepada ketua."

Walau kami yakin, bukan si dewa tua itu yang membunuh murid perguruan Topeng Hitam. Dan kami berterima kasih kepada ketua Paksi Uludara, yang akan mau turun tangan menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut!

Kami rasa, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!

Kami mohon diri, Paksi Uludara!"

Dewi Maut dan Pendekar Kipas Sakti bangkit. Lalu sama-sama menjura. Paksi Uludara hanya mengangguk. Tidak mengantar tamu-tamunya itu keluar.

Hhhh, kalau saja aku tidak memandang kalian sebagai sahabat, sudah kubunuh kalian, desisnya dalam hati. Sebagai orangorang yang dekat dengan Dewa Tua Pengantuk, mereka akan dihabisi saja.

Paksi Uludara bangkit. Hendak mencopot jubah kebesarannya. Tetapi tiba-tiba terdengar hiruk pikuk di luar. Bahkan ada pekik dan jeritan kesakitan.

Paksi Uludara menggeram. Rupanya tamu-tamunya itu memang hendak berbuat onar. Mereka memancingnya untuk bertanding.

Paksi Uludara berkelebat ke depan. Di halaman depan beberapa orang muridnya sedang bertempur melawan seorang pemuda berpakaian biru-biru. Pemuda itu kelihatan sedang marah. Dan tangguh. Dengan sekali pukul saja barisan murid-muridnya hancur berantakan.

Paksi Uludara bersalto. Dan kini berhadapan dengan pemuda yang tak lain adalah Madewa Gumilang.

Karena yakin yang menculik anak istrinya adalah orang-orang perguruan Topeng Hitam, Madewa langsung mengamuk. Dihajarnya orang yang menghalanginya masuk. Dia sangat marah sekali. Dua orang yang dikasihinya itu berani diganggu.

Madewa menggeram melihat Paksi Uludara. Ia melirik ke samping, Hhm, dia kenal orang-orang ini. Datuk Sakti Berjubah Putih. Pendekar Kipas Sakti. Dan Roro Antika atau si Dewi Maut. Sedang apa mereka kemari.

Madewa kembali menatap Paksi Uludara yang tengah mengira-ngira siapa gerangan pemuda ini?

Madewa membentak, "Di mana anak dan istriku kau sembunyikan?!"

Paksi Uludara heran. Anak istri? Siapa? Yang mana?. "Apa maksudmu, Saudara?"

"Aku tidak mau berbasa-basi lagi!" bentak Madewa. "Cepat keluarkan anak istriku, kalau tidak, lereng bukit beserta isinya akan kuhancurkan!"

"Tenang, Saudara. Aku tidak mengerti sama sekali apa maksudmu. Katakan dengan tenang dan jelas."

Madewa mendengus. Dia merasa dipermainkan.

"Baik, istriku bernama Ratih Ningrum dan putraku bernama Pranata Kumala. Kedua orang yang kukasihi itu telah diculik oleh anak-anak dari Perguruan Topeng Hitam. "

"Kau menuduh tanpa bukti, Saudara. Di sini tidak ada orang yang kau sebutkan tadi."

"Aku punya bukti!" Madewa mengambil senjata rahasia topeng hitam dari angkinnya. Dan membuka telapak tangannya. "Ini! Ini senjata khas kepunyaan perguruan ini! Kutemukan tak jauh dari kuda istriku! Cepat katakan, di mana istri dan anakku!"

Paksi Uludara memperhatikan senjata rahasia itu. Hmm, memang benar. Itu kepunyaan orang-orang topeng hitam. Tetapi siapa yang telah melakukan aksi penculikan ini? Murid-muridnya tidak ada yang keluar dari perguruan selain lima orang yang ditugaskan dalam mencari Dewa Tua Pengantuk. Apakah ada di antara murid-muridnya yang menyelinap ke luar dan melakukan aksi penculikan itu? Tetapi tidak mungkin, dia telah waspada terhadap kemungkinan itu.

Melihat Paksi Uludara terdiam, Madewa menggeram. Ia maju selangkah. Serentak murid-murid Perguruan Topeng Hitam tengah berlatih tadi mengurungnya.

"Hhh!" Madewa mendengus. Dan mengibaskan tangan kanannya.

Bagai ada badai yang besar, orangorang yang mengurung tadi berhamburan terpelanting.

Paksi Uludara terkejut melihat kehebatan tenaga kibasan orang itu. Siapa dia adanya?

"Saudara, semua yang kau katakan tadi, aku membantahnya. Dan tidak terima dengan tuduhan itu!"

"Baik! Dan aku telah bersumpah, jika orang-orang perguruan Topeng Hitam tidak mengeluarkan istri dan anakku. Maka ku hancurkan perguruan ini rata dengan tanah!"

Sehabis berkata begitu, Madewa melesat. Menyerang Paksi Uludara. Mendapat dorongan angin yang keras, Paksi Uludara berkelit. Dan menangkis.

"Plak! Duk! Duk!"

Madewa benar-benar sudah kalap, Nyawa' istri dan anaknya lebih penting dari nyawanya sendiri. Begitu habis ditangkis serangannya, dia melenting ke atas. Dan mengirimkan pukulannya lagi.

Kali ini Paksi Uludara menghindar dengan jalan berkelit. Dan entah bagaimana tahu-tahu tangannya sudah memegang sebuah pedang. Pedang yang disambar dari salah seorang muridnya. Sedangkan pedang mustikanya masih tergenggam di tangan kirinya.

"Paksi Uludara! Keluarkan semua ilmumu! Hari ini kita bersilang sengketa! Dan aku tak akan mau bertindak setengah untuk menghancurkanmu!" bentak Madewa.

Dia melompat ke depan lagi. Dengan jurus Ular Mematuk Katak dia menyerang. Paksi Uludara berusaha berkelit dan memainkan pedangnya.

Pedang di tangan Paksi Uludara tak ubahnya seperti kilat yang menyambar. Bergulung-gulung dengan cepat. Dan membuat Madewa menghentikan serangannya.

Dia menghindari tusukan dan sabetan pedang itu dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Jurus warisan gurunya, Ki Rengsersari.

Sampai dua puluh jurus, Paksi Uludara belum mampu mendaratkan pedangnya di tubuh Madewa.

Pertempuran dua tokoh kelas utama menimbulkan getaran yang hebat, suasana di halaman perguruan itu bagaikan ada dua ekor naga yang bertarung.

Datuk Sakti Berjubah Putih tiba-tiba memekik. Dan melompat ke arena. Dia berpikir, mungkin saja dengan bantuannya Paksi Uludara bisa menarik lagi tuduhannya atas Dewa Tua Pengantuk.

Madewa berkelit ke samping menerima serangan mendadak itu.

"Bagus! Rupanya kau pan berteman dengan orang sesat macam Paksi Uludara!"

"Karena aku tidak suka dengan orang sombong macam kau!" bentak Datuk sakti sambil melontarkan pukulannya.

Madewa bersalto ke belakang. "Bagus majulah kalian semua!"

Dan dia melenting lagi ke depan. Kali ini yang menjadi sasaran Datuk Sakti Berjubah Putih. Dengan gempuran hebat dia bertekad menghabisi Datuk Sakti.

Paksi Uludara tak mau ketinggalan. Dia pun menerjang. Pertarungan yang tak seimbang. Tetapi rupanya Madewa masih mampu mempertahankan diri.

Suatu ketika pukulan Datuk Sakti mengenai dadanya. Dia terhuyung. Saat itulah Pendekar Kipas Sakti bergerak dengan cepat. Memburu Madewa yang masih terhuyung. Mendadak terjadi keanehan.  Bukannya tubuh Madewa yang terpelanting, malah tubuh Pendekar tampan itu yang kembali ke tempatnya. Bergulingan. Ia merasa meng-

hantam sebuah tembok besar. Pendekar tampan itu muntah darah! Itulah salah satu kesaktian dari Ma-

dewa Gumilang, yang didapatnya secara tidak sengaja ketika dia menghisap rumput sakti kelangkamaksa. Ilmu itu tidak bisa digunakan sembarangan. Hanya benar-benar keluar jika orang yang memilikinya dalam keadaan tenang.

Saat terhuyung itu Madewa kehilangan keseimbangan. Marahnya agak mereda, secara tak sengaja khasiat rumput sakti kelangkamaksa keluar. Itulah sebabnya Pendekar tampan itu tertabrak ilmu dari sari rumput kelangkamaksa.

Dewi maut memekik dan memburu pendekar Kipas Sakti. Ia memeriksa keadaan pendekar itu dan memberinya sebuah pil. Lalu dia sendiri terjun ke arah pertarungan.

Madewa yang sudah berdiri tegak lagi, menatap lawannya satu per satu.

"Hhhh, tidak tahu malu beraninya keroyokan!" bentaknya marah.

"Untuk orang tak tahu adat macam kau, cara apa pun akan halal dilakukan!" bentak Dewi Maut jengkel.

"Aku tidak akan melajukan semua ini jika istri dan anakku dikeluarkan!"

"Dasar orang edan! Sudah dibilang tidak ada disini, masih ngotot juga!" bentak Dewi Maut lagi.

"Aku memang edan, sebelum anak istriku keluar!"

"Kalau begitu, terimalah ajalmu!" Dewi Maut bersiap. Ia mengerahkan te-

naga dalamnya di tangannya. Pukulan mautnya siap merenggut nyawa Madewa. Begitu pula dengan Paksi Uludara. Walaupun malu dibantu demikian tetapi dia mendiamkan saja. Dia merasa ilmu yang dimiliki lakilaki itu tinggi sekali. Persetan dengan tatapan murid-muridnya yang merasa heran.

Ketua mengeroyok laki-laki itu?

Benar kata Dewi Maut, untuk laki-laki edan yang menuduh sembarangan saja, cara apa pun halal dilakukan.

Terdengar jeritan Dewi Maut ketika melancarkan serangannya. Madewa sigap. Ia berkelit dengan cara berguling. ke arah Paksi Uludara. Dengan masih berguling itu dia melancarkan kakinya yang mengancam kemaluan Paksi Uludara.

Bukan ketua perguruan Topeng Hitam jika tidak bisa menghindari serangan demikian. Buru-buru dia melompat dan kakinya balas meluncur deras pada Madewa yang masih berguling.

Dorongan angin yang dipancarkan dari kaki Paksi Uludara menyadarkan Madewa untuk menghindar. Tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara dan kembali kakinya mengancam. Kali ini Datuk Sakti Berjubah Putih yang menjadi sasaran.

Cepat dia menangkis. Benturan dua buah tenaga menimbulkan getaran yang hebat. Rupanya Madewa sudah menaikkan tenaga dalamnya.

Datuk sakti itu terguling, dadanya terasa sesak. Bukan main, baru kali ini dia merasakan tenaga dalam yang begitu hebatnya.

Dewi Maut menyerang kembali dengan pukulan jarak jauhnya. Madewa bersalto dan tangannya mengepal. Dari kedua tangan itu berpijar asap putih, Pukulan bayangan sukma tengah dilancarkan oleh Madewa!

Paksi Uludara mengenali pukulan demikian, dia menghentikan serangannya.

"Madewa Gumilang!" serunya kaget. Nama itu membuat orang-orang rimba persilatan mengagungkan nya. Dan hanya satu orang yang memiliki ilmu pukulan demikian.

Madewa tidak jadi melancarkan pukulannya. Ia menoleh kepada Paksi Uludara.

"Kau sudah tahu namaku?" desisnya mengejek. "Cepat keluarkan istri dan anakku, kalau tidak ingin pukulanku mengantarkan kau ke pintu"

"Saudara Madewa, baru kali ini aku yang tua berhadapan dengan saudara yang terkenal itu! Walau pun demikian, kami berani bersumpah, atas langit biru serta isinya, kami tidak, menculik dan menyembunyikan istri dan anakmu!" seru Paksi Uludara berwibawa. "Aku tidak percaya sebelum melihat sendiri!"

"Silahkan... periksalah seluruh isi perguruan Topeng Hitam ini! Jika kau menemukan istri dan anakmu, kami rela bunuh diri di hadapanmu!"

Madewa mendengus melecehkan. Walau kaget dengan sumpah demikian. Tetapi dia mau melangkah. Dia kuatir Paksi Uludara menipunya.

"Tidak semudah itu, Paksi Uludara. Kau ingin membiarkan aku masuk perangkapmu?"

"Tidak ada perangkap untuk, Saudara pendekar!"

"Apa taruhannya?"

Paksi Uludara terdiam sejenak. Lalu, "Kau boleh bawa pedang mustika Sakti Naga Emas. Dengan pedang ini kau sanggup mendobrak perangkap rahasia jika memang ada!"

Sesudah berkata demikian, Paksi Uludara melempar pedang pusakanya. Madewa menangkap.

"Baik! Aku akan memeriksa seluruh isi ruangan ini!"

Lalu Madewa melangkah dengan tenang. Pedang pusaka itu digenggamnya dengan kuat. Beberapa orang murid hendak menyusul, tetapi dilarang oleh Paksi Uludara.

"Biarkan dia sendiri... biar dia tahu, kalau kita tidak menculik istri dan anaknya. Pasti telah terjadi salah paham yang menyebabkannya marah demikian besar. Madewa terus melangkah. Memasuki ruang-an perguruan Topeng hitam itu dia meneliti setiap sudutnya. Di mana kira-

kira ada perangkap rahasia.

Tahu-tahu dia berbalik ke belakang. Dan menghentakkan sebelah kakinya. Pintu ruangan yang berat itu, yang hanya bisa digerakkan dengan tongkat penutup, perlahan-lahan menutup rapat.

Orang-orang di luar mendecak kagum.

Pameran tenaga dalam yang mendebarkan.

Madewa berbalik lagi. Dia duduk bersila. Matanya dipejamkan. Dia berkonsentrasi sejenak. Kedua tangannya bersatu di dada.

Tiba-tiba tatapan matanya bisa menembus seluruh ruangan itu. Tatapannya menerang walaupun matanya terpejam. Itulah ilmu pandangan menembus sukma, yang mampu melihat jarak jauh dengan tegas walaupun dihalangi gunung sekalipun.

Dengan ilmu pandangan sukmanya itu, Madewa mencari di mana istri dan anaknya berada. Sampai ke dasar rumah pun dicarinya dengan tatapannya. Tetapi sedikit pun tak ada tanda-tanda di mana istrinya berada.

Seluruh ruangan sudah dijelajahi nya oleh tatapannya. Juga ruangan-ruangan rahasia. Tapi tidak ada jejak sedikit pun istri dan anaknya.

Kalau begitu, di mana mereka menyembunyikan orang-orang yang dikasihinya itu?

Madewa menghentikan konsentrasi nya. Matanya perlahan terbuka. Kali ini matanya berair. Bukan karena pengaruh ilmu pandangan menembus sukma, tetapi air yang mengalir karena kesedihan. Sedih memikirkan bagaimana nasib Ratih Ningrum dan Pranata Kumala.

Terbayang wajah istri dan anaknya itu, yang sedang tersenyum. Apakah saat ini keduanya masih tetap tersenyum?

Madewa bangkit. Kembali dia menghentakan kakinya. Dan pintu gerbang itu terbuka perlahan-lahan. Orang-orang yang menunggu di luar. hanya memperhatikannya saja Madewa yang melangkah dengan lesu namun tegap.

Paksi Uludara melangkah menghampiri. "Bagaimana, Saudara?" Madewa mengangkat wajahnya. Lesu.

"Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara. Aku telah bertindak gegabah, menuduhmu sembarangan. Tetapi aku benar-benar gusar tak rela istri dan anakku diculik. Sekali lagi maafkan aku, mungkin ada orang yang ingin membuat kita salah paham dan saling bentrok, dengan mengambing hitamkan perguruan Topeng Hitam.

Ku kembalikan pedang pusakamu ini, juga senjata rahasia milik  perguruanmu. "

Madewa memberikan kembali pedang pusaka milik Paksi Uludara dan membuka telapak tangannya. Paksi Uludara mengambil kedua benda itu.

Tiba-tiba Datuk Sakti Berjubah Putih berseru,

"Saudara Madewa?"

Madewa menoleh. Mendadak ia menjura. "Maafkan aku, Datuk."

Datuk sakti itu mengibaskan tangan. "Sudahlah. Kembali ke senjata rahasia tadi. Kau menemukan senjata itu dekat kuda istrimu?"

Madewa mengangguk.

Datuk sakti itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Tepat dugaanku."

Madewa cepat bertanya, "Dugaan apa?" "Yah... dugaan bahwa kita semua salah

paham...." :

"Aku tak mengerti maksudmu. "

"Begini, Saudara pendekar," kata Datuk sakti. Lalu kepada Paksi Uludara, "Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara, karena lancang bicara di depanmu."

Paksi Uludara mengibaskan lengannya, aku pun ingin mendengar apa yang kau katakan."

Datuk Sakti Berjubah Putih menatap seluruh manusia yang berada di sana, termasuk murid-murid perguruan Topeng Hitam. Matahari sudah beranjak dari tempat-

nya di atas kepala. Senja mulai turun. Angin bertiup sejuk.

Datuk sakti berkata, "Kita semua berada dalam keadaan salah paham. Mula-mula Ketua Paksi Uludara sendiri yang salah paham, di mana dia menuduh Dewa Tua Pengantuk yang membunuh salah seorang muridnya.

Saya berani berkata demikian, karena merasa aneh terhadap gadis yang menjadi saksi itu. Anehnya dimana, gadis itu berpakaian warna merah. Yang bisa saya duga, adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut atau memang dia sendiri yang melakukan. Bisa ditebak, Dewi sesat itu ingin mengadu domba sesama kita. Dan kemungkinan tentang anak dan istrimu, Saudara pendekar, mungkin orang-orang Dewi sesat itu yang melakukannya. Dan mengambing hitamkan orang-orang. perguruan Topeng Hitam dengan menebar senjata rahasia khas perguruan itu. Mungkin dugaan itu bisa salah bisa pula tidak. Tetapi Saudara pendekar sudah menyaksikannya sendiri, kalau di sini tidak ada istri dan anak, Saudara. "

Semua terdiam mendengar penuturan itu. Penuturan yang bisa saja terbukti. Paksi Uludara diam-diam mempertimbangkan kata-kata itu. Apa tidak mungkin, Datuk sakti itu ingin mengambil keuntungan dengan datangnya Madewa Gumilang, agar sahabatnya Dewa Tua Pengantuk terbebas dari tuduhan?

Tetapi agaknya benar juga. Mereka Siap memeriksa saksi pembunuhan itu. Dan orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut berpakaian merah!

Tidak mustahil memang dia yang mengadakan siasat adu domba ini. Demi kejayaan dan keinginannya menjadi orang nomor satu dirimba persilatan.

Paksi Uludara memandang pada Madewa Gumilang, "Apa Pendapatmu tentang hal ini, Saudara pendekar?"

"Aku tidak tahu. Yang kuinginkan, anak dan istriku kembali dengan selamat," kata Madewa seolah kebingungan. Tetapi dia langsung menambahkan dengan tegas, "Aku bisa terima pendapat itu, aku pun tahu ciri anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut, mereka selalu berpakaian warna merah. Dan tak mustahil mereka yang menculik anakku. Dan ingin mengadu domba sesama kita. "

"Lalu apa yang akan Anda lakukan?" tanya Datuk sakti.

"Aku akan mencari orang-orang itu yang telah menteror keluargaku tanpa sebab, juga mencoreng namaku di hadapan raja!

Akan kubumi hanguskan mereka!" Madewa menggeram. Giginya bergemerutuk dengan keras. Wajahnya memancarkan sinar kemarahan. Dan tanpa sadar, kedua kakinya telah amblas semata kaki ke dalam tanah!

Bertanda betapa besarnya kemarahan Madewa Gumilang!

Datuk sakti berkata lagi, "Saudara pendekar, ada baiknya kita bersatu menghadapi mereka."

"Terserah bagaimana, yang pasti aku akan menghancurkan mereka! Dan melindungi raja dari keganasan mereka!"

"Baiklah, Saudara pendekar. Hari ini juga, kami bertiga akan menjaga di Kota Raja. Dan kau mencari Dewi Cantik Penyebar Maut itu!" Datuk sakti berpaling pada Paksi Uludara. "Bagaimana pula dengan Saudara ketua?"

"Karena aku punya urusan dengan orang-orang Dewi sesat itu, aku ikut Saudara Madewa!" kata Paksi Uludara sambil membuka topeng hitamnya. Seraut wajah tua yang berjanggut putih nampak.

Wajah yang nampak letih namun penuh kegusaran.

"Kalau begitu, baiklah. Kita segera berpisah!" kata Datuk sakti itu. Dia agak gembira, karena persoalan salah paham itu berhasil dipecahkan.

Madewa menghampiri Pendekar Kipas Sakti yang masih terluka. Ia berdiri di belakangnya. "Sebentar, Saudara."

Lalu menempelkan kedua tangannya di punggung pendekar tampan itu, untuk mengusir uap beracun yang masih terdapat di sekitar tubuhnya. Perlahan Pendekar Kipas Sakti merasakan dorongan tenaga yang hangat menembus kulitnya. Bahkan masuk ke dalam dagingnya!

Sekarang nafasnya sudah agak normal, tidak sesesak tadi. Dia meminta maaf pada Madewa akan tindakannya yang ceroboh tadi.

Lalu dia bersama dengan Datuk Sakti dan Dewi Maut, segera pergi menuju Kota Raja, menjaga ketentraman di sana.

Sementara itu, Paksi Uludara tengah memberikan wanti-wantinya kepada murid utamanya Jayalaksa, agar selama dia pergi, memimpin perguruan dengan baik.

Lalu bersama Madewa Gumilang keduanya beranjak meninggalkan lereng bukit yang indah. Paksi Uludara tidak memakai pakaian kebesarannya dan topeng hitamnya, dia hanya membawa pedang pusakanya saja.

Malam mulai turun, menyelimuti lereng bukit yang indah itu.

***

9

Jauh dari lereng bukit itu, di dekat hutan yang sangat lebat, terdapat sebuah gua. Tempat di sekitar itu sunyi dan di gua itu merupakan tempat tinggal Dewi Cantik Penyebar Maut alias Nindia dan anak buahnya.

Di sudut dari gua itu terlihat seorang wanita lesu dalam keadaan terikat. Kedua tangannya terikat di dua batang bambu. Begitu pula dengan kakinya. Wajah wanita itu pucat. Tubuhnya lemah. Rambutnya pun acak-acakan.

Tak jauh dari sana, seorang bocah laki-laki tertidur dalam keadaan terikat pula. Bocah itu pulas sekali. Wajahnya pun pucat. Tubuhnya pun lemah. Tetapi dia tidak merasakan hal itu karena tertidur.

Mereka adalah Ratih Ningrum dan Pranata Kumala yang diculik oleh orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut yang menyamar sebagai perguruan Topeng Hitam. Benar dugaan Datuk Sakti Berjubah Putih, senjata rahasia topeng hitam itu hanya untuk mengalihkan penculikan orang-orang itu.

Dewi Cantik Penyebar Maut benar-benar hebat, hampir saja orang-orang rimba persilatan saling bentrok karena salah paham. Saat itu pun beberapa orang muridnya sedang mengacau di Kota Raja. Mereka adalah Mawar merah, Puspa merah dan Pinus merah. Sedangkan Melati Merah menemaninya di gua. Dan Dahlia merah tengah melaksanakan tugas rahasia untuk Tuan Abindamanyu!

Wajah Ratih Ningrum terbuka, sayu. Matanya kelihatan masih mengantuk. Dia terkejut mendapati dirinya dalam keadaan terikat. Entah berapa hari dia pingsan akibat mencium bau harum yang ternyata obat bius. Menurut Ratih Ningrum, dia berada di tempat orang-orang bertopeng hitam itu. Dan orang-orang itu yang menawannya.

Hhh, orang-orang pengecut. Beraninya keroyokan dan memakai obat bius!

Tiba-tiba kepalanya mendongak. Matanya menatap tak percaya sosok tubuh yang tahu-tahu berdiri di hadapannya. Seorang wanita cantik berpakaian merah. Betapa cantiknya!

Wanita itu tersenyum. Senyumnya pun manis dan mengandung sesuatu yang mengerikan. Ratih Ningrum merasakannya. Entah kenapa dia agak bergidik melihatnya. "Selamat datang di tempatku... Ratih Ningrum," kata wanita itu dengan senyumnya yang tetap dirasakan mengerikan oleh Ratih Ningrum.

Ratih Ningrum menantang tatapan wanita itu.

"Hhh! Rupanya orang yang mengeroyokku bukan dari perguruan Topeng Hitam! Perguruan Topeng Hitam tidak menerima murid seorang wanita, juga tak ada guru wanita!"

Wanita cantik itu terbahak.

"Kau pintar juga rupanya, Ratih Ningrum. Terus terang, memang bukan orangorang Topeng Hitam yang menyerangmu. "

"Hhh! Kalau begitu, siapa kalian?" bentak Ratih Ningrum, geram. Keletihannya kini sudah tidak nampak lagi.

Wanita itu terbahak lagi. Masih tetap tenang menghadapi Ratih Ningrum yang tengah marah.

"Rupanya kau belum mengenal orang yang menyebarkan teror akhir-akhir ini. Nah, dengar baik-baik, Ratih Ningrum. Akulah yang diberi julukan.. Dewi Cantik Penyebar Maut!"

Sampai di situ wanita itu bicara, Ratih Ningrum terbelalak. Mulutnya menganga. Inikah wanita iblis itu? Kalau dilihat sekilas, tak ada tanda-tanda jahat di wajahnya yang cantik itu. Tetapi hatinya, pastilah sangat busuk! "Jadi kaulah orang yang bergelar Dewi Cantik Penyebar Maut, tak kusangka sedemikian cantiknya kau. Dewi sesat... kau adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, bukankah kau lebih baik menjadi orang-orang golongan putih daripada jadi golongan sesat? Kau telah menteror beberapa buah desa bersama anak buahmu. Kau punya keinginan untuk menggulingkan Raja! Sungguh busuk hatimu, Dewi!"

"Bangsat hina!" Dewi sesat itu menggeram dan menempeleng pipi Ratih Ningrum hingga berdarah.

Kepala Ratih Ningrum langsung menegak. Matanya memancarkan kegusaran yang tidak biasa.

"Kalau kau memang hebat, buka ikatanku! Kita bertanding!" geramnya marah. "Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan orang yang bergelar menakutkan itu!!"

"Ratih Ningrum.... membunuhmu semudah dengan membalikkan tangan. Tanpa bergerak pun aku mampu membunuhmu. Dan sebelum ajalmu, aku ingin bercerita sedikit tentang siapa aku. "

"Bah! Aku muak denganmu!"

"Setan!" dewi sesat itu menempeleng kepala Ratih Ningrum kembali. "Kau dengarkan saja, tak perlu banyak komentar!

Kau masih ingat, ketika seorang pemuda bernama Madewa Gumilang atau suamimu itu menyelamatkan seorang gadis bernama Nindia dari tangan Wirapati? Kau tentu ingat. Sejak bertemu dengan suamimu, gadis itu telah jatuh cinta padanya. Siang malam dia selalu terbayang wajah Madewa.

Sampai gadis itu diculik oleh Wirapati. Dan Madewa menemukannya bersama seorang pemuda bernama Adi Permana. Betapa senangnya gadis itu bertemu dengan pujaan yang diimpikannya siang dan malam.

Tetapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, rupanya pemuda yang bernama Adi Permana itu adalah seorang wanita yang menyamar.

Dan wanita itu adalah kau, Ratih Ningrum! Yang ternyata kekasih Madewa sejak lama. Kau tahu Ratih, bagaimana hancurnya perasaan gadis yang bernama Nindia itu. Dia tidak bisa menolak semua kenyataan yang ada. Hatinya terluka. Semua angan dan harapannya hancur gara-gara kau, Ratih!

Dengan membawa luka hati yang dalam, gadis itu bersumpah, tidak akan membiarkan Madewa Gumilang hidup bersamamu. Kau pun harus merasakan semua kepedihan dan luka yang dihadapinya.

Dan entah kebetulan entah tidak, seorang kakek sakti memungutnya dan menggemblengnya pelajaran silat di puncak gunung Muria. Walaupun belum selesai, gadis itu sudah turun gunung, sudah tak tahan memendam perasaan rindu dan dendamnya kepada Madewa.

Mulailah dia melakukan teror dan mencari anak buah, sampai dia dijuluki dengan sebutan Dewi Cantik Penyebar Maut! Dan dewi cantik Itu, setiap saat selalu teringat kepada Madewa dan dendamnya kepada istri Madewa, yang dirasakan sebagai saingan dalam merebut hati Madewa! Keinginan membunuhnya semakin besar.

Hari ini semua itu akan terlaksana, istri Madewa berada dalam cengkeraman gadis itu. "

"Kau?" potong Ratih Ningrum terkejut.

Tatapannya terbelalak.

"Yah... akulah gadis yang hatinya terluka itu. Nindia. "

Ratih Ningrum merasakan dadanya berdebar, ingatannya beralih pada kira-kira lima tahun yang silam. Di mana dia menyamar sebagai Adi Permana bersama Madewa yang saat itu belum menjadi suaminya menyelamatkan Nindia dari tangan Wirapati.

Dan gadis itu ternyata memendam cinta yang amat dalam pada suaminya hingga tak mampu melupakannya. Setiap saat dia selalu teringat pada pemuda itu. Dan di lain waktu dia ingin membunuhnya. Juga istri pemuda itu!

Wajah Ratih Ningrum mendadak memucat. Jadi Dewi sesat yang bergelar Dewi Cantik Penyebar Maut, adalah gadis yang sejak lama dikenalnya! Nindia, putri Abindamanyu! Dan sekarang siap membunuhnya. Tetapi Ratih Ningrum menyembunyikan kekuatiran nya. Dalam keadaan terikat begini, Nindia mampu membunuhnya dengan sekali pukul.

"Jadi kau rupanya, gadis yang diselamatkan suamiku dulu," katanya dengan suara yang be-wibawa. Tatapannya mengejek memperhatikan sekujur tubuh Nindia. "Hhh! Sudah hebat rupanya kau, sampai berani membuat teror yang menakutkan! Dan bergelar yang mengerikan!"

Nindia terkekeh. Tawanya mengerikan. Setiap saat mampu mengundang maut. "Itulah aku, Ratih Ningrum. "

"Bah! Kau merupakan iblis betina yang kejam. Aku tidak mengerti dengan tingkahmu, Nindia! Untuk apa kau culik pemuda dan bayi-bayi?"

Nindia menghentikan tawanya. Suaranya seram, "Kau tahu, para pemuda itu untuk kubunuh, agar tidak menjadi hidung belang macam suamimu. Dan bayi-bayi itu, aku pun membunuhi mereka. Aku senang melihat darah dan tangis mereka. "

Seketika Ratih Ningrum melirik putranya yang masih pulas tidur. Jelas tidak mungkin Nindia tidak melakukan hal yang sama terhadap Pranata Kumala. Oh, tidak! Jika itu sampai dilakukannya, dia bersumpah akan menghirup darah Nindia!

Tahu-tahu Nindia terkekeh lagi. "He... he... sebentar lagi itu akan kulakukan pada putramu, Ratih. Kau boleh saksikan, bagaimana tangis dan darah anakmu! Tentu sangat sedap didengar telinga!"

"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu pada anakku!" seru Ratih Ningrum antara ketakutan dan marah. "Ingat Nindia, ke mana pun kau pergi akan kucari kalau kau berani melakukannya!"

"He... he... suatu hal yang tak mungkin. Karena setelah anakmu kubunuh, ganti kau yang kubunuh!"

"Kau?!" Ratih Ningrum membelalak gusar. Dan membentak, "Lepaskan ikatanku lepaskan! Kita bertanding secara kesatria!"

"Untuk apa aku susah payah melepaskan ikatanmu? Toh aku mudah membunuhmu. "

"Pengecut! Ternyata gelar Dewi Cantik Penyebar Maut hanyalah seorang iblis yang pengecut?"

"Bangsat!" Nindia melayangkan tangannya. Lagi Ratih Ningrum ditamparnya. Kali ini pipi itu memerah sekali. Dan amat sakit dirasakan Ratih Ningrum. Tetapi itu semakin membuatnya gusar. Matanya melotot marah.

"Kau benar-benar pengecut! Kau hanya berani menamparku dalam keadaan terikat!" Mata Nindia  memancarkan sorot yang menakutkan. Ratih Ningrum tidak takut. Dia balas menentang tatapan itu. Dia berharap, Nindia melupakan persoalan putranya.

Tahu-tahu Nindia berbalik dan mengibaskan tangannya kebelakang.

Siingg!

Selarik sinar merah melesat dari kelima jarinya. Dan menghantam dinding gua hingga menimbulkan suara ledakan. Dan dinding itu hancur berantakan.

Diam-diam Ratih Ningrum ngeri melihatnya. Tetapi dia tetap tenang sambil menahan debar kengeriannya.

Nindia berbalik lagi.

"Tak sulit membunuhmu!" desisnya ang-

ker.

Lalu meninggalkan tempat itu dengan

kekehnya yang menakutkan.

Ratih Ningrum menghela nafas panjang, agak lega. Nindia sekarang bukanlah Nindia yang dulu. Nindia sekarang telah tumbuh menjadi seorang wanita yang ganas dan kejam, dan telengas menurunkan tangan.

Cinta memang membuat orang jadi mabuk kepayang dan kadang kelabakan. Semua tak ada yang bisa mengubah cinta itu kecuali orang itu sendiri. Dan Nindia tidak bisa merubahnya.

Dia tetap memendam cinta itu pada Madewa yang kini menjadi suami Ratih Ningrum. Dan karena cinta dia membuat petaka berdarah ini, yang selalu memakan nyawa manusia. Kata orang, cinta mengalahkan segalagalanya. Dan kini terbukti, cinta menghilangkan cinta wanita Nindia Wanita yang lemah lembut dan selalu menangis, kini menjelma menjadi wanita yang menggegerkan seisi rimba persilatan. Wanita yang menjadi momok bagi siapa saja!

Tak terkecuali diri dan suaminya! Entah kapan semua itu akan berakhir.

Hanya yang Kuasa yang tahu. Tetapi Nindia semakin seenaknya menjalankan terornya tanpa ada berani yang menentang.

Di mana orang-orang golongan putih? Mengapa mereka hanya berdiam saja? Belum lagi kalau nanti muncul orang-orang golongan hitam yang membantu Nindia. Semakin kacau tentu dirasakan!

Dan semakin sulit dibasminya! Ratih Ningrum pun bertanya-tanya di mana suaminya berada sekarang. Mungkinkah dia ke perguruan Topeng Hitam? Entah kenapa Ratih Ningrum yakin suaminya akan ke sana. Pasti orang-orang yang menyergapnya waktu itu meninggalkan jejak. Dan menginginkan terjadinya salah paham antara suaminya dan orang-orang Topeng Hitam.

Siasat adu domba yang memecahkan! Atau juga saat ini suaminya sudah di-

hadapkan kepada Raja akibat tuduhan ingin memberontak.

Ratih Ningrum menjadi pusing sendiri. la melirik putranya masih tertidur. Betapa nyenyaknya Pranata tidur, dan tidak tahu kalau maut setiap saat akan datang.

* * *

10

Malam merambat dengan perlahan. Awan gelap menyelimuti bumi. Bertanda sebentar lagi akan turun hujan. Angin besar sekali, menderu-deru. Dan menusuk kulit. Suasana hening dan dingin. Mencekam.

Perasaan seperti itu pun dirasakan oleh Bupati Wrahatnala. Dia merasa sulit untuk memejamkan matanya. Berkali-kali dia mencoba tidur tetapi mata itu, tetap tak mau terpejam.

Dia merasakan sekujur tubuhnya berkeringat. Ada ketegangan yang merayap perlahan, entah apa.

Diliriknya istrinya yang bernama Sekar Jingga yang tidur di sisinya. Wajah Sekar Jingga cantik. Dan selalu tersenyum. Dalam tidurnya pun dia tersenyum.

Walaupun Wrahatnala seorang bupati, sampai saat ini dia tidak punya istri selain Sekar Jingga. Juga tidak punya selir! Dia memiliki dua orang putra. Tetapi saat ini keduanya tidak berada di antara mereka. Keduanya tengah berguru pada tempat yang berlain. Yang pertama di pegunungan Lawu. Sedangkan yang satunya, di dataran Pantai Selatan.

Dan lagi-lagi Wrahatnala merasakan ketegangan itu. Tahu-tahu ia bangkit. Keluar dari kamarnya. Dua orang pengawal yang menjaga di depan kamarnya berbalik dan salah seorang bertanya, "Ada apa gerangan tuanku Bupati keluar dari peraduan?"

"Aku tidak tahu perasaanku tidak enak saja," kata Bupati seraya duduk di dekat jendela. Menatap dua pengawal yang menjaga didepan kamarnya.

"Kalau boleh kami tahu, apa gerangan yang menyusahkan Paduka?"

"Aku sendiri tidak tahu. Aku merasakan sesuatu yang mengerikan akan menimpa kita. Surya, tolong kau panggil orangorang pilihan istana. Aku ingin berbincang-bincang dengan mereka."

Nah, sampai disini tentu anda masih penasaran. Silakan anda simak episode berikut :

"Keris Naga Merah"

SELESAI



No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 04 Dewi Cantik Penyebar Maut"