Serial Pendekar Bayangan Sukma: 16 Prahara di Laut Selatan
16 Prahara di Laut Selatan
1
Angin laut berhembus dingin. Ombak bergulunggulung. Beberapa burung camar berterbangan di atas Laut Selatan. Laut seperti menunjukkan kekuasaannya. Seperti menampakkan keangkuhannya.
Bukit Karanghawu yang terletak di sebelah timur dari pantai, nampak kokoh berdiri. Terlihat bukit itu begitu sombong. Seolah membuktikan kekuatannya dan membiarkan dihantam ombak yang seperti berusaha untuk merobohkannya.
Beberapa orang nelayan nampak sibuk membereskan perlengkapannya. Sore sudah datang. Dan sebentar lagi malam akan menjelang. Pada malammalam seperti ini mereka sibuk untuk mencari ikan di laut.
Bagi orang-orang seperti itu, keganasan Laut Selatan seolah tidak diperdulikan. Bagi mereka adalah suatu keakraban. Kehidupan nelayan dengan laut memang tak dapat untuk dipisahkan.
Tiba-tiba dari kejauhan terlihat debu mengepul tebal. Disusul dengan teriakan-teriakan yang keras. Para nelayan segera menghentikan kegiatannya.
Mereka memicingkan mata.
Memperhatikan beberapa penunggang kuda yang berdatangan. Seolah saling berlomba untuk mencapai mereka.
"Siapa mereka, Paman?" tanya seorang pemuda yang baru berusia 18 tahun. Tubuhnya tegap. Dia mengenakan baju putih yang ringkas dengan celana hitam yang gombrang. Dia bernama Sobrang.
Yang dipanggil paman olehnya adalah seorang laki-laki setengah baya. Postur tubuhnya pun tegap. Dia mengenakan pakaian hitam-hitam. "Entahlah, Sobrang. Aku tidak tahu," kata lakilaki setengah baya yang bernama Ki Jibus.
"Melihat wajah mereka yang menyeramkan, sepertinya mereka datang dengan maksud tidak baik, Paman."
"Benar, Sobrang. Kita sepertinya diharuskan berhati-hati menghadapi mereka," kata Ki Jibus. Lalu dia segera memanggil para nelayan yang lain untuk berkumpul di dekatnya.
Para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu sudah mendekat. Kuda-kuda mereka meringkik keras saat tali kekang ditarik dan kini kudakuda itu berdiri di hadapan para nelayan.
Ki Jibus yakin sekali, kalau dia tidak pernah berjumpa atau pun mengenal orang-orang yang berpakaian merah-merah dengan angkin hitam yang membelit di pinggang. Dan di pinggang mereka terdapat pula sebilah golok besar.
Salah seorang yang berwajah menyeramkan, menggunakan ikat kepala warna hitam dengan kumis dan jenggot yang baplang, berkata seperti mendengus.
"Siapa pemimpin kalian?!"
Ki Jibus yang merasa dia menjadi pemimpin para penduduk yang hidup di pantai Laut Selatan segera menyahut dengan nada bersahabat.
"Aku, Ki Sanak."
"Hmm...." Orang itu memperhatikan Ki Jibus. "Siapa namamu?"
"Orang-orang memanggilku Ki Jibus."
"Bagus! Hmm... perkenalkan, namaku Secopati. Dari gerombolan Orang-orang Bengis! Kami datang, membawa salam dari pemimpin kami yang bernama Nyai Prodo atau yang bergelar Malaikat Penghisap Darah!"
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nada kesombongan dan keangkuhan, Ki Jibus semakin yakin kalau kedatangan dari orang-orang ini dengan maksud tidak baik.
Tetapi dia mencoba untuk berkata dengan nada bersahabat, "Salam dari ketua Orang-orang Bengis kami terima dengan senang hati! Atas nama penduduk di Laut Selatan ini, aku mengucapkan pula salam kembali untuk Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah!"
"Bagus! Dan mulai saat ini, setiap kepala keluarga diharuskan untuk menyetor pajak kepada kami!"
Kening Ki Jibus berkerut. "Apa maksudmu, Ki Sanak?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu, Laki-laki tua!" membentak Secopati. "Barang siapa yang setiap bulan tidak menyetor pajak kepada kami, maka nasibnya akan menyedihkan sekali! Masing-masing lima keping uang perak!"
Orang-orang berseru kaget. Lima keping uang perak? Uang yang susah payah dikumpulkan, diharuskan untuk diberikan kepada orang-orang ini?
Oh, sudah tentu mereka tidak akan mau memenuhi permintaan itu.
Beberapa penduduk berseru-seru jengkel.
"Tidak bisa! Tidak bisa kalian seenaknya saja meminta begitu kepada kami!"
"Ya! Memangnya kalian siapa hingga dengan enaknya saja hendak memaksa kami untuk memberikan uang setoran yang kalian katakan pajak!"
"Ya, pajak apa?" "Setoran apa?!"
Kata-kata para penduduk membuat wajah Secopati memerah. Tiba-tiba saja dengan gerakan yang amat ringan dia melompat turun dari kudanya.
"Siapa yang hendak melawan kami, hah?!" bentaknya.
Ki Jibus yang melihat suasana mulai tidak enak, cepat-cepat memberi isyarat agar para penduduk yang lain terdiam. Lalu dia sendiri menatap Secopati.
"Secopati... secara pribadi, aku pun tidak suka dengan penindasan ini."
"Hm... lalu apa maumu, Ki?"
"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Dan jangan datang lagi untuk mengganggu ketentraman hidup kami!"
Secopati terbahak. Merasa lucu mendengar katakata Ki Jibus.
"Meninggalkan tempat ini?! Hahaha... kami tak akan pernah kembali sebelum kami yakin tugas kami telah selesai, Ki!"
"Kalian sudah mendengarkan jawabanku. Dan tugas kalian berarti telah selesai!"
Tiba-tiba Secopati merandek. Matanya melotot nyalang. Nafasnya terdengar mendengus-dengus.
"Kamu menantang kami, Ki?!"
"Tidak... tidak pernah aku berbuat seperti itu.
Mencari permusuhan!"
"Tetapi menolak permintaan kami, sama artinya dengan mencari mati!"
Ki Jibus pun mendengus. Dia sudah menjadi teramat jengkel karena laki-laki ini begitu sombong.
"Secopati... sejengkal pun kami tak akan mundur untuk menghadapi orang-orang seperti kau!"
"Bagus! Aku hendak melihat sampai di mana besar mulutmu itu, Ki!" bentak Secopati dan secara tibatiba dia bergerak menyerang ke arah Ki Jibus.
Pada masa mudanya Ki Jibus pernah mempelajari ilmu silat. Maka ketika tangan itu hendak menghantam wajahnya, dia segera memiringkan tubuhnya. Serangan itu meleset. Secopati sedikitnya terkejut. Namun dengan gerakan yang cepat pula dia kembali menggerakkan tangannya. Dan menyusul dengan sebuah tendangan ke arah dada Ki Jibus.
Ki Jibus menghindari serangan tangan itu dengan menangkis. Dan melompat ke belakang untuk menghindari tendangan Secopati.
"Bagus!" desis Secopati yang diam-diam menjadi kagum. "Pantas kau banyak bacot Ki, rupanya kau punya kebisaan juga!"
"Kebisaanku ini sudah lama tidak kupakai, Secopati! Tapi menghadapi orang-orang seperti kau ini, mau tak mau aku akan menggunakannya!"
Para kepala keluarga yang berada di sana menjadi tegang. Mereka pun segera bersiap untuk menyambut datangnya serangan lawan dan membantu Ki Jibus.
"Ki... kubuat mampus kau hari ini!" membentak Secopati seraya menyerbu.
Kali ini serangannya amat cepat dan penuh tenaga. Ki Jibus berusaha untuk mengimbanginya. Namun dia kalah jauh di bawah Secopati.
Tiga buah pukulan Secopati mendarat tepat di dadanya. Membuat Ki Jibus terhuyung ke belakang dan muntah darah.
Secopati terbahak.
Dan tiba-tiba dia kembali menyerbu dengan maksud untuk menghabisi nyawa Ki Jibus.
"Mampuslah kau, Ki!"
Secara tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dengan memegang sebuah dayung. Lalu dihantamkannya pada Secopati. Hal ini membuat Secopati urung untuk menyerang Ki Jibus. Dia menangkis ayunan dayung yang cukup keras itu.
"Praaakkk!"
Dayung itu patah seketika. Secopati bersalto dua kali ke belakang.
Dia mendengus melihat orang yang telah menyerangnya.
"Hhh! Kau pun mau mampus pula, Anak muda!"
Sobrang, yang mencoba menolong pamannya dari kematian, membuang patahan dayung itu seraya mendengus.
"Kedatangan kalian ke sini kami terima sebagai tamu, tetapi kalian malah berbuat yang tidak baik. Jadi jangan salahkan kami bila kami melawan dan mengusir kalian dari sini!" kata Sobrang dengan berani. Dia pun muak melihat kesombongan dan sepak terjang dari Gerombolan Orang-orang Bengis ini.
Secopati menjadi murka.
"Mampuslah kau, Anak muda!" geramnya seraya menyerbu dengan ganas.
Sobrang pun pernah mendapatkan pelajaran ilmu silat dari pamannya, Ki Jibus. Tetapi gerakan pemuda itu hanya baru sampai tahap dasar. Maka tanpa ampun lagi dia pun berkali-kali menjadi sasaran serangan Secopati.
"Sobraaaaangg!" jerit Ki Jibus ketika melihat pemuda pemberani itu ambruk dengan berlumur darah.
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Ki Jibus berlari ke arah pemuda itu yang tergeletak.
"Sobrang! Sobrang!" jeritnya sambil mengguncang-guncangkan tubuh Sobrang.
Tetapi tubuh itu telah kaku dan menjadi mayat. Ki Jibus tersedu-sedu di atas tubuh Sobrang.
Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya. Menoleh pada Secopati yang tengah berdiri gagah. Sepasang mata Ki Jibus nyalang. Menyiratkan sinar dendam dan amarah.
"Bangsat keji! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" geramnya. Lalu dia pun segera menyerang. Beberapa kepala keluarga yang berada di sana, pun tidak terima dengan kematian Sobrang. Berbekal dayung yang dijadikan senjata mereka pun menyerbu ke arah Secopati.
Beberapa teman Secopati pun segera melompat dari kuda-kuda mereka. Dan serentak menyambut serangan para penduduk yang marah.
Sebentar saja di tempat itu terjadi pertarungan yang amat hebat.
Sebentar saja terdengar pekik dan jeritan yang menyayat hati yang keluar dari mulut para kepala keluarga yang gagah berani.
Dan sebentar saja di pantai Laut Selatan bergeletakan beberapa mayat, yang ke semuanya mayatmayat dari kepala keluarga yang gagah berani itu.
Sementara itu Ki Jibus sendiri sudah luka parah. Secopati sendiri terbahak-bahak sambil berkali-kali memukul. Dia sengaja untuk menyiksa Ki Jibus lebih dulu sebelum di buat mampus.
Dan ini merupakan satu siksaan yang amat menyakitkan bagi Ki Jibus. Dia sudah ingin mati saja rasanya seperti yang dialami oleh beberapa sahabatnya. Namun Secopati memang bermaksud untuk mempermainkannya.
"Hahaha... mampuslah kau, Ki Jibus!" terbahak Secopati sambil menendang tubuh Ki Jibus hingga terpental beberapa tombak.
Sementara teman-teman Secopati pun terbahak. Tubuh Ki Jibus ambruk dengan berlumur darah.
Dan nyawanya pun melayang saat itu juga.
Secopati meludah.
"Ciiih! Itulah akibatnya bila berani menentang Secopati!"
"Secopati," memanggil salah seorang temannya. Secopati berbalik. "Ada apa, Pronomuro?" "Apakah kita hanya diam saja di sini? Bukankah malam sudah datang?"
Secopati terbahak, mengerti apa yang dimaksudkan oleh temannya itu.
"Benar, benar! Malam pun sudah semakin dingin! Angin laut sepertinya menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum!"
"Nah, untuk apa lagi kita berlama-lama di sini?" kata Pronomuro sambil terbahak pula.
Lalu kelima orang itu pun menaiki kuda mereka masing-masing. Dan menggebraknya.
Sebentar saja terdengar jerit dan tangis dari anak manusia ketika kelima orang itu mengobrak-abrik seisi desa.
Bagi kaum wanita, lima perawan murni pun diseret ke balik semak. Dan di sana mereka dipaksa untuk menjadi pemuas nafsu bejat orang-orang itu.
Mereka hanya bisa menangis.
Merasakan sakit yang tak terkira. Tubuh mereka bagaikan dicabik-cabik binatang buas.
Rasa sakit hati mereka sudah sampai ke dalam.
Ke lubuk hati yang paling dalam.
Kelima orang itu terbahak-bahak begitu selesai melampiaskan nafsu bejat mereka.
Karena malu menanggung malu yang tak terhingga, empat orang dari gadis itu langsung membunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri hingga putus.
Bagi mereka memang lebih baik mati daripada mengalami siksaan yang teramat pedih ini.
Secopati terbahak ketika dia keluar dari balik semak itu.
Gadis yang baru saja diperkosanya hanya bisa menahan tangis. Merasakan sakit hati yang terkira dalamnya. Menahan pedih tubuhnya yang terasa amat perih.
Tiba-tiba dia mengambil sebatang kayu besar. Dan dengan meradang marah dia menerjang ke arah Secopati yang sedang tertawa-tawa bersama temantemannya.
"Mampuslah kau, orang jahaaaaat!" maki gadis itu sambil menyerbu.
"Awas, Secopati!" memperingatkan Pronomuro.
Secopati sendiri sudah mendengar jeritan dan desiran angin yang menerjang ke arahnya. Dia menggeram marah. Lalu memiringkan tubuhnya, dan kakinya menjegal langkah gadis itu.
"Aaaahhh!"
Gadis itu tersuruk ke depan.
Tetapi sejurus kemudian dia bangkit kembali dan kembali pula meradang. Dia pun menyerang lagi.
Kali ini Secopati tidak mau bertindak tanggung lagi. Ayunan kayu itu ditangkisnya dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya bergerak cepat menangkap leher gadis itu. Lalu memuntirnya.
Terdengar suara "krak" yang cukup keras diiringi dengan jeritan yang menyayat hati.
Gadis itu mati dengan leher patah.
Secopati melempar tubuh gadis itu ke pasir pan-
tai.
Dia meludahi tubuh gadis yang telah menjadi
mayat itu.
"Ciiih! Anjing buduk!"
Pronomuro terbahak. "Rupanya dia kurang puas dengan pelayananmu, Secopati!"
Wiroprogo pun terbahak. "Sebaiknya kau kasih lagi dia kepuasan yang mendalam. Biar dia tidak penasaran dalam matinya!"
Secopati menggeram diejek seperti itu.
Lalu dia berkata, "Pragono... dan kau Jawinto... jemput Nyai Prodo ke mari. Katakan, daerah ini telah menjadi kekuasaan kita! Dan setiap keluarga diharuskan untuk menyetor kepada kita lima keping uang perak! Malam ini juga kau harus tiba di Gunung Pengging!"
Pragono dan Jawinto segera mengambil kudakuda mereka. Lalu tanpa banyak cakap lagi keduanya segera menggebrak kuda-kuda mereka hingga meninggalkan debu yang berterbangan.
Secopati berkata pada Pronomuro. "Mulai saat ini, kita tak bisa berdiam diri saja. Daerah ini harus terus kita kuasai! Kau pilihkan beberapa pemuda yang cukup kuat!"
"Untuk apa?!"
"Kita akan melatih mereka untuk dijadikan sebagai pengawal! Dan cari gadis-gadis cantik untuk menjadi pemuas nafsu kita... hahaha!"
Pronomuro dan Wiroprogo pun terbahak.
"Kau memang hebat kalau soal mencari wanita, Secopati!" kata Wiroprogo.
"Ini adalah salah satu kelebihanku!" kata Secopati. Lalu dia mengambil kudanya. Dan mulai mengelilingi daerah itu. Setelah itu dinyalakannya beberapa obor dan dilemparkan ke atas atap beberapa rumah.
Hingga penghuninya yang sudah ketakutan semakin menjadi ketakutan dan berhamburan keluar bila tidak mau dimakan oleh api yang panas dan ganas itu.
Secopati cuma terbahak-bahak.
Puas dia melihat hasil dari kebengisan yang telah dilakukannya bersama teman-temannya.
*** 2
Dua ekor kuda itu terus melesat menembus kepekatan malam. Keduanya tak mengenal lelah. Jarak dari Pelabuhan Ratu ke Gunung Pengging bukan main jauhnya. Tetapi mereka harus tiba saat ini juga.
Pragono dan Jawinto terus memacu kudakudanya.
Melewati sebuah hutan kecil, keduanya berpapasan dengan dua orang penunggang kuda pula. Kedua penunggang kuda itu adalah seorang pemuda dan seorang pemudi. Yang pemuda berwajah tampan dan gagah. Sedangkan yang pemudi berwajah cantik jelita.
"Siapa kedua orang yang berpapasan dengan kita, Kakang?" bertanya yang pemudi.
"Entahlah, Rayi... aku sendiri tidak tahu." "Kakang... apakah kita tidak sebaiknya beristira-
hat dulu. Aku sudah lelah sekali," kata pemudi itu lagi. Yang pemuda itu mengiyakan. Lalu dia menghen-
tikan laju kudanya.
Begitu pula dengan yang pemudi.
"Masih jauhkah jalan yang harus kita tempuh, Kakang?" tanya pemudi itu.
"Bila tidak ada halangan, besok pagi kita sudah sampai ke Laut Selatan. Ah, Rayi... aku telah rindu dengan rumah kita."
"Aku pun begitu, Kakang. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang terjadi di sana."
Siapakah sebenarnya kedua pemuda dan pemudi itu? Keduanya tak lain adalah Pranata Kumala dan istrinya, Ambarwati. Keduanya memang telah lama melakukan petualangan untuk mencari pengalaman hidup. Sama seperti yang dilakukan oleh orang tua mereka, Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya Ratih Ningrum.
Pranata Kumala adalah putra dari Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum. Sedangkan Ambarwati adalah menantu mereka.
Ambarwati putri dari seorang kepala perampok yang bernama Jedangmoro, yang memimpin Gerombolan Golok Iblis. Mereka selalu beraksi di jalan menuju desa Pacitan. Namun gerombolan itu berhasil ditumpas oleh Pranata Kumala.
Sedangkan Jedangmoro mati di tangannya sendiri. (Baca: Pendekar Kedok Putih).
Dan kini, putri dari kepala perampok itu telah menjadi istrinya. Kini keduanya tengah rindu dengan rumah mereka di Laut Selatan. Dan keduanya bermaksud untuk menengok keadaan rumah mereka sejak mereka tinggalkan dulu dan bermaksud berpetualang (Baca: Sepasang Manusia Srigala).
Pranata menatap istrinya setelah mendengar kata-kata istrinya tadi.
"Apa maksudmu, Rayi?"
"Entahlah, Kakang..." kata Ambarwati sambil merebahkan kepalanya di dada suaminya. "Tapi perasaanku mengatakan demikian. Ah... aku takut terjadi sesuatu dengan makam ayah, Kakang "
Mendengar kata-kata istrinya, Pranata menjadi teringat lagi kejadian beberapa tahun lalu. Ayah dari istrinya ini telah mati di tangannya.
Namun Pranata amat mencintai istrinya.
Dirangkulnya tubuh istrinya itu dengan penuh kasih sayang.
"Percayalah, Rayi... tidak akan terjadi apa-apa di Laut Selatan. Dan tidak ada yang mengganggu makam ayahmu...." katanya menenangkan istrinya. Namun Pranata sendiri entah dari mana datangnya merasa ada sesuatu yang tengah terjadi di Laut Selatan. "Rasanya... aku... ah, entahlah, Kakang "
"Tenanglah, Rayi... tenanglah...." kata Pranata menenangkan istrinya. Dia merangkul lebih ketat lagi. "Sebaiknya, kita jangan melanjutkan perjalanan malam ini. Kita istirahat saja dulu, sampai matahari muncul kembali. Baru kita melanjutkan perjalanan lagi "
Tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh derap langkah kuda yang mendekat. Siaga keduanya berdiri. Dan melihat dua orang penunggang kuda mendekat.
Pranata memperhatikan kedua orang itu. Hmm, kalau tidak salah, keduanya yang berpapasan dengan kami tadi? Mau apa mereka datang kembali?
Terdengar salah seorang tertawa. "Nah, kau lihat sendiri Jawinto! Benarkan ucapanku? Gadis itu begitu cantik sekali! Kau percaya sekarang?"
Kedua orang yang ternyata Pragono dan Jawinto itu terbahak. Tawa Jawinto lebih keras.
"Benar, Pragono. Matamu awas sekali rupanya!" "Kalau soal wanita cantik, aku tahu, Jawinto!
Hahaha... tak sekali pun aku pernah melewatkan pemandangan yang mengasyikkan ini... hahaha!"
Pranata Kumala dan istrinya menjadi makin siaga dan waspada. Mereka dapat menangkap maksud tidak baik dari kedua orang ini.
Pranata berkata, mencoba bersahabat, "Ki Sanak berdua... ada apakah gerangan Ki Sanak berdua berhenti di hadapan kami..."
Jawinto terbahak.
"Hahaha... rupanya kau pandai berkata pula, Anak muda? Hmm... ketahuilah, namaku Jawinto dan ini temanku yang bernama Pragono. Kami adalah Gerombolan Orang-orang Bengis. Ketua kami bernama Nyai Prodo, atau Malaikat Penghisap Darah!"
"Sebuah nama yang cukup menakutkan!" kata Pranata Kumala sambil tersenyum.
"Yah, memang telah menggetarkan seluruh rimba persilatan, Anak Muda "
"Lalu apa maksud dari Ki Sanak berdua?" "Maksud kami? hahaha " Jawinto berpaling pa-
da Pragono. "Dia bertanya maksud kita.... hahaha "
Ambarwati yang berkarakter panasan mendengus. Dia sebal karena istirahat dan kemesraan bersama suaminya jadi terganggu karena kedatangan kedua orang ini.
"Stop!" bentaknya. "Kalian mau apa sebenarnya? Bila tak ada maksud... cepat kalian tinggalkan tempat ini! Kalian sungguh membosankan!"
"Hei, dia berani membentak kita, Jawinto?" kata Pragono sambil tertawa.
"Ya, ya... dan aku amat menyukai wanita yang berkarakter seperti ini. Kau tahu sebabnya, Pragono?"
"Sudah tentu."
"Katakan, biar gadis itu mendengarnya juga!" "Kalau dia karakternya panasan, sudah tentu di
ranjang pun dia akan mampu membuat suasana menjadi panas.... hahaha bukankah begitu, Jawinto?"
"Tepat sekali! Dan aku memang menginginkannya!" Jawinto pun terbahak.
Mengapa sebenarnya kedua anggota dari Gerombolan Orang-orang Bengis itu muncul kembali. Bukankah mereka sedang mengemban tugas untuk melaporkan hasil kerja mereka?
Ketika melewati Pranata Kumala dan Ambarwati tadi, keduanya memang tak acuh saja. Tetapi begitu melirik Ambarwati, sepasang mata Pragono menjadi nanar. Gadis itu sungguh cantik sekali.
Sambil menghentakkan kudanya dia menjajari laju kuda Jawinto.
"Winto! Gadis itu cantik sekali! Kau melihatnya?" serunya yang sudah timbul birahinya.
"Sudahlah, Pragono... lupakan saja! Tugas ini lebih penting dari gadis itu!" kata Jawinto.
"Bodoh! Kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu indah!"
"Tapi kita bisa kena marah oleh Nyai Prodo nan-
ti?"
"Jawinto... kau bodoh sekali. Bukankah yang
menyuruh melaporkan semua ini pada Nyai Prodo adalah Secopati? Toh Nyai Prodo tidak tahu semua ini? Bukankah dia menyuruh kita untuk kembali seminggu kemudian? Ini baru lima hari. Masih ada lagi waktu satu hari."
"Lalu apa maksudmu?" Jawinto menghentikan laju kudanya.
Begitu pula dengan Pragono.
"Malam ini kita bersenang-senang lagi saja dulu.
Gadis itu amat cantik!"
Jawinto terbahak. Membenarkan kata-kata temannya.
"Mengapa tidak?"
"Hahaha... bagus, bagus sekali! Kau akan melihat nanti, kalau omonganku itu benar!"
Lalu keduanya pun kembali memutar kuda mereka ke jalan yang telah mereka tempuh tadi.
Sekarang keduanya tengah terbahak-bahak di depan Ambarwati dan suaminya, Pranata Kumala.
Wajah Ambarwati memerah mendengar kata-kata itu. Dia jadi mengerti apa maksud sesungguhnya dari kedua orang ini? Menginginkannya!
Dan ini membuatnya semakin marah.
"Orang-orang busuk! Ucapan kalian begitu menjijikkan sekali!" makinya.
Jawinto terbahak. Berkata pada Pragono. "Kau dengar itu Pragono... dia membentak kita?" "Benar, dia begitu panasan sekali!"
Pranata Kumala yang tidak mau mencari keributan menyela sebelum istrinya berkata-kata lagi. Bila kemarahan istrinya sudah naik, bisa jadi runyam. Mau tak mau mereka harus bertempur dengan kedua orang ini.
Dia pun mencoba berkata dengan nada bersahabat, meskipun di hatinya ada rasa marah mendengar kata-kata yang terdengar menjijikkan itu.
Pranata pun sudah dapat menangkap apa maksud dari kedua laki-laki ini.
Tak lain ingin mendapatkan istrinya!
"Ki Sanak... rasanya, kita tak pernah bertemu. Tak pernah berurusan apa-apa. Dan tak pernah punya bibit permusuhan. Sekali kita bertemu, kalian telah menyebarkan rasa tidak senang di hadapan kami. Lebih baik kalian tinggalkan kami secara damai. Dan kami pun tak akan berbuat apa-apa. Silahkan "
Mendengar kata-kata itu, Jawinto dan Pragono menghentikan tawanya. Keduanya mendengus.
Jawinto berkata dengan suara yang ke luar bersamaan dengan dengusannya.
"Hhh! Punya nyali juga kau rupanya! Lebih baik kau sendiri yang meninggalkan tempat ini, dan tinggalkan gadis itu untuk kami!"
"Ki Sanak namaku Pranata Kumala. Dan ini is-
triku, Ambarwati. Sudah tentu tak akan pernah kuberikan kepada siapa pun, juga kepada kalian!"
Jawinto terbahak. "Hahaha... biarpun kau merasa memiliki nyali yang cukup berani, tapi itu tak ada gunanya untuk menentang permintaan kami!"
"Tidak hanya pada kalian aku menentang permintaan ini. Pada siapa pun akan kutentang!"
Kalau bulan saat ini tidak tertutup awan, akan terlihat jelas wajah Jawinto yang memerah karena marah.
"Setan alas! Kau berarti menantang kami, hah?" "Siapa pun orangnya yang hendak meminta istriku, atau yang ingin menindas kami, akan kutentang sampai mati sekali pun!"
"Anjing!" memaki Jawinto sambil bersalto dari kudanya. Kini dia berdiri berhadapan dengan Pranata Kumala. "Mampuslah kau, Pranata!" serunya seraya menyerbu.
Pranata Kumala yang sudah melihat gelagat tidak baik itu segera memiringkan tubuhnya. Jawinto terkejut karena serangannya berhasil dielakkan dengan mudah.
"Punya kebisaan juga kau rupanya, hah?!" geramnya jengkel.
"Lumayan untuk memukul orang kalap seperti kau ini!" sahut Pranata dan menghindari lagi serangan Jawinto yang kembali menyerbu.
Sementara itu Pragono tertawa melihat kawannya belum berhasil melumpuhkan Pranata Kumala.
"Hahaha... masa kau tidak bisa mengalahkannya, Jawinto?!" bahaknya sampai terguncang-guncang perutnya.
Namun kata-katanya itu cepat disambar oleh Ambarwati.
"Orang jelek! Bila kau ingin bermain-main, cepat kau turun dari kudamu! Biar aku yang melayani!"
Pragono terbelalak mendengar kata-kata Ambarwati. Namun sejurus kemudian dia tertawa.
"Hahaha... melayani kau, Manis? Boleh, boleh! Agaknya aku pun sudah tidak sabar untuk mengelus kulitmu yang halus!"
"Anjing buduk!" memaki Ambarwati sambil meloloskan pedangnya yang terdapat di punggungnya. "Majulah!" bentaknya dengan gagah. Pragono terbahak lagi. Dan tiba-tiba dia melompat bersalto, langsung mengirimkan satu serangan ke arah dada Ambarwati!
***
3
Ambarwati yang sudah siap sejak tadi, segera menyabetkan pedangnya ke arah Pragono. Pragono menjadi urung menyerang dan dia kembali bersalto ke belakang dan hinggap di bumi dengan ringannya.
"Hebat!" desisnya kagum.
"Dan aku akan memperlihatkan kepadamu Orang jelek, bahwa masih ada kehebatan milikku yang harus kau ketahui?!" maki Ambarwati.
Pragono terbahak.
"Hahaha... sudah tentu aku akan menikmatinya, Manis! Tubuh bagian mana yang akan kau perlihatkan?!"
Merah padam wajah Ambarwati. Dia pun menjadi murka.
"Anjing buduk!" makinya berang dan segera melompat menyerbu.
"Bagus, bagus!" tertawa Pragono menyambut serangan itu. Kini di tempat itu dan di tengah malam buta terjadi dua perkelahian yang hebat.
Jawinto sendiri sudah meloloskan goloknya untuk segera menghabisi Pranata Kumala. Tetapi dengan menggunakan jurus Kijang Kumala, Pranata berhasil melepaskan diri dari kepungan golok itu.
Dia pun sudah mengeluarkan pula jurus Tangan Bayangannya, warisan dari gurunya Ki Ageng Jayasih yang bermukim di Gunung Muria (Baca: Kakek Sakti dari Gunung Muria).
Pertarungan keduanya semakin hebat dan cepat.
Semakin tangguh dan berbahaya.
Begitu pula dengan Ambarwati yang terus menekan Pragono dengan ilmu pedangnya.
Pragono yang semula menganggap enteng menjadi kaget melihat kepandaian Ambarwati yang di luar dugaannya. Dia pun segera meloloskan goloknya.
Tak lama kemudian pun terdengar suara senjata beradu. Cukup keras.
"Kau tak akan bisa melarikan diri, Manis!" tertawa Pragono yang merasa berada di atas angin. Dengan golok di tangannya dia seperti bisa menguasai Ambarwati.
Ambarwati sendiri merasakan tangannya kesemutan setiap kali pedangnya beradu dengan golok Pragono.
Ini menandakan tenaga dalamnya kalah oleh Pragono. Hanya berada satu tingkat di bawah Pragono.
Tetapi gadis yang keras kepala itu tak mau menyerah begitu saja. Dia pun mengimbanginya dengan menggunakan kelincahannya.
"Kau yang tak bisa lari dariku, Orang jelek!" makinya.
"Hahaha... sudah kewalahan begini kau masih bisa banyak omong! Bagus, bagus sekali!"
"Anjing buduk!" maki Ambarwati sambil terus mencoba menekan.
Namun serangan-serangannya berhasil dipatahkan oleh ayunan golok Pragono. Sampai suatu ketika, Pragono mencecar dengan hebat.
Ambarwati sendiri menjadi kelabakan. Sebisanya dia mencoba menangkis, menghindar dan membalas. Namun sepertinya gerakannya sudah terkurung oleh Pragono. Pragono terkekeh. "Hahaha... rupanya ajal sudah di ambang pintu untukmu, Manis... Nah, lebih baik kau menyerah saja dan merelakan tubuhmu kunikmati "
"Ciiih! Lebih baik aku mampus daripada jatuh ke tanganmu, Orang jelek!"
Pranata pun melihat istrinya dalam keadaan terdesak. Namun serangan-serangan yang dilancarkan Jawinto menyulitkannya untuk membantu istrinya.
Dan dia melihat istrinya sudah benar-benar tak mampu lagi menghindar. Golok di tangan Pragono sudah siap untuk mencabut nyawanya.
Tiba-tiba Pranata menggerakkan tangan kanannya ke arah Pragono.
"Siiiing!"
Selarik sinar merah melesat ke arah Pragono. Pragono terkejut. Dia mengurungkan niatnya un-
tuk menghabisi Ambarwati. Lalu dia dengan sigap merundukkan kepalanya. Sinar merah itu melewati kepalanya hanya beberapa senti.
Dan menerjang sebuah pohon yang terdapat di hutan kecil itu hingga hangus.
"Bedebah!" maki Pragono pada Pranata.
Melihat lawannya lengah, Ambarwati pun segera mengambil kesempatan. Dia mendadak saja menyerang.
Pragono terkejut. Namun pedang di tangan Ambarwati telah lebih dulu mengenai sasarannya.
Terdengar jeritan Pragono keras. Darah segar menyembur dari dadanya.
Dia menekap darah itu dengan tangannya. Matanya liar dan dendam menatap Ambarwati.
"Kau..."
Hanya itu yang diucapkannya. Hanya itu. Selebihnya tubuhnya ambruk bersimbah darah. Ambarwati mendengus.
Sementara itu melihat temannya telah tewas, Jawinto menjadi marah yang luar biasa. Dia terus mencecar Pranata Kumala dengan goloknya.
Namun menghadapi lawan yang telah kalap seperti ini, bagi Pranata bukanlah hal yang menyusahkan. Dia pun memapakinya serangan-serangan itu dengan jurus Kijang Kumalanya dan jurus Tangan Bayangannya yang membuat tangannya seolah menjadi bayangan dan banyak, berkali-kali mengenai sasarannya.
Dan tiba-tiba dia memekik. "Des!"
Satu pukulan telak mengenai tepat di dada Jawinto yang terhuyung menahan rasa sakit.
"Bunuh saja, Kakang!" seru Ambarwati.
Pranata cuma tersenyum. "Tidak usah, Rayi. Dia sudah kalah. Kita tidak boleh membunuh orang yang sudah kalah."
"Tapi kalau kita yang kalah, kita tetap akan dibunuhnya, Kakang!"
"Tidak usah, Rayi... biarkan dia hidup dan menyesali semua perbuatannya."
Namun menyesalkah Jawinto? Laki-laki itu malah menjadi geram. Lalu karena menyadari dia tidak akan menang, bergegas dia melompat ke kudanya. Dan segera menggebrak maju lari kudanya.
Meninggalkan Pragono yang telah menjadi mayat. Dan membawa rasa sakit di dadanya yang amat terasa.
Pranata Kumala mendesah. "Ah, mengapa masih banyaknya orang-orang jahat di muka bumi ini?"
Ambarwati mendekati suaminya.
"Mengapa dia tidak kau bunuh saja, Kakang? Orang jahat seperti itu tidak layak untuk hidup," kata Ambarwati menyesali sikap suaminya. Pranata tersenyum. Berpaling pada istrinya. "Tidak perlu, Rayi. Kita tidak perlu menurunkan
tangan telengas pada lawan yang sudah kalah. "Mengapa, Kakang? Bila orang jahat seperti itu
kau biarkan hidup, maka kejahatannya akan semakin merajalela. Apakah kau tidak mendengar kalau tadi dia bilang dia dan kawannya yang telah mampus itu anggota dari Gerombolan Orang-orang Bengis? Dari nama gerombolannya saja itu sudah menandakan dia dan mungkin beberapa orang teman lainnya, adalah orangorang yang kejam. Bengis! Lalu mengapa kau membiarkannya hidup?"
"Rayi... mati ada di tangan Tuhan. Bila kita mencabut nyawa manusia itu, sama saja kita mendahului Tuhan."
"Tapi kita mempertahankan nyawa, Kakang! Kalau bukan kita yang mati, dia yang mati. Begitu pula sebaliknya."
"Tetapi tadi aku tidak sedang mempertahankan diri, Rayi."
"Kau bertarung dengannya itu tidak kau katakan mempertahankan diri?"
"Bukan itu maksudku, Rayi "
"Lalu apa, Kakang?" kata Ambarwati yang jadi sebal karena suaminya selalu menentang katakatanya.
"Orang tadi sudah tidak berdaya, tidak dalam keadaan bertempur melawanku? Dia sudah kalah. Itukah yang kau namakan sedang bertempur?"
"Semula kau bertempur dengannya, bukan?"
"Iya! Dan bila orang itu mati di tanganku saat bertempur, aku tidak apa-apa. Tetapi orang itu sudah tidak berdaya, tidak sedang bertempur denganku. Bila aku membunuhnya, sama saja aku dengan mencabut nyawanya secara sengaja. Dan itu berarti mendahului Tuhan, Rayi "
Ambarwati terdiam. Sebenarnya dia mengerti dan tahu maksud dari kata-kata suaminya. Namun kejengkelan karena waktu istirahat dan kemesraan yang sedang diberikan oleh suaminya terganggu oleh orangorang itu, maka dia menjadi jengkel.
Seharusnya orang itu dibunuh saja! Begitu maunya Ambarwati. Dengan alasan, bila dibiarkan hidup maka kejahatan yang dilakukannya akan semakin merajalela.
"Kau mengerti bukan, Rayi?" tanya Pranata Kumala dengan suara mesra karena istrinya diam saja.
Ambarwati mengangkat kepalanya. Ah, semakin lama dia semakin kagum terhadap suaminya. Dan rasa cintanya semakin besar saja.
"Bagaimana, Rayi? Kau mengerti?" tanya Pranata Kumala lagi.
Dan perlahan-lahan kepala itu mengangguk. Ada senyum yang tersungging di bibirnya.
"Iya, Kakang "
"Nah, itu baru istriku yang manis." Ambarwati tersipu.
"Sebaiknya kita pindah dari tempat ini, Rayi Ki-
ta cari tempat yang lebih sepi. Agar... hahaha. agar
aku bisa merangkulmu lebih erat "
Ambarwati tersipu. Dia memukul-mukul bahu suaminya dengan manja.
***
4
Pagi itu udara cerah. Matahari telah sepenggalah. Sinarnya yang keemasan nampak telah memayungi seluruh dunia. Memberikan penghidupan bagi umat manusia melalui sinarnya. Ini menunjukkan salah satu kekuatan dan kekuasaan Tuhan pada umat-Nya.
Sebagai manusia, kita memang harus mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya.
Pagi itu pula di Perguruan Topeng Hitam, para muridnya tengah berlatih. Memang setiap pagi muridmurid Perguruan Topeng Hitam berlatih ilmu pedang.
Pedang memang senjata yang menjadi ciri khas dari perguruan itu. Selain itu, mereka pun memiliki senjata rahasia yang berbentuk topeng itu. Di samping itu pula, semua murid-murid Perguruan Topeng Hitam memakai pakaian hitam-hitam dan menutup wajah mereka dengan topeng hitam.
Ketua dari Perguruan Topeng Hitam adalah Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma. Sebenarnya perguruan itu dulu diketuai oleh Paksi Uludara atau yang berjuluk si Dewa Pedang. Namun setelah si Dewa Pedang tewas di tangan Nindia, maka dia pun menyerahkan tampuk kekuasaan itu pada Madewa Gumilang sebelum ajal menjemputnya (Baca: Dewi Cantik Penyebar Maut).
Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan istrinya Ratih Ningrum, nama dan ketenaran Perguruan Topeng Hitam seakan telah mengumandang ke seluruh rimba persilatan.
Selama ini Madewa memang tidak pernah mengajarkan jurus, ilmu atau pun ajian yang dimilikinya kepada murid-muridnya. Dia tidak mau merubah tradisi yang telah mendarah daging di Perguruan Topeng Hitam yang selalu bersenjatakan pedang.
Dia hanya mengajarkan jurus-jurus pedang yang diciptakannya. Dibantu oleh Ratih Ningrum yang memiliki jurus Pedang Kembar warisan dari gurunya yang bernama Mukti. Selesai memberi petunjuk kepada para muridmuridnya, Madewa menyuruh salah seorang murid pilihan untuk memimpin berlatih. Dia sendiri melangkah masuk ke dalam.
Sesampai di dalam, Madewa melihat istrinya nampak sedang termenung. Perlahan-lahan dia mendekati.
"Dinda... ada apakah gerangan hingga Dinda kelihatan bermuram durja?" tanyanya dengan mesra.
Ratih Ningrum mengangkat kepalanya. Tersenyum pada suaminya tercinta. Madewa dapat melihat kalau sepasang mata itu seperti sedang rindu pada sesuatu.
"Kanda...." desis Ratih Ningrum bagaikan desahan belaka.
"Ya, Dinda?! Katakanlah... ada apakah geran-
gan?"
Ratih Ningrum mendesah. "Apakah Kanda sudah
lupa... beberapa minggu yang lalu Kanda pernah berjanji pada Dinda, untuk menjenguk dan mencari Pranata Kumala dan anak menantuku, Ambarwati?"
Madewa tersenyum. Rupanya soal itu. Ya, dia masih ingat sebulan yang lalu dia memang pernah berjanji pada istrinya untuk mencari putra dan anak menantunya. (Baca: Maut Buat Madewa Gumilang).
"Lalu?"
"Apakah Kanda menjadi orang yang tidak pernah menepati janji?"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana. Dia lalu duduk di hadapan istrinya. Jubah putihnya tergerai di lantai.
"Kanda tidak pernah akan berubah." "Sampai kapan pun?"
"Sampai kapan pun."
"Lalu mengapa Kanda tidak memenuhi permintaan Dinda dan mengabulkan semuanya?"
"Sudah tentu akan kukabulkan. Baik, besok pagi, kita akan berangkat menuju Pantai Laut Selatan. Barangkali saja Pranata dan anak menantu kita Ambarwati, punya rasa rindu pula terhadap rumah mereka di Laut Selatan."
Seketika sepasang mata Ratih Ningrum bersinar cerah. Mirip seorang anak kecil yang diberi permen.
"Benarkah, Kanda?" Madewa tersenyum. "Mengapa tidak?"
"Oh! Aku sudah rindu sekali dengan Pranata Kumala, Kanda. Aku sudah rindu sekali. Hei..."
"Kenapa, Dinda?"
"Apakah... apakah anak menantuku sudah ha-
mil?"
Madewa tersenyum. "Kau bisa menanyakannya
bila bertemu dengannya."
"Andaikata dia sudah hamil, aku akan menimang cucu, Kanda... Oh, alangkah senangnya!"
Madewa tersenyum. "Dinda... bagaimana bila putra dan anak menantu kita tidak ada di Laut Selatan?"
"Oh!"
"Bagaimana, Dinda?"
Ratih Ningrum menatap wajah suaminya. "Kanda akan memenuhi permintaanku, bukan?"
"Sudah tentu. Kau adalah wanita yang baik hati dan setia, Dinda. Yang telah menemaniku hidup selama bertahun-tahun dalam suka dan duka. Mengapa aku tidak akan memenuhi semua permintaanmu? Sepertinya aku tidak punya alasan untuk itu," kata Madewa sambil tersenyum.
Ratih Ningrum pun ikut tersenyum. Dia merasa terharu dan bangga mendengar kata-kata suaminya. Dulu, suaminya hanyalah perawat kuda di rumahnya, dan dia tak pernah menyangka akan menjadi istrinya. Sejak masih perawan dulu, Ratih Ningrum diam-diam memang menyintai Madewa yang saat itu menjadi perawat kudanya. Namun percintaan itu ditentang oleh ayahnya. Tetapi Ratih Ningrum nekat. Dan yang tak pernah disangkanya, ayahnya yang bernama Biparsena adalah seorang tokoh hitam yang jahat (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari dan Dendam Orang-orang Gagah).
"Kanda...." terdengar suaranya lagi. "Kita akan cari Pranata Kumala dan Ambarwati sampai bertemu. Aku sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan mereka. Dan aku pun sudah tidak sabar ingin mengetahui apakah anak menantuku sudah hamil atau belum."
"Ya."
"Kau mau memenuhinya, bukan?" "Tentu."
"Kau memang suami yang setia, Madewa "
"Kau juga seorang istri yang setia, Ratih "
Keduanya saling tersenyum.
***
Keesokan paginya, dua ekor kuda jantan yang gagah telah dikeluarkan dari kandang. Madewa tengah menyampaikan pesannya pada murid-muridnya sepeninggal dia dan istrinya untuk menuju Laut Selatan.
"Aku minta... jangan ada yang membuat keributan. Onar atau pun masalah. Bila memang ada, usahakan kalian semua melakukannya dengan cara damai. Jangan sampai timbul bibit permusuhan yang terjadi di antara sesama! Mengerti?!"
Para muridnya pun mengangguk. Lalu Madewa dan istrinya segera menaiki kuda-kuda mereka. Dan memulai perjalanan menuju Laut Selatan. Bagai seorang anak kecil Ratih Ningrum sudah tidak sabar ingin bertemu dengan putra dan anak menantunya. Di sepanjang jalan dia selalu tersenyumsenyum.
Madewa Gumilang hanya membiarkan saja istrinya menikmati kebahagiaannya.
***
5
Keadaan di Laut Selatan begitu menyedihkan sekali. Para penduduk yang tinggal di sana, kini telah menjadi budak dari orang-orang jahat itu.
Nasib kaum wanita lebih menyedihkan lagi. Mereka di jadikan pemuas hawa nafsu mereka. Kadang mereka digarap secara beramai-ramai dengan digilir.
Dan dalam waktu satu minggu saja, di tempat itu telah berdiri sebuah bangunan yang cukup megah. Yang dibangun dengan uang rakyat. Dan pekerjanya pun para penduduk yang dengan paksa siang dan malam harus membanting tulang untuk mendirikan bangunan itu.
Kini di salah sebuah ruangan itu, berkumpul Secopati, Pronomuro dan Wiroprogo. Mereka tengah membicarakan Pragono dan Jawinto yang belum kembali sampai sekarang ini.
"Apakah mereka belum tiba di sana?" menduga Pronomuro.
"Kalau belum tiba tidak mungkin. Kupikir... ada atau telah terjadi sesuatu pada diri mereka...." kata Secopati.
"Apa maksudmu?"
"Mengingat sampai sekarang mereka belum kembali pula ke sini?"
"Apa kira-kira yang terjadi?" tanya Wiroprogo. "Aku pun tidak tahu. Kalau pun mereka ada ha-
langan di jalan, mustahil mereka bisa dikalahkan. Ataupun aku yakin mereka bisa mengatasi halangan itu."
Ketiga orang itu memang sedang sibuk memikirkan Pragono dan Jawinto. Karena mereka tahu, waktu yang diberikan oleh Nyai Prodo untuk menguasai seluruh wilayah Laut Selatan, hanya satu minggu. Bila lebih dari waktu yang ditentukan, akan mendapat sangsi yang mengerikan.
Harus mati dengan kepala terpenggal.
Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan di hadapan mereka. Ketiganya serentak berdiri. Terkejut. Lebih terkejut lagi ketika melihat bungkusan itu berdarah.
"Hei, apa itu?" seru Wiroprogo.
"Siapa yang telah melemparkannya?!" seru Seco-
pati.
Sedangkan Pronomuro telah melesat ke luar.
Namun di sana dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan kecuali beberapa pemuda yang telah dilatih dan dipaksa oleh ketiganya untuk menjadi penjaga bangunan itu.
Pronomuro kembali lagi ke teman-temannya. "Yah... tidak ada sesuatu yang mencurigakan!"
katanya.
"Lebih baik kita lihat isi bungkusan berdarah itu!" kata Secopati.
Lalu dia pun membukanya. Dan terdengar jeritan yang keras dari ketiganya begitu melihat isi bungkusan itu.
"Jawinto!" "Oh!"
"Mengapa sampai begini?!" Bungkusan yang berlumur darah itu ternyata berisi kepala Jawinto yang terpisah dari tubuhnya. Sepasang mata itu terbeliak seperti menahan rasa sakit.
Belum lagi ketiganya sempat berkata-kata, terdengar suara kekehan di belakang mereka.
Serentak ketiganya menoleh.
"Nyai!" Dan seruan itu pun diucapkan secara bersamaan.
Sosok tubuh yang terkekeh itu tak lain adalah Nyai Prodo. Dia seorang nenek bongkok. Rambutnya yang putih beruban disanggul dengan sebuah tusuk konde. Ketika dia terkekeh terlihat semua giginya terbuat dari perak.
"Hehehe... kalian terkejut, bukan?!" terkekeh lagi Nyai Prodo.
"Nyai? Apa yang telah terjadi dengan Jawinto?
Siapa yang telah melakukannya?!" kata Secopati.
"Aku sendiri yang melakukannya?" terdengar suara Nyai Prodo. Kali ini beraksen geram.
Ketiga orang itu menjadi terdiam. Secopati memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan berkata.
"Mengapa, Nyai? Apa salahnya dia? Bukankah dia dan Pragono sudah kuutus untuk melaporkan semua ini pada Nyai? Sementara kami di sini membangun gedung ini dan melabrak setiap desa?"
"Lalu apa yang kau pikir, kan?" "Saya tidak tahu, Nyai?"
"Hhh! Kau pikir dia dan Pragono tiba di tempatku seperti waktu yang kuberikan pada kalian?"
"Ya." Ketiganya menyahut serempak.
"Tidak!" sahut Nyai Prodo tegas. "Dia tiba di tempatku dua hari lewat dari waktu yang kutentukan dalam terluka parah."
"Terluka parah? Apa yang terjadi?" tanya Secopati mewakili keheranan kedua temannya.
"Dia memang menceritakannya padaku kejadian yang telah dialaminya. Dia dan Pragono bertempur dengan sepasang suami istri yang Pranata Kumala dan Ambarwati. Kedua suami istri muda itu memang orang-orang yang tangguh hingga mereka bisa mengalahkan Pragono dan Jawinto "
"Lalu bagaimana dengan Pragono?" "Dia telah mampus, goblok!"
Ciut hatinya Secopati mendengar bentakan yang keras itu.
Didengarnya lagi suara Nyai Prodo, "Ini semua berkat kelalaian kedua teman kalian itu. Seharusnya mereka bisa tiba di tempatku sebelum batas waktu yang kutentukan. Tetapi sifat mata keranjang mereka yang membuat mereka seperti ini."
"Hihihi tapi aku tidak mau tahu soal itu. Jawin-
to telah lewat dari batas yang kuberikan untuk mengabarkan hasil kerja kalian. Dan dia pun telah merasakan hasil dari kelalaiannya! Kalian telah melihat sendiri, bukan?"
Ketiga orang itu hanya terdiam. Dalam hati mereka pun sudah menduga, nasib yang sama akan dialami oleh mereka.
"Sial! Mengapa mata keranjang keduanya tidak bisa mereka kekang dulu sebelum tugas selesai?" Maki Secopati dalam hati.
Nyai Prodo terkikik melihat ketiga kepala itu mengangguk seperti pasrah dan ketakutan.
"Untuk kalian kuampuni!"
Seketika ketiga kepala itu terangkat. Tiga pasang mata berbinar tak percaya.
"Kalian telah melakukan tugas yang kuberikan dengan baik. Dan ini bukanlah kelalaian kalian! Tetapi kelalaian Pragono dan Jawinto. Biarkan saja kedua orang itu mampus!"
"Terima kasih, Nyai " kata Secopati. Lalu berka-
ta lagi, "Sebaiknya Nyai beristirahat dulu. Biar dilayani oleh para pelayan di sini "
Secopati menepuk tangannya tiga kali.
Tak lama kemudian muncul dua orang gadis berpakaian minim. Wajah mereka nampak layu dan tak berdaya. Mengalahkan kecantikan mereka.
"Layani Nyai Prodo dengan baik!" "Baik, Tuan."
Nyai Prodo terkekeh.
"Hihihi... hebat, hebat sekali! Kalian telah bisa menguasai mereka dengan sempurna!"
"Silahkan, Nyai... silahkan beristirahat...." kata Secopati.
Nyai Prodo terkekeh lagi. "Secopati aku memin-
ta kau carikan dua orang pemuda yang masih perjaka, untuk menambah kehebatan ilmuku ini "
"Semuanya akan Nyai dapatkan "
"Dan satu lagi permintaanku, kalian cari sepasang suami istri muda itu. Dan kalian bunuh!"
"Baik, Nyai "
Lalu dengan diantarkan oleh dua gadis yang berpakaian minim itu, Nyai Prodo menempati sebuah kamar yang indah bagus. Di dalam kamar itu terdapat makanan yang enak-enak dan buah-buahan yang masih segar-segar.
"Hihihi... inilah yang kuimpi-impikan sejak lama " serunya mengagumi ruangan itu.
Di luar, Secopati sedang menendang kepala Jawinto hingga menggelinding.
"Rasakan sendiri olehmu akibat kelalaianmu itu!" dengusnya. Lalu dia berkata pada Wiroprogo, "Cepat kau cari dua pemuda yang masih perjaka! Jangan sampai kemarahan Nyai Prodo semakin menjadi-jadi, dan kita dijadikan sasaran kemarahannya!"
Wiroprogo pun tak mau kalau kepalanya harus berpisah dengan badannya. Dia pun bergegas berlari ke luar untuk mencari dua orang pemuda yang perjaka, yang akan dipersembahkannya kepada Nyai Prodo.
"Pronomuro... agaknya kita memang harus mencari Pranata Kumala dan Ambarwati. Bila tidak, kemarahan Nyai Prodo bisa melanglang setinggi langit!" kata Secopati pula.
"Benar, Secopati!" kata Pronomuro. "Aku pun tak mau kalau dijadikan sasaran kemarahan Nyai Prodo. Aku masih sayang dengan kepala dan tubuhku! Hahaha... masih banyak kenikmatan yang belum aku rasakan lagi, Secopati!"
"Betul! Kita harus bersiap sekarang juga!"
Lalu kedua orang itu pun segera mengatur rencana. Tak lama kemudian Wiroprogo datang kembali dengan dua orang pemuda desa yang gagah dan berwajah tampan.
"Bagaimana dengan keduanya ini?" tanya Wiroprogo.
"Bagus!" sahut Secopati. "Pasti Nyai Prodo suka menikmatinya! Bawa dia ke kamarnya sekarang juga, Wiroprogo!"
Wiroprogo pun membawa kedua pemuda yang bagaikan dicocok hidungnya menuju kamar Nyai Prodo.
***
6
Nyai Prodo terkekeh melihat kedua pemuda itu. Tetapi kedua pemuda itu malah terbelalak melihat wajah seram dari Nyai Prodo.
"Hehehe... jangan takut. Manis... masuklah "
terkekeh Nyai Prodo. Lalu membentak pada dua gadis yang tengah bersimpuh di kamarnya, "Kalian berdua keluar!"
Kedua gadis itu keluar.
Nyai Prodo membawa kedua pemuda itu masuk.
Lalu dia sendiri mengunci pintu.
Kedua pemuda itu nampak ketakutan.
"Hehehe... mengapa harus takut, Manis tidak
apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa "
Salah seorang pemuda yang mempunyai sedikit nyali berkata, "Apa... apa yang akan kami lakukan, Nyai?"
"Hehehe... kalian hanya menemani aku tidur....
Itu saja "
Keduanya bergidik dengan sepasang mata yang terbelalak. Menemani tidur? Oh, Tuhan... kambing diberi obat perangsang pun belum tentu mau dengan nenek jelek ini!
"Mengapa kalian kaget? Hehehe... kalian tidak suka, ya?" suara Nyai Prodo tiba-tiba terdengar begitu mesra sekali di telinga keduanya. Dan secara tiba-tiba keduanya nampak terdiam. Terpengaruh. Diam-diam Nyai Prodo tengah mengeluarkan ajian penyerat raga.
"Hehehe... coba kalian buka mata kalian baikbaik, dan lihatlah siapa aku "
Seperti tidak percaya pada tatapannya, kedua pemuda itu terbelalak. Dia tidak melihat lagi wajah yang menyeramkan itu. Melainkan melihat wajah yang begitu cantik jelita. Mirip bidadari yang baru turun dari kahyangan.
"Hehehe... bukankah aku cantik, Manis " terke-
keh Nyai Prodo yang sudah menggunakan ajian Pembalik Mata. Dan di pandangan kedua pemuda itu kini mereka melihat seorang gadis yang amat jelita.
"Kau... kau siapa?" bertanya salah seorang sambil menelan ludahnya.
"Aku yang akan menemani kalian tidur. Dan memuaskan dahaga kalian...." suara Nyai Prodo terdengar begitu mesra dan menggetarkan.
Dan kedua pemuda itu memang telah terkena ajian Penyerat Raga dan Pembalik Mata. Secara tibatiba saja keduanya secara bersamaan menubruk tubuh Nyai Prodo yang dalam pandangan mereka telah berubah menjadi wanita yang cantik jelita.
Nyai Prodo terkekeh kegelian.
Kedua pemuda itu saling berebut untuk menggumuli yang pertama. Dan ini membuat Nyai Prodo makin keenakan.
Tak lama kemudian di kamar itu pun tercium hawa mesum yang mendebarkan. Dan sekali-kali terdengar suara kekehan Nyai Prodo diiringi dengan dengusan kedua pemuda itu.
Dan tak lama kemudian kedua pemuda itu pun tergolek lemah tak berdaya dengan mata yang terpejam. Menikmati dan merasakan apa yang telah mereka alami barusan tadi.
Betapa menggetarkan. Betapa mengasyikkan.
Membuat seluruh urat darah berpacu dengan ce-
pat.
Nyai Prodo perlahan-lahan bangkit mendekati
kedua pemuda itu.
Dia terkekeh. Dan secara tiba-tiba tangannya menotok urat kaku di leher kedua pemuda itu. Yang serentak membuka matanya.
Dalam pandangan mereka kini terlihat kembali wajah asli Nyai Prodo. Mereka jadi kaget. Kemana gadis itu?
Mengapa muncul nenek peot ini lagi?
"Hehehe... jangan kaget... darah kalian dapat menambah kekuatan ilmu Pemusnah Jiwa yang kumiliki.... hehehe "
Dan tiba-tiba saja Nyai Prodo menciumi leher pemuda yang satu. Buas. Dan tiba-tiba dia menggigit leher itu.
Terdengar pekikan yang panjang dari pemuda yang tak bisa berontak karena seluruh tubuhnya dirasakan kaku.
Terdengar bunyi berkecipak di mulut Nyai Prodo. Darah dalam tubuh pemuda itu telah disedotnya hingga kering. Lalu dia terkekeh sambil mengelap mulutnya yang berlepotan darah.
Pemuda yang satu lagi menjadi ngeri melihat pemandangan yang baru saja terjadi di depan matanya. Dia berusaha untuk memberontak, namun totokan Nyai Prodo seakan mematikan seluruh tubuhnya.
Lebih ngeri lagi ketika Nyai Prodo berpaling padanya.
"Hehehe... kau pun akan merasakan kenikmatan itu, Manis "
"Jangan... jangan, Nyai... ampuni aku...." desis pemuda itu ketakutan.
"Hehehe... darahmu begitu segar. Begitu nikmat.
Hehehe "
"Ampuni aku, Nyai... ampuni aku... akan kupenuhi semua permintaanmu "
Nyai Prodo terkekeh.
"Hehehe... benarkah kau akan melakukannya dan memenuhi semua permintaanku?"
"Iya, iya, Nyai... ampuni aku... ampuni aku...
Nyai, ampuni aku " "Hehehe... bila kau mau berjanji untuk memenuhi semua permintaanku, maka aku akan kuampuni "
"Baik, baik, Nyai... ampuni aku "
"Kau belum mengatakan mau memenuhi semua permintaanku?"
"Ya, ya... aku akan memenuhi semua permintaanmu, Nyai "
"Bagus "
Wajah pemuda itu sedikit lega. "Kau benar mau mengampuniku, Nyai "
"Ya, karena kau telah berjanji seperti itu "
"Ya, ya... saya berjanji Nyai... saya berjanji " ka-
ta pemuda itu dengan sungguh-sungguh.
"Baik, aku akan mengampunimu, Anak muda. "
kata Nyai Prodo sambil tersenyum. Entah senyum apa yang tersirat sesungguhnya itu.
Wajah pemuda itu semakin lega. Dia mendesah. Ah betapa mengerikannya bila aku harus mengalami
hal yang sama seperti Manto, desisnya dalam hati.
Tiba-tiba dia melihat wajah Nyai Prodo semakin dekat dengan tubuhnya.
"Oh, apa... apa, Nyai "
"Aku ingin melihat apakah kau benar-benar mau membuktikan ucapanmu itu "
Pemuda itu menelan ludahnya.
"Ya, ya... Nyai... aku akan membuktikan "
"Benar kau akan membuktikannya?" kata Nyai Prodo dengan tersenyum.
"Ya, ya... aku akan membuktikannya, Nyai Per-
cayalah "
"Bagus! Aku hendak meminta darahmu "
"Apa?" sepasang mata itu terbelalak. Mulutnya sampai terbuka.
Namun pemuda itu tak bisa berkata-kata lagi selain menjerit panjang ketika gigi-gigi Nyai Prodo menghunjam di lehernya.
Menyedot darahnya. "AAAAAKKKKHHHHHH!"
***
7
Dua ekor kuda itu semakin mendekati suara deburan ombak. Ambarwati memacu kudanya kencangkencang. Dia sudah tidak sabar untuk melihat ombak di mana dia dibesarkan di tempat ini.
"Ayo, cepat, Kakang!" serunya pada suaminya. Wajahnya gembira bukan main. Dia seolah telah mencium hawa angin laut yang segar.
Pranata segera menyusul dengan menghentakkan tali kekang kudanya. Mereka memang baru tiba di Laut Selatan. Pranata masih menunggu kedatangan Jawinto lagi. Karena dia yakin laki-laki itu akan datang lagi dengan teman-temannya. Pranata jadi ingin mengetahui siapa sebenarnya orang-orang itu. Dan siapa sebenarnya pemimpin Gerombolan Orang-orang Bengis itu.
Tetapi setelah lama ditunggu, ternyata tak ada seorang pun yang muncul kembali. Lalu dia pun segera mengajak istrinya untuk berangkat menuju Laut Selatan.
Ambarwati menghentikan kudanya di tepi pantai. Lalu dia melompat turun dan segera berlari ke laut. Dibasahinya tubuhnya dengan air laut yang telah lama dirindukannya. Telah lama dia ingin merasakan kembali kesejukan angin dan air laut.
"Ke sini, Kakang!" serunya pada suaminya. Pranata pun berlari, mendekati istrinya. Dengan manja dan tawa yang gembira Ambarwati menyiramnyiramkan air laut ke tubuh suaminya.
"Hei, awas kamu, ya? Aku balas nanti!" kata Pranata Kumala dan mulai membalas.
Jadilah keduanya saling menyiramkan air mirip bocah-bocah kecil yang gembira bermain air.
Saat ini keduanya berada di sebelah utara dari Gerombolan Orang-orang Bengis berada. Hingga kedatangan mereka belum diketahui.
Kedua suami istri itu masih asyik bermain-main dengan air laut.
Pranata melihat betapa bahagianya wajah istrinya. Ah, istrinya sudah begitu rindu sekali nampaknya dengan suasana Laut Selatan.
Dibiarkannya istrinya bergembira bermain air laut. Setelah dirasakannya cukup dan dilihatnya matahari sudah beranjak untuk memasuki peraduannya, Pranata pun berkata.
"Rayi... sebentar lagi malam akan datang. Tidakkah kita bermaksud untuk melihat rumah kita dulu?"
Ambarwati pun menghentikan bermain airnya "Baik, Kakang...." katanya sambil mengikuti
langkah suaminya yang naik ke pantai.
Sesampai di pantai, kembali dia melepas pandangannya ke laut lepas itu. Ah, entah di mana air laut ini berada. Batasnya tak pernah kelihatan.
Sedangkan Pranata yang sejak tadi memperhatikan sekelilingnya menjadi agak keheranan. Dia tak melihat seorang nelayan pun berada di sana.
Bukankah sudah menjadi kebiasaan di sini, bila sore datang mereka tengah bersiap-siap mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencari ikan? Dan bila malam datang, mereka pun mulai memasang layar untuk mendatangi laut lepas?
Tapi tak seorang pun berada di sini? Mengapa? Dan ada apa?
Ambarwati yang sudah puas memperhatikan laut lepas, menjadi keheranan begitu dia berpaling pada suaminya, nampak suaminya tengah termangu.
"Ada apa, Kakang?"
Pranata tersenyum, memandang istrinya. "Tidak apa-apa, Rayi?"
"Tetapi mengapa Kakang seperti tengah berpikir sesuatu?"
Pranata lagi-lagi tersenyum.
"Apakah kau tidak melihat keanehan di tempat ini, Rayi?" tanyanya.
"Maksud, Kakang?" tanya Ambarwati heran setelah memperhatikan sekelilingnya. "Apanya yang aneh?"
"Kau tidak memperhatikannya?"
"Aku tidak tahu, Kakang. Kasih tahulah padaku apa yang menurutmu aneh?"
"Rayi... bukankah kebiasaan para nelayan di sini bila sore dan malam hari mereka akan mencari ikan ke laut?" kata Pranata pula.
"Memang itu kebiasaan mereka, Bukan? Lalu apanya yang aneh, Kakang?"
"Kau tidak memperhatikannya, Rayi?" "Maksud, Kakang?"
"Perhatikanlah sekali lagi."
Kembali Ambarwati menatap sekeliling pesisir pantai. Dan pandangannya pun kembali menatap laut lepas. Hei, ya, ya... dia baru tahu dan mengerti apa yang membuat suaminya aneh. Ya, dia tidak melihat seorang nelayan pun yang tengah bersiap-siap atau pun yang sudah berlayar ke lautan mencari ikan.
Kembali dia berpaling pada suaminya. "Ya, aku tahu, Kakang."
"Bukankah ini sesuatu yang aneh?"
"Lagipula... aku pun tidak melihat seorang penduduk pun yang berkeliaran. Bukankah setiap sore begini selalu banyak bocah-bocah kecil yang datang dan ke luar untuk bermain?"
"Benar, Rayi "
"Apakah telah terjadi sesuatu di sini, Kakang?" "Aku pun tidak tahu."
"Apakah sebaiknya tidak kita selidiki dulu?" "Boleh, Rayi. Tapi besok kita melakukannya. Se-
karang kita kembali ke rumah. Atau... kau ingin menjenguk makam ayahmu dulu sebelum malam semakin datang?"
"Ya, boleh, Kakang." "Ayo, Rayi!"
Lalu keduanya pun segera menaiki kuda masingmasing. Makam Jedangmoro atau pimpinan perampok Gerombolan Golok Iblis berada tak jauh dari sana.
Saat hendak mendatangi makam ayahnya, tak terasa Ambarwati menitikkan air mata. Bukan sedih karena ayahnya telah meninggal. Bukan sedih karena ayahnya mati dalam keadaan sesat.
"Kenapa, Rayi?" tanya Pranata Kumala yang melihat wajah istrinya memerah dan sepasang matanya berkaca-kaca.
"Ah, tidak, tidak... Kakang...." Ambarwati menggeleng-geleng kepalanya.
"Katakanlah, Rayi ada apa?"
"Aku... aku teringat ayah, Kakang "
"Kenapa?"
"Aku amat menyayangi kematiannya "
"Karena ayahmu mati di tanganku? Ah maaf-
kan aku, Rayi... sebelumnya aku tidak tahu kalau pemimpin perampok itu ayahmu "
"Kakang!" Ambarwati menghentikan kudanya. Menatap suaminya. "Mengapa kau berkata demikian, Kakang?" "Aku tahu perasaanmu, Rayi "
"Bukan itu maksudku, Kakang "
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Rayi "
"Demi Gusti Allah, bukan itu maksudku "
"Lalu apa, Rayi?"
"Aku amat menyesali kematiannya sebagai orang sesat. Itu yang aku sesali, Kakang. Bukan karena ayah mati di tanganmu. Bukan, bukan itu. Aku tidak pernah memikirkannya sama sekali "
Pranata Kumala mendesah lega.
"Sebaiknya kita terus ke makam ayahmu, Rayi...
Aku pun ingin meminta maaf "
Lalu kedua kuda itu kembali berpacu. Dari kejauhan Ambarwati dan Pranata dapat melihat dua orang penjaga membawa tombak berdiri di muka taman pemakaman itu.
"Hei, sejak kapan pemakaman ini di jaga?" desis Ambarwati.
"Aku pun tidak tahu." "Kakang "
"Ya, Rayi?"
"Jangan-jangan perasaanku selama ini benar. Aku selalu yakin kalau ada sesuatu yang terjadi di Laut Selatan ini."
"Mungkin, Rayi. Sebaiknya kita datangi saja orang-orang ini."
Pranata dan Ambarwati kembali menjalankan kudanya. Lalu keduanya turun.
Dua orang yang menjaga membawa tombak itu membentak.
"Dilarang masuk ke sini!"
"Hei, apa-apaan kalian ini?" membentak Ambarwati. "Aku datang untuk menjenguk makam ayahku!"
"Siapa kalian?"
"Aku Ambarwati... dan ini suamiku, Pranata Kumala. Kami... hei, bukankah kau Pak Rejo?"
Laki-laki yang dipanggil Pak Rejo itu memicingkan matanya. Lalu terdengar desisannya. "Kau... Ambar... Ambarwati?"
"Iya, aku, Ambar... Pak. Aku Ambarwati... putra dari mendiang Jedangmoro "
"Oh, Nak Ambar... selamat datang kembali di Laut Selatan," kata Pak Rejo lalu memberi isyarat pada pemuda yang nampak tegang dengan tombak siap dihunjamkan.
"Terima kasih, Pak Rejo," kata Ambarwati. Pak Rejo... katakan, apa yang tengah terjadi di sini? Mengapa taman pemakaman ini di jaga?"
"Maafkan Bapak, Nak Ambar. Semua ini karena orang-orang jahat itu...." kata Pak Rejo dengan nada sedih.
"Apa maksud Bapak?"
"Mereka adalah Gerombolan Orang-orang Bengis, yang dipimpin oleh seorang nenek yang amat kejam. Kalau tidak salah dia bernama Nyai Prodo dan berge-
lar Malaikat Penghisap Darah "
Kening Pranata Kumala berkerut. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu. Ya, dia teringat sekarang. Jawinto dan Pragono pernah mengatakan hal itu. Hmm... rupanya mereka telah membuat prahara di sini.
lagi. "Apa yang telah terjadi, Bapak?" tanya Ambarwati
"Mereka begitu jahat. Mereka menguasai beberapa desa yang terdapat di Laut Selatan. Dan mereka menarik pajak yang amat menggigit. Bila ada penduduk yang tidak membayar pajak, maka matilah sebagai gantinya "
"Pantas sejak tadi tak seorang penduduk pun yang kulihat mencari ikan di laut?" "Memang benar, Nak Ambar. Setiap hari Jumat dan Sabtu, para penduduk dilarang untuk pergi mencari ikan."
"Kenapa?"
"Entahlah... aku sendiri tidak tahu...." sahut Pak Rejo sedih. "Nak Ambar... kekejaman orang-orang itu amat luar biasa. Terutama pemimpin mereka yang bernama Nyai Prodo. Setiap malam Sabtu dan malam Minggu, ada beberapa pemuda yang diharuskan menemaninya tidur. Dan keesokan paginya semuanya telah mati dengan darah yang kering. Dia memang patut bergelar Malaikat Penghisap Darah, Nak Ambar..."
"Lalu mengapa taman pemakaman ini dijaga, Pak?"
"Ini atas suruhan mereka. Tanpa izin dari orangorang itu, tak seorang pun yang kami perbolehkan untuk masuk ke sini "
"Mengapa?"
"Saya pun tidak tahu "
"Pak Rejo..." berkata Pranata Kumala. "Bolehkah kami sejenak untuk menjenguk makam orang tua kami?"
"Oh, silahkan, silahkan "
Lalu sepasang suami istri muda itu pun memasuki tanah pemakaman. Keduanya bersimpuh dan berdoa di makam Jedangmoro. Setelah itu keduanya kembali lagi pada Pak Rejo.
"Kalian mau ke mana sekarang?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Kami hendak mendatangi rumah kami," sahut Pranata.
"Oh!" wajah Pak Rejo kelihatan pias. "Kenapa, Pak Rejo?"
"Saranku jangan kalian pergi ke sana."
"Kenapa?" "Berarti kalian memasuki sarang orang-orang itu. Rumah kalian tepat berada tak jauh dari bangunan tempat orang-orang itu berada."
"Bangunan?"
"Ya, para penduduk desa telah disuruh dengan paksa untuk membangun sebuah gedung tempat mereka tinggal."
"Kalau begitu... ceritakan pada kami bagaimana keadaan di sana?"
Pak Rejo pun menceritakan segala sesuatunya sejak orang-orang itu datang.
"Jadi kepala desa Ki Jibus pun tewas di tangan orang-orang itu?"
"Ya."
"Berapa jumlah mereka, Pak Rejo?"
"Anak buahnya hanya tiga orang. Seharusnya lima orang. Tetapi entah ke mana yang dua lagi."
"Berarti mereka hanya berempat?" "Benar."
"Mengapa kalian tidak mencoba untuk melawan?" "Itu sudah kami lakukan. Tetapi kami tidak ber-
daya menghadapi mereka. Malah rasanya hanya membuang nyawa dengan percuma."
"Pak Rejo... bisakah malam ini kami menumpang di rumahmu?" tanya Ambarwati.
"Oh, maaf, maaf... saya bukannya tidak mengizinkan. Tetapi amat berbahaya bila mereka tahu ada orang asing di sini. "
"Kami bukan orang asing, Pak Rejo "
"Saya mengerti. Tapi bagi mereka, kalian adalah orang-orang asing "
"Kalau begitu, terima kasih, Pak Rejo. Kami akan menginap untuk sementara di bukit itu "
"Hati-hati, Nak Ambar, Nak Pranata "
"Kami permisi, Pak Rejo " Lalu keduanya kembali menaiki kuda masingmasing. Berbalik, tidak jadi meneruskan perjalanan menuju rumah mereka. Mereka mengambil jalan yang telah mereka lalui tadi.
***
8
Malam telah larut. Bulan sepotong, tertutup awan. Nampak cuaca mendung. Sebentar lagi terlihat akan segera turun hujan.
Dua sosok tubuh itu bergerak dengan cepat, berlompatan mendekati bangunan besar itu. Mereka pun bergerak cepat menotok para penjaga hingga terdiam kaku.
"Jangan dibunuh, Rayi... mereka hanyalah orangorang suruhan yang dipaksa oleh gerombolan orangorang jahat ini," berkata yang seorang.
"Ya, Kakang " sahut yang seorang.
Keduanya tidak lain Pranata Kumala dan istrinya Ambarwati. Setelah dua hari menginap di atas bukit, keduanya pun segera bermaksud untuk menyelidiki gerombolan itu. Karena mereka tidak tahan melihat penderitaan rakyat.
Malam ini rencana itu mereka jalankan. "Kita harus memasuki bangunan itu, Rayi." "Tetapi temboknya terlalu tinggi, Kakang." "Ya. Itu yang menyulitkan."
"Kakang "
"Ya?"
"Itu ada bambu panjang. Bisa kita gunakan untuk melompat tembok itu."
"Benar, Rayi. Kau berani melakukannya?" "Aku berani, Kakang. Bersamamu apa pula yang harus kutakutkan?"
Pranata tersenyum. Lalu mengambil sebatang bambu panjang itu. Dia memberikannya kepada Ambarwati.
"Sebaiknya kau dulu. Berani?" "Ya," sahut Ambarwati mantap.
Lalu dia mengambil ancang-ancang. Hup. Tanpa bersuara sedikit pun dia telah berada di balik tembok itu. Pranata segera menangkap bambu yang terlempar itu.
Kemudian dia sendiri pun berbuat yang sama. Kini keduanya sudah berada di balik tembok itu.
Lalu mengendap ke balik rimbunnya bunga-bunga. "Bukan main, bagus sekali bangunan itu, Rayi!"
desis Pranata.
"Iya, Kakang... tetapi semua ini dibuat oleh tangan dan keringat para penduduk secara paksa!" sahutan Ambarwati terdengar geram.
"Kita mendekati bangunan itu, Rayi "
Keduanya pun berjingkat dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka. Tak lama kemudian keduanya pun sudah berada di dinding bangunan itu. Merapat.
Dan samar-samar telinga keduanya menangkap suara-suara dari dalam.
"Kalian belum menemukan juga orang yang telah membunuh teman kalian itu?!" terdengar suara bernada geram dan terdengar nyaring.
Lalu di susul dengan suara pelan, "Maafkan kami, Nyai. Sampai saat ini kami belum menemukannya."
"Bodoh!"
"Kami belum tahu orangnya, Nyai "
"Kalian bisa mencarinya, bukan? Nama sepasang suami istri itu Pranata Kumala dan Ambarwati!" "Iya, Nyai..."
"Apa, iya?!"
"Kami akan mencarinya kembali."
"Cepat! Aku tidak suka..." tiba-tiba Nyai Prodo menghentikan suaranya. Kepala bergerak ke arah kiri. Dia berseru, "Siapa di situ?!"
Pranata Kumala dan Ambarwati terkejut. Ternyata ilmu pendengaran milik nenek itu begitu hebat.
"Lari, Rayi! Lari!" seru Pranata Kumala.
Keduanya pun berlari. Tetapi di hadapan mereka kini telah berdiri empat sosok tubuh dengan pandangan geram.
Nyai Prodo mendengus.
"Hhh! Rupanya kucing-kucing liar!" dengusnya menggeram.
Pranata Kumala berusaha untuk tenang. Dia melindungi istrinya karena dilihatnya tatapan tiga lakilaki di hadapannya begitu buas dan nanar terhadap istrinya.
"Hhh! Orang-orang jahat! Cepat kalian pergi dari Laut Selatan ini!"
"Hehehe... rupanya kau bisa membentak juga rupanya?!" bentak Nyai Prodo. "Bagaimana bila kami tidak mau pergi dari sini, hah?!"
"Terpaksa kalian akan berurusan denganku?!" balas Pranata tak mau kalah.
Membulatlah mata Nyai Prodo mendengar katakata itu.
"Tangkap mereka!" perintahnya.
Dan serentak tiga orang anak buahnya menyerbu. Pranata Kumala melayaninya dengan segera. Dia berhadapan dengan Secopati dan Wiroprogo. Sedangkan Ambarwati menghadapi Pronomuro.
Seketika di halaman bangunan itu terjadi perkelahian yang hebat.
Jurus demi jurus pun berlangsung dengan cepat. Pranata segera memadukan jurus-jurusnya. Ki-
jang Kumala, Tangan Bayangan dan Pukulan Sinar Merah. Menghadapi Pukulan Sinar Merah ini Secopati dan Wiroprogo menjadi kewalahan juga.
Sementara itu Ambarwati pun harus mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menandingi dan mengimbangi Pronomuro yang telah meloloskan goloknya.
"Jangan dibunuh! Lumpuhkan keduanya! Aku hendak memberi pelajaran pada mereka!" seru Nyai Prodo.
Tiba-tiba dia melompat karena Pukulan Sinar Merah yang dilepaskan Pranata Kumala mengarah padanya.
"Bangsat!" makinya murka.
"Kau akan kubunuh, nenek Peot!"
"Tangkap mereka! Dan siksa!" geram Nyai Prodo.
Secopati dan Wiroprogo sebisanya mengeluarkan segenap kemampuan mereka. Pukulan Sinar Merah yang dilancarkan oleh Pranata Kumala yang membuat mereka harus berhati-hati menghadapinya bila tidak ingin tubuh mereka hangus terhantam sinar merah itu.
Menyadari kedua lawannya ngeri menghadapi Pukulan Sinar Merahnya, Pranata pun terus menyerang dengan pukulan warisan dari gurunya, Ki Ageng Jayasih.
"Kalian mau lari ke mana, hah?!" ejeknya. "Bukankah kalian disuruh untuk menangkap aku?!"
"Anjing buduk!" menggeram Secopati sambil meloloskan goloknya. Begitu pula dengan Wiroprogo yang juga meloloskan goloknya.
Dengan golok di tangan keduanya pun segera menyerang dengan membabi buta.
Namun lagi-lagi keduanya tak berani mendekat karena Pukulan Sinar Merah yang dilepaskan Pranata Kumala siap untuk menghabisi mereka.
Sementara itu Ambarwati pun bergerak dengan hebat dan cepat. Dia ternyata bisa mengimbangi permainan golok Pronomuro.
Yang jadi menggeram karena marah. "Bangsat! Kubunuh kau!"
"Buktikanlah bila kau mampu!" ejek Ambarwati yang semakin membuat Pronomuro menjadi panas.
Dan serangan-serangannya pun bertambah cepat. Namun Ambarwati lagi-lagi bisa mengimbanginya.
Keduanya saling serang. Keduanya saling balas.
Keduanya sama-sama menginginkan pertarungan cepat selesai.
Melihat tiga anak buahnya belum mampu juga mengatasi semua itu, Nyai Prodo menggeram marah. "Hahaha?! Cepat kalian selesaikan pertarungan itu. Aku sudah bosan!"
Namun tiga orang anak buahnya itu pun harus bekerja keras. Meskipun demikian belum pula mampu untuk mengalahkan keduanya.
Lagi Nyai Prodo menggeram marah. Dan tiba-tiba dia bergerak ke arah Pranata Kumala dengan cepat. Melihat dirinya diancam bahaya Pranata segera melepaskan Pukulan Sinar Merahnya.
Nyai Prodo menggeram seraya menghindar, "Bangsat!"
"Mampuslah kau, Nenek jelek!" seru Pranata Kumala dan menghindari serbuan kedua golok dari Secopati dan Wiroprogo.
Dikatakan seperti itu, Nyai Prodo menjadi marah. Dan dengan gerakan yang teramat aneh, dia berkelebat. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Pranata. Pranata segera berbalik dan melepaskan Pukulan
Sinar Merahnya, yang membuat Nyai Prodo urung untuk segera menghantamkan pukulannya ke leher Pranata Kumala.
"Bangsat!" geramnya.
"Kau yang bangsat, Nenek! Kelakuanmu seperti anjing yang kelaparan!"
"Anjing buduk!"
"Kau yang mirip anjing buduk!"
Dikatakan seperti itu membuat Nyai Prodo menjadi murka. Dia menyerang seraya membentak, "Menyingkir kalian!"
Secopati dan Wiroprogo yang merasa tak mampu untuk mengalahkan pemuda itu cepat-cepat menyingkir.
Kini Pranata pun harus menghadapi Nyai Prodo yang menyerang dengan ganas. Menghadapi seranganserangan yang cepat itu membuat Pranata Kumala menjadi kewalahan dan kebingungan. Entah jurus apa yang digunakan oleh Nyai Prodo. Karena dalam pandangannya Pranata melihat Nyai Prodo menjadi banyak sekali.
Tiba-tiba dia merasakan satu pukulan keras mengenai dadanya.
"Des!"
Tubuhnya terhuyung.
Pranata berusaha untuk menguasai keseimbangannya.
Dan setelah dia berdiri tegak kembali dia membentak, "Nenek peot! Kau menggunakan ilmu sihir!"
"Hehehe... perdulilah apa katamu. Nah, terimalah kekalahanmu ini!" seru Nyai Prodo.
Lalu dia menyerbu kembali dengan gerakan seperti tadi hebat dan cepat. Pranata menjadi kebingungan. Dia melepaskan pukulan Sinar Merahnya dengan asal saja. Pikirnya dia harus memusnahkan nenek itu.
Namun Nyai Prodo malah terbebas dari serangan pukulan Sinar Merah. Tubuhnya berkelebat dengan cepat.
Ke sana ke mari.
Membingungkan Pranata Kumala.
Melihat dirinya sudah terkepung oleh Nyai Prodo, Pranata berseru pada istrinya, "Rayi... lari, lari kau dari sini!"
Ambarwati pun melihat keadaan suaminya yang nampak gawat.
Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena harus menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan oleh Pronomuro.
"Tidak, Kakang..."
"Rayi! Lari, lari dari sini!"
"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!"
"Rayi, pergi dari sini! Pergi kataku!" membentak Pranata Kumala.
Tak ada jalan lain bagi Ambarwati. Dia hanya berpikir, bila mereka berdua ditawan, siapa yang akan bisa membebaskan suaminya nanti.
Berpikiran demikian, lalu dia pun segera nekat untuk menerobos kepungan dari Pronomuro yang seakan tidak memberi jalan padanya.
Tetapi saat itu pikiran Ambarwati sedang bingung. Maka dia pun nekat menyabetkan pedangnya dengan membabi buta.
Semula Pronomuro berhasil menangkis.
Namun lama kelamaan dia menjadi kewalahan sendiri sehingga akhirnya dia memberi jalan bagi Ambarwati. Sepintas memang seperti memberi jalan, karena Pronomuro menghindar begitu saja. Tetapi setelah Ambarwati berhasil lolos, Pronomuro mengejar dengan golok terhunus.
"Rayi!" seru Pranata Kumala yang melihat bahaya mengancam istrinya.
Dia pun tak perduli lagi dengan seranganserangan dari Nyai Prodo. Dia malah melepaskan Pukulan Sinar Merahnya ke arah Pronomuro.
Sinar Merah itu tepat mengenai sasarannya. "Akkhh!" Pronomuro terjengkang ke belakang
dengan tubuh separuh hangus.
Dan bersamaan pula dengan itu, terdengar jeritan Pranata Kumala. Tengkuknya dipukul oleh Nyai Prodo hingga pemuda itu pingsan.
Ambarwati masih sempat melihat betapa suaminya dalam keadaan terdesak masih mencoba menyelamatkan dirinya. Dan dia juga melihat betapa pukulan tangan Nyai Prodo telah membuat pingsan suaminya.
Sekilas ada perasaan untuk menolong suaminya. Namun melihat serangan kembali datang dari Secopati dan Wiroprogo yang mencoba menangkapnya, membuatnya berpikir untuk melarikan diri.
"Kejar dia, jangan sampai lolos!" terdengar suara Nyai Prodo.
Secopati dan Wiroprogo pun mengejar. Namun Ambarwati telah berhasil mencapai pintu gerbang ke bangunan itu. Dua orang pemuda yang menjaga, ditamparnya hingga pingsan.
Lalu dia terus berlari menerobos pekatnya ma-
lam.
Di tempat persembunyiannya, Ambarwati me-
nangis tersedu-sedu mengingat suaminya kini berada di tangan orang-orang kejam itu.
"Kakang, Pranata " sendatnya.
*** 9
Dua ekor kuda itu memasuki pesisir Laut Selatan. Penunggangnya tak lain Madewa Gumilang dan istrinya Ratih Ningrum.
"Lho, mengapa sepi sekali, Kanda? Ke mana para nelayan di sini?" tanya Ratih Ningrum yang melihat suasana amat sepi.
"Entahlah."
"Apakah kita tidak sebaiknya segera menuju rumah Pranata Kumala dan istrinya, Kanda? Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan mereka."
"Baik, Dinda "
Sebelum keduanya menggerakkan kuda-kuda mereka, tiba-tiba entah dari mana datangnya bermunculan sepuluh orang pemuda bersenjatakan tombak mengurung mereka.
Madewa berpandangan dengan istrinya.
Lalu dia tersenyum arif dan bijaksana pada orang-orang itu.
"Maaf... ada apa gerangan hingga kalian mengurung jalan kami?"
Salah seorang membentak, "Ki Sanak sebaik-
nya tinggalkan tempat ini!"
"Apa maksudmu yang sebenarnya?"
"Kami tidak ingin kalian berdua mati di sini!" "Mengapa kami harus mati di sini!"
"Sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini?!" seru orang itu lagi.
Madewa melihat kalau sepuluh pemuda yang mengurung mereka tidak mempunyai niat jahat. Malah mereka seperti hendak melindunginya dan istrinya dengan mengusir mereka dari sini.
Hal ini membuatnya menjadi penasaran. "Maafkan kami berdua, Saudara-saudara. Kami datang untuk menjenguk putra dan anak menantu kami "
"Siapa nama putra dan anak menantumu?" "Mereka bernama Pranata Kumala dan Ambarwa-
ti "
"Mereka tidak ada di sini. Sudah lama mereka
pergi dari sini!"
"Tunggu...." berseru salah seorang pemuda. Lalu dia berkata pada Madewa, "Benarkah kalian sedang mencari orang yang bernama Pranata Kumala dan Ambarwati?"
"Benar. Apakah kau tahu di mana mereka berada?" tanya Madewa.
"Ya."
"Di mana?"
"Di atas bukit sana!" kata pemuda itu yang tak lain adalah teman jaga Pak Rejo di taman pemakaman. "Hei, mengapa mereka tinggal di sana? Bukankah
mereka mempunyai rumah di sini?"
"Maafkan, Orang tua... kami bukannya bermaksud jahat terhadap kau dan istrimu... Tetapi kami tidak mau kalian berdua menjadi korban dari tangan jahat orang-orang biadab itu."
"Apa maksudmu? O, ya. Namaku Madewa Gumilang dan ini istriku Ratih Ningrum."
"Paman Madewa... di tempat ini telah berdiri bangunan atau markas yang diduduki oleh orang-orang jahat yang dipimpin oleh Nyai Prodo... atau Malaikat Penghisap Darah. Kami bukannya tidak memperkenankan kalian untuk datang, sebelum orang-orang itu melihat kedatangan kalian "
"Baiklah... tapi katakan dulu mengapa putra dan anak menantuku berada di atas bukit itu?"
"Karena rumah mereka tepat berada di dekat bangunan atau markas orang-orang jahat itu."
"Terima kasih atas bantuan kalian. Kami permisi!" kata Madewa sambil memutar kudanya. Istrinya menyusul.
"Kita segera ke bukit itu, Kanda," kata Ratih Ningrum.
"Baik, Dinda."
Lalu keduanya segera memacu kuda mereka menuju bukit yang ditunjuk pemuda tadi.
Hati Ratih Ningrum mendadak cemas memikirkan nasib putra dan anak menantunya. Tetapi kalau begitu, mereka benar berada di sini.
Perasaannya tidak salah.
***
Ambarwati tercekat mendengar derap langkah kuda mendekati tempat kediamannya. Dia langsung bersembunyi dan mengambil pedangnya.
"Di mana kira-kira mereka berada, Kanda?" terdengar suara itu.
"Aku pun tidak tahu. Sebaiknya kita cari saja, Dinda," terdengar lagi sahutan itu.
Ambarwati memejamkan pendengarannya.
Tidak salahkah pendengarannya. Bukankah itu suara ayah dan ibu mertuanya.
Setelah hati-hati mengintip dari tempat persembunyiannya, dan yakin kedua orang itu ayah dan ibu mertuanya, Ambarwati pun ke luar dari persembunyiannya.
"Ayah! Ibu!"
Keduanya menoleh. Dan melihat Ambarwati terburu-buru mendekat. Ratih Ningrum merasa ada sesuatu yang terjadi. Dia langsung melompat turun. Dan benar saja anak menantunya itu menangis. "Huhuhu... Ibu... Ibu "
"Tenang, Ambar... tenanglah...." sahut Ratih Ningrum dengan suara keibuan. Dia mengusap-usap rambut Ambarwati. "Ceritakan Ambar. apa yang telah ter-
jadi "
"Huhuhu... Kakang Pranata, Ibu Kakang Prana-
ta.... huhuhu "
"Hapus dulu air matamu dan hentikan tangismu.
Ceritakanlah dengan jelas pada ibu dan ayah "
Ambarwati menghapus air matanya. Lalu dengan tersendat dia pun bercerita apa yang telah terjadi.
Ratih Ningrum mencoba tersenyum walau dirasakan hatinya geram bukan main.
"Jadi suamimu berada dalam tangan mereka?" "Benar, Ibu... aku sungguh cemas memikirkan
nasib Kakang Pranata. "
"Tenanglah, Ambar...." kata Ratih Ningrum. "Ibu lihat kedua matamu bengkak. Kau kurang tidur, ya?"
Ambarwati menganggukkan kepalanya mirip anak kecil.
"Sebaiknya kau tidur saja dulu. Biar ayah dan ibu yang akan mengurus semua. "
"Aku ikut, aku ikut! Aku ingin melihat Kakang Pranata... Bu "
Ratih Ningrum tersenyum. Merasa geli melihat manjanya anak menantunya itu.
"Ya, Ibu dan ayah akan mengajakmu. Nah, sekarang kau lebih baik tidur saja "
Ambarwati mengangguk. Lalu dia pun merebahkan tubuhnya di rumput yang telah dialasi daun-daun pisang.
Setelah anak menantunya pulas, Ratih Ningrum berkata pada suaminya.
"Bagaimana, Kanda?"
"Secepatnya kita harus membebaskan Pranata dan menumpas gerombolan itu."
"Ya," Ratih Ningrum mengangguk. "Aku geram sekali mendengar berita putraku di tawan. Hhh! Akan kubuat lumat bila kulihat putraku terluka!"
"Tenang, Dinda... kau sendiri yang tidak sabar sekarang," kata Madewa tersenyum.
"Maafkan aku, Kanda "
"Menurut mata batinku, aku melihat betapa sengsaranya keadaan penduduk di pesisir Laut Selatan ini. Dan betapa kejamnya orang-orang itu "
"Kapan sebaiknya kita pergi, Kanda?" "Besok pagi. Tapi "
"Tapi apa?"
"Kau tidak marah bila kukatakan?" "Apa yang hendak kau katakan?" "Biar aku yang pergi sendirian." "Aku?"
"Jagalah anak Ambarwati. Kasihan, dia nampaknya mengalami goncangan jiwa. Bagaimana sedihnya aku memikirkan apa yang dialami Ambarwati sebelum kita datang. Mau ke mana dia mengadu dan membagi perasaannya?"
"Tetapi lebih tega lagi bila kita membiarkannya di sini."
"Bukan kita. Kau, Dinda "
"Tetapi aku harus ikut, Kanda Aku sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan Pranata Kumala...." kata Ratih Ningrum ngotot.
"Sudah kuduga." "Kenapa?"
"Kau pasti akan berkata demikian. Kau tak ada bedanya dengan Ambarwati, Rayi...." tersenyum Madewa. "Ah, betapa waktu masih remaja kau pun seorang gadis yang keras kepala. Dan..."
"Dan apa?" tanya Ratih Ningrum penasaran karena suaminya menggantung kata-katanya dan tersenyum penuh arti. "Dan apa, Kanda?"
"Dan kau amat menyayangi suamimu ini, bukan?"
Ratih Ningrum tersenyum, tersipu. Dia jadi teringat akan album nostalgianya dulu.
"Ah, dalam keadaan seperti ini, Kanda masih mau bermesra-mesraan saja!" omelnya pura-pura cemberut.
Madewa tertawa.
"Baik, besok kita urus semuanya."
***
10
"Berhenti!"
Beberapa orang penjaga di bangunan itu membentak kasar. Dan segera mengurung tiga orang yang baru datang itu.
Madewa tersenyum arif dan bijaksana.
Jubah putihnya berkibar-kibar di hembus angin pantai.
"Aku datang ingin bertemu dengan Nyai Prodo "
"Ada perlu apa?"
"Katakan saja, ada tamu untuknya. "
"Katakan di sini, ada perlu apa?!"
Ambarwati yang sudah tidak sabar untuk melihat keadaan suaminya tiba-tiba menggerakkan tangannya, menampar mulut pemuda itu hingga berdarah.
"Cepat panggil dia ke mari!" geramnya.
Pemuda-pemuda yang lain menjadi makin mengurung mereka. Bagi para pemuda itu lebih baik mati daripada disiksa oleh orang-orang bengis itu. "Jangan banyak omong!" membentak lagi yang lain seraya menghunuskan tombaknya.
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan, "Hei, bukankah gadis ini yang membuat keributan tiga hari yang lalu?!"
"Benar, benar dia!" "Ayo tangkap!"
Serentak para pengurung itu segera melancarkan serangan. Ambarwati yang geram malah menjadi semakin geram. Dia pun bergerak melesat dengan cepat mengirimkan serangan.
"Manusia-manusia tidak berguna! Mau-maunya kalian diperalat orang-orang jahat itu! Buka mata kalian, aku Ambarwati putra dari Jedangmoro almarhum!" maki Ambarwati seraya menggerakkan tangannya ke sana-ke mari.
Namun orang-orang itu tak mau tahu. Bagi mereka, bila bisa menangkap buronan ini maka tentunya akan ada hadiah untuk mereka.
Madewa dan Ratih Ningrum pun menjadi sasaran serangan mereka.
Namun serangan-serangan itu tak berarti banyak bagi mereka.
Sebentar saja dengan sekali berkelebat, empat buah tombak sudah berpindah tangan.
Dan dengan sekali tekan Madewa meremukkan tombak-tombak itu.
Membuat mata para pengurungnya terbelalak. Namun mereka tidak takut.
Mereka lebih takut pada orang-orang bengis itu. Serentak mereka menyerang lagi.
"Tangkap orang-orang itu!" Keributan pun terjadi lagi.
Dan suara ribut itu terdengar sampai ke dalam.
Secopati dan Wiroprogo pun muncul ke luar. "Hei, apa yang terjadi?!" membentak Secopati. "Mereka datang untuk menemui ketua! Dan kami
telah melarangnya! Namun mereka memaksa!" berkata salah seorang yang tengah berusaha untuk menangkap Ambarwati.
Dan terbukalah mata Secopati ketika melihat Ambarwati.
"Hhh! Rupanya gadis itu! Tangkap dia!" serunya. Lalu berpaling pada Madewa dan Ratih Ningrum yang telah berdiri tegak. Lawan-lawan mereka telah dibuat pingsan. Mereka tidak membunuh, karena mereka tahu orang-orang itu terpaksa melakukan perbuatan jahat ini. "Siapa kalian berdua?!"
Madewa tersenyum.
"Kami datang untuk membebaskan putra kami!" "Hhh... sebutkan nama kalian sebelum kalian
mampus di tangan kami "
"Ah, namaku Madewa Gumilang "
"Apa?!" terbelalak mata Secopati. "Sebutkan sekali lagi namamu!"
"Mengapa? Apakah namaku aneh kedengarannya?" sahut Madewa tersenyum.
"Sebutkan namamu!" bentak Secopati penasaran. "Baiklah... namaku Madewa Gumilang "
"Hmm... Madewa Gumilang... apakah kau yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma?"
"Orang-orang rimba persilatan entah kenapa menjuluki aku seperti itu "
Secopati mendengus. Dia telah lama mendengar sepak terjang dari Madewa Gumilang. Orang-orang rimba persilatan seringkali membicarakannya. Dia amat disegani oleh lawan maupun kawan.
Ada pula yang mengatakan bahwa Madewa Gumilang adalah manusia setengah dewa. Pendekar Budiman. Dan yang lebih kondang disebut dengan Pendekar Bayangan Sukma.
"Hhh! Rupanya hari ini aku tengah berhadapan dengan manusia setengah dewa!"
Madewa cuma tersenyum.
"Ini istriku, namanya Ratih Ningrum. Salam hormat dari kami untuk kalian berdua. Nah, kami minta dengan sangat, agar kalian melepaskan putra kami Pranata Kumala "
"Lepaskan suamiku!" terdengar bentakan Ambarwati, dia sudah berhasil menjatuhkan lawanlawannya dan membuat mereka pingsan.
Secopati cuma tertawa.
"Tidak semudah itu kau mendapatkan suamimu, Nona. Dan kau Madewa... tidak semudah itu kau bisa meminta putramu "
"Kau belum menyebutkan namamu, Ki Sanak." "Namaku Secopati. Dan ini temanku bernama Wi-
roprogo."
"Lepaskan suamiku!" seru Ambarwati seraya hendak menyerang.
Tetapi Ratih Ningrum dengan sigap menahannya. "Sabar Ambar...." desisnya padahal dia sendiri
sudah tidak sabar untuk melihat putranya.
Namun Ratih Ningrum melihat suaminya masih mencoba meminta secara baik-baik, tidak dengan jalan kekerasan. Lalu didengarnya lagi suara suaminya berkata pada Secopati.
"Secopati... kita tak punya bibit permusuhan yang tersebar. Dan aku pun tidak mau menanamkan bibit permusuhan di antara kita. Maka kuminta, lepaskan putraku sekarang juga "
"Hahaha... jangan mentang-mentang namamu amat di takuti di rimba persilatan ini kau bisa menggertak kami?"
"Aku tidak sedang menggertak. Aku hanya meminta kau melepaskan putraku!" "Bagaimana bila tidak kuizinkan?"
Madewa tersenyum penuh arif dan bijaksana. "Agaknya kau lebih menyukai kekerasan daripa-
da persahabatan, Secopati "
"Karena kita hidup di dunia yang keras, Madewa!" kata Secopati dan langsung menyerang dengan hebat ke arah Madewa.
Madewa menghindar dengan jalan bersalto.
Setelah hinggap di bumi dia berkata, "Apakah memang tak ada jalan lagi, Secopati?"
"Sombong! Kau rasakan dulu ini!" geram Secopati seraya menyerbu.
Madewa pun tak mau dirinya dijadikan sasaran serangan dari Secopati. Maka dia pun segera menggunakan jurus Ular Meloloskan Diri. Jurus menghindarnya yang mampu membuat tubuhnya bergerak laksana seekor ular.
Secopati menjadi geram.
Dia menyerang dengan membabi buta.
Melihat hal itu, Wiroprogo pun datang membantu. Kini Madewa diserang dari dua jurusan.
Hebat. Cepat.
Mengundang maut.
Namun bagi Madewa serangan-serangan kedua orang itu bukanlah sesuatu yang membingungkan. Bahkan dengan menggunakan jurus Ular Mematuk Katak, dia berhasil menggedor dada Wiroprogo yang merasa bagai dihantam oleh sebuah godam yang amat besar.
Lalu menyusul dia menghantam kaki Secopati yang mengaduh keras dan merasakan tulang pahanya patah.
"Apakah kalian hendak meneruskan pertarungan ini?" tersenyum Madewa.
"Jangan sombong kau, Madewa!" geram Wiroprogo seraya menyerang kembali.
Namun lagi-lagi serangannya berhasil dipatahkan oleh Madewa dengan mudah.
Bahkan dia pun mengalami hal yang sama seperti yang dialami Secopati.
Tiba-tiba terdengar kekehan dari belakang mereka. Muncul Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah. "Rupanya seorang pendekar besar sedang bertandang ke rumahku. Silahkan dan jangan sungkan-
sungkan, Madewa Gumilang... hehehe "
"Nyai Prodo... niat apa yang membuatmu membuat huru-hara di Laut Selatan ini. Dan niat apa pula yang mendorongmu untuk menawan putraku?"
"Hehehe... Madewa, Madewa... kita memang berbeda golongan... dan kau pun tak akan mengerti bila kujelaskan," terkekeh nenek bongkok itu.
"Nyai Prodo... kupikir lebih baik kita selesaikan semua ini secara damai aku tak suka bila kekerasan
harus berbicara "
"Madewa... sebenarnya sudah cukup lama aku mendengar sepak-terjangmu sebagai Pendekar Budiman. Dan hari ini untuk mencoba kehebatanmu, Madewa "
"Bukankah dengan cara begini kau sengaja menanamkan bibit permusuhan?"
"Bila kau tidak menyukai kata-kata itu, lebih baik kau ganti saja.... Ini adalah ajang uji coba kesaktian di antara kita. Bagaimana, kau tentunya setuju bukan dengan usulku itu?"
"Nyai Prodo... bukankah ini semua bisa kita selesaikan secara damai?"
"Seperti tidak bisa, Madewa... karena kita berbeda golongan." "Hmm... haruskah darah tertumpah di sini? Padahal sudah begitu banyak darah yang kau tumpahkan "
"Bahkan aku menghirupnya, Madewa... hehehe...
aku memang ingin melihat sampai di mana nama besarmu sebagai manusia setengah dewa. "
"Ah, hanya orang-orang saja yang menjuluki aku seperti itu "
"Hehehe... kau memang patut dijuluki sebagai Pendekar Budiman, Madewa... kata-katamu itu sudah menunjukkan bahwa kau memang patut menyandang gelar seperti itu.... Cuma sayang, sayang sekali kare-
na hari ini tak akan pernah lagi orang mendengar nama besarmu... hehehe... hari ini kau akan mampus di tanganku, Madewa "
"Nyai Prodo... jangan bertindak bodoh dan membuang nyawa dengan percuma. "
"Hehehe... siapa bilang aku hendak membuang nyawa dengan percuma, karena nyawamulah yang akan terbuang, Madewa... hehehe... dengan percuma...
ya, ya... dengan percuma "
Dan tiba-tiba saja, sungguh amat tiba-tiba, Nyai Prodo melesat dengan cepat ke arah Madewa. Dari angin yang ditimbulkan oleh gerakannya, Madewa merasakan hawa dingin menyerang ke arahnya.
Begitu hebat dan mampu membuang yang bertenaga dalam rendah menggigil karena dinginnya.
"Tahan sekarang seranganku ini, Madewa! Pelajaran pertama akan kita mulai!"
"Baik, Nyai Prodo! Kuterima tantanganmu!
Meskipun aku tidak menginginkannya!"
"Ingin atau tidak ingin, tahan seranganku!" bentak Nyai Prodo.
Dan tubuh itu semakin cepat meluncur ke arah Madewa siap untuk memusnahkannya. 11
Madewa pun segera memapakinya dengan Pukulan Angin Salju. Karena kekuatan rasa dingin yang ditimbulkan oleh gerakan Nyai Prodo begitu menyengat sekali.
Dua pukulan itu beradu.
Dan masing-masing terpental ke belakang.
Masing-masing pula merasakan hawa dingin yang menyengat keduanya. Segera keduanya mengalirkan tenaga dalam mereka.
Ratih Ningrum dan Ambarwati hanya menyaksikan saja. Keduanya seolah lupa untuk mencari Pranata Kumala.
Sementara Secopati dan Wiroprogo yang patah tulang pahanya hanya bisa menyaksikan pula. Dan keduanya secara perlahan-lahan beringsut menghindari pertempuran itu.
"Hhh! Tidak percuma kau bergelar Pendekar Bayangan Sukma, Madewa!"
"Ah, aku hanya sedikit memiliki kepandaian yang tak patut kubanggakan!"
"Sombong!" geram Nyai Prodo.
Lalu dia menyerang kembali. "Tahan ajian Mega Murni ini, Madewa!"
Kembali terjadi saling menyerang yang amat hebat. Jurus demi jurus telah keduanya lancarkan. Serangan-serangan keduanya amat berbahaya dan penuh resiko. Namun sampai sejauh itu belum terlihat siapa yang lebih unggul.
Madewa kembali menggunakan jurus meloloskan dirinya. Ular Meloloskan Diri. Dan di tangannya telah terangkum pukulan Tembok Menghalau Badai.
Namun ketika terjadi benturan, kembali terlihat kalau keduanya seimbang.
Dan keduanya terhuyung.
Nyai Prodo menyeka darah yang ke luar dari mulutnya. Sementara Madewa hanya terhuyung dan telah kembali berdiri tegak tak kurang suatu apa.
Nyai Prodo merasakan satu pukulan yang hebat mengenai dadanya. Dia pun dapat merasakan kalau tenaga dalamnya kalah oleh Madewa Gumilang.
Dia menggeram murka.
"Anjing kurap! Kau harus mampus di tanganku, Madewa!" bentaknya.
"Nyai Prodo... bukankah kita bisa memilih jalan berdamai tanpa perlu saling bertarung?" kata Madewa masih mencoba menyadarkan Nyai Prodo.
"Persetan dengan ucapanmu itu! Kau harus mampus di tanganku, Madewa!" tiba-tiba Nyai Prodo membuka kedua tangannya. Dan membuka jarijarinya. Lalu dia menekuk tangannya hingga ke bahu. "Kau lihat ini, Madewa... inilah ajian dari ilmuku yang terbaru, ajian Pemusnah Jiwa! Nah, bersiaplah kau untuk mampus, Madewa!"
"Nyai Prodo... sadarlah... bahwa semua yang kita lakukan ini tidak berguna "
"Kau masih saja berkhotbah, Madewa! Memang begitu orang yang sudah mau mampus!"
"Nyai Prodo "
"Diam! Rasakan seranganku ini!" membentak Nyai Prodo dan langsung menyerbu.
Dari jauh Madewa dapat merasakan angin panas yang berkesiur ke arahnya. Dan dia pun dapat menduga kalau betapa ganasnya ilmu yang berada di tangan Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah.
Madewa mencoba menghindar. Dia memang berhasil menghindari serangan itu, namun angin panas yang ke luar dari kedua tangan Nyai Prodo membuatnya amat terkejut.
Ini amat berbahaya.
Dan berarti ini bukan main-main lagi.
"Hahaha... kau jeri melihat ilmuku yang satu ini, Madewa!"
"Sadarlah, Nyai Prodo "
"Hhh! Mampuslah kau, Madewa!"
Mendengar kata-kata itu dan melihat Nyai Prodo telah siap untuk menyerang kembali, tiba-tiba Madewa terdiam. Lalu dia merangkum kedua tangannya menjadi satu di dada. Dan terlihatlah asap putih yang mengepul.
"Pukulan Bayangan Sukma!" terdengar seruan Nyai Prodo terkejut. Tetapi sejurus kemudian dia terkekeh. "Hehehe. tak ada satu ajian atau pun pukulan
yang bisa menandingi kehebatan ilmuku ini, Madewa !"
"Sadarlah, Nyai Prodo... Kita hanya membuang nyawa dengan percuma!" kata Madewa Gumilang yang masih mencoba untuk menghindari pertarungan ini.
"Hehehe... kau jeri rupanya! Kita lihat ilmu siapa yang paling tinggi, Madewa!"
Sehabis berkata begitu, Nyai Prodo menyerbu dengan cepat. Madewa pun tak mau kalau dirinya dijadikan sasaran ajian yang hebat itu.
Maka dia pun menyerang pula, memapaki.
Orang-orang yang memperhatikan menjerit te-
gang.
Dan dua pukulan itu pun berbenturan hingga
menimbulkan suara mirip ledakan. "Duaaarrr!"
Keras. Amat keras sekali.
Dan dari kedua pukulan yang beradu itu, menimbulkan debu-debu yang berterbangan. Daun-daun pun berguguran. Lalu terpental dua sosok tubuh ke belakang. Madewa terhuyung beberapa tombak.
Sedangkan Nyai Prodo hanya tiga tombak.
Dia terkekeh. "Hehehe... tak satu pun yang bisa menandingi kehebatan ajian Pemusnah Jiwa milikku ini, Madewa.... Kau harus mampus, Madewa!" geramnya dan menerjang lagi. Namun tiba-tiba dia terhuyung. "Oh... aku... aakh... Aaaakkh!" terdengar jeritan panjang. Tubuh itu pun limbung dan ambruk.
Sepasang matanya melotot menampakkan bahwa dia masih amat penasaran.
Madewa mendesah.
Ratih Ningrum dan Ambarwati seperti tersadar. Lalu keduanya mencari Pranata Kumala. Keduanya menemukan keadaan Pranata yang terluka parah karena disiksa.
Madewa memerintahkan untuk membawa pulang Pranata ke Perguruan Topeng Hitam.
Setelah berkata pada para penduduk bahwa kezaliman telah dikalahkan, Madewa pun mengajak anggota keluarganya kembali ke Perguruan Topeng Hitam.
Lalu keempatnya pun meninggalkan Laut Selatan yang baru saja terjadi prahara. Tanpa sempat menengok tempat tinggal Ambarwati dan Pranata Kumala.
Sedangkan orang-orang menemukan Secopati dan Wiroprogo telah mati membunuh diri.
TAMAT
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 16 Prahara di Laut Selatan"
Post a Comment