Serial Pendekar Bayangan Sukma: 18 Sumpah Jago-Jago Bayaran


18 Sumpah Jago-Jago Bayaran

1

Malam telah larut. Suasana hutan jati itu sungguh amat menyeramkan. Bulan yang tengah bersinar, tak sampai menyinari tanah di sekeliling hutan jati yang luas itu. Sinarnya hanya bisa menyinari pucuk-pucuk pohon jati saja.

Suara binatang malam terdengar ramai. Dan di kejauhan terdengar srigala yang menakutkan. Dan suasana yang senyap dan menyeramkan itu tiba-tiba diganti oleh derap langkah kuda yang cepat. Debu-debu pun berterbangan. Nampak sebuah kereta kuda tengah melarikan diri dengan kencang. Saisnya begitu tegang dan tergesa-gesa mengendalikan kekang kudanya. Cambuknya berkali-kali dia lontarkan kepada empat ekor kuda yang saling berhubungan untuk berlari dengan cepat.

"Hiyaaa! Hiyaaa!"

Di dalam kereta kuda nampak tiga sosok tubuh sedang meringkuk dengan ketakutan. Sosok tubuh itu adalah Bupati Seda Arya dan istrinya Roro Santika yang sedang mendekap putra mereka Barong Seta.

Bocah itu baru berusia tujuh tahun. Dan wajahnya begitu pucat sekali. Sebenarnya wajah pucat itu tidak seperti apa yang tengah merisaukan hati kedua orang-tuanya hingga wajah mereka itu pucat pula.

Wajah pucat Barong Seta dikarenakan dia sudah terlalu letih dan lapar. Karena sudah dua hari dua malam kereta kuda itu terus berlari tanpa berhenti sejenak pun.

Sedangkan yang menyebabkan wajah pucat Seda Arya dan istrinya, disebabkan saat ini mereka tengah dikejar oleh empat orang laki-laki berwajah ganas.

Sebenarnya Seda Arya tidak mengenal para pengejarnya itu.

Namun empat hari yang lalu, tiba-tiba saja desanya didatangi oleh orang-orang itu. Dan tanpa mengenal ampun mendadak saja orang-orang itu menyerang, membakar dan membunuh seisi desanya.

Sudah tentu Seda Arya tidak menerima semua perlakukan itu. Dia pun mulai memimpin anak buahnya ketika keesokan harinya orang-orang itu datang kembali.

Namun semua perlawanannya sia-sia belaka. Akhirnya dia pun nekat untuk melarikan diri bersama keluarganya.

Sampai saat ini Seda Arya belum mengetahui maksud apa dari orang-orang itu. Mereka hanya menurunkan tangan telengas tanpa banyak bicara.

Meskipun dia tidak tahu maksud dari orangorang itu membuat onar, tetapi Seda Arya tidak mau kalau keluarganya ikut terbantai. Makanya dia pun melarikan diri.

Kini wajah laki-laki setengah baya itu menjadi tegang. Karena orang-orang itu terus mengejar mereka. Diliriknya istrinya yang nampak begitu letih mendekap putra mereka. Ah, ada perasaan bersalah di hati Seda Arya melihat keadaan ini. Namun dia pun tidak tahu mengapa peristiwa yang mengerikan itu bisa terjadi.

Dilihatnya kalau sepasang mata istrinya yang begitu letih dan bersinar redup menatapnya.

Kembali perasaan bersalah di hati Seda Arya semakin menjadi-jadi.

"Kakang..."

"Ya, Rayi?" Seda Arya menelan ludahnya. Suara itu begitu lemah dan tak bergairah.

"Sampai kapan semua ini akan berakhir..." Seda Arya mendesah.

"Aku tidak tahu, Rayi..."

"Mengapa orang-orang ganas itu menyerang kita, Kakang? Kenapa?"

"Entahlah Rayi... Aku sendiri pun tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang ganas dan kejam. Belum lagi perempuan yang mengenakan cadar merah itu. Dia begitu telengas menurunkan tangan."

"Tetapi mengapa mereka menyerang kita, Kakang?" tanya Roro Santika yang masih belum juga mengerti mengapa tiba-tiba saja musibah ini datang melanda mereka. Dan dia tak pernah tahu mengapa dan sebab apa orang-orang ganas itu menurunkan tangan kejam mereka.

Kembali Seda Arya mendesah.

"Aku tidak tahu, Rayi... Demi nama agung Gusti Allah, aku sama sekali tidak tahu..." sahutnya dengan suara yang lebih meyakinkan.

Seda Arya dapat menyadari kalau istrinya tidak menerima kenyataan yang sedang terjadi ini. Dan baginya ini merupakan sebuah kesalahan. Namun dia sendiri tidak tahu kesalahan apa. Karena dia tidak tahu maksud apa orang-orang itu hendak membunuh mereka.

"Kakang..." didengarnya lagi suara istrinya yang seperti desahan belaka.

"Ya, Rayi..."

"Apakah kau tidak memikirkan nasib putra kita, Barong Seta? Dia seharusnya dapat menikmati masa kanak-kanaknya dengan bahagia, Kakang... Bukan seperti hal yang tengah kita alami ini. Dia diharuskan menghadapi satu persoalan yang amat mengerikan. Yang kita tidak tahu apa yang sedang terjadi sesungguhnya. Kakang... aku kuatir, nasib kita tak beda dengan para penduduk yang lain yang telah menemui ajal karena dibantai orang-orang itu..."

Seda Arya kembali mendesah.

Dia pun sebenarnya tak ingin semua ini terjadi. Namun kejadian ini memang ternyata telah terjadi. Dan ini merupakan suatu kenyataan yang amat pahit. Yang amat menakutkannya.

Dia pun tak mau bila putra mereka tak pernah sempat merasakan kehidupan dan dunia anakanak yang menggembirakan. Tetapi apa yang harus dilakukannya sekarang?

Disingkapnya tirai jendela. Dan pandangannya diedarkannya pada sekelilingnya sementara kereta kuda ini berlari dengan cepat. Sekelilingnya gelap. Sama gelapnya dengan sebab apa orangorang menyerang mereka.

Sekelilingnya menyeramkan. Sama menyeramkannya dengan apa yang dibayangkan bila mereka dapat ditangkap oleh para pengejar itu.

Lalu dibukanya tirai depan kereta kuda itu.

Dia melihat Moro, sais kudanya yang telah hampir sepuluh tahun mengabdi padanya dan begitu setia menjalankan tugasnya, masih terus memacu lari kereta kuda itu.

Seda Arya memang tak meragukan lagi akan kesetiaan Moro. Laki-laki yang usianya kira-kira sama dengannya. Mungkin hanya nasiblah yang membuat keadaan mereka berbeda.

"Moro..."

"Ya, Tuan!" sahut Moro sambil terus melarikan kereta kuda itu dengan segala kecekatannya dalam mengendalikan dan mengendarai kereta kuda itu.

"Apakah kau letih?" "Tidak, Tuan!"

Seda Arya mendesah. Dia dapat merasakan keletihannya. Dan dia pun dapat merasakan keletihan Moro yang dua hari dua malam mengendalikan kereta kuda itu.

Namun mendengar jawaban dari saisnya yang setia, membuatnya menjadi pilu dan terharu. Saisnya itu seolah tidak mau diketahui olehnya kalau dia tentunya teramat lelah.

"Apakah desa yang kita tuju masih jauh?" "Masih jauh, Tuan! Sehari lagi kita baru tiba di sana."

"Sehari lagi?" desah Seda Arya dalam hati. Itu berarti masih memberikan kesempatan yang cukup banyak untuk orang-orang itu mendapati mereka.

Dan ini membuat hati Seda Arya semakin tidak tenang.

Lalu tanyanya lagi pada Moro, "Kau masih sanggup mengendarai kereta kuda ini, Moro?"

"Masih, Tuan."

"Biar aku gantikan saja dulu! Kau beristirahat!" kata Seda Arya sembari hendak keluar ke depan.

Tetapi Moro berkata, "Lebih baik Tuan berada di dalam. Biarkan saya saja yang mengendalikan semua ini. Saya berharap, semua ini akan berlangsung dengan wajar dan baik. Tanpa ada halangan sedikit pun!"

Mendengar kata-kata Moro itu, Seda Arya urung untuk ke depan. Dia kembali lagi pada tempatnya.

Kereta kuda itu terus berlari dengan kencang. Berkali-kali hampir terbalik karena terantuk batu atau pun dahan kayu yang kering tergeletak di tanah.

Namun semua itu dapat teratasi berkat kecekatan Moro mengendalikan dan mengendarai kereta kuda itu.

Biar pun begitu, hatinya sebenarnya tak kalah tegang dengan hati tuannya. Moro berusaha untuk menyembunyikan ketegangannya. Padahal tubuhnya sudah letih sekali.

Kedua tangannya sepertinya sudah sukar untuk digerakkan. Namun dia tak mau menampakkan semua itu pada majikannya. Dia adalah seorang abdi yang amat setia.

Bahkan Moro pun rela bila dia harus mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan nyawa tuannya.

Moro masih terus melarikan kudanya dengan kencang. Dan dia tak perduli lagi dengan segala batu atau pun dahan yang kadang merintangi jalan mereka.

Roro Santika yang tengah mendekap putranya menatap suaminya. Dia pun dapat melihat dan membaca ketegangan yang terpancar dari mata dan wajah suaminya.

Mendadak saja dia menjadi menyesal karena tadi seperti mendesak dan menyalahi suaminya hingga semua ini terjadi. Dan itu bukanlah sifatnya sebenarnya. Dia tak pernah melakukan hal ini sebelumnya.

"Kakang.." panggilnya.

Seda Arya yang sedang terdiam tergagap. Dan buru-buru dia menoleh.

"Ya, Rayi..."

"Maafkan saya tadi, Kakang... Saya menyalahi Kakang mengapa semua ini terjadi..."

Seda Arya tersenyum. "Tidak apa-apa, Rayi... Aku pun menyesali mengapa semua ini bisa terjadi. Dan ini merupakan sebuah malapetaka yang diturunkan oleh gusti Allah kepada kita, Rayi... Jadi... kuminta, kita harus sabar dan tawakal menghadapi semua cobaan ini..."

Roro Santika tersenyum.

Dan Seda Arya dapat merasakan kesejukan yang mengaliri seluruh tubuhnya melihat senyum itu. Ah, istrinya pun masih begitu setia padanya walaupun keadaan sudah amat menyulitkan. Dan kadang terasa begitu mengerikan.

Karena Seda Arya tahu, bila orang-orang yang mengejar itu dapat mencapai mereka, mungkin nyawa sebagai taruhannya.

Dan hati Roro Santika pun menjadi tenang kembali. Sebagai seorang istri yang amat setia, dia pun kembali merasakan ketenangan jiwanya.

Dan kini dia tidak menyesali lagi kata-katanya yang seakan mendesak suaminya tadi.

Hati-hati pula dipegangnya tangan suaminya seraya berkata.

"Kita akan menghadapi semua ini dengan hati tabah dan bersama-sama bukan, Kakang?"

Sedang Arya mengangguk.

"Benar, Rayi. Kita tak akan pernah terpisah walaupun kita dihadapi oleh lautan api."

"Aku akan selalu menemanimu, Kakang. Dalam suka mau pun duka," kata Roro Santika setulus hati.

Seda Arya tersenyum.

"Kau adalah istriku yang amat setia, Rayi.. Aku amat mencintaimu, Rayi..."

"Begitu pula aku, Kakang..."

Kedua tangan mereka saling genggam lagi. Lebih erat.

Masing-masing seakan mengalirkan rasa kasih dan cinta melalui kedua tangan masing-masing.

Inilah cinta sejati. Cinta yang tak pernah takut dengan resiko apa pun. Cinta yang tidak mengandalkan nafsu semata. Cinta yang datang dalam lubuk hati mereka.

Cinta yang tak pernah hanya menginginkan bila sedang ada rasa senang dan bahagia. Namun bila datang rasa kecewa dan duka, akan hilang rasa cintanya. Tidak, itu bukan cinta sejati. Itu cinta nafsu semata. Nafsu bisa bermacam bentuk dan ragamnya.

Bila cinta dilandasi nafsu birahi pun maka cinta seperti itu tak akan pernah abadi.

Tiba-tiba keduanya tersentak.

Terdengar ringkikan kuda yang amat keras.

Dan mereka merasakan kalau kereta kuda agak oleng sedikit.

Dan setelah dirasakan kembali pada keseimbangannya, kereta kuda itu telah berhenti.

Seda Arya sigap menyingkap tirai kereta kuda bagian depan.

Dan dia berseru keras, "Moro, apa yang telah terjadi? Mengapa berhenti?!"

Tetapi Seda Arya tak perlu lagi mendengarkan jawaban Moro. Karena dia sudah melihat dengan jelas, di depannya telah berdiri lima ekor kuda.

Dan para penunggangnya adalah empat lakilaki berwajah seram itu. Dan seorang wanita yang mengenakan cadar berwarna merah! Mereka seperti malaikat pencabut nyawa yang tengah siap menjalankan tugasnya!

***

2

Seda Arya tercekat melihat itu. Bagaimana mereka telah bisa berada di hadapannya? Pantas sejak tadi dia tidak melihat tanda-tanda para pengejarnya telah kelihatan. Rupanya mereka memotong jalan untuk mencegat mereka.

Seda Arya kembali masuk ke dalam kereta kuda itu.

Lalu tergesa-gesa dia berkata pada istrinya, "Rayi..."

Roro Santika dapat melihat kalau sepasang mata suaminya telah bicara dan menjelaskan semuanya.

"Orang-orang itu mencegat kita, Kakang?" "Benar, Rayi... Kini tak ada jalan lain untuk ki-

ta meloloskan diri. Dan aku tak mau ini pun menimpa kau dengan Barong Seta."

"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Roro Santika yang dapat merasakan ada sesuatu di balik katakata suaminya.

Seda Arya mendesah. Kini waktunya menipis sekali.

"Rayi... aku akan menghadapi orang-orang itu..."

"Tetapi, Kakang..." "Tidak ada tetapi lagi, Rayi. Sekarang kau dengarlah kata-kataku ini. Dan kuminta jangan membantah. Tak ada jalan lain lagi, Rayi. Nah, kau dengarlah dan kau patuhi semua katakataku ini. Sementara aku menghadapi orangorang itu, kau keluar dan larilah melalui pintu belakang kereta kuda ini. Ajak dan bawa Barong Seta berlari. Selamatkan dia, Rayi.. Bila sudah tiba saatnya, ceritakanlah semua ini padanya. Dan kuminta, Barong Seta untuk membalaskan semua dendam yang telah kita alami ini, Rayi..."

"Tapi, Kakang..." potong Roro Santika. Namun sebelum dia berkata suaminya sudah terlebih dulu memotong lagi.

"Sudah kubilang tadi, jangan membantah. Bawa pergi Barong Seta sekarang, Rayi. Cepat. Kita tak punya banyak waktu!"

"Kakang... aku tak bisa membiarkanmu sendiri saja disini..."

"Ada Moro yang akan menemaniku. Dan juga dua bilah pedang ini, Rayi..."

"Aku kuatir akan nasibmu, Kakang..."

"Bila Gusti Allah masih mengizinkan kita bertemu, pasti kita akan bertemu. Nah, pergilah, Rayi..."

"Kakang..." kata Roro Santika yang masih bingung dan kuatir.

"Ingat Rayi... kita tak punya banyak waktu lagi. Dan siapa yang akan membalaskan semua ini nanti, bila kau dan Barong Seta juga ikut terbunuh? Mengertilah akan semua keadaan ini Rayi... Kita tak punya banyak waktu lagi..." kata Seda Arya meyakinkan. Lalu dia melepaskan kalung yang dipakainya. Dan dipakaikan kepada Barong Seta yang terlelap. Lalu dia mengecup pipi bocah itu. "Bila nanti kau sudah mengetahui semua ini, bersumpahlah untuk membalaskan dendam hatiku ini, Anakku..." Lalu dia berpaling lagi pada istrinya. "Nah, pergilah Rayi..."

"Seda Arya! Cepat kau keluar!" terdengar bentakan bernada keras.

Ini membuat Seda Arya semakin tegang karena istrinya masih belum juga mau menuruti katakatanya.

"Rayi... pergilah, kita tidak punya banyak waktu lagi! Ayolah, Rayi..."

"Kakang..." desis Roro Santika bagai desahan belaka. "Maafkan aku..."

"Aku yang seharusnya meminta maaf padamu, Rayi... Nah, pergilah.."

Di luar kembali terdengar bentakan yang keras. "Seda Arya... bila kau tidak keluar dalam hitungan ketiga, akan kami bakar hangus kereta

kuda itu..."

"Kau dengar itu, Rayi?" kata Seda Arya pada istrinya. "Ayo. jangan membuang waktu lagi..."

Lalu dengan hati berat dan pilu, Roro Santika menggendong putranya. Dibantu oleh suaminya, dia turun melalui pintu belakang kereta kuda itu dengan hati-hati.

Masih ditatapnya dulu suaminya sebelum dia melangkahkan kaki untuk melarikan diri. "Larilah, Rayi... larilah yang jauh...," kata Seda Arya.

Roro Santika terisak.

"Aku cinta padamu, Kakang..." "Aku pun cinta padamu, Rayi..."

Lalu tubuh wanita yang menggendong anaknya itu pun berlari.

Terus berlari mencoba menjauhi tempat itu.

Malam begitu pekat sekali.

Sesudah istrinya lenyap dari pandangan, Seda Arya mengambil dua bilah pedang yang ada di kereta kudanya.

Lalu dia keluar bersamaan bentakan yang terdengar lagi.

"Hahaha... rupanya kau masih punya nyali juga, Seda Arya! Nah, membunuh dirilah kau sekarang!" seru salah seorang laki-laki yang berwajah seram. Dia mengenakan kalung tengkorak. Dengan rompi yang berwarna hitam. Di lengannya ada cap gambar tengkorak pula.

Seda Arya melompat dari kereta kudanya dengan gagah. Kini dia berhadapan dengan orangorang itu.

"Hhh! Orang-orang biadab!" bentak Seda Arya.

Laki-laki yang mengenakan kalung tengkorak itu kembali terbahak.

"Hahaha... kami memang orang-orang biadab! Dan orang-orang biadab ini sebentar lagi akan mencabut nyawamu, Seda Arya!"

"Hhh! Sampai sejauh ini kalian belum mengatakan mengapa kalian mengganggu ketenangan kami, hah?!"

"Agaknya kau amat begitu penasaran dengan sebab-sebab itu, Seda Arya!"

"Bagaimana tidak? Aku mengenal kalian pun belum! Dan mendadak saja kalian telah membuat onar dan menurunkan tangan telengas!"

"Bila kau penasaran, baiklah... aku akan memberitahukannya padamu, Seda Arya... Hhh! Pernah kau mengingat akan satu peristiwa tiga belas tahun yang lalu, di mana kau menggauli seorang gadis hingga gadis itu hamil lalu kau meninggalkannya? Ingatkah kau akan peristiwa itu?"

Seda Arya tercenung.

Dan perlahan-lahan peristiwa tiga belas tahun yang lalu terbayang lagi. Sebelum dia menjadi bupati, dia adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Banyak para gadis yang mencintainya. Namun tak seorang pun dari gadis-gadis itu yang mendapatkan cintanya atau pun disambut cintanya.

Dari kesekian gadis yang mencintanya ada seorang gadis yang bernama Mawar. Gadis itu begitu mencintainya. Dan amat mendambakannya. Namun sayang, Mawar pun harus menerima sakit hatinya karena Seda Arya tidak menyambut cintanya.

Tetapi hal itu bukannya malah menyurutkan kemauan Mawar.

Dia sudah terlanjur mencintai pemuda itu. Maka pada suatu malam, dia mengundang Seda Arya ke rumahnya. Seda Arya yang belum tahu maksud busuk dari gadis itu, hanya menurut saja. Dan meminum air yang telah dimasukkan obat perangsang oleh Mawar.

Dan semuanya pun terjadi.

Dalam keadaan birahi yang mendadak saja timbul, Seda Arya menggauli gadis itu. Setelah dia sadar, barulah dia tahu kalau dirinya tengah dijebak oleh Mawar.

Dan dia tak pernah lagi datang ke rumah itu. Bahkan Seda Arya pun meninggalkan desanya lalu mengabdi di tumenggungan. Dari sanalah dia bisa diangkat sebagai bupati dan mencintai seorang gadis yang bernama Roro Santika hingga mempunyai seorang putra.

Masalah Mawar dia sudah tidak ambil perduli lagi. Bahkan dia tidak pernah tahu lagi akan nasib Mawar.

Dan kini setelah tiga belas tahun berlalu, ternyata ada yang datang untuk membalaskan sakit hati Mawar.

Seda Arya menatap kelima manusia itu.

"Hhhh! Rupanya kalian datang salah alamat padaku! Kalian tahu apa yang telah terjadi sesungguhnya, bukan? Gadis yang bernama Mawar itulah yang menjebakku hingga aku terlena. Karena minuman yang disuguhkannya telah dibubuhinya obat perangsang!"

"Tetapi kau tidak bertanggung jawab setelah itu, Hah!"

"Apanya yang harus kupertanggung-jawabkan? Aku dalam keadaan terpengaruh obat perangsang!"

"Dan gadis itu terlunta-lunta selama hidupnya! Putranya meninggal saat berusia satu tahun. Lalu gadis itu pun menjadi setengah gila. Untunglah aku dan ketiga kawanku ini menemukannya. Dan dia kami angkat sebagai murid!"

"Oh!" Seda Arya tercekat. Sebagai murid? Kalau begitu, tentunya gadis bernama Mawar itu masih hidup? Tapi di mana? Di manakah dia?

"Kau terkejut mendengarnya, bukan? Dan kau akan terkejut lagi bila mengetahui kalau gadis itu ada di dekatmu saat ini!"

Ada di dekatnya? Dada Seda Arya berdebar keras. Oh, di mana dia? Di mana?

"Di mana gadis itu?!" bentaknya. "Sungguh tidak tahu malu dia, masih mau meminta pertanggung-jawabanku padahal dia sendiri yang menjebakku!"

Orang itu tertawa.

"Hahaha.. sekarang dia sudah tidak sudi lagi menjadi istrimu. Tak pernah lagi. Kini dia datang untuk mencabut nyawamu!" kata orang itu. Dan tiba-tiba berbalik pada wanita yang mengenakan pakaian berwarna merah dan bercadar merah. "Bukankah itu yang kau inginkan sekarang, Mawar?"

Seda Arya tersentak. Mawar? Wanita yang bercadar merah itu Mawar?

Tiba-tiba dia mendengar suara yang dingin dari balik cadar itu, "Seda Arya.. aku memang datang untuk membalas semua sakit hatiku! Dan aku datang tidak lagi meminta pertanggungjawabanmu! Tetapi meminta nyawamu!"

Seda Arya tercekat. Suara itu... ya, ya... suara Mawar! Tetapi terdengar dingin dan menebarkan hawa mengerikan.

Namun Seda Arya bukanlah laki-laki penakut. Apalagi merasa tidak bersalah karena dia yang dijebak oleh gadis itu.

"Tak kusangka peristiwa lalu yang kau buat sendiri kini malah menjeratmu! Mawar... sadarkah kau kalau semua yang kau lakukan itu karena ulahmu sendiri?!"

"Persetan dengan semua yang kau katakan!" bentak wanita bercadar merah itu yang tak lain Mawar, gadis yang tiga belas tahun lalu menjebak Seda Arya.

"Lalu apa yang kau inginkan sekarang, hah?!" "Bodoh! Masih banyak tanya pula kau, Seda

Arya! Aku datang sudah tentu ingin mencabut nyawamu!" bentak Mawar dengan marah. Di balik cadar merahnya terlihat wajah yang begitu geram dan mendendam pada laki-laki yang menolak cintanya.

Dulu Mawar berpikir, bila dia sudah berhasil menjerat laki-laki itu dengan jalan menggaulinya maka dia akan bisa mendapatkannya. Namun dugaannya salah besar karena laki-laki itu justru menjadi semakin muak padanya.

Namun malam ini, malam yang menjelang pagi, dia tak perduli lagi akan semua cinta! Yang diinginkannya hanyalah nyawa laki-laki yang telah membuatnya menjadi terlunta-lunta.

Mawar beruntung karena bertemu dengan empat laki-laki yang kemudian menjadi gurunya. Meskipun dia harus mau digilir oleh empat lakilaki itu setiap malam.

Seda Arya mendengus.

"Kau bunuh aku pun percuma, Mawar! Karena kau tetap tak akan mendapatkan cintamu!"

"Hhh! Kau salah duga, Seda Arya. Kau yang akan mengemis cintaku! Dan kau akan mampus di tanganku! Seperti laki-laki goblok yang mencoba menyerang kami itu dengan pecutnya!"

Seda Arya seketika menengok ke arah yang ditunjuk Mawar.

Dan dia terkejut melihat sosok tubuh Moro telah menjadi mayat dengan luka yang dalam di bagian dadanya.

"Moro!" serunya dan berlari menghampiri. Mawar terkikik.

"Hihihi.. nasibmu pun tak akan berbeda dengan laki-laki goblok itu, Seda Arya!"

Tiba-tiba Seda Arya berbalik. Sepasang matanya menatap marah dan beringas.

"Sungguh kejam kau, Mawar!"

"Dan kau akan melihat lagi kekejamanku nanti, Seda Arya! Sebagai pengobat rasa lukaku yang begitu dalam yang kau buat tiga belas tahun yang lalu!"

"Tetapi itu semua karena perlakuanmu sendiri, Mawar! Kau sendiri yang menjebakku untuk berbuat demikian! Kau sendiri yang membubuhkan obat perangsang di dalam minuman yang kau suguhkan padaku!"

"Perduli setan dengan semua ucapanmu itu, Seda Arya! Nah, kini ajal telah siap untuk menjemputmu! Maafkan bila aku menurunkan tangan telengas padamu!"

"Hhh! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu, Mawar?! Sejengkal pun aku tak akan mundur dari hadapanmu! Sampai kapan pun juga!" seru Seda Arya dengan suara gagah dan bersiap dengan sepasang pedang di tangannya.

"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana kebenaran ucapanmu itu, Seda Arya!" seru Mawar sambil bersiap pula untuk menyerang.

Terdengar suara laki-laki yang berwajah seram tadi.

"Tolong... jangan terlalu telengas kau menurunkan tangan, Mawar!"

"Kenapa, Guru?" tanya Mawar pada gurunya yang bernama Ki Tunggang Rekso. Dia bergelar si Tangan Tengkorak.

"Hahaha.. rupanya muridku telah menjadi bodoh karena terlalu bernafsu untuk membunuh! Kita akan menyiksanya nanti, Mawar!"

Mawar mengangguk.

"Kalau itu maunya Guru, baiklah!" desisnya. Lalu dia berkata pada Seda Arya, "Nah, kau bersiaplah untuk segera mampus, Seda Arya!" seru gadis itu seraya menyerbu dengan dua tangan yang seperti hendak mencekik. ***

3

Seda Arya yang sudah bersiap sejak tadi pun segera melompat maju memapaki dengan sepasang pedangnya. Serangannya pun hebat dan cepat.

Penuh tenaga.

Ketika keduanya hampir berbenturan, dengan satu gerakan yang amat cepat Mawar menarik pulang tangannya dan melenting ke atas.

Dan dengan satu gerakan yang hebat pula diperlihatkan oleh Mawar. Masih melenting ke atas dia mengirimkan satu pukulan ke kepala Seda Arya.

Namun laki-laki itu pun memperlihatkan ketangguhannya pula.

Tiba-tiba saja dia berguling ke tanah.

"Hebat! Ternyata kau masih begitu hebat, Seda Arya!" desis Mawar sambil berguling pula ketika dia telah hinggap di tanah. Tubuhnya bergulingan mengejar Seda Arya.

Seda Arya sendiri terkejut melihat kelincahan yang diperlihatkan Mawar. Namun dia sadar karena gadis ini telah digembleng oleh empat orang guru yang tentunya amat sakti. Dan sudah tentu pula kesaktian Mawar berlipat ganda karena dia menguasai empat ilmu yang dipegang oleh keempat laki-laki menyeramkan itu.

Dia bukanlah seorang gadis tiga belas tahun yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang gadis yang dipenuhi oleh dendam yang amat sangat.

Seda Arya menggerakkan tubuhnya dengan jalan menumpu pada kedua tangannya dan melompat berbalik ke kiri. Serangan dari Mawar pun luput.

Hal itu membuat Mawar menjadi murka.

Tiba-tiba dia bersalto dari bergulingnya dan hingga di tanah. Seda Arya pun berbuat yang sama.

Baginya tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri. Kini dia diharuskan untuk mempertahankan diri dengan sekuat tenaga. Penuh perhitungan dan ketangguhan yang amat luar biasa.

"Seda Arya.. sepertinya kau memang masih seperti Seda Arya yang dulu. Yang hebat dan gagah. Cuma sayang., kehebatan dan ketangguhanmu itu hanya bersifat sementara saja!" bentak Mawar dengan geram.

"Mawar... hidup dan mati ada di tanah Tuhan! Dan agaknya kau melupakan masalah itu! Ingat Mawar., semua perbuatan kotormu ini diketahui oleh Tuhan! Dan bila Tuhan menakdirkan aku mati malam ini, maka aku pun pasti akan mati! Bukan oleh tanganmu yang kotor itu! Tetapi semua ini takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Bila Tuhan masih mengizinkan aku hidup, dengan cara apapun yang akan kau lakukan untuk membunuhku, tidak mustahil akan gagal dan sia-sia belaka!" seru Seda Arya dengan suara lantang dan gagah. Kata-katanya itu membuat wajah Mawar memerah.

"Bangsat kau, Seda Arya! Tetapi aku yakin, malam ini Tuhan akan menakdirkanmu mati di tanganku! Nah, tahan serangan!" sehabis berkata begitu Mawar kembali menerjang.

Kali ini serangannya begitu cepat. Buas.

Kejam.

Dan berbahaya.

Kedua tangannya membentuk cakar yang tajam. Dan kedua tangannya berkelebat dengan cepat ke sana kemari mengarah pada bagian-bagian tubuh berbahaya dari Seda Arya.

Seda Arya pun mengimbanginya dengan sepasang pedangnya. Dia pun tak mau nyawanya dicabut Mawar dengan percuma. Maka dia kembali meningkatkan serangan-serangannya.

Lima jurus berlalu.

Dan pada jurus berikutnya, Mawar menggeram hebat. Dan serangannya tiba-tiba bertambah cepat. Dengan satu tepisan tangan kanannya, terlepaslah pedang di tangan kiri Seda Arya.

"Hihihi.. kini pedangmu yang sebelah kiri, Seda Arya! Dan sekarang yang sebelah kanan! Berikut nyawamu sendiri!" bentak Mawar sambil menyerang kembali.

Dengan satu pedang di tangan kanannya, membuat Seda Arya menjadi kewalahan. Sebisanya dia mencoba menahan serangan-serangan Mawar. Dan, terlepaslah pedang di tangan kanan Seda Arya ketika Mawar bergerak dengan satu gerak tipu yang hebat. Kedua tangannya yang berbentuk cakar seakan hendak menyambar pergelangan kaki Seda Arya. Membuat laki-laki itu melompat ke atas. Namun mendadak saja tubuh wanita itu pun melompat ke atas, mengancam kemaluan Seda Arya. Seda Arya mencoba menangkisnya dengan kibasan pedangnya.

Dan saat itulah Mawar bergerak cepat. Tangan kirinya mencakar pergelangan tangan kanan Seda Arya. Hingga membuat laki-laki itu menjerit sakit dan terkejut.

Pedangnya pun terlepas! Mawar terkikik.

"Hihihi.. berikut ini nyawamu, Seda Arya!"

Seda Arya yang jelas-jelas melihat tak ada lagi jalan lain untuk meloloskan diri, membentak dengan gagah, "Buktikan ucapanmu itu, Mawar!"

"Hihihi.. agaknya kau sudah tidak sabaran sekali, Seda Arya! Apakah kau tidak mendengar kata-kata guruku tadi Ki Tunggang Rekso yang meminta padaku agar tidak membunuhmu? Ah, aku sebagai murid yang taat tidak akan berbuat untuk melawan semua perintah guruku!"

"Lakukanlah yang diperintahkannya itu!" "Bagus! Nyalimu memang besar sekali, Seda

Arya!"

"Mawar., untuk apa kau banyak cakap lagi terhadapnya, hah?!" bentak salah seorang dari mereka, yang tengah menunggu dengan tidak sabar melihat Mawar menurunkan tangan.

Mawar menoleh pada orang yang berseru itu. Dia berpakaian warna hitam. Dengan celana hitam yang kedombrongan. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu yang mirip seperti tongkat kayu untuk penggebuk anjing. Dia bernama Ki Bayu Utara atau yang bergelar si Tongkat Penggebuk Anjing.

"Baik, Guru!" sahut Mawar.

"Cepatlah, Mawar... aku sudah tidak sabar ingin menyiksa manusia itu!"

"Baik, guru!" sahut Mawar pula. Patuh. Lalu dia berpaling pada Seda Arya. "Nah, kau dengar sendiri itu, Seda. Bersiaplah kau sekarang!"

"Sejak tadi aku sudah tidak sabar menunggunya, Mawar!" sahut Seda Arya sambil membuka jurusnya.

Mawar terkikik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah melayang ke arah Seda Arya. Dengan cepat.

Seda Arya memapaki. "Des!"

Dua pukulan itu berbenturan. Tubuh Roro Santika terhuyung ke belakang beberapa tombak.

"Gila, tenaga dalam wanita itu rupanya tinggi sekali!" desisnya dalam hati.

"Hihihi... kau terkejut mengetahui betapa hebatnya tenaga dalamku bukan, Seda?" terkikik Mawar.

Tetapi Seda Arya adalah laki-laki yang pemberani. Dia pun merasa tak ada jalan lain selain melawan.

Maka ketika wanita itu kembali menerjang. Seda Arya pun bersiap dengan segala resikonya.

Kembali keduanya saling serang dengan hebat. Seda Arya dapat mengukur kemampuan lawannya yang demikian tinggi. Dia pun sebisanya untuk melayani kemauan wanita itu.

Namun pada jurus berikutnya terlihat Seda Arya terdesak.

Pukulan dan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Mawar begitu hebat. Dan membuatnya menjadi kalang kabut. Berkali-kali seranganserangan wanita itu mengenai sasarannya. Membuat Seda Arya terdesak mundur.

Dan dengan satu jeritan yang kuat, tiba-tiba tubuh Mawar melenting dan kembali kedua tangannya membentuk cakar.

Seda Arya terkejut.

Namun sulit baginya untuk menghindari serangan itu.

Sebisanya dia mencoba memapaki. Namun akibatnya sungguh teramat fatal.

"Des!"

Keduanya beradu tenaga. Tetapi bagi Seda Arya yang sudah kehilangan banyak tenaga dan terdesak sementara Mawar masih dalam keadaan segar bugar tidak menguntungkannya. Tubuhnya terpental beberapa meter ketika kedua pukulan itu berbenturan.

Dan menabrak sebuah pohon. "Bruak!" Tubuh Seda Arya terpelanting jatuh dan pingsan.

Mawar mendengus dalam-dalam. Ki Bayu Utara terbahak.

"Bagus, Mawar! Bagus sekali!" serunya. Mawar tersenyum puas.

"Lalu apa yang akan kita lakukan, Para guru sekalian!"

"Kau lihat saja nanti? Nah... sekarang kau bunuhlah perempuan dan bocah yang masih berada di dalam kereta kuda itu! Bunuhlah mereka, Mawar... karena merekalah yang menjadi duri dalam cintamu!"

Kemarahan dan dendam Mawar menjadi semakin jadi saja. Wanita bercadar merah itu pun melangkahkan kakinya ke kereta kuda. Lalu dengan sekali lompat dia telah berada di atasnya.

"Keluar kau perempuan laknat!" makinya seraya menyingkapkan tirai kereta kuda itu.

Tetap sungguh terkejut Mawar ketika tidak melihat dua sosok yang menjadikannya amat murka. Dia mengacak-acak. Lalu setelah yakin kedua orang itu tidak ditemukannya dia menggeram amat marah.

Lalu tubuhnya melenting kembali keluar. "Mereka tidak ada di dalam, Guru!"

Sadarlah orang-orang itu kalau Roro Santika dan putranya sudah melarikan diri.

Mereka menyesali karena mereka terlalu terpaku pada Seda Arya.

"Hancurkan kereta kuda itu, Mawar!" Maka dengan geram Mawar pun menggerakkan tangannya. Serangkum angin besar menderu menghantam kereta kuda itu.

Terdengar suara bagai ledakan. "DUAARRR!"

Dan hancurlah kereta kuda itu, membuat keempat ekor kuda yang terikat di sana menjadi terkejut. Terdengar ringkikan mereka dan keempatnya pun berlarian serabutan.

Orang-orang itu terbahak.

Melihat Mawar yang masih berdiri dengan geram di dekat kereta kuda yang hancur itu, perlahan-lahan Ki Tunggang Rekso melompat dari kudanya.

"Untuk apa kau menyesali lagi, Mawar? Sudahlah... toh perempuan dan bocah itu tak akan bisa bertahan lebih lama lagi untuk hidup. Biarkan dia mampus di hutan jati yang menyeramkan ini!" katanya sambil memegang bahu muridnya.

Mawar berpaling.

"Maafkan saya, Guru... Saya amat mendendam dan penasaran bila belum membunuh orangorang itu "

Ki Tunggang Rekso tersenyum. Berusaha membujuk Mawar.

"Belum puaskah kau membunuh semua warga Bupati itu. Dan kau pun sekarang telah mendapatkan Bupati Seda Arya yang tengah pingsan itu. Nah, mari kita kerjai dia hingga mampus!"

Matahari telah sepenggalah. Sinarnya kini menerangi hutan jati itu. Dan sebagian sinarnya menerpa wajah Seda Arya yang masih pingsan.

Tak lama kemudian sepasang mata itu pun mengerjap-ngerjap. Dan ketika dibuka kembali ditutupnya lagi karena sinar matahari yang menyilaukan itu.

Tiba-tiba Seda Arya merasakan sakit yang luar biasa di kakinya. Kembali dia membuka matanya. Bukan main terkejutnya Seda Arya ketika melihat keadaan dirinya. Tubuhnya menggantung di sebuah dahan pohon dengan menghadap terbalik.

Kakinya di atas dan kepala di bawah.

Karena menahan berat tubuhnya itulah kakinya yang terikat dirasakannya amat sakit.

Apa yang telah terjadi? desisnya dalam hati. Dan perlahan-lahan dia teringat semua kejadian semalam. Ah, tentunya orang-orang biadab itu yang telah membuatnya seperti ini.

Didengarnya suara langkah-langkah mendekatinya. Seda Arya melihat empat laki-laki berwajah seram dan seorang wanita bercadar merah mendekatinya.

"Anjing buduk!" maki Seda Arya dalam hati.

Manusia-manusia ini benar-benar kejam.

Didengarnya suara Mawar berkata, "Hahaha... betapa  nyenyaknya  kulihat   tidurmu,   Seda Arya "

Seda Arya membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.

"Kau tak ubahnya iblis belaka, Mawar!"

"Ya... dan kau kini tengah berada dalam kekuasaan iblis itu, Seda Arya!" "Turunkan aku, Mawar! Ayo kita bertarung lagi!"

"Hihihi... untuk apa kau bertarung lagi denganku? Bukankah kau sudah kalah, Seda Arya?"

"Turunkan aku, Mawar! Turunkan aku! Kau dengar apa yang kukatakan itu?!"

"Aku tidak tuli, Seda Arya!" "Turunkan aku perempuan laknat!"

"Mengapa harus tergesa-gesa, Seda Arya? Bukankah kau sudah mendengar keinginan Guruku semalam?"

"Hhh! Perempuan iblis!" maki Seda Arya seraya meludah. Dan ludahnya tepat mengenai di wajah Mawar.

Mawar mendelik gusar. Menghapus bekas ludah itu. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak melayang, menampar pipi Seda Arya dengan keras.

Wajah Seda Arya memerah. Sakitnya itu bukan main kerasnya. Terasa sekali. Dan lebih sakit lagi hatinya mengingat dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Bangsat kau, Seda Arya! Masih beraninya kau berbuat seperti ini padaku, hah?!" geram Mawar gusar.

"Kau bunuhpun aku tidak takut, Mawar! Aku lebih baik mati dari pada berada di tanganmu dan tangan guru-gurumu yang kejam itu!" seru Seda Arya.

"Hihihi... sayang, sayang sekali, Seda Arya... Keinginanmu itu tak akan terkabul. Karena kami tidak menginginkan kau mati. Kami ingin menyiksamu terlebih dulu! Biar kau dapat merasakan kepedihan hatiku, sakit hatiku dan dendamku kepadamu! Nah, katakanlah sekarang... kemana istri dan anakmu itu pergi, Seda Arya?!"

Seda Arya mendengus.

"Tak pernah aku akan mengatakannya pada orang-orang biadab seperti kau dan guru-gurumu itu, Mawar!"

"Itu terserah padamu, Seda Arya! Yang pasti, kau nikmatilah hidangan kami berikut ini!"

Lalu Mawar mendekatinya.

Hati Seda Arya berdebar keras. Dia dapat menduga kalau orang-orang ini sudah akan memulai siksaan mereka.

Tetapi dia tidak takut. Dia tidak pernah takut menghadapi resiko apa pun. Dan Seda Arya merasa beruntung karena istri dan anaknya telah melarikan diri.

Tiba-tiba dia melihat Mawar mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik baju merahnya. Dan dengan satu gerakan yang amat cepat, dia sudah meraih kedua tangannya, membuat Seda Arya menjadi kesakitan.

"Nikmatilah permainan ini, Seda Arya!" dengusnya dan tiba-tiba pula dia mengembangkan jari-jemari Seda Arya. Dengan satu gerakan yang amat cepat, pisau bergerak, memotong jari telunjuk Seda Arya.

Seketika terdengar lolongan yang amat mengerikan. "Akhhhhhhhhhh!"

Mawar terkikik melihat Seda Arya yang kesakitan.

Darah mengucur dari jari telunjuknya yang buntung.

"Dan akan lebih menikmati permainan ini lagi, Seda Arya!" desisnya.

Dengan kejam dia pun memotong jari jemari Seda Arya satu persatu. Lolongan keras Seda Arya tak diperdulikannya lagi.

Dan buntunglah kesepuluh jari tangan Seda Arya.

Darah semakin keras mengucur. Seketika wajah Seda Arya menjadi pucat.

Namun siksaan yang dialaminya belum sampai di sana saja.

Ki Bayu Utara mengambil sebotol air dan menyiramkannya pada jari-jemari yang buntung itu. Membuat Seda Arya merasakan perih yang amat sangat.

Belum lagi yang dilakukan oleh Ki Tunggang Rekso. Dia memukuli perut Seda Arya dengan keras.

Ki Pergola Buta, laki-laki yang sebelah mata kirinya picak mengambil senjatanya sepasang trisula. Dan keduanya berkali-kali dihunjamkan pada sekujur tubuh Seda Arya.

Perbuatan orang-orang begitu biadab. Kejam sekali.

Yang lebih biadab lagi apa yang dilakukan Ki Jalak Pancang. Laki-laki yang mengenakan sorban berwarna hitam.

Dia mengencingi wajah dan jari jemari yang terluka dari Seda Arya. Membuat laki-laki yang tergantung itu menjadi gelagapan dan pedih di hati.

Namun orang-orang biadab itu terus tertawa saja. Tanpa perduli akan kesakitan dan perih yang dirasakan oleh Seda Arya.

"Bagaimana, Seda Arya? Bukankah ini sebuah permainan yang amat menyenangkan?" desis Mawar dengan suara mirip setan betina.

Seda Arya meludah. Meskipun sekujur tubuhnya dirasakan bukan main sakitnya, namun dia berusaha untuk tetap tegar.

"Kalian memang orang-orang biadab!" "Kau amat menyukainya, bukan?"

"Mawar... mengapa semua kesalahan yang kau lakukan sendiri tiga belas tahun yang lalu harus kau tumpahkan padaku? Berpikirlah secara sehat. Kau yang salah, kau yang harus menanggung semua akibatnya! Bukan aku yang hanya kau jadikan sebagai getahnya saja!"

"Memang bukan itu yang membuatku menjadi kejam seperti ini, Seda Arya... tetapi kau yang telah berani-beraninya menolak cintaku. Cinta tulus dan murni yang akan kupersembahkan padamu... kau sia-siakan begitu saja "

"Mawar... insaflah kau... Bahwa semua yang kau lakukan ini adalah kesalahanmu sendiri "

"Dan juga kesalahanmu karena menolak cintaku hingga aku menjadi seperti ini!" "Mawar! Kukatakan sekali lagi, bukan kesalahanku! Cinta tidak dapat dipaksakan!"

"Tetapi aku ingin memaksa. Hingga timbul dalam pikiranku untuk menjebakmu. Mungkin dengan cara seperti itu kau mau menerima cintaku dan mengawiniku. Namun semuanya sia-sia belaka. Dan kau meninggalkan aku dalam keadaan hamil. Kau biarkan aku terlunta-lunta. Dan kau biarkan putramu sendiri mati secara mengerikan akibat malaria! Kau tak pernah menengoknya walau sekali pun, Seda Arya! Tak pernah sekali pun! Ini yang membuatku amat sakit hati dan mendendam padamu!"

"Dan kau sudah mengakuinya bukan, kalau ini salahmu dan sengaja menjebakku!"

"Ini bukan salahku, Seda Arya! Kulakukan semua ini karena aku mencintaimu!"

"Tetapi aku tidak mencintaimu, Mawar!"

"Saat ini aku tidak perduli lagi dengan cintamu! Yang pasti aku tetap akan membalas semua sakit hatiku padamu!"

"Kau salah tempat, Mawar! Kau melakukan semua ini karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kau tidak bisa memaksakan kehendakmu padaku! Karena aku tidak mencintaimu!"

"Sekarang aku tidak perduli lagi, Seda Arya! Nah, marilah kita lanjutkan permainan ini!" kata Mawar dengan bengis.

Wanita itu memang telah menjadi kejam karena cinta yang tak terbalaskan. Lebih-lebih setelah dia menyerahkan semuanya meskipun dengan jalan menjebak, namun Seda Arya tetap tidak mau mengawininya. Ini membuatnya semakin telengas dan lupa diri.

Dia kembali menyayat-nyayat tubuh Seda Arya dengan pisau kecilnya.

Lalu menyayat-nyayat wajah Seda Arya. "Sayang... Wajah yang tampan ini harus ku-

musnahkan, Seda Arya!" desisnya.

Seda Arya menjerit-jerit kesakitan.

Dan lebih sakit lagi ketika tiba-tiba Mawar mencongkel kedua matanya. Setelah itu menghunjamkan pisaunya ke jantung Seda Arya.

Terdengar lolongan yang panjang menyayat ha-

ti.

Lalu matilah Seda Arya dengan tubuh yang

hancur lebur akibat siksaan itu.

Mawar meludahi wajahnya.

Dan bersama keempat gurunya, mereka pun menunggang kuda masing-masing dan meninggalkan tempat itu.

***

4

Tubuh wanita itu telah menjadi amat lunglai. Sekujur tubuhnya dirasakan letih sekali. Namun anak yang baru berusia tujuh tahun itu malah gembira berjalan di sampingnya.

Lalu dia berkata, "Ibu... kenapa kita tidak mengajak ayah? Barong suka berjalan-jalan seperti ini. Cuma sayang ya, Bu... kenapa ayah tidak ikut?"

Wanita yang tak lain Roro Santika dan putranya Barong Seta melirik bocah itu. Ada kepiluan yang amat sangat di hati Roro Santika.

Belum saatnya putraku, belum saatnya aku memberitahukan semua ini padamu. Nanti bila saatnya tiba, aku akan menjelaskannya padamu.

"Ayah... ayahmu sedang ada tugas, Anakku "

desis Roro Santika pilu.

"Ayah memang selalu sibuk ya, Bu? Sayang, sayang sekali dia tidak ikut bersama kita. "

Sudah hampir seminggu lamanya Roro Santika melarikan diri bersama putranya. Siang dan malam mereka berjalan terus. Walau sekali-sekali mereka beristirahat.

Dan pagi ini, mereka telah tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Aroma masakan yang nikmat menusuk hidung dari sebuah kedai.

Membuat perut Barong Seta menjadi lapar. "Bu... Barong lapar. " kata bocah itu.

"Begitu pula dengan aku, Anakku... aku pun lapar," kata Roro Santika dalam hati. Lalu dengan hati-hati dia merogoh angkinnya. Masih ada tiga keping uang perak yang mungkin masih cukup untuk membeli makanan.

"Kau lapar, Barong?"

"Iya, Bu. Bau masakan itu enak sekali. Barong lapar jadinya "

"Kalau kau mau, kita bisa makan di sana, Barong " Lalu diajaknya putranya memasuki kedai itu. Roro Santika hanya memesan nasi, mie dan ikan. Karena dia kuatir tidak cukup uang yang akan dipakai untuk membayar.

Roro Santika begitu suka melihat putranya makan dengan lahap. Dia hanya sedikit memakan nasinya, karena kuatir putranya masih ingin menambah.

Benar saja, ketika putranya hendak nambah, diberikannya nasi yang ada di piringnya.

"Lho, kenapa tidak dipesan saja lagi, Bu?" tanya bocah itu heran.

Roro Santika sejenak gelagapan. Dipesan lagi? Oh, dari mana uangnya untuk membayar, Anakku?

Sudah tentu dia tidak menjawab seperti itu. Lalu katanya, "Ibu sebenarnya tidak lapar,

Anakku... Ibu masih kenyang "

"Lho, bukankah kita sejak semalam belum makan, Bu?" tanya bocah itu lagi.

"Tapi Ibu masih kenyang," sahut Roro Santika. Ah, rupanya sulit sekali untuk membuat anaknya percaya. Kalau saja keadaan kita tidak seperti ini, Anakku... kau minta apa saja yang ada di kedai pun akan ibu berikan, desis Roro Santika melanjutkan dalam hati.

"Heran... Ibu belum makan apa-apa kok sudah kenyang. Biar itu ibu makan saja. Barong memesan lagi ya, Bu?"

"Oh, jangan... jangan Barong. Makanlah apa yang ibu punya ini. Sayang kan, ibu tidak memakannya kau sudah memesan nasi lagi "

Walau masih keheranan akhirnya bocah itu pun mengambil nasi milik ibunya. Dan memakannya dengan lahap.

Uang tiga keping itu pas sekali untuk membayar apa yang telah mereka makan. Setelah itu Roro Santika kembali mengajak putranya berjalan.

"Kita memangnya mau ke mana, Bu?"

"Mau ke mana?" tertegun Roro Santika sampai menghentikan langkahnya. Dia terdiam. Ya, mereka mau kemana? Ke mana tujuan mereka? Roro Santika seperti disadarkan kalau dia dan putranya tidak punya tujuan.

Melihat ibunya seperti bingung, Barong Seta menjadi bertambah heran.

"Kenapa, Bu?"

"Oh, tidak, tidak... Anakku. Ya, ya... kita hendak pergi ke rumah kakak Ibu."

"Oh, benarkah, Bu?" seru bocah itu gembira. "Benar, Anakku. Kita akan pergi ke sana. Kau

pasti senang sekali."

"Barong senang sekali mendengarnya, Bu." "Nah mulai saat ini, kau jangan banyak tanya

lagi, ya? Bukannya Ibu tidak suka kau bertanya, tetapi ibu tak mau kau menjadi cerewet seperti itu."

"Baik, Bu. Barong tidak akan banyak bertanya lagi."

Ketika Roro Santika bermaksud hendak melangkah lagi, tiba-tiba di hadapannya muncul tiga orang laki-laki. Dan mencegat langkahnya.

Sikap mereka tidak bersahabat.

Perasaan Roro Santika mengatakan akan terjadi sesuatu yang menakutkan yang akan menimpa diri dan putranya. Tanpa sadar dia celingukan. Dan baru disadarinya kalau dia dan putranya tengah berada di jalan setapak.

Suasananya sepi.

Dengan takut-takut dan wajah pias Roro Santika menatap ke tiga orang itu yang berdiri menghadang. Tatapan mereka begitu menakutkan seakan hendak menelanjangi dirinya.

"Ka-kalian siapa?" desisnya takut-takut. "Hahaha... dia bertanya kita siapa, Muroto?"

tertawa yang seorang.

Yang dipanggil Muroto pun tertawa.

"Rupanya kau tidak sabar sekali untuk mengetahui namaku, Manis "

"Ka-kalian siapa...." ulang Roro Santika sambil mendekap tubuh putranya yang juga menjadi ketakutan. Namun tidak mengerti mengapa orangorang ini menghadang langkah mereka.

Muroto berpaling pada temannya yang berkata tadi.

"Benar apa yang kau katakan itu, Surogo. Wanita ini memang masih cantik dan begitu padat tubuhnya "

Surogo tertawa.

"Sejak mereka masuk ke kedai nasi itu aku sudah memperhatikannya, Muroto. Dan ini merupakan sebuah makanan yang amat empuk, bukan?"

"Benar, benar sekali... aku pun sudah tidak sabar untuk mencicipinya sekarang," tertawa Muroto seraya berpaling pada Roro Santika yang semakin ketakutan mendengar kata-kata orang itu. "Hahaha... namaku Muroto, Manis. Ini kawanku Surogo dan Purnomo. Nah, kau sendiri siapakah gerangan namamu, Manis... hahaha..."

Ketakutan Roro Santika semakin menjadi-jadi. "Kau-kau mau apa?"

"Mau apa? Sudah tentu kami akan mengajakmu bersenang-senang. Hmm... sepertinya kau sudah lama sekali tidak menikmati kesenangan sorga dunia. Hahaha... jangan kuatir Manis, kami akan memberikannya padamu "

"Oh, jangan... jangan..." desis Roro Santika sambil mundur dan masih mendekap putranya.

Ketiga orang itu malah terbahak. Dan serentak mereka mengurung wanita itu.

"Hahaha. kau mau lari kemana, heh?" tertawa

Purnomo sambil menyeringai.

"Jangan, jangan ganggu aku... Jangan aku

sudah bersuami "

"Tetapi kelihatannya kau sudah tidak pernah lagi menikmati kesenangan itu, bukan?" tertawa Muroto.

"Jangan kuatir, Manis... kami akan memberikannya padamu," kata Surogo.

"Bukankah ini merupakan suatu kesenangan bagimu. Di saat kau sedang membutuhkan, kau diberikan secara cuma-cuma oleh tiga orang lakilaki gagah seperti kami ini... hahaha!" tertawa Purnomo.

Dan ketakutan Roro Santika malah semakin menjadi-jadi.

"Jangan, jangan lakukan itu padaku... Jangan "

Tetapi ketiga malah terbahak. Tak perduli dengan ketakutan Roro Santika.

Meskipun baru berusia tujuh tahun, namun keberanian Barong Seta telah diwarisi dari ayahnya.

Dengan sigap dan gagah berani dia berdiri di hadapan ibunya. Tangan berkacak di pinggang.

"Jangan ganggu Ibu, Orang-orang jahat! Jangan! Nanti kupukul kalian!" bentaknya berani.

Ketiga orang itu malah saling pandang. Lalu meledaklah tawa mereka.

"Kau bisa apa, Bocah?" terbahak Muroto berkata.

"Jangan ganggu Ibu!"

"Kami tidak ingin mengganggu Ibumu, Bocah. Kami hanya ingin memberinya kebahagiaan dan kesenangan!"

Kata-kata Muroto itu membuat hati Barong Seta menjadi bimbang. Bukankah bila diberikan kebahagiaan dan kesenangan itu amat menyenangkan.

Tetapi melihat wajah ibunya yang ketakutan dan seperti amat kuatir, membuat bocah itu berubah pikiran lagi.

"Tidak, ibu tidak memerlukan apa yang kalian ingin berikan! Sana pergi, jangan ganggu ibu!" "Hahaha... kau memang bocah pemberani ru-

panya! Cuma sayang, kami sudah terlalu berminat pada ibumu!"

"Pergi! Atau kupukul kau!" seru bocah itu sambil hendak memukul.

Roro Santika buru-buru mendekap putranya.

Dia kuatir putranya akan kenapa-napa.

Lalu katanya mengiba, "Tolong... tolong jangan ganggu aku! Aku bermohon pada kalian... tolonglah "

"Manis... bila kau mau menurut kehendak kami, kami tidak akan mengganggumu, juga anakmu "

"Tolong, tolong jangan ganggu aku "

"Kami tidak mengganggumu, Manis kami

hanya akan mengajakmu bersenang-senang!" kata Muroto seraya melangkah mendekat.

Barong Seta kembali menghalangi.

"Jangan ganggu Ibu! Sana, sana pergi! Kupukul kau nanti! Sana pergi!"

Muroto yang tadi merasa lucu melihat sikap anak itu, kini berubah menjadi jengkel.

"Bocah sialan!" "Sana, sana pergi!"

Muroto mendengus. Tidak perduli dengan semua yang dikatakan oleh Barong Seta. Dia malah mendekati lagi Roro Santika yang memegang lengan putranya erat-erat.

Namun belum lagi dia sempat memegang lengan wanita itu, sebuah pukulan yang tidak keras namun mengejutkannya mengenai tangannya. "Sana, sana! Jangan dekati Ibu! Orang jahat!

Sana pergi! pergi!"

Melihat hal itu kegeraman Muroto pada Barong Seta menjadi-jadi.

"Bocah sialan! Rupanya mau kuhajar kau!" "Pergi sana! jangan ganggu Ibu! Kau orang ja-

hat! Orang jahat! Pergi!" bocah itu berseru-seru dengan tatapan gemas dan gusar. Tangannya mengulap-ulap menyuruh orang-orang itu pergi.

Barong Seta memang seorang bocah gagah berani. Kepolosan dan kejujurannya sebenarnya amat menggemaskan. Namun bagi ketiga orang ini, malah menjengkelkan. Karena biarpun bocah itu tidak bisa berbuat apa-apa selain berseruseru, mereka kuatir kalau seruan bocah itu bisa terdengar oleh orang yang lalu lalang.

Rencana mereka bisa gagal.

Dan mereka tak mau gagal untuk menggarap korbannya ini.

Barong Seta sendiri tidak menyadari, kalau keberaniannya yang timbul secara naluri untuk melindungi ibunya bisa membahayakan dirinya.

Bocah itu masih berseru-seru mengusir orangorang itu. "Jangan dekati Ibu! Tinggalkan Ibu! Ayo sana, pergi kalian! Nanti kupukul ya?!"

Muroto yang sudah geram langsung mengibaskan tangannya menampar pipi Barong Seta.

Bocah itu terpental ke belakang. Berguling. Namun herannya tak terdengar suara mengaduh dari mulut bocah itu. Melihat putranya ditampar oleh Muroto, Roro Santika menjerit keras sambil menubruk putranya.

Pikirnya putranya akan pingsan. Tetapi Bocah itu tiba-tiba bangkit setelah bergulingnya berhenti.

Tatapannya meradang marah pada Muroto.

Muroto terkejut karena tatapan bocah itu amat mengerikan. Sepertinya dia marah karena ada yang berani mengusik.

"Jahat! Kau orang jahat! Kau berani pukul aku, hah?!" bentak Barong Seta. Tangan ibunya yang melilit di pinggangnya dilepaskan.

Roro Santika kaget karena bocah itu bisa terlepas dari pegangannya.

Matanya hampir tak percaya ketika melihat putranya kembali menyerang Muroto yang masih berdebar dadanya oleh tatapan anak itu.

"Baaarooooong!" seru Roro Santika dengan hati yang luar biasa kuatirnya.

Namun bocah itu sudah berlari menubruk Muroto.

Tetapi bagi Muroto, seberani apapun dan sekuat apapun, Barong Seta, tetaplah seorang bocah. Dan dia menjadi jengkel sendiri karena tertegun melihat tatapan bocah itu tadi.

Dan ketika bocah itu sudah dekat dengannya, dia mengibaskan tangannya.

"Plak!"

Kembali Barong Seta terpental dan bergulingan diiringi oleh jeritan Roro Santika. Namun kembali bocah itu bangkit. Sungguh luar biasa keberanian dan daya tahan Barong Seta menerima pukulan dari Muroto.

"Kupukul kau! Kupukul kau!" serunya sambil menyerbu kembali.

Lagi-lagi Muroto dibuat tertegun. Hingga dia tak sempat mengelakkan pukulan Barong Seta pada perutnya. Memang tidak keras dan tidak menimbulkan sakit. Namun membuat Muroto menjadi kaget kembali.

Dia baru sadar ketika didengarnya suara tawa Purnomo dan Surogo.

"Hahaha... melawan bocah seperti itu saja kau kaget melulu, Muroto!" ejek Surogo.

"Cepatlah bereskan!" seru Purnomo pula. "Aku sudah tidak sabar ingin menikmati tubuh ibunya!"

Mendengar kata-kata itu, Muroto langsung mengibaskan tangannya kembali pada Barong Seta yang datang menyerang lagi.

"Plak!"

Karena kerasnya tamparan itu, kali ini Barong Seta pingsan.

Roro Santika menjerit, "Baronggg!" Lalu diburunya putranya dan dipeluknya dengan hati pilu.

"Bagus, Muroto! Dan sekarang... kita siangi perempuan itu!" kata Purnomo sambil tertawa.

Lalu tanpa dikomando lagi ketiganya menubruk Roro Santika. Perempuan itu berusaha untuk meronta. Namun apa daya tenaganya yang lemah. Belum lagi karena memang kondisinya yang sudah payah berjalan.

Menghadapi salah seorang dari ketiganya saja dia belum tentu bisa melepaskan diri. Apalagi menghadapi ketiganya sekaligus.

Dan sebentar saja dia sudah berada dalam kekuasaan mereka.

Muroto menyeringai.

"Hehehe... kini giliran kita bersenang-senang, manis!" desisnya pada Roro Santika yang diterlentangkan.

"Lepaskan, lepaskan aku!" seru perempuan itu sambil mencoba meronta.

Tetapi ketiganya mana mau melepaskan. Tangan Muroto pun sudah siap untuk menarik pakaian Roro Santika di bagian dada. Namun belum lagi tangannya bergerak, terdengar seruan bernada keras, "Tunggu!"

***

5

Ketiga laki-laki itu serentak menoleh pada arah datangnya suara. Mereka melihat seorang nenek bongkok bertongkat kayu telah berdiri di dekat mereka.

Muroto yang merasa jengkel karena ada yang berani-beraninya menghalangi perbuatannya langsung berdiri sambil menggeram. Tatapannya gusar dan marah.

"Hhh! Siapa kau, Nenek peot?!" bentaknya kasar. Nenek itu cuma menyeringai. Menampakkan deretan giginya yang masih utuh. Dan gigi itu terbuat dari emas.

"Hehehe... maaf, maafkan aku yang mengganggu keasyikan kalian bertiga...." suara nenek itu ternyata nyaring sekali. Dia mengenakan pakaian kebaya biru dengan kain yang terlipat sampai ujung kakinya. Dan rambutnya dibuat seperti konde dengan tusuknya yang terbuat dari emas pula.

"Aku tidak butuh pertanyaan maafmu! Aku hanya tanya siapa kau yang telah lancang mengganggu keasyikan kami!" bentak Muroto geram.

"Hehehe... agaknya kau begitu penasaran ingin mengetahui namaku? Baiklah... namaku sendiri sebenarnya aku sudah lupa... maafkan aku... Tetapi orang-orang memanggilku si Bongkok Bergigi Emas... Nah, kau boleh memanggilku dengan sebutan apa saja. Aku paling suka bila dipanggil dengan sebutan Dewi... hehehe..."

Muroto mendengus. Nenek jelek ini minta dipanggil Dewi? Huh!

"Kebagusan amat memanggilmu dengan sebutan Dewi, Nenek bongkok!"

"Hehehe.... aku tidak memaksamu untuk memanggilku dengan sebutan itu hehehe... Kau galak sekali, Orang jelek... hehehe... benar, benar... kau jelek... bahkan teramat jelek sekali hehe-

heh "

Kata-kata nenek itu membuat kuping Muroto menjadi panas. Dia sudah jengkel karena keasyikannya terganggu, kini ada yang berani-beraninya mengatakannya jelek.

"Kau minta mampus rupanya, Nenek!" "Hehehe... tidak, aku tidak minta mampus...

Aku cuma ingin bertanya saja, Orang jelek..." "Bertanya apa?!"

"Apa yang tengah kau lakukan bersama dua temanmu yang juga jelek itu, hah?!"

"Ini bukan urusanmu, Nenek! Pergilah dari sini sebelum kami marah dan menurunkan tangan telengas padamu!"

"Kau rupanya semacam orang yang ringan tangan, Orang jelek... heheheh... tapi biarlah, biarlah... yang penting kau mau menjawab pertanyaanku itu "

"Bangsat! Pergi kau dari sini, Nenek Bongkok!" "Aku akan pergi bila kau sudah menjawab per-

tanyaanku!"

Kemarahan Muroto semakin menjadi-jadi. Tetapi dia menjawab juga pertanyaan nenek itu,

"Kami hanya mengajak perempuan ini bersenang-senang! Bukankah ini bagus sekali?!"

"Ya, ya bagus sekali!"

"Tentunya kau sendiri juga suka memberikan kesenangan pada orang lain, bukan?!"

"Ya, ya    aku suka melakukan itu!"

"Nah, pergilah dari sini! Kau pun suka dan setuju bila kita berbuat untuk kesenangan orang lain!"

"Ya, ya... itu bagus sekali. Tapi "

"Tapi apa, Nenek?" sahut Muroto gusar. Rasanya sudah tidak sabar dia ingin menghantamkan tangannya kepada nenek cerewet itu.

"Kalian sungguh-sungguh hendak mengajaknya bersenang-senang?"

"Ya!"

"Kalian jujur?" "Ya!"

"Kalau begitu... ada satu lagi pertanyaanku.

Kau harus menjawabnya pula!"

"Apa sebenarnya maumu, Nenek?!" bentak Muroto gusar.

"Hanya bertanya... hehehe.. bukankah kau tadi sudah mendengarnya, Orang jelek?!"

"Bangsat! Cepat kau katakan pertanyaanmu itu dan setelah ini kau pergilah!"

"Hehehehe... terburu-buru amat! Nah, jawab pertanyaanku... bila kalian mengajak wanita itu bersenang-senang, apakah wanita itu mau menerima ajakan kalian?"

"Sudah tentu! Kau lihat sendiri bukan, kalau dia nampak begitu suka!"

"Hehehe... ya, ya., cuma mataku ini masih awas, Orang jelek. Kulihat wanita itu tidak suka dan sekarang berada di bawah kekuasaan kalian! Aku pun melihat bocah itu pingsan! Nah, katakanlah yang jelas!"

Merasa nenek ini benar-benar mengganggunya, Muroto menjadi naik pitam.

"Kau banyak omong, Nenek bongkok! Cepat kau pergi dari sini!" bentaknya marah.

"Hehehe... bukankah kau belum menjawab pertanyaanku, Orang jelek! Nah, cepatlah jawab bila kau ingin aku benar-benar pergi! Tetapi ingat... bila wanita itu tidak suka kau ajak bersenangsenang, maka ini menjadi urusanku!"

"Apa maksudmu, Nenek peot?!"

"Karena aku tidak suka yang kuat menindas yang lemah! Dan ini merupakan tugasku untuk membasminya!"

Tiba-tiba terdengar suara Roro Santika, "Nenek... tolonglah saya dan anak saya... mereka orang-orang jahat, Nenek... Mereka hendak memperko aahh!"

Kata-kata itu terpotong karena tangan Surogo sudah menamparnya hingga perempuan itu pingsan.

Si Bongkok Bergigi Emas terkekeh.

"Hehehe.. kini jelas sudah, kalau wanita itu memang berada di bawah kekuasaan kalian. Dan aku tak pernah menyukai perbuatan itu "

"Setan kau, Nenek peot! Kau mencari mampus rupanya!" geram Muroto seraya menyerang dengan tiba-tiba.

Namun tanpa bergeser dari tempatnya berdiri, tiba-tiba Si Bongkok Bergigi Emas menggerakkan tongkat butut yang dipegangnya, ke arah ulu hati Muroto.

Karena gerakan itu amat tiba-tiba, membuat Muroto menjadi kaget dan menghentikan gerakannya. Namun mendadak saja tongkat di tangan nenek itu sudah bergerak memukul pahanya.

"Aaakhhh!" jerit Muroto. Tubuhnya sampai terguling. Kalau dilihat sepintas, gerakan tenaga nenek itu tak keras. Namun tongkat itu telah dialiri tenaga dalam. Hingga membuat Muroto merasa pahanya bagai remuk.

"Hehehe... maaf, maafkan aku... Aku tidak sengaja menggerakkan tangan!" terkekeh si Bongkok Bergigi Emas.

Melihat kawan mereka dihantam sedemikian rupa dan masih diejek, membuat Surogo dan Purnomo menjadi marah. Keduanya pun bangkit dan menyerbu nenek itu.

Dan lagi-lagi tanpa bergeser dari tempatnya, si Bongkok Bergigi Emas menggerakkan tangannya. Kembali tongkat itu membuat keduanya menghentikan gerakan mereka.

Namun mereka tak mau mengalami nasib sial seperti yang di alami Muroto. Keduanya sudah dapat menduga kalau tongkat itu akan kembali bergerak.

Dugaan mereka memang benar.

Karena tongkat di tangan nenek itu sudah bergerak kembali.

Tetapi Surogo dan Purnomo yang sudah menduga akan hal itu, dapat menghindari serangan tongkat nenek itu dengan jalan melemparkan tubuh ke kiri.

Keduanya bergulingan.

Dan serentak kembali berdiri.

Nenek itu terkekeh. "Hehehe... rupanya kalian berdua memiliki otak yang cukup cerdik hingga dapat membaca apa yang hendak kulakukan. Sekarang dengarkan kata-kataku, lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Dan tinggalkan pula perempuan dan bocah yang telah kalian buat pingsan itu sebelum aku menjadi marah pada kalian!"

Mendengar kata-kata bernada mengancam itu, tidak membuat mereka takut. Malah Surogo dan Purnomo sudah bersiap kembali hendak menyerang.

Sementara Muroto sudah berdiri lagi, meskipun dirasakan pahanya masih sakit. Tatapannya begitu geram pada nenek bongkok itu. Dia begitu mendendam sekali karena pahanya dihantam  oleh nenek itu. Dan membuatnya ingin membalas perlakuan itu.

"Rupanya kau nenek-nenek usil, Nenek peot!" geramnya sambil menuding dengan tatapan marah. "Kau telah menabur angin, maka kau akan menerima badai! Angin yang kau taburkan berupa kecerewetanmu yang ingin tahu masalah orang lain! Dan badai yang akan kau terima adalah kemarahan kami yang sudah sampai ke ubunubun!"

Tetapi si Bongkok Bergigi Emas cuma terkekeh. Menampakkan deretan giginya yang berkilauan terbuat dari emas.

"Hehehehe... mengapa tidak kau keluarkan saja kemarahanmu itu, Orang jelek?! Mengapa hanya kau simpan sampai ubun-ubun saja? Hehehe... rupanya kau jeri, ya?!"

"Nenek usil! Selain usil kau pun banyak omong pula, hah?!" bentak Muroto geram. "Persetan dengan semuanya, Orang Jelek! Aku cuma minta pada kalian untuk meninggalkan tempat ini cepat!"

"Hhh! Kau pikir, dengan gertakan macam itu mampu membuat kami takut?!" seru Surogo dengan suara sengak. "Kami bahkan hendak mencabut nyawamu, Nenek Peot!"

"Dan memberikan tulang-tulangmu pada anjing yang kelaparan!" sambung Purnomo.

Nenek Bongkok Bergigi Emas itu cuma terkekeh. Seakan merasa lucu dengan kata-kata yang diucapkan keduanya. Tetapi mendadak saja tawanya terhenti. Sepasang matanya meradang kepada mereka.

Menampakkannya sinar yang berbahaya. Suaranya pun meradang.

"Kalian telah memancing di air keruh!" geramnya.

"Tetapi bukan ikan sepertimu yang kami pancing!" tertawa Muroto. "Kau hanya pantas diberikan kepada binatang-binatang yang sedang kelaparan!"

"Bagus! Aku menyukai orang-orang pemberani seperti kau orang jelek!" seru nenek itu.

"Hehehe... maaf, maafkan aku, Nenek peot.  Aku tidak sudi menerima rasa sukamu... Kambing pun belum tentu mau menerima rasa sukamu!"

Kali ini wajah itu menjadi memerah. Dan mendadak saja tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak, tetapi posisi berdirinya tetap tak bergeser dari tempatnya.

Muroto, Purnomo dan Surogo merasakan ada serangkum angin yang datang ke arah mereka. Dan ketiganya dengan sigap berlompatan ke kanan dan ke kiri.

Serangkum angin itu lewat. Sebagai gantinya, batang-batang pohon yang berada di belakang ketiga orang itu terhantam. Dan terdengar suara "krak!" Lalu patah!

Melihat kejadian itu, ketiganya terkejut. Wajah mereka pias. Namun mereka bukanlah orangorang yang mudah mengalah. Apalagi pada orang yang mereka telah merusak keasyikan mereka.

Tanpa banyak cakap lagi ketiganya berlompatan menyerang.

Namun lagi-lagi tanpa bergeser dari berdirinya, nenek itu kembali menggerakkan tongkatnya.

"Wut! Wut! Wut!"

Gerakannya sungguh cepat dan sukar diikuti oleh mata.

Hasilnya pun sungguh luar biasa. Tangan kanan Surogo patah. Pinggang Purnomo terhantam bagaikan kena pukulan besi yang amat kuat. Dan Muroto sendiri kembali pahanya terhantam oleh pukulan kayu itu.

Ketiganya terpelanting ke tanah. Nenek itu terkekeh.

"Cepat kalian tinggalkan tempat ini!" bentaknya.

"Hhh! Kami akan mengadu jiwa denganmu, Nenek peot!" geram Muroto sambil bangkit menyerbu.

Namun tongkat kayu nenek itu mengakhiri gerakannya.

Kali ini nenek itu tak memberi ampun lagi. Kepala Muroto yang terhantam oleh kayu itu. "Krak!"

Kepala itu pecah dan bersimbahlah darah bersama cairan berwarna putih. Melihat kenyataan itu, Surogo dan Purnomo menjadi jeri.

Keduanya saling berpandangan.

Dan seperti sudah disepakati dan tanpa dikomando lagi, keduanya mendadak memutar tubuh dan berlari.

Tetapi kali ini si Bongkok Bergigi Emas tak mau melepaskan calon korbannya. Tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya.

"Wuuut!"

Serangkum angin keras mengarah kepada kedua orang itu. Dan akibatnya sungguh fatal. Keduanya terjungkir ke depan terhantam angin itu.

Bergulingan beberapa kali sebelum akhirnya tubuh keduanya menabrak pohon dengan keras. Kepala keduanya hancur seketika.

Nenek itu mendengus.

"Hhhh! Aku paling tidak suka dengan orangorang pengecut!" gumamnya.

Lalu dihampirinya tubuh Roro Santika yang masih pingsan.

Dan menghampiri Barong Seta yang dalam keadaan pingsan pula.

Nenek itu melihat warna biru di muka Barong Seta. Hhh! betapa kerasnya pukulan yang tentunya dilakukan oleh salah seorang dari mereka.

Lalu dialirinya tenaga dalamnya sedikit hingga warna biru itu perlahan-lahan menghilang. Dan mendadak nenek itu tersentak.

Seakan tidak percaya dilihatnya telapak tangan kanan bocah itu yang tadi dialiri tenaga dalamnya.

"Apakah mataku yang sudah tua ini mulai rabun?" gumamnya. Lalu dia mengucak-ngucak matanya. "Tak salahkan penglihatanku ini? Garis tangan yang ada di tangan bocah ini, begitu mirip dengan apa yang kumimpikan semalam! Bocah ini akan menjadi seorang pendekar tangguh di masa mendatang! Dan agaknya, bocah inilah yang berjodoh denganku, yang akan mewarisi semua ilmu yang kumiliki..."

Tak puas hanya sampai di sana memperhatikan tangan bocah itu, tangan-tangan si Bongkok Bergigi Emas meraba ke sana kemari. Memeriksa tulang-belulang yang terdapat di tubuh Barong Seta.

Lagi-lagi dia mendesah kagum.

"Bukan main! Tulang-tulang anak ini begitu kokoh dan hebat! Kuat! Aku yakin, ya, ya., aku yakin sekali... kalau bocah ini akan menjadi seorang pendekar yang tak terkalahkan..."

Tiba-tiba didengarnya suara erangan dari sampingnya.

Kepala nenek itu menoleh. Dia melihat perempuan yang pingsan itu sudah menggerakgerakkan kepalanya.

Perlahan-lahan sepasang mata Roro Santika mengerjap. Lalu membuka. Saat membuka mata itu kembali tertutup karena sinar matahari yang agak menyilaukan.

Si Bongkok Bergigi Emas menghampiri.

"Kau sudah sadar, Nimas " katanya lembut.

Mendengar ada suara di sampingnya, perlahan kembali mata Roro Santika terbuka. Saat fokus matanya berfungsi, dia melihat nenek yang telah menolongnya berada di dekatnya.

"Nek " desisnya pelan.

"Tenanglah, Nimas... bahaya telah lewat "

Mendengar kata-kata itu, kepala Roro Santika mencari-cari dan tubuhnya menegak. Duduk.

Dia melihat tiga sosok tubuh telah menjadi mayat. Seketika terdengar desahnya yang bernada lega.

Tetapi kemudian dia mendesis, "Anakku. "

"Anakmu tidak apa-apa, Nimas... Nah, ceritakanlah... mengapa semua ini terjadi. Dan kau siapa, Nimas?" kata nenek itu dengan suara lembut.

Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba saja sepasang mata itu mengalirkan air. Kesedihan kembali melanda hati wanita itu.

Dan betapa pilunya bila dia teringat kembali akan kejadian yang menimpa keluarga dan suaminya.

"Katakanlah, Nimas "

Lalu perlahan-lahan Roro Santika menceritakan apa yang telah terjadi. Hatinya benar-benar bertambah pilu. Dan amat memilukan isaknya yang terdengar kembali.

Si Bongkok Bergigi Emas merangkulnya. "Tabahlah, Nimas... semua sudah merupakan

takdir yang Maha Kuasa. Dan kita umat-Nya tidak akan bisa melawan takdir yang datang pada kita. Karena semua sudah digariskan oleh-Nya. Jadi Nimas.... tawakallah..."

Mendengar kata-kata yang bernada nasehat itu, membuat hati Roro Santika menjadi sedikit tentram. Bagai diguyur air yang amat dingin.

Lalu didengarnya kembali nenek itu bertanya. "Siapa namamu. Nimas?"

"Namaku Roro Santika, Nek." "Bocah itu putramu?"

"Ya."

"Siapa namanya?" "Barong Seta."

"Apakah kau ingin membalas dendam atas perbuatan orang-orang jahat itu dan kau yakin suamimu telah mereka bunuh?"

Sepasang mata itu bersinar.

"Iya, iya... Nek... aku mau membalas dendam. Pesan suamiku saat terakhir kali kami berpisah, dia meminta agar aku mencari seorang guru untuk putraku yang akan bisa membalas semua sakit hati ini. Nek... bisakah kau mengambil putraku sebagai muridmu?"

"Dengan senang hati Nimas. Dan kulihat, tulang belulang bocah itu begitu kuat. Dan yang perlu kau diketahui, garis tangannya mirip sekali dengan garis tangan bocah yang berada dalam mimpiku. Ya, aku akan menggembleng dan mendidiknya menjadi seorang pendekar yang tangguh."

"Oh, terima kasih, Nek!"

"Kalau begitu... mari kita pergi ke kediamanku!"

Lalu Roro Santika menggendong tubuh putranya yang masih pingsan. Dan langkahnya pun mulai bergerak mengikuti langkah si Bongkok Bergigi Emas yang sudah melangkah terlebih dahulu.

***

6

Sepuluh tahun sejak kejadian berdarah yang menimpa keluarga Seda Arya.

Pagi itu di Perguruan Topeng Hitam seperti biasanya para murid-muridnya tengah berlatih. Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah perguruan silat yang sudah terkenal namanya.

Ciri khas dari perguruan itu adalah, para murid-muridnya semua mengenakan pakaian berwarna hitam-hitam dengan sebuah topeng yang menutupi kepala dan wajah mereka yang berwarna hitam pula.

Mereka menggunakan senjata sepasang pedang yang tersampir bersilangan di punggung. Juga menggunakan senjata rahasia yang berbentuk sebuah topeng.

Perguruan Topeng Hitam dulu di pimpin oleh seorang Dewa Pedang yang bernama Paksi Uludara. Namun sebelum maut datang padanya. Paksi Uludara telah menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Madewa Gumilang, atau Pendekar Bayangan Sukma (baca : Dewi Cantik Penyebar Maut).

Dan pagi ini laki-laki yang berusia kira-kira 45 tahun itu tengah melatih para muridnya. Dia mengenakan pakaian kebesaran berjubah putih. Dengan senyum arif bijaksana yang selalu menghiasi bibirnya.

Dia nampak puas melihat hasil latihan hari ini. Para muridnya begitu tekun mengikuti dan menuruti semua perintahnya dalam latihan.

Tiba-tiba masuk seorang murid yang tengah bertugas menjaga. Dia menjura pada Madewa Gumilang.

"Hmm... ada apa, Pratama?"

"Maafkan saya, Ketua," sahut murid yang mengenakan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam pula. Para muridnya semua sudah mengetahui akan kehebatan guru mereka. Madewa Gumilang memang memiliki ilmu Pandangan Menembus Sukma. Pandangannya dapat menembus dua gunung sekaligus dan dapat melihat pada jarak ribuan mil jauhnya. Makanya meskipun semua muridnya mengenakan topeng hitam, Madewa dapat mengetahui siapa di balik topeng itu.

"Hmm. katakan, mengapa kau meninggalkan tempatmu?" tanya Madewa dengan suara berwibawa pula.

"Maafkan saya, Ketua. Ada seorang laki-laki yang datang kepada Ketua."

"Siapa dia?"

"Dia seorang pemuda yang kira-kira berusia 17 tahun, Ketua. Dia mengaku bernama Barong Seta."

"Barong Seta? Ada keperluan apa dia hendak menjumpai ku?"

"Dia mengaku ingin meminta informasi dari Ketua."

"Hmm. masalah apa?"

"Tentang beberapa nama yang hendak dia tanyakan."

Madewa terdiam. Siapa Barong Seta itu? Dan nama-nama siapa yang hendak ditanyakannya.

Lalu dia kembali menatap Pratama.

"Suruh dia masuk. Dan antarkan ke ruang pertemuan," kata Madewa. Pratama berlalu. Sementara Madewa sendiri berkata pada para muridnya, "Untuk latihan pagi ini selesai! Kalian boleh beristirahat!"

Setelah para muridnya menjura, Madewa pun berjalan ke bangunan besar itu. Perguruan Topeng Hitam dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi dan tebal.

Ketika hendak berjalan menuju ruang pertemuan, dia melihat istrinya tengah berdiri di ambang pintu kamarnya.

Heran istrinya bertanya, "Ada apa, Kanda?" Madewa berhenti melangkah. Menebarkan senyum pada istrinya.

"Ada seorang pemuda yang ingin bertemu denganku, Dinda," sahutnya.

"Siapakah gerangan dia, Kanda?"

"Dia mengaku bernama Barong Seta. Dan aku sendiri belum tahu apa maksud kedatangannya."

Istrinya mendekat.

"Boleh Dinda turut dengar, Kanda?"

Madewa menatap istrinya dalam. Dari sorot matanya terpancar kasih sayang yang tulus. Dia jadi teringat lagi siapa istrinya dan siapa dirinya dulu. Istrinya adalah putri dari seorang kaya yang bernama Biparsena, sedangkan dia hanyalah penjaga kuda-kuda dan pengawal pribadi istrinya kala itu.

Namun cinta telah bersemi. Meskipun saat itu Madewa mempunyai tugas untuk mencari penyebar fitnah pada gurunya, Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti, hingga gurunya menemui ajal karena fitnah itu, dia tetaplah mencintai Ratih Ningrum.

Dan yang membuat Madewa semakin yakin akan cinta gadis itu, karena gadis itu pun bertualang mencarinya setelah berguru pada tiga pengawal pribadi ayahnya.

Yang tak pernah Madewa sangka adalah, penyebar fitnah itu adalah ayahnya Ratih Ningrum sendiri, Biparsena (baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari dan Dendam Orang-orang Gagah).

Madewa mendesah melihat. Betapa kuat dan tabahnya akan kesetiaan isterinya, meskipun dialah yang membunuh ayahnya. Namun Ratih Ningrum merelakan semua itu, karena dia pun tahu ayahnya seorang dari golongan hitam. Dan dia tak pernah menyalahkan Madewa Gumilang.

Bahkan dia rela menjadi istri dari pemuda itu dulu.

Pemuda yang kini telah menjadi istrinya selama lebih dari dua puluh tahun. Bahkan putra mereka Pranata Kumala, telah beristri pula. Hanya saat ini, putra dan anak menantunya sedang bertualang mencari pengalaman.

Sama halnya dengan yang pernah dia lakukan dulu bersama suaminya, Madewa Gumilang.

Namun ada kejadian menyedihkan yang masih membekas di benak Ratih Ningrum. Tiga gurunya, Mukti si Pedang Kembar, Patidina, si Keris Tunggal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu telah tewas dalam satu pertarungan berdarah. Setelah sekian puluh tahun dia tak pernah berjumpa dengan ketiga gurunya, dan di saat gurunya datang perjumpaan itu hanya berlangsung beberapa hari saja. (baca: Warisan Berdarah).

Dan kini makam ketiga gurunya berada di belakang Perguruan Topeng Hitam.

"Bagaimana, Kanda?" tanya Ratih Ningrum yang melihat suaminya terdiam.

Madewa tersenyum.

"Mengapa tidak. Dinda? Kau adalah istriku yang tercinta. Kau tentu saja boleh turut dengar masalah apa yang dibawa oleh pemuda yang bernama Barong Seta itu."

Lalu keduanya pun memasuki ruang pertemuan.

Tak lama kemudian kembali Pratama muncul. Kali ini bersama seorang pemuda yang bertubuh gagah perkasa. Pemuda itu bertelanjang dada. Dan mengenakan celana pangsi berwarna hitam. Di pinggangnya terbelit angkin berwarna merah.

Di hadapan Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum, pemuda itu menjura bersamaan dengan Pratama.

"Beliau ini tamu yang saya maksudkan, Ketua..." kata Pratama.

Madewa mengangguk.

Pemuda itu berkata, "Salam hormat untuk Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum..."

"Salam hormat kembali untukmu, Ki Sanak," Sahut Madewa.

Lalu menyuruh Pratama keluar. Setelah itu, "Ki Sanak... silahkan duduk. Jangan terlalu sungkan."

Pemuda itu pun duduk di hadapan Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.

"Hmm... ada keperluan apa kau hendak menemuiku, Barong Seta?" tanya Madewa Gumilang.

Pemuda yang tak lain Barong Seta putra dari Roro Santika dan Seda Arya itu kembali menjura. Setelah sepuluh tahun lamanya dia digembleng oleh si Bongkok Bergigi Emas, kini dia telah menjadi seorang pemuda gagah dan sakti.

Di sela-sela dia berlatih, saat dia berusia 15 tahun, ibunya menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Dan bukan main geramnya Barong Seta. Dia berulangkali mendesak ibunya dan gurunya untuk turun gunung mencari orangorang yang telah menghancurkan keluarganya.

Namun berulangkali pula hal itu dilarang.

Sampai suatu ketika, Roro Santika meninggal dunia akibat penyakit. Bukan main sedihnya hati Barong Seta. Dan suatu malam, tiba-tiba saja dia dipanggil oleh si Bongkok Bergigi Emas.

"Muridku..." kata si Bongkok Bergigi Emas. "Genap sudah sepuluh tahun lamanya kau berguru padaku. Dan kini semua ilmu yang kumiliki telah kau kuasai dengan sempurna. Kini kau telah menjadi seorang pendekar yang amat tangguh. Nah, katakanlah... apa permintaanmu terakhir..."

"Permintaan terakhir, Nenek?" tanya Barong Seta heran.

Meskipun dia berguru pada si Bongkok Bergigi Emas, namun dia tetap memanggilnya nenek, tidak guru seperti kebanyakan para murid jagojago silat.

"Ya, permintaan terakhir. Karena kau harus turun gunung hari ini juga."

"Tetapi Nenek?"

"Kau harus mencari pengalaman, Barong. Dan ingat, kau ditugaskan oleh ibumu sebelum dia meninggal untuk mencari orang-orang yang telah menghancurkan keluargamu. Nah, katakanlah apa permintaanmu?"

Barong Seta menundukkan kepalanya. Ya... dia memang harus mencari dan membunuh orangorang yang telah menyebabkan keluarganya hancur.

Lalu perlahan-lahan dia mengangkat kepalanya, menatap si Bongkok Bergigi Emas yang duduk di atas batu.

Keduanya berada di luar. Hawa dingin sebenarnya begitu menusuk hingga ke tulang sumsum. Namun keduanya telah menghalanginya dan menghangati tubuh mereka dengan tenaga dalam. "Permintaanku... ingin mencari dan membunuh orang-orang yang telah menghancurkan ke-

luargaku, Nenek..."

"Bagus! Carilah dan bunuh mereka semua!" "Tapi ke mana aku harus mencarinya, Nenek." "Aku pun tidak tahu di mana orang-orang be-

rada. Tetapi mintalah petunjuk kepada manusia sakti yang bernama Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma. Konon dia memiliki ilmu Pandangan Menembus Sukma, hingga baginya tak ada kesulitan untuk mengetahui sesuatu yang jatuh sekali."

"Kalau begitu... di manakah saya bisa menjumpainya, Nenek?" tanya Barong Seta pula.

"Pergilah kau ke arah Timur Gunung Slamet, Cucuku. Di sebuah perguruan yang bernama Perguruan Topeng Hitam, kau dapat menjumpai manusia dewa itu..."

"Baiklah, Nenek saya pergi sekarang juga."

"Bagus, lebih cepat lebih baik. Sampaikan salamku kepadanya, Cucuku " Dan malam itu juga Barong Seta meninggalkan tempat yang sepuluh tahun lamanya dia tinggali. Memang berat rasanya untuk meninggalkan tempat itu.

Namun bila dia ingat akan kematian ayah dan ibunya yang begitu mengenaskan, dendamnya begitu membara.

Selama satu bulan dia berjalan, kini dia tiba di Perguruan Topeng Hitam. Dan sekarang tengah berhadapan dengan Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.

"Salam dari guruku si Bongkok Bergigi Emas, Ketua..." kata pemuda itu pada Madewa.

Madewa tertawa. "Hahaha... rupanya kau murid dari sahabatku yang bergelar si Bongkok Bergigi Emas. Bagaimana keadaannya, Barong?"

"Beliau sehat-sehat saja sepeninggal saya pergi."

"Tentunya kau telah mewarisi semua ilmu dari si Bongkok Bergigi Emas, bukan?"

"Memang begitulah adanya, Ketua...?" "Barong... kau belum menjawab pertanyaanku

tadi. Ada maksud apa kau hendak menjumpaiku?"

"Maafkan aku yang telah mengganggu ketenanganmu dan ketenangan istrimu, Ketua. Maksud kedatanganku, ingin bertanya padamu. Di manakah Ki Tunggang Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola Buto, Ki Jalak Pancang dan Dewi Bercadar Merah berada?"

Kening Madewa berkerut. Nama-nama yang disebutkan oleh pemuda itu cukup dikenalnya. Nama-nama dari golongan hitam.

Namun dia belum tahu siapa gerangan Dewi Bercadar Merah adanya.

"Hm.... dengan maksud apa kau bertanya tentang keberadaan mereka di mana, Barong?"

Berceritalah Barong Seta tentang sebab-sebab dia mencari orang itu.

"Lalu kau hendak bermaksud membalas dendam?"

"Benar, Ketua."

"Apakah kau tidak tahu kalau dendam itu tidak baik, Barong?"

"Saya tahu, Ketua."

"Lalu mengapa kau hendak melakukannya?" "Karena saya yakin, kedua orang tua saya tidak

akan tenang matinya sebelum kelima orang itu mampus di tangan saya."

"Barong... agaknya saat ini kau tengah diliputi dendam yang cukup berbahaya. Kau tidak tahu apa akibat dendam itu?"

"Saya tahu, ketua. Kelima orang itu akan dan harus mampus di tangan saya!"

"Nah, bukankah itu amat berbahaya, Barong..." Barong Seta mengangkat kepalanya. Dia dapat menangkap maksud dari Madewa Gumilang yang

sepertinya ingin menantang rencananya.

"Ketua... saya datang hanya ingin meminta petunjuk di mana orang-orang itu berada. Lainnya tidak."

"Dengarlah dulu kata-kataku, Barong. Bila kau mencari mereka dengan maksud membalas dendam dan membunuh, aku tak akan pernah memberitahukan di mana mereka berada."

"Mengapa, Ketua?"

"Karena rencanamu itu amat keji sekali."

"Dan mereka lebih keji karena membantai semua keluargaku dan para penduduk desaku. Ketua!" kata pemuda itu dengan nada keras.

Madewa tersenyum. Dapat menyelami perasaan dan gejolak jiwa muda Barong Seta.

"Barong tentunya kau dapat pula memahami

keadaan yang terjadi pada keluargamu. Dan tentunya kau dapat memahami pula keadaanmu yang sekarang ini. Bila kau dapat meredam semua emosi dan amarahmu untuk membalas dendam, maka kau akan menjadi manusia yang sempurna."

"Aku tidak akan menjadi manusia sempurna bila belum membunuh orang-orang itu, Ketua!"

"Dengarlah kata-kataku, Barong "

"Ketua!" potong Barong Seta. Jiwa mudanya telah bergejolak dan menggelegak. "Aku datang bukan untuk mendengar khotbah dan nasehatmu. Tetapi aku datang untuk meminta petunjukmu. Bila kau tidak memberitahu, aku pun akan tetap mencarinya! Tanpa atau dapat petunjuk darimu!"

"Barong dengarkan dulu kata-kataku!"

Tetapi pemuda itu sudah berdiri, "Selamat pagi, Ketua!" desisnya seraya melangkah keluar.

Madewa Gumilang mendesah. Sayang, pemuda itu terlalu dihantui oleh rasa dendam dan amarahnya. Bila saja pemuda itu mau menggunakan sedikit akal sehatnya, tentunya dia dapat memahami kata-katanya.

Ratih Ningrum berkata pada suaminya, "Kanda.... bila kau mengetahui di mana orang-orang itu berada, mengapa kau tidak mengatakannya pada Barong Seta?"

Madewa tersenyum pada istrinya.

"Bila dia tidak sedang mendendam atau marah, tentu aku akan memberitahukan padanya, Dinda..."

"Aku sedih mendengarkan kejadian yang telah menimpa keluarganya "

"Begitu pula denganku, Dinda Tetapi aku tak

bisa melepaskan pemuda itu yang tengah diliputi dendam. Aku kuatir sepak terjangnya akan menjadi ganas dan telengas."

"Kalau begitu... mengapa kau tidak memberitahukan padanya tadi?" tanya Ratih Ningrum pula. "Bukankah bila dia sudah tahu, dia akan langsung mencari orang-orang itu?"

"Ya, dia akan menurunkan tangan telengas padanya. Siapa tahu orang-orang yang sedang dicarinya sudah bertobat, Dinda "

"Bagaimana bila belum, Kanda?"

"Dinda tentunya bisa memaafkan mereka?" "Bagaimana bila dia tidak mau memaafkan?" "Itulah yang aku cemaskan."

"Lalu apa rencanamu setelah ini, Kanda?" "Aku bermaksud akan mengikutinya, Dinda "

"Kanda...."  Ratih  Ningrum mendesah. "Bukankah ini suatu pekerjaan lagi bagimu? Bila kau sudah mengatakannya tadi, tentunya kau tak perlu sibuk mengikuti jejaknya."

"Bila kukatakan pun aku akan mengikutinya."

Kembali Ratih Ningrum mendesah. Dia sudah senang suaminya tidak terlibat lagi dalam urusan ini. Tetapi memang tak ada jalan lain. Dan Ratih Ningrum pun tahu akan isi hati suaminya. Yang selalu mencoba melihat keadilan. Yang selalu menolong yang lemah.

Namun meskipun begitu, Ratih Ningrum menginginkan dia bisa berlama-lama dengan suaminya di kediaman mereka ini.

Lalu kembali dia menatap suaminya. "Jadi itu rencanamu, Kanda?"

"Ya, Dinda..."

"Bolehkah aku turut menyertaimu?" Madewa tertawa.

"Mengapa kau harus bertanya lagi. Aku pun bermaksud untuk mengajakmu, Dinda... Mengapa tidak? Kau adalah istriku, yang selalu setia mendampingiku baik suka maupun duka. Bukankah begitu, Dinda "

"Iya, Kanda... Sampai kapan pun aku akan tetap mendampingimu "

"Kau memang istriku yang setia,  Dinda  Ratih "

"Dan kau pun begitu setia padaku Kau selalu menjagaku, Kanda..." kata Ratih Ningrum sambil merebahkan tubuhnya di pelukan suaminya.

"Karena kau adalah istriku, Dinda... Itu sudah merupakan kewajibanku untuk menjagamu," kata Madewa Gumilang sambil merangkul pula tubuh istrinya.

Ratih Ningrum semakin menyusupkan kepalanya ke dada suaminya. Dan dia merasakan satu ketentraman mengaliri seluruh tubuhnya berada dalam rangkulan itu.

Damai.

Betapa damainya.

***

7

Setelah meninggalkan Perguruan Topeng Hitam, Barong Seta pun melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang-orang yang telah menghancurkan keluarganya.

Suatu pagi, dia tiba di sebuah desa yang permai.

Dia pun telah mengisi perutnya di sebuah kedai.

Tiba-tiba terjadi keributan di luar kedai itu. Orang-orang pun berlarian keluar termasuk Barong Seta.

Di luar terlihat pemandangan yang mengerikan. Lima orang laki-laki berwajah seram dengan golok di tangan tengah menghentikan sebuah kereta kuda. Dan di atas kereta itu telah tergolek satu sosok tubuh yang menjadi mayat. Sais kereta itu rupanya.

Dan di dekat kereta itu, lima sosok tubuh pun telah menjadi mayat.

Rupanya tengah terjadi perampokan di pagi ini. Salah seorang yang berwajah seram itu membentak pada yang menonton, "Jangan ada yang coba-coba menghalangi maksud kami! Maka dia

akan mampus!"

Yang menonton pun tak punya keinginan untuk mencampuri urusan itu. Mereka ngeri. Melihat wajah orang-orang yang beringas itu saja mereka sudah ketakutan, apalagi nekat untuk menghalangi.

Bahkan ada yang diam-diam meninggalkan tempat itu. Mereka sudah tahu siapa kelima orang ini. Mereka bergelar Lima Golok Setan, yang kerjanya hanyalah membuat onar. Dan mereka kadang-kadang suka berbuat nekat. Seperti halnya merampok kereta kuda di pagi ini!

Dan mereka pun tahu siapa yang tengah dirampok oleh orang-orang ini. Juragan Mayu Dadi, orang terkaya di desa ini.

Mereka mendengar orang-orang itu membentak, "Juragan! Cepat keluar dari kereta kuda! Bila tidak ingin nyawamu kubunuh!"

Dari dalam kereta kuda itu keluar sosok tubuh tambun berpakaian indah dan mengenakan perhiasan yang mahal. Sosok tubuh itu berkeringat wajahnya pias.

Orang yang membentak tadi tertawa. "Hahaha... rupanya orang yang terkaya ini

punya penyakit ketakutan juga rupanya!"

"Apa... apa yang hendak kalian minta padaku?" desis Mayu Dadi ketakutan dan terbata-bata. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap bagai mata kelinci.

"Kami hanya meminta uang dari hasil penjualan tanahmu, Juragan!"

"Uang... Uang apa? Siapa yang menjual tanah? Siapa yang dapat uang?" kata laki-laki tambun itu terbata-bata.

"Jangan berpura-pura, Gendut!" bentak orang itu yang membuat tubuh Mayu Dadi mengkerut. Dan memang laki-laki itu mendadak saja merasakan tubuhnya menjadi ciut.

"Aku... aku..." desisnya gugup dan keringat semakin bertambah deras membasahi tubuhnya. Dia tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya ketika orang itu melangkah kakinya.

"Jangan berbuat macam-macam padaku, Gendut!"

"Ah... iya, iya! Aku..."

Sreet! golok itu pun keluar dari sarungnya. Membuat Mayu Dadi menjadi bertambah mengkerut.

"Kau mau lehermu terpisah dari tubuhmu, Gendut?"

"Tidak, tidak..."

"Cepat serahkan uang itu bila kau tidak ingin lehermu pisah dari kepalamu!"

Tergagap dan terburu-buru Mayu Dadi masuk kembali. Dia pasrah dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Diambilnya kantong uang yang baru saja diambilnya dari desa sebrang sebagai pembayaran tanahnya.

Orang itu terbahak melihat Mayu Dadi muncul kembali dengan kantong uangnya.

"Cepat serahkan uang itu padaku!"

Mayu Dadi memang pasrah. Dia melirik dulu kantong uangnya dengan perasaan sayang.

"Cepat! Aku tidak suka bertele-tele begini!"

Sebelum Mayu Dadi memberikan kantong yang berisi uang itu, tiba-tiba terdengar seruan, "Tunggu!"

Dan satu sosok melenting melewati beberapa orang yang menonton. Orang-orang yang dilewati satu sosok tubuh itu terkejut.

Dan lebih kaget lagi ketika sosok tubuh itu hingga di hadapan mereka dan berdiri berhadapan dengan kelima orang bergolok yang menjadi tertawa.

"Hahaha... rupanya kau yang membentak tadi, haha?!" tertawa orang yang pertama.

Sosok tubuh yang tak lain adalah Barong Seta cuma tersenyum saja.

"Lebih baik kalian hentikan perbuatan biadab kalian ini sebelum aku menjadi marah?!"

"Marah? Hahaha... rupanya bocah ini mau jual tampang, kawan-kawan!"

Tawa dari orang-orang itu pun membahana. "Agaknya kalian memang orang-orang som-

bong! Hanya sayang, kesombongan dan kebiadaban kalian hari ini akan terhenti!"

"Hei, kau bicara apa bocah?!" bentak orang itu gusar dengan mata melotot. "Apakah kau mendadak saja menjadi tuli, hah?!"

"Bangsat! Rupanya bocah ini belum mengenal siapa kita, Kawan-kawan! hajar!"

Serentak keempat laki-laki temannya mengurung Barong Seta. Tetapi yang dikurung hanya tersenyum saja.

"Kalian rupanya sudah bosan hidup!" "Kau yang bosan hidup, Bocah!"

"Perlihatkanlah kepadaku apakah omonganmu itu benar?!"

"Anjing buduk! Hajar bocah itu!"

Serentak empat buah golok yang amat tajam berkelebatan ke arah Barong Seta. Namun Barong Seta yang sekarang telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa. Dia adalah murid tunggal si Bongkok Bergigi Emas.

Bersamaan golok-golok itu berkelebat, Barong Seta pun bergerak. Gerakannya cepat. Dan yang membuat para penyerangnya kaget ketika mendadak saja mereka melihat golok-golok di tangan mereka sudah tidak ada lagi.

Malah kini sudah berpindah tangan.

"Bocah setan! Pantas kau berani menentang kami! Rupanya kau punya keahlian juga!"

Orang-orang yang menonton yang semula amat menyesali dan ketakutan pemuda itu akan kenapa-napa, mendesis kagum melihat satu gerakan yang amat cepat diperlihatkan Barong Seta. Bahkan kini mereka berseru-seru,

"Hajar saja orang-orang itu!" "Bunuh!"

"Jangan beri ampun!"

"Mereka kerjanya hanya membuat onar saja!" "Ya, bunuh saja!"

Seruan-seruan itu terdengar ramai. Orang yang pertama dari Lima Golok Setan tadi menggeram murka. Dia menyerbu dengan golok di tangan ke arah Barong Seta.

Tetapi dia harus menghindar karena tangan Barong Seta bergerak melepaskan empat golok yang ada di tangannya,

"Anjing buduk!" maki orang itu terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat empat kawannya mengaduh dan ambruk menjadi mayat dengan dada tertancap golok masing-masing.

Merahlah wajahnya.

"Kau benar-benar mencari mampus rupanya, Bocah!"

"Atau kau yang akan mengikuti jejak keempat kawanmu itu, hah?!"

"Bangsat!" gerutu orang itu seraya menyerbu kembali.

Kali ini serangan goloknya begitu dahsyat dan cepat. Namun bagi Barong Seta itu bukanlah suatu yang membuatnya bingung, jeri atau pun ketakutan.

Malah dia hanya menggeser tubuhnya saja, lalu melompat. Dan tangan kanannya bergerak dengan cepat.

"Hup!"

Ujung golok itu tertangkap. Dan tangan kirinya pun bergerak menotok urat di bawah pangkal lengan.

Lawannya terkejut dan menjerit kesakitan. Dia merasakan kesemutan dan hawa dingin mengaliri sekujur tubuhnya.

Sadarlah orang itu kalau lawan yang dihadapinya tidak enteng. Namun dia sudah kepalang malu. Dia yang selalu bikin onar dan keributan harus kalah oleh seorang pemuda.

Maka tanpa memperdulikan keselamatannya lagi, dia menerjang dengan pukulan lurus ke wajah Barong Seta. Namun tanpa bergeser dari berdirinya, Barong Seta melancarkan serangan pula ke wajah orang itu.

Waktunya hampir bersamaan.

Orang itu terkejut dan menarik tangannya untuk menangkis pukulan Barong Seta. Saat itulah Barong Seta melepaskan pukulan tangan kirinya.

"Des!"

Tepat mengenai perut orang itu yang kontan mengaduh keras dan bergulingan. Dia merasakan perutnya sungguh mual.

Dan karena terlanjur malu dia kembali bangkit menyerbu.

"Bandel! Bukannya minta maaf, malah nekat menyerang lagi!" maki Barong Seta.

Kali ini dia pun tidak memberi ampun lagi. Tangannya bergerak.

"Des! Des!"

Dua pukulan mengakhiri perlawanan laki-laki itu. Bahkan nyawanyapun melayang karena pukulan itu tepat mengenai jantungnya.

Orang-orang berseru ramai. Pemuda itu dielu-elukan.

Barong Seta cuma tersenyum.

Ketika dia hendak meninggalkan mereka, terdengar suara memanggilnya, "Tunggu Pemuda!"

Barong Seta menghentikan langkahnya. Berbalik.

Dan melihat Juragan Mayu Dadi yang memanggil dan sekarang sedang berjalan mendekatinya.

"Ada apa, Tuan?"

"O-ho... jangan panggil aku Tuan. Namaku Mayu Dadi. Kau bisa memanggilku Mayu saja, Pemuda gagah..."

"Tidak, saya akan tetap memanggilmu dengan sebutan Tuan. Seperti yang dilakukan oleh orangorang desa."

"Ya, ya... terserah, terserah apa maumu." "Nah, ada apa Tuan memanggilku?"

"Hehehehe... aku, aku.... ya, ya... aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu ini..."

"Tidak banyak yang kulakukan untuk Tuan "

"Kau bisa melakukannya untukku. "

"Apa maksud Tuan?"

"Maksudku... hehehe... maaf, maaf bila kau tersinggung. Maukah... kau menjadi jago bayaranku dengan upah yang mahal... heheh maaf,

maaf bila kau tersinggung "

"Maksud Tuan, saya bekerja sebagai jago bayaran Tuan?"

"Ya, ya... kau tidak marah? Ah, kau pasti kubayar dengan mahal, aku., ya, ya... sebenarnya lima orang yang mati itu adalah jago-jago bayaranku. Sayang, ilmu dan kepandaian mereka masih berada di bawah kelima golok Setan... Kau mau, bukan?" kata Mayu Dadi penuh harap.

"Bagaimana bila saya menolak?"

"Oh., jangan, jangan... e, maaf... ya, ya... terserahmu... Tapi aku berani membayarmu mahal, Pemuda. Aku pun masih memiliki empat jago-jago bayaran di rumah. Nah, bagaimana dengan tawaran itu?"

Barong Seta terdiam. Berpikir. Ya, itu memang suatu tawaran yang menarik. Selain mendapat tempat gratis, makan gratis, juga dibayar. Bukankah ini sesuatu yang mengasyikan.

Dan di samping itu dia punya tempat tinggal sementara dia mencari orang-orang yang telah menghancurkan keluarganya.

Ditatapnya Mayu Dadi.

"Baiklah, tuan... saya menerima tawaran itu..." "O... bagus, bagus sekali., ayo ke rumahku..."

kata Mayu Dadi sambil mengajak Barong Seta ke kereta kudanya. "Siapa namamu, Anak muda?"

"Barong Seta."

"Nah, Barong Seta... mulai saat ini kau adalah pengawal pribadiku merangkap jago bayaranku. Kau bisa mengendalikan kereta kuda ini?"

"Dengan senang hati, Tuan!"

Dan mulai saat itu Barong Seta tinggal sebagai pengawal pribadi dan jago bayaran Mayu Dadi. Dia pun berkenalan dengan empat jago-jago bayaran tuannya.

Kemana pun Mayu Dadi pergi, Barong Seta selalu menemaninya. Semua pekerjaan Mayu Dadi menjadi lancar dan berhasil.

Para penduduk di sana pun menyukai sepak terjang Barong Seta yang mereka anggap begitu arif.

Begitu pula halnya dengan empat orang jago bayaran Mayu Dadi. Meskipun mereka lebih lama bekerja sebagai jago bayaran, namun mereka tak pernah iri pada Barong Seta. Bahkan mereka menaruh hormat pada pemuda itu.

Tetapi yang membuat mereka heran, karena setiap kali bila tidak sedang mengawal Juragan Mayu Dadi pergi, mereka sering melihat Barong Seta melamun.

Hingga akhirnya mereka sepakat untuk bertanya.

Setelah makan malam, mereka pun berkumpul di luar rumah besar itu.

"Barong... sebagai teman, aku menaruh rasa heran melihat sikapmu yang selalu melamun," kata Suma Agung.

"Benar, Barong... bila ada sesuatu masalah yang mengganggu hatimu, sebagai teman, kami semua ingin mengetahuinya," tambah Genda Suta.

Barong Seta menatap teman-temannya. Dia menghela nafas. "Memang ada sebuah masalah yang amat mengganggu pikiranku," katanya.

"Apakah itu? Bila kami boleh tahu?" tanya Sumantri Puro.

"Ya, Barong... barangkali kami bisa membantumu memecahkan masalah yang tengah kau hadapi..." kata Purna Jaya.

"Aku tidak ingin membuat kalian menjadi ikut berpikir dan ikut berprihatin. Biarlah masalah ini aku tanggung sendiri."

"Barong... kami menganggapmu sebagai teman, sahabat, bahkan saudara. Kami tidak suka melihatmu punya masalah tanpa membagi pada kami. Kami merasa berdosa bila melihatmu selalu melamun saja," kata Suma Agung.

Lagi Barong Seta menatap keempatnya.

"Kalian memang teman-temanku yang baik. Baiklah, aku akan menceritakannya pada kalian," kata Barong Seta. Lalu dia pun bercerita tentang kerisauan hatinya.

Mendengar cerita Barong Seta, keempatnya menjadi geram sekali.

"Barong... kami akan membantumu mencari dan membunuh orang-orang biadab yang telah menghancurkan keluargamu!" kata Sumantri Puro berapi-api.

"Benar, Barong! Bahkan kami bersumpah untuk membunuh mereka!" kata Suma Agung.

"Sudahlah... biarlah aku yang menghadapi semua ini!" kata Barong Seta. Mau tak mau hatinya menjadi terharu melihat kesetiaan persahabatan yang dilakukan keempat sahabatnya ini.

"Tidak, kedatanganmu sudah membuat kami enak di sini! Bahkan kami pun sudah menganggapmu sebagai saudara! Kami tidak akan berdiam diri melihatmu mempunyai persoalan yang terasa begitu menyulitkan!" kata Purna Jaya.

"Benar, Barong!" sambung Genda Suta. "Nah, kawan-kawan, mari kita bersumpah untuk menolong Barong Seta!"

Keempatnya berdiri.

Genda Suta berkata, "Kalian ikut sumpahku ini!" katanya dan berkata-kata diikuti oleh temantemannya, "Kami bersumpah, demi langit dan bumi, akan menolong Barong Seta mencari orangorang biadab yang menghancurkan keluarganya! Meskipun ada rintangan seberat apa pun kami tak akan mundur! Dan kami pun tak akan mundur bila ada yang menghalangi niat kami ini! Bila kami melanggar sumpah, biarlah Yang Maha Kuasa akan mengutuk kami untuk lumpuh selamalamanya!"

Bersamaan sumpah itu selesai diucapkan, tibatiba saja langit menjadi gelap. Dan petir terdengar sambar menyambar.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras.

Barong Seta melihat keempat sahabatnya mengulurkan tangan mereka.

Genda Suta berkata, "Ulurkan tangan kananmu pula, Barong!"

Walau tidak mengerti apa maksud dari Genda Suta menyuruhnya mengulurkan tangan, Barong Seta hanya mengikuti saja.

Tiba-tiba Genda Seta mencabut pisaunya yang dijadikan sebagai senjata rahasianya.

Dia menatap ke langit yang menjadi gelap. Hujan tetap turun dengan derasnya.

"Wahai langit dan bumi! Kalian yang menjadi saksi sumpah kami ini!" serunya lantang mengalahkan hujan yang turun dengan deras.

Dan tiba-tiba tangannya bergerak cepat, menggores pergelangan tangannya hingga mengeluarkan darah. Lalu pisau itu diberikannya pada Purna Jaya yang juga berbuat yang sama.

Begitu pula Suma Agung dan Sumantri Puro. Terakhir Barong Seta sendiri yang ikut-ikutan pula.

Lalu darah yang mengalir dari pergelangan tangan itu disatukan. Berarti mereka telah mengikat sumpah menjadi bersaudara.

Barong Seta semakin terharu melihat kesetiaan para sahabatnya itu.

"Terima kasih, Saudaraku semua. Sumpah kalian tak akan pernah kusia-siakan!"

Hujan pun semakin deras turun membasahi bumi. Membasahi kelima orang itu yang masih berada di sana.

***

8

Lima orang penunggang kuda itu menghentikan laju kudanya tepat di tengah-tengah desa. Salah seorang penunggangnya seorang wanita yang mengenakan cadar berwarna merah. Dia tak lain adalah Mawar, dan keempat penunggang kuda lainnya adalah empat orang gurunya.

"Hmm... desa ini begitu makmur, Guru..." kata Mawar.

"Benar, kita bisa berbuat apa saja yang kita inginkan di sini," kata Ki Jalak Pancang.

"Kalau begitu, kita isi perut saja dulu!" Ki Tunggang Rekso seraya menjalankan kudanya ke kedai nasi.

Kedatangan orang-orang itu begitu menarik perhatian para pengunjung kedai makan itu.

Mereka pun masih memperhatikan ketika kelimanya menyantap hidangan.

Namun mereka harus kembali menunduk ketika secara tiba-tiba Ki Pergola Buto menggebrak meja dan menggeram, "Mau apa kalian melihatlihat kami hah?!"

"Sudahlah, Guru..." kata Mawar. "Biarkan saja. Toh, nanti kita akan menguasai orang-orang goblok itu."

Ki Pergola Buto duduk kembali dengan hati jengkel.

Menyantap hidangannya lagi. Setelah itu mereka pun keluar.

Merasa mereka belum membayar, pemilik kedai nasi itu pun bergegas menghampiri.

"Tuan-tuan sekalian... kalian belum membayar apa yang telah kalian makan..."

Ki Pergola Buto menggeram. "Berapa?"

Pemilik kedai nasi itu menjadi ciut melihat sepasang mata yang melotot itu.

"Mu... murah, Tuan..." "Berapa?!"

"Cuma.... cuma dua keping uang perak..." "Hmm.. "Ki Pergola Buto menggumam. Dan ti-

ba-tiba saja dia menggerakkan tangan kanannya ke wajah laki-laki setengah baya itu.

"Des!"

Wajah laki-laki setengah baya itu terhantam oleh pukulannya yang keras. Dia bergulingan beberapa kali di lantai, menabrak kursi dan meja. Lalu terdiam tak bergerak, karena nyawanya telah melayang dengan kepala pecah.

Para pengunjung rumah makan itu menjadi terkejut melihat tangan telengas orang-orang itu Tetapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Masih duduk di tempat masing-masing.

"Siapa yang berani lagi menagih, hah?!" bentak Ki Pergola Buto dengan marah.

Namun tak seorang pun yang berani menjawab. Lalu kelima orang itu pun meninggalkan kedai.

"Tunggu!" terdengar seruan itu.

Kelimanya tidak jadi menjalankan kuda masing-masing. Dan melihat seorang laki-laki tengah bersalto dan telah berdiri di hadapan mereka.

Laki-laki itu adalah Sumantri Puro, yang kebetulan juga sedang makan di sana.

"Hhh! Mau apa kau?!" bentak Ki Pergola Buto. "Maafkan aku yang mengganggu perjalanan kalian. Kalau boleh aku bertanya, apakah wanita yang bercadar merah itu yang berjuluk Dewi Bercadar Merah?"

"Kalau iya kau mau apa?!"

"Apakah kalian yang bernama Ki Tunggang Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola Buto dan Ki Jalak Pancang?"

Orang-orang itu berpandangan. Karena ada yang tahu nama mereka.

"Ya, kamilah orang-orang yang kau sebutkan itu!" sahut Ki Jalak Pancang.

Sumantri Puro mendesis dalam hati. Jadi ini orang-orang yang telah menghancurkan keluarga Barong Seta. Tadi sebenarnya saat makan dia sudah memperhatikan orang-orang itu. Dan yang membuatnya heran ketika melihat yang wanita mengenakan cadar berwarna merah. Dia jadi teringat akan cerita Barong Seta.

"Kalau begitu kebetulan! Ada seorang kawanku yang tengah menanti kedatangan kalian?"

"Siapa dia?"

"Kalian tunggulah di sini! Lima belas menit kemudian aku akan kembali lagi!"

Sumantri Puro pun berlari. Dan menceritakan semua itu pada Barong Seta. Bersama ketiga kawan mereka yang lain, kelimanya pun kembali ke tempat semula.

Sumantri Puro berkata, "Ini kawanku yang ingin bertemu dengan kalian!"

Orang-orang yang menunggu itu heran karena merasa belum pernah mengenal Barong Seta. "Apa-apaan maksudmu ini?!" bentak Ki Tung-

gang Rekso.

"Dengarlah dulu kata-katanya, baru kau akan mengerti!" kata Sumantri Puro yang tak perduli dengan kata-kata Ki Tunggang Rekso.

Barong Seta mendengus. Inikah orang-orang yang telah menghancurkan keluargaku? desisnya dalam hati.

Lalu dia berkata, "Bila kalian memang benar orang-orang yang sedang kucari, aku hendak bertanya pada kalian?"

"Bertanya apa, Pemuda sok tahu!" menggeram Ki Jalak Pancang., "Kau telah lancang berani menghalangi perjalanan kami!"

"Maaf... ingatkah kau akan kejadian sepuluh tahun yang lalu di mana kau membunuh Bupati Seda Arya dan menghancurkan keluarganya?"

Sudah tentu orang-orang itu masih mengingatnya. Bahkan mereka sampai sekarang tetap ingat akan kejadian itu.

"Hh! Lalu apa hubungannya denganmu?!" bentak Ki Jalak Pancang lagi.

"Masih ingatkah kalian kalau bupati dan istrinya memiliki seorang putra?"

"Ya, yang tentunya sudah mampus sekarang!" "Ingatkah kalian siapa namanya?!"

"Tentu saja kami ingat bocah sialan itu! Dia bernama Barong Seta! Hei, ada apa kau bertanyatanya seperti ini?!"

"Jangan gusar!" seru Barong Seta dengan kemarahan yang ditahan. "Hari ini kalian tengah berhadapan dengan putra dari Bupati Seda Arya dan istrinya Roro Santika..."

"Apa?!"

"Ya, akulah Barong Seta... bocah sepuluh tahun yang lalu belum mengerti apa yang tengah terjadi. Dan sekarang, aku ingin meminta pertanggungjawaban kalian semua!"

Orang-orang itu sungguh tidak menyangka kalau putra dari bupati Seda Arya dan Roro Santika masih hidup. Tetapi tentu saja hanya sejenak kekagetan mereka. Karena kemudian terdengar suara tawa mereka yang ramai.

"Hihihi... jadi kau putra dari Seda Arya?" terkikik Mawar.

"Hmm.... pantas, pantas... kau begitu gagah dan tampan, mirip ayahmu, Barong..."

"Diam kau perempuan iblis!" bentak Barong Seta. "Lebih baik kalian membunuh diri sekarang, sebelum aku mencabut nyawa kalian!"

"Setan! Kau besar omong pula, hah?!" menggeram Dewi Bercadar Merah alias Mawar sambil melompat dari kudanya dan langsung menyerbu ke arah Barong Seta.

Barong Seta yang sudah bersiap sejak tadi segera melayaninya dengan hebat dan sigap pula.

Tanpa disuruh lagi terjadilah pertarungan yang hebat antara keduanya.

Melihat Barong Seta sudah saling gebrak, keempat temannya pun sambil menjerit keras menyerang empat orang yang masih duduk di kuda-kuda mereka.

Pertempuran satu lawan satu pun terjadi. Pertarungan yang begitu sengit.

Mendebarkan.

Dan sungguh berbahaya.

Masing-masing mengeluarkan segenap kemampuan dan kehebatan mereka. Saling memamerkan kecepatan yang sungguh cepat sekali.

Jurus demi jurus pun telah terlewat tanpa terlihat ada yang terdesak.

Masing-masing pun sudah mengeluarkan senjata-senjata mereka.

Ki Pergola Buto yang menghadapi Sumantri Puro pun sudah mengeluarkan senjatanya sepasang trisula. Dan dia pun mencecar Sumantri Puro dengan cepat.

Namun Sumantri Puro pun bukanlah lawan yang bisa dianggap enteng dengan sigap dan cepat pula dia menghindari dan membalas serangan-serangan itu.

Dan dengan satu gerakan yang amat cepat, dia berhasil memukul lepas kedua trisula yang berada dalam genggaman Ki Pergola Buto.

Bahkan dia dapat memukulnya.

Ki Pergola Buto menjadi kalap. Dia bangkit kembali menyerang dengan membabi buta. Namun entah dari mana datangnya, mendadak saja di ujung jari Sumantri Puro telah terdapat sebilah pisau yang langsung dihujamkan pada dada Ki Pergola Buto.

Terdengar lolongan keras yang menyayat hati. Tubuh Ki Pergola Buto pun ambruk dan menjadi mayat dengan bersimbah darah.

Dan satu per satu keempat kawan Barong Seta berhasil mendesak lawannya. Lawan-lawannya itu kalah karena mereka terlalu menganggap enteng. Menyusul Ki Jalak Pancang tewas dengan leher yang hampir putus. Lalu Ki Bayu Utara yang harus mati terduduk karena kedua kakinya terkena pisau terbang Genda Suta. Lalu salah sebuah pisau menghujam tepat di dadanya.

Kini tinggal Ki Tunggang Rekso yang masih menghadapi Suma Agung. Nampak keduanya berimbang. Dan masing-masing masih dapat menguasai jalannya pertarungan.

Keduanya saling gebrak dengan hebat. Saling hantam.

Saling bernafsu untuk menjatuhkan lawan.

Begitu pula halnya dengan Barong Seta yang menghadapi Dewi Bercadar Merah alias Mawar. Keduanya pun sama-sama tangguh. Meskipun Dewi Bercadar Merah berguru pada empat orang, namun Barong Seta dapat mengimbangi semua perlawanannya.

"Kau harus mampus di tanganku, Perempuan iblis!"

"Atau kau sendiri yang akan mampus menyusul ayah dan ibumu, Barong Seta!"

Keduanya saling serang dengan hebat. Jurus demi jurus pun berlangsung dengan ketat.

Tiba-tiba terdengar jeritan Ki Tunggang Rekso, membuat konsentrasi Mawar terganggu. Apalagi dia sudah melihat tiga gurunya yang lain telah mampus.

Hal ini membuat Barong Seta menjadi mudah untuk menjatuhkan pukulan.

"Des!"

Sebuah pukulannya menghantam dada Dewi Bercadar Merah.

Hingga wanita itu terpelanting ke tanah.

Sementara itu Ki Tunggang Rekso tewas akibat pisau terbang yang dilancarkan oleh Genda Suta.

Mawar mendengus marah. Baginya dia harus membunuh Barong Seta.

Sambil memekik keras dia bergerak menyerbu. Serangannya begitu ganas dan kalap. Membuat Barong Seta sedikit kewalahan. Namun detik kemudian, dia sudah bisa menguasai keadaan.

Karena Mawar dalam kondisi marah, serangannya menjadi tidak terarah. Berkali-kali pukulan dan tendangan Barong Seta mengenai sasarannya.

Hingga membuat wanita itu kehilangan keseimbangan. Dan dengan satu tendangan melompat membuat wanita itu tersuruk ke belakang.

"Akkhhh!"

Mawar merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Dan baginya sulit untuk bangun lagi melanjutkan perlawanan.

Barong Seta tertawa.

Wajahnya mirip malaikat pencabut nyawa yang siap menjalankan tugasnya.

Begitu buas dan mengerikan. Dia menengadah menatap langit.

"Ayah dan Ibu! Kau lihatlah... hari ini orangorang yang telah membuat matimu tidak tenang, sudah terbunuh! Dan sekarang, saksikanlah perempuan iblis ini akan kucabut nyawanya!" serunya lantang. Tiba-tiba dia berpaling pada Mawar. "Nah, perempuan iblis! Bersiaplah untuk mampus sekarang juga!"

Mawar cuma meringis. Dia yakin sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Kini dia hanya pasrah menanti ajal.

Tiba-tiba sepasang tangan Barong Seta berubah menjadi merah. Rupanya dia tengah mengeluarkan ajian pamungkas ajaran si Bongkok Bergigi Emas, Pukulan Sambar Nyawa!

Lalu sambil menjerit dia melesat ke arah Mawar yang hanya memejamkan mata, "Mampuslah kau, Perempuan Laknat!"

Namun tiba-tiba saja Barong Seta berbalik ke belakang ketika dia merasakan ada sesuatu yang menghalangi pukulannya.

"Anjing! Siapa yang berani menghalangi ulahku ini!" geramnya setelah berdiri dari bersaltonya.

Teman-temannya pun terkejut, karena mereka tidak melihat ada sesuatu atau seseorang yang menghalangi gerakan Barong Seta.

Dan mata mereka seperti terbuka ketika melihat sosok tubuh berjubah putih yang tersenyum arif dan bijaksana. Di sampingnya berdiri sosok wanita yang ramping dengan pakaian ringkas dan sepasang pedang berselempangan di punggungnya.

Barong Seta berseru kaget, "Ketua Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum!"

Orang yang tak lain Madewa Gumilang dan istrinya itu tersenyum. Dialah yang memapaki serangan Barong Seta dengan pukulan angin salju dari jarak jauh.

"Maafkan kelancanganku, Barong..." kata Madewa tetap tersenyum, arif dan bijaksana.

Namun Barong Seta yang merasa jengkel karena niatnya ada yang menghalangi menggeram marah.

"Ketua... dengan maksud apa kau menghalangi perbuatanku, hah?!"

"Barong... lawanmu sudah kalah. Apakah kau tega untuk tetap mencabut nyawanya?!"

"Ini urusanku, Ketua!"

"Di mana rasa belas kasihanmu, Barong?" "Apakah orang-orang ini punya rasa belas ka-

sihan ketika membantai ayahku dan menyebabkan ibuku mati menderita? Juga mereka dengan seenaknya saja membantai orang-orang desaku? Apakah aku harus mempunyai rasa belas kasihan kepada orang semacam ini?!"

"Tetapi lawanmu sudah kalah, Barong..." "Perduli setan! Aku akan tetap mencabut nya-

wanya!"

"Sadarlah, Barong... kau dirasuki dendam yang amat sangat, hingga kau bersikap seperti iblis!"

Tiba-tiba berlompatan empat laki-laki menghadang Madewa Gumilang. Suma Agung berkata pada Barong Seta, "Barong... laksanakan saja keinginanmu itu! Biar kami hadapi orang yang melarang ini!"

Madewa Gumilang tersenyum pada orangorang itu.

"Lebih baik kalian sadarkan teman kalian yang mempunyai niat jelek itu. Di mana rasa belas kasihan pada orang yang telah kalah?!"

"Madewa... kami telah lama mendengar nama besarmu. Tetapi kami telah bersumpah akan membunuh siapa saja yang menghalangi sumpah kami!"

"Begitu pula dengan aku bila kularang Barong Seta melaksanakan niatnya?"

"Ya!"

"Kalau begitu... berarti kalian akan menghadapiku sebagai orang yang menentang tindakan Barong Seta!"

Sehabis Madewa berkata begitu, orang-orang yang mengurungnya segera berlompatan menyerangnya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri Madewa menghindarkan semua serangan itu. Bahkan dia menghantam mereka satu per satu dengan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.

Namun keempat orang itu yang telah bersumpah menjadi nekat.

Meskipun dia sudah tahu nama besar Madewa Gumilang, mereka tidak perduli.

Kenekatan itu membuat Madewa menjadi jengkel. Kali ini dia pun bergerak dengan Pukulan Tembok Menghalau Badai. Karena dia tahu orangorang ini hanya terikat oleh sumpah, membuatnya jadi enggan untuk menurunkan tangan telengas. Lagipula dia tahu, orang-orang ini hanya membantu, Barong Seta.

Tetapi hal itu bukanlah membuat keempatnya menjadi keder. Malah mereka nekat seakan mengadu nyawa.

Dan sulit untuk Madewa menghindari semuanya.

Sementara itu Barong Seta tengah melancarkan kembali pukulannya pada Mawar. Namun Ratih Ningrum menghalanginya. Hingga keduanya terlibat pertempuran yang amat hebat.

Madewa sendiri lama-lama merasa bisa kewalahan menghadapi orang-orang ini. Lalu dia pun bergerak dengan cepat dan memukul pingsan keempatnya.

Sedangkan Ratih Ningrum tengah berjuang keras untuk menghindari dan membalas seranganserangan yang dilancarkan oleh Barong Seta.

Mendadak saja pemuda yang bertelanjang dada itu bersalto seraya mengeluarkan Pukulan Sambar Nyawanya. Hal ini membuat Ratih Ningrum harus bergulingan menghindar. Dan tanpa diduganya Barong Seta melancarkan pukulannya ke arah Mawar. Maka tanpa ampun lagi wanita itu pun tewas dalam keadaan yang mengerikan terkena pukulan Sambar Nyawa.

"Barong!" seru Madewa melihat tangan telengas yang diturunkan Barong Seta.

Bagai tengah dirasuki iblis Barong Seta terkekeh. "Mau apa kau, Madewa? Aku akan membunuh siapa saja yang berani menantang ku dan menghalangiku?!"

"Sadarlah, Barong..."

"Persetan dengan kata-katamu! Mampuslah kau, Madewa!" seru Barong Seta seraya menyerang dengan Pukulan Sambar Nyawanya. Madewa tahu pukulan itu amat berbahaya, pukulan pamungkas milik si Bongkok Bergigi Emas.

Maka dia pun menghindarinya dengan cepat dan hebat pula.

Namun Barong Seta tak mau kalau dia dijadikan bulan-bulannya menghindar Madewa. Maka dia pun mempercepat gerakannya.

Madewa dapat merasakan betapa hebatnya angin yang ditimbulkan oleh pukulan yang sedang dilancarkan Barong Seta. Dia pun dapat menduga pukulan sakti yang hebat itu akan mampu menjatuhkannya.

Tak ada jalan lain untuk menghentikan Barong Seta kecuali menghadapinya. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang. Saat bersalto itu dia merangkum kedua tangannya. Dan terlihat asap putih yang mengepul dari kedua tangan itu. Pukulan Bayangan Sukma.

"Sadarlah, Barong..."

"Perduli setan dengan ucapanmu, Madewa!

Mampuslah kau!"

Sambil memekik keras Barong Seta. Memang tak ada jalan lain, Madewa mendesah pilu dalam hati. Dan tak ada jalan lain lagi. Maka dia pun memapaki pukulan yang dilancarkan Barong Seta dengan Pukulan Bayangan Sukma.

Terjadi ledakan keras ketika kedua pukulan itu berbenturan.

"DUAAAR!"

Debu-debu berterbangan. Pekikan orang-orang yang menonton terdengar. Satu sosok tubuh terpental dari kepulan debu itu dan ambruk dengan tubuh hancur.

Ketika debu itu menipis terlihat tubuh Madewa Gumilang yang berdiri tegak. Kepiluan terlihat jelas di wajahnya. Betapa pilunya dia menyaksikan kematian Barong Seta.

Memang tak ada jalan lain.

"Maafkan aku, Barong..." desisnya pada angin. Hatinya makin pilu.

Hati-hati Ningrum mendekati suaminya yang tertunduk.

SELESAI



No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 18 Sumpah Jago-Jago Bayaran"