Serial Pendekar Bayangan Sukma: 25 Datuk Sesat Bukit Kubur
25 Datuk Sesat Bukit Kubur
1
Desa Jati Gede malam hari.
Suasana desa nampak hening.
Malam semakin kelam. Rembulan di sana tersenyum tipis, memancarkan sinar
keemasannya menerangi desa Jati Gede.
Suara binatang malam
bersahutan. Bernyanyi gembira karena baru saja hujan berhenti turun. Geresek
dedaunan dan bau tanah basah menguar, semakin membuat desa yang aman itu
terbuai dalam tidurnya.
Namun tiba-tiba saja desa yang
tenang itu didatangi oleh derap langkah kuda yang bergemuruh memasuki desa itu.
Ada sekitar delapan orang di atas kuda masing-masing. Mereka berwajah bengis
dan menyeramkan. Di tangan mereka terpegang sebuah cakram berbentuk gerigi.
"Hhh! Di sini kita akan
membangun sebuah benteng, Kawan-kawan!" berseru salah seorang yang
mengenakan ikat kepala biru menandakan dia adalah pimpinan dari gerombolan itu.
"Benar, nampaknya desa
ini cocok untuk kita!" sahut yang lain.
"Kalau begitu, mulailah
kita menteror di sini!"
Tiga orang melompat dari kuda
mereka. Dan mengambil beberapa dahan pohon yang kering. Lalu membakarnya.
Setelah itu dilemparkannya dahan-dahan yang terbakar itu ke atap rumah
penduduk.
Suasana desa yang tenang
berubah menjadi kekalutan. Terdengar pekik dan jerit penduduk yang rumahnya
terbakar. Para penjaga malam yang melihat api berkobar segera berlari mencari
sumbernya. Serentak mereka memukul kentongan, menandakan desa dalam bahaya.
Seketika kepanikan terjadi.
Orang-orang berusaha memadamkan api yang makin menjulang. Sementara orang-orang
yang menunggang kuda itu terbahak-bahak.
"Hei, mereka rupanya yang
membuat ulah!" berseru salah seorang penjaga malam yang bernama Jaya.
"Benar, mereka
rupanya!" "Siapa pula mereka!"
"Baiknya kita datangi
saja, sementara yang lain berusaha memadamkan api!"
Empat orang penjaga malam dengan
gagah mendekati orang-orang yang menunggang kuda itu yang tetap tertawa.
Seperti gembira menyaksikan penduduk yang panik dan ketakutan. Sementara
sebagian penduduk berusaha memadamkan api yang terus membakar.
"Orang-orang penunggang
kuda, dengan maksud apa kalian membuat keonaran di sini?!" tanya Jaya
dengan gagah di hadapan orang-orang itu.
Pemimpin gerombolan yang
bernama Agung Seta terbahak. "Rupanya ada tikus kecil yang berani
membentak kami, Gerombolan Carok dari Barat!"
"Perduli setan dengan
siapa kalian! Tapi kalian telah membuat keonaran di sini!"
"Besar juga nyali manusia
ini!"
"Cepat kalian tinggalkan
desa ini sebelum kami marah!" Serentak terdengar tawa membahana dari
orang-orang itu. Merasa sangat lucu melihat ada yang begitu berani membentak
dan mengusir mereka.
"Punya keberanian juga
kau, Tikus jelek!"
Salah seorang berbisik pada
Jaya, "Agaknya mereka memang sengaja ingin membuat onar di sini. Kita
harus bersiap Jaya. Nampaknya mereka tidak bersahabat!"
"Betul. Kita hadapi
mereka. "
Belum lagi Jaya selesai
berucap, tiba-tiba terdengar suara berdesing menderu ke arah mereka. Serentak
mereka berlompatan menghindar. Juga ada yang bergulingan.
Suara yang mendesing tadi
rupanya cakram bergerigi yang dilemparkan Agung Seta dan kini memutar kembali
pada pemiliknya.
"Cepat kalian berlutut di
hadapan kami, sebelum kami menjadi marah! Dan umumkan pada seluruh penduduk,
bahwa kini kami yang berkuasa!" "Enak saja kau omong! Bupati
Jarotseda yang kami anggap sebagai ketua di sini! Juga Lurah
Tungtura yang menjadi ketua
desa ini!"
"Bangsat! Mulai sekarang,
kalian harus tunduk di bawah kekuasaan kami! Bila tidak, akan kami buat rata
desa ini dengan tanah!"
"Kami akan mempertahankan
tanah kelahiran kami ini dari tangan-tangan kotor orang-orang seperti kalian!
Seraaaangg!" seru Jaya dan langsung menyerang dengan golok di tangan.
Begitu pula dengan ketiga temannya.
Serangan mereka hanya disambut
dengan tertawa oleh Agung Seta dan teman-temannya.
Lalu tangan kanan empat orang
dari gerombolan Carok itu bergerak.
"Sing!"
"Sing!"
"Sing!".
"Sing!"
Empat buah cakram yang berada
di tangan mereka pun terlepas, menyambut serangan dari Jaya dan teman-temannya.
Mereka tersentak kaget dan masing-masing berusaha menghindar.
"Bluk!"
"Trang!"
"Trang!" "Akhhhh...!"
Jaya berguling ke tanah. Kedua
temannya berhasil menangkis dengan golok mereka. Tetapi yang seorang lagi harus
ambruk ke tanah dengan dada robek besar. Lalu mampus orang itu setelah menahan
rasa sakit yang luar biasa sejenak. Darah mengucur dari dadanya.
Sementara senjata-senjata tadi
seperti mempunyai mata kembali kepada masing-masing pemiliknya.
Jaya menggeram marah.
"Kami akan mengadu jiwa denganmu!" serunya kembali menyerang diikuti
oleh kedua temannya yang dendam dan marah luar biasa melihat kawan mereka harus
mampus dengan tubuh yang robek mengerikan.
Namun lagi-lagi tanpa turun
dari kuda mereka, tiga buah senjata cakram itu bergerak mencari sasarannya.
Kali ini tak ada yang dapat menghindar. Mereka pun ambruk dengan luka yang
parah dan segera menyusul kawan mereka yang seorang ke akhirat.
Orang-orang itu terbahak.
Lalu mereka pun menggebrak
kuda masingmasing diiringi seruan yang keras.
Suasana desa itu pun menjadi
neraka. Api terus berkobar. Kepanikan terus terjadi. Jerit dan rintih anak-anak
dan wanita terdengar menyayat. Belum lagi jerit kematian orang-orang yang
mencoba melawan, dan ambruk dengan bagian tubuh yang robek terluka.
Tiba-tiba di hadapan
orang-orang itu berdiri beberapa orang dengan gagah, dengan senjata di tangan mereka
masing-masing.
Seorang laki-laki setengah
baya berkata dengan nada berwibawa, "Hentikan kekejaman ini!"
"Hahaha... siapakah kau
adanya, Laki-laki jelek!" menggema suara Agung Seta disambut dengan tawa
yang lainnya. Memekakkan telinga dan penuh ejekan.
"Hhh! Ketahuilah, aku
Lurah di sini! Namaku Tungtura! Cepatlah kalian tinggalkan tempat ini, Manusia
dajal! Jangan membuat onar di sini!" sahut Lurah Tungtura gagah. Sikapnya
pun berani.
"Hahaha... rupanya warga
desa Jati Gede tergolong punya nyali semua! Bagus, aku sangat menyukai
laki-laki yang jantan dan gagah berani! Nah, usirlah kami dari desamu ini! Bila
kau mampu mengalahkan salah seorang di antara kami, kami akan pergi
meninggalkan desa ini! Tapi bila kau kalah atau pun mampus, bilang pada wargamu
agar patuh kepada kami! Gerombolan Carok dari Barat!"
Lurah Tungtura menimbang
penawaran itu Baginya tak ada jalan lain selain melayani tantangan para
gerombolan. Yang penting warganya terbebas dari kekuasaan manusia-manusia
laknat ini.
Dengan langkah gagah Lurah
Tungtura maju ke kalangan. Di tangannya tergenggam sebuah golok.
Tetapi sebelum dia berkata,
salah seorang dari pengawalnya berkata, "Ki Lurah, biarlah aku yang
melayani tantangan manusia sesat ini! Sebaiknya Ki Lurah mundur saja!"
"Bayu... biarlah aku yang
tua ini yang menghadapi mereka...." kata Lurah Tungtura dengan nada suara
yang tetap berwibawa.
"Tapi, Ki Lurah "
"Aku tahu... karena
kakakmu Jaya telah mampus di tangan mereka. Dan kau bermaksud ingin membalas,
bukan?"
Laki-laki gagah yang bernama
Bayu itu menundukkan kepalanya. Malu karena maksudnya diketahui Lurah Tungtura.
"Ki Lurah "
"Hahaha... mengapa tidak
sekalian saja maju, heh?! Kalian adalah makanan yang sangat empuk bagi kami!
Ayo, jangan sungkan majulah!" berseru Agung Seta.
Tanpa menunggu persetujuan
Lurah Tungtura, Bayu sudah berkelebat meraih goloknya, dan melangkahkan kakinya
mantap ke kalangan.
"Gerombolan busuk, kalian
harus membayar lunas nyawa kakakku!" "Bagus! Morodama, kau hadapilah
mereka! Kasih mereka pelajaran yang berarti, biar mereka tak punya lagi ucapan
besar!" seru Agung Seta dan setelah itu tawanya membahana keras di tengah
malam desa Jati Gede. Desa yang tadi sunyi kini menjadi ramai.
Bekas rumah yang terbakar
masih menampakkan sisa-sisa apinya. Para penduduk hanya memperhatikan dengan
hati cemas ketika Morodama meloncat dari kudanya. Dan berdiri berhadapan dengan
Ki Lurah Tungtura dan Bayu. Para penduduk tidak berani berharap banyak pada
keduanya, tetapi mereka berdoa agar Lurah Tungtura dan Bayu memenangkan
pertandingan ini.
Mereka tidak mau dipimpin oleh
para gerombolan yang sangat mereka yakin tentunya akan berbuat sewenang-wenang.
Ini adalah hal yang sangat mengerikan! Apalagi bagi yang mempunyai anak
perawan, tentunya mereka adalah makanan yang empuk buat Gerombolan Carok dari
Barat!
Morodama adalah laki-laki
bertubuh besar. Dengan kedua tangan yang kekar. Kumisnya baplang. Dia terbahak
begitu berhadapan dengan Lurah Tungtura dan Bayu.
"Majulah kalian, ingin
kulihat sampai di mana nyali kalian!" serunya.
Bagi Bayu tak ada lagi waktu
untuk bercakapcakap. Kegeramannya memuncak. Apalagi setelah dia melihat mayat
kakaknya yang mampus dengan luka di dada yang besar. Ini membuatnya marah dan
dendam.
Dengan satu pekikan keras dia
melesat menerjang. Para penduduk menanti dengan cemas. "Hati-hati,
Bayu!" seru Lurah Tungtura.
Morodama terbahak sambil
menghindari sabetan golok di tangan Bayu.
"Kenapa tidak maju
sekalian, Lurah Tungtura! Biar aku tak membuang-buang waktu untuk menghabisi
kalian!"
Lurah Tungtura pun segera
melesat.
Goloknya berkelebat ke sana ke
mari mencari sasaran. Dia pun tak berani berharap banyak pada dirinya dan Bayu
untuk memenangkan pertarungan ini. Tetapi dia akan berbuat sekuat tenaga. Dia
pun tak mau desanya dipimpin oleh para gerombolan.
Namun Morodama adalah salah
seorang dari gerombolan yang tangguh itu. Dia pun melayani serangan-serangan Ki
Lurah Tungtura dan Bayu dengan santai saja. Malah bila diperhatikan dengan
seksama, tak ada rasa kesulitan sedikit pun.
Dia malah tertawa-tawa saja.
"Bah! Kepandaian seperti
anak kecil saja kalian perlihatkan padaku!"
"Morodama, buat apa kau
berlama-lama bermain-main dengan manusia-manusia itu! Cepat selesaikan, malam
sudah semakin larut! Aku sudah tidak tahan untuk mencari hidangan makam malamku
berupa perawan-perawan murni dari desa ini!" seru Agung Seta yang matanya
selalu jelalatan memperhatikan gadis-gadis yang nampak ketakutan.
Dan begitu mendengar kata-kata
Agung Seta, mereka semakin ketakutan. Sebagian kembali masuk ke rumahnya. Dan
sebagian mengajak keluarganya untuk meninggalkan desa itu.
"Agung Seta, bila itu
maumu boleh saja!" seru Morodama sambil bersalto menghindari dan mengirim
satu jotosan ke dada Bayu, yang langsung terjengkang muntah darah.
Tetapi dendam yang membakar
Bayu, membuat pemuda itu bangkit kembali. Namun sekali lagi dia harus
terjengkang. Kali ini ambruk dengan muntah darah. Dan kali ini nyawanya pun
harus minggat pada jasadnya.
Hal ini membuat Ki Lurah
Tungtura menjadi geram. Namun dia pun tak bisa berbuat banyak, karena satu
tendangan dari Morodama telah menghentikan perlawanannya.
"Hahaha... hanya begitu
saja rupanya kemampuan kau, Ki Lurah!" tertawa Agung Seta. "Dengan
kemampuanmu yang hanya begitu, mana mampu kau membela para penduduk mu! Nah, Ki
Lurah, kau sudah kalah, bukan? Bagaimana dengan perjanjian kita tadi?"
Lurah Tungtura yang dadanya
bagai digedor godam besar, berkata sambil menahan sakitnya. "Tak akan pernah... tak akan kubiarkan
orangorangmu memimpin di desa ini! Tak akan pernah!"
"Hahaha... di samping tak
mempunyai kemampuan apa-apa, juga orang yang tukang mengingkari janjinya! Orang
seperti kau tak layak memimpin desa ini, Ki Lurah!"
"Apalagi orang seperti
kalian, yang hanya membuat onar dan kerusuhan!"
"Ki Lurah, aku tak suka berbasa-basi
lagi! Nah. katakan sekarang, apakah kau dan wargamu mau tunduk di bawah
kekuasaan kami?"
"Biarlah Tuhan yang
menyaksikan semua ini! Biarlah Tuhan yang akan memusnahkan kalian! Aku, Lurah
Tungtura atas nama wargaku tak akan pernah mau tunduk kepada kalian!"
"Bangsat! Kau sudah
diberi ampun minta mati! Baik, aku tak segan-segan lagi padamu!" selesai
berkata begitu, Agung Seta menggerakkan tangannya. Cakram yang sejak tadi sudah
nyantel di pinggangnya bergerak dengan cepat dan menyambar leher Ki Lurah
Tungtura.
"Brak! Akhhh!"
Terdengar suara tulang leher
Lurah Tungtura yang patah. Di susul dengan jeritannya yang keras. Lalu Lurah
yang gagah berani itu pun ambruk dan mati untuk selama-lamanya.
Sementara senjata cakram tadi
dengan anehnya kembali pada Agung Seta yang terbahak-bahak.
"Hahaha... hei, warga
Jati Gede, mulai saat ini aku, Agung Seta, ketua gerombolan Carok dari Barat
yang akan memimpin kalian!"
Sebagian terdiam.
Sebagian berseru, "Tidak,
kami tidak mau dipimpin oleh kalian, kami... akhhh!"
Belum selesai orang itu
berseru, mendadak dirasakannya sambaran angin di dadanya. Dan "des!"
dada itu robek besar karena termakan cakram Agung Seta. Tubuh itu pun seketika
ambruk. "Hhh! Siapa lagi yang berani membangkang! Ayo
bicara!"
Tak ada lagi yang berani
membuka mulut semua dicekam ketegangan yang luar biasa. Melihat para penduduk
terdiam, Carok-carok itu terbahakbahak.
"Bagus, bagus! Mulai
besok, kalian harus patuh pada kami! Dan menyetor setiap hasil panen kalian?!
Tidak ada kata tidak, aku yang menentukan di sini! Mengerti?!"
Lagi tak ada yang bersuara.
Ketegangan itu semakin merambat. Apalagi ketika tiba-tiba Agung Seta menggebrak
kudanya dan menyambar naik seorang perawan yang langsung menjerit-jerit
ketakutan.
"Hahaha... kenapa takut,
Manis? Kau akan menjadi hidangan makan malamku yang sangat lezat!"
Perawan itu masih meronta.
Namun sia-sia. Ayahnya yang melihat bahaya yang sangat besar akan mengancam
anak perawannya, nekat untuk menolong.
"Lepaskan anakku,
Bangsaaaattt!" Angin pukulannya menderu.
Tetapi yang dihadapinya adalah
Agung Seta. Dengan sekali mengayunkan kakinya, laki-laki itu terjengkang ambruk
dan nyawanya melayang!
"Bapaaaa!" berseru
istrinya sambil memburu. Ketika dia hendak membalas kematian suaminya, beberapa
orang menahannya.
"Lepaskan, lepaskan! Biar
aku mati saja! Biar aku mati saja! Lepaskan!"
Tetapi orang-orang tidak
melepaskannya, karena mereka tak ingin satu nyawa lagi melayang oleh tangan
orang-orang biadab itu. Agung Seta terbahak. "Bagus! Kalian telah berbuat
yang sangat bagus! Hei, Kawan-kawan, kalian tidak mencari hidangan makan
malam?!" seru Agung Seta sambil menggebrak kudanya membawa tubuh sang anak
perawan.
Sudah tentu teman-temannya tak
mau ketinggalan. Mereka pun dengan tertawa-tawa mengejarngejar para anak
perawan.
Di malam yang menjelang pagi,
samar-samar penduduk desa Jati Gede mendengar rintihan kesakitan para anak
perawan dan tawa keenakan dari
orang-orang durjana itu.
***
2
Dua hari kemudian setelah
kejadian yang menimpa desa Jati Gede, beberapa penduduk yang berhasil
menyelamatkan diri mendatangi Bupati Jarotseda.
Bupati Jarotseda pun terkejut
mendengar berita yang mengerikan itu.
"Lurah Tungtura pun
tewas?"
"Benar, Bupati. Untungnya
kami berhasil melarikan diri."
"Benar-benar kejam
gerombolan itu."
"Kita harus segera ke
sana, Bupati," kata salah seorang pengawal Bupati yang bernama Handaka.
Dia seorang laki-laki yang berusia 50 tahun. Dan pengawal setia dari Bupati.
Handaka memiliki kemampuan ilmu silat yang cukup tinggi. Dia bersenjata
sepasang kipas yang dengan sekali kebut mampu mendorong benda yang berat sekali
pun.
Bupati Jarotseda
mengangguk-angguk. "Benar, Pengawalku. Kita harus segera meredam
kesombongan dan keangkaramurkaan yang dibuat oleh orang-orang sesat itu!"
Tiba-tiba masuk salah seorang
pengawal dari Bupati dengan langkah tergopoh-gopoh dan nafas terengah-engah.
Wajah orang itu berkeringat.
"Hei, ada apa gerangan,
Jaka Pamuran?!" tanya Bupati Jarotseda heran.
Pengawal yang bernama Jaka
Pamuran itu menjura dengan masih terengah-engah. Tangannya menunjuk-nunjuk
keluar. Dan saat tangan itu terangkat, barulah yang hadir dapat melihat dengan
jelas. Di bawah tangan kanan itu terdapat sebuah luka yang cukup besar dan kini
darah merembas pada bajunya yang berwarna putih!
"Jaka Pamuran! Apa yang
telah terjadi?!" seru Handaka sambil melompat dan memapahnya.
Begitu dipapah, Jaka Pamuran
terjatuh. Nampak sekali kalau lukanya teramat parah.
Bibirnya biru bergetar. Dan
suaranya pelan, "Kami... kami diserang oleh... Gerombolan... Carok dari
Barat... akhhh!"
"Di mana, Jaka? Di mana
mereka berada?!" tanya Handaka menjadi waspada. Begitu pula dengan dua
orang pengawal pribadi Bupati Jarotseda. Sula Panaran alias si Pisau Terbang.
Dan Singaranu yang berjuluk si Manusia Angin.
"Mereka... akhhhh!"
belum selesai ucapan yang keluar dari mulut Jaka Pamuran, tubuh itu sudah
terkulai, lalu mereganglah nyawanya.
Hal itu membuat suasana
menjadi tegang. Terutama beberapa penduduk Jati Gede yang datang melapor.
Tetapi Bupati Jarotseda menenangkan
mereka. "Bila kalian merasa takut untuk kembali, biarlah kalian tinggal di
sini untuk sementara."
Orang-orang itu langsung
memilih tinggal di sana, dan tak mau mengambil resiko maut dihadang oleh
orang-orang jahat dari Barat itu.
Tiba-tiba terdengar suara
desing angin yang cukup keras ke arah mereka. Dan siurnya menderu cukup
memekakkan telinga. Tiba-tiba, "Traaangg!" kaca jendela di mana
mereka sedang berbicara, mendadak pecah terhantam suatu benda. Dan pecahan kaca
itu memburai ke arah mereka.
Serentak Handaka langsung
melompat menubruk tubuh Bupati Jarotseda dan menggulingkannya hingga selamat
dari pecahan kaca yang berhamburan.
Begitu pula dengan Sula
Panaran dan Singaranu yang bersalto untuk menghindari pecahan kaca. Tetapi dua
orang penduduk Jati Gede yang terpana tak sempat untuk mengelak. Tak ayal lagi,
tubuh mereka terhunjam pecahan kaca yang cukup tajam.
"Cep!"
"Cep!"
Dan kedua tubuh itu pun
mengejut, berkelojotan dan ambruk.
Namun ketegangan itu tidak
hanya sampai di sana saja. Benda yang menabrak kaca itu ternyata sebuah cakram
yang kini bergerak mencari sasarannya. Cakram itu seperti mempunyai mata saja,
karena dia dapat bergerak seolah mencari sasaran.
Hal ini sangat mengejutkan
orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.
Mereka menjadi tunggang
langgang menyelamatkan diri.
Dan "Des!"
"Des!"
"Aaakhhh!"
Tiga orang penduduk Jati Gede
pun ambruk dengan leher hampir putus. Lalu melayanglah nyawanya.
Ini membuat Bupati Jarotseda
marah. Tetapi dia cepat merundukkan
kepalanya kalau tidak mau disambar oleh cakram bergerigi itu. Tiba-tiba
terdengar jeritan Handaka sambil mengibaskan kipasnya. Sebuah angin yang cukup
besar menghantam cakram itu hingga ambruk ke lantai.
Namun suatu keanehan terjadi.
Ketika Handaka hendak mengambil
cakram itu, tiba-tiba benda bergerigi itu melayang ke atas, keluar melalui kaca
jendela yang pecah tadi.
"Gila!" seruan itu
keluar bersamaan dari mulut tiga pengawal Bupati.
Suatu pertunjukan tenaga dalam
yang luar biasa.
Mendadak terdengar bentakan dari
luar, "Hei, orang-orang yang berada di dalam! Cepat keluar, jangan
bersembunyi mirip anak perempuan!"
Orang-orang yang berada di
dalam saling pandang. Dan serentak mereka keluar. Bupati Jarotseda berdiri
gagah di hadapan delapan orang penunggang kuda yang tertawa-tawa begitu melihat
mereka muncul.
"Hahaha... rupanya kalian
punya nyali juga!" bentak salah seorang yang tak lain Agung Seta, pimpinan
Gerombolan Carok dari Barat. "Kupikir, Bupati Jarotseda dengan ketiga
pengawalnya hanyalah manusia-manusia pengecut yang beraninya cuma bersembunyi
di ketiak ibunya!"
Kata-kata Agung Seta disambut
oleh tawa teman-temannya.
"Hhh! Rupanya kalianlah
manusia-manusia busuk yang mengganggu desa Jati Gede!" seru Jarotseda
gagah. "Ada maksud apa sebenarnya kalian mengganggu ketentraman
kami?!"
"Hahaha... rupanya memang
tak salah raja mengangkatmu menjadi Bupati di wilayah Timur ini, Jarotseda.
Nyalimu lumayan besar, beraniberaninya membentak kami!"
"Katakan cepat, maksud
apa kalian mengganggu ketentraman di wilayah ini?!"
"Sudah tentu ingin
menjarah hasil bumi dari desa Jati Gede, Bupati!"
"Hhh! Menyingkirlah
kalian dari desa ini, janganlah membuat kami marah!"
"Hahaha... kami memang
ingin melihat kalian marah! Ingin melihat sampai di mana kalian bisa mengusir kami
dari desa yang indah ini!"
"Bangsat!" menggeram
Bupati Jarotseda.
Begitu pula dengan ketiga
pengawalnya yang kini dalam keadaan siaga. "Ayo, unjuk gigilah kalian di
hadapan kami! Biar kami tahu hanya setitik debu kemampuan kalian...
hahaha!" tawa Jarotseda membahana.
Diikuti oleh teman-temannya
yang merasa lucu karena ada yang berani menantang mereka.
Handaka sudah tidak bisa
menahan diri lagi. Sambil memekik dia maju menerjang ke arah Agung Seta yang
masih tertawa-tawa.
"Heit! Hebat juga
seranganmu!" seru Agung Seta sambil bersalto melompat turun.
Namun Handaka bermaksud tidak
memberi kesempatan. Dia pun menerjang lagi dengan hebat. Kali ini Agung Seta
segera memapakinya.
"Des!"
"Des!"
Dua buah pukulan yang
mengandung tenaga dalam yang cukup lumayan bertemu. Dan masingmasing mundur dua
tindak dengan tangan yang terasa ngilu.
"Tak sia-sia kau menjadi
pengawal Bupati, Orang tua! Tapi coba kau hadapi ini!" berserulah Agung
Seta seraya mengeluarkan jurus berikutnya.
"Majulah, Orang
busuk!" balas Handaka sambil menyiapkan diri menyambut serangan
berikutnya.
Melesatlah tubuh Agung Seta ke
arah Handaka, yang segera memapakinya. Kedua jago itu pun bertarung kembali.
Namun lewat lima jurus berikutnya, kelihatan Agung Seta dapat mendesak
lawannya.
Hal itu membuat Sula Panaran
dan Singaranu bermaksud membantu. Tiba-tiba mereka mengurungkan niatnya dan
bersalto, karena dua buah cakram sudah meluncur ke arah mereka.
"Bangsat!" maki Sula
Panaran. "Anjing buduk!" maki Singaranu.
"Hahaha...."
Morodama tertawa. "Rupanya kalian adalah manusia-manusia busuk yang
pengecut! Beraninya hanya menyerang dari belakang saja! Buat apa kalian
bersusah payah mencari lawan, bukankah kami telah siap untuk menghadapi kalian?
Membuat kalian mampus berkalang tanah dengan tubuh hancur kelojotan...
hahaha!"
"Bangsat!" menggeram
Singaranu. "Cepat kalian turun dari kuda-kuda kalian, ayo hadapi
kami!"
"Dengan senang
hati!" Morodama bersalto, yang diikuti oleh seorang temannya yang bernama
Tungga Merdeka, "Hahaha... kita merupakan pasangan yang cocok
sekali!"
Tak ayal lagi pertempuran pun
terjadi. Masingmasing sudah menggunakan jurus-jurus yang sangat berbahaya.
Singaranu pun mengeluarkan jurus Angin Memutarnya untuk menghindari
sambaran-sambaran cakram Morodama. Begitu pula dengan Sula Panaran yang
menyambut seranganserangan Tungga Merdeka dengan sambaransambaran pisau
terbangnya, yang juga dialiri tenaga dalam. Sekaligus mencoba membuat keder
lawannya, karena pisau-pisau terbang itu bisa kembali pulang pada tuannya.
Tinggal Bupati Jarotseda yang
masih berdiri dengan tenang. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Karena dua
orang dari gerombolan Carok itu sudah mengurungnya, mau tak mau membuat Bupati
Jarotseda harus melayani mereka demi mempertahankan selembar nyawanya.
Pertempuran itu berlangsung
cukup sengit, alot dan saling mempertahankan diri. Namun lewat beberapa jurus
kemudian, terdengarlah pekik dari mulut Handaka. Bahunya terkena sambaran
cakram bergerigi Agung Seta.
"Hahaha... lebih baik kau
berlutut dan mencium ibu jariku, Orang tua! Atau... nyawamu akan lepas
meninggalkanmu untuk selama-lamanya!"
"Bangsat! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!" Handaka pun mengeluarkan senjatanya yang berupa
sepasang kipas dari balik bajunya. Lalu membuka jurusnya dengan mengibas,
memutar dan membuka kipasnya. Saat dia berbuat begitu, timbul angin yang cukup
kuat dan sambaran berbunyi dengung dari kipasnya.
Agung Seta cukup terkejut
melihatnya. Dan dia pun tertawa, "Hahaha... kipas untuk memanggang sate
kau pergunakan dan kau perlihatkan di hadapanku, Orang tua! Majulah!"
Sambil menggeram, Handaka
melesat menyerang. Angin yang ditimbulkan dari kipasnya cukup memekakkan
telinga. Dan dengungnya bagai ada ratusan tawon yang menyerang.
Agung Seta pun menyambut
dengan sambaransambaran cakramnya yang cukup merepotkan Handaka.
Begitu pula halnya dengan
pertempuran antara Singaranu dan Morodama berlangsung tak kalah sengitnya.
Kelihatan kalau keduanya nampak berimbang. Dan masing-masing telah mengeluarkan
jurus-jurus andalan mereka.
Sedangkan pertempuran antara
Sula Panaran dan Tungga Merdeka, sedikit nampak tidak berimbang. Sula Panaran
dengan pisau-pisau terbangnya mampu membuat Tungga Merdeka kalang kabut.
Serangannya sering kali dipatahkan oleh Sula Panaran. Dan ini membuatnya
menjadi marah dan jengkel.
Serangannya menjadi tak
terarah karena diliputi oleh rasa marah sedangkan konsentrasinya sudah pecah.
Ini membuat Sula Panaran menjadi di atas angin.
Tiba-tiba dia berseru sambil
bersalto, "Awas serangan!" Dua buah pisau terbangnya pun melesat
menuju sasarannya.
Tungga Merdeka terkejut.
Serentak dia bersalto sambil melemparkan cakramnya.
Traaangg!
Cakram itu beradu dengan salah
sebuah pisau yang menimbulkan suara cukup keras. Tetapi yang sebuah lagi terus meluncur
mencari sasarannya.
Tungga Merdeka berguling
menghindari pisau terbang itu. Tetapi pisau yang sudah dialiri tenaga dalam
dari jauh oleh Sula Panaran, tiba-tiba saja berbalik dan menukik menuju
sasarannya.
Tungga Merdeka yang dalam
keadaan berguling, tak mampu lagi untuk menghindari serangan pisau terbang itu.
Dia cuma bisa terpaku dengan
sepasang mata yang terbuka melotot melihat datangnya pisau itu ke arahnya, dan
terdengarlah jeritannya yang sangat keras ketika pisau itu menembus jantungnya.
"Aaaakhhhhh!"
Dan tubuh itu pun
berkelojotan, bergulingan, lalu terdiam kaku dengan tubuh bersimbah darah.
"Tunggaaaa!" terdengar seruan dari salah seorang carok yang masih
berada di atas kudanya. Dengan kemarahan yang luar biasa, dia melompat
menerjang Sula Panaran yang dengan cepat me-
nyambutnya pula.
Sementara itu keadaan Bupati
Jarotseda cukup terdesak. Bupati yang ternyata pandai ilmu silat itu pun harus sekali-kali terkena
hantaman pukulan, gedoran, sambaran dan tendangan dari kedua lawannya.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Tubuh Bupati Jarotseda menjadi
bulan-bulanan dari kedua carok itu yang tertawa-tawa.
Di tempat lain, Agung Seta
sudah mampu mendesak hebat Handaka. Apalagi setelah sambaran cakramnya mengenai
tangan kanan Handaka hingga kipasnya terjatuh. Dengan hanya menggunakan kipas
sebuah, tak banyak yang bisa diperbuat jago tua itu.
Sebuah tendangan yang
dilancarkan Agung Seta dengan kekuatan penuh pun mengenai sasarannya hingga
jago tua itu ambruk.
"Hahaha... terimalah
serangan selanjutnya, Orang tua! Dan mampuslah kau menemani salah seorang anak
buahku yang telah mampus lebih dulu!" Lalu dengan kegeraman yang amat
sangat, Agung Seta melemparkan cakramnya dengan tenaga dalam penuh ke arah
Handaka. Handaka yang sudah sangat lemah tak bisa berbuat banyak. Tanpa ampun
lagi, cakram itu pun masuk pada sasarannya. Menembus dada Handaka yang menjerit
membelah langit dan ambruk meregang nyawa dengan tubuh bersimpuh darah.
Mampuslah tokoh dari Bupati
Jarotseda dengan ajal yang mengerikan.
"Hahaha... kau temanilah
kawanku Tungga Merdeka di neraka sana, Jago tua!" seru Agung Seta.
"Hei kalian!" serunya pada teman-temannya yang masih bertarung.
"Cepat sudahi lawan-lawan kalian beri mereka pelajaran yang tak akan
pernah terlupakan! Untuk Bupati Jarotseda, tangkap dia hidup-hidup! Dia akan
kita hidangkan satu suguhan yang sangat menarik untuknya... hahaha! Cepat
laksanakan!"
Begitu habis Agung Seta
berkata, temantemannya pun makin meningkatkan seranganserangan mereka.
Singaranu menjadi terkejut
ketika Morodama menyerangnya dengan hebat. Dia sudah mengeluarkan jurus
andalannya, Cakram Membalik Bumi. Dan ini membuat Singaranu menjadi kewalahan.
Berkali-kali sambaran cakram itu mengenai sasarannya dan menghantamnya.
Mendadak Singaranu menjadi
nekat. Dia mengibaskan kipasnya yang tinggal sebuah hingga menimbulkan dorongan
angin yang besar. Tetapi Morodama pun tak mau menjadi sasaran kemarahan
Singaranu. Dia pun membalaskan dengan melemparkan cakramnya dengan cepat dan
hebat.
"Des!"
Sambaran cakram itu kembali
mengenai pergelangan tangan kiri Singaranu hingga kipas saktinya terlepas.
Ketika dia hendak mengambilnya kembali, sambaran cakram itu pun melesat lagi.
Kali ini tepat mengenai sasarannya.
"Akhhh!"
Ambruklah Singaranu dengan
leher yang terkoyak hampir putus.
Melihat hal itu Sula Panaran
menjadi nekat pula. Dia bertekad hendak mengadu jiwa dengan kedua lawannya ini.
Namun kedua lawannya begitu tangguh. Apalagi setelah mereka mengeluarkan
senjata cakram masing-masing yang segera menyambar bagai elang dengan cepat.
Sula Panaran pun berusaha
menangkis dan membalas dengan lemparan-lemparan pisau terbangnya. Tetapi
gerakan kedua lawannya begitu cepat dan mampu mengecohnya.
Hingga membuatnya mundur
kewalahan. Dan dua buah cakram itu pun menyambarnya hingga menimbulkan jeritan
yang sangat menyayat sekali yang keluar dari mulut Sula Panaran.
Lalu tokoh yang tangguh itu
pun ambruk meregang nyawa.
Melihat kenyataan tiga
pengawalnya telah tewas, Bupati Jarotseda bermaksud hendak menyusul mereka.
Karena dia sudah bisa menduga bila menghadapi orang-orang ini tak akan menang.
Dia juga tak mau ditangkap hidup-hidup, karena Bupati Jarotseda sudah dapat
menduga apa rencana keji di balik otak Agung Seta.
Baginya lebih baik mati, bila
hidup dalam keadaan disiksa.
Makanya dia berusaha untuk
mendesak kedua lawannya meskipun dia yakin tak akan menang. Tetapi dia
mengharapkan mati di tangan orangorang itu, menyusul ketiga pengawal pribadinya
yang setia.
Mati bersama.
Namun kedua lawannya seakan
tahu apa maksud dari Bupati Jarotseda, makanya mereka kali ini tidak menyerang
dengan hebat. Malah terlihat mereka lebih banyak mengalah.
"Sura Jaya dan Tugi
Sama!" bentak Agung Seta. "Apakah kalian perlu bantuan untuk
menangkap monyet itu, hah?!"
Mendengar bentakan dari sang
pimpinan, membuat keduanya mulai memperlihatkan kelincahan mereka lagi. Kali
ini mereka pun sekali-sekali menyerang walau dengan tidak tenaga yang penuh.
Karena mereka masih berupaya untuk menangkap hidup-hidup Bupati Jarotseda yang
masih menyerang secara membabi buta.
Karena baginya tak ada pilihan
lain. Kecuali mati.
Menyusul ketiga pengawalnya.
Tiba-tiba Sura Jaya berguling
dan tangannya menepak kaki Bupati Jarotseda hingga tersungkur. Menyusul Tugi
Sama yang menangkap dan meringkus sang Bupati.
Jarotseda meronta-ronta,
"Bunuh saja aku! Bunuh saja!"
"Hahaha... bukankah tadi
kau dengar pimpinan kami hendak menghidangkan suguhan menarik untukmu, Bupati
yang gagah berani?!" ejek Tugi Sama.
"Bangsat! Bunuh saja aku!
Aku lebih baik mampus daripada jadi budak kalian!"
"Permintaan konyol!"
Tugi Sama mengayunkan tangannya ke tengkuk Jarotseda hingga pingsan seketika.
Agung Seta terbahak-bahak.
"Hahaha... ayo kita
tinggalkan tempat ini! Bawa mayat teman kita itu Tungga Merdeka dan kuburkan!
Malam nanti aku hendak melapor pada Datuk Tumbalpala di Bukit Kubur!"
Lalu kuda-kuda itu pun
bergerak.
Membawa mayat kawan mereka
Tungga Merdeka.
Membawa tubuh Bupati Jarotseda
yang dalam keadaan pingsan.
Dan meninggalkan mayat-mayat
yang berserakan.
***
3
Udara malam berhembus dingin.
Suasana bukit itu nampak
menyeramkan. Dari kejauhan mirip raksasa yang sedang tertidur. Pohon-pohon
tinggi yang tumbuh di sekitar sana membuat bukit itu menyeramkan. Bukit itu
bagaikan mati.
Tak ada tanda-tanda
kehidupan yang nampak di sana.
Orang-orang memanggilnya Bukit
Kubur. Keadaan yang sepi dan menyeramkan itu me-
mang patut bila bukit itu
diberi nama Bukit Kubur.
Di tengah malam buta itu
nampaklah seekor kuda yang bergerak cepat menuju ke sana. Menerobos angin malam
dan hutan yang terdapat di Bukit Kubur.
Penunggangnya nampak memburu
waktu, dilihat dari kudanya yang berlari sangat cepat.
Orang itu tak lain adalah
Agung Seta, pemimpin Gerombolan Carok dari Barat. Dia memacu kudanya secepat
angin. Ketika tiba di hutan yang menuju ke Bukit Kubur, dia berhenti dan
mengikat kudanya.
Lalu dia berlari menaiki Bukit
Kubur. Mengerahkan segenap kemampuannya berlari. Dia tak boleh terlambat
sedikit pun untuk sam-
pai di Bukit Kubur.
"Kalau aku terlambat satu
detik, bisa marahlah datuk itu!" kata Agung Seta dalam hati. "Sialan,
mengapa aku harus menikmati tubuh anak perawan itu dulu! Tapi... hahaha... bila
tak kunikmati sayang sekali, bisa-bisa diganyang oleh yang lain! Tak boleh
tidak!"
Agung Seta mempercepat
larinya.
Tak lama kemudian dia tiba di
atas Bukit Kubur.
Lalu dia berbelok ke kiri. Dan
kini di hadapannya terlihat sebuah goa yang tertutup agak rapat oleh
semak-semak.
Agung Seta berhenti di depan
pintu gua itu. Dia menjura.
"Masuklah, Agung
Seta...." terdengar suara dari dalam penuh wibawa.
Dan perlahan-lahan secara aneh
semak-semak yang menutupi pintu goa itu terbuka. Agung Seta kembali menjura,
lalu masuk ke dalam.
Begitu dia masuk, ditemuinya
lorong kecil yang menuju ke dalam. Lalu lama kelamaan lorong itu melebar dan
melebar. Dari kejauhan nampak cahaya terang menerangi tempat di dalam goa yang
cukup lebar.
Di tempat sana, Agung Seta
menjura kembali. "Datuk Tumbalpala... aku datang memenuhi
panggilan Datuk yang kuhormati
"
Entah dari mana datangnya
tiba-tiba terdengar suara desir angin dan mendadak di hadapan Agung Seta, di
atas batu yang tipis, telah duduk satu sosok tubuh.
"Hahaha... bagus, bagus,
Agung Seta! Kau telah memenuhi panggilanku!" sosok tubuh itu tertawa
dengan suara yang keras. Suaranya menggema di dalam goa.
Sosok itu tinggi. Bertubuh
kurus kering. Bagian dadanya yang bertelanjang memperlihatkan tulang-tulangnya
yang bertonjolan. Wajahnya pun berkeriput tua. Dengan janggut hitam yang
panjang. Di tangannya ada sebuah kipas yang selalu dipakainya untuk mengipas
tubuhnya yang nampak kegerahan. Padahal Agung Seta merasakan dingin di
sekitarnya, entah mengapa datuk Tumbalpala selalu berkipas.
"Hamba akan selalu
memenuhi panggilan, Datuk!" Agung Seta dengan suara yang makin menghormat.
"Hahaha.... kau memang
muridku yang paling hormat padaku, Agung Seta," kata Tumbalpala.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu itu, hah?!"
"Semua beres,
Datuk!"
"Bagus! Dan mulai setiap
malam Jumat, kau harus menyerahkan seorang anak perawan untukku! Aku tengah
mempelajari satu ilmu yang sangat dahsyat! Kau sanggup memenuhi permintaanku
itu, Agung Seta?!"
"Baik, Datuk. Semua akan
hamba usahakan." "Jangan terlambat, Agung! Ingat, bila usahaku
gagal dalam mempelajari ilmu
ini dikarenakan keterlambatanmu mengirimkan seorang perawan, kau akan tahu
sendiri akibatnya! Mengerti?!"
"Baik, Datuk!"
"Di luar dari itu, kau
boleh mengambil harta sepuas-puasmu! Aku tak butuh harta atau pun apa!
Mengerti?!"
"Ya, Datuk."
"Bila ilmu yang
kupelajari sudah tuntas, aku akan turun bukit untuk menantang jago-jago rimba
persilatan! Keinginanku cuma satu, menguasai rimba persilatan ini... hahaha!
Dan bila sudah kukuasai rimba persilatan, namaku akan menjulang setinggi
langit... hahaha... aku akan menjadi penguasa tunggal di dunia... hahaha!"
"Benar, Datuk... nama Datuk Tumbalpala tak akan ada duanya di dunia
persilatan ini!"
"Bagus! Nah, mulai malam
Jumat depan, kau sudah harus menyediakan seorang anak perawan untukku!"
"Baik, Datuk!"
"Nah, cepatlah kau pergi
dari sini. Aku hendak bersemedi lagi!"
"Baik, Datuk! Hamba amit
mundur!"
Belum selesai Agung Seta
berucap, tubuh datuk sesat itu sudah lenyap dari pandangannya. Membuat Agung
Seta semakin mengaguminya.
Lalu dia pun segera
meninggalkan tempat itu.
***
Suasana di desa Jati Gede
tetap dalam keadaan mencekam dan menakutkan. Teror yang dilancarkan oleh
gerombolan Carok dari Barat itu lebih mengerikan daripada wabah penyakit yang
berbahaya sekalipun.
Hampir setiap detik suasana
sangat mencekam. Para penduduk diharuskan membayar pajak dari hasil bumi. Dan
mereka harus menyediakan makanan dan minuman yang enak-enak untuk gerombolan
orang-orang itu.
Yang lebih mengerikan tentunya
bagi kaum wanita baik yang sudah menikah atau yang belum. Orang-orang dengan
buas mengambil mereka dan menggumulinya. Kadang dilakukan secara beramai-ramai.
Bila sudah begitu adanya, para
wanita yang telah diperkosa sebagian besar ada yang memilih lebih baik mati
daripada menanggung malu, atau membunuh diri sebelum perkosaan itu menimpa
mereka.
Dan kini teror yang dilancarkan
orang-orang itu semakin mengerikan saja. Padahal orang-orang warga desa sudah
gembira karena orang-orang itu tidak mengambili lagi anak perawan mereka.
Tetapi di malam Jumat yang gelap dan dingin, tiba-tiba terdengar jeritan yang
menyayat hati, merobek keheningan malam.
Lalu dari salah sebuah rumah
penduduk. Nampaklah sosok tubuh melesat keluar sambil memanggul seseorang yang
nampak meronta-ronta.
Buas dan secara paksa
mengambilnya dan menggumulinya. Kadang dilakukan secara beramai-ramai. Mereka tak
ubahnya gerombolan srigala yang tengah memangsa anak domba yang lucu.
Bila sudah begitu adanya, para
wanita yang telah diperkosa sebagian besar memilih jalan lebih baik mati
daripada harus menanggung rasa malu yang berkepanjangan, atau membunuh diri sebelum
perkosaan itu menimpa mereka dan menghancurkan masa depan mereka.
Namun akhir-akhir ini tindakan
perkosaan yang dilakukan orang-orang itu berkurang. Para penduduk bersyukur
karena merasa terbebas dari belenggu kejahatan mereka.
Tetapi ketegangan itu tak
berlangsung lama, karena hampir setiap malam Jumat terdengar jeritan dan rintih
kematian menimpa beberapa sahabat mereka. Ternyata orang-orang itu setiap malam
Jumat menculik seorang anak perawan yang entah dilarikan ke mana.
Ini semakin membuat suasana
tambah mencekam. Rupanya teror yang dilancarkan oleh orangorang itu tak
habis-habisnya. Entah kapan akan berhenti.
Mereka hanya bisa berdoa
pertolongan akan datang dan melepaskan mereka dari tangan-tangan manusia
durjana itu.
Mereka juga mengetahui kalau
saat itu Bupati Jarotseda berada dalam kekuasaan orang-orang itu. Menurut
orang-orang yang telah melihat keadaan Bupati, mereka hanya bisa menghela nafas
panjang dan mengelus dada.
Keadaan Bupati Jarotseda
sangat menyedihkan sekali. Dalam beberapa hari saja tubuhnya telah kurus kering
dan penuh luka-luka.
Belum lagi hampir setiap jam
dia dipaksa minum tuak anggur merah. Siksaan yang dialami Bupati Jarotseda
sangat mengerikan. Setelah meminum tuak anggur merah yang dapat membangkitkan
nafsu birahi, dipaksanya sang Bupati oleh orang-orang itu untuk menggumuli
wanita-wanita yang menjadi tawanan mereka.
Sangat mengerikan.
Ini adalah malam Jumat. Dan
para penduduk dicekam rasa ketakutan. Terutama yang masih punya anak perawan.
Tiba-tiba, terdengar jeritan yang menyayat hati, merobek keheningan malam.
Lalu dari salah sebuah rumah
penduduk, nampaklah sosok tubuh melesat keluar sambil memanggul seorang yang
nampak meronta-ronta. Sosok tubuh itu menaiki kudanya yang juga ditunggui oleh
seseorang yang menunggang kuda pula. Lalu keduanya melesat.
"Tolong! Lepaskan aku!
Lepaskan! Bapaaaaa! Tolong! Lepaskan! Lepassskan!" terdengar jeritan,
rontaan dan makian dari sosok tubuh yang dipanggul oleh sosok tubuh yang tinggi
dan besar itu.
Orang-orang yang mengintip tak
berani berbuat banyak. Mereka hanya mendesah panjang sambil memeluki
keluarganya.
Namun diam-diam dari salah
sebuah rumah ke luar sosok tubuh dari belakang rumah. Dia seorang pemuda yang
bertubuh tegap. Wajahnya tampan.
"Tari... bukankah itu
Tari yang menjerit?" desis pemuda itu agak kaget dan berusaha mengenali
jeritan tadi. "Oh, benar! Itu Tari! Mau dibawa ke mana kekasihku itu sama
manusia-manusia busuk yang tak punya rasa kasihan itu!"
Pemuda tadi berlari ke rumah
Tari. Dan betapa terkejutnya dia melihat pemandangan yang ada di lantai. Dua
sosok terkulai lemah dengan tubuh luka parah dan berdarah.
"Oh, Tuhan! Betapa
biadabnya orang-orang itu!" desis pemuda yang bernama Pandu itu geram.
Tangannya mengepal.
Tiba-tiba pendengarannya
menangkap suara yang sangat lemah sekali. Pandu mencari-cari. Suara itu
ternyata berasal dari ayahnya Tari yang dalam keadaan sekarat.
"Pak...." desis Pandu sambil membungkuk. Dan memangku kepala yang
lemah itu.
"Ya... Pandu?"
"Saya Pandu, Pak "
"Tari... Pandu...
Tari... dia, dia
diculik oleh
orang-orang jahat itu "
"Saya akan mencarinya,
Pak "
"Berjanjilah... untuk
membebaskannya. "
"Yah... saya berjanji
"
"Bagus akh!"
"Pak ke mana Dik Tari
dibawa pergi oleh orang
itu?"
"Ka-katanya... hendak...
hendak diper sem-
bahkan... pada datuk sesat di
Bukit Kubur "
"Bukit Kubur?"
"Yah... pergilah ke
arah Utara, Pandu... tolong...
tolong selamatkan
anakku... akhh! Aku aku
hendak menyusul... menyusul,
is... istriku...
akkkhhh!"
Lalu kepala itu pun terkulai
dalam pangkuan Pandu. Pandu memejamkan matanya. Menahan air matanya agar tidak jatuh. Sejak lama dia
memendam keinginannya untuk memberontak dari orang-orang dajal itu, tetapi dia
masih menunggu waktu yang tepat.
Sudah berulangkali dia menekan
pada para penduduk, agar bersatu untuk melawan orangorang itu. Tetapi tak satu
pun penduduk yang mempunyai keberanian. Padahal Pandu sudah mengatakan, biarpun
mereka tidak memberontak dan melawan, tetap saja mereka akan dibunuh!
Bukankah lebih baik mati dengan
cara terhormat?
Dan malam itu Pandu bertekad
untuk melawan orang-orang itu. Kembali dia menyelinap di kegelapan malam.
Diambilnya kudanya.
Lalu dilarikan menuju Bukit
Kubur.
***
4
Daerah sekitar Bukit Kubur
malam hari.
Dari kegelapan malam, nampaklah
dua bayangan kuda bergerak perlahan-lahan.
Lalu terdengar salah seorang
berkata: "Kita sebaiknya bermalam di sini saja, Kakang... sebelum
melanjutkan perjalanan.... Tubuhku sudah letih sekali. Dan kupikir, daerah ini
aman dari gangguan orang-orang jahat "
"Benar, Rayi. Aku pun
hendak mengusulkan begitu. Baiklah, kita bermalam di sini," sahut yang
satu lagi.
Lalu kedua orang itu melompat
turun dari kuda mereka masing-masing. Dan mengikatnya di dahan pohon.
Malam berjalan terus.
Kedua orang itu pun merebahkan
tubuhnya di atas rumput, di balik semak.
Siapakah mereka sebenarnya?
Keduanya tak lain dari Pranata
Kumala dan istrinya, Ambarwati yang dalam petualangan mereka telah membawanya
ke daerah di lereng Bukit Kubur.
Pranata Kumala adalah putra
dari Madewa Gumilang, manusia dewa yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma.
Sedangkan Ambarwati adalah istrinya yang tercinta.
"Dingin sekali,
Kakang...." terdengar suara Ambarwati sambil memeluk suaminya.
"Ya, Rayi. Biar kupeluk
kau erat-erat," sahut Pranata Kumala sambil merangkul istrinya.
"Kakang... tempat ini
sunyi sekali."
"Benar, Rayi. Matahari
menampakkan biasnya besok pagi, kita akan segera meninggalkan tempat ini."
"Perasaanku tidak enak,
Kakang "
"Tenanglah, Rayi "
"Kakang "
"Ya, Rayi "
"Sungguh, perasaanku
mengatakan... akan terjadi sesuatu di sini "
"Tenang, Rayi. Tenanglah.
Tidurlah... biar aku yang menjaga. "
Ambarwati mencoba memejamkan
matanya. Tetapi perasaannya tetap tidak tenang. Dia pun menjadi gelisah.
Pranata Kumala yang mencoba tidak perduli dengan kata-kata dan perasaan
istrinya, menjadi waspada.
Dia yakin, kadang-kadang
perasaan perempuan lebih tajam dari pada perasaan laki-laki.
Dia pun menjadi siaga.
Waspada dengan suasana di
sekitarnya. Matanya nyalang memperhatikan segala sesuatu yang ada di sekitar
lereng Bukit Kubur.
Sementara istrinya masih belum
bisa memejamkan matanya. Masih merasa akan ada sesuatu yang terjadi.
"Kakang "
"Ya, Rayi "
"Aku susah tidur, Kakang
"
"Tenanglah, Rayi tidurlah
dengan tenang. Ayo,
tidurlah. Besok kita akan
meneruskan petualangan kita, bukan?"
Ambarwati mengangguk. Yah,
rencana perjalanan ini mereka lakukan untuk bertualang dan mencari pengalaman.
Itu pun sudah disepakatinya. Bagi Ambarwati, ini adalah dunia lain yang mana
dulu dia adalah gadis yang manja sebelum menikah dengan Pranata Kumala (baca:
Pendekar Kedok Putih).
Dan tiba-tiba saja Pranata
menangkap suara derap langkah kuda mendekati Bukit Kubur.
Dia menjadi siaga.
Begitu pula dengan istrinya.
"Siapa, Kakang?"
tanya Ambarwati dengan bersiaga pula. Dia memegang tangkai pedangnya yang
tersampir di punggungnya.
"Aku belum tahu, Rayi.
Nampaknya ada dua ekor kuda yang menuju ke mari!"
Samar-samar keduanya mendengar
seorang gadis menjerit-jerit minta dilepaskan.
"Lepaskan aku! Lepaskan
aku, Manusia busuk! Lepaskan! Lebih baik kalian bunuh saja aku! Ayo, bunuh
saja! Lepaskan aku! Lepaskaaaaannn!"
Terdengar pula bentakan keras
yang menggema di sekitar lereng bukit, "Diam!"
Lalu terdengar suara,
"aakhh!" yang cukup keras. Rupanya yang membentak tadi telah menotok
urat suara yang menjerit-jerit itu.
Ambarwati memegang lengan
suaminya, "Nampaknya ada yang tidak beres, Kakang "
"Benar, Rayi "
"Gadis itu sepertinya
membutuhkan pertolongan," kata Ambarwati yang tak tahan mendengar jeritan
pilu yang sanggup membuat hatinya tergugah.
"Kalau itu maumu, lebih
baik kita melihatnya, Rayi," kata Pranata Kumala. Dan tiba-tiba saja
tubuhnya melenting ke atas, dan hinggap di sebuah dahan di atas pohon dengan
ringannya. "Ayo, Rayi!"
Ambarwati pun berbuat yang
sama. Dan "hup!" dengan sekali menggenjot tubuhnya, dia pun sudah
hinggap di samping suaminya.
"Dari arah sana suara itu
terdengar, Kakang," kata Ambarwati sambil menunjuk ke Selatan.
"Benar, Rayi. Hei,
tidakkah kau lihat sekarang, ada dua ekor kuda yang mendekat ke mari. Dan di
salah satu kuda, ada sosok tubuh yang terkulai
"
"Rupanya dia yang
menjerit minta dilepaskan tadi, Kakang
Kalau begitu, agaknya kedua orang
itu manusia-manusia jahat yang
kerjanya hanya menculik anak-anak gadis orang!" kata Ambarwati dengan
suara geram. Dia sangat benci dan muak melihat kenyataan itu, bahwa perempuan
hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki. Apalagi ini dengan jalan yang sadis dan
kekerasan. Pemerkosaan! Ah, betapa mengerikannya bila hal itu menimpa salah
seorang perawan. Diperkosa! Duh, betapa menyakitkan! Lebih mengerikan daripada
kematian sekalipun! Orang yang diperkosa akan hancur masa depannya dan harga
dirinya. Ini sungguhsungguh sangat mengerikan.
Dan Ambarwati sangat marah bila
hal ini terus menerus terjadi. Dia saja hampir mengalami hal yang mengerikan
itu. Pertama dari Sengkawung, Ketua Partai Pengemis Sakti (baca: Pendekar Kedok
Putih). Kedua dari Laksamurka. salah seorang dari manusia srigala (baca:
Sepasang Manusia Srigala).
"Rayi...." panggil
Pranata Kumala yang melihat wajah istrinya nampak geram.
"Ya, Kakang "
"Kita akan menolong gadis
itu."
"Bagus, Kakang. Tanganku
pun sudah gatal ingin menghajar kedua manusia durjana itu yang kerjanya hanya
memetik bunga-bunga yang sedang mekar saja!"
"Hei, tunggu dulu,
Rayi... kalau tidak salah lihat, mataku menangkap sosok kuda yang mengikuti
kedua orang itu...." kata Pranata
Kumala sambil memicingkan matanya.
Ambarwati pun berbuat yang
sama.
"Benar, Kakang... tapi,
ah, siapa lagi kalau bukan teman kedua manusia itu!"
"Mungkin juga... tapi...
kau lihat Rayi, orang itu sambil berkuda melepaskan anak panah dari busurnya!
Lihat, panah itu melesat ke arah dua penunggang kuda yang berada di depannya.
Lihat!" Di hadapan mereka yang masih cukup jauh, dua sosok penunggang kuda
melompat bersalto menghindari sambaran anak panah yang melesat cepat.
Salah seorang penunggang itu
dengan sigap menyambar sosok tubuh yang terkulai yang ada di atas kudanya, dan
bersalto dengan Lidahnya.
"Bangsat! Siapa yang
berbuat begini?!" bentaknya geram.
Di atas pohon tempat
persembunyiannya, Pranata Kumala berkata, "Dugaanmu salah, Rayi....
Nampaknya yang datang
belakangan tidak menunjukkan persahabatan dengan penunggang yang ada di
depannya. "
"Benar, Kakang Agaknya
mereka juga bermu-
suhan... Kakang "
Di hadapan mereka kini
terlihat dua orang yang bersalto tadi menjadi siaga dan mencari-cari pembokong
mereka. Namun orang itu tak nampak.
"Dia bersembunyi di balik
semak itu, Kakang "
kata Ambarwati.
"Benar, Rayi... Dia
tengah menyiapkan panah kembali. Dia penembak yang jitu."
Orang yang sedang menyiapkan
panahnya kembali itu tak lain adalah Pandu, yang sedang mengejar orang-orang
yang menculik kekasihnya ke Bukit Kubur.
Sebenarnya anak panah dan busur
itu adalah untuk berburu, yang setiap saat terikat pada kudanya.
Dan sekarang digunakan untuk
menghantam kedua manusia dajal yang menculik kekasihnya. Sedangkan yang
menculik itu adalah Sura Jaya dan Tugi Sama, dua orang dari Gerombolan Carok
dari Barat yang ditugaskan Agung Seta untuk menculik seorang gadis yang akan
dipersembahkan pada Datuk Tumbalpala di Bukit Kubur.
"Cepat kau keluar,
Pembokong pengecut!" bentak Sura Jaya jengkel, sementara Tugi Sama sudah
menurunkan Tari yang kini dalam keadaan pingsan. Karena letih berteriak-teriak
juga karena kekuatan yang sangat dalam.
Suara Sura Jaya disumbat
dengan sambaran anak panah yang melesat dengan cepat. Desingan angin yang
ditimbulkan oleh anak panah itu terdengar oleh telinga Sura Jaya. Dengan cepat
pula dia berguling menghindari anak panah itu yang kini menancap di batang
pohon.
"Bangsat! Ke luar kau
pembokong pengecut!" geram Sura Jaya makin jengkel. Dan dia segera
mengeluarkan senjata cakramnya dari balik bajunya. "Bila kau tidak keluar
sampai hitungan ketiga, cakram ini akan meratakan semak-semak dan belukar yang ada di sini,
juga tubuh pengecutmu akan mampus sejajar
dengan tanah! Satu "
Tak ada tanda-tanda yang
keluar dari tempat mana pun.
"Dua!"
Hal yang sama terjadi.
Sura Jaya menunggu dengan
geram. Tugi Sama pun tak kalah jengkelnya.
Bukankah ini berarti
keterlambatan mereka untuk mengirimkan anak perawan pada Datuk Tumbalpala?
Kalau terlambat, atau lewat
tengah malam, mereka tak bisa membayangkan apa yang terjadi nanti.
Betapa besar pasti kemarahan
Datuk Tumbalpala.
"Sura! Cepat kau bereskan
manusia pengecut itu! Ingat, kita tidak punya banyak waktu untuk memberikan
persembahan ini kepada Datuk Tumbalpala!"
"Baik, Tugi Sama,"
kata Sura Jaya. Lalu berseru. "Hei, manusia pengecut! Kau belum juga mau
keluar! Baik, ini hitungan ketiga! Kuberi kau waktu sepuluh detik untuk keluar
dan minta maaf! Tiga!"
Detik ke detik mereka
menunggu.
Tapi tak ada bayangan yang
keluar satu pun. Sura Jaya tak bisa menahan rasa emosinya ka-
rena merasa dipermainkan.
"Baik, kini aku tak
sungkan-sungkan lagi!"
Lalu tangannya bergerak,
mengayunkan dan melemparkan cakramnya. Cakram itu mendesing seperti suara
ribuan tawon menyerang. Dan membabat apa saja yang menghalanginya.
Pandu yang sudah menyaksikan
kehebatan senjata yang dimiliki oleh gerombolan Carok dari Barat, cepat
berguling menyingkir agak jauh dari mereka. Bahkan dia nekat, melewati sebelah
kanan sambil terus berguling menghindari cakram yang terus menderu, dia memutar
dan kini berada di belakang kedua orang itu.
Ini merupakan lingkaran
sasaran yang tak bisa dijangkau oleh benda bergerigi itu.
Sementara di atas pohon,
Pranata Kumala mendecak kagum.
"Luar biasa, Rayi! Kau
lihat benda itu, berputar bagaikan memiliki mata! Dan suaranya pun menderu
menimbulkan getaran angin yang cukup kuat!"
"Iya, Kakang. Lihatlah,
benda itu membabat apa saja yang ada di hadapannya. Seolah benda itu begitu
patuh pada pemiliknya! Bukankah itu senjata yang sangat luar biasa, Kakang?
Bukan main!"
"Benar, Rayi... sungguh
aneh senjata itu! Kau dengar saja derunya!"
Di hadapan mereka, benda yang
berbentuk cakram bergerigi yang dilemparkan oleh Sura Jaya membabat habis
rerumputan, semak dan pohonpohon kecil yang ada di sana.
Tetapi bayangan sang pembokong
tak nampak sedikit pun.
Di atas Pranata berkata lagi,
"Hmm... aku tahu sekarang, Rayi. Benda itu sudah dialiri tenaga dalam oleh
pemiliknya. Berarti, untuk memunahkan laju benda itu, harus membunuh atau
melukai sang pemilik. Karena dari dialah sumber kekuatan benda itu!"
"Kau lihat sekarang,
Kakang... penyerang gelap itu sudah menyiapkan kembali anak panahnya."
Di bawah, Pandu yang kini
membelakangi kedua orang itu, memang sudah menyiapkan anak panahnya. Lalu
ditariknya busurnya dan melesatlah anak panah itu secepat kilat.
Tetapi dua orang dari
gerombolan Carok itu bukanlah orang-orang yang mudah dibokong begitu saja.
Begitu angin yang ditimbulkan oleh anak panah itu terasa, Tugi Sama dengan
cepat melemparkan pula cakramnya.
Dan menyambut anak panah yang
melesat. "Trangg!"
Keduanya berbenturan dan
menimbulkan suara yang lumayan keras.
"Anjing buduk!"
memaki Tugi Sama. "Rupanya pembokong busuk itu berada di belakang
kita!"
Melihat gelagat yang tidak
menguntungkan karena tempatnya kini diketahui kedua orang itu, Pandu cepat
menyelinap di balik semak.
Namun kedua orang itu sudah
tak mau bertindak tanggung-tanggung lagi. Serentak keduanya memanggil pulang
senjata cakramnya masingmasing dan melemparkannya kembali secara bersama-sama
ke arah tempat persembunyian Pandu.
Mau tak mau Pandu melesat
melompat keluar. "Rupanya itu pembokong pengecut!" bentak Su-
ra Jaya.
"Kita habisi saja
sekarang! Aku tak boleh terlambat untuk tiba di Bukit Kubur!"
Kembali dua buah senjata
cakram menerjang mencari sasaran. Sebisanya Pandu melompat ke sana ke mari.
"Kakang...." kata
Ambarwati di tempat persembunyiannya. "Kita harus menolong orang itu.
Nampaknya dia sangat terdesak sekali."
"Benar, Rayi! Nyawanya
terancam!"
Sementara dua buah cakram
bergerigi itu terus mengejar Pandu, seakan mengajak Pandu untuk bersama-sama ke
tempat maut. Pandu sendiri sebisanya menghindar, dia tak mau kena makan oleh senjata itu.
Rupanya secara diam-diam Pandu
memiliki sedikit kepandaian bersilat, hingga tubuhnya dapat bergerak dengan
lumayan cepat.
"Tugi Sama! Kau bawalah
gadis itu ke Bukit Kubur! Cepat, kulihat bulan di atas sebentar lagi berada
tepat di kepala kita!" kata Sura Jaya sambil terus mencecar Pandu dengan
cakram yang sudah dialiri tenaga dalam.
"Baiklah kalau
begitu!" Tugi Sama menarik pulang senjata cakramnya.
Lalu dia menghampiri Tari yang
masih dalam keadaan pingsan. "Kita jalan-jalan lagi, Manis!" desisnya
sambil memanggul tubuh Tari kembali.
Dengan sekali lompat Tugi Sama
sudah berada di atas kudanya dan memacunya dengan cepat.
"Tariiii...!" jerit
Pandu yang melihat kekasihnya kembali dilarikan. Dia bermaksud hendak mengejar,
tetapi sambaran cakram itu menghalanginya.
Bahkan menyambar bagian bahu
sebelah kanannya.
"Akkkhh!" tubuh
Pandu bergulingan. Lalu ditekapnya bahunya yang mengeluarkan darah. Matanya
melotot nyalang. "Bangsat!"
Sura Jaya terbahak.
"Sebentar lagi kau akan
mampus setan!" geramnya sambil menangkap pula cakramnya dan hendak
dilemparkannya lagi ke arah Pandu yang nyalang dengan tatapan marah.
Tetapi tiba-tiba selarik sinar
merah melesat ke arahnya. Mengurungkan niat Sura Jaya untuk melemparkan cakram
itu.
"Anjing buduk!"
makinya sambil bersalto. "Siapa yang berani menyerang Sura Jaya dengan
keadaan pengecut seperti ini, hah?! Cepat keluar!"
***
5
Mendadak dari atas sebuah
pohon melihat dua sosok tubuh dan hinggap dengan ringannya di depan Sura Jaya.
Sura Jaya melotot marah. Dia
bersyukur dapat menghindari serangan gelap itu. Bila tidak, maka hancurlah
tubuhnya termakan pukulan sinar merah yang dilepaskan oleh Pranata Kumala.
Melihat keadaan Pandu yang
sudah terdesak dan terluka, Pranata akhirnya tidak tahan untuk membantu. Maka
dilepaskannya pukulan sinar merahnya.
"Maafkan aku, Ki sanak...
yang kiranya mengganggu dan sok ikut campur dalam masalah ini "
kata Pranata Kumala sambil
menjura yang diikuti oleh istrinya.
Sikapnya santun.
Tetapi di mata Sura Jaya,
keduanya adalah manusia-manusia yang harus dihabisi dan dimampusinya, karena
berani-beraninya turut campur dalam urusannya.
"Bangsat! Siapa kalian!"
maki Sura Jaya dengan kejengkelan yang amat luar biasa.
Masih tetap dengan suara yang
santun, Pranata Kumala menjawab, "Sekali lagi maafkan kami, Ki sanak.
Namaku... Pranata Kumala dan ini istriku... Ambarwati.... Kami mengucapkan
salam perkenalan pada Ki sanak."
"Bangsat! Jangan kalian
berbasa-basi segala! Kalian telah membuat kelancangan di sini! Dan kalian
tengah berkenalan dengan salah seorang gerombolan Carok dari Barat "
"Kalau begitu adanya...
salam perkenalan dari kami untuk Gerombolan Carok dari Barat...." kata
Pranata pula, masih tetap menjura.
Sikap Pranata Kumala yang
masih santun, malah membuat Sura Jaya murka. Pikirnya sikap itu sangat
merendahkannya karena selama ini Sura Jaya tak pernah berbuat santun. Dia hidup
dalam alam kekerasan.
"Bangsat! Kau harus
mampus di tanganku!" "Tenang, Ki sanak. Kalau boleh kami tahu, sia-
pakah nama Ki sanak
gerangan?" "Hmm namaku Sura Jaya!"
"Sura Jaya... sejak tadi
kami memperhatikan sepak terjang dari Ki sanak. Dan nampaknya Ki sanak beserta
teman Ki sanak yang pergi membawa seorang gadis, tidak bersahabat dengan
Saudara yang terluka itu. Benarkah dugaan saya adanya?"
"Benar sekali, Orang
lancang! Kami memang tak bersahabat dengan pemuda yang terluka itu! Nah, kau
mau apa?" balas Sura Jaya dengan nada congkak. Sementara itu Pandu yang
merasa tertolong oleh Pranata Kumala
menjadi heran. "Siapakah dia? Mengapa menolongku?" tanyanya dalam
hati.
Tetapi dia merasa berterima
kasih sekali karena merasa diselamatkan nyawanya oleh Pranata Kumala. Bahkan
dia berharap, orang yang telah menolongnya itu dapat membantunya. Juga membantu
desanya dari cengkraman orang-orang jahat dari Gerombolan Carok dari Barat.
Lalu didengarnya lagi suara
dari Pranata Kumala, "Hm... kalau boleh aku tahu ada masalah apakah gerangan?"
"Orang lancang! Kau tak
boleh tahu apa yang terjadi di antara kami! Nah, sebaiknya kau menyingkir saja
dari sini! Tapi... hehehe... kau tinggalkan istrimu itu untukku! Agaknya dia
cukup hangat untuk menemaniku tidur... hehehe!"
Pranata mencoba menahan
emosinya, istrinya dilecehkan.
Tetapi lain dengan Ambarwati
atau istrinya, yang sangat geram oleh Sura Jaya. Tanpa banyak cakap lagi, dia
melompat sambil mencabut pedangnya menyerang Sura Jaya.
"Mulutmu kotor, Sura
Jaya!" bentaknya. "Hehehe... ternyata galak juga betina ini!"
sambil
menyambut serangan, Sura Jaya
keluarkan katakata yang kotor, "Tapi lumayan untuk menemaniku tidur...
hehehe!"
Sura Jaya bersalto ke
belakang. Pikirnya dia mampu dengan mudah menghindari serangan pedang
Ambarwati. Tetapi ia menjadi terkejut ketika pedang Ambarwati menyerangnya
susul menyusul. Cepat. Tangkas.
Dan mengejutkan.
"Hei! Rupanya berisi juga
betina ini!" makinya sambil menghindar dan membalas.
"Keluarkan semua
kebisaanmu, Sura Jaya! Mulutnya patut dibungkam oleh pedangku ini!" seru
Ambarwati dan terus menyerang dengan cepat.
Sura Jaya pun tak mau
menganggap remeh lagi. Dia pun membalas dengan satu pukulan ke depan, namun
buru-buru ditariknya tangannya karena pedang yang di tangan Ambarwati mengibas
dengan cepat.
Dan bergerak dengan satu
tusukan ke perut.
Membuat Sura Jaya melompat ke
samping dan melancarkan satu tendangan ke arah kemaluan Ambarwati.
"Heit! Cabul!" maki
Ambarwati sambil melenting ke belakang dan hinggap dengan ringannya.
Sementara Sura Jaya sudah
bangkit berdiri dan terkekeh.
"Hehehe... lumayan,
lumayan kau, Manis. Ayo... buat apa kau bersusah payah untuk membunuhku! Ayo,
ikutlah denganku... kau akan kuberikan emas dan intan yang banyak...
hehehe!"
"Cabul!" bentak
Ambarwati yang sangat tidak tahan mendengar kata-kata busuk itu. Lalu dia
menerjang lagi kali ini dengan gerakan cepat.
Pedangnya pun
menyambar-nyambar.
Pranata Kumala membiarkan saja
istrinya mengumbar kemarahannya. Dia pun sebenarnya sudah tidak dapat menahan
emosinya karena katakata jorok itu.
Tetapi dia ingin mengukur
sampai di mana kehebatan Sura Jaya.
Sedangkan Pandu merasa heran
karena Pranata Kumala tidak menolong atau pun membantu istrinya. Bila dia yang
mengalami hal seperti itu, sudah dibunuhnya manusia yang berani menghina
istrinya dengan kata-kata busuk seperti itu!
Sementara Ambarwati terus
menyerang dengan hebat. Sura Jaya pun melayaninya dengan hebat pula.
Suatu ketika padang Ambarwati
bergerak cepat dan menyambar ke bagian kaki Sura Jaya. Sura Jaya sambil memekik
terkejut melompat ke atas dan kesempatan itu dipakai oleh Ambarwati dengan
menyambarkan pedangnya ke kepala Sura Jaya yang tak ada kesempatan lagi untuk
menghindar.
Namun sungguh di luar dugaan
Ambarwati. Dalam posisi yang cukup berbahaya itu, Sura Jaya dengan kecepatan
per detik melemparkan cakramnya.
"Siiingg!"
Siap mencabut nyawa Ambarwati.
Serentak Ambarwati
mengurungkan niatnya untuk menebas kepala Sura Jaya. Dibelokkannya pedangnya ke
arah cakram itu.
"Traaaaanggg!"
Dua senjata itu pun beradu.
Ambarwati merasakan tangannya
kesemutan. Sedangkan senjata cakram milik Sura Jaya tak bisa kembali pada
tuannya. Karena tenaga dalam yang dikerahkan oleh Ambarwati lebih besar, sebab
pedang itu berada di tangannya, dialiri langsung oleh tenaga dalamnya. Sedangkan
cakram milik Sura Jaya hanya dialiri oleh tenaga dalam dari jarak jauh.
Hingga cakram itu akhirnya
jatuh ke tanah.
Dan sulit untuk ditarik
kembali melalui tenaga dalam yang dialiri dari jarak jauh.
Sura Jaya mencoba menubruk
senjata cakramnya karena dilihatnya gelagat yang tidak menguntungkan.
Namun Ambarwati lebih cepat
bergerak. Pedangnya menyambar.
"Creess!"
Pedang itu mengenai tangan
kanan Sura Jaya hingga buntung.
Terdengarlah raungan kesakitan
yang terlontar dari mulut Sura Jaya membelah malam.
Menyayat.
Dan mencekam.
Lalu tubuh itu ambruk,
bergulingan di tanah dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.
Ambarwati menghentikan
serangannya.
"Hhh! Seharusnya kututup
mulutmu dengan pedangku, Manusia cabul!" geramnya.
Namun tiba-tiba, sungguh
tiba-tiba, sebatang anak panah meluncur dengan deras ke arah Sura Jaya.
Sura Jaya yang dalam keadaan
kesakitan tak mampu lagi untuk menghindar. Tanpa ampun lagi, anak panah itu
tepat mengarah ke jantungnya. "Akkhhhh!"
Tubuh itu kelojotan sejenak.
Lalu ambruk meregang nyawa dengan tangan yang buntung akibat tebasan pedang
Ambarwati yang keras.
Ambarwati terkejut.
Begitu pula dengan Pranata
Kumala.
Sementara Pandu yang
melepaskan anak panah itu tersenyum puas.
"Rasakan kematianmu,
Manusia dajal!" rutuknya sambil meludah.
"Ki sanak... mengapa kau
lakukan itu?!" seru Pranata Kumala yang tidak menyangka hal itu akan
terjadi. Bila dia tahu, tentunya akan dilarangnya.
Mendengar suara yang penuh
nada teguran itu, membuat Pandu menoleh dan menjura.
"Maafkan saya, Kakang
Pranata... Nama saya Pandu... pemuda desa dari Jati Gede "
Sikap pemuda itu yang sopan
membuat Pranata menurunkan nada suara mendengusnya. Dia mendesah panjang.
"Tentunya kau sudah
mengetahui namaku dan nama istriku tadi "
"Benar, Kakang
Pranata."
"Pandu... mengapa kau
bunuh Sura Jaya?" tanya Pranata Kumala kemudian.
"Maafkan saya, Kakang....
Tetapi manusia seperti dia memang harus dibunuh. Sudah banyak nyawa yang
dicabutnya tak ubahnya bagai malaikat pencabut nyawa."
"Baiklah... ceritakanlah
mengapa sampai kau melakukan hal seperti itu. Terutama lagi, mengapa nampaknya
kau bermusuhan dengannya, salah seorang dari Gerombolan Carok itu?"
Lalu Pandu pun menceritakan
apa yang telah menimpa desanya. Bagaimana keadaan desanya yang menjadi bagai
neraka sejak orang-orang itu datang. Dia pun menceritakan bagaimana nasib
penduduk yang harus tunduk diperintah apa saja, bila tidak mau menjalankan
perintah dari gerombolan itu, maka mautlah taruhannya. Belum lagi dengan nasib
para kaum wanita yang dijadikan pemuas nafsu orang-orang itu.
"Begitulah, Kakang...
keadaan desa kami menjadi sangat mengerikan sekali...." kata Pandu di
akhir ceritanya. "Itu sebabnya saya menjadi geram melihat Sura Jaya masih
hidup. Dan keinginan untuk membunuhnya sudah gatal sekali rasanya. Bila saya
tidak membunuhnya, ini akan mengakibatkan penyesalan yang besar bagi saya dalam
hidup saya!"
Pranata Kumala pun menjadi
maklum.
Tiba-tiba Ambarwati berkata,
"Oh! Bagaimana dengan gadis yang dilarikan itu?"
Mendengar kata-kata Ambarwati,
Pandu seperti disadari kembali akan nasib kekasihnya Tari yang diculik oleh
Tugi Sama dan dilarikan ke atas Bukit Kubur.
"Oh, Tuhan! Tariii!"
desisnya.
Pranata menjadi sigap melihat
kepanikan Pandu.
"Tenang, Pandu...
sebaiknya kita tenang dulu." "Tapi... tapi... dia... oh, Tari
kasihku... bagaima-
na nasibmu sekarang?"
Pranata pun menenangkan kembali Pandu. "Tenanglah... sekarang ceritakan
nasib apa yang
telah menimpa kekasihmu itu
"
Lagi Pandu bercerita tentang
setiap malam Jumat seorang anak perawan dari desa Jati Gede diculik. Entah
dipersembahkan kepada siapa.
"Tetapi yang pasti dibawa
ke Bukit Kubur." "Kalau begitu... sebaiknya kita cari kekasihmu
itu," kata Pranata Kumala
akhirnya.
***
6
Sementara itu di dalam goa yang
terdapat di atas Bukit Kubur, datuk sesat Tumbalpala tengah menyiapkan beberapa
ramuan di dalam kuali besar. Dan menggodoknya.
Datuk bertubuh kerempeng itu
sekali-sekali melirik pada Tari yang kini terlentang dalam keadaan terikat di
atas sebuah batu yang berbentuk dipan.
Dan di sampingnya Tugi Sama
duduk bersimpuh memperhatikan apa yang sedang diperbuat datuk Tumbalpala.
"Hahaha... dengan darah
perawan yang menyembur dari kemaluan anak perawan ini, maka sempurnalah sudah
ilmu yang kupelajari ini! Hahaha. sebentar lagi, sebentar lagi aku akan turun
bukit untuk menantang
jago-jago rimba persilatan hahaha!"
Tari yang sudah sadar dari
pingsannya terkejut melihat dirinya terlentang terikat, juga kaget begitu
mengetahui di mana dirinya berada.
Dia mencoba meronta, namun
ikatan itu terlalu kuat untuk diputuskannya.
Tumbalpala bangkit dari
duduknya, lalu berjalan mendekati Tari yang langsung menutup matanya melihat
betapa buruknya dan mengerikannya wajah manusia kerempeng ini.
"Hihihi... mengapa kau
tutup matamu, Manis... sebentar lagi... sebentar lagi akan kuperas darah
keperawananmu dan kuminum setelah kucampurkan dengan ramuanku itu... Hahaha...
dan selesailah sudah ilmu yang akan kupelajari... yang membuatku tak mempan
oleh senjata sakti apa pun dan pukulan sakti macam apa pun... hahaha!"
"Lepaskan aku... lepaskan aku, Orang kerempeng!" maki Tari masih
dengan menutup matanya.
Wajah yang terpampang di
hadapannya sungguh menakutkannya.
"Hahaha... lepaskan?
Hahaha... orang kerempeng? Oh, Manis... mengapa kau tutup matamu, hah? Bukankah
wajahku cukup tampan untuk dinikmati... hahaha?"
Tangan Tumbalpala menggerayang
ke dada Tari yang menjerit-jerit minta dilepaskan.
Betapa menakutkannya detik ke
detik yang harus dilaluinya. Mengerikan.
"Hahaha... tubuhmu, oh,
tubuhmu montok sekali, Manis... sayang... aku tak butuh tubuhmu... aku hanya
butuh darah perawanmu yang akan kusedot dengan mulutku... hahaha... kau akan
merasakan keenakan... kau akan merasakan kegelian... hahaha "
"Lepaskan, lepaskan aku,
Kerempeng! Lepaskan... tolong oh, tolong aku!" jerit Tari dengan
suara yang menyayat.
Ketakutannya sangat menjadi-jadi.
"Hehehe... bukalah
matamu, Manis buka-
lah.... Nikmatilah wajahku
yang tampan ini...." kata Tumbalpala masih tetap menggerayang tangannya.
Dan tiba-tiba tangan kanannya
menotok urat mata Tari, hingga gadis itu terbelalak dengan terpaksa dan sulit
untuk dipejamkan kembali matanya.
"Hehehe... bukankah
dengan begitu kau lebih leluasa menikmati wajahku... Aduh, betapa montoknya
dadamu ini "
Tiba-tiba tangan itu bergerak
dengan cepat. "Breeet!"
Baju di bagian dada Tari
terbuka, menampakkan sepasang buah dadanya yang montok.
"Benar dugaanku... benar
sekali... oh, betapa indahnya... hehehe... indah sekali "
Sementara Tugi Sama melotot
melihat keindahan buah dada milik Tari. Diam-diam dia menelan ludahnya.
"Hei!" dirasakannya
sebuah sambaran menepak kepalanya. "Jangan melotot, ke sini!"
"Oh... maafkan saya,
Datuk...." kata Tugi Sama terkejut dan buru-buru memalingkan wajahnya.
Sialan, ketahuan lagi! Bukankah itu sebuah pemandangan yang sangat mengasyikan
mata?
Tari menangis dalam hati.
Malunya minta ampun. Apalagi ketika tiba-tiba saja datuk kerempeng itu membuka
celananya sendiri sambil terkekeh.
"Hehehe... bagaimana
dengan tubuhku, Manis? Ayo, nikmatilah tubuhku ini, Manis... nikmati lah "
Tari hanya bisa mengeluh.
Matanya mau tak mau tetap terbuka, karena dalam keadaan tertotok. Ini membuat
Tari semakin mau mati saja. Karena pemandangan di hadapannya berubah
menjijikkan di samping menyeramkan dan menakutkannya.
"Hahaha. bagus,
bukan?"
Sementara Tugi Sama mau muntah
melihat tubuh datuk Tumbalpala itu telanjang bulat. "Kambing diberi obat
perangsang pun belum tentu mau sama datuk itu," katanya dalam hati.
Tiba-tiba datuk sesat itu mendongak,
menatap langit-langit goa.
Dia bergumam, "Hmm...
agaknya waktu telah datang, Manis. Nah... bersiaplah untuk kusedot darah
perawanmu dan kucampurkan dengan ramuan sakti buatanku.... Hahaha... kau
sudah siap, Manis?"
Detik ke detik semakin
mencekam dirasakan Tari. Kejadian-kejadian yang tadi dialaminya saja sudah
sangat mengerikan dan menakutkan, belum lagi dengan kejadian selanjutnya.
Tumbalpala mengenakan kembali
pakaiannya.
Lalu berjalan ke kuali
ramuannya. Dia mengaduk-aduk sebentar.
Lalu diambilnya anglo dan
dibakarnya dupa hingga mengeluarkan asap tebal dan bau yang menusuk.
Dia duduk bersila di depan
dupa itu. Mulutnya berkomat-kamit.
Dan tiba-tiba dia berdiri.
Wajahnya kali ini terlihat lebih mengerikan. Sepasang matanya menyalanyala. Alisnya
bergerak ke atas. Mulutnya tersenyum mengerikan.
Dia tak ubahnya iblis belaka.
Tugi Sama sendiri terkejut
melihat perubahan wajah Tumbalpala.
Dan perlahan-lahan Tumbalpala
melangkah mendekati Tari yang menjerit ketakutan melihat wajah yang semakin
menyeramkan. Gadis itu mendadak pingsan karena tak tahan melihat wajah itu.
Sungguh mengerikan.
Tiba-tiba Tumbalpala mengikik.
Suaranya mirip kuntilanak yang sangat mengerikan.
Tiba-tiba lidahnya terjulur
keluar.
Dan dengan sekali jambret,
Tumbalpala melucuti pakaian Tari hingga gadis itu bertelanjang bulat. Lalu
datuk sesat itu pun berjalan mendekati pangkal paha Tari yang masih dalam
keadaan pingsan. Lidah Tumbalpala makin terjulur. Matanya tetap memerah. Dan
perlahan-lahan kepalanya mendekati kemaluan Tari yang terbuka lebar.
Siap untuk menyedot darah
perawan Tari hingga habis dan gadis itu akan mati dengan tubuh kering dan
hangus. Tak ubahnya tubuh terbakar api.
Namun mendadak saja, kepala
Tumbalpala berpaling ke kiri. Telinganya yang terlatih untuk mendengar bunyi
yang sekali pun, menangkap suatu gerakan yang mencurigakan dari luar sana.
Tugi Sama pun mendengarnya.
Dan bersiap.
Dia merasa beruntung karena
mendengar suara itu. Baginya melihat Tumbalpala menyiangi korbannya sangat
mengerikan sekali.
Tugi Sama segera melompat.
"Siapa di sana?!" bentaknya.
Lalu muncullah tiga sosok
tubuh dari pintu goa bagian dalam. Ketiganya tak lain dari Pranata Kumala,
Ambarwati dan Pandu. Bila mereka terlambat sedetik saja, tamatlah riwayat Tari,
mati dengan keadaan tubuh kering kerontang.
Mereka melihat satu
pemandangan yang mengerikan di hadapan mereka. Kening ketiganya berkerut ketika
beradu pandang dengan Tumbalpala.
"Mayat hidupkah?"
tanya ketiganya dalam hati. Namun begitu melihat keadaan Tari yang telan-
jang bulat dan pingsan,
membuat jantung Pandu berdetak lebih cepat. Bersamaan dengan kemarahannya yang
naik sampai ke ubun-ubun dan siap meledak.
"Tari!" panggilnya
dan hendak memburu. Tetapi tangannya ditahan oleh Pranata.
"Hati-hati, Pandu... agaknya
orang kerempeng yang mirip mayat hidup itu sangat berbahaya. Tidakkah kau
melihat sepasang matanya yang nyalang siap memangsa siapa saja?"
Pandu menelan ludahnya.
Hatinya galau dan pilu menyaksikan keadaan kekasihnya.
"Hahaha... tikus-tikus
cilik, selamat datang di kediaman Tumbalpala, majikan Bukit Kubur!"
manusia kerempeng itu terbahak dengan sikap yang mengerikan.
Ambarwati sendiri berusaha
menenangkan hatinya. Dia merasakan getaran angin yang cukup kuat menerpa
telinganya saat orang kerempeng itu bersuara.
Begitu pula yang dirasakan
oleh Pranata Kumala dan Pandu. Desiran angin itu cukup kuat terasa. Pranata
bergumam dalam hati, "Bukan main tenaga dalam yang dimiliki manusia
kerempeng itu."
Sementara Tugi Sama mendengus
begitu mengenali salah seorang di antara ketiga orang itu.
"Hhh! Kau rupanya
pembokong busuk! Punya nyali juga kau mendatangi tempat ini, haha?! Rupanya kau
memang ingin mati!"
"Hhh! Manusia busuk! Kau
yang akan mati, menyusul kawanmu yang telah mampus menjadi mayat!"
"Bangsat!" geram
Tugi Sama murka. "Kau telah membunuh Sura Jaya?!"
Pandu melipat kedua tangannya
di dada. "Hmm... sebentar lagi
nyawamu yang akan kucabut, untuk menemani temanmu di neraka sana!"
Sehabis berkata begitu, Pandu
segera memasang anak panahnya pada busurnya. Tetapi satu gerakan telah
dilakukan oleh Tugi Sama dengan melemparkan cakramnya.
"Wuuut! Siiingg!"
Cakram itu bergerak menghantam
busur yang dipegang Pandu dan kembali lagi pada tuannya.
Pandu sendiri terkejut melihat
serangan yang mendadak itu. Tangannya terasa kesemutan oleh getaran yang cukup
kuat yang menimpa tangannya.
"Anjing!" makinya.
"Hahahaha. "
terbahak Tugi Sama.
Tiba-tiba terdengar bentakan
dari belakangnya dengan suara yang angker penuh tenaga dalam. "Tugi Sama!
Hantam mereka! Dan bunuh!"
"Baik, Datuk!"
"Cepat! Aku harus
menyelesaikan ilmuku sekarang juga!" kata Tumbalpala dan kembali
mendekatkan kepalanya pada pangkal paha Tari.
Melihat bahaya hendak menimpa
gadis itu, Pranata Kumala cepat bersalto sambil melancarkan pukulan sinar
merahnya.
"Siiing!"
Secepat kilat Tumbalpala tarik
kepalanya kembali. Dan menoleh dengan marah. Tiba-tiba dia mengibaskan tangan
kanannya.
Serangkum angin besar menderu
menerpa Pranata Kumala hingga jatuh terguling.
"Kakang!" jerit Ambarwati
terkejut dan hendak menghampiri. Namun urung ketika dirasakannya desir angin
mendekat padanya. Rupanya senjata cakram milik Tugi Sama sudah melancarkan
tugasnya.
"Bangsat!" maki
Ambarwati seraya bersalto menghindar. Dan segera membalas menyerang Tugi Sama
dengan sambaran pedangnya.
Begitu pula dengan Pandu. Dia
mengambil kembali anak panah dan busurnya. Lalu membidik Tugi Sama yang
bersalto ke sana ke mari sambil mempertahankan aliran tenaga dalamnya pada
cakram yang berputar-putar mencari mangsa.
Sementara itu Tumbalpala
semakin murka pada Pranata Kumala karena telah mengganggu kerjanya.
Apalagi ketika dia merasakan
waktu untuk menyempurnakan ilmu yang dipelajarinya telah habis. Dan tak bisa
diulangi kembali.
Semua itu membuatnya makin
murka. Dia kembali mengibaskan tangan kanannya dan serangkum angin besar
kembali menderu pada Pranata.
Tetapi kali ini Pranata lebih
sigap. Dengan gesitnya dia berguling. Namun belum lagi dia bisa bernafas dengan
lega, kembali serangan-serangan itu dilancarkan oleh Tumbalpala. Membuat
Pranata Kumala menjadi kalang kabut.
Tetapi tiba-tiba Pranata
berseru keras dan mendadak tubuhnya melenting ke atas. Lalu dia pun segera
membalas Tumbalpala dengan pukulan sinar merahnya.
"Sing!"
"Sing!"
Tumbalpala cuma terkekeh. Dan
menghindar ke kiri seraya melompat menerjang dengan pukulan lurus ke depan.
Pranata merasakan angin yang
keras keluar saat kepalan itu mendekati wajahnya. Buru-buru ia menunduk dan
memutarkan tubuhnya ke bawah.
Lalu satu jotosan dia
lancarkan pada bagian rahasia Tumbalpala. Yang segera menangkisnya dengan
tangan kirinya.
Kedua tangan itu berbenturan.
Dan benturan keduanya mampu
mendatangkan rasa kesemutan pada tangan Pranata. Lain halnya dengan Tumbalpala
yang terkekeh-kekeh.
"Hahaha... hanya begitu
saja kebisaanmu, Bocah! Tetapi kau tak akan kuampuni! Kau telah lancang membuat
kesalahan di depanku! Kau mengeri?!"
"Manusia busuk! Bukankah
kau sendiri yang berbuat salah! Bukankah kau yang tengah melakukan kelaknatan
yang tak bisa dimaafkan?!"
"Ini demi sempurnanya
ilmu yang kupelajari!" "Tetapi tidak dengan mengorbankan orang lain!
Darah perawan itu kau hisap,
lalu kau campurkan pada ramuanmu! Bukankah itu perbuatan biadab?!"
"Hhh! Nyawamu tak akan
kuampuni, Bocah! Nah, sebelum kau mampus katakan siapa kau sebenarnya!"
"Namaku Pranata Kumala
dari laut Selatan. Dan perempuan itu
istriku, namanya Ambarwati. Sedangkan pemuda yang sedang membantu istriku
menghadapi anak buahmu, bernama Pandu! Sudah cukup puas? Sekarang siapa kau adanya,
Datuk sesat?!"
"Hhh! Namaku Tumbalpala!
Dan orang-orang rimba persilatan memanggilku Datuk Sesat Bukit Kubur!"
"Kau memang manusia
sesat!"
"Hhh, Bocah! Kau telah
menggangguku menyempurnakan ilmuku! Nah, katakan siapa gurumu, hah?!"
"Guruku majikan Gunung
Muria. Beliau bernama Ki Ageng Jayasih!"
"Hmm... rupanya dia
gurumu. Boleh juga. Kupikir... kau murid dari manusia dewa yang maha sakti,
Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma! Bila iya, katakan padanya, aku
pun akan menaklukkannya!"
"Apakah kau tidak jeri
bila kukatakan sesuatu?" "Bangsat! Katakan, tak perlu
menggertak!" "Pendekar yang namanya baru saja kau se-
butkan, adalah ayahku!"
"Ayahmu?! Bagus, ini akan
kuuji sampai di mana kehebatan anaknya Madewa Gumilang!"
Usai berkata begitu tubuh
Tumbalpala melesat bagaikan terbang. Pranata terkejut dan sebisanya
memapakinya. Dia merasakan sekujur tubuhnya bagai kesetrum saat tangannya
berbenturan dengan tangan Tumbalpala.
Datuk bertubuh kerempeng itu
memang luar biasa. Dia menyerang dengan sikap tenang saja, namun di balik semua
itu terdapat kegeraman yang sangat luar biasa. Dan siap menyambar nyawa Pranata
Kumala.
Pranata sendiri sudah
mengeluarkan jurus Tangan Bayangannya. Namun jurus itu tak berarti banyak buat
menghadapi datuk sesat Bukit Kubur, yang dengan sigapnya menangkis dan
membalas.
Belum lagi
gempuran-gempurannya yang setiap kali bagian tubuhnya bergerak menimbulkan
suara atau angin yang cukup keras.
Lewat lima belas jurus,
terlihat Pranata Kumala mulai terdesak. "Des!"
Satu gedoran pada dadanya
membuat terhuyung ke belakang. Lalu disusul dengan sambaran lagi pada bagian
punggungnya, membuat Pranata Kumala terhuyung lagi.
Dan muntah darah.
"Hhh! Terimalah ajalmu,
Orang iseng!" seru Tumbalpala dan segera menyiapkan satu pukulan yang
terangkum di tangan kanannya.
Dan tubuh itu pun melesat.
Namun kembali bersalto ketika sebatang anak panah menyambar ke arahnya.
"Setan alas!"
Maki Tumbalpala dan ganti
berbalik arah melepaskan pukulannya pada Pandu yang tengah memasang kembali
anak panahnya.
Namun lagi-lagi Tumbalpala
urung karena selarik sinar merah melesat ke arahnya. Disusul dengan anak panah
yang dilepaskan Pandu.
"Bangsat!" makinya
sambil bersalto.
Sementara Ambarwati terus
mengimbangi serangan-serangan dari Tugi Sama, yang dengan senjata cakramnya
mampu membuat Ambarwati pun tunggang langgang. Namun dengan satu sentakan kuat,
cakram itu berhasil dipukul jatuh.
Tugi Sama menjadi geram
melihatnya.
Dia menjerit menyerang dengan
satu pukulan lurus ke depan.
Ambarwati merundukkan kepalanya
hingga pukulan itu mengenai angin. Lalu dengan satu tendangan memutar dia
berhasil memukul bagian punggung Tugi Sama hingga tersuruk.
Dan kesempatan itu digunakan
oleh Ambarwati untuk menusukkan pedangnya. Namun tanda diduganya, Tugi Sama
berhasil memukul pergelangan tangannya.
Hingga pedangnya terlepas.
Mendadak Ambarwati bersalto
dan dengan satu gerakan yang menakjubkan diperlihatkan perempuan itu. Sambil
bersalto dia menendang tangkai pedangnya yang terlepas di udara.
Des!
Tepat mengenai ujung tangkainya.
Dan pedang itu meluncur dengan
deras ke arah Tugi Sama yang tidak menyangka sama sekali.
Lalu terdengarlah jeritan
kematian menggema di dalam goa itu.
"Akkhhhhhkhhh!"
***
7
Tumbalpala sendiri kaget
melihat gerakan yang hebat itu diperlihatkan Ambarwati. Namun baginya hal itu
bukanlah sesuatu yang menakjubkan..
Dia terus mencecar Pranata
Kumala dan Pandu. Pandu sendiri sebenarnya sudah tak bisa berbuat apa-apa. Dia
pun sudah berkali-kali terkena pukulan Tumbalpala.
Sedangkan Pranata Kumala terus
mencoba bertahan. "Ambar! Cepat kau bawa gadis itu, dan pergilah dari
sini! Cepat!" serunya.
Ambarwati pun bergerak cepat.
Dia membuka tali yang mengikat Tari dan membebaskan totokan pada urat matanya
hingga matanya perlahanlahan terkatup.
Lalu dibopongnya gadis itu dan
dilarikannya keluar.
Melihat hal itu, Tumbalpala
menjadi murka. Dia menyerang dengan satu pukulan jarak jauh. Namun Ambarwati
berkelit dengan gesit. Lalu melesat keluar.
Melihat istrinya sudah
berhasil melarikan gadis itu dan meloloskan diri, Pranata Kumala yang merasa
tak akan bisa bertahan menghadapi serangan-serangan Tumbalpala, berseru pada
Pandu.
"Pandu cepat kau
tinggalkan tempat ini! Biar aku yang menahan manusia sesat ini!"
"Tapi, Kakang "
desis Pandu ragu-ragu.
"Cepat kataku,
cepat!"
Tanpa banyak cakap lagi, Pandu
segera melesat keluar dari goa itu.
Melihat seorang berhasil pula
meloloskan diri, kegeraman Tumbalpala semakin menjadi-jadi.
"Kau harus mampus di
sini, Bocah!" geramnya dan menyerang kembali.
Pranata sendiri dengan
sebisanya melepaskan pukulan sinar merahnya berkali-kali. Dan begitu dilihatnya
kesempatan untuk meloloskan diri, dia pun melesat berlari.
Dan berseru pada Pandu dan
istrinya yang menunggu di luar. "Ayo pergi dari sini!" seru Pranata.
Lalu ketiganya segera memacu kuda-kuda mereka berlari secepat angin.
Tumbalpala hanya tiga detik
terlambat keluar. Dia menggeram marah. Wajahnya yang menye-
ramkan semakin tambah
menyeramkan.
Tiba-tiba dia menggeram.
"Bangsat! Kalian tak akan
bisa lolos dari tanganku!" bentaknya keras ke penjuru Bukit Kubur.
Tiba-tiba tangannya bergerak ke dinding atas pintu ke goa.
"Duar!"
Terdengar ledakan keras begitu
angin yang keluar dari tangannya menyambar dinding goa. Dan mendadak saja
dinding goa itu runtuh.
"Ke mana pun kalian akan
kucari!" maki Tumbalpala sambil melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara batu-batu yang
berasal dari dinding goa yang dihancurkannya berguling ke bawah.
Menimbulkan suara bergemuruh.
***
Ketiga orang yang melarikan
diri dari Bukit Kubur itu, tidak mengarahkan kuda-kuda mereka menuju desa Jati
Gede. Tetapi mereka bersembunyi dulu di sebuah hutan. Karena menurut mereka,
pasti datuk sesat itu akan mencari mereka di desa Jati Gede.
Di hutan itu, Pranata berusaha
menyadarkan Tari dari pingsannya. Begitu siuman, gadis itu tersentak kaget
melihat sekelilingnya gelap dan menyeramkan. Namun begitu didengarnya suara
Pandu, gadis itu menjadi terisak.
"Kakang Pandu?"
"Iya, Tari... aku Pandu
" kata Pandu terharu.
"Oh... Kakang!" seru
Tari sambil merangkul Pandu. Kegembiraannya tak terkira. Bibirnya terus
menyunggingkan senyuman yang manis.
Lalu Pandu memperkenalkannya
pada Pranata Kumala dan Ambarwati yang telah membantunya membebaskan Tari dari
cengkraman datuk sesat itu.
Tari pun segera mengucapkan
terima kasih. Lalu Pranata nampak bersemedi, untuk menghi-
langkan rasa sakit pada
dadanya. Dibantu dengan Ambarwati yang mengalirkan tenaga dalamnya melalui
punggungnya, dan hawa murni yang telah dibuka, rasa sakit pada dadanya berangsur-angsur
mulai menghilang.
Lalu dadanya terasa pulih
kembali.
Ambarwati tersenyum. Tadi saat
dia disuruh meloloskan diri, betapa kuatirnya melihat keadaan suaminya yang
terdesak hebat oleh Tumbalpala.
"Sebaiknya kita istirahat
saja dulu di sini," kata Pranata Kumala. "Besok pagi, barulah kita
berangkat ke Jati Gede untuk membebaskan para penduduk dari cengkeraman
orang-orang jahat itu!"
Usul itu pun disetujui. Dan
mereka pun segera terlelap di dalam hutan dengan tubuh lebih yang amat sangat.
*** 8
Agung Seta tersentak begitu
mendengar suara menggelegar membentaknya. Terdengar kalau yang membentak itu
dalam keadaan marah yang amat sangat.
Agung Seta langsung melompat
dari peraduannya, memakai pakaiannya kembali. Dan meninggalkan perempuan yang berada
di peraduannya, yang segera menangis karena merasa bahagia terbebas dari
jamahan Agung Seta lagi.
"Agung! Ke luar
kau!"
Tergopoh-gopoh Agung Seta
keluar. Suara itu menggelegar kembali.
"Anak monyet! Cepat
keluar!"
Kini Agung Seta sudah berada
di luar. Dia tak menyangka kalau yang berada di hadapannya datuk sesat
Tumbalpala Begitu pula dengan temantemannya yang keluar dan tempat
masing-masing.
"Ada apa, Datuk?"
tanya Agung Seta dengan hormat. Dia ngeri melihat wajah mirip iblis itu tengah
marah-marah. Agung Seta yang terkenal bengis, sadis dan tak berperi
kemanusiaan, harus merasa jeri melihat gurunya dalam keadaan murka.
"Hhhh! Kau cari orang
yang bernama Pranata Kumala, Ambarwati dan Pandu!"
"Ada apakah gerangan,
Datuk? Dan siapa pula mereka, hah?" tanya Agung Seta.
"Mereka adalah
orang-orang yang akan kubuat mampus! Mereka mengganggu kerjaku dalam menggarap
bagian terakhir dari ilmu kebalku! Dan yang perlu kau ketahui, anak buahmu Tugi
Sama dan Sura Jaya sudah mampus di tangan mereka!"
Wajah Agung Seta menjadi
marah.
Malam yang mendekati pagi,
saat itu pula dia memerintahkan sisa-sisa anak buahnya untuk mencari ketiga
orang itu.
Dan malam yang hening itu
harus kembali dirobek oleh hiruk pikuk dan jerit ketakutan para penduduk.
Namun bayangan ketiga orang
itu tidak nampak. Begitu pula dengan Tari.
Sebagian penduduk merasa
gembira karena Pandu dan Tari selamat. Mereka tidak menyangka kalau Pandu akan
nekat menolong kekasihnya.
Dan mereka juga gembira
mendengar dua nama asing tadi disebutkan. Apakah mereka manusiamanusia penolong
yang dikirimkan oleh dewata?
Namun kegembiraan itu hanya
sejenak, karena Tumbalpala menjadi murka begitu Agung Seta melaporkan tak ada
tanda-tanda ketiga manusia itu berada di sana.
"Bunuh semua penduduk!"
serunya keras.
Dan pembantaian itu pun
terjadi dengan hebat. Jerit kematian dan darah mengalir membasahi desa itu.
Agung Seta, Morodama,
Wiromaya, Surapati dan Baurekso, secara
membabi buta melemparkan cakram mereka yang dengan ganasnya mencari mangsa.
Di samping itu mereka juga
geram dengan tewasnya lagi sahabat mereka Tugi Sama dan Sura Jaya. Namun
tiba-tiba melesat selarik sinar merah
dan beberapa anak panah ke arah mereka.
Semuanya tersentak kaget.
Serentak Agung Seta, Morodama
dan Baurekso menghindar. Namun malang bagi Wiromaya dan Surapati yang harus
termakan oleh sinar merah itu dan anak panah.
"Bangsat! Cepat kalian
keluar dari tempat persembunyian kalian! Jangan mirip perempuan yang hanya bisa
menangis dan bersembunyi!" bentak Agung Seta sambil menarik pulang senjata
cakramnya.
Dan ketiga pasang itu
terbelalak ketika sosok tubuh keluar dari balik semak. Sosok tubuh gemulai dan
aduhai dengan wajah jelita.
Dia tak lain adalah Ambarwati.
"Hihihi... apakah aku
mirip perempuan? Aku memang perempuan! Kau salah memaki, Manusia besar!"
Dari rasa marah dan murka,
Agung Seta berbalik gembira.
"Hahaha... rupanya
kelinci manis yang berbuat onar seperti ini! Hei, menyerahlah kau! Sini
mendekatlah padaku, biar kau kudekap dan tak kulepaskan lagi... kayaknya kau
cukup layak menemaniku tidur!"
Ambarwati menekan rasa marah
dan muaknya. Dia melangkah dua tindak dan berkata, "Manu-
sia-manusia bejat, hendaknya
kalian tinggalkan tempat ini! Dosa kalian sudah terlampau banyak dan tak
terhitung!"
"Hahaha... kau
menasehatiku, Manis? Oh, itu baik sekali! Aku suka diberi nasehat oleh kelinci
manis dan montok macam kau!"
Tiba-tiba terdengar suara
Tumbalpala dengan nada angker.
"Agung Seta! Buat apa kau
banyak cakap lagi, hah?! Cepat kau tangkap perempuan itu! Dia adalah salah
seorang dari tiga pengacau yang mengganggu kerjaku! Cepat kau bereskan dia! Dan
cari yang dua orang lagi! Cepat, aku sudah tidak tahan untuk menyianginya dan
membunuhnya secara perlahan-lahan!"
Agung Seta mendesah pelan.
Agaknya merasa sayang melihat gadis itu yang harus ditangkap dan diserahkan
pada Tumbalpala. Yang tentunya akan membunuhnya dengan kejam.
Namun tak ada pilihan lain
kecuali bergerak menangkap gadis itu.
Melihat gelagat yang tidak
menguntungkan, Ambarwati pun meloloskan pedangnya.
"Hahaha... rupanya
kelinci manis ini galak juga!
Morodama, kau tangkap
dia!" seru Agung Seta.
Morodama terkekeh sambil
menggebrak maju.
Ambarwati pun segera
melayaninya.
Pukulan ke depan yang
dilancarkan Morodama, hanya disambutnya dengan memiringkan kepalanya ke kiri.
Lalu ditebaskannya pedangnya
ke arah leher Morodama yang bersalto ke belakang.
"Hebat!"
"Kau akan melihat lagi
pertunjukan yang hebat sebelum lehermu putus kutebas!" seru Ambarwati.
Morodama pun mempergencar serangannya. Dan serangan itu sungguh suatu serangan
yang sangat cabul. Tangan-tangannya malah berusaha menyentuh dan menepuk
bagian-bagian tubuh terlarang dari Ambarwati.
"Setan!" maki
Ambarwati sambil menebaskan pedangnya ke tangan Morodama yang hendak menyentuh
buah dadanya.
"Hehehe... kau pelit
sekali, Manis. Hanya sedikit saja kusentuh tak kau perbolehkan. Kau macam apa
sebenarnya, hah?! Ayolah, jangan berpurapura. Bukankah kau memang
menginginkannya?!" "Setttaaann!" jerit Ambarwati murka. Lalu dia
bergerak cepat menyerang.
Namun Morodama tetap saja
mengimbanginya dengan santai. Bahkan sekali waktu tangannya berhasil menepuk
pinggul Ambarwati.
"Hehehe... betapa montok
dan lembutnya pinggulmu, Manis.... Buat apa kita bersusah payah bertempur?
Lebih baik kau menyerahkan diri saja! Dengan senang hati kami akan menyambut
kedatanganmu itu... hehehe!" tertawa Morodama sambil cengengesan.
"Setan!" maki
Ambarwati geram. Lalu dengan cepat dia kembali menyerang.
Kibasan pedangnya gencar dan
cepat mencari sasaran. Kali ini Morodama tidak bisa berbuat banyak, karena dia
tengah melawan Ambarwati yang tengah murka.
Dan di ambang kewalahannya,
Morodama tibatiba bersalto dan mencabut senjata cakramnya. Lalu dilemparkannya
pada Ambarwati yang masih terus menyerang. "Wuutt! Suiiing!" Sambaran
angin dan desing suara senjata itu bagaikan maut yang siap menjemput. Dan
seakan ada ribuan tawon yang menyerbu dengan sengatan-sengatan yang mematikan.
Sebisanya Ambarwati menangkis,
menghindar, bergulingan menghindari sambaran-sambaran cakram itu.
Namun tiba-tiba senjata yang
cukup aneh itu mendadak terpental karena selarik sinar merah menghantamnya. Dan
sungguh menakjubkan, sambaran sinar merah itu demikian kerasnya, hingga senjata
cakram itu terpental pulang pada pemiliknya.
Morodama menjadi terkejut,
sebisanya dia menghindar. Namun tak urung bahunya terserempet oleh senjatanya
sendiri. Mengeluarkan darah.
"Anjing! Siapa yang
membokong ini!" makinya sambil menekap darah yang mengalir.
Dari balik semak-semak,
meloncatlah dua orang laki-laki. Mereka adalah Pranata Kumala dan Pandu.
Ambarwati sendiri mendesah
lega. Bila saja suaminya terlambat membantu, tentu nyawa tak akan bisa selamat.
Tetapi dia yakin, tentunya suaminya tak akan membiarkannya celaka ataupun
terluka.
Melihat dua orang datang lagi,
Morodama mendengus. Begitu pula dengan Agung Seta dan Baurekso. Keduanya
langsung mencari lawan masingmasing.
Dan tak ada yang banyak bicara
lagi. Mereka sudah saling tempur dengan hebat.
Para penduduk yang menyaksikan
pertempuran tadi dari dalam rumah masing-masing.
Mereka terkejut melihat Pandu
berada di antara yang saling tempur. Dan mereka berdoa agar ketiganya bisa
memenangkan pertempuran itu.
Agaknya Pranata Kumala dan
istrinya mampu mengimbangi kedua lawannya. Sementara Pandu yang menghadap
Baurekso harus menerima beberapa kali pukulan dan tendangan dari lawannya.
Melihat hal itu, Pranata
segera melepaskan pukulan sinar merahnya pada Baurekso. Baurekso yang sedang
asyik dan geram melepaskan pukulan dan tendangannya secara beruntun pada Pandu,
tidak melihat selarik sinar merah menuju padanya. Tanpa ampun lagi, tubuhnya
terkena sinar merah itu. Dan ambruk dengan tubuh hangus tanpa
bisa menjerit sedikit pun.
Mati!
Melihat hal itu Agung Seta dan
Morodama semakin mempergencar serangannya. Pranata Kumala pun segera
mengimbanginya dengan jurus Tangan Bayangannya.
Ambarwati pun mempergencar
permainan pedangnya.
Sementara Pandu menyingkir
sambil menahan rasa sakitnya.
Tiba-tiba Pranata Kumala dan
Ambarwati merasakan ada serangkum angin besar menuju padanya. Keduanya tak
sempat mengelak.
Keduanya terpelanting.
Keduanya ambruk.
Dan keduanya muntah darah.
Ketika mereka melihat siapa yang menyerang, datuk Tumbalpala sudah berdiri
dengan kaki terbuka gagah di hadapan keduanya.
"Hhhh! Kalian sudah
ditakdirkan untuk mampus di tempat ini rupanya!" berkata Tumbalpala dengan
wajah yang menyeringai menyeramkan.
Mirip iblis.
"Hhh! Kami tidak takut
mati untuk membela kebenaran!" seru Pranata Kumala.
"Besar pula
omonganmu!"
"Lakukanlah bila kau
mampu!" tantang Pranata Kumala dengan gagah.
"Setan!" Lalu tangan
kanan Tumbalpala bergerak lagi. Dan serangkum angin besar menderu menghantam
Pranata Kumala hingga bergulingan.
"Kakang!" jerit
Ambarwati yang melihat suaminya kelojotan kesakitan dan muntah darah.
Dipegangnya tangan suaminya
yang nampak lemah, namun suaminya masih berusaha untuk tersenyum.
"Rayi "
Hati Ambarwati menjadi pilu
dan marah. Tibatiba dia berdiri menyerang Tumbalpala. Pedangnya mencecar dengan
hebat.
Namun datuk sesat itu hanya
terkekeh dengan wajah iblisnya. Membiarkan saja pedang Ambarwati membacoki
seluruh tubuhnya.
Dan tak satu pun bacokan
pedang itu yang membuat tubuhnya terluka.
Begitu pula dengan panah Pandu
yang harus jatuh ke tanah setelah mengenai sasarannya. Dan tak membuat tubuh
Tumbalpala terluka. Malah tubuh Pandu yang harus bergulingan ketika tangan
kanan Tumbalpala bergerak.
Begitu pula dengan Ambarwati
yang harus kelojotan muntah darah. Dadanya bagaikan dihantam oleh godam yang
sangat keras dan berat, hingga membuatnya remuk terasa di dada.
Tumbalpala pun tak mau
bertindak tanggung lagi. Dia menyiapkan kembali pukulan pada kedua tangannya,
yang siap dikibaskan pada orang-orang yang telah tak berdaya itu.
Dan kedua tangan itu bergerak.
Namun suatu keajaiban terjadi.
Saat kedua tangan itu bergerak, tubuh Tumbalpala terjengkang ke belakang. Dan
pukulan Serangkum Angin yang menderu pada Pranata Kumala dan Ambarwati,
membelok ke kiri dan menghantam sebuah pohon besar hingga tumbang.
Tumbalpala terkejut.
"Mengapa jadi begini?" Begitu pula dengan Agung Seta dan Morodama.
Tak kalah herannya Pranata Kumala dan Am-
barwati yang hanya bisa
memejamkan mata menunggu ajal.
Dan tak jauh dari mereka
berdiri dua sosok tubuh dengan gagah. Yang satu seorang laki-laki setengah baya
yang arif dan bijaksana. Wajahnya memancarkan sinar yang menyejukkan. Dia
mengenakan jubah berwarna putih. Yang seorang lagi, seorang wanita yang nampak
cantik jelita. Di punggung wanita itu terdapat dua buah pedang yang
bersilangan.
"Ayah! Ibu!" seru
Pranata Kumala dan Ambarwati berbarengan begitu mengetahui siapa kedua orang
itu adanya.
Kedua orang yang muncul itu
tak lain dan tak bukan adalah Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma dan
istrinya Ratih Ningrum.
Keduanya tersenyum pada
Pranata Kumala dan Ambarwati. Ratih Ningrum segera menghampiri anak dan
menantunya. Sementara Madewa Gumilang berdiri gagah berhadapan dengan
Tumbalpala yang sudah terdiri kembali.
Madewa tersenyum arif.
"Maafkan aku, Saudara...
yang telah lancang mengganggu keasyikan Saudara!"
Tumbalpala yang mendengar tadi
Pranata Kumala memanggil kedua orang yang baru datang "ayah dan ibu,"
langsung menduga siapa laki-laki ini adanya. Tentunya dia Madewa Gumilang alias
Pendekar Bayangan Sukma.
"Hmm... rupanya kau
Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma, bukan?" katanya dengan
suara yang angker. "Ah, nama besarmu agaknya sudah setinggi langit dan
sedalam lautan. Dengan Pukulan Bayangan Sukma kau dianggap sebagai manusia dewa
di dunia ini, karena tak ada satu pun yang dapat menandingi kesaktian pukulanmu
itu. Dan tak satu benda pun yang dapat sanggup menahan hebatnya pukulanmu. Tapi
di hari ini, aku Tumbalpala, majikan Bukit Kubur yang akan menghentikan
semuanya. Bahkan membunuhmu, Madewa Gumilang!"
Madewa tetap tersenyum arif.
Dia sudah bisa menduga siapakah orang ini sebenarnya. Juga dua orang yang
berdiri di dekatnya yang memegang senjata berupa cakram.
Madewa pun menduga apa yang
telah menimpa desa ini, melihat situasi desa yang sunyi dan lengang. Dan kini
porak poranda dengan mayat bergelimangan di sana sini.
Tentunya orang itu dengan
telengas menurunkan tangannya.
"Sebenarnya kita tidak
punya silang sengketa, Tumbalpala. Tapi agaknya keonaran yang kau timbulkan ini
memanggil naluriku untuk menghentikannya. Maafkan aku, yang mengganggu
ketenanganmu."
"Jangan jual lagak di
depanku! Sudah lama aku ingin menaklukkan jago-jago rimba persilatan. Dan agaknya, kaulah orang pertama
yang akan mampus di tanganku!"
"Maafkan aku "
"Manusia sombong! Awas
seranganku!" Tumbalpala menggerakkan tangan kanannya. Serangkum angin
besar menderu pada Madewa.
Madewa melompat ke kiri dengan
ringannya.
Angin itu menerpa sebuah pohon
yang langsung tumbang, roboh.
"Luar biasa!" desis
Madewa.
"Dan kau akan menyaksikan
yang lebih hebat lagi!" seru Tumbalpala seraya menerjang dengan
pukulan-pukulan saktinya, cepat dan membabi buta.
Madewa pun menggunakan jurus
menghindarnya, jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu disusul dengan jurus Ular Cobra
Bercabang Tiga, yang membuat tangannya seolah bergerak bagaikan seribu. Cepat
dan tangkas.
Tumbalpala pun sudah
menggunakan jurus yang dipelajarinya. Yaitu jurus ilmu kebalnya.
Patukan-patukan jurus ular
Madewa tak banyak berarti bagi tubuh Tumbalpala.
Madewa bersalto dan menarik kembali
jurusnya.
Tumbalpala terbahak.
"Hahaha... rupanya hanya
begitu saja nama besar dari Madewa Gumilang! Nama yang ternyata kosong belaka!
Cepat kau keluarkan pukulan saktimu itu, Madewa! Pukulan Bayangan Sukma! Ayo,
mengapa kau ragu? Atau kau ngeri melihat kehebatan ilmu kebalku?!"
Madewa tetap tersenyum arif.
"Kau agaknya terlalu
sesumbar dan memandang sebelah mata padaku, Tumbalpala "
"Malah aku memandangmu
dengan kedua mata tertutup! Karena nama besarnya tak lebih dari seonggok taik
kucing belaka, Madewa!"
"Nah, kau bersiaplah
sekarang!" desis Madewa sambil membuka jurusnya lagi. Pukulan Tombak
Menghalau Badai.
"Hahaha... keluarkan
semua jurus yang kau punya! Ayo, hantam aku! Hantam!"
Sementara Agung Seta dan
Morodama pun tengah bersiap-siap untuk membokong Madewa dengan melemparkan
senjata cakram mereka.
Keduanya yakin nama besar
Madewa Gumilang bukanlah nama kosong belaka.
Dan keduanya mempersiapkan
senjata mereka. Namun agaknya Ratih Ningrum dapat mencium gelagat yang tidak
menguntungkan itu. Dia pun bersiap-siap untuk menghadapi kedua manusia itu.
Begitu Madewa melepaskan
pukulannya pada Tumbalpala. serentak pula Agung Seta dan Morodama melemparkan
senjata cakram mereka. Dan melesat pula Ratih Ningrum sambil mencabut kedua
pedang kembarnya dan memapaki senjata cakram itu.
"Trang!"
"Trangg!"
Senjata-senjata itu beradu.
Dan kedua cakram itu pun jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ratih Ningrum
untuk maju menyerang.
Agung Seta dan Morodama yang
tidak menyangka kalau sikap pengecut mereka diketahui oleh Ratih Ningrum, tak
bisa berbuat banyak menghadapi serangan-serangan sepasang pedang kembar Ratih
Ningrum.
"Ces!"
"Ces!"
Keduanya pun tersambar oleh
pedang itu dan terluka. Hal ini makin membuat keduanya nekat. Ratih Ningrum pun
bergerak dengan cepat. Dia memasukkan jurus pukulan tangan seribunya dengan
gerakan pedang.
Dan pedang itu bergerak seakan
menjadi seribu.
Membuat Agung Seta dan
Morodama menjadi kaget, terkejut dan kewalahan.
Pedang itu bergerak dengan
kecepatan yang luar biasa. Dua jurus kemudian, Agung Seta dan Morodama mati
langkah. Tanpa ampun lagi pedang Ratih Ningrum pun menemui sasarannya. Matilah
sisa dari gerombolan carok itu.
Sementara itu, Madewa tengah
melancarkan pukulan Tembok Menghalau Badainya. Namun lagi-lagi Tumbalpala hanya
tertawa-tawa saja begitu pukulan tadi mengenai bagian-bagian dari tubuhnya.
Ilmu kebal yang dipelajarinya
hampir mencapai tingkat yang sempurna.
Madewa bersalto ke belakang.
"Hebat! Sayang ilmu
sehebat itu kau gunakan untuk kejahatan, Tumbalpala!"
"Hahaha... bilang saja
kau jeri menghadapi ilmu kebalku, Madewa!" seru Tumbalpala sambil
terbahak. Lalu ganti dia menyerang dengan Pukulan Tapak Anginnya. Yang
menderu-deru dengan dahsyat menimbulkan angin yang cukup besar.
Madewa dengan menggunakan
jurus Ular Meloloskan Diri berhasil menghindari seranganserangan itu.
Namun lewat lima jurus
kemudian, satu pukulan masuk menggedor dada manusia sakti itu.
"Hahaha... terimalah
ajalmu sekarang, Madewa!" seru Tumbalpala sambil menyerang lagi.
Tetapi keajaiban terjadi.
Tangan Tumbalpala yang sudah dialiri tenaga sakti dan tubuh yang melesat dengan
cepat, mendadak tubuh itu berbalik, seolah menerpa sebuah tembok yang sangat
tebal.
"Akkkh!" jerit
Tumbalpala sambil jatuh bergulingan.
Itulah salah satu kesaktian
dari Madewa Gumilang. Dulu secara tidak sengaja dia menghisap sari rumput sakti
Kelangkamaksa yang membuatnya menjadi sakti dengan adanya tenaga dorongan yang
keluar dari tubuhnya tanpa bisa dia rasakan (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Kesaktian itu keluar bila
keadaan Madewa terdesak, dan emosinya menurun. Tetapi bila dia dalam keadaan
emosi, kesaktian yang tak bisa terlihat oleh pandangan mata itu tak akan
keluar.
"Bangsat! Ilmu apa yang
kau pakai itu, Madewa?!" seru datuk kerempeng sambil mengusap mulutnya
yang mengeluarkan darah.
Madewa tersenyum arif.
"Sadarlah, Tumbalpala "
"Anjing buduk! Jangan
berkhotbah di depanku, Madewa!" maki Tumbalpala sambil menyiapkan kembali
pukulan Tapak Anginnya. Kali ini diimbangi dengan ilmu kebalnya.
Madewa masih berusaha
menyadarkan Tumbalpala.
"Sadarlah, Tumbalpala
"
"Bangsat! Keluarkan ilmu
pukulan Bayangan Sukma! Ayo, aku ingin melihat sampai di mana
kehebatannya!"
Madewa tersenyum. "Bila
itu yang kau inginkan, baiklah."
Madewa lalu merapal ilmu
pukulan Bayangan Sukma. Dan merangkum kedua tangannya di dada. Terlihatlah asap
putih mengepul dari kedua tangannya.
"Bersiaplah,
Tumbalpala!"
"Hahaha... pukulan
Bayangan Sukma tak banyak membawa arti buatku, Madewa!" katanya sombong
dan congkak. "Majulah!"
Lalu Madewa pun menderu maju.
Begitu pula dengan Tumbalpala
yang sudah menyiapkan pukulan Tapak Anginnya dan ilmu kebalnya.
Suasana mencekam. Tegang dan
hening.
Dan kedua pukulan maha sakti
itu pun berbenturan. Hingga menimbulkan ledakan yang hebat.
"DUUUAAARR!"
Tubuh keduanya terpental ke
belakang. Madewa bergulingan dan muntah darah. Begitu pula dengan Tumbalpala.
Tetapi datuk kerempeng itu cepat bangkit dan terbahak.
"Hahaha... hanya segitu
saja Pukulan Bayangan Sukmamu, Madewa!" serunya lalu bergerak perlahan.
Dar mendadak gerakannya
menjadi pelan, makin pelan dan sangat pelan. Tiba-tiba dia muntah darah. Dan
ambruk dengan meregang nyawa!
Madewa mendesah panjang.
Betapa hebatnya ilmu kebal milik Tumbalpala. Andaikata sudah mencapai tingkat
yang sempurna, mungkin tak satu pukulan pun yang bisa mengalahkannya.
Ratih Ningrum menghampiri
suaminya.
Begitu pula dengan Pranata
Kumala dan Ambarwati.
"Tamat sudah riwayat
Tumbalpala," kata Madewa. "Dinda Ratih... apakah tidak sebaiknya kita
pulang, kembali ke Perguruan Topeng Hitam? Bukankah rindumu sudah tuntas
melihat Pranata Kumala dan Ambarwati?" Ratih Ningrum mengangguk sambil
tersenyum. "Iya, Kanda... rindu Dinda sudah tuntas. Pranata dan Ambar,
apakah kalian akan meneruskan petualangan kalian?"
Pranata mengangguk. "Iya,
Ibu. Saya dan istri saya akan melanjutkan petualangan kami "
"Kalau begitu,
hati-hatilah. Mari, Kanda!" kata Ratih Ningrum. Dan "wuuut!"
tubuh keduanya sudah lenyap dari pandangan mata.
Pandu yang masih terluka,
bangkit mengucapkan terima kasih pada Pranata Kumala dan istrinya. Lalu Pranata
dan istrinya pun berpamitan untuk meneruskan petualangan mereka.
TAMAT
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 25 Datuk Sesat Bukit Kubur"
Post a Comment