Serial Pendekar Bayangan Sukma: 24 Sepasang Manusia Serigala
24 Sepasang Manusia Serigala
1
Pagi itu udara cerah. Matahari
baru sepenggalah. Sinarnya membiasi seluruh dunia dan sebagian kecil yang
menerpa halaman Perguruan Topeng Hitam. Di halaman itu, murid-murid perguruan
Topeng Hitam sedang berlatih. Senjata andalan perguruan Topeng Hitam adalah
sepasang pedang. Mereka semua mengenakan pakaian hitam-hitam dengan wajah
berselubung topeng hitam.
Di depan mereka, nampak
seorang wanita setengah baya sedang memimpin mereka berlatih. Dia adalah Ratih
Ningrum, istri Madewa Gumilang atau yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma.
Tahun demi tahun telah membuat
wanita setengah baya itu semakin arif. Dan kecantikannya nampak terus terpancar
di wajahnya yang berkulit putih. Tidak seperti murid-muridnya yang berpakaian
hitam-hitam, Ratih Ningrum mengenakan pakaian warna putih yang ringkas, yang
mencetak bentuk tubuhnya yang bagus.
"Bagus! Coba ulangi
gerakan yang saya lakukan tadi!" desisnya setelah memberi contoh.
Serentak para muridnya membuat
gerakan yang sama. Kaki kanan dimajukan satu langkah. Posisi kuda-kuda condong
ke belakang. Pedang ditaruh di dada. Dan
tiba-tiba pedang itu bergerak dengan cepat ke kanan sambil meloncat bersalto ke
belakang. Lalu berbalik pedang menyabet ke bawah, disusul dengan jotosan tangan
kiri ke arah depan.
"Bagus!" seru Ratih
Ningrum puas. Lalu katanya, "Kalian boleh beristirahat!"
Belum lagi ada yang bergerak
dari tempatnya, terdengar derap langkah kuda bergegas memasuki pintu gerbang
perguruan Topeng Hitam yang bertembok cukup tinggi. Di atas punggung kuda itu
tergolek sosok tubuh berpakaian hitam-hitam.
Dengan sekali salto dan satu
sentakan, Ratih Ningrum menghentikan lari kuda itu. Dia menggeram marah ketika
mengetahui satu sosok tubuh itu adalah salah seorang muridnya. Dan telah menjadi
mayat!
"Bangsat! Siapa yang
telah melakukan perbuatan biadab dan keji ini!" geramnya marah setelah
memperhatikan tubuh yang hancur itu.
Para muridnya yang mengerumuni
pun tak kalah geramnya. Ratih Ningrum melihat ada sebilah batang kayu terselip
di bawah mayat itu.
Hati-hati dia mengambilnya.
Ada huruf bertekan dalam dengan bertintakan darah. Ratih Ningrum diam-diam
mendesah kagum melihat tenaga dalam yang menuliskan itu sungguh hebat.
Hati-hati dia membacanya, Madewa Gumilang, kini telah tiba ajal bagimu. Salam
perkenalan dari kami Sepasang Manusia Srigala yang menghadiahkan mayat murid
Perguruan Topeng Hitam.
"Sepasang Manusia
Srigala?" desah Ratih Ningrum. "Siapa pula mereka? Dan ada urusan apa
dengan suamiku?" Lalu dia berkata pada muridmuridnya, "Tolong kalian
urus mayat saudara seperguruan kalian ini?" Kemudian wanita itu melesat ke
dalam memasuki ruangan utama. Dicarinya suaminya yang nampak sedang bersemedi
di ruang semedi.
Ratih Ningrum tidak mau
mengganggu ketenangan suaminya, makanya dia hanya duduk bersimpuh menunggu
semedi suaminya selesai.
"Aku sudah selesai,
Ratih...." terdengar suara berat dengan nada berwibawa. Sepasang mata yang
terpejam tadi kini membuka, memperlihatkan sorot yang arif dan bijaksana.
"Maafkan istrimu yang
telah mengganggu ketenanganmu, Suamiku," kata Ratih Ningrum sambil menjura
hormat.
"Duduklah! Ada apa
gerangan, Dinda Ratih?" "Maafkan Dinda, Kanda... Ada satu masalah
yang penting yang terpaksa
harus Dinda bicarakan dengan Kanda."
"Masalah apakah
gerangan?"
"Sepasang Manusia Srigala
telah membuat teror di perguruan kita, Kanda..."
"Sepasang Manusia
Srigala?" "Ya, Kanda."
"Apa maksud mereka
sebenarnya?" "Mereka... mereka ingin nyawa Kanda..."
"Mengapa itu yang mereka
inginkan? Aku pun belum mengenal siapa mereka. Dan menurut perasaanku, aku tak
punya salah dengan mereka. Ah, mungkin mereka salah alamat, Dinda..."
"Apakah dengan kematian
salah seorang murid kita yang dibuat hancur secara mengerikan oleh mereka itu
bukan bukti, Kanda? Apakah tulisan di kayu ini yang ditujukan pada Kanda,
membuktikan mereka salah alamat, Kanda? Dinda pikir tidak. Mereka datang untuk
menteror Kanda. " Madewa Gumilang tersenyum arif. Usia yang semakin
bertambah membuatnya lebih bijaksana. Ditatapnya wajah istrinya yang malah semakin
bertambah cantik di matanya. Wanita yang telah menemaninya hampir 25 tahun.
Wanita cantik putri pembesar Biparsena dari desa Bojongronggo (baca: Pedang
Pusaka Dewa Matahari).
"Tenanglah, Dinda...
Semua akan Kanda hadapi...!"
"Tetapi, Kanda... yang membuat
Dinda sedih, mengapa masih ada orang yang ingin berbuat jahat kepada
Kanda...?"
"Dinda Ratih Ningrum...
semakin hari dunia semakin menua. Semakin hari kehidupan selalu berubah. Dan
semakin hari kejahatan di muka bumi ini semakin meningkat. Ini berarti,
kebaikan telah jauh di bawah kejahatan. Sebagai manusia yang baik, kita harus
membasmi setiap kejahatan. Nah, kita sambutlah kedatangan Sepasang Manusia
Srigala itu dengan baik-baik. Kita tidak perlu menampakkan wajah
bermusuhan..."
"Selamat pagi, Ayah dan
Ibu..." terdengar seruan di belakang mereka. Pranata Kumala dan istrinya,
Ambarwati menjura di belakang mereka.
"Hahaha... selamat pagi
anak dan mantuku," sahut Madewa sambil bangkit berdiri. Jubah kebesarannya
yang berwarna putih semakin membuatnya nampak agung. Pranata Kumala pun
diamdiam semakin mengagumi ayahnya. "Bagaimana kabarnya Laut
Selatan?"
"Semakin hari Laut
Selatan semakin cantik, Ayah..." sahut Pranata. Memang, dia dan istrinya
tinggal di Laut Selatan. Di rumah istrinya yang dulu disikat habis oleh
Sengkawung, ketua Partai Pengemis Sakti (baca: Pendekar Kedok Putih). Namun
kini rumah itu telah mereka betulkan kembali dan mereka tinggali.
"Dan kau bagaimana
kabarnya, Menantuku?" Kali ini Ratih Ningrum yang bertanya kepada
Ambarwati.
Ambarwati menjura dengan
hormat. Dia pun kini tumbuh lebih dewasa, dari gadis manja kini telah mengalami
pahitnya hidup dan kenyataan. "Saya dalam keadaan sehat, Ibu "
"Tentunya kalian letih,
kalian beristirahat saja dulu," kata Ratih Ningrum pula.
Lalu anak dan menantunya itu
berpamitan untuk beristirahat. Setelah itu kembali Ratih Ningrum dan suaminya
membicarakan soal Sepasang Manusia Srigala.
Di kamarnya, Pranata Kumala
tengah merebahkan tubuhnya. Walau sekilas, dia tadi dapat melihat wajah ibunya
nampak menyimpan sesuatu yang dirahasiakan. Walaupun dia melihat wajah ayahnya
nampak tenang-tenang saja. Ah, ayah memang seperti biasanya, selalu dapat
menyimpan rahasia yang paling berat sekalipun.
Tetapi ada apa gerangan dengan
ibunya? Mengapa ibu nampak begitu muram dan kesal sekali. Mendadak Pranata
bangkit dari merebahkan tubuhnya. Dia harus mencari tahu persoalan ini.
Istrinya yang sedang salin
baju melirik, "Ada apa, Kakang?"
"Oh, tidak ada apa-apa,
Rayi. Kakang ingin berjalan-jalan di sekitar perguruan. Rayi ingin ikut
serta?"
Ambarwati yang tengah
kelelahan dan mengantuk karena hampir semalaman mereka menunggang kuda,
menggeleng pelan. "Pergilah, Kakang... Saya ingin tidur sejenak."
Memang itu yang diharapkan
Pranata Kumala. Setelah mengecup kening isterinya, lalu dia pun keluar.
Melewati pintu samping untuk menghindari ayah dan ibunya.
Dia langsung menuju ke
belakang gedung. Dan di sana dia melihat ada sedikit keramaian. Ketika dia
mendekat, rupanya keramaian itu disebabkan ada sosok mayat yang tengah
dimandikan.
"Hei, mayat siapa
ini?" seru Pranata Kumala tak bisa menahan diri.
Beberapa orang murid segera
menjura hormat setelah mengetahui siapa yang bertanya.
"Kawan seperguruan kami,
Putra Guru," kata salah seorang.
"Mengapa ini terjadi? Tubuh
dan wajahnya hancur mengerikan?"
"Sepasang Manusia Srigala
telah membunuhnya. Dan siap mencabut nyawa Rama Guru. Tetapi kami, para murid
Perguruan Topeng Hitam akan menyabung nyawa demi Rama Guru!"
"Kapan ini terjadi?"
tanya Pranata Kumala kemudian.
"Setelah kami selesai
berlatih, Putra Guru." "Hmm, kalau
begitu masalah ini rupanya yang
membuat Ibu nampak muram dan
kesal," kata Pranata dalam hati. Lalu dia pun segera masuk ke dalam lagi,
mencari ayah dan ibunya.
Ayah dan ibunya masih berada
di tempat yang tadi.
Pranata Kumala langsung
menjura, "Maafkan saya, Ayah dan Ibu, yang telah mengganggu ketenangan
kalian berdua."
"Hahaha... Pranata, ada
apakah gerangan?" tanya Madewa.
"Siapakah Sepasang
Manusia Srigala yang hendak membuat teror itu, Ayah?" tanya Pranata tanpa
berpura-pura lagi.
Pranata sempat melihat wajah
ibunya yang sedikit terkejut. "Rupanya anakku dapat menebak apa yang
tengah merisaukan ibunya," desah Ratih Ningrum. Dia lupa, kalau Pranata
yang sekarang ini adalah Pranata yang telah menjadi seorang suami. Pranata yang
hampir tujuh tahun berguru di Gunung Muria.
Madewa pun tertawa.
"Hahaha... baiklah, Anakku. Ayah sendiri tidak tahu siapa Sepasang Manusia
Srigala itu. Tetapi teror yang mulai dilancarkannya tidak boleh kita anggap remeh.
Dan tentunya kita selalu siap sedia menyambut kedatangan mereka."
"Rasanya saya tidak sabar
untuk menghajar orang-orang itu, Ayah "
"Sabarlah, barangkali
saja dengan jalan damai kita bisa menghindarkan kekerasan "
Lagi Pranata Kumala mengagumi ayahnya
yang semakin arif dan bijaksana.
Tiba-tiba di luar terdengar
keributan, seperti orang sedang berkelahi. Serentak ketiganya melompat ke luar
dan melihat sepasang manusia sedang dikeroyok oleh murid-murid Perguruan Topeng
Hitam.
Kedua orang itu nampak lincah.
Mereka bersalto ke sana ke mari untuk menghindari seranganserangan yang datang.
Keduanya mengenakan pakaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna merah.
Sedangkan murid-murid Topeng Hitam semakin geram karena tak satu serangan
mereka pun yang masuk.
Hal itu membuat Pranata Kumala
menjadi geram. Tiba-tiba dia mengibaskan tangan kanannya. Dan selarik sinar
merah berkelebat ke arah kedua orang itu yang langsung dengan manisnya bersalto
ke kiri dan ke kanan.
Melihat serangannya gagal,
Pranata yang menduga sepasang manusia itu adalah Sepasang Manusia Srigala yang
juga diduga oleh murid-murid Perguruan Topeng Hitam langsung melesat ke depan.
Dia langsung menyerang dengan jurus Tangan Bayangan, warisan gurunya Ki Ageng
Jayasih dari Gunung Muria. Mendadak saja tangannya bergerak bagaikan seribu.
Sungguh cepat dan bertenaga. Kedua manusia itu pun mengerahkan kemampuan dan
kelihaiannya untuk menghindari serangan Pranata Kumala.
Namun sepasang manusia yang
sejak tadi hanya menghindar saja, kini
mulai membalas. Yang laki-laki sambil bersalto mengirimkan sebuah pukulan ke
arah kepala Pranata. Yang perempuan langsung melompat kembali begitu kakinya
mendarat di bumi dan sambil berputar dia menendang ke arah perut Pranata.
Menghadapi serangan beruntun
itu, Pranata bersalto ke samping. Disangkanya dia sudah dapat menghindari kedua
serangan itu, sungguh tak disangka, di saat keduanya masih di udara mereka bisa
bersalto ke arah Pranata dan mengirimkan serangan kembali.
"Hebat!" pekik
Pranata mau tak mau. Menurutnya, bila Sepasang Manusia Srigala ini tidak hebat,
mana mungkin mereka berani menantang ayahnya. Dan mau tak mau pula dia
menjajaki kedua serangan itu, lalu memapakinya dengan nekat.
"Des! Des!"
Kedua benturan itu menimbulkan
suara yang lumayan keras. Lalu masing-masing hinggap kembali ke bumi dengan
manis. Ketika akan saling menyerang kembali, terdengar suara berwibawa,
"Hentikan!" Madewa Gumilang mengangkat tangan kanannya. Lalu menatap
sepasang manusia itu sambil tersenyum. "Sepasang Walet Putih... selamat
datang di kediamanku yang jelek ini...!"
Yang laki-laki tertawa.
"Hahaha... agaknya mata kami ini masih terlalu buta untuk melihat dalamnya
lautan dan tingginya langit, Yang Mulia Madewa Gumilang "
"Gaok! Aku tetaplah
Madewa Gumilang yang dulu hahaha!"
Lalu kedua laki-laki itu
saling mendekat dan berangkulan. Membuat yang lain keheranan. Lho, bukankah
mereka itu Sepasang Manusia Srigala?
"Telah lama kudengar nama
besar Sepasang Walet Putih, dan kini aku diberi kesempatan untuk bersua
denganmu dan istrimu, Sri Kemuning "
"Madewa... nama besarmu
sampai terdengar di pinggiran Gunung Slamet, sehingga kujajaki daratan untuk
berjumpa dengan orang yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma. "
Madewa melambaikan tangannya
pada Pranata Kumala. Dia mengenalkannya kepada Gaok dan istrinya yang sudah
berada di sampingnya. Begitu pula dengan Ratih Ningrum.
"Pranata... mana mampu
kau mengalahkan Sepasang Walet Putih, Gaok dan Sri Kemuning, majikan Gunung
Slamet? Kau harus banyak belajar kembali darinya. "
Pranata langsung menjura
hormat dan minta maaf.
"Madewa, kakiku dan kaki
istriku memang sengaja kami bawa ke mari untuk menyambangi orang agung dan besar seperti kau. Namun
ketika kami masuk ke sini, sikap para pengawal dan murid-murid Perguruan Topeng
Hitam nampak tidak bersahabat pada kami. Apakah begini cara penyambutan
Perguruan Topeng Hitam pada tamunya?" tanya Gaok setelah mereka berada di
ruang perjamuan.
"Hahaha... maafkan aku,
hai sahabat. Saat ini kami memang sedang menunggu kedatangan tamu yang lain
"
"Apakah kau sedang
mengadakan hajatan?" "Tidak, mereka datang untuk menteror!"
"Siapakah gerangan mereka?"
"Mereka menamakan dirinya
Sepasang Manusia Srigala. "
Mendengar nama itu disebutkan,
wajah Gaok berubah beringas. Begitu pula dengan istrinya, Sri Kemuning.
"Kapan, kapan dia akan datang?" tanyanya dengan suara bernafsu.
Madewa melihat ada sesuatu
yang telah terjadi pula pada diri Sepasang Walet Putih.
"Tenang, Sahabatku.
Saudara Gaok katakan-
lah sejujurnya, bahwa kalian
meninggalkan Gunung Slamet bukan karena ingin menyambangiku. Nah, katakanlah
!"
"Hahaha... kami memang
benar-benar buta, tidak tahu dengan siapa kami berhadapan. Yang Mulia. kami
akan berterus terang. Di samping in-
gin menyambangimu, dan
istrimu, kami memang sedang mencari tokoh jahat yang menamakan dirinya sebagai
Sepasang Manusia Srigala."
"Apa yang mereka telah
perbuat?"
"Mereka mengacau di
kediaman kami, lereng gunung Slamet. Entah sudah berapa banyak gadis dan
perjaka yang mereka culik untuk memuaskan nafsu mereka. Mereka sangat kejam.
Belum lagi bila mereka berubah menjadi srigala... tingkah mereka benar-benar
seperti binatang itu. Rasa belas kasihannya tak ada sedikitpun juga. "
"Mereka berubah menjadi
srigala?" potong Madewa sambil manggut-manggut.
"Betul, Madewa yang
agung. Mereka dapat berubah menjadi srigala!"
Kembali Madewa Gumilang
manggutmanggutkan kepala. Dulu dia pernah mendengar tentang ilmu sihir yang
bila sudah sampai pada tingkat terakhir atau puncaknya bisa menjadi harimau.
Atau juga, bagi yang mempelajari ilmu harimau, lambat laun dengan amalan yang
kuat dan ajian yang hebat, dia pun kadang bisa berubah menjadi harimau.
Orang-orang menyebutnya manusia harimau.
Dan sekarang datang pula orang
yang bisa berubah menjadi srigala dengan menamakan dirinya Sepasang Manusia
Srigala. Madewa mendesah. Betapa banyaknya ilmu sesat di dunia ini rupanya.
Menjadi srigala atau berubah menjadi hewan apa pun atau benda apa pun, itu
sudah menyalahkan kodrat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
"Kadang manusia suka
melupakan hal itu. Mereka terlalu bernafsu untuk memiliki suatu ilmu tanpa
dipikirkan akibatnya atau efek sampingannya setelah ilmu itu dipelajari dan
dikuasai," desah Madewa dalam hati.
Madewa kembali menatap Gaok.
"Lalu apa lagi yang mereka perbuat?"
"Mereka menghancurkan
desa kami. Suatu ketika, kami memergoki saat mereka sedang beraksi. Manusia
yang menamakan diri Sepasang Manusia Srigala itu terdiri dari sepasang manusia
yang amat tangguh dan tinggi ilmu silatnya. Mereka juga menguasai ilmu sihir yang
hebat. Bentrokan yang terjadi antara kami dengan mereka, kami dapat dikalahkan
oleh mereka. Namun rasa gejolak hati kami yang bersih, yang tidak menyukai
kekerasan, dan dari pihak golongan putih, meskipun kami sudah mengalami
kekalahan, setelah sembuh kami pun turun dari Gunung Slamet untuk mencari
Sepasang Manusia Srigala yang entah telah melarikan diri ke mana."
"Hmm... sebenarnya,
siapakah nama Sepasang Manusia Srigala itu?"
"Yang laki-laki bernama
Laksamurka. Sedangkan yang perempuan bernama Dewi Murni."
Madewa terdiam. Merenung.
Berpikir. Kini mulai cukup jelas siapa sesungguhnya kedua manusia srigala itu,
yang datang dengan segenap terornya yang mengerikan.
Lalu Madewa menyuruh beberapa
orang pembantunya untuk menyiapkan kamar untuk kedua tamunya.
***
2
Matahari hampir terbenam,
setelah letih menjalankan tugasnya selama hampir 12 jam, bias-bias sinar
merahnya masih membayang di ufuk barat. Sebagian sinarnya masih menerangi
dunia, dan sisa-sisa biasnya kini menyinari pula desa Bojongpanjang. Sebentar
lagi malam akan datang.
Biasanya para penduduk desa
Bojongpanjang setiap senja bermain-main di halaman rumah. Mereka sangat
menikmati senja yang indah dan manis. Namun minggu-minggu terakhir ini, keadaan
menjelang malam sangat sepi. Tak seorang pun yang terlihat keluar dari rumah.
Semua pintu dan jendela telah tertutup rapat. Ini terjadi sejak datangnya
sepasang manusia yang mengaku bernama Laksamurka dan Dewi Murni. Kedatangan
mereka semula disambut baik, namun lama kelamaan kelihatan kedok mereka yang
sesungguhnya. Tingkah laku mereka tak beradab. Bahkan tidak tanggung-tanggung
lagi, Laksamurka memperkosa seorang anak gadis di hadapan kedua orang tuanya.
Dan sejak saat itu keadaan mencekam menyelimuti desa Bojongpanjang.
Ki Lurah Wiropura tak bisa
berbuat apa-apa. Dia pun sudah mendapat ancaman yang mengerikan bila tak
menyediakan seorang gadis dan seorang jejaka. Namun bagi Ki Lurah, dia lebih
baik mati daripada memenuhi permintaan biadab kedua orang itu.
Malam pun mulai turun. Dari
kejauhan terdengar lolong panjang srigala bersahut-sahutan. Hal itu semakin
membuat para penduduk ketakutan. Mereka berdoa banyak-banyak semoga tidak
terjadi malapetaka yang menimpa mereka.
Tiba-tiba muncul dua sosok
makhluk berkaki empat dari balik hutan. Sepasang mata mereka bersinar merah
mengerikan. Lidah mereka keluar dan meneteskan air liur. Mereka adalah dua ekor
srigala yang nampak kelaparan. Dan pelan-pelan kedua srigala itu melangkah
menuju sebuah rumah kecil.
Penghuni rumah itu adalah
sepasang pengantin baru yang baru tiga hari menikah. Namun teror Sepasang
Manusia Srigala tidak memberikan kesempatan lagi bagi keduanya untuk menikmati
bulan madu mereka.
Kedua srigala itu semakin
mendekat.
Di dalam rumah, kedua
pengantin baru itu saling dekap dengan erat. Mereka seolah mencium bau amis
yang menjijikkan, semakin lama semakin jelas tercium.
"Kakang " desis
istrinya ketakutan.
Suaminya seorang pemuda gagah
perkasa dengan wajah tampan. Erat-erat didekapnya istrinya seolah memberikan
ketenangan. Padahal dia sendiri tak lebih sama dengan istrinya.
Tiba-tiba terdengar derak
keras pada pintu belakang. Istrinya semakin menggigil dalam dekapannya.
Hati-hati dia mengambil parang besar yang tersampir di tembok. Sigap dan siaga
dia berusaha untuk menjaga istrinya.
Dan suara derak itu terdengar
kembali. Mendadak pintu itu hancur berantakan. Bukan main terkejutnya mereka
berdua begitu melihat makhluk apa yang berada di hadapan mereka. Sepasang
srigala dengan wajah buas mengerikan.
Sang suami bergerak dengan
cepat mengayunkan parang besarnya ke arah kedua srigala itu. Namun seperti
mengerti bahwa parang itu mengancam mereka, kedua srigala itu tiba-tiba
melompat ke kiri dan menerkam. Buru-buru dia mengayunkan parangnya.
Laki-laki itu gugup. Dia
merasakan tubuh istrinya terkulai di dekapannya. Istrinya telah pingsan. Kini
dia menjadi siaga. Kedua srigala itu berdiri menatapnya dengan wajah beringas.
Tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, sepasang mata merah itu berubah menjadi putih dan
tiba-tiba mengepul asap putih menyelimuti kedua srigala itu. Laki-laki yang
bernama Warto itu bingung. Apa yang sedang terjadi?
Tiba-tiba asap putih tadi
menghilang. Menghilang pula kedua srigala itu. Sebagai gantinya kini berdiri di
hadapannya dengan sikap gagah dan angkuh sepasang manusia. Dia adalah
Laksamurka dan Dewi Murni yang dapat menjelma menjadi srigala.
Laksamurka bertubuh besar
dengan bulu-bulu tangan yang menyeramkan. Wajahnya cukup lumayan. Dengan
bulu-bulu halus yang cukup lebat. Yang menyeramkan darinya adalah pakaiannya
yang terbuat dari kulit srigala. Begitu pula dengan kalung yang berupa taring
srigala.
Sedangkan yang berdiri di
sampingnya, Dewi Murni adalah seorang wanita yang cantik dengan tubuh yang
indah dan padat. Pakaiannya pun terbuat dari kulit srigala, namun berpotongan
puteri rimba. Menampakkan pahanya yang indah dan sepasang buah dadanya bagian
atas. Dia pun mengenakan kalung mirip Laksamurka.
Keduanya tertawa melihat Warto
tertegun. Sebelum laki-laki itu berbuat apa-apa, Dewi Murni sudah berkelebat
dan menotok urat kaku laki-laki itu hingga terdiam.
"Hik... hik.. hik...
makanan lezat untukku malam ini, Laksamurka...." Wanita itu terkikik
dengan suara yang menakutkan. Dia membelai-belai pipi Warto yang hanya
terbelalak tanpa bisa berbuat apa pun. Laksamurka tertawa keras. "Aku pun
memiliki hidangan yang cukup hangat, hanya sayang dia masih pingsan "
"Hik... hik... hik...
penciumanmu tajam sekali, Laksamurka !"
"Dan nafsu seksmu sangat
kuat, Dewi Murni....
Sayang, aku harus menunggu
gadis itu siuman dari pingsannya."
"Dan aku sudah bisa
memotong hidangan ku, bukan?" kata Dewi Murni sambil mengerling genit.
Lalu dia melenggang mendekati Warto yang hanya bisa membelalakkan matanya
dengan gusar. Diusapnya pipi laki-laki itu dengan genit. Warto memejamkan matanya.
Dan semakin memejamkannya ketika Dewi Murni membuka pakaiannya bagian atas
sedikit. Pakaian yang minim itu, langsung menampakkan buah dadanya yang bulat
dan montok. "Hihihi mengapa kau memejamkan ma-
tamu, Manis.... Ayo nikmatilah
tubuhku ini dengan sepuas-puasnya. !"
Dewi Murni menotok urat mata
Warto hingga kedua mata itu terbuka dan tak bisa ditutup lagi. Dewi Murni
semakin tertawa-tawa. Lalu perlahanlahan dia membuka seluruh bajunya hingga
telanjang bulat di hadapan Warto. Sementara Laksamurka hanya terkekeh saja
sambil menunggu istri Warto siuman.
Belum lagi musibah menimpa
Warto dan istrinya, dari luar terdengar teriakan-teriakan keras yang menyuruh
kedua orang itu keluar.
"Bangsat!" geram
Dewi Murni atau manusia srigala betina sambil mengenakan pakaiannya lagi.
"Siapa yang berani mengganggu keasyikan Dewi Murni, dia akan mampus dengan
mayat yang mengerikan!"
"Keluar dari sini! Hei,
manusia-manusia dajal, keluar!"
"Warto, bagaimana
keadaanmu?!" "Bagaimana dengan istrimu?!" "Hei, manusia
busuk, keluar!"
Seruan-seruan ramai terdengar.
Pintu depan terbuka, muncul sepasang laki-laki dan perempuan dengan wajah siap
mencabut nyawa. Keduanya menggeram melihat sejumlah penduduk yang bersenjatakan
parang, pisau, tombak, clurit siap mengurung mereka.
Salah seorang di antara mereka
adalah Ki lurah Wiropura. Laki-laki setengah baya itu berkata dengan lantang,
"Manusia srigala busuk! Tolong jangan ganggu ketenangan kami!"
"Hahaha... Ki Lurah,
sungguh besar nyalimu!" desis Laksamurka. "Namun agaknya sia-sia keberanianmu
dan kenekatan seluruh penduduk desa ini untuk menghalangi sepak terjang
Sepasang Manusia Srigala!"
"Kami lebih rela mati
daripada menjadi budak iblismu!" geram Ki Lurah marah.
"Ki Lurah... berpikirlah
baik-baik sebelum kau membuang nyawa tuamu dengan percuma. " ber-
desis Dewi Murni sambil
mengerling genit.
"Malam ini, aku Wiropura,
akan menyabung nyawa dengan kalian berdua!"
Kedua manusia itu tertawa
ngakak. Membahana. Membelah malam yang semakin kelam. "Ki Lurah... Ki
Lurah..." berkata Laksamurka. "Kau lihat dulu apa yang kau pegang
itu?! Ular berbisa!"
Ki Lurah terkejut kaget ketika
mendengar suara berdesis di tangannya. Tombak yang dipegangnya telah berubah
menjadi ular berbisa dan siap memagut kepalanya. Sigap Ki Lurah membuang ular itu
yang ketika jatuh ke tanah berubah kembali menjadi tombak.
"Ilmu sihir!"
desisnya.
"Hahaha... dengan
kepandaian seperti itu kau hendak mengalahkan bahkan membunuh kami?!"
"Tekadku sudah bulat
untuk membasmi orangorang seperti kalian!" seru Ki Lurah mantap. Lalu
melirik warganya yang kelihatan agak ketakutan. "Jangan takut!
Saudara-saudara! Kita bunuh kedua manusia ini beramai-ramai! Serbuuuuu!"
Serentak warga yang agak
ragu-ragu itu bangkit kembali semangat mereka. Mereka menyerbu dengan
mengacungkan senjata yang mereka pegang.
"Lihat apa yang kalian
pegang?!" seru Laksamurka.
Para penduduk yang menyerbu
serentak berhenti melangkah, dan masing-masing melihat senjata yang mereka
pegang. Mendadak semuanya berubah menjadi ular berbisa. Mereka menjadi panik.
Beberapa orang tak sempat membuangnya hingga mereka pun harus menemui ajal. Dan
ularular itu terus menyerang mereka dengan buas diiringi tawa menyeramkan dari
kedua orang itu.
"Hahaha... lucu, lucu
sekali!" seru Laksamurka tertawa. Orang-orang itu menyabetkan batang kayu
yang mereka raih untuk mengusir ular-ular itu. Namun ular-ular itu sangat buas.
Sebentar saja hanya tinggal Ki Lurah dan beberapa orang yang masih sibuk
mengusir ular-ular itu. Sedangkan yang lain terkapar dengan tubuh membiru dan mulut
mengeluarkan ludah berbusa.
"Kalian jangan coba-coba
menghalangi perbuatan kami!" seru Laksamurka.
"Dan hari ini kalian
lebih mengenal siapa Sepasang Manusia Srigala, yang siap untuk mencabut nyawa
siapa saja! Juga nyawa Madewa Gumilang, Pendekar Bayangan Sukma!" sambung
Dewi Murni.
Berkat kegigihan Ki Lurah dan
beberapa warga yang masih hidup, mereka dapat membasmi ularular jejadian itu.
Yang setelah terpotong dua kembali ke asalnya menjadi senjata-senjata yang
mereka pegang tadi.
Ki Lurah melotot marah pada
sepasang manusia itu. Wajahnya berkeringat. Dia tidak menjadi gentar
menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Malah kemarahannya dan dendamnya semakin
naik memuncak. Walau apapun yang terjadi, dia tetap akan berusaha mengusir
kedua manusia dajal ini.
"Manusia-manusia iblis,
kami siap menyabung nyawa dengan kalian!" serunya seraya maju menyerang
dengan parang di tangan kanannya ke arah Laksamurka.
Melihat kenekatan Ki Lurah,
Laksamurka hanya tertawa. Dia cukup menggeser tubuhnya sedikit hingga tebasan
parang itu tidak menemui sasaran. Dan tangannya bergerak dengan cepat
menghantam punggung Ki Lurah Wiropura yang terhuyung ke depan dan muntah darah.
Di samping pukulan Laksamurka yang mengandung cukup tenaga, dia pun terdorong
oleh tenaganya sendiri saat mengayunkan parangnya.
Ki Lurah merasakan dadanya
seakan remuk. Bagai dihantam pukulan godam yang tiba-tiba mengenai dadanya.
"Huak!" sekali lagi
Ki Lurah Wiropura muntah darah, dan merasakan pusing yang teramat sangat.
Matanya berkunang-kunang. Dan mual pun mulai menyiksanya.
Melihat hal itu beberapa
warganya menjadi marah dan ikut menyerang. Serangan-serangan mereka ganas
karena diliputi marah dan dendam. Namun mereka bukanlah tandingan kedua manusia
itu. Yang dengan seenaknya menghabisi setiap gerakan mereka. Dan kelojotan
dengan tubuh hancur tak berbentuk.
Ki Lurah Wiropura yang masih
sekarat, betapa sedihnya menyaksikan warganya yang kembali tewas di tangan
kedua manusia itu.
Dia mencoba bangkit untuk
membalas. Namun tubuhnya terasa sakit dan berat sekali. Tetapi diusahakannya
juga untuk bangkit. Dia harus membalas. Harus! Harus!
Belum lagi dia tegak berdiri,
mendadak Dewi Murni menendang sebilah parang yang tergeletak di tanah. Bagai
bernyawa, parang yang ditendang itu meluncur dengan deras ke arah Ki Lurah yang
terbeliak kaget melihat datangnya parang itu. Dan... "Aaakhh! Bless!"
Tak ampun lagi parang itu
menancap menembus dadanya diiringi dengan jeritan yang menyayat hati.
Memilukan.
Dan mampuslah Ki Lurah
Wiropura yang gagah perkasa itu.
Terdengar tawa kedua manusia
srigala. "Hahaha... orang-orang tak berguna!" seru Lak-
samurka. "Dewi, mari kita
nikmati lagi hidangan yang telah tersedia! Hahaha... untungnya hidangan kita
ini tak akan pernah basi! Bukan begitu, Dewi?"
"Betul! Betul!"
Dalam keremangan malam,
terdengar dengusan nafas dan ringkik kenikmatan diiringi desah kesakitan dan
rintih kepedihan Warto dan istrinya yang belum sempat menikmati apa artinya
malam pengantin itu bagi mereka.
***
3
Teror yang dilancarkan
Sepasang Manusia Srigala di desa Bojongpanjang pun menyebar ke seluruh rimba
persilatan. Sepak terjang keduanya sangat mengerikan dan tak mengenal batas
kasihan. Mereka tak segan-segan menurunkan tangan telengas untuk mendapatkan
apa yang mereka inginkan. Banyak tokoh-tokoh dari golongan putih yang mencoba
menghalangi perbuatan mereka. Namun mereka pun tak bisa berbuat banyak.
Sebagian besar malah mampus di tangan keduanya.
Namun malam itu, beberapa
sosok tubuh mendekati sebuah bangunan yang terletak di ujung desa Bojongpanjang.
Bangunan itu didiami oleh Sepasang Manusia Srigala. Dengan mengambil pengawal,
pelayan, pembantu dan beberapa orang pemuas nafsu yang mereka culik secara
paksa dari beberapa desa.
Malam ini pun Laksamurka baru
saja meraih kenikmatan dengan menggumuli seorang perawan cantik yang diculik
tadi sore. Dia terkekeh melihat perawan itu menangis meratapi nasibnya yang
sangat malang.
"Hehehe... mengapa harus
bersedih, Manis? Bukankah kau sudah kuajak berkeliling ke sorga yang indah...
hehehe "
Wajah perawan itu pias.
Ketakutan, sedih, marah, malu, dan kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa
saat manusia iblis itu menjarah tubuhnya.
Di luar bangunan itu,
sosok-sosok tubuh yang mendekat, mulai berpencar. Mereka terdiri dari lima
orang. Di pinggang masing-masing nampak
ada sebilah pedang tipis yang tajam. Mereka adalah Lima Pedang Maut.
Orang-orang golongan putih dari Timur. Mereka pun sudah mendengar sepak terjang
dan kekejaman sepasang manusia srigala itu. Dan mereka bertekad untuk
menghentikan aksi kekerasan yang mereka lakukan. Para pengawal yang menjaga,
dengan mudah sekali dibungkamkan. Dan mereka pun bersalto masuk ke dalam.
Tiba-tiba salah seorang
berseru: "Hei, Sepasang Manusia Srigala! Muncullah kalian di hadapan
kami!"
Suaranya menggema. Menyentak
telinga Laksamurka yang tengah bersiap menikmati tubuh gadis itu lagi. Menjarah
telinga Dewi Murni yang baru saja meraih kenikmatan yang panjang dari pemuda
yang dipaksanya untuk melayaninya.
Dia pun bergerak cepat untuk
berpakaian. Lalu melesat keluar melalui jendela. Di ruang tengah nampak di
hadapannya lima orang berpedang berdiri gagah dengan tangan kiri mendekap di
dada dan tangan kanan memegang pedang yang ujungnya berada di kaki kanan bawah.
Sikap mereka gagah dan jantan.
Penuh perhitungan.
Dewi Murni terkekeh,
"Hihihi... siapa rupanya kalian yang berani-beraninya mengganggu Sepasang
Manusia Srigala, hah!?"
"Kami, Lima Pedang Maut
dari Timur yang akan menghentikan sepak terjang kalian!" kata salah
seorang yang bernama Suro Japara.
"Hihihi... rupanya malam
ini aku kedatangan orang pemimpi... lucu, lucu!"
"Hhh! Jangan banyak
bacot, Dewi Busuk! Kau akan merasakan kehebatan ilmu pedang kami!"
"Oh, ya? Hihihi...
pemimpi-pemimpi yang ingin bermimpi dan bisa bermimpi lagi. Kalian tentunya telah
bermimpi bukan, kalau kepala dan tubuh kalian terpisah akibat tanganku?"
Wajah Suro Jingga memerah.
Tangannya makin mengepal pedangnya. Geram.
Terdengar tawa Dewi Murni
lagi. "Hihihi... bagus, bagus sekali. Jadi kalian tidak terkejut bila
kepala dan tubuh kalian terpisah!"
"Dewi... siapa yang
datang malam-malam begini dengan sengaja untuk mengganggu kenikmatanku,
hah?!" terdengar suara di belakang Dewi Murni. Laksamurka muncul dengan
gagah.
Kelima orang itu segera
memasang tenaga dalam mereka. Karena dalam suara yang dilontarkan Laksamurka
mengandung tenaga dalam yang bisa menyerang mereka.
Diam-diam kelima orang itu pun
kagum pada Laksamurka. Mereka menjadi bersiap dan semakin berhati-hati.
"Laksamurka... aku pun
merasa terganggu dengan kedatangan orang-orang tak diundang ini. Ah, aku jadi
bingung... mereka hendak kita suguhi dengan apa, Laksamurka?"
"Itu tugas kau sebagai
perempuan, Dewi!" "Laksamurka, bagaimana bila mereka kita su-
guhi kotoran anjing saja! Kan
banyak terdapat di belakang!"
"Hahaha... betul,
betul... mereka kita beri kotoran anjing! Karena mereka tak ubahnya seperti
anjing!"
Disindir sedemikian rupa,
wajah Lima Pedang Maut itu memerah. Dan tanpa dikomando lagi mereka segera
mengurung kedua manusia itu yang seakan tak sadar akan bahaya mengancam, karena
keduanya masih asyik bercakap-cakap.
"Wah, anjing-anjing itu
mengurung kita, Dewi!" "Itu
lebih baik, Laksamurka. Mereka
saja yang
kita jadikan kotoran dan kita
berikan pada anjing." "Betul, betul... heit!" Laksamurka langsung
bersalto karena pedang dari kelima orang itu sudah menyambar kakinya. Dan serentak di dalam ban-
gunan itu terjadi pertempuran
yang sengit.
Ilmu pedang kelima Pedang Maut
itu tak bisa dianggap ringan. Mereka bergerak dengan cepat dan tangkas. Permainan
pedang mereka pun sambung-menyambung tak putus. Satu menyerang, yang lain
menunggu. Lepas dari serangan itu, mereka pun menyambung.
Hal ini cukup membuat kedua
manusia itu sedikit kewalahan.
Tiba-tiba Laksamurka
membentak, "Awas serangan!" Tubuhnya melenting ke atas dan menyerang
ke arah Suro Japara. Sedetik Suro Japara tidak menunduk, habislah riwayatnya.
Serangan yang mengandung tenaga dalam yang hebat itu lewat di kepala Sura
Japara.
Melihat hal itu, Suro Japara
semakin marah. Serentak dia membentak, "Saudara-saudara! Bentuk Lima
Barisan Menutup Lautan!"
Seketika empat temannya yang
sedang menyerang, bersalto mendekatinya. Dan segera membentuk Lima Barisan
Menutup Lautan.
"Hhh! Ilmu apa yang
kalian pamerkan di hadapan Sepasang Manusia Srigala, hah?!" tertawa
Laksamurka.
Tetapi kelima orang itu tidak
perduli. Barisan itu pun dilakukan. Suro Japara berdiri di depan. Di
belakangnya dua orang berdiri dengan pedang yang seorang di tangan kiri dan
seorang lagi di tangan kanan. Begitu pula yang di belakang mereka. Dua orang
dengan posisi pedang yang sama. Jarak mereka masing-masing dua meter. Membentuk
barisan sepanjang enam meter.
"Nah, silahkan kalian
berdua tembus barisan ini!" seru Suro Japara, sambil bersiap.
Sepasang Manusia Srigala itu
saling melirik. Lalu tanpa dikomando lagi keduanya menyerang, memasuki barisan
yang ketat itu.
Luar biasa. Barisan itu sukar
untuk ditembus. Setiap kali Laksamurka atau Dewi Murni menyerang, pedang-pedang
itu pun menyambar hingga mengurungkan niat mereka untuk menyerang terus.
Kalaupun mereka menyerang dari kiri, dua buah pedang menyambut. Menyerang dari
kanan, begitu pula. Bila menyerang dari belakang, barisan itu memutar menutup
barisan. Bila menyerang Suro Japara yang berada di depan, serentak keempat
temannya maju membentuk horisontal dengan pedang yang menyerang secara
bergantian. Sampai sekian jurus, Sepasang Manusia Srigala itu pun belum mampu
menembus pertahanan dan serangan dari Lima Pedang Maut, yang benar-
benar tangguh dan hebat.
Mendadak pula barisan itu
berpencar dan menyerang dengan cepat. Namun setiap kali diserang, mereka
kembali merapat dan membentuk jurus tadi, Lima Barisan Menutup Lautan.
Tiba-tiba Laksamurka berseru
sambil bersalto mundur, "Dewi Murni, hentikan serangan!"
Dewi Murni pun menarik
tangannya pulang dan bersalto berdiri bersisian dengan Laksamurka.
Lima Pedang Maut tertawa. Suro
Japara mengejek, "Kalian jeri melihat pertahanan dan serangan kami, bukan?
Nah, sebelum mampus lebih baik kalian berlutut! Atau kalian bunuh diri saja karena
kami sudah muak melihat tampang dan sepak terjang kalian semua!"
"Hahaha... jangan merasa
di atas angin dulu, Anjing-anjing dari Timur! Kalian harus ingat, dengan siapa
kalian berhadapan sekarang ini! Kalian tengah berada di sarang srigala! Dan srigalasrigala
itu tak akan puas bila belum mencabikcabik tubuh kalian!"
"Srigala busuk! Buktikan
ucapanmu!" bentak Suro Japara.
"Hahaha... rupanya kau
tak sabar ingin cepatcepat mampus. Baik, jangan sesali nasibmu!" Sehabis
membentak demikian, Laksamurka terdiam sejenak. Lalu tertawa, "Lima Pedang
maut, kalian lihat apa yang tengah kalian pegang itu! Ular berbisa!"
Serentak kelima orang itu
melihat pedang mereka yang telah berubah menjadi ular berbisa. Masing-masing
segera melempar pedang yang ada di tangan mereka.
Selagi pedang tak ada di
tangan mereka, menerjanglah Laksamurka dan Dewi Murni. Tanpa ampun lagi dua
jeritan terdengar. Dan dua nyawa melayang.
Melihat hal itu Suro Japara
menjadi gusar dan marah karena dia hanya ditipu oleh ilmu sihir. Tetapi
ular-ular jejadian itu terus mendekat dan menyerang mereka.
Dua orang lagi pun tewas
dipatuk ular berbisa hingga tubuh mereka membiru. Kini tinggallah Suro Japara
yang dengan sebisanya menghindari serangan patukan dari ular-ular itu.
Tiba-tiba dia bersalto dan
menyambar salah seekor ular itu. Dan menyabetkannya pada ularular yang lain.
Aneh, begitu tubuh ular-ular itu saling menyentuh, mereka berubah kembali
menjadi pedang.
Sigap Suro Japara menyambar
sebuah pedang yang tergeletak dan bersalto kembali. Lalu hinggap di tanah
dengan ringannya. Wajahnya memancarkan sinar pembunuhan, dendam dan sakit hati.
Apalagi dilihatnya empat mayat sahabatnya yang kini tergeletak tak jauh darinya
dengan tubuh luka parah dan wajah yang mengerikan mengeluarkan darah.
"Sepasang Manusia
Srigala!" geramnya dengan wajah memerah karena menahan geram yang sangat
luar biasa. "Hari ini kau akan mampus menebus nyawa empat saudaraku,
hah!"
"Kini kau tinggal
sendiri, Suro Japara! Ternyata kau masih besar mulut pula!" kata Laksamurka
sambil tertawa.
"Lebih baik kau menjadi
pengawal kami, dan setiap malam... kau harus memberikan kehangatan
padaku!" terkikik Dewi Murni. Lalu mengerling genit. "Suro Japara...
kau padahal cukup ganteng, dan... ah, tubuhmu nampak begitu menggairahkan! Mengapa
kau begitu bodoh hendak membuang nyawamu dengan percuma menghadapi kami? Kau
sudah tahu bukan, tak ada seorang pun yang dapat membunuh kami!"
"Hhh! Kau melupakan
seseorang rupanya, Manusia Srigala!"
"Siapa dia?!"
"Kau melupakan manusia
maha sakti yang bisa disejajarkan dengan manusia dewa, Madewa Gumilang!
Pendekar Bayangan Sukma! Kalian rupanya tidak tahu dalamnya lautan dan
tingginya langit, Manusia Srigala!"
"Hahaha... Madewa
Gumilang? Tak lama lagi nama dia pun akan terkubur dalam-dalam di dasar
bumi!"
"Hhh! Rupanya kalian
memang manusiamanusia iblis! Baik, kini tinggal aku seorang dari Lima Pedang
Maut. Tapi aku bukanlah pengecut yang suka melarikan diri sementara keempat
saudaraku tewas di tangan kalian! Nah, bersiaplah! Aku akan mengadu jiwa dengan
kalian!"
"Hihihi... lebih baik kau
pikirkan tawaranku, Suro Japara! Pikirkanlah lagi... hei!"
Belum lagi selesai ucapan Dewi
Murni, Suro Japara sudah maju menyerang dengan tenaga penuh. Dewi Murni
serentak melompat ke kiri dan balas menyerang.
Sigap Suro Japara melompat dan
kembali menerjang. Tetapi kali ini Dewi Murni menjajakinya. Ujung pedang Suro
Japara yang hampir mengenai dadanya, dia kibaskan dengan ujung jari
telunjuknya. Lalu tangannya menghantam ke arah dada Suro Japara, yang cepat
menangkis. Namun sungguh di luar dugaannya, tenaga yang tersalur dari tangan
Dewi Murni demikian besar. Tangan Suro Japara terasa ngilu dan terdengar suara
"krak!" yang menandakan tangan-tangan itu patah.
Suro Japara terhuyung.
Laksamurka berseru, "Dewi,
habisi saja! Jangan membuang waktu lagi!"
Dengan satu sentakan, tubuh
Dewi Murni melesat ke depan. Dan kepalannya menghantam dada Suro Japara yang
kini muntah darah. Dan tangan Dewi Murni bergerak cepat, menyambar leher Suro
Japara dan memuntirnya.
"Krek!"
Leher itupun patah!
Dewi Murni meludah sambil
melemparkan tubuh.
"Orang-orang tak tahu
diuntung!" geramnya. Sementara Laksamurka terbahak-bahak.
***
4
Sepak terjang Sepasang Manusia
Srigala yang membuat onar serta membunuh Lima Pedang Maut, cepat tersebar ke
rimba persilatan.
Saat ini pun di ruang
pertemuan perguruan Topeng Hitam, sedang terjadi dialog antara Madewa Gumilang
dengan Sepasang Walet Putih. Di sana juga hadir Ratih Ningrum, Pranata Kumala
dan istrinya Ambarwati.
"Kita tidak bisa
membiarkan hal ini berlarutlarut, Madewa," kata Gaok pada Madewa Gumilang.
"Benar, Ayah. Sebaiknya
kita segera mencegah dan membasmi Sepasang Manusia Srigala sebelum mereka terus
menerus membuat teror!" kata Pranata Kumala. "Atau sebaiknya... biar
saya yang mencari kedua manusia dajal itu, Ayah..." kata Pranata lagi yang
kali ini langsung dipegang tangannya oleh istrinya. Seperti memahami perasaan
istrinya yang nampak cemas, yang jelas terlihat dari pancaran kedua bola
matanya yang bening, Pranata Kumala membalas memegang lengan Ambarwati.
Madewa pun merasa sudah
saatnya sepak terjang kedua manusia itu dihentikan. Selama ini dia tidak mau
bergerak karena berharap kedua manusia itu akan insyaf dan menyadari kalau
perbuatan mereka sangat keliru.
Namun tunggu punya tunggu
keinsyafan itu tak muncul pula. Madewa mendesah panjang. "Sampai kapan
kejahatan ini akan berlangsung?"
"Yah... kita memang harus
segera menghentikan sepak terjang keduanya. Hal ini tak bisa berlarutlarut.
Baik, Pranata... kuijinkan kau bersama beberapa murid Perguruan Topeng Hitam
untuk mencari jejak kedua manusia itu,..." kata Madewa dengan suara yang
terdengar arif dan bijaksana.
Pranata menjura. "Terima
kasih, Ayah."
"Dan kau ingat, kau harus
berhati-hati menghadapi mereka, Pranata!" "Hmm... jangan kuatir,
Madewa. Kami akan menemani perjalanan Anak mas Pranata Kumala," kata Gaok
yang melirik istrinya yang kemudian mengangguk.
Sudah tentu Ambarwati tidak
mau membiarkan suami pergi sendiri. Meskipun ditemani Sepasang Walet Putih,
Ambarwati tetap menyebutnya Pranata Kumala pergi sendiri, karena tanpa dirinya.
Bila pergi bersamanya, bolehlah dikatakan itu ditemani. Ambarwati sangat
menyintai suaminya.
Lalu dia pun minta diijinkan
ikut.
Bagi Madewa dan istrinya,
Ratih Ningrum, hal itu boleh saja untuk mereka. Yang penting Pranata Kumala
sendiri memperbolehkan istrinya menemaninya.
Sebenarnya Pranata hendak
melarang istrinya ikut, karena dia tidak mau istrinya terlibat kesulitan.
Tetapi tatapan Ambarwati yang begitu memohon dan kekeras-kepalaannya, sukar
bagi Pranata untuk menolak.
Keesokan paginya, berangkatlah
empat orang itu beserta beberapa murid
Perguruan Topeng Hitam dengan menunggang kuda. Perjalanan yang masih membuat
tanda tanya di manakah dan ke manakah mereka harus mencari sepasang manusia
iblis itu.
Selama dua hari dalam
perjalanan, tibalah mereka di desa Bojongpanjang. Begitu memasuki desa itu,
semua menjadi keheranan. Betapa sunyinya. Hening. Desa itu bagai mati belaka.
Desa yang dulu terdengar begitu makmur, kini bagai kuburan saja. Sepi, bahkan
tak ada tanda-tanda kehidupan yang dapat dikenali di sana.
Mereka beristirahat di
pinggiran desa itu. "Kakang Gaok... ada baiknya kita berpencar di
sini," kata Pranata
Kumala kemudian, setelah mereka selesai bersantap siang. "Kupikir, bila
kita selalu bersama, akan susah adanya mencari Sepasang Manusia Srigala. Waktu
yang kita butuhkan akan lebih banyak. Jadi kupikir pula, sebaiknya kita
berpisah. Kita datang dari Utara, maka sebaiknya aku dan istriku ke Barat,
sedangkan Kakang dan Mbakyu Sri Kemuning ke arah Selatan. Bagaimana,
Kakang?"
"Kalau itu kemauanmu,
Dimas... bolehlah. Kupikir usulmu itu baik sekali. Pesanku, berhatihatilah
menghadapi manusia-manusia itu...." kata Gaok.
Dua jam kemudian mereka pun
berpisah. Seperti yang sudah disepakati, Pranata Kumala dan istrinya serta
beberapa murid Perguruan Topeng Hitam pun berangkat ke Barat. Sedangkan Gaok
dan Sri Kemuning berangkat ke Selatan.
Namun tanpa setahu mereka,
kedatangan mereka sebenarnya sudah dicium oleh Sepasang Manusia Srigala.
Keduanya pun berpencar mencegat perjalanan mereka, sedangkan Dewi Murni
mengikuti jejak Gaok dan istrinya.
Malam hari, Pranata Kumala
memerintahkan untuk bermalam di sebuah hutan, yang terdapat di desa
Bojongpanjang.
"Agaknya di sini cukup
aman," katanya kemudian. "Sampai sejauh ini kita belum mencium tempat
tinggal Sepasang Manusia Srigala itu. Tetapi kita tetap harus waspada dan
berhati-hati, karena keduanya adalah tokoh-tokoh yang sakti!"
Mereka pun bermalam dengan
penjaga beberapa murid Perguruan Topeng Hitam.
Tengah malam tak jauh dari
mereka bermalam, sepasang mata nampak memperhatikan rombongan kecil itu. Dia
adalah Laksamurka. Dia menghitung hanya lima orang yang menjaga, itu pun nampak
sudah terkantuk-kantuk akibat perjalanan yang jauh.
Laksamurka memetik lima lembar
daun di dekatnya. Dan secara serempak kelima daun itu dilemparkannya ke arah
para penjaga. Luar biasa, kelima murid Perguruan Topeng Hitam ambruk dengan
urat nadi di leher berdarah.
Tanpa mengeluarkan suara,
Laksamurka keluar dari persembunyiannya. Saat itu Pranata Kumala belum bisa
memejamkan matanya karena memikirkan di mana tempat persembunyian Sepasang
Manusia Srigala berada. Sementara istrinya sudah terlelap di sampingnya.
Pendengarannya yang cukup
terlatih menangkap gerakan mendekati mereka. Sigap Pranata Kumala berdiri. Dia
merasakan ada desir angin yang datang ke arah mereka. Serentak Pranata
berguling sambil mendorong tubuh istrinya. Tiga buah senjata rahasia berbentuk
taring srigala menancap di tanah.
"Bangsat keji!"
geram Pranata.
Istrinya yang terbangun
langsung bertanya, "Ada apa,
Kakang?"
"Bersiap-siaplah, Rayi...
manusia srigala itu sudah mengetahui kedatangan kita. "
Ambarwati mengambil pedangnya
yang tergeletak di sampingnya.
Pranata Kumala melompat ke
depan. "Manusia busuk! Keluar kau dari persembunyianmu!"
Seruan Pranata Kumala
membangunkan beberapa murid Perguruan Topeng Hitam yang tertidur dan menjadi
waspada melihat Pranata Kumala nampak bersiaga.
Dari balik semak muncul
Laksamurka dengan sikap gagah. Dia tertawa melihat orang-orang itu dalam posisi
siap tempur. Matanya langsung nanar memerah melihat Ambarwati. Gairahnya
muncul.
"Hahaha... kalian
ternyata punya nyali juga! Hmm, perkenalkan aku adalah Laksamurka salah seorang
dari Sepasang Manusia Srigala, yang muncul untuk mencabut nyawa kalian!"
"Manusia dajal, maksud
apa kau sesungguhnya membuat teror seperti ini?!" seru Pranata Kumala.
"Anak muda, aku mengenali
kau sebagai putra Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum! Bagus, tidak dapat orang
tuanya, anaknya pun sudah lumayan! Hitung-hitung tak ada rotan akar pun
jadi!"
"Laksamurka, omonganmu
begitu besar! Seperti kau begitu yakin mampu mengalahkan aku, hah?!"
"Hahaha... sebelum tubuhmu berkalang tanah, akan kuberitahukan mengapa aku
membuat teror seperti ini? Tak lain untuk memancing Madewa Gumilang atau ayahmu keluar dari
sarangnya. Bukan sebagai seorang yang pengecut, yang beraninya hanya bercokol
di rumah!"
"Hmm... ada masalah
apakah kau dengan ayahku? Dari nada ucapanmu sangat terdengar sekali nafsumu
untuk membunuh ayahku!"
"Benar, aku dan Dewi
Murni, Sepasang Manusia Srigala memang akan membunuh mampus ayahmu! Dan merebut
Seruling Naga dari tangannya!"
Pranata Kumala tercekat.
Seruling Naga? Bukankah seruling sakti itu berada di tangannya, dihadiahkan
ayahnya sebelum dia menjadi murid Ki Ageng Jayasih tiga belas tahun yang lalu
(baca: Kakek Sakti dari Gunung Murid). Lalu ada apa gerangan dan kenapa
Sepasang Manusia Srigala ini hendak merebutnya?
"Laksamurka, Seruling
Naga itu milik ayahku!
Mengapa kau hendak
merebutnya?"
"Karena bukan dialah yang
berhak memilikinya!"
"Hei, apa maksudmu?
Seruling itu pemberian dari Kakek Guru Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti
guru ayahku! Nah, dari fakta sejarah itu sudah jelas ayahku berhak memiliki
seruling sakti itu!"
Seruling Naga yang mempunyai
kesaktian luar biasa, dan bila ditiup bagi yang memiliki tenaga dalam pas-pasan
akan hancur telinganya karena tak tahan mendengar suara seruling itu. Sedangkan
bagi yang bertenaga dalam besar, dia pun akan tersiksa sehingga tidak bisa
berbuat apa-apa. Bentuk seruling itu sama dengan seruling bisa, hanya bedanya
pada Seruling Naga ada gambar sepasang naga. Seruling Naga itu memang pemberian
Ki Rengsersari kepada Madewa (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
"Hahaha... puluhan tahun
yang lalu, seruling itu telah menjadi
rebutan. Dan sekarang pun tetap menjadi rebutan... hahaha! Nah, bersiaplah
untuk mampus di tanganku!" Laksamurka membuka jurusnya. Sebelum dia
menyerang Pranata Kumala, beberapa murid Perguruan Topeng Hitam mengurungnya
dengan pedang di tangan. Tanpa dikomando lagi pedang-pedang itu pun
berkelebatan ke arah Laksamurka, yang menghindar ke sana ke mari dengan gerakan
cepat.
"Manusia keparat! Kami
datang untuk menuntut balas pada nyawa kawan seperguruan kami yang kau bunuh
secara mengerikan!" seru salah seorang murid.
"Bagus! Majulah kalian,
akan kubuat kalian menjadi sate!"
Pedang-pedang itu pun
berkelebat kembali. Laksamurka tidak hanya menghindar sekarang, dia pun balas
menyerang. Suaranya kini berubah menjadi mengerikan, seperti lolong srigala
yang sedang marah.
Tangannya bergerak dengan
cepat membentuk cakar srigala. Beberapa jeritan terdengar dengan menyayat hati
disusul tubuh yang ambruk dengan luka yang mengerikan. Tergores dalam hingga ke
tulang sumsum. Belum lagi yang terkena cakaran pada wajahnya, sangat
menakutkan. Wajah itu robek tak berbentuk.
Namun murid-murid Perguruan
Topeng Hitam sudah bertekad untuk membunuh manusia itu. Mereka tidak takut
mati. Tetapi mereka pun tak bisa berbuat banyak menghadapi Laksamurka. Beberapa
menit kemudian semua ambruk bergelimang darah dan tanah.
Laksamurka tertawa.
"Pranata, lebih baik kau bunuh diri saja sebelum kurobek-robek
wajahmu!" "Bangsat keji!" yang berseru Ambarwati. "Malam
ini pun aku bersabung nyawa
denganmu!" "Hahaha... gadis
manis. Siapakah kau sebenar-
nya?"
"Aku dan suamiku akan
membunuhmu, Laksamurka!"
"Suamiku? Hahaha...
berarti kau istri manusia sombong ini? Bagus! Bersiaplah kau untuk menemaniku
melewati malam yang dingin!"
Ambarwati tidak tahan
mendengar omongan yang kotor itu. Sambil menggeram dia menerjang dengan tusukan
pedangnya ke arah dada. Laksamurka hanya tertawa. Masih tertawa dia menghindari
serangan itu dan tangannya menepak lengan kiri Ambarwati yang langsung merasa
kesemutan.
Melihat istrinya kena tampar,
Pranata Kumala menjadi marah. Dia merangkum kedua tangannya. Dan menghentakkan
ke depan. Muncullah selarik sinar merah ke arah Laksamurka.
"Pukulan Sinar
Merah!" seru Laksamurka sambil menghindar. Sinar merah itu menghantam
pohon di belakangnya yang langsung hangus berasap. "Ada hubungan apa kau
dengan majikan Gunung Muria?"
"Dia adalah guruku! Nah,
bersiaplah untuk mampus!" Kembali Pranata Kumala melancarkan pukulan sinar
merahnya, membuat Laksamurka menjadi sedikit kerepotan.
Sambil bersalto dia
melemparkan senjata rahasianya yang membuat Pranata Kumala menghentikan
serangannya dan menghindari senjata rahasia itu.
Kesempatan itu dipergunakan
Laksamurka untuk menyerang. Terjadilah bentrokan tangan kosong yang cukup
hebat. Pranata pun mengeluarkan jurus Tangan Bayangannya. Sepuluh jurus
pertempuran itu telah berlangsung.
"Tidak sia-sia kau
berguru pada Ki Ageng Jayasih!" seru Laksamurka yang mau tak mau dibuat
kagum juga oleh Pranata. "Tapi coba tahan seranganku kali ini!"
Sambil bersalto dua kali ke
belakang, Laksamurka merangkum kedua tangannya di dada dan hinggap di bumi
dengan manisnya. Dia membuka jurus Srigala Menangkap Mangsanya yang sangat
hebat.
Sambil menggeram dia kembali
menyerang. Kali ini Pranata Kumala yang dibuat sibuk untuk menahan
serangan-serangan yang datang secara beruntun. Cepat dan penuh tenaga.
Cakar-cakar maut Laksamurka bisa mendatangkan petaka bagi Pranata Kumala bila
dia lengah sedikit.
Melihat suaminya cukup terdesak,
Ambarwati pun melesat menerjang Laksamurka dengan ayunan pedangnya. Laksamurka
yang siap hendak menyabetkan cakarnya ke wajah Pranata Kumala, jadi berbalik
dan menepis pedang Ambarwati.
"Des!" Disusul
dengan sebuah jotosan ke arah perut Ambarwati.
"Des!"
"Aduh!"
Tubuh itu terhuyung ke
belakang. Karena terlalu marah dan emosi melihat suaminya terdesak, Ambarwati
tidak memperhitungkan kesaktian Laksamurka, salah seorang dari Sepasang Manusia
Srigala.
Melihat hal itu, Pranata
Kumala menjadi marah sekali. "Bangsat hina! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!"
"Hahaha... kau hanya
mengantarkan nyawa secara sia-sia," desis Laksamurka sambil ngakak.
"Bangsat! Lihat
serangan!" Kembali Pranata melesat dengan jurus Tangan Bayangannya dan
Sapuan Kaki Membelah Langit. Dia bertekad untuk mengadu jiwa. Dipadukannya dua
jurusnya yang hebat itu. Benar saja, Laksamurka kini yang terdesak setelah
lewat sekian jurus.
"Kunyuk! Jahanam!"
serunya kocar-kacir. Dan Pranata sempat menghadiahkan sebuah tendangan yang
tepat bersarang di dada Laksamurka.
Laksamurka menggeram.
"Bangsat cilik, kau berani-beraninya menendangku, hah?!"
"Sudah kubilang, aku akan
mengadu jiwa denganmu!"
"Baik, jangan sesali
kata-katamu itu!" geram Laksamurka. "Hmm... lihat di sampingmu, Anak
muda! Hahaha... lihatlah... betapa banyaknya ular-ular berbisa yang akan siap
menelanmu dengan bisanya!" Pranata menoleh ke kirinya dan mendadak dia
melihat sepuluh ekor ular berbisa yang mendesisdesis dan siap menyerangnya.
Serentak Pranata melompat ketika ular-ular itu mematuknya dan mengejarnya
dengan serentak. Ular-ular itu seakan mengerti perintah tuannya hanya dia yang
diserang, karena Ambarwati tidak diserang. Perempuan itu sedang menahan rasa
sakit di dadanya dan bergidik ngeri melihat suaminya yang diserang ular-ular
itu. Rasa cemas dengan cepat menyergap perempuan itu.
Dia melirik Laksamurka yang
terkekeh-kekeh melihat Pranata Kumala melompat ke sana ke mari. Ambarwati
merasa, bila Laksamurka berhasil dikalahkannya, niscaya ilmu sihirnya akan
punah. Dia harus menyerang. Berpikiran seperti itu, dia menjadi nekat. Tanpa
memikirkan lukanya dan akibatnya, dia menerjang.
"Iblis busuk! Tarik
kembali ilmu sihirmu!"
Tubuhnya berkelebat.
Laksamurka menyambut dengan menghindar ke kiri. Tetapi perempuan itu bukanlah
tandingannya yang berarti, karena sebentar saja dia sudah berhasil mematahkan
serangan-serangan Ambarwati. Bahkan meringkus perempuan itu. Dan menotoknya.
"Hahaha... kau
berani-beraninya berbuat lancang dengan Laksamurka, Manis... kau akan merasakan
akibatnya nanti... hahaha!" Lalu ia berseru pada Pranata Kumala:
"Anak muda... kau lihat istrimu, bukan? Hahaha... sebentar lagi akan
menjadi hidangan makan malamku yang sangat mengasyikkan! Kulihat tubuhnya
sangat montok dengan dada yang aduhai!"
"Anjing buduk! Jangan kau
ganggu istriku?" bentak Pranata sambil melontarkan pukulan sinar merahnya
pada ular terakhir yang menyerangnya, yang kemudian menjadi ranting. Dia
bermaksud hendak menyerang Laksamurka dengan pukulan sinar merahnya, tetapi
urung karena istrinya berada dalam kekuasaan manusia srigala itu. Pranata hanya
bisa menggeram marah. Lebih marah lagi ketika Laksamurka menjawil dagu
istrinya. "Lepaskan istriku, Srigala busuk!"
"Hahaha... mana aku mau
melepaskan hidangan makan malamku ini?!"
"Lepaskan! Bertarung
denganku sampai mati kalau kau berani!"
"Hahaha... Anak muda,
carilah istrimu ini bila kau memang ingin mendapatkannya!" seru Laksamurka
sambil menggendong Ambarwati. Lalu tubuhnya melompat menerobos kepekatan malam.
Hanya suaranya saja yang terdengar menggema membelah malam.
"Tungguuu! Jangan kau
ganggu istriku!" seru Pranata Kumala sambil mengejar. Ke mana pun akan
dicarinya istrinya. Dan dia bertekad akan mengadu nyawa dengan Laksamurka bila
istrinya diganggu, dan demi istrinya, Ambarwati!
*** 5
Sementara itu, Sepasang Walet
Putih baru saja turun dari kuda-kuda mereka. Melihat malam yang semakin larut, keduanya bermaksud
untuk bermalam saja.
"Agaknya tempat ini cukup
aman, Rayi," kata Gaok setelah mengikat kudanya.
"Ya, Kakang. Aku pun
sudah terlalu lelah." "Kau tidurlah... biar aku yang menjaga. "
"Tapi kondisimu, Kakang
"
"Tidak apa-apa."
"Bangunkanlah aku bila
kau benar-benar mengantuk " kata Sri Kemuning sambil hendak men-
gikat kudanya pula. Tiba-tiba
saja dia menangkap ada desir angin yang datang kepadanya. Dengan sigap dia
bersalto ke belakang.
"Cep! Cep! Cep!"
Tiga buah senjata rahasia
menancap di kudanya yang langsung meringkik dan kemudian terjengkang mampus.
Gaok menjadi siaga.
"Bangsat busuk! Siapa
yang berani menyerang istriku secara pengecut seperti ini, hah?! Cepat keluar
dari persembunyianmu, sebelum kuobrakabrik hutan ini?!"
Mendadak melenting sesosok
tubuh dengan manis dan hinggap di bumi dengan anggunnya. Dewi Murni mengikik di
hadapan keduanya.
"Hihihi... rupanya
Sepasang Walet Putih yang berkeliaran malam-malam begini " "Wanita
iblis! Akhirnya kau nongol juga rupanya!" bentak Gaok marah.
"Kalian sengaja
mencariku, ya? Hmm... rupanya kalian belum kapok menghadapi Sepasang Manusia
Srigala."
"Kami akan mencabut nyawa
iblismu. Di mana kawanmu itu, Iblis Betina?"
"Hihihi... rasa-rasanya
dia tengah menikmati ranumnya tubuh Ambarwati sekarang. Dan telah mengganyang
habis menjadi mayat Pranata Kumala. "
Sadarlah kedua tokoh dari
golongan putih itu akan bahaya yang sedang menimpa Pranata Kumala dan istrinya.
Mereka dapat menduga kalau Pranata Kumala dan istrinya akan menjadi sasaran
empuk salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala. Tetapi tentu saja mereka
tidak menampakkan kekuatiran itu.
"Hmm.. Dewi Murni,
kawanmu yang bernama Laksamurka yang kukira sudah menemui ajalnya di tangan
murid tunggal Ki Ageng Jayasih!" seru Gaok yang sengaja membawa nama
majikan Gunung Muria itu.
"Hihihi... kalian rupanya
sedang bermimpi di siang bolong! Kalian berdua yang dikukuhkan sebagai majikan
Gunung Slamet harus kocar-kacir menghadapi kami! Apalagi anak yang masih
kemarin sore untuk unjuk gigi di rimba persilatan bisa mengalahkan salah
seorang dari Sepasang Manusia Srigala! Kalian memang tengah bermimpi!"
"Omongan manusia ini
memang kenyataan," desis Gaok. Rasanya terlalu berat buat Pranata Kumala
dan istrinya untuk menang dari Sepasang Manusia Srigala.
Sri Kemuning rupanya sudah
bosan untuk berbasa-basi segala, dia langsung menyerang dengan jurus Sambaran
Walet Ke Sarang Musuh.
"Hihihi... rupanya
istrimu pemarah sekali!" kikik Dewi Murni sambil menghindar ke kiri dan
membalas dengan sebuah cakaran ke arah buah dada Sri Kemuning yang langsung
menarik pulang tangan kanannya dan menangkis serangan itu.
"Des!"
Keduanya terpental ke belakang
karena masingmasing tangan sudah dialiri tenaga dalam yang lumayan. Begitu
hinggap di tanah, Sri Kemuning kembali melancarkan serangannya. Kali ini Dewi
Murni langsung memapaki dengan kecepatan yang sama.
Kembali kedua benturan terjadi.
"Des! Des!"
Kali ini Sri Kemuning yang
terhuyung ke belakang sementara Dewi Murni telah berdiri gagah sambil
terkikik-kikik. Melihat hal itu, Gaok pun langsung menyerang.
"Kenapa tidak sejak tadi
kau bantu istrimu, hah?!" seru Dewi Murni sambil menghindar dan menyerang.
"Ayo kalian keroyok aku! Biar tidak memakan waktu lama untuk menghabisi
kalian!"
Diejek seperti itu membuat Sri
Kemuning menjadi marah teramat sangat. Dia langsung menerjunkan diri.
Menurutnya, bila mereka menyerang berdua, manusia ini akan lebih mudah
dilumpuhkan. "Bagus!" seru Dewi Murni sambil menghindari serangan Sri
Kemuning. "Tapi sayang, agaknya dua
orang majikan Gunung Slamet harus menemui ajal di malam yang buta ini!"
Setelah berkata begitu dia
menyerang dengan membabi buta. Cakar-cakar srigalanya siap mencabut nyawa
masing-masing. Dia pun sudah menggunakan jurus Srigala Menangkap Mangsa yang
juga dimiliki oleh Laksamurka. Jurus Srigala Menangkap Mangsa memang diciptakan
oleh mereka yang lebih dahsyat bila dimainkan oleh seorang wanita. Dan jurus
yang berada di tangan Dewi Murni ini kini kian merajalela dengan hebat.
Sepasang Walet Putih pun sudah
menggunakan jurus berkelit mereka, Walet Terbang Ke Langit. Dan sekali-sekali
masih mencoba untuk membalas menyerang.
Namun gempuran-gempuran Dewi
Murni begitu dahsyat, sementara kemudian terdengar seruan Sri Kemuning mengaduh. Tangannya tersayat
hingga mengeluarkan darah. Hal ini semakin membuat geram Gaok. Dia menyerang
sambil mengeluarkan jeritan yang keras.
Karena diliputi dendam dan
amarah, serangan Gaok menjadi membabi-buta. Dia tidak bisa lagi mengontrol
serangan-serangannya. Apalagi ketika mengetahui istrinya merintih-rintih
kesakitan. Gaok pun melihat kalau tangan istrinya berubah menjadi memerah. Itu
bertanda serangan Dewi Murni mengandung racun yang luar biasa.
"Hihihi... sebentar lagi
ajal akan menjemput istrimu, Walet jelek!" kata Dewi Murni sambil balas
menyerang. Dan baginya kini hal yang mudah. Karena serangan Gaok di luar
kontrol.
Tiba-tiba Dewi Murni menjerit
dan melompat menerkam. Sambaran tangan kanannya yang berbentuk cakar menjambret
dada Gaok dan mengibarkan sebagian pakaiannya yang terkoyak.
"Kali ini pakaianmu,
Walet jelek! Sebentar lagi dadamu yang akan kurobek!"
Kemarahan Gaok semakin
memuncak. Serangannya semakin membabi-buta. Dan ini memudahkan Dewi Murni untuk
segera menghabisinya. Setelah lima jurus kembali berlalu, Dewi Murni semakin
mudah menghabisi langkah lawannya.
"Des! Des!"
Dua pukulannya secara beruntun
mengenai sasarannya. Gaok terhuyung. Selagi dia terhuyung, Dewi Murni
meneruskan serangannya. Ajal kini telah berada di depan mata Gaok.
Namun tiba-tiba, sungguh
tiba-tiba, Dewi Murni melompat ke kiri ketika dirasakannya desiran angin
mengarah padanya.
"Bangsat busuk! Siapa
gerangan yang pengecut seperti ini?!" geram Dewi Murni setelah hinggap di
bumi.
Dari kegelapan malam, muncul
sosok tubuh gagah perkasa. Sosok itu mengenakan pakaian kebesaran berwarna
putih. Sikapnya arif dan bijaksana.
"Yang Mulia, Madewa
Gumilang!" seru Gaok yang segera mengenali siapa yang telah menolongnya.
Sri Kemuning pun berseru yang
sama. Dewi Murni terbelalak. Rupanya manusia inilah yang bernama Madewa
Gumilang. Yang keperkasaannya menembus langit ketujuh dan ke dasar bumi.
Tetapi Dewi Murni tidak keder
dengan nama besar itu. Dia berkata dengan sombong, "Rupanya nama Madewa
Gumilang hanya kosong belaka! Ternyata hanya seorang manusia pengecut!"
Terdengar suara yang berwibawa
dan bijaksana, "Dewi Murni... maafkan kelancanganku yang ikut campur dalam
pertarungan ini. Sejak tadi aku sudah berada di sini melihat jalannya
pertarungan ini. Hanya sayang, kuping kau rupanya tidak berfungsi untuk
mengetahui kedatanganku "
Diam-diam Dewi Murni tercekat
mendengarnya. Sungguh demi langit dan bumi, sedikit pun dia tidak mendengar
datangnya Madewa Gumilang. Itu menandakan Madewa memiliki ilmu meringankan
tubuh dalam tingkat maha sempurna. Diam-diam Dewi Murni mengukur tenaga dalam
Pendekar Bayangan Sukma.
Dia mengirimkannya melalui
suaranya, "Sejak tadi sudah kuketahui kedatanganmu, Madewa. Nah, kini
bersiaplah untuk segera mampus di tanganku "
Madewa cuma tersenyum. Sedikit
pun tidak nampak dia terganggu oleh tenaga dalam yang dikirimkan Dewi Murni
secara diam-diam. Dia berkata, "Mati di tangan Tuhan, Dewi Murni. Bila
Tuhan menghendaki aku mati sekarang, maka matilah. Tetapi agaknya Tuhan pun
memberi jalan kepada umatNya agar dia berusaha. Karena kau mesti ingat, Tuhan
yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha."
Mendadak tubuh Dewi Murni
bergetar. Keringat dingin pun keluar dengan deras. Dia merasakan sekujur
tubuhnya menggigil. "Setan! Rupanya tenaga dalam Pendekar Bayangan Sukma
pun sudah dalam tingkat yang maha sempurna," desahnya dalam hati. Dan
pelan-pelan dia mengalirkan hawa murninya ke sekujur tubuhnya. Namun rasa
dingin itu seolah tidak mau lepas, seolah telah mengikatnya erat-erat.
Dewi Murni menjerit hebat
untuk mengusir hawa dingin itu. Namun lagi-lagi rasa dingin itu terus
mengikatnya. Rupanya Madewa sudah mengirimkan tenaga dalam Salju Abadi.
"Maafkan aku, Dewi
Murni... malam memang sangat dingin sekali "
Sementara Gaok dan istrinya
semakin bertambah kagum pada Madewa Gumilang. Pendekar perkasa itu tetap
bertingkah arif menghadapi lawannya.
"Madewa!" Sepasang
mata itu melotot marah. "Aku akan mengadu jiwa denganmu! Hmm se-
rahkan Seruling Naga padaku!
Cepat?!" "Itu milikku, Dewi Murni "
"Hhh! Biarpun itu
milikmu, tetapi di dalam rimba persilatan siapa yang terkuat, dialah yang
berhak memilikinya dan menguasai rimba persilatan ini! Dan aku akan merebut seruling
pusaka itu dari tanganmu, Madewa Gumilang!"
"Hmm... bagaimana bila
tidak kuberikan?!" kata Madewa yang kini mengerti duduk persoalannya.
Munculnya Sepasang Manusia Srigala untuk merebut Seruling Naga dari tangannya.
Tetapi baginya berhadapan dengan manusia semacam Sepasang Manusia Srigala ini,
bukanlah hal yang menggelisahkan. Namun yang sangat disesalinya, mengapa masih
banyaknya orang-orang serakah dan kejahatan di muka bumi ini. Teror yang
dilancarkan Sepasang Manusia Srigala bukanlah hal yang kecil, karena telah
puluhan nyawa manusia mampus di tangannya. Madewa bahkan yakin, sampai kiamat
pun kejahatan tak akan pernah punah selama iblis masih diberikan hidup yang
panjang.
"Nyawamu sebagai
gantinya, Madewa!"
"Dewi Murni, dengarlah
sebentar... mengapa kau masih membuat
teror seperti ini? Bukankah bila kita hidup berdampingan, semuanya akan menjadi
aman, tenang dan damai?"
"Karena kita berbeda
golongan, Madewa. Kau dari golongan putih, sedangkan aku dari golongan
hitam!"
"Tidak bisakah antara golongan
putih dan golongan hitam bersatu?"
"Mustahil rasanya
kejahatan dan kebaikan bersatu! Keduanya akan terus berperang selamanya, sampai
kapanpun! Sampai dunia kiamat!"
"Tapi "
"Jangan berkhotbah di
depanku, Madewa!" potong Dewi Murni. "Cepat kau berikan Seruling Naga
itu padaku!"
"Maaf, Dewi Murni...
Seruling Naga itu tidak berada padaku saat ini " "Bangsat! Rupanya
kau pandai membual pula, Madewa! Baik, bersiaplah, aku akan memeriksa seluruh
tubuhmu dan merebut Seruling Naga itu dari tanganmu!" Selesai berkata
begitu, Dewi Murni langsung menyerang dengan jurus Srigala Menangkap Mangsa.
Buas dan kejam. Serangannya cepat, beruntun dan berbahaya. Tetapi Madewa dengan
mudah menghindarinya, dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Hal itu membuat Dewi
Murni semakin geram. Dia mempergencar serangannya. Sampai sepuluh jurus
berlangsung, sekalipun Dewi Murni belum bisa menyarangkan pukulannya pada
Madewa. Sementara Madewa sendiri belum sekalipun pula membalas. Madewa hanya
berkeinginan, agar Dewi Murni menyadari bahwa dia berada di jalan yang keliru.
Tetapi membuat wanita itu insyaf, hanya sia-sia belaka.
Menyadari serangannya tak
membawa hasil sedikit pun, Dewi Murni menjadi marah karena merasa diremehkan
pula, sebab Madewa tidak membalas. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan
berdiri sigap. Sepasang matanya menyala. Bersinar memerah. Tiba-tiba dia
berseru, "Madewa, lihat di sebelah kirimu! Ular berbisa!"
Madewa melihat puluhan ular
berbisa bergerak mendekatinya dan siap membunuhnya. Tetapi dia tetap berdiri tegak
di tempatnya, malah dia berkata, "Sadarlah, Dewi Murni... kau sangat sesat
sekali!"
Dewi Murni terbahak. Lebih
terbahak lagi ketika melihat ular-ular itu sudah melilit di tubuh Madewa dan
mematuknya berkali-kali. Tetapi pendekar itu tetap saja tenang di tempatnya.
Sementara Sepasang Walet Putih yang melihat sekujur tubuh Madewa dililit dan
dipatuki ular-ular, hanya bisa menahan nafas. Tegang.
Tetapi sungguh luar biasa,
ular-ular yang melilit di tubuh Madewa dan mematukinya, satu persatu turun. Dan
begitu menyentuh tanah, berubah kembali ke asalnya, menjadi ranting-ranting
pohon kembali.
Dewi Murni terkejut
melihatnya. Sangkanya pendekar sakti itu akan mampus. Ilmu sihirnya ternyata
tidak ampuh bagi Madewa. Tetapi dia belum jera. Dia berseru lagi, kali ini
lebih lantang, "Lihat pohon di depanmu, Madewa!"
Pohon jati yang berada di
depan Madewa mendadak bergerak, dan berubah menjadi raksasa yang mengerikan.
Tetapi Madewa hanya terdiam saja. Dia cuma mengibaskan tangannya. Raksasa yang
menyeramkan itu kembali ke asalnya.
Merasa ilmu sihirnya tidak
berguna, Dewi Murni menerjang kembali. Kali ini disertai pekikan yang hebat.
Dan kali ini Madewa tidak hanya menghindar, tetapi juga balas menyerang dengan
jurus Ular Mematuk Katak.
Serangannya pun cepat dan
hebat.
"Des!" sebuah
patukan mengenai sasarannya, membuat Dewi Murni menjerit kesakitan dan
merasakan sekujur tubuhnya ngilu. Tetapi tiba-tiba dia menggeram luar biasa dan
menyerang dengan tenaga kuat dan penuh. Madewa pun segera menyambutnya dengan jurus
Tembok Menghalau Badai. Kembali terjadi benturan yang keras. Suasana di tempat itu menjadi ramai. Ketika
keduanya berbenturan ada sepercik sinar yang cukup menyilaukan. Dan hasilnya
sungguh luar biasa. Dewi Murni terhuyung dan muntah darah. Sedangkan Madewa
Gumilang tetap berdiri dengan jubah putih yang berkibar terkena angin malam!
"Bangsaaat kau,
Madewa!" geram Dewi Murni di antara kesakitan. Lalu dia muntah darah lagi.
"Tunggu pembalasanku!"
"Lebih baik kau ajak
kembali pulang kawanmu yang bernama Laksamurka ke Bukit Hantu. Dan katakan
padanya untuk mengurungkan niatnya merebut Seruling Naga!"
"Dendam darah dibalas
darah. Dendam nyawa dibalas nyawa. Dendam orang-orang Bukit Hantu akan
abadi!"
"Kau telah diliputi
dendam yang amat sangat, Dewi Murni. Lupakanlah semua itu. "
"Tak akan pernah
kulupakan, Madewa! Karena... awas serangan!" tiba-tiba saja Dewi Murni
melompat dan perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi seekor srigala yang buas.
Madewa melompat ke kiri. Namun
sungguh luar biasa, saat lompatan srigala itu tak mengenai sasaran, mendadak
saja hewan jelmaan Dewi Murni berbalik bersalto memburu Madewa kembali.
"Ilmu sihir!" geram
Madewa sambil menyambut dengan pukulan yang keras.
Agaknya Dewi Murni lebih
lincah ketika dia berubah menjadi srigala. Serangan Madewa itu dapat
dihindarinya, malah hewan itu menerjang dengan buas. Sepasang matanya
memancarkan sinar yang mengerikan diiringi air liur yang busuk.
"Hmm... Dewi Murni,
kembalilah ke asalmu!"
Tiba-tiba saja, hewan yang
tengah menerjang itu mendadak terjatuh. Dan saat tergeletak di bumi berubah
kembali menjadi Dewi Murni. Yang menyeringai antara geram dan kesakitan.
"Ternyata tak sia-sia kau
bergelar Pendekar Bayangan Sukma, Madewa! Tapi ingat, aku akan kembali lagi
untuk mengadu jiwa denganmu!"
"Lupakanlah persoalan di
antara kita ini, Dewi Murni. Sudah kukatakan tadi, kembalilah kau dan temanmu
ke Bukit Hantu. Janganlah membuat onar di muka bumi ini!"
"Tapi dendam ini telah
membakar sekujur tubuhku!" Selesai berkata begitu, tubuh itu melesat
meninggalkan Madewa dan Sepasang Walet Putih yang tengah berdiri.
Keduanya mendekati Madewa.
"Terima kasih atas
pertolongan Madewa yang agung."
Madewa cuma tersenyum.
"Agaknya pertentanganku
dengan Sepasang Manusia Srigala tidak bisa dihindarkan lagi," sahut
Madewa. "Ini bertanda, masih banyaknya kejahatan yang akan terus
merajalela di muka bumi ini."
"Demi keadilan dan
kebahagiaan umat manusia, kami, Sepasang Walet Putih akan terus membantu, Yang
Mulia," kata Gaok yang menjura dan diikuti istrinya.
Tetapi Madewa tidak suka
karena Sepasang Walet Putih itu nampak seperti bawahan yang sedang menghormati
rajanya.
"Gaok dan Sri Kemuning...
tingkah apa yang kalian perlihatkan di depanku sekarang ini? Tak sepatutnya
kalian begitu menghormat padaku. Tapi sudahlah, di mana Pranata Kumala dan
istrinya berada?"
Mendengar pertanyaan
Madewa Gumilang, Gaok dan istrinya
seperti diingatkan kembali akan Pranata Kumala dan istrinya yang dihadang oleh
Laksamurka. Gaok menduga demikian, karena tadi saja dia dan istrinya dihadang
oleh Dewi Murni. Sudah tentu kedua Manusia Srigala itu menghadang mereka
sendiri-sendiri. Dan itu berarti kedatangan mereka sudah diciumnya.
Gaok menyadari akan kehebatan
Sepasang Manusia Srigala. Menghadapi yang betinanya saja dia dan istrinya sudah
kewalahan, bahkan maut hampir saja menyambar mereka. Apalagi Pranata Kumala dan
istrinya menghadapi Laksamurka? Biarpun begitu, Gaok tak mau berpikir yang
tidaktidak.
Tetapi dia pun menyadari akan keselamatan Pranata Kumala dan istrinya,
Gaok pun berkata, "Kupikir... mereka sudah ditawan oleh Laksamurka, Madewa
yang agung."
Kening Madewa berkerut.
"Apa maksudmu, Gaok?"
Gaok pun menceritakan apa yang
diberitahu Dewi Murni tadi dan kemungkinan Pranata Kumala dan istrinya
bertempur melawan Laksamurka.
Tetapi sebagai tokoh yang
sudah banyak makan asam garam dan pahit manisnya kehidupan, Madewa hanya
menanggapi dengan senyum.
"Baiklah kalau begitu.
Aku harus mencari anak dan menantuku. Sepasang Walet Putih, agaknya untuk
sementara kita harus berpisah di sini "
Belum lagi Gaok dan Sri
Kemuning berkata, bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan. Secepat angin
dan bagai ditelan bumi.
"Tak percuma Madewa
dikagumi oleh banyak jago-jago rimba persilatan," desisnya kagum.
"Dia adalah manusia dewa,
Kakang," sambung istrinya.
"Benar, Rayi Sri
Kemuning... kekagumanku padanya semakin bertambah saja dan awas, Rayi!"
Sebuah sambaran bertenaga
besar mengarah pada mereka. Gaok serentak mendorong tubuh istrinya ke samping
hingga bergulingan, sedangkan dia sendiri bersalto ke samping kanan.
Dan "Duarrr!"
Batang pohon yang berada di
belakang mereka hancur terbakar oleh sambaran besar tadi. Wajah kedua Walet
Putih itu pias. Tahu-tahu di hadapan mereka berdiri kembali Dewi Murni sambil
mendekap dadanya yang terluka. Wajahnya geram dan penuh dendam. Memancarkan
sinar membunuh.
"Sepasang Walet Putih,
kini terimalah ajal kalian!" serunya seraya menyerang kembali, kali ini ke
arah Sri Kemuning yang langsung menghindar melompat dan mengirimkan serangan balasan.
"Des! Duk! Duk!"
Beberapa kali terjadi benturan
antara keduanya. Rupanya Dewi Murni hanya bersembunyi, menunggu Madewa Gumilang
pergi dari tempat itu. Dia tidak puas
bila belum membunuh salah seorang dari mereka, sebagai bayaran dan dadanya yang
terluka karena serangan Madewa Gumilang.
Dan kini dia pun bertekad
untuk mengadu nyawa. Dia tak perduli dengan lukanya yang nampak cukup parah.
Yang penting baginya adalah membalas! Dan membalas!
Melihat istrinya diserang
terus menerus, Gaok pun menerjang membantu membokong Dewi Murni dari belakang.
Tetapi Dewi Murni bukanlah tokoh golongan hitam yang baru turun gunung. Dia
sudah lama malang melintang bersama Laksamurka. Serangan bokongan Gaok hanya
dihindari dengan memiringkan tubuhnya saja, lalu tangannya diayunkan menghantam
dada Gaok.
"Des!"
Gaok terhuyung ke belakang.
Dewi Murni tak mau menyia-nyiakan kesempatannya lagi. Meskipun dia tengah luka
parah, serangan-serangannya masih cukup berbahaya.
Dia menerjang memburu Gaok
dengan pukulannya yang ampuh.
"Awas serangan!"
"Kakaaaangg!" jerit
Sri Kemuning yang tidak melihat kemungkinan bagi suaminya untuk menghindari
serangan itu. Dia pun nekat menerjang dan menghalangi serangan Dewi Murni.
Tanpa ampun lagi pukulan sakti
Dewi Murni menyerang tepat di dadanya.
"Des! Akhhhh...!"
Seruan keras Sri Kemuning terdengar. Tubuhnya meluncur deras ke belakang. Dan
ambruk dengan tubuh membiru, tanpa sempat bernapas sekali lagi. Nyawanya pun
meregang dan melayang meninggalkan jasadnya.
"Sri Kemuning!"
jerit Gaok seraya memburu. Dia mencoba menyadarkan istrinya, tetapi istrinya
telah mati. Mendadak dia menoleh. Pandangannya berbahaya dan memancarkan sinar
dendam.
"Kau harus membayar semua
ini dengan nyawa busukmu, Srigala buas!" geramnya sengit.
Sementara Dewi Murni hanya
tertawa, meskipun dia sedang menahan luka di dadanya.
"Nyawamu akan segera
menyusul istrimu, Gaok!"
"Bangsat hina! Awas
serangan!" jerit Gaok seraya meluncur menyerang. Kali ini dia menggunakan
seluruh kepandaiannya untuk membunuh Dewi Murni.
Tetapi Dewi Murni menghindari
semua itu dengan mudah saja. Dia merasa tidak begitu berat menghadapi Gaok
seorang. Serangan-serangannya kian dahsyat.
Pertempuran kali ini
menimbulkan suara bising yang amat sangat. Debu-debu beterbangan, dan daun-daun
berguguran saat dua tenaga sakti berbenturan.
Lewat sepuluh jurus keduanya
masih berimbang. Namun tiba-tiba Dewi Murni berseru sambil bersalto ke belakang
menghindari serangan Gaok, "Lihat ada lima ekor ular di
sekelilingmu!"
Mendadak Gaok menghentikan
serangannya dan lima ekor ular berbisa mendesis di dekatnya. "Bangsat!
Bisamu hanya menggunakan ilmu si-
hir saja! Ayo lawan aku!"
serunya sambil menghindari patukan-patukan ular-ular berbisa itu. Dia nampak
lebih kocar-kacir. Karena dengan susah payah dia harus menghindari serangan
ular-ular itu, yang kian ganas dan sangat gencar.
"Hahaha... lucu sekali!
Ada badut di sini!" terkekeh Dewi Murni sambil memegangi dadanya yang
terasa amat sakit. Dia mengeluarkan ilmu sihirnya dengan maksud agar dia dapat
beristirahat menahan rasa sakitnya.
"Srigala busuk! Tarik
kembali ilmu sihirmu dan kita bertarung!" seru Gaok sambil susah payah
menghindari ular-ular berbisa itu.
"Hahaha... baiklah, kalau
itu maumu!" seru Dewi Murni sambil menerjang di saat Gaok tengah bersusah
payah menghindari serangan ular-ular itu.
Dan sebuah pukulan menggedor
dada Gaok hingga terhuyung dan muntah darah. Di saat dia sedang kesakitan,
ular-ular itu menerjangnya. Tanpa ampun patukan ular berbisa itu secara
bertubi-tubi menghantamnya.
"Akhhh!" jeritnya
kesakitan dan ambruk dengan tubuh yang kering membiru.
Dewi Murni tertawa. Menarik
kembali ilmu sihirnya. Lalu dia meludah. "Cih! Kau susul sana
istrimu!" serunya seraya melesat meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan Sepasang Walet
Putih yang sudah menjadi mayat dengan tubuh membiru. ***
6
Sementara itu Pranata Kumala
sudah berhenti mengejar. Bayangan Laksamurka yang berlari sambil menggendong
Ambarwati tiba-tiba lenyap.
Matahari di ufuk Timur sudah
menampakkan biasnya dan sebentar lagi pagi menjelang. Pranata menggeram marah
bila mengingat istrinya yang dilarikan Laksamurka.
"Bila terjadi apa-apa
dengan istriku, demi langit dan bumi, aku bersumpah, akan menghirup darah
Laksamurka!" serunya sambil menengadah ke langit.
Dan tiba-tiba saja kilat
menyambar dan bumi yang dipijaknya bergoyang bertanda sumpahnya telah didengar
oleh penguasa langit dan bumi. Lalu Pranata Kumala melangkah lagi.
Dia tiba di sebuah sungai yang
airnya mengalir jernih. Tubuhnya yang penat dan berkeringat dibasahinya dengan
air itu. Lalu dia membuka bajunya dan berniat hendak mandi.
Mendadak saja telinganya
mendengar suara seorang gadis sedang bernyanyi dari dalam sungai. Siapakah
gerangan? Hati-hati Pranata Kumala mengenakan pakaiannya kembali dan mengintip
dari balik semak. Di dalam sungai, sesosok tubuh kuning langsat tengah asyik
berendam sambil bersabun.
Serentak Pranata menutup
kembali semak itu. Tubuh yang dilihatnya tadi dalam keadaan telanjang bulat.
Pranata memejamkan matanya. Dia bermaksud hendak meninggalkan tempat itu. Dan
tanpa sengaja kakinya menginjak ranting kering yang membuat gadis yang sedang
mandi itu langsung menoleh dan berenang ke tepian.
"Siapa di situ?"
Pranata terdiam.
"Siapa di situ? Apa yang
sedang kau perbuat?" seru gadis itu lagi dan pelan-pelan keluar dari
sungai dan mengenakan kainnya yang hanya menutup bagian dada dan sebatas
lutut. Hati-hati dan takut-takut gadis
itu mengambil bakul yang berisikan pakaian yang baru saja selesai dicucinya.
Dia terkejut melihat sosok
Pranata Kumala yang masih terpaku di tempatnya.
"Oh... kau... kau
mengintip, ya?! Oh, jahat! Jahat!" jerit gadis itu antara malu dan marah.
Pranata menoleh, dia melihat
betapa cantiknya wajah gadis itu. Sepasang matanya bersinar merah. Dan alis
yang hitam dan lebat. Hidungnya bangir dengan dihiasi sepasang bibir mungil
yang merah memikat. Dan kini wajah cantik itu pias karena malu diintip orang
sedang mandi.
"Maaf... saya tidak
sengaja mengintip "
"Bohong, bohong! Pemuda
ceriwis! Pemuda cabul! Kerjamu hanya mengintip orang mandi saja!" seru
gadis itu sewot.
Pranata menjadi gelagapan.
"Sungguh, Nona... saya
tidak sengaja. Semula saya berniat hendak mandi, tetapi urung setelah mendengar
suara orang bernyanyi. Dan tanpa sadar saya mencoba mencari siapa yang
bernyanyi itu. Kiranya Nona yang... ah, maafkan saya, Nona...." kata
Pranata sambil menundukkan kepalanya.
Tetapi gadis itu masih sewot
karena malu yang tidak terhingga, sebab tubuhnya yang paling dirahasiakan telah
dilihat orang. Dan orang ini pun berada di hadapannya. Namun lama kelamaan dia
bisa memaklumi, setelah merasa bahwa pemuda ini jujur berkata.
Tetapi tak urung juga wajahnya
masih memerah.
"Kau "
"Maafkan saya,
Nona...." kata Pranata Kumala tetap menunduk. Perasaannya menjadi tidak
enak. Dan dia menyesali kecerobohan dan kelancangannya.
"Kau telah melihat
tubuhku!"
"Saya tidak sengaja
melakukannya, Nona. "
Tiba-tiba Pranata mendengar
isak di hadapannya. Hati-hati diangkatnya kepalanya. Dan dia melihat gadis itu
yang terisak.
"Nona. "
"Pemuda ceriwis! Kau
telah melihat tubuhku...
huhuhu!" gadis itu kini
terisak. Malunya tak terhingga karena tubuhnya ada yang melihat. Malu sekali!
"Saya tidak sengaja
melakukannya, Nona. "
"Bohong! Kamu memang
pemuda cabul!" gadis itu makin terisak.
Pranata menjadi serba salah.
Hati-hati dan ragu dia melangkah mendekati gadis itu. "Maafkan saya. "
Tiba-tiba saja gadis itu
berbalik sambil terisak. Bersamaan gadis itu berlari, muncul seorang pemuda
yang bertelanjang dada. Dia memegang pacul. Sikapnya nampak tidak bersahabat.
Dia masih sempat melihat gadis tadi berlari.
"Arum!" serunya.
Gadis itu berhenti melangkah
dan berbalik. "Kang Bayu "
Pemuda yang bernama Bayu itu
menghampiri gadis yang bernama Arum.
"Ada apa, adikku?"
Arum menubruk pemuda itu dan
memeluknya.
Lalu menangis tersedu-sedu di
dada pemuda itu. "Kang Bayu "
"Ada apa, Arum? Mengapa
kau menangis? Apa yang diperbuat pemuda itu padamu?"
Arum masih terisak. Mendadak
dia jadi malu untuk mengadu kepada Bayu yang ternyata kakaknya. Apa kata
kakaknya nanti bila tubuh adiknya dilihat orang lain?
"Ti... tidak ada apa-apa,
Kakang "
"Katakanlah, Arum. Kenapa
kau menangis?" "Arum "
"Saya telah berbuat
lancang, Saudara," terdengar suara Pranata. "Nama saya Pranata Kumala
dari Laut Selatan."
"Hmmm... apa yang kau
maksud dengan berbuat lancang?" suara Bayu terdengar tidak enak.
"Saya. "
"Oh, tidak ada apa-apa,
Kakang. Tidak ada apaapa," sela Arum dengan wajah yang semakin memerah.
Bayu melirik adiknya tidak
percaya. Yang membuatnya heran, mengapa adiknya seperti menutupi sesuatu
sedangkan pemuda yang mengaku bernama Pranata Kumala itu seperti hendak
mengatakan sesuatu.
Untuk meyakinkan, maka
dipandangnya Pranata Kumala.
"Hmmm... ki sanak,
melihat dari cara kau berpakaian, rupanya kau bukan orang sembarangan. Nah,
katakanlah apa yang telah terjadi antara kau dan adikku?"
Pranata melirik Arum yang kini
menunduk. Dia mendesah. Haruskah dia mengatakannya, sementara gadis itu menjadi
malu? Setelah mempertimbangkan Pranata mengambil keputusan untuk tidak mengatakan
apa yang telah terjadi.
"Memang tidak terjadi
apa-apa di antara kami, Saudara Bayu."
"Hmmm... dari tadi kau
nampaknya hendak mengatakan sesuatu, Ki sanak. Dan kau telah berkata kau
berbuat lancang. Nah, katakanlah...!"
Pranata menjadi semakin ragu,
apalagi ketika sepasang mata yang kini bersinar lembut dan malu-malu
mengharapkan dia tidak mengatakan yang sesungguhnya. Pranata menghela napas.
"Saya memang telah
berbuat lancang, Saudara Bayu. Saya... yah... saya lancang berani mengutarakan
cinta pada adik saudara."
Kali ini Bayu tersenyum.
Arum terbelalak kaget lalu
menunduk tersipu. Sedangkan Pranata sendiri heran mengapa dia mengatakan hal
itu? Dia kuatir bila gadis itu salah tanggap. Pranata tahu, bagi seorang gadis
bila dilihat tubuhnya oleh orang lain lebih baik bunuh diri kalau tidak
laki-laki yang melihatnya itu harus mengawininya. Ah, apakah akan ada masalah
lagi?
Bayu masih tersenyum. Melirik
gadisnya yang tersipu.
"Adikku ini memang
pemalu, Pranata," katanya yang kini langsung memanggil nama Pranata.
"Hmmm... tapi aku yakin, kau akan bisa menaklukkan hatinya."
"Wah, agaknya akan ada
persoalan lagi ini?" desah Pranata dalam hati.
Tetapi dia tersenyum.
Didengarnya lagi Bayu berkata pada adiknya, "Mengapa kau harus marah,
Arum? Bila kau tidak menyukainya kau kan bisa berkata dengan baik-baik. Tidak
perlu marah."
Arum semakin menunduk.
Wajahnya kembali bersemu merah. Dan tiba-tiba saja dia berbalik meninggalkan
mereka dengan wajah tersipu-sipu.
Bayu tertawa. "Maafkan
adikku, Pranata. Hmmm... melihat cara kau berpakaian, dan wajahmu yang gelisah,
mungkin di samping masalah cinta dengan adikku, tentunya kau punya masalah
lain. Nah, apakah gerangan?"
Pranata ingin berkata bahwa
dia tidak mencintai adik Bayu, tetapi malah menjadi tidak. Setelah mendesah
lalu dia berkata, "Aku sedang mencari seseorang, Bayu. Apakah kau
melihatnya?"
"Siapakah dia?"
"Dia bernama Laksamurka. Dia mengenakan pakaian berbulu srigala. Dengan
wajah yang sedikit seram dan kalung yang berupa taring srigala. Dia pun tengah
melarikan seorang gadis," kata Pranata. Lalu melanjutkan dalam hati,
"Gadis itu istriku!"
Bayu terdiam. Lalu
menggelengkan kepala. "Aku belum melihatnya. Ada masalah apakah
gerangan?"
"Dia telah berbuat
onar di desa Bojongpanjang.
Dia bergelar Sepasang Manusia Srigala." "Sepasang
Manusia Srigala?!" seru Bayu
terke-
jut. "Yah... kalau gelar
orang itu saya pernah mendengarnya. Dia berpasangan dengan seorang wanita,
bukan?"
"Betul!"
"Kami juga sebenarnya
kuatir setelah mendengar teror yang mereka lancarkan di Bojongpanjang. Dan kami
pun sudah bersiaga bila mereka membuat teror di desa kami ini, Kali
Putih."
Pranata merasa dia harus
bergegas kembali mencari istrinya. Lalu dia berkata, "Sebaiknya aku
permisi saja, Bayu. Nampaknya matahari sudah semakin tinggi."
"Apakah tidak sebaiknya
kau singgah dulu di rumah kami? Barangkali saja ada sesuatu yang akan kami
hidangkan. Nampaknya kau pun lelah sekali, Pranata. Bukankah kau sebaiknya
beristirahat dulu?"
Pranata membenarkan hal itu.
Dia memang butuh istirahat. Tetapi bagaimana dengan nasib istrinya? "Lain
kali mungkin aku bisa mampir. Terima kasih."
"Kalau memang itu
kemauanmu, baiklah. Aku tidak bisa memaksa. Kalau soal Arum, serahkan saja
padaku. Dia pasti mau menerimamu."
Pranata kembali hendak
membantah, tetapi diurungkannya. Lalu dia pun berpamitan pada Bayu, lalu menerobos hutan yang cukup
lebat dan matahari yang terus bersinar.
***
Jauh dari desa Kali Putih, ada
sebuah gubuk tua yang tak terpakai. Suasana di tempat itu pun sunyi dan menyeramkan.
Tak jauh dari sana ada pemakaman yang luas.
Di gubuk buruk itu Laksamurka
membawa Ambarwati dan menawannya. Baginya, ini merupakan kesempatan yang sangat
berharga bisa menawan Ambarwati dan sekaligus menikmatinya.
"Srigala busuk! Lepaskan
aku!" seru Ambarwati yang dibaringkan di tanah dalam keadaan tertotok.
"Ayo bertarung denganku sampai mampus!"
Laksamurka hanya terkekeh.
"Hehehe... sabar, Manis.
Sabar. Kau agaknya sudah tidak sabar untuk ke sorga, ya?"
"Srigala busuk! Lepaskan
aku!"
"Hehehe... aku akan
menikmati dulu tubuhmu yang aduhai montoknya itu."
"Jahanam! Awas kalau kau
berani menyentuh tubuhku!"
"Kau bisa berbuat apa,
Manis? Di sini hanya tinggal kita berdua. Di sini kita bisa membagi kehangatan,
bukan?"
"Busuk...!"
"Hehehe... sebentar lagi
kau akan menikmati sorga dunia bersama orang yang kau sebut busuk ini."
"Jangan! Jangan kau
lakukan itu padaku! Aku sudah bersuami, Srigala busuk!"
"Hehehe..."
"Lepaskan! Lepaskan! Hei,
kau mau apa?" seru Ambarwati bergidik ketika Laksamurka mendekatinya dan
membelai pipinya. Ambarwati menggeleng-gelengkan kepalanya menghindari belaian
Laksamurka.
"Hehehe... pipi halus bak
pualam, Manis. Alangkah nikmatnya!" katanya sambil terkekeh. "Coba
kita lihat bagian dalam tubuhmu. Apakah seindah dan sehalus pipimu?"
"Jangan! Jangan!"
seru Ambarwati yang hanya bisa berteriak-teriak sedangkan bagian tubuhnya tak
bisa digerakkan karena dalam keadaan tertotok. Dia semakin bergidik ngeri
ketika tangan Laksamurka hendak menggerayangi dadanya.
"Hehehe... dua buah
gundukan yang besar dan indah. Tentu bagus bentuknya, bukan?"
"Kubunuh kau,
Laksamurka!"
"Dalam keadaan tak
berdaya begini bacotmu masih besar juga, Manis...." Tangan Laksamurka
tiba-tiba bergerak cepat merobek baju bagian dada dari Ambarwati.
"Brek!" Terlihatlah
dua buah gundukan yang putih halus di hadapannya. Ambarwati memejamkan matanya
menahan kegeraman yang sangat luar biasa. Habis, habis sudah. Dia hanya bisa
berdoa pada Tuhan akan pertolonganNya.
Mata Laksamurka langsung nanar
melihat buah dada Ambarwati yang indah. "Benar dugaanku, Manis. Bentuknya
bagus dan indah."
"Biadab! Jangan kau
lakukan itu padaku!" "Hehehe..." Laksamurka tertawa. Tetapi
tiba-tiba
dia menoleh. Telinganya
menangkap suatu gerakan di luar. "Bangsat! Siapa kiranya yang berani
mengganggu ketenangan Laksamurka?"
"Sepasang Manusia
Srigala, keluarlah cepat! Sebelum aku tega untuk membunuhmu!" terdengar
suara bernada cempreng dari luar.
"Bangsat!" seru
Laksamurka sambil melangkah ke depan. Di hadapannya berdiri seorang nenek
bertubuh bungkuk. Dia mengenakan konde yang bagus dengan tusukannya yang
terbuat dari emas. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat. "Hmm, siapa
gerangan kau kiranya yang berani mengusik Laksamurka?"
"Hihihi... agaknya namaku
tidak punya banyak arti untukmu, Laksamurka. "
"Katakan cepat, sebelum
aku punya niat untuk membunuhmu!"
Di dalam gubuk Ambarwati
menghela napas lega. Agaknya Tuhan mendengar doanya. Dia mendengar lagi suara
dari luar, "Hihihi... kau begitu ngotot sekali. Baiklah bila kau ingin
mengetahuinya.... Namaku Rumbila... hihihhi jelek, bukan?"
Tetapi bagi telinga Laksamurka
cukup mengejutkan pula. Tetapi dengan tenang dia berkata dengan suara angker,
"Ada apa majikan Bukit Ular yang bergelar Dewi Tongkat Ular keluar dari
sarangnya?"
"Hihihi... rupanya kau
belum tahu kalau namamu dan Dewi Murni yang bergelar Sepasang Manusia Srigala
sudah terdengar sampai ke Bukit Ular?"
"Hmm... tak kusangka
kalau nama itu menarik perhatian Majikan Bukit Ular!"
"Sudah tentu... sudah
tentu... telingaku menjadi panas bila mendengar gelar itu. Apalagi teror yang
kau lancarkan. Belum lagi dengan tantangan yang kau lontarkan pada Pendekar
Bayangan Sukma. Hmm... agaknya kau pun tidak tahu akan kesaktian manusia agung
itu Madewa Gumilang!"
"Sebentar lagi nama yang
kau banggakan itu akan mampus di tanganku, Dewi Tongkat Ular!"
"Hihihi lucu, lucu...
Maafkan aku yang telah mengganggu keasyikanmu dengan seorang gadis di dalam.
Namun agaknya aku perlu bertanya pula. Kau apakan gadis itu, hah? Nampaknya dia
berada di bawah kekuasaanmu."
"Jangan ikut campur
urusanku!"
"Karena kau tidak
menerangkannya aku akan ikut campur!"
"Hmmm... agaknya majikan
Bukit Ular usil juga. Baik, aku pun ingin tahu sampai di mana kehebatan namamu,
Rumbila!"
"Hihihi... mengapa tidak
sejak tadi?!"
Ditantang dan diejek begitu,
membuat darah Laksamurka mendidih. Tiba-tiba saja dia berkata, "Hmmm...
tongkat yang kau pegang itu ular betulan rupanya!"
Tiba-tiba saja tongkat yang
dipegang Dewi Tongkat Ular berubah menjadi ular. Tetapi nenek itu hanya tertawa
saja. "Hihihi... keluarkanlah ilmu sihirmu, Laksamurka. Dan ciptakan
berbagai macam ular jejadian!"
Sungguh aneh, ular jejadian
dari ilmu sihir Laksamurka tidak berbuat apa-apa pada Dewi Tongkat Ular. Tidak
sia-sia dia menjadi Majikan Bukit Ular.
"Bangsat!"
Laksamurka menggeram dan menarik kembali ilmu sihirnya yang membuat tongkat itu
berubah kembali ke asal. "Baik, kita lihat sekarang!"
Setelah berkata begitu,
Laksamurka langsung menerjang dengan jurus Srigala Menangkap Mangsa. Rumbila
cuma tertawa. Dia malah memapaki serangan itu dengan ayunan tongkatnya.
Terdengar desir angin yang cukup kuat saat tongkat itu diayunkan. Laksamurka
menarik kembali serangannya dengan jalan bersalto. Namun belum lagi dia hinggap
di bumi, Rumbila sudah menyodokkan tongkatnya.
"Bangsat!" geram
Laksamurka. Dan sungguh luar biasa, saat tubuhnya tengah melenting itu
tiba-tiba melinting kembali.
"Bagus!" seru Dewi
Tongkat Ular kagum. Dia kembali menyerang. Dalam sekejap saja tempat itu sudah
menjadi ajang pertarungan dua tokoh sakti. Berpuluh jurus sudah berlangsung
namun belum ada tanda-tanda ada yang kalah dan menang. Keduanya berimbang.
Laksamurka bersalto ke
belakang. "Sekarang kau tahan seranganku, Rumbila!"
Tiba-tiba saja tubuhnya
berubah menjadi seekor srigala dengan sepasang mata yang menyalang buas.
Rumbila agak terkejut melihatnya. Belum lagi dia sadar apa yang tengah terjadi,
srigala jelmaan Laksamurka itu sudah menerkam. Reflek Rumbila mengayunkan
tongkatnya. Namun srigala jelmaan itu masih terus menerjang, membuat Rumbila
terpaksa melompat menghindar.
Dan kini srigala itu siap
untuk memangsanya.
Tiba-tiba Rumbila melempar
tongkatnya ke arah srigala jelmaan itu. Mendadak tongkat tadi berubah menjadi
seekor ular cobra. Dan langsung hendak mematuk srigala jelmaan itu. Tentunya
Laksamurka yang tengah menjelma menjadi srigala tidak mau mati konyol. Dia
menghindar ke samping dan menerkam dari belakang.
Terjadilah pertarungan antara
srigala dan ular jelmaan itu. Keduanya bertarung dengan sengit diiringi suara
lolong dan desisan. Sementara Rumbila duduk bersila, mempertahankan ilmu
sihirnya pada tongkatnya yang kini menjelma menjadi seekor ular.
Namun mendadak srigala itu
menjelma kembali menjadi Laksamurka. Sambil bersalto menghindari serangan ular jejadian
itu, dia melontarkan senjata rahasianya yang berbentuk taring. Dewi Tongkat
Ular yang sedang berkonsentrasi tidak mengetahui serangan licik itu.
Tiga buah senjata rahasia
Laksamurka menancap pada sasarannya membuat Dewi Tongkat Ular terjengkang ke
belakang dengan muntah darah. Sementara ularnya kembali menjadi tongkat.
"Hahaha... hanya begitu
saja kehebatan nama besar majikan Bukit Ular!"
"Bangsat pengecut!"
geram Dewi Tongkat Ular sambil menahan sakit yang mulai menjalari tubuhnya.
"Untuk mengalahkan
manusia sombong seperti kau segala cara dihalalkan!" Laksamurka
terbahak-bahak. "Nah, kau nikmatilah rasa sakitmu itu, Dewi. Dalam waktu
lima belas menit, kau akan mampus dengan tubuh yang mengerikan bagai dicincang
oleh ribuan srigala! Hahaha. "
Dewi Tongkat Ular menahan rasa
sakit dan marahnya. Laksamurka masuk kembali ke gubuk itu. Dia berkata pada
Ambarwati yang masih dalam keadaan tertotok, yang hanya bisa melotot geram
melihat munculnya Laksamurka.
"Kita pindah dari tempat
ini, Manis. Tempat ini sudah diketahui orang," katanya sambil membopong
tubuh Ambarwati yang menjerit-jerit namun tak bisa berbuat apa-apa ketika
dibopong. Laksamurka cuma terkekeh.
Lalu dia keluar lagi. Dan
berkata pada Dewi Tongkat Ular, "Selamat tinggal, Dewi. Nantikanlah ajalmu
yang sebentar lagi akan menjemputmu dengan kereta emasnya yang sangat indah dan
bagus hehehe!"
Bersamaan dia selesai berkata
begitu, muncul Dewi Murni yang terengah-engah. Tangan kanannya mendekap
dadanya. Wajahnya berkeringat dan pucat.
"Laksamurka!"
rintihnya sebelum ambruk. "Dewi Murni!" seru Laksamurka terkejut dan
menurunkan tubuh Ambarwati
lalu bergegas menghampiri Dewi Murni. "Apa yang telah terjadi, Dewi? Siapa
yang berani berbuat begini, hah? Siapa, Dewi? Katakan, katakan padaku! Biar kulumat
habis manusia yang membuatmu menderita begini!"
Mata itu terbuka. Sinarnya
redup. Dewi Mumi menahan sakit di dadanya. Suaranya terputusputus, "Aku...
aku sudah bertemu dengan... Pendekar Bayangan Sukma, Laksa... dia... dia maha
sakti, Laksa. "
"Tahan, Dewi! Di mana dia
sekarang?" "Entahlah... aku tidak tahu... Laksa... sakit se-
kali... Akh...
Laksa... aku telah
membunuh Se-
pasang Walet Putih dari Gunung
Slamet "
"Bagus! Sekarang kau
tahan, biar aku obati!" kata Laksamurka sambil merobek baju bagian dada
Dewi Murni. Nampaklah buah dadanya yang bulat dan montok. Putih bersih. Dalam
keadaan begini, Laksamurka tidak bernafsu untuk menikmati sesaat pemandangan
yang mengasyikkan di depan matanya. "Keluarkan hawa murnimu. Dan tahan
sebentar...." katanya pula seraya mengalirkan hawa murni dan tenaga
dalamnya melalui tangannya. Cukup lama hal itu terjadi. Tubuh Dewi Murni nampak
menggigil. Keringat dingin mengucur dengan deras. Begitu pula dengan
Laksamurka. Mendadak saja Dewi Murni muntah darah.
"Huak!" "Tahan,
Dewi. Tahan... sebentar lagi "
Tiba-tiba saja dari samping
kiri mereka sebuah sinar berwarna merah berkelebat ke arah mereka.
Serentak Laksamurka bersalto
menghindar. Sedangkan Dewi Murni yang sedang terluka, harus bersusah payah menggulingkan
tubuhnya. Terlambat dua detik, mampuslah srigala betina itu.
"Bangsat!" bentak
Laksamurka. "Siapa yang kerjanya hanya berani membokong saja! Ayo keluar!
Tampakkan wajah jelekmu!"
Tak ada sosok yang keluar.
Laksamurka memberikan pil
pemulih tenaga pada Dewi Murni. Lalu menyuruhnya untuk bersemedi. Kali ini dia
berdiri di dekat Dewi Murni, kuatir ada serangan gelap lagi.
Tiba-tiba melompat sesosok
tubuh dari balik semak dan hinggap di tanah dengan ringannya.
"Aku memenuhi panggilanmu
yang menyuruhku keluar, Laksamurka!" kata sosok tubuh itu gagah.
"Hhh! Rupanya kau bocah
jelek! Punya nyali pula kau untuk menyerang secara gelap begitu!"
"Aku datang untuk
membebaskan istriku, Laksamurka! Dan mencabut nyawa iblismu serta srigala
betina itu!"
Terdengar seruan dari samping
sosok yang baru datang itu, "Kakang Pranata. !"
Serentak sosok yang tak lain
Pranata Kumala menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Rayi Ambar "
serunya seraya ingin mendekat.
Tetapi Laksamurka
menghalanginya dengan mengirimkan satu tendangan yang cukup berisi, membuat
Pranata Kumala mengurungkan niatnya dan menghindar. "Bagus!" serunya.
"Hhh! Bocah jelek, kau
hanya mengantarkan nyawamu ke sini rupanya!"
"Sudah kukatakan, akulah
yang hendak mencabut nyawamu!"
"Besar pula
ucapanmu!"
"Karena kau tak akan lama
lagi untuk hidup di muka bumi ini! Begitu pula dengan kawanmu yang nampak
terluka parah! Maaf, kalau tadi aku harus membokong kalian!"
"Pandai sekali kau
berucap, Bocah jelek! Kau hanya mengantarkan nyawamu saja ke sini!"
"Hahaha... mengapa tidak
sejak tadi kau maju ke sini! Ayo, majulah, Laksamurka! Biar kuhantam perutmu
dan kuburai isi perutmu!" Lalu disusul dengan tawa Pranata Kumala yang
menyakitkan telinga.
"Kulumat tubuhmu, bocah
jelek!" "Majulah, Srigala busuk!"
Laksamurka yang tengah murka
karena ditantang seperti itu tak mau banyak omong lagi. Dia serentak menerjang
dengan hebat diiringi pekikannya yang keras. Serangan-serangannya mantap dan
mengundang maut. Pranata mengimbanginya dengan jurus menghindarnya Kijang
Kumala dan jurus Tangan Bayangannya.
Pertempuran itu hebat.
Ambarwati berdoa dalam hati
demi keselamatan suaminya tercinta. Dia sudah gembira melihat suaminya mendadak
muncul. Tetapi kini hatinya cemas melihat dan mengingat betapa hebatnya Laksamurka.
Sedangkan Rumbila berharap,
Pranata Kumala mampu mengalahkan Laksamurka dan segera mengobatinya.
Pertempuran antara keduanya
berlangsung dengan seru. Masing-masing mengeluarkan segenap kemampuannya. Dan
seluruh tenaga mereka.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Berkali-kali benturan terjadi.
Namun keduanya terus saling menyerang berupaya untuk segera menjatuhkan
lawannya.
"Awas serangan, bocah
jelek!"
"Hahaha... kulayani
sampai seribu jurus sekali pun, Srigala busuk!"
Lagi keduanya saling
menerjang. "Des!"
"Des!"
Lagi terjadi benturan yang
hebat.
Tiba-tiba Laksamurka menjerit,
"Lihat sekelilingmu, Bocah! Ular berbisa!"
Mendadak saja ranting-ranting
pohon yang berada di dekat berubah menjadi ular berbisa. Dan mendesis-desis
siap menyerangnya.
"Kau hanya berani dengan
ilmu sihir!" seru Pranata Kumala memaki sambil menghindari patukan
ular-ular itu. Sambil menghindar dia kembali melontarkan pukulan sinar merahnya
ke arah ularular itu.
Sebentar saja ular-ular itu
mati dan berubah kembali menjadi sebatang ranting. Melihat serangannya gagal,
kembali Laksamurka menerjang. Dengan dahsyat dan diiringi dengan pekikan
mengerikan. Terjadilah pertarungan yang hebat antara keduanya.
Dewi Murni yang merasa
tubuhnya mulai membaik, dan kesal serta marah dibokong sedemikian rupa, mulai
membantu setelah mengalirkan hawa murninya ke sekujur tubuhnya.
Pertempuran tak seimbang pun
terjadi.
Ambarwati ngeri melihat
suaminya dikeroyok begitu.
Rumbila atau Dewi Tongkat Ular
hanya bisa menonton saja dengan hati geram tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan
perlahan-lahan dia merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Rumbila
tidak yakin dia bisa bertahan untuk hidup lebih lama.
Sementara pertempuran itu
semakin seru berlangsung. Pranata mengeluarkan segenap kemampuannya dengan
sekali-sekali melontarkan pukulan sinar merahnya.
Dia merasa beruntung karena
Dewi Murni sedang terluka. Bila tidak, dia merasa tak mungkin mampu menahan
gempuran-gempuran dahsyat yang dilancarkan keduanya.
Tiba-tiba dia menjerit,
"Lihat serangan!" Pukulan
sinar merahnya pun dilontarkan den-
gan membabi buta, membuat
kedua manusia itu harus memperlihatkan kelincahan mereka. Dan tiba-tiba selagi
Dewi Murni meloncat, Pranata menyerang masuk.
"Des!" Pukulannya
bersarang di dada Dewi Murni yang terhuyung ke belakang.
Melihat hal itu Laksamurka
melemparkan obat pemunah rasa sakit yang langsung ditelan oleh Dewi Murni dan
segera bersemedi. Memulihkan hawa murninya dan menyalurkan segenap tenaga
dalamnya ke seluruh tubuhnya.
Sementara Laksamurka terus
menyerang dengan gencar dan nafsu untuk membunuh lawannya. Kali ini Pranata
Kumala yang cukup kerepotan dibuatnya.
Tiba-tiba saja Laksamurka
menjerit dan menyerang.
"Des!"
Tendangannya mengenai sasaran!
Membuat Pranata Kumala
terhuyung beberapa tindak. Lalu menyeka bibirnya yang mengeluarkan darah.
"Kakang...." jerit
Ambarwati pilu. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya masih
dalam keadaan tertotok.
Laksamurka terbahak.
"Itulah akibatnya bila
berani menantang Sepasang Manusia Srigala."
Pranata Kumala menyeka kembali
bibirnya. Matanya nyalang.
"Bangsat! Majulah,
Srigala busuk! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Hahaha... sudah dalam
keadaan sekarat kau masih berani untuk menantangku? Baiklah, bila itu maumu!
Nah, tahan serangan!"
Tubuh itu berkelebat lagi.
Kali ini dengan pukulan lurus ke muka. Pranata menghindarkan kepalanya ke kiri,
tiba-tiba saja pukulan yang berbentuk bogem itu berubah menjadi cakar srigala.
"Bret!"
Baju bagian bahu Pranata
terkoyak oleh sambaran jari yang berbentuk cakar.
"Hahaha... sebentar lagi
jantungmu yang akan kukorek ke luar dan kucabik-cabik, Bocah!"
Dewi Murni yang sudah merasa
pulih tenaganya membuka matanya dan siap membantu Laksamurka. Begitu dilihatnya
Laksamurka sedang berada di atas angin, diurungkannya niatnya.
Dia berseru, "Jangan kau
kasih bernapas lagi manusia tak tahu diuntung itu, Laksa!"
"Baik, Dewi! Dia pun
harus membalas perlakuan yang telah dibuatnya terhadapmu!" seru Laksamurka
sambil terbahak. "Nah, Pranata Kumala... bersiaplah untuk mampus!"
Sehabis berkata demikian,
Laksamurka menerjang dengan hebat. Pukulannya mengandung tenaga dalam yang
penuh, siap menjemput nyawa Pranata Kumala. Sebisanya Pranata bertahan, namun
satu benturan keras membuatnya mati langkah dan ambruk ke tanah.
Laksamurka tak mau membuang
waktu lagi. Dia menjerit menerjang untuk menghabisi nyawa Pranata Kumala.
Pranata hanya memejamkan matanya menyambut pukulan itu.
Tiba-tiba saja terdengar suara
keras, "Des!" Tubuh Laksamurka terhuyung karena dia me-
rasa menghantam sebuah tembok
besar. "Bangsat, siapa yang berani menghalangi perbuatanku ini?!" Tak
jauh darinya berdiri sosok tubuh gagah berjubah putih.
"Madewa Gumilang!"
seru Dewi Mumi.
"Ayah!" Ambarwati
dan Pranata Kumala berseru bersamaan.
"Hhh! Nama besar Madewa
hanya bisa membokong rupanya!" bentak Laksamurka dengan geram. "Tapi
sayang, hari ini nama besar itu akan terkubur selama-lamanya!"
Madewa tersenyum arif.
"Laksamurka, hendaknya kau kembalilah ke tempat asalmu. Dan ajak
pasanganmu itu. Janganlah kau terus menerus membuat onar!"
"Hhh! Kau harus mampus di
tanganku, Madewa!" geram Laksamurka. "Nah, cepat serahkan Seruling
Naga padaku!"
"Ingatlah Laksamurka,
janganlah kau menjadi manusia laknat!"
"Itu urusan ku! Cepat
serahkan Seruling Naga sebelum kucabut nyawamu!"
"Kau tak ubahnya binatang
haus darah, Laksamurka!"
Dikatakan seperti binatang,
kemarahan Laksamurka langsung naik. "Aku memang binatang yang haus darah! Terutama darah kau,
Madewa!" serunya seraya menerjang. Madewa sudah memperkirakan serangan
itu. Dia menghindar dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
Melihat serangannya gagal,
Laksamurka kembali mempergencar serangannya. Serangannya begitu cepat dan
bertenaga. Dia tidak tanggung lagi, langsung menghimpun tenaga dalamnya dalam
tingkat tinggi.
Madewa pun kali ini tidak
hanya menghindar, dia juga membalas dengan jurus Tembok Menghalau Badai. Hal
itu membuat Laksamurka cukup kewalahan. Dewi Murni yang merasa kesehatannya
cukup pulih, menerjang membantu. Tidak lagi mempersoalkan Pranata yang
menghantamnya tadi.
Kini jadilah mereka kembali
Sepasang Manusia Srigala. Kekuatan mereka berpadu. Madewa cukup merasakan
gempuran yang hebat. Apalagi ketika keduanya menggunakan jurus Sepasang Srigala
Melompat. Madewa bukan hanya dibuat kerepotan sekarang, tetapi harus membuatnya
menghindar dengan lincah.
Tiba-tiba terdengar jeritan
Dewi Tongkat Ular, "Aaaahh!"
Serentak pertarungan itu
terhenti. Semuanya menoleh pada Dewi Tongkat Ular yang meringisringis
kesakitan.
Seketika Madewa mengetahui kalau
Dewi Tongkat Ular terkena senjata rahasia salah seorang dari Sepasang Manusia
Srigala. Tanpa diketahui oleh keduanya, Madewa mengirimkan tenaga dalamnya
melalui mata untuk menghentikan aliran racun yang sudah hampir mencapai
jantung.
"Lihat Madewa, sebentar
lagi kau pun akan sekarat seperti Dewi Tongkat Ular!" seru Laksamurka.
"Aku pun harus membalas
apa yang telah kau lakukan padaku semalam, Madewa!" geram Dewi Murni.
Masih mengirimkan tenaga dalamnya melalui matanya kepada Dewi Tongkat Ular,
Madewa tertawa pada Laksamurka dan Dewi Murni.
"Kalian rupanya
pemimpi-pemimpi yang luar biasa!"
"Jangan besar mulut kau,
Madewa!"
"Hahaha... agaknya hari
ini aku pun tak boleh bermurah hati lagi!" kata Madewa yang sengaja
mengulur waktu untuk menolong Dewi Tongkat Ular yang merasa heran karena
tubuhnya dirasakan agak berkurang sakitnya.
"Bacotmu besar juga,
Madewa!"
"Lakukanlah bila kau
mampu untuk membungkam bacotku!"
"Baik! Bersiaplah!"
Laksamurka bersalto ke dekat Dewi Murni. Tubuh keduanya berapat punggung.
Tangan mereka membentuk cakar. Agaknya keduanya tengah menyiapkan jurus mereka
yang paling ampuh. "Hari ini kau harus mampus di tangan kami, Sepasang
Manusia Srigala, Madewa!"
Madewa yang merasa sudah cukup
menolong Dewi Tongkat Ular pun segera meladeni kedua Manusia Srigala itu.
Tiba-tiba terdengar pekikan
keras yang menggema di seluruh tempat, dua manusia itu menerjang dengan
masing-masing tangan membentuk cakar dan mengeluarkan sinar merah.
Madewa pun segera memapaki
dengan pukulan Tembok Menghalau Badai yang dipadukan dengan jurus Ular Cobra
Bercabang Tiga. Terjadilah benturan antara kedua tenaga yang menimbulkan suara
seperti letusan. "DUUARRR!"
Sungguh di luar dugaan, Madewa
terhuyung lima tindak ke belakang dengan mulut mengeluarkan darah! Sementara
Sepasang Manusia Srigala itu hanya terhuyung dua tindak dan kini sudah berdiri
dengan gagahnya.
"Hahaha... nama besar
Pendekar Bayangan Sukma ternyata tak punya banyak arti hari ini!" seru
Laksamurka. "Hmmm... Madewa keluarkan pukulan Bayangan Sukma yang kau
banggakan!"
Dewi Murni yang sangat
mendendam sekali dan melihat keadaan Madewa yang sudah di bawah angin akibat
benturan tadi, tiba-tiba memekik menerjang dengan kedua tangan mengembang
ke arah jantung Madewa.
Ambarwati menutup matanya ngeri.
Dewi Tongkat Ular hanya bisa
mendesah tanpa bisa membantu karena tubuhnya masih lemah.
Laksamurka terbahak-bahak
karena membayangkan tubuh Madewa akan hancur tercabikcabik.
Namun sungguh di luar dugaan,
tubuh Dewi Murni yang meluncur dengan keras tiba-tiba terpental ke belakang
sambil mengeluarkan jeritan kesakitan. Dan ambruk setelah terhuyung beberapa
tindak.
"Huak!" dia muntah
darah.
"Dewi!" pekik
Laksamurka kaget sambil memburu.
Sebenarnya Dewi Murni telah
membuat kesalahan yang teramat fatal. Dalam kondisi yang turun emosinya, Madewa
bisa membuat lawannya yang dalam keadaan marah berbalik sendiri terkena
pukulannya. Itu semua berkat rumput Kelangkamaksa yang tanpa sengaja dimakannya
dan tanpa diduganya telah menghasilkan tenaga gaib yang keluar dari tubuhnya
(baca: Dendam Orang-orang Gagah).
Melihat Dewi Murni dalam
keadaan kesakitan, murkalah pasangannya. Laksamurka berdiri gagah, dan matanya
memancarkan nafsu untuk membunuh.
"Hari ini kau harus
mampus di tanganku, Madewa!" serunya kembali menerjang. Madewa berkelit ke
kiri. Dan mengirimkan serangan balasan. Kembali tempat itu terjadi pertarungan
yang sengit.
Entah sudah berapa puluh jurus
yang dikeluarkan oleh keduanya. Namun sampai sejauh itu Madewa tidak telengas
menurunkan tangan. Tadi pun dia hanya memakai separuh tenaganya ketika terjadi
benturan sehingga dia harus terhuyung lima tindak.
Diam-diam pun Madewa
mengalirkan tenaga dalam Salju Abadi ke tangan kanannya. Dan ketika tangan
kanannya menyentuh tubuh Laksamurka, tubuh itu langsung menggigil. Laksamurka
mengeluarkan seluruh tenaga dalam dan hawa murninya untuk mengusir rasa dingin
yang menyengat.
"Bangsat!"
"Keluarkan ilmu
simpananmu, Laksamurka! Keluarkan semuanya!"
Pelan-pelan hawa dingin itu
terusir darinya. Laksamurka langsung menerjang kembali dan melemparkan senjata
rahasianya. Madewa berkelit sambil membalas.
Tiba-tiba selarik sinar putih
menerpa ke arah Madewa yang sigap bersalto ke samping.
"Duar!"
Sinar putih itu menghantam
pohon di belakangnya hingga hangus. Dan kembali Laksamurka dengan gencar
mengirim serangan jarak jauhnya yang berupa sinar putih. Dengan menggunakan
jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa menghindari serangan itu.
"Nama besar Madewa
Gumilang ternyata cuma bisa menghindar saja!" seru Laksamurka sambil tetap
dengan gencar menyerang secara membabi buta.
"Rupanya kau menginginkan
aku membalas?!" "Hanya ingin kulihat keberanianmu!"
"Baik! Lihat
serangan!" seru Madewa sambil melompat menghindari sinar putih itu, dia
bersalto dua kali di atas dan menukik hendak menyambar kepala Laksamurka.
Serentak Laksamurka berguling ke tanah menghindari serangan itu.
"Hebat!" serunya
kagum.
Madewa telah bangkit tegak
kembali.
"Rupanya rasa belas
kasihanku sudah habis, Laksamurka. Hari ini terpaksa aku harus mencabut
nyawamu!"
"Hahaha... sudah hampir
seratus jurus kau menghadapiku, Madewa... tetapi sampai sejauh itu kau belum
mengalahkanku juga."
"Baik! Kita sudahi
pertarungan ini!" selesai berkata demikian, Madewa menyerang. Kali ini
sungguh aneh. Serangannya nampak tidak bertenaga dan lemah. Namun Laksamurka
sudah curiga melihat serangan seperti itu. Dia tidak berani memapaki. Dan
sungguh di luar dugaannya. Batu besar yang berada di belakangnya hancur menjadi
pasir ketika tangan Madewa menyentuhnya.
"Pukulan Bayangan
Sukma!" seru Dewi Tongkat Ular.
Mendengar nama pukulan itu
dijeritkan oleh Dewi Tongkat Ular, Laksamurka menjadi sedikit keder. Ngeri
dibuat oleh Madewa Gumilang. Dalam hati dia mengakui, betapa hebatnya pukulan
Bayangan Sukma yang dimiliki oleh Madewa.
Tetapi dia tetaplah manusia
sombong. Dia berkata dengan pongah, "Ingin kulihat sampai di mana
kehebatan pukulan itu, Madewa!"
"Bagus! Kini
terimalah!" seru Madewa. Kali ini dengan jurus Tembok Menghalau Badai. Dan
Laksamurka tetap tak berani memapaki karena kuatir pukulan Bayangan Sukma yang
sedang dilancarkan Madewa.
Karena terlalu berhati-hati,
dia terkena juga gempuran di dadanya yang membuatnya serasa dihantam gada yang
besar. Napasnya menjadi sedikit sesak.
"Aku akan mengadu jiwa
denganmu!" serunya marah dan kembali menyerang. Kali ini Madewa tak
memberi ampun lagi. Dia memapaki. Dan terjadilah benturan yang teramat hebat.
Madewa terhuyung ke belakang
dua tindak. Sementara Laksamurka ambruk dengan tubuh hancur. Nyawanya langsung
lepas dari raganya. Dia tidak mengira kalau Madewa akan mengeluarkan Pukulan
Bayangan Sukma-nya kembali. Dia salah perhitungan. Musnahlah salah seorang dari
Sepasang Manusia Srigala.
Melihat Laksamurka menemui
ajal, Dewi Murni yang dalam keadaan kesakitan menjadi kalap. Dia menerjang
Madewa dengan sepenuh tenaga.
"Tunggu!" seru
Madewa.
Tetapi tubuh itu sudah melesat
dengan deras. Dengan pukulan lurus ke depan, ke arah wajah Madewa. Yang
diserang hanya terdiam. Tidak bergeming. Malah menurunkan emosinya.
Dan hal itu membuat fatal bagi
Dewi Murni. Dalam keadaan emosi saat menyerang Madewa, akan terjadi serangan
balik yang mendadak. Semua itu berkat rumput Kelangkamaksa yang dihisap sarinya
oleh Madewa tanpa disengaja.
Benar saja, tiba-tiba saja
tubuh Dewi Murni terlontar ke belakang dengan deras. Tanpa ampun lagi tubuh itu
berkelojotan dan mampus sekarat!
Madewa mendesah panjang.
"Dua nyawa kurenggut hari
ini," desahnya pilu. "Tetapi bila tak kulakukan, kejahatan pasti akan
terus berlangsung."
Lalu Madewa menghampiri
Ambarwati dan melepaskan totokannya. Ambarwati langsung merangkul ayah
mertuanya. "Terima kasih, Ayah... terima kasih atas pertolongan Ayah
"
"Hmm... duduklah,
Ambar," kata Madewa lalu mendekati Pranata Kumala yang tengah terduduk
sambil meringis kesakitan. "Ayah "
"Kau harus banyak belajar
lagi, Anakku " kata
Madewa sambil mengalirkan
sedikit tenaga dalamnya pada Pranata, yang langsung merasa lebih enak dari
tadi.
"Ya, Ayah "
Sementara Madewa menghampiri
Rumbila, Pranata Kumala mendekati istrinya. Ambarwati langsung memeluk suaminya
dengan sukacita.
"Pranata "
"Ambar "
Keduanya saling tersenyum.
Bahagia.
Sedangkan Madewa tengah
berkata pada Rumbila, "Bagaimana keadaanmu, Rumbila?"
"Terima kasih, Yang Agung
Madewa Gumilang," kata Dewi Tongkat Ular sambil menjura. "Aku yang
sudah tua ini ternyata masih diberi kesempatan untuk mengenal namamu yang telah
menjulang menembus langit, sebagai pendekar sakti yang budiman, Pendekar
Bayangan Sukma!"
"Hmm... kulihat kau masih
lemah sekali. Ulurkanlah telapak tanganmu, Dewi "
Dewi Tongkat Ular mengulurkan
kedua tangannya. Madewa menindih telapak tangan itu dengan telapak tangannya.
Matanya perlahan-lahan terpejam. Dewi Tongkat Ular merasakan ada hawa angin
hangat mengaliri tangannya dan mengaliri sekujur tubuhnya. Menormalkan kembali
aliran darahnya.
Tiba-tiba tiga buah senjata
rahasia berbentuk taring srigala copot dari tempatnya. Dewi Tongkat Ular
mendesah, rasa sakitnya telah lenyap.
Madewa membuka matanya dan
menarik kembali tangannya.
"Kau sudah aman, Rumbila.
"
Rumbila alis Dewi Tongkat Ular
langsung menjura di depan Madewa.
"Saya yang tua ini,
rasanya tidak pantas berlama-lama lagi di hadapan Madewa yang agung. Sebaiknya
saya mohon diri. Terima kasih atas pertolongan dan petunjuk yang Madewa
lakukan."
"Sikapmu ini seolah-olah
aku seorang dewa, Rumbila... aku hanyalah manusia biasa. "
"Karena saya menganggap
yang mulia adalah manusia dewa," kata Rumbila sambil memungut tongkatnya.
"Amit mundur, Madewa!" Dan...
"Wuuuttt!" Tubuhnya
lenyap bagai dibawa angin.
Setelah Rumbila pergi, muncul
di tempat itu dua sosok tubuh. Yang satu
seorang gadis dan yang satunya seorang pemuda. Keduanya adalah Bayu dan
adiknya, Arum. Saat ini keduanya memang sengaja hendak mencari Pranata Kumala.
Bagi Arum, dia sangat rindu dengan pemuda itu, pemuda yang mengutarakan
cintanya. Hal itu membuatnya menjadi sakit dan setelah Bayu tahu apa yang
menyebabkan sakit adiknya, dia pun meminta ijin pada ayahnya untuk meninggalkan
desa Kali Sunyi.
Sudah tentu Arum sangat
gembira mengetahui dia diperbolehkan mencari Pranata Kumala. Maka dengan
ditemani kakaknya, dia pun melangkahkan kakinya dengan gembira.
Hampir empat hari keduanya
mencari, dan sekarang secara tidak sengaja mereka bertemu dengan Pranata
Kumala.
Kening Arum berkerut melihat
Pranata Kumala tengah merangkul seorang wanita. Dan wanita itu membalas pula
merangkulnya.
"Arum! Bayu!" seru
Pranata setelah mengenali siapa yang datang. Sambil menarik tangan istrinya dia
mendekati mereka, "Ada apa kalian sampai meninggalkan rumah?"
Bayu tersenyum, walau heran
siapa wanita di sisi Pranata?
Sementara Arum merasakan
dadanya sesak. Napasnya jadi tidak teratur. Dia hanya menunduk, tak mampu
menyaksikan kemesraan yang sedang terpampang di depannya.
"Apa kabar, Saudara Pranata?"
tanya Bayu. "Oh, kabar baik. Kau bagaimana, Bayu?" "Kabar baik
pula."
"Kau bagaimana, Rayi
Arum?"
"Saya... saya baik-baik
saja, Kakang...." desis Arum masih tetap menunduk. Siapa gadis di
sebelahnya itu?
Pranata mengenalkan mereka
pada ayahnya. Madewa hanya tersenyum. Lalu Pranata berkata, "Saudara Bayu
dan Rayi Arum... perkenalkan... ini istriku "
Ambarwati tersenyum. Bayu
terperangah.
Arum terkejut dan terpekik.
Istrinya? Dia istrinya? Mengapa dia mengutarakan cintanya padaku bila ternyata dia
sudah beristri?
Tiba-tiba saja Arum berlari
meninggalkan mereka dengan hati pedih dan terluka. "Rayi!" panggil
Bayu.
Tetapi gadis itu terus
berlari.
Pranata menjadi serba salah.
Sedikit banyaknya dia tahu apa yang menyebabkan Arum menjadi begitu. Pasti
dirinya. Dirinya yang kini dianggapnya sebagai penipu. Buaya darat, yang
kerjanya hanya mempermainkan para gadis-gadis saja. Dan salah satu di antaranya
Arum!
Pranata mendesah. Madewa
heran. Ambarwati apalagi. Mengapa gadis itu seperti kaget mengetahui dia
istrinya Pranata Kumala? Apakah... gadis itu mencintai suaminya?
Berpikiran demikian, Ambarwati
memegang lengan suaminya erat-erat.
Pranata menjadi tidak enak
pada Bayu. Lalu dia menceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya.
"Benar Saudara Bayu, saya
tidak sengaja melihatnya. Karena saat itu pikiran saya hanya terpaku pada
Sepasang Manusia Srigala dan pada istriku ini. Di samping itu, saya tidak
menceritakan kejadian yang sesungguhnya, karena tak ingin membuat malu Rayi
Arum "
Bayu mengangguk mengerti.
Paham akan duduk permasalahannya.
"Kalau begitu maafkan aku
dan adikku, Saudara Pranata. Biar adikku aku yang mengurus dan memberikan
penjelasan."
"Sampaikan maafku
padanya, Saudara Bayu "
"Tak perlu kau suruh aku
akan melakukannya, Saudara Pranata. Aku mohon pamit. Rayi Ambar dan Paman
Madewa, saya amit mundur." Lalu Bayu pun berlalu.
Ambarwati memeluk suaminya
erat-erat. Bila saja saat itu suaminya tidak sedang mencemaskan dirinya dan
kuatir akan Sepasang Manusia Srigala, tentu dia akan marah besar.
Madewa mendehem. Keduanya
menoleh.
"Sebaiknya kita kembali
ke Perguruan Topeng Hitam sekarang "
"Ayah " kata Pranata
kemudian.
"Ada apa, Anakku?"
"Sebenarnya... kedatangan
kami ke Perguruan Topeng Hitam, untuk minta restu pada ayah dan ibu, kalau aku
dan istriku hendak pergi bertualang "
"Maksudmu?"
"Kami akan bertualang,
mencari pengalaman "
"Kalau itu maumu,
lakukanlah. Karena aku dan ibumu dulu adalah para petualang. Lakukanlah!"
"Terima kasih,
Ayah," kata Pranata. "Terima kasih, Ayah," kata Ambarwati pula.
"Tolong sampaikan
salam kami pada
ibu, Ayah " kata Pranata.
"Baiklah... pergilah.
Pesan Ayah berhatihatilah...!" Sehabis berkata begitu tubuh Madewa pun
melesat.
Lalu Pranata Kumala dan
Ambarwati pun berjalan. Memulai petualangannya.
TAMAT
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 24 Sepasang Manusia Serigala"
Post a Comment